Minggu, 16 Desember 2018

Renungan Jum'at : Meraih Cinta Ilahi


ilustrasi hiasan:


Pengarang: Team Islam Quest


Al- Huda



PENGANTAR EDITOR


Kehidupan manusia sejak kecil adalah meniru orang-orang yang di sekitamya. Seorang anak akan menjadikan kedua orang-tuanya sebagai contoh pertama dalam dalam menjalani hidupnya. Apa yang dilakukan dan diajarkan orang-tua bagi seorang anak akan menjadi bekal dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Apabila orang-tuanya mengajarkan kehidupan dengan akhlak yang buruk, maka kehidupan selanjutnya (walaupun tidak selalu) bagi si anak akan dijalani dengan akhlak yang buruk pula. 

Namun, apabila orang-tuanya mengajarkan cinta dan kasih sayang pada anaknya, maka anaknya akan tumbuh pula dengan jiwa kasih sayangnya. Begitu pula dengan ajaran keimanan yang diberikan orang-tuanya, akan menjadikan kehidupan anak itu penuh dengan keimanan pula. Kekuatan iman yang telah tumbuh dalam dirinya selanjutnya akan tumbuh menciptakan dunia cinta. Seperti diriwayatkan dalam sebuah hadis dari Imam Ali, Rasulullah saw menjawab pertanyaan tentang berkasih sayang sesama mereka (orang-orang beriman) (QS. Al-Fath:29) dengan berkata, “Jiwa yang paling disayangi Allah adalah yang kukuh dalam agama, suci dalam iman, dan baik hati terhadap orang-orang beriman.” 

Menumbuhkan kekuatan keimanan sehingga berbuah akhlak yang mulia adalah adalah persoalan yang sulit. Salah satu cara untuk mendapatkan kemuliaan akhlak adalah dengan metode mencontoh seperti yang dilakukan oleh anak kecil itu. Cara lainnya adalah dengan memahami konsep tentang akhlak mulia dan menjalaninya. Agama Islam mengajarkan bahwa Nama-nama Allah (Asma-ul Husna) itu merupakan konsep tentang akhlak yang mulia. 

Adalah Laleh Bakhtiar, pakar Psikologi Konseling dari Institute for Traditional Psychoethics yang menulis sebuah buku Moral Healing through the Most Beatiful Names, yang isinya menyatakan bahwa kunci penyembuhan jiwa secara moral bagi pesuluk (pejalan ruhani) adalah dengan mengaktulisasikan Asma-ul Husna. Setidaknya ada dua ayat al-Quran yang memerintahkan kita untuk berakhlak dengan Asma-ul Husna ini. Dua ayat al-Quran itu adalah surat al-A’raf ayat 180 dan surat Thâhâ ayat 8, yang berbunyi, Hanya milik Allah Asma-ul Husna maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma-ul Husna itu, dan, Dia mempunyai Asma-ul Husna. Dua ayat itu dengan jelas memerintahkan manusia untuk meneladani Asma-ul Husna agar dapat menyempurnakan jiwanya untuk dapat meraih cinta Ilahi. 

Perjalanan meraih cinta Ilahi tidaklah mudah. Berbagai perjuangan batin harus dilaluinya untuk mendapatkannya. Karena dengan ‘jiwa’ ini manusia dapat menjalankan hidupnya sesuai dengan kehendak bebasnya; manusia dapat bertindak adil dan terpuji atau buruk dan merusak. Dalam hal ini, perjuangan manusia untuk memilih tindakan adil dan terpuji sehingga berbuah akhlak mulia merupakan tindakan yang penuh perjuangan dan penderitaan. Memang bukan hal mudah untuk melawan godaan hawa nafsu yang menjauhkannya dari sifat kesempurnaan (baca:yang sesuai dengan Asma-ul Husna). 

Untuk meraih sifat kesempurnaan itu, kita terlebih dahulu harus mengenal apa yang disebut dengan ‘jiwa’, sehingga kita dapat mengarahkan jiwa menuju kesempurnaan. Jiwa pada prinsipnya berbeda dengan tubuh dan ia berdiri sendiri. Jiwa itu baru atau tidak bersifat kadim. Untuk mengetahui, mempelajari, dan memahami jiwa hanya dapat dilakukan secara tidak langsung melalui daya nalar kognitif atau persepsi mental, dengan mengamati kegiatan yang berasal dari jiwa tersebut. Jiwa terjelma dalam keadaan yang terus-menerus berubah, sehingga perlu dipusatkan agar sifatnya dapat disempurnakan. 

Pada dasarnya jiwa mempunyai fungsi untuk menangkap hal-hal yang bersifat imaterial dengan esensinya sendiri dan mengatur serta mengendalikan tubuh fisik dengan menggunakan fakultas dan organ. Jiwa bukanlah tubuh, tidak bersifat fisik, dan tidak dapt ditangkap oleh indra. Jiwa mencakup jiwa nabati (fakultas nutritif, fakultas augmentatif, dan fakultas yang mengalami pertumbuhan san kehancuran), jiwa hewani (fakultas persepsi san motivasi), san jiwa manusiawi, yang mengandung empat aspek utama: ruh (rûh), hati (qalb), akal (‘aql), dan hawa nafsu atau aspek irasional jiwa. 

Dalam hati inilah terdapat ruh yang tak memiliki jumlah, kuantitas, atau ukuran. Ruh adalah sumber dari Asma-ul Husna yang akan diberikan kepada hati, agar hati dapat menjalani kehidupan, mendapatkan pengetahuan, dan kemampuan kognitif. Hal ini merupakan berkah bagi hati, karena sebagai pusat kesadaran tentang Allah, hati dapat mengantarkan jiwa menuju kesempurnaan. Hati disebut qalb yang berarti ‘berbolak-balik’. Pada kenyataannya hati memang senantiasa berbolak-balik antara dua dunia —material dan spiritual. 

Menjaga hati agar terus dalam kondisi menuju kesempumaan jiwa memang tidak mudah. Menurut Imam Ghazali, sebagaimana dikutip Laleh, ada tiga cara agar manusia dapat memperoleh pengetahuan jiwa. Pertama, pengetahuan tentang makna Asma-ul Husna sebagai ayat-ayat Allah di ufuk dan di dalam jiwa dapat melalui penyaksian dan penyingkapan. Kedua, dengan memuliakan dan menghormati sifat-sifat ini, yang ingin dimiliki pesuluk agar ia bertambah dekat dengan-Nya dalam arti kualitas bukan tempat. Sedangkan yang ketiga adalah dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah, pesuluk mengosongkan diri dari semua hasrat kecuali untuk Allah. 

Dengan mengaktulisasikan Asma-ul Husna ini, maka manusia dapat menyucikan hatinya, sehingga Cahaya fitrah yang terkandung dalam dirinya dapat mewujud. Melalui bimbingan Cahaya fitrah ini, maka hati akan mengikuti akal budi menuju nilai spiritual, dan menjauhi hawa nafsu dan dunia materi. Wujud dari bimbingan Cahaya fitrah itu adalah seorang pesuluk dapat mengaplikasi Asma-ul Husna dalam pergaulannya di masyarakat dengan mempunyai akhlak yang mulia dan terpuji. 

Dengan terhujam dan menyatu Asma-ul Husna dalam dirinya, maka seorang pesuluk akan menjelmakannya menjadi kepatutan moral seorang yang saleh dan cerdas. Ia akan mengenali tujuan hidupnya adalah untuk menyempurnakan dirinya. Tanpa moralitas, tak akan ada kesempurnaan. Tanpa disiplin diri tak akan ada moralitas. Dalam kesehariannya seorang pesuluk akan bersifat penyantun, tidak tergesa-gesa menghakimi sesama. Kepatutan moral menyebabkan ia merenungkan apa yang dianggapnya agung mengenai dirinya, dan menjauhi dirinya dari hal yang dapat menuntun dirinya kepada kesombongan, keangkuhan, dan takabur kepada sesama. 

Seorang pesuluk akan memperkuat imannya sebagai ahli tauhid yang saleh dan cerdas, dan ia dapat menjadi penutup kesalahan orang lain dan bersyukur kepada Allah atas berkahnya. Ia akan menjalankan sifat kedermawanan terhadap sesama demi Allah semata. Dalam kehidupannya, seorang pesuluk adalah pengemban amanat Allah untuk alam semesta. Ia menjadi kuat dan kukuh dalam mengalahkan musuh dan menjadi teman untuk ‘teman-teman’ (baca:pengikut) Allah. Dalam ibadahnya ia menjadi yang paling awal, dan yang terakhir dalam menegur kesalahan sesamanya dengan terlebih- dahulu menegur kesalahan dirinya. 

Pada puncak ruhaninya, seorang pesuluk akan menjelmakan dalam kehidupannya, yakni pengetahuan, perasaan dan perilakunya sebagai Cahaya Allah. Sehingga seorang pesuluk merupakan petunjuk bagi sesama, dan selalu menyibukkan dirinya dengan amal-amal saleh dengan penuh kesabaran. Akhlak mulia dan terpuji itu merupakan buah dari proses riyadhah (penyucian diri) yang dilakukan seorang pesuluk dalam meraih cinta Ilahi. 

Buku Renungan Jumat: Meraih Cinta Ilahi yang sedang Anda baca ini memaparkan bahwa dalam meraih cinta Ilahi itu tidaklah mudah. Buku ini banyak menjelaskan mengenai bagaimana kita dapat beriman kepada Allah dan menumbuhkan cinta kepada-Nya sehingga berbuah akhlak yang mulia sebagaimana tercermin dalam Asma-ul Husna-Nya. Berbagai pengertian yang sering terdapat dalam istilah akhlak juga dijelaskan dalam buku ini seperti taubat, itsar, qalb, hawa nafsu, zikir, dan lain-lain dengan penjelasan yang mudah dipahami. Buku ini merupakan buku kedua dari kumpulan tulisan Buletin Jumat yang diterbitkan oleh Islamic Culture Centre melalui divisi penerbitannya Al-Huda. Adapun buku pertamanya adalah Renungan Jumat: Penyuluh Akhlaqul Karimah, yang telah mendapat sambutan baik dari pembaca. 

Penerbitan buku ini didukung oleh tim redaksi Buletin Jumat yakni Ahmad Subandi, Arif Mulyadi, Ali Alatas, Andito, dan Irman Abdurrahman. Namun demikian, seluruh tulisan ini merupakan tanggung jawab saya selaku editor dan penanggung jawab Buletin Jumat. Begitu pula dengan Ahmad Rivai yang mengerjakan proses produksinya. Tak lupa saya haturkan terima kasih kepada seluruh staf Al-Huda yang dengan caranya masing-masing telah membantu penerbitan buku ini. Terakhir buku ini saya persembahkan kepada anak saya, Dewi Nadya Maharani, yang menjadi penguat hati saya dalam menjalani kehidupan yang kadang penuh dengan cobaan. 

Semoga pembaca dapat mengambil hikmah dari karya sederhana ini, yang merupakan sumbangan al-Faqir bagi perkembangan dakwah Islam. Semoga pula Allah meridhai apa-apa yang menjadi amal saleh kita dalam kehidupan sehari-hari. Amien. 

Depok, Sya’ban 1424 H/Oktober 2003 M 

Rudhy Suharto 



BAB I : MENJALANI HIDUP DENGAN IMAN


Menjalani Hidup dengan Iman


Dalam diri manusia hal yang paling penting dalam hidupnya adalah masalah keimanan. Karena keimanan inilah yang memberi manusia kepastian dalam menjalani kehidupannya. Kepastian ini berupa arah tujuan hidup manusia. Apabila manusia ingin dalam kehidupannya dijalani dengan baik maka ia harus dilandasi dengan keimanan, sedangkan jika kehidupannya tanpa iman maka ia akan mengalami ketidakpastian hidup bahkan dapat terjerumus ke jurang kenistaan. 

Memang menjalani hidup dengan iman tak mudah, karena di sana terdapat ujian, halangan dan rintangan. Ada seorang sahabat Nabi saw yang bernama Bilal, ia adalah seorang budak yang masuk Islam. Ketika ia menerima hidayah iman, ia pun harus menerima berbagai siksaan. Namun ia tetap tabah dalam menjalaninya, sampai akhirnya ia dibebaskan oleh seorang sahabat Nabi saw, Abu Bakar, dari status budaknya. 

Bilal adalah orang yang tidak sekedar menjadikan Islam sebagai pengetahuan, tapi ia manusia yang beriman. Memang keimanan itu berbeda dengan pengetahuan. Dalam keimanan, kita akan diuji dengan berbagai cobaan bahkan terkadang nyawa menjadi taruhannya. Sedangkan pengetahuan hanya mensyaratkan kita hanya untuk memahaminya. Pengetahuan juga tak mensyaratkan untuk meyakini apa yang diketahuinya. Untuk lebih jelasnya, dapat diterangkan bahwa iman itu berbeda dari pengetahuan tentang Allah, Keesaan Wujud-Nya, dan Sifat-sifat-Nya yang lain –seperti sifat al-kamaliyyah (Kesempurnaan), al-jalaliyyah (Keagungan), atau sifat-sifat yang lain –pengetahuan tentang malaikat, Kitab-kitab Suci, dan Hari Akhir. Sehingga apabila seseorang memiliki pengetahuan tentang semua itu tidak lantas mukmin, karena mukmin tidaknya seseorang tergantung dari faktor keimanannya. 

Masalah pengetahuan itu tidak identik dengan keyakinan, misalnya ini terjadi pada Iblis. Iblis memiliki pengetahuan tentang semua itu lebih daripada manusia, tetapi ia tetap tidak beriman. Iman adalah kerinduan hati – suatu pengalaman batin, yang jika tidak sejati sifatnya tidak menjadi iman. Setiap orang yang telah memiliki pengetahuan tentang agama melalui argumen rasional harus tunduk kepada pengetahuan itu sepenuh hatinya, dengan seluruh totalitas eksistensinya dan segera memenuhi penggilan hatinya –yaitu, penyerahan sempurna kepada Allah, dengan kerendahan hati dan rasa takut, dan menerima seluruh tanggung jawabnya secara sungguh-sungguh tanpa pertanyaan. Hanya dengan demikianlah ia menjadi mukmin sempurna. 

Jika seorang yang menjadi mukmin, maka ia akan mencapai puncak iman yang ditandai dengan ciri-ciri kedamaian dan ketenangan batin. Ketika cahaya iman telah mantap, hatinya pun menjadi tenang dan mantap, dan ini adalah sesuatu yang tidak muncul dari pengetahuan. Pengetahuan hanya menjadikan manusia mempunyai pemahaman tentang sesuatu, namun jika ia tidak mengimaninya maka hal itu tidak akan banyak berpengaruh langsung dalam kehidupanya, seperti Iblis yang mengetahui Allah, tapi tidak mau mentaati perintah-Nya. 

Sebabnya, pengetahuan hanya merupakan proses akal bukan proses hati yang dapat menyentuh sisi-sisi kehidupan ruhani manusia. Dalam hal ini, mungkin saja akal mengakui sesuatu yang sesuai dengan aturan dan logikanya, namun hatinya bisa jadi tidak siap untuk bersepakat dengan akalnya dan dengan demikian pengetahuan tersebut menjadi sia-sia. Sebagai contoh, engkau tahu melalui akalnya bahwa seorang yang telah mati tidak dapat membahayakan dirimu dan bahwa semua orang mati di dunia ini tidak memiliki kekuatan untuk melakukan suatu perbuatan, meskipun itu hanya sekedar kekuatan seekor lalat, dan bahwa semua daya jasmaniah dan ruhaniah terlepas segera setelah seseorang mati. Tetapi karena hatimu tidak menerimanya dan tidak menyetujui penilaian akal, engkau tidak berani melewatkan malam dengan sebuah tubuh yang telah mati. Tetapi jika hatimu bersepakat dengan akal, tugas tersebut tidak akan menjadi sulit lagi bagimu. Setelah melakukan beberapa usaha, hati setuju dengan akal, dan dalam hatimu tidak ada lagi rasa takut terhadap orang mati. 

Jadi, ada satu fakultas dalam diri manusia yang menentukan tingkat keimanan seseorang yakni hati. Hati inilah tempat bernaungannya dimensi keimanan itu, sedangkan akal tempat bersemayamnya pemahaman. Dengan hati manusia menjadi insan perasa yang dapat merasakan keimanan dengan manis, dengan akal manusia dapat memahami sesuatu dengan terpuaskan. Dua fakultas inilah yang akan menentukan perilaku kehidupan manusia. Jika manusia ingin beriman gunakanlah hati, jika manusia ingin paham gunakanlah akal. 

Karena itu, jelas bahwa ketundukan yang merupakan perbuatan hati berbeda sama sekali dari pengetahuan yang merupakan perbuatan akal. Mungkin saja seseorang dapat membuktikan kebenaran Keesaan Wujud Allah, Hari Akhir, dan keimanan-keimanan lainnya secara logis. Namun, hal itu tidak lantas dapat dianggap sebagai iman, dan orang tersebut tidak dapat dianggap sebagai mukmin; dapat saja ia tergolong kafir, munafik atau musyrik. 

Maka dengan hati itulah keimanan terpatri, yang akan melahirkan nilai-nilai ruhaniah yang membumbung dengan melintasi dimensi raga. Sedangkan jika hati tertutup, maka saat itulah diri kita tertutup, dan kita tidak memiliki pandangan ilahiah. 

Demikian pula mata lahiriah kita tidak mampu mencerap-Nya; dan ketika yang tersembunyi disingkapkan dan kerajaan surga ditampakkan, karena hatinya terhalangi dari-Nya maka engkau bukanlah seorang yang memiliki iman sejati terhadap Allah dan penilaian rasionalmu tidak sejalan dengan imanmu. 

Selanjutnya, sebelum kalimat la ilaha ila Allah (tidak ada tuhan selain Allah) tertulis dalam kitab hati dengan pena akal, manusia bukanlah seorang mukmin sejati terhadap Keesaan Allah. Ketika ajaran suci itu digoreskan pada hati, dengan sendirinya hati menjadi tempat kerajaan Yang Mahakuasa. Hanya setelah itulah manusia tidak lagi melihat sesuatu yang lain sebagai suatu wujud yang berpengaruh dalam wilayah kebenaran. Ia tidak lagi mengharapkan kedudukan apa pun, atau kelebihan dalam harta dari yang lain. Ia tidak lagi mengejar kemasyhuran dan kehormatan dengan bantuan orang lain, dan hatinya tidak menjadi munafik dan bersifat keduniawian. 

Sifat-sifat keduniawian merupakan penghalang manusia menuju keimanan sejati. Keduniawian ini seringkali akan melahirkan sifat riya’ yang akan merusak kesucian hati. Karena itu, jika melihat riya’ menyelinap ke dalam hati kita, sadarilah bahwa hati kita belum sepenuhnya menunclukkan dirinya kepada akal, dan keimanan belum mencerahkan hati kita. Keimanan mensyaratkan untuk meyakini la ilaha ila Allah, karena jika engkau menganggap makhluk lain sebagai tuhan, memandangnya sebagai salah satu penyebab terjadinya peristiwa di dunia ini, dan kau tidak mempercayai-Nya sebagai satu-satunya Allah, maka itu berarti engkau telah bergabung dengan kelompok orang-orang munafik dan syirik. 

Menjadi kelompok orang munafik dan syirik membuat diri kita termasuk dalam golongan ahli neraka. Jika itu terjadi, kita termasuk manusia yang tidak merasakan nikmatnya keimanan itu. Sebab, hidup dalam iman merupakan kenikmatan dan keberuntungan jiwa. Semua kerusakan moral dan perilaku terjadi akibat ketiadaan iman di dalam hati. Sungguh jika ini terjadi dalam diri kita, maka merugilah kehidupan kita selama di dunia ini. 


Menumbuhkan Iman dengan Cinta


Untuk mencapai tatanan kehidupan yang baik di dalam masyarakat haruslah didasarkan atas cinta. Cinta akan memberi kehangatan dalam pergaulan dan kepercayaan. Tanpa landasan cinta maka kehidupan di masyarakat akan timbul sikap saling curiga dan iri. Kalau masyarakat terikat oleh cinta maka mereka akan serasi dan tak akan terjadi konflik. Karena jika manusia mencintai sesama manusia lainnya maka ia akan menghendaki bagi orang lain apa yang dikehendaki bagi dirinya sendiri. Hal itu tak akan terwujud dalam keadaan saling percaya atau tolong menolong, kecuali di antara orang-orang yang saling mencintai. Apabila orang bekerja sama dan dipersatukan oleh cinta, maka mereka akan memperoleh apa yang mereka inginkan dan takkan gagal mencapai apa yang mereka cari, betapapun sulitnya 

Cinta dan kehendak merupakan dasar dari setiap perbuatan, maka cinta juga merupakan dasar bagi agama. Sebab, sesungguhnya agama mencakup perbuatan lahir dan batin. Agama adalah ketaatan, ibadah dan perilaku. Agama adalah ketaatan yang harus dilakukan secara kontinyu sehingga menjelma menjadi sebuah perilaku dan kebiasaan. 

Oleh karena itu, perilaku diartikan sebagai agama sebagaimana tercantum dalam firman Allah, 

Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang luhur (QS. al-Qalam:4). 

Aisyah pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah saw, ia mengatakan,“Akhlak beliau adalah al-Quran.” 

Agama mengandung makna merendahkan diri dan paksaan, di samping mengandung makna ketundukkan dan ketaatan. Agama itu merupakan Duntullâha wa duntu lillâhi, wa fulânun lâ yadînullâha dînan, walâ yadînullâ bidînin. Kata Dânallâh artinya taat, cinta dan takut kepada Allah, sedangkan kata Dâna lillâh artinya khusyuk, tunduk, merendahkan diri kepada-Nya. Agama yang bersifat baik adalah yang mengandung cinta dan merendahkan diri. Hal ini berbeda dengan agama yang hanya bersifat zahir, sebab ia tidak mengharuskan adanya kecintaan meskipun boleh jadi ada sikap kepatuhan. 

Agama seseorang yang dilakukan karena Allah akan diterima jika didasarkan kepada kecintaan dan keridhaan-Nya, sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Akan merasakan manisnya iman seseorang yang rela Allah menjadi Tuhannya, Islam menjadi agama, Muhammad saw menjadi utusan-Nya.” Agama Islam berdiri di atas dasar kecintaan, karena cinta agama ini disyariatkan dan di atas cinta pula ia dibangun. 

Agama Islam menganjurkan lebih banyak shalat berjamaah daripada shalat sendiri-sendiri. Ini dimaksudkan agar sifat bersahabat dalam diri manusia dapat mereka nikmati dan sifat ini melahirkan rasa cinta yang memang telah ada dalam diri mereka dalam bentuk potensi. Dengan demikiran persahabatan manusia akan menjadi aktual dan akan diperkuat dengan kepercayaan-kepercayaan yang benar dan mempersatukan mereka. 

Demikian pula dalam shalat Id manusia berkumpul untuk ibadah di tanah lapang. Hal ini dimaksudkan agar mereka dapat tertampung sehingga mereka bisa saling bertemu dan meningkatkan persahabatan yang diliputi rasa cinta yang mempersatukan mereka. Nabi saw juga mewajibkan paling tidak sekali seumur hidup kaum Muslimin berkumpul di kota Mekkah. Maka manusia dari berbagai negara yang saling berjauhan dapat berkumpul sebagaimana masyarakat sebuah kota, dan dapat mencapai cinta, masyarakat yang baik dan bahagia. 

Cinta merupakan suatu jenis yang dibawahnya terdapat beberapa macam cinta yang beraneka ragam dalam kadar dan sifatnya. Cinta yang paling banyak dibicarakan adalah cinta kepada Allah yang merupakan cinta sejati. Ini diwujudkan dalam bentuk beribadah, bertaubat, dan lain sebagainya. Ibadah dan taubat tidaklah pantas diserahkan kecuali hanya kepada Allah saja. Cinta yang mutlak telah disebutkan Allah dalam firman-Nya, 

Kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah cinta dan mereka pun mencintai-Nya. (QS. al-Ma’idah:54) 

Ibadah kepada Allah, dalam arti hakikinya, yakni gairah cinta dan semangat ketundukan dan khidmat di jalan Allah, kehadiran-Nya abadi dalam pikiran dan ingatan-Nya, arti kepuasan dan kebahagiaan ada dalam cinta dan ibadah kepada-Nya. Ia sama sekali tidak sejalan dengan cinta-diri, sikap hedonis, dan yang ditawan oleh kegelamoran dan daya tarik benda-benda materi. 

Satu-satunya, cinta yang tak diwarnai agitasi dan takkan tergoyahkan oleh bencana apa pun adalah cinta seorang hamba terhadap penciptanya. Cinta agung ini nanya dimiliki orang yang memiliki pengetahuan tentang Tuhan. Orang lain tidak bisa memilikinya. Bagaimana mungkin seseorang dapat mencintai Tuhan kalau dia tak tahu. Mereka yang mengaku memiliki jenis cinta kepada Allah ini sangat banyak. Akan tetapi sedikit sekali orang yang memang memiliki cinta Ilahi. Sebab, cinta serupa ini sangat berkaitan erat dengan dengan ketaatan clan pengagungan. 

Cinta kepada Allah ini adalah perkara yang paling tinggi sekali clan itulah tujuan kita yang terakhir. Kesempumaan manusia itu terletak dalam Cinta kepada Allah ini. Cinta kepada Allah ini hendaklah menakluki dan menguasai hati manusia itu seluruhnya. Kalau pun tidak dapat seluruhnya, maka sekurang-kurangnya cinta kepada Allah melebihi cinta kepada yang lain. 

Sebenarnya mengetahui Cinta Ilahi ini bukanlah satu perkara yang ringan. Sehingga ada satu golongan orang bijak pandai agama yang langsung menafikan cinta kepada Allah atau Cinta Ilahi itu. Mereka tidak percaya manusia boleh Mencintai Allah karena Allah itu bukanlah sejenis dengan manusia. Kata mereka; maksud Cinta Ilahi itu adalah semata-mata tunduk dan patuh kepada Allah saja. Sebenamya mereka yang berpendapat demikian itu adalah orang yang tidak tahu apakah hakikatnya agama itu. Semua orang Islam setuju bahwa cinta kepada Allah itu adalah satu tugas. Allah berfirman berkenaan dengan orang-orang mukmin, Allah Cinta kepada mereka dan mereka Cinta kepada Allah. 

Begitu pula dalam sebuah hadis Nabi pernah bersabda, “Belum sempurna iman seseorang itu hingga ia mencintai Allah dan Rasulnya lebih daripada yang lain.” Apabila malaikat maut datang hendak mengambil nyawa Nabi Ibrahim, Nabi Ibrahim berkata, “Pernahkah engkau melihat sahabat mengambil nyawa sahabat?” Allah berfirman, “Pernahkah engkau melihat sahabat tidak mau melihat sahabatnya?” Kemudian Nabi Ibrahim berkata, “Wahai Izrail! Ambillah nyawaku!” Doa ini diajarkan Nabi kepada sahabatnya; “Ya Allah, karuniakanlah kepada ku Cinta terhadap-Mu dan Cinta kepada mereka yang Mencintai-Mu, dan apa saja yang membawa aku hampir kepada Cinta-Mu, dan jadikanlah Cinta-Mu itu lebih berharga kepadaku dari air sejuk kepada orang yang dahaga.” 

Karakteristik cinta dan ibadah kepada Allah itu berkenaan dengan hati. Orang yang cinta kepada Ilahi hatinya dipenuhi dengan cinta, khususnya cinta akan watak spiritual, semisal nilai-nilai kemanusiaan, atau agama dan keyakinannya. Ia akan terbakar dengan cahaya cinta Tuhan ataupun menerima suatu pencerahan atau inspirasi dari-Nya. Syarat penting untuk penerimaan karunia Ilahi dan realisasi kemanusiaan yang autentik adalah membersihkan kuil hatinya dari setiap noda keterikatan materialistik dan membunuh semua berhala emas dan perak serta menghancurkannya di Kabah hati. 


Derajat Tawakal Seorang Hamba


Dan orang yang bertawakal kepada Allah, maka sesungguhnya Allah akan mencukupkan keperluannya. (QS.ath-Thalaq:3) 

Imam Ali berkata, “Ada beberapa derajat tawakal kepada Allah. Salah satunya adalah kau menyerahkan segala urusanmu kepada Allah, dan kau ridha dengan apapun yang dilakukan-Nya kepadamu, kau mengetahui dengan pasti bahwa ia tidak berhenti memberikan kebaikan dan nikmat-Nya kepadamu, dan kau mengetahui bahwa segala hukum atau perintah di dalamnya adalah milik-Nya. Maka bertawakallah, letakkanlah kepercayaanmu kepada Allah, serahkan kepada-Nya, dan bersandarlah kepada-Nya dalam hal itu, dan hal-hal lain.” 

Tawakal secara harfiah berarti pengakuan ketakmampuan seseorang dan penyandaran pada seseorang selain dirinya. Dalam kajian tasawuf, tawakal memiliki beberapa derajat sesuai dengan maqam hamba Allah Swt. Khwajah ‘Abdullah al-Anshari dalam Manazil al-Sairin, mendefinisikan tawakal sebagai mempercayakan atau menyerahkan seluruh masalah kepada Sang Penguasa dan bersandar kepada kemampuan-Nya dalam menangani masalah-masalah itu. 

Beberapa arif berkata, “Tawakal berarti menundukkan badan (seperti dalam sujud) dalam ibadah dan mengikatkan hati kepada Rububiyyah-Nya (Allah sebagai Rabb, penguasa).” Ini berarti menggunakan kekuatan-kekuatan tubuh seseorang untuk mengabdi kepada Allah Swt dan tidak turut campur dalam urusan-urusan (hati), dan menyerahkannya kepada Allah Swt.” Beberapa arif lain berkata, “Tawakal kepada Allah berarti seseorang hamba memutuskan segala pengharapan dari makhluk (dan mengikatkan hanya kepada Allah).” 

Makna-makna di atas berkaitan. Namun yang perlu dikatakan di sini adalah bahwa tawakal memiliki beragam derajat sesuai dengan maqam sang hamba. 
Tawakal Lisan


Pengetahuan manusia tentang Rububiyyah Allah Swt amat beragam. Sebagian orang memandang Allah Swt sebagai Pencipta esensi segala sesuatu tetapi mereka tidak mempercayai bahwa ia memiliki kekuatan yang menentukan atas segala sesuatu. Keimanan dan tauhid kelompok manusia ini, yang di dalamnya kita juga termasuk, tidak sempurna. 

Kelompok manusia dengan keimanan seperti ini, dalam menyelesaikan seluruh urusan dunianya, mereka tidak bersandar kepada apapun dan hanya memperhitungkan sebab-sebab lahiriah dan faktor-faktor material saja. Jika sesekali mereka mengarahkan perhatiannya kepada Allah dan memohon sesuatu dari-Nya maka itu adalah karena taqlid saja. Atau mengharapkan sesuatu dari-Nya, karena mereka bukan saja melihat tidak adanya keburukan dalam hal itu, tetapi juga melihat kemungkinan memperoleh keuntungan darinya. Dengan demikian, ada sedikit kesan tawakal di sini, meskipun ketika mereka memandang faktor-faktor dan sebab, sebab lahiriah lebih tepat untuk suatu masalah, mereka lalu melupakan Allah Swt sepenuhnya. 

Ketidakmampuan melihat Rububiyyah Allah dan Allah sebagai sebab efektif (tasharruf) dari segalanya, dan melihat sebab-sebab material sebagai independen adalah bertentangan dengan tawakal. Mereka berharap dapat mencapai derajat tawakal hanya dengan sekedar berucap “Allah Mahatinggi” atau “Aku bertawakal kepada Allah.” Namun, dalam persoalan duniawi, mereka menyatakan, “Kerja dan usaha tidak bertentangan dengan tawakal kepada Allah dan berserah diri kepada kemurahan-Nya.” Jelas ini menyembunyikan nafsu dirinya dan setan. Pengakuannya hanyalah ucapan-ucapan kosong dan gerakan-gerakan mulut tanpa makna saja. 

Ini bukanlah tawakal kepada Allah Swt, baik dalam urusan dunia maupun ukhrawi. Tetapi karena mereka memandang urusan-urusan duniawi sebagai lebih penting, mereka menyandarkan dirinya pada sebab-sebab material, dan bukan kepada Allah Swt. 
Tawakal Akal


Kelompok ini adalah mereka yang, setelah diyakinkan oleh akal ataupun wahyu, membenarkan pandangan bahwa Allah adalah satu-satunya pemutus perkara, sebab dari seluruh sebab, memiliki kekuasaan yang menentukan dalam keseluruhan alam wujud. Mereka mampu memberikan bukti-bukti rasional untuk membenarkan tawakal. Mereka juga meneguhkan keyakinan rasional bahwa Ia dalam Zat-nya tidaklah kikir, Cinta dan Kasih-Nya bagi hamba-hamba-Nya, Ia tidak membiarkan seorang hamba tanpa memperoleh apa yang baik bagi mereka, bahkan jika mereka sendiri tak mampu membedakan atau menentukan apa yang baik dan buruk bagi mereka. 

Meskipun masuk kelompok mutawakkil (kelompok yang bertawakal) pada tingkat pengetahuan rasional, mereka belum mencapai tingkat iman. Kepercayaan mereka masih terguncang jika berhadapan dengan urusan-urusan kehidupan. Ada konflik antara akal dengan hati mereka. Akal dikuasai oleh hati yang masih mempercayai sebab-sebab material dan bukan kekuasaan dan tasharruf Allah Swt. 
Tawakal Hati


Selain kedua kelompok itu, ada kelompok ketiga. Kelompok ini meyakini kekuasaan Allah Swt sampai ke relung hati mereka. Mereka inilah yang telah mencapai maqam tawakal. Tetapi orang-orang yang termasuk kelompok ini pun berbeda satu dari yang lainnya dalam hal tingkat keimanan. Tingkat tertinggi adalah rasa puas atau berkecukupan. Hati mereka tidak terpengaruh oleh segala sebab, dan terikat kepada rububiyyah Allah. Kepada-Nya mereka bersandar dan dengan-Nya mereka merasa cukup. Inilah tawakal yang dalam kata-kata para arif didefinisikan sebagai ‘melepaskan tubuh dalam ibadah kepada Allah dan mengikatkan hati kepada rububiyyah-Nya.” 

Maqam tawakal, ridha, taslim, dan maqam-maqam lainnya dicapai secara bertahap. Pada mulanya, pejalan ruhani (salik) mungkin melakukan tawakal dalam beberapa urusannya dan dalam hubungannya dengan sebab-sebab yang tersembunyi dan tidak teramati. Lalu secara bertahap, tawakalnya makin meluas, dari sebab-sebab batiniah yang tersembunyi kepada sebab-sebab lahiriah yang tampak, dan dari urusan-urusan orang yang dekat dengannya. Sesuai dengan itu, disebutkan dalam hadis, “Salah satu derajat tawakal adalah berserah diri kepada Allah dalam segala urusanmu.” 

Sesungguhnya, maqam ridha lebih tinggi dan bercahaya. Mutawakil mencari kebaikan dan keuntungan bagi dirinya sendiri, dan mempercayai seluruh urusannya kepada Allah Swt yang dipandangnya sebagai pemberi kebaikan. Sedangkan radhi (yang mencapai maqam ridha) adalah orang yang telah meleburkan kehendaknya dalam Kehendak Allah, dan tidak memiliki lagi kehendak dirinya sendiri. Ketika seorang salik ditanya, “Apakah kehendakmu?” Ia menjawab, “Kehendakku adalah tidak memiliki kehendak.” Yang dimaksudkannya adalah maqam ridha. 

Lebih jauh, tawakal tidak tercapai kecuali setelah hadirnya salah satu penyebabnya, yaitu urusan yang untuk penyelesaiannya seorang hamba berserah diri kepada Allah Swt. Salah satu contohnya adalah tawakal Rasulullah saw dan para sahabatnya dalam menghadapi ancaman kaum musyrik ketika mereka diberitahu; Kepada mereka dikatakan, 

Sesungguhnya orang-orang yang telah berkumpul untuk melawan kalian, karena itu takutlah kepada mereka. Tetapi hal ini justru meningkatkan iman mereka, dan mereka berkata, ‘Cukuplah Allah bagi kami, dan sungguh Ia adalah sebaik-baik pengatur segala urusan.’ (QS. al-Imrân:173) 

Namun, seringkali tawakal adalah pendahulu dari sebab yang dirujuknya, sebagaimana tampak pada doa Rasulullah saw, “Ya Allah, aku serahkan diriku kepada-Mu; aku mencari perlindungan kepada-Mu; dan aku serahkan segala urusanku kepada-Mu.” 


Ibadah dan Perjalanan Ruhani


Manusia dalam hidupnya berusaha untuk mencari nilai-nilai kesempurnaan. Ia bersedia mengorbankan apa saja demi tujuannya itu. Seorang yang berpandangan materialistis akan melihat banyaknya kekayaan merupakan jalan menuju kebahagiaan dan kesempumaan. Manusia yang haus akan kekuasaan akan berusaha dengan segala cara untuk merebutnya. Begitulah perilaku dan tabiat manusia yang jiwanya dipenuhi bayang-bayang dunia materi yaitu uang dan kekuasaan. 

Padahal sebagai manusia, yang mempunyai dimensi ruhani di samping materi, tidak seharusnyalah ia menomorsatukan hal-hal yang bersifat materi. Seharusnya ia melihat bahwa tujuan kesempurnaan hidup manusia adalah menghadap yang menciptakaannya. Jika manusia sadar akan hakikat dari kemanusiaannya, tentu ia tidak akan menyia-nyiakan waktunya untuk berbuat yang berlebihan terhadap kebutuhan duniawi. Manusia tersebut tentu akan berusaha untuk beribadah kepada yang menciptakannya, yaitu Allah dengan penuh suka cita. 

Ibadah kepada Allah merupakan satu bentuk penolakan terhadap segala sesuatu yang lain sebagai objek sesembahan dan pemujaan selain Allah. Hal ini merupakan salah satu ajaran penting dari Tuhan yang selalu disampaikan melalui ajaran-ajaran para nabi. Dalam Islam, ibadah kepada Allah menempati kedudukan yang amat luhur, dan tidak dianggap sebagai serangkaian ritual kebaktian semata yang terpisah dari kehidupan sehari-hari dan hanya terkait dengan dunia lain. Ibadah dalam Islam ditempatkan dalam konteks kehidupan dan merupakan suatu bagian yang tak terpisahkan dari filsafat kehidupan Islam. 

Menurut Islam, setiap amal baik dan bermanfaat jika ditunaikan dengan niat tulus mencari ridha Allah dipandang sebagai ibadah. Oleh karenanya, belajar, menuntut ilmu, dan mencari nafkah dan pelayanan sosial, jika dilakukan karena Allah, merupakan laku-laku ibadah. Di sisi lain, Islam menetapkan aturan-aturan ritual dan tindakan-tindakan formal ibadah seperti shalat, puasa dan lain-lain, yang memiliki filsafat tertentu bagi yang menjalankannya. 

Misalnya, shalat merupakan ekspresi total dari ketundukan dan penyerahan diri kepada Allah. Shalat telah diatur sedemikian sehingga seorang manusia yang ingin shalat di sudut sendirian pun dipaksa untuk menjalankan hal tertentu yang relevan secara sosial dan moral, seperti kesucian, menghargai hak-hak sesama, menjaga keteraturan, memiliki kepedulian akan waktu, mengendalikan emosi diri, dan ekspresi kehendak-baik dan kasih sayang kepada hamba-hamba Allah yang saleh. Inilah ekspresi sosial ibadah kepada Allah, yang dilakukan secara individual. Dalam kumpulan khutbahnya di Nahjul Balaghah, Imam Ali mengatakan, “Sesungguhnya shalat menggugurkan dosa-dosa seperti gugurnya daun-daun pepohonan, dan membebaskan kalian dari belenggu (dosa) yang mengitari lehermu. Nabi saw mengibaratkannya dengan sebuah sungai yang terletak di pintu rumah seseorang. Di dalamnya, orang bisa mandi lima kali sehari semalam. Maka adakah noda yang masih melekat padanya setelah melakukan lima kali mandi tersebut?” 

Pada kitab itu juga Imam Ali dalam berbagai khutbahnya mengungkapkan bagaimana keutamaan dan pengalaman ruhani dari orang yang beribadah kepada Allah dengan khusyu’ dan bersungguh-sungguh. Sehingga ibadah tersebut bukanlah sebuah rangkaian ritual kering dan tanpa makna. Gerakan-gerakan tubuh merupakan ibadah tubuh lahiriah, sementara jiwa dan maknanya adalah sesuatu yang lain. Ibadah baru bisa bernilai, hanya ketika dilimpahi dengan makna dan ruh. Ibadah sejati berarti melampaui alam tiga dimensi menuju cakrawala spiritual, yang merupakan alam kebahagiaan abadi dan sublimasi jiwa serta sumber energi dan kekuatan bagi hati, yang memiliki kepuasan-kepuasannya sendiri. 

Dalam Nahjul Balaghah juga diungkapkan tentang ciri-ciri orang yang takwa dan saleh serta menguraikan ciri-ciri ketakwaan mereka, perhatian dan kepuasan mereka akan ibadah, penyesalan dan kesedihan terus menerus atas dosa-dosa dan seringnya membaca al-Quran, pengalaman ekstatik mereka, dan keadaan yang mereka dapatkan selama mereka menjalankan ibadah-ibadah mereka dan perjuangan melawan kecenderungan diri bendawi mereka. Dan juga membahas peran ibadah dalam mengangkat jiwa manusia dari kegelapan dosa dan perbuatan-perbuatan jahat, dan sering menunjukkan pengaruh ibadah dalam menyembuhkan penyakit moral dan fisik. Ia juga membicarakan kebahagiaan murni, tidak dapat dilebihi, dan tulus dan ekstase para penempun jalan spiritual dan para penyembah Allah yang ikhlas. 

Para penempuh jalan spiritual itu, di malam hari, mereka merapatkan kaki, seraya membaca ayat-ayat al-Quran secara tertib, berhenti sejenak guna merenungkan makna-maknanya, merawankan hati mereka dengan bacaan tersebut serta membangkitkan penawar bagi segala yang mereka derita. Apa yang mereka dengar dari al-Quran seakan-akan mereka saksikan dengan mata kepala sendiri. Setiap kali menjumpai ayat pemberi harapan, tertariklah hati mereka mendambakannya, seakan surga telah berada di hadapan mata. Dan bila melewati ayat pembawa ancaman, mereka hadapkan seluruh “pendengaran” hati kepadanya, seakan desir neraka jahanam dan gelegaknya bersemayam dalam telinga mereka. Mereka senantiasa membungkukkan punggung, meletakkan dahi clan telapak tangan, merapatkan lutut clan ujung kaki dengan tanah, memohon beriba,iba kepada Allah agar dibebaskan dari murka-Nya. Adapun di siang hari, mereka orang-orang yang penuh kemurahan hati, berilmu, berbakti, dan bertakwa. 

Manusia seperti itu menjaga akalnya tetap hidup dan membunuh hawa nafsunya, sampai badannya kurus, dan menjadi ramping, kekeras kepalaan menjadi kelembutan hati. Kemudian suatu sinar, laksana petir, turun ke dalam hatinya dan menyinari jalan di hadapannya, membuka semua pintu, dan mengantarkannya ke jalan yang benar. Begitu pun kakinya, yang memikul tubuhnya, berada dalam posisi yang teguh dan kokoh menapaki jalan keselamatan (di atas shirâth) dan nyaman lantaran ia menjaga hatinya tetap sibuk dengan perbuatan-perbuatan baik dan memperoleh ridha Tuhannya. Al-Quran menyatakan, 

Wahai manusia, sesungguhnya kalian telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya. (QS al-Insyiqaq:6) 

Dalam ayat lainnya, al-Quran mengatakan, 

...Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar... (QS al-Ankabut:45) 

Di tempat lain, al-Quran mengatakan, 

...dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku. (QS Thâhâ:14) 

Inilah bukti bahwa orang yang shalat sesungguhnya mengingat Allah dan menyadari sepenuh hati bahwa Dia selalu mengamati dan mengawasinya, serta tidak melupakan bahwa dirinya sendiri adalah hamba-Nya. Mengingat Allah, yang merupakan tujuan ibadah, artinya menyinari hati dan sebagai sarana penyuciannya. Dengan mengingat Allah, orang menyiapkan hatinya untuk merenungi Cahaya Tuhan di dalamnya. Tentang mengingat Allah dan arti ibadah, Imam Ali mengatakan, “Sesungguhnya Allah, Yang Mahamulia, telah menjadikan ingatan kepada-Nya sebagai penerang hati, yang menjadikan mereka mendengar setelah tuli, melihat setelah buta, dan menjadikan mereka taat setelah berontak. Dalam setiap kurun waktu, ketika tidak ada para nabi, ada individu-individu tertentu yang kepadanya Dia berbicara secara perlahan-lahan melalui kesadaran dan akal mereka...” Kalimat-kalimat ini membicarakan pengaruh luar biasa dari zikrullah (mengingat Allah) pada hati, sampai ke tingkat menjadikannya mampu menerima ilham Ilahi dan mengakrabkannya dengan Tuhan. 


Dunia dalam Pandangan Cahaya Ilahi


Jalaluddin Rumi dalam aforisme sufistiknya menceritakan suatu hadis Nabi Muhammad saw yang berbunyi, “Seburuk-buruk ulama adalah ulama yang mengunjungi penguasa, dan sebaik-baiknya penguasa adalah penguasa yang mengunjungi ulama. Berbahagialah seorang penguasa yang berada di depan pintu orang miskin, dan celakalah orang miskin yang berada di depan gerbang penguasa!” 

Sekilas, hadis itu seakan bermakna bahwa tidak layak bagi seorang ulama mengunjungi pemerintah. Perbuatan seperti itu menjadikan seorang ulama menjadi ulama terburuk. Tapi hadis itu tidak bermakna sedemikian dangkal. Makna sebenamya dari hadis itu adalah bahwa seburuk-buruknya ulama adalah ulama yang menerima sokongan dari penguasa. Dia melakukannya karena ingin memperoleh penghidupan dari sang penguasa. Anugerah serta pemberian penghidupan dari seorang penguasa dijadikan tujuan utama kehidupan dan pencarian ilmunya. Dia ingin memuji penguasa dan berkata kepadanya dengan berbagai penghargaan yang tinggi. Ulama-ulama seperti itu akan membiasakan dirinya dengan berbagai tingkah laku yang akan disukai oleh setiap penguasa. Ulama- ulama buruk itu akan selalu menempatkan dirinya sebagai tamu dan selalu menganggap penguasa sebagai tuan rumah. 

Ulama seperti ini, dalam pandangan Islam mempunyai jenis hubungan antara dirinya dan dunia yang kokoh, yang hal ini akan mengikis kepribadiannya dan mengorbankan dirinya untuk nilai-nilai materi. Karena nilai seseorang dalam mengejar suatu sasaran lebih rendah ketimbang sasaran itu sendiri, yang dalam ungkapan al-Quran—jatuh dalam tingkatan asfal al-sâfilîn, dengan demikian menjadi makhluk yang paling celaka, cacat, dan terhina. Kemudian, ia akan kehilangan tidak hanya nilai mulianya namun juga jati diri kemanusiaannya. 

Pada sisi lain, seorang ulama yang telah mengenakan jubah keilmuannya, dia melakukan bukan demi seorang penguasa, melainkan, pertama dan paling utama, karena Allah. Ketika seorang ulama berperilaku dan berjalan sepanjang jalur kebenaran, sebagaimana yang semestinya dilakukan oleh seorang ularna clan tidak berperilaku untuk alasan lain, maka semua orang akan berdiri hormat terhadapnya. Semua orang merasa mendapatkan limpahan cahaya yang memantul darinya. Baik mereka sadar ataupun tidak. Segala perilaku ulama itu selalu diatur oleh nalar dan naluri kebaikan. Dia hanya bisa hidup dalam kebaikan, seperti ikan yang hanya dapat hidup dalam air. Apabila ulama seperti itu pergi ke seorang penguasa maka dialah yang bertindak sebagai tuan rumah dan penguasa sebagai tamu. Karena sang penguasa akan menerima bantuan darinya dan bergantung padanya. 

Ulama seperti itu jiwanya merdeka dan tidak terikat pada seorang penguasa. Dia akan selalu melimpahkan cahaya bagaikan matahari. Hidupnya semata-mata untuk memberi dan memberkahi. Matahari mengubah bebatuan biasa menjadi rubi dan permata carnelian. Matahari akan mengubah gunung, gunung di bumi menjadi tambang emas, tembaga, perak dan timah. Matahari membuat buni hijau dan segar, menghasilkan bermacam buah-buahan dan berbagai tanaman. Tugasnya hanyalah memberi dan membekali; dia tidak mengambil apa pun. Ada sebuah pepatah Arab yang berbunyi, “Kami telah belajar untuk memberi, tidak untuk mengambil.” Ulama seperti itu akan selalu menjadi tuan rumah dalam keadaan bagaimanapun. Dan penguasa akan selalu menjadi tamu mereka. 

Ulama-ulama yang seperti ini dalam memandang dunia tidaklah dengan hasrat memiliki tapi menjadi. Mereka menjadikan dunia ini merupakan tempat untuk memberikan kontribusi pikiran dan tenaganya untuk berbakti kepada Penciptanya, bukan berhasrat untuk menikmati dunia ini demi kesenangan dirinya semata. Baginya dunia dan benda-benda duniawi dikorbankan di altar kemanusiaannya dan digunakan untuk melayani manusia ketika ia menuntut kembali ideal-ideal luhurnya. Itulah mengapa dikatakan dalam sebuah hadis qudsi, “Wahai putra Adam! Telah Aku ciptakan segala sesuatu demi kebutuhanmu, tapi Aku ciptakan engkau untuk Diri-Ku sendiri.” 

Pandangan Islam menyangkut hubungan manusia dengan dunia adalah bahwa hasrat memiliki dunia dapat tumbuh sampai ke tingkat yang menjadi bencana dan kesulitan pada jiwa manusia. Jiwa manusia akan terbelengu dan terikat oleh dunia. Dalam hal ini, Islam telah melakukan sebuah perjuangan yang tak kenal menyerah yang menganggap dunia sebagai tercela. Dalam nilai-nilai Islam, dunia yang ditolak adalah dunia yang menjadi tujuan dan sasaran dan bukan sebagai suatu jalan atau sarana. 

Jika dunia telah menjadikan hubungan manusia sampai pada tingkat penghambaan dan kepatuhan, maka dunia telah mengantarkan kepada penafian dan penghancuran semua nilai insani yang lebih tinggi. Padahal nilai martabat manusia terletak pada kebesaran dalam tujuan dan sasaran yang dikejarnya. Jelaslah, jika seluruh usaha dan aspirasi manusia adalah hanya sekitar perutnya, maka nilainya tidak akan melebihi dari apa yang keluar dari perutnya. Itulah mengapa Imam Ali as berkata, “Nilai manusia yang tujuannya hanya untuk memenuhi perutnya setara dengan apa yang dikeluarkan dari perutnya.” Seiring dengan ucapan Imam Ali, al-Quran mengungkapkan, 

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan . (QS al-Kahfi: 46) 

Ayat ini, sebagaimana terpampang, membahas harapan puncak manusia. Harapan puncaknya adalah sesuatu yang untuknya ia hidup dan tanpanya kehidupan tidak bermakna sama sekali dalam pandangannya. 

Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan. (QS Yûnus: 7-8) 

Dalam ayat ini, yang dianggap tercela adalah tiadanya harapan dan percaya akan kehidupan akhirat serta kepuasan dan kebahagiaan dengan benda-benda materi. 

Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka... (QS an-Najm: 29-30) 

Pada ayat lain dikatakan, 

Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan di dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit). (QS ar-Ra’d:26) 

Demikian pula, 

Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai. (QS ar-Rûm:7) 

Banyak ayat lain yang memiliki arti yang sama. Dalam semua ayat tersebut, menjelaskan tentang penafian dunia sebagai tujuan dan ideal dari keinginan dan harapan tertinggi rnanusia dan sasaran akhir dari hasratnya, dan satu-satunya sumber kebahagiaan dan kepuasannya. Nâshir Khusraw dalam mengungkapkan hasratnya tentang dunia berucap: 

Tak pernah aku akan jatuh kepada dunia sebagai mangsa dengan mudah, 

Karena tak pernah lagi bencananya membebani hatiku Sesungguhnya akulah pemburu dan dunia adalah mangsaku, 

Meski ia pernah mengejarku sebagai buruannya. 

Meski banyak manusia telah jatuh terpotong-potong karena anak panahnya, 

Dunia tidak bisa membuatku sebagai sasarannya, 

Jiwaku terbang melintasi gelombang dunia Dan aku tidak lagi khawatir akan gelombang-gelombang dan gelora-geloranya. 

Syair ini menjelaskan bahwa dunia bukanlah sesuatu yang dominan dalam diri seorang yang mencari cahaya Ilahi. Baginya dunia hanyalah debu yang hanya mengotori jiwanya dalam mengabdi kepada Allah. Manusia seperti ini telah menjadikan dunia sebagai sarana bukan tujuan. Karena tujuan hidup baginya adalah Sang Penciptanya. Alangkah mulianya para ulama jika memandang dunia seperti tuntunan al-Quran ini. 





Hubungan Akidah dan Kehidupan Manusia


Kata akidah berasal dari Aqed, yang dalam bahasa Arab berarti kekuatan, pengikatan atau penghubung. Ini bisa berarti menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain berupa materi, seperti mengikat pohon atau dahan ranting dengan ranting yang lain; atau bisa juga pengikat tersebut berupa sesuatu yang non materi dan hanya i’tibari saja, seperti perkawinan laki-laki dengan perempuan, yaitu laki-laki mengikat perempuan tersebut dengan perantara akad nikah yang dibacakan kepadanya. 

Dalam hal ini, pengertian akidah adalah sesuatu yang menghubungkan dengan akal manusia, ruhnya dan pemikirannya. Ketika akal menerima suatu hal seperti, apakah bumi berputar mengelilingi matahari ataukah matahari berputar mengelilingi bumi? Atau akal menerima apakah darah mengalir ke seluruh tubuh ataukah tidak? Ataukah akal kita menerima: apakah ciptaan ini ada yang menciptakan ataukah tidak? Ataukah akal menerima manusia setelah mati akan dibangkitkan kembali? Apakah akal kita menerima setiap pemikiran yang benar atau yang batil, yaitu yang akan menghubungkan pemikiran tersebut ke akal dan mengikatnya dan kemudian memperkokoh hubungan tersebut. 

Sesungguhnya akidah manusia adalah dasar atas semua perilakunya dalam kehidupan. Oleh sebab itu maka akidah mempunyai peranan yang paling besar dalam kehidupan individu dan sosial manusia. Akidah manusia dan cabang-cabangnya yang akan membatasi bentuk manusia dan perilakunya, dan akan membentuk esensi batinnya dan eksistensi luarnya (tingkah lakunya); dan itu semua akan terlihat dalam perbuatan dan mengiringnya kepada arab kehidupannya. Maka barangsiapa yang akidahnya benar dan sesuai dengan kenyataan yang ada, maka jalan kehidupannya akan benar juga, tetapi jika akidahnya tidak benar dan batil, maka jalan hidupnya tidak akan mengarahkannya kecuali ke arah kesesatan. 

Oleh karena itu, agama Islam sangat memperhatikan dan menganggap sangat penting kebenaran akidah sebelum segala sesuatu. Dan sangat jelas sekali bahwa tidak ada satu agama pun di atas agama Islam dalam memperhatikan akidah. Maka akidah menurut Islam adalah sebuah barometer dalam mengukur tingkah laku dan perbuatan; sehingga perbuatan yang baik bisa dianggap hilang dari nilainya jika tidak didasari dengan akidah yang benar. Imam Muhamad al-Baqir as berkata, “Tidak berarti apa-apa perbuatan baik yang disertai dengan keragu-raguan.” 

Ini berarti bahwa semua tindakan dan perbuatan yang kita lakukan harus didasari dengan ilmu dan kepercayaan sehingga segala perbuatan yang kita lakukan ada nilai dan kandungannya. Dengan kata lain bahwa peranan perbuatan baik dan manfaatnya dalam mencapai kesempurnaan manusia bergantung atas kebenaran akidahnya. Maka tidak cukup bagi manusia dikatakan akidahnya benar padahal ia ingkar ataupun ragu-ragu terhadap akidahnya. Sesungguhnya akidah adalah pendorong utama bagi manusia untuk melakukan suatu pekerjaan. 

Oleh sebab itu, menurut agama Islam, pertama-tama yang akan dipaparkan terhadap manusia setelah meninggalnya ketika ia akan memasuki alam akhirat adalah mengenai apa-apa yang menjadi dasar dari segala perbuatannya yaitu tentang keyakinan dan akidahnya. Maka pertama-tama manusia akan ditanya tentang akidahnya dan bukan tentang amalannya. Siapa Tuhan yang kamu yakini? Apa agama yang kamu peluk? Siapa yang kamu ikuti dan pemimpin kamu? Kita tidak akan menemukan sebuah ideologi di antara ideologi yang ada di dunia ini yang memperhatikan masalah akidah seperti dalam agama Islam. Oleh sebab itu, pembahasan-pembahasan akidah dalam agama Islam adalah pembahasan yang mutlak. Maka sebelum mempelajari sesuatu apapun tentang agama suci ini maka seyogyanya terlebih dahulu mempelajari akidahnya. 

Akidah Islam mengajarkan bahwa Allah Swt adalah Esa (Wahid), Sendirian (Ahad), Tidak ada sesuatupun yang menyerupainya (Laisa Kamislihi Syai’), Kekal (Qadim), Tidak berawal dan tidak berakhir, (al-Awal wa al-Akhir), Ia Maha Mengetahui (al-Alim), Maha Bijaksana (al-Hakim), Maha Adil (al-Adl), Maha Hidup (al-Hayy), Maha Kuasa (al-Qadir), Tidak bergantung pada Siapapun (al-Ghany), Maha Mendengar (as-Sami’), Maha Melihat (al-Basir). Allah tidak dapat diserupakan dengan makhluk-makhluk-Nya; jadi Ia tidak berjasad, tidak berupa, tidak berzat dan tidak berbentuk, Ia tidak berat dan tidak ringan, tidak bergerak dan tidak diam, Ia tidak bertempat dan tidak berwaktu, tiada suatu yang menunjuk Dia, karena tiada suatu yang menyerupai-Nya. Tiada suatu yang setara dengan Dia, tiada suatu yang berlawanan dengan Dia. Ia tidak beristri dan tidak beranak, tidak bersekutu, dan tiada sesuatu yang dapat dibandingkan dengan Dia. 

Penglihatan tidak akan mencapai-Nya, namun Ia melihat segala sesuatu. Barangsiapa menyerupakan Dia dengan Makhluk-Nya (umpamanya orang yang mengangap bahwa Allah mempunyai wajah, tangan dan mata, atau yang mengatakan Ia turun sampai ke langit yang paling rendah atau Ia akan tampil di hadapan para penghuni surga, sebagai bulan dan sebagainya) maka ia termasuk orang yang tidak percaya akan Allah. Sangat disayangkan keyakinan-keyakinan seperti ini masih tercatat dalam buku-buku pegangan Muslimin yang ada saat ini, bahkan setiap tahun dibaca berulang-ulang sebagai tabarukan. Sesungguhnya orang yang membacanya tanpa memahami kandungan isi buku-buku hadis tersebut tidak berbeda dengan keledai yang memanggul atau membawa puluhan judul buku/ilmu tetapi tidak mengerti artinya. 

Maka ia termasuk orang yang jahil terhadap keadaan Allah Swt yang sesungguhnya, Allah sama sekali tidak berkekurangan, sedang segala sesuatu yang kita bayangkan adalah makhluk, ibarat kita juga. Imam Muhammad Baqir berkata, “Ia jauh lebih besar dari keterangan orang bijak dan jauh dari yang dapat dicapai pengetahuan dis-kriminatif.” 

Demikian juga, seseorang yang percaya bahwa Allah akan kelihatan oleh makhluk-makhluk-Nya pada hari kiamat, bukanlah seorang mukmin, sekalipun ia tidak menyerupakan Allah dengan wajah siapapun. Orang-orang yang berpura-pura semacam ini hanya menerima huruf-huruf al-Quran dan Hadis, tanpa menggunakan akal pikirannya. Mereka tidak memperhatikan ungkapan kias yang diperlukan oleh watak bahasa. Oleh karena itu, mereka telah salah paham akan maksud al-Quran dan Hadis yang sebenarnya. 

Diriwayatkan dalam kitab Ma’ani al-Akhbar, pada zaman Imam Ali as kaum muslimin tengah menggalang kekuatan untuk menghadapi perang Jamal. Ketika Imam tengah memeriksa pasukan dan barisan muslimin untuk mengatur strategi perang, pada saat itu pula seorang Badui Arab berdiri dan dengan suara yang lantang dan keras ia berkata, “Wahai Amirul Mu'minin, bukankah engkau berkata bahwa Allah itu Satu.” Sesungguhnya pertanyaan tersebut tidak sesuai dengan kondisi ketika itu yang tengah menghadapi sebuah peperangan, tidak berhubungan dengan penyusunan barisan perang dan apa-apa yang diperlukan dalam perang, jika penanya ingin menanyakan sesuatu mestinya ia bertanya sesuatu yang berhubungan dengan kondisi ketika itu, yang merupakan masalah utama ketika itu. Ketika Muslimin marah saat mendengar pertanyaan orang Badui Arab menggenai masalah akidah, mereka menganggap dari kulit luarnya bahwa ia tidak memperhatikan akan peperangan dari segi manapun, atau mungkin ia bisa melontarkan masalah tersebut di waktu yang lain. 

Maka semua suara muslimin meninggi memprotes perkataan tersebut. Namun ketika Imam Ali as melihat orang Arab Badui tersebut dan menenangkan Muslimin dari kemarahan. Beliau as mengatakan sesuatu dengan ibarat yang dicatat sejarah dan mempunyai pelajaran ilmiah yang sangat besar. Beliau as menerangkan dengan detail akan pentingnya akidah dan peranannya. Beliau berkata, “Panggillah orang yang bertanya tadi. Sesungguhnya kita tidak punya tujuan berperang dengan musuh ini kecuali untuk ini, tujuan kita tidak untuk berkuasa atau menguasai daerah, dan sesungguhnya tujuan kita adalah makrifat dan pengetahuan...” 

Pernyataan Imam ini mempunyai nilai yang dalam dan menerangkan akan pentingnya akidah. Walaupun kita bisa bayangkan kondisi pada saat ini adalah kondisi perang dan semangat pengorbanan dan mestinya tidak ada tempat dan waktu bagi Imam untuk menjawab pertanyaan Badui tersebut atau mungkin Imam bisa menjawabnya supaya bertanya kepada sahabat-sahabatnya yang lain atau menundanya sampai kesempatan yang lebih luas, tetapi Imam as tidak mengalihkannya atau menundanya karena sempitnya waktu yang ada. Dan Beliau melihat bahwa hal ini adalah kesempatan untuk mengajarkan kepada muslimin sebuah pelajaran. Beliau as ingin mengajarkan mereka tentang falsafah jihad dengan cara menerangkan kepada kita pentingnya masalah-masalah dan pembahasan-pembahasan akidah. 


Ikhlas dan Syirik dalam lbadah


Baik dan benarnya perbuatan (amal) manusia ditentukan oleh dua dasar, yang juga merupakan kriteria kesempurnaannya. Salah satunya adalah takut dan khidmat kepacla Allah Swt, dan yang lainnya adalah niat yang ikhlas dan bersih. Takut dan khidmat kepada Allah Swt menimbulkan ketakwaan dan salehnya jiwa, menyucikannya dari noda dan ketercemaran. 

Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang takwa (QS. al-Maidah:27). 

Selanjutnya, faktor utama kedua yang menyempumakan atau mencacatkan, sah dan tidaknya ibadah, ditentukan oleh niat yang ikhlas dan maksud yang bersih. Hubungan niat dengan ibadah ini adalah seperti hubungan jiwa dengan raga. Bentuk fisik ibadah berasal dari aspek fisik diri dan raganya, sedangkan ruh ibadah berasal dari aspek batin diri dan hati. 
Syirik


Jika ibadah tidak bersih dari syirik batin, meskipun ibadah itu benar dari segi lahiriah syariat dan fiqih, ibadah seperti itu batal dan tertolak oleh Allah Swt. Karena itu, tidak ada hubungan yang mesti antara sahnya ibadah dan diterimanya ibadah. 

Definisi mendalam syirik dalam ibadah adalah memasukkan keridhaan dan kepuasan dari selain Allah Swt, entah itu diri sendiri atau orang lain. Jika demi kepuasan orang lain, itu adalah syirik lahiriah atau riya’ fiqih. Jika demi kepuasan diri sendiri, itu adalah syirik tersembunyi dan batiniah; ini juga membatalkan ibadah. Contohnya adalah melakukan shalat tahajud demi mendapatkan rezeki yang lebih banyak, memberikan sedekah demi menyelamatkan diri dari bencana, atau memberikan zakat demi memperbesar kekayaan. Ibadah-ibadah seperti ini bertujuan memperoleh maksud-maksud duniawi dan memenuhi kehendak hawa nafsu. 

Begitu pula, jika ibadah itu karena takut api neraka dan mendambakan surga, maka ibadah itu semata-mata bukan karena Allah Swt dan niatnya tidak ikhlas. Dia beribadah semata-mata kepada berhala besar, induknya segala berhala, yaitu hawa nafsu. 

Namun, Allah Ta’ala menerima ibadah seperti ini dari kita karena Maharahman-Nya dan karena kita ini lemah, dengan memberikan kelonggaran. Allah Swt memberikan pengaruh-pengaruh tertentu dan atasnya dan memberikan karunia-karunia tertentu kepadanya, sehingga jika manusia memenuhi syarat-syarat lahiriah bagi diterimanya ibadah, dan menunaikannya dengan khusyuk, maka akan diikuti oleh segenap pengaruh itu, dan akan dipenuhi pula segala janji terkait yang berupa pahala itu. 

Cara beribadah seperti itu adalah model ibadahnya para budak dan pedagang. Namun ibadahnya orang-orang yang merdeka, yang ditunaikannya demi cinta kepada Allah Ta’ala dan demi mendapat perhatian dari Zat Suci, sama sekali tidak ada motif karena takut akan neraka dan mendambakan surga. 

Inilah maqam pertama para wali. Ada pula maqam dan derajat lain mereka yang tidak diuraikan pada tulisan ini. 

Selama perhatian dan jiwa tertuju kepada ibadah, yang beribadah, dan yang diibadahi, maka ibadah itu ikhlas. Hati harus kosong dari segalanya kecuali Allah Swt. Kata Imam Ja’far ash- Shadiq, “Hati yang murni adalah hati yang menemui Tuhannya dalam keadaan di mana yang ada di dalamnya hanyalah Dia.” Tentu saja, hati yang berisikan selain Allah Swt dan tercemari keraguan dan syirik –entah syirik nyata (jali) atau syirik tersembunyi (khafi)– tidak patut berada di hadirat suci Tuhan. 
Ikhlas


Ikhlas merupakan faktor penting untuk diterimanya amal seseorang. Khwajah ‘Abdullah al-Anshari berkata, “Arti ikhlas adalah membersihkan perbuatan dari segala ketidakmurnian.” Ketidakmurnian yang disebutkan di sini adalah ketidakmurnian umum, termasuk apa yang timbul dari keinginan untuk menyenangkan diri sendiri dan makhluk lain. 

Karena itu, bila orang yang beribadah ini tidak memperhatikan imbalan, ban mempertaruhkan segalanya, dari bumi sampai tahta (‘arsy), maka dia dapat melintasi jalan din, yang merupakan jalan pengabdian dan ibadah. Di jalan ini, jiwa tidak ambil peduli terhadap berbagai peristiwa karena menyaksikan keindahan Tuhan. 

Bagi Allahlah kesetiaan yang tulus (ad-din al-khalish) (QS. Az-Zumar:3). 

Muhyidin Ibnu ‘Arabi berkata, “Bagi Allahlah kesetiaan yang tulus, yang bersih dari noda hal-hal lain dan egoisme. Dan kamu harus sepenuhnya fana (sirna) dalam Dia... Selama kesetiaan belum disucikan oleh Realitas, maka kesetiaan itu bukanlah untuk Allah.” 

Salah satu hadis yang berbunyi, “Terus bertindak sampai tindakan itu menjadi ikhlas, lebih sulit daripada tindakan itu sendiri.” Maksudnya adalah mendorong manusia supaya peduli dan tekun bertindak, pada saat melakukan tindakan itu maupun setelahnya adalah lebih sulit. Sebab, kadang manusia melakukan perbuatan tanpa cacat dan tanpa riya’ atau ‘ujb (bangga diri); namun setelah berbuat dia menjadi riya’ dengan cara menyebut-nyebut perbuatan itu. 

Manusia tidak akan pernah aman dari kejahatan setan dan dirinya sampai akhir hayatnya. Dia tidak boleh membayangkan bahwa perbuatannya semata-mata demi Allah tanpa adanya keinginan menyenangkan makhluk-Nya pada perbuatannya, sehingga kemurnian perbuatannya akan selalu aman dari kejahatan dirinya. Bila tidak hati-hati dan waspada, maka dirinya akan mendorong untuk menyebut-nyebut perbuatan itu atau, seperti yang sering terjadi, mengungkapkannya dengan isyarat halus. Misalnya, keinginan membuat orang terkesan dengan shalat tahajudnya. Akal bulus diri itu akan mendorongnya memberikan isyarat dengan berbicara tentang kondisi cuaca yang baik atau buruk pada pagi hari atau tentang azan, sehingga menjadikan perbuatannya batal. 

Menyucikan niat dari segala tingkatan syirik, riya’ dan lain- lain, terus-menerus mewaspadainya, dan menjaga kesuciannya itu sangat sulit dan merupakan motif efisien tindakan dan tunduk kepada tujuan-tujuan lain. Jika seseorang mencintai jabatan dan kedudukan, dan cinta ini menjadi bagian dari karakter spiritualnya, maka yang diinginkannya adalah mencapai tujuan itu, dan perbuatannya adalah demi tujuan itu. 

Selama cinta seperti itu ada di hatinya, perbuatannya tidak akan ikhlas. Dan orang yang karakter spiritualnya dibentuk oleh cinta diri dan egoisme, maka tujuan akhimya adalah memuaskan diri, yang juga merupakan motif perbuatannya, tidak soal apakah perbuatannya ditujukan untuk meraih tujuan-tujuan dunia atau akhirat seperti bidadari, istana surga dan karunia akhirat lain. Selama masih ada egoisme, meskipun dia berusaha menuntut ilmu tasawuf dan keutamaan spiritual, semuanya itu dicari demi diri, bukan demi Allah Swt. Demi diri dan demi Allah Swt tidak dapat disatukan. Dan jika mencari Allah demi diri, maka tujuan akhirnya adalah diri dan ego. 

Barangsiapa keluar dari rumahnya sebagai orang yang menuju ke Allah dan Rasul-Nya, dan kemudian kematian merenggutnya, maka balasannya ada pada Allah... (QS. An- Nisâ:100) 



Daftar Isi 

Renungan Jumat; Meraih Cinta Ilahi 1


Al- Huda 1


PENGANTAR EDITOR 2


BAB I: 8


MENJALANI HIDUP DENGAN IMAN 8


Menjalani Hidup dengan Iman 8


Menumbuhkan Iman dengan Cinta 13


Derajat Tawakal Seorang Hamba 18


Tawakal Lisan 19


Tawakal Akal 20


Tawakal Hati 21


Ibadah dan Perjalanan Ruhani 23


Dunia dalam Pandangan Cahaya Ilahi 28


Hubungan Akidah dan Kehidupan Manusia 34


Ikhlas dan Syirik dalam lbadah 40


Syirik 40


Ikhlas 42


BAB II : MERAIH CINTA ILAHI MELALUI ZIKIR


Meraih Cinta Ilahi Melalui Zikir


Suatu saat Muhammad al-Baqir as bersabda, “Tertulis dalam Taurat yang tidak berubah, bahwa Musa as bertanya kepada Tuhannya: ‘Ya Tuhan! Apakah Engkau dekat denganku, sehingga aku harus berdoa kepada Engkau dengan bisikan, atau Engkau jauh, sehingga aku harus bersuara keras menyeru-Mu?’ Kemudian Allah Swt mewahyukan kepadanya: ‘Wahai. Musa! Aku bersama yang mengingat-Ku.’ Musa berkata, ‘Siapakah mereka yang akan Engkau lindungi pada hari ketika tak kan ada perlindungan kecuali perlindungan-Mu?’ Dia menjawab, ‘Mereka yang mengingat-Ku, dan Aku mencintai mereka; mereka yang saling mencintai demi Aku, dan Aku mencintai mereka. Mereka adalah orang-orang yang Kuingat, kapan pun Aku hendak menimpakan musibah atas penduduk bumi, dan karenanya menghindarkan mereka karena mereka.” 

Hadis ini memperlihatkan bahwa Taurat yang sekarang ada di tangan kaum Yahudi itu sudah rusak dan diubah. Dari kandungan Taurat dan Injil yang ada sekarang ini terlihat bahwa kedua kitab ini tidak memenuhi standar pembicaraan yang umumnya diterima orang sekalipun, apalagi kriteria firman Tuhan. 

Al-Majlisi berkata, “Tampaknya maksud Nabi Musa as dengan pertanyaan ini adalah mencari-tahu tara cara berdoa, padahal beliau tahu bahwa Allah lebih dekat dengan seseorang daripada urat lehernya, dengan kedekatan yang didasarkan pada pengetahuan, kuasa dan efisiensi kausal. Beliau bermaksud mengatakan, ‘Apakah Engkau suka kalau hamba-Mu berdoa kepada-Mu dengan bisikan, seperti orang yang berbicara dengan orang lain di dekatnya, ataukah aku harus menyeru-Mu seperti orang yang menyeru orang lain yang ada di tempat jauh?’ Dengan kata lain, 

‘Bila aku melihat-Mu, aku dapati engkau lebih dekat dibanding apa pun yang dekat, dan bila aku melihat diriku sendiri, aku dapati diriku ada di tempat jauh. Maka aku tidak tahu apakah aku harus mempertimbangkan situasi-Mu dalam doaku atau kondisiku sendiri.’ Mungkin juga pertanyaan ini diajukan atas nama orang lain, seperti pertanyaan yang berkaitan dengan kemungkinan melihat Yang Mahaindah.” (tersebut dalam QS. al-A’râf:143). 

Mungkin Musa bermaksud mengungkapkan rasa kebingungannya dan rasa ingin tahunya bagaimana sikap dalam berdoa. Dia bermaksud mengatakan, “Ya Tuhan, Engkau terlalu suci dan di atas segalanya untuk dinisbahi kata dekat dan jauh, sehingga aku akan menyapa-Mu sebagai yang dekat atau yang jauh. Karena itu aku kebingungan dalam masalah ini, sebab aku tidak melihat cara berdoa yang sesuai dengan kedudukan-Mu yang agung. Maka izinkanlah aku berdoa, dan tunjukkanlah caranya. Ajarilah aku cara yang sesusai dengan kedudukan-Mu yang suci.” Datanglah jawaban dari Sumber Agung lagi Mulia, “Aku, sebagai Pemberi rezeki, ada dalam semua tingkat dan eksistensi. Segenap alam merupakan kehadiran-Ku. Namun Aku bersama mereka yang mengingat-Ku dan bersama mereka yang menyeru-Ku.” 

Tentu saja, dekat dan jauh tidak dapat dinisbahkan kepada Zat Suci itu. Zat Suci itu memberikan rezeki kepada segala yang maujud dan keberadaan-Nya meliputi segenap wilayah maujud dan seluruh aliran realitas. Namun, yang disebutkan dalam ayat-ayat mulia Kitab Allah yang Suci ini mengenai penisbahan dekat kepada Allah Swt, seperti ayat-ayat, 

Dan bila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, (katakan kepada mereka) Aku dekat untuk menjawab seruan orang yang menyeru-Ku... (QS. al-Baqarah: 186); 

atau, 

...dan Kami tahu apa yang dibisikkan jiwanya di dalam dirinya, dan kami Kami lebih dekat dengannya daripada urat lehernya (QS. Qâf:16), 

dan ayat-ayat lain seperti itu merupakan kiasan. Sebab wujud suci-Nya berada di atas dekat dan jauh, fisik maupun imaterial. Karena kualitas-kualitas ini mengandung keterbatasan (tahdid) dan keserupaan (tasybih), sedangkan Allah Swt berada di luar itu semua dan kehadiran segala wujud di istana suci-Nya merupakan kehadiran relasional, dan bahwa Zat Suci itu meliputi semua partikel alam semesta dan rantai-rantai wujud. Artinya, Dialah yang memberikan rezeki kepada semuanya itu. 

Dari hadis di atas, dan beberapa hadis lainnya juga, dapat disimpulkan bahwa zikir diam (dzikr-e khafi) dan di dalam hati lebih disukai. Allah berfirman, 

Ingatlah Tuhanmu dalam jiwamu, dengan rendah hati dan takut, bukan dengan suara keras, pada pagi dan petang hari. (QS. al-A’râf:205) 

Dalam beberapa keadaan, yang zikir dengan suara keras, seperti zikir di depan orang yang lalai demi mengingatkannya lebih disukai. Dalam al-Kafi disebutkan bahwa siapapun yang berzikir kepada Allah Swt di tengah orang-orang yang lalai, maka dia seperti orang yang berperang melawan kaum muharibun (yaitu orang-orang yang mengangkat senjata melawan Allah dan Islam). Begitu pula, adalah mustahab (dianjurkan) berzikir keras-keras dalam azan, dalam khutbah, dan lain-lain. 

Dalam Uddat al-Da’i karya Ibnu Fahd disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw bersabda, “Orang yang berzikir kepada Allah di pasar dengan ikhlas, di antara orang-orang yang sibuk dengan urusan-urusan mereka, maka Allah menuliskan baginya seribu kebaikan dan mengampuninya pada hari Kiamat dengan apa pun yang belum pernah terlintas dalam hati.” 

Dalam hadis mulia ini disebutkan bahwa berzikir kepada Allah, dan saling cinta dan bersahabat demi Allah, lebih penting daripada karakteristik tertentu. Salah satunya, yang lebih penting daripada yang lainnya, adalah bahwa zikir kepada Allah yang dilakukan oleh sang hamba mengakibatkan Allah ingat kepadanya. Masalah ini juga disebutkan dalam hadis-hadis lain. Zikir ini merupakan lawan dari-orang yang lalai (nisyam), seperti disebutkan oleh Allah Swt dalam hubungannya dengan orang yang melupakannya ayat-ayat Allah. Dia mengatakan, “Ya Tuhanku, kenapa Engkau bangkitkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dulu dapat melihat?” 

Allah menjawab, Demikianlah Ayat Kami datang kepadamu, namun kamu melupakannya; maka hari ini kamu terlupakan. (QS. Thâhâ:126) 

Kebutaan di akhirat diakibatkan karena melupakan ayat-ayat Allah dan batin tidak melihat manifestasi-manifestasi keagungan dan keindahan Allah. Namun hal itu tidak terjadi bila kita mengingat ayat-ayat Allah, Nama-nama-Nya dan Sifat-sifat-Nya serta mengingat Allah, keindahan-Nya dan kemuliaan-Nya. Bila mengingat ayat-ayat Allah menjadi watak (malakah), maka penglihatan batiniah menjadi sedemikian kuat, sehingga mulailah terlihat keindahan Ilahiah dalam ayat-ayat-Nya. Mengingat Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya mengakibatkan melihat Allah dalam manifestasi-manifestasi Nama-nama dan Sifat-sifat (tajalliyat-e asma’iyyah wa shifatiyyah). 

Jelaslah, cinta Allah memiliki berbagai derajat, sebab cinta demi Allah Swt juga memiliki banyak tingkat dalam hal keikhlasan dan kelemahannya. Keikhlasan penuh bahkan bebas dari cacat pluralitas Nama dan Sifat (katsrat-e asma’i wa shifatz) akan melahirkan cinta yang sempurna. Pencinta sejati senantiasa selaras dengan peraturan cinta, dan tidak akan ada penghalang antara pencinta dan Yang Dicintai. 

Berdasarkan penjelasan ini, kita dapat mengetahui maksud pertanyaan Musa as di atas. Dia ingin menemukan identitas orang-orang yang akan mencapai persatuan itu, sehingga dia dapat menunaikan tugasnya dalam segala aspeknya. Karenanya dia bertanya: Siapakan mereka yang akan Engkau lindungi pada hari ketika yang ada hanyalah perlindungan-Mu? Siapakah mereka, yang karena Engkau lindungi, terbatas dari segala keterikatan dan merdeka dari segala rintangan, dan bersama dengan Mahaindah-Mu? Datanglah jawaban, “Mereka adalah dua golongan: merekalah Orang-orang yang mengingat-Ku, dan orang-orang yang saling mencintai satu sama lain, yang juga mengingat-Ku, ingat akan manifestasi sempurna keindahan-Ku. Mereka aku lindungi, Aku bersama mereka dan milik mereka.” 

Hadis tentang Musa as memperlihatkan bahwa kedua golongan tersebut memiliki satu kualitas mulia yang melahirkan karakter mulia lainnya. Karena Allah mengingat dan mencintai mereka, maka mereka pun mendapatkan perlindungan-Nya pada hari ketika tidak ada perlindungan, dan mereka bersama Allah di tempat yang benar-benar tersendiri. Karakteristik lainnya adalah bahwa Allah Swt menghindarkan makhluk-makhluk-Nya dari siksaan demi kemuliaan mereka. Yaitu, selama mereka berada di tengah-tengah makhluk, Dia tidak menurunkan azab dan malapetaka atas makhluk-makhluk demi mereka. 


Manifestasi Zikir kepada Allah Swt


Tadzakkur (ingat) merupakan basil dari tafakkur (merenung). Karena itu kedudukan tafakur dianggap mendahului kedudukan tadzakur. Khwajah ‘Abdullah al-Anshari berkata, “Tadzakur berada di atas tafakur, karena sesungguhnya tafakur adalah mencari (Yang Dicintai), sedangkakan tadzakur adalah mencapai (Yang Dicintai).” 

Selama manusia berada dalam pencarian, dia terpisah dari yang dicari. Dengan ditemukannya yang dicari, dia terbebas dari upaya mencari. Kuat dan sempurnanya tadzakur bergantung pada kuat dan sempurnanya tafakur. Tafakur yang menghasilkan tadzakur-sempurna akan Yang Disembah, kebaikan dan keutamaannya tidak dapat dibandingkan dengan amalan-amalan lain. Karena itu, dalam hadis-hadis mulia, satu jam bertafakur dipandang lebih baik daripada ibadah satu tahun, atau bahkan ibadah enam puluh atau tujuh puluh tahun. 

Jelaslah bahwa tujuan akhir dan buah ibadah adalah tahu dan ingat akan Allah Swt, dan ini lebih dapat dicapai melalui tafakur yang sempurna. Barangkali, satu jam bertafakur akan membukakan bagi sang pejalan ruhani jalan menuju pengetahuan mistis, dan jalan ini tidak dapat dibuka walau dengan tujuh puluh tahun beribadah. Atau, tafakur akan membuat manusia sedemikian ingat akan Yang ercinta, sedangkan berzuhud selama beberapa tahun belum dapat memberikan hasil seperti itu. 

Mengingat akan Yang Tercinta dan menyibukkan hati dengan mengingat Yang Disembah akan memberikan banyak hasil bagi semua golongan manusia. Bagi kaum sempurna, yaitu para wali dan urafa, itu merupakan tujuan puncak harapan-harapan mereka, dan berdasarkan inilah mereka bersama kemegahan Yang Tercinta. Ini memberikan banyak kebaikan kepada mereka. Bagi orang biasa dan kaum mutawassithun, itu adalah semulia-mulianya sarana pembentuk moralitas dan perilaku, dalam kehidupan lahiriah maupun batiniah. 

Kalau manusia senantiasa ingat akan Allah Swt dalam keadaan apa pun, dan menyadari dirinya hadir di hadapan Zat Suci, tentu dia menahan diri dari masalah-masalah yang tidak sesuai dengan keridhaan-Nya dan mengendalikan diri agar tidak bersikap durhaka. Semua malapetaka dan penderitaan yang ditimbulkan oleh hawa nafsu dan setan terkutuk disebabkan karena lupa akan Allah Swt dan hukuman-Nya. Lupa akan Allah semakin mempergelap hati, dan memberi peluang kepada hawa nafsu dan setan untuk menguasai manusia. Dan ini artinya memperbesar penderitaannya hari demi hari. 

Ingat akan Allah membersihkan dan mengkilapkan hati; menjadikan hati sebagai tempat keindahan Yang Tercinta; mensucikan jiwa dan membebaskan diri dari perbudakan. Cinta akan dunia, yang merupakan sumber segala kesalahan dan segala dosa akan tersingkir dari hati, kalau kita mencari keutamaan-keutamaan formal dan spiritual, kalau kita menempuh jalan akhirat, kalau kita sedang menuju Allah. Maka biasakanlah hati ingat akan Yang Tercinta. 


Zikir Sempurna


Berzikir kepada Allah Swt merupakan kualitas hati, dan jika hati tenggelam dalam zikir maka akan memperoleh banyak manfaat. Namun sebaiknya zikir dalam hati diikuti dengan zikir lisan. Derajat paling sempurna dan paling baik dari zikir adalah zikir pada semua tingkat keberadaan manusia, yang wilayahnya meliputi alam wujudnya yang lahiriah maupun batiniah, yang nyata dan tersembunyi. 

Batiniah hati dan jiwa membentuk ingatan akan Yang Tercinta, dan gerak-gerik hati dan tubuh akan membentuk zikir. Allah Swt menjadi nyata dalam inti wujudnya. Tujuh bidang wujud jasadi, maupun bidang batiniahnya, ditaklukkan oleh zikrullah dan ditundukkan oleh ingat akan Yang Mahaindah. Kalau bentuk batiniah hati berupa realitas zikir, dan alam hati ditaklukkan olehnya, maka kedaulatannya meliputi semua wilayah lainnya. Gerak dan diamnya mata, lidah, tangan dan kaki, serta gerak-gerik anggota-anggota dan fakultas-fakultas lainnya disertai ingat akan Allah Swt, sehingga tidak ada gerakan yang bertentangan dengan tugas-tugas mereka. Kemudian gerak dan diamnya mereka dimulai dan diakhiri dengan zikrullah, Bismillah akan menjadi jalannya dan menjadi tempat berlabuhnya. (QS. Hûd:41). 

Pengaruh zikir sampai ke semua bidang, yang terjadi sebagai hasil dari selaras dengan realitas Nama-nama dan Sifat-sifat. Semua bidang itu membentuk Nama-nama Agung Allah (ism Allah al-a’zham), dan menjadi menifestasi (mazhhar)-Nya. Inilah batas puncak kesempurnaan manusia, dan tujuan akhir dari harapan-harapan orang-orang pilihan Allah (ahl Allah). 

Meski demikian, kita harus waspada mengingat derajat keutamaan manusia yang belum sempurna dapat mempengaruhi kualitas zikir. Ini karena berbagai bidang eksistensi manusia saling berkaitan, mempengaruhi dan merasuki antara yang batin dan lahir satu sama lain. 

Dari sinilah diketahui bahwa zikir lisan, yang merupakan tingkat terendah zikir, juga ada manfaatnya. Karena, pertama-tama, lidah melaksanakan kewajibannya, meskipun gerakannya formal belaka dan tidak ada ruhnya. Kedua, ada kemungkinan lantunan zikir ligan secara terusmenerus, asal sesuai dengan syarat-syaratnya, bisa menjadi sarana untuk terbukanya lidah hati pula. 

Syahabadi, seorang arif sempurna, berkata, “Dzakir (orang yang berzikir), selama berzikir, harus seperti orang yang mengajarkan kata-kata kepada seorang anak kecil yang belum bisa berbicara. Dia ulangi kata itu sampai lidah anak kecil itu dapat mengucapkannya. Setelah itu, sang guru mengikuti sang anak, sampai kelelahannya yang disebabkan karena mengulang itu tersingkirkan, seakan-akan dia telah menerima bantuan dorongan dari sang anak. Begitu pula, orang yang berzikir harus mengajarkan zikir kepada hatinya, yang belum dapat mengucapkannya dengan baik. Maksud di balik mengulang-ulang zikir itu adalah agar lidah hati terbuka, dan tandanya adalah bahwa setelah itu lidah mengikuti hati terbuka dan tersingkirkanlah kesulitan dalam melakukan pengulangan. Pertama, lidahlah yang berzikir, dan lalu hati juga berzikir dengan dibantu oleh lidah dan dengan bimbingan lidah. Setelah itu lidah hati jadi tahu cara mengucapkannya dengan benar, lidah mengikutinya dan menjadi dzakir dengan dibantu oleh hati dengan bantuan gaib Allah.” 

Ketahuilah bahwa tindakan lahiriah dan tindakan formal tidak memiliki kepastian hidup di dunia gaib atau malakut, kecuali mendapat bantuan dari alam batiniah jiwa dan inti hati, yang memberi tindakan-tindakan itu dalam kehidupan spiritual (hayat-e malakuti). Nafas spiritual itu, yang merupakan bentuk keikhlasan niat, adalah seperti jiwa batiniah, yang setelahnya tubuh juga dibangkitkan kembali di alam malakut dan diizinkan masuk ke hadirat Ilahi. Karena itu, dalam hadis-hadis mulia dikatakan bahwa diterimanya perbuatan-perbuatan (fisik) didasarkan pada ukuran tanggapan dan kesediaan hati untuk menerima. 

Meskipun demikian, kita hendaknya tetap melakukan zikir lisan, karena ini membawa manusia untuk mencapai kebenaran. Karena itu, dalam hadis-hadis dan riwayat-riwayat, zikir lisan sangat dipuji. Ada beberapa topik zikir yang banyak dibahas oleh banyak hadis, sebanyak hadis yang membahas topik zikir. 

Zikir lisan juga amat dipuji dalam ayat-ayat suci, sekalipun kebanyakannya bertalian dengan zikir batiniah (dzikr-e qalbi), jiwa yang berzikir. Ingat akan Allah (zikir) mendatangkan rahmat, pada tingkat apa pun zikir itu terjadi. Pada tahap ini kami akhiri pembicaraan ini dengan menyebutkan beberapa hadis mulia demi mendapatkan berkahnya. 

Diriwayatkan dengan sanad yang sahih dari al-Fudhail ibn Yasar bahwa Imam Ja’far ash-Shadiq as bersabda, “Tidak ada majelis di mana yang bajik dan pendosa bersama-sama, dan setelah itu bangkit pergi tanpa menyebut Allah Swt, kecuali bahwa itu akan menyebabkan mereka menyesal pada hari kiamat.” Jelaslah bahwa bila manusia mengetahui hasil dari berzikir kepada Allah di hari kiamat, sementara dia sendiri tidak mendapatkan hasil-hasil itu, akan sadarlah bahwa dia telah rugi besar yang tidak bisa ditebus, yaitu tidak memiliki karunia-karunia dan kenikmatan-kenikmatan. Akibatnya dia terbenam dalam penyesalan. Karena itu, selama masih ada kesempatan, manusia hendaknya memanfaatkan majelis-majelisnya, jangan sampai mejelis-mejelis itu tidak ada zikrullahnya. 

Imam al-Baqir as bersabda, “Barangsiapa yang ingin mendapatkan rahmat Allah yang penuh, hendaknya mengatakan ketika bangkit berdiri dari majelisnya: ‘Mahasuci Tuhanmu, Tuhan Mahaperkasa, dari apa yang mereka gambarkan. Dan salam atas para Rasul; dan segala puji bagi Allah, tuhan semesta alam’(Subhana Rabbika Rabbil-‘Izzati ‘ammâ yashifuun, wa salâmun ‘alal-Mursaliin. Wal-Hamdulillâhi Rabbil-‘Alamîn).” 

Dan diriwayatkan dari Imam ash-Shadiq as bahwa Amir al-Mukminin ‘Ali as bersabda, “Barangsiapa yang ingin menerima pahala yang penuh pada hari kiamat, hendaknya membaca ayat-ayat mulia ini setelah shalat.” Juga diriwayatkan dalam sebuah hadis mursal dari Imam ash-Shadiq as bahwa membaca ayat-ayat ini pada akhir suatu majelis merupakan taubat atas dosa-dosa. 

Dalam sebuah hadis marfu’, dari Imam as yang bersabda: “Allah Swt berkata kepada ‘Isa as, ‘Wahai ‘Isa, ingatlah Aku dalam dirimu, sehingga Aku akan mengingatmu dalam Diri-ku. Sebutlah Aku dalam majelismu, sehingga Aku akan menyebutmu dalam suatu majelis yang lebih baik daripada majelisnya manusia. Wahai ‘'Isa, lembutkanlah hatimu untuk-Ku dan ingatlah Aku banyak-banyak dalam kesendiriaanmu. Ketahuilah bahwa Aku senang kalau kamu melakukan tabashbush kepada-Ku. Dan hiduplah di situ dan janganlah mati’.” Arti tabashbush adalah anjing yang mengibaskan ekornya, karena takut atau berharap, dan ini menggambarkan intensitas hasrat dan kerendahan hati. Yang dimaksud dengan “hidup” dalam zikir adalah kehadiran dan perhatian hati. 

Imam ash-Shadiq as berkata, “Sesungguhnya Allah Swt telah berfirman, ‘Orang yang karena mengingat-Ku lalu tidak sampai meminta sesuatu dari-Ku, maka Aku berikan kepadanya sebaik-baik apa yang telah Aku berikan kepada pemohon yang meminta sesuatu dari-Ku’.” 

Ahmad ibn Fahd meriwayatkan dalam ‘Uddat al-Da’i dari Rasulullah saw yang bersabda, “Sebaik-baik perbuatanmu di sisi Allah, dan sesuci-suci dan semulia-mulia perbuatanmu, dan sebaik-baik yang disinari matahari, adalah zikir kepada Allah Swt. Sesungguhnya Dia telah memberitahumu, dengan kata-kata, Aku bersama dia yang menginga-Ku.” 

Hadis-hadis mengenai keutamaan zikir, caranya, tata caranya, dan syarat-syaratnya, banyak sekali, sehingga tak dapat disebutkan semuanya dalam halaman-halaman ini. Dan segala puji bagi Allah pada awal dan akhirnya, batiniah maupun lahiriah. 


Buah Berzikir


Untuk mencapai tingkat keruhanian yang tinggi yang paling penting adalah sikap ikhlas dalam mengabdi kepada-Nya. Betapa kesederhanaan terkadang lebih efektif dibanding dengan ibadah yang berlebihan namun tanpa keikhlasan. Ada sebuah cerita yang saya dapat dari seorang sahabat saya di mailing list. Sahabat saya ini bercerita bahwa ia dulu pemah datang ke seorang ‘pejalan ruhani’ di sebuah kota untuk meminta nasihat. Di antara nasihatnya, dia pernah bercerita tentang seorang ibu tukang sayur yang dia lihat di pasar di sebuah kota. 

Suatu hari, si pejalan ruhani ini pernah melihat seorang ibu tukang sayur di pasar. Tapi, dalam pandangannya, si ibu ini begitu ‘bercahaya’. Ini hal yang sangat tidak biasa untuk seseorang yang hidup di pasar, di zaman ini. Lalu ia mendatangi ibu tersebut untuk mengobrol dan bertanya. Ia ingin tahu, apa yang membuat ibu tukang sayur ini, secara spiritual, cukup menonjol dibandingkan manusia lain. 

Ia menanyakan apakah ibu tersebut melakukan ibadah, ibadah tertentu, yang berat. Dijawab, tidak. Apakah ia rajin berzikir? Dijawab, tidak. Apakah ia rajin shalat tahajjud dengan banyak rakaat? Dijawab, tidak. Ia bilang, saya hanya seorang tukang sayur, yang pagi-pagi sekali harus berangkat dari rumahnya. Sepulang dari pasar, ia pun harus mempersiapkan dagangannya untuk besok. Setelah malam, biasanya dia kelelahan. Dan harus tidur cepat karena pagi-pagi sekali besok dia harus berangkat. Itulah yang dia lakukan setiap hari. Rasanya ibadah saya biasa-biasa saja, kata ibu itu. 

Si pejalan ruhani ini meminta ibu itu mengingat-ingat hal apa yang biasanya dilakukannya. Sebab mungkin saja itu hanya sebuah hal yang, dalam pandangan manusia, tidak begitu berarti. Ibu ini menjawab begini, kurang lebih, Rumah saya kecil, gubuk, di daerah yang agak jauh dari perumahan. Tidak ada kamar mandi. Sumur pun jauh dari rumah, harus melewati kebun. Biasanya kalau malam air di gentong sudah habis. Saya orang yang penakut. Sebenarnya saya ingin shalat malam, tapi takut, karena untuk ke air malam-malam harus melewati kebun. Jadi karena takut, tapi ingin shalat malam, jadi setiap malam saya bangun sebentar. Lalu duduk bersimpuh di tikar tempat dia biasa tidur. Tidak shalat, karena tidak berwudhu. Hanya berdoa saja, karena Allah pasti tahu kalau saya takut ke jamban, harus lewat kebun. Setelah itu, ya tidur lagi. Tidak bisa lama-lama, sebab kalau kelamaan nanti saya kesiangan bangun. 

Rupanya inilah yang biasa dilakukan oleh ibu itu, setiap malam, selama bertahun-tahun. Dari cerita itu, si pejalan ruhani ini memberi nasihat kepada saya. Bahwa sebagaimana kita harus mempersembahkan sesuatu yang se’spesial’ mungkin untuk orang yang kita cintai, begitu juga kepada Allah. Kita harus menemukan apa ibadah kita yang spesifik, yang khusus dipersembahkan hanya untuk Allah. Bisa saja itu merupakan hal yang ‘berat’ seperti tahajjud seratus rakaat, misalnya, tapi bisa pula itu hanya hal yang sangat sederhana, benar-benar tergantung kemampuan kita. Intinya, kita harus memiliki ‘sesuatu’ yang khusus hanya kita persembahkan pada Allah. 

Kisah ibu tadi menggambarkan bahwa keikhlasan dalam mengabdi kepada-Nya walaupun terlihat dengan cara yang sederhana namun telah memberikan nilai spiritual yang tinggi. Ibu ini selama hidupnya telah menjalani suatu tradisi yang ada dalam tradisi tasawuf, yaitu berzikir dan berdoa kepada Allah dengan waktu yang khusus sehingga menghasilkan kualitas ruhani yang tinggi. 

Memang di kalangan kaum sufi, mereka dalam melaksanakan zikir selalu dilakukan dengan begitu asyik dan khusyuknya karena merasakan kenikmatan, kelezatan dan kemanisan. Nah ibu tadi, selama menjalankan doa-doanya telah mengamalkan ajaran sufi ini, walaupun ibu tadi tidak pernah berguru kepada seorang guru sufi (Mursyid). Namun semuanya tidak menjadi hambatan, karena kecintaannya pada Allah mengalahkan segala kenikmatan di waktu malam. 

Dalam tradisi tasawuf, jika seseorang melakukan zikir dan berdoa, maka ia akan begitu dekat dengan Tuhannya (qurb), merasa tenang jiwanya, merasakan tidak ada sesuatupun bahkan dirinya kecuali Allah (fana), dan memperoleh ilmu pengetahuan yang hakiki (ma’rifat). Abu Sa’id al-Harraz berkata, “Apabila Allah hendak mengangkat seorang hambanya menjadi Wali dari hamba-hambanya yang lain, ia membuka kepadanya pintu zikir, maka apabila ia merasa lezat berzikir, dibuka kepadanya ‘babul qurb’, kemudian diangkatnya ke Majlisul Uns (tenang bathin), kemudian ditempatkan dia di atas kursi Tauhid, kemudian diangkat daripadanya hijab (penutup) dan lalu dimasukkan dia ke dalam ‘darul fardaniyyah’ dan dibukakanlah kepadanya ‘Hijabul jalali wal’uzmati’. Apabila sampai pada ‘jalali wal’uzmati’, ia merasa tak ada lagi yang lain, hanya Huwa (Dia) Allah, maka takala itu seorang hamba berada dalam masa fana.” 

Dalam hal ini, kejauhan dan kedekatan seorang hamba dari Tuhannya bukanlah berarti kejauhan atau kedekatan tempat dan waktu, tetapi sesungguhnya kejauhan atau kedekatan itu semata-mata karena lupa atau ingat hati terhadap Allah. Kejauhan itu lupa hati. Kedekatan itu ingat hati. Kejauhan itu hijab (tertutup). Kedekatan itu kasyaf (terbuka). Hijab itu gelap, Kasyaf itu Nur. Gelap itu jahil, Nur itu Ma’rifat. Rasulullah saw bersabda dalam hadis, “Aku ini sebagaimana yang disangka oleh hambaku, Aku bersama dia apabila ia ingat kepada-Ku, apabila ia mengingat-Ku dalam dirinya, Akupun ingat padanya dalam diri-Ku, dan apabila ia mengingat-Ku dalam ruang yang luas, aku pun ingat padanya dalam ruang yang lebih baik.” (Hadis Qudsi diriwayatkan oleh Bukhari). 

Seorang guru sufi pemah berkata, “Hatimu sekarang bersama Tuhanmu dan Tuhanmu bersama engkau, tidak jauh dari engkau, Ia mendekatkan engkau kepada-Nya, dan mengenalkan engkau dengan-Nya.” Orang yang menjalankan thariqat-zikir secara sungguh-sungguh tidak mempuhyai rasa khawatir dalam menjalani hidup, tidak was-was dalam menjalankan sesuatu kebenaran, dan tidak berprasangka buruk terhadap orang lain. Hati mereka tenang, jiwa mereka tenteram. Firman Allah Swt, 

...(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan zikrullah. Ingatlah hanya dengan zikrullah hati rnenjadi tenang. (QS. ar-Ra’d:28). 


Zikir Menyucikan Hati


Dalam diri manusia yang terdiri dari wujud jasmani dan ruhani terdapat berbagai penyakitnya masing-masing. Penyakit jasmani dapat disembuhkan dengan pengobatan medis, sedangkan penyakit ruhani proses penyembuhannya harus melalui metode khusus atau yang biasanya disebut riyadhah. Riyadhah ini berfungsi menyembuhkan penyakit ruhani seperti sombong, kikir, dengki, pemarah, jauh dari Allah dan lain-lain. 

Proses penyembuhan penyakit ruhani ini (riyadhah) meliputi bertaubat, membersihkan tauhid, taqarrub kepada Allah, mengikuti sunah Nabi, memperbanyak ibadah, qiyamul lail, tidak makan/minum yang haram, tidak menghadiri tempat yang menambah nyala api hawa nafsu, tidak melihat pemandangan yang haram, menahan diri dari ajakan syahwat, dan lain-lain. Selain itu proses riyadhah ini adalah dengan metode yang disebut zikrullah, berzikir dengan menyebut nama Allah. Zikir ini berfungsi sebagai metode untuk membersihkan hati sehingga menjadi suci. Dengan zikir inilah manusia dapat meraih Nur yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera tetapi tertangkap oleh hati. Dengan Nur tersebut keluarlah manusia dari gelap gulita ke terang, benderang dengan izin Tuhannya. 

Kini, banyak orang di kota-kota besar gandrung untuk menangkap Nur Ilahi ini. Tengok saja berbagai majelis taklim sekarang ini marak dengan orang yang berzikir, padahal mereka adalah orang-orang yang dari sisi materi tidak kekurangan, namun mereka merasakan kekurangan dari sisi ruhaninya. Memang zikir merupakan menjadi metode yang tepat untuk penyembuhan berbagai penyakit ruhani. 

Tentu saja, metode zikir ini tidak tanpa alasan. Banyak ayat al-Quran yang menjelaskan tentang masalah ini seperti: 

Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu; dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat-nikmat)Ku. (QS. Al-Baqarah:152) 

Dan juga ayat, 

Wahai orang,orang yang benman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktupagi dan petang”, “Adapun orang laki-laki yang banyak berzikrullah, demikian juga orang-orang wanita, disediakan Allah baginya ampunan dan pahala yang besar. (QS. al-Ahzab:35). 

Demikian pula ayat, 

(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka, menjadi tenteram dengan zikrullah. Ingatlah hanya dengan zikrullah hati menjadi tenang. (QS. ar-Ra’d:28). 

Selain ayat-ayat al-Quran, banyak juga hadis Nabi saw yang mengajarkan tentang zikir ini. Nabi Muhammad saw dalam satu hadisnya mengatakan, “Bahwasanya hati itu kotor seperti besi yang berkarat dan pembersihnya adalah zikrullah”, “Bagi setiap sesuatu ada alat pernbersihnya, dan alat pembersih hati adalah “zikrullah”, dan “Jauhkanlah setanmu itu dengan ucapan ‘Lâ Ilâha illallah, Muhammadur Rasulullah’, katena setan itu kesakitan dengan ucapan kalimat tersebut, sebagaimana kesakitan seekor unta disebabkan banyaknya penunggang dan banjirnya muatan di atasnya”, “Zikir kepada Allah Swt , jadi benteng dari godaan setan”, dan “Allah berfirman ‘Lâ Ilâha illallah adalah bentengKu. Barangsiapa rnengucapkannya, rnasuklah ia ke dalarn benteng,Ku. Dan barangsiapa masuk ke dalam benteng-Ku, maka amanlah ia dari azab-Ku. (Hadist Qudsi).” 

Pengertian umum zikir adalah mengingat Allah; dengan demikian, setiap ibadah (baik yang fardlu maupun sunnat) seperti shalat, zakat, puasa, haji, membaca al-Quran, dakwah, belajar, berusaha, dan lain-lain yang dilakukan semata atas nama Allah atau dengan mengingat Allah adalah zikir. Akan tetapi di samping melaksanakan hal-hal tersebut, biasanya para pesuluk melaksanakan thariqat-zikir secara khusus yang merupakan cara pembersihan ruh pada sisi Allah (hati). 

Adapun tahap-tahap zikir adalah pertama berzikir dengan lidah (zikir zahar, zikir dengan suara keras) , kemudian meningkat secara teratur ke zikir hati (zikir khafi, zikir yang tidak bersuara karena di dalam hati) yang awalnya disengajakan kemudian menjadi kebiasaan, lantas meningkat lagi ke zikir sirri (zikir di dalam hatinya hati). Hamba Allah yang sudah mampu berzikir sirri ini tidak akan pemah terputus zikirnya meskipun ia terlupa berzikir. 

Dengan berzikir ini para pesuluk dapat membersihkan cerrnin hatinya dari sifat-sifat yang rendah secara sedikit demi sedikit. Pada saat itu, akan terbangun suatu penyesalan atas dosa-dosa yang dilakukan sehingga ia mencucurkan air mata dan berkehendak memperbaiki tingkah lakunya. Para pesuluk tidak rela untuk berada lagi dalam kelupaan dan kemaksiatan dengan mengikuti hawa nafsunya. Ia bertaubat dan minta ampun dan mengikuti petunjuk Tuhannya. Maka cermin hatinyapun mulai dapat menerima dan memancarkan Nur Ilahi yang kemudian merasuk ke seluruh tubuhnya dan mempengaruhi segala ucapan, tingkah laku, dan perbuatannya dengan segala keutamaan. 

Jika kita melaksanakan zikir dengan asyik dan khusyuk maka kita akan merasakan kenikmatan, kelezatan dan kemanisannya. Dengan berzikir, maka jiwa manusia akan begitu dekat dengan Tuhannya (qurb), merasa tenang jiwanya, merasakan tidak ada sesuatupun bahkan dirinya kecuali Allah, dan memperoleh ilmu pengetahuan yang hakiki (ma’rifat). Salah seorang sufi termasyhur, Abu Sa’id al-Harraz berkata, “Apabila Allah hendak mengangkat seorang hambanya menjadi wali dari hamba-hambanya yang lain, ia membuka kepadanya pintu zikir, maka apabila ia merasa lezat berzikir, dibuka kepadanya ‘babul qurb’, kemudian diangkatnya~ ke “majlisul uns” (tenang bathin), kemudian ditempatkan dia di atas kursi Tauhid, kemudian diangkat darinya hijab (penutup) dan lalu dimasukkan dia ke dalam ‘darul fardaniyyah’, dan dibukakanlah kepadanya ‘hijabul jalali wal’uzmati’. Apabila sampai pada ‘jalali wal’uzmati’, ia merasa tak ada lagi yang lain, hanya Huwa (Dia, Allah), maka takala itu seorang hamba berada dalam masa fana.” 

Dalam hal ini, kejauhan dan kedekatan seorang hamba dari Tuhannya bukanlah berarti kejauhan atau kedekatan tempat dan waktu, tetapi sesungguhnya kejauhan atau kedekatan itu semata-mata karena lupa atau ingat hati terhadap Allah. Rasulullah saw bersabda, “Firman Allah, Aku ini sebagaimana yang disangka oleh hamba-Ku, Aku bersama dia apabila ia ingat kepada-Ku, apabila ia mengingat-Ku dalam dirinya, Akupun ingat padanya dalam diri-Ku, dan apabila ia mengingat-Ku dalam ruang yang luas, aku pun ingat padanya dalam ruang yang lebih baik.” (Hadis Qudsi, Bukhari). 

Dengan demikian, orang yang menjalankan thariqat-zikir secara sungguh-sungguh tidak mempunyai rasa khawatir dalam menjalani hidup, tidak was-was dalam menjalankan sesuatu kebenaran, dan tidak berprasangka buruk terhadap orang lain. Hati mereka tenang, jiwa mereka tenteram. Firman Allah Swt, ...(Yaitu) orang,orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan zikrullah. Ingatlah hanya dengan zikrullah hati menjadi tenang. (QS. Ar-Ra’d:28) 



Mengerjakan Ritual Untuk Meraih Spiritual


Salah satu sifat manusia adalah rasa ingin tahu (inkuisitif) terhadap segala sesuatu yang dia alami dan kerjakan. Rasa ingin tahu ini mengantarkan manusia untuk berpikir rasional dan mencari penjelasan terhadap apa yang dia alami dan kerjakan. Sifat inilah yang seringkali mendorong kaum Muslim untuk merasionalisasi praktik-praktik ajaran Islam seperti berwudhu, shalat, zakat dan lain-lain. 

Sebenamya hal ini merupakan gejala yang baik, karena akan menambah kesadaran kaum Muslim terhadap nilai-nilai Islam, dan menjadikan kehidupan religiusnya lebih kokoh. Tetapi dalam perjalanan inkuisitifnya tentang Islam, kaum Muslim seharusnya tidak hanya terpaku pada penjelasan-penjelasan yang hanya bersifat material semata dari praktik-praktik ibadah Islam, tetapi juga memperluas cakrawalanya pada sisi immaterial yang merupakan pintu ke gerbang menuju dunia spiritual Islam. 

Tentu saja dalam memahami nilai-nilai spiritualitas dari praktik-praktik ibadah ini kita harus mengacu pada al-Quran dan Sunah. Sehingga ketika melaksanakan ajaran Islam kita mendapatkan ke dua sisi itu, aspek spiritual dan benar dalam syariat. 

Selanjutnya, ada satu pertanyaan mendasar yang harus dijawab sebelum memasuki sisi spiritual ini. Apakah ritual (upacara keagamaan) mempunyai hubungan dengan penyucian spiritual? Jawaban atas pertanyaan seperti itu akan mencerminkan mentalitas sebagian besar kaum Muslim. Misalnya ketika ditanya, “Mengapa wudhu dan mandi diwajibkan?” atau “Mengapa benda-benda tertentu dianggap sebagai najis dalam Islam?” Umumnya banyak orang akan mengatakan bahwa hukum tersebut dibuat agar kita tetap dalam keadaan bersih, dan bahwa Islam adalah agama kebersihan. 

Memang Islam mengharapkan para pengikutnya agar bersih secara fisik, bahwa Islam adalah agama kebersihan, dan peraturan thaharah dapat membantu menjaga kebersihan diri seseorang. Dalam hal ini, sesungguhnya Islam telah berhasil dalam mendorong kebersihan perorangan, tidak hanya ketika dibandingkan dengan Arabia pada abad ketujuh, juga ketika dibandingkan dengan standar kesehatan perorangan bangsa Eropa sampat abad kesepuluh. 

Muhammad Ridhwi dalam buku Meraih Kesucian Jasmani dan Rohani, mengutip kesaksian Wright bahwa ketika ratu Victoria naik takhta pada tahun 1837, tidak ada kamar mandi di Istana Buckingham. Pada masa-masa itu pendapat yang lebih waras mengakui bahwa keseringan mandi akan menambah sakit rematik dan keluhan jantung. Menjelang akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh, ketakutan terhadap air mulai runtuh, meskipun mandi masih dianggap eksentrik kecuali untuk alasan pengobatan. 

Will Durant, salah satu ahli sejarah terkemuka dunia menulis bahwa kebersihan pada abad pertengahan di Eropa tidak berdampingan dengan kesalehan. Ia menulis, salah satu hasil dari perang Salib adalah diperkenalkannya Eropa dengan mandi uap gaya Muslim. Dan di kerajaan Ottoman pada masa itu kebersihan pribadi sudah merupakan hal biasa, yang pada saat itu sebagian pendeta Kristen lebih membanggakan diri karena sanggup menghindari air. Sedangkan kaum Muslim diwajibkan berwudhu sebelum memasuki masjid atau mendirikan shalat; dan dalam Islam kebersihan benar-benar berdampingan dengan kesalehan. Demikianlah tulis Will Durant. 

Tetapi menekankan secara khusus pada aspek fisik dari aturan-aturan thaharah belumlah mencerminkan nilai sebenarnya dari ajaran Islam. Kebersihan fisik bukanlah alasan utama yang mendasari pembersihan ritual. Jika Islam menerapkan wudhu dan mandi sekedar untuk kebersihan fisik semata, maka mengapa orang yang baru saja kehujanan tetap harus melakukan wudhu sebelum mendirikan shalat? Jika kebersihan ritual hanya untuk kebersihan fisik, maka mengapa ada tayamum? Tayamum adalah pengganti wudhu dan mandi bila tidak ada air, tapi tayamum dilaksanakan dengan ‘kotoran’ atau tanah, dan jelas-jelas menyebabkan ketidakbersihan fisik. 

Di sinilah kita melihat bahwa ajaran Islam selalu menekankan pada dua bidang yang harus disucikan, fisik dan spiritual. Memang wudhu dan mandi berkaitan dengan penyucian jasmani tapi ada alasan yang lebih luhur yang mendasari dua pembersihan ritual ini, yaitu menjadi pintu gerbang menuju penyucian spiritual. Wudhu dan mandi adalah awal kita memasuki prosesi ibadah ritual kepada Allah Swt dan juga untuk mensucikan batin dari godaan setan. Nilai kesucian dan kebersihan dari berwudhu ini akan mengantarkan kita pada ketenangan dalam menjalankan ibadah ritual. 

Hal ini dapat dicontohkan, bahwa jiwa rnanusia itu bagaikan bola lampu. Jika bola lampunya dilindungi dari debu dan kotoran, maka ia akan rnenerangi lingkungannya; tapi jika debu dan kotoran dibiarkan menumpuk pada bola lampu rnaka ia tidak akan mampu menerangi lingkungannya seterang sebelumnya. Sama halnya, jiwa manusia harus dilindungi dari ‘kotoran’ spiritual dlan ketidakbersihan, jika tidak maka ia tidak akan dapat membimbing seseorang selurus sebelumnya. 

Allah Swt berfirman, 

Demi matahari dan cahayanya di pagi hari! Demi bulan ketika ia mengiringi matahari. Demi siang ketika ia menerangi (setiap sesuatu)! Dengan malam ketika ia menutupi siang! Demi langit dan Dia yang membangunnya! Demi bumi dan Dia yang menghamparkannya! Dan demi jiwa dan Dia yang menyempurnakannya! Maka Dia mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Beruntunglah orang yang menyucikan jiwa dan merugilah orang yang mengotorinya. (QS. Asy-Syams:1-10) 

Setelah bersumpah dengan tanda-tanda ciptaan-Nya yang sangat agung. Allah Swt mengatakan bahwa jiwa manusia yang suci memiliki kemampuan untuk memahami apa yang benar dan apa yang salah asalkan jiwa itu disucikan dan tidak dirusak. Ayat ini menjelaskan bahwa jiwa manusia, persis sebagaimana jasadnya bisa menjadi tidak suci dan kotor secara spiritual. Imam Ali bin Abi Thalib berkata, “Jiwa manusia adalah sebuah permata yang indah; barangsiapa menjaganya maka ia mempertinggi (nilainya) dan barangsiapa merendahkannya maka ia mengurangi (nilainya).” 

Karena jiwa manusia bagai permata maka ia harus dilindungi dari segala kotoran, supaya nilainya tidak berkurang. Kotoran-kotoran yang dapat merusak jiwa manusia secara kolektif disebut dosa. Penumpukan dosa akibat perbuatan kita dapat menjadikan jiwa manusia tidak efektif dan dalam ungkapan al-Quran ‘menutupi hati’. Firman Allah Swt, 

Apapun (dosa) yang telah mereka lakukan telah menutup hati mereka. (QS. al-Muthaffifin: 14) 

Dengan melakukan dosa, tidak hanya jiwa seorang Muslim menjadi tertutup tapi juga secara spiritual ia berpaling dari Allah Swt. Dosa menciptakan jarak antara Tuhan dan manusia. Sehingga manusia menjadi kehilangan kesejukan nilai ruhani, yang mengakibatkan keterasingan manusia dari dirinya sendiri. Manusia juga sering mendapatkan rasa putus asa dan gelisah dalam kehidupannya akibat jauh dari Tuhannya. 

Dengan demikian kita memahami bahwa jiwa kita pun dapat menjadi tidak suci karena dosa-dosa. Untuk membersihkan tubuh kita dari najis fisik, kita menggunakan air, demikian pula, untuk membersihkan jiwa kita dari kotoran spiritual, kita menggunakan taubat. Taubat secara harfiah berarti ‘kembali’, tapi kata ini digunakan dalam terminologi Islam untuk ‘penyesalan’. Dengan kata lain, dengan bertaubat seorang pendosa ‘kembali kepada Allah dalam keadaan menyesal’. Penyesalan ini menjadi awal manusia untuk menjalani kehidupan spiritualnya di hadapan Allah Swt. 


Istiqamah Jalan Spiritual Menuju Keberhasilan


Kekuatan manusia yang paling mendasar sebenarnya adalah kekuatan ruhaninya. Dalam berbagai ayat al-Quran disebutkan beberapa kekuatan yang mampu mengalahkan dimensi hewani yang ada dalam diri manusia. Husain Mazhahiri, seorang guru akhlak dari Iran, menyebut ada lima kekuatan spiritual yang mampu memberikan kekuatan ruhani. Pertama adalah memperhatikan semua kewajiban agama, terutama shalat, yang menjadikan manusia memiliki keimanan emosional di dalam hati, yang mendorong hati, membenarkan masalah mabda’ (ibadah khusus) dan ma’ad. Ketika hati membenarkan masalah mabda’ dan ma’ad maka manusia mampu mengalahkan nafsu amarahnya. 

Sesungguhnya faktor kemenangan para syuhada Islam khususnya pemuda di medan peperangan adalah keimanan mereka yang tertanam kokoh di dalam hati mereka, yang mereka dapatkan melalui pemahaman dan pengkajian terhadap masalah mabda’ dan ma’ad. Oleh karena itu mengorbankan nyawa bagi mereka adalah sesuatu yang mudah. 

Sedangkan kekuatan spiritual yang kedua adalah sabar di dalam menghadapi kesulitan, sabar di dalam beribadah, dan sabar di dalam menjauhi maksiat. Barangsiapa mampu mencegah dirinya dari perbuatan-perbuatan maksiat, maka akan muncul di dalam dirinya suatu keadaan yang dinamakan oleh al-Quran nafsu lawwamah, atau yang diistilahkan dengan sebutan “nurani akhlak”. Nafsu lawwamah ini banyak membantu manusia di dalam memenangkan peperangan dahsyat melawan dimensi hewaninya. Allah berfirman, 

Dan jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. (QS. Thaha:25-28) 

Kekuatan penolong ketiga adalah taubat. Taubat ialah benturan atau pertempuran batin yang membimbing manusia ke arah kemenangan dan keberhasilannya menghadapi nafsu ammarah. Selanjutnya yang keempat adalah kelapangan dada. Barangsiapa ingin bisa mengalahkan berbagai kesulitan maka dadanya harus lapang. Karena, kebanyakan maksiat adalah hasil dari kesempitan dada dan ketidakmampuan menanggung berbagai tekanan hidup atau kesulitan-kesulitan duniawi. Kelapangan dada dan sikap tenang di dalam berpagai urusan, memberikan kepada manusia kemampuan untuk menang di dalam peperangan di dalam diri manusia. 

Sedangkan kekuatan yang kelima adalah sungguh-sungguh dalam melakukan pekerjaan. Ini terdapat dalam al-Quran yang berbunyi, 

Maka apabila kamu telah selesai dari sesuatu urusan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain. (QS. Al-Insyiah:7) 

Ini dibuktikan dalam banyak sejarah manusia besar di dunia. Misalnya, Thomas Alva Edison penemu lampu pijar, pada mulanya adalah orang yang dianggap bodoh oleh guru sekolahnya. Namun berkat kesungguhannya, ia mampu menepis image itu. 

Salah seorang sahabat Imam Ali, Maitsam at-Tammar telah sampai kepada derajat yang sangat tinggi karena keistiqamahannya. Meskipun dia seorang buta huruf yang tidak mengetahui baca dan tulis dan pada permulaan hidupnya dia adalah seorang budak, namun kemudian dia mampu menyertai Amirul Mukminin Ali, baik ketika berdiri maupun ketika duduknya. Maitsam at-Tammar telah mencapai derajat sebagai sahabat yang sangat dekat dengan Amirul Mukminin. Ini bukan sesuatu yang ringan karena hal ini memerlukan potensi dan kemampuan. 

Amirul Mukminin berkata, “...Sesungguhnya di sini terdapat ilmu yang banyak sekali –sambil beliau memberi isyarat ke dadanya, akan tetapi para pencarinya sedikit sekali. Ketika aku tiada engkau akan menyesal karena sedikitnya.” Salah sorang yang mampu memahami ilmu Imam Ali adalah Maitsam at-Tammar. Ini diceritakan dalam satu kisah yang menyentuh perasaan. 

Ketika Maitsam at-Tammar ditangkap oleh Ibn Ziyad, ia berkata, “Imam Ali telah berkata bahwa engkau akan memotong lidahku setelah engkau menggantungku di tempat yang tinggi.” Ubaidillah bin Ziyad berkata, “Saya akan menggantungmu namun saya tidak akan memotong lidahmu, sehingga engkau bisa mendustakan perkataan tuanmu, Imam Ali.” 

Maka diambillah tambang, dan kemudian Maitsam diikat dengan kuat. Selanjutya dia dikerek ke atas, dan dibiarkan tergantung di antara langit dan bumi. Bagi Maitsam keadaan itu cukup menguntungkan; dia menjadikan keadaan dirinya yang tergantung sebagai mimbar. Maka mulailah dia menceritakan keutamaan-keutamaan Amirul Mukminin kepada masyarakat. Kemudian Maitsam berkata, “Wahai manusia sesungguhnya aku mengetahui ilmu yang telah lalu, ilmu yang akan datang, dan ilmu yang sedang terjadi. Maka bersegeralah datang kepadaku supaya aku memberitahukanmu.” Kemudian dia menambahkan, “Ilmu pengetahuan yang aku miliki semuanya berasal dari ilmu Ali bin Abi Thalib, si Pintu Kota Ilmu Rasulullah. Dia telah mengajarkannya kepadaku, karena aku adalah sahabat rahasianya. Salam Allah atasnya.” 

Perkataan Maitsam at-Tammar ini membuat manusia bertanya-tanya dan berkumpul di sekitarnya, sementara dia dalam keadaan tergantung. Maka sampailah berita kepada Ibn Ziyad. Mendengar berita itu Ibn Ziyad merasa takut orang-orang akan bangkit berontak melawannya dan merusak istananya. Lalu dia pun memerintahkan para pengawalnya untuk memotong lidah Maitsam at-Tammar. 

Tiga hari kemudian datanglah seseorang ke tempat siksaan. Orang itu mengatakan, “Wahai Maitsam, saya mengetahui perjuanganmu sementara orang lain tidur, dan sayra mengetahui bahwa keistiqamahanmu adalah semata-mata karena Allah. Akan tetapi supaya Ibn Ziyad senang maka saya akan membunuhmu.” Maka laki-laki itu pun menancapkan tombak ke tubuh Maitsam, sehingga dengan begitu Maitsam menemui kesyahidannya. 

Kesungguhan Maitsam telah memenangkan pertempuran melawan dimensi hewaniyahnya, ini merupakan jihad akbar. Banyak ucapan-ucapan keluarga Nabi saw yang menekankan tentang pentingnya kesungguhannya ini. Imam Musa bin Ja’far al-Kazhim berkata, “Jauhilah olehmu sifat malas dan bosan, karena keduanya itu akan mencegahmu dari memperoleh kebajikan dunia dan kebajikan akhirat.” Demikian pula dengan ayat al-Quran, 

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu [Kebahagiaan] negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi . (QS. Al-Qashash:77) 

Sesungguhnya seruan Allah di atas itu, secara khusus ditujukan kepada Rasulullah saw dan secara umum ditujukan kepada seluruh hamba-Nya. Ayat-ayat di atas menekankan kepada kita untuk bersungguh-sungguh di dalam melakukan pekerjaan dan aktivitas sehari-hari. Barangsiapa mengerjakan yang demikian itu maka Allah menyampaikan kepada apa yang diinginkannya di dunia dan di akhirat. 


Manusia dan Kebahagiaan


Persoalan kebahagiaan merupakan masalah yang kerap hadir dalam diri manusia. Seluruh manusia berusaha untuk mendapatkan apa yang disebut dengan kebahagiaan itu. Namun terkadang manusia sulit membedakan antara kenikmatan dan kebahagiaan, sehingga manusia sering terjebak dengan kebahagiaan semu. 

Dalam hal ini, faktor yang menghambat manusia mencapai kebahagiaan adalah kesibukkannya dengan indera, dan guncangan psikis yang bersifat syahwat dan emosi yang berpengaruh terhadap pemahamannnya. Misalnya, jika manusia sudah mempunyai kekayaan, kecantikan atau kedudukan, manusia berpikir bahwa ia telah mencapai kebahagiaan. Padahal sejatinya, hal-hal itu bukanlah kebahagiaan tapi hanya kenikmatan. Karena kebahagiaan manusia pada dasarnya bukan pada kemampuan memperoleh kenikmatan inderawi, yang bersifat tidak abadi. 

Kita dapat melihat di dunia kehidupan orang-orang kaya yang tidak pernah puas akan kekayaaannya, begitu pula orang yang berkuasa tidak pernah lelah untuk meraih kekuasaan yang lebih besar lagi. Bahkan dalam realitas sehari-hari kita melihat mereka menggunakan berbagai macam cara untuk mendapatkan semua itu. Mereka melihat bahwa dengan mendapatkan semua itu maka kebahagiaan akan tercapai, padahal semua itu hanyalah kebahagiaan semu yang bersifat sementara dan bahkan dapat menjadi sumber kerusakan manusia. 

Dengan orientasi pada kenikmatan inderawi maka manusia sebenarnya telah menegasikan makna kemanusiaannya sendiri. Karena akal dan hati yang merupakan sarana-sarana yang mampu menuntun manusia mencapai kebahagiaan telah tertutup. Padahal, jika manusia mampu mencapai cahaya akal dan memahami alam gaib serta cahaya Ilahi, maka manusia akan mendapatkan kebahagiaan dan ia akan mencapai nilai kemanusiaan yang semakin tinggi. Sebaliknya, jika manusia disibukkan untuk memenuhi semua kenikmatan fisiknya, maka daya rasionalnya menjadi tumpul, pintu makrifat tertutupi, serta jiwa bahîmiyah menjadi sesuatu yang dominan atasnya sementara jiwa insâniyah-nya sirna. 

Salah seorang pemikir Islam terkemuka, Fakhruddin ar-Razi mengemukakan, “Sesungguhnya asal-usul kondisi manusia adalah kesibukannya dalam mencintai-Nya. Kesibukkan manusia untuk memenuhi berbagai kenikmatan fisik dan keindahan inderawi menghalanginya untuk beribadah dan berzikir. Jika pengetahuan itu merupakan tingkatan tertinggi pada makhluk dan kenikmatan inderawi merupakan penghalangnya, maka kenikmatan inderawi merupakan sesuatu yang paling buruk dari sisi kepentingannya.” 

Disinilah, menurut ar-Razi bahwa manusia jika ingin mencapai kebahagiaan hendaknya ia mencari kesempurnaan ilmu yang merupakan suatu kenikmatan pada saat sekarang dan kebahagiaan pada masa yang akan datang. Sebab penerimaan jiwa terhadap al-jalâyâ al-qudsiyah dan al-ma’ârif al-ilâhiyah tidak berdasarkan pada ketergantungan jiwa dengan badan seperti yang terjadi pada kenikmatan fisik, bahkan ketergantungan tersebut menjadi penghalang untuk mencapai kesempumaan jiwa. Jika ketergantungan itu terputus, maka al-jalâyâ al-ilâhiyah akan memancar. 

Jadi, kebahagiaan manusia terletak pada mengarahnya ruh menuju alam yang paling tinggi dan menghindarnya dari alam yang paling rendah. Sesungguhnya orang-orang yang berorientasi ke alam kudus akan menemukan keabadian tanpa kefanaan, keagungan tanpa kehinaan, kenikmatan tanpa penderitaan, dan rasa aman tanpa rasa takut. 

Pandangan ar-Razi ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Ibn Miskawaih. Ibn Miskawaih berpendapat bahwa kebahagiaan setiap eksistensi ada pada inti perilakunya yang ia lakukan atas dasar kesempurnaan dan keutuhan. Berdasarkan hal itu, maka kebahagiaan manusia ada pada inti perilaku kemanusiaan yang ia lakukan dan wujudkan kesempurnaannya, yaitu kemampuan membedakan, berpikir, dan mengambil hikmah. 

Ibn Miskawaih menjelaskan bahwa hikmah terbagi menjadi dua bagian, yaitu hikmah yang bersifat praktis. Dengan hikmah teoretis dimungkinkan memperoleh pendapat yang benar dan dengan hikmah praktis dimungkinkan mendapatkan jalan utama yang menjadi sumber semua perilaku yang baik. Sehingga dengan hikmah inilah manusia akan mendapat pengetahuan yang benar dan perilaku yang baik yang akhirnya mengantarkan manusia pada gerbang kebahagiaan. 

Oleh karena itu, barangsiapa yang ingin mencapai kebahagiaan maka ia harus menyempurnakan kedua bagian dari hikmah tersebut. Hikmah teoretis dapat diperoleh dengan mempelajari semua ilmu dan mengenal semua maujûdât (makrokosmos) , sehingga ia dapat melihat tujuan akhir (ultimare goal), yaitu Sang Pencipta semua maujûdât. Manusia yang berpengetahuan akan melihat betapa alam yang indah ini mempunyai sistem yang dahsyat sehingga terjadi keteraturan yang luar biasa. Bahkan para ilmuwan telah melihat bahwa memang diciptakan oleh Sang Maha Pencipta. Seperti apa yang dikemukakkan oleh Einstein bahwa Tuhan tidak sedang bermain dadu. Allah berfirman, 

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (QS. al-‘Imrân: 190) 

Sedangkan hikmah praktis dapat diperoleh dengan mempelajari buku-buku akhlak, dan itu dilakukan dengan mengurutkan daya dan perbuatannya yang utama, sehingga tidak saling beradu, tetapi berdamai dan semua perbuatannya muncul sesuai dengan dayanya yang terorganisasi dan teratur sebagaimana seharusnya. Dengan ketekunan dan kesabaran dalam melakukan upaya perbaikan akhlak itu maka ia akan mencapai derajat kesempurnaan yang akhimya mengantarkan pada kebahagiaan. 

Sesungguhnya kebahagiaan yang paling tinggi, dalam pandangan Ibnu Miskawaih, hanya akan terwujud jika manusia dapat berkembang dari makrifat maujûdât (makrokosmos) ke ma’rifatullah. Dan orang yang akan mampu mencapai tingkat ini atau maqam ini adalah orang yang akan merasakan kebahagiaan secara total. Dan dialah orang yang beruntung mendapat hikmah. Sebab, ia bermukim bersama ruh-ruh orang-orang yang paling luhur. Ia mengambil rahasia hikmah dari mereka, mendapatkan sinar ilahi, memperoleh tambahan keutamaan sesuai dengan tingkat perhatiannya terhadap hikmah dan minimnya halangan. Jika ada orang yang mencapai tingkat ini, maka ia telah mencapai ujung dan akhir kebahagiaan. 

Dengan demikian jika manusia dapat menyempurnakan kedua hikmah tersebut, maka ia akan memperoleh kebahagiaan yang sempurna. Itulah sebabnya kita sebagai manusia tidak boleh tertipu dengan silaunya dunia yang kerap menutup mata hati kita untuk meraih kedua hikmah itu. 


Penghalang mencapai manusia Bahagia


Manusia merupakan makhluk termulia di alam ini. Ia terdiri atas dua kekuatan yang berbeda, kekuatan ruhani dan kekuatan jasmani. Selain watak jasmani yang juga dipunyai hewan, manusia mempunyai banyak kebutuhan ruhani yang apabila dipenuhi akan memberinya kesempatan besar untuk mencapai kesempurnaan. Bilamana salah satu dari kedua sisi ini menjadi lebih kuat dari yang lainnya, maka yang lemah akan semakin lemah dan kalah. 

Jadi penyempurnaan pada dua sisi ini, baik yang spiritual maupun material merupakan tujuan ajaran Islam. Perjuangan manusia untuk mencapai keberhasilan kedua sisi ini merupakan jihad akbar. Jihad besar dalam rangka mencapai kebahagiaan sejati, yang merupakan cita-cita manusia. Dalam hal ini kita seharusnya mengenal berbagai penghalang dalam pencapaian menuju kesempurnaan manusia. 

Di antara perkara-perkara penting dalam jihad akbar adalah mengenali penyakit-penyakit atau mengindentifikasi-nya. Sebab, seorang pesuluk yang belum mengetahui tempat-tempat persembunyian musuh yang hakiki, tempat-tempat yang diperkirakan munculnya penyakit-penyakit hati, dan godaan iblis maka ia tidak akan mampu melawannya dan mengadakan pengaruh-pengaruhnya. 

Dalam sebuah riwayat disebutkan, Imam Baqir as berkata, “Di dalam hati ada dua telinga; telinga yang padanya dihembuskan bisikan-bisikan setan dan telinga yang padanya dihembuskan ajakan-ajakan malaikat. Maka, Allah menguatkan seorang mukmin dengan malaikat. 

Itulah makna firman Allah, ...dan Allah menguatkan mereka dengan ruh dari-Nya (QS. al-Mujadilah:22). 

Pergumulan antara godaan tentara iblis yang dilaknat dengan tentara Rahmani untuk menguasai Arsy ar-Rahman, yaitu hati. Dengan senjata cinta keduniaan, kecintaan pada diri, serta jaring-jaring keinginan rendah atau syahwat dan kelezatan dunia iblis berusaha menggoda manusia agar menjauhi pencipta-Nya. Dalam pergulatan itu, selama pesuluk tidak memasuki arena orang-orang ikhlas maka ia tidak akan berada di tempat yang aman dari musuh-musuh yang hakiki, sebagaimana dikatakan iblis yang dilaknat. Firman Allah, 

Iblis menjawab, “Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya kecuali hamba-hamba- Mu yang ikhlas di antara mereka.” (QS. Shad:82-83) 

Jadi keikhlasan merupakan senjata dalam jihad akbar itu. Keikhlasan inilah yang akan menghantarkan pesuluk untuk mencapai kemenangan ketika melakukan riyadhah dan jalan sayr. Dengan demikian, keikhlasan itu sudah merupakan prasyarat yang harus dipenuhi, dan selanjutnya seorang pesuluk harus men genal penyakit dan hal-hal yang merintangi untuk pencapaian tujuannya. 

Penyakit yang akan memberi rintangan pada manusia ketika hendak melaksanakan tujuannya haruslah segera dikenali dan ditumpas. Penyakit-penyakit ini diungkapkan dengan dosa dan kotoran yang pada umumnya muncul dari hubungan dengan pohon tabiat, cinta diri dan egosentris. Sayyid Abbas Nuruddin, dalam buku Menerbitkan Cahaya Diri, menyebutkan ada empat tingkatan penyakit yang harus dikenali dan dihilangkan agar manusia dapat mencapai kebahagiaan. Penyakit pada tingkatan pertama ini akan menyerang pada bagian fisik kita, yaitu badan. Penyakit jasmani ini dalam mengobatinya hendaklah dengan pergi kepada dokter yang ahli dan obat yang manjur. Jika tidak, penyakit itu akan menjadi semakin parah sehingga kadang-kadang mengerogoti seluruh tubuh. Tugas pesuluk adalah memelihara jasmani dan kesehatannya karena Allah menghendaki kehidupannya. Kalau tidak begitu, ia tidak akan dapat melangkahkan kaki di arena ini. Jika pesuluk tidak berhasil dalam mengobati penyakit-penyakit jasmani setelah mencurahkan segenap upaya yang diperlukan maka hendaklah ia menyerahkan urusannya kepada Allah dan bertawakal kepada-Nya. Dialah yang lebih mengetahui apa yang baik baginya. 

Penyakit pada tingkatan kedua ini berupa khayalan. Ini adalah bisikan-bisikan setan dan bentuk-bentuk khayalan kotor yang muncul dari hubungan dengan alam tabiat dan cinta pada keduniaan yang merupakan induk segala kekeliruan. Di antara penyakit-penyakit khayalan adalah kesibukan pesuluk dengan selain zikir kepada Allah atau berpikir untuk kepentingan kehidupannya. Ringkasnya, pesuluk harus menundukkan dan melatih khayalan sehingga ia menjadi pengikut kebenaran, tidak berpaling pada hal-hal yang batil dan bentuk-bentuk kerusakan dan tidak bercampur dengan bisikan setan yang dilaknat. Sebagian orang menganggap bahwa menyucikan khayalan merupakan pekerjaan mustahil. Namun, tidak demikian keadaannya. Memang diperlukan kesungguhan yang besar, sehingga ia dipandang sebagai bagian dari penyucian-penyucian batin yang sangat berat. Menolak pikiran-pikiran kotor dalam hal ini merupakan pengobatan terbaik. 

Pada tingkatan ketiga, penyakit ini berada pada akal manusia. Penyakit ini tersembunyi di dalam kesibukkannya dengan hal-hal yang tidak benar, seperti berdebat demi kemenangan ego pribadi, membuat rencana-rencana makar untuk menjatuhkan orang-orang yang tidak berdosa dan mendatangkan kerusakan. Ringkasnya, mengolah akal dengan sesuatu yang tidak sepatutnya, bukan untuk hal-hal yang mulia dan fardhu-fardhu syariat di antara pengetahuan-pengetahuan Rabhani dan membela akidah kaum Muslim, dipandang sebagai dosa dan kemaksiatan dalam tingkatan ini. 

Sedangkan penyakit hati merupakan tingkatan penyakit keempat. Salah satu yang dominan dari penyakit ini adalah sifat kemunafikan. Sebagaimana al-Quran telah menyebutkan bahwa kemunafikan merupakan penyakit hati. Allah berfirman, 

Di dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakit mereka; dan bagi mereka ada siksaan yang pedih... (QS. Al-Baqarah:10) 

Penyakit kemunafikan bukan saja mencegah orang mencapai kebenaran atau bahkan berusaha menemukannya tetapi juga menjadi suatu tembok tak terbobolkan yang menghadang di tengah jalan untuk mendapatkan akhlak mulia. Tentu saja semua itu menghalangi jalan perilaku yang pantas dan keutuhan psikologis dan menentang kehidupan bahagia yang berlandaskan kesempurnaan ruhani. 

Munafik tak syak merupakan salah satu sifat yang paling dibenci. Adalah kodrat manusia untuk menerima kebahagiaan dan kebebasan dan untuk meningkatkan diri ke tingkat martabat yang tertingggi. Namun ketika manusia tercemar dengan dusta, pelanggaran janji dan pengkhianatan amanat, kemunafikan mendapatkan arena luas dan menjadi siap sedia menembus masuk ke kodrat yang tercemar seperti itu. Kemudian terus maju sampai akhirnya menjadi penyakit yang parah. 

Demikian pula, riya dan ujub merupakan jenis-jenis penyakit hati. Barangkali sebagian besar penyakit akhlak muncul dari penyakit hati yang memerlukan dokter ahli dan pengawasan yang seksama. Jika tidak maka penyakit itu makin merasuk ke dalam diri manusia, dan menjadi sumber pengingkaran kepada Allah. 

Penyakit-penyakit pada masing-masing tingkatan di atas memerlukan penanganan yang berbeda-beda untuk penyembuhannya. Penyakit jasmani memerlukan orang yang terampil dalam pengobatan ini yaitu dokter. Namun tiga penyakit pada tingkatan lain, memerlukan suatu metode khusus untuk penyembuhannya. Pada umumnya, timbulnya penyakit-penyakit ini bersumber dari kejatuhan ke dalam tabir-tabir nurani berupa egoisme dan akibat-akibatnya. Di sinilah kita memerlukan latihan-latihan riyadhah yakni disiplin diri, asketis atau latihan kezuhudan dan jalan sayr yaitu perjalanan spiritual melalui berbagai kedudukan dari diri ke jiwa, untuk menjaga kita dari penyakit ini. 



Daftar Isi 

Renungan Jumat; Meraih Cinta Ilahi 1


Al- Huda 1


PENGANTAR EDITOR 2


BAB II: MERAIH CINTA ILAHI MELALUI ZIKIR 8


Meraih Cinta Ilahi Melalui Zikir 8


Manifestasi Zikir kepada Allah Swt 14


Zikir Sempurna 16


Buah Berzikir 21


Zikir Menyucikan Hati 25


Mengerjakan Ritual Untuk Meraih Spiritual 30


Istiqamah Jalan Spiritual Menuju Keberhasilan 35


Manusia dan Kebahagiaan 40


Penghalang mencapai manusia Bahagia 45





BAB III : METODE PERBAIKAN AKHLAK


Metode Perbaikan Akhlak


Coba kita perhatikan sekeliling kita, ada manusia yang berperilaku baik dan ada yang berperilaku buruk. Perbedaan tingkah laku manusia ini menurut Islam adalah dalam masalah akhlaknya. Menurut al-Ghazali akhlak adalah gambaran tentang kondisi yang menetap di dalam jiwa. Semua perilaku bersumber darinya dengan penuh kemudahan tanpa memerlukan proses berpikir dan merenung. Jika kondisi yang menjadi sumber berbagai perilaku yang indah dan terpuji bersifat rasional dan syar’i, maka kondisi itu disebut akhlak yang baik. Sebaliknya, jika berbagai perilaku yang bersumber darinya buruk, maka kondisi yang menjadi sumber itu disebut akhlak yang buruk. 

Dalam hal ini, akhlak manusia bukanlah sesuatu yang melekat tanpa berubah. Akhlak manusia dapat berganti dari yang buruk ke yang baik atau sebaliknya. Perubahan itu terjadi karena berbagai faktor seperti keluarga, pendidikan dan lingkungan masyarakat. Imam al-Ghazali menolak anggapan yang mengatakan bahwa akhlak tidak dapat berubah. Karena, menurutnya seandainya akhlak tidak mengalami perubahan, maka wasiat, nasihat, dan pendidikan tidak berarti apa-apa. 

Rasulullah saw pernah bersabda, “Perbaikilah akhlak kalian.” Ini menandakan bahwa akhlak manusia itu dapat berubah. Bahkan tak hanya manusia, hewan pun dapat berubah akhlaknya. Misalnya kuda dari hewan liar menjadi hewan yang jinak dan patuh. Hal ini jelas menandakan adanya perubahan akhlak (perilaku). 

Untuk mengenal akhlak yang baik, maka manusia harus mengenal karakteristik akhlak yang baik. Akhlak yang baik adalah titik tengah antara sesuatu yang terlalu berlebihan (radikal kanan) dan sesuatu yang terlalu kurang (radikal kiri). Misalnya, kedermawanan merupakan akhlak yang terpuji, dan akhlak ini berada di tengah-tengah antara sifat kikir dan sifat mubazir. Allah Swt telah memberikan pujian dengan berfirman, 

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan harta, mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (QS. al-Furqân:67) 

Demikian dalam ayat, 

Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelengu pada lehermu, dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. (QS. al- Isrâ’:29) 

Tentu tujuan dari perubahan akhlak ini bukan dimaksudkan untuk mengekang instink yang ada pada dasar biologis manusia, semisal syahwat dan emosi. Tetapi tujuan dari pendidikan akhlak adalah mengendalikan dan mendorong ke arah yang normal (titik tengah). Misalnya, jika manusia mempunyai syahwat sex atau makan, maka keduanya bukan dikekang tapi dikendalikan. Sex yang benar haruslah dengan pernikahan, begitu pula dengan makan yaitu dengan normal, tidak rakus dan tidak pula kehilangan selera makan. Allah Swt berfirman, 

...Makan dan minumlah, dan jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan. (QS. al-Araf:31) 

Dengan demikian, diperlukan sebuah usaha untuk mempunyai akhlak yang baik. Bagaimana caranya? Cara pengobatan ini sebenarnya tak ubahnya dengan pengobatan fisik? Menurut al-Ghazali sesungguhnya kesehatan badan ada pada normalitas kondisi, dan sakit badan bersumber dari kecenderungan kondisi badan untuk menjauhi normalitas. Demikian pula pada akhlak merupakan kesehatan jiwa, dan kecenderungan untuk menjauhi normalitas adalah penyakit dan gangguan. 

Cara pengobatan badan dilakukan dengan menghilangkan berbagai sebab dan penyakit yang mengganggu normalitas kondisinya; sedangkan cara memperoleh kesehatan badan adalah dengan mengembalikan kondisi yang normal. Demikian pula pengobatan jiwa dilakukan dengan cara menghilangkan berbagai kenistaan dan akhlak buruk darinya, serta memberikan keutamaan dan akhlak yang baik kepadanya. 

Al-Ghazali mengemukakan, “Kondisi badan yang umum adalah yang normal. Perut terancam bahaya karena makanan, keinginan dan berbagai situasi. Demikian pula, semua anak kecil dilahirkan dalam keadaan fitri, tetapi kedua orang tuanya yang menjadikannya Nasrani, Yahudi dan Majusi. Atau dengan kata lain, melalui proses pembiasaan dan pendidikan, maka kenistaan-kenistaan diperoleh. Badan pada mulanya tidak diciptakan dalam keadaan sempurna, tetapi ia menjadi sempurna dan kuat melalui proses pertumbuhan dan pemeliharaan dengan makanan. 

Demikian pula jiwa yang diciptakan dalam keadaan kurang, akan dapat mengalami kesempurnaan melalui proses pendidikan dan pengajaran akhlak serta santapan ilmu. Jika mengubah kehormatan badan yang sakit hanya dapat diatasi dengan lawannya- misalnya, panas dengan dingin atau sebaliknya, dingin dengan panas- begitu pula akhlak buruk yang merupakan penyakit hati juga dapat diobati dengan lawannya. Oleh karena itu, penyakit kebodohan diobati dengan belajar, penyakit bakhil diobati dengan berusaha dermawan, penyakit sombong diobati dengan sikap rendah hati, dan penyakit rakus diobati dengan mengurangi selera makan. 

Al-Ghazali melukiskan metodenya dalam mengobati penyakit hati tersebut adalah dengan perilaku yang berlawanan dari keinginan dan kecenderungan jiwa. Allah Swt telah mengemukakan hal itu di dalam al-Quran dalam satu kalimat yang berbunyi, 

Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya. (QS. an-Naziat:40-41) 

Oleh karena itu, terapi akhlak atau perilaku yang buruk adalah dengan memaksakan diri melakukan perilaku atau akhlak yang baik dan bertentangan dengan yang hendak diobati, serta terus melakukannya sehingga menjadi sebuah kebiasaan dan tabiat. Dengan metode ini, akhlak atau perilaku buruk akan hilang dan digantikan dengan akhlak atau perilaku yang baik. 

Jika akhlak buruk yang harus diobati bersifat menetap atau kuat di dalam perilaku, maka al-Ghazali menasihati untuk menerapkan metode at-tadrij (bertahap) dalam mengobatinya, yaitu dengan memindahkan si individu dari akhlak yang buruk menuju akhlak lain yang lebih ringan dan terus seperti itu, sehingga akhirnya ia terbebas dari akhlak buruk yang harus diobati. Misalnya, jika seseorang melihat kerakusan menguasai dirinya, maka ia harus berpuasa dan mengurangi makan. Setelah itu, ia harus memaksakan diri menyediakan makanan yang enak dan memberikannya kepada orang lain dan ia sendiri tidak boleh memakannya, sehingga jiwanya kuat menghadapi hal itu. Alhasil, kesabaran menjadi kebiasaan dan kerakusan akan menghilang. 

Tahapan-tahapan itu harus dilalui jika kita ingin mengobati penyakit hati yang telah bersarang dalam diri kita. Padahal ada yang lebih penting dari mengobati yakni menjaga jiwa atau hati dalam keadaan seminim mungkin dari perbuatan dosa sejak masih kecil. Karena, menurut al-Ghazali bahwa anak kecil tumbuh dalam keadaan jiwa yang kosong dari semua lukisan dan gambaran. Jiwanya siap menerima semua ‘ukiran’. Jika jiwanya dibiasakan dengan akhlak yang baik, maka jiwanya akan tumbuh berdasarkan kebiasaan yang baik. Soalnya, anak kecil dengan substansinya diciptakan untuk siap menerima semua nilai baik dan nilai buruk, tetapi kedua orang tua yang membuatnya condong ke salah satu dari keduanya. Oleh karena itu, orang tuanya harus menganjurkan anak-anaknya untuk mempelajari akhlak yang buruk, serta memperhatikan aspek pendidikan, pelatihan dan pembiasaan akhlak yang baik. 


Mendidik Hati


Manusia masa kini sering mengalami kegamangan hidup dalam menjalani kehidupannya. Hal ini dapat kita saksikan bahwa manusia masa kini sedang berenang dalam ketidaksadaran, konsumerisme, selingan yang membekukan pikiran, subjektivitas tanpa tujuan, individualisme yang neurotik, dan fragmentasi filsafat. Semua itu telah menjadikan manusia kehilangan orientasi dalam kehidupannya. 

Begitu pula kondisi artifisial inasyarakat industri modem dan pasca industri semakin mempercepat waktu, meningkatkan stres, mengisolasi setiap orang, mengurangi interaksi, merusak hati kita, dan memecah-belah setiap aspek eksistensi kita. Kita telah kehilangan makna dan tujuan hidup. Karena keutuhan kita telah hilang, kita membentuk suatu dunia yang tidak menyerupai teman melainkan sebuah tempat di mana manusia diperbudak, di mana keindahan alam dijarah, dimana keadilan dan peperangan yang tidak perlu menghancurkan apa yang hendak dibangun oleh hati manusia. 

Peristiwa dan kondisi yang ada dalam masyarakat ini merupakan cermin yang ada dalam diri kita (ego). Keberadaan ego yang penuh hasrat ini merupakan monster yang berkepala banyak, momok yang bisa berubah bentuk. 

Semua itu ternyata telah merasuk ke dalam diri kita, sehingga menjadikan diri mempunyai sifat-sifat serakah, egois dan kedustaan dalam menyikapi hidup ini. 

Mengapa hal itu dapat terjadi? Ini semua akibat terjadinya fragmentasi diri, yang merupakan akibat langsung dari hilangnya pengetahuan objektif kita tentang diri dan realitas. Dengan demikian, merupakan hal yang penting bagi kita untuk mengetahui hakikat diri kita itu. 

Mengetahui hakikat diri, sebenamya tak lepas dari tradisi spiritual yang ada di dunia. Tradisi spiritual inilah yang membentuk pandangan manusia terhadap dirinya. Tradisi ini juga memberikan arah dan tujuan hidup manusia itu. Sekarang ini, manusia seyogyanya meninggakan tradisi spiritual yang memelihara iman dengan membuta dan penuh dengan kepicikan, yang lebih pantas untuk manusia masa lampau. 

Selanjutnya, akankah mayoritas manusia dewasa ini bersedia menerima spiritualitas umum, spiritualitas media massa yang diperoleh dari literatur yang terus meningkatkan pertolongan untuk diri sendiri, yang sebagian besarnya mengandung tema-tema ego yang hidup dari dirinya ketimbang dari sumber yang autentik? Atau akankah spiritualitas dibajak oleh mereka yang menawarkan penyederhanaan secara kaku atau indoktrinisasi pada realitas berdimensi tunggal? Kita membutuhkan suatu spiritualitas bemuansa lembut, juga objektivitas. Kita membutuhkan suatu agama yang kandungan seninya sama banyak dengan hukumnya. 

Namun begitu, kita sadar bahwa pengetahuan yang objektif yang kita butuhkan tidak bisa dibangun oleh akal manusia saja. Akal dapat menjalankan banyak fungsi yang bermanfaat; ia dapat membagi, mengkritik, dan menolak, tetapi akal bukan sumber pengetahuan tentang tujuan hidup yang berasal dari ilham. Dugaan akal terlampau sering hanya menghantar ke suatu kumpulan opini yang membingungkan. Di sinilah tradisi sufisme mempunyai tempatnya. Tradisi ini memberikan manusia harapan untuk membuka cakrawala baru tentang dirinya. 

Sufisme bukan semata-mata hasil dari terkaan manusia. Ia didasarkan pada wahyu Ilahiah, kitab-kitab suci, yang telah diturunkan kepada umat manusia dan memberikan pengetahuan esensial yang kita butuhkan untuk mengembangkan kemanusiaan kita. Allah berfirman, 

Sebenarnya al-Quran adalah tanda-tanda yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu; dan tidak ada yang mengingkari tanda-tanda Kami kecuali orang-orang yang zalim. (QS. al-Ankabût:49) 

Begitu pula hadis Nabi saw banyak berbicara tentang nilai ruhani. Nabi Muhammad saw berkata, “Carilah ilmu sampai di negeri Cina.” Manusia diminta menjadi pencari ilmu yang aktif, bukan penerima dogma yang pasif. Tetapi pengetahuan yang kita cari tidak boleh cuma bersifat kuantatif, pengetahuan faktual, melainkan kualitatif, pengetahuan spiritual juga. Hati manusia menempati posisi penting dalam anatomi realitas. “Langit dan bumi tidak dapat menampung-Ku.” Begitu Kabir Helminski berucap tentang pentingnya hati. 

Kita harus mendidik hati agar mendapatkan pengetahuan kualitatif ini. Hati bukan sekedar suatu metafora samar yang menjelaskan kapasitas untuk merasakan yang tidak dapat didefinisikan. Hati adalah kekuatan kognitif yang objektif di luar otak. Ia adalah alat persepsi yang dapat mengenali dunia sifat-sifat spiritual. Hatilah yang dapat mencintai, memuji, memaafkan, dan merasakan Keagungan Tuhan. Hanya hati manusia yang dapat mengatakan ‘ya’ membuktikan keutuhan, dan mengenal Yang Mutlak. Hati dapat, melalui bimbingan pemahaman batin, memahami hal yang Riil. 

Menurut psikologi spiritual tasawuf, hati (qalb) adalah titik tengah antara diri (ego, nafs) dan ruh. Hati tergantung di antara dua kekuatan yang sama kuat dan saling menarik. Jika hati hanya menyerahkan dirinya pada diri, ia tidak menerima apa yang dibutuhkan untuk kehidupan dirinya yang sehat. Ia menjadi tertabiri, mengeras, dan akhirnya sakit. Jika hati membuka diri pada pengaruh ruh, ia memulai energi spiritual dan mengedarkannya ke setiap bagian manusia dan ke dunia luas. Akan tetapi, sayangnya hati benar-benar tidak berdaya di antara dua kekuatan nafs dan ruh. 

Dengan retorikanya yang menggugah, Sufi asal Amerika ini bertanya; Kekuatan apa yang meletakkan hati kita yang lembut dalam situasi yang tampaknya kejam ini dan mengapa? Mungkinkah keadaaan ini menyadarkan kita bahwa kita dalam dilema agar bisa belajar berseru dalam kelemahan kita, meminta pertolongan, menyeru dengan jelas kepada yang Mahakuasa? 

Ia pun menjelaskan dengan lugas jawaban atas pertanyaannya sendiri. Kebutuhan manusia yang riil dan esensial selama berabad-abad belum berubah benar. Siapa yang tidak sepakat, misalnya, dengan penilaian al-Ghazali delapan abad yang lalu bahwa “kesempurnaan manusia ada di dalam hati, bahwa cinta Tuhan harus menaklukkan hati manusia dan menguasai sepenuhnya, dan meskipun ia tidak menguasai sepenuhnya, ia harus dominan di dalam hati atas kecintaan terhadap segala hal lainnya.” 

Yang telah berubah adalah bentuk dan tekanan kekuatan cinta, sehingga dapat memindahkan cinta Tuhan dari hati. Dan yang mungkin berubah lebih lanjut adalah manusia bisa kehilangan semua konsepsi cinta Tuhan sebagai kriteria kesempumaan dan kebaikannya. Dalam al-Quran dikatakan, 

Sesungguhnya, orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang. (QS. Maryam:96) 

Sebagai manusia, kita merindukan spiritualitas yang menghangatkan, merindukan, dan menciptakan cinta bukan sebaliknya. Karena spiritualitas semacam itulah yang bisa memberikan manusia kedamaian, kasih sayang sesamanya dan juga mengenal jati dirinya sebagai manusia. Dengan spiritualitas semacam itulah kita dapat membangun dunia yang penuh dengan nilai-nilai harmonisasi. 


Kemuliaan Akhlak Muhammad saw


Pribadi Nabi Muhammad saw merupakan wujud kesempurnaan dan kemuliaan dari seluruh manusia. Muhammad saw adalah manusia pilihan Allah Swt untuk diutus sebagai pemberi kabar-Nya kepada manusia. Dia adalah rasul yang terakhir. Muhammad saw adalah makhluk Allah yang memiliki banyak keistimewaan dari segi kecerdikan, serta sifat-sifat keutamaan nabi seperti jujur, siddiq, amanah dan tabligh. Mukjizatnya yang paling luar biasa adalah wahyu Ilahi, al-Quran. 

Kemuliaan akhlaknya bukanlah di mulai saat kenabian, tapi merupakan sifat yang inheren dalam dirinya sejak ia dilahirkan. Allah telah menjadikan beliau sempurna keadaan fitrahnya, karena beliau kelak akan diutus untuk membawa agama fitrah, agama yang cocok dengan akal yang merdeka dan pandangan ilmu pengetahuan. Allah menyempurnakan beliau dengan akhlak yang luhur, sebab beliau akan diutus untuk membawa agama yang menyempurnakan dan menjunjung budi pekerti yang mulia. 

Sejak kecil beliau sudah mulai membenci penyembahan berhala, khurafat dan takhayul serta pekerjaan-pekerjaan hina lainnya, lalu beliau sangat menyenangi ‘uzlah’ menyepi sendiri, sehingga terhindar dari kebiasaan-kebiasaan buruk bangsanya saat itu (berupa kebiasaan bergelimang dalam kesenangan badani, pelampiasan kejahatan nafsu hewani; seperti pembunuhan: pelanggaran hak-hak orang, pemerasan, perampasan dan keserakahan dengan makan harta orang secara tidak benar), itu semua karena beliau akan diutus Allah untuk memperbaiki jiwa manusia yang sudah rusak, untuk menyucikan perilaku manusia yang sudah bejat, dengan percontohan akhlak yang mulia. Allah menjadikan beliau sebagai manusia teladan tertinggi, karena beliau akan diutus Allah untuk melaksanakan apa yang diwahyukan Allah kepadanya, berupa undang-undang dan hukum yang luhur. 

Sepanjang usianya beliau teguh dengan akhlaknya: hidup sederhana, murah tangan dan santun. Hatta sesudah mendapatkan banyak harta rampasan perang (ghanimah) dari kaum musyrikin dan Yahudi, beliau tetap memilih hidup sederhana, meskipun agama tidak melarang makan dan memakai rezeki yang baik-baik. Ini dikarenakan beliau lebih mementingkan kebutuhan orang lain daripada kepentingan dirinya sendiri. Beliau suka menjahit pakaian sendiri dan menambal terompah sendiri, padahal agama memperbolehkan berhias, malah memerintahkan berpakaian sebaik-baiknya kalau mau pergi ke masjid, mengerjakan shalat. Beliau selalu membantu keluarganya dalam urusan-urusan rumah tangga 

Dengan kesempurnaan dan kemuliaannya itu, alangkah rindunya kita untuk mendapatkan kasih dan syafaat Rasulullah saw. Alangkah rindunya kita untuk hidup di bawah tuntunan Rasulullah saw, sebagaimana Allah telah berfirman, 

Inilah satu-satunya jalanku yang lurus (yaitu Islam) maka hendaklah kamu mengikutinya. Jangan mengikuti jalan- jalan lain, niscaya kamu akan berpecah daripada jalan Allah. Yang demikian itu telah diwasiatkan oleh Allah kepada kamu supaya kamu bertakwa. (QS. al- An’am:153) 

Ketulusan iman dan cinta pada Rasulullah saw harus memenuhi segenap sudut dan ruang hati kita. Sehingga keimanan ini lahir dalam bentuk amalan-amalan yang memperlihatkan kecintaan kita kepada Rasulullah saw dan keyakinan kepada Allah. Allah berfirman, 

Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kamu seorang Rasul yang benar dari Tuhan kamu, maka hendaklah kamu beriman. Itu adalah lebih baik bagi kamu. (QS. an-Nisa’:170) 

Sesudah beriman kepada Nabi saw, kita dituntut pula mentaatinya. Bukan sekedar pengakuan beriman saja, tetapi sebaliknya hendaklah mempraktikkannya dalam semua urusan hidup baik di dalam rumahtangga, mendidik anak-anak, pergaulan dengan masyarakat, di tempat kerja dan di mana-mana saja. Kita dikehendaki taat sepenuhnya kepada Allah Swt dan Rasul-Nya. Allah berfirman, 

Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu taat kepada Allah dan Rasul. (QS an-Nisa’:159) 

Berdasarkan firman ini, ketaatan kepada Allah Swt dan Nabi saw merupakan kewajiban, bukan sunah. Untuk merasa ridha dengan perintah ini kita perlu melalui proses yang betul untuk melahirkan ketaatan, kepatuhan sepanjang hayat, sehingga kita dipanggil pulang menemui Allah. 

Kita hendaknya berusaha meningkatkan kefahaman, kesadaran, keyakinan dan semangat kita dari masa ke masa sehingga dapat taat sepenuhnya di dalam kehidupan untuk mencari keridhaan Allah Swt. Allah berfirman, 

Katakan Wahai Muhammad: Jika kamu kasih kepadn Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi kamu. (QS Ali ‘Imran:31) 

Untuk mendapat kasih Allah dan Rasul-Nya kita hendaknya mengikuti Rasulullah saw. Hanya dengan patuh kepada Rasulullah barulah kita akan mendapat kasih Allah. Rasulullah saw bersabda, “Semua kamu akan masuk surga, kecuali orang-orang yang membantah. Sahabat,sahabat bertanya, ‘Ya Rasulullah, siapakah yang membantah?’ Rasulullah bersabda, ‘Siapa yang mentaati aku dia akan masuk surga dan siapa yang membantahi atau mengingkari aku maka sebenamya dia membantah.” 

Setiap muslim wajib beradab dengan Rasulullah saw karena itu adalah perintah Allah kepada orang-orang yang beriman. Hal itu disebutkan pula oleh Allah di dalam Surat al-Hujurat ayat 1 yang berbunyi, Wahai orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya. Ini berarti sebelum kita mengerjakan sesuatu, kita perlu merujuk kepada Allah dan Rasulullah (yakni al-Quran dan al-Sunah) terlebih dahulu. Sifat seperti ini sentiasa menjadi tabiat sahabat-sahabat Rasulullah. Pada suatu ketika seorang sahabat lewat di antara dua lembah yang terletak di antara dua bukit. Di situ terdapat kawasan berair yang jemih lagi tawar aimya. Lalu sahabat itu berkata kepada dirinya, “Alangkah baiknya kalau aku dapat tinggal di sini. Tetapi aku tidak boleh berbuat demikian kecuali mendapat keizinan dari Rasulullah terlebih dahulu.” 

Setelah mengetahui perkara itu, Rasulullah berkata, “Jangan sekali-kali kamu berbuat demikian. Sekiranya kamu beribadah selama 60 tahun masih belum sama dengan seorang yang keluar berjihad di jalan Allah.” Kita perlu mentaati Rasulullah saw dalam semua hal. Hal ini lebih penting lagi terutama bagi seorang pendakwah karena ia bukan saja perlu menjadi seorang yang saleh, bahkan berbuat baik dan mengajak orang lain menjadi baik. 

Dalam surah al-Hujurat ayat 2, Allah berfirman, Janganlah kamu mengangkat suara kamu melebihi suara Rasulullah. Ayat itu diturunkan selepas peristiwa Thabit bin Qais bercakap dengan suara yang tinggi di hadapan Rasulullah. Ketika ayat itu turun, Thabit merasa bersalah yang amat sangat. Dia tidak keluar dari rumahnya karena merasa Allah murka dengannya. Kehilangan Thabit menyebabkan Rasulullah saw bertanya-tanya mengenainya. Ketika seorang sahabat datang ke rumahnya, Thabit berkata, “Sayalah yang mengangkat suara melebihi suara Nabi. Habis musnah segala amalan saya dan saya termasuk dalam golongan ahli neraka.” Ketika kabar itu sampai kepadanya, Rasulullah bersabda, “Tidak, dia adalah ahli surga.” 

Bagaimanakah sifat itu dapat tumbuh dalam diri sahabat Rasulullah? Sebenamya mereka telah mengenal Rasulullah saw dan mengetahui riwayat hidupnya sejak kecil hingga dewasa. Kemudian mereka mengikuti proses pendidikan di madrasah Rasulullah saw. Dengan itu Allah menampakkan rasa kasih sedemikian rupa hingga memenuhi setiap sudut dan ruang di dalam hati mereka. Itulah para sahabat Rasulullah saw, lalu bagaimana dengan kita! 


Shalawat: Ungkapan Cinta kepada Nabi saw


Dalam al-Quran, Allah Swt mengajarkan kepada kita tentang keagungan dan kemuliaan Nabi Muhammad saw. Ketundukan sempurna dan total dalam cinta kepada Rasulullah saw merupakan syarat mutlak guna meraih keberhasilan dalam perjalanan ruhani. Allah dan para malaikat-Nya terus menerus menyampaikan shalawat kepada Nabi saw sebagaimana termaktub dalam surat al-Ahzab:56. Dalam ayat itu, orang-orang beriman pun diperintahkan untuk menyampaikan shalawat dan salam kepada Nabi saw. Riwayat menyebutkan, pembacaan shalawat Nabi saw mestilah menyertakan keluarganya (âli Muhammad). 

Tentunya, ada hikmah dan tujuan tertentu ketika Allah menempatkan keluarga Muhammad (âli Muhammad) bergandengan dengan nama Nabi saw dalam bacaan tasyahud. Sayyid Ali Khameini, misalnya, mengungkapkan, dengan membaca shalawat seorang hamba akan senantiasa sadar bahwa dirinya harus berpedoman kepada mereka serta terus memperbaharui hubungannya dengan mereka (Ahlulbait Nabi saw). Artinya, dalam berislam kita diharuskan mengikuti mereka yang menjadi contoh hidup kesempurnaan manusia. 

Ketika menyadari kelemahan diri dan kerendahan wujudnya, maka seorang hamba akan dengan penuh santun menyampaikan salam kepada Rasulullah saw dan Ahlulbaitnya. Dengan begitu, shalawat menjadi penghubung spiritual antara dirinya dan Nabi saw. 

Allah Swt sendiri berfirman kepada Nabi saw, “Katakanlah kepada mereka: ‘Jika engkau mengklaim engkau mencintai Allah, maka ikutilah aku. Maka Allah akan mencintaimu’.” Untuk mendapatkan cinta Allah Swt, kita harus mengambil langkah penting dengan menjelmakan cinta kepada Nabi Muhammad saw dan keluarganya sampai ke suatu derajat di mana cinta menembus setiap atom diri kita dan mewarnai kehidupan, pemikiran, dan aktivitas kita sehari-hari. Nabi saw berkata, “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” Sabdanya lagi, “Agamamu adalah akhlak.” Separuh agama adalah ibadah. Kita bisa mengibaratkan ibadah sebagai suatu pabon dan akhlak sebagai buahnya. Tak seorangpun bisa menjadi pencinta sejati sampai keinginan dan hasratnya sejalan dengan keinginan Nabi saw. Di sinilah perlunya kita memeriksa diri kita apakah keinginan dan tindakan kita sudah sejalan ataukah tidak dengan ajaran Nabi Muhammad saw. 

Tentang ini, ada satu doa menarik dan perlu direnungkan. Dalam doa dikatakan, “Ya Allah, hidupkan kami dengan kehidupan Muhammad dan keluarga Muhammad dan matikan kami dengan kematian Muhammad dan keluarga Muhammad.” Makna doa ini amatlah dalam. Doa ini semacam peneguhan atas shalawat yang dibaca kaum Muslimin berupa janji setia agar kehidupan dan kematian kita berpandukan kepada hidup-matinya Muhammad dan keluarga Muhammad. 

Kisah berikut amat menarik untuk direnungkan karena mengungkapkan cinta seorang perempuan tua kepada Nabinya. Ada seorang perempuan tua penjual bunga. Setiap usai berjualan, ia shalat di masjid Agung di kotanya. Selesai zikir dan wirid seperlunya, ia membersihkan dedaunan kering yang berserakan di halaman masjid. Dengan tangannya yang renta, ia melakukan hal itu setiap hari. Perbuatannya itu diketahui oleh pengurus masjid. Karena iba, pengurus masjid membersihkan dedaunan tersebut sebelum si nenek itu datang. Akhimya, si nenek itu bertanya dengan nada protes mengapa itu dilakukan. Pengurus masjid menjawab bahwa mereka merasa iba kepadanya. “Kalau iba,” timpal si nenek, “Beri aku kesempatan untuk membersihkan dedaunan itu dari halaman masjid.” 

Permintaan itu pun diluluskan. Akhimya perempuan tua itu menjalani aktivitasnya yang semula: mengumpulkan dedaunan. Seorang Kyai diminta untuk menanyakan kepada si nenek mengapa ia begitu bersemangat mengumpulkan dedaunan. Alasannya, sungguh membuat kita terharu (dan ia meminta agar alasanya tidak disampaikan kecuali setelah ia meninggal) 

“Saya ini perempuan bodoh, Pak. Saya tahu amal-amal saya yang kecil itu mungkin juga tidak benar saya jalankan. Saya tidak mungkin selamat di akhirat kelak tanpa syafaat Nabi Muhammad. Setiap kali saya mengambil selembar daun, saya ucapkan satu shalawat kepada Rasulullah saw. Kelak jika saya mati, saya ingin Nabi menjemput saya. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya membacakan shalawat kepadanya.” Begitulah kecintaan tulus dari perempuan tua tersebut. 

Sedangkan menyangkut kesaksian benda-benda mati atas perbuatan manusia, salah seorang maksumin as mengatakan bahwa setiap langkah menjadi saksi atas perbuatan manusia. 

Karena itu, hendaknya manusia memperhatikan apa yang dipikirkan dan diperbuatnya. 

Kita harus bertanya kepada diri kita sebagai Muslim: “Apakah kita benar-benar mencintai Nabi Muhammad saw lebih daripada anak-anak kita, bisnis kita, dan keluarga kita? Inilah sesuatu yang diminta dari kita jika kita benar-benar ingin sukses dalam kehidupan ini dan kehidupan yang akan datang. Untuk hal ini, patutlah kita bercermin pada kehidupan Ali bin Abi Thalib as. Kecintaannya yang sangat kepada Nabi saw menyebabkannya rela untuk menggantikan Nabi saw di tempat tidur. Sampai-sampai al-Quran memujinya juga. Ketika kita sepenuhnya tunduk kepada cinta dan ajaran Muhammad saw, maka kita menjadi seorang pencinta sejati. Ketika cinta ini menginfus wujud kita, menukil dalam-dalam ke atom kita, maka keberhasilan adalah milik kita. 

Dalam kajian ilmiah ditunjukkan tiga pengaruh dari keajaiban cinta terhadap perilaku menurut teori psikolog sosial Herbert C. Kelman. Pertama, ketundukan (compliance). Ini pengaruh yang paling dangkal. Orang lain patuh kepada kita karena khawatir kehilangan sesuatu yang menguntungkan atau mengundang sesuatu yang merugikan. Seorang pegawai patuh kepada majikannya karena takut gajinya dipotong. Orang patuh pada aturan lalu lintas karena takut ditilang polisi. Kedua, internalisasi. Ini pengaruh yang lebih dalam. Orang Islam mengikuti Nabi Muhammad saw karena yakin ia benar. Seorang pasien mengikuti karena anjuran dokternya benar. Murid mengikuti gurunya karena sang guru benar. Dengan kata lain, berdasarkan otoritas atau keahlian. 

Ketiga, identifikasi. Dalam identifikasi, setiap orang berusaha untuk ‘to be like or actually to be the other person’, ingin seperti atau betul-betul menjadi orang lain itu. Anak kecil yang meniru orang tuanya, siswa yang mencontoh perilaku gurunya, atau fans yang mengambil tingkah laku idolanya merupakan contoh-contoh identifikasi. Karena cintalah proses identifikasi muncul. Inilah yang dimaksudkan dengan ucapan Nabi saw, “Anta ma’a man ahhabta.” Engkau bersama orang yang engkau cintai. 

Dalam hal ini, kaum Muslim patut bersyukur lantaran Allah memberi kita rahmat besar berupa kecintaan kepada Nabi Muhammad saw. Kita harus menyediakan waktu dalam kehidupan kita sehari-hari tidak sekedar mengucapkan shalawat dan salam kepada Nabi saw, namun pada akhimya mencoba mengejawantahkan kehidupan dan etiket risalahnya. Dialah guru akhlak mulia dan contoh al-Quran yang hidup. Sehingga tidak ada keberhasilan dalam hidup ini (untuk di dunia dan akhirat) selain dengan mengikuti Rasulullah saw. La hawla wa la quwwata illa billah. Wallahu a’lam bishawwab. 


Meraih Kesucian Hati Dengan Wudhu


Dalam ajaran Islam ada dua sisi dalam melihat perintah Allah, yaitu sisi syariah dan sisi ruhani. Sisi ruhani ini merupakan dimensi spiritual yang akan menyentuh hati, memberi kekuatan ruhani, kebahagiaan dan rasa ketenangan. Sisi ruhani ini ada dalam setiap orang yang mempunyai keinginan menuju Allah melalui hatinya. 

Dalam penerapannya, aspek ruhani ini tak lepas dari aspek syariah. Salah satu aspek yang penting dalam pelaksanaan syariah adalah berwudhu. Begitu pentingnya wudhu, sehingga orang yang tidak berwudhu dilarang untuk shalat, thawaf, menyentuh Mushaf (al-Quran). Pada kesempatan ini, kita akan membahas aspek ruhani dari berwudhu yang merupakan bagian dari thaharah. Thaharah menurut bahasa berarti bersih. Menurut ahli fuqaha (ahli fiqih) berarti membersihkan hadas atau menghilangkan najis yaitu najis jasmani seperti darah, air kencing, dan tinja. Hadas secara maknawi berlaku bagi manusia. Mereka yang terkena hadas ini terlarang untuk melakukan shalat, dan untuk menyucikannya mereka wajib wudhu, mandi dan tayamun. Thaharah dari hadas maknawi itu tidak akan sempurna kecuali dengan niat taqarrub dan taat kepada Allah Swt. 

Wudhu yang merupakan bagian dari thaharah mempunyai arti penting dalam ibadah. Dalam beberapa riwayat Rasulullah saw bersabda tentang pentingnya berwudhu, “Barangsiapa berwudhu, lalu membaguskan wudhunya, dan kemudian shalat dua rakaat tanpa terbersit suatu urusan keduniaan dalam pikirannya, ia keluar dari dosa-dosanya seperti ketika dilahirkan ibunya.” Dalam riwayat lain disebutkan, Nabi saw bertanya di tengah para sahabatnya, “Maukah aku beritahukan kepada kalian sesuatu yang karenanya Allah menghapuskan dosa-dosa manusia dan meninggikan derajatnya, yaitu membaguskan wudhu ketika malas mengerjakannya; melangkahkan kaki ke masjid; dan menanti waktu shalat berikutnya setelah menyelesaikan satu shalat.” Nabi saw berwudhu satu kali-satu kali, lalu bersabda, “Inilah wudhu yang menyebabkan Allah menerima shalat.” Beliau berwudhu dua kali-duakali, lalu bersabda, “Barangsiapa berwudhu dua kali-dua kali, Allah memberikan pahalanya dua kali..” Kemudian beliau berwudhu tiga kali-tiga kali, lalu bersabda, “Inilah cara wudhuku, wudhu para nabi sebelumku, dan wudhu kekasih ar-Rahman, Ibrahim as.” 

Pada riwayat-riwayat di atas, menunjukkan bahwa wudhu berfungsi sebagai penghapus dosa, meninggikan derajatnya dan meningkatkan pahala. Tapi semua itu akan mempunyai nilai jika sisi ruhani diutamakan. Seperti yang diungkapkan Rasulullah saw, “Barangsiapa yang mengingat Allah ketika berwudhu, Allah akan menyucikan seluruh tubuhnya. Barangsiapa yang tidak mengingat Allah ketika berwudhu, Allah hanya akan menyucikan anggota tubuhnya yang tersiram air wudhu.” 

Jadi dalam berwudhu kita tidak hanya membersihkan aspek lahir saja. tapi juga aspek batin. Ini terungkap dalam hadis yang berbunyi seperti ini. Beliau pernah bersabda, “Apabila hamba Muslim berwudhu lalu berkumur, keluarlah dosa-dosa dari mulutnya. Apabila ia menghirupkan air ke hidung dan mengeluarkannya lagi, keluarlah dosa-dosa dari hidungnya. Apabila ia membasuh wajahnya, keluarlah dosa-dosa dari wajahnya hingga yang ada di bawah kelopak matanya. Apabila ia membasuh kedua tangannya, keluarlah dosa-dosa dari kedua tangannya hingga yang ada di bawah kuku jari-jari tangannya. Apabila ia mengusap kepala, keluarlah dosa-dosa dari kepalanya hingga yang ada di bawah telinganya. Apabila ia membasuh kedua kakinya, keluarlah dosa-dosa dari kedua kakinya hingga yang ada di bawah kuku jari-jari kakinya. Kemudian langkahnya menuju masjid dan shalatnya merupakan ibadah sunah baginya.” 

Terhapusnya dosa-dosa ketika berwudhu merupakan simbolisasi dari perbuatan yang kita lakukan melalui raga yang dibasuhi dengan air wudhu. Jadi ketika mulut kita berkumur dengan air wudhu, ini mengisyaratkan apapun yang kita masukan dan keluarkan dari mulut tidak membawa hal-hal yang haram. Karena air wudhu yang mengalir di mulut telah mensucikan mulut itu dari yang haram. Ini berarti memasukkan makanan dan minuman hanya yang halal-halal saja, tidak dari hasil perbuatan haram. Demikian pula jika mengucapkan perkataan tidak akan menyakiti hari orang lain. Setiap ucapannya memberikan kesejukan kepada yang mendengamya. Kata-katanya tidak bermaksiat kepada Allah. 

Selanjutnya ketika ia membersihkan hidungnya. maka hidungnya itu tidak mencium bau-bauan haram, seperti minuman keras dan yang merangsang syawat. Ia menjaga kesucian hidungnya dengan hanya mencium yang halal. Dan ia banyak mencium karamah-karamah Allah, yang Allah berikan melalui para nabi dan walinya. Jika ia seorang pemimpin maka ia harus banyak mendengar keluhan rakyatnya, bukan hanya ucapan manis bawahannya. Ia harus banyak mendengar suara orang-orang yang membutuhkan perhatiannya, seperti kaum miskin dan anak-anak terlantar. 

Manusia yang berwudhu akan menjaga kesucian mukanya dari polesan-polesan semu. Ia akan ceria dan tersenyum kepada semua manusia. Ia beramal dengan senyumnya. Wajahnya memberikan kedamaian kepada yang melihatnya. Dan matanya terlindung dari melihat hal-hal yang haram. Melihat hanya yang dihalalkan Allah. Cahaya kesucian terpancar dari raut wajah dan sinar matanya. Air wudhu telah membersihkannya dari kotoran jasmani dan ruhani. 

Sehingga tangan dan kakinya hanya menyentuh yang dihalalkan dan kakinya melangkah di tempat-tempat yang tersucikan. Tangan yang tersucikan akan selalu ringan memberi daripada menerima. Ia banyak menolong orang-orang yang kesulitan hidup dan membutuhkan pertolongannya. Kakinya ringan melangkah untuk membantu sesama saudaranya. Langkah-langkahnya jauh dari tempat-tempat maksiat. Jika ia seorang pemimpin umat ia akan dengan cepat tangan mengulurkan bantuan kepada rakyatnya. Ia tidak rela melihat rakyatnya ditimpa bencana sedangkan ia asyik di rumah dinasnya. Kaki dan tangannya yang telah suci dengan air wudhu, akan terus bergerak memberikan pertolongan kepada rakyatnya. 

Diriwayatkan, Umar ibn Khathab mengutus salah seorang sahabat Rasulullah saw ke Mesir untuk mengambil tirai Kabah. Lalu orang itu singgah di salah satu wilayah Syam tempat adanya pertapaan seorang rahib. Tidak ada rahib lain yang lebih alim darinya. Utusan Umar ini ingin menemuinya dan mengetahui ilmunya. Lalu ia mendatanginya dan membuka pintu rumahnya. Akan tetapi, pintu itu tidak dapat terbuka. Setelah beberapa lama, baru utusan itu dapat menemui rahib, lalu bertanya untuk mendengarkan dan mengagumi ilmunya. Ia pun mengadukan kepadanya tentang dirinya yang tertahan di pintu rumahnya. Rahib itu menjawab, “Ketika kami melihatmu, datang kepada kami, dalam keadaan takut kepada penguasa, kami takut kepadamu. Kami menahanmu di pintu semata-mata karena Allah Swt berfirman kepada Musa as, “Wahai Musa, apabila kamu takut kepada penguasa, berwudhulah, dan perintahkanlah keluargamu berwudhu. Sebab, barangsiapa yang berwudhu, ia berada dalam perlindungan-Ku dari apa yang kamu takutkan. Oleh karena itu kami mengunci pintu itu bagimu hingga engkau berwudhu dan berwudhu pula semua orang yang ada di dalam rumah, serta kami shalat. Karenanya kami merasa tenteram terhadapmu, kemudian membukakan pintu untukmu.” (Imam Ghazali, Menyingkap Hati Menghampiri Ilahi. Pustaka Hidayah) 

Dengan dernikian orang yang berwudhu akan mempunyai kesucian lahir dan batin. Sehingga wudhunya rnenjadi perisai bagi dirinya. Ia akan selalu terjaga dari kekotoran ruhani dan jasmani, dan maksud jahat dari orang-orang yang berniat jahat. Seperti wudhunya para wali Allah, yang telah tersucikan hatinya. 



Jauhi Kemaksiatan Tegakkan Kesalehan


Perbuatan-perbuatan manusia, baik itu perbuatan baik atau buruk akan mempunyai dampak bagi manusia itu sendiri. Perbuatan-perbuatan baik akan membuahkan kebaikan bagi manusia, sedangkan perbuatan-perbuatan buruk akan mengakibatkan kehancuran bagi manusia. Perbuatan buruk yang merupakan kemaksiatan kepada Allah ini mengakibatkan berbagai dampak buruk dan tercela, yang dapat membahayakan kalbu maupun jasad, baik di dunia maupun di akhirat. Semua itu tidak ada yang dapat mengetahuinya kecuali Allah sendiri. 

Salah satu dampak dari perbuatan maksiat adalah terhalangnya ilmu, sebab ilmu adalah cahaya Allah yang ditempatkan di dalam kalbu, sementara kemaksiatan adalah sesuatu yang dapat memadamkan cahaya tersebut. Dalam sebuah riwayat disebutkan, manakala Imam Syafi’i duduk mengaji di hadapan Imam Malik, dia membacakan sebuah kitab di hadapan Imam Malik. Imam Malik kagum atas kecerdasan otak dan kesempumaan pemahamannya. Beliau kemudian berkata, “Sungguh, aku telah melihat Allah memberikan cahaya di dalam kalbumu. Oleh karena itu, hendaklah engkau tidak memadamkan cahaya itu dengan gelapnya kemaksiatan.” Imam Syafi’i pernah berkata dalam sebuah syairnya: 

Ku mengadu pada Waki’ akan buruknya hafalanku. Ia menunjuki diri ini agar meninggalkan kemaksiatan. Beliau pun bertutur: Ingatlah, ilmu itu anugerah Ilahi. Pelaku maksiat tak mungkin diberi. 

Dampak lain kemaksiatan adalah terhalangnya rezeki. Hal ini disebutkan dalam sebuah hadis, seperti yang dikutip oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah, dalam bukunya Siraman Rohani, yang berbunyi, “Sesungguhnya seorang hamba akan terhalang rezekinya akibat dosa yang dilakukannya.” Sebagaimana menjalankan ketakwaan kepada Allah dapat mendatangkan rezeki, maka meninggalkan ketakwaan dapat mendatangkan kefakiran. Dengan demikian, tidak ada apa pun yang dapat mendatangkan rezeki kecuali dengan meninggalkan kemaksiatan. Allah berfirman, 

Kalaulah penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. (QS. al-A’raf: 96) 

Kemaksiatan juga mengakibatkan kesedihan dalam kalbu manusia, karena dirinya jauh dari Allah, yang tidak dapat diimbangi dan dibarengi oleh kesenangan duniawi terkumpul. Sedangkan kebahagiaan kalbu hanya dapat dirasakan oleh orang yang hatinya hidup. Ada seseorang yang pernah mengadu kepada seorang bijak mengenai kesedihan yang ada di dalam kalbunya. Orang bijak itu bertutur demikian, 

Jika kau merasa berduka karena melakukan dosa-dosa. 

Tinggalkanlah ia segera niscaya akan damai rasanya. 

Dalam sebuah hadis lain dari ‘Abdullah Ibn Abbas yang berbunyi, “Kebaikan itu tercermin pada adanya cahaya pada raut wajah dan kalbu. Kebaikan itu dapat menyebabkan kelapangan rezeki, kekuatan badan, dan disenangi oleh setiap makhluk Allah. Sementara kejahatan akan mengakibatkan raut wajah menjadi hitam, kalbu menjadi gelap, badan menjadi lemah, rezeki menjadi sempit dan menyebabkan munculnya kebencian dalam kalbu setiap makhluk.” 

Kemaksiatan juga dapat menimbulkan kelemahan pada kalbu dan badan. Kelemahan pada kalbu demikian jelas, bahkan akan berlangsung terus hingga dapat menghilangkan kehidupan secara keseluruhan. Sementara kelemahan pada badan dapat dipahami karena kekuatan tubuh seorang mukmin itu terletak pada jiwanya. Semakin kuat jiwanya, akan semakin kuat pula badannya. Sebaliknya, seorang yang gemar berbuat dosa, meskipun mungkin ia berbadan kuat, tetapi ia bisa begitu lemah ketika melakukan suatu pekerjaan. 

Dalam bagian lain dari buku yang sama, Ibn Qayyim, menuliskan sebuah hadis dari Ibn Abbas yang bertutur tentang makna berbuat dosa ini, “Wahai pelaku dosa! Janganlah sekali-kali kamu merasa tenteram terhadap akibat dosa itu pada saat kalian melakukannya. Betapa kecilnya rasa malumu terhadap orang-orang yang ada di kanan kirimu pada saat melakukan dosa adalah jauh lebih besar ketimbang dosa itu sendiri. Tawamu pada saat kamu tidak mengetahui apa yang Allah akan perbuat terhadap dirimu adalah lebih besar daripada dosa itu sendiri. Rasa bangga dengan dosa yang kamu lakukan adalah lebih besar ketimbang dosa itu sendiri. Kekhawatiranmu terhadap angin yang menyingkap tabir pintumu di saat kamu melakukan dosa, padahal hatimu tidak merasa khawatir terhadap pandangan Allah kepada dirimu, adalah lebih besar daripada dosa itu sendiri.” 

Setiap manusia yang berpaling dari Allah dan sibuk dengan berbagai kemaksiatan kepada-Nya akan menjadi sia-sialah hari-hari dalam kehidupannya yang sebenarnya. 

Kelak ia akan tahu hilangnya waktu-waktu tersebut dan di akhirat nanti ia akan berkata, Alangkah baiknya seandainya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini (QS. Al-Fajr:24). 

Memang menyesal kemudian tidak berguna, untuk itu kita harus waspada melihat jeratan kemaksiatan yang akan semakin mengikat kita. 

Perbuatan maksiat itu akan semakin memacu dan menguatkan hasrat untuk melakukan kemaksiatan, dan secara perlahan-lahan dapat mengakibatkan semakin lemahnya keinginan untuk bertaubat yang bahkan dapat melenyapkan sama sekali kehendak untuk bertaubat. Jika separuh kalbunya telah mati, boleh jadi ia akan bertaubat kepada Allah, memohon ampunan dan bertaubat kepada-Nya. Akan tetapi, semua itu mirip dengan taubatnya para pendusta tatkala ia lebih banyak mengucapkan taubat di bibir saja sedangkan hatinya selalu ingin berbuat maksiat, selalu mengerjakan dan bahkan senantiasa melakukannya selama ada kesempatan. Inilah penyakit yang paling besar dan dapat menyebakan cepatnya kebinasaan pelakunya. 

Sungguh dalam hal ini patut kita simak pandangan lbn Qayyim tentang akibat kemaksiatan. Ia menuturkan bahwa kemaksiatan itu dapat membuat jatuhnya martabat, kedudukan dan kehormatan pelakunya dalam pandangan Allah maupun dalam pandangan semua manusia. Sebab, manusia yang paling dipandang mulia oleh Allah adalah manusia yang paling bertakwa, sementara manusia yang paling dekat kedudukannya di sisi Allah adalah manusia yang paling taat kepada-Nya. Kedudukan seorang hamba di sisi Allah sangat bergantung pada sejauh mana tingkat ketaatannya kepada Allah. Seorang yang mengingkari Allah dan enggan untuk menaati perintah-Nya akan jatuh martabatnya dalam pandangan-Nya dan juga rendah dalam pandangan hamba-hamba-Nya yang lain. 

Ia melanjutkan bahwa apabila seorang hamba sudah kehilangan martabat dan kedudukan serta begitu rendah dalam pandangan manusia maka dia akan diperlakukan sekehendak hati mereka. Hal ini akan mengakibatkan dirinya merasakan kehidupan yang sengsara di tengah-tengah mereka. Dia tidak akan lagi diakrabi oleh mereka, tidak lagi memiliki kedudukan dan hina di mata mereka. Dia pun tidak akan lagi dihormati serta tidak akan lagi merasakan kebahagiaan dan kegembiraan. Seorang hamba yang sudah tidak lagi dikenal oleh masyarakatnya serta martabat dan kedudukannya telah jatuh akan merasakan suatu kepedihan, kegelisahan dan kesusahan; ia tidak akan lagi dapat menikmati rasa bahagia dan kegembiraan. Seandainya saja dia tidak terpedaya oleh syahwatnya, sudah pasti ia tidak akan mau menderita kepedihan yang ditimbulkan oleh kenikmatan maksiat semu. 


Menghilangkan Kebakhilan


Manusia secara fitrah berkencenderungan untuk mengabdi kepada Allah Swt. Kecenderungan ini dapat teraktualisasi dengan baik, dapat pula terhambat. Salah satu faktor penghambat manusia dalam mengingat (mengabdi) kepada Allah adalah cinta harta. Cinta harta akan menjadikan manusia lupa akan Allah karena manusia lebih mementingkan hal-hal yang bersifat materi dibanding yang ruhani. Sungguh ini merupakan sifat yang tercela. 

Tercelanya cinta harta diketahui dari firman Allah Swt, 

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta- hartamu dan anak-anakmu melalaikanmu dari mengingat Allah. Barangsiapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang merugi. (QS. al-Munâfiqûn:9) 

Dan firman-Nya, 

Sesungguhnya harta dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu). (QS. at-Taghabun:15) 

Begitu pula banyak hadis menjelaskan bahwa cinta harta merupakan sumber penyakit hati. Rasulullah saw bersabda, “Mencintai harta dan kemuliaan dapat menumbuhkan kemunafikan pada hati sebagaimana air menumbuhkan tanaman.” Seseorang bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah saw, mengapa aku tidak mencintai kematian?” Rasulullah saw balik bertanya, “Apakah engkau mempunyai harta?” Orang itu menjawab, “Benar, wahai Rasulullah.” Maka Rasulullah saw bersabda, “Sedekahkanlah hartamu, karena sesungguhnya hati seorang Mukmin itu bersama hartanya. Apabila harta itu disedekahkannya, niscaya ia suka menyusulnya. Tetapi apabila harta itu ditinggalkannya, niscaya ia pun suka tinggal bersamanya.” 

Dalam hadis lain dikatakan, “Teman setia anak Adam itu ada tiga, yaitu: Pertama, yang mengikutinya sampai ruhnya dicabut. Kedua, yang mengikutinya sampai ke kuburnya. Ketiga, yang mengikutinya sampai ke padang Mahsyar. Teman yang mengikuti sampai ruhnya dicabut adalah hartanya. Teman yang mengikutinya sampai ke kuburnya adalah keluarganya. Dan teman yang mengikutinya sampai ke padang Mahsyar adalah amal perbuatannya.” 

Dari hadis tersebut terlihat bahwa harta selain dapat melalaikan manusia dari Allah, harta juga membuat takut mati. Padahal harta yang kita miliki, jelas-jelas tidak dapat mengikuti kita sampai di alam akhirat, harta hanya akan mengikuti kita sampai ruh manusia dicabut. Dan yang akan mengikuti kita sampai ke padang Mahsyar adalah amal perbuatan kita. 

Amal perbuatan kita yang berkaitan dengan harta sehingga dapat menjadi pendamping manusia di akhirat adalah sifat pemurah kepada orang lain. Manusia yang mempunyai harta, hendaklah ia bersikap mengutamakan orang lain dan pemurah, serta menjauhi sifat bakhil. Rasulullah saw bersabda, “Sifat dermawan itu adalah sebatang pohon-pohon surga. Ranting-rantingnya menjulur ke bumi. Maka barangsiapa mengambil sepotong ranting darinya, ia tidak akan ditinggalkan oleh ranting itu sehingga ranting itu memasukkannya ke dalam surga. Sifat kikir merupakan sebatang pohon di dalam neraka. Barangsiapa bersifat kikir, niscaya ia telah mengambil satu ranting dari ranting- rantingnya. Maka ranting itu tidak meninggalkan orang tersebut sehingga ia memasukkannya ke dalam neraka.” 

Hadis itu menggambarkan sifat orang yang dermawan atau kikir terhadap hartanya. Jika ia bersikap dermawan maka hartanya akan membantu membuatkan jalan ke surga, sedangkan jika ia bersikap kikir maka hartanya akan memberi bahan untuk menambah panasnya api neraka. 

Jadi sikap dermawan, jika menghiasi kehidupan seorang Muslim akan memberikan nilai kemuliaan pada agamanya. Sikap dermawan dan akhlak yang baik merupakan satu bentuk realisasi dari nilai-nilai agama. Dalam sebuah hadis dikatakan, “Jibril as berkata, ‘Allah Swt berfirman bahwa ini adalah agama yang Aku telah merasa rela bagi diri-Ku. Tidak akan memperbaiki agama kecuali sifat dermawan dan akhlak yang baik. Maka muliakanlah agama ini dengan kedua sifat tersebut semampumu.” Hadis yang lain berbunyi, “Allah Swt tidak memberi watak kepada para wali-Nya kecuali sifat dermawan dan akhlak yang baik.” 

Dalam tradisi tasawuf sikap hidup dermawan adalah hal yang utama. Derajat yang paling tinggi dalam kedermawanan adalah mengutamakan orang lain. Yaitu, ia mendermakan harta padahal ia sendiri memerlukannya. Itulah kedermawanan yang utama bagimu. Allah Swt memuji para sahabat Nabi saw. Firman-Nya, 

Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). (QS. al-Hasyr:9) 

Dan Rasulullah saw bersabda, “Setiap seseorang yang ingin pada suatu kemudian ditolaknya keinginan itu dan ia lebih mengutamakan orang lain daripada dirinya sendiri, niscaya ia diampuni dosa-dosanya.” 

Lalu mengapa banyak manusia yang bersikap bakhil dan cinta harta, padahal ia tahu bahwa kedermawanan merupakan sifat yang mulia menurut agama. Seseorang mempunyai sifat bakhil karena ia cinta akan harta, dan kecintaan akan harta ditimbulkan oleh dua sebab, yaitu: Pertama, kecintaan pada syahwat. Kecintaan pada syahwat ini merupakan sumber masalah yang utama manusia dalam mencintai harta. Padahal, kalau ia ditakdirkan hanya hidup sehari atau satu bulan lagi, maka barangkali ia mengizinkan dirinya untuk mengeluarkan hartanya. Memang kadang-kadang anak dan keluarganya menyebabkan ia menahan apa yang diperolehnya untuk mereka. Begitu adanya rasa takut akan hidup miskin dan sedikitnya keyakinan terhadap datangnya rezeki, tidak pelak lagi, hal itu akan membuatnya bertambah kikir. 

Kedua, nafsu mencintai harta. Padahal ia mengetahui, bahwa ia sama sekali tidak memerlukannya. Ia sudah tua dan tidak mempunyai anak. Namun demikian ia sangat mencintai harta bendanya. Bagaimanapun ini adalah penyakit hati. Ia seperti orang yang merindukan seseorang, kemudian mencintai utusannya dan melupakan orang yang dirindukannya. Karena, maksud rupiah (uang) itu adalah hanya untuk mengantarkan tujuan. Tetapi ia telah melupakan tujuan dan merindukan perantara. Barangsiapa melihat adanya perbedaan antara uang dan batu kecuali perantara terhadap kebutuhan-kebutuhannya, maka ia telah melakukan kebodohan. 

Dengan demikian, dua hal itu, yakni kecintaan pada syahwat dan nafsu mencintai harta adalah sebab dari timbulnya sifat kikir. Sifat kikir ini merupakan penyakit hati yang harus disembuhkan, karena kalau tidak ia akan menimbulkan penyakit~penyakit hati yang lain, seperti kesombongan. Lalu bagaimana caranya menyembuhkan penyakit hati ini. Cara mengobati penyakit kikir adalah dengan mengurangi syahwat, banyak mengingat mati, merenungkan kematian teman-temannya, sahabat, ziarah kubur, merenungkan apa yang ada di dalam kubur berupa binatang-binatang seperti cacing, mengobati keterpautan hati kepada anak bahwa Penciptanya menciptakannya bersama rezekinya. 

Dalam ayat al-Quran disebutkan bahwa sifat kebakhilan akan menjadi pemberat kehidupan manusia di neraka. Allah berfirman, 

Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia- Nya mengira bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya pada Hari Kiamat. (QS.Ali ‘Imran:180) 


Menghilangkan Sifat Sombong


Dalam diri manusia ada suatu penyakit hati yang amat berbahaya yakni sifat sombong. Sifat sombong ini telah menjerumuskan Iblis untuk menentang perintah Tuhan. lblis sombong terhadap Adam, karena ia merasa lebih tinggi derajatnya dari Adam. Akibat kesombongannya ini, ia tidak mau diperintah Tuhan untuk sujud kepada Adam. 

Secara maknawi pengertian sikap sombong adalah suatu keadaan yang ada dalam diri manusia dan tercermin pengaruh-pengaruhnya, dimana seseorang melihat dirinya memiliki keistimewaan dibandingkan orang lain. Seorang yang sombong memandang dirinya memiliki kedudukan dan keutamaan, karena hilangnya kenyataan dari pandangannya, dan ia berada dalam persepsi yang salah. 

Dalam banyak buku akhlak disebutkan setidaknya ada tiga penyebab sifat sombong itu. Penyebab kesombongan yang pertama adalah harta. Harta ini sering membuat manusia mempunyai sifat sombong. Hal ini terjadi karena memang sudah fitrah manusia, semakin bertambah harta, maka orang yang bodoh merasa besar dengannya dan menyombongkan diri. 

Asal dari kesombongan itu adalah kebodohan dalam memahami hakikat yang sebenarnya. Karena, bagi orang yang berakal, ia akan memahami bahwa harta tidak memberikan tambahan apa pun bagi diri manusia. Maka, secara hakikat, apa perbedaan antara orang yang memiliki milyaran dengan orang yang tidak memiliki apa-apa di tangannya? Karenanya, pada saat harta bertambah kemudian seseorang merasa lebih istimewa daripada orang lain, maka di sana terdapat kesombongan. 

Ada sebuah kisah yang patut kita simak tentang orang kaya yang sombong dan orang miskin. Pada suatu hari, si orang kaya dan orang yang tak punya menemui Rasulullah saw. Abu Abdillah menceritakan pertemuan itu, “Seorang yang kaya datang kepada Rasulullah saw dengan pakaian yang bersih dan ia duduk di samping beliau. Kemudian datang lagi seorang yang tak punya dengan pakaian kotor dan duduk di samping orang yang kaya tadi sehingga orang kaya tersebut mengangkat pakaiannya dari kedua pahanya.” Maka Rasulullah saw bertanya kepadanya, “Apakah engkau takut akan tertular kefakirann ya?” 

Orang kaya itu menjawab, “Tidak.” 

Rasulullah saw berkata, “Ataukah engkau takut ia tertulari kekayaanmu?” 

Ia menjawab, “Tidak.” 

“Apakah engkau takut ia akan mengotori pakaianmu?”. “Tidak,” jawabnya. 

Beliau bertanya lagi, “Lalu apa yang membuatmu melakukan hal itu?” 

Ia berkata, “Wahai Rasulullah saw, sesungguhnya aku mempunyai teman (setan) yang menghiasi segala keburukan bagiku dan mengatakan buruk semua kebaikan. Dan sungguh akal telah memberikan separuh hartaku kepadanya (orang fakir).” 

Nabi saw berkata kepada orang fakir, “Apakah engkau menerimanya?” 

Ia menjawab, “Tidak.” 

Orang kaya itu bertanya kepadanya, “Mengapa?” 

Ia menjawab, “Aku takut akan masuk kepadaku sesuatu yang telah masuk ke dalam dirimu (kesombongan).” 

Pesan yang ingin disampaikan dalam riwayat itu adalah bahwa banyak terjadi bertambahnya harta dapat menyebabkan bertambahnya kebodohan. Sehingga, orang yang kaya menganggap bahwa dirinya bertambah besar. Maka ia menampakkan kesombongan kepada orang lain. 

Hal kedua yang menjadi penyebab kesombongan adalah ilmu. Jika ilmu yang menjadi sebab kesombongan maka ini adalah lebih buruk daripada harta. Karena kadang terjadi, bahwa seorang setelah mendapatkan sejumlah pengetahuan dan kemudian ia keluar dari sekolahnya atau universitas tempatnya belajar, ia memandang bahwa apa yang telah ia miliki dari ilmu-ilmu itu merupakan suatu yang agung yang menetap dalam dirinya, sehingga ia memandang orang lain dengan pandangan merendahkan. 

Jika sikap sombong ini terjadi pada penuntut ilmu agama maka ini adalah lebih buruk daripada penuntut ilmu lainnya. Karena, kesombongan dalam diri mereka (penuntut ilmu non agama) pengaruhnya hanya terbatas pada urusan materi. Adapun bagi para penuntut ilmu agama, maka ia berkaitan dengan kedudukan dan pangkat di tengah masyarakat, sedangkan berkuasa atas suatu kedudukan berarti berkuasa atas hati-hati manusia. Karena, nafsunya mengajaknya untuk merasa lebih istimewa daripada orang lain, dan ia (nafsunya) berkata kepadanya, “Engkau memiliki ilmu yang lebih luas daripada si Fulan,” lalu ia membisikkan kepadanya bahwa apa yang dibacanya yang lebih banyak daripada orang lain membuatnya berbeda (lebih istimewa) dibandingkan yang lain. 

Jika sombong ini terjadi pada orang alim, sesungguhnya yang terjadi adalah pengetahuan yang ia miliki tidak menambah cahaya iman yang ada di hatinya. Lalu apa perbedaan antara dirinya dengan orang lain yang awam? Tidak ada perbedaan, bahkan orang awam yang keawamannya telah membuat ia merasa lemah dan rendah, adalah lebih utama kedudukannya dibandingkan dengan orang alim tersebut yang pengetahuannya tidak memberikan sesuatu kepadanya kecuali kesombongan dan ketertipuan. 

Hal ini dapat dimengerti karena kedudukan yang mulia berkaitan erat dengan iman dan amal, dan ilmu yang memiliki keutamaan yang tinggi adalah ilmu mengenal Allah serta mengetahui hari akhir. Itulah cahaya di dalam hati yang pemiliknya selalu mencari tambahan kekhusyukan di hadapan Allah Swt. 

Penyebab kesombongan ketiga adalah kedudukan. Maksud dari kedudukan ini adalah kemasyuran dan kedudukan sosial di tengah masyarakat, baik karena nasab (keturunan). Keturunan memang seringkali. membuat seseorang merasa lebih tinggi dari selainnya, sehingga di antara mereka menolak untuk menikah dengan keluarga tertentu, karena ia memandang bahwa dirinya lebih mulia dari keluarga itu, walaupun itu sebenarnya hanyalah ketertipuannya. 

Lalu bagaimana kita menghilangkan sikap sombong ini, karena jika ia melekat di hati manusia maka dapat merusak keimanan dan menjerumuskannya dalam jurang kehancuran. Untuk menghilangkan sikap sombong ini, kita harus menyadari bahwa pada hakikatnya kita adalah bukan apa-apa. Kita hanyalah ketidakmampuan yang berupa jasad. Seluruh badan asalnya dari tanah dan akan kembali menjadi tanah. Kita harus menyadari bahwa tidak ada sesuatu pun yang patut disombongkan oleh makhluk. Hidupnya, sakit dan sehatnya, kaya dan miskinnya, semuanya tidak berada di tangannya. 

Ada sebuah ucapan Imam Ali bin Abi Thalib as yang mengingatkan kita bahwa kita adalah makhluk yang lemah dan hina dan tidak seharusnya bersikap sombong. Imam Ali berkata sebagaimana disebutkan dalam Nahjul al-Balaghah, “Manusia adalah yang kemampuannya diciptakan (diberikan), kehendaknya terbatas, dan keberadaannya penuh dengan ketergantungan.” Dengan demikian, tubuh manusia merupakan cermin bagi kelemahan, ketiadaan dan kehinaan. Dalam ucapan yang lain beliau berkata, “Aku merasa heran terhadap anak Adam; awalnya adalah air mani, akhirnya adalah bangkai, ia hidup di antara keduanya sebagai gudang kotoran, tetapi kemudian ia menyombongkan diri.” 

Seharusnya jika kita menyadari ucapan Imam Ali itu, kita sebagai manusia tidak sepantasnya berlaku sombong. Karena kesombongan akan menjerumuskan manusia pada kehancuran dan kenistaan, baik itu di dunia maupun akhirat. 


Cinta Dunia Sumber Kehancuran Manusia


Jika kita perhatikan kehidupan di dunia ini, banyak manusia hancur dalam kehidupannya karena terlalu cinta dunia. Kecintaan manusia kepada dunia membuat manusia seringkali melupakan Allah, Penciptanya. Misalnya, manusia yang karena kesibukan bekerja mengejar kebutuhan hidupnya seringkali melalaikan untuk beribadah kepada-Nya. 

Dunia memang mempunyai daya pikat kepada manusia. Mengapa manusia begitu mencintai dunia? Menurut Imam Khomeini manusia adalah putra alam fisik ini, alam menjadi ibunya, dan ia adalah anak cucu air dan debu. Cinta dunia telah tertanam dalam hatinya sejak awal perkembangan dan pertumbuhannya. Bersamaan dengan pertumbuhannya, cinta, ini juga bertambah. Karena adanya fakultas hawa nafsu dan organ-organ untuk memperoleh kenikmatan yang dianugerahkan kepadanya oleh Allah Swt demi melestarikan individu dan bangsa, cinta ini tumbuh hari demi hari. 

‘Dunia’ dalam pandangan Imam Khomeini merupakan tingkat eksistensi paling rendah dan tempat perubahan, peralihan dan kemusnahan. Sedangkan ‘Akhirat’ menurutnya menunjukkan kembalinya seseorang dari alam eksistensi yang lebih rendah ke yang lebih tinggi, alam samawi, alam batiniah, yang merupakan tempat yang tetap, tidak berubah dan abadi. 

Dua alam tersebut ada pada setiap individu. Yang pertama adalah alam material, tempat perkembangan dan kemunculan, yang merupakan tempat eksistensi dunia wujud yang lebih rendah. Yang kedua adalah tingkat eksistensi yang tersembunyi, batiniah, dan samawi, yang merupakan alam keberadaan ukhrawi yang lebih tinggi. 

Kehadiran alam dunia bukanlah untuk dinafikan. Eksistensi duniawi yang merupakan alam keberadaan yang lebih rendah dan tidak sempumrna dibanding akhirat, namun selama ia menjadi ladang untuk latihan jiwa yang mulia dan sekolah untuk mencapai kedudukan ruhaniah yang lebih tinggi, ia menjadi lahan untuk mengolah akhirat. Jika pengertian ini yang dipahami manusia, maka dunia merupakan alam keberadaan yang paling agung dan alam yang paling menguntungkan bagi pencinta Tuhan dan para musafir di jalan akhirat. 

Keberadaan alam ini menjadi begitu agung, karena dengan alam materi duniawi ini, terjadilah transformasi dan perubahan fisik dan ruhaniah. Jika Allah Swt tidak menjadikannya sebagai alam peralihan dan kemusnahan, maka jiwa yang tidak sempurna tentu tidak akan dapat mencapai status kesempurnaan yang dijanjikan dan tidak dapat menjangkau alam yang permanen dan stabil. 

Dengan demikian, yang disebut dalam al-Quran dan hadis sebagai ‘dunia’ yang tercela sesungguhnya tidak berlaku bagi dunia itu sendiri, tetapi yang dimaksudkan adalah ketenggelaman di dalamnya, dan cinta, serta keterikatan kepadanya. Ini menunjukkan bahwa manusia mempunyai dua dunia: yang satu dikutuk, sementara yang lain diagungkan dan dipuji. 

Dunia akan menjadi tercela apabila seseorang di bumi (tempat ia beraktivitas), menjadikan kedudukan ruhaniah yang lebih tinggi dan kebaikan ruhaniah yang abadi dipertaruhkan demi harta benda yang fana. Padahal tatanan yang ada ini dibuat demi alam yang abadi, akhirat. 

Dalam sebuah hadis dari Imam Ja’far ash-Shadiq as dikatakan, “Cinta dunia adalah sumber dari segala macam pelanggaran.” Begitu pula Imam al-Baqir as berkata, “Luka yang disebabkan tikaman dua serigala buas, yang satu menyerang dari depan dan yang lain dari belakang, pada sekelompok kambing tanpa pengembala, tidak lebih cepat dibandingkan dengan luka yang disebabkan oleh tikaman cinta dunia terhadap iman seorang mukmin.” Dengan demikian, keterikan hati dan kecintaan kepada dunia adalah sama artinya dengan dunia yang dikutuk, dan makin besar keterikatan itu, makin tebal pula tirai antara manusia dan alam keagungan, serta makin tebal tirai antara hati manusia dengan Penciptanya. 

Manusia yang begitu cinta dunia akan memandang dunia ini sebagai tempat kesenangan dan kemewahan, dan kematian sebagai akhir dari semua kegiatan itu, meskipun ia diarahkan untuk yakin kepada akhirat, kemuliaannya, syarat-syaratnya, pahala-pahalanya dengan argumen-argumen hukama’ dan sunah para nabi, namun hatinya tetap tidak akrab dengannya dan tidak menerimanya, apalagi memperoleh keyakinan akan kebenarannya. 

Manusia dapat menjadi sedemikian cinta dunia karena keyakinannya akan kesementaraan dunia, kematian sebagai kemusnahan dan kehidupan abadi kelak tidak masuk ke dalam hatinya walaupun akal telah menerimanya. Memang hal yang paling penting ialah bahwa keyakinan itu harus masuk ke dalam hati, dan kedudukan yang paling baik adalah iman dengan keyakinan sempurna. Keyakinan yang kuat di hati ini dapat dicontohkan pada kisah Nabi Ibrahim yang memohon kepada Allah agar diberi kemantapan di hatinya. 

Kemantapan di hati ini menjadi penting, karena walaupun akal secara rasional memiliki kepercayaan akan hari akhirat, namun jika hati tidak memiliki keyakinan, maka kita tetap ingin hidup di dunia ini dan menolak pemikiran tentang kematian dan tentang meninggalkan alam keberadaan yang rendah ini. Tetapi jika hati kita menyadari akan kenyataan bahwa dunia ini adalah dunia yang rendah dan tempat kerusakan serta perubahan, dan alam ketaksempurnaan serta kehancuran, dan bahwa ada alam di luar kematian yang semuanya abadi dan kekal, sempurna dan permanen, tempat kehidupan yang bahagia, maka hati kita dengan sendirinya akan mencintai alam itu dan akan membenci dunia ini. 

Memang cinta dunia akan menghancurkan manusia, dan ia merupakan kejahatan lahir dan batinnya. Nabi saw diriwayatkan pernah bersabda, “Dirham dan dinar telah membinasakan banyak orang sebelummu, dan keduanya juga akan membinasakanmu.” Seandainya saja manusia tidak melakukan kejahatan lain, yang merupakan sesuatu yang tidak mungkin atau hampir mustahil, keterikatan kepada dunia saja sudah cukup untuk menyebabkan berbagai macam kejahatan. 

Di antara akibat buruk dari cinta dunia dan keterikatan kepadanya adalah bahwa ia membuat manusia takut akan mati. Takut mati, sebagai cinta dari dunia dan keterikatan kepadanya, adalah sangat tercela. Itu berbeda dengan takut akan Hari Pembalasan, yang merupakan salah satu sifat mukmin sejati. Sebagian besar penderitaan dan kepedihan yang dialami oleh orang yang sedang sekarat adalah karena kuatnya ikatan duniawi itu, bukan rasa takut mati itu sendiri. 

Keburukan besar lainnya yang disebabkan oleh cinta dunia adalah bahwa kecintaan itu menghalangi manusia dari kegiatan religius, beribadah dan berdoa, serta memperkuat nafsu jasmani. Ia menanamkan penolakan di dalam hatinya terhadap perintah-perintah ruhaninya. Akibatnya, ia memperlemah keteguhan dan kehendak, padahal salah satu rahasia dan tujuan ibadah serta kegiatan-kegiatan religius adalah untuk membuat jasmani, organ-organ fisik, dan instink-instink alamiah tunduk kepada ruh, sehingga kehendak dapat mengendalikannya dan memaksa jasmani untuk bertindak sesuai dengan kehendak ruh, dan mencegahnya dari segala hal yang ingin dihindari oleh ruh. 

Manusia dalam hidupnya, seyogyanya berusaha agar ruh dapat mendominasi jasmani. Jika organ-organ fisik berada di bawah kendali ruh, maka apa saja yang diinginkan ruh agar tubuh melakukannya, akan dilakukan tanpa keberatan dan halangan apa pun. Salah satu keuntungan dan rahasia dari ibadah yang keras dan latihan-latihan ketaatan yang melelahkan adalah bahwa semua itu membantu tercapainya dominasi ruh atas jasmani. Melalui ritual itu, manusia dapat memperoleh keteguhan dan tekad yang kuat, serta menguasai nafsu jasmaninya. 

Dengan keteguhan, kesabaran dan, ketabahan yang sempuma maka wilayah jasmani dan ruhani manusia mencapai karakteristik malaikat. Manusia yang demikian dapat menjadi sama dengan malaikat Allah yang tidak pernah melanggar perintah-Nya, tanpa penolakan dan tekanan apa pun, selalu siap menaati apa yang diperintahkan oleh Allah untuk dilaksanakan dan menahan diri dari segala hal yang dilarang oleh Allah. Itulah mukmin sejati yang telah tercelup dalam samudera cinta Ilahi. 


Kedustaan Menuai Bencana


Ada sebuah cerita tentang betapa jeleknya sikap seorang Muslim yang menghina saudaranya yang Muslim. Cerita ini dikisahkan oleh Husein Mazhairi dalam bukunya Jihad an-Nafs. Ada seorang wanita tua pergi menemui dokter. Dia berkata kepada dokter, “Kertas resep yang telah anda berikan kepada saya telah saya rebus dan saya minum, akan tetapi kesehatan saya belum juga pulih.” Wanita tua itu tidak mengerti bahwa kertas resep itu harusnya untuk menebus obat di apotik bukannya direbus dan diminumnya. 

Dokter itu kemudian berkata kepadanya, “Betapa ruginya roti yang diberikan kepada anda oleh suami anda.” Lalu dokter itu pun kembali menuliskan resep, dan menyuruh wanita desa itu pergi ke apotik untuk menebus obat dan menggunakannya, agar penyakitnya sembuh.” Kemudian tiba giliran sahabat Husein Mazhairi, sudah tidak ada orang lain selain dia dan dokter. Ia berkata kepada dokter, “Wahai dokter, apa yang anda telah perbuat hari ini?” Dokter itu bertanya, “Apa yang telah saya lakukan?” Ia berkata lagi, “Anda tidak hanya telah melakukan satu dosa, melainkan Anda telah melakukan banyak dosa. Dosa anda yang pertama adalah memperolok seorang Muslim. Dan jika seorang Muslim memperolok seorang Muslim lainnya, serta menjatuhkan harga dirinya, maka dosa yang dilakukannya itu sungguh besar sekali.” 

Kemudian ia melanjutkan perkataannya, “Adapun dosa yang kedua ialah anda telah menyebabkan orang lain menertawakan dan melecehkan wanita desa itu, sehingga dia merasa malu. Jika anda tidak mengeluarkan kata-kata itu maka orang-orang tidak akan memperolok-olokannya. Adapun dosa anda yang ketiga adalah anda telah berdusta manakala anda mengatakan, ‘Betapa ruginya roti yang diberikan kepada anda oleh suami anda.’ Perkataan ini adalah dusta. Wanita ini tidak tahu apa yang harus dia lakukan terhadap resep obat. Darimana anda tahu bahwa dia bukan seorang istri dan ibu rumah tangga yang saleh? Dia adalah seorang istri dan ibu rumah tangga yang saleh. Oleh karena itu, perkataan anda yang berbunyi ‘Betapa ruginya roti yang diberikan kepada anda oleh suami anda’ adalah perkataan dusta.” 

Dari cerita itu kita dapat melihat betapa perbuatan yang tampaknya kecil ternyata telah mengakibat dosa yang besar. Allah berfirman, 

Maka jauhilah olehmu berhala yang najis itu dan jauhilah olehmu perkataan-perkataan dusta. (QS. al-Hajj:30) 

Hikmah dari cerita ini salah satunya adalah bahwa kita harus mengawasi tingkah laku kita. Inilah yang membedakan antara orang yang bodoh dan yang berakal. Seorang yang berakal adalah orang yang berpikir terlebih dahulu baru kemudian berbicara; sementara orang yang bodoh adalah orang yang berbicara terlebih dahulu baru kemudian berpikir. 

Perilaku seorang Muslim dalam bertindak hendaknya dilakukan dengan berpikir dulu baru kemudian berbicara. 

Misalnya anda adalah seorang guru, dan kemudian anda berbicara di dalam kelas yang mendatangkan musibah. Perkataan yang anda katakan itu bisa menimbulkan kekacauan pada diri seseorang dan mendatangkan berbagai musibah. Perkataan anda itu pada hakikatnya telah membunuh anak-anak murid. Karena, perkataan anda itu telah merusak kepribadiannya yang ini jauh lebih buruk dibandingkan pembunuhan jasmani. 

Dalam buku Jihad an-Nafs itu diceritakan pula sebuah riwayat tentang seorang pemuda yang meninggal dunia. Kemudian jenazahnya dimandikan, dikafankan dan dimakamkan oleh Rasulullah saw. Setelah orang-orang meletakkan jenazah pemuda itu di dalam kubur, ibunya datang ke kuburannya. Lalu ibunya berkata, “Wahai anakku, sebelum ini saya bersedih atas kematianmu. Akan tetapi sekarang, setelah saya menyaksikan Rasulullah saw sendiri yang menguburkan kamu maka saya pun tidak bersedih hati lagi. Ketahuilah olehmu, bahwa kamu adalah orang yang berbahagia.” 

Ketika mendengar perkataan itu Rasulullah saw tidak mengatakan sepatah kata pun. Setelah itu ibunya pun pulang. Rasulullah saw berkata, “Sesungguhnya lubang kubur menghimpitnya dengan himpitan yang mematahkan tulang-tulang dadanya.” Para sahabat berkata, “Ya Rasulullah, dia adalah seorang pemuda yang baik dan istiqamah.” Rasulullah berkata, “Benar, akan tetapi pada dirinya banyak terdapat perkataan yang tidak perlu. Perkataan yang tidak perlu adalah perkataan yang dikatakan oleh seseorang yang mana perkataan itu tidak ada manfaatnya sama sekali, baik di dunia maupun di akhirat. Sesungguhnya hasil pertama yang diperoleh dari perkataan yang seperti ini ialah himpitan kubur.” Akan tetapi pengaruh ini adalah pengaruh yang bersifat wadh’i. 

Lalu Husein Mazhairi menjelaskan bahwa seorang guru dan ulama harus memperhatikan kata-kata yang dikatakannya. Bahkan, kata-kata yang benar sekalipun tidak harus dia mengatakannya. Sebagaimana ungkapan Arab yang mengatakan, “Tidaklah setiap yang kita ketahui layak kita katakan.” Banyak hal-hal yang benar dan sesuai dengan kenyataan, akan tetapi tidak mungkin dikatakan. Peribahasa lain yang terkenal di kalangan masyarakat umum dan merupakan sebuah peribahasa yang baik, mengatakan “Perkataan benar yang tampak seperti perkataan dusta jauh lebih buruk daripada perkataan dusta yang tampak seperti perkataan benar.” Tidak demikan, sebenarnya kita harus mengatakan bahwa keduanya itu buruk. Seseorang berkata dusta dengan tujuan supaya manusia membenarkannya. Sungguh ini merupakan perbuatan yang buruk dan merupakan dosa besar. Sekalipun juga seorang suami yang berdusta di hadapan istrinya, atau sebaliknya. Demikian pula manakala seseorang berbicara benar, akan tetapi orang menolak perkataannya. Karena itu dia harus berbicara dalam bentuk yang dapat dipahami oleh akal. 

Dengan demikian perkataan yang bukan pada tempatnya, di samping mendatangkan himpitan kubur; terkadang juga mendatangkan dendam, permusuhan dan keretakan rumah tangga. Kita sebagai Muslim harus hati-hati di dalam perkataannya dengan berpikir terlebih dahulu, baru kemudian berbicara. Karena jika kita melukai perasaan orang lain maka kita akan kehilangan kecintaan dari hati-hati manusia, dan menjadi orang yang tidak disukai oleh masyarakat. 

Dalam banyak riwayat dari ahlulbait as, sengatan ini (kata- kata yang melukai perasaan orang lain) akan berubah menjadi kalajengking, ular berbisa dan serigala yang mengigit manusia di alam kubur dan juga di padang Mahsyar dan neraka jahanam. Sebagaimana perkataan Rumi dalam Matsnawi yang berbunyi, “Dengan perantaraan sengatan lidah anda maka anda mempersiapkan serigala-serigala yang akan mengigit anda.” 

Kita akhiri tulisan ini dengan sebuah doa: Ya Allah, dengan kemuliaan dan keluhuran-Mu, karuniakanlah kepada kami segenap kesadaran, sehingga kami berhati-hati di dalam perkataan kami, niat kami dan tingkah laku kami. Berikanlah taufik kepada kami untuk bisa taat dan beribadah kepada-Mu, serta mampu meninggalkan maksiat terhadap-Mu. Ya Allah, demi kemuliaan dan keluhuran-Mu, tunjukkanlah kami kepada jalan keridhaan-Mu dan cegahlah kami dari segala sesuatu yang mendatangkan kemarahan dan kemurkaan-Mu.









Daftar isi 

Renungan Jumat; Meraih Cinta Ilahi 1


Al- Huda 1


PENGANTAR EDITOR 2


BAB III: METODE PERBAIKAN AKHLAK 8


Metode Perbaikan Akhlak 8


Mendidik Hati 13


Kemuliaan Akhlak Muhammad saw 18


Shalawat: Ungkapan Cinta kepada Nabi saw 23


Meraih Kesucian Hati Dengan Wudhu 28


Jauhi Kemaksiatan Tegakkan Kesalehan 33


Menghilangkan Kebakhilan 38


Menghilangkan Sifat Sombong 43


Cinta Dunia Sumber Kehancuran Manusia 48


Kedustaan Menuai Bencana 54









BAB IV : TAUBAT DAN RAHMAT ALLAH 

Taubat dan Rahmat Allah


Pada sebuah hadis Bukhari dan Muslim diriwayatkan tentang betapa Allah Swt adalah Maha Penerima taubat. Dari Abu Sa’id bin Malik bin Sinan al-Khudriy, Nabi saw bersabda, “Sebelum kalian, ada seorang laki-laki membunuh 99 orang. Kemudian ia bertanya kepada penduduk sekitar tentang seorang alim, maka ia ditunjukkan kepada seorang Rahib (pendeta Bani Israil). Setelah mendatanginya, ia menceritakan bahwa ia telah membunuh 99 orang, kemudian ia bertanya, “Apakah ia bisa bertaubat?” Ternyata rahib itu menjawab, “Tidak”. Maka rahib itupun dibunuh sehingga genaplah jumlahnya seratus. 

Kemudian ia menemui lagi seorang alim yang lain. Setelah menghadapnya ia bercerita bahwa dirinya telah membunuh 100 orang, dan bertanya, “Apakah bisa ia pertaubat?” Orang alim itu menjawab, “Ya, Siapakah yang akan menghalangi orang bertaubat? Pergilah ke kota ini (menunjukkan ciri-ciri kota dimaksud), sebab di sana terdapat orang-orang yang menyembah Allah. Beribadahlah kepada Allah bersama mereka dan janganlah kembali ke kotamu, karena kotamu kota yang jelek!” 

Lelaki itupun berangkat, ketika menempuh separuh perjalanan, maut menghampirinya. Kemudian timbullah perselisihan antara malaikat Rahmat dengan malaikat Azab, siapakah yang lebih berhak membawa jiwanya. Malaikat Rahmat beralasan bahwa “Orang ini datang dalam keadaan bertaubat, dan menghadapkan hatinya kepada Allah”. Sedangkan malaikat Azab beralasan bahwa “Orang ini tidak pernah melakukan amal baik”. Kemudian Allah mengutus malaikat yang menyerupai manusia mendatangi keduanya untuk menyelesaikan masalah itu, dan berkata, “Ukurlah jarak kota tempat ia meninggal antara kota asal dengan kota tujuan. Manakah yang lebih dekat, maka itulah bagiannya.” Para malaikat mengukur, ternyata mereka mendapati si pembunuh meninggal dekat kota tujuan, maka malaikat Rahmatlah yang berhak membawa jiwa orang tersebut. 

Riwayat ini menggambarkan bahwa dalam bertaubat yang harus dilihat adalah aspek ruhani dari orang tersebut. Secara lahir, orang tersebut telah membunuh 100 nyawa, namun Allah tetap memberikan ampun padanya. Ini berarti ada suatu nilai yang amat tinggi yang menjadi pemberat timbangan kebaikan. Inilah yang disebut dengan taubat yang sesungguhnya. Taubat yang mampu memberikan perubahan aspek ruhani sehingga melahirkan perbuatan kebaikan. 

Namun demikian, ada manusia yang tetap tidak bertaubat. Mereka ini adalah orang tidak mendapatkan petunjuk Allah yang langsung ke qalbu, karena qalbunya terkunci, tertutup oleh noda-noda dosa. Ini terjadi jika dengan sadar ataupun tanpa sadar kita merelakan diri kita untuk diatur oleh hawa nafsu dan syahwat. Allah berfirman, 

Mereka itulah yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka. (QS. Muhammad: 16) 

Dalam ayat lain disebutkan, 

Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Ilahnya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya dari binatang ternak itu. (QS. al-Furqan:43-44) 

Dosa inilah yang menghambat manusia dalam menuju pertaubatan kepada Allah. Dosa, menurut Imam al-Ghazali, ibarat asap yang menggelapkan dan mengotori kaca qalbu. Dan seiring dengan terus-menerus melakukan dosa bertambah teballah dosa menutupi qalbu. Sehingga qalbu itu hitam dan gelap. Dan secara keseluruhan qalbu itu menjadi buta, terhijab dari Allah. Jika kondisi buta ini terbawa ke alam kubur ketika ajalnya, maka keberadaanya di alam kubur yang asing dalam kondisi buta, merupakan kegelapan di atas kegelapan. Jauh lebih tersesat jalannya. Lebih-lebih jika kondisi butanya terbawa ke alam akhirat. Allah berfirman, 

Dan barangsiapa yang buta (qalbunya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat jalannya. (QS. al-Isrâ:72) 

Dosa-dosa ini pula yang sesungguhnya yang menghalangi seorang hamba untuk dapat diterima Allah. Padahal keselamatan itu hanya di sisi Allah dan bersama Allah! Seandainya ada sesuatu yang menghalangi diri kita dengan Allah, dan dengan rahmat-Nya, maka tiada tempat lain kecuali kecelakaan yang besar. Allah berfirman, 

Barangsiapa berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS. al-Baqarah:81) 

Sesungguhnya tiadalah beruntung orang-orang yang berbuat dosa. (QS. Yunus:17) 

Dengan demikian, tiada lain untuk dapat membersihkan qalbu dari noda-noda dosa, kita sangat membutuhkan rahmat (pertolongan) Allah. Hanya karena rahmat-Nya, seseorang dapat kembali suci qalbunya, sehingga ia selamat dari siksa kubur dan neraka yang menghadang. Dan pintu rahmat Allah, hanya akan terbuka apabila kita terus menerus dengan takzim mengetuknya dengan ketukan “taubatan nasûha”. Ketakziman, kerinduan dan semangat kita untuk mendapatkan rahmat-Nya itulah yang akan menyebabkan pintu rahmat-Nya terbuka. 

Allah sangat bergembira terhadap hamba-hamba yang ingin kembali kepada-Nya. Kegembiraan Allah terhadap orang-orang yang bertaubat, digambarkan melebihi kegembiraan orang yang mendapatkan untanya kembali setelah hilang pergi ke gurun pasir yang luas. 

Abu Hamzah Anas bin Malik al-Anshariy berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, 

“Sesungguhnya Allah gembira menerima taubat hamba-Nya, melebihi kegembiraan seseorang di antara kalian ketika menemukan kembali untanya yang hilang di padang luas.” (Hadis Riwayat Bukhari) 

Dan sebesar apapun dosa yang dibawa, selama seorang hamba dengan sungguh-sungguh ingin kembali (bertaubat) kepada-Nya, maka ampunan Allah lebih besar daripada itu. Dari Abu Musa Abdullah bin Qais al-Asy’ariy bahwa Nabi saw. bersabda, 

“Sesungguhnya Allah itu membentangkan tangan-Nya pada waktu malam untuk taubat orang yang berbuat dosa siang hari. Dan Allah membentangkan tangan-Nya pada waktu siang, untuk taubat orang yang berbuat dosa di malam hari. Hingga matahari terbit dari timur.” (Hadis Riwayat Muslim) 


Keutamaan Bertaubat


Manusia dalam hidupnya tak luput dari kesalahan. Karena manusia, disebabkan sifat kemanusiaannya, tidak mungkin terbebas dari kesalahan dan dosa-dosa. Itu bermula dari kenyataan elemen pembentukan manusia tersusun dari unsur tanah yang berasal dari bumi, dan unsur ruh yang berasal dari langit. Salah satunya menarik ke bawah sementara bagian lainnya mengajak ke atas. Yang pertama dapat menenggelamkan manusia pada perangai binatang atau lebih buruk lagi, sementara yang lain dapat mengantarkan manusia ke barisan para malaikat atau lebih tinggi lagi. 

Oleh karena itu, manusia dapat melakukan kesalahan dan membuat dosa. Apalagi jika manusia itu terbenam dalam kesalahan yang terus-menerus tentu saja tidak disukai oleh manusia dan juga Allah. Namun, jika manusia sudah terlanjur berbuat kesalahan ada jalan untuk menyesalinya yakni dengan bertaubat. 

Dalam hal ini taubat tak hanya diperuntukkan bagi orang yang mempunyai kesalahan saja, taubat juga dilakukan bagi orang yang telah demikian taat menjalankan syariat, dan telah menanjak dalam barisan kaum muttaqin, namun tetap ia memerlukan taubat. Di antara kaum mukminin ada yang bertaubat dari dosa-dosa besar, jika ia telah melakukan dosa besar itu. Di antara mereka ada yang bertaubat dari dosa, dosa kecil, dan sedikit sekali orang yang selamat dari dosa-dosa macam ini. Dari mereka ada yang bertaubat dari melakukan yang syubhat. Dan orang yang menjauhi syubhat maka ia telah menyelamatkan agama dan nama baiknya. Dan di antara mereka ada yang bertaubat dari tindakan-tindakan yang dimakruhkan. Dan di antara mereka malah ada orang yang melakukan taubat dari kelalaian yang terjadi dalam hati mereka. Dan dari mereka ada yang bertaubat karena mereka berdiam diri pada maqam yang rendah dan tidak berusaha untuk mencapai maqam yang lebih tinggi lagi 

Namun untuk melakukan taubat, bukan perkara mudah bagi sebagian manusia. Karena dalam diri manusia terdapat rasa sombong yang menjauhkannya dari kehendak untuk bertaubat itu. Padahal jika kita menyimak ayat al-Quran, banyak sekali dorongan dan anjuran untuk bertaubat. Al-Quran berbicara, 

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. al-Baqarah:222) 

Maka orang yang bertaubat akan mendapatkan derajat yang lebih tinggi dengan mendapatkan kasih sayang Allah. 

Selain itu, keutamaan yang lebih besar dari orang yang bertaubat itu adalah mendapatkan ampunan dari Allah, hingga keburukan mereka digantikan dengan kebaikan? Dan dalam penjelasan tentang keluasan ampunan Allah dan rahmat-Nya bagi orang-orang yang bertaubat. Allah berfirman, 

Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia- lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. az-Zumar:53) 

Ayat ini membukakan pintu dengan seluas-luasnya bagi seluruh orang yang berdosa dan melakuan kesalahan. Meskipun dosa mereka telah mencapai ujung langit sekalipun. 

Di antara keutamaan lain bagi orang-orang yang bertaubat adalah Allah menugaskan para malaikat muqarrabin untuk ber-istighfar bagi mereka serta berdoa kepada Allah agar Allah menyelamatkan mereka dari azab neraka. Serta memasukkan mereka ke dalam surga dan menyelamatkan mereka dari keburukan. Allah berfirman, 

(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): “Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang bernyala-nyala, ya Tuhan kami, dan masukkanlah mereka ke dalam surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang,orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara dari (pembalasan?) Kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS.Ghâfir:7-9). 

Terdapat banyak ayat dalam al-Quran yang mengabarkan akan diterimanya taubat orang-orang yang melakukan taubat jika taubat mereka tulus. Dengan kemurahan karunia Allah, ampunan dan rahmat-Nya, yang tidak merasa sempit dengan perbuatan orang yang melakukan maksiat, meskipun kemaksiatan mereka telah demikian besar, Allah menerima taubat mereka. Seperti dalam firman Allah, 

Tidakkah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat, dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang? (QS. at-Taubah:104) 

Dan Dialah Yang menerima taubat dari hamba- hambaNya dan memaafkan kesalahan-kesalahan. (QS. asy-Syûrâ:25) 

Dan dalam menyifatkan Dzat Allah, 

Yang mengampuni dosa dan menerima taubat. (QS. Ghâfîr: 3) 

Terutama orang yang bertaubat dan melakukan perbaikan. Atau dengan kata lain, orang yang bertaubat dan melakukan amal yang saleh. Seperti dalam firman Allah dalam masalah pria dan wanita yang mencuri, 

Maka barangsiapa yang bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu, dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-Maidah:39) 

Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barangsiapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya, dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-An’am:54) 

Kemudian, sesungguhnya Tuhan-mu (mengampuni) bagi orang-orang yang mengerjakan kesalahan karena kebodohannya, kemudian mereka bertaubat setelah itu, dan memperbaiki (dirinya) sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nahl:119) 

Demikian pula pujian bagi Allah dengan nama-Nya “at- Tawwab” (Maha Penerima Taubat) terdapat dalam al-Quran, seperti dalam doa Ibrahim san Ismail as, 

Dan terimalah taubat kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah:128). 

Juga seperti dalam sabda Nabi Musa kepada Bani Israil setelah mereka menyembah anak sapi, 

Maka bertaubatlah kepada Tuhan Yang menjadikan kamu, dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah lebih baik bagimu, pada sisi Tuhan Yang menjadikan kamu, maka Allah akan menerima taubatmu. Sesungguhnya Dialah yang Maha Penerima taubat dan Maha Penyayang. (QS.al-Baqarah:54) 

Allah berfirman kepada Rasul-Nya, 

Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohon ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa: 64) 

Itulah ayat~ayat yang menggambarkan bahwa Allah adalah Maha Penerima Taubat dan Allah telah memerintahkan kaum Mukminin untuk bertaubat. 


Kekuatan Kelapangan Dada


Salah satu kekuatan manusia dalam menghadapi berbagai kesulitan adalah mempunyai hati yang lapang seperti lautan. Al-Quran sangat menaruh perhatian yang besar terhadap kelapangan dada, bahkan al-Quran menganggap penerimaan Islam bergantung kepada kelapangan dada, Maka apakah orang-orang yang dibukakan oleh Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. 

Ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwa orang yang memiliki kelapangan dada, maka Allah akan menyalakan cahaya di dalam hatinya, dan kemudian dia pun dapat memperoleh kemenangan di dalam “peperangan dalam”. Akan tetapi, jika dia tidak mampu menghadapi berbagai kesulitan, dan kehilangan keseimbangan diri menghadapi salah satu gharizah, dalam pandangan al-Quran merupakan suatu kecelakaanlah bagi dia. Kecelakaanlah bagi orang yang hatinya tidak luas seperti lautan. Dan kecelakaanlah bagi orang yang hatinya tidak memiliki kelapangan dada. Karena, dosa yang menumpuk telah merebut kelapangan dada darinya. 

Kelapangan dada adalah salah satu kekuatan yang dimiliki manusia. Kelapangan dada sangat penting bagi semua orang. Kelapangan dada berarti hati harus luas seperti laut, sehingga seorang manusia mampu mencema berbagai kesulitan dan kepayahan di dalam dirinya. Dia tidak ubahnya seperti laut yang mampu mencerna air yang tidak mengalir (air yang najis) namun tidak tercemar dengan percampuran itu. Dia berdiri kokoh di hadapan berbagai tarikan, sentakan, dan badai, dan tidak mempedulikan sesuatu apa pun. Jika seorang manusia ingin menang melawan nafsu ammarah-nya dan mampu mengatasi berbagai kesulitan maka hatinya harus seperti laut, yang senantiasa kokoh di dalam menghadapi air yang najis maupun air yang suci. 

Dalam masyarakat, sungguh merupakan musibah jika sebuah kedudukan (jabatan) dipegang oleh seseorang yang tidak memiliki kelapangan dada. Karena dia akan menyakiti orang lain dengan bentuk yang bermacam-macam. Orang ini, dikarenakan tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri, menjadi lupa diri; sekiranya dia telah mencapai kedudukan (padahal tidak seberapa), dia sudah tidak mau lagi menjawab salam, dan sibuk mengunakan kedudukannya bagi tujuan-tujuan pribadinya. 

Akan tetapi masyarakat akan senang, jika dipimpin oleh seseorang yang bersifat tenang dan memiliki kemampuan mengendalikan diri, karena akan mampu menghadapi semua kesulitan dengan tabah, dan bangkit menyelesaikan kesulitan- kesulitan itu dengan penyelesaian yang sesuai, serta tidak ada yang diperhatikannya ketika itu kecuali Allah. Orang seperti ini menganggap ilmu dan kedudukannya sebagai sesuatu yang berasal dati sisi Allah, dan menganggap dirinya tidak mempunyai andil di dalamnya. 

Ada sebuah hadis mengatakan, “Ilmu itu ada tiga tingkat. Barangsiapa yang baru masuk ke dalam tingkat pertama maka dia akan bersikap takabur; barangsiapa yang masuk ke dalam tingkat kedua maka dia akan bersikap tawadu, serta barangsiapa yang telah masuk ke dalam tingkat ketiga maka dia akan tahu bahwa sesungguhnya ia tidak mengetahui apa-apa.” Manusia yang sampai pada tingkat ketiga inilah yang sesungguhnya ia telah sampai merasakan kelapangan dada. 

Kisah Nabi Musa dan Raja Mesir waktu itu, Fir’aun, dapat menjadi contoh bagaimana kekuatan kelapangan dada itu. Ketika melaksanakan misinya, Nabi Musa as tidak meminta bala tentara dan kekuasaan dari Allah, melainkan Nabi Musa hanya berkata,Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku (QS. Thâhâ:25). Jelas kiranya bahwa kelapangan dada lebih penting daripada bala tentara yang lengkap dengan senjata. Dan dengan kelapangan dada inilah maka seluruh urusan akan menjadimudah. 

Demikian pula orang yang mempunyai kelapangan dada akan memiliki kemauan yang kuat dan mampu menyatakan perkataan-perkataannya di hadapan semua orang, serta perkataan itu didengar mereka. Orang yang memiliki kelapangan dada jika ditanya tentang sesuatu, jika dia mengetahuinya maka dia akan menjawabnya dengan penuh ketenangan; dan apabila dia tidak mengetahuinya maka secara terus terang dia mengatakan bahwa ‘saya tidak tahu’. 

Selanjutnya seorang manusia yang memiliki kelapangan dada, dia tidak akan lemah menghadapi berbagai kesulitan. Dia tidak akan kehilangan jati dirinya ketika berada di dalam kesenangan dan kegembiraan. Seluruh pekerjaannya menjadi mudah, kehendaknya menjadi kuat, dan dia tidak akan dihinggapi kegagalan di dalam berbicara. Dia dapat berbicara dengan baik. Yang lebih penting dari itu ialah kata-katanya di dengar orang dan tertanam kuat di hati-hati manusia. 

Dalam sejarah Nabi sawada kisah yang dapat menjadi contoh tentang sikap kelapangan dada. Ketika Rasulullah saw diutus untuk menyeru manusia kepada agama yang benar, beliau shalat bersama Ali as dan Khadijah, istrinya di Kabah. Ketika itu Kabah penuh sesak dengan manusia. Sebagian dari mereka ada yang sedang duduk-duduk, sebagian lagi ada yang sedang melakukan thawaf, ada yang menari, dan sebagian yang lain lagi ada yang sedang bermain. Rasulullah saw mengerjakan shalat dengan penuh ketenangan. Orang-orang Arab itu memandangi mereka, dan mengatakan, “Apa yang dilakukan oleh mereka?” Jelas, ketiga orang ini bukanlah manusia biasa. Mereka tidak merasa takut di jalan Allah terhadap celaan orang yang mencela. Mereka adalah orang yang memiliki kelapangan dada. 

Berbagai penderitaan yang dialami Rasulullah saw pada masa awal kenabian, sama sekali tidak memberikan pengaruh kepada diri Rasulullah saw. Inilah arti kelapangan dada. Inilah pengertian bahwa hati manusia harus seperti lautan, yang tidak berkeluh kesah menghadapi berbagai kesulitan dan tidak sombong menikmati berbagai kesenangan, melainkan justru berdiri kokoh dalam menghadapi berbagai kesenangan, serta bersyukur di hadapan berbagai nikmat dan kebajikan. 

Jika pada diri kita tidak terdapat kelapangan dada maka ini merupakan kecelakaan. Karena ketiadaan kelapangan dada akan mengundang dosa demi dosa bagi kita. Dan ketika dosa datang menghitamkan hati, maka hati pun kehilangan kelapangannya. Sungguh kecelakaanlah bagi hati yang seperti ini. 

Ada sebuah doa yang patut disimak mengenai kelapangan dada ini. Ya Tuhanku, demi kemuliaan dan ketinggian-Mu kami bersumpah kepada-Mu, karuniakanlah kepada kami kesadaran dan sifat-sifat yang baik, yaitu sifat ‘kelapangan dada’; dan karuniakanlah kepada kami kemampuan untuk beribadah kepada-Mu dan kemampuan untuk menjauhi maksiat-Mu. Karuniakanlah kepada kami sifat-sifat insani. Wa Shallallahu ‘ala Muhammadin wa Ali Muhammad. 


Waktu dan Hidup Kita


Kita tahu dalam hidup ini, kita sering dibingungkan dengan berbagai pilihan tindakan. Misalnya, apakah kita harus memilih kerja atau kuliah, dan masih banyak lagi pilihan tindakan yang harus kita lakukan setiap hari. Kesalahan pemilihan ini bisa berakibat pada tidak efektifnya kita menjalani hidup. Ada suatu cerita yang menarik yang dapat diambil manfaatnya dari cerita berikut ini. Suatu hari, seorang ahli ‘Managemen Waktu’ berbicara di depan sekelompok mahasiswa bisnis, dan ia memakai ilustrasi yang tidak akan dengan mudah dilupakan para siswanya. Ketika dia berdiri di hadapan siswanya dia berkata, “Baiklah, sekarang waktunya kuis.” 

Kemudian dia mengeluarkan toples berukuran satu galon yang permulut cukup lebar, dan meletakkannya di atas meja. Lalu ia juga mengeluarkan sekitar selusin batu berukuran segenggam tangan dan meletakkan dengan hati-hati batu-batu itu ke dalam toples. Ketika batu itu memenuhi toples sampai ke ujung atas dan tidak ada batu lagi yang muat untuk masuk ke dalamnya, dia bertanya, “Apakah toples ini sudah penuh?” 

Semua siswanya serentak menjawab, “Sudah.” Kemudian dia berkata, “Benarkah?” Dia lalu meraih dari bawah meja sekeranjang kerikil. Lalu dia memasukkan kerikil-kerikil itu ke dalam toples sambil sedikit mengguncang-guncangkannya, sehingga kerikil itu mendapat tempat di antara celah-celah batu-batu itu. 

Lalu ia bertanya kepada siswanya sekali lagi, “Apakah toples ini sudah penuh?” Kali ini para siswanya hanya tertegun, “Mungkin belum”, salah satu dari siswanya menjawab. “Bagus!” jawabnya Kembali dia meraih ke bawah meja dan mengeluarkan sekeranjang pasir. Dia mulai memasukkan pasir itu ke dalam toples, dan pasir itu dengan mudah langsung memenuhi ruang-ruang kosong di antara kerikil dan bebatuan. 

Sekali lagi dia bertanya, “Apakah toples ini sudah penuh?” “Belum!” Serentak para siswanya menjawab. Sekali lagi dia berkata, “Bagus!” Lalu ia mengambil sebotol air dan mulai menyiramkan air ke dalam toples, sampai toples itu terisi penuh hingga ke ujung atas. 

Lalu si Ahli Manajemen Waktu ini memandang kepada para siswanya dan bertanya, “Apakah maksud dari ilustrasi ini?” Seorang siswanya yang antusias langsung menjawab, “Maksudnya, betapapun penuhnya jadwalmu, jika kamu berusaha kamu masih dapat menyisipkan jadwal lain ke dalamnya” “Bukan”, jawab si ahli, “Bukan itu maksudnya. Sebenarnya ilustrasi ini mengajarkan kita bahwa kalau kamu tidak meletakkan batu besar itu sebagai yang pertama, kamu tidak akan pernah bisa memasukkannya ke dalam toples sama sekali. 

Apakah batu-batu besar dalam hidupmu? Mungkin anak, anakmu, suami/istrimu, orang-orang yang kamu sayangi, persahabatanmu, pendidikanmu, mimpi-mimpimu. Hal-hal yang kamu anggap paling berharga dalam hidupmu. Hobimu. Waktu untuk dirimu sendiri. Kesehatanmu. Ingatlah untuk selalu meletakkan batu-batu besar ini sebagai yang pertama, atau kamu tidak akan pernah punya waktu untuk melakukannya. 

“Jika kamu mendahulukan hal-hal kecil (kerikil dan pasir) dalam waktumu maka kamu hanya memenuhi hidupmu dengan hal-hal kecil, kamu tidak akan punya waktu berharga yang kamu butuhkan untuk melakukan hal-hal besar dan penting (batu-batu besar) dalam hidupmu.” 

Dalam tradisi sufi, hal-hal besar yang dimaksud oleh Ahli itu adalah bagaimana kita dalam hidup ini dapat mewujudkan cinta kita sepanjang hari kepada Allah, sang kekasih. Seperti Rabiah al-Adawiyah, seorang sufi perempuan yang begitu cinta kepada Allah. Atau seperti al-Hallaj, yang begitu merindukan kebersatuan dengan Tuhannya. 

Ungkapan cinta kepada Allah dalam tradisi sufi merupakan hal yang paling utama. Cinta kepada Allah ini adalah perkara yang paling tinggi sekali dan itulah tujuan kita yang terakhir. Kesempurnaan manusia itu terletak dalam cinta kepada Allah ini. Cinta kepada Allah ini hendaklah menakluki dan menguasai hati manusia itu seluruhnya. Kalau pun tidak dapat seluruhnya, maka sekurang-kurangnya cinta kepada Allah melebihi cinta kepada yang lain. 

Seberiamya mengetahui Cinta Ilahi ini bukanlah satu perkara yang ringan. Sehingga ada satu golongan orang bijak pandai agama yang langsung menafikan cinta kepada Allah atau Cinta Ilahi itu. Mereka tidak percaya manusia boleh mencintai Allah karena Allah itu bukanlah sejenis dengan manusia. Kata mereka; maksud Cinta Ilahi itu adalah semata-mata tunduk dan patuh kepada Allah saja. Sebenarnya mereka yang berpendapat demtkian itu adalah orang yang tidak tahu apakah hakikatnya agama itu. Semua orang Islam setuju bahwa cinta kepada Allah itu adalah satu tugas. Allah ada berfirman berkenaan dengan orang-orang mukmin, Allah cinta kepada mereka dan mereka cinta kepada Allah. 

Begitu pula dalam sebuah hadis Nabi saw pernah bersabda, “Belum sempurna iman seseorang itu hingga ia mencintai Allah dan Rasulnya lebih daripada yang lain.” Apabila malaikat maut datang hendak mengambil nyawa Nabi Ibrahim, Nabi Ibrahim berkata, Pernahkah engkau melihat sahabat mengambil nyawa sahabat? Allah berfirman, Pernahkah engkau melihat sahabat tidak mau melihat sahabatnya? Kemudian Nabi Ibrahim berkata, Wahai Israil! Ambillah nyawaku! Doa ini diajar oleh Nabi saw kepada sahabatnya, “Ya Allah, kurniakanlah kepada ku cinta terhadap-Mu dan cinta kepada mereka yang Mencintai-Mu, dan apa saja yang membawa aku hampir kepada cinta-Mu, dan jadikanlah cinta-Mu itu lebih berharga kepadaku dari air sejuk kepada orang yang dahaga.” 

Karakteristik cinta dan ibadah kepada Allah itu berkenaan dengan hati. Orang yang cinta kepada Ilahi hatinya dipenuhi dengan cinta, khususnya cinta akan watak spiritual, semisal nilai-nilai kemanusiaan, atau agama dan keyakinannya. Ia akan terbakar dengan cahaya cinta Tuhan ataupun menerima suatu pencerahan atau inspirasi dari-Nya. Syarat penting untuk penerimaan karunia Ilahi dan realisasi kemanusiaan yang autentik adalah membersihkan kuil hatinya dari setiap noda keterikatan materialistik dan membunuh semua berhala emas dan perak serta menyingkirkannya dari hatinya. 

Dan salah satu bukti orang itu mencintai Allah, adalah dengan mencintai hamba Allah. Khususnya orang-orang miskin. Dalam suatu hadis dikatakan bahwa Allah bersama orang-orang miskin itu. Sehingga dalam keadaan bangsa ini yang sedang susah, ada baiknya kita memanfaatkan waktu hidup kita untuk mencintai Allah dengan jalan membantu sesama umat manusia yang sedang ditimpa musibah dan kemiskinan. 


Tanggalkan Kesedihan untuk Meraih Kesucian


Hidup manusia berayun dalam dua keadaan, antara kesedihan dan kebahagiaan. Kesedihan merupakan derita jiwa yang dapat timbul akibat hilangnya sesuatu yang kita cintai atau karena kita gagal mendapatkan apa yang kita cari. Biang keladinya adalah karena kita terlalu mengagungkan nilai-nilai materi, haus pada nafsu-nafsu badani, lalu merasa rugi kalau salah satu dari itu semua hilang atau gagal kita peroleh. 

Dengan demikian hanya manusia yang menganggap bahwa segala kesenangan duniawi yang telah diperolehnya bisa kekal dan senantiasa jadi miliknya, maka manusia yang demikian akan sedih dan gundah gulana karena hilangnya sesuatu yang dia cintai atau karena gagalnya ia mendapatkan apa yang dia cari. Kalau saja manusia tahu siapa dirinya dan tahu bahwa apa saja yang ada di alam itu tidak kekal, niscaya dia tak akan lagi mendambakan dan tidak lagi mencarinya. Kalau dia sudah tidak mendambakannya lagi, maka tak akan lagi dia bersedih hati karena hilangnya apa yang diingini atau gagal diperolehnya apa yang diangankannya di dunia ini. Dia akan mengarahkan upayanya ke tujuan-tujuan suci dan hanya mencari kebaikan-kebaikan kekal saja. 

Dengan orientasi hidup pada tujuan-tujuan suci itu, maka dia hanya akan mengambilnya sebatas yang diperlukannya untuk menghilangkan rasa lapar, telanjang atau kebutuhan-kebutuhan mendesak lainnya yang serupa. Dia tidak akan menimbun harta. Dia tidak akan berfoya-foya dan berbangga ria. Sekiranya harta itu lepas dari tangannya, dia tak akan menyesalinya dan tak akan mempedulikannya. Sungguh orang yang berbuat seperti itu pasti dia akan tenteram, tidak gundah gulana, akan gembira tidak bersedih, akan bahagia tidak sesak dadanya. Barangsiapa tidak menerimanya dan tidak mengobati jiwanya dengan cara ini, dia akan gelisah dan bersedih hati selamanya. Sebab dia tak pernah bisa lolos dari gagalnya memperoleh sesuatu yang dia cari, dan hilangnya sesuatu yang dia cintai. 

Barangsiapa dengan berbuat baik ia merasa puas, dan dengan apa yang didapatnya tidak bersedih hati, maka dia akan gembira dan bahagia selamanya. Kalau orang meragukan, bahwa perasaan seperti ini bermanfaat, hendaknya dia merenungkan perasaan orang mengenai tujuan yang mereka upayakan dalam kehidupan mereka, dan amati bagaimana mereka berbeda-beda dalam merespon kehidupan ini berdasarkan keadaan-keadaan dan perasaan-perasaan mereka. Jika kita renungkan maka akan mengungkapkan secara jelas dan terang kehidupan mereka dalam berbagai pekerjaan dan bagaimana perasaan mereka menanggapinya. 

Kalau kita perhatikan dengan seksama beragam kelas sosial yang ada. Akan terlihat bahwa kegembiraan seorang pedagang terjadi bila dia berdagang, prajurit bila dia pemberani, penjudi bila dia berjudi, manipulator bila dia manipulasi atau banci dengan kebanciannya. Tiap-tiap orang ini berasumsi bahwa orang yang tidak seperti mereka adalah orang yang tertipu dan tidak merasakan kesenangan yang mereka nikmati. Hal ini karena setiap kelompok sangat merasa bahwa cara hidupnyalah yang benar dan karena sudah lama terbiasa dengan cara hidupriya sendiri. 

Demikian pula dengan seorang pencari kebajikan yang menekuni jalur hidupnya sendiri, jika perasaaannya menjadi kuat, dan jika penilainya tetap baik dan praktiknya terus berkelanjutan dia lebih berhak mengecap kegembiraan dibanding kelas-kelas sosial di atas yang tersesat dalam gelapnya kebodohan mereka sendiri. Dialah seharusnya yang paling bahagia di sisi Sang Maha Pemberi nikmat karena dia benar dan mereka salah, dia yakin dan mereka tidak yakin, dia sehat akalnya dan mereka tidak, dia bahagia mereka sengsara, dia sahabat Allah, mereka musuh-musuh-Nya. 

Allah berfirman, 

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ditimpa kekhawatiran dan tidak pula mereka bersedih hati. (QS. Yunus:62) 

Al-Kindi (796-873M), seorang filosof awal Muslim, mengungkapkan tentang makna kesedihan yang menimpa pada kebanyakan manusia. Menurutnya, kesedihan yang ditimbulkan oleh manusia dan ditimpakan pada dirinya bukanlah sesuatu yang alami. Kata al-Kindi, “Orang yang bersedih hati karena kehilangan miliknya atau gagal memperoleh sesuatu yang dicarinya, kemudian merenungkan kesedihannya secara filosofis lalu dia mengerti bahwa penyebab kesedihannya itu bukanlah keharusan, lalu dia saksikan banyak orang yang tidak memiliki harta itu tapi mereka tidak sedih, bahkan gembira dan bahagia, dia tak pelak lagi akan tahu bahwa kesedihan bukanlah hal yang niscaya dan tidak alaminya.” 

Ini misalnya dapat kita saksikan orang-orang yang kehilangan anak, saudara maupun teman mereka, hingga terlihat betapa sedihnya mereka? Namun tak lama berselang, mereka pun kembali senang dan tertawa, bahagia, lalu pulih kembali seperti orang yang tak pemah bersedih hati sama sekali? Begitu pula orang yang kehilangan harta atau benda apa saja yang didambakan manusia, yang bila benda itu hilang dia jadi kecewa dan sedih hati. Orang seperti itu akhirnya gembira, lenyap kesedihannya, lalu bahagia lagi. Kalaulah seorang yang berakal mau mengamati secara cermat kondisi yang kerap terjadi dalam masyarakat banyak di saat mereka sedih dan mengamati sebab-sebab yang melatarbelakanginya akan terlihatlah olehnya bahwa musibah tertentu tidak hanya menimpa dirinya saja dan bahwa akhir dari musibahnya adalah kegembiraan dan bahwa kesedihan adalah penyakit aksidental yang sama buruk yaitu penyakit yang ditimpakan manusia atas dirinya sendiri yang tidak alami. 

Dengan kesadaran seperti ini maka kita seharusnya menyadari bahwa di alam ini tidak ada yang kekal. Janganlah seperti orang yang disodori wewangian yang langka untuk dihirup baunya dan dinikmati keharumannya, tetapi dia mendambakannya dan mengira bahwa wewangian itu diberikan padanya untuk selamanya, sehingga ketika wewangian itu diambil darinya, dia bersedih hati, kecewa dan marah. Inilah kondisi orang yang mendambakan hal yang mustahil dan orang yang kehilangan akal sehat. Inilah kondisi orang yang dengki, sebab dia ingin menguasai barang-barang dan tak membaginya kepada orang lain dan dengki adalah penyakit terburuk dan kejahatan paling busuk. 

Oleh sebab itu, para filosof berkata,“Barangsiapa ingin supaya musuhnya ditimpa keburukan, berarti dia penjahat!” Yang lebih jahat dari ini adalah orang yang ingin agar kebaikan yang dimiliki teman-temannya sirna, berarti dia menghendaki agar temannya ditimpa keburukan.” Konsekuensi dari keburukan-keburukan ini adalah orang bersedih hati di saat orang lain memperoleh kebaikan, lalu dengki pada mereka karena mereka mendapat kebaikan. Tak soal apakah kebaikan-kebaikan itu berupa milik kita atau bukan milik kita. 

Dalam hal ini, dibutuhkan sebuah kesadaran akan makna hidup yang melepaskan diri dari jerat-jerat kedengkian dan rasa memiliki keduniaan yang terlalu berlebihan. Sebuah kesadaran untuk membangun orientasi hidup yang lebih mengharmonisasikan hubungan antara Allah dan sesama manusia, berupa tujuan-tujuan yang berjiwa kesucian. 



Buah Kesabaran


Sabar dalam menghadapi musibah dan bencana merupakan sifat yang terpuji. Sabar adalah buah berharga jika kita membebaskan diri dari diperbudak hawa nafsu. Nashiruddin al-Thusi, seorang ulama terkemuka dari mazhab Ahlulbait, mengartikan sabar sebagai menahan diri untuk tidak teragitasi pada hal-hal yang tidak diinginkan. Demikian pula dengan seorang arif termasyhur Khawajah ‘Abdullah al-Anshari mengatakan, “Arti sabar adalah menahan diri untuk tidak mengeluh karena derita terpendam.” 

Jika seseorang memandang musibah dan kemalangan itu sebagai hal yang menjijikkan dan merasa menderita sekali karenanya, ini menandakan orang tersebut makrifatnya kurang. Ini berarti orang tersebut kurang berpantang dari dosa-dosa, dan kurang menunaikan kewajibannya (taat) pada Allah. Orang yang paham realitas ibadah, dan percaya pada bentuk-bentuk akhirati dari ibadah dan dosa, akan memandang penting sabar dalam ibadah dan tidak mau berbuat dosa. Bila dia mendapati bahwa kegembiraan atau sukacita menyebabkan lalai beribadah, atau menyebabkan dia berbuat dosa, maka keduanya itu menjadi menjijikkan baginya. Orang seperti ini penderitaan batiniahnya yang berat menjadi semakin berat ketimbang orang yang menanggung musibah dan kemalangan dengan sabar. 

Dalam suatu riwayat diceritakan ‘Ali bin Thawus merayakan hari pertamanya ketika dia menjadi mukallaf (yang terkena kewajiban keagamaan), karena Allah Swt telah mengizinkannya untuk menunaikan kewajiban pada hari itu. Ali bin Thawus amat senang dapat melaksanakan kewajiban agamanya. Kalau kita melihat diri kita, betapa beda antara kita dan hamba-hamba yang taat itu. Kita menganggap Allah Swt membebani kita dengan kewajiban-kewajiban. Kita memandang kewajiban-kewajiban itu menyusahkan dan menganggu kita. Jika salah seorang di antara kita berusaha shalat pada awal waktu, dia mengatakan bahwa lebih baik melakukannya dan semakin cepat semakin baik. Segala musibah kita disebabkan oleh kebodohan dan kejahilan serta kurang atau tak adanya iman. 

Dalam Syarh Manazil as-Sa’irin, ‘Abdurrazzaq al-Kasyani mengatakan, “Yang dimaksud oleh sang Syeikh, ketika dia berkata arti sabar adalah tidak mengeluh kepada makhluk. Dengan kata lain, mengeluh kepada Allah Swt dan memohon kepada-Nya agar diberi pertolongan tidak bertentangan dengan sabar. Nabi Ayyub as mengeluh kepada Allah seraya berkata,Lihatlah, setan telah mendatangiku dengan kelesuan dan azab (QS. Shâd:41).Sesungguhnya Kami mendapatinya orang yang sabar. Betapa hamba unggul dia itu! Dia (sangat) menyesal (QS. Shâd:44).Dan Nabi Yaqub as berkata, Kukeluhkan derita dan dukacita kepada Allah (QS. Yusuf:86), meskipun dia itu orang yang sabar. Namun, tidak mengeluh kepada Allah merupakan wujud keras kepada (hati) dan tanda dendam (enggan). 

Riwayat para nabi mengungkapkan bahwa meskipun maqam mereka jauh di atas maqam sabar, ridha dan taslim (pasrah), toh mereka senantiasa memohon, meratap dan mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan mereka kepada Allah Swt, dan ini tidak bertentangan dengan maqam spiritual mereka. Tetapi, ingat kepada Allah, mendekat kepada Allah Sang Tercinta, dan mengungkapkan penghambaan dan kerendahan hati di depan yang Mahabesar dan Mahasempurna, merupakan tujuan akhir harapan kaum arifin dan tujuan akhir perjalanan salik. 

Dalam hal ini, sikap sabar memberikan banyak hasil, di antaranya adalah pembinaan dan disiplin jiwa. Kalau manusia sabar menghadapi musibah dan kemalangan untuk beberapa lama, jika dia tabah dalam menghadapi kesulitan yang ditimbulkan oleh ibadah dan pahitnya meninggalkan kenikmatan-kenikmatan jasadi, dan bila dia melakukan semua ini demi menaati Tuhannya yang memberinya rezeki, maka secara berangsur-angsur jiwanya menjadi terbiasa dengan hal-hal ini. Lalu jiwanya penuh disiplin dan taat, dan tidak lagi keras kepala. Baginya, menghadapi kesulitan itu merupakan sesuatu yang mudah. Dan berkembanglah di dalam jiwanya itu fakultas yang senantiasa bercahaya, sehingga dia bisa melampaui maqam sabar menuju maqam spiritual lain yang lebih tinggi. Sabar tidak berbuat dosa merupakan sumber ketakwaan diri. Sabar dalam ketaatan merupakan sumber keakraban dengan Allah. Sedangkan sabar dalam musibah merupakan sumber ridha atau puas menerima takdir Allah. Inilah maqam-maqam ahlul iman atau maqam-maqam ahlul irfan. 

Dalam hadis-hadis mulia Ahlulbait as, sabar sangat ditekankan sekali. Imam ash-Shadiq as berkata, “Sesungguhnya, sabar bagi iman seperti kepala tanpa tubuh. Tubuh akan hancur tanpa kepada. Begitu pula, bila sabar tiada, lenyap pula iman.” Dalam hadis lain, “Imam Sajjad (Zainal Abidin) mengatakan,“Sesungguhnya, sabar bagi iman seperti kepala bagi tubuh: orang yang tidak sabar, maka dia tidak beriman.” Banyak hadis yang berkaitan dengan topik ini. 

Sabar merupakan kunci pembuka pintu kebahagiaan dan sarana utama untuk melepaskan diri dari bahaya besar. Sabar membuat manusia menanggung kemalangan dengan mudah dan menghadapi kesulitan dengan tenang. Sabar memperkuat kehendak dan daya ketetapan hati. Sabar membuat jiwa merdeka. Di lain pihak, sedih dan cemas, selain keduanya ini merupakan watak yang memalukan, juga merupakan gejala-gejala kelemahan jiwa. Sedih dan cemas membuat orang tidak stabil, melemahkan ketetapan hati, dan meloyokan akal. Khwajah Nashiruddin al-Thusi berkata, “Sabar membuat batin tidak sedih, membuat lidah tidak mengeluh dan membuat anggota badan tidak melakukan gerakan-gerakan buruk.” 

Sebaliknya, batin orang yang tidak sabar penuh dengan kecemasan dan kegelisahan. Hatinya penuh dengan guncangan, dan ini sendiri merupakan bencana terbesar yang dapat menimpa manusia dan membuatnya kehilangan kedamaian. Namun, sabar menyingkirkan musibah, menjadikan hati dapat mengatasi kesulitan, dan membantu kehendak mengatasi bencana. Orang yang tidak sabar senantiasa mengeluh tentang kesulitan-kesulitannya kepada semua orang. Hal ini, selain membuat dia buruk di mata orang –dipandang rendah sebagai orang lemah yang berwatak labil– membuat dia kehilangan kedudukan di mata, Tuhan dan di depan para malaikat-Nya. Iman dan tawakal kepada Allah macam apa yang dimiliki hamba yang tidak tahan menghadapi kesengsaraan, setelah sebelumnya dia menerima ribuan karunia dan rahmat-Nya, dan lalu membuka mulutnya di depan orang serta mengeluh begitu kesengsaraan menimpanya? Maka tepat kalau dikatakan bahwa orang yang tidak sabar itu tidak memiliki iman. 

Jika kita beriman kepada Tuhan dan percaya semua urusan ada di tangan-Nya, tentu kita tidak akan mengeluh tentang kesulitan hidup dan kemalangan atau kesengsaraan yang menimpa kita. Kita menerimanya dengan rela hati. Adanya guncangan batin, ucapan sedih, gerakan tubuh yang buruk – semuanya hanyalah bukti bahwa kita ini kurang beriman. Selama kita merasakan karunia dan rahmat, kemudian kita bersyukur dengan syukur yang formal belaka dan kurang mengandung substansi batiniah, itu pertanda kita menghendaki lebih banyak lagi karunia. 

Namun, bila tragedi terjadi, atau kesedihan atau penyakit menimpa kita, kitapun lalu mengeluh tentang Allah Swt di depan makhluk-Nya. Dengan lidah yang mengeluh dan tiada mencela serta sinis, kita mengeluh tentang Dia kepada semua orang. Berangsur-angsur keluhan, kecemasan dan kekhawatiran itu menebarkan benih-benih permusuhan terhadap Allah dan ketentuan-Nya di dalam diri. Perlahan-lahan benih-benih itu pun tumbuh sehingga menjadikan perasaan itu sebagai watak yang abadi. Dengan demikian, na’udzu billah min dzalik, bentuk batin orang itu berupa memusuhi Allah dan ketentuan-ketetentuan-Nya. Bila hal itu terjadi, dia tidak dapat lagi mengendalikan pikiran dan perasaannya. Lahir dan batinnya pun diwarnai dengan permusuhan terhadap Allah Swt, dan dia meninggalkan dunia ini untuk menghadapi keadaan amat buruk dan kegelapan yang abadi, sementara ruhnya diwarnai permusuhan dan kebencian terhadap Tuhan Yang Maha Pemurah. Aku berlindung kepada Allah dari buruknya suatu akhir yang membawa malapetaka dan dari iman mustawda’ (iman yang bersifat sementara). Karena itu, memang benar bahwa bila sabar tiada iman pun tiada. 


Pentingnya Kesabaran


Dalam diri manusia ada satu hal yang amat penting, dan jika manusia tidak mempunyainya maka manusia akan kehilangan orientasi hidupnya. Faktor ini adalah masalah keimanan kepada Allah Swt. Dengan landasan keimanan kepada Allah maka manusia, menurut ulama besar Ali Khamene’i, mempunyai (1) Landasan untuk memahami manusia dan dunia, yakni dikenal sebagai pandangan dunia. (2) Petunjuk umum untuk gerakan dan tindakan manusia (ideologi). (3) Panduan atau regulasi hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya, sesamanya, dan makhluk-makhluk lain. (4) Serangkaian petunjuk umum untuk memelihara momentum penting yang diperlukan atau usaha untuk mencapai kesempurnaan dan kemuliaan, dan merampungkan kesuksesan dalam pelbagai bidang kehidupan. 

Dalam menegakkan bangunan keimanan inilah dibutuhkan kesabaran. Seperti halnya seorang yang ingin mencapai tempat tertentu, maka ia harus tahu lokasi tujuannya dan ketika menuju ke sana harus dengan kesabaran, karena kalau tidak ia akan mendapat hambatan seperti kecelakaan lalu lintas. Faktor kesabaran inilah yang dalam bangunan keimanan merupakan ciri dari seorang mukmin sejati. 

Dalam penegakkan keimanan dan mazhab agama juga membutuhkan kesabaran. Tanpa kesabaran, kebenaran dan logika ketabahan dari mazhab agama yang suci tidak akan bisa dipahami. Kesabaran akan memberikan harapan puncak bagi kejayaan kebenaran di atas kepalsuan, memberikan darah segar kehidupan kepada tangan-tangan kuat dan langkah-angkah tabah kaum mukmin. Demikian pula, hukum serta bimbingan agama yang mengendalikan dan memeriksa kecenderungan pelanggaran batas manusia niscaya menjadi tidak berdaya. 

Jika kesabaran tidak terpatri dalam diri seorang mukmin, maka kongres internasional haji tetap menyisakan kehampaan. Begitu pula gambaran elok dari jihad akbar dengan diri (“perjuangan besar dalam melawan hawa nafsu”), yakni berpuasa dan pengekangan diri niscaya kehilangan daya tariknya. Dan sedekah berikut penunaian zakat demi mendapatkan ridha Allah niscaya diabaikan. 

Dalam buku Discourse on Patience, Khamene’i menjelaskan tanpa kesabaran semua nilai etis dan pendidikan luhur Islam (kesalehan, kejujuran, dan kebajikan) niscaya terlupakan; dan pada dasarnya, setiap parameter agama yang menuntut perbuatan dan tindakan, niscaya tercerabut dari mereka. Karena agama menuntut perbuatan nyata, yang tidak mungkin tanpa kesabaran, oleh sebab itu, yang memberikan darah kehidupan segar kepada komplek raksasa ini, atau yang memberikan gerakan ke kereta ini tidak lain adalah kesabaran. Dalam sejumlah hadis disebutkan tentang arti penting dari kesabaran yang didefinisikan sebagai berikut,“Kesabaran atas iman laksana kepala atas tubuh.” 

Kepala bagi seseorang memiliki kedudukan yang sangat penting sejauh kehidupan ini diperhatikan. Barangkali siapapun tak peduli dengan tidak adanya anggota-anggota tubuh yang berbeda dalam tubuh manusia seperti tangan, kaki, mata, telinga, dan seterusnya. Akan tetapi jika kepala yang merupakan ruang pengendalian bagi seluruh sistem syaraf tidak ada atau lumpuh, maka semua anggota dan sistem tubuh pun akan menjadi lumpuh atau timpang. Tubuh mungkin tetap hidup, tapi nyatanya ia tak berbeda dengan jasad yang mati. 

Kadang-kadang, boleh jadi satu bagian tubuh bisa melakukan sebuah tugas penting. Boleh jadi tinju, kepalan tangan, jari-jemari, atau mata seseorang bisa melakukan perbuatan mulia dalam melepaskan banyak kewajiban, namun semua itu dituntaskan disebabkan adanya kepala. Kesabaran mempunyai kedudukan penting yang sama dalam struktur agama. 

Selanjutnya Khamene’i menjelaskan, tanpa kesabaran, eksistensi monoteisme (tauhid) tidak mungkin ada. Begitu pula kenabian dan misi kenabian tidak akan membuahkan hasil apapun. Hak-hak orang yang teraniaya tidak bisa diperoleh dari para penguasa. Shalat, puasa, dan ritus-ritus ibadah lainnya niscaya menjadi muspra (meaningless). Oleh sebab itu, adalah kesabaran yang memenuhi semua aspirasi agama dan kemanusiaan. Jika pada awal permulaan Islam, Nabi saw tidak menawarkan perlawanan terhadap semua oposisi sengit, demi kebenaran tentunya, maka slogan tiada tuhan selain Allah (lâ ilâha illa Allah ) niscaya tercekik dalam dinding-dinding rumahnya, sejak kelahirannya. 

Yang menjadikan Islam tetap hidup dan sempuma tiada lain adalah kesabaran. Apabila ahlullah (people of Allah) yang takwa dan para nabi besar tidak bersabar terhadap oposisi dan rintangan-rintangan di jalan mereka, niscaya hari ini tidak ada jejak dan pengaruh apapun dari monoteisme. Satu-satunya faktor yang bertanggung jawab yang tetap rnenghidupkan sistem monoteisme, sejak awal penciptaan manusia, adalah kesabaran. Yang menjadi pengusung bendera untuk ideologi samawi ini sampai kiwari, dan akan melanjutkan hal yang sama sampai hari kiamat. 

Ide-ide dan ucapan-ucapan manusia yang paling logis, jika tidak disertai dengan kesabaran yang dipraktikkan oleh para pendiri mereka, niscaya mengeringkan tenggorokan dan lidah rnereka. Mereka niscaya tenggelam dalam gelombang bergolak dari sarnudra sejarah selamanya. Oleh sebab itu, sangat jelas bahwa kesabaran memiliki hubungan yang sama dengan tubuh agama, sebagaimana halnya kedudukan kepala atas tubuh manusia. Amirul Mukminin dalam khutbah al-Qâshi’ah (Khutbah Penghinaan)-nya memberikan kejayaan kaum tertindas atas kaum tiran dan keberhasilan ide-ide mulia mereka sebagai berikut: 

“Ketika Allah menyaksikan kesabaran mereka dalam menanggung penderitaan dan kesulitan yang menimpa mereka, karena kecintaan mereka kepada-Nya dan mengikuti jalan kebenaran, maka Ia membukakan kepada mereka pintu-pintu bantuan Ilahi di tengah-tengah kesulitan kemacetan bencana. Setelah melewati masa-masa sulit itu; mereka mendapatkan diri mereka sebagai penguasa dan gubemur. Kemuliaan, kemasyhuran, dan keistirnewaan rnereka sarnpai pada suatu titik yang tidak pernah terbayangkan oleh mereka dalam mimpi-mimpi terbaik mereka . (Nahj al-Balaghah, Khutbah No.191).” 

Demikian kesabaran telah menjadikan manusia mencapai kemenangan dari berbagai kesulitan hidup. 


Hikmah Kesabaran


Dalam sebuah riwayat diceritakan ada seorang penjual pakaian yang buta huruf, akan tetapi kedudukan keilmuannya telah mencapai suatu tingkatan di mana ilmunya masih terus dimanfaatkan hingga sekarang. Dialah, Ibn Sirin, seorang yang diceritakan Husain Mazhahiri dalam kitab Jihad an-Nafs, membuat kagum banyak orang khususnya dalam masalah ta’bir mimpi. 

Diceritakan, seorang wanita datang kepada penjual pakaian ini (Ibn Sirin) dan membeli sejumlah pakaian. Ketika Ibn Sirin membawakan pakaian yang telah dibeli kepada wanita tersebut, dia diajak oleh wanita tersebut untuk melakukan maksiat. Supaya dia selamat dari siksa neraka Hawiyah yang menghinakan, dia berpura-pura minta izin untuk pergi ke WC. Lalu, dia pun pergi ke WC dan mengotori seluruh tubuhnya, dari atas kepala hingga ujung kaki, dengan kotoran. Akhirnya wanita tersebut terpaksa mengeluarkannya dari rumahnya. Tubuh lahir Ibn Sirin najis, akan tetapi dirinya tidak menjadi najis, bahkan bercahaya dengan cahaya Allah. Ketika dia menyucikan tubuhnya, dan kemudian pulang ke rumah, dia merasakan sebuah cahaya meliputi dirinya. 

Kisah Ibn Sirin mirip dengan dengan apa yang telah dilakukan oleh Nabi Yusuf as. Allah kemudian menganugerahkan karamah mengenai tafsir mimpi kepada Ibn Sirin, seperti salah satu karamah Nabi Yusuf as adalah tafsir-tafsir mimpinya. Karamah itu diberikan Allah kepada Ibn Sirin karena ia tetap dalam kesabaran dan menjaga hawa nafsunya walaupun pesona dunia ada di hadapannya. 

Hal ini dapat terjadi, menurut Husain Mazhairi, karena Islam mengajarkan dengan menjauhi dosa akan menguatkan keinginan, dan memperkuat dimensi spiritual seorang manusia. Pada keadaan itu seorang manusia mampu mengangkat kepalanya tinggi-tinggi di hadapan syahwat dan gharizah, dan mampu memenangkan peperangan batin (al-harb ad dakhili) yang terhitung sebagai sebesar-besamya peperangan yang dihadapi manusia. Karena itu, memenangkan peperangan ini adalah suatu perkara yang sulit sekali, dan membutuhkan kesabaran. Sehingga untuk bisa memperoleh kemenangan kita harus menghadapkan wajah kita ke arah Islam. Allah berfirman,Dan jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. 

Al-Quran banyak sekali berbicara seputar manusia yang berbuat dosa. Dalam al-Quran banyak sekali ayat yang memerintahkan untuk kita memperhatikan sejarah mengenai orang yang berbuat dosa untuk diambil pelajaran. Al-Quran mengatakan, 

Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (QS. Ali ‘Imran:137) 

Dusta dalam ayat tersebut dinyatakan sebagai sebuah dosa. Sesungguhnya dusta adalah dosa besar. Akan tetapi, karena manusia telah terbiasa berkata dusta, maka ketakutan terhadapnya telah tercabut dari hati mereka. Satu dusta saja, sangat membahayakan kita. Begitu juga dengan mengumpat. Imam Khomeini, di dalam sebuah bukunya mengenai mengumpat, mendefinisikan perbuatan mengumpat sebagai berikut, “Anda menyebutkan di belakang saudara Anda, sesuatu yang tidak disukainya.” Mengatakan suatu perkara di belakang seseorang, yang jika perkara itu di hadapannya maka dia tidak suka, inilah yang disebut dengan mengumpat. Jika seseorang mempunyai sifat buruk, lalu Anda mengatakannya di belakang dia, maka ini juga perbuatan mengumpat. Akan tetapi, jika dia tidak mempunyai sifat buruk sebagaimana yang Anda katakan, maka ini namanya ‘fitnah’. Oh, sungguh celaka karena dosa fitnah itu lebih besar daripada dosa membunuh. 

Al-Quran mengatakan bahwa kehidupan seorang manusia yang berdosa rawan tertiup angin. Dia tidak mempunyai kehidupan yang tenang dan bahagia. Rumah baginya tidak ubahnya seperti penjara, masyarakat baginya adalah sumber keresahan dan kegelisahan, dan pada akhimya dia mempunyai penyakit lemah syaraf dan senantiasa tertimpa bencana hingga meninggal dunia. Allah berfirman, 

Dan orang-orang kafir kepada Tuhannya, amalan- amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. (QS. Ibrahim:18) 

Perumpamaan kehidupan manusia berdosa yang terdapat di dalam ayat itu, adalah merupakan penyerupaan pada hal-hal yang rasional (al-ma’qulat) dengan hal-hal yang bisa diindera (al-mahsusat). Artinya, tatkala al-Quran hendak menjelaskan suatu perkara yang bersifat maknawi, al-Quran meletakkannya dalam tataran sesuatu yang bersifat inderawi. Misalnya, ini dapat kita bayangkan jika kita berada di tengah padang pasir, dan di sana kita mengumpulkan angin kencang, maka tentu rumput-rumput kering itu beterbangan tertiup angin. 

Allah menyerahkan urusan orang yang berdosa kepada dirinya. Oleh karena itu kehidupannya menjadi gelap. Al-Quran memberikan perumpamaan mengenai orang yang berdosa, 



Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka dia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh. (QS. al-Hajj:31) 

Jika seseorang jatuh dari langit ketujuh ke bumi, be tapa tubuhnya akan bercerai berai. Apalagi jika dia jatuh dari pesawat terbang ke tempat yang tidak diketahui oleh seorang pun. Al-Quran mengatakan bahwa demikianlah keadaan orang yang berdosa. Al-Quran mengatakan bahwa dosa menjatuhkan manusia ke tempat yang paling bawah dan mencerai-beraikan tubuhnya menjadi serpihan-serpihan. Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka dia seolah-olah jatuh dari langit. Syirik yang disebutkan di dalam ayat ini bukanlah syirik karena menyembah berhala melainkan syirik karena dosa dan mengikuti hawa nafsu. 

Al-Quran berkata kepada orang-orang yang mengikuti hawa nafsu bahwa mereka itu musyrik, 

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya. (QS. al-Jatsiyah:23) 

Ayat ini mengatakan bahwa orang yang mengikuti hawa nafsu dianggap sebagai penyembah berhala, dan berhalanya itu adalah hawa nafsunya. 

Akibat dari perbuatan dosa bukan hanya akan meliputi diri kita saja, tetapi juga akan membuat genting masyarakat. Suatu bangsa akan menjadi punah, tidaklah oleh datangnya gempa bumi, melainkan sesuatu yang paling banyak menghancurkan suatu bangsa dan mendatangkan ketegangan syaraf di kalangan komponen bangsa tersebut adalah hilangnya iman dan rusaknya akhlak; dan yang lebih fatal lagi daripada itu ialah munculnya hawa nafsu pikiran. Al-Quran mengatakan, 

Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu [supaya menaati Allah], tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan [ketentuan Kami], kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur- hancurnya. (QS. al-Isra’:16) 

Dengan demikian, menjauhi dosa akan sangat bermanfaat jika kita menginginkan kemenangan di dalam pertempuran ini, pertempuran melawan hawa nafsu. Demikian pula hubungan dengan Allah akan memperkuat keinginan dan mendatangkan kehidupan yang bahagia bagi kita. Hubungan dengan Allah akan sangat berpengaruh pada kehidupan kita, juga keluarga dan masyarakat kita. 


Derajat dan Tingkatan Sabar


Suatu ketika Sama’ah bin Mihran ditanya Imam al-Kazhim as, “Apa yang telah menghentikanmu sehingga kamu tidak pergi haji?” Sama’ah menjawab, “Semoga aku menjadi tebusanmu, aku telah ditimpa utang besar, aku telah kehilangan hartaku. Namun, utang yang menjadi bebanku lebih memberatiku dibanding hilangnya harta. Jika bukan karena seorang sahabat kami, tentu aku tidak dapat keluar darinya.” Imam berkata, “Jika kamu sabar, kamu akan menjadi sasaran iri hati, dan jika kamu tidak, Allah akan memberlakukan ketentuan-Nya, entah kamu suka atau tidak.” 

Dari riwayat itu digambarkan bahwa orang yang tidak mempunyai sikap sabar akan dilanda sikap cemas dan sedih. Cemas dan sedih bukan saja tiada guna, namun juga dapat menimbulkan mudharat yang besar dan diikuti akibat yang fatal, yaitu kerusakan iman. Di lain pihak, sabar, tabah dan menahan diri memberikan banyak kebaikan, yaitu pahala di akhirat. Abu Hamzah al-Tsumali ra pernah meriwayatkan bahwa al-Imam ash-Shadiq as telah berkata, “Barangsiapa di antara kaum Mukmin yang menanggung kesengsaraan yang menimpanya dengan sabar, maka pahalanya sama dengan pahala seribu orang yang syahid.” 

Banyak hadis yang berkaitan dengan pokok persoalan ini. Imam ash-Shadiq as pernah berkata, “Ketika sang Mukmin memasuki kuburnya, shalat ada di sisi kanannya, zakat di sisi kirinya, kebajikan ada di depannya, dan sabar melindunginya. Ketika dua malaikat menanyainya, sabar berkata kepada shalat, zakat dan kebajikan, ‘Pedulikanlah sahabatmu, dan jika kamu tidak dapat membantunya, aku sendiri yang akan mempedulikannya.” 

Seperti ditunjukkan oleh hadis mulia tersebut, terdapat berbagai derajat dan tingkatan sabar. Pahala dan kebaikan sabar bervariasi, selaras dengan derajat dan tingkatannya. Hal itu diuraikan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Amirul Mukrninin dari Nabi Muhammad saw, “Ada tiga macam sabar: sabar ketika menderita, sabar dalam ketaatan, dan sabar untuk tidak berbuat maksiat. Orang yang menanggung derita dengan sabar dan senang hati, maka Allah menuliskan baginya tiga ratus derajat, ketinggian satu derajat atas derajat atas lainnya seperti jarak antara bumi dan langit. Dan orang yang sabar dalam ketaatan, maka Allah menuliskan baginya enam ratus derajat, ketinggian satu derajat atas derajat lainnya seperti jarak antara dalamnya bumi dan Arsy. Dan orang yang sabar untuk tidak berbuat maksiat, maka Allah menuliskan baginya sembilan ratus derajat, ketinggian satu derajat lainnya seperti jarak antara dalamnya bumi dan batas-batas terjauh ‘Arsy.” 

Hadis mulia ini mengungkapkan bahwa sabar untuk tidak berbuat maksiat lebih unggul dibandingkan tingkat sabar lainnya, sebab tidak saja jumlah derajatnya lebih besar, namun juga jarak antara derajat-derajatnya dalam jenis sabar yang lain. Ini juga memperlihatkan bahwa luasnya surga itu jauh lebih besar dibandingkan yang dapat dibayangkan, sebab penglihatan kita terbatas. Apa yang disebut sebagai gambaran tentang surga bahwa,...Dan surga luasnya seperti luasnya langit dan bumi... (QS. al-Hadid:21), barangkali merujuk ke surganya watak, dan kriteria surga watak adalah kuat dan sempurnanya kehendak. Karena itu, luasnya tidak akan terbatas. Sebagian orang mengatakan bahwa apa yang dimaksud di sini adalah tinggi, yaitu barangkali sama lebarnya (dengan surganya amal perbuatan) namun tingginya berbeda. Tapi, ini tampaknya jauh, sebab “lebar” di sini menunjuk ke luas, bukan ke lebar lawannya panjang. “Lebar” dalam kaitannya dengan langit dan bumi juga tak ada artinya bila dipahami dalam pengertian biasa; yaitu sesuatu yang berlawanan dengan panjang, meskipun keduanya memiliki “lebar” dalam pengertian “dimensi kedua” menurut terminologi ahli fisika. Namun, Kitabullah tidak berbicara menurut terminologi tertentu. 

Imam Ja’far ash-Shadiq meriwayatkan bahwa Nabi saw berkata, “Akan tiba suatu masa ketika otoritas politik dicapai melalui pertumpahan darah dan tirani, ketika kekayaan diperoleh dengan menjarah dan kekikiran, ketika kasih sayang terjadi melalui pencampakkan agama dan pemanjaan hawa nafsu. Barangsiapa hidup di masa seperti itu, dan menanggung kemiskinan dengan sabar meskipun meniliki kepasitas untuk menjadi kaya (secara haram), dan menghadapi permusuhan dengan sabar meski dapat mengambil hati orang, dan menanggung penghinaan dengan sabar meskipun dapat memperoleh penghormatan maka Allah akan menganugerahinya pahala lima puluh orang yang sangat benar (shiddiqun), di antara orang-orang yang membenarkan.” 

Sabar memiliki tingkatan-tingkatan lain, selain yang dipahami oleh awam, yaitu tingkatannya para penempuh jalan kesempurnaan (salik) dan para wali. Salah satu tingkatan sabar seperti itu adalah shabr fîllah (sabar dalam Allah), tingkatannya orang-orang yang diberkati dengan Kehadiran dan Penglihatan Amat Menyenangkan (ahl usy-syuhud wal-‘ayan), yang terjadi pada saat keluar dari pakaian kemanusiaan, dan pada saat terbebas dari tirai-tirai perbuatan dan sifat, pada saat tersinarinya hati oleh cahaya-cahaya Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya, dan pada saat dimasuki keadaan keakraban dan kekaguman, dan terlindunginya diri terhadap perubahan dari warna ke warna, dan kemangkiran dari keakraban dan penglihatan ruhani. 

Tingkatan lainnya lagi yaitu tingkatan shabr ‘anillah (sabar dari Allah), yang berkaitan dengan maqam pencinta Allah dan pendamba Allah, di antara ahlusy-syuhud wa-‘ayan pada saat kembali ke dunia mereka sendiri, dunia pluralitas dan ketenangan hati (setelah mabuk kepayang dengan Allah). lnilah maqam paling sulit, suatu maqam yang disebut-sebut oleh ‘Ali bin Abi Thalib as dalam doa Kumail, “Ya Ilahi, Junjunganku, Pelindungku, Tuhanku! Sekiranya aku dapat bersabar menanggung siksa-Mu, mana mungkin aku mampu bersabar berpisah dari-Mu?” 

Berikut ini kisah tentang al-Syibli. Diriwayatkan bahwa seorang pemuda dari kalangan pencinta Allah bertanya kepada al-Syibli tentang sabar, “Sabar macam mana yang paling sulit?” Jawab al-Syibli, “Sabar demi Allah.” Kata si pemuda, “Bukan.” “Sabar dalam Allah,” jawab al-Syibli. “Bukan,” kata si pemuda lagi. “Sabar dengan Allah,” kata al-Syibli. “Bukan,” kata si pemuda lagi. “Terkutuklah kamu, sabar macam apa itu?” kata al-Syibli dengan jengkel. “Sabar dari Allah,” begitu jawabnya. al-Syibli menangis, lalu pingsan. 

Tingkatan lain adalah tingkatan shabr billah, yaitu tingkatannya orang-orang yang diberkati kemantapan, tingkatan yang dicapai setelah keadaan ketenangan hati dan baka dengan Allah (baqa’ billah). Tingkatan yang hanya dapat dicapai oleh orang yang sempurna. Dan segala puji bagi Allah, pada awal dan akhimya. Dan shalawat Allah atas Muhammad dan Keturunannya yang suci. Semoga kita dapat mencapai derajat kesabaran seperti itu. 


Menahan Marah dengan Kesabaran


Banyak di antara kita dalam bergaul tak dapat menahan rasa amarah. Dari awal yang mulanya bercanda sering akhirnya berbuah pertengkaran. Pertengkaran ini timbul karena adanya ke dua belah pihak tak dapat menahan rasa amarahnya. Padahal Islam mengajarkan untuk mengendalikan sifat amarah ini. 

Dalam sejarah Islam, Malik al-Asytar dikenal sebagai Panglima Pasukan Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib as. Tentang Malik al-Asytar ini, Imam Ali as berkata, “Kedudukan Malik bagiku adalah sebagaimana kedudukanku bagi Rasulullah saw.” Malik al-Asytar adalah pembesar kabilah Kindah dan berkedudukan sebagai Panglima Besar. 

Dengan kedudukannya itu, tidak ada keinginan baginya untuk menindas orang yang lebih kecil. Pemah pada suatu hari, Malik berjalan di pasar Kufah dengan mengenakan pakaian yang lusuh dan berlengan pendek. Tiba-tiba seorang pemuda yang tidak mengenalnya dengan isengnya mencela Malik al-Asytar, bahkan pemuda itu kemudian melemparinya dengan tanah kering. Tetapi, Malik al-Asytar tidak menoleh kepadanya dan terus berjalan. 

Seorang yang mengenali Malik berkata kepada pemuda itu, “Apakah engkau tahu siapa orang yang kau lempari itu?” “Tidak”, jawabnya. “Dia adalah Malik al-Asytar!” Pemuda itu lalu menjadi gemetar dan takut. Dikejarya Malik al-Asytar untuk meminta maaf atas perbuatannya. Belum sempat ia menemuinya, dilihatnya Malik al-Asytar masuk ke dalam masjid untuk mengerjakan shalat. Maka ia pun mengikutinya. Begitu Malik al-Asytar selesai mengerjakan shalat, pemuda itupun menemuinya. Lalu, ia berlutut di bawah kedua kakinya dan memohon maaf atas kesalahannya. Malik al-Asytar berkata kepadanya, “Engkau tidak perlu merasa takut. Aku telah memaafkanmu sejak awal, dan aku memasuki masjid ini adalah untuk memohonkan ampunan kepada Allah untukmu.” 

Sesungguhnya, Malik al-Asytar dan orang-orang yang menahan kemarahannya adalah orang-orang yang menahan diri mereka ketika marah untuk menjaga kehormatannya. Allah berfirman, 

Dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan diri mereka. (QS. al-Furqân:72) 

Kemampuan menahan diri ketika marah merupakan sifat orang yang beriman. Sedangakan marah termasuk sifat kebinatangan yang dimiliki manusia. Dan ia merupakan hal alami yang terlahir dalam diri manusia atau hewan dari perasaan yang keras dan tajam terhadap yang lain. Ini terjadi, jika seseorang mendapatkan penghalang bagi keinginannya atau bertentangan dengannya, maka ia akan merasakan kesempitan (susah dan kesal), seperti ia mendengar perkataan yang buruk atau tertimpa kezaliman. Lalu timbullah pada dirinya perasaan ingin membalas dendam. dan kemudian bergolaklah darahnya. Karena itu. kita menyaksikan bahwa pada kondisi demikian. sebagian orang berubah mukanya menjadi merah dan tampak dengan jelas pergerakan darah yang ada di wajahnya. Pada saat itu jiwa seseorang cenderung untuk membalas dendam dan berusaha untuk melakukannya. 

Kemudian. dari mulutnya ia melontarkan kata-kata yang bertentangan dengan yang sebenamya. mencela orang lain dengan ungkapan-ungkapan yang keji dan hina. Atau menggunakan tangan dan kakinya. Sering dalam dalam kondisi yang demikian ia tidak sadar dengan apa yang ia perbuat. Itulah kondisi kebinatangan. Ia tidak lagi memperhatikan kebenaran. Ia ulurkan tangannya kepada kebatilan dengan pandangan seperti pandangan hewan. Pada saat ia dalam keadaan marah. tidak ada yang ia lihat di hadapannya selain dendam, sehingga terkadang ia merobek pakaiannya, melontarkan celaan kepada sesuatu yang tidak ada di hadapannya, ataupun memukul dirinya sendiri! 

Sering pula terjadi, jika rasa marahnya yang amat sangat tidak tersalurkan (pembalasan), maka ia dapat menderita shock (guncangan) atau serangan jantung disebabkan gejolak darah di uratnya. Bahkan orang seperti itu, dapat terkena stroke ketika marah kemudian mereka mati karenanya. Sebagian lagi ada yang mengalami kelumpuhan. Padahal mereka orang-orang yang mengerjakan shalat. Tetapi mengerjakan shalat semata-mata belumlah dapat menjadikan seseorang sebagai manusia. Melainkan ia harus menahan nafsunya dan mengekangnya. Janganlah ia memberikan ruang bagi sifat kebinatangan untuk bergerak agar ia tidak menjadi hewan yang buas. Jika anjing atau beruang di antara tabiatnya adalah mengoyak-ngoyak daging dan kulit. Adapun manusia, pada saat marah ia merobek dan mengoyak kehormatan dan kemuliaan orang lain, dan ini jauh lebih buruk daripada kezaliman lahiriah. 

Untuk menghindari dari keburukan marah, maka manusia harus mengekang nafsunya ketika marah. Seorang manusia yang sebenarnya jika menyikapi sesuatu yang dibencinya akan memilih aspek kemanusiaan yakni kesantunan, sedangkan sifat binatang adalah dengan kemarahan. Memang yang namanya binatang itu tidak mengenal kesantunan. Dan ia tidak mengerti apa itu kesantunan? Sedangkan kita sebagai manusia, adalah orang-orang yang memiliki pemahaman. Jika yang ada pada kita hanya marah, lalu apa perbedaan antara kita dengan binatang? 

Jadi, perbedaan merespon hal yang dibencinya atau tidak disenangi ini akan menunjukkan sifat kebinatangan atau kemanusiaan. Sifat kebinatangan merespon dengan kemarahan, sedangkan sifat kemanusiaan dengan kesantunan. Santun berarti sabar dan menahan diri pada saat menghadapi sesuatu yang dibenci. Pada saat melihat hal yang tidak disenangi, ia menahan diri, mengekang lidah, dan mencegah, tangan atau kaki dari berbuat kezaliman. Sesunguhnya menjaga diri sejak awal akan dapat menghindarkan terjadinya pertengkaran dan membuat orang yang menyakiti kita akan merasa malu dengan perbuatannya. Bahkan, dapat membawanya untuk meminta maaf. 

Ada sebuah riwayat sufi, yang dapat kita simak dan ambil hikmahnya. Khawajah Nashiruddin ath-Thusi, adalah seorang muhaqiq besar. Pernah suatu kali ada seorang yang bodoh memanggilnya dengan sebutan ‘anjing’. Tapi apa yang dikatakan ath-Thusi jauh dari rasa kemarahan. Ia berkata, “Engkau memanggilku dengan ‘anjing’, padahal aku hanya bekerja dengan pikiranku sehingga aku lihat tak ada sesuatu yang membuatku sama dengan anjing. Aku hanya memiliki dua kaki sedangkan anjing memiliki empat, ia mempunyai gigi-gigi yang tajam untuk memakan tulang, sedangkan gigi-gigiku diam saja dan tidak bekerja, ia memiliki bulu-bulu yang aku tidak memilikinya, dan ia pun memiliki taring, sedangkan aku tidak.” Begitulah ia rnenghadapinya dengan penuh kesabaran, sehingga orang tersebut terdiam. Seandainya ia membalasnya dengan perkataan, “Engkaulah yang anjing; begitu juga ayah dan ibumu!” Tentulah pertengkaran akan semakin memanas dan keadaan pun semakin memburuk. 

Memang salah satu pekerjaan berat dalam menjalani hidup ini adalah bagairnana kita dapat menahan diri dari rasa marah. Pada awal mulanya, melatih diri dalam menahan marah adalah suatu hal yang sangat berat, tetapi setelah itu, ia akan menjadi mudah dan sederhana. Sehingga buah dari menahan dan meredam kemarahan akan membawa kepada kebahagiaan dan kemuliaan bagi pelakunya. 


Hawa Nafsu dan Pengendaliannya


Setiap awal tahun baru, kita kaum Muslimin diingatkan satu peristiwa besar dalam sejarah Islam, yakni hijrah. Hijrah selain bermakna lahiriah, perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, namun juga dapat bermakna ruhaniah. Pemaknaan hijrah secara ruhaniah ini akan memberikan pada diri kita wahana spiritual yang lebih mendalam. Dengan demikian hijrah secara ruhaniah dapat diartikan sebagai transformasi dari suatu keburukan kepada kebaikan. Seseorang ingin melakukan hijrah, pada dasarnya karena ia ingin mencari perubahan menuju keadaan yang lebih baik. 

Perjalanan hijrah ini tak hanya dilakukan oleh manusia. Dalam puisi mistik sufi ‘Konferensi Burung-Burung’ karya Faridduddin Attar diceritakan tentang sekawanan burung yang ‘hijrah’ untuk mencari hakikat yang tertinggi. Attar melukiskan pencarian sekawanan burung untuk menemukan Simurgh, seekor burung legendaris. Nama itu berarti “tiga puluh ekor burung,” yang sekaligus mewakili sejumlah burung dalam kawanan, yang juga berjumlah 30. Setelah mengarungi tujuh lembah dan setelah mengatasi berbagai hambatan yang berat, mereka akhirnya berhasil bertatap muka dengan Simurgh yang tiada bandingannya itu. Puncak cerita merupakan bagian yang paling mengharukan dalam puisi mistik. Kini upaya burung untuk menemukan Simurgh tiada lain merupakan lambang dari pencarian manusia untuk menemukan Allah, atau Realitas Mutlak. 

Proses menemukan realitas Mutlak ini bukan hal mudah, manusia harus mampu mengalahkan dirinya sendiri untuk mencapainya. Sehingga tak heran Rasulullah saw menggambarkan perjuangan ini sebagai jihad akbar. Karena ini memang merupakan medan yang berat. Tapi jika dapat melaluinya maka berbahagialah orang yang beranjak menuju kebaikan. Ia akan makin mendekat ke sumber dari segala sesuatu. Sedangkan jika mereka tak beranjak dari posisi yang sekarang, tetap berada dalam kenistaan, sungguh amat menyedihkan karena ia tetap berada di sebuah penjara bagi dirinya sendiri. 

Padahal Tuhan Yang Maha Perkasa dengan kebijaksanaan- Nya telah mengirimkan rahasia Dzat-Nya dari Langit Tersembunyi ke Bumi, dan telah menyembunyikan rahasia itu dalam sifat manusia untuk menunjukkan Nama dan Sifat-Nya sendiri. Tetapi manusia yang tenggelam dalam kegelapan telah melupakan nilai-nilai dan kesempurnaan yang dimilikinya sebelum ia datang ke dunia ini. Demikian pula Allah telah menurunkan nabi-nabi dan (kitab-kitab suci kepada mereka agar mereka bangun dari tidur terlelap, untuk menuntun mereka ke jalan yang lurus, untuk memurnikan dan menata luar dan dalam diri mereka sehingga mereka mampu menyapu jaringan kegelapan dan nafsu, menemukan Alam Terang, mengingat tempat asalnya dan kembali ke sana. 

Jika orang mendekati Allah satu sentimeter dengan kemauan keras, Allah akan mendekat kepadanya satu meter, dan Allah datang dengan berlari kepada mereka yang datang dengan berjalan. 

Begitu pedulinya Allah pada hambanya yang bernama manusia, namun manusia tetap tidak mengerti dan berada dalam kenistaan. Mengapa manusia dapat bersikap demikian? Dalam diri manusia, terdapat dua ruh; ruh hewan, dan ruh manusia. Ruh hewan adalah zat spiritual halus yang terdiri dari nyawa, kesadaran, daya gerak dan kehendak tubuh, yaitu sifat-sifat manusia yang juga dimiliki hewan. Diri yang bersatu dengan ruh ini disebut diri hewan (nafs al-haywani). 

Sedangkan semua kemampuan yang lebih tinggi pada manusia dimasukkan dalam ruh manusia. Diri yang bersatu dengan ruh ini merupakan diri yang bicara/berpikir (nafs al-natiqa), dan diri inilah yang mampu mendorong ke tingkatan diri yang lebih tinggi: tenang, puas, diridhai, dan sempurna. Diri hewan merupakan substrat-nya, makin sering diri manusia tidak dapat hadir tanpa ini, diri hewan menjadi lebih jinak dan orang dapat menahan keinginan hewan. Inilah satu-satunya jalan agar makin banyak aspek manusia dan Ilahi dari diri dapat bangkit. Namun jika diri hewan begitu dominan terhadap manusia, hal inilah yang menyebabkan manusia terjerambah ke dalam perbuatan nista itu, karena banyak mengumbar nafsu hewaniahnya. 

Salah seorang wali sufi yang terkenal; Ahmad Sirhindi berkata, “Dalam keadaan aktif, diri hina berusaha untuk menjadi penguasa, menjadi pemimpin, dan lebih besar dari sesamanya. Ia menghendaki agar semua makhluk tergantung kepadanya dan agar mereka mematuhi perintah dan larangannya. Ia menolak ketergantungan dan hutang kepada pihak lain. Ia mengaku bersifat Ilahi dan bersekutu dengan Allah. Tentu saja, diri yang bersifat memaksa, mengerikan dan jauh dari kebahagiaan, tidak akan tenang meski berpartner dengan Allah. Ia bahkan ingin mengalahkan Allah dengan memperhamba segala yang ada. Oleh karena itu maka perbuatan membantu dan membina diri hina ini, hingga ia dapat mempertahankan kepemimpinan dan kekuasaan, merupakan kebodohan dan bencana terbesar.” 

Apa yang dikatakan Ahmad Sirhindi tentang diri hina merupakan hasil dari mengedepankan nafsu hewaniahnya itu. Sehingga ia akan terjebur dalam perbuatan-perbuatan yang menjauhi Allah, bahkan dapat menjadi sekutu-Nya. Tentu untuk menaklukan diri hina ini bukan persoalan mudah, karena ia begitu mempesona dan memberikan berbagai kesenangan duniawi. 

Salah satu tokoh Sufi, Syeikh Abdukadir Jailani pernah memberikan nasehat panjang untuk mengalahkan diri hina ini. Menurutnya, diri hina itu hanya dapat dijinakkan dengan pengendalian. Caranya yaitu dengan memberikan pendorong atas hak-haknya, tetapi jangan biarkan ia menikmatinya. Misalnya, hak-hak diri adalah makan, minum, pakaian, dan rumah, lakukan dan miliki seperlunya. Begitu pula kenikmatan merupakan hal yang disukainya, berikan haknya menurut ukuran yang ditentukan di dalam syariat. Berikan kepadanya apa-apa yang halal atau bersih, jangan sekali-sekali memberinya barang haram atau kotor. Puaslah dengan yang sedikit, asalkan halal. Biasakan dirimu dengan hal ini. 

Selanjutnya Syeikh Abdulkadir menasehatkan, “Bila kamu ingin kebebasan, lawanlah dirimu sebagai tanda kepatuhanmu terhadap Tuhanmu. Jika dirimu cenderung mematuhi-Nya, setujuilah. Jika cenderung terhadap dosa, lawanlah. Jangan singkirkan tongkat perjuangan dari belakangmu. Jangan percaya pada tipu dayanya. Ia akan pura- pura tertidur. Ketika binatang buas itu pura-pura tidur atau kelelahan, kamu mungkin tidak memiliki perlindungan. Ia selalu mencari kesempatan ketika ia tampak tidur atau lelah. Begitulah sifat predator. Diri adalah bagaikan predator. Ia beraksi ketika tampak mengantuk atau tidur, namun ketika melihat kesempatan, ia beraksi. Di luar, tampaknya diri itu patuh, taat, dan setuju dengan kebaikan; tetapi ia menyembunyikan kebalikannya. Jadi, hati-hatilah ketika ia tampak patuh.” Ia melanjutkan, “Obati dirimu sendiri dan berjuanglah melawan dirimu sendiri.” Hal ini sebagaimana firman Allah, 

Siapa pun yang berjuang di jalanKu, Kami akan membimbingnya ke jalan yang lurus. (QS. al-Ankabut:69) 

Dan juga, 

Jika kamu menolong agama Allah, Ia akan membantumu. (QS. Muhammad:7) 



Mengendalikan Hawa Nafsu (1)


Di tengah situasi ekonomi yang sulit karena naiknya harga-harga barang kebutuhan sehari-hari sekarang ini dibutuhkan kemampuan diri kita untuk mengendalikan diri. Sebab jika tidak maka kita dapat terjerumus ke dalam perbuatan jahat. Kemampuan mengendalikan diri merupakan suatu hal yang penting baik dilakukan oleh pemimpin maupun rakyat. Bagaimana cara kita mengendalikan diri adalah dengan memahami apa yang terjadi dalam diri kita sebagai manusia. 

Dalam diri manusia selalu ada pertarungan antara keinginan berbuat kebaikan dan keburukan. Pertarungan ini merupakan perjuangan yang selalu ada dalam diri manusia dan merupakan pertarungan yang paling sulit. Bahkan Rasulullah saw sendiri menyatakan bahwa pertarungan ini sebagai jihad akbar. Dan tempat bersemayam pertarungan ini adalah hati. 

Memang hati adalah tempat bersemayamnya kebaikan dan kejahatan. Dia adalah penguasa anggota tubuh dan pembawa diri, kemanapun kita akan melangkah, bagai nakhoda kapal yang menentukan arah kemana kapal akan melaju. Di hati, ada suatu kekuatan berlawanan yang saling tarik menarik dan saling menjatuhkan, yang masing-masing dari keduanya ingin mendominasi diri kita. Kedua kekuatan itu adalah kekuatan Ilahi dan kekuatan setan dimana kita sendirilah yang menentukan pada kekuatan manakah hati kita akan memihak. 

Dalam hat ini, salah satu kelebihan manusia dibanding malaikat adalah keinginan-keinginan manusia yang berbentuk syahwat. Allah menganugerahi dalam diri manusia syahwat (suatu keinginan dan kecenderungan) untuk menjadi salah satu acuan dalam hidupnya dan menempatkannya dalam hati. Namun demikian, manusia dituntut untuk menjaga syahwatnya agar tetap pada posisi yang sesuai dan tidak condong pada kekuatan setan. Jadi syahwat dalam diri manusia dapat memberikan manusia semangat untuk maju dan berkembang sesuai dengan potensinya, namun jika tidak dikendalikan akan memberikan dorongan yang menjerumuskan manusia itu sendiri. Misalnya keinginan untuk memenuhi kebutuhan materi, dapat mendorong manusia untuk bekerja keras dan tekun, namun jika tidak dikendalikan akan menimbulkan sifat keserakahan. 

Demikian pula Allah telah memberikan akal dan pengetahuan pada manusia agar bisa membedakan antara kebaikan dan keburukan. Akal inilah yang nanti berfungsi untuk mengendalikan syahwat manusia itu. Selain itu Allah juga telah menurunkan wahyu-Nya sebagai petunjuk bagi umat manusia menuju jalan yang benar. Wahyu inilah yang memberikan petunjuk kepada Akal, agar manusia dapat berjalan di jalan yang benar. 

Manusia dengan dibekali akal dan wahyu ini mempunyai kebebasan memilih dalam hidupnya, apakah akan cenderung pada nilai-nilai kebajikan atau keburukan. Hal ini telah dijelaskan Allah dalam al-Quran bahwa manusia mempunyai kesempatan untuk memilih. 

Tidak ada paksaan untuk memasuki agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat, karena itu barangsiapa yang ingkar kepada setan dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang pada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui. (QS. al-Baqarah:256) 

Lalu darimanakah hawa nafsu itu berawal? Hadis Nabi saw menjelaskan bahwa hawa nafsu sesungguhnya berawal dari “perut”. Nabi saw bersabda, “Orang mukmin makan dalam satu perut, sedangkan orang munafik makan dalam tujuh perut.” (HR. Muttafaq ‘Alaih) Ini artinya syahwat (keinginan nafsu) orang munafik itu tujuh kali lipat dari syahwat orang mukmin. Abdullah al-Qusyairi, seorang sufi mengatakan, “Hikmah dan ilmu telah diletakkan dalam rasa lapar, sementara maksiat dan kebodohan telah diletakkan dalam kekenyangan.” Dalam sebuah atsar (perkataan sahabat dan tabi’in) disebutkan “perangilah hawa nafsu kalian dengan lapar dan dahaga sebab yang demikian itu terdapat balasan pahalanya”. 

Yang dimaksud dengan lapar dan dahaga di sini adalah bukan semata-mata lapar dan dahaga saja, melainkan lapar dan dahaga dengan diiringi keteguhan iman. Betapa banyak orang yang lapar tetapi karena tidak diiringi iman di dalam hatinya, maka rasa lapar ini dimanfaatkan oleh setan untuk menggoda manusia, untuk berbuat kebatilan. Rasa lapar tanpa diiringi. keteguhan iman adalah kosong belaka. Sebab, iman adalah pengendali hati dan lapar adalah penguat kendali hati. Lapar adalah suatu media yang digunakan Rasulullah saw dan para sahabat untuk mendidik hati agar tunduk pada perintah-Nya dan tidak tunduk pada perintah hawa nafsu. 

Di antara manfaat lapar yaitu, menjernihkan hati, menyalakan kebijakan dan menajamkan penglihatan hati, seperti yang dikatakan Abu Yazid al-Busthami, seorang sufi, “Lapar adalah awan maka apabila seorang hamba lapar, keluarlah hujan hikmah dari hatinya.” Kemudian di antara manfaat lapar yang paling utama yaitu mematahkan keinginan nafsu terhadap semua bentuk maksiat dan menguasai nafsu yang selalu mengajak kepada kejahatan. 

Jika nafsu sudah terkekang dan keinginan-keinginan nafsu untuk hidup berlebihan dengan menumpuk-numpuk harta sudah sirna, orang tidak lagi berusaha mencari mata pencaharian haram dan berbuat kemaksiatan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan perutnya. Hal ini akan melahirkan kesederhanaan dalam hidup dan memungkinkan seseorang untuk mengutamakan orang lain dan bersedekah dengan makanan yang lebih kepada anak-anak yatim dan orang-orang miskin. Demikian apabila ia seorang pemimpin maka ia akan mengutamakan kepentingan rakyatnya dibandingkan kepentingan dirinya. Tidak akan ia membiarkan rakyatnya lapar, padahal ia hidup dalam kesenangan dan berlimpah harta. 

Di samping itu, manfaat dari nafsu yang terkekang yaitu terkendalinya syahwat yang selalu condong pada kesenangan yang berlebihan dan kemaksiatan. Namun demikian, agar selalu diingat, bahwa menahan lapar dan dahaga saja tanpa diiringi dengan ibadah dan zikrullah tidak akan mempunyai nilai dan kekuatan dalam mengubah diri dan mensucikan hati. 

Dengan demikian jika manusia dapat menyucikan dirinya, maka pada saat manusia kembali kepada Tuhannya, di situlah ia akan bersilaturrahmi kepada penciptanya. Tuhan yang memberinya petunjuk dan yang memberinya alam kehidupan. Pertemuan antara pencipta dan yang dicipta ini, merupakan akhir dari perjalanan yang dilalui manusia. Layaknya tuan rumah, Allah menyediakan tamu-tamunya berbagai hidangan, tergantung kepada setiap individu-individu yang sampai kepada-Nya. Pada mereka disediakan tempat-tempat khusus tergantung kepada jalur dan rute yang dilalui. Mereka yang beriman akan ditempatkan di tempat khusus yang namanya surga dan mereka yang tidak beriman akan ditempatkan di ruang yang disebut neraka. 

Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh ke dalam surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. mereka berhiaskan kalung-kalung dari emas dan mutiara, pakaian mereka terbuat dari sutera, mereka diantarkan dalam ruang yang penuh kata-kata baik dan indah dan mereka diantarkan kepada jalan yang terpuji. (QS. Hajj:23-24). 


Mengendalikan Hawa nafsu (2)


Manusia dalam hidupnya pasti ingin mencapai kebahagiaan. Tapi banyak di antara manusia tidak menyadari hakikat dirinya. Padahal untuk mencapai kebahagiaan ini manusia perlu mengenal hakikat dirinya. Manusia secara hakikat memiliki aspek lahir dan batin dalam wujudnya. Aspek lahir berupa jasad, sedangkan aspek batinnya berwujud nafs dan ruh, yang merupakan penghuni alam malakut yang lebih tinggi dari alam lahiriah. 

Dengan pengenalan diri manusia akan menyadari tujuan hidupnya di muka bumi. Manusia menyadari bahwa tugas utamanya di dunia ini adalah melakukan pensucian kembali nafsnya (zakkaha), dan berjuang (jihadun nafs) agar memperoleh rahmat Allah berupa penguatan nafs dengan Ruh al-Quds, yang dengannya nafs akan mampu mengenali dan mengenalkan Allah kepada jasadnya dan semesta alam. Hanya melalui pencapaian inilah kebahagiaan sejati dapat diperoleh manusia. 

Dari sini, kita perlu menyadari betapa pentingnya mengkaji ajaran Islam yang telah memberikan petunjuk pencerahan akan hakikat tujuan manusia ini. Dalam terminologi al-Quran dijelaskan bahwa struktur manusia dirancang sesuai dengan tujuan penciptaannya oleh Sang Pencipta, di mana an-nafs (jiwa), yaitu aspek batin manusia, memiliki realitas sebagai pasangan dan pada gilirannya nanti akan menjadi pemimpin dari aspek jasadnya. Allah berfirman, 

Demi nafs, serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada nafs itu, (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya berbahagialah orang yang mensucikan nafs itu (zakkaha), dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya. (QS. Asy-Syam:7-10). 

Selain nafs (jiwa), terdapat aspek batin lainnya dalam manusia, yaitu ar-ruh (daya hidup). Allah berfirman, 

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah yang kering dari Lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila telah Kusempumakan kejadiannya, dan telah Kutiupkan ke dalamnya ruh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. Maka bersujudlah para malaikat itu bersama-sama. (QS. al-Hijr:28-29) 

Nafs (jiwa) manusia adalah makhluk yang berasal dari alam malakut-suatu alam yang berasal dari nur Allah dan tak tampak dari indera lahiriah,yang kemudian dipersaksikan tentang siapa Rabbnya dan dituliskan qadla dan qadarnya di alam alastu. Fase kehidupan berikutnya adalah ketika Allah menyatukannya dengan jasad melalui peniupan ar-Ruh dalam usia janin 120 hari di kandungan rahim ibu nasabiahnya hingga saar kelahiran jasad ke dunia ini. 

Dalam kehidupan di dunia nafs, ruh dan jasad kemudian bersatu dalam satu diri manusia. Seiring dengan ajal yang menimpa. jasad, maka jasad akan kembali ke unsur asalnya, yaitu tanah, sedang ruh akan kembali kepada Allah, dan nafs akan melanjutkan perjalanannya pada fase kehidupan berikutnya, yaitu alam barzakh atau alam kubur. Kehidupan akhirat bagi nafs dimulai dengan peristiwa kebangkitan. Dalam kehidupan akhirat yang langgeng inilah nafs harus mempertanggungjawabkan misi kehidupannya di dunia, dan akan memperoleh balasan yang sesuai dengan penunaian misi hidupnya masing-masing. 

Dengan demikian, di dunia inilah Nafs melakukan perjuangan untuk memenangkan pertempuran melawan hawa nafsu, sehingga kebahagian abadi dapat tercapai. Perjuangan melawan hawa nafsu merupakan jihad yang terbesar dalam pandangan Islam. Dalam suatu riwayat diceritakan, ketika Rasulullah saw melihat pasukan yang kembali dari sebuah pertempuran, beliau bersabda, “Selamat datang wahai orang-orang yang telah melaksanakan jihad kecil, dan masih harus melaksanakan jihad akbar.” Ketika para sahabat bertanya tentang makna jihad akbar, beliau saw menjawab, “Jihadun nafs (jihad mengendalikan hawa nafsu).” 

Mengomentari hadis tersebut, Imam Khomeini ra menyebutkan bahwa jihadun nafs adalah jihad yang lebih penting. Jihad ini lebih akbar dibandingkan dengan terbunuh di jalan Allah, karena merupakan usaha untuk mengendalikan seluruh fakultas dan kekuatan diri manusia, menempatkannya di bawah seruan dan perintah Allah, dan mengusir seluruh unsur setan dan kekuatan jahat dari diri kita. Kedua aspek lahir (jasad) dan batin (nafs beserta ruh) memiliki kekuatan yang saling bertempur untuk menguasai. Imam Khomeini mengatakan: 

Selalu ada pertempuran di antara kedua kekuatan tersebut, dan eksistensi manusia adalah medan perang tempat bertemunya kedua pasukan itu. Ketika kekuatan kebaikan Ilahiah memperoleh kemenangan, manusia muncul sebagai makhluk mulia yang bijak, mencapai kedudukan yang tinggi para malaikat –bahkan dapat melampaui mereka– dan menjadi anggota kelompok para nabi, wali, shidiqqin, syuhada, dan shalihin. Ketika kekuatan kegelapan setan menguasai, manusia menjadi makhluk pembangkang yang keji, dan berkelompok bersama orang-orang kafir pengingkar yang terkutuk. 

Penghalang utama seseorang dalam jihadun nafs, menurut Imam Khomeini ra adalah kecintaannya terhadap dunia (asy-syahwat) dan cinta diri (al-hawa atau hawa nafsu). “Ketahuilah, bahwa jika manusia tunduk kepada penguasaan hawa nafsu (cinta diri), maka dia pun semakin diperbudak dan hina, sebanding dengan kuatnya penguasaan tersebut; karena perbudakan artinya adalah ketundukan dan kepatuhan sepenuhnya. Orang yang patuh kepada hawa nafsu dan tunduk kepada diri jasadiah, maka dia menjadi budak hawa nafsu dan jasadiah dirinya yang taat. Dia sepenuhnya mematuhi segala perintahnya, dan menjadi budak yang hina dan patuh kepadanya. Kepatuhan ini mencapai batasnya ketika dia lebih mematuhi kehendak hawa nafsunya ketimbang mematuhi Pencipta langit dan bumi... Hamba hawa nafsu dan ambisi cinta duniawi telah mengenakan belenggu menjadi budak hawa nafsu. Dia segera menjadi siapa pun yang diketahui dan dibayangkannya akan memberinya keuntungan duniawi. Jika kata,katanya dia menyatakan dirinya suci dan terhormat, pernyataannya itu cuma muslihat belaka, karena kata-kata dan perbuatannya bertentangan.” 

Lebih lanjut tentang cinta diri, Imam Khomeini menjelaskan ketika membahas surat al-Fatihah berkata, “Segala sesuatu yang menimpa kita disebabkan oleh cinta diri, egoisme kita sendiri.” Sebuah hadis riwayat al-Baihaqi mengatakan, “Musuhmu yang paling besar adalah dirimu-sendiri, yang terdapat di kedua sisimu.” Diri-sendiri adalah musuh yang paling berbahaya di antara semua musuh, lebih buruk dari pada semua berhala. Ia adalah raja segala berhala yang memaksa kalian untuk menyembahnya dengan kekuatan yang lebih besar daripada berhala-berhala yang lain. Sampai seseorang mampu menghancurkan ini, ia tidak akan menghadap kepada Allah. Allah dan berhala, egoisme dan ilahiah, tidak dapat berada dalam satu diri sekaligus.Jika kita tidak meninggalkan rumah berhala ini, membelakanginya, dan menghadapkan diri kita (muwajjahah) kepada Allah, maka dalam kenyataan kita akan menjadi musyrik; meskipun kelihatannya seperti menyembah Allah. 


Buah Kesombongan


Diriwayatkan, ada seorang laki-laki yang buta hatinya duduk di majelis Rasulullah saw. Lalu datanglah seorang yang buta matanya, dan duduk disamping orang yang buta hatinya itu. Orang yang buta hatinya itu –dia seorang laki-laki yang kaya– menjauhkan dirinya dari laki-laki yang buta matanya itu. Melihat itu Rasulullah saw marah dan berkata kepada orang yang buta hatinya itu, “Kenapa engkau melakukan itu? Apakah engkau khawatir kemiskinan dia akan menular kepadamu, atau engkau takut kekayaanmu menular kepadanya?” Orang itu menjawab, “Saya siap memberikan setengah dari kekayaan saya kepada orang miskin ini, asalkan Anda ridha kepada saya ya Rasulullah saw.” Rasulullah saw menoleh kepada orang fakir yang buta matanya itu dan berkata, “Apakah engkau ingin setengah dari kekayaan laki-laki ini?” 

Orang miskin yang buta itu menjawab, “Tidak, saya tidak mau.” Rasulullah saw bertanya, “Mengapa?” Orang miskin itu menjawab, “Saya takut saya menjadi sombong dengan kekayaan yang saya miliki, sehingga saya menjadi seperti dia yang buta mata hatinya, di samping kebutaan mata saya. 

Dengan buta mata hatinya maka orang tersebut telah terjebak dalam kesombongan, karena memiliki kekayaan. Padahal kesombongan merupakan sifat yang harus dijauhi kaum Muslimin. Sifat sombong dapat menjadikan manusia tidak bersyukur kepada Allah. 

Pada masa kita sekarang ini kita sering menyaksikan sebagian orang bersikap sombong bukan hanya karena kekayaan tetapi juga ilmunya. Dengan berbagai gelar yang mentereng di depan dan belakang namanya manusia telah bersikap sombong kepada kedua orangtuanya. Misalnya seseorang yang telah meraih gelar doktor, lalu dia melihat dirinya telah sedemikian tinggi, hingga hampir menggapai bintang dengan mudah akan menuduh ayahnya sebagaiorang yang kolot dan terbelakang. Sungguh mengherankan ilmu yang ada pada mereka, telah mendorong mereka kepada penyimpangan dan kesesatan. Padahal, yang kita dengar, ilmu akan membawa manusia kepada derajat yang lebih tinggi. Jadi apa yang ada pada orang-orang yang sombong ini bukanlah ilmu, melainkan kesesatan, penyimpangan dan keterpurukan. 

Memang sikap berbangga diri, banyak ditemukan di kalangan ahli ilmu dan orang-orang terpelajar. Kita melihat, bagaimana –misalnya– mereka menggunakan kata “saya” dengan penuh kebanggaan dan kesombongan. Mereka berpikir bahwa mereka memiliki ilmu orang-orang terdahulu dan ilmu orang-orang terkemudian, padahal ilmu mereka tidak ubahnya seperti setetes air di tengah lautan. 

Allah berfirman, 

Dan tidaklah kamu diberi ilmu kecuali hanya sedikit (QS. al-Isra’:85). 

Apakah mereka yang mengaku berilmu itu mau berpikir tentang dari mana datangnya ilmu itu? Dan siapa yang telah memberikan ilmu kepada mereka? Jika seorang manusia mengatakan “saya berilmu”, maka sesungguhnya ilmu yang ada pada dirinya adalah ilmu yang diperoleh. Adapun yang berilmu hanyalah Allah satu-satunya. Allah lah yang mesti berbangga dengan ilmu-Nya. Oleh karena itu, Allah tidak suka kepada orang yang menyamai-Nya di dalam sifat-Nya. Allah berfirman, 

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS. Luqman:18) 

Allah telah menciptakan manusia dari unsur-unsur tanah, kemudian dari air sperma yang najis, untuk kemudian pada akhir umurnya manusia menjadi bangkai yang menjijikkan, lalu mengapa kita harus sombong? 

Dia lah yang telah menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu, hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (QS. Ghafir:67) 

Jadi dengan sesuatu yang mana ia layak merasa sombong? Apakah dengan air sperma yang dia berasal darinya? Ataukah dengan bangkai yang kelak dia akan berakhir dengannya? Seandainya manusia berpikir tentang keadaannya ini, niscaya dia tidak akan merasa sombong dengan dirinya, dan dia akan sangat bersikap tawadu. Manusia, dengan tidak memikirkan asal muasal kejadiannya ini, mungkin saja berpikir bahwa dirinya seorang yang penting, seorang yang berilmu tinggi, dan orang-orang menghormatinya. Lalu dia pun berjalan di muka bumi dengan sombong dan membanggakan diri. 

Sungguh jika kita memelihara sikap sombong ini, sebenarnya kita akan menuai hasil yang buruk di kemudian hari. Kita akan dibenci dan tidak disukai oleh makhluk Allah lainnya. Ada sebuah kisah tentang kehidupan Luqman, yang mengajarkan kepada kita tentang buah dari tindakan kita sekarang ini. 

Dahulu, Lukman al-Hakim adalah budak seseorang. Tuannya adalah seorang manusia yang baik dan termasuk orang yang meyakini Allah, akan tetapi sayangnya tuannya itu seorang yang lalai. Ketika malam hari, semua manusia pergi ke tempat tidurnya. Begitu juga dengan Lukman al-Hakim, namun kemudian dia bangun dari tidurnya untuk mengerjakan shalat malam. Lukman al-Hakim merasa heran kepada tuannya yang mengaku beriman kepada Allah namun tidak terlihat tanda-tanda hendak bangun untuk mengerjakan shalat malam. Lukman pun pergi dan berkata kepada tuannya. “Tuanku, bangunlah dari tidur, marilah kita sama-sama mengerjakan shalat malam. Karena kafilah orang-orang yang shalat tidak akan lalai dari pahala dan ganjaran Allah. Oleh karena itu, bangunlah wahai tuanku!” 

Tuannya menjawab, “Saya masih ngantuk, biarkan saya tidur sesaat lagi, nanti saya akan bangun, karena sesungguhnya Allah Maha Penyayang.” Begitu pula ketika mendekati waktu subuh. Lukman pun membangunkan lagi. Dan tuannya menjawab lagi, “Tinggalkan saya, karena sesungguhnya Allah Maha Penyayang.” Akhirnya tuannya itu bangun setelah sinar matahari menyorot dirinya. 

Lalu ia memberikan biji gandum kepada Lukman sambil berkata, “Pergilah ke ladang, dan tebarkanlah biji gandum ini di sana.” Lukman kemudian bermaksud memberi pelajaran kepada tuannya. Lukman pergi ke ladang namun ia tidak menanam biji gandum, tapi biji bulgur. Lalu dia pulang dan memberitahukan apa yang dilakukannya kepada tuannya. Mendengar itu tuannya berkata kepadanya, “Apakah engkau gila dengan apa yang kamu lakukan?” 

Lukman menjawab, “Sesungguhnya Allah Maha Penyayang. Saya lihat gandum itu harganya mahal sementara bulgur harganya murah maka oleh karena itu saya berpikir untuk menanam bulgur, sementara nantinya kita akan menuai gandum, karena sesungguhnya Allah Maha Penyayang.” 

Tuannya marah dan bertanya kepadanya, “Dari mana kamu belajar ini?” “Dari Tuan,” jawab Lukman tenang. “Karena Anda tidur sepanjang malam dan tidak bangun untuk mengerjakan shalat Subuh, sementara Anda mengatakan “Sesungguhnya Allah Maha Penyayang, dengan itu Anda berharap mendapat surga, keridhaan Allah dan bidadari Mahsyar pada Hari Kiamat,” lanjut Lukman. 

Dengan demikian sebenarnya apa yang akan kita tanam dalam hidup ini akan berbuah kemudian. Begitu pula jika kita menanam sikap sombong maka akan berbuah kebencian dan ketidakbersyukuran pada Allah. Sungguh ini merupakan sikap yang harus dijauhi oleh kita kaum Muslim, karena akan menuai hasil yang menistakan kita di kemudian hari. 


Hilangkan Ketamakan dan Bersikaplah Tawadu


Di dunia yang kaya ini, ternyata terdapat banyak kemiskinan. Coba bayangkan betapa kaya alam ini, mulai dari hasil hutan, tambang, laut dan pertanian. Semuanya itu merupakan kekayaan alam yang tak terkira untuk umat manusia. Tapi toh dengan kekayaan yang sedemikian banyak, tetap saja kemiskinan dan kelaparan melanda berbagai muka bumi ini. 

Begitu pula dengan negara kita, kalau kita tengok alamnya betapa kayanya. Ada hasil hutan yang berlimpah, hasil tambang yang tak terkira, hasil laut yang kaya namun semuanya itu tidak bisa menghilangkan kemiskinan rakyatnya, Bahkan dari hari ke hari, kemiskinan bukan saja berkurang malah kian bertambah. Lalu apa yang menyebabkan semua ini terjadi? Semuanya itu terjadi karena adanya ketamakan pada sebagian manusia. Di negara ini segelintir orang menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga kekayaan alam tersebut hanya dinikmati oleh sedikit orang. 

Memang terkadang manusia jatuhpada penyakit tamak. Senang mengumpulkan sesuatu berupa kekayaan padahal ia tidak terlalu membutuhkannya. Manusia seperti ini mengumpulkan kekayaan melebihi dari kebutuhannya, bahkan berlebihan-lebihan. Tak hanya itu, bahkan untuk mengumpulkan kekayaannya itu, ia menggunakan segala cara. Mulai dari yang terang-terangan melanggar hukum hingga yang abu-abu. 

Misalnya ini terjadi pada para konglomerat hitam dan penguasa yang tidak mempunyai itikad baik. Mereka, para konglomerat dan penguasa, banyak mengirimkan jutaan dolar hartanya ke luar negeri yang disimpannya ketika terjadi tuntutan hukum atasnya. Padahal, jelas-jelas harta mereka adalah harta negara. Namun karena ketamakannya mereka tidak mau mengembalikan bahkan melarikannya keluar negeri. 

Tamak adalah sifat yang tercela dan hina. Sifat ini dapat mendorong pelakunya untuk melakukan pengkhianatan, pencurian, penipuan dan monopoli, karena ia menyangka bahwa dirinya akan kekal di dunia ini. Ketamakan adalah sifat yang jelas terdapat pada sebagian hewan, khususnya pada semut. Semut adalah contoh ketamakan untuk mengamankan keadaan beberapa hari mendatang. Tetapi manusia melebihi semut atau tikus dalam hal ketamakan. Karena semut menyimpan makanan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan perutnya, sedangkan manusia menumpuk kekayaan hanya untuk kesombongan dan kekuasaan. 

Kekayaan dapat menjadi sumber kesombongan jika kekayaan itu hanya sekedar untuk dipamerkan dan manusia tersebut bersifat kikir. Dengan kekayaannya yang berlimpah, bukannya untuk dimanfaatkan sebagai sarana beramal saleh tapi malah untuk kesombongan. Selain itu, kekayaan yang banyak itu juga digunakannya untuk mengejar ambisi kekuasaannya. Lihat saja tokoh-tokoh politik di negara ini, walaupun jelas.-jelas mereka telah bersalah, toh tetap saja mereka tidak merasa bersalah. 

Lalu manusia seperti itu, yang telah berkuasa, akan terus melanggengkan kekuasaannya dan menumpuk kekayaannya sehingga ia makin jauh dari nilai-nilai agama, bahkan terkadang akan melecehkan agama. Misalnya Fir’aun, ia adalah maharaja yang kaya dan sombong terhadap Tuhannya. Karena kekuasaan dan kekayaannya itu, ia akhimya bersikap sombong dan menghinakan ajaran yang dibawa Nabi Musa as. Namun, Fir’aun akhimya harus menerima nasib yang menggenaskan, tenggelam di lautan. 

Tentu saja, dalam kehidupan ini, tidak semua orang mempunyai sifat yang buruk. Banyak sekali di dunia ini, orang-orang yang yang menjalani hidupnya seperti malaikat, sehingga ia menjadi insan yang sebenamya. Untuk menjadi insan yang sebenamya bukanlah perkara yang mudah dan ringan. Ia harus melatih dirinya dengan kesabaran, keztihudan dan ketakwaan kepada Allah. 

Orang tersebut, yang hidupnya penuh dengan kesabaran, kezuhudan, dan ketakwaan hendaklah berusaha agar menjadi orang yang bersifat tawadu, yang mau melayani orang-orang lain, yang mewaspadai kecenderungan-kecenderungan dalam dirinya untuk mencapai ketingggian dan hendaklah ia senantiasa ingat asal kejadiannya dan akhir perjalanannya. Karena, pada asalnya ia hanyalah berupa air mani yang kotor dan akan berakhir menjadi bangkai yang busuk. 

Salah seorang tokoh yang hidupnya penuh dengan kesabaran, kezuhudan, ketakwaan dan tawadu terhadap orang lain adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Ada sebuah kisah yang patut kita simak untuk menjadi contoh dalam hidup ini. Waktu itu Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as dengan pelayannya, Qanbar, sedang berada di sebuah pasar. Ketika itu Imam membeli dua potong baju di mana yang lebih bagus diberikan kepada Qanbar. Maka berkatalah Qanbar, “Mengapa Tuan memberikan kepada saya baju yang lebih bagus, sedangkan Tuan adalah majikan saya dan Khalifah kaum Muslim?” Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as menjawab, “Aku malu kepada Allah apabila aku mengutamakan diriku daripada engkau !” 

Ali bin Abi Thalib as adalah seorang makhluk, dan Qanbar pun seorang makhluk pula. Seandainya Ali bili Abi Thalib as memiliki kedudukan, maka Allah-lah yang memberikan kedudukan itu. Adapun dalam kedudukannya sebagai makhluk, keduanya adalah sama. Apa yang dilakukan oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as adalah garis yang mesti direncanakan oleh para pencintanya untuk diri mereka. Sehingga, mereka tidak mencari-cari keunggulan terhadap orang lain. 

Manusia seperti Imam Ali as merasa sejajar dengan pelayannya karena ia dan pelayannya sama-sama makhluk Allah, sehingga ia tidak mengistimewakan dirinya dibandingkan orang lain, dan tidak berharap dirinya mendapat kesenangan sedangkan orang-orang lain merasakan susah. Bahkan, ia harus sabar menghadapi kesulitan untuk kepentingan orang lain, dan berusaha untuk kesenangan mereka meskipun untuk ltu ia harus mengalami kesulitan dan cobaan. 

Pemimpin seperti ini adalah orang yang berusaha untuk menyenangkan orang lain, tidak hanya menginginkan kesenangan dirinya. Ia juga harus berusaha untuk menghilangkan beban dari punggung orang lain, bukan malah memberati mereka dengan beban-bebannya. Ia juga memaafkan kesalahan mereka, bukannya malah menjatuhkan mereka ke jurang kesalahan. Ia juga menjaga kemuliaan orang lain, bukannya berusaha mencemarkan kemuliaan mereka. 

Mereka adalah pemimpin yang berusaha untuk menghilangkan rasa lapar orang lain, bukannya malah merampas roti dari mulut mereka. Jika ia berada di antara dua perangai: perangai malaikat dan perangai hewan. Maka ia akan memilih perangai malaikat. Hewan tidak suka melayani orang lain; sedangkan malaikat yang dilakukannya adalah kasih sayang dan melakukan kebajikan untuk orang lain. 

Semua sifat itu akan terjadi jika manusia dalam hidupnya menghilangkan ketamakan dan kesombongan, serta mengembangkan ketakwaan, kesabaran, kezuhudan dan kemurahhatian. Dengan mengembangkan sifat dan sikap tersebut maka tatanan hidup di masyarakat akan menjadi baik dan penuh dengan kedamaian dan kesejahteraan. 


Senjata Melawan Godaan Setan


Siapapun tidak akan memperoleh hakikat Istiadzah (berlindung dari godaan setan) kalau manusia masih melakukan perbuatan dosa dan tunduk pada ajakan setan. Allah dalam surat al-Fathir, ayat 6, berfirman, Maka jadikanlah Ia (setan) sebagai musuhmu). Setan adalah musuh manusia yang nyata, paling berat dan tidak nampak pada penglihatan. Mentaatinya berarti menjadikannya sebagai teman. Janganlah manusia memberinya peluang sedikit apapun dan selalu bersikap waspada kalau kita ingin selamat di dunia dan akhirat. 

Di sinilah letak perbedaan antara setan dan malaikat. Dalam kitab-kitab tafsir disebutkan bahwa malaikat adalah nama untuk kekuatan-kekuatan alam yang mendorong kepada kebaikan dan kebahagiaan, sedang setan adalah nama untuk kekuatan alam yang mendorong kepada kejahatan dan kesengsaraan. Akan tetapi yang diterangkan oleh al-Quran berbeda dengan pernyataan itu. Al-Quran menerangkan bahwa malaikat dan setan adalah makhluk-makhluk yang tidak bisa dijangkau oleh indra-indra lahiriyah. Hanya saja ia mempunyai wujud dan kecerdasan, kehendak dan kemerdekaan. 

Dalam hal tentang setan, ini berkaitan dengan kisah iblis dan keenggannnya bersujud kepada Nabi Allah Adam As, serta dialog yang terjadi antara Allah Swt dengannya, semuanya dipaparkan dengan jelas dalam al-Quran. Setelah iblis dikeluarkan dan diusir dari barisan malaikat ia berkata kepada Allah, 

Aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas di antara mereka. (QS. Shad:82-83) 

Allah menanggapi pernyataan iblis ini berfirman, 

Sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka jahanam dengan jenis kamu dan dengan orang-orang yang mengikuti kamu di antara mereka semuanya. (QS. Shad:85) 

Hal ini mengisyaratkan bahwa pahala dan siksaan itu tidak layak diberikan kecuali kepada mereka yang memahami kebaikan dan kejahatan. Artinya setan mempunyai kesempumaan pemahaman dan kehendak. Dalam ayat lain Allah menyifati iblis, bahwa iblis. mempunyai sifat “Duga” yang merupakan salah satu dari kriteria pemahaman. Dalam al-Quran, Allah berfirman, 

Dan sesungguhnya iblis telah dapat membuktikan kebenaran sangkaannya terhadap mereka lalu mereka mengikutinya, kecuali sebagian orang-orang yang beriman. (QS. Saba’:20) 

Dalam ayat lain iblis menolak celaan yang dilontarkan terhadapnya. Penolakan inilah yang membuktikan bahwa iblis mempunyai pemahaman, karena penolakan tidak mungkin dilakukan oleh makhluk yang tidak memiliki kehendak dan pemahaman. Dalam surat Ibrahim ayat 22, disebutkan, 

Dan berkatalah setan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan, sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu dengan janji yang benar, dan akupun telah menjanjikan kepadamu, tetapi aku menyalahinya. Sekali- kali tidak ada kekuasan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku. Oleh karena itu janganlah kamu mencerca aku, akan tetapi cercalah dirimu sendiri. 

Ayat ini dan ayat-ayat lain yang kandungannya sama menunjukkan bahwa setan itu mempunyai sifat-sifat yang tidak mungkin dimilikinya tanpa pemahaman dan kemerdekaan berkehendak. Sifat-sifat tersebut tidak relevan dengan kekuatan alam yang sama sekali tidak memiliki sifat-sifat tersebut. 

Lalu apa yang dapat kita lakukan ketika menyadari bahwa musuh dalam selimut kita itu begitu perkasa? Yang harus kita lakukan tentunya mencari senjata dan kekuatan penangkis yang sanggup menaklukan musuh besar manusia ini. Lebih dari itu, kita harus selalu siap dan menyiapkan senjata yang ampuh, karena musuh besar itu menunggu saat-saat ketika sedang lalai. Sedikit saja kita lalai maka musuh ini akan memanfaatkannya semaksimal mungkin dan akan habislah kita. Maka senjata pamungkas yang mampu menangkis serangan-serangan tanpa henti musuh besar umat manusia ini adalah ketakwaan. Karenanya bekalilah hidupmu dengan takwa dan selalu bersiaga dalam menghadapi iblis sang jahanam. 

Setan memiliki sejumlah cara menggoda yang sistematis. Pertama-tama misalnya, ia akan merayu seorang mukmin untuk melakukan sesuatu yang makruh terlebih dahulu, kemudian mengajaknya berbuat dosa kecil. Sampai akhimya ia menjadi terbiasa melakukannya dengan menganggap enteng perbuatan dosa tersebut. Padahal, menganggap enteng perbuatan dosa kecil sama halnya dengan melakukan perbuatan dosa besar. Pada tahap berikutnya, setan akan meniupkan manusia penyakit was-was di hatinya yang dulunya pernah dipenuhi dengan keimanan, dan manusia tidak menyadarinya sama sekali. Hanya orang-orang yang bertakwa (yang memiliki senjata takwa) lah, yang akan aman dari bahaya godaan setan tersebut. Adapun nasib orang-orang yang tidak memiliki prinsip akan selalu ada dalam jeratan. Oleh sebab itu, melakukan sunah Nabi saw, meninggalkan perbuatan makruh, Berta menjaga agar tidak sampai lupa diri menurut kadar kemampuannya akan memberikan dampak dan pengaruh yang positif pada diri kita. 

Banyak sekali amalan sunah yang bisa dijadikan senjata untuk menghadang serangan setan. Misalnya berwudhu. Rasulullah saw berkata, “Wudhu adalah senjata orang mukmin.” Selain menjadikan seorang mukmin selalu berada dalam keadan suci (dari hadas besar maupun kecil), wudhu akan membantu mereka dalam menghadapi setan. Kalau memungkinkan kita menjaga wudhu dalam waktu yang lama, tapi ada baiknya juga anda memperbaharui wudhu anda dengan mengambil air wudhu yang baru. Dengan kata lain kita dianjurkan untuk mengambil wudhu sesering mungkin. Rasulullah saw berkata, “Wudhu adalah cahaya, dan wudhu berkali-kali adalah cahaya di atas cahaya.” Kita dianjurkan juga untuk berwudhu ketika hendak tidur. Dengan begitu, kita akan tidur dalam keadaan bersenjata. 

Dalam memberitahukan jenis senjata ampuh untuk memerangi setan, Rasulullah saw bersabda, “Maukah kalian aku beritahukan sesuatu yang apa bila dilakukan, kalian akan jauh dari setan, yang jauhnya antara timur dan barat? Para sahabat menjawab dengan serentak, “Baik, ya Rasulullah.” Beliau bersabda, “Berpuasalah kalian, karena berpuasa akan membutakan setan dan bersedekahlah kalian, karena bersedekah akan mematahkan punggung setan.” Namun tidak semudah itu mematahkan punggung dan membutakan mata musuh besar umat manusia ini, kecuali puasa dan sedekah tersebut dilakukan dengan benar. 



Daftar Isi 

Renungan Jumat; Meraih Cinta Ilahi 1 


Al- Huda 1 


PENGANTAR EDITOR 2 


BAB IV: TAUBAT DAN RAHMAT ALLAH 8 


Taubat dan Rahmat Allah 8 


Keutamaan Bertaubat 13 


Kekuatan Kelapangan Dada 19 


Waktu dan Hidup Kita 24 


Tanggalkan Kesedihan untuk Meraih Kesucian 29 


Buah Kesabaran 34 


Pentingnya Kesabaran 39 


Hikmah Kesabaran 43 


Derajat dan Tingkatan Sabar 48 


Menahan Marah dengan Kesabaran 53 


Hawa Nafsu dan Pengendaliannya 58 


Mengendalikan Hawa Nafsu (1) 63 


Mengendalikan Hawa nafsu (2) 68 


Buah Kesombongan 73 


Hilangkan Ketamakan dan Bersikaplah Tawadu 78 


Senjata Melawan Godaan Setan 83








BAB V : MANUSIA DAN IBADAH 

Manusia dan Ibadah


Manusia dalam hidupnya tidak mempunyai kebebasan yang mutlak. Manusia sebagaimana halnya makhluk yang lain dalam hidup ini juga mempunyai aturan-aturan yang harus ditaati. Aturan-aturan kehidupan manusia inilah yang dalam pandangan Islam termaktub dalam al-Quran dan hadis Nabi saw. Ada sebuah hadis yang berbunyi, “Allah sangat suka agar manusia juga bebas dalam berbagai masalah yang di dalamnya ia diberi kebebasan.” Maksud dari hadis ini adalah hendaknya manusia menganggap kebebasan yang diberikan sebagai kebebasan juga. Dalam hadis lain, Imam Ali berkata, “Sesungguhnya Allah meletakkan larangan-larangan yang tidak boleh dilanggar. Karena itu, janganlah engkau melanggarnya. Allah telah meletakkan serangkaian kewajiban yang harus dilakukan. Maka, janganlah engkau meninggalkannya. Begitu juga dalam beberapa masalah, Allah bersikap diam. Namun, itu bukan karena lupa. Maka janganlah engkau kemudian menetapkan kewajiban-kewajiban tertentu yang memberatkanmu.” 

Tindakan dalam mentaati ketentuan dan larangan Allah inilah yang disebut ibadah. Ibadah mempunyai pengertian ada yang umum dan yang khusus. Definisi yang di atas itu merupakan ibadah umum, sedangkan ibadah khusus meliputi shalat, puasa, zakat, berdoa, haji dan lain-lain. Ibadah ialah suatu keadaan yang ada dalam diri manusia. Dari sisi batin, manusia mengarahkan perhatiannya kepada Zat yang telah menciptakannya dan juga menggenggam wujudnya dalam kekuasaan-Nya. Manusia membutuhkan Zat itu. Pada hakikatnya, ini merupakan perjalanan yang ditempuh manusia dari makhluk kepada pencipta-Nya. Terlepas dari semua faedah dan pengaruh yang ditimbulkannya, ibadah merupakan salah satu kebutuhan jiwa manusia. Tidak dilaksanakannya ibadah akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam jiwa manusia. 

Dalam hal ini, ada sebuah contoh sederhana. Jika kita hendak meletakkan dua wadah di kedua sisi punggung seekor hewan, maka kedua wadah itu harus seimbang. Tidak boleh satu wadah penuh berisi barang, sementara wadah lainnya dibiarkan kosong. Dalam jiwa manusia ada ruang-ruang kosong. Dalam hati manusia, ada banyak tempat kosong. Setiap kebutuhan yang tidak terpenuhi akan membuat jiwa manusia gelisah dan tidak seimbang. Jika manusia berniat menghabiskan seluruh umumya dengan hanya melakukan ibadah dan tidak mau memperhatikan berbagai kebutuhan lainnya, maka kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi itu akan berontak, menyakitinya, dan membuatnya resah. Sebaliknya juga demikian. Sekiranya manusia sepanjang hidupnya hanya berusaha memenuhi keinginan-keinginan materi saja dan tidak mau sama sekali memperhatikan kebutuhan-kebutuhan spiritualnya, maka ruh dan jiwanya akan senantiasa berada dalam keadaan resah dan memberontak. 

Di masa mudanya, Nehru, tokoh India, adalah seorang yang sama sekali tidak beragama. Namun pada masa-masa akhir hidupnya, keadaanya berubah. Ia mengatakan, “Aku merasakan ada sebuah ruangan hampa dalam hatiku dan juga di alam ini, yang tidak mungkin bisa kupenuhi kecuali dengan masalah-masalah spiritual. Terjadinya berbagai goncangan dan keresahan di alam ini ialah disebabkan kekuatan-kekuataan spiritual telah dilemahkan. Inilah vag menyebabkan tidak ada lagi keseimbangan di alam ini.” 

Jelaslah bahwa manusia benar-benar membutuhkan ibadah dan ketaatan. Berbagai penyakit jiwa banyak merajalela di zaman sekarang yang disebabkan manusia jauh dari ibadah. Terlepas dari semua pertimbangan, shalat adalah dokter yang senantiasa siap melayani penghuni sebuah rumah. Jika olah raga sangat bermanfaat bagi kesehatan badan, jika air bersih sangat penting dan diperlukan oleh seisi penghuni rumah, jika udara bersih sangat dibutuhkan oleh setiap orang, dan jika makanan sehat dan bergizi diperlukan oleh setiap orang, maka shalat juga penting bagi keselamatan dan kesehatan manusia. Betapa banyak orang bisa membersihkan jiwanya. sekiranya mereka mengkhususkan satu jam saja dari sehari semalam untuk mengadu dan bermunajat kepada Tuhannya. 

Dengan demikian, unsur-unsur yang akan meresahkan jiwa manusia bisa dikeluarkan dengan perantaraan shalat. Islam adalah agama yang mencakup sosial dan akhlak. Mengapa? Sebab Islam mengajarkan kepada kita pelajaran-pelajaran sosial yang lebih utama. Allah berfirman dalam al-Quran, 

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS al- Hadid:25). 

Dalam ayat lain Allah berfirman, 

Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul dari tengah-tengah mereka yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah. (QS. al-Jumu’ah:2) 

Apakah di sini berarti bahwa Islam memandang rendah nilai yang dimiliki ibadah karena Islam demikian tinggi memandang nilai yang dikandung dalam ajaran,ajaran sosial? Dalam hal ini, Islam tidak mengecilkan arti ibadah, meskipun hanya sebesar biji saqwi. Bahkan, Islam tetap menjaga kedudukan dan derajat ibadah di atas segala sesuatu ini. Dalam pandangan Islam, Ibadah merupakan pokok ajaran. Jika ibadah tidak dilaksanakan secara benar, maka masalah-masalah sosial dan akhlak juga tidak akan benar. Jika ibadah tidak diwujudkan, maka kedua ajaran tersebut, yaitu ajaran akhlak dan ajaran sosial tidak akan bisa berubah menjadi realitas di alam nyata. 

Dalam pandangan Islam, tidak diakui bahwa diri seseorang yang tidak mengerjakan shalat ada ciri-ciri seorang Muslim. Imam Ali berkata, “Tidak ada sesuatu yang mencapai derajat shalat setelah beriman kepda Allah.” Rasulullah saw bersabda, “Shalat tidak ubahnya seperti mata air hangat yang ada dalam rumah seseorang. Di situ ia mandi sebanyak lima kali dalam sehari dengan menggunakan air hangat itu.” Imam Ali berkata, “Engkau harus menepati shalat dan engkau harus memeliharanya. Allah memerintahkan kepada Rasulullah saw, 

Dan perintahkanlah keluargamu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mendirikannya. (QS. Thaha:132) 

Dalam ayat lain dikatakan, 

Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya knmu berdiri (mengerjakan shalat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam, atau sepertiganya. Dan (demikian pula) segolongan orang-orang yang bersama kamu. (QS. al-Muzzammil:20). 

Seorang manusia tidak akan menjadi manusia sempurna tanpa ibadah. Nabi saw tetap seorang Nabi. Namun demikian, beliau tetap mengerjakan ibadah ketaatan dan istighfar. Imam Ja’far ash-Shadiq berkata, “Setiap kali Rasulullah saw duduk dalam satu majelis, beliau mengucapkan istighfar sebanyak dua puluh lima kali. Yang beliau ucapkan ialah: Astaghfirullah rabbî wa atûbu ilâîh, yaitu aku memohon ampun kepada Allah yang merupakan Tuhan-Ku dan aku bertaubat kepada-Nya.” Jika Rasulullah saw yang seorang Nabi saja masih tetap melakukan ibadah kepada Allah, apalagi kita sebagai pengikutnya yang banyak kelemahan dan dosa. 


Jalan Menuju Kesempurnaan Manusia


Dalam diri manusia, menurut tradisi tasawuf, terdapat dua keperihan yang merupakan salah satu jalan menuju manusia yang sempurna. Dua keperihan itu adalah berupa kerinduan ‘kembali kepada asal’ dan keperihan melihat penderitaan orang lain. Sehingga dengan penekanan kepada dua sisi ini, maka manusia tersebut dapat menjalankan dengan apa yang sering disebut hablum minallah dan hablum minnannas. 

Keperihan manusia yang pertama yakni rindu pada Ilahi banyak diceritakan dalam tradisi tasawuf. Misalnya, diceritakan dalam kisah-kisah sufi bagaimana seekor beo dalam sangkar yang dibawa dari India selalu ingin menghancurkan sangkar itu dan terbang kembali ke kampung halamannya. Begitu pula Maulawi bercerita tentang buluh perindu yang dipotong dari rumpunnya, lalu Anda mendengar rintihan seruling yang meratapi perpisahan itu dan kerinduan untuk bersatu kembali. 

Ibarat-ibarat itu menggambarkan kegelisahan manusia yang ingin kembali ke dunia berikutnya, yang merasakan perihnya perpisahan dan yang rindu akan persatuan Ilahi. Itulah penderitaan menjadi orang asing di dunia ini dan terpisah dari sumber aslinya di dunia lain. Ia rindu kembali. ke rumahnya sendiri, kepada Tuhan, kepada surga tempat ia dulu diusir. Namun kedatangannya ke dunia ini tidaklah salah dan sia-sia melainkan mempunyai tujuan. 

Sebuah hadis Nabi saw mengatakan, “Barangsiapa mengenal dirinya ia mengenal Tuhannya.” Kerinduan manusia akan Tuhan, menurut hadis ini dapat dicari dalam diri manusia itu sendiri. Sebagaimana al-Quran juga memberikan keterangan tentang masalah ini, 

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran itu benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagimu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu. (QS. Fushshilat:53) 

Jadi, manusia itu sendiri menurut hadis dan ayat al-Quran, merupakan tempat memasuki dunia spiritual. Ini bisa terjadi, karena di dalam hakikat manusia ada unsur-unsur yang tidak selaras dengan dunia materi. Ini bukan hanya dipercayai para psikolog lama; psikolog modernpun mengakuinya secara jelas. Selain itu kriteria kemanusiaan manusia dan yang memberinya kepribadian tidak dibentuk oleh alam atau sesuatu yang lain, tapi oleh manusia sendiri. Imam Ali bin Musa al-Ridha as mengatakan, “Yang ada di sana diketahui melalui yang ada di sini.” 

Dengan demikian, ketika manusia sudah mengenal dirinya yang ini berarti manusia mengenal Tuhannya, maka dengan sendirinya tumbuh rasa pengabdian pada-Nya. Pengabdian ini harus didasarkan atas cinta sejati, bukan cinta pamrih. Cinta sejati kepada Tuhan ini membuat manusia sepenuhnya tak sadar dengan apa yang terjadi di sekitarnya dan tak merasakan sakit apa pun, sekalipun anak panah dicabut dari badannya. Sakit perpisahan dengan Tuhan dan kerinduan akan kedekatan dengan-Nya ini tidak berakhir sampai ia bersatu dengan Tuhan. 

Keperihan lain manusia adalah bila ia merasakan penderitaan manusia lain. Apabila lapar dan derita orang lain menjadi lebih sulit ditanggung daripada lapar dan derita sendiri, itu adalah nilai dasar kepribadian dan sumber nilai-nilai manusiawi lainnya. Ia mencakup rasa tanggung jawab terhadap orang lain, terhadap kesusahan dan penderitaan sesama manusia. Sa’adi berkata: 

Bukan kemiskinan yang membuatku pucat. 

Aku pucat karena meratapi fakir miskin. 

Tentang ini dapat kita simak pandangan para sufi, sebagaimana yang dijelaskan oleh Murtadha Muthahhari dalam buku Manusia Sempurna. Selama seseorang terpisah dari Tuhan, segala sesuatu salah. Tetapi, setelah bersatu dengan Tuhan, mengenal dan mendekati-Nya serta merasakan-Nya dengan diri sendiri, seseorang harus berpaling kepada makhluk-makhluk-Nya dalam kesertaan-Nya untuk menolong, menyelematkan dan membawa mereka mendekati Tuhan. Apabila seorang manusia berjalan dari manusia kepada Tuhan, ia tak akan mencapai apa pun. Apabila ia bergerak ke arah manusia tanpa bergerak kepada Tuhan, ia akan seperti penganut paham materialis sekarang, yang tak mampu melaksanakan sesuatu, karena jalan itu sama sekali palsu. Hanya orang-orang yang telah menyelamatkan diri sendiri yang akan menyelamatkan orang lain dari perbudakan alam dan manusia. Itu berarti, ia mula-mula harus bebas dari hawa nafsu, kemudian dari dominasi dunia lahiriah dan sesama manusia. 

Dalam ayat al-Quran dijelaskan keperihan Nabi saw yang melihat penderitaan umatnya. Allah berfirman, 

Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang yang mukmin. (QS. at-T aubah:128) 

Ayat ini menunjukkan betapa Nabi saw begitu berhasrat membimbing dan menyelamatkan manusia dari perbudakan dan kesulitan-kesulitan di dunia ini sehingga beliau serasa hendak bunuh diri karena keperihan hatinya. Jadi, Nabi merasakan kesusahan manusia lain dan berbuat sebesar mungkin untuk mereka. 

Sahabat Nabi saw yang mempunyai rasa keperihan seperti Nabi adalah Imam Ali. Imam Ali menunjukkan perasaan yang sama. Disebutkan dalam Nahjul al-Balaghah, suatu kali ia menerima laporan dari Basrah bahwa Utsman bin Hanif menghadiri suatu pesta. Memang di pesta itu tidak ada minum-minum, perjudian, dan maksiat. Tetapi Ali menegur gubenurnya itu karena menghadiri pesta yang hanya dihadiri para aristokrat, dan tidak menyertakan fakir miskin. Lalu Ali menggambarkan keperihan-keperihannya sendiri; bahwa ia dapat memperoleh semua sarana kenikmatan, hiburan dan kesenangan bila ia kehendaki, tapi ia tidak ingin melepaskan kendali kehidupannya di tangan hawa nafsu. Ia memikirkan semua orang di berbagai negeri yang miskin dan sangat memerlukan. Inilah yang dimaksud dengan ‘merasakan keperihan orang lain’. Ia mengatakan, “Haruskah saya puas dengan gelar ‘khalifah’ dan ‘amir al-mukminin’ tanpa turut mengambil bagian dalam kesusahan kaum mukmin?” 

Kisah berikut ini juga menceritakan keperihan Imam Ali terhadap penderitaan pengikutnya. Suatu hari, Imam Ali melihat seorang wanita membawa kantung air dari kulit dan berpikir bahwa tentulah ia sendirian sehingga terpaksa harus melakukan pekerjaan seperti itu. Ia mendekati wanita itu sambil menawarkan bantuan. Wanita itu menerima tawaran itu. Ketika tiba di rumahnya, Imam Ali menanyakan kepadanya apakah tak ada orang lain yang akan menolongnya. Wanita itu mengatakan bahwa suaminya telah gugur di pihak Ali, dan tak ada lagi orang yang mengurusnya. Mendengar itu, segenap tubuh Ali serasa terbakar belas kasihan, dan ia tak dapat tidur semalam suntuk. Esok paginya ia dan para sahabatnya membawa perbekalan ke rumah wanita itu. Di sana beliau sendiri memasakkan daging memberi makan anak-anak wanita itu yang telah piatu dan mengelus-elus mereka seraya mengatakan, “Maafkan Ali karena telah melalaikan kamu.” Kemudian ia menyalakan tungku, mendekat untuk merasakan panasnya, seraya berkata kepada dirinya sendiri, “Ali, rasakan panasnya ini agar kau tidak melupakan panasnya neraka karena melalaikan kaum yatim piatu, miskin dan lain-lain.” 

Dengan demikian dua keperihan ini, rindu Ilahi dan merasakan penderitaan orang lain haruslah terpatri di hati-hati kita. Dengan keperihan ini maka kehidupan akan selamat, yaitu ketika mengarungi dunia menuju kehidupan abadi, akhirat. 


Pentingnya Itsar


Di tengah kesulitan yang sedang menimpa bangsa kita sekarang ini, ada baiknya kita simak satu riwayat yang mengajarkan kepada kita untuk mendahulukan orang lain dibanding diri kita sendiri (itsar). Pada satu ketika ada tiga orang sahabat Nabi saw sedang berada di medan peperangan melawan orang-orang kuffar. Ketiga sahabat Nabi saw itu terkena anak panah yang terhujam di tubuhnya. Salah seorang di antara mereka terkena panah pada bagian leher, seorang lagi terkena pada bagian dada dan yang satu lagi pada bagian paha. Tiba-tiba ada seorang sahabat lain datang dengan membawa secawan air menghampiri mereka bertiga yang sedang dalam kesakitan yang amat sangat dan mendekati sakratul maut. 

Pada saat itu lah suatu persaudaran sejati yang diikat tali akidah tauhid terlihat. Betapa dalam keadaan yang sedang sulit sekalipun mereka saling memperhatikan sesamanya. Begitu minuman itu sampai di orang yang pertama ia pun menolaknya, dan seraya mengatakan, “Berikanlah air kepada sahabatku, karena ia kesakitan.” Ketika orang yang kedua hendak minum air, ia teringat sahabatnya dan menolak minuman itu seraya berkata, “Berikanlah air kepada sahabatku yang lain, karena ia kesakitan.” Demikian pula dengan orang yang ketiga, ia pun menolaknya. Pada akhimya mereka bertiga meninggal dunia. Sampai sedemikian rupa sifat itsar yang mereka miliki. 

Begitulah sifat itsar yang terpelihara dalam diri sahabat Nabi saw. Sifat ini amat relevan jika diterapkan pada keadaan kita sekarang ini. Di saat harga-harga yang membumbung tinggi yang telah menyesakkan dada masyarakat miskin. Kita saksikan pula di media massa, jutaan orang yang tidak dapat hidup layak di tengah kekayaan negeri ini. Para nelayan tidak bisa lagi melaut karena tidak mampu lagi membeli solar yang harganya demikian tinggi. Para pedagang menaikkan harga barangnya sehingga masyarakat makin sulit membelinya. Dalam situasi seperti ini sifat itsar menjadi penting kita lakukan. Bukan malah kita menunjukkan ketidaksederhanaan, dengan pesta-pesta mahal di tengah himpitan kemiskinan masyarakat. Sungguh kata Nabi saw, “Bukan termasuk golonganku barangsiapa yang tidak mementingkan yang lain.” 

Jadi di tengah kesulitan hidup ini, tidak pantaslah kita menunjukkan kesenangan di hadapan penderitaan orang lain. Pernah pada suatu hari menantu Rasulullah saw yang bernama Ali bin Abi Thalib as bekerja menimba air dari sumur yang sangat dalam dengan mendapat upah tiga biji kurma dan sebungkus nasi yang cukup untuk dimakan sekeluarga. Istri beliau, Fatimah as amat gembira tatkala melihat Ali bin Abi Thalib pulang dari bekerja dengan membawa makanan. Fatimah as segera memanggil kedua putranya untuk makan bersama, tiba-tiba di depan pintu ada seorang pengemis sedang mengetuk pintu. Fatimah as membuka pintu dan Ali bin Abi Thalib memberikan sebungkus nasi itu kepada pengemis. 

Begitulah pendidikan yang beliau terapkan dalam keluarga yang bersumber dari didikan Rasulullah saw. Tentu kita pernah mendengar tentang kisah hijrah Rasulullah saw bersama para sahabatnya dari Mekkah ke Madinah, dan muncullah istilah Muhajirin dan Anshar, ketika kaum Muhajirin sampai di kota Madinah disambut dengan lapang dada oleh kaum Anshar. Setelah dipersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar, kemudian mereka kaum Anshar memberikan sesuatu yang tidak dimiliki oleh kaum Muhajirin, seperti hewan, pakaian bahkan tempat tinggal. Rasulullah saw bersabda, “Antara Muslim yang satu dengan yang lain adalah bersaudara bagaikan satu bangunan yang saling menopang satu sama lain.” 

Memang untuk menjalani sifat itsar ini amat sulit. Sayyid Abdullah Subar, yang terkenal dengan karyanya yang begitu banyak dan bermutu pernah menulis tentang akhlak yakni mengenai bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap sesama Muslim. Ini penting sekali karena ternyata ibadah, katakanlah semacam puasa, semacam haji dan lain sebagainya, yang begitu dijunjung tinggi oleh syariah, ternyata perlakuan kepada sesama Muslim juga tidak kalah hebatnya dijunjung tinggi oleh Islam. 

Menurutnya ada hak-hak yang mesti dipenuhi, dalam kehidupan masyarakat, dalam bermuamalah dan juga dalam persahabatan terhadap sesama saudara seiman. Ia merujuk pada satu hadis yang menyebutkan, “Mukmin itu saudara Mukmin, satu ayah dan satu ibu. Walaupun tidak dilahirkan oleh ibunya, tidak dilahirkan oleh ayahnya, tapi dia adalah saudaranya.” Kelanjutan dari hadis itu mengatakan, “Terkutuklah orang yang menuduh saudaranya.” Kemudian, “Terkutuklah orang yang menipu saudaranya.” Kemudian berikutnya, “Terkutuklah orang yang mengumpat, yang menggunjing saudaranya.” Dan yang terakhir, “Terkutuklah orang yang tidak mau menasihati saudaranya.” 

Sayyid Abdullah menyebutkan bahwa ada tiga tingkatan yang semuanya itu baik dalam menjalin persaudaraan dengan sesama Muslim. Tingkatan yang rendah, tingkatan menengah, dan tingkatan tinggi. Yang paling rendah adalah bahwa kita menganggap saudara kita ini, bagaikan khadim kita, bagaikan pelayan kita atau bahkan bagaikan abid kita, bagaikan budak kita atau hamba sahaya kita. Berarti kalau kita anggap dia sebagai pelayan kita, mesti kita cukupi keperluannya tanpa dia harus meminta. 

Sebagaimana kita memperlakukan pelayan kita, makannya mesti kita perhatikan, pakaiannya mesti kita perhatikan. Bahkan seorang Muslim yang baik itu jangan sampai pembantunya makannya berbeda dengan majikannya. Memang begitulah akhlak Islam. Jangan majikannya kalau makan beras yang harganya Rp 3500,00, pembantunya dikasih yang harganya Rp 2000,00 saja misalnya. Ini pun sudah diangggap tercela. Namun, kalau kebutuhan ini sudah dipenuhi, itu sudah suatu akhlak yang baik. Jadi, itulah sikap pertama yang paling rendah. 

Sedangkan pada tingkatan kedua, kita anggap saudara kita ini bagaikan diri kita sendiri. Apa yang membuat kita senang, kita usahakan kita berikan juga kepada dia supaya dia senang. Ini berat sekali, apa yang kita pakai kita berikan juga kepada saudara kita supaya memakainya pula. Bukan sebagai pelayan lagi tapi bagaikan diri kita sendiri. Ini saja rasanya sudah mustahil, padahal ini baru tingkatan kedua. 

Tingkatan ketiga, kita anggap saudara kita lebih penting daripada kita sendiri. Ini yang dikatakan sebagai itsar, yakni lebih mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri walaupun kita sangat memerlukan. Mungkin orang-orang seperti Nabi dan Wali Allah saja yang bisa itsar. Orang-orang yang sudah menjadikan itsar itu jadi malakah, ini dijamin menjadi wali Allah Swt. Kalau betul-betul ikhlas dia memiliki sifat itsar dan sudah kokoh dalam jiwanya. 

Dalam hadis juga dikatakan, Imam Khomeini pun menukil hadis ini dalam kitab Tahrir Al-Wasilah, “Ada golongan manusia yang bakal mendapat perlindungan dari Allah Swt, perlindungan dari ‘Arasy Allah pada hari yang tidak ada perlindungan, kecuali dari Allah Swt.” Ia adalah seorang yang menikahkan saudaranya sesama Muslim. Ini pahalanya besar sekali. Dan juga orang yang meladeninya, melayaninya dengan baik, khidmat kepada sesama Muslim. Apalagi kepada orang tua, guru, dan lebih-lebih para ulama, kalau ingin mendapat taufik dari Allah Swt. Jangan segan-segan untuk berkhidmat, untuk menjadi pelayan bagi sesama saudaranya. 


Mengenal Allah dan Menegakkan Keadilan Sebagai Misi Para Nabi


Bila kita merujuk kepada al-Quran kita akan mendapati dua konsep yang menjadi tujuan diutusnya para nabi. Kedua konsep itu ialah: (1) Pengakuan terhadap Tuhan dan pendekatan diri kepada-Nya. (2) Menegakkan keadilan dalam masyarakat manusia. Inilah inti tujuan semua ajaran para nabi. 

Berkaitan dengan tujuan para nabi a-Quran menjelaskan, 

Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, dan pembawa gembira serta pemberi peringatan, dan untuk menjadi penyeru kepada Agama Allah dengan seizing-Nya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi. (QS. al-Ahzab:45-46) 

Dari semua aspek yang disebutkan dalam ayat ini, tampak jelas bahwa “mengajak kepada Tuhan” merupakan tujuan utama diutusnya para nabi. Sementara di sisi lain, al-Quran berkata di dalam surat al-Hadid ayat 25, Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. 

Ayat ini berbicara secara gamblang bahwa tujuan utama misi kenabian ialah menegakkan keadilan. 

Jika kita mencermati kedua ayat al-Quran ini yang berbicara tentang tujuan para nabi, terlihat ada dua macam tujuan, yaitu tujuan yang bersifat individual dan sosial. Tujuan yang bersifat individual ini adalah mengajak manusia kepada Tuhan, mengenal-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya, ini dapat kita sebut sebagai monoteisme individual. Sedangkan tujuan yang bersifat sosial ialah melakukan penegakkan nilai keadilan di tengah masyarakat yang dapat kita sebut sebagai monoteisme sosial. 

Di antara dua tujuan para nabi ini, manakah yang paling hakiki? Apakah untuk memperkenalkan Tuhan kepada manusia dan mengajak mereka untuk menyembah kepada-Nya atau menegakkan keadilan. Atau dengan kata lain manakah yang menjadi tujuan dan mana yang menjadi sarana. Apakah menegakkan keadilan di masyarakat merupakan tujuan utama para nabi, sementara mengenal Tuhan dan menyembah-Nya hanyalah sebagai sarana untuk merealisasikan tujuan ini, atau sebaliknya keadilan sebagai sarana dan mengenal Tuhan merupakan tujuan yang hakiki. 

Dengan kata lain, apakah tujuan sesungguhnya dari misi kenabian adalah monoteisme individual atau monoteisme sosial? Ada beberapa pendapat seputar masalah ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa para nabi mempunyai tujuan ganda. Artinya, mereka mempunyai dua tujuan yang berdiri sendiri. Yang pertama berkaitan, dengan kehidupan dan kebahagiaan di akhirat yaitu monoteisme individual. Sedangkan yang kedua berkaitan dengan kebahagiaan duniawi, yaitu monoteisme sosial. 

Adapun pendapat kedua meyakini bahwa sesungguhnya tujuan diutusnya para nabi ialah untuk menegakkan monoteisme sosial, namun untuk dapat sampai ke sana harus ada yang menjadi prasyarat utamanya, yaitu tegaknya monoteisme individual. Pandangan ini meyakini, oleh karena kesempurnaan manusia terletak pada mengubah diri dari “aku” menjadi “kita” dalam monoteisme sosial, dan itu tidak akan bisa dicapai tanpa monoteisme individual, maka Tuhan pun menjadikan pengenalan dan penyembahan kepada-Nya sebagai prasyarat tegaknya monoteisme sosial. Dengan kata lain mengenal Tuhan merupakan sarana untuk menegakkan keadilan. 

Pendapat ketiga berpendapat bahwa tujuan utama diutusnya para nabi ialah agar manusia mengenal Tuhan dan mendekatkan diri kepada-Nya, sementara monoteisme sosial hanya sebagai prasyarat dan sarana untuk mencapai tujuan ini. Alasannya ialah bahwa dalam pandangan dunia monoteistik, dunia memiliki sifat “berasal dari Tuhan” dan “kembali kepada Tuhan”. Jadi, kesempurnaan manusia terletak pada tindakan manusia menuju Tuhan dan mendekatkan diri kepada-Nya. Karena itu, kebahagiaan, kesempurnaan, keselamatan dan kesejahteraan manusia bergantung kepada pengenalan terhadap Tuhan, menyembah kepada-Nya dan berjalan menuju kepada-Nya. 

Adapun mengapa para nabi menaruh kepedulian terhadap keadilan serta penolakan terhadap penindasan dan diskriminasi. Hal ini disebabkan fitrah manusia yang berorientasi kepada Tuhan tidak akan dapat terealisasi kecuali jika lembaga-lembaga kemasyarakatan yang seimbang telah menguasai masyarakat. Namun demikian, pandangan ini mengatakan bahwa nilai-nilai sosial seperti keadilan, kemerdekaan dan juga moralitas-moralitas sosial seperti kemurahan hati, mudah memaafkan, kebaikan budi dan kedermawanan, bukanlah sesuatu yang inheren dalam diri manusia, dan tidak dipandang sebagai sesuatu yang secara absolut mencerminkan kesempurnaan manusia. Semua nilai-nilai ini hanya sarana atau alat untuk mencapai kesempurnaan. Nilai-nilai tersebut adalah sarana ke arah keselamatan bukan keselamatan itu sendiri. 

Pandangan keempat hampir mirip dengan pandangan ketiga, namun dengan perbedaan, bahwa meskipun nilai-nilai sosial dan moral tetap merupakan sarana menuju nilai hakiki manusia yaitu menyembah dan beriman kepada Tuhan, namun nilai-nilai tersebut masih dianggap memiliki nilai-nilai inheren. 

Kalau kita ingin menganalisa lebih jauh timbul perbedaan di antara pandangan ketiga dan keempat, sebenarnya permasalahan tersebut terletak pada perbedaan jenis hubungan antara sesuatu yang menjadi sarana dengan sesuatu yang menjadi tujuan yang sesungguhnya. Dalam hal ini, terdapat dua jenis hubungan antara apa yang menjadi sarana dengan tujuan. Pada jenis hubungan yang pertama, nilai tidak lebih hanya sebagai sarana untuk sampai kepada sesuatu, dan ketika telah sampai, maka keberadaan dan ketidakberadaannya adalah sama. Atau dengan kata lain, keberadaannya sudah tidak berarti. Sebagai contoh, seseorang ingin menyeberangi sebuah sungai kecil, lalu dia menempatkan sebuah batu besar di tengah-tengah sungai kecil tersebut sebagai batu loncatan ke seberang sungai. Setelah mencapai tepi seberang, jelas, keberadaan batu tersebut tidak penting lagi bagi orang tersebut. Demikian juga dengan tangga yang digunakan untuk mencapai atap. 

Adapun jenis hubungan yang kedua ialah keberadaan sarana tersebut tetap berarti dan mempunyai nilai walaupun tujuan tersebut telah tercapai. Sebagai contoh, pengetahuan yang diperoleh di kelas satu dan dua merupakan prasyarat untuk mencapai kelas yang lebih tinggi. Orang tidak bisa mengatakan bahwa ketika seorang murid telah mencapai kelas yang tinggi maka ia tidak akan rugi apabila menghapus pengetahuan yang diperolehnya di kelas satu dan dua dari memorinya, dan ia dapat melanjutkan studinya di kelas yang lebih tinggi tanpa pengetahuan tersebut. Karena hanya dengan bantuan pengetahuan itulah dia dapat melanjutkan studinya di kelas yang lebih tinggi. 

Yang menjadi inti masalahnya ialah bahwa terkadang kedudukan prasyarat tersebut sangat lemah atau penting di hadapan tujuan yang akan dicapai. Kedudukan prasyarat yang lemah dihadapan tujuan, seperti sebuah tangga bukanlah komponen dari atap, seperti juga halnya sebuah batu besar di tengah anak sungai bukanlah bagian dari tepi seberang sungai. Sedangkan prasyarat yang penting seperti kedudukan pengetahuan yang diperoleh di kelas yang rendah maupun di kelas yang tinggi bisa merupakan bagian dari suatu kebenaran yang sama. 

Hubungan antara nilai-nilai moral dan sosial dengan pengenalan terhadap Tuhan dan penyembahan kepada-Nya merupakan jenis hubungan yang kedua. Apabila manusia telah mencapai pengetahuan yang sempurna tentang Tuhan dan penyembahan yang sempurna kepada-Nya, maka keberadaan nilai kebenaran, kejujuran, keadilan, kebaikan budi, kemurahan hati dan sifat mudah memaafkan tetap berarti dan mempunyai nilai. 

Jadi, dapat kita katakan bahwa yang menjadi tujuan utama diutusnya para nabi ke dunia ini lalah agar manusia mengenal Tuhan dan menyembah kepada-Nya, sementara nilai-nilai moral dan nilai-nilai sosial merupakan sarana yang bersifat inheren dalam diri manusia untuk mengenal Tuhan. 
Menumbuhkan Kesalehan Sosial


Syahdan, dalam kisah yang diceritakan A.A. Navis lewat cerpennya Robohnya Surau Kami, tersebutlah seorang saleh bernama Haji Saleh, yang tak henti beribadah kepada Tuhan. Ia selalu berzikir, tidak berbuat dosa, dan selalu membaca Kitab suci-Nya, namun ia dimasukkan ke dalam neraka oleh Tuhan. Karena tak habis pikir, ia bersama dengan kawan-kawan senasib menghadap Tuhan hendak mengajukan protes. 

Maka, Tuhan pun menjawab, “Kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri engkau negeri yang kaya-raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadah saja, karena beribadah tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya bisa beramal di samping beribadah. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin. Engkau kira Aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembah-Ku saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka.” 

Bahkan, dikisahkan, malaikat pun ikut menimpali, “Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.” 

Ringkasnya novel itu ingin memberi sebuah pesan bahwa dalam sesuatu kesalehan yang bersifat individu terkandung sebuah kesalahan yang fatal. Haji Saleh memang orang yang taat beribadah kepada Tuhan, tapi ia melupakan lingkungan sosialnya, keluarga. Begitu pula yang banyak terjadi di negara kita, banyak orang kaya pergi haji untuk yang kesekian kalinya, dan mereka hanya ingin merasakan ‘kenikmatan spiritual’ berhaji yang tak terlukiskan itu. Kasus haji Saleh dan orang kaya yang pergi haji berkali-kali menyisakan sebuah pertanyaan, yakni apa yang salah dengan dengan kesalehan ini (‘kesalehan individual’). Padahal agama menganjurkan untuk memperbanyak salat sunah, pergi haji, berpuasa ala Nabi Daud, dan terpekur dalam alunan beribu-ribu zikir. 

Islam sebagai agama yang bersifat universal dan mempunyai sistem yang harmonis (seimbang) memandang kesalahannya tidak selalu terletak pada perilaku ibadah itu, tapi Islam melihat perilaku ibadah tersebut dalam konteks keseluruhan. Ini bisa saja terjadi karena ada ketidakseimbangan perlakuan terhadap tiap-tiap bagian dalam suatu sistem. Sama halnya dalam simfoni sebuah lagu. Nada sol, secara fisika, jelas sama di manapun berada. Akan tetapi, dalam hubungannya dengan berbagai nada pada sebuah lagu, intensitas dan tinggi-rendahnya akan berbeda dengan nada sol pada lagu yang lain. Artinya, dalam menikmati sebuah lagu, kita tidak dapat memisahkan nada per nada secara otonom. 

Dengan demikian, Islam sebagai suatu sistem memandang bahwa kebahagiaan, kesuksesan, dan kesempurnaan hidup yang dijanjikannya tidak akan pemah diperoleh Muslim tanpa perlakuan yang harmonis terhadap tiap-tiap bagian sebagai suatu keseluruhan. Islam tidak pernah membicarakan kewajiban-kewajiban individual tanpa mengaitkannya dengan maslahat-maslahat sosial: shalat-berjamaah; puasa-zakat; dan haji-kurban. Dalam al-Quran, amal saleh dan iman selalu ditampilkan berpasangan ketika Islam berbicara tentang tujuan pamungkas (ultimate goal) hidup manusia. Perhatikan ayat berikut, 

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhan- Nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan tidak mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhan-Nya. (QS. al-Kahf:110) 

Itulah prinsip Islam yang sesungguhnya. Meskipun demikian, banyak orang lalai bahwa prinsip ini mempunyai akibat yang luar biasa. Misalnya adalah masalah kebaikan. Kebaikan dalam prinsip Islam tidaklah identik dengan keadilan dan kebenaran. Orang yang gemar bersedekah alias dermawan mungkin baik, tetapi belum tentu adil dan benar. Semuanya mesti dilihat dari berbagai unsur dalam sistem Islam: dari mana hartanya diperoleh; bagaimana niatnya, popularitas ataukah ikhlas (tentu saja yang satu ini hak prerogatif Allah untuk menilainya); tepatkah caranya; dan lain-lain. 

Jika ini dilupakan, maka akan mengakibatkan kita sering salah dalam melihat gejala-gejala modern. Apakah orang yang memiliki ‘kesalehan individual’ tinggi –sekalipun terlibat dalam korupsi, kolusi, dan nepotisme, tetap dianggap telah mengerjakan amal saleh? Apakah orang yang pergi haji berkali-kali dengan maksud ‘ekstasi spiritual’– sementara tetangganya dan saudara sebangsanya menggelepar, merenggang nyawa, tetap dianggap saleh? Bukankah Nabi saw bersabda, “Tidak beriman seseorang di antara kamu yang membiarkan tetangganya kelaparan, sedangkan ia tidur kenyang.” 

Lebih jauh lagi yang dapat terjadi adalah bahwa manusia modern yang hidup serba praktis dan mekanis membuat mereka melihat segala sesuatu dengan standar kepemilikan, termasuk terhadap hal-hal spiritual. Jadi, ‘kenikmatan spiritual’ dalam ibadah haji dengan berbagai bonus-bonus pahala hendak mereka rengkuh sebanyak-banyaknya. Di sinilah, berlakunya akuntansi pahala. Coba bayangkan jika shalat di Masjidil Haram diganjar dengan 100.000 kali pahala shalat di tempat lain, berapa puluh juta pahala yang diperoleh seseorang yang telah berhaji sampai berkali-kali? Tentu saja, bukan itu yang dimaksud oleh hadis-hadis tentang ganjaran atau pahala. 

Untuk tidak terjebak dalam perangkap kesalehan individual ini, kita tampaknya mesti mengoreksi kembali sistem pengetahuan kita tentang penghambaan (ibadah) kepada Tuhan. Ibadah, selama ini, lebih kita anggap sebagai pemujaan atas kebesaran-Nya, menyebut-nyebut nama-nama-Nya, dan membaca kitab suci-Nya. Padahal, pada hakikatnya, ibadah disyariatkan selain diniatkan untuk Allah, ibadah juga adalah untuk kepentingan manusia. Dalam al-Quran, jelas bahwa setiap perintah kepada suatu kewajiban selalu diiringi dengan paparan tentang manfaatnya bagi pengembangan diri manusia, baik sebagai makhluk pribadi maupun sosial. 

Selama seseorang masih menganggap ibadah adalah hanya untuk Allah dan tidak berdampak pada sisi kemanusiaan, maka ia tidak akan meyakini bahwa keikutsertaannya dalam program-program pemberdayaan manusia sebagai sebuah penghambaan kepada Allah. Ia masih akan mempertentangkan antara ibadah-ibadah spiritual dengan kerja-kerja sosial; yang profan dengan yang sakral; dan yang ukhrawi dengan yang duniawi. 

Oleh karena itu, boleh jadi ia berpikir dua kali untuk menafkahkan hartanya untuk program-program pemberdayaan manusia dibanding program-program ritual keagamaan. Perhatikan bagaimana orang gemar mendirikan masjid yang indah-indah, tetapi lupa memberdayakan marbot (pengurus masjid), petani, buruh, dan nelayan; orang sibuk mengadakan musabaqah tilawatil Quran daripada membangun perpustakaan dan pusat pengkajian al-Quran. Mereka beranggapan bahwa membangun masjid adalah melayani Tuhan, sedangkan memberdayakan orang lemah hanya melayani manusia. 

Padahal pelayanan kemanusiaan, menurut al-Quran, jelas merupakan satu bentuk penghambaan kepada Allah. Bahkan, dalam surah al-Maun, orang-orang yang shalat dicela karena mereka membiarkan orang-orang miskin dan anak-anak yatim piatu kelaparan. Artinya, tidak akan diterima ibadah seseorang yang abai terhadap kondisi lingkungan sekitarnya. Demikianlah, nama-nama Allah meski kita singkap pada wajah-wajah kuyu orang-orang miskin, jerit kepedihan orang-orang teraniaya, dan tangis kelaparan anak-anak yatim piatu. Alangkah indahnya ketika Rasulullah saw bersabda, “Aku akan bersama dengan orang yang mengasihi anak yatim seperti halnya kebersamaan jari telunjuk dengan jari tengah.” 



Mencapai Keberkahan Rezeki


Salah satu persoalan yang menjadi kebutuhan penting manusia adalah memenuhi kebutuhan hidup materinya. Bayangkan jika dalam hidup ini, kita kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok kita seperti makan, pakaian dan papan. Maka kita mungkin akan mengalami tekanan jiwa sehingga menimbulkan kegelisahan dan kedukaan dalam batin kita. 

Tapi jika kita perhatikan masyarakat kita sekarang ini ada orang yang kaya, tapi juga tidak mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan dalam batinnya. Padahal kekayaannya cukup untuk membeli apa yang dia inginkan. Mau beli tempat tinggal yang megah, baju baru yang mahal, bepergian ke berbagai tempat, semuanya dapat ia lakukan dengan mudah. Namun, semua itu tidak memberikan dia ketenangan dalam hidupnya. 

Jadi persoalan rezeki materi yang kita dapat besar dan kecil bukanlah ukuran untuk menjadikan kita bahagia dan tenang dalam menjalani hidup ini. Lalu bagaimana rezeki yang dapat membawa kita pada kebahagiaan? Persoalan ini harus kita cari jawabnya, sebab kalau tidak kita akan mempunyai persepsi yang keliru tentang hakikat mencari rezeki ini. 

Rezeki yang dapat memberikan kebahagiaan adalah rezeki yang berkah. Rezeki yang berkah itu pertama akan membawa ketenangan dalam hidup orang tersebut. Jika seorang mendapatkan rezeki itu karena perbuatan mencuri atau merampas hak orang lain pasti rezeki itu tidak akan membawa ketenangan. Ia akan gelisah kalau barang curian itu akan ketahuan, atau basil rampasan akan diambil kembali dengan paksa oleh pemiliknya. 

Coba kita perhatikan orang-orang yang mendapat rezeki dengan cara merampas milik orang lain. Pasti hasilnya adalah untuk berfoya-foya, dan bahkan pada sebagian orang digunakan untuk berjudi dan membeli Narkoba. Ia akan mendapatkan ketenangan semu dalam menjalani kehidupannya itu. Begitu pula dengan pejabat yang mendapatkan kekayaan dengan cara KKN, ia tidak akan tenang menjalani hidup ini. 

Yang kedua, rezeki yang berkah itu adalah memberikan rasa cukup pada diri kita. Cukup di sini tidak identik dengan banyak. Walaupun banyak belum tentu rezeki itu memberikan rasa cukup pada diri kita. Misalnya, orang kaya yang terlihat secara fisik sudah amat kaya, punya rumah mewah dan mobil mewah, tapi ia ingin mendambakan mempunyai pesawat terbang pribadi. Orang seperti ini walaupun mempunyai kekayaan yang amat banyak, pasti tidak akan mempunyai rasa cukup. Tapi ada orang yang hanya mempunyai rumah sederhana dan dapat memenuhi kebutuhan anak-anaknya untuk pendidikan, namun ia sudah merasa cukup akan kebutuhan materinya itu. 

Sedangkan yang ketiga rezeki yang berkah itu tidak memberikan kehinaan pada diri kita, atau dengan kata lain menjadikan diri kita terhormat. Walaupun kita mempunyai kekayaan yang banyak clan dengan cara yang halal namun kita kikir terhadap masyarakat maka harta kita itu menjadikan diri kita terhina di masyarakat. Masyarakat akan mencemooh diri kita dan akan mengucilkan kita dari pergaulan. Dan di mata Tuhan orang yang seperti ini adalah orang yang terhina. 

Tentu saja kita tidak ingin terhina baik di mata Tuhan maupun manusia. Salah satu jalannya adalah dengan kesabaran dan bersyukur. Karena dengan kesabaran ini kita menjadi lebih mawas terhadap tingkah laku kita sehingga tidak terjerumus dengan kesombongan. Begitu pula dengan bersyukur, maka kita akan selalu merasa bahagia dengan harta yang telah kita miliki dan tidak menjadi kikir, dengan berapapun jumlah harta yang kita miliki. 

Salah satu riwayat tentang kesabaran yang patut disimak adalah kisah Sama’ah bin Mihran ketika ditanya oleh Imam Musa al-Kazhim as. “Apa yang telah menghentikanmu sehingga kamu tidak pergi haji?” Sama’ah menjawab, “Semoga aku menjadi tebusanmu, aku telah ditimpa utang besar, aku telah kehilangan hartaku. Namun, utang yang menjadi bebanku lebih memberatiku dibanding hilangnya harta. Jika bukan karena seorang sahabat kami, tentu aku tidak dapat keluar darinya.” Imam berkata, “Jika kamu sabar, kamu akan menjadi sasaran iri hati, dan jika kamu tidak, Allah akan memberlakukan ketentuan-Nya, entah kamu suka atau tidak.” 

Dari riwayat itu digambarkan bahwa orang yang tidak mempunyai sikap sabar akan dilanda sikap cemas dan sedih. Cemas dan sedih bukan saja tiada guna, namun juga dapat menimbulkan mudharat yang besar dan diikuti akibat yang fatal, yaitu kerusakan iman. Di lain pihak, sabar, tabah dan menahan diri memberikan banyak kebaikan, yaitu pahala di akhirat. Abu Hamzah al-Tsumali ra pernah meriwayatkan bahwa al-Imam ash-Shadiq as telah berkata, “Barangsiapa di antara kaum Mukmin yang menanggung kesengsaraan yang menimpanya dengan sabar, maka pahalanya sama dengan pahala seribu orang yang syahid.” 

Banyak hadis yang berkaitan dengan pokok persoalan ini. Imam ash-Shadiq as pernah berkata, “Ketika sang Mukmin memasuki kuburya, shalat ada di sisi kanannya, zakat di sisi kirinya, kebajikan ada di depannya, dan sabar melindunginya. Ketika dua malaikat menanyainya, sabar berkata kepada shalat, zakat dan kebajikan. ‘Pedulikanlah sahabatmu, dan jika kamu tidak dapat membantunya, aku sendiri yang akan mempedulikannya.” Hadis ini menunjukkan bahwa dengan sabar kita disuruh untuk memperhatikan orang lain yang lebih kekurangan dari kita. Dan dengan rezeki kita, kita tebarkan kasih sayang kepada seluruh manusia. 

Imam Jafar ash-Shadiq meriwayatkan bahwa Nabi saw berkata, “Akan tiba suatu masa ketika otoritas politik dicapai melalui pertumpahan darah dan tirani, ketika kekayaan diperoleh dengan menjarah dan kekikiran, ketika kasih sayang terjadi melalui mencampakan agama dan pemanjaan hawa nafsu. Barangsiapa hidup di masa seperti itu, dan menanggung kemiskinan dengan sabar meskipun memiliki kapasitas untuk menjadi kaya (secara haram), dari menghadapi permusuhan dengan sabar meski dapat mengambil hati orang, dan menanggung penghinaan dengan sabar meskipun dapat memperoleh penghormatan, maka Allah akan menganugerahinya pahala lima puluh orang yang sangat benar (shiddiqun), di antara orang-orang yang membenarkan.” 

Dengan demikian, dalam menjalani hidup ini kita hendaknya mendapatkan rezeki yang berkah dan sabar dalam melakukan perilaku kehidupan, kemudian kita bersyukur atas, apa yang kita miliki. Maka jalan kehidupan yang memberikan ketenangan dan kebahagiaan terbentang, itulah jalan bagi orang yang sabar dan bersyukur dengan mendapatkan rezeki yang berkah. 
Meraih Kemuliaan Ramadhan


Memasuki Ramadhan tahun ini (2002), kaum Muslimin sedang dihadapi dengan cobaan. Salah satu cobaan yang besar adalah tudingan akan cap teroris yang ingin dialamatkan kepada kaum Muslimin. Tudingan ini merupakan suatu hal yang jauh panggang dari api. Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw merupakan ajaran yang cinta damai, dan tidak mengajarkan kekerasan sebagai jalan untuk mendapatkan tujuan. 

Nilai kemanusiaan ajaran Islam ini, salah satunya dapat kita lihat dari puasa Ramadhan yang sedang kita jalani sekarang ini. Pada bulan yang suci ini kita mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh guna melanjutkan perjalanan menuju Allah Swt. Dalam menempuh perjalanan menuju Allah, ada gunung yang tinggi yang harus ditelusuri itulah nafsu. Di gunung itu ada lereng yang curam, belukar yang lebat, bahkan banyak perampok yang mengancam, serta iblis yang merayu, agar perjalanan tidak dilanjutkan. Bertambah tinggi gunung didaki, bertambah hebat ancaman dan rayuan, semakin curam dan ganas pula perjalanan. Tetapi, bila tekad tetap membaja, sebentar lagi akan tampak cahaya benderang, dan saat itu, akan tampak dengan jelas rambu-rambu jalan, tampak tempat-tempat indah untuk berteduh, serta telaga, telaga jernih untuk melepaskan dahaga. Dan bila perjalanan dilanjutkan akan ditemukan kendaraan Ar-Rahman untuk mengantar sang musafir bertemu dengan kekasihnya, Allah Swt. 

Dalam menempuh perjalanan yang sukar itu adalah kebodohan jika kita tidak mempersiapkan diri. Berbagai bekal itu yang harus dipersiapkan adalah berupa benih-benih kebajikan yang harus kita tabur di lahan jiwa kita. Dan tekad yang membaja untuk memerangi nafsu, agar kita mampu menghidupkan malam Ramadhan dengan shalat dan tadarus, serta siangnya dengan ibadah kepada Allah melalui pengabdian untuk agama, bangsa dan negara. 

Memang jika telusuri makna puasa (shiyam) dalam al-Quran, maka kita akan menemukan bahwa al-Quran menggunakan kata shiyam sebanyak delapan kali, kesemuanya dalam arti puasa menurut pengertian hukum syariat. Sekali al-Quran juga menggunakan kata shaum, tetapi maknanya adalah menahan diri untuk tidak berbicara, 

Sesungguhnya Aku bernazar puasa (shauman), maka hari ini aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun. (QS. Maryam:26) 

Demikian ucapan Maryam as yang diajarkan oleh malaikat Jibril ketika ada yang mempertanyakan tentang kelahiran anaknya (Isa as). Kata ini juga terdapat masing-masing sekali dalam bentuk perintah berpuasa di bulan Ramadhan, sekali dalam bentuk kata kerja yang menyatakan bahwa “berpuasa adalah baik untuk kamu”, dan sekali menunjuk kepada pelaku-pelaku puasa pria dan wanita, yaitu ash-shaimin wash-shaimat. 

Kata-kata yang beraneka bentuk itu, kesemuanya terambil dari akar kata yang sama yakni sha-wa-ma yang dari segi bahasa maknanya berkisar pada “menahan” dan “berhenti” atau “tidak bergerak”. Kuda yang berhenti berjalan dinamai faras shaim. Manusia yang berupaya menahan diri dari satu aktivitas –apa pun aktivitas itu– dinamai shaim (berpuasa). Pengertian kebahasaan ini, dipersempit maknanya oleh hukum syariat, sehingga shiyam hanya digunakan untuk “menahan diri dari makan, minum, dan upaya mengeluarkan sperma dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari”. 

Bagi kaum sufi, merujuk ke hakikat dan tujuan puasa, menambahkan kegiatan yang harus dibatasi selama melakukan puasa. Ini mencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh bahkan hati dan pikiran dari melakukan segala macam dosa. Betapa pun, shiyam atau shaum –bagi manusia– pada hakikatnya adalah menahan atau mengendalikan diri. Karena itu pula puasa dipersamakan dengan sikap sabar, baik dari segi pengertian bahasa (keduanya berarti menahan diri) maupun esensi kesabaran dan puasa. 

Hadis qudsi yang menyatakan antara lain bahwa, “Puasa untuk-Ku, dan Aku yang memberinya ganjaran” dipersamakan oleh banyak ulama dengan firman-Nya dalam surat Az-Zumar ayat 10, Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas. Orang sabar yang dimaksud di sini adalah orang yang berpuasa. 

Dalam surat al-Quran disebutkan tujuan dari puasa adalah agar kamu bertakwa (QS. al-Baqarah:183).Juga, Supaya kamu bersyukur (QS. al-Baqarah:185). 

Inilah tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan puasa Ramadhan. Sehingga merupakan keharusan bagi kita untuk memahami makna takwa itu dengan benar, sebagai orientasi dari puasa kita. 

Kata takwa terambil dari akar kata yang bermakna menghindar, menjauhi, atau menjaga diri. Kalimat perintah ittaqullah secara harfiah berarti, “Hindarilah, jauhilah, atau jagalah dirimu dari Allah.” Makna ini tidak lurus bahkan mustahil dapat dilakukan makhluk. Bagaimana mungkin makhluk menghindarkan diri dari Allah atau menjauhi-Nya, sedangkan “Dia (Allah) bersama kamu di mana pun kamu berada.” Karena itu perlu disisipkan kata atau kalimat untuk meluruskan maknanya. Misalnya kata siksa atau yang semakna dengannya, sehingga perintah bertakwa mengandung arti perintah untuk menghindarkan diri dari siksa Allah. 

Sebagaimana kita ketahui, siksa Allah ada dua macam. 

(a) Siksa di dunia akibat pelanggaran terhadap hokum-hukum Tuhan yang ditetapkan-Nya berlaku di alam raya ini, seperti misalnya, “Makan berlebihan dapat menimbulkan penyakit,” “Tidak mengendalikan diri dapat menjerumuskan kepada bencana”, atau “Api panas, dan membakar”, dan hukum-hukum alam dan masyarakat lainnya. 

(b) Siksa di akhirat, akibat pelanggaran terhadap hukum syariat, seperti tidak shalat, puasa, mencuri, melanggar hak-hak manusia, dan lain-lain yang dapat mengakibatkan siksa neraka. 

Syeikh Muhammad Abduh menjelaskan bahwa, “Menghindari siksa atau hukuman Allah, diperoleh dengan jalan menghindarkan diri dari segala yang dilarangnya serta mengikuti apa yang diperintahkan-Nya. Hal ini dapat terwujud dengan rasa takut dari siksaan dan atau takut dari yang menyiksa (Allah Swt ). Rasa takut ini, pada mulanya timbul karena adanya siksaan, tetapi seharusnya ia timbul karena adanya Allah Swt.” 

Secara jelas al-Quran menyatakan bahwa tujuan puasa yang hendak diperjuangkan adalah untuk mencapai ketakwaan atau la’allakum tattaqun. Dalam rangka memahami tujuan tersebut agaknya perlu digarisbawahi beberapa penjelasan dari Nabi saw, misalnya, “Banyak di antara orang yang berpuasa tidak memperoleh sesuatu dari puasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga.” Ini berarti bahwa menahan diri dari lapar dan dahaga bukan tujuan utama dari puasa. Ini dikuatkan pula dengan firman-Nya bahwa “Allah menghendaki untuk kamu kemudahan bukan kesulitan.” 

Dengan demikian, orang yang bertakwa adalah orang yang merasakan kehadiran Allah Swt setiap saat, “bagaikan melihat-Nya atau kalau yang demikian tidak mampu dicapainya, maka paling tidak, menyadari bahwa Allah melihatnya”. Puasa seperti yang dikemukakan di atas adalah satu ibadah kepada Allah dan supaya manusia meneladani Allah Swt melalui contoh teladan Rasulullah saw dalam menggapai kemuliaan Ramadhan. 


Mengungkap Keutamaan Haji


Jika kita renungkan kehidupan kita sebagai manusia, sebenarnya kita berada di antara dua fase kesunyian. Fase pertama yaitu ketika sebelum dilahirkan dan fase kedua adalah kematian. Di antara dua fase inilah manusia menjalani kehidupannya. Fase kehidupan manusia ini hanya berlangsung sekejap, namun di fase inilah masa depan manusia ditentukan. Hasilnya berupa kebaikan atau keburukan yang akan dihadapi manusia kelak 

Dalam menjalani fase kehidupan ini, manusia dalam pandangan Islam harus berjalan dalam panduan Ilahi. Tanpa panduan Ilahi ini manusia akan berada dalam kesesatan dan kenistaan, bukan saja di akhirat kelak tapi juga di dunia ini. Salah satu panduan Ilahi dalam ibadah kepada kepada Allah adalah menunaikan ibadah haji. Yakni melakukan haji ke Baitullah yang menjadi perjalanan akhir dari rukun Islam. yang kelima. Ibadah haji hukumnya wajib bagi umat Islam. Pelaksanaan Ibadah haji yang benar akan membawa manusia meraih ketenteraman dan kedamaian yang tersembunyi di pusat wujudnya. Dan pencapaiannya dapat dilakukan setiap muslim, pada setiap kesempatan. 

Secara leksikal, pengertian al-hajj atau al-hijj itu adalah bertujuan untuk menuju (mengunjungi) Baitullah atas panggilan Tuhan untuk menunaikan manasik haji. Sedangkan secara historis ibadah ini berasal dari Ibrahim as. Namun kemudian menjadi simbol ibadah universal di mana seluruh umat manusia terpanggil untuk melakukannya. Itulah kenapa sebelum datangnya Islam ke Jazirah Arab hampir semua bangsa di dunia ini melakukan perjalanan ke kota Mekkah untuk bisa beribadah di sana. Meskipun bentuk-bentuk ibadah yang dilakukannya sudah mengalami distorsi dan perubahan-perubahan substansial dan fundamental yang berbeda dengan yang disyariatkan oleh Ibrahim as. 

Pentingnya ibadah haji dapat kita simak dari hadis Nabi saw berikut ini “Apabila seorang yang beribadah haji mengangkat bekalnya, maka Allah akan menuliskan baginya sepuluh amal kebajikan; dan apabila ia meletakkan bekalnya, maka Allah akan menghapuskan baginya sepuluh kesalahannya dan mengangkat derajatnya sampai ke tingkat kesepuluh. Apabila ia naik kendaraannya, maka Allah akan memberikan kepadanya pahala sebanyak langkah yang diayunkannya atau sejauh jarak yang ditempuhnya. Apabila ia berthawaf mengelilingi Kabah, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya. Apabila ia melakukan sa’i antara Safa dan Marwah, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya. Apabila ia wukuf di Arafah, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya. Apabila ia melempar Jumrah Allah akan mengampuni dosa-dosanya. Imam Ja’far ash-Shadiq yang meriwayatkan hadis ini berkata, “Sedemikian rupa Nabi saw menyebut-nyebut setiap satu dari amal ibadah haji ini dengan mengatakan bahwa Allah akan mengampuni setiap dosanya sampai beliau bersabda, “Ya Fulan, tidak akan mungkin kau bisa memperoleh apa yang telah diperoleh orang yang beribadah haji.” 

Ibadah haji itu sendiri bertujuan pula untuk membawa manusia dari dunia bentuk ke dunia ruh; atau dari dimensi lahiriah ke dimensi spiritual. Namun karena manusia tinggal di dunia bentuk (material) dan pada awal perjalanan spiritual tidak-lah terlepas darinya, maka dengan menggunakan dunia bentuk sedemikian rupa, maka ibadah haji mengarahkan perhatian manusia ke dunia spiritual. Bentuk adalah selubung dunia spiritual, namun bersamaan dengan itu sekaligus juga merupakan simbol dan tangga untuk dapat mencapai persatuan antara seorang hamba kepada Tuhan-Nya. 

Perintah Allah ini merupakan sebuah kunci yang diberikan kepada manusia agar dapat menguak rahasia kehidupannya sendiri dan memperoleh harta masa lampau warisan Adam as, warisan Ibrahim as, dan warisan Muhammad Rasulullah saw. Perintah melakukan ibadah Haji bukanlah suatu kebetulan ataupun historis semata, melainkan perintah langsung dari Allah untuk dijadikan sebagai sarana pendakian jiwa manusia menuju dunia transenden, meski hanya bagi mereka yang telah melewati rintangan kezuhudan dan disiplin spiritual. 

Pendakian ini pada tingkatan pertamanya adalah kepatuhan dan harapan kepada Tuhan. Tuhan Yang Maha Agung memiliki rahasia dalam hati manusia yang tersembunyi sebagaimana api dalam besi. Seperti rahasia api yang mewujud dan tampak ketika besi dipukul dengan batu, maka seseorang yang menjalankan ibadah haji karena Allah semata akan mendapatkan kesenangan dan kebahagiaan hidup serta keharmonisan yang menyebabkan esensi manusia bergerak serta mewujudkan sesuatu dalam diri tanpa disadarinya. 

Alasan untuk ini adalah; adanya hubungan antara ibadah haji dengan esensi hati manusia dengan dunia transenden, yang disebut alam ruh. 

Dunia transenden adalah dunia kecantikan dan keindahan, sedangkan sumber kecantikan dan keindahan adalah keselarasan (tanasub). Semua yang selaras mewujudkan keindahan di dunia, karena seluruh kecantikan, keindahan, dan keselarasan yang dapat diamati adalah pantulan kecantikan dan keindahan dunia itu sendiri. Dengan alasan yang sama, mereka yang menikmati ibadah haji tanpa melewati tingkatan pertama dalam perjalanan spiritualnya, tak akan pernah sampai ke permukaan dunia transenden yang luas tiada batas, dan apabila jiwa mereka mencoba melakukan penerbangan ke dunia tersebut meski hanya untuk sesaat dengan bantuan panggilan suci itu (haji), maka dia dengan segera akan jatuh kembali begitu panggilan suci itu berakhir dan mereka tidak akan mampu mempertahankan keadaan spiritualnya. 

Memang pencapaian keadaan spiritual tidaklah mudah. Untuk mencapai keadaan ini, menurut Faridhal Attros al-Kindhy ada tiga tahapan yang harus dilalui manusia yang berhaji. Dalam tahap pertama beribadah haji, manusia dipersatukan dengan getaran kehidupan alam, yang di dalam diri seseorang selalu ada dalam bentuk getaran hati. Kehidupan manusia bersatu dengan kehidupan alam, mikrokosmos bersatu dengan makrokosmos, sehingga jiwa manusia mengalami perluasan dan mencapai kebahagiaan dan ekstase yang melingkupi dunia. Jika manusia gagal mencapai dan merasakan tahapan pertama, ini hanyalah disebabkan kelalaian kepada Tuhan (Ghaflah). 

Dalam tahap kedua, manusia akan berada di atas seluruh kenikmatan dan perbedaan waktu, manusia diputuskan secara tiba-tiba dari dunia waktu; dia akan merasakan dirinya berhadap-hadapan dengan wajah Yang Maha Kekal dan untuk sesaat merasakan nikmatnya peleburan (fana) dan kekekalan (baqa). Pada tahapan terakhir, “manusia tertuntun untuk menempatkan diri sepenuhnya dalam genggaman Tuhan dan menjadi sumber gita-gita yang menebarkan kasih sayang dan kebajikan yang luhur serta menuntun orang lain ke tempat primordial dan kediaman akhirnya”. Pada dasarnya manusia tengah mencari kehidupan spiritual serta ketenangan dan kedamaian yang tersembunyi dalam substansi ibadah haji yang bersifat spiritual. 

Pencapaian nilai-nilai spiritual ini akan berbuah dengan memetik berbagai hidangan dari Allah berupa ampunan, rahmah dan pahala yang besar, sebagai imbalan dan balasan atas tenaga dan harta yang telah mereka curahkan di jalan memenuhi seruan yang penuh berkah ini. Selain karena pahalanya yang sangat besar, orang-orang yang berhaji akan dianggap oleh Allah sebagai tamu-tamu-Nya. Orang yang beribadah haji dan umrah adalah tamu-tamu Allah. Dan adalah hak Allah untuk memuliakan para tetamu-Nya serta mengaruniakan mereka ampunan. Demikan kata sebuah hadis. Allah Swt sebagai penerima tamu, sementara kita tidak melihat-Nya. Oleh karena itu kita berthawaf di ruang tamu rumah-Nya (Kabah) seperti yang dilakukan seorang yang sedang dimabuk cinta di sekitar kekasihnya, ia merasakan nikmatnya tapi tidak dapat melihat dzatnya. 

Berthawaf tidak mengagungkan Kabah, namun mengagungkan Tuhan pemilik Kabah yang tidak bisa kita lihat. Karenanya ketika thawaf kita membaca, “Subhanallah, walhamdulillah walaa ilaha illallah wallahu akbar wala haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adhim.” Selanjutnya kita berdoa sesuai dengan kebutuhan kita. Dengan demikian, thawaf adalah meng-esa-kan dan mensucikan Tuhan alam semesta. Dan ketika kita mencium Hajar Aswad kita tidak menjadikannya sebagai sekutu Allah seperti yang orang-orang musyrik lakukan, namun kita mengungkapkan kerinduan hati dan keagungan cinta kepada Allah yang tidak bisa kita lihat. Oleh karena itu ketika mencium Hajar Aswad kita berucap, “Allahumma liiman bika watasdiqaa bi kitabika wawafaan biahdika wattibaan lisunnaati nabiyyika.” Ya Allah aku cium Hajar Aswad ini, karena beriman kepada-Mu, meyakini kitab-Mu, memenuhi janji-Mu dlan karena mengikuti sunah Nabi-Mu. 

Selain itu di antara hikmah-hikmah dan rahasia haji adalah menyatukan delegasi/penduduk bumi atas dasar tauhid dan sebagai ajang tukar menukar pendapat tentang hal-hal yang bermanfaat bagi kaum muslimin, baik masalah agama atau keduniaannya, melindungi mereka dari kejahatan musuh-musuhnya dan memperkokoh kesatuan keagamaan dan pemikiran serta menyingkirkan sebab-sebab perpecahan. Oleh karena itu Allah mensyariatkan ibadah haji kepada hamba-hamba-Nya supaya mereka dapat membuktikan manfaatnya. Dan seandainya ibadah haji dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan Islam tentu akan menjadi sarana kejayaan Islam dan kekuatan muslim in. 


Sufisme Menurut Islam


Tak dapat dipungkiri bahwa tujuan agama adalah untuk menyatukan manusia dengan Pencipta-Nya. Penyatuan ini terjadi di surga, yakni ketika orang-orang yang beriman telah selamat melewati berbagai ujian hingga hari kebangkitan. Ketika itulah Tuhan memberikan kepada mereka masing-masing menurut derajatnya, penghargaan tertinggi yakni ‘penglihatan’ indah wajah-Nya. 

Namun bagi kalangan wali Allah, pemikiran penyatuan dapat dilakukan dengan lebih cepat, karena mereka adalah golongan yang beruntung yang tidak perlu menunggu hingga mereka memasuki Taman untuk mengalami kenikmatan ‘penglihatan’ itu. Mereka diberikan kesempatan untuk memasuki bagian dalam Taman melalui pengetahuan langsung sementara mereka masih berada di dunia ini. Ini adalah tujuan tertinggi keberadaan manusia, dan jalan untuk mendapatkannya merupakan hal paling berharga yang mungkin diimpikan orang untuk dipelajari. 

Karena itu, pada hati tiap agama terdapat inti pusat yang memiliki kedalamannya dan aspek paling berharga, yaitu pengajaran-pengajaran dan praktik-praktik yang keseluruhannya membawa pencari melampaui pengetahuan teoritis dan jenjang spiritual menuju pengalaman langsung tentang Kehadiran Tuhan. Untuk menapaki jenjang spiritual ini, dibutuhkan sebuah metode untuk mencapainya. 

Metode realisasi spiritual ini disebut sufisme. Sufisme dalam Islam merupakan inti Islam, yakni pusat dan aspek terdalam ajaran Islam. Sandaran-sandaran ritual dan doktrin sufisme adalah Islam. Karena itu, tidak terdapat pengertian yang sejati mengenai Islam tanpa disertai dengan sufisme. Begitu pula tidak terdapat pengertian yang sebenarnya mengenai sufisme bila terpisahkan dari Islam, dan tidak pula memungkinkan untuk memiliki bentuk sufisme yang terletak di luar batas Islam. 

Ada satu pepatah yang mudah dalam melihat hubungan Islam dengan sufisme. Pepatah itu adalah Islam tanpa sufisme akan seperti badan tanpa hati. Badan tanpa hati akan kehilangan apa yang berdenyut di dalamnya dan meliputinya dengan hidup; sementara sufisme di luar Islam akan seperti hati tanpa badan, sebuah organ yang kehilangan penyangga materi yang kepadanya hidup bergantung. Seperti halnya badan dan hati bergantung sepenuhnya satu sama lain untuk bertahan, begitu pula Islam dan sufisme memiliki hubungan satu sama lain. 

Memang ada upaya-upaya para orientalis tertentu yang melemparkan keraguan pada sumber sufisme dan usaha-usaha mereka untuk menganggapnya berasal dari sumber asing dari Islam. Begitu pula, ada sejumlah Muslim yang mereka sendiri kekurangan kecerdasan spiritual, tidak tahan melihatnya terdapat di orang lain dan lalu menyangkalnya dengan cara-cara luar biasa. 

Dalam hal ini, para orientalis mewakili tujuan untuk meruntuhkan Islam dari luar, dan mereka kaum Muslim yang menolaknya, juga merupakan pelengkap yang tidak dapat dihindarkan, adalah serangan dari dalam. Keduanya akan merasa lebih nyaman dengan satu dimensi Islam yang kering, yang dibutuhkan penganutnya tidak lebih dari kedangkalan pengertian doktrinal dan hubungan kedangkalan ritual yang sesuai, dan tidak mengizinkan ruang sama sekali untuk pencarian kemurnian yang lebih dalam dan pencerahan. 

Jika kita meyakini pandangan ini, maka pada akhimya agama khususnya Islam adalah sebuah kerangka kosong, sebuah bentuk ketiadaan semua makna belaka. Sekali suatu agama kehilangan kekuatannya untuk menyatukan orang-orang dengan Tuhan, secara pengalaman dan dalam hidup ini, hanya merupakan masalah waktu saja sebelum daya hidupnya berkurang lebih jauh pada tingkat, bahwa agama akan kehilangan kekuatan keselamatannya, dan akhirnya terhancurkan. 

Jika ini terjadi, maka agama akan berada di belakang peradaban, dan tidak lebih dari penggalan tak berharga yang menyerupai kaca yang pecah, pecahannya sedemikian kecil sehingga mereka tidak dapat memenuhi tujuan awalnya, walaupun masih dapat dikenali sebagai bagian cermin tertentu dan jadi diklaim sebagai bagian yang berlaku seperti yang asli. Ini adalah situasi Barat yang modem mengikuti kehancuran agama. Kristen. 

Satu bukti besar bahwa suatu agama masih memelihara kehidupannya, denyut hatinya adalah para wali Allah. Mereka adalah orang suci yang telah memasuki kehadiran Tuhan dan lantas menjadi mampu memandu yang lain sepanjang rute yang sama. Mereka adalah makhluk hidup yang padanya potensi Adam untuk peringkat kesucian dan gnosis telah menjadi aktualisasi, kehadiran mereka telah menjadi norma yang tidak dapat dibantah tentang daya hidup agama-agama yang diberikan. 

Memang kegagalan perwujudan dunia Kristen untuk menghasilkan gnostik tunggal selama berabad-abad dan agama Kristen juga telah kehilangan pengetahuan mengenai metode untuk melakukannnya, bagi banyak muslim, mereka menganggap agama Kristen telah kehilangan yang tak dapat diperoleh kembali. Sebaliknya, ‘para wali Allah’ berlimpah dalam dunia muslim dan masih relatif mudah dicari. 

Mereka para wali Allah adalah manusia yang mempunyai kecenderungan spiritual yang tinggi, tindakan baik secara lahir maupun batin semata-mata untuk Allah. Kesadaran batin inilah yang mempengaruhi nilai spiritual seseorang. Inilah kesadaran yang harus terus dibina dan dikembangkan bagi orang yang ingin membangun nilai-nilai spiritual dalam dirinya, layaknya para wali Allah itu. 

Untuk menjadi condong secara spiritual adalah dengan merasa, walaupun samar-samar dan tidak terus menerus, bahwa pasti ada sesuatu di atas dunia materi, bahwa mengambil dunia ini pada nilai permukaan tidak mungkin menjadi tujuan paling pokok makhluk hidup, bahwa pasti ada arti dalam setiap bentuk, bahwa pasti ada cara yang dengannya arti-arti itu dapat digenggam dengan singkat, bahwa ada sesuatu dalam manusia yang membutuhkan lebih daripada kelangsungan hidup semata-mata, sesuatu yang mampu menggapai Yang Absolut. 

Perjalanan menuju realitas tak terhingga membutuhkan jauh lebih banyak bahan dan pikiran seseorang, dan ini mungkin diikuti dengan pemikiran bahwa, bagaimana pun juga, bukan tidak masuk akal untuk menginginkan hal-hal seperti itu. Ini mungkin menyebabkan mereka dengan sedikit atau tanpa pengetahuan sebelumnya mengenai masalah tersebut mencari untuk tahu lebih dan karenanya dari permulaan diraih. 

Sedangkan bagi mereka yang telah memiliki pengetahuan teoritis yang cukup pada subjek tersebut tapi merasa aspek-aspek praktik sebagai hal yang jauh dan tidak dapat direalisasikan, mereka mungkin digerakkan untuk secara aktif mulai mencari cahaya yang lebih kepada mereka, melalui berbagai proses riyadhah (penyucian diri) yang terus menerus. 

Perilaku ini (riyadhah) jika terus menerus dilakukan akan memberikan nilai-nilai spiritual yang itu merupakan nilai-nilai sufisme. Dengan nilai-nilai inilah seorang Muslim dapat menjaga kesucian batinnya. Inilah tujuan dari agama Islam yang mengajak manusia mengarungi samudera ketakwaan kepada Allah melalui perilaku kehidupan yang suci. 


Memahami Adab al-Islam


Masyarakat manusia, sejak masa masyarakat suku primitif telah mengembangkan berbagai aturan untuk mengatur perilaku hubungan individu dan masyarakat. Aturan-aturan ini dibuat agar tatanan masyarakat dapat berjalan dengan baik dan tidak terdapat kekacauan. Aturan-aturan ini yang kemudian dinamakan adab. 

Adab adalah istilah bahasa Arab yang artinya adat-istiadat; ia menunjukkah suatu kebiasaan, etiket, pola perilaku yang ditiru dari orang-orang yang dianggap sebagai model. Akhlak dalam banyak kebudayaan selain Islam ditentukan oleh kondisi-kondisi setempat, dan karenanya dapat berubah sesuai dengan situasi dan kondisinya. 

Hal ini berbeda dengan akhlak dan adat-istiadat Islami, akhlak Islam bukan hal yang ‘tidak sadar’, karena akhlak Islam dituntun oleh dua sumber utama, yaitu al-Quran dan Sunah. Al-Quran dan Sunah mengandung prinsip-prinsip sangat luas yang diperlukan untuk mengatasi persoalan-persoalan yang muncul di dalam masyarakat manusia dari abad ke abad. Sebagai jalan hidup yang lengkap, Islam mengatur kegiatan ekonomi, politik dan peribadatan serta perilaku yang berhubungan dengan pertukaran dan rutinitas manusia setiap hari. Islam tidak terbatas hanya pada perilaku yang bersifat peribadatan dan hukum, tetapi mencakup kriteria dan nilai-nilai, sikap, adat-istiadat dan perilaku dalam semua jangkauan kepentingan dan hubungan manusia. Sebagai bagian dari keseluruhan ini, akhlak Islam diambil dari tujuan-tujuan Islam yang luas dan mencerminkan ide-ide dan nilai-nilainya yang sangat luas. 

Memahami dan menjalani Adab al-Islam tidaklah dipraktikkan secara terpisah dari keseluruhan. Malahan, kesalingberhubungan mereka dengan unsur-unsur Islam lainnya harus selalu dipertahankan. Demikian juga, tidak seharusnya unsur-unsur yang berbeda di dalam adab al-lslam diperlakukan secara terpisah, karena kedua hal ini juga saling berhubungan erat. Satu contoh yang sangat menyolok: seorang Muslim diharuskan tidur cepat-cepat agar dapat bangun pagi-pagi sekali untuk menjalankan shalat subuh. 

Dengan bersumberkan pada Wahyu Ilahi, akhlak Islam menjadi berwatak religius yang memotivasi ketaatan yang benar. Walaupun demikian, karena watak religiusnya ini bukan berarti setiap rincian akhlak ini merupakan kewajiban. Sesungguhnya, dalam akhlak Islam ada beberapa perbedaan dari ‘yang dilarang’ sampai ‘yang dianjurkan’ sebagaimana terdapat dalam aturan-aturan pokok akhlak Islam. Yang pertama ditegaskan dan dikuatkan oleh hukum, sedangkan yang kedua tidak membawa si pelanggar pada pengadilan atau hukum formal kecuali celaan dari anggota masyarakat Muslim lainnya. Kelompok akhlak ketiga adalah yang apabila dilanggar tidak mengakibatkan celaan dari kaum Muslim lainnya. 

Demikian pula, karena wataknya yang bersifat Ilahiyah, akhlak Islam juga tidak lantas menyebabkan sistemnya harus bersifat kaku dan tidak fleksibel. Islam bukanlah semacam cita-cita yang tidak dapat ditembus pengalaman manusia atau tidak dapat diterapkan pada berbagai kondisi dunia yang ada. Sebaliknya, sifat dasar dari sistem akhlak ini sedemikian rupa sehingga fleksibel dalam banyak hal dan stabil dalam hal-hal lainnya, unsur fleksibilitas yang berlandaskan pada penalaran manusia yang membuat Islam menarik dan dapat menjawab perubahan waktu. 

Sebagai contoh, untuk melihat bagaimana realistis dan praktisnya akhlak Islam, puasa satu bulan penuh pada bulan Ramadhan adalah kewajiban utama kaum Muslim. Namun, Islam (karena memahami berbagai kesulitan perjalanan) mengecualikan orang yang melakukan perjalanan dari (kewajiban) puasa, tetapi dia harus menggantikannya di hari lain bila kesulitan itu telah berlalu. 

Aspek fleksibelitas ini dapat terjadi, karena dua sumber dasar Islam, al-Quran dan Sunah, meliputi, di samping banyak aturan yang terperinci, juga terdapat prinsip-prinsip umum yang secara terbatas mengatur semua persoalan yang berhubungan dengan berbagai aspek kehidupan agama, sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya. Prinsip-prinsip umum ini tidak tunduk terhadap perubahan sejarah, namun demikian cara untuk menurunkan aturan-aturan untuk menjawab berbagai persoalan baru dalam situasi-situasi baru menurut Islam dilakukan dengan ijtihad. Ijtihad adalah penggunaan nalar seseorang secara disiplin untuk menarik kesimpulan-kesimpulan yang perlu sesuai dengan esensi dan semangat Islam dan dalam ketaatan pada prinsip-prinsipnya yang umum dan abadi. Jadi, rincian ajaran-ajaran Islam dapat merespon secara efektif terhadap persoalan perubahan yang bersifat historis. 

Demikian pula, ajaran Islam sepenuhnya sadar dengan sifat manusia dan kebutuhan manusia. Islam mengakui realitas-realitas kehidupan dan memperlakukannya dengan cara yang paling praktis. Maka tidak ada dorongan untuk membatalkan atau mengatur prinsip-prinsip keyakinan yang umum dalam rangka menyesuaikannya dengan kondisi-kondisi khusus. 

Dalam hal ini, akhlak Islam dimaksudkan untuk mengatur kehidupan sehari-hari, untuk memberinya ritme, harga diri dan ketenangan. Ia bukanlah seperangkat ritual yang angkuh atau legalistik untuk memperumit kehidupan sehari-hari. Islam menentukan setiap aspek kehidupan seorang Muslim. Bagi orang yang beriman, Islam memberikan kriteria untuk menilai tingkah dan perilakunya, dan menetapkan hubungannya dengan individu-individu lain, dengan masyarakat secara keseluruhan, dengan dunia kasat mata. Islam juga menetapkan hubungan seseorang dengan dirinya sendiri. 

Adab al-Islam adalah suatu peraturan lengkap yang mencakup hampir semua aspek perilaku sosial, suatu bagian dari jalan hidup yang lengkap yakni Islam. Karena bagian-bagian Islam yang berbeda membentuk sebuah kesatuan yang berpadu, penerapan adab al-Islam secara terlepas dari bagian lainnya tidaklah akan menghasilkan realisasi Islam yang utuh. Malahan bisa jadi, dalam hal-hal tertentu, menjadi tidak bermakna. 

Cakupan adab al-Islam berbeda dengan batas-batasan ‘etiket’ pada masyarakat Barat. Akhlak Islam tidak sekedar aturan sopan santun dalam berbagai kesempatan, tetapi meliputi segala macam hubungan manusia dari tindakan-tindakan yang paling sederhana sampai peristiwa-peristiwa sosial yang paling rumit. ‘Etiket’ di Barat tampaknya telah menjadi perlindungan bagi masyarakat kelas atas. Misalnya sopan santun terhadap bangsawan, cara makan, cara berpakaian dan lain-lain, umumnya dihubungkan dengan kelas atas. 

Sebaliknya, maksud adab al-Islam terletak pada karakter dan sifat religiusnya. Adab al-Islam mendukung kebutuhan manusia untuk mengingat Tuhan dalam kehidupan rutin sehari-harinya; ia dirancang untuk tetap memelihara ingatan manusia kepada Tuhan dan membantunya bertindak tepat dan benar. Ini tampak sekali dalam doa kepada Tuhan yang menyertai sebagian besar perilaku sehari-hari dalam Islam. Seorang Muslim harus mengawali dan mengakhiri harinya, ketika bangun dan akan tidur, dengan menyebut Tuhan. Dia harus bersyukur dan memuji Tuhan ketika makan dan minum, ketika membeli baju baru atau barang-barang kegunaan lainnya. Menyebut Tuhan sangat dianjurkan bahkan ketika buang hajat sekali pun. Demikian pula mengingat Tuhan dan memohon keselamatan dan petunjuk adalah sangat penting ketika melakukan perjalanan. 

Demikian pula, adab al-Islam mencakup cita-cita kernanusiaan berlandaskanpada konsep amal saleh. Cita-cita kemanusiaan ini telah melampaui domain ‘religius’ dan mencakup rentang aktivitas manusia yang luas (dalam hubungannya dengan makhluk lain, dengan lingkungan bernyawa atau tidak bernyawa). Dan hal ini, dibolehkan dalam kepercayaan dan hukum Islam. Itulah akhlak Islam yang merupakan sumber bagi sebuah tatanan manusia yang penuh dengan kedamaian, kebahagiaan, dan kebenaran. 


Memahami Pentingnya Doa


Manusia hidup antara ayunan harapan dan kenyataan. Ketika harapan didambakan ada keinginan kuat manusia ingin mendapatkannya, apalagi ketika harapan itu begitu menyentuh keinginan manusia yang paling dalam, seperti harapan sakit ingin sembuh atau harapan sedih ingin bahagia. Jika harapan itu begitu kuat menghujam dan manusia sulit menggapainya, maka manusia ingin mendapatkan pertolongan dari yang lain dengan memohon padanya. Jika permohonan ini dilakukan kepada Allah Swt yang Maha Pengasih dan Penyayang, maka manusia telah melakukan sebuah ritual yang paling bermakna dalam hidupnya yakni berdoa atau munajat. 

Memang secara fitri manusia itu membutuhkan perlindungan dari Yang Maha Kuasa. Jika seorang manusia jatuh ke dalam jalan yang buntu, sekalipun dia tidak mengenal Allah Swt, maka tanpa disadarinya dia memohon pertolongan kepada Allah Swt. Al-Quran berkata, 

Maka apabila mereka naik kapal mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, maka tatkala Allah menyelematkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan Allah. (QS. al-Ankabut:65) 

Ayat ini, di samping membuktikan pembahasan kita bahwa doa adalah sebuah keutamaan, dia juga menganggap doa sebagai seutama-utamanya dalil untuk mengenal Allah Swt. Ayat ini berbicara tentang sesuatu yang dinamakan “fitrah”. Manusia adalah makhluk pencari Allah Swt. Bahkan dalil fitrah mengatakan bahwa selain di kedalaman jiwa manusia mengakui adanya Allah Swt, dia juga mengakui tauhid dan mengatakan adanya keutamaan-keutamaan pada Allah Swt. Artinya, bahwa kedalaman jiwa manusia mengetahui bahwa Allah Swt itu Maha Mengetahui, Maha Pengasih, Maha Dermawan, Mahakuasa, dan Maha Mendengar. Dan pada akhirnya, sesungguhnya kedalaman jiwa manusia dapat merasakan adanya Sesuatu yang mencakup segala kesempurnaan. 

Pengakuan akan kesempurnaan Allah diwujudkan manusia dalam berdoa. Dalam hal ini, doa dan munajat kepada Allah Swt adalah salah satu keutamaan yang besar sekali bagi manusia. Doa dan munajat kepada Allah Swt bersumber dari kedalaman jiwa manusia. Oleh karena itu, ucapan Ya Allah, Ya Allah, dan ucapan Ya Rabb, Ya Rabb, yang kemudian diakhiri dengan permintaan hajat, pada dasarnya adalah doa lisan. Doa jenis ini mempunyai pahala yang banyak, dan banyak sekali anjuran dan penekanan terhadap doa yang seperti ini. 

Pada prinsipnya doa adalah berbicara dengan Allah Swt. Dalam hal ini, shalat pun merupakan percakapan dan mikraj. Seorang yang sedang shalat adalah seorang yang sedang bercakap-cakap kepada Allah Swt atau sedang diajak bicara oleh Allah. Ketika dia sedang membaca al-Fatihah dan surat, dia sedang diajak bicara oleh Allah. Sementara sebagian dari bagian-bagian shalat adalah berisi percakapan dia kepada Allah. 

Karena itu seorang manusia, sebarapa besarpun tingkat kecintaan dan hubungannya dengan Allah Swt, doa (shalat) harus menjadi sesuatu yang paling lezat baginya. Dengan demikian, orang yang tidak menemukan kelezatan dalam membaca al-Quran, berdoa dan shalat, maka dia harus tahu bahwa sungguh hal itu merupakan suatu musibah yang besar baginya. 

Pernah dalam suatu riwayat dikatakan bahwa Nabi Musa as pergi untuk bermunajat, seorang laki-laki berkata kepadanya “Katakan kepada Tuhanmu sesungguhnya saya adalah pelaku dosa-dosa besar, namun mengapa Dia tidak menyiksaku?” Mendengar itu, Nabi Musa as pun pergi untuk bermunajat kepada Tuhannya. Ketika Nabi Musa as hendak kembali, Allah Swt berkata kepadanya, “Kenapa kamu tidak menyampaikan pesan hamba-Ku kepada-Ku?” Nabi Musa as menjawab, “Saya merasa malu kepada-Mu, sementara Engkau mengetahui apa yang telah dikatakan hamba-Mu.” Lalu Allah Swt berkata, “Ya Musa, katakan kepada hamba-Ku itu sesungguhnya Aku telah menyiksanya dengan sesuatu yang paling besar namun dia tidak menyadarinya. Katakan kepadanya, sesungguhnya Aku telah menarik dari dirinya rasa kelezatan berdoa dan bermunajat kepada-Ku. 

Selain wujud kelezatan ruhani, doa bagi manusia dapat menjadikan manusia mengetahui Tuhan dan dirinya. Di dalam riwayat disebutkan, “Barangsiapa mengenal dirinya berarti dia telah mengenal Tuhannya. Di dalam sebuah doanya Rasulullah saw berkata, “Ya Allah, perlihatkanlah sesuatu kepadaku sebagaimana adanya.” Artinya, Ya Allah, perlihatkanlah alam wujud kepadaku sebagaimana adanya. Ya Allah, perlihatkanlah diriku kepadaku sebagaimana aku sesungguhnya. 

Doa dan munajat kepada Allah sesungguhnya dapat mencabut akar-akar egoisme dari diri manusia. Di dalam doa dan munajat kepada Allah Swt, mula-mula manusia melihat dirinya lemah di hadapan Allah Swt, manakala dia meminta sesuatu kepada Allah di dalam doanya, maka dia berarti menetapkan kemahakayaan mutlak Allah dan sekaligus kefakiran mutlak dirinya. Sehingga manusia tidak akan lagi memuji-muji dirinya di hadapan manusia lain. 

Ada kisah menarik yang dapat direnungkan. Pada waktu itu ada seorang raja meminta nasehat kepada salah seorang arif. Arif itu bertanya, “Jika Anda kehausan, dan Anda hampir mati karena kehausan, apa kiranya yang sanggup Anda berikan untuk bisa meminum air?” Raja itu menjawab, “Saya akan berikan setengah dari kerajaan dan kekuasaan saya.” Arif itu kembali bertanya, “Jika air yang Anda minum itu tertahan di dalam badan Anda, apa kiranya yang sanggup Anda berikan supaya air kencing Anda bisa keluar?” Raja itu menjawab, “Saya akan memberikan setengah kerajaan saya yang masih tersisa.” Mendengar jawaban itu arif itu berkata, “Jadi, tidak ada alasan bagi Anda untuk merasa bangga dengan kekuasaan Anda yang nilainya sama dengan segelas air yang Anda minum dan kemudian Anda keluarkan lagi.” 

Salah satu aspek penting lain dari doa adalah bahwa doa dapat memberikan ketenangan jiwa. Jika seorang manusia menyimpan kesedihan dan keresahan di dalam hatinya niscaya kesedihan dan keresahan itu akan berubah menjadi penyakit/jiwa. Untuk itu dengan berdoa jiwa dapat menjadi tenang. Dengan bermunajat kepada Allah, ini berarti mengutarakan segala keluh kesah yang ada di dalam hati kepada seseorang yang dipercaya, dan yang dipercaya itu adalah Allah Swt. Pada hakikatnya, doa dan munajat ialah mencurahkan keluh kesah dan kesedihan kepada Allah. Bahkan bila di sana tidak ada kebaikan sekalipun untuk dikabulkannya doa Anda, namun di situ berarti Anda telah mengosongkan keluh kesah yang ada di dalam hati Anda. Atau dengan kata lain, menurut ungkapan orang awam, beban Anda menjadi ringan. 

Buah penting yang lain dari doa ialah bahwa doa memberikan katup pengaman. Allah berfirman, 

Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan yang keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar keutamaannya (dari ibadah-ibadah yang lain). (QS. al-Ankabut:45) 

Dari ayat ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa keutamaan doa dan munajat kepada Allah berada pada tingkatan yang lebih tinggi dari shalat. Di dalam riwayat disebutkan, “Doa adalah inti sarinya ibadah.” 

Sesungguhnya doa di samping sangat dianjurkan dan mempunyai pahala yang banyak, doa juga mempunyai manfaat yang besar sekali, sehingga pengabulan doa sekalipun tidak bisa menyamainya. Oleh karena itu, jadikanlah senantiasa doa dan taubat kita bersumber dari kedalaman jiwa, dan usahakanlah agar senantiasa mata kita mengalirkan air mata, air mata keimanan, air mata keyakinan. Biarkanlah air mata ini mengalir, sehingga lidah dan hati kita dengan refleks mengatakan “ampunilah kami ya Allah, ampunilah kami ya Allah”. Ketika manusia menyadari ini, maka manusia sadar betapa rendahnya dia di mata Allah dan manusia berdoa kepada-Nya dengan ketulusan. 



Daftar Pustaka


Abdul Hadi WM, Tasawuf Yang Tertindas, Paramadina, Jakarta, cet I, Mei 2001. 

Al-Ghazali, Metode Menjemput Maut, Mizan, Bandung, cet 7, Agustus 2000. 

Al-Ghazali, Menyingkap Hati Menghampiri Ruhani, Pustaka Hidayah, Bandung cet 3, November 2000. 

Al-Ghazali, Mutiara, Ihyâ ‘Ulûmuddîn, Mizan, Bandung, cet x, November 2000. 

Alwi Shihab, Islam Sufistik, Alwi Shihab, Mizan, Bandung, cet I, April 2001. 

Abdul Husain Dasteghib, Isti’adzah, Alhuda, Jakarta, cet 1, Maret 2002. 

Amatullah Armstrong, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, Mizan, Bandung, cet 3, Agustus 2000. 

Ahmad Mahmud Shubhi, Filsafat Etika, Penerbit Serambi, Jakarta, cet l, Maret 2001. 

Henry Corbin, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn ‘Arabi, LKiS, Yogyakarta, cet 1, Juli 2002. 

Husain Mazhahiri, Menelusuri Makna Jihad, Lentera, Jakarta, cet 1, Desember 2000. 

Husain Mazhahiri, Mengendalikan Naluri, Lentera, Jakarta, cet 2, Februari 2001. 

Husain Mazhahiri, Membentuk Pribadi Menguatkan Rohani, Lentera, Jakarta, cet 1, Mei 2001 

Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, Mizan, Bandung, cet 4, Noyember.1998. 

Imam Khomeini, Mi’raj Ruhani, Yayasan al-Jawad, Bandung, cet 1, Oktober 1996. 

Imam Khomeini, 40 hadis Nabi saw (buku pertama), Mizan, Bandung, cet v, 1996. 

Imam Khomeini, 40 hadis Nabi saw (buku kedua), Mizan, Bandung, cet 1, Juli 1993. 

Jawad Amuli, Rahasia-Rahasia Ibadah, Penerbit Cahaya, Bogor, cet 1, Juni 2001. 

Jawad Amuli, Jejak Ruhani, Penerbit Cahaya, Bogor, cet 1, Februari 2003. 

J.Spencer Trimingham, Madzhab Sufi, Penerbit Pustaka, Bandung, cet 1, 1999. 

Jalaluddin Rahmat, Renungan-renungan Sufistik, Mizan, Bandung, Cet.11, Oktober 2001. 

Jalaluddin Rahmat, Al-Mustafa , Muthahhari Press, Bandung, cet 1, Juni 2002. 

Jalaluddin Rahmat, Rindu Rasul, Rosda, Bandung, cet 1, September 2001. 

Jalaluddin Rahmat, Tafsir Sufi al-Fatihah, Rosda, Bandung, cet 3, Oktober 2000. 

Jalaluddin Rumi, Aforisme-aforisme Sufistik, Jalaluddin Rumi, Pustaka Hidayah, Bandung, cet II, Januari 2001. 

Khalil al-Musawi, Bagaimana Menyukseskan Pergaulan Anda, Penerbit Lentera, Jakarta, cet 2, Desember 1999. 

Louis Massignon, Al-Hallaj sang Sufi Syahid, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, cet II, Maret 2001. 

Kamal Faqih Imani, Bunga Rampai Hikmah, Alhuda, Jakarta, cet 1, April-2003. 

Khalil al-Musawi, Bagaimana Menjadi Orang Bijaksana, Penerbit Lentera, Jakarta, cet 4, September 2000. 

Laleh Bakhtiar, Meneladani AkhIak Allah, Mizan, Bandung, cet 1, Juni 2002. 

Muhammad Al-Ghazali, Menghidupkan Ajaran Rohani Islam, Lentera, Jakarta, cet 1, April 2001. 

Murtadha Muthahhari, Falsafah Kenabian, Pustaka Hidayah, Jakarta, cet I, Oktober 1991. 

Murtadha Muthahhari, Fitrah, Lentera, Jakarta, cet. 3, Februari 2002. 

Murtadha Muthahhari, Glimpses of the Nahjul al-Balaghah, Department of Translation and Publication, Islamic Culture and Relations Organization, Qum Iran, 1997. 

Murtadha Muthahhari, Manusia Sempurna, Lentera, Jakarta, cet2, 1994. 

Mujtaba Musawi Lari, Menumpas Penyakit Hati, Lentera, Jakarta, cet.6, 2000. 

Musa Subaiti, Akhlak Keluarga Muhammad saw, Lentera, Jakarta, cet.3, Februari 2000. 

Muhammad Ridwi, Meraih Kesucian Jasmani dan Rohani, Lentera, Jakarta, cet I, Januari 2002. 

Rudhy Suharto, Revolusi Ruhani:Refleksi Tasawuf Pembebasan, Pustaka Intermasa, Jakarta, cet 1, 2002 

Rudhy Suharto (ed), Renungan Jumat: Penyuluh Akhlaqul Karimah, Alhuda, Jakarta, cet 1, September 2002. 

Sachiko Murata, The Tao of Islam, Mizan, Bandung, cet.7, November 1999. 

Syahid Dastaghib, Menuju Kesempurnaan Diri, Lentera, Jakarta, cet 1, April 2003 

Syeikh Abdul Qadir Jailani, Percikan Cahaya Ilahi, petuah-petuah Syeikh Abdul Qadir Jailani, Pustaka Hidayah, Bandung, cet 1, April 2001. 

Syeikh Nadim al-Jisr, Para Pencari Tuhan, Pustaka Hidayah, Bandung, cet I, 1998. 

Syeikh Fadhullah Haeri, Belajar Mudah Tasawuf, Lentera, cet.3, Mei 2000. 

Tor Andrae, Di Keharuman Taman Sufi, Pustaka Hidayah, Bandung, Cet 1, Oktober 2000. 


Tentang Editor


Rudhy Suharto, lahir di Jakarta, 5 April 1968, saat ini adalah staf Islamic Culture Center Jakarta, Pemimpin Redaksi Majalah Syiar, Redaksi Jurnal Ilmiah Islam Alhuda, dan Ketua Yayasan Mahali Sehati. Pernah menjadi redaktur Warta VI (1989-1992), pendiri HMI Cabang Depok (1992). Sampai sekarang aktif memberikan materi ideologi di lingkungan HMI Cabang Jakarta dan Depok. Telah menerbitkan buku Revolusi Ruhani: Refleksi Tasawuf Pembebasan (penerbit Pustaka Intermasa), dan Renungan Jumat: Penyuluh Akhlaqul Karimah (penerbit Alhuda). Telah menyunting buku Tema-tema Pokok Nahjul Balaghah karya Murtadha Muthahhari diterbitkan oleh penerbit al-Huda, Belajar Sambil BerTmain: Pelajaran Agama Islam karya Ibrahim Amini. Penulis artikel tasawuf dan pemikiran keagamaan di Harian Umum Pelita. rudhy_sr@yahoo.com








Daftar Isi 

Renungan Jumat; Meraih Cinta Ilahi 1 


Al- Huda 1 


PENGANTAR EDITOR 2 


BAB V: MANUSIA DAN IBADAH 8 


Manusia dan Ibadah 8 


Jalan Menuju Kesempurnaan Manusia 13 


Pentingnya Itsar 18 


Mengenal Allah dan Menegakkan Keadilan Sebagai Misi Para Nabi 23 


Menumbuhkan Kesalehan Sosial 28 


Mencapai Keberkahan Rezeki 33 


Meraih Kemuliaan Ramadhan 37 


Mengungkap Keutamaan Haji 42 


Sufisme Menurut Islam 48 


Memahami Adab al-Islam 53 


Memahami Pentingnya Doa 58 


Daftar Pustaka 63 


Tentang Editor 66








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

50 Pelajaran Akhlak Untuk Kehidupan

ilustrasi hiasan : akhlak-akhlak terpuji ada pada para nabi dan imam ma'sum, bila berkuasa mereka tidak menindas, memaafkan...