SHALAT DALAM MAZHAB AHLUL BAIT
Shalat merupakan salah satu ekspresi kehambaan di hadapan Sang Pecipta sebagaimana yang telah ditetapkan, dengan tanpa mengindahkan berat atau ringannya keteta pan tersebut. Karenanya, "ia sangat sulit, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk"
Berbagai macam agama bahkan mazhab menawarkan konsep shalat yang berbeda-beda. Kita, di Indonesia, mengenal beberapa bentuk konsep. Buku yang Anda pegang ini menggelar konsep shalat yang diajarkan oleh salah satu mazhab Islam, yaitu Mazhab Ahlul Bait.
Buku ini tidak hanya mengajarkan shalat, sebagaimana lazimnya buku-buku yang sering Anda temukan, tapi lebih dari itu; ia menyingkap dalil-dalil yang melandasi konsep shalat versi Ahlul Bait.
Buku ini juga menjawab beberapa fenomena yang tim bul dimnasyarakat tentang shalat yang hanya tiga waktu, tidak wajibnya shalat Jum'at, sujud di atas tanah dll. Jika Anda ingin tahu shalat secara ilmiah, jangan lewatkan buku ini!
Hidayatullah Husein Al-Habsyi
SHALAT DALAM MAZHAB AHLUL BAIT Kajian Ilmiah dari Al-Quran, Hadis dan Fatwa
Karya: Hidayatullah Husein Al-Habsyi
-----------------------------------------------------------
Editor Isi : Abdullah Beik
Editor Bahasa : Firdaus * Ditata: MT.Yahya
Sampul : Ibnu Ali
Diterbitkan oleh : Yayasan Islam Al-Baqir Jl.Cucut 79 Bangil Telp./Fax. (0343) 72277
Diterbitkan oleh : Yayasan Islam Al-Baqir Jl.Cucut 79 Bangil Telp./Fax. (0343) 72277
Cetakan Pertama : Januari 1996 M/Sya'ban 1416 H
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang : :. All rights reserved .
------------------------------------------------------------
ISI BUKU
PRAKATA
IJTIHAD DAN TAQLID
IJTIHAD DAN TAQLID
Ijtihad Terbagi atas Empat Macam :
BERSUCI (THAHARAH)
Air dan Macam-macamnya
Air dari sisi penggunaannya ada empat macam:
Dalil-dalil kesucian air tersebut di antaranya :
Air mutlaq ada dua macam :
Hal-hal Najis
Dalil-dalil Tentang Berbagai Macam Najis
1) Kencing
2) Kotoran
3) Air Mani
4) Anjing dan Babi
5) Darah
6) Arak, Minuman Keras, dan Sejenisnya
7) Bangkai
8) Kafir, Khariji dan Nashibi (Pembenci Ahlul Bayt Nabi)
Najis yang Dimaafkan dalam Shalat
Istibra'
Najis dapat difahami dari dua sisi :
Perkara-perkara Penyebab Mandi Besar (Wajib)
Dalil-dalil Atas Wajibnya Mandi
Darah yang keluar dari vagina wanita ada empat macam:
Haid (menstruasi) dan Dalil-dalilnya
Air dari sisi penggunaannya ada empat macam:
Dalil-dalil kesucian air tersebut di antaranya :
Air mutlaq ada dua macam :
Hal-hal Najis
Dalil-dalil Tentang Berbagai Macam Najis
1) Kencing
2) Kotoran
3) Air Mani
4) Anjing dan Babi
5) Darah
6) Arak, Minuman Keras, dan Sejenisnya
7) Bangkai
8) Kafir, Khariji dan Nashibi (Pembenci Ahlul Bayt Nabi)
Najis yang Dimaafkan dalam Shalat
Istibra'
Najis dapat difahami dari dua sisi :
Perkara-perkara Penyebab Mandi Besar (Wajib)
Dalil-dalil Atas Wajibnya Mandi
Darah yang keluar dari vagina wanita ada empat macam:
Haid (menstruasi) dan Dalil-dalilnya
Istihadhah dan Dalil-dalilnya
Nifas dan Dalil-dalilnya
Cara Mandi Besar
Dalil-dalil Cara Mandi Besar
Nifas dan Dalil-dalilnya
Cara Mandi Besar
Dalil-dalil Cara Mandi Besar
Hal-hal yang Dilarang Sebelum Mandi Besar
BERWUDHU
Cara-cara Wudhu
Dalil-dalil Berwudhu
Dalil Cara Mengambil Air Wudhu
Syarat-syarat Wudhu
Sunnah-sunnah Wudhu
Perkara-perkara yang Membatalkan Wudhu
Dalil-dalil Pembatalan Wudhu
Wudhu dan Mandi dengan Jabirah (balutan)
Dalil-dalil Berwudhu
Dalil Cara Mengambil Air Wudhu
Syarat-syarat Wudhu
Sunnah-sunnah Wudhu
Perkara-perkara yang Membatalkan Wudhu
Dalil-dalil Pembatalan Wudhu
Wudhu dan Mandi dengan Jabirah (balutan)
TAYAMUM
Dalil-dalil Tayamum
Sebab dibolehkannya Tayamum
SHALAT WAJIB HARIAN
Shalat dan Waktu-waktunya
Waktu-waktu Shalat yang telah Ditentukan
Dalil-dalil Waktu Shalat
Dalil Waktu Shalat Dhuhur dan Ashar
Dalil Waktu Shalat Maghrib dan Isya'
Keterangan:
Waktu Shalat Subuh dan Dalil-dalilnya
Shalat dan Syarat-syaratnya
Waktu-waktu Shalat yang telah Ditentukan
Dalil-dalil Waktu Shalat
Dalil Waktu Shalat Dhuhur dan Ashar
Dalil Waktu Shalat Maghrib dan Isya'
Keterangan:
Waktu Shalat Subuh dan Dalil-dalilnya
Shalat dan Syarat-syaratnya
Keterangan
Macam-macam Shalat dan Cara-caranya
Macam-macam Shalat dan Cara-caranya
Shalat Dhuhur:
Shalat Ashar
Shalat Maghrib:
Shalat Isya'
Shalat Subuh:
Sujud Sahwi
Hal-hal yang mewajibkan sujud sahwi yaitu:
Sujud Tilawah
Shalat Ashar
Shalat Maghrib:
Shalat Isya'
Shalat Subuh:
Sujud Sahwi
Hal-hal yang mewajibkan sujud sahwi yaitu:
Sujud Tilawah
Sujud Syukur
SUJUD DI ATAS TANAH
SHALAT JAMA'AH
Syarat-syarat Shalat Berjama'ah
Syarat-syarat Menjadi Imam Shalat
SHALAT JUM'AH
Syarat-syarat Wajibnya Shalat Jum'at
SHALAT JUM'AH
Syarat-syarat Wajibnya Shalat Jum'at
SHALAT ’IED (HARI RAYA)
SHALAT MUSAFIR
SHALAT MUSAFIR
Syarat-syarat Wajibnya Qosor
Shalat di Atas Kendaraan
SHALAT QODHO'
SHALAT JENAZAH
Menghadapkan ke Arah Kiblat
Memandikannya
Memberi Bubuk Kapur Barus
Memandikannya
Memberi Bubuk Kapur Barus
Membungkus dengan kain Kafan
Menshalatinya
Cara-cara Shalat Jenazah dan Bacaannya
Syarat-syarat Shalat Jenazah
Menshalatinya
Cara-cara Shalat Jenazah dan Bacaannya
Syarat-syarat Shalat Jenazah
Menguburkannya
SHALAT AYAT
SHALAT HAJAT
Shalat atau Do'a yang Dilakukan Para Ma'sum
Shalat Rasulullah saww
Shalat Imam Ali Amiril Mukminin a.s.
Shalat Fatimah a.s.
Shalat Imam Hasan a.s.
Shalat Imam Husein a.s.
Shalat Imam Sajjad a.s.
Shalat Imam Baqir a.s.
Shalat Imam Shodiq a.s.
Shalat Imam Musa a.s.
Shalat Imam Ridho a.s.
Shalat Imam Jawad a.s.
Shalat Imam Hadi a.s.
Shalat Imam Askari a.s.
Shalat Imam Mahdi a.f.
Shalat Ja'far At-Toyyar
Shalat Istikharah
Shalat Istighotsah
Shalat Khauf
Shalat untuk Menambah Kecerdasan dan Menguatkan Hafalan
Shalat Rasulullah saww
Shalat Imam Ali Amiril Mukminin a.s.
Shalat Fatimah a.s.
Shalat Imam Hasan a.s.
Shalat Imam Husein a.s.
Shalat Imam Sajjad a.s.
Shalat Imam Baqir a.s.
Shalat Imam Shodiq a.s.
Shalat Imam Musa a.s.
Shalat Imam Ridho a.s.
Shalat Imam Jawad a.s.
Shalat Imam Hadi a.s.
Shalat Imam Askari a.s.
Shalat Imam Mahdi a.f.
Shalat Ja'far At-Toyyar
Shalat Istikharah
Shalat Istighotsah
Shalat Khauf
Shalat untuk Menambah Kecerdasan dan Menguatkan Hafalan
MENOR
Shalat Untuk Meminta Ampunan
Shalat yang Dilakukan dalam Seminggu Sesuai dengan Susunan Nama Hari
Shalat Wasiat
Shalat untuk Setiap Keperluan
Shalat di saat Mendapat kesulitan
Shalat untuk Menambah Rizqi
Shalat Anak untuk Kedua Orang Tua
Shalat untuk Menjauhkan Diri dari Kelaparan
Shalat Hadiah untuk Para Ma'shum
Shalat Malam - 313 Nafilah Subuh
Shalat yang Dilakukan dalam Seminggu Sesuai dengan Susunan Nama Hari
Shalat Wasiat
Shalat untuk Setiap Keperluan
Shalat di saat Mendapat kesulitan
Shalat untuk Menambah Rizqi
Shalat Anak untuk Kedua Orang Tua
Shalat untuk Menjauhkan Diri dari Kelaparan
Shalat Hadiah untuk Para Ma'shum
Shalat Malam - 313 Nafilah Subuh
Shalat Malam Bulan Ramadhan
KEPUSTAKAAN
PRAKATA
Ibadah shalat adalah salah satu sendi agama. Melalui shalat seseorang dapat kita bedakan muslim atau bukan. Apabila dia tekun melakukannya, maka dia dapat dikatagori kan sebagai muslim, terlepas dari adanya perbedaan cara mempraktekkannya. Keyakinan semacam ini telah sedemikian rupa dimiliki oleh setiap orang yang menyatakan dirinya muslim. Namun ironisnya di antara mereka yang mengaku sebagai muslim masih ada orang yang mengkafirkan saudaranya sendiri hanya karena perbedaan cara mempraktek kan ibadah tersebut.
Berbeda pendapat dalam hal ini sebenarnya adalah sangat wajar, asalkan tidak sampai mengubah esensi shalat itu sendiri. Sebagai contoh, perbedaan pendapat antara Imam Malik dengan Imam Syafi'i dalam hal bacaan basmalah dalam shalat. Imam Malik mengatakan itu makruh dengan alasan bahwa basmalah tidak termasuk ayat dalam setiap surah, yang berarti dengan membacanya dianggap menambah jumlah ayat yang ada. Lain halnya dengan Imam Syafi'i, yang berpendapat bahwa basmalah wajib dibaca dan batal bila ditinggalkan, karena basmalah termasuk ayat dari setiap surah.
Apakah dengan terjadinya perbedaan pendapat semacam ini Imam Malik atau Imam Syafi'i beserta pengikut-pengikut nya dapat dianggap kafir atau sesat sebagaimana yang pernah terjadi di antara pengikut imam yang satu dengan pengikut imam yang lain, hanya karena imam lain memiliki pendapat yang berbeda dengan imamnya? Bahkan hadis-hadis palsu pun sengaja diciptakan untuk menyesatkan golongan lain beserta pemimpin-pemimpinnya. Coba Anda perhatikan hadis yang diciptakan oleh Ma'mun bin Ahmad Al-Harawy yang ber bunyi:
بحوث في أمتي رجل يقال له محمد بن إدريس أضر على أمتي من إبليس ويكون رجل من أمتي أبو حنيفة هو سيراج الأمة
Akan datang salah seorang dari umatku bernama Muham mad bin Idris (Imam Syafi'i) dia membahayakan umatku lebih dari iblis. Dan kan datang seorang bernama Abu Hanifah, dia adalah lentera umatku.
Dalam banyak riwayat dijelaskan pula bahwa Imam Syafi'i juga mendapat perlakuan yang keji dari pengikut-pengikut Imam Malik, bahkan sampai ada yang membunuhnya hanya karena anggapan bahwa darah Imam Syafi'i halal (karena kafir). Riwayat lain menyebutkan terjadinya saling membakar masjid dan lain sebagainya.
Kini sudah saatnya kita tinggalkan tindakan saling mengkafirkan atau menyesatkan terhadap sesama muslim, apalagi dengan tuduhan yang tidak dilandasi dalil yang kuat. Bukankah Islam sendiri telah memberikan kebebasan berpen dapat, terutama bagi setiap mujtahid? Kalaupun terjadi kesala han dalam fatwanya, bukankah mereka juga yang harus menanggung resikonya? Lagipula saling tuding kafir adalah tindakan yang melanggar etika dan logika.
Alangkah baiknya kalau setiap orang mau menyimak pen dapat orang lain terlebih dulu sebelum memberikan penilaian nya, sehingga ia dapat lebih mengerti dan memahami tujuannya dan akan menempatkan dirinya pada posisi yang lebih aman dalam menentukan penilaian, terutama dalam menyanggah pendapat orang lain yang tidak disetujui. Tanpa melewati prosedur ini penilaian orang tersebut akan selalu
dianggap negatif oleh orang lain. . Dengan penjelasan di atas, besar harapan saya agar hal-hal tersebut jangan sampai terulang kembali, karena tuduhan kafir terhadap seorang muslim tanpa disertai dengan bukti-bukti yang benar, akan mengembalikan tuduhan tersebut pada dir inya sendiri, sebagaimana sabda Nabi saww:
قال النبي (ص): من قال لأخيه ياكافر فقد باء به أحدهما
Orang yang berkata kepada saudaranya (muslim)"Haj kafir", maka dia sendiri telah menyandang kalimat tersebut . Maksudnya, jika benar saudaranya melakukan hal-hal yang kufur, maka kalimat tersebut mengenai sasarannya. Tetapi kalau tidak, maka kalimat tersebut kembali pada dir inya.
Adanya kenyataan bahwa sebagian orang telah mengang gap kafir mazhab Ahlul-Bait, mendorong timbulnya keinginan di hati saya untuk mengajukan tulisan yang berjudul "Shalat dalam Mazhab Ahlul-Bait" disertai dalil-dalilnya di hadapan para pembaca. Tujuannya bukan untuk menyebarkan keka cauan, tetapi justru sebagai penambah khazanah kajian para pembaca, agar lebih mengetahui bahwa fiqih Ahlul-Bait juga memakai dasar dan dalil yang kuat .
Benarkah mereka sesat seperti apa yang dituduhkan? Tu juan saya yang lain adalah menjawab beberapa pertanyaan tentang cara shalat dan berbagai hal mengenainya menurut mazhab Ahlul-Bait.
Saya ajukan ke hadapan para pembaca bahwa keterangan dalam buku ini adalah hal-hal yang sudah disepakati oleh seluruh ulama, dan yang tertulis (di bawah tulisan: ÇATA TAN adalah fatwa Imam Khumaini secara khusus.
Semoga tulisan ini berkenan di hati para pembaca, dan saran yang bersifat membangun selalu saya nantikan.
Bangil, Sya'ban 1414 H Penulis
S. Hidayatullah Husein Al-Habsyi
[1 Al-Bihar, juz 74. hal. 245. bab 15]
IJTIHAD DAN TAQLID
Sebelum kita melangkah pada masalah yang akan diba has, terutama tentang shalat, sebaiknya kita terlebih dahulu memahami apa yang dimaksud dengan Ijtihad dan taqlid, karena menurut mazhab Ahlul Bayt, shalat kita tidak dianggap sah apabila tidak didasari dengan bertaqlid kepada salah seorang marja" yang hidup. Itulah sebabnya pembahasan Ijtihad dan taqlid sengaja saya masukkan dalam pembahasan shalat.
Kualitas pemahaman manusia tentang ilmu agama berbeda beda dan secara global dapat dibagi menjadi dua golongan:
Golongan pertama adalah orang-orang yang benar-benar memahami dan mengerti akan agama, walaupun pada tingkatan ini masih bisa dibagi-bagi lagi, ada yang sudah mencapai tingkat mujtahid dan ada yang belum. Namun mereka secara keseluruhan sudah dapat dikatagorikan ulama, karena mereka selalu menelaah ilmu-ilmu agama.
Golongan kedua adalah orang-orang yang karena satu dan lain hal, tidak memiliki kualitas dan kapabilitas dalam menelaah agama sehingga mereka kurang memahaminya.. Mereka ini disebut awam (muqallid).
Jelas masing-masing golongan memiliki kedudukan tersendiri di hadapan Tuhan sebagaimana ayat yang berbunyi:
قال الله تعالى: يرفع الله الذين آمنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات
Marja' adalah orang yang dijadikan sandaran oleh muqallid, sedang muqallid adalah orang yang dalam mengerjakan aktifitasnya bersandarkan pada seorang mujtahid.
"Allah mengangkat derajat orang-orang yang 'oeriman dan orang-orang yang menuntut ilmu diantara kali an" (OS 58 :11)
Firman Allah dalam ayat lain :
قال الله تعالى : يستوي الذين يعلمون والذين لايعلمون
"Berbeda (derajat) antara orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui sesuatu". (Q.S. 39: 9).
Oleh sebab itu syariat membenarkan tanggung jawab di atas pundak ulama unta iebih banyak mencurahkan hasil pikirannya kepada umat. Dan merupakan hal yang wajar kalau tanggung jawab selalu dipikulkan kepada orang yang memiliki ilmu, bukan sebaliknya, demi kesejahteraan kaum awam di dunia maupun di akhirat.
Lain halnya dengan kaum awam, mereka hanya dituntut untuk mencintai, mentaati dan mengikuti jejak kaum ulama. Karena ulama adalah pewaris para nabi yang dapat bertindak sebagai pënuntun dan pembimbing mereka ke jalan yang benar. Bukan hanya itu, ulama juga dapat mengupas, merinci dan memecahkan setiap persoalan agama secara global. Se perti halnya orang yang dapat menggali berbagai jenis per tambangan hanyalah mereka yang memiliki keahlian dibidang pertambangan, karena hanya mereka yang mengetahui bentuk dan cara kerja alat-alat yang digunakan.
Mungkin benar kalau orang mengatakan bahwa adanya alat-alat tersebut adalah hasil rekayasa para pakar. Tetapi tidak mungkin kemahiran tersebut ada tanpa didasari ilmu penge tahuan, dan hasil yang dapat diandalkan sebagai bukti bahwa itu semua bukan rekayasa belaka, kenyataannya kaum awam hanya bisa menikmati hasil rekayasa orang lain, lebih dari itu para pakar juga dapat menentukan dimana tempat yang harus digali dan lain sebagainya.
Kewajiban kaum awam selain yang tersebut di atas, ialah memilih melalui kriteria-kriteria tertentu" Untuk membe dakan antara ulama dan selainnya agar tidak terjadi salah pilih yang akan mengakibatkan kebinasaan di dunia maupun di akhirat. Karena apabila seseorang menyerahkan urusan atau menanyakan suatu masalah pada orang yang bukan ahlinya, pasti akan mendapatkan sesuatu selain yang dia inginkan. Ada hadis berbunyi:
اذا وصيد الأموالی غير أهله فانتظر الساعة
Kalau suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya .
Karena kerugian bagaimanapun bentuknya harus dihin dari, maka kaum awam hanya diperintahkan untuk melakukan segala sesuatu berdasarkan fatwa para ulama, atau setidak-ti daknya menanyakan hal-hal yang tidak mereka ketahui kepada orang-orang yang memang ahlinya di bidang tersebut, seperti semua yang menyangkut ilmu kedokteran harus ditanyakan kepada seorang dokter. Demikian pula halnya dengan urusan agama, mereka harus bertanya kepada ulama, supaya terhin dar dari fatwa-fatwa palsu yang dapat merugikan atau men jerumuskan mereka sendiri. Hal tersebut telah disinggung oleh Al-Quran :
فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لاتعلمود
.....tanyakan olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.. (Q.S. 21 : 7)
Pengertian di atas tentunya hanya bersifat translatif, karena lafadh (Ahl-al-Dikr) hanya dikenakan kepada orang-orang yang tidak mungkin melakukan kesalahan (ma'shum) yang dalam hal ini adalah Imam dua belas a.s. Dengan demikian
2 Kriteria-kriteria ini akan disebutkan pada halamap-halaman
yang akan datang. 3 Al-Bihar, juz 40, hal.136, bab 93 .
Ijtihad dan Taqlid - 14 mereka saja yang patut diikuti secara mutlak sebagaimana yang diwasiatkan oleh Nabi saww.*
Setelah kita membaca beberapa penjelasan di atas, tiba saatnya untuk kita memahami hubungan yang erat antara pembahasan Ijtihad dan Taqlid.
Ijtihad, bila dilihat dari linguistik berarti: Upaya mencura hkan tenaga untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, atau gigih dalam mencari sesuatu.
Adapun Mujtahid, sebagaimana istilah yang dipakai di kalangan ahli fiqih, ialah: Seseorang yang mengerti akan azas syariat dengan liku-liku hukumnya secara sempurna dan memiliki kemampuan untuk menyimpulkan hukum dari Al Qur'an dan Hadis atau menyandarkan pemahaman pada keduanya.
Adapun yang dimaksud dari azas syariat ialah : -) Al-Qur'an -) Al-Hadis (baik dari Nabi saww atau dari para Imam a.s.) -) Al-Ijma' (kesepakatan para ulama yang hasilnya direstui oleh Imam ma'shum). -) Al-'Aql (suatu alat yang disucikan oleh Islam yang dijadikan sebagai kendali, baik untuk urusan duniawi maupun ukhrawi. Dengannya Tuhan disembah dan surga diraih). Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ali Zainal Abidin a.s.:
العقل : هو ماعبد به الرحمن وماتسيب به الجناث.
"Dengannya (Akal) Tuhan akan benar-benar disembah dan surga akan diraih".
Lihat Al-Bihar, juz 2, hal. 99, bab 14 Al-Bihar, juzl, hal.116, bab 4.
Karena Al-Qur'an dan Hadis sebagai azas syariat masih bersifat global. Maka diperlukan adanya orang yang mampu menafsirkan Al-Qur'an, dan mengetahui lemah-kuatnya hadis dengan gaidah-qaidah tertentu, memahami secara menyeluruh persoalan-persoalan yang rumit dan mengetahui jalan keluarnya. Orang yang memiliki kriteria semacam ini disebut Mujtahid yang tugasnya ialah untuk menyelesaikan persoalan persoalan yang dihadapi oleh kalangan awam (muqallid). Mujtahid harus berbekal ilmu-ilmu penting dalam Islam, di antaranya ialah bahasa Arab secara sempurna, ilmu logika, ayat-ayat yang mengandung hukum, ilmu Musthalah al Hadis, untuk mengetahui mana hadis yang disepakati oleh ulama dan lain sebagainya. Ijtihad Terbagi atas Empat Macam :
Pertama: Melakukan Ijtihad yang kandungannya berten tangan dengan nash (Al-Qur'an dan Hadis). Keberadaan ijtihad semacam ini ditolak oleh semua golongan baik Ahlus sunnah maupun Syi'ah, karena ijtihad semacam ini akan merusak agama itu sendiri.
Kedua: Melakukan ijtihad tanpa didukung oleh dalil apa pun baik Al-Qur'an, Hadis, maupun kesepakatan ulama. ijtihad semacam ini terbagi menjadi dua:
1). Ijtihad yang dilakukan dengan menyamakan hukum suatu kejadian dengan hukum yang sudah ada (tersebut dalam nash), dengan alasan penyebabnya serupa, misalnya men yamakan haramnya sujud kepada Nabi Adam karena Adam bukan Allah SWT. O
Sebagaimana yang dilakukan iblis saat diperintahkan sujud pada Adam, dia menolak untuk sujud pada Adam, karena Adam makhluk dan sujud pada selain tuhan haram hukumnya, hal tersebut tidak benar, karena yang memerintahkan sujud baik kepada Allah SWT atau Adam a.s. keduanya adalah satu yaitu Allah SWT sendiri.
Ijtihad dan Taqlid - 16 Contoh lain, menyamakan hukum buah durian dengan makanan atau minuman yang memabukkan, karena secara kondisional buah durian dapat memabukkan
Qiyas atau Istihsan, keduanya tergolong ijtihad semacam ini. Keduanya hanya bersandarkan perkiraan belaka. Ijtihad seinacam ini dikenal dengan ijtihad bir ra'yi..
Syi'ah Imamiyah dari sejak mula menolak dan meng haramkan keberadaan ijtihad semacam ini, karena ijtihad semacam ini berarti mensejajarkan pendapat dan perkiraan seseorang dengan nash yang tidak dapat dibantah lagi, bahkan oleh sebagian kelompok dianggap bahwa perkiraan tersebut dapat dijadikan sebagai sumber hukum-hukum agama. Jika segala sesuatu di alam semesta ini tidak dapat dipastikan kebenarannya hanya dengan perkiraan, bagaimana mungkin hukum-hukum Allah SWT tercipta darinya. Ironisnya kelom pok Ahlus Sunnah justru membolehkan ijtihad semacam ini, walaupun pada akhirnya mereka menutup pintu ijtihad secara mutlak pada abad keempat hijriyah.
2) Ijtihad yang dilakukan dengan menggunakan hukum hukum logika, suatu contoh, buruknya menyiksa orang tanpa disertai bukti, benda yang lebih kecil menempati benda yang lebih besar, situasi darurat menyebabkan dibolehkannya menerjang segala larangan. Mengambil yang lebih ringan dari dua kesulitan dan lain sebagainya. Syi'ah membolehkan ijti had semacam ini, dan jelas ijtihad semacam ini dapat digu nakan oleh siapa saja, karena sandarannya adalah logika yang disucikan oleh Islam.
7 Ini juga salah karena haramnya minuman keras atau ganja dari asaloya memang memabukkan, lain halnya dengan buah durian yang hanya memabukkan kalau dimakan secara berlebihan, bukan karena asalnya memang memabukkan. 8 Lihat Al-Imam Ja'far Shadig wa Mazahib Al-Arba'ah.
Ijtihad dan Taqlid - 17 3) Ijtihad mengenai kandungan ayat atau hadis yang shahih, tetapi tidak melebihi penafsiran yang sudah ditentukan oleh Nabi saww. Suatu contoh, ada ayat yang menjelaskan tentang qur'. Karena qur' tersebut memiliki dua arti (suci atau haid), maka mujtahid diperboleh- kan dengan disertai dalil yang kongkrit untuk memilih salah satu dari dua arti tersebut. Ijtihad semacam ini secara mufakat diterima oleh Syi'ah maupun Ahlus Sunnah, hanya saja Imamiyah memberi syarat pengecualian pada hukum-hukum yang belum pasti, tetapi pada hukum-hukum yang sudah pasti, misalnya hukum bunuh bagi mereka yang membunuh dengan tanpa alasan yang tepat, kedua belah pihak sepakat mengharamkan ijtihad didalamnya.
4) Ijtihad untuk menentukan salah atau tidaknya suatu hadis dari Rasul saww yang diriwayatkan secara perorangan (Hadis Aahad).
Ijtihad semacam ini dibenarkan oleh Syi'ah. Namun Ahlus Sunnah melarangnya setelah menutup pintu ijtihad secara mutlak, dengan berbagai alasan di antaranya kemampuan dan kepandaian ulama-ulama terdahulu tidak dapat tertandingi oleh ulama-ulama mutaakhir.
Dari berbagai macam bentuk ijtihad beserta definisi-de finisinya dapat disimpulkan bahwa tugas seorang mujtahid ialah untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kaum awam dengan menggunakan seluruh kemahirannya, sedang kewa jiban kaum awam hanya mengikuti fatwa-fatwa mujtahid tersebut, atau dengan istilah lain, dia harus menjadikan dirinya sebagai pengikut atau muqallid. Kata muqallid diambil dari kata taqlid, yang mempunyai definisi sebagai berikut: Melakukan suatu pekerjaan sesuai dengan fatwa seorang ahli fiqih tertentu yang masih hidup. Ini berlaku bagi muqallid
Karena menurut Muhaditsin hadis-hadis yang diriwayatkan secara perorangan berbeda kebenarannya dengan yang diriwayatkan secara kelompok pemula, sedangkan bagi muqallid lama yang telah ditinggal mati oleh mujtahidnya, dapat memilih antara melanjutkan dengan mengikuti fatwa mujtahid lamanya atau pindah ke fatwa mujtahid yang baru .
Taqlid hukumnya wajib bagi orang yang memenuhi syarat syarat taklif, yaitu aqil dan baligh. Untuk orang yang belum mencapai derajat ijtihad, taqlid berlaku dalam segala bidang, terutama dalam hal-hal ibadah maupun mu'amalah, walaupun keduanya hanya bersifat sunnah atau mubah saja. Karenanya pekerjaan seorang awam tanpa melalui taqlid dianggap tidak sah, kecuali dalam dua hal:
Pertama: Apabila si pelaku mengerti dimana harus lebih banyak berhati-hati dalam menentukan sikap yang akan dia lakukan, sedang dia belum mencapai tingkatan mujtahid. Orang semacam itu disebut muhtath, dan orang semacam ini sedikit jumlahnya .
Kedua: Orang awam yang melakukan suatu pekerjaan dengan harapan pekerjaannya sesuai dengan nash atau fatwa seorang mujtahid, dengan disertai niat mendekatkan diri kepada Allah SWT (qurbah), kemudian dia mendapati per buatannya sesuai dengan nash atau fatwa mujtahid itu.
Tidak sahnya pekerjaan orang awam tanpa melalui taqlid sama sekali tidak mencerminkan ketidak-adilan Tuhan. Justru hukum semacam itu adalah inti keadilan itu sendiri. Sebab Allah SWT tidak akan menyiksa kaum awam atas dasar kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan, walaupun kesala han-kesalahan tadi tetap dipertanyakan apa dan siapa penye babnya oleh Allah SWT. Dengan pengertian ini amalan seorang awam dari kedua sisi positif atau negatifnya dianggap kosong.
Pintu ijtihad terbuka untuk siapa saja, tidak terbatas orang orang tertentu. Dan pintu ijtihad tidak tertutup untuk sela manya, karena para mujtahid memiliki ajal yang dapat menafikan keberadaannya dari masyarakat, atau dengan kata
lain mereka bisa mati. Kalau ijtihad dibatasi untuk orang orang tertentu atau pada zaman tertentu, maka yang beruntung hanyalah orang-orang yang hidup bersama mujtahidnya (imamnya), karena hanya persoalan-persoalan agama mereka akan selalu terjawab secara tuntas.
.....setelah tidak adanya seorang pun yang alim mereka mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin pada saat ditanya para pemimpin itu mengutarakan pendapatnya tanpa disertai ilmu, mereka sesat dan menyesatkan ...
Keberadaan seorang pemimpin dalam satu masyarakat dapat menyempurnakan masyarakat tersebut, sehingga Allah SWT tidak akan membiarkan umat tanpa pemimpin. Oleh sebab itu para Nabi dan Rasul diutusnya, guna tujuan tersebut.
Ini adalah pengertian yang ruang lingkupnya luas, yang bila disederhanakan peran mereka digantikan para ulama yang memiliki fungsi serupa. Dengan kata lain, keberadaan pemimpin dalam suatu umat adalah anugerah dari Allah SWT. Tanpa pemimpin umat akan hancur. Kalau ada hadis yang menyebutkan bahwa tidak akan beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh seorang wanita, jelas karena adanya beberapa kelemahan pada kaum hawa. Namun yang lebih tidak berun tung lagi ialah kaum yang tidak memiliki pemimpin sama sekali.
Ironisnya, keberadaan mereka justru dibatasi oleh sebagian golongan dengan alasan yang sudah tersebar, bahwa kepemimpinan di dunia ini hanya dipegang oleh beberapa orang yang hidup di abad ketiga sampai kelima hijriyah. Sedangkan berikutnya tidak ada lagi yang boleh menduduki tempat itu dan tidak akan ada orang yang menyamai kepan daian mereka. Benar mereka tidak mengatakan demikian secara harfiah, tetapi sikap mereka dengan jelas menunjukkan ereka diganata lain, kebah SWT.
10 Lihat Al-Bihar, juz 2, hal. 11, Bab 15
Ijtihad dan Taqlid - 20 hal itu. Dan yang lebih menyedihkan ialah timbulnya mujta hid-mujtahid gadungan yang menfatwakan hukum fiqih atas dasar pendapatnya sendiri, kemudian menyandarkannya kepada salah seorang imam yang telah tiada itu.
Hal penting lainnya adalah tidak setiap orang dapat menye butkan dirinya sebagai seorang Mujtahid, hanya dengan ber landaskan Al-Quran atau Hadis, dan membohongkan ulama-ulama yang tidak sependapat dengannya dengan alasan karena ijtihad ulama-ulama tersebut hanyalah hasil rekayasa mereka, bukan sesuatu yang bersifat pasti atas kebenarannya. Tetapi kalau kita terpaksa menerima omongan orang semacam ini, cukup kita katakan bahwa perkiraan orang yang ahli dalam suatu bidang berbeda dengan perkiraan orang yang bukan ahli di bidang tersebut, karena perkiraan mereka dilandasi ilmu pengetahuan.
Banyak dalil atau bukti yang menjelaskan bahwa perkiraan orang yang ahli dalam suatu bidang mendekati kepastian yang nantinya tidak lagi merupakan suatu perkiraan. Sehubungan dengan hal itu ijtihad para ulama walaupun atas dasar perki raan, tetap harus memakai aturan-aturan yang telah ditetapkan baik oleh akal atau nash.
Di samping itu dapat kita pastikan bahwa ocehan orang orang tadi terhadap kaum ulama, juga merupakan hasil rekayasa yang pasti salah, karena mereka sendiri tidak dapat memastikan kalimat mereka itu mutlak benar baik secara akal maupun nash. Dengan alasan apa mereka membohongkan pendapat orang lain, Al-Quran, Hadis, dan akal yang sehat selalu memerintahkan kita untuk menghormati pendapat orang lain, sebagaimana bunyi pepatah :
أنظر إلى ماقال ولا تنظر إلى من قال.
Perhatikan ucapan seseorang dari sisi kandungannya, bukan dari sisi siapa pengucapnya.
Lebih tidak pantas lagi kalau yang mereka bohongkan adalah kaum ulama yang selalu menekuni bidang agama?
Bukankah Al-Quran dan Hadis meletakkan kaum ulama ditempat yang layak untuk dihormati? Ini kalau kita tidak berbicara bahwa mengikuti pendapat orang yang lebih pandai itu wajib. Kemudian apa arti keberadaan para Rasul dan para Imam a.s. atau seorang guru di hadapan muridnya? Dan apa arti kepala rumah tangga yang telah ditentukan sebagai penegak aturan dalam rumah tangga.
Tidak akan ada hal yang berarti apabila omongan semacam ini kita benarkan. Yang paling menyedihkan ialah apabila umat mengalami kehancuran karena krisisnya kepemimpinan, karena orang pandai yang menobatkan dirinya sebagai seorang pemimpin akan selalu dibohongkan oleh masyarakat nya. Akhirnya menjamurlah orang-orang bodoh yang meno batkan dirinya sebagai seorang pemimpin, dan mengobral pendapatnya dengan segala bentuk kebodohannya. Naasnya apabila pendapat-pendapat tersebut sampai diikuti orang. Kalau hal yang sangat ditakuti Nabi saaw ini terjadi, tinggallah kita menunggu saat hancurnya umat, karena kesalahan yang mereka akan lakukan lebih besar dari pada benarnya. Seba gaimana yang telah disabdakan oleh Rasul saaw:
يقول النبي (ص) : إن الله يقبض العلم إنتزاعا ينتزعه من العباد ولكن يقبض العلم بقبض العلماء حتى إذا لم يبق عالم
الأقتلوا فأفتوا بغير علم فضلوا
إتخذ الناس رؤساء
أضوا۔
"Apabila Allah SWT hendak mencabut ilmu, Allah tidak akan mencabutnya dari dada-dada para ulama, tetapi Dia lakukan dengan mengambil (mematikan) para ulama. Setelah tidak adanya seorangpun yang alim, mereka mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Pada saat ditanya,
Ijtihad dan Taqlid - 22 para pemimpin itu mengutarakan pendapatnya tanpa disertai
ilmu. Akhirnya mereka sesat dan menyesatkan".
Untuk mencapai gelar mujtahid yang dapat diikuti se seorang harus menjalani beberapa tahap ujian dari mujtahid mujtahid pendahulunya, disamping adanya pengakuan dari masyarakat luas akan kepandaiannya. Berikut karaktristik seorang mujtahid dengan disertai dalil-dalilnya:
-) Laki-laki, aqil, baligh, mukallaf. -) Bukan anak haram . -) Paling pandai di antara ulama yang ada. -) Merdeka, bukan budak . -) Memiliki ingatan yang kuat : -) Tidak rakus akan hal-hal yang bersifat duniawi. -) Memiliki kepandaian yang mengantarkannya kepada
tingkat mujtahid -) Memiliki sifat "adalah". Maksudnya, dia memiliki bakat positif yang selalu membawa dirinya kepada ketaqwaan dengan menjauhi larangan-larangan dan tekun melakukan kewajiban-kewajiban.
Dalil-dalil tekstual dari para imam a.s. dalam hal ini menyebutkan:
قال الإمام الصادق عليه السلام : أما من كان من الفقهاء صائنا النفسيه حافظا إيرينه مخالفا لهواه مطيعا لأمر مولاه فللعوام أن يقلدوه
11 Al-Bihar, juz 42, hal 236, bab 127 ; juz 77, hal. 143, bab 7 dan
juz 2, hal. 110, bab 15.
"Apabila ada di antara ahli fiqih yang menjaga dirinya, agamanya, tidak pernah mengikuti kehendak hawa nafsunya dan selalu taat akan perintah tuhannya, maka wajib bagi kaum awam untuk mengikutinya". 12
قال الإمام الصادق (ع): لا يكون الفقيه فيها حتى تلحن له غرف ماتلحن له .
"Seseorang belum dapat dikatakan pandai (faqih & mu jtahid) sebelum dapat memqhami suatu persoalan (dan mengetahui jalan keluarnya). ".
Dengan demikian jelaslah pintu ijtihad tetap dibuka sampai akhir zaman demi kemaslahatan kalangan awam.
قال الإمام جعفر الصادق عليه السلام : علينا أن نلقى اليكم الأصول وعليكم أن تفرغوا .
"Kewajiban kita hanya memberikan garis besarnya saja, sedangkan pemecahannya adalah kewajiban kalian"."
Dan ada hadis lain yang kandungannya sbb :
من كان منكم من روی دیشا وعرف حلالنا وحراما وعرف أحكاما فليرضوا به كما
بستنی
12 Al-Bihar, juz 2, hal. 88, bab 14. 13 Al-Wasail, juz 27, hal. 149, bab 11. 14 Al-Bihar, juz 2, hal. 245, bab 29
Ijtihad dan Taqlid - 24 Perhatikan! Apabila ada di antara kalian yang meriwayat kan hadis-hadis kami dan mengerti kandungannya baik yang kita halalkan maupun yang kami haramkan, kemudian mengerti akan ketentuan-ketentuan (yang kami tentukan) maka relakanlah (terimalah) keputusan-keputusannya.
قال رسول الله (ص) لن يفلح قوم يدبر أمرهم إمرأة
Tidak akan beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh seorang wanita."
*****
15 Al-Bihar, juz 104, hat. 261, bab 1. 16 Al-Bihar, juz 32, hal. 212, bab 3.
BERSUCI (THAHARAH)
Air dan Macam-macamnya
Air secara umum terbagi menjadi dua :
1) Air Mutlaq: Yaitu air yang tidak disandarkan pada suatu benda. Misalnya air laut, air sungai, air hujan, air sumber dan lain sebagainya. Keseluruhan air tersebut hukum nya suci seperti yang telah difirmankan oleh Allah SWT :
وأنزلنا من السماء ماء طهورا .
pada sua
Dan Kami turunkan air yang suci dari langit (Q.S. 25: 48).
2) Air Mudhaf: Yaitu air yang disandarkan pada suatu benda. Misalnya air susu, air teh, air mawar, air kelapa dan lain sebagainya. Keseluruhan air tersebut suci hanya saja tidak dapat mensucikan. Sebagai contoh, jawaban Imam Ja'far Shadiq a.s. saat ditanya oleh seseorang: "Bolehkah bersuci dengan menggunakan susu?" Beliau a.ş. menjawab: "Tidak boleh, yang boleh hanya air dan tanah." Air dari sisi penggunaannya ada empat macam:
-) Air suci yang dapat mensucikan, yaitu air mutlaq. -) Air suci tetapi tidak dapat mensucikan, yaitu air mudhaf. -) Air najis, yaitu air mutlaq yang berubah sifat-sifatnya
atau yang terkena najis. -) Air musta'mal (yang telah terpakai), yaitu semua air
Yang dimaksud adalah air mutlaq yang suci dan halal Apabila hendak melakukan tayamum tanahnya diharuskan suci dan halal..
Bersuci (Thaharah) - 26 yang telah terpakai untuk melakukan kewajiban baik wudhu', atau mandi besar.
من ي عصهم
Dalil-dalil kesucian air tersebut di antaranya :
قال النبي (ص) : خلق الله الاء طهورا لأنه شئ إلا ماغير طعمه, أو توثه, أو رائحه.
Allah swt menciptakan air selalu suci tidak dinajiskan oleh sesuatu, kecuali apabila air tersebut berubah rasa, warna, dan baunya.
قال الإمام الصادق (ع) : إن كان الماء قد تغير ريه أو طعمه ؟ تشرب ولا تتوا منه, وإن لم يتغير فاشرب منه وا.
Apabila air telah berubah rasa dan baunya, janganlah engkau minum atau bersuci dengannya, tetapi minumlah dan bersucilah dengan air yang tidak berubah bau dan rasanya.
قال الإمام الصادق (ع): كان النبي (ص) إذا توا أخذ مايسقط من وضوئه نيتوضؤون به.
Para shahabat mengambil sisa air wudhu' yang jatuh dari anggota badan Nabi saww dan menggunakannya kembali untuk bersuci.
Beliau juga berkata : Air yang telah dipakai wudhu' oleh seseorang untuk membasuh wajah dan tangannya yang bersih
Al-Bihar, juz 80, hal. 9 bab 1 Al-Wasail, juz 1, bab 3, hal 138 Al-Wasail, juz 1, bab 8, hal. 209.
Bersuci (Thaharah) - 27 (tidak najis), boleh dipakai oleh temannya untuk bersuci kembali.
وسئل أيضا عن الخيب يغسيل بماء الحمام, هل يغي بو غيره؟
. قال (ع): نعم لأبأس أن يغسيل منه الحب ولقد اغتسلت فيه .
Imam pernah ditanya tentang air yang telah dipakai untuk mandi jenabat. "Bolehkah air tersebut digunakan untuk ber suci kembali"? Beliau as menjawab: "Boleh untuk mandi jenabat kembali, walaupun air tersebut telah diceburi oleh orang sebelumnya".'
Air mutlaq ada dua macam :
-) Banyak : Yaitu air yang jumlahnya mencapai 1 kurro atau lebih. Air sejumlah itu tidak menjadi najis saat terkena hal-hal najis kecuali apabila berubah sifat-sifatnya .
-) Sedikit : Yaitu air yang kurang dari 1 kurr. Air tersebut berubah menjadi najis saat terkena benda-benda najis walau pun tidak berubah sifat-sifatnya .
CATATAN :
-) Air Mutlaq dapat dipakai untuk bersuci atau mensucikan benda yang terkena najis, baik air mutlaq tersebut mengalir atau diam, tawar atau asin. Banyak atau sedikit asalkan tidak berubah sifat-sifatnya.
Al-Wasail, juz 1, bab 8, hal. 210 Al-Wasail, bab 9, hal. 211; Al-Wasail, juz 2, hal. 243,; juz 1, hal. 150, bab 7 I kurr ialah air sejumlah ukuran bak yang lebar, tinggi dan panjangnya masing- masing tiga jengkal setengah. Adapun ukuran kilo gramnya kurang lebih 377 atau 419 kg.
-) Air Mudhaf tidak dapat dipakai bersuci atau mensucikan benda yang terkena najis, baik air mudhaf tersebut banyak atau sedikit, mengalir atau diam. Air mudhaf, berapapun banyaknya akan menjadi najis secara keseluruhan apabila terkena najis. Kecuali apabila air mudhaf tersebut menga lir atau terjun. Maka air yang terletak sesudah benda najis itu atau bagian bawah (untuk air terjun) saja yang menjadi najis.
-) Air najis haram diminum, atau dipakai untuk bersuci dan mensucikan benda yang terkena najis secara mutlaq. :-) Air musta'mal tetap dapat dipakai bersuci kembali seperti halnya air mutlaq, asalkan tidak berubah sifat-sifatnya, kecuali air bekas dipakai untuk istinja' (cebok).
-) Air kolam (bak) yang najis dapat menjadi suci kembali saat tercampur dengan air hujan atau dengan air lain yang jumlahnya satu kurr.
Hal-hal Najis
Benda-benda najis yang harus dijauhi dan disucikan baik saat makan, minum atau akan melakukan shalat ialah :
1) Kencing. 2) Kotoran. 3) Air Mani. 4) Anjing dan babi. 5) Darah 6) Minuman keras. 7) Bangkai. 8) Orang kafir,
.9
Baik dari golongan Ahlul-Kitab (pemeluk agama-agama
Bersuci (Thaharah) - 29 Nashibi 10, Khoriji 11. Dalil-dalil Tentang Berbagai Macam Najis 1) Kencing
قال الإمام الباقر (ع): يجزيك من الإستنجاء ثلاثة أحجار, بذالك جرت السنة من رسول الله (ص), أما البول فلابد من عسله.
Imam Bagir a.s. berkata: Cukup engkau gunakan 3 buah batu untuk membersihkan dirimu saat istinja' (buang air kecil alau besar), sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasul saww, kecuali kencing maka harus dengan membasuhnya.
Kecuali apabila tidak mendapatkan air, maka dibolehkan baginya untuk menggunakan batu atau sesamanya untuk istinja', sebagaimana bunyi dalil berikut ini:
قال الإمام الصادق (ع): عن الرجل يبول, يمحو عنده ماء, فيمسح
samawi) atau tidak. 10 Orang Nashibi ialah orang yang memusuhi keluarga Rasul saww berikut pengikut-pengikutnya (Syi'ah). Karena tidak ada peluang untuk memusuhi manusia-manusia suci sesudah Rasul saww, mereka memusuhi pengikut-pengikutnya dengan mem fitnah, memboikot lahan kerjanya dan lain sebagainya. Pengertian ini diambil dari kandungan hadis yang diucapkan oleh Imam Ja'far As-Shadiq a.s. (Al-Wasail, juz 9, bab 2, hal. 486). Dan menurut sebagian fuqaha (ahli fiqih) diantaranya Imam Khumaini tidak demikian. Lafadz khariji diambil dari kata-kata "kharaja" yang artinya keluar, sedang yang dimaksud dari khariji tersebut ialah orang-orang yang keluar dan menafikan kepemimpinan Imam Ali a.s., setelah adanya beberapa ucapan Imam Ali a.s. yang tidak berkenan di hati mereka. Akhirnya mereka diperangi oleh Imam Ali a.s. pada peperangan Nahrawan. 12 Al-Wasail, juz 1, bab 8, hal. 315
عتيبي
Bersuci (Thaharah) - 30
ذكره بألحائط, فقال: كل شي يابس ذكي
Imam As-Shadiq a.s. pernah ditanya tentang seseorang yang buang air kecil sedang dia tidak memiliki air untuk membasuhnya kemudian diusapkan ke tembok. Dijawab oleh Beliau a.s.: "Segala sesuatu yang kering tidak menimbulkan kenajisan (dapat menghilangkan kenajisan)".”
سبيل الإمام الصادق (ع) عن الثوب والحسد يصيه البول, قال (ع): غسيله متین
Imam Ja'far Shadiq a.s. ketika ditanya tentang kencing yang mengenai baju, atay tubuh seseorang, dijawab oleh beliau: "Cucilah dua kali". "(Perintah untuk mencuci dua kali hanya bersifat anjuran).
2) Kotoran
سئل الإمام الصادق (ع) عن اليق صيب يوخر الفار, ممل يجوز أكله؟ قال (ع): إن بقي منه شيئ فلا بأس, يؤخ أعلاه (على شريطة أن يكون البول والغائط من إنسان أو حيوان غير ماکول اللحم). وقد ثبت عن الإمام الصادق (ع): أنه قال : إغسيل ثوبك من بول كل ما يؤكل تخمه, (ولا تغسيل ثوبك من بول شئ يؤكل لحمه.
13 Keterangan tersebut di atas dikhususkan untuk jenis kotoran
yang kering (keras) Al-Wasail, juz 1, bab 31, hal. 351. 14 Al-Wasail, juz 3, hal.395
Bersuci (Thaharah) - 31
Imam Ja'far Shadiq a.s. juga ditanya tentang boleh atau tidaknya tepung yang terkena kotoran tikus, untuk dimakan. Beliau a.s. menjawab: "Boleh untuk menggunakan sisanya setelah diambil bagian yang terkena kotoran, jika kencing atau kotoran tersebut berasal dari manusia atau hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya). Hal tersebut seperti yang dikatakan Imam Ja'far a.s. dalam riwayat lain: "Cucilah pakaianmu bila terkena kencing hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya, dan tidak perlu engkau mencuci pakaianmu bila terkena kencing hewan yang boleh dimakan dagingnya".
3) Air Mani
سئل الإمام الصادق (ع) عن النبي يصيب الثوب ؟ فقال (ع): إن عرفت مكانه فاغسله, وإن خفي عليك مكانه فاغسيله كله. (على شريطة من كل ماله دم سایل, سواء ماكول اللخم وغيره, أما ماليس له دم سائل مه طاهر دبي).
Imam Ja'far Ash-Shadiq a.s. ditanya tentang mani yang mengenai baju seseorang dan cara membersihkannya. Di jawab oleh beliau a.s.: "Apabila engkau ketahui tempatnya, maka cucilah tempat itu, tetapi apabila engkau tidak menge
NANNA
15 Hadis tersebut menunjukkan tidak najisnya kencing atau kotoran
hewan yang halal dagingnya, begitu pula sebaliknya. Adapun binatang-binatang yang halal dagingnya tetapi pernah dikumpuli oleh manusia, daging binatang tersebut haram untuk selama-lamanya, dan kotorannya najis seperti kotoran binatang-binatang yang haram dagingnya. Al-Wasail, juz 3, hal. 405.
Bersuci (Thaharah) - 32 tahuinya tempat yang terkena, maka cucilah secara keselu ruhan". 4) Anjing dan Babi 97
نحن توضأ
سئل الإمام الصادق (ع) عن الكلب؟ قال (ع): رج
بالماء. وسئل وله
بفضله, واصب ذلك الماء واغسله بالتراب أول مرة الكاظم (ع) عن خنزير شرب من إناء, كيف يصنع به؟ قال (ع): يغل سبع مرات.
Imam Ja'far Shadiq ditanya tentang anjing, beliau men jawab: "Najis. Dan air yang terkena olehnya tidak boleh di pergunakan untuk wudhu'. Tuangkanlah air tersebut, dan cucilah bejana yang terkena olehnya, pertama kali dengan tanah pada bagian yang terkena, kemudian dengan air."
Sedang putra Imam Ja'far a.s. (Imam Musa Al-Kadhim a.s.) saat ditanya tentang apa yang harus diperbuat jika babi
16 Najisnya mani hanya berlaku pada hewan yang mengalir
darahnya, bukan dilihat dari boleh tidaknya daging binatang tersebut dimakan. Apabila tidak mengalir darahnya maka mani
dan darahnya dianggap suci) (Al-Wasail, juz 3, bab 7, hal. 403).
· 17 Menurut Imam Khumaini anjing dan babi daral najis, baik
bulunya, liumya atau tulangnya. Sedangkan yang laut keduanya
suci. 18 Yakni didahului dengan dua kali air kemudian tanah secara
merata setelah itu dibilas kembali dengan air sebanyak satu kali, jadi tiga kali dengan air dan satu kali dengan tanah. Diwajibkan *ta'fir " (atau mencucinya dengan menggunakan tanah), saat terkena najisnya anjing, sedang pada najisnya babi ta'fir tidak harus dilakukan, walaupun adanya keharusan membasuhnya sebanyak tujuh kali. (Al-Wasail, juz 3, bab 12, hal. 415 dan Al-Wasail, juz 1, bal. 225.).
Bersuci (Thaharah) - 33 minum di suatu bejana. Beliau menjawab: "Cucilah tujuh kali"." 5) Darah
قال الإمام الصادق (ع): كل شيئ من الطير يتوضا ما يشرب منه وإلا أن ترى في منقاره ما.
Imam Ja'far a.s. berkata: "Segala jenis air dapat diper gunakan untuk berwudhu, walaupun sisa minuman burung, kecuali apabila terdapat darah diparuhnya".
6) Arak, Minuman keras, dan Sejenisnya*
عی
مز از نبنية
روي عن الإمام الصادق (ع) أنه قال: إذا أصاب ونيك
هر
منير, اغسله إن عرفت مكانه. وإن لم تغرف موضه فاغينه وإن صليت فيه فأعذ صلاتك. المستنكر نوعان: الائع: كالخمر والنبي الجامد: الحشيش. وذهب الفقهاء بنجاسة المائع دون الحايي).
قصص م نصبیسنستمتعتنتسبيع
19 Memang ta'fir tidak diharuskan pada salah satu basuhannya
tetapi hal tersebut dianjurkan setelah dua kali basuhan dengan
air.(Al-Wasail, juz I, hal.226). 20 Al-Wasail, juz i, bab 4, hal. 231. 21 Sengaja dibedakan antara minuman keras dengan arak, karena
yang dimaksud arak ialah minuman yang memabukkan yang pemrosesannya dilakukan secara alamiah (dengan menyimpan minuman tersebut sampai mengandung alkohol dengan sendirinya), sedang minuman keras ialah minuman-minuman yang diproses secara manual, baik dengan dibubuhi alkohol, atau lainnya.
Diriwayatkan bahwa Imam Ash-Shadiq a.s. berkata: "Apabila bajumu terkena arak atau perasan yang memabuk kan, maka cucilah pada tempat yang terkena saja. Tetapi apabila engkau tidak mengetahui tempat yang terkena, maka cucilah bajumu secara keseluruhan dan ulangilah shalatmu jika kamu terlanjur melakukan shalat memakai baju tersebut (sebelum dicuci)." Dalam hal sesuatu yang memabukkan ada dua macam:
حححححححححح
1. Cair, misalnya arak dan perasan-perasan yang me mabukkan (kurma/anggur)
2. Beku (padat) misalnya ganja, morfin dan lain seba gainya. Ulama fiqih sepakat menajiskan yang "cair" bukan yang beku (padat).
سئل الإمام الصادق (ع) عن الفقاع؟ فقال (ع): تشربه, فإنه خمر مجهول, وإذا أصاب ثوبك فاغسيله.
Imam Ja'far Shadiq a.s. ditanya tentang minuman yang terbuat dari perasan gandum, beliau menjawab: "Jangan engkau meminumnya karena perasan itu (apabila sudah disimpan) adalah anak yang samar. Dan cucilah bajumu jika terkena olehnya". 7) Bangkai
قال الإمام الصادق (ع): عن البشر يقع فيها البيتة ؟ إن كان لها ريح نزح منها عشرون دلوا. وفي رواية أخرى : يفي الماء إلا ما كانت له نفس
:.
سائلة.
22 Al-Wasail, juz 3, bab 38, hal. 468. 23 Al-Wasail, uz 3, bab 38, hal. 469
Bersuci (Thaharah) - 35 Imam Ja'far Shadiq a.s. menjelaskan tentang sumur yang kemasukan bangkai yang telah membusuk. Beliau a.s. men jelaskan cara mensucikannya dengan mengurangi air sumur tersebut sebanyak 20 timba.
Sedang pada riwayat lain, Imam a.s. berkata: "Tidak najis sumur yang kemasukan bangkai, kecuali bangkai binatang yang mengalir darahnya.
CATATAN:
يتم
تصنيع
مفتیم
Menurut Imam Khumaini r.a.: Tidak diwajibkan mem buang airnya, cukup dengan membuang bangkainya saja. 8) Kafir, Khariji dan Nashibi (Pembenci Ahlul Bayt Nabi)
وي عن أبي ثعلبة الخني أنه قال: يارسول الله إنا بأرض قوم أهل الكتاب, أفاك من آنيتهم؟ قال (ص): تأكلوا فيها إلا أن تجدوا غيرما فاغسيلوها وكلوا فيها. ( وقع ذلك أن القرآن نص على تاشيهم. أيضا من نصب العداء لأهل بيت رسول الله (ع) أو لأحدهم هو رخت نجس, الأعداء أهل بيت الرسول عداء الرسول وغذاء الرول عداء الله بالذات). |
Diriwayatkan oleh Abu Tsa'labah, bahwa dia bertanya kepada Nabi saww. "Wahai Rasulullah, kita hidup di negeri Ahlul-Kitab. Bolehkah kita makan dengan menggunakan be jana-bejana mereka?" Nabi saww menjawab: "Jangan
24 Jumlah tersebut sebenarnya dapat berubah dengan besar
kecilnya binatang yang terjatuh kedalam sumur
tersebut.(Al-Wasail, juz I, bab 22, hal. 195) 25 Al-Wasail, juz 1, bab 10, hal. 241.
|
بنتا
engkau makan menggunakan bejana mereka kecuali apabila engkau tidak mendapatkan bejana-bejana selain bejana mereka, tetapi cucilah terlebih dahulu sebelum menggunakan nya. Yang dimaksud dengan "Ahlul-Kitab" ialah pengikut agama-agama yang memiliki "kitab suci dari langit", walau pun kitab-kitab suci tersebut sudah banyak dijamah oleh tangan-tangan manusia seperti Nasrani, Yahudi, Majusi.
Adapun yang dimaksud musyrik atau kafir selain mereka ialah "penganut agama-agama yang tidak bersumber dari langit". Begitu pula halnya dengan orang-orang yang me musuhi keluarga Nabi saww (manusia-manusia suci sesudah beliau), baik secara menyeluruh atau sebagian dari mereka, karena memusuhi keluarga Nabi sama dengan memusuhi Nabi saww dan yang memusuhi Nabi saww sama dengan memusuhi Allah SWT.
ANNAH
CATATAN:
-) Syi'ah selain Imamiyah apabila memusuhi dan mencela (imamiyah) atau tidak mengakui keimamahan (kepemimpi nan) imam-imam secara menyeluruh mereka tergolong seperti Nashibi.
-) Hukum-hukum najis tersebut dapat berubah menjadi hukum suci bila dalam keadaan darurat.
-) Ada beberapa cara untuk mensucikan najis :
1) Air. Segala bentuk najis dapat disucikan dengan air, baik dengan menyiramnya (mengalirkan air dari atasnya) atau dengan menenggelamkan benda yang terkena najis tersebut kedalam air, dengan syarat airnya mengalir atau lebih dari satu kurr.
26 Lihat Al-Wasail, Juz 20, bab 10, hal. 553; juz 9, bab 2, hal.
486 dan Fiqih Imam Ja'far Shadiq, Juz I.
2) Tanah dan sejenisnya (tanah liat, pasir, batu, adonan pasir de-ngan semen dan sebagainya) dapat mensucikan tela pak kaki atau terompah yang terkena najis pada bagian bawahnya, baik dengan berjalan di atasnya atau dengan mengusapkannya sampai benda najisnya hilang, dengan syarat tanahnya kering dan suci.
3) (Sinar) matahari dapat mensucikan benda-benda yang tidak dapat di pindah-pindahkan seperti tanah, bangunan dan semua yang berhubungan dengannya, baik tiang, dinding (tetapi bukan semua jenis dinding dapat disucikan oleh sinar matahari), pintu, atau semua jenis kayu-kayuan yang melekat pada bangunan tersebut, dengan syarat tidak lagi terdapat benda najisnya dan sengatan sinarnya secara langsung mengenai tempat-tempat tersebut, (tanpa melalui benda pe mantul lain). Maka najis-najis yang basah dapat suci saat terkena (sinar) matahari tersebut. Walaupun yang terkena sengatan hanya sisi luarnya, tetapi (sinar) matahari dapat mensucikan sisi luar dan dalam benda tersebut sekaligus.
4) Pensucian bisa terjadi dengan adanya perubahan dari satu bentuk ke bentuk yang lain, dengan syarat perubahan tadi terjadi karena terbakar oleh api. Misalnya, benda-benda najis atau benda yang terkena najis yang sudah berubah menjadi abu, uap, minyak atau asap setelah dibakar. " Tetapi apabila perubahan tadi penyebabnya bukan bakaran api, seperti arang, gamping, tungku dan sebagainya, perubahan tersebut tidak dapat merubah hukumnya menjadi suci. Kecuali arak, dia dapat menjadi suci setelah berubah menjadi cuka dengan sendirinya atau karena suatu obat. Tetapi apabila proses perubahannya menjadi cuka karena kemasukan benda najis dari luar, tetap dihukumi najis.
27 Misalnya abu kotoran kuda atau uap minyak babi dan lain sebagainya setelah terkena api.
5) Hilangnya dua pertiga bagian dari perasan yang dimasak dengan api atau dipanaskan dengan sinar matahari. Tetapi apabila menguap dengan sendirinya kemudian memabukkan, maka tidak dapat menjadi suci dengan hilangnya dua pertiga bagiannya tersebut, kecuali apabila khomr tersebut telah berubah menjadi cuka.
6) Perpindahan. Benda najis yang berpindah ke dalam benda yang lain kemudian menyatu dengan anggota tubuhnya, perpindahan tersebut dapat mensucikan benda itu. Misalnya, hukum najisnya darah atau bangkai suatu binatang, dapat berubah menjadi suci saat berpindah ke perut hewan-hewan yang tidak mengalir darahnya, baik dengan jalan dihisap atau lainnya .
7) Islam. Orang kafir dapat menjadi suci segala sesuatunya (rambut, kuku, ludah, ingus dan sebagainya) saat mereka masuk Islam. Demikian juga halnya bagi yang murtad ke mudian bertaubat kembali.
.8) Keterikatan. Anak orang kafir dapat menjadi suci saat ayahnya memeluk Islam karena adanya keterikatan antara keduanya (untuk anak kecil kafir yang tertawan oleh orang Islam tidak termasuk dalam hukum ini). Begitu pula halnya tempat untuk memandikan jenazah beserta peralatannya dapat menjadi suci setelah sucinya jenazah.
9) Hilangnya benda najis baik dari mulut hewan maupun manusia. Misalnya, paruh ayam yang memakan kotoran manusia atau bangkai, dapat menjadi suci dengan hilangnya sisa-sisa kotoran dan bangkai tersebut dari paruhnya, atau dengan mengeringnya paruh tersebut dari basahnya kotoran. Begitu pula halnya dengan keringnya luka yang terdapat di punggung hewan, darah di mulut seekor kucing, atau saat tertelannya benda-benda najis dari mulut seseorang baik berupa arak atau makanan-makanan najis.
10) Hilangnya benda najis tersebut dari penglihatan, kecuali apabila dipastikan bahwa hukum najisnya masih tetap ada.
11) Pembersihan najis dari tubuh hewan yang memakan benda-benda najis, dapat dilakukan dengan jalan memasuk kannya ke dalam kandang (karantina) dan memberinya makanan-makanan yang suci. Untuk hewan-hewan berikut apabila memakan benda-benda najis, kemudian hendak dis embelih harus dikarantinakan terlebih dahulu, untuk onta selama 40 hari, sapi 20 hari 2 kambing 10 hari, bebek dan sejenisnya 5 hari, ayam 3 hari. Untuk selain hewan-hewan tersebut cukup dengan memberinya makan yang dapat menghilangkan kesan adanya najis dari dalam perutnya. Najis yang Dimaafkan dalam Shalat
Pertama, darah yang melekat di badan atau pakaian, baik karena penyakit atau luka biasa, tetapi keduanya tetap dian jurkan untuk dibersihkan dari badan atau pakaian. Apabila mendapat kesulitan untuk melakukan kedua hal tersebut, maka yang diharuskan baginya ialah berusaha semampunya. Tolok ukur pemaafan terhadap darah tersebut ialah: Pertama, sulit nya mensucikan anggota badan atau mengganti pakaian yang terkena darah. Kedua, tidak menyulitkan, tetapi memberatkan terhadap pelakunya. Darah wasir atau luka dalam apabila muncul kepermukaan tergolong darah yang dimaafkan.
Kedua, lebar darah hanya selebar bulatan (ujung) jari telunjuk, dan darah tersebut bukan dari darah haid, nifas, istihadhah, darah bangkai atau darah binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya (haram). Apabila letak darah terse but terpencar-pencar, baik yang terdapat dibadan atau
28 Batasan masa yang ada berbeda dengan yang di atas yang mengharuskan 30 hari, adapun ketentuan 20 hari ini adalah pendapat Imam Khumaini secara khusus.
jari telunjuk dimaafkan..de tergolong in tersebut be
pakaian, dapat dimaafkan apabila jumlah keseluruhannya tidak melebihi lebar bulatan itu. Kalau darah selebar bulatan jari telunjuk yang terdapat di badan tersebut diragukan antara darah yang dimaafkan, atau yang tidak dimaafkan (haid dan sesamanya), maka tetap tergolong darah yang dimaafkan sampai adanya kepastian bahwa darah tersebut benar-benar bukan jenis darah yang dimaafkan. Begitu pula hukumnya kalau meragukan ukuran besar kecilnya bulatan darah yang dimaafkan.
Ketiga, apabila darah tersebut melekat pada pakaian, di mana shalat akan tetap dianggap sah tanpa mengenakannya, atau shalat dianggap batal apabila mengenakannya tanpa mengenakan lainnya, seperti kaos kaki, kaos tangan, songkok dan sebagainya. Najis-najis yang menempel pada jenis-jenis pakaian tadi dimaafkan, walaupun najisnya berupa darah binatang yang diharamkan dagingnya, terkecuali babi, anjing atau bulu bangkai baik dari kedua binatang tersebut atau lainnya dari najis-najis aini. :. Keempat, benda najis yang sudah menyatu dalam tubuh manusia, misalnya, darah yang sudah ditranfusikan, arak yang sudah diminum, benang najis (saat operasi) yang sudah dija hitkan, seluruhnya dimaafkan dalam shalat. Lain halnya den gan membawa benda-benda najis dalam shalat, terutama bangkai. Kecuali apabila barang-barang najis yang dibawa, tidak mengganggu sahnya shalat tersebut, seperti pisau, uang dan sebagainya.
· Kelima, pakaian orang yang tugasnya selalu merawat bayi, baik dia selaku ibu bayi tersebut atau sebagai juru rawat. Diperbolehkan ba-ginya dalam melakukan shalat, untuk menggunakan pakaian yang terkena kencing (bayi), walaupun untuk lebih utamanya dia mandi pada shalat pertama (Yang dimaksud dari shalat pertama ialah susunan shalat harian misalnya shalat Subuh, atau pertama shalat yang hendak dilakukan oleh seorang yang baru suci baik dari haid maupun nifas, apabila baju yang dia genakan sebelum dia melakukan
shalat, terkena kencingnya bayi yang sedang dia rawat, dia dianjurkan mandi terlebih dahulu, begitu pula halnya untuk orang yang menjama' shalatnya) (menyatukan antara shalat Dhuhur dengan Ashar atau Maghrib dengan Isya'), anjuran mandinya terletak pada shalat yang pertama dari keduanya (Dhuhur& Maghrib). Untuk shalat-shalat berikutnya dia boleh melakukannya dengan menggunakan pakaian tersebut tanpa harus mensucikannya terlebih dahulu.
Pengertian semacam ini hanya untuk kencing (bukan ko toran) yang mengenai pakaian, untuk wanita (bukan laki-laki), untuk pengasuh bayi yang hanya memiliki sepotong baju, bukan pemilik banyak baju yang tidak memakai seluruh baju yang tersedia. ISTIBRA'
Yang dimaksud dengan istibra' ialah: mensucikan ke maluan dari sisa-sisa kencing. Hal tersebut wajib dilakukan karena dengan membiarkan sisa-sisa kencing akan dapat meratakan najis tersebut pada anggota badan atau pakaian. Di samping itu wudhu dan shalat akan batal apabila sisa-sisa kencing yang tertinggal di saluran kemaluan keluar. Dan shalat yang batal (baik karena sengaja atau tidak), jika tidak diulang akan dapat menyeret pelakunya ke neraka.
Sebagaimana pernah terjadi pada zaman Rasul saww. Saat beliau berjalan-jalan melewati pekiburan, beliau mendengar suara jeritan. Beliau berkata kepada sahabat-sahabat yang menyertainya: "Penghuni kedua kuburan ini sedang tersiksa dan penyebabnya bukan hal yang besar. Yang pertama karena kurang bersih saat mencuci kemaluannya dari kencing (tidak dengan istibra'), adapun yang lain karena selalu mengadu domba". Kemudian Rasul meminta pelepah kurma yang masih hijau, setelah dibelahnya menjadi dua, beliau saww menan capkannya di atas kedua kuburan tersebut. Kemudian beliau berkata: "Kedua pelepah kurma ini akan meringankan siksa terhadap keduanya selama masih basah.
Bersuci (Thaharah) - 42 Adapun cara melakukan istibra': Mengusap sambil me nekan de-ngan agak keras pangkal kemaluan (di tengah antara pantat dengan buah zakar) sebanyak tiga kali, kemudian meletakkan jari telunjuk di bawah pangkal zakar dengan ibu jari di atasnya dan menariknya ke atas sebanyak tiga kali, setelah itu memijat-mijat ujungnya sebanyak tiga kali.
Kalau setelah melakukan istibra', keluar lagi cairan yang tidak diketahui antara sisa kencing atau lainnya, maka cairan tersebut dihukumi suci dan tidak membatalkan wudhu (dengan catatan: didapatinya keluarnya cairan itu setelah melakukan wudhu). Lain halnya kalau tidak melakukan istibra', maka cairan apapun yang keluar dihukumi najis. Dalam melakukan istibra' tidak harus dilakukannya sendiri (boleh istri atau budak wanitanya).
Setelah seorang melakukan istibra' dia diharuskan "istin jak", yaitu mencuci tempat najis tersebut dengan air. Untuk laki-laki wajibnya dilakukan sekali (dengan cara menyiram nya), tetapi dianjurkan untuk mengulanginya sampai dua kali, dan untuk lebih utamanya tiga kali. Khusus untuk kencing tidak boleh beristinja' dengan menggunakan selain air. Tetapi untuk beristinja! dari kotoran boleh memilih antara air dan benda-benda yang dapat menghilangkan najis, seperti batu, kain, tissu dan sebagainya. Namun yang lebih utama men cucinya dengan air. Dan yang lebih utama lagi membersihkan nya terlebih dahulu de-ngan benda-benda tersebut kemudian mencucinya dengan air.
Walaupun adanya anjuran untuk mengulangi basuhan se banyak tiga kali (pada tempat yang sudah bersih dari benda najis), hal tersebut bukan berarti pembatasan. Karena yang sebenarnya dikehendaki pada pembasuhan ialah bersihnya anggota tubuh (kemaluan) dari hukum najis. Najis dapat difaham dari dua sisi ::
-) Wujudnya benda najis itu sendiri, seperti kencing,
Bersambung tautan selengkapnya : https://drive.google.com/file/d/0B_l0We7EQa4JVTJDWE1KQUpQMm8/view
Bersambung tautan selengkapnya : https://drive.google.com/file/d/0B_l0We7EQa4JVTJDWE1KQUpQMm8/view
Alhamdulillah Kama Huwa AhluHu Syukraaaan
BalasHapus