“Yang mendengarkan perkataan
lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah
orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah
orang-orang yang mempunyai akal.”
(QS. Az-Zumar [39]:18)
Mazhab Syiah dan Sunni adalah mazhab yang membentuk
dua sayap umat Islam. Kedua mazhab ini boleh jadi menjadi kendaraan
umat untuk melesak terbang dan menunaikan tujuan-tujuan mulianya.
Sebagaimana ungkapan salah seorang ulama, mereka yang berupaya untuk
menimbulkan perpecahan di antara Sunni dan Syiah adalah bukan Syiah juga
bukan Sunni.
Buku ini ditulis bertitik tolak dari premis ini.
Buku ini seyogyanya mengklarifikasi beberapa pertanyaan dan penyidikan
umum tentang konsep pemikiran dan pengamalan yang dipraktikkan dalam
Mazhab Syiah. Mazhab Syiah dan Sunni berbeda secara utama dalam masalah
ushul (prinsip) dan lebih banyak memiliki persamaan ketimbang perbedaan.
Seluruh mazhab dalam Islam harus dihormati lantaran mazhab-mazhab
tersebut memiliki saham dalam memandu manusia menuju jalan keselamatan.
Lantaran minimnya informasi, mazhab Syiah Imamiyah
masih tetap menjadi misteri bagi kebanyakan kaum Muslimin. Sebagian kaum
Muslimin telah mendapatkan ketenangan dalam menemukan kebenaran Syiah
dari sumber-sumber yang dapat dipercaya. Namun demikian, musuh-musuh
Islam telah menemukan jalan yang terbaik untuk menodai Islam dan
mengacaukan kedamaian yang terjalin dalam tubuh kaum Muslimin.
Musuh-musuh Islam ini senantiasa berusaha menyulut perpecahan dan
sektarianisme di kalangan umat.
Karena itu, banyak sekali rumor negatif dan
dibuat-buat tanpa dasar yang digunakan sebagaimana yang terdapat dalam
buku-buku autentik Mazhab Syiah. Rumor-rumor ini memiliki dua sumber:
Kebencian terhadap Islam yang terpendam dalam diri orang yang
mendirikannya dan kebodohan orang-orang yang meyakini dan
mendakwahkannya.
Buku yang hadir di hadapan Anda ini adalah seruan
untuk mempersatukan kaum Muslimin lantaran persatuan bersumber dari
sebuah pemahaman dari konsep pemikiran yang diyakini oleh masing-masing
mazhab, bukan dengan merahasiakannya.
Sementara mayoritas ulama Syiah dan bahkan
rata-rata orang umum memiliki banyak buku yang disusun oleh
mazhab-mazhab lainnya dalam perpustakaan-perpustakan mereka. Sebagian
kaum Muslimin lainnya meluangkan waktunya untuk membaca sumber-sumber
orisinil pemikiran Syiah.
Penulis telah berusaha menghadirkan dalam buku ini
isu-isu yang paling kontroversial yang membedakan Syiah dengan cara
sederhana dan mudah dipahami oleh seluruh kalangan, khususnya generasi
muda yang hidup di negara-negara Barat.
Untuk membuat buku ini dapat dibaca dan dipahami
dengan mudah oleh para pembaca, apa pun mazhabnya, penulis kebanyakan
bersandar pada Kitab Suci Al-Quran dan Sunnah Nabi Saw yang dinukil
dalam kitab-kitab hadis. Penulis berusaha seakurat dan seilmiah mungkin
dalam menyuguhkan apa yang dinukil dalam sumber-sumber yang umumnya
diterima oleh kalangan Muslimin. Penulis sebutkan aspirasi kebanyakan
kaum Muslimin untuk melihat umat Islam bagaimana yang ditegaskan oleh
Al-Quran,“Sesungguhnya (seluruh para nabi dan
pengikut mereka) ini adalah umat kamu yang satu (dan pengikut satu misi
dan tujuan); dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.”
(QS. Al-Anbiya [21]:92)
Maksud lain dari penulisan buku ini adalah untuk
membangun sebuah kekuatan, kerekatan, kerja sama yang terjalin di
kalangan Muslimin di seantero dunia. Dan, apabila umat ini mau dihormati
dan dijunjung tinggi, umat ini harus bersatu. Kaum Muslimin harus
saling memahami dan menerima posisi dan prinsip-prinsip yang dianut.
Jalan yang terbaik untuk mengenyahkan segala kesalahpahaman dan
miskonsepsi di antara mazhab-mazhab ini adalah melalui jalan
konstruktif, tulus dan dialog objektif. Jika Al-Quran mengajak para
pengikut agama-agama tauhid (Yahudi, Kristen dan Islam) untuk berdialog
dengan cara yang beradab, seperti yang ditegaskan dalam surah,
Katakanlah, “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang teguh) kepada suatu
kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu,
bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia
dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian
yang lain sebagai tuhan selain Allah.” Jika mereka
berpaling, maka katakanlah kepada mereka, “Saksikanlah, bahwa kami
adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).”(
QS. Ali Imran [3]: 64)]) maka tentu saja mazhab-mazhab Islam dapat
mendiskusikan secara berjamaah dan kolektif segala ikhtilaf mereka
dengan bersandar kepada Al-Quran dan hadis-hadis sahih Nabi Saw. Tiada
yang dapat menafikan bahwa terdapat perbedaan dan ikhtilaf dalam fikih.
Perbedaan dan ikhtilaf ini seyogianya tidak mencegah para pengikutnya
untuk mengenal dan menghormati pendapat masing-masing, lantaran para
imam mazhab menerima ilmu dari satu sumber, Nabi Saw dan puncaknya dari
Allah Swt.
Allah Swt menciptakan umat manusia dengan bekal
sebuah rasul batin dan seorang rasul lahir. Keduanya, rasul batin yang
merupakan akal atau pemikiran manusia, dan rasul lahir, yang merupakan
wahyu Ilahi, mengajak mereka untuk melatih daya intelektual mereka guna
memperoleh kebenaran dan tidak menjadikan tradisi, budaya, kebiasaan
keluarga sebagai keyakinan yang suci. Seruan ini dialamatkan kepada para
pengikut seluruh mazhab Islam. Seluruh Muslimin harus meriset dan
mengkaji sejarah mereka dan tidak terikat oleh kebiasaan dan tradisi
moyang mereka yang boleh jadi tidak bersandar di atas landasan yang
solid, karena Al-Quran mengutuk taklid buta kepada nenek-moyang: Apabila
dikatakan kepada mereka, “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah
dan mengikuti Rasul.” Mereka menjawab,“Cukuplah
untuk kami apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya.” Dan
apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek
moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat
petunjuk?”
(QS. Al-Maidah [5]:104)dan, Dan apabila dikatakan
kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan oleh Allah”, mereka
menjawab, “(Tidak)! Tetapi, kami hanya mengikuti apa yang telah kami
temukan dari (perbuatan-perbuatan) nenek moyang kami.” (Apakah mereka
akan mengikuti juga) meskipun nenek moyang mereka itu tidak memahami
suatu apa pun dan tidak mendapat petunjuk?
(QS. Al-Baqarah [2]:170)
Penulis meminta kepada seluruh pembaca untuk
menelaah buku ini secara obyektif, dengan pikiran terbuka dan tanpa
bias-bias sektarian, dan menyambut seluruh kritikan, saran dan masukan
dari para pembaca budiman.
Saya memohon kepada Allah untuk memberikan taufik
dan cahaya dalam pencarian dan penulusuran kita mencari kebenaran.
Semoga Allah membuka mata hati dan pikiran kita, dan semoga Allah
membimbing kita dan mengucurkan rahmat-Nya yang luas kepada kita, karena
Dia Maha Pemberi karunia kepada segala sesuatu,“Karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).”
(QS. Ali Imran [3]:8) Penulis memohon kepada Allah atas rahmat, kasih
dan berkah-Nya dalam usaha yang kecil ini dan meminta doa dari para
pembaca supaya kita semua tetap menjadi hamba yang bertakwa dalam agama
Allah Swt.[]
Sayid Moustafa Al-Qazwini
Orange County, California
Ihwal Buku
Buku Meretas Jalan Islam Muhammadi ini mencoba
menjembatani kesenjangan informasi di antara mazhab-mazhab Islam dengan
menjelaskan miskonsepsi umum tentang Syiah dan menerangkan konsep dan
praktik-praktik spesifik mazhab Syiah. Isu-isu yang diangkat dalam buku
ini umumnya terkait dengan pembahasan Al-Quran dan Sunnah sebagaimana
yang dinukil dalam kitab-kitab hadis. Tujuan utama penulisan buku ini
adalah untuk memotivasi persatuan sejati Islam melalui dialog dan
pemahaman atas pelbagai perbedaan ideologi dan keyakinan yang hadir pada
tubuh umat Islam hari ini.
Ihwal Pengarang
Sayid Moustafa Al-Qazwini lahir di Karbala, Irak.
Ia merupakan alumnus Hauzah Ilmiah Qum, Iran, kemudian hijrah ke Amerika
Serikat. Selanjutnya, ia mendirikan The Islamic Educational Center of
Orange County, di California, Amerika Serikat.
Bagian 1
Siapakah Syiah Itu?
Imam Kelima Mazhab Ahlulbait, Imam Muhammad Baqir
As pernah berkata kepada salah seorang muridnya yang bernama Jabir,
―Apakah memadai bagi seseorang untuk mengklaim dirinya sebagai Syiah
(pengikut) dengan mengaku cinta kepada kami, Ahlulbait? Tidak! Demi
Allah, bukan seorang pengikut kami kecuali ia takwa kepada Allah Swt dan
menaati-Nya. Para pengikut kami, wahai Jabir, hanya dikenal dengan
kerendahan hati mereka, ketakwaan, kejujuran, banyak memuji Allah,
menjalankan puasa dan menunaikan shalat, berbuat baik kepada kedua orang
tua, perhatian kepada kaum miskin, orang-orang yang membutuhkan dan
anak-anak yatim yang tinggal di sekitarnya, berbicara yang benar (haq),
membaca Al-Quran, menahan lisannya kecuali untuk berkata-kata baik,
serta sifat amanah terhadap seluruh kerabat dalam segala urusan."[1]
Syiah bermakna ―sekelompok pengikut‖ (golongan).
Istilah ini disebutkan dalam Al-Quran berkali-kali terkait dengan para
pengikut para nabi sebelumnya, seperti Nabi Ibrahim dan Musa As. “Yang
seorang dari golongannya (Bani Isra‟il) dan seorang (lagi) dari musuhnya
(kaum Fira„un). Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan
kepadanya untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya.” (QS. Al-Qashash
[28]: 15)
Dewasa ini, Syiah bermakna para pengikut sebuah
mazhab Islam yang ajarannya bersandar pada ajaran-ajaran Nabi Saw dan
Ahlulbaitnya As dan juga acapkali disebut sebagai Mazhab Ahlulbait.
Ketika tiada mazhab yang telah ada pada masa Nabi Saw, Rasulullah Saw
sendiri telah menggunakan istilah ini untuk menyebut sekelompok tertentu
sebagai Syi‟ah „Ali (pengikut Ali).
Beberapa hadis berikut ini bersumber dari Nabi Saw yang menggunakan terma “Syiah „Ali.”
―Perumpamaan Ali adalah ibarat sebuah pohon, aku
adalah akarnya, Ali adalah cabangnya, Hasan dan Husain adalah buahnya,
dan syiah adalah dedaunannya.[2]
"Kami sedang berkumpul dengan Baginda Rasulullah
Saw ketika Ali bin Abi Thalib As datang. Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya
telah datang saudaraku kepada kalian.‘ Lantas beliau meletakkan
tangannya di Ka‘bah dan berkata ―Demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya,
orang ini dan Syiahnya adalah orang-orang beruntung di Hari Kiamat.[3]
(Dinukil dari Jabir bin 'Abdillah Al-Anshari)
―Baginda Nabi Saw sedang bersamaku ketika putrinya
Hadhrat Fatimah datang menyampaikan salam bersama suaminya Ali.
Rasulullah Saw mengangkat kepalanya dan berkata, ‘Bergembiralah wahai
‗Ali. Engkau dan Syiahmu berada dalam surga.[4]
(Dinukil dari Ummu Salamah, istri Rasulullah Saw).
Dan, kembali, Rasulullah Saw berkata kepada Imam Ali As, ―Engkau dan Syiahmu berada dalam surga.[5]
Sebagaimana yang ditunjukkan dari riwayat-riwayat
ini, Rasulullah Saw sendiri yang menjadi pelopor penggunaan istilah
Syiah semasa hidupnya. Setelah beliau wafat, mereka yang setia dan loyal
kepada Imam Ali As juga dikenal sebagai Syiah. Selama abad kedua
Hijriah (dua abad setelah hijrahnya Nabi Saw dari kota Mekkah ke kota
Madinah – kejadian yang menandai permulaan penanggalan Islam), para
khalifah Abbasiyah secara resmi melindungi empat mazhab Sunni yang
dipopulerkan secara antusias oleh para pemimpin mereka. Adapun Syiah,
setelah pembunuhan Imam Ali, mereka mengikuti kepemimpinan putranya Imam
Hasan As, dan selepasnya adalah Imam Husain As dan sembilan imam
setelahnya yang merupakan keturunan dari Imam Husain As. Mereka
mengikuti para imam tersebut karena bersandar kepada Al-Quran dan Sunnah
Nabi Saw yang disampaikan berulang-ulang secara tegas dan eksplisit
pada banyak peristiwa bahwa Nabi Saw akan digantikan oleh dua belas imam
selepasnya dan kesemuanya berasal dari bangsa Quraisy.[6]
Dengan demikian, Syiah merupakan mazhab yang
mengikuti Kitab Suci Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw yang disampaikan
oleh Ahlulbaitnya yang ditunjuk sendiri oleh Rasulullah Saw.
Pascawafatnya Rasulullah Saw, Syiah mengikut dua belas imam yang
ditetapkan berdasarkan wahyu sebagai para khalifah Nabi Saw, sebagaimana
akan disajikan pada bagian-bagian selanjutnya.[]
Bagian 2
Lima Mazhab
Mazhab-mazhab merupakan jalan-jalan bagi umat untuk
mengikuti Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw. Nampaknya, mazhab-mazhab
ini terbangun setelah wafatnya Rasulullah Saw dan, pada kenyataannya,
belum terbentuk hingga masa khalifah Bani Umayah. Istilah umum Ahl
al-Sunnah wal-Jama'ah, misalnya, menjadi popular pada abad ketiga
Hijriah. Pada tahun 250 H, keempat mazhab Sunni dipopulerkan dan
dilindungi oleh Khalifah Abbasiyah. Mazhab Syiah, di sisi lain, tetap
tumbuh dan berkembang pasca Imam Ali melalui putra-putranya yang
berhubungan satu dengan yang lain melalui mata rantai periwayatan dan
pengetahuan. Nabi Saw dan para imam yang dilantik dalam mazhab Syiah
dibentengi oleh Allah Swt dari segala dosa, maksiat dan sifat lupa.
Dewasa ini, lima mazhab Islam yang diterima hampir
mayoritas kaum Muslimin ini adalah Mazhab Ja‘fari terdiri dari 23 %;
Mazhab Hanafi terdiri dari 31 %; Mazhab Maliki terdiri dari 25 %; Mazhab
Syafi‘i 16 %; Hanbali 4 %. Dan sisanya adalah prosentase kecil yang
mengikuti mazhab minoritas seperti Zaidi dan Ismaili.[7]
Mazhab Ja'fari
Mazhab Ja‘fari dipimpin oleh Imam Ja‘far bin
Muhammad Al-Shadiq As yang hidup dari tahun 83 H hingga tahun 148 H.
Beliau lahir dan wafat di kota penuh cahaya Madinah dan merupakan Imam
Keenam dari dua belas imam yang ditetapkan dalam mazhab Ahlulbait. Meski
fikih dikembangkan oleh Rasulullah Saw dan para khalifahnya (para
imam), fikih yang dikembangkan oleh Syiah tidak memiliki peluang untuk
ditawarkan kepada umat lantaran tekanan politik yang diderita oleh
Ahlulbait di bawah para penguasa selama beberapa abad. Mereka menolak
mengakui legitimasi para khalifah Bani Umayah dan Bani Abbasiyah dan
pemerintahannya, karena itu para Imam Ahlulbait dan pengikutnya didera
dengan siksaan dan pelecehan di tangan para khalifah. Ketika
pemerintahan Bani Umayah melemah, Imam Ja'far bin Muhammad Al-Sadiq As
mendapatkan kesempatan emas untuk memformulasikan dan menyebarkan sunnah
Rasulullah Saw dan Ahlulbaitnya As. Pada saat itu, empat ribu ulama,
penafsir Al-Quran, sejarawan, para filosof menghadiri dan mengikuti
pelajaran yang disampaikannya di kota suci Madinah. Dengan demikian,
Imam Shadiq mampu menyampaikan ajaran autentik Al-Quran dan Rasulullah
Saw serta mengkristalisasikan keduanya menjadi apa yang dikenal sebagai
Fikih Ja‘fari. Ajarannya dikumpulkan dalam 400 usul (fondasi) yang
ditulis oleh para muridnya termasuk hadis, filsafat Islam, teologi,
tafsir Al-Quran, sastra dan akhlak.
Setelah beberapa lama, tiga ulama ulung
mengkategorikan 400 usul ini dalam empat buku yang merupakan sumber
utama hadis dalam mazhab Syiah: al-Kâfi oleh Kulaini (w. 329 H), Man La
Yahdhuruh al-Faqih oleh Saduq (w. 381 H), dan al-Tahdzib dan
al-Istibshâr oleh Thusi (w. 460 H). Ketiga ulama ulung ini juga dikenal
sebagai ―Trio Muhammad‖ lantaran nama mereka semuanya adalah ―Muhammad.‖
Meski keempat kitab ini merupakan sumber utama
hadis Syiah, namun para penyusunnya tidak memberikan label ―shahih‖ pada
kitab-kitab mereka. Kendati mereka melakukan yang terbaik untuk
mengumpulkan hanya hadis-hadis autentik, jika sebuah hadis tertentu
terbukti bertentangan dengan Al-Quran, maka hadis tersebut tidak dapat
dipandang sebagai sahih dan valid. Hadis, menurut Mazhab Ja‘fari,
diterima selama Al-Quran memverifikasi dan membenarkannya, lantaran
Al-Quran merupakan satu-satunya sebagai sumber petunjuk.
Mazhab Hanafi
Imam Mazhab Hanafi adalah Imam Nu'man bin Tsabit
(Abu Hanifah) yang hidup semenjak 80 H hingga 150 H. Imam Abu Hanifa
terlahir dari seorang ayah ‗ajam (non-Arab), besar di Kufah dan
meninggal di Baghdad. Mazhab ini berkembang pada masa kekuasaan Bani
Abbasiyah tatkala salah seorang murid Abu Hanifa, menjadi ketua mahkamah
dan hakim agung yang membuat mazhab ini berkembang, khususnya pada masa
pemerintahan Mahdi, Hadi dan Rasyid. Tiada seorang yang paling dekat
kepada khalifah Harun Rasyid melebihi kedekatan Abu Yusuf Al-Qadi (murid
Abu Hanifah). Namun, Khalifah Manshur juga bekerja keras untuk
menyokong dan mengkonsolidasikan mazhab Abu Hanifah dan menyebarkan
mazhabnya dalam menghadapi popularitas Imam Ja'far Shadiq As. Imam Abu
Hanifah belajar di bawah bimbingan Imam Ja'far Shadiq As selama dua
tahun.[8]
Imam Abu Hanifah berkata tentang Ja'far bin Muhammad, "Saya tidak
melihat orang yang lebih alim dan cendekia melebihi Ja'far bin Muhammad,
dan sesungguhnya ia merupakan orang yang paling alim dan pandainya
umat.[9]
Mazhab Maliki
Mazhab Maliki dipimpin oleh Imam Malik bin Anas
Al-Asbahi yang hidup pada masa 93 H hingga 179 H. Ia lahir di kota suci
Madinah. Popularitasnya tersebar di seluruh Hijaz sebanding dengan
popularitas seterunya, Imam Abu Hanifah, lantaran Imam Malik merupakan
imam mazhab hadis sementara Abu Hanifah adalah imam mazhab rakyu
(pendapat pribadi). Kebanyakan pemerintahan Muslim adalah pendukung Imam
Abu Hanifah. Imam Malik bergabung dengan 'Alawiyyin, keturunan Imam
Ali, dan menerima pengetahuan dari Imam Ja'far Shadiq As. Namun, setelah
itu, ia tidak lagi konsisten mengikuti ajaran Imam Shadiq As. Di satu
sisi ia tertindas: setelah menerima murka pemerintah, ia diseret di
jalan-jalan dengan pakaiannya dan dicemeti. Pada tahun 148 H, nasibnya
berubah, dan memperoleh popularitas dan kekuasaan. Bani Abbasiyah
mencoba menetapkan dia sebagai rujukan bagi umat dalam memberikan fatwa
dan hukum fikih. Khalifah Abbasiyah, Mansur, memintanya menulis
Al-Muwaththâ', kitab fikih yang mengandung prinsip-prinsip Mazhab
Maliki. Lebih jauh, selama musim haji, juru bicara resmi pemerintahan
memproklamirkan bahwa tiada yang berhak memberikan fatwa kecuali Imam
Malik. Khalifah Abbasiyah, Harun Rasyid duduk di lantai untuk
mendengarkan pelajarannya, dan khalifah secara umum sedemikian memujinya
sehingga tiada satu pun kitab di muka bumi ini – selain Al-Quran – yang
melebih autentisitas kitab Imam Malik. Ibnu Hazm Al-Andalusi berkata
bahwa dua mazhab tersebar berkat pemerintah dan sultan: "Mazhab Hanafi,
karena Abu Yusuf Al-Qadi hanya mengangkat hakim-hakim Hanafi, dan Mazhab
Maliki, karena seorang murid Imam Malik, Yahya bin Yahya, merupakan
orang yang sangat dihormati di istana dan tiada seorang hakim pun yang
diangkat di Andalusia tanpa konsultasi dan nasihat darinya.
Mazhab Syafi'i
Mazhab Syafi'i didirikan oleh Imam Muhammad bin
Idris Al-Syafi'i yang hidup semenjak tahun 150 H hingga 198 H. Imam
Syafi'i lahir di Hijaz, dan mazhabnya muncul di Mesir. Pada masa Dinasti
Fatimiyah, orang-orang Mesir kebanyakan adalah pengikut Ahlulbait, dan
ajaran-ajaran Ahlulbait diajarkan di Universitas Al-Azhar. Hingga
Shalahuddin Ayyubi datang dan angkat senjata memerangi Mazhab Ahlulbait.
Ia melarang ajaran tersebut diajarkan di Al-Azhar dan menggantikannya
dengan mazhab-mazhab lainnya, termasuk Imam Syafi'i, yang dibunuh di
Mesir pada tahun 198 H.
Mazhab Hanbali
Imam Mazhab Hanbali adalah Imam Ahmad bin Hanbal
yang hidup pada tahun 164 H hingga 241 H. Ia lahir dan wafat di Baghdad.
Ia hanya dapat memperoleh kemasyhuran di Najd (sebuah daerah di
semenanjung Arab) lantaran gagasan-gagasan yang dikembangkan oleh
Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri Wahabi. Mazhab Hanbali berkembang di
Najd berkat ajaran-ajaran Ahmad bin Abdul Halim Al-Dimisyqi ibn Taymiyah
(661 H - 728 H.) dan muridnya Ibnu Al-Qayyim Al-Jawziyyah.
Dengan melakukan studi sejarah mazhab-mazhab,
meneliti alasan-alasan kelahirannya, dan penyebarannya menunjukkan bahwa
pemerintah banyak berperan dalam memunculkan dan menyebarkan
mazhab-mazhab ini. Bantuan pemerintah dalam bentuk bantuan fisikal dan
finansial: mendirikan mazhab, mensponsori penerbitan kitab-kitab fikih,
menerima dan menyokong mazhab-mazhab resmi, serta memberikan kebebasan
kepada para pendiri dan ulama dari mazhab-mazhab "resmi" ini. Tren ini
terjadi hampir di setiap agama di dunia. Misalnya, Anda dapat
membandingkan tren ini dalam Islam dengan kelahiran Gereja Anglikan
tahun 1534 M oleh raja Inggris, Henry VIII, yang membuat gereja ini
menjadi tradisi resmi keagamaan kerajaan, kemudian menyumbangkan kepada
gereja ini 55 juta pengikut.
Sejarah menunjukkan bahwa Mazhab Ahlulbait
mengalami penganiayaan, penindasan, dan diskriminasi di tangan para
khalifah Umayah dan Abbasiyah. Kendati dengan semua penindasan ini,
sesuai dengan kehendak Allah, Mazhab Ahlulbait mencapai klimaksnya pada
masa Khalifah Ma'mun, dan Syiah mencapai tingkatan sedemikian berdaulat
sehingga Ma'mun sendiri terpaksa harus menunjukkan simpatinya terhadap
'Alawiyyun, keturunan Imam Ali As, demikian juga kecenderungan terhadap
Syiah sedemikian tinggi sehingga ia mengundang Imam Ali bin Musa
Al-Ridha As, Imam Kedelapan Mazhab Ahlulbait, untuk menjadi wali ahd
(penggantinya) – sebuah posisi yang tinggi yang kemudian ditolak oleh
Imam Ridha As.[]
Bagian 3
Imamah
Perbedaan utama antara dua mazhab Ahlulbait dan
mazhab-mazhab lainnya dalam Islam berkisar pada pada isu tentang imamah,
atau suksesi awal Nabi Muhammad Saw. Mazhab Ahlulbait meyakini bahwa
kedudukan imamah merupakan sebuah kedudukan ilahi artinya bahwa imam
atau khalifah harus ditunjuk dan disebutkan oleh Allah Swt secara
langsung, lantaran kedudukan ini memiliki signifikansi yang sama dengan
kedudukan nubuwwah. Orang-orang diperintahkan oleh Allah untuk mengikuti
imam yang khusus setelah Nabi Muhammad Saw.
Mazhab lainnya berpandangan bahwa imamah ditentukan
oleh syura (pemilihan) dan bahwa metode ini digunakan untuk menentukan
pengganti (khalifah) bagi Nabi Saw. Namun, mazhab Syiah memandang bahwa
konsep syura tidak benar-benar dipraktikkan. Ibnu Qutaibah menegaskan
bahwa khalifah pertama dinominasikan oleh dua orang;[10]
Ibnu Katsir mengatakan bahwa ia telah membatasi pencalonan khalifah pada
Umar bin Khaththab dan Abu Ubadah bin Al-Jarrah, keduanya diturunkan
dan dinominasikan, nominasi yang dinomorduakankan oleh Ma‘adz, Usaid,
Bashir dan Zaid bin Tsabit.[11]
Thabari meriwayatkan bahwa kaum Anshar menolak memberikan baiat di
Saqifah (tempat berlangsungnya suksesi) dan mengumumkan bahwa mereka
akan [ada yang terputus].[12]
Khalifah Pertama dalam kitab-kitab sejarah tercatat berkata dalam
pelantikannya: ―Ayyuhannas! Aku telah kalian pilih sementara aku
bukanlah yang terbaik di antara kalian.[13]
Sejarawan Ibnu Abil Hadid Al-Mu‘tazili menukil bahwa Khalifah Kedua
mengakui perannya dalam mendramatisasi Saqifah ketika ia kemudian
mendeklarasikan bahwa baiat kepada Khalifah Pertama merupakan sebuah
kesalahan (faltah). Akan tetapi, Allah telah menghindarkan kaum Muslimin
dari bencana besar.[14]
Konsep syura juga tidak diimplementasikan ketika Khalifah Kedua menjabat
sebagai khalifah karena Khalifah Pertama menunjuknya sebelum wafatnya.
Demikian juga konsep syura ini tidak ditunaikan
ketika Khalifah Ketiga menduduki tahta khilafah karena ia dipilih secara
nominal oleh lima orang tetapi intinya oleh satu orang, yaitu Khalifah
Kedua, yang juga menunjuk dua gubernur untuk tetap berkuasa setelah
wafatnya: Sa‘ad bin Abi Waqqash dan Abu Musa Asy‘ari.[15]
Bukti Al-Quran bahwa Allah yang Mengangkat Imam
Banyak ayat Al-Quran menunjukkan kenyataan bahwa,
sepanjang sejarah, Allah Swt sendiri yang memiliki hak untuk mengangkat
seorang imam atau seorang khalifah bagi umat manusia.
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada
para malaikat, “Sesungguhnya Aku ingin menjadikan seorang khalifah di
muka bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau akan menjadikan (khalifah) di
bumi itu orang yang akan membuat kerusakan di dalamnya dan menumpahkan
darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan
menyucikan-Mu?” Tuhan berfirman,“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
(QS. Al-Baqarah [2]:30).
“Hai Daud, sesungguhnya Kami
menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan
(perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat,
karena mereka melupakan hari perhitungan.”
(QS. Shad [38]:26).
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim
diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan),
lalu ia menunaikannya (dengan baik). Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku
menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.” Ibrahim berkata, “Dan dari
keturunanku (juga)?” Allah berfirman, “Janji-Ku (ini) tidak mengenai
orang-orang yang zalim.”
(QS. Al-Baqarah [2]:124).
“Dan Kami jadikan di antara
mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami
ketika mereka sabar. Dan mereka meyakini ayat-ayat Kami.”
(QS. As-Sajdah [32]:24).
Ayat-ayat ini menegaskan bahwa tidak seorang pun
yang memiliki hak untuk memangku jabatan kepemimpinan atau imamah.
Satu-satunya orang yang memiliki hak untuk memangku jabatan imamah
adalah orang yang Allah uji dan telah lulus dari ujian Allah.
Al-Quran – khusus pada surah Al-Baqarah (2):124 –
menekankan secara tegas bahwa orang-orang zalim terlarang untuk memangku
kepemimpinan atas orang-orang beriman. Dan juga, apakah sejarah
menunjukkan bahwa perintah ini telah ditunaikan? Berapa banyak khalifah
dan sultan pada masa Bani Umayah dan Abbasiyah merupakan khalifah dan
sultan yang zalim, tidak mempraktikkan ajaran Islam, kendati mereka
merupakan pemimpin kaum Muslimin?
Suksesi – khilafah atau imamah – dinisbahkan hanya
kepada Allah kapan saja hal ini disebutkan dalam Al-Quran. Dalam Mazhab
Ahlulbait, khilafah tidak hanya berarti kekuasaan temporal dan otoritas
politik atas manusia, namun lebih penting dari semua itu. Otoritas ini
harus berasal dari Allah karena Allah mengatributkan pemerintahan dan
pengadilan hanya kepada diri-Nya. Delapan kategori dalam ayat-ayat
Al-Quran menisbahkan aspek yang beragam dari pemerintahan Ilahiah:
Ayat-ayat tentang Kerajaan
Katakanlah, “Wahai Tuhan Yang
mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau
kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki.
Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang
yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mu-lah segala kebajikan. Sesungguhnya
Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.”
(QS. Ali Imran [3]:26).
Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja dan penguasa manusia. Sembahan manusia.”
(QS. An-Nas [114]:1-3).
Dan kepunyaan Allah-lah
kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada antara keduanya. Dan kepada
Allah-lah kembali (segala sesuatu).
(QS. Al-Maidah [5]:18)
Ayat-ayat tentang Pemerintahan (Hukumah)
Menetapkan hukum itu hanyalah
hak Allah. Dia menerangkan yang hak (dari yang batil) dan Dialah
sebaik-baik pemisah (antara yang hak dan yang batil).
(QS. Al-An‘am [6]:57).
Ketahuilah bahwa segala hukum (pada hari itu) adalah kepunyaan-Nya.
(QS. Al-An‘am [6]:62).
Tentang sesuatu apa pun kamu berselisih, maka keputusannya (terserah) kepada Allah.
(QS. Asy-Syura [42]:10).
Ayat-ayat tentang Pengaturan
Katakanlah, “Sesungguhnya urusan itu seluruhnya berada di tangan Allah.”
(QS. Ali Imran [3]:154).
Ingatlah, menciptakan dan mengatur (alam semesta) hanyalah hak Allah. Mahaberkah (dan Kekal) Allah, Tuhan semesta alam
. (QS. Al-A‘raf [7]:54).
Tetapi sebenarnya segala urusan itu adalah kepunyaan Allah
(QS. Ar-Ra‘ad [13]:31).
Dan tidaklah patut laki-laki
yang mukmin dan tidak (pula) perempuan yang mukmin memiliki pilihan
(yang lain) tentang urusan mereka apabila Allah dan rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”
(QS. Al-Ahzab [33]:36).
Ayat-ayat tentang Wilayah
Sesungguhnya pemimpinmu
hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan
shalat dan menunaikan zakat, sedang mereka dalam kondisi rukuk
. (QS. Al-Maidah [5]:55).
Para mufasir (penafsir) Al-Quran sepakat bahwa ayat
khusus ini berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib As yang memberikan
cincinnya kepada seorang pengemis selagi ia dalam keadaan rukuk.
Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila
mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum
(mengadili) di antara mereka ialah mereka berkata,“Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
(QS. An-Nur [24]:51);Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.
(QS. An-Nisa [4]:64);―Maka demi Tuhanmu, mereka
(pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu penentu
dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya.
(QS. An-Nisa [4]:65).
Ayat-ayat tentang Mengikuti Nabi
Katakanlah, “Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.
Ali Imran [3]:31); Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu
dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat
sedikitlah kamu mengambil pelajaran (darinya).(
QS. Al-A‘raf [7]:3).
Ayat tentang Pilihan Allah
Dan Tuhanmu menciptakan apa
yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi
mereka. Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan
(dengan-Nya).
(QS. Al-Qashahsh [28]:68).
Ayat-ayat tentang Hukuman Tuhan
Dan Allah menghukum dengan keadilan. Dan
sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat menghukum
dengan sesuatu apa pun.
Sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. Al-Mu‘minun [40]:20).
Contoh-contoh dari ayat Al-Quran ini menunjukkan
karakteristik pemerintahan yang hanya untuk Allah Swt. Kalimat yang
sering terulang dalam konteks ini adalah ―a la lahu al-'amr wal-hukm"
(Bukankah urusan (perintah) dan hukum adalah milik-Nya?) juga
menggambarkan poin ini. Karakter yang penting dari kepemimpinan Allah
adalah wilayah dan perintah, dan Dia anugerahkan keutamaan ini kepada
siapa saja yang dikehendaki. Tabiat khilafah memberikan khalifah
keistimewaan untuk menjadi seorang wali atas manusia dan kewajiban bagi
setiap orang untuk menaatinya. Lantaran ketaatan dan kepasrahan mutlak
hanya untuk Allah, hanya Allah yang memiliki hak untuk memindahkan
kekuasaan dan otoritas ini kepada siapa saja yang Dia kehendaki.
Allah Swt berfirman,Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan
ulil amri (para washi Rasulullah) di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Al-Quran) dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.
(QS. An-Nisa [4]:59).
Namun, jika seseorang memangku jabatan kepemimpinan
dan menjadi seorang khalifah atau imam dengan kekuatan dan intimidasi,
ia tidak memiliki kelayakan untuk menjadi seorang pemimpin kaum Muslimin
yang sah. Logika sehat manusia mendikte bahwa imam atau khalifah yang
menggantikan Nabi Saw harus ditunjuk dan diangkat oleh Allah. Karena
Allah Swt menjadikan ketaatan kepada mereka setingkat dan selevel dengan
ketaatan kepada-Nya dan kepada Nabi-Nya. Dengan demikian, tiada seorang
pun yang berhak untuk menjadi khalifah Rasulullah Saw.
Sejarah Islam menunjukkan bahwa sebagian orang
memikul jabatan kepemimpinan dan khilafah selama masa Dinasti Umayah dan
Dinasti Abbasiyah – namun, apakah ayat tentang ketaatan ini masih
berlaku dan dapat diterapkan pada mereka? Akankah kaum Muslimin harus
mengikuti para pemimpin ini secara membabibuta? Akankah Allah menyeru
kepada kaum Muslimin untuk mengikuti seorang pemimpin yang korup dan
penindas? Dalam beberapa hadis, pembenaran dijumpai bagi penguasa
semacam ini untuk berkuasa dan memerintah kepada kaum Muslimin untuk
mengikuti mereka. Imam Bukhari menukil dari Nabi Saw, ―Selepaskku, akan
datang para penguasa, dan kalian akan mendapatkan penguasa yang baik dan
penguasa buruk. Kalian harus mendengarkan keduanya. Barangsiapa yang
merusak kesatuan seluruh jamaah akan dipandang murtad.[16]
Hadis semacam ini tidak sesuai dengan Al-Quran yang berkata,Dan
janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan
kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang
penolong pun selain dari Allah, kemudian kamu tidak akan diberi
pertolongan"
(QS. Hud [11]:113).
Al-Quran dengan jelas menegaskan bahwa orang-orang
yang beriman seyogianya tidak mendukung juga tidak cenderung kepada
seorang zalim sama sekali. Tiada jalan untuk membenarkan baiat atau
menguasakan seorang zalim menjadi khalifah atau
pemimpin bagi kaum Muslimin. Dengan melakukan hal tersebut akan bertentangan dengan ajaran-ajaran Al-Quran.
Surah an-Nisa [4] ayat 59 tidak hanya memerintahkan
orang-orang beriman untuk menaati 'ul ul-'amr atau wali yang sah (yang
merupakan para imam maksum) tapi juga menegaskan kemaksuman mereka
karena tiada orang yang buruk atau pelaku maksiat yang memiliki hak dari
Allah untuk memikul amanah ini.[]
Bagian 4
Imam Ali As
Kitab Suci Al-Quran dan Nabi Saw secara khusus menjelaskan kepemimpinan Imam Ali As setelah Nabi Muhammad Saw:
Ghadir Khum
Peristiwa ini terjadi pada tanggal 18 Dzulhijjah
bulan ke dua puluh enam kalender Islam, dan telah diriwayatkan oleh 110
sahabat Nabi Saw, 84 tabi‘in, dan 360 ulama dari berbagai mazhab.
Nabi Muhammad Saw dan hampir 114.000 sahabat telah
menunaikan haji dan sedang dalam persiapan menuju ke tempat mereka
masing-masing. Tahun itu, selama pelaksanaan haji, suhu udara sangat
panas, dengan panas yang terik membakar para jemaah yang berangkat haji
tahun tersebut. Namun demikian, ketika Nabi Saw tiba di Ghadir Khum, di
sebuah persimpangan tempat dimana kaum Muslimin yang berasal dari
berbagai daerah akan berpisah, Nabi Saw menghentikan kafilah itu pada
siang hari, menanti yang datang belakangan menyusul mereka dan meminta
mereka yang telah mendahului untuk kembali, lantaran Nabi Saw menerima
wahayu dari Allah Swt yang harus disampaikan kepada manusia, Hai Rasul,
sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika kamu
tidak mengerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak
menyampaikan risalah-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
(QS. Al-Maidah [5]:67)[17]
Lalu beliau berbicara sedikit sebelum bertanya
kepada orang-orang yang hadir di tempat itu apakah ia memiliki otoritas
(wilayah) atas mereka. Orang-orang di tempat itu berkata, ―Iya, wahai
Rasulullah, tentu saja engkau adalah pemimpin kami (mawla). Nabi Saw
mengulang pertanyaan ini sebanyak tiga kali, dan orang-orang menjawab
dengan jawaban yang sama sebanyak tiga kali, mengakui kepemimpinannya.
Nabi Saw kemudian memanggil Ali, mengangkat
tangannya sehingga kedua tangan menyatu ke atas, dan berkata kepada
orang-orang: ―Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya
(mawla), maka Ali adalah pemimpinnya.
Pada waktu itu, Ali berusia 33 tahun. Orang-orang
menerima berita ini dengan beragam tanggapan dan jawaban, sebagian
menanggapinya dengan bahagia dan sebagian yang lain dengan derita. Orang
yang pertama memberikan ucapan selamat kepada Ali adalah orang yang
kemudian menjadi khalifah pertama dan kedua. Mereka berkata, ―Selamat,
selamat kepadamu, wahai Ali. Engkau telah menjadi pemimpin kami (mawla)
dan pemimpin kaum Muslimin.[18]
Kemudian ayat lainnya yang diwahyukan kepada Nabi Saw adalah:Pada
hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu menjadi agama bagimu.”
(QS. Al-Maidah [5]:3).
Dengan ayat ini, agama Islam telah sempurna dengan
pengangkatan Imam Ali As untuk menggantikan Nabi Saw, dan jika ia tidak
diangkat sebagai khalifah (pengganti), maka agama Islam tidak akan
sempurna.
Ayat Inzhâr
Tiga tahun sesudah kemunculan Islam, Allah Swt
menitahkan Nabi Saw untuk memproklamasikan dakwah dan seruan Islam
kepada keluarga terdekatnya di Mekkah dengan isi perintah,Dan berilah peringatan kepada kerabat terdekatmu.
(QS. Asy-Syu‘ara [26]:216) Nabi Saw mengumpulkan empat puluh sanak
familinya dari sukunya, Bani Hasyim, di kediaman pamannya Abu Thalib dan
menyediakan makanan untuk mereka. Setelah mereka menyantap hidangan
makan, Nabi Saw bersabda kepada mereka, "Wahai putra Abdul Muththalib!
Demi Allah, aku tidak mengenal seorang anak muda di kalangan Arab yang
membawa sesuatu yang lebih baik dari apa yang aku bawa untuk kalian. Aku
membawa sesuatu yang terbaik di dunia dan di akhirat, dan Allah Swt
telah memerintahkanku untuk mengajak kalian untuk hal ini. Siapakah di
antara kalian yang menjadi penolongku dalam usaha ini, menjadi saudara,
khalifah dan washiku?" Seluruh hadirin menolak menjawab seruan ini
kecuali Ali bin Abi Thalib, yang berkata, "Aku bersedia menjadi
penolongmu dalam usaha ini." Rasulullah Saw memintanya untuk duduk dan
kemudian mengulang pertanyaannya untuk kedua kalinya. Lagi, Ali berdiri
dan kembali, Rasulullah Saw meminta ia duduk. Tatkala untuk ketiga
kalinya, Nabi Saw tidak mendengar jawaban dari orang lain yang hadir di
tempat itu, Ali berdiri kembali dan mengulang kesiapannya untuk menjadi
penolong Rasulullah Saw. Rasulullah Saw kemudian menaruh tangannya di
pundaknya dan berkata kepada empat puluh orang sanak familinya, "Ini
adalah saudaraku, washiku dan khalifahku atas kalian, dengarkan dan
taatilah ia." Orang-orang berdiri dan, sambil tertawa, berkata kepada
Abu Thalib, "Kemenakanmu memerintahkan kepadamu untuk mendengarkan
putramu dan menaatinya."[19]
Ayat Rukuk:"Sesungguhnya
pemimpinmu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, sedang mereka dalam kondisi
rukuk."
(QS. Al-Maidah [5]:55).
Sejumlah besar penafsir dari berbagai mazhab
mengidentifikasi ayat ini turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib As.
Mufasir terkenal, Zamakhsyari, berkata dalam mengomentari ayat ini
berkata, "Ayat ini diwahyukan untuk Ali Kw (karramallahu wajhahu).
Tatkala seorang pengemis datang kepadanya meminta derma sementara ia
sedang berada dalam keadaan rukuk, ia memberikan cincinnya selagi dalam
posisi tersebut. Nampaknya ukuran cincin itu terlalu sempit yang membuat
Ali kesusahan untuk mengeluarkan cincin tersebut dari jarinya yang
dapat membatalkan shalatnya. Jika Anda bertanya bagaimana bisa ayat
tersebut berkenaan dengan Ali As karena redaksi ayat tersebut adalah
dalam bentuk jamak (plural), saya berkata bahwa meski ayat itu dalam
bentuk jamak karena yang disebutkan adalah seorang untuk memotivasi
orang-orang untuk meneladaninya dan mendapatkan ganjaran yang sama, dan
juga untuk menarik perhatian terhadap kenyataan bahwa kaum Mukmin harus
mencermati dan bersikap pemurah terhadap orang miskin sedemikian
sehingga apabila kondisi tidak dapat ditunda hingga selesainya shalat,
ia dapat menundanya hingga ia menuntaskan shalatnya."[20]
Demikian juga, dalam Asbab Al-Nuzul, menukil riwayat Kalbi, menisbahkan pewahyuan ayat ini kepada Imam Ali As:"Bagian
terakhir dari ayat ini adalah untuk Imam Ali bin Abi Thalib karena ia
memberikan cincinnya kepada seorang pengemis selagi ia berada dalam
keadaan rukuk."
(QS. Al-Maidah [5]:38) Penafsir lainnya juga berpandangan bahwa ayat ini
bertautan dengan Imam Ali As termasuk, Sunan an-Nisa'i, Tafsir Al-Kabir
karya Tsa'alibi, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ibn Marduwayh, dan
Kanz Al-'Ummal.[21]
Ayat Wilayah
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri (para washi Rasulullah) di antara kamu."
(QS. An-Nisa [4]:59). Dengan penjelasan Nabi Saw, ayat ini juga
merupakan salah satu ayat Al-Quran berkenaan dengan kepemimpinan Imam
Ali As pasca Rasulullah Saw dan mewajibkan ketaatan kepada Allah Swt,
Rasulullah Saw, dan ulul amri. Tatkala ayat ini diwahyukan kepada
Rasulullah Saw, salah seorang sahabat besar Nabi Saw, Jabir bin Abdullah
Anshari, bertanya, "Wahai Rasulullah! Kami mengetahui Allah dan
Rasul-Nya, namun siapa yang dimaksud dengan ulil amri minkum" yang
ketaatan kepadanya dipandang setara dengan ketaatan kepada Allah Swt dan
Rasulullah?" Rasulullah Saw menjawab, "Mereka adalah khalifahku dan
pemimpin kaum Muslimin setelahku. Yang pertama adalah Ali bin Abi
Thalib, kemudian, Hasan dan Husain, lalu, Ali bin Husain, kemudian
Muhammad bin Ali yang dikenal sebagai Al-Baqir. Engkau, wahai Jabir,
akan bersua dengannya. Tatkala engkau berjumpa dengannya, sampaikan
salamku kepadanya. Kemudian Ja'far bin Muhammad Al-Shadiq, kemudian Ali
bin Muhammad, kemudian Hasan bin Ali, kemudian seseorang yang namanya
sama dengan namaku, Muhammad, dan ia akan menjadi hujjah Allah di muka
bumi."
Hadis-hadis Khusus dari Nabi Saw ihwal Khalifah Imam Ali
Nabi Saw bersabda kepada kaum Muslimin keduanya
ihwal khilafah Ahlulbait, yang akan kita bahas pada kesempatan
mendatang, juga khilafah Imam Ali As secara khusus. Rasulullah Saw
bersabda:
Tatkala bersabda kepada Ali: "Engkau bagiku adalah laksana Harun bagi Musa hanya saja tiada nabi setelahku."[22]
"Barangsiapa yang menghendaki kehidupan sebagaimana kehidupanku, dan
mati sebagaimana matiku, dan memasuki surga yang Allah janjikan bagiku –
maka jadikanlah Ali sebagai pemimpinnya, karena Ali tidak akan pernah
menuntunmu jauh dari jalan kebenaran, juga ia tidak akan mengajakmu
berbuat salah."[23]
"Ali adalah wali bagi setiap mukmin setelahku."[24]
"Ali adalah gerbang bagi ilmuku, dan setelahku ia
akan menjelaskan kepada seluruh pengikutku apa yang telah dikirimkan
kepadaku. Cinta kepada Ali adalah iman dan benci kepadanya adalah
kemunafikan."[25]
"Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah gerbangnya.
Barangsiapa yang ingin memasuki kota ilmu, maka hendaklah ia masuk
melalui gerbangnya."[26]
"'Ali adalah bagian dariku dan aku adalah bagian dari Ali, dan tidak ada yang menyampaikan kecuali aku dan Ali."[27]
"Barangsiapa yang menaatiku berarti ia telah
menaati Allah, dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku telah bermaksiat
kepada Allah. Dan barangsiapa yang menaati Ali telah menaatiku, dan
barangsiapa yang bermaksiat kepada Ali telah bermaksiat kepadaku."[28]
Ali As adalah orang yang ditinggal oleh Rasulullah
Saw untuk menjaga Ahlulbait Nabi Saw dan pemerintahan Islam selama
perjalanan ke Khaibar, namun beliau berkata, "Apakah layak bagiku untuk
tinggal sementara Rasulullah pergi?" Lalu Ali pergi dan bergabung dengan
Rasulullah Saw. Di tempat itu Rasulullah Saw bersabda, "Aku akan
serahkan panji ini kepada orang yang dicintai Allah dan Rasul-Nya.
Hadis lain menyebutkan bahwa Rasulullah Saw
bersabda, "Allah akan menganugerahkan kemenangan kepada orang yang
mencintai Allah dan Rasul-Nya." Dalam kedua riwayat ini, Rasulullah Saw
menyerahkan panji kepada Ali As dan Allah menganugerahkan kemenangan di
tangannya."[29]
Riwayat dari Rasulullah Saw yang menunjukkan bahwa
ia akan digantikan oleh dua belas pemimpin, seluruhnya dari suku
Quraisy. Sebagai tambahan atas hadis khusus yang mengidentifikasi Imam
Ali As sebagai khalifah Rasulullah Saw. Juga diriwayatkan pada pelbagai
kesempatan, Rasulullah Saw bersabda bahwa ia akan digantikan oleh dua
belas khalifah dari sukunya, Quraisy. Riwayat itu menyebutkan:
"Khalifah akan tetap di kalangan Quraisy sekalipun hanya dua orang tinggal di muka bumi."[30]
"Saya bergabung dengan sahabat Nabi Saw dengan
ayahku dan mendengar beliau bersabda, ‘Khilafah ini tidak akan berakhir
hingga ada dua belas khalifah di antara kalian.‘ Perawi berkata, "Lalu
beliau bersabda sesuatu yang saya tidak dapat tangkap." Saya bertanya
kepada ayahku, apa yang beliau sabdakan? Ayahku berkata, "Rasulullah Saw
bersabda, ‘Seluruhnya berasal dari Quraisy.‘"[31]
Riwayat lain dengan jenis yang serupa juga dapat dijumpai pada sumber-sumber lain.
Siapa kedua belas pemimpin ini? Rasulullah Saw diriwayatkan telah bersabda,
"Aku dan Ali adalah ayah bagi umat ini. Barangsiapa
yang mengenal kami (menunaikan hak maka sesungguhnya ia ) beriman
kepada Allah. Dan dari Ali akan lahir dua belas cucuku, Hasan dan
Husain, penghulu pemuda di surga dan sembilan anak-anak Husain. Ketaatan
kepada mereka adalah ketaatan kepadaku. Pembangkangan kepada mereka
adalah pembangkangan terhadapku. Putra kesembilan adalah adalah Qâim
mereka dan Mahdi, Imam yang diangkat Allah untuk petunjuk kebenaran.
(Ikmaluddin)
Rasulullah Saw bersabda kepada cucunya Husain
selagi Imam Husain berusia beberapa tahun, "Engkau adalah tuan (sayid)
dan putra seorang tuan. Engkau adalah seorang imam dan putra seorang
imam, saudara seorang imam dan ayah dari sembilan imam. Engkau adalah
hujjah Allah, penegas dan putra hujjah-Nya. Engkau adalah ayah bagi
sembilan hujjatullah bagi keturunanmu. Hujjah Kesembilan adalah Qâim
(Imam yang bangkit)."(Ikmaluddin)
Bagian 5
Ahlulbait As
Cara terbaik untuk memperkenalkan Ahlulbait kepada
umat Muslim adalah dengan menyebutkan bagaimana Al-Quran bertutur
tentang mereka. Beberapa ayat dalam Al-Quran secara spesifik menyebutkan
pelbagai keutamaan Ahlulbait dan kedudukan tinggi mereka dalam Islam.
Tatkala menyebut Ahlulbait, maka Al-Quran menyebutkan kepada sekelompok
khusus orang-orang yang tidak hanya memiliki hubungan darah dengan Nabi
Saw tapi yang paling penting adalah hubungan iman dan keyakinan dengan
Baginda Nabi Saw. Ayat-ayat tersebut tidak hanya menyebutkan seluruh
hubungan darahnya, juga bukan sahabat atau istri-istrinya, Rasulullah
Saw mendefinisikan mereka sebagai dirinya sendiri sebagaimana yang akan
kita lihat berikut ini.
Ayat Tathhir
Sesungguhnya Allah ingin menyucikan kalian wahai Ahlulbait dan menyucikan kalian dari segala cela dan nista sesuci-sucinya.
(QS. Al-Ahzab [33]:33) Para ulama terkemuka Islam dan perawi hadis
secara bulat sepakat bahwa Ahlulbait (keluarga Rasulullah Saw) yang
disebutkan Allah dalam Al-Quran adalah berkaitan dengan putri Nabi Saw,
Sayidah Fatimah Zahra As; saudara sepupunya, Ali bin Abi Thalib As;
kedua putra mereka, Hasan dan Husain As.[32]
Thabrani meriwayatkan bahwa salah seorang istri
terhormat Nabi Saw, Ummu Salamah diminta oleh Nabi Saw untuk berkata
kepada putrinya Sayidah Fatimah agar memanggil suaminya Ali dan kedua
putra mereka, Hasan dan Husain. Tatkala mereka datang, Rasulullah Saw
menutupi mereka dengan sebuah kain, meletakkan tangannya di atas kain
tersebut dan berdoa, "Wahai Allah! Mereka ini adalah Keluarga Muhammad
(Âli Muhammad), tunjukkanlah kemurahan-Mu dan rahmatilah keluarga
Muhammad sebagaimana Engkau memberikan kehormatan kepada keluarga
Ibrahim. Engkaulah yang patut dipuji."
Ummu Salamah berkata bahwa ia mengangkat kain
tersebut untuk bergabung dengan mereka. Namun Rasulullah Saw menarik
tangannya dan bersabda, "Sesungguhnya Anda berada dalam kebaikan."[33]
Meski pada permulaan ayat ini dialamatkan kepada
istri-istri Nabi Saw dan ayat tathhir ini terletak di tengah-tengah
perintah Allah Swt kepada para istri Nabi Saw, namun mereka tidak
termasuk dari ungkapan khusus (Ahlulbait) Allah Swt ini. Mengingat
ayat-ayat sebelum dan setelahnya berkenaan dengan para istri nabi berada
dalam bentuk kata ganti feminin (muannats), ayat ini bertalian dengan
Ahlulbait yang dinyatakan dalam bentuk maskulin (mudzakkar) atau gender
campuran. Karena itu redaksi Ahlulbait dalam ayat tathhir ini tidak
dialamatkan kepada istri-istri Nabi Saw.
Namun demikian, bahkan tanpa bukti gramatikal ini
pun, hubungan di antara sebagian istri Rasulullah Saw tidak selaras dan
sejalan dengan semangat ayat ini yang menegaskan kesucian fisik, mental
dan spiritual keluarga Rasulullah Saw.
Untuk menekankan bahwa redaksi Ahlulbait ini
berkenaan dengan hanya lima orang – Muhammad, Ali, Fatimah, Hasan dan
Husain – para perawi berkata bahwa Rasulullah Saw, ketika melintas di
hadapan rumah Sayidah Fatimah menuju masjid untuk menunaikan shalat
subuh, beliau selalu berhenti dan menyeru: "Al-shalat…al-shalat, wahai
Ahlulbait." Sesungguhnya Allah hendak menyucikan kalian dari segala
kekotoran dan nista sesuci-sucinya."[34]
Imam Anas bin Malik menambahkan bahwa Rasulullah Saw melakukan hal ini
selama enam bulan setiap harinya dalam perjalanannya menuju masjid untuk
menunaikan shalat di masjid.[35]
Ayat Mawaddah
Katakanlah, “Aku tidak meminta upah dari seruan ini kecuali kecintaan kepada keluargaku (al-qurba)."
(QS. Al-Syura [42]:23) Al-Qurba yang dimaksud di sini adalah Ahlulbait.[36]
Tatkala menjelaskan ayat ini, Fakhruddin Razi berkata, "Tanpa ragu bahwa
tiada seorang pun yang dekat kepada Rasulullah Saw melebihi Fatimah,
Ali, Hasan dan Husain. Hal ini merupakan kenyataan yang dikenal dalam
mata rantai periwayatan dan hal itu adalah "Alif-lam". Karena itu, "Al"
atau "Ahl" hanya terkait dengan keluarga langsung Nabi Saw yaitu Sayidah
Fatimah, Ali, Hasan dan Husain. Beberapa orang berdalih bahwa Hasan dan
Husain bukan merupakan putra Rasulullah Saw karena keduanya adalah
putra Imam Ali dan bersambung garis keturunannya kepada Rasulullah Saw
melalui bunda mereka, Sayidah Fatimah al-Zahra As.
Diriwayatkan bahwa Khalifah Abbasiyah, Harun
Rasyid, bertanya kepada Imam Ketujuh Ahlulbait, Imam Musa bin Ja'far,
bagaimana mungkin ia menyandarkan dirinya kepada Rasulullah Saw
sementara ia adalah putra Ali dan Fatimah yang melahirkannya. Bagaimana
mungkin ia memandang dirinya sebagai putra Rasulullah Saw? Imam Musa
kemudian membacakan ayat berikut ini berkenaan dengan Nabi Ibrahim yang
menyatakan, Dan Kami telah menganugerahkan Ishaq dan Ya„qub kepada
Ibrahim. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan
kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada
sebagian dari keturunan Nuh, yaitu Dawud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa,
dan Harun.Demikianlah Kami memberi balasan kepada
orang-orang yang berbuat baik, dan (begitu juga) Zakaria, Yahya, Isa,
dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang saleh.
(QS. Al-An'am [6]:84-85)
Lalu Imam Musa bertanya kepada Harun Rasyid tentang
siapa ayah Isa. Harun menjawab bahwa ia tidak memiliki ayah. Imam
berkata, "Lalu engkau lihat bagaimana Allah menghubungkannya dengan
Ibrahim melalui ibunya dan Allah melakukan hal yang sama bagi kami,
menghubungkan kami kepada Rasulullah Saw melalui bunda kami Sayidah
Fatimah al-Zahra."[37]
Dalam banyak kejadian, Rasulullah Saw
mengekspresikan kecintaan dan kasihnya kepada Fatimah, seperti ketika
beliau berkata, "Fatimah adalah dariku. Sukanya adalah sukaku dan
dukanya adalah dukaku."
Ayat Mubâhalah
Barangsiapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya),“Marilah
kita memanggil anak-anak kami dan anak-anakmu, istri-istri kami dan
istri-istrimu, diri kami dan dirimu; kemudian marilah kita bermubahalah
kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada
orang-orang yang dusta
(QS. Ali Imran [3]:61)
Tonggak peristiwa ini dalam sejarah Islam telah
diriwayatkan oleh sejarawan, perawi dan penafsir Al-Quran. Peristiwa ini
merupakan sebuah peristiwa yang mengungkapkan status tinggi Ahlulbait
As. Riwayat-riwayat menyebutkan bahwa satu rombongan Kristen dari Najran
datang ke kota Madinah untuk berjumpa dengan Rasulullah Saw guna
membahas masalah kenabiannya dan agama baru yang dibawanya.
Rasulullah Saw menetapkan bahwa Isa adalah putra
Maryam – seorang manusia, nabi dan seorang hamba Allah, sebagaimana yang
disebutkan dalam Al-Quran – dan memandangnya sebagai putra Tuhan adalah
penghinaan karena Allah Swt adalah suci dari karakter-karakter manusia.
Setelah mendiskusikan poin-poin ini dengan mantap dan meyakinkan,
tatkala Nabi Saw mendapatkan mereka masih bersikeras untuk
mempertahankan kepalsuan keyakinan dan kebiasaan mereka yaitu menuhankan
Nabi Isa As – Allah Swt mewahyukan ayat ini yang merupakan tantangan
besar kepada delegasi Kristen tersebut untuk berdoa dan meminta Allah
Swt melaknat kelompok yang bersikeras kepada kepalsuan dan kebohongan.
Esok paginya, pada 24 Dzulhijjah, sesuai dengan
titah Allah Swt, Rasulullah Saw tiba di tempat yang telah dijanjikan
membawa Husain dalam gendongannya dan menuntun Hasan dengan tangannya,
diikuti oleh putri kinasihnya, Fatimah Zahra, dan di belakangnya menantu
dan sepupunya Ali bin Abi Thalib membawa panji Islam.
Melihat bahwa Nabi Saw datang hanya ditemani oleh
keluarga terdekatnya, pendeta Kristen tersebut yakin bahwa Nabi Saw
adalah benar; kalau tidak, ia tidak akan pernah berani membawa
orang-orang yang dicintainya bersamanya. Delegasi Kristen mundur dari
mubâhalah ini dan memutuskan untuk kembali ke Najran.
Kendati terdapat beberapa orang wanita dari
keluarga Nabi Saw pada saat itu, seluruh penafsir, perawi dan sejarawan
sepakat bahwa redaksi ayat Al-Quran, "wanita kami" hanya berkenaan
dengan Sayidah Fatimah Zahra As, "anak-anak kami" terkait dengan Hasan
dan Husain As dan "diri kami" bersangkutan dengan Nabi Saw dan Imam Ali
As.
Zamakhsyari dalam Tafsir Al-Kasysyâf-nya, menuturkan peristiwa ini sebagai berikut.
"Tatkala ayat ini diwahyukan (diturunkan),
Rasulullah Saw meminta kepada pendeta-pendeta Kristen tersebut
ber-mubahalah untuk mengundang laknat Tuhan atas orang-orang yang
berdusta. Orang-orang Kristen tersebut berdiskusi sesama mereka pada
malam harinya yang pemimpin mereka, Abdul Masih, menyatakan pendapatnya
sebagai berikut. Ia berkata, "Wahai orang-orang Kristen! Ketahuilah
bahwa Muhammad adalah seorang nabi utusan Allah yang membawa pesan
terakhir dari Tuhan kalian. Demi Tuhan! Tiada satu bangsa pun yang
berani menantang seorang nabi untuk ber-mubahalah kecuali mereka celaka.
Mereka tidak hanya akan binasa, namun anak-anak mereka juga akan
tertimpa kutukan."
Setelah menyampaikan pandangannya – bahwa lebih
baik berkompromi dengan Rasulullah Saw ketimbang menantang kebenaran
yang ia bawa dan binasa – Abdul Masih menasihatkan kelompoknya untuk
menghentikan permusuhan dan bertahan pada agama mereka dengan
menyerahkan kepada Nabi Saw beberapa syarat. "Jadi, apabila kalian
bersikeras (untuk berkonfrontasi), maka kita semua akan binasa. Namun
jika kalian, untuk menjaga iman kalian, menolak (untuk berkonfrontasi)
dan bertahan sebagaimana adanya kalian, maka buatlah perdamaian dengan
orang ini (Rasulullah Saw) dan kembalilah ke negeri kalian."
Hari berikutnya, Rasulullah Saw, membawa Husain
dalam gendongannya, menuntun Hasan dengan tangannya, diikuti oleh
putrinya Sayidah Fatimah dan di belakangnya Ali bin Abi Thalib, memasuki
tempat yang disepakati dan beliau terdengar berkata kepada keluarganya,
"Ketika aku berdoa kepada Allah, doa kedua dari doa ini.
Pendeta Najran, tatkala melihat Nabi Saw dan
Ahlulbaitnya, berkata kepada kaum Kristian, "Wahai kaum Kristen! Saya
menyaksikan wajahnya yang apabila Tuhan menghendaki, demi mereka, Dia
akan menggerakkan gunung untuk mereka. Jangan kalian terima tantangan
mereka untuk ber-mubâhalah, lantaran apabila kalian melakukannya, kalian
semua akan binasa dan tiada lagi akan tersisa orang-orang Kristen di
muka bumi hingga hari Kiamat."[38]
Mendengarkan nasihat ini, kaum Kristen berkata
kepada Rasulullah Saw, ―Wahai Abul Qasim! Kami putuskan untuk tidak
ber-mubâhalah dengan Anda! Tetaplah Anda dengan agama Anda, dan kami
akan tetap dengan agama kami." Rasulullah Saw berkata kepada mereka,
"Jika kalian menolak untuk ber-mubâhalah, maka berserah dirilah kepada
Allah, dan kalian akan menerima apa yang diterima kaum Muslimin dan
menyumbangkan apa yang disumbangkan kaum Muslimin.
Delegasi Kristen berkata bahwa mereka tidak ingin
berperang dengan kaum Muslimin, mereka mengusulkan sebuah fakta
perjanjian untuk berdamai. Rasulullah Saw menerima usulan tersebut.
Ayat Shalawat
Sesungguhnya Allah dan para
malaikat-Nya bershalawat untuk nabi. Hai orang-orang yang beriman,
bershalawatlah untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya
. (QS. Al-Ahzab [33]:56)
Selama menunaikan lima shalat wajib, selama
menyatakan syahadat (testimony), mereka yang menunaikan shalatnya harus
menyampaikan salam dan shalawat kepada Nabi Saw dan Ahlulbaitnya –
sebuah terminologi yang terkhusus untuk Ali, Fatimah, Hasan, Husain
beserta keturunannya yang suci. Penekanan atas keluarga Rasulullah Saw
dalam shalawat merupakan indikasi lain atas peran sentral mereka setelah
Nabi Muhammad Saw. Dengan meminta orang-orang beriman untuk memuji
mereka, Allah Swt mengingatkan kaum Muslimin bahwa Dia telah memilih
Ahlulbait untuk menjalankan peran sebagai pemimpin kaum Muslimin. Salah
satu penafsir Al-Quran terkemuka, Fakhruddin Razi, menukil jawaban
Rasulullah Saw tatkala ditanya oleh beberapa orang sahabat tentang
bagaimana menyampakan shalawat kepadanya. Beliau berkata, "Katakanlah,
Ya Allah, sampaikan salam dan shalawat kepada Muhammad sebagaimana
Engkau menyampaikan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Dan
curahkan rahmat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau
curahkan rahmat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya
pujian hanya untuk-Mu."[39]
Fakhrurrazi mengomentari bahwa jika Allah Swt dan
para malaikat-Nya mengirimkan shalawat kepada Nabi Saw, lantas apa
gunanya shalawat yang kita kirimkan? Ia menjawab pertanyaan retorisnya
sendiri dengan berkata bahwa kita mengirim shalawat kepada Nabi Saw
bukan karena beliau membutuhkannya karena beliau sendiri telah memiliki
shalawat dan salam dari Allah Swt. Beliau bahkan tidak meminta shalawat
dan salam dari para malaikat. Manakala kita mengirim shalawat kepadanya
artinya kita mengirimkannya untuk memuji Allah dan juga menyampaikan
rasa syukur kita kepada Allah Swt sehingga Dia mengasihi dan mengganjari
perbuatan kita. Karena itu, Rasulullah Saw bersabda, "Barangsiapa yang
mengirimkan shalawat satu kali kepadaku, Allah akan mengirimkan sepuluh
kali shalawat baginya."
Ayat lain dalam Al-Quran menegaskan ajaran yang
sama tatkala Allah Swt menyampaikan shalawat-Nya kepada keluarga Nabi
Saw (Ahlulbait) dengan berfirman, "Salam padamu wahai Keluarga Yasin."[40]
Menurut sebagian penafsir Al-Quran, Yasin adalah salah satu nama
Rasulullah Saw, sebagaimana disebutkan pada surah Yasin, ketika
dialamatkan kepadanya: "Yasin, wal Quran al-hakim. Innnaka laminal
mursalin."[41]
Ayat Ith'âm
Surah Al-Insan (76) dalam Al-Quran diturunkan untuk
menghormati perbuatan suci yang dipraktikkan oleh Ahlulbait As. Allah
Swt menggelari surah ini sebagai "al-Insan" untuk menarik perhatian
manusia keindahan perbuatan manusia di muka bumi dan berfirman kepada
mereka bahwa mereka tidak boleh bersikap mementingkah diri sendiri atau
serakah namun memerintahkan mereka untuk peduli dan menjadi orang
berpikir yang menghabiskan waktu mereka untuk memikirkan keadaan orang
lain di sekeliling mereka. Permulaan surah ini ini dimulai dengan:
Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia
ketika itu belum berbentuk sesuatu yang dapat disebut? Sesungguhnya Kami
telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur (dan) Kami
hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan). Karena itu, Kami
jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukkan
jalan (yang lurus) kepadanya; ada yang bersyukur dan ada pula yang
kafir."
Perkenalan ini merupakan persiapan bagi kita untuk
mengenal pengorbanan besar keluarga Nabi (Ahlulbait), Ali, Fatimah,
Hasan, Husain dan pelayan mereka, Fidhdhah yang dijelaskan pada
ayat-ayat berikutnya, 5-13.
Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan
minum dari gelas (berisi minuman) yang telah dicampur dengan air kafur
(yang semerbak mewangi), yang berasal dari mata air (di dalam surga)
yang darinya hamba-hamba Allah minum, (dan) mereka dapat mengalirkannya
dari manapun mereka kehendaki. Mereka menunaikan nazar dan takut akan
suatu hari yang azabnya merata di mana-mana. Dan mereka memberikan
makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang
ditawan. (Mereka hanya berkata), “Sesungguhnya Kami memberi makanan
kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak
menghendaki balasan dan tidak pula (ucapan) terima kasih darimu.
Sesungguhnya Kami takut kepada Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari
itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.” Maka (karena keyakinan
dan amal itu) Allah memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan
memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati. Dan
Dia memberi balasan surga dan pakaian sutra kepada mereka karena
kesabaran mereka, di dalamnya mereka duduk bertelekan di atas dipan,
sedang mereka tidak merasakan (teriknya) matahari dan tidak pula rasa
dingin yang menyengat.
Para penafsir Al-Quran sepakat (ijma) bahwa
ayat-ayat ini berbicara tentang Ahlulbait dan kedudukan mereka pada
puncak ketakwaan. Di samping itu, ayat-ayat ini juga memperkenalkan
Ahlulbait sebagai model bagi kemanusiaan. Kemanusiaan akan terbimbing
dengan baik dengan berbagai keteladanan mereka. Kejadian yang membuat
turunnya ayat ini bermula tatkala Hasan dan Husain jatuh sakit, dan
Hadhrat Fatimah Zahra bertanya kepada ayahandanya ihwal apa yang harus
dilakukan. Rasulullah Saw menasihati mereka untuk bernazar bahwa jika
Allah Swt memberikan kesembuhan kepada mereka, maka seluruh keluarga
akan menunaikan puasa selama tiga hari. Hasan dan Husain sembuh dari
sakit dan puasa pun mulai ditunaikan. Pada waktu itu, mereka tidak
memiliki sesuatu apa pun untuk dimakan. Maka itu, Imam Ali As pergi
menemui seorang Yahudi Khaibar bernama Simon dan meminjam tiga takaran
gandum. Sang istri, Sayidah Fatimah menurunkan satu takaran gandum ke
dalam adonan tepung dan membuatnya menjadi lima lembar roti untuk
masing-masing dari mereka. Baginda Ali, Hadhrat Fatimah, kedua putra
mereka beserta pembantu mereka, Fidhdhah, berpuasa selama tiga hari
berturut-turut. Pada hari pertama, pada waktu berbuka puasa, seorang
miskin datang mengetuk pintu untuk meminta makanan. Mereka mengambil
makanan yang tadinya mereka ingin santap – masing-masing lembaran roti –
dan menyerahkan kepada orang miskin tadi. Pada hari kedua, tatkala
mereka ingin berbuka, seorang yatim datang mengetuk pintu rumah. Dan
mereka kembali menyerahkan seluruh makanan yang siap santap itu
kepadanya. Sekali lagi, pada hari ketiga, sewaktu ingin berbuka puasa,
seorang tawanan perang (yang telah ditangkap dalam membela Islam dan
tinggal di Madinah) datang ke kediaman mereka dan meminta makanan;
mereka mengambil seluruh lima lembar roti tersebut dan menyerahkan
kepada orang itu. Mereka berbuka puasa selama tiga hari hanya dengan
air.
Pada saat itu, Rasulullah Saw datang dan melihat
putrinya Hadhrat Fatimah Zahra dan kedua putranya, Hasan dan Husain
tampak pucat dan terlalu lemah untuk berkata-kata. Beliau melihat mereka
badan mereka gemetaran karena lapar. Hadhrat Fatimah sendiri duduk
dengan mata cekung di atas sajadahnya. Tatkala Rasulullah Saw bertanya
gerangan apa sebabnya, Jibril datang kepada Rasulullah Saw dengan
membawa surah al-Insan (76) dan bersabda, ―Wahai Muhammad! Allah Swt
memberikan ucapan selamat atas pengorbanan keluargamu."[42]
Ayat-ayat ini tidak hanya menerjemahkan kepemurahan
dan keteguhan Ahlulbait tapi juga mengungkapkan kepasrahan dan
penyerahan diri secara total keluarga Rasulullah Saw, kesucian dan
kekudusan pribadi mereka.
Ayat Wilâyah:
Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri (para washi
Rasulullah) di antara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan
Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
(QS. Al-Nisa [4]:59)
Ayat ini, sebagaimana telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya, berkenaan dengan wilayah Imam Ali bin Abi Thalib As dan
sebagai ikutannya adalah Ahlulbait yang lainnya.
Rasulullah Saw bersabda tentang ulil amri (yang
memiliki wilayah atas kalian), Mereka adalah khalifahku dan para
pemimpin kaum Muslimin selepasku. Yang pertama dari mereka adalah Ali
bin Abi Thalib, kemudian Hasan dan Husain, kemudian Ali bin Husain, lalu
Muhammad bin Ali yang dikenal sebagai Al-Baqir, kemudian Ja'far bin
Muhammad Al-Shadiq, kemudian Musa bin Ja'far, kemudian Ali bin Musa,
kemudian Muhammad bin Ali, kemudian Ali bin Muhammad, kemudian Hasan bin
Ali, kemudian yang menyandang namaku – Muhammad. Dia yang akan menjadi
hujjah Allah di muka bumi.[43]
Hadis Tsaqalain
Rasulullah Saw bersabda, ―Boleh jadi saya akan
segera dipanggil dan saya akan memenuhi panggilan itu. Oleh itu, saya
tinggalkan setelahku dua pusaka berat (sangat berharga dan penting):
Kitabullah (Al-Quran), yang merupakan tali yang terentang dari langit
hingga bumi, dan Ahlulbaitku. Sesungguhnya Allah Swt telah mengabarkan
kepadaku bahwa kedua pusaka ini tidak akan pernah berpisah antara satu
dengan yang lain hingga keduanya menjumpaiku di Telaga Kautsar. Karena
itu, berhati-hatilah bagaimana kalian memperlakukan keduanya selepasku."[44]
Hadis ini setidaknya dideklarasikan pada lima
kesempatan – pertama pada pidato Hajjatul Wida, kedua di Ghadir Khum,
ketiga setelah Nabi Saw meninggalkan kota Thaif dekat Mekkah, keempat di
atas mimbar di Madinah, dan kelima – sebelum beliau wafat – di bilik
beliau yang dipenuhi oleh para sahabat.
Mengingat sangat pentingnya peranan Al-Quran,
mengapa Nabi Saw menisbatkan Ahlulbait As dengan Al-Quran dan
menempatkannya sebagai pusaka penting setelah Al-Quran? Jawabannya
adalah bahwa Ahlulbait As merupakan yang terbaik dalam menjelaskan makna
dan penafsiran yang sebenarnya dari Al-Quran. Al-Quran, sebagaimana ia
menyebutkan dirinya sendiri, mengandung ayat-ayat jelas (muhkam) dan
tidak jelas (mutasyabihat). Dengan demikian, penafsiran dari ayat-ayat
mutasyabihat ini harus dilakukan oleh Nabi Saw sendiri, sebagaimana
beliau lakukan untuk Ahlulbaitnya. Di samping itu, karena kedekatan
mereka kepada Rasulullah Saw, mereka memiliki pengetahuan yang tidak
tertandingi terhadap sunnah Rasulullah Saw.
Riwayat yang sama dari Rasulullah Saw tentang
Ahlulbaitnya, "Permisalan Ahlulbaitku adalah laksana bahtera Nuh.
Barangsiapa yang menaikinya akan selamat dan barangsiapa yang menolak
menaikinya niscaya akan karam."[45]
"Sebagaimana bintang-gemintang melindungi manusia dari kesesatan dalam
perjalanan, demikian juga Ahlulbaitku. Mereka adalah penjaga terhadap
pelbagai hal-hal ikhtilaf dalam agama."[46]
"Pengakuan terhadap keluarga Muhammad bermakna
keselamatan dari api neraka. Kecintaan terhadap keluarga Muhammad
merupakan tiket untuk melintasi jembatan shirath; ketaatan kepada
keluarga Muhammad adalah pelindung dari kemurkaan Tuhan."[47]
Bagian 6
Kemaksuman
Mazhab Syiah meyakini bahwa seluruh nabi Allah
semenjak Adam hingga Muhammad, demikian juga dua belas khalifah
Rasulullah Saw dan putrinya Sayidah Fatimah Zahra As, adalah orang-orang
maksum sepanjang perjalanan hidup mereka dan tidak pernah melakukan
jenis dosa apa pun yang bisa mengundang kemurkaan Allah. Jalan yang
paling terang untuk melihat permasalahan ini adalah menimbang bahwa
orang-orang ini merupakan teladan-teladan yang diutus kepada manusia
untuk diikuti, dan apabila mereka melakukan kesalahan, maka orang-orang
berkewajiban untuk mengikuti mereka bahkan tatkala mereka melakukan
kesalahan. Jika demikian halnya, maka para nabi dan rasul ini akan
menjadi orang-orang yang tidak dapat dipercaya.
Kemaksuman bermakna perlindungan. Dalam terminologi
Islam, ia bermakna anugerah spiritual yang diberikan Allah Swt kepada
seseorang sehingga ia mampu menjauhkan dirinya dari dosa-dosa dengan
kehendak dan pilihannya sendiri. Kekuatan kemaksuman atau keterjagaan
dari perbuatan dosa tidak membuat seseorang tidak mampu melakukan
dosa-dosa namun ia terjaga dari perbuatan dosa-dosa dan
kesalahan-kesalahan dengan kekuasaan dan kebebasan yang dimilikinya.
Kemaksuman sangat penting bagi para nabi dan rasul karena tugas mereka
bukan hanya menyampaikan kitab-kitab suci Allah tetapi juga untuk
memimpin dan membimbing manusia menuju jalan yang benar. Karena itu,
mereka harus menjadi panutan dan teladan sempurna bagi umat manusia.
Baik Al-Quran dan kearifan umum menggambarkan hal
ini bahwa: Al-Quran menyebutkan redaksi "ishmah" (kemaksuman) sebanyak
tiga belas kali. Allah Swt berfirman kepada Iblis:Bahwa sesungguhnya engkau tidak akan dapat menguasai hamba-hamba-Ku, kecuali orang-orang sesat yang mengikutmu."
(QS. Al-Hijr [15]:42). Dalam menjawab firman Allah Swt ini, Iblis menjawab,“Demi
kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya " kecuali
hamba-hamba-Mu yang disucikan (dari dosa) di antara mereka.” (yakni,
para rasul dan para imam)
(QS. [38]:82)
Terdapat beberapa ayat dalam Al-Quran yang boleh
jadi menandaskan bahwa beberapa orang nabi (seperti Adam, Musa, Yunus
melakukan dosa. Terkait dengan Adam As, ia tidak mematuhi perintah wajib
Allah Swt; perintah yang tidak ditunaikannya adalah perintah yang
bersifat anjuran, bukan perintah yang bersifat harus dan wajib
ditunaikan. Karena itu, menurut terminologi teknis Islam, ia tidak
melakukan dosa.Dan sebelum ini sesungguhnya Kami
telah mengambil perjanjian dari Adam, tapi ia lupa (akan janji itu), dan
tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat.
(QS. Thaha [20]:115) Kesalahan Adam adalah ia tidak memiliki kemauan
yang kuat, namun ia tidak melanggar perintah Allah Swt karena perintah
tersebut adalah bersifat anjuran (advirsory) bukan kewajiban
(obligatory). Sebagai hasil dari perbuatannya ini, ia kehilangan
keistimewaan dan kenikmatan yang dianugerahkan kepadanya di dalam surga.
Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalam surga dan tidak akan
telanjang.Dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya.”"
(QS. Thaha [20]:118-119)
Ketika berbicara tentang ketidaktaatan Nabi Adam,
Al-Quran tidak memaknai ketidaktaatan itu secara literal. Hal itu
bermakna bahwa tidak diharapkan dari seorang seperti Nabi Adam yang
merupakan seorang pemimpin bagi umat manusia untuk melanggar titah Allah
Swt. Karena itu, tindakan yang dilakukan oleh Nabi Adam ini secara
kiasan diartikan sebagai dosa dalam Al-Quran.
Terkait dengan Nabi Musa As, Al-Quran bertutur kata tentangnya,"Dan (menurut keyakinan mereka) aku berdosa terhadap mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku."
(QS. Al-Syu‘araa [26]:14)
Tudingan ini datang tatkala ia mendorong seorang
pria dan secara tidak sengaja membunuhnya. Kala itu, Nabi Musa As
mencoba membela salah seorang dari sukunya dan tatkala ia mendorong
orang dari kaum Fir'aun, kebetulan orang yang didorong itu adalah orang
yang sangat lemah sehingga terjatuh dan mati seketika. Nabi Musa As
tidak bermaksud untuk membunuhnya, namun ia melarikan diri dari tempat
kejadian lantaran ia tidak ingin tertawan Fir'aun dan pasukannya yang
mencarinya.
Ketika Nabi Musa As berbicara tentang "tuduhan
kejahatan" yang dilontarkan terhadapnya, ia mengulang tuduhan-tuduhan
Fir'aun yang masyarakat tidak meyakini tuduhan-tuduhan tersebut ada
benarnya.
Kasus Nabi Yunus juga kurang lebih sama dengan
kasus Nabi Musa As. Al-Quran menyatakan, Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun
(Yunus), ketika ia pergi (dari tengah-tengah kaumnya) dalam keadaan
marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya
(menyulitkannya). Maka (setelah berada di dalam perut ikan hiu) ia
menyeru di dalam kegelapan yang gulita,“Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.”
(QS. Al-Anbiya [21]:87) Dalam hal ini, Nabi Yunus bermaksud bahwa ia
melakukan kesalahan pada dirinya sendiri, tetapi melakukan kesalahan
pada diri sendiri bukanlah sebuah dosa atau sebuah kesalahan. Ia telah
melakukan "kesalahan pada dirinya" karena tidak bersabar dengan para
pengikutnya dan meninggalkan mereka ketika mereka bersikukuh menolak
seruan untuk menyembah Allah Swt dan mengolok-oloknya hingga ia
meninggalkan kaumnya untuk menghadapi nasibnya sendiri.
Sebagian besar ayat-ayat Al-Quran yang boleh jadi
menyinggung perbuatan dosa yang dilakukan Nabi Muhammad Saw maka hal itu
terkait dengan urusan penafsiran Al-Quran. Tidak semua ayat Al-Quran
yang dimaksud dapat dipahami secara harfiah dan literal. Makna yang
dalam kebanyakan tertimbun dari bentuk lahir ayat-ayat ini. Hal ini
dinyatakan dalam Al-Quran, Dialah yang menurunkan al-Kitab (Al-Quran)
kepadamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamât, itulah
pokok-pokok isi Al-Quran dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihât.Adapun
orang-orang yang hatinya condong kepada kesesatan, mereka mengikuti
ayat-ayat yang mutasyabihât untuk menimbulkan fitnah dan untuk
mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya
melainkan Allah Dan orang-orang yang mendalam ilmunya (rasikhun fi
al-Ilm) berkata. (Nabi Saw dan Ahlulbaitnya)
(QS. Ali Imran [3]:7)
Terlebih, karakter dan penghormatan umum yang
disandarkan kepada Nabi Saw menunjukkan bahwa tanpa ragu ia bukanlah
salah seorang pendosa atau orang yang melakukan kesalahan.
Riwayat yang tidak senonoh dapat ditemukan pada
beberapa kitab hadis terkait dengan kekerasan-kekerasan yang dilakukan
oleh sebagian nabi Allah. Misalnya, Imam Bukhari meriwayatkan: Umar
meminta izin dari Nabi Saw untuk mengunjunginya tatkala beberapa wanita
Quraisy sedang sibuk bercakap-cakap dengan Nabi Saw dan meninggikan
suara mereka melebihi suara Nabi Saw. Ketika Umar meminta izin, mereka
berdiri dan segera lari bersembunyi di balik tirai. Rasulullah Saw
memberikan izin kepadanya sembari tersenyum. Saat itu, Umar berkata, "Ya
Rasulullah! Semoga Allah membahagiakanmu sepanjang hidupmu." Kemudian
Rasulullah Saw bersabda, "Aku memperhatikan (dengan takjub)
wanita-wanita yang bersamaku, dan tidak lama setelah mendengar suaramu
mereka segera mengenakan hijab."[48]
Demikian pula, Imam Muslim menukil riwayat: "Abu
Bakar datang menemuiku (Rasulullah Saw) dan di sampingku ada dua wanita
dari kalangan wanita Anshar, dan mereka bernyanyi apa yang didendangkan
oleh kaum Anshar sesama mereka pada peperangan Bua'ts. Tentu saja mereka
bukan biduanita. Tatkala melihat ini, Abu Bakar berkata, "Apa! Alat
setan dimainkan di kediaman Rasulullah Saw dan pada saat hari raya?"
Mendengar ini, Rasulullah Saw berkata, "Abu Bakar, setiap orang punya
hari raya. Dan hari ini adalah hari raya kita (Jadi, biarkan mereka
memainkan alat musik itu)."[49]
Diriwayatkan juga bahwa Rasulullah Saw dilihat kencing berdiri di hadapan orang-orang.[50]
Jelaslah, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
Khalifah Pertama dan Kedua berserta orang-orang awam akan memandang
bahwa hal-hal yang tidak islami tidak akan dipraktikkan Nabi Saw
terang-terangan. Tidak ada seorang Muslim pun akan menerima perilaku
dari seorang pemimpin kemanusiaan yang dijadikan sebagai panutan dan
teladan oleh Al-Quran dan Al-Quran menitahkan kita untuk mengikutinya
dari segala aspek.
Dalam kitab-kitab hadis, terdapat riwayat-riwayat yang tidak berdasar lainnya yang bertentangan dengan hikmah dan akal sehat.
Terdapat riwayat yang serupa dengan riwayat di atas
berkenaan dengan nabi-nabi Allah lainnya. Sebagai contoh, Malaikat Maut
datang kepada Musa dan berkata, "Penuhilah seruan Allah
(bersiap-siaplah untuk mati). Musa menghajar mata Malaikat Maut dan
membuatnya terjatuh. Malaikat Maut kembali kepada Allah dan berkata,
"Engkau mengutusku kepada hamba-Mu yang tidak ingin mati dan ia
menghajar mataku. Allah kemudian menyembuhkan matanya.[51]
Seorang Muslim biadab yang menyerang seseorang yang
menjalankan tugas kesehariannya akan disebut sebagai penganiaya dan
penyerang, dia akan dihukum atas perbuatannya ini. Perbuatan tidak
senonoh ini sama sekali tidak dapat diterima jika orang tersebut adalah
salah seorang lima besar nabi Allah yang diutus untuk memberikan
petunjuk, memberikan pencerahan dan mendidik manusia dengan
teladan-teladan yang baik dan akhlak karimah. Mengapa seseorang seperti
Nabi Musa menyerang Malaikat Maut yang datang kepadanya untuk membawanya
lebih dekat kepada Allah Swt? Riwayat-riwayat semacam ini sama sekali
tidak dapat diterima. Seorang Muslim yang bijak harus membuka matanya
dalam mencermati kisah-kisah seperti ini dalam kitab-kitab hadis yang
sama sekali tidak sejalan dan selaras dengan ajaran-ajaran Al-Quran .[]
Bagian 7
Syafaat
Masalah syafaat merupakan salah satu masalah
kontroversial dalam Islam. Mazhab Syiah dan sebagian mazhab Sunni
menerima konsep syafaat dan sebagian lainnya menolaknya. Bagi mazhab
yang menolak konsep syafaat beranggapan bahwa barangsiapa yang meyakini
konsep ini, maka ia bukan seorang Muslim. Al-Quran menyampaikan masalah
ini dalam tiga pendekatan. Pertama, ayat-ayat yang menafikan syafaat,
seperti pada surah al-Baqarah ayat 123 dan ayat 254. Kemudian, ayat-ayat
yang menyatakan bahwa syafaat secara eksklusif berada pada wilayah
kodrati Tuhan – bahwa Dia dan hanya Dia yang memiliki kuasa untuk
melakukan syafaat sebagaimana hal ini dinyatakan pada surah al-An'am [6]
ayat 70 dan surah Ali Imran [3] ayat 44.
Bagian ketiga adalah ayat-ayat yang mengkhususkan
dua kategori pertama dan memberikan pandangan utuh terhadap syafaat
dalam Islam. Ayat-ayat ini menyebutkan bahwa syafaat semata hak Allah
Swt, namun Dia menghendaki, kapapun Dia hendaki, melebarkan syafaat ini
kepada orang-orang tertentu dalam penciptaan-Nya.
“Tiada seorang pun yang akan memberi syafaat kecuali sesudah ada izin-Nya."
(QS. Yunus [10]:3)
“Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya.
(QS. Al-Baqarah [2]:255)
“Pada hari itu tidak berguna
syafaat, kecuali (syafaat) orang yang Allah Maha Pengasih telah memberi
izin kepadanya dan meridai perkataannya.
(QS. Al-Baqarah [2]:109)
“[Dan] mereka tidak memberi
syafaat melainkan kepada orang yang diridai Allah, dan mereka itu selalu
berhati-hati karena takut kepada-Nya.
(QS. Al-Anbiya [21]:28)
“Mereka tidak berhak mendapat syafaat kecuali orang yang telah mengadakan perjanjian di sisi Tuhan Yang Maha Pengasih.
(QS. Maryam [19]:87)
“Dan tidaklah berguna syafaat di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah Dia izinkan memperoleh syafaat itu.
(QS. Saba [34]:23)
Sesuai dengan ayat-ayat ini, terdapat orang-orang
tertentu yang menerima izin dari Allah – seperti para nabi, imam dan
wali – akan memberikan syafaat dan menolong orang-orang dengan izin
Allah Swt. Tanpa izin-Nya tiada syafaat pun yang akan diterima.
Bahkan pada masa hidup, para nabi memiliki
kemampuan dalam memberikan syafaat bagi orang-orang bertaubat dan
mencari pengampunan dan ingin kembali ke jalan Allah:
“Dan Kami tidak mengutus
seseorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.
Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu
memohon ampun kepada Allah, dan rasul pun memohonkan ampun untuk
mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha
Penyayang.
(QS. Al-Nisa [4]:64)
“Mereka berkata, “Hai ayah
kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya
kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa).” Ya„qub berkata, “Aku
akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah Yang
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS. Yusuf [12]:97-98)
Rasulullah Muhammad Saw juga menyebutkan syafaatnya:
"Aku akan memberikan syafaat pada hari Kiamat pada siapa saja yang memiliki iman dalam hatinya."[52]
"Setiap nabi sebelumku meminta kepada Allah untuk
dianugerahkan sesuatu dan aku menyimpan permintaan hingga Hari Kiamat
untuk memberikan syafaat kepada umatku."[53]
"Syafaatku bagi orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar (al-kabair) kecuali dosa syirik dan kezaliman.[54]
"Terdapat lima hal yang memberikan syafaat: Al-Quran, kerabat terdekat, amanah, nabi kalian dan keluarga nabimu."[55]
Syafaat bukanlah bermakna meminta kepada Nabi Saw
atau para Imam Maksum untuk melindungi atau menolak bala atau
mendatangkan kebahagiaan dan kesuksesan melainkan memohon kepada Allah
Swt melalui perantara orang-orang yang dekat kepada-Nya, seperti para
nabi dan para imam.
Sebagaimana yang ditegaskan dalam Al-Quran, hanya
mereka yang dijanjikan dan diizinkan Allah Swt yang dapat memberikan
syafaat dan menolong orang-orang di hari Kiamat. Syafaat adalah bagi
orang-orang yang tulus niatnya dan lurus imannya dalam kehidupan, yang
tidak membangkang perintah Allah Swt juga tidak menantang wilayah-Nya
dan juga tidak mengabaikan tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban
keagamaannya. Catatan amal kebaikan akan membantu mereka untuk menerima
syafaat dari para nabi, imam dan orang-orang beriman di hari Kiamat.
Imam Ja'far Shadiq As, Imam Keenam Ahlulbait, pada
detik-detik terakhir menjelang syahidnya, memanggil seluruh kerabat dan
sahabatnya. Beliau bersabda, Sesungguhnya syafaat kami tidak meliputi
orang-orang yang melalaikan shalat.[56]
Meminta Pertolongan Nabi Saw dan para Imam Maksum
Meminta pertolongan Nabi Saw dan para Imam Maksum
As (juga disebut sebagai istighatsah al-nabi wa al-aimmah) dimaknai
secara majazi bukan literal. Al-Quran mengajarkan orang-orang untuk
beribadah dan mencari pertolongan pada Allah Swt (Iyyaka na'budu wa
iyyaka nasta'in). Bagaimanapun, meminta pertolongan dalam bentuk kiasan
juga dibolehkan sebagaimana yang dicontohkan dalam Al-Quran. Misalnya,
dalam kisah Nabi Musa As:―Maka orang yang dari
golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang
dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu.
(QS. Al-Qashash [28]:15).
Para perawi hadis meriwayatkan sebuah doa dari Nabi
Saw yang bermula, "Allahumma! Aku menghadap kepada-Mu dengan perantara
nabi-Mu nabi yang pengasih…(Allahumma inni atawajjahu ilaika bi
nabiyyika nabiyyurahma). Kemudian disebutkan, "Wahai Muhammad! Aku
menghadap kepada Allah dengan perantaramu (kiranya) engkau menyelesaikan
kesulitan-kesulitanku."[57]
Demikian juga, diriwayatkan bahwa kaki Abdullah bin
Umar bin Khaththab lumpuh dan tidak lagi dapat membawanya. Setelah
diberitahu tentang siapa orang yang paling dekat dengannya, ia berkata,
"Wa Muhammadah! Kakinya sembuh dan bekerja seperti sedia kala.[58]
Al-Quran mengajarkan kepada kita untuk mencari pertolongan melalui shalat dan sabar.[59]
Sabar di sini bermakna puasa dan shalat adalah sarana-sarana yang
membimbing hamba akhirnya sampai kepada Allah. Dengan demikian, meminta
pertolongan kepada Nabi Saw atau Imam Ali As adalah bersifat kiasan
karena hal itu disepakati oleh semua orang bahwa Allah Swt adalah media
pertolongan, sokongan dan bantuan.
Sebagian kaum Muslimin menyebut bahwa meminta
pertolongan kepada Nabi Saw atau para Imam As merupakan perbuatan
syirik. Mereka berdalih bahwa seseorang tidak boleh meminta pertolongan
kepada siapapun. Namun jika seseorang menghadapi sebuah persoalan dalam
hidup, tidakkah logis dan diterima apabila orang ini meminta pertolongan
keapda orang terdekatnya? Jika seseorang yang hampir tenggelam meminta
pertolongan, apakah permintaannya kepada orang lain selain Allah akan
menjadikannya sebagai musyrik?
Dengan alasan yang sama, memohon pertolongan kepada
Nabi Saw atau para Imam Maksum bukanlah tergolong perbuatan syirik.
Dalih bahwa mereka tidak dapat dimintai pertolongan karena mereka telah
mati juga tidak dapat diterima. Pasalnya, Al-Quran menolak anggapan
bahwa orang-orang yang syahid itu adalah orang-orang mati. (QS. Ali
Imran [3]:169; Al-Baqarah [2]:154)
Jika seorang Muslim biasa syahid di jalan Allah
dipandang hidup, lantas bagaimana mungkin Nabi Saw dan Ahlubaitnya, yang
bukan hanya para syuhada namun juga kedudukannya melampaui seluruh
manusia, dapat dipandang mati?
Memohon pertolongan kepada Nabi Saw dan Ahlubaitnya
tidak mengingkari kenyataan bahwa Allah Swt merupakan sumber
pertolongan dan keselamatan di dunia ini. Namun, lantaran orang-orang
ini merupakan orang-orang yang paling dekat kepada Allah Swt, dan karena
mereka memiliki kedudukan spesial di sisi-Nya, memohon pertolongan
kepada mereka bermakna memohon pertolongan kepada Allah melalui
orang-orang yang Dia cintai. []
Bagian 8
Imam Mahdi As
Seluruh kaum Muslimin sepakat bahwa pada akhir
masa, Imam Mahdi As akan muncul kembali untuk menyebarkan keadilan di
muka bumi setelah didominasi oleh kezaliman, kerusakan dan tirani.
Namun, perbedaan di antara mazhab terkait dengan siapa gerangan dia dan
apakah ia sudah lahir atau belum lahir. Para ulama besar menegaskan
bahwa Imam Mahdi akan datang dan merupakan salah seorang anggota dari
Ahlulbait Nabi Saw.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Rasulullah Saw,
"Bagaimana perasaan kalian tatkala Isa Putra Maryam turun di antara
kalian dan pemimpin (imam) dari kalangan kalian?"[60]
Imam Muslim meriwayatkan dari Rasulullah Saw,
"Seorang khalifah akan muncul pada akhir zaman umatku." Tirmidzi dan Abu
Daud dalam mengomentari hadis ini berkata bahwa khalifah yang dimaksud
adalah Imam Mahdi.[61]
Abu Daud meriwayatkan dari Rasulullah Saw, ―Jika
tidak tersisa dari akhir zaman kecuali sehari, maka Allah Swt akan
memperpanjang hari tersebut hingga Dia mengutus seorang dari keturunanku
yang namanya seperti namaku yang akan mengisi dunia dengan keadilan dan
kesetaraan setelah dipenuhi dengan kezaliman dan penindasan."[62]
Ibnu Majah menukil dari Rasulullah Saw, "Kami
adalah Ahlulbait yang dengannya Allah Swt telah memilih akhirat
ketimbang dunia ini." Ahlulbaitku setelahku akan menghadapi
kesulitan-kesulitan, penderitaan-penderitaan dan penyiksaan di muka bumi
hingga orang-orang akan muncul dari Timur, pembawa-pembawa panji-panji
hitam. Mereka akan menuntut hak, namun tuntutan mereka diingkari. Lalu
mereka berperang dan muncul sebagai pemenang. Mereka akan diberikan apa
yang mereka tuntut namun tidak akan menerimanya hingga mereka
menyerahkan hak tersebut kepada seseorang dari Ahlulbaitku yang akan
mengisi bumi dengan keadilan setelah dijejali dengan penindasan."[63]
Ibnu Majah juga menukil dari Rasulullah Saw, "Mahdi adalah dari kami, Ahlulbait. Mahdi berasal dari keturunan Fatimah."[64]
Tirmidzi meriwayatkan dari Rasulullah Saw,
"Seseorang dari Ahlulbait yang namanya seperti namaku sesungguhnya akan
memerintah dunia, dan jika tidak tersisa hari sebelum akhir zaman
kecuali sehari maka Allah Swt akan memperpanjang hari tersebut hingga ia
memerintah."[65]
Menurut Mazhab Syiah, Imam Muhammad bin Hasan
Al-Mahdi As lahir pada tahun 255 Hijriah (869 M) tepatnya pada 15
Sya'ban di kota Samarra, bagian Utara Irak. Ayahnya adalah Imam Hasan
Askari As, yang garis keturunannya dapat ditelusuri hingga Imam Ali bin
Abi Thalib As, dan ibunya bernama Nargis.
Ia adalah imam terakhir umat manusia di muka bumi,
dan dengannya garis khilafah Rasulullah Saw akan berakhir. Karena
keharusan hadirnya seorang khalifah dari sisi Allah di muka bumi, ia
masih, dengan kehendak Allah, hidup di dunia ini – namun tidak nampak di
hadapan umum. Akan tetapi ia akan hadir kembali pada akhir zaman
peradaban manusia untuk mengembalikan tatanan dan keadilan setelah
dipenuhi dengan kejahatan dan ketidakadilan.
Meski gagasan tentang Imam Mahdi yang masih hidup
setelah hampir sembilan belas abad adalah sesuatu yang pelik untuk
diterima oleh sebagian orang, Al-Quran membeberkan beberapa contoh para
nabi yang hidup bahkan lebih tua dari masa hidup Imam Mahdi. Seperti
Nabi Isa dan Nabi Khidir (lihat surah 18:60-82 kisahnya dengan Nabi Musa
As). Al-Quran juga menyebutkan dua contoh lain tentang orang yang mati
kemudian dibangkitkan oleh Allah Swt. Contoh pertama adalah Ashabul Kahf
(lihat ayat 18:25). Contoh kedua adalah kisah Uzair: "Ataukah (kamu
tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya)
telah roboh menutupi atapnya? Ia berkata, “Bagaimana mungkin Allah akan
menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?” Maka Allah mematikan
orang itu selama seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah
bertanya, “Berapa lama kamu tinggal di sini?” Ia menjawab, “Saya telah
tinggal di sini sehari atau setengah hari.” Allah berfirman, “Sebenarnya
kamu telah tinggal di sini selama seratus tahun lamanya. Lihatlah
makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah (dengan berlalunya masa
itu). Dan lihatlah keledaimu (yang telah hancur menjadi
tulang-belulang). Kami akan menjadikanmu sebagai tanda kekuasaan Kami
bagi manusia. Dan lihatlah kepada tulang-belulang keledai itu bagimana
Kami menyusunnya kembali, lalu Kami membalutnya dengan daging.” Maka,
tatkala telah nyata baginya (bagaimana Allah menghidupkan segala yang
telah mati), ia pun berkata,“Saya yakin bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”
(QS. Al-Baqarah [2]:259)
Terlebih, jika Allah mengizinkan Nabi Ibrahim, Nabi
Musa dan Nabi Isa untuk mempertontonkan beberapa mukjizat, kemudian
mengizinkan Imam Mahdi As untuk hidup untuk waktu yang lama, maka hal
itu tidak susah bagi-Nya, karena Dia mampu melakukan segala hal.[]
Bagian 9
Taqiyyah
Taqiyyah atau praktik menyembunyikan keyakinan
tatkala berada di bawah ancaman atau siksaan, disebutkan dalam Al-Quran
pada tiga tempat:
“Janganlah orang-orang mukmin
mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari
pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu
yang ditakuti dari mereka.”
(QS. Ali Imran [3]:28)
“Barangsiapa yang kafir kepada
Allah sesudah dia beriman, (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali
orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia
tidak berdosa).”
(QS. Al-Nahl [16]:106)
“Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fira„un yang menyembunyikan imannya.”
(QS. Al-Mukmin [40]:28)
Ketiga ayat ini dengan jelas menunjukkan bolehnya
menyembunyikan keyakinan dan pendapat tatkala terancam marabahaya.
Mereka yang hidup di negara-negara yang sama sekali tidak toleran dengan
pengikut Ahlulbait; demokrasi tidak diterapkan dan tirani, penindasan
dan pelecehan hak asasi manusia merajalela; dan orang-orang cenderung
disiksa, dianiaya dan dibunuh karena keyakinan mereka, maka kewajiban
mereka adalah mempraktikkan taqiyyah sebagaimana yang didawuhkan
Al-Quran untuk menyelamatkan jiwa, harta, keluarga dan sahabat mereka.
Taqiyyah hanya boleh dipraktikan tatkala ada rasa takut yang mencekam
dari marabahaya. Jika tidak ada rasa takut dan kerugian, seperti bagi
kaum Muslimin yang hidup di Amerika dan Eropa, maka taqiyyah tidak boleh
dijalankan.
Surah al-Nahl ayat 106 di atas secara khusus
menggambarkan masalah ini. Ayat ini diturunkan untuk membolehkan
sebagian sahabat Nabi Saw di Mekkah untuk mengekspresikan kekufuran
mereka dengan lisannya dan menyembunyikan iman mereka dalam hati tatkala
disiksa dan didera oleh Abu Sufyan. Bahkan, sahabat Rasulullah Saw
sekaliber Ammar bin Yasir, menyatakan kekufuran tatkala orang-orang
kafir menyiksanya di Mekkah. Orang-orang datang kepada Rasulullah Saw
dan mengeluhkan bahwa Ammar telah menjadi seorang kafir. Rasulullah Saw
menjawab, "Tidak. Sesungguhnya sekujur tubuh Ammar dipenuhi oleh iman."
Kemudian beliau bersabda kepada Ammar bahwa jika orang-orang musyrik itu
menyiksanya lagi, maka ia harus mengingkari keyakinannya di hadapan
umum. Kisah ini juga disebutkan pada kitab-kitab tafsir terkait dengan
ayat yang bersangkutan.
Orang yang pertama mempraktikan taqiyyah dalam
Islam adalah Nabi Saw sendiri tatkala beliau menjalankan misinya secara
sembunyi-sembunyi pada masa awal-awal kedatangan Islam. Selama tiga
tahun,[66]
misinya sangat rahasia, dan untuk melindungi pesan dan gagasan-gagasan
yang beliau bawa, Nabi saw tidak mengungkapkannya kepada kaum Quraisy
hingga Allah memerintahkannya untuk berdakwah secara terbuka: ―Maka
sampaikanlah secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan
(kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS. Al-Hijr
[15]:94)
Kemudian Nabi Saw mulai menyeru masyarakat kepada
Islam dan berdakwah secara terbuka setelah periode taqiyyah. Terlebih,
sejarah menunjukkan bahwa banyak emimpin mazhab melakukan taqiyyah pada
pelbagai kesempatan, seperti Imam Abu Hanifah, tatkala ia memberikan
fatwa untuk meninggalkan shalat dan berbuka puasa di bulan Ramadhan bagi
seseorang yang dipaksa. Demikian juga, Imam Malik dipaksa untuk
menjalankan diplomasi tingkat tinggi dengan Dinasti Umayah dan
Abbasiyah, ia menggunakan ayat 28 surah Ali Imran sebagai pembenaran.
Imam Syafi‘i juga mempraktikkan taqiyyah dalam
fatwanya terkait dengan seorang yang bersumpah palsu atas nama Allah
karena dipaksa bahwa ia tidak perlu menyerahkan kafarat.[67]
Imam Ghazali meriwayatkan bahwa wajib melindungi
darah kaum Muslimin dan berdusta adalah wajib untuk melindungi tumpahnya
darah seorang Muslim.[68]
Sebagian orang menyebutkan bahwa orang yang
menjalankan taqiyyah adalah orang munafik. Namun, definisi munafik
adalah menunjukkan iman selagi menyembunyikan kekufuran, sementara
taqiyyah menunjukkan persetujuan padahal dalam hatinya ketidaksetujuan
untuk melindungi diri, keluarga, harta dan agama.[]
Bagian 10
Melihat Allah (Ru'yat Allah)
Mazhab Syiah secara mutlak mengingkari bahwa Allah
dapat dilihat. Alasannya adalah Tuhan tidak memiliki bentuk atau raga.
Namun, mazhab dalam Islam lainnya menerima beberapa hadis yang tidak
hanya mengklaim bahwa Allah Swt memiliki bagian-bagian fisik namun juga
Dia dapat dilihat pada hari Kiamat persis sebagaimana objek atau benda
yang terlihat di hadapan mata. Mereka juga mengklaim bahwa Allah
mendiami ruang dan berjalan dari satu tempat ke tempat lainnya. Dasar
argumentasi ini adalah hadis dan tidak bertitik-tolak dari Al-Quran.
Sebagian dari riwayat tersebut adalah sebagai berikut:
"Tuhan kami, sebelum menciptakan ciptaan-Nya, tidak
ada sesuatu apa pun bersama-Nya; di bawahnya adalah udara; di atasnya
adalah udara kemudian Dia mencipta arasy-Nya di atas air."[69]
Pada hari Kiamat, akan dikatakan kepada Neraka,
"Apakah engkau telah penuh?‖ Ia berkata, "Apakah masih ada lagi?
Kemudian Allah Swt meletakkan kaki-Nya di dalamnya, kemudian neraka
berkata, "Sekarang aku telah penuh."[70]
"Kami duduk bersama Nabi Saw tatkala beliau
menyaksikan dan mengamati bulan purnama, ‘Kalian akan melihat Tuhan
kalian sebagaimana kalian menyaksikan bulan ini, dan engkau tidak akan
terluka dengan melihat-Nya."[71]
Riwayat terakhir, khususnya, menegaskan bahwa
manusia akan melihat Allah dengan mata fisik mereka, terlepas bahwa
manusia tersebut adalah orang baik atau orang munafik. Melihat Allah
bermakna bahwa Allah harus memiliki badan fisik dan mesti mendiami
ruangan fisikal; Imam Malik bin Anas dan Imam Syafii menerima pendapat
ini, sedangakn Imam Ahmad bin Hambal memandang bahwa keyakinan ini
merupakan dasar-dasar agama.
Dalam pandangan Mazhab Ahlulbait melihat Allah Swt
adalah suatu hal yang mustahil. Hal ini didukung oleh Al-Quran dan
logika. Al-Quran menyatakan dengan jelas,―Dia tidak dapat digapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat menggapai (melihat) segala penglihatan itu.”
(QS. Al-An'am [6]:103)
Lebih-lebih, terdapat banyak contoh orang-orang
yang meminta untuk melihat Allah Swt dan jawaban Allah Swt atas
permintaan mereka: ―Dan (ingatlah) ketika kamu berkata,“Hai
Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah
dengan terang.” Lalu karena itu halilintar menyambarmu sedang kamu
menyaksikannya.”
(QS. Al-Baqarah [2]:55)
“Ahli kitab meminta kepadamu
(Muhammad) agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah kitab dari langit.
Sesungguhnya mereka pernah meminta kepada Musa yang lebih besar dari
itu. Mereka berkata, “Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata.”
Maka mereka disambar petir karena kezalimannya.”
(QS. Al-Nisa [4]:53)
“Dan orang-orang yang tidak
mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata, “Mengapa tidak diturunkan
kepada kita malaikat atau (mengapa) kita (tidak) melihat Tuhan kita?”
Sesungguhnya mereka memandang besar tentang diri mereka dan mereka
benar-benar telah melampaui batas (dalam melakukan) kezaliman.”
(QS. Al-Furqan [25]:21)
“Dan tatkala Musa datang ke
tempat perjanjian yang telah Kami tentukan dan Tuhan berfirman
(langsung) kepadanya, Musa berkata, “Ya Tuhan-ku, nampakkanlah (diri-Mu)
kepadaku agar aku dapat melihat-Mu.” Tuhan berfirman, “Kamu sekali-kali
tidak sanggup melihat-Ku. Tapi lihatlah bukit itu. Jika bukit itu tetap
berada di tempatnya (sebagai sediakala), niscaya kamu dapat
melihat-Ku.” Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, Dia
menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah
Musa sadar kembali, ia berkata, “Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada-Mu
dan aku adalah orang yang pertama-tama beriman.”
(Qs. Al-A'raf [7]:143)
Jika melihat Allah Swt adalah mustahil bagi para
nabi dan rasul Allah, lalu bagaimana hal itu mungkin bagi orang lain,
baik di dunia maupun di akhirat.
Secara logis, untuk melihat sebuah objek, maka
objek tersebut harus memiliki beberapa sifat tertentu. Pertama, objek
tersebut memiliki sebuah arah yang jelas, seperti berada di depan atau
sebelah kiri atau kanan orang yang menyaksikannya. Kedua, harus ada
jarak antara orang yang melihat dan objek yang dilihat. Melihat objek
akan menjadi mustahil apabila jaraknya sangat jauh atau sangat dekat.
Allah Swt bukan bendak fisik yang dapat kita tunjuk jari dan dapat
dilihat, juga tidak mendiami ruang. Meski Al-Quran menyatakan:―Dan Dia-lah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya.
(QS. Al-An'am [6]:61)dan, Mereka takut kepada Tuhan mereka yang berkuasa atas mereka.”
(QS. Al-Nahl [16]:50) Redaksi "atas mereka" berkaitan dengan kekuasaan,
kodrat dan ketinggian Tuhan di atas hamba-hamba-Nya. Bukan bermakna
suatu tempat, ruang, area, tinggi atau lokasi fisik. Sifat-sifat ini
tidak dapat diterapkan pada Tuhan.
Pada waktu mikraj ke langit, Nabi Saw dipanggil
oleh Tuhannya dengan redaksi kalimat ini: "Engkau adalah sebagaimana
Engkau memuji dirimu sendiri." Sementara Nabi Yunus dipanggil Tuhannya
dari kedalaman laut dengan ungkapan:―tiada Tuhan
selain Engkau, Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi
(dari tengah-tengah kaumnya) dalam keadaan marah, lalu ia menyangka
bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya). Maka (setelah
berada di dalam perut ikan hiu) ia menyeru di dalam kegelapan yang
gulita, “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau,
sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.
(QS. Al-Anbiya [21]:87)
Terkait dengan Nabi Yunus As, Rasulullah Saw
bersabda, "Jangan meninggikan aku atasnya terkait dengan kedekatan
kepada Allah Swt hanya karena aku telah mencapai arasy, sementara ia di
bawah ke dalam laut, karena (Tuhan) yang dipuji adalah di atas untuk
dibatasi pada ruang atau sebuah arah."
Imam Ali As ditanya oleh salah seorang sahabatnya,
Tsa'lab Yamani, apakah ia telah melihat Tuhannya. Imam Ali As menjawab,
"Bagaimana mungkin aku menyembah sesuatu yang aku tidak lihat?" Ketika
beliau ditanya bagaimana ia melihat-Nya, Imam Ali As menjawab, "Mata
tidak mampu menggapai-Nya dengan pandangan fisik, namun hati dapat
menggapai-Nya dengan hakikat-hakikat iman."[72]
Terdapat banyak hal yang tidak dapat digapai oleh
manusia dan manusia tidak memiliki akses fisikal namun demikian manusia
tetap meyakininya. Imam Ja'far Shadiq As suatu waktu ditanya, "Dapatkah
Allah Swt dilihat pada hari Kiamat?" Jawabannya adalah: "Allah Swt
sangat suci dan tinggi dari hal itu! Mata dapat menggapai sebuah benda
yang berwarna dan berbentuk, namun Allah Swt adalah Pencipta warna dan
bentuk."
Demikian juga, sisi-sisi Allah, seperti "tangan"
atau "wajah"-Nya adalah bermakna kiasan. Tangan Allah bertaut dengan
kekuasaan dan kodrat, dan wajah-Nya berkaitan dengan hal-hal yang lain.
Langkah pertama dalam masalah tauhid dan keesaan
Allah Swt adalah memahami bahwa Dia Swt bukan badan dan tidak akan
pernah dilihat dan bahwa Dia adalah Esa sebagaimana disebutkan dalam
Al-Quran,―Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.”
(QS. Al-Syura [42]:11)[]
Bagian 11 Shalawat atas Nabi Saw
Kaum Muslimin diperintahkan al Qur-an pada surah al
Ahzab (33) ayat 56 untuk menyampaikan shalawat kepada Rasulullah Saw.
Nabi Saw telah menunjukkan bagaimana melakukan hal ini dan juga
memerintahkan kepada para pengikutnya untuk tidak menyampaikan shalawat
semata kepadanya saja namun juga shalawat kepada keluarganya. Rasulullah
Saw bersabda: Jangan kirimkan aku shalawat bunting. ―Para sahabat
bertanya: ―Apakah gerangan shalawat bunting itu? Rasulullah Saw
menjawab: ―Ketika kalian berkata, ―Allahumma shalli ala Muhammad dan
kemudian berhenti. Kalian harus berkata; ―Allahumma Shalli ‗ala Nuhammad
wa Ali Muhammad.[73]
―Doa tidak akan diterima kecuali (doa tersebut disertai) dengan shalawat kepada Rasulullah Saw dan keluarganya.[74]
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Laila sebagaimana dinukil oleh Imam Bukhari:
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Laila
sebagaimana dinukil oleh Imam Bukhari: ―Rasulullah Saw datang kepada
kami, dan kami berkata kepadanya: ―Kami telah belajar bagaimana
menyerumu, bagaimana kami berdoa untukmu? Rasulullah Saw bersabda:
―Katakanlah! Alllahumma Shalli „ala Muhammad wa Ali Muhammad kama
Shallaita „ala Ibrahim wa Ali Ibrahim. ―Sesungguhnya Engkau satu-satunya
yang layak dipuji. Sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga
Muhammad sebagaimana engkau sampaikan kepada keluarga Ibrahim.
Sesungguhnya engkau yang patut di puji. Ya Karim.[75]
Tatkala mengajarkan sahabatnya shalawat ini,
Rasulullah Saw secara khusus memasukkan keluarganya (Ali Muhammad).
Karena itu, kaum Muslimin harus mengikuti ajaran Rasulullah Saw dan
mengirimkan salam dan shalawat kepada mereka yang diperintahkan oleh
Nabi Saw.[]
Bagian 12
Tentang Praktik Ibadah
Mengusap Kedua Kaki Saat Wudhu
Para pengikut Ahlulbait As mengikuti apa yang
diajarkan Al-Quran kepada mereka selama wudhu dengan mengusap kaki
alih-alih membasuhnya. Hal ini sesuai dengan perintah Al-Quran,Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepala dan
kakimu sampai dengan kedua mata kaki.
(QS. Al-Maidah [5]:6)
Mereka yang membasuh kakinya pada waktu wudhu
berdalih bahwa ―kakimu‖ dalam Al-Qur‘an berkait („athf) dengan membasuh
wajah sementara para pengikut Ahlulbait beralasan bahwa ―kakimu‖ bertaut
(„athf) dengan mengusap kepala ―usaplah kepala‖ sehingga dengan
demikian kedua kaki harus diusap bukan dibasuh.
Untuk menyokong pandangan ini, Ibnu Abbas
meriwayatkan dari Rasulullah Saw bahwa mereka membasuh kedua kaki mereka
pada masa Rasulullah Saw.[76]
Tentu saja, kaum Muslimin pada masa Rasulullah Saw
seluruhnya berwudhu dengan cara yang sama. Tidak ada perselisihan di
antara mereka karena Rasulullah Saw hadir di tengah mereka dan seluruh
kaum Muslimin menyerahkan perselisihan mereka kepada beliau sesuai
dengan titah al-Qur‘an, Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul.‖ (QS.
Al-Nisa [4]:59)
Situasi yang sama terjadi pada masa Khalifah
Pertama, Abu Bakar (11-13 H); tidak terdapat perselisihan terkait
pelaksanaan wudhu yang telah diriwayatkan pada masa itu. Demikian juga
pada masa khalifah kedua, Umar bin Khaththab (13-23 H) kecuali
kenyataannya ia membolehkan orang mengusap kasut alih-alih mengusap kaki
sebagaimana yang dititahkan Al-Quran (5:6)
Bagaimanapun, perselisihan terkait dengan tata-cara
wudu dimulai pada awal masa pemerintahan khalifah ketiga, Utsman bin
Affan (23-35 H) tatkala ia memulai membasuh kakinya dan tidak
mengusapnya.[77]
Muttaqi Hindi dalam kitabnya, Kanz al-„Ummal[78]
menyebutkan bahwa Khalifah Ketiga, Utsman bin Affan, adalah orang
pertama yang berbeda dalam mengerjakan wudhu pada masa kekhalifahannya.
Dalam Shahih Muslim[79]
dan Kanz Al-„Ummal,[80]
Utsman bin Affan berkata bahwa selama masa kekhalifahaannya, beberapa
sahabat Rasulullah Saw yang mengerjakan wudhu dengan cara yang
berbeda-beda dari dirinya dan menyandarkan perbuatan itu kepada
Rasulullah Saw. Lebih dari dua puluh riwayat yang dinukil dari Khalifah
Ketiga tentang cara baru dalam melaksanakan wudhu.
Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa ia mengadakan
sebuah metode baru dalam berwudhu. Beberapa sejarawan terkemuka, seperti
Ibnu Abil Hadid Muktazili[81]
memandang tren seperti ini sebagai tiada yang aneh dalam sunnah Khalifah
Ketiga lantaran khalifah ketiga terkenal dengan banyaknya hal yang baru
yang ia perkenalkan.
Terdapat hampir mencapai konsensus (ijma) di
kalangan sejarawan Muslim bahwa Khalifah Ketiga Utsman dibunuh oleh kaum
revolusioner Muslim pada tahun 35 H lantaran masalah politik dan
keuangan.
Bagaimanapun, sejarawan Muslim lainnya menafsirkan
segala yang diperkenalkan oleh Khalifah Ketiga terkait dengan sebagian
aturan agama selama tiga tahun terakhir masa kekhalifaannya sebagai
berbeda dari sunnah Khalifah Pertama dan Khalifah Kedua.
Mayoritas kaum Muslimin pada masa pemerintahannya
melihat Khalifah Ketiga ini sebagai pengikut Khalifah Pertama dan
Khalifah Kedua serta pelaksana atas sunnah-sunnahnya. Lantaran Khalifah
Ketiga menyaksikan banyak hal yang baru pada masa pemerintahan Khalifah
Kedua, dan karena ia melihat dirinya sendiri secara keagamaan dan
keilmuan tidak kurang dari para pendahulunya,[82]
ia pun memutuskan untuk meninggalkan kebijakan sebelumnya dan memilih
memiliki pendapat mandiri terkait dengan masalah politik, keuangan,
masalah-masalah fikih seperti membasuh kaki pada saat wudhu.
Meskipun beberapa orang hari ini memandang membasuh
kaki mengarah kepada lebih bersih dan higienisnya kaki ketimbang
sekedar mengusapnya, Allah Swt, yang mensyariatkan seluruh perbuatan
ibadah, termasuk wudhu, lebih tahu maslahat dan mafsadah membasuh atau
mengusap kaki. Diriwayatkan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib bersabda,
―Apabila agama mengikut pendapat manusia, alas kaki lebih baik diusap
ketimbang di atasnya. Namun saya melihat Rasulullah Saw mengusap bagian
atas kakinya.[83]
Menjamak Shalat
Seluruh kaum Muslimin sepakat bahwa ada lima
kewajiban shalat sepanjang siang dan malam. Mereka juga setuju bahwa
kelima shalat wajib ini memiliki waktu khusus yang harus dikerjakan dan
bahwa menggabungkan shalat-shalat dapat dikerjakan sewaktu-waktu
(misalnya shalat zuhur dapat dikerjakan secara bersamaan disusul shalat
asar, atau segera setelah shalat magrib, shalat isya dapat dikerjakan).
Mazhab Maliki, Syafi‘i, dan Hambali sepakat bahwa menggabung shalat
ketika dalam perjalanan (safar) dibolehkan, namun mereka tidak
membolehkan menggabung shalat untuk alasan lain. Mazhab Hanafi
membolehkan menggabung shalat hanya pada hari Arafah, sementara Syiah
Imamiyah membolehkan menggabung shalat dalam setiap kesempatan, berdiam
di suatu tempat (mukim) atau dalam perjalanan (safar), tanpa ada alasan
tertentu, pada masa damai atau perang, cuaca hujan atau tidak, dan
seterusnya. Perbedaan sebenarnya pada kapan akhir dan awal dari
waktu-waktu shalat ini dan sudah seharusnya perbedaan ini harus
diselesaikan dengan merujuk kepada Al-Quran dan hadis-hadis Rasulullah
Saw.
Tiga ayat-ayat Al-Quran berbicara tentang waktu-waktu shalat. Allah Swt berfirman,Dirikanlah
shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam
(pertengahan malam) dan (dirikanlah pula) shalat subuh. Sesungguhnya
shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat malam dan siang).”
(QS. Al-Isra [17]:78). “Sesudah matahari tergelincir” terkait dengan
waktu bersama untuk shalat zuhur dan shalat ashar, “gelap malam”
berhubungan dengan shalat magrib dan shalat isya. Adapun waktu subuh
(fajr) terkait dengan shalat subuh.
Al-Quran dengan jelas dan lugas menyebutkan bahwa
terdapat tiga waktu utama untuk shalat lima waktu. Meski jumlah shalat
ada lima, kelima waktu shalat ini dibagi menjadi tiga waktu shalat.
Ulama kawakan Sunni, Fakhruddin Razi memahami penafsiran ini juga dari ayat ini[84]
Tentu saja, shalat-shalat harus dikerjakan dengan tertib, yakni shalat
zuhur harus dikerjakan terlebih dahulu sebelum shalat asar, shalat
magrib dilaksanakan sebelum shalat isya.
Al-Quran juga menyatakan,Dan
dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada
bagian permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu
menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan
bagi orang-orang yang ingat.
(QS. Hud [11]:114) Fukaha dan mufasir Al-Quran sepakat bahwa ayat ini
terkait dengan lima shalat wajib dan sebagaimana yang dinyatakan
Al-Quran, menentukan waktu shalat – yaitu, tiga waktu utama, dua di
antaranya adalah pada ―tepi siang dan tiga lainnya adalah pada ―pada
bagian permulaan malam.
Yang pertama, ―tepi siang adalah waktu
shalat-shalat pagi; kedua ―tepi siang bermula dari siang dan berakhir
pada tenggelamnya matahari, waktunya adalah waktu untuk shalat zuhur dan
shalat asar; dan ―pada bagian permulaan malam adalah waktu utama ketiga
yang terkait dengan shalat magrib dan isya yang waktunya terentang
semenjak permulaan malam hingga tengah malam.
Pembagian yang sama juga dinyatakan dalam ayat ketiga,Maka
bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan dan bertasbihlah
sambil memuji Tuhanmu sebelum matahari terbit dan sebelum terbenam. Dan
bertasbihlah kamu kepada-Nya pada malam hari dan setiap selesai shalat.
(QS. Qaaf [50]:39-40)
Sebagaimana pada ayat sebelumnya, para fakih dan
mufasir Al-Quran setuju bahwa ayat ini berkenaan dengan waktu lima
shalat wajib dan membagi waktu shalat menjadi tiga, pertama, ―semenjak
subuh hingga terbitnya matahari yang merupakan waktu shalat subuh;
kedua, ―semenjak siang hingga terbenamnya matahari yang merupakan waktu
shalat-shalat siang dan sore; dan ketiga, ―pada malam hari yang
terentang semenjak terbenamnya matahari hingga tengah malam yang
merupakan shalat magrib dan shalat isya. ―Dan setiap selesai shalat‖
menurut para mufassir, terkait dengan shalat-shalat nawâfil (yang
dianjurkan) atau shalat-shalat lainnya, lebih khusus, shalat tahajjud
yang merupakan shalat sunnah yang sangat dianjurkan.
Imam Bukhâri dan yang lainnya meriwayatkan bahwa
Rasulullah Saw biasa menggabungkan shalat menjadi tiga waktu:
―Rasulullah Saw menunaikan shalat Zuhur dan Asar bersamaan dan shalat
magrib dan isya bersamaan tidak dalam keadaan takut (khauf) atau dalam
perjalanan.[85]
Imam Muslim menukil hadis yang sama dan menambahkan
bahwa ketika Rasulullah Saw ditanya oleh Ibnu Abbas mengapa beliau
menggabungkan dua shalat. Rasulullah Saw menjawab bahwa ia tidak ingin
menimbulkan kesulitan bagi umatnya.[86]
Pada buku yang sama, Ibnu Abbas sendiri menukil bahwa mereka biasa menggabungkan dua shalat pada masa Rasulullah Saw.[87]
Karena itu, baik Al-Quran atau Hadis Rasulullah Saw
menunjukkan dengan jelas kebolehan menggabungkan shalat tanpa adanya
alasan tertentu dan Allah Swt membuat agama-Nya mudah bagi orang-orang
beriman.
Azan dan Hayya ‘ala Khair al-‘Amal
Seluruh azan diajarkan Allah Swt kepada Rasulullah
Saw pada malam beliau mikraj dan shalat diwajibkan baginya pada malam
yang sama.[88]
Azan yang asli diajarkan kepada Rasulullah Saw mengandung kalimat,
―hayya ala khair al-amal. Namun, pada waktu perluasan kekuasaan Islam,
Khalifah Kedua, Umar bin Khaththab, berpikir bahwa kalimat ini akan
mengendurkan semangat orang untuk berperang (jihad), lalu ia
memerintahkan untuk menghapusnya dari azan.
Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Mas‘ud bahwa
Rasulullah Saw memerintahkan kaum Musimin untuk menyebutkan dalam azan
dan iqamah kalimat ―hayya ala khair al-amal namun ketika Umar naik
tampuk kekuasaan, ia menghilangkan kalimat ini.[89]
Ia juga berkata bahwa Ali bin Abi Thalib dan para
pengikutnya, demikian juga Abdullah bin Umar, tidak menghilangkan
kalimat tersebut dalam azan dan ikamah mereka.[90]
Umar bin Khaththab diriwayatkan berkata, ―Wahai
manusia! Tiga hal yang dulunya ada pada masa Rasulullah yang aku larang
dan mengharamkannya dan akan menghukum (orang yang melakukannya): haji
mut‘ah, mut‘ah perempuan, dan hayya „ala khair al-„amal.[91]
Di samping itu, Malik bin Anas menukil bahwa suatu
waktu muazin datang kepada Umar bin Khaththab untuk mengumandangkan azab
subuh dan mendapatkannya tidur. Lantas muazin tersebut berkata,
―Al-shalatu khairun min al-naum (shalat lebih baik daripada tidur). Umar
menyukai kalimat ini, lalu ia memerintahkan untuk menempatkannya dalam
azan subuh.[92]
Imam Muslim dan Abu Daud sepakat bahwa kelimat ini
bukan bagian dari azan pada masa Rasulullah Saw. Tirmidzi menambahkan
menandaskan bahwa Umarlah yang menambahkan kalimat tersebut.[93]
Sebagian orang bertanya-tanya mengapa Syiah, dalam
azan, setelah mengumandangkan dua kesaksian menambahkan kalimat
kesaksian “Asyahadu anna „Aliyyan waliyullah (Aku bersaksi bahwa Ali
adalah wali Allah). Seluruh fukaha dan ulama Syiah bersepakat (ijma)
bahwa kalimat ini bukan merupakan bagian wajib dalam azan.
Bagaimanapun, disebutkan bahwa hal itu merupakan
sebuah kebiasaan bahwa keyakinan Syiah bermula pada masa Rasulullah Saw
pada hari Ghadir setelah beliau mengangkat Imam Ali As sebagai
khalifahnya. Ketika kaum Muslimin menyampaikan baiat kesetiaan kepada
Imam Ali As, Abu Dzar Al-Ghiffari mengumandangkan azan dan menambah
kalimat ini. Kaum Muslimin datang kepada Rasulullah Saw dan berkata
bahwa mereka telah mendengar sesuatu yang baru. Tatkala Rasulullah Saw
bertanya ihwal apa yang mereka dengarkan, mereka berkata bahwa mereka
telah mendengar kalimat, ―Asyahâdu anna „Aliyyan waliyullah,‖ dalam
azan. Rasulullah Saw bertanya kepada mereka apakah mereka tidak mengakui
kalimat yang sama kepada Imam Ali As tatkala mereka memberikan baiat
kepadanya. Kaum Syiah menambah kalimat ini sebagai sesuatu yang mustahab
(anjuran) bukan bagian wajib azan. Dan jika ada orang yang
mengumandangkannya dalam azan dan menganggapnya sebagai bagian wajib,
maka azannya akan batal.
Menyedekapkan Tangan dalam Shalat (Takfir)
[94]
Rasulullah Saw bersabda, ―Dirikan shalatmu
sebagaimana aku menunaikannya. Menyedekapkan dalam shalat membatalkan
shalat menurut Mazhab Imamiyah karena perbuatan ini dipandang sebagai
kebiasaan orang-orang Majusi.[95]
Dalam Mazhab Hanafi dan Syafi‘i, dianjurkan (mustahab) bersedekap.
Mazhab Syafi‘i mengatakan bahwa cara bersedekap adalah dengan melipat
tangan kanan di atas tangan kiri di atas perut, sementara Mazhab Hanafi
memandang melipat tangan di bawah perut.
Menyudahi Shalat dengan Tiga Takbir
Rasulullah Saw menyudahi shalatnya dengan tiga
takbir. Imam Muslim meriwayatkan fakta ini dengan riwayat dari Ibnu
Abbas yang berkata, ―Kami tahu Rasulullah Saw menyelesaikan shalatnya
ketika beliau membaca tiga takbir.[96]
Shalat di Atas Tanah (Turbah)
Sujud di atas tanah (turbah) sama sekali tidak
bermakna menyembah batu atau tanah yang dijadikan sebagai tempat sujud.
Pada praktiknya, sujud di atas tanah memiliki landasan kuat dalam
riwayat Rasulullah Saw yang diajarkan Al-Quran yang harus diikuti oleh
kaum Muslimin dalam seluruh aspek. Imam Bukhâri meriwayatkan bahwa
Rasulullah Saw bersabda, ―Aku telah diberi lima hal yang belum pernah
dianugerahkan kepada siapa pun (nabi lain) sebelumku. Setiap nabi diutus
secara khusus untuk umatnya sendiri, sementara aku diutus untuk seluruh
manusia, (berkulit) merah atau hitam; pampasan perang telah dihalalkan
buatku, dan hal ini belum pernah dihalalkan bagi siapa pun sebelumku;
bumi dijadikan suci dan tempat bersujud untukku, jadi kapan saja tiba
waktu shalat bagi siapa pun di antara kalian, maka ia harus shalat
dimana ia berada; aku disokong oleh keterpesonaan (yang menguasai musuh)
dari kejauhan (yang memerlukan waktu sebulan); aku dianugerahi (untuk
memberi) syafaat.[97]
Hadis ini dengan jelas menunjukkan bahwa bumi
(tanah dan batu) merupakan tempat untuk sujud. Sejarah Islam dan hadis
Rasulullah Saw menunjukkan bahwa masjidnya di Madinah hanya dihiasi
dengan tanah meski terdapat ragam jenis karpet dan dekorasi pada waktu
itu. Karena masjid ini tidak memiliki karpet atau apapun jenis penutup
lantai, sehingga ketika hujan turun, lantai masjid berubah menjadi
lumpur. Namun demikian, kaum Muslimin sujud di atas lumpur dan tidak
meletakkan karpet atau permadani di atasnya. Abu Said Khudri, salah
seorang sahabat Rasulullah Saw, meriwayatkan, ―Saya melihat dengan dua
mataku sendiri Rasulullah Saw dan hidungnya dialiri hujan dan lumpur."
Imam Bukhâri meriwayatkan bahwa ketika melaksanakan shalat di dalam
kamarnya, Rasulullah Saw shalat di atas ―khumra (potongan keras atau
potongan jerami): Rasulullah Saw mengerjakan shalat dan saya (salah
seorang istri Rasulullah Saw) duduk di hadapannya dalam keadaan haid.
Terkadang pakaiannya menyentuhkan tatkala beliau sujud dan ia biasa
sujud di atas khumrah.[98]
Istri Rasulullah Saw lainnya meriwayatkan, ―Saya
tidak pernah melihat Rasululah Saw (selagi sujud) menghalangi wajahnya
dari menyentuh bumi.[99]
Terlebih, Wail, salah seorang sahabat Rasulullah Saw, menukil, ―Saya
melihat Rasulullah Saw, ketika beliau sujud, menyentuhkan kening dan
hidungnya di atas bumi (tanah).[100]
Riwayat yang lain menyatakan bahwa Rasulullah Saw melarang kaum Muslimin
untuk bersujud pada bahan-bahan lainnya selain tanah. Suatu hari,
Rasulullah Saw melihat seseorang sujud di atas kain surbannya.
Rasulullah Saw menunjuk orang tersebut dan berkata kepadanya untuk
menyingkirkan surbannya serta menyentuhkan keningnya ke tanah.[101]
Meski panas tanah yang menyengat, namun Rasulullah Saw dan para
sahabatnya sujud di atasnya. Seorang sahabat besar Rasulullah Saw, Jabir
bin Abdullah Anshari, berkata, "Saya shalat zuhur bersama Rasulullah
Saw dan saya mengambil seikat kerikil di tanganku untuk mendinginkannya
lantaran panasnya yang menyengat sehingga saya bisa sujud di atasnya.[102]
Sahabat yang lain Rasulullah Saw, Anas bin Malik meriwayatkan, ―Kami
sujud bersama Rasulullah Saw pada waktu panas menyengat. Salah seorang
dari kami mengambil kerikil (kemudian) menaruhnya di tangannya dan
ketika kerikil tersebut dingin, mereka meletakkannya di bawah dan sujud
di atasnya.[103]
Khabbab bin Arath, salah seorang sahabat Rasulullah Saw, berkata, ―Kami
mengeluhkan masalah sengatan panas tanah dan pengaruhnya pada kening dan
tangan (selama sujud) kepada Rasulullah Saw, tetapi beliau tidak
membolehkan kami dari beribadah (baca: sujud) di atas tanah.[104]
Abu Ubaidah, yang juga merupakan seorang sahabat Rasulullah Saw,
meriwayatkan bahwa Ibnu Mas‘ud tidak pernah sujud kecuali di atas tanah.[105]
Sementara Ubadah bin Shamit diriwayatkan menarik surbannya ke belakang untuk membiarkan keningnya menyentuh tanah.[106]
Selama masa Khalifah Pertama, Kedua, Ketiga, dan
Keempat, kaum Muslimin sujud di atas tanah; Abu Umayah meriwayatkan
bahwa Khalifah Pertama, Abu Bakar, sujud dan ibadah di atas tanah
(ardh).[107]
Sujud di atas tanah juga merupakan kebiasaan tabi‘in (mereka yang tidak
melihat nabi namun bertemu dengan para sahabat). Masruq bin Ajda,
seorang tabi‘in terkemuka dan fakih terpercaya dan murid Abdullah bin
Mas‘ud, membuat sebuah lembaran dari tanah Madinah dan sujud di atasnya,
membawanya dalam perjalanan khususnya ketika ia naik bahtera.[108]
Orang-orang yang dekat kepada Rasulullah Saw, Ahlulbait As juga sangat
tegas dalam praktik mereka sujud di atas tanah dan dalam melakukan hal
ini, mereka mengikuti sunnah datuk mereka, Rasulullah Saw.
Imam Ja‘far Shadiq As, Imam Keenam Mazhab Ahlulbait
bersabda, ―Sujud tidak dibolehkan kecuali di atas bumi dan apa pun yang
tumbuh darinya kecuali dari benda-benda yang dimakan atau dari bahan
kapas.[109]
Ketika beliau ditanya apakah (shalatnya) diterima
apabila seseorang bersujud di atas sorbannya ketimbang di atas tanah
seseorang menyentuh tanah. Beliau menjawab bahwa hal ini tidak memadai
kecuali keningnya benar-benar menyentuh tanah.[110]
Sahabat dan muridnya, Hisyam bin Hakam, bertanya
kepadanya apakah tujuh anggota sujud (kening, kedua tangan, kedua lutut
dan ujung jari-jari kaki) harus menyentuh tanah selama sujud, Imam
Shadiq As bersabda bahwa sepanjang kening menyentuh tanah, maka tidak
perlu keenam anggota tubuh lainnya menyentuh bumi juga. Kemudian,
orang-orang dapat menggunakan karpet atau permadani sembayang dengan
syarat keningnya sendiri menyentuh bumi. Namun, sujud dengan meletakkan
kening di atas selembar kain, karpet, nilon, kapas, atau apapun lainnya
yang bukan merupakan produk bumi (kecuali hal-hal yang dimakan dan
dipakai dan segala sesuatu yang tidak dibolehkan sujud di atasnya) tidak
dipandang sebagai sujud di atas bumi.
Di samping masalah keabsahan sujud, sujud di atas
bumi memiliki pelajaran dan petunjuk berharga bagi orang-orang beriman.
Sujud itu sendiri adalah semacam perlambang kehinaan dan kerendahan di
hadapan Allah Swt, dan jika dilakukan di atas tanah, akan lebih
menyisakan pengaruh ketimbang sujud di atas karpet.
Rasulullah Saw bersabda, ―Biarkan wajahmu berdebu dan tutupi hidungmu dengan debu.[111]
Ketika Imam Shadiq As ditanya tentang falsafah di balik sujud di atas
bumi, beliau bersabda, ―Lantaran sujud adalah penyerahan diri dan
penghinaan diri di hadapan Tuhan. Karena itu, sujud tidak boleh
dilakukan di atas benda yang dipakai atau dimakan lantaran manusia
adalah budak-budak dari apa yang mereka makan dan kenakan, dan sujud
adalah ibadah kepada Allah Swt, karena itu seseorang tidak dibenarkan
meletakkan keningnya selama sujud di atas sesuatu yang disembah manusia
(makanan dan pakaian) dan yang membuat orang-orang menjadi sombong.[112]
Akan tetapi, setiap aturan memiliki pengecualian
tersendiri. Riwayat-riwayat tertentu yang membolehkan orang-orang pada
masa darurat seperti di penjara atau pada sebuah tempat (seperti kapal
dan pesawat) yang tidak tersedia bumi atau potongan kayu atau daun atau
kertas yang tersedia untuk dijadikan sebagai tempat sujud – dalam
kasus-kasus seperti ini, orang-orang dapat sujud baik di atas kemejanya
atau di atas karpet, lantaran Rasulullah Saw bersabda, ―Tiada yang
dilarang bagi manusia kecuali Allah Swt membolehkan atasnya bagi siapa
saja yang berada dalam kondisi darurat.
Mengapa Kita Sujud Di Atas Tanah Karbala?
Para pengikut Ahlulbait lebih memilih sujud di atas
tanah Karbala yang mengingatkan mereka akan tragedi besar dari
pengorbanan Imam Husain As.
Mereka tidak menghargai tanah fisik sebanyak
prinsip-prinsip Imam Husain dan revolusi agungnya yang menjaga Islam
dari pelbagai penyimpangan, pengrusakan dan tirani kaum zalim. Banyak
imam dari Mazhab Ahlulbait meriwayatkan bahwa sujud di atas tanah
Karbala menembus tujuh hijab yang memisahkan seseorang yang berdoa dari
Allah Swt.
Kebijaksanaan umum juga menyatakan beberapa tanah
lebih baik dari yang lain. Kenyataan ini bersifat normal, rasional, dan
telah disepakati oleh seluruh bangsa, pemerintah, pemegang otoritas dan
agama-agama. Seperti halnya tempat-tempat dan bangunan yang erat
tautannya dengan Allah Swt. Mereka menikmati status khusus yang status
hukum, hak-hak, kewajibannya dijaga dan didukung.
Misalnnya, Ka‘bah yang memiliki status hukum bagi
dirinya sendiri, demikian juga masjid Nabi di Madinah. Tanah Karbala
juga demikian adanya, lantaran Rasulullah Saw diriwayatkan telah
mengambil tanah dari Karbala, mencium dan mengecupnya. Istri Rasulullah
Saw, Ummu Salamah, juga menaruh sepotong tanah Karbala dalam pakaiannya.
Rasulullah Saw dinukil telah bersabda kepada Ummu Salamah, ―Jibril
telah datang kepadaku dan mengabariku bahwa sebagian orang dari umatku
akan membunuh putraku, Husain, di Irak dan ia mengantarkan sepotong
tanah tersebut. Rasulullah Saw memberikan sepotong tanah tersebut kepada
istrinya dan bersabda, ―Tatkala tanah ini berubah menjadi darah segar,
maka ketahuilah bahwa putraku Husain telah terbunuh.[113]
Ummu Salamah mengambil tanah tersebut dan menaruhnya dalam sebuah botol.
Tatkala Imam Husain bertolak ke Irak pada tahun 61 H, Umum Salamah
mengecek potongan tanah tersebut setiap hari. Suatu hari, ia datang
melihat botol tersebut dan menyaksikan bahwa tanah tersebut telah
berubah menjadi darah segar kemudian ia mulai menjerit. Kaum wanita Bani
Hasyim berkumpul di sekelilingnya dan bertanya gerangan apa yang
terjadi. Ummu Salamah memberitahukan kepada mereka bahwa Husain telah
terbunuh. Tatkala mereka bertanya bagaimana ia tahu, Ummu Salamah
meriwayatkan kisahnya, kemudian mereka bergabung dengannya dalam ratapan
dan tangisan untuk Imam Husain As.
Seorang pria dari Bani Asad yang mencium tanah
tempat Imam Husain dikebumikan menangis. Hisyam bin Muhammad berkata,
―Tatkala air telah dialirkan untuk melenyapkan dan membanjiri kuburan
Imam Husain, tanah tersebut kering setelah empat puluh hari dan kuburan
lenyap tanpa jejak. Seorang badui dari Bani Asad datang dan mencicipi
tanah tersebut, mengambilnya segenggam demi segenggam, menciumnya setiap
saat, hingga ia mampu mengidentifikasi kuburan Imam Husain, kemudian ia
menangis di atasnya dan berkata, Semoga ayah-ibuku menjadi tebusanmu!
Alangkah semerbaknya Anda semasa hidup, dan alangkah semerbaknya tanahmu
ketika engkau mati! Kemudian menangis lagi dan menggubah syair di bawah
ini:
Karena kebencian mereka ingin melenyapkan kuburannya
Namun semerbak tanah yang menuntun kepada kuburannya.[114]
Orang pertama yang sujud di atas tanah Karbala
ketika Imam Husain dipenggal dan dikebumikan adalah putranya, Ali bin
Husain Zainal Abidin As, Imam Keempat Mazhab Ahlulbait dan cicit
Rasulullah Saw.
Segera setelah beliau memakamkan ayahandanya di
Karbala, ia mengambil segenggam tanah dan membuatnya menjadi keras dan
selalu sujud di atasnya (ketika shalat dan berdoa). Setelahnya, putranya
Imam Muhammad Baqir As dan putranya, Imam Ja‘far Shadiq As melakukan
hal yang sama. Imam Zainal Abidin dan Imam Shadiq As membuat tasbih dari
tanah kuburan Imam Husain As dan Imam Shadiq meriwayatkan bahwa putri
Rasulullah Saw, Fatimah Zahra As biasa membawa tasbih yang terbuat dari
pilinan kayu yang beliau gunakan untuk memuji dan memuja Allah Swt.
Namun setelah Hamzah bin Abdul Muththalib terbunuh (syahid) di Perang
Uhud, beliau mengambil tanah dari kuburannya dan membuat tasbih dari
tanah tersebut dan menggunakannya untuk memuji dan mengagungkan Allah
Swt. Orang-orang belajar dari kebiasaannya dan melakukan hal yang sama
tatkala Imam Husain syahid, mengambil tanah dari kuburannya dan membuat
tasbih dari tanah tersebut.
Shalat Jenazah
Selama masa Rasulullah Saw, shalat mayit
dilaksanakan dengan lima takbir. Ahmad bin Hambal menukil dari Abdul
-Ala: ―Saya shalat jenazah di belakang Zaid bin Arqam dan saya melakukan
takbir sebanyak lima kali.
Seseorang berdiri di belakangnya dan memegang
tangannya lalu bertanya apakah ia telah lupa. Abdul ‗Ala menjawab:
―Tidak. Saya shalat di belakang Abul Qasim Muhammad Saw dan beliau
melakukan (shalat jenazah) sebanyak lima takbir. Saya tidak akan
melakukan selain dari apa yang dilakukannya.[115]
Suyuti menyebutkan nama-nama sahabat yang mengubah jumlah takbir dalam shalat jenazah dari lima takbir menjadi empat.[116]
Shalat Tarawih
Imam Bukhâri meriwayatkan dari Abdullah bin
Abdulqari: ―Pada suatu malam dari malam-malam Ramadhan, saya pergi ke
masjid bersama Umar bin Khaththab. Kami menyaksikan orang-orang secara
berpencar, dan masing-masing mengerjakan shalat sendiri-sendiri. Yang
lainnya shalat bersama kelompok lainnya di belakang mereka. Umar
menatapku dan berkata, Menurutku, jika aku dapat membawa orang-orang ini
secara bersamaan, di belakang seorang imam, hal itu akan lebih baik.‘
Lalu ia mengumpulkan mereka dan Ubay bin Ka‘ab memimpin shalat mereka.
Lalu aku bersama dengannya lagi pada malam yang lain pergi ke masjid,
dan melihat orang-orang shalat secara berjamaah di belakang seorang
imam. Umar menyaksikan mereka dan berkata, ―Ni‟mah al-bid‟ah hadzihi
(alangkah indahnya bid‘ah ini).[117]
Dalam tradisi Syiah, shalat-shalat yang dianjurkan (nawafil) dikerjakan secara perorangan selama bulan Ramadhan. []
Bagian 13
Para Sahabat Rasulullah Saw
Mayoritas ulama mendefinisikan sahabat Rasulullah
Saw sebagai orang-orang yang hidup semasa beliau, melihat atau mendengar
ucapannya, meski dalam waktu singkat. Islam mengajarkan bahwa tiada
seorang yang harus dipuji atau dicela tanpa ada alasan yang rasional
tanpa memandang asal-usulnya, keyakinan atau warna kulitnya. Lantaran
menurut Al-Quran, orang yang paling dekat kepada Allah Swt adalah
―orang-orang yang bertakwa."
Tiada hubungan darah, persahabatan, pertemanan,
status keuangan atau sosial yang memainkan peran dalam kedekatan
seseorang kepada Allah Swt.
Adapun terkait dengan sahabat, Al-Quran membagi
mereka menjadi dua bagian. Bagian pertama terdiri dari para sahabat yang
benar, setia dan penuh pengorbanan atas harta dan jiwa mereka untuk
membela Islam. Orang-orang yang beriman dan berhijrah, serta berjihad di
jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka adalah lebih tinggi
derajat mereka di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat
kemenangan.Tuhan mereka memberikan berita gembira
kepada mereka dengan memberikan rahmat dari-Nya, keridaan, dan surga,
mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal. Mereka kekal di
dalamnya untuk selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala
yang besar.
(QS. Al-Taubah [9]:20-22)
Banyak ayat lainnya dalam Al-Quran menyebutkan para
sahabat Rasulullah Saw yang budiman, seperti para pejuang Badar
(Badariyun), mereka yang berperang di samping Rasulullah Saw selama
Perang Badar berkecamuk meski jumlah mereka kurang dari sepertiga jumlah
serdadu musuh dan senjata mereka tidak ada bandingannya dengan
senjata-senjata musuh. Mereka berjuang gigih dan mengorbankan diri
mereka. Perjuangan dan pengorbanan ini merupakan sebaik-baik teladan
bagi kaum Muslimin. Demikian juga, terdapat para wanita terhormat di
antara para sahabat yang berpartisipasi dalam politik, sosial dan
ekonomi Islam, seperti Ummu Amarah, yang mempersembahkan empat putranya
kepada Islam selagi menyaksikan kepada putranya yang terluka di medan
pertempuran sehingga Nabi Saw bersabda, "Wahai Ummu Amarah, siapa yang
dapat memikul apa yang engkau pikul?"
Akan tetapi, terdapat kelompok lain yang dijelaskan
secara gamblang oleh Al-Quran, yakni kaum munafik. Banyak ayat Al-Quran
mencela upaya mereka yang berusaha menghancurkan umat Islam. Dua surah
dalam Al-Quran secara khusus berbicara tentang mereka, surah 9,
al-Taubah dan surah 63, al-Munafikun.
Dalam surah al-Munafikun, Al-Quran mengajarkan
bahwa orang-orang tidak boleh dinilai dari penampilan fisiknya atau
bahkan oleh aksi-aksi publik mereka. Namun dari ketulusan dan pengabdian
mereka kepada Allah Swt, Rasulullah Saw dan umat Islam. Apabila kamu
melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika
mereka berkata, kamu mendengarkan ucapan mereka. Mereka adalah
seakan-akan kayu yang tersandar (di tembok).Mereka
mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka.
Mereka itulah musuh (yang sebenarnya). Maka waspadalah terhadap mereka.
Semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimana mereka sampai dipalingkan
(dari kebenaran)?
(QS. Al-Munafikun [63]:4).
Orang-orang ini adalah orang-orang berpaling yang
tidak akan diampuni Allah Swt pada hari Kiamat, sebagaimana ditegaskan
Al-Quran, Sama saja bagi mereka, kamu mintakan ampunan atau tidak kamu
mintakan ampunan bagi mereka, Allah tidak akan mengampuni mereka.Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.
(QS. Al-Munafikun [63]:6)
Kendati mereka menunaikan shalat dan menyerahkan
zakat, amalan-amalan ini bersumber dari kemunafikan mereka dan ingin
berpamer diri dan bukan karena ketulusan semata-mata untuk Allah Swt.
Dan tidak ada yang menghalangi nafkah-nafkah mereka untuk diterima,
melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan rasul-Nya; mereka tidak
mengerjakan shalat, melainkan dengan malas; dan tidak (pula) menafkahkan
(harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan." Bahkan tatkala shalat di
belakang Nabi Saw sendiri, ketika sebuah kafilah niaga masuk ke
Madinah, orang-orang munafik ini akan meninggalkan posisi mereka dalam
barisan shalat untuk mengamati kafilah ketimbang mendengarkan ceramah
Rasulullah Saw, Apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka
bubar untuk menuju kepadanya dan meninggalkan kamu sedang berdiri
(berkhotbah).Katakanlah, “Apa yang ada di sisi
Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan itu, dan Allah
sebaik-baik pemberi rezeki.”
(QS. Al-Jumu'ah [62]: 11)
Sesuai dengan dokumen sejarah, beberapa orang kaum munafik ini yang menyusup pada sahabat untuk membunuh Rasulullah Saw,[118]
dan Al-Quran menyatakan bahwa mereka telah merencanakan makar untuk menciptakan perang saudara di Madinah,Sesungguhnya
dari dahulu pun mereka telah mencari-cari fitnah dan menghancurkan
seluruh urusanmu, hingga datanglah kebenaran, dan menanglah urusan
(agama) Allah, padahal mereka tidak menyukainya.
(QS. Al-Taubah [9]:48);Mereka berkata,
“Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang
kuat akan mengusir orang-orang yang lemah darinya.” Padahal kekuatan
itu hanyalah bagi Allah, bagi rasul-Nya, dan bagi orang-orang mukmin,
tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahui.
(QS. Al-Munafikun [63]:8)
Sebagian orang-orang munafik ini membangun sebuah
masjid dan mengundang Rasulullah Saw untuk meresmikannya, bukan untuk
mencari keridhaan Allah Swt namun untuk bersaing dengan kaum Muslmin dan
memecah belah barisan kaum Mukminin. Allah Swt memerintahkan Rasulullah
Saw untuk menampik undangan mereka dan menghancurkan masjid tersebut
yang dibangun atas dasar kemunafikan, Dan (kelompok lain dari
orang-orang munafik itu) adalah orang-orang yang mendirikan masjid untuk
menimbulkan kemudaratan (bagi orang-orang mukmin), untuk (memperkokoh)
kekafiran, untuk memecah belah antara orang-orang mukmin, dan sebagai
tempat perlindungan bagi orang-orang yang telah memerangi Allah dan
rasul-Nya sejak dahulu. Mereka bersumpah, “Kami tidak menghendaki selain
kebaikan (dan berkhidmat).” Tapi Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya
mereka itu adalah pendusta. Janganlah kamu berdiri dalam masjid itu
selama-lamanya (untuk beribadah). Sesungguhnya masjid yang didirikan
atas dasar takwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut
kamu berdiri di dalamnya (untuk beribadah). Di dalamnya ada orang-orang
yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang
bersih. Maka apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya di atas
dasar takwa kepada Allah dan keridaan-(Nya) itu yang lebih baik, ataukah
orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh,
lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengannya ke dalam neraka
Jahanam? Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang
zalim.Bangunan-bangunan yang mereka dirikan itu
senantiasa menjadi pangkal keraguan dalam hati mereka, kecuali bila hati
mereka itu telah hancur. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.
(QS. Al-Taubah [9] :107-110)
Sementara sebagian kaum munafik lain mendekati kaum
Mukmin sejati dan mengklaim bahwa mereka adalah bagian dari umat Islam,
Allah Swt mengabarkan kepada kaum Muslimin untuk tidak mempercayai
mereka, Dan mereka bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa sesungguhnya
mereka termasuk golonganmu; padahal mereka bukanlah dari golonganmu.Tetapi mereka adalah kaum yang sangat penakut.
(QS. Al-Taubah [9]:56); Di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang
menyakiti nabi dan mengatakan, “Nabi mempercayai semua apa yang
didengarnya.” Katakanlah, “Ia mempercayai semua yang baik bagimu, ia
beriman kepada Allah, mempercayai orang-orang mukmin, dan menjadi rahmat
bagi orang-orang yang beriman di antara kamu.” Dan orang-orang yang
menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka azab yang pedih. (QS. Al-Taubah
[9]:61)
Bahkan Rasulullah Saw tidak sadar terhadap beberapa
kaum Munafik di Madinah. Meski beliau tahu Abdullah bin Ubay, pemimpin
kaum munafik, terdapat orang lain di masjid Nabawi, di kota Madinah yang
tidak dikabarkan Allah tentangnya, Di antara orang-orang Arab Badui
yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara
penduduk Madinah ada sekelompok orang yang keterlaluan dalam
kemunafikannya.Kamu (Muhammad) tidak mengetahui
mereka, (tetapi) Kami-lah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami
siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang
besar.
(QS. Al-Taubah [9]:101)
Lantaran tindakan-tindakan pemisahan Islam dan kaum
Muslimin dari sebagian kaum munafik sampai pada tingkatan yang di
dalamnya Allah menjanjikan azab abadi, kaum Muslimin tidak seharusnya
melebarkan keridhaan Allah kepada seluruh orang di sekeliling Nabi Saw
tanpa membedakan antara yang baik dan buruk di antara mereka. Juga tidak
boleh dijadikan kaum Muslimin sebagai rujukan sebagai "bintang" –
kepada siapa pun kita merujuk, kita akan terbimbing," karena Imam
Bukhari meriwayatkan, "Rasulullah Saw bersabda, Aku hadir di Telaga
Kautsar sebelum kalian, Aku akan berkata, "Tuhanku, mereka ini adalah
sahabat-sahabatku, dan akan dikatakan: "Engkau tidak mengetahui bid'ah
apa yang mereka buat setelahmu."[119]
Bukhari juga menukil riwayat yang sama dari hadis
ini, "Rasulullah Saw berkata kepada para sahabat: Saya akan berada di
Telaga Kautsar menanti yang akan datang kepadaku dari kalangan kalian.
Demi Allah, beberapa orang akan dicegah untuk datang kepadaku dan aku
akan berkata, "Tuhanku! Mereka ini adalah para pengikutku dan umatku.
Allah Swt berfirman, "Engkau tidak tahu apa yang mereka lakukan
selepasmu; mereka secara berketerusan berpaling (dari agama mereka).
Disebutkan bahwa Ibnu Abu Mulaikah pernah berdoa, "Allahumma! Aku
berlindung kepada-Mu untuk tidak kembali kepada masa jahiliyah atau
diuji tentang agama kami.[120]
Sebagian kaum Muslimin mengklaim bahwa barangsiapa
yang tidak menghormati orang-orang di sekeliling Nabi Saw (baca: para
sahabat) bukanlah seorang Muslim atau seorang beriman. Tentu saja,
mengkritisi para sahabat setia dan terpilih sama sekali terlarang dan
tidak dapat diterima. Namun bagaimanapun, tidak boleh dilupakan bahwa
dalam kelompok sahabat ada sebagian munafik yang bahkan tidak diketahui
oleh Rasulullah Saw.[121]
Allah Swt adalah Yang pertama mengutuk sebagian orang munafik ini.
Terlebih, di antara Bani Umayah, terdapat khalifah tertentu yang memulai
mengutuk sahabat tertentu yang dikenal pengabdiannya kepada Allah dan
Islam. Jika setiap Muslim yang mencela dan mengecam salah seorang
sahabat dan dipandang sebagai kafir, lantas bagaimana hukum Islam
terkait dengan khalifah ini? Di samping itu, setelah wafatnya Rasulullah
Saw, para sahabat, dari waktu ke waktu, berselisih satu sama lain
sedemikian sehingga tiada seorang bermoral pun yang mau memilih salah
satu dari dua pihak. Beberapa orang sahabat Rasulullah Saw bertanggung
jawab atas pembunuhan Khalifah Ketiga, Usman bin Affan. Haruskah mereka
yang membunuh Khalifah Ketiga ini masih dapat dipandang sebagai sahabat
mulia Rasulullah Saw?
Jika hadis seperti "para sahabatku adalah laksana
bintang-gemintang, siapa pun yang kalian ikut, kalian akan terbimbing,"
yaitu meluaskan keridhaan Allah tanpa pandang bulu kepada seluruh
(sahabat) yang berada di sekeliling Rasulullah Saw, maka hadis seperti
ini tidak dipandang sebagai hadis sahih nabawi dalam mazhab Syiah
lantaran hadis ini tidak sejalan dengan Al-Quran.
Sebagian sahabat melalukan dosa tanpa bermaksud
untuk membangkang perintah Allah dan Allah menjanjikan ampunan bagi
mereka, Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka,
mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang
buruk.Mudah-mudahan Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS. Al-Taubah [9]:102) []
Bagian 14
Istri-istri Rasulullah Saw
Demikian juga, istri-istri Rasulullah Saw adalah
termasuk dari apa yang disampaikan terkait dengan para sahabat
Rasulullah Saw. Semata-mata karena hubungan darah atau ikatan perkawinan
tidak menjadi jaminan untuk mendapatkan tiket melangkah mulus masuk ke
surga. Allah mengajarkan dalam Al-Quran bahwa hanya orang-orang yang
mengerjakan kebaikan akan berjaya dan memasuki surga. Menjadi istri atau
putra atau putri tidak akan secara otomatis mendatangkan kesuksesan
pada hari Kiamat, meski boleh jadi hal itu akan mendatangkan kekerabatan
dan pengetahuan terhadap sunnahnya.
Allah Swt mengajukan sebuah permisalan dalam
Al-Quran terkait dengan istri-istri dua nabi Allah, Nuh As dan Luth As,
Allah menjadikan istri Nuh dan istri Luth sebagai perumpamaan bagi
orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba
yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat
kepada kedua suaminya. Kedua suami mereka itu tidak dapat membantu
mereka sedikit pun dari (siksa) Allah.(Kepada mereka) dikatakan, “Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka).
(QS. Al-Tahrim [66]:10)
Atas beberapa alasan tertentu, Rasulullah Saw
banyak memiliki istri dan para sejarawan mencatat bahwa beberapa dari
mereka tidak baik hubungannya dengan beliau. Imam Bukhari menukil dari
salah seorang istri Rasulullah Saw, Aisyah: Rasulullah Saw meluangkan
waktunya bersama Zainab binti Jasyh (salah seorang istri beliau) dan
meminum madu di rumahnya. Ia (Aisyah) berkata lebih jauh, ―Saya dan
Hafsah (istri lain Rasulullah Saw) bersepakat bahwa orang yang pertama
dikunjungi Rasulullah harus berkata, ‗Saya perhatikan bahwa Anda bau
maghafir (getah mimosa).‘ Rasulullah Saw mengunjungi salah seorang dari
mereka dan menyampaikan hal tersebut kepada beliau. ‗Saya meminum madu
di rumah Zainab binti Jash dan saya tidak akan melakukannya lagi.‘ Pada
masa itu, ayat berikut ini diwahyukan, terkait dengan pengharaman madu,
Hai nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah
bagimu demi mengharapkan kesenangan hati istri-istrimu?Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS. Al-Tahrim [66]:1)[122]
Al-Quran juga secara eksklusif berkata kepada
Aisyah dan Hafsah, Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka (hal itu
lebih baik bagimu; karena) hatimu betul-betul telah menyimpang (dari
kebenaran). Tetapi jika kamu berdua bantu-membantu untuk menyusahkan
nabi, maka sesungguhnya Allah, Jibril, dan orang-orang mukmin yang saleh
adalah pelindungnya; dan lebih dari itu para malaikat adalah
penolongnya pula. Jika nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhan-nya akan
memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada
kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang
mengerjakan ibadah, yang berpuasa, yang janda, dan yang perawan. (QS.
Al-Tahrim [66]:4-5)
Ayat-ayat Al-Quran ini membuktikan bahwa
istri-istri Rasulullah Saw bukan merupakan sahabat terbaik. Akan tetapi,
lantaran persoalan politik, sosial dan ekonomi juga untuk menebarkan
kalimat Allah, Rasulullah Saw menikah sejumlah wanita dan bersabar atas
kenakalan dan pembangkangan mereka. []
Bagian 15
Beberapa Fakta Sejarah
Imam Ali As adalah pria pertama yang memeluk Islam.[123]
Beliau sendiri mendeklarasikan, "Aku mulai menyembah Allah Swt sembilan
tahun sebelum orang lain dari umat ini mulai menyembahnya kecuali Nabi
Muhammad Saw.[124]
Rasulullah Saw mengadakan dua acara persaudaraan
(mu‟akhat) ketika beliau membuat saudara-saudara kaum Muslimin antara
satu dengan yang lain. Beliau melakukan hal ini sebelum hijrah ke
Madinah dan seterusnya.[125]
Dalam ikatan persaudaraan ini, Rasulullah Saw menjadikan persaudaraan
dirinya dengan Baginda Ali As, Abu Bakar dan Umar, Utsman bin Affan dan
Abdurrahman bin Auf, Hamzah bin Abdul Muththalib dan Zaid bin Haritsah,
Mush‘ab bin Umair dan Sa‘ad bin Abi Waqqas; Salman Farisi dan Abu Dzar
Ghiffari, Thalhah dan Zubair.[126]
Rasulullah Saw memerintahkan seluruh gerbang dan
pintu yang bersambung langsung dengan halaman Masjid Nabawi ditutup
kecuali pintu yang berhubungan dengan rumah Imam Ali As lantaran orang
junub tidak lagi dibolehkan memasuki masjid sebelum mandi.
Namun demikian, Rasulullah Saw, Imam Ali As, dan
Hadhrat Fatimah Zahra As dikecualikan dari aturan ini sebagai penekanan
bagi ayat tathhir (33:33). Hamzah, paman Rasulullah Saw sangat bersedih
atas keputusan ini dan datang kepada Rasulullah Saw menangis. Rasulullah
Saw bersabda kepadanya, ―Aku tidak melarangmu, dan aku tidak
mengizinkan dia (Ali); Allah Swt yang mengizinkannya.[127]
Ibnu Abbas juga meriwayatkan bahwa banyak sahabat yang merasa heran
terhadap keputusan Rasulullah kecuali Imam Ali dari menutup pintunya ke
masjid, dan bahwa Rasulullah Saw menjawab keheranan mereka dalam sebuah
khotbah, ―Aku perintahkan bahwa pintu-pintu ini harus ditutup kecuali
pintu rumah Ali. Demi Allah, hal ini bukan keinginanku pribadi, namun
perintah dari Allah Swt dan aku menjalankan perintah tersebut.[128]
Atas alasan ini, Khalifah Kedua, Umar bin
Khaththab, berkata, ―Ibnu Abi Thalib telah diberikan tiga keutamaan yang
apabila aku memiliki satu saja dari keutamaan tersebut, maka hal itu
akan lebih baik bagiku daripada segala yang ada dalam hidup ini;
Rasulullah Saw menikahkannya dengan putrinya sendiri, dan dia (putri
Rasulullah) melahirkan keturunan baginya; Rasulullah Saw menutup seluruh
pintu ke Masjid Nabawi kecuali pintunya; dan Rasulullah Saw menyerahkan
panji kepadanya pada hari Khaibar.[129]
Peristiwa Kamis
Menjelang akhir usia Rasulullah Saw, pasukan Roma
berkumpul di perbatasan negara Islam. Rasulullah Saw memerintahkan
seluruh sahabat bergabung dengan pasukan Usamah bin Zaid kecuali Imam
Ali untuk menetap di Madinah. Beberapa sahabat utama menolak untuk
bergabung. Rasulullah Saw memerintahkan mereka lagi, namun mereka tetap
menolak. Kali ketiga, tatkala mereka berkumpul di kediaman beliau pada
hari Kamis, empat hari sebelum Rasulullah Saw wafat, dan beliau membuka
matanya dan melihat para sahabat berkumpul di sekeliling pembaringannya.
Lantas, beliau meminta pena dan kertas untuk menulis wasiatnya. Salah
seorang sahabat menolak untuk memberikan kepadanya dan berkata,
―Sesungguhnya sakit telah menguasainya. Kitab Allah telah cukup bagi
kita.‖ Tatkala perdebatan meningkat, Rasulullah Saw berpaling kepada
mereka dan berkata, ―Pergilah kalian dari sini! Kalian tidak seharusnya
berbantahan di hadapanku.[130]
Abdullah bin Abbas berkata, ―Petaka terjadi tatkala mereka tidak mengizinkan Rasulullah untuk menulis wasiatnya.[131]
Sejarawan lainnya menukil bahwa, pada hari itu, sahabat yang sama
berkata, ―Biarkan Nabi sendiri, sesungguhnya ia sedang meracau
(terhalusinasi).[132]
Situasi ini terjadi meski ada perintah tegas Al-Quran, Taatilah Allah
dan taatilah Rasulullah sehingga engkau mendapatkan rahmat" (QS. Ali
Imran [3]:132)dan, Barangsiapa yang menaati rasul
itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling
(dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka.
(QS. Al-Nisa [4]:80)
Sahabat ini kemudian menyesali penolakannya atas
permintaan Rasulullah tersebut pada peristiwa hari Kamis dengan berkata
bahwa beliau ingin menyebutkan Ali untuk menjabat sebagai pemimpin
selama masa sakitnya, lalu ia mencegah Nabi untuk melakukan hal itu.[133]
Imam Bukhari melaporkan melalui sanad Sa‘ad bin
Jubair dari Ibnu Abbas, ―Hari Kamis… Duhai Hari Kamis! Kemudian ia
menangis hingga matanya sembab. Kemudian saya berkata, Wahai Ibnu Abbas!
Ada apa dengan hari Kamis? Ia berkata, ―Rasulullah Saw bersabda,
‘Hadirkan untukku (pena dan kertas) agar aku menuliskan sesuatu bagi
kalian sebagai dokumen (yang dengan mengikutinya) kalian tidak akan
pernah sesat selamanya.‘ Mereka bertengkar sementara di hadapan seorang
nabi, tidak boleh ada pertengkaran. Mereka berkata, ‘Ada apa dengannya?‘
tanyanya. Beliau berkata, Tinggalkan aku sendiri. Aku lebih baik
menderita. Aku mewasiatkan tiga hal kepada kalian. Usir orang-orang
musyrik dari Semenanjung Arab. Berikan tunjangan kepada para utusan
sebagaimana yang dulu aku berikan.‘ Namun beliau diam atas wasiat
ketiga, atau beliau sampaikan namun saya lupa tentang hal itu.[134]
Penderitaan Hadhrat Fatimah Zahra
Salah satu fakta yang tidak terbantahkan bahwa
seluruh sejarawan Muslim, terlepas apa pun mazhabnya, secara bulat
sepakat bahwa putri kinasih Rasulullah, Hadhrat Fatimah Zahra As, wafat
(syahid) tiga bulan setelah Rasulullah Saw karena luka parah dan
penderitaan yang beliau alami akibat penyerangan ke rumah beliau. Beliau
wafat pada usia 18 tahun 7 bulan. Pada waktu pemakaman, Imam Ali
berbicara kepada Rasulullah, ―Wahai Nabi Allah! Salam padamu dariku dan
dari putrimu yang telah datang kepadamu dan telah bersegera untuk
menemuimu. Wahai Nabi Allah, kesabaranku atas (kepergian putri) pilihan
Anda telah habis, dan ketabahanku telah melemah, kecuali bahwa aku
mempunyai dasar untuk hiburan dalam menanggung kesulitan besar dan
peristiwa menyayat hati dari perpisahan denganmu. Aku meletakkanmu ke
dalam makammu ketika napasmu yang terakhir telah berlalu (sementara
kepalamu) di antara leher dan dadaku. Sesungguhnya kami adalah milik
Allah dan kepada-Nyalah kami kembali. (QS. 2:156) Sekarang amanat telah
dikembalikan dan apa yang telah diberikan telah diambil kembali. Ihwal
kesedihanku, (kesedihan) itu tak mengenal batas, dan tentang
malam-malamku, (malam-malam) itu tetap sukar dibawa tidur hingga Allah
memilih bagiku rumah di mana Anda tinggal sekarang. Sungguh, putrimu
akan mengabarkan kepadamu tentang persekongkolan umatmu untuk
menindasnya. Engkau tanyakan kepadanya dengan rinci dan perolehlah semua
kabar tentang keadaannya. Ini telah terjadi ketika belum panjang waktu
yang terentang, dan ingatan kepada Anda belum menghilang. Salamku padamu
berdua, salam dari orang yang dilanda kesedihan, bukan orang yang muak
dan benci; karena, apabila aku pergi jauh bukanlah itu karena letih
(tentangmu), dan apabila aku tinggal bukanlah itu karena kurang percaya
akan apa yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang sabar.[135]
Hadhrat Fatimah Zahra As wafat hanya tiga bulan
setelah ayahandanya, Rasulullah Saw, dengan menghabiskan seluruh
waktunya dalam kesedihan dan nestapa. Beliau tidak pernah terlihat
tersenyum sekalipun setelah wafatnya Rasulullah Saw.[136]
Penderitaannya semakin hari semakin bertambah sebagai akibat luka yang
diderita tatkala para sahabat menghantam pintu setelah wafatnya ayahnya
dan menyebabkan gugurnya kandungan putranya, Muhsin. Beliau juga harus
kehilangan warisannya dari Rasulullah Saw, khususnya, sebuah tanah di
luar kota Madinah yang disebut Fadak – dengan dalih bahwa para nabi
tidak menyisakan warisan. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa tatkala
Hadhrat Fatimah As meminta bagiannya dari warisan Rasulullah Saw, beliau
menerima jawaban bahwa Rasulullah Saw telah bersabda, ―Kami para nabi
tidak menyisakan warisan. Apa yang kami tinggalkan semuanya adalah amal
kebaikan. Tatkala beliau ditolak untuk mendapatkan warisan dari ayahnya
meski pada kenyataannya Al-Quran memberikan contoh para nabi mewarisi
dari nabi lainnya seperti, Dan Sulaiman mewarisi dari Daud (QS. Al-Naml
[27]:16). Tatkala beliau wafat, suaminya Imam Ali menguburkannya pada
malam hari dan hanya segelintir sahabat yang turut serta dalam proses
pemakamannya; Imam Ali menunaikan sendiri shalat (jenazah) baginya[137]
Kejadian-kejadian ini berlaku meski Rasulullah Saw telah bersabda,
―Fatimah adalah bagian dariku. Barangsiapa yang membuatnya marah ia
telah membuatku marah.[138]
Ibnu Qutaibah mencatat bahwa Hadhrat Fatimah Zahra bersabda kepada
sebagian sahabat, ―Aku jadikan Allah sebagai saksi dan para
malaikat-Nya, bahwa kalian telah membuatku marah dan tidak membuatku
senang. Jika aku berjumpa dengan Rasulullah, aku akan adukan duka dan
nestapaku karena kalian kepadanya.[139]
Apakah Rasulullah Saw Memerintahkan Khalifah Pertama untuk Memimpin Shalat Sebelum Wafatnya?
Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, Rasulullah
Saw, sebelum wafatnya, memerintahkan sebagian besar sahabat untuk
meninggalkan Madinah dan bergabung dengan laskar Usamah guna
mempertahankan kota Madinah dari agresi tentara Roma. Namun demikian,
sebagian sahabat menolak perintah Rasulullah ini dan menetap di Madinah
sementara Usama berkemah di sebuah daerah bernama Jurf.
Bagaimanapun, dua orang meriwayatkan bahwa Khalifah
Pertama memimpin shalat dengan izin Rasulullah Saw selagi beliau sakit
yakni pertama, Aisyah, putri Khalifah Pertama dan istri Rasulullah Saw,
dan kedua, dan Anas bin Malik. Aisyah meriwayatkan, "Rasulullah Saw
pergi ke Masjid untuk memimpin shalat sementara beliau terlalu lemah
untuk berjalan dan Abu Bakar sedang memimpin shalat. Rasulullah Saw
datang dan duduk dekat Abu Bakar (menggantikannya) memimpin shalat.[140]
Riwayat ini tidak mengindikasikan bahwa Rasulullah Saw memerintahkan
Khalifah Pertama untuk memimpin shalat, lantaran, meski Rasulullah Saw
sakit parah, beliau keluar untuk memimpin shalat. Periwayat lainnya
adalah Anas bin Malik, orang yang tidak dipandang sebagai sumber netral
dalam mazhab Syiah.
Para sejarawan menukil bahwa Khalifah Pertama di
Madinah pada masa wafatnya Rasulullah Saw menunjukkan bahwa beliau
ditakdirkan wafat pada siang hari. Aisyah memerintahkan Bilal untuk
menyampaikan kepada ayahnya bahwa Rasulullah Saw memintanya untuk
memimpin shalat subuh. Tatkala mengetahui hal ini, Rasulullah Saw keluar
untuk mempimpin shalat, dituntun oleh Imam Ali dan Fadhl bin Abbas.
Setelah menyingkirkan Khalifah Pertama dan mengambil alih memimpin
shalat, Rasulullah Saw kembali ke kamarnya di Masjid Nabawi dan berkata
kepada Aisyah, ―Kau adalah di antara para sahabat Yusuf.[141]
Kisah ini telah dinukil dalam redaksi yang beragam
oleh sembilan perawi: Aisyah, Abdullah bin Mas‘ud, Abdullah bin Abbas,
Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zam‘a, Abu Musa Asy‘ari, Buraidah
Aslami, Anas bin Malik dan Salim bin Ubaid. Akan tetapi, sebuah
pengujian terhadap sumber-sumber ini menunjukkan bahwa seluruh riwayat
ini kembali kepada Aisyah. Terdapat juga beberapa orang yang tidak
tsiqah dalam mata rantai perawi. Lagi pula, bahkan sekiranya Rasulullah
Saw telah menunjuk Abu Bakar untuk mengimami shalat, maka penunjukkan
ini tidak bermakna pengangkatan untuk menggantikan Rasulullah Saw dalam
seluruh aspek kehidupan karena beliau menunjuk banyak orang untuk
menggantikannya sebagai imam dalam shalat. Dan, tentu saja, mereka tidak
dipandang sebagai khalifah seperti Ibnu Ummi Maktum padahal ia adalah
sahabat yang tuna netra.[142]
Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah mengakui bahwa menjadi seorang khalifah
untuk tugas-tugas tertentu dalam hidup tidak serta merta termasuk
khilafah setelah kematian. Katakanlah bahwa Rasulullah Saw menunjuk
banyak orang – seperti Ibnu Ummi Maktum, Bashir bin Abdul Munzhir, dan
yang lain – pada masa hidupnya untuk tugas-tugas tertentu seperti
memimpin shalat berjamaah. Kebanyakan orang ini tidak layak untuk
menjawab khalifah Rasulullah pasca wafatnya.[143]
Thabari[144]
meriwayatkan bahwa Khalifah Pertama, Abu Bakar, tidak berada di Madinah
ketika Rasulullah Saw wafat dan tatkala sakit beliau semakin parah dan
beliau tidak pergi ke masjid untuk menunaikan shalat, Bilal, sang muazin
bertanya, ―Ya Rasulullah! Semoga ibu dan ayahku menjadi tebusanmu,
siapa yang akan memimpin shalat.[145]
Rasulullah Saw memanggil Imam Ali As. Kemudian istrinya, Aisyah berkata
kepada Bilal, ―Kami akan panggilkan Abu Bakar untukmu‖. Istrinya beliau
yang lain, Hafsah berkata, ―Kami akan panggilkan Umar untukmu. Karena
panggilan Rasulullah tidak terdengar oleh Imam Ali As, orang lain yang
datang. Tatkala mereka berkumpul di sekelilingnya, Rasulullah Saw
berkata, ―Pergilah kalian. Jika saya perlukan, saya akan mengutus orang
untuk memanggil kalian. Kemudian para sahabat pergi.[146]
Asyâra Mubâsyarah (Sepuluh Orang yang dijamin Surga)
Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw
mengumumkan sepuluh orang dari sahabatnya yang dijamin masuk surga,
sementara Imam Bukhari dan Muslim mengingkari bahwa Rasulullah Saw
pernah berkata seperti ini, demikian juga Dzahabi dalam kitabnya, Mizân
Al-I'tidâl.
Hadis ini berseberangan dengan logika pada banyak
tingkatan dan dengan demikian tidak dapat diterima. Misalnya, Thalhah
dan Zubair, yang termasuk dalam hadis ini, keduanya memerintahkan
pembunuhan Khalifah Ketiga yang juga termasuk dalam hadis tersebut.
Mereka juga Thalhah dan Zubair, yang memberontak melawan khalifah yang
sah Ali bin Abi Thalib setelah memberikan baiat dan tanda kesetiaan
kepadanya. Sahabat lainnya yang termasuk dalam hadis ini adalah Sa'ad
bin Abi Waqqas, yang menolak memberikan baiat kepada Ali bin Abi Thalib,
namun kemudian berbaiat kepada Mua'wiyah. Sahabat lainnya adalah
Abdurrahman bin Auf yang memberontak melawan Khalifah Ketiga, dan
dibunuh oleh antek-antek Bani Umayyah. Khalifah Kedua menjelaskan
Abdurrahman bin Auf sebagai "Fir'aun umat ini."[147]
Gagasan ini yang menyatakan bahwa hanya sepuluh orang dari kaum Muslimin
dijamin masuk Surga tidak logis lantaran mengeluarkan ratusan orang
ikhlas dan utama di kalangan kaum Muslimin seperti Hamzah, penghulu para
syuhada(Sayyid al-Syuhada') dan paman Rasulullah saw; Ja'far bin Abi
Thalib, Zaid bin Haritsah, Sa'ad bin Mu'adz, Ammar bin Yasir yang
menurut Rasulullah Saw, "Hatinya dipenuhi iman dari kepala hingga kaki,"
dan Salman Farisi yang menurut Rasulullah Saw adalah "Salman dari kami,
Ahlulbait." Lantaran hadis asyara mubasyarah ini (sepuluh orang yang
dijanjikan surga) dinukil dari Said bin Zaid, yang tidak baik
hubungannya dengan Ahlulbait As. Mazhab Syiah tidak menerima nukilan
riwayat darinya.
Abu Hurairah
Orang yang menukil paling banyak hadis – 5.374 (446
di antaranya termaktub di Bukhari) adalah Abu Hurairah Al-Dusi, meski
ia mengatakan bahwa ia hanya menghabiskan waktu selama tiga tahun
bersama Rasulullah Saw.[148]
Ia memeluk Islam pada tahun ketujuh setelah hijrah ke Madinah. Abu
Hurairah sendiri berkata bahwa hanya Abdullah bin Umar yang lebih banyak
menukil hadis darinya dan bahwa Abdullah bin Umar menulis apa yang
dinukilnya sementara dirinya tidak demikian[149]
Pada kenyataannya, Abdullah bin Umar hanya
meriwayatkan 2.630 hadis ketika Imam Bukhari hanya menyebutkan tujuh
hadis dan Imam Muslim, dua puluh hadis. Umar bin Khaththab sendiri
meriwayatkan hanya 527 hadis, sementara Utsman bin Affan 146 hadis, Abu
Bakar, 142; Aisyah, istri Rasulullah Saw, 1.210, Jabir bin Abdillah
Anshari 1,540, Abdullah bin Mas'ud, 848, Abu Dzarr Ghiffari, 281; Ummu
Salamah, istri Nabi Saw, 378, Ali bin Abi Thalib, 537; dan Anas bin
Malik, 2.286. Lebih jauh, Imam Muslim juga meriwayatkan bahwa Khalifah
Kedua, Umar bin Khaththab memukul Abu Hurairah pada satu kejadian.[150]
Abu Hurairah mengakui, "Saya telah menukil beberapa hadis kepadamu yang
saya nukil pada masa Umar, Umar mencambukku dengan kayu."[151]
Disebutkan bahwa Abu Hurairah adalah perawi pertama yang dituduh dalam Islam[152]
Umar bin Khaththab berkata kepadanya, "Engkau telah mengambil uang dari kaum Muslimin bagi dirimu…"[153]
Umar juga suatu waktu berkata kepadanya, "Engkau banyak menukil hadis,
dan paling terang-terangan, engkau berdusta tentang Rasulullah Saw."[154]
Ibnu Hajar Asqalani berkata bahwa ulama sepakat bahwa berdusta atas nama
Nabi Saw merupakan salah satu dosa besar (kaba'ir), dan yang lain lebih
parah berkata bahwa barangsiapa yang berdusta atas nama Nabi Saw
dipandang sebagai orang kafir. Sam'ani menegaskan bahwa riwayat-riwayat
tidak diterima oleh seseorang yang berdusta atas nama Nabi Saw bahkan
meski cuma sekali."[155]
Contoh lainnya riwayat-riwayat Abu Hurairah yang
dijumpai dalam Shahih Bukhari. Abu Hurairah menisbahkan nasihat berikut
ini kepada Rasulullah Saw: "Ketika seekor lalat jatuh dalam gelas Anda,
celupkan seluruh lalat itu ke dalam gelas itu dan keluarkan, kemudian
silahkan konsumsi (isi) gelas tersebut, lantaran satu sayap lalat itu
adalah penyakit sedangkan sayap lainnya adalah obat."[156]
Shahih Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasululah Saw tidur hingga matahari terbit dan melewatkan shalat subuh.[157]
Hadis ini tidak sejalan dengan Al-Quran yang menyatakan,bangunlah
(untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya),
(yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. Atau
lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Quran itu dengan perlahan-lahan.
(QS. Al-Muzammil [73]:22-23) Bagaimana mungkin Rasulullah Saw yang tidak
pernah melewatkan shalat tengah malam (tahajjud) dapat melalaikan
shalat wajib subuh? Senada dengan itu, Shahih Bukhari meriwayatkan dari
Abu Hurairah bahwa kaum Muslimin siap-siap melaksanakan shalat mereka
dan Rasulullah Saw baru saja menyelesaikan ikamah, dan barisan shalat
yang sudah siap, tiba-tiba Rasulullah Saw ingat bahwa ia masih dalam
keadaan junub (belum suci secara ritual)![158]
Bukhari juga meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw berkata, "Setan menggangguku dan membuatku sibuk."![159]
Hadis ini juga berseberangan dengan Al-Quran yang menegaskan, Apabila
kamu membaca Al- Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah
dari setan yang terkutuk. Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaannya
atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya.Sesungguhnya
kekuasaannya (setan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi
pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah.
(QS Al-Nahl [16]: 98-100)
Imam Muslim juga meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Aisyah, istri Rasulullah Saw, bersabda:
Suatu hari, Rasulullah Saw rebahan di rumahku, pahanya tersingkap. Abu Bakar meminta izin untuk masuk.
Beliau memberikan izin, kemudian Abu Bakar masuk
dan berbicara dengan Rasulullah Saw. Beliau tetap dalam kondisi yang
sama (rebahan dan paha tersingkap). Kemudian, Umar meminta izin untuk
masuk. Rasulullah Saw memberikan izin dan berbicara dengannya dan beliau
dalam kondisi yang sama. Lalu Utsman meminta izin untuk masuk. Tatkala
Utsman meminta izin untuk masuk, beliau (Rasulullah) duduk dengan pantas
dan menutupi pahanya. Tatkala beliau berbicara kepadanya dan pergi, aku
berkata, "Anda tidak menaruh perhatian kepada Abu Bakar dan juga tidak
kepada Umar, namun mengapa Anda menutupi paha Anda, tatkala Utsman
masuk?‖ Rasulullah Saw berkata, "Tidakkah aku harus malu di hadapan
seseorang yang para malaikat sendiri merasa malu di hadapannya?"[160]
Ibnu 'Arafah menjelaskan bahwa kebanyakan riwayat-riwayat semacam ini dibuat pada masa Dinasti Umayah.[161]
Tatkala Muawiyah naik takhta kekuasaan, ia menulis kepada gubernurnya di
seluruh negeri Islam: "Untuk segala keutamaan yang diriwayatkan dari
Nabi ihwal Imam Ali, aku juga memerlukan keutamaan itu untuk disampaikan
tentang para sahabat."[162]
Lantaran hadis merupakan sumber kedua dalam hukum syariah Islam, dan
seluruh kandungan dan mata rantai hadis harus dipelajari dan dikaji
secara seksama dan disandingkan dengan kitabullah sebelum diterima,
Mazhab Syiah memiliki standar dan kriteria ketat dalam menilai perawi
hadis dan menentukan autensitas hadis.[]
Bagian 16
Beberapa Perbedaan dan Kesalahpahaman antara
Syi'ah dan Mazhab Lainnya
“'Abasa watawalla (Dia bermuka masam dan berpaling..”
– (QS Abasa [80]:1)
Ayat ini adalah salah satu ayat Al-Quran Suci yang
interpretasinya berbeda di antara dua mazhab utama. Mayoritas ulama
Sunni mengklaim bahwa orang yang bermuka masam dan berpaling dari orang
buta adalah Rasulullah Saw, sedangkan para ulama Syiah menyatakan bahwa
orang yang bermuka masam dan berpaling adalah salah seorang sahabat
Rasulullah saw, dan bukannya Rasulullah Saw.
Menurut para ulama Sunni, orang buta itu adalah
Abdullah bin Ummi Maktum. Dikatakan bahwa ia datang kepada Rasulullah
Saw ketika beliau sedang berbicara dengan sekelompok kaum kafir termasuk
Uthbah bin Rabi'ah, Abu Jahl bin Hisyam, Abbas bin Abdul Muththalib,
'Ubay, dan Umayah bin Khalaf. Beliau sedang berusaha mencondongkan hati
mereka kepada Islam. Karena mereka adalah para pemimpin masyarakat
Mekkah, jika mereka memeluk Islam, maka banyak orang lain akan mengikuti
mereka. Orang ini datang dan menyela pembicaraan Rasulullah Saw dan
meminta beliau untuk mengajarkannya apa yang Allah telah ajarkan kepada
beliau. Abdullah tidak mengetahui bahwa Rasulullah Saw sedang sibuk
berbicara dengan kelompok kafir ini. Karenanya Rasulullah Saw pun
bermuka masam.
Adapun penafsiran Syiah tentang ayat ini,
sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahlulbait yang keenam, Imam Ja'far
Shadiq As, adalah bahwa ayat ini turun berkenaan dengan salah seorang
sahabat Rasulullah Saw, yang kebetulan berasal dari Bani Umayah, yang
duduk bersebelahan dengan Rasulullah Saw. Ketika orang buta itu datang,
ia mengekspresikan ketidaksukaan dan kebenciannya kepadanya, maka ia
serta merta memalingkan wajahnya darinya.[163]
Penafsiran ini lebih cocok dengan karakter Rasulullah Saw karena
―bermuka masam‖ bukanlah karakteristik Rasulullah Saw, bahkan terhadap
para musuhnya sekali pun. Condong kepada si kaya dan mengabaikan si
miskin bukan pula termasuk di antara karakteristik-karakteristik
Rasulullah Saw. Allah menisbatkan karakter moral (akhlak) tertinggi
kepada Rasulullah Saw,Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki akhlak yang agung.”
(QS. Abasa [68]:4); Dan dengan rahmat Allah, engkau (Muhammad) memperlakukan mereka dengan lembut.Seandainya engkau bersikap kasar dan keras-hati, sungguh mereka akan menjauhkan diri darimu.”
(QS. Ali Imran [3]:159);―Sungguh, telah datang
kepada kamu seorang rasul dari kalangan kamu sendiri, terasa berat
olehnya penderitaan yang kamu alami, ia sangat menginginkan [hidayah
bagi] kamu. Ia penyantun dan penyayang terhadap orang-orang beriman.
(QS. At-Taubah [9]:128)
Setelah segala kesaksian dari Allah Yang Mahabesar
ini, maka sulit untuk percaya bahwa Rasulullah Saw bermuka masam dan
berpaling wajah dari salah seorang sahabatnya yang buta karena beliau
memulai dan mengakhiri misinya dengan menyatakan dukungannya yang penuh
kasih sayang kepada si miskin, si buta, dan orang-orang yang tidak
berdaya dalam masyarakat dan menghabiskan malam-malam harinya tanpa
makan untuk bersimpati terhadap si miskin. Adalah aneh bahwa sebagian
ahli tafsir menganggap pengatributan ayat ini kepada salah seorang
sahabat Rasulullah Saw sebagai suatu penghinaan kepada para sahabat,
sementara mereka tidak menganggap penafsiran bahwa ayat ini berkenaan
Rasulullah Saw sebagai suatu penghinaan kepada Rasulullah Saw sendiri
mengingat beliau merupakan teladan tertinggi dari perilaku etika dan
moral serta pemuka dan pemimpin semua orang beriman.
Ayah Nabi Ibrahim As dan Ayah Imam Ali As
Menurut doktrin Syiah, semua rasul, nabi dan imam
yang ditetapkan Allah berasal dari para ayah, para datuk, dan para
leluhur yang monoteistik (bertauhid). Allah menyatakan ini ketika Dia
berfirman kepada Rasul-Nya Muhammad Saw, Siapakah yang melihatmu [wahai
Muhammad] ketika engkau bangkit mendirikan shalat malam, dan
gerakan-gerakanmu di antara orang-orang yang sujud [di antara para
leluhurmu]... (QS. Al-Baqarah [2]:218-219)
Dari ayat ini, kita memahami bahwa ayah, datuk dan
para leluhur agung Rasulullah Saw—semuanya, hingga Adam as—adalah
orang-orang yang beriman kepada Allah. Mereka tidak menyekutukan Allah
dengan siapapun atau apapun. Sama halnya dengan Nabi Ibrahim As yang
berasal dari orang-orang yang bertauhid. Menurut sejarah, ayahnya wafat
sebagai seorang yang bertauhid dan beliau dipelihara oleh pamannya, yang
kemudian secara metaforis dimaknai sebagai ―ayahnya‖ dalam Al-Quran.
Demikian juga dengan ayah Imam Ali As, yaitu Abu
Thalib. Logika mengajarkan kita bahwa Abu Thalib ini yang dengan gigih
membela Rasulullah Saw selama bertahun-tahun dan tidak pernah memenuhi
tuntutan kaum Quraisy untuk menyerahkan Rasulullah Saw kepada mereka,
dan yang kematiannya berbarengan dengan kematian Khadijah di tahun yang
sama, mendorong Rasulullah Saw untuk menamakan tahun dimana Abu Thalib
wafat sebagai ―tahun kesedihan‖, adalah seorang yang beriman kepada
Allah dan orang yang wafat sebagai seorang Muslim. Hadis-hadis yang
ditemukan dalam beberapa kitab sahih menyatakan bahwa Abu Thalib diazab
oleh Allah dianggap sebagai hadis-hadis yang tidak sahih, dan mata
rantai para perawinya harus diragukan karena politik memainkan peran
besar dalam mendistorsi hadis-hadis Rasulullah Saw dan dalam pembunuhan
karakter pribadi-pribadi agung Islam, seperti Imam Ali bin Abi Thalib
as.
Nama asli Abu Thalib adalah Abdu Manaf atau Imran.
Ia membela Rasulullah Saw selama empat puluh dua tahun, baik sebelum
Rasulullah Saw memulai misinya maupun sesudahnya. Dikatakan tentang Abu
Thalib, ―Siapa pun yang membaca hadis Rasulullah Saw akan mengetahui
bahwa jika bukan karena Abu Thalib, Islam tidak dapat melanjutkan
kemajuannya.[164]
Tidak ada keraguan tentang ketundukan penuh dan keimanan Abu Thalib terhadap kemahaesaan Allah dan agama Islam.
Mitos tentang Terdistorsinya Al-Quran Suci
Hanya satu Al-Quran yang ada, yang diwahyukan oleh
Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw. Tidak ada penambahan-penambahan yang
telah dibuat untuk Al-Quran, tidak ada penghapusan-penghapusan, dan
tidak ada juga pengaturan-pengaturan ulang dalam Al-Quran atau
sebaliknya dirusakkan. Kami yang menurunkan Al-Quran, Kami-lah yang
menjaganya. (QS Al-Hijr [15]:9)[165]
Sayangnya, sebagian Muslim memiliki konsepsi keliru bahwa para pengikut
Ahlulbait memiliki Al-Quran yang berbeda. Padahal, jika mereka
mengunjungi masjid-masjid Syiah, rumah-rumah, dan pusat-pusat Islam kaum
Syiah serta bertemu dengan para individu dan para ulama Syiah, mereka
akan menemukan bahwa tuduhan mereka ini tidak memiliki dasar. Salah
seorang perawi hadis terkemuka Syiah, Muhammad bin Ali Al-Qummi
Al-Shaduq, menegaskan, ―Keyakinan kami adalah bahwa Al-Quran yang turun
dari Allah atas Rasul-Nya Saw adalah apa yang kita temukan hari ini di
antara dua sampulnya, dan itulah yang berada dalam tangan orang-orang
Syiah—tidak lebih dan tidak kurang daripada itu. Siapapun yang
menisbatkan kepada kami bahwa kami mengatakan lain daripada itu maka ia
adalah seorang pendusta.[166]
Syiah selalu bersikap peduli terhadap penyebaran yang benar dari
Al-Quran, dan ketika Rasulullah Saw wafat, Imam Ali As bersumpah bahwa
ia tidak akan mengenakan jubahnya kecuali untuk mendirikan shalat hingga
ia berhasil mengumpulkan Al-Quran seluruhnya menjadi satu jilid
(mushaf).[167]
Namun, dalam beberapa kitab sahih, sebagian riwayat
menegaskan bahwa surah-surah atau ayat-ayat Al-Quran Suci itu hilang
atau dihilangkan. Sebagai contoh, Imam Bukhari meriwayatkan,
―Sesungguhnya Allah Swt mengutus Muhammad (Saw) dengan kebenaran, dan
Dia menurunkan Kitab kepadanya, dan ayat tentang pemberian hukuman rajam
termasuk di dalam apa yang diwahyukan kepadanya.‖ Kita membacanya,
menyimpannya di dalam memori kita, dan memahaminya. Rasulullah Saw
memberikan hukuman rajam hingga mati (kepada pezina pria dan wanita yang
telah berstatus kawin), dan setelah beliau, kita juga menerapkan hukum
rajam. Saya khawatir bahwa, dengan berlalunya waktu, masyarakat (mungkin
lupa) dan mungkin mengatakan, ―Kita tidak menemukan hukum rajam di
dalam Kitabullah. Dan mereka pun menjadi sesat dengan meninggalkan
kewajiban yang ditetapkan Allah ini. Hukum rajam merupakan suatu
kewajiban yang ditetapkan dalam Kitabullah bagi para pria dan wanita
yang telah berstatus kawin tapi melakukan zina apabila bukti-buktinya
kuat, atau jika ada kehamilan atau suatu pengakuan.[168]
Riwayat-riwayat lain juga secara keliru
mengindikasikan bahwa ada ayat dalam Al-Quran Suci yang menyatakan
penghukuman rajam kepada para pezina.[169]
Imam Bukhari juga meriwayatkan dari salah seorang sahabat bahwa ada ayat
dalam Al-Quran Suci yang menyatakan bahwa meninggalkan para leluhur
adalah kufur;[170]
seluruh kaum Muslim mengetahui bahwa tidak ada ayat seperti itu dalam
Al-Quran Suci. Sebagian riwayat lain dari sumber-sumber lain
mengemukakan bahwa banyak ayat Al-Quran yang hilang. Aisyah, sebagai
contoh, meriwayatkan bahwa Surah Al-Ahzab (surah ke-33) dahulunya pada
masa Rasulullah Saw memiliki 200 ayat, namun ketika Khalifah Ketiga,
Utsman bin Affan, menghimpun Al-Quran, ia hanya dapat menemukan tujuh
puluh tiga ayat darinya.[171]
Abdullah bin Umar juga meriwayatkan, ―Tidak ada orang yang seharusnya
mengatakan, Aku telah mengambil (pertimbangan) dari Al-Quran
seluruhnya.‘ Bagaimana ia mengetahui bahwa ini adalah Al-Quran
seluruhnya? Sesungguhnya, ada sejumlah besar (ayat) yang hilang dari
Al-Quran.[172]
Ada pernyataan-pernyataan lain yang tidak perlu disebutkan di sini.
Tujuan kami mengemukakan hal-hal di atas di sini
bukan untuk membuat isu berupa pernyataan-pernyataan palsu tentang
distorsi (tahrif) Al-Quran Suci dalam berbagai mazhab, karena semua
mazhab seharusnya dihargai. Maksud kami adalah ingin menjelaskan bahwa
Al-Quran yang diikuti kaum Syiah adalah Al-Quran sama yang ada
dimana-mana di dunia, dan bahwa tidak ada Al-Quran tersembunyi lainnya
sebagaimana yang dikatakan sebagian orang.
Mushaf Fatimah
Menurut riwayat Ahlulbait As, ketika Rasulullah Saw
wafat, putrinya, Sayidah Fatimah Zahra As, begitu berduka hingga Allah
mengutus kepadanya satu malaikat untuk menghiburnya. Malaikat itu
mengatakan kepadanya tentang apa yang akan terjadi di masa akan datang.
Fatimah menemukan kebahagiaan dalam berita ini. Suaminya, Imam Ali As,
menuliskan apa yang malaikat itu katakan. Tulisan-tulisan ini
dikumpulkan dan dihimpun dalam sebuah kitab yang dinamakan Mushaf
Fatimah. Imam Shadiq as mengatakan, ―Tidak ada hukum halal-haram dalam
kitab itu, tapi isi kitab itu hanya tentang apa yang akan terjadi di
masa akan datang.[173]
Pemberitaan-pemberitaan lain menyatakan bahwa setiap kali Rasulullah Saw
menerima wahyu, beliau akan menjelaskannya kepada putrinya, dan
putrinya akan mencatatnya dalam sebuah kitab yang dinamakan Mushaf
Fatimah. Para pengikut Ahlulbait percaya bahwa kitab ini sekarang ada
bersama imam terakhir Ahlulbait, yakni Imam Mahdi.
Mushaf Fatimah bukanlah sebuah Al-Quran, dan
satu-satunya Al-Quran yang dimiliki para pengikut Ahlulbait adalah
Al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Suci Muhammad Saw selama masa
hidupnya dan sekarang terdapat di seluruh dunia.
Pemberian Nama Menurut Nama-nama Para Nabi dan Imam
Beberapa keluarga Muslim yang mengikuti Ahlulbait
menamakan anak-anak mereka menurut nama-nama beberapa nabi dan imam
seperti misalnya Abdunnabi, Abdurrasul, Abdulhusain, Abdurridha, dan
sebagainya. Sebagian orang ingin mengetahui apakah praktik ini
dibolehkan ataukah tidak. Walaupun Rasulullah Saw mengatakan bahwa
nama-nama terbaik adalah nama-nama yang berawal dengan nama 'Abdu dan
Muhammad, namun tidak mengapa menggunakan nama-nama yang disebutkan tadi
sebab nama itu tidak bermakna harfiah dan tidak menunjukkan bahwa anak
tertentu adalah budak dari Rasulullah Saw, Imam Husain As, ataupun Imam
Ridha As atau bahwa Rasulullah Saw atau para Imam As yang menciptakannya
dan memberinya rezeki. Sebaliknya, jenis penamaan ini mengungkapkan
rasa syukur, kekaguman, dan cinta kepada pribadi-pribadi seperti
Rasulullah Saw dan para Imam As yang mendedikasikan seluruh kehidupan
mereka bagi kebahagiaan umat manusia. Al-Quran Suci sendiri menggunakan
kata 'abd untuk makna selain dari ―hamba Allah‖: sebagai contoh, kalimat
―min 'ibadikum‖ (―dari para hamba sahaya lelaki kamu‖) tidak bermakna
bahwa para hamba sahaya itu menyembah orang yang memiliki mereka.
Penghambaan dan kepemilikan sesungguhnya adalah untuk Allah, tapi,
secara alegoris atau kiasan, nama Abdurrasul mengandung makna bahwa
pemilik nama itu adalah seorang hamba Allah melalui Rasulullah Saw
karena Al-Quran Suci menyatakan, “Barangsiapa yang menaati Rasul maka ia
telah menaati Allah.” (QS An-Nur [24]:32)
Lagi pula, pengertian penghambaan harus dimaknai
secara kiasan, bukan secara harfiah. Ungkapan-ungkapan seperti ini
banyak digunakan dalam ucapan-ucapan umum; banyak orang mungkin
adakalanya mengucapkan frase ―tuanku (sayyidi)‖ sebagai bentuk sopan
santun, atau barangkali menggunakan ungkapan ―semoga aku menjadi
tebusanmu (ju'iltu fidak)‖ tanpa memaknainya secara harfiah. Dalam
bahasa Arab, frase-frase ini mengekspresikan rasa syukur dan terima
kasih. Jadi menamakan seseorang Abdulhusain atau Abdurridha bukanlah
perbuatan syirik (politeisme) kepada Allah Swt karena seluruh kaum
Muslim setuju bahwa Allah adalah Zat satu-satunya yang layak untuk
tunduk dan taat kepada-Nya.
Mengunjungi Makam para Nabi dan Imam
Demikian juga, menyentuh dan mencium makam
Rasulullah Saw dan makam para Imam tidak mengandung makna syirik atau
menyekutukan orang tertentu dengan Allah karena Allah memiliki
kedaulatan puncak di alam ini, dan kaum Muslim tunduk, menyembah, dan
meminta bantuan hanya dari-Nya. Mengunjungi makam-makam tersebut
semata-mata mengisyaratkan sikap penghormatan. Jika Rasulullah Saw atau
para Imam As masih hidup, karena kekaguman terhadap mereka, orang banyak
akan menjabat tangan mereka atau mencium mereka. Karena mereka telah
wafat, dan orang banyak mengetahui bahwa makam-makam mereka mengandung
tubuh-tubuh suci dan barangkali ruh-ruh mereka, menyentuh atau mencium
makam-makam mereka merupakan sebuah cara memperbaharui baiat dan
loyalitas terhadap para pemimpin ini. Makam-makam itu sendiri terbuat
dari entah kayu maupun besi serta tidak memiliki kekuatan untuk memberi
manfaat ataupun mudarat, tetapi penghargaan dan penghormatan adalah
untuk apa yang mereka representasikan: ruh-ruh Rasulullah Saw dan para
Imam As. Di samping, kedekatan fisik dari makam-makam tersebut dengan
Rasulullah Saw dan para Imam As memberikan mereka aura kesakralan dan
nuansa kesucian.
Al-Quran Suci mengajarkan bahwa ketika Ya'qub As
menangisi terpisahnya beliau dari putranya Yusuf As dan hilangnya dari
pandangannya, Yusuf As mengirimkan bajunya melalui salah seorang
saudaranya dan memberitahunya untuk meletakkannya di atas wajah ayahnya
agar penglihatan beliau dapat pulih kembali:
"Pergilah kamu dengan membawa bajuku ini, lalu
usapkanlah di atas wajah ayahku, ia akan melihat kembali, dan bawalah
seluruh keluarga kamu kepadaku." Dan ketika kafilah itu telah keluar
[dari Mesir], ayah mereka [yang berada di Palestina] berkata, “Aku
sungguh mencium aroma Yusuf, seandainya kamu tidak menuduhku lemah
pikiran.” Mereka [keluarganya] berkata, “Demi Allah, sesungguhnya engkau
masih berada dalam kekeliruanmu yang dulu.” Maka ketika telah tiba
pembawa kabar gembira itu, ia mengusapkannya [baju Yusuf as] di atas
wajahnya [Ya'qub as], maka penglihatannya kembali pulih. Dia [Ya'qub as]
berkata, “Bukankah telah kukatakan kepada kamu bahwa aku mengetahui
dari Allah apa yang kamu tidak ketahui?” (QS Yusuf [12]:93)
Walaupun baju Yusuf As terbuat dari katun biasa
yang dipakai oleh mayoritas manusia pada masa itu, namun Allah
membuatnya mengandung keberkahan-keberkahan-Nya karena baju itu
menyentuh tubuh Yusuf As, serta izin, otoritas, dan keberkahan Allah
memengaruhi baju ini sehingga, ketika baju itu diletakkan di atas wajah
Ya'qub As, baju itu menjadikan Ya'qub mampu melihat.
Jika menyentuh makam Rasulullah Saw atau Imam Ali
As atau Imam Husain As adalah perbuatan syirik, karena makam-makam ini
terbuat dari besi, lantas mengapa jutaan kaum Muslim menyentuh batu-batu
dari Ka'bah Suci? Apakah batu-batu ini dibawa dari surga, atau apakah
batu-batu ini adalah batu-batu biasa yang dibawa dari Hijaz? Seluruh
kaum Muslim setuju bahwa Rasulullah Saw mencium Hajar Aswad, batu hitam
di Ka'bah, sedangkan seorang Muslim tentu saja tidak pergi mencium
batu-batu di lorong-lorong dan jalan-jalan kota Mekkah meskipun
batu-batu itu mungkin lebih menawan hati dibandingkan dengan Hajar
Aswad. Hari ini, di sebagian besar negeri, negeri Muslim dan non-Muslim,
bendera begitu sakral hingga para tentara dan bahkan para warga sipil
menciumnya dan meletakkannya di atas wajah mereka. Apakah itu berarti
mereka menyembah secarik kain? Tentu saja tidak; ide di balik
contoh-contoh ini adalah bahwa mereka memuliakan ide-ide di balik batu,
makam-makam dan bendera-bendera.
Ini semua merupakan prinsip-prinsip dan ide-ide yang dibawa oleh para pemimpin atau negeri-negeri besar.
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa setiap kali
Rasulullah Saw berwudhu, kaum Muslim menghimpun dan mengumpulkan air
sisa wudhu dan mereka membasuh wajah-wajah mereka dengannya untuk
memperoleh keberkahan-keberkahan.[174]
Bukhari juga meriwayatkan bahwa bahkan keringatnya Rasulullah Saw
dikumpulkan. ―Ummu Salamah meletakkan kain di bawah tubuh Rasulullah Saw
ketika beliau tidur. Banyak keringat yang menetes dari tubuh beliau. Ia
[Ummu Salamah] mengambil sebuah botol dan mulai menuangkan keringat
Rasulullah Saw di dalam botol itu. Ketika Rasulullah saw bangun, beliau
bertanya, ‗Wahai Ummu Salamah, apa ini?‘ Ummu Salamah menjawab, ‗Itu
adalah keringat Anda yang kami campurkan di dalam parfum-parfum kami,
dan jadilah parfum-parfum yang paling wangi.‘[175]
"Shadaqa Allahu Al-'Azhim" atau "Shadaqa Allahu Al-'Aliyy Al-'Azhim"?
Pada dasarnya tidak ada perbedaan di antara
perkataan "shadaqa Allahu al-'Azhim" ("Allah Yang Mahaagung berkata
benar") dan "shadaqa Allahu al-'Aliyy al-'Azhim" ("Allah Yang Mahaagung
dan Mahatinggi berkata benar"), dan persoalan ini barangkali kurang
signifikan di antara mazhab-mazhab Islam, terutama karena kedua
perkataan tersebut sudah digunakan, berulang-ulang, dalam mazhab-mazhab
Syiah dan Sunni. Namun, sumber dari masing-masing perkataan dalam
Al-Quran Suci akan diungkapkan untuk menghilangkan salah paham yang
mungkin timbul dalam pikiran sebagian saudara Muslim yang mungkin
mengira bahwa kata "'aliyy " merujuk kepada Imam Ali bin Abi Thalib As,
yang hal itu tidak demikian.
Frase awal "shadaqa Allah" terdapat dalam Al-Quran
di beberapa tempat, seperti dalam ayat, Katakanlah, “Allah telah berkata
benar (shadaqa Allah)." (QS. Ali Imran [3]:95)
"'Aliyy" dan "'azhim" termasuk di antara 99 sifat
Allah. Dalam Al-Quran Suci, Allah menyebutkan namanya ('Aliy)
berpasangan dengan "al-'Azhim" itu sendiri sekali,[176]
dan Dia menyebutkan kedua nama itu bersama-sama dua kali (2:255 dan
42:4) "Al-'Aliy" disebutkan dalam banyak ayat seperti Al-Hajj [22]:62,
Luqman [31]:30, Saba [34]:23, Al-Mukmin [40]:12, An-Nisa [4]:34,
Asy-Syura [42]:51, dan lain-lain. Menyebutkan dua sifat bersama-sama
("al-'Aliy" dan "al-'Azhim") bukan menunjukkan nama Imam Ali As tapi
agaknya suatu pencontohan Al-Quran Suci dalam memuji dan mengagungkan
Allah Swt.
Meratapi dan Berbelasungkawa atas Tragedi-tragedi Yang Menimpa Rasulullah Saw dan Keluarganya
Umumnya, Al-Quran Suci memuji tangisan dan
orang-orang yang menangis untuk suatu alasan yang sah atau logis.
Al-Quran Suci melukiskan beberapa nabi dan para pengikut mereka dengan
mengatakan, Apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Yang Maha
Pengasih, mereka rebah bersujud dan menangis. (QS. Maryam [19]:58) Ayat
tersebut melukiskan orang-orang beriman tertentu dengan cara yang sama,
Dan mereka mengatakan, “Mahasuci Tuhan kami. Sungguh, janji Tuhan kami
pasti dipenuhi,” dan mereka rebah tersungkur sambil menangis dan mereka
semakin bertambah khusyuk. (QS. Al-Isra [17]:109)
Rasulullah Saw diriwayatkan telah menangisi beberapa anggota keluarganya, seperti putranya Ibrahim. Imam Bukhari meriwayatkan:
Rasulullah Saw bersabda, ―Seorang anak telah
dilahirkan untukku malam ini, dan aku menamakannya mengikuti nama
datukku, Ibrahim.‖ Kemudian beliau mengirimkannya kepada Ummu Sayf,
istri si pandaibesi Abu Sayf. Nabi Saw pergi kepadanya, dan aku
mengikuti beliau hingga kami sampai di rumah Abu Sayf yang sedang meniup
api dengan puputan, dan rumahnya penuh dengan asap. Aku mempercepat
langkahku dan mendahului Rasulullah Saw sambil berkata, ―Hai Abu Sayf,
hentikan itu, karena Rasulullah Saw datang.‖ Ia berhenti, dan Rasulullah
Saw pun memanggil putranya. Beliau memeluknya dan mengatakan apa yang
Allah kehendaki. Aku melihat bahwa anak itu menghembuskan napas
terakhirnya di pangkuan Rasulullah Saw. Mata beliau meneteskan air mata
sambil berkata, ―Wahai Ibrahim, mata kami meneteskan air mata, dan hati
kami dipenuhi kesedihan, tetapi kami tidak mengatakan apapun kecuali apa
yang dengannya Allah ridha. Wahai Ibrahim, kami berduka bagimu.[177]
Rasulullah Saw juga diriwayatkan menangisi pamannya Hamzah:
Ketika Rasulullah Saw kembali dari Perang Uhud dan
menyaksikan kaum wanita Anshar sedang menangisi para suami mereka yang
syahid, beliau bangkit dan berkata, ―Tapi tidak ada orang yang menangisi
pamanku Hamzah, maka kaum wanita memahami bahwa Rasulullah menginginkan
orang banyak untuk menangisi paman beliau, dan itulah apa yang mereka
lakukan. Semua orang yang menangisi para syuhada lain menjadi berhenti
kecuali menangisi Hamzah.[178]
Dan untuk sepupunya Ja'far bin Abi Thalib[179]
serta cucunya Imam Husain As:
Aisyah meriwayatkan bahwa ketika Husain As masih
kecil, ia datang di hadapan Rasulullah Saw dan duduk di atas
pangkuannya, dan Jibril turun dengan mengatakan kepada beliau bahwa
beberapa dari umatnya akan membunuhnya (Husain). Lantas, Jibril membawa
kepada beliau contoh dari tanah Karbala dan mengatakan bahwa tanah itu
dinamakan al-Thaff. Ketika Jibril pergi, Rasulullah Saw keluar menemui
para sahabatnya dengan menggenggam tanah tersebut di dalam tangan
beliau. Saat itu, di sana ada Abu Bakar, Umar, Ali, dan Hudzaifah.
Beliau menemui mereka dalam keadaan menangis. Mereka bertanya kepada
beliau mengapa Nabi Saw menangis. Beliau berkata, ―Jibril baru saja
memberitahuku bahwa putraku Husain akan dibunuh di tanah al-Thaff, dan
ia membawakan aku tanah ini dari sana dan memberitahuku bahwa tempat
peristirahatan terakhirnya di sana.[180]
Menangisi Imam Husain As dinilai sebagai pendekatan
diri kepada Allah, karena tragedi Imam Husain As sangat berkaitan erat
dengan pengorbanan agung yang beliau tanggung deritanya karena Allah.
Ini merupakan pengingatan dari Allah dan riwayat dari Rasulullah Saw
yang, karena mengetahui nasib cucunya, menangis pada kelahiran Husain,
ketika masa kanak-kanak yang suka bermain-main, dan pada saat-saat
terakhir menjelang beliau wafat.
Bagi orang-orang yang menunjukkan simpati dan kasih
sayang terhadap orang-orang yang mereka cintai ketika orang-orang yang
mereka cintai tertimpa kesedihan dan musibah adalah hal alamiah.
Al-Quran Suci memfirmankan,Katakanlah [wahai
Muhammad], “Aku tidak meminta upah dari kamu untuk ini [penyampaian
risalah] kecuali cinta kamu kepada kerabatku.
(QS. Asy-Syura [42]:23)
Rasulullah Saw secara eksplisit memberitahu kaum
Muslim bahwa ayat ini berkenaan dengan Ahlulbait, yaitu Ali, Sayidah
Fatimah Zahra, Hasan, dan Husain (untuk informasi lebih lanjut, silakan
lihat bagian yang membahas tentang Ahlulbait). Dengan demikian, wajib
atas kaum Muslim untuk menunjukkan cinta dan simpati terhadap
individu-individu ini dan cobaan-cobaan yang mereka derita. Tidak ada
Ahlulbait yang mati dengan kematian alamiah; mereka semua syahid baik
diracun atau dibunuh oleh pedang dalam perjuangan-perjuangan mereka
untuk membela Islam. Tidak ada orang yang sanggup merasakan kesedihan
dan kepedihan untuk tragedi-tragedi mereka.
Bagaimana seseorang sanggup mendengar tentang
tragedi Asyura, ketika Imam Husain As mengorbankan 72 anggota
keluarganya dan sahabat-sahabatnya karena Allah dan dibunuh dalam cara
yang begitu tragis, dan ketika kaum wanita dari keluarganya—keluarga
Rasulullah Saw—ditawan dan diarak dari kota ke kota, mengiringi
kepala-kepala Imam Husain As dan para sahabatnya yang terputus—bagaimana
seseorang tidak dapat menangis? Bahkan orang-orang yang bukan Muslim
ikut menumpahkan air mata ketika mendengar kisah ini. Jika kaum Muslim
dapat menangisi para kerabat mereka sendiri, lantas bagaimana mereka
tidak dapat menangisi keluarga Rasulullah Saw? Imam Husain As tidak
dibunuh untuk ditangisi; beliau memberikan kehidupannya untuk
menyelamatkan risalah Islam dan gugur sebagai syahid untuk memerangi
tirani dan kerusakan agama. Namun air mata ini dan kesedihan ini
menghasilkan ikrar kuat untuk mengikuti jejak Rasulullah Saw dan
Ahlulbaitnya As.
Menunjukkan simpati terhadap tragedi Imam Husain as
dan Ahlulbait lainnya bukan merupakan bid'ah, tapi semua orang
seharusnya ingat bahwa mengikuti jalan Imam Husain As adalah lebih
penting dalam Mazhab Ahlulbait dibandingkan dengan sekadar menangisinya.
Talak Tiga dalam Satu Kesempatan?
Dalam Islam, perceraian seharusnya dihindari
bagaimana pun juga. Rasulullah Saw diberitakan telah bersabda bahwa, di
sisi Allah, perceraian merupakan perbuatan halal yang sangat dibenci
Allah. Perceraian seharusnya hanya dilakukan sebagai pilihan terakhir.
Islam menganjurkan untuk memanggil para mediator keluarga,[181]
dan perceraian atau talak seharusnya dijatuhkan atas tiga kesempatan
berbeda menyusul tiga bulan periode tunggu (masa idah) sebelum menjadi
tidak dapat dibatalkan atau tidak dapat rujuk kembali, Talak [yang dapat
dirujuk] itu dua kali. Setelah itu kedua pihak seharusnya hidup bersama
dengan cara yang baik, atau berpisah dengan cara yang baik. Dan jika
suami telah menceraikan istrinya untuk ketiga kalinya, maka istrinya
tidak lagi halal baginya hingga istrinya menikah dengan suami lain.
Kemudian jika suami lain itu menceraikannya, maka tidak berdosa bagi
keduanya untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat dapat
menjalankan hukum-hukum yang ditetapkan Allah. (QS. Al-Baqarah
[2]:229-230) Sayangnya, sebagian pakar hukum Muslim non-Syiah
membolehkan seorang suami untuk menceraikan istrinya secara selain-rujuk
dengan menjatuhkan tiga ucapan talak pada satu kesempatan, yang
jelas-jelas bertentangan dengan maksud Al-Quran Suci. Telah diriwayatkan
dalam kitab-kitab sahih, juga dalam kitab-kitab lainnya,[182]
bahwa ucapan talak tiga dalam satu kesempatan dianggap hanya sebagai
talak satu yang sah pada masa Rasulullah Saw, Khalifah Pertama, dan dua
tahun pertama dari pemerintahan Khalifah Kedua. Setelah itu, Khalifah
Kedua membolehkan tiga ucapan (talak tiga) dalam satu kesempatan
dianggap sebagai talak tiga yang sah, dan, dengan demikian, seorang
istri tidak akan dapat rujuk kembali dengan suaminya.[183]
Khumus dalam Islam
Khumus merupakan salah satu pilar Islam yang
ditetapkan oleh Allah dan dipraktikkan pada masa kehidupan Rasulullah
Saw. Khumus artinya ―seperlima‖, dan mengindikasikan bahwa seperlima
dari kelebihan pendapatan seseorang harus didedikasikan sesuai dengan
penjelasan ayat Al-Quran berikut, Dan ketahuilah bahwa apapun keuntungan
yang kamu peroleh, maka sesungguhnya seperlima darinya diperuntukkan
bagi Allah, bagi Rasul dan bagi keluarganya serta juga bagi anak-anak
yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang terlantar, jika kamu telah
beriman kepada Allah, dan pada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami
Muhammad. (QS. Al-Anfal [8]:41)
Pendek kata, khumus bermakna membayarkan seperlima
dari kelebihan pendapatan seseorang setelah menyisihkan belanja bagi
pribadinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya. Khumus terdiri
dari dua bagian yang sama: bagian pertama adalah bagian milik imam
(saham Imam). Bagian ini digunakan untuk membangun masjid-masjid,
lembaga-lembaga Islam, sekolah-sekolah Islam, perpustakaan-perpustakaan,
rumah sakit-rumah sakit, klinik-klinik, rumah yatim-rumah yatim,
mencetak mushaf Al-Quran dan kitab-kitab hadis, buku-buku Islam dan
ceramah-ceramah, serta aktivitas-aktivitas lainnya yang bermanfaat,
membela, atau menyebarkan Islam. Bagian kedua adalah bagian yang
diperuntukkan bagi para sayid (keturunan Rasulullah Saw) yang miskin
karena mereka dilarang menerima sedekah (derma atau pemberian umum).
Beberapa referensi sejarah dari berbagai mazhab
menyebutkan bahwa khumus eksis pada masa Rasulullah Saw dan dilarang
pada masa Khalifah Pertama dan Kedua.[184]
Penafsiran oleh Ahlulbait As tentang kata ―ghanimtum dalam Surah
Al-Anfal [8]:41 adalah ―segala sesuatu yang kamu peroleh—baik dari
perang, pekerjaan, perdagangan, ataupun sumber-sumber lainnya—karena
sejarah membuktikan bahwa Rasulullah Saw mengambil seperlima dari
pampasan perang dan juga dari aset-aset selain daripada pampasan perang
pada masa damai.[185]
Para ulama di luar Syiah lainnya adakalanya mendukung posisi ini.[186]
Pernikahan Temporer (Mut'ah)
Membahas legalitas pernikahan temporer bagaimana
pun juga tidak seharusnya dipahami sebagai mendorong kaum muda untuk
melakukan praktik demikian. Pernikahan permanen merupakan norma yang
dianjurkan oleh Al-Quran Suci dan hadis Rasulullah Saw serta
Ahlulbaitnya as. Pernikahan temporer merupakan pengecualian dan pilihan
terakhir apabila pernikahan permanen tidak sanggup dilakukan atau
menjadi sangat sulit untuk suatu alasan. Bagian ini tidak bermaksud
untuk membahas keuntungan-keuntungan dan kerugian-kerugian dari
pernikahan seperti itu tapi hanya bermaksud untuk menjelaskan legalitas
Islami berkenaan dengan Al-Quran Suci dan hadis Rasulullah Saw.
Pernikahan dalam Islam merupakan sebuah institusi
sakral, sebuah komitmen, dan sebuah ikrar oleh dua individu untuk saling
menghargai dan menghormati kehendak, martabat, kehormatan, dan
aspirasi-aspirasi orang (pasangan) lain. Ada dua jenis pernikahan:
permanen dan temporer. Keduanya memiliki aturan-aturan dan
batasan-batasan yang sama. Keduanya membutuhkan bentuk pinangan dan
penerimaan yang ditentukan, dan pernikahan—bahkan pernikahan
permanen—adalah terbuka untuk syarat-syarat dan batasan-batasan. Jika
pernikahan tidak dibatasi dengan suatu periode waktu, maka pernikahan
tersebut berarti pernikahan permanen, sedangkan jika pernikahan itu
disyaratkan oleh suatu periode waktu, maka pernikahan itu adalah
pernikahan temporer.
Ketika tidak menyepakati tentang persoalan
pernikahan temporer, para ulama mazhab-mazhab lain setuju bahwa jika
seorang pria bermaksud untuk menikahi seorang wanita untuk suatu periode
singkat tanpa memberitahunya bahwa ia akan menceraikannya setelah suatu
periode waktu dan menyembunyikan tujuan-tujuannya, pernikahan itu masih
sah. Pernikahan temporer tampaknya lebih logis karena dua pasangan
sesungguhnya menyetujui syarat-syarat dan kondisi-kondisi sebelumnya
dengan kejujuran penuh. Intinya, pernikahan temporer adalah pernikahan
normal dengan persetujuan bersama yang disyaratkan oleh suatu periode
waktu. Syarat-syarat pernikahan ini adalah sebagai berikut: adanya
pinangan dan penerimaan, adanya mahar bagi wanita, kedua pihak harus
setuju, dan kedua pihak memiliki kebebasan untuk menerima atau menolak,
keduanya harus sehat pikiran, dan wanita-wanita perawan harus mendapat
persetujuan ayah atau wali mereka. Namun, dalam pernikahan temporer,
tidak ada kewajiban untuk nafkah atau warisan kecuali jika dinyatakan
dan disyaratkan dalam perjanjian pernikahan. Mengenai praktik ini,
Al-Quran Suci menyatakan, Maka dengan wanita-wanita yang kamu nikahi
(secara) mut'ah, berikanlah kepada mereka mahar mereka sebagaimana
ditentukan. (QS. An-Nisa [4]:24)
Dalam hadis Rasulullah Saw, banyak hadis yang
menyatakan halalnya pernikahan temporer atau mut'ah. Imam Bukhari
meriwayatkan, ―Datang kepada kami orang yang memahami risalah Rasulullah
Saw sambil berkata: Rasulullah Saw memberi kamu izin untuk
melangsungkan pernikahan temporer—yaitu, memut'ahi wanita-wanita.[187]
Bukhari juga meriwayatkan:
Kami bersama Rasulullah Saw pada suatu ekspedisi
dan kami tidak membawa istri-istri kami. Kami katakana, ―Haruskah kami
mengebiri diri kami?‖ Beliau melarang kami untuk melakukan demikian.
Beliau kemudian memberikan kami izin untuk melakukan pernikahan
kontemporer untuk suatu jangka waktu tertentu dengan memberikan
pakaian-pakaian kepada wanita-wanita itu [sebagai mahar]. Abdullah
kemudian membacakan ayat ini, Wahai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengharamkan yang baik-baik yang Allah telah halalkan untuk kamu,
dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas.[188]
Imam Bukhari juga meriwayatkan:
Kami pergi bersama Rasulullah Saw pada ekspedisi ke
Banu Mushtaliq. Kami menderita karena ketidakhadiran istri-istri kami,
maka kami memutuskan untuk melangsungkan pernikahan temporer dengan
wanita-wanita tapi dengan melakukan 'azl. Namun kami katakana, ―Kami
sedang melakukan suatu perbuatan padahal Rasulullah Saw ada di
tengah-tengah kami; mengapa kami tidak bertanya kepadanya?‖ Maka kami
pun bertanya kepada Rasulullah Saw, dan beliau menjawab, ‗Tidak mengapa
jika kamu tidak melakukannya, karena setiap jiwa yang dilahirkan hingga
Hari Kiamat akan lahir.‘[189]
Imam Muslim juga meriwayatkan contoh-contoh pernikahan temporer yang dilakukan pada masa Rasulullah Saw[190]
dan memberikan referensi jelas bahwa pernikahan temporer adalah halal
pada masa Rasulullah, Khalifah Pertama Abu Bakar, dan pada sebagian
waktu dari Khalifah Kedua, yang justru merupakan orang yang melarangnya
[pada paruh kedua pemerintahannya]. Bahkan setelah waktu itu, masih
diterima oleh sebagian ulama Sunni, seperti Qurthubi, yang menganggapnya
sebagai bentuk pernikahan yang halal dan telah disepakati oleh para
ulama salaf dan khalaf.[191]
Para Imam Ahlulbait berargumen bahwa, menurut Al-Quran Suci, tidak ada
seorang yang memiliki otoritas untuk menjadikan suatu perbuatan itu
halal atau haram melalui keinginannya sendiri. Jika ada kepentingan
untuk melarang pernikahan temporer, maka Allah Yang Maha Mengetahui akan
memiliki prioritas untuk melakukan demikian melalui Rasul-Nya Saw.
Mut'ah Haji
Mut'ah Haji bermakna bahwa kaum Muslim adalah bebas
dari batasan-batasan ihram selama waktu di antara umrah dan haji,
sebagaimana Al-Quran Suci nyatakan dalam Surah al-Baqarah [2]:196.
Namun, hubungan-hubungan suami istri di antara waktu umrah dan haji,
dilarang oleh Khalifah Kedua, Umar bin Khaththab, yang menyatakan,
―Wahai manusia, ada tiga hal yang berlaku pada masa Rasulullah yang aku
larang dan haramkan dan aku akan menghukum orang-orang yang
melakukannya: mut'ah haji, mut'ah nisa' (pernikahan temporer), dan hayya
'alâ khayril 'amal (dalam azan)."[192]
Demikian pula, Umar mengatakan, ―Dua jenis mut'ah yang berlaku pada masa
Rasulullah Saw, dan aku melarangnya serta akan menghukum orang-orang
yang melakukannya: mut'ah haji dan mut'ah nisa'.[193]
Sayuthi memberitakan bahwa Umar bin Khaththab adalah orang pertama yang
memperkenalkan shalat taraweh, mencambuk 80 kali cambuk (sebagai ganti
100 kali) sebagai hukuman bagi peminum minuman keras, melarang mut'ah
pernikahan, melaksanakan empat takbir (sebagai ganti lima takbir) dalam
shalat jenazah, dan melakukan banyak hal-hal lainnya.[194]
Tirmidzi meriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar
ditanya tentang mut'ah haji. Ia berkata bahwa itu halal. Orang itu
menjelaskan bahwa ayah Abdullah (Umar) adalah orang pertama yang
melarangnya. Abdullah bin Umar menjawab, ―Jika ayahku melarang itu, dan
Rasulullah Saw melakukannya, yang mana di antara keduanya yang harus
kita ikuti—ayahku, atau perintah-perintah Rasulullah?"[195]
[]
Bagian 17
Kesimpulan
Seruan Persatuan Islam
Berbicara tentang fakta-fakta sejarah atau
perbedaan fikih seharusnya tidak menjadi jalan untuk mengecutkan kaum
Muslimin guna bersatu karena mayoritas sejarawan Islam dari berbagai
mazhab sepakat pada fakta-fakta sejarah yang sama. Pelbagai perbedaan di
antara para filosof, ulama dan pemikir mazhab dapat menjadi perbedaan
yang konstruktif atau destruktif. Jika mereka membimbing kepada
perpecahan kaum Muslimin, maka tindakan mereka ini tidak dapat diterima,
lantaran Al-Quran menyatakan, Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul
itu) berpecah-belah dalam urusan mereka, dan setiap kelompok menempuh
jalan mereka sendiri. (Anehnya) setiap golongan merasa bangga dengan apa
yang ada pada sisi mereka (masing-masing). (QS. Al-Mukminun [23]:53)
Orang-orang seperti ini mendukung gagasan yang tidak berdasarkan kepada
kebenaran dan hanya menggunakannya untuk melayani tujuan mereka sendiri.
Sementara, Al-Quran merujuk seluruh argumen pada suatu sumber: Dan
taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang
kekuatanmu, dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang
sabar. (QS. Al-Anfal [8]:46) Kelemahan kaum Muslimin di dunia lantaran
jenis perpecahan ini yang amat disayangkan kita saksikan hari ini. Namun
demikian, perbedaan konstruktif merupakan lambang sehatnya sebuah
masyarakat ketika orang-orang berlomba-lomba untuk melakukan yang
terbaik, Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikanmu satu umat
(saja). Tetapi Allah hendak mengujimu terhadap pemberian-Nya kepadamu.
Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali
kamu semuanya, lalu Dia beritahukan kepadamu apa yang telah kamu
perselisihkan itu. (QS. Al-Maidah [5]:48)
Aneka perbedaan dalam masalah-masalah keilmuan dan
fikih dapat menuntun kepada kemajuan dan kesejahteraan. Secara
filosofis, ini sangat bermanfaat jika tertuntun kepada keyakinan karena
seluruh orang bertitik tolak pada keraguan, pertanyaan dan perbedaan
dalam sebuah persoalan sebelum sampai pada kebenaran. Karena itu, Islam
tidak menolak penalaran dalam bidang ijtihad sepanjang tidak
terkontaminasi dengan tujuan-tujuan politis dan penipuan. Dengan
demikian, seluruh ulama sepakat bahwa mujtahid menerima dua ganjaran
atas setiap keputusan yang benar. Bahkan, bagi yang melakukan kesalahan,
ia akan menerima ganjaran atas segala usahanya untuk mencapai keputusan
yang benar.
Namun demikian, kesatuan atau persatuan Islam
merupakan salah satu tujuan masyarakat Islam dan sebuah kewajiban
seluruh Muslimin, baik secara personal dan sosial. Allah Swt berfirman
dalam Al-Quran, Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan dari bumi yang dapat
(menciptakan dan) menebarkan (makhluk)? (QS. Al-Anbiya [21]:92), dan,
Sesungguhnya ini adalah umatmu, umat yang satu dan Aku adalah Tuhanmu,
maka bertakwalah kepada-Ku." Sepanjang dua puluh tiga tahun berdakwah,
Rasulullah Saw menegaskan persatuan umatnya dan menyebutnya sebagai
"umatku." Al-Quran sejatinya memberikan enam makna atas redaksi ummah:
sekelompok orang, contoh, ketaatan kepada agama, agama itu sendiri,
waktu, dan sekelompok yang mengikuti satu tradidis dan satu jalan. Hal
ini tidak berguna bagi kelompok yang tidak mengikuti satu tradisi dan
satu jalan.
Konsep persatuan itu sendiri dibahas dalam Al-Quran
dalam tiga level. Yang paling utama adalah persatuan umat manusia. Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat
[49]:13)
Tujuan dari persatuan ini adalah untuk mengarahkan
seluruh ras, suku dan agama yang berbeda ke arah yang konstruktif.
Kemudian penekanan pada "supaya kamu saling mengenal" adalah untuk
menekankan bahwa manusia menemukan kesepahaman ketimbang konflik
sedemikian sehingga tiada yang mengingkari hak orang lain untuk hidup
dan mendapatkan kesejahteraan.
Dalam persatuan umat manusia, persatuan Ahlulkitab
(agama-agama tauhid) dianjurkan untuk, Katakanlah, “Hai ahli kitab,
marilah (berpegang teguh) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak
ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali
Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak
(pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain
Allah.‖ Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka,
“Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada
Allah).” (QS. Ali Imran [3]:64)
Al-Quran menegaskan bahwa Ahlulkitab diminta untuk
hanya menyembah Allah, Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (QS.
Al-Bayyinah [98]:5)
Esensi persatuan tauhid Ahlulkitab ada, namun tidak
boleh, bagaimanapun, diartikan bahwa tiada perbedaan sama sekali di
antara pelbagai perbedaan hukum dan aturan. Sementara jalan asli (agama)
adalah satu di sepanjang agama-agama tauhid, sementara pelaksanaan
praktis, misalnya hukum, berbeda, Untuk tiap-tiap umat di antara kamu,
Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki,
niscaya Dia menjadikanmu satu umat (saja). Tetapi Allah hendak mengujimu
terhadap pemberian-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. (QS. Al-Maidah [5]:48)
Tentu saja, tiga model persatuan yang disebutkan
Al-Quran adalah persatuan umat Islam, Dan berpegangteguhlah kamu semua
kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai. (QS. Ali
Imran [3]:103)
Persatuan kaum Muslimin memiliki dua fondasi,
pertama adalah berpegang teguh kepada Al-Qur'an sebagai undang-undang
hidup, kedua menerima tanggung jawab bersama sebagai seorang Muslim,
lantaran Rasulullah Saw telah bersabda, "Barangsiapa yang tidak peduli
dengan urusan kaum Muslimin maka ia bukanlah Muslim", juga sabdanya,
"Barangsiapa yang mendengar seruan seorang Muslim yang memanggil, ‗Ya
Muslimin!‘ Dan kemudian tidak menjawabnya maka ia bukanlah seorang
Muslim."
Beliau juga menggunakan metafora dari badan manusia
untuk menjelaskan umat Muslim. Jika satu bagian menderita, seluruh
badan akan merasa. Salah satu keberhasilan besar Rasulullah Saw adalah
menyatukan ribuan suku Arab yang tercerai berai di sepanjang Semenanjung
Arabia menjadi satu umat, dan bangsa yang kuat. Ketika menyatukannya,
beliau tidak menghilangkan perbedaan di antara mereka, melainkan membuat
mereka untuk berdialog satu dengan yang lain dan mencapai kata sepakat.
Dengan filosofi seperti ini, bangsa Muslim merupakan bangsa yang kuat
di masa lalu. Dan, hanya dengan pengertian ini bangsa Muslim kembali
akan menjadi kuat dan mendapatkan kedududan terhormat ini di antara
bangsa-bangsa dunia dan memiliki signifikan yang sama sebagaimana pada
waktu lalu.
Sampel modern yang harus dikaji oleh bangsa-bangsa
Muslim adalah Uni Eropa yang terdiri dari beberapa negara dengan
perbedaan budaya, bahasa, etnik, agama dan agenda-agenda politik, telah
menyatukan mereka di bawah satu sistem moneter, agenda ekonomi dan front
politik. Negara-negara Muslim dapat juga bersatu sebagaimana mereka
jika mereka ingin melakukan hal tersebut. Langkah pertama untuk
persatuan ini adalah menyelenggarakan konferensi regular dan
seminar-seminar yang diadakan oleh cendekiawan dan sarjana Muslim dan
untuk menjembatani kesenjangan di antara mazhab.
Pendeknya, perbedaan pendapat, apabila diarahkan
dengan proporsional, merupakan sebuah aset bagi perkembangan umat Islam
dan merupakan sebuah simbol vitalitas kebudayaan Islam. Persaingan yang
muncul di antara para ulama dari pelbagai mazhab seharusnya memotivasi
mereka untuk berjuang semaksimal mungkin guna mencapai keputusan yang
terbaik dan paling puncak mencapai kebenaran.
Keragaman seharusnya tidak berujung pada perpecahan
dan perceraiberaian namun kenyataannya merupakan bagian dari persatuan
persis sebagaimana masyarakat yang dicetak oleh Rasulullah Saw 1400
tahun lalu. Kami ingin mengundang seluruh ulama dan cendekiawan Islam
untuk melanjutkan diskusi dalam masalah fikih dan filsafat di bawah
payung lâ ilâha illallah Muhammadan Rasulullah serta dengan semangat
persaudaraan dan iman. Dan, puncaknya kita meminta kepada Allah Swt
untuk menganugerahkan bimbingan dan hikmah-Nya. Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan
janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.
Dan berpegang teguhlah kamu semua kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu
ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah
orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang
neraka, lalu Allah menyelamatkanmu darinya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebaikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar.
Merekalah orang-orang yang beruntung. Dan janganlah kamu menyerupai
orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan
yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa
yang berat. Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri,
dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram
mukanya (mereka ditegor), “Mengapa kamu kafir sesudah kamu beriman?
Karena itu rasakanlah azab yang disebabkan oleh kekafiranmu itu.” Adapun
orang-orang yang putih berseri mukanya, maka mereka berada dalam rahmat
Allah (surga); mereka kekal di dalamnya. Itulah ayat-ayat Allah, Kami
bacakan ayat-ayat itu kepadamu dengan benar; dan tiadalah Allah
berkehendak untuk menganiaya hamba-hamba-Nya. (QS. Ali Imran
[3]:102-108)[]
Daftar Pustaka
The Holy Qur'an
Nahj al-Balaghah
Sahih al-Bukhari
Sahih Muslim
Sahih al-Tirmidhi
Sunan ibn Majah
Sunan Abu Dawud
Sunan al-Nisa'i
Sunan al-Darimi
Sunan al-Darqatni
Sunan Ahmad Muwatta' Malik
Kanz al-'Ummal
Sunan al-Bayhaqi
Al-Kafi
Al-Tahdhib
Al-Istibsar
Man La Yahduruhu Faqih
Sirat ibn Hisham
Al-Milal wal-Nihal
Al-Tabaqat al-Kubra
Yanabi' al-Muwadda
Tadhkirat al-Khawas
Al-Isaba fi Tamyiz al-Sahaba
Khasa'is al-Nisa'i
Usd al-Ghabah
Al-Sawa'iq al-Muhriqa
Al-Bidayah wal-Nihayah
Lisan al-Mizan
'Abqariyat 'Umar
Al-Mustadrak 'ala Sahihayn
Tarikh al-Tabari
Tarikh ibn al-Athir
Tarikh al-Khulafa'
Tarikh ibn Asakir
Tarikh Baghdad
Tarikh ibn Kathir
Tarikh al-Aqd al-Farid
Sharh Nahj al-Balaghah
Tafsir al-Tabari
Tafsir al-Qurtubi
Tafsir al-Fakhr al-Razi
Tafsir al-Kashshaf
Tafsir al-Hasakani
Al-Durr al-Manthur
Tafsir Ruh al-Ma'ani
Tafsir al-Tha'labi
Asbab al-Nuzul (al-Wahidi)
Nadhariyyat al-Khalifatayn
Al-Saqifah
Ma'alim al-Madrasatayn
Daftar Isi
Meretas jalan Islam Muhamadi1
Sayid Moustafa Al-Qazwini1
Kata Pengantar2
Ihwal Buku 7
Ihwal Pengarang 8
Bagian 1 9
Siapakah Syiah Itu? 9
Bagian 2 12
Lima Mazhab 12
Mazhab Ja'fari12
Mazhab Hanafi14
Mazhab Maliki14
Mazhab Syafi'i16
Mazhab Hanbali16
Bagian 3 18
Imamah 18
Ayat-ayat tentang Kerajaan 21
Ayat-ayat tentang Pemerintahan (Hukumah)21
Ayat-ayat tentang Pengaturan 22
Ayat-ayat tentang Wilayah 22
Ayat-ayat tentang Mengikuti Nabi23
Ayat tentang Pilihan Allah 23
Ayat-ayat tentang Hukuman Tuhan 24
Bagian 4 27
Imam Ali As 27
Ayat Inzhâr29
Ayat Wilayah 31
Bagian 5 36
Ahlulbait As 36
Ayat Tathhir36
Ayat Mawaddah 38
Ayat Mubâhalah 39
Ayat Shalawat43
Ayat Ith'âm 44
Ayat Wilâyah:47
Hadis Tsaqalain 48
Bagian 7 57
Syafaat57
Meminta Pertolongan Nabi Saw dan para Imam Maksum 60
Bagian 8 63
Imam Mahdi As 63
Bagian 9 67
Taqiyyah 67
Bagian 10 70
Melihat Allah (Ru'yat Allah)70
Bagian 11 75
Shalawat atas Nabi Saw 75
Bagian 12 77
Tentang Praktik Ibadah 77
Mengusap Kedua Kaki Saat Wudhu 77
Menjamak Shalat79
Azan dan Hayya ‘ala Khair al-‘Amal83
Menyedekapkan Tangan dalam Shalat (Takfir)85
Menyudahi Shalat dengan Tiga Takbir85
Shalat di Atas Tanah (Turbah)85
Mengapa Kita Sujud Di Atas Tanah Karbala? 90
Shalat Jenazah 93
Shalat Tarawih 93
Bagian 13 95
Para Sahabat Rasulullah Saw 95
Bagian 14 103
Istri-istri Rasulullah Saw 103
Bagian 15 106
Beberapa Fakta Sejarah 106
Peristiwa Kamis 107
Penderitaan Hadhrat Fatimah Zahra 109
Apakah Rasulullah Saw Memerintahkan Khalifah Pertama untuk Memimpin Shalat Sebelum Wafatnya? 111
Asyâra Mubâsyarah (Sepuluh Orang yang dijamin Surga)114
Abu Hurairah 115
Bagian 16 120
Beberapa Perbedaan dan Kesalahpahaman antara 120
Syi'ah dan Mazhab Lainnya 120
Ayah Nabi Ibrahim As dan Ayah Imam Ali As 122
Mitos tentang Terdistorsinya Al-Quran Suci123
Mushaf Fatimah 126
Pemberian Nama Menurut Nama-nama Para Nabi dan Imam 127
Mengunjungi Makam para Nabi dan Imam 128
"Shadaqa Allahu Al-'Azhim" atau "Shadaqa Allahu Al-'Aliyy Al-'Azhim"? 131
Meratapi dan Berbelasungkawa atas Tragedi-tragedi Yang Menimpa Rasulullah Saw dan Keluarganya 132
Talak Tiga dalam Satu Kesempatan? 136
Khumus dalam Islam 137
Pernikahan Temporer (Mut'ah)138
Mut'ah Haji142
Bagian 17 144
Kesimpulan 144
Seruan Persatuan Islam 144
Daftar Pustaka 150
Catatan Kaki:
[1]Al-Kâfi, Kulaini, 2:74
[2]Lisân al-Mizân, Ibn Hajar, 2:354.
[3]Tawzih al-Dalâ'il fi Tashih al-Fadâ'il, hal. 505.
[4]Ibid.,
[5]The History of the City of Damascus, Ibn Asakir, bagian biograpi Imam Ali As.
[6]Shahih Bukhâri; Shahih Muslim, 2:191; Shahih Tirmidzi, 2:45; Musnad Ahmad ibn Hanbal, 5:106; Sunan Abu Dâwûd, 2:207
[7]Statistik ini dikutip dari Bulletin of Affiliation: Al-Madhhab - Schools of Thought, vol. 17 no. 4 (December 1998), hal. 5.
[8]Min Amali al-Imam al-Shâdiq, Kalili, 4:157.
[9]Tadzkirat Al-Huffâzh, 1:166; Asna Al-Matalib, hal. 55.
[10]Lihat, Al-Imâmah wa Al-Siyâsah, Ibnu Qutaibah, 1:6.
[11]Lihat, Al-Sirah Al-Nabawiyyah, Ibnu Katsir, 2:494.
[12]Târikh Al-Thabari, 2:443.
[13]Târikh Al-Khulafa', Suyuti, hal. 69.
[14]Syarh Nahj Al-Balâghah, Ibn Abi Al-Hadid Al-Mu'tazili, 2:29.
[15]Syarh Nahj Al-Balâghah, Ibn Abi Al-Hadid Al-Mu'tazili, 9:50.
[16]Shahih Bukhâri, Kitab Al-Imarah, hadis 1096;
the Book of Trials, hadis 6530 and 6531; Legal Judgements, hadis 6610;
Shahih Muslim, Kitab Al-Imârah, hadis 3438; Musnad Ahmad ibn Hanbal,
1:275, 297, and 310; dan Darami, the Book on Biographies, 2407.
[17][Sudah disebutkan di atas, dalam tulisan].
Lihat para penafsir berikut ini: Thabari, Wahidi, Tsa'alibi, Qurtubi,
Razi, Ibn Katsir, Naisaburi, Suyuti, dan Alusi Baghdadi; dan sejarawan,
Baladzari, Ibn Qutaibah, Thabari, Khatib Baghdadi, Ibn Abd Al-Birr,
Syahristani, Ibn Asakir, Ibn Atsir, Ibn Abil Hadid, Ya'qut Hamawi, Iibn
Khalliqan, Yafi'i, Ibn Katsir, Ibn Khaldun, Dzahabi, Ibn Hajar Askalani,
Ibn Sabbagh Maliki, Maqrizi, dan Jalal Al-Din Suyuti; dan juga perawi
hadis: Syafi'i, Ahmad bin Hanbal, Ibn Majah, Tirmidzi, Nasa‘i, Baghawi,
Dulabi, Thahawi, Abu Ya'la Musali, Hakim Naisaburi, Khatib Khawarizmi,
Muhibb Al-Din Thabari, Dzahabi, dan Muttaqi Hindi.
[18]Musnad Ahmad bin Hanbal, 4:281; Sirr al-'Alamin, Ghazali, hal. 12; Al-Riyadh Al-Nadhirah, Thabari, 2:169, et. al
[19]Ihqaq Al-Haqq, 4:62; Tarikh Thabari, 2:117;
Musnad Ahmad ibn Hanbal, 1:159; Tarikh Abul Fida, 1:116; Nazhm Durar
Al-Simtain, hal. 82; Kifayat Al-Thalib, hal. 205; Tarikh Madinat
Dimisyqq, 1:87, hadith 139 dan 143; Syawahid Al-Tanzil, Hasakani, 1:420;
Jami' Al-Bayan, Muhammad ibn Jarir Tabari, 19:131; Al-Durr Al-Mantsur,
Jalal Al-Din Al-Suyuti, 5:97; Tafsir Ibn Katsir, 3:350; Tafsir
Al-Khazin, Baghdadi, 3:371; Ruh Al-Ma'ani, Alusi Baghdadi, 19:122;
Tafsir Al-Jawahir, Thanthawi, 13:103; Al-Mustadrak 'ala Al-Shahihayn,
Hakim Naisaburi, 3:135. Dan literatur-literatur sejarah lainnya, seperti
Sirat Halabi, yang berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda, "Dan ia akan
menjadi wazir and pewarisku."
[20]Tafsir Al-Kasysyaf, Zamakhshari, tafsir surah al-Maidah (5), ayat 55.
[21]6:391, hadis 5991
[22]Shahih Bukhâri, Book on Outstanding Traits,
hadis3430; Battles hadis4064; Shahih Muslim, Book of the Merits of the
Companions, hadis4418; Tirmidzi, Book on Outstanding Traits, 3664; Ibn
Majah, Book on the Introduction, 112 and 118; Musnad Ahmad ibn Hanbal
1:173, 175, 177, 179, 182, 184, 185.
[23]Al-Mustadrak, Hakim, 3:128; Kanz Al-Ummâl, Muttaqi Hindi, 6:155.
[24]Musnad Ahmad ibn Hanbal, 5:25; Shahih Tirmidzi, 5: 296.
[25]Kanz Al-Ummâl, Muttaqi Hindi, 6:170.
[26]Al-Mustadrak, Hakim, 3:226. Juga Ibn Jarir; Kanz Al-Ummâl, Muttaqi Hindi, 15:13; Târikh Ibn Katsir, 7:358.
[27]Sunan Ibn Majah, 1:44; Tirmidzi, 5:300.
[28]Hakim, 3:221. Juga Dzahabi.
[29]Shahih Bukhâri, Book on Battles and Marching,
hadis 2724, 2753; Battles hadis 3888; Shahih Muslim, Fadhail Shahabah,
hadis4423 dan 4424; Musnad Ahmad ibn Hanbal 5:333.
[30]Shahih Bukhâri, Book on Outstanding Traits,
hadis3240; Shahih Muslim, Kitab Al-Imârah, hadis 3392; Musnad Ahmad ibn
Hanbal, part 2, hal. 29, 93, dan 128).
[31]Shahih Bukhâri, Book on Legal Judgements,
hadis6682; Shahih Muslim, Kitab Al-Imârah, hadis3393; Tirmidzi, Book on
the Trials, 2149; Abu Dawud, Book on Al-Mahdi, 3731; Musnad Ahmad ibn
Hanbal, 5:87, 90, 92, 95, 97, 99, 100, 101, 106, 107, and 108).
[32]Al-Durr al-Mantsur, Suyuti.
[33]Manaqib Ahlulbait, Tirmidzi.
[34]Ibnu Mardawai, Ahmad bin Hanbal, Tirmidzi,
Ibnu Munzhir, Tabarani. Untuk rinciannya silahkan lihat, Tafsir
al-Mizan, pada penjelasan ayat QS Al-Ahzab [33]:56.
[35]Fadhâil Ahlulbait, Al-Miqrizi, hal. 21.
[36]Sawâiq Ibnu Hajar, 11:16-; Thabâqat al-Kubra, Ibnu Sa‘ad; juga Shahih Muslim, Musnad ibnu Hanbal, Tafsir al-Durr al-Mantsur.
[37]Ihtijâj Thabarsi, 2:335; Ihtijâj No. 271.
[38]Musnad Ahmad Ibn Hanbal, 1:185; Tafsir
Thabari, 3:192; Al-Mustadrak, Hakim, 3:150; Dalâ'il Al-Nubuwwah, Hafiz
Abu Nu'aym, hal. 297; Asbâb Al-Nuzûl, Naysaburi, hal. 74; Ahkâm
Al-Qur'ân, Abu Bakr ibn Al-'Arabi, 1:115; Tafsir Al-Kabir, Fakhrurrazi,
8:85; Usd Al-Ghabah, Juzri, 4:25; Tadzkira Sibt Ibn Al-Jawzi, hal. 17;
Al-Jâmi' li Ahkâm Al-Qur'ân, Qurtubi, 3:104; Tafsir ibn Katsir, 1:370;
Al-Bidâyah wa Al-Nihâyah, Ibn Katsir, 5:52; Al-Ishâbah, Ibn Hajar
Asqalani, 2:503; Al-Fushul Al-Muhimmah, Ibn Shabbagh Al-Maliki, hal.
108; Al-Durr al-Mantsur, Jalal Al-Din Al- Suyuti, 4:38; Tarikh
al-Khulafa', Jalal Al-Din Al-Suyuti, hal. 115; Al-Shawa'iq al-Muhriqa,
Ibn Hajar, hal. 199; dan sumber-sumber terpercaya lainnya. Empat perawi
dan mufasir Al-Quran dari empat mazhab meriwayatkan bahwa keluarga
langsung dari Nabi saw hanyalah Sayidah Fatimah, Ali, Hasan, dan Husain.
[39]Tafsir al-Kabir, 3:56.
[40]QS. Al-Shaffat [37]:130.
[41]Al-Shawâ'iq, Ibn Hajar, Bab 11.
[42]Tafsir Al-Kasysyâf, Zamakhshari, Bab 76; Tafsir al-Kabir, Fakhrurrazi, Bab 76; Majma‟ Al-Bayan, Thabarsi, Bab 76.
[43]Tafsir Al-Burhân.
[44]Hadis ini telah diriwayatkan oleh lebih dari
dua puluh sahabat Nabi saw dan juga diriwayatkan oleh lebih dari 185
perawi yang disebutkan dalam Shahih Muslim, 2:238; Musnad Ahmad ibn
Hanbal, 5:181-182; Shahih Tirmidzi, 2:220, dan lain-lain.
[45]Hadis ini telah disampaikan oleh delapan
sahabat Nabi saw dan delapan tabi‘it tabi‘in, enam puluh orang ulang
tersohor, dan lebih dari sembilan puluh penulis dari saudara-saudara
Ahlu Sunnah, seperti Misykât Al-Mashâbih, Ahmad bin Hanbal, hal.523;
Faraidh Al-Simthain, 2:242; Al-Shawâiq Al-Muhriqah, hal.234; „Uyun
Al-Akhbâr, 1:211, dan lain-lain.
[46]Al-Mustadrak, Al-Hakim (nukilan dari Ibnu Abbas), 3:149.
[47]Al-Syafâ,2:40.
[48]Shahih Bukhâri, Book on the Beginning of
Creation, hadis #3051, Book on Outstanding Traits, hadis #3407; Good
Manners, hadis #5621; Shahih Muslim, Book on the Merits of the
Companions, hadis #4410; Musnad Ahmad ibn Hanbal, 1:171, 182, 187 )
[49]Shahih Bukhâri, Book on Friday Prayer, hadis
#897; Shahih Muslim, Book on the 'Id Prayers, hadis #1479; al-Nisa'i,
Book on the 'Id Prayers, hadis #1575, #1576, #1577, dan #1579; Sunan Ibn
Majah, Book on Marriage, hadis #1888; Musnad Ahmad ibn Hanbal, bagian
6, hal. 166, 186, 247.
[50]Shahih Muslim, Bab al-Hirab wal-Darq Yawm al-'Id; Muslim, Book of Taharah, Bab 22; Shahih Bukhâri, Book of Wudu', vol. 1.
[51]Shahih Bukhâri, Book on Funerals, hadith
#1253; Shahih Muslim, Book in the Virtues, hadith #4374; al-Nisa'i, Book
on Funerals, hadith #2062; Musnad Ahmad ibn Hanbal, 2:269, 315, 351,
533
[52]Kanz al-Ummâl, Muttaqi Hindi, hadis 39043.
[53]Kanz al-Ummâl, Muttaqi Hindi.
[54]Kanz al-Ummâl, Muttaqi Hindi.
[55]Kanz al-Ummâl, Muttaqi Hindi, hadis 39041.
[56]Bihâr Al-Anwâr, 82:236.
[57]Ibn Majah; Nisa'i; Tirmidzi; al-Husn al-Hasin, Ibn al-Juzri.
[58]Shifa' al-Asqam, Samhudi
[59]QS. Al-Baqarah [2]:45.
[60]Shahih Bukhâri, 4:143.
[61]Shahih Muslim, jil. 2; Sunan Tirmidzi; Sunan Abu Dawud, 2:421.
[62]Sunan Abu Dawud, 2:421.
[63]Sunan Abu Dawud, jil. 2 Hadis 4082 dan 4087.
[64]Sunan Abu Dawud, jil. 2 hadis 4082 dan 4087.
[65]Al-Jami' Al-Shahih, Tirmidzi, 9: 74-75. Untuk
referensi lebih jauh terkait dengan masalah ini, silahkan lihat, Fath
al-Bari, Hafiz, 5:362; Al-Shawa'iq, Ibnu Hajar Al-Haytsami, 2:212;
Muntakhab Al-Atsar, Allamah Lutfullah Shafi, yang memuat lebih dari enam
puluh hadis dari kitab-kitab Ahlusunnah dan sembilan puluh hadis dari
sumber-sumber Syiah.
[66]Sirah Ibn Hisyam, 1:274; Târikh Thabari, 2:216 dan 218; Al-Thabâqat Al-Kubrâ, Ibn Sa'ad, hal. 200.
[67]Difâ' 'an Al-Kâfi, Amidi, 1:627.
[68]Ihyâ 'Ulum Al-Din, Ghazali.
[69]Sunan ibnu Majah, Mukaddikah; Sunan al-Tirmidhi, penjelasan surah al-Hud. Musnad Ahmad ibnu Hanbal, 4:11-12.
[70]Shahih Bukhâri, 3:128; 4:191; 4:129 dari Anas dan yang lain. Beberapa riwayat menyebutkan "foot" sebagai ganti "leg."
[71]Shahih Bukhâri, 10:18, 20; Book on the Times
of Prayers hadith 521 and 539; Interpretation of the Holy Qur'an hadith
4473; Monotheism hadith #6882, #6883, #6884; Shahih Muslim, Book on
Mosques and Places of Performing Prayers hadith 1002; Tirmidhi, Book on
the Description of Paradise hadith 2474; Abu Dawud, Book on the Sunnah,
hadith 4104; Ibn Majah, Book on the Introduction, hadith 173; Musnad
Ahmad ibn Hanbal 4:360, 362, 365
[72]Nahj al-Balâghah
[73]Yanâbi al Mawaddah, 2: 59; Al-Sawa‟iq Al-Muhriqah, Ibn Hajar, bag. 1, 11.
[74]Yanâbi al Mawaddah 2: 59
[75]Shahih Bukhâri, Book on Traditions of
Prophets hadith 3119; Interpretation of the Holy Qur'an hadith 4423;
Supplication hadith 5880; Shahih Muslim, Book on Prayer hadith 614;
Al-Tirmidhi, Book on Prayer, hadith 445; Al-Nisa'i, Book on Inattention,
hadith 1270, 1271, 1272; Abu Dawud, Book on Prayer hadith #830; Ibn
Majah, Book on Immediate Call for Prayer hadith 894; Musnad Ahmad ibn
Hanbal 4:241, 243, 244; Al-Darami, Book on Prayer hadith 1308
[76]Wudhu' al-Nabi, al-Shahrastani
[77]Shahih al-Bukhâri, 1:52; Shahih Muslim, 1:204
[78]Kanz al-'Ummâl, al-Muttaqi al-Hindi, 9:443, hadis #26890
[79]Shahih Muslim, 1:207 - 8
[80] Kanz al-'Ummâl, al-Muttaqi al-Hindi, 9:423, hadis #26797
[81]Syarh Nahj al-Balâgha, Ibn Abi al-Hadid, 1:199-200
[82]Târikh, al-Tabari, 4:339
[83]Al-Musannath, Abu Shaybah, 1:30 #6; Sunan Abi Dawud, 1:42 #164
[84]Tafsir, 5:428
[85]Shahih Bukhâri, Book on Times of Prayers,
hadis 510, 529; Book on Friday Prayer, hadis 1103; Shahih Muslim, Book
on the Prayer of Travellers, hadis 1146; al-Tirmidhi, Book on Prayer
hadis 172; al-Nisa'i, Book on Timings, hadis 585, 597, 598, #599; Abu
Dawud, Book on Prayer, hadis 1024, 1025, 1027; Musnad Ahmad ibn Hanbal,
1:217, 221, 223, 251, 273, 283, 285, 346, 349, 351, 354, 360, 366;
Malik, Book on Shortening the Prayer While Travelling, hadis 300.
[86]Shahih Muslim, Book of the Prayers of Travellers, bab. 6 #50-54
[87]Shahih Muslim, bab. 6-8, 58-62
[88]Kanz al-Ummâl, al-Muttaqi al-Hindi, jil. 6 hadis #397; al-Mustadrak, al-Hakim, 3:171
[89]Shahih Muslim, 1:48
[90]al-Sirah al-Halâbiyyah, 4:56
[91]Syarh al-Tajrid, Musnad Ahmad ibn Hanbal 1:49
[92]Malik ibn Anas, Kitab al-Muwattâ', Bab Adhan
[93]Sunan Al-Tirmidzi, 1:64
[94]Takfir derivatnya dari bahasa Arab yang
bermakna ―menutupi dan lantaran menyilangkan tangan di atas dada
sehingga ia disebut takfir.
[95]Al-Kafi, al-Kulayni, 3:336; Al-Ta'dzib, Al-Thusi, 2:84 and 2:309
[96]Shahih Muslim, 1:219
[97]Shahih Bukhâri, Book on Making Ablutions with
Sand or Earth, hadis 323; Prayer hadis 419; The Prescribed Fifth
Portion hadis 2890; Shahih Muslim, Book on Mosques and Places of
Performing Prayers hadis 810; al-Nisa'i, Book on Washing and the Dry
Ablution, hadis 429; Mosques, hadis 728; Musnad Ahmad ibn Hanbal, 3:305;
al-Darami, Book on Prayer, hadis 1353
[98]Shahih Bukhâri, Book on Menstruation, hadis
321; Book on Prayer hadis 366, 487, 488; Shahih Muslim, Book on Prayer,
hadis 797; al-Nisa'i, Book on Mosques, hadis 730; Abu Dawud, Book on
Prayer, hadis 560; ibn Majah, Book on Immediate Call for Prayer, hadis
1018; Musnad Ahmad ibn Hanbal 6:330, 331, 335, 336; al-Darami, Book on
Prayer, hadis 1338
[99]Musnad Ahmad ibn Hanbal, 6:58; Kanz al-Ummâl, al-Muttaqi al-Hindi, 4:212
[100]Ahkâm al-Qurân, al-Jassan, 3:36; Musnad Ahmad ibn Hanbal, 4:315
[101]Sunan Al-Bayhaqi, 2:105; Al-Isâbah li Ma'rifat al-Shahâbah, ibn Hajar, 2:201
[102]Shahih al-Nisa'i, 2:204; sunan al-Bayhaqi, 1:439; Musnad Ahmad ibn Hanbal, 3:327
[103]Sunan Al-Bayhaqi, 2:105; Nayl al-Awtar, 2:268
[104]Sunan Al-Bayhaqi, 2:106
[105]Majma' al-Zawâ'id, 2:57
[106]Sunan al-Kubrâ, Al-Bayhaqi, 2:105
[107]Kanz al-Ummâl, Al-Muttaqi al-Hindi, 4:212; Sunan al-Kubra, Al-Bayhaqi, vol. 2
[108]Al-Thabaqat al-Kubra, Ibnu Sa'ad, 6:53
[109]Wasâ'il al-Shi'ah, 3:592
[110]Ibid
[111]Targhib wal-Tarhib, 1:581
[112]Wasâ'il al-Shi'ah, 3:591
[113]Al-Khasâ'is, Al-Suyuti al-Shafi'i, 2:125;
Al-Manâqib, Al-Maghazali, hal. 313; Musnad Ahmad ibn Hanbal, 6:294;
Târikh Al-Islâm, Al-Dimishqi, 3:11; Al-Bidâyah wal-Nihâyah, 6:230;
al-'Aqd al-Farid, ibn 'Abd Rabbah, 2:219; Kanz al-Ummâl, Al-Muttaqi
Al-Hindi, 5:110
[114]Târikh Ibnu Asakir, 4:342; Al-Kifâyah, Hafiz al-Kanji, hal. 293.
[115]Musnad Ahmad bin Hanbal, 4:370; Shahih Muslim, Chapter of the Prayers over the Graves; Shahih Al-Nisa'i, Kitab al-Janazah.
[116]Al-Kâmil, Suyuti, 15:29; Tarikh al-Khulâfa', Suyuti, hal. 137
[117]Shahih Bukhâri,1:342.
[118]Untuk keterangan lebih jauh, silahkan lihat, al-Magâzi, al-Waqidi, 2:989
[119]Shahih Bukhâri, Book on Heart-Melting
Traditions, hadith 6089 dan 6090; Book on the Trials, hadith 6527;
Shahih Muslim, Book on the Virtues, hadith 4250; Ibnu Majah, Book on
Religious Rituals, hadith 3048; Musnad Ahmad ibnu Hanbal, 1:384, 402,
406, 407, 425, 439, 453, 455;5:387, 393, 400.
[120]Shahih Bukhâri, Book on Heart-Melting Traditions hadith #6104; Shahih Muslim, Book on the Virtues, hadith #4245
[121]“Di antara orang-orang Arab Badui yang di
sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk
Madinah ada sekelompok orang yang keterlaluan dalam kemunafikannya.
Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kami-lah yang
mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka
akan dikembalikan kepada azab yang besar.” (QS. Al-Taubah [9]:101)
[122]Lihat, Shahih Bukhâri, Book on the
Interpretation of the Holy Qur‟an, hadis 4531; Shahih Muslim, Book on
Divorces, hadis 2694; Al-Tirmidzi, Book on Foods, hadis 1574; Al-Nasai,
Book on Divorces, hadis 3367; Oaths, Vows, and Crop Sharing, hadis 3735;
Intimacy for Women, hadis 3896; Abu Daud, Book on Drinks, hadis 3227;
Ibnu Majah, Book on Foods, hadis 3314; Musnad bin Hanbal, 6;221;
Al-Darami, Book on Foods, hadis 18986.
[123]Syarh Nahj al-Balâghah, Ibnu Abil-Hadid Al-Muktazili, 13:224
[124]Khasâ'is Amir al-Mu'minin, al-Nisa'i, 13:39;
Silahkan juga lihat Târikh al-Thabari 2:316 dan 5:17 untuk melihat
kapan sahabat lainya masuk Islam.
[125]Al-Mustadrak, Hakim, 3:14; Fath Al-Bâri,
7:211; Târikh Al-Khamis, 1:353; al-Sirah Al-Halabiyyah, 2:220; Al-Sirah
Al-Nabawiyyah, Ahmad Zaini Dahlan, 1:155.
[126]Al-Thabaqât Al-Kubrâ, Ibnu Sa'ad, 3:102.
[127]Al-Isâbah fi Ma'rifat al-Sahâbah, 1:373;
Al-Durr al-Mantsur, 6:122; Wafâ' al-Wafâ', Samhudi, 2:477; Kanz
Al-Ummâl, Muttaqi Hindi, 15:155, dan yang lainya.
[128]Musnad Ahmad ibn Hanbal, 1:175; 2:26; 4:369.
[129]Al-ShawÂ'iq Al-Muhriqah, Ibnu Hajar, 3:9; Al-Mustadrak, Hakim, 3:125
[130]219. Shahih Bukhâri, 4:490, hadith #1229;
Shahih Muslim, 11:89; Al-Thabâqât al-Kubra, Ibnu Sa'ad, 2:36; Misbâh
Al-Munir, 6:34
[131]Al-Milal wal-Nihal, Syahristani, 1:22.
[132]Tadzkirat Al-Khawwâs, Sibt ibnu Al-Jawzi; Sirr al-'Alamin, Abu Hamid al-Ghazali hal. 21; Târikh Ibnu al-Wardi, 1:21.
[133]Syarh Nahj al-Balâghah, Ibnu Abil-Hadid Al-Muk'tazili 3:114; Fath al-Bari 'ala Shahih al-Bukhâri, Ibnu Hajar, 8:132.
[134]Shahih Bukhâri, Book on Jihad and Marching,
hadith 2825; Shahih Muslim, Book on the Bequest, hadith 3089; Abu Dawud,
Book on Land Tax, Emirate, and Booty, hadith 2634; Musnad Ahmad ibn
Hanbal, 1:222
[135]Nahj al-Balâghah, Khutbah 202.
[136]Al-Thabâqat al-Kubra, Ibnu Sa'ad, 2:85
[137]Shahih Bukhâri, 5:177
[138]Shahih Bukhâri, 5:35
[139]Al-Imâmah wal-Siyâsah, Ibnu Qutaybah, 1:14
[140]Al-Bidâyah wal-Nihâyah, Ibnu Katsir, 5:253
[141]Târikh al-Thabari, 2:439; Sirah Ibnu Hisham, 4:303
[142]Sunan Abi Dawud, 1:98
[143]Minhaj al-Sunna, Syaikh al-Islam Ibn Taymiyyah 4:91.
[144]Târikh al-Thabari, 2:439
[145]Musnad Ahmad ibn Hanbal 3:202
[146]Târikh al-Tabari, 2:439
[147]Al-Imâmah wal-Siyâsah, Ibnu Qutaybah, hal. 24
[148]Al-Thabâqat al-Kubra, Ibnu Sa'ad, 4:327;
Shahih Bukhâri, 4:239. Mahmud Abu Riyyah dalam Shaykh al-Mudhirah Abu
Hurayra mentapkan bahwa persahabatannya berusia satu tahun dan Sembilan
bulan
[149]Shahih Bukhâri, Kitab al-'Ilm, 1:86
[150]Fiqh al-Sirah, Muhammad al-Ghazzali, hal. 41
[151]Ibid.
[152]The History of Arab Literature, Mustafa al-Rafi'i, 1:278
[153]Al-Bidâyah wal-Nihâyah, Ibnu al-Atsir, 8:116
[154]Syarh Nahj al-Balâghah, Ibnu Abi al-Hadid al-Mu'tazili, 1:360
[155]Al-Taqrib, al-Nawawi, hal. 14
[156]Shahih Bukhâri, 7:22
[157]Shahih Muslim, 1:471 - 310
[158]Shahih Bukhâri, 1:77
[159]Shahih Bukhâri, 4:151
[160]Shahih Muslim, 4:1866 hadith 2401
[161]Fajr al-Islâm, Ahmad Amin, hal. 213
[162]Untuk telaah lebih jauh, silahkan lihat,
Al-Isti'âb, Ibnu 'Abd al-Barr, 1:65; Al-Isâbah, Ibn Hajar, 1:154;
Al-Kâmil fi al-Târikh, Ibnu al-Atsir, 3:162; Târikh al-Tabari, 6:77;
Târikh Ibnu Asakir, 3:222; Wafâ' al-Wafâ', 1:31; Tahdzib al-Tahzhib,
1:435; Syarh Nahj al-Balâghah, Ibnu Abi al-Hadid al-Mu'tazili, 1:116
[163]Tafsir Majma' Al-Bayân, 10:437 (dalam riwayat Al-Shadiq)
[164]Syarh Nahj Al-Balâghah, Ibnu Abil Hadid Al-Muktazili, 1:142.
[165]Untuk lebih detil, lihat 'Aqaid al-Imamiyyah, Muzhaffar, hal. 41.
[166]I'tiqâd Al-Shaduq, hal. 164.
[167]Kanz Al-'Ummâl, Muttaqi Hindi, 13:127.
[168]Shahih Bukhâri, Book on Penalties, hadis
6327 & 6328; terkait erat dengan Al-Quran Suci dan Sunnah, hadis
6778; Shahih Muslim, Book on Penalties, hadis 3291; Tirmidzi, Book on
Penalties, hadis 1351 & 1352; Abu Dawud, Book on Penalties, hadis
3835; Ibnu Majah, Book on Penalties, hadis 2543; Musnad Ahmad bin
Hanbal, 1:23, 29, 36, 40, 43, 47, 50, dan 55; Malik, Book on Penalties,
hadis 1295 dan 1297; Darami, Book on Penalties, hadis 2219.
[169]Book of the Virtue of the Qur‟an, 6:508 dan 9:212; Book of Ahkam; Sunan Abu Dawud.
[170]Shahih Bukhâri, Kitab al-Faraidh 8:540.
[171]Al-Itqân fi 'Ulum Al-Qurân, Suyuthi 1:63.
[172]ibid., 3:81
[173]Al-Kafi, Kulaini, Kitab al-Hujjah, hal. 240.
[174]Shahih Bukhâri, Kitâb al-Libâs, 7:199
[175]Shahih Bukhâri, Book on Taking Permission,
hadis 5809; Shahih Muslim, Book on The Virtues, hadis 4302; Nasa'i, Book
on Ornamentation, hadis 5276; Musnad Ahmad bin Hanbal, 3:103, 136, 221,
226, 230, 231, 287; 6:376.
[176](QS. Al-Haqqah [69]:33)
[177]Shahih Bukhâri, Book on Funerals, hadis
1220; Shahih Muslim, Book on Virtues, hadis 4279; Abu Dawud, Book on
Funerals, hadis 2719; Musnad Ahmad bin Hanbal, 3:194.
[178]Musnad Ahmad bin Hanbal, jil. 2.
[179]Shahih Bukhâri, 1:152; Shahih Muslim, jil.
1, Chapter on Weeping for the Dead, menyatakan bahwa Rasulullah Saw
menziarahi makam ibundanya Aminah, beliau menangis dan menyebabkan
orang-orang yang ada di sekitar beliau juga ikut menangis; Syarh Nahj
Al-Balâghah, Ibnu Abil Hadid Al-Muktazili, 3:387.
[180]A'lam al-Nubuwwah, al-Mawardi al-Syafi'i;
Kanz Al-'Ummâl, Muttaqi Hindi, berdasarkan riwayat Ummu Salamah (istri
Rasulullah Saw).
[181]“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan
antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki
dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada
mereka dalam hal ini. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.”(QS. An-Nisa [4]:35.
[182]Sirah Ibnu Ishaq, 2:191
[183]Shahih Muslim, Book on the Three Divorces, 1:575; Musnad Ahmad bin Hanbal, 1:314; al-Baihaqi, 7:336.
[184]Sunan Al-Baihaqi, jil. 6, bab "Sahm Dzil
Qurba"; Musnad al-Syafi'i, bab "al-Fay", hal.187; Sunan Abu Dawud, jil.
18, "al-khums"; Musnad Ahmad bin Hanbal, 1:320; Kanz Al- 'Ummal, Muttaqi
Hindi, 2:305; Lisan al-Mizan, 6:148; Huliyat Abu Nu'aim, 2:205; Shahih
Muslim, 5:198; Sunan Nisa'i, hal. 177, 178; Tafsir Thabari, 10:5.
[185]Untuk lebih detil, lihat Musnad Ahmad bin Hanbal, 1:314; Sunan Ibnu Majah, hal. 839.
[186]Kitab al-Kharâj, Qadhi Abu Yusuf, hal. 25-27.
[187]Shahih Bukhâri, Book on Marriage, hadis
4725; Shahih Muslim, Book on Marriage, hadis 2494; Musnad Ahmad bin
Hanbal, 4:47, 51, 55.
[188]QS Al-Maidah [5]:87; lihat Shahih Bukhâri,
Book on The Interpretation of The Holy Qur‟an, hadis 4294; Pernikahan,
hadis 4683 dan 4686; Muslim, Book on Marriage, hadis 2493; Musnad Ahmad
bin Hanbal, 1: 385, 390, 420, 432, 450.
[189]Shahih Bukhâri, Book on Types of Selling,
hadis 2077; Setting Free, hadis 2356; Muslim, Book on Marriage, hadis
2599; Tirmidzi, Book on Marriage, hadis 1057; Nasa‘i, Book on Marriage,
hadis 3275; Abu Dawud, Book on Marriage, hadis 1855, 1856 dan 1857; Ibnu
Majah, Book on Marriage, hadis 1916; Musnad Ahmad bin Hanbal, 3:88;
Malik, Book on Divorces, hadis 1090; Darami, Book on Marriage, hadis
2126 dan 2127.
[190]Shahih Muslim, Book on Marriage, bab 3, riwayat 15-17
[191]Tafsir Al-Qurthubi, 5:132; Tafsir Al-Thabari.
[192]Syarh Al-Tajrid; Musnad Ahmad bin Hanbal, 1:49.
[193]Tafsir Fakhr Al-Razi, 2:167; Sunan
Al-Baihaqi, 7:206; Bidayah Al-Mujtahid, 1:346; Al-Muhalla, 7:107; Ahkam
Al-Quran, Jasysyasy, 1:279; Tafsir Al-Qurthubi, 2:370; Al-Mughni, 7:527;
Al-Durr Al-Mantsur, 2:141; Kanz Al-„Ummâl, 8:293; Wafâyat Al-A‟yân,
5:197; dan lain-lain.
[194]Târikh Al-Khulafâ‟, Suyuthi, hal. 137.
[195]Shahih Tirmidzi, 4:38.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar