ilustrasi hiasan:
Belakangan ini banyak Muslim yang mendambakan khilafah menjadi sistem pemerintahan.
Benarkah khilafah adalah sistem pemerintahan Islam yang patut dilanjutkan? Ataukah ia adalah alat kekuasaan sekelompok orang yang secara lancang memanipulasi jargon agama?
Sebelum mendambakan atau menolaknya, Anda perlu tahu tentang Sejarah Khilafah.
Untuk mengetahuinya, Anda perlu mendapatkan sebuah kajian yang tidak asal-asalan.
Rasul Ja'fariyan adalah pakar yang mengabdikan seluruh usia produktifnya untuk memotret sejarah khilafah sejak Nabi saw hingga Dinasti Abasiyah.
------------------------------------------
SEJARAH KHILAFAH 11 H - 35 H
Judul asli : The History of Caliphs
Penulis : Rasul Jafariyan .
Penerjemah: Anna Farida,
Nailul Aksa , Khalid Sitaba
Penerjemah: Anna Farida,
Nailul Aksa , Khalid Sitaba
Penyunting : Muhsin Labib
Penyelaras Akhi: Rivalino Ifaldi
Setting Layou : Ja'far Jamalullail
Penyelaras Akhi: Rivalino Ifaldi
Setting Layou : Ja'far Jamalullail
Desain Cover : Eja Assegaf © Al-Huda, 2006
Hak terjemahan dilindungi undang-undang All rights reserved
Cetakan : November 2006 ISBN: 979-3515-85-6
Hak terjemahan dilindungi undang-undang All rights reserved
Cetakan : November 2006 ISBN: 979-3515-85-6
Diterbitkan oleh : Penerbit Al-Huda PO. BOX. 7335 JKSPM 12073
e-mail : info@icc-jakarta.com
----------------------------------------
e-mail : info@icc-jakarta.com
----------------------------------------
DAFTAR ISI
BAGIAN 1 - KHILAFAH ABU BAKAR
Saqifah
Khilafah Setelah Nabi Saw
Masalah Kemurtadan
Khilafah Setelah Nabi Saw
Masalah Kemurtadan
Utusan-utusan Abu Bakar
Penaklukan Damaskus
Penaklukan Damaskus
BAGIAN II - KHILAFAH UMAR BIN KHATHAB
Tentang Khalifah Kedua
Karakter Khalifah
Karakter Khalifah
Para Pejabat (Fungsionaris) Umar
Pemikiran-pemikiran Khalifah Kedua.
Pembunuhan Terhadap Umar
Penaklukan Beruntun di Damaskus dan Mesir
Penaklukan Beruntun di Irak dan Iran
Pembunuhan Terhadap Umar
Penaklukan Beruntun di Damaskus dan Mesir
Penaklukan Beruntun di Irak dan Iran
BAGIAN III - KHILAFAH USMAN BIN AFFAN
Dewan Khilafah dan Pemilihan Usman
Khilafah Usman
Khilafah Usman
Alasan-alasan Pemberontakan Anti-usman
Lawan-lawan Usman .. Kontak Usman dengan Para Penentang
Usman dan Muawiyah
Imam Ali as dan Usman
Pembunuhan Usman
Kemenangan-kemenangan yang Terus Menerus Dampak-dampak Kemenangan dan Komunitas Islam
Kemenangan-kemenangan yang Terus Menerus Dampak-dampak Kemenangan dan Komunitas Islam
Catatan Akhir Bagian 1:
Catatan Akhir Bagian II:
Catatan Akhir an II:
Catatan Akhir Bagian II:
Catatan Akhir an II:
Bagian I
KHILAFAH ABU BAKAR
SAQIFAH
Adalah hal yang mustahil dalam mempelajari peristiwa peristiwa pasca wafat Nabi berkaitan dengan kepemimpin an masyarakat, tanpa memberikan perhatian pada partai partai politik yang terbentuk sesudahnya di Madinah. Kaum Anshar adalah salah satu faksi politik penting yang cemas tentang berbagai permasalahan dan masa depan mereka setelah wafatnya Nabi saw sejak jatuhnya Mekkah ke tangan umat Islam. Mereka yang berkumpul di Saqifah, merasa takut pada kekuasaan kaum (suku) Quraisy, meski telah bersumpah setia pada Imam Ali as - yang mereka yakini lebih tidak berminat pada kekuasaan. Hubab bin Mundzir, salah satu pemuka Anshar, dalam pernyataannya di Saqifah, menganggap bahwa kaum Anshar lebih baik daripada suku Quraisy, dan berkata, “Merekalah yang telah memenangkan Islam."
Bagian 1 - Khilafah Abu Bakar
Dia mendatangi kaum Anshar dan berkata, “Orang orang ini (Muhajirin) adalah barang rampasan, dan ham ba sahaya kalian. Mereka tidak berani melawan kalian."! Jelas, perkataan Hubab ini membuktikan bahwa alasan kaum Anshar melakukan perbuatan tak bijak ini adalah ketakutan mereka pada kaum Quraisy dan persaingan dengan mereka.
Di sisi lain, sejumlah orang Muhajirin telah menun jukkan gelagat mencurigakan dua minggu sebelum wafat nya Nabi. Ketika mendengar adanya pertemuan di Saqifah, tanpa menyia-nyiakan waktu mereka segera menghadiri tempat itu dan berdebat dengan kaum Anshar.
Berita tentang negosiasi 'dagang sapi' itu terungkap di kemudian hari di dalam salah satu khotbah Khalifah kedua di Madinah. Dia sedang berada di Mekkah ketika diberitahu bahwa seseorang berkata “Pernyataan sumpah setia kepada Abu Bakar terjadi secara tiba-tiba.” Hal ini membuat Umar sangat marah dan ia memutuskan untuk berbicara pada masyarakat tentang hal ini di Mekkah.
Abdurrahman bin Auf berkata pada Umar, “Engkau di sebuah kota dimana semua suku Arab hadir. Jika kau mengatakan sesuatu sekarang, maka akan tersebar luas di seluruh kota.”
Ketika Umar datang ke Madinah, ia menuju mimbar dan berkata kepada penduduk, “Aku telah diberitahu bahwa seseorang berkata bahwa sumpah setia kepada Abu Bakar terjadi secara tiba-tiba. Aku bersumpah demi hidupku bahwa memang begitulah halnya.
Namun Tuhan telah mengaruniakan kepada kalian kebaikannya (sumpah setia itu) dan melindungi kalian dari sisi buruknya. Setelah wafatnya Nabi, kami diberitahu bahwa kaum Anshar berkumpul dengan Sa'd bin 'Ubadah di wilayah Bani Sa'idah. Abu Bakar, Abu 'Ubaidah, dan aku mendatangi mereka dan di perjalanan kami, kami berjumpa dengan dua orang dari kaum Anshar. Mereka meyakinkan kami bahwa kaum Anshar tidak berniat melakukan sesuatu yang bertentangan dengan pandangan kami, tetapi kami memutuskan untuk melihatnya sendiri.”
Juru bicara kaum Anshar berkata, “Kami, kaum Anshar, adalah bersatunya pasukan Islam; dan kalian, wahai kaum Quraisy, adalah sekelompok kecil dari kami dan minoritas dari kami!"
Aku ingin menanggapinya, tetapi Abu Bakar mence gahku dan dia sendiri berkata, “Apapun yang kau katakan tentang kaum Anshar memang benar, tetapi bangsa Arab tidak mengakui ‘khilafah' kecuali untuk suku Quraisy. Mereka adalah yang terbaik dari bangsa Arab dari sisi keturunan dan kelahiran yang mulia. Aku mengajukan sumpah setia pada Umar atau Abu Ubaidah (hanya mereka orang-orang Muhajirin dalam pertemuan itu).”.
Juru bicara kaum Anshar berkata, “Biarkan ada seo rang pemimpin dari kami dan seorang lagi dari kalian.”?
Aku menyahut, “Dua pedang tak bisa ditempatkan dalam satu sarung. Lalu, aku mengangkat tangan Abu Bakar dan bersumpah setia kepadanya."
• Umar menambahkan, “Kaum Muhajirin dan Anshar bersumpah setia kepadanya. (Tentu saja hanya ada tiga orang Muhajirin dalam perkumpulan itu). Kami takut meninggalkan pertemuan itu, jangan-jangan mereka bersumpah setia kepada orang lain dan memaksa kami untuk patuh kepadanya! Atau menimbulkan kekacauan dengan melawan kami. Tentu saja, sumpah setia kepada Abu Bakar itu adalah tindakan spontan, dan itu tak lain adalah karunia ketuhanan untuk menjauhkan sebuah pertanda buruk dari kita, dan itu tiada bandingannya. Oleh karenanya, barangsiapa bersumpah setia kepada seseorang tanpa 'pertimbangan umat Islam’, maka dia maupun yang bersumpah itu tak pantas ditaati; jika tidak, maka keduanya akan terancam bahaya pembunuhan.”
Khalifah menyampaikan laporan singkat mengenai Saqifah, tetapi cukup memadai untuk menyingkapkan setiap bagian dari realitasnya. Laporan lengkap mengenai Saqifah tersedia dalam as-Saqifah karya Abu Bakar Jauhari (323 M)
Ibnu A’tsam menulis, “Sebelum kedatangan kaum Muhajirin, berbagai perdebatan serius terjadi di kalangan Anshar. Salah satu dari kaum Anshar berkata, “Pilih seseorang yang wajahnya menggentarkan kaum Quraisy dan membuat kaum Anshar merasa aman. Sebagian kecil mengajukan Sa'd bin 'Ubadah."
Usaid bin Hudhair, salah satu bangsawan suku Aus mengajukan keberatan dan berkata, “Khilafah harus tetap di dalam suku Quraisy.” Yang lain berbicara menantangnya.
Basyir bin Sa'd membela kaum Quraisy dan 'Uwaim bin. Sa'idah berkata, “Khilafah akan dikhususkan bagi Ahlulbait Nabi saw yang maksum. (Maka) tempatkanlah dimana Tuhan telah menempatkannya.” Laporan Ibnu A’tsam menunjukkan adanya pertentangan internal di antara kaum Anshar.
Usaid bin Hudhair dari Aus dan Basyir bin Sa'd yang merupakan sepupu Sa'd bin ‘Ubadah, adalah orang-orang Anshar pertama yang bersumpah setia kepada Abu Bakar di Saqifah. Kita semua tahu di kemudian hari bahwa kaum Anshar menjadi tidak puas dengan pemerintahan kaum Quraisy.
Menurut Zubair bin Bakr, kaum Aus berkata, “Basyir bin Sa'd dari Khazraj yang pertama-tama bersumpah setia. Dan kaum Khazraj berkata bahwa yang benar adalah Usaid bin Hudhair."
Abu Bakar tahu tentang perselisihan semacam itu, maka di Saqifah ia berkata, “Jika orang-orang Aus meng hendaki kekuasaan, maka kaum Khazraj tidak akan mene rimanya, dan akan terjadi peperangan berdarah di antara mereka sepanjang waktu.”?
Menurut Ya'qubi, Abdurrahman bin Auf, juga berada di Saqifah. Ini tidak benar. Apapun yang telah dikutip oleh Ya'qubi darinya diberitakan sehari sesudahnya di mesjid.
Dia mendatangi kaum Anshar dan berkata, “Walaupun kalian adalah orang-orang penting yang memiliki kelebihan, tetapi di antara kalian tidak ada yang seperti Abu Bakar, Umar dan Ali as."
Mundzir bin Arqam berdiri dan berkata, “Kami tidak menyangkal keistimewaan orang-orang yang kau sebutkan. Jika salah satu dari orang-orang itu menghendaki khilafah (yang dimaksudnya adalah Imam Ali as), maka tidak akan ada keberatan atas permintaannya.” Lantas Basyir bin Sa'd dan Usaid bin Hudhair bangkit dan bersumpah setia; dan banyak orang mengikutinya, sehingga Sa'd bin 'Ubadah nyaris dibunuh dalam kekacauan.
Bara' bin `Azib menjumpai Bani Hasyim dan berkata, “Mereka bersumpah setia kepada Abu Bakar."
Orang-orang Bani Hasyim berkata bahwa umat Islam tidak akan pernah melakukannya tanpa kehadiran mereka. "Kami adalah keturunan Muhammad saw!"
Abbas berkata, “Aku bersumpah kepada Tuhan Ka'bah, mereka melakukannya.”
Ya'qubi menambahkan, “Kaum Muhajirin dan kaum Anshar tidak ada keraguan pada Imam Ali as. "
Thabari dan Ibnu Atsir pernah mengatakan bahwa kaum Anshar atau sejumlah dari mereka bersumpah setia hanya kepada Ali as.
Menurut Ibnu Qutaibah, Hubab bin Mundzir mencabut pedangnya dari sarungnya ketika ia melihat kaum Anshar bersumpah setia, tetapi mereka melucuti senjatanya.
Dia berkata pada kaum Anshar, "Kalian harus me nunggu dan menyaksikan anak-anak kalian mengemis demi semangkuk air dan sepotong roti di depan pintu kaum Quraisy."
Menurut semua ahli sejarah, pemikiran terpenting tentang Abu Bakar dan Umar adalah kekerabatan Abu Bakar dengan Nabi saw dan usianya, walaupun ada beberapa rujukan tentang kebaikannya di beberapa dokumen.
Mereka mendatangi kaum Anshar dan berkata, “Bangsa Arab hanya akan menerima ras Quraisyl2 dan mereka tidak akan pernah menerima kenabian kecuali dalam sebuah keluarga dan menerima khilafah dalam keluarga yang lain.”
Abu Bakar di Saqifah berkata, “Kami dari suku Quraisy dan para Imam haruslah dari kami."
Kemudian, ketika Imam Ali as mengungkapkan keberatannya pada Abu Bakar dan Umar, karena mereka telah menyebut-nyebut “kekerabatan” sebagai landasan, sedangkan mereka tahu bahwa ia lebih dekat dengan Nabi saw, Umar berkata, “Bangsa Arab tidak menghendaki kenabian dan khilafah dalam satu keluarga.15 Kenabian adalah milikmu, maka biarkanlah khilafah bagi keluarga lain!”
Tidak ada keraguan bahwa, setelah menghindari kesetiaan kepada Ali as di Saqifah, pertentangan antar suku dimulai, dan akhirnya suku Quraisy memperkenalkan "superioritas kesukuannya” untuk memanfaatkan konflik internal kaum Anshar dan memenangkan khilafah alih alih pengaruh mereka yang terbatas di Madinah. Para pengikut Abu Bakar menjadikan usianya sebagai kriteria sedangkan pada saat itu Imam Ali as masih muda.
Ketika Salman mendengar tentang sumpah setia itu, ia berkata, “Kalian memilih orang yang paling tua, namun membuat kesalahan tentang Ahlulbait yang suci dari Nabi kalian. Jika kalian bersumpah setia kepada mereka, dua golongan tak akan menghalangi kalian.”
Perlu dicatat bahwa tidak ada perkataan yang tercatat dan bisa dipercaya, yang dikemukakan mengenai masalah Saqifah, dan cara pemilihan khalifah. Tentu saja, kita harus mengabaikan kutipan-kutipan palsu yang dibuat-buat untuk menunjukkan keabsahan17 hak Abu Bakar atas khilafah, bahwa Nabi saw bukan hanya telah memilih Abu Bakar, tetapi juga para khalifah yang selanjutnya. 18 Yang penting bagi kita adalah pembicaraan di Saqifah dan insiden-insiden sampingannya. Kaum Anshar menganggap khilafah sebagai hak mereka sendiri; kaum Muhajirin Abu Bakar, Umar, dan Abu 'Ubaidah--pergi ke Saqifah dan berkata bahwa khilafah itu khusus bagi suku Quraisy. Mereka tidak bersandar pada hadis manapun seperti, “Para Imam adalah dari suku Quraisy,” dan berkata bahwa bangsa Arab tidak akan taat pada ras lain selain Quraisy. Di antara mereka, beberapa sahabat besar Nabi saw seperti Zubair dan Thalhah 19 tidak menganggap Abu Bakar sebagai orang yang tepat untuk memperoleh kekuasaan.
Oleh karena itu, tidak ada metode yang diketahui atau syarat-syarat untuk memilih Abu Bakar kecuali kekerabatannya dengan Nabi saw, “superioritas kesukuan” kaum Quraisy dan kriteria kesukuan. Berasal dari suku Quraisy sama sekali bukan sebuah syarat untuk memperoleh gelar khalifah. Bertahun-tahun setelah khilafahnya, Umar berharap “Salim” Maula Hudzaifah bin Yaman hidup untuk memerintah sesudahnya.20 Salim bukanlah orang dari Quraisy. Beberapa kalangan percaya bahwa syarat harus berasal dari keturunan suku Quraisy itu diperkenalkan dalam fikih politik Sunni sejak abad ke-3.21 Satu-satunya kriteria di Saqifah adalah hubungan dengan suku Quraisy dan usia Abu Bakar. Hanya kriteria di zaman jahiliah (zaman kegelapan) dan konflik-konflik politislah yang memberinya khilafah, bukan kombinasi kriteria kaum pagan dan Islam yang telah dinyatakan oleh Dr. Khairuddin Sawi.22 Ada dokumen lain yang tersedia bahwa Abu Bakar secara emosi onal sangat terikat dengan suku Quraisy dan kemuliaannya.
Ibnu Asakir berkata, “Beberapa lama setelah masuknya Abu Sufyan ke Islam, bilal, Suhaib Rumi, dan Salman mengecamnya. Abu Bakar bertanya dengan marah mengapa mereka bersikap seperti itu kepada “Syekh, dan guru dari suku Quraisy'. Mereka mengeluh tentang hal ini pada saat hadirnya Nabi saw dan Nabi saw meminta Abu Bakar untuk meminta maaf.”
Setelah sumpah setia di Saqifah, mereka meninggal kan tempat itu. Menurut Bara' bin `Azib, mereka berjalan sepanjang jalan dan menjabatkan tangan siapa pun yang mereka jumpai dengan tangan Abu Bakar, tanpa peduli apakah orang-orang itu bersedia atau tidak.
Bara' menambahkan, “Aku bergegas ke pintu Bani Hasyim untuk menyampaikan kabar itu."24 Minat mereka terhadap sumpah setia itu begitu luar biasa, sehingga menurut Ibnu Abi Syaibah, mereka tidak menghadiri upacara pemakaman Nabi saw dan kembali ke kota setelah menyelesaikan sumpah setia, Umar berdiri dan minta maaf atas apa yang telah ia katakan sebelumnya kemarin bahwa Nabi tidak akan mati sampai sahabatnya yang terakhir dan klaimnya bahwa ia memberikan arahan kepada Nabi saw. Dia berdalih bahwa ia mengatakan itu karena dia percaya bahwa Nabi saw akan hidup lama untuk mengelola masalah-masalah ini, tetapi kini ia menyaksikan bahwa al-Quran ada di antara mereka, dan karena itulah penduduk membaiat sahabat Nabi saw yang terbaik. 26 Ini menunjukkan bahwa Umar tengah berharap bahwa yang terpilih adalah orang yang diinginkannya menjadi khalifah agar tidak menghadapi masalah sesudahnya.
Beberapa orang mengajukan keberatan. Selain dua figur terkemuka dari Bani Hasyim, yaitu Imam Ali as dan Abbas, ada beberapa orang berpengaruh lain seperti Zubair bin ‘Awam, Khalid bin Sa'id, Miqdad bin Amr, Salman, Abu Dzar, Ammar, Bara' bin `Azib, dan Ubay bin Ka'b.
Para pengikut Abu Bakar pergi menjumpai Ubay bin Ka'b tetapi ia tidak membukakan pintu bagi mereka. 28 Umar, Abu 'Ubaidah Jarrah, Mughirah bin Syu'bah dan Khalid bin Walid adalah penanggung jawab utama kegiatan ini. Di depan pintu Imam Ali as, Umar dengan keras dan bersungguh-sungguh memintanya untuk bersumpah setia kepada Abu Bakar.
Imam berkata, “Ketamakanmu pada kepemimpinan Abu Bakar hari ini adalah untuk memperoleh khilafah dikemudian hari.”
Mereka yang telah berkumpul di rumah Imam Ali menghadapi perilaku kasar Umar dan para pengikutnya. Umar mengambil pedang Zubair dan mematahkannya, lantas mengancam penghuni rumah bahwa ia akan mem bakar rumah itu. Mengenai mereka yang duduk di dalam rumah Imam dan nama-nama mereka yang mendobrak rumah tersebut merujuk pada sumber-sumber berikut:
Menurut Ibnu Abdi Rabbih, Umar yang memegang puntung berapi di tangannya mengancam akan membakar rumah itu. Ketika Fathimah as bertanya apakah ia sungguh sungguh, dia mengiyakan, kecuali mereka menerima apa yang telah diterima oleh negara. Fathimah meminta orang orang yang duduk di dalam rumah untuk pergi karena ia yakin bahwa Umar akan membakar rumahnya.
Meminta sumpah setia melalui kekerasan dan mengan cam akan membakar rumah, yang di kemudian hari ditiru oleh para khalifah lain (seperti Ibnu Zubair dalam upayanya memastikan kesetiaan dari Bani Hasyim) , mungkin ber mula dari sini.
Tentu saja, suku Quraisy mulai berbicara tentang penggunaan kekerasan. Berdasarkan nasihat Mughirah, mereka mendatangi Abbas untuk menyertakan dia dan juga keluarganya dalam gerakan sumpah setia dan me-ringankan permasalahan mereka dengan membujuk paman Nabi, tetapi Abbas menolak ajakan itu.
Amirul Mukminin Ali as dan Fathimah melakukan yang sebaik mungkin untuk mengembalikan khilafah dari Abu Bakar kepada Imam Ali as tetapi sia-sia. Upaya-upaya mereka tercatat dalam kitab-kitab Abu Bakar Jauhari dan yang lain-lainnya. Tiada keraguan bahwa Fathimah as begitu marah dengan Abu Bakar dan Umar karena telah melanggar haknya dalam urusan warisan dari Nabi, tentang kasus tanah Fadak dan imamah bagi umat Islam, dan dia wafat dalam keadaan sakit hati.
Zuhri berkata, “Imam Ali as menguburkan jasad Fathimah pada malam hari dan tidak mengizinkan Abu Bakar mengetahuinya. Hingga sebelum kematiannya, Imam Ali as dan tak seorang pun dari Bani Hasyim bersumpah setia pada Abu Bakar. Kemudian, Imam Ali as bersumpah setia untuk melindungi kesatuan umat Islam dari ancaman para penyembah berhala dan kaum kafir.
Dalam tanggapannya pada permintaan Abu Sufyan yang memintanya untuk tidak membiarkan khilafah tetap berada di tangan Bani Taim, Imam Ali berkata, “Kau selalu akan menjadi seorang musuh Islam dan umat Islam. "
Dalam hal apapun, tidak diragukan bahwa Imam Ali as tidak bersumpah setia kepada Abu Bakar kecuali setelah wafatnya Fathimah as.
Mada’ini telah menuliskan bahwa pada permulaan perang melawan kaum kafir, Usman datang kepada Imam 1. Ali as dan berkata, “Tidak seorang pun akan menyertaimu dalam perangmu melawan kaum kafir kecuali kau bersumpah setia kepada Abu Bakar.”
Dia bersikeras dan membawa Imam ke tempat Abu Bakar dan Ali as bersumpah setia dan ini membuat umat Islam sangat bahagia.
Mas'udi berkata, “Fathimah, sambil duduk di kuburan Nabi, membaca syair berikut:
'Setelah engkau, maka muncullah berbagai peristiwa yang jika kau masih hidup untuk menyaksikannya, maka kau tidak akan pernah memberikan begitu banyak khotbah.
Perlawanan Fathimah sangat penting bagi khalifah selama kehormatan publiknya dipersoalkan. Abu Bakar melakukan yang terbaik untuk bisa sepakat dengannya (Fathimah), tetapi Fathimah tak pernah menerimanya. Hal ini membuat Khalifah mengungkapkan penyesalannya di tahun-tahun terakhir kehidupannya karena telah mene robos rumah Fathimah. Banyak ahli sejarah mengutip ketika ia berharap seandainya saja ia tidak pernah meme riksa rumah Fathimah.
Sa'd bin 'Ubadah adalah lawan Abu Bakar yang lain. Dia tidak bersumpah setia kepada Abu Bakar dan pergi ke Damaskus, dan sebagaimana pernah dikutip, dibunuh di sana pada masa khalifah kedua. Kabar yang lazim dalam dokumen-dokumen sejarah adalah bahwa jin-jin mem bunuhnya dan mereka menciptakan dua syair tentang hal ini. Tetapi fakta menurut Baladzuri dan Ibnu Abdi Rabbih, adalah bahwa seorang lelaki dari Damaskus diutus oleh Umar untuk memintanya bersumpah setia, dan ketika 'Ubadah tidak bersedia, maka lelaki itu membunuhnya.
Kebijakan Abu Bakar berbeda dengan kebijakan Umar, dalam hal bahwa Umar percaya pada penggunaan kekerasan dalam memperoleh kesetiaan dari para lawan nya. Abu Bakar tidak memerintahkan kekerasan walaupun ia juga percaya pada prinsip ini. Keduanya memiliki kebi jakan ganda, tetapi Umar, menurut dokumen-dokumen yang otentik, menggunakan kekerasan, sedangkan Abu Bakar berkata dalam salah satu khotbahnya, “Ali tidak punya kewajiban atau komitmen untuk bersumpah setia kepadaku, dan ia bebas dengan pilihannya."
KHILAFAH SETELAH NABI SAW
Abu Bakar, putra Abu Quhafah, adalah khalifah pertama setelah wafatnya Nabi. Ada perbedaan pendapat mengenai namanya, Abdullah atau ‘Atiq. Nampaknya, mereka bersikukuh bahwa namanya adalah Abdullah tetapi ia biasa dipanggil ‘Atiq. Dia berasal dari suku Bani Taim, salah satu suku bangsa Quraisy. Selama zaman jahiliah, suku ini tidak memiliki kelebihan khusus di antara suku-suku yang lain. Sebuah bukti kuat untuk klaim ini adalah per nyataan Abu Sufyan ketika Abu Bakar mulai berkuasa..
Dia berkata, “Bagaimana bisa pemerintahan jatuh ke tangan suku Quraisy yang paling sedikit anggotanya dan paling kejam?"
Ada sebuah kisah yang menyebutkan bahwa suatu hari, Abu Bakar sedang berbicara dengan Dzaghfal tentang silsilahnya, dan keduanya sepakat bahwa Bani Taim adalah salah satu suku yang paling lemah dari suku Quraisy. Dalam kesempatan lain, Abu Bakar bertanya kepada Qais bin Ashim mengapa ia menguburkan anak perempuannya hidup-hidup.
Dia menjawab, “Agar mereka tidak melahirkan orang orang seperti kamu.” . Ada juga pandangan yang berbeda-beda tentang pekerjaannya di zaman jahiliah. Mereka yang ingin me nisbahkan suatu posisi yang tinggi kepadanya di zaman jahiliah mengatakan ia adalah seorang pedagang. Di sisi lain, ada dokumen-dokumen yang menyatakan bahwa ia memiliki pekerjaan-pekerjaan rendah seperti memerah susu, dan sebagainya. Kisah yang lain menyatakan bahwa Abu Bakar mengalami masalah keuangan dan merupakan seorang guru di zaman jahiliah, dan kemudian menjadi seorang penjahit setelah datangnya Islam.
Dia dua tahun lebih muda daripada Nabi Islam. Dia diyakini sebagai salah satu pemeluk Islam yang pertama, walaupun ada pemikiran-pemikiran yang bertentangan tentang apakah ia itu termasuk Muslim yang pertama atau lima puluh Muslim pertama sebagaimana disebutkan dalam sebuah kutipan. Pandangan-pandangan semacam itu tentangnya, yang merupakan khalifah pertama, adalah hal yang lazim. Kita belum pernah mendengar tentang tekanan (kesulitan) khusus apapun yang mungkin diha dapinya di tahun-tahun pertama diserukannya Islam di Mekkah. Dia tidak menyertai kaum Muhajirin ke Abyssinia, tetapi ia menemukan sebuah kesempatan untuk bersama sama dengan Nabi saw pada malam Hijrah. Menurut pem bahasan kita mengenai Hijrah, setelah Nabi meninggalkan rumah, Abu Bakar pergi menemui Imam Ali as dan ketika mengetahui bahwa Nabi Muhammad saw telah pergi, maka dia pun pergi dan menyertainya. Hubungan Abu Bakar dengan Nabi saw semakin kuat setelah perkawinan Nabi dengan Aisyah. Aisyah adalah seorang perempuan pandai yang berusaha untuk memiliki sebuah peran dalam semua perkembangan politis di masanya. Hal ini cukup membantu untuk memperkuat posisi Abu Bakar. Kita telah mengatakan sebelumnya bahwa Imam Ali as yakin bahwa Aisyah memainkan peran kunci dalam seluruh ibadah ibadah Abu Bakar.
Abu Bakar tidak memiliki tanggung jawab politis atau militer apapun selama sepuluh tahun masa tinggalnya di Madinah, tetapi ia bisa memperoleh kekuasaan dengan memahami situasi sayap-sayap internal dalam suku Quraisy dan memanfaatkan rasa permusuhan suku Quraisy ter hadap Imam Ali as maupun kerja sama sayap-sayap tengah suku Quraisy, yakni mereka yang tidak termasuk di antara Bani Umayah ataupun Bani Hasyim.
Abu Bakar memperoleh kesempatan yang sangat penting. Ketika ia mengambil alih kekuasaan, sebuah gelombang kemurtadan dan perlawanan terhadap Islam meliputi Hijaz. Seluruh umat Islam menyaksikan prinsip Islam dalam bahaya, dan menyadari bahwa menentang Abu Bakar bukanlah kepentingan mereka.
Menarik untuk diketahui bahwa segera setelah Abu Bakar memegang kekuasaan, perpecahan muncul di antara kaum Anshar dan kaum Quraisy gara-gara syair kasar yang dibuat Abu Bakar tentang kaum Anshar. Setelah itu, kaum Anshar tetap menjaga jarak dengan Abu Bakar, dan Amr bin Ash, yang didorong oleh kaum Quraisy berbicara menentang mereka. Di sisi lain, Fadhl bin Abbas dan kemudian Imam Ali as memuji kaum Anshar. Hasan bin Tsabit menuliskan syair untuk memuji Imam Ali as atas dukungannya kepada kaum Anshar, dan secara tersirat merujuk kepada upaya-upaya beberapa lelaki suku Quraisy yang ingin mengambil alih kedudukan Imam Ali. Namun demikian, ketika oposisi semakin memuncak, (perhatian) kaum Anshar beralih pada orang-orang yang mengaku ngaku kenabian dan kemurtadan-kemurtadan lain.
Tentang Abu Bakar, kita harus mengakui bahwa ia memiliki bahasa yang persuasif, dan kita yakin bahwa sikap bungkamnya di Saqifah lebih efektif daripada kata-kata kasar Umar, walaupun keduanya saling melengkapi.
Kemudian hari, Abu Bakar pernah menunjuk lidahnya dan berkata, “Inilah yang membantuku untuk mencapai kedudukan ini.
Abu Bakar mengatakannya berulang-ulang bahwa ada beberapa orang yang lebih berhak atas khilafah daripada dirinya. Setelah orang-orang bersumpah setia kepadanya, dia berkata dalam sebuah khotbah, “Aku mengambil alih kepemimpinan atas kalian, sedangkan aku tak lebih baik dari kalian. Jika aku bersikap baik, bantulah aku; jika tidak, bimbinglah aku. Taatilah aku selama aku taat kepada Tuhan; jika tidak, kalian tidak akan perlu menaati aku." Abu Bakar percaya bahwa tidak wajib bagi seorang pemimpin untuk menjadi yang terbaik di antara masyarakat.
Dia dikutip pernah berkata, “Umar itu lebih kuat dari pada aku, dan Salim itu lebih taat.” Tetapi kegigihannya untuk memerintah begitu mengejutkan. Abu Bakar memper kenalkan pemerintahannya sebagai “Khilafah Kenabian" untuk menunjukkan aspek religius dari khilafahnya. Dia menganggap kepemimpinannya itu bukan sebagai seorang khalifah Tuhan, tetapi merupakan penerus bagi Nabi saw dan menyebut dirinya sendiri sebagai “Khalifah Rasul Allah”.
· Kebijakannya yang pertama adalah memberangkatkan pasukan Usamah, sebuah pasukan yang telah disiapkan oleh Nabi saw untuk dikirim ke Damaskus di hari-hari akhir hidupnya. Beberapa oposisi politis menyebabkan penun daan dalam operasi pasukan tersebut dengan dalih usia Usamah yang masih muda. Tetapi kini, nampaknya masalah telah diselesaikan, dan orang-orang yang sama yang dulunya menentang memutuskan untuk mengirim pasukan Usamah alih-alih situasi kritis di Hijaz. Sebagai respon atas oposisi terhadap pemberangkatan pasukan itu, mereka berkata bahwa mereka tidak boleh mengabaikan suatu tindakan yang pernah diinginkan oleh Nabi. Abu Bakar berkata bahwa ia akan mengirim pasukan itu bahkan walaupun binatang binatang buas akan mencabik-cabiknya di Madinah. Pasukan Usamah menuju Damaskus dan kembali setelah empat puluh hari tanpa peperangan yang berarti. Karena Nabi saw telah menyertakan Umar dalam pasukan Usamah, Abu Bakar meminta Usamah untuk mengizinkan Umar untuk tetap bersama-sama dengannya (di Madinah),
MASALAH KEMURTADAN
Masalah utama umat Islam adalah sebuah gerakan yang dikenal sebagai “Kemurtadan”. Menurut para ahli sejarah, setelah wafatnya Nabi, beberapa orang mengklaim (mengaku-ngaku) kenabian, beberapa menjadi murtad dan mengenakan mahkota kebangsawanan, sedangkan yang lain-lainnya menolak untuk membayar zakat.
Kita semua tahu bahwa suku Arab Badui memeluk Islam satu persatu setelah penaklukan Mekkah. Kebanyakan disebabkan oleh kekuasaan Islam yang semakin meluas, dan mereka takut umat Islam akan menyerang mereka setiap saat. Oleh karena itu, tak ada jalan lain bagi mereka kecuali menerima jalan yang baru, bahkan jika sementara itu mereka tidak cukup tahu tentang Islam, mereka juga tidak bisa melepaskan pemikiran-pemikiran lama mereka dari zaman jahiliah.
Masalah yang lainnya lagi bagi mereka adalah pem bayaran zakat. Sebenarnya, mereka menganggap zakat sebagai tindakan paksaan yang dilakukan umat Islam. Bagi mereka, umat Islam itu hanyalah suku Quraisy, Aus dan Khazraj. Peristiwa-peristiwa ini masing-masing memiliki tujuannya sendiri, tetapi sistem khilafah memandang semuanya itu sebagai kemurtadan dan menentang mereka dari segi ini. Namun demikian, orang-orang yang murtad bisa diklasifikasikan ke dalam sejumlah kelompok sebagai berikut:
Kelompok pertama adalah mereka yang mengklaim kenabian. Beberapa kelompok yang lain meninggalkan Islam dan kembali pada keyakinan mereka yang lama di zaman jahiliah. Kelompok yang ketiga tidak mengakui pemerintahan Madinah, namun mereka berkata bahwa mereka masih menerima Islam. Orang-orang ini tidak percaya pada pemerintahan Madinah, karenanya menolak membayar zakat. Di antara kelompok ini, ada orang-orang yang tidak mengakui kepemimpinan Abu Bakar dan tidak percaya pada Imamah Ahlulbait Nabi saw, sehingga mereka tidak mau membayar pajak. Pertama, kita akan membahas orang-orang yang mengklaim kenabian:
Berita-berita kemurtadan ini telah diungkapkan dalam sejumlah buku. Thabari pernah menggunakan buku Saif bin Umar sebagai sumber utamanya. Bukunya adalah al-Futuh al-Kabir wa ar-Riddah. Para penulis biografi semuanya menyangkal otentisitas Saif. Karya terpisah yang lain adalah buku al-Futuh oleh Ibnu A'tsam Kufi yang untungnya masih ada sampai saat ini. Waqidi dan Mada’ini masing-masing menulis buku tentang kemurtadan. Baru baru ini karya Waqidi, ar-Riddah dipublikasikan. Ia memiliki banyak kesamaan dengan al-Futuh karya Ibnu A’tsam. Ada rujukan-rujukan lain yang tak banyak dan berserakan di buku-buku lain.
Berkenaan dengan orang-orang yang mengklaim kenabian, ada sebuah motif utama: beberapa pemikiran individu atau suku yang ambisius, bahwa mereka juga bisa memimpin orang lain dengan mengklaim kenabian, jika orang lain juga melakukannya. Gerakan ini memicu munculnya banyak klaim atas kenabian. Aswad Ansa adalah orang pertama dari kelompok ini yang memulai pemberontakan di Yaman dan menulis kepada para wakil Nabi, “Kembalikan kepada kami apapun yang berasal dari tanah kami yang kalian kuasai.”
Ketika mendengar Nabi Muhammad saw meme rintahkan agar orang ini dibunuh “dengan cara apapun.” Diperlukan waktu tiga bulan bagi umat Islam untuk menundukkan pemberontakan Aswad, dan akhirnya ia dibunuh. Berita tentang kematiannya sampai ke Madinah beberapa hari setelah wafatnya Nabi saw. Seorang lelaki kelahiran Iran bernama Firuz, termasuk suku Yamani Abna' telah membunuh Ansa. Ada juga rujukan lain pada Muslim lain yang bernama Dadzwaih yang nampaknya orang Iran.
Musailamah bin Habib dari suku Bani Hanifah adalah orang yang juga mengklaim kenabian. Dia mendatangi Nabi Islam di Madinah bersama dengan sejumlah orang berpengaruh dari sukunya dan berkata bahwa ia telah memeluk Islam.
Tetapi saat ia pulang, ia berpikir tentang mengklaim kenabian dan berkata pada orang-orang Bani Hanifah, “Aku ingin tahu, bagaimana bisa suku Quraisy lebih pantas daripada kalian dalam memperoleh khilafah dan kenabian? Aku bersumpah demi Tuhan bahwa anggota mereka tak lebih dari anggota kalian. Mereka tak lebih pemberani daripada kalian. Kalian punya lebih banyak tanah dan kekayaan."
Lantas, dia mengklaim kenabian dan menulis surat kepada Nabi Islam, “Aku telah menjadi mitra anda dalam kenabian. Separuh dari wilayah ini adalah milik kami dan separuh milik Quraisy, tetapi suku Quraisy adalah orang orang yang kejam.” Nabi menanggapinya, “Bumi ini milik Nya, Dia memberikan kepada siapa pun yang Dia kehen daki dan keabadian adalah bagi orang-orang yang taat."
Surat menyurat ini terjadi pada akhir tahun ke-10 Hijriah. Ketika Nabi Allah wafat, Musailamah menemukan sebuah kesempatan untuk mengumpulkan beberapa orang pengikut di sekelilingnya. Dia biasa menyusun prosa berirama untuk meniru al-Quran dan membacakan prosa itu kepada para pengikutnya. Lebih dari itu, ia pernah berkata kepada para pengikutnya bahwa ia telah membebaskan mereka dari kewajiban shalat Subuh dan shalat Maghrib. Sajah, anak perempuan Harits Tamimis, juga mengklaim kenabian. Tapi setelah bertemu dengan Musailamah, dia menikahinya.
Disebutkan bahwa sebagai mahar perkawinan Sajah, dia membebaskan pengikutnya dari kewajiban menjalankan shalat Subuh dan Maghrib.
Dalam al-Futuh kita membaca bahwa ketika berjumpa dengan Musailamah, Sajah berkata, “Aku mendengar tentang karaktermu yang luar biasa dan aku memilihmu. Aku telah datang untuk menjadi istrimu sehingga kita berdua bisa menjadi nabi, dan bersama-sama membuat dunia taat kepada kita dan menjadi pelayan kita."
Musailamah berkata, “Sebagai mahar perkawinanmu, aku bebaskan bangsamu dari shalat saat fajar dan petang.
Ketika umat Islam menuju Yamamah dengan sebuah pasukan yang dipimpin oleh Khalid bin Walid, mereka bertemu dengan beberapa pengikut Musailamah dan ber tanya kepada mereka tentang agama yang mereka yakini.
Mereka berkata, “Kami memiliki nabi kami dan kalian memiliki nabi kalian.”
Maka meletuslah perang di antara mereka. Perang Yamamah adalah salah satu perang paling berdarah antara umat Islam dan orang-orang yang mengklaim kenabian dan melakukan kemurtadan. Dalam perang ini, pasukan Muslim kehilangan banyak tentaranya, di antaranya dari kaum Muhajirin dan Anshar, dan 13 di antara mereka pernah ikut serta dalam perang Badar. Ibnu A’tsam menyebutkan bahwa jumlah umat Islam yang syahid pada perang tersebut adalah sebanyak 1200 orang, dan 700 orang di antaranya adalah mereka yang menghafal al-Quran.
Dalam sebuah teks yang dinisbahkan kepada Waqidi, kita membaca rincian tentang perang tersebut dan banyak melibatkan sahabat Nabi, termasuk Ammar bin Yasir. Segera setelah perang itu berakhir, Khalid menikahi putri Muja'ah bin Marara, yang merupakan salah satu pemimpin keji Bani Hanifah, dan menurutkan nafsu dan kesenangannya sendiri. Melihat hal ini, umat Islam menulis surat kepada Abu Bakar dan berkata, “Apakah kau ridha dengan darah kami yang kering sedangkan lelaki ini tetap hidup dengan nyaman di Yamamah."
Berita ini sampai pada Abu Bakar, dan Umar berkata, “Khalid selalu melakukan sesuatu yang melukai hati kita." Abu Bakar menulis surat dengan perkataan yang keras kepada Khalid. Ketika Khalid membaca surat itu, ia tertawa dan berkata bahwa ia yakin itu perbuatan Umar karena ia tahu bahwa Abu Bakar ridha kepadanya. Seorang pengk laim kenabian yang lain adalah Thulaihah bin Khuwailad Asadi. Ia juga mengumpulkan orang-orang dari suku Ghathafan dan Bani Fazarah dan mencoba untuk menyu sun prosa ritmis untuk mengklaim kenabian dan menen tang pemerintahan Madinah.
Dalam sebuah perang antara para pengikutnya dan pasukan Muslim, 'Uyainah bin Hisn dan orang-orang dari sukunya, Bani Fazarah, dikalahkan dengan sangat tragis dan Thulaihah melarikan diri ke Damaskus. Jadi, satu pemberon takan lagi dipadamkan. 'Uyainah bin Hisn telah berulang kali menunjukkan permusuhannya terhadap Islam selama Nabi saw masih hidup, tetapi akhirnya ia memeluk Islam.
Namun demikian, kehadirannya saat ini menunjukkan bahwa ia, seperti yang lain-lainnya, tidak pernah benar-benar ber iman pada Islam. Ketika dibawa sebagai tawanan di Madinah, orang-orang menghinanya dan berkata, “Hai musuh Tuhan! Apakah kau menjadi orang kafir setelah memeluk Islam?” Tetapi ia bersumpah belum pernah percaya pada Islam walaupun sekejap. Abu Bakar memaafkan para tawanan dari perang ini. Thulaihah juga datang ke Madinah di masa Umar dan bertaubat.
Umar berkata kepadanya, “Bagaimana kau berharap bisa menyelamatkan dirimu dari neraka sedangkan kau telah membunuh Tsabit bin Arqam Anshari dan 'Ukkasya bin Mihsan Asadi?”
Thulaihah berkata, “Tuhan menghendaki kesyahidan dari mereka dan aku tidak membunuhnya dengan tanganku sendiri, maka tidak akan ada neraka bagiku.” Umar menyukai alasan ini dan memaafkannya.
Selain klaim-klaim kenabian ini, beberapa suku yang lain menjadi murtad. Tidak diragukan lagi bahwa situasinya memang mendukung untuk terjadinya kemurtadan, tetapi tidak jelas siapa yang benar-benar murtad dan siapa yang tidak menerima pemerintahan Madinah semata-mata untuk alasan politis atau agama. Misalnya, sebuah golongan yang seperti itu adalah klan Malik bin Nuwairah yang dituduh melakukan kejahatan lalu dibunuh secara sadis, padahal tak diragukan lagi, ini hanya masalah pribadi Khalid dan motif-motif moralnya yang keji. Ini adalah noda yang memalukan bagi Khalid dan mereka yang membelanya.
Mereka menganggap kejahatannya membantai sejumlah umat Islam dan perzinaannya dengan istri Malik setelah pembunuhan suaminya sebagai sebuah penafsiran yang salah atas ijtihad. Mendengar hal ini, Umar sungguh sungguh terpancing untuk menentang Khalid dan meminta Abu Bakar untuk menyingkirkannya, tetapi khalifah me manggilnya “Pedang Tuhan” dan menolak melakukannya.”
Di antara suku-suku yang telah dianggap murtad, ada beberapa orang yang tidak percaya kepada khilafah Abu Bakar. Mereka lebih memilih pemerintahan Ahlulbait Nabi. Mereka berkata bahwa Abu Bakar tidak memiliki “kesetiaan" kepada mereka, sehingga tidak perlu menaatinya. Mereka yakin bahwa kaum Muhajirin dan kaum Anshar telah men cegah Ahlulbait Nabi untuk memperoleh kekuasaan karena rasa iri. Menurut Waqidi dan Ibnu A'tsam, sebuah klan dari Kindah di Hadramaut semuanya murtad. Ziyad bin Lubaid bertanggung jawab untuk mengumpulkan zakat di wilayah tersebut. Beberapa orang dari suku tersebut sepakat membayar zakat sedangkan yang lain tidak bersedia. Ketika Ziyad memilih seekor unta milik Zaid bin Muawiyah sebagai zakat, Zaid meminta bantuan dari salah satu orang Kindah yang berpengaruh yang bernama Haritsah bin Suraqah dan memintanya untuk mengembalikan untanya dan mengam bil unta yang lain. Haritsah memintanya kepada Ziyad tetapi ia tak mau menerimanya. Maka, Haritsah mendatangi unta unta yang diperuntukkan sebagai zakat itu dan kemudian membawa kembali unta Zaid sambil berkata, “Kami semua telah taat kepada Rasul Allah selama beliau masih hidup.
Hari ini, kami akan taat pada siapa pun dari Ahlulbaitnya yang berkuasa. Abu Bakar tidak berhak atas kepemimpinan dan kesetiaan dari kami.”
Dikatakan bahwa Ziyad bin Lubaid melarikan diri dari wilayah itu malam itu juga, dan membuat beberapa puisi yang menyatakan suku itu sebagai pelaku kemurtadan.
Dia berkata, “Kami akan memerangi kalian untuk membuat kalian taat kepada Abu Bakar sampai kalian me ninggalkan kekafiran dan kemurtadan dan berkata bahwa kalian tidak akan pernah kembali pada kekafiran.”
Tentu saja, tidak semua orang dalam suku itu berpikir seperti Haritsah. Yang penting adalah bahwa semua dari mereka menolak membayar zakat pada pemerintahan Madinah karena mereka menganggapnya sebagai peng hinaan bagi diri mereka sendiri. Mereka memilih pemberi an zakat bagi orang-orang miskin di dalam suku mereka.
Beberapa orang dalam suku ini biasa berkata, “Kami bersumpah demi Tuhan bahwa kami telah diperbudak oleh suku Quraisy. Pertama, mereka mengirimkan Muhajir bin Abi Umayah atau Ziyad bin Lubaid untuk mengumpulkan zakat. Lalu, mereka mengancam untuk memerangi kami.”
Asy'ats bin Qais salah seorang dari suku ini berkata, “Aku tidak berpikir bahwa bangsa Arab akan menerima kepemimpinan Bani Taim dan meninggalkan orang-orang Bani Hasyim.”
Dia berkata dalam syairnya, “Jika suku Quraisy harus menyerahkan kekuasaan mereka ke tangan Bani Taim dan menjauhkan diri mereka dari Ahlulbait Muhammad, tentu saja kami ini terdahulu, karena kami adalah keturunan raja-raja."
Di kasus lain dalam riwayat di atas, kami melihat bahwa Ziyad mengirim zakat berupa unta ke Madinah disertai oleh seseorang, dan dia sendiri pergi ke sebuah suku Kindah yang bernama Bani Zuhal.
Seorang lelaki yang berpengaruh dari Kindah bernama Harits bin Muawiyah berkata, “Wahai Ziyad! Kau meminta kami untuk taat kepada seseorang yang tidak punya kesepa katan dengan kami.”
Ziyad berkata, “Engkau benar. Dia tidak pernah menyepakati perjanjian dengan kalian. Tetapi kami telah memilih dia untuk memimpin.”
Harits bertanya, “Mengapa kalian ambil pemerintahan dari Ahlulbait Nabi, sedangkan mereka berhak atasnya, karena Tuhan telah berfirman, 'Beberapa keluarga diberi keutamaan atas yang lain-lainnya.”
Ziyad menjawab, “Kaum Muhajirin dan kaum Anshar (lebih) tahu kepentingan-kepentingan pemerintahannya dibandingkan denganmu.”
Harits menyatakan, “Aku bersumpah demi Tuhan, tidak sedemikian halnya. Kalian melakukannya karena rasa iri. Aku tak bisa menerima jika Rasul Allah wafat tanpa menunjuk seorang pengganti bagi dirinya. Pergilah dari sini.”
'Urfajah bin Abdillah, seorang yang lain lagi dari suku itu berkata, “Aku bersumpah demi Tuhan, Harits itu benar.
Singkirkan orang itu dari sini. Majikannya tidak layak menjadi khalifah, dan kaum Muhajirin dan kaum Anshar tak lebih baik dari Nabi saw dalam mengetahui pemerin tahan yang tepat."
Ziyad pergi ke Madinah dan berkata, "Orang-orang Kindah telah memberontak dan telah murtad."
Penjelasan lebih jauh Ibnu A'tsam tentang perselisihan di antara orang-orang Kindah dan Abu Bakar menunjukkan bahwa permasalahan mereka adalah khilafah Abu Bakar. Setelah memutuskan untuk memerangi suku-suku Kindah, Abu Bakar memanggil Umar dan berkata, “Aku ingin mengutus Ali bin Abi Thalib untuk memerangi mereka, karena dia adil dan lebih diterima oleh masyarakat umum karena kehebatannya, keberaniannya, kekerabatannya dan pengetahuannya, maupun kemampuannya menangani masalah."
Umar berkata, “Engkau benar. Ali memang seperti yang kau katakan, tapi aku takut akan satu hal. Aku takut ia menolak memerangi mereka. Jika dia tidak pergi ke perang, tak ada orang lain yang akan melakukannya kecuali dengan rasa jijik."
Diskusi ini dan konsultasi Umar dengan Abu Ayyub menunjukkan bahwa ada beberapa orang di antara mereka yang menentang memerangi umat Islam.
Khalifah menganggap hal-hal seperti ini sebagai jenis jenis kemurtadan, dan para ahli sejarah telah mencatat perang-perang ini sebagai perang Riddah. Perang-perang ini mungkin dijustifikasi sebagai taktik yang diperlukan untuk menjaga pemerintahan, tetapi sangat sulit untuk membuktikan kemurtadan suku-suku ini. Ketika Abu Bakar * memutuskan untuk memerangi suku-suku ini, behet som dari pengikutnya, termasuk Umar, menolak keputusannya. Di kemudian hari, Umar berkata dia menentang keputusan Abu Bakar di permulaan, tetapi setelah beberapa saat, ia sadar bahwa khalifah benar.
Pertanyaannya adalah apakah suku-suku ini memang murtad, dan apakah memerangi mereka itu diizinkan atau tidak? Abu Bakar yakin akan kemurtadan mereka, sehingga ia bahkan mengambil kaum perempuan dan anak-anak mereka sebagai tawanan dan membawanya ke Madinah.82 Nampaknya Umar, seperti umat Islam yang lain, sepakat untuk memerangi mereka secara prinsip, tetapi tidak yakin dengan kemurtadan mereka. Menurut Syahristani, karena keyakinan inilah Umar membebaskan tawanan.83 Itu ketika ia menjadi khalifah kedua.
Permasalahan lain adalah bahwa walaupun suku-suku. itu murtad, banyak yang yakin bahwa menjadikan orang orang murtad sebagai tawanan adalah hal yang tidak sah.
Ada banyak dokumen yang mengisyaratkan bahwa beberapa suku dianggap murtad karena mereka menolak untuk membayar zakat. Misalnya, sekelompok penduduk Yamamah, mereka percaya pada aturan membayar zakat, tetapi mereka menolak untuk membayarkan zakat mereka kepada Abu Bakar.
Mereka berkata, “Kami telah mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya di suku kami dan membagikannya kepada orang-orang miskin dan yang membutuhkan di antara kami sendiri, tetapi kami tak akan membayar apa-pun pada orang yang tidak dianjurkan oleh Kitab dan hadis-hadis. Ya'qubi juga menulis “Beberapa orang hanya menolak membayar zakat kepada Abu Bakar. "
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Umar menentang pemikiran tentang kemurtadan suku-suku ini. Menurut Ibnu A'tsam ketika Abu Bakar ingin membunuh para tawanan perang Riddah, Umar berkata, “Orang orang ini percaya kepada Islam dan mereka bersumpah akan hal itu. Penjarakan mereka untuk sementara waktu untuk melihat apa yang terjadi kemudian.”
Abu Bakar memenjarakan mereka di rumah Ramlah, putri Harits. Setelah kematian Abu Bakar, Umar berkata pada mereka, “Kalian tahu apa pendapatku tentang kalian. Kini kalian semua bebas tanpa tebusan. Pergilah kemana pun kalian mau.”
Qais atas nama Ashim Minqari diutus oleh Nabi saw untuk mengumpulkan zakat dari sukunya. Setelah wafatnya Nabi, ia mengumpulkan zakat, tetapi tidak diberikannya kepada Abu Bakar. Ia membagi-bagikannya pada orang orang miskin di sukunya. Tindakan ini dianggap kejahatan. Bahkan sebuah ungkapan dibuat untuk mengungkapkan hal ini yang berbunyi, “Ashim lebih biadab dari Qais”.
Ibnu Katsir juga menyatakan berulang-ulang bahwa banyak umat Islam yang menolak membayar zakat kepada Abu Bakar. Naubakhti menulis sekelompok orang yang mengatakan bahwa mereka tidak akan membayar zakat hingga diketahui siapa yang memegang pemerintahan; oleh karena itu, mereka membagikan zakat kepada orang orang miskin.
Maqdisi juga berkata, “Sekelompok dari mereka telah menolak membayar zakat, sedangkan yang lain menentang dan menolak prinsip zakat. "
Selain tidak mengakui kepemimpinan Abu Bakar, masalah lain suku-suku itu adalah bahwa setelah men dengar wafatnya Nabi saw, mereka memutuskan hubungan dengan Madinah. Mereka hanya percaya memiliki suatu hubungan religius dengan Madinah, dan ketika Nabi Islam wafat, mereka merasa tidak perlu menerima kepemimpin an dari orang lain. Maka, karena menolak membayar zakat pada Madinah, mereka disebut murtad. Suku-suku ini yakin bahwa tidak ada kewajiban untuk menunjuk seorang pemimpin tunggal untuk semua umat Islam, namun jika mereka taat kepada Muhammad, itu karena ia seorang nabi. Tetapi setelah dia wafat, maka tidak ada kewajiban untuk taat kepada orang yang lain. Mereka berkata, “Kami taat kepada Rasul ketika ia masih hidup, tetapi akankah kami taat kepada Abu Bakar? Ketika Abu Bakar meninggal, seorang lelaki seperti dia berkuasa, yang demi Tuhan melelahkan."
Jadi, mereka tidak berpikir perlu untuk taat kepada kepemimpinan Madinah dan para pemimpin Madinah menganggap mereka termasuk orang-orang yang murtad.
Muhammad bin Idris Syafi'i menulis, “Ini karena bangsa Arab yang hidup di perbatasan luar Mekkah tidak tahu kepemimpinan dan tidak suka dipimpin oleh orang lain. Alasannya adalah, mereka menerima untuk taat ke pada Rasulullah, karena mereka tidak menemukan orang lain yang pantas untuk memperoleh ketaatan.”
Alasan ini telah dikemukakan dalam bentuk puisi Malik bin Nuwairah. Berbicara kepada sukunya, ia berkata, “Aku memintamu untuk mengambil uangmu (zakat) tanpa ketakutan dan tanpa kecemasan akan apa yang terjadi esok hari. Jika ada yang berkuasa, kita akan katakan kepadanya, bahwa satu-satunya agama hanyalah agama Muhammad."
Keteguhan Abu Bakar dalam mengumpulkan zakat dari semua suku adalah untuk memperkuat pemerintahan nya di Madinah.
Dia berkata, “Jika mereka tidak membayar zakat kepada ku sebagaimana mereka biasa membayar zakat kepada Nabi saw setiap tahun, aku akan memerangi mereka."
Tak diragukan lagi bahwa mayoritas sahabat Nabi tidak menyukai pemikiran Abu Bakar tentang perang, tetapi mereka taat kepadanya karena ia adalah pemimpin.
Maqdisi mengatakan bahwa perselisihan pertama yang terjadi di antara umat Islam adalah masalah kepemimpinan, dan kemudian yang kedua adalah memerangi mereka yang menolak membayar zakat. Pada awalnya, umat Islam sangat menentang pandangan Abu Bakar tentang pengumpulan zakat, tetapi setelah beberapa saat, mereka menerimanya. Oposisi masih berlangsung, dan beberapa umat Islam yakin bahwa memerangi mereka adalah sebuah kesalahan.
Kita mengutip Umar yang mengatakan bahwa Ali as mungkin menolak memerangi orang-orang Kindah. Pada kesempatan lain, kita temukan Abu Bakar sendiri siap untuk memerangi mereka, tetapi Imam Ali as memintanya untuk tinggal di Madinahli dan mengirim orang lain untuk memerangi mereka. Jelas bahwa satu kelompok yang diperangi khalifah itu adalah mereka yang benar benar murtad.
Kutipan lain dari Mada’ini menyatakan, setelah Imam Ali as menentang Abu Bakar, Usman memberitahu kepada Imam, “Tidak ada yang akan bergabung dengan pasukan Muslim untuk memerangi orang-orang yang murtad jika kau tidak bersumpah setia pada Abu Bakar.” Kegigihan Usman membuat Imam Ali as bersumpah setia kepada Abu Bakar. Di sisi lain, ada beberapa orang di Madinah yang berharap akan keberhasilan orang-orang yang murtad itu, untuk sekali lagi mempertahankan keyakinan mereka di zaman jahiliah. Suatu hari, seorang laki-laki dari Bani Umayah dan seorang lagi dari kaum Anshar saling menyombongkan diri.
Yang pertama berkata, “Ketika Nabi Islam wafat, mayoritas sahabatnya adalah dari Bani Umayah.”
Lelaki yang dari Bani Anshar menyahut, “Ya, Mereka bersekutu dengan kaum kafir untuk merusak Islam."
Aisyah juga pernah berkata tentang perselisihan yang berskala luas di Madinah di hari pertama khilafah ayahnya. Juga, Mekkah hampir berubah sepenuhnya menjadi kemurtadan mutlak setelah wafatnya Nabi, tetapi peringatan Suhail bin Amr menstabilkan situasi Mekkah.
Ibnu Atsir menulis, “Setelah wafatnya Nabi, Mekkah berada di batas kemurtadan dan Attab bin Asid mencari tempat sembunyi.”
Suhail bin Amr berdiri dan berkata pada penduduk Mekkah, “Jangan menjadi orang yang paling akhir memeluk Islam dan yang paling dahulu menjadi murtad." Dalam kondisi apapun, kita tidak boleh mengabaikan fakta bahwa penentangan Madinah terhadap kemurtadan bermanfaat bagi pengelolaan pemerintahan agar menjadi lebih kuat, dan menjadikan wilayah-wilayah lain berada di bawah kontrolnya setelah melalui periode yang menyakitkan ini. Ibnu Khayyath telah merinci orang-orang yang murtad sebagai berikut:
Thulaihah bin Khuwailad, Bani Salim, Bani Tamim, Bani Yamamah, Bani Bahrain, Bani Umman, Bani Najir, Hadramaut dan Bani Yaman, Bani Riddah.
UTUSAN-UTUSAN ABU BAKAR
Semua tahu bahwa Umar adalah sahabat terdekat dan teman lama Abu Bakar. Nabi Islam telah mengikrarkan persatuan persaudaraan mereka bersama dengan kaum Muhajirin. Walaupun Abu Bakar adalah perancang utama isu khilafah dan terlihat lebih baik daripada Umar dalam peperangannya melawan kaum murtad, namun ia menerima pandangan Umar dalam banyak kasus berkat kesungguhan dan kekerasan Umar. Kedua orang ini saling melengkapi. Kami juga menuliskan bahwa selama perkembangan di Saqifah mereka selalu bersama-sama. Karena keteguhannya dalam isu Saqifah itulah Imam Ali as menuduh Umar tengah mencoba menyelamatkan masa depannya sendiri.
Abu Bakar berkata tentang Umar, “Dia adalah orang yang paling kusayangi.”
Ibnu Abil-Hadid berkata, “Abu Bakar tidak bisa men capai khilafah jika Umar tidak membantunya."
Dikatakan bahwa Abu Bakar menunjuk Umar sebagai hakim. Juga, ia biasa menjadi imam shalat jamaah ketika Abu Bakar tidak hadir. Pada tahun ke-11 Hijriah Abu Bakar menunjuk dia sebagai “emir-pimpinan-jamaah Haji ke Mekkah." Ibnu Khayyath, ketika menyebutkan emir-emir (yang ditunjuk oleh) Abu Bakar menulis, “Setiap urusan termasuk hukum (diputuskan) oleh Umar bin Khattab.”
Pengaruh Umar terhadap Abu Bakar begitu besar sehingga dia bisa membujuk khalifah agar tidak memilih Khalid bin Sa'id sebagai komandan pasukan Muslim yang diberangkatkan ke Damaskus, dan mengirimkan Yazid bin Abi Sufyan. Setelah kembali ke Madinah dan melihat pilihan Abu Bakar, Khalid bin Sa'id menolak untuk bersumpah setia kepada khalifah selama beberapa waktu. Umar sendiri sadar akan kekuatannya, sehingga dia memanfaatkan jaba tannya dan membagi harta kekayaan Mu'adz bin Jabal men jadi dua bagian dan mengambil satu bagian untuk Baitul mal, Perbendaharaan umat Islam. Dia kemudian melaku kan hal yang sama terhadap gubernur-gubernur kota ketika ia menduduki khilafah. Abu Bakar tidak bisa melakukan apapun jika Umar tidak ada. Oleh karena itu, ketika ia ingin mengirimkan pasukan Usamah ke Damaskus, dia meminta Usamah yang menjadi komandan pasukan itu agar meng izinkan Umar tetap tinggal dengan khalifah dan membantu nya dalam pengelolaan urusan-urusan pemerintahan.
Juga, suatu saat ketika Khalid telah membuat kesalahan dan Abu Bakar tidak setuju untuk menuliskan surat peringatan kepadanya, Umar menulis suratnya sendiri, tetapi Khalid memperhatikannya dan berkata ia tahu bahwa Umar yang telah menulisnya.
Dalam keadaan apapun, pengaruh Umar dan mata rantai yang kuat antara keduanya membuat Abu Bakar menunjuknya sebagai penerusnya. Dengan kata lain, pada dasarnya penduduk tidak memandang khilafah mereka itu sebagai sesuatu yang terpisah, dan sejak permulaannya, mereka melihat salah satu dari keduanya adalah penerus dari yang satunya. Untuk alasan yang sama, ketika Abu Bakar sedang menanti ajal dan ingin menuliskan sebuah persetujuan mengenai penerusnya, maka Usman sebagai juru tulisnya menuliskan nama Umar dalam persetujuan itu, karena ia tahu siapa yang tengah dipikirkan oleh khalifah.
Khalid bin Walid adalah pejabat Abu Bakar yang lain. Dia berasal dari suku Bani Makhzum, sebuah keluarga Quraisy, yang masuk Islam pada tanggal 1 Safar, tahun ke-8 setelah Hijrah. Secara fisik ia adalah lelaki yang kuat, tetapi tidak memiliki nilai etis. Dia melakukan berbagai kesalahan ketika Nabi saw masih hidup.
Beberapa dokumen menyatakan bahwa Nabi saw-lah yang menjulukinya “Pedang Allah”, tetapi Ibnu Duraid dan yang lain-lain mengatakan Abu Bakar yang memberinya gelar itu. Ia memperoleh gelar itu ketika membunuh Malik bin Nuwairah secara zalim, dan ketika orang seperti Umar meminta Abu Bakar untuk menghukumnya. Tetapi khalifah berkata ia adalah pedang yang dihunus oleh Tuhan dan ia tidak akan pernah menjatuhkannya. Menurut Ibnu A’tsam, Khalid menyebut dirinya sendiri “Saif Allah atau Pedang Tuhan” dan Abu Bakar menyetujuinya.
Dikatakan bahwa Khalid adalah pendukung Abu Bakar dan musuh Imam Ali as. Dia juga menyertai kelompok orang yang menerobos rumah Imam Ali untuk memaksanya bersumpah setia kepada Abu Bakar. Dia juga diyakini sebagai seseorang yang menyiapkan landasan bagi khilafah Abu Bakar.
Kisah pembunuhan Malik bin Nuwairah, dan diikuti oleh pemerkosaan terhadap istrinya, yang menurut Ibnu A’tsam berdasarkan kesepakatan para ahli, menunjukkan karakter moral Khalid yang rusak. Namun demikian, Abu Bakar bersikeras mempertahankannya sebagai komandan pasukannya dan mengirimkannya untuk menyerang orang orang yang murtad dan para nabi palsu. Abu Bakar mem bela Khalid dengan justifikasi bahwa Khalid telah bertindak berdasarkan ijtihad, sehingga ia tidak layak dihukum. Suatu hari, Khalid membakar beberapa tawanan yang dianggap murtad. Ketika Umar keberatan, Abu Bakar berkata ia ada lah pedang Tuhan. Keberatan Umar adalah mengapa ia menunjuk seorang komandan yang membunuh orang dan menyiksa mereka dengan api. Nampaknya, alih-alih segala perhatiannya terhadap Umar, khalifah tidak bersedia meng hentikan dukungannya kepada Khalid. Menarik untuk dicatat, bahwa ketika Umar berkuasa sebagai khalifah kedua,
Terima kasih kepada pengarang dan semua yang terlibat di atas sumber yang diambil untuk dikongsikan di wadah ini, semoga menjadi pahala yang berterusan, selamat membaca sambungan dari tautan selengkapnya di : https://drive.google.com/file/d/0B_l0We7EQa4JSDd6U2w4QzZZS1U/view
.. -
-
-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar