Sabtu, 26 Januari 2019

Hangat dan Kontroversial dalam Fiqih


ilustrasi hiasan:



pengarang : Ja'far Subhani



Diterbitkan oleh PT LENTERA BASRITAMA
Perpustakaan Nasional RI : Data Katalog Dalam Terbitan (KDT) 
Anggota IKAPI Jl. Mesjid Abidin No. 15/25 Jakarta 13430 
E-mail : pentera@cbn.net.id 
Cetakan Pertama : Rajab 1420 H/Oktober 1999 M 
Desain sampul : Enes Collection 
Dilarang memproduksi dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit © Hak cipta dilindungi undang-undang 
All rights reserved 
penerjemah : Irwan Kurniawan
penyunting : Idrus Al-Kaff
Cet. 1. - Jakarta : Lentera, 1999. 
Judul asli : Al-I'tisham bi al-Kitab wa as-Sunnah Dirasah Mubassithah fi Masa'il Fiqhiyah Muhimmah
Terbitan : Rabithah ats-Tsagafah wa al-Alaqat al-Islamiyah Idarah at-Tarjamah wa an-Nasyr, Tehran, Cetakan pertama : tahun 1994 


-------------------------------------------------------------


Kata Pengantar (al-Majma' al-'Alamî li Ahlil Bayt as)



Bagi-Nya segala puji. Salawat dan salam semoga terlimpah atas penghulu para nabi dan rasul, Muhammad saw, beserta keluarga nya yang mulia dan suci, dan para sahabat pilihannya. 


Persatuan umat merupakan karakteristik umat Islam yang paling penting. Al-Qur'an menegaskan hal itu dan mengajak se tiap Muslim untuk berusaha mewujudkannya. Semua itu ditegas kan dengan berbagai ungkapan.


Saya nyatakan bahwa persatuan ini bukan kesatuan kepenting an, dan bukan pula kesatuan tempat dan ras, melainkan kesatuan hati. Allah telah memberinya rasa saling kasih dan saling cinta. Hal ini tidak akan terwujud dengan perangkat-perangkat materi al semata betapa pun canggihnya. 


Dengan persatuan itu, sempurnalah kemenangan Islam per tama dalam melawan seluruh tirani, kekufuran, dan setan-setan yang congkak. Allah SWT berfirman: 


Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan orang-orang yang beriman, dan yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka. Akan tetapi, Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (QS. al-Anfal [8]: 62-63)


Sebagian orang mengira bahwa persatuan itu adalah kesatuan emosional yang tumbuh karena ketidakberdayaan. Padahal, pada hakikatnya ia adalah kesatuan hati. Hati bukan perasaan yang tidak bertumpu di atas landasan-landasan rasional, sebagaimana ia pun bukan akal semata yang jauh dari fenomena emosional. Hati adalah bangkitnya kesadaran terhadap rasa. Demikianlah persatuan Islam itu. Ia bertolak dari landasan-landasan akidah yang kokoh dan realistis, yang menerangi eksistensi manusia dengan pancaran cahayanya. Ia menciptakan rasa dengan kelembutan nya, sebagaimana ia menciptakan pemahaman terhadap alam, kehidupan, dan manusia secara sempurna. Ketika itu, gabungan antara akidah, pemahaman, dan rasa membentuk fondasi utama bagi terbentuknya masyarakat Islam yang kokoh. 


Tidak diragukan lagi, dari setiap aturannya, Islam ingin ikut ambil bagian dalam memperkaya hakikat ini dan berpartisipasi aktif dalam menciptakan umat yang satu yang dinamis, dimana mereka bekerja sungguh-sungguh untuk mewujudkan tujuan pen ciptaan dalam level peradaban dan sejarah. Dari aturan-aturan Islam ini muncul aturan ijtihad yang mengungkapkan tentang elastisitas Islam yang paling indah, seperti kebebasan berpikir yang berkesinambungan. Sudah sewajarnya, Islam, yang merupa kan asas yang nyata, memberikan kebebasan ijtihad dan istinbat, mengingat ia adalah agama kehidupan, dan mengingat ia mem berikan pandangannya dalam setiap peristiwa. Karena Islam membuka pintu ijtihad, maka ia memberikan seluruh kaidah dan sumber-sumber yang jelas kepada para ahli dan ulama. Ia mene tapkan segala syarat yang mengandung praktik ijtihad agar tetap berada di atas ketentuan umum yang berinteraksi dengan ke nyataan yang muncul dari pandangan yang mendasar. Jadi, ijtihad merupakan permulaan fundamental, kekayaan ilmu, dan kemam puan meliput hal-hal baru serta sejalan dengan perjalanan fitrah yang jernih menuju masa depan yang telah digariskan. Demikian lah Allah SWT menghendaki ijtihad menjadi sumber yang agung dan sumber kesatuan. Tidak mengapa apabila ada perbedaan hasil ijtihad dan perbedaan pendapat asalkan semuanya masih tetap berada di dalam ketentuan umum itu. Maksud dari nas-nas yang melarang perbedaan pendapat hanyalah terbatas pada level sosial dan politik umat, sementara sebagian orang ada yang me mandang nas-nas itu ditujukan pada perbedaan pendapat dalam masalah penetapan hukum (istinbath) fiqih, padahal bukan demi kian halnya. 


Para pemimpin dan ulama seyogyanya menyatakan hakikat hakikat ini dengan sejelas-jelasnya dan membiasakan umat menerima hal tersebut. Inilah yang ditekankan Islam, Rasulullah saw, dan ahlulbaitnya yang suci. Dari sini, dapat kami katakan bahwa madrasah ahlulbait as merupakan madrasah terpenting yang dapat melapangkan dada. Di situ duduk para imam mazhab untuk meneguk ilmunya dan menghirup pertolongannya yang jernih dengan semangat persaudaraan dan saling cinta yang tulus. 


Hanya saja abad-abad kegelapan, tipu daya musuh, dan ke tidaktahuan sebagian orang terhadap persaudaraan ini sayang sekali-telah menyebabkan timbulnya kondisi-kondisi yang saling bertolak belakang. Sebagian masyarakat awam memandang bahwa perbedaan pendapat dalam pandangan-pandangan fiqih adalah perbedaan pendapat dalam level sosial Islam. 


Buku yang tak ternilai ini merupakan sebuah usaha ilmiah dan sungguh-sungguh yang menggabungkan antara pandangan ilmiah yang kokoh, pandangan sosial kebangsaan, dan bahasa toleransi untuk menjelaskan sikap dalam beberapa masalah fiqih yang ber beda, seperti yang telah kami kemukakan. Ayatullah Syaikh Ja'far Subhani (pengarang buku ini) adalah orang yang cukup dikenal. Karya-karya ilmiahnya berlimpah, dan keunggulan kemampuan nya tampak dalam banyak bukunya.


Karena itu, kami memohon kepada Allah SWT semoga mem berikan taufik kepada semua pembaca yang mulia untuk meraih manfaat dari buku ini. Kami juga memohon kepada-Nya semoga memberikan taufik kepada kita semua agar dapat menyadari tujuan risalah dan mengamalkannya, serta menyadari kewajiban untuk mewujudkannya sekuat kemampuan. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan doa.


Syaikh Muhammad 'Ali at-Taskhiri (Ketua Umum al-Majma' al-'Alamî li Ahlil Bait as) 



Mazhab-mazhab Fiqih, Warisan Islam yang Berharga 


Segala puji bagi Allah, Tuhan alam semesta. Semoga salawat dan salam dilimpahkan kepada Rasul-Nya, Nabi pembawa rahmat beserta keluarganya yang menjadi suri teladan, dan orang-orang yang mendapat petunjuk dengan petunjuk mereka, serta yang berpegang teguh pada tali yang kuat.


Islam itu dibina di atas dua tonggak, yaitu akidah dan syariat. 


Akidah berisi pembahasan tentang Allah serta sifat-sifat dan tindakan-tindakan-Nya. Sedangkan syariat membahas tugas-tugas hamba di hadapan Allah, para nabi-Nya, dan hamba-hamba-Nya. Masing-masing bidang memiliki tokoh dan figur yang berbakti kepada Islam dengan pandangan, pemikiran, dan pena mereka. 


Metode-metode teologis berusaha membuka jalan untuk sampai pada kebenaran. Seperti itu pula, mazhab-mazhab fiqih berusaha untuk menyingkap tirai yang menyelubungi hukum-hukum yang nyata. Kebenaran tidak diabstraksikan dalam satu metode saja, tidak pada metode lain atau dalam satu mazhab saja, tidak pada mazhab lain. Karena hal itu dapat menimbulkan konsekuensi peng ingkaran terhadap metode-metode dan mazhab-mazhab secara keseluruhan sekalipun berbeda dalam hal sedikit atau banyak ke salahan. Padahal (menurut hadis) yang benar memperoleh dua pahala dan yang salah memperoleh satu pahala.


Jalan yang terbentang luas untuk menghilangkan perbedaan pendapat dan mendekatkan perbedaan pandangan adalah mengkaji dan membandingkan pendapat-pendapat yang berkenaan dengan akidah dan syariat. Ketika itu, akan tampak kebenaran secara jelas dan orang yang salah dapat memperbaiki kesalahannya. Dengan cara itu kebenaran dapat diteguhkan dengan kembalinya yang lain kepadanya. 


Mazhab-mazhab fiqih merupakan hasil dari kajian-kajian terhadap Alkitab (Al-Qur'an), sunnah, dan warisan-warisan Islam yang kita terima dari ulama-ulama terdahulu. Maka orang-orang yang datang kemudian hendaklah memandangnya dengan sikap hormat dan simpati. Karena ia merupakan usaha keras orang-orang yang telah menazarkan hidupnya dalam mengupayakan agar pohon yang baik itu berbuah. Akan tetapi, hal itu tidak berarti tidak boleh mendiskusikannya berdasarkan logika yang benar. Sebab, pertemuan dua pemikiran itu ibarat pertemuan kabel listrik yang berbeda yang dapat menghasilkan cahaya. 


Melalui prinsip tersebut, dalam tulisan ini kami mengetengahkan beberapa masalah fiqih yang diperselisihkan di antara mazhab fiqih Syi'ah dan mazhab-mazhab fiqih yang lain. Perbedaan pen dapat itu bukan akibat dari keinginan menghilangkan kebenaran, melainkan merupakan hal yang wajar dalam setiap bidang ilmu yang memiliki masalah-masalah yang bersifat nalar yang dideduksi dari beberapa prinsip dan kriteria. Maka pencarian kesepakatan dalam semua masalah merupakan hal yang tidak pada tempatnya.


Sebelum kami, masalah ini telah dibahas oleh Allamah Sayid 'Abdul Husain Syarfuddin al-'Amilî (1290-1377) - semoga Allah memberikan ampunan kepadanya. Maka kami mengikuti jejak kepribadian dan langkahnya. Kami berjalan di atas rel yang telah dia bangun dalam berdiskusi dan berargumentasi dalam kitabnya yang terkenal, Masā'il Fiqhiyyah. Walaupun masalah-masalah itu berbeda-beda substansinya, namun aksiden dan argumentasinya saling berkelindan. 


Untuk pembahasan ini kami telah memilih masalah-masalah berikut dan mengurutnya berdasarkan urutan yang terdapat dalam buku-buku fiqih.


1. Mengusap dan membasuh kaki
2. Tatswib dalam azan salat Subuh
3. Bersedekap dalam salat
4. Sujud di atas tanah dan benda-benda yang tumbuh darinya
5. Khumus dalam laba dan usaha
6. Nikah mut'ah
7. Kesaksian dalam talak
8. Talak tiga sekaligus
9. Sumpah talak
10. Talak ketika haid dan nifas
11. Wasiat pewaris jika tidak lebih dari sepertiga
12. Warisan seorang Muslim dari orang kafir
13. Pewarisan dengan 'ashabah
14. Hukum faraid jika terjadi 'aul
15. Taqiyah



Karena dalam masalah-masalah ini kami mengambil hadis-hadis yang diriwayatkan dari ahlulbait setelah bersandar pada Alkitab dan sunnah, maka pada bagian akhir kami akan membahas sumber-sumber ilmu mereka agar menjadi landasan bagi setiap hal yang kami nukil dari mereka. Walaupun menurut susunan buku ini, hal itu merupakan konklusi. 


Buku ini saya persembahkan kepada para pembawa panji pendekatan antarmuslim dan para juru dakwahnya di seluruh penjuru dunia Islam. Selain itu, kepada mereka saya persembahkan bait-bait syair indah yang tertuang dari jiwa yang selalu berusaha melakukan pendekatan antarmuslim dan tidak merasa tenang sebelum harapan itu terwujud dengan sebaik mungkin, insya Allah: Dalam perbedaan, Al-Qur'an jadi rujukan maka hati dan hati bertaut dan bersatu. Nabi kita, Muhammad, melarang perpecahan hanya karena pendapat yang berbeda mengapa jalan Nabi kita tak diikuti.


Kesatu-paduan cermin kemuliaan kita mengapa keteguhan yang mulia itu retak. Perselisihan hanyalah jalan orang sesat walau keburukannya ditutup dan dihias. Agama itu agama Allah, bukan agama nafsu karena bersatu-padulah dijalannya. Hai orang yang menceraikan barisan kami akan menimpamu bencana tak terelakkan.*


Kami dan seluruh penulis Islam adalah seperti yang dijelaskan penyair al-Ahrâm, Muhammad Hasan 'Abdul Ghani al-Mishrî berikut ini:


Akidah itu telah menyatukan kita menjadi satu umat beragama, jadilah pengikut agama al-Huda Islam telah pertautkan hati kita mengapa pada nafsu kita berpihak.*

*Puisi karya Mahmud al-Baghdadi 


Ya Allah, kami memohon kepada-Mu negeri mulia yang memuliakan Islam beserta para penganutnya, dan menghinakan kemunafikan beserta pada pengikutnya. Jadikanlah kami di negeri itu sebagai penyeru kepada ketaatan kepada-Mu dan pembimbing kejalan-Mu. Dengannya Engkau anugerahkan kepada kami kemuliaan agama, di dunia dan akhirat. 

Qum, al-Hawzah al-'Ilmiyyah 16 Ramadhan 1413 H. 




Daftar Isi 
Kata Pengantar
Prakata 
Mazhab-mazhab Fiqih, Warisan Islam yang Berharga

Masalah Pertama:
Mengusap Atau Membasuh Kaki dalam Wudhu

Masalah Kedua:
Tatswib dalam Azan Shalat Subuh
Bagaimana Azan Disyariatkan dan Kajian Historisnya
Cara Disyariatkannya Azan
Tidak Dapat Dijadikan Dalil Sebab Masuknya Tatswîb ke dalam Azan Subuh
Konsekuensi Riwayat-riwayat Tersebut
Para Ulama yang Membid'ahkannya

Masalah Ketiga:
Bersedekap dalam Shalat
1. Hadis dari Sahal bin Sa'ad 
2. Hadis dari Wa'il bin Hujur

Masalah Keempat:
Sujud di Atas Tanah

Fase Pertama:
Sujud di Atas Tanah
Mendinginkan Kerikil untuk Tempat Sujud
Perintah Penaburan Debu (Tatrib)
Perintah Mengangkat Serban dari Dahi
Fase Kedua, Keringanan Bersujud di atas Tikar
Bersujud di atas Pakaian karena Uzur Kesimpulan Pembahasan.
Rahasia dalam Membawa Tanah yang Suci 
Bukan Masalah Pertama dalam Islam

Masalah Kelima:
Khumus Atas Laba dan Profesi

A. Al-Ghanîmah: 
Segala Sesuatu yang diperoleh Seseorang

B. Penggunaannya Tidak Dikhususkan
Tafsir Kata-kata Dalam Hadis
Pendapat Abû Yûsuf Tentang Barang Tambang 
(al-Ma'din dan Rikâz)
Khumus Atas Laba Usaha
Penjelasan Argumentasi dengan Surat-surat itu
Pembagian Khumus Menurut Agama
Pembagian Khumus Menurut Sunah 
Ijtihad Melawan Nas

Masalah Keenam:
Nikah Mut'ah 
Mengartikan Ayat di Atas Untuk Nikah Permanen
Orang-orang yang Menolak Larangan Itu
Kami dan Doktor Muhammad Fathî Ad-Darînî
I. Hukum-hukum Syariat Mengikuti Kemaslahatan
II. Tujuan Utama Pernikahan: Membina Keluarga
III. Mut'ah Termasuk Perzinaan yang Dilarang dalam Al-Qur'an
IV. Ayat itu Menegaskan Pentingnya Mahar setelah Bercampur
V. Jika Diartikan dengan Pernikahan Mut'ah, 
- Ayat ini Terputus dari Ayat Sebelumnya
- Sebab Penggunaan Huruf Fâ'at-Tafre
VI. Menyanggah Orang-orang yang Membolehkannya dengan Sunah ........ 
VII. Dalil-dalil Komunitas Umat yang Mengharamkan Pernikahan Mut'ah
VII. Apakah Nikah Mut'ah Termasuk Perzinaan
- Ketergelinciran yang tak Termaafkan

Masalah Ketujuh :
Kesaksian dalam Talak

Masalah Kedelapan: 
Talak Tiga Sekaligus
Kajian terhadap Ayat-ayat tentang Hal itu
Dalil Batalnya Talak Tiga Sekaligus
Ijtihad Melawan Nas
Pembenaran terhadap Tindakan Khalifah
Perubahan Hukum dengan Kemaslahatan
Perubahan Hukum karena Tuntutan Zaman
Sanksi atas Penyimpangan dari jalan yang Luas

Masalah Kesembilan:
Sumpah Talak 
Talak Mu'allaq  
Batalnya Talak Mu'allaq Berdasarkan Nas dan Ijmak

Masalah Kesepuluh: 
Talak Ketika Haid dan Nifas 
Argumentasi dengan Al-Qur'an
Argumentasi dengan Sunah
Menyelesaikan Kontradiksi.

Masalah Kesebelas:
Wasiat Untuk Ahli Waris
1. Ayat tentang Wasiat itu Telah Dihapus dengan Ayat tentang Pewarisan
2. Ayat tentang Wasiat Dihapus dengan Sunah
Catatan tentang Nasakh Ayat dengan Sunah

Masalah Kedua Belas:
Warisan dari Orang Kafir

Masalah Ketiga Belas:
Pewarisan dengan 'Ashabah
*Ashabah Menurut bahasan dan Istilah 
Kriteria Ahli Waris menurut Ahlusunah dan Syi'ah
Kajian atas Dalil-dalil yang Menolak 'Ashabah
Analisis Terhadap Dalil-dalil Orang-orang yang Menentang 
Komplikasi Pendapat Adanya 'Ashabah

Masalah Keempat Belas:
Hukum Faraid Ketika Terjadi 'Aul
Dalil-dalil Mereka yang Berpendapat Adanya 'Aul
Dalil-dalil Mereka yang Menolak 'Aul
Penyelesaian Masalah Ini 
Perbedaan antara Anak Perempuan dan Kalâlah Ibu
Beberapa Catatan Penting

Masalah Kelima Belas: 
Taqiyah 
Pengertian Taqiyah
Tujuan Taqiyah
Dalil Al-Qur'an dan Sunah .. 
Taqiyah Muslim terhadap Muslim yang Lain dalam kondisi Tertentu 
Kondisi-kondisi Sulit yang Dilalui Kaum Syi'ah
Penjelasan Mu'awiyyah kepada para Pegawainya
Batasan Taqiyah
Taqiyah yang Haram
Penutup

Sumber Syariat Menurut Syi'ah dan Hadis-hadis Para Imam Ahlulbait
Para Imam Syi'ah Adalah Para Washi Nabi saw
I. Syi'ah dan Kehujahan Ucapan Keluarga Suci
II. Kemaksuman Imam Dua Belas Kemaksuman Imam Menurut Al-Qur'an



Masalah Pertama : Mengusap atau Membasuh Kaki dalam Wudhu 


Kaum Muslim berselisih pendapat dalam hal mengusap dan membasuh kaki. Para imam Ahlusunah (Hanafi, Maliki Syafi'i, dan Hanbali) berpendapat hanya wajib membasuhnya. Sedangkan Syi'ah Imamiyah berpendapat wajib mengusapnya. Dawud bin ‘Alî dan an-Nashir li al-Haqq dari mazhab Zaidiyah berpendapat bahwa wajib menggabungkan keduanya. Itulah yang dijelaskan ath-Thabarî dalam tafsirnya. Sedangkan dari al-Hasan al-Bashrî dinukil bahwa boleh memilih di antara keduanya." 


Yang mengherankan adalah perselisihan kaum Muslim dalam masalah ini. Padahal, mereka melihat sendiri cara wudhu Rasulullah saw setiap hari, siang dan malam, di tempat kelahirannya dan di tempat hijrahnya, di rumah dan di dalam perjalanan. Di samping itu, mereka berselisih dalam masalah ini yang merupakan masalah paling besar ujiannya. Ini menunjukkan bahwa ijtihad memain kan peranan penting dalam masalah ini. Ia menjadikan masalah yang paling jelas menjadi paling samar. 


Al-Qur'an telah menjelaskan masalah ini sehingga tidak ada lagi ketidakjelasan dan kesulitan. Rasulullah saw pun telah menjelaskannya. Dari sini harus dipastikan bahwa kaum Muslim telah sepakat untuk melakukan satu pekerjaan yang sama. Jika tidak, masalah ini akan tetap tersembunyi. Jadi, tidak dapat dikatakan bahwa orang-orang yang menyaksikan turunnya Al-Qur'an memahami ayat itu dengan pemahaman yang sama, apakah mengusap ataupun membasuh. Selamanya mereka tidak ragu tentang hukum yang berkenaan dengan itu. Kalau setelah wafat Rasulullah saw hukum masalah ini menjadi tersembunyi bagi generasi-generasi berikutnya, niscaya banyak hukum dalam masalah-masalah lain yang juga tersembunyi bagi kaum Muslim. 

[Ath-Thabarî, at-Tafsîr, 6/86; Mafâtih al-Ghayb, 11/162; dan al-Manar, 6/228.]


Dalam masalah itu, tidak ada yang lebih diyakini daripada Al Qur'an. Maka kita harus mengkaji kandungannya. Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku, dan usaplah kepalamu dan kakimu sampai kedua mata kaki." (QS. al-Ma'idah (5): 6)


Para ahli qiraat (al-qurrâ) berbeda pendapat dalam membaca kalimat arjula(i)kum ilâl ka'bayn. Di antara mereka ada yang membacanya dengan fathah (arjulakum), dan yang lain membacanya dengan dengan kasrah (arjulikum). Hanya saja, tidak mungkin masing-masing dari kedua qiraat itu bersumber dari Nabi saw. Jika mungkin, itu berarti menisbatkan kesamaran dan ketidakjelasan terhadap Al-Qur'an. Sehingga ayat itu menjadi sebuah misteri. Padahal, Al-Qur'an adalah Kitab yang memberi petunjuk dan bimbingan. Tujuan itu menuntut adanya kejelasan di dalamnya, terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan praktik dan hukum yang dihadapi kaum Muslim pada umumnya. Hal itu tidak dapat dikiaskan pada makrifat dan akidah.


Di antara orang yang mengkaji dan menjelaskan makna ayat itu adalah Imam ar-Râzî dalam tafsirnya. Pendapatnya dinukil secara ringkas-perincian pendapatnya akan dikemukakan secara lengkap pada pembahasan lain.


la berkata, “Dalil orang yang mengatakan bahwa wajib mengusap (kaki) adalah didasarkan pada dua qiraat yang masyhur dalam membaca firman-Nya arjula(i)kum, sebagai berikut:


Pertama, Ibn Katsîr, Hamzah, Abû 'Amr, dan 'Äshim-dalam riwayat Abû Bakar -membacanya dengan jarr (arjulikum).


Kedua, Nafi', Ibn 'Amir, dan 'Ashim-dalam riwayat Hafsh membacanya dengan nashab (arjulakum). 


Bacaan dengan jarr menuntut keberadaan arjul (kaki) diathafkan (disamakan kedudukannya) kepada ru'ús (kepala). Maka sebagaimana wajib mengusap kepala, demikian pula wajib mengusap kaki. 


Jika ditanyakan, mengapa tidak menjadikan jarr itu kepada kata yang terdekat, seperti kalimat Juhru dhabbin khâribin dan Kabiru unâsin fi bijâdin mazammalin. 


Jawabnya, ini keliru mengingat beberapa hal berikut:


1. Kasrah terhadap kata yang terdekat dianggap sebagai kesalah an baca (al-lahn) yang kadang-kadang dilakukan karena darurat di dalam syair. Sementara kalam Allah harus dihindarkan dari hal tersebut.


2. Kasrah terhadap kata yang terdekat hanya dibolehkan jika ter hindar dari ketidakjelasan, seperti kalimat Juhru dhabbin khâribin. Khârib tidak menjadi na'at (yang menjelaskan) bagi dhabbin, melainkan na‘at bagi juhr. Sedangkan dalam ayat ini, pema haman seperti itu akan menimbulkan ketidakjelasan.


3. Kasrah terhadap kata yang terdekat hanya boleh dilakukan tanpa huruf 'athaf. Sedangkan dengan huruf 'athaf tidak digunakan dalam bahasa Arab. 


Adapun bacaan dengan nashab juga akan menghasilkan konsekuensi hukum wajib mengusap. Hal itu disebabkan kata bi ru’üsikum dalam firman-Nya: famsahû bi ru'úsikum pada dasarnya menempati kedudukan nashab2 karena ia merupakan mafûl bih. Akan tetapi, secara literal ia majrur dengan bi. Apabila arjul di 'athafkan kepada ru'ús, ia boleh dibaca nashab sebagai 'athaf ke pada kedudukan ru'ús. Ia pun dapat dibaca jarr sebagai 'athaf kepada ru'ús secara literal.


Kami tambahkan bahwa kata itu dapat dibaca nashab karena di athafkan kepada kedudukan bi ru’úsikum. Ia tidak boleh di-'athaf kan kepada aydîkum secara literal karena antara kata yang di-‘athaf kan (ma'thập) dan kata yang menjadi sandaran ‘athaf (ma‘thûf 'alayh) dipisahkan oleh kata lain. Hal itu tidak boleh dilakukan di dalam frase, apalagi di dalam kalimat. 


Inilah yang dipahami oleh orang yang mengkaji Al-Qur'an. Tidaklah pantas seorang Muslim membandingkan Al-Qur'an dengan yang lain. Apabila ia memperhatikan semua Kitab samawi, maka lebih utama baginya memperhatikan kebenaran dan ke batilan yang ada di tangan orang banyak, dan hadis-hadis yang saling bertolak belakang. Kalau di situ ada perintah untuk mem 

?Ada yang mengatakan bahwa ini bukan isim alam (nama) dan bukan pula 'âmil seorang penyair berkata; 

Mu'awiyah, kami manusia karenanya maafkanlah kami bukanlah gunung bukan pula sepotong besi. Silakan lihat al-Mughni karya Ibn Hisyâm, bab ke 4. 

Mengusap atau Membasuh kaki dalam Wudhu basuh kaki, di situ ada perintah untuk mengusapnya. Seperti yang diriwayatkan oleh Ath-Thabarî dari para sahabat dan tabi'in. Kami akan menunjukkannya secara garis besar sebagai berikut: 

1. Ibn `Abbâs berkata, “Wudhu itu adalah (terdiri dari) dua basuh an dan dua usapan.”
2. Anas apabila mengusap kakinya, ia membasahinya. Ketika al Hajjaj berkhutbah, ia berkata, “Tidak ada sesuatu bagi anak Adam yang lebih dekat pada kotoran daripada kedua kakinya. Maka basuhlah telapak dan punggung kaki itu, serta urat-urat ketingnya.” Anas berkata, “Mahabenar Allah, dan dustalah al Hajjaj. Allah SWT berfirman, "... dan usaplah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (QS. al-Ma'idah [5]: 6). Anas apabila mengusap kaki, ia membasahinya. 
3. 'Ikrimah berkata, “Kedua kaki itu bukan dibasuh. Yang di wahyukan hanyalah mengusapnya."
4. Asy-Sya'bî berkata, “Jibril as membawa wahyu tentang kewajib an mengusap (kaki). Dia berkata, 'Tidakkah engkau perhatikan bahwa tayamum itu adalah mengusap bagian yang dibasuh (dalam wudhu) dan meninggalkan bagian yang diusap."
5. 'Amir berkata, “Di dalam tayamum diperintahkan untuk mengusap bagian yang diperintahkan untuk dibasuh di dalam wudhu, yaitu kepala dan kaki.” Dikatakan kepadanya, “Orang orang mengatakan bahwa Jibril as membawa wahyu tentang kewajiban membasuh kedua kaki.” Dia menjawab, “Jibril membawa wahyu tentang kewajiban mengusapnya.” 
6. Di dalam menafsirkan ayat itu, Qatâdah berkata, “Allah me wajibkan dua basuhan dan dua usapan."
7. Al-A'masy menbaca arjulikum, bukan arjulakum.
8. Alqamah membaca arjulikum.
9. Adh-Dhahhâk membaca arjulikum.
10. Mujahid pun seperti itu.S 

Mereka adalah para ulama dari kalangan tabi'in. Di antara mereka ada dua orang sahabat, yaitu Ibn 'Abbâs dan Anas. Mereka menetapkan usapan dan bacaan jarr yang jelas dalam mendahulu kan usapan atas basuhan. Mayoritas ulama Ahlusunah berhujjah dengan pendapat mereka dalam berbagai kesempatan. Tetapi mengapa masalah penting dan sensitif dalam peribadatan se orang Muslim ini dipalingkan dari mereka? 

8Ath-Thabari, at-Tafsir, 6/82-83. 


Pendapat yang mengatakan bahwa kaki itu diusap, dinukil dari para imam ahlulbait as. Mereka menyandarkan tentang diusapnya kaki itu kepada Nabi saw. Mereka memberitahukan cara wudhu Nabi saw. Abû Ja'far al-Baqir as berkata, “Maukah saya beritahu kan kepada kalian cara wudhu Rasulullah saw?" Kemudian beliau mengambil seciduk air, lalu membasuhkannya pada wajahnya hingga diriwayatkan bahwa beliau mengusap kepala dan kedua kakinya. 

Di dalam riwayat lain disebutkan, “Kemudian dengan air yang tersisa pada kedua tangannya, beliau mengusap kepala dan kedua kakinya tanpa mengambil air lagi dari bejana. "4 

Berdasarkan riwayat-riwayat ini, para ulama Syi'ah Imamiyah sepakat bahwa wudhu itu adalah (terdiri dari) dua basuhan dan dua usapan. Hal itu ditunjukkan Sayid Bahrul 'Ulûm dalam kum pulan syairnya yang indah berjudul ad-Durroh an-Najafiyah: 

Bagi kami wudhu itu dua basuhan dan dua usapan dan Al-Qur'an jadi pegangan. membasuh itu untuk wajah dan tangan mengusap itu untuk kepala dan kedua kaki. 

Setelah menjelaskan makna ayat itu dan ijma para imam ahlul bait tentang wajibnya mengusap kaki, dengan bersandar pada dalil-dalil yang jelas yang sebagiannya telah kami sebutkan. Maka pendapat yang bertentangan dengan itu tampak lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah. Namun, kami akan berusaha menyebut kan berbagai aspek yang dijadikan dalil oleh orang-orang yang berpendapat tentang wajibnya membasuh kaki agar menjadi jelas bagi para pembaca betapa lemahnya argumentasi mereka. 1. Banyak hadis yang menyebutkan wajibnya membasuh kaki. 

Membasuh itu mencakup juga mengusap. Tetapi tidak sebalik nya. Membasuh kaki lebih dekat pada sikap kehati-hatian (al ihtiyâth). Maka wajib melakukannya. Membasuh kaki juga berarti mengusapnya." 

Perlu diperhatikan, hadis-hadis tentang wajibnya membasuh kaki bertentangan dengan hadis-hadis tentang mengusapnya. Tidak ada sesuatu yang lebih dapat dipercaya daripada Al Qur'an. Kalau Al-Qur'an menunjukkan wajibnya mengusap kaki, tidak ada alasan untuk mentarjihnya dengan riwayat riwayat tentang membasuh kaki. Al-Qur'an lebih dapat diper caya daripada kitab-kitab lain dan hadis-hadis sekalipun. Maka segala sesuatu yang bertentangan dengan Al-Qur'an tidak dapat dibandingkan dengannya. 

4Al-Hurt al-'Amilí, al-Wasâ’il jil. 1, bab 15 dalam bab-bab wudhu, hadis no. 9 dan 10. 

5 Mafatih al-Ghayb, 11/162. 


Yang lebih mengherankan lagi adalah pendapat bahwa dalam membasuh itu tercakup juga mengusap. Padahal kedua nya adalah dua hakikat yang berbeda. Membasuh adalah me nuangkan air pada anggota badan yang dibasuh, sedangkan mengusap adalah mengusapkan tangan pada anggota badan yang diusap. Keduanya merupakan dua hakikat yang berlain an menurut pengertian bahasa, tradisi, dan syariat. Kalau ingin bersikap hati-hati (ihtiyâth), harus digabungkan antara meng usap dan membasuh, tidak cukup dengan membasuh saja. 2. Hadis yang diriwayat dari 'Alî as bahwa ia pernah memutuskan perkara di tengah masyarakat. Ia berkata, “Wa arjulakum ini bisa didahulukan dan bisa juga diakhirkan dalam pengucap annya.” Maka seakan-akan firman Allah SWT itu berbunyi, "Faghsilû wujúhakum wa aydîkum ilâl marāfiq waghsilû arjulakum wamsahû bi ru'úsikum." 

Akan tetapi, hal itu ditolak karena para imam ahlulbait, seperti al-Bâqir as dan ash-Shâdiq as lebih mengetahui apa yang terjadi di dalam bayt (rumah Nabi saw). Mereka sepakat dalam hal mengusap. Apakah mungkin mereka sepakat untuk mengusap sementara para pendahulu mereka sepakat untuk membasuh? Jelaslah bahwa hadis ini palsu yang dinisbatkan kepada Imam 'Alî as untuk menanamkan keraguan di tengah para pengikutnya. Terhadap kemungkinan didahulukan dan diakhirkan itu, kami tidak akan memberikan komentar apa pun. Kecuali bahwa hal itu hanya akan membuat makna ayat tersebut sesuatu yang tidak jelas dalam subjek yang dituntut adanya kejelasan. Karena ayat itu merupakan rujukan orang orang yang hidup di desa-desa dan dusun dusun, orang-orang yang hadir ketika ayat itu turun, dan orang-orang yang tidak hadir di situ, maka secara terus-menerus dari situ dinukil makna yang sebenarnya. Kemudian, kondisi darurar apa yang me nuntut kata itu didahulukan dan diakhirkan, sementara kata arjul bisa disebutkan setelah kata aydî tanpa bisa diakhirkan (setelah kata (ru'úsikum)? Kalau alasan diakhirkan kata itu adalah untuk menjelaskan keteraturan susunan, dan mem basuh kaki itu dilakukan setelah mengusapnya, tentu akan di sebutkan kata kerjanya. Sehingga kalimatnya menjadi famsahů bi ru'ûsikum waghsilû arjulakum ilal ka'bayn. Semua itu me nunjukkan bahwa ini adalah usaha-usaha yang sia-sia untuk mensahkan ijtihad terhadap teks dan pendapat para imam ahlulbait yang telah sepakat bahwa kaki harus diusap. 3. Hadis yang diriwayatkan dari Ibn 'Umar di dalam ash-Shahîhnya.


Dalam mengisahkan Nabi Sulaiman, Allah SWT berfirman, “Bawalah semua kuda itu kembali kepadaku. Lalu ia mulai mengusap kaki dan leher kuda itu” (QS. Shâd [38]: 33). Yakni, mengusapkan tangan pada kaki dan lehernya. 


la berkata, “Dalam suatu perjalanan, Rasulullah saw tertinggal di belakang kami. Maka kami menunggunya hingga tiba waktu salat Ashar. Mulailah kami berwudhu dengan mengusap kaki. Melihat tindakan kami, Rasulullah saw berseru, “Bagi tumit itu disediakan lembah dalam neraka.” Beliau mengatakan demi kian sebanyak dua atau tiga kali.?


Argumentasi ini tertolak, karena riwayat yang mewajibkan mengusap kaki lebih kuat dari daripada dalil-dalil yang mewa jibkan membasuhnya. Hal itu sangat jelas karena para sahabat mengusap kaki mereka. Ini pun merupakan dalil bahwa yang dikenal di tengah mereka adalah mengusap kaki. Adapun yang dikatakan al-Bukhârî bahwa teguran kepada mereka itu disebabkan mereka mengusap kaki, bukan karena membatasi basuhan pada sebagian kaki, adalah ijtihadnya sendiri. Itu me rupakan hujjah bagi dirinya tidak menjadi hujjah bagi orang lain. Bagaimana mungkin Ibn 'Umar tidak mengetahui hukum berkenaan dengan kaki (dalam wudhu) selama bertahun-tahun sehingga ia mengusapnya, lalu Nabi saw menegurnya?


Riwayat itu memiliki pengertian lain yang dikuatkan oleh rieayat-riwayat yang lain. Telah diriwayatkan bahwa sekelom pok orang Arab badui kencing sambil berdiri. Sehingga air kencing itu memercik ke tumit dan kaki mereka. Mereka tidak mencucinya, lalu masuk ke dalam masjid untuk melaksanakan salat. Itulah sebab dilontarkannya ancaman tersebut. Hal itu ditegaskan dengan kata-kata sebagian orang Arab yang men juluki orang Arab badui tersebut dengan julukan Bawwalun 'alâ ‘iqabayh (orang yang mengencingi kedua tumitnya). Dengan asumsi bahwa ucapan al-Bukhârî itu benar pun, riwayat di atas tidak bertentangan dengan teks Al-Qur'an. 4. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Majah al-Qazwînî dari Abû Ishâq dari Abû Hayyah. Ia berkata: Aku melihat ‘Alî berwudhu. la membasuh kedua kakinya hingga mata kaki. Kemudian ia berkata, “Maukah aku tunjukkan kepadamu cara bersuci Nabi mu?"


7Shahih al-Bukhari, juz 1, kitab al-'Ilm, hal. 18, bab “Man rafa'a shawtahu", hadis no. 1. 

8 Majma' al-Bayân, 2/168. 


Catatan: Abû Hayyah itu orang yang tidak dikenal. Lalu Abû Ishâq yang pikun, pelupa, dan riwayatnya ditinggalkan orang. 10 Selain itu, apa yang diriwayatkan dari 'Ali as bertentangan dengan apa yang diyakini ahlul baitnya dan para imam ahlul bait, khususnya orang yang hidup sezaman dengannya, seperti Ibn 'Abbâs, sebagaimana telah dijelaskan. 5. Penulis tafsir al-Manar berkata, “Hujjah-hujjah verbal yang paling kuat menurut Imamiyah adalah menjadikan kedua mata kaki sebagai tujuan kesucian kaki. Ini tidak dapat dilaku kan kecuali membasuhnya dengan air. Sebab, kedua mata kaki itu adalah dua tulang yang menonjol pada kedua sisi kaki.” 


Catatan: Kita asumsikan bahwa yang dimaksud dengan kedua mata kaki adalah seperti yang ia katakan. Namun, kita tanyakan kepadanya, mengapa tujuan itu tidak tercapai kecuali dengan membasuhnya dengan air? Padahal bisa saja tujuan itu tercapai dengan mangusapnya dengan sisa air yang melekat pada tangan. Melakukannya mudah. Kami tidak melihat adanya kesulitan dalam pekerjaan itu. 6. Ia juga mengatakan, “Mazhab Imamiyah mengusap punggung kaki hingga pergelangan kaki. Mereka mengatakan bahwa itu adalah mata kaki. Menurut mereka, pada kaki ada satu mata kaki. Kalau ini benar, tentu dalam Al-Qur'an disebutkan ilal ka‘âb (hingga mata kaki) sebagaimana dikatakan dalam hal tangan ilal marâfiq (hingga siku)."


Saya jawab: yang masyhur di kalangan Imamiyah adalah me nafsirkan kata al-kab dengan tonjolan kaki yang merupakan pergelangan kaki. Ada pula yang berpendapat bahwa al-ka'b adalah persendian antara tulang betis dan tulang kaki. Sebagi an kecil dari mereka berpendapat bahwa yang dimaksud adalah dua tulang yang menonjol pada kedua sisi kaki. Bagaimana pun, penyebutan kedua mata kaki itu benar walaupun batasan mengusap itu adalah pergelangan atau persendian. Dengan demikian, ayat tersebut dapat diartikan famsahû bi arjulikum ilal ka'bayn minkum (usaplah kaki hingga kedua mata kaki). Karena, tidak diragukan bahwa setiap orang mukallaf memiliki dua mata kaki. 

9.  Sunan Ibn Majah, 1/170, bab “Mā jā'a fi Ghusl al-Qadamayn”, hadis no. 1. 
10. Silakan lihat catatan para kitab Sunan Ibn Majah, hal. 170 dan Mizan al I'tidal karya adz-Dzahabî, 4/519, no. 10138. Dan halaman 489, Bab “Abu Ishaq". 
11.  Al-Manar, 6/234. 



Selain itu, kalau penafsiran itu benar seperti yang ia kata kan, harus diperluas lingkup pengusapan dan dibatasi dengan dua tulang yang menonjol, bukan mengganti mengusap dengan membasuh. Seakan-akan ia membayangkan bahwa mengusap kaki dengan air yang melekat pada tangan tidak dapat dilaku kan dan tangan itu kering sebelum diusapkan pada kaki.


Demi Allah, ijtihad-ijtihad ini lemah dan merupakan ke bohongan-kebohongan yang tidak bernilai di hadapan Al Qur'an yang mulia. 7. Pendapat lain dari penulis tafsir l-Manar berkenaan dengan membasuh kaki adalah berpegang pada kemaslahatan (mashâlih). Ia mengatakan, “Tidaklah masuk akal jika dalam mewajibkan mengusap punggung kaki dengan tangan yang masih basah terdapat hikmah. Bahkan hal itu bertentangan dengan hikmah wudhu. Sebab, mengusapkan tangan yang basah pada anggota badan yang berdebu atau kotor akan membuatnya semakin kotor. Tangan yang diusapkan itu pun akan terkena kotor. 


Catatan: Apa yang ia katakan merupakan istihsân yang tidak boleh dilakukan ketika ada nas yang jelas. Tidak diragu kan bahwa hukum-hukum syariat mengikuti kemaslahatan yang ada, dan kita tidak wajib memahaminya. Lalu, apa kemaslahat an dalam mengusap kepala walau sekadar satu atau dua jari. Sehingga asy-Syafi'î berkata, “Apabila kepala diusap dengan satu jari, setengah jari, dengan telapak tangan, atau menyuruh orang lain untuk mengusapkannya, hal itu sudah memadai."


Terdapat ungkapan-ungkapan berharga dari Imam Syarafuddîn al-Musawî yang akan kami sebutkan. Ia berkata, “Kami yakin bahwa Pembuat syariat Yang Mahakudus memperhatikan hamba hamba-Nya dalam seluruh hukum syariat-Nya yang dibebankan kepada mereka. Dia tidak memerintahkan kepada mereka kecuali yang sesuai dengan kemaslahatan mereka. Dan Dia tidak me larang mereka kecuali dari hal-hal yang membahayakan mereka. Akan tetapi, bersamaan dengan itu, sedikit pun Dia tidak men jadikan pemahaman hukum-hukum tersebut bergantung pada pendapat mereka. Bahkan Dia menyuruh mereka beribadah ber dasarkan dalil-dlil yang kuat yang dikhususkan kepada mereka. Maka Dia tidak memberikan kebebasan kepada mereka untuk memilih yang lain. Dalil pertama adalah Kitab Allah SWT. Al Qur'an telah menetapkan hukum mengusap kepala dan kaki di dalam wudhu. Maka tidak ada pilihan untuk meninggalkan hukum nya. Adapun bersihnya kaki dari kotoran harus dipelihara sebe lum kaki itu diusap sebagai pengamalan dalil-dalil khusus yang mensyaratkan kebersihan anggota-anggota wudhu sebelum me mulai berwudhu.12 Barangkali Rasulullah saw membasuh kedua kakinya-menurut hadis-hadis tentang membasuh kaki-untuk tujuan ini atau untuk mendinginkannya (karena udara panas). Atau, agar lebih bersih setelah selesai berwudhu. Allâhu a'lam.


Kemudian, terdapat sekelompok Ahlusunah yang mengakui apa yang kami sebutkan, bahwa makna yang dimaksud dalam Al Qur'an itu adalah mengusap, bukan membasuh. Baiklah saya nukilkan pendapat mereka sebagai berikut: 


1. Ibn Hazm berkata, “Al-Qur'an menyatakan mengusap. Allah SWT berfirman, Dan usaplah kepalamu dan kakimu baik lâm di baca kassah menjadi arjulikum maupun dibaca fathah menjadi arjulakum. Bagaimanapun, kata itu di atahaskan kepada ru'ús, baik kepada lafaz maupun kepada kedudukannya. Selain itu, tidak diperbolehkan. Sebab, antara kata yang di athafkan (ma thúj dan kata yang menjadi sandaran 'athaf (ma'thüf 'alayh) tidak boleh diselingi oleh kata yang lain." 


Demikian pula, Ibn 'Abbâs mengatakan, "Al-Qur'an mene tapkan mengusap-yakni kedua kaki di dalam wudhu." 


Pendapat tentang mengusap kedua kaki ini juga dike mukakan sejumlah ulama salaf. Di antara mereka adalah 'Ali bin Abi Thalib, Ibn 'Abbâs, al-Hasan, 'Ikrimah, asy-Sya'bî, dan lain-lain. Seperti itu pula pendapat ath-Thabarî, dan mengenai hal itu diriwayatkan banyak hadis.


12..Oleh karena itu, Anda lihat orang-orang yang bertelanjang kaki dan para pekerja dari kalangan Syi'ah-seperti petani dan sebagainya serta orang-orang yang tidak mempedulikan kesucian kaki mereka di luar waktu-waktu ibadah yang mensyaratkan kesucian--apabila hendak berwudhu, mereka membasuh kaki terlebih dahulu. Kemudian mereka berwudhu, lalu mengusap kaki yang sudah bersih dan kering. 
13. Masail Fiqhiyyah, 72.]


Di antara hadis-hadis itu adalah yang diriwayatkan Haminam dari Ishaq bin `Abdullah bin Abi Thalhah. Ia berkata: ‘Alî bin Yahyâ bin Khalâd menyampaikan hadis kepada kami dari bapaknya dari pamannya—yaitu Rifa'ah bin Râfi'—bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda, “Tidak sah salat siapa pun dari kamu sebelum menyempurnakan wudhu sebagai mana yang diperintahkan Allah SWT. Kemudian ia membasuh wajah dan tangan hingga siku dan mengusap kepala dan kaki hingga mata kaki.” 

Dari Ishâq bin Râhawiyyah: 'Isâ bin Yûnus menyampaikan hadis kepada kami dari al-A'masy dari 'Abd Khayr dari ‘Alî, "Sebelum ini aku berpendapat bahwa telapak kaki lebih pantas diusap. Kemudian aku lihat Rasulullah saw mengusap punggung kakinya.” 


Kemudian ia menyebutkan hadis: “Bagi tumit-tumit itu di sediakan lembah di neraka.” Dari hadis ini tampaknya ia me mahami bahwa ada penjelasan tambahan terhadap apa yang terdapat di dalam ayat itu, dan menjadi penghapus (nâsikh) terhadapnya. Mengambil penjelasan tambahan itu adalah wajib. 


Akan tetapi, Anda telah mengetahui bahwa hadis ini dengan asumsi bahwa hadis ini sahih--tidak ditujukan untuk menjelaskan wajibnya membasuh. Anda telah mengetahui makna hadis tersebut.


Selanjutnya ia berkata, “Sebagian mereka mengatakan bahwa Allah SWT berfirman berkenaan dengan kedua kaki, ilal ka'bayn, sebagaimana firman-Nya berkenaan dengan kedua tangan: ilal marafig. Ini menunjukkan bahwa hukum berkenaan dengan kaki sama dengan hukum yang berkenaan dengan tangan.”

Pernyataan tersebut dijawabnya dengan perkataan: Pe nyebutan al-maráfiq dan al-ka'bayn bukan dalil bagi wajibnya membasuh anggota badan itu. Sebab, Allah SWT telah menye butkan wajah tetapi tidak menyebutkan batasannya, dan hukum nya adalah dibasuh. Akan tetapi, ketika Allah SWT memerin tahkan membasuh kedua tangan, maka hukumnya adalah dibasuh. Apabila Dia tidak menyebutkan hal itu berkenaan dengan kedua kaki, maka hukumnya tidak boleh sama selama Dia tidak menyebutkannya. Kecuali ada nas lain yang menjelas kannya. 


‘Alî berkata, “Hukum itu berdasarkan nas-nas syariat, bukan berdasarkan pengakuan dan persangkaan.” Hanya Allah yang memberi taufik. 14 2. Imam ar-Râzî berkata, “Orang-orang berbeda pendapat, apa kah kaki itu diusap atau dibasuh. Dalam tafsirnya, al-Qaffâl me nukil pendapat Ibn `Abbâs, Anas bin Malik, ‘Ikrimah, asy-Sya'bî, dan Abû Ja'far Muhammad bin 'Ali al-Baqir bahwa yang wajib berkenaan dengan kaki dalam wudhu adalah mengusap. Itulah jalan yang ditempuh Syi'ah Imamiyah. Sedangkan mayoritas fukaha dan mufasir mengatakan bahwa yang wajib adalah membasuhnya. Dâwud al-Ishfahânî berkata, “Wajib mengga bungkan keduanya (mengusap dan membasuh)." Seperti itu pula, pendapat an-Nashir li al-Haqq, salah seorang ulama Syi'ah Zaidiyyah. Sedangkan al-Hasan al-Bashrî dan Muhammad bin Jarîr ath-Thabarî berkata, "Mukallaf boleh memilih antara mengusap dan membasuh." 


Dalil yang digunakan oleh orang yang berpendapat bahwa yang wajib itu adalah mengusap didasarkan pada dua jenis qiraat yang masyhur dalam membaca kata arjula(i)kum. Ibn Katsîr, Hamzah, Abû 'Amr, dan 'Ashim-menurut riwayat Abû Bakar-membacanya dengan jarr (yakni, arjulikum). Sedang kan Nafi', Ibn 'Amir, dan 'Ashim— menurut riwayat Hafsh membacanya dengan nashab (yakni, arjulakum). Maka kami katakan, “Di baca dengan jarr karena arjul di‘athafkan kepada ru'ús. Maka, sebagaimana wajib mengusap kepala, demikian pula wajib mengusap kaki."


Ada orang yang bertanya, mengapa tidak boleh dibaca kasrah karena kata yang terdekat seperti kalimat juhtu dhabbin khurbin dan kalimat kabiru unâsin fi bijâdin muzammilin.

Kami jawab: ini tidak bisa diterima karena beberapa alasan. Pertama, dibaca kasrah mengikuti kata yang terdekat dipandang sebagai salah baca (lahn) yang kadang-kadang dilakukan karena darurat di dalam syair. Sedangkan kalam Allah harus dihindar kan dari hal tersebut.


Kedua, dibaca kasrah hanya boleh dilakukan apabila dapat terhindar dari kesamaran, sebagaimana dalam kalimat juihru dhabbin khurbin. Sebab, seperti diketahui bahwa kata khurbin tidak menjadi sifat bagi kata dhabbin, melainkan menjadi sifat terhadap kata juhru. Sedangkan di dalam ayat tersebut, mun culnya kesamaran tidak dapat dihindarkan. 

14. Ibn Hazm, al-Mahalli, 2/56, no. 200.



Ketiga, dibaca kasrah mengikuti kata yang terdekat hanya boleh dilakukan tanpa harf 'athaf. Sedangkan jika menggunakan harf 'athaf, hal itu tidak biasa digunakan dalam bahasa Arab.


Kalaupun dibaca nashab, mereka mengatakan, "Hal itu mengharuskan (kaki) diusap.” Demikian itu karena dalam firman Allah wamsahû bi ru'ûsikum, kata ru'úsikum menempati kedudukan nashab. Akan tetapi, ia dijarkan dengan harf bi. Apabila kata arjul di‘athafkan kepada kata ru'ûs, maka ia dapat dibaca nashab sebagai 'athaf terhadap kedudukan kata ru'ús dan dapat juga dibaca jarr sebagai 'athaf kepada lafaz kata ru'ús. Inilah mazhab yang temasyhur dari kalangan ahli nahu.


Apabila ini telah dipahami, kami katakan: tampak bahwa boleh jadi ‘amil nashab kalimat wa arjulakum adalah bisa kata kerja wamsahû dan bisa juga kata kerja faghsilů. Akan tetapi, jika ada dua 'amil dengan satu objek, maka memilih kata kerja yang paling dekat kepada objek adalah lebih utama. Jadi, yang menyebabkan nashab kata arjulakum adalah kata kerja wamsahů Maka, kata arjulakum yang dibaca dengan nashab juga melahir kan pengertian diusap". Ini merupakan argumentasi yang menyatakan bahwa ayat itu mengandung pengertian wajib mengusap kaki.


Kemudian mereka mengatakan, “Tidak boleh menolak hal ini dengan hadis-hadis di atas, sebab hadis-hadis itu termasuk dalam kategori hadis-hadis ahad. Sedangkan tidak diperboleh kan menasakh Al-Qur'an dengan hadis ahad."


Ketahuilah bahwa tidak mungkin menjawab sanggahan di atas kecuali dari dua aspek berikut: a. Banyak hadis berkenaan dengan wajibnya membasuh kaki.


Membasuh itu mencakup juga mengusap, tidak sebaliknya. Karena membasuh lebih dekat kepada sikap kehati-hatian, maka hal tersebut wajib ditempuh.15 Berdasarkan aspek ini, harus dipastikan bahwa membasuh kaki itu juga meliputi mengusapnya. b. Bagian kaki yang wajib disucikan dengan wudhu adalah hingga kedua mata kaki. Bersuci hingga meliputi batasan tersebut hanya bisa dilakukan dengan membasuh, tidak dengan mengusap.


Sekelompok ulama membantah argumentasi itu dengan jawaban sebagai berikut:


15Anda telah mengetahui jawabannya pada pembahasan yang lalu. 


a. Mata kaki adalah tulang yang berada di atas persendian kaki. Menurut batasan tersebut, wajib mengusap kaki hingga punggung kaki.
b. Mereka mengakui bahwa mata kaki adalah dua tulang yang menonjol di kedua sisi kaki. Hanya saja mereka meman dang bahwa wajib mengusap punggung kaki hingga kedua mata kaki ini. Dengan demikian, sanggahan di atas dapat terjawab. 16
3. Az-Zamakhsyari kendati mengakui bahwa kata arjulikum yang dibaca dengan jary dapat juga berarti wajibnya mengusap kaki, namun ia berusaha mengelaknya. 


Ia mengatakan, “Kalau Anda tanyakan, apa yang Anda per buat jika kata arjulikum dibaca jarr dan hukumnya adalah bahwa kaki itu diusap? Saya jawab, bahwa kaki termasuk tiga anggota badan yang harus dibasuh dalam wudhu. Dibasuhnya adalah dengan menuangkan air di atasnya. Itu menjadikan dugaan akan adanya sikap berlebih-lebihan yang tercela yang dilarang agama. Maka kata arjul (kaki) itu lalu di-athafkan kepada ru'ûs (kepala) yang diusap, bukan berarti kaki itu juga harus diusap, melainkan untuk mengingatkan akan wajibnya bersikap sederhana dalam memuangkan air di atasnya.!? 


Catatan: Dalam membasuh wajah dan tangan pun dapat di khawatirkan munculnya sikap berlebih-lebihan yang tercela itu, seperti membasuh kaki. Tetapi, mengapa ia mengingatkan wajibnya bersikap sederhana dalam menuangkan air pada kaki saja, tidak kepada yang lain. Padahal, semuanya merupakan tempat yang memungkinkan timbulnya sikap berlebih-lebihan dalam menuangkan air itu. 


Tampaklah bahwa dia berfilsafat dalam menafsirkan ayat ter sebut dengan sesuatu yang tidak ada artinya dan tidak sesuai dengan rasa bahasa (dzawa) orang Arab. Sebab, jika benar filosofi yang dia katakan, hanya dapat dilakukan dalam hal-hal yang dapat terhindar dari kesamaran, bukan dalam masalah seperti ini yang justru akan menimbulkan ketidakjelasan. Lahiriah lafaz itu menunjukkan wajibnya mengusap kaki tanpa memperhatikan alasan yang dibuat-buat yang ia katakan. 

16. Imam ar-Râzî, Mafatih al-Ghayb, 11/161. 17Az-Zamakhsyarî, al-Kasysyâs, 1/449. 



Masalah Kedua : Tatswib? dalam Azan Salat Subuh 


Para ulama Syi'ah Imamiyah sepakat-berdasarkan nas-nas dari para imam ahlulbait-bahwa azan-demikian pula iqamat-ter masuk prinsip dan syiar-syiar agama. Allah SWT menurunkannya ke dalam hati penghulu para rasul, Muhammad saw. Karena Allah yang mewajibkan salat, maka Dia pula yang mewajibkan azan. Dia lah yang menjadikan semua itu menjadi satu. Tidak ada seorang pun anak manusia yang menemani-Nya dalam mensyariatkannya baik ketika terjaga maupun ketika tidur. Dalam seluruh bagiannya, dari mulai takbir hingga tahlil, adalah sentuhan Ilahi. Keindahan, kejernihan, dan ketinggian maknanya dapat menggetarkan pe rasaan manusia menuju pemahaman-pemahaman yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada apa yang ada di dalam akal manusia. Kalau manusia berusaha untuk menambahkan satu bagian atau menyisipkan satu kalimat saja ke dalamnya, tentu tambahan atau sisipan itu menjadi seperti kerikil di antara butiran-butiran mutiara.


Bagian pertama dari azan mempersaksikan bahwa Allah SWT yang paling besar di antara segala sesuatu. Pada gilirannya, Dia juga Mahakuasa dan Mahaagung. Sedangkan segala maujud selain Nya, betapapun agungnya, adalah kecil dan kerdil di sisi-Nya dan tunduk pada kehendak-Nya.

Bagian kedua mempersaksikan bahwa Allah SWT adalah Tuhan dalam lembaran wujud, dan bahwa selain-Nya adalah bayangan kekuasaan yang Dia berikan. 


Akan dijelaskan kepada Anda arti talswib pada pembahasan tersebut, 



Bagian ketiga mempersaksikan bahwa Muhammad adalah Rasul-Nya yang Dia utus untuk menyampaikan risalah-Nya dan menyebarkan dakwah-Nya.


Pada akhir bagian tersebut, dari persaksian beralih kepada ajak an untuk mengerjakan salat fardu. Salat menghubungkan manusia dengan Zat Yang Maha Mengetahui yang gaib. Di dalam salat, kekhusyukannya bercampur dengan sikap mengagungkan Sang Pencipta. Selanjutnya adalah ajakan kepada kemenangan, kesuk sesan dan pekerjaan paling baik2 yang terkandung di dalam salat.


Setelah menyerukan ajakan kepada kemenangan dan pekerja an paling baik itu, kembali diserukan ajakan untuk mengingat hakikat keabadian yang telah diserukan pada bagian-bagian per tama. Seruan itu berbunyi, “Allahu akbar. Allahu akbar. Lâ ilâha illâllâh. Lâ ilâha illâllâh (Allah Mahabesar. Allah Mahabesar. Tiada tuhan selain Allah. Tiada tuhan selain Allah).” 


Inilah hakikat dan bentuk azan. Semuanya merupakan satu jalinan yang dirajut oleh tangan kekuasaan samawi dalam pola keindahan. Azan mengumandangkan hakikat-hakikat keabadian dan memalingkan manusia dari kesibukan dalam urusan-urusan keduniaan dan kesenangannya. 


Inilah yang dirasakan setiap orang yang sadar, yang mende ngarkan azan dan 'mengkaji bagian-bagian dan makna-maknanya. Akan tetapi, terdapat satu kenyataan pahit yang tidak mungkin saya dan juga orang lain tutupi-dengan syarat terhindar dari pe mikiran sebelumnya atau fanatisme mazhab. Yaitu, bahwa muazin ketika turun dari ajakan kepada salat, kemenangan, dan pekerja an paling baik—dalam azan salat subuh-menuju pemakluman bahwa salat itu lebih baik daripada tidur, seakan-akan ia meluncur dari ketinggian balâghah menuju kata-kata tak bernilai. Ia mem beritahukan sesuatu yang anak-anak pun mengetahuinya. Ia me neriakkan-dengan sungguh-sungguh dan penuh semangat sesuatu yang diketahui oleh orang-orang. Teriakan dan pemak lumannya bahwa salat itu lebih baik daripada tidur menyerupai teriakan orang yang mengumumkan di tengah orang banyak bahwa dua adalah setengah dari empat. 


Inilah yang saya rasakan ketika berziarah ke Baitullah pada tahun 1375 H. Saya perhatikan azan di kedua tempat suci itu, selalu saja saya rasakan bahwa bagian tersebut bukan kalimat yang 

?Akan dijelaskan bahwa kalimat itu termasuk bagian azan yang kemudian dibuang untuk tujuan tertentu. diwahyukan. Karena satu sebab, ia disisipkan di antara bait-bait azan. Inilah yang mendorong saya untuk mengkaji dan me nyelidiki masalah tersebut. Saya melihat ada dua hal yang harus dibahas, sebagai berikut: 

Pertama, pensyariatan azan dan kajian historisnya. Kedua, sebab masuknya bagian tersebut ke dalam bait-bait azan. 

Bagaimana Azan Disyariatkan dan Kajian Historisnya 


Para imam ahlulbait sepakat bahwa yang mensyariatkan azan adalah Allah SWT. Azan dibawa turun oleh Jibril as dan diajarkan kepada Rasulullah saw. Lalu beliau mengajarkannya kepada Bilâl. Dalam mensyariatkan azan itu tidak ada campur tangan siapa pun. Bagi mereka, ini merupakan hal-hal yang dapat diterima. Kami akan menyebutkan sebagian yang diwariskan dari mereka. 1. Al-Kulainî meriwayatkan dengan sanad sahih dari Zurârah dan 

al-Fudhail dari Abû Ja'far al-Baqir as. Ia berkata, “Ketika Rasulullah saw melakukan isra ke langit, beliau sampai ke Baitul Ma'mur. Lalu tiba waktu salat. Maka Jibril as melantun kan untuk mengerjakan salat dan membaca iqamat. Kemudian Rasulullah saw maju ke depan, lalu para malaikat dan para nabi berbaris di belakang Muhammad saw.


2. Juga diriwayatkan dengan sanad sahih dari Imam ash-Shadiq as. Ia berkata, “Ketika Jibril as mewahyukan azan kepada Rasulullah saw, beliau meletakkan kepalanya di pangkuan ‘Ali as. Kemudian Jibril mengumandangakan azan dan membaca iqamat. Ketika Rasulullah saw terbangun, beliau bertanya, "Alî, apakah engkau mendengarnya?” “Alî menjawab, “Ya."4 Beliau bertanya lagi, “Engkau menghapalnya?” “Ali menjawab, "Tentu.” Lalu beliau berkata, “Panggillah Bilâl agar datang ke padaku.” Maka 'Ali as memanggil Bilâl dan mengajarkan azan kepadanya. 3. Diriwayatkan hadis dengan sanad sahih atau hasan dari dari ash-Shâdiq as. Ia bertanya, “Apakah engkau meriwayatkan dari 


3 Kedua riwayat itu tidak saling bertentangan. Sering terjadi malaikat pem bawa wahyu turun membawa satu ayat yang sudah turun sebelumnya. Tujuan seruan azan yang pertama berbeda dengan seruan azan yang kedua. Hal itu akan menjadi jelas bagi orang yang mengkajinya dengan saksama. 


4.Ali as adalah orang yang diajak bicara. Ia mendengar ucapan malaikat itu. Lihat, Shahih al-Bukhari dan syarahnya Irsyad as-Sârî, 6/99 dan yang lainnya pada bab Rijâl yukallamûna min ghayr an yakûna anbiyâ'an (Orang-orang yang diajak bicara tetapi bukan nabi). Diriwayatkan dari Nabi saw: "Telah ada di tengah Bani Israil sebelum kalian ...." mereka?” 'Umar bin 'Uszainah balik bertanya, “Demi diri saya yang menjadi tebusan Anda, tentang apa?” Ash-Shâdiq as men jawab, “Tentang azan mereka.” Maka 'Umar bin 'Udzainah ber kata, “Mereka mengatakan bahwa Ubay bin Ka'ab melihatnya di dalam mimpi.” Ash-Shâdiq as berkata, “Mereka berdusta, karena agama Allah terlalu mulia untuk dilihat dalam mimpi.” Sadîr ash-Shîrafi berkata, “Demi diri saya yang menjadi tebus an Anda, beritahukanlah hal itu kepada saya.” Maka Abû 'Abdillâh ash-Shâdig as berkata, “Ketika Allah SWT membawa naik Nabi-Nya ke langit ketujuh ....5 4. Di dalam adz-Dzikrâ, Muhammad bin Makkî asy-Syahid meriwayatkan hadis dari seorang ahli fiqih Syi'ah yang hidup pada awal abad ke-4 H, yakni Ibn Abî 'Uqail al-'Umâni. Ia menerima hadis itu dari Imam ash-Shâdiq as: la mencela kaum yang mempercayai bahwa Nabi saw menerima azan itu dari 'Abdullah bin Zaid.6 la berkata, “Wahyu telah turun kepada Nabimu. Te tapi kalian mempercayai bahwa beliau menerima azan dari ‘Abdullah bin Zaid. "7 

Bukan mazhab Syi'ah saja yang menukil hadis ini dari riwayat ahlulbait. Al-Hâkim dan lain-lain juga meriwayatkan hadis yang sama dari mereka. Akan saya kemukakan kepada Anda beberapa riwayat tentang itu dari kalangan Ahlusunah. 

5. Al-Hâkim meriwayatkan hadis dari Sufyan bin al-Lail. Ia berka ta: Ketika al-Hasan bin 'Alî masih hidup, saya menemuinya di Madinah. Ia berkata, “Di sampingnya mereka menyebut-nyebut soal azan. Maka sebagian dari kami berkata, 'Permulaan azan itu adalah dari mimpi 'Abdullah bin Zaid.' Maka al-Hasan bin 'Alî berkata, 'Urusan azan lebih agung daripada itu. Jibril telah mengumandangkan azan di langit dua kali-dua kali. Ia meng ajarkannya kepada Rasulullah saw. Kemudian ia membaca iqamat satu kali-satu kali,8 dan mengajarkannya kepada Rasulullah saw. yang diriwayatkan dari mereka as bahwa iqamat itu adalah dua kali-dua kali kecuali bagian akhir yang dibaca satu kali. 

5Al-Kulaini, al-Käfi, 3/302, bab Bad' al-adzan, hadis no. 1-2, dan bab an Nawâdir, hal. 482, hadis no. 1. 
Akan dijelaskan kemudian bahwa orang yang mengaku bermimpi mendengar azan berjumlah empat belas orang. Akan diketengahkan kemudian penukilannya dari as-Sunan. 
7 Wasā'il asy-Syi'ah, juz 4/612, bab al-Awwal min abwab al-adzan dan al-igamat, hadis no. 3. 
9Al-Hakim, al-Mustadrak, 3/171, kitab Ma'rifat ash-shahâbah. 


6. Al-Muttaqi al-Hindî meriwayatkan hadis dari Hârûn bin Sa'ad dari asy-Syahîd Zaid bin Imam 'Ali bin al-Husain dari bapak dan kakeknya dari ‘Alî bahwa pada malam isra mikraj diajar kan azan kepada Rasulullah saw dan difardukan salat kepada nya. 10 

7. Al-Halabî meriwayatkan hadis dari Abû al-'Ala'. Ia berkata: 
Saya bertanya kepada Muhammad bin al-Hanafiyah, “Kami mengatakan bahwa permulaan azan adalah mimpi yang di alami salah seorang dari kaum Anshar." Mendengar kata-kata itu, Muhammad bin al-Hanifah sangat terkejut. Lalu ia ber kata, “Kalian telah berpegang pada syariat-syariat Islam sejati dan ajaran-ajaran agama kalian. Lalu, kalian mengira bahwa hal itu datang dari mimpi seseorang dari kalangan Anshar. Mimpi itu mungkin saja benar dan mungkin juga bohong. Bahkan kadang-kadang impian itu merupakan sesuatu yang tak jelas.” Saya katakan kepadanya, “Hadis ini banyak diri wayatkan di tengah masyarakat.” Maka ia menjawab, “Demi Allah, ini benar-benar merupakan kebatilan."!!

8. Al-Muttaqi al-Hindî meriwayatkan hadis dari Musnad Rafi' bin Khadij: Ketika Rasulullah saw melakukan isra ke langit, Allah mewahyukan azan kepadanya. Maka beliau membawanya turun dan mengajarkannya kepada Jibril (ath-Thabrânî dalam al Awsath dari Ibn 'Umar). 12

9. Dari hadis yang diriwayatkan 'Abdur Razzaq dari bin Juraij: 
'Athâ' berkata, “Azan itu adalah dengan wahyu dari Allah SWT."13

10. Al-Halabî berkata: Diriwayatkan banyak hadis yang menunjuk kan bahwa azan disyariatkan di Makkah sebelum hijrah. Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan ath-Thabrânî dari Ibn 'Umar .... Ia menukil riwayat kedelapan.14 

Inilah sejarah dan cara azan disyariatkan yang dikutip mazhab Syi'ah, dari mata air yang jernih, dari orang-orang yang meng emban sunah Rasulullah saw. Orang yang terpercaya meriwayatkan nya dari orang yang terpercaya hingga sampai kepada Rasulullah saw.

10 Al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-'Ummál, 6/277, no. 397.
11Burhan al-Madanî al-Halabî, as-Sîrah, 2/297.
12Al-Muttaqi al-Hindî, 8/329, no. 23138, pasal tentang azan. 
13. Abdul Razzaq: Hammam ash-Shin'ânî (126-211), al-Mushannif, 1/456, no. 1775. 
14 Al-Halabî, as-Sîrah, 2/296, bab Bad' al-adzan wa masyrû‘iyyalihi.



Tatswib dalam Azan Salat Subuh - 19 


Adapun selain mereka, tentang sejarah disyariatkannya azan, meriwayatkan hal-hal yang tidak pantas dinisbatkan kepada Rasu lullah saw. Mereka meriwayatkan bahwa Rasulullah saw sangat memperhatikan urusan salat. Akan tetapi, beliau kebingungan bagaimana cara mengumpulkan orang-orang untuk salat ber jamaah karena rumah-rumah mereka berjauhan serta kaum Muhajirin dan Anshar terpisah di lorong-lorong kota Madinah. Maka para sahabatnya memberikan isyarat untuk memberikan jalan keluar dari kesulitan itu. Mereka menunjukkan kepada Nabi saw beberapa hal sebagai berikut: 1. Memasang bendera. Apabila mereka melihatnya, sebagian mereka memanggil sebagian yang lain. Tetapi beliau tidak tertarik terhadap ide tersebut. 2. Mereka menyarankan agar meniup terompet. Tetapi Nabi saw tidak menyukainya. 3. Membunyikan lonceng, seperti yang dilakukan orang-orang Nasrani. Pada mulanya Nabi saw tidak menyukainya, namun kemudian beliau menerima usulan itu. Maka dibuatlah lonceng dari kayu. Apabila waktu salat tiba, lonceng itu dipukul se hingga orang-orang berkumpul untuk mengerjakan salat ber jamaah. 


Nabi saw melakukan hal itu hingga datang ‘Abdullah bin Zaid. Ia memberitahukan kepada Rasulullah saw bahwa dalam keadaan antara tidur dan terjaga ia melihat ada seseorang datang dan mengajarkan azan kepadanya. Dua puluh hari sebelumnya, 'Umar bin al-Khaththâb pun melihatnya dalam mimpi, tetapi ia meraha siakannya. Kemudian ia memberitahukan hal itu kepada Nabi saw. Karenanya beliau bertanya, “Apa yang menghalangimu untuk memberitahukannya kepadaku?” “Umar menjawab, “Abdullah bin Zaid telah mendahuluiku, maka aku merasa malu.” Maka Rasulullah saw bersabda, “Hai Bilal, berdirilah. Perhatikanlah apa yang diperintahkan ‘Abdullah bin Zaid kepadamu.” “Abdullah bin Zaid mengajarkan azan kepada Bilâl. Kemudian Bilâl mem pelajarinya, lalu melantunakannya. 


Inilah garis besar hadis-hadis yang diriwayatkan para ahli hadis tentang sejarah disyariatkannya azan. Kami akan mengkaji sanad-sanad dan matan-matannya, kemudian menjelaskannya ke pada Anda. 


Cara Disyariatkannya Azan 1. Abû Dâwud (202-275) meriwayatkan: Telah menyampaikan hadis kepada kami 'Ibâd bin Mûsâ al-Khatlî dan Ziyâd bin Ayyûb-hadis dari ‘Ibâd ini yang paling lengkap. Kedua orang itu mengatakan, Hasyîm telah meriwayatkan kepada kami hadis dari Abû Basyar. Ziyâd berkata: Abû Basyar mengabarkan kepada kami dari Abû 'Umair bin Anas dari paman-pamannya dari kalangan Anshar. Ia berkata: Rasulullah saw bersedih tentang urusan salat, bagaimana cara mengumpulkan orang-orang untuk itu. Maka salah seorang sahabat berkata, “Kibarkanlah bendera ketika tiba waktu salat. Apabila mereka melihatnya, sebagian mereka akan mamanggil sebagian yang lain.” Tetapi Nabi saw tidak menghiraukannya. Lalu disebutkan kepadanya terompet. Ziyâd mengatakan, terompet Yahudi. Tetapi Nabi saw tidak mempedulikannya. Beliau berkata, “Itu adalah kebiasaan kaum Yahudi." Kemudian disebutkan kepadanya lonceng. Maka beliau berkata, "Itu kebiasaan kaum Nasrani.”


Maka 'Abdullah bin Zaid (bin 'Abd Rabbih) kembali. Ia ikut bersedih karena melihat Rasulullah saw bersedih. Kemu dian diperlihatkan kepadanya azan dalam mimpinya. Keesok an harinya, pagi-pagi sekali ia menemui Rasulullah saw Lalu ia memberitahukan mimpinya itu kepada Nabi. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, ketika saya dalam keadaan antara tidur dan terjaga, tiba-tiba aku melihat ada seseorang datang kepadaku. Ia meng ajarkan azan kepadaku." Sebelum itu 'Umar bin al-Khaththâb pun telah melihatnya di dalam mimpinya. Tetapi ia merahasia kannya selama dua puluh hari.15 Kemudian ia memberitahu kannya kepada Nabi saw. Maka Nabi saw bertanya, “Apa yang menghalangimu untuk memberitahukannya kepadaku?” “Umar menjawab, “Abdullah bin Zaid telah mendahuluiku, maka aku merasa malu." Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Hai Bilal, berdirilah. Perhatikanlah apa yang diperintahkan 'Abdullâh bin Zaid kepadamu. Lalu lakukanlah.” Kemudian Bilâl mengu mandangkan azan itu. 


Abû Basyar berkata: Abû 'Umair memberitahukan kepada ku, kaum Anshar mengatakan bahwa kalau ketika itu ‘Abdullâh 

15Apakah dibenarkan menurut akal, seseorang menyembunyikan mimpi yang dapat memberikan ketenangankepada Nabi saw dan para sahabatnya se lama 20 hari? Kemudian-setelah ia mendengarnya dari Ibn Zaid-ia berdalih bahwa ia merasa malu .... 

Talswib dalam Azan Salat Subuh - 21 

bin Zaid tidak sedang sakit, pastilah Rasulullah saw menjadi kannya muazin. 2. Telah menyampaikan hadis kepadaku Muhammad bin Manshûr ath-Thûsî, telah menyampaikan kepadaku Ya'qûb, telah me nyampaikan kepadaku bapakku dari Muhammad bin Ishâq. Menyampaikan kepadaku Muhammad bin Ibrâhîm bin al Hârits at-Taymî dari Muhammad bin `Abdullah bin Zaid bin 'Abd Rabbih. Ia berkata: Telah menyampaikan kepadaku bapak ku, ‘Abdullah bin Zaid. Ia berkata: Ketika Rasulullah saw me merintahkan pembuatan lonceng untuk ditabuh agar orang orang berkumpul untuk menegakkan salat berjamaah, beliau mondar-mandir di sampingku, sementara aku sedang tidur. Tiba-tiba seseorang datang membawa lonceng di tangannya. Maka aku bertanya, “Hai hamba Allah, apakah engkau akan menjual lonceng itu?” Ia menjawab, “Apa yang akan engkau lakukan dengan lonceng ini?" Aku jawab, “Dengannya kami memanggil orang-orang untuk salat berjamaah.” Ia berkata, “Maukah aku beritahukan kepadamu yang lebih baik daripada itu?" Aku jawab, “Tentu.” Maka ia berkata, “Ucapkanlah olehmu: 

Allâhu akbar Allâhu akbar, Asyhadu allâ ilâha illallâh Asyhadu allâ ilâha illallâh, Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, Asyhadu anna Muhammadan Rasulullâh, Hayya alash shalâh, Hayya alash shalâh, Hayya alal falah, Hayya alal falâh, Allâhu akbar Allâhu akbar, la ilaha illallâh.” 


Kemudian ia menjauh sedikit dariku, lalu berkata: “Dan Jika engkau hendak berdiri salat, ucapkanlah: 

'Allâhu akbar. Allâhu akbar. Asyhadu allâ ilâha illâllâh. Asyhadu anna Muhammadan rasûlullâh. Hayya ‘alash shalâh. Hayya 'alal falâh. Qad gamatish shalâh. Qad qamatish shalâh. Allâhu akbar. Allâhu akbar. Lâ ilâha illâllâh.” 


Setelah tiba waktu subuh, segera saya menemui Rasulullah saw. Lalu kepadanya saya beritahukan apa yang telah saya lihat dalam mimpi itu. Maka beliau berkata, “Itu adalah mimpi yang benar, insya Allah. Berdirilah bersama Bilâl. Ajarkanlah kepadanya apa yang telah kamu lihat dalam mimpi itu, lalu suruhlah ia untuk mengumandangkannya karena ia memiliki suara yang lebih nyaring daripada suaramu.” Maka saya berdiri bersama Bilâl. Mulailah saya mengajarkan azan itu kepadanya, lalu ia mengumandangkannya. Kemudian hal itu didengar oleh 'Umar bin al-Khaththâb ketika ia berada di dalam rumah nya. Kemudian ia keluar sambil menarik jubahnya. Ia berkata, “Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan kebenaran, wahai Rasulullah, aku telah bermimpi melihat seperti yang ia lihat." Maka Rasulullah saw berkata, “Segala puji bagi Allah."16 3. Ibn Majah (207-275) meriwayatkan hadis melalui dua sanad berikut: 


Pertama, Abû 'Ubaid menyampaikan hadis kepada kami (Muhammad bin Maimûn al-Madanî), menyampaikan kepada kami Muhammad bin Salamah al-Harrânî, menyampaikan kepada kami Muhammad bin Ishaq, menyampaikan kepada kami Muhammad bin Ibrâhîm at-Taymî dari Muhammad bin 'Abdullah bin Zaid dari bapaknya. Ia berkata: Rasulullah saw disarankan untuk menggunakan terompet. Lalu beliau meme rintahkan agar dibuat lonceng. Kemudian diperlihatkan ke pada 'Abdullah bin Zaid di dalam mimpinya ...."


Kedua, menyampaikan hadis kepada kami Muhammad bin Khalid bin 'Abdullâh al-Wasithî, menyampaikan kepada kami bapakku dari 'Abdurrahman bin Ishaq dari az-Zuhrî dari Sâlim dari bapaknya bahwa Nabi saw mengajak para sahabat bermusyawarah membicarakan persoalan yang mereka hadapi dalam memanggil orang-orang untuk salat berjamaah. Maka mereka menyebutkan terompet. Tetapi beliau menolaknya karena hal itu merupakan kebiasaan kaum Yahudi. Kemudian mereka menyebutkan lonceng. Tetapi beliau menolaknya karena hal itu merupakan kebiasaan kaum Nasrani. Maka pada malam itu, azan diperlihatkan kepada seseorang dari kaum Anshar yang bernama 'Abdullah bin Zaid dan 'Umar bin al Khaththâb .... 


Az-Zuhrî berkata, “Bilâl menambahkan kalimat ash-shalâtu khayrun minan nawm ke dalam azan salat subuh. Rasulullah saw menyetujuinya.17 4. At-Tirmidzî meriwayatkan hadis dengan sanad sebagai berikut: 


Menyampaikan kepada kami Sa'ad bin Yahyâ bin Sa'id al Umawî, menyampaikan kepada kami bapakku, menyampaikan kepada kami Muhammad bin Ishaq dari muhammad bin Ibrâhîm bin al-Hârits at-Taymî dari Muhammad bin 'Abdullâh bin Zaid dari bapaknya. Ia berkata: Ketika kami memasuki waktu subuh, kami menemui Rasulullah saw. Kemudian aku memberitahukan mimpiku itu kepada beliau ....

16 Abû Dâwud, as-Sunan, 1/134-135, no. 498-499 yang ditahqiq oleh Muhammad Muhyiyuddîn. 

17Ibn Majah, as-Sunan, 1/232-233, bab Bad' al-adzan, no. 706-707. 



At-Tirmidzi berkata: Hadis yang diriwayatkan Ibrâhîm dari Sa'ad dari Muhammad bin Ishaq lebih lengkap dan lebih panjang daripada hadis ini. Kemudian at-Tirmidzî menam bahkan, “Abdullah bin Zaid adalah putra ‘Abd Rabbih. Kami tidak mengetahui ia menerima hadis sahih dari Rasulullah saw kecuali hadis tentang azan ini.18


Inilah yang diriwayatkan beberapa penulis Sunan kumpulan hadis-hadis sahih atau al-Kutub as-Sittah yang memiliki keistime waan dibandingkan dengan yang lain, seperti Sunan ad-Dârimî, Sunan ad-Daruquthni, atau yang diriwayatkan Ibn Sa'ad dalam Thabaqâtnya dan al-Bayhaqi dalam Sunan-nya. Karena kedudukan istimewa tersebut, kami memisahkan hadis-hadis yang diriwayat kan dalam as-Sunan yang terkenal itu dari hadis-hadis di tempat lain. 


Kami akan mengkaji matan dan sanad riwayat-riwayat tersebut sehingga menjadi jelas hakikatnya. Kemudian akan kami sebut kan nas-nas lain yang dimuat di dalam kitab yang lain.


Tidak Dapat Dijadikan Dalil


Riwayat-riwayat ini tidak dapat dijadikan dalil karena beberapa hal berikut:


Pertama, tidak sesuai dengan kedudukan (maqâm) kenabian. 


Allah saw mengutus Rasul-Nya untuk menegakkan salat ber sama kaum Mukmin pada beberapa waktu yang berlainan. Hal itu menuntut agar Allah SWT mengajarkan kepadanya cara melaksana kan perintah ini. Tidak ada artinya Nabi saw merasa kebingung an selama beberapa hari, atau dua puluh hari menurut riwayat pertama yang diriwayatkan Abû Dâwud. Di situ disebutkan bahwa beliau tidak mengetahui bagaimana cara melaksanakan tanggung jawab yang dibebankan ke atas pundaknya itu. Kadang-kadang beliau menggunakan satu cara dan di saat yang lain mengguna kan cara yang lain. Sehingga ditunjukkan kepada beliau beberapa cara yang dapat mewujudkan maksudnya. Padahal, tentang diri nya Allah SWT berfirman, Dan adalah karunia (al-fadhl) Allah sangat besar atasmu (QS. an-Nisa' [4]: 113). Yang dimaksud dengan al fadhl adalah ilmu pengetahuan (al-'ilm) berdasarkan konteks kalimat sebelumnya: Dan Dia telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. 

18 At-Tirmidzi, as-Sunan, 1/358, bab Må ja'a fi bad' al-adzcin, no. 189. 



Salat dan puasa termasuk masalah ibadah, tidak seperti urusan perang. Dalam urusan perang kadang-kadang Rasulullah saw mengadakan musyawarah dengan para sahabatnya. Musyawarah itu dilakukan bukan karena beliau tidak mengetahui strategi perang yang paling baik, melainkan semata-mata untuk menarik hati mereka, sebagaimana firman Allah SWT, Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu (QS. Ali `Imrân (3): 159). 


Bukankah menjadikan mimpi dari orang biasa sebagai rujuk an dalam urusan ibadah yang sangat penting, seperti azan dan iqamat, berarti kelemahan dalam urusan agama?


Inilah yang mendorong kami untuk mengatakan bahwa keber adaan mimpi sebagai rujukan dalam pensyariatan azan merupa kan kebohongan terhadap syariat. Jelas sekali, paman-paman 'Abdullah bin Zaid menyebarkan hadis tersebut untuk memper oleh keutamaan bagi keluarga dan kabilah mereka. Oleh karena itu, kami melihat dalam beberapa sanad, paman-pamannya men jadi perawi hadis tersebut. Orang-orang bersandar kepada mereka hanya karena berprasangka baik kepada mereka. .

Kedua, hadis-hadis itu saling bertentangan.


Riwayat-riwayat yang menyebutkan permulaan disyariatkannya azan saling bertentangan satu sama lain dalam beberapa hal berikut: 1. Riwayat pertama (riwayat Abû Dâwud) menyebutkan bahwa 'Umar bin al-Khaththâb bermimpi diajari azan pada dua puluh hari sebelum 'Abdullah bin Zaid mengalami mimpi yang sama. Sedangkan riwayat keempat (riwayat Ibn Majah) menyebutkan bahwa ia bermimpi pada malam yang sama dengan mimpi ‘Abdullah bin Zaid. 2. Mimpi 'Abdullah bin Zaid adalah permualaan disayriatkannya azan. Sedangkan 'Umar bin al-Khaththâb ketika mendengar azan, ia datang kepada Rasulullah saw. Ia mengatakan bahwa dirinya pun mengalami mimpi yang sama, tetapi tidak diberi tahukan kepada Rasulullah saw karena malu. 3. Permulaan azan itu adalah dari 'Umar bin al-Khaththâb, bukan dari mimpinya. Sebab, ia yang mengusulkan panggilan untuk salat itu yang kemudian disebut azan. At-Tirmidzî meriwayat kan hadis tersebut di dalam Sunan-nya. Ia berkata, “Ketika kaum Muslim datang ke Madinah ... Sebagian mereka berkata, ‘Ambillah terompet seperti terompet kaum Yahudi.' Tetapi 'Umar bin al-Khaththâb berkata, “Apakah tidak lebih baik kalau kalian menyuruh seseorang untuk mengajak (orang-orang) salat?' Maka Rasulullah saw berkata, 'Hai Bilal, berdirilah, lalu serukanlah panggilan untuk salat.' Yakni, azan. 

Benar, bahwa Ibn Hajar menafsirkan seruan salat itu dengan kalimat as-shalâtu jâmi'ah (marilah salat berjamaah). 19 Akan tetapi, tidak ada dalil yang mendasari penafsiran tersebut. 

An-Nasa'î dan al-Baihaqi meriwayatkannya dalam Sunan mereka.20 4. Permulaan disyariatkannya azan adalah dari Nabi saw sendiri. 

Al-Bayhaqi meriwayatkan: ... maka mereka menyebutkan agar memukul lonceng atau menyalakan api. Maka Bilâl di perintahkan untuk menggenapkan azan dan inengganjilkan iqamat. 

Al-Bukhârî meriwayatkannya dari Muhammad bin 'Abdul Wahhab dan Muslim meriwayatkannya dari Ishâq bin 'Ammâr.21 

Dengan adanya perbedaan pendapat dalam penukilan hadis tersebut, maka, bagaimana mungkin kita bersandar pada hadis-hadis ini. 

Ketiga, orang yang bermimpi itu berjumlah empat belas orang, bukan hanya seorang. 

Dari hadis yang diriwayatkan al-Halabî, tampaklah bahwa orang yang bermimpi mendengar azan itu tidak hanya Ibn Zaid dan Ibn al-Khaththâb. Melainkan Abû Bakar juga mengaku bahwa ia bermimpi melihat seperti apa yang mereka lihat. Disebutkan pula bahwa tujuh orang dari kaum Anshar mengaku hal yang sama. Ada juga yang mengatakan bahwa empat belas orang dari kaum Anshar22 mengaku bahwa mereka bermimpi mendengar azan. Padahal, syariat itu tidak bersumber dari mereka. Apabila syariat dan hukum-hukum itu berdasarkan mimpi, maka ucapkanlah selamat tinggal kepada Islam. Padahal Rasulullah saw memper oleh syariat-syariat itu melalui wahyu, bukan dari mimpi mereka.

19 Al-Halabi, as-Sirah an-Nabawiyyah, 2/297. 

20 At-Tirmidzi, as-Sunan, 1/362, no. 190; an-Nasa'i, as-Sunan, 2/3; dan al Baihaqi, as-Sunan, 1/389, bab Bad' al-adzân, hadis no.1. 

21 Al-Baihaqi, as-Sunan, 1/390, hadis no. 1-2. 22Al-Halabî, as-Sîrah al-Halabiyyah, 2/300. 



Keempat, kontradiksi antara hadis yang diriwayatkan al-Bukhârî dan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh orang yang lain. 

Dalam Shahih al-Bukhârî dijelaskan bahwa Nabi saw menyuruh Bilâl di dalam majelis musyawarah untuk menyerukan salat. Ketika itu, 'Umar hadir di situ. Telah diriwayatkan dari Ibn 'Umar: Ketika kaum Muslim tiba di Madinah, mereka berkumpul. Lalu tiba waktu salat. Tetapi tidak ada yang menyeru untuk salat ber jamaah. Maka pada suatu hari mereka membicarakan masalah itu. Sebagian mereka berkata, “Ambillah lonceng seperti lonceng kaum Nasrani.” Sebagian lain berkata, “Ambillah terompet se perti terompet kaum Yahudi.” Maka 'Umar berkata, “Mengapa kalian tidak menyuruh seseorang untuk menyerukan salat ber jamaah?” Lalu Rasulullah saw bersabda, “Hai Bilal, berdirilah dan serukanlah salat berjamaah."23 

Hadis-hadis tentang mimpi mendengar azan menjelaskan bahwa Nabi saw hanya menyuruh Bilâl untuk mengumandangkan seruan itu pada salat subuh. Maka ‘Abdullah bin Zaid mencerita kan mimpinya. Hal itu terjadi pada malam hari setelah dilakukan nya musyawarah-dan 'Umar tidak hadir ketika itu. “Umar hanya mendengar bacaan azan itu di rumahnya. Lalu ia keluar sambil menarik jubahnya. Ia berkata, “Demi Tuhan yang mengutus Anda dengan kebenaran, wahai Rasulullah, aku telah bermimpi men dengar seperti apa yang aku dengar.” 

Kami tidak memandang hadis yang diriwayatkan al-Bukhârî itu sebagai seruan ash-shalâtu jâmi'ah (marilah salat berjamaah) dan memandang hadis-hadis tentang mimpi itu sebagai seruan azan. Karena, beberapa alasan. Pertama, hal itu merupakan jamóbi lâ syahid. Kedua, kalau Nabi saw menyuruh Bilâl menyerukan ash shalâtu jâmi'ah karena suaranya yang keras, tentu masalah itu dapat terselesaikan. Kebingungan pun dapat dihilangkan, ter utama apabila kalimat ash-shalâtu jâmi'ah itu diucapkan berulang ulang. Tidak ada lagi yang perlu dibingungkan. Ini menunjukkan bahwa perintah untuk mengumandangkan seruan itu adalah dengan azan yang telah disyariatkan. 24 

Keempat kajian di atas kembali kepada kajian kandungan hadis-hadis tersebut. Dan kajian ini sendiri telah memadai untuk menolak bersandar pada hadis tersebut. Berikut ini akan kami kemukakan kepada Anda kajian terhadap sanad-sandanya satu per satu. Di antaranya ada sanad yang terputus, yang tidak ber sambung kepada Nabi saw. Ada pula yang dalam sanadnya ter dapat perawi yang tidak dikenal, cacat, atau lemah. Berikut ini penjelasannya berdasarkan urutan hadis-hadis di atas.

23Al-Bukhârî, ash-Shahih, 1/120, bab Bad' al-adzân. 24Syarafuddin, an-Nash wa al-Ijtihad, 137. 



Pertama, hadis yang diriwayatkan Abû Dâwud adalah dha'if (lemah). 1. Sanad riwayat terebut berakhir pada seorang atau beberapa orang perawi yang tidak dikenal (majhül) karena ungkapan "dari paman-pamannya dari kaum Anshar”. 2. Abû ‘Umair bin Anas meriwayatkannya dari paman-pamannya. 

Ibn Hajar menyebutkannya dan mengatakan tentangnya: la meriwayatkan dari paman-pamannya dari kalangan Anshar, para sahabat Nabi saw tentang melihat hilâl dan azan. 

Ibn Sa'ad berkata, “Ia seorang perawi yang terpercaya (tsiqqat) tetapi meriwayatkan sedikit hadis." 

Ibn 'Abdil Barr berkata, “Ia tidak dikenal dan tidak boleh di jadikan hujjah."25 

Jamaluddin berkata, “Ini adalah hadis yang mengisahkan dua hal, yaitu melihat hilal dan azan. 26 

Kedua, hadis yang dalam sanadnya terdapat orang yang tidak dapat dijadikan hujjah, seperti berikut:

1. Muhammad bin Ibrahim bin al-Hârits bin Khalid at-Taymî (Abû 'Abdullah) yang wafat pada kira-kita tahun 120 H. 

Abû Ja'far al-'Uqailî dari ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata: Aku mendengar bapakku menyebut nama Muhammad bin Ibrâhîm at-Taymî al-Madanî. Ia berkata, “Di dalam hadis nya terdapat masalah. Ia sering meriwayatkan hadis-hadis munkar."27

2. Muhammad bin Ishaq bin Yasar bin Khayâr. Ahlusunah tidak berhujjah dengan riwayat-riwayatnya walaupun merupakan asas kitab Sîrah Ibn Hisyam. 

Ahmad bin Abî Khaitsam berkata, “Yahyâ bin Mu'în ditanya tentangnya. Ia menjawab, 'Menurut saya, ia adalah perawi yang lemah dan tercela, serta tidak kuat."" 

25Ibn Hajar, Tahdzîb al-Tahdzîb, 12/188, no. 767. 26Jamaluddin al-Mazzi, Tahdzi al-Kamah, 34/142, no. 7545. 27 lbid., 24/304. 


Abû al-Hasan al-Maimûnî berkata: Saya mendengar Yahyâ bin Mu'în berkata, “Muhammad bin Ishâq itu perawi yang lemah." An-Nasa'i berkata, “Ia adalah perwawi yang tidak kuat. "
3. 'Abdullah bin Zaid adalah perawi hadis. Tentang dirinya, cukuplah disebutkan bahwa ia meriwayatkan sedikit hadis. At Tirmidzi berkata, “Kami tidak mengetahui bahwa ia meriwayat kan hadis sahih dari Nabi saw kecuali hadis tentang azan." Al Hâkim berkata, “Ia gugur dalam Perang Uhud. Hadis-hadis yang diriwayatkan darinya semuanya terputus (mungathi." Ibn ‘Adî berkata, “Kami tidak mengetahui bahwa ia memiliki hadis sahih dari Nabi saw kecuali hadis tentang azan." 


At-Tirmidzî meriwayatkan dari al-Bukhârî, “Kami tidak me ngetahui bahwa ia meriwayatkan hadis kecuali hadis tentang azan."


Al-Hâkim berkata, “Abdullah bin Zaid adalah orang yang bermimpi mendengar azan. Para ahli fiqih Islam memper debatkannya, apakah hadisnya dapat diterima atau tidak. Hadisnya tidak dimuat dalam Shahîhayn karena para penukil hadis berbeda pendapat tentang sanad-sanadnya."31 


Ketiga, di dalam sanadnya terdapat nama Muhammad bin Ishaq bin Yasar dan Muhammad bin Ibrâhîm at-Taymî. Saya telah membahas ihwal kedua orang itu, sebagaimana telah membahas bahwa 'Abdullâh bin Zaid meriwayatkan hadis sedikit sekali. Seluruh hadis yang diriwaytkannya terputus (mungathi').


Keempat, di dalam sanadnya terdapat para perawi sebagai berikut: 1. 'Abdurrahman bin Ishaq bin `Abdullâh al-Madanî.


Yahyâ bin Sa'îd al-Qaththân berkata, “Saya bertanya tentang dirinya kepada orang-orang di Madinah. Saya tidak menemu kan ada orang yang memujinya. Demikian pula yang dikatakan ‘Alî bin al-Madînî.” 


‘Alî berkata, “Saya pernah mendengar Sufyan ditanya tentang 'Abdurrahman bin Ishâq. Ia menjawab, “Ia seorang penganut faham Qadariyah. Penduduk Madinah tidak mempercayai ucapannya. Ia pernah datang kepada kami pada hari kematian al-Walid, tetapi kami tidak menemaninya.”

28 Ibid., 24/423-424. lihat juga Târikh Baghdad, 1/221-224. 29 At-Tirmidzî, as-Sunan, 1/361; Ibn Hajar, Tahdzīb al-Tahdzīb, 5/224. 30Jamaluddin al-Mazzî, Tahdzib al-Kamal, 14/54). 31 Al-Hakim, al-Mustadrak, 3/336. 



Abû Thâlib berkata, “Saya bertanya kepada Ahmad bin Hanbal tentang dirinya. Ia menjawab, “Ia meriwayatkan hadis hadis munkar dari Abû az-Zanâd ."


Ahmad bin 'Abdullah al-'Ajlî berkata, "Ia menuliskan hadis nya yang tidak kuat.”


Abû Hâtim berkata, “la menuliskan hadisnya tetapi tidak berhujjah dengannya.”


Al-Bukhârî berkata, “Tidak ada orang yang mempercayai hapalannya. Di Madinah ia tidak dikenal memiliki murid kecuali Mûsâ az-Zam‘î. Diriwayatkan darinya banyak hadis tentang berbagai hal, di antaranya hadis-hadis yang kacau." 


Ad-Daruquthnî berkata, “la itu perawi yang lemah dan di tuduh sebagai pengikut aliran Qadariyah."


Ahmad bin 'Adî berkata, “Sebagian hadisnya munkar dan tidak boleh diikuti.32 2. Muhammad bin 'Abdullâh al-Wasithî (150-240 H). Jamaluddîn al-Mazzî menyebut tentang dirinya, “Ibn Mu'în mengatakan, la tidak ada apa-apanya. Hadis-hadis yang ia riwayatkan dari bapaknya adalah hadis-hadis munkar.' Abû Hâtim mengata kan, “Aku bertanya kepada Yahyâ bin Mu'în tentang orang itu. Ia menjawab, “la seorang pembohong dan meriwayatkan hadis hadis munkar.' Abû 'Utsman Sa'id bin 'Amr al-Burda'î ber kata, 'Saya bertanya kepada Abû Zar‘ah tentang Muhammad bin Khalid. Ia menjawab bahwa orang itu adalah seorang yang tercela.' Ibn Hayyan menyebutkannya di dalam kitabnya ats Tsiqqâl Ia berkata, 'Ia sering membuat kesalahan dan penyimpangan.""33


Asy-Syawkânî, setelah menukil hadisnya, berkata, “Di dalam sanad-sanadnya terdapat perawi yang sangat lemah."34 


Kelima, di dalam sanadnya para perawi berikut: 1. Muhammad bin Ishaq bin Yasar. 2. Muhammad bin al-Hârits at-Taymi. 3. ‘Abdullah bin Zaid. 


32Jamaluddin al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâh 16/519, no. 3755. 33 Ibid., 25/139, no. 5178. 34 Asy-Syawkâni, Nayl al-Awthâr, 2/42. 


Saya telah membahas cacat kedua orang pertama dan ter putusnya sanad pada setiap hadis yang mereka riwayatkan dari orang ketiga (“Abdullah bin Zaid). 


Dengan demikian, jelaskan keadaan sanad keenam. Maka per hatikanlah.


Ini yang disebutkan di dalam ash-Shahâh. Adapun yang dijelas kan di dalam kitab-kitab lain, di antaranya kami sebutkan hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad, ad-Dârimî, dan ad-Daruquthnî dalam Musnad mereka, serta Imam Mâlik dalam al-Muwaththa', Ibn Sa'ad dalam Thabaqât-nya, dan al-Baihaqi dalam Sunan-nya. Penjelasannya akan kami ketengahkan kepada Anda. 1. Hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad-Nya.


Imam Ahmad meriwayatkan hadis tentang mimpi mendengar azan itu dalam Musnad-nya dari 'Abdullah bin Zaid melalui tiga sanad 35 


Dalam sanad pertama disebutkan Zaid bin al-Habbâb bin ar Rayân at-Tamîmî (wafat tahun 203 H.). 


Tentang dirinya mereka menjelaskan bahwa ia membuat banyak kesalahan dan memiliki hadis-hadis gharib yang dalam sanad-sanadnya terdapat nama Sufyan ats-Tsawrî. Ibn Mu'în berkata, “Hadis-hadisnya yang diterima dari ats-Tsawrî terbalik. 36


Selain itu, dalam sanad tersebut terdapat nama 'Abdullah bin Muhammad bin 'Abdullah bin Zaid bin 'Abd Rabbih. Di dalam kitab-kitab Shahih dan Musnad ia tidak memiliki riwayat kecuali satu riwayat saja, yaitu riwayat ini. Dalam hadis ini disebutkan ke utamaan keluarganya. Karena itu, sedikit sekali orang yang ber pegang pada riwayat ini.


Di dalam sanad kedua terdapat nama Muhammad bin Ishâq bin Yasar yang telah saya bahas di atas. 


Di dalam sanad ketiga terdapat nama Muhammad bin Ibrâhîm al-Hârits at-Taymî. Selain kepada Muhammad bin Ishâq, sanad hadis itu berujung kepada 'Abdullah bin Zaid. Ia meriwayatkan sedikit sekali hadis.


Di dalam riwayat kedua, setelah menyebutkan mimpi tersebut, dan diajarkannya azan kepada Bilâl: Bilâl mendatangi Rasulullah saw. Tetapi ia mendapati beliau sedang tidur. Maka ia berteriak  dengan suara yang sangat keras, ash-shalâtu khayrun minan nawm ... (salat itu lebih baik daripada tidur). Lalu kalimat ini dimasuk kan ke dalam azan salat Subuh.


35Imam Ahmad, al-Musnad, 4/42-43. 36 Adz-Dzahabi, Mizan al-I'tidal, 2/100. no. 2997. 



2. Hadis yang diriwayatkan ad-Dârimî dalam Musnad-nya.


Ad-Dârimî meriwayatkan hadis tentang mimpi mendengar azan itu melalui beberapa sanad. Seluruh sanad itu lemah. Sanad sanad tersebut sebagai berikut: a. Mengabarkan kepada kami Muhammad bin Hamid, menyampai kan kepada kami Salamah, menyampaikan kepadaku Muhammad bin Ishâq: Rasulullah saw ketika mendatanginya .... b. Sanad yang sama. Setelah Muhammad bin Ishâq disebutkan: 


Menyampaikan hadis ini kepadaku Muhammad bin Ibrahîm bin al-Hârits at-Taymi dari Muhammad bin 'Abdullah bin Zaid bin 'Abd Rabbih dari bapaknya. c. Mengabarkan kepada kami Muhammad bin Yahya, menyampaikan kepada kami Ya'qûb bin Ibrâhîm bin Sa'ad dari Ibn Ishâq. Para perawi lainnya sama dengan mereka yang terdapat pada sanad kedua.37


Sanad pertama terputus. Sedangkan pada sanad kedua dan ketiga terdapat nama Muhammad bin Ibrâhîm bin al-Hârits at Taymî. Saya telah menjelaskan ihwal dirinya, sebagaimana saya juga telah membahas ihwal diri Ibn Ishâq. 


3. Riwayat dari Imam Mâlik dalam al-Muwaththa'.


Imam Mâlik meriwayatkan hadis tentang mimpi mendengar azan di dalam al-Muwaththa: Dari Yahyâ dari Mâlik dari Yahyâ bin Sa'id: Rasulullah saw ingin mengambil dua buah kayu untuk di pukul (sebagai tanda waktu salat-penej.).38


Sanad ini terputus. Yahyâ di sini adalah Yahyâ bin Sa'id bin Qais yang lahir pada tahun 70 H. dan wafat di al-Hasyimiyah pada tahun 143 H.39 4. Riwayat dari Ibn Sa'ad dalam Thabaqât-nya. 


Muhammad bin Sa'ad meriwayatkan hadis tersebut dalam Thabaqatnya dengan sanad-sanad10 mawqüf (yang menggantung) yang tidak bisa dijadikan hujjah: 


37Ad-Darimi, as-Sunan, 1/267-269, bab Bad' al-adzân. 38 Málik, al-Muwaththa', 75, bab Mä jâ'a fi nida' al-shalat, no. 1. 39 Adz-Dzahabî, Siyar al-A'lam an-Nubala', 5/468, no. 213. 401bn Sa'ad, ath-Thabaqât al-Kubra, 1/246-247. 


Sanad pertama berakhir pada Nafi' bin Jubair yang wafat pada tahun 99 H. 

Sanad kedua berakhir pada 'Urwah bin az-Zubair yang lahir pada tahun 29 H. dan wafat pada tahun 93 H. 

Sanad ketiga berakhir pada Zaid bin Aslam yang wafat pada tahun 136 H.


Sanad keempat berakhir pada Sa'id bin al-Musayyab yang wafat pada tahun 95 H. dan pada 'Abdurrahman bin Abî Laila yang wafat pada tahun 82 atau 83 H.


Tentang riwayat hidup ‘Abdullah bin Zaid, adz-Dzahabî ber kata, "Sa'ad bin al-Musayyab dan 'Abdurrahman bin Abi Laila meriwayatkan hadis darinya, padahal mereka tidak bertemu dengannya.41


Hadis itu diriwayatkan juga dengan sanad sebagai berikut:


Mengabarkan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin al Walîd al-Azraq, mengabarkan kepada kami Muslim bin Khalid, menyampaikan kepadaku 'Abdurrahmân bin 'Umar dari Ibn Syahâb dari Sâlim bin 'Abdullah bin 'Umar dari ‘Abdullah bin ‘Umar: Rasulullah saw ingin membuat sesuatu untuk me ngumpulkan orang-orang ... Kemudian diperlihat mimpi (tentang azan) kepada seseorang dari kalangan Anshar. Orang itu bernama 'Abdullah bin Zaid. Mimpi itu diperlihatkan juga kepada 'Umar bin al-Khaththâb pada malam yang sama ... (hingga pada kalimat:) Maka pada azan subuh Bilâl menam bahkan kalimat ash-shalâtu khayrun minan nawm. Rasulullah saw pun menyetujuinya.


Dalam sanad hadis tersebut terdapat perawi-perawi sebagai berikut: a. Muslim bin Khâlid bin Qarqarah. Ia sering dipanggil dengan nama Ibn Jurhah.


Yahyâ bin Mu'în memandangnya sebagai perawi yang lemah. 'Ali bin al-Madini berkata, “Ia tidak meriwayatkan sebuah hadis pun." 


Al-Bukhârî berkata, "Ia meriwayatkan hadis-hadis munkar." 


41 Adz-Dzahabi, Siyar al-A'lam an-Nubalâ', 2/376, no. 79. Akan diketengah kan perinciannya kepada Anda pada pembahasan kedua. Kata ganti itu maksud nya adalah 'Abdurrahmân. Akan dijelaskan kepada Anda bahwa tidak mungkin Sa'id bin al-Musayaab meriwayatkan hadis dari 'Abdullâh bin Zaid.


An-Nasa'î berkata, “Ia bukan perawi yang kuat." 


Abû Hâtim berkata, “Ia bukan perawi yang kuat dan meri wayatkan hadis-hadis munkar. Hadisnya ditulis tetapi tidak untuk dijadikan hujjah. Hanya untuk diketahui lalu diingkari42 b. Muhammad bin Muslim bin 'Ubaidullah bin Abdullah bin Syahâb az-Zuhrî al-Madanî (51-123 H). 


Anas bin 'Iyâdh dari 'Ubaidullah bin 'Umar mengatakan, "Saya melihat az-Zuhrî diberi kitab, tetapi ia tidak membaca nya dan juga tidak dibacakan kepadanya. Lalu dia ditanya, “Kami meriwayatkan ini dari Anda." Ia menjawab, “Benar.” 


Ibrâhîm bin Abî Sufyan al-Qaisarânî dari al-Faryâbî berkata: Saya mendengar Sufyan ats-Tsawrî berkata, “Saya menemui az Zuhrî. Tetapi ia tak mau berbicara kepada saya. Maka saya katakan kepadanya, 'Kalau Anda menemui guru-guru kami, apakah mereka memperlakukan Anda seperti ini?' Ia menja wab, 'Seperti yang Anda alami.' Kemudian ia masuk ke dalam rumahnya, lalu keluar lagi membawakan sebuah kitab dan memberikannya kepada saya. Ia berkata, “Ambillah ini, lalu riwayatkanlah dari saya.' Tetapi saya tidak meriwayatkan dari nya satu huruf pun.943 5. Riwayat al-Baihaqî di dalam Sunan-nya. 


Al-Bayhaqî meriwayatkan hadis tentang mimpi mendengar azan itu dengan sanad-sanad yang semuanya tidak luput dari cacat. Saya akan mengemukakan kepada Anda kelemahan-kelemahan yang terdapat di dalam sanad-sanadnya.


Pertama, di dalam salah satu sanadnya terdapat nama Abû 'Umair bin Anas dari paman-pamannya kaum Anshar. Saya telah menjelaskan ihwal Abû 'Umair bin Anas. Tentang dirinya, Ibn ‘Abdil Barr berkata, “Ia perawi yang tidak dikenal dan tidak dapat dijadikan hujjah. Ia juga meriwayatkan hadis dari para perawi yang tidak dikenal."44 Yaitu dengan nama "paman-pamannya”. Tidak ada bukti yang menyebutkan bahwa mereka itu dari kalang an sahabat. Kalaupun kita asumsikan bahwa seluruh sahabat itu adil dan kita terima bahwa “paman-pamannya" itu dari kalangan mereka, teteapi hadis itu mawqüf shahabîyang tidak bisa dijadikan hujjah karena tidak diketahui apakah ia meriwayatkan hadis itu dari sahabat.


42Jamaluddin al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamal, 27/508, no. 5925. 43 Ibid., 26/439-440. 441bn Hajar, Tahdzib al-Tahdzib, 12/188, no. 768. 



Terima kasih kepada pengarang dan semua yang terlibat sehingga penerbitan ini berada dihadapan semua untuk dikongsikan di wadah ini, semoga ini menjadi sedekah dan pahala yang berterusan, selamat membaca sambungan ditautan selengkapnya : https://drive.google.com/file/d/0B_l0We7EQa4JaldBazROWTVnd2s/view

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

50 Pelajaran Akhlak Untuk Kehidupan

ilustrasi hiasan : akhlak-akhlak terpuji ada pada para nabi dan imam ma'sum, bila berkuasa mereka tidak menindas, memaafkan...