ilustrasi hiasan: Apakah kalian telah mempersiapkan diri, rohani dan jasmani untuk menyambut kemunculan al Mahdi? Berapa ramai yang sedar adanya kepimpinan dan wilayah al Mahdi di dalam kehidupan sehari-hari kalian, atau kalian lupa atau sengaja memilih kekhalifahan yang lain lalu mengkritik dan mempermain-mainkan wilayah dan kepimpinan al Mahdi? Sejarah apalagi yang membuat wilayah dan kepimpinan ini menjadi Kekhalifahan Yang Terlupakan?
Pesan Imam Hasan al-Askari as kepada Ali bin Husain Babwaih, ayahanda Syekh Shaduq ra:
Hendaklah kamu mendirikan salat malam, karena Nabi Saw berpesan kepada Imam Ali as, “Wahai Ali, hendaklah kamu mendirikan salat malam, hendaklah kamu mendirikan salat malam, hendaklah kamu mendirikan salat malam. Sesiapa meremehkan salat malam, ia bukan golongan kami.”
Imam Hasan al-Askari alaihis salam. lahir di Madinah, 10 Rabiul Akhir 232 H (4 Desember 846M).
1- Dijuluki dengan al-Askari (militer) karena beliau dan ayahnya dipaksa tinggal di Samarra, Irak oleh penguasa Abbasiyah. Kala itu, Samarra merupakan kamp militer khilafah Abbasiyah.
3- Pengekangan yang dialami Imam Hasan al-Askari a.s. memicu beliau untuk memilih beberapa deputi sebagai perantara komunikasi antara beliau dan Syiahnya. Utsman bin Sa’id ialah salah satu deputi semasa hidup beliau dan setelah wafatnya.
4- Imam Hasan al-Askari a.s. mengandalkan korespondensi sebagai media komunikasi utama dengan Syiahnya.
Salah satu misi penting yang diperankan Imam Hasan al-Askari as di masanya adalah meredam fitnah. Hal ini beliau lakukan dengan tenang dan bijaksana terhadap upaya fitnah yang dilontarkan Al-Kindi, seorang filosof Muslim.
Al-Kindi hendak menyebarkan buku tentang ayat-ayat yang tampak saling bertentangan. Upaya ini tentu saja menyasar Alqur’an sebagai sandaran risalah, kenabian dan sistem utama Islam.
Tiada seorang pun yang peduli terhadap bahaya dan pengaruh negatif upaya Al-Kindi ini atas kaum Muslimin awam dan juga musuh-musuh Islam akan memanfaatkannya.
Namun Imam Hasan al-Askari as berhasil menggagalkan upaya Al-Kindi dan mengaborsinya sebelum buku itu diterbitkan.
Terbit Bintang
Bergerak Ke Iraq
Penjara Tanpa Dinding
Saudara Lelaki Imam as.
Perkahwinan Imam Hasan Askari as.
Syahid Ayahanda as.
Ziyarah Imam Hasan Askari as.
IMAM HASAN ASKARI, HUJJAH TUHAN KESEBELAS
Sumber : parstoday.com
Momen penting dalam kehidupan Imam Hasan Askari as adalah kelahiran putra beliau. Berita gembira sampai ke telinga masyarakat bahwa orang yang akan membebaskan dunia dari penindasan dan ketidakadilan adalah putra Imam Askari tersebut. Ia tidak lain adalah juru selamat umat manusia yang kebangkitannya akan menghapus penindasan di muka bumi. Oleh karena itu, Dinasti Abbasiah mencemaskan kelahiran putra Imam Askari itu.
Imamah dalam terminologi Islam adalah kelanjutan risalah kenabian Nabi Muhammad Saw. Maka tidak diragukan dengan mengikuti ajaran agung ini, umat Islam akan terlindung dari berbagai bahaya dan ancaman, sehingga bisa mengelola urusannya dengan baik. Karena itu pula atas dasar hikmah-Nya dan kebutuhan manusia akan pemimpin, Allah Swt mengangkat para Imam sebagai hujjah-Nya di muka bumi. Hujjah secara etimologi bermakna bukti, dalil atau argumen. Al Quran, akal, nabi dan para penggantinya, begitu juga ulama yang membimbing masyarakat, adalah hujjah Tuhan bagi manusia.
Imam Ali as berkata, bumi tidak akan pernah kosong dari hujjah Tuhan, baik yang kasatmata dan dikenal, maupun yang tersembunyi dari pandangan manusia. Rahasia Ilahi diserahkan kepada mereka dan barangsiapa yang berada dalam lindungannya, maka ia berdiri di jalan kebenaran. Mereka adalah khazanah ilmu Ilahi dan penjaga agama-Nya. Mereka layaknya gunung yang menjulang tinggi sehingga Islam kokoh karena keberadaannya.
Hari ini di tahun 232 Hijriah, di kota Madinah, Imam Hasan Askari as terlahir ke dunia. Di masa kanak-kanak atas paksaan Khalifah Bani Abbas, ia bersama ayahnya Imam Hadi as harus meninggalkan Madinah dan tinggal di kota Samarra, pusat kekuasaan Dinasti Abbasiah kala itu. Meski hidup tidak lebih dari 28 tahun, namun Imam Askari banyak mewariskan ajaran luhur Islam.
Dalam riwayat disebutkan bahwa Imam Askari memiliki perangai yang penuh kasih sayang dan kelembutan. Beliau memiliki daya tarik akhlak yang begitu kuat sehingga setiap orang yang melihat wajahnya akan terpengaruh. Sejarah mencatat ada orang-orang yang menjauhi Imam Askari karena tidak mengenalnya, namun setelah bertemu dengan beliau, berubah total dan menjadi sahabat setia beliau. Di antaranya cerita tentang dua petugas penjara paling bengis yang ditugaskan untuk menyiksa Imam Askari. Ketika Imam Askari berada dalam penjara Khalifah Abbasi, para tahanan terpengaruh perkataan Imam karena sering bertemu dengan beliau dan mengalami perubahan yang luar biasa dalam dirinya.
Masa kepemimpinan Imam Askari berlangsung sekitar enam tahun dan sebagian besar waktunya dihabiskan dalam pengasingan dan penjara. Imam Askari hidup sezaman dengan tiga khalifah Bani Abbas, Mu'taz, Muhtadi dan Mu'tamid. Di masa tirani Bani Abbas yang begitu keras, Imam Askari punya sangat sedikit kesempatan untuk membuka kelas atau diskusi. Beliau bahkan sangat kesulitan untuk berhubungan langsung dengan masyarakat atau para pencari kebenaran. Oleh karena itu Imam Askari menggunakan berbagai metode, terutama lewat surat menyurat, untuk menjelaskan ajaran Islam.
Ali bin Muhammad Al Maliki yang lebih dikenal dengan Ibnu Shabag, salah satu intelektual terkemuka Islam terkait Imam Askari berkata, dia satu-satunya di masanya, tidak ada yang mampu menandinginya. Dengan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaannya, ia menyelesaikan satu persatu permasalahan masyarakat. Begitu juga dengan kekuatan pemikirannya, ia mengungkap kebenaran. Para sejarawan sepakat bahwa Imam Askari adalah mata air pengetahuan dan makrifat Ilahi. Beliau adalah orang paling berpengetahuan di zamannya. Ilmu beliau di berbagai bidang, baik ilmu aqli maupun naqli, tidak ada bandingannya.
Masa keimamahan Imam Askari termasuk masa paling penuh kekacauan di tubuh pemerintahan Bani Abbas. Ketidakcakapan khalifah dan pertikaian di antara pejabat istana, ketikdapuasan masyarakat dan kebangkitan berkelanjutan serta menyebarnya pemikiran menyimpang, di antara faktor gejolak politik dan sosial di masa itu. Para penguasa menjajah masyarakat dan membangun istana-istana mewah dan megah dengan uang rakyat, dan sama sekali tidak mempedulikan penderitaan mereka.
Imam Askari meski berada dalam lingkaran penjagaan ketat penguasa Abbasi, kekacauan situasi sosial dan pendeknya masa keimamahan beliau, namun berhasil mendidik sejumlah murid unggul yang masing-masing memberikan sumbangan berharga dalam penyebaran budaya dan ajaran hakiki Islam. Jumlah murid beliau mencapai lebih dari ratusan orang termasuk beberapa murid unggul. Di masa Imam Askari, kota-kota dan daerah seperti Kuffah, Baghdad, Nesyabur, Qom, Khorasan, Yaman, Rey, Azerbaijan dan Samarra adalah pusat-pusat konsentrasi penting Syiah kala itu.
Dalam menyebarkan budaya Syiah dan ilmu pengetahuan, Imam Askari menulis banyak surat untuk masyarakat seperti surat beliau untuk Syiah di Qom dan Nesyabur. Imam Askari juga menulis sejumlah buku untuk menyebarluaskan ajaran Islam dan menjaga benteng akidah. Salah satunya adalah tafsir sebagian surat Al Quran. Buku lain yang ditulis Imam Askari mencakup fikih dan seputar masalah halal haram. Beliau selalu memberikan apresiasi tinggi kepada para penulis dan pembuat karya ilmiah yang menyebabkan tersebarluasnya ilmu pengetahuan dan tumbuhnya kesadaran di tengah masyarakat.
Para penguasa Bani Abbas merasa cemas dengan kelahiran putra Imam Hasan Askari karena mereka mendengar hadis-hadis tentang kelahiran Juru Selamat dunia itu. Hadis-hadis yang menyebutkan bahwa pengganti Nabi Muhammad Saw berjumlah 12 orang dan semuanya berasal dari Quraysh, banyak ditulis dalam sumber-sumber hadis Ahlu Sunnah. Begitu juga kalimat seperti Mahdi dari Quraysh atau Mahdi salah satu putra Fathimah, dijelaskan di banyak sumber hadis terpercaya Ahlu Sunnah.
Oleh karena itu, para penguasa Bani Abbas, mengontrol pergerakan Imam Askari dengan penuh kekhawatiran. Pasalnya, mereka mengetahui dengan baik bahwa Imam Askari adalah pengganti Nabi ke-11 dan itu berarti pertanda bahwa janji kemunculan Juru Selamat akan segera tiba.
Penjagaan Bani Abbas terhadap Imam Askari begitu ketat sampai-sampai mereka menetapkan jadwal khusus yang mengharuskan beliau hadir di pusat pemerintahan Bani Abbas di hari-hari yang telah ditentukan setiap pekan. Namun upaya keras Bani Abbas tidak mampu membendung kehendak Allah Swt dan Imam Mahdi af putra Imam Hasan Askari akhirnya terlahir ke dunia.
Imam Askari merahasiakan kelahiran putranya. Hal itu dilakukan agar musuh yang ingin membunuh beliau tidak mengetahuinya. Namun Imam Askari memberitahu sejumlah orang tertentu yang menjadi kepercayaannya terkait kelahiran Imam Mahdi, bahkan menunjukkan kepada sebagian mereka, sehingga masyarakat tidak akan kebingungan mengenal Imam Zamannya selepas kepergiannya.
PASCA KESYAHIDAN
Pasca kesyahidan Imam Askari, para sahabat sepakat bahwa Imam Mahdi adalah pengganti Imam terdahulu yang telah ditetapkan Allah Swt. Satu lagi langkah terukur Imam Askari adalah membangun kesiapan masyarakat untuk menyambut masa keghaiban, karena ghaibnya Imam Mahdi adalah masalah yang tidak biasa dan memerlukan persiapan. Sebelum masa keghaiban, para pengikut dan sahabat Ahlul Bait as bisa bertemu langsung dengan Imam dan menyampaikan permasalahan serta pertanyaan mereka.
Tibanya masa keghaiban membuat masyarakat yang terbiasa berhubungan langsung dengan Imam Zaman mereka, berada pada situasi sulit yang tidak memungkinkan untuk bertemu langsung dengan Imamnya. Imam Askari harus mempersiapkan masyarakat menghadapi masa keghaiban, maka dari itu beliau mendidik sejumlah sahabat yang kelak ditugasi memikul tanggung jawab di masa keghaiban Imam Mahdi.
Imam Askari menganjurkan agar masyarakat menemui para fakih dan periwayat hadis Ahlul Bait as dan memperoleh penjelasan tentang ajaran hakiki Islam. Hadis Imam Mahdi ini contohnya, fakih yang menjaga diri dan kesuciannya serta menjaga agamanya, memerangi hawa nafsunya dan mematuhi perintah Allah Swt, maka masyarakat awam harus mengikuti dan bertaklid kepada mereka.
Salah satu karakteristik menonjol Imam Askari adalah tidak pernah tunduk pada penguasa zalim dan tekad kuat beliau untuk menyebarluaskan pemikiran dan ajaran hakiki Islam. Mu'tamid Abbasi, salah satu khalifah Bani Abbas mengakui kapasitas spiritual dan keilmuan Imam Askari. Ia menyaksikan sendiri bagaimana masyarakat mendahulukan Imam Askari dari orang lain.
Ia merasa berlanjutnya aktivitas Imam Askari dapat memperlemah fondasi pemerintahannya. Oleh karena itu, Mu'tamid memutuskan untuk membunuh Imam di saat beliau masih berusia 28 tahun. Lebih dari itu karena dari Imam Askari akan lahir seorang Juru Selamat yang akan membebaskan dunia dari penindasan dan memenuhinya dengan keadilan.
Imam Hasan Askari berkata, kami adalah perlindungan bagi orang-orang yang berlindung kepada kami dan cahaya bagi orang-orang yang mendambakan kesadaran dari kami. Orang-orang yang mencintai kami Ahlul Bait akan bersama kami di surga yang paling tinggi.
MUTIARA HIKMAH DARI IMAM HASAN ASKARI A.S.
- Sumber : IRIB INDONESIA
Imam Hasan al-Askari as, putra Imam Ali al-Hadi, dilahirkan pada 8 Rabiul Akhir tahun 232 Hijriah di kota Madinah. Beliau memangku tugas imamah pada usia 22 tahun, setelah ayahnya meneguk cawan syahadah. Di usia yang masih sangat muda itu, beliau mendapat mandat Ilahi untuk menjadi pelita hidayah bagi umat manusia. Julukan al-Askari yang beliau sandang merujuk pada suatu tempat yang bernama Askar, di dekat kota Samarra, Irak. Ibu Imam Askari bernama Haditsa, meski ada juga yang menyebut ibu beliau bernama Susan atau Salil. Setelah sang ayah wafat, Imam Hasan Askari as hidup selama 6 tahun, dan sepanjang itulah masa kepemimpinannya.
Kelahiran manusia-manusia suci dari Ahlul Bait Nabi as senantiasa membawa keberkahan dan kemuliaan bagi umat Islam. Ahlul Bait as adalah insan-insan mulia yang menjadi teladan dan lentera bagi umat manusia dalam merajut jalan kebenaran. Salah satu misi global Nabi Muhammad Saw dan Ahlul Baitnya adalah menyampaikan dan mengawal ajaran agama dan pemikiran-pemikiran Islam. Rasul Saw dan para penerus misi beliau telah mengemban tugas tersebut sesuai dengan kondisi sulit di masa itu. Mereka semua memikul dua tugas utama yaitu, memberi petunjuk dan pencerahan kepada masyarakat, dan memperingatkan mereka akan pemikiran-pemikiran menyimpang.
Imam Askari as sepanjang hidupnya tidak pernah alpa memerangi kezaliman dan penindasan di tengah masyarakat. Imam Askari as senantiasa berada dalam pengawasan para penguasa Dinasti Abbasiyah, karena adanya riwayat-riwayat dari Nabi Saw yang menguatkan bahwa Imam Mahdi as ? sang juru selamat ? akan terlahir ke dunia sebagai putra Imam Askari as. Oleh karena itu, para penguasa merasa takut akan kemunculannya yang akan memenuhi dunia ini dengan keadilan.
Meski menghadapi kondisi sulit, Imam Askari as berhasil menyebarluaskan nilai-nilai dan pemikiran murni Islam di tengah masyarakat. Pernyataan rasional dan argumentatif Imam Askari as dalam menjawab berbagai ketimpangan dan penyimpangan, membuktikan bahwa beliau memiliki program komprehensif untuk menyebarkan kebenaran Islam. Imam Askari as aktif menghalau pemikiran-pemikiran sesat yang menyerang masyarakat Islam pada masa itu. Beliau mengambil sikap tegas dan jelas terhadap berbagai kelompok dan mazhab pemikiran seperti, sufisme, ghulat, politeisme, dan pemikiran-pemikiran sesat lainnya.
Imam Askari as menilai pengabdian tulus kepada masyarakat sebagai dimensi dari iman dan selalu menekankan kepada para pengikutnya untuk berlaku baik dan terpuji. Banyak ayat al-Quran juga menyebut kata amal shaleh setelah kata iman. Oleh karena itu, Imam Askari as menganggap pengabdian kepada masyarakat sebagai salah satu contoh dari beramal shaleh. Beriman kepada Allah Swt dan mengabdi kepada manusia merupakan dua dasar untuk membangun masyarakat yang sehat. Kitab suci al-Quran juga sangat menekankan manusia untuk saling membantu dalam kebaikan dan ketaqwaan. Sebaliknya, Allah Swt melarang manusia untuk saling menolong dalam melakukan perbuatan dosa dan maksiat.
Di antara nilai-nilai luhur Islam adalah memberi perhatian kepada sesama, bekerjasama dalam kebaikan, dan mengabdikan diri untuk masyarakat. Dari berbagai ayat dan riwayat terlihat jelas bahwa tidak ada perbuatan lain ? setelah menunaikan kewajiban ? seperti berbuat baik dan mengabdi kepada masyarakat, yang akan mendekatkan seseorang kepada Allah Swt. Oleh sebab itu, para nabi dan imam maksum senantiasa mengabdikan dirinya untuk masyarakat dan membantu mereka dalam kebaikan. Imam Askari as berkata, "Dua perkara yang tidak ada sesuatu pun yang lebih tinggi darinya yaitu, beriman kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama."
Imam Askari as selalu menekankan kepada para pengikutnya untuk bersikap jujur, membersihkan diri dan beramal shaleh. Hal ini beliau lakukan demi menjaga ajaran suci Islam. Imam menyadari sepenuhnya usaha memperdalam dan menyebarkan ajaran Islam terletak pada penerapan nilai-nilai Islam itu sendiri. Karena ketika iman dan amal saling berhubungan dengan kokoh, maka pengaruhnya pun semakin kuat. Oleh karena itu, Imam Askari as menekankan kepada para pengikutnya untuk mengoreksi diri dan tidak memandang remeh dosa.
Dalam perspektif Imam Askari as, para pengikut sejati Ahlul Bait as adalah mereka yang bersikap seperti para pemimpin agamanya dalam menjalankan ajaran Ilahi dan meninggalkan larangannya serta mengabdi kepada sesama. Ketika mendefinisikan kata Syiah, Imam Askari as berkata, "Para pengikut dan Syiah Ali adalah mereka yang memprioritaskan saudara-saudara seiman dari dirinya meskipun ia sendiri butuh."
Memperhatikan pentingnya pengabdian kepada masyarakat, Imam Askari as juga mengingatkan para ulama dan intelektual untuk tidak melupakan tanggung jawab besar itu. Beliau as berkata, "Kelompok ulama dan intelektual pengikut kami yang berusaha memberi pencerahan dan mengatasi masalah para pecinta kami, pada hari kiamat mereka akan tiba di padang mahsyar dengan memakai mahkota kemuliaan dan cahaya mereka menerangi semua tempat dan semua penduduk mahsyar memperoleh manfaat darinya."
Imam Askari as menyerukan kepada umat Islam untuk berakhlak mulia di tengah masyarakat. Beliau berkata, "Allah Swt senantiasa mengingatkan agar bertakwa dan jadilah keindahan bagi kami dengan amalmu. Kami bahagia, jika salah seorang dari kalian bersikap wara dan jujur, menjalankan amanah dan berbuat baik kepada orang lain."
Selain berbuat baik kepada sesama, perintah lain yang sangat ditekankan Islam dalam Quran dan Sunnah Rasul adalah berfikir. Kekuatan pemikiran adalah anugerah Allah Swt yang hanya diberikan kepada manusia. Berbagai kemajuan sains dan teknologi merupakan berkah nikmat akal dan pemikiran. Dengan kemampuan besar ini, manusia mampu menyingkap berbagai rahasia alam semesta.Terkait hal ini, Imam Askari as berkata, "Ibadah bukan dilihat dari banyaknya shalat dan puasa, namun berfikir dan beribadah kepada Tuhan."
Berikut ini kami sajikan ucapan penuh hikmah dari Imam Askari as pada hari syahadahnya, "Saya berwasiat kepada kalian untuk bertakwa dalam agama, berusaha demi Allah semata, jujur, bersikap amanah dan berbuat baik dengan tetangga. Bertakwalah kepada Allah dan jadilah hiasan kami. Perbanyaklah zikir kepada Allah, mengingat mati, membaca al-Quran dan shalawat kepada Nabi Muhammad Saw. Karena bersalawat kepada Nabi Muhammad Saw memiliki sepuluh kebaikan. Bila ada di antara kalian yang bertakwa dalam agamanya, jujur dalam ucapannya, amanah dan berakhlak mulia terhadap masyarakat, maka orang yang seperti ini dapat dikatakan sebagai pengikut kami. Perbuatan seperti ini yang membuatku gembira dan membuatku meminta kalian untuk konsisten. Aku menyerahkan kalian kepada Allah dan salam buat kalian."
Imam Askari diracun dan syahid pada 8 Rabiul Awwal 260 Hijriah. Beliau dimakamkan di samping ayahnya, Imam Ali al-Hadi as, di kota Samarra, Irak. Berikut ini, kami sajikan dua mutiara hikmah dari Imam Hasan Askari as, "Tidak ada kemuliaan bagi orang yang meninggalkan kebenaran, dan tidak ada kehinaan bagi orang yang mengamalkannya." "Seluruh keburukan telah terkumpul dalam satu rumah, dan kuncinya adalah dusta."
IMAM HASAN ASKARI, MENTARI SAMARRA
pengarang : Purkon Hidayat
Meskipun Imam Hasan Askari hidup tidak lebih dari 28 tahun, tapi di usia yang singkat ini telah menorehkan tinta emas dalam lembaran sejarah Islam. Manusia mulia ini mewariskan karya besar dan penting di bidang tafsir al-Quran, fiqih dan ilmu pengetahuan bagi umat Islam. Di tengah ketatnya pembatasan dan tingginya tekanan dinasti Abbasiyah terhadap Ahlul Bait Rasulullah Saw, Imam Askari masih tetap menyampaikan ajaran Islam kepada umat Islam secara terorganisir untuk menyiapkan kondisi keghaiban Imam Mahdi setelah beliau.
Penguasa Abbasiyah menempuh berbagai cara untuk membatasi gerakan Imam Askari as, akan tetapi Allah swt berkehendak lain dan juru selamat akan lahir ke dunia di tengah keluarga Sang Imam. Setelah kelahiran Imam Mahdi as, ayah beliau mulai mempersiapkan masyarakat untuk menghadapi kondisi sulit di masa-masa mendatang. Imam Askari as di berbagai kesempatan berbicara tentang keadaan di masa keghaiban juru selamat, dan peran berpengaruh Imam Mahdi as dalam memimpin masa depan dunia. Beliau menekankan bahwa putranya akan menciptakan keadilan dan kemakmuran di seluruh penjuru dunia.
Di era kegelapan pemikiran dan penyimpangan akidah, Imam Askari as bangkit menyampaikan hakikat agama secara jernih kepada masyarakat. Beliau mengobati dahaga para pencari ilmu dan makrifat dengan pancaran mata air kebenaran. Argumentasi yang disampaikan Imam Askari as dalam berbagai forum ilmiah diakui oleh para pemikir di zamannya, bahkan menjadi panduan bagi mereka.Bahkan salah satu menteri dinasti Abbasiyah bernama Ahmad bin Khaqan, mengakui keutamaan akhlak dan keluruhan ilmu Imam Hasan Askari . Dia berkata, "Di Samarra, aku tidak melihat sosok seperti Hasan bin Ali. Dalam hal martabat, kesucian, dan kebesaran jiwa, aku tidak menemukan tandingannya. Meski ia seorang pemuda, Bani Hasyim lebih mengutamakannya dari kelompok tua di tengah mereka. Ia memiliki kedudukan yang sangat tinggi, yang dipuji oleh sahabat dan disegani musuhnya."
Semua kehormatan dan kemuliaan itu karena ketaatan Imam Askari as kepada Allah Swt dan kebersamaan beliau dengan kebenaran. Beliau berkata, "Tidak ada orang mulia yang menjauhi kebenaran kecuali dia akan terhina, dan tidak ada orang hina yang menerima kebenaran kecuali dia akan mulia dan terhormat."
Kedekatan dengan Tuhan dan sifat tawakkal merupakan keutamaan Ahlul Bait Nabi as dalam memikul beban penderitaan dan membuat mereka berkomitmen dalam memperjuangkan kebenaran. Manusia-manusia yang bertakwa dan taat, telah terbebas dari ikatan dan belenggu-belenggu hawa nafsu dan godaan duniawi. Mereka telah mencapai puncak kemuliaan akhlak.Rasulullah Saw dan Ahlul Baitnya adalah pribadi-pribadi sempurna yang menduduki puncak keluhuran akhlak. Mereka dengan ketaatan penuh di hadapan kekuasaan Tuhan, mencapai derajat spiritual yang tinggi konsisten dalam melawan kemusyrikan dan kekufuran serta membimbing masyarakat menuju jalan kebenaran. Dalam sirah Imam Askari as disebutkan bahwa beliau saat berada di penjara, menghabiskan seluruh waktunya dengan ibadah dan munajat kepada Tuhan. Pemandangan ini bahkan telah menyihir para sipir yang ditugaskan untuk mengawasi dan menyiksa beliau.
Beberapa pejabat dinasti Abbasiyah memerintahkan Saleh bin Wasif, kepala penjara untuk bersikap keras terhadap Imam Askari as. Mereka berkata kepada Wasif, "Tekan Abu Muhammad semampumu dan jangan biarkan ia menikmati kelonggaran!" Saleh bin Wasif menjawab, "Apa yang harus aku lakukan? Aku sudah menempatkan dua orang terkejam dari bawahanku untuk mengawasinya, keduanya sekarang tidak hanya menganggap Abu Muhammad sebagai seorang tahanan, tapi mereka juga mencapai kedudukan yang tinggi dalam ibadah, shalat, dan puasa."
Para pejabat tersebut kemudian memerintahkan Wasif untuk menghadirkan kedua algojonya itu. Mereka berkata kepada para algojo tersebut, "Celaka kalian! Apa yang telah membuat kalian lunak terhadap tahanan itu?" Mereka menjawab, "Apa yang harus kami katakan tentang seseorang yang hari-harinya dilewati dengan puasa dan seluruh malamnya dihabiskan dengan ibadah? Ia tidak melakukan pekerjaan lain kecuali beribadah dan bermunajat dengan Tuhannya. Setiap kali ia menatap kami, wibawa dan kebesarannya menguasai seluruh wujud kami."
Imam Askari as dalam sebuah riwayat menyinggung kedudukan orang-orang yang shalat, dan berkata, "Ketika seorang hamba beranjak ke tempat ibadah untuk menunaikan shalat, Allah berfirman kepada para malaikatnya, ?Apakah kalian tidak menyaksikan hamba-Ku bagaimana ia berpaling dari semua makhluk dan datang menghadap-Ku, sementara ia mengharapkan rahmat dan kasih sayang-Ku? Aku jadikan kalian sebagai saksi bahwa Aku khususkan rahmat dan kemuliaan-Ku kepadanya." Imam Askari as senantiasa mewasiatkan kepada para pengikutnya untuk memperpanjang sujud, dan berkata, "Aku wasiatkan kalian untuk bertakwa dalam agama kalian, dan berusaha karena Allah serta memperpanjang sujud."
Pengaruh pemikiran dan spiritualitas Imam Askari as membuat para penguasa Abbasiyah ketakutan. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk membunuhnya. Penguasa dinasti Abbasiyah akhirnya menyusun sebuah skenario untuk membunuh Imam Askari as. Beliau syahid setelah beberapa hari menahan rasa sakit akibat diracun musuhnya. Seorang pembantu Imam Askari as berkata, "Ketika beliau terbaring sakit dan sedang melewati detik-detik terakhir dari kehidupannya, beliau teringat bahwa waktu shalat subuh telah tiba. Beliau berkata, ?Aku ingin shalat.' Mendengar itu, aku langsung menggelar sajadah di tempat tidurnya. Abu Muhammad kemudian mengambil wudhu dan shalat subuh terakhir dilakukan dalam keadaan sakit dan selang beberapa saat, ruh beliau menyambut panggilan Tuhan." Inna lillahi wa inna ilahi rajiun.
Kini para pencinta Ahlul Bait Rasulullah Saw hingga kini terus menziarahi makam Imam Hasan Askari, dan membaca doa di kompleks pemakaman suci, meskipun situasi Samarra rentan terhadap ancaman musuh. Semoga Allah Swt menjadikan kita semua termasuk para peziarah dan pembela haram suci Ahlul Bait Rasulullah Saw. "Ya Allah, shalawat dan salam dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw dan Ahlul Baitnya. Teriring salam bagi Imam Hasan bin Ali (Askari) yang telah menunjukkan jalan menuju agama-Mu, pembawa bendera hidayah, mata air ketakwaan, dan tambang akal, muara hikmah dan rahmah bagi umat. Wahai Imam yang terjaga dari dosa, wahai yang mewarisi ilmu kitab suci (al-Quran) yang dengannya menjadi pembeda antara hak dan batil. Salam bagimu, ya Imam Hasan Askari."
IMAM ASKARI, PRIBADI SUCI RUJUKAN UMAT
Sumber : parstoday.com
Imam Hasan al-Askari as, putra Imam Ali al-Hadi, dilahirkan pada 8 Rabiul Akhir tahun 232 Hijriah di kota Madinah. Beliau memangku tugas imamah pada usia 22 tahun, setelah ayahnya meneguk cawan syahadah.
Di usia yang masih sangat muda itu, beliau mendapat mandat Ilahi untuk menjadi pelita hidayah bagi umat manusia. Julukan al-Askari yang beliau sandang merujuk pada suatu tempat yang bernama Askar, di dekat kota Samarra, Irak. Ibu Imam Askari bernama Haditsa, meski ada juga yang menyebut ibu beliau bernama Susan atau Salil. Setelah sang ayah wafat, Imam Hasan Askari as hidup selama 6 tahun, dan sepanjang itulah masa kepemimpinannya.
Ketika diboyong oleh sang ayah ke Samarra, Imam Askari as baru berusia 4 tahun. Semenjak itu pula beliau selalu diawasi secara ketat oleh Dinasti Abbasiah. Imam Askari as senantiasa berada dalam pengawasan para penguasa, karena adanya riwayat-riwayat dari Nabi Saw yang menguatkan bahwa Imam Mahdi as, sang juru selamat, akan terlahir ke dunia sebagai putra Imam Askari as. Oleh karena itu, para penguasa merasa takut akan kemunculannya yang akan memenuhi dunia ini dengan keadilan. Imam Askari juga sering dijebloskan ke penjara, sampai akhirnya beliau diracun dan syahid pada 8 Rabiul Awal 260 Hijriah Qamariah. Beliau dimakamkan di samping ayahnya, Imam Ali al-Hadi as, di kota Samarra.
Ahlul Bait Nabi as adalah insan-insan mulia yang selalu menjadi teladan dan petunjuk bagi umat manusia dalam merajut jalan kebenaran. Salah satu misi global Nabi Muhammad Saw dan Ahlul Baitnya adalah menyampaikan dan mengawal ajaran agama dan pemikiran-pemikiran Islam. Rasul Saw dan para penerus misi beliau telah mengemban tugas tersebut sesuai dengan kondisi sulit di masa itu. Mereka semua memikul dua tugas utama yaitu, memberi petunjuk dan pencerahan kepada masyarakat, dan memperingatkan mereka akan pemikiran-pemikiran menyimpang.
Masa kepemimpinan Imam Askari as termasuk salah satu fase sulit, di mana pemikiran-pemikiran sesat mengancam masyarakat Islam dari segala penjuru. Di sisi lain, beliau juga berada dalam pengawasan ketat penguasa Abbasiah. Saking ketatnya pengawasan terhadap keluarga Imam Askari, masyarakat sangat sulit untuk berinteraksi dengan beliau. Menyiasati kondisi tersebut, Imam Askari selama masa kepemimpinannya menyampaikan pesan kepada masyarakat melalui sejumlah sahabat dekat beliau. Mereka mendapat bimbingan khusus dari Imam Askari dan kemudian diberi tugas untuk memberi pencerahan kepada masyarakat.
Sepanjang 6 tahun kepemimpinannya, Imam Askari selain memerangi kezaliman, juga bangkit menghalau pemikiran-pemikiran sesat yang menyerang masyarakat Islam pada masa itu. Beliau mengambil sikap tegas dan jelas terhadap berbagai kelompok dan mazhab pemikiran seperti, sufisme, ghulat, politeisme, dan pemikiran-pemikiran sesat lainnya. Mengenai kaum Sufi, Imam Askari berkata, "Ketahuilah bahwa mereka adalah para perampas jalan orang-orang mukmin dan menyeru masyarakat kepada ateisme dan pengingkar agama. Siapa saja yang berpapasan dengan mereka, maka jauhilah mereka dan jagalah agama dan imanmu dari bahaya mereka." (Hadiqatul a-Syiah, hal.592)
Seseorang bernama Idris bin Ziyad mengisahkan, "Aku termasuk di antara orang yang ghulu (berlebihan mencintai sesuatu atau sikap menyimpang) terkait Ahli Bait Nabi as. Suatu hari, aku pergi ke kota Samarra untuk bertemu Imam Hasan Askari. Ketika sampai di kota itu, aku tampak lelah dan istirahat di sebuah tempat. Di tempat itu, aku terlelap dan bangun beberapa saat kemudian setelah mendengar sebuah suara, suara Imam Askari. Aku berbegas bangkit dan memberi penghormatan kepada beliau."
Ucapan pertama yang keluar dari lisan Imam Askari dalam pertemuan singkat itu adalah ayat 26 dan 27 surat al-Anbiya, lalu Imam berkata, "Wahai Idris, mereka adalah hamba-hamba Allah yang dimuliakan di sisi-Nya. Mereka tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya." Mendengar ucapan itu, aku berkata dalam hati, "Di sini, Imam ingin memberi pemahaman kepadaku agar aku tidak bersikap ghulu tentang Ahli Bait, sebab mereka sama sekali tidak punya kuasa kecuali dengan kehendak Tuhan. Aku juga sepenuhnya memahami maksud Imam." Idris lalu berkata kepada Imam, "Wahai tuanku, ucapan tadi sudah cukup bagiku, sebab niat kedatanganku untuk menanyakan masalah tersebut."
Imam Askari menjalani separuh hidupnya di dalam penjara rezim Abbasiah. Meski demikian, beliau tetap teguh berjuang melawan penindasan dan tirani. Walaupun mendapat berbagai hambatan, Imam Askari menghadiahkan mutiara abadi bagi umat Islam yang senantiasa dikenang sepanjang masa. Kata-kata hikmah beliau dalam menjawab berbagai persoalan, memperjelas antara hak dan batil. Kesuksesan program dakwah Imam Askari dalam menyebarkan hakikat Islam terbukti melalui berbagai forum dan diskusi ilmiah serta pengajaran dan pendidikan kepada murid-muridnya.
Salah satu mahakarya Imam Askari adalah mendidik murid-murid terkemuka. Mereka adalah para pemikir dan rujukan ilmu pengetahuan di tengah masyarakat dalam menyelesaikan berbagai persoalan agama dan sosial. Salah seorang murid terkemuka Imam Askari adalah Abu al-Hassan Ali bin Hussein Qummi. Beliau mendapat pengajaran langsung dari Imam di bidang fikih dan hadis serta cabang ilmu agama lainnya. Kebanyakan pengajaran Imam Askari kepada Hussein Qummi dilakukan melalui surat. Salah satu surat tersebut adalah penjelasan Imam Askari mengenai putranya, Imam Mahdi dan kabar kegaiban serta kebangkitan beliau sebagai penyelamat umat manusia.
Selain mendidik para murid dan menyemangati para penulis, Imam Askari sendiri juga menulis beberapa buku dan surat untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan pelurusan akidah. Di antara karya Imam Askari adalah sebuah tafsir al-Quran, dua buah buku tentang fikih dan risalah terkait halal-haram, serta sejumlah surat yang memuat berbagai cabang ilmu. Pada masa beliau, masyarakat Syiah terkonsentrasi di sejumlah kota dan daerah seperti, Kufah, Baghdad, Neishabur, Qom, Yaman, Rei, Azerbaijan, dan Samarra. Demi menyebarluaskan budaya Syiah dan ilmu pengetahuan, Imam Askari menulis sejumlah surat yang ditujukan kepada wakil-wakilnya di kota tersebut.
Salah satu contohnya adalah surat Imam Askari kepada Ishaq bin Ismail Neishaburi. Di surat ini, Imam menjawab pertanyaan Ishaq terkait sejumlah kewajiban seorang Muslim. Imam berkata, "Sesungguhnya Allah menetapkan kewajiban kepada kalian dengan rahmat-Nya dan bukannya karena kebutuhan-Nya kepada kalian. Kewajiban ini ditetapkan karena kecintaan-Nya kepada kalian supaya keburukan terpisah dari kebaikan. Oleh karena itu, Allah menetapkan kewajiban haji, umrah, shalat, zakat, puasa serta patuh kepada pemimpin kalian. Untuk memahami kewajiban ini, Allah membuka pintu lebar-lebar dan memberikan kalian kuncinya. Jika tidak ada Rasul dan Ahlul Baitnya, kalian pasti tersesat dan tidak akan memahami satu pun dari kewajiban tersebut. Apakah ada jalan lain untuk memasuki kota selain gerbangnya? Oleh sebab itu, Allah telah berlaku baik kepada kalian dengan menetapkan para Imam sesudah Rasul."
Imam Askari senantiasa menekankan kepada para pengikutnya untuk bersikap jujur, membersihkan diri dan beramal saleh. Hal ini beliau lakukan demi menjaga ajaran suci Islam. Imam menyadari sepenuhnya usaha memperdalam dan menyebarkan ajaran Islam terletak pada penerapan nilai-nilai Islam itu sendiri. Karena ketika iman dan amal saling berhubungan dengan kokoh maka pengaruhnya pun semakin kuat. Oleh karena itu, Imam Askari menekankan kepada para pengikutnya untuk mengoreksi diri dan tidak memandang remeh dosa.
Imam Askari juga menyerukan kepada umat Islam untuk berakhlak mulia di tengah masyarakat. Beliau berkata, "Allah senantiasa mengingatkan agar bertakwa dan jadilah mutiara bagi kami dengan amalmu. Kami bahagia jika salah seorang dari kalian bersikap wara dan jujur, menjalankan amanah dan berbuat baik kepada orang lain." Akhlak mulia yang terpancar dari Imam Askari menyebabkan besarnya pengaruh beliau di tengah masyarakat. Daya tarik spiritual Imam bahkan mempengaruhi musuh-musuhnya.
Berikut ini adalah mutiara hadis dari Imam Askari as, "Tidak ada kemuliaan bagi orang yang meninggalkan kebenaran, dan tidak ada kehinaan bagi orang yang mengamalkannya." "Bukan termasuk kebajikan menampakkan kegembiraan di hadapan seorang yang sedih." "Seluruh keburukan telah terkumpul dalam satu rumah, dan kuncinya adalah dusta."
IMAM HASAN ASKARI A.S. SIMBOL PEJUANG SEJATI
Sumber : TvShia.com
Pada tahun 260 Hijriyah, dunia Islam larut dalam duka atas kesyahidan Imam Hasan Askari as. Beliau sepanjang 28 tahun umurnya telah menorehkan tinta emas dalam lembaran sejarah Islam. Kehidupan para imam maksum as dan Ahlul Bait Nabi as adalah kumpulan dari ilmu pengetahuan dan ajaran-ajaran praktis untuk pendidikan individu di tengah masyarakat. Akan tetapi, mereka menghadapi kondisi sulit dalam menyebarluaskan pengetahuan Islam karena rezim penguasa menerapkan batasan tertentu.
Pembatasan itu mencapai puncaknya pada masa Imam Muhammad al-Jawad as, Imam Ali al-Hadi as, dan Imam Hasan Askari as. Dinasti Abbasiyah bahkan memaksa Imam Hadi as dan putranya Imam Askari as untuk meninggalkan kota kakeknya, Madinah dan hijrah ke Baghdad, pusat kekhalifahan Abbasiyah. Setelah syahidnya Imam Hadi as, Imam Askari as memikul tanggung jawab imamah dan dalam waktu enam tahun, beliau mampu menyampaikan pandangan dan ajarannya di berbagai bidang politik dan sosial kepada para pengikutnya.
Kebijakan represif dan pembatasan yang diterapkan oleh para penguasa Abbasiyah terhadap Imam Askari as justru kian menambah popularitas beliau di tengah masyarakat. Itu semua karena obor yang dinyalakan oleh Rasulullah Saw dan Ahlul Bait beliau adalah cahaya kebenaran yang tidak akan pernah padam untuk selamanya.
Instabilitas Dinasti Abbasiyah memasuki puncaknya pada masa kepemimpinan Imam Askari as. Ketidaklayakan para penguasa, pertikaian internal di lingkungan istana, ketidakpuasan rakyat, aksi pemberontakan beruntun, dan penyebaran pemikiran sesat, termasuk di antara faktor-faktor yang menganggu stabilitas politik dan sosial pada masa itu. Para penguasa Abbasiyah memeras masyarakat demi membangun istana-istana yang megah dan membiarkan mereka hidup sengsara.
Akan tetapi, masyarakat mengetahui bahwa seorang juru selamat dari keturunan Imam Askari as, akan lahir ke dunia untuk membebaskan mereka dari kezaliman dan ketidakadilan penguasa. Dia adalah juru selamat umat manusia yang akan bangkit untuk melawan kezaliman dan menegakkan keadilan di dunia. Berita kelahiran juru selamat mendorong penguasa Abbasiyah untuk meningkatkan aksi represif dan membatasi kegiatan masyarakat. Imam Askari as pada hari tertentu juga dipaksa untuk hadir di istana penguasa agar bisa diawasi dari dekat.
Penguasa Abbasiyah telah melakukan banyak upaya untuk mengawasi gerak-gerik Imam Askari as, akan tetapi Tuhan berkehendak lain dan juru selamat akan lahir ke dunia di tengah keluarga Sang Imam. Setelah kelahiran Imam Mahdi as, ayah beliau mulai mempersiapkan masyarakat untuk menghadapi kondisi sulit di masa-masa mendatang. Imam Askari as di berbagai kesempatan, berbicara tentang keadaan pada masa keghaiban juru selamat dan peran berpengaruh Imam Mahdi as dalam memimpin masa depan dunia. Beliau menekankan bahwa putranya akan menciptakan keadilan dan kemakmuran di seluruh penjuru dunia.
Di era kegelapan pemikiran dan penyimpangan akidah, Imam Askari as bangkit menyampaikan hakikat agama secara jernih kepada masyarakat. Beliau mengobati dahaga para pencari ilmu dan makrifat dengan pancaran mata air kebenaran. Argumentasi-argumentasi Imam Askari as dalam kajian ilmiah, sangat berpengaruh, di mana filosof Arab Ya'qub bin Ishak al-Kindi mulai memahami kebenaran setelah berdebat dengan beliau dan kemudian membakar buku-bukunya yang ditulis untuk mengkritik beberapa pengetahuan agama.
Meskipun Dinasti Abbasiyah bermusuhan dengan Imam Askari as, namun salah satu menteri rezim penguasa dengan nama Ahmad bin Khaqan, mengakui keutamaan dan karamah keturunan Nabi Saw itu. Dia berkata, "Di Samarra, aku tidak melihat sosok seperti Hasan bin Ali. Dalam hal martabat, kesucian, dan kebesaran jiwa, aku tidak menemukan tandingannya. Meski ia seorang pemuda, Bani Hasyim lebih mengutamakannya dari kelompok tua di tengah mereka. Ia memiliki kedudukan yang sangat tinggi, di mana dipuji oleh sahabat dan musuhnya."
Semua kehormatan dan kemuliaan itu dikarenakan ketaatan Imam Askari as kepada Allah Swt dan kebersamaan beliau dengan kebenaran. Beliau berkata, "Tidak ada orang mulia yang menjauhi kebenaran kecuali dia akan terhina dan tidak ada orang hina yang merangkul kebenaran kecuali dia akan mulia dan terhormat."
Kedekatan dengan Tuhan dan sifat tawakkal telah membantu Ahlul Bait Nabi as dalam memikul beban penderitaan dan membuat mereka berkomitmen dalam memperjuangkan kebenaran. Ibadah dan kecintaan kepada Sang Kekasih, ada dalam fitrah manusia dan daya tarik internal ini mampu membantu mereka dalam peristiwa-peristiwa sulit. Manusia-manusia yang bertakwa dan taat, telah terbebas dari ikatan dan belenggu-belenggu hawa nafsu dan godaan duniawi. Mereka telah mencapai puncak kemuliaan akhlak.
Rasul Saw dan Ahlul Baitnya adalah pribadi-pribadi sempurna yang menduduki puncak kemuliaan akhlak. Mereka dengan ketaatan penuh di hadapan kekuasaan Tuhan, mencapai derajat spiritual yang tinggi dan sama sekali tidak merasa kalah dalam melawan kemusyrikan dan kekufuran di tengah masyarakat. Dalam sirah Imam Askari as disebutkan bahwa beliau saat berada di penjara, menghabiskan seluruh waktunya dengan ibadah dan munajat kepada Tuhan. Pemandangan ini bahkan telah menyihir para sipir yang ditugaskan untuk mengawasi dan menyiksa beliau.
Beberapa pejabat Dinasti Abbasiyah memerintahkan Saleh bin Wasif, kepala penjara untuk bersikap keras terhadap Imam Askari as. Mereka berkata kepada Wasif, "Tekan Abu Muhammad semampumu dan jangan biarkan ia menikmati kelonggaran!" Saleh bin Wasif menjawab, "Apa yang harus aku lakukan? Aku sudah menempatkan dua orang terkejam dari bawahanku untuk mengawasinya, keduanya sekarang tidak hanya menganggap Abu Muhammad sebagai seorang tahanan, tapi mereka juga mencapai kedudukan yang tinggi dalam ibadah, shalat, dan puasa."
Para pejabat tersebut kemudian memerintahkan Wasif untuk menghadirkan kedua algojonya itu. Mereka berkata kepada para algojo tersebut, "Celaka kalian! Apa yang telah membuat kalian lunak terhadap tahanan itu?" Mereka menjawab, "Apa yang harus kami katakan tentang seseorang yang hari-harinya dilewati dengan puasa dan seluruh malamnya dihabiskan dengan ibadah? Ia tidak melakukan pekerjaan lain kecuali beribadah dan bermunajat dengan Tuhannya. Setiap kali ia menatap kami, wibawa dan kebesarannya menguasai seluruh wujud kami."
Imam Askari as dalam sebuah riwayat menyinggung kedudukan orang-orang yang shalat, dan berkata, "Ketika seorang hamba beranjak ke tempat ibadah untuk menunaikan shalat, Allah berfirman kepada para malaikatnya, ‘Apakah kalian tidak menyaksikan hamba-Ku bagaimana ia berpaling dari semua makhluk dan datang menghadap-Ku, sementara ia mengharapkan rahmat dan kasih sayang-Ku? Aku jadikan kalian sebagai saksi bahwa Aku khususkan rahmat dan kemuliaan-Ku kepadanya."
Para hamba saleh ketika mereka telah mencicipi kenikmatan ibadah dan munajat dengan Sang Pencipta, maka mereka menemukan kebahagiaan dan kemuliaannya dalam sujud yang penuh cinta dan ketaatan yang penuh rindu di hadapan Tuhan. Mereka percaya bahwa sujud adalah media terdekat seorang hamba dengan Tuhannya. Imam Askari as senantiasa mewasiatkan kepada para pengikutnya untuk memperpanjang sujud, dan berkata, "Aku wasiatkan kalian untuk bertakwa dalam agama kalian dan berusaha karena Allah serta memperpanjang sujud." (Kasfu al-Ghummah, jil 3, hal 290)
Pengaruh pemikiran dan spiritualitas Imam Askari as membuat para penguasa Abbasiyah ketakutan. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk menghapus keberadaan beliau. Muktamid Abbasi, penguasa tiran Dinasti Abbasiyah, akhirnya menyusun sebuah skenario untuk membunuh Imam Askari as. Beliau syahid setelah beberapa hari menahan rasa sakit akibat diracun oleh Muktamid. Seorang pembantu Imam Askari as berkata, "Ketika beliau terbaring sakit dan sedang melewati detik-detik terakhir dari kehidupannya, beliau teringat bahwa waktu shalat subuh telah tiba. Beliau berkata, ‘Aku ingin shalat.' Mendengar itu, aku langsung menggelar sajadah di tempat tidurnya. Abu Muhammad kemudian mengambil wudhu dan shalat subuh terakhir dilakukan dalam keadaan sakit dan selang beberapa saat, ruh beliau menyambut panggilan Tuhan."
IMAM HASAN ASKARI, BENTENG PERTAHANAN ISLAM
Sumber : IRIB Indonesia
Imam Hasan Askari dilahirkan tahun 232 Hijriah di kota Suci Madinah. Beliau banyak menghabiskan hidupnya di kota Samara, Irak selama 28 tahun. Samara saat itu menjadi pusat pemerintahan Khalifah Abbasiah. Sepanjang hidupnya beliau giat membimbing umat dan menghidupkan serta menjaga ajaran suci Islam. Di hari kelahiran Imam Hasan Askari, kita akan mengkaji bersama aktivitas beliau dalam menjaga ajaran suci Islam.
Salah satu dimensi penting kehidupan keluarga Rasulullah (Ahlul Bait) adalah menjaga akidah dan ajaran Islam. Mereka siap menderita guna menjaga Islam, karena setelah wafatnya Rasulullah, kehidupan Ahlul Bait sangat sulit khususnya di era pemerintahan dinasti Umawiyah dan Abbasiah. Kedua pemerintahan yang mengaku sebagai wakil umat Islam ini sangat keras memperlakukan Ahlul Bait sehingga keluarga Rasulullah ini kian terbatas geraknya untuk menyebarkan Islam dan membimbing umat. Kondisi ini wajar mengingat para pemimpin saat itu memiliki kebijakan yang tidak sejalan dengan apa yang digariskan Rasulullah dan keluarga beliau, bahkan cenderung memusuhi keluarga suci ini.
Dalam kondisi inilah, Ahlul Bait berjuang mati-matian mempertahankan ajaran Rasulullah yang dihadiahkan kepada umat manusia. Kedudukan tinggi mereka sebagai penjaga ajaran Islam disabdakan Imam Baqir as sebagai berikut, "Ulama pengikut Ahlul Bait seperti penjaga yang berbaris menghadapi syaitan dan tentaranya. Ulama ini mencegah serangan syaitan dan sekutunya terhadap pengikut kami yang tidak mampu menghadapi serangan tersebut. Ingatlah bahwa kedudukan para ulama seperti ini lebih tinggi ribuan kali dari tentara yang berperang menghadapi musuh Islam. Hal ini disebabkan karena ulama penjaga akidah dan ajaran Islam."
Imam Hasan Askari hidup di era khalifah Abbasiah dan di saat maraknya penyebaran mazhab sesat. Saat itu dapat dikatakan sebagai era paling berbahaya bagi keselamatan ajaran suci Islam, karena bidah dan ajaran sesat ramai bermunculan. Imam Hasan dalam sebuah sabdanya berkata," Allah Swt Yang Maha Pemurah telah memberikan rahmat dan mengirim manusia agung Rasulullah kepada umat manusia. Allah Swt memberi kalian hidayah hingga memeluk Islam. Allah Swt juga meletakkan kecintaan di hati kalian terhadap keluarga Rasulullah."
Program utama perjuangan Imam Hasan Askari adalah mengokohkan dasar-dasar keagamaan dalam masyarakat Islam. Ini adalah langkah paling logis di era maraknya penyimpangan agama dan politik, khususnya menghadapi kebijakan pemerintah arogan yang menghalalkan segala cara demi melanggengkan kekuasaan mereka. Dengan strateginya ini, Imam Hasan Askari berhasil menyelamatkan umat Islam dari lingkaran kebodohan dan ancaman penyimpangan beragama.
Dalam sebuah kesempatan Imam Hasan Askari memprediksikan nasib bidah agama kepada salah satu sahabatnya. Beliau berkata, "Wahai Abu Hasyim! Akan datang suatu masa di mana wajah seseorang tersenyum namun hatinya dipenuhi kegelapan. Mereka menyebut sunnah Rasulullah sebagai bidah dan bidah mereka sebagai sunnah. Mereka memandang hina orang mukmin. Ketahuilah orang-orang seperti ini telah menyimpang dari kebenaran."
Di sisi lain, pengawasan ketat dari pemerintah dan pembatasan terhadap Imam Hasan Askari membuat beliau tidak dapat berhubungan langsung dengan pengikutnya. Namun beliau tidak putus asa dalam menyebarkan dakwahnya dan membimbing umat. Dalam hal ini beliau menulis dan menyebarkan surat yang ditujukan kepada pengikutnya secara rahasia. Sebaliknya, para sahabat dan pengikut Imam Askari juga melakukan hal serupa dalam menanyakan berbagai persoalan baik agama maupun lainnya kepada imam mereka melalui surat.
Imam Hasan Askari meninggalkan banyak tulisan dan surat yang berisi bimbingan dan jawaban dari pertanyaan umat Islam. Salah satu contohnya adalah surat Imam Askari kepada Ishaq bin Ismail Neishaburi. Di surat ini Imam menjawab pertanyaan Ishaq bin Ismail terkait sejumlah kewajiban muslim soal khumus dan zakat. Imam berkata," Sesungguhnya Allah Swt menetapkan kewajiban kepada kalian dengan rahmatNya dan bukannya karena kebutuhan-Nya kepada kalian. Kewajiban ini ditetapkan karena kecintaan-Nya kepada kalian supaya keburukan terpisah dari kebaikan. Oleh karena itu, Allah menetapkan kewajiban haji, umrah, shalat, zakat, puasa serta patuh kepada pemimpin (wilayah) kepada kalian. Untuk memahami kewajiban ini, Allah membuka pintu lebar-lebar dan memberikan kalian kuncinya. Jika tidak ada Rasulullah dan Ahlul Baitnya, kalian pasti tersesat dan tidak akan memahami satu pun kewajiban tersebut. Apakah untuk memasuki kota selain pintu ada jalan lain ? Oleh karena itu, Allah Swt telah berbuat baik kepada kalian dengan menetapkan para Imam sesudah Rasulullah."
Imam Hasan Askari memerangi kelompok sesat yang mengatasnamakan Islam. Beliau berulangkali memperingatkan para sahabat dan pengikutnya akan bahaya kelompok-kelompok sesat yang berkedok Islam. Hal ini beliau lakukan karena pemikiran sesat merupakan penghalang utama upaya untuk mendalami ajaran Islam dan penyebarannya. Suatu hari Imam Hasan Askari mendapat berita bahwa Ahmad bin Hilal memiliki kecenderungan sufisme dan menipu umat Islam dengan kata-kata manisnya. Ahmad bin Hilal puluhan kali bepergian ke Makkah dengan berjalan kaki. Tingkah laku Ahmad bin Hilal ini dipandang masyarakat sebagai bentuk spiritualnya.
Imam Hasan Askari tanpa memandang kedudukan Ahmad bin Hilal di tengah masyarakat menulis surat dan meminta umat Islam menjauhi orang seperti ini. Beliau berkata, "Waspadahlah kalian! Orang-orang yang berkedok sufi adalah perampok orang mukmin. Mereka mengajak manusia ke jalan kemungkaran. Bagi umat Islam yang berhadapan dengan orang seperti ini harus menjaga dengan betul agama dan keimanannya."
Imam Hasan Askari ketika membimbing berbagai lapisan masyarakat menggunakan metode yang berbeda dan disesuaikan dengan kondisi setiap lapisan. Terkadang beliau cukup menulis surat, namun terkadang juga beliau memberi peringatan serta wejangan. Ibn Syahrasub, sejarawan kawakan Islam menulis, Ishaq al-Kindi, filosof muslim dan tinggal di Irak sejak beberapa waktu memilih memencilkan diri dan menjauhi masyarakat. Seluruh waktunya dihabiskan untuk menulis buku anti al-Quran. Ia menganggap bukunya memuat berbagai kontradiksi al-Quran. Salah satu murid Ishaq Kindi mendatangi Imam Hasan Askari dan dengan sedih menyatakan kepada Imam bahwa kami tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi gurunya secara keilmuan. Kemudian beliau mengajari orang tersebut ilmu untuk menghadapi Ishaq Kendi. Beberapa hari kemudian, sang murid pun mendatangi gurunya dan berdiskusi tentang ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya. Perlahan namun pasti al-Kindi akhirnya memahami kebenaran dan mengetahui bahwa perkataan muridnya tersebut bukan berasal dari dirinya sendiri tapi dari pribadi suci seperti Imam Hasan Askari. Setelah diskusi tersebut al-Kindi akhirnya bertobat dan membakar bukunya."
Imam Hasan Askari mendidik dengan tekun sahabat dan pengikutnya serta menekankan kepada mereka untuk jujur, membersihkan diri dan beramal saleh. Hal ini beliau lakukan demi menjaga ajaran suci Islam. Imam menyadari sepenuhnya usaha memperdalam dan menyebarkan ajaran Islam terletak pada penerapan nilai-nilai Islam itu sendiri. Karena ketika iman dan amal saling berhubungan dengan kokoh maka pengaruhnya pun semakin kuat. Oleh karena itu, beliau menekankan kepada pengikutnya untuk mengoreksi diri dan tidak memandang remeh dosa.
Salah satu ajaran akhlak dan bimbingan Imam Hasan Askari dapat kita temukan dalam sebuah jawaban beliau kepada Abu Hasyim. Abu Hasyim berkata, "Suatu hari saya tengah bermunajat kepada Allah Swt dan meminta untuk digolongkan ke dalam hamba-hamba-Nya yang ikhlas. Saat itu Imam mengetahui keadaanku dan langsung bersabda, Wahai Abu Hasyim ! kamu berada dalam kelompok-Nya karena kamu mengimani-Nya dan utusan-Nya. Kamu mengenal dengan baik para kekasih Allah dan mengikutinya. Maka kabar gembira bagi kamu wahai Abu Hasyim. Ketika itu, Imam Hasan Askari berargumentasi dengan ayat 56 surat al-Maidah dan berkata, mereka yang menerima kepemimpinan dan wilayah Allah serta Rasul-Nya telah digolongkan ke dalam kelompok-Nya. Sejatinya Imam menekankan bahwa secara praktis manusia harus patuh terhadap Allah dan Rasul-Nya serta mendahulukan perintah-Nya dari kepentingan pribadi."
MENELISIK FUNGSI HIDAYAH IMAM HASAN ASKARI A.S.
Kehidupan dan metode perjuangan setiap dari Ahlul Bait Rasulullah Saw merupakan satu bagian dari puzzel yang saling melengkapi yang terejawantahkan dalam bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi yang ada. Imam Hasan Askari as lahir di kota Madinah, tapi peristiwa yang terjadi memaksa beliau mengikuti ayahnya Imam Hadi as yang diperintahkan penguasa Dinasti Abbasiah untuk meninggalkan kota Madinah. Imam Hasan Askari as terpaksa tinggal di kota Samara, yang waktu itu menjadi ibukota kekuatan Dinasti Abbasiah.
Para penguasa Bani Abbasiah di masa itu begitu menekan Imam Hadi as dan anaknya Imam Hasan Askari as. Tujuan asli tekanan yang dilakukan itu dimaksudkan agar masyarakat menjauhi Imam. Oleh karena itu, pasca Imam Shadiq as, seluruh Imam hidup dalam pengasingan dan menemui syahadah jauh dari kota Madinah. Bahkan boleh dikata, di antara para Imam yang hidup di masa kekuasaan Bani Abbasiah, tiga Imam; Imam Muhammad at-Taqi, Imam Ali an-Naqi dan Imam Hasan Askari as harus melewati kehidupan mereka dalam kondisi yang paling sulit.
Pemerintah Abbasiah punya dua alasan penting untuk membatasi ruang gerak Imam Hasan Askari as. Pertama, posisi khusus Ahlul Bait di tengah masyarakat Islam, khususnya di tengah-tengah warga Irak. Posisi ini membuat khawatir pemerintah. Oleh karenanya, para khalifah Bani Abbasiah berusaha memenjarakan para Imam dan menerapkan kontrol secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi guna mencegah kebangkitan pengikut Imam Ali as lewat kepemimpinan mereka.
Kedua, banyak hadis mutawatir yang menjelaskan tentang Imam Zaman dan Penyelamat Manusia. Riwayat-riwayat ini menyebutkan Sang Mujaddid dan Penyelamat ini merupakan anak Imam Hasan Askari as. Sang Penyelamat inilah yang akan mencabut akar kezaliman dan penindasan serta melengserkan para penguasa lalim. Dari sini, penguasa Abbasiah dengan segala cara berusaha mengontrol Imam Hasan Askari dan keluarganya guna mencegah lahirnya Sang Penyelamat.
Imam Hasan Askari as terpaksa memilih tinggal di kawasan militer di kota Samara. Kondisi kawasan ini dibuat sedemikian rupa sehingga Imam tidak dapat dengan mudah melakukan hubungan dengan sahabat dan pengikutnya. Selama 6 tahun menjabat sebagai Imam, sekalipun tekanan yang diterapkan pemerintah Bani Abbasiah begitu keras, tapi Imam Hasan Askari tetap dapat menjelaskan ajaran Islam. Tidak hanya itu, Imam juga melindungi agama dari bidaah dan penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat Islam.
Metode yang dilakukan Imam dalam kondisi yang sulit ini menunjukkan tidak ada seorangpun yang dapat menghalangi beliau menjalankan tugasnya sebagai pemimpin spiritual yang menuntun manusia. Kontrol yang begitu ketat dari penguasa Bani Abbasiah tidak mampu mencegah beliau mengajarkan agama. Beliau bahkan mampu mendidik murid-murid hebat di pelbagai bidang keagamaan. Syeikh Thusi mencatat ada lebih dari 100 murid yang berhasil dididik beliau dalam kondisi yang sulit.
Imam Hasan Askari dalam kontrol ketat penguasa Bani Abbasiah mampu menciptakan jaringan penghubung dengan para pengikut Ahlul Bait. Beliau memilih wakil-wakil khusus dan berhubungan dengan mereka dan masyarakat Islam lewat surat-menyurat. Jaringan penghubung ini sangat tertutup dan hanya para pengikut setia Imam yang mengetahui adanya jaringan ini. Sebagai contoh, Utsman bin Said, seorang sahabat penting Imam selalu mendatangi beliau dengan menyamar sebagai penjual minyak. Imam Hasan Askari as menyimpan sebagian surat yang ditujukan kepada wakil-wakilnya di tempat minyak milik Utsman bin Said.
Dalam kondisi ditekan sedemikian rupa oleh penguasa Bani Abbasiah, Imam Hasan Askari as tetap mendorong para pengikutnya dan memperkuat semangat mereka, terutama para sahabat dekat dan orang-orang penting. Dalam suratnya yang ditujukan kepada Ali bin Husein bin Babawaih al-Qummi, Imam Hasan Askari as menggunakan ungkapan sebagai berikut, "Wahai pribadi besar dan faqih kepercayaanku! Bersabarlah! Ajaklah para pengikutku untuk juga berlaku sabar! Bumi adalah milik Allah. Setiap orang yang dikehendaki Allah bakal dijadikan pewaris bumi. Akhir yang baik hanya menjadi milik orang-orang yang bertakwa. Salamku dan rahmat serta berkah Allah kepadamu dan para Syiahku. (Manaqib jilid 4, halaman 425)
Satu langkah cerdas Imam Hasan Askari as di masa sulit dan tekanan Bani Abbasiah adalah mempersiapkan para pecinta Ahlul Bait memasuki periode kegaiban. Pada hakikat, jaringan perwakilan yang dibentuk oleh Imam dengan sendirinya mengurangi intensitas masyarakat bertemu dengan beliau. Sudah terbiasa tidak melihat Imam mereka, membuat masyarakat secara perlahan-lahan siap memasuki periode kegaiban Imam Mahdi af.
Hari syahadah Imam Hasan Askari yang kita peringati saat ini berdekatan dengan tahun kedatangan Imam Khomeini ra ke Iran setelah menjalani pengasingan selama 15 tahun di luar negeri. Tak syak, satu dari sikap penting Imam Khomeini ra yang berpengaruh besar bagi kemenangan Revolusi Islam di Iran adalah mengikuti sejarah dan perilaku Nabi Muhammad Saw dan Ahlul Bait as dalam memerangi kezaliman. Tegar menghadapi orang-orang zalim dan tidak menyerah menghadapi mereka merupakan satu hakikat dalam sejarah perjuangan Ahlul Bait. Bila Imam Hasan Askari as tegar menghadapi meluasnya kefasadan dan bangkit berjuang melawan kemiskinan dan ketidakadilan, maka itu berarti memuat sebuah pesan penting kepada seluruh pencari keadilan di seluruh dunia untuk bangkit melawan setiap kezaliman di muka bumi.
Penyebaran konsep Tawalli dan Tabarri yang berarti mencintai dan membenci karena Allah merupakan konsep yang diterapkan oleh Imam Hasan Askari as. Tawalli artinya bersikap lembut dan menyayangi orang yang mencintai Allah dan tersiksa melihat musuh-musuh Allah. Tawalli bak sebuah kekuatan yang menahan orang mukmin dalam lingkaran kebenaran. Sementara Tabarri berarti memusuhi para musuh Allah. Konsep ini menjauhkan manusia dari keburukan dan jalan kebatilan. Sekaitan dengan sikap umat Islam yang menerima asumsi ini, Imam Hasan Askari as berkata, "Rasa bersahabat dan cinta seorang muslim kepada orang-orang baik bakal mendatangkan pahala untuknya. Sementara kemarahan dan kebenciannya terhadap orang yang berperilaku buruk menyebabkan orang-orang buruk menjadi terhina."
Imam Hasan Askari as dengan daya tarik dan daya tolaknya yang kuat mampu membuat orang-orang yang memiliki fitrah yang suci semakin tertarik dengannya dan pada saat yang sama menjauhkan orang munafik dan kafir darinya. Sekaitan dengan daya tarik beliau, seorang sahabat dekat Imam Hasan Askari as berkata, "Aku belum pernah melihat seorang yang punya pengaruh luar biasa seperti Imam Hasan Askari as. Setiap kali beliau ingin melewati sebuah tempat, maka di situ sudah banyak orang berkumpul. Tempat yang yang akan dilewati beliau menjadi ramai. Ketika beliau muncul di sana, semua tiba-tiba tanpa dikomando langsung terdiam dan tanpa sadar memberi jalan beliau lewat."
Imam Hasan Askari as selama 6 tahun menjadi imam, beliau mengalami tiga penguasa zalim Bani Abbasiah; Mu'taz, Muhtadi dan Mu'tamid. Menghadapi kezaliman mereka, Imam tidak pernah diam. Itulah mengapa beliau berkali-kali dijebloskan ke dalam penjara dan akhirnya akibat ketegaran beliau dan sikapnya yang tidak pernah menyerah menghadapi para penguasa zalim, Imam Hasan Askari as akhirnya mereguk cawan syahadah di usia 28 tahun.
Kini kita simak bersama ucapan penuh hikmah Imam Hasan Askari as di hari syahadahnya:
"Saya berwasiat kepada kalian untuk bertakwa dalam agama, berusaha demi Allah semata, jujur, bersikap amanat dan berbuat baik dengan tetangga. Bertakwalah kepada Allah dan jadilah hiasan kami. Perbanyaklah zikir kepada Allah, mengingat mati, membaca al-Quran dan salawat kepada Nabi Muhammad Saw. Karena bersalawat kepada Nabi Muhammad Saw memiliki sepuluh kebaikan. Bila ada di antara kalian yang bertakwa dalam agamanya, jujur dalam ucapannya, amanat dan berakhlak mulia terhadap masyarakat, maka orang yang seperti ini dapat dikatakan sebagai pengikut kami. Perbuatan seperti ini yang membuatku gembira dan membuatku meminta kalian mempertahankannya. Aku menyerahkan kalian kepada Allah dan salam buat kalian." (Tuhaf al-‘Uqul halam 748 dan 884)(IRIB Indonesia)
IMAM HASAN ASKARI, SIMBOL KETEGUHAN AHLUL BAIT A.S.
Pada pagi hari tanggal 8 Rabiul Tsani 232 Hijriah, telah lahir Imam Hasan Askari, anak dari Imam Ali Al-Hadi as. Berita kelahiran putra Imam Ali Al-Hadi tersebut segera menyebar di seluruh kota Madinah.
Hari kelahiran setiap imam dari keluarga Rasulullah Saww atau Ahlul Bait disamping membawa keberkahan dan kebahagiaan tersendiri, juga mengandung poin dan pesan penting dari kehidupan setiap imam tersebut. Sebab, keluarga Rasulullah Saww senantiasa mendorong etika dan nilai-nilai kemanusiaan, serta membela kebenaran dan keadilan.
Ilmu Ahlul Bait selalu aktual. Untuk itu, manusia di setiap masanya dapat menggunakan cahaya ilmu dan petunjuk keluarga suci Rasulullah Saww. Manusia-manusia suci dalam kehidupan mereka senantiasa menunjukkan komitmen lebih pada nilai-nilai dan norma kemanusiaan. Di samping itu, ajaran-ajaran mereka menjadi penyelamat bagi umat manusia. Pada hari yang mulia ini, kami segenap kru Radio Melayu Republik Islam Iran mengucapkan selamat atas hari kelahiran Imam Hasan Askari as.
Imam Hasan Askari as sepanjang hidupnya selama 27 tahun, mewariskan nilai-nilai yang sangat berharga dan abadi bagi umat manusia. Imam Ali Al-Hadi, ayah Imam Askari as, terpaksa meninggalkan kota Madinah. Langkah-langkah beliau sepanjang hidupnya dipantau pemerintah zalim saat itu. Di tengah kondisi yang sulit yang dimulai sejak ayahnya, Imam Hasan Askari tetap menjalin hubungan dengan masyarakat dan sahabat-sahabat setianya. Imam Askari selalu mengajak umatnya untuk mengenal Allah Swt dan melakukan amal dengan ikhlas, serta mendorong untuk memperbaiki diri. Lebih dari itu, beliau juga memperingatkan keraguan-keraguan yang disuarakan orang-orang yang mau menyesatkan umat. Imam Hasan Askari juga meminta para sahabatnya supaya memantau langkah dan pola pikir masing-masing, serta menjauhi perbuatan tak layak.
Imam Hasan Askari sepanjang masa imamahnya atau kepemimpinannya yang ditempuh selama enam tahun, mempunyai peran besar dalam menyebarkan budaya dan makrifat. Disamping itu, beliau as juga membina para sahabat unggulan yang nantinya berfungsi membantu pencerahan di tengah ummat. Di tengah ramainya penyimpangan pemikiran dan pandangan atheis yang dikembangkan dari Yunani dan India , Imam Hasan Askari as terus berupaya menyelamatkan masyarakat dari segala bentuk penyimpangan budaya dan pemikiran dengan memberikan pencerahan-pencerahan segar. Menyampaikan masalah agama, membina majlis-majlis dan membimbing para sahabat unggulan adalah di antara bentuk perlawanan Imam Hasan Askari terhadap pemerintah zalim Dinasti Abbasiah. Imam Askari as menjelaskan fakta sebenarnya bahwa pemerintah zalim menjadi penghalang terlaksananya ajaran-ajaran agama dan keadilan di tengah masyarakat. Disamping itu, pemerintah zalim menelantarkan hak-hak masyarakat.
Di masa kepemimpinan Imam Hasan Askari as, setiap khalifah Bani Abbas menolak kebenaran dan ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Imam Askari as. Di antara khalifah Bani Abbas yang paling sadis dan lalim adalah Muktamad. Muktamad yang haus kekuasaan, selalu menghalangi aktivitas Imam Hasan Ashkari as dan menyiksa para sahabatnya. Bahkan penguasa Bani Abbas ini menjebloskan Imam Askari ke penjara. Khalifah Muktamad sengaja tidak membiarkan Imam Askari dapat memberikan pencerahan-pencerahan di tengah masyarakat, karena ia menyadari hal itu akan mengganggu kekuasaannya.
Dari sisi lain, sejumlah hadis Rasulullah Saww telah sampai ke telinga Khalifah Muktamad dan para penguasa Bani Abbas sebelumnya bahwa Imam Hasan Askari akan mempunyai seorang putra yang menegakkan keadilan di seluruh penjuru dunia dan mengalahkan pemerintah zalim. Karena riwayat tersebut, Imam Hasan Askari as mendapat penjagaan ketat dari pengusa saat itu. Meski dikelilingi orang-orang yang keras hati dan penjaga penjara yang biadab, kelembutan dan daya tarik Imam Askari as membuat mereka luluh dan takluk. Bahkan para penjaga penjara tersebut merasa malu dan menyesal atas sikap mereka di hadapan Imam.
Mengenai sejarah akhlak Imam Hasan Askari as, banyak riwayat yang mengungkap kedermawanan dan kelembutan serta perangai mulia beliau. Di tengah kondisi sulit karena tekanan dari pemerintah lalim saat itu, Imam Hasan Ashkari tetap menjadi rujukan masyarakat. Bahkan Imam tetap menjalin hubungan dengan masyarakat dan menyelesaikan problema mereka. Kedermawanan Imam Hasan Askari sangat dirasakan oleh masyarakat. Abu Yusuf, penyair dinasti Abbasiah, berkata, "Saya pernah mengalami kondisi yang sangat sulit. Saat itu, saya baru mempunyai seorang anak. Kondisi sulit saat itu membuat saya menulis surat ke para pembesar Bani Abbas dan menyampaikan problemanya kepada mereka. Namun sangat disayangkan, mereka sama sekali tidak membantu saya. Saat pesimis, saya teringat pada Imam Hasan Askari as. Kemudian, saya mendatangi rumah beliau. Saat itu, saya ragu; Apakah saya harus menyampaikan problema kepada Imam Hasan Askari as? Sebab, saya khawatir, Imam tak akan membantu karena mengetahui bahwa saya pernah menjadi penyair dinasti Abbasiah. Kekhawatiran dan kegelisahan terus mengitari benakku. Pada akhirnya, saya memutuskan untuk mengetuk pintu rumahnya. Tidak lama setelah saya mengetuk pintu, pintu rumah terbuka dan berdiri seorang sahabat Imam membawa sekantong uang. Sahabat Imam itu berkata, "Ambillah uang 400 dirham ini! Imam as mengatakan; Gunakanlah uang ini untuk anakmu yang baru lahir. Dengan keberadaan anak tersebut, Allah Swt memberikan berkah dan kebaikan kepadamu." Menyaksikan peristiwa tersebut, saya benar-benar terkejut dan bersyukur kepada Allah Swt.
Mengenai ibadah dan kehambaan Imam Hasan Askari as, beliau adalah sosok yang sangat sempurna. Abu Hasyim Jafari, salah satu sahabat setia Imam Hasan Askari as, berkata, "Saat tiba waktu sholat, Imam langsung meninggalkan pekerjaan dan aktivitasnya. Beliau tidak pernah mendahulukan pekerjaan lainnya dari sholat." Eksistensi Imam as merupakan manifestasi utuh ibadah dan kehambaan di hadapan Allah Swt. Dalam sejarah disebutkan, para penjaga penjara dinasti Abbasiah menemukan jalan yang benar dan kebahagian sejati setelah menyaksikan ibadah Imam Askari as di penjara.
Dalam nasehatnya, Imam Hasan Askari as mengajak ummatnya bersabar di tengah tekanan dan problema hidup. Kepada salah satu sahabatnya, beliau berkata, "Selama kamu mampu dan bisa bertahan, janganlah memohon kepada orang lain. Sebab, setiap hari ada rejeki baru. Ketahuilah bahwa terus-menerus memohon atau mengemis dapat menghilangkan harga diri seseorang. Untuk itu, bersabarlah hingga Allah Swt membuka pintu bagimu. Kenikmatan itu ada masanya. Janganlah tergesa-gesa memetik buah yang belum waktunya dan petiklah pada waktunya."(irib)
BIOGRAFI IMAM HASAN ASKARI
Pada 8 Rabiul Akhir tahun ke 232 Hijrah, telah lahirlah seorang bayi lelaki dari keturunan pohon cahaya Rasulullah SAW. Bayi tersebut dilahirkan di Kota Madinah al-Munawwarah oleh seorang ibu yang bernama Hadisah. Orang ramai di sekitar Kota Madinah al-Munawwarah bergembira kerana kelahiran seorang putera yang sangat indah. Mereka beramai-ramai menziarahi rumah Hadisah untuk melihat wajah bayi tersebut.
Di saat kelahiran bayi tersebut, bapanya yaitu Imam Ali Hadi as telah menyambut anak kesayangannya lalu diazankan di telinga kanan dan diiqamahkan di telinga kiri. Beliau sangat gembira di atas kelahiran zuriatnya yang suatu hari kelak akan mewarisi kepimpinannya. Imam Ali Hadi as percaya anaknya kelak akan menjadi seorang pemimpin besar yang disegani semua. Oleh kerena bayi tersebut sungguh indah, maka Imam Ali Hadi as menamakan anaknya Hasan. Demi untuk menyatakan kesyukuran ke hadrat Ilahi, Imam Ali Hadi as telah mengadakan majlis akikah untuk anak kesayangannya itu. Majlis tersebut diadakan pada hari ketujuh kelahiran Imam Hasan Askari as. Pada hari tersebut keluarga Imam Hasan Askari as telah menyembelih seekor kambing gurun dan menjemput penduduk Madinah al-Munawwarah menjamu selera. Pada hari tersebut bapa Imam Hasan Askari as juga telah mencukur rambut anaknya. Rambut tersebut ditimbang dan diganti dengan harga seberat perak lalu disedekahkan kepada fakir miskin.
.
Nama sebenar beliau ialah Imam Hasan Askari bin Imam Ali Hadi bin Imam Muhammad Jawad bin Imam Ali Redha bin Imam Musa Kazim bin Imam Ja’far Shadiq bin Imam Muhammad Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Saidina Husain Bin Saidina Ali k.wh. bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’i bin Ghalib bin Fahr bin Malik bin Nadar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilias bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan bin ‘Add bin Humaisi’ bin Salamam bin Auz bin Buz bin Qamwal bin Ubai bin ‘Awwam bin Nasyid bin Haza bin Bildas bin Yadlaf bin Tabikh bin Jahim bin Nahisy bin Makhi bin Aid bin ‘Abqar bin ‘Ubaid bin Ad-Da’a bin Hamdan bin Sanbir bin Yathrabi bin Yahzin bin Yalhan bin Ar’awi bin Aid bin Desyan bin Aisar bin Afnad bin Aiham bin Muksar bin Nahits bin Zarih bin Sami bin Wazzi bin ‘Adwa bin Aram bin Haidir bin Nabi Ismail a.s. bin Nabi Ibrahim a.s. bin Azar bin Nahur bin Saru’ bin Ra’u bin Falikh bin Abir bin Syalikh bin Arfakhsyad bin Sam bin Nabi Nuh a.s. bin Lamik bin Matul Syalakh bin Nabi Idris a.s. bin Yarid bin Mahlail bin Qinan bin Anwas bin Syits bin Nabi Adam a.s..
Imam Hasan Askari as dibesarkan dan dididik di bawah naungan ayahnya yang terkenal dengan ilmu, kezuhudan dan mulia akhlaknya. Semasa Imam Ali Hadi as diundang Khalifah al-Mutawakil supaya bermukim di kem tentera Samarra’, Imam Hasan Askari as menyertai rombongan ayahnya. Sepanjang bersama ayahnya, Imam Hasan Askari telah dididik dengan berbagai ilmu. Ayah beliau ingin memastikan anaknya itu akan mewarisi ilmu, akhlak dan kepimpinan selepas kematiannya kelak.
Syeikh al- Mufid mengatakan,
“Abu al-Qasim Ja’far bin Muhammad bin Ya’qub menuturkan kepadaku daripada Ali bin Muhammad daripada Muhammad bin Ahmad al-Nahdi dari pada Yahya bin Yasar al-Anbari mengatakan bahawa Imam Ali Hadi as telah mewasiatkan kepimpinan kepada puteranya Imam Hasan Askari as, empat bulan sebelum beliau meninggal dunia dengan disaksikan Yasar (orang kepercayaan Imam Ali Hadi as) dan beberapa pemimpin lain.”
“Syeikh al-mufid juga meriwayatkan,
“Abu al-Qasim Ja’far bin Muhammad meriwayatkan kepadaku daripada Muhammad bin Ya’qub dari pada Ali bin Muhammad daripada Ja’far bin Muhammad al-Kufi dari Yasar bin Ahmad al-Bashri daripada Ali bin Amr al-Naufali mengatakan bahawa dia berada bersama-sama Imam Ali Hadi as duduk di ruang tengah rumah beliau lalu datanglah seorang anak Imam Ali Hadi as yang bernama Muhammad. Ali bin Muhammad pun bertanya kepada beliau, adakah Muhammad yang akan menjadi pemimpin sesudah Imam Ali Hadi kelak?”
Imam Ali Hadi as menjawab, “Bukan dia. Pemimpin sesudahku adalah Hasan Askari as.”
Seterusnya Syeikh al-Mufid meriwayatkan,
“Abu al-Qasim Ja’far bin Muhammad menyampaikan kepada saya daripada Muhammad bin Ya’qub daripada Ali bin Muhammad daripada Muhammad bin Ahmad al-Qalanisi daripada Ali bin al-Husain bin Amr daripada Ali bin Mahziyar mengatakan bahawa dia pernah bertanya kepada Abu al-Hasan as (gelaran Imam Ali Hadi as), jika terjadi sesuatu kepada beliau yang saya berlindung dari perkara tersebut, kepada siapakah kepimpinan akan Imam Ali Hadi as serahkan?”
Imam Ali Hadi menjawab, “Saya serahkan kepada putera saya yang paling tua, yaitu Hasan Askari as.”
Semenjak kecil Imam Hasan Askari as telah melihat sendiri bagaimana pihak kerajaan memusuhi ayahnya. Malahan ayah beliau yaitu Imam Ali Hadi as telah dipenjarakan dan akhirnya telah diracun di zaman pemerintahan Khalifah al-Mu’taz. Semenjak kecil lagi Imam Hasan Askari as sudah memahami situasi politik di zaman tersebut. Sebab itulah zaman kanak-kanaknya telah dihabiskan dengan mendalami ilmu Al-Quran dan ilmu ketuhanan. Ketika kanak-kanak lain sibuk bermain, Imam Hasan Askari sibuk membaca Al-Quran dan beribadah kepada Allah SWT. Pernah teman sepermainan mengajak beliau bermain bersama, namun, beliau menolak dengan baik kerana beliau yakin perjuangannya meneruskan perjuangan datuk moyangnya masih belum selesai dan tanggungjawab yang akan dipikul sangat berat sekali. Salah seorang teman permainan Imam Hasan Askari as pernah menghampiri beliau dan berkata,
“Bagaimana jika saya belikan anda barang mainan supaya anda bisa bermain.” Imam Hasan Askari as menolak penawaran temannya dengan berkata,
“Saya dilahirkan bukan hanya untuk bermain.” Temannya merasa heran lalu bertanya lagi,
“Jika begitu untuk apa anda dilahirkan?”
“Saya dilahirkan untuk mempelajari ilmu dan menyembah Tuhan Yang Maha Esa.” Jawab Imam Hasan Askari as.
“Dari mana anda mengetahui?” Tanya anak tersebut. Imam Hasan Askari as menjawab,
“Dari Al-Quran sebagaimana Allah SWT. berfirman:
“Adakah kamu mengira bahawa kamu diciptakan secara sia-sia?”[1] anak tersebut sangat kagum dengan jawaban Imam Hasan Askari as lalu berkata,
“Walaupun anda masih kanak-kanak tetapi anda masih tidak mempunyai dosa.”
Semakin hari nama Imam Hasan Askari as semakin disanjungi masyarakat kerana keilmuan dan akhlaknya yang mulia. Ke mana saja beliau pergi pasti orang ramai akan tunduk, tanda hormat dan tidak kurang juga yang ingin bertanyakan berbagai persoalan agama. Malahan sehingga musuh Imam Hasan Askari as terpaksa akur dengan keilmuan yang dimilikinya. Antara musuh utama Imam Hasan Askari as ialah Ahmad bin Abdullah bin Khaqan. Ketika penduduk Qom sedang menyebut-nyebut tentang keperibadian Imam Hasan Askari as, namun, Ahmad bin Abdullah bin Khaqan masih membenci dan memusuhi Imam Hasan Askari as. Walaupun begitu dia pernah mengatakan,
.
“Aku belum pernah melihat seorang alim seperti Imam Hasan Askari as. Suatu hari beliau telah datang berjumpa ayahku. Ayahku telah memerintahkan para pengawal mempersilakan beliau masuk menghadap. Kemudian ayahku mengajak beliau ke musalla (tempat solat). Mereka berdua berbincang manakala ayahku begitu menghormatinya. Ketika beliau ingin meminta izin untuk pulang, ayahku mengikutinya dari arah belakang. Melihat sikap ayahku tersebut lantas aku pun mempersoalkannya. Namun, ayahku berkata, “Wahai anakku, beliau adalah imam bagi pengikut yang mencintai Ahlul Bait Rasulullah SAW. Sekiranya kekhalifahan ini terjatuh dari tangan Bani Abbas, nescaya tiada orang lain yang lebih berhak mendudukinya selain beliau. Ini karena beliau memiliki kemuliaan, kezuhudan dan keperibadian yang tinggi. Ayahpun selama ini sering bertanya berbagai masalah kepadanya. Manakala orang ramai sering menyebut bahwa beliau mempunyai keramat.” Kemudian Abdullah bin Khaqan mengatakan,
“Aku belum pernah melihat orang yang sangat tinggi ilmu, mulia akhlak, cerdas pemikiran dan fasih dalam ucapan kecuali Imam Hasan Askari as.
.
ASKARI
Ketika Imam Hasan Askari as dipaksa tinggal dalam kem tentera di Samarra’ beliau senantiasa diawasi dari masa ke semasa. Setiap minggu beliau terpaksa melaporkan diri di pejabat pemerintah manakala setiap hari Senin dan hari Khamis, beliau akan menghadap Khalifah. Pergerakan Imam Hasan Askari as ketika itu sangat terbatas. Beliau tidak dibenarkan untuk bertemu dengan pengikutnya apalagi berdakwah maupun mengajar. Sebab itulah beliau digelar ‘Askari’ karena askari dalam Bahasa Arab bermaksud tentera.
Kehadiran beliau ke istana sering menarik perhatian orang ramai. Setiap jalan ke istana dipenuhi dengan orang ramai, keledai, unta, kuda dan binatang tunggangan yang lain. Ketika Imam Hasan Askar as melalui tempat tersebut suara orang ramai yang riuh rendah terus menjadi sunyi sepi. Suara binatang juga tidak kedengaran. Binatang tunggangan yang memenuhi jalan tiba-tiba ke tepi memberi laluan. Begitulah juga ketika Imam Hasan Askari as meminta izin untuk pulang dari istana dan ketika para pengawal mengumumkan kepulangan beliau, orang ramai akan mengerumuni unta yang ditunggangi Imam Hasan Askari as manakala binatang tunggangan yang memenuhi jalan memberi ruang kepada beliau sehingga beliau pulang dengan selamat. Melihat keadaan tersebut, khalifah menjadi marah lalu mengarahkan supaya menangkap siapa saja yang memberi penghormatan kepada Imam Hasan Askari as. Semenjak kejadian tersebut ramai pengikut Imam Hasan Askari as telah ditangkap dan dipenjarakan. Setelah itu Imam Hasan Askari as telah menasihatkan pengikutnya supaya tidak lagi menghormatinya sebagaimana sebelum ini. Beliau meminta mereka bersabar dan sentiasa berdoa semoga Allah SWT. memberkati dan memberi balasan yang baik ke atas pengikutnya yang setia.
Salah seorang pengikut Imam Hasan Askari as yang bernama Ja’far bin Halabi menceritakan,
“Suatu hari semasa Imam Hasan Askari as ingin menghadap ke Istana Khalifah, kami beramai-ramai menanti beliau di sepanjang jalan. Namun, Imam Hasan Askari as berkata, hendaknya tiada seorang pun antara kalian yang secara terang terangan menghormati saya. Tidak pula ada yang memberi isyarat tangan tanda hormat, karena anda semua tidak akan merasa tentram atas perbuatan anda tersebut.”
Imam Hasan Askari as adalah seorang pemimpin yang berakhlak mulia lagi dihormati. Cahaya keimanan dan ketakwaan terpancar di wajah beliau sehingga orang ramai memandangnya dengan penuh harapan. Penduduk setempat mengetahui kedudukan dan kemuliaan yang dimiliki Imam Hasan Askari as. Beliau telah mencapai drajat kemuliaan yang tiada bandingnya. Karena itu mereka berlomba-lomba untuk mendekatinya dan bersalaman dengannya. Imam Hasan Askari as juga mempunyai sifat yang sangat terpuji. Setiap kali beliau memulai ucapan, para pendengar akan merasa kagum. Perkataan beliau sungguh bersastra dan jelas. Keputusan beliau sungguh adil. Ilmu senantiasa memancar dari setiap sisi. Hikmah senantiasa meluncur dari segenap arah. Beliau telah membebaskan diri dari kemewahan dan keduniaan. Beliau sering beribadah di malam hari sambil menangis, sering bertafakur dan sangat dermawan. Walaupun beliau mempunyai kedudukan yang tinggi, namun beliau bersifat sederhana. Penduduk setempat merasa aman apabila berdamping dengan Imam Hasan Askari as. Beliau kelihatan sering tersenyum yang menampakkan gigi laksana untaian mutiara. Beliau sangat memuliakan ahli agama dan sering berdamping dengan orang miskin. Sehinggakan orang yang gagah sekalipun kalah dengan ketegasannya manakala orang yang lemah tidak akan berputus asa terhadap keadilan yang beliau miliki. Kemuliaan Imam Hasan Askari as bertepatan dengan namanya yang bermaksud baik dan elok. ayah beliau menamakan Hasan bertepatan dengan nama cucunda Rasulullah SAW. yaitu Saidina Hasan bin Saidina Ali k.wh., penghulu para pemuda syurga.
Imam Hasan Askari as mempunyai berbagai gelar.Antaranya:
Khalish, bermaksud orang yang sentiasa mengikhlaskan diri;
Hadi, bermaksud pemberi petunjuk ke jalan yang lurus;
Askari, karena ditempatkan di kem tentera;
Zaki, karena kepintaran dan kecerdikan yang dimiliki;
Siraj, karena bermaksud sinaran cahaya yang menerangi alam; dan
Taqi, bermaksud amat takwa kepada Allah SWT.
DERMAWAN
Salah satu sifat Imam Hasan Askari as yang diketahui ramai ialah beliau seorang yang sangat dermawan. Beliau sentiasa membantu fakir miskin dan membahagikan harta kepada mereka. Muhammad bin Ali bin Ibrahim bin Imam Musa Kazim bin Ja’far Shadiq meriwayatkan,
“Suatu ketika keluargaku kehabisan uang, manakala pekerjaan sangat sukar untuk diperolehi. Lalu ayahku berkata, “Apakata jika kita berjumpa orang yang bernama Imam Hasan Askari as dan kita meminta bantuan daripadanya.”
“Adakah anda mengenalinya?” Tanyaku. ayahku menjawab, “Tidak, aku belum mengenalinya dan belum pernah berjumpa dengannya.” Kemudian kami pun bersiap sedia untuk bertemu dengan Imam Hasan Askari as. Di pertengahan jalan bapaku berkata, “Alangkah baiknya jika beliau memberiku 500 Dirham. Yang mana 200 Dirham boleh digunakan untuk membeli pakaian dan 200 Dirham lagi boleh digunakan untuk membeli makanan. Selebihnya boleh digunakan untuk membeli keperluan harian.” Aku pula berkata, “Alangkah baiknya jika beliau memberiku 300 Dirham. Yang mana 100 Dirham boleh aku beli seekor keldai 100 Dirham lagi boleh aku gunakan untuk membeli keperluan seharian. 100 Dirham lagi boleh aku membeli pakaian untuk ke Baghdad.” Ketika kami sampai di rumah Imam Hasan Askari as, pembantu beliau menghampiri kami dan berkata, “Dipersilakan Ali bin Ibrahim serta anaknya Muhammad masuk ke dalam.”
.
Ketika kami berjumpa Imam Hasan Askari as dan setelah memberi salam beliau berkata kepada ayahku, “Wahai Ali, kenapa tidak dari dulu anda datang ke sini?” Ayahku menjawab, “Sebenarnya kami merasa malu untuk bertemu Tuan.”
Setelah menyatakan hasrat, kami pun meminta izin untuk pulang. Ketika itu pembantu beliau menghampiri kami dan berkata, “Ambillah uang ini sebanyak 500 Dirham. 200 Dirham untuk membeli pakaian. 200 Dirham untuk membeli makanan dan manakala 100 Dirham lagi untuk keperluan harian. Kemudian pembantu tersebut menghampiriku sambil berkata, “Ambillah uang sebanyak 300 Dirham ini. 100 Dirham untuk membeli seekor keldai. 100 Dirham untuk membeli pakaian manakala 100 Dirham lagi untuk keperluan harian. Kemudian setelah itu pergilah ke Baghdad.” Aku dan ayahku melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Imam Hasan Askari as dan tidak lama kemudian aku pun menuju ke Baghdad dan di sana aku telah mendapat pekerjaan yang baik.”
RAHSIA YANG SUNGGUH LUAR BIASA
Syeikh Thusi dengan sanad yang muktabar meriwayatkan daripada Basyir bin Sulaiman, seorang penjual hamba abdi yang berketurunan Abu Ayub Ansari dan seorang pengikut kepercayaan Imam Ali Hadi as serta Imam Hasan Askari as. Semasa Imam Hasan Askari tinggal di Samarra’ Basyir bin Sulaiman berkata,
“Suatu ketika pembantu Imam Hasan Askari as telah datang ke rumahku dan menyatakan Imam Hasan Askari as ingin menemuiku. Ketika aku sampai di rumah Imam Hasan Askari as, beliau berkata, “Wahai Basyir bin Sulaiman, anda adalah daripada keturunan Abu Ayub Ansari. Kecintaan keluargamu terhadap kami Ahlul Bait tidak pernah pudar semenjak zaman Rasulullah SAW, hingga hari ini. Pada hari ini saya memilih dirimu kerana kecintaanmu terhadapku. Saya akan membukakan satu rahasia yang sungguh luar biasa dan saya ingin menyuruhmu membeli seorang tebusan.” Imam Hasan Askari as mengambil sehelai kertas lalu ditulis dengan Bahasa Rom yang dicap dengan cincinnya dan sebuah pundi uang yang berisi 220 keping emas lalu diberikan kepadaku seraya berkata, “Ambillah kertas dan uang ini. Pergilah ke Sungai Baghdad. Di kala petang pergilah ke sebuah jembatan di Sungai Baghdad karena ketika itu ada sebuah kapal akan berlabuh di situ. Anda akan dapati banyak orang tawanan perang akan dijual. Beberapa pembesar dari kalangan Abbasiah dan beberapa pemuda Arab akan berkumpul di situ untuk membeli orang tawanan perang tersebut. Nama penjual orang tawanan tersebut ialah Amru bin Yazid. Di sana kelak anda akan lihat seorang wanita tawanan perang yang memakai pakaian sutera manakala mukanya sentiasa ditutup. Kemudian anda akan mendengar dia berbicara dalam Bahasa Rom. Suatu ketika seorang pembeli mencoba untuk membeli wanita tersebut dengan katanya, “Saya ingin membeli wanita ini dengan harga 300 keping emas.” Kemudian wanita tersebut berkata, “Jika kambing milik Nabi Sulaiman a.s. bin Nabi Daud a.s. dan kerajaan beliau anda bawa di depanku sekalipun aku tidak akan menyerahkan diriku untukmu. Janganlah anda membuang uang anda.” Kemudian penjual tawanan perang akan berkata, “Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan kepadamu. Setiap kali orang ingin membelimu, engkau menolak. Namun, jika tiada lagi tawanan perang, engkau terpaksa aku jual.” Wanita tersebut lantas menjawab, “janganlah tergesa-gesa untuk menjualku. Aku sedang menanti seseorang yang akan membeliku yang mana jiwaku serasi dengan pembeli tersebut."
“Wahai Basyir, ketika itu pergilah berjumpa penjual tawanan perang dan beritahu penjual tersebut dirimu membawa sepucuk surat dari seorang keturunan bangsawan yang di tulis dalam Bahasa Rom. lalu berikan surat ini kepada wanita tawanan perang tersebut. Jika wanita itu bersetuju, katakanlah dirimu adalah wakil dari Tuanmu yang bersedia untuk membeli tawanan wanita.” Tidak lama kemudian Basyir pun menurut perintah Imam Hasan Askari as dan setelah berjumpa tawanan wanita tersebut dia pun menyerahkan surat yang dibawanya. Setelah wanita tersebut membaca isi kandungan surat Imam Hasan Askari as, air matanya berkaca-kaca. Kemudian dia berkata kepada Amru bin Yazid, “Juallah aku kepada pembawa surat ini. Aku bersumpah jika anda tidak menjualku kepada pembawa surat ini.”
Akhirnya, Amru bin Yazid menjual wanita tahanan perang tersebut dengan harga yang telah ditetapkan. Setelah membayar uang sebanyak yang diberikan Imam Hasan Askari as, maka Basyir bin Sulaiman pun membawa wanita tersebut ke Baghdad dan tinggal sementara di sebuah bilik yang disewa. Sesampainya di bilik tersebut wanita tawanan perang tadi membuka surat Imam Hasan Askari as lalu dicium surat tersebut beberapa kali.”
Basyir bin Sulaiman melanjutkan,
“Ketika itu aku merasa heran lalu aku pun bertanya,
“Kenapa anda mencium surat yang anda masih belum mengenali orang yang menulis surat tersebut?” Wanita bekas tahanan berkata,
“Wahai pemuda yang masih belum mengetahui betapa dia adalah keturunan Rasulullah SAW. dan pemimpin dari keturunan Baginda. Ketahuilah olehmu diriku adalah putri Yasyuq, yaitu anak lelaki Raja Rom. Ibuku pula adalah putri kepada Syamun bin Hamun bin Shafa yaitu wakil dan orang kepercayaan selepas Nabi Isa as. Izinkan aku menceritakan kepadamu sesuatu peristiwa yang begitu luar biasa. Sesungguhnya datukku adalah Raja Rom yang berhajat untuk mengawinkan aku dengan anak saudaranya yang ketika itu aku baru berusia tiga belas tahun. Untuk merayakan majlis tersebut datukku telah memanggil para pendeta yang agung dan menjemput para ulama dari kaum Nasrani yang berjumlah 300 orang. Daripada kalangan para pembesar negara berjumlah 700 orang. Para pengawal tentera berjumlah 4,000 orang. Kemudian sebuah singgahsana telah didirikan yang dihiasi dengan permata yang mahal. Singgasana tersebut didirikan di atas 40 tiang yang kukuh. Segala berhala dan salib ditempatkan disudut yang tinggi manakala anak saudara datukku pun didudukkan di atas singgahsana yang telah dibangun. Setelah semua tersedia, beberapa Pendeta Kristian pun membaca beberapa perenggan kitab Injil. Tiba-tiba semua berhala dan salib yang dibina runtuh dan jatuh ke bumi. Singgasana yang begitu kukuh juga runtuh dan anak saudara datukku tersungkur ke bumi. Melihat kejadian tersebut para Pendeta Kristian merasa cemas lalu berkata kepada datukku, “Wahai Raja Rom, ketahuilah ini adalah petanda Agama Kristian yang kita anuti selama ini akan musnah.” Kemudian datukku menganggap ini adalah takdir yang tidak baik dan memerintah kepada para Pendeta dan para Ulama Nasrani supaya mendirikan singgahsana semula dan segala patung berhala serta salib ditempatkan ditempat asal. Kemudian datukku memerintah agar anak saudara lelakinya yang lain dikahwinkan denganku. Setelah semuanya selesai dan setelah anak saudara datukku duduk disinggahsana lalu upacara perkahwinan pun dijalankan. Ketika Pendeta Kristian mula membaca beberapa penggalan kitab Injil tiba-tiba istana datukku bergetar dan segala berhala serta salib jatuh ke bumi. Singgasana yang dibina kukuh juga turut runtuh bahkan kali ini lebih buruk dari sebelumnya. Datukku menjadi marah dan malu lalu majlis perkahwinanku pun ditunda. Sebelumnya aku telah bermimpi berjumpa dengan Nabi Isa as., Syamun bin Hamun yaitu ayah dari ibuku dan beberapa ‘Hawariyyun’ (wakil setelah Nabi Isa as) di istana datukku. Mimbar di istana datukku ketika itu dipenuhi dengan cahaya yang memancar sehingga menuju ke kaki langit. Kemudian datang pula Nabi Muhammad SAW bersama orang kepercayaannya yaitu Saidina Ali k.wh. bin Abi Thalib dan beberapa para Imam dari keturunan Saidina Ali k.wh. bin Abi Thalib yang menerangi istana dengan cahaya yang bergemerlapan. Kemudian Nabi Isa as pun menyambut kedatangan Nabi Akhir Zaman tersebut dengan penuh hormat. Nabi Muhammad SAW mengatakan kedatangannya adalah untuk menikahkan putri dari keturunan Syamun dengan putera dari keturunan Nabi Muhammad SAW. yaitu Imam Hasan Askari as. Kemudian Nabi Muhammad SAW mengatakan kepada Syamun, dunia akan menjadi mulia dengan terjalinnya dua keturunan yang agung bersatu. Kemudian Nabi Muhammad SAW menaiki singgasana istana membaca khutbah dan seterusnya menikahkan aku dengan Imam Hasan Askari as yang telah disaksikan para ‘Hawariyyun’ dan para Imam dari keturunan Rasulullah SAW.
Ketika terbangun dari tidur, aku menjadi amat terkejut dan aku tidak memberitahu kepada siapapun walau bapa dan datukku. Namun, kerinduanku terhadap Imam Hasan Askari as semakin hari semakin mendalam. Jiwaku meronta-ronta sehingga aku tidak mau makan dan minum. Dari hari ke hari badanku menjadi kurus dan akhirnya, aku jatuh sakit. Telah ramai para tabib datang untuk merawatku namun penyakitku tidak juga sembuh. Melihat keadaan tersebut, datukku menghampiriku dan bertanya, jika ada sebuah permintaan dariku, akan aku kabulkan sehingga penyakitmu hilang seperti sediakala. Aku mengatakan kepada datukku bahawa aku berharap agar dia dapat membebaskan semua tahanan orang Islam yang merengkuk bertahun-tahun dalam penjara di bawah kekuasaannya. Aku berharap semoga dengan perbuatan tersebut, Nabi Isa as dan ibunya Maryam dapat memberi syafaat untuk kesembuhan diriku. Setelah datukku melakukan apa yang aku suruh, akhirnya penyakitku berangsur-rangsur semakin pulih dan seleraku semakin bertambah.
Pada malam keempat belas aku telah bermimpi berjumpa dengan wanita yang paling mulia yaitu Fatimah az-Zahra binti Muhammad SAW dan Maryam binti Imran yang diiringi dengan seribu bidadari syurga. Kemudian Maryam binti Imran menghampiriku dan memperkenalkan Fatimah az-Zahra as kepadaku sehingga aku mengetahui beliau adalah semulia-mulia wanita dan daripadanya lahirlah Imam Hasan Askari as. Lalu aku pun memeluk beliau sambil menangis dan menyatakan tentang rinduku terhadap Imam Hasan Askari as. Kemudian Fatimah az-Zahra as mengatakan kepadaku bahawa bagaimana mungkin aku bisa bertemu dengan Imam Hasan Askari as, sedangkan diriku masih syirik kepada Allah SWT. Maryam binti Imran juga merasa jijik dengan agama yang aku anuti. Akhirnya, beliau mengajak aku beriman kepada Allah SWT. Fatimah az-Zahra’ menyatakan, jika aku beriman, Maryam binti Imran pasti gembira dan Imam Hasan Askari as pasti akan datang menemuiku. Oleh itu beliau menyuruhku mengucapkan, ‘Asyhadu Allailaha Illallah Wa Asyhaduanna Muhammada Rasulullah.’ Lalu aku pun mengucapkan dua kalimah Syahadah sebagaimana yang dikehendaki dan selepas itu Fatimah az-Zahra as mendakapku dan berkata, mulai saat ini siaplah untuk bertemu dengan keturunanku, Imam Hasan Askari as.
Pada malam berikutnya aku bermimpi bertemu dengan Imam Hasan Askari as yang wajahnya penuh dengan cahaya kemuliaan. Dalam mimpi tersebut aku menyatakan kerinduanku terhadapnya. Imam Hasan Askari as mengatakan kelewatan kehadirannya kerana disebabkan sebelum ini diriku masih syirik kepada Allah SWT. Oleh karena kini aku sudah menjadi seorang Islam, mulai saat ini dia akan menemuiku setiap malam sehinggalah Allah SWT akan menemukan kami di alam nyata. Semenjak dari itu, pada setiap malam pasti aku bermimpi bertemu dengan Imam Hasan Askari as.”
Sampai di situ Basyir bin Sulaiman bertanya,
“Bagaimana pula anda boleh menjadi tawanan perang?” Puteri Raja menjawab,
“Aku telah bermimpi berjumpa Imam Hasan Askari as dan beliau memberitahu, suatu hari kelak datukku akan menghantar laskarnya untuk berperang dengan kaum muslimin. Ketika itu aku akan ikut serta dalam peperangan tersebut. Tentera datukku akan mengalami kekalahan sehingga aku ditawan. Namun, mereka tidak mengetahui aku adalah cucunda Raja Rom. Ketika seorang tua yang mencoba membeliku sebelumnya, telah menanyakan namaku. Aku menjawab, “Namaku Narjis.” Orang tua tersebut bertanya lagi, “Anda itu orang Rom, tetapi anda bisa berbahasa Arab?”.
Aku menjelaskan pada Basyir bin Sulaiman,
“Datukku menyuruhku mempelajari berbagai bahasa dan kebudayaan asing. Seorang wanita Rom yang pandai berbahasa Arab telah datang ke istana setiap pagi dan malam untuk mengajarku Bahasa Arab sehingga aku bisa berbicara Bahasa Arab dengan baik.”
Sampai di situ Basyir bin Sulaiman menceritakan,
“Lalu aku membawa Narjis ke Kota Samarra’ untuk menemui Imam Hasan Askari as. Ketika Narjis sampai di Samarra’, Imam Hasan Askari as menyambutnya dan bertanya kepada Narjis, bagaimana perasaannya setelah memeluk Agama Islam dan meninggalkan ajaran Kristian. Narjis mengatakan aku terlalu gembira dan tidak dapat ku ungkapkan dengan kata-kata.
Imam Hasan Askari as meramaikan kehadiran Narjis dengan menyuruhnya memilih antara dua, pertama menerima 10,000 keping emas. kedua Imam Hasan Askari as akan menyampaikan khabar gembira untuknya. Narjis memilih harta karena dia tidak memerlukannya. Dia hanya ingin mengetahui khabar gembira yang akan disampaikan oleh Imam Hasan Askari as.
Imam Hasan Askari memberi khabar gembira dengan berkata, Narjis akan melahirkan seorang bayi lelaki yang akan menjadi pemimpin dunia. Yang dimaksud adalah Imam Muhammad Mahdi aj yang akan memerintah dunia dengan penuh keadilan. Narjis bertanya, siapakah yang memberitahu Imam Hasan Askari as tentang anaknya itu. Imam Hasan Askari menjawab, Rasulullah SAW yang memberitahu tentang keistimewaan anak Narjis ketika Baginda menikahkannya.
Setelah itu Imam Hasan Askari as bertanya kepada Narjis, karena apakah Nabi Isa as dan orang kepercayaannya, Syamun menikahkanmu. Dalam jawabannya, Narjis mengatakan karena untuk mendapat zuriat daripada Imam Hasan Askari as. Kemudian Imam Hasan Askari memanggil pembantunya yang bernama Kafur dan memintanya memanggil adiknya yang bernama Hakimah. Setelah dipanggil, Imam Hasan Askari as memperkenalkan Narjis kepada adik perempuannya. Kemudian Hakimah mendakap Narjis dengan rasa gembira dan riang.
Imam Hasan Askari as berpaling kepada Hakimah dan menyuruhnya membawa Narjis ke rumahnya. Beliau juga meminta adiknya supaya mengajar Narjis tentang kewajiban seorang Muslimah sejati.”
DIRACUN
Pada tahun 260 Hijrah, Khalifah al-Mu’tamid telah mengarahkan supaya Imam Hasan Askari as diracun agar pemerintahannya kekal dan tidak diganggu gugat Imam Hasan Askari as. Menjelang kesyahidan Imam Hasan Askari as, Abu al-Adyan telah dipanggil untuk menghantar beberapa surat ke beberapa daerah. Ketika itu Imam Hasan Askari as sedang sakit parah akibat diracun Khalifah al-Mu’tamid. Imam Hasan Askari as berkata,
“Setelah 15 hari segeralah pulang, kerana ketika itu Kota Samarra’ akan diselubungi kesedihan. Ketika itu bersedialah untuk menguruskan jenazahku.” Abu al-Adyan berkata,
“Wahai Tuan, setelah ketiadaanmu, siapakah yang akan memimpin dan menggantikan tempat tuan?” Imam Hasan Askari as menjawab,
“Seseorang yang meminta jawaban daripada suratku itu maka dialah Imam sesudahku.”
“Apakah ada tanda lain?” Tanya Abu al-Adyan lagi.
“Seseorang yang mengimamkan sembahyang jenazahku, dialah yang bakal menjadi penggantiku.”
“Adakah tanda lain?” Tanya Abu al-Adyan lagi.
“Seseorang yang memberitahu jumlah uang yang ada dalam pundi uang milik seseorang, dialah Imam selepasku.” Lalu Abu al-Adyan pun menuju ke Madinah untuk menyampaikan surat yang dibawa dan meminta jawaban daripada surat tersebut. Seterusnya pada hari ke15 yaitu pada 3 Rejab tahun 260 Hijrah, Abu al-Adyan pun kembali ke Samarra’. Ketika sampai di rumah Imam Hasan Askari as, terlihat banyak orang dalam keadaan kesedihan. Mereka mengatakan bahawa Imam Hasan Askari as telah meninggal dunia. Abu al-Adyan melihat adik Imam Hasan Askari as yang bernama Ja’far bin Imam Ali Hadi as duduk di sebelah jenazahnya. Ja’far bin Imam Ali Hadi as yang tidak digemari banyak orang kerana sifatnya yang sering berfoya-foya dan berakhlak buruk juga kelihatan dalam keadaan sedih. Abu al-Adyan berkata dalam hati,
“Jika dia yang dimaksudkan sebagai pengganti Imam, sudah pasti Agama Islam akan menjadi bentuk lain, karena setahuku dia adalah seorang yang pemabuk dan suka hiburan.” Lalu Abu al-Adyan pun mengucapkan takziah kepadanya namun, dia tidak meminta sesuatu pun. Kemudian pembantu Imam Hasan Askari as datang dan berkata kepada Ja’far,
“Abangmu sudah dikafankan. Mari kita sembahyangkan jenazahnya.” Kemudian Ja’far pun berdiri dan orang ramai ikut berdiri dibelakangnya. Kini jenazah Imam Hasan Askari as diletakkan di tengah kawasan lapang dan Ja’far pun bersiap sedia untuk mengimamkan sembahyang jenazah. Ketika Ja’far akan mengangkat tangan untuk takbiratul-ihram, tiba-tiba seorang anak lelaki berusia lima tahun yang bercahaya mukanya serta putih giginya laksana untaian mutiara menarik jubah Ja’far dan menegur,
“Wahai saudara ayahku, nanti dulu. Sayalah yang layak mengimamkan jenazah ayahku.” Ja’far berubah wajah dan terpaksa memberi tempat dan anak Imam Hasan Askari as lalu mengimamkan jenazah ayahnya. Setelah selesai, anak Imam Hasan Askari as berpaling kepada Abu al-Adyan dan berkata,
“Berikanlah kepadaku surat jawaban yang ada padamu.” Maka Abu al-Adyan pun memberi surat tersebut. Dua petunjuk dari anak Imam Hasan Askari as sudah diketahui Abu al-Adyan. Dia masih menanti satu lagi tanda sebagaimana yang diberitahu Imam Hasan Askari as menjelang kesyahidannya.
Orang banyak menjadi bingung dengan kejadian yang baru disaksikan. Mereka bertanya kepada Ja’far,
“Siapakah anak tersebut?” Ja’far menjawab,
“Demi Allah, aku tidak mengenalinya dan aku belum pernah melihatnya.” Tidak lama kemudian beberapa jamaah dari kota Qom telah datang dan bertanya tentang Imam Hasan Askari as. Setelah mereka mengetahui beliau telah meninggal dunia lalu mereka bertanya,
“Siapakah Imam selepas beliau?” Maka orang ramai menunjukkan kepada Ja’far. Jamaah dari Qom menghampiri Ja’far dan mengucapkan takziah sambil berkata,
“Di sini kami ada beberapa pucuk surat dan pundi yang berisi uang. Silahkan beritahu kami dari manakah surat tersebut dan berapakah jumlah uang didalam pundi ini. Kemudian barulah kami mengaku anda adalah imam selepas Imam Hasan Askari as.”
Ja’far berkata,
“Mereka bertanya kepadaku tentang ilmu ghaib.” Tiba-tiba pembantu anak Imam Hasan Askari as muncul dan berkata,
“Kamu semua membawa surat dari Fulan bin Fulan dan pundi uang yang dalamnya berjumlah 1,000 keping wang emas.” Jemaah dari Qom merasa gembira lalu menyerahkan surat dan uang tersebut dan berkata,
“Orang yang menyuruh anda mengambil surat dan pundi uang ini, maka beliau adalah Imam di zaman ini.” Maka pembantu tadi memperkenalkan Tuannya yang bernama Imam Muhammad Mahdi bin Imam Hasan Askari yang akan mewarisi kepimpinan ayahnya.
Akhirnya, pada 8 Rabiul Awal tahun 260 Imam Hasan Askari as wafat dan jenazah beliau disemayamkan bersebelahan makam ayahnya di Samarra’. Bnyak orang mengiringi jenazah beliau. Pasar menjadi sepi pada hari itu. Keluarga Bani Hasyim, para panglima perang, para pembesar dan para ulama berbaris menjadi lautan manusia mengiringi jenazah Imam Hasan Askari as untuk disemayamkan.
Catatan :
[1] Surah al-Mukminun ayat: 115
SYAHADAH IMAM HASAN ASKARI (AS). (AYAHANDA IMAM MAHDI)
Imam Hasan Askari Alaihissalam merupakan Imam kesebelas keturunan Ahlul Bait Rasulullah (saw). seorang Imam yang hanya memiliki umur yang singkat, Beliau as. beberapa ketika waktu dan zaman, bersama Ayahnya tercinta, Imam Hadi Alaihissalam telah diletakkan dibawah pemerhatian kerajaan Bani Abbasiah dan berterusan sehingga kesyahidan Ayahandanya tercinta. Akhirnya, Beliau as. juga telah syahid pada penghujung kezaliman.
Terbit Bintang
Hari Jumaat, 8 Rabius Thani tahun 232 Qamariah, hari kelahiran putera suci, Imam Hasan Bin Ali Al-Askari as. dalam sejarah kebanggaan Ummat Islam, hari yang tinggal didalam ingatan.Hari dimana rumah Imam Hadi as. terang dengan cahaya suci yang dibawa puteranya, Hasan Askari as..
Dengan kelahiran Imam Hasan Askari as. pada tahun 232 Qamariah, telah mendatangkan kegembiraan dan kebahagiaan kepada penduduk Madinah dan ahli rumahnya Imam Hadi as. Bani Hasyim telah bergembira dan bersujud syukur dengan kelahiran suci ini. Namun malangnya, kegembiraan dan kebahagiaan ini tidak kekal lama, selepas beberapa ketika telah bertukar kepada kedukaan dan kesedihan keluarga Alawi. Khalifah Abbasi dan pengikut-pengikutnya yang fasiq telah tergugat dan bimbang apabila menyaksikan ketinggian ilmu dan maknawi Imam Hadi as. di kota Madinah dan demi menjaga kekuatan mereka sendiri, maka mereka telah mengarahkan Imam Hadi as. untuk berpindah ke negara terasing Iraq. Imam Hadi as. dengan diiringi Putera kesayangannya, Imam Askari as. pada tahun 233 Qamariah telah berpindah dari kota Madinah ke Negeri Samarra yang merupakan pusat pemerintahan khalifah Abbasi. Imam Hasan Askari bersama Ayahnya menetap di Samarra sehingga ke penghujung hidupnya.
Penjara Tanpa Dinding
Sepanjang tahun ketika Imam Hasan Askari as. berada di Samarra,(selain daripada masa Imam as. didalam penjara Bani Abbas) pada zahirnya, Imam as. hidup seperti manusia biasa yang lain, tetapi hakikatnya seluruh pergerakan dan perlakuan Imam as. adalah dibawah pemerhatian dan pengawalan kerajaan ketika itu.Seluruh pergerakan Imam as. dan pengikutnya dibawah kawalan mereka. Diriwayatkan daripada salah seorang pengikut Imam as. bahawa Imam as. setiap hari Isnin dan Khamis terpaksa hadir ke rumah Khalifah dan terpaksa menerangkan dan menakrifkan tentang diri Beliau as. kepada mereka. Hakikatnya, Samarra adalah penjara tanpa dinding buat Imam as. yang telah merampas seluruh ketenangan dan kesenangan Imam as..
Saudara Lelaki Imam as.
Imam Hasan Askari as. mempunyai tiga orang saudara lelaki yang terdiri daripada Husain, Jaafar dan Muhammad. Husain merupakan seorang Abid dan zahid pada zamannya dan beriman kepada Imamahnya Imam Hasan Askari as. Jaafar, saudara tidak soleh Imam as. yang terkenal dengan jaafar Kazzab. Muhammad pula merupakan putera pertama Imam Hadi as. Beliau meninggal dunia pada tahun 252 Qamariah (dua tahun sebelum kesyahidan Imam Hadi as.). Imam Askari as. sangat berduka cita dengan kewafatan abangnya dan kubur suci beliau berdekatan dengan Samarra dan dinamakan dengan Makam Imam Zadeh Sayyid Muhammad.
Imam Hasan Askari as. membesar disisi Ayahandanya tercinta dan mendapat faedah dari lautan ilmu dan kelebihan-kelebihan Ayahandanya. Imam Askari as., beberapa waktu sebelum kesyahidan Imam Hadi as., telah berkahwin dengan seorang wanita Rum yang berwibawa yang bernama Narjis, yang berketurunan daripada Hadrat Syam‘un as., wasi Hadrat Isa as. Narjis,telah ditawan di dalam salah satu peperangan antara Umat Islam dan tentera Rum, dan Beliau telah dibeli oleh Imam Hadi as. dan dikahwinkan dengan Imam Hasan Askari as. Beliau merupakan seorang wanita suci dan mulia yang menemui kebanggaan dengan keislamannya serta merupakan isteri kepada seorang Imam. Dengan perkahwinan Imam Askari as. dan Narjis Khotun, telah menerangi sinar harapan didalam hati-hati mukmin dan para penunggu Imam Zaman ajf. Walaupun tarikh tepat perkahwinan Imam Askari as. tidak diketahui, tetapi adalah pasti bahawa perkahwinan Beliau as. adalah pada zaman hidupnya Imam Hadi as..
Syahid Ayahanda as.
Walaupun Imam Askari as. menjalani hari-hari yang perit di Samarra, namun kewujudan Ayahanda maksum dan penyayang, menghadirkan ketenangan. Pada awal bulan Rejab tahun 254 Qamariah, zaman gembira dan ketenangan Imam as. telah sampai penghujungnya dan Imam as. diselubungi duka atas pemergian Ayahanda tercinta as., Khalifah Abbasi, ketika melihat kerajaannya berada dalam keadaan bahaya, telah mengarahkan untuk meracuni Imam Hadi as..Keterasingan dan kesendirian Imam Askari as. telah bertambah dengan kesyahidan ini. Zaman ini, adalah yang paling susah dan mencabar didalam hidup singkatnya Imam Askari as.. Selepas kesyahidan Imam Hadi as., zaman wilayat dan imamah 6 tahun Imam Askari as. pun bermula. Imam Hasan Askari as., pada malam kesyahidannya, telah menulis banyak surat, dan surat-surat tersebut diserahkan kepada penghantar suratnya supaya dihantar ke Madinah. Imam as. pada saat-saat terakhir hidupnya, telah memohon air dan berkata : “Aku mahu menunaikan solat”. Pembantunya menyediakan sejadah buat Beliau as.. Imam as. mengambil wuduk dan menunaikan solat subuh di tempat pembaringannya. Kemudian Beliau as. mengambil bekas air tersebut daripada pembantunya untuk meminum sedikit air darinya dimana ketika itu tangan Imam as. bergetar dan bekas air pun terhentak pada gigi-gigi Beliau as..Imam as. meminta pembantunya supaya memanggil puteranya Imam Zaman ajf. untuk hadir kesisinya. Ketika itu, Narjis Khotun, Bonda Imam Zaman as. diiringi Imam ajf. masuk ke dalam bilik, ketika mana Imam Askari as. melihat Imam Zaman as.,Beliau as. pun menangis dan bersabda : “Wahai Sayyid Ahlul Bait, berikan aku sedikit air dimana aku akan pergi menemui Tuhanku”. Imam Zaman as. pun memberi minum Ayahanda as. dan Beliau as. pun meninggal dunia. Imam Askari as. syahid pada Hari Jumaat, 8 Rabiul Awal tahun 260 Qamariah, selepas solat subuh pada umur 28 tahun.
Abu Hashim Ja’fari, meriwayatkan dari Imam Hasan Askari as. dimana Imam as. bersabda : “Kuburku di Samarra, bagi ahli kedua-dua golongan, adalah sumber keamanan dan kesenangan daripada bala dan azab Ilahi”. Alamah Majlisi telah memberi makna ahli dua golongan adalah syiah dan sunni dan berkata bahawa berkat wujudnya Imam as. adalah buat semua. Sebahagian daripada doa ziyarah Imam Askari as. yang kita baca : “ Salam atasmu maulaku, wahai Aba Muhammad Hasan Bin Ali, orang yang menghidayah manusia dan hidayah kepada yang hak. Salam atasmu wahai Putera Amirul Mukminin dan wahai Putera Zahra. Salam atasmu wahai yang menenangkan hati yang berduka. Salam atasmu wahai pemilik ilmu Wasi Rasulullah. Salam atasmu wahai kapal penyelamat dan salam atasmu wahai Ayahanda Imam Muntadzar ajf (Imam Mahdi).. Aku bersaksi bahawa Engkau menunaikan solat dan rukun-rukun yang lain di dalam agama, membayar zakat, menyuruh kepada yang makruf serta melarang yang mungkar. Aku memohon kepada Tuhan dimana dengan perantaraanmu, Dia menerima doaku dan menjadikan aku daripada pembantu-pembantu dan pengikut-pengikut sebenar serta merupakan pencinta-pencintamu.”
Laknat Allah ke atas pembunuhmu dan pembunuh para Ahlul Bait as. yang lain dan semoga kami adalah orang yang diterima sebagai pencinta-pencinta dan pengikut sebenarmu.Jadikan kami antara pencinta dan tentera Puteramu, Al-Imam Muhammad al-Mahdi ajf.Allhumma ‘Ajjil Liwaliyakal Faraj.
Imam Hassan Askari (as) berkata: “siapa yang tidak takut untuk berbuat buruk di hadapan manusia maka dia tidak akan takut kepada ALLAH”
“Orang mulia yang meninggalkan kebenaran akan menjadi hina dan orang yang hina yang mempercayai kebenaran akan menjadi mulia”
“takutlah anda kepada ALLAH, jadilah penghias dan jangan jadi perosak”
IMAM ASKARI, PELITA PENERANG UMAT
Sumber : parstoday.com
Tanggal 8 Rabiul Awal tahun 260 Hijriyah adalah hari kesedihan dan duka bagi kota Samarra, karena berita kesyahidan Imam Hasan al-Askari as di usia muda telah menyelimuti setiap sudut kota. Pasar-pasar diliburkan dan hari ini masyarakat – yang selama ini menyembunyikan kecintaan mereka kepada Imam, karena penindasan penguasa – meluapkan perasaan mereka dan bergegas menuju ke rumah duka.
Imam Askari adalah imam kesebelas bagi para pengikut Syiah dan ia dilahirkan di kota Madinah pada tahun 232 H. Ayahnya adalah imam ke-10, Imam Ali al-Hadi as dan ibunya bernama Haditsah. Sejak Imam Askari dipaksa oleh Khalifah Abbasiyah untuk tinggal di distrik militer di Samarra, sejak itu ia dikenal dengan julukan "Askari." Di antara gelar-gelarnya yang paling terkenal adalah Naqi dan Zaki dan ia dijuluki dengan Abu Muhammad. Ia berusia 22 tahun ketika ayahnya gugur syahid.
Masa kepemimpinan Imam Askari hanya berlangsung enam tahun dan ia hidup selama 28 tahun. Ia dimakamkan di rumahnya sendiri di kota Samarra, di samping makam ayahnya. Priode Imamah dan kepemimpinan Imam Hasan al-Askari bertepatan dan bersamaan dengan tiga Khalifah Abbasiyah; Mu’taz Abbasi, Muhtadi, dan Mu’tamid.
*******
Kehidupan orang-orang besar sarat dengan pelajaran berharga dan petuah luhur. Manusia yang sedang mencari hidayah dan kebahagiaan harus mengikuti jalan mereka, yang alim dan bertakwa. Imam Askari adalah salah satu bintang penunjuk jalan, di mana sifat dan perilakunya mencerminkan ketinggian ilmu dan makrifatnya.
Imam Askari as adalah pribadi yang selalu larut dalam ibadah kepada Allah Swt, hari-harinya dihabiskan dengan berpuasa dan malam-malamnya dengan bermunajat. Ia adalah orang yang paling saleh di masanya. Muhammad Syakiri, salah seorang sahabat imam berkata, "Imam Askari as berkhalwat di mihrab untuk beribadah dan bersujud. Aku tidur dan terbangun, dan menyaksikan dia masih larut dalam ibadahnya."
Setelah kesyahidan Imam Hadi as, Imam Hasan al-Askari bertanggung jawab atas kepemimpinan kaum Muslim ketika ia berusia 22 tahun. Selama enam tahun periode Imamah, ia selalu berada di bawah pengawasan mata-mata dan intelijen penguasa Abbasiyah. Ketika kebodohan dan bid'ah menguasai atmosfer kehidupan pada masa itu, Imam Askari bangkit untuk menjelaskan hakikat agama kepada para pencari kebenaran. Imam berusaha keras untuk mempertahankan ajaran Islam murni.
Imam Askari as memberi pencerahan kepada masyarakat tentang penyimpangan berbagai mazhab dalam Islam dan menunjukkan jalan kepada umat untuk meraih keselamatan. Para musuh bahkan mengakui keutamaan, keberanian, dan perjuangan Imam Askari.
Bahkan salah satu menteri Dinasti Abbasiyah, Ahmad bin Khaqan, mengakui keutamaan akhlak dan keluhuran ilmu Imam Askari. Dia berkata, "Di Samarra, aku tidak melihat sosok seperti Hasan bin Ali. Dalam hal martabat, kesucian, dan kebesaran jiwa, aku tidak menemukan tandingannya. Meski ia seorang pemuda, Bani Hasyim lebih mengutamakannya dari kelompok tua di tengah mereka. Ia memiliki kedudukan yang sangat tinggi, yang dipuji oleh sahabat dan disegani musuhnya."
Mengenai keutamaan Imam Askari as, Ayatullah Sayid Ali Khamenei mengatakan, "Para pengikutnya, masyarakat Syiah, pihak lawan, dan orang-orang yang tidak beriman, semua mengakui tentang keutamaan Imam Askari, derajat ilmunya, ketakwaannya, kesuciannya, dan keberaniaanya di hadapan musuh. Mereka juga mengakui kesabaran dan ketahanan dia dalam menghadapi kesulitan. Manusia hebat ini dan sosok yang luar biasa ini, baru berusia 28 tahun ketika syahadah menjemputnya."
"Dalam sejarah Syiah, kita punya banyak contoh-contoh ini. Ayah dari Imam zaman kita, dengan semua kebajikannya, dengan semua kedudukannya, dengan semua kemuliannya, ketika meninggal dengan racun dan kejahatan musuh, ia baru berusia 28 tahun; ini menjadi sebuah teladan, para pemuda merasa memiliki seorang teladan yang hebat," jelas Ayatullah Khamenei.
Rahbar menerangkan bahwa ini adalah Imam Askari as, yang gugur syahid pada usia 28 tahun. Semua keutamaan ini, semua kemuliaan ini, dan semua keagungan ini, tidak hanya sebatas pengakuan kita, tetapi juga diakui oleh musuh-musuhnya, lawan-lawannya, dan orang-orang yang tidak meyakini Imamah, semua orang mengakui ini.
Gerak-gerik Imam Askari benar-benar diawasi dan dibatasi oleh penguasa Abbasiyah dan rezim menerapkan kebijakan represif terhadapnya. Imam hidup selama 28 tahun, tapi dalam waktu singkat itu, ia memiliki pengaruh yang sangat efektif di tengah masyarakat pada masa itu. Kesyahidan Imam di usia muda, menunjukkan bahwa khalifah tiran Abbasiyah sangat khawatir dengan keberadaan sosok yang berpengaruh di tengah masyarakat. Imam Askari selalu mengajak masyarakat untuk waspada dan mengkritik kebijakan para penguasa tiran.
Bagaimana mungkin seseorang seperti Imam Hasan al-Askari memilih diam ketika masyarakat menderita kemiskinan, ketidakadilan, dan diskriminasi. Dengan rasa tanggung jawab sosial yang tinggi, Imam berjuang untuk memberikan wawasan politik dan kebangkitan pemikiran di tengah para pengikutnya.
Para penguasa Abbasiyah menghidupkan permusuhan lama mereka terhadap Ahlul Bait as dengan mengurung Imam Askari dan menciptakan hambatan bagi kontak langsung masyarakat dengan beliau. Imam Askari berhasil menyebarkan ilmunya di masyarakat, di tengah kondisi tidak kondusif dan pembatasan ekstrim yang dipaksakan oleh Dinasti Abbasiyah.
Di tengah tekanan dan kondisi mencekam, Imam Askari berhasil mendidik murid-muridnya, yang kemudian memainkan peran penting dalam menyebarkan ajaran Islam dan memberantas syubhat. Syeikh Thusi mencatat bahwa murid-murid Imam Askari melebihi dari 100 orang, dimana antaranya adalah tokoh-tokoh besar seperti, Ahmad Asy'ari Qummi, Usman ibn Sa'id Amri, Ali ibn Ja'far, dan Muhammad ibn Hasan Saffar.
Imam Hasan al-Askari memiliki tempat khusus di kalangan para imam maksum, karena beliau harus mempersiapkan pengikut Ahlul Bait as untuk memasuki periode keghaiban Imam Mahdi as. Kegiatan politik paling menarik dari Imam Askari adalah penguatan basis politik para tokoh Syiah untuk menghadapi sulitnya perjuangan dalam membela cita-cita agama.
******
Karena para tokoh Syiah berada di bawah tekanan hebat, Imam Askari berusaha untuk meningkatkan kesabaran dan kesadaran mereka akan tekanan dan pembatasan, sehingga mereka mampu memikul tanggung jawab sosial, politik dan, agamanya dengan baik.
Imam Askari bahkan menulis surat kepada Ali ibn Husein ibn Babuyeh Qummi, salah seorang fuqaha besar Syiah, untuk memberikan petunjuk dan arahan yang diperlukan. Imam menulis, "Bersabarlah dan tunggulah kemunculan Imam Mahdi, karena Rasulullah Saw bersabda, 'Perbuatan terbaik umatku adalah menanti datangnya Imam Mahdi.' Pengikut Syiah kita akan terus-menerus dalam kesedihan sampai putraku, Imam Keduabelas, muncul; sosok yang dikabarkan oleh Rasul akan memenuhi bumi dengan keadilan dan kebajikan, setelah ia dipenuhi oleh kezaliman dan kerusakan."
Pada kesempatan ini, kami telah memilih sebuah kata mutiara dari kata-kata hikmah Imam Hasan al-Askari. Ia berkata, "Aku mewasiatkan kalian dengan takwa kepada Allah Swt, taat dalam agama, berjuang di jalan Allah, bersikap jujur, menunaikan amanah atas apa yang dititipkan kepada kalian – apakah itu baik atau buruk – memperpanjang sujud, dan bersikap baik dengan tetangga, di mana Rasulullah diutus untuk itu."
"Saat seseorang menyaksikan kalian taat dalam beragama, jujur dalam bertutur kata, amanah, dan berakhlak mulia dengan masyarakat, dia akan berkata bahwa engkau adalah orang Syiah, dan ini akan menyenangkan hati saya. Takutlah kepada Allah, jadilah hiasan kami, bukan mempermalukan kami. Bawalah kebaikan ke sisi kami dan jauhkan keburukan dari hadapan kami. Setiap hal baik yang dikatakan, ada dalam diri kita, dan setiap kejahatan yang dikaitkan dengan kami, kita jauh dari itu."
"Ingatlah selalu nama Allah dan jangan lupakan kematian. Teruslah membaca al-Quran dan kirimkanlah shalawat kepada Nabi Muhammad Saw, karena ada 10 kebaikan dalam shalawat kepada nabi. Jagalah wasiatku, aku menitipkan kalian kepada Allah Swt dan aku menyampaikan salam kepada semua."
IMAM HASAN ASKARI A.S. DAN SEORANG PENDETA
pengarang : Sayid Mahdi Ayatullahi
Suatu masa, kota Samarra pernah dilanda kekeringan. Maka khalifah memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan shalat Istisqa'. masyarakat menyambutnya dan keluar berbondong-bondong untuk melakukan shalat sampai tiga hari. Akan tetapi, tidak ada perubahan keadaan kota.
Pada hari keempat, Jastliq pergi bersama para pengikutnya, para pendeta, dan orang-orang Nasrani (Kristen) ke tengah padang sahara. Salah satu pendeta mengangkat tangannya sambil berdoa. Tak lama kemudian, hujan pun turun dengan sangat lebat.
Melihat kejadian ini, orang-orang menjadi ragu atas kebenaran Islam, padahal ia adalah agama yang paling utama. Sebagian dari mereka berkata, "Sekiranya orang-orang Nasrani itu berada dalam kebatilan, niscaya Allah swt. tidak akan mengabulkan doa mereka". Lantas sebagian muslimin berfikir untuk memeluk agama Nasrani.
Pada saat itu, Imam Hasan Al-Askari as. ada dalam penjara. Pengawal khalifah mendatanginya dan berkata, "Temuilah umat kakekmu Muhammad saw., karena mereka telah meragukan agama Allah swt.".
Maka pada kesempatan lain, Jastliq beserta para pendeta dan Imam Hasan as. pergi ke tengah padang pasir. Imam as. senantiasa mengawasi keadaan mereka dengan baik. Kemudian beliau melihat salah satu dari pendeta tersebut mengangkat tangannya yang kanan. Segera beliau memerintahkan sebagian budaknya untuk memegang tangan pendeta tadi dan melihat apa yang ada di telapaknya.
mereka pun lekas memegang tangan pendeta dan mereka melihat tulang hitam di antara jari-jarinya. Kemudian Imam as. mengambilnya lantas berkata pada pendeta tersebut, "Sekarang berdoalah untuk meminta hujan!".
Pendeta itu kembali mengangkat tangannya dan berdoa. Saat itu langit sudah mulai mendung. Ttiba-tiba mendung menghilang dan berubah menjadi awan dan matahari yang mulai memancarkan sinarnya.
Khalifah bertanya pada Imam Hasan Al-Askari as. tentang rahasia tulang tadi. Beliau menjawab, "Pendeta ini pernah melewati salah satu kuburan nabi-nabi terdahulu, kemudian ia dapati tulang ini, dan hujan lebat akan turun dari langit seketika tulang itu disingkapkannya".
SEPERCIK CAHAYA HIDAYAH IMAM HASAN ASKARI
Sumber : IRIB Indonesia
Para Imam maksum dan Ahlul Bait Nabi adalah manifestasi sempurna nilai-nilai tinggi kemanusiaan.
Sirah mereka yang penuh dengan ibadah terindah dan ideologi paling kuat serta pengambilan keputusan paling bijaksana di bidang politik dan sosial, merupakan gambaran sempurna dari sosok Ilahi.
Manusia sempurna ini di bidang ibadah, jihad dan ketika menerima tanggung jawab sosial dan politik tak pernah goyah dan memilih menempuh jalan kebenaran.
Kesemuanya ini hanya dengan niat mendekatkan diri kepada Tuhan dan berlepas tangan dari musuh-musuh-Nya.
Imam Hasan Askari adalah bintang terang dari tata cahaya. Imam Hasan Askari menghabiskan usianya yang pendek bersama ayahnya, Imam Hadi as di kamp militer Askar, di kota Samarra. Setelah Imam Hadi as gugur, Imam Hasan mengambil tampuk imamah dan selama enam tahun beliau aktif menyebarkan ajaran Islam dan memerangi ideologi sesat. Perjuangan ini beliau lakukan di tengah-tengah pembatasan super ketat yang diberlakukan pemerintah zalim saat itu kepadanya.
Imam Hasan Askari mulai menata ulang pemahaman umat Muslim saat itu untuk mengarahkan mereka kepada ajaran luhur Islam dan kebaikan. Di antaranya adalah ucapan beliau mengenai nilai akal dan nasehat.
Beliau bersabda,
“ Hati adalah memori dari hawa nafsu, namun akal adalah pengendali dan melalui beragam pengalaman manusia mampu meraih pelajaran baru. Nasehat dan mengambil pelajaran adalah sumber hidayah.”
Terkait takut dan optimisme sebagai sarana untuk mencegah seseorang berbuat dosa, Imam Hasan mengatakan, “Apa untungnya rasa takut dan harapan yang dimiliki seseorang jika keduanya tidak mampu mencegah tuannya menghindari perbuatan buruk dan bersabar ketika tertimpa musibah.” Mengenai perilaku meremehkan dosa, Imam Hasan bersabda, “Di antara dosa yang tidak terampuni adalah ketika pendosa berkata, aku tidak akan diazab hanya karena dosa ini?”
Di samping hal ini, pada dasarnya Imam Hasan Askari menilai seluruh lapisan masyarakat sebagai pengikutnya dan menjelaskan bahwa bagaimana ia meluangkan waktu untuk memberi petunjuk bagi kelompok tertentu.
Sejatinya Imam Hasan Askari telah mengingatkan pengikutnya soal pengenalan terhadap audiens dalam proses pemberian petunjuk dan hidayah.
Salah satu pengikut Imam Hasan bernama Qasim Harawi mengatakan, “Sebuah surat Imam sampai kepada salah satu sahabat beliau. Sejumlah sahabat beliau terlibat perdebatan mengenai surat tersebut. Kemudian Aku menulis surat kepada Imam dan menjelaskan pertengkaran sahabat beliau. Dan Aku mengharap petunjuk beliau untuk menyelesaikan masalah ini. Imam menjawab, “Seperti Allah Swt berfirman kepada mereka yang berakal dan tidak ada yang mengungguli Nabi Muhammad dalam mengungkapkan argumentasinya atas kebenaran kenabiannya, namun demikian orang Musyrik masih mengatakan bahwa Nabi pembohong, dukun dan tukang sihir...”
Lebih lajut Imam berkata, “...Allah Swt akan menuntun mereka yang memiliki kelayakan untuk menerima hidayah, karena mayoritas manusia menerima argumentasi. Dengan demikian, ketika Allah menghendaki kebenaran tidak terungkap, maka selamanya kebenaran tidak akan muncul.
Ia mengutus nabi untuk memberi manusia harapan dan rasa takut dan di kondisi lemah dan kuat, para nabi secara terang-terangan menyeru manusia kepada kebenaran dan senantiasa berbicara kepada mereka sehingga perintah Tuhan dan ajarannya dapat ditegakkan.”
Manusia memiliki berbagai tingkatan, ada yang mendapat pencerahan, mengenal jalan keselamatan, berpegang teguh pada kebenaran dan ada pula yang memilih jalan lain serta tidak ada keraguan di mata mereka dan tidak akan berlindung kepada selain-Nya. Adapun kelompok lain adalah mereka yang mengambil kebenaran tidak dari ahlinya, orang seperti ini ibaratnya orang yang tengah mengarungi laut dan menderita dengan kemarahan laut serta tenang ketika laut tenang.
Kelompok lain adalah mereka yang terbelenggu dengan setan dan menolak ajakan kebenaran serta menumpas kebenaran dengan kebatilan. Orang seperti ini pada akhirnya akan terlempar ke sana kemari dan pada akhirnya menyerah.
Imam Hasan Askari demi menyebarkan Amar Makruf Nahi Munkar dan memperbaiku umat Islam telah menggunakan beragam metode. Ketika Imam di penjara, beliau mampu mengubah perilaku para tahanan hanya dengan akhlak mulia beliau. Ketika tahanan ini keluar dari penjara, mereka mendapat pencerahan mengenai keagingan dan kautamaan beliau.
Di era kegelapan pemikiran dan penyimpangan akidah, Imam Askari as bangkit menyampaikan hakikat agama secara jernih kepada masyarakat. Beliau mengobati dahaga para pencari ilmu dan makrifat dengan pancaran mata air kebenaran. Argumentasi-argumentasi Imam Askari as dalam kajian ilmiah, sangat berpengaruh, di mana filosof Arab Ya'qub bin Ishak al-Kindi mulai memahami kebenaran setelah berdebat dengan beliau dan kemudian membakar buku-bukunya yang ditulis untuk mengkritik beberapa pengetahuan agama.
Meskipun Dinasti Abbasiyah bermusuhan dengan Imam Askari as, namun salah satu menteri rezim penguasa dengan nama Ahmad bin Khaqan, mengakui keutamaan dan karamah keturunan Nabi Saw itu. Dia berkata, "Di Samarra, aku tidak melihat sosok seperti Hasan bin Ali. Dalam hal martabat, kesucian, dan kebesaran jiwa, aku tidak menemukan tandingannya. Meski ia seorang pemuda, Bani Hasyim lebih mengutamakannya dari kelompok tua di tengah mereka. Ia memiliki kedudukan yang sangat tinggi, di mana dipuji oleh sahabat dan musuhnya."
Semua kehormatan dan kemuliaan itu dikarenakan ketaatan Imam Askari as kepada Allah Swt dan kebersamaan beliau dengan kebenaran. Beliau berkata, "Tidak ada orang mulia yang menjauhi kebenaran kecuali dia akan terhina dan tidak ada orang hina yang merangkul kebenaran kecuali dia akan mulia dan terhormat."
Kedekatan dengan Tuhan dan sifat tawakkal telah membantu Ahlul Bait Nabi as dalam memikul beban penderitaan dan membuat mereka berkomitmen dalam memperjuangkan kebenaran. Ibadah dan kecintaan kepada Sang Kekasih, ada dalam fitrah manusia dan daya tarik internal ini mampu membantu mereka dalam peristiwa-peristiwa sulit. Manusia-manusia yang bertakwa dan taat, telah terbebas dari ikatan dan belenggu-belenggu hawa nafsu dan godaan duniawi. Mereka telah mencapai puncak kemuliaan akhlak.
Rasul Saw dan Ahlul Baitnya adalah pribadi-pribadi sempurna yang menduduki puncak kemuliaan akhlak.
Mereka dengan ketaatan penuh di hadapan kekuasaan Tuhan, mencapai derajat spiritual yang tinggi dan sama sekali tidak merasa kalah dalam melawan kemusyrikan dan kekufuran di tengah masyarakat. Dalam sirah Imam Askari as disebutkan bahwa beliau saat berada di penjara, menghabiskan seluruh waktunya dengan ibadah dan munajat kepada Tuhan. Pemandangan ini bahkan telah menyihir para sipir yang ditugaskan untuk mengawasi dan menyiksa beliau.
Beberapa pejabat Dinasti Abbasiyah memerintahkan Saleh bin Wasif, kepala penjara untuk bersikap keras terhadap Imam Askari as. Mereka berkata kepada Wasif, "Tekan Abu Muhammad semampumu dan jangan biarkan ia menikmati kelonggaran!" Saleh bin Wasif menjawab, "Apa yang harus aku lakukan? Aku sudah menempatkan dua orang terkejam dari bawahanku untuk mengawasinya, keduanya sekarang tidak hanya menganggap Abu Muhammad sebagai seorang tahanan, tapi mereka juga mencapai kedudukan yang tinggi dalam ibadah, shalat, dan puasa."
Pengaruh pemikiran dan spiritualitas Imam Askari as membuat para penguasa Abbasiyah ketakutan. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk menghapus keberadaan beliau. Muktamid Abbasi, penguasa tiran Dinasti Abbasiyah, akhirnya menyusun sebuah skenario untuk membunuh Imam Askari as. Beliau syahid setelah beberapa hari menahan rasa sakit akibat diracun oleh Muktamid. Seorang pembantu Imam Askari as berkata,
"Ketika beliau terbaring sakit dan sedang melewati detik-detik terakhir dari kehidupannya, beliau teringat bahwa waktu shalat subuh telah tiba. Beliau berkata, ‘Aku ingin shalat.' Mendengar itu, aku langsung menggelar sajadah di tempat tidurnya. Abu Muhammad kemudian mengambil wudhu dan shalat subuh terakhir dilakukan dalam keadaan sakit dan selang beberapa saat, ruh beliau menyambut panggilan Tuhan."
IMAM HASAN ASKARI, IMAM YANG SALEH
Awal tahun Hijriyah Syamsiah dan permulaan musim semi tahun ini semakin bertabur berkah dengan tibanya hari kelahiran Imam Hasan Askari, imam kesebelas dari silsilah 12 imam Ahlul Bait. Imam Askari lahir di kota Madinah tanggal 8 Rabiul Akhir tahun 232 hijriyah. Beliau memangku tugas imamah pada usia 22 tahun, setelah ayahanda beliau, Imam Ali al-Hadi (as) meneguk cawan syahadah. Di usia yang masih sangat muda itu, beliau mendapat mandat ilahi untuk menjadi pelita hidayah bagi umat manusia.
Ahlul Bait atau keluarga suci Nabi Saw adalah insan-insan mulia yang selalu menjadi teladan dan petunjuk bagi umat manusia dalam merajut jalan kebenaran. Dalam sejumlah riwayat, Nabi Saw menyebut keluarganya yang telah disucikan Allah, sebagai padanan Kitabullah. Mengikuti mereka adalah kunci mencapai kebahagiaan dan keselamatan.
Hari ini, kepada Anda semua, kami mengucapkan selamat atas peringatan hari lahir Imam Hasan Askari (as).
Imam Askari menjalankan misi imamah selama enam tahun. Sebab, ketika baru berumur 28 tahun, beliau harus meninggalkan dunia yang fana ini setelah meneguk cawan beracun khalifah bani Abbas. Rezim penguasa Abbasiah ketika itu sangat membatasi kehidupan Imam Askari. Sejarah melukiskan buruknya kondisi politik pada dekade pertama abad kedua hijriah bagi Ahlul Bait. Bahkan sejumlah mereka terpaksa harus meninggalkan Madinah dan hidup menderita di daerah terpencil yang jauh dari tanah kelahirannya. Kondisi tersebut juga menimpa Imam Hasan Askari.
Sejak kecil, Imam Askari bersama ayahnya berada dalam pengawasan ketat rezim Abbasiah di kawasan militer kota Samarra, Irak. Saking ketatnya pengawasan terhadap keluarga Imam Askari, masyarakat sangat sulit berhubungan dengan beliau. Menyiasati kondisi tersebut, Imam Askari selama masa imamahnya menyampaikan pesan kepada masyarakat melalui sejumlah sahabat dekat beliau. Sejumlah sahabat dekat ini mendapat anugerah pelajaran dari Imam Askari, kemudian menyampaikannya kepada masyarakat.
Imam Hasan Askari menjalani paruh hidupnya di dalam penjara rezim Abbasiah. Meski demikian, beliau tetap teguh berjuang melawan kezaliman. Walaupun mendapat berbagai hambatan, Imam Hasan Askari menghadiahkan mutiara abadi bagi umat Islam yang senantiasa dikenang sepanjang masa. Ucapan bertuah dan bermakna beliau dalam menjawab berbagai persoalan, memperjelas antara hak dan batil. Kecemerlangan program Imam Hasan Askari dalam menyebarkan hakikat Islam terbukti melalui berbagai perdebatan dan pertemuan ilmiah serta pengajaran dan pendidikan kepada murid-murid terkemuka.
Imam Hasan Askari menyerukan kepada umat Islam untuk berakhlak mulia di tengah masyarakat. Beliau berkata, "Allah swt senantiasa mengingatkan agar bertakwa dan jadilah keindahan bagi kami dengan amalmu. Kami berbahagia, jika salah seorang dari kalian bersikap wara dan jujur, menjalankan amanah dan berbuat baik terhadap orang lain."
Akhlak mulia yang terpancar dari Imam Hasan Askari as menyebabkan besarnya pengaruh beliau di tengah masyarakat. Daya tarik spiritual Imam Hasan Askari bahkan mempengaruhi musuh-musuhnya. Keluasan ilmu beliau membuat para cindekia saat itu terpesona. Suatu hari seorang dokter dinasti Bani Abbas yang beragama kristen mengakui keagungan ilmu Imam Hasan Askari. Dokter bernama Bakhtisho' ini kepada muridnya mengatakan, "Kunjungilah Abu Muhammad (Imam Hasan Askari), tidak ada manusia paling pintar selain beliau, dan jangan bantah apapun yang dikatakannya."
Salah satu perintah yang ditegaskan Islam dalam Quran dan Sunnah Rasul adalah berfikir. Kekuatan pemikiran adalah anugerah Allah swt yang hanya diberikan kepada manusia. Berbagai kemajuan sains dan teknologi merupakan berkah nikmat akal dan pemikiran. Dengan kemampuan besar ini, manusia mampu menyingkap berbagai rahasia alam semesta.Terkait hal ini, Imam Hasan Askari berkata, "Ibadah bukan dilihat dari banyaknya shalat dan puasa, namun berfikir dan beriibadah kepada Tuhan."
Salah satu karya cemerlang Imam Hasan Askari adalah mendidik murid-murid terkemuka. Mereka adalah para pemikir dan sandaran ilmu pengetahuan di tengah masyarakat dalam menyelesaikan masalah berbagai persoalan agama dan sosial. Salah seorang murid terkemuka Imam hasan Askari adalah Abu al-Hassan Ali bin Hossein Qummi. Beliau mendapat pengajaran langsung dari Imam Hasan Askari di bidang fikih dan hadis serta ilmu agama lainnya. Kebanyakan pengajaran Imam Askari kepada Hossein Qummi dilakukan melalui surat.
Salah satu surat tersebut adalah penjelasan Imam Askari mengenai putranya, Imam Mahdi af dan kabar kegaiban serta kebangkitan beliau sebagai penyelamat bagi umat manusia. Dalam surat ini, Imam Askari berkata, " Wahai faqih yang saya percayai, Allah mengaruniakan taufik padamu untuk menjalan amal-amal baik. Aku menyerukan padamu untuk bertakwa, menunaikan shalat dan membayar zakat. Aku juga menasehatimu untuk memaafkan kesalahan orang lain, meredakan amarah dan menjalin silaturahmi. Berusalah untuk memenuhi seluruh kebutuhan saudaramu. Penuhilah komitmenmu terhadap Quran dan jalankan amar maruf dan nahi munkar. Bersabarlah dan persiapkan dirimu menanti kedatangan sang juru selamat. Ia adalah putraku yang akan bangkit menegakan keadilan, ketika bumi di penuhi kezaliman. Bersabarlah dan perintahkan pengikutku untuk berbuat baik, karena takwa adalah ujung segala kebaikan."
IMAM HASAN ASKARI : PEMBINA GENERASI UNGGUL
- pengarang : Sayid Mahdi Ayatullahi
Imam Hasan Al-Askari As. adalah imam ke-11 dari 12 imam Ahlul Bait. Beliau dilahirkan di Madinah Al-Munawwarah pada tahun 232 H. dan meninggal syahid di Samarra tahun 260 H. Ayah beliau ialah Imam Ali Al-Hadi As, sedangkan ibu beliau bernama Susan.
Beliau menjadi Imam (pemimpin umat) pada usia 22 tahun dan hidup pada masa yang penuh dengan kesulitan dan berbagai macam tipu daya. Setelah wafat sang ayah, Imam as. hidup selama 6 tahun, dan sepanjang itulah masa kepemimpinannya (Imamah). Pada masa Imam as, khalifah Abbasiyah Al-Mu'taz tewas di tangan orang-orang Turki. Lalu mereka mengangkat Al-Muhtadi sebagai penggantinya, yang tak lama kemudian juga tewas dibunuh. Seteleh itu, khilafah Abbasiyah jatuh ke tangan Al-Mu'tamid. Panggilan Imam Hasan As ialah Abu Muhammad. Orang-orang mengenalnya dengan berbagai julukan seperti: Al-Hadi, Az-Zaki, An-Naqi, dan Al-Kholis. Julukan beliau yang paling masyhur adalah Al-Askari, karena beliau tinggal di sebuah tempat yang disebut Al-Askar. Selain itu, beliau juga dikenal dengan panggilan Ibnu Ridha.
Ahmad bin Khaqan pernah mengenang baik Imam As, padahal ia termasuk pembenci Ahlulbait As. Katanya, "Aku tidak melihat di antara keluarga Bani Alawiyyin (keturunan Imam Ali as.) di Samarra seperti Hasan bin Ali bin Muhammad bin Ali Al-Ridha As. Dan aku tidak menemukan orang sebanding dengannya dalam pengorbanan, kesederhanaan, kehormatan, keagungan, kemulyaan, dan kedermawanan".
Dia juga mengatakan, "Seandainya khilafah ini lepas dari tangan-tangan Bani Abbasiyah, maka tidak ada yang layak menjadi khalifah di antara Bani Hasyim selain Hasan bin Ali As., karena kepribadiaannya yang luhur, akhlaknya yang mulia, dan pikirannya yang brilian".
Tersebarnya kerusakan dan kebobrokan di dalam negeri serta pengaruh besar orang-orang Turki di kalangan para pejabat tinggi negara, semua itu menjadi penyebab munculnya pemberontakan masyarakat terhadap pemerintahan Abbasiyah.
Sementara itu, orang-orang Alawiyah (anak keturunan Imam Ali bin Abi Thalib As) tidak tinggal diam. Mereka juga mengadakan pemberontakan di berbagai tempat.
Hasan bin Zaid Al-Alawi telah mengadakan pemberontakan di daerah Tabristan dan berhasil menguasainya.
Begitu juga di Basrah, telah terjadi pemberontakan yang disebut dengan "Tsaurah Zanj" yang pemimpinnya mengaku sebagai salah satu keturunan Ahlul Bait. Pemberontakan itu dilakukannya dengan sangat keji, hingga ia membunuh anak-anak dan para wanita. Kemudian Imam Hasan Al-Askari as. mengumumkan kepada masyarakat luas, bahwa pemimpin pemberontakan "Tsaurah Zanj" itu bukanlah dari keturunan Ahlul Bait As.
Imam Hasan Al-Askari as. menghadapi situasi yang sangat sulit. Seringkali beliau dijebloskan ke dalam penjara. Para khalifah telah menugaskan penjaga-penjaga yang bengis untuk mengawasinya. Tapi dalam tempo yang singkat, banyak dari mereka yang malah terpengaruh oleh akhlak luhur Imam as., hingga mereka menemukan kembali suara fitrahnya yang bersih dan menjadi orang-orang yang soleh.
Suatu waktu, Imam Hasan as. dijebloskan ke dalam kandang serigala, tapi amat mengejutkan tatkala kawanan serigala tampak gembira dengan kehadiran beliau. Mereka memain-mainkan ekornya ke telapak kaki Imam as, dan terkadang mereka sentuhkan badannya dengan kaki beliau.
Seorang penganut Nasrani (Kristen) telah bertemu Imam Hasan Al-Askari as. dan ia merasa bahwa Tuhan bersama beliau. Ia pun masuk Islam di hadapan Imam as. Tatkala ditanya alasan keislamannya, ia menjawab, "Aku melihat sifat-sifat Isa Al-Masih as. tampak pada dirinya".
Kebanyakan wasiat-wasiat Imam Hasan Al-Askari as. berkisar pada masalah keadilan, kemuliaan, dan pengorbanan. Beliau senantiasa memperingatkan kaum muslimin akan kedzaliman dan penindasan.
Keluasan Ilmu Imam
Mazhab Ahlul Bait telah tersebar dengan pesat. Pada masa Imam Hasan Al-Askari as., berbagai gerakan ilmiah dan semangat ilmu pengetahuan bermunculan.
Imam Hasan as. melakukan pengajaran di Kufah, Baghdad, dan Hijaz. Kota Qum merupakan salah satu kota yang masyhur sebagai pusat pengembangan ilmu agama. Ilmu beliau laksana samudera, di mana lebih dari 18000 sarjana yang menimba ilmu pada beliau.
Orang dekat khalifah Abbasiyah Al-Mu'taz bernama Muhammad bin Mas'ud Asy-Syirazi menuturkan, "Hasan Al-Askari telah mencapai ketinggian ilmunya, hingga menjadikan Al-Kindi - guru Al-Farabi- membakar bukunya sendiri setelah beliau melihat dan mengoreksi kandungan-kandungannya yang tidak lagi sesuai dengan ajaran Islam".
Imam Hasan As dan Seorang Pendeta
Suatu masa, kota Samarra pernah dilanda kekeringan. Maka khalifah memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan shalat Istisqa'. masyarakat menyambutnya dan keluar berbondong-bondong untuk melakukan shalat sampai tiga hari. Akan tetapi, tidak ada perubahan keadaan kota.
Pada hari keempat, Jastliq pergi bersama para pengikutnya, para pendeta, dan orang-orang Nasrani (Kristen) ke tengah padang sahara. Salah satu pendeta mengangkat tangannya sambil berdoa. Tak lama kemudian, hujan pun turun dengan sangat lebat.
Melihat kejadian ini, orang-orang menjadi ragu atas kebenaran Islam, padahal ia adalah agama yang paling utama. Sebagian dari mereka berkata, "Sekiranya orang-orang Nasrani itu berada dalam kebatilan, niscaya Allah swt. tidak akan mengabulkan doa mereka". Lantas sebagian muslimin berfikir untuk memeluk agama Nasrani.
Pada saat itu, Imam Hasan Al-Askari as. ada dalam penjara. Pengawal khalifah mendatanginya dan berkata, "Temuilah umat kakekmu Muhammad saw., karena mereka telah meragukan agama Allah swt.".
Maka pada kesempatan lain, Jastliq beserta para pendeta dan Imam Hasan as. pergi ke tengah padang pasir. Imam as. senantiasa mengawasi keadaan mereka dengan baik. Kemudian beliau melihat salah satu dari pendeta tersebut mengangkat tangannya yang kanan. Segera beliau memerintahkan sebagian budaknya untuk memegang tangan pendeta tadi dan melihat apa yang ada di telapaknya.
mereka pun lekas memegang tangan pendeta dan mereka melihat tulang hitam di antara jari-jarinya. Kemudian Imam as. mengambilnya lantas berkata pada pendeta tersebut, "Sekarang berdoalah untuk meminta hujan!".
Pendeta itu kembali mengangkat tangannya dan berdoa. Saat itu langit sudah mulai mendung. Ttiba-tiba mendung menghilang dan berubah menjadi awan dan matahari yang mulai memancarkan sinarnya.
Khalifah bertanya pada Imam Hasan Al-Askari as. tentang rahasia tulang tadi. Beliau menjawab, "Pendeta ini pernah melewati salah satu kuburan nabi-nabi terdahulu, kemudian ia dapati tulang ini, dan hujan lebat akan turun dari langit seketika tulang itu disingkapkannya".
Dakwah dan Pendidikan
Dikisahkan bahwa ada seorang pemuda keturunan Imam Ja'far Ash-Shadiq as. tinggal di kota Qum. Ia suka minum khamar. Pada suatu hari, ia pergi ke rumah Ahmad bin Ishak Al-Asy'ari, seorang wakil Imam Hasan Al-Askari as. Namun Ahmad tidak mengizinkan pemuda itu masuk, karena ia telah mengetahui akhlaknya. Pemuda itu kembali ke rumahnya dengan perasaan sedih atas perlakuannya itu.
Suatu saat, Ahmad bin Ishak hendak pergi menunaikan ibadah haji. Tatkala ia sampai di Madinah dan ingin berjumpa dengan Imam Hasan as, ia meminta izin untuk bisa masuk dan bertemu dengan beliau. Akan tetapi, Imam as. tidak mengizinkannnya. Ia pun merasa sedih dan bersipuh di depan pintu sehingga Imam as. mengizinkannya masuk.
Ahmad bin Ishak bertanya kepada Imam as. tentang alasan beliau tidak mengizinkannnya masuk tadi. Imam as. menjawab, "Sungguh aku telah memperlakukanmu sebagimana yang telah kamu lakukan terhadap anak pamanku, aku melarangmu sebagaimana kamu melarangnya".
Ahmad bin Ishak berkata, "Tuanku, sesungguhnya ia suka minum khomer. Aku menolaknya, karena itu aku bermaksud untuk mengingatkannnya agar bertaubat".
Imam Hasan Al-Askari as. menjawab, ”Bila Kau ingin memberikan pelajaran padanya, tidaklah demikian caranya".
Kemudian Ahmad bin Ishak kembali ke Qum dan orang-orang mengucapkan selamat kepadanya. Tatkala pemuda itu menemuinya, ia pun bangun menyambutnya dan merangkulnya begitu hangat serta mendudukkannya di sampingnya.
Pemuda yang bernama Abul Hasan itu malah terheran-heran melihat perlakuan Ahmad kali ini, kemudian ia bertanya tentang sebab penolakannya kemarin dan penyambutannya yang hangat terakhir ini. Maka, Ahmad menceritakan pengalamannya sewaktu hendak menjumpai Imam Hasan Al-Askari As. di Madinah.
Usai cerita itu, Abul Hasan menundukkan kepalanya karena malu. Seketika itu ia bertekad untuk segera bertaubat. Sekembalinya ke rumah, ia pecahkan kendi-kendi khomer, dan senantiasa pergi ke masjid.
Dua Kisah
· Sewaktu Imam Hasan Al-Askari As di dalam sebuah penjara yang dikepalai oleh Shaleh bin Washif, Khalifah Abbasiyah memerintahkan agar memperketat pengawasan dan penjagaannnya atas beliau. Shaleh mengeluhkan, "Apalagi yang harus aku lakukan, padahal aku telah menugaskan dua orang yang paling jahatnya makhluk Allah untuk menjaganya, tetapi mereka berdua justru menjadi tekun solat dan beribadah".
Kemudian ia memanggil kedua penjaga tersebut. Kepada mereka ia bertanya, "Apa yang kalian ketahui tentang laki-laki ini (Imam as.)?".
Mereka berkata, "Apa yang harus kami katakan tentang seseorang yang senantiasa menghabiskan siangnya dengan berpuasa, dan melewatkan malamnya dengan bertahajud. Dia tidak berbicara dan bekerja selain ibadah".
· Tatkala orang-orang Turki berhasil menciptakan pengaruh besar di dalam pemerintahan Abbasiyah dan mempermainkan khalifahnya, mereka membunuh setiap orang yang mereka curigai, bahkan mereka dapat menentukan khalifah yang mereka kehendaki.
Ketika Al-Mu'tamad menjadi khalifah, dia berbuat sewenang-wenang, karena dia sendiri tidak tahu berapa lama dia akan memerintah, 3 bulan ataukah lebih. Namun, ia mengetahui betul kedudukan Imam Hasan Al-Askari as. di sisi Allah swt.
Maka pada suatu hari, Al-Mu'tamid menghadap Imam as. dan memohon kepadanya supaya Allah memanjangkan umurnya. Imam as. pun mendoakannya, sehingga ia pun tetap duduk sebagai khalifah selama lebih dari 20 tahun.
Orang Bijak dari Irak
Ishak Al-Kindi adalah seorang filsuf Irak yang telah menulis sebuah buku tentang pertentangan antarayat Al-Qur'an. Salah seorang dari muridnya datang menghadap Imam Hasan Al-Askari as. Kepadanya beliau bertanya, "Adakah di antara kalian yang berani untuk mengkritik pendapat guru kalian Al-Kindi tentang sanggahan dan keraguannya terhadap Al-Qur'an?"
Salah seorang muridnya mengatakan: "Aku tidak mampu menyanggahnya".
Imam As. berkata, "Katakan kepadanya, bahwa aku punya masalah dan aku ingin bertanya padamu. Yaitu, bila ada seorang yang membacakan Al-Qur'an di hadapanmu, apakah mungkin maksud ayat-ayat yang dibacanya itu berbeda dengan maksud yang kau dengar darinya? Dia pasti akan mengatakan, 'Tentu, sangat mungkin itu, karena ia adalah seorang yang dapat memahami apa yang telah ia dengar'.
"Apabila ia menjawab seperti itu, katakan lagi padanya, 'Bagaimana Anda bisa memastikan itu, padahal mungkin saja dia memahami maksud yang berbeda dengan yang kau pahami? Dengan begitu, maka kamu telah meletakkan maksud bukan pada tempat yang semestinya".
Kemudian si murid menyampaikan pertanyaan-pertanyaan tersebut kepada gurunya, Al-kindi. Selekas menyimak, ia meminta muridnya untuk mengulang pertanyaan. Sang murid pun mengulangnya.
Setelah itu, Al-Kindi malah menundukkan kepala sambil berfikir. Akhirnya ia sadar bahwa hal tersebut memang mungkin terjadi dalam bahasa dan bisa diterima oleh akal. Dengan kesadaran ini, pandangannya tentang Al-Qur'an tampak begitu lemah dan rapuh. Lalu, ia bangkit dan membakar bukunya tersebut.
Surat untuk Seorang Sahabat
Dalam rangka menasehati para sahabatnya, Imam Hasan Al-Askari as. banyak menulis surat yang dikirimkan kepada mereka. Di antaranya, surat berikut ini yang dikirimkan kepada Ali bin Husain bin Babaweh Qumi:
"Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan alam semesta. Akibat baik bagi orang-orang yang bertakwa, surga bagi orang-orang yang mengesakannya, dan neraka bagi orang-orang yang mengingkarinya, serta tidak ada permusuhan kecuali kepada orang-orang zalim.
"Tiada Tuhan selain Allah, Dialah sebaik-baik pencipta. Shalawat serta salam semoga terlimpah kepada sebaik-baik mahluk-Nya, Muhammad saw. dan keluarganya yang suci.
"Kamu harus besabar dan menanti kedatangan Al-Mahdi, karena Rasulullah saw. telah bersabda: "Amalan umatku yang paling utama adalah menanti kehadiran Al-Mahdi".
"Syi'ah kami akan senantiasa dalam kesedihan hingga muncul anakku, sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Nabi, bahwa ia akan memenuhi dunia dengan keadilan sebagaimana ia telah dipenuhi oleh kezaliman.
"Bersabarlah wahai Syi'ahku, ya..Abul Hasan, sesungguhnya bumi ini adalah milik Allah yang telah diwariskan untuk hambanya yang dikehendaki. Dan akibat yang baik bagi orang-orang yang bertakwa.
"Salam atasmu dan seluruh Syi'ah kami, semoga rahmat dan berkah Allah meliputimu dan Syi'ah kami. Akhirnya, semoga Allah swt. merahmati Muhammad dan keluarganya".
Hari Syahadah
Ketika diboyong oleh sang ayah ke Samarra, Imam Hasan Al-Askari as. baru berusia 4 tahun. Semenjak itu pula beliau selalu diawasi secara ketat oleh pemerintahan Abbasiyah.
Seringkali Imam as. dijebloskan dalam penjara, sampai akhirnya beliau diracun dan meninggal syahid 8 Rabiul Awwal 260 H. Beliau dimakamkan di samping ayahnya, Imam Ali Al-Hadi as., di kota Samarra.
Imam Hasan Askari as. senantiasa dalam pengawasan para penguasa, karena adanya riwayat-riwayat dari Nabi saw. yang menguatkan, bahwa Al-Mahdi as. adalah Imam ke-12 dan dia adalah anak dari Imam Hasan Al-Askari. Sebab itulah para penguasa merasa takut akan kemunculannya yang akan memenuhi dunia ini dengan keadilan. Akan tetapi, Imam Hasan Askari as. telah berhasil merahasiakn putranya itu, betapa pun sulitnya keadaan waktu itu.
Meski demikian, saudara Imam Hasan Al-Askari as. yang bernama Ja'far Al-Kaddzab berusaha untuk menunggu kesempatan guna menyatakan dirinya sebagai imam setelah wafatnya beliau dengan dukungan orang-orang Bani Abbasiyah. Akan tetapi, Allah swt. menggagalkan seluruh makar dan muslihatnya itu.
Ketika Imam Mahdi as. muncul secara tiba-tiba, yang saat itu beliau masih kecil, dan datang untuk menyolati jenazah ayahnya, banyak orang-orang yang menyaksikan kejadian tersebut. Dengan begitu, mereka mengimani keimamannya. Mereka pun percaya bahwa dialah Imam Al-Mahdi ajf. yang dinanti-nantikan.
IMAM ASKARI A.S. DAN PERSIAPAN PERIODE GHAIBAH IMAM MAHDI A.S.
Sumber : irib indonesia
Imam Hasan Askari dilahirkan di kota Madinah tanggal 8 Rabiul Tsani tahun 232 Hijriah. Hari kelahiran Ahlul Bait Rasulullah Saw membawa keberkahan, sekaligus pelajaran penting dari kehidupan mulia mereka bagi umat manusia. Kehidupan Ahlul Bait Rasulullah Saw menjadi suri teladan terbaik bagi masyarakat.
Manusia-manusia suci ini dalam kehidupannya senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dan membela kebenaran dan keadilan.
Salah satu tujuan terpenting diutusnya para Nabi dan Rasul berdasarkan ayat suci al-Quran adalah penegakkan keadilan. Untuk mewujudkan keadilan diperlukan seorang pemimpin adil di tengah masyarakat. Dalam kitab suci al-Quran surat al-Hadid ayat 25, Allah swt berfirman, "Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan..".
Semua agama langit memberikan kabar tentang munculnya sosok penegak keadilan di akhir zaman. Sang juru selamat yang akan mengakhiri seluruh kejahatan dan pengkhianatan, serta menegakkan sebuah pemerintahan global berdasarkan keadilan dan kebebasan sesungguhnya. Dalam agama Islam, janji tersebut juga telah tercatat dalam al-Quran. Rasulullah Saw dan para imam maksum as telah mengabarkan kepada umat atas kemunculan sang juru selamat umat manusia di akhir zaman. Hal itu telah disebutkan dalam banyak riwayat dan hadis. Sang juru selamat itu tidak lain adalah Imam Mahdi as, putra Imam Hassan Askari as.
Para penguasa Bani Abbas, khususnya yang hidup pada masa kepemimpinan Imam Hassan Askari, telah mengetahui banyak hadis tentang kelahiran Imam Mahdi as yang akan menyelamatkan dunia. Hadis bahwa penerus risalah kepemimpinan umat sepeninggal Rasulullah Saw adalah12 imam dan semuanya dari Quraish, banyak disebutkan di Sahih Bukhari, sumber rujukan Ahlussunnah. Dalam berbagai sumber Ahlussunnah juga disebutkan kata-kata tentang “Mahdi dari Quraish” atau “Mahdi putra Fatimah”. Oleh karena itu para penguasa Bani Abbasiah memberlakukan kontrol sangat ketat terhadap Imam Hassan Askari as, sehingga mereka berharap dapat mencegah kemunculan Imam Mahdi as.
Dalam rangka itu, penguasa Abbasiah menggiring Imam Hassan Askari as beserta seluruh keluarganya dari Madinah menuju kota Samarra, yang kala itu dikenal dengan kota militer. Dengan cara itu, selain seluruh aktivitas Imam Hassan Askari as dan keluarga beliau dapat terkontrol, dan rezim juga dapat segera mengidentifikasi tanda-tanda kelahiran putra beliau, Imam Mahdi as.
Dalam rangka mengantisipasi langkah-langkah Bani Abbasiah, pada tahap awal, Imam Hassan Askari as menyembunyikan kelahiran putra beliau. Tidak diragukan lagi jika musuh mengetahui kelahiran Imam Mahdi as, maka nyawa beliau akan terancam bahaya. Namun Imam Hassad as menyembunyikan kehamilan istri beliau, sama seperti tidak terdeteksinya kehamilan ibu Nabi Musa as. Sampai detik kelahiran Imam Mahdi, para pasukan Bani Abbasiah tidak mengetahui kehamilah Nargis Khatun, ibunda Imam Mahdi as. Secara lahiriyah, Nargis Khatun tidak menunjukkan tanda-tanda kehamilan.
Di sisi lain, Imam Hassan Askari as, menginformasikan kelahiran putra beliau kepada beberapa sahabat khusus dan terpercaya, sehingga mereka dapat bersaksi kepada masyarakat tentang Imam Mahdi as dan juga agar masyarakat tidak kebingungan mengenali pemimpin mereka. Meski demikian, era Imam Hassan Askari adalah era sangat sulit. Karena masalah ghaibah atau ghaibnya Imam Mahdi as dari mata masyarakat. Para imam sebelumnya, bersama dan hadir di tengah masyarakat.
Kelahiran dan hidup mereka juga nyata bagi masyarakat.Oleh karena itu, masalah ghaibah Imam Mahdi as, merupakan hal yang tidak lumrah dan masyarakat perlu disiapkan untuk menghadapi masa tersebut.
Imam Hassan Askari as bertugas untuk menyiapkan masyarakat menerima era ghaibah Imam Mahdi as. Masa di mana masyarakat akan berpisah dari pemimpin mereka dan tidak dapat berkomunikasi dengan masyarakat. Karena hingga sebelum periode ghaibah Imam Mahdi as, para pengikut dan pecinta Ahlul Bait, selalu mengemukakan berbagai masalah individu dan sosial mereka kepada para imam maksum as. Para imam juga mendukung, membantu dan menjawab tuntutan materi maupun spiritual mereka. Masyarakat kala itu sudah terbiasa berkomunikasi langsung dengan para imam. Oleh sebab itu, Imam Hassan Askari as harus berusaha keras mempersiapkan masyarakat untuk menghadapi periode tersebut.
Penyiapan mental masyarakat telah dimulai sejak masa kepemimpinan Imam Hadi as. Beliau membiasakan masyarakat jauh dari beliau dan juga mengurangi volume komunikasi langsung dengan masyarakat. Setelah gugur syahidnya Imam Hadi as, Imam Hassan Askari as juga melanjutkan sirah ayah beliau sehingga masyarakat terbiasa tidak dapat berkomunikasi langsung dengan imam mereka. Oleh sebab itu, sebagian besar komunikasi Imam dengan masyarakat dilakukan secara korespondensi.
Selain itu, Imam Hassan Askari as juga menunjuk perwakilannya di berbagai wilayah dan masyarakat dapat berkomunikasi dengan imam melalui para perwakilan itu.
Masyarakat di berbagai kota menemui para wakil imam; misalnya di Qom ada perwakilan imam bernama Ishaq Qomi, di Neyshabour ada Ibrahim bin Abduh Neyshabouri, dan di kota Ahvaz ada Ibrahim bin Mahziyar. Masalah perwakilan imam ini juga membuat instruksi dan penjelasan Imam dapat tersebar ke berbagai wilayah yang jauh dan terpencil. Dan masalah perwakilan imam ini berlanjut hingga periode ghaibah sughra, atau masa ghaibnya imam dari pandangan masyarakat dan imam hanya dapat ditemui oleh para wakilnya. Utsman bin Said, adalah perwakilan pertama Imam Mahdi as yang juga sebelumnya menjadi wakil Imam Hassan Askari as.
Di antara langkah-langkah imam Hassan Askari as adalah pembentukan sebuah kelompok elit saleh yang menjadi para duta besar pemikiran, ideologi, akhlak dan perilaku Ahlul Bait as. Imam Muhammad Baqir as dan Imam Jafar as-Sadiq as, telah mempersiapkan kehadiran kelompok elit cendikiawan dan perawi hadis tersebut.
Langkah itu, menjadi titik awal terbentuknya sebuah gerakan ilmiah yang secara bertahap dikerahkan untuk mempersiapkan periode ghaibah Imam Mahdi as.
Imam Hassan Askari as juga telah mengumpulkan berbagai kitab fiqih dan usul fiqih bedasarkan riwayat, yang telah disusun pada masa beliau atau sebelum masa beliau, serta memberikan persetujuan dan apresiasi kepada para penulis atau pengumpul hadisnya.
Pada hakikatnya, melalui cara ini, Imam Hassan Askari as telah mempersiapkan jalan bagi masyarakat mengikuti para ahli fiqih yang telah dididik dalam perspektif Ahlul Bait. Dalam sebuah hadis Imam Hassan Askari berkata: “Setiap orang yang menjaga dirinya, menjaga agamanya, melawan hawa nafsunya, dan mematuhi perintah pemimpinnya, maka masyarakat harus bertaqlid kepadanya.”
Imam Hasan Askari menjadi pemimpin umat selama enam tahun. Tapi, dalam waktu yang singkat itu, beliau berperan besar dalam menyebarkan budaya dan ajaran Islam. Imam Hasan mengajar dan membina murid-murid yang menjadi ulama dan ilmuwan setelahnya. Selain itu, beliau membimbing umat dengan pemikiran dan ajaran Islam yang benar, di tengah derasnya serangan budaya dan pemikiran dari luar Islam. Ketika itu, di dunia Islam tengah marak penyimpangan pemikiran dan pandangan atheis yang dikembangkan dari pemikiran Yunani dan India.
Imam Hasan Askari mengajak umat bersabar di tengah tekanan hidup. Kepada salah seorang sahabatnya, beliau berkata, "Selama kalian mampu dan bisa bertahan, janganlah memohon kepada orang lain. Sebab, setiap hari ada rejeki baru. Ketahuilah bahwa terus-menerus memohon atau mengemis dapat menghilangkan harga diri seseorang. Untuk itu, bersabarlah hingga Allah Swt membuka pintu bagimu. Kenikmatan itu ada masanya.
Janganlah tergesa-gesa memetik buah yang belum waktunya dan petiklah pada waktunya."
pengarang : Hasan Asyuri Langgarudi
Prakata
Keyakinan terhadap Mahdawiat termasuk di antara hal-hal yang disepakati dan pasti dalam sejarah dan teologi Islam. Seluruh kaum Muslimin, Syiah maupun Ahlussunnah mempercayai “Mahdi Mau’ud” (Mahdi yang dijanjikan). Dalam hal ini tidak terdapat keraguan dan kebimbangan. Titik pemisah antara dua mazhab Syi’ah dan Ahlu Sunnah dalam kasus “Mahdawiat” berada dalam kelahiran beliau.
Mayoritas ulama’ Ahlussunnah Wal Jama’ah meyakini bahwa “Mahdi Mau’ud” hinggi kini belum lahir, namun Syi’ah Imamiyah mengatakan: “Mahdi Mau’ud adalah putera Imam Hasan Askari as yang lahir pada tahun 255 H di Samurra’, hidup di balik tabir keghaiban dan suatu hari akan muncul dengan perintah Allah swt.
Inilah ucapan seluruh kaum Syi’ah Imamiyah dan banyak di antara ulama’ ternama Ahlussunnah juga menerima ucapan tersebut dan menyebutkannya dalam kitab-kitab mereka, di antaranya:
1. Abu Thalib Kamaluddin Muhammad bin Thalhah Syafi’i Qurasyi dalam kitab “Mathalib As-Su’ul”.
2. Ali bin Muhammad bin Shabbagh Maliki dalam “Al-Fushul Al-Muhimmah”.
3. Syablanji dalam “Nur Al-Abshar”.
4. Ibnu Hajar Syafi’i Haitami Mishri dalam “Ash-Shawa’iq Al-Muhriqah”.
5. Ibnu Khalkan dalam “Wafiyat Al-A’yan”.
6. Muhammad Amin Baghdadi dalam “Sabaik Adh-Dhahab”.
7. Abdul Wahab Sa’rawi Syafi’i Mishri dalam “Al-Yawaqit Wa Al-Jawahir Fi Bayan ‘Aqaid Al-Akabir”.
8. Abu Ash-Shalah Halabi dalam “Syadharat Adh-Dhahab”.
9. Syamsuddin Dhahabi dalam “Al-‘Ibar Fi Khabar Man Ghabar”.
10. Ganji Syafi’i dalam “Kifayah Ath-Thalib”.
11. Syamsuddin Yusuf bin Qaz’ali Baghdadi Hanafi, terkenal dengan Sibth bin Jauzi dalam kitab “Tadhkirah Khawash Al-Ummah”.
12. Muhyiddin Ibnu Arabi dalam “Al-Futuhat Al-Makkiyah”.
13. Hafidh Muhammad Bukhari, dikenal dengan Khajeh Parsa-e Hanafi dalam “Fashl Al-Khitab”.
14. Hafidh Muhammad bin Abi Al-Fawaris dalam “Arba’in”.
15. Abdul Haq Dehlawi Bukhari dalam “Manaqib”.
16. Sayed Jamaluddin Athaillah Muhaddis dalam kitab “Raudhah Al-Ahbab”.
17. Baladhiri dalam “Musalsalat”.
18. Syihabuddin Hindi, dikenal dengan Malik Al-Ulama’ dalam “Hidayah As-Su’ada’”.
19. Fadhl bin Ruzbahan dalam Syarah “Asy-Syamail Turmudhi”.
20. Qunduzi Balkhi dalam “Yanabi’ Al-Mawaddah”.
21. Abdurrahman Jami dalam “Nafahat”.
22. Abul Ma’ali Muhammad Sirajuddin Rifa’i dalam “Shihah Al-Akhbar Fi Nasab As-Sadat Al-Fatimiyah Al-Akhyar”.
23. Yusuf bin Yahya Syafi’i dalam “Aqd Ad-Durar Fi Dhuhur Al-Muntazar”.
24. Syaikh Abdullah bin Muhammad Muthiri Syafi’i dalam “Riyadh Az-Zahirah”.[1]
Sebagian pengkaji menyebutkan lebih dari seratus nama dari ulama’ Ahlusunnah yang menyebutkan kelahiran Imam Mahdi as dalam kitab-kitab mereka.[2]
Mahdawiat Dalam Islam
Di antara akidah Islam adalah keyakinan terhadap Mahdawiat. Pembahasan Mahdawiat dapat dikaji dalam dua topik “Mahdawiat Umum” dan “Mahdawiat Khusus”.
a) Mahdawiat Umum
Mahdawiat umum yaitu pembuktian bahwa keyakinan terhadap kemunculan “Mahdi Mau’ud” termasuk di antara akidah Islam. Topik pembahasan di sini adalah dalam pembuktian klaim bahwa dengan memperhatikan referensi-referensi Islam terdapat berita gembira akan kemunculan sang penyelamat umat manusia atau “Mahdi Mau’ud”.
Mahdawiat Perspektif Al-Qur’an
Mahdawiat dalam al-Qur’an dapat dijelaskan dalam tiga poros sebagai berikut:
1- Kekuasaan Kaum Saleh Dan Pewarisan Bumi
Allah swt dalam al-Qur’an berfirman:
"وَ لَقَدْ كَتَبْنا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُها عِبادِيَ الصَّالِحُون"
“Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) adh-Dhikr, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh.”[3]
Dengan banyak penguatan, Allah swt dalam ayat ini menjanjikan bahwa pada masa mendatang, kekuasaan orang-orang saleh akan terwujud dan hamba-hamba Allah swt yang saleh dan kompeten akan menjadi pewaris bumi. Dalam riwayat disebutkan bahwa Imam Baqir as bersabda: “Mereka adalah sahabat-sahabat Imam Mahdi as;[4] mereka adalah tentara-tentara Imam Mahdi as”.
2- Kemenangan Haq Dan Hegemoni Agama
Al-Qur’an menyatakan:
"هُوَ الَّذي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدى وَ دينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَ لَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُون"
“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Qur'an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai”.[5]
Janji Allah swt ini akan terwujud dalam naungan pemerintahan Imam Mahdi as. Imam Shadiq as bersabda:
"و الله ما يجئ تأويلها حتى يخرج القائم المهدي # فإذا خرج القائم لم يبق مشرك إلا كره خروجه و لا يبقى كافر إلا قتل، حتى لو كان كافر في بطن صخرة قالت: يا مؤمن في بطني كافر فاكسرني و اقتله"
“Demi Allah! Takwilannya belum datang sehingga al-Qaim al-Mahdi as keluar, maka ketika beliau as keluar tidak akan tersisa seorang musyrik kecuali enggan keluar dan tidak terdapat seorang kafir kecuali dibunuh, bahkan ketika seorang kafir bersembunyi di dalam batu maka batu tersebut berkata: Wahai mukmin! Di dalam diriku terdapat seorang kafir maka hancurkanlah aku dan bunuhlah ia”.[6]
Fakhrur Razi dalam tafsirnya menukil dari Sudi bahwa ayat ini berkenaan dengan kebangkitan Mahdi dan pada masa itu tidak terdapat seorang pun kecuali memeluk Islam.[7]
3- Pemberian Khilafah Dan Kekuasaan
Al-Qur’an menyatakan:
"وَعَدَ اللَّهُ الَّذينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَ عَمِلُوا الصَّالِحاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَ لَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دينَهُمُ الَّذِي ارْتَضى لَهُمْ وَ لَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَني لا يُشْرِكُونَ بي شَيْئاً"
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku”.[8]
Sebagaimana Thabarsi dalam menafsirkan ayat ini menjelaskan: Diriwayatkan dari Ahlul Bait Nabi saw bahwa ayat ini berkenaan dengan Mahdi dari keluarga (keturunan) Muhammad saw.[9]
Imam Sajjad as berkata:
"هم و الله شيعتنا أهل البيت يفعل الله ذلك بهم على يدي رجل منا و هو مهدي هذه الأمة و هو الذي قال رسول الله " لو لم يبق من الدنيا إلا يوم واحد لطول الله ذلك اليوم حتى يلي رجل من عترتي اسمه اسمي يملأ الأرض عدلا و قسطا كما ملئت ظلما و جورا"
“Demi Allah! Mereka adalah Syi’ah kami Ahlul Bait, Allah swt berbuat demikian dengan mereka melalui tangan seseorang dari kami dan dia adalah Mahdi umat ini dan dia yang disabdakan oleh Rasulullah saw: Bila tidak tersisa dari dunia selain satu hari maka Allah swt akan memanjangkan hari tersebut sehingga datang seorang dari keluargaku, namanya adalah namaku yang akan memenuhi bumi dengan keadilan dan penyamarataan sebagaimana telah dipenuhi dengan kezaliman dan kesewenang-wenangan”.[10]
Singkatnya bahwa ketiga hal ini yaitu kemenangan haq dan hegemoni agama, kekuasaan kaum saleh dan pewarisan bumi dan pemberian khilafah dan kekuasaan hingga kini belum terwujud secara sempurna. Hal-hal ini akan terrealisasi dalam bayangan pemerintahan Mahdi Mau’ud as. Ayat-ayat al-Qur’an di atas tanpa menyebutkan nama Mahdi Mau’ud mengindikasikan pemerintahan dan kemunculan beliau as.
Mahdi as Dalam Riwayat
Sedemikian banyak riwayat yang dinukil dari Nabi saw, keluarga dan para sahabat berkenaan dengan Mahdi Mau’ud sehingga tidak tersisa lagi sedikitpun keraguan dan kesamaran. Sangat banyak dari sahabat-sahabat Nabi saw di antaranya Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Abdurrahman bin Auf, Abdullah bin Abbas, Ammar bin Yasir, Abdullah bin Mas’ud, Abu Sa’id Khudri, Abdullah bin Harits, Qurrah bin Iyas Mazni, Hudhaifah bin Yaman, Jabir bin Abdullah, Jabir bin Majid, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Imran bin Hashin dan Ummu Salamah menukil riwayat-riwayat yang berhubungan dengan Mahdi Mau’ud dari Nabi saw.[11]
Mansur Ali Nashif, penulis kitab “At-Taj Al-Jami’ Lil Ushul” menulis:
“Telah masyhur di kalangan seluruh ulama’ kini dan terdahulu bahwa pada akhir masa secara yakin akan muncul seorang dari Ahlul Bait as yang akan menguasai negeri-negeri Islam dan seluruh kaum Muslimin akan mengikutinya, akan menerapkan keadilan di kalangan mereka dan memperkuat agama”. Kemudian ia melanjutkan: “Hadis-hadis seputar Mahdi telah diriwayatkan oleh sekelompok dari sahabat terkemuka Nabi saw dan disebutkan oleh para tokoh hadis seperti Abi Daud, Tirmidhi, Ibnu Majah, Thabrani, Abi Ya’la, Imam Ahmad dan Hakim Nisyaburi dalam kitab-kitab mereka.[12]
Ringkasnya bahwa kepercayaan terhadap Mahdawiat termasuk di antara hal-hal urgen dalam agama Islam dan tidak satu pun dari kelompok dan mazhab Islam dapat mengingkarinya. Jabir bin Abdullah Ansari berkata: Nabi saw bersabda:
"من أنكر خروج المهدي فقد كفر بما أنزل على محمد"
“Barangsiapa mengingkari kemunculan Al-Mahdi as maka sesungguhnya ia telah kafir terhadap apa yang telah diturunkan kepada Muhammad saw”.[13]
Berdasarkan tulisan pengarang kitab “Muntakhab Al-Atsar” terdapat lebih dari 657 riwayat yang dinukil berkenaan dengan Mahdi Mau’ud.[14] Kini akan disinggung sebagian dari riwayat-riwayat tersebut:
Nabi saw bersabda:
"أُبَشِّرُكُمْ بِالْمَهْدِيِّ يُبْعَثُ فِي أُمَّتِي عَلَى اخْتِلَافٍ مِنْ النَّاسِ وَزَلَازِلَ فَيَمْلَأُ الْأَرْضَ قِسْطًا وَعَدْلًا كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا وَظُلْمًا"
“Aku beritakan kabar gembira kepada kalian akan Al-Mahdi yang dibangkitkan di dalam umatku ketika terjadi perselisihan di antara umat manusia dan keguncangan maka ia akan memenuhi bumi dengan keadilan dan pemerataan sebagaimana telah dipenuhi dengan kesewenang-wenangan dan kezaliman”.[15]
Beliau saw juga bersabda:
"لو لم يبق من الدنيا إلا يوم واحد لطول الله ذلك اليوم حتى ?خرج رجل من ولد? ف?ملأها عدلا و قسطا کما ملئت ظلما و جورا"
“Bila tidak tersisa dari dunia selain satu hari maka Allah swt akan memanjangkan hari tersebut sehingga keluar seorang dari keturunanku maka ia akan memenuhinya dengan keadilan dan pemerataan sebagaimana telah dipenuhi dengan kezaliman dan kesewenang-wenangan”.[16]
Dalam riwayat-riwayat Nabi saw disamping memberitakan kemunculan Mahdi as juga disinggung sebagian kriteria yang di antaranya beliau saw bersabda:
- “Mahdi dari keturunan Fatimah as”.[17]
- “Namanya adalah namaku”.[18]
- Julukannya adalah julukanku”.[19]
Juga banyak kriteria lain Imam Mahdi as yang dijelaskan di dalam riwayat-riwayat yang akan diterangkan dalam topik Mahdawiat khusus.
b) Mahdawiat Khusus
Mahdawiat khusus dengan artian bahwa Mahdi Mau’ud yang menjadi berita gembira Nabi saw dan pemakai baju janji Ilahi dalam hal “Penganugerahan khilafah dan kekuasaan”, “Pemerintahan dan kekuasaan kaum saleh” dan “Kemenangan haq dan hegemoni agama Islam” yang telah disinggung dalam al-Qur’an adalah putera Imam Hasan Askari as. Beliau lahir di Samurra’ pada tahun 255 H dan kini sedang tersembunyi dan gaib dari penglihatan. Pada suatu hari kelak dengan perintah Allah swt akan muncul dan memenuhi dunia dengan keadilan dan pemerataan.
Kini dalam topik Mahdawiat khusus kita sedang membuktikan hal ini.
Dasar-dasar Mahdawiat Khusus
Untuk membuktikan Mahdawiat khusus perlu sekali menjelaskan beberapa hal yang terlontar dengan tema dasar-dasar Mahdawiat Khusus. Dasar-dasar tersebut adalah sebagai berikut:
1- Urgensitas Keberadaan Imam
Di antara keyakinan-keyakinan religius kita kaum Muslimin adalah kepercayaan terhadap “Urgensitas keberadaan imam” pada setiap masa. Ucapan ini dapat dibuktikan dan diargumentasikan melalui jalur rasio dan juga teks dan riwayat. Rasio berkata: Kenabian dan imamah merupakan suatu pancaran dan anugerah spiritual, anugerah ini terdapat di antara umat-umat terdahulu, sehingga sampai pada masa Nabi Islam saw. Kini yang menjadi permasalahan adalah bahwa apakah dengan kepergian Nabi Islam saw anugerah maknawi tersebut telah terputus atau tidak? Bila kita mengatakan telah terputus, maka muncul tanda tanya kenapa Allah swt menganugerahkan pancaran seperti itu kepada umat-umat terdahulu, akan tetapi tidak memberikannya kepada umat Islam; apakah umat Islam lebih rendah potensi dan kompetensinya dari orang-orang terdahulu?! Dengan pasti dapat kita katakan tidak lebih sedikit, bahkan lebih tinggi dan banyak. Oleh karena itu kenapa anugerah ini terputus dari umat Islam?
Jawaban yang benar atas pertanyaan ini adalah bahwa pancaran dan anugerah ini tidak terputus. Syi’ah Imamiyah berkata: Pasca kepergian Nabi Islam saw dua belas wujud bercahaya dan mutiara imamah; yaitu para imam maksum memikul beban pancaran agung spiritual ini, dengan perbedaan bahwa pada masa Nabi saw relasi terjadi atas dasar kenabian, akan tetapi pasca Nabi Islam saw yang adalah penutup para nabi dan rangkaian para nabi telah berakhir, maka pancaran ini terjadi dengan bentuk lain. Keberadaan manusia sempurna menjadi perantara pancaran Ilahi. Pancaran spiritual pasca Nabi saw terhubung melalui jalur wujud sempurna imam. Kini perantara pancaran tersebut adalah wujud suci Imam Mahdi as.
Argumen ini menjadi semakin kuat didukung dengan riwayat-riwayat yang mengatakan bahwa pada setiap masa harus terdapat imam dan kaum Muslimin harus mengenal imam tersebut supaya berada dalam kelompok kaum Muslimin dan beragama.
Dalam hadis-hadis Nabi saw dengan berbagai ragam ungkapan disebutkan bahwa pada setiap masa harus ada seorang imam dan mengenal imam adalah wajib atas kaum Muslimin. Nabi saw bersabda:
"من مات بغ?ر امام مات م?تة جاهل?ة"
“Barangsiapa mati tanpa imam maka ia mati seperti mati pada masa jahiliah”.[20]
Nabi saw juga bersabda:
"ان الحجة لا ?قوم لله عل? خلقه الا بإمام حت? ?عرف"
“Sesungguhnya hujjah tidak akan tegak bagi Allah swt atas makhluk-Nya kecuali dengan seorang imam sehingga dikenal”.[21]
Imam Ali as berkata:
"لا تخلو الارض من حجة ظاهر او خائف مغمور"
“Bumi tidak akan kosong dari hujjah, baik yang tampak atau tersembunyi”.[22]
2- Menerima Riwayat-riwayat Berkenaan Dengan 12 Imam
Riwayat-riwayat Nabi saw berhubungan dengan 12 imam diterima oleh seluruh mazhab Islam. Syi’ah dan Ahlusunnah menerima permasalahan bahwa Rasulullah saw berulangkali mengucapkan tentang 12 imam setelah beliau saw dan itupun dengan berbagai macam lafad.
Beliau saw terkadang bersabda: Selepasku terdapat 12 “Amir”.[23] Terkadang menyatakan tentang 12 “Naqib”.[24] Sesekali melontarkan 12 “Khalifah”.[25] Di lain kesempatan menggunakan lafad 12 “Washi”.[26] Pada suatu waktu mengatakan 12 “Imam”,[27] 12 “Wali”,[28] 12 “Qayyim”,[29] dan 12 “Qaim”.[30] [31]
Dari serangkaian ungkapan ini dapat disimpulkan sebuah poin bahwa selepas Nabi saw harus ada 12 orang berkepribadian tinggi dan terpilih yang memikul tanggung jawab imamah dan kepemimpinan religius dan politik umat Islam dan 12 pribadi ini akan senantiasa ada dan bersambung hingga kesudahan umur dunia.
3- Menerima Imamah 12 Imam Melalui Jalur Pelantikan
Setelah menerima imamah secara umum, menerima imamah secara khusus juga berperan dalam Mahdawiat; artinya sebelum kita meyakini Mahdi Mau’ud -yang Syi’ah menerimanya sebagai putera Imam Hasan Askari as-, maka kita harus mempercayai imamah para imam Ahlul Bait as secara berurutan; yaitu Imam Ali, Imam Hasan, Imam Husain, Imam Ali bin Husain, Imam Muhammad bin Ali, Imam Ja’far bin Muhammad, Imam Musa bin Ja’far, Imam Ali bin Musa, Imam Muhammad bin Ali Jawad, Imam Ali bin Muhammad Hadi dan Imam Hasan bin Ali Askari as.
Juga harus kita terima bahwa imam-imam Ahlul Bait ini telah dilantik sebagai imam melalui pelantikan dan penetapan Ilahi dan dengan proklamasi dan statement Nabi saw.
Mutiara imamah terakhir adalah putera Imam Hasan Askari as, Muhammad bin Hasan Al-Mahdi as.
Pada masa permulaan dakwah terang-terangan, ketika Nabi saw menerima perintah dari Allah swt, dalam suatu jamuan beliau menyeru sanak famili kepada Islam dan pada seruan ini Imam Ali as memenuhi ajakan tersebut, Nabi saw melontarkan imamah Ali as untuk masa selepas beliau dan sepanjang 20 tahun setelah kejadian itu beliau saw selalu memberitakan imamah Ali as berulangkali.
Nabi saw di tahun terakhir kehidupan beliau setelah haji Wada’ bersabda:
"من کنت مولاه فهذا عل? مولاه"
“Barangsiapa yang aku adalah maulanya maka Ali adalah maulanya”.[32]
Juga ketika ayat “Wilayah”[33] turun, Nabi saw bersabda:
"هم خلفائ? يا جابر و أئمة المسلمين من بعدي، أولهم علي بن ابي طالب، ثم الحسن، ثم الحسين، ثم علي بن الحسين، ثم محمد بن علي...، ثم الصادق جعفر بن محمد، ثم موسى بن جعفر، ثم علي بن موسى، ثم محمد بن علي، ثم علي بن محمد، ثم الحسن بن علي، ثم سمي و کني حجة الله في ارضه و بق?ته ف? عباده ابن الحسن بن علي"
“Mereka adalah khalifah-khalifahku wahai Jabir, dan para imam (pemimpin) kaum Muslimin selepasku, yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib kemudian Hasan kemudian Husain kemudian Ali bin Husain, kemudian Muhammad bin Ali... kemudian Ash-Shadiq Ja’far bin Muhammad kemudian Musa bin Ja’far kemudian Ali bin Musa kemudian Muhammad bin Ali kemudian Ali bin Muhammad kemudian Hasan bin Ali kemudian yang bernama dan berjulukan Hujjatullah di muka bumi dan Baqiyyatullah di antara hamba-hamba-Nya, Ibnu (putera) Hasan bin Ali”. [34]
4- Menerima Riwayat-riwayat Seputar Kegaiban Dan Kriteria-kriteria Imam Mahdi as
Salah satu di antara dasar-dasar penerimaan Mahdawiat adalah menerima riwayat-riwayat berkenaan dengan kegaiban Imam Mahdi as. Pasca masa Nabi saw dan selanjutnya masing-masing dari pembesar keluarga itu telah memberitakan jauh-jauh sebelumnya secara tertib akan kelahiran, kriteria-kriteria, kegaiban dan kemunculan Imam Mahdi as.
Dalam riwayat Jabir yang telah disebutkan, Nabi saw bersabda: Selepas Hasan bin Ali (Imam Askari as) puteranya adalah imam. Namanya adalah namaku dan julukannya adalah julukanku. Dialah yang Allah swt melapangkan Timur dan Barat melaluinya. Dialah yang gaib dari wali-wali-Nya, kegaibannya sedemikian panjang sehingga banyak orang yang meragukannya. Hanya hati yang telah teruji akan tegak dan tegar dengannya.[35]
Menurut tulisan pengarang kitab “Muntakhab Al-Atsar” riwayat berkenaan dengan Mahdi Mau’ud, kriteria-kriteria dan bahwa beliau akan tersembunyi dari penglihatan sangat banyak dan luas, sebagai berikut:
- Disebutkan dalam 58 riwayat bahwa jumlah imam adalah 12 yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib as dan terakhir adalah Mahdi as.
- Dalam 657 riwayat diberitakan tentang kemunculan Imam Mahdi as.
- Dalam 48 riwayat dijelaskan bahwa nama dan julukan Imam Mahdi as sama seperti nama dan julukan Nabi saw.
- Dinyatakan dalam 214 riwayat bahwa Imam Mahdi as dari keturunan Amirul Mukminin Ali as.
- Dalam 192 riwayat ditegaskan bahwa Imam Mahdi as dari putera-putera Fatimah as.
- Pada 185 riwayat disebutkan bahwa Mahdi Mau’ud as dari keturunan Imam Husain as.
- Pada 148 riwayat disebutkan bahwa Mahdi Mau’ud as adalah keturunan kesembilan Imam Husain as.
- Pada 185 riwayat disebutkan bahwa Imam Mahdi as dari keturunan Imam Zainal Abidin, Ali bin Husain as.
- Dalam 103 riwayat Imam Mahdi as diperkenalkan sebagai keturunan Imam Muhammad Baqir.
- Dalam 103 riwayat Imam Mahdi as diperkenalkan sebagai keturunan Imam Ja’far Shadiq as.
- Dalam 101 riwayat Imam Mahdi as diperkenalkan sebagai keturunan Imam Musa bin Ja’far as.
- Dalam 95 riwayat Imam Mahdi as disebutkan sebagai keturunan keempat Imam Ridha as.
- Dalam 90 riwayat ditegaskan bahwa Imam Mahdi as sebagai keturunan ketiga Imam Jawad as.
- Dalam 90 riwayat Imam Mahdi as diperkenalkan sebagai keturunan Imam Hadi as.
- Dalam 146 riwayat dijelaskan bahwa Imam Mahdi as sebagai putera Imam Hasan Askari as.
- Dalam 147 riwayat disebutkan bahwa nama ayah Imam Mahdi as adalah Hasan.
- 123 riwayat menyebutkan bahwa Imam Mahdi as akan memenuhi dunia dengan keadilan dan pemerataan.
- 91 riwayat menjelaskan bahwa kegaiban Imam Mahdi as sangat panjang.
- 318 riwayat menegaaskan bahwa umur Imam Mahdi as sangat panjang.
- Dalam 47 riwayat dinyatakan bahwa agama Islam akan mendunia melalui Imam Mahdi as dan janji penganugerahan khilafah dan kekuasaan kepada kaum saleh akan terwujud.
- 136 riwayat memberitakan bahwa Imam Mahdi as adalah imam kedua belas dan terakhir.
- 10 riwayat menyatakan bahwa Imam Mahdi as memiliki dua kegaiban, gaib Shughra dan Kubra.
- Dalam 14 riwayat disebutkan bahwa kelahiran Imam Mahdi as tersembunyi dan secara rahasia.
- 2 riwayat menyebutkan bahwa bila dari keturunan Nabi saw datang nama-nama Muhammad, Ali, Hasan secara berurutan, maka keempatnya adalah Qaim dan Mahdi Mau’ud as.[36]
Permusuhan Para Penguasa Abbasi
Sikap para penguasa Abbasi terhadap para imam as sangat berbeda; terkadang kezaliman mereka terbatas dan terkadang semakin keras. Kadang-kadang para penguasa Abbasi masuk dari pintu persahabatan dengan mereka dan kadangkala bersikap luar biasa keras dan bermusuhan.
Setelah kejadian penganugerahan gelar putera mahkota kepada Imam Ridha dan kesyahidan beliau as, Bani Abbas semakin mempersempit ruang gerak para imam. Tekanan mereka semakin berlipat ganda dan menyebabkan para imam syahid pada usia relatif muda: Imam Jawad as pada usia 25 tahun, Imam Hadi pada usia 41 dan Imam Hasan Askari pada usia 28 mereka syahidkan. Fenomena ini menceritakan tentang tekanan keras dan serangan yang dilontarkan kepada para imam as.
Ketika Mutawakkil Abbasi memegang tampuk kekuasaan dan pemerintahan, maka politik menentang Alawi semakin keras. Pada periode ini, para pemuka dari keturunan Ali, terutama dari Bani (keturunan) Fatimah lebih tertekan dibandingkan periode lain. Mutawakkil mendatangkan Imam Hadi as ke kediaman khilafah (Samurra’), mengawasi dari dekat dan dengan perintahnya para penjaga mengontrol seluruh pertemuan beliau as secara ketat.
Pada masa Imam Askari pembatasan ini semakin bertambah.
Pembatasan dan tekanan ini dilaksanakan dengan dua alasan:
Pertama, pada masa itu kaum Syi’ah mengalami suatu perkembangan menyolok dan berubah menjadi sebuah kekuatan besar di wilayah Iraq yang menyatakan bahwa kekuasaan dan pemerintahan adalah hak pasti para imam, sementara khilafah Bani Abbas tidak sah. Mereka menantikan kesempatan untuk bangkit melawan para penguasa Abbasi. Hal ini menyebabkan Bani Abbas meningkatkan tekanan terhadap kaum Syi’ah, terutama para pemimpin mereka.
Kedua, berdasarkan berita-berita yang ternukil dari Nabi saw dan Ahlul Baitnya as, Bani Abbas mengetahui bahwa Mahdi Mau’ud, dari keturunan Imam Hasan Askari as sebagai penghancur dan penumpas pemerintahan dan kekuasaan bejad. Oleh karena alasan inilah, mereka selalu mengawasi Imam Hasan Askari as dan keluarga beliau, sehingga mungkin dapat menangkap putera tersebut dan membunuhnya. (Sebagaimana usaha Fir’aun untuk menangkap dan membinasakan Nabi Musa as sia-sia).
Untuk menghadapi dan menghalau siasat berbahaya Bani Abbas ini, Imam Hasan Askari berusaha mengarahkan para pengikutnya untuk lebih bertaqiyah, berhati-hati dan menyembunyikan rahasia, sementara beliau sendiri pun menginstruksikan kepada keluarga dan orang-orang terdekat untuk tidak menyebarkan berita tentang kelahiran Imam Mahdi as sehingga musuh tidak mampu mencapai target kejinya. Meskipun usaha ini dapat menjinakkan rencana busuk Bani Abbas, akan tetapi tetap juga menciptakan berbagai kesulitan bagi kaum Syi’ah yang tidak dapat dihindari. [www.al-shia.org]
* Diterjemahkan oleh Imam Ghozali dari artikel Persia “Kavusi Dar Ahadis-e Mahdaviat” yang dimuat di “Farhang-ge Kaosar” [The Culture Of Kosar Quarterly Of Think And Precedures Of Ahlul-bayt (as) Holy, Tahun ke-11, Musim Panas 1387 HS].
[1] Silahkan lihat: Ilzam An-Nashib, Ali Yazdi Ha’iry, jilid 1, hal. 321 – 340; Dad Gustar-e Jahan (Penyebar Keadilan Dunia), Ibrahim Amini, hal 118 – 120.
[2] Mehdi Muntazar Dar Nahjul Balagheh (Mahdi Yang Dinanti Dalam Nahjul Balaghah), Mahdi Faqih Imani, hal. 23 – 39; Sire-ye Pishwayan (Sirah Para Pemimpin atau Imam), Mahdi Pishwa’I, hal. 667.
[3] QS. Al-Anbiya’ [21]: 105.
[4] Bihar Al-Anwar, jilid 9, hal. 126.
[5] QS. At-Taubah [9]: 33.
[6] Yanabi’ Al-Mawaddah, Qunduzy Hanafi, hal.423.
[7] Tafsir Kabir, Fakhrur Razi, jilid 16, hal. 40.
[8] QS. An-Nur [24]: 55.
[9] Majma’ Al-Bayan, Thabarsi, jilid 7, hal. 152.
[10] Idem; Al-Burhan Fi Tafsir Al-Qur’an, jilid 7, hal. 123.
[11] Peyam-e Qur’an, jilid 9, hal. 422.
[12] At-Taj, jilid 5, hal. 341; Dinukil dari Idem, hal. 428.
[13] Yanabi’ Al-Mawaddah, hal. 447.
[14] Muntakhab Al-Atsar, Luthfullah Shafi, hal. 191 dan selanjutnya.
[15] Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 3, hal. 37.
[16] Idem, hal 17.
[17] Sunan Abi Daud, jilid 2, hal. 207.
[18] Sunan Tirmidhi, jilid 2, hal. 46.
[19] Yanabi’ Al-Mawaddah, hal 495.
[20] Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 4, hal. 96 dan jilid 2, hal. 83 dan 93; Shahih Muslim, jilid 3, hal. 1478.
[21] Ushul Kafi, jilid 1, hal. 135.
[22] Nahjul Balaghah, Hikmah ke-147.
[23] Shahih Bukhari, jilid 4, hal. 165.
[24] Fath Al-Bari, jilid 16, hal. 339.
[25] Mustadrak Hakim, jilid 3, hal. 18.
[26] Ma’alim Al-Madrasatain, jilid 1, hal. 547.
[27] Bihar Al-Anwar, jilid 36, hal. 261.
[28] Syarh An-Nawawi ‘Ala Muslim, jilid 12, hal. 202.
[29] Kanz Al-‘Ummal, jilid 13, hal. 27.
[30] Idem.
[31] Saduran dari “Ma’alim Al-Madrasatain”, jilid 1, hal. 534 – 541.
[32] Tarikh Damesyq, Ibnu Asakir, jilid 1, hal. 366.
[33] QS. Al-Maidah [5]: 55.
[34] Yanabi’ Al-Mawaddah, hal. 494 – 495.
[35] Idem, hal. 495.
[36] Muntakhab Al-Atsar, hal. 23 – 26.
KAJIAN SEPUTAR HADIS-HADIS MAHDAWIAT*
pengarang : Hasan Asyuri Langgarudi
Prakata
Keyakinan terhadap Mahdawiat termasuk di antara hal-hal yang disepakati dan pasti dalam sejarah dan teologi Islam. Seluruh kaum Muslimin, Syiah maupun Ahlussunnah mempercayai “Mahdi Mau’ud” (Mahdi yang dijanjikan). Dalam hal ini tidak terdapat keraguan dan kebimbangan. Titik pemisah antara dua mazhab Syi’ah dan Ahlu Sunnah dalam kasus “Mahdawiat” berada dalam kelahiran beliau.
Mayoritas ulama’ Ahlussunnah Wal Jama’ah meyakini bahwa “Mahdi Mau’ud” hinggi kini belum lahir, namun Syi’ah Imamiyah mengatakan: “Mahdi Mau’ud adalah putera Imam Hasan Askari as yang lahir pada tahun 255 H di Samurra’, hidup di balik tabir keghaiban dan suatu hari akan muncul dengan perintah Allah swt.
Inilah ucapan seluruh kaum Syi’ah Imamiyah dan banyak di antara ulama’ ternama Ahlussunnah juga menerima ucapan tersebut dan menyebutkannya dalam kitab-kitab mereka, di antaranya:
1. Abu Thalib Kamaluddin Muhammad bin Thalhah Syafi’i Qurasyi dalam kitab “Mathalib As-Su’ul”.
2. Ali bin Muhammad bin Shabbagh Maliki dalam “Al-Fushul Al-Muhimmah”.
3. Syablanji dalam “Nur Al-Abshar”.
4. Ibnu Hajar Syafi’i Haitami Mishri dalam “Ash-Shawa’iq Al-Muhriqah”.
5. Ibnu Khalkan dalam “Wafiyat Al-A’yan”.
6. Muhammad Amin Baghdadi dalam “Sabaik Adh-Dhahab”.
7. Abdul Wahab Sa’rawi Syafi’i Mishri dalam “Al-Yawaqit Wa Al-Jawahir Fi Bayan ‘Aqaid Al-Akabir”.
8. Abu Ash-Shalah Halabi dalam “Syadharat Adh-Dhahab”.
9. Syamsuddin Dhahabi dalam “Al-‘Ibar Fi Khabar Man Ghabar”.
10. Ganji Syafi’i dalam “Kifayah Ath-Thalib”.
11. Syamsuddin Yusuf bin Qaz’ali Baghdadi Hanafi, terkenal dengan Sibth bin Jauzi dalam kitab “Tadhkirah Khawash Al-Ummah”.
12. Muhyiddin Ibnu Arabi dalam “Al-Futuhat Al-Makkiyah”.
13. Hafidh Muhammad Bukhari, dikenal dengan Khajeh Parsa-e Hanafi dalam “Fashl Al-Khitab”.
14. Hafidh Muhammad bin Abi Al-Fawaris dalam “Arba’in”.
15. Abdul Haq Dehlawi Bukhari dalam “Manaqib”.
16. Sayed Jamaluddin Athaillah Muhaddis dalam kitab “Raudhah Al-Ahbab”.
17. Baladhiri dalam “Musalsalat”.
18. Syihabuddin Hindi, dikenal dengan Malik Al-Ulama’ dalam “Hidayah As-Su’ada’”.
19. Fadhl bin Ruzbahan dalam Syarah “Asy-Syamail Turmudhi”.
20. Qunduzi Balkhi dalam “Yanabi’ Al-Mawaddah”.
21. Abdurrahman Jami dalam “Nafahat”.
22. Abul Ma’ali Muhammad Sirajuddin Rifa’i dalam “Shihah Al-Akhbar Fi Nasab As-Sadat Al-Fatimiyah Al-Akhyar”.
23. Yusuf bin Yahya Syafi’i dalam “Aqd Ad-Durar Fi Dhuhur Al-Muntazar”.
24. Syaikh Abdullah bin Muhammad Muthiri Syafi’i dalam “Riyadh Az-Zahirah”.[1]
Sebagian pengkaji menyebutkan lebih dari seratus nama dari ulama’ Ahlusunnah yang menyebutkan kelahiran Imam Mahdi as dalam kitab-kitab mereka.[2]
Mahdawiat Dalam Islam
Di antara akidah Islam adalah keyakinan terhadap Mahdawiat. Pembahasan Mahdawiat dapat dikaji dalam dua topik “Mahdawiat Umum” dan “Mahdawiat Khusus”.
a) Mahdawiat Umum
Mahdawiat umum yaitu pembuktian bahwa keyakinan terhadap kemunculan “Mahdi Mau’ud” termasuk di antara akidah Islam. Topik pembahasan di sini adalah dalam pembuktian klaim bahwa dengan memperhatikan referensi-referensi Islam terdapat berita gembira akan kemunculan sang penyelamat umat manusia atau “Mahdi Mau’ud”.
Mahdawiat Perspektif Al-Qur’an
Mahdawiat dalam al-Qur’an dapat dijelaskan dalam tiga poros sebagai berikut:
1- Kekuasaan Kaum Saleh Dan Pewarisan Bumi
Allah swt dalam al-Qur’an berfirman:
"وَ لَقَدْ كَتَبْنا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُها عِبادِيَ الصَّالِحُون"
“Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) adh-Dhikr, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh.”[3]
Dengan banyak penguatan, Allah swt dalam ayat ini menjanjikan bahwa pada masa mendatang, kekuasaan orang-orang saleh akan terwujud dan hamba-hamba Allah swt yang saleh dan kompeten akan menjadi pewaris bumi. Dalam riwayat disebutkan bahwa Imam Baqir as bersabda: “Mereka adalah sahabat-sahabat Imam Mahdi as;[4] mereka adalah tentara-tentara Imam Mahdi as”.
2- Kemenangan Haq Dan Hegemoni Agama
Al-Qur’an menyatakan:
"هُوَ الَّذي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدى وَ دينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَ لَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُون"
“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Qur'an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai”.[5]
Janji Allah swt ini akan terwujud dalam naungan pemerintahan Imam Mahdi as. Imam Shadiq as bersabda:
"و الله ما يجئ تأويلها حتى يخرج القائم المهدي # فإذا خرج القائم لم يبق مشرك إلا كره خروجه و لا يبقى كافر إلا قتل، حتى لو كان كافر في بطن صخرة قالت: يا مؤمن في بطني كافر فاكسرني و اقتله"
“Demi Allah! Takwilannya belum datang sehingga al-Qaim al-Mahdi as keluar, maka ketika beliau as keluar tidak akan tersisa seorang musyrik kecuali enggan keluar dan tidak terdapat seorang kafir kecuali dibunuh, bahkan ketika seorang kafir bersembunyi di dalam batu maka batu tersebut berkata: Wahai mukmin! Di dalam diriku terdapat seorang kafir maka hancurkanlah aku dan bunuhlah ia”.[6]
Fakhrur Razi dalam tafsirnya menukil dari Sudi bahwa ayat ini berkenaan dengan kebangkitan Mahdi dan pada masa itu tidak terdapat seorang pun kecuali memeluk Islam.[7]
3- Pemberian Khilafah Dan Kekuasaan
Al-Qur’an menyatakan:
"وَعَدَ اللَّهُ الَّذينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَ عَمِلُوا الصَّالِحاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَ لَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دينَهُمُ الَّذِي ارْتَضى لَهُمْ وَ لَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَني لا يُشْرِكُونَ بي شَيْئاً"
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku”.[8]
Sebagaimana Thabarsi dalam menafsirkan ayat ini menjelaskan: Diriwayatkan dari Ahlul Bait Nabi saw bahwa ayat ini berkenaan dengan Mahdi dari keluarga (keturunan) Muhammad saw.[9]
Imam Sajjad as berkata:
"هم و الله شيعتنا أهل البيت يفعل الله ذلك بهم على يدي رجل منا و هو مهدي هذه الأمة و هو الذي قال رسول الله " لو لم يبق من الدنيا إلا يوم واحد لطول الله ذلك اليوم حتى يلي رجل من عترتي اسمه اسمي يملأ الأرض عدلا و قسطا كما ملئت ظلما و جورا"
“Demi Allah! Mereka adalah Syi’ah kami Ahlul Bait, Allah swt berbuat demikian dengan mereka melalui tangan seseorang dari kami dan dia adalah Mahdi umat ini dan dia yang disabdakan oleh Rasulullah saw: Bila tidak tersisa dari dunia selain satu hari maka Allah swt akan memanjangkan hari tersebut sehingga datang seorang dari keluargaku, namanya adalah namaku yang akan memenuhi bumi dengan keadilan dan penyamarataan sebagaimana telah dipenuhi dengan kezaliman dan kesewenang-wenangan”.[10]
Singkatnya bahwa ketiga hal ini yaitu kemenangan haq dan hegemoni agama, kekuasaan kaum saleh dan pewarisan bumi dan pemberian khilafah dan kekuasaan hingga kini belum terwujud secara sempurna. Hal-hal ini akan terrealisasi dalam bayangan pemerintahan Mahdi Mau’ud as. Ayat-ayat al-Qur’an di atas tanpa menyebutkan nama Mahdi Mau’ud mengindikasikan pemerintahan dan kemunculan beliau as.
Mahdi as Dalam Riwayat
Sedemikian banyak riwayat yang dinukil dari Nabi saw, keluarga dan para sahabat berkenaan dengan Mahdi Mau’ud sehingga tidak tersisa lagi sedikitpun keraguan dan kesamaran. Sangat banyak dari sahabat-sahabat Nabi saw di antaranya Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Abdurrahman bin Auf, Abdullah bin Abbas, Ammar bin Yasir, Abdullah bin Mas’ud, Abu Sa’id Khudri, Abdullah bin Harits, Qurrah bin Iyas Mazni, Hudhaifah bin Yaman, Jabir bin Abdullah, Jabir bin Majid, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Imran bin Hashin dan Ummu Salamah menukil riwayat-riwayat yang berhubungan dengan Mahdi Mau’ud dari Nabi saw.[11]
Mansur Ali Nashif, penulis kitab “At-Taj Al-Jami’ Lil Ushul” menulis:
“Telah masyhur di kalangan seluruh ulama’ kini dan terdahulu bahwa pada akhir masa secara yakin akan muncul seorang dari Ahlul Bait as yang akan menguasai negeri-negeri Islam dan seluruh kaum Muslimin akan mengikutinya, akan menerapkan keadilan di kalangan mereka dan memperkuat agama”. Kemudian ia melanjutkan: “Hadis-hadis seputar Mahdi telah diriwayatkan oleh sekelompok dari sahabat terkemuka Nabi saw dan disebutkan oleh para tokoh hadis seperti Abi Daud, Tirmidhi, Ibnu Majah, Thabrani, Abi Ya’la, Imam Ahmad dan Hakim Nisyaburi dalam kitab-kitab mereka.[12]
Ringkasnya bahwa kepercayaan terhadap Mahdawiat termasuk di antara hal-hal urgen dalam agama Islam dan tidak satu pun dari kelompok dan mazhab Islam dapat mengingkarinya. Jabir bin Abdullah Ansari berkata: Nabi saw bersabda:
"من أنكر خروج المهدي فقد كفر بما أنزل على محمد"
“Barangsiapa mengingkari kemunculan Al-Mahdi as maka sesungguhnya ia telah kafir terhadap apa yang telah diturunkan kepada Muhammad saw”.[13]
Berdasarkan tulisan pengarang kitab “Muntakhab Al-Atsar” terdapat lebih dari 657 riwayat yang dinukil berkenaan dengan Mahdi Mau’ud.[14] Kini akan disinggung sebagian dari riwayat-riwayat tersebut:
Nabi saw bersabda:
"أُبَشِّرُكُمْ بِالْمَهْدِيِّ يُبْعَثُ فِي أُمَّتِي عَلَى اخْتِلَافٍ مِنْ النَّاسِ وَزَلَازِلَ فَيَمْلَأُ الْأَرْضَ قِسْطًا وَعَدْلًا كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا وَظُلْمًا"
“Aku beritakan kabar gembira kepada kalian akan Al-Mahdi yang dibangkitkan di dalam umatku ketika terjadi perselisihan di antara umat manusia dan keguncangan maka ia akan memenuhi bumi dengan keadilan dan pemerataan sebagaimana telah dipenuhi dengan kesewenang-wenangan dan kezaliman”.[15]
Beliau saw juga bersabda:
"لو لم يبق من الدنيا إلا يوم واحد لطول الله ذلك اليوم حتى ?خرج رجل من ولد? ف?ملأها عدلا و قسطا کما ملئت ظلما و جورا"
“Bila tidak tersisa dari dunia selain satu hari maka Allah swt akan memanjangkan hari tersebut sehingga keluar seorang dari keturunanku maka ia akan memenuhinya dengan keadilan dan pemerataan sebagaimana telah dipenuhi dengan kezaliman dan kesewenang-wenangan”.[16]
Dalam riwayat-riwayat Nabi saw disamping memberitakan kemunculan Mahdi as juga disinggung sebagian kriteria yang di antaranya beliau saw bersabda:
- “Mahdi dari keturunan Fatimah as”.[17]
- “Namanya adalah namaku”.[18]
- Julukannya adalah julukanku”.[19]
Juga banyak kriteria lain Imam Mahdi as yang dijelaskan di dalam riwayat-riwayat yang akan diterangkan dalam topik Mahdawiat khusus.
b) Mahdawiat Khusus
Mahdawiat khusus dengan artian bahwa Mahdi Mau’ud yang menjadi berita gembira Nabi saw dan pemakai baju janji Ilahi dalam hal “Penganugerahan khilafah dan kekuasaan”, “Pemerintahan dan kekuasaan kaum saleh” dan “Kemenangan haq dan hegemoni agama Islam” yang telah disinggung dalam al-Qur’an adalah putera Imam Hasan Askari as. Beliau lahir di Samurra’ pada tahun 255 H dan kini sedang tersembunyi dan gaib dari penglihatan. Pada suatu hari kelak dengan perintah Allah swt akan muncul dan memenuhi dunia dengan keadilan dan pemerataan.
Kini dalam topik Mahdawiat khusus kita sedang membuktikan hal ini.
Dasar-dasar Mahdawiat Khusus
Untuk membuktikan Mahdawiat khusus perlu sekali menjelaskan beberapa hal yang terlontar dengan tema dasar-dasar Mahdawiat Khusus. Dasar-dasar tersebut adalah sebagai berikut:
1- Urgensitas Keberadaan Imam
Di antara keyakinan-keyakinan religius kita kaum Muslimin adalah kepercayaan terhadap “Urgensitas keberadaan imam” pada setiap masa. Ucapan ini dapat dibuktikan dan diargumentasikan melalui jalur rasio dan juga teks dan riwayat. Rasio berkata: Kenabian dan imamah merupakan suatu pancaran dan anugerah spiritual, anugerah ini terdapat di antara umat-umat terdahulu, sehingga sampai pada masa Nabi Islam saw. Kini yang menjadi permasalahan adalah bahwa apakah dengan kepergian Nabi Islam saw anugerah maknawi tersebut telah terputus atau tidak? Bila kita mengatakan telah terputus, maka muncul tanda tanya kenapa Allah swt menganugerahkan pancaran seperti itu kepada umat-umat terdahulu, akan tetapi tidak memberikannya kepada umat Islam; apakah umat Islam lebih rendah potensi dan kompetensinya dari orang-orang terdahulu?! Dengan pasti dapat kita katakan tidak lebih sedikit, bahkan lebih tinggi dan banyak. Oleh karena itu kenapa anugerah ini terputus dari umat Islam?
Jawaban yang benar atas pertanyaan ini adalah bahwa pancaran dan anugerah ini tidak terputus. Syi’ah Imamiyah berkata: Pasca kepergian Nabi Islam saw dua belas wujud bercahaya dan mutiara imamah; yaitu para imam maksum memikul beban pancaran agung spiritual ini, dengan perbedaan bahwa pada masa Nabi saw relasi terjadi atas dasar kenabian, akan tetapi pasca Nabi Islam saw yang adalah penutup para nabi dan rangkaian para nabi telah berakhir, maka pancaran ini terjadi dengan bentuk lain. Keberadaan manusia sempurna menjadi perantara pancaran Ilahi. Pancaran spiritual pasca Nabi saw terhubung melalui jalur wujud sempurna imam. Kini perantara pancaran tersebut adalah wujud suci Imam Mahdi as.
Argumen ini menjadi semakin kuat didukung dengan riwayat-riwayat yang mengatakan bahwa pada setiap masa harus terdapat imam dan kaum Muslimin harus mengenal imam tersebut supaya berada dalam kelompok kaum Muslimin dan beragama.
Dalam hadis-hadis Nabi saw dengan berbagai ragam ungkapan disebutkan bahwa pada setiap masa harus ada seorang imam dan mengenal imam adalah wajib atas kaum Muslimin. Nabi saw bersabda:
"من مات بغ?ر امام مات م?تة جاهل?ة"
“Barangsiapa mati tanpa imam maka ia mati seperti mati pada masa jahiliah”.[20]
Nabi saw juga bersabda:
"ان الحجة لا ?قوم لله عل? خلقه الا بإمام حت? ?عرف"
“Sesungguhnya hujjah tidak akan tegak bagi Allah swt atas makhluk-Nya kecuali dengan seorang imam sehingga dikenal”.[21]
Imam Ali as berkata:
"لا تخلو الارض من حجة ظاهر او خائف مغمور"
“Bumi tidak akan kosong dari hujjah, baik yang tampak atau tersembunyi”.[22]
2- Menerima Riwayat-riwayat Berkenaan Dengan 12 Imam
Riwayat-riwayat Nabi saw berhubungan dengan 12 imam diterima oleh seluruh mazhab Islam. Syi’ah dan Ahlusunnah menerima permasalahan bahwa Rasulullah saw berulangkali mengucapkan tentang 12 imam setelah beliau saw dan itupun dengan berbagai macam lafad.
Beliau saw terkadang bersabda: Selepasku terdapat 12 “Amir”.[23] Terkadang menyatakan tentang 12 “Naqib”.[24] Sesekali melontarkan 12 “Khalifah”.[25] Di lain kesempatan menggunakan lafad 12 “Washi”.[26] Pada suatu waktu mengatakan 12 “Imam”,[27] 12 “Wali”,[28] 12 “Qayyim”,[29] dan 12 “Qaim”.[30] [31]
Dari serangkaian ungkapan ini dapat disimpulkan sebuah poin bahwa selepas Nabi saw harus ada 12 orang berkepribadian tinggi dan terpilih yang memikul tanggung jawab imamah dan kepemimpinan religius dan politik umat Islam dan 12 pribadi ini akan senantiasa ada dan bersambung hingga kesudahan umur dunia.
3- Menerima Imamah 12 Imam Melalui Jalur Pelantikan
Setelah menerima imamah secara umum, menerima imamah secara khusus juga berperan dalam Mahdawiat; artinya sebelum kita meyakini Mahdi Mau’ud -yang Syi’ah menerimanya sebagai putera Imam Hasan Askari as-, maka kita harus mempercayai imamah para imam Ahlul Bait as secara berurutan; yaitu Imam Ali, Imam Hasan, Imam Husain, Imam Ali bin Husain, Imam Muhammad bin Ali, Imam Ja’far bin Muhammad, Imam Musa bin Ja’far, Imam Ali bin Musa, Imam Muhammad bin Ali Jawad, Imam Ali bin Muhammad Hadi dan Imam Hasan bin Ali Askari as.
Juga harus kita terima bahwa imam-imam Ahlul Bait ini telah dilantik sebagai imam melalui pelantikan dan penetapan Ilahi dan dengan proklamasi dan statement Nabi saw.
Mutiara imamah terakhir adalah putera Imam Hasan Askari as, Muhammad bin Hasan Al-Mahdi as.
Pada masa permulaan dakwah terang-terangan, ketika Nabi saw menerima perintah dari Allah swt, dalam suatu jamuan beliau menyeru sanak famili kepada Islam dan pada seruan ini Imam Ali as memenuhi ajakan tersebut, Nabi saw melontarkan imamah Ali as untuk masa selepas beliau dan sepanjang 20 tahun setelah kejadian itu beliau saw selalu memberitakan imamah Ali as berulangkali.
Nabi saw di tahun terakhir kehidupan beliau setelah haji Wada’ bersabda:
"من کنت مولاه فهذا عل? مولاه"
“Barangsiapa yang aku adalah maulanya maka Ali adalah maulanya”.[32]
Juga ketika ayat “Wilayah”[33] turun, Nabi saw bersabda:
"هم خلفائ? يا جابر و أئمة المسلمين من بعدي، أولهم علي بن ابي طالب، ثم الحسن، ثم الحسين، ثم علي بن الحسين، ثم محمد بن علي...، ثم الصادق جعفر بن محمد، ثم موسى بن جعفر، ثم علي بن موسى، ثم محمد بن علي، ثم علي بن محمد، ثم الحسن بن علي، ثم سمي و کني حجة الله في ارضه و بق?ته ف? عباده ابن الحسن بن علي"
“Mereka adalah khalifah-khalifahku wahai Jabir, dan para imam (pemimpin) kaum Muslimin selepasku, yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib kemudian Hasan kemudian Husain kemudian Ali bin Husain, kemudian Muhammad bin Ali... kemudian Ash-Shadiq Ja’far bin Muhammad kemudian Musa bin Ja’far kemudian Ali bin Musa kemudian Muhammad bin Ali kemudian Ali bin Muhammad kemudian Hasan bin Ali kemudian yang bernama dan berjulukan Hujjatullah di muka bumi dan Baqiyyatullah di antara hamba-hamba-Nya, Ibnu (putera) Hasan bin Ali”. [34]
4- Menerima Riwayat-riwayat Seputar Kegaiban Dan Kriteria-kriteria Imam Mahdi as
Salah satu di antara dasar-dasar penerimaan Mahdawiat adalah menerima riwayat-riwayat berkenaan dengan kegaiban Imam Mahdi as. Pasca masa Nabi saw dan selanjutnya masing-masing dari pembesar keluarga itu telah memberitakan jauh-jauh sebelumnya secara tertib akan kelahiran, kriteria-kriteria, kegaiban dan kemunculan Imam Mahdi as.
Dalam riwayat Jabir yang telah disebutkan, Nabi saw bersabda: Selepas Hasan bin Ali (Imam Askari as) puteranya adalah imam. Namanya adalah namaku dan julukannya adalah julukanku. Dialah yang Allah swt melapangkan Timur dan Barat melaluinya. Dialah yang gaib dari wali-wali-Nya, kegaibannya sedemikian panjang sehingga banyak orang yang meragukannya. Hanya hati yang telah teruji akan tegak dan tegar dengannya.[35]
Menurut tulisan pengarang kitab “Muntakhab Al-Atsar” riwayat berkenaan dengan Mahdi Mau’ud, kriteria-kriteria dan bahwa beliau akan tersembunyi dari penglihatan sangat banyak dan luas, sebagai berikut:
- Disebutkan dalam 58 riwayat bahwa jumlah imam adalah 12 yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib as dan terakhir adalah Mahdi as.
- Dalam 657 riwayat diberitakan tentang kemunculan Imam Mahdi as.
- Dalam 48 riwayat dijelaskan bahwa nama dan julukan Imam Mahdi as sama seperti nama dan julukan Nabi saw.
- Dinyatakan dalam 214 riwayat bahwa Imam Mahdi as dari keturunan Amirul Mukminin Ali as.
- Dalam 192 riwayat ditegaskan bahwa Imam Mahdi as dari putera-putera Fatimah as.
- Pada 185 riwayat disebutkan bahwa Mahdi Mau’ud as dari keturunan Imam Husain as.
- Pada 148 riwayat disebutkan bahwa Mahdi Mau’ud as adalah keturunan kesembilan Imam Husain as.
- Pada 185 riwayat disebutkan bahwa Imam Mahdi as dari keturunan Imam Zainal Abidin, Ali bin Husain as.
- Dalam 103 riwayat Imam Mahdi as diperkenalkan sebagai keturunan Imam Muhammad Baqir.
- Dalam 103 riwayat Imam Mahdi as diperkenalkan sebagai keturunan Imam Ja’far Shadiq as.
- Dalam 101 riwayat Imam Mahdi as diperkenalkan sebagai keturunan Imam Musa bin Ja’far as.
- Dalam 95 riwayat Imam Mahdi as disebutkan sebagai keturunan keempat Imam Ridha as.
- Dalam 90 riwayat ditegaskan bahwa Imam Mahdi as sebagai keturunan ketiga Imam Jawad as.
- Dalam 90 riwayat Imam Mahdi as diperkenalkan sebagai keturunan Imam Hadi as.
- Dalam 146 riwayat dijelaskan bahwa Imam Mahdi as sebagai putera Imam Hasan Askari as.
- Dalam 147 riwayat disebutkan bahwa nama ayah Imam Mahdi as adalah Hasan.
- 123 riwayat menyebutkan bahwa Imam Mahdi as akan memenuhi dunia dengan keadilan dan pemerataan.
- 91 riwayat menjelaskan bahwa kegaiban Imam Mahdi as sangat panjang.
- 318 riwayat menegaaskan bahwa umur Imam Mahdi as sangat panjang.
- Dalam 47 riwayat dinyatakan bahwa agama Islam akan mendunia melalui Imam Mahdi as dan janji penganugerahan khilafah dan kekuasaan kepada kaum saleh akan terwujud.
- 136 riwayat memberitakan bahwa Imam Mahdi as adalah imam kedua belas dan terakhir.
- 10 riwayat menyatakan bahwa Imam Mahdi as memiliki dua kegaiban, gaib Shughra dan Kubra.
- Dalam 14 riwayat disebutkan bahwa kelahiran Imam Mahdi as tersembunyi dan secara rahasia.
- 2 riwayat menyebutkan bahwa bila dari keturunan Nabi saw datang nama-nama Muhammad, Ali, Hasan secara berurutan, maka keempatnya adalah Qaim dan Mahdi Mau’ud as.[36]
Permusuhan Para Penguasa Abbasi
Sikap para penguasa Abbasi terhadap para imam as sangat berbeda; terkadang kezaliman mereka terbatas dan terkadang semakin keras. Kadang-kadang para penguasa Abbasi masuk dari pintu persahabatan dengan mereka dan kadangkala bersikap luar biasa keras dan bermusuhan.
Setelah kejadian penganugerahan gelar putera mahkota kepada Imam Ridha dan kesyahidan beliau as, Bani Abbas semakin mempersempit ruang gerak para imam. Tekanan mereka semakin berlipat ganda dan menyebabkan para imam syahid pada usia relatif muda: Imam Jawad as pada usia 25 tahun, Imam Hadi pada usia 41 dan Imam Hasan Askari pada usia 28 mereka syahidkan. Fenomena ini menceritakan tentang tekanan keras dan serangan yang dilontarkan kepada para imam as.
Ketika Mutawakkil Abbasi memegang tampuk kekuasaan dan pemerintahan, maka politik menentang Alawi semakin keras. Pada periode ini, para pemuka dari keturunan Ali, terutama dari Bani (keturunan) Fatimah lebih tertekan dibandingkan periode lain. Mutawakkil mendatangkan Imam Hadi as ke kediaman khilafah (Samurra’), mengawasi dari dekat dan dengan perintahnya para penjaga mengontrol seluruh pertemuan beliau as secara ketat.
Pada masa Imam Askari pembatasan ini semakin bertambah.
Pembatasan dan tekanan ini dilaksanakan dengan dua alasan:
Pertama, pada masa itu kaum Syi’ah mengalami suatu perkembangan menyolok dan berubah menjadi sebuah kekuatan besar di wilayah Iraq yang menyatakan bahwa kekuasaan dan pemerintahan adalah hak pasti para imam, sementara khilafah Bani Abbas tidak sah. Mereka menantikan kesempatan untuk bangkit melawan para penguasa Abbasi. Hal ini menyebabkan Bani Abbas meningkatkan tekanan terhadap kaum Syi’ah, terutama para pemimpin mereka.
Kedua, berdasarkan berita-berita yang ternukil dari Nabi saw dan Ahlul Baitnya as, Bani Abbas mengetahui bahwa Mahdi Mau’ud, dari keturunan Imam Hasan Askari as sebagai penghancur dan penumpas pemerintahan dan kekuasaan bejad. Oleh karena alasan inilah, mereka selalu mengawasi Imam Hasan Askari as dan keluarga beliau, sehingga mungkin dapat menangkap putera tersebut dan membunuhnya. (Sebagaimana usaha Fir’aun untuk menangkap dan membinasakan Nabi Musa as sia-sia).
Untuk menghadapi dan menghalau siasat berbahaya Bani Abbas ini, Imam Hasan Askari berusaha mengarahkan para pengikutnya untuk lebih bertaqiyah, berhati-hati dan menyembunyikan rahasia, sementara beliau sendiri pun menginstruksikan kepada keluarga dan orang-orang terdekat untuk tidak menyebarkan berita tentang kelahiran Imam Mahdi as sehingga musuh tidak mampu mencapai target kejinya. Meskipun usaha ini dapat menjinakkan rencana busuk Bani Abbas, akan tetapi tetap juga menciptakan berbagai kesulitan bagi kaum Syi’ah yang tidak dapat dihindari. [www.al-shia.org]
* Diterjemahkan oleh Imam Ghozali dari artikel Persia “Kavusi Dar Ahadis-e Mahdaviat” yang dimuat di “Farhang-ge Kaosar” [The Culture Of Kosar Quarterly Of Think And Precedures Of Ahlul-bayt (as) Holy, Tahun ke-11, Musim Panas 1387 HS].
[1] Silahkan lihat: Ilzam An-Nashib, Ali Yazdi Ha’iry, jilid 1, hal. 321 – 340; Dad Gustar-e Jahan (Penyebar Keadilan Dunia), Ibrahim Amini, hal 118 – 120.
[2] Mehdi Muntazar Dar Nahjul Balagheh (Mahdi Yang Dinanti Dalam Nahjul Balaghah), Mahdi Faqih Imani, hal. 23 – 39; Sire-ye Pishwayan (Sirah Para Pemimpin atau Imam), Mahdi Pishwa’I, hal. 667.
[3] QS. Al-Anbiya’ [21]: 105.
[4] Bihar Al-Anwar, jilid 9, hal. 126.
[5] QS. At-Taubah [9]: 33.
[6] Yanabi’ Al-Mawaddah, Qunduzy Hanafi, hal.423.
[7] Tafsir Kabir, Fakhrur Razi, jilid 16, hal. 40.
[8] QS. An-Nur [24]: 55.
[9] Majma’ Al-Bayan, Thabarsi, jilid 7, hal. 152.
[10] Idem; Al-Burhan Fi Tafsir Al-Qur’an, jilid 7, hal. 123.
[11] Peyam-e Qur’an, jilid 9, hal. 422.
[12] At-Taj, jilid 5, hal. 341; Dinukil dari Idem, hal. 428.
[13] Yanabi’ Al-Mawaddah, hal. 447.
[14] Muntakhab Al-Atsar, Luthfullah Shafi, hal. 191 dan selanjutnya.
[15] Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 3, hal. 37.
[16] Idem, hal 17.
[17] Sunan Abi Daud, jilid 2, hal. 207.
[18] Sunan Tirmidhi, jilid 2, hal. 46.
[19] Yanabi’ Al-Mawaddah, hal 495.
[20] Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 4, hal. 96 dan jilid 2, hal. 83 dan 93; Shahih Muslim, jilid 3, hal. 1478.
[21] Ushul Kafi, jilid 1, hal. 135.
[22] Nahjul Balaghah, Hikmah ke-147.
[23] Shahih Bukhari, jilid 4, hal. 165.
[24] Fath Al-Bari, jilid 16, hal. 339.
[25] Mustadrak Hakim, jilid 3, hal. 18.
[26] Ma’alim Al-Madrasatain, jilid 1, hal. 547.
[27] Bihar Al-Anwar, jilid 36, hal. 261.
[28] Syarh An-Nawawi ‘Ala Muslim, jilid 12, hal. 202.
[29] Kanz Al-‘Ummal, jilid 13, hal. 27.
[30] Idem.
[31] Saduran dari “Ma’alim Al-Madrasatain”, jilid 1, hal. 534 – 541.
[32] Tarikh Damesyq, Ibnu Asakir, jilid 1, hal. 366.
[33] QS. Al-Maidah [5]: 55.
[34] Yanabi’ Al-Mawaddah, hal. 494 – 495.
[35] Idem, hal. 495.
[36] Muntakhab Al-Atsar, hal. 23 – 26.
BUKTI KEBANGKITAN IMAM MAHDI DALAM QURAN
Sumber : Shabestan
Anda ingin membuktikan kebangkitan Imam Mahdi as dengan dalil Qurani? Marilah kita simak pemaparan Ayatullah Ja’far Subhani salah seorang marja’ agung Mazhab Syiah Imamiah berikut ini.
Dalam sebuah ayat disebutkan, “Kami berkehendak untuk memberikan anugerah kepada orang-orang yang telah ditindas di muka bumi, menjadikan mereka sebagai imam, dan juga menjadikan mereka sebagai para pewaris.” (QS. Al-Qashash:5)
Dengan memperhatikan konteks sebelum dan sesudah ayat dapat dipahami bahwa al-Quran tidak hanya mencanangkan sebuah program khusus untuk Bani Isra’il. Al-Quran sedang mencanangkan sebuah program universal untuk seluruh masa dan masyarakat dunia. Tentu ayat ini adalah sebuah berita gembira bagi seluruh masyarakat yang mendambakan keadilan dan berita buruk bagi orang-orang zalim.
Bukti atas hal ini adalah ayat lain yang menekankan, “Telah Kami tetapkan dalam Kitab Zabur setelah Kitab Taurat bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang salih.” (QS. Al-Anbiya’:105)
Salah satu contoh yang nyata adalah kemenangan pemerintahan Bani Isra’il dan kehancuran dinasti Fir’aun. Contoh yang lebih sempurna adalah negara yang dibentuk oleh Rasululullah saw.
Contoh yang paling sempurna lagi adalah kemenangan pemerintahan Imam Mahdi as yang akan menguasai seluruh jagat raya.
Menurut pengakuan dan prinsip para ahli tafsir, jika sebuah ayat turun berkenaan dengan sebuah peristiwa, maka ayat ini tidak bisa hanya dikhususkan untuk peristiwa tersebut. Bahkan ayat ini di sepanjang sejarah akan menemukan aplikasi-aplikasinya.
Untuk itu, dalam sebuah hadis Amirul Mukminin Ali as berkata ketika menafsirkan ayat tersebut, “Mereka adalah keluarga Muhammad. Allah akan membangkitkan Mahdi dari kalangan mereka. Lalu Dia akan memuliakan mereka dan menghinakan musuh mereka.” (Al-Ghaibah, Syaikh Thusi, dinukil dari Nur al-Tsaqalain, jld. 4, hlm. 11)
Dalam sebuah hadis, Imam Sajjad as berkata, “Demi Zat yang telah mengutus Muhammad dengan membawa kebenaran sebagai pemberi berita gembira dan peringatan! Sesungguhnya kami Ahlul Bait dan para pengikut mereka adalah seperti pengikut Musa dan para pengikutnya, dan sesungguhnya musuh kami dan para pengikut mereka adalah seperti Fir’aun dan para pengikutnya.” (Majma’ al-Bayan)
Ayat kedua adalah firman Allah, “Baqiyatullah adalah lebih baik bagi kalian apabila kalian beriman, dan aku bukanlah pengawas bagi kalian.” (QS. Hud:87)
Dalam ayat ini, Nabi Syu’aib as memperingatkan jangan sampai kita mengurangi timbangan dan jangan pula menzalimi orang lain dalam setiap transaksi. Akhirnya, ia menegaskan, baqiyatullah adalah lebih baik bagi kalian. Yakni keuntungan yang halal sekalipun sedikit dan sesuai dengan ajaran syariat.
Ayat sedang menjelaskan sebuah barometer universal. Salah satu contohnya adalah keuntungan yang pernah terjadi pada masa Nabi Syu’aib tersebut.
Di sepanjang sejarah, ayat ini memiliki banyak aplikasi. Para nabi dan wali adalah baqiyatullah. Salah satu aplikasi yang lain adalah Imam Mahdi as.
Dalam sebuah hadis Imam Baqir as berkata, “Ucapan pertama yang akan diucapkan oleh al-Qa’im ketika muncul kembali adalah ‘Baqiyatullah adalah lebih baik bagi kalian apabila kalian beriman. Saya adalah baqiyatullah, hujah, dan khalifah-Nya untuk kalian.’ Tak seorang pun akan mengucapkan salam kepadanya kecuali ia pasti mengucapkan ‘salam atasmu wahai Baqiyatullah di atas bumi.’” (Tafsir al-Shafi)
Betul bahwa maksud dari baqiyatullah dalam ayat tersebut adalah keuntungan yang halal atau pahala Ilahi. Tetapi segala sesuatu yang bermanfaat untuk umat manusia dan bisa mendatangkan setiap kebaikan bisa disebut baqiyatullah. Seluruh nabi adalah baqiyatullah. Seluruh pemimpin sejati yang berhasil memusnahkan musuh bebuyutan sebuah bangsa bisa disebut sebagai baqiyatullah.
Imam Mahdi as adalah pemimpin kebangkitan Islam pasca kebangkitan Rasulullah saw. Untuk itu, beliau juga layak disebut sebagai baqiyatullah.
DALIL FITRAH PEMBUKTIAN ADANYA IMAM MAHDI AF
Sumber : TvShia
Semua manusia memiliki fitrah. Dan setiap manusia sesuai fitrahnya pasti memiliki keinginan dan harapan agar dunia ini dipimpin oleh manusia adil, dunia ini dijalankan dengan sistem pemerintahan yang berdasarkan kepada nilai-nilai keadilan.
Dari sini dapat dipahami bahwa keinginan-keinginan manusia ini tidak lain adalah sebuah isyarat dari pencipta manusia bahwa keinginan tersebut pasti akan terlaksana, tidak mungkin Allah menempatkan keinginan yang sama disetiap diri manusia sementara Allah tidak mewujudkan keinginan tersebut.
Dalil Aqli Keberadaan Mahdi
1. Keteraturan
Alam semesta penuh dengan hukum-hukum keteraturan, dari benda sekecil atom sampai susunan rasi bintang semua berdasarkan kepada keteraturan. Dan keteraturan sendiri adalah suatu hal yang sangat urgen dialam semesta, sebab keteraturan ini memegang kunci sehingga alam semesta bisa tetap berjalan direlnya.
Sel-sel yang menyusun manusia begitu pelik dan banyak, dan sesuai analisa para ilmuan atas anatomi dan sisi biologis tubuh manusia ditemukan bahwa seluruh sel yang menyusun tubuh manusia itu bekerja dan bergerak dalam edaran tertentu bahkan disebutkan bahwa kinerja mereka sangat teliti dan tepat waktu. Jika dibandingkan dengan teknologi tercanggih komputer jaman sekarang ketelitian sel-sel yang menyusun bangunan tubuh manusia tidak ada nilainya sama sekali.
Mungkinkah manusia yang diciptakan dengan seluruh keteraturan ini memang dipersiapkan untuk hidup didunia yang penuh dengan ketidakadilan? Bukankah secara otomatis sel-sel tubuh manusia sendiri ‘menuntut’ agar tubuh manusia tempat ia eksis hidup didalam kehidupan penuh keteraturan dan keadilan?
Tidak bisa dipungkiri bahwa kerusakan akhlak, sosial, budaya, dan semacamnya merupakan produk dari ketidakadilan dan ketidakteraturan. Ketidakadilan pribadi manusia ataupun ketidakadilan secara lebih luas diantara sesama manusia ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat.
Keteraturan alam semesta memberitahu kita bahwa alam semesta diwaktunya nanti harus dipegang oleh orang adil, orang yang mematuhi aturan ilahi sebagaimana bumi yang terus beredar dan berputar ditempatnya, manusia adil ini juga memerintah dan menjalankan aturan di alam semesta sesuai apa yang diperintahkan oleh penciptanya yakni Allah swt.
Ketika hal itu sudah terjadi berarti alam semesta termasuk didalamnya manusia telah kembali kejalur penciptaan yang sesungguhnya.
2. Konsep Menuju Kesempurnaan
Dimanapun kita berada, kita menjadi saksi bahwa manusia yang pada awalnya hidup apa adanya, misalnya disisi materiil, manusia memakai baju yang sangat sederhana penting bisa menutupi aurat terpenting. Sementara sekarang ini berbagai jenis pakaian manusia cukup membuat mata berdecak kagum, mengapa demikian, karena manusia senantiasa bergerak dan menuju titik kesempurnaan. Terlepas nilai kesempurnaan manusia itu seperti apa, sebab sebagian manusia bergerak menerjemahkan nilai kesempurnaan dengan tidak mengindahkan lagi fitrah kemanusiaannya, lebih cenderung menyesuaikan dengan konsep hidup hewan yang tidak memiliki fitrah dan akal pikiran.
Pada awalnya memang proses menuju kesempurnaan hanya berhenti diseputar masalah materi namun manusia nantinya akan berusaha mencari hal lain, capaian yang sebenarnya harus ia raih yakni gapaian maknawi. Sebagaimana kita ketahui capaian maknawi seperti akhlak dan semacamnya juga ada tingkatan-tingkatan dimana manusia biasa akan puas dalam menapaki perjalanan ini. Sebab perjalanan ini tidak mudah digapai.
Manusia dari dulu hingga sekarang sering atau selalu dipimpin seorang pemimpin dzalim, melihat ini lama kelamaan manusia akan melakukan revolusi. Seperti kita lihat di Indesia, reformasi tahun 1997 sebenarnya salah satu upaya agar mereka bisa hidup dibawah pemerintahan adil dan bersih, terlepas sekarang tujuan mereka itu sudah berhasil atau belum.
Disarikan dari Panjah dars Ushul Aqaid baraye Jawanan Nashir Makarim Syirazi[50 Pelajaran Ushul Aqidah untuk Anak Muda]
Argumentasi teologis atas konsep Mahdiisme terungkap dalam ratusan riwayat yang datang dari Rasulullah[1] yang menunjukkan penentuan Imam Mahdi a.s. dan bahwa beliau dari Ahlul Bait a.s.[2]
Dinyatakan juga bahwa beliau adalah dari ke-turunan Fathimah a.s.[3], dari keturunan imam Husain a.s.[4], keturunan ketujuh dari imam Husain a.s.[5], dan bahwa beliau adalah khalifah dan pengganti Rasulullah adalah 12 orang.[6]
Lima kelompok dan kategori riwayat ini,[7] satu sama lain berlomba menjelaskan konsep Mahdiisme dan mendefinisikan Imam Mahdi a.s. Sedang yang perlu dicermati di sana adalah analisis atas hal tersebut dari topik umum ke topik yang lebih khusus sehingga sampai kepada topik penentuan personal.
Sahid Baqir Shadr ra. menggarisbawahi riwayat-riwayat tersebut dan mengatakan: ”Riwayat ini sangat-lah banyak dan tersebar, kendati para imam telah berhati-hati untuk memaparkan konsep ini pada konteks umum, sebagai upaya penyelamatan bagi pelanjut mereka (Imam Mahdi a.s.) dari konspirasi dan pembunuhan”[8].
Selain itu, perlu dipahami bahwa banyaknya riwayat bukan satu-satunya alasan yang cukup untuk menerima konsep ini. Akan tetapi di sana terdapat keistimewaan dan bukti-bukti lain yang menegaskan keabsahannya. Misalnya, hadis Rasulullah yang mulia tentang para imam dan khalifah atau amir setelah beliau dan ihwal mereka berjumlah 12 orang?dengan berbagai perbedaan riwayat yang datang dari jalur yang beragam?telah dihitung oleh sebagian para penulis hingga mencapai lebih dari 270 riwayat,[9] sebuah jumlah yang fantastik, di mana riwayat-riwayat tersebut diambil dari kitab hadis standar, baik dari kalangan Syi’ah maupun Ahli Sunnah, di antaranya Shahih Bukhari[10], Shahih Muslim[11], Sunan Tirmidzi[12], Sunan Abu Daud[13] dan Musnad Ahmad[14] serta Mustadrak Hakim.[15]
Yang menarik di sini, Bukhari yang menukil riwayat ini adalah orang yang hidup sezaman dengan imam Al-Jawad a.s. dan dengan dua imam yang lain; Imam Al-Hadi dan Imam Al-Askari a.s. Ini merupakan sebuah keunikan yang besar, karena ia berdalil bahwa hadis ini telah dinukil dari Rasulullah sebelum kandungannya terwujud dan sebelum konsep kepemimpinan dua belas Imam itu terjadi di dunia nyata. Tentunya, tidak bisa diragukan lagi, bahwa penukilan hadis ini tidak dipengaruhi oleh kondisi nyata di luar dari dua belas Imam ataupun refleksi darinya, sebab hadis-hadis palsu yang disandarkan kepada Rasulullah adalah cerminan atau justifikasi atas peristiwa yang nantinya akan terjadi di masa depan.
Maka itu, selagi kita memiliki dalil bahwa hadis yang disebutkan tadi telah melalui rentetan sejarah para Imam dua belas dan tercatat dalam kitab-kitab hadis sebelum menyempurnanya para personnya fakta kedua belas Imam, maka dapat kita tegaskan bahwa hadis ini bukanlah gambaran dari fakta yang terjadi di luar, akan tetapi ungkapan dari hakikat rabbani yang diucapkan oleh orang yang tidak pernah berucap selain wahyu dari Tuhan[16]. Beliau bersabda:
”Sesungguhnya khalifah sepeninggalku adalah dua belas orang”.
Fakta dua belas imam ini telah nyata; diawali oleh Imam Ali a.s. dan diakhiri oleh Imam Mahdi sebagai misdaq (personifikasi) logis dari hadis mulia tersebut.[17]
Muslim telah meriwayatkan dalam Shahihnya dari Qutaibah ibn Said, dari Jabir ibn Samarah, dia berkata:
”Aku datang bertemu dengan Rasulullah bersama ayah-ku, maka aku mendengar beliau bersabda: ‘Sesungguhnya urusan ini (agama Islam) tidak akan berakhir kecuali dua belas khalifah berlalu”. Jabir berkata: “Kemudian beliau bersabda dengan kata-kata yang tidak aku dengar, maka aku bertanya kepada ayahku, apa yang beliau sabdakan? Ayah menjawab semuanya dari bangsa Quraisy.”[18]
Kemudian Muslim meriwayatkan dari jalur Ibnu Abu Umar, dari Abu Umar dari Hadab ibn Khalid, dari Nashr ibn Jahdhami, dan dari Muhammad ibn Rafi’e; semua dari satu jalur. Dia juga menguatkan riwayat Abu Bakar ibn Abu Syaibah dari dua jalur, dan riwayat Qutaibah ibn Said melalui dua jalur yang lain.
Dengan demikian, terdapat sembilan jalur dari hadis tersebut yang hanya terdapat dalam kitab Sahih Muslim. Belum lagi kalau kita mau membawakan hadis ini dari jalur-jalur yang beragam yang terdapat dalam kitab-kitab hadis yang lain dari mazhab Syi’ah maupun Ahli Sunnah.[19]
Kerancuan Ahli Sunnah Dalam Menafsirkan Hadis
Pertanyaan di sini adalah, siapa mereka para khalifah tersebut? Sebelum memilih jawaban yang benar dari soal ini, kita akan memberikan dua alternatif yang dapat diasumsikan pada hadis itu dan maksud Rasul saw. darinya. Maka, di sini hanya ada dua kemungkinan dan tidak ada pilihan ketiga di dalamnya. Kedua kemung-kinan tersebut adalah;
* 1. Maksud dari sabda Nabi tersebut adalah penjelasan fakta politik umat beliau yang akan terjadi sepe-ninggal beliau, dengan cara penyingkapan akan masa depan. Sebagaimana hal ini juga terjadi dalam berbagai hal yang lain. Dengan demikian maksud hadis ini adalah pemberitahuan beliau akan masa mendatang dan menimpa umat beliau, atau dapat kita istilahkan kemungkinan pertama ini dengan nama tafsir mustaqbali (futurologis).
* 2. Kemungkinan kedua adalah Nabi bermaksud menentukan kedua belas Imam dan penggantinya, maka tujuan hadis ini adalah pelantikan sesuai dengan tuntutan syariat bukan kabar akan masa mendatang. Kemungkinan ini disebut juga sebagai tafsir aqaidiyah (teologis).
Sejauh kajian ilmiah, kita dituntut untuk mencermati dua kemungkinan ini dan memilih apa yang sesuai dengan bukti logis maupun dogmatis. Hanya saja, karena Ahli Sunnah sejak awal telah meyakini teori khilafah dan menolak teori pelantikan serta membangun sistem akidah dan hukumnya di atas keyakinan ini, pada gilirannya mereka tidak menemukan alternatif selain kemungkinan atau tafsiran pertama, dan dengan segala cara berupaya menakwilkan apa-apa yang bertentangan dengannya. Kendati produk-produk penakwilan mereka itu jauh dari nalar yang lurus dan kearifan insani, namun demikian ini adalah konsekuensi yang tak terelakkan.
Semestinya, Ahli Sunnah memandang hadis ini secara ilmiah dan bebas dari asumsi sehingga kita dapat melihat kelemahan tafsir futuralistik itu. Maka, jika Nabi saw. bermaksud menjelaskan ihwal kejadian di masa depan, mengapa beliau hanya menentukan dua belas orang saja? Bukankah masa depan itu lebih panjang dari sekedar jumlah dua belas pemimpin? Dan jika Rasulullah melihatnya dengan kaca mata khilafah yang sah yang sesuai dengan norma-norma syariat, maka Ahli Sunnah tidak akan siap untuk meyakini Khulafa Rasyidin dan menolak legalitas kepemimpinan selain mereka. Oleh karena itu, mereka kebingungan dalam menentukan dua belas pribadi pengganti yang telah disinggung oleh Rasulullah saw.
Sejalan dengan ini, maka dua belas imam atau pemimpin?menurut Ibnu Katsir?adalah keempat khalifah awal, lalu Umar ibn Abdul Aziz, dan sebagian khalifah dari dinasti Abbasiyah, di mana Imam Mahdi yang dijanjikan berasal dari mereka.[20]
Menurut Qadhi Damaskus, mereka adalah Khulafa’ Rasyidin, Muawiyah, Yazid ibn Muawiyah, Abdul Malik ibn Marwan dan keempat anaknya (Walid, Sulaiman, Yazid dan Hisyam), dan diakhiri oleh Umar ibn Abdul Aziz[21].
Menurut Waliyyullah, seorang Ahli Hadis dalam kitab Qurratul ‘Ainain, sebagaimana dinukil dalam kitab ‘Aunul Ma’bud, mereka adalah empat khalifah pertama muslimin, Abdul Malik ibn Marwan dan keempat anaknya, Umar ibn Abdul Aziz, Walid ibn Yazid ibn Abdul Malik. Kemudian Waliyyullah menukil dari Malik ibn Anas seraya memasukkan Abdullah ibn Zubair ke dalam dua belas orang tersebut, akan tetapi dia menolak perkataan Malik dengan dalil riwayat dari Umar dan Ustman dari Rasulullah saw. yang menunjukkan bahwa pemerintahan yang dipimpin oleh Abdullah ibn Zubair adalah sebuah bencana dari sederet malapetaka yang diderita umat Islam. Ia juga menolak dimasukkannya Yazid dan menegaskan, bahwa dia adalah sosok yang berperilaku bejat.[22]
Ibnu Qayim Jauzi mengatakan: “Sedangkan jumlah khalifah itu dua belas orang; sekelompok orang yang di antaranya; Abu Hatim, Ibnu Hibban dan yang lain mengatakan bahwa yang terakhir dari mereka adalah Umar ibn Abdul Aziz. Mereka menyebut khalifah empat pertama, Muawiyah, Yazid ibn Muawiyah, Muawiyah ibn Yazid, Marwan ibn Hakam, Abdul Malik ibn Marwan, Walid ibn Abdul Malik, Sulaiman ibn Abdul Malik, dan khalifah yang kedua belas Umar ibn Abdul Aziz. Khalifah yang terakhir ini wafat pada tahun seratus Hijriyah; di abad pertama dan paling awal dari abad-abad kalender Hijriah manapun, pada abad inilah agama berada di puncak kejayaan sebelum terjadi apa yang telah terjadi”.[23]
Nurbasyti mengatakan: ”Cara terbaik memaknai hadis ini adalah menerapkan maknanya pada mereka yang adil, karena pada dasarnya merekalah yang berhak menyandang gelar sebagai khalifah, dan tidak mesti mereka memegang kekuasaan, karena yang dimaksud dari hadis adalah makna metaforis saja. Begitulah yang disebutkan di dalam Al-Mirqat”.[24]
Dan menurut Maqrizi, jumlah dua belas imam adalah khalifah empat pertama dan Hasan cucunda Nabi saw. Ia mengatakan: “Dan padanya (Imam Hasan a.s.), masa khalifah rasyidin pun berakhir”. Maqrizi tidak memasukkan satu pun dari penguasa dinasti Umawiyah. Masih menurut penjelasannya, khilafah setelah Imam Hasan a.s. telah menjadi sistem kerajaan yang di dalamnya telah terjadi kekerasan dan kejahatan. Lebih lanjut, ia juga tidak memasukkan satu penguasa pun dari dinasti Abbasiyah, karena pemerintahan mereka telah memecah belah kalimat umat dan persatuan Islam, dan membersihkan kantor-kantor administrasi dari orang Arab lalu merekrut bangsa Turki. Yaitu, pertama-tama bangsa Dailam memimpin, lalu disusul bangsa Turki yang akhirnya menjadi sebuah bangsa yang begitu besar. Maka, terpecahlah kerajaan besar itu kepada berbagai bagian, dan setiap penguasa suatu kawasan mencaplok dan menguasainya dengan kekerasan dan kebrutalan.[25]
Dengan demikian, tampak jelas bagaimana kebingungan madrasah Khulafa’ (Ahli Sunnah) dalam menafsirkan hadis tersebut; mereka tidak sanggup keluar dari keadaan ini selagi berpegang pada tafsir futuralistik itu.
Dalam kitab Al-Hawi lil Fatawa, As-Suyuthi mengatakan: ”Sampai sekarang, belum ada kesepakatan dari umat Islam mengenai setiap pribadi dua belas imam.”[26]
Oleh karena itu, jika tafsir futuralistik tersebut memang benar dan sesuai dengan kenyataan, maka pertama kali yang akan mengimaninya adalah para sahabat nabi, bukan yang lain, dan kita akan mendengar dampaknya secara langsung dari para khalifah itu sendiri. Khalifah pertama akan mengatakan, akulah khalifah pertama dari dua belas khalifah, khalifah kedua juga demikian, begitu pula khalifah ketiga hingga khalifah kedua belas. Tentunya, pengakuan senada ini akan menjadi kebanggaan dan bukti yang mendukung legalitas kedaulatan setiap khalifah. Namun, sejarah tidak pernah mencatat satu pengakuan pun dari nama-nama khalifah yang telah disebutkan di atas itu.
Kemudian, hadis juga mengatakan bahwa masa kepemimpinan mereka adalah mencakup sepanjang sejarah Islam hingga akhir gugusannya; di mana dunia akan hancur ketika mereka sudah tidak ada lagi di muka bumi. Ahli Sunnah meriwayatkan dari Rasulullah, bahwa beliau bersabda:
”Agama ini akan senantiasa tegak dan langgeng selama ada kedua belas pemimpin dari bangsa Quraisy. Tatkala mereka tiada, dunia akan hancur lebur.”[27]
Di samping bukti sejarah, kita juga melihat dunia belum hancur kendati Umar ibn Abdul Aziz itu telah mati. Bahkan setelah ketiadaannya, ilmu pengetahuan dan ilmu-ilmu agama berkembang pesat, seperti fikih, hadis dan tafsir di abad ketiga dan keempat Hijriah. Lebih dari itu, dapat dikatakan bahwa ilmu-ilmu keislaman berkembang dan menyebar setelah meninggalnya dua belas imam versi Ahli Sunnah, sementara dunia masih saja tidak hancur lebur.
Diriwayatkan juga dari Jabir ibn Samarah:
”Umat ini akan tetap tegar menjalankan agamanya, menaklukkan para musuhnya sehingga dua belas khalifah berlalu; mereka semua dari bangsa Quraisy, kemudian tibalah kekacauan yang dahsyat.”[28]
Jika maksud dari al-maraj dalam hadis itu kegalauan dan kemelut, maka ini seharusnya tidak terjadi sampai masa Umar ibn Abdul Aziz. Sejarah juga mencatat, tidak ada cobaan dan fitnah, kemelut yang sangat dahsyat, kekacauan antara hak dan batil yang lebih besar dari tampilnya Muawiyah sebagai khalifah kaum muslimin. Ini berarti bahwa maksud dari al-maraj ialah kegalauan terbesar dan kemelut akbar. Dan boleh jadi maksudnya adalah ditinggalkannya agama secara total. Tak syak lagi, kekacauan ini tidak akan terjadi kecuali saat Hari Kebangkitan telah dekat; yaitu kekacauan yang didahu-lui oleh kemakmuran yang dibawa oleh Imam Mahdi a.s.
Kemudian, apa maksud mereka memasukkan para raja ke dalam kategori khalifah kaum muslimin, padahal telah diriwayatkan oleh Ahli Sunnah dari Sa’ad ibn Abi Waqash; satu dari sepuluh sahabat pemberi harapan dan seorang juru runding yang telah ditentukan oleh Umar, bahwa ia pernah menemui Muawiyah setelah, sementara ia juga orang yang terlambat berbaiat kepadanya, dan berkata: ”Salam sejahtera kepada rajaku!” Muawiyah menjawab: “Kenapa bukan orang lain? Kalian adalah hamba yang mukmin, dan akulah Amiril Mukminin kalian”. “Memang demikian kalau kita menerimanya, dan kita juga disebut sebagai orang-orang yang beriman, hanya saja kami tidak mengangkatmu sebagai Amirul Mukminin”.
Aisyah juga telah menolak klaim Muawiyah sebagai khalifah. Begitu pula Ibnu Abbas dan Imam Hasan a.s. melakukan hal yang sama. Bahkan, setelah perdamaian beliau dengannya,[29] Muawiyah adalah satu dari sekian manusia zalim yang disepakati umat, karena sabda nabi:
”Wahai Ammar! kamu akan dibunuh oleh golongan yang zalim”.
Kami juga tidak memahami kenapa orang zalim menjadi khalifah Rasul saw. atas umat Islam?! Lalu, apa maksud mereka memasuk-masukkan anak Muawiyah; Yazid yang secara terbuka menyatakan maksiat dan kezaliman-nya, menginjak-injak kehormatan dan hukum Allah swt.?! Ini adalah hal yang sangat mengherankan sekali; bagaimana mungkin kaum muslimin menerima orang yang telah menumpahkan darah Ahlul Bait Nabi saw., orang yang bala tentaranya menghancurkan kota Madinah Munawwarah dan membantai sekitar sepuluh ribu penduduknya sehingga tidak tersisa lagi pejuang perang Badar setelah tragedi “Al-Hirrah”, lalu tetap saja diperkenalkan sebagai khalifah Rasulullah saw.?! Dan begitulah halnya dengan para penguasa yang menurut Al-Quran sebagai pohon yang terlaknat.
Rasulullah juga pernah melihat mereka dalam mimpinya?dan kita ketahui mimpi para nabi itu benar dan jujur sejujur sinar surya di pagi hari?bahwa mereka (pohon terkutuk tersebut) akan bertengger dan bergelantungan di mimbar beliau layaknya monyet-monyet. Demikian ini sesuai pendapat mayoritas ahli tafsir dari Ahli Sunnah, yaitu ketika mereka menafsirkan ayat ke-60 dari surat Al-Isra’, tanpa perlu dibawakan redaksi pernyataan mereka secara detail.
Dengan demikian, akan tampak jelas bagi kita tiga poin penting dan jelas berikut ini:
* a. Kesalahan tafsir pemberitaan futuralistik atas hadis kepemimpinan dua belas orang imam.
* b. Faktor dan motif politis yang memaksa dan mengarahkan Ahli Sunnah kepada tafsir tersebut.
* c. Kebenaran tafsir teologis yang menjelaskan pelantikan Rasulullah saw. atas dua belas imam kaum muslimin. Tafsir ini bersandar pada dalil logis, quranik serta hadis yang banyak sekali dan sering kita jumpai dalam pusaka ajaran para imam, yang kuno maupun yang terbaru, di berbagai bidang tafsir, hadis, kalam dan sejarah.
Selain itu, sejarah tetap bersikeras bahwa dua belas imam dari Ahlul Bait a.s. adalah manifestasi tunggal yang tak terbantahkan dari hadis tersebut, walaupun hanya melalui pengakuan tegas. Mereka diawali oleh Amirul Mukminin Ali ibn Abi Tahlib a.s. dan diakhiri oleh Imam Zaman, Al-Mahdi Al-Muntadzar a.s.
Dalam hal ini, telah banyak hadis mulia yang tak terhitung jumlahnya, yang menunjukkan manifestasi tersebut. Di sini, kami akan menyebutkan satu di antara hadis-hadis itu, yaitu sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Juwaini As-Syafi’i dalam kitab Faraidus Samthain, dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah saw.; beliau bersabda:
”Aku adalah penghulu para nabi, dan Ali ibn Abi Thalib penghulu para washi (khalifah), dan washi-washi setelahku berjumlah dua belas; yang pertama Ali ibn Abi Thalib, dan yang terakhir Al-Mahdi.”[30]
Atas dasar ini, sebagian para peneliti[31] mengasumsikan bahwa apa yang telah tertera dalam kitab-kitab hadis?yang menyebutkan bahwa tatkala Jabir ibn Samarah tidak mendengar dan tidak memahami sabda Nabi saw. kemudian bertanya kepada ayahnya yang segera memberi jawaban, bahwa Rasulullah bersabda: ”Semuanya dari bangsa Quraisy”?telah mengalami tahrif dan penyensoran terhadap jawaban sang ayah. Demikian pula, sebagian riwayat telah membongkar sebab ketaktegasan jawaban tersebut, misalnya; “Lantas kaum muslimin yang hadir di sana gaduh dan berbicara satu sama lain”, atau “Orang-orang berteriak”, atau “Rasulullah mengatakan sesuatu yang membuat manusia hingga menulikan telingaku”, atau “Kemudian manusia berteriak sehingga aku tidak mendengar yang disab-dakan Nabi”, atau “Manusia bertakbir dan berteriak”, atau “Tiba-tiba orang-orang berdiri dan duduk”.
Semua sebab-sebab ketaktegasan jawaban itu tidak sesuai dengan apa yang didengar oleh perawi, karena penetapan kepemimpinan pada bangsa Quraisy adalah pernyataan yang mudah dan tidak perlu diteriakkan dan diherankan. Maka dari itu, apa yang sesuai dengan kondisi yang kita gambarkan dalam riwayat ialah bahwa kepemimpinan ilahi itu adalah kewenangan kelompok tertentu, bukan pada bangsa Quraisy secara umum. Inilah yang telah dibawakan oleh Al-Qanduzi dalam kitab Yanabiul Mawaddah. Di sana, ia menegaskan bahwa kalimat yang disabdakan oleh Rasulullah saw. menyata-kan bahwa semua pemimpin itu dari Bani Hasyim.[32]
Maka, tatkala tampak kesalahan tafsir pemberitaan futuralistik atas hadis kepemimpinan dua belas imam dari satu sisi, dan tampak kebenaran tafsir teologis dari sisi kedua, serta tampak nama Al-Mahdi dalam silsilah dua belas imam Ahlul Bait a.s. sebagai Imam Kedua Belas yang dengannya Allah swt. memperbaiki dunia setelah kehancurannya dari sisi ketiga, tentu tidak ada keraguan lagi mengenai validitas konsep Mahdiisme yang ditekankan oleh mazhab Ahlul Bait a.s. lantaran adanya relasi yang sangat erat antara prinsip Imamah Dua Belas Imam dan konsep Mahdiisme; di mana relasi ini memperlihatkan tiga poin di atas itu dari dalam konsep Mahdiisme.
Sesungguhnya kegagalan tafsir futuralistik atas prinsip Imamah Dua Belas Imam berarti juga kegagalan tafsir demikian ini atas konsep Mahdiisme, sebagaimana kebenaran acuan politis pada tafsir ini mengenai prinsip Imamah Dua Belas Imam merupakan kebenaran acuan tersebut sekaitan dengan konsep Mahdiisme. Sebab, selain kalangan Ahli Sunnah memandang hadis ‘Khilafah Itsna Asyariyah’ sebagai pemberitaan masa depan berdasarkan teori Saqifah dan Khilafah serta legalitasnya, mereka juga memandang perlunya meletakkan konsep Mahdiisme dalam kerangka tafsir futuralistik sebagai upaya menghindari konsekuensi dari hak kepemimpinan Ahlul Bait a.s. dan dari ilegalitas sistem khilafah.
Tentu sebaliknya juga benar, bahwa terbuktinya kebenaran tafsir teologis atas hadis ‘Imamah Itsna Asyariyah’ berarti juga terbuktinya kebenaran muatan teologis dari konsep Mahdiisme.[] (sumber: http://madinah-al-hikmah.net)
Catatan Kaki:
[1] Lihat Mu’jam Imam Mahdi a.s., juz 1 hadis-hadis Nabi saw.
[2] Musnad Imam Ahmad juz 1, hal. 84, hadis ke-646 dan Ibnu Abi Syaibah juz 8 hal. 678, kitab ke-40, bab 2, hadis ke-90, Ibnu Majah dan Naim ibn Hamad di dalam fitnah-fitnah tentang Imam Ali a.s. berkata: “Rasulullah saw. bersabda: ‘Imam Mahdi dari kami Ahlul bait di mana Allah akan menyiapkan segalanya dalam semalam”. Lihat Sunan Ibnu Majah 2/ 1367, hadis ke-4085, Al- Hawi lil fatawa, karya As-Suyuthi: 2/213, 215. Di sana juga disebutkan, bahwa Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah dan Abu Daud meriwayatkan dari Imam Ali a.s. dari Nabi saw.; beliau bersabda: “Jika zaman sudah tak tersisa lagi kecuali satu hari saja, maka Allah akan mengutus seorang hambanya dari Ahlul baitku yang akan memenuhi dunia ini dengan keadilan seperti telah dipenuhi oleh kezaliman dan kelaliman.” Lihat Shahih Sunan al- Mustafa 2/207. Lihat juga Mu’jam Hadis Imam Mahdi: 1/147 dan setelahnya, di mana telah dinukil riwayat yang begitu banyak dari kitab-kitab Ash-Shihah dan musnad dengan kandungan seperti ini.
Lihat juga Ensiklopedia Imam Mahdi a.s. karya Mahdi Faqih Imani, juz pertama. Di sana terdapat penukilan dari puluhan kitab-kitab ulama Ahli Sunnah dan para Ahlul Hadis tentang Imam Mahdi a.s. dan sifat-sifatnya dan apa yang berkaitan dengannya, di sana juga terdapat artikel yang telah dikopi dari keterangan Syeikh Al-‘Ibad tentang hadis-hadis yang dan karya-karya ihwal Imam Mahdi a.s.
[3] Al-Hawi lil fatawa, Jalaludin As-Suyuthi; juz 2 hal. 214, dia berkata: “Abu Daud, Ibnu Majah, Thabrani, dan Hakim dari Ummi Salamah; beliau berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Mahdi dari Itrahku dari keturunan Fatimah.” Lihat Sahih Sunanul Musthafa, karya Abi Daud: juz 2 hal. 208, dan Sunan Ibnu Majah: juz 2/1378 hadis ke-4086.
[4] ‘Hadisul Mahdi min Durriyatil Husain a.s., sebagaimana terdapat dalam sumber-sumber berikut ini, juga dinukil oleh Mu’jam Hadis Mahdi, dan itu 40 hadis dari Abu Nu’aim, Al-Isfahani sebagaimana disebutkan oleh ‘Aqdu Ad-Durar, Muqaddisi Syafii. Thabrani juga meriwayatkan dalam Al-Ausath seperti yang dinukil al-Manarul Munif karya Ibnu Qayyim, dan di Sirah Halabiyah juz 1 hal. 193, dan di Al-Qaul Al-Mukhtashar, Ibnu Hajar Al-Haitsami. Lihat Muntakhabaul Atsar, Syeikh Luthfullah Ash-Shafi tentang apa yang ia nukil dari kitab-kitab Syi’ah. Lihat pula dalil-dalil kelemahan riwayat yang mengatakan bahwa beliau dari keturunan Imam Hasan a.s., kitab Sayyid Al-‘Amidi, Difa’ ‘Anil Kafi; juz 1, hal. 296.
[5] Lihat riwayat yang menandaskan bahwa beliau keturunan ke-tujuh dari Imam Husain a.s. di Yanabi’ul Mawaddah, Al-Qanduzi Al-Hanafi, hal. 492, Maqtalul Imam Husain as Kharazmi juz 1 hal. 196, Faraidu Simthain Juwaini Syafii; juz 2 halaman 310-315, hadis-hadis dari 561-569, lihat pula Muntakhabul Atsar karya Ash-Shafi, di saat ia meriwayatkan dari dua jalur.
[7] Hadis “Para pengganti setelahku berjumlah dua belas orang, kesemuanya dari bangsa Quraisy”, atau hadis “Agama ini senan-tiasa akan langgeng dengan keberadaan 12 pemimpin yang berasal dari suku Quraisy” adalah mutawatir, dan diriwayatkan oleh kitab-kitab Shahih dan Musnad dengan berbagai jalan, kendati terdapat perbedaan sedikit dari sisi kandungannya. Memang mereka berbeda pendapat dalam penafsirannya dan tampak kebingungan. Lihat Sahih Bukhari; juz 9, hal. 101, Kitabul Ahkam – bab ‘Al-Istikhlaf’, Sahih Muslim juz 6, halaman 4 kitab ‘Al-Imarah’, bab ‘Al-Istikhlaf’, Musnad Ahmad juz 5 hal. 90, 93 dan 97.
[8] Lihat Al-Gaibah Kubra, Sayyid Shadr: hal. 272, dan seterusnya.
[9] Lihat At-Tajul Jami’ lil Ushul: juz 3 halaman 40. dia berkata
[10] Shahih Bukhari, jild 3: 9/101, kitab ‘Al-Ahkam, bab Al-Istikhlaf’, cetakan Dar- Ihya’ Turats Al-Arabi, Beirut.
[11] Lihat At-Tajul Jami’ lil Usul 3/40.
[12] Lihat At-Tajul Jami’ lil Usul 3/40.
[13] Lihat At-Tajul Jami’ lil Usul 3/40.
[14] Musnad Ahmad; 6/ 99 hadis ke 20359.
[15] Al-Musatadrak: 3/ 618.
[16] Hal ini sesuai dengan firman Allah:”dia tidak pernah berbicara atas dasar hawa nafsu, akan tetapi wahyu semat”. An-Najm 3-4.
[17] Para ulama merasa kebingungan dalam menerapkan hadis tersebut, dan apa yang mereka bawakan dari person-person tidak dapat diterima, bahkan sebagian tidak masuk akal sama sekali seperti dimasuk-masukkannya Yazid putra Muawiyah orang yang terang-terangan melakukan kemaksiatan dan kefasikan, orang yang divonis sebagai murtad, kafir atau mereka yang selevel dengannya.
[18] Sahih Muslim: 6 / 3 kitab ‘Al-Imarah’.
[19] Lihat Sahih Bukhari 4: 164, kitab Al-Ahkam, bab Istiklaf, Musnad Ahmad: 6/94, hadis ke-325, 20366, 20367, 20416, 20443, 20503, 20534, Sunan Abi Daud 4:107 4279-4280, Al-Mu’jamul Kabir, Thabrani : 2/238/1996, Sunan Tirmizi: 4/501, Mustadrak Hakim : 3/618, Hilyatul Auliya, Abu Nu’aim: 4/333, Fathul Bari: 13/211, Syarah Sahih Muslim karya Nawawi: 12/201, Al-Bidayah wa Nihayah, Ibnu Katsir: 1/153, Tafsir Ibnu Katsir: 2/24 –dalam menafsirkan ayat ke-12 dari surat Al-Maidah, kitab Suluk fi Duali Muluk, Al-Maqrizi: 1/13–15 pada bagian pertama, Syarah Hafiz Ibnu Qayim Jauzi atas Sunan Ibnu Daud: 11/363, Syahrul Hadis 4259, Syarhul Aqidah Ath-Thahawiyah: 2/736, Al-Hawi lil Fatawa, As-Suyuti: 2/85, ‘Aunul Ma’bud, Syarh Abi Daud, Al-‘Adhim Abadi: 11/362, Syarhul Hadis 4259, Misykatl Mashabih, At-Tabrizi: 3/327, 5983, As-Silsilatu Sahihah, Al-Albani, hadis ke-376, Kanzul Ummal: 12/32, 33484 dan 12/33/33858 dan 12/34/33861. Hadis ini juga diriwayatkan oleh para tokoh hadis Syi’ah. Di antara mereka adalah Syeikh Shaduq ra. dalam Kamaluddin, 1:172, Al-Khishal, 2:469 dan 475, dan telah diperiksa jalur-jalur hadis ini secara cermat, di mana para perawinya dari kalangan sahabat yang disebutkan dalam Ihqaqul Haq: 13/1-50.
[20] Tafsir Al-Quran Karim, Ibnu Kasir: 2/34, saat menafsirkan ayat ke 12 dari surah Maidah.
[21] Syarhul Aqidah Thahawiyah, Qadhi Damaskus: 2 / 736.
[22] ‘Aunul Ma’bud fi Syarhi Sunani Abi Daud: 11/246, pada pen-jelasan hadis 427, kitab ‘Al-Mahdi’, cet. Darul Kutub ‘Ilmiyah.
[23] ‘Aunul Ma’bud fi Syarhi Sunani Abi Daud:11/245.
[24] ‘Aunul Ma’bud fi Syarhi Sunani Abi Daud: 11/244.
[25] As-Suluk lima’rifati Dualil Muluk: 1 / 13-15 bagian pertama.
[26] Al-Hawi lil Fatawa: 2/85.
[27] Kanzul Ummal: 12.34, hadis ke-33861, diriwayatkan oleh Ibnu Najjar dari Anas.
[28] Kanzul Ummal: 12 / 32, hadis 32848.
[29] Lihat Al-Ghadir, Allamah Amini: 1/ 26-27.
[30] Faraidus Samthain: 2/313, hadis ke-564.
[31] Al-Ghadir wa Mu’aridhun, Sayyid Ja’far Murtadha Al-‘Amili:70-72.
[32] Yanabi’ul Mawaddah: 3/104, bab 77.
Argumentasi teologis atas konsep Mahdiisme terungkap dalam ratusan riwayat yang datang dari Rasulullah[1] yang menunjukkan penentuan Imam Mahdi a.s. dan bahwa beliau dari Ahlul Bait a.s.[2]
Dinyatakan juga bahwa beliau adalah dari ke-turunan Fathimah a.s.[3], dari keturunan imam Husain a.s.[4], keturunan ketujuh dari imam Husain a.s.[5], dan bahwa beliau adalah khalifah dan pengganti Rasulullah adalah 12 orang.[6]
Lima kelompok dan kategori riwayat ini,[7] satu sama lain berlomba menjelaskan konsep Mahdiisme dan mendefinisikan Imam Mahdi a.s. Sedang yang perlu dicermati di sana adalah analisis atas hal tersebut dari topik umum ke topik yang lebih khusus sehingga sampai kepada topik penentuan personal.
Sahid Baqir Shadr ra. menggarisbawahi riwayat-riwayat tersebut dan mengatakan: ”Riwayat ini sangat-lah banyak dan tersebar, kendati para imam telah berhati-hati untuk memaparkan konsep ini pada konteks umum, sebagai upaya penyelamatan bagi pelanjut mereka (Imam Mahdi a.s.) dari konspirasi dan pembunuhan”[8].
Selain itu, perlu dipahami bahwa banyaknya riwayat bukan satu-satunya alasan yang cukup untuk menerima konsep ini. Akan tetapi di sana terdapat keistimewaan dan bukti-bukti lain yang menegaskan keabsahannya. Misalnya, hadis Rasulullah yang mulia tentang para imam dan khalifah atau amir setelah beliau dan ihwal mereka berjumlah 12 orang?dengan berbagai perbedaan riwayat yang datang dari jalur yang beragam?telah dihitung oleh sebagian para penulis hingga mencapai lebih dari 270 riwayat,[9] sebuah jumlah yang fantastik, di mana riwayat-riwayat tersebut diambil dari kitab hadis standar, baik dari kalangan Syi’ah maupun Ahli Sunnah, di antaranya Shahih Bukhari[10], Shahih Muslim[11], Sunan Tirmidzi[12], Sunan Abu Daud[13] dan Musnad Ahmad[14] serta Mustadrak Hakim.[15]
Yang menarik di sini, Bukhari yang menukil riwayat ini adalah orang yang hidup sezaman dengan imam Al-Jawad a.s. dan dengan dua imam yang lain; Imam Al-Hadi dan Imam Al-Askari a.s. Ini merupakan sebuah keunikan yang besar, karena ia berdalil bahwa hadis ini telah dinukil dari Rasulullah sebelum kandungannya terwujud dan sebelum konsep kepemimpinan dua belas Imam itu terjadi di dunia nyata. Tentunya, tidak bisa diragukan lagi, bahwa penukilan hadis ini tidak dipengaruhi oleh kondisi nyata di luar dari dua belas Imam ataupun refleksi darinya, sebab hadis-hadis palsu yang disandarkan kepada Rasulullah adalah cerminan atau justifikasi atas peristiwa yang nantinya akan terjadi di masa depan.
Maka itu, selagi kita memiliki dalil bahwa hadis yang disebutkan tadi telah melalui rentetan sejarah para Imam dua belas dan tercatat dalam kitab-kitab hadis sebelum menyempurnanya para personnya fakta kedua belas Imam, maka dapat kita tegaskan bahwa hadis ini bukanlah gambaran dari fakta yang terjadi di luar, akan tetapi ungkapan dari hakikat rabbani yang diucapkan oleh orang yang tidak pernah berucap selain wahyu dari Tuhan[16]. Beliau bersabda:
”Sesungguhnya khalifah sepeninggalku adalah dua belas orang”.
Fakta dua belas imam ini telah nyata; diawali oleh Imam Ali a.s. dan diakhiri oleh Imam Mahdi sebagai misdaq (personifikasi) logis dari hadis mulia tersebut.[17]
Muslim telah meriwayatkan dalam Shahihnya dari Qutaibah ibn Said, dari Jabir ibn Samarah, dia berkata:
”Aku datang bertemu dengan Rasulullah bersama ayah-ku, maka aku mendengar beliau bersabda: ‘Sesungguhnya urusan ini (agama Islam) tidak akan berakhir kecuali dua belas khalifah berlalu”. Jabir berkata: “Kemudian beliau bersabda dengan kata-kata yang tidak aku dengar, maka aku bertanya kepada ayahku, apa yang beliau sabdakan? Ayah menjawab semuanya dari bangsa Quraisy.”[18]
Kemudian Muslim meriwayatkan dari jalur Ibnu Abu Umar, dari Abu Umar dari Hadab ibn Khalid, dari Nashr ibn Jahdhami, dan dari Muhammad ibn Rafi’e; semua dari satu jalur. Dia juga menguatkan riwayat Abu Bakar ibn Abu Syaibah dari dua jalur, dan riwayat Qutaibah ibn Said melalui dua jalur yang lain.
Dengan demikian, terdapat sembilan jalur dari hadis tersebut yang hanya terdapat dalam kitab Sahih Muslim. Belum lagi kalau kita mau membawakan hadis ini dari jalur-jalur yang beragam yang terdapat dalam kitab-kitab hadis yang lain dari mazhab Syi’ah maupun Ahli Sunnah.[19]
Kerancuan Ahli Sunnah Dalam Menafsirkan Hadis
Pertanyaan di sini adalah, siapa mereka para khalifah tersebut? Sebelum memilih jawaban yang benar dari soal ini, kita akan memberikan dua alternatif yang dapat diasumsikan pada hadis itu dan maksud Rasul saw. darinya. Maka, di sini hanya ada dua kemungkinan dan tidak ada pilihan ketiga di dalamnya. Kedua kemung-kinan tersebut adalah;
* 1. Maksud dari sabda Nabi tersebut adalah penjelasan fakta politik umat beliau yang akan terjadi sepe-ninggal beliau, dengan cara penyingkapan akan masa depan. Sebagaimana hal ini juga terjadi dalam berbagai hal yang lain. Dengan demikian maksud hadis ini adalah pemberitahuan beliau akan masa mendatang dan menimpa umat beliau, atau dapat kita istilahkan kemungkinan pertama ini dengan nama tafsir mustaqbali (futurologis).
* 2. Kemungkinan kedua adalah Nabi bermaksud menentukan kedua belas Imam dan penggantinya, maka tujuan hadis ini adalah pelantikan sesuai dengan tuntutan syariat bukan kabar akan masa mendatang. Kemungkinan ini disebut juga sebagai tafsir aqaidiyah (teologis).
Sejauh kajian ilmiah, kita dituntut untuk mencermati dua kemungkinan ini dan memilih apa yang sesuai dengan bukti logis maupun dogmatis. Hanya saja, karena Ahli Sunnah sejak awal telah meyakini teori khilafah dan menolak teori pelantikan serta membangun sistem akidah dan hukumnya di atas keyakinan ini, pada gilirannya mereka tidak menemukan alternatif selain kemungkinan atau tafsiran pertama, dan dengan segala cara berupaya menakwilkan apa-apa yang bertentangan dengannya. Kendati produk-produk penakwilan mereka itu jauh dari nalar yang lurus dan kearifan insani, namun demikian ini adalah konsekuensi yang tak terelakkan.
Semestinya, Ahli Sunnah memandang hadis ini secara ilmiah dan bebas dari asumsi sehingga kita dapat melihat kelemahan tafsir futuralistik itu. Maka, jika Nabi saw. bermaksud menjelaskan ihwal kejadian di masa depan, mengapa beliau hanya menentukan dua belas orang saja? Bukankah masa depan itu lebih panjang dari sekedar jumlah dua belas pemimpin? Dan jika Rasulullah melihatnya dengan kaca mata khilafah yang sah yang sesuai dengan norma-norma syariat, maka Ahli Sunnah tidak akan siap untuk meyakini Khulafa Rasyidin dan menolak legalitas kepemimpinan selain mereka. Oleh karena itu, mereka kebingungan dalam menentukan dua belas pribadi pengganti yang telah disinggung oleh Rasulullah saw.
Sejalan dengan ini, maka dua belas imam atau pemimpin?menurut Ibnu Katsir?adalah keempat khalifah awal, lalu Umar ibn Abdul Aziz, dan sebagian khalifah dari dinasti Abbasiyah, di mana Imam Mahdi yang dijanjikan berasal dari mereka.[20]
Menurut Qadhi Damaskus, mereka adalah Khulafa’ Rasyidin, Muawiyah, Yazid ibn Muawiyah, Abdul Malik ibn Marwan dan keempat anaknya (Walid, Sulaiman, Yazid dan Hisyam), dan diakhiri oleh Umar ibn Abdul Aziz[21].
Menurut Waliyyullah, seorang Ahli Hadis dalam kitab Qurratul ‘Ainain, sebagaimana dinukil dalam kitab ‘Aunul Ma’bud, mereka adalah empat khalifah pertama muslimin, Abdul Malik ibn Marwan dan keempat anaknya, Umar ibn Abdul Aziz, Walid ibn Yazid ibn Abdul Malik. Kemudian Waliyyullah menukil dari Malik ibn Anas seraya memasukkan Abdullah ibn Zubair ke dalam dua belas orang tersebut, akan tetapi dia menolak perkataan Malik dengan dalil riwayat dari Umar dan Ustman dari Rasulullah saw. yang menunjukkan bahwa pemerintahan yang dipimpin oleh Abdullah ibn Zubair adalah sebuah bencana dari sederet malapetaka yang diderita umat Islam. Ia juga menolak dimasukkannya Yazid dan menegaskan, bahwa dia adalah sosok yang berperilaku bejat.[22]
Ibnu Qayim Jauzi mengatakan: “Sedangkan jumlah khalifah itu dua belas orang; sekelompok orang yang di antaranya; Abu Hatim, Ibnu Hibban dan yang lain mengatakan bahwa yang terakhir dari mereka adalah Umar ibn Abdul Aziz. Mereka menyebut khalifah empat pertama, Muawiyah, Yazid ibn Muawiyah, Muawiyah ibn Yazid, Marwan ibn Hakam, Abdul Malik ibn Marwan, Walid ibn Abdul Malik, Sulaiman ibn Abdul Malik, dan khalifah yang kedua belas Umar ibn Abdul Aziz. Khalifah yang terakhir ini wafat pada tahun seratus Hijriyah; di abad pertama dan paling awal dari abad-abad kalender Hijriah manapun, pada abad inilah agama berada di puncak kejayaan sebelum terjadi apa yang telah terjadi”.[23]
Nurbasyti mengatakan: ”Cara terbaik memaknai hadis ini adalah menerapkan maknanya pada mereka yang adil, karena pada dasarnya merekalah yang berhak menyandang gelar sebagai khalifah, dan tidak mesti mereka memegang kekuasaan, karena yang dimaksud dari hadis adalah makna metaforis saja. Begitulah yang disebutkan di dalam Al-Mirqat”.[24]
Dan menurut Maqrizi, jumlah dua belas imam adalah khalifah empat pertama dan Hasan cucunda Nabi saw. Ia mengatakan: “Dan padanya (Imam Hasan a.s.), masa khalifah rasyidin pun berakhir”. Maqrizi tidak memasukkan satu pun dari penguasa dinasti Umawiyah. Masih menurut penjelasannya, khilafah setelah Imam Hasan a.s. telah menjadi sistem kerajaan yang di dalamnya telah terjadi kekerasan dan kejahatan. Lebih lanjut, ia juga tidak memasukkan satu penguasa pun dari dinasti Abbasiyah, karena pemerintahan mereka telah memecah belah kalimat umat dan persatuan Islam, dan membersihkan kantor-kantor administrasi dari orang Arab lalu merekrut bangsa Turki. Yaitu, pertama-tama bangsa Dailam memimpin, lalu disusul bangsa Turki yang akhirnya menjadi sebuah bangsa yang begitu besar. Maka, terpecahlah kerajaan besar itu kepada berbagai bagian, dan setiap penguasa suatu kawasan mencaplok dan menguasainya dengan kekerasan dan kebrutalan.[25]
Dengan demikian, tampak jelas bagaimana kebingungan madrasah Khulafa’ (Ahli Sunnah) dalam menafsirkan hadis tersebut; mereka tidak sanggup keluar dari keadaan ini selagi berpegang pada tafsir futuralistik itu.
Dalam kitab Al-Hawi lil Fatawa, As-Suyuthi mengatakan: ”Sampai sekarang, belum ada kesepakatan dari umat Islam mengenai setiap pribadi dua belas imam.”[26]
Oleh karena itu, jika tafsir futuralistik tersebut memang benar dan sesuai dengan kenyataan, maka pertama kali yang akan mengimaninya adalah para sahabat nabi, bukan yang lain, dan kita akan mendengar dampaknya secara langsung dari para khalifah itu sendiri. Khalifah pertama akan mengatakan, akulah khalifah pertama dari dua belas khalifah, khalifah kedua juga demikian, begitu pula khalifah ketiga hingga khalifah kedua belas. Tentunya, pengakuan senada ini akan menjadi kebanggaan dan bukti yang mendukung legalitas kedaulatan setiap khalifah. Namun, sejarah tidak pernah mencatat satu pengakuan pun dari nama-nama khalifah yang telah disebutkan di atas itu.
Kemudian, hadis juga mengatakan bahwa masa kepemimpinan mereka adalah mencakup sepanjang sejarah Islam hingga akhir gugusannya; di mana dunia akan hancur ketika mereka sudah tidak ada lagi di muka bumi. Ahli Sunnah meriwayatkan dari Rasulullah, bahwa beliau bersabda:
”Agama ini akan senantiasa tegak dan langgeng selama ada kedua belas pemimpin dari bangsa Quraisy. Tatkala mereka tiada, dunia akan hancur lebur.”[27]
Di samping bukti sejarah, kita juga melihat dunia belum hancur kendati Umar ibn Abdul Aziz itu telah mati. Bahkan setelah ketiadaannya, ilmu pengetahuan dan ilmu-ilmu agama berkembang pesat, seperti fikih, hadis dan tafsir di abad ketiga dan keempat Hijriah. Lebih dari itu, dapat dikatakan bahwa ilmu-ilmu keislaman berkembang dan menyebar setelah meninggalnya dua belas imam versi Ahli Sunnah, sementara dunia masih saja tidak hancur lebur.
Diriwayatkan juga dari Jabir ibn Samarah:
”Umat ini akan tetap tegar menjalankan agamanya, menaklukkan para musuhnya sehingga dua belas khalifah berlalu; mereka semua dari bangsa Quraisy, kemudian tibalah kekacauan yang dahsyat.”[28]
Jika maksud dari al-maraj dalam hadis itu kegalauan dan kemelut, maka ini seharusnya tidak terjadi sampai masa Umar ibn Abdul Aziz. Sejarah juga mencatat, tidak ada cobaan dan fitnah, kemelut yang sangat dahsyat, kekacauan antara hak dan batil yang lebih besar dari tampilnya Muawiyah sebagai khalifah kaum muslimin. Ini berarti bahwa maksud dari al-maraj ialah kegalauan terbesar dan kemelut akbar. Dan boleh jadi maksudnya adalah ditinggalkannya agama secara total. Tak syak lagi, kekacauan ini tidak akan terjadi kecuali saat Hari Kebangkitan telah dekat; yaitu kekacauan yang didahu-lui oleh kemakmuran yang dibawa oleh Imam Mahdi a.s.
Kemudian, apa maksud mereka memasukkan para raja ke dalam kategori khalifah kaum muslimin, padahal telah diriwayatkan oleh Ahli Sunnah dari Sa’ad ibn Abi Waqash; satu dari sepuluh sahabat pemberi harapan dan seorang juru runding yang telah ditentukan oleh Umar, bahwa ia pernah menemui Muawiyah setelah, sementara ia juga orang yang terlambat berbaiat kepadanya, dan berkata: ”Salam sejahtera kepada rajaku!” Muawiyah menjawab: “Kenapa bukan orang lain? Kalian adalah hamba yang mukmin, dan akulah Amiril Mukminin kalian”. “Memang demikian kalau kita menerimanya, dan kita juga disebut sebagai orang-orang yang beriman, hanya saja kami tidak mengangkatmu sebagai Amirul Mukminin”.
Aisyah juga telah menolak klaim Muawiyah sebagai khalifah. Begitu pula Ibnu Abbas dan Imam Hasan a.s. melakukan hal yang sama. Bahkan, setelah perdamaian beliau dengannya,[29] Muawiyah adalah satu dari sekian manusia zalim yang disepakati umat, karena sabda nabi:
”Wahai Ammar! kamu akan dibunuh oleh golongan yang zalim”.
Kami juga tidak memahami kenapa orang zalim menjadi khalifah Rasul saw. atas umat Islam?! Lalu, apa maksud mereka memasuk-masukkan anak Muawiyah; Yazid yang secara terbuka menyatakan maksiat dan kezaliman-nya, menginjak-injak kehormatan dan hukum Allah swt.?! Ini adalah hal yang sangat mengherankan sekali; bagaimana mungkin kaum muslimin menerima orang yang telah menumpahkan darah Ahlul Bait Nabi saw., orang yang bala tentaranya menghancurkan kota Madinah Munawwarah dan membantai sekitar sepuluh ribu penduduknya sehingga tidak tersisa lagi pejuang perang Badar setelah tragedi “Al-Hirrah”, lalu tetap saja diperkenalkan sebagai khalifah Rasulullah saw.?! Dan begitulah halnya dengan para penguasa yang menurut Al-Quran sebagai pohon yang terlaknat.
Rasulullah juga pernah melihat mereka dalam mimpinya?dan kita ketahui mimpi para nabi itu benar dan jujur sejujur sinar surya di pagi hari?bahwa mereka (pohon terkutuk tersebut) akan bertengger dan bergelantungan di mimbar beliau layaknya monyet-monyet. Demikian ini sesuai pendapat mayoritas ahli tafsir dari Ahli Sunnah, yaitu ketika mereka menafsirkan ayat ke-60 dari surat Al-Isra’, tanpa perlu dibawakan redaksi pernyataan mereka secara detail.
Dengan demikian, akan tampak jelas bagi kita tiga poin penting dan jelas berikut ini:
* a. Kesalahan tafsir pemberitaan futuralistik atas hadis kepemimpinan dua belas orang imam.
* b. Faktor dan motif politis yang memaksa dan mengarahkan Ahli Sunnah kepada tafsir tersebut.
* c. Kebenaran tafsir teologis yang menjelaskan pelantikan Rasulullah saw. atas dua belas imam kaum muslimin. Tafsir ini bersandar pada dalil logis, quranik serta hadis yang banyak sekali dan sering kita jumpai dalam pusaka ajaran para imam, yang kuno maupun yang terbaru, di berbagai bidang tafsir, hadis, kalam dan sejarah.
Selain itu, sejarah tetap bersikeras bahwa dua belas imam dari Ahlul Bait a.s. adalah manifestasi tunggal yang tak terbantahkan dari hadis tersebut, walaupun hanya melalui pengakuan tegas. Mereka diawali oleh Amirul Mukminin Ali ibn Abi Tahlib a.s. dan diakhiri oleh Imam Zaman, Al-Mahdi Al-Muntadzar a.s.
Dalam hal ini, telah banyak hadis mulia yang tak terhitung jumlahnya, yang menunjukkan manifestasi tersebut. Di sini, kami akan menyebutkan satu di antara hadis-hadis itu, yaitu sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Juwaini As-Syafi’i dalam kitab Faraidus Samthain, dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah saw.; beliau bersabda:
”Aku adalah penghulu para nabi, dan Ali ibn Abi Thalib penghulu para washi (khalifah), dan washi-washi setelahku berjumlah dua belas; yang pertama Ali ibn Abi Thalib, dan yang terakhir Al-Mahdi.”[30]
Atas dasar ini, sebagian para peneliti[31] mengasumsikan bahwa apa yang telah tertera dalam kitab-kitab hadis?yang menyebutkan bahwa tatkala Jabir ibn Samarah tidak mendengar dan tidak memahami sabda Nabi saw. kemudian bertanya kepada ayahnya yang segera memberi jawaban, bahwa Rasulullah bersabda: ”Semuanya dari bangsa Quraisy”?telah mengalami tahrif dan penyensoran terhadap jawaban sang ayah. Demikian pula, sebagian riwayat telah membongkar sebab ketaktegasan jawaban tersebut, misalnya; “Lantas kaum muslimin yang hadir di sana gaduh dan berbicara satu sama lain”, atau “Orang-orang berteriak”, atau “Rasulullah mengatakan sesuatu yang membuat manusia hingga menulikan telingaku”, atau “Kemudian manusia berteriak sehingga aku tidak mendengar yang disab-dakan Nabi”, atau “Manusia bertakbir dan berteriak”, atau “Tiba-tiba orang-orang berdiri dan duduk”.
Semua sebab-sebab ketaktegasan jawaban itu tidak sesuai dengan apa yang didengar oleh perawi, karena penetapan kepemimpinan pada bangsa Quraisy adalah pernyataan yang mudah dan tidak perlu diteriakkan dan diherankan. Maka dari itu, apa yang sesuai dengan kondisi yang kita gambarkan dalam riwayat ialah bahwa kepemimpinan ilahi itu adalah kewenangan kelompok tertentu, bukan pada bangsa Quraisy secara umum. Inilah yang telah dibawakan oleh Al-Qanduzi dalam kitab Yanabiul Mawaddah. Di sana, ia menegaskan bahwa kalimat yang disabdakan oleh Rasulullah saw. menyata-kan bahwa semua pemimpin itu dari Bani Hasyim.[32]
Maka, tatkala tampak kesalahan tafsir pemberitaan futuralistik atas hadis kepemimpinan dua belas imam dari satu sisi, dan tampak kebenaran tafsir teologis dari sisi kedua, serta tampak nama Al-Mahdi dalam silsilah dua belas imam Ahlul Bait a.s. sebagai Imam Kedua Belas yang dengannya Allah swt. memperbaiki dunia setelah kehancurannya dari sisi ketiga, tentu tidak ada keraguan lagi mengenai validitas konsep Mahdiisme yang ditekankan oleh mazhab Ahlul Bait a.s. lantaran adanya relasi yang sangat erat antara prinsip Imamah Dua Belas Imam dan konsep Mahdiisme; di mana relasi ini memperlihatkan tiga poin di atas itu dari dalam konsep Mahdiisme.
Sesungguhnya kegagalan tafsir futuralistik atas prinsip Imamah Dua Belas Imam berarti juga kegagalan tafsir demikian ini atas konsep Mahdiisme, sebagaimana kebenaran acuan politis pada tafsir ini mengenai prinsip Imamah Dua Belas Imam merupakan kebenaran acuan tersebut sekaitan dengan konsep Mahdiisme. Sebab, selain kalangan Ahli Sunnah memandang hadis ‘Khilafah Itsna Asyariyah’ sebagai pemberitaan masa depan berdasarkan teori Saqifah dan Khilafah serta legalitasnya, mereka juga memandang perlunya meletakkan konsep Mahdiisme dalam kerangka tafsir futuralistik sebagai upaya menghindari konsekuensi dari hak kepemimpinan Ahlul Bait a.s. dan dari ilegalitas sistem khilafah.
Tentu sebaliknya juga benar, bahwa terbuktinya kebenaran tafsir teologis atas hadis ‘Imamah Itsna Asyariyah’ berarti juga terbuktinya kebenaran muatan teologis dari konsep Mahdiisme.[] (sumber: http://madinah-al-hikmah.net)
Catatan Kaki:
[1] Lihat Mu’jam Imam Mahdi a.s., juz 1 hadis-hadis Nabi saw.
[2] Musnad Imam Ahmad juz 1, hal. 84, hadis ke-646 dan Ibnu Abi Syaibah juz 8 hal. 678, kitab ke-40, bab 2, hadis ke-90, Ibnu Majah dan Naim ibn Hamad di dalam fitnah-fitnah tentang Imam Ali a.s. berkata: “Rasulullah saw. bersabda: ‘Imam Mahdi dari kami Ahlul bait di mana Allah akan menyiapkan segalanya dalam semalam”. Lihat Sunan Ibnu Majah 2/ 1367, hadis ke-4085, Al- Hawi lil fatawa, karya As-Suyuthi: 2/213, 215. Di sana juga disebutkan, bahwa Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah dan Abu Daud meriwayatkan dari Imam Ali a.s. dari Nabi saw.; beliau bersabda: “Jika zaman sudah tak tersisa lagi kecuali satu hari saja, maka Allah akan mengutus seorang hambanya dari Ahlul baitku yang akan memenuhi dunia ini dengan keadilan seperti telah dipenuhi oleh kezaliman dan kelaliman.” Lihat Shahih Sunan al- Mustafa 2/207. Lihat juga Mu’jam Hadis Imam Mahdi: 1/147 dan setelahnya, di mana telah dinukil riwayat yang begitu banyak dari kitab-kitab Ash-Shihah dan musnad dengan kandungan seperti ini.
Lihat juga Ensiklopedia Imam Mahdi a.s. karya Mahdi Faqih Imani, juz pertama. Di sana terdapat penukilan dari puluhan kitab-kitab ulama Ahli Sunnah dan para Ahlul Hadis tentang Imam Mahdi a.s. dan sifat-sifatnya dan apa yang berkaitan dengannya, di sana juga terdapat artikel yang telah dikopi dari keterangan Syeikh Al-‘Ibad tentang hadis-hadis yang dan karya-karya ihwal Imam Mahdi a.s.
[3] Al-Hawi lil fatawa, Jalaludin As-Suyuthi; juz 2 hal. 214, dia berkata: “Abu Daud, Ibnu Majah, Thabrani, dan Hakim dari Ummi Salamah; beliau berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Mahdi dari Itrahku dari keturunan Fatimah.” Lihat Sahih Sunanul Musthafa, karya Abi Daud: juz 2 hal. 208, dan Sunan Ibnu Majah: juz 2/1378 hadis ke-4086.
[4] ‘Hadisul Mahdi min Durriyatil Husain a.s., sebagaimana terdapat dalam sumber-sumber berikut ini, juga dinukil oleh Mu’jam Hadis Mahdi, dan itu 40 hadis dari Abu Nu’aim, Al-Isfahani sebagaimana disebutkan oleh ‘Aqdu Ad-Durar, Muqaddisi Syafii. Thabrani juga meriwayatkan dalam Al-Ausath seperti yang dinukil al-Manarul Munif karya Ibnu Qayyim, dan di Sirah Halabiyah juz 1 hal. 193, dan di Al-Qaul Al-Mukhtashar, Ibnu Hajar Al-Haitsami. Lihat Muntakhabaul Atsar, Syeikh Luthfullah Ash-Shafi tentang apa yang ia nukil dari kitab-kitab Syi’ah. Lihat pula dalil-dalil kelemahan riwayat yang mengatakan bahwa beliau dari keturunan Imam Hasan a.s., kitab Sayyid Al-‘Amidi, Difa’ ‘Anil Kafi; juz 1, hal. 296.
[5] Lihat riwayat yang menandaskan bahwa beliau keturunan ke-tujuh dari Imam Husain a.s. di Yanabi’ul Mawaddah, Al-Qanduzi Al-Hanafi, hal. 492, Maqtalul Imam Husain as Kharazmi juz 1 hal. 196, Faraidu Simthain Juwaini Syafii; juz 2 halaman 310-315, hadis-hadis dari 561-569, lihat pula Muntakhabul Atsar karya Ash-Shafi, di saat ia meriwayatkan dari dua jalur.
[7] Hadis “Para pengganti setelahku berjumlah dua belas orang, kesemuanya dari bangsa Quraisy”, atau hadis “Agama ini senan-tiasa akan langgeng dengan keberadaan 12 pemimpin yang berasal dari suku Quraisy” adalah mutawatir, dan diriwayatkan oleh kitab-kitab Shahih dan Musnad dengan berbagai jalan, kendati terdapat perbedaan sedikit dari sisi kandungannya. Memang mereka berbeda pendapat dalam penafsirannya dan tampak kebingungan. Lihat Sahih Bukhari; juz 9, hal. 101, Kitabul Ahkam – bab ‘Al-Istikhlaf’, Sahih Muslim juz 6, halaman 4 kitab ‘Al-Imarah’, bab ‘Al-Istikhlaf’, Musnad Ahmad juz 5 hal. 90, 93 dan 97.
[8] Lihat Al-Gaibah Kubra, Sayyid Shadr: hal. 272, dan seterusnya.
[9] Lihat At-Tajul Jami’ lil Ushul: juz 3 halaman 40. dia berkata
[10] Shahih Bukhari, jild 3: 9/101, kitab ‘Al-Ahkam, bab Al-Istikhlaf’, cetakan Dar- Ihya’ Turats Al-Arabi, Beirut.
[11] Lihat At-Tajul Jami’ lil Usul 3/40.
[12] Lihat At-Tajul Jami’ lil Usul 3/40.
[13] Lihat At-Tajul Jami’ lil Usul 3/40.
[14] Musnad Ahmad; 6/ 99 hadis ke 20359.
[15] Al-Musatadrak: 3/ 618.
[16] Hal ini sesuai dengan firman Allah:”dia tidak pernah berbicara atas dasar hawa nafsu, akan tetapi wahyu semat”. An-Najm 3-4.
[17] Para ulama merasa kebingungan dalam menerapkan hadis tersebut, dan apa yang mereka bawakan dari person-person tidak dapat diterima, bahkan sebagian tidak masuk akal sama sekali seperti dimasuk-masukkannya Yazid putra Muawiyah orang yang terang-terangan melakukan kemaksiatan dan kefasikan, orang yang divonis sebagai murtad, kafir atau mereka yang selevel dengannya.
[18] Sahih Muslim: 6 / 3 kitab ‘Al-Imarah’.
[19] Lihat Sahih Bukhari 4: 164, kitab Al-Ahkam, bab Istiklaf, Musnad Ahmad: 6/94, hadis ke-325, 20366, 20367, 20416, 20443, 20503, 20534, Sunan Abi Daud 4:107 4279-4280, Al-Mu’jamul Kabir, Thabrani : 2/238/1996, Sunan Tirmizi: 4/501, Mustadrak Hakim : 3/618, Hilyatul Auliya, Abu Nu’aim: 4/333, Fathul Bari: 13/211, Syarah Sahih Muslim karya Nawawi: 12/201, Al-Bidayah wa Nihayah, Ibnu Katsir: 1/153, Tafsir Ibnu Katsir: 2/24 –dalam menafsirkan ayat ke-12 dari surat Al-Maidah, kitab Suluk fi Duali Muluk, Al-Maqrizi: 1/13–15 pada bagian pertama, Syarah Hafiz Ibnu Qayim Jauzi atas Sunan Ibnu Daud: 11/363, Syahrul Hadis 4259, Syarhul Aqidah Ath-Thahawiyah: 2/736, Al-Hawi lil Fatawa, As-Suyuti: 2/85, ‘Aunul Ma’bud, Syarh Abi Daud, Al-‘Adhim Abadi: 11/362, Syarhul Hadis 4259, Misykatl Mashabih, At-Tabrizi: 3/327, 5983, As-Silsilatu Sahihah, Al-Albani, hadis ke-376, Kanzul Ummal: 12/32, 33484 dan 12/33/33858 dan 12/34/33861. Hadis ini juga diriwayatkan oleh para tokoh hadis Syi’ah. Di antara mereka adalah Syeikh Shaduq ra. dalam Kamaluddin, 1:172, Al-Khishal, 2:469 dan 475, dan telah diperiksa jalur-jalur hadis ini secara cermat, di mana para perawinya dari kalangan sahabat yang disebutkan dalam Ihqaqul Haq: 13/1-50.
[20] Tafsir Al-Quran Karim, Ibnu Kasir: 2/34, saat menafsirkan ayat ke 12 dari surah Maidah.
[21] Syarhul Aqidah Thahawiyah, Qadhi Damaskus: 2 / 736.
[22] ‘Aunul Ma’bud fi Syarhi Sunani Abi Daud: 11/246, pada pen-jelasan hadis 427, kitab ‘Al-Mahdi’, cet. Darul Kutub ‘Ilmiyah.
[23] ‘Aunul Ma’bud fi Syarhi Sunani Abi Daud:11/245.
[24] ‘Aunul Ma’bud fi Syarhi Sunani Abi Daud: 11/244.
[25] As-Suluk lima’rifati Dualil Muluk: 1 / 13-15 bagian pertama.
[26] Al-Hawi lil Fatawa: 2/85.
[27] Kanzul Ummal: 12.34, hadis ke-33861, diriwayatkan oleh Ibnu Najjar dari Anas.
[28] Kanzul Ummal: 12 / 32, hadis 32848.
[29] Lihat Al-Ghadir, Allamah Amini: 1/ 26-27.
[30] Faraidus Samthain: 2/313, hadis ke-564.
[31] Al-Ghadir wa Mu’aridhun, Sayyid Ja’far Murtadha Al-‘Amili:70-72.
[32] Yanabi’ul Mawaddah: 3/104, bab 77.
Argumentasi teologis atas konsep Mahdiisme terungkap dalam ratusan riwayat yang datang dari Rasulullah yang menunjukkan penentuan Imam Mahdi a.s. dan bahwa beliau dari Ahlul Bait a.s.
Argumentasi teologis atas konsep Mahdiisme terungkap dalam ratusan riwayat yang datang dari Rasulullah[1] yang menunjukkan penentuan Imam Mahdi a.s. dan bahwa beliau dari Ahlul Bait a.s.[2]
Dinyatakan juga bahwa beliau adalah dari ke-turunan Fathimah a.s.[3], dari keturunan imam Husain a.s.[4], keturunan ketujuh dari imam Husain a.s.[5], dan bahwa beliau adalah khalifah dan pengganti Rasulullah adalah 12 orang.[6]
Lima kelompok dan kategori riwayat ini,[7] satu sama lain berlomba menjelaskan konsep Mahdiisme dan mendefinisikan Imam Mahdi a.s. Sedang yang perlu dicermati di sana adalah analisis atas hal tersebut dari topik umum ke topik yang lebih khusus sehingga sampai kepada topik penentuan personal.
Sahid Baqir Shadr ra. menggarisbawahi riwayat-riwayat tersebut dan mengatakan: ”Riwayat ini sangat-lah banyak dan tersebar, kendati para imam telah berhati-hati untuk memaparkan konsep ini pada konteks umum, sebagai upaya penyelamatan bagi pelanjut mereka (Imam Mahdi a.s.) dari konspirasi dan pembunuhan”[8].
Selain itu, perlu dipahami bahwa banyaknya riwayat bukan satu-satunya alasan yang cukup untuk menerima konsep ini. Akan tetapi di sana terdapat keistimewaan dan bukti-bukti lain yang menegaskan keabsahannya. Misalnya, hadis Rasulullah yang mulia tentang para imam dan khalifah atau amir setelah beliau dan ihwal mereka berjumlah 12 orang?dengan berbagai perbedaan riwayat yang datang dari jalur yang beragam?telah dihitung oleh sebagian para penulis hingga mencapai lebih dari 270 riwayat,[9] sebuah jumlah yang fantastik, di mana riwayat-riwayat tersebut diambil dari kitab hadis standar, baik dari kalangan Syi’ah maupun Ahli Sunnah, di antaranya Shahih Bukhari[10], Shahih Muslim[11], Sunan Tirmidzi[12], Sunan Abu Daud[13] dan Musnad Ahmad[14] serta Mustadrak Hakim.[15]
Yang menarik di sini, Bukhari yang menukil riwayat ini adalah orang yang hidup sezaman dengan imam Al-Jawad a.s. dan dengan dua imam yang lain; Imam Al-Hadi dan Imam Al-Askari a.s. Ini merupakan sebuah keunikan yang besar, karena ia berdalil bahwa hadis ini telah dinukil dari Rasulullah sebelum kandungannya terwujud dan sebelum konsep kepemimpinan dua belas Imam itu terjadi di dunia nyata. Tentunya, tidak bisa diragukan lagi, bahwa penukilan hadis ini tidak dipengaruhi oleh kondisi nyata di luar dari dua belas Imam ataupun refleksi darinya, sebab hadis-hadis palsu yang disandarkan kepada Rasulullah adalah cerminan atau justifikasi atas peristiwa yang nantinya akan terjadi di masa depan.
Maka itu, selagi kita memiliki dalil bahwa hadis yang disebutkan tadi telah melalui rentetan sejarah para Imam dua belas dan tercatat dalam kitab-kitab hadis sebelum menyempurnanya para personnya fakta kedua belas Imam, maka dapat kita tegaskan bahwa hadis ini bukanlah gambaran dari fakta yang terjadi di luar, akan tetapi ungkapan dari hakikat rabbani yang diucapkan oleh orang yang tidak pernah berucap selain wahyu dari Tuhan[16]. Beliau bersabda:
”Sesungguhnya khalifah sepeninggalku adalah dua belas orang”.
Fakta dua belas imam ini telah nyata; diawali oleh Imam Ali a.s. dan diakhiri oleh Imam Mahdi sebagai misdaq (personifikasi) logis dari hadis mulia tersebut.[17]
Muslim telah meriwayatkan dalam Shahihnya dari Qutaibah ibn Said, dari Jabir ibn Samarah, dia berkata:
”Aku datang bertemu dengan Rasulullah bersama ayah-ku, maka aku mendengar beliau bersabda: ‘Sesungguhnya urusan ini (agama Islam) tidak akan berakhir kecuali dua belas khalifah berlalu”. Jabir berkata: “Kemudian beliau bersabda dengan kata-kata yang tidak aku dengar, maka aku bertanya kepada ayahku, apa yang beliau sabdakan? Ayah menjawab semuanya dari bangsa Quraisy.”[18]
Kemudian Muslim meriwayatkan dari jalur Ibnu Abu Umar, dari Abu Umar dari Hadab ibn Khalid, dari Nashr ibn Jahdhami, dan dari Muhammad ibn Rafi’e; semua dari satu jalur. Dia juga menguatkan riwayat Abu Bakar ibn Abu Syaibah dari dua jalur, dan riwayat Qutaibah ibn Said melalui dua jalur yang lain.
Dengan demikian, terdapat sembilan jalur dari hadis tersebut yang hanya terdapat dalam kitab Sahih Muslim. Belum lagi kalau kita mau membawakan hadis ini dari jalur-jalur yang beragam yang terdapat dalam kitab-kitab hadis yang lain dari mazhab Syi’ah maupun Ahli Sunnah.[19]
Kerancuan Ahli Sunnah Dalam Menafsirkan Hadis
Pertanyaan di sini adalah, siapa mereka para khalifah tersebut? Sebelum memilih jawaban yang benar dari soal ini, kita akan memberikan dua alternatif yang dapat diasumsikan pada hadis itu dan maksud Rasul saw. darinya. Maka, di sini hanya ada dua kemungkinan dan tidak ada pilihan ketiga di dalamnya. Kedua kemung-kinan tersebut adalah;
1. Maksud dari sabda Nabi tersebut adalah penjelasan fakta politik umat beliau yang akan terjadi sepe-ninggal beliau, dengan cara penyingkapan akan masa depan. Sebagaimana hal ini juga terjadi dalam berbagai hal yang lain. Dengan demikian maksud hadis ini adalah pemberitahuan beliau akan masa mendatang dan menimpa umat beliau, atau dapat kita istilahkan kemungkinan pertama ini dengan nama tafsir mustaqbali (futurologis).
2. Kemungkinan kedua adalah Nabi bermaksud menentukan kedua belas Imam dan penggantinya, maka tujuan hadis ini adalah pelantikan sesuai dengan tuntutan syariat bukan kabar akan masa mendatang. Kemungkinan ini disebut juga sebagai tafsir aqaidiyah (teologis).
Sejauh kajian ilmiah, kita dituntut untuk mencermati dua kemungkinan ini dan memilih apa yang sesuai dengan bukti logis maupun dogmatis. Hanya saja, karena Ahli Sunnah sejak awal telah meyakini teori khilafah dan menolak teori pelantikan serta membangun sistem akidah dan hukumnya di atas keyakinan ini, pada gilirannya mereka tidak menemukan alternatif selain kemungkinan atau tafsiran pertama, dan dengan segala cara berupaya menakwilkan apa-apa yang bertentangan dengannya. Kendati produk-produk penakwilan mereka itu jauh dari nalar yang lurus dan kearifan insani, namun demikian ini adalah konsekuensi yang tak terelakkan.
Semestinya, Ahli Sunnah memandang hadis ini secara ilmiah dan bebas dari asumsi sehingga kita dapat melihat kelemahan tafsir futuralistik itu. Maka, jika Nabi saw. bermaksud menjelaskan ihwal kejadian di masa depan, mengapa beliau hanya menentukan dua belas orang saja? Bukankah masa depan itu lebih panjang dari sekedar jumlah dua belas pemimpin? Dan jika Rasulullah melihatnya dengan kaca mata khilafah yang sah yang sesuai dengan norma-norma syariat, maka Ahli Sunnah tidak akan siap untuk meyakini Khulafa Rasyidin dan menolak legalitas kepemimpinan selain mereka. Oleh karena itu, mereka kebingungan dalam menentukan dua belas pribadi pengganti yang telah disinggung oleh Rasulullah saw.
Sejalan dengan ini, maka dua belas imam atau pemimpin?menurut Ibnu Katsir?adalah keempat khalifah awal, lalu Umar ibn Abdul Aziz, dan sebagian khalifah dari dinasti Abbasiyah, di mana Imam Mahdi yang dijanjikan berasal dari mereka.[20]
Menurut Qadhi Damaskus, mereka adalah Khulafa’ Rasyidin, Muawiyah, Yazid ibn Muawiyah, Abdul Malik ibn Marwan dan keempat anaknya (Walid, Sulaiman, Yazid dan Hisyam), dan diakhiri oleh Umar ibn Abdul Aziz[21].
Menurut Waliyyullah, seorang Ahli Hadis dalam kitab Qurratul ‘Ainain, sebagaimana dinukil dalam kitab ‘Aunul Ma’bud, mereka adalah empat khalifah pertama muslimin, Abdul Malik ibn Marwan dan keempat anaknya, Umar ibn Abdul Aziz, Walid ibn Yazid ibn Abdul Malik. Kemudian Waliyyullah menukil dari Malik ibn Anas seraya memasukkan Abdullah ibn Zubair ke dalam dua belas orang tersebut, akan tetapi dia menolak perkataan Malik dengan dalil riwayat dari Umar dan Ustman dari Rasulullah saw. yang menunjukkan bahwa pemerintahan yang dipimpin oleh Abdullah ibn Zubair adalah sebuah bencana dari sederet malapetaka yang diderita umat Islam. Ia juga menolak dimasukkannya Yazid dan menegaskan, bahwa dia adalah sosok yang berperilaku bejat.[22]
Ibnu Qayim Jauzi mengatakan: “Sedangkan jumlah khalifah itu dua belas orang; sekelompok orang yang di antaranya; Abu Hatim, Ibnu Hibban dan yang lain mengatakan bahwa yang terakhir dari mereka adalah Umar ibn Abdul Aziz. Mereka menyebut khalifah empat pertama, Muawiyah, Yazid ibn Muawiyah, Muawiyah ibn Yazid, Marwan ibn Hakam, Abdul Malik ibn Marwan, Walid ibn Abdul Malik, Sulaiman ibn Abdul Malik, dan khalifah yang kedua belas Umar ibn Abdul Aziz. Khalifah yang terakhir ini wafat pada tahun seratus Hijriyah; di abad pertama dan paling awal dari abad-abad kalender Hijriah manapun, pada abad inilah agama berada di puncak kejayaan sebelum terjadi apa yang telah terjadi”.[23]
Nurbasyti mengatakan: ”Cara terbaik memaknai hadis ini adalah menerapkan maknanya pada mereka yang adil, karena pada dasarnya merekalah yang berhak menyandang gelar sebagai khalifah, dan tidak mesti mereka memegang kekuasaan, karena yang dimaksud dari hadis adalah makna metaforis saja. Begitulah yang disebutkan di dalam Al-Mirqat”.[24]
Dan menurut Maqrizi, jumlah dua belas imam adalah khalifah empat pertama dan Hasan cucunda Nabi saw. Ia mengatakan: “Dan padanya (Imam Hasan a.s.), masa khalifah rasyidin pun berakhir”. Maqrizi tidak memasukkan satu pun dari penguasa dinasti Umawiyah. Masih menurut penjelasannya, khilafah setelah Imam Hasan a.s. telah menjadi sistem kerajaan yang di dalamnya telah terjadi kekerasan dan kejahatan. Lebih lanjut, ia juga tidak memasukkan satu penguasa pun dari dinasti Abbasiyah, karena pemerintahan mereka telah memecah belah kalimat umat dan persatuan Islam, dan membersihkan kantor-kantor administrasi dari orang Arab lalu merekrut bangsa Turki. Yaitu, pertama-tama bangsa Dailam memimpin, lalu disusul bangsa Turki yang akhirnya menjadi sebuah bangsa yang begitu besar. Maka, terpecahlah kerajaan besar itu kepada berbagai bagian, dan setiap penguasa suatu kawasan mencaplok dan menguasainya dengan kekerasan dan kebrutalan.[25]
Dengan demikian, tampak jelas bagaimana kebingungan madrasah Khulafa’ (Ahli Sunnah) dalam menafsirkan hadis tersebut; mereka tidak sanggup keluar dari keadaan ini selagi berpegang pada tafsir futuralistik itu.
Dalam kitab Al-Hawi lil Fatawa, As-Suyuthi mengatakan: ”Sampai sekarang, belum ada kesepakatan dari umat Islam mengenai setiap pribadi dua belas imam.”[26]
Oleh karena itu, jika tafsir futuralistik tersebut memang benar dan sesuai dengan kenyataan, maka pertama kali yang akan mengimaninya adalah para sahabat nabi, bukan yang lain, dan kita akan mendengar dampaknya secara langsung dari para khalifah itu sendiri. Khalifah pertama akan mengatakan, akulah khalifah pertama dari dua belas khalifah, khalifah kedua juga demikian, begitu pula khalifah ketiga hingga khalifah kedua belas. Tentunya, pengakuan senada ini akan menjadi kebanggaan dan bukti yang mendukung legalitas kedaulatan setiap khalifah. Namun, sejarah tidak pernah mencatat satu pengakuan pun dari nama-nama khalifah yang telah disebutkan di atas itu.
Kemudian, hadis juga mengatakan bahwa masa kepemimpinan mereka adalah mencakup sepanjang sejarah Islam hingga akhir gugusannya; di mana dunia akan hancur ketika mereka sudah tidak ada lagi di muka bumi. Ahli Sunnah meriwayatkan dari Rasulullah, bahwa beliau bersabda:
”Agama ini akan senantiasa tegak dan langgeng selama ada kedua belas pemimpin dari bangsa Quraisy. Tatkala mereka tiada, dunia akan hancur lebur.”[27]
Di samping bukti sejarah, kita juga melihat dunia belum hancur kendati Umar ibn Abdul Aziz itu telah mati. Bahkan setelah ketiadaannya, ilmu pengetahuan dan ilmu-ilmu agama berkembang pesat, seperti fikih, hadis dan tafsir di abad ketiga dan keempat Hijriah. Lebih dari itu, dapat dikatakan bahwa ilmu-ilmu keislaman berkembang dan menyebar setelah meninggalnya dua belas imam versi Ahli Sunnah, sementara dunia masih saja tidak hancur lebur.
Diriwayatkan juga dari Jabir ibn Samarah:
”Umat ini akan tetap tegar menjalankan agamanya, menaklukkan para musuhnya sehingga dua belas khalifah berlalu; mereka semua dari bangsa Quraisy, kemudian tibalah kekacauan yang dahsyat.”[28]
Jika maksud dari al-maraj dalam hadis itu kegalau
PEMBUKTIAN TEOLOGIS ATAS KONSEP MAHDIISME MENURUT AHLUL BAIT A.S.
Argumentasi teologis atas konsep Mahdiisme terungkap dalam ratusan riwayat yang datang dari Rasulullah[1] yang menunjukkan penentuan Imam Mahdi a.s. dan bahwa beliau dari Ahlul Bait a.s.[2]
Dinyatakan juga bahwa beliau adalah dari ke-turunan Fathimah a.s.[3], dari keturunan imam Husain a.s.[4], keturunan ketujuh dari imam Husain a.s.[5], dan bahwa beliau adalah khalifah dan pengganti Rasulullah adalah 12 orang.[6]
Lima kelompok dan kategori riwayat ini,[7] satu sama lain berlomba menjelaskan konsep Mahdiisme dan mendefinisikan Imam Mahdi a.s. Sedang yang perlu dicermati di sana adalah analisis atas hal tersebut dari topik umum ke topik yang lebih khusus sehingga sampai kepada topik penentuan personal.
Sahid Baqir Shadr ra. menggarisbawahi riwayat-riwayat tersebut dan mengatakan: ”Riwayat ini sangat-lah banyak dan tersebar, kendati para imam telah berhati-hati untuk memaparkan konsep ini pada konteks umum, sebagai upaya penyelamatan bagi pelanjut mereka (Imam Mahdi a.s.) dari konspirasi dan pembunuhan”[8].
Selain itu, perlu dipahami bahwa banyaknya riwayat bukan satu-satunya alasan yang cukup untuk menerima konsep ini. Akan tetapi di sana terdapat keistimewaan dan bukti-bukti lain yang menegaskan keabsahannya. Misalnya, hadis Rasulullah yang mulia tentang para imam dan khalifah atau amir setelah beliau dan ihwal mereka berjumlah 12 orang?dengan berbagai perbedaan riwayat yang datang dari jalur yang beragam?telah dihitung oleh sebagian para penulis hingga mencapai lebih dari 270 riwayat,[9] sebuah jumlah yang fantastik, di mana riwayat-riwayat tersebut diambil dari kitab hadis standar, baik dari kalangan Syi’ah maupun Ahli Sunnah, di antaranya Shahih Bukhari[10], Shahih Muslim[11], Sunan Tirmidzi[12], Sunan Abu Daud[13] dan Musnad Ahmad[14] serta Mustadrak Hakim.[15]
Yang menarik di sini, Bukhari yang menukil riwayat ini adalah orang yang hidup sezaman dengan imam Al-Jawad a.s. dan dengan dua imam yang lain; Imam Al-Hadi dan Imam Al-Askari a.s. Ini merupakan sebuah keunikan yang besar, karena ia berdalil bahwa hadis ini telah dinukil dari Rasulullah sebelum kandungannya terwujud dan sebelum konsep kepemimpinan dua belas Imam itu terjadi di dunia nyata. Tentunya, tidak bisa diragukan lagi, bahwa penukilan hadis ini tidak dipengaruhi oleh kondisi nyata di luar dari dua belas Imam ataupun refleksi darinya, sebab hadis-hadis palsu yang disandarkan kepada Rasulullah adalah cerminan atau justifikasi atas peristiwa yang nantinya akan terjadi di masa depan.
Maka itu, selagi kita memiliki dalil bahwa hadis yang disebutkan tadi telah melalui rentetan sejarah para Imam dua belas dan tercatat dalam kitab-kitab hadis sebelum menyempurnanya para personnya fakta kedua belas Imam, maka dapat kita tegaskan bahwa hadis ini bukanlah gambaran dari fakta yang terjadi di luar, akan tetapi ungkapan dari hakikat rabbani yang diucapkan oleh orang yang tidak pernah berucap selain wahyu dari Tuhan[16]. Beliau bersabda:
”Sesungguhnya khalifah sepeninggalku adalah dua belas orang”.
Fakta dua belas imam ini telah nyata; diawali oleh Imam Ali a.s. dan diakhiri oleh Imam Mahdi sebagai misdaq (personifikasi) logis dari hadis mulia tersebut.[17]
Muslim telah meriwayatkan dalam Shahihnya dari Qutaibah ibn Said, dari Jabir ibn Samarah, dia berkata:
”Aku datang bertemu dengan Rasulullah bersama ayah-ku, maka aku mendengar beliau bersabda: ‘Sesungguhnya urusan ini (agama Islam) tidak akan berakhir kecuali dua belas khalifah berlalu”. Jabir berkata: “Kemudian beliau bersabda dengan kata-kata yang tidak aku dengar, maka aku bertanya kepada ayahku, apa yang beliau sabdakan? Ayah menjawab semuanya dari bangsa Quraisy.”[18]
Kemudian Muslim meriwayatkan dari jalur Ibnu Abu Umar, dari Abu Umar dari Hadab ibn Khalid, dari Nashr ibn Jahdhami, dan dari Muhammad ibn Rafi’e; semua dari satu jalur. Dia juga menguatkan riwayat Abu Bakar ibn Abu Syaibah dari dua jalur, dan riwayat Qutaibah ibn Said melalui dua jalur yang lain.
Dengan demikian, terdapat sembilan jalur dari hadis tersebut yang hanya terdapat dalam kitab Sahih Muslim. Belum lagi kalau kita mau membawakan hadis ini dari jalur-jalur yang beragam yang terdapat dalam kitab-kitab hadis yang lain dari mazhab Syi’ah maupun Ahli Sunnah.[19]
Kerancuan Ahli Sunnah Dalam Menafsirkan Hadis
Pertanyaan di sini adalah, siapa mereka para khalifah tersebut? Sebelum memilih jawaban yang benar dari soal ini, kita akan memberikan dua alternatif yang dapat diasumsikan pada hadis itu dan maksud Rasul saw. darinya. Maka, di sini hanya ada dua kemungkinan dan tidak ada pilihan ketiga di dalamnya. Kedua kemung-kinan tersebut adalah;
* 1. Maksud dari sabda Nabi tersebut adalah penjelasan fakta politik umat beliau yang akan terjadi sepe-ninggal beliau, dengan cara penyingkapan akan masa depan. Sebagaimana hal ini juga terjadi dalam berbagai hal yang lain. Dengan demikian maksud hadis ini adalah pemberitahuan beliau akan masa mendatang dan menimpa umat beliau, atau dapat kita istilahkan kemungkinan pertama ini dengan nama tafsir mustaqbali (futurologis).
* 2. Kemungkinan kedua adalah Nabi bermaksud menentukan kedua belas Imam dan penggantinya, maka tujuan hadis ini adalah pelantikan sesuai dengan tuntutan syariat bukan kabar akan masa mendatang. Kemungkinan ini disebut juga sebagai tafsir aqaidiyah (teologis).
Sejauh kajian ilmiah, kita dituntut untuk mencermati dua kemungkinan ini dan memilih apa yang sesuai dengan bukti logis maupun dogmatis. Hanya saja, karena Ahli Sunnah sejak awal telah meyakini teori khilafah dan menolak teori pelantikan serta membangun sistem akidah dan hukumnya di atas keyakinan ini, pada gilirannya mereka tidak menemukan alternatif selain kemungkinan atau tafsiran pertama, dan dengan segala cara berupaya menakwilkan apa-apa yang bertentangan dengannya. Kendati produk-produk penakwilan mereka itu jauh dari nalar yang lurus dan kearifan insani, namun demikian ini adalah konsekuensi yang tak terelakkan.
Semestinya, Ahli Sunnah memandang hadis ini secara ilmiah dan bebas dari asumsi sehingga kita dapat melihat kelemahan tafsir futuralistik itu. Maka, jika Nabi saw. bermaksud menjelaskan ihwal kejadian di masa depan, mengapa beliau hanya menentukan dua belas orang saja? Bukankah masa depan itu lebih panjang dari sekedar jumlah dua belas pemimpin? Dan jika Rasulullah melihatnya dengan kaca mata khilafah yang sah yang sesuai dengan norma-norma syariat, maka Ahli Sunnah tidak akan siap untuk meyakini Khulafa Rasyidin dan menolak legalitas kepemimpinan selain mereka. Oleh karena itu, mereka kebingungan dalam menentukan dua belas pribadi pengganti yang telah disinggung oleh Rasulullah saw.
Sejalan dengan ini, maka dua belas imam atau pemimpin?menurut Ibnu Katsir?adalah keempat khalifah awal, lalu Umar ibn Abdul Aziz, dan sebagian khalifah dari dinasti Abbasiyah, di mana Imam Mahdi yang dijanjikan berasal dari mereka.[20]
Menurut Qadhi Damaskus, mereka adalah Khulafa’ Rasyidin, Muawiyah, Yazid ibn Muawiyah, Abdul Malik ibn Marwan dan keempat anaknya (Walid, Sulaiman, Yazid dan Hisyam), dan diakhiri oleh Umar ibn Abdul Aziz[21].
Menurut Waliyyullah, seorang Ahli Hadis dalam kitab Qurratul ‘Ainain, sebagaimana dinukil dalam kitab ‘Aunul Ma’bud, mereka adalah empat khalifah pertama muslimin, Abdul Malik ibn Marwan dan keempat anaknya, Umar ibn Abdul Aziz, Walid ibn Yazid ibn Abdul Malik. Kemudian Waliyyullah menukil dari Malik ibn Anas seraya memasukkan Abdullah ibn Zubair ke dalam dua belas orang tersebut, akan tetapi dia menolak perkataan Malik dengan dalil riwayat dari Umar dan Ustman dari Rasulullah saw. yang menunjukkan bahwa pemerintahan yang dipimpin oleh Abdullah ibn Zubair adalah sebuah bencana dari sederet malapetaka yang diderita umat Islam. Ia juga menolak dimasukkannya Yazid dan menegaskan, bahwa dia adalah sosok yang berperilaku bejat.[22]
Ibnu Qayim Jauzi mengatakan: “Sedangkan jumlah khalifah itu dua belas orang; sekelompok orang yang di antaranya; Abu Hatim, Ibnu Hibban dan yang lain mengatakan bahwa yang terakhir dari mereka adalah Umar ibn Abdul Aziz. Mereka menyebut khalifah empat pertama, Muawiyah, Yazid ibn Muawiyah, Muawiyah ibn Yazid, Marwan ibn Hakam, Abdul Malik ibn Marwan, Walid ibn Abdul Malik, Sulaiman ibn Abdul Malik, dan khalifah yang kedua belas Umar ibn Abdul Aziz. Khalifah yang terakhir ini wafat pada tahun seratus Hijriyah; di abad pertama dan paling awal dari abad-abad kalender Hijriah manapun, pada abad inilah agama berada di puncak kejayaan sebelum terjadi apa yang telah terjadi”.[23]
Nurbasyti mengatakan: ”Cara terbaik memaknai hadis ini adalah menerapkan maknanya pada mereka yang adil, karena pada dasarnya merekalah yang berhak menyandang gelar sebagai khalifah, dan tidak mesti mereka memegang kekuasaan, karena yang dimaksud dari hadis adalah makna metaforis saja. Begitulah yang disebutkan di dalam Al-Mirqat”.[24]
Dan menurut Maqrizi, jumlah dua belas imam adalah khalifah empat pertama dan Hasan cucunda Nabi saw. Ia mengatakan: “Dan padanya (Imam Hasan a.s.), masa khalifah rasyidin pun berakhir”. Maqrizi tidak memasukkan satu pun dari penguasa dinasti Umawiyah. Masih menurut penjelasannya, khilafah setelah Imam Hasan a.s. telah menjadi sistem kerajaan yang di dalamnya telah terjadi kekerasan dan kejahatan. Lebih lanjut, ia juga tidak memasukkan satu penguasa pun dari dinasti Abbasiyah, karena pemerintahan mereka telah memecah belah kalimat umat dan persatuan Islam, dan membersihkan kantor-kantor administrasi dari orang Arab lalu merekrut bangsa Turki. Yaitu, pertama-tama bangsa Dailam memimpin, lalu disusul bangsa Turki yang akhirnya menjadi sebuah bangsa yang begitu besar. Maka, terpecahlah kerajaan besar itu kepada berbagai bagian, dan setiap penguasa suatu kawasan mencaplok dan menguasainya dengan kekerasan dan kebrutalan.[25]
Dengan demikian, tampak jelas bagaimana kebingungan madrasah Khulafa’ (Ahli Sunnah) dalam menafsirkan hadis tersebut; mereka tidak sanggup keluar dari keadaan ini selagi berpegang pada tafsir futuralistik itu.
Dalam kitab Al-Hawi lil Fatawa, As-Suyuthi mengatakan: ”Sampai sekarang, belum ada kesepakatan dari umat Islam mengenai setiap pribadi dua belas imam.”[26]
Oleh karena itu, jika tafsir futuralistik tersebut memang benar dan sesuai dengan kenyataan, maka pertama kali yang akan mengimaninya adalah para sahabat nabi, bukan yang lain, dan kita akan mendengar dampaknya secara langsung dari para khalifah itu sendiri. Khalifah pertama akan mengatakan, akulah khalifah pertama dari dua belas khalifah, khalifah kedua juga demikian, begitu pula khalifah ketiga hingga khalifah kedua belas. Tentunya, pengakuan senada ini akan menjadi kebanggaan dan bukti yang mendukung legalitas kedaulatan setiap khalifah. Namun, sejarah tidak pernah mencatat satu pengakuan pun dari nama-nama khalifah yang telah disebutkan di atas itu.
Kemudian, hadis juga mengatakan bahwa masa kepemimpinan mereka adalah mencakup sepanjang sejarah Islam hingga akhir gugusannya; di mana dunia akan hancur ketika mereka sudah tidak ada lagi di muka bumi. Ahli Sunnah meriwayatkan dari Rasulullah, bahwa beliau bersabda:
”Agama ini akan senantiasa tegak dan langgeng selama ada kedua belas pemimpin dari bangsa Quraisy. Tatkala mereka tiada, dunia akan hancur lebur.”[27]
Di samping bukti sejarah, kita juga melihat dunia belum hancur kendati Umar ibn Abdul Aziz itu telah mati. Bahkan setelah ketiadaannya, ilmu pengetahuan dan ilmu-ilmu agama berkembang pesat, seperti fikih, hadis dan tafsir di abad ketiga dan keempat Hijriah. Lebih dari itu, dapat dikatakan bahwa ilmu-ilmu keislaman berkembang dan menyebar setelah meninggalnya dua belas imam versi Ahli Sunnah, sementara dunia masih saja tidak hancur lebur.
Diriwayatkan juga dari Jabir ibn Samarah:
”Umat ini akan tetap tegar menjalankan agamanya, menaklukkan para musuhnya sehingga dua belas khalifah berlalu; mereka semua dari bangsa Quraisy, kemudian tibalah kekacauan yang dahsyat.”[28]
Jika maksud dari al-maraj dalam hadis itu kegalauan dan kemelut, maka ini seharusnya tidak terjadi sampai masa Umar ibn Abdul Aziz. Sejarah juga mencatat, tidak ada cobaan dan fitnah, kemelut yang sangat dahsyat, kekacauan antara hak dan batil yang lebih besar dari tampilnya Muawiyah sebagai khalifah kaum muslimin. Ini berarti bahwa maksud dari al-maraj ialah kegalauan terbesar dan kemelut akbar. Dan boleh jadi maksudnya adalah ditinggalkannya agama secara total. Tak syak lagi, kekacauan ini tidak akan terjadi kecuali saat Hari Kebangkitan telah dekat; yaitu kekacauan yang didahu-lui oleh kemakmuran yang dibawa oleh Imam Mahdi a.s.
Kemudian, apa maksud mereka memasukkan para raja ke dalam kategori khalifah kaum muslimin, padahal telah diriwayatkan oleh Ahli Sunnah dari Sa’ad ibn Abi Waqash; satu dari sepuluh sahabat pemberi harapan dan seorang juru runding yang telah ditentukan oleh Umar, bahwa ia pernah menemui Muawiyah setelah, sementara ia juga orang yang terlambat berbaiat kepadanya, dan berkata: ”Salam sejahtera kepada rajaku!” Muawiyah menjawab: “Kenapa bukan orang lain? Kalian adalah hamba yang mukmin, dan akulah Amiril Mukminin kalian”. “Memang demikian kalau kita menerimanya, dan kita juga disebut sebagai orang-orang yang beriman, hanya saja kami tidak mengangkatmu sebagai Amirul Mukminin”.
Aisyah juga telah menolak klaim Muawiyah sebagai khalifah. Begitu pula Ibnu Abbas dan Imam Hasan a.s. melakukan hal yang sama. Bahkan, setelah perdamaian beliau dengannya,[29] Muawiyah adalah satu dari sekian manusia zalim yang disepakati umat, karena sabda nabi:
”Wahai Ammar! kamu akan dibunuh oleh golongan yang zalim”.
Kami juga tidak memahami kenapa orang zalim menjadi khalifah Rasul saw. atas umat Islam?! Lalu, apa maksud mereka memasuk-masukkan anak Muawiyah; Yazid yang secara terbuka menyatakan maksiat dan kezaliman-nya, menginjak-injak kehormatan dan hukum Allah swt.?! Ini adalah hal yang sangat mengherankan sekali; bagaimana mungkin kaum muslimin menerima orang yang telah menumpahkan darah Ahlul Bait Nabi saw., orang yang bala tentaranya menghancurkan kota Madinah Munawwarah dan membantai sekitar sepuluh ribu penduduknya sehingga tidak tersisa lagi pejuang perang Badar setelah tragedi “Al-Hirrah”, lalu tetap saja diperkenalkan sebagai khalifah Rasulullah saw.?! Dan begitulah halnya dengan para penguasa yang menurut Al-Quran sebagai pohon yang terlaknat.
Rasulullah juga pernah melihat mereka dalam mimpinya?dan kita ketahui mimpi para nabi itu benar dan jujur sejujur sinar surya di pagi hari?bahwa mereka (pohon terkutuk tersebut) akan bertengger dan bergelantungan di mimbar beliau layaknya monyet-monyet. Demikian ini sesuai pendapat mayoritas ahli tafsir dari Ahli Sunnah, yaitu ketika mereka menafsirkan ayat ke-60 dari surat Al-Isra’, tanpa perlu dibawakan redaksi pernyataan mereka secara detail.
Dengan demikian, akan tampak jelas bagi kita tiga poin penting dan jelas berikut ini:
* a. Kesalahan tafsir pemberitaan futuralistik atas hadis kepemimpinan dua belas orang imam.
* b. Faktor dan motif politis yang memaksa dan mengarahkan Ahli Sunnah kepada tafsir tersebut.
* c. Kebenaran tafsir teologis yang menjelaskan pelantikan Rasulullah saw. atas dua belas imam kaum muslimin. Tafsir ini bersandar pada dalil logis, quranik serta hadis yang banyak sekali dan sering kita jumpai dalam pusaka ajaran para imam, yang kuno maupun yang terbaru, di berbagai bidang tafsir, hadis, kalam dan sejarah.
Selain itu, sejarah tetap bersikeras bahwa dua belas imam dari Ahlul Bait a.s. adalah manifestasi tunggal yang tak terbantahkan dari hadis tersebut, walaupun hanya melalui pengakuan tegas. Mereka diawali oleh Amirul Mukminin Ali ibn Abi Tahlib a.s. dan diakhiri oleh Imam Zaman, Al-Mahdi Al-Muntadzar a.s.
Dalam hal ini, telah banyak hadis mulia yang tak terhitung jumlahnya, yang menunjukkan manifestasi tersebut. Di sini, kami akan menyebutkan satu di antara hadis-hadis itu, yaitu sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Juwaini As-Syafi’i dalam kitab Faraidus Samthain, dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah saw.; beliau bersabda:
”Aku adalah penghulu para nabi, dan Ali ibn Abi Thalib penghulu para washi (khalifah), dan washi-washi setelahku berjumlah dua belas; yang pertama Ali ibn Abi Thalib, dan yang terakhir Al-Mahdi.”[30]
Atas dasar ini, sebagian para peneliti[31] mengasumsikan bahwa apa yang telah tertera dalam kitab-kitab hadis?yang menyebutkan bahwa tatkala Jabir ibn Samarah tidak mendengar dan tidak memahami sabda Nabi saw. kemudian bertanya kepada ayahnya yang segera memberi jawaban, bahwa Rasulullah bersabda: ”Semuanya dari bangsa Quraisy”?telah mengalami tahrif dan penyensoran terhadap jawaban sang ayah. Demikian pula, sebagian riwayat telah membongkar sebab ketaktegasan jawaban tersebut, misalnya; “Lantas kaum muslimin yang hadir di sana gaduh dan berbicara satu sama lain”, atau “Orang-orang berteriak”, atau “Rasulullah mengatakan sesuatu yang membuat manusia hingga menulikan telingaku”, atau “Kemudian manusia berteriak sehingga aku tidak mendengar yang disab-dakan Nabi”, atau “Manusia bertakbir dan berteriak”, atau “Tiba-tiba orang-orang berdiri dan duduk”.
Semua sebab-sebab ketaktegasan jawaban itu tidak sesuai dengan apa yang didengar oleh perawi, karena penetapan kepemimpinan pada bangsa Quraisy adalah pernyataan yang mudah dan tidak perlu diteriakkan dan diherankan. Maka dari itu, apa yang sesuai dengan kondisi yang kita gambarkan dalam riwayat ialah bahwa kepemimpinan ilahi itu adalah kewenangan kelompok tertentu, bukan pada bangsa Quraisy secara umum. Inilah yang telah dibawakan oleh Al-Qanduzi dalam kitab Yanabiul Mawaddah. Di sana, ia menegaskan bahwa kalimat yang disabdakan oleh Rasulullah saw. menyata-kan bahwa semua pemimpin itu dari Bani Hasyim.[32]
Maka, tatkala tampak kesalahan tafsir pemberitaan futuralistik atas hadis kepemimpinan dua belas imam dari satu sisi, dan tampak kebenaran tafsir teologis dari sisi kedua, serta tampak nama Al-Mahdi dalam silsilah dua belas imam Ahlul Bait a.s. sebagai Imam Kedua Belas yang dengannya Allah swt. memperbaiki dunia setelah kehancurannya dari sisi ketiga, tentu tidak ada keraguan lagi mengenai validitas konsep Mahdiisme yang ditekankan oleh mazhab Ahlul Bait a.s. lantaran adanya relasi yang sangat erat antara prinsip Imamah Dua Belas Imam dan konsep Mahdiisme; di mana relasi ini memperlihatkan tiga poin di atas itu dari dalam konsep Mahdiisme.
Sesungguhnya kegagalan tafsir futuralistik atas prinsip Imamah Dua Belas Imam berarti juga kegagalan tafsir demikian ini atas konsep Mahdiisme, sebagaimana kebenaran acuan politis pada tafsir ini mengenai prinsip Imamah Dua Belas Imam merupakan kebenaran acuan tersebut sekaitan dengan konsep Mahdiisme. Sebab, selain kalangan Ahli Sunnah memandang hadis ‘Khilafah Itsna Asyariyah’ sebagai pemberitaan masa depan berdasarkan teori Saqifah dan Khilafah serta legalitasnya, mereka juga memandang perlunya meletakkan konsep Mahdiisme dalam kerangka tafsir futuralistik sebagai upaya menghindari konsekuensi dari hak kepemimpinan Ahlul Bait a.s. dan dari ilegalitas sistem khilafah.
Tentu sebaliknya juga benar, bahwa terbuktinya kebenaran tafsir teologis atas hadis ‘Imamah Itsna Asyariyah’ berarti juga terbuktinya kebenaran muatan teologis dari konsep Mahdiisme.[] (sumber: http://madinah-al-hikmah.net)
Catatan Kaki:
[1] Lihat Mu’jam Imam Mahdi a.s., juz 1 hadis-hadis Nabi saw.
[2] Musnad Imam Ahmad juz 1, hal. 84, hadis ke-646 dan Ibnu Abi Syaibah juz 8 hal. 678, kitab ke-40, bab 2, hadis ke-90, Ibnu Majah dan Naim ibn Hamad di dalam fitnah-fitnah tentang Imam Ali a.s. berkata: “Rasulullah saw. bersabda: ‘Imam Mahdi dari kami Ahlul bait di mana Allah akan menyiapkan segalanya dalam semalam”. Lihat Sunan Ibnu Majah 2/ 1367, hadis ke-4085, Al- Hawi lil fatawa, karya As-Suyuthi: 2/213, 215. Di sana juga disebutkan, bahwa Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah dan Abu Daud meriwayatkan dari Imam Ali a.s. dari Nabi saw.; beliau bersabda: “Jika zaman sudah tak tersisa lagi kecuali satu hari saja, maka Allah akan mengutus seorang hambanya dari Ahlul baitku yang akan memenuhi dunia ini dengan keadilan seperti telah dipenuhi oleh kezaliman dan kelaliman.” Lihat Shahih Sunan al- Mustafa 2/207. Lihat juga Mu’jam Hadis Imam Mahdi: 1/147 dan setelahnya, di mana telah dinukil riwayat yang begitu banyak dari kitab-kitab Ash-Shihah dan musnad dengan kandungan seperti ini.
Lihat juga Ensiklopedia Imam Mahdi a.s. karya Mahdi Faqih Imani, juz pertama. Di sana terdapat penukilan dari puluhan kitab-kitab ulama Ahli Sunnah dan para Ahlul Hadis tentang Imam Mahdi a.s. dan sifat-sifatnya dan apa yang berkaitan dengannya, di sana juga terdapat artikel yang telah dikopi dari keterangan Syeikh Al-‘Ibad tentang hadis-hadis yang dan karya-karya ihwal Imam Mahdi a.s.
[3] Al-Hawi lil fatawa, Jalaludin As-Suyuthi; juz 2 hal. 214, dia berkata: “Abu Daud, Ibnu Majah, Thabrani, dan Hakim dari Ummi Salamah; beliau berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Mahdi dari Itrahku dari keturunan Fatimah.” Lihat Sahih Sunanul Musthafa, karya Abi Daud: juz 2 hal. 208, dan Sunan Ibnu Majah: juz 2/1378 hadis ke-4086.
[4] ‘Hadisul Mahdi min Durriyatil Husain a.s., sebagaimana terdapat dalam sumber-sumber berikut ini, juga dinukil oleh Mu’jam Hadis Mahdi, dan itu 40 hadis dari Abu Nu’aim, Al-Isfahani sebagaimana disebutkan oleh ‘Aqdu Ad-Durar, Muqaddisi Syafii. Thabrani juga meriwayatkan dalam Al-Ausath seperti yang dinukil al-Manarul Munif karya Ibnu Qayyim, dan di Sirah Halabiyah juz 1 hal. 193, dan di Al-Qaul Al-Mukhtashar, Ibnu Hajar Al-Haitsami. Lihat Muntakhabaul Atsar, Syeikh Luthfullah Ash-Shafi tentang apa yang ia nukil dari kitab-kitab Syi’ah. Lihat pula dalil-dalil kelemahan riwayat yang mengatakan bahwa beliau dari keturunan Imam Hasan a.s., kitab Sayyid Al-‘Amidi, Difa’ ‘Anil Kafi; juz 1, hal. 296.
[5] Lihat riwayat yang menandaskan bahwa beliau keturunan ke-tujuh dari Imam Husain a.s. di Yanabi’ul Mawaddah, Al-Qanduzi Al-Hanafi, hal. 492, Maqtalul Imam Husain as Kharazmi juz 1 hal. 196, Faraidu Simthain Juwaini Syafii; juz 2 halaman 310-315, hadis-hadis dari 561-569, lihat pula Muntakhabul Atsar karya Ash-Shafi, di saat ia meriwayatkan dari dua jalur.
[7] Hadis “Para pengganti setelahku berjumlah dua belas orang, kesemuanya dari bangsa Quraisy”, atau hadis “Agama ini senan-tiasa akan langgeng dengan keberadaan 12 pemimpin yang berasal dari suku Quraisy” adalah mutawatir, dan diriwayatkan oleh kitab-kitab Shahih dan Musnad dengan berbagai jalan, kendati terdapat perbedaan sedikit dari sisi kandungannya. Memang mereka berbeda pendapat dalam penafsirannya dan tampak kebingungan. Lihat Sahih Bukhari; juz 9, hal. 101, Kitabul Ahkam – bab ‘Al-Istikhlaf’, Sahih Muslim juz 6, halaman 4 kitab ‘Al-Imarah’, bab ‘Al-Istikhlaf’, Musnad Ahmad juz 5 hal. 90, 93 dan 97.
[8] Lihat Al-Gaibah Kubra, Sayyid Shadr: hal. 272, dan seterusnya.
[9] Lihat At-Tajul Jami’ lil Ushul: juz 3 halaman 40. dia berkata
[10] Shahih Bukhari, jild 3: 9/101, kitab ‘Al-Ahkam, bab Al-Istikhlaf’, cetakan Dar- Ihya’ Turats Al-Arabi, Beirut.
[11] Lihat At-Tajul Jami’ lil Usul 3/40.
[12] Lihat At-Tajul Jami’ lil Usul 3/40.
[13] Lihat At-Tajul Jami’ lil Usul 3/40.
[14] Musnad Ahmad; 6/ 99 hadis ke 20359.
[15] Al-Musatadrak: 3/ 618.
[16] Hal ini sesuai dengan firman Allah:”dia tidak pernah berbicara atas dasar hawa nafsu, akan tetapi wahyu semat”. An-Najm 3-4.
[17] Para ulama merasa kebingungan dalam menerapkan hadis tersebut, dan apa yang mereka bawakan dari person-person tidak dapat diterima, bahkan sebagian tidak masuk akal sama sekali seperti dimasuk-masukkannya Yazid putra Muawiyah orang yang terang-terangan melakukan kemaksiatan dan kefasikan, orang yang divonis sebagai murtad, kafir atau mereka yang selevel dengannya.
[18] Sahih Muslim: 6 / 3 kitab ‘Al-Imarah’.
[19] Lihat Sahih Bukhari 4: 164, kitab Al-Ahkam, bab Istiklaf, Musnad Ahmad: 6/94, hadis ke-325, 20366, 20367, 20416, 20443, 20503, 20534, Sunan Abi Daud 4:107 4279-4280, Al-Mu’jamul Kabir, Thabrani : 2/238/1996, Sunan Tirmizi: 4/501, Mustadrak Hakim : 3/618, Hilyatul Auliya, Abu Nu’aim: 4/333, Fathul Bari: 13/211, Syarah Sahih Muslim karya Nawawi: 12/201, Al-Bidayah wa Nihayah, Ibnu Katsir: 1/153, Tafsir Ibnu Katsir: 2/24 –dalam menafsirkan ayat ke-12 dari surat Al-Maidah, kitab Suluk fi Duali Muluk, Al-Maqrizi: 1/13–15 pada bagian pertama, Syarah Hafiz Ibnu Qayim Jauzi atas Sunan Ibnu Daud: 11/363, Syahrul Hadis 4259, Syarhul Aqidah Ath-Thahawiyah: 2/736, Al-Hawi lil Fatawa, As-Suyuti: 2/85, ‘Aunul Ma’bud, Syarh Abi Daud, Al-‘Adhim Abadi: 11/362, Syarhul Hadis 4259, Misykatl Mashabih, At-Tabrizi: 3/327, 5983, As-Silsilatu Sahihah, Al-Albani, hadis ke-376, Kanzul Ummal: 12/32, 33484 dan 12/33/33858 dan 12/34/33861. Hadis ini juga diriwayatkan oleh para tokoh hadis Syi’ah. Di antara mereka adalah Syeikh Shaduq ra. dalam Kamaluddin, 1:172, Al-Khishal, 2:469 dan 475, dan telah diperiksa jalur-jalur hadis ini secara cermat, di mana para perawinya dari kalangan sahabat yang disebutkan dalam Ihqaqul Haq: 13/1-50.
[20] Tafsir Al-Quran Karim, Ibnu Kasir: 2/34, saat menafsirkan ayat ke 12 dari surah Maidah.
[21] Syarhul Aqidah Thahawiyah, Qadhi Damaskus: 2 / 736.
[22] ‘Aunul Ma’bud fi Syarhi Sunani Abi Daud: 11/246, pada pen-jelasan hadis 427, kitab ‘Al-Mahdi’, cet. Darul Kutub ‘Ilmiyah.
[23] ‘Aunul Ma’bud fi Syarhi Sunani Abi Daud:11/245.
[24] ‘Aunul Ma’bud fi Syarhi Sunani Abi Daud: 11/244.
[25] As-Suluk lima’rifati Dualil Muluk: 1 / 13-15 bagian pertama.
[26] Al-Hawi lil Fatawa: 2/85.
[27] Kanzul Ummal: 12.34, hadis ke-33861, diriwayatkan oleh Ibnu Najjar dari Anas.
[28] Kanzul Ummal: 12 / 32, hadis 32848.
[29] Lihat Al-Ghadir, Allamah Amini: 1/ 26-27.
[30] Faraidus Samthain: 2/313, hadis ke-564.
[31] Al-Ghadir wa Mu’aridhun, Sayyid Ja’far Murtadha Al-‘Amili:70-72.
[32] Yanabi’ul Mawaddah: 3/104, bab 77.
Argumentasi teologis atas konsep Mahdiisme terungkap dalam ratusan riwayat yang datang dari Rasulullah[1] yang menunjukkan penentuan Imam Mahdi a.s. dan bahwa beliau dari Ahlul Bait a.s.[2]
Dinyatakan juga bahwa beliau adalah dari ke-turunan Fathimah a.s.[3], dari keturunan imam Husain a.s.[4], keturunan ketujuh dari imam Husain a.s.[5], dan bahwa beliau adalah khalifah dan pengganti Rasulullah adalah 12 orang.[6]
Lima kelompok dan kategori riwayat ini,[7] satu sama lain berlomba menjelaskan konsep Mahdiisme dan mendefinisikan Imam Mahdi a.s. Sedang yang perlu dicermati di sana adalah analisis atas hal tersebut dari topik umum ke topik yang lebih khusus sehingga sampai kepada topik penentuan personal.
Sahid Baqir Shadr ra. menggarisbawahi riwayat-riwayat tersebut dan mengatakan: ”Riwayat ini sangat-lah banyak dan tersebar, kendati para imam telah berhati-hati untuk memaparkan konsep ini pada konteks umum, sebagai upaya penyelamatan bagi pelanjut mereka (Imam Mahdi a.s.) dari konspirasi dan pembunuhan”[8].
Selain itu, perlu dipahami bahwa banyaknya riwayat bukan satu-satunya alasan yang cukup untuk menerima konsep ini. Akan tetapi di sana terdapat keistimewaan dan bukti-bukti lain yang menegaskan keabsahannya. Misalnya, hadis Rasulullah yang mulia tentang para imam dan khalifah atau amir setelah beliau dan ihwal mereka berjumlah 12 orang?dengan berbagai perbedaan riwayat yang datang dari jalur yang beragam?telah dihitung oleh sebagian para penulis hingga mencapai lebih dari 270 riwayat,[9] sebuah jumlah yang fantastik, di mana riwayat-riwayat tersebut diambil dari kitab hadis standar, baik dari kalangan Syi’ah maupun Ahli Sunnah, di antaranya Shahih Bukhari[10], Shahih Muslim[11], Sunan Tirmidzi[12], Sunan Abu Daud[13] dan Musnad Ahmad[14] serta Mustadrak Hakim.[15]
Yang menarik di sini, Bukhari yang menukil riwayat ini adalah orang yang hidup sezaman dengan imam Al-Jawad a.s. dan dengan dua imam yang lain; Imam Al-Hadi dan Imam Al-Askari a.s. Ini merupakan sebuah keunikan yang besar, karena ia berdalil bahwa hadis ini telah dinukil dari Rasulullah sebelum kandungannya terwujud dan sebelum konsep kepemimpinan dua belas Imam itu terjadi di dunia nyata. Tentunya, tidak bisa diragukan lagi, bahwa penukilan hadis ini tidak dipengaruhi oleh kondisi nyata di luar dari dua belas Imam ataupun refleksi darinya, sebab hadis-hadis palsu yang disandarkan kepada Rasulullah adalah cerminan atau justifikasi atas peristiwa yang nantinya akan terjadi di masa depan.
Maka itu, selagi kita memiliki dalil bahwa hadis yang disebutkan tadi telah melalui rentetan sejarah para Imam dua belas dan tercatat dalam kitab-kitab hadis sebelum menyempurnanya para personnya fakta kedua belas Imam, maka dapat kita tegaskan bahwa hadis ini bukanlah gambaran dari fakta yang terjadi di luar, akan tetapi ungkapan dari hakikat rabbani yang diucapkan oleh orang yang tidak pernah berucap selain wahyu dari Tuhan[16]. Beliau bersabda:
”Sesungguhnya khalifah sepeninggalku adalah dua belas orang”.
Fakta dua belas imam ini telah nyata; diawali oleh Imam Ali a.s. dan diakhiri oleh Imam Mahdi sebagai misdaq (personifikasi) logis dari hadis mulia tersebut.[17]
Muslim telah meriwayatkan dalam Shahihnya dari Qutaibah ibn Said, dari Jabir ibn Samarah, dia berkata:
”Aku datang bertemu dengan Rasulullah bersama ayah-ku, maka aku mendengar beliau bersabda: ‘Sesungguhnya urusan ini (agama Islam) tidak akan berakhir kecuali dua belas khalifah berlalu”. Jabir berkata: “Kemudian beliau bersabda dengan kata-kata yang tidak aku dengar, maka aku bertanya kepada ayahku, apa yang beliau sabdakan? Ayah menjawab semuanya dari bangsa Quraisy.”[18]
Kemudian Muslim meriwayatkan dari jalur Ibnu Abu Umar, dari Abu Umar dari Hadab ibn Khalid, dari Nashr ibn Jahdhami, dan dari Muhammad ibn Rafi’e; semua dari satu jalur. Dia juga menguatkan riwayat Abu Bakar ibn Abu Syaibah dari dua jalur, dan riwayat Qutaibah ibn Said melalui dua jalur yang lain.
Dengan demikian, terdapat sembilan jalur dari hadis tersebut yang hanya terdapat dalam kitab Sahih Muslim. Belum lagi kalau kita mau membawakan hadis ini dari jalur-jalur yang beragam yang terdapat dalam kitab-kitab hadis yang lain dari mazhab Syi’ah maupun Ahli Sunnah.[19]
Kerancuan Ahli Sunnah Dalam Menafsirkan Hadis
Pertanyaan di sini adalah, siapa mereka para khalifah tersebut? Sebelum memilih jawaban yang benar dari soal ini, kita akan memberikan dua alternatif yang dapat diasumsikan pada hadis itu dan maksud Rasul saw. darinya. Maka, di sini hanya ada dua kemungkinan dan tidak ada pilihan ketiga di dalamnya. Kedua kemung-kinan tersebut adalah;
* 1. Maksud dari sabda Nabi tersebut adalah penjelasan fakta politik umat beliau yang akan terjadi sepe-ninggal beliau, dengan cara penyingkapan akan masa depan. Sebagaimana hal ini juga terjadi dalam berbagai hal yang lain. Dengan demikian maksud hadis ini adalah pemberitahuan beliau akan masa mendatang dan menimpa umat beliau, atau dapat kita istilahkan kemungkinan pertama ini dengan nama tafsir mustaqbali (futurologis).
* 2. Kemungkinan kedua adalah Nabi bermaksud menentukan kedua belas Imam dan penggantinya, maka tujuan hadis ini adalah pelantikan sesuai dengan tuntutan syariat bukan kabar akan masa mendatang. Kemungkinan ini disebut juga sebagai tafsir aqaidiyah (teologis).
Sejauh kajian ilmiah, kita dituntut untuk mencermati dua kemungkinan ini dan memilih apa yang sesuai dengan bukti logis maupun dogmatis. Hanya saja, karena Ahli Sunnah sejak awal telah meyakini teori khilafah dan menolak teori pelantikan serta membangun sistem akidah dan hukumnya di atas keyakinan ini, pada gilirannya mereka tidak menemukan alternatif selain kemungkinan atau tafsiran pertama, dan dengan segala cara berupaya menakwilkan apa-apa yang bertentangan dengannya. Kendati produk-produk penakwilan mereka itu jauh dari nalar yang lurus dan kearifan insani, namun demikian ini adalah konsekuensi yang tak terelakkan.
Semestinya, Ahli Sunnah memandang hadis ini secara ilmiah dan bebas dari asumsi sehingga kita dapat melihat kelemahan tafsir futuralistik itu. Maka, jika Nabi saw. bermaksud menjelaskan ihwal kejadian di masa depan, mengapa beliau hanya menentukan dua belas orang saja? Bukankah masa depan itu lebih panjang dari sekedar jumlah dua belas pemimpin? Dan jika Rasulullah melihatnya dengan kaca mata khilafah yang sah yang sesuai dengan norma-norma syariat, maka Ahli Sunnah tidak akan siap untuk meyakini Khulafa Rasyidin dan menolak legalitas kepemimpinan selain mereka. Oleh karena itu, mereka kebingungan dalam menentukan dua belas pribadi pengganti yang telah disinggung oleh Rasulullah saw.
Sejalan dengan ini, maka dua belas imam atau pemimpin?menurut Ibnu Katsir?adalah keempat khalifah awal, lalu Umar ibn Abdul Aziz, dan sebagian khalifah dari dinasti Abbasiyah, di mana Imam Mahdi yang dijanjikan berasal dari mereka.[20]
Menurut Qadhi Damaskus, mereka adalah Khulafa’ Rasyidin, Muawiyah, Yazid ibn Muawiyah, Abdul Malik ibn Marwan dan keempat anaknya (Walid, Sulaiman, Yazid dan Hisyam), dan diakhiri oleh Umar ibn Abdul Aziz[21].
Menurut Waliyyullah, seorang Ahli Hadis dalam kitab Qurratul ‘Ainain, sebagaimana dinukil dalam kitab ‘Aunul Ma’bud, mereka adalah empat khalifah pertama muslimin, Abdul Malik ibn Marwan dan keempat anaknya, Umar ibn Abdul Aziz, Walid ibn Yazid ibn Abdul Malik. Kemudian Waliyyullah menukil dari Malik ibn Anas seraya memasukkan Abdullah ibn Zubair ke dalam dua belas orang tersebut, akan tetapi dia menolak perkataan Malik dengan dalil riwayat dari Umar dan Ustman dari Rasulullah saw. yang menunjukkan bahwa pemerintahan yang dipimpin oleh Abdullah ibn Zubair adalah sebuah bencana dari sederet malapetaka yang diderita umat Islam. Ia juga menolak dimasukkannya Yazid dan menegaskan, bahwa dia adalah sosok yang berperilaku bejat.[22]
Ibnu Qayim Jauzi mengatakan: “Sedangkan jumlah khalifah itu dua belas orang; sekelompok orang yang di antaranya; Abu Hatim, Ibnu Hibban dan yang lain mengatakan bahwa yang terakhir dari mereka adalah Umar ibn Abdul Aziz. Mereka menyebut khalifah empat pertama, Muawiyah, Yazid ibn Muawiyah, Muawiyah ibn Yazid, Marwan ibn Hakam, Abdul Malik ibn Marwan, Walid ibn Abdul Malik, Sulaiman ibn Abdul Malik, dan khalifah yang kedua belas Umar ibn Abdul Aziz. Khalifah yang terakhir ini wafat pada tahun seratus Hijriyah; di abad pertama dan paling awal dari abad-abad kalender Hijriah manapun, pada abad inilah agama berada di puncak kejayaan sebelum terjadi apa yang telah terjadi”.[23]
Nurbasyti mengatakan: ”Cara terbaik memaknai hadis ini adalah menerapkan maknanya pada mereka yang adil, karena pada dasarnya merekalah yang berhak menyandang gelar sebagai khalifah, dan tidak mesti mereka memegang kekuasaan, karena yang dimaksud dari hadis adalah makna metaforis saja. Begitulah yang disebutkan di dalam Al-Mirqat”.[24]
Dan menurut Maqrizi, jumlah dua belas imam adalah khalifah empat pertama dan Hasan cucunda Nabi saw. Ia mengatakan: “Dan padanya (Imam Hasan a.s.), masa khalifah rasyidin pun berakhir”. Maqrizi tidak memasukkan satu pun dari penguasa dinasti Umawiyah. Masih menurut penjelasannya, khilafah setelah Imam Hasan a.s. telah menjadi sistem kerajaan yang di dalamnya telah terjadi kekerasan dan kejahatan. Lebih lanjut, ia juga tidak memasukkan satu penguasa pun dari dinasti Abbasiyah, karena pemerintahan mereka telah memecah belah kalimat umat dan persatuan Islam, dan membersihkan kantor-kantor administrasi dari orang Arab lalu merekrut bangsa Turki. Yaitu, pertama-tama bangsa Dailam memimpin, lalu disusul bangsa Turki yang akhirnya menjadi sebuah bangsa yang begitu besar. Maka, terpecahlah kerajaan besar itu kepada berbagai bagian, dan setiap penguasa suatu kawasan mencaplok dan menguasainya dengan kekerasan dan kebrutalan.[25]
Dengan demikian, tampak jelas bagaimana kebingungan madrasah Khulafa’ (Ahli Sunnah) dalam menafsirkan hadis tersebut; mereka tidak sanggup keluar dari keadaan ini selagi berpegang pada tafsir futuralistik itu.
Dalam kitab Al-Hawi lil Fatawa, As-Suyuthi mengatakan: ”Sampai sekarang, belum ada kesepakatan dari umat Islam mengenai setiap pribadi dua belas imam.”[26]
Oleh karena itu, jika tafsir futuralistik tersebut memang benar dan sesuai dengan kenyataan, maka pertama kali yang akan mengimaninya adalah para sahabat nabi, bukan yang lain, dan kita akan mendengar dampaknya secara langsung dari para khalifah itu sendiri. Khalifah pertama akan mengatakan, akulah khalifah pertama dari dua belas khalifah, khalifah kedua juga demikian, begitu pula khalifah ketiga hingga khalifah kedua belas. Tentunya, pengakuan senada ini akan menjadi kebanggaan dan bukti yang mendukung legalitas kedaulatan setiap khalifah. Namun, sejarah tidak pernah mencatat satu pengakuan pun dari nama-nama khalifah yang telah disebutkan di atas itu.
Kemudian, hadis juga mengatakan bahwa masa kepemimpinan mereka adalah mencakup sepanjang sejarah Islam hingga akhir gugusannya; di mana dunia akan hancur ketika mereka sudah tidak ada lagi di muka bumi. Ahli Sunnah meriwayatkan dari Rasulullah, bahwa beliau bersabda:
”Agama ini akan senantiasa tegak dan langgeng selama ada kedua belas pemimpin dari bangsa Quraisy. Tatkala mereka tiada, dunia akan hancur lebur.”[27]
Di samping bukti sejarah, kita juga melihat dunia belum hancur kendati Umar ibn Abdul Aziz itu telah mati. Bahkan setelah ketiadaannya, ilmu pengetahuan dan ilmu-ilmu agama berkembang pesat, seperti fikih, hadis dan tafsir di abad ketiga dan keempat Hijriah. Lebih dari itu, dapat dikatakan bahwa ilmu-ilmu keislaman berkembang dan menyebar setelah meninggalnya dua belas imam versi Ahli Sunnah, sementara dunia masih saja tidak hancur lebur.
Diriwayatkan juga dari Jabir ibn Samarah:
”Umat ini akan tetap tegar menjalankan agamanya, menaklukkan para musuhnya sehingga dua belas khalifah berlalu; mereka semua dari bangsa Quraisy, kemudian tibalah kekacauan yang dahsyat.”[28]
Jika maksud dari al-maraj dalam hadis itu kegalauan dan kemelut, maka ini seharusnya tidak terjadi sampai masa Umar ibn Abdul Aziz. Sejarah juga mencatat, tidak ada cobaan dan fitnah, kemelut yang sangat dahsyat, kekacauan antara hak dan batil yang lebih besar dari tampilnya Muawiyah sebagai khalifah kaum muslimin. Ini berarti bahwa maksud dari al-maraj ialah kegalauan terbesar dan kemelut akbar. Dan boleh jadi maksudnya adalah ditinggalkannya agama secara total. Tak syak lagi, kekacauan ini tidak akan terjadi kecuali saat Hari Kebangkitan telah dekat; yaitu kekacauan yang didahu-lui oleh kemakmuran yang dibawa oleh Imam Mahdi a.s.
Kemudian, apa maksud mereka memasukkan para raja ke dalam kategori khalifah kaum muslimin, padahal telah diriwayatkan oleh Ahli Sunnah dari Sa’ad ibn Abi Waqash; satu dari sepuluh sahabat pemberi harapan dan seorang juru runding yang telah ditentukan oleh Umar, bahwa ia pernah menemui Muawiyah setelah, sementara ia juga orang yang terlambat berbaiat kepadanya, dan berkata: ”Salam sejahtera kepada rajaku!” Muawiyah menjawab: “Kenapa bukan orang lain? Kalian adalah hamba yang mukmin, dan akulah Amiril Mukminin kalian”. “Memang demikian kalau kita menerimanya, dan kita juga disebut sebagai orang-orang yang beriman, hanya saja kami tidak mengangkatmu sebagai Amirul Mukminin”.
Aisyah juga telah menolak klaim Muawiyah sebagai khalifah. Begitu pula Ibnu Abbas dan Imam Hasan a.s. melakukan hal yang sama. Bahkan, setelah perdamaian beliau dengannya,[29] Muawiyah adalah satu dari sekian manusia zalim yang disepakati umat, karena sabda nabi:
”Wahai Ammar! kamu akan dibunuh oleh golongan yang zalim”.
Kami juga tidak memahami kenapa orang zalim menjadi khalifah Rasul saw. atas umat Islam?! Lalu, apa maksud mereka memasuk-masukkan anak Muawiyah; Yazid yang secara terbuka menyatakan maksiat dan kezaliman-nya, menginjak-injak kehormatan dan hukum Allah swt.?! Ini adalah hal yang sangat mengherankan sekali; bagaimana mungkin kaum muslimin menerima orang yang telah menumpahkan darah Ahlul Bait Nabi saw., orang yang bala tentaranya menghancurkan kota Madinah Munawwarah dan membantai sekitar sepuluh ribu penduduknya sehingga tidak tersisa lagi pejuang perang Badar setelah tragedi “Al-Hirrah”, lalu tetap saja diperkenalkan sebagai khalifah Rasulullah saw.?! Dan begitulah halnya dengan para penguasa yang menurut Al-Quran sebagai pohon yang terlaknat.
Rasulullah juga pernah melihat mereka dalam mimpinya?dan kita ketahui mimpi para nabi itu benar dan jujur sejujur sinar surya di pagi hari?bahwa mereka (pohon terkutuk tersebut) akan bertengger dan bergelantungan di mimbar beliau layaknya monyet-monyet. Demikian ini sesuai pendapat mayoritas ahli tafsir dari Ahli Sunnah, yaitu ketika mereka menafsirkan ayat ke-60 dari surat Al-Isra’, tanpa perlu dibawakan redaksi pernyataan mereka secara detail.
Dengan demikian, akan tampak jelas bagi kita tiga poin penting dan jelas berikut ini:
* a. Kesalahan tafsir pemberitaan futuralistik atas hadis kepemimpinan dua belas orang imam.
* b. Faktor dan motif politis yang memaksa dan mengarahkan Ahli Sunnah kepada tafsir tersebut.
* c. Kebenaran tafsir teologis yang menjelaskan pelantikan Rasulullah saw. atas dua belas imam kaum muslimin. Tafsir ini bersandar pada dalil logis, quranik serta hadis yang banyak sekali dan sering kita jumpai dalam pusaka ajaran para imam, yang kuno maupun yang terbaru, di berbagai bidang tafsir, hadis, kalam dan sejarah.
Selain itu, sejarah tetap bersikeras bahwa dua belas imam dari Ahlul Bait a.s. adalah manifestasi tunggal yang tak terbantahkan dari hadis tersebut, walaupun hanya melalui pengakuan tegas. Mereka diawali oleh Amirul Mukminin Ali ibn Abi Tahlib a.s. dan diakhiri oleh Imam Zaman, Al-Mahdi Al-Muntadzar a.s.
Dalam hal ini, telah banyak hadis mulia yang tak terhitung jumlahnya, yang menunjukkan manifestasi tersebut. Di sini, kami akan menyebutkan satu di antara hadis-hadis itu, yaitu sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Juwaini As-Syafi’i dalam kitab Faraidus Samthain, dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah saw.; beliau bersabda:
”Aku adalah penghulu para nabi, dan Ali ibn Abi Thalib penghulu para washi (khalifah), dan washi-washi setelahku berjumlah dua belas; yang pertama Ali ibn Abi Thalib, dan yang terakhir Al-Mahdi.”[30]
Atas dasar ini, sebagian para peneliti[31] mengasumsikan bahwa apa yang telah tertera dalam kitab-kitab hadis?yang menyebutkan bahwa tatkala Jabir ibn Samarah tidak mendengar dan tidak memahami sabda Nabi saw. kemudian bertanya kepada ayahnya yang segera memberi jawaban, bahwa Rasulullah bersabda: ”Semuanya dari bangsa Quraisy”?telah mengalami tahrif dan penyensoran terhadap jawaban sang ayah. Demikian pula, sebagian riwayat telah membongkar sebab ketaktegasan jawaban tersebut, misalnya; “Lantas kaum muslimin yang hadir di sana gaduh dan berbicara satu sama lain”, atau “Orang-orang berteriak”, atau “Rasulullah mengatakan sesuatu yang membuat manusia hingga menulikan telingaku”, atau “Kemudian manusia berteriak sehingga aku tidak mendengar yang disab-dakan Nabi”, atau “Manusia bertakbir dan berteriak”, atau “Tiba-tiba orang-orang berdiri dan duduk”.
Semua sebab-sebab ketaktegasan jawaban itu tidak sesuai dengan apa yang didengar oleh perawi, karena penetapan kepemimpinan pada bangsa Quraisy adalah pernyataan yang mudah dan tidak perlu diteriakkan dan diherankan. Maka dari itu, apa yang sesuai dengan kondisi yang kita gambarkan dalam riwayat ialah bahwa kepemimpinan ilahi itu adalah kewenangan kelompok tertentu, bukan pada bangsa Quraisy secara umum. Inilah yang telah dibawakan oleh Al-Qanduzi dalam kitab Yanabiul Mawaddah. Di sana, ia menegaskan bahwa kalimat yang disabdakan oleh Rasulullah saw. menyata-kan bahwa semua pemimpin itu dari Bani Hasyim.[32]
Maka, tatkala tampak kesalahan tafsir pemberitaan futuralistik atas hadis kepemimpinan dua belas imam dari satu sisi, dan tampak kebenaran tafsir teologis dari sisi kedua, serta tampak nama Al-Mahdi dalam silsilah dua belas imam Ahlul Bait a.s. sebagai Imam Kedua Belas yang dengannya Allah swt. memperbaiki dunia setelah kehancurannya dari sisi ketiga, tentu tidak ada keraguan lagi mengenai validitas konsep Mahdiisme yang ditekankan oleh mazhab Ahlul Bait a.s. lantaran adanya relasi yang sangat erat antara prinsip Imamah Dua Belas Imam dan konsep Mahdiisme; di mana relasi ini memperlihatkan tiga poin di atas itu dari dalam konsep Mahdiisme.
Sesungguhnya kegagalan tafsir futuralistik atas prinsip Imamah Dua Belas Imam berarti juga kegagalan tafsir demikian ini atas konsep Mahdiisme, sebagaimana kebenaran acuan politis pada tafsir ini mengenai prinsip Imamah Dua Belas Imam merupakan kebenaran acuan tersebut sekaitan dengan konsep Mahdiisme. Sebab, selain kalangan Ahli Sunnah memandang hadis ‘Khilafah Itsna Asyariyah’ sebagai pemberitaan masa depan berdasarkan teori Saqifah dan Khilafah serta legalitasnya, mereka juga memandang perlunya meletakkan konsep Mahdiisme dalam kerangka tafsir futuralistik sebagai upaya menghindari konsekuensi dari hak kepemimpinan Ahlul Bait a.s. dan dari ilegalitas sistem khilafah.
Tentu sebaliknya juga benar, bahwa terbuktinya kebenaran tafsir teologis atas hadis ‘Imamah Itsna Asyariyah’ berarti juga terbuktinya kebenaran muatan teologis dari konsep Mahdiisme.[] (sumber: http://madinah-al-hikmah.net)
Catatan Kaki:
[1] Lihat Mu’jam Imam Mahdi a.s., juz 1 hadis-hadis Nabi saw.
[2] Musnad Imam Ahmad juz 1, hal. 84, hadis ke-646 dan Ibnu Abi Syaibah juz 8 hal. 678, kitab ke-40, bab 2, hadis ke-90, Ibnu Majah dan Naim ibn Hamad di dalam fitnah-fitnah tentang Imam Ali a.s. berkata: “Rasulullah saw. bersabda: ‘Imam Mahdi dari kami Ahlul bait di mana Allah akan menyiapkan segalanya dalam semalam”. Lihat Sunan Ibnu Majah 2/ 1367, hadis ke-4085, Al- Hawi lil fatawa, karya As-Suyuthi: 2/213, 215. Di sana juga disebutkan, bahwa Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah dan Abu Daud meriwayatkan dari Imam Ali a.s. dari Nabi saw.; beliau bersabda: “Jika zaman sudah tak tersisa lagi kecuali satu hari saja, maka Allah akan mengutus seorang hambanya dari Ahlul baitku yang akan memenuhi dunia ini dengan keadilan seperti telah dipenuhi oleh kezaliman dan kelaliman.” Lihat Shahih Sunan al- Mustafa 2/207. Lihat juga Mu’jam Hadis Imam Mahdi: 1/147 dan setelahnya, di mana telah dinukil riwayat yang begitu banyak dari kitab-kitab Ash-Shihah dan musnad dengan kandungan seperti ini.
Lihat juga Ensiklopedia Imam Mahdi a.s. karya Mahdi Faqih Imani, juz pertama. Di sana terdapat penukilan dari puluhan kitab-kitab ulama Ahli Sunnah dan para Ahlul Hadis tentang Imam Mahdi a.s. dan sifat-sifatnya dan apa yang berkaitan dengannya, di sana juga terdapat artikel yang telah dikopi dari keterangan Syeikh Al-‘Ibad tentang hadis-hadis yang dan karya-karya ihwal Imam Mahdi a.s.
[3] Al-Hawi lil fatawa, Jalaludin As-Suyuthi; juz 2 hal. 214, dia berkata: “Abu Daud, Ibnu Majah, Thabrani, dan Hakim dari Ummi Salamah; beliau berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Mahdi dari Itrahku dari keturunan Fatimah.” Lihat Sahih Sunanul Musthafa, karya Abi Daud: juz 2 hal. 208, dan Sunan Ibnu Majah: juz 2/1378 hadis ke-4086.
[4] ‘Hadisul Mahdi min Durriyatil Husain a.s., sebagaimana terdapat dalam sumber-sumber berikut ini, juga dinukil oleh Mu’jam Hadis Mahdi, dan itu 40 hadis dari Abu Nu’aim, Al-Isfahani sebagaimana disebutkan oleh ‘Aqdu Ad-Durar, Muqaddisi Syafii. Thabrani juga meriwayatkan dalam Al-Ausath seperti yang dinukil al-Manarul Munif karya Ibnu Qayyim, dan di Sirah Halabiyah juz 1 hal. 193, dan di Al-Qaul Al-Mukhtashar, Ibnu Hajar Al-Haitsami. Lihat Muntakhabaul Atsar, Syeikh Luthfullah Ash-Shafi tentang apa yang ia nukil dari kitab-kitab Syi’ah. Lihat pula dalil-dalil kelemahan riwayat yang mengatakan bahwa beliau dari keturunan Imam Hasan a.s., kitab Sayyid Al-‘Amidi, Difa’ ‘Anil Kafi; juz 1, hal. 296.
[5] Lihat riwayat yang menandaskan bahwa beliau keturunan ke-tujuh dari Imam Husain a.s. di Yanabi’ul Mawaddah, Al-Qanduzi Al-Hanafi, hal. 492, Maqtalul Imam Husain as Kharazmi juz 1 hal. 196, Faraidu Simthain Juwaini Syafii; juz 2 halaman 310-315, hadis-hadis dari 561-569, lihat pula Muntakhabul Atsar karya Ash-Shafi, di saat ia meriwayatkan dari dua jalur.
[7] Hadis “Para pengganti setelahku berjumlah dua belas orang, kesemuanya dari bangsa Quraisy”, atau hadis “Agama ini senan-tiasa akan langgeng dengan keberadaan 12 pemimpin yang berasal dari suku Quraisy” adalah mutawatir, dan diriwayatkan oleh kitab-kitab Shahih dan Musnad dengan berbagai jalan, kendati terdapat perbedaan sedikit dari sisi kandungannya. Memang mereka berbeda pendapat dalam penafsirannya dan tampak kebingungan. Lihat Sahih Bukhari; juz 9, hal. 101, Kitabul Ahkam – bab ‘Al-Istikhlaf’, Sahih Muslim juz 6, halaman 4 kitab ‘Al-Imarah’, bab ‘Al-Istikhlaf’, Musnad Ahmad juz 5 hal. 90, 93 dan 97.
[8] Lihat Al-Gaibah Kubra, Sayyid Shadr: hal. 272, dan seterusnya.
[9] Lihat At-Tajul Jami’ lil Ushul: juz 3 halaman 40. dia berkata
[10] Shahih Bukhari, jild 3: 9/101, kitab ‘Al-Ahkam, bab Al-Istikhlaf’, cetakan Dar- Ihya’ Turats Al-Arabi, Beirut.
[11] Lihat At-Tajul Jami’ lil Usul 3/40.
[12] Lihat At-Tajul Jami’ lil Usul 3/40.
[13] Lihat At-Tajul Jami’ lil Usul 3/40.
[14] Musnad Ahmad; 6/ 99 hadis ke 20359.
[15] Al-Musatadrak: 3/ 618.
[16] Hal ini sesuai dengan firman Allah:”dia tidak pernah berbicara atas dasar hawa nafsu, akan tetapi wahyu semat”. An-Najm 3-4.
[17] Para ulama merasa kebingungan dalam menerapkan hadis tersebut, dan apa yang mereka bawakan dari person-person tidak dapat diterima, bahkan sebagian tidak masuk akal sama sekali seperti dimasuk-masukkannya Yazid putra Muawiyah orang yang terang-terangan melakukan kemaksiatan dan kefasikan, orang yang divonis sebagai murtad, kafir atau mereka yang selevel dengannya.
[18] Sahih Muslim: 6 / 3 kitab ‘Al-Imarah’.
[19] Lihat Sahih Bukhari 4: 164, kitab Al-Ahkam, bab Istiklaf, Musnad Ahmad: 6/94, hadis ke-325, 20366, 20367, 20416, 20443, 20503, 20534, Sunan Abi Daud 4:107 4279-4280, Al-Mu’jamul Kabir, Thabrani : 2/238/1996, Sunan Tirmizi: 4/501, Mustadrak Hakim : 3/618, Hilyatul Auliya, Abu Nu’aim: 4/333, Fathul Bari: 13/211, Syarah Sahih Muslim karya Nawawi: 12/201, Al-Bidayah wa Nihayah, Ibnu Katsir: 1/153, Tafsir Ibnu Katsir: 2/24 –dalam menafsirkan ayat ke-12 dari surat Al-Maidah, kitab Suluk fi Duali Muluk, Al-Maqrizi: 1/13–15 pada bagian pertama, Syarah Hafiz Ibnu Qayim Jauzi atas Sunan Ibnu Daud: 11/363, Syahrul Hadis 4259, Syarhul Aqidah Ath-Thahawiyah: 2/736, Al-Hawi lil Fatawa, As-Suyuti: 2/85, ‘Aunul Ma’bud, Syarh Abi Daud, Al-‘Adhim Abadi: 11/362, Syarhul Hadis 4259, Misykatl Mashabih, At-Tabrizi: 3/327, 5983, As-Silsilatu Sahihah, Al-Albani, hadis ke-376, Kanzul Ummal: 12/32, 33484 dan 12/33/33858 dan 12/34/33861. Hadis ini juga diriwayatkan oleh para tokoh hadis Syi’ah. Di antara mereka adalah Syeikh Shaduq ra. dalam Kamaluddin, 1:172, Al-Khishal, 2:469 dan 475, dan telah diperiksa jalur-jalur hadis ini secara cermat, di mana para perawinya dari kalangan sahabat yang disebutkan dalam Ihqaqul Haq: 13/1-50.
[20] Tafsir Al-Quran Karim, Ibnu Kasir: 2/34, saat menafsirkan ayat ke 12 dari surah Maidah.
[21] Syarhul Aqidah Thahawiyah, Qadhi Damaskus: 2 / 736.
[22] ‘Aunul Ma’bud fi Syarhi Sunani Abi Daud: 11/246, pada pen-jelasan hadis 427, kitab ‘Al-Mahdi’, cet. Darul Kutub ‘Ilmiyah.
[23] ‘Aunul Ma’bud fi Syarhi Sunani Abi Daud:11/245.
[24] ‘Aunul Ma’bud fi Syarhi Sunani Abi Daud: 11/244.
[25] As-Suluk lima’rifati Dualil Muluk: 1 / 13-15 bagian pertama.
[26] Al-Hawi lil Fatawa: 2/85.
[27] Kanzul Ummal: 12.34, hadis ke-33861, diriwayatkan oleh Ibnu Najjar dari Anas.
[28] Kanzul Ummal: 12 / 32, hadis 32848.
[29] Lihat Al-Ghadir, Allamah Amini: 1/ 26-27.
[30] Faraidus Samthain: 2/313, hadis ke-564.
[31] Al-Ghadir wa Mu’aridhun, Sayyid Ja’far Murtadha Al-‘Amili:70-72.
[32] Yanabi’ul Mawaddah: 3/104, bab 77.
Argumentasi teologis atas konsep Mahdiisme terungkap dalam ratusan riwayat yang datang dari Rasulullah yang menunjukkan penentuan Imam Mahdi a.s. dan bahwa beliau dari Ahlul Bait a.s.
Argumentasi teologis atas konsep Mahdiisme terungkap dalam ratusan riwayat yang datang dari Rasulullah[1] yang menunjukkan penentuan Imam Mahdi a.s. dan bahwa beliau dari Ahlul Bait a.s.[2]
Dinyatakan juga bahwa beliau adalah dari ke-turunan Fathimah a.s.[3], dari keturunan imam Husain a.s.[4], keturunan ketujuh dari imam Husain a.s.[5], dan bahwa beliau adalah khalifah dan pengganti Rasulullah adalah 12 orang.[6]
Lima kelompok dan kategori riwayat ini,[7] satu sama lain berlomba menjelaskan konsep Mahdiisme dan mendefinisikan Imam Mahdi a.s. Sedang yang perlu dicermati di sana adalah analisis atas hal tersebut dari topik umum ke topik yang lebih khusus sehingga sampai kepada topik penentuan personal.
Sahid Baqir Shadr ra. menggarisbawahi riwayat-riwayat tersebut dan mengatakan: ”Riwayat ini sangat-lah banyak dan tersebar, kendati para imam telah berhati-hati untuk memaparkan konsep ini pada konteks umum, sebagai upaya penyelamatan bagi pelanjut mereka (Imam Mahdi a.s.) dari konspirasi dan pembunuhan”[8].
Selain itu, perlu dipahami bahwa banyaknya riwayat bukan satu-satunya alasan yang cukup untuk menerima konsep ini. Akan tetapi di sana terdapat keistimewaan dan bukti-bukti lain yang menegaskan keabsahannya. Misalnya, hadis Rasulullah yang mulia tentang para imam dan khalifah atau amir setelah beliau dan ihwal mereka berjumlah 12 orang?dengan berbagai perbedaan riwayat yang datang dari jalur yang beragam?telah dihitung oleh sebagian para penulis hingga mencapai lebih dari 270 riwayat,[9] sebuah jumlah yang fantastik, di mana riwayat-riwayat tersebut diambil dari kitab hadis standar, baik dari kalangan Syi’ah maupun Ahli Sunnah, di antaranya Shahih Bukhari[10], Shahih Muslim[11], Sunan Tirmidzi[12], Sunan Abu Daud[13] dan Musnad Ahmad[14] serta Mustadrak Hakim.[15]
Yang menarik di sini, Bukhari yang menukil riwayat ini adalah orang yang hidup sezaman dengan imam Al-Jawad a.s. dan dengan dua imam yang lain; Imam Al-Hadi dan Imam Al-Askari a.s. Ini merupakan sebuah keunikan yang besar, karena ia berdalil bahwa hadis ini telah dinukil dari Rasulullah sebelum kandungannya terwujud dan sebelum konsep kepemimpinan dua belas Imam itu terjadi di dunia nyata. Tentunya, tidak bisa diragukan lagi, bahwa penukilan hadis ini tidak dipengaruhi oleh kondisi nyata di luar dari dua belas Imam ataupun refleksi darinya, sebab hadis-hadis palsu yang disandarkan kepada Rasulullah adalah cerminan atau justifikasi atas peristiwa yang nantinya akan terjadi di masa depan.
Maka itu, selagi kita memiliki dalil bahwa hadis yang disebutkan tadi telah melalui rentetan sejarah para Imam dua belas dan tercatat dalam kitab-kitab hadis sebelum menyempurnanya para personnya fakta kedua belas Imam, maka dapat kita tegaskan bahwa hadis ini bukanlah gambaran dari fakta yang terjadi di luar, akan tetapi ungkapan dari hakikat rabbani yang diucapkan oleh orang yang tidak pernah berucap selain wahyu dari Tuhan[16]. Beliau bersabda:
”Sesungguhnya khalifah sepeninggalku adalah dua belas orang”.
Fakta dua belas imam ini telah nyata; diawali oleh Imam Ali a.s. dan diakhiri oleh Imam Mahdi sebagai misdaq (personifikasi) logis dari hadis mulia tersebut.[17]
Muslim telah meriwayatkan dalam Shahihnya dari Qutaibah ibn Said, dari Jabir ibn Samarah, dia berkata:
”Aku datang bertemu dengan Rasulullah bersama ayah-ku, maka aku mendengar beliau bersabda: ‘Sesungguhnya urusan ini (agama Islam) tidak akan berakhir kecuali dua belas khalifah berlalu”. Jabir berkata: “Kemudian beliau bersabda dengan kata-kata yang tidak aku dengar, maka aku bertanya kepada ayahku, apa yang beliau sabdakan? Ayah menjawab semuanya dari bangsa Quraisy.”[18]
Kemudian Muslim meriwayatkan dari jalur Ibnu Abu Umar, dari Abu Umar dari Hadab ibn Khalid, dari Nashr ibn Jahdhami, dan dari Muhammad ibn Rafi’e; semua dari satu jalur. Dia juga menguatkan riwayat Abu Bakar ibn Abu Syaibah dari dua jalur, dan riwayat Qutaibah ibn Said melalui dua jalur yang lain.
Dengan demikian, terdapat sembilan jalur dari hadis tersebut yang hanya terdapat dalam kitab Sahih Muslim. Belum lagi kalau kita mau membawakan hadis ini dari jalur-jalur yang beragam yang terdapat dalam kitab-kitab hadis yang lain dari mazhab Syi’ah maupun Ahli Sunnah.[19]
Kerancuan Ahli Sunnah Dalam Menafsirkan Hadis
Pertanyaan di sini adalah, siapa mereka para khalifah tersebut? Sebelum memilih jawaban yang benar dari soal ini, kita akan memberikan dua alternatif yang dapat diasumsikan pada hadis itu dan maksud Rasul saw. darinya. Maka, di sini hanya ada dua kemungkinan dan tidak ada pilihan ketiga di dalamnya. Kedua kemung-kinan tersebut adalah;
1. Maksud dari sabda Nabi tersebut adalah penjelasan fakta politik umat beliau yang akan terjadi sepe-ninggal beliau, dengan cara penyingkapan akan masa depan. Sebagaimana hal ini juga terjadi dalam berbagai hal yang lain. Dengan demikian maksud hadis ini adalah pemberitahuan beliau akan masa mendatang dan menimpa umat beliau, atau dapat kita istilahkan kemungkinan pertama ini dengan nama tafsir mustaqbali (futurologis).
2. Kemungkinan kedua adalah Nabi bermaksud menentukan kedua belas Imam dan penggantinya, maka tujuan hadis ini adalah pelantikan sesuai dengan tuntutan syariat bukan kabar akan masa mendatang. Kemungkinan ini disebut juga sebagai tafsir aqaidiyah (teologis).
Sejauh kajian ilmiah, kita dituntut untuk mencermati dua kemungkinan ini dan memilih apa yang sesuai dengan bukti logis maupun dogmatis. Hanya saja, karena Ahli Sunnah sejak awal telah meyakini teori khilafah dan menolak teori pelantikan serta membangun sistem akidah dan hukumnya di atas keyakinan ini, pada gilirannya mereka tidak menemukan alternatif selain kemungkinan atau tafsiran pertama, dan dengan segala cara berupaya menakwilkan apa-apa yang bertentangan dengannya. Kendati produk-produk penakwilan mereka itu jauh dari nalar yang lurus dan kearifan insani, namun demikian ini adalah konsekuensi yang tak terelakkan.
Semestinya, Ahli Sunnah memandang hadis ini secara ilmiah dan bebas dari asumsi sehingga kita dapat melihat kelemahan tafsir futuralistik itu. Maka, jika Nabi saw. bermaksud menjelaskan ihwal kejadian di masa depan, mengapa beliau hanya menentukan dua belas orang saja? Bukankah masa depan itu lebih panjang dari sekedar jumlah dua belas pemimpin? Dan jika Rasulullah melihatnya dengan kaca mata khilafah yang sah yang sesuai dengan norma-norma syariat, maka Ahli Sunnah tidak akan siap untuk meyakini Khulafa Rasyidin dan menolak legalitas kepemimpinan selain mereka. Oleh karena itu, mereka kebingungan dalam menentukan dua belas pribadi pengganti yang telah disinggung oleh Rasulullah saw.
Sejalan dengan ini, maka dua belas imam atau pemimpin?menurut Ibnu Katsir?adalah keempat khalifah awal, lalu Umar ibn Abdul Aziz, dan sebagian khalifah dari dinasti Abbasiyah, di mana Imam Mahdi yang dijanjikan berasal dari mereka.[20]
Menurut Qadhi Damaskus, mereka adalah Khulafa’ Rasyidin, Muawiyah, Yazid ibn Muawiyah, Abdul Malik ibn Marwan dan keempat anaknya (Walid, Sulaiman, Yazid dan Hisyam), dan diakhiri oleh Umar ibn Abdul Aziz[21].
Menurut Waliyyullah, seorang Ahli Hadis dalam kitab Qurratul ‘Ainain, sebagaimana dinukil dalam kitab ‘Aunul Ma’bud, mereka adalah empat khalifah pertama muslimin, Abdul Malik ibn Marwan dan keempat anaknya, Umar ibn Abdul Aziz, Walid ibn Yazid ibn Abdul Malik. Kemudian Waliyyullah menukil dari Malik ibn Anas seraya memasukkan Abdullah ibn Zubair ke dalam dua belas orang tersebut, akan tetapi dia menolak perkataan Malik dengan dalil riwayat dari Umar dan Ustman dari Rasulullah saw. yang menunjukkan bahwa pemerintahan yang dipimpin oleh Abdullah ibn Zubair adalah sebuah bencana dari sederet malapetaka yang diderita umat Islam. Ia juga menolak dimasukkannya Yazid dan menegaskan, bahwa dia adalah sosok yang berperilaku bejat.[22]
Ibnu Qayim Jauzi mengatakan: “Sedangkan jumlah khalifah itu dua belas orang; sekelompok orang yang di antaranya; Abu Hatim, Ibnu Hibban dan yang lain mengatakan bahwa yang terakhir dari mereka adalah Umar ibn Abdul Aziz. Mereka menyebut khalifah empat pertama, Muawiyah, Yazid ibn Muawiyah, Muawiyah ibn Yazid, Marwan ibn Hakam, Abdul Malik ibn Marwan, Walid ibn Abdul Malik, Sulaiman ibn Abdul Malik, dan khalifah yang kedua belas Umar ibn Abdul Aziz. Khalifah yang terakhir ini wafat pada tahun seratus Hijriyah; di abad pertama dan paling awal dari abad-abad kalender Hijriah manapun, pada abad inilah agama berada di puncak kejayaan sebelum terjadi apa yang telah terjadi”.[23]
Nurbasyti mengatakan: ”Cara terbaik memaknai hadis ini adalah menerapkan maknanya pada mereka yang adil, karena pada dasarnya merekalah yang berhak menyandang gelar sebagai khalifah, dan tidak mesti mereka memegang kekuasaan, karena yang dimaksud dari hadis adalah makna metaforis saja. Begitulah yang disebutkan di dalam Al-Mirqat”.[24]
Dan menurut Maqrizi, jumlah dua belas imam adalah khalifah empat pertama dan Hasan cucunda Nabi saw. Ia mengatakan: “Dan padanya (Imam Hasan a.s.), masa khalifah rasyidin pun berakhir”. Maqrizi tidak memasukkan satu pun dari penguasa dinasti Umawiyah. Masih menurut penjelasannya, khilafah setelah Imam Hasan a.s. telah menjadi sistem kerajaan yang di dalamnya telah terjadi kekerasan dan kejahatan. Lebih lanjut, ia juga tidak memasukkan satu penguasa pun dari dinasti Abbasiyah, karena pemerintahan mereka telah memecah belah kalimat umat dan persatuan Islam, dan membersihkan kantor-kantor administrasi dari orang Arab lalu merekrut bangsa Turki. Yaitu, pertama-tama bangsa Dailam memimpin, lalu disusul bangsa Turki yang akhirnya menjadi sebuah bangsa yang begitu besar. Maka, terpecahlah kerajaan besar itu kepada berbagai bagian, dan setiap penguasa suatu kawasan mencaplok dan menguasainya dengan kekerasan dan kebrutalan.[25]
Dengan demikian, tampak jelas bagaimana kebingungan madrasah Khulafa’ (Ahli Sunnah) dalam menafsirkan hadis tersebut; mereka tidak sanggup keluar dari keadaan ini selagi berpegang pada tafsir futuralistik itu.
Dalam kitab Al-Hawi lil Fatawa, As-Suyuthi mengatakan: ”Sampai sekarang, belum ada kesepakatan dari umat Islam mengenai setiap pribadi dua belas imam.”[26]
Oleh karena itu, jika tafsir futuralistik tersebut memang benar dan sesuai dengan kenyataan, maka pertama kali yang akan mengimaninya adalah para sahabat nabi, bukan yang lain, dan kita akan mendengar dampaknya secara langsung dari para khalifah itu sendiri. Khalifah pertama akan mengatakan, akulah khalifah pertama dari dua belas khalifah, khalifah kedua juga demikian, begitu pula khalifah ketiga hingga khalifah kedua belas. Tentunya, pengakuan senada ini akan menjadi kebanggaan dan bukti yang mendukung legalitas kedaulatan setiap khalifah. Namun, sejarah tidak pernah mencatat satu pengakuan pun dari nama-nama khalifah yang telah disebutkan di atas itu.
Kemudian, hadis juga mengatakan bahwa masa kepemimpinan mereka adalah mencakup sepanjang sejarah Islam hingga akhir gugusannya; di mana dunia akan hancur ketika mereka sudah tidak ada lagi di muka bumi. Ahli Sunnah meriwayatkan dari Rasulullah, bahwa beliau bersabda:
”Agama ini akan senantiasa tegak dan langgeng selama ada kedua belas pemimpin dari bangsa Quraisy. Tatkala mereka tiada, dunia akan hancur lebur.”[27]
Di samping bukti sejarah, kita juga melihat dunia belum hancur kendati Umar ibn Abdul Aziz itu telah mati. Bahkan setelah ketiadaannya, ilmu pengetahuan dan ilmu-ilmu agama berkembang pesat, seperti fikih, hadis dan tafsir di abad ketiga dan keempat Hijriah. Lebih dari itu, dapat dikatakan bahwa ilmu-ilmu keislaman berkembang dan menyebar setelah meninggalnya dua belas imam versi Ahli Sunnah, sementara dunia masih saja tidak hancur lebur.
Diriwayatkan juga dari Jabir ibn Samarah:
”Umat ini akan tetap tegar menjalankan agamanya, menaklukkan para musuhnya sehingga dua belas khalifah berlalu; mereka semua dari bangsa Quraisy, kemudian tibalah kekacauan yang dahsyat.”[28]
Jika maksud dari al-maraj dalam hadis itu kegalau
BAGAIMANA MENGENAL IMAM MAHDI YANG SEJATI?
Sumber : Shabestan
Sejarah telah menyaksikan banyak pengklaim Imam Mahdi as di sepanjang perjalanannya. Hal ini bisa kita lacak dari aliran Kaisaniyah dan sebagian para penguasa dari dinasti Bani Abbasiyah hingga masa kini ketika muncul Sayid Muhammad Ali Bab yang mengaku sebagai Imam Mahdi.
Dari mana kita bisa mengenal Imam Mahdi yang sejati? Apakah barometer yang bisa kita pakai untuk mengetahui kesejatian ini? Inilah usaha kami pada kesempatan ini untuk menjawabnya dengan sedikit rinci.
Untuk mengenal kriteria Imam Mahdi as yang sejati, kita bisa menelaah tanda-tanda, kriteria, dan efek kebangkitan besar yang akan beliau lahirkan.
Imam Mahdi sejati memiliki risalah yang universal. Beliau akan memanfaatkan seluruh fasilitas yang dianugerahi Allah untuk merealisasikan tujuan agung ini.
Risalah utama Imam Mahdi adalah memberangus segala bentuk kezaliman dari lingkungan kehidupan umat manusia. Beliau akan membangun sebuah sistem baru dalam dunia pemerintahan berlandaskan pada keadilan mutlak dan memerangi segala bentuk diskriminasi, penjajahan, dan kelaliman.
Imam Mahdi as menganugerahkan sebuah gerak laju pada pemikiran. Beliau memajukan ilmu pengetahuan. Beliau mempersatukan seluruh aliran dalam satu bendera. Beliau akan membagi-bagikan kekayaan dunia dengan sangat adil. Beliau akan membangun ekonomi dunia sedemikian rupa sehingga tak seorang pengemis pun ditemukan duduk di pojok jalan.
Imam Mahdi as akan mengembalikan setiap hak kepada pemiliknya. Beliau tidak akan meniggalkan kerusakan di muka bumi kecuali pasti beliau membangunnya.
Keamanan pada masa kepemimpinan Imam Mahdi sangat mendominasi sehingga bila seorang wanita bepergian dari barat ke timur sendirian tak akan seorang pun mengganggunya.
Imam Mahdi as akan mengeluarkan seluruh kekayaan bumi dan membangun seluruh dimensi masyarakat berdasarkan sistem tauhid.
Ini adalah sekelumit program praktis yang akan dijalankan oleh Imam Mahdi.
Lalu apakah ada salah seorang dari para pengklaim Imam Mahdi itu yang telah berhasi mewujudkan satu per seribu dari program-program tersebut di atas?
Tak satu pun dari para pengklaim itu yang mampu menjalan sekalipun sebagian dari program-program itu. Aneka ragam kelaliman masih banyak terjadi di setiap pojok dunia. Persaingan adidaya hari demi hari semakin menjadi-jadi. Setiap malam masih sekitar seribu juta fakir miskin tidur dalam keadaan lapar. Penjara-penjara masih penuh dengan orang-orang tak berdosa.
Dalil sederhana ini adalah bukti kuat atas kebohongan para pengklaim Imam Mahdi di sepanjang sejarah hingga masa kita sekarang ini.
BAGAIMANA IMAM MAHDI KALAHKAN MUSUH?
Sumber : Shabestan
Ketika kita menelaah kriteria negara yang akan dibentuk oleh Imam Mahdi as, mungkin kita bertanya-tanya bagaimana mungkin negara universal ini bisa terwujud sedangkan musuh memiliki persenjataan sangat canggih termasuk kekuatan senjata nuklir?
Usaha untuk mengalahkan kekuatan seperti ini sungguh tidak mudah. Lalu apa rahasia dan bagaimana cara Imam Mahdi as bisa mengalahkan seluruh kekuatan super power dunia ini?
Pada kesempatan kali ini, kita akan mencoba mengupas rahasia kemenangan Imam Mahdi as atas seluruh kekuatan dunia. Tentunya dengan mengambil ilham dari hadis-hadis yang sampai ke tangan kita.
Ketika kita menelaah hadis-hadis yang mengupas kriteria istimewa para sahabat setia Imam Mahdi as, kita akan menemukan ungkapan bahwa mereka manshur bi al-ra’b (memperoleh pertolongan lantaran ketakutan yang senantiasa menghantui musuh). Melihat kekuatan yang dimiliki oleh para sahabat ini, hati musuh dihantui rasa takut sehingga mereka menyerah atau melarikan diri tanpa mampu berperang. Tentu hal ini adalah faktor penaklukan musuh tanpa darah dan perang yang selalu diinginkan oleh beliau.
Di sepanjang sejarah, kemenangan-kemenangan seperti ini banyak dan sering kita dengar bersama.
Berdasarkan kesaksian sejarah dan ayat-ayat Al-Quran, Rasulullah saw memiliki anugerah seperti ini. Melihat keteguhan dan kegigihan yang dimiliki oleh beliau dan para sahabat beliau, musuh menyerah sebelum memasuki medan laga.
Pada peristiwa Perang Badar, Rasulullah saw hadir di medan laga dengan kuantitas yang sedikit dan persenjataan yang minim. Musuh yang dihadapi adalah musuh yang memiliki seluruh perlengkapan perang. Bukan saja bertahan menghadapi musuh ini, beliau malah memperoleh kemenangan yang menakjubkan. Dalam perang ini, musuh harus kehilangan 70 orang korban dan terluka, serta para tawanan yang sangat banyak.
Pada peristiwa Perang Khandaq, setelah Madinah dikepung musuh dan Amr bin Abdi Wud berhasil melompat parit, muslimin mangalami kegalauan sehingga mereka menjerit, “Mata nashrullah (kapankah pertolongan Allah akan tiba)?”
Tidak lama berselang, Imam Ali as mengalahkan Amr dengan penuh kejawaraan. Rasulullah saw pun bersabda, “Tebasan pedang Ali pada Perang Khandaq lebih utama daripada ibadah seluruh semesta.” Akhirnya, musuh mengalami rasa takut yang mengerikan dan lantas melarikan diri di malam hari.
Dalam peristiwa perang dengan Yahudi Bani Nazhir dan Bani Quraizhah, rasa takut juga mencekam hati musuh. Dalam Al-Quran difirmankan, “Dan Allah mencampakkan ketakutan ke dalam hati mereka sehingga mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Hasyr 59:2)
Pada peristiwa Fathu Makkah, rasa takut ini juga kita saksikan menyelimuti sekujur tubuh musuh sehingga mereka tidak memiliki keberanian untuk melawan maupun bertahan.
Pada abad modern kita ini, kita menyaksikan kemenangan Revolusi Islam Iran melawan seluruh kekuatan musuh yang memiliki persenjataan lengkap dan modern. Di ambang pintu kemenangan revolusi ini, dengan perintah Imam Khomeini ra, seluruh rakyat Iran turun ke jalan raya, dan kekuatan militer terkuat di Timur Tengah malah tidak mampu menghadapi banjir rakyat sekalipun senjata mereka sangat mutakhir.
Dengan demikian, jelaslah bahwa salah faktor kemenangan pasukan Imam Mahdi as adalah rasa takut ajib yang menyelimuti sekujur tubuh musuh.
Sekarang, marilah kita renungkan beberapa ayat yang mengisahkan kemenangan-kemenangan seperti di atas:
1. “Kami akan memasukkan rasa takut ke dalam hati orang-orang kafir, disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu. Tempat kembali mereka ialah neraka; dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal orang-orang yang zalim.” (QS. Al Imran 3:151)
2. “Kelak Aku akan merasukkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir. Maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka.” (QS. Al-Anfal 8:12)
Dalam banyak hadis, kriteria rahasia kemenangan Imam Mahdi as ini juga sering dijelaskan.
Imam Baqir as berkata, “Keserupaan Imam Mahdi as dengan kakeknya, Muhammad Mustafa as, adalah ia bangkit dengan pedang dan membunuh seluruh musuh Allah, musuh rasul-Nya, dan para tagut. Ia menang lantaran rasa takut dan seluruh panji diserahkan di hadapannya.” (Bihar al-Anwar, jld. 51, hlm. 217, hadis no. 6)
Imam Shadiq as berkata, “Al-Qa’im dari kalangan kami ditolong dengan rasa takut, diperkuat dengan pertolongan, bumi dilipat untuknya, seluruh kekayaan alam nampak baginya, kerajaannya sampai di barat dan timur, dan Allah akan menampakkan agama-Nya melalui perantaranya sekalipun orang-orang musyrik enggan.” (Ibid, hlm. 191, hadis no. 24)
Lalu, bagaimana rasa takut musuh ini bisa terwujud? Rasa takut ini bisa terwujud lantaran beberapa faktor berikut ini:
1. Melalui mukjizat dan kekuatan Ilahi yang mencampakkan rasa takut dalam hati musuh.
2. Informasi cepat tersebar berkenaan dengan kriteria para sahabat Imam Mahdi as yang menggambarkan bahwa mereka sangat teguh dan tak terkalahkan. Mendengar berita ini, musuh pun kehilangan nyali.
3. Informasi tentang kebangkitan Imam Mahdi as dan kesiapan seluruh masyarakat dunia untuk membantu beliau. Mereka menutut untuk bergabung dengan beliau. Dengan ini, kekuatan yang dimiliki oleh para penguasa zalim pun terpecah dan mereka merasa ketakutan.
4. Melalui rahasia gaib yang dimiliki, Imam Mahdi as telah mencounter seluruh rahasia kekuatan para musuh dan menembak titik lemah mereka.
YANG MEMBAHAYAKAN KONSEP MAHDAWIYAT
Sumber : islamquest
Yang dimaksud dengan konsep Mahdawiyat (Mahdiisme) adalah: Percaya terhadap keberadaan dan wujud Imam Mahdi Ajf sebagai Imam Keduabelas yang saat ini berada dalam tirai kegaiban karena maslahat dan atas perintah Ilahi. Beliau akan muncul pada suatu hari kelak setelah dunia dipenuhi oleh tirani untuk kemudian memenuhi dunia ini dengan keadilan dan kesejahteraan. Saat ini, para pengikut dan Syiahnya tengah menanti datangnya hari seperti ini.
Perawi berkata, aku bertanya kepada Imam Ridha As tentang penantian faraj (kemunculan Imam Mahdi Ajf), beliau bersabda, “Faraj merupakan salah satu dari pembuka, dan betapa indahnya bersabar dan menunggu kemunculan (Imam Mahdi Ajf).”[1]
Seluruh fenomena di alam memiliki kekurangan dan momok yang menjadi sumber bagi kerusakannya.[2] Oleh karena itu, untuk mempertahankan segala fenomena ini, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengenal momok dan kekurangan ini, kemudian selanjutnya berupaya untuk menghilangkan dan melenyapkannya. Persoalan yang menjadi ancaman bagi konsep Mahdawiyat tak lain adalah momok yang mampu menjadi gangguan setiap fenomena, dan faktor-faktor ini sangatlah banyak, dimana kami hanya akan menyinggung tiga hal penting secara ringkas sebagaimana berikut.
Dalam sebuah riwayat, Imam Ali As bersabda, “Untuk segala sesuatu terdapat kekurangan, dan kekurangan dari kebaikan adalah teman yang buruk.”[3]
Jika hukum yang terbaik diletakkan di tangan para pembuat kriminal yang tak layak, atau jika barang yang berharga jatuh di cengkeraman tangan yang tak berhak, maka kita tidak akan pernah lagi mendengar tentang hukum yang terbaik tersebut, demikian juga dengan barang yang berharga. Konsep Mahdawiyat pun tak terkecualikan dari kaidah dan hukum ini, para pengklaim bohong, yang tak lain adalah orang-orang rusak, sesat dan tak berhak, telah bersandar pada mutiara Mahdawiyat sangat berharga ini dan meletakkannya dalam posisi yang terancam dengan klaim-klaim busuknya, mereka ini telah menjadikan konsep mulia ini sebagai sasaran empuk bagi para Wahabi dan musuh-musuh Syiah.
Tentunya, klaim-klaim itu sendiri merupakan dalil atas hakikat akidah ini, karena imitasi dan kepalsuan senantiasa mengekor hakikat dan realitas, dan jika tidak demikian, sebagaimana halnya uang kertas 7 ribuan yang tidak akan pernah dipalsukan (karena realitas uang kertas 7000 tidak ada), maka demikian pula (jika realitas Mahdawiyat tidak ada) tidak akan pernah ada klaim Mahdawiyat.
Jahil: salah satu hal yang selalu mengancam hakikat adalah kejahilan dan ketiadaan informasi pada saudara kita, dimana ini bisa menjadi sebuah persoalan yang membahayakan.
Imam Ali As bersabda, “Terdapat dua orang yang mematahkan punggungku: alim yang tidak memiliki ikatan, dan orang jahil yang senantiasa beribadah; yang satu membuka tirai akidah manusia dan merusaknya, sedangkan yang lain telah menipu manusia dengan ibadahnya yang bodoh.”[4]
Saat ini, dengan jelas kita bisa menyaksikan bahayanya saudara yang jahil dan tak memiliki pengetahuan, yang dengan mengatasnamakan penantian (intizhâr) telah sangat merugikan pemikiran Mahdawiyat, mereka yang hanya diam terbungkam dalam menghadapi kezaliman dan aniaya atas nama penantian. Atau mereka yang beberapa waktu sekali, menentukan tanggal kemunculan beliau dalam waktu dekat, dengan melihat beberapa tanda-tanda kemunculan, dimana penentuan ini sangat dicela dalam riwayat-riwayat kita, bahkan bisa menciptakan kebekuan dan keputus asaan bagi para penantinya.
Fadhl bin Yasar mengatakan, aku bertanya kepada Imam Baqir As, Adakah waktu yang tertentu untuk hal (kemunculam Imam Zaman) ini? Beliau menjawab, “Waktu yang mereka tentukan adalah bohong –saya ulang lagi- waktu yang mereka tentukan adalah bohong. Dahulu Musa As keluar dari kaumnya untuk ajakan Tuhan dan menjanjikan tiga puluh hari kepada mereka, namun ketika Tuhan menambahkan sepuluh hari atasnya, para kaumnya mengatakan, “Apa yang dijanjikan oleh Musa kepada kita telah mengalami penyimpangan “, lalu mereka pun melakukan apa yang telah mereka lakukan.”[5]
Materialis atau menyembah dunia: Tak diragukan lagi bahwa pecinta yang hakiki, tidak saja tidak akan asing dari yang dicintanya, bahkan sangat pasti ia akan menyesuaikan diri dan menyerupakan diri dengannya.[6] Oleh karena itu sehingga dikatakan bahwa penanti Mushlih (Sang Refomer Agung yang Saleh), haruslah orang yang saleh.
Penantian, biasanya dikatakan pada kondisi seseorang yang sedih dan tak nyaman dengan keadaan yang ada dan berupaya untuk membuat kondisi yang lebih baik, misalnya seorang pasien atau penderita penyakit yang tengah menunggu kesembuhannya, atau seorang ayah yang tengah menunggu kepulangan putranya dari perjalanan, maka mereka ini akan sedih dengan penyakitnya dan keterpisahannya dari sang anak dan berupaya untuk membuat keadaan menjadi lebih baik.
Demikian juga seorang pedagang yang sedih dengan keadaan pasar dan tengah menunggu tenangnya kembali krisis ekonomi, maka ia akan memiliki kedua keadaan ini, yaitu “kekhawatiran dengan kondisi yang ada” dan “upaya untuk membuat kondisi lebih baik”.
Oleh itu, masalah penantian terhadap pemerintahan Mahdi yang hak dan adil, demikian juga penantian terhadap bangkitnya reformer dunia, pada dasarnya merupakan gabungan dari dua unsur: unsur penafian dan unsur pembuktian. Unsur penafian tak lain adalah kekhawatiran dengan kondisi yang ada, sedangkan unsur pembuktiannya adalah keinginan untuk membuat kondisi menjadi lebih baik. Dan jika kedua dimensi ini telah menyatu dalam ruh insan secara mengakar, maka hal ini akan menjadi dua sumber perilaku yang mengakar pula. Kedua akar perilaku ini adalah meninggalkan segala bentuk kerjasama dan harmonisasi dengan unsur-unsur kezaliman, kerusakan dan bahkan melawan dan berseteru dengan mereka, ini dari satu sisi, sementara memperbaiki diri, meningkatkan solidaritas dan mempersiapkan kesiapan jasmani, ruhani, materi dan maknawi untuk terciptanya pemerintahan tunggal dunia, merupakan sisi yang lain.
Jika kita cermati, akan kita lihat bahwa kedua dimensi di atas adalah konstruktif dan bisa menjadi faktor penggerak dan motivator bagi kesadaran dan kebangkitan.[7] [iQuest]
Catatan:
[1]. Sayyid Muhammad Ibrahim Burujerdi, Tafsîr Jâmi’, jil. 3, hal. 293 dan 294, Intisyarat-e Shadr, Teheran, Cetakan Keenam, 1366 S.
[2]. Abu al-Qasim Paibandeh, Nahj al-Fashâhah, Majmu-e Kalimâte Qishâr Hadhrat Rasûl Saw, hal. 623, Hadis 2255, Nasyr Dunyaye Donesh, Teheran, Cetakan Keempat , 1382 S.
[3]. Abdulwahid bin Muhammad Tamimi Amadi, Ghurar al-Hikam wa Durar al-Kilam, hal. 431, 9843, Intisyarate Daftar Tablighat, Qo, 1366 S.
[4]. Abu Al-Fatah Karajaki, Ma’danu al-Jawâhir, hal. 26, Kitabkhaneh Murtadhawiyah, Teheran, 1394 S.
[5]. Sayyid Ahmad Fahri Zanjani, Ghaibat Nu’mâni, hal. 346 dan 347, Nasyr Dar al- Kutub al-Islamiyyah, Teheran, Cetakan Keempat 4, 1362 S.
[6]. Terdapat sebuah syair yang dinisbatkan kepada Imam Shadiq As, demikian
لو کان حبّک صادقاً لأطعته لأنّ المحبّ لمن یحبّ مطیع.
[7]. Makarim Syirazi, Nashir, Tafsîr Nemune, jil. 7, hal. 381 dan 382, Nasyr Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Teheran, cet. 1, 1374 S.
PADA MASA KEGHAIBAN MAHDI AF. APA PERLU DIKERJAKAN?
Sumber : Erfan.ir
Sebagian orang menganggap bahwa faraj dan kemunculan Imam Mahdi hanya bisa digapai dengan cara kita duduk di rumah, masjid, dan husainiah sembari berdoa memohon kepada Allah supaya beliau segera muncul kembali. Mereka ini adalah orang-orang salih sehingga memiliki keyakinan semacam ini. Saya juga pernah mengenal seorang dari mereka sebelum ini dan termasuk orang yang sangat salih. Ia malah telah membeli seekor kuda dan sebilah pedang guna menunggu kemunculan Imam Mahdi as. Mereka juga melaksanakan kewajiban mereka. Mereka juga melakukan amar makruf dan nahi mungkar. Tapi hanya sebatas ini. Mereka tidak bisa berbuat sesuatu yang lain dan juga tidak berpikir untuk berbuat sesuatu.
Sebagian kelompok yang lain berpandangan bahwa menunggu kemunculan Imam Mahdi berarti bahwa kita jangan disibukkan peristiwa apa yang menimpa dunia, petaka apa yang sedang menimpa bangsa-bangsa dunia, dan peristiwa apa yang sedang melanda bangsa kita. Kita jangan disibukkan oleh semua ini. Kita hanya melaksanakan kewajiban dan tugas sehari-hari yang kita miliki. Nanti Imam Mahdi as akan muncul dan mengurusi semua itu. Selain ini, kita tidak memiliki kewajiban dan tugas yang lain. Satu-satunya tindakan yang bisa kita lakukan adalah kita berdoa supaya Imam Mahdi segera muncul kembali. Golongan ini juga termasuk golongan yang sangat salih.
Golongan ketiga malah mengatakan, dunia harus penuh dengan maksiat supaya Imam Mahdi muncul. Kita tidak boleh melakukan amar makruf dan nahi mungkar supaya seluruh penduduk dunia bebas melakukan apa saja yang mereka sukai. Dosa harus bertambah banyak dan meluas supaya kemunculan Imam Mahdi semakin dekat.
Kelompok keempat malah lebih dari parah lagi. Mereka mengatakan, kita harus berbuat banyak dosa. Kita juga harus mengajak seluruh lapisan masyarakat supaya berbuat dosa supaya dunia penuh dengan kezaliman dan dosa dan Imam Mahdi pasti akan muncul. Harus diakui, memang ada segelintir manusia di dalam kelompok ini yang menyeleweng dan memiliki kepentingan-kepentingan tertentu.
Kelompok kelima berkeyakinan, setiap negara yang dibentuk dan didirikan pada masa periode kegaiban adalah sebuah negara yang batil dan bertentangan dengan Islam. Mereka juga bersandarkan kepada beberapa hadis yang menegaskan, setiap panji yang dikibarkan sebelum Imam Mahdi as muncul adalah panji yang batil. Mereka membayangkan bahwa maksud dari panji ini adalah negara. Padahal maksud hadis ini adalah setiap bendera yang ditegakkan sebagai panji Imam Mahdi. Seandainya hadis-hadis ini pun sahih, lalu apakah seluruh tugas kita gugur? Artinya, jika kita melakukan sebuah tindakan, maka tindakan ini bertentangan dengan Islam dan al-Quran? Klaim yang mengatakan bahwa mari kita bermaksiat supaya Imam Mahdi segera muncul, lalu beliau muncul untuk tujuan apa? Kalau begitu, kita berdoa untuk Saddam, Amerika, dan Sovyet supaya dunia penuh dengan kezaliman dan maksiat dan ketika itu Imam Mahdi as pasti muncul? Lalu pertanyaan kita, beliau muncul untuk apa?
Imam Mahdi as sebenarnya muncul guna membasmi kezaliman. Jika kita mampu, maka kita harus membasmi seluruh kezaliman yang ada di dunia. Ini adalah kewajiban kita sekarang. Tetapi sayangnya kita tidak mampu untuk itu. Imam Mahdi muncul guna memenuhi dunia dengan keadilan. Tapi ini bukan berarti bahwa Anda tidak memiliki kewajiban lagi.
Salah seorang ulama—semoga Allah merahmatinya—pernah berkata, “Hati kita tidak lebih prihatin untuk Islam daripada hati Imam Mahdi. Jika beliau melihat kondisi, maka beliau sendiri yang akan datang. Untuk apa kita yang melakukannya.”
Ini adalah logika orang-orang yang ingin melarikan diri dari tanggung jawab. Al-Quran tidak menerima hal ini. Mereka berusaha melakukan justifikasi dengan mencari-cari hadis yang kira-kira seirama dengan keyakinan mereka. Seperti hadis buatan yang memperbolehkan kita untuk berdoa demi kelanggengan para penguasa lalim.
Ini bertentangan dengan al-Quran. Mereka sebenarnya belum pernah membaca al-Quran. Jika ada ratusan hadis semacam itu sekalipun, maka seluruh hadis ini harus dibuang. Hadis-hadis ini bertentangan dengan al-Quran dan sirah para nabi. Atau bisa jadi semua itu bukan hadis.
Anda pernah mendengar sebuah hadis, apabila seseorang menghendaki seorang penguasa tetap hidup, maka ia bersamanya.
Mungkinkah seorang muslim menghendaki seorang tetap hidup supaya membunuh manusia dan ulama?
Sungguh sangat bernilai apabila kita melawan kelaliman dan tidak membiarkan kezaliman semakin merajalela. Bukanlah keyakinan kita bahwa apabila kita sedang menunggu kemunculan Imam Mahdi as, maka kita cukup duduk di rumah dan memegang tasbih sembari berdoa ‘ajjil ‘ala farajih. ‘Ajjil hanya bisa terwujud dengan tindakan dan aksi Anda. Anda harus mempersiapkan lahan demi kedatangan beliau dengan cara mempersatukan seluruh muslimin. Jika Anda bersatu, insya Allah Imam Mahdi akan muncul.
IMAM MAHDI AS TIDAK MEMERLUKAN SAKSI DAN ALASAN DALAM MENGADILI
Sumber : shabestan
Setelah Imam Mahdi as datang, diadilinya para penjahat dan orang-orang zalim adalah hal yang pasti. Hukuman- hukuman yang dijatuhkan kepada mereka tepat sesuai dengan ajaran kitab suci Al-Qur’an dan sunah nabi.
Salah satu pertanyaan yang terngiang di benak kebanyakan orang adalah, bagaimana nanti Imam Mahdi as akan menyingkirkan sekian banyak sistim-sistim perpolitikan yang ada kemudian menggantikannya dengan satu sistem politik Ilahi yang global?
Seperti apa pemerintahan Imam Mahdi as nantinya?
Bagaimana bisa kelak tidak ada satu orang pun yang berbuat zalim dan tak ada satu perut pun yang kelaparan?
Salah satu yang kita yakini adalah bahwa kelak setelah Imam Mahdi as datang untuk memenuhi bumi dengan keadilan, beliau bakal mengadili para penjahat dan orang-orang zalim dengan cara yang tidak ada bandingannya.
Diriwayatkan bahwa di akhir zaman Imam Mahdi as akan menghukumi segala hal berdasarkan ilmu ghaib, yang mana jika demikian beliau tidak membutuhkan saksi atau alasan apapun untuk menjatuhi hukuman kepad pelaku kezaliman.
Para hakim yang akan diangkat oleh Imam Mahdi as sebagai pembantunya tentu juga merupakan orang-orang spesial.
Imam Shadiq as berkata, “Ketika Imam Mahdi as bangkit, ia akan menentukan pejabat di setiap tempat dan berkata kepada mereka, ‘Aku serahkan segala urusan kalian kepada kalian. Saat kalian tidak tahu apa yang harus kalian lakukan, lihatlah telapak tangan kalian dan lakukan sesuai apa yang kau lihat.’.”
Mungkin yang dimaksud riwayat itu adalah adanya sarana informasi yang begitu cepat di akhir zaman.
APAKAH IMAM MAHDI AFS MEMILIKI ISTRI DAN ANAK-ANAK?
Sumber : syiahahlilbait.com
Para sejarawan dan ahli hadis meyakini bahwa kelahiran Imam Hujjah bin Hasan al-Mahdi as terjadi pada tahun 255 H (pendapat masyhur) atau 256 H. Ahli sejarah menulis bahwa beliau lahir pada malam Jum’at pertengahan Sya’ban.
Kajian yang sudah ada mengenai Imam Mahdi afs tidak meninggalkan kesamaran tentang kapan beliau dilahirkan, siapakah ayah, ibu dan kakek-kakeknya yang suci dan apa falsafah serta hikmah dari keghaibannya.
Akan tetapi persoalan apakah Baqiyatulah as yang saat mengalami ghaibah kubro memiliki istri dan keturunan ataukah tidak? Kita tidak punya dalil yang kuat tentang hal itu. Yang ada hanya tiga indikasi yang menetapkan keberadaan istri dan anak beliau, yaitu:
1. Kaidah umum
2. Riwayat
3. Doa-doa.
Hukum-hukum universal dari syariat Muhammad saw menuntut Baqiyatullah as untuk membentuk keluarga sebagaimana para imam as yang lain yang menjalankan sunah kakek mereka.
Mirza Nuri mengatakan: “Bagaimana mungkin beliau akan meninggalkan sunah kakeknya yang sangat dianjurkan dan terdapat ancaman jika ditinggalkan. Paling layaknya orang untuk menjalankan sunah Nabi saw ini adalah Imam di setiap zaman dan sampai sekarang tidak ada orang yang meyakini bahwa meninggalkan sunah ini adalah ciri-ciri beliau.”[1]
Sehubungan dengan istri atau istri-istri Baqiyatullah as, kita hanya punya satu riwayat, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Marhum Kif’ami dalam buku Misbah. Berdasarkan hadis ini istri beliau adalah keturunan Abdul Uzza putra Abdul Muthalib.[2] Adapun berkenaan dengan anak-anak beliau, ada beberapa riwayat yang dengan jelas menetapkan keberadaan mereka, yaitu:
1. Sayyid Ibnu Thawus dalam buku Jamalul Usbu’, mengatakan: Saya mendapatkan satu riwayat dengan sanad sempurna yang menceritakan bahwa Imam Zaman as mempunyai beberapa anak yang menjadi hakim dan wali di beberapa kota di pinggiran laut.[3]
2. Imam Shadiq as pernah berkata: “Imam Zaman as mengalami dua ghaibah, satu darinya sangat panjang sekali dimana masyarakat sampai mengatakan, beliau meninggal, sebagian yang lain mengatakan, beliau terbunuh, dan ada juga yang mengatakan, pernah hadir dan pergi lagi, kecuali segelintir pengikut ahlul bait yang tetap pada pendapatnya. Dan tidak seorang pun yang tahu tempat keberadaannya, bahkan anak-anak beliau sendiri tidak mengetahui tempatnya, kecuali wakil-wakil beliau.”[4]
3. Mohammad bin Masyhadi dalam buku Mazâr menukil dari Imam Shadiq as yang berkata: “Sepertinya aku melihat turunnya Qoim as dan keluarganya di masjid Sahlah.”[5]
4. Almarhum Allamah Majlisi mengkhususkan satu pintu kepada para khalifah dan anak-anak Mahdi as.[6]
Selain hadis-hadis di atas, kita hanya punya satu hadis yang tampak bertentangan dengan hadis-hadis tadi. Hadis itu berbunyi: “Setiap Imam harus punya keturunan kecuali Imam Mahdi as yang tidak punya keturunan.”[7]
Mirza Nuri mengatakan: Maksud pernyataan Imam as: “…tidak punya anak,” adalah anak yang menjadi Imam, sebab beliau Khotamul Aushiya’ (penutup para washi).[8]
Syaikh Thusi setelah melihat hadis ini mengatakan: Setiap orang yang mengatakan bahwa Imam Mahdi as mempunyai anak yang berstatus imam, ucapannya batil, sebab jumlah imam akan menjadi tiga belas.[9]
Dalam doa-doa para imam as atau Nahiyah Moqoddasah yang dibaca di zaman ghaibah atau tempat-tempat suci, terdapat sebutan anak-anak Imam Zaman as, dimana para imam mendoakan mereka atau mengucapkan salam atas mereka. Ini bukti kuat untuk menetapkan keberadaan anak-anak beliau apalagi doa-doa tersebut doa Ma’tsur. Dalam doa-doa ini terdapat kosa kata jelas yang menetapkan keberadaan istri dan anak beliau seperti kata walad (anak), Dzurriyah (keturunan), ahli bait (keluarga) dan ali bait (keluarga).[10]
Akan tetapi mengutip pernyataan salah satu mujtahid, beliau mengatakan bahwa penghukuman secara pasti tentang kehidupan pribadi (istri dan anak) Imam Mahdi afs lepas dari tanggung jawab kita, sekalipun di situ ada bukti-bukti untuk menetapkan hal itu.
Wallahu A’lam
CATATAN :
[1] Najmu al-Saqib, hal. 224.
[2] Najmu al-Saqib, hal. 225.
[3] Jamalul Usbu’, hal. 512.
[4] Ghaibati Syaikh Thusi , hal. 103 dan Biharul Anwar, juz 52, hal. 153.
[5] Najmu al-Saqib, hal. 225.
[6] Biharul Anwar, juz 53, hal. 145.
[7] Ghaibati Syaikh Thusi, hal. 134.
[8] Najmu al-Saqib, hal. 226.
[9] Ghaibat, hal. 137.
[10] Jaziri-e Khodro’, hal. 37-40.
[2] Kamal Al-Din, Syaikh Shaduq, bah 45, hadis no. 4, hal. 485.
[3] Bihar Al-Anwar, jld. 52, hal. 93 dinukil dari kitab di atas.
Bagian pertama, yang berhubungan dengan Imam Mahdi Ajf:
Bagian kedua, yang berhubungan dengan masalah lain:
APAKAH IMAM MAHDI PUNYA ANAK SEHINGGA DISEBUT ABA SHALEH
Sumber : tvshia.com
Imam Mahdi as memiliki banyak julukan dan sebutan yang telah ditentukan oleh Allah, Rasulullah saw, dan para imam maksum as. Julukan dan sebutan-sebutan ini mengindikasikan bahwa beliau layak untuk menyandangnya.
Salah satu julukan Imam Mahdi as yang sering kita dengar adalah Abu Salih. Pertanyaan yang bisa dilontarkan berkenaan dengan masalah ini adalah apakah beliau layak menyandang julukan ini, padahal beliau tidak memiliki anak?
Berkenaan dengan julukan ini, ada dua poin yang bisa kita renungkan bersama.
Pertama, sebagian orang melakukan justifikasi demikian. Dalam surah al-Anbiya’ ayat 105 ditegaskan bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba Allah yang salih. Imam Mahdi as adalah pemimpin para hamba salih, dan untuk itu, beliau disebut dengan julukan Abu Salih, karena beliau ayah spiritual mereka.
Kedua, sebagian orang ingin menyandarkan julukan Abu Salih ini kepada hadis. Tetapi, kita tidak pernah menemukan hadis dari para maksum as yang memuat julukan ini. Yang ada dalam hadis adalah apabila seorang tersesat jalan, maka hendaklah ia menyeru nama Abu Salih sehingga ada juru penyelamat yang akan menyelamatkannya. Abu Salih ini berasal dari golongan jin.
Pesan kami untuk para pembaca budiman, hendaklah mereka menggunakan julukan-julukan yang termaktub dalam hadis-hadis sahih seperti hujah, qa’im, mahdi, dan lain sebagainya.
APA GUNANYA SEORANG IMAM JIKA IA GHAIB?
pengaran : Ja’far Subhani
Menurut Al-Qur’an, ada dua macam wali Allah Swt; pertama adalah wali yang tampak dan masyarakat mengenalinya secara langsung, dan kedua adalah wali yang gaib atau tidak tampak yang tidak dikenali secara langsung oleh masyarakat, dia ada di tengah mereka tapi pada saat yang sama mereka tidak menyadari kehadiran itu.
Di dalam surat Al-Kahfi, keberadaan dua macam wali itu telah diterangkan secara bersamaan; yang pertama adalah Musa bin Imran dan yang kedua adalah orang yang beliau sertai untuk sementara waktu dalam perjalanan darat serta laut, dia dikenal dengan nama Khidir. Wali Allah Swt bahkan tidak dikenali oleh Nabi Musa as, Allah Swt yang kemudian membimbing beliau untuk mengenalinya dan menimba ilmu darinya. Al-Qur’an menyebutkan:
“Mereka menemukan seorang hamba dari hamba-hamba Kami (Khidir) yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari Kami dan yang telah Kami ajarkan kepadanya suatu ilmu dari sisi Kami. Musa berkata kepadanya, ‘Bolehkah aku mengikut engkau agar engkau ajarkan kepadaku sebagian yang telah diajarkan kepadamu, sebagai ptunjuk?” (QS. Al-Kahfi [18]: 65-66)
Setelah itu, Al-Qur’an menjelaskan berapa pekerjaan berharga yang dilakukan oleh wali Allah Swt tersebut dan menunjukkan bagaimana masyarakat tidak mengenalinya, tapi pada saat yang sama mereka mendapatkan basil dan berkah keberadaannya.[1]
Perihal Imam Mahdi af juga seperti halnya wali Allah Swt yang diikuti oleh Nabi Musa as, sama-sama tidak dikenali oleh umat manusia tapi pada saat yang sama menjadi sumber pekerjaan-pekerjaan yang sangat berharga bagi mereka semua. Karena itu, kegaiban beliau bukan berarti keterpisahaan beliau dari masyarakat, melainkan -seperti yang tertera di dalam hadis-hadis para manusia suci as- beliau laksana matahari di balik awan; mata kepala tidak melihatnya tapi pada saat yang sama ia tetap memberikan cahaya dan kehangatan kepada penduduk bumi.[2]
Rasulullah Saw bersabda, ‘Memang benar, sumpah demi Allah Swt yang telah mengutusku sebagai nabi! Umat manusia mendapat keuntungan darinya dan dari cahaya wilayahnya pada masa gaib sebagaimana mereka mendapat keuntungan dari matahari kala berada di balik awan.’[3]
Sinar spiritual wujud Imam Mahdi af yang berada di balik awan gaib mempunyai dampak yang besar sekali, jadi walau pun tidak terjadi pembelajaran, pendidikan dan pembimbingan secara langsung tapi dampak-dampak itu menunjukkan hikmah keberadaannya di sana. Dampak tersebut antara lain:
1. Penjagaan Agama Allah Swt
Lalu zaman dan campur aduk kecenderungan serta pemikiran pribadi dengan masalah keagamaan, begitu pula kecondongan pada aliran-aliran yang menyimpang dan kelancangan tangan-tangan perusak terhadap ajaran-ajaran samawi lambat laun akan mengikis kesejatian dari ajaran dan undang-undang Ilahi serta memutarbalikkannya.
Air jernih yang mengalir dari langit wahyu lama-lama keruh dan kotor akibat jalur otak-otak yang dilaluinya. Cahaya yang terang benderang ini juga akan terkesan redup karena melewati kaca-kaca pemikiran yang gelap gulita. Singkat kata, akibat perangkaian dan pemangkasan yang dilakukan oleh orang-orang yang berpikiran dangkal maka seringkali kita sangat kesulitan untuk merekognasi dan mengenali masalah yang sebenamya.
Karena itu, bukankah signifikan sekali keberadaan seseorang di tengah umat Islam yang akan menjaga ajaran Islam sebagaimana aslinya untuk orang-orang masa depan?!
Kita tahu bersama bahwa setiap yayasan penting memiliki kotak anti bakar tempat penyimpanan dokumen-dokumen penting dan penjagaannya dari tangan-tangan pencuri serta lahapan api, karena nilai dan kehormatan yayasan itu tergantung pada penjagaan dokumen-dokumen tersebut.
Hati Imam Mahdi af dan ruh mulia beliau adalah kotak penjaga dokumen-dokumen agama Allah Swt yang sejati dan selamat dari distorsi, sehingga bukti-bukti Allah Swt dan tanda-tanda-Nya tidak sampai hilang dan padam. Ini hanya satu dari sekian banyak dampak keberadaan beliau.
2. Pembinaan Para Penanti Yang Sadar
Tidak seperti yang dibayangkan oleh sebagian orang, hubungan Imam Mahdi af di masa gaib dengan umat tidak sepenuhnya terputus, bahkan sebagaimana telah diterangkan oleh hadis-hadis Islam ada segelintir orang dengan kesiapan paling tinggi yang punya hubungan dengan beliau, mereka itu rahasia penuh gairah kerinduan pada Allah Swt dan hati penuh iman serta keikhlasan yang luar biasa dalam rangka mereali sasikan cita-cita reformasi dunia.
Gaibnya Imam Mahdi af bukan berarti beliau menjadi semacam ruh gaib atau cahaya misterius, bahkan beliau mempunyai kehidupan yang alami dan tenang, tapi beliau secara tidak dikenal berlalu lalang di tengah umatnya. Beliau seleksi hati-hati manusia yang siap lalu meningkatkan kesiapan mereka lebih dari sebelumnya. Orang-orang yang berpotensi pasti meraih taufik dan kebahagiaan ini sesuai dengan tingkat kesiapan masing-masing. Sebagian dari mereka berhubungan dengan beliau hanya sejenak, sebagian lagi berhari-hari, dan sebagian yang lain bahkan sampai bertahun-tahun.
Seperti para pengendara pesawat yang terbang tinggi sampai ke atas awan, orang-orang itu terbang tinggi dengan sayap ilmu dan takwa sehingga tidak ada lagi tabir yang menghalangi sampainya pancaran cahaya matahari, sementara orang lain berada dalam kegelapan dan cahaya redup di bawah awan.
Memang demikianlah yang sebenamya. Orang berharap matahari turun ke bawah awan agar dia dapat melihatnya. Tentu saja harapan semacam ini kesalahan yang besar dan anggapan yang menyimpang. Kitalah yang seharusnya meningkatkan diri dan terbang lebih tinggi daripada awan sehingga dapat merasakan pancaran cahaya matahari.
Ala kulli hal, pembinaan para penanti ini juga salah satu hikmah di balik gaibnya Imam Mahdi af.
3. Pengaruh Ruhani Yang Tersembunyi
Seperti telah kita ketahui bersama, matahari mempunyai pancaran jelas yang apabila dianalisis maka kita akan melihat tujuh warna. Di samping itu, ia juga mempunyai pancaran yang tak terlihat disebut dengan radiasi ultra violet dan radiasi infra merah. Sama halnya dengan itu, pemimpin samawi, baik seorang nabi atau imam, selain melakukan pembinaan undang-undang syariat -melalui ucapan, tindakan, pembelajaran dan pendidikan reguler- dia juga melakukan pembinaan ruhani melalui ilfiltrasi maknawi ke dalam hati dan pikiran manusia, hal itu bisa juga disebut sebagai pembinaan cipta atau pembinaan secara eksistensial. Dalam pembinaan yang terakhir ini, tidak ada lagi huruf, kata, kalimat, ucapan atau pun perbuatan, yang efektif di sini hanyalah gravitasi internal.
Wujud penuh berkah Imam Mahid af di balik awan gaib juga mempunyai dampak semacam ini, melalui pancaran cahayanya yang kuat dan luas beliau menarik hati-hati yang siap, baik jauh maupun dekat, dengan itu beliau membina mereka sampai menjadi manusia yang sempuma. Kita melihat kutub magnetik bumi dengan mata kepala, tapi pengaruhnya tampak pada jarum-jarum kompas yang menjadi panduan bagi kapal, pesawat di udara, dan lain-lain di sahara serta angkasa. Berkah gelombang ini dirasakan di seluruh penjuru bumi, sehingga jutaan musafir dapat menempuh perjalanannya sampai tujuan. Kendaraan-kendaraan besar dan kecil terselamatkan berkat panduan jarum-jarum yang kelihatan kecil ini.
Dengan demikian, kenapa heran jika keberadaan penuh berkah Imam Mahdi af pada masa gaib memberi hidayah kepada pikiran dan jiwa yang dekat maupun jauh dengan gelombang-gelombang gravitasinya serta menyelamatkan mereka dari kebingungan? Tentunya jangan lupa bahwa gelombang-gelombang magnetik bumi tidak berpengaruh pada besi-besi yang tidak berharga, melainkan berpengaruh hanya pada jarum-jarum lembut yang sensitif dan mempunyai karakteristik feromagnetik serta kesesuaian dengan kutub pengirim gelombang magnetik. Maka itu, hati-hati yang berhubungan dengan Imam Mahdi af dan mempunyai kesesuaian tertentu dengan beliau pasti terkena daya tarik ruhani beliau.
Dampak-dampak keberadaan penuh berkah Imam Mahdi af sangatlah banyak dan tidak mungkin untuk dijelaskan dalam kesempatan yang terbatas sekali. Di sini kami cukupkan sampai sekian, dan Alhamdulillah para peneliti muslim telah menjelas kannya secara panjang lebar dalam karya tulis mereka, kami sarankan kepada yang berminat untuk menelaahnya.
CATATAN :
[1] Lihat: QS. Al-Kahfi (18): 71-82.[2] Kamal Al-Din, Syaikh Shaduq, bah 45, hadis no. 4, hal. 485.
[3] Bihar Al-Anwar, jld. 52, hal. 93 dinukil dari kitab di atas.
MENGAPA IMAM MAHDI HARUS GHAIB?
Mengapa Imam Zaman tidak dilahirkan saja ketika ia harus muncul?
Pertanyaan ini mungkin dapat dijawab dengan menjelaskan filsafat kegaiban, masalah penantian (intizhâr), pengaruh dan keberkahan yang dapat diraup atas keberadaan Imam Zaman Ajf pada masa kegaiban. Disebutkan bahwa falsafah kegaiban Imam Zaman Ajf tujuannya adalah supaya tiada satu pun baiat yang menggelayut di pundak Imam Zaman atau supaya Imam terhindar dari bahaya pembunuhan. Jelas bahwa hikmah-hikmah seperti ini tidak menuntut sehingga Imam Zaman harus lahir sebelum kemunculannya.
Namun terdapat hikmah-hikmah lainnya yang dapat menjelaskan bahwa Imam Zaman Ajf itu hidup hingga sekarang dan manfaat dan pengaruh seperti ini tidak akan tampak sekiranya Imam Zaman itu tidak hidup atau belum lahir:
A. Salah satu tujuan kemunculan Imam Zaman adalah untuk mengubah dunia dan, menciptakan tatanan peradaban baru berdasarkan nilai-nilai ilahi. Hal ini tidak akan tercapai kecuali bahwa masyarakat dunia telah melihat dan merasakan pelbagai ragam pemerintahan dan peradaban. Mereka menyaksikan langsung pelbagai kegagalan pemerintahan dan peradaban tersebut dalam merealisasikan seluruh cita dan asa umat manusia sehingga mereka menantikan terbentuknya pemerintahan Imam Mahdi Ajf. Dengan demikian, tersedia ruang dan waktu sehingga umat manusia siap untuk menerima kemunculan pemerintahan Imam Mahdi Ajf.
B. Kegaiban Imam Zaman Ajf adalah media ujian bagi para hamba Tuhan. Apa yang menjelaskan kemestian kegaiban (ghaibah) adalah keharusan hidupnya imam yang hidup dan ghaib sehingga menjadi media untuk mengimplementasikan sunnah Ilahi yaitu ujian bagi para hamba Tuhan.
C. Di samping redaksi kegaiban Imam Zaman juga terdapat redaksi penantian (intizhâr). Intizhâr di samping menyebabkan pembangunan jiwa seseorang juga berguna bagi masyarakat. Dan dua persoalan ini kendati seseorang tidak meyakini imam yang hidup juga dapat dijelaskan. Akan tetapi pengaruh keyakinan terhadap imam yang hidup, yang sewaktu-waktu dapat muncul, semakin berlipat ganda dalam menghasilkan dua manfaat personal dan sosial-kemasyarakatan ini.
Manfaat dan Keberkahan Kehadiran Imam Zaman pada Masa Kegaiban
Pada sebagian riwayat, Imam Zaman Ajf pada masa kegaiban dicitrakan laksana surya di balik awan dan di antara manfaat surya ini adalah sebagai berikut.
1. Hidupnya panglima di tengah medan perang akan menimbulkan gelora semangat dan harapan kepada para serdadu. Karena itu hidupnya Imam Zaman adalah menumbuhkan harapan dan semangat bagi orang beriman.
2. Pengawasan imam yang hidup yang mencermati seluruh perbuatan para pengikutnya akan menumbuhkan faedah tarbiyah dan edukasi khusus bagi setiap orang dan akan membuat mereka menjalankan agenda pembinaan diri (self-construction).
3. Dalam silsilah para imam maksum dan washi, Imam Mahdi Ajf adalah pamungkas rangkaian imam maksum dan washi Ilahi. Para imam maksum dan washi Ilahi merupakan pemilik khazanah dan gudang ilmu-ilmu Ilahi. Mereka adalah penjaga rahasia-rahasia dan dalil-dalil agama Islam. Baik mereka lahir atau gaib, nampak atau tersembunyi. Dengan demikian, mereka meminggirkan peran orang-orang dungu dan jahil, dan mengeliminasi pelbagai bid'ah yang dimunculkan dalam agama Ilahi serta menjaga konsep-konsep perennial Islam dalam tetap bentuk aslinya. "Agama pamungkas" seiring dengan berakhir dan terputusnya wahyu menjadi sempurna dan memasuki arena kehidupan manusia secara menjuntai. Tugas besar Ilahi ini akan dapat terealisasi dengan kehadiran Imam Zaman Ajf.
4. Sebagian orang memiliki kemampuan untuk melesak terbang melintasi awan dan secara langsung memanfaatkan sinar surya (Imam Mahdi Ajf) dan secara perlahan dalam pancaran surya ini mereka membangun dan membina dirinya.
5. Kita meyakini bahwa Imam Zaman Ajf memiliki otoritas dan wilayah atas batin dan seluruh perbuatan kita. Dan, sejatinya, petunjuk (kebahagiaan dan penderitaan) berada di bawah kekuasaannya. Menyampaikan manusia kepada petunjuk (hidâyah) tersebut merupakan salah satu tugas Imam Maksum (Imam Mahdi Ajf) dan hal ini hanya dapat tercapai apabila Imam Zaman itu hidup.
6. Insan kamil (manusia sempurna) merupakan tujuan penciptaan semesta. Apabila suatu hari tidak terdapat manusia sempurna di muka bumi maka bumi beserta segala isinya akan binasa. Dan siapakah yang dapat mengklaim dirinya sebagai manusia sempurna selain Imam Maksum as?
7. Untuk merajut hubungan antara alam wahdat dzati dan katsrat mahdh, diperlukan sebuah penjalin berupa penampakan (mazhar) yang memiliki hubungan di samping dengan alam wahdat dzati juga dengan alam katsrat; yang menghimpun antara Hak dan khalq (ciptaan); antara Khaliq dan makhluk. Imam maksum merupakan tempat curahan (majra) emanasi (faydh) Ilahi di muka bumi. Demikianlah imam maksum (hujjah) yang harus ada dan hidup di muka bumi pada setiap zaman.
Pertanyaan ini mungkin, dari satu sisi, dapat dijawab dengan menjelaskan filsafat kegaiban, masalah penantian (intizhâr), pengaruh dan keberkahan yang dapat diraup atas wujud Imam Zaman Ajf pada masa kegaiban. Dan, dari sisi lainnya, dengan membahas persoalan bahwa apakah kehadiran Imam Zaman Ajf pada masa kegaiban memberikan banyak keberkahan dan manfaat?
Akan tetapi, sebelum kita membahas tentang falsafah, hikmah, dan manfaat penantian (intizhâr), kita harus mengingatkan bahwa sebab kegaiban merupakan rahasia dan misteri yang tidak kita ketahui. [1] Namun dengan bantuan riwayat dan akal, kita dapat memperoleh sebagian hikmah dan falsafah kegaiban dan penantian. Falsafah kegaiban dan penantian dapat dibagi menjadi dua bagian:
1. Yang berhubungan dengan Imam Mahdi Ajf
2. Yang berhubungan dengan masalah lain
Bagian pertama, yang berhubungan dengan Imam Mahdi Ajf:
A. Disebutkan dalam riwayat bahwa Imam Mahdi gaib supaya tidak ada baiat yang menggelayut di pundaknya. [2]
B. Terkadang falsafah kegaiban Imam Mahdi dalam riwayat disebutkan supaya beliau selamat dari bahaya pembunuhan. [3]
A. Kemunculan Imam Mahdi nantinya adalah untuk mengubah dunia dan memperbaiki segala sesuatunya. Mencerabut akar peradaban yang berpijak di atas pemaksaan dan kepalsuan. Kemunculan Imam Mahdi kelak adalah untuk membangun sebuah tatanan peradaban baru. Hal ini mustahil dapat dilakukan kecuali manusia telah mengalami dan melihat dengan mata kepala sendiri ragam pemerintahan dan peradaban. Dengan menyaksikan langsung pelbagai kegagalan pemerintahan dan peradaban tersebut dalam merealisasikan seluruh cita dan asa umat manusia, mereka menantikan terbentuknya pemerintahan Imam Mahdi Ajf. Dengan demikian tersedia ruang dan waktu bagi manusia sehingga mereka telah siap menerima kemunculan pemerintahan Imam Mahdi Ajf.
Bagian kedua, yang berhubungan dengan masalah lain:
A. Ujian bagi para hamba Tuhan merupakan masalah yang dijelaskan sebagai falsafah dan hikmah kegaiban.
Imam Musa bin Ja'far as bersabda, "Tatkala putra kelima Imam Ketujuh (Imam Mahdi Ajf) gaib, jagalah agama kalian. Jangan biarkan ada orang lain yang mengeluarkan kalian dari agama. Wahai putraku! Shahib al-Amr (gelar lain Imam Mahdi Ajf) mau tak mau akan gaib sedemikian sehingga sebagian orang beriman akan murtad. Allah Swt akan menguji para hambanya dengan perantara kegaiban ini." [4]
B. Penantian Imam Mahdi Ajf merupakan faktor untuk membangun dan membina diri.
Penantian (intizhâr) merupakan masalah yang menemui maknanya dalam pembahasan kegaiban. Apabila Imam Mahdi tidak gaib, maka penantian tidak ada artinya. Penantian akan datangnya pemerintahan hak sejatinya terangkai dari dua unsur, penafian (nafi) dan penetapan (itsbât), yaitu, merasa muak dengan kondisi yang ada dan kerinduan serta harapan terhadap kondisi yang lebih baik. Apabila dua sisi ini kokoh bersemayam pada diri dan jiwa manusia, maka hal ini akan menjadi sumber dua manfaat antara lain: Pertama, meninggalkan segala jenis korporasi dan koordinasi dengan pelbagai unsur kezaliman dan kerusakan (fasad). Kedua, menarik berbagai persiapan material dan spiritual untuk membentuk satu pemerintahan universal. Keduanya merupakan faktor penggerak dan pembangun manusia. Atas dasar itu, penantian Imam Zaman dipandang sebagai ibadah." [5] Para penanti laksana orang-orang yang berdiri di bawah panji Imam Mahdi Ajf. [6]
Penantian merupakan revolusi yang tidak memberikan tempat bagi para pendosa dan kaum tiran. Hal ini meniscayakan bahwa para penanti sedemikian membangun jiwanya sehingga tidak tergolong dalam barisan pendosa dan kaum tiran. Apabila masalah ini ditambahkan dengan riwayat yang menjelaskan bahwa pada masa kegaiban, Imam Zaman Ajf secara berketerusan mengawasi dan memonitor kondisi para pengikutnya dan setiap minggunya melakukan pengawasan pada kondisi para pengikutnya. [7] Dari sini dapat disimpulkan bahwa pengaruh edukasi keyakinan kepada imam yang hidup dan hal ini tidak bermakna bagi imam yang baru akan lahir di masa datang dan membentuk pemerintahan tunggal semesta.
C. Penantian di samping membuat orang membina diri dan jiwanya juga akan membangun masyarakat. Penantian berfaidah secara personal juga bermanfaat secara sosial. Karena itu, program yang kita nantikan bukanlah pribadi, karena itu penanti sejati juga tetap berusaha untuk memperbaiki orang lain.
D. Penanti sejati tidak hanya tidak berputus asa dengan menyebarnya kejahatan, melainkan ia melihat dirinya sampai pada tujuan, karena itu ia tidak akan larut dan tenggelam dengan menyebarnya kejahatan. [8]
Kendati tiadanya putus asa dan tidak leburnya pada kejahatan dengan asumsi lahirnya Imam Zaman Ajf pada masa yang ditentukan dapat digambarkan, namun jelas bahwa dengan asumsi hidupnya beliau dan seterusnya dua pengaruh ini semakin luas dan semakin berketerusan.
Keberkahan Adanya Imam Mahdi Ajf pada Masa Kegaiban
1. Berseminya harapan: Keyakinan kepada imam yang hidup yang diharapkan sewaktu-waktu dapat muncul adalah sebagaimana hidupnya seorang panglima di medan perang yang menjadi penyebab munculnya harapan kemenangan di antara prajurit.
2. Manfaat tarbiyah dan pembinaan diri. Sebagaimana yang telah dijelaskan, dengan memerhatikan pengawasan yang dilakukan oleh Imam Zaman Ajf pada setiap minggunya terkait dengan seluruh perbuatan, tentu hal ini akan menyisakan pengaruh khusus pada diri setiap orang. Karena sebagian ayat seperti, Dan beramallah, maka Allah Swt akan menyaksikan perbuatanmu, dan Rasul-Nya dan orang-orang beriman (QS Al-Taubah [9]:106) dan banyak riwayat yang berkisah tentang penunjukan seluruh perbuatan baik orang-orang saleh dan para pendosa (di hadapan para maksum). Hal ini tentu akan meniscayakan adanya perhitungan (muhâsabah) dan pengawasan (murâqabah) atas seluruh perbuatannya. Orang-orang beriman yang menanti, memandang diri dan seluruh amal perbuatannya hadir di hadapan sosok mulia ini. Mukmin penanti tentu akan merasa takut jangan sampai membuat sosok mulia ini kecewa dan bersedih hati atas perbuatan yang dilakukannya atau tidak mendapat perhatian khusus beliau. Dengan demikian, ia akan menjaga seluruh amal dan perbuatannya. Ia akan berupaya keras untuk lebih mendekat dan menarik perhatian Imam Zaman dengan mempersiapkan dan membina dirinya semaksimal mungkin. [9]
3. Menjaga ajaran Ilahi: Amirul Mukminin Ali as, dalam sabdanya yang penuh cahaya dan ringkas, menegaskan keharusan adanya para pemimpin Ilahi pada setiap masa dan zaman: "Iya.. Sekali-kali bumi tidak akan pernah kosong dari orang-orang yang memelihara hujah Allah, baik secara terbuka dan terkenal ataupun, laten dan tersembunyi, agar hujah dan bukti-bukti Allah tidak disangkal." [10]
Dengan berlalunya waktu dan bercampurnya seluruh kecenderungan, pemikiran pribadi seseorang pada masalah-masalah keagamaan, bermunculannya bid'ah dan terulurnya tangan-tangan para perusak terhadap konsep-konsep keagaman, hilanglah sebagian keutamaan dan pelbagai perubahan yang diinginkan justru terbukti merugikan.
Air segar wahyu telah diturunkan dari langit, dengan melintasi pelbagai pikiran, secara perlahan menjadi kelam dan gelap. Nilai petunjuk yang ditawarkannya telah sirna. Cahaya benderang wahyu ini, dengan melintasi kaca-kaca kegelapan pikiran, semakin kehilangan warna. Pendeknya, sedemikian orang-orang dungu dan jahil, dan bid'ah yang muncul dalam agama Ilahi sehingga untuk mengenal bentuk aslinya setiap orang akan berhadapan dengan selaksa kesulitan.
Dengan kondisi sedemikian, apakah tidak urgen, di kalangan Muslimin muncul seseorang yang menghidupkan konsep-konsep perennial Islam dalam bentuk aslinya dan menjaganya untuk masa depan umat manusia? Namun apakah wahyu samawi kembali akan turun kepada seseorang? Tentu saja tidak! Gerbang wahyu telah tertutup selama seiring berakhirnya silsilah kenabian (khâtamiyyah). Maka itu, bagaimana ajaran orisinal Islam tetap terjaga dalam bentuk aslinya dan mencegah pelbagai penyimpangan, perubahan dan khurafat serta memelihara ajaran samawi ini bagi generasi-generasi mendatang. Apakah masalah ini tidak dapat diselesaikan kecuali dengan media seorang Imam Maksum, baik secara terbuka dan terkenal, atau tersembunyi dan laten? (Agar hujah dan bukti-bukti Allah tidak disangkal). [11]
4. Pembinaan satu kelompok elit: Imam Zaman Ajf pada masa kegaiban adalah laksana surya di balik awan. [12] Keberadaan surya di balik awan tidak bermakna bahwa makhluk hidup tidak mendapatkan manfaat darinya. Atau sang surya tidak memberikan manfaat. Di antara keberkahan Imam Zaman pada masa kegaiban adalah bahwa sekelompok orang dapat melesak ke atas awan secara langsung mengambil manfaat dari sinar surya dan secara perlahan di bawah pancaran langsung surya ini ia membina dan membangun dirinya.
5. Penetrasi ruhani (pengajaran takwini melalui wilâyah takwini). Imam Zaman Ajf adalah sosok yang tiada bandingannya sehingga membuat orang-orang akan siap sedia di mana pun mereka berada, mereka tersedot pengaruh magnet khusus energi kuat dan pribadinya yang serba meliputi. Melalui jalan ini, Imam Mahdi Ajf dapat dengan langsung membina jiwa-jiwa mereka, meski jiwa-jiwa tersebut tidak begitu mengetahui perkara ini.
Imam Ajf dari sudut pandang batin memiliki wilâyah (otoritas) atas seluruh perbuatan manusia dan apa yang terkait dengan batin dan hakikat petunjuk (hati-hati dan seluruh perbuatan) adalah tersingkap bagi Imam Ajf. Karena itu, baik dan buruk hadir di sisinya. Jalan kebahagiaan dan penderitaan berada di bawah kekuasannnya. Karena itu, maqam imamah senantiasa disertai bimbingan (hidâyah). Dan bimbingan ini tidak bermakna sekedar menunjukkan jalan melainkan menyampaikan pada tujuan (ishâl ilal mathlûb). Karena menunjukkan jalan, menyampaikan pada tujuan, menyeru manusia kepada Tuhan merupakan pekerjaan seluruh nabi dan orang beriman. [13]
6. Tujuan penciptaan: Tujuan penciptaan laksana taman yang rimbun dan asri yang manusia merupakan pepohonan di taman ini. Mereka yang berada pada lintasan kesempurnaan adalah pepohonan dan cabang-cabang yang lebat dan dedaunan dari taman ini. Tujuan menyiram taman ini adalah supaya pepohonan menghasilkan buah bukan ilalang liar "Inna al-ardha yaritsuha 'ibadiya al-shalihun." (Sesungguhnya hamba-hamba-Ku yang saleh (akan) mewarisi bumi ini, (QS Al-Anbiya [21]:105) Apabila suatu hari, seluruh pepohanan menjadi kering dan orang-orang saleh dicerabut dari muka bumi, maka tidak tersisa lagi alasan untuk menyiram dan memberikan emanasi terhadap taman ini. Dan imam maksum, karena merupakan manusia sempurna, adalah simbol kelompok orang-orang saleh dan tujuan utama penciptaan. Karena itu mereka yang menjadi objek wicara hadis, "laulaka lama khalaqtu al-aflak" (Sekiranya kalau bukan karena kalian [Ahlulbait] maka sekali-kali aku tidak akan menciptakan semesta). [14] Atau dijelaskan, "Lau baqiyat al-ardhu bighair al-imam lasakhat." (Sekiranya bumi tersisa tanpa imam maka ia akan hancur." [15] Atau, "Biyumnihi razaq al-wara wa biwujudihi tsabatat al-ardhu wa al-sama." [16] Artinya, dengan perantara keberkahan wujud Hujjah Ilahi sehingga manusia memperoleh rezeki dan lantaran keberadaannya sehingga bumi dan langit tetap tegak."
7. Media emanasi: Dalam ranah ilmu irfan disebutkan bahwa Allah Swt (al-Haqq) berada pada tataran wahdat (Kesatuan) dalam makam penampakan-penampakan zati. Dan pada penampakan-penampakan katsrat, Dia menampilkan entifikasi-entifikasi (ta'ayyunât) khusus. Akan tetapi, wahdat tersebut tanpa katsrat dan katsrat tanpa wahdat hakiki. Karena itu keduanya memerlukan tajalli (penjelmaan) ketiga yang dapat menampilkan maqam yang menghimpun di antara keduanya (jamak) dan menampilkannya secara rinci. Tajalli ketiga tersebut adalah terminal antara alam rububiyah dan ubudiyyah; penghimpun antara Hak dan khalq (ciptaan). Dari satu sisi, berkenaan dengan alam natural (alam katsrat) dan dari sisi lain bertautan dengan alam wahdat (kesatuan), yaitu menjadi sebuah media di antara dua alam ini. Manusia sempurna (insan kamil) yang objek nyatanya adalah para imam maksum as, memiliki dua hubungan ini. Dan, atas dasar ini, mereka adalah media emanasi (faydh) bagi kita (katsrat mahdh) dan manifestasi rububiyah Tuhan. Dan apabila disebutkan bahwa: "Bihim yarzuqunaklah 'ibadahu wa bihim yunzilu al-qatra min al-sama wa bihim tukhriju barakat al-ardh." (Melalui perantara mereka Allah Swt menganugerahi rezeki kepada para hamba-Nya, dan menurunkan tetesan hujan dari langit serta mengeluarkan segala keberkahan bumi" [17], maka ucapan ini bukan merupakan pepesan kosong semata dan ucapan hiperbola. Dengan memerhatikan maqam ini, Imam Shadiq as bersabda, "Nahnu al-Asma al-husna" [18], kami adalah seluruh nama indah Tuhan. Dengan demikian, berlangsungnya mekanisme penciptaan dan penganugerahan emanasi (faydh) kepada selain Tuhan, petunjuk, tarbiyah dan pembinaan diri manusia dan seterusnya hanya dapat ditelusuri pada sosok imam yang hidup dan segenap makhluk mendapatkan manfaat dari keberadaannya serta melepaskan dahaga seluruh makhluk. [IQuest]
Catatan Kaki:
[1] Bihâr al-Anwâr, jil. 52, hal. 91.
[2] Bihâr al-Anwâr, jil. 51, hal. 152.
[3] Itsbât al-Hidâyah, jil. 6, hal. 437. Silahkan lihat, Dâdgastari-ye Jahân, hal. 146-149.
[4] Bihâr al-Anwâr, jil. 51, hal. 113.
[5] Bihâr al-Anwâr, jil. 52, hal. 122.
[6] Silahkan lihat, Hukûmat-e Jahâni Mahdi Ajf, Makarim Syirazi, hal. 99-101.
[7]Tafsir Burhan, terkait dengan ayat 105, surah al-Taubah; al-Qiyadat fi al-Islam, Rei yahri, hal-hal. 84-85.
[8] Silahkan lihat, Hukumat-e Jahani Mahdi Ajf, hal. 101-113
[9] Silahkan lihat kitab-kitab tafsir terkait ayat 106 surah al-Taubah; Al-Mizan, jil. 9, hal. 85; Tafsir Burhan, jil. 2, hal. 158; Ushûl al-Kâfî, jil. 1, hal. 219-220.
[10] Nahj al-Balaghah, Kalimat Hikmah, 147; Mizân al-Hikmah, jil. 1, hal. 167. Silahkan lihat juga, Ushûl Kâfî, jil. 1, hal. 178-180.
[11] Dari khotbah 146 Nahj al-Balâghah dapat disimpulkan bahwa Imam Zaman ajf akan berusaha membela Islam. Silahkan lihat, Hukumat-e Jahani Mahdi, ajf, Makarim Syirazi, hal. 226-229.
[12] Bihâr al-Anwâr, cetakan lama, jil. 13, hal. 129.
[13] Al-Mizân, jil. 1, hal. 275-276; Syiah dar Islâm (Shite in Islam), hal. 256, bagian keenam ihwal Makrifat Imam. Untuk telaah lebih jauh terkait pengaruh wilayah takwini dalam memandu dan memberikan petunjuk kepada manusia silahkan lihat, kitab al-Qiyâdah fii al-Islâm, Rey Syahri, hal. 74-78. Dengan menyebutkan sebuah riwayat dari kitab Ushûl Kâfî, jil. 1, hadis pertama, hal. 194, penulis berkata, "Surya di samping pendaran cahaya materialnya berpengaruh dalam menyempurnakan materi demikian juga surya maknawi (spiritual). Al-Qiyâdah fii al-Islâm, hal. 80.
[14] Hukûmat-e Jahâni Mahdi, hal. 268-269.
[15] Al-Kâfî, jil. 1, hal. 179; Mizân al-Hikmah, jil. 1, hal. 168.
[16] Hukumat-e Jahani Mahdi, hal. 268-269.
[17] Bihâr al-Anwâr, jil. 23, hal. 19.
[18] Nur al-Tsaqalaîn, jil. 2, hal. 103; Ushûl al-Kâfî, Kitab Tauhid, hadis 4.
MENGAPA IMAM MAHDI AF TIDAK SEGERA MUNCUL?
pengarang : ayatullah jafar subhani
Sumber : hauzahmaya.com
Kenapa Imam Mahdi af tidak segera muncul?
Rencana Imam Mahdi af jauh berbeda dengan rencana para nabi as, rencana beliau bukan perundang-undangan, melainkan rencana yang sepenuhnya operasional untuk seluruh dunia. Dengan kata lain, misi beliau adalah menerapkan seluruh pokok ajaran Islam di dunia dan menyebarkan keadilan serta hakikat kebenaran di tengah umat manusia. Terang saja pelaksanaan rencana revolusi global yang menyebarkan prinsip-prinsip keadilan dan hakikat kebenaran untuk seluruh umat manusia ini menuntut sarana, prasarana dan kondisi tertentu, dimana semua itu tidak mungkin terpenuhi kecuali setelah waktu yang cukup lama dan tercapainya kesempurnaan-kesempurnaan tertentu pada seluruh aspek kehidupan sosial manusia. Antara lain yang harus terpenuhi adalah:
1. Kesiapan Ruh
Pada tahap awal, masyarakat dunia harus betul-betul haus dan siap untuk menerapkan prinsip-prinsip itu, selama belum ada permintaan global maka penawaran dan pemaparan program material dan spiritual apa pun tidaklah efektif. Asas permintaan dan penawaran tidak hanya berlaku dalam sistem kehidupan ekonomi, tapi berlaku juga pada penawaran rencana¬rencana spiritual, prinsip-prinsip moral, ideologi politik dan revolusioner, maka selama di dalam kalbu masyarakat yang paling dalam belum ada permintaan untuk itu maka penawaran dan pemaparannya secara luas akan berujung pada kekalahan dan tidak efektif.
Imam Muhammad Baqir as berkata, ‘Pada hari Al Qaim dari keluarga suci Nabi Muhammad Saw bangkit, Allah Swt meletakkan tangan-Nya di atas kepala hamba-hamba-Nya, dengan demikian akal-akal mereka terpadu dan perasaan mereka menjadi sempuma.’[1]
Terang saja laju zaman, kekalahan undang-undang materialis, kebuntuan-kebuntuan global, dan keterdesakan umat manusia sampai pada bibir jurang peperangan membuat masyarakat dunia terhimpit dan sadar akan kenyataan bahwa prinsip-prinsip dan undang-undang materialis serta organisasi-organisasi internasional bukan saja tidak mampu menyelesaikan berbagai kendala kehidupan mereka dan menegakkan keadilan. Lebih dari itu, keterhimpitan dan keputusasaan ini mempersiapkan masyarakat dunia untuk menerima sebuah revolusi yang fundamental. Tentu kita sadar bahwa hal ini butuh waktu panjang, sehingga pengalaman-pengalaman pahit kehidupan akan membuktikan kegagalan seluruh sistem materialis dan organisasi-organisasi manusia dalam menerapkan prinsip-prinsip keadilan, menegakkan kebenaran, dan menjamin keamanan serta kesejahteraan. Pada akhirnya, akibat keputusasaan yang mendalam muncullah permintaan dari masyarakat dunia untuk merealisasikan nilai-nilai Ilahi dan dengan demikian, terpenuhilah seluruh hal yang diperlukan untuk sebuah revolusi global dengan kepempimpinan manusia yang Ilahi.[2]
2. Kesempumaan Ilmu dan Budaya Manusia
Di sisi lain, untuk mendirikan pemerintahan global atas dasar keadilan sangat diperlukan berbagai kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan budaya sosial manusia. Dan tentu saja ini juga tidak akan tercapai dalam waktu singkat dan tanpa kemajuan intelektual.
Pemerintahan global, yang menegakkan keadilan dan undang-undang di seluruh dunia sehingga setiap orang mendapatkan hak-hak individual dan sosialnya, tidak mungkin didirikan tanpa adanya budaya yang maju dan sempurna di setiap aspek kehidupan manusia. Dan ini juga butuh waktu untuk tercapai.
3. Kemajuan Media Komunikasi Massa
Pemerintahan yang seperti itu juga tidak bisa ditegakkan tanpa media komunikasi massa yang maju, karena hanya dengan media yang maju undang-undang dan prinsip-prinsip insani dapat diumumkan dalam waktu singkat ke seluruh masyarakat dunia, dan ini tidak mungkin dilakukan tanpa kemajuan industri dalam kurun waktu yang relatif lama.
4. Pembinaan Sumber Daya Manusia
Di samping itu semua, tujuan besar dan revolusi global tersebut membutuhkan sumber daya manusia yang aktif dan produktif, merekalah yang sebenamya akan menjadi pasukan revolusi global. Pembinaan bala tentara dan sumber daya manusia yang bersih serta rela mengorbankan segala sesuatu demi tujuan besar itu tentu saja butuh waktu yang lama.
Bila di dalam hadis-hadis kita membaca bahwa filosofi kepanjangan masa gaib Imam Mahdi af adalah cobaan terhadap umat manusia, mungkin maksudnya adalah sumber daya manusia ini. Sebab, cobaan menurut logika Islam bukan berarti cobaan-cobaan yang biasa atau penyingkapan hal-hal yang tersembunyi, melainkan maksudnya adalah pembinaan ruh atau mental-mental suci serta pelatihan yang maksimal.
Empat hal ini membutuhkan waktu yang relatif panjang sehingga dari berbagai sisi dunia sudah mengalami kemajuan dan masyarakat sudah mempunyai kesiapan mental, ruh dan intelektual untuk menerima pemerintahan global berdasarkan hak dan keadilan. Ketika itulah rencana besar di atas akan dilaksanakan oleh Imam Mahdi af dengan sarana dan prasarananya yang khas. Inilah sekelumit dari filosofi gaibnya beliau.
CATATAN :
[1] Al-Kafi, jld. 1, hal. 25, kitab Al-‘Aql, hadis no. 21.
[2] Salah satu tanda kebangkitan Imam Mahdi af yang disepakati oleh hadis-hadis Islam adalah kezaliman telah memenuhi seluruh kehidupan umat manusia sehingga keputusasaan mendominasi mereka semua. Dan pada hakikatnya, begitu kuatnya tekanan kezaliman itu sehingga secara mental umat manusia mengharapkan terjadinya revolusi baru yang dalam dan mendasar serta dipimpin oleh manusia Ilahi.
MENGAPA IMAM MAHDI TIDAK HADIR DI TENGAH-TENGAH UMAT MANUSIA?
pengarang : aytullah Ja’far Subhani
Sumber : huazahmaya
Sumber : huazahmaya
Kenapa Imam Mahdi af tidak hadir di tengah masyarakat sebagaimana imam-imam yang lain?
Gaibnya Imam Mahdi af adalah salah satu rahasia Ilahi yang boleh jadi kita tidak dapat mengetahui hakikat yang sebenarnya di balik itu. Walau pun sementara tapi para pemimpin Ilahi yang sebelumnya juga pernah gaib dari umat mereka, seperti Nabi Musa bin Imran as yang gaib dari umatnya selama empat puluh hari di Miqat.[1] Nabi Isa Al Masih as juga dengan kehendak Allah Swt gaib dari umatnya sehingga musuh-musuh jahat tidak berhasil membunuhnya.[2] Begitu pula dengan Nabi Yunus as, beliau sempat gaib dari umatnya.[3]
Pada prinsipnya, setiap hal yang terbukti oleh riwayat mutawatir tapi manusia tidak mampu untuk mengetahui rahasia di balik hal itu secara sempurna tidak sewajarnya untuk diragukan atau pun diingkari, karena jika cara seperti ini diperkenankan maka akan banyak sekali hukum Allah Swt yang diragukan atau diingkari padahal termasuk hal-hal yang pasti menurut agama Islam. Gaibnya Imam Mahdi af juga tidak terkecualikan dari prinsip ini, ketidaktahuan akan rahasia yang sebenarnya di balik kenyataan ini tidak seyogianya dijadikan alasan oleh siapa pun untuk meragukan atau mengingkari kenyataan tersebut. Kendati demikian, rahasia di balik kegaiban beliau dapat diraba sesuai kemampuan berpikir manusia.
Imam Mahdi af hujjah Ilahi terakhir yang dipersiapkan untuk merealisasikan cita-cita besar -tegaknya keadilan dan berkibarnya panji kebenaran di seluruh dunia-. Cita-cita besar ini butuh waktu yang lama, perkembangan akal dan ilmu serta kesiapan ruh umat manusia, karena dengan demikian dunia mampu menjadi lahan yang tepat bagi imam keadilan dan kebebasan. Kemunculan dini beliau tentu saja tidak bisa menjanjikan kebangkitan yang global dan komprehensif, sebab jika beliau muncul di tengah masyarakat sebelum sarana dan prasarananya terpenuhi niscaya beliau akan bernasib seperti hujjah-hujjah Allah Swt yang sebelumnya, beliau akan mati syahid dan meninggalkan dunia ini sebelum cita-cita besar itu tercipta.
Para imam suci as juga telah menyinggung rahasia ini di dalam hadis yang diriwayatkan dari mereka. Antara lain, Imam Muhammad Baqir as berkata, ‘Imam Mahdi Al Qaim akan gaib dari umatnya sebelum kemudian muncul di tengah mereka.’ Perawi menanyakan hikmahnya dan beliau menjawab, ‘Supaya tidak terbunuh.’[4] Selain itu, sebagian hadis menyebutkan cobaan bagi umat manusia sebagai rahasianya; dengan kata lain, di masa gaibnya Imam Mahdi af, umat manusia senantiasa diuji coba oleh Allah Swt sehingga tingkat keteguhan mereka dalam iman dan akidah terbukti nyata.[5]
Singkat kata, Imam Mahdi af adalah washi Ilahi yang diciptakan untuk menyempurnakan umat manusia dari segala sisi dan menegakkan satu pemerintahan Ilahi. Cita-cita ini akan tercapai ketika mereka mempunyai kesiapan untuk menyambut kedatangan hujjah Ilahi ini, jika tidak maka kemunculan beliau di tengah masyarakat tidak lain akan menyebabkan kesyahidan beliau sebelum tercapainya cita-cita tersebut. Karena itu, beliau hidup di balik tabir kegaiban, walau pun beliau hidup di tengah masyarakat dan mereka melihatnya tapi mereka tidak mengenali siapa beliau yang sebenamya, dengan demikian beliau terselamatkan dari sengatan musuh-musuh kebenaran dan keadilan.
Lebih dari itu, mengingat bahwa pemerintahan beliau bersifat global dan realisasinya tergantung sekali pada situasi serta kondisi tertentu yang tidak tersedia pada waktu beliau lahir ke dunia, maka tidak mau tidak beliau gaib sampai kelaziman-kelaziman itu terpenuhi.
CATATAN :
[1] QS. Al-A’raf [7]: 142.
[2] QS. Al-Nisa’ [4]: 158.
[3] QS. Al-Shaffat [37]: 140.
[4] Kamal Al-Din, Syaikh Shaduq, bab 14, hadis no. 8, 9, dan 10.
[5] Bihar Al-Anwar, Majlisi, jld. 52, hal. 102, 113 dan 114, bab Al-Tamhish wa Al-Nahy ‘an Al-Tauqit.
APAKAH IMAM MAHDI LEBIH MAMPU TEGAKKAN KEADILAN DIBANDING PARA IMAM YANG LAIN?
Sumber : shabestan.ir
Isu seputar Imam Mahdi as menjadi sebuah tema yang tidak pernah usang. Semua orang dengan otak dan benak yang berbeda-beda sering melontarkan isu-isu dan kritik pedas berkenaan dengan prinsip penting dalam ajaran Islam ini.
Salah satu yang bisa dinilai masih baru adalah Imam Mahdi as lebih mampu menegakkan keadilan dibandingkan dengan para nabi dan imam maksum yang lain. Ini bisa kita simpulkan dari banyak hadis yang mengutarakan masalah ini. Yamla’ul ardho qisthan wa ‘adlan kama muli’at zhulman wa zawron adalah salah satu contoh nyata atas masalah ini.
Mari kita simak jawaban Hujjatul Islam wal Muslimin Dr. Jawad Ja’fari seputar isu ini:
Yang menjadi masalah penting bukanlah masalah kemampuan Imam Mahdi as dan para nabi serta para imam maksum as yang lain. Mereka secara prinsip memiliki kemampuan esensial (dzati) untuk menegakkan keadilan. Dari sisi ini, kita tidak bisa melakukan perbandingan dan membanding-bandingkan.
Masalah penegakan keadilan ini berada di luar masalah kemampuan. Masalah ini memiliki hubungan erat dengan dua unsur penting:
Pertama, keberadaan para penolong yang siap berkorban.
Sebuah program akan dapat dilaksanakan dengan baik apabila pelaksana program ini memiliki para penolong setia yang selalu siap berkorban. Mungkin saja seorang pemimpin telah menyusun sebuah program ideal, tetapi tidak ada orang yang mau melaksanakannya. Ini tidak ada hubungannya dengan kemampuan pemimpin ini, tetapi kegagalan ini lantaran tidak ada orang yang siap mematuhi perintahnya.
Kedua, faktor sosial yang membantu. Mungkin saja seorang pemimpin memiliki kemampuan kokoh dan juga para penolong yang siap berkorban. Tetapi masyarakat secara umum tidak siap menerima program yang telah disusun oleh sang pemimpin; entah karena mereka tidak menginginkan pemimpin itu atau karena tidak bisa memahami program yang ingin dijalankan olehnya.
Pada saat kemunculan Imam Mahdi as, beliau memiliki dua faktor pembantu ini, dan untuk itu, seluruh program keadilan yang ingin ditegakkan memiliki pembeli.
313 PASUKAN IMAM MAHDI AS
Sumber : hauzahmaya.com
Dalam banyak riwayat dijelaskan bahwa Imam Mahdi as senantiasa menanti kedatangan 313 pasukannya di dekat Ka’bah. Mereka adalah orang-orang pertama yang akan membai’at beliau. Setelah mereka berkumpul, dimulailah perjuangan sang Imam. Mereka adalah pembawa bendera beliau dan orang-orang yang telah dinobatkan untuk menjadi pemimpin di seluruh penjuru dunia. Mari kita menyimak dialog tentang 313 pasukan ini:
Penanya: “Tolong bacakan riwayat tentang 313 pasukan Imam Mahdi as.”
Alim: “Banyak sekali riwayat dengan ungkapan yang bermacam-macam tentang masalah ini. Jumlahnya sekitar puluhan hadits, yang dapat dianggap sebagai hadits yang mutawatir.
Dalam tafsir ayat ke-80 surah Huud dijelaskan bahwa nabi Luth as berkata kepada kaumnya yang zalim:
“Seandainya aku ada mempunyai kekuatan atas kalian semua atau kalau aku dapat berlindung kepada ‘rukun’ (keluarga) yang kuat (tentu aku lakukan sesuatu terhadap diri kalian).” (QS Huud:80)
Imam Ja’far Shadiq as berkata, “Maksud kekuatan dalam ayat itu adalah Al Qaim, Imam Mahdi as. Adapun rukun yang kuat maksudnya adalah 313 pasukan beliau.”[1]
Dalam riwayat yang lain disebutkan, Imam Baqir as pernah berkata, “Seakan aku menyaksikan 313 pasukan itu datang dari Najaf Kufah,[2] seakan hati mereka bagai potongan baja.”[3]
Penanya: “Apakah sampai detik ini masih belum ada 313 orang yang menjadi sahabat setia Imam Mahdi as?
Sehingga beliau dapat ditampakkan dan tampil menyelamatkan umat manusia?”
Alim: “313 orang itu memiliki beberapa kriteria khusus yang rasanya dunia masih belum layak untuk mempersembahkan segelintir manusia seperti mereka.”
Penanya: “Misalnya seperti apa kriteria itu?”
Alim: “Misalnya, Imam Sajjad as berkata, “Saat Imam Mahdi as berdiri mengumumkan kepada orang-orang Makkah bahwa ia adalah Al Mahdi dan meminta mereka untuk bergabung bersamanya, segerombolan musuh bangkit berusaha membunuhnya. Lalu dengan segera 313 orang berusaha menyelamatkan beliau dari bahaya.”[4]
Dalam riwayat-riwayat lainnya disebutkan pula tentang mereka: “Allah akan mengumpulkan mereka di Makkah bagai awan-awan di musim gugur.”[5] Yakni maksudnya mereka datang ke Makkah dengan cepat.
Imam Ja’far Shadiq as berkata, “Seakan aku melihat Al Qaim berada di mimbar Kufah dan di kelilingi oleh 313 pasukannya, yang sejumlah dengan pasukan nabi di perang Badar. Mereka adalah para pembawa bendera dari sisi Allah untuk memimpin umat manusia di muka bumi.”[6]
Jadi, 313 pasukan itu adalah orang-orang spesial yang jika sekiranya dunia dibagi menjadi 313 bagian, mereka harus merupakan orang-orang yang layak dan mampu menjadi pemimpin di tiap bagian itu. Mereka harus memiliki perangai-perangai khusus seperti keilmuan, keberanian, dan semua nilai-nilai yang dijunjung Islam.
Menurut sebagian orang, misalnya, salah satu dari 313 pasukan itu mungkin seperti Imam Khumaini dengan segala perangai dan kriteria yang dilimilikinya, yang menjadi pemimpin untuk Iran. Itu baru satu orang.
Kalau ada 313 orang seperti itu, baru kedatangan Imam Mahdi as dapat terdukung.”
Penanya: “Jadi orang-orang dengan kriteria seperti itu harus ada di muka bumi agar dapat mendukung kedatangan beliau, sebagaimana nabi yang membutuhkan dukungan dari sahabat-sahabat setianya yang pintar, berani dan cerdas. Tolong jelaskan lebih lanjut lagi, karena pembahasan ini begitu menarik.”
Alim: “Kita pernah membaca ayat 148 surah Al Baqarah yang berbunyi:
“Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian.” (QS Al Baqarah: 148)
Setelah membacakan ayat itu, Imam Ja’far Shadiq as berkata, “Yang dimaksud adalah sahabat-sahabat Imam Mahdi as yang berjumlah 313 orang. Sumpah demi Allah, umat segelintir itu adalah mereka. Sungguh mereka akan berkumpul dalam sesaat, seperti awan-awan musim semi yang tertiup angin kencang hingga berkumpul di suatu tempat.”[7]
Dijelaskan juga dalam riwayat bahwa mereka akan datang ke Makkah dari pelosok kota dan desa yang jauh sekali.[8] Lalu Imam Mahdi as menanti mereka di Dzi Tuwa, suatu tempat yang tak jauh dari Ka’bah.[9]
Mereka adalah orang-orang pertama yang membai’at Imam Mahdi as.[10]
Imam Sajjad as berkata, “Seakan aku melihat mereka datang dari Kufah. Jibril di sisi kanan mereka, Mikail di sisi kiri dan Israfil di depan mereka. Mereka mengibarkan bendera Rasulullah saw dan sama sekali tidak mencondongkan bendera-bendera itu ke arah musuh-musuh Allah kecuali Allah akan menghacurkan mereka.”[11]
Penanya: “Mengapa hanya lelaki yang disinggung mengenai hal ini, apakah perempuan tidak berperan sebagai pendukung beliau?”
Alim: “Masalahnya karena awal mula kebangkitan ini berkaitan langsung dengan perjuangan, pertahanan dan perang, yang identik dengan kaum lelaki. Tentu para wanita di balik medan peperangan berperan penting dalam mendukung Imam dan pasukan-pasukannya.
Bahkan ada riwayat yang secara langsung menjelaskan kehadiran para wanita sebagai pendukung beliau.
Misalnya Imam Baqir as pernah berkata, “Sungguh akan datang tiga ratus dan beberapa orang pasukan yang di antara mereka ada lima puluh perempuan. Mereka datang bagai kedatangan awan-awan musim gugur.”[12]
Pernah diriwayatkan dari Mufadhal bahwa Imam Ja’far Shadiq as berkata, “Ada tiga belas perempuan berasama Al Mahdi.” Mufadhal bertanya, “Apa yang dilakukan perempuan-perempuan itu?” Beliau menjawab, “Mereka mengobati orang-orang yang terluka dan merawat mereka.
Sebagaimana yang dilakukan oleh para wanita di jaman nabi saat itu.”[13]
Penanya: “Bukankah sejumlah sahabat itu sedikit sekali jika kita lihat betapa besar perjuangan yang harus dijalankan oleh Imam Mahdi as?”
Alim: “Mereka adalah orang-orang spesial di permulaan perjuangan Al Mahdi as.
Dalam riwayat disebutkan: “313 orang itu adalah manusia Ilahi yang membai’at Imam Mahdi as di antara Hajar Aswad dan Maqam Ibrahim. Mereka adalah wazir beliau yang mengemban tugas amat berat negara-negara sedunia.”
Disebutkan juga: “Saat memenangkan Roma, pasukan Imam Mahdi meneriakkan takbir; dengan teriakan pertama sepertiga Roma akan dikuasai, lalu dengan teriakan kedua sepertiga lainnya pun dikuasai, lalu dengan takbir ketiga seluruh Roma bakal dikuasai.”[14]
Selain itu Imam Baqir as juga pernah berkata, “Akan ada tujuh puluh ribu hamba Allah dari Kufah yang tulus hatinya yang akan menjadi pendukung Imam Mahdi as.”[15]
CATATAN :
[1] Tafsir Al Burhan, jilid 2, halaman 288; Itsbatul Hudat, jilid 7, halaman 100.
[2] Pada waktu itu Najaf bukanlah kota terpisah, oleh karenanya sering dikenal dengan sebutan “suatu daerah di Kufah”.
[3] Biharul Anwar, jilid 52, halaman 343.
[4] Biharul Anwar, jilid 52, halaman 306.
[5] A’yanus Syi’ah, jilid 2, halaman 84.
[6] Biharul Anwar, jilid 52, halaman 326.
[7] Nurul Tsaqalain, jilid 1, halaman 139.
[8] Itsbatul Hudat, jilid 7, halaman 176.
[9] Ibid, halaman 92.
[10] Biharul Anwar, jilid 52, halaman 316.
[11] Itsbatul Hudat, jilid 7, halaman 113; A’yanus Syi’ah, jilid 2, halaman 82.
[12] Biharul Anwar, jilid 52, halaman 233; A’yanus Syi’ah, jilid 2, halaman 84.
[13] Itsbatul Hudat, jilid 7, halaman 150 dan 171.
[14] Al Majalis As Sunniyah, Sayid Muhasin Jabal Amili, jilid 5, halaman 711, 723 dan 724.
[15] Biharul Anwar, jilid 52, halaman 390.
RAHBAR : MASA IMAM MAHDI ADALAH MASA KEDAULATAN TAUHID DAN KEADILAN
Sumber : Islam Times
"Penantian berarti menanti kedatangan sosok manusia yang hidup dan hakikat yang pasti. Penantian seperti ini meniscayakan beberapa hal, diantaranya persiapan diri secara spiritual dan kejiwaan serta kondisi sosial yang sesuai dengan masa yang bakal terjadi dan kondisinya yang istimewa."
Ya Aba Shaleh, al Mahdi
Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Ayatollah al-Udzma Sayyid Ali Khamenei dalam pertemuan dengan para ulama, cendekiawan, penulis dan alumnus program ‘Mahdawiyah' menyebut ‘Mahdawiyah' sebagai masalah yang sangat penting, seraya menegaskan bahwa Mahdawiyah adalah tujuan dari gerakan dan perjuangan para nabi sepanjang sejarah.
Seraya menyatakan bahwa tema penantian tak bisa dipisahkan dari masalah ‘Mahdawiyah', beliau mengatakan, salah satu tugas penting yang mesti dilaksanakan terkait masalah ‘Mahdawiyah' adalah meningatkan pekerjaan yang mendalam, cermat dan kuat dengan melibatkan para pakar yang benar-benar menguasai masalah ini dan menghindari langkah-langkah yang dangkal, bodoh, tidak otentik dan hanya didasarkan oleh khayalan dan dugaan semata.
Di awal pembicaraannya, Ayatollah al-Udzma Khamenei menjelaskan signifikansi masalah ‘Mahdawiyah' sebagai isu paling mendasar dalam ajaran Islam, seraya mengungkapkan, tujuan gerakan para nabi dan pengutusan mereka adalah untuk membangun dunia yang dilandasi oleh tauhid dan keadilan dengan mengembangkan segala potensi yang dimiliki manusia. Masa ‘dhuhur' (kedatangan) Imam Mahdi (aj) adalah masa kedaulatan hakiki tauhid, spritualitas, agama, dan keadilan pada semua sisi kehidupan individu dan sosial umat manusia.
Pemimpin Besar Revolusi Islam menandaskan, tanpa ‘Mahdawiyah' semua kerja keras dan perjuangan para nabi tidak ada artinya.
Seraya menyinggung bahwa ‘Mahdawiyah' juga diyakini oleh semua agama Ilahi, beliau menambahkan, "Semua agama Ilahi secara umum meyakini akan hakikat ‘Mahdawiyah'. Akan tetapi dalam Islam ‘Mahdawiyah' adalah masalah keyakinan yang diterima secara penuh. Dan dari seluruh madzhab dalam Islam, Syiah meyakini masalah ‘Mahdawiyah' dengan rincian kriteria dan sosok pribadinya yang dinantikan itu sesuai dengan riwayat-riwayat sahih yang terdapat dalam literatur riwayat Syiah dan non-Syiah."
Rahbar lebih lanjut menjelaskan tentang prinsip ‘penantian' yang tidak bisa dipisahkan dari masalah ‘Mahdawiyah'. Beliau mengatakan, "Penantian berarti menanti kedatangan sosok manusia yang hidup dan hakikat yang pasti. Penantian seperti ini meniscayakan beberapa hal diantaranya persiapan diri secara spiritual dan kejiwaan serta kondisi sosial yang sesuai dengan masa yang bakal terjadi dan kondisinya yang istimewa."
Orang yang menanti, kata beliau, harus selalu memiliki, menjaga dan memperkuat sejumlah kriteria masa penantian, sehingga tidak menganggap bahwa masa penantian ini akan berlangsung sangat lama dan dari sisi lain tidak beranggapan bahwa masa itu sudah sangat dekat.
Pemimpin Besar Revolusi Islam mengenai kondisi di masa dhuhur Imam Mahdi mengatakan, masa dhuhur adalah masa kedaulatan tauhid, keadilan, kebenaran, ketulusan, dan penghambaan kepada Allah Swt. Karena itu seorang penanti harus selalu mendekatkan dirinya pada kriteria-kriteria tersebut dan tidak merasa puas dengan kondisi yang ada.
Beliau juga menekankan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mendalam dan ilmiah dalam masalah ‘Mahdawiyah'.
Ayatollah al-Udzma Khamenei menandaskan, salah satu bahaya besar dalam masalah ‘Mahdawiyah' adalah munculnya langkah-langkah yang dangkal, bodoh, tidak otentik dan didasari oleh khayalan dan dugaan semata. Hal seperti ini justeru akan memunculkan para pembohong dan menjauhkan masyarakat dari hakikat penantian yang sebenarnya.
Beliau menyinggung tentang kemunculan para pembohong dalam rentang sejarah yang menyebut diri sendiri atau orang-orang tertentu sebagai bagian dari tanda-tanda kedatangan al-Mahdi. "Semua klaim seperti itu salah dan menyimpang. Sebab, sejumlah hal yang disebut sebagai tanda ‘dhuhur' tidak otentik dan lemah, sementara hal-hal yang sah juga tidak mudah dicarikan objek penerapannya," kata beliau menjelaskan.
Pemimpin Besar Revolusi Islam mengingatkan bahwa isu-isu yang menyimpang justeru akan mengaburkan hakikat ‘Mahdawiyah' dan ‘penantian' yang sebenarnya. Karenanya, tindakan dan isu-isu bodoh seperti itu harus dihindari.
Beliau menambahkan, pekerjaan yang mendalam dan ilmiah dalam masalah ‘Mahdawiyah' adalah ruang kerja bagi para pakar yang menguasai ilmu Hadis dan ilmu Rijal serta mengenal berbagai masalah pemikiran dan filsafat secara sempurna.
Poin terakhir yang disinggung Ayatollah al-Udzma Khamenei dalam pembicaraannya adalah masalah hubungan dan tawassul dengan Imam Mahdi (aj). Beliau mengatakan, mengenal masalah ‘Mahdawiyah' dengan benar dan ilmiah akan membantu meningkatkan keakraban dengan Imam Mahdi (as) dan gerakan yang lebih cepat ke arah cita-cita yang mulia.
Rahbar menandaskan, dalam hal berhubungan dengan Imam Mahdi, yang harus dilakukan adalah hal-hal yang benar. Tawassul dengan Imam Mahdi dari jarak jauh pun insya Allah akan diterima oleh beliau. Namun ada sebagian klaim dan pernyataan dangkal yang menyebut hubungan dengan Imam Mahdi mesti dilakukan dengan kehadiran menghadap beliau, dan tentunya pernyataan ini biasanya tak lebih dari kebohongan atau sekedar khayalan.
Ayatollah al-Udzma Khamenei di bagian lain pembicaraannya mengapresiasi kerja keras panitia penyelenggaraan seminar ‘Mahdawiyah' sekaligus menyampaikan penghargaan kepada Hojjatul Islam wal Muslimim Mohsen Qaraati yang telah memberikan banyak pengabdian yang tulus di berbagai bidang khususnya dalam masalah shalat, zakat, tafsir al-Qur'an, Mahdawiyah dan pemberantasan buta huruf. "Bapak Qaraati adalah contoh yang sangat baik dan teladan yang ideal. Sebab beliau memfokuskan pengabdiaannya pada bidang-bidang yang dirasa kurang diperhatikan padahal sangat diperlukan. Semangat dan kerja keras ini memiliki nilai yang berlipat ganda," imbuh beliau.
Pemimpin Besar Revolusi mengingatkan bahwa pekerjaan yang didasari niat yang tulus dan untuk Allah akan mendatangkan pengaruh yang besar dalam kemajuan pekerjaan itu. Beliau juga menekankan untuk menindaklanjuti pekerjaan yang sudah dilaksanakan di berbagai bidang.
Di awal pertemuan, Hojjatul Islam wal Muslimin Qaraati menyampaikan laporan tentang kegiatan program pengentasan buta huruf, program lembaga Shalat, Lembaga Zakat, dan tafsir al-Qur'an. Mengenai program seminar ‘Mahdawiyah' Qaraati mengatakan, "Sampai saat ini tercatat 300 orang telah mengikuti program ini secara spesialisasi, dan kini sudah dibuat program pendidikan online, program jangka pendek, dan pelatihan guru yang berhubungan dengan ‘Mahdawiyah'.
Ditambahkannya, panitia juga menerbitkan triwulanan, mengoperasikan sejumlah situs dan membuat majalah online dengan tema ‘Mahdawiyah'.
SOLAT AWAL WAKTU, LANGKAH PERTAMA MEMBANGUN HUBUNGAN DENGAN IMAM MAHDI
Sumber : Shabestan
Untuk mendekatkan diri dengan Imam Mahdi as, kita harus memperhatikan modal-modal akhlak yang sangat ditekankan oleh beliau. Selanjutnya, kita juga harus mengembangkan modal-modal ini.
Begitu diungkapkan oleh Hujjatul Islam Muhammad Shadiq Kafil sorang peneliti bidang mahdawiah kepada wartawan Hauzah.
Salah satu modal penting yang sangat ditekankan oleh Imam Mahdi as adalah salat. Menurut Kafil, salat mengandung seluruh keindahan dan kebaikan. Imam Mahdi as sendiri sangat memperhatikan salat ini.
Dalam doa ziarah Al Yasin yang berasal dari Imam Mahdi as, barometer salam kita kepada beliau adalah salat. Menurut beliau, jika kita ingin membangun hubungan dengan beliau, maka kita harus membangun hubungan yang baik dengan salat.
Satu hal lagi yang sangat memperoleh perhatian Imam Mahdi as adalah salat awal waktu. Dalam 250 tahun sejarah para imam maksum Ahlul Bait as, kita tidak pernah mendengar bahwa mereka melakukan hal-hal di awal waktu salat.
Menjauhi dosa juga memiliki hubungan erat dengan salat. Jika kita semakin memiliki hubungan yang kuat dengan salat, maka kita akan semakin terjauhi dari setiap dosa dan kesalahan.
SEKILAS TENTANG MASJID SUCI JAMKARAN
Katakan kepada masyarakat untuk mencintai dan nmemuliakan tempat suci ini (Masjid Jamkaran). [1]
Masjid Jamkaran terletak tak jauh dari kota suci Qom, hari demi hari tempat yang satu ini selalu menyambut para penziarahnya yang datang tidak hanya dari seluruh penjuru Negeri Mullah Iran bahkan dari berbagai pelosok dunia. Masjid ini mendapat perhatian yang istimewa dari Imam Zaman as. Beliau sendiri mengharap para syiahnya untuk memuliakannya, karena tanah ini adalah tanah yang mulia yang dipilih oleh Allah SWT.
Oleh karena itu tidak berlebihan jika para penziarah menikmati dan merasakan berkah tempat ini melebihi tempat-tempat yang lain, dan hendaknya para penziarah tidak kehilangan rasa khusu’nya akibat masalah-masalah sepele dan sampingan. Dan yang lebih penting mereka harus sadar dan merasa kalau sedang berada di hadapan dan pantauan Imam Zaman as, begitu juga seyogyanya mereka menjauhi perbuatan-perbuatan yang dapat menyakiti hati lembut beliau as.
Perlu disebutkan di sini bahwa para ulama dan pecinta beliau telah mereguk anugerah dan berkah yang tidak sedikit dari masjid suci ini. Oleh karena itu pergunakanlah detik demi detik yang penuh berharga di tempat ini dengan munajat dan doa, dan jangan sampai lupa untuk memperbanyak doa kemunculan beliau. Karena tanpa diragukan lagi segala problematika akan segera lenyap jika beliau as berkenan muncul di atas dunia.
Masjid Jamkaran terletak tak jauh dari kota suci Qom, hari demi hari tempat yang satu ini selalu menyambut para penziarahnya yang datang tidak hanya dari seluruh penjuru Negeri Mullah Iran bahkan dari berbagai pelosok dunia. Masjid ini mendapat perhatian yang istimewa dari Imam Zaman as. Beliau sendiri mengharap para syiahnya untuk memuliakannya, karena tanah ini adalah tanah yang mulia yang dipilih oleh Allah SWT.
Oleh karena itu tidak berlebihan jika para penziarah menikmati dan merasakan berkah tempat ini melebihi tempat-tempat yang lain, dan hendaknya para penziarah tidak kehilangan rasa khusu’nya akibat masalah-masalah sepele dan sampingan. Dan yang lebih penting mereka harus sadar dan merasa kalau sedang berada di hadapan dan pantauan Imam Zaman as, begitu juga seyogyanya mereka menjauhi perbuatan-perbuatan yang dapat menyakiti hati lembut beliau as.
Perlu disebutkan di sini bahwa para ulama dan pecinta beliau telah mereguk anugerah dan berkah yang tidak sedikit dari masjid suci ini. Oleh karena itu pergunakanlah detik demi detik yang penuh berharga di tempat ini dengan munajat dan doa, dan jangan sampai lupa untuk memperbanyak doa kemunculan beliau. Karena tanpa diragukan lagi segala problematika akan segera lenyap jika beliau as berkenan muncul di atas dunia.
Asal Muasal Pembangunan Masjid Suci Jamkaran
Syekh Hasan bin Mitslih Jamkarani mengatakan:”Di malam selasa tanggal 17 bulan Ramadhan tahun 373 hijriyah, saat aku tidur di rumah, tiba-tiba aku dibangunkan oleh sekelompok orang yang berbondong-bondong datang menuju rumahku, seraya berteriak-teriak: bangkit dan sambutlah kedatangan Imam dan pemimpinmu beliau menanti dan menunggu kehadiranmu”mereka membawaku menuju tempat yang sekarang menjadi masjid Jamkaran, saat aku tiba di sana aku melihat sebuah tempat duduk dengan permadani yang terhampar luas, di atasnya seorang pemuda berumur sekitar 30 tahunan dengan ditemani seorang tua yang dia adalah Hidhir as sedang duduk dan menunggu kedatanganku, Hidhir as memerintahkanku untuk duduk. Saat aku duduk Imam Mahdi as memanggil namaku dan bersabda: pergi dan katakan pada Hasan Muslim (ia seorang petani yang bercocok tanamdi tempat tersebut) untuk tidak lagi bercocok tanam di sini, karena Alah SWT telah memilih tempat ini dari tempat-tempat yang lain. Aku memberanikan diri untuk bertanya: wahai Imam perlukah aku membawa bukti dan tanda, karena aku takut masyarakat tidak akan mempercanyai ucapanku. Imam menjawab: kerjakanlah apa yang telah aku perintahkan tadi, nanti aku sendiri yang akan memberikan tanda bukti tersebut, dan lagi katakan pula kepada Sayyid Abul-Hasan (salah satu ulama kota qom saat itu) untuk memanggil Hasan Muslim dan mengambil keuntungan beberapa tahun cocok tanamnya yang diperolehnya dari tanah ini, dan katakan padanya untuk membangun sebuah masjid dengan keuntungan tersebut. Saat aku ingin melangkahkan kaki, terdengar beliau as memanggilku kembali seraya bersabda:”beli dan bawalah seekor kambing di daerah kasyani lalu semebelihlah dan sedekahkan dagingnya kepada orang-orang sakit, dan insya Allah setiap orang sakit yang memakan daging tersebut akan disembuhkan oleh Allah SWT.
Hasan bin Mitslih Jamkarani berkata:”aku kembali ke rumah, sepanjang malam aku tidak dapat tidur, sampai azan subuh menjelang, aku pergi menemui Ali al-Mundir dan kuceritakan peristiwa yang menimpaku tadi malam padanya, ku bawa dia menuju tempat kejadian yang ternyata di sana terdapat rantai di area yang harus dibangun sebuah masjid.
Kemudian aku pergi ke kota Qom untuk menemui Sayyid Abu-Hasan, ketika aku hampir mengetuk rumahnya, pelayannya muncul dan bertanya padaku: apakah tuan berasal dari Jamkaran? Aku mengiyakan pertanyaanya tersebut, diapun menimpali jawabannku: oh ya tuan, sayyid sudah dari tadi subuh menanti kedatngan tuan. Tanpa pikir panjang aku memasuki rumah sayyid, di sana aku dihormati olehnya dengan penghormatan yang luar biasa, dia berkata; wahai Hasan bin Mitslih dalam tidurku aku mendengar suara seseorang yang berkata: ada seseorang dari Jamkaran akan datang menemuimu, percayailah apa yang dia katakan, ucapannya adalah ucapanku juga dan jangan sekali-sekali engkau menolak ucapannya. Semenjak aku terjaga sampai sekarang tidak merasa ngantuk lagi dan selalu ku nanti kedatanganmu. Saat itu aku melihat waktu yang amat tepat untuk memberitahukan peristiwa tadi malam yang aku alami. Sepeontan setelah mendengar ceritaku, sayyid memerintahkan untuk mengantarkanku ke peternakan Ja’far kasyani, saat aku tiba di sana ada sebuah kambing yang berlari menuju ke arahku, Ja’far mengatakan kalau kambing tersebut bukan miliknya dan belum pernah dilihatnya sebelumnya, al-hasil ku bawa kambing tersebut ke area masjid lalu ku sembelih di sana kemudian aku laksanakan perintah Imam untuk membagikan dagingnya kepada para orang yang sakit yang dengan inayah Allah SWT akhirnya mereka semua sembuh dari penyakit yang mereka derita.
Abul-hasan mendatangkan Hasan Muslim dan meminta keuntungan pertaniannya selama ini untuk dana pembangunan. Kemudian rantai dan paku-paku yang berserakan di sana dibawanya ke Qom, dan berkah Allah SWT setiap orang sakit yang diolesi rantai tersebut sembuh dari sakitnya. Sayang seiring dengan kematian sayyid Abul-Hasan rantai tersebut juga lenyap dan tidak ada satu orangpun yang melihatnya lagi.
Dirangkum dari buku Najmu Tsaqib halaman 383-388
Shalat Imam Zaman as
Katakan kepada masyarakat untuk mencintai dan nmemuliakan tempat suci ini - Masjid Jamkaran-, dan kerjakannlah shalat 4 rakaat di sana.
Dua Rakaat Pertama
Dengan niat shalat tahiyatul masjid di masing-masing rakaat setelah selesai membaca surat Fatihah bacalah surat Ikhlas sebanyak 7 kali, dan di setiap ruku’ dan sujud bacalah tasbih sebanyak 7 kali.
Dua Rakaat Kedua
Dengan niat shalat untuk Imam Zaman as, di saat membaca surat al-Fatihah dan ketika sampai pada ayat اياك نعبد و اياك نستعين hendaknya ayat ini diulang sebanyak 100 kali, lalu melanjutkan sisa ayat surat Fatihah, kemudian membaca surat Ikhlas sekali, lalu dalam ruku’ membaca سبحان ربى العظيم و بحمده sebanyak 7 kali, kemudian sujud dengan membaca سبحان ربى الاعلى و بحمده juga sebanyak 7 kali, dan begitulah rakaat kedua juga kita ulang hal yang sama. Saat shalat selesai hendaknya membaca لا اله الا الله sekali lalu membaca tasbih Fatimah Zahra’ lalu sujud dan membaca shalawat kepada nabi dan keluarganya sebanyak 100 kali.
Kemudan Imam bersabda: barangsiapa menunaikan 2 rakaat tersebut di tempat ini, maka dia seperti melakukannya di dekat ka’bah mukaramah.
[1] Dipetik dari sabda Imam Mahdi as kepada Hasan bin Mitslih Jamkarani
Hasan bin Mitslih Jamkarani berkata:”aku kembali ke rumah, sepanjang malam aku tidak dapat tidur, sampai azan subuh menjelang, aku pergi menemui Ali al-Mundir dan kuceritakan peristiwa yang menimpaku tadi malam padanya, ku bawa dia menuju tempat kejadian yang ternyata di sana terdapat rantai di area yang harus dibangun sebuah masjid.
Kemudian aku pergi ke kota Qom untuk menemui Sayyid Abu-Hasan, ketika aku hampir mengetuk rumahnya, pelayannya muncul dan bertanya padaku: apakah tuan berasal dari Jamkaran? Aku mengiyakan pertanyaanya tersebut, diapun menimpali jawabannku: oh ya tuan, sayyid sudah dari tadi subuh menanti kedatngan tuan. Tanpa pikir panjang aku memasuki rumah sayyid, di sana aku dihormati olehnya dengan penghormatan yang luar biasa, dia berkata; wahai Hasan bin Mitslih dalam tidurku aku mendengar suara seseorang yang berkata: ada seseorang dari Jamkaran akan datang menemuimu, percayailah apa yang dia katakan, ucapannya adalah ucapanku juga dan jangan sekali-sekali engkau menolak ucapannya. Semenjak aku terjaga sampai sekarang tidak merasa ngantuk lagi dan selalu ku nanti kedatanganmu. Saat itu aku melihat waktu yang amat tepat untuk memberitahukan peristiwa tadi malam yang aku alami. Sepeontan setelah mendengar ceritaku, sayyid memerintahkan untuk mengantarkanku ke peternakan Ja’far kasyani, saat aku tiba di sana ada sebuah kambing yang berlari menuju ke arahku, Ja’far mengatakan kalau kambing tersebut bukan miliknya dan belum pernah dilihatnya sebelumnya, al-hasil ku bawa kambing tersebut ke area masjid lalu ku sembelih di sana kemudian aku laksanakan perintah Imam untuk membagikan dagingnya kepada para orang yang sakit yang dengan inayah Allah SWT akhirnya mereka semua sembuh dari penyakit yang mereka derita.
Abul-hasan mendatangkan Hasan Muslim dan meminta keuntungan pertaniannya selama ini untuk dana pembangunan. Kemudian rantai dan paku-paku yang berserakan di sana dibawanya ke Qom, dan berkah Allah SWT setiap orang sakit yang diolesi rantai tersebut sembuh dari sakitnya. Sayang seiring dengan kematian sayyid Abul-Hasan rantai tersebut juga lenyap dan tidak ada satu orangpun yang melihatnya lagi.
Dirangkum dari buku Najmu Tsaqib halaman 383-388
Shalat Imam Zaman as
Katakan kepada masyarakat untuk mencintai dan nmemuliakan tempat suci ini - Masjid Jamkaran-, dan kerjakannlah shalat 4 rakaat di sana.
Dua Rakaat Pertama
Dengan niat shalat tahiyatul masjid di masing-masing rakaat setelah selesai membaca surat Fatihah bacalah surat Ikhlas sebanyak 7 kali, dan di setiap ruku’ dan sujud bacalah tasbih sebanyak 7 kali.
Dua Rakaat Kedua
Dengan niat shalat untuk Imam Zaman as, di saat membaca surat al-Fatihah dan ketika sampai pada ayat اياك نعبد و اياك نستعين hendaknya ayat ini diulang sebanyak 100 kali, lalu melanjutkan sisa ayat surat Fatihah, kemudian membaca surat Ikhlas sekali, lalu dalam ruku’ membaca سبحان ربى العظيم و بحمده sebanyak 7 kali, kemudian sujud dengan membaca سبحان ربى الاعلى و بحمده juga sebanyak 7 kali, dan begitulah rakaat kedua juga kita ulang hal yang sama. Saat shalat selesai hendaknya membaca لا اله الا الله sekali lalu membaca tasbih Fatimah Zahra’ lalu sujud dan membaca shalawat kepada nabi dan keluarganya sebanyak 100 kali.
Kemudan Imam bersabda: barangsiapa menunaikan 2 rakaat tersebut di tempat ini, maka dia seperti melakukannya di dekat ka’bah mukaramah.
[1] Dipetik dari sabda Imam Mahdi as kepada Hasan bin Mitslih Jamkarani
SYIAH DI BAWAH NAUNGAN IMAM MAHDI AJ
pengarang : Mujtaba Musawi Lari
Sumber : dalam kitabnya 'imamah'
Sumber : dalam kitabnya 'imamah'
Intimidasi dan teror penguasa Abbasiah yang ditujukan kepada para imam Ahlul Bait as terns mengalami peningkatan, sebaliknya para imam Ahlul Bait as tetap teguh dan melakukan perlawanan sesuai dengan situasi dan kondisi yang memungkinkan.
Oleh karena itu, kita melihat bahwa kehidupan mereka selalu berakhir dengan pembunuhan, baik dengan pedang maupun dengan racun, di medan perang maupun di kegelapan penjara yang jauh dan kota dan negeri mereka.
Yang membisiki para penguasa Abbasiah untuk membunuh para imam Ahlul Bait as itu adalah kemunculan Al-Mahdi yang telah dijanjikan kemunculannya, yang telah dikabarkan oleh Rasulullah saw bahwasanya dia akan memenuhi bumi dengan keadilan, sebagaimana sebelumnya bumi itu telah dipenuhi dengan kezaliman.
Meskipun langkah-langkah teror dan kekejaman telah diambil oleh para penguasa Abbasiah itu, Allah Swt telah menakdirkan, sebagaimana kehendak-Nya selalu terjadi, kelahiran bayi yang telah dijanjikan itu pada pagi hari Jumat 15 Sya’ban yang agung tahun 255 H.
Tanggung jawab yang dipikul oleh Imam Al-Hasan Al-Askari as terhadap bayi yang ditunggu-tunggu ini sangat berat dan sulit. Pada satu sisi, dia harus membuktikan keberadaannya kepada umat, sedangkan di sisi lain dia harus menjaga keselamatan anak ini.
Imam Al-Hasan Al-Askari as telah melaksanakan tanggung jawabnya itu dalam bentuk yang paling baik sehingga tidak ada lagi keraguan seputar Al-Mahdi ini, yaitu setelah banyaknya kesaksian dari tokoh-tokoh yang terdekat kepada Imam Al-Hasan Al-Askari as dan orang-orang yang dipercaya oleh masyarakat luas.
Dan ketika Ja’far, yang dikenal sebagai pendusta, berupaya mengaku sebagai imam dengan mengumumkan bahwa dialah yang mewarisi saudaranya, Imam Al-Hasan Al-Askari as, dan berusaha mengukuhkan hal itu dengan menshalatkan jenazah Imam Al-Hasan Al-Askari as, tiba-tiba dia dikejutkan dengan munculnya anak kecil itu (Al-Mahdi) yang menghalanginya.
Maka, semua orang, termasuk penguasa, menyadari keberadaan Imam Al-Mahdi yang kemudian segera menyembunyikan diri setelah selesai menunaikan tugasnya (kewajibannya) dalam membuktikan keberadaannya di hadapan orang banyak.
Kegaiban Imam Al-Mahdi ini dibagi dalam dua bagian, yaitu:
Pertama, kegaiban kecil (al-ghaibatush shughro). Ini dimulai dari 260. H sampai 329 H.
Dalam masa kegaiban kecil ini, Imam Al-Mahdi berhubungan dengan para dutanya yang bertugas secara berurutan selama masa itu. Mereka adalah: Utsman bin Sa’id Al-Amri, Muhammad bin Utsman Al-Amri, Al-Husain bin Ruh An-Naubukhti, dan terakhir Ali bin Muhammad As-samiri yang telah diberi tahu (oleh Imam Al-Mahdi) bahwa dia adalah duta terakhir yang ditugaskan dengan kewafatannya, dan setelah itu mulailah kegaiban besar (al-ghaibatul kubro) yang tidak ada yang mengetahui sampai kapan kegaiban ini kecuali Allah Azza wa Jalla.
Kedua, kegaiban besar (al-ghaibatul kubro). Ini dimulai dari tahun 329 H sampai sekarang ini. Keberadaan Imam Al-Mahdi dalam kegaiban besar ini laksana keberadaan matahari di balik awan yang memberi cahaya kepada bumi, kehangatan, dan kehidupan meskipun ia tersembunyi di balik awan.
Sesungguhnya eksistensi AI-Mahdi adalah suatu keharusan sebagai harapan bagi orang-orang yang tertindas. Ini adalah suatu keharusan karena Al-Mahdi merupakan cermin yang memantulkan curahan ralunat Allah Swt.
Adapun mengapa sampai sekarang Imam Al-Mahdi as belum muncul-muncul juga, itu karena kita belum mempersiapkan kondisi yang sesuai bagi kemunculannya. Maka, sebagaimana kita menunggu kemunculannya, Al-Mahdi pun menunggu kita.
Kita menunggu kemunculan Imam Al-Mahdi sebagai penyelamat dan pemimpin yang akan menegakkan keadilan di dunia ini, maka dia pun menunggu ketetapan hati kita dan keinginan yang ikhlas dalam jalan penyelamatan ini.
Banyak sekali orang yang telah berjumpa dengan Imam Al-Mahdi sepanjang sejarah yang panjang ini, dan kesaksian mereka ini telah dicatat oleh mereka sendiri, atau orang lain yang mencatatnya dari mereka. Kesaksian-kesaksian itu merupakan bukti yang jelas akan keberadaan Imam Al-Mahdi, yang kemunculan beliau telah ditunggu oleh orang-orang yang tertindas. Imam AI-Mahdi akan menjalankan pemerintahannya sesuai keadilan Tuhan.
“Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu untuk berdirinya negara yang mulia, yang memuliakan Islam dan pemeluknya serta menghinakan kemunafikan dan ahlinya. Dan jadikanlah kami termasuk orang-orang yang menyerukan ketaatan kepada-Mu dan memimpin dijalan-Mu.” Aamiin.
DIMULAINYA KEPEMIMPINAN MENTARI KEADILAN
Sumber : IRIB Indonesia
Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ali al-Ridho as, “Kesabaran dan penantian kemunculan (Imam Mahdi as) itu sangat indah.” Sekarang banyak hati lelah yang menghitung hari hingga kemunculan sang juru penyelamat yang akan memenuhi dunia dengan keadilan dan iman.
Kesyahidan Imam Hasan Askari (as) cucu suci Rasulullah pada tahun 260 Hijriah, adalah berita duka besar bagi umat Islam, namun kepemimpinan Imam Mahdi as, putra beliau dan hujjah terakhir Allah Swt di muka bumi, tak ayal merendam hati umat dalam kegembiraan dan harapan. Oleh karena itu, hari ini yang bertepatan dengan dimulainya kepemimpinan Imam Mahdi as, diperingati sebagai hari raya berbahagia.
Kepemimpinan Imam Hasan Askari as, berlangsung di masa sangat sensitif dan sulit dalam sejarah Ahlul Bait as. Mu’tamid, khalifah Bani Abbasiyah, bersandarkan pada berbagai hadis dari Rasulullah Saw dan para imam maksum, mengetahui bahwa hujjah terakhir Allah Swt, yang menjadi pembalas kejahatan para penguasa zalim dan pelindung orang-orang papa, serta akan menegakkan pemerintahan yang adil dan tauhid, akan dilahirkan di rumah Imam Hasan Askari as. Oleh karena itu, dia mengawasi dengan ketat rumah Imam Hasan as untuk mencegah terealisasinya janji Allah Swt ini. Namun karena kehendak Allah Swt, Imam Mahdi as terlahir ke dunia tanpa sepengetahuan musuh-musuh Ahlul Bait. Sebelum kepemimpinannya, kejahilan, kelalaian dan tidak terima kasih masyarakat, telah membuat Imam Hasan Askari as, gugur syahid dalam kondisi sangat terasing. Mungkin oleh sebab itu pula, kelahiran sang mentari dan hujjah terakhir Allah Swt di muka bumi ini tersembunyi dari pandangan masyarakat.
Ahmad bin Ishaq, salah satu sahabat Imam Hasan Askari as mengatakan, “Pada suatu hari aku menghadap Imam Askari dan bertanya: ‘Wahai putra Rasulullah! Siapa imam dan penggantimu?’ beliau masuk ke rumah dan kembali bersama seorang anak laki-laki berusia tiga tahun yang wajahnya bersinar cerah seperti bulan dan berkata: ‘Wahai Ahmad bin Ishaq! Jika kau tidak terhormat di sisi Allah Swt dan para hujjah-Nya, aku tidak akan menunjukan putraku kepadamu. Sesungguhnya namanya sama seperti panggilan Rasulullah dan dia yang akan memenuhi bumi dengan keadilan’. Aku berkata: ‘Wahai pemimpinku! Apakah ada tanda-tanda yang akan menenangkan hatiku?’ Saat itu, anak laki-laki itu berkata, ‘Aku adalah Baqiyyatullah di muka bumi dan aku akan membalas kepada para musuh Allah Swt. Wahai Ahmad! Setelah kau melihatku dengan mata kepalamu sendiri, maka jangan mencari tanda-tanda.”
Salah satu di antara yang disaksikan Rasulullah Saw di malam mi’raj adalah, menyaksikan cahaya para pemimpin maksum dan pemimpin terakhir penggantinya. Rasulullah Saw bersabda: ... aku berkata: Ya Allah! Siapa mereka ini? Allah Swt berfirman: “Mereka adalah para pemimpin dan ini adalah sang Qaim (Imam Mahdi as); Dia yang akan menghalalkan apa yang Aku halalkan dan mengharamkan apa yang Aku haramkan dan akan membalas kepada para musuh-Ku. Wahai Muhammad! Cintailah dia. Maka sesungguhnya Aku mencintainya dan Aku akan mencintai siapa saja yang mencintainya...”
Manusia selalu mencari hakikat, akan tetapi terkadang terjebak dalam pilihan yang keliru dan oleh karena itu, manusia memerlukan pembimbing, penunjuk jalan dan pemimpin. Dalam agama Islam disebutkan janji Allah Swt bahwa bumi tidak pernah kosong dari hujjah Allah Swt dan bahwa bumi akan dikuasai oleh orang-orang saleh dan beriman.
Janji ini bukan hanya tercatat dalam al-Quran melainkan juga telah terekam dalam kitab langit yang dibawa oleh para nabi sebelum Rasulullah Saw. Pada hakikatnya, agama-agama langit lain juga menanti kemunculan sang juru penyelamat yang akan menghapus kezaliman dengan keadilan dan kebebasan. Semuanya berpendapat bahwa akan datang satu masa di mana kezaliman dan kesewenang-wenangan telah merajalela, dan akan muncul sang juru selamat yang akan memperbaiki dunia. Dalam Islam, sang juru selamat itu adalah Imam Mahdi as. Ibn Abi al-Hadid, seorang ulama terkemuka Ahlussunnah mengatakan, “Di antara semua mazhab Islam disepakati bahwa usia dunia tidak berakhir kecuali setelah kemunculan Imam Mahdi as.”
Peringatan hari dimulainya periode kepemimpinan hujjah terakhir Allah Swt di muka bumi ini merupakan kesempatan terbaik bagi para pecinta dan penantinya untuk memperbarui baiat kesetiaan kepadanya. Menyiapkan diri, menyucikan diri terlebih dahulu dan kemudian masyarakat serta meningkatkan keimanan umat termasuk dalam masalah kepemimpinan Imam Mahdi dan hubungan umat dengan imam, adalah di antara persiapan yang harus dilakukan bagi manusia-manusia yang menanti kemunculan Imam Mahdi as.
Pada sebagian doa Ahd yang berkaitan dengan Imam Mahdi as, kita membaca: “Ya Allah masukkan aku dalam golongan sahabat dan kelompok Imam Mahdi (as), masukkan aku di antara mereka yang mendukungnya dan yang berlomba untuk melaksanakan perintahnya serta melaksanakan permintaannya secepat-cepatnya dan jadikan aku di antara para syuhada dari kelompoknya.”
Dengan demikian, para sahabat Imam Mahdi as adalah mereka yang berjuang melawan kezaliman dan kemunkaran di muka bumi serta para penguasa zalim. Dalam hal ini, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei, Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran mengatakan, “Jika dunia akan diterangi matahari, ini bukan berarti bahwa kita harus diam di kegelapan sampai datangnya matahari... Kita menanti... berarti kita memiliki harapan bahwa dengan upaya dan perjuangan, pada suatu hari kita mampu mengubah dunia ini yang oleh musuh Allah dan para setan telah dipenuhi dengan kezaliman dan kemunkaran... menjadi sebuah dunia yang di dalamnya, kemanusiaan dan prinsip-prinsip insani dihormati serta para manusia zalim dan munkar tidak berkesempatan atau tidak punya tempat untuk melakukan keinginan munkar mereka.”
Dengan dimulainya periode kepemimpin Imam Mahdi as, dunia akan dipenuhi dengan keadilan dan kebajikan. Dia adalah Imam yang akan mengubah dunia sejernih air dan seterang matahari. Kita semua tengah menanti hari itu tiba.
MAKNA MATI JAHILIYAH DALAM HADIS POPULER :
"SIAPA YANG MATI TANPA MENGENAL IMAM ZAMANNYA..."
Sumber : ikmalonline
Pengertian khusus: kata jahiliyah merujuk kepada sikap sesaorang muslim, tidak semestinya merujuk kepada zaman mana sesaorang itu berada, tidak semestinya merujuk kepada kata jahiliyah di era pra Islam yang kita sedia maklom, - sedangkan ayat-ayat al-Quran masih menggunakan kata sebagai kembali jahiliyah walaupun selepas era pra Islam yang kita sedia maklom tersebut - Jadi dengan kata lain jahiliyah ialah sikap sesaorang yang kembali tidak yakin, kembali tidak percaya, kembali tidak patuh, tidak taat, ragu-ragu dan tidak memperoleh bimbingan dan petunjuk selepas peringatan nabi, al-Qur'an dan agama Islam.
Pengertian khusus: kata jahiliyah merujuk kepada sikap sesaorang muslim, tidak semestinya merujuk kepada zaman mana sesaorang itu berada, tidak semestinya merujuk kepada kata jahiliyah di era pra Islam yang kita sedia maklom, - sedangkan ayat-ayat al-Quran masih menggunakan kata sebagai kembali jahiliyah walaupun selepas era pra Islam yang kita sedia maklom tersebut - Jadi dengan kata lain jahiliyah ialah sikap sesaorang yang kembali tidak yakin, kembali tidak percaya, kembali tidak patuh, tidak taat, ragu-ragu dan tidak memperoleh bimbingan dan petunjuk selepas peringatan nabi, al-Qur'an dan agama Islam.
Imamah masalah teologi ataukah masalah fikih?
Jika yang pertama, subyek semua masalah teologi adalah sifat dan perbuatan Tuhan, maka yang mengangkat imam adalah Allah melalui Rasul-Nya. Karena pilihan Allah, maka imam adalah orang suci (ma’shum). Dengan demikian, imamah bagian dari ushuluddin.
Jika yang kedua, subyek semua masalah fikih adalah perbuatan manusia, maka yang mengangkat imam adalah manusia (umat). Karena pilihan manusia, imam tidak mesti ma’shum. Dengan demikian, imamah bagian dari furu’uddin.
Dalam madrasah Ahlulbait, imam yang ma’shum tidak harus memerintah. Walau demikian mentaatinya adalah wajib. Kewajiban ini bagian dari furu’, yang bersandar pada ushul. Yakni, imamah yang mengantarkan pada mengenal imam, sebagaimana ulûhiyah (ketuhanan) mengantarkan pada mengenal Tuhan. Mentaati imam karena mengenalnya.
Tujuan dari pengangkatan imam pasca kenabian yang ditutup oleh Rasulullah saw ialah melaksanakan tugas-tugas beliau; memberi petunjuk bagi umat manusia, menjelaskan ilmu, hukum dan undang-undang Islam dan menerapkannya serta mempertahankan keutuhan agama Allah.
Kedatangannya dikabarkan oleh semua imam pendahulunya, dan kedatangan mereka telah dikabarkan oleh Rasulullah saw, dan kedatangan beliau telah dikabarkan para nabi sebelumnya. Seruan mereka satu, mengajak umat manusia kepada Allah Yang Mahaesa. Cirikhas imam dalam penjelasan Imam Ridha: الامام واحد دهره لا يدانيه احد; Imam adalah tunggal di masanya tak tertandingi seorang pun.
Rasulullah saw dan para washinya, semuanya mengabarkan: akan datang Imam Zaman Sang Penutup Kewashian. Inilah salah satu keistimewaan Ahlulbait yang Rasulullah saw sampaikan kepada putrinya, Sayidah Fatimah Zahra: منا.. مهدي هذه الامة ; “Dari kami lah al-Mahdi bagi umat ini.” (al-Ghaibah/Syaikh Thusi, 191; Bihar al-Anwar 36/370)
Muhyiddin dalam “Futuhat”nya bab 366 mengungkapkan: “Kemunculan al-Mahdi adalah pasti. Ia dari Itrah Rasulullah, dari anak keturunan Fatimah. Pendahulunya adalah al-Husain bin Ali. Ayahnya adalah Hasan ‘Askari bin Imam Ali Naqi bin Imam Muhammad Taqi bin Imam Ali Ridha bin Imam Musa Kazhim bin Imam Ja’far Shadiq bin Imam Muhammad Baqir bin Imam Ali Zainul Abidin bin Imam Husain bin Imam Ali bin Abi Thalib.”
Jika Alquran kitab suci terbaik turun di malam terbaik (Lailatul qadr) di bulan terbaik Ramadan, kepada manusia terbaik yang paling sempurna (saw), manusia terbaik Imam al-Mahdi yang dijanjikan lahir di malam terbaik, yaitu pada malam Nisfu Sya’ban. Ialah yang keutamaannya mendekati keutamaan Lailatul qadr yang lebih baik dari seribu bulan. Imam Shadiq berkata: “(Malam nisfu sya’ban) Adalah malam yang Allah berikan bagi kami Ahlulbait sebagaimana Lailatul Qadr yang Dia berikan bagi Nabi kami (saw).” Malam nisfu sya’ban adalah “lailatul qadr”nya Ahlulbait.
Kematian Adalah Sari Kehidupan
Sebuah hadis Nabi saw riwayat Ahlussunnah dan Syiah: “Siapa yang mati tanpa mengenal imam zamannya, dia mati dalam jahiliyah.” Penjelasannya bahwa mati dalam jahiliyah menunjukkan kehidupan jahiliyah, dengan alasan bahwa kematian adalah sari kehidupan. Orang yang hidupnya baik maka matinya dalam kebaikan, dan orang yang hidupnya buruk maka matinya dalam keburukan.
Kematian hanyalah proses merasakan sari kehidupan. Hidup bak minuman yang diteguk manusia saat ajalnya dekat. Jika minuman ini madu, itulah hasil amal perbuatan baiknya, dan jika empedu atau racun, itulah hasil amal perbuatan buruknya di masa hidupnya. Mengenai hal ini difirmankan oleh Allah swt:
كُلُّ نَفْسٍ ذائِقَةُ الْمَوْتِ; “Setiap jiwa akan merasakan kematian.” (QS: Al Imran 185)
Bukanlah sebaliknya bahwa kematian yang merasakan atau mencerabut diri kita, tetapi diri kita yang merasakan dan mencerabut kematian. Ibarat air, kita lah yang meneguknya, bukan air yang meneguk kita. Kematian adalah sesuatu yang diminum dalam sebuah wadah oleh manusia, dan dia mencerna apa yang dia minum. Jika hidup di dunia dengan baik, maka dari dunianya ia memperoleh macam-macam tanaman berbuah yang membentuk sari “minuman” yang akan ia rasakan pada saat kematiannya. Sehingga kematian baginya lebih manis dari madu.
Namun jika di tengah masyarakatnya menjadi bagai empedu, menyakiti orang lain, jahat terhadap dirinya, keluarga dan lingkungannya, sebagai akibatnya tidaklah beda dengan perbuatan buruknya. Hanya kepahitan yang akan dia tuai dan rasakan pada saat ajalnya tiba. Sehingga baginya tak ada yang lebih pahit dari kematian.
Kematian adalah perubahan dan perpindahan ke alam lain (dari alam dunia ke alam akhirat), yang pasti dilalui setiap manusia. Setelah mati, habislah masa perubahan yang dia usahakan. Telah sirna posisi untuk bertaubat atau mengubah pandangannya, dan telah lenyap peluang untuk beramal saleh.
Referensi:
Al-Imam al-Mahdi al-Mau’ud/Ayatullah Syaikh Jawadi Amuli
Sayed Ja’far Rabbany
Dalam doa “اللهم ارزقنا توف?ق الطاعة” (Ya Allah! Anugerahkanlah kami rizki ketaatan [kepada-Mu]) Imam Mahdi as berdoa untuk berbagai lapisan masyarakat yang pada dasarnya menunjukkan penantian dan harapan beliau as. Doa ini dapat dibagi dalam dua klasifikasi: Bagian pertama, beliau as memohon dari Allah swt untuk semua orang dan bersifat umum, dan pada bagian kedua doa diperuntukkan bagi masing-masing lapisan masyarakat secara terpisah.
Pada bagian kedua, pada dasarnya beliau as menjelaskan pula harapan dan kekhawatiran beliau dari setiap lapisan. Target kita dalam artikel ini adalah bagian tersebut yang kini dengan seizin Allah swt kita akan mengisyaratkan sebagian darinya:
1- Ulama’
“و تفضل عل? علمائنا بالزهد و النص?حة”
“Dan anugerahkanlah kepada ulama’ kami kezuhudan dan nasehat”.[1]
Dalam bagian ini Imam Mahdi as menyatakan kekhawatiran beliau terhadap penumpukan harta dan nasehat yang ditinggalkan oleh ulama’.
Berkenaan dengan dua hal ini telah disinggung dalam riwayat-riwayat dan menjelaskan dua kriteria ini sebagai parameter untuk ulama’. Telah dinukil dari Imam Jakfar Shadiq as: “Bila kalian melihat seorang alim telah cenderung kepada dunia, maka tuduhlah dia; karena setiap pencinta akan mengitari di sekeliling yang dicinta. Allah swt telah mewahyukan kepada nabi Daud as: “Janganlah engkau menjadikan seorang alim yang tenggelam dalam dunia sebagai perantara Aku dan engkau karena ia akan menghalangi engkau dari mencintai-Ku. Mereka ini adalah perampok hamba-hamba-Ku. Minimal balasan-Ku bagi mereka adalah Aku akan mengambil kemanisan dan kelezatan beribadah kepada-Ku dari mereka.””[2]
Berhubungan dengan penggunaan ilmu, penjelasan hukum-hukum Ilahi dan nasehat untuk masyarakat, para imam as juga menyabdakan demikian: “Bila telah muncul bid’ah-bid’ah maka orang alim harus menampakkan ilmunya dan bila ia tidak melakukan hal demikian maka cahaya imannya akan dicabut.”[3]
Kita tambahkan pula sebuah poin bahwa al-Qur’an ketika menerangkan keistimewaan ulama’ ahli kitab juga menyinggung kegilaan terhadap dunia dan penutupan hakekat.
2- Kaum Pelajar
“و عل? المتعلم?ن بالجهد و الرغبة”
“Dan [anugerahkan pula] kepada kaum terpelajar kesungguhan dan kecintaan belajar”.
Doa dan harapan Imam Mahdi as dari seluruh kaum pelajar adalah supaya mereka menunjukkan kesungguhan, keseriusan dan kecintaan belajar dalam menuntut ilmu dan menjauhkan diri dari segala jenis kemalasan dan keenggana belajar. Imam Jakfar Shadiq as ketika menjelaskan tentara-tentara akal dan jahl (kebodohan), memandang kerajinan dan kesungguhan sebagai tentara akal sementara kemalasan sebagai tentara jahl,[4] dan oleh karena itulah Imam Shadiq as dalam sebuah doa berlindung kepada Allah swt dari kemalasan dan kelemahan usia lanjut:[5]
“اللهم ان? اعوذ بک من الکسل و الهرم”
Dalam kitab-kitab riwayat terdapat sebuah bab independen dengan tema “باب کراهة الکسل” dan disebutkan banyak riwayat dalam mencela kemalasan dan keengganan untuk belajar.
Imam Kadhim as bersabda: “Ayahku berkata kepada sebagian dari putera-putera beliau sebagai berikut:
“ا?اک و الکسل و الضجر فانهما ?منعانک من حظک من الدن?ا و الآخرة”
“Hati-hatilah engkau dari kemalasan dan kejenuhan (ketidaksungguhan), karena keduanya akan menghalangimu dari bagian dunia dan akheratmu”.[6]
Imam Ali as bersabda: “Suatu saat ketika segala sesuatu berpasang-pasangan, kemalasan dan ketidakberdayaan akan dipersandingkan dan akan melahirkan anak bernama kafakiran”.[7]
Dalam wasiat-wasiat Nabi saw kepada Imam Ali as disebutkan: “Wahai Ali! Hindarilah dua karakter: Kemalasan dan ketidaksungguhan, karena ketika itu engkau tidak akan memiliki kemampuan melaksanakan haq dan akan kehilangan ketenangan”.[8]
Imam Jakfar Shadiq as juga bersabda:
“ا?اک و الضجر و الکسل انهما مفتاح سوء. انه من کسل لم ?ؤد حقا و من ضجر لم ?صبر عل? حق”
“Berhati-hatilah dari ketidaksungguhan dan kemalasan karena keduanya adalah kunci keburukan. Bahwasanya barangsiapa yang bermalas-malasan tidak akan dapat menunaikan haq dan barangsiapa yang tidak bersungguh-sungguh tidak akan bersabar atas haq”.[9]
Amirul Mukminin Ali as bersabda:
“آفة النُجْح الکسل”
“Penyakit kesuksesan adalah kemalasan”.[10]
Dan beliau as pun menyatakan kesungguhan dan keseriusan dalam menuntut ilmu sebagai salah satu kriteria orang-orang bertakwa (و حرصا ف? علم).[11]
3- Para Pemuda
“و عل? الشباب بالإنابة و التوبة”
“Dan [anugerahkanlah] kepada para pemuda untuk kembali [kepada perintah Allah swt] dan bertaubat”.
Dalam riwayat-riwayat terdapat atensi khusus terhadap para pemuda bahwa mereka memperoleh perhatian Allah swt. Imam Jakfar Shadiq as bersabda:
“اما علمت ان الله تعال? ?کرم الشباب منکم”
“Apakah Anda tidak mengetahui bahwa Allah swt memuliakan para pemuda di antara kalian”.[12]
Masa muda adalah masa pembentukan kepribadian dan oleh sebab itulah para imam maksum as menegaskan keakraban para pemuda dengan al-Qur’an. Imam Shadiq as bersabda: “Seorang pemuda mukmin yang membaca al-Qur’an, maka al-Qur’an akan mendarah daging dengannya dan Allah swt mengumpulkannya dengan abrar (orang-orang yang berbuat kebajikan)”.[13] Jelas bahwa pemuda seperti ini pada hari kiamat akan merasa aman di hadapan kesulitan hari itu. Dari sisi lain, masa muda adalah masa klimak kekuatan dan perasaan ini dalam sebagian riwayat diekspressikan dengan “mabuk kepayang”[14] dan pada sebagian lain diungkapkan dengan “gila”.[15]
Dengan alasan inilah maka pemuda harus ditempatkan pada jalur ibadah dan penghambaan kepada Allah swt. Salah satu langkah penting dalam hal ini adalah permasalahan pernikahan. Nabi saw menujukan kepada para pemuda bersabda demikian:
"?ا معشر الشباب من استطاع منکم الباه فل?تزوج فانه اغض للبصر و احصن للفرج"
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah maka menikalah karena sesungguhnya hal itu lebih dapat memalingkan pandangan dan menjaga kehormatan”.[16]
Dalam hal ini al-Qur’an menyebutkan kisah suci dan benar nabi Yusuf as bagaimana beliau di puncak masa muda membebaskan diri dari dosa.
Berkenaan dengan watak suci para muda Imam Shadiq as bersabda:
“عل?ک بالأحداث فانهم اسرع ال? کل خ?ر”
“Perhatikanlah para tunas pemuda karena sesungguhnya mereka lebih cepat ke arah kebaikan”.[17]
4- Kaum Wanita
“و عل? النساء بالح?اء و العفة”
“Dan [anugerahkanlah] kepada para wanita rasa malu dan kehormatan”.
Peran kaum wanita yang tidak dapat tergantikan akan tampak ketika kita membuka kembali lembaran sejarah dan kita melihat cermat peran Fatimah Zahra’ as dan Zainab Kubra as, selanjutnya kita memperhatikan para pengikut masing-masing dari mereka seperti isteri Zuhair bin Qain di Karbala’ dan lain-lain. Adapun yang memberikan nilai lebih dan kedudukan tinggi kepada kaum wanita adalah rasa malu dan kehormatan mereka. Dalam sebuah riwayat yang dinukil dari Imam Shadiq as menegaskan bahwa sumber keutamaan dan kebesaran adalah “rasa malu” dan beliau bersabda:
“المکارم عشر... و رأسهن الح?اء”
“Kemulian ada sepuluh... dan yang paling utama adalah rasa malu”.[18]
Mungkin sangat jarang dapat ditemukan suatu riwayat yang ketika menyebutkan nilai-nilai akhlaki tidak menjelaskan sebutan “rasa malu”, bahkan para imam as dan para pemimpin agama menegaskan dalam hal ini; karena dengan rasa malu maka berbagai nilai akhlaki akan hidup dan sebaliknya, ketidakmaluan terutama pada kaum wanita dapat menciptakan berbagai hal yang tidak normal.
Dalam sebuah riwayat lain, Imam Shadiq as dengan menukil dari Rasulullah saw bersabda:
“خ?ر نسائکم العف?فة الغلمة”
“Sebaik-baik wanita kalian adalah yang menjaga kehormatan dan mencintai suami”.[19]
Pada satu riwayat dari Imam Baqir as kita membaca demikian: “Allah swt memiliki rasa malu dan mencintai orang-orang yang memiliki rasa malu”.[20] Dan dalam kasus lain disebutkan:
“الح?اء خ?ر کله”
“Malu adalah kebaikan seluruhnya”.[21]
Ketika kaum wanita menanggalkan pakaian malu dan kehormatan maka mereka akan berubah menjadi jerat-jerat setan:
“النساء حبالة الش?طان”
“Para wanita adalah jerat setan”.[22]
5- Orang-orang Kaya
"و عل? الاغن?اء بالتواضع و السعة"
“Dan [anugerahkanlah] kepada orang-orang kaya dengan kerendahan diri [tawadhu’] dan kelapangan”.
Penyakit kekayaan dalah kesombongan (takabbur) dan kekikiran (bakhil) maka orang-orang kaya harus menyadari bahwa karena orang-orang faqir mereka memperoleh nikmat-nikmat Allah swt; sebagaimana Imam Musa bin Jakfar as bersabda: “Allah swt berfirman: “Aku tidak menjadikan orang-orang kaya sebagai kaya karena menghormati mereka dan tidak menjadikan orang-orang miskin sebagai miskin karena menghinakan mereka, akan tetapi hal ini (kefakiran dan kekayaan) merupakan suatu ujian bagi kaum faqir dan orang-orang kaya dan bila tidak ada orang-orang faqir maka orang-orang kaya tidak layak memperoleh imbalan surga””.[23]
Imam Shadiq as juga bersabda: “Orang-orang kaya Syiah kami adalah yang dipercaya atas orang-orang yang membutuhkan. Oleh karena itu jagalah kami berkenaan dengan mereka maka Allah swt akan menjaga kalian”.[24]
Orang kaya tanpa derita adalah mayat bergerak dan bukan tanpa alasan bila di dalam hadis disebutkan: “Duduk bersama orang-orang kaya dapat mematikan hati”.[25]
Demi memangkas kefakiran, Islam juga melatakkan hukum-hukum untuk harta benda dan kekayaan; di antaranya mewajibkan zakat yang merupakan tugas minimal kaum Muslimin dan bila sumber ini tidak mencukupi untuk mengangkat kebutuhan mereka, Allah swt menjadikan sumber-sumber lain; seperti pemberian shadaqah kepada kaum faqir, inilah sepert yang difirmankan oleh Allah swt:
“وَ الَّذينَ في أَمْوالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُوم”
“Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu”.[26]
Maka “bagian tertentu” adalah selain zakat yang wajib dan harus bagi setiap orang menurut kadar kemampuannya.[27] Imam Ridha as menukil dari Imam Shadiq as bersabda:
“و لو خرج الناس زکاة اموالهم ما احتاج احد”
“Bila semua orang mengeluarkan zakat harta mereka maka tidak ada seorang pun yang membutuhkan”.[28] Imam Shadiq as juga bersabda: “Allah swt menjadikan orang-orang faqir sebagai kolega orang-orang kaya. Oleh karena itu orang-orang kaya tidak berhak mengeluarkan harta benda mereka untuk kepentingan selain keloga mereka”.[29]
6- Orang-orang Faqir
“و عل? الفقراء بالصبر و القناعة”
“Dan [anugerahkanlah] kepada orang-orang faqir dengan kesabaran dan qana’ah”.
Imam Shadiq as bersabda: “Allah swt menganegerahkan 10 keistimewaan kepada nabi-nabi-Nya. Maka tengoklah dalam diri kalian, bila keistimewaan-keistimewaan tersebut ada pada diri kalian maka pujilah Allah swt dan bila tidak terdapat dalam diri kalian maka mohonkanlah hal itu dari Allah swt dan di antara 10 karakter tersebut adalah kesabaran dan qana’ah”.[30]
Beliau as juga bersabda: “Aku memohon kemenangan dan aku mendapatkannya dalam kesabaran, dan aku mengharapkan ketidakbutuhan dan aku memperolehnya dalam qana’ah”.[31]
Dalam perjalanan kehidupan manusia membutuhkan kepada suatu kendaraan yang tidak mengenal lelah dan senjata tajam yang menurut Imam Ali as “Kesabaran adalah sebuah kendaraan yang selalu berguna dan qana’ah merupakan sebilah pedang tajam”.[32]
Dalam sebagian riwayat juga disebutkan bahwa qana’ah adalah harta karun yang tidak terbatas. Konsekwensi kesabaran dan qana’ah adalah dua hal: Pertama, tidak mengulurkan tangan kepada harta haram, Kedua, tidak mengincar harta benda orang lain.
7- Para Penguasa
“و عل? الاُمراء بالعدل و الشفقة”
“Dan [anugerahkanlah] kepada para penguasa dengan keadilan dan kasih sayang”.
Amirul Mukminin Ali as bersabda: “Allah swt mengazab enam kelompok dengan enam sebab dan di antaranya mengazab para penguasa karena kezaliman mereka”.[33]
Dalam riwayat lain dapat kita baca demikian:
“ان شر البقاع دور الامراء الذ?ن لا?قضون بالحق”
“Sesungguhnya tempat paling buruk adalah rumah para penguasa yang tidak menghukumi dengan kebenaran”.[34]
Bila para penguasa bertindak adil maka ketaatan rakyat kepda mereka akan menjadi sebab kemuliaan mereka, dan bila tidak maka selain kehinaan tidak ada hal lain yang diperoleh rakyat. Imam Sajjad as bersabda:
“و طاعة ولاة العدل تمام العز”
“Dan ketaatan para penguasa adil adalah seluruh kemulian”.[35]
Ucapan Imam Shadiq as berikut ini pun menarik sekali yang dalam mendiskripsikan keadilan bersabda: “Keadilan lebih segar dari air yang diperoleh seseorang yang haus. Alangkah besar dan agungnya keadilan meskipun sedikit!”.[36] Dan dalam hadis lain beliau as juga bersabda: “Keadilan lebih manis dari madu, lebih lembut dari minyak dan lebih wangi dari kasturi”.[37]
Berkenaan dengan hasil-hasil dan efek-efek keadilan –terutama bila keadilan dari pihak pemerintahan yang berkuasa- Imam Shadiq as bersabda:
“ان الناس ?ستغنون اذا عدل ب?نهم و تنزل السماء رزقها و تخرج الارض برکتها بإذن الله تعال?”
“Sesungguhnya manusia akan merasa kecukupan bila keadilan berada di tengah-tengah mereka, langit menurunkan rizkinya dan bumi akan mengeluarkan berkahnya dengan seizin Allah swt”.[38]
Pada akhirnya kita memohon dari Allah swt supaya mentari keadilan keluar dari balik tirai dan menerapkan keadilan yang sebenarnya di seluruh dimensi-dimensinya. Kita pun di samping mendengungkan doa ini di semua tempat, juga berusaha memberikan jawaban terhadap harapan dan penantian Imam Mahdi as dan pula menyampaikan misi dan pesan beliau as kepada seluruh lapisan masyarakat. [www.al-shia.org]
* Diterjemahkan oleh Imam Ghozali dari artikel Persia “Intizarat-e Imam Zaman as Az Guruh-ha-ye Ijtimaiy” yang dimuat di “Farhang-ge Kaosar” [The Culture Of Kosar Quarterly Of Think And Precedures Of Ahlul-bayt (as) Holy, Tahun ke-11, Musim Panas 1387 HS].
Catatan Kaki:
[1] Doa ini terdapat dalam beberapa kitab penting; di antaranya: Al-Balad Al-Amin, Ibrahim bin Ali ‘Amili Kaf’amy (wafat tahun 905), hal. 350, lithography; Kasyf Al-Ghummah, Ali bin Isa Arbily (wafat tahun 693), jilid 1, hal. 279, Maktabah Bani Hasyim, Tabriz, 1381 H; Al-Mishbah, Kaf’amy, hal. 280, percetakan Radhi, Qom, 1405 H.
[2] Al-Kafi, Muhammad bin Ya’qub Kulainy (wafat tahun 329, jilid 1, hal. 47, Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, Teheran; Bihar Al-Anwar, Allamah Majlisi (wafat tahun 1110), jilid 2, hal. 108, Muassasah Al-Wafa’, Beirut; ‘Ilal Asy-Syarai’, Syaikh Shaduq (wafat tahun 381), jilid 2, hal. 395, Maktabah Ad-Davary; Majmu’ah Warram, Warram bin Abi Farras (wafat tahun 605), jilid 2, hal. 36, Maktabah Al-Faqih, Qom; Misykat Al-Anwar, Abul Fadhl Ali bin Hasan Thabarsi (wafat tahun 600), hal. 140, Kitab Khane-ye Haidariyeh, Najaf; Munyah Al-Murid, Syahid Tsany (wafat tahun 966), hal 138, Percetakan Daftar-e Tablighat, Qom.
[3] Wasail Asy-Syi’ah, Hurr ‘Amily (wafat tahun 1104), jilid 16, hal. 271, Muassasah Alul Bait as, Bihar Al-Anwar, jilid 48, hal. 252; ‘Ilal Asy-Syarai’, jilid 1, hal. 235; ‘Uyun Akhbar Ar-Ridha as, Syaikh Shaduq, hjilid 1, hal. 113, Percetakan Jahan; Al-Ghaibah, Syaikh Thusi (wafat tahun 460), hal. 63, Muassasah Ma’arif Islamy, Qom; Rijal Al-Kesyi, Muhammad bin Umar Kesyi (Abad ke-empat), hal. 493, Percetakan Universitas Masyhad.
[4] Al-Kafi, jilid 1, hal. 20.
[5] Ibid, jilid 2, hal. 585.
[6] Ibid, jilid 5, hal. 85.
[7] Ibid, hal. 86.
[8] Wasail Asy-Syi’ah, jilid 16, hal. 23.
[9] Mustadrak Al-Wasail, Mirza Nury (wafat tahun 1320), jilid 11, hal. 177, Muassasah Alul Bait as, Qom.
[10] Ibid, jilid 13, hal. 44; Ghurar Al-Hikam Wa Durar Al-Kalam, Abdul Wahid Amudy (wafat tahun 550), hal. 463, Percetakan Daftar-e Tablighat, Qom.
[11] Bihar Al-Anwar, jilid 64, hal. 315; A’lam Ad-Din, Hasan bin Abil Hasan Ad-Daylamy (wafat tahun 841), hal. 136, Muassasah Alul Bait as.
[12] Al-Kafi, jilid 8, hal. 33.
[13] Wasail Asy-Syi’ah, jilid 6, hal 177.
[14] Mustadrak Al-Wasail, jilid 11,hal. 371.
[15] Man La Yahdhuruhu Al-Faqih, Syaikh Shaduq, (wafat tahun 381), jilid 4, hal. 377, Percetakan Jami’ah Mudarrisin.
[16] Mustadrak Al-Wasail, jilid 14, hal. 153.
[17] Al-Kafi, jilid 8, hal. 93.
[18] Ibid, jilid 2, hal. 56.
[19] Ibid, jilid 5, hal. 324.
[20] Man La Yahdhuruhu Al-Faqih, jilid 3, hal. 506.
[21] Ibid, jilid 4, hal. 379.
[22] Ibid, hal. 376.
[23] Al-Kafi, jilid 2, hal. 265.
[24] Ibid.
[25] Ibid, hal. 641
[26] QS. Al-Ma’arij [70]: 24.
[27] Al-Kafi, jilid 3, hal. 498.
[28] Ibid, hal. 507.
[29] Ibid, hal. 556.
[30] Ibid, jilid 2, hal. 56.
[31] Bihar Al-Anwar, jilid 1, hal. 158.
[32] Ibid, jilid 68, hal. 96.
[33] Al-Kafi, jilid 8, hal. 163.
[34] Man La Yahdhuruhu Al-Faqih, jilid 3, hal. 6.
[35] Al-Kafi, jilid 1, hal. 20.
[36] Ibid, jilid 2, hal. 146.
[37] Ibid, hal. 147.
[38] Ibid, jilid 3, hal 568.
IMAM MAHDI AS : JURU SELAMAT DUNIA
Sumber : parstoday.com
15 Sya'ban, hari besar umat Islam dan hari bersejarah bagi Islam. Pasalnya di hari ini telah lahir manusia suci dan juru selamat Imam Mahdi as. Allah Swt sebelum penciptaan manusia kepada para malaikat mengatakan, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Khalifah pertama adalah Nabi Adam as dan selanjutnya adalah para nabi dan washi atau penerus mereka. Khalifah dan hujjah ini menjadi penghubung antara makhluk dan Sang Pencipta.
Keberadaan khalifah di muka bumi merupakan sunnah dan hukum yang tidak pernah berubah dan tetap ada sepanjang masa. Khalifah di sini menjadi manifestasi kebenaran mutlak dan yang lebih penting, mereka memiliki hubungan istimewa dengan Allah Swt. Manusia sebagai khalifatullah di muka bumi merupakan makhluk unggul dan paling sempurna dalam mewakili dan menunjukkan kesempurnaan serta kebaikan Allah Swt.
Al-Quran telah membicarakan berbagai kaum di masa lalu dan bagaimana Allah Swt telah mengutus nabi dan khalifah di antara mereka. Sebagian kaum ini menerima seruan kebenaran para nabi dan sebagian lainnya mengingkarinya. Oleh karena itu, mereka yang menolak mendapat murka dan azab Ilahi. Kisah-kisah al-Quran ini memiliki pesan universal, yakni Allah Swt tidak akan membiarkan sebuah kaum tanpa khalifah dan wali-Nya. Ini sebuah sunnah yang pasti di sistem penciptaan. Imam Ali as di khutbah pertama Nahjul Balaghah setelah mengisyaratkan penciptaan Adam mengatakan, "Allah Swt tidak pernah membiarkan sebuah umat manusia tidak memiliki seorang nabi, kitab Samawi, dan hujjah yang jelas."
Saat ini Imam Mahdi as juga menjadi khalifah dan hujjah Ilahi di muka bumi bagi umat manusia. Hujjah Ilahi ini dilahirkan pada Jumat 15 Sya'ban tahun 255 HQ di kota Samarra, Irak. Namanya sama dengan datuknya Nabi Muhammad Saw dan gelarnya adalah Abul Qasim. Pada tahun 260 H, seiring dengan gugurnya Imam Hasan Askari, Imam Mahdi berdasarkan sunnah Ilahi diangkat menjadi hujjah dan khalifatullah di muka bumi. Tugas mulia ini tetap berlanjut setelah lebih dari seribu tahun dari kelahiran manusia suci ini.
Kedatangan Imam Mahdi dimaksudkan untuk mengubah dunia dan memperbaiki setiap urusan serta mencabut setiap peradaban yang didasarkan pada arogansi dan penipuan. Ia akan membangun peradaban baru berdasarkan nilai-nilai Ilahi sehingga janji Allah Swt akan terealisasi serta bumi dipenuhi dengan perdamaian, persabahatan dan keadilan. Sementara itu, musuh Allah yang terus menyembunyikan kebenaran dan melanjutkan pengingkaran mereka, kali ini pun mereka berencana membunuh imam dan khalifatullah tersebut. Tapi Allah Swt menyembunyikan hujjah terakhir ini dari pandangan umat manusia dan akan keluar di waktu yang tepat untuk merealisaikan janji Ilahi.
Imam Mahdi as senantiasa mengawasi kondisi umat mukmin dan pengikutnya, sehingga peluang bagi kemunculannya terpenuhi. Kemunculan imam terakhir ini membutuhkan waktu, perkembangan akal, ilmu dan akhlak manusia serta kesiapan mereka untuk mengikuti sang hujjah Ilahi ini. Imam terakhir ini akan mengambil kekuasaan umat manusia demi membimbing mereka ke tujuan yang dimaksud. Ia memerintah berdasarkan hukum Ilahi dan keadilan mewarnai pemerintahannya.
Pemerintahan seperti ini hanya mungkin terwujud ketika masyarakat siap menerima bimbingan Ilahi. Namun ketika peluang bagi pemerintahan seperti ini tidak ada, dan masyarakat tidak siap menerima pemerintahan Ilahi seperti ini, maka kemunculan hujjah Ilahi dan penyelamat manusia tidak akan bermanfaat.
Manusia membutuhkan sebuah pemerintahan dan pemimpin di kehidupan sosial mereka untuk mempertahankan eksistensinya dan kemajuan. Manusia tunduk pada seorang pemimpin sehingga mereka mampu membangun sebuah masyarakat yang sehat, tenang dan penuh keadilan. Namun bukan saja manusia meraih impiannya ini, bahkan setiap hari mereka menyaksikan maraknya beragam kezaliman. Oleh karena itu, atmosfer politik dan keamanan dunia mulai goyah, beragam fitnah menyebar ke berbagai wilayah, wabah menular mulai marak dan dekadensi moral tak dapat dihindari.
Di kondisi seperti ini umat manusia mulai mengharapkan munculnya juru selamat yang memerintah dunia dengan penuh keadilan. Harapan dan menanti adalah peluang tepat untuk menerima kepemimpinan global Imam Mahdi as. Sikap ini harus matang dan meresap di seluruh eksistensi masyarakat manusia. Poin ini harus diperhatikan bahwa penantian bukan berarti seseorang diam dan tidak aktif, duduk dan tidak melakukan apapun, tapi menunggu sama halnya dengan optimisme dan berharap. Optimisme dan harapan di kehidupan manusia adalah faktor paling efektif untuk bergerak dan berjuang. Esensi optimisme adalah memadang masa depan dengan ceria seperti yang telah dijanjikan oleh Allah Swt di ayat-ayat al-Quran dan riwayat.
Gustave Le Bon, sejarawan Perancis mengatakan, “Pelayanan terbesar manusia adalah yang mampu menjaga manusia untuk tetap optimis.” Harapan dan penantian akan kemunculan Imam Mahdi af selain menjadi solusi bagi masa depan manusia, juga menjadi sumber inspirasi dan motivasi. Manusia memiliki kekuatan yang berkelanjutan dan menyimpan energi mereka lalu menyerahkannya kepada generasi yang akan datang. Dengan cara itu mereka dapat mencegah generasi mendatang dizalimi dan musnah, sehingga mendekati hari kemunculan Imam Mahdi as.
Imam Mahdi as merupakan simbol rahmat, kekuasaan ilahi dan manifestasi keadilan ilahi. Siapa yang mendapatkan rahmat dan keutamaan ilahi ini, maka ia akan mendapatkan dirinya semakin dekat keapda Allah. Karena peran tawasul dan hubungan batin dengan Imam Mahdi as menyebabkan jiwa manusia tumbuh dan spiritualnya semakin menyempurna. Imam dan akidah kepada Imam Mahdi as mencegah manusia menyerah. Bangsa yang mengimaninya akan selalu dipenuhi rasa optimis dan akan berjuang demi keagungan Islam.
Kesejahteraan sosial merupakan hasil dari pemerintahan global Imam Mahdi as. Sepanjang sejarah umat manusia sudah banyak usaha dilakukan agar manusia dapat merasakan kesejahteraan, tapi yang terjadi justru banyak hak-hak yang terampas dan terinjak-injak. Mereka tidak pernah merealisasikan keinginan ini. Kesejahteraan sosial menjadi sarana bagi pertumbuhan dan kesempurnaan spiritual dan pemikiran manusia.
Namun seperti apa pemerintahan Imam Mahdi as yang dielu-elukan dan diharapan oleh para penantinya? Terkait pemerintahan tersebut, banyak riwayat dan ayat yang menyebutkan kriterianya. Termasuk di antaranya adalah bahwa pemerintahan Imam Mahdi as, adalah pemerintahan rakyat yang berporos pada penegakan tuntutan masyarakat tertindas dan papa di dunia.
Dalam pemerintahan Imam Mahdi as, hukum-hukum syariat akan diberlakukan. Sepanjang sejarah banyak ideologi manusia yang telah terbukti ketidakefektifannya. Oleh sebab itu pada pemerintahan universal Imam Mahdi as, ketentuan dan syarat agama terakhir dan paling lengkap, Islam, akan diberlakukan.
Salah satu prinsip penting Islam adalah perluasan keadilan, di mana di dalamnya tidak ada diskriminasi dan ketimpangan. Banyak hadis yang menyebutkan keadilan dalam pemerintahan Imam Mahdi as di akhir zaman kelak. Salah satu di antaranya adalah hadis Rasulullah Saw, "Aku akan memberikan kabar gembira kepada kalian soal kemunculan Mahdi (as), ketika perselisihan dan kebimbangan masyarakat meluas, dia akan bangkit dan memenuhi bumi dengan keadilan dan kebajikan setelah dipenuhi dengan kezaliman dan kejahatan. Penghuni langit dan bumi akan meridhoi pemerintahannya dan akan membagikan kekayaan di antara masyarakat secara merata."
Pemerataan keadilan pasti akan dibarengi dengan penafian kezaliman dan pelanggaran. Salah satu tragedi terbesar umat manusia adalah perang dan pertempuran berdarah yang destruktif. Sejak sejarah manusia di mulai, betapa banyak terjadi pertempuran besar dan kecil yang merenggut nyawa manusia. Musibah getif ini juga terjadi di era kontemporer dengan skala yang lebih luas.
Dalam meneggakan pemerintahan Ilahi, Imam Mahdi dibantu oleh pengikut-pengikut setianya. Para pengikut ini memiliki kriteria istimewa. Mereka adalah sosok yang memiliki kemampuan manajemen tinggi baik dari sisi spiritual, dan juga orang yang sempurna di zamannya. Para pemuka agama telah menjelaskan kriteria para pengikut Imam Mahdi ini. Kriteria seperti keilmuan, makrifat, iman, takwa, ibadah, penghambaan, ahli munajat merupakan sebagian sifat yang telah dijelaskan terkait pengikut Imam Mahdi.
Salah seorang penulis menegaskan , "Pada dasarnya, fotorisme (keyakinan tentang periode akhir zaman dan kemunculan seorang juru penyelamat yang selalu ditunggu-tunggu) adalah sebuah keyakinan fundamental di dalam agama-agama Yahudi, Zoroaster, Kristen dengan ketiga alirannya (Katholik, Protestan dan Ortodoks), para peyakin kenabian pada umunya dan agama Islam pada khususnya. Hal itu telah dibahas secara mendetail di dalam pembahasan-pembahasan teologis agama-agama langit." (Majmû'eh-ya Hekmat, tahun ketiga, no. 1 dan 2, makalah Sayid Hadi Khosrou-shahi.).
Sangat banyak sekali kabar gembira kitab-kitab suci berkenaan dengan Imam mahdi as yang telah sampai kepada kita. Sebagian ulama telah mengumpulkannya dalam sebuah buku yang diberi judul "Besyârât-e 'Ahdain" (Kabar Gembira Di Dalam Dua Kitab Perjanjian). Bahkan, ada sebagian orang yang mengklaim bahwa di dalam buku-buku peninggalan Mesir kuno juga terdapat indikasi-indikasi terhadap hal ini.
Pada kesempatan ini, marilah kita simak bersama pernyataan dan kabar gembira yang sempat sampai kepada kita tentang kedatangan seorang juru penyelemat di akhir zaman sebagai peninggalan dari masyarakat dan peradaban kuno yang layak kita renungkan bersama.
Sebelumnya perlu diketahui bahwa ketika mereka mengungkapkan seorang juru penyelamat di akhir zaman, mereka menyebutkan nama-nama tertentu yang akrab di telinga masyarakat kala itu. Dengan demikian, meskipun nama yang termaktub di dalam buku-buku itu bukan al-Mahdi, tapi maksud mereka adalah al-Mahdi yang telah dijanjikan tersebut.
a. Dalam kitab Zand, salah satu kitab suci agama Zoroaster, dalam pembahasan bahwa kejahatan akan lenyap dan orang-orang saleh akan mewarisi bumi setelah orang-orang lalim terbasmi, disebutkan demikian, "Laskar Ahriman (orang-orang lalim) akan selalu berperang melawan laskar-laskar Izadan (putra-putra tuhan langit), dan pada umumnya, laskar Ahriman selalu memenangkan peperangan itu. Akan tetapi, kemenangan mereka ini tidak sampai dapat membasmikan laskar Izadan. Hal itu dikarenakan pada saat sulit seperti itu, akan selalu datang pertolongan dari Ourmazd tuhan langit kepada Izadan, putra-putranya, dan peperangan mereka ini akan berlanjut selama 9 tahun. Setelah itu, kemenangan besar akan berpihak kepada Izadan dan mereka akan berhasil membasmi laskar Ahriman. Seluruh kekuasaan Ahriman berpusat di bumi dan mereka tidak memiliki jalan ke langit. Setelah kemenangan Izadan dan terbasminya Ahriman, seluruh alam semesta akan mencapai kebahagiaan aslinya dan Bani Adam akan duduk di atas singgasana kesejahteraan."( Besharat-e 'Ahdain, hal. 237.).
b. Di dalam Ghatha, salah satu bagian dari empat bagian kita suci Avesta (pasal 8 dan 9) terdapat beberapa berita gembira berkenaan dengan kemunculan Imam Mahdi as dan kekuasaan beliau yang mendunia. Revolusi agung beliau ini akan terjadi di akhir zaman sesuai dengan janji-janji para nabi as. Dalam kitab tersebut disebutkan, "Ketika balasan orang-orang yang berdosa ini telah tiba, negaramu pada waktu itu wahai Muzda akan dipimpin oleh Bahman. Umat manusia (pada waktu itu) telah melupakan segala kebohongan. Kami berharap akan termasuk golongan mereka yang memulai kehidupan baru ini."
c. Begitu juga, di dalam Gatha tersebut disebutkan berita gembira tentang kemunculan satu-satunya juru penyelamat umat manusia dalam sebuah pasal yang berjudul "Pagi Hari". Bunyi berita gembira tersebut adalah "Wahai Muzda, kapankah pagi hari itu akan tiba dan kapankah agama yang sejati akan mendominasi dunia dengan membawa ajaran-ajaran para pembebas yang sangat logis? Siapakah orang-orang yang akan mendapatkan pertolongan Bahman? Untuk memberitahukan hal ini, aku telah memilihmu wahai Ahura-muzda."
Setelah menukil kedua berita gembira yang terdapat dalam Gatha tersebut, penulis buku "Besharat-e 'Ahdain" berkomentar: "Dalam catatan kakinya, penerjemah kitab Gatha menafsirkan Bahman yang telah disebutkan dalam kedua kabar gembira sebagai delegasi Ahura-muzda yang sangat kuat, maha benar dan penuntut keadilan. Berdasarkan hal ini, penjelasan atas kedua cuplikan berita gembira tersebut adalah sebagai berikut:
Di akhir zaman sebelum terjadinya hari kebangkitan universal, orang-orang yang berdosa akan mendapatkan balasan duniawi atas segala perbuatan mereka melalui tangan seorang delegasi kekuatan mutlak, kebenaran, kekudusan dan keadilan Ilahi yang sangat kokoh. Pemerintahan yang penuh dengan kesejahterann ini hanya akan dimiliki oleh orang-orang yang telah meninggalkan segala kebohongan dan melupakan segala tindak kejahatan.
Sungguh masa yang cemerlang itu adalah sebuah pagi hari yang pemerintahan Ilahiah yang benar mulai tumbuh dan agama yang benar ini, agama abadi umat akhir zaman akan mendominasi seluruh dunia. Sebuah agama yang telah memuat seluruh ajaran para nabi, dan satu-satunya delegasi kekuatan dan keadilan Ilahi tersebut akan menyebarkan dan merealisasikan seluruh ajaran salih dan terpuji para pemimpin umat manusia itu.
Jelas bahwa kedua frase tersebut membicarakan tentang kemunculan Imam Mahdi as, meskipun ia tidak menyebutkan nama beliau. Akan tetapi, pemerintahan universal dan keadilan yang mencakup seluruh dunia yang telah diprediksikannya adalah sebaik-baik pertanda atas (pemerintahan) figur agung Ilahi tersebut."( Besharat-e 'Ahdain, hal. 10-11, setelah mukadimah cetakan ke-2).
d. Jamasb memiliki sebuah sebuah buku yang terkenal bernama "Jamasb-nameh". Buku ini memuat seluruh peristiwa dunia, baik yang telah terjadi maupun yang akan datang. Kitab ini juga menjelaskan biografi para raja, nabi, washî dan para wali Allah. Ketika ia menukil sebuah ucapan Zoroaster tentang para nabi, ia menulis tentang Nabi Islam saw dan pemerintahan Imam Mahdi as yang abadi, serta Raj'ah sekelompok orang yang sudah meninggal dunia ke dunia ini demikian: "Nabi bangsa Arab adalah seorang nabi terakhir yang muncul di antara pegunungan Mekah. Ia adalah seorang penunggang onta dan kaumnya adalah para penunggang onta. Ia makan bersama dengan para hambanya dan duduk sebagaimana layaknya para hamba. Ia tidak memiliki bayangan dan dapat melihat di belakang kepalanya sebagaimana melihat di depan wajahnya. Agamanya adalah agama yang paling mulia dan kitabnya akan membatalkan seluruh kitab-kitab yang lain. Pemerintahannya akan membasmikan seluruh pemerintahan kaum 'Ajam. Ia akan membasmi seluruh agama Majusi dan kerajaan dan menghancurkan seluruh tempat api penyembahan. (Dengan demikian), masa pemerintahan Pishdadiyan, Kiyaniyan, Sasaniyan dan Ashkaniyan akan berakhir."
Setelah itu, ia menulis berkenaan dengan Imam Mahdi as demikian: "Dari anak cucu putri Nabi itu yang dikenal dengan sebutan matahari dunia dan jujungan wanita semesta alam akan muncul satu orang yang akan menjadi seorang raja di dunia ini dengan ketentuan dari Yazdan. Ia adalah pengganti terakhir Nabi itu di dunia ini (Mekah) dan pemerintahannya akan bersambung kepada hari kiamat. Setelah kerajaannya usai, dunia akan berakhir, langit akan tergulung, bumi akan tenggelam ke dalam air, dan gunung-gunung akan sirna. Ia akan menangkap Ahriman yang menentang Yazdan dan selalu bermaksiat kepadanya, lalu ia akan menghukum dan membunuhnya.
Nama agamanya adalah sebuah hujah yang konklusif (qath'i)dan benar. Ia akan mengajak makhluk kepada Yazdan, dan akan menghidupkan makhluk, baik yang baik maupun yang jahat. Ia akan memberi pahala kepada orang-orang yang baik dan memberikan ganjaran kepada orang-orang yang jahat. (Pada masanya), sangat banyak orang baik dan nabi yang akan hidup kembali, dan ia akan menghidupkan sebagian orang-orang yang jahat, para musuh tuhan dan para penentang. Ia akan menghidupkan sebagian raja-raja yang telah membuat fitnah-fitnah di dalam agama dan membunuh hamba-hamba Yazdan yang baik. Ia akan membunuh seluruh pengikut Ahriman dan orang-orang lalim. Nama raja itu adalah Bahram.
Kemunculannya akan terjadi di akhir zaman ... Kemunculannya itu akan terjadi ketika kaum Mongol menang atas kaum Persia dan kota-kota Oman hancur karena ulah seorang raja dari 'Ajam. Setelah itu, ia akan keluar, berperang dan membunuh Dajjal. Ia akan terus menjelajah hingga merebut Konstantinopel dan mengibarkan bendera iman dan Islam di sana. Tongkat merah Nabi Musa menyertainya dan cincin dan mahkota Sulaiman berada pada dirinya. Jin, manusia, hewan, bangsa burung dan hewan-hewan buas akan berada di bawah perintahnya ....
Ia akan menyatukan seluruh agama dunia sehingga agama Yahudi dan Zoroaster akan sirna. Seluruh nabi Allah, orang-orang bijak, putra-putri peri, hewan, bangsa burung, segala jenis binatang, awan, angin dan orang-orang yang bercahaya wajahnya akan berkhidmat kepadanya ...."( Lama'ât an-Nûr, jilid 1, hal. 23-25.)
Jamasb dikenal dengan julukan orang agung dan bijak dalam dunia sastra Persia dan Arab. Orang-orang Persia dan Arab juga menisbatkan beberapa prediksi kepadanya. Sepertinya, ia adalah seorang bijak yang ahli dalam ilmu perbintangan. Menurut pengakuan penulis buku "Habîb as-Sair", "Ia adalah murid Lukman dan saudara Goshtasb. Ia memiliki kemahiran yang sempurna dalam ilmu perbintangan."
Pengarang buku "Besharat-e 'Ahdain" setelah menukil berita gembira dari buku Jamasb tersebut menulis tentang kehidupannya dalam catatan kakinya, "Para ahli sejarah menulis, 'Jamasb, saudara Goshtasb bin Suhrab hidup setelah 4996 tahun Nabi Adam turun ke bumi. Selama beberapa waktu ia pernah belajar dari Zoroaster dan juga pernah menjadi murid Chankarmakhajeh, seorang ilmuan berkebangsaan India. Dalam "Jamasb-nameh"nya ia telah melakukan prediksi (tentang masa depan) sejak dari masa ia hidup hingga 5000 tahun mendatang. Kuburannya terletak di Khofrak, Persia."( Besharat-e 'Ahdain, hal. 243.)
e. Begitu juga dalam buku Jamasb berkenaan dengan pemerintahan makmur Imam Mahdi as, perdamaian yang mendominasi dunia binatang, terbasminya kelaliman dan kebejatan, kemanunggalan pemerintahan dunia, kesepakatan umat manusia untuk memeluk agama Islam, dan bahwa beliau akan mengikuti jalan Islam, agama kakek beliau disebutkan, "Salah seorang dari anak cucu Hasyim akan muncul dari negeri orang-orang 'Ajam. Ia adalah seorang yang tegap. Ia akan mengikuti agama kakeknya. Ia akan menuju ke Iran dengan bala tentara yang sangat banyak dan menciptakan kemakmuran, serta memenuhi bumi ini dengan keadilan. Karena keadilannya srigala mau meminum dari dari satu air dengan kambing.
Jumlah penduduk dunia akan bertambah banyak dan usia akan bertambah panjang sehingga seseorang dapat memiliki lima puluh orang putra dan putri. Gunung dan padang rumput akan dipenuhi oleh manusia dan binatang layaknya kemeriahan sebuah sebuah pesta pernikahan.
Semua orang akan kembali kepada agama seorang penguji cinta (Muhammad) dan segala bentuk kejahatan akan sirna dari dunia ini sehingga setiap orang akan lupa bahwa ia harus memiliki persenjataan. Jika kuungkapkan segala kebaikan pada masa itu, niscaya kehidupan yang sedang kita jalani ini akan menjadi pahit."( Besharat-e 'Ahdain, hal. 258, menukil dari buku Jamasb-nameh.).
f. Dalam buku "Bahman Yasht" telah disebutkan tentang kemunculan seorang figur luar biasa yang bernama Sushians (Juru Penyelamat Agung). Berkenaan dengan tanda-tanda kemunculannya ia berkata, "Tanda-tanda menakjubkan akan muncul di langit yang mengindikasikan kemunculan sang juru penyelamat dunia itu. Ia akan memerintahkan beberapa malaikat dari arah barat dan timur untuk menyampaikan pesannya ke seluruh penjuru dunia."( Uu Khahad Amad, hal. 108.).
g. Ketika Goshtasb menanyakan tentang bagaimana Sushians akan muncul dan memimpin dunia, Jamasb Sang Bijak menjelaskan, "Sushians akan menyebarkan agama ke seluruh dunia dan membasmi kemiskinan. Ia akan menyelamatkan Izadan dari tangan Ahriman dan menjadikan seluruh umat manusia satu pemikiran, satu ucapan dan satu perilaku."( Ibid. menukil dari Jamasb-nameh, hal. 121-122.).
Perlu kami tekankan di sini bahwa keyakinan tentang kemunculan Sushians ini sudah mendarah daging di tengah-tengah masyarakat Persia kuno sehingga ketika mereka mengalami kekalahan perang dan pasang-surutnya kehidupan, mereka selalu menyelamatkan dirinya dari rasa keputusasaan dengan mengingat akan kemuculan seorang juru penyelamat yang kuat tersebut.
Saksi nyata atas realita ini adalah dalam peperangan Qadisiah, setelah Rustam Farrukh-zad, komandan pasukan terkenal itu meninggal dunia, Yazdgerd, raja terakhir dinasti Sasaniyan terpaksa harus melarikan diri bersama seluruh anggota keluarganya.
Ketika ia sedang keluar dari istana Madain, sambil memandang balkon istananya yang megah ia berkata kepadanya, "Wahai balkon istanku, salam atasmu! Aku sekarang akan pergi dari sisimu hingga aku akan kembali lagi kepadamu bersama salah seorang putraku yang sekarang belum tiba kemunculannya."
Sulaiman ad-Dailami bercerita, "Suatu hari aku bertamu kepada Imam ash-Shadiq as. Aku bertanya kepada beliau tentang maksud Yazgerd dari ucapannya "salah seorang putraku" tersebut. Beliau berkata, 'Ia adalah Mahdi yang telah dijanjikan (kemunculannya) dan al-Qâ`im dari keluar Muhammad yang akan muncul di akhir zaman dengan perintah Allah. Ia adalah putraku yang keenam dan putra dari putri Yazdgerd. Dengan demikian, Yazdgerd adalah ayahnya juga." (Bihâr al-Anwâr, jilid 51, hal. 164.).
Karena Shahzanan yang lebih dikenal dengan sebutan Syahrbanu-menurut riwayat yang terkenal-, ibunda Imam Sajjad adalah putri Yazdgerd, dapat dipahami bahwa ia adalah ayah Imam Mahdi as yang sejati.
Kalki di dalam kerangka pemikiran para pengikut agama Hindu adalah seorang figur Ilahi dan menyatu dengan kedudukan tuhan yang tak terbatas. .( Movahhediyan, Ali, Gooneh-shenasi-ye Andishe-ye Mau'ood dar Adyan-ne Mokhtalef, majalah Haft Aseman, nomor 12 dan 13.).
Dalam sebuah kitab suci para pengikut agama Hindu berkenaan dengan karakteristik juru penyelamat umat manusia ini disebutkan, "Akibat dunia ini akan kembali ke tangan seseorang yang mencintai tuhan, salah seorang hamba-Nya yang istimewa dan namanya adalah sebuah nama yang sangat mulia."( Arman-shahr dar Adyan, majalah Pegah-e Hauzeh, nomor 24, hal. 2.).
Kalki memiliki kedudukan istimewa di dalam keyakinan para pengikut agama Hindu dan gambarnya yang berbentuk seorang penunggang kuda putih yang berwibawa dengan pedang terhunus di tangan dapat ditemukan di setiap pojok ruangan pameran seni mereka.( Movahhediyan, Ali, Gooneh-shenasi-ye Andishe-ye Mau'ood dar Adyan-ne Mokhtalef, majalah Haft Aseman, nomor 12 dan 13, hal. 117.).
Berdasarkan keyakinan agama Hindu, Kallki akan membumihanguskan pemerintahan orang-orang tak layak dan membentuk sebuah pemerintahan yang mendunia, penyebar keadilan dan berporos kepada agama murni. Atas dasar ini, dalam sebuah kitab suci mereka ditegaskan, "Tangan kebenaran akan datang dan pengganti terakhir akan muncul. Ia akan mendominasi seluruh arah Timur dan Barat dan memberikan petunjuk kepada seluruh makhluk di seluruh penjuru dunia."( Kharou-shahi, Hadi, Mosleh-e Jahani, hal. 60.)
Dalam sebuah buku sejarah Budha yang membahas sejarah Srilangka, terdapat pembahasan yang bersangkutan dengan masalah bangkitnya kembali Maitreya tersebut. Dalam buku itu disebutkan, "Setelah Budha sampai ke Nirwana yang agung dan dunia mengalami dekadensi moral (yang dahsyat), setelah lima ribu tahun dari Budha terakhir berlalu, ajaran-ajaran Budha akan tenggelam dan usia umat manusia akan berkurang sebanyak sepuluh tahun. Pada masa ini, roda kehidupan akan berbalik dan kehidupan umat manusia akan berubah. (Hal ini akan berlanjut) hingga usia umat manusia akan mencapai 80.000 tahun. Dengan panjangnya usia umat manusia dan tersedianya lahan untuk penyebaran ajaran-ajaran Budha ini, akan datang seorang penunjuk jalan. Ia akan mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi umat manusia dan menyebarkan ajaran-ajaran Budha. Setelah kondisi seperti surga ini tersedia dengan baik, Maitreya akan turun dari langit. (Dengan itu) ia akan menyempurnakan kebudhaannya dan mengajarkan ajaran-ajaran Budha kepada orang-orang mulia."
Menurut pendapat sebagian para peneliti, Budha menisbatkan nasab juru penyelamat itu kepada junjungan para makhluk di dunia dan akhirat. Ia juga menyifati hasil-hasil kebangkitannya demikian, "Kerajaan dunia akan berakhir di tangan putra junjungan para makhluk di dunia dan akhirat. Ia adalah seseorang yang memimpin seluruh dunia, menunggangi awan, menyatukan agama Allah dan menghidupkannya kembali."
Jika kita mencermati seluruh kitab suci agama Yahudi dalam hal ini, akan kita dapati bahwa juru penyelamat yang akan muncul menyelamatkan umat ini adalah tiga figur besar sejarah kemanusiaan. Mereka adalah Nabi Isa, Nabi Muhammad dan Imam Mahdi as. Meskipun demikian, mereka bukannya beriman kepada mereka, malah mereka menentang ketiga juru penyelamat tersebut.
Mereka mungkin bisa menyelamatkan diri dari Nabi Isa dan Muhammad, akan tetapi, akhir masa kehidupan mereka berada di tangan Imam Mahdi as. Dalam beberapa hadis disebutkan bahwa sebagian kelompok Yahudi akan memngikuti Dajjal ketika Imam Mahdi dan dan Nabi Isa muncul, dan ketika Dajjal berhasil dibunuh, mereka pun akan dibasmi seluruhnya.( Besyârât-e 'Ahdain, hal. 7; Khorsyîd-e Maghrib, hal. 55-56.)
a. Kedekatan masa kemunculan Nabi Isa dengan masa kemunculan Imam Mahdi as secara global. Hal itu dikarenakan-seperti telah kita ketahui bersama-Nabi Isa adalah nabi terakhir dari sekian silsilah kenabian sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw.
b. Terdapatnya tahrif dan perubahan yang relatif lebih sedikit terhadap kitab-kitab suci agama ini dibandingkan tahrif yang terjadi terhadap kitab-kitab suci agama Yahudi.
Kita dapat menemukan kabar gembira itu dalam kitab-kitab suci pokok mereka. Yaitu Injil Matta, Luqa, Marqus dan Yuhanna. Dalam Injil Barnabas pun-meskipun kitab ini tidak begitu dipercayai oleh para ulama Krsiten-juga terdapat kabar gembira yang dapat kita renungkan bersama.
IMAM MAHDI AS DALAM PERSFEKTIF AGAMA-AGAMA
Kedatangan Seorang Juru Penyelamat
Semenjak dahulu kala, kedatangan seorang juru penyelamat di akhir zaman adalah sebuah keyakinan yang telah diterima oleh semua kalangan. Mereka selalu mengenangnya dan menanamkan keyakinan tersebut di dalam benak mereka. Hingga sekarang pun, setelah beribu-ribu abad berlalu, kita masih dapat menemukan bukti-bukti historis tentang hal itu.Salah seorang penulis menegaskan , "Pada dasarnya, fotorisme (keyakinan tentang periode akhir zaman dan kemunculan seorang juru penyelamat yang selalu ditunggu-tunggu) adalah sebuah keyakinan fundamental di dalam agama-agama Yahudi, Zoroaster, Kristen dengan ketiga alirannya (Katholik, Protestan dan Ortodoks), para peyakin kenabian pada umunya dan agama Islam pada khususnya. Hal itu telah dibahas secara mendetail di dalam pembahasan-pembahasan teologis agama-agama langit." (Majmû'eh-ya Hekmat, tahun ketiga, no. 1 dan 2, makalah Sayid Hadi Khosrou-shahi.).
Sangat banyak sekali kabar gembira kitab-kitab suci berkenaan dengan Imam mahdi as yang telah sampai kepada kita. Sebagian ulama telah mengumpulkannya dalam sebuah buku yang diberi judul "Besyârât-e 'Ahdain" (Kabar Gembira Di Dalam Dua Kitab Perjanjian). Bahkan, ada sebagian orang yang mengklaim bahwa di dalam buku-buku peninggalan Mesir kuno juga terdapat indikasi-indikasi terhadap hal ini.
Pada kesempatan ini, marilah kita simak bersama pernyataan dan kabar gembira yang sempat sampai kepada kita tentang kedatangan seorang juru penyelemat di akhir zaman sebagai peninggalan dari masyarakat dan peradaban kuno yang layak kita renungkan bersama.
Sebelumnya perlu diketahui bahwa ketika mereka mengungkapkan seorang juru penyelamat di akhir zaman, mereka menyebutkan nama-nama tertentu yang akrab di telinga masyarakat kala itu. Dengan demikian, meskipun nama yang termaktub di dalam buku-buku itu bukan al-Mahdi, tapi maksud mereka adalah al-Mahdi yang telah dijanjikan tersebut.
Zoroaster
Sushians, Sang Juru Penyelemat
Dalam buku-buku referensi agama Zoroaster terdapat pernyataan yang tak terhingga berkenaan dengan kemunculan Imam Mahdi as. Mari kita perhatikan pernyataan-pernyataan tersebut di bawah ini:a. Dalam kitab Zand, salah satu kitab suci agama Zoroaster, dalam pembahasan bahwa kejahatan akan lenyap dan orang-orang saleh akan mewarisi bumi setelah orang-orang lalim terbasmi, disebutkan demikian, "Laskar Ahriman (orang-orang lalim) akan selalu berperang melawan laskar-laskar Izadan (putra-putra tuhan langit), dan pada umumnya, laskar Ahriman selalu memenangkan peperangan itu. Akan tetapi, kemenangan mereka ini tidak sampai dapat membasmikan laskar Izadan. Hal itu dikarenakan pada saat sulit seperti itu, akan selalu datang pertolongan dari Ourmazd tuhan langit kepada Izadan, putra-putranya, dan peperangan mereka ini akan berlanjut selama 9 tahun. Setelah itu, kemenangan besar akan berpihak kepada Izadan dan mereka akan berhasil membasmi laskar Ahriman. Seluruh kekuasaan Ahriman berpusat di bumi dan mereka tidak memiliki jalan ke langit. Setelah kemenangan Izadan dan terbasminya Ahriman, seluruh alam semesta akan mencapai kebahagiaan aslinya dan Bani Adam akan duduk di atas singgasana kesejahteraan."( Besharat-e 'Ahdain, hal. 237.).
b. Di dalam Ghatha, salah satu bagian dari empat bagian kita suci Avesta (pasal 8 dan 9) terdapat beberapa berita gembira berkenaan dengan kemunculan Imam Mahdi as dan kekuasaan beliau yang mendunia. Revolusi agung beliau ini akan terjadi di akhir zaman sesuai dengan janji-janji para nabi as. Dalam kitab tersebut disebutkan, "Ketika balasan orang-orang yang berdosa ini telah tiba, negaramu pada waktu itu wahai Muzda akan dipimpin oleh Bahman. Umat manusia (pada waktu itu) telah melupakan segala kebohongan. Kami berharap akan termasuk golongan mereka yang memulai kehidupan baru ini."
c. Begitu juga, di dalam Gatha tersebut disebutkan berita gembira tentang kemunculan satu-satunya juru penyelamat umat manusia dalam sebuah pasal yang berjudul "Pagi Hari". Bunyi berita gembira tersebut adalah "Wahai Muzda, kapankah pagi hari itu akan tiba dan kapankah agama yang sejati akan mendominasi dunia dengan membawa ajaran-ajaran para pembebas yang sangat logis? Siapakah orang-orang yang akan mendapatkan pertolongan Bahman? Untuk memberitahukan hal ini, aku telah memilihmu wahai Ahura-muzda."
Setelah menukil kedua berita gembira yang terdapat dalam Gatha tersebut, penulis buku "Besharat-e 'Ahdain" berkomentar: "Dalam catatan kakinya, penerjemah kitab Gatha menafsirkan Bahman yang telah disebutkan dalam kedua kabar gembira sebagai delegasi Ahura-muzda yang sangat kuat, maha benar dan penuntut keadilan. Berdasarkan hal ini, penjelasan atas kedua cuplikan berita gembira tersebut adalah sebagai berikut:
Di akhir zaman sebelum terjadinya hari kebangkitan universal, orang-orang yang berdosa akan mendapatkan balasan duniawi atas segala perbuatan mereka melalui tangan seorang delegasi kekuatan mutlak, kebenaran, kekudusan dan keadilan Ilahi yang sangat kokoh. Pemerintahan yang penuh dengan kesejahterann ini hanya akan dimiliki oleh orang-orang yang telah meninggalkan segala kebohongan dan melupakan segala tindak kejahatan.
Sungguh masa yang cemerlang itu adalah sebuah pagi hari yang pemerintahan Ilahiah yang benar mulai tumbuh dan agama yang benar ini, agama abadi umat akhir zaman akan mendominasi seluruh dunia. Sebuah agama yang telah memuat seluruh ajaran para nabi, dan satu-satunya delegasi kekuatan dan keadilan Ilahi tersebut akan menyebarkan dan merealisasikan seluruh ajaran salih dan terpuji para pemimpin umat manusia itu.
Jelas bahwa kedua frase tersebut membicarakan tentang kemunculan Imam Mahdi as, meskipun ia tidak menyebutkan nama beliau. Akan tetapi, pemerintahan universal dan keadilan yang mencakup seluruh dunia yang telah diprediksikannya adalah sebaik-baik pertanda atas (pemerintahan) figur agung Ilahi tersebut."( Besharat-e 'Ahdain, hal. 10-11, setelah mukadimah cetakan ke-2).
d. Jamasb memiliki sebuah sebuah buku yang terkenal bernama "Jamasb-nameh". Buku ini memuat seluruh peristiwa dunia, baik yang telah terjadi maupun yang akan datang. Kitab ini juga menjelaskan biografi para raja, nabi, washî dan para wali Allah. Ketika ia menukil sebuah ucapan Zoroaster tentang para nabi, ia menulis tentang Nabi Islam saw dan pemerintahan Imam Mahdi as yang abadi, serta Raj'ah sekelompok orang yang sudah meninggal dunia ke dunia ini demikian: "Nabi bangsa Arab adalah seorang nabi terakhir yang muncul di antara pegunungan Mekah. Ia adalah seorang penunggang onta dan kaumnya adalah para penunggang onta. Ia makan bersama dengan para hambanya dan duduk sebagaimana layaknya para hamba. Ia tidak memiliki bayangan dan dapat melihat di belakang kepalanya sebagaimana melihat di depan wajahnya. Agamanya adalah agama yang paling mulia dan kitabnya akan membatalkan seluruh kitab-kitab yang lain. Pemerintahannya akan membasmikan seluruh pemerintahan kaum 'Ajam. Ia akan membasmi seluruh agama Majusi dan kerajaan dan menghancurkan seluruh tempat api penyembahan. (Dengan demikian), masa pemerintahan Pishdadiyan, Kiyaniyan, Sasaniyan dan Ashkaniyan akan berakhir."
Setelah itu, ia menulis berkenaan dengan Imam Mahdi as demikian: "Dari anak cucu putri Nabi itu yang dikenal dengan sebutan matahari dunia dan jujungan wanita semesta alam akan muncul satu orang yang akan menjadi seorang raja di dunia ini dengan ketentuan dari Yazdan. Ia adalah pengganti terakhir Nabi itu di dunia ini (Mekah) dan pemerintahannya akan bersambung kepada hari kiamat. Setelah kerajaannya usai, dunia akan berakhir, langit akan tergulung, bumi akan tenggelam ke dalam air, dan gunung-gunung akan sirna. Ia akan menangkap Ahriman yang menentang Yazdan dan selalu bermaksiat kepadanya, lalu ia akan menghukum dan membunuhnya.
Nama agamanya adalah sebuah hujah yang konklusif (qath'i)dan benar. Ia akan mengajak makhluk kepada Yazdan, dan akan menghidupkan makhluk, baik yang baik maupun yang jahat. Ia akan memberi pahala kepada orang-orang yang baik dan memberikan ganjaran kepada orang-orang yang jahat. (Pada masanya), sangat banyak orang baik dan nabi yang akan hidup kembali, dan ia akan menghidupkan sebagian orang-orang yang jahat, para musuh tuhan dan para penentang. Ia akan menghidupkan sebagian raja-raja yang telah membuat fitnah-fitnah di dalam agama dan membunuh hamba-hamba Yazdan yang baik. Ia akan membunuh seluruh pengikut Ahriman dan orang-orang lalim. Nama raja itu adalah Bahram.
Kemunculannya akan terjadi di akhir zaman ... Kemunculannya itu akan terjadi ketika kaum Mongol menang atas kaum Persia dan kota-kota Oman hancur karena ulah seorang raja dari 'Ajam. Setelah itu, ia akan keluar, berperang dan membunuh Dajjal. Ia akan terus menjelajah hingga merebut Konstantinopel dan mengibarkan bendera iman dan Islam di sana. Tongkat merah Nabi Musa menyertainya dan cincin dan mahkota Sulaiman berada pada dirinya. Jin, manusia, hewan, bangsa burung dan hewan-hewan buas akan berada di bawah perintahnya ....
Ia akan menyatukan seluruh agama dunia sehingga agama Yahudi dan Zoroaster akan sirna. Seluruh nabi Allah, orang-orang bijak, putra-putri peri, hewan, bangsa burung, segala jenis binatang, awan, angin dan orang-orang yang bercahaya wajahnya akan berkhidmat kepadanya ...."( Lama'ât an-Nûr, jilid 1, hal. 23-25.)
Jamasb dikenal dengan julukan orang agung dan bijak dalam dunia sastra Persia dan Arab. Orang-orang Persia dan Arab juga menisbatkan beberapa prediksi kepadanya. Sepertinya, ia adalah seorang bijak yang ahli dalam ilmu perbintangan. Menurut pengakuan penulis buku "Habîb as-Sair", "Ia adalah murid Lukman dan saudara Goshtasb. Ia memiliki kemahiran yang sempurna dalam ilmu perbintangan."
Pengarang buku "Besharat-e 'Ahdain" setelah menukil berita gembira dari buku Jamasb tersebut menulis tentang kehidupannya dalam catatan kakinya, "Para ahli sejarah menulis, 'Jamasb, saudara Goshtasb bin Suhrab hidup setelah 4996 tahun Nabi Adam turun ke bumi. Selama beberapa waktu ia pernah belajar dari Zoroaster dan juga pernah menjadi murid Chankarmakhajeh, seorang ilmuan berkebangsaan India. Dalam "Jamasb-nameh"nya ia telah melakukan prediksi (tentang masa depan) sejak dari masa ia hidup hingga 5000 tahun mendatang. Kuburannya terletak di Khofrak, Persia."( Besharat-e 'Ahdain, hal. 243.)
e. Begitu juga dalam buku Jamasb berkenaan dengan pemerintahan makmur Imam Mahdi as, perdamaian yang mendominasi dunia binatang, terbasminya kelaliman dan kebejatan, kemanunggalan pemerintahan dunia, kesepakatan umat manusia untuk memeluk agama Islam, dan bahwa beliau akan mengikuti jalan Islam, agama kakek beliau disebutkan, "Salah seorang dari anak cucu Hasyim akan muncul dari negeri orang-orang 'Ajam. Ia adalah seorang yang tegap. Ia akan mengikuti agama kakeknya. Ia akan menuju ke Iran dengan bala tentara yang sangat banyak dan menciptakan kemakmuran, serta memenuhi bumi ini dengan keadilan. Karena keadilannya srigala mau meminum dari dari satu air dengan kambing.
Jumlah penduduk dunia akan bertambah banyak dan usia akan bertambah panjang sehingga seseorang dapat memiliki lima puluh orang putra dan putri. Gunung dan padang rumput akan dipenuhi oleh manusia dan binatang layaknya kemeriahan sebuah sebuah pesta pernikahan.
Semua orang akan kembali kepada agama seorang penguji cinta (Muhammad) dan segala bentuk kejahatan akan sirna dari dunia ini sehingga setiap orang akan lupa bahwa ia harus memiliki persenjataan. Jika kuungkapkan segala kebaikan pada masa itu, niscaya kehidupan yang sedang kita jalani ini akan menjadi pahit."( Besharat-e 'Ahdain, hal. 258, menukil dari buku Jamasb-nameh.).
f. Dalam buku "Bahman Yasht" telah disebutkan tentang kemunculan seorang figur luar biasa yang bernama Sushians (Juru Penyelamat Agung). Berkenaan dengan tanda-tanda kemunculannya ia berkata, "Tanda-tanda menakjubkan akan muncul di langit yang mengindikasikan kemunculan sang juru penyelamat dunia itu. Ia akan memerintahkan beberapa malaikat dari arah barat dan timur untuk menyampaikan pesannya ke seluruh penjuru dunia."( Uu Khahad Amad, hal. 108.).
g. Ketika Goshtasb menanyakan tentang bagaimana Sushians akan muncul dan memimpin dunia, Jamasb Sang Bijak menjelaskan, "Sushians akan menyebarkan agama ke seluruh dunia dan membasmi kemiskinan. Ia akan menyelamatkan Izadan dari tangan Ahriman dan menjadikan seluruh umat manusia satu pemikiran, satu ucapan dan satu perilaku."( Ibid. menukil dari Jamasb-nameh, hal. 121-122.).
Perlu kami tekankan di sini bahwa keyakinan tentang kemunculan Sushians ini sudah mendarah daging di tengah-tengah masyarakat Persia kuno sehingga ketika mereka mengalami kekalahan perang dan pasang-surutnya kehidupan, mereka selalu menyelamatkan dirinya dari rasa keputusasaan dengan mengingat akan kemuculan seorang juru penyelamat yang kuat tersebut.
Saksi nyata atas realita ini adalah dalam peperangan Qadisiah, setelah Rustam Farrukh-zad, komandan pasukan terkenal itu meninggal dunia, Yazdgerd, raja terakhir dinasti Sasaniyan terpaksa harus melarikan diri bersama seluruh anggota keluarganya.
Ketika ia sedang keluar dari istana Madain, sambil memandang balkon istananya yang megah ia berkata kepadanya, "Wahai balkon istanku, salam atasmu! Aku sekarang akan pergi dari sisimu hingga aku akan kembali lagi kepadamu bersama salah seorang putraku yang sekarang belum tiba kemunculannya."
Sulaiman ad-Dailami bercerita, "Suatu hari aku bertamu kepada Imam ash-Shadiq as. Aku bertanya kepada beliau tentang maksud Yazgerd dari ucapannya "salah seorang putraku" tersebut. Beliau berkata, 'Ia adalah Mahdi yang telah dijanjikan (kemunculannya) dan al-Qâ`im dari keluar Muhammad yang akan muncul di akhir zaman dengan perintah Allah. Ia adalah putraku yang keenam dan putra dari putri Yazdgerd. Dengan demikian, Yazdgerd adalah ayahnya juga." (Bihâr al-Anwâr, jilid 51, hal. 164.).
Karena Shahzanan yang lebih dikenal dengan sebutan Syahrbanu-menurut riwayat yang terkenal-, ibunda Imam Sajjad adalah putri Yazdgerd, dapat dipahami bahwa ia adalah ayah Imam Mahdi as yang sejati.
Hindu
Kalki, Sang Juru Penyelamat
Para pengikut agama Hindu tidak meragukan konsep adanya seorang juru penyelamat di akhir zaman dan mereka selalu mengingatnya di kitab-kitab suci mereka. Mereka meyakini bahwa pada periode besi, periode "Kali" sebagai periode keempat dan terakhir dunia ini, Kalki akan muncul. Kalki adalah jelmaan kesepuluh tuhan Wishnu (tuhan penjaga) yang akan datang pada masa dimana hanya seperempat dari ajaran agama diamalkan dan kelaliman mendominasi seluruh dunia.( Movahhediyan, Ali, Gooneh-shenasi-ye Andishe-ye Mau'ood dar Adyan-ne Mokhtalef, majalah Haft Aseman, nomor 12 dan 13.). Ia akan muncul dengan menunggangi kuda putih dengan menggenggam pedang berkilat bak batu meteor untuk membasmi kelaliman dan kejahatan. Ia akan membasmi segala bentuk kematian, Yama (baca: kebejatan) dan akan menang atas segala kekuatan yang menentangnya.Kalki di dalam kerangka pemikiran para pengikut agama Hindu adalah seorang figur Ilahi dan menyatu dengan kedudukan tuhan yang tak terbatas. .( Movahhediyan, Ali, Gooneh-shenasi-ye Andishe-ye Mau'ood dar Adyan-ne Mokhtalef, majalah Haft Aseman, nomor 12 dan 13.).
Dalam sebuah kitab suci para pengikut agama Hindu berkenaan dengan karakteristik juru penyelamat umat manusia ini disebutkan, "Akibat dunia ini akan kembali ke tangan seseorang yang mencintai tuhan, salah seorang hamba-Nya yang istimewa dan namanya adalah sebuah nama yang sangat mulia."( Arman-shahr dar Adyan, majalah Pegah-e Hauzeh, nomor 24, hal. 2.).
Kalki memiliki kedudukan istimewa di dalam keyakinan para pengikut agama Hindu dan gambarnya yang berbentuk seorang penunggang kuda putih yang berwibawa dengan pedang terhunus di tangan dapat ditemukan di setiap pojok ruangan pameran seni mereka.( Movahhediyan, Ali, Gooneh-shenasi-ye Andishe-ye Mau'ood dar Adyan-ne Mokhtalef, majalah Haft Aseman, nomor 12 dan 13, hal. 117.).
Berdasarkan keyakinan agama Hindu, Kallki akan membumihanguskan pemerintahan orang-orang tak layak dan membentuk sebuah pemerintahan yang mendunia, penyebar keadilan dan berporos kepada agama murni. Atas dasar ini, dalam sebuah kitab suci mereka ditegaskan, "Tangan kebenaran akan datang dan pengganti terakhir akan muncul. Ia akan mendominasi seluruh arah Timur dan Barat dan memberikan petunjuk kepada seluruh makhluk di seluruh penjuru dunia."( Kharou-shahi, Hadi, Mosleh-e Jahani, hal. 60.)
Budha
Maitreya Sang Penyelamat
Keyakinan tentang adanya seorang juru penyelamat di akhir zaman sangat erat hubungannya dengan konsep "Maitreya". Dalam bahasa Sansekreta, maitreya berarti orang yang penyayang. Meskipun persentase keyakinan terhadap konsep "Maitreya" dalam sekte-sekte Budha yang baraneka-ragam sangat berbeda, akan tetapi semua sekte itu tersebut meyakini adanya konsep "Maitreya" ini. Dalam seni pahat Budha, sosok Maitreya ini digambarkan sebagai orang yang duduk dan siap akan beranjak berdiri. Hal ini mengindikasikan bahwa ia siap untuk bangkit kembali (qiy âm).Dalam sebuah buku sejarah Budha yang membahas sejarah Srilangka, terdapat pembahasan yang bersangkutan dengan masalah bangkitnya kembali Maitreya tersebut. Dalam buku itu disebutkan, "Setelah Budha sampai ke Nirwana yang agung dan dunia mengalami dekadensi moral (yang dahsyat), setelah lima ribu tahun dari Budha terakhir berlalu, ajaran-ajaran Budha akan tenggelam dan usia umat manusia akan berkurang sebanyak sepuluh tahun. Pada masa ini, roda kehidupan akan berbalik dan kehidupan umat manusia akan berubah. (Hal ini akan berlanjut) hingga usia umat manusia akan mencapai 80.000 tahun. Dengan panjangnya usia umat manusia dan tersedianya lahan untuk penyebaran ajaran-ajaran Budha ini, akan datang seorang penunjuk jalan. Ia akan mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi umat manusia dan menyebarkan ajaran-ajaran Budha. Setelah kondisi seperti surga ini tersedia dengan baik, Maitreya akan turun dari langit. (Dengan itu) ia akan menyempurnakan kebudhaannya dan mengajarkan ajaran-ajaran Budha kepada orang-orang mulia."
Menurut pendapat sebagian para peneliti, Budha menisbatkan nasab juru penyelamat itu kepada junjungan para makhluk di dunia dan akhirat. Ia juga menyifati hasil-hasil kebangkitannya demikian, "Kerajaan dunia akan berakhir di tangan putra junjungan para makhluk di dunia dan akhirat. Ia adalah seseorang yang memimpin seluruh dunia, menunggangi awan, menyatukan agama Allah dan menghidupkannya kembali."
Yahudi
Juru Penyelamat Yang Terzalimi
Sebagai kaum yang mengaku pengikut Nabi Musa as, mereka juga sedang menunggu kedatangan seorang juru penyelamat. Dalam kitab-kitab suci mereka, seperti kitab Nabi Danial, kitab Nabi Hajja, kitab Nabi Shafaniya, kitab Nabi 'Isy'iya dan kitab Zabur Nabi Daud telah disebutkan realita ini. Bahkan, dalam "Nabuet Hayyild" (Wahyu Kecil) terdapat banyak penjelasan tentang masa kemunculan Rasulullah saw, peristiwa tentang masa Bi'tsah, tanda-tanda akhir zaman, Raj'ah dan karakteristik Imam Mahdi as.Jika kita mencermati seluruh kitab suci agama Yahudi dalam hal ini, akan kita dapati bahwa juru penyelamat yang akan muncul menyelamatkan umat ini adalah tiga figur besar sejarah kemanusiaan. Mereka adalah Nabi Isa, Nabi Muhammad dan Imam Mahdi as. Meskipun demikian, mereka bukannya beriman kepada mereka, malah mereka menentang ketiga juru penyelamat tersebut.
Mereka mungkin bisa menyelamatkan diri dari Nabi Isa dan Muhammad, akan tetapi, akhir masa kehidupan mereka berada di tangan Imam Mahdi as. Dalam beberapa hadis disebutkan bahwa sebagian kelompok Yahudi akan memngikuti Dajjal ketika Imam Mahdi dan dan Nabi Isa muncul, dan ketika Dajjal berhasil dibunuh, mereka pun akan dibasmi seluruhnya.( Besyârât-e 'Ahdain, hal. 7; Khorsyîd-e Maghrib, hal. 55-56.)
Kristen
Mahdi Sang Penyelamat
Dalam agama Kristen, terdapat kabar gembira yang lebih jelas berkenaan dengan sang juru penyelamat di akhir zaman dibandingkan dengan kitab-kitab suci sebelumnya. Hal itu disebabkan oleh dua hal:a. Kedekatan masa kemunculan Nabi Isa dengan masa kemunculan Imam Mahdi as secara global. Hal itu dikarenakan-seperti telah kita ketahui bersama-Nabi Isa adalah nabi terakhir dari sekian silsilah kenabian sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw.
b. Terdapatnya tahrif dan perubahan yang relatif lebih sedikit terhadap kitab-kitab suci agama ini dibandingkan tahrif yang terjadi terhadap kitab-kitab suci agama Yahudi.
Kita dapat menemukan kabar gembira itu dalam kitab-kitab suci pokok mereka. Yaitu Injil Matta, Luqa, Marqus dan Yuhanna. Dalam Injil Barnabas pun-meskipun kitab ini tidak begitu dipercayai oleh para ulama Krsiten-juga terdapat kabar gembira yang dapat kita renungkan bersama.
PENANTIAN YANG PROGRESIF (SEBUAH TELAAH TERHADAP KONSEP MAHDIISME)
- Oleh : Muhammad Jawodiy
“Dan Kami hendak memberi karunia
Kepada orang-orang tertindas di bumi ini,
Dan hendak menjadikan mereka para Imam (pemimpin)
Serta menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi.”
(QS. Al-Qashash, 28:5)
Dalam berbagai literatur, ada banyak teori mengenai sebab terjadinya perubahan sosial. Salah satu diantaranya menyebutkan bahwa yang mempengaruhi terjadinya perubahan dalam sejarah sebenarnya adalah great individuals (tokoh-tokoh besar) yang sering pula disebut dengan heroes (para pahlawan). Thomas Carlyle bahkan menulis bukunya dengan judul On Heroes, Hero Worship, and The Heroic in History (Para Pahlawan, Pemujaan-Pahlawan dan Kepahlawanan dalam sejarah). Dan Carlyle beserta pemikir-pemikir semacamnya pernah menyatakan bahwa perubahan sosial terjadi karena munculnya seorang tokoh atau pahlawan yang dapat menarik simpati para pengikutnya yang setia, kemudian bersama-sama melancarkan gerakan untuk mengubah masyarakat. Inilah yang oleh para sosiolog dinamakan dengan great individuals as historical force.
Mengapa manusia selalu mencari pahlawan dan merindukan kepahlawanan? Para sarjana psikologi telah melakukan kajian dan analisis, seperti tertuang dalam teori Adler. Teori Adler mengatakan, “Sesungguhnya manusia ini selalu berjalan terus menerus di belakang seorang pahlawan, memuji dan mengumandangkan hymne, sebab mereka selalu merindukan kebesaran dan keperkasaan, serta memastikan diri mereka sebagai manusia-manusia yang serba kurang. Mereka menutupi perasaan lemah tersebut dengan puji-pujian, menghamba kepada para pahlawan yang ada di sepanjang sejarah yang memperlihatkan kebesaran dan keperkasaannya. Berdasarkan hal ini, maka puji-pujian kepada para pahlawan dan upaya mencari seorang pahlawan yang terus menerus mereka lakukan untuk kemudian dipuja dan disembah, yang terdapat dalam ajaran berbagai aliran keagamaan adalah muncul dari kesadaran manusia terhadap kelemahan dirinya.” Lebih dari itu, manusia terus menerus berharap bisa memperoleh keindahan dan cinta, serta memuja keagungan yang mutlak dan gaib. Usaha ini telah mengantarkan manusia untuk menutupi kekurangannya dengan memuji, bermakrifat dan bertawakkal kepada maujud-maujud sakral tadi, atau melakukan peralihan dari kehidupan yang tidak suci, serba kurang dan rendah, menuju kehidupan yang bersifat metafisis dan sempurna, yang dengan itu ketinggian bisa dicapai.
Berkenaan dengan hal ini, agaknya konsep Islam tentang al-Mahdi, menjadi sesuatu yang mesti dan niscaya, meskipun oleh masing-masing mazhab pemikiran agamis dan ideologis terdapat pandangan yang berbeda. Kaum intelektual misalnya mengatakan, bahwa kepercayaan kepada Imam Mahdi dan Konsep Penantian – dari sudut pandang saintifik – tidak masuk akal, tidak logis dan bertentangan dengan kemajuan dan tanggung jawab manusia. Sementara kaum agamis, tidak meragukan ajaran agama, prinsip dan ritual-ritualnya, sehingga perlu untuk menganalisis, menjelaskan dan mempertahankannya serta menyangkal keberatan-keberatan dan juga berbagai pandangan kritis bahkan yang skeptis. Mereka percaya bahwa Sang Juru Selamat akan muncul ketika kerusakan dan kelaliman telah melanda dunia, yang akan mengangkat senjata dan mengadakan perlawanan terhadap para penindas, para pembunuh di Karbala, para khalifah kriminal dan penipu, pemerintahan Sufyanis dan para ulama serta pemimpin agama, baik Sunni maupun Syiah dan mazhab-mazhab lainnya yang telah memutarbalikkan agama untuk melayani berbagai kepentingan pribadi dan kelompok mereka. Akan ada suatu kedamaian universal dan bahkan tidak akan ada lagi kebutuhan terhadap materi, dan akan diganti dengan slogan, “Semoga salam tercurah atas Muhammad dan Keturunannya.” Tulisan ini sendiri tidak ingin membahas perbedaan-perbedaan pandangan tersebut, tetapi lebih banyak mencoba menelaah tentang konsep penantian terhadap al-Mahdi.
Secara umum, prinsip penantian ada dua jenis : negatif dan positif, dan keduanya saling bertentangan. Yang satu adalah penyebab kerusakan, sedangkan yang lainnya adalah penyebab pergerakan dan martabat. Yang satu ketundukan pada kehinaan dan suatu pembenaran bagi status quo, sedangkan yang lain progresif dan berorientasi ke masa depan. Tentang hal ini Ali Syariati menguraikannya lebih rinci. Pertama, Penantian adalah suatu prinsip sosio-intelektual dan naluriah manusia, dalam pengertian bahwa manusia secara mendasar adalah makhluk yang menanti, dan semakin manusiawi seseorang semakin ia menanti. Kedua, Penantian adalah sintesis dari dua prinsip yang bertentangan yaitu kebenaran dan kenyataan. Kita dapat melihat bagaimana realitas objektif bertentangan dengan kebenaran yang kita yakini dalam Islam. Karenanya, “penantian” merupakan sebuah pukulan terhadap realitas-realitas yang sampai sekarang mendominasi dunia, sejarah dan Islam. Ketiga, Menanti adalah ketentuan sejarah. Bahwa sejarah sedang bergerak menuju kemenangan keadilan yang tak dapat dihindari, pembebasan kaum mustadhafin serta penghapusan kelaliman dan ketidakadilan. Determinisme historis, yang adalah dasar filsafat saintifik abad ke-18 dan pendekatan historis yang paling penting diantara intelektual dunia non-Muslim, ada juga dalam aliran pemikiran ini, tetapi dalam bentuk yang berbeda. Keempat, Penantian menghasilkan kelanjutan sejarah. Dengan menanti membuat manusia berpandangan jauh dan berorientasi ke masa depan.
Lalu muncul pertanyaan. Siapakah sesungguhnya yang harus dinantikan kehadirannya? Bagi umat Islam penantian tersebut adalah diarahkan kepada hadirnya seorang Pemimpin (Imam) yang akan mengantarkan manusia menuju kesempurnaan. Dialah Imam Mahdi yang diyakini saat ini tengah berada dalam periode kegaiban (okultasi). Bagaimana bisa menjadi pemimpin sementara dia dalam keadaan gaib? Al-Quran menjelaskan kepada kita ada dua bentuk pemimpin umat. Pertama, pemimpin yang berada di tengah-tengah umatnya, dikenal dan dipatuhi. Kedua, pemimpin yang tersembunyi atau gaib, sebagaimana kisah Al-Quran tentang teman perjalanan Nabi Musa as. “Lalu mereka berdua (Musa dan budaknya) mendapatkan seorang hamba diantara hamba-hamba Kami yang telah Kami anugrahi rahmat Kami dan ajarkan padanya suatu ilmu. Musa berkata kepadanya : “Bolehkah aku ikut denganmu dan engkau mengajariku suatu petunjuk yang telah diajarkan padamu.” (QS. Al-Kahfi, 18:65-82)
Dengan demikian, seorang pemimpin tidak harus berada ditengah-tengah umatnya. Ia boleh saja tidak tampak atau menyembunyikan diri, jika kemaslahatan menuntut hal demikian. Akan tetapi ketersembunyiannya itu tidak lantas berarti bahwa ia tidak dapat berbuat sesuatu untuk umatnya. Imam Mahdi bukan orang pertama yang gaib. Nabi Musa pernah menghilang dari kaumnya selama empat puluh hari (QS. Al-A’raf, 7:142), Nabi Yunus juga pernah menghilang dalam apa yang disebut az-zulumat, kegelapan (QS. Al-Anbiya, 21:87-88). Jelasnya, seorang yang gaib dapat saja berbuat sesuatu dan memberikan manfaat bagi masyarakat banyak. Adapun ketidaktahuan kita akan apa yang diperbuatnya dan manfaatnya bagi kita, sama sekali tidak menunjukkan ketiadaan sesuatu itu. Betapa banyak rahasia syariat dan rahasia alam yang belum kita ketahui, tapi sama sekali tidak menunjukkan bahwa hal itu tidak berguna. Alam semesta ini diciptakan Allah tidak dengan sia-sia, hanya saja kita belum banyak mengetahui rahasia-rahasia yang ada dibaliknya. Tapi kita mesti mempercayainya, sebab ia datang dari Zat Yang Maha Suci dan tidak pernah ingkar. Demikian pula mengenai kegaiban Imam Mahdi.
Keyakinan tentang bakal munculnya al-Mahdi di akhir zaman merupakan aqidah Islamiyah yang tak terbantahkan. Terdapat puluhan, jika tidak ratusan, hadis-hadis Nabi SAW yang menegaskan adanya Imam Mahdi ini. Hadis-hadis tersebut bukan monopoli Syiah saja, sehingga dikatakan bahwa keyakinan tentang Imam Mahdi adalah ciptaan orang-orang Syiah karena penderitaan berat yang mereka alami dibawah kekuasaan Bani Umayyah dan Abbasiah. Buku-buku hadis Ahlussunnah, baik yang utama seperti al-Kutubus Sittah maupun buku-buku hadis lainnya, seperti Musnad Ahmad Ibn Hanbal, malah penuh dengan riwayat-riwayat tentang Imam Mahdi dari keluarga Fatimah binti Rasulillah SAW ini. Berikut sebagian hadis-hadis tentang Imam Mahdi dari kitab-kitab Ahlussunnah.
Abu Daud meriwayatkan dari Jabir Ibn Samurah yang berkata : “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Agama ini akan terus jaya sampai dengan dua belas Khalifah (Imam). Semuanya disepakati oleh umat. Dan aku mendengar dari Nabi SAW berbicara sesuatu, tapi tidak begitu jelas bagiku. Kutanyakan kepada ayahku : “Apa yang diucapkan Rasulullah? Ayahku berkata; semuanya dari Quraisy.”(Sunan Abu Daud). Al-Qanduzi meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib bahwasanya Nabi SAW bersabda : “Para Imam sesudahku ada dua belas. Engkau wahai Ali yang pertama, sedangkan yang terakhir adalah al-Qaim (Imam Mahdi), yang melaluinya Allah memberikan kemenangan besar bagi kaum muslimin dan menguasai timur dan barat.”
Abu Daud juga meriwayatkan dari Imam Ali bin Abi Thalib dari Nabi SAW : “Jika umur alam semesta ini tinggal sehari saja, Allah tetap akan mengutus seseorang dari keluargaku yang memenuhi alam ini dengan keadilan sebagaimana ia pernah dipenuhi oleh kezaliman.” (Sunan Abu Daud).
Ibnu Majah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Al-Mahdi berasal dari kami Ahlul Bait. Al-Mahdi dari keturunan Fatimah.” (Sunan Ibn Majah).
Turmudzi dalam Shahih-nya meriwayatkan, “Nanti akan berkuasa seorang dari Ahlul Baitku yang namanya sama dengan namaku. Seandainya usia dunia hanya tinggal sehari saja, maka Allah akan memperpanjang hari itu sampai al-Mahdi berkuasa.”
Al-Hafiz Abu Nuaim meriwayatkan dari Huzaifah Ibn al-Yaman bahwasanya pada suatu hari Rasulullah SAW berpidato di hadapan kami. Beliau bercerita tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi hingga hari kiamat. Kemudian Rasulullah SAW bersabda : “Jika tidak tersisa dari umur dunia kecuali satu hari saja, maka Allah akan perpanjang hari itu sampai Dia mengutus seseorang dari keturunanku yang namanya sama dengan namaku. Salman berdiri dan berkata : “Dari keturunanmu yang mana wahai utusan Allah? Rasulullah berkata sambil menepuk Al-Husain, “Dari keturunanku yang ini.” (‘Iqd al-Durar).
Selain pada kitab-kitab tersebut, hadis tentang bakal datangnya al-Mahdi pada akhir zaman juga terdapat pada kitab-kitab lain seperti, Ibn Hajar dalam al-Shawaiq al-Muhriqah-nya, Nurul Abshar, Is’af al-Raghibin, Yanabi’ al-Mawaddah, Musnad Ibn Hanbal dan Faraid al-Simtain.
Ajaran Mahdiisme, meskipun lebih akrab dengan kaum Syiah, namun hampir menjadi bagian integral dari Sunnisme Populer. Karenanya berulangkali terjadi gerakan Mahdi dan Mahdiisme sepanjang dunia Islam pada semua periode sejarah Muslim. Ibnu Khaldun malah meyakini bahwa semua Muslim percaya akan Mahdiisme, “Telah terkenal dan umumnya diterima oleh semua Muslim pada setiap masa, bahwa pada akhir zaman seseorang dari keluarga Nabi pasti muncul, tidak bisa tidak. Orang yang akan memperkuat agama dan memenangkan keadilan.” A.Ezzati dalam “The Revolutionary Islam” menyebutkan bahwa Ali Syariati dan Mehdi Bazargan adalah dua pemimpin terkemuka yang menggunakan ajaran Mahdiisme untuk mendorong masyarakat dalam perjuangan mereka bagi Revolusi Islam. Mahdiisme dalam wacana komunitas Muslim sesungguhnya merupakan sebuah tradisi dari pergerakan Islam disamping syahadah. Dengan kata lain, Mahdiisme dan Syahadah merupakan tradisi “militansi” kaum muslimin dalam mempersiapkan masa depan yang lebih baik.
Berbicara tentang masa depan memang adalah sesuatu yang mesti dipersiapkan. Begitu juga dengan penantian terhadap Imam Mahdi juga harus dipersiapkan. Al-Quran telah mengajarkan kepada kita untuk senantiasa memberikan perhatian dalam menyongsong hari depan, “Hai orang-orang ber-Iman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan hendaklah kamu memperhatikan apa yang telah engkau persiapkan untuk masa depanmu. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan .” (QS. Al-Hasyr, 59:18).
Karena itu, penantian yang kita persiapkan bukanlah sebuah penantian yang bersifat pasif dan hanya berpangku tangan, melainkan penantian dalam bentuk yang aktif dan progresif. Dan bahwa apapun yang kita lakukan sekarang ini adalah suatu proses yang hidup dan dinamis dengan suatu tujuan, menuju kesempurnaan. Kita berasal dari Zat Yang Maha Sempurna dan akan bergerak secara sempurna pula kembali menuju Dia, melalui bimbingan seorang yang senantiasa dinantikan kehadirannya dalam menyempurnakan kualitas umat manusia secara keseluruhan. Thomas Carlyle memilih salah satu tokoh dalam bukunya On Heroes, Hero-Worship and The Heroic in History itu adalah Nabi Umat Islam, Nabi Muhammad SAW yang didampingi oleh Ali, dan ia mengatakan, “Perjalanan sejarah umat manusia telah berubah dalam sekejap melalui kombinasi tangan kecil dengan tangan besar sesaat setelah diproklamasikannya kenabian dan pembai’atan pemuda Ali.” Dan dari keturunan Muhammad SAW dan Ali bin Abi Thalib lah kita akan menyambut Sang Manusia Sempurna. Allahumma ‘ajjil farajahus-syarif.
“Mereka hendak memadamkan cahaya Allah
dengan mulut-mulut mereka,
Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya,
Walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukainya.”
(QS. At-Taubah, 9:32)
KLAIM DUSTA KEMAHDIAN
Sumber : ikmalonline.com
Klaim Dusta Kemahdian
Tanpa menyebut nama oknum atau kelompok, klaim kemahdian; mengaku al-Mahdi atau wakilnya atau menisbatkan diri kepada al-Mahdi, yang media liput kemaren sore, bukan hal baru. Sayang jika disebutkan di halaman ini nama atau kelompok pengklaim itu menjadi iklan gratis bagi mereka.
Dalam sejarah didapati pengklaim secara tegas, menyebut dirinya atau orang lain al-Mahdi. Masalah ini mengetahui makna kebahasaan “mahdi” dan penggunaannya dalam bahasa dan istilah sangatlah penting. Kata ini telah digunakan sebagai sebuah gelar bagi seseorang termasuk Rasulullah saw, Ahlulbait dan para khalifahnya. Penggunaan yang demikian tidak masuk “buku” klaim ini, seperti menurut Jasim Husein (dalam “Tarikh Siyasi-e Ghaibate Imam Dawozdahom”) bahwa orang pertama yang menyebut al-Mahdi dalam arti terminologis bagi Muhammad bin Hanafiyah adalah Sayed Himyari penyair syiah yang populer.
Sejarah menunjukkan, dari masa Umawiyin sampai sekarang banyak sekali orang menyebut diri atau para pimpinan politis mereka al-Mahdi. Semua klaim mereka cenderung negatif dan menyimpang jauh dari ajaran Islam. Sisi kesamaan mereka, semua melihat pada pentingnya masalah kemahdian di mata muslimin.
Selain klaim kemahdian palsu itu, terdapat klaim palsu macam-macam perwakilan Imam Mahdi. Wikâlah (perwakilan) dalam istilah fikih ialah mewakilkan pada yang lain dalam mengesahkan terkait urusan, dan menyerahkan urusan kepadanya. Dalam undang-undang ialah berarti akad bahwa pihak yang satu dalam suatu urusan mewakil pihak yang lain.
Disimpulkan dari pengamatan cermat tentang makna kebahasaan dan keistilahan kata “wikâlah”, ialah mengandung makna tidak dapat atau tidak ingin menangani urusan secara langsung. Hal ini terjadi dengan alasan tertentu ketika menunjuk seorang wakil, sebagaimana yang dilakukan para imam Syiah. Seperti dalam menjalin kontak dengan Syiah daerah-daerah jauh, Imam Hasan Askari berkata kepada Usman bin Said: “Laksanakan hai Usman, kamu adalah wakil yang terpecaya dan amanah atas harta Allah.”
Mengaku-ngaku Sebagai Wakil Imam
Kata lain dari –atau yang bermakna- wakil seperti safîr dan nâib digunakan mengenai wakil-wakil khusus di masa ghaib kecil (shughra). Syaikh Thusi dalam kitabnya, “al-Ghaibah”, mengenai mereka terdapat di bagian para duta di masa ghaibah. Di bagian lain dalam kitabnya terdapat mengenai para pendusta yang mengaku sebagai “pintu” dan duta al-Mahdi. Di masa kegaiban kecil Imam Mahdi, sejumlah orang mengklaim sebagai wakil Imam, antara lain:
-Abu Muhammad Hasan Syar’i yang dikabarkan dari Imam bahwa dia bohong dalam klaimnya itu (al-Ghaibah, hal 258).
-Ahmad bin Hilal Karkhi, termasuk orang pertama yang mengingkari kenaiban Muhammad bin Ustman -yang diangkat oleh Imam sebagai wakilnya. (Kamaluddin/Syaikh Shaduq, hal 489)
-Muhammad bin Nasir Numairi, juga pengingkar sang naib kedua bagi Imam. Di masa Imam Ali Hadi dan Imam Hasan ‘Askari, dia berpemikiran ekstrimis. Syaikh Thusi dalam kitabnya (hal 259) mengungkapkan bahwa dia itu “tukang memubahkan”; menghalalkan muharramat (yang diharamkan) seperti liwath (homoseksual). Dalam hal ini bin Nasir mengatakan: “Adalah ketawaduan si obyek dan kebagusan si subyek; dua hal ini tidak diharamkan!”.
-Abu Ya’qub bin Muhammad bin Aban Nakha’i Kufi (menurut tahqiq, dia bukan Ishaq bin Muhammad Bashri) pengklaim sebagai naib dan mewakili empat naib Imam. Orang-orang yang percaya padanya dan menjadi pengikutnya disebut keompok Ishaqiyah.
Para Pecundang yang Mengklaim Kemahdian
Klaim dengan Dalih Tanda-tanda Kemunculan Imam Zaman
Abasiyah menyalahgunakan riwayat-riwayat yang mengabarkan kebangkitan Imam Mahdi. Di antaranya, menginformasikan hadis kemunculan panji-panji hitam yang dibawa oleh pasukan yang bergerak dari Khurasan, sebagai tanda kemunculan al-Mahdi. Bahwa, “Bila datang bendera-bendera hitam, datangilah! Karena di dalamnya ada khalifatullah al-Mahdi.” (al-Irsyad/Syaikh Mufid 2/368; Syarh al-Akhbar/Qadhi Nu’man 3/401; al-Malahim wa al-Fitan, hal 123). Berkumpul lah orang-orang Abbasiyah di Khurasan di bawah panji hitam Abu Muslim, mereka dikenal dengan “yang berjubah hitam”.
Dengan mengarang hadis-hadis keutamaan bani Abbas di sisi Rasulullah saw, juga hadis-hadis terkait bahwa Jibril bersurban dan berjubah hitam, mereka dan para penguasa Abbasiyah tampil dengan jubah hitam. Demi menerapkan kemahdian yang dijanjikan, mereka mentahrif, mengubah atau menambah kata dalam hadis. Para ahli ilmu rijâl dan dirayah mendhaifkan hadis-hadis semacam itu dengan mengatakan: “muharraf” (telah diubah); “mazîd fîh” (ada tambahan di dalamnya); atau “yazîd fi al-hadîts” (menambahkan dalam hadis).
Sebagai contoh yang nyata, pentahrif hadis kemahdian menambahkan kata di dalamnya untuk menghubungkan lebih dekat pada Mahdi Abbasi khalifah ketiga Abbasiyah. Teks hadis asli nukilan Thabarani (al-Mu’jam al-Kabir 10/134, hadis 10214) kalimat “اسمه اسمي” (nama al-Mahdi adalah namaku) ditambahkan menjadi “اسم ابيه اسم ابي” (nama ayahnya adalah nama ayahku; Abdullah). Hal ini bertentangan dengan hadis-hadis Syiah maupun yang banyak dinukil dari Ahlussunnah.
Referensi:
Muwajehe Aemme ba Moddaeyane Mahdawiyat (Imam’s Confrontation with Those Who Falsely Claim Mahdisim/By Air Mohsen Erfan)
Mereka yang akan beraj’ah adalah dua golongan: kelompok mukmin yang murni dan kelompok kafir murni yang tidak pernah mencicipi keimanan. Mukminin murni yang belum sempat menyempurnakan kemampuan mereka di dunia akan kembali ke dunia sehingga mereka menggapai kesempurnaan final tersebut. Kafirin murni yang pernah merasa memiliki “kemuliaan” dunia juga akan kembali sehingga mencicipi kehinaan sejati di dunia ini.
Dalam argumentasi tekstual, banyak ayat dan hadis yang membuktikan konsep raj’ah. “Wahai rasul! Ingatlah suatu hari ketika Kami membangkitkan sekelompok dari setiap umat” (QS. Al-Naml:83) adalah salah satu dari ayat tersebut. Allamah Tabatabai menegaskan dalam Tafsir al-Mizan bahwa ayat ini berhubungan dengan masalah raj’ah. Imam Shadiq as dalam Bihar al-Anwar menukaskan bahwa ayat ini juga berhubungan dengan masalah raj’ah. Allamah Majlisi dalam buku ini menyebutkan 160 hadis berkenaan dengan masalah raj’ah.
Saat Nabi Musa a.s. hadir di hadapan umatnya setelah 28 tahun terjadilah pembunuhan terhadap seorang Mesir (Qibthi) sehingga beliau harus gaib kembali ke Madyan selama 10 tahun.
Selain Nabi Musa a.s. yang gaib dari pandangan umatnya, Alquran juga menyebutkan tentang kegaiban Nabi Yusuf a.s dari pandangan mata saudara-saudaranya. Mereka tidak mampu mengenali rupa Nabi Yusuf a.s. saudaranya sendiri bahkan Bunyamin, saudara kandungnya.
Dia (Yusuf) berkata, “Tahukah kamu apa yang telah kalian perbuat terhadap Yusuf dan saudaranya ketika kalian tidak menyadarinya?” Mereka berkata, “Apakah engkau sejatinya adalah Yusuf?” (QS. Yusuf [12]: 89-90)
Syekh Shaduq menerangkan bahwa Nabi Ya’qub a.s., ayah Nabi Yusuf a.s. sangat yakin bahwa Nabi Yusuf a.s. sesungguhnya masih hidup meskipun putra-putranya menyatakan Yusuf telah dibunuh. Hal ini tak jauh beda dengan keimanan kaum beriman terhadap Imam Mahdi a.f.
Lebih jauh terkait kegaiban para nabi, dari Nabi Adam a.s. hingga penutup para Nabi, Muhammad SAW, Syekh Shaduq r.a telah membukukannya dengan judul Ikmal ad-Din wa Itmam an-Ni’mah. Demikianlah Syekh Shaduq menyimpulkan bahwa setiap nabi mengalami masa gaib dari kaumnya.
Mereka tidaklah membunuhnya, atau pun menyalibnya, tetapi diserupakan bagi mereka. (QS. An-Nisa’ [4]: 157)
Demikian halnya pada Imam Mahdi a.f., manusia tentunya hingga hari ini bertanya-tanya apakah dia telah dilahirkan ataukah belum, apakah dia dari keturunan al-Hasan a.s. ataukah al-Husain a.s.
Kepercayaan tentang adanya sang juru selamat diyakini bahkan oleh seluruh agama dan kepercayaan, seperti konsep Ratu Adil dalam filosofi Jawa. Sementara sosok Imam Mahdi a.f. yang diyakini oleh setiap Muslim telah diingkari oleh sebagian kalangan dengan menyatakan, ‘Andai Imam Mahdi a.f. telah lahir, berarti dia telah mati saat ini.’ Sedangkan sebagian lain meyakini bahwa Imam Mahdi telah lahir tahun 255 H/869 M dan masih hidup karena Allah Yang Mahakuasa juga Mahamampu membuat hal itu terjadi.
Namun demikian sebagai sebuah kesepakatan, umat Islam meyakini bahwa kelak Nabi Isa a.s. pada akhir zaman akan salat di belakang Imam Mahdi a.f.
Perkataan Imam Ali as-Sajjad yang diriwayatkan oleh Syekh Shaduq di atas ditutup dengan sunah Nabi Muhammad SAW yang diwariskan kepada Imam Mahdi a.f. kelak. Bahwa Imam Mahdi akan menghunus pedang sebagaimana datuknya Rasulullah SAW dalam menegakkan Islam. Sehingga kemusyrikan niscaya muspra dari muka bumi dan berganti dengan keadilan di jagad raya.
Tersebarnya Islam adalah sebuah janji Alquran, ‘Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.’ (QS. Al-Fath [48]: 27)
Pertanyaannya adalah apakah hadis tersebut dapat dipahami secara tersurat bahwa Imam Mahdi a.f. kelak bakal menghunus pedang ataukah pedang yang dimaksud adalah kiasan untuk perangkat penegakan tauhid? Wallahu a’lam.
Disadur dari buku Al-Mahdi Al-Maw’ud, Sayid Abdul Husein Dastaghib, Dar at-Ta’aruf, Beirut, Lebanon, 1989)
Setelah Imam Mahdi as muncul, banyak masalah yang masih belum jelas bagi kita. Apakah dunia setelah itu akan musnah dan kiamat pun tiba? Ataukah kepemimpinan yang adil masih tetap berlanjut?
Dari banyak hadis, kita bisa menyimpulkan tiga kemungkinan tentang nasib dunia setelah Imam Mahdi as berikut ini:
a. Setelah Imam Mahdi as muncul dan beliau meninggal dunia, kiamat akan tiba dan seluruh alam semesta akan punah musnah.
b. Anak keturunan Imam Mahdi as akan melanjutkan pemerintahan beliau.
c. Raj’ah akan terjadi. Yakni para Imam maksum Ahlul Bait as akan kembali ke dunia ini dan melanjutkan kepemimpinan Imam Mahdi as.
Dari tiga kemungkinan tersebut, mungkin kemungkinan ketiga lebih sesuai dengan hadis-hadis yang ada. Hadis-hadis tentang raj’ah lebih kuat dan lebih banyak dibandingkan dengan hadis-hadis untuk kemungkinan pertama dan kedua.
Dengan demikian, setelah Imam Mahdi as meninggal dunia, pemerintahan beliau masih akan berlangsung selama bertahun-tahun, dan lantas kiamat akan tiba.
Dalam hadis-hadis disebutkan, Imam Ahlul Bait as pertama yang raj’ah adalah Imam Husain as.
Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Imam Zaman gaib lantaran takut akan kematian. Misalnya, dalam salah satu riwayat disebutkan, bahwa sebab kegaiban Imam Zaman “يخاف القتل” yakni Imam takut akan kematian.
Tentu, jika mengacu pada lahiriah riwayat, akan muncul pertanyaan dan kebingungan: mengapa seroang Imam maksum mesti takut akan kematian? Bukankah kematian adalah jembatan menuju kehidupan abadi? Tidakkah hal ini berkontradiksi dengan kepribadian Imam?
Secara singkat, dapat dikatakan bahwa khauf (ketakutan) para Imam yang disebut dalam berbagai riwayat bukanlah ketakutan nafsi yang merupakan akhlak tercela, melainkan ketakutan akal (aqliy) yang bukan hanya merupakan akhlak terpuji, bahkan terkadang merupakan keniscayaan dan keharusan.
Apabila ketakutan berangkat dari egoisme atau keakuan dan disebabkan hal tersebut seseorang ‘lari’ dari tanggungjawabnya untuk membela Agama, maka jelas ketakutan tersebut adalah lawan dari keberanian; ia tak lain adalah ke-pengecut-an.
Namun, manakala ketakutan adalah menghindar dari perbuatan yang sia-sia, percuma dan gegabah, maka ketakutan semacam ini bukan hanya terpuji, tapi tentu merupakan keharusan bagi orang yang berakal.
Sebatas menumpahkan darah tidaklah penting, tapi yang penting adalah memastikan darah yang dikorbankan membuahkan hasil dan manfaat. Orang yang menumpahkan darahnya tanpa pertimbangan tidak dapat dikatakan berani, tetapi nekad!
Dalam salah satu khutbahnya, Amirul Mukminin berkata:
“Aku terus menunggu. Ketika aku melihat tiada lagi kawan, pembela dan penolong bagiku kecuali Ahlulbaitku, maka aku takut jikalau mereka (ahlulbayt) terancam kematian. Karena itu, aku (hidup) seperti orang yang ingin mengedipkan mata, sementara dalam kelopak matanya terdapat duri; begitu pula seperti orang yang ingin menelan ludah, sementara di tenggorokannya tersangkut tulang. Aku bersabar dengan ‘menelan’ kemurkaanku dimana hal ini lebih pahit dari menelan buah pahit sekalipun dan lebih perih bagi hati dibanding tebasan pedang sekalipun.” [Nahjul Balaghah, khutbah 217]
Keadaan telah membuat seorang yang terkenal paling berani dan selalu menjadi panglima dalam berbagai peperangan ‘menjadi’ takut (rasional) akan kelanggengan Islam dan nyawa ahlulbayt beliau.
Jelas, sejarah menjadi saksi bahwa ke-pengecut-an tidak memiliki keberanian, bahkan untuk sekedar menghampiri kepribadian Sang Imam. Meski begitu, Imam tetap memiliki rasa takut. Rasa takut atau resah inilah yang disebut sebagai takut rasional. Begitulah, rasa takut samacam ini bukan hanya tidak tercela, melainkan merupakan ejawantah yang amat tinggi dari keberanian itu sendri.
Dapat disimpulkan, salah satu sebab kegaiban Imam Zaman adalah ketakutan. Namun, ketakutan beliau adalah ketakutan rasional. Apabila beliau yang notabene merupakan hujjah terakhir Allah Swt. di dunia ini muncul dan langsung dibunuh oleh musuh, maka dunia tidak akan memiliki wasilah bagi turun-Nya rahmat Allah Swt.
Begitu juga, dengan terbunuhnya Imam Zaman, janji Tuhan menjadikan hamba-Nya yang saleh untuk memimpin dunia dengan keadilan tidak akan terealisasi.
Apalagi, mengingat para tiran amat mengetahui bahwa Imam Mahdi adalah Ia yang dijanjikan untuk memenuhi dunia dengan keadilan dan membersihkan dunia ini dari kebusukan kezaliman, termasuk para penguasa zalim.
Untuk itu, bila dahulu para tiran masih sedikit bersabar untuk memenjarakan para Imam maksum sebelum membunuh beliau, hal ini tidak akan dilakukan oleh mereka terhadap Imam Zaman, Sang Wujud yang Dijanjikan. Para penguasa zalim tersebut tentu tidak punya pilihan, kecuali harus segera membunuh Penegak Keadilan yang telah dijanjikan kepemimpinannya oleh Allah Swt.
Berangkat dari sana, yang terpenting bukanlah meneteskan darah, tapi meneteskan darah dengan manfaat dan hasil yang tidak sia-sia. Begitu juga, ketakutan rasional bukan hanya tidak tercela, namun pada kondisi tertentu adalah keniscyaan.
*mengacu pada kitab Ayatullah Jawadi Aamuli yang berjudul ‘Usaareh-ye Khelqat.
Dewasa ini, konsep Mahdiisme semakin banyak diperbincangkan di tengah eskalasi penindasan dan diskriminasi di dunia. Konsep ini membawa optimisme di tengah masyarakat agar ketidakadilan segera berakhir dan mengobarkan semangat mereka untuk melawan para penindas dan kekuatan-kekuatan arogan.
Hari ini adalah tanggal 9 Rabiul Awal yang bertepatan dengan dimulainya era kepemimpinan Imam Mahdi as. Dunia sedang menanti kemunculan Juru Selamat dan sudah tidak sabar untuk mendengar pekikan “Aku adalah al-Mahdi" di samping Ka'bah. Kemunculan al-Mahdi as tentu saja akan mengkahiri penderitaan dan kepedihan umat manusia. Ketika itu, kezaliman dan ketidakadilan akan sirna dari bumi, dan hak orang-orang tertindas dan terzalimi akan dipulihkan di bawah pemerintahan global Imam Mahdi as.
Salah satu kewajiban para penanti Imam Mahdi as adalah senantiasa mendoakan beliau dan memohon kepada Allah Swt agar menyegerakan kemunculan Juru Selamat. Salah satu doa yang dianjurkan untuk dibaca adalah:
"Ya Allah! Jadikanlah untuk wali Mu al-Hujjah putra Imam Hasan Askari, semoga shalawat dan salam selalu tercurah atasnya dan atas ayah-ayahnya, pada masa ini dan pada setiap masa, sebagai wali dan penjaga amanat ajaran-ajaran Mu, sebagai pemimpin dan penolong hamba-hamba Mu, sebagai petunjuk dan tonggak keadilan, sehingga dengannya bumi-Mu akan dipenuhi oleh ketaatan, rasa nikmat, dan kenyamanan selamanya. Amin Ya Rabbal 'Alamin.
Imam Mahdi as dilahirkan pada pertengahan Sya'ban tahun 255 Hijriah di kota Samarra, Irak. Beliau adalah putra Imam Hasan Askari as. Masa kehidupan dan kepemimpinan Imam Askari as termasuk di antara era yang paling mencekam bagi Ahlul Bait Nabi as. Khalifah Abbasiyah, Al-Mu'tamid – dari informasi yang ia terima – mengetahui bahwa Juru Selamat yang akan memerangi para penindas dan menegakkan pemerintahan yang adil, akan lahir di rumah Imam Askari as. Untuk itu, Al-Mu'tamid berusaha keras untuk mencegah terwujudnya janji Tuhan ini.
Akan tetapi, Imam Mahdi as terlahir ke dunia atas kehendak Allah Swt dan atas perintah-Nya pula, ia akan menjalani fase keghaiban. Tuhan menyembunyikan Juru Selamat dari pandangan umum dan ia akan dimunculkan pada masa yang tepat untuk menyebarkan keadilan di bumi. Dalam pesan-pesannya kepada Imam Mahdi, Sang Juru Selamat, Imam Askari as mengatakan, "Allah akan menghancurkan para penindas dengan tanganmu, menghidupkan syiar-syiar agama, menerangi ufuk bumi, dan menciptakan kedaiaman dan perdamaian di seluruh penjuru bumi."
Banyak agama dan aliran kepercayaan membahas tentang konsep Messiah yang akan menghadirkan prospek yang cerah untuk dunia. Sisi kesamaan semua agama langit adalah keyakinan tentang kemunculan sosok yang akan membersihkan dunia dari kehinaan dan kezaliman serta membawa perdamaian dan persahabatan bagi umat manusia.
Pada dasarnya, agama-agama langit yang lain juga sedang menanti kedatangan seorang Messiah dan reformis sejati, di mana ia akan memusnahkan kezaliman serta menggantinya dengan keadilan dan kebebasan. Mereka semua percaya bahwa suatu saat nanti kerusakan dan kezaliman akan sirna. Pada masa itu, Juru Selamat akan muncul untuk memulihkan kondisi yang kacau. Menurut keyakinan umat Islam, sosok reformis sejati ini adalah Imam Mahdi as, di mana akan memenuhi dunia dengan keadilan dan kedamaian setelah sebelumnya dipenuhi oleh kezaliman dan kerusakan.
Juru Selamat dikenal sebagai al-Mahdi dalam Islam, Messiah dalam agama Kristen, dan Saoshyant dalam ajaran Zoroaster. Meskipun umat Kristiani meyakini konsep messianisme, namun paham Liberal sebagai sistem pemikiran di Barat tidak menerima konsep tersebut. Mereka menganggap konsep messianisme dan keyakinan tentang kemenangan kebenaran atas kebatilan sebagai sebuah utopia. Padahal, semua nabi berbicara tentang kelahiran Juru Selamat dan banyak filosof juga membuktikan kebenaran konsep itu lewat argumentasi akal dan nash.
Saat ini, keyakinan tentang konsep Mahdiisme semakin menguat di dunia. Keyakinan ini menghembuskan optimisme dan memiliki banyak pengaruh positif bagi individu dan masyarakat. Karena sistem materialisme tidak dapat mengingkari meningkatnya tren tersebut di dunia, maka sebagian pemikir Barat berusaha memperkenalkan Al-Madinah Al-Fadhilah (Kota atau Negara Utama) versi mereka kepada masyarakat.
Mereka memanfaatkan instrumen seni dan dunia perfilman untuk menyimpangkan konsep Al-Madinah Al-Fadhilah dan memperkenalkan Amerika Serikat sebagai masyarakat ideal dan penyelamat dunia. Usaha memperkenalkan masyarakat Amerika sebagai masyarakat teladan dan ideal adalah sebuah gagasan yang sia-sia dan bahkan melecehkan. Sebab, para pemimpin negara itu adalah representasi dari sistem materialisme; mereka akan melakukan kejahatan apapun di berbagai pelosok dunia demi mempertahankan sistem tersebut.
Perlu dicatat bahwa pemikiran Mahdiisme menghadapi ancaman dari dua arah dalam situasi dunia saat ini. Dari satu sisi, para pengincar kekuasaan dan kaum materialis dunia menilai kemunculan seorang reformis dan terciptanya keadilan akan merugikan kepentingan ilegal mereka. Mereka berupaya mencegah penyebaran konsep optimisme dan konstruktif ini atau menciptakan penyimpangan dalam konsep Mahdiisme.
Dari sisi lain, pemikiran Mahdiisme – sama seperti semua keyakinan suci – tidak terbebas dari ancaman distorsi dan khurafat. Ada banyak penafsiran keliru yang diberikan tentang Mahdiisme dan konsep penantian. Misalnya saja di Amerika, sebagian orang yang menamakan dirinya penanti Messiah, berpendapat bahwa kerusakan yang lebih besar harus diciptakan di dunia sehingga mempercepat kemunculan Juru Selamat.
Interpretasi seperti itu dapat ditemukan di tengah Kristen dan juga sebagian Muslim. Oleh karena itu, konsep Mahdiisme Islami harus diperkenalkan dengan bersandar pada al-Quran dan hadis yang berbicara tentang kemunculan Juru Selamat. Kaum Muslim harus bersiap terlebih dahulu sebelum mempersiapkan ruang kehadiran Imam Mahdi as. Konsekuensi dari kesiapan ini adalah mempertebal keimanan dan spiritualitas serta meningkatkan kualitas pengenalan tentang Imam Mahdi as.
Menurut konsep penantian yang hakiki, pertama-tama kita harus mengenal dan menanamkan keyakinan tentang al-Mahdi. Kita harus benar-benar mengenal Juru Selamat sebelum kemunculannya. Orang yang mengenal Imam Mahdi as, ia akan menemukan sosok reformis sejati ini benar-benar akan membela kebenaran dan keadilan serta menentang kezaliman, diskriminasi, dan kerusakan.
Seorang penanti harus mengumpulkan segenap kemampuannya untuk menghadapi kebatilan, menegakkan keadilan, dan menyerukan persatuan. Seorang penanti harus aktif melawan dekadensi moral di masyarakat. Para penanti al-Mahdi harus memperjuangkan kebenaran dan keadilan di setiap waktu dan tempat serta memerangi kezaliman dan kerusakan.
Dalam Islam, Juru Selamat adalah sosok yang akan membebaskan seluruh penduduk bumi dan menghadiahkan keadilan sosial, kemenangan, dan kesejahteraan kepada mereka. Imam Mahdi as – sebagai Juru Selamat – adalah kepribadian universal di mana pada masanya, trik-trik batil akan hancur dan pelita kebenaran akan memancar sehingga semua orang menyambutnya dengan antusias. Allah Swt berjanji akan mewariskan bumi ini kepada orang-orang yang shaleh. Dalam surat al-Anbiya ayat 105, Allah Swt berfirman, "Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh."
Juru Selamat bertugas menciptakan perdamaian, dan keamanan serta menegakkan keadilan di seluruh penjuru bumi. Pemerintah yang paling ideal dan paling adil di muka bumi akan ditegakkan oleh seorang pemimpin yang shaleh. Ia akan memperbaiki dan memakmurkan dunia sehingga tidak ada lagi titik kerusahan di planet ini. Pada masa itu, akal manusia akan mencapai puncak kesempurnaan, persamaan benar-benar tercipta, tidak ada lagi orang yang angkuh atau ingin menindas orang lain.
Pada akhirnya, agresi, perang, dan konflik akan lenyap dari muka bumi dan ibarat musim semi, segala hal di bumi ini akan tampak baru dan segar. Menurut berbagai riwayat, menjelang kemunculan al-Mahdi, akan terdengar seruan dari langit yang dapat dipahami oleh seluruh manusia dengan bahasa mereka masing-masing. Seruan ini bersifat global dan akan menggemparkan dunia.
Dalam pemikiran Islam, diskriminasi dan ketidakadilan termasuk di antara faktor-faktor yang melenyapkan peradaban. Jadi, sosok yang bisa menerapkan keadilan di dunia adalah orang yang benar-benar berkomitmen terhadap kebenaran dan keadilan itu sendiri.
Selama berabad-abad manusia menghitung dan menanti hari yang dijanjikan, dimana akan muncul pemerintahan global yang adil. Sekaitan dengan penantian ini, para pecinta Ahlul Bait meyakini kelahiran Imam Mahdi af dan harapan akan kemunculannya sebagai Sang Penyelamat yang dijanjikan selama ini akan mendeklarasikan pemerintahannya yang adil. Kelahirannya merupakan kelanjutan hubungan hidayah ilahi antara Allah dan manusia.
Setiap pertengahan bulan Sya’ban atau Nisfu Sya’ban dan setiap hari Jumat, para pecinta Ahlul Bait selalu memperbarui baiat dan komitmennya kepada Imam Mahdi af. Mereka senantiasa mengingat dan mengharap kemunculannya. Beliau merupakan keturunan para nabi seperti Adam yang menjadi Khalifatullah, seperti Nuh yang mengantarkan manusia ke kapal penyelamat, seperti Musa yang kelahirannya disembunyikan, seperti Ibrahim yang kelahirannya telah disampaikan, seperti Ismail yang dibantu para malaikat, seperti Yusuf yang senantiasa menanti, seperti Yusuf yang paling tampan, seperti Sulaiman yang memiliki pemerintahan global, seperti Ayyub yang begitu sabar, seperti Isa yang berbicara sejak bayi.
Nama Sang Juru Penyelamat sama dengan kakeknya Muhammad Saw dan panggilannya juga sama dengan beliau Abu al-Qasim. Manusia yang dari sisi lahiriah paling mirip dengan Rasulullah Saw. Beliau merupakan hujjah terakhir di bumi. Dia adalah Mahdi yang dijanjikan.
Imam Mahdi af dilahirkan pada waktu Subuh hari Jumat 15 Sya’ban tahun 255 di kota Samarra dan di masa pemerintahan Mu’tamid. Namanya Muhammad dan panggilannya adalah Abu al-Qasim. Kehidupan beliau dibagi menjadi tiga periode. Pertama, sejak lahir hingga tahun 260 HQ yang bertetapan dengan hari syahadah ayahnya, Imam Hasan Askari as. Kedua dari tahun 260 hingga 329 HQ, dimana beliau mengalami kegaiban Sughra atau kecil dan hubungannya dengan manusia yang lain lewat empat wakilnya. Ketiga, beliau secara menyeluruh gaib dari manusia yang disebut kegaiban Kubra. Periode ketiga ini dimulai dari tahun 329 HQ hingga sekarang dan akan muncul ketika Allah menghendaki.
Ahmad bin Ishaq mengatakan, “Saya menemui Imam Hasan Askari as. Saya ingin bertanya kepada beliau mengenai penggantinya. Sebelum saya menyampaikan pertanyaan, beliau berkata, ‘Wahai Ahmad! Allah Swt Sejak Allah menciptakan Adam as hingga kini, dunia tidak pernah kosong dari hujjah dan itu akan berlanjut hingga Hari Kiamat. Para hujjah ini yang menjadi pelindung penduduk bumi dari bencana, hujan bisa turun dan bumi dapat mengeluarkan berkahnya kepada penduduk.’
Saya bertanya kembali, ‘Wahai keturunan Rasulullah! Siapa Imam dan Khalifah setelah Anda?’ Ketika itu Imam Hasan Askari as bangkit dari tempat duduknya dan keluar dari kamar. Setelah itu beliau masuk kembali sambil menggendong bayi berusia tidak lebih dari tiga tahun. Wajah bayi itu bersinah bak bulan purnama. Imam Askari berkata, ‘Wahai Ahmad bin Ishaq! Bila engkau tidak memiliki kemuliaan di sisi Allah dan hujjah-hujjah Allah, aku tidak akan menunjukkan anakku kepadamu. Nama dan sebutannya sama dengan Rasulullah Saw. Ia akan memenuhi bumi dengan keadilan setelah sebelumnya penuh dengan kezaliman.”
Menciptakan keadilan di seluruh dunia dan memberangus diskriminasi dan ketidakadilan merupakan tujuan utama dari pemerintahan Imam Mahdi af. Tujuan penting ini telah dijelaskan dalam banyak riwayat Ahlul Bait, bahkan boleh dikata, penekanan menciptakan keadilan menerapkannya lebih kuat ketimbang seruan tauhid dan memerangi kesyirikan. Dalam ucapan Imam Ridha as disebutkan, “Allah akan menghapus kezaliman dari bumi lewat Imam Mahdi af dan pada waktu itu tidak seorangpun yang berani melakukan kezaliman.”
Gustave Le Bon, sejarawan Perancis mengatakan, “Pelayanan terbesar manusia adalah yang mampu menjaga manusia untuk tetap optimis.” Harapan dan penantian akan kemunculan Imam Mahdi af selain menjadi solusi bagi masa depan manusia, juga menjadi sumber inspirasi dan motivasi. Manusia memiliki kekuatan yang berkelanjutan dan menyimpan energi mereka lalu menyerahkannya kepada generasi yang akan datang. Dengan cara itu mereka dapat mencegah generasi mendatang dizalimi dan musnah, sehingga mendekati hari kemunculan Imam Mahdi af.
Imam Mahdi af merupakan simbol rahmat, kekuasaan ilahi dan manifestasi keadilan ilahi. Siapa yang mendapatkan rahmat dan keutamaan ilahi ini, maka ia akan mendapatkan dirinya semakin dekat keapda Allah. Karena peran tawasul dan hubungan batin dengan Imam Mahdi af menyebabkan jiwa manusia tumbuh dan spiritualnya semakin menyempurna. Imam dan akidah kepada Imam Mahdi af mencegah manusia menyerah. Bangsa yang mengimaninya akan selalu dipenuhi rasa optimis dan akan berjuang demi keagungan Islam.
Kesejahteraan sosial merupakan hasil dari pemerintahan global Imam Mahdi af. Sepanjang sejarah umat manusia sudah banyak usaha dilakukan agar manusia dapat merasakan kesejahteraan, tapi yang terjadi justru banyak hak-hak yang terampas dan terinjak-injak. Mereka tidak pernah merealisasikan keinginan ini. Kesejahteraan sosial menjadi sarana bagi pertumbuhan dan kesempurnaan spiritual dan pemikiran manusia.
Nabi Muhammad Saw telah menyinggung masalah ini dengan sabdanya, “Ketika Mahdi af bangkit dari tengah-tengah umatku ... di masanya masyarakat meraih kenikmatan yang belum pernah mereka rasakan selama ini. Langit menurunkan hujan kepada manusia dan bumi mengeluarkan berkahnya untuk manusia.”
Kini teknologi berkembang demikian cepat. Manusia setiap hari membuka pintu-pintu kemajuan dan peradaban untuk dirinya. Imam Shadiq as berkata, “... Apa yang telah disampaikan para nabi kepada manusia hanya dua bagian dari ilmu yang terdiri dari 27 bagian. Manusia sejak awal penciptaan hingga kini hanya mengenal dua bagian tersebut. Ketika Imam Mahdi af bangkit, beliau akan menyampaikan 25 bagian lain dan mengembangkannya.”
Dengan demikian, perkembangan dan perluasan sains di dunia merupakan satu lagi hasil dari pemerintahan global Imam Mahdi as. Kemajuan penting di bidang sains, begitu juga kemajuan di bidang-bidang lainnya yang terealisasi hingga masa kemunculan Imam Mahdi af tidak bisa dibandingkan dengan pertumbuhan sains di masa pemerintahan global Imam Mahdi af.
Ketika pemerintahan global Imam Mahdi af yang dijanjikan telah terwujud, masalah moral juga akan tumbuh menyempurna dengan bimbingan beliau. Perlahan-lahan sifat-sifat buruk akan terkikis dari manusia. Imam Ali as menjelaskan bahwa ketika Imam Mahdi af bangkit maka sifat dengki dan permusuhan yang menguasai hati manusia akan hilang. Setiap orang akan menganggap orang lain sebagai saudaranya dan mereka hidup dengan penuh keakraban, ketenangan dan keamanan.”
Imam Mahdi af merupakan pewaris seluruh nabi ilahi yang diutus untuk manusia. Beliau menjadi langkah terakhir untuk menciptakan masyarakat ilahi. Masyarakat yang memuliakan wali Allah dan menghinakan para musuh Allah. Masyarakat yang melaksanakan ketentuan dan perintah Allah. Ringkasnya Imam Mahdi af dengan kemunculannya akan membangun masyarakat ideal.
Pertama, menciptakan dunia yang aman, penuh dengan perdamaian dan persaudaraan, sehingga tidak ada kezaliman ekonomi, politik, budaya dan di tengah masyarakat. Kedua, ciri khas masyarakat ideal yang dibangung oleh Imam Mahdi af adalah peningkatan taraf berpikir, baik di bidang sains maupun keislaman.
Pada ayat 55 surat Nur, Allah Swt berfirman, “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi ...” Sejumlah ahli tafsir menyebut ayat ini terkait dengan pemerintahan Imam Mahdi af, dimana Timur dan Barat berada di bawah bendera pemerintahannya. Pada waktu itu kebenaran dapat dirasakan di mana saja, sementara ketakutan, perang dan ketidakamanan terhapus dari seluruh dunia.
Manusia secara naluri mempunyai kecenderungan pada kesempurnaan seperti mencari keadilan, kebenaran dan kebaikan. Dengan adanya kecenderungan tersebut, manusia dalam sepanjang sejarah berusaha merealisasikan kebenaran, keadilan dan nilai-nilai akhlak.
Para nabi dan wali merupakan penggagas dan pendahulu misi-misi suci tersebut. Upaya dan perjuangan mereka semenjak awal berupaya memberikan petunjuk kepada manusia ke arah kebaikan dan keadilan hingga dunia ini terlepas dari kezaliman dan arogansi.
Meski para nabi berupaya menyebarkan kepercayaan kepada Allah Swt dan keadilan, namun sejarah membuktikan bahwa upaya itu tidak memberikan hasil yang sempurna dan komprehensif. Sebab, ada sejumlah pihak yang menjadi kendala bagi misi para nabi. Karena itulah realiasi keadilan secara merata dan perlawanan terhadap segala kezaliman dan penindasan dihadapkan pada kendala serius dan jauh dari harapan setiap manusia. Untuk itu, penantian pada kemunculan juru penyelamat yang akan merealisasikan tujuan-tujuan agung tersebut, merupakan sisi persamaan yang dimiliki oleh semua agama.
Islam yang merupakan agama terakhir dan paling sempurna, menjelaskan struktur masyarakat ideal bagi seluruh umat manusia. Menurut pandangan Islam, seorang keturunan dari Rasulullah Saw akan muncul di muka bumi pada akhir zaman. Sosok inilah yang akan memerangi kebatilan dan ketidakadilan di dunia serta merealisasikan masyarakat ideal.
Pemerintah global Islam yang dipimpin oleh Imam Mahdi af mempunyai kriteria-kriteria khusus yang tidak dimiliki sistem lainnya. Pemerintah Imam Mahdi as akan muncul berdasarkan ajaran-ajaran wahyu dan norma ilahi. Adapun nilai-nilai materi yang dibangun berdasarkan individualisme dan materialisme disingkirkan dari pemerintahan Imam Mahdi as.
Aliran-aliran materialis berkeyakinan bahwa peradaban dan pemerintah tidak memperdulikan nilai-nilai spritiual dan agama. Sebaliknya, Islam dengan ajaran-ajarannya yang jelas, memaparkan berbagai tauladan di tengah masyarakat. Menurut pandangan agama suci ini, undang-undang, keadilan, kemuliaan, interaksi sosial dan ekonomi berlandaskan pada ketauhidan dan tercerminkan dalam keindahan. Dalam sistem manajemen Islam, perluasan keadilan dan perlawanan terhadap diskriminasi menjadi prioritas utama agama ini.
Allah Swt dalam surat an-Nahl ayat 90 berfirman, "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran."
Ayat tersebut menggambarkan pondasi-pondasi penting sosial seperti keadilan dan kemuliaan dengan arti sebenarnya yang akan terealisasi dalam pemerintahan Imam Mahdi af. Dalam pemerintahan Imam Mahdi as digambarkan bahwa persahabatan, saling tolong-menolong dan kemuliaan sangat kokoh, bahkan setiap individu di tengah masyarakat berperilaku bak sebuah keluarga.
Akan tetapi sangat disayangkan, masyarakat saat ini dihadapkan pada hubungan sosial tidak sehat dan destruktif yang bertumpu pada kekhawatiran dan ketidakpercayaan antarmanusia. Kefasadan sosial hingga ketidakamanan di dalam keluarga menunjukkan bahwa peradaban dunia saat ini telah gagal membangun spirit manusia dalam merealisasikan ketenangan diri.
Realita tersebut menggambarkan bahwa hubungan sosial manusia tidak dapat terwujud tanpa landasan spritual. Sederet problema di dunia semakin mencerminkan pentingnya kahadiran sosok juru selamat yang menyelamatkan dunia dari berbagai tekanan.
Imam Shadiq as berkata, " Di akhir zaman, kemuliaan-kemuliaan akhlak dan nilai kemanusiaan akan menjadi landasan pemerintah global Islam." Imam Bagir as berkata, "Saat Imam Mahdi af muncul, hanya persahabatan, persatuan dan kerjasama yang mengemuka." Dalam pemerintahan Imam Mahdi as, kekhawatiran dan ketidakpercayaan antarmanusia akan pudar, sedangkan kepercayaan dan keamanan semakin kokoh.
Lebih dari itu, radikalisme dan kebejatan moral terus berkurang, dan hukum pun berlaku. Orang-orang kaya juga tidak menzalimi kelompok lemah. Di pemerintahan Imam Mahdi as juga digambarkan bahwa setiap orang saling menghormati serta saling memberi nasehat dan jalan keluar. Disebutkan pula, harta, nyawa dan harga diri berada dalam kondisi aman. Semua manusia juga merasa tenang dan nyaman. Itulah gambaran ideal pemerintah Imam Mahdi as.
Di antara kriteria lain pemerintah Imam Mahdi af adalah memperhatikan kedewasaan akal dan perluasan ilmu. Dalam ajaran Islam, akal dan pemikiran mempunyai tempat yang luar biasa. Pada prinsipnya, agama tidak dapat dipahami dengan baik tanpa peran akal. Dengan ungkapan lain, manusia melalui daya pikirnya, mengenal esensi agama.
Akal merupakan petunjuk manusia ke arah perbuatan baik dan memperingatkan hal-hal yang berbahaya. Untuk itu, al-Quran sangat menganjurkan setiap manusia supaya berpikir dan merenung. Dalam pemerintah Imam Mahdi as, akal berada di samping penyembahan kepada Allah Swt, akhlak dan takwa. Akal yang sehat merupakan petunjuk kebaikan dan norma-norma.
Hal yang tak dapat dipungkiri, sains dan teknologi yang merupakan hasil inovasi akal manusia tidak akan dihadapkan pada bencana bagi manusia bila dibarengi dengan akal yang sehat. Dalam pemerintahan Imam Mahdi as, kepintaran manusia yang berada dalam hidayah ilahi, dapat mencapai pada kesempurnaan. Dalam kalimat mutiara Imam Shadiq as disebutkan, ilmu mempunyai 27 pintu. Sebelum kemunculan Imam Mahdi as, manusia dapat membuka dua ilmu. Saat Imam Mahdi as muncul, 25 pintu lainnya akan terbuka.
Salah satu fenomena yang akan mengemuka saat Imam Mahdi af muncul adalah perkembangan ilmu berkali-lipat yang dibarengi dengan kesempurnaan spiritual, sehingga teknologi dan kemajuan tidak berada di tangan orang-orang yang tidak berhak. Kedewasaan akal yang dibarengi dengan pendidikan akhlak, akan membentuk masyarakat yang ideal.
Berbagai hadis dan riwayat menyebutkan bahwa masyarakat ideal di masa Imam Mahdi af menjadi sarana kedewasaan dan kesejahteraan materi. Tak diragukan lagi, ketika hubungan antarmanusia berlandaskan pada keadilan dan kemuliaan, berbagai kenikmatan dan anugerah ilahi akan melimpah di tengah masyarakat dan berbagai problema sosial dan ekonomi akan pudar. Dalam kondisi seperti ini, sumber daya alam begitu melimpah, dan manusiapun mampu mengoptimalkannya dengan baik.
Rasulullah Saw bersabda, "Di masa ummatku, akan bangkit Imam Mahdi af. Saat itu, masyarakat akan mendapatkan kenikmatan yang tidak pernah didapatkan pada masa sebelumnya. Alampun tidak menyembunyikan kekayaannya." Sesuatu yang akan terjadi di masyarakat Imam Mahdi af merupakan janji Allah Swt yang disebutkan berulangkali dalam al-Quran.
Dalam al-Quran dijanjikan bahwa setiap manusia yang beriman baik laki maupun perempuan, ketika melakukan amal saleh, maka Allah Swt akan mempersembahkan kehidupan bahagia dan layak. Dalam pemerintah Imam Mahdi as, kita akan menyaksikan kehidupan yang sehat. Ketidakamanan dan ketidaktenangan di dunia ini berubah menjadi kehidupan yang nyaman dan tenang. Membayangkan masa kemunculan Imam Mahdi dan pemerintahannya saja dapat menenteramkan hati manusia.
Malam 15 Sya'ban 255 Hijriah atau dikenal dengan malam Nisfu Sya'ban, Hakimah, bibi Imam Hasan Askari as berkunjung ke rumah Imam untuk bersilaturahmi. Di saat Hakimah hendak minta izin untuk pulang, Imam berkata kepadanya, "Bibi! Malam ini menginaplah di rumah kami."
Hakimah berkata, "Hari ini, saya sudah cukup merepotkan kalian."
Imam menjawab, "Malam ini akan lahir seorang bayi laki-laki dari keluarga kami yang akan menerangi bumi dengan ilmu, iman dan petunjuknya setelah bumi diliputi kezaliman dan kegelapan."
Hakimah dengan heran bercampur gembira bertanya, "Bayi tersebut anak Nargis?"
Imam menjawab, "Benar anak tersebut dilahirkan Nargis."
Setidaknya ada dua versi ihwal jatidiri juru selamat dunia ini. Sebagian besar golongan Ahlusunnah menganggap bahwa Imam Mahdi itu bernama Muhammad bin Abdullah, yang akan muncul menjelang Hari Kiamat tiba. Ini berdasarkan sebuah hadis dari Nabi Saw yang mengatakan bahwa nama Imam Mahdi itu sama dengan namaku, ayahnya sama dengan nama ayahku.
Sementara, di pihak lain, kalangan Syiah Imamiyah meyakini bahwa Imam Mahdi itu adalah gelar untuk Muhammad bin Hasan Askari bin Ali Hadi bin Muhammad Jawad bin Ali Ridha bin Musa Kazhim bin Jafar Shadiq bin Muhammad Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah saw. Ulama Sunni yang mengurutkan dua belas imam dari jalur Ahlulbait ini adalah Syekh Qanduzi al-Hanafi dalam kitab Yanabi al-Mawaddah.
Telah berabad-abad umat manusia menanti datangnya penyelamat yang dijanjikan. Orang-orang yang terzalimi pun mengharap penuh kedatangan sang penyelamat untuk mengentas mereka dari kezaliman. Penantian dan harapan ini dari satu sisi meniupkan ruh segar ke hati manusia dan dari sisi lain, perdamaian serta kebahagiaan segera terwujud dengan kedatangannya.
Imam Mahdi, anak dari Imam Hasan Askari as merupakan anak cucu dari Rasulullah Saw (Ahlul Bait). Ibunda beliau masih cucu dari raja Romawi yang menjadi istri Imam Hasan melalui proses yang menakjubkan. Setelah Imam Mahdi lahir, ayah beliau, Imam Hasan merawat sang bayi dan menjaganya secara ketat. Imam keduabelas umat Syiah ini lebih banyak disembunyikan karena ancaman yang datangnya dari pemerintah zalim saat itu.
Sejak masa kanak-kanak, Imam Mahdi telah dianugerahi oleh Allah swt hikmah dan ilmu pengetahuan serta menjadikannya sebagai tanda bagi umat manusia. Namun karena selalu mendapat ancaman dari pemerintah saat itu, Imam Mahdi tidak tampil ke publik dan dijaga dengan ketat oleh ayah beliau. Untuk beberapa waktu, umat Islam jika ingin berhubungan dengan Imam Mahdi melalui orang-orang kepercayaan beliau. Setelah membimbing umat dalam waktu yang singkat di zaman ghaibah shugra (kegaiban kecil), Imam Mahdi kemudian mengalami ghaibah kubro (kegaiban besar).
Kegaiban pertama dimaksudkan, di antara beberapa alasan, untuk menghindari terjadinya pembunuhan pada diri Imam Mahdi, yang kabar tentang kelahirannya telah masyhur di kalangan umat Islam, termasuk penguasa Bani Abbasiah saat itu. Mereka memata-matai rumah Imam Hasan Askari yang dinubuatkan sebagai tempat kelahiran Imam Mahdi. Alasan lain adalah untuk mempersiapkan umat Syiah dalam menerima otoritas ulama yang kompeten selama kegaiban beliau.
Pada masa kegaiban pendek, umat Syiah menyampaikan masalah-masalah mereka kepada wakil khusus Imam as, yang terkenal sebanyak empat orang. Empat wakil ini kemudian menyampaikan permasalahan tersebut kepada Imam Mahdi as. Pasca kegaiban pendek, yang ditandai dengan berakhirnya perwakilan khusus Imam, akhirnya umat Syiah terbiasa untuk menerima kepemimpinan ulama mereka dalam kegaiban panjang ini.
Kabar tentang datangnya juru selamat dunia telah dikenal manusia sepanjang sejarah. Berita gembira ini dan isyarat kedatangan juru selamat dapat ditemukan disabda dan ajaran para Nabi. Konsep soal datangnya juru selamat ketika dunia mendekati hari Kiamat merupakan ideologi agama Samawi termasuk, Yahudi, Kristen, Zoroaster dan khususnya Islam.
Di dalam Alquran yang mulia tidak terdapat ayat-ayat yang jelas dan tegas tentang imamah, khilafah, dan kepemimpinan al-Imam al-Mahdi ?alaihissalam, tetapi isyarat-isyarat ke arah itu ada, misalnya, saja dalam firman-firman Allah Azza wa Jalla berikut ini :
"Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka, Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukainya." (QS At-Taubah, 9 : 32)
"Dia yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan ajaran yang benar untuk dimenangkan-Nya atas seluruh ajaran, kendatipun orang-orang musyrik membencinya." (QS At-Taubah, 9 : 33)
"Dia yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan ajaran yang benar untuk dimenangkan-Nya atas seluruh ajaran, kendatipun orang-orang musyrik membencinya." (QS Ash-Shaff, 61: 9)
"Dia yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan ajaran yang benar untuk dimenangkannya atas ajaran seluruhnya, dan cukuplah Allah sebagai saksi. " (QS Al-Fath, 48 : 28)
Di kitab suci Zoroaster disebutkan musnahnya kezaliman dan kegelapan serta munculnya pewaris orang saleh. Di kitab ini diisyaratkan peperangan perkepanjangan antara kebaikan dan kejahatan. Di kitab agama Hindu juga menyebutkan juru selamat yang dijanjikan. Pengikut agama Yahudi yang menganggap dirinya pengikut Nabi Musa as juga memiliki keyakinan soal konsep juru selamat. Mereka senantiasa menunggu kedatangan sosok yang dijanjikan ini. Di kitab suci mereka seperti Taurat dan kitab lainnya ditekankan soal juru selamat tersebut. Adapun agama Kristen melalui kitab Injilnya baik itu Injil Matius, Lukas, Markus dan Barnabas serta injil Yohanes juga menyebutkan banyak isyarat tentang juru selamat akhir zaman.
Keyakinan akan konsep juru selamat di akhir zaman ketika dilontarkan Islam memiliki dimensi khusus. Dalam pandangan Islam juru selamat dunia memiliki kriteria khusus. Juru selamat ini termasuk janji Islam untuk mengakhiri kezaliman yang memenuhi bumi. Islam senantiasa menjanjikan bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan hidup dibarengi dengan keadilan, kebebasan serta keamanan. Dan ini bukan sekedar mimpi dan pasti terwujud.
Salah satu kriteria penting Imam Mahdi adalah menghancurkan diskriminasi, ketidakadilan dan penyelewengan. Di sisi lain, juru selamat ini akan mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan dan kehidupan yang penuh keadilan serta kebebasan dan keamanan. Ia akan membangun tatanan dunia baru yang dipenuhi keamanan dan keadilan. Pada akhirnya kekuasaan dunia akan diperintah oleh orang-orang saleh.
Sementara itu, harapan dan penantian (intizar) kemunculan Imam Mahdi selain memberikan spirit bagi manusia juga mempersiapkan jalan masa depan. Penantian mampu memberi manusia kekuatan stabil dan spirit ini diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya hingga masa kemunculan Imam Mahdi. Hal inilah yang membuat manusia memiliki semangat kuat untuk menentang kezaliman sepanjang masa.
Sejatinya, penantian berarti tidak puas akan kondisi yang ada. Manusia menanti kebaikan menguasai dunia. Ketika manusia memiliki keyakinan seperti ini. Penantian adalah sebuah kondisi psikologis yang memunculkan persiapan terhadap sesuatu yang dinantikan dan lawan kata dari hal itu adalah putus asa. Setiap kali penantian meningkat, maka persiapan semakin banyak. Tidakkah Anda merasakan jika menanti seseorang yang akan datang, maka akan bertambah pula persiapan Anda ketika kedatangan seseorang itu semakin dekat.
Dari sisi ini, setiap kali tingkatan penantian mengalami perbedaan maka terjadi pula perbedaan kecintaan terhadap orang yang Anda nantikan. Manakala kecintaan semakin besar maka bertambah besar pula persiapan menyambut kedatangan orang yang dicintai. Perpisahan dengan sang kekasih membuatnya sedih. Sampai-sampai orang yang menanti melupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan penjagaan dirinya, dia tidak lagi merasakan apa yang menimpa dirinya dari rasa sakit ataupun tekanan yang menyayat.
Seorang mukmin yang menanti pemimpinnya, manakala penantiannya semakin besar maka semakin besar pula upaya dirinya untuk mempersiapkan baik dengan berbuat warak, berupaya sungguh-sungguh, melakukan pembenahan diri, menghindari akhlak-akhlak yang buruk, menghiasi dengan akhlak-akhlak yang terpuji sehingga ia berhasil menjumpai pemimpinnya, menyaksikan keindahannya di masa kegaibannya. Sebagaimana hal ini terjadi pada sejumlah besar orang saleh. Karena itu, para imam maksum memerintahkan para pengikut mereka, sesuai dengan yang tercantum dalam riwayat-riwayat, untuk melakukan upaya pembenahan diri dan melaksanakan segala bentuk ketaatan.
Al-Quran menjelaskan Allah swt tidak mengutus seluruh para nabi dan rasul kecuali untuk satu tujuan utama yaitu menegakkan keadilan di muka bumi. Allah swt berfirman dalam Al-Quran:
لَقَدْ أَرْسَلْنا رُسُلَنا بِالْبَيِّناتِ وَ أَنْزَلْنا مَعَهُمُ الْكِتابَ وَ الْميزانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ[1]
“Sesungguhnya Kami telah mengutus para rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka kitab langit dan neraca (pemisah yang hak dan yang batil dan hukum yang adil) supaya manusia bertindak adil.”
Jadi, salah satu tujuan penting diutusnya para rasul ialah menegakkan keadilan di muka bumi. Kita mengetahui bahwa keadilan merupakan perkara yang fitriah atau manusiawi, artinya seluruh umat manusia mendambakan keadilan. Al-Quran pun menegaskan kembali bahwa keadilan di muka bumi suatu saat pasti akan terealisasi.
Sebelumnya kita telah membahas tentang keniscayaan penegakkan keadilan di muka bumi, dan kita telah mengetahui bahwa Allah swt tidak mengutus para nabi dan rasul kecuali untuk menegakkan keadilan di muka bumi.
Lalu, muncul pertanyaan bagaimana keadilan itu akan terwujud? Apa syarat-syarat untuk terealisasinya keadilan di muka bumi?.
Untuk terwujudnya keadilan di muka bumi, ada tiga syarat yang harus terpenuhi.
Pertama, adanya agama yang sempurna, dan universal yang mampu menjawab seluruh masalah kehidupan manusia, atau adanya aturan maupun syariat yang mampu memenuhi segala kebutuhan manusia baik itu yang berhubungan antara dirinya dengan Allah swt, atau dirinya dengan Alam, Masyarakat, atau pribadinya sendiri. Kita meyakini bahwa agama yang sempurna untuk sekarang ini ialah agama Islam.
Sebagaimana Allah swt berfirman dalam Al-Quran:
الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذينَ كَفَرُوا مِنْ دينِكُمْ فَلا تَخْشَوْهُمْ وَ اخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دينَكُمْ وَ أَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتي وَ رَضيتُ لَكُمُ الْإِسْلامَ ديناً[8]
“Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu. Sebab itu, janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agama bagimu.”
Kedua, adanya Pemimpin/Imam/Pembimbing/Khalifah yang mumpuni dalam memenuhi kebutuhan umat secara keilmuan baik dalam bidang Ushul, Akidah, Fikh, Akhlak atau Syariat. Pemimpin yang mampu mengamalkan agama dalam kehidupan manusia, dan ia juga harus Makshum (suci) baik secara ilmu maupun amal. Kita akan dapati bahwa Al-Quran mensyaratkan Makshum untuk seorang Imam. Allah swt berfirman:
وَ إِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيْمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَ مِنْ ذُرِّيَّتِيْ قَالَ لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِيْنَ[9]
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu ia menunaikannya (dengan baik). Allah berfirman,
“Sesungguhnya Aku menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.” Ibrahim berkata, “Dan dari keturunanku (juga)?”
Allah berfirman, “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang- orang yang zalim.”
Ayat ini menunjukan tentang syarat penting untuk seseorang yang telah mencapai maqom Imam yaitu kemakshuman. Dan hal ini juga yang menjadi sebuah keyakinan dalam mazhab Alhlul Bait bahwa seorang Imam harus Makshum.
Ketiga, adanya umat yang mampu menanggung semua tanggung jawab insaniah secara keseluruhan dan sempurna. Karena Al-Quran tidak menginginkan terwujudnya penegakkan keadilan di muka bumi secara Mukjizat, tapi Al-Quran menginginkan keadilan yang lahir atas peran utama manusia. Sebagaimana telah di paparkan dalam Al-Quran surat al-Hadid ayat 25 sebelumnya, pada kalimat akhir disebutkan لیقوم الناس بالقسط (supaya manusia bertindak adil). Jadi manusialah yang mempunyai peran asas dan penting dalam terealisasinya penegakkan keadilan di muka bumi.
Jika ketiga syarat-syarat ini terpenuhi maka penegakkan keadilan di muka bumi akan terwujud dan terealisasi.
Dalam pandangan Mazhab Ahlul Bait, sampai saat ini syarat pertama dan kedua telah terpenuhi, yaitu adanya Agama yang sempurna dan Universal juga adanya Imam yang Makshum serta mempuni dalam mengamalkan agama secara sempurna yaitu Imam Mahdi as, yang Allah swt gaibkan dan akan muncul nanti sebagaimana yang telah Rasulullah saw katakan. Adapun dalam pandangan Mazhab Ahlus Sunnah bahwa baru syarat pertama yang terpenuhi, adapun syarat kedua mereka meyakini bahwa Imam Mahdi as belum lahir. Mereka meyakini bahwa Imam Mahdi as akan lahir diakhir zaman dan tidak ada yang mengetahui kelahirannya kecuali Allah swt.
Kita tidak akan membahas lebih dalam mengenai perbedaan ini, tapi kita akan menyuguhkan satu hadis masyhur dan mutawattir sebagai bahan perenungan yang menunjukan bahwa Imam Mahdi as telah lahir. Hadis ini dikenal dengan nama hadis Tsaqolain.
حَدَّثَنَا يحيى قَال حَدَّثَنَا جرير عن الحسن بن عبيد الله عن أبي الضحى عن زيد بن أرقم قَال النبي صلى الله عليه وسلم إني تارك فيكم ثقلین ما
إن تمسكتم به لن تضلوا كتاب الله عز وجل وعترتي أهل بيتي وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض
Telah menceritakan kepada kami Yahya yang berkata telah menceritakan kepada kami Jarir dari Hasan bin Ubaidillah dari Abi Dhuha dari Zaid bin Arqam yang berkata Nabi SAW bersabda “Aku tinggalkan untuk kalian Tsaqolain yang apabila kalian berpegang-teguh kepadanya maka kalian tidak akan sesat yaitu Kitab Allah azza wa jalla dan ItrahKu Ahlul Baitku dan keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaKu di Al Haudh [Ma’rifat Wal Tarikh Al Fasawi 1/536]
Hadis Tsaqolain merupakan hadis yang mencapai derajat mutawattir dan tercantum baik dalam kitab-kitab Ahlus Sunnah maupun Ahlul Bait. Banyak perawi yang meriwayatkan hadis ini dalam bentuk teks yang berbeda-beda tapi muatan isinya tetap sama yaitu Rasulullah saw meningggalkan dua perkara penting yang jika berpegang pada keduanya tidak akan tersesat selamanya yaitu Al-Quran dan Itrah Ahlul Baitku yang keduanya tidak akan terpisah sampai kembali kepadaku.
Hadis ini menunjukkan bahwa Al-Quran dan itrah nabi tidak akan pernah terpisah, selama masih ada Al-Quran, maka harus ada seorang dari keturunan nabi yang bersamanya,
yang mana jika berpegang teguh pada keduanya umat tidak akan tersesat. Jika kita meyakini akan eksistensi Al- Quran sampai saat sekarang ini, maka kelaziman bagi kita untuk meyakini adanya seorang dari keturunan Rasul saw yang bersama Al-Quran dan menjadi pegangan kita, sehingga jika kita berpegang teguh pada keduanya maka kita tidak akan tersesat. Seorang yang dinisbahkan bersama Al-Quran pada zaman sekarang ini ialah Imam Mahdi as, sebagaimana yang diyakini dalam Mazhab Ahlul Bait bahwa seorang Imam yang menjadi pegangan umat manusia serta disandingkan dengan Al-Quran ialah orang yang harus maksum.
Menyambut Janji Tuhan
Pada pembahasan awal kita telah menyinggung tentang janji tuhan akan terealisasinya penegakkan keadilan di muka bumi, sebagaimana Allah swt berfirman pada surat Annur ayat 55 sebelumnya yang berbunyi
وَعَدَ اللهُ الَّذينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَ عَمِلُوا الصَّالِحاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa
Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi,”
Dalam teks tersebut dikatakan Allah swt telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh akan kekuasaan di muka bumi. Kita telah membahas bahwa yang dimaksud Kekhalifahan dalam ayat tersebut ialah Imam Mahdi as dan para sahabatnya. Namun yang menjadi pertanyaan ialah kenapa janji Allah swt dalam ayat tersebut hanya ditujukan kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh saja? Kenapa dalam perkara
Kekhalifahan Imam Mahdi as Allah swt tidak berjanji kepada seluruh umat manusia? Bukankah setiap manusia menginginkan keadilan di muka bumi ini?
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) kata janji berarti perkataan yg menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat (seperti hendak memberi, menolong, datang, bertemu dll). Atau janji ialah penangguhan; penundaan waktu.
Jika dilihat dari sisi pelaku pembuat janji, maka ada dua hal yang akan terjadi setelah pelaku pembuat janji itu mengikrarkan janjinya. Pertama, ia akan menepati janjinya. Kedua, ia akan mengingkari janjinya.
Berikut ini faktor-faktor seseorang tidak menepati janjinya:
Zalim, ia mampu untuk menepati janji, tapi secara sengaja ia mengingkari janjinya dan berniat zalim terhadap seseorang yang telah ia kasih janji.
Pada waktu yang ditentukan ia tidak memiliki sesuatu yang telah ia janjikan kepada penerima janji.
Ia lupa akan janjinya
Adanya halangan yang secara langsung atau tidak langsung menyebabkan ia mengingkari janjinya
Ia tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi janjinya.
Dan lain-lain
Kita telah sebutkan faktor-faktor penyebab pelaku pembuat janji tidak menepati janjinya, lalu jika kita nisbahkan semua faktor-faktor tersebut kepada Allah swt, apakah mungkin dengan sebab-sebab itu Allah swt tidak menepati janji? Ya, tidak mungkin hal itu terjadi, sangat mustahil ada satu faktorpun yang menyebabkan Allah swt tidak menepati janjinya. Jadi kesimpulannya ialah Allah swt pasti akan menepati janjinya. Jika Allah swt menjanjikan penegakkan keadilan di muka bumi, maka hal itu sudah sangat pasti akan terjadi dan terealisasi. Karena Allah swt tidak mungkin mengingkari janjinya.
Jika dilihat dari sisi penerima janji, maka ada dua hal yang akan terjadi kepada si penerima janji. Pertama, janji itu akan memberikan atsar, dampak atau pengaruh terhadap dirinya. Kedua, janji itu tidak memberikan atsar, dampak atau pengaruh terhadap dirinya.
Kita akan menjelaskan yang pertama dan kedua dengan sebuah contoh. Misalnya Anda adalah seorang karyawan di suatu perusahaan, kemudian suatu hari Bos Anda yang dikenal baik oleh semua karyawan di perusahaan itu menjanjikan kenaikan pangkat dan gaji kepada Anda jika
Anda melakukan pekerjaan dengan baik. Jika janji itu berdampak dan mempengaruhi Anda, maka sejak saat itu Anda pasti akan bekerja dengan sebaik mungkin dan memiliki pengharapan yang tinggi terhadap apa yang dijanjikan oleh Bos Anda tersebut, karena konsekuensi dari dampak atau pengaruh janji itu ialah adanya gerakan atau usaha dari Anda, sehingga gerakan yang dilakukan oleh Anda semata- mata hanya untuk merealisasikan janji dari Bos Anda tersebut.
Tapi jika janji itu tidak memberikan dampak atau pengaruh terhadap diri Anda, maka sejak saat itu anda akan bekerja biasa-biasa saja, dan Anda tidak berharap sedikitpun terhadap apa yang dijanjikan Bos. Karena janji itu tidak berdampak dan berpengaruh pada diri Anda, maka tidak ada gerakan atau usaha sedikitpun dari diri Anda dalam merealisasikan janji Bos Anda. Dalam hal ini Anda hanya sekedar mengetahui informasi yang di janjikan oleh Bos
Anda tanpa adanya sambutan dan gerakan dari Anda dalam mewujudkan apa yang dijanjikan Bos Anda.
Nah, jika Allah swt menjanjikan penegakkan keadilan di muka bumi yang dipimpin oleh Imam Mahdi as, maka pertanyaannya ialah apakah janji Allah swt itu telah berdampak atau berpengaruh terhadap diri kita? Jika iya, maka konsekuensi dari dampak atau pengaruh janji itu ialah adanya gerakan dan usaha dari kita dalam menyambut janji Tuhan tersebut, juga adanya pengharapan yang tinggi dalam diri kita akan terealisasinya janji Tuhan tersebut, sebagaimana dalam suatu hadis Rasulullah saw mengatakan:
افضل اعمال امتی انتظار الفرج من الله عز و جل[10]
“Seutama-utama amal umatku ialah menunggu Alfaraj dari Allah Azza wa Jalla.”
Yang dimaksud dengan menunggu dalam hadis tersebut bukanlah menunggu dalam artian diam tidak melakukan apapun, tapi menunggu disitu ialah adanya gerakan atau usaha dalam menyambut Alfaraj, sebagaimana yang telah kita paparkan diatas bahwa konsekuensi atas dampak dan pengaruh janji ialah adanya gerakan dan usaha serta pengharapan yang tinggi dalam merealisasikan janji tersebut.
Tapi, jika janji Allah swt tidak berdampak dan berpengaruh terhadap diri kita, maka posisi kita hanya sebatas mengetahui informasi akan janji Allah swt tersebut, juga tidak ada gerakan dan usaha serta pengharapan yang tinggi dari kita dalam merealisasikan dan menyambut janji Allah swt. Jadi, kenapa Allah swt hanya berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh dalam penegakkan keadilan dan kekhalifahan Imam Mahdi as di muka bumi? Karena telah kita ketahui bahwa tidak semua orang merasakan akan janji Allah tersebut. Hanya orang-orang khusus yang bisa merasakan janji Allah swt, yaitu orang-orang yang bergerak dan berusaha serta memilki harapan yang tinggi akan terwujudnya dan terealisasinya janji Allah swt.
Jadi, apakah kita sudah termasuk orang-orang yang merasakan dampak dan pengaruh atas janji Allah swt?
Apakah kita sudah termasuk orang-orang yang merindukan dan berharap banyak akan terealisasinya janji Allah swt?
Apakah kita sudah termasuk orang-orang yang bergerak dalam menyambut apa yang dijanjikan Allah swt?
Wallahu A’lam
[2] QS Annur : 55
[3] QS Albaqarah: 30
[4] QS Asshad : 26
[5] Kitab Muntakhab Alasar, memuat 123 hadis tentang pembahasan ini, lihat hal. 247
[6] QS Alqasas : 5
[7] QS Alanbiya : 105
[8] QS Almaidah : 3
[9] QS Albaqarah : 123
[10] Kitab Biharul Anwar juz 52 hal. 128 hadits ke 21
Faktor-faktor yang menjadi sebab kemunculan adalah beberapa hal yang disebut sebagai terciptanya ruang bagi kemunculan Imam Zaman Ajf dan termasuk di antara sebab-sebab kemunculan Imam Zaman Ajf.
Dalam hal ini harus dikatakan bahwa meski faktor utama kemunculan Imam Zaman Ajf adalah irâdah Ilahi (kehendak Ilahi), namun apa yang dapat dilakukan oleh manusia sebagai ruang bagi kemunculan Imam Zaman Ajf adalah menghilangkan pelbagai hal yang menyebabkan ghaibnya Imam Zaman Ajf dan menciptakan kesiapan pada dirinya.
Kesiapan ini juga dengan menunaikan tugas-tugas dan taklif-taklif yang diemban khususnya taklif-taklif pada masa ghaibat seperti menanti tibanya kelapangan, doa, sabar, melakukan konstruksi diri, mematangkan pikiran dan sosial kemasyarakatan. Akan tetapi kesiapan-kesiapan ini harus sesuai dengan penerimaan pemerintahan semesta; artinya bersifat global dan menyeluruh serta pemikiran umum harus siap sedia untuk menyokong dan mendukung kemunculannya.
Segala sesuatu memiliki peran dalam proses kemunculan Imam Zaman Ajf dan segala sesuatu yang menjadi sebab kemunculan Imam Zaman Ajf digolongkan sebagai faktor-faktor kemunculan Imam Zaman Ajf. Dalam hal ini harus dikatakan bahwa meski faktor utama kemunculan Imam Zaman Ajf adalah irâdah Ilahi (kehendak Ilahi), namun apa yang dapat dilakukan oleh manusia sebagai penciptaan ruang dan persiapan bagi kemunculan Imam Zaman Ajf adalah menghilangkan pelbagai hal yang menyebabkan ghaibnya Imam Zaman Ajf dan menciptakan kesiapan pada dirinya; karena setiap revolusi dan gerakan yang muncul untuk meraih tujuan tertentu akan memperoleh kemenangan tatkala segala sesuatunya dari berbagai sisi telah siap sedia, selain itu maka revolusi akan menuai kegagalan dan kekalahan.
Kebangkitan Imam Zaman Ajf juga tidak terkecuali dalam hal ini dan hanya dapat meraih kemenangan tatkala syarat-syaratnya terpenuhi.[1]
Karena itu kesiapan masyarakat merupakan salah satu sebab dan faktor bagi kemunculan Imam Zaman Ajf; artinya masyarakat secara umum yang menghendaki kemunculan Imam Zaman Ajf dan terdapat pemikiran umum yang mengglobal yang menyokong dan mendukung kemunculan Imam Zaman Ajf.
Adapun penjelasan terkait dengan apa yang disebutkan dalam riwayat ihwal faktor-faktor ghaibat, sebagian di antaranya tidak berada dalam ikhtiar kita dan tidak dapat berubah seperti:
Baiat seseorang tidak berada di pundak Imam Zaman Ajf.[2]
Penjagaan beliau dari bahaya pembunuhan.[3]
Ujian Ilahi.[4]
Sebab-sebab misterius. Sebagaimana sebagian riwayat menjelaskan poin ini bahwa para Imam Maksum As mengetahui sebab utama ghaibat, namun mereka tidak memiliki tugas untuk menjelaskannya. Karena itu, mereka menjelaskannya secara umum dan global terkait dengan hikmah-hikmah Ilahi atas ghaibatnya Imam Zaman Ajf. Dalil atas klaim ini adalah riwayat Abdullah bin Fadhl Hasyimi dari Imam Shadiq As dimana Imam Shadiq As bersabda kepadanya, “Akan ada ghaibat bagi Shâhib al-Amr yang tiada cara selain itu. Setiap orang yang batil akan meragukannya.” Saya berkata kepadanya, “Semoga jiwaku menjadi tebusanmu. Tapi kenapa harus ghaibat?” Imam Shadiq As bersabda, “Untuk sebuah hal yang kami tidak memiliki izin untuk mengungkapnya bagimu.” “Apa yang menjadi hikmat atas ghaibatnya?” Tanyaku penasaran. Beliau menjawab, “Hikmah ghaibatnya adalah sama dengan hikmah ghaibat-nya hujjah Allah sebelumnya. Hikmahnya tidak akan terungkap kecuali setelah kemunculannya sebagaimana hikmah melobangi perahu, terbunuhnya anak dan tegaknya dinding oleh Nabi Khidir bagi Nabi Musa As belum lagi terungkap kecuali keduanya berpisah satu sama lain. [5]
Jelas bahwa faktor-faktor ini tidak berada di dalam kewenangan manusia sehingga mereka mampu merubahnya.
Namun sebagian lainnya faktor ghaibat dapat dirubah sebagaimana pada sebagian tauqi’ât (surat yang dibubuhi tanda tangan Imam Mahdi Ajf) juga menyinggung masalah ini dimana disebutkan tidak setianya masyarakat dan dosa-dosa mereka yang telah membuat Imam Zaman Ajf itu ghaib.
“Sekiranya Allah Swt menganugerahkan taufik kesetiaan pada janji kepada Syiah kami maka perjumpaan dengan kami tidak akan diakhirkan dan mereka akan meraih kebahagian perjumpaan dengan kami disertai makrifat yang layak. Tiada yang menahan kami dari Syiah kami kecuali amalan-amalan mereka yang tidak layak dan tercela yang sampai kepada kami.”[6]
Kandungan tauqi’ ini adalah terkait dengan tidak loyalnya orang-orang Syiah terhadap ikrar dan janji mereka dengan Imam Zaman Ajf yang menyebabkan masa ghaibatnya semakin lama dan kemunculannya diakhirkan. Karena itu loyalitas orang-orang Syiah terhadap janji mereka (terhadap Imam Zaman) dapat menjadi salah satu faktor segeranya kemunculan Imam Zaman Ajf.
Di samping itu, harap diperhatikan bahwa orang-orang pada masa ghaibat, di samping taklif-taklif yang bersifat umum, khususnya terkait dengan masalah ghaibat, mereka memikul tugas-tugas di pundak, dengan menjalankan tugas-tugas tersebut, di samping memperoleh ganjaran dan pahala, mereka juga akan menarik beberapa langkah bagi kemunculan Imam Zaman Ajf yang akan kami sebutkan sebagian di antaranya sebagai berikut:
Ungkapan “hendaknya kalian bersabar” disebutkan secara lugas dan menyatakan bahwa tugas orang-orang Syiah pada masa ghaibat adalah bersabar atas keterpisahan ini. Akan tetapi jelas bahwa sabar bermakna berkukuh pada keyakinan dan tindakan serta menjalankan khittah dan maktab Imam Mahdi Ajf.
Sehubungan dengan penantian takwini, penantian lebih condong bersifat negatif dan lemah. Adapun penantian tasyri’i, bersifat progressif disertai dengan ilmu dan amal.
Tuturan Imam Sajjad As dapat dijadikan bukti atas klaim ini. Beliau bersabda, “Para penantii kemunculannya (Imam Mahdi Ajf) adalah orang-orang terbaik pada setiap zaman; karena Allah Swt menganugerahkan akal, pemahaman dan pengenalan dimana ghaibat di sisi mereka laksana penyaksian (musyahâdah). Mereka pada masa itu laksana para pejuang yang menghunus pedang di samping Rasulullah Saw. Mereka adalah Syiah sejati dan penyeru ke agama Allah baik secara sembunyi-sembunyi atau pun terang-terangan. [11]
Para penanti sejati pada dimensi teoritis, sedemikian memiliki makrifat sehingga ghaibat baginya laksana penyaksian; artinya ia sama sekali tidak ragu dan sangsi dalam mengenal Imam Zamannya. Dan dari dimensi praktisnya, ia senantiasa menyibukkan diri, terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, dengan urusan dakwah dan tabligh tentang Imam Zaman Ajf.
Apabila penanti negatif dan passif melipat tangan serta dengan dalih bahwa tiada yang dapat kita lakukan dan tidak berbuat apa-apa untuk menyambut kemunculan Imam Zaman maka penanti positif dan aktif, siang dan malam, berusaha menambah ilmu dan makrifatnya, menyiapkan dirinya untuk menyambut kedatangan Imam Mahdi Ajf, serta berusaha untuk mendudukan dirinya pada barisan para penanti sejati.
Intinya dalam penantian positif terpendam iman kepada yang ghaib, kecendrungan kepada keadilan, kebencian terhadap kezaliman, pengakuan terhadap kebenaran dan seruan terhadap kebaikan dan perbaikan.
Dalam riwayat lainnya, Imam Ridha As bersabda, “Sesungguhya kemunculan Imam Mahdi Ajf akan datang setelah keputusasaan dan orang-orang sebelum kalian lebih sabar daripada kalian.”[14]
Hal ini bermakna bahwa selama manusia menaruh harapan pada kekuatan-kekuatan non-Ilahi, dahaga akan keadilan Mahdawi tidak ada dalam dirinya serta tidak mencari dan tidak menghendaki Imam Mahdi.
Boleh jadi atas dasar itu, salah satu tanda permulaan revolusi Imam Zaman Ajf adalah merajalelanya kezaliman dan angkara murka di muka bumi. Hal ini dapat ditetapkan dengan dua jalan:
Rasulullah Saw memandang merajalelanya kezaliman dan angkara murka sebagai tanda permulaan revolusi dan dalam sebuah hadis yang dikutip dari para ahli hadis Islam, Rasulullah Saw bersabda, “Bumi akan diisi dengan keadilan dan persamaan, setelah dipenuhi dengan kezaliman dan kesewenang-wenangan.”[15]
Tekanan dan cekikan kapan saja telah melebih batasnya akan menjadi penyebab ledakan. Ledakan-ledakan sosial seperti ledakan-ledakan mesin yang akan meletup pada tingkatan tertentu.
Pada hakikatnya tersebarnya kerusakan yang dilakukan oleh kaum durjana akan semakin mendekatkan revolusi dan sebagai hasilnya akan menyirami benih-benih revolusi untuk tumbuh berkembang, sehingga tatkala krisis sampai pada puncaknya maka meletuslah revolusi. Namun, harap diperhatikan bahwa semata-mata tersebarnya kerusakan tidak mencukupi, melainkan pengetahuan yang matang juga diperlukan dalam hal ini.
Maksud tingginya level pengetahuan masyarakat adalah bahwa manusia sampai pada level memahami bahwa kezaliman dan kerusakan menjadikan hidupnya sebagai neraka yang tidak cocok dengan makam kemanusiaannya. Setelah itu, dengan menilai syarat-syarat dan kondisi-kondisi yang ada, kejahatan kekuatan thagut, ia menyiapkan benih revolusi di tanah yang sudah siap dan melalui pelbagai cara ia menyirami tanah tersebut. Jelas bahwa sepanjang mayoritas masyarakat tidak menyadari hal ini dan manusia tidak mengetahui nilai-nilainya serta tidak menimbang segala yang dimilikinya dan oleh musuhnya, maka revolusi buta akan meletus yang tentu saja tidak dapat menjamin kemaslahatan umat manusia secara keseluruhan.
Dengan ungkapan yang lebih jelas, untuk merealisasi sebuah revolusi, tersebarnya kejahatan dan adanya seorang pemimpin yang pas, tidak mencukupi. Bahkan selain itu, kesiapan mental dan pikiran juga diperlukan sehingga masyarakat pada waktu yang tepat dapat mempersembahkan tuntutan revolusi yaitu kerelaan berkorban dan kerelaan untuk syahid dalam mencapai tujuan revolusi. Selain itu, sikap lemah, pasif dan malas, puas dengan kondisi yang ada, akan mendominasi spirit masyarakat dan pemikiran revolusi tidak akan ditemukan dalam benak mereka dan dengan berpegang pada logika “Musa dengan agamanya, Isa dengan agamanya,” atau “setiap orang harus mengeluarkan karpetnya sendiri-sendiri dari air” atau “Untuk apa aku peduli dengan urusan orang lain” dan semisalnya. Ia menilai kondisi sekarang senantiasa dengan tuntutan mencari kesenangan, dan lebih mengutamakan hidup sejahtera ketimbang harus bangkit, mengusung revolusi, menahan penderitaan penjara dan siksa, pembunuhan dan eksekusi.[16]
Di samping itu, untuk mewujudkan kebangkitan dan revolusi Imam Mahdi Ajf diperlukan seorang serdadu yang siap sedia dan kekuatan memukul produktif yang berdiri di belakang Imam Mahdi Ajf dan mematuhi komandonya. Dengan demikian, ia harus menggemleng orang-orang yang siap berkorban dalam bara api kezaliman, kejahatan, kerusakan dan diskriminasi, sehingga ia menjadi pembawa pesan keadilan. Kelompok ini harus dibekali dengan kekuatan iman dan takwa, siap berkorban harta, raga dan jiwa untuk mencapai tujuan ini.
Ringkasnya, tersebarnya kerusakan dan kezaliman, apabila berujung pada inzhilâm yaitu menerima kezaliman dan kejahatan, maka tidak akan tersedia ruang bagi kebangkitan melawan kondisi seperti ini. Bahkan hanya dapat berguna tatkala pendahuluan-pendahuluan perlawanan telah dilakukan terlebih dahulu dalam rangka menegakkan keadilan dan kebaikan. Jelas bahwa pendahuluan ini sama sekali tidak akan terlaksana kecuali masyarakat tahu bahwa kezaliman itu adalah hal yang buruk dan harus dibasmi, dan sebagai bandingannya, ia juga harus tahu simbol-simbol kesalehan dan ketakwaan personal dan sosial, dan hanya dengan pengenalan ia mengajak masyarakat kepada kebaikan dan ketakwaan.
Terdapat banyak hadis yang menyebutkan bahwa sekelompok orang pada masa-masa yang berbeda-beda dengan gerakan-gerakan reformis di tengah masyarakat akan menjadi pendahuluan-pendahuluan kemunculan Imam Zaman Ajf. Hadis-hadis ini telah dikumpulkan pada sebagian buku.[17]
Di sini kami ingin menyebutkan salah satu hadis ini. Penulis buku Kasyf al-Ghummah mengutip dari Rasulullah Saw yang bersabda, “Orang-orang akan keluar dari Timur dan menyiapkan pendahuluan bagi kemunculan Imam Mahdi Ajf.”[18]
Takwa dan Jauh dari Dosa
Pada sebagian hadis Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As menjelaskan tentang tugas-tugas para penanti, kesemuanya bercerita tentang takwa, wara, ifaf, shalah, sided, jauh dari dosa dan dekat pada Allah Swt. Sebagai contoh, Imam Shadiq As bersabda, “Barang siapa yang ingin merasakan kebahagiaan menjadi salah seorang sahabat Imam Qaim Ajf, maka selagi dalam masa penantian ia harus menjadi penanti aktif dan beramal dengan wara dan budi pekerti yang luhur. Apabila orang seperti ini meninggal dunia sebelum kemunculan Imam Zaman Ajf maka ganjaran yang akan ia peroleh sama dengan orang yang mendapatkan Imam Zaman Ajf pada masa kemunculannya. Karena itu, berusahalah untuk berbuat kebaikan dan menjadi seorang penanti yang baik. Semoga penantian ini menjadi saat-saat terindah bagimu dan engkau diliputi rahmat.”[19]
Ulama terdahulu kita, terkait dengan tugas-tugas dan taklif-taklif para penanti pada masa ghaibat, menulis buku-buku atau pasal-pasal dari buku-buku. Seperti buku Najm al-Tsaqib karya Haji Mirza Husain Nuri (wafat 1327 H), dua buku “Mikyal al-Makârim” dan “Wazhife Mardum dar Zaman Ghaibat Imam Zaman Ajf (Tugas-tugas Masyarakat Pada Masa Ghaibat Imam Zaman Ajf) karya Mirza Muhammad Taqi Musawi Isfahani (w 1348 H)
Dalam buku-buku ini dan yang semisal dengannya yang disinggung hanyalah berdasarkan riwayat-riwayat para Imam Maksum terkait dengan faktor-faktor kemunculan dan tugas-tugas para penanti. Akan tetapi dari sudut pandang rasional juga dapat dikatakan bahwa pembentukan pemerintahan semesta dengan segala kebesaran dan keagungannya, bersifat seketika meski ia merupakan sebuah hal yang mustahil, namun kita tidak memiliki dalil rasional atau referensial standar terkait dengan hal ini. Kendati boleh jadi kemunculan itu sendiri disebabkan tiadanya tauqit (tidak dijelaskannya waktu) terjadi dalam waktu serentak dan seketika, namun tentu saja tidak akan terjadi tanpa adanya persiapan pendahuluan.
Syahid Muthahari menulis, “Sebagian ulama Syiah yang menaruh prasangka baik terhadap sebagian pemerintahan Syiah kontemporer, memberikan kemungkinan bahwa sebuah pemerintahan hak akan berdiri hingga revolusi Imam Mahdi Ajf Yang Dijanjikan.[20]
Hal ini menjelaskan bahwa ulama Syiah meyakini pemerintahan pendahuluan dan hal ini merupakan suatu hal yang wajar; karena tatkala manusia menantikan seorang tamu istimewa, maka ia akan berusaha menyiapkan ruang dan persiapan pendahuluan untuk menyambut sang tamu istimewa. Bagaimana mungkin seorang penanti, menantikan seseorang yang disebabkan penegakan keadilan, pelaksanaan hukum-hukum Ilahi dan mencegah pelbagai kemugkaran akan dihukum dan merasakan sabetan pedangnya?”
Ayatullah Makarim Syirazi terkait dengan persiapan-persiapan yang harus dilakukan untuk terbentuknya pemerintahan semesta, menulis, “supaya dunia menerima pemerintahan seperti itu maka diperlukan beberapa persiapan sebagai berikut:
Kesiapan pikiran dan budaya; artinya level pemikiran masyarakat dunia sedemikian tinggi sehingga ia tahu misalnya masalah ras atau “beragam letak geografis dunia” bukanlah masalah penting bagi hidup umat manusia dan perbedaan bahasa, warna kulit, negeri, tidak dapat memisahkan manusia antara satu dengan yang lainnya.
Kesiapan sosial; orang-orang sedunia harus lelah dan muak dengan kezaliman, kejahatan dan pelbagai pemerintahan yang ada di dunia, ia merasakan kegetiran dan kepahitan kehidupan material dan mono dimensional dan bahkan telah berputus asa terhadap masa depan yang dapat memecahkan persoalan-persoalan kekinian.
Kesiapan teknologi dan komunikasi; berbeda dengan anggapan sebagian orang bahwa sampaina pada tingkat kesempurnaan sosial dan sampainya pada dunia yang sarat dengan perdamaian dan keadilan, hanya dapat tercapai dengan musnahnya teknologi modern. Adanya industri-industri maju bukan hanya tidak menggangu sebuah pemerintahan berkeadilan semesta, namun juga tanpanya mustahil dapat sampai pada tujuan seperti ini.[21]
Kesiapan individu: Pemerintahan semesta sebelum segala sesuatunya memerlukan unsur-unsur yang siap dan dengan nilai kemanusiaan sehingga dapat memikul beban berat seperti reformasi agung dan luas seperti ini.
Hal ini pada level pertama diperlukan peningkatan level pemikiran, pengetahuan, kesiapan mental dan pikiran untuk melaksanakan agenda agung ini. Para penanti sejati tentu saja tidak hanya dapat menjadi penonton untuk mengimplementasikan agenda-agenda tersebut.[22]
[2]. Silahkan lihat, Lutfhullah Shafi Gulpaigani, Muntakahab al-Âtsâr, hal. 334.
[3]. Silahkan lihat, Bihâr al-Anwâr, jil. 52, hal. 97.
[4]. Ibid, hal. 98.
[5]. Silahkan lihat, Bihâr al-Anwâr, jil. 52, hal. 91 dan 113.
«ان لصاحب الامر غيبة لا بد منها، يرتاب فيها كل مبطل، فقلت له: و لم جعلت فداك؟ قال لامر لم يؤذن لنا فى كشفه لكم، قلت: فما وجه الحكمة فى غيبة؟ فقال: وجه الحكمة فى غيبة وجه الحكمة غيبات من تقدمه من حجج اللّه تعالى ذكره، ان وجه الحكمة فى ذلك لا ينكشف الا بعد ظهوره، كما لا ينكشف وجه الحكمة لمّا أتاه الخضر( عليهالسلام ) من خرق السفينة، و قتل الغلام و اقامة الجدار، لموسى (عليهالسلام) الا وقت افتراقها». [6]. Silahkan lihat, Bihâr al-Anwâr, jil. 53, hal. 177 dan Ilzam al-Nashib, jil. 2, hal. 467. «و لو ان اشياعنا وفقهم اللّه على اجتماع من القلوب فى الوفاء بالعهد عليهم، لما تأخر عنهم اليمن بلقائنا و لتعجلت لهم السعادة بمشاهدتنا، على حق المعرفة و صدقها منهم بنا فما يحبسنا عنهم الا ما يتصل بنا مما نكرهه و لا نؤثره منهم». [7]. Bihâr al-Anwâr, jil. 52, hal. 129. «ما احسن الصبر و انتظار الفرج، اما سمعت قول الله تعالى «فارتقبوا انى معكم رقيب» و قوله عزوجل: «فانتظروا انى معكم من المنتظرين، فعليكم بالصبر، فانه انما يجيىء الفرج على اليأس و قد كان الذين من قبلكم اصبر منكم». [8]. Ibid, hal. 122. «
افضل اعمال امتى انتظار الفرج» [9]. Ibid. «اى الاعمال احب الى اللّه عزوجل؟» فقال: «انتظار الفرج». [
10]. Bihâr al-Anwâr, jil. 52, hal. 95. «اقرب ما يكون العبد الى اللّه عزوجل و ارضى ما يكون عنه اذا افتقدوا حجة اللّه فلم يظهر لهم و حجب عنهم فلم يعلموا بمكانه... فعندها فليتوقعوا الفرج صباحا و مساءً» [11]. Bihâr al-Anwâr, jil. 52, hal. 122. «المنتظرون لظهوره افضل اهل كل زمان، لان اللّه تعالى ذكره، اعطاهم من العقول و الافهام و المعرفة ما صارت به الغيبة عند هم بمنزلة المشاهدة، و جعلهم فى ذلك الزمان بمنزلة المجاهدين بين يدى رسول اللّه صلىاللهعليهوآله بالسيف، اولئك المخصلون حقا، و شيعتنا صدقا، و الدعاة الى دين اللّه سرا و جهرا » [12]. Al-Ihtijâj, jil. 2, hal. 471. «و اكثروا الدعاء بتعجيل الفرج، فان ذلك فرجكم» [13]. Bihâr al-Anwâr, jil. 52, hal. 111. «ان هذا الامر لايأتيكم الا بعد اياس...” [
14]. Silahkan lihat, Bihâr al-Anwâr, jil. 52, hal. 129 dan 110. «فانه انما يجيىء الفرج على اليأس و قد كان الذين من قبلكم اصبر منكم» [15]. Al-Ihtijâj, jil. 1, hal. 69. «يملا الارض قسطاً و عدلا كما مُلئت ظُلما وجورا». [
16]. Harap diperhatikan bahwa beberapa lama kerusakan akan melanda dunia. Kerusakan yang dilakukan negara-negara adidaya terjadi di pelbagai belahan dunia khususnya Afrika dan Asia sampai pada level yang paling parah. Semenjak hari Barat berpikir ingin menguasai Timur, setiap harinya di pelbagai belahan dunia tingkat kezaliman yang diderita semakin meningkat dan jutaaan orang yang tertawan. Hanya dengan mengkaji negara-negara jajahan di Afrika dan Asia Selatan menjadi dokumen yang paling jelas dan terang atas persoalan ini.
[17]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Kamil Sulaiman, Ruzegâr Rahâi, terjemahan Persia oleh Ali Akbar Mahdi Pur, jil. 2, hal. 1034-1062.
[18]. Kasyf al-Ghummah fi Ma’rifat al-Aimmah, jil. 3, hal. 267. Mu’jam Ahadits al-Imam al-Mahdi, Muassasah al-Ma’arif al-Islamiyah, 1411 H, jil. 1, hal. 387.
[19].. Bihâr al-Anwâr, jil. 52, hal. 140 sesuai nukilan dari Ghaibat al-Nu’mani. «من سره ان يكون من اصحاب القائم فلينتظر وليعمل بالورع و محاسن الاخلاق و هو منتظر. فان مات وقام القائم بعده، كان له من الأجر مثل أجر من أدركه. فجدوا وانتظروا هنيئاً لكم ايتها العصابة المرحومة». [20]. Silahkan lihat, Murtadha Muthahhari, Qiyâm wa Inqilâb Mahdi, hal. 68.
[21]. Makarim Syirazi, Hukumat Jahâni Mahdi Alaihi al-Salâm, hal. 80-83 [22]. Ibid, hal. 100.
Ayatullah Muhammad Taqi Behjat ra tak berbeda dengan para ulama besar yang lain telah menjadi pelita cemerlang bagi jalan kehidupan seluruh masyarakat luas. Untuk itu, pernyataan dan sikap-sikapnya bisa menjadi petunjuk jalan kita.
Salah satu model pertanyaan yang pernah diajukan kepada Ayatullah Behjat adalah pertanyaan berkaitan dengan isu akhir zaman. Mari kita simak bersama:
Tanya: Jika iman memiliki 10 derajat, maka Salman Farisi memiliki seluruh derajat keimanan ini. Apakah kita juga bisa menggapai seluruh derajat iman di akhir zaman ini?
Jawab: Memang semua orang bisa seperti Salman dan Abu Dzar yang mampu sabar menghadapi seluruh jenis petaka dan musibah? Atau seperti Ammar yang telah rela dibunuh? Seluruh pintu maqam yang telah berhasil mereka gapai telah tertutup. Seluruh dunia dan segala isinya tidak memiliki nilai sebesar salat Salman dalam semalam.
Tetapi, dari beberapa hadis seperti “ibadah pada masa kegaiban adalah lebih baik daripada ibadah pada masa kehadiran imam maksum” dapat dipahami bahwa maqam yang lebih tinggi masih bisa kita gapai. Kita semua sering menyaksikan keramat dan tindakan-tindakan aneh yang dilakukan oleh para ulama. Kita merasa heran mereka orang lain mampu melihat dan mereka tidak menyebutkan namanya.
Tanya: Apakah tugas kita pada masa kegaiban ini?
Jawab: Sepertinya para imam maksum as telah menyempurnakan hujah untuk kita tentang masalah ini. Mereka berkata, “Banyaklah berdoa demi kemunculan Imam Mahdi.” (Al-Ghaibah, Syaikh Thusi, hlm. 290) Tetapi tentu bukan hanya dengan sekadar komat-kamit mulut. Mereka juga berkata, “Bertindaklah sesuai dengan perintah yang sedang kalian lakukan sehingga masalah menjadi jelas bagi kalian.” (Bihar al-Anwar, jld. 52, hlm.133) Yakni dalam menghadapi masalah-masalah baru, bertindaklah sebagaimana kalian selama ini bertindak.
Para imam maksum as mengajarkan kepada kita supaya bertindak sesuai dengan keyakinan yang kita miliki. Selama belum ada keyakinan, maka kita harus berhenti dan bertindak hati-hati.
Tanya: Bagaimana kita mempersiapkan diri untuk menyongsong kemunculan Imam Mahdi as?
Jawab: Salah satu jalan adalah kita bertobat. Tobat ini akan menyebabkan seluruh petaka yang sekarang sedang menimpa dan akan menimpa Syiah akan tersingkirkan.
Ucapan dan wejangan para wali Allah dapat menjadi pelita jalan setiap insan. Untuk menyelamatkan diri dari petaka akhir zaman, marilah kita renungkan wejangan Ayatullah Behjat sang wali Allah ini.
Tindakan yang paling utama supaya kita tidak celaka di akhir zaman adalah berdoa supaya Imam Mahdi as segera muncul (doa faraj). Tentu bukan sembarang doa. Tetapi doa yang dapat mempengaruhi seluruh tindakan kita.
Doa yang paling utama adalah doa faraj untuk Imam Mahdi as ini. Doa faraj adalah obat bagi seluruh rasa sakit kita. Dalam sebuah hadis disebutkan, di akhir zaman kelak, seluruh makhluk akan binasa kecuali mereka yang berdoa supaya Imam Mahdi as segera muncul. Doa pada hakikatnya adalah sebuah harapan dan hubungan erat dengan pemiliknya. Hal ini adalah sebuah peringkat dari sebuah kelapangan (faraj).
Tentu doa faraj ini harus dibaca dengan disertai syarat-syarat yang diperlukan. Salah satu syarat yang paling utama adalah tobat dari seluruh dosa.
Meninggalkan kewajiban dan melakukan keharaman adalah tirai yang menghadang kita dari berjumpa dengan Imam Mahdi as.
Selama kita tidak memiliki hubungan kuat dengan Imam Mahdi as, seluruh kerjaan kita tidak akan benar. Cara menguatkan hubungan dengan beliau adalah memperbaiki diri kita.
Semasa pendudukan Amerika Serikat di Irak, salah satu pertanyaan paling mengherankan dari para tentara kepada orang-orang Irak yang disiksa di berbagai penjara seperti Abu Ghraib adalah “di mana pria yang bernama Imam Mahdi bersembunyi?” Menurut Mohabat News, sebuah kantor berita Kristen Iran pro-Israel, ketakutan terhadap Imam Mahdi begitu kuat sehingga CIA dan MI6 telah mengunjungi Irak selama 20 tahun terakhir untuk mendapatkan informasi tentang Imam Mahdi; di kota mana dia terakhir terlihat? Kapan dia akan muncul lagi?
Siapakah Imam Mahdi sampai-sampai Zionis berhasil mengontrol Kongres Amerika dan sistem keuangan dunia untuk segera memerintahkan membunuhnya?
Imam Mahdi merupakan imam keduabelas Syiah dan menurut hadis-hadis Islam dia berada dalam kondisi kegaiban dan akan kembali ke dunia untuk menciptakan kedamaian serta keadilan di muka bumi. Dia dilahirkan pada 29 Juli 869 di kota Samarra, Irak, dari seorang ibu bernama Nargis yang merupakan seorang keturunan Romawi.
Dia disembunyikan sejak kelahirannya hingga kegaiban karena penguasa masa itu, Dinasti Abbasiah, mengetahui tentang nubuat Imam Mahdi yang akan melawan tirani. Dinasti Abbasiah sadar bahwa manusia yang dijanjikan tersebut adalah putra dari imam Syiah kesebelas, Imam Askari.
Entah fiksi atau bukan, kisah ini terus berlanjut sampai hari ini; selama ribuan tahun para penguasa tiran terus mencoba untuk memburu dan membunuh Imam Mahdi. Sudah jelas bahwa Zionis ingin berperang melawan Iran, tapi yang membuat semua itu tidak masuk akal adalah mengapa Israel tetap mencari seorang pria yang telah menghilang lebih dari seribu tahun yang lalu? Dialah imam gaib telah menjadi bagian (keyakinan) dalam Syiah dan suni Islam selama berabad-abad. Keyakinan yang tidak berbeda dengan sebuah bentuk Milenarianisme yang ada di seluruh agama.
Kristiani percaya bahwa Yesus Sang Penyelamat akan kembali untuk melawan anti-Kristus (dajal) sementara orang Yahudi mempertaruhkan perang dunia ketiga dengan membongkar situs suci ketiga Islam, Masjidilaksa, untuk membangun kuil ketiga sehingga Almasih Yahudi dapat kembali dan membawa mereka menguasai dunia.
Serangan bom yang menghancurkan Masjid Al-Askari di kota Samarra pada Februari 2006 (BBC)Serangan bom yang menghancurkan Masjid Al-Askari di kota Samarra pada Februari 2006 (BBC)
Sebagai fakta pemburuan ini, kita tidak boleh mengabaikan kisah-kisah yang muncul dari Irak tentang langkah-langkah apa yang telah mereka lakukan untuk mencari Imam Mahdi. Pada tahun 2006, makam suci dari ayah Imam Mahdi di kota Samarra, diledakkan oleh para pria yang berpakaian seperti pasukan keamanan. Para pria memasuki makam, mengikat para penjaga, memasang area dengan beberapa bom dan menurut para penjaga, para pasukan keamanan itu membuka makam dan mengambil sesuatu dari dalam. Banyak yang percaya bahwa mereka mengambil beberapa pakaian dari tubuh Imam Askari untuk menentukan DNA imam masa depan.
Selama berabad-abad, Talmud mengajarkan bahwa “Yesus dari Nazareth” adalah seseorang yang “cabul, penyembah berhala, diasingkan dari orang-orang Yahudi karena kejahatannya, dan menolak bertobat” (Sanhedrin 107b; Sotah 47a). Selama berabad-abad pula, Zionis berhasil meyakinkan Kristiani bahwa Islam adalah agama yang jahat dan harus dilawan melalui persatuan Kristen/Zionis. Sebagian besar Kristiani sabuk Alkitab di Amerika memiliki hubungan yang kuat dengan Zionis dan karenanya mengejutkan mereka ketika seorang Kristen Katolik, Hugo Chavez, berpidato setelah melakukan pertemuan penting dengan Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad: “Bagi kami para Kristiani sejati, Yerusalem adalah tempat yang sangat suci di mana Nabi Yesus akan datang bergandeng tangan dengan Hazrat Mahdi sehingga perdamaian akan menyelimuti seluruh dunia.”
Kenyataan bahwa Chavez mengisyaratkan bahwa umat muslim dan Kristiani akan bersatu melawan kejahatan adalah sesuatu yang tidak diinginkan oleh Zionis. Mereka telah menghabiskan miliaran dolar pada lembaga think tank Islamfobia dan media untuk meminggirkan umat muslim.
Hadis-hadis yang menyebutkan tentang kedatangan Imam Mahdi yang memimpin tentara pembawa bendera hitam menyebutkan bahwa hanya sedikit dari orang Arab yang akan mendukung tentara tersebut namun justru berpihak pada para tiran. Orang-orang Arab yang akan bersama dengan imam telah terindikasi siapa mereka, yaitu tentara kecil Hizbullah yang telah mengalahkan Israel. Para pejuang Hizbullah mungkin memiliki perlengkapan sedikit tapi memiliki semangat yang sama dengan pasukan yang dipimpin Ali bin Abi Thalib ketika menghancurkan benteng Yahudi di Khaibar, semangat yang sama dengan Imam Husain di Karbala di mana pasukannya yang berjumlah 72 orang melawan tentara Yazid berjumlah 10.000 pasukan.
Sangat menyedihkan bahwa hadis yang berusia lebih dari seribu tahun menyebutkan bahwa banyak orang Arab akan bekerja sama dengan para tiran untuk melawan kedatangan imam. Siapakah orang-orang Arab ini? Kita telah melihat Arab Saudi dan penguasa-penguasa Teluk yang bersekutu dengan Israel dan tidak ada lagi yang lebih jelas daripada konflik Suriah saat ini. Israel bersama dengan Arab Saudi dan Qatar memaksakan perang terhadap Suriah dan Iran dengan menyalurkan sejumlah besar uang dan senjata kepada milisi di Suriah. Membunuh pengikut Syiah merupakan bagian dari agenda tersebut.
Jurnalis Seymour Hersh dalam artikel New Yorker, “The Redirection”, menyoroti betapa seluruh fokus pemerintahan Bush adalah untuk menekan Iran dan melemahkan Hizbullah melalui kerja sama dengan Arab Saudi yang membiayai kelompok ekstrimis. New World Order telah berhasil menciptakan kekuatan brutal dalam Islam yang ramah, sebuah kekuatan yang mengira tidak masalah untuk memperkosa wanita dan anak-anak dan menunjukkan potongan tubuh yang dipenggal dalam video YouTube. Bentuk intoleransi Islam ini diciptakan oleh agen Inggris, (Muhammad bin) Abdul Wahab, dan disebarkan oleh rezim Saudi yang melihat pengikut Syiah sebagai musuh, dan bukan Israel.
Abdallah Tamimi, salah seorang pemimpin Tentara Pembebasan Suriah (FSA), telah meminta pertolongan Israel untuk membentuk pemerintahan suni untuk menindas pengikut Syiah, Kristen, dan Druze, dan menekankan bahwa “Israel bukanlah musuh kami, kami ingin Israel menolong kami.”
Mungkin saja bahwa keyakinan Milenarianisme akan semakin menguat ketika para pemimpin dan penguasa dunia bekerja dengan para pendukung New World Order, menyeret negara dan penduduk mereka kepada penjajahan dan perbudakan, dan satu-satunya organisasi (PBB) yang seharusnya melindungi negara beserta hak-haknya adalah “… sebuah (organisasi) yang tidak masuk akal, tidak adil, dan benar-benar sebuah struktur dan mekanisme yang tidak demokratis. Melalui penyalahgunaan mekanisme yang telah dilakukan Amerika dan sekutunya ia berhasil menyamarkan intimidasi mereka sebagai konsep mulia dan memaksakannya kepada dunia,” kata Imam Khamenei.
Sebuah strategi yang telah dilancarkan oleh Israel melalui dukungan AS untuk mencari imam yang gaib membuat seseorang percaya bahwa mungkin saja ada kebenaran dalam kisah Alkitab. Di sebuah dunia yang masih mempercayai pahlawan super, mungkin masih masuk akal jika mata kita terlihat penuh dengan harapan terhadap sebuah pasukan yang akan muncul dari Khorasan membawa bendera hitam yang dipimpin oleh seseorang yang dijanjikan untuk melawan ketidakadilan.
RAHBAR, KHURAFAT 9 RABIUL AWAL
Sumber : Shabestan
Sebagian oknum menebarkan bahwa pada hari ini juga Khalifah Kedua Sayyidina Umar bin Khatab terbunuh. Pesan ini dijadikan oleh sebagian oknum sebagai sebuah kesempatan untuk menyulut pertikaian antara Ahli Sunah dan Syiah. Banyak dongeng dan kisah yang telah mereka buat.
Para ulama menekankan bahwa dongeng 9 Rabiul Awal adalah fiktif dan memang sengaja dibuat untuk memperkeruh persatuan umat Islam.
Rahbar Revolusi Islam Iran Ayatullah Khamenei menekankan, “Jangan sampai kita membayangkan sedang membela Syiah dengan cara menyulut permusuhan dengan non-Syiah. Ini bukanlah pembelaan terhadap Syiah. Jika kita membaca batin pembelaan semacam ini, sebenarnya kita sedang membela Amerika dan Israel.”
Guna menilik kebenaran klaim bahwa Khalifah Umar bin Khatab meninggal pada tanggal 9 Rabiul Awal, mari kita simak pandangan para ahli berikut ini:
1. Khalifah Umar wafat pada tanggal tanggal 1 Muharam atau penghujung Dzulhijjah.
Hujjatul Islam Muhsin Janatimanesh salah seorang ahli agama menekankan, baik dalam pandangan Syiah maupun Ahli Sunah, Khalifah Umar bin Khatab meninggal dunia pada tanggal 1 Muharam atau akhir-akhir Dzulhijjah.
Menurut penilaian ahli agama ini, pesta-pesta yang biasa digelar pada tanggal 9 Rabiul Awal adalah sebuah kebiasaan yang salah.
Menurut Hujjatul Islam Ghulan Reza Maqiseh salah seorang guru tingkat tinggi Hauzah Ilmiah Qom, pesta 9 Rabiul Awal yang digelar memang untuk tujuan tertentu itu bisa mengikis habis persatuan muslimin.
Dalam penilaian Muhammad Husain Rajabi salah seoran dosen di bidang sejarah Islam, pesta yang diberi nama Idul Zahra ini adalah sebuah hari raya orang awam, dan jelas hal ini tidak bisa dinilai sebagai syiar paten Mazhab Syiah. Menurut para ulama besar, penggelaran hari raya semacam ini dapat merusak persatuan umat Islam. Pesta yang biasanya digelar oleh sebagian orang awam tanpa memperhatikan kemaslahatan muslimin ini sangat tidak berdasar, dan tanggal wafat Khalifah Umar pada tanggal 9 Rabiul awal lebih tidak berlandaskan.
Menurut Rajabi Dawani lebih lanjut, budaya pesta semacam ini baru muncul pada kurun-kurun terakhir. Mungkin pesta ini mulai berkembang di tengah masyarakat dari sejak dinasti Qajar dan Shafawiyah.
Hujjatul Islam Sayid Ja’far Musawai Nasab memiliki pandangan yang lebih “radikal” sehubungan dengan Idul zahra pada tanggal 9 Rabiul Awal. Idul Zahra yang sejati adalah menghidupkan kembali dan menjelaskan posisi sejati imamah Imam Mahdi as.
Menurut Hujjatul Islam Musawi Nasab, peristiwa pembunuhan Khalifah Umar hanyalah konspirasi musuh belaka. Dengan mengobarkan peristiwa pembunuhan tersebut pada tanggal ini, musuh berharap seluruh masyarakat lalai terhadap konsep mahdawiah dan imamah Imam Mahdi as.
Sumber : Bashgah-e Khabarnegaran
APAKAH DUNIA HARUS DIPENUHI KEZALIMAN UNTUK KEMUNCULAN IMAM MAHDI?
Sumber : tvshia.com
Di akhir zaman, dunia akan dipenuhi oleh kezaliman, bukan dipenuhi oleh orang-orang zalim. Perbedaan antara dua kondisi ini adalah dalam kondisi kedua, semua orang harus zalim.
Tetapi, jika dunia dipenuhi oleh kezaliman, maka tidak niscaya semua orang harus zalim. Mungkin saja sebagian orang lantaran memiliki kekuatan dan kekuasaan memenuhi dunia ini dengan kezaliman, tetapi masih banyak juga orang-orang yang masih salih.
Dalam kesempatan ini, Hujjatul Islam Jawad Ja’fari mengupas beberapa tema dan isu seputar konsep mahdawiah.
Isu Raj’ah
Raj’ah secara bahasa berarti kembali. Dalam istilah, raj’ah adalah orang-orang yang telah meninggal dunia akan hidup kembali di dunia. Dalam beberapa riwayat disebutkan, beberapa orang akan hidup kembali pada masa kemunculan Imam Mahdi as dengan wajah dan kondisi yang pernah mereka miliki.Mereka yang akan beraj’ah adalah dua golongan: kelompok mukmin yang murni dan kelompok kafir murni yang tidak pernah mencicipi keimanan. Mukminin murni yang belum sempat menyempurnakan kemampuan mereka di dunia akan kembali ke dunia sehingga mereka menggapai kesempurnaan final tersebut. Kafirin murni yang pernah merasa memiliki “kemuliaan” dunia juga akan kembali sehingga mencicipi kehinaan sejati di dunia ini.
Dalam argumentasi tekstual, banyak ayat dan hadis yang membuktikan konsep raj’ah. “Wahai rasul! Ingatlah suatu hari ketika Kami membangkitkan sekelompok dari setiap umat” (QS. Al-Naml:83) adalah salah satu dari ayat tersebut. Allamah Tabatabai menegaskan dalam Tafsir al-Mizan bahwa ayat ini berhubungan dengan masalah raj’ah. Imam Shadiq as dalam Bihar al-Anwar menukaskan bahwa ayat ini juga berhubungan dengan masalah raj’ah. Allamah Majlisi dalam buku ini menyebutkan 160 hadis berkenaan dengan masalah raj’ah.
Syarat Kemunculan Imam Mahdi
Mungkin ada orang yang berkeyakinan bahwa kemunculan Imam Mahdi as adalah sebuah peristiwa yang bersifat tiba-tiba dan tidak memerlukan sebuah persiapan apapun. Padahal, kemunculan ini akan terjadi dalam kondisi dan syarat-syarat tertentu.
Kebangkitan Imam Mahdi as adalah sebuah kebangkitan untuk memperbaiki tatanan masyarakat dunia dan harus berjalan dalam undang-undang natural. Di samping undang-undang ini terdapat juga pertolongan-pertolongan gaib. Kebangkitan Imam Mahdi as tidak bersifat mukjizat. Untuk itu, beliau harus memiliki para pembela yang sudah terdidik dengan baik, seperti kondisi Perang Badar pada zaman Rasulullah saw.
Yang menyebabkan Imam Mahdi as muncul bukanlah kezaliman. Tetapi sebaliknya, kezaliman telah menyebabkan Imam Mahdi gaib. Yang menyebabkan beliau muncul adalah keberadaan para pembela yang tulus dan kesiapan dunia untuk menerima beliau. Ketika syarat dan kondisi ini terwujud, beliau akan muncul kembali.
Ulama menentang Imam Mahdi
Selama ini kita tidak pernah memiliki hadis yang menegaskan bahwa ulama Syiah menentang Imam Mahdi as. Ada sebagian kelompok yang dikenal dengan sebutan Murji’ah. Mereka terkenal menghalalkan segala sesuatu. Mereka menyatakan pendosa tidaklah berdosa. Mereka berkeyakinan bahwa orang-orang berdosa tidak boleh dihukum, tetapi Allah sendirilah yang akan menghukum mereka kelak setelah mati. Imam Mahdi akan melawan para ulama dari golongan ini.
DUNIA SIAP MENERIMA PEMERINTAHAN IMAM MAHDI
Sumber : tvshia.com
Kemenangan Imam Mahdi as atas seluruh kekuatan dunia bisa terjadi dengan bantuan mukjizat Ilahi, mungkin lantaran fasilitas material yang canggih, dan bisa juga lantaran kedua faktor.
Berkenaan dengan mukjizat mungkin tidak perlu penjelasan bertele-tele, karena kemenangan dengan cara ini sudah kehendak Allah Yang Maha Kuasa. Banyak juga ayat-ayat Al-Quran yang membicarakan dan menjanjikan hal ini. “Betapa banyak kelompok kecil bisa mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah.” (QS. Al-Baqarah 2:249)
Dari sisi faktor dan sebab lahiriah dan natural, hal ini juga bisa dianalisa secara logis. Di akhir zaman kelak, seluruh umat manusia hidup dalam situasi yang mengenaskan. Semua jenis kelaliman dan dekadensi moral mendominasi dunia. Umat manusia saling berburuk sangka dan persatuan hanya tinggal nama. Untuk itu, mereka semua mengharapkan sebuah perubahan dan revolusi total. Mereka sudah pesimis bahwa seseorang tanpa bantuan gaib bisa memperbaiki dunia.
Dalam kondisi masyarakat seperti ini, Imam Mahdi as dan para sahabat beliau muncul dengan membawa sebuah program pembangunan, ekonomi, dan keadilan sosial yang merata. Beliau mengajak seluruh umat manusia untuk kembali kepada ajaran Al-Quran, persamaan, persaudaraan, keadilan, keamanan, ketenteraman, kejujuran, dan ketertiban yang ideal. Beliau dan para sahabat beliau menjadi figur riil dalam hal ini.
Jelas, program sejuk di tengah masyarakat yang sedang dilanda topan keputusasaan dan kehancuran itu pasti bisa menarik setiap kalbu insani dan tak satu pun kekuatan mampu menghadapinya.
Bukti nyata atas realita ini adalah kemunculan Islam di tangan Rasulullah saw hingga tersebar dengan sangat pesat dan mengalahkan seluruh bentuk imperium yang pernah berkuasa kala itu.[/shabestan]
KELAHIRAN IMAM MAHDI DALAM CATATAN
Sumber : safinah-online.com
Imam Mahdi a.f yang diyakini telah lahir oleh sebagian kalangan, dicatat dalam berbagai literatur sejarah, biografi dan akidah. Di antara literatur yang dapat dijadikan referensi saat ini setidaknya ada sepuluh buku. Berikut ringkasannya berdasarkan urutan usia penulis buku-buku dimaksud.
1. Ibn al-Atsir (w. 630 H), dalam kitabnya, al-Kamil fi at-Tarikh, j. 6, h. 249, mencatat bahwa: “Pada tahun 260 H wafat al-Hasan bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Musa bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bin al-Husein bin Ali bin Abi Thalib a.s. Dialah Abu Muhammad al-‘Alawi al-‘Askari, salah satu dari Dua Belas Imam dalam mazhab Imamiyah. Dialah ayah Muhammad yang mereka yakini sebagai al-Muntazhar as-Sirdab, Samarra. Dia (al-Hasan) dilahirkan pada tahun 232 H.” Catatan tersebut bisa dilihat di link berikut:
https://ia802707.us.archive.org/15/items/WAQkamilt/kamilt06.pdf
2. Imam Abdul Wahab as-Sya’rani (w. 973) dalam bukunya, al-Yawaqit wa al-Jawahir fi Bayan ‘Aqaid al-Akabir, j. 1, h. 561 yang membahas syarat-syarat Hari Kiamat, dengan menyatakan, “Keluarnya al-Mahdi ‘alayhissalam, yaitu salah satu putra Imam al-Hasan al-‘Askari. Kelahirannya pada malam Nisfu Sya’ban tahun 255 H. Dia masih hidup hingga berkumpul bersama Isa bin Maryam ‘alayhissalam. Umurnya hingga saat ini (tahun 958), berusia 706 tahun. Demikianlah yang saya peroleh dari Syekh Hasan al-‘Iraqi dan disepakati oleh Syekh kami Ali al-Khawash.”
Demikian pula halnya ungkapan Syekh Muhyiddin (Ibnu ‘Arabi w. 638 H) dalam kitabnya, al-Futuhat, bab 366: ‘Ketahuilah bahwa al-Mahdi ‘alayhissalam niscaya keluar, tetapi dia tidak keluar sehingga bumi penuh dengan kejahatan dan kezaliman, lalu dia akan memenuhinya dengan kebenaran dan keadilan. Andai dunia tersisa hanya satu hari, niscaya Allah ulur hari itu hingga tibanya Khalifah itu.
Dialah keturunan Rasulullah SAW dari putra Fatimah radhiyallahu anha. Datuknya adalah al-Husein bin Ali bin Abi Thalib. Ayahnya adalah Hasan al-‘Askari putra Imam Ali an-Naqi putra Muhammad at-Taqi putra Imam Ali ar-Ridha putra Imam Musa al-Kazhim putra Imam Ja’far as-Shadiq putra Imam Muhammad al-Baqir putra Imam Ali Zain al-‘Abidin putra Imam al-Husein putra Imam Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum…’” Silakan cek ungkapan Imam as-Sya’rani dan Ibnu ‘Arabi tersebut di link berikut:
https://ia800308.us.archive.org/5/items/naser_0_20150205/0.pdf
3. Sibth Ibn al-Jauzi al-Hanafi (w. 654 H) dalam kitabnya, Tadzkirah al-Khawash, h. 363-4, menyebutkan dalam bab al-Hujjah al-Mahdi: “Dia adalah Muhammad bin al-Hasan bin Ali bin Muhammad bin Musa ar-Ridha bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bin al-Husein bin Ali bin Abi Thalib a.s. Gelarnya Abu Abdillah dan Abul Qasim. Dialah al-Khalaf al-Hujjah Shahib az-Zaman, al-Qaim dan al-Muntazhar dan seterusnya. Dialah Imam terakhir.”
“Abdul Aziz bin Mahmud bin al-Bazzaz mengabarkan kepada kami dari Ibnu Umar yang berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Pada akhir zaman akan keluar seorang dari putraku yang namanya seperti namaku, gelarnya seperti gelarku. Dia kelak akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana telah penuh dengan kezaliman. Dialah al-Mahdi.’ Ini adalah hadis yang terkenal.”
Selain catatan di atas, pada bagian berikutnya, Sibth Ibn al-Jauzi juga mengisahkan para nabi yang berusia panjang hingga ribuan tahun. Silakan membaca lebih lanjut isi kitab tersebut di link berikut:
https://ia802702.us.archive.org/21/items/TazkiratolKhavaas/TazkeratolKhavaas.pdf
4. Sejarawan Ibnu Khallikan, (w. 681 H/1282 M) dalam bukunya, Wafayat al-A’yan, h. 94, poin 169, mencatat tentang pribadi Abu Muhammad al-‘Askari: “Abu Muhammad al-Hasan bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Musa ar-Ridha bin Ja’far as-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zain al-‘Abidin bin al-Husein bin Ali bin Abi Thalib radhiyallah ‘anhum. Salah satu Imam Dua Belas yang diyakini kalangan Imamiyah. Dialah ayah al-Muntazhar Shahib Sirdab yang dikenal sebagai al-‘Askari. Ayahnya, Ali, juga dikenal dengan julukan ini.” Terkait hal ini silakan rujuk link berikut:
https://ia800707.us.archive.org/12/items/WAQ17074/02_17075.pdf
5. Ad-Dzahabi (w. 748 H/1347 M) dalam kitabnya, al-‘Ibr fi Khabar man Ghabar, j. 1, tahun 1 H – 318 H, halaman 380-1, menyebutkan peristiwa yang terjadi pada tahun 265 H. Salah satunya, dia menyebutkan, “Pada tahun ini, Muhammad bin al-Hasan al-Askari bin Ali al-Hadi (bin) Muhammad al-Jawad bin Ali ar-Ridha bin Musa al-Kazhim bin Ja’far as-Shadiq al-‘Alawi al-Huseini. Bergelar Abul Qasim, yang dijuluki oleh Rafidhah, al-Khalaf al-Hujjah, al-Mahdi al-Muntazhar, dan Shahib az-Zaman. Dialah penutup (Imam) yang Dua Belas. Kesesatan Rafidhah lebih dari itu. Mereka menganggap bahwa dia masuk ke dalam ‘sirdab-ruang bawah tanah’ di Samarra lalu bersembunyi, hingga sekarang, usianya saat hilang 9 tahun atau kurang dari itu.” Tentang hal ini, silakan lihat di link berikut:
https://ia802700.us.archive.org/0/items/FP72833/01_72833.pdf
6. Ad-Dzahabi (w. 748 H/1347 M) dalam kitab lainnya, Tarikh al-Islam, j. 19, h. 113, juga menyebutkan sekelumit biografi Imam Hasan al-Askari: “Al-Hasan bin Ali bin Muhammad bin Ali ar-Ridha bin Musa bin Ja’far as-Shadiq sebagai Abu Muhammad al-Hasyimi al-Husaini, salah satu imam Syiah yang dianggap maksum. Al-Hasan dijuluki sebagai al-Askari karena tinggal di Samarra, atau yang disebut sebagai al-Askar. Dialah ayah dari Muntazhar Rafidhah. Wafat di Samarra pada 8 Rabiul Awal tahun 260 pada usia 29 tahun. Dia dimakamkan di sisi ayahnya. Ibunya seorang budak.
Sementara anaknya, Muhammad bin al-Hasan yang disebut oleh Rafidhah sebagai al-Qaim al-Khalaf al-Hujjah, dilahirkan pada tahun 258 atau 256. Dia hidup setelah ayahnya dua tahun, lalu menghilang, tidak diketahui bagaimana dia wafat. Mereka menganggapnya masih hidup di bawah tanah selama 450 tahun. Dialah Sahibuz Zaman. Dia masih hidup, mengetahui ilmu orang-orang terdahulu dan kemudian. Mereka menganggapnya tiada yang dapat melihatnya selamanya. Olehnya, kami memohon Allah memantapkan akal dan iman kita.” Lebih lanjut, silakan cek di link berikut:
https://ia801400.us.archive.org/28/items/FP3938/tiz19.pdf
7. Salahuddin Khalil bin Aybak as-Shafadi (w. 764 H/1363 M), dalam kitabnya, al-Wafi bi al-Wafayat, j. 2, h. 249, poin 788, mencatat: “(al-Hujjah al-Muntazhar) Muhammad bin al-Hasan al-‘Askari bin Ali al-Hadi bin Muhammad al-Jawad bin Ali ar-Ridha bin Musa al-Kazhim bin (Abu Musa Ja’far as-Shadiq) bin Muhammad al-Baqir bin Zain al-Abidin Ali bin al-Husein bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum. Al-Hujjah al-Muntazhar adalah Imam ke Dua Belas. Dialah yang diyakini oleh Syiah sebagai al-Muntazhar al-Qaim al-Mahdi. Dialah Shahib as-Sirdab. Banyak riwayat dan pendapat mereka tentangnya. Mereka menunggu kehadirannya di akhir zaman dari bawah tanah di Samarra. Bagi mereka hingga tanggal ini berusia 477 tahun. Mereka menantinya dan belum keluar. Dia dilahirkan pada Nisfu Sya’ban tahun 255 H. Syiah mengatakan bahwa dia masuk ke bawah tanah di rumah ayahnya, sedangkan ibunya melihatnya dan tidak keluar lagi. Hal ini terjadi pada tahun 265 H, usianya saat itu 9 tahun.”
ibnu al-Azraq dalam sejarah Mayya Fariqayn (red: nama kota di Turki, Silvan, Diyarbakir) menyebutkan bahwa: “Dia dilahirkan pada 9 Rabiul Akhir 258 H. Ada juga yang mengatakan pada 8 Sya’ban 256 H. Inilah yang paling sahih. Bahwa dia saat masuk ke bawah tanah berusia 4 atau 5 tahun. Ada juga yang mengatakan dia masuk bawah tanah tahun 275 saat berusia 17 tahun. Allah lebih mengetahuinya.” Pernyataan as-Shafadi tersebut bisa dicek di link berikut:
http://ia600509.us.archive.org/9/items/FP49931/wafiw02.pdf
8. Ibnu Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H) dalam kitabnya, Lisan al-Mizan, j. 2, h. 460, mencatat pada poin 1865 tentang biografi saudara Imam Hasan yang bernama Ja’far. “Ja’far bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Musa bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bin al-Husein bin Ali bin Abi Thalib. Dialah saudara dari al-Hasan yang dijuluki al-Askari, Imam ke-11, ayah dari Muhammad Shahib as-Sirdab. Ja’far ini berseberangan dengan saudaranya, al-Hasan, sehingga pendukung al-Hasan menyebutnya sebagai Ja’far al-Kadzzab.” Catatan ini bisa dilihat di link berikut:
http://ia800205.us.archive.org/11/items/waqlisan/Lisan_Mizan_02.pdf
9. Ibnu Hajar al-Haitami al-Makki (w. 974 H) menyebutkan dalam bukunya, as-Shawaiq al-Muhriqah fi ar-Radd ‘ala Ahl al-Bida’ wa az-Zindiqah, h. 182-3, secara panjang lebar tentang pribadi Abu Muhammad al-Hasan al-Khalis atau yang disebut Ibnu Khalikan sebagai al-‘Askari bahwa: “Dia dilahirkan pada tahun 232 H”.
Lalu mencatat singkat pribadi Abul Qasim Muhammad al-Hujjah: “Saat ayahnya wafat, dia berusia 5 tahun, namun Allah menganugerahinya hikmah. Dia disebut sebagai al-Qasim al-Muntazhar. Katanya, karena dia gaib di kota itu dan tidak seorang pun yang mengetahui kemana perginya. Telah berlalu pembahasan ayat ke-12 (red: dalam kitab ini, Ibnu Hajar menyampaikan ayat ke-12 tentang keutamaan Ahlulbait Nabi SAW, yaitu QS. Az-Zukhruf [43]: 61), Rafidhah mengatakan bahwa dialah al-Mahdi yang dimaksud. Hal ini telah dibahas secara panjang lebar, silakan merujuknya karena penting.”
Ibnu Hajar al-Haitami, menjelaskan hadis-hadis tentang Imam Mahdi dalam menjelaskan ayat 61 surah az-Zukhruf di atas pada halaman 142, seperti dapat ditemukan di link berikut:
https://ia802703.us.archive.org/25/items/wamiq_87_hotmail/الصواعق_المحرقة.pdf
10. Khayr ad-Din az-Zirikli (w. 1893), seorang Kurdi dari Damaskus dalam kamus biografi karyanya, al-I’lam, j. 6, h. 80, mencatat: “Al-Mahdi al-Muntazhar (256 – 275 H/870 – 888 M). (Yaitu) Muhammad bin al-Hasan al-Askari (al-Khalis) bin Ali al-Hadi, (gelarnya) Abul Qasim. Imam terakhir dari Imamiyah Dua Belas. Dia dikenal di kalangan mereka sebagai al-Mahdi, Shahib az-Zaman, al-Muntazhar, al-Hujjah, Shahib Sirdab. Dilahirkan di Samarra. Saat ayahnya wafat, usianya sekitar 5 tahun. Saat mencapai usia 9, 10 atau 19 tahun dia masuk ke dalam bawah tanah di rumah ayahnya di Samarra dan tidak keluar lagi.” Catatan Khayr ad-Din az-Zirikli ini dapat ditemukan di link berikut:
https://ia801409.us.archive.org/22/items/WAQ99019/alam6.pdf
Itulah di antara beberapa kitab rujukan karya para penulis dari kalangan Muslim Ahlusunah, yang di dalamnya memuat pembahasan tentang Imam Mahdi a.f sekaligus sekilas penjelasan tentang ayahanda beliau, Imam Hasan al-‘Askari a.s.
Terlepas dari penilaian apakah catatan dan pandangan para penulis beberapa kitab tersebut bersifat netral atau sebagian dari mereka lebih cenderung memilih diksi yang tendensius pada saat mendeskripsikan hal-hal berkenaan dengan Ahlulbait. Dapat kita pahami bahwa mungkin saja hal tersebut dilakukan sekadar untuk menunjukkan perbedaan pandangan terkait Imam Mahdi dan para Imam yang lain. Namun tetap saja sebagai pihak yang meyakini bahwa eksistensi Imam Mahdi benar adanya, meski dengan kata lain “tak sepenuhnya sesuai dengan penggambaran tendensius mereka”, Muslim Syiah mesti berbesar hati dalam menerima perbedaan pandangan tersebut bahkan tak perlu ragu untuk memberikan apresiasi atas karya-karya mereka.
Akhirnya, hanya kepada Allah Yang Maha Mengetahui hakikat segala sesuatu sajalah, hendaknya setiap Muslim beriman dan berserah diri.[*]
Referensi:
KEADILAN UNIVERSAL
Sumber : ikmalonline.com
Keadilan Universal
وَعَدَ اللهُ الَّذينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَ عَمِلُوا الصَّالِحاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَ لَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دينَهُمُ الَّذِي ارْتَضى لَهُمْ وَ لَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَني لا يُشْرِكُونَ بي شَيْئاً وَ مَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذلِكَ فَأُولئِكَ هُمُ الْفاسِقُونَ
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan suatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS: an-Nur 55)
Membaca tulisan Syahid Mutahari dengan tema “Keadilan Universal” terlintas kalimat, “Habis Gelap Terbitlah Terang”, judul buku karya ibu kita Kartini. Adalah terjemahan Armin Pane dari judul aslinya “Door Duiternis tot Licht” (Dari Kegelepan Menuju Cahaya), kumpulan surat Kartini yang pernah ia kirim ke teman-temannya di Eropa. Setelah wafatnya, dikumpulkan dan dibukukan oleh JH Abendanon saat dia menjabat menteri kebudayaan, agama dan kerajinan bagi pemerintahan penjajah, Hindia Belanda, di tanah air tercinta kita tempo doeloe.
Kalimat tersebut mengesankan optimisme. Ada secercah harapan dalam diri, namun tak segagah harapan yang dikaruniakan dari “langit”. Ialah janji Tuhan kepada kaum beriman khususnya, yang diungkapkan dalam ayat suci di atas. Pesannya, yang diterangkan oleh Syaikh Muhsin Qara`ati dalam “an-Nur” kitab tafsirnya, bahwa: “Berilah mereka harapan, agar penindasan-penindasan tidak sampai membuat mereka merasa putus asa.”
Janji Tuhan dalam ayat tersebut merupakan konsep bahwa Islam akan berjaya, yang akan diwujudkan oleh pemerintahan universal di tangan Imam Zaman.
Misi Para Nabi
Semua nabi diutus Allah untuk mewujudkan:
1-Hubungan yang benar antara hamba dan Tuhannya. Mereka cegah manusia dari penghambaan kepada selain Allah, yang termuat dalam kalimat thayibah, “lâ ilâha illallâh.” Mengenai tujuan ini, Allah berfirman:
يا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْناكَ شاهِداً وَ مُبَشِّراً وَ نَذيراً وَ داعِياً إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَ سِراجاً مُنيراً
Hai nabi, sesungguhnya kami mengutusmu sebagai saksi, pembawa kabar gembira, dan pemberi peringatan, dan sebagai penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk menjadi pelita yang menerangi. (QS: al-Ahzab 45-46)
2-Hubungan yang baik antara hamba dan sesama, berdasarkan keadilan, kedamaian, ketulusan, kerjasama, ihsan, pengertian dan pengabdian kepada satu sama lain. Allah swt berfirman:
لَقَدْ أَرْسَلْنا رُسُلَنا بِالْبَيِّناتِ وَ أَنْزَلْنا مَعَهُمُ الْكِتابَ وَ الْميزانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
Sesungguhnya Kami telah mengutus para rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka kitab samawi dan neraca (pemisah yang hak dan yang batil dan hukum yang adil) supaya manusia bertindak adil. (QS: al-Hadid 25)
Para rasul diutus oleh Allah dengan membawa kitab beserta mizan. Yakni, undang-undang adil supaya umat manusia berlaku adil, dan prinsip keadilan tegak di tengah mereka. Dengan demikian tegaknya keadilan adalah tujuan fundamental dan general bagi seluruh nabi. Bahwa, mereka datang membawa satu tugas dan misi, yaitu keadilan.
Keadilan Universal Akankah Terwujud?
Keadilan yang dimaksud adalah universal, bukan personal. Bahwa, akan datang di dunia ini hari tanpa segala bentuk mafsadat; kezaliman, permusuhan, pertumpahan darah, perampasan hak, kebohongan, kemunafikan dan tipudaya, di tengah manusia. Akan adakah hari atau periode itu bagi umat manusia? Ataukah itu khayalan belaka dan mimpi semata yang takkan menjadi kenyataan sampai kapanpun?
Mereka yang beriman percaya keadilan universal, dan sebagian mengatakan: “Saya tidak memihak kezaliman. Tetapi di dunia yang alangkah hina dan gulita ini takkan terjadi keadilan, kedamaian dan kemanusiaan yang hakiki. Takkan terjadi masa orang-orang hidup secara manusiawi terhadap satu sama lain. Dunia adalah ruang kegelapan, dan semua masalah kezaliman akan diselesaikan di akhirat nanti. Hanya di sanalah keadilan itu terjadi.”
Sebagian lain mengatakan bahwa: periode kezaliman, pertikaian, perpecahan, kebejatan moral dan sebagainya adalah periode temporal, dan akan berakhir pada cahaya yang terang dan keadilan. Dunia yang penuh kegelapan pada suatu hari akan terang dengan keadilan universal yang ditegakkan di atas bumi, bahwa Allah akan menjadikan kaum yang beriman dan beramal saleh berkuasa di muka bumi. Ini janji Allah, dan janji-Nya adalah pasti.
Referensi:
1-Seiri dar Sire-e Aemme/Syahid Mutahari.
2-Tafsir “an-Nur”/Syaikh Muhsin Qara`ati.
SENDI-SENDI KEADILAN MAHDIISME
Adalah Mau'ud atau keadilan yang dijanjikan akan terwujud saat kebangkitan Imam Mahdi as, kalau dilihat dari sisi cakupan, keluasan dan kadalaman adalah hal yang tiada bandingannya, oleh karena itu pemerintahan umat manusia sampai saat ini dan kelak nanti, tidak akan mampu mewujudkan atau mengaktualkan pemerintahan yang berkeadilan seperti yang akan terwujud pada akhir zaman.
Untuk memahami berbagai dimensi dan sisi beragam dari keadilan Mahdiisme maka pada kesempatan ini kami akan membahas bagian dari beberapa riwayat yang menjelaskan penegakan keadilan Imam Mahdi as.
1. dalam peradaban Islam, kezaliman memiliki arti dan personifikasi yang beragam, di dalam ayat dan riwayat kata ini digunakan dalam tiga arti: 1. kezaliman berarti kekufuran dan penyekutuan Allah SWT. 2. kezaliman pada diri sendiri, dalam bentuk perbuatan dosa dan segala bentuk penyimpangan yang lain. 3. kezaliman terhadap orang lain berupa pelanggaran akan hak-hak mereka.
Imam Ali as telah menjelaskan tiga arti tersebut dalam sebuah ungkapan yang amat indah:
ألا و إنّ الظلم ثلاثة: فظلم لايغفر، و ظلم لايترك، و ظلم مغفور لايطلب فأمّا الظلم الذي لايغفر فالشرك بالله، قالالله سبحانه: «إنّ الله لايغفر أن يشرك به» 4 و أمّا الظلم الذي يغفر فظلم العبد نفسه عند بعض الهنات و أمّا الظلم الذي لايترك فظلم العباد بعضهم بعضاً.
jika kezaliman memiliki arti dan personifikasi yang beragam maka antonimnyapun memiliki arti dan personifikasi yang beragam pula serta memiliki cakupan yang amat luas. Dengan ungkapan lain sesuai ajaran Islam keadilan dan penegakannya tidak hanya terbatas pada kehidupan social dan hubungan dengan orang yang lain, akan tetapi dia memiliki cakupan yang luas meliputi hubungan manusia dengan tuhan, manusia dengan dirinya sendiri, dan hubungannya dengan orang lain, oleh karena itu, dalam riwayat Islam saat disebutkan anti dan pemberantasan kezaliman yang akan dilakukan oleh imam Mahdi as itu bermaksud kezaliman umum yang mencakup segala bentuk dan macamnya. Dan juga ditegaskan bahwa imam Mahdi as datang bukan hanya untuk melenyapkan kezaliman dan tindak aniaya seseorang pada sesamanya, akan tetapi segala macam penyimpangan akidah, etika dan pemikiran akan beliau perangi dan beliau berantas pula. Beliau juga akan mengembalikan keadilan manusia pada dirinya sendiri dan keadilan terhadap tuhan.
Untuk memperjelas apa yang telah kita sebutkan tadi, kita akan menganalisa sebagian dari riwayat yang menyebutkan anti kezaliman dan penyebar luasan keadilan imam Mahdi as sehingga tampak jelas bagi kita, bentuk kezaliman apa yang nantinya akan diperangi dan personifikasi keadilan yang manakah yang akan ditegakkan dan dijunjung tinggi.
1. Keadilan yang berhubungan antara manusia dengan tuhannya
Dalam sebagian riwayat, telah disebutkan kezaliman dengan arti yang pertama yaitu kekufuran dan kesyirikan, oleh karena itu nantinya kebangkitan beliau bertujuan untuk melenyapkan kezaliman jenis ini, salah satu dari riwayat tersebut apa yang telah dikisahkan oleh Abu Bashir: aku bertanya kepada Abu Abdillah as tentang firman Allah dalam QuranNya:"Dialah Dzat yang telah mengutus utusanNya dengan petunjuk dan agama yang hak, untuk mengunggulkan agamaNya atas seluruh agama yang lain walaupun orang-orang musyrik tidak mengharapkannya", beliau menjawab:
والله ما أنزل تاويلها بعد قلت: جعلت فداك و متي ينزل؟ قال: حتي يقوم القائم إن شاء الله فإذا خرج القائم لم يبق كافر و مشرك إلاّ كره خروجه حتي لوكان كافر أو مشرك في بطن صخرة لقالت الصخرة يا مؤمن في بطني كافر أو مشرك فاقتله قال: فينحيّه الله فيقتله
Sumpah demi Allah takwil dan maksud hakiki dari ayat ini belum terjadi, aku bertanya: diriku adalah tebusan bagimu, kapan takwlian ini akan datang? Beliau bersabda:" saat Dia al-Qaim muncul. Maka saat Qaim muncul tiada satupun orng kafir atau orang musyrik yang mampu bersembunyi dari revolusi beliau, bahkan tiada sebongkah batupun yang dijadikan tempat persembunyian oleh kaum kafir dan musyrik kecuali dia akan memberi tahukan orang kafir itu kepada orang mukmin, seraya berkata: wahai orang mukmin ada orang kafir yang sedang bersembunyi di dalam diriku temukan dan bunuh dia! Beliau bersabda: Allah SWT akan menyingkap persembunyiannya itu dan orang mukmin itu akan membunuhnya"".
Dalam akhir penjelasan tentang ayat tadi, juga disebutkan beberapa hal yang mengindikasikan bahwa pada zaman munculnya Imam Mahdi as dunia akan bersih dari atribut kekufuran dan kemusyrikan dan agama yang hak akan menguasai seluruh muka bumi.
Dalam kitab tafsir Ali bin Ibrahim Qummi dalam menafsirkan ayat ini disebutkan:" sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan Qaim keluarga Muhammad saw, -salam sejahtera atasnya-, dialah pemimpin yang dengannya Allah memenangkan agamanya atas agama-agama yang lain, maka dia akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana bumi telah dipenuhi oleh kezaliman dan kelaliman, dan ayat ini termasuk ayat yang takwliannya datang setelah turunnya.
Riwayat lain lain yang menjelaskan bahwa kezaliman yang akan diberantas oleh imam Mahdi as saat kemunculannya kelak adalah kezaliman jenis pertama adalah riwayat yang telah dinukil dari Imam Baqir as –walaupun konotasinya lebih luasa lagi dengan mencakup bid'ah dan perbuatan batil yang lain-, imam dalam menafsirkan ayat:
الذين إن مكنّاهم فيالارض أقاموا الصلوة و اتوا الزكوة و أمروا بالمعروف و نهوا عن المنكر و لله عاقبةالامور.
Mereka-mereka yang jika Kami berikan kemampuan, mereka melaksanakan shalat menunaikan zakat, memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran dan di sisi Allah akhir dari segala sesuatu.
Imam bersabda:
"
فهذه لا´ل محمد صلّي الله عليهم إلي آخر الائمة و المهديّ و أصحابه يملّكهم الله مشارق الارض و مغاربها و يظهر ] به [ الدين و يميت الله به و بأصحابه البدع و الباطل كما أمات السّفهاء الحقّ حتّي لايري أين الظلم و يأمرون بالمعروف و ينهون عن المنكر.
Ayat ini berkaitan dengan keluarga Muhammad saw sampai akhir umat, dan Allah akan memberikan kerajaan seluruh muka bumi baik di barat maupun di timur, dan dengannya Allah akan menggungulakn agamaNya dan dengannya pula Allah mematikan bid'ah-bid'ah dan hal-hal batil, sebagaimana orang-orang ediot telah mematikan kebenaran, dan tidak akan tampak di mana kezaliman itu dapat terlihat lagi, amar ma'ruf nahi anil munkar terperktekan di sana-sini.
ISU IMAM MAHDI : KONDISI EKONOMI MASYARAKAT MAHDAWI
Sumber : shabestan
Sekalipun kondisi keuangan dan ekonomi masyarakat pada masa kepemimpinan Imam Mahdi as, tetapi lantaran makrifat sempurna yang dominan, mereka tetap berkhidmat kepada sesama secara lebih benar dan lebih detail.
Dari beberapa hadis bisa disimpulkan, pada masa emas kepemimpinan Imam Mahdi as, kemajuan di seluruh bidang terutama bidang ekonomi akan terwujud. Kemajuan universal dan pesat ini belum pernah terwujud di masa kapan pun.
Dari sisi lain, krisis dan problem ekonomi dalam tingkat makro akan terselesaikan dengan sempurna. Ketenteraman dan kemakmuran akan mendominasi dan seluruh faktor yang bisa menyetir pemikiran, budaya, dan ekonomi masyarakat akan musnah.
Setelah kemiskinan dan kefakiran sirna total, kesempurnaan umat manusia di bidang material dan spiritual akan terwujud.
Pertanyaan yang muncul sekarang adalah jika kondisi finansial seluruh lapisan masyarakat menjadi mapan, tidakkah kondisi dan transaksi ekonomi akan mengalami masalah?
Untuk menjawab pertanyaan ini harus kita ketahui, masyarakat terpaksa bekerja karena mereka memerlukan sesuatu. Ketika Imam Mahdi as muncul, betul bahwa problem dan krisis material ekonomi menjadi sangat minim dan masyarakat sudah tidak perlu lagi bekerja keras membanting tulang, tetapi lantaran pendidikan yang telah diterapkan oleh Imam Mahdi as, mereka bisa memahami dengan baik nilai sebuah khidmat kepada sesama. Pendorong untuk berkhidmat kepada orang lain akan berubah.
Pada masa kepemimpinan Imam Mahdi as, setiap orang akan berkhidmat kepada orang lain lantaran tulus murni karena Allah. shabestan
Isu Imam Mahdi; Kondisi Ekonomi Masyarakat Mahdawi
Sekalipun kondisi keunangan dan ekonomi masyarakat pada masa kepemimpinan Imam Mahdi as, tetapi lantaran makrifat sempurna yang dominan, mereka tetap berkhidmat kepada sesama secara lebih benar dan lebih detail.
Dari beberapa hadis bisa disimpulkan, pada masa emas kepemimpinan Imam Mahdi as, kemajuan di seluruh bidang terutama bidang ekonomi akan terwujud. Kemajuan universal dan pesat ini belum pernah terwujud di masa kapan pun.
Dari sisi lain, krisis dan problem ekonomi dalam tingkat makro akan terselesaikan dengan sempurna. Ketenteraman dan kemakmuran akan mendominasi dan seluruh faktor yang bisa menyetir pemikiran, budaya, dan ekonomi masyarakat akan musnah.
Setelah kemiskinan dan kefakiran sirna total, kesempurnaan umat manusia di bidang material dan spiritual akan terwujud.
Pertanyaan yang muncul sekarang adalah jika kondisi finansial seluruh lapisan masyarakat menjadi mapan, tidakkah kondisi dan transaksi ekonomi akan mengalami masalah?
Untuk menjawab pertanyaan ini harus kita ketahui, masyarakat terpaksa bekerja karena mereka memerlukan sesuatu. Ketika Imam Mahdi as muncul, betul bahwa problem dan krisis material ekonomi menjadi sangat minim dan masyarakat sudah tidak perlu lagi bekerja keras membanting tulang, tetapi lantaran pendidikan yang telah diterapkan oleh Imam Mahdi as, mereka bisa memahami dengan baik nilai sebuah khidmat kepada sesama. Pendorong untuk berkhidmat kepada orang lain akan berubah.
Pada masa kepemimpinan Imam Mahdi as, setiap orang akan berkhidmat kepada orang lain lantaran tulus murni karena Allah.
KRITERIA PEMERINTAHAN UNIVERSAL IMAM MAHDI AS
Sumber : parstoday.com
Meski telah berlalu 1.200 tahun sejak masa ghaibah Imam Mahdi as, umat tertindas tetap menantikan kemunculan dan kebangkitan sang juru penyelamat dunia. Para penanti sejati Imam Mahdi as, sedang mempersiapkan seluruh peluang kemunculan Imam Mahdi as.
Setelah kesyahidan Imam Hasan Askari as, imam kesebelas Ahlul Bait Nabi as, putra beliau Imam Mahdi as dan imam ke-12 dan terakhir dari cucu Rasulullah Saw, memulai tanggung jawab kepemimpinannya pada tanggal 9 Rabiul Awal pada tahun 260 Hijriah.
Imam Mahdi as adalah imam mulia dan pilihan Allah Swt yang janji-janji kemunculannya untuk menyelamatkan umat manusia dari kezaliman dan kefasadan, telah banyak disebutkan dalam berbagai riwayat dari Nabi Saw dan para imam maksum as.
Para penguasa rezim Abbasiyah mengetahui hal ini dan mereka berupaya membunuh Imam Mahdi as, sama seperti mereka membunuh ayahnya Imam Hassan Askari as. Akan tetapi, Allah Swt berkehendak lain dan menyembunyikan Imam Mahdi as dari pandangan mereka. Dengan demikian dimulailah masa ghaibah Imam Mahdi as.
Selama 69 tahun, beliau berhubungan dengan masyarakat melalui empat wakil yang ditunjuk beliau secara bergantian. Sampai akhirnya pada tahun 329 Hijriah beliau tidak menunjuk wakil langsung dan ketika itulah dimulai periode ghaibah kubro. Sejak saat itu, masyarat menanti kemunculan Imam Mahdi as untuk menegakkan pemerintahan keadilan, perdamaian dan keamanan di seluruh penjuru dunia.
Namun seperti apa pemerintahan Imam Mahdi as yang dielu-elukan dan diharapan oleh para penantinya? Terkait pemerintahan tersebut, banyak riwayat dan ayat yang menyebutkan kriterianya. Termasuk di antaranya adalah bahwa pemerintahan Imam Mahdi as, adalah pemerintahan rakyat yang berporos pada penegakan tuntutan masyarakat tertindas dan papa di dunia.
Pada ayat 105 dari surat al-Anbiya disebutkan, "Dan sungguh telah Kami tulis didalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh."
Dengan demikian masyarakat yang selama berabad-abad menghadapi kezaliman dan penindasan, pasca kemunculan Imam Mahdi as serta para pewaris kekuasaan di muka bumi dan para sahabat Imam, mereka akan merasakan manfaat dari pemerintahan universal yang adil.
Dalam pemerintahan Imam Mahdi as, hukum-hukum syariat akan diberlakukan. Sepanjang sejarah banyak ideologi manusia yang telah terbukti ketidakefektifannya. Oleh sebab itu pada pemerintahan universal Imam Mahdi as, ketentuan dan syarat agama terakhir dan paling lengkap, Islam, akan diberlakukan.
Allah Swt dalam banyak surat al-Quran menekankan bahwa agama sejati di sisi Allah Swt adalah Islam dan siapapun yang memilih agama lain selain Islam, maka sesungguhnya ia sedang merugi. Dalam beberapa ayat juga disebutkan janji bahwa Islam akan menang di hadapan seluruh agama dan ideologi di dunia ini.
Imam Jakfar as-Sadiq as dalam hal ini berkata, "Setelah terhina, Allah Swt akan memuliakan kembali Islam berkat dia (Mahdi as), dan akan menegakkan kembali huku-hukumnya setelah sebelumnya ditinggalkan, segala bentuk bid'ah akan diberantas oleh Mahdi as, penyimpangan akan dimusnahkan dan sunnah-sunnah asli akan dihidupkan kembali.
Namun harus diperhatikan bahwa non-Muslim tidak dapat dipaksa untuk menjadi Islam. Akan tetapi ketika Islam sejati tanpa propaganda bias diperkenalkan kepada mereka oleh Imam Mahdi, maka mereka dengan sukarela dan ikhtiar akan menerima agama samawi ini.
Dewasa ini, masyarakat dunia merasakan ketidakadilan dan diskriminasi lebih dari era-era sebelumnya. Sedemikian rupa sehingga satu persen penduduk bumi menguasai 50 persen sumber finansial dunia. Dari sisi lain, akibat politik imperialis pemerintah-pemerintah Barat serta ketergantungan dan ketidakbecusan para penguasa, setiap hari jumlah masyarakat miskin semakin bertambah.
Selain itu, kekuatan imperialis memandang diri mereka sebagai ras superior dan menilai bangsa-bangsa lain tidak berperadaban. Oleh karena itu, salah satu impian terbesar masyarakat dunia adalah pemberantasan diskriminasi dan perwujudan keadilan. Salah satu kriteria utama pemerintahan Imam Mahdi as adalah universalitas keadilan bagi seluruh penduduk bumi.
Salah satu prinsip penting Islam adalah perluasan keadilan, di mana di dalamnya tidak ada diskriminasi dan ketimpangan. Banyak hadis yang menyebutkan keadilan dalam pemerintahan Imam Mahdi as di akhir zaman kelak. Salah satu di antaranya adalah hadis Rasulullah Saw, "Aku akan memberikan kabar gembira kepada kalian soal kemunculan Mahdi (as), ketika perselisihan dan kebimbangan masyarakat meluas, dia akan bangkit dan memenuhi bumi dengan keadilan dan kebajikan setelah dipenuhi dengan kezaliman dan kejahatan. Penghuni langit dan bumi akan meridhoi pemerintahannya dan akan membagikan kekayaan di antara masyarakat secara merata."
Pemerataan keadilan pasti akan dibarengi dengan penafian kezaliman dan pelanggaran. Salah satu tragedi terbesar umat manusia adalah perang dan pertempuran berdarah yang destruktif. Sejak sejarah manusia di mulai, betapa banyak terjadi pertempuran besar dan kecil yang merenggut nyawa manusia. Musibah getif ini juga terjadi di era kontemporer dengan skala yang lebih luas.
Kekuatan-kekuatan imperialis menyerang untuk merampas kekayaan negara-negara lain, atau memaksa para antek-anteknya untuk melakukannya. Sebagai contoh, ratusan ribu orang dalam beberapa tahun terakhir tewas dalam perang yang dikobarkan oleh anasir teroris Takfiri seperti Daesh, besutan Amerika Serikat. Bencana yang menimpa masyarakat Irak dan Suriah.
Akan tetapi menyusul penegakan pemerintahan universal Imam Mahdi as, perang dan permusuhan akan diberantas. Perang terakhir adalah perang sebelum berdirinya pemerintahan universal Imam Mahdi as, melawan kekuatan-kekuatan imperialis yang tidak dapat merelakan kepentingan ilegal mereka.
Dengan demikian cita-cita besar umat manusia untuk terbebas dari kezaliman, kejahatan, pertumpahan darah dan ketidakadilan, akan terealisasikan pada masa pemerintahan Imam Mahdi as. Sebagaimana telah disebutkan Rasulullah Saw dalam hadis beliau bahwa Imam Mahdi as akan memenuhi dunia yang telah dikuasi kezaliman dan kejahatan dengan keadilan dan kebajikan.
Penumpasan kaum hegemonik haus perang, penindasan dan agresi dalam pemerintahan universal Imam Mahdi (as) akan menghadirkan perdamaian dan keamanan. Dewasa ini, keamanan adalah hal yang paling dibutuhkan umat manusia. Di sejumlah negara, perang dan pembantaian telah menghancurkan keamanan sementara di negara-negara seperti Amerika Serikat, instabilitas dalam masyarakat terus mengancam dan setiap hari ratusan orang menjadi tumbal fenomena tersebut.
Perasaan tidak aman dan tidak tenang, menimbulkan dampak mental dan psikologis, serta ekonomi dan sosial yang sangat buruk. Akan tetapi dalam pemerintahan universal Imam Mahdi, ketika perang, kezaliman dan pelanggaran telah berakhir, serta keadilan dan kesetaraan berlaku, maka masyarakat akan merasakan ketenangan dan keamanan multidimensional.
Imam Muhammad Baqir as, dalam hal ini menjelaskan kondisi pada era pemerintahan universal Imam Mahdi as dengan menyebutkan bahwa seorang perempuan tua dapat bepergian dari satu titik ke titik lain di dunia tanpa ada kekhawatiran akan menghadapi gangguan. Keamanan multidimensional ini bersumber dari fakta bahwa seluruh masyarakat menganut satu agama dan keyakinan yaitu Islam di mana pelanggaran dan gangguan kepada orang lain adalah haram, dan bahkan umat Islam diwajibkan untuk membatu sesama.
Pemerataan pembangunan dan kesejahteraan di muka bumi merupakan kriteria lain dari pemeritahan universal Imam Mahdi as. Dewasa ini, hanya segelintir negara yang maju dan berkembang dan itu pun hanya dapat dinikmati oleh kelompok kecil konglomerat. Adapun manfaat kemajuan dan pembangunan pada periode pemerintah universal Imam Mahdi as adalah milik seluruh masyarakat.
Selain itu, kemajuan pada masa tersebut juga jauh melampuai kemajuan saat ini. Rasulullah Saw bersabda, "Ketika itu, jelajah bui akan ditempuh lebih cepat dari memejamkan mata, sedemikian rupa sehingga jika [sebelumnya] seseorang ingin bepergian ke timur atau barat bumi dalam satu jam, maka hal ini akan ditempuh dalam waktu sesingkat-singkatnya."
Pembangunan dan kemajuan pada masa pemerintahan universal Imam Mahdi as bergantung pada sejumlah anasir penting lain yaitu pertumbuhan pesat perspektif dan kemajuan cepat ilmu pengetahuan. Imam Muhammad Baqir as dalam sebuah riwayat menjelaskan hal ini bahwa berkat ijin Allah Swt pada era Mahdi as, akal masyarakat akan sempurna. Dalam hadis lain, beliau menyinggung poin penting lain, "Ilmu pengetahuan adalah 27 huruf dan semua yang dibawa oleh para nabi hanya dua huruf saja… ketika Mahdi kami bangkit, dia akan mengeluarkan 25 huruf lainnya, dan menyebarkannya kepada masyarakat."
Dengan demikian pada era pemerintahan universal Imam Mahdi as, seluruh lapisan masyarakat memiliki taraf kehidupan tinggi dan menikmati seluruh nikmat ilahi dengan sebaik-baiknya.
IMAM MAHDI WARISI SUNNAH PARA NABI
Sumber : safinah-online.com
Syekh Shaduq (w. 381 H) menyampaikan sebuah riwayat dengan sanad yang sahih dari Imam as-Sajjad a.s. dalam kitabnya, Ikmal ad-Din wa Itmam an-Ni’mah. Imam as-Sajjad a.s. berkata,
“Al-Qaim dari kami (Ahlulbait) mewarisi sunah-sunah para Nabi a.s., sunah Nabi Adam a.s., Nabi Nuh a.s., Nabi Ibrahim a.s., Nabi Musa a.s., Nabi Isa a.s., Nabi Ayub a.s., dan Nabi Muhammad SAW. Adapun sunah Nabi Adam a.s. dan Nabi Nuh a.s. ialah panjang usia. Sunah Nabi Ibrahim a.s. ialah kelahiran yang rahasia dan mengisolasi diri dari manusia. Sunah Nabi Musa a.s. ialah rasa takut dan kegaiban. Sunah Nabi Isa a.s. ialah manusia berselisih tentangnya. Sunah Nabi Ayub a.s. ialah kebahagiaan setelah aneka ujian. Sedangkan sunah Nabi Muhammad SAW ialah keluar dengan pedang.”
Imam Mahdi a.f berusia panjang sebagaimana Nabi Adam a.s. dan Nabi Nuh a.s.
Di antara para nabi, Nabi Nuh a.s. dijuluki dengan Syekh para Nabi mengingat usianya yang paling panjang. Alquran menyebutkan bahwa masa dakwah kenabiannya sebelum peristiwa banjir besar adalah 950 tahun (QS. Al-‘Ankabut [29]: 14), sementara para sejarawan menghitung usia keseluruhannya mencapai 1500 tahun, bahkan sebagian mencatat 2000 tahun.
Sesungguhnya Allah SWT Mahakuasa memanjangkan usia Imam Mahdi a.f. sebagaimana usia Nabi Nuh a.s. hingga 2000 tahun. Demikian pula dengan Ashabul Kahfi yang tidur panjang selama 300 atau 309 tahun di dalam gua saat melindungi diri mereka dari intaian Raja yang zalim di masanya (QS. Al-Kahfi [18]: 25). Lebih dari itu, pakaian mereka tidak berubah kondisinya sama sekali.
Lain halnya dengan kisah Nabi ‘Uzair a.s. yang makanan dan minumannya tetap utuh saat dihidupkan kembali setelah 100 tahun bersama keledainya yang telah menjadi tulang belulang (lihat Tafsir Ibnu Katsir dalam pembahasan QS. Al-Baqarah [2]: 259).
Imam Mahdi a.f. dilahirkan sembunyi-sembunyi sebagaimana Nabi Ibrahim a.s.
Imam Mahdi a.f dilahirkan secara tersembunyi sebagaimana Nabi Ibrahim a.s. dilahirkan secara sembunyi-sembunyi. Lebih dari itu, Imam Mahdi a.f luput dari pandangan mata manusia biasa selain orang-orang saleh yang dekat dengan Imam Hasan al-Askari a.s., ayah Imam Mahdi a.f.
Para ahli nujum di masa kelahiran Nabi Ibrahim a.s. melaporkan tentang kelahiran bayi laki-laki yang kelak akan menghancurkan kekuasaan sang Raja Namrud. Oleh karena itu, mata-mata kerajaan segera membunuh bayi laki-laki mana pun yang lahir saat itu. Serta merta ibunda Ibrahim a.s. pergi ke gunung dan menitipkan Ibrahim a.s. yang masih bayi di dalam gua. Setelah beberapa hari sang ibu menjenguk kondisinya, dia menyaksikan Ibrahim a.s. sedang meminum susu dari jempol sang bayi.
Sementara Imam Mahdi a.f. dilahirkan dalam kondisi sembunyi-sembunyi saat khalifah Abbasi di masa itu yang senantiasa mengintai kehidupan para Imam Ahlulbait Nabi SAW. Sebagaimana diketahui Imam Ali al-Hadi a.s. dipaksa pindah dari Madinah ke Samarra, Irak agar gerak-geriknya bisa diawasi oleh khalifah Abbasi, bahkan Imam Hasan al-Askari a.s., ayah Imam Mahdi a.s. pun lahir dalam rumah tahanan ayahnya. Riwayat yang masyhur di masa itu adalah tentang Imam Mahdi a.f dari keturunan Rasulullah yang kelak akan memenuhi bumi dengan kebenaran dan keadilan. Sehingga musuh-musuh keadilan senantiasa mengintai, mengawasi dan mereka-reka siapakah imam yang dimaksud dalam hadis dan riwayat yang masyhur tersebut, demi mencegah keruntuhan kerajaan mereka.
Imam Mahdi a.f. Gaib dari pandangan manusia sebagaimana Nabi Musa a.s.
Nabi Musa a.s. berulang kali digaibkan dari pandangan umatnya. Salah satunya selama 28 tahun, sehingga Bani Israil tidak mengetahui kabar Nabi Musa a.s selama itu. Mereka mencari-cari ke berbagai tempat hingga ke padang pasir namun tak berhasil menemui Nabi Musa a.s.Saat Nabi Musa a.s. hadir di hadapan umatnya setelah 28 tahun terjadilah pembunuhan terhadap seorang Mesir (Qibthi) sehingga beliau harus gaib kembali ke Madyan selama 10 tahun.
Selain Nabi Musa a.s. yang gaib dari pandangan umatnya, Alquran juga menyebutkan tentang kegaiban Nabi Yusuf a.s dari pandangan mata saudara-saudaranya. Mereka tidak mampu mengenali rupa Nabi Yusuf a.s. saudaranya sendiri bahkan Bunyamin, saudara kandungnya.
Dia (Yusuf) berkata, “Tahukah kamu apa yang telah kalian perbuat terhadap Yusuf dan saudaranya ketika kalian tidak menyadarinya?” Mereka berkata, “Apakah engkau sejatinya adalah Yusuf?” (QS. Yusuf [12]: 89-90)
Syekh Shaduq menerangkan bahwa Nabi Ya’qub a.s., ayah Nabi Yusuf a.s. sangat yakin bahwa Nabi Yusuf a.s. sesungguhnya masih hidup meskipun putra-putranya menyatakan Yusuf telah dibunuh. Hal ini tak jauh beda dengan keimanan kaum beriman terhadap Imam Mahdi a.f.
Lebih jauh terkait kegaiban para nabi, dari Nabi Adam a.s. hingga penutup para Nabi, Muhammad SAW, Syekh Shaduq r.a telah membukukannya dengan judul Ikmal ad-Din wa Itmam an-Ni’mah. Demikianlah Syekh Shaduq menyimpulkan bahwa setiap nabi mengalami masa gaib dari kaumnya.
Manusia berselisih pendapat dalam hal Nabi Isa a.s
Sebagaimana kita ketahui, manusia berselisih tentang Nabi Isa a.s. apakah dia disalib ataukah tidak, apakah dia masih hidup ataukah telah wafat. Alquran menegaskan bahwa,Mereka tidaklah membunuhnya, atau pun menyalibnya, tetapi diserupakan bagi mereka. (QS. An-Nisa’ [4]: 157)
Demikian halnya pada Imam Mahdi a.f., manusia tentunya hingga hari ini bertanya-tanya apakah dia telah dilahirkan ataukah belum, apakah dia dari keturunan al-Hasan a.s. ataukah al-Husain a.s.
Kepercayaan tentang adanya sang juru selamat diyakini bahkan oleh seluruh agama dan kepercayaan, seperti konsep Ratu Adil dalam filosofi Jawa. Sementara sosok Imam Mahdi a.f. yang diyakini oleh setiap Muslim telah diingkari oleh sebagian kalangan dengan menyatakan, ‘Andai Imam Mahdi a.f. telah lahir, berarti dia telah mati saat ini.’ Sedangkan sebagian lain meyakini bahwa Imam Mahdi telah lahir tahun 255 H/869 M dan masih hidup karena Allah Yang Mahakuasa juga Mahamampu membuat hal itu terjadi.
Namun demikian sebagai sebuah kesepakatan, umat Islam meyakini bahwa kelak Nabi Isa a.s. pada akhir zaman akan salat di belakang Imam Mahdi a.f.
Imam Mahdi a.f. Menghunus Pedang dan Menegakkan Tauhid sebagaimana Rasulullah SAW
Perkataan Imam Ali as-Sajjad yang diriwayatkan oleh Syekh Shaduq di atas ditutup dengan sunah Nabi Muhammad SAW yang diwariskan kepada Imam Mahdi a.f. kelak. Bahwa Imam Mahdi akan menghunus pedang sebagaimana datuknya Rasulullah SAW dalam menegakkan Islam. Sehingga kemusyrikan niscaya muspra dari muka bumi dan berganti dengan keadilan di jagad raya.
Tersebarnya Islam adalah sebuah janji Alquran, ‘Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.’ (QS. Al-Fath [48]: 27)
Pertanyaannya adalah apakah hadis tersebut dapat dipahami secara tersurat bahwa Imam Mahdi a.f. kelak bakal menghunus pedang ataukah pedang yang dimaksud adalah kiasan untuk perangkat penegakan tauhid? Wallahu a’lam.
Disadur dari buku Al-Mahdi Al-Maw’ud, Sayid Abdul Husein Dastaghib, Dar at-Ta’aruf, Beirut, Lebanon, 1989)
APAKAH DUNIA PASCA IMAM MAHDI AKAN BERAKHIR?
Sumber : shabestanSetelah Imam Mahdi as muncul, banyak masalah yang masih belum jelas bagi kita. Apakah dunia setelah itu akan musnah dan kiamat pun tiba? Ataukah kepemimpinan yang adil masih tetap berlanjut?
Dari banyak hadis, kita bisa menyimpulkan tiga kemungkinan tentang nasib dunia setelah Imam Mahdi as berikut ini:
a. Setelah Imam Mahdi as muncul dan beliau meninggal dunia, kiamat akan tiba dan seluruh alam semesta akan punah musnah.
b. Anak keturunan Imam Mahdi as akan melanjutkan pemerintahan beliau.
c. Raj’ah akan terjadi. Yakni para Imam maksum Ahlul Bait as akan kembali ke dunia ini dan melanjutkan kepemimpinan Imam Mahdi as.
Dari tiga kemungkinan tersebut, mungkin kemungkinan ketiga lebih sesuai dengan hadis-hadis yang ada. Hadis-hadis tentang raj’ah lebih kuat dan lebih banyak dibandingkan dengan hadis-hadis untuk kemungkinan pertama dan kedua.
Dengan demikian, setelah Imam Mahdi as meninggal dunia, pemerintahan beliau masih akan berlangsung selama bertahun-tahun, dan lantas kiamat akan tiba.
Dalam hadis-hadis disebutkan, Imam Ahlul Bait as pertama yang raj’ah adalah Imam Husain as.
KEGAIBAN IMAM ZAMAN
Sumber : bagendaali.comDalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Imam Zaman gaib lantaran takut akan kematian. Misalnya, dalam salah satu riwayat disebutkan, bahwa sebab kegaiban Imam Zaman “يخاف القتل” yakni Imam takut akan kematian.
Tentu, jika mengacu pada lahiriah riwayat, akan muncul pertanyaan dan kebingungan: mengapa seroang Imam maksum mesti takut akan kematian? Bukankah kematian adalah jembatan menuju kehidupan abadi? Tidakkah hal ini berkontradiksi dengan kepribadian Imam?
Secara singkat, dapat dikatakan bahwa khauf (ketakutan) para Imam yang disebut dalam berbagai riwayat bukanlah ketakutan nafsi yang merupakan akhlak tercela, melainkan ketakutan akal (aqliy) yang bukan hanya merupakan akhlak terpuji, bahkan terkadang merupakan keniscayaan dan keharusan.
Apabila ketakutan berangkat dari egoisme atau keakuan dan disebabkan hal tersebut seseorang ‘lari’ dari tanggungjawabnya untuk membela Agama, maka jelas ketakutan tersebut adalah lawan dari keberanian; ia tak lain adalah ke-pengecut-an.
Namun, manakala ketakutan adalah menghindar dari perbuatan yang sia-sia, percuma dan gegabah, maka ketakutan semacam ini bukan hanya terpuji, tapi tentu merupakan keharusan bagi orang yang berakal.
Sebatas menumpahkan darah tidaklah penting, tapi yang penting adalah memastikan darah yang dikorbankan membuahkan hasil dan manfaat. Orang yang menumpahkan darahnya tanpa pertimbangan tidak dapat dikatakan berani, tetapi nekad!
Dalam salah satu khutbahnya, Amirul Mukminin berkata:
“Aku terus menunggu. Ketika aku melihat tiada lagi kawan, pembela dan penolong bagiku kecuali Ahlulbaitku, maka aku takut jikalau mereka (ahlulbayt) terancam kematian. Karena itu, aku (hidup) seperti orang yang ingin mengedipkan mata, sementara dalam kelopak matanya terdapat duri; begitu pula seperti orang yang ingin menelan ludah, sementara di tenggorokannya tersangkut tulang. Aku bersabar dengan ‘menelan’ kemurkaanku dimana hal ini lebih pahit dari menelan buah pahit sekalipun dan lebih perih bagi hati dibanding tebasan pedang sekalipun.” [Nahjul Balaghah, khutbah 217]
Keadaan telah membuat seorang yang terkenal paling berani dan selalu menjadi panglima dalam berbagai peperangan ‘menjadi’ takut (rasional) akan kelanggengan Islam dan nyawa ahlulbayt beliau.
Jelas, sejarah menjadi saksi bahwa ke-pengecut-an tidak memiliki keberanian, bahkan untuk sekedar menghampiri kepribadian Sang Imam. Meski begitu, Imam tetap memiliki rasa takut. Rasa takut atau resah inilah yang disebut sebagai takut rasional. Begitulah, rasa takut samacam ini bukan hanya tidak tercela, melainkan merupakan ejawantah yang amat tinggi dari keberanian itu sendri.
Dapat disimpulkan, salah satu sebab kegaiban Imam Zaman adalah ketakutan. Namun, ketakutan beliau adalah ketakutan rasional. Apabila beliau yang notabene merupakan hujjah terakhir Allah Swt. di dunia ini muncul dan langsung dibunuh oleh musuh, maka dunia tidak akan memiliki wasilah bagi turun-Nya rahmat Allah Swt.
Begitu juga, dengan terbunuhnya Imam Zaman, janji Tuhan menjadikan hamba-Nya yang saleh untuk memimpin dunia dengan keadilan tidak akan terealisasi.
Apalagi, mengingat para tiran amat mengetahui bahwa Imam Mahdi adalah Ia yang dijanjikan untuk memenuhi dunia dengan keadilan dan membersihkan dunia ini dari kebusukan kezaliman, termasuk para penguasa zalim.
Untuk itu, bila dahulu para tiran masih sedikit bersabar untuk memenjarakan para Imam maksum sebelum membunuh beliau, hal ini tidak akan dilakukan oleh mereka terhadap Imam Zaman, Sang Wujud yang Dijanjikan. Para penguasa zalim tersebut tentu tidak punya pilihan, kecuali harus segera membunuh Penegak Keadilan yang telah dijanjikan kepemimpinannya oleh Allah Swt.
Berangkat dari sana, yang terpenting bukanlah meneteskan darah, tapi meneteskan darah dengan manfaat dan hasil yang tidak sia-sia. Begitu juga, ketakutan rasional bukan hanya tidak tercela, namun pada kondisi tertentu adalah keniscyaan.
*mengacu pada kitab Ayatullah Jawadi Aamuli yang berjudul ‘Usaareh-ye Khelqat.
BENARKAH IMAM MAHDI AF SUDAH DILAHIRKAN DI DUNIA INI?
pengarang : Ja’far Subhani
Sumber : hauzah maya
Seluruh ulama Syi’ah sependapat bahwa Imam Mahdi aflahir di pertengahan Bulan Sya’ban pada tahun 255 H., ada juga yang mengatakan kelahiran itu pada tahun 256 H. Beliau lahir di kota Samera tepatnya di rumah Imam Hasan Askari as dengan ibu Narjis Khatun. Mengenai hal ini, banyak sekali hadis yang diriwayatkan dari ayah beliau Imam Hasan Askari, dan jika hadis-hadis itu kami nukil di sini niscaya pembahasannya akan jadi sangat panjang.
Mengingat bahwa kelahiran Imam Mahdi af merupakan tanda bahaya bagi seluruh sistem yang bejat pada waktu itu, maka Dinasti Abbasi senantiasa berusaha untuk mencegah kelahiran beliau dan seandainya itu terjadi maka saat itu juga harus dihabisi. Salah satu alasan kenapa Imam hasan Askari as di Samera berada dalam pengawasan adalah agar mereka dapat mengetahui apakah beliau melahirkan anak ataukah tidak.
Kelahiran Imam Mahdi af adalah mukjizat seperti kelahiran Nabi Musa as. Meskipun aparat pemerintah Dinasti Abbasi telah dikerahkan untuk melakukan pengawasan yang seketat-ketatnya, Allah Swt tetap menghendaki kelahiran washi-Nya yang terakhir dari keturunan Imam Hasan Askari as dan menjaganya dari serangan musuh mulai dari sebelum Lahir sampai sekarang. Orang-orang yang hadir pada waktu beliau lahir atau pemah melihat beliau setelah lahir antara lain:
Hakimah Khatun putri Imam Muhammad Taqi yang sekaligus merupakan bibi Imam Hasan Askari as. Dia mengatakan, ‘Suatu hari aku pergi ke rumah Imam Hasan as, tepatnya pada malam 15 Bulan Sya’ban tahun 255 aku ingin pulang ke rumah tapi beliau berkata kepadaku, ‘Bibi! Tetaplah tinggal di rumah kami malam ini; karena wali Allah dan washiku akan lahir pada malam ini.’ Aku tanyakan kepada beliau, ‘Lahir dari istri yang mana?’ beliau menjawab, ‘Susan.’ Betapapun aku menyelidiki masalah ini aku tetap tidak menemukan sedikit pun tanda kehamilan pada Susan, setelah buka puasa aku tidur satu kamar dengannya, tidak lama kemudian aku terjaga dan teringat perkataan Imam Hasan. Aku mulai shalat malam (tahajud). Susan pun kemudian bangun tidur dan menunaikan shalat malam. Sampai mendekati waktu subuh aku tetap tidak melihat tanda-tanda kehamilan padanya. Nyaris saja aku meragukan perkataan Imam Hasan, maka ketika itu juga aku mendengar suara beliau dari kamar lain yang berkata, ‘Bibi! Jangan ragu, kelahiran anakku sudah sangat dekat.’ Sesaat kemudian, wali Allah Swt yang suci lahir ke dunia… aku pun kemudian membawa anak kecil suci itu kepada Imam Hasan as…[1]
Karena pengawasan yang sangat ketat dari pihak Dinasti Abbasi, jarang sekali orang yang berhasil melihat Imam Mahdi af pada masa hidup Imam Hasan Askari as, tapi ada segelintir orang yang sangat dekat kepada beliau dan dipercaya yang berhasil melihatnya pada masa hidup beliau, antara lain:
1. Abu Ghanim Khadim.
Dia meriwayatkan, ‘Telah lahir putra Imam Hasan Askari as dan beliau memberinya nama Muhammad. Pada hari ketiga, beliau menunjukkan anaknya itu kepada para sahabat seraya berkata, ‘lnilah putraku, dia adalah imam setelahku, dan inilah Al Qaim yang dinanti-nantikan.’[2]
2. Hasan bin Husain bin Alawi.
Dia meriwayatkan, ‘Aku mengunjungi Imam Hasan Askari as di Samera, dan ketika itu aku mengucapkan selamat kepada beliau atas keliharan putranya.[3]
3. Hasan bin Mundzir.
Dia meriwayatkan, ‘Suatu hari, Hamzah bin Abi Fatah datang kepadaku seraya berkata, ‘Selamat, karena tadi malam Allah Swt telah menganugerahkan seorang putra kepada Imam Hasan Askari as, tapi beliau memerintahkan agar masalah ini disembunyikan.’ Aku tanyakan siapa nama putra beliau itu’, dia menjawab, ‘Muhammad. ‘[4]
4. Ahmad bin Ishaq.
Dia meriwayatkan, ‘Suatu hari aku mengunjungi Imam Hasan Askari as dan ingin menanyakan washi (pengganti) beliau, sebelum aku melontarkan pertanyaan beliau sudah memulai pembicaraan seraya berkata, ‘Hai Ahmad bin Ishaq! Allah Swt sejak menciptakan Adam as sampai Hari Kiamat tidak pemah membiarkan bumi kosong dari hujjah-Nya, karena hujjah Allah-lah bencana tertolak dari bumi dan hujan tercurah kepadanya sehingga melimpahkan berkah-berkahnya.’ Aku tanyakan kepada beliau, ‘Wahai putra Rasulullah! Siapakah imam pengganti setelahmu?’ beliau masuk ke dalam rumah lalu keluar bersama anak umur tiga tahunan yang indah sekali laksana bulan pumama, beliau menggendong anak itu dan berkata, ‘Ahmad! Seandainya Engkau tidak mulia di sisi Allah Swt dan para imam as niscaya aku tidak akan menunjukkan putraku ini kepadamu. Ketahuilah bahwa anak ini bemama dan berjulukan sama dengan Rasulullah Saw, dan dialah orang yang akan memenuhi bumi dengan keadilan.’[5]
Mereka adalah sebagian tokoh terkemuka Syi’ah yang berhasil mengunjungi Imam Mahdi af pada masa hidup Imam Hasan Askari as, tentunya bukan hanya mereka yang berhasil melainkan ada juga orang-orang lain yang mendapat taufik untuk bertemu dengan beliau pada masa hidup ayah beliau.[6]
Terakhir, perlu kami isyaratkan di sini bahwa sebagian ulama terkemuka Ahli Sunnah telah menyatakan kelahiran beliau. Mengenai hal ini, Anda bisa membaca buku Muntakhob Al-Atsar dari halaman 71 sampai dengan halaman 92. Penulis buku ini menyebutkan 68 tokoh terkemuka Ahli Sunnah yang telah menyatakan kelahiran beliau dari keturunan Imam Hasan Askari as di dalam kitab-kitab yang mereka tuliskan.[]
[1] Ghoibah, Syaikh Thusi, hal. 141.
[2] ltsbat Al-Hujjah, jld. 6, hal. 431.
[3] Ibid., hal. 433.
[4] Ibid., hal. 439.
[5] Bihar Al-Anwar, jld. 52, hal. 23.
[6] Ibid., hal. 25 dan 78 serta 86; ltsbat Al-Hujjah, jld. 6, hal. 311 dan 425, begitu pula pada jld. 7, hal. 16; Yanabi’ Al-Mawaddah, bab. 82.
Hakîmah, bibi Imam berkata : ” Aku pergi ke rumah anak saudaraku, pada hari kamis pada bulan Sya’ban. Ketika aku ingin mengucapkan selamat tinggal kepada mereka, Imam berkata, ” Wahai bibi, tinggallah malam ini bersama kami karena putra kami akan segera lahir. Aku sangat bergembira dan berbahagia mendengarkan kabar itu dan pergi menjumpai Narjis (Ibunda Imam Zamân) namun aku tidak menemukan tanda-tanda kehamilan pada diri beliau. Aku terkejut – aku berkata pada diriku – aku tidak melihat tanda-tanda adanya bayi akan lahir. Pada saat-saat itu, Imam datang padaku dan berkata : ” Duhai bibi, jangan bersedih, Narjis seperti ibunda Nabi Musâ As dan si bayi seperti Musâ, yang lahir secara tersembunyi dan tanpa tanda-tanda apa pun yang menyertai kelahirannya. Pergilah ke Narjis, dia akan segera melahirkan pada subuh hari. Aku berbahagia dan tinggal menemani Narjis dan apa yang dikatakan oleh Imam bahwa tanda-tanda kelahiran Narjis muncul sebelum matahari terbit di ufuk timur. Seberkas cahaya mewujud antara diriku dan dia sehingga aku tidak dapat melihat Narjis lagi. Aku ketakutan dan keluar dari bilik itu untuk menjumpai Imam melaporkan apa yang telah terjadi. Beliau tersenyum dan berkata, ” Kembalilah, beberapa saat lagi engkau akan melihatnya.”
Aku kembali ke kamar dan melihat seorang bayi baru lahir dan tengah melakukan sujud lalu ia mengangkat tangannya ke angkasa, berdzikir dan memuji Allah Swt dengan segala ke-Pemurahan-Nya, ke-Besaran-Nya dan ke-Esaan-Nya.
Seluruh ulama Syi’ah sependapat bahwa Imam Mahdi aflahir di pertengahan Bulan Sya’ban pada tahun 255 H., ada juga yang mengatakan kelahiran itu pada tahun 256 H. Beliau lahir di kota Samera tepatnya di rumah Imam Hasan Askari as dengan ibu Narjis Khatun. Mengenai hal ini, banyak sekali hadis yang diriwayatkan dari ayah beliau Imam Hasan Askari, dan jika hadis-hadis itu kami nukil di sini niscaya pembahasannya akan jadi sangat panjang.
Mengingat bahwa kelahiran Imam Mahdi af merupakan tanda bahaya bagi seluruh sistem yang bejat pada waktu itu, maka Dinasti Abbasi senantiasa berusaha untuk mencegah kelahiran beliau dan seandainya itu terjadi maka saat itu juga harus dihabisi. Salah satu alasan kenapa Imam hasan Askari as di Samera berada dalam pengawasan adalah agar mereka dapat mengetahui apakah beliau melahirkan anak ataukah tidak.
Kelahiran Imam Mahdi af adalah mukjizat seperti kelahiran Nabi Musa as. Meskipun aparat pemerintah Dinasti Abbasi telah dikerahkan untuk melakukan pengawasan yang seketat-ketatnya, Allah Swt tetap menghendaki kelahiran washi-Nya yang terakhir dari keturunan Imam Hasan Askari as dan menjaganya dari serangan musuh mulai dari sebelum Lahir sampai sekarang. Orang-orang yang hadir pada waktu beliau lahir atau pemah melihat beliau setelah lahir antara lain:
Hakimah Khatun putri Imam Muhammad Taqi yang sekaligus merupakan bibi Imam Hasan Askari as. Dia mengatakan, ‘Suatu hari aku pergi ke rumah Imam Hasan as, tepatnya pada malam 15 Bulan Sya’ban tahun 255 aku ingin pulang ke rumah tapi beliau berkata kepadaku, ‘Bibi! Tetaplah tinggal di rumah kami malam ini; karena wali Allah dan washiku akan lahir pada malam ini.’ Aku tanyakan kepada beliau, ‘Lahir dari istri yang mana?’ beliau menjawab, ‘Susan.’ Betapapun aku menyelidiki masalah ini aku tetap tidak menemukan sedikit pun tanda kehamilan pada Susan, setelah buka puasa aku tidur satu kamar dengannya, tidak lama kemudian aku terjaga dan teringat perkataan Imam Hasan. Aku mulai shalat malam (tahajud). Susan pun kemudian bangun tidur dan menunaikan shalat malam. Sampai mendekati waktu subuh aku tetap tidak melihat tanda-tanda kehamilan padanya. Nyaris saja aku meragukan perkataan Imam Hasan, maka ketika itu juga aku mendengar suara beliau dari kamar lain yang berkata, ‘Bibi! Jangan ragu, kelahiran anakku sudah sangat dekat.’ Sesaat kemudian, wali Allah Swt yang suci lahir ke dunia… aku pun kemudian membawa anak kecil suci itu kepada Imam Hasan as…[1]
Karena pengawasan yang sangat ketat dari pihak Dinasti Abbasi, jarang sekali orang yang berhasil melihat Imam Mahdi af pada masa hidup Imam Hasan Askari as, tapi ada segelintir orang yang sangat dekat kepada beliau dan dipercaya yang berhasil melihatnya pada masa hidup beliau, antara lain:
1. Abu Ghanim Khadim.
Dia meriwayatkan, ‘Telah lahir putra Imam Hasan Askari as dan beliau memberinya nama Muhammad. Pada hari ketiga, beliau menunjukkan anaknya itu kepada para sahabat seraya berkata, ‘lnilah putraku, dia adalah imam setelahku, dan inilah Al Qaim yang dinanti-nantikan.’[2]
2. Hasan bin Husain bin Alawi.
Dia meriwayatkan, ‘Aku mengunjungi Imam Hasan Askari as di Samera, dan ketika itu aku mengucapkan selamat kepada beliau atas keliharan putranya.[3]
3. Hasan bin Mundzir.
Dia meriwayatkan, ‘Suatu hari, Hamzah bin Abi Fatah datang kepadaku seraya berkata, ‘Selamat, karena tadi malam Allah Swt telah menganugerahkan seorang putra kepada Imam Hasan Askari as, tapi beliau memerintahkan agar masalah ini disembunyikan.’ Aku tanyakan siapa nama putra beliau itu’, dia menjawab, ‘Muhammad. ‘[4]
4. Ahmad bin Ishaq.
Dia meriwayatkan, ‘Suatu hari aku mengunjungi Imam Hasan Askari as dan ingin menanyakan washi (pengganti) beliau, sebelum aku melontarkan pertanyaan beliau sudah memulai pembicaraan seraya berkata, ‘Hai Ahmad bin Ishaq! Allah Swt sejak menciptakan Adam as sampai Hari Kiamat tidak pemah membiarkan bumi kosong dari hujjah-Nya, karena hujjah Allah-lah bencana tertolak dari bumi dan hujan tercurah kepadanya sehingga melimpahkan berkah-berkahnya.’ Aku tanyakan kepada beliau, ‘Wahai putra Rasulullah! Siapakah imam pengganti setelahmu?’ beliau masuk ke dalam rumah lalu keluar bersama anak umur tiga tahunan yang indah sekali laksana bulan pumama, beliau menggendong anak itu dan berkata, ‘Ahmad! Seandainya Engkau tidak mulia di sisi Allah Swt dan para imam as niscaya aku tidak akan menunjukkan putraku ini kepadamu. Ketahuilah bahwa anak ini bemama dan berjulukan sama dengan Rasulullah Saw, dan dialah orang yang akan memenuhi bumi dengan keadilan.’[5]
Mereka adalah sebagian tokoh terkemuka Syi’ah yang berhasil mengunjungi Imam Mahdi af pada masa hidup Imam Hasan Askari as, tentunya bukan hanya mereka yang berhasil melainkan ada juga orang-orang lain yang mendapat taufik untuk bertemu dengan beliau pada masa hidup ayah beliau.[6]
Terakhir, perlu kami isyaratkan di sini bahwa sebagian ulama terkemuka Ahli Sunnah telah menyatakan kelahiran beliau. Mengenai hal ini, Anda bisa membaca buku Muntakhob Al-Atsar dari halaman 71 sampai dengan halaman 92. Penulis buku ini menyebutkan 68 tokoh terkemuka Ahli Sunnah yang telah menyatakan kelahiran beliau dari keturunan Imam Hasan Askari as di dalam kitab-kitab yang mereka tuliskan.[]
CATATAN KAKI :
[1] Ghoibah, Syaikh Thusi, hal. 141.
[2] ltsbat Al-Hujjah, jld. 6, hal. 431.
[3] Ibid., hal. 433.
[4] Ibid., hal. 439.
[5] Bihar Al-Anwar, jld. 52, hal. 23.
[6] Ibid., hal. 25 dan 78 serta 86; ltsbat Al-Hujjah, jld. 6, hal. 311 dan 425, begitu pula pada jld. 7, hal. 16; Yanabi’ Al-Mawaddah, bab. 82.
KISAH KELAHIRAN IMAM MAHDI AJ
Sumber : syiahahlulbait.comHakîmah, bibi Imam berkata : ” Aku pergi ke rumah anak saudaraku, pada hari kamis pada bulan Sya’ban. Ketika aku ingin mengucapkan selamat tinggal kepada mereka, Imam berkata, ” Wahai bibi, tinggallah malam ini bersama kami karena putra kami akan segera lahir. Aku sangat bergembira dan berbahagia mendengarkan kabar itu dan pergi menjumpai Narjis (Ibunda Imam Zamân) namun aku tidak menemukan tanda-tanda kehamilan pada diri beliau. Aku terkejut – aku berkata pada diriku – aku tidak melihat tanda-tanda adanya bayi akan lahir. Pada saat-saat itu, Imam datang padaku dan berkata : ” Duhai bibi, jangan bersedih, Narjis seperti ibunda Nabi Musâ As dan si bayi seperti Musâ, yang lahir secara tersembunyi dan tanpa tanda-tanda apa pun yang menyertai kelahirannya. Pergilah ke Narjis, dia akan segera melahirkan pada subuh hari. Aku berbahagia dan tinggal menemani Narjis dan apa yang dikatakan oleh Imam bahwa tanda-tanda kelahiran Narjis muncul sebelum matahari terbit di ufuk timur. Seberkas cahaya mewujud antara diriku dan dia sehingga aku tidak dapat melihat Narjis lagi. Aku ketakutan dan keluar dari bilik itu untuk menjumpai Imam melaporkan apa yang telah terjadi. Beliau tersenyum dan berkata, ” Kembalilah, beberapa saat lagi engkau akan melihatnya.”
Aku kembali ke kamar dan melihat seorang bayi baru lahir dan tengah melakukan sujud lalu ia mengangkat tangannya ke angkasa, berdzikir dan memuji Allah Swt dengan segala ke-Pemurahan-Nya, ke-Besaran-Nya dan ke-Esaan-Nya.
PENTINGNYA MEMAHAMI KONSEP MAHDIISME
Sumber : parstoday.comDewasa ini, konsep Mahdiisme semakin banyak diperbincangkan di tengah eskalasi penindasan dan diskriminasi di dunia. Konsep ini membawa optimisme di tengah masyarakat agar ketidakadilan segera berakhir dan mengobarkan semangat mereka untuk melawan para penindas dan kekuatan-kekuatan arogan.
Hari ini adalah tanggal 9 Rabiul Awal yang bertepatan dengan dimulainya era kepemimpinan Imam Mahdi as. Dunia sedang menanti kemunculan Juru Selamat dan sudah tidak sabar untuk mendengar pekikan “Aku adalah al-Mahdi" di samping Ka'bah. Kemunculan al-Mahdi as tentu saja akan mengkahiri penderitaan dan kepedihan umat manusia. Ketika itu, kezaliman dan ketidakadilan akan sirna dari bumi, dan hak orang-orang tertindas dan terzalimi akan dipulihkan di bawah pemerintahan global Imam Mahdi as.
Salah satu kewajiban para penanti Imam Mahdi as adalah senantiasa mendoakan beliau dan memohon kepada Allah Swt agar menyegerakan kemunculan Juru Selamat. Salah satu doa yang dianjurkan untuk dibaca adalah:
"Ya Allah! Jadikanlah untuk wali Mu al-Hujjah putra Imam Hasan Askari, semoga shalawat dan salam selalu tercurah atasnya dan atas ayah-ayahnya, pada masa ini dan pada setiap masa, sebagai wali dan penjaga amanat ajaran-ajaran Mu, sebagai pemimpin dan penolong hamba-hamba Mu, sebagai petunjuk dan tonggak keadilan, sehingga dengannya bumi-Mu akan dipenuhi oleh ketaatan, rasa nikmat, dan kenyamanan selamanya. Amin Ya Rabbal 'Alamin.
Imam Mahdi as dilahirkan pada pertengahan Sya'ban tahun 255 Hijriah di kota Samarra, Irak. Beliau adalah putra Imam Hasan Askari as. Masa kehidupan dan kepemimpinan Imam Askari as termasuk di antara era yang paling mencekam bagi Ahlul Bait Nabi as. Khalifah Abbasiyah, Al-Mu'tamid – dari informasi yang ia terima – mengetahui bahwa Juru Selamat yang akan memerangi para penindas dan menegakkan pemerintahan yang adil, akan lahir di rumah Imam Askari as. Untuk itu, Al-Mu'tamid berusaha keras untuk mencegah terwujudnya janji Tuhan ini.
Akan tetapi, Imam Mahdi as terlahir ke dunia atas kehendak Allah Swt dan atas perintah-Nya pula, ia akan menjalani fase keghaiban. Tuhan menyembunyikan Juru Selamat dari pandangan umum dan ia akan dimunculkan pada masa yang tepat untuk menyebarkan keadilan di bumi. Dalam pesan-pesannya kepada Imam Mahdi, Sang Juru Selamat, Imam Askari as mengatakan, "Allah akan menghancurkan para penindas dengan tanganmu, menghidupkan syiar-syiar agama, menerangi ufuk bumi, dan menciptakan kedaiaman dan perdamaian di seluruh penjuru bumi."
Banyak agama dan aliran kepercayaan membahas tentang konsep Messiah yang akan menghadirkan prospek yang cerah untuk dunia. Sisi kesamaan semua agama langit adalah keyakinan tentang kemunculan sosok yang akan membersihkan dunia dari kehinaan dan kezaliman serta membawa perdamaian dan persahabatan bagi umat manusia.
Pada dasarnya, agama-agama langit yang lain juga sedang menanti kedatangan seorang Messiah dan reformis sejati, di mana ia akan memusnahkan kezaliman serta menggantinya dengan keadilan dan kebebasan. Mereka semua percaya bahwa suatu saat nanti kerusakan dan kezaliman akan sirna. Pada masa itu, Juru Selamat akan muncul untuk memulihkan kondisi yang kacau. Menurut keyakinan umat Islam, sosok reformis sejati ini adalah Imam Mahdi as, di mana akan memenuhi dunia dengan keadilan dan kedamaian setelah sebelumnya dipenuhi oleh kezaliman dan kerusakan.
Juru Selamat dikenal sebagai al-Mahdi dalam Islam, Messiah dalam agama Kristen, dan Saoshyant dalam ajaran Zoroaster. Meskipun umat Kristiani meyakini konsep messianisme, namun paham Liberal sebagai sistem pemikiran di Barat tidak menerima konsep tersebut. Mereka menganggap konsep messianisme dan keyakinan tentang kemenangan kebenaran atas kebatilan sebagai sebuah utopia. Padahal, semua nabi berbicara tentang kelahiran Juru Selamat dan banyak filosof juga membuktikan kebenaran konsep itu lewat argumentasi akal dan nash.
Saat ini, keyakinan tentang konsep Mahdiisme semakin menguat di dunia. Keyakinan ini menghembuskan optimisme dan memiliki banyak pengaruh positif bagi individu dan masyarakat. Karena sistem materialisme tidak dapat mengingkari meningkatnya tren tersebut di dunia, maka sebagian pemikir Barat berusaha memperkenalkan Al-Madinah Al-Fadhilah (Kota atau Negara Utama) versi mereka kepada masyarakat.
Mereka memanfaatkan instrumen seni dan dunia perfilman untuk menyimpangkan konsep Al-Madinah Al-Fadhilah dan memperkenalkan Amerika Serikat sebagai masyarakat ideal dan penyelamat dunia. Usaha memperkenalkan masyarakat Amerika sebagai masyarakat teladan dan ideal adalah sebuah gagasan yang sia-sia dan bahkan melecehkan. Sebab, para pemimpin negara itu adalah representasi dari sistem materialisme; mereka akan melakukan kejahatan apapun di berbagai pelosok dunia demi mempertahankan sistem tersebut.
Perlu dicatat bahwa pemikiran Mahdiisme menghadapi ancaman dari dua arah dalam situasi dunia saat ini. Dari satu sisi, para pengincar kekuasaan dan kaum materialis dunia menilai kemunculan seorang reformis dan terciptanya keadilan akan merugikan kepentingan ilegal mereka. Mereka berupaya mencegah penyebaran konsep optimisme dan konstruktif ini atau menciptakan penyimpangan dalam konsep Mahdiisme.
Dari sisi lain, pemikiran Mahdiisme – sama seperti semua keyakinan suci – tidak terbebas dari ancaman distorsi dan khurafat. Ada banyak penafsiran keliru yang diberikan tentang Mahdiisme dan konsep penantian. Misalnya saja di Amerika, sebagian orang yang menamakan dirinya penanti Messiah, berpendapat bahwa kerusakan yang lebih besar harus diciptakan di dunia sehingga mempercepat kemunculan Juru Selamat.
Interpretasi seperti itu dapat ditemukan di tengah Kristen dan juga sebagian Muslim. Oleh karena itu, konsep Mahdiisme Islami harus diperkenalkan dengan bersandar pada al-Quran dan hadis yang berbicara tentang kemunculan Juru Selamat. Kaum Muslim harus bersiap terlebih dahulu sebelum mempersiapkan ruang kehadiran Imam Mahdi as. Konsekuensi dari kesiapan ini adalah mempertebal keimanan dan spiritualitas serta meningkatkan kualitas pengenalan tentang Imam Mahdi as.
Menurut konsep penantian yang hakiki, pertama-tama kita harus mengenal dan menanamkan keyakinan tentang al-Mahdi. Kita harus benar-benar mengenal Juru Selamat sebelum kemunculannya. Orang yang mengenal Imam Mahdi as, ia akan menemukan sosok reformis sejati ini benar-benar akan membela kebenaran dan keadilan serta menentang kezaliman, diskriminasi, dan kerusakan.
Seorang penanti harus mengumpulkan segenap kemampuannya untuk menghadapi kebatilan, menegakkan keadilan, dan menyerukan persatuan. Seorang penanti harus aktif melawan dekadensi moral di masyarakat. Para penanti al-Mahdi harus memperjuangkan kebenaran dan keadilan di setiap waktu dan tempat serta memerangi kezaliman dan kerusakan.
Dalam Islam, Juru Selamat adalah sosok yang akan membebaskan seluruh penduduk bumi dan menghadiahkan keadilan sosial, kemenangan, dan kesejahteraan kepada mereka. Imam Mahdi as – sebagai Juru Selamat – adalah kepribadian universal di mana pada masanya, trik-trik batil akan hancur dan pelita kebenaran akan memancar sehingga semua orang menyambutnya dengan antusias. Allah Swt berjanji akan mewariskan bumi ini kepada orang-orang yang shaleh. Dalam surat al-Anbiya ayat 105, Allah Swt berfirman, "Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh."
Juru Selamat bertugas menciptakan perdamaian, dan keamanan serta menegakkan keadilan di seluruh penjuru bumi. Pemerintah yang paling ideal dan paling adil di muka bumi akan ditegakkan oleh seorang pemimpin yang shaleh. Ia akan memperbaiki dan memakmurkan dunia sehingga tidak ada lagi titik kerusahan di planet ini. Pada masa itu, akal manusia akan mencapai puncak kesempurnaan, persamaan benar-benar tercipta, tidak ada lagi orang yang angkuh atau ingin menindas orang lain.
Pada akhirnya, agresi, perang, dan konflik akan lenyap dari muka bumi dan ibarat musim semi, segala hal di bumi ini akan tampak baru dan segar. Menurut berbagai riwayat, menjelang kemunculan al-Mahdi, akan terdengar seruan dari langit yang dapat dipahami oleh seluruh manusia dengan bahasa mereka masing-masing. Seruan ini bersifat global dan akan menggemparkan dunia.
Dalam pemikiran Islam, diskriminasi dan ketidakadilan termasuk di antara faktor-faktor yang melenyapkan peradaban. Jadi, sosok yang bisa menerapkan keadilan di dunia adalah orang yang benar-benar berkomitmen terhadap kebenaran dan keadilan itu sendiri.
PEMERINTAH GLOBAL IMAM MAHDI
Sumber : parstoday.comSelama berabad-abad manusia menghitung dan menanti hari yang dijanjikan, dimana akan muncul pemerintahan global yang adil. Sekaitan dengan penantian ini, para pecinta Ahlul Bait meyakini kelahiran Imam Mahdi af dan harapan akan kemunculannya sebagai Sang Penyelamat yang dijanjikan selama ini akan mendeklarasikan pemerintahannya yang adil. Kelahirannya merupakan kelanjutan hubungan hidayah ilahi antara Allah dan manusia.
Setiap pertengahan bulan Sya’ban atau Nisfu Sya’ban dan setiap hari Jumat, para pecinta Ahlul Bait selalu memperbarui baiat dan komitmennya kepada Imam Mahdi af. Mereka senantiasa mengingat dan mengharap kemunculannya. Beliau merupakan keturunan para nabi seperti Adam yang menjadi Khalifatullah, seperti Nuh yang mengantarkan manusia ke kapal penyelamat, seperti Musa yang kelahirannya disembunyikan, seperti Ibrahim yang kelahirannya telah disampaikan, seperti Ismail yang dibantu para malaikat, seperti Yusuf yang senantiasa menanti, seperti Yusuf yang paling tampan, seperti Sulaiman yang memiliki pemerintahan global, seperti Ayyub yang begitu sabar, seperti Isa yang berbicara sejak bayi.
Nama Sang Juru Penyelamat sama dengan kakeknya Muhammad Saw dan panggilannya juga sama dengan beliau Abu al-Qasim. Manusia yang dari sisi lahiriah paling mirip dengan Rasulullah Saw. Beliau merupakan hujjah terakhir di bumi. Dia adalah Mahdi yang dijanjikan.
Imam Mahdi af dilahirkan pada waktu Subuh hari Jumat 15 Sya’ban tahun 255 di kota Samarra dan di masa pemerintahan Mu’tamid. Namanya Muhammad dan panggilannya adalah Abu al-Qasim. Kehidupan beliau dibagi menjadi tiga periode. Pertama, sejak lahir hingga tahun 260 HQ yang bertetapan dengan hari syahadah ayahnya, Imam Hasan Askari as. Kedua dari tahun 260 hingga 329 HQ, dimana beliau mengalami kegaiban Sughra atau kecil dan hubungannya dengan manusia yang lain lewat empat wakilnya. Ketiga, beliau secara menyeluruh gaib dari manusia yang disebut kegaiban Kubra. Periode ketiga ini dimulai dari tahun 329 HQ hingga sekarang dan akan muncul ketika Allah menghendaki.
Ahmad bin Ishaq mengatakan, “Saya menemui Imam Hasan Askari as. Saya ingin bertanya kepada beliau mengenai penggantinya. Sebelum saya menyampaikan pertanyaan, beliau berkata, ‘Wahai Ahmad! Allah Swt Sejak Allah menciptakan Adam as hingga kini, dunia tidak pernah kosong dari hujjah dan itu akan berlanjut hingga Hari Kiamat. Para hujjah ini yang menjadi pelindung penduduk bumi dari bencana, hujan bisa turun dan bumi dapat mengeluarkan berkahnya kepada penduduk.’
Saya bertanya kembali, ‘Wahai keturunan Rasulullah! Siapa Imam dan Khalifah setelah Anda?’ Ketika itu Imam Hasan Askari as bangkit dari tempat duduknya dan keluar dari kamar. Setelah itu beliau masuk kembali sambil menggendong bayi berusia tidak lebih dari tiga tahun. Wajah bayi itu bersinah bak bulan purnama. Imam Askari berkata, ‘Wahai Ahmad bin Ishaq! Bila engkau tidak memiliki kemuliaan di sisi Allah dan hujjah-hujjah Allah, aku tidak akan menunjukkan anakku kepadamu. Nama dan sebutannya sama dengan Rasulullah Saw. Ia akan memenuhi bumi dengan keadilan setelah sebelumnya penuh dengan kezaliman.”
Menciptakan keadilan di seluruh dunia dan memberangus diskriminasi dan ketidakadilan merupakan tujuan utama dari pemerintahan Imam Mahdi af. Tujuan penting ini telah dijelaskan dalam banyak riwayat Ahlul Bait, bahkan boleh dikata, penekanan menciptakan keadilan menerapkannya lebih kuat ketimbang seruan tauhid dan memerangi kesyirikan. Dalam ucapan Imam Ridha as disebutkan, “Allah akan menghapus kezaliman dari bumi lewat Imam Mahdi af dan pada waktu itu tidak seorangpun yang berani melakukan kezaliman.”
Gustave Le Bon, sejarawan Perancis mengatakan, “Pelayanan terbesar manusia adalah yang mampu menjaga manusia untuk tetap optimis.” Harapan dan penantian akan kemunculan Imam Mahdi af selain menjadi solusi bagi masa depan manusia, juga menjadi sumber inspirasi dan motivasi. Manusia memiliki kekuatan yang berkelanjutan dan menyimpan energi mereka lalu menyerahkannya kepada generasi yang akan datang. Dengan cara itu mereka dapat mencegah generasi mendatang dizalimi dan musnah, sehingga mendekati hari kemunculan Imam Mahdi af.
Imam Mahdi af merupakan simbol rahmat, kekuasaan ilahi dan manifestasi keadilan ilahi. Siapa yang mendapatkan rahmat dan keutamaan ilahi ini, maka ia akan mendapatkan dirinya semakin dekat keapda Allah. Karena peran tawasul dan hubungan batin dengan Imam Mahdi af menyebabkan jiwa manusia tumbuh dan spiritualnya semakin menyempurna. Imam dan akidah kepada Imam Mahdi af mencegah manusia menyerah. Bangsa yang mengimaninya akan selalu dipenuhi rasa optimis dan akan berjuang demi keagungan Islam.
Kesejahteraan sosial merupakan hasil dari pemerintahan global Imam Mahdi af. Sepanjang sejarah umat manusia sudah banyak usaha dilakukan agar manusia dapat merasakan kesejahteraan, tapi yang terjadi justru banyak hak-hak yang terampas dan terinjak-injak. Mereka tidak pernah merealisasikan keinginan ini. Kesejahteraan sosial menjadi sarana bagi pertumbuhan dan kesempurnaan spiritual dan pemikiran manusia.
Nabi Muhammad Saw telah menyinggung masalah ini dengan sabdanya, “Ketika Mahdi af bangkit dari tengah-tengah umatku ... di masanya masyarakat meraih kenikmatan yang belum pernah mereka rasakan selama ini. Langit menurunkan hujan kepada manusia dan bumi mengeluarkan berkahnya untuk manusia.”
Kini teknologi berkembang demikian cepat. Manusia setiap hari membuka pintu-pintu kemajuan dan peradaban untuk dirinya. Imam Shadiq as berkata, “... Apa yang telah disampaikan para nabi kepada manusia hanya dua bagian dari ilmu yang terdiri dari 27 bagian. Manusia sejak awal penciptaan hingga kini hanya mengenal dua bagian tersebut. Ketika Imam Mahdi af bangkit, beliau akan menyampaikan 25 bagian lain dan mengembangkannya.”
Dengan demikian, perkembangan dan perluasan sains di dunia merupakan satu lagi hasil dari pemerintahan global Imam Mahdi as. Kemajuan penting di bidang sains, begitu juga kemajuan di bidang-bidang lainnya yang terealisasi hingga masa kemunculan Imam Mahdi af tidak bisa dibandingkan dengan pertumbuhan sains di masa pemerintahan global Imam Mahdi af.
Ketika pemerintahan global Imam Mahdi af yang dijanjikan telah terwujud, masalah moral juga akan tumbuh menyempurna dengan bimbingan beliau. Perlahan-lahan sifat-sifat buruk akan terkikis dari manusia. Imam Ali as menjelaskan bahwa ketika Imam Mahdi af bangkit maka sifat dengki dan permusuhan yang menguasai hati manusia akan hilang. Setiap orang akan menganggap orang lain sebagai saudaranya dan mereka hidup dengan penuh keakraban, ketenangan dan keamanan.”
Imam Mahdi af merupakan pewaris seluruh nabi ilahi yang diutus untuk manusia. Beliau menjadi langkah terakhir untuk menciptakan masyarakat ilahi. Masyarakat yang memuliakan wali Allah dan menghinakan para musuh Allah. Masyarakat yang melaksanakan ketentuan dan perintah Allah. Ringkasnya Imam Mahdi af dengan kemunculannya akan membangun masyarakat ideal.
Pertama, menciptakan dunia yang aman, penuh dengan perdamaian dan persaudaraan, sehingga tidak ada kezaliman ekonomi, politik, budaya dan di tengah masyarakat. Kedua, ciri khas masyarakat ideal yang dibangung oleh Imam Mahdi af adalah peningkatan taraf berpikir, baik di bidang sains maupun keislaman.
Pada ayat 55 surat Nur, Allah Swt berfirman, “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi ...” Sejumlah ahli tafsir menyebut ayat ini terkait dengan pemerintahan Imam Mahdi af, dimana Timur dan Barat berada di bawah bendera pemerintahannya. Pada waktu itu kebenaran dapat dirasakan di mana saja, sementara ketakutan, perang dan ketidakamanan terhapus dari seluruh dunia.
IMAM MAHDI AF DAN MASYARAKAT IDEAL
Sumber : parstoday.comManusia secara naluri mempunyai kecenderungan pada kesempurnaan seperti mencari keadilan, kebenaran dan kebaikan. Dengan adanya kecenderungan tersebut, manusia dalam sepanjang sejarah berusaha merealisasikan kebenaran, keadilan dan nilai-nilai akhlak.
Para nabi dan wali merupakan penggagas dan pendahulu misi-misi suci tersebut. Upaya dan perjuangan mereka semenjak awal berupaya memberikan petunjuk kepada manusia ke arah kebaikan dan keadilan hingga dunia ini terlepas dari kezaliman dan arogansi.
Meski para nabi berupaya menyebarkan kepercayaan kepada Allah Swt dan keadilan, namun sejarah membuktikan bahwa upaya itu tidak memberikan hasil yang sempurna dan komprehensif. Sebab, ada sejumlah pihak yang menjadi kendala bagi misi para nabi. Karena itulah realiasi keadilan secara merata dan perlawanan terhadap segala kezaliman dan penindasan dihadapkan pada kendala serius dan jauh dari harapan setiap manusia. Untuk itu, penantian pada kemunculan juru penyelamat yang akan merealisasikan tujuan-tujuan agung tersebut, merupakan sisi persamaan yang dimiliki oleh semua agama.
Islam yang merupakan agama terakhir dan paling sempurna, menjelaskan struktur masyarakat ideal bagi seluruh umat manusia. Menurut pandangan Islam, seorang keturunan dari Rasulullah Saw akan muncul di muka bumi pada akhir zaman. Sosok inilah yang akan memerangi kebatilan dan ketidakadilan di dunia serta merealisasikan masyarakat ideal.
Pemerintah global Islam yang dipimpin oleh Imam Mahdi af mempunyai kriteria-kriteria khusus yang tidak dimiliki sistem lainnya. Pemerintah Imam Mahdi as akan muncul berdasarkan ajaran-ajaran wahyu dan norma ilahi. Adapun nilai-nilai materi yang dibangun berdasarkan individualisme dan materialisme disingkirkan dari pemerintahan Imam Mahdi as.
Aliran-aliran materialis berkeyakinan bahwa peradaban dan pemerintah tidak memperdulikan nilai-nilai spritiual dan agama. Sebaliknya, Islam dengan ajaran-ajarannya yang jelas, memaparkan berbagai tauladan di tengah masyarakat. Menurut pandangan agama suci ini, undang-undang, keadilan, kemuliaan, interaksi sosial dan ekonomi berlandaskan pada ketauhidan dan tercerminkan dalam keindahan. Dalam sistem manajemen Islam, perluasan keadilan dan perlawanan terhadap diskriminasi menjadi prioritas utama agama ini.
Allah Swt dalam surat an-Nahl ayat 90 berfirman, "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran."
Ayat tersebut menggambarkan pondasi-pondasi penting sosial seperti keadilan dan kemuliaan dengan arti sebenarnya yang akan terealisasi dalam pemerintahan Imam Mahdi af. Dalam pemerintahan Imam Mahdi as digambarkan bahwa persahabatan, saling tolong-menolong dan kemuliaan sangat kokoh, bahkan setiap individu di tengah masyarakat berperilaku bak sebuah keluarga.
Akan tetapi sangat disayangkan, masyarakat saat ini dihadapkan pada hubungan sosial tidak sehat dan destruktif yang bertumpu pada kekhawatiran dan ketidakpercayaan antarmanusia. Kefasadan sosial hingga ketidakamanan di dalam keluarga menunjukkan bahwa peradaban dunia saat ini telah gagal membangun spirit manusia dalam merealisasikan ketenangan diri.
Realita tersebut menggambarkan bahwa hubungan sosial manusia tidak dapat terwujud tanpa landasan spritual. Sederet problema di dunia semakin mencerminkan pentingnya kahadiran sosok juru selamat yang menyelamatkan dunia dari berbagai tekanan.
Imam Shadiq as berkata, " Di akhir zaman, kemuliaan-kemuliaan akhlak dan nilai kemanusiaan akan menjadi landasan pemerintah global Islam." Imam Bagir as berkata, "Saat Imam Mahdi af muncul, hanya persahabatan, persatuan dan kerjasama yang mengemuka." Dalam pemerintahan Imam Mahdi as, kekhawatiran dan ketidakpercayaan antarmanusia akan pudar, sedangkan kepercayaan dan keamanan semakin kokoh.
Lebih dari itu, radikalisme dan kebejatan moral terus berkurang, dan hukum pun berlaku. Orang-orang kaya juga tidak menzalimi kelompok lemah. Di pemerintahan Imam Mahdi as juga digambarkan bahwa setiap orang saling menghormati serta saling memberi nasehat dan jalan keluar. Disebutkan pula, harta, nyawa dan harga diri berada dalam kondisi aman. Semua manusia juga merasa tenang dan nyaman. Itulah gambaran ideal pemerintah Imam Mahdi as.
Di antara kriteria lain pemerintah Imam Mahdi af adalah memperhatikan kedewasaan akal dan perluasan ilmu. Dalam ajaran Islam, akal dan pemikiran mempunyai tempat yang luar biasa. Pada prinsipnya, agama tidak dapat dipahami dengan baik tanpa peran akal. Dengan ungkapan lain, manusia melalui daya pikirnya, mengenal esensi agama.
Akal merupakan petunjuk manusia ke arah perbuatan baik dan memperingatkan hal-hal yang berbahaya. Untuk itu, al-Quran sangat menganjurkan setiap manusia supaya berpikir dan merenung. Dalam pemerintah Imam Mahdi as, akal berada di samping penyembahan kepada Allah Swt, akhlak dan takwa. Akal yang sehat merupakan petunjuk kebaikan dan norma-norma.
Hal yang tak dapat dipungkiri, sains dan teknologi yang merupakan hasil inovasi akal manusia tidak akan dihadapkan pada bencana bagi manusia bila dibarengi dengan akal yang sehat. Dalam pemerintahan Imam Mahdi as, kepintaran manusia yang berada dalam hidayah ilahi, dapat mencapai pada kesempurnaan. Dalam kalimat mutiara Imam Shadiq as disebutkan, ilmu mempunyai 27 pintu. Sebelum kemunculan Imam Mahdi as, manusia dapat membuka dua ilmu. Saat Imam Mahdi as muncul, 25 pintu lainnya akan terbuka.
Salah satu fenomena yang akan mengemuka saat Imam Mahdi af muncul adalah perkembangan ilmu berkali-lipat yang dibarengi dengan kesempurnaan spiritual, sehingga teknologi dan kemajuan tidak berada di tangan orang-orang yang tidak berhak. Kedewasaan akal yang dibarengi dengan pendidikan akhlak, akan membentuk masyarakat yang ideal.
Berbagai hadis dan riwayat menyebutkan bahwa masyarakat ideal di masa Imam Mahdi af menjadi sarana kedewasaan dan kesejahteraan materi. Tak diragukan lagi, ketika hubungan antarmanusia berlandaskan pada keadilan dan kemuliaan, berbagai kenikmatan dan anugerah ilahi akan melimpah di tengah masyarakat dan berbagai problema sosial dan ekonomi akan pudar. Dalam kondisi seperti ini, sumber daya alam begitu melimpah, dan manusiapun mampu mengoptimalkannya dengan baik.
Rasulullah Saw bersabda, "Di masa ummatku, akan bangkit Imam Mahdi af. Saat itu, masyarakat akan mendapatkan kenikmatan yang tidak pernah didapatkan pada masa sebelumnya. Alampun tidak menyembunyikan kekayaannya." Sesuatu yang akan terjadi di masyarakat Imam Mahdi af merupakan janji Allah Swt yang disebutkan berulangkali dalam al-Quran.
Dalam al-Quran dijanjikan bahwa setiap manusia yang beriman baik laki maupun perempuan, ketika melakukan amal saleh, maka Allah Swt akan mempersembahkan kehidupan bahagia dan layak. Dalam pemerintah Imam Mahdi as, kita akan menyaksikan kehidupan yang sehat. Ketidakamanan dan ketidaktenangan di dunia ini berubah menjadi kehidupan yang nyaman dan tenang. Membayangkan masa kemunculan Imam Mahdi dan pemerintahannya saja dapat menenteramkan hati manusia.
IMAM MAHDI, SANG JURU SELAMAT
Sumber : irfan.irMalam 15 Sya'ban 255 Hijriah atau dikenal dengan malam Nisfu Sya'ban, Hakimah, bibi Imam Hasan Askari as berkunjung ke rumah Imam untuk bersilaturahmi. Di saat Hakimah hendak minta izin untuk pulang, Imam berkata kepadanya, "Bibi! Malam ini menginaplah di rumah kami."
Hakimah berkata, "Hari ini, saya sudah cukup merepotkan kalian."
Imam menjawab, "Malam ini akan lahir seorang bayi laki-laki dari keluarga kami yang akan menerangi bumi dengan ilmu, iman dan petunjuknya setelah bumi diliputi kezaliman dan kegelapan."
Hakimah dengan heran bercampur gembira bertanya, "Bayi tersebut anak Nargis?"
Imam menjawab, "Benar anak tersebut dilahirkan Nargis."
Setidaknya ada dua versi ihwal jatidiri juru selamat dunia ini. Sebagian besar golongan Ahlusunnah menganggap bahwa Imam Mahdi itu bernama Muhammad bin Abdullah, yang akan muncul menjelang Hari Kiamat tiba. Ini berdasarkan sebuah hadis dari Nabi Saw yang mengatakan bahwa nama Imam Mahdi itu sama dengan namaku, ayahnya sama dengan nama ayahku.
Sementara, di pihak lain, kalangan Syiah Imamiyah meyakini bahwa Imam Mahdi itu adalah gelar untuk Muhammad bin Hasan Askari bin Ali Hadi bin Muhammad Jawad bin Ali Ridha bin Musa Kazhim bin Jafar Shadiq bin Muhammad Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah saw. Ulama Sunni yang mengurutkan dua belas imam dari jalur Ahlulbait ini adalah Syekh Qanduzi al-Hanafi dalam kitab Yanabi al-Mawaddah.
Telah berabad-abad umat manusia menanti datangnya penyelamat yang dijanjikan. Orang-orang yang terzalimi pun mengharap penuh kedatangan sang penyelamat untuk mengentas mereka dari kezaliman. Penantian dan harapan ini dari satu sisi meniupkan ruh segar ke hati manusia dan dari sisi lain, perdamaian serta kebahagiaan segera terwujud dengan kedatangannya.
Imam Mahdi, anak dari Imam Hasan Askari as merupakan anak cucu dari Rasulullah Saw (Ahlul Bait). Ibunda beliau masih cucu dari raja Romawi yang menjadi istri Imam Hasan melalui proses yang menakjubkan. Setelah Imam Mahdi lahir, ayah beliau, Imam Hasan merawat sang bayi dan menjaganya secara ketat. Imam keduabelas umat Syiah ini lebih banyak disembunyikan karena ancaman yang datangnya dari pemerintah zalim saat itu.
Sejak masa kanak-kanak, Imam Mahdi telah dianugerahi oleh Allah swt hikmah dan ilmu pengetahuan serta menjadikannya sebagai tanda bagi umat manusia. Namun karena selalu mendapat ancaman dari pemerintah saat itu, Imam Mahdi tidak tampil ke publik dan dijaga dengan ketat oleh ayah beliau. Untuk beberapa waktu, umat Islam jika ingin berhubungan dengan Imam Mahdi melalui orang-orang kepercayaan beliau. Setelah membimbing umat dalam waktu yang singkat di zaman ghaibah shugra (kegaiban kecil), Imam Mahdi kemudian mengalami ghaibah kubro (kegaiban besar).
Kegaiban pertama dimaksudkan, di antara beberapa alasan, untuk menghindari terjadinya pembunuhan pada diri Imam Mahdi, yang kabar tentang kelahirannya telah masyhur di kalangan umat Islam, termasuk penguasa Bani Abbasiah saat itu. Mereka memata-matai rumah Imam Hasan Askari yang dinubuatkan sebagai tempat kelahiran Imam Mahdi. Alasan lain adalah untuk mempersiapkan umat Syiah dalam menerima otoritas ulama yang kompeten selama kegaiban beliau.
Pada masa kegaiban pendek, umat Syiah menyampaikan masalah-masalah mereka kepada wakil khusus Imam as, yang terkenal sebanyak empat orang. Empat wakil ini kemudian menyampaikan permasalahan tersebut kepada Imam Mahdi as. Pasca kegaiban pendek, yang ditandai dengan berakhirnya perwakilan khusus Imam, akhirnya umat Syiah terbiasa untuk menerima kepemimpinan ulama mereka dalam kegaiban panjang ini.
Kabar tentang datangnya juru selamat dunia telah dikenal manusia sepanjang sejarah. Berita gembira ini dan isyarat kedatangan juru selamat dapat ditemukan disabda dan ajaran para Nabi. Konsep soal datangnya juru selamat ketika dunia mendekati hari Kiamat merupakan ideologi agama Samawi termasuk, Yahudi, Kristen, Zoroaster dan khususnya Islam.
Di dalam Alquran yang mulia tidak terdapat ayat-ayat yang jelas dan tegas tentang imamah, khilafah, dan kepemimpinan al-Imam al-Mahdi ?alaihissalam, tetapi isyarat-isyarat ke arah itu ada, misalnya, saja dalam firman-firman Allah Azza wa Jalla berikut ini :
"Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka, Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukainya." (QS At-Taubah, 9 : 32)
"Dia yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan ajaran yang benar untuk dimenangkan-Nya atas seluruh ajaran, kendatipun orang-orang musyrik membencinya." (QS At-Taubah, 9 : 33)
"Dia yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan ajaran yang benar untuk dimenangkan-Nya atas seluruh ajaran, kendatipun orang-orang musyrik membencinya." (QS Ash-Shaff, 61: 9)
"Dia yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan ajaran yang benar untuk dimenangkannya atas ajaran seluruhnya, dan cukuplah Allah sebagai saksi. " (QS Al-Fath, 48 : 28)
Di kitab suci Zoroaster disebutkan musnahnya kezaliman dan kegelapan serta munculnya pewaris orang saleh. Di kitab ini diisyaratkan peperangan perkepanjangan antara kebaikan dan kejahatan. Di kitab agama Hindu juga menyebutkan juru selamat yang dijanjikan. Pengikut agama Yahudi yang menganggap dirinya pengikut Nabi Musa as juga memiliki keyakinan soal konsep juru selamat. Mereka senantiasa menunggu kedatangan sosok yang dijanjikan ini. Di kitab suci mereka seperti Taurat dan kitab lainnya ditekankan soal juru selamat tersebut. Adapun agama Kristen melalui kitab Injilnya baik itu Injil Matius, Lukas, Markus dan Barnabas serta injil Yohanes juga menyebutkan banyak isyarat tentang juru selamat akhir zaman.
Keyakinan akan konsep juru selamat di akhir zaman ketika dilontarkan Islam memiliki dimensi khusus. Dalam pandangan Islam juru selamat dunia memiliki kriteria khusus. Juru selamat ini termasuk janji Islam untuk mengakhiri kezaliman yang memenuhi bumi. Islam senantiasa menjanjikan bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan hidup dibarengi dengan keadilan, kebebasan serta keamanan. Dan ini bukan sekedar mimpi dan pasti terwujud.
Salah satu kriteria penting Imam Mahdi adalah menghancurkan diskriminasi, ketidakadilan dan penyelewengan. Di sisi lain, juru selamat ini akan mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan dan kehidupan yang penuh keadilan serta kebebasan dan keamanan. Ia akan membangun tatanan dunia baru yang dipenuhi keamanan dan keadilan. Pada akhirnya kekuasaan dunia akan diperintah oleh orang-orang saleh.
Sementara itu, harapan dan penantian (intizar) kemunculan Imam Mahdi selain memberikan spirit bagi manusia juga mempersiapkan jalan masa depan. Penantian mampu memberi manusia kekuatan stabil dan spirit ini diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya hingga masa kemunculan Imam Mahdi. Hal inilah yang membuat manusia memiliki semangat kuat untuk menentang kezaliman sepanjang masa.
Sejatinya, penantian berarti tidak puas akan kondisi yang ada. Manusia menanti kebaikan menguasai dunia. Ketika manusia memiliki keyakinan seperti ini. Penantian adalah sebuah kondisi psikologis yang memunculkan persiapan terhadap sesuatu yang dinantikan dan lawan kata dari hal itu adalah putus asa. Setiap kali penantian meningkat, maka persiapan semakin banyak. Tidakkah Anda merasakan jika menanti seseorang yang akan datang, maka akan bertambah pula persiapan Anda ketika kedatangan seseorang itu semakin dekat.
Dari sisi ini, setiap kali tingkatan penantian mengalami perbedaan maka terjadi pula perbedaan kecintaan terhadap orang yang Anda nantikan. Manakala kecintaan semakin besar maka bertambah besar pula persiapan menyambut kedatangan orang yang dicintai. Perpisahan dengan sang kekasih membuatnya sedih. Sampai-sampai orang yang menanti melupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan penjagaan dirinya, dia tidak lagi merasakan apa yang menimpa dirinya dari rasa sakit ataupun tekanan yang menyayat.
Seorang mukmin yang menanti pemimpinnya, manakala penantiannya semakin besar maka semakin besar pula upaya dirinya untuk mempersiapkan baik dengan berbuat warak, berupaya sungguh-sungguh, melakukan pembenahan diri, menghindari akhlak-akhlak yang buruk, menghiasi dengan akhlak-akhlak yang terpuji sehingga ia berhasil menjumpai pemimpinnya, menyaksikan keindahannya di masa kegaibannya. Sebagaimana hal ini terjadi pada sejumlah besar orang saleh. Karena itu, para imam maksum memerintahkan para pengikut mereka, sesuai dengan yang tercantum dalam riwayat-riwayat, untuk melakukan upaya pembenahan diri dan melaksanakan segala bentuk ketaatan.
WEWANGIAN IMAM ZAMAN AS
pengarang : miftahrakhmat
Sumber : majulahijabai
Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad
Ali ali Mawla, Ali ali Mawla, Ali ali Mawla…Ali
Ya Yusufaz Zahra!
Alkisah seorang perempuan penulis Kanada menggegerkan Islam di Barat. Namanya Irshad Manji. Ayahnya keturunan India. Ia sendiri dilahirkan di Uganda. Ketika Jenderal Idi Amin mengusir kelompok non kulit hitam, ia sekeluarga memilih pindah ke Kanada. Ia menulis beberapa buku. Isinya kontroversial. Buku pertama, The Trouble with Islam Today. Buku kedua, Allah, Liberty and Love. Saya belum pernah membaca keduanya. Saya hanya menyaksikan beberapa diskusinya di internet. Ia pernah datang ke Jakarta dan sempat diusir oleh sekelompok yang mengatasnamakan ormas Islam tertentu. Usiran yang makin menguatkan pendapatnya tentang masalah dalam Islam: yaitu orang Islamnya.
Bukunya yang pertama telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan hampir semua bahasa populer dunia. Kita bahkan bisa mengunduhnya gratis dari laman webnya. Belakangan, ia kembali membuat heboh. Akun twitternya (sepertinya asli karena tak ada bantahan) menampilkan foto-foto dan berita ia menikahi pasangan sesama jenisnya. Dan toh, ia tetap mengatakan ia seorang muslimah. Agamanya adalah hubungannya dengan Allah Swt, Tuhan Yang Maha Esa.
Saya berusaha mencermati pemikirannya. Ragam diskusi di youtube itu membawa saya pada beberapa temuan. Ia benar ketika ia mengkritik perilaku sebagian umat yang gampang bertindak kekerasan. Karena, katanya, dalil dan contohnya bisa ditemukan dalam kitab suci dan narasi hadits. Ia juga benar ketika mengatakan agar umat membedakan mana yang Islami dan mana yang ‘Arabi. Baginya, tidak semua yang Arabi itu Islami. Ia mengkritik keras perempuan yang tertindas dalam Islam, warga negara nomor dua, tak punya hak ini dan itu, tak bisa bahkan mengendarai kendaraan, tak bisa keluar tanpa muhrim, tak bisa bersuara…dan lain sebagainya. Ia mungkin akan tambah bersorak kecewa di satu sisi, dan memperkuat pendapatnya di sisi lain, bila mendengar (dan saya kira ia mengetahuinya) bahwa seorang dokter terapis di Saudi mengajarkan para suami cara memukul istri mereka, di televisi nasional. Perempuan seolah tak berarti.
Apa yang saya lihat? Kebingungan seorang muslim dan seorang perempuan terhadap dunia dan agamanya. Ia bimbang. Ia kecewa. Ia marah. Ia putuskan para ‘manajer’ agama. Baginya, agama adalah hubungan personal dengan sang penciptanya. Ia ajarkan siapa saja agar bersikap kritis, terbuka, dan tak menerima begitu saja dogma yang diajarkan agama.
Sampai di sini, sebagian kita mungkin sependapat. Tetapi kemudian, ada perbedaan kecil yang mendasar, antara saya dan dia. Apa itu? Keteladanan. Bagi orang seperti Irshad Manji, yang paling utama adalah kebebasan berkehendak. Manusia boleh melakukan apa saja yang membahagiakannya selama tidak mendatangkan gangguan bagi sesama. Manusia adalah pikirannya, pendapatnya, pilihannya. Manusia adalah apa yang ia rasa baik bagi dirinya. Bahkan bila menikah sesama jenis membahagiakannya, lakukan saja. Tiada salahnya. Manusia harus menjadi tuan bagi dirinya. Untuk itu, tak perlu agama. Ikuti saja norma kebaikan universal. Mungkin itu pendapatnya.
Di sinilah saya berbeda. Bagi saya, agama justru berfungsi sebaliknya. Ia hadir untuk menjadikan kita hamba. Agama menghapuskan opsi sebagai tuan dalam diri kita. Bukan berarti kita tak punya pilihan, tak bisa berkehendak. Tetapi bagaimana kita berjuang untuk mendahulukan kehendak Tuan di atas kehendak kita. Kehendak Mawla di atas kehendak diri. Itulah artinya menghamba. Agama mengajarkan kita menyerahkan diri sepenuhnya pada junjungan kita. Pertanyaannya: kepada siapa kita menghamba? Siapa yang menjadi tuan dan mawla kita? Kepada siapa kita memasrahkan jiwa?
Menurut firman, manusia diciptakan untuk beribadah. Dari akar kata yang sama, muncul dua kata: abid, dan abdi. Abid adalah ahli ibadah, sedangkan abdi adalah ahli menghamba. Tuhan tidak meminta kita menjadi abid. Tuhan meminta kita menjadi abdi. Ketika Baginda Nabi Saw diperjalankan di malam hari, Allah Ta’ala menggelarinya abdi. Ketika Nabi Musa as diminta untuk menemui Nabi Khidir as, ia diminta menemui seorang abdi. Ketika Nabi Sulaiman as memindahkan singgasana ratu Balqisy, ia ditemani seorang abdi. Apa artinya abdi? Hamba sahaya. Budak. Ia yang kehendaknya berada pada mawlanya. Ia yang kebahagiaannya adalah bahagia junjungannya. Ia yang deritanya adalah kesedihan kekasihnya.
Pertanyaan saya untuk Irshad Manji adalah bagaimana ia memahami teladan hidup Baginda Nabi Saw. Al-Qur’an adalah kitab suci yang dipahami dengan meneladani Baginda Nabi Saw. Hanya kalbu Baginda Nabi Saw satu-satunya yang dapat menerima seluruh keagungan dan kemuliaan Al-Qur’an itu. Memuliakan Baginda Saw adalah memuliakan Al-Qur’an. Memahami Baginda Saw adalah memahami Al-Qur’an. Begitu pula sebaliknya. Bila kita ingin memahami Al-Qur’an, belajarlah teladan Rasulullah Saw.
Itulah mengapa, dalam mazhab para pengikut Ahlul Bait Nabi Saw, posisi para imam menjadi sangat sentral. Merekalah pelanjut Rasulullah Saw. Merekalah penjelas mutlak terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Merekalah yang diajari turun temurun rahasia kitab suci. Irshad Manji takkan menerjemahkan kata _fadhribuhunna_ dengan pukullah mereka, bila ia membaca riwayat dari para teladan suci bahwa di antara makna _dharaba_ adalah mengabaikan bukan memukul. Karenanya tahapan suami mengingatkan istrinya adalah dengan menasihati, memisahkannya dari tempat tidur, dan mendiamkannya. Begitu berpaling pada riwayat dari teladan suci, satu demi satu tirai disingkapkan.
Sekadar beberapa contoh saja. Ada dua ayat Al-Qur’an yang berkisah tentang poligami. Satu, kebolehan menikah lebih dari satu istri asal adil (QS. Al-Nisaa [4]:3) dan yang kedua, kenyataan bahwa lelaki takkan pernah bisa adil (QS. Al-Nisaa [4]: 129). Adakah kedua ayat ini bertentangan? Maka temukan jawabannya pada riwayat Imam Ja’far Shadiq as. Ayat yang pertama tentang keharusan adil pada sesuatu yang lahiriah, yang dapat diukur, yang dapat ditimbang. Adapun yang kedua adalah sesuatu yang batiniah. Perkara hati, perkara cinta. Yang pertama dapat ditakar, yang kedua teramat sukar.
Bagaimana mungkin kita tidak merujuk pada Ahlul Bait Nabi Saw sedang mereka padanan Al-Qur’an. Mereka adalah afshahul ‘arab, yang paling mengerti Bahasa Arab. Yang paling memahami kitab suci. Yang tumbuh dalam lingkungan wahyu nabawi.
Kata Imam Ali as, Baginda Nabi Saw mengajarinya 1000 pintu ilmu, dan dari setiap pintu terbuka 1000 pintu lainnya. Masih menurut Baginda Saw, Al-Quran terdiri dari tujuh hal: perintah, larangan, anjuran, peringatan, hujjah, kisah, dan perumpamaan. Dan Imam Ali as memerinci tujuh hal yang disampaikan Baginda dalam rincian teramat dalam maknanya. Antara lain, kata Imam Ali as, terkadang Al-Quran menggunakan bentuk jamak padahal yang dimaksud tunggal. Terkadang tunggal dan yang dimaksud banyak. Terkadang berbicara tentang satu kaum padahal yang dimaksud kaum yang lain. Terkadang berbicara tentang masa lampau untuk mengabarkan apa yang terjadi di masa datang. Di antara contohnya adalah penafsiran tentang Surat Yusuf as dalam khazanah mazhab para pecinta keluarga Nabi ‘alaihimus shalatu was salam.
Surat Yusuf adalah surat keduabelas, pada juz keduabelas. Al-Quran dengan indah mengawali bahwa Allah Ta’ala telah mengisahkan kisah-kisah terindah pada Baginda Nabi Saw. Pertanyaannya, sebatas apa kita mengambil hikmah dan teladan dari kisah itu? Khusus untuk kisah Yusuf as, Al-Quran bahkan berkata: Sungguh, pada kisah Yusuf dan saudara-saudaranya ada tanda-tanda kebesaran Allah Swt bagi orang-orang yang bertanya. (QS. Yusuf [12]:7). Apa yang dimaksud dengan ‘orang-orang yang bertanya’? Pertanyaan apa? Al-Saa’ilin yang diterjemahkan dengan orang-orang yang bertanya juga bisa berarti mereka yang meminta (QS. Al-Ma’aarij [70]:25). Orang yang berkekurangan, yang menderita, yang kesulitan.
Banyak orang mengira Surat Yusuf as adalah surat yang berisi kisah cinta Nabi Yusuf as dan Siti Zulaikha. Bahkan, konon, kalau ingin mendapat pasangan yang baik, perbanyaklah membaca surat Yusuf. Saya percaya keberkahan Al-Quran, hanya saja, ada sudut pandang yang berbeda. Bagi saya, surat Yusuf tidak mengisahkan kisah cinta Nabi Yusuf as dan Siti Zulaikha. Tak ada ayat yang merujuk tentang itu. Yang ada, cinta salah Zulaikha yang bertepuk sebelah tangan. Memang benar ia mengisahkan tentang cinta: cinta teramat besar seorang ayah pada anaknya, cinta seorang nabi pada umatnya, cinta seorang pemimpin pada para penantinya. Cinta seorang kekasih pada kerinduannya.
Bagaimana Surat Yusuf bisa mengisahkan Imam Zaman afs? Dalam Mazhab Ahlul Bait as, Imam Mahdi afs dilahirkan pada pertengahan bulan Sya’ban. Inilah di antara sebab keberkahan riyadhah malam Nishfu Sya’ban. Ketika Nabi Yusuf as menceritakan rahasianya, ayahnya berpesan agar Nabi Yusuf tidak menceritakan apa yang diketahuinya itu pada saudara-saudaranya, karena nanti mereka akan membuat makar kepadanya. Mereka yang tidak mengetahui kisah penantian dapat berbuat makar pada mereka yang mempercayainya. Meski demikian, Al-Quran menyebut mereka sebagai saudara-saudara Yusuf as. Seperti itu pula ketika Baginda Nabi Saw diperintahkan untuk menyampaikan ayat penyempurna risalah (QS. Al-Maa`idah [5]:67), Allah Ta’ala memperkuat Rasulullah Saw dengan kalimat, “…dan Allah menjagamu dari (gangguan, makar, dan tipudaya) manusia.”
Teramat indah Al-Quran mengisahkannya. Saya akan membuat poin-poin pengingat untuk perumpamaan kisah-kisah itu. Adalah hutang buku tersendiri untuk menuliskan tafsir Surat Yusuf as dan kemiripannya dengan kisah Ahlul Bait as, secara khusus tanda-tanda kehadiran Imam Zaman afs.
1. Kecemburuan saudara-saudara Yusuf as adalah karena Nabi Ya’qub as dianggap lebih mencintai Yusuf as dibandingkan yang lainnya. Padahal mereka mayoritas. (QS. Yusuf [12]:8). Untuk mayoritas itu Al-Quran menggunakan kata ‘ushbah. Ia satu akar kata dengan ta’ashhub, fanatisme. Abu Sufyan, misalnya dari Bani Umayyah pernah diriwayatkan cemburu karena Bani Hasyim memiliki kunci Ka’bah, berkhidmat pada peziarah dan memegang akses pada sumur Zamzam. Ia sampai berkata, “Semuanya sudah dipegang Bani Hasyim, sekarang seorang nabi bahkan dihadirkan dari mereka?” Ini ta’asshub. Adakah hal yang sama terjadi bila Baginda Nabi Saw dianggap terlalu mengistimewakan dan menampakkan kecintaan pada Imam Ali as? Lalu orang berkata, sungguh ayah kami berada dalam kesesatan yang nyata (QS. Yusuf [12]:8)
2. Kecemburuan, iri hati dan dengki itu akan membawa mereka pada sikap memerangi Yusuf as. Bunuhlah Yusuf atau buanglah ia ke tempat yang jauh… (QS. Yusuf [12]:9) maka sejak wafat Baginda Nabi Saw ayat ini menemukan mishdaqnya. Imam Ali as gugur di mihrab shalat, Imam Hasan as diracun. Imam Husain as dan keluarganya dibantai di Karbala. Dan setiap satu di antara sebelas bintang terang yang mengabarkan kedatangan Imam keduabelas, syahid satu demi satu; atau mereka dibuang ke tempat yang jauh, gugur di tempat terasing, dipenjarakan bertahun-tahun. Derita keluarga Nabi Saw diwakili dalam dua kata, "uqtuluu Yusufa"
3. Apa makna sebelas bintang, mentari dan rembulan sujud pada Nabi Yusuf as? Bagaimanakah bentuk benda-benda langit itu bersujud? Maknanya adalah, tidak satu pun dari sebelas bintang, mentari dan rembulan itu yang tidak merindukan Yusuf as. Tidaklah diutus seorang pun nabi melainkan ia mengabarkan kedatangan Rasulullah Saw. Demikian pula para teladan suci, tiada seorang pun dari mereka yang tidak mengabarkan kedatangan Imam Zaman afs. Sehingga Imam Mahdi afs digelari dengan Yusuf Azzahra as. Mentari adalah sumber cahaya, dan rembulan adalah ibunda yang menjadi pancaran cinta itu. Bila mentari itu adalah Baginda Nabi Saw bagaimana mungkin Baginda merindukan Imam Zaman afs? Kata Imam Ja’far Shadiq as, inilah makna dari ayat, (Baginda Nabi Saw diperintahkan untuk berkata) “…sesungguhnya yang ghaib itu adalah milik Allah. Karena itu, tunggulah. Sungguh, aku bersamamu termasuk di antara para penunggu.” (QS. Yunus [10]:20). Bayangkan, Baginda Nabi Saw diperintahkan Allah Ta’ala untuk meminta kita menunggu yang ghaib, dan bahwa Baginda Nabi Saw sendiri termasuk di antara para penanti itu. Ana ma'akum, adakah kebahagiaan yang jauh lebih indah lagi?
4. Nabi Yusuf hilang dua kali. Pertama, ia dilemparkan ke sumur, dijauhkan dari keluarganya (QS. Yusuf [12]:15. Ia tidak lama di dalam sumur. Serombongan kafilah lewat dan membawanya pergi (QS. Yusuf [12]:19). Ia dibawa ke Mesir, berkhidmat pada keluarga seorang tuan. Karena peristiwa tipuan istri majikannya, ia dihilangkan untuk kali kedua. Kali ini, ke dalam penjara. Dan berlangsung teramat lamanya (QS. Yusuf [12]:42). Seperti Nabi Yusuf as, Imam Zaman afs diantarkan pada para pengikutnya setelah dua peristiwa hilang. Yang pertama _ghaibat sughra_, dan yang kedua ghaibat kubra. Wallahu a’lam.
5. Nabi Yusuf as memperoleh ilmu pemahaman atas berbagai peristiwa. (QS. Yusuf [12]:6). Ia memberikan jawaban atas permasalahan zaman. Begitu pula Imam Zaman afs.
6. Kapan orang datang pada Nabi Yusuf as? Saat mereka memerlukan, saat mereka ditimpa kemalangan. Ketika sebuah masalah teramat besar tak dapat dipecahkan (QS. Yusuf [12]:44), barulah mereka berpaling pada Nabi Yusuf as. Demikian pula umat ini. Ia akan dihadapkan pada masalah teramat besar. Berpalinglah pada Yusuf umat ini.
7. Semua negeri di sekitarnya ditimpa bencana (QS. Yusuf [12]:88), hanya Mesir di bawah kendali Nabi Yusuf as yang selamat. Semua umat di tengah goncangan ketidakadilan akan binasa, kecuali yang berlabuh pada Bahtera Nuh as. Perumpamaan Ahlul Bait Rasulillah Saw seumpama Bahtera Nuh as; yang menaikinya selamat, yang berpaling daripadanya tenggelam dan celaka.
8. Saudara-saudara Yusuf as datang kepadanya tapi mereka tak mengenalinya (QS. Yusuf [12]:58). Yusuf mengenali mereka dan menyembunyikan identitasnya. Imam Zaman afs sesuai hadits dari Imam Ja’far Shadiq as mengenali kita tapi kita tak mengenali Imam afs. Setiap musim haji, Imam afs hadir di Arafah. Imam afs melihat kita dan mengetahui kita. Kita melihat Imam afs dan tidak mengetahuinya.
9. Nabi Ya’qub as bersedih karena perpisahan dengan Nabi Yusuf as. Tetapi ia tidak pernah berhenti mengingatnya (QS. Yusuf [12]: 85). Tangisannya membutakan matanya. Kecintaan itu tetap ditampakkan, meski penderitaan menyertai. Tubuhnya melemah. Dan ia tetap tinggal bersama saudara-saudara Yusuf as yang telah memisahkan Yusuf as darinya. Ia tahu apa yang terjadi, tetapi ia tidak menampakkan aib saudara Yusuf. Nabi Ya’qub as menanti hingga datang ketetapan Allah Swt pada hari yang sudah ditentukan. “…sungguh, aku adukan dukaku dan deritaku pada Allah Ta’ala. Aku mengetahui dari Allah apa-apa yang tidak kalian ketahui.” (QS. Yusuf [12]:86). Demikianlah ketentuan sang perindu sejati. Hadir di tengah mereka yang telah merenggut kekasihnya. Kendali jiwa yang sempurna sehingga tak melesakkan amarah pada mereka. Lalu tersungkur di mihrab doa, mengadukan penderitaan dan duka, membasahi wajah dengan linangan air mata, hingga memutih dan buta. Masihkah berani menisbatkan diri sebagai perindu Imam Zaman afs, sedang keadaan kita amat jauh dari yang selayaknya?
10. Meminta tolong pada Nabi Yusuf as tidak datang dengan tangan kosong. Meminta tolong pada junjungan adalah dengan sebuah persembahan yang sederhana, sebuah hadiah yang disiapkan (QS. Yusuf [12]:88). Demikianlah bila kita berada dalam penantian Imam Zaman afs. Hadirkan persembahan sederhana dalam perkhidmatan menantinya. Imam Baqir as menafsirkan ayat, “Sungguh bagi segala sesuatu ada arah yang kepadanya ia menghadap. Maka berlombalah dalam berbuat kebaikan. Di manapun kalian berada, Allah Ta’ala akan kumpulkan kalian semuanya. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah [2]:148) Menurut Imam Baqir as, arah adalah Imam. Setiap orang punya imamnya. Kepadanya selayaknya kita mengabdi, menghadapkan wajah kita sepenuhnya. Kebaikan adalah wilayah, ketaatan dan perkhidmatan pada Imam Zaman afs. Di manapun kita berada, pada zaman apa pun kita habiskan masa, kecintaan pada Imam afs akan mempertemukan kita, mempersatukan kita. Sungguh, Allah Ta’ala mahakuasa atas segala sesuatu. Tetapi kita harus punya persembahan itu, “perlombaan” dalam kebaikan itu. hadirkan kado sederhana itu dalam perkhidmatan penuh cinta.
11. Kita merasa kita merindukan Imam afs. Memohon kepada Allah Ta’ala agar Imam segera dihadirkan di tengah-tengah kita. Kepada kitalah, Nabi Ya’qub as berkata, “Bagaimana aku mempercayakannya kepadamu, padahal telah aku percayakan saudaranya kepada kamu dahulu?” (QS. Yusuf [12]:64) Sudahkah tiba saatnya umat menerima sang juru selamat, padahal saudara-saudaranya terdahulu dianiaya umat satu persatu. Sudahkah kita layak beroleh kemuliaan kepercayaan itu? Lalu seperti saudara-saudara Yusuf as dengan sombong kita berkata, “…biarkan saudara kami bersama kami, supaya kami beroleh sukatan (keperluan kami terpenuhi). Sungguh kami akan menjaganya.” (QS. Yusuf [12]: 63). Kepada kita Nabi Ya’qub as berkata, “Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya bersamamu, sebelum kalian datangkan padaku kepercayaan dari Allah, bahwa kalian akan membawanya kembali kepadaku…” (QS. Yusuf [12]:65) Mengikuti Nabi Ya’qub as, harapan kehadiran Imam afs hanya bila kita memperbarui janji kita kepada Allah Ta’ala, memenuhinya, dan tidak pernah mengkhianatinya. Hanya bila kita taat beribadah pada Allah Ta’ala, membersihkan diri kita, berkhidmat dan mengabdi kepadaNya.
Saya akan mengakhiri perumpamaan kisah Nabi Yusuf as dengan penantian Imam Zaman afs pada poin keduabelas, sesuai nomor surat Yusuf as dan urutan Imam Zaman afs. Tetapi sebelumnya, kesimpulan terlebih dahulu. Bagi saya, jawaban terhadap kebingungan yang dihadapi orang seperti Irshad Manji adalah dengan meneladani dan mencintai para kekasih hati. Merekalah tuan sejati. Di hadapan mereka kita pasrahkan diri kita. Karena mereka adalah hujjah Allah Swt bagi kita semua. Mereka adalah kepanjangan tangan dari Baginda Nabi Saw. Mencintai dan meneladani mereka adalah mencintai dan meneladani Rasulullah Saw. Al-Quran bahkan melarang kita untuk cemburu pada karunia yang diberikan Allah Ta’ala pada Baginda Nabi Saw dan Ahlul Baitnya, sebagaimana saudara-saudara Yusuf as tidak boleh mendengki kecintaan yang tampak dari Nabi Ya’qub as pada Nabi Yusuf as. Dan itu membawa kita pada poin keduabelas dan penutup.
12. Ada beberapa kata yang berbunyi sama tetapi memiliki makna ganda dalam bahasa Arab. Mawla di antaranya. Ia bisa bermakna tuan, tapi juga budak pada waktu yang sama. Itulah barangkali mengapa Surat Yusuf as memerintahkan kita untuk merenungkan mengapa Al-Quran diturunkan dalam Bahasa Arab (QS. Yusuf [12]:2). Dalam satu kata mawla, ada tuan dan hamba sahaya. Dalam cinta, tak ada lagi perbedaan antara perindu dan kekasihnya. Mereka satu dan bersama dalam cinta. Ketika saudara-saudara Yusuf as pada akhirnya mengetahui siapa Yusuf as, Yusuf as sudah bersama saudaranya Bunyamin. Ia berkata, “Akulah Yusuf dan ini saudaraku. Sesungguhnya Allah Ta’ala telah melimpahkan karunianya kepada kami…” (QS. Yusuf [12]:90). Kami adalah kata kuncinya. Kami menunjukkan kebersamaan. Karunia tidak hanya diberikan pada Yusuf as, tapi juga pada saudaranya. Ada tiga kunci untuk dapat beroleh karunia kebersamaan itu, sebagaimana disampaikan lanjutan ayat yang sama, “…maka sesungguhnya siapa yang bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.”
Barulah setelah itu, gamis Nabi Yusuf as diserahkan pada saudara-saudaranya, untuk dibawakan pada ayahnya. Gamis penuh berkah yang menemani Nabi Yusuf as dalam dingin dan gelapnya sumur. Gamis Nabi Ibrahim as yang menenteramkannya dalam panasnya api yang membakar. Gamis yang membuat terang penglihatan Nabi Ya’qub as yang dirundung tabir kesedihan. Maka siapa saja yang merindukan terang dari kegelapan yang menyelimutinya. Siapa saja yang berharap ketenangan dari prahara jiwa yang menggoncangnya. Siapa saja yang tertutup pandangannya akan jalan keluar dari kesedihan yang menimpanya..rindukanlah kelebat selendangnya. Rindukanlah kehadirannya. Seperti Nabi Ya’qub as, cium erat-erat wangi kehadirannya, meski masih jauh waktunya, “…dan ketika kafilah unta itu bergerak, berkatalah ayah mereka ‘inni la ajidu riiha Yusuf’ sungguh, aku telah mencium wewangian Yusuf as…” (QS. Yusuf [12]:94)
Sungguh, kafilah telah bergerak. Adakah kita berkata, “Aku telah mencium wewangian Yusuf”? Jeritkan dalam hati, “Ya Yusuf Azzahra…Aduhai Yusuf Azzahra, aduhai Yusuf Azzahra…” dan gabungkan tetes mata kerinduan kita bersama para perindu sepanjang masa. Nantikan mawla kita yang sejati. Dengannya kita pasrahkan jiwa sepenuh hati, menjemput cinta Ilahi.
Aduhai Mawlana…Ya Yusufaz Zahra…
‘Aziizun ‘alayya an aral khalqa wa laa turaa
wa laa asma’u laka hasiisan wa laa najwa
Berat bagiku melihat sesama dan kau hilang dari mata
Dan tak kudengar darimu seruan, bisikan dan berita
Ya Allah, sampaikan usiaku pada hari-harinya
Cerahkan mataku dengan binar memandang wajahnya
Sekiranya tiba kematianku, dan ia pisahkan aku dari hadirnya
Bangkitkan aku dari kuburku, dalam kafan yang membungkusku
Pedang kulepas dari sarungnya, dan kujawab seruannya
Ya Yusufaz Zahra! Ya Yusufaz Zahra!
Sumber : Dialog Ilmiah, Sayid Ali Husaini Qumi, jilid 2, halaman 161.
Dialog seorang pelajar dengan gurunya, Husaini Qumi, seorang Alim di Iran, tentang Imam Mahdi as:
Pelajar: “Jelaskan tentang Imam Mahdi yang telah dikabarkan oleh Rasulullah saw.”
Husaini Qumi: “Semuanya meyakini bahwa ia kelak akan muncul di akhir jaman. Hanya saja ada ikhtilaf tentang kapan ia lahir. Kebanyakan Muslim Ahlu Sunah berkeyakinan bahwa ia masih belum lahir, dan akan dilahirkan di akhir jaman. Sedangkan Syiah berkeyakinan bahwa pada tahun 255 beliau telah lahir di Samara lalu ghaib.”
Pelajar: “Bagaimana bisa orang yang ghaib dan tidak nampak dapat menjadi imam? Bukannya lebih masuk akal pendapat Ahlu Sunah bahwa Imam Mahdi masih belum lahir namun akan lahir di akhir jaman?”
HQ: “Memang kebanyakan syubhat tentang Imam Mahdi seperti itu. Mereka bertanya-tanya, bukankah tugas Imam adalah mengurusi umatnya? Bagaimana bisa menjadi Imam kalau tidak ada di tengah-tengah umat?
Namun jawabannya begini:
Pertama, saat secara sekilas kita tidak merasakan kehadiran Imam di tengah-tengah kita, bukan berarti sama sekali keghaiban itu tidak ada gunanya. Tak selamanya saat kita tidak tahu tentang sesuatu berarti hal itu tidak ada atau tak berguna. Pasti ada hikmah dan rahasia Ilahi di balik semua itu.
Kedua, ghaib bukan berarti sama sekali tidak berperan. Bukannya nabi Musa as pernah ghaib juga? Lagi pula banyak sekali riwayat yang menjelaskan bahwa Imam Mahdi terkadang hadir di majelis-majelis kita, dan juga berhaji di musim haji.
Ketiga, bagi sebagian orang tertentu, tidak mustahil mereka dapat bertemu Imam Mahdi; sebagaimana banyak riwayat yang menjelaskan hal itu.
Keempat, tak harus Imam Mahdi sendiri secara langsung yang harus mengurusi perkara-perkara umat manusia. Karena beliau sendiri secara umumnya memiliki pengikut-pengikut yang memiliki berbagai kriteria yang layak untuk menjalankan sebagian dari tugas-tugas tersebut.
Ada wakil-wakil beliau yang khusus dan umum. Wakil khusus beliau dikenal ada empat orang, dan wakil umum beliau adalah para faqih dan mujtahid yang faham hukum-hukum syar’i dan politik. Imam sendiri pernah berkata, “Adapun mengenai perkara-perkara yang akan terjadi, merujuklah pada perawi hadits kami (orang-orang alim dan faqih). Karena mereka adalah hujjahku atas kalian, dan aku adalah hujjah Allah”
Beliau juga pernah menjelaskan bahwa kedudukan beliau saat ghaib bagaikan matahari di balik awan. Saat mentari berada di balik awan, seakan kita tidak merasakan manfaatnya, padahal bukan demikian. Begitu juga dengan keghaiban Imam Mahdi, kita saja yang seolah tidak merasakan kehadirannya.”
Pelajar: “Apa sebab dighaibkannya Imam Mahdi? Apa saja kemaslahatan yang ada di balik itu semua?”
HQ: “Kita perlu mengaku bahwa akal dan pikiran kita bukan segala-galanya. Jangan sampai karena kita tidak mampu memahami sesuatu lalu kita dengan berani menolak riwayat-riwayat yang kita temui tentang masalah ini.
Jika kita telusuri, sebab beliau dighaibkan kurang lebih jelas jika kita memperhatikan indikasi-indikasi terkait.
Beliau adala Imam terakhir di antara dua belas Imam. Ia adalah orang yang dijanjikan oleh Rasulullah saw yang mana keagungan Islam ada di tangannya. Banyak sekali pihak-pihak yang zalim yang terus berusaha memojokkan para Imam, mengkontrol, membatasi aktifitas, sampai memenjarakan mereka. Bahkan mereka sampai dibunuh! Akhirnya Imam Mahdi sebagai Imam terakhir, jika seandainya beliau tidak dighaibkan, pasti beliau pun akan mengalami hal yang sama, yakni mati dibunuh.
Keghaiban beliau akan terus berlanjut sampai pada suatu saat yang mana umat manusia telah siap menerima kehadirannya, sehingga beliau dapat dengan mudah datang dan menegakkan ajaran Islam yang sebenarnya.”
Pelajar: “Bagaimana mungkin Imam Mahdi memiliki umur yang sangat panjang hingga ribuan tahun.”
HQ: “Tidak ada yang perlu diherankan. Nabi Nuh as saja hidup selama sembilan ratus lima puluh tahun. Itu pun umur beliau sampai peristiwa banjir besar. Adapun setelah banjir besar berapa lama beliau hidup, tidak diketahui.
Selain itu banyak sekali kisah-kisah yang kita dengar tentang orang-orang yang umurnya sangat panjang.
Ada buku yang berjudul Mu’ammarin (orang-orang yang dipanjangkan umurnya) karya Hatim Sajistani. Syaikh Shaduq juga pernah menulis kitab tentang umur Imam Mahdi yang berjudul Al Burhan fi Shihhati Tuli Umril Imam Zaman.
Tentang panjangnya umur Imam Mahdi, tak perlu kita heran jika kita tahu betapa Tuhan maha bisa. Umat manusia tidak mengetahui kekuatan Tuhan yang sebenarnya.
Secara logis, umur panjang bukanlah hal yang mustahil. Tak satupun bisa membuktikan kemustahilannya.
Bukannya dengan adanya penemuan-penemuan dalam dunia kedokteran kita dapat memiliki umur yang relatif panjang dengan menjalankan aturan-aturan tertentu?”
Pelajar: “Apa saja tanda-tanda kemunculan Imam Mahdi as?”
HQ: “Dalam kitab-kitab hadits sering disebutkan tanda-tanda kedatangan Imam Mahdi as dan juga tanda-tanda kiamat. Keduanya tidak boleh tercampur.
Adapun tanda-tanda kedatangan Imam Mahdi as diantaranya adalah:
1. Teriakan di langit yang menyeru kepada manusia bahwa hujjah Allah telah datang;
2. Gerhana matahari dan bulan yang tidak wajar;
3. Perpecahan umat manusia;
4. Huru hara dan kekacauan di mana-mana;
5. Kematian merah (pembunuhan) dan putih (virus atau penyakit) di mana-mana;
6. Terbunuhnya Nafsus Zakiyah;
7. Datangnya Dajjal;
8. Datangnya Sufyani;
9. Masyarakat yang menjauhi ulama bagai domba yang lari dari srigala;
10. Wanita yang menyerupai lelaki dan lelaki yang suka menyerupai wanita.”
Pelajar: “Apa yang dapat mempercepat kedatangan beliau?”
HQ: “Pertama, kesiapan dan penantian umat manusia yang telah putus asa dengan siapa saja yang pernah mengaku berjanji menjadikan hidup mereka lebih baik.
Kedua, semakin berkembangnya pengetahuan umat manusia dan segala yang berkaitan dengan kemajuan. Misalnya dalam masalah komunikasi; karena saat Imam Mahdi datang nanti suaranya dapat disampaikan ke seluruh penjuru dunia melalui sarana komunikasi moderen.
Imam Shadiq as berkata, “DI akhir jaman nanti, seorang mukmin di barat akan dapat melihat dan bertemu dengan saudara seimannya di timur.”
Ada kemungkinan yang beliau maksud adalah sarana komunikasi saat ini.
Ketiga, terbentuknya pasukan-pasukan kuat yang beriman. Karena Imam Mahdi as pun juga membutuhkan pasukan yang mendukung berjalannya misi beliau.”
Pelajar: “Bukannya disebutkan dalam riwayat bahwa pasukan beliau berjumlah tiga ratus tiga belas orang?”
HQ: “313 orang itu adalah pemimpin-pemimpin pasukan Imam Mahdi as. Adapun pasukan itu sendiri, bisa dikata semua orang yang beriman adalah pasukannya.”
Pelajar: “Berarti tidak hanya Syiah saja yang meyakini kedatangan Imam Mahdi as?”
HQ: “Ya, semua madzhab memiliki keyakinan ini. Bahkan sebagian agama selain Islam dan kelompok-kelompok tertentu juga meyakini kedatangan sang Ratu Adil di akhir jaman.
Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad
Ali ali Mawla, Ali ali Mawla, Ali ali Mawla…Ali
Ya Yusufaz Zahra!
Alkisah seorang perempuan penulis Kanada menggegerkan Islam di Barat. Namanya Irshad Manji. Ayahnya keturunan India. Ia sendiri dilahirkan di Uganda. Ketika Jenderal Idi Amin mengusir kelompok non kulit hitam, ia sekeluarga memilih pindah ke Kanada. Ia menulis beberapa buku. Isinya kontroversial. Buku pertama, The Trouble with Islam Today. Buku kedua, Allah, Liberty and Love. Saya belum pernah membaca keduanya. Saya hanya menyaksikan beberapa diskusinya di internet. Ia pernah datang ke Jakarta dan sempat diusir oleh sekelompok yang mengatasnamakan ormas Islam tertentu. Usiran yang makin menguatkan pendapatnya tentang masalah dalam Islam: yaitu orang Islamnya.
Bukunya yang pertama telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan hampir semua bahasa populer dunia. Kita bahkan bisa mengunduhnya gratis dari laman webnya. Belakangan, ia kembali membuat heboh. Akun twitternya (sepertinya asli karena tak ada bantahan) menampilkan foto-foto dan berita ia menikahi pasangan sesama jenisnya. Dan toh, ia tetap mengatakan ia seorang muslimah. Agamanya adalah hubungannya dengan Allah Swt, Tuhan Yang Maha Esa.
Saya berusaha mencermati pemikirannya. Ragam diskusi di youtube itu membawa saya pada beberapa temuan. Ia benar ketika ia mengkritik perilaku sebagian umat yang gampang bertindak kekerasan. Karena, katanya, dalil dan contohnya bisa ditemukan dalam kitab suci dan narasi hadits. Ia juga benar ketika mengatakan agar umat membedakan mana yang Islami dan mana yang ‘Arabi. Baginya, tidak semua yang Arabi itu Islami. Ia mengkritik keras perempuan yang tertindas dalam Islam, warga negara nomor dua, tak punya hak ini dan itu, tak bisa bahkan mengendarai kendaraan, tak bisa keluar tanpa muhrim, tak bisa bersuara…dan lain sebagainya. Ia mungkin akan tambah bersorak kecewa di satu sisi, dan memperkuat pendapatnya di sisi lain, bila mendengar (dan saya kira ia mengetahuinya) bahwa seorang dokter terapis di Saudi mengajarkan para suami cara memukul istri mereka, di televisi nasional. Perempuan seolah tak berarti.
Apa yang saya lihat? Kebingungan seorang muslim dan seorang perempuan terhadap dunia dan agamanya. Ia bimbang. Ia kecewa. Ia marah. Ia putuskan para ‘manajer’ agama. Baginya, agama adalah hubungan personal dengan sang penciptanya. Ia ajarkan siapa saja agar bersikap kritis, terbuka, dan tak menerima begitu saja dogma yang diajarkan agama.
Sampai di sini, sebagian kita mungkin sependapat. Tetapi kemudian, ada perbedaan kecil yang mendasar, antara saya dan dia. Apa itu? Keteladanan. Bagi orang seperti Irshad Manji, yang paling utama adalah kebebasan berkehendak. Manusia boleh melakukan apa saja yang membahagiakannya selama tidak mendatangkan gangguan bagi sesama. Manusia adalah pikirannya, pendapatnya, pilihannya. Manusia adalah apa yang ia rasa baik bagi dirinya. Bahkan bila menikah sesama jenis membahagiakannya, lakukan saja. Tiada salahnya. Manusia harus menjadi tuan bagi dirinya. Untuk itu, tak perlu agama. Ikuti saja norma kebaikan universal. Mungkin itu pendapatnya.
Di sinilah saya berbeda. Bagi saya, agama justru berfungsi sebaliknya. Ia hadir untuk menjadikan kita hamba. Agama menghapuskan opsi sebagai tuan dalam diri kita. Bukan berarti kita tak punya pilihan, tak bisa berkehendak. Tetapi bagaimana kita berjuang untuk mendahulukan kehendak Tuan di atas kehendak kita. Kehendak Mawla di atas kehendak diri. Itulah artinya menghamba. Agama mengajarkan kita menyerahkan diri sepenuhnya pada junjungan kita. Pertanyaannya: kepada siapa kita menghamba? Siapa yang menjadi tuan dan mawla kita? Kepada siapa kita memasrahkan jiwa?
Antara Abid dan Hamba
Menurut firman, manusia diciptakan untuk beribadah. Dari akar kata yang sama, muncul dua kata: abid, dan abdi. Abid adalah ahli ibadah, sedangkan abdi adalah ahli menghamba. Tuhan tidak meminta kita menjadi abid. Tuhan meminta kita menjadi abdi. Ketika Baginda Nabi Saw diperjalankan di malam hari, Allah Ta’ala menggelarinya abdi. Ketika Nabi Musa as diminta untuk menemui Nabi Khidir as, ia diminta menemui seorang abdi. Ketika Nabi Sulaiman as memindahkan singgasana ratu Balqisy, ia ditemani seorang abdi. Apa artinya abdi? Hamba sahaya. Budak. Ia yang kehendaknya berada pada mawlanya. Ia yang kebahagiaannya adalah bahagia junjungannya. Ia yang deritanya adalah kesedihan kekasihnya.
Pertanyaan saya untuk Irshad Manji adalah bagaimana ia memahami teladan hidup Baginda Nabi Saw. Al-Qur’an adalah kitab suci yang dipahami dengan meneladani Baginda Nabi Saw. Hanya kalbu Baginda Nabi Saw satu-satunya yang dapat menerima seluruh keagungan dan kemuliaan Al-Qur’an itu. Memuliakan Baginda Saw adalah memuliakan Al-Qur’an. Memahami Baginda Saw adalah memahami Al-Qur’an. Begitu pula sebaliknya. Bila kita ingin memahami Al-Qur’an, belajarlah teladan Rasulullah Saw.
Itulah mengapa, dalam mazhab para pengikut Ahlul Bait Nabi Saw, posisi para imam menjadi sangat sentral. Merekalah pelanjut Rasulullah Saw. Merekalah penjelas mutlak terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Merekalah yang diajari turun temurun rahasia kitab suci. Irshad Manji takkan menerjemahkan kata _fadhribuhunna_ dengan pukullah mereka, bila ia membaca riwayat dari para teladan suci bahwa di antara makna _dharaba_ adalah mengabaikan bukan memukul. Karenanya tahapan suami mengingatkan istrinya adalah dengan menasihati, memisahkannya dari tempat tidur, dan mendiamkannya. Begitu berpaling pada riwayat dari teladan suci, satu demi satu tirai disingkapkan.
Sekadar beberapa contoh saja. Ada dua ayat Al-Qur’an yang berkisah tentang poligami. Satu, kebolehan menikah lebih dari satu istri asal adil (QS. Al-Nisaa [4]:3) dan yang kedua, kenyataan bahwa lelaki takkan pernah bisa adil (QS. Al-Nisaa [4]: 129). Adakah kedua ayat ini bertentangan? Maka temukan jawabannya pada riwayat Imam Ja’far Shadiq as. Ayat yang pertama tentang keharusan adil pada sesuatu yang lahiriah, yang dapat diukur, yang dapat ditimbang. Adapun yang kedua adalah sesuatu yang batiniah. Perkara hati, perkara cinta. Yang pertama dapat ditakar, yang kedua teramat sukar.
Bagaimana mungkin kita tidak merujuk pada Ahlul Bait Nabi Saw sedang mereka padanan Al-Qur’an. Mereka adalah afshahul ‘arab, yang paling mengerti Bahasa Arab. Yang paling memahami kitab suci. Yang tumbuh dalam lingkungan wahyu nabawi.
Kata Imam Ali as, Baginda Nabi Saw mengajarinya 1000 pintu ilmu, dan dari setiap pintu terbuka 1000 pintu lainnya. Masih menurut Baginda Saw, Al-Quran terdiri dari tujuh hal: perintah, larangan, anjuran, peringatan, hujjah, kisah, dan perumpamaan. Dan Imam Ali as memerinci tujuh hal yang disampaikan Baginda dalam rincian teramat dalam maknanya. Antara lain, kata Imam Ali as, terkadang Al-Quran menggunakan bentuk jamak padahal yang dimaksud tunggal. Terkadang tunggal dan yang dimaksud banyak. Terkadang berbicara tentang satu kaum padahal yang dimaksud kaum yang lain. Terkadang berbicara tentang masa lampau untuk mengabarkan apa yang terjadi di masa datang. Di antara contohnya adalah penafsiran tentang Surat Yusuf as dalam khazanah mazhab para pecinta keluarga Nabi ‘alaihimus shalatu was salam.
Imam Zaman afs dan Surat Yusuf as
Surat Yusuf adalah surat keduabelas, pada juz keduabelas. Al-Quran dengan indah mengawali bahwa Allah Ta’ala telah mengisahkan kisah-kisah terindah pada Baginda Nabi Saw. Pertanyaannya, sebatas apa kita mengambil hikmah dan teladan dari kisah itu? Khusus untuk kisah Yusuf as, Al-Quran bahkan berkata: Sungguh, pada kisah Yusuf dan saudara-saudaranya ada tanda-tanda kebesaran Allah Swt bagi orang-orang yang bertanya. (QS. Yusuf [12]:7). Apa yang dimaksud dengan ‘orang-orang yang bertanya’? Pertanyaan apa? Al-Saa’ilin yang diterjemahkan dengan orang-orang yang bertanya juga bisa berarti mereka yang meminta (QS. Al-Ma’aarij [70]:25). Orang yang berkekurangan, yang menderita, yang kesulitan.
Banyak orang mengira Surat Yusuf as adalah surat yang berisi kisah cinta Nabi Yusuf as dan Siti Zulaikha. Bahkan, konon, kalau ingin mendapat pasangan yang baik, perbanyaklah membaca surat Yusuf. Saya percaya keberkahan Al-Quran, hanya saja, ada sudut pandang yang berbeda. Bagi saya, surat Yusuf tidak mengisahkan kisah cinta Nabi Yusuf as dan Siti Zulaikha. Tak ada ayat yang merujuk tentang itu. Yang ada, cinta salah Zulaikha yang bertepuk sebelah tangan. Memang benar ia mengisahkan tentang cinta: cinta teramat besar seorang ayah pada anaknya, cinta seorang nabi pada umatnya, cinta seorang pemimpin pada para penantinya. Cinta seorang kekasih pada kerinduannya.
Bagaimana Surat Yusuf bisa mengisahkan Imam Zaman afs? Dalam Mazhab Ahlul Bait as, Imam Mahdi afs dilahirkan pada pertengahan bulan Sya’ban. Inilah di antara sebab keberkahan riyadhah malam Nishfu Sya’ban. Ketika Nabi Yusuf as menceritakan rahasianya, ayahnya berpesan agar Nabi Yusuf tidak menceritakan apa yang diketahuinya itu pada saudara-saudaranya, karena nanti mereka akan membuat makar kepadanya. Mereka yang tidak mengetahui kisah penantian dapat berbuat makar pada mereka yang mempercayainya. Meski demikian, Al-Quran menyebut mereka sebagai saudara-saudara Yusuf as. Seperti itu pula ketika Baginda Nabi Saw diperintahkan untuk menyampaikan ayat penyempurna risalah (QS. Al-Maa`idah [5]:67), Allah Ta’ala memperkuat Rasulullah Saw dengan kalimat, “…dan Allah menjagamu dari (gangguan, makar, dan tipudaya) manusia.”
Teramat indah Al-Quran mengisahkannya. Saya akan membuat poin-poin pengingat untuk perumpamaan kisah-kisah itu. Adalah hutang buku tersendiri untuk menuliskan tafsir Surat Yusuf as dan kemiripannya dengan kisah Ahlul Bait as, secara khusus tanda-tanda kehadiran Imam Zaman afs.
1. Kecemburuan saudara-saudara Yusuf as adalah karena Nabi Ya’qub as dianggap lebih mencintai Yusuf as dibandingkan yang lainnya. Padahal mereka mayoritas. (QS. Yusuf [12]:8). Untuk mayoritas itu Al-Quran menggunakan kata ‘ushbah. Ia satu akar kata dengan ta’ashhub, fanatisme. Abu Sufyan, misalnya dari Bani Umayyah pernah diriwayatkan cemburu karena Bani Hasyim memiliki kunci Ka’bah, berkhidmat pada peziarah dan memegang akses pada sumur Zamzam. Ia sampai berkata, “Semuanya sudah dipegang Bani Hasyim, sekarang seorang nabi bahkan dihadirkan dari mereka?” Ini ta’asshub. Adakah hal yang sama terjadi bila Baginda Nabi Saw dianggap terlalu mengistimewakan dan menampakkan kecintaan pada Imam Ali as? Lalu orang berkata, sungguh ayah kami berada dalam kesesatan yang nyata (QS. Yusuf [12]:8)
2. Kecemburuan, iri hati dan dengki itu akan membawa mereka pada sikap memerangi Yusuf as. Bunuhlah Yusuf atau buanglah ia ke tempat yang jauh… (QS. Yusuf [12]:9) maka sejak wafat Baginda Nabi Saw ayat ini menemukan mishdaqnya. Imam Ali as gugur di mihrab shalat, Imam Hasan as diracun. Imam Husain as dan keluarganya dibantai di Karbala. Dan setiap satu di antara sebelas bintang terang yang mengabarkan kedatangan Imam keduabelas, syahid satu demi satu; atau mereka dibuang ke tempat yang jauh, gugur di tempat terasing, dipenjarakan bertahun-tahun. Derita keluarga Nabi Saw diwakili dalam dua kata, "uqtuluu Yusufa"
3. Apa makna sebelas bintang, mentari dan rembulan sujud pada Nabi Yusuf as? Bagaimanakah bentuk benda-benda langit itu bersujud? Maknanya adalah, tidak satu pun dari sebelas bintang, mentari dan rembulan itu yang tidak merindukan Yusuf as. Tidaklah diutus seorang pun nabi melainkan ia mengabarkan kedatangan Rasulullah Saw. Demikian pula para teladan suci, tiada seorang pun dari mereka yang tidak mengabarkan kedatangan Imam Zaman afs. Sehingga Imam Mahdi afs digelari dengan Yusuf Azzahra as. Mentari adalah sumber cahaya, dan rembulan adalah ibunda yang menjadi pancaran cinta itu. Bila mentari itu adalah Baginda Nabi Saw bagaimana mungkin Baginda merindukan Imam Zaman afs? Kata Imam Ja’far Shadiq as, inilah makna dari ayat, (Baginda Nabi Saw diperintahkan untuk berkata) “…sesungguhnya yang ghaib itu adalah milik Allah. Karena itu, tunggulah. Sungguh, aku bersamamu termasuk di antara para penunggu.” (QS. Yunus [10]:20). Bayangkan, Baginda Nabi Saw diperintahkan Allah Ta’ala untuk meminta kita menunggu yang ghaib, dan bahwa Baginda Nabi Saw sendiri termasuk di antara para penanti itu. Ana ma'akum, adakah kebahagiaan yang jauh lebih indah lagi?
4. Nabi Yusuf hilang dua kali. Pertama, ia dilemparkan ke sumur, dijauhkan dari keluarganya (QS. Yusuf [12]:15. Ia tidak lama di dalam sumur. Serombongan kafilah lewat dan membawanya pergi (QS. Yusuf [12]:19). Ia dibawa ke Mesir, berkhidmat pada keluarga seorang tuan. Karena peristiwa tipuan istri majikannya, ia dihilangkan untuk kali kedua. Kali ini, ke dalam penjara. Dan berlangsung teramat lamanya (QS. Yusuf [12]:42). Seperti Nabi Yusuf as, Imam Zaman afs diantarkan pada para pengikutnya setelah dua peristiwa hilang. Yang pertama _ghaibat sughra_, dan yang kedua ghaibat kubra. Wallahu a’lam.
5. Nabi Yusuf as memperoleh ilmu pemahaman atas berbagai peristiwa. (QS. Yusuf [12]:6). Ia memberikan jawaban atas permasalahan zaman. Begitu pula Imam Zaman afs.
6. Kapan orang datang pada Nabi Yusuf as? Saat mereka memerlukan, saat mereka ditimpa kemalangan. Ketika sebuah masalah teramat besar tak dapat dipecahkan (QS. Yusuf [12]:44), barulah mereka berpaling pada Nabi Yusuf as. Demikian pula umat ini. Ia akan dihadapkan pada masalah teramat besar. Berpalinglah pada Yusuf umat ini.
7. Semua negeri di sekitarnya ditimpa bencana (QS. Yusuf [12]:88), hanya Mesir di bawah kendali Nabi Yusuf as yang selamat. Semua umat di tengah goncangan ketidakadilan akan binasa, kecuali yang berlabuh pada Bahtera Nuh as. Perumpamaan Ahlul Bait Rasulillah Saw seumpama Bahtera Nuh as; yang menaikinya selamat, yang berpaling daripadanya tenggelam dan celaka.
8. Saudara-saudara Yusuf as datang kepadanya tapi mereka tak mengenalinya (QS. Yusuf [12]:58). Yusuf mengenali mereka dan menyembunyikan identitasnya. Imam Zaman afs sesuai hadits dari Imam Ja’far Shadiq as mengenali kita tapi kita tak mengenali Imam afs. Setiap musim haji, Imam afs hadir di Arafah. Imam afs melihat kita dan mengetahui kita. Kita melihat Imam afs dan tidak mengetahuinya.
9. Nabi Ya’qub as bersedih karena perpisahan dengan Nabi Yusuf as. Tetapi ia tidak pernah berhenti mengingatnya (QS. Yusuf [12]: 85). Tangisannya membutakan matanya. Kecintaan itu tetap ditampakkan, meski penderitaan menyertai. Tubuhnya melemah. Dan ia tetap tinggal bersama saudara-saudara Yusuf as yang telah memisahkan Yusuf as darinya. Ia tahu apa yang terjadi, tetapi ia tidak menampakkan aib saudara Yusuf. Nabi Ya’qub as menanti hingga datang ketetapan Allah Swt pada hari yang sudah ditentukan. “…sungguh, aku adukan dukaku dan deritaku pada Allah Ta’ala. Aku mengetahui dari Allah apa-apa yang tidak kalian ketahui.” (QS. Yusuf [12]:86). Demikianlah ketentuan sang perindu sejati. Hadir di tengah mereka yang telah merenggut kekasihnya. Kendali jiwa yang sempurna sehingga tak melesakkan amarah pada mereka. Lalu tersungkur di mihrab doa, mengadukan penderitaan dan duka, membasahi wajah dengan linangan air mata, hingga memutih dan buta. Masihkah berani menisbatkan diri sebagai perindu Imam Zaman afs, sedang keadaan kita amat jauh dari yang selayaknya?
10. Meminta tolong pada Nabi Yusuf as tidak datang dengan tangan kosong. Meminta tolong pada junjungan adalah dengan sebuah persembahan yang sederhana, sebuah hadiah yang disiapkan (QS. Yusuf [12]:88). Demikianlah bila kita berada dalam penantian Imam Zaman afs. Hadirkan persembahan sederhana dalam perkhidmatan menantinya. Imam Baqir as menafsirkan ayat, “Sungguh bagi segala sesuatu ada arah yang kepadanya ia menghadap. Maka berlombalah dalam berbuat kebaikan. Di manapun kalian berada, Allah Ta’ala akan kumpulkan kalian semuanya. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah [2]:148) Menurut Imam Baqir as, arah adalah Imam. Setiap orang punya imamnya. Kepadanya selayaknya kita mengabdi, menghadapkan wajah kita sepenuhnya. Kebaikan adalah wilayah, ketaatan dan perkhidmatan pada Imam Zaman afs. Di manapun kita berada, pada zaman apa pun kita habiskan masa, kecintaan pada Imam afs akan mempertemukan kita, mempersatukan kita. Sungguh, Allah Ta’ala mahakuasa atas segala sesuatu. Tetapi kita harus punya persembahan itu, “perlombaan” dalam kebaikan itu. hadirkan kado sederhana itu dalam perkhidmatan penuh cinta.
11. Kita merasa kita merindukan Imam afs. Memohon kepada Allah Ta’ala agar Imam segera dihadirkan di tengah-tengah kita. Kepada kitalah, Nabi Ya’qub as berkata, “Bagaimana aku mempercayakannya kepadamu, padahal telah aku percayakan saudaranya kepada kamu dahulu?” (QS. Yusuf [12]:64) Sudahkah tiba saatnya umat menerima sang juru selamat, padahal saudara-saudaranya terdahulu dianiaya umat satu persatu. Sudahkah kita layak beroleh kemuliaan kepercayaan itu? Lalu seperti saudara-saudara Yusuf as dengan sombong kita berkata, “…biarkan saudara kami bersama kami, supaya kami beroleh sukatan (keperluan kami terpenuhi). Sungguh kami akan menjaganya.” (QS. Yusuf [12]: 63). Kepada kita Nabi Ya’qub as berkata, “Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya bersamamu, sebelum kalian datangkan padaku kepercayaan dari Allah, bahwa kalian akan membawanya kembali kepadaku…” (QS. Yusuf [12]:65) Mengikuti Nabi Ya’qub as, harapan kehadiran Imam afs hanya bila kita memperbarui janji kita kepada Allah Ta’ala, memenuhinya, dan tidak pernah mengkhianatinya. Hanya bila kita taat beribadah pada Allah Ta’ala, membersihkan diri kita, berkhidmat dan mengabdi kepadaNya.
Saya akan mengakhiri perumpamaan kisah Nabi Yusuf as dengan penantian Imam Zaman afs pada poin keduabelas, sesuai nomor surat Yusuf as dan urutan Imam Zaman afs. Tetapi sebelumnya, kesimpulan terlebih dahulu. Bagi saya, jawaban terhadap kebingungan yang dihadapi orang seperti Irshad Manji adalah dengan meneladani dan mencintai para kekasih hati. Merekalah tuan sejati. Di hadapan mereka kita pasrahkan diri kita. Karena mereka adalah hujjah Allah Swt bagi kita semua. Mereka adalah kepanjangan tangan dari Baginda Nabi Saw. Mencintai dan meneladani mereka adalah mencintai dan meneladani Rasulullah Saw. Al-Quran bahkan melarang kita untuk cemburu pada karunia yang diberikan Allah Ta’ala pada Baginda Nabi Saw dan Ahlul Baitnya, sebagaimana saudara-saudara Yusuf as tidak boleh mendengki kecintaan yang tampak dari Nabi Ya’qub as pada Nabi Yusuf as. Dan itu membawa kita pada poin keduabelas dan penutup.
12. Ada beberapa kata yang berbunyi sama tetapi memiliki makna ganda dalam bahasa Arab. Mawla di antaranya. Ia bisa bermakna tuan, tapi juga budak pada waktu yang sama. Itulah barangkali mengapa Surat Yusuf as memerintahkan kita untuk merenungkan mengapa Al-Quran diturunkan dalam Bahasa Arab (QS. Yusuf [12]:2). Dalam satu kata mawla, ada tuan dan hamba sahaya. Dalam cinta, tak ada lagi perbedaan antara perindu dan kekasihnya. Mereka satu dan bersama dalam cinta. Ketika saudara-saudara Yusuf as pada akhirnya mengetahui siapa Yusuf as, Yusuf as sudah bersama saudaranya Bunyamin. Ia berkata, “Akulah Yusuf dan ini saudaraku. Sesungguhnya Allah Ta’ala telah melimpahkan karunianya kepada kami…” (QS. Yusuf [12]:90). Kami adalah kata kuncinya. Kami menunjukkan kebersamaan. Karunia tidak hanya diberikan pada Yusuf as, tapi juga pada saudaranya. Ada tiga kunci untuk dapat beroleh karunia kebersamaan itu, sebagaimana disampaikan lanjutan ayat yang sama, “…maka sesungguhnya siapa yang bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.”
Barulah setelah itu, gamis Nabi Yusuf as diserahkan pada saudara-saudaranya, untuk dibawakan pada ayahnya. Gamis penuh berkah yang menemani Nabi Yusuf as dalam dingin dan gelapnya sumur. Gamis Nabi Ibrahim as yang menenteramkannya dalam panasnya api yang membakar. Gamis yang membuat terang penglihatan Nabi Ya’qub as yang dirundung tabir kesedihan. Maka siapa saja yang merindukan terang dari kegelapan yang menyelimutinya. Siapa saja yang berharap ketenangan dari prahara jiwa yang menggoncangnya. Siapa saja yang tertutup pandangannya akan jalan keluar dari kesedihan yang menimpanya..rindukanlah kelebat selendangnya. Rindukanlah kehadirannya. Seperti Nabi Ya’qub as, cium erat-erat wangi kehadirannya, meski masih jauh waktunya, “…dan ketika kafilah unta itu bergerak, berkatalah ayah mereka ‘inni la ajidu riiha Yusuf’ sungguh, aku telah mencium wewangian Yusuf as…” (QS. Yusuf [12]:94)
Sungguh, kafilah telah bergerak. Adakah kita berkata, “Aku telah mencium wewangian Yusuf”? Jeritkan dalam hati, “Ya Yusuf Azzahra…Aduhai Yusuf Azzahra, aduhai Yusuf Azzahra…” dan gabungkan tetes mata kerinduan kita bersama para perindu sepanjang masa. Nantikan mawla kita yang sejati. Dengannya kita pasrahkan jiwa sepenuh hati, menjemput cinta Ilahi.
Aduhai Mawlana…Ya Yusufaz Zahra…
‘Aziizun ‘alayya an aral khalqa wa laa turaa
wa laa asma’u laka hasiisan wa laa najwa
Berat bagiku melihat sesama dan kau hilang dari mata
Dan tak kudengar darimu seruan, bisikan dan berita
Ya Allah, sampaikan usiaku pada hari-harinya
Cerahkan mataku dengan binar memandang wajahnya
Sekiranya tiba kematianku, dan ia pisahkan aku dari hadirnya
Bangkitkan aku dari kuburku, dalam kafan yang membungkusku
Pedang kulepas dari sarungnya, dan kujawab seruannya
Ya Yusufaz Zahra! Ya Yusufaz Zahra!
PEMBAHASAN TENTANG IMAM MAHDI AS
pengarang : Sayid Ali Husaini QumiSumber : Dialog Ilmiah, Sayid Ali Husaini Qumi, jilid 2, halaman 161.
Dialog seorang pelajar dengan gurunya, Husaini Qumi, seorang Alim di Iran, tentang Imam Mahdi as:
Pelajar: “Jelaskan tentang Imam Mahdi yang telah dikabarkan oleh Rasulullah saw.”
Husaini Qumi: “Semuanya meyakini bahwa ia kelak akan muncul di akhir jaman. Hanya saja ada ikhtilaf tentang kapan ia lahir. Kebanyakan Muslim Ahlu Sunah berkeyakinan bahwa ia masih belum lahir, dan akan dilahirkan di akhir jaman. Sedangkan Syiah berkeyakinan bahwa pada tahun 255 beliau telah lahir di Samara lalu ghaib.”
Pelajar: “Bagaimana bisa orang yang ghaib dan tidak nampak dapat menjadi imam? Bukannya lebih masuk akal pendapat Ahlu Sunah bahwa Imam Mahdi masih belum lahir namun akan lahir di akhir jaman?”
HQ: “Memang kebanyakan syubhat tentang Imam Mahdi seperti itu. Mereka bertanya-tanya, bukankah tugas Imam adalah mengurusi umatnya? Bagaimana bisa menjadi Imam kalau tidak ada di tengah-tengah umat?
Namun jawabannya begini:
Pertama, saat secara sekilas kita tidak merasakan kehadiran Imam di tengah-tengah kita, bukan berarti sama sekali keghaiban itu tidak ada gunanya. Tak selamanya saat kita tidak tahu tentang sesuatu berarti hal itu tidak ada atau tak berguna. Pasti ada hikmah dan rahasia Ilahi di balik semua itu.
Kedua, ghaib bukan berarti sama sekali tidak berperan. Bukannya nabi Musa as pernah ghaib juga? Lagi pula banyak sekali riwayat yang menjelaskan bahwa Imam Mahdi terkadang hadir di majelis-majelis kita, dan juga berhaji di musim haji.
Ketiga, bagi sebagian orang tertentu, tidak mustahil mereka dapat bertemu Imam Mahdi; sebagaimana banyak riwayat yang menjelaskan hal itu.
Keempat, tak harus Imam Mahdi sendiri secara langsung yang harus mengurusi perkara-perkara umat manusia. Karena beliau sendiri secara umumnya memiliki pengikut-pengikut yang memiliki berbagai kriteria yang layak untuk menjalankan sebagian dari tugas-tugas tersebut.
Ada wakil-wakil beliau yang khusus dan umum. Wakil khusus beliau dikenal ada empat orang, dan wakil umum beliau adalah para faqih dan mujtahid yang faham hukum-hukum syar’i dan politik. Imam sendiri pernah berkata, “Adapun mengenai perkara-perkara yang akan terjadi, merujuklah pada perawi hadits kami (orang-orang alim dan faqih). Karena mereka adalah hujjahku atas kalian, dan aku adalah hujjah Allah”
Beliau juga pernah menjelaskan bahwa kedudukan beliau saat ghaib bagaikan matahari di balik awan. Saat mentari berada di balik awan, seakan kita tidak merasakan manfaatnya, padahal bukan demikian. Begitu juga dengan keghaiban Imam Mahdi, kita saja yang seolah tidak merasakan kehadirannya.”
Pelajar: “Apa sebab dighaibkannya Imam Mahdi? Apa saja kemaslahatan yang ada di balik itu semua?”
HQ: “Kita perlu mengaku bahwa akal dan pikiran kita bukan segala-galanya. Jangan sampai karena kita tidak mampu memahami sesuatu lalu kita dengan berani menolak riwayat-riwayat yang kita temui tentang masalah ini.
Jika kita telusuri, sebab beliau dighaibkan kurang lebih jelas jika kita memperhatikan indikasi-indikasi terkait.
Beliau adala Imam terakhir di antara dua belas Imam. Ia adalah orang yang dijanjikan oleh Rasulullah saw yang mana keagungan Islam ada di tangannya. Banyak sekali pihak-pihak yang zalim yang terus berusaha memojokkan para Imam, mengkontrol, membatasi aktifitas, sampai memenjarakan mereka. Bahkan mereka sampai dibunuh! Akhirnya Imam Mahdi sebagai Imam terakhir, jika seandainya beliau tidak dighaibkan, pasti beliau pun akan mengalami hal yang sama, yakni mati dibunuh.
Keghaiban beliau akan terus berlanjut sampai pada suatu saat yang mana umat manusia telah siap menerima kehadirannya, sehingga beliau dapat dengan mudah datang dan menegakkan ajaran Islam yang sebenarnya.”
Pelajar: “Bagaimana mungkin Imam Mahdi memiliki umur yang sangat panjang hingga ribuan tahun.”
HQ: “Tidak ada yang perlu diherankan. Nabi Nuh as saja hidup selama sembilan ratus lima puluh tahun. Itu pun umur beliau sampai peristiwa banjir besar. Adapun setelah banjir besar berapa lama beliau hidup, tidak diketahui.
Selain itu banyak sekali kisah-kisah yang kita dengar tentang orang-orang yang umurnya sangat panjang.
Ada buku yang berjudul Mu’ammarin (orang-orang yang dipanjangkan umurnya) karya Hatim Sajistani. Syaikh Shaduq juga pernah menulis kitab tentang umur Imam Mahdi yang berjudul Al Burhan fi Shihhati Tuli Umril Imam Zaman.
Tentang panjangnya umur Imam Mahdi, tak perlu kita heran jika kita tahu betapa Tuhan maha bisa. Umat manusia tidak mengetahui kekuatan Tuhan yang sebenarnya.
Secara logis, umur panjang bukanlah hal yang mustahil. Tak satupun bisa membuktikan kemustahilannya.
Bukannya dengan adanya penemuan-penemuan dalam dunia kedokteran kita dapat memiliki umur yang relatif panjang dengan menjalankan aturan-aturan tertentu?”
Pelajar: “Apa saja tanda-tanda kemunculan Imam Mahdi as?”
HQ: “Dalam kitab-kitab hadits sering disebutkan tanda-tanda kedatangan Imam Mahdi as dan juga tanda-tanda kiamat. Keduanya tidak boleh tercampur.
Adapun tanda-tanda kedatangan Imam Mahdi as diantaranya adalah:
1. Teriakan di langit yang menyeru kepada manusia bahwa hujjah Allah telah datang;
2. Gerhana matahari dan bulan yang tidak wajar;
3. Perpecahan umat manusia;
4. Huru hara dan kekacauan di mana-mana;
5. Kematian merah (pembunuhan) dan putih (virus atau penyakit) di mana-mana;
6. Terbunuhnya Nafsus Zakiyah;
7. Datangnya Dajjal;
8. Datangnya Sufyani;
9. Masyarakat yang menjauhi ulama bagai domba yang lari dari srigala;
10. Wanita yang menyerupai lelaki dan lelaki yang suka menyerupai wanita.”
Pelajar: “Apa yang dapat mempercepat kedatangan beliau?”
HQ: “Pertama, kesiapan dan penantian umat manusia yang telah putus asa dengan siapa saja yang pernah mengaku berjanji menjadikan hidup mereka lebih baik.
Kedua, semakin berkembangnya pengetahuan umat manusia dan segala yang berkaitan dengan kemajuan. Misalnya dalam masalah komunikasi; karena saat Imam Mahdi datang nanti suaranya dapat disampaikan ke seluruh penjuru dunia melalui sarana komunikasi moderen.
Imam Shadiq as berkata, “DI akhir jaman nanti, seorang mukmin di barat akan dapat melihat dan bertemu dengan saudara seimannya di timur.”
Ada kemungkinan yang beliau maksud adalah sarana komunikasi saat ini.
Ketiga, terbentuknya pasukan-pasukan kuat yang beriman. Karena Imam Mahdi as pun juga membutuhkan pasukan yang mendukung berjalannya misi beliau.”
Pelajar: “Bukannya disebutkan dalam riwayat bahwa pasukan beliau berjumlah tiga ratus tiga belas orang?”
HQ: “313 orang itu adalah pemimpin-pemimpin pasukan Imam Mahdi as. Adapun pasukan itu sendiri, bisa dikata semua orang yang beriman adalah pasukannya.”
Pelajar: “Berarti tidak hanya Syiah saja yang meyakini kedatangan Imam Mahdi as?”
HQ: “Ya, semua madzhab memiliki keyakinan ini. Bahkan sebagian agama selain Islam dan kelompok-kelompok tertentu juga meyakini kedatangan sang Ratu Adil di akhir jaman.
SEPUTAR IMAM MAHDI AS.
pengarang : Youz Zarseef
Sumber : hpi iran
Keniscayaan Terealisasinya Penegakkan Keadilan di Muka Bumi
Pembahasan mengenai juru selamat merupakan pembahasan yang sangat urgen dewasa ini. Hal tersebut berhubungan erat dengan keyakinan dalam lingkup agama atau pun mazhab. Sebagian umat kristiani meyakini bahwa di akhir zaman, al-Masih akan muncul dan akan menyelamatkan umat manusia serta mengisi dunia dengan kedamaian. Dalam Islam pun demikian. Sebagian besar kaum muslimin meyakini bahwa di akhir zaman nanti akan muncul putra dari keturunan Nabi Muhammad saw, Muhammad Al-Mahdi yang akan menegakkan keadilan di muka bumi.Al-Quran menjelaskan Allah swt tidak mengutus seluruh para nabi dan rasul kecuali untuk satu tujuan utama yaitu menegakkan keadilan di muka bumi. Allah swt berfirman dalam Al-Quran:
لَقَدْ أَرْسَلْنا رُسُلَنا بِالْبَيِّناتِ وَ أَنْزَلْنا مَعَهُمُ الْكِتابَ وَ الْميزانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ[1]
“Sesungguhnya Kami telah mengutus para rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka kitab langit dan neraca (pemisah yang hak dan yang batil dan hukum yang adil) supaya manusia bertindak adil.”
Jadi, salah satu tujuan penting diutusnya para rasul ialah menegakkan keadilan di muka bumi. Kita mengetahui bahwa keadilan merupakan perkara yang fitriah atau manusiawi, artinya seluruh umat manusia mendambakan keadilan. Al-Quran pun menegaskan kembali bahwa keadilan di muka bumi suatu saat pasti akan terealisasi.
Berikut ini ayat Al-Quran yang menerangkan tentang akan terealisasinya keadilan di muka bumi. Allah swt berfirman;
وَعَدَ اللهُ الَّذينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَ عَمِلُوا الصَّالِحاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَ لَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دينَهُمُ الَّذِي ارْتَضى لَهُمْ وَ
لَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَني لا يُشْرِكُونَ بي شَيْئاً وَ مَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذلِكَ فَأُولئِكَ هُمُ الْفاسِقُونَ[2]
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa
Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan suatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”
Dalam ayat ini para mufassir berbeda pendapat mengenai “ استخلاف الارض” (kepemimpinan/kekhalifahan dimuka bumi).
Sebagian mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kekhalifahan disitu ialah Nabi Adam as, Nabi Daud as dan Nabi Sulaiman as. Allah swt berfirman:
وَ إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيْفَة[3]
“Dan (ingatlah) ketika Tuhan-mu berfirman kepada para malaikat, Sesungguhnya Aku ingin menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
يا داوُدُ إِنَّا جَعَلْناكَ خَليفَةً فِي الْأَرْضِ[4]
“Hai Daud! Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi.”
Sebagian mufassir tidak sependapat dengan pendapat tersebut, seperti Allamah Thabathaba’i dalam tafsir Mizan mengatakan bahwa kata “الذین من قبلکم” (orang-orang sebelum mereka) tidak sesuai dengan kedudukan para nabi, karena tidak ditemukan dalam Al-Quran ibarat tersebut dikhususkan untuk para nabi. Itu hanya menunujukkan kepada umat-umat terdahulu yang mencapai keimanan dan amal yang shaleh dimana Allah swt memberikan kekuasaan pada mereka di muka bumi.
Sebagian mufassir juga berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kekhalifahan di ayat tersebut ialah Khulafa Arrasyidin, yaitu empat khalifah setelah Rasulullah saw.
Tapi kita mengetahui bahwa kekhalifahan mereka belum meliputi seluruh bumi, juga keadilan dan kedamaian di zaman khlaifah tersebut belum terealisasi. Sedangkan Al- Quran menggambarkan bahwa keadilan akan terwujud seperti keteguhan agama, menukar keadaan dari ketakutan menjadi aman, tidak ada satupun yang menyekutukan Allah swt dll.
Dan mufassir lain mengatakan bahwa kekhalifahan dalam ayat tersebut ialah Imam Mahdi as. dan para sahabatnya.
Mereka yang akan mewarisi bumi dan memenuhinya dengan keadilan. Sebagaimana riwayat mengatakan.
لو لم یبق من الدنیا الا یوم لطول الله ذلک الیوم حتی یلی رجل من عترتی اسمه اسمی یملا الاض عدلا و قسطا کما ملئت ظلما و جورا[5]
“Jika umur dunia ini hanya tinggal satu hari, maka Allah swt akan memanjangkan hari itu sampai muncul seorang laki-laki dari keturunanku, bernama seperti namaku, dan ia akan memenuhi bumi ini dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi dengan kezaliman dan kejahatan.”
Berikut ayat-ayat lain yang berkaitan dengan pembahasan tersebut.
وَ نُريدُ أَنْ نَمُنَّ عَلَى الَّذينَ اسْتُضْعِفُوا فِي الْأَرْضِ وَ نَجْعَلَهُمْ أَئِمَّةً وَ نَجْعَلَهُمُ الْوارِثينَ[6]
“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di muka bumi itu, hendak menjadikan mereka pemimpin, dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi).”
وَ لَقَدْ كَتَبْنا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُها عِبادِيَ الصَّالِحُونَ[7]
”Dan sungguh Kami telah tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) azd-Dzikr (Taurat) bahwasanya hamba-hamba-Ku yang saleh mewarisi bumi ini.”
وَعَدَ اللهُ الَّذينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَ عَمِلُوا الصَّالِحاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَ لَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دينَهُمُ الَّذِي ارْتَضى لَهُمْ وَ
لَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَني لا يُشْرِكُونَ بي شَيْئاً وَ مَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذلِكَ فَأُولئِكَ هُمُ الْفاسِقُونَ[2]
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa
Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan suatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”
Dalam ayat ini para mufassir berbeda pendapat mengenai “ استخلاف الارض” (kepemimpinan/kekhalifahan dimuka bumi).
Sebagian mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kekhalifahan disitu ialah Nabi Adam as, Nabi Daud as dan Nabi Sulaiman as. Allah swt berfirman:
وَ إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيْفَة[3]
“Dan (ingatlah) ketika Tuhan-mu berfirman kepada para malaikat, Sesungguhnya Aku ingin menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
يا داوُدُ إِنَّا جَعَلْناكَ خَليفَةً فِي الْأَرْضِ[4]
“Hai Daud! Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi.”
Sebagian mufassir tidak sependapat dengan pendapat tersebut, seperti Allamah Thabathaba’i dalam tafsir Mizan mengatakan bahwa kata “الذین من قبلکم” (orang-orang sebelum mereka) tidak sesuai dengan kedudukan para nabi, karena tidak ditemukan dalam Al-Quran ibarat tersebut dikhususkan untuk para nabi. Itu hanya menunujukkan kepada umat-umat terdahulu yang mencapai keimanan dan amal yang shaleh dimana Allah swt memberikan kekuasaan pada mereka di muka bumi.
Sebagian mufassir juga berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kekhalifahan di ayat tersebut ialah Khulafa Arrasyidin, yaitu empat khalifah setelah Rasulullah saw.
Tapi kita mengetahui bahwa kekhalifahan mereka belum meliputi seluruh bumi, juga keadilan dan kedamaian di zaman khlaifah tersebut belum terealisasi. Sedangkan Al- Quran menggambarkan bahwa keadilan akan terwujud seperti keteguhan agama, menukar keadaan dari ketakutan menjadi aman, tidak ada satupun yang menyekutukan Allah swt dll.
Dan mufassir lain mengatakan bahwa kekhalifahan dalam ayat tersebut ialah Imam Mahdi as. dan para sahabatnya.
Mereka yang akan mewarisi bumi dan memenuhinya dengan keadilan. Sebagaimana riwayat mengatakan.
لو لم یبق من الدنیا الا یوم لطول الله ذلک الیوم حتی یلی رجل من عترتی اسمه اسمی یملا الاض عدلا و قسطا کما ملئت ظلما و جورا[5]
“Jika umur dunia ini hanya tinggal satu hari, maka Allah swt akan memanjangkan hari itu sampai muncul seorang laki-laki dari keturunanku, bernama seperti namaku, dan ia akan memenuhi bumi ini dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi dengan kezaliman dan kejahatan.”
Berikut ayat-ayat lain yang berkaitan dengan pembahasan tersebut.
وَ نُريدُ أَنْ نَمُنَّ عَلَى الَّذينَ اسْتُضْعِفُوا فِي الْأَرْضِ وَ نَجْعَلَهُمْ أَئِمَّةً وَ نَجْعَلَهُمُ الْوارِثينَ[6]
“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di muka bumi itu, hendak menjadikan mereka pemimpin, dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi).”
وَ لَقَدْ كَتَبْنا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُها عِبادِيَ الصَّالِحُونَ[7]
”Dan sungguh Kami telah tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) azd-Dzikr (Taurat) bahwasanya hamba-hamba-Ku yang saleh mewarisi bumi ini.”
Syarat Terealisasinya Tegaknya Keadilan di Muka Bumi
Sebelumnya kita telah membahas tentang keniscayaan penegakkan keadilan di muka bumi, dan kita telah mengetahui bahwa Allah swt tidak mengutus para nabi dan rasul kecuali untuk menegakkan keadilan di muka bumi.
Lalu, muncul pertanyaan bagaimana keadilan itu akan terwujud? Apa syarat-syarat untuk terealisasinya keadilan di muka bumi?.
Untuk terwujudnya keadilan di muka bumi, ada tiga syarat yang harus terpenuhi.
Pertama, adanya agama yang sempurna, dan universal yang mampu menjawab seluruh masalah kehidupan manusia, atau adanya aturan maupun syariat yang mampu memenuhi segala kebutuhan manusia baik itu yang berhubungan antara dirinya dengan Allah swt, atau dirinya dengan Alam, Masyarakat, atau pribadinya sendiri. Kita meyakini bahwa agama yang sempurna untuk sekarang ini ialah agama Islam.
Sebagaimana Allah swt berfirman dalam Al-Quran:
الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذينَ كَفَرُوا مِنْ دينِكُمْ فَلا تَخْشَوْهُمْ وَ اخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دينَكُمْ وَ أَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتي وَ رَضيتُ لَكُمُ الْإِسْلامَ ديناً[8]
“Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu. Sebab itu, janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agama bagimu.”
Kedua, adanya Pemimpin/Imam/Pembimbing/Khalifah yang mumpuni dalam memenuhi kebutuhan umat secara keilmuan baik dalam bidang Ushul, Akidah, Fikh, Akhlak atau Syariat. Pemimpin yang mampu mengamalkan agama dalam kehidupan manusia, dan ia juga harus Makshum (suci) baik secara ilmu maupun amal. Kita akan dapati bahwa Al-Quran mensyaratkan Makshum untuk seorang Imam. Allah swt berfirman:
وَ إِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيْمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَ مِنْ ذُرِّيَّتِيْ قَالَ لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِيْنَ[9]
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu ia menunaikannya (dengan baik). Allah berfirman,
“Sesungguhnya Aku menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.” Ibrahim berkata, “Dan dari keturunanku (juga)?”
Allah berfirman, “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang- orang yang zalim.”
Ayat ini menunjukan tentang syarat penting untuk seseorang yang telah mencapai maqom Imam yaitu kemakshuman. Dan hal ini juga yang menjadi sebuah keyakinan dalam mazhab Alhlul Bait bahwa seorang Imam harus Makshum.
Ketiga, adanya umat yang mampu menanggung semua tanggung jawab insaniah secara keseluruhan dan sempurna. Karena Al-Quran tidak menginginkan terwujudnya penegakkan keadilan di muka bumi secara Mukjizat, tapi Al-Quran menginginkan keadilan yang lahir atas peran utama manusia. Sebagaimana telah di paparkan dalam Al-Quran surat al-Hadid ayat 25 sebelumnya, pada kalimat akhir disebutkan لیقوم الناس بالقسط (supaya manusia bertindak adil). Jadi manusialah yang mempunyai peran asas dan penting dalam terealisasinya penegakkan keadilan di muka bumi.
Jika ketiga syarat-syarat ini terpenuhi maka penegakkan keadilan di muka bumi akan terwujud dan terealisasi.
Dalam pandangan Mazhab Ahlul Bait, sampai saat ini syarat pertama dan kedua telah terpenuhi, yaitu adanya Agama yang sempurna dan Universal juga adanya Imam yang Makshum serta mempuni dalam mengamalkan agama secara sempurna yaitu Imam Mahdi as, yang Allah swt gaibkan dan akan muncul nanti sebagaimana yang telah Rasulullah saw katakan. Adapun dalam pandangan Mazhab Ahlus Sunnah bahwa baru syarat pertama yang terpenuhi, adapun syarat kedua mereka meyakini bahwa Imam Mahdi as belum lahir. Mereka meyakini bahwa Imam Mahdi as akan lahir diakhir zaman dan tidak ada yang mengetahui kelahirannya kecuali Allah swt.
Kita tidak akan membahas lebih dalam mengenai perbedaan ini, tapi kita akan menyuguhkan satu hadis masyhur dan mutawattir sebagai bahan perenungan yang menunjukan bahwa Imam Mahdi as telah lahir. Hadis ini dikenal dengan nama hadis Tsaqolain.
حَدَّثَنَا يحيى قَال حَدَّثَنَا جرير عن الحسن بن عبيد الله عن أبي الضحى عن زيد بن أرقم قَال النبي صلى الله عليه وسلم إني تارك فيكم ثقلین ما
إن تمسكتم به لن تضلوا كتاب الله عز وجل وعترتي أهل بيتي وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض
Telah menceritakan kepada kami Yahya yang berkata telah menceritakan kepada kami Jarir dari Hasan bin Ubaidillah dari Abi Dhuha dari Zaid bin Arqam yang berkata Nabi SAW bersabda “Aku tinggalkan untuk kalian Tsaqolain yang apabila kalian berpegang-teguh kepadanya maka kalian tidak akan sesat yaitu Kitab Allah azza wa jalla dan ItrahKu Ahlul Baitku dan keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaKu di Al Haudh [Ma’rifat Wal Tarikh Al Fasawi 1/536]
Hadis Tsaqolain merupakan hadis yang mencapai derajat mutawattir dan tercantum baik dalam kitab-kitab Ahlus Sunnah maupun Ahlul Bait. Banyak perawi yang meriwayatkan hadis ini dalam bentuk teks yang berbeda-beda tapi muatan isinya tetap sama yaitu Rasulullah saw meningggalkan dua perkara penting yang jika berpegang pada keduanya tidak akan tersesat selamanya yaitu Al-Quran dan Itrah Ahlul Baitku yang keduanya tidak akan terpisah sampai kembali kepadaku.
Hadis ini menunjukkan bahwa Al-Quran dan itrah nabi tidak akan pernah terpisah, selama masih ada Al-Quran, maka harus ada seorang dari keturunan nabi yang bersamanya,
yang mana jika berpegang teguh pada keduanya umat tidak akan tersesat. Jika kita meyakini akan eksistensi Al- Quran sampai saat sekarang ini, maka kelaziman bagi kita untuk meyakini adanya seorang dari keturunan Rasul saw yang bersama Al-Quran dan menjadi pegangan kita, sehingga jika kita berpegang teguh pada keduanya maka kita tidak akan tersesat. Seorang yang dinisbahkan bersama Al-Quran pada zaman sekarang ini ialah Imam Mahdi as, sebagaimana yang diyakini dalam Mazhab Ahlul Bait bahwa seorang Imam yang menjadi pegangan umat manusia serta disandingkan dengan Al-Quran ialah orang yang harus maksum.
Menyambut Janji Tuhan
Pada pembahasan awal kita telah menyinggung tentang janji tuhan akan terealisasinya penegakkan keadilan di muka bumi, sebagaimana Allah swt berfirman pada surat Annur ayat 55 sebelumnya yang berbunyi
وَعَدَ اللهُ الَّذينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَ عَمِلُوا الصَّالِحاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa
Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi,”
Dalam teks tersebut dikatakan Allah swt telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh akan kekuasaan di muka bumi. Kita telah membahas bahwa yang dimaksud Kekhalifahan dalam ayat tersebut ialah Imam Mahdi as dan para sahabatnya. Namun yang menjadi pertanyaan ialah kenapa janji Allah swt dalam ayat tersebut hanya ditujukan kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh saja? Kenapa dalam perkara
Kekhalifahan Imam Mahdi as Allah swt tidak berjanji kepada seluruh umat manusia? Bukankah setiap manusia menginginkan keadilan di muka bumi ini?
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) kata janji berarti perkataan yg menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat (seperti hendak memberi, menolong, datang, bertemu dll). Atau janji ialah penangguhan; penundaan waktu.
Jika dilihat dari sisi pelaku pembuat janji, maka ada dua hal yang akan terjadi setelah pelaku pembuat janji itu mengikrarkan janjinya. Pertama, ia akan menepati janjinya. Kedua, ia akan mengingkari janjinya.
Berikut ini faktor-faktor seseorang tidak menepati janjinya:
Zalim, ia mampu untuk menepati janji, tapi secara sengaja ia mengingkari janjinya dan berniat zalim terhadap seseorang yang telah ia kasih janji.
Pada waktu yang ditentukan ia tidak memiliki sesuatu yang telah ia janjikan kepada penerima janji.
Ia lupa akan janjinya
Adanya halangan yang secara langsung atau tidak langsung menyebabkan ia mengingkari janjinya
Ia tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi janjinya.
Dan lain-lain
Kita telah sebutkan faktor-faktor penyebab pelaku pembuat janji tidak menepati janjinya, lalu jika kita nisbahkan semua faktor-faktor tersebut kepada Allah swt, apakah mungkin dengan sebab-sebab itu Allah swt tidak menepati janji? Ya, tidak mungkin hal itu terjadi, sangat mustahil ada satu faktorpun yang menyebabkan Allah swt tidak menepati janjinya. Jadi kesimpulannya ialah Allah swt pasti akan menepati janjinya. Jika Allah swt menjanjikan penegakkan keadilan di muka bumi, maka hal itu sudah sangat pasti akan terjadi dan terealisasi. Karena Allah swt tidak mungkin mengingkari janjinya.
Jika dilihat dari sisi penerima janji, maka ada dua hal yang akan terjadi kepada si penerima janji. Pertama, janji itu akan memberikan atsar, dampak atau pengaruh terhadap dirinya. Kedua, janji itu tidak memberikan atsar, dampak atau pengaruh terhadap dirinya.
Kita akan menjelaskan yang pertama dan kedua dengan sebuah contoh. Misalnya Anda adalah seorang karyawan di suatu perusahaan, kemudian suatu hari Bos Anda yang dikenal baik oleh semua karyawan di perusahaan itu menjanjikan kenaikan pangkat dan gaji kepada Anda jika
Anda melakukan pekerjaan dengan baik. Jika janji itu berdampak dan mempengaruhi Anda, maka sejak saat itu Anda pasti akan bekerja dengan sebaik mungkin dan memiliki pengharapan yang tinggi terhadap apa yang dijanjikan oleh Bos Anda tersebut, karena konsekuensi dari dampak atau pengaruh janji itu ialah adanya gerakan atau usaha dari Anda, sehingga gerakan yang dilakukan oleh Anda semata- mata hanya untuk merealisasikan janji dari Bos Anda tersebut.
Tapi jika janji itu tidak memberikan dampak atau pengaruh terhadap diri Anda, maka sejak saat itu anda akan bekerja biasa-biasa saja, dan Anda tidak berharap sedikitpun terhadap apa yang dijanjikan Bos. Karena janji itu tidak berdampak dan berpengaruh pada diri Anda, maka tidak ada gerakan atau usaha sedikitpun dari diri Anda dalam merealisasikan janji Bos Anda. Dalam hal ini Anda hanya sekedar mengetahui informasi yang di janjikan oleh Bos
Anda tanpa adanya sambutan dan gerakan dari Anda dalam mewujudkan apa yang dijanjikan Bos Anda.
Nah, jika Allah swt menjanjikan penegakkan keadilan di muka bumi yang dipimpin oleh Imam Mahdi as, maka pertanyaannya ialah apakah janji Allah swt itu telah berdampak atau berpengaruh terhadap diri kita? Jika iya, maka konsekuensi dari dampak atau pengaruh janji itu ialah adanya gerakan dan usaha dari kita dalam menyambut janji Tuhan tersebut, juga adanya pengharapan yang tinggi dalam diri kita akan terealisasinya janji Tuhan tersebut, sebagaimana dalam suatu hadis Rasulullah saw mengatakan:
افضل اعمال امتی انتظار الفرج من الله عز و جل[10]
“Seutama-utama amal umatku ialah menunggu Alfaraj dari Allah Azza wa Jalla.”
Yang dimaksud dengan menunggu dalam hadis tersebut bukanlah menunggu dalam artian diam tidak melakukan apapun, tapi menunggu disitu ialah adanya gerakan atau usaha dalam menyambut Alfaraj, sebagaimana yang telah kita paparkan diatas bahwa konsekuensi atas dampak dan pengaruh janji ialah adanya gerakan dan usaha serta pengharapan yang tinggi dalam merealisasikan janji tersebut.
Tapi, jika janji Allah swt tidak berdampak dan berpengaruh terhadap diri kita, maka posisi kita hanya sebatas mengetahui informasi akan janji Allah swt tersebut, juga tidak ada gerakan dan usaha serta pengharapan yang tinggi dari kita dalam merealisasikan dan menyambut janji Allah swt. Jadi, kenapa Allah swt hanya berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh dalam penegakkan keadilan dan kekhalifahan Imam Mahdi as di muka bumi? Karena telah kita ketahui bahwa tidak semua orang merasakan akan janji Allah tersebut. Hanya orang-orang khusus yang bisa merasakan janji Allah swt, yaitu orang-orang yang bergerak dan berusaha serta memilki harapan yang tinggi akan terwujudnya dan terealisasinya janji Allah swt.
Jadi, apakah kita sudah termasuk orang-orang yang merasakan dampak dan pengaruh atas janji Allah swt?
Apakah kita sudah termasuk orang-orang yang merindukan dan berharap banyak akan terealisasinya janji Allah swt?
Apakah kita sudah termasuk orang-orang yang bergerak dalam menyambut apa yang dijanjikan Allah swt?
Wallahu A’lam
CATATAN :
[1] QS Alhadid : 25[2] QS Annur : 55
[3] QS Albaqarah: 30
[4] QS Asshad : 26
[5] Kitab Muntakhab Alasar, memuat 123 hadis tentang pembahasan ini, lihat hal. 247
[6] QS Alqasas : 5
[7] QS Alanbiya : 105
[8] QS Almaidah : 3
[9] QS Albaqarah : 123
[10] Kitab Biharul Anwar juz 52 hal. 128 hadits ke 21
FAKTOR-FAKTOR KEMUNCULAN IMAM ZAMAN AJF
Sumber : islamquest.comFaktor-faktor yang menjadi sebab kemunculan adalah beberapa hal yang disebut sebagai terciptanya ruang bagi kemunculan Imam Zaman Ajf dan termasuk di antara sebab-sebab kemunculan Imam Zaman Ajf.
Dalam hal ini harus dikatakan bahwa meski faktor utama kemunculan Imam Zaman Ajf adalah irâdah Ilahi (kehendak Ilahi), namun apa yang dapat dilakukan oleh manusia sebagai ruang bagi kemunculan Imam Zaman Ajf adalah menghilangkan pelbagai hal yang menyebabkan ghaibnya Imam Zaman Ajf dan menciptakan kesiapan pada dirinya.
Kesiapan ini juga dengan menunaikan tugas-tugas dan taklif-taklif yang diemban khususnya taklif-taklif pada masa ghaibat seperti menanti tibanya kelapangan, doa, sabar, melakukan konstruksi diri, mematangkan pikiran dan sosial kemasyarakatan. Akan tetapi kesiapan-kesiapan ini harus sesuai dengan penerimaan pemerintahan semesta; artinya bersifat global dan menyeluruh serta pemikiran umum harus siap sedia untuk menyokong dan mendukung kemunculannya.
Segala sesuatu memiliki peran dalam proses kemunculan Imam Zaman Ajf dan segala sesuatu yang menjadi sebab kemunculan Imam Zaman Ajf digolongkan sebagai faktor-faktor kemunculan Imam Zaman Ajf. Dalam hal ini harus dikatakan bahwa meski faktor utama kemunculan Imam Zaman Ajf adalah irâdah Ilahi (kehendak Ilahi), namun apa yang dapat dilakukan oleh manusia sebagai penciptaan ruang dan persiapan bagi kemunculan Imam Zaman Ajf adalah menghilangkan pelbagai hal yang menyebabkan ghaibnya Imam Zaman Ajf dan menciptakan kesiapan pada dirinya; karena setiap revolusi dan gerakan yang muncul untuk meraih tujuan tertentu akan memperoleh kemenangan tatkala segala sesuatunya dari berbagai sisi telah siap sedia, selain itu maka revolusi akan menuai kegagalan dan kekalahan.
Kebangkitan Imam Zaman Ajf juga tidak terkecuali dalam hal ini dan hanya dapat meraih kemenangan tatkala syarat-syaratnya terpenuhi.[1]
Karena itu kesiapan masyarakat merupakan salah satu sebab dan faktor bagi kemunculan Imam Zaman Ajf; artinya masyarakat secara umum yang menghendaki kemunculan Imam Zaman Ajf dan terdapat pemikiran umum yang mengglobal yang menyokong dan mendukung kemunculan Imam Zaman Ajf.
Adapun penjelasan terkait dengan apa yang disebutkan dalam riwayat ihwal faktor-faktor ghaibat, sebagian di antaranya tidak berada dalam ikhtiar kita dan tidak dapat berubah seperti:
Baiat seseorang tidak berada di pundak Imam Zaman Ajf.[2]
Penjagaan beliau dari bahaya pembunuhan.[3]
Ujian Ilahi.[4]
Sebab-sebab misterius. Sebagaimana sebagian riwayat menjelaskan poin ini bahwa para Imam Maksum As mengetahui sebab utama ghaibat, namun mereka tidak memiliki tugas untuk menjelaskannya. Karena itu, mereka menjelaskannya secara umum dan global terkait dengan hikmah-hikmah Ilahi atas ghaibatnya Imam Zaman Ajf. Dalil atas klaim ini adalah riwayat Abdullah bin Fadhl Hasyimi dari Imam Shadiq As dimana Imam Shadiq As bersabda kepadanya, “Akan ada ghaibat bagi Shâhib al-Amr yang tiada cara selain itu. Setiap orang yang batil akan meragukannya.” Saya berkata kepadanya, “Semoga jiwaku menjadi tebusanmu. Tapi kenapa harus ghaibat?” Imam Shadiq As bersabda, “Untuk sebuah hal yang kami tidak memiliki izin untuk mengungkapnya bagimu.” “Apa yang menjadi hikmat atas ghaibatnya?” Tanyaku penasaran. Beliau menjawab, “Hikmah ghaibatnya adalah sama dengan hikmah ghaibat-nya hujjah Allah sebelumnya. Hikmahnya tidak akan terungkap kecuali setelah kemunculannya sebagaimana hikmah melobangi perahu, terbunuhnya anak dan tegaknya dinding oleh Nabi Khidir bagi Nabi Musa As belum lagi terungkap kecuali keduanya berpisah satu sama lain. [5]
Jelas bahwa faktor-faktor ini tidak berada di dalam kewenangan manusia sehingga mereka mampu merubahnya.
Namun sebagian lainnya faktor ghaibat dapat dirubah sebagaimana pada sebagian tauqi’ât (surat yang dibubuhi tanda tangan Imam Mahdi Ajf) juga menyinggung masalah ini dimana disebutkan tidak setianya masyarakat dan dosa-dosa mereka yang telah membuat Imam Zaman Ajf itu ghaib.
“Sekiranya Allah Swt menganugerahkan taufik kesetiaan pada janji kepada Syiah kami maka perjumpaan dengan kami tidak akan diakhirkan dan mereka akan meraih kebahagian perjumpaan dengan kami disertai makrifat yang layak. Tiada yang menahan kami dari Syiah kami kecuali amalan-amalan mereka yang tidak layak dan tercela yang sampai kepada kami.”[6]
Kandungan tauqi’ ini adalah terkait dengan tidak loyalnya orang-orang Syiah terhadap ikrar dan janji mereka dengan Imam Zaman Ajf yang menyebabkan masa ghaibatnya semakin lama dan kemunculannya diakhirkan. Karena itu loyalitas orang-orang Syiah terhadap janji mereka (terhadap Imam Zaman) dapat menjadi salah satu faktor segeranya kemunculan Imam Zaman Ajf.
Di samping itu, harap diperhatikan bahwa orang-orang pada masa ghaibat, di samping taklif-taklif yang bersifat umum, khususnya terkait dengan masalah ghaibat, mereka memikul tugas-tugas di pundak, dengan menjalankan tugas-tugas tersebut, di samping memperoleh ganjaran dan pahala, mereka juga akan menarik beberapa langkah bagi kemunculan Imam Zaman Ajf yang akan kami sebutkan sebagian di antaranya sebagai berikut:
Sabar
Dalam sebuah riwayat Imam Ridha As bersabda, “Alangkah baiknya kesabaran dan penantian bagi kemunculan Imam Mahdi Ajf. Apakah kalian tidak mendengar firman Allah Swt, “Dan tunggulah azab (Tuhan), sesungguhnya aku pun menunggu bersama kamu.” (Hud [12]:93) dan firman-Nya, “Katakanlah, “Maka tunggulah, sesungguhnya aku pun termasuk orang-orang yang menunggu bersama kamu.” (Qs. Yunus [10]:102) Sesungguhnya kelapangan akan datang setelah putus harapan dan orang-orang yang datang sebelum kalian lebih sabar dari kalian.”[7]Ungkapan “hendaknya kalian bersabar” disebutkan secara lugas dan menyatakan bahwa tugas orang-orang Syiah pada masa ghaibat adalah bersabar atas keterpisahan ini. Akan tetapi jelas bahwa sabar bermakna berkukuh pada keyakinan dan tindakan serta menjalankan khittah dan maktab Imam Mahdi Ajf.
Penantian
Meski riwayat di atas juga menjelaskan tugas penantian dengan baik. Namun terkait dengan penantian harus dikatakan bahwa Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As meminta kita untuk berteguh dalam masalah ini. Dalam sebuah riwayat dari Rasulullah Saw kita membaca, “Sebaik-baik amalan umatku adalah penantian Faraj (datangnya kelapangan).” [8] Ali As dalam menjawab sebuah pertanyaan yang diajukan kepadanya, “Amalan apakah yang paling baik di sisi Allah?” Imam Ali As bersabda, “Penantian Faraj.” [9] Imam Shadiq As bersabda, “Kondisi yang paling dekat seorang hamba kepada Tuhan dan hal yang paling diridhai di sisi Allah Swt adalah tatkala mereka mengikuti hujjah Allah Swt yang tersembunyi bagi mereka dan tidak mengetahui tempatnya maka pada masa itu, pagi dan petang, maka hendaknya mereka menantikan kedatangnnya.” [10] Jelas dan gamblang bahwa penantian terdiri dari dua bagian: Penantian takwini dan penantian tasyri’i.Sehubungan dengan penantian takwini, penantian lebih condong bersifat negatif dan lemah. Adapun penantian tasyri’i, bersifat progressif disertai dengan ilmu dan amal.
Tuturan Imam Sajjad As dapat dijadikan bukti atas klaim ini. Beliau bersabda, “Para penantii kemunculannya (Imam Mahdi Ajf) adalah orang-orang terbaik pada setiap zaman; karena Allah Swt menganugerahkan akal, pemahaman dan pengenalan dimana ghaibat di sisi mereka laksana penyaksian (musyahâdah). Mereka pada masa itu laksana para pejuang yang menghunus pedang di samping Rasulullah Saw. Mereka adalah Syiah sejati dan penyeru ke agama Allah baik secara sembunyi-sembunyi atau pun terang-terangan. [11]
Para penanti sejati pada dimensi teoritis, sedemikian memiliki makrifat sehingga ghaibat baginya laksana penyaksian; artinya ia sama sekali tidak ragu dan sangsi dalam mengenal Imam Zamannya. Dan dari dimensi praktisnya, ia senantiasa menyibukkan diri, terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, dengan urusan dakwah dan tabligh tentang Imam Zaman Ajf.
Apabila penanti negatif dan passif melipat tangan serta dengan dalih bahwa tiada yang dapat kita lakukan dan tidak berbuat apa-apa untuk menyambut kemunculan Imam Zaman maka penanti positif dan aktif, siang dan malam, berusaha menambah ilmu dan makrifatnya, menyiapkan dirinya untuk menyambut kedatangan Imam Mahdi Ajf, serta berusaha untuk mendudukan dirinya pada barisan para penanti sejati.
Intinya dalam penantian positif terpendam iman kepada yang ghaib, kecendrungan kepada keadilan, kebencian terhadap kezaliman, pengakuan terhadap kebenaran dan seruan terhadap kebaikan dan perbaikan.
Doa
Pada sebagian riwayat disebutkan bahwa tugas paling utama para penanti pada masa ghaibat adalah doa. Di antara riwayat tersebut adalah tauqi’ Ishak bin Yakub yang menerima riwayat ini melalui perantara Muhammad bin Usman dimana Imam Mahdi Ajf bersabda, “Banyak-banyaklah berdoa supaya kelapangan (kemunculan Imam Mahdi Ajf) disegerakan, karena itu adalah kelapangan bagi kalian.”[12]Inqitha':
Dalam sebuah riwayat kita membaca Imam Shadiq As bersabda, “Sesungguhnya urusan ini (kemunculan Mahdi) tidak akan terpenuhi kecuali setelah putus asa.”[13]
Dalam riwayat lainnya, Imam Ridha As bersabda, “Sesungguhya kemunculan Imam Mahdi Ajf akan datang setelah keputusasaan dan orang-orang sebelum kalian lebih sabar daripada kalian.”[14]
Hal ini bermakna bahwa selama manusia menaruh harapan pada kekuatan-kekuatan non-Ilahi, dahaga akan keadilan Mahdawi tidak ada dalam dirinya serta tidak mencari dan tidak menghendaki Imam Mahdi.
Boleh jadi atas dasar itu, salah satu tanda permulaan revolusi Imam Zaman Ajf adalah merajalelanya kezaliman dan angkara murka di muka bumi. Hal ini dapat ditetapkan dengan dua jalan:
Rasulullah Saw memandang merajalelanya kezaliman dan angkara murka sebagai tanda permulaan revolusi dan dalam sebuah hadis yang dikutip dari para ahli hadis Islam, Rasulullah Saw bersabda, “Bumi akan diisi dengan keadilan dan persamaan, setelah dipenuhi dengan kezaliman dan kesewenang-wenangan.”[15]
Tekanan dan cekikan kapan saja telah melebih batasnya akan menjadi penyebab ledakan. Ledakan-ledakan sosial seperti ledakan-ledakan mesin yang akan meletup pada tingkatan tertentu.
Pada hakikatnya tersebarnya kerusakan yang dilakukan oleh kaum durjana akan semakin mendekatkan revolusi dan sebagai hasilnya akan menyirami benih-benih revolusi untuk tumbuh berkembang, sehingga tatkala krisis sampai pada puncaknya maka meletuslah revolusi. Namun, harap diperhatikan bahwa semata-mata tersebarnya kerusakan tidak mencukupi, melainkan pengetahuan yang matang juga diperlukan dalam hal ini.
Maksud tingginya level pengetahuan masyarakat adalah bahwa manusia sampai pada level memahami bahwa kezaliman dan kerusakan menjadikan hidupnya sebagai neraka yang tidak cocok dengan makam kemanusiaannya. Setelah itu, dengan menilai syarat-syarat dan kondisi-kondisi yang ada, kejahatan kekuatan thagut, ia menyiapkan benih revolusi di tanah yang sudah siap dan melalui pelbagai cara ia menyirami tanah tersebut. Jelas bahwa sepanjang mayoritas masyarakat tidak menyadari hal ini dan manusia tidak mengetahui nilai-nilainya serta tidak menimbang segala yang dimilikinya dan oleh musuhnya, maka revolusi buta akan meletus yang tentu saja tidak dapat menjamin kemaslahatan umat manusia secara keseluruhan.
Dengan ungkapan yang lebih jelas, untuk merealisasi sebuah revolusi, tersebarnya kejahatan dan adanya seorang pemimpin yang pas, tidak mencukupi. Bahkan selain itu, kesiapan mental dan pikiran juga diperlukan sehingga masyarakat pada waktu yang tepat dapat mempersembahkan tuntutan revolusi yaitu kerelaan berkorban dan kerelaan untuk syahid dalam mencapai tujuan revolusi. Selain itu, sikap lemah, pasif dan malas, puas dengan kondisi yang ada, akan mendominasi spirit masyarakat dan pemikiran revolusi tidak akan ditemukan dalam benak mereka dan dengan berpegang pada logika “Musa dengan agamanya, Isa dengan agamanya,” atau “setiap orang harus mengeluarkan karpetnya sendiri-sendiri dari air” atau “Untuk apa aku peduli dengan urusan orang lain” dan semisalnya. Ia menilai kondisi sekarang senantiasa dengan tuntutan mencari kesenangan, dan lebih mengutamakan hidup sejahtera ketimbang harus bangkit, mengusung revolusi, menahan penderitaan penjara dan siksa, pembunuhan dan eksekusi.[16]
Di samping itu, untuk mewujudkan kebangkitan dan revolusi Imam Mahdi Ajf diperlukan seorang serdadu yang siap sedia dan kekuatan memukul produktif yang berdiri di belakang Imam Mahdi Ajf dan mematuhi komandonya. Dengan demikian, ia harus menggemleng orang-orang yang siap berkorban dalam bara api kezaliman, kejahatan, kerusakan dan diskriminasi, sehingga ia menjadi pembawa pesan keadilan. Kelompok ini harus dibekali dengan kekuatan iman dan takwa, siap berkorban harta, raga dan jiwa untuk mencapai tujuan ini.
Ringkasnya, tersebarnya kerusakan dan kezaliman, apabila berujung pada inzhilâm yaitu menerima kezaliman dan kejahatan, maka tidak akan tersedia ruang bagi kebangkitan melawan kondisi seperti ini. Bahkan hanya dapat berguna tatkala pendahuluan-pendahuluan perlawanan telah dilakukan terlebih dahulu dalam rangka menegakkan keadilan dan kebaikan. Jelas bahwa pendahuluan ini sama sekali tidak akan terlaksana kecuali masyarakat tahu bahwa kezaliman itu adalah hal yang buruk dan harus dibasmi, dan sebagai bandingannya, ia juga harus tahu simbol-simbol kesalehan dan ketakwaan personal dan sosial, dan hanya dengan pengenalan ia mengajak masyarakat kepada kebaikan dan ketakwaan.
Terdapat banyak hadis yang menyebutkan bahwa sekelompok orang pada masa-masa yang berbeda-beda dengan gerakan-gerakan reformis di tengah masyarakat akan menjadi pendahuluan-pendahuluan kemunculan Imam Zaman Ajf. Hadis-hadis ini telah dikumpulkan pada sebagian buku.[17]
Di sini kami ingin menyebutkan salah satu hadis ini. Penulis buku Kasyf al-Ghummah mengutip dari Rasulullah Saw yang bersabda, “Orang-orang akan keluar dari Timur dan menyiapkan pendahuluan bagi kemunculan Imam Mahdi Ajf.”[18]
Takwa dan Jauh dari Dosa
Pada sebagian hadis Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As menjelaskan tentang tugas-tugas para penanti, kesemuanya bercerita tentang takwa, wara, ifaf, shalah, sided, jauh dari dosa dan dekat pada Allah Swt. Sebagai contoh, Imam Shadiq As bersabda, “Barang siapa yang ingin merasakan kebahagiaan menjadi salah seorang sahabat Imam Qaim Ajf, maka selagi dalam masa penantian ia harus menjadi penanti aktif dan beramal dengan wara dan budi pekerti yang luhur. Apabila orang seperti ini meninggal dunia sebelum kemunculan Imam Zaman Ajf maka ganjaran yang akan ia peroleh sama dengan orang yang mendapatkan Imam Zaman Ajf pada masa kemunculannya. Karena itu, berusahalah untuk berbuat kebaikan dan menjadi seorang penanti yang baik. Semoga penantian ini menjadi saat-saat terindah bagimu dan engkau diliputi rahmat.”[19]
Ulama terdahulu kita, terkait dengan tugas-tugas dan taklif-taklif para penanti pada masa ghaibat, menulis buku-buku atau pasal-pasal dari buku-buku. Seperti buku Najm al-Tsaqib karya Haji Mirza Husain Nuri (wafat 1327 H), dua buku “Mikyal al-Makârim” dan “Wazhife Mardum dar Zaman Ghaibat Imam Zaman Ajf (Tugas-tugas Masyarakat Pada Masa Ghaibat Imam Zaman Ajf) karya Mirza Muhammad Taqi Musawi Isfahani (w 1348 H)
Dalam buku-buku ini dan yang semisal dengannya yang disinggung hanyalah berdasarkan riwayat-riwayat para Imam Maksum terkait dengan faktor-faktor kemunculan dan tugas-tugas para penanti. Akan tetapi dari sudut pandang rasional juga dapat dikatakan bahwa pembentukan pemerintahan semesta dengan segala kebesaran dan keagungannya, bersifat seketika meski ia merupakan sebuah hal yang mustahil, namun kita tidak memiliki dalil rasional atau referensial standar terkait dengan hal ini. Kendati boleh jadi kemunculan itu sendiri disebabkan tiadanya tauqit (tidak dijelaskannya waktu) terjadi dalam waktu serentak dan seketika, namun tentu saja tidak akan terjadi tanpa adanya persiapan pendahuluan.
Syahid Muthahari menulis, “Sebagian ulama Syiah yang menaruh prasangka baik terhadap sebagian pemerintahan Syiah kontemporer, memberikan kemungkinan bahwa sebuah pemerintahan hak akan berdiri hingga revolusi Imam Mahdi Ajf Yang Dijanjikan.[20]
Hal ini menjelaskan bahwa ulama Syiah meyakini pemerintahan pendahuluan dan hal ini merupakan suatu hal yang wajar; karena tatkala manusia menantikan seorang tamu istimewa, maka ia akan berusaha menyiapkan ruang dan persiapan pendahuluan untuk menyambut sang tamu istimewa. Bagaimana mungkin seorang penanti, menantikan seseorang yang disebabkan penegakan keadilan, pelaksanaan hukum-hukum Ilahi dan mencegah pelbagai kemugkaran akan dihukum dan merasakan sabetan pedangnya?”
Ayatullah Makarim Syirazi terkait dengan persiapan-persiapan yang harus dilakukan untuk terbentuknya pemerintahan semesta, menulis, “supaya dunia menerima pemerintahan seperti itu maka diperlukan beberapa persiapan sebagai berikut:
Kesiapan pikiran dan budaya; artinya level pemikiran masyarakat dunia sedemikian tinggi sehingga ia tahu misalnya masalah ras atau “beragam letak geografis dunia” bukanlah masalah penting bagi hidup umat manusia dan perbedaan bahasa, warna kulit, negeri, tidak dapat memisahkan manusia antara satu dengan yang lainnya.
Kesiapan sosial; orang-orang sedunia harus lelah dan muak dengan kezaliman, kejahatan dan pelbagai pemerintahan yang ada di dunia, ia merasakan kegetiran dan kepahitan kehidupan material dan mono dimensional dan bahkan telah berputus asa terhadap masa depan yang dapat memecahkan persoalan-persoalan kekinian.
Kesiapan teknologi dan komunikasi; berbeda dengan anggapan sebagian orang bahwa sampaina pada tingkat kesempurnaan sosial dan sampainya pada dunia yang sarat dengan perdamaian dan keadilan, hanya dapat tercapai dengan musnahnya teknologi modern. Adanya industri-industri maju bukan hanya tidak menggangu sebuah pemerintahan berkeadilan semesta, namun juga tanpanya mustahil dapat sampai pada tujuan seperti ini.[21]
Kesiapan individu: Pemerintahan semesta sebelum segala sesuatunya memerlukan unsur-unsur yang siap dan dengan nilai kemanusiaan sehingga dapat memikul beban berat seperti reformasi agung dan luas seperti ini.
Hal ini pada level pertama diperlukan peningkatan level pemikiran, pengetahuan, kesiapan mental dan pikiran untuk melaksanakan agenda agung ini. Para penanti sejati tentu saja tidak hanya dapat menjadi penonton untuk mengimplementasikan agenda-agenda tersebut.[22]
Catatan:
[1]. Ibrahim Amini, Dâd Gustari Jahân, hal. 294, Zamine Sâzi Zhuhur Hadhrat Wali Ashr As, Muhammad Fakir Maibadi.[2]. Silahkan lihat, Lutfhullah Shafi Gulpaigani, Muntakahab al-Âtsâr, hal. 334.
[3]. Silahkan lihat, Bihâr al-Anwâr, jil. 52, hal. 97.
[4]. Ibid, hal. 98.
[5]. Silahkan lihat, Bihâr al-Anwâr, jil. 52, hal. 91 dan 113.
«ان لصاحب الامر غيبة لا بد منها، يرتاب فيها كل مبطل، فقلت له: و لم جعلت فداك؟ قال لامر لم يؤذن لنا فى كشفه لكم، قلت: فما وجه الحكمة فى غيبة؟ فقال: وجه الحكمة فى غيبة وجه الحكمة غيبات من تقدمه من حجج اللّه تعالى ذكره، ان وجه الحكمة فى ذلك لا ينكشف الا بعد ظهوره، كما لا ينكشف وجه الحكمة لمّا أتاه الخضر( عليهالسلام ) من خرق السفينة، و قتل الغلام و اقامة الجدار، لموسى (عليهالسلام) الا وقت افتراقها». [6]. Silahkan lihat, Bihâr al-Anwâr, jil. 53, hal. 177 dan Ilzam al-Nashib, jil. 2, hal. 467. «و لو ان اشياعنا وفقهم اللّه على اجتماع من القلوب فى الوفاء بالعهد عليهم، لما تأخر عنهم اليمن بلقائنا و لتعجلت لهم السعادة بمشاهدتنا، على حق المعرفة و صدقها منهم بنا فما يحبسنا عنهم الا ما يتصل بنا مما نكرهه و لا نؤثره منهم». [7]. Bihâr al-Anwâr, jil. 52, hal. 129. «ما احسن الصبر و انتظار الفرج، اما سمعت قول الله تعالى «فارتقبوا انى معكم رقيب» و قوله عزوجل: «فانتظروا انى معكم من المنتظرين، فعليكم بالصبر، فانه انما يجيىء الفرج على اليأس و قد كان الذين من قبلكم اصبر منكم». [8]. Ibid, hal. 122. «
افضل اعمال امتى انتظار الفرج» [9]. Ibid. «اى الاعمال احب الى اللّه عزوجل؟» فقال: «انتظار الفرج». [
10]. Bihâr al-Anwâr, jil. 52, hal. 95. «اقرب ما يكون العبد الى اللّه عزوجل و ارضى ما يكون عنه اذا افتقدوا حجة اللّه فلم يظهر لهم و حجب عنهم فلم يعلموا بمكانه... فعندها فليتوقعوا الفرج صباحا و مساءً» [11]. Bihâr al-Anwâr, jil. 52, hal. 122. «المنتظرون لظهوره افضل اهل كل زمان، لان اللّه تعالى ذكره، اعطاهم من العقول و الافهام و المعرفة ما صارت به الغيبة عند هم بمنزلة المشاهدة، و جعلهم فى ذلك الزمان بمنزلة المجاهدين بين يدى رسول اللّه صلىاللهعليهوآله بالسيف، اولئك المخصلون حقا، و شيعتنا صدقا، و الدعاة الى دين اللّه سرا و جهرا » [12]. Al-Ihtijâj, jil. 2, hal. 471. «و اكثروا الدعاء بتعجيل الفرج، فان ذلك فرجكم» [13]. Bihâr al-Anwâr, jil. 52, hal. 111. «ان هذا الامر لايأتيكم الا بعد اياس...” [
14]. Silahkan lihat, Bihâr al-Anwâr, jil. 52, hal. 129 dan 110. «فانه انما يجيىء الفرج على اليأس و قد كان الذين من قبلكم اصبر منكم» [15]. Al-Ihtijâj, jil. 1, hal. 69. «يملا الارض قسطاً و عدلا كما مُلئت ظُلما وجورا». [
16]. Harap diperhatikan bahwa beberapa lama kerusakan akan melanda dunia. Kerusakan yang dilakukan negara-negara adidaya terjadi di pelbagai belahan dunia khususnya Afrika dan Asia sampai pada level yang paling parah. Semenjak hari Barat berpikir ingin menguasai Timur, setiap harinya di pelbagai belahan dunia tingkat kezaliman yang diderita semakin meningkat dan jutaaan orang yang tertawan. Hanya dengan mengkaji negara-negara jajahan di Afrika dan Asia Selatan menjadi dokumen yang paling jelas dan terang atas persoalan ini.
[17]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Kamil Sulaiman, Ruzegâr Rahâi, terjemahan Persia oleh Ali Akbar Mahdi Pur, jil. 2, hal. 1034-1062.
[18]. Kasyf al-Ghummah fi Ma’rifat al-Aimmah, jil. 3, hal. 267. Mu’jam Ahadits al-Imam al-Mahdi, Muassasah al-Ma’arif al-Islamiyah, 1411 H, jil. 1, hal. 387.
[19].. Bihâr al-Anwâr, jil. 52, hal. 140 sesuai nukilan dari Ghaibat al-Nu’mani. «من سره ان يكون من اصحاب القائم فلينتظر وليعمل بالورع و محاسن الاخلاق و هو منتظر. فان مات وقام القائم بعده، كان له من الأجر مثل أجر من أدركه. فجدوا وانتظروا هنيئاً لكم ايتها العصابة المرحومة». [20]. Silahkan lihat, Murtadha Muthahhari, Qiyâm wa Inqilâb Mahdi, hal. 68.
[21]. Makarim Syirazi, Hukumat Jahâni Mahdi Alaihi al-Salâm, hal. 80-83 [22]. Ibid, hal. 100.
AYATULLAH BEHJAT BERBICARA TENTANG MASA DEPAN
Sumber : ShabestanAyatullah Muhammad Taqi Behjat ra tak berbeda dengan para ulama besar yang lain telah menjadi pelita cemerlang bagi jalan kehidupan seluruh masyarakat luas. Untuk itu, pernyataan dan sikap-sikapnya bisa menjadi petunjuk jalan kita.
Salah satu model pertanyaan yang pernah diajukan kepada Ayatullah Behjat adalah pertanyaan berkaitan dengan isu akhir zaman. Mari kita simak bersama:
Tanya: Jika iman memiliki 10 derajat, maka Salman Farisi memiliki seluruh derajat keimanan ini. Apakah kita juga bisa menggapai seluruh derajat iman di akhir zaman ini?
Jawab: Memang semua orang bisa seperti Salman dan Abu Dzar yang mampu sabar menghadapi seluruh jenis petaka dan musibah? Atau seperti Ammar yang telah rela dibunuh? Seluruh pintu maqam yang telah berhasil mereka gapai telah tertutup. Seluruh dunia dan segala isinya tidak memiliki nilai sebesar salat Salman dalam semalam.
Tetapi, dari beberapa hadis seperti “ibadah pada masa kegaiban adalah lebih baik daripada ibadah pada masa kehadiran imam maksum” dapat dipahami bahwa maqam yang lebih tinggi masih bisa kita gapai. Kita semua sering menyaksikan keramat dan tindakan-tindakan aneh yang dilakukan oleh para ulama. Kita merasa heran mereka orang lain mampu melihat dan mereka tidak menyebutkan namanya.
Tanya: Apakah tugas kita pada masa kegaiban ini?
Jawab: Sepertinya para imam maksum as telah menyempurnakan hujah untuk kita tentang masalah ini. Mereka berkata, “Banyaklah berdoa demi kemunculan Imam Mahdi.” (Al-Ghaibah, Syaikh Thusi, hlm. 290) Tetapi tentu bukan hanya dengan sekadar komat-kamit mulut. Mereka juga berkata, “Bertindaklah sesuai dengan perintah yang sedang kalian lakukan sehingga masalah menjadi jelas bagi kalian.” (Bihar al-Anwar, jld. 52, hlm.133) Yakni dalam menghadapi masalah-masalah baru, bertindaklah sebagaimana kalian selama ini bertindak.
Para imam maksum as mengajarkan kepada kita supaya bertindak sesuai dengan keyakinan yang kita miliki. Selama belum ada keyakinan, maka kita harus berhenti dan bertindak hati-hati.
Tanya: Bagaimana kita mempersiapkan diri untuk menyongsong kemunculan Imam Mahdi as?
Jawab: Salah satu jalan adalah kita bertobat. Tobat ini akan menyebabkan seluruh petaka yang sekarang sedang menimpa dan akan menimpa Syiah akan tersingkirkan.
Ucapan dan wejangan para wali Allah dapat menjadi pelita jalan setiap insan. Untuk menyelamatkan diri dari petaka akhir zaman, marilah kita renungkan wejangan Ayatullah Behjat sang wali Allah ini.
Tindakan yang paling utama supaya kita tidak celaka di akhir zaman adalah berdoa supaya Imam Mahdi as segera muncul (doa faraj). Tentu bukan sembarang doa. Tetapi doa yang dapat mempengaruhi seluruh tindakan kita.
Doa yang paling utama adalah doa faraj untuk Imam Mahdi as ini. Doa faraj adalah obat bagi seluruh rasa sakit kita. Dalam sebuah hadis disebutkan, di akhir zaman kelak, seluruh makhluk akan binasa kecuali mereka yang berdoa supaya Imam Mahdi as segera muncul. Doa pada hakikatnya adalah sebuah harapan dan hubungan erat dengan pemiliknya. Hal ini adalah sebuah peringkat dari sebuah kelapangan (faraj).
Tentu doa faraj ini harus dibaca dengan disertai syarat-syarat yang diperlukan. Salah satu syarat yang paling utama adalah tobat dari seluruh dosa.
Meninggalkan kewajiban dan melakukan keharaman adalah tirai yang menghadang kita dari berjumpa dengan Imam Mahdi as.
Selama kita tidak memiliki hubungan kuat dengan Imam Mahdi as, seluruh kerjaan kita tidak akan benar. Cara menguatkan hubungan dengan beliau adalah memperbaiki diri kita.
ISRAEL TERUS BERUSAHA MENCARI DIMANA IMAM MAHDI
Sumber : EjajufrisiteSemasa pendudukan Amerika Serikat di Irak, salah satu pertanyaan paling mengherankan dari para tentara kepada orang-orang Irak yang disiksa di berbagai penjara seperti Abu Ghraib adalah “di mana pria yang bernama Imam Mahdi bersembunyi?” Menurut Mohabat News, sebuah kantor berita Kristen Iran pro-Israel, ketakutan terhadap Imam Mahdi begitu kuat sehingga CIA dan MI6 telah mengunjungi Irak selama 20 tahun terakhir untuk mendapatkan informasi tentang Imam Mahdi; di kota mana dia terakhir terlihat? Kapan dia akan muncul lagi?
Siapakah Imam Mahdi sampai-sampai Zionis berhasil mengontrol Kongres Amerika dan sistem keuangan dunia untuk segera memerintahkan membunuhnya?
Imam Mahdi merupakan imam keduabelas Syiah dan menurut hadis-hadis Islam dia berada dalam kondisi kegaiban dan akan kembali ke dunia untuk menciptakan kedamaian serta keadilan di muka bumi. Dia dilahirkan pada 29 Juli 869 di kota Samarra, Irak, dari seorang ibu bernama Nargis yang merupakan seorang keturunan Romawi.
Dia disembunyikan sejak kelahirannya hingga kegaiban karena penguasa masa itu, Dinasti Abbasiah, mengetahui tentang nubuat Imam Mahdi yang akan melawan tirani. Dinasti Abbasiah sadar bahwa manusia yang dijanjikan tersebut adalah putra dari imam Syiah kesebelas, Imam Askari.
Entah fiksi atau bukan, kisah ini terus berlanjut sampai hari ini; selama ribuan tahun para penguasa tiran terus mencoba untuk memburu dan membunuh Imam Mahdi. Sudah jelas bahwa Zionis ingin berperang melawan Iran, tapi yang membuat semua itu tidak masuk akal adalah mengapa Israel tetap mencari seorang pria yang telah menghilang lebih dari seribu tahun yang lalu? Dialah imam gaib telah menjadi bagian (keyakinan) dalam Syiah dan suni Islam selama berabad-abad. Keyakinan yang tidak berbeda dengan sebuah bentuk Milenarianisme yang ada di seluruh agama.
Kristiani percaya bahwa Yesus Sang Penyelamat akan kembali untuk melawan anti-Kristus (dajal) sementara orang Yahudi mempertaruhkan perang dunia ketiga dengan membongkar situs suci ketiga Islam, Masjidilaksa, untuk membangun kuil ketiga sehingga Almasih Yahudi dapat kembali dan membawa mereka menguasai dunia.
Serangan bom yang menghancurkan Masjid Al-Askari di kota Samarra pada Februari 2006 (BBC)Serangan bom yang menghancurkan Masjid Al-Askari di kota Samarra pada Februari 2006 (BBC)
Sebagai fakta pemburuan ini, kita tidak boleh mengabaikan kisah-kisah yang muncul dari Irak tentang langkah-langkah apa yang telah mereka lakukan untuk mencari Imam Mahdi. Pada tahun 2006, makam suci dari ayah Imam Mahdi di kota Samarra, diledakkan oleh para pria yang berpakaian seperti pasukan keamanan. Para pria memasuki makam, mengikat para penjaga, memasang area dengan beberapa bom dan menurut para penjaga, para pasukan keamanan itu membuka makam dan mengambil sesuatu dari dalam. Banyak yang percaya bahwa mereka mengambil beberapa pakaian dari tubuh Imam Askari untuk menentukan DNA imam masa depan.
Selama berabad-abad, Talmud mengajarkan bahwa “Yesus dari Nazareth” adalah seseorang yang “cabul, penyembah berhala, diasingkan dari orang-orang Yahudi karena kejahatannya, dan menolak bertobat” (Sanhedrin 107b; Sotah 47a). Selama berabad-abad pula, Zionis berhasil meyakinkan Kristiani bahwa Islam adalah agama yang jahat dan harus dilawan melalui persatuan Kristen/Zionis. Sebagian besar Kristiani sabuk Alkitab di Amerika memiliki hubungan yang kuat dengan Zionis dan karenanya mengejutkan mereka ketika seorang Kristen Katolik, Hugo Chavez, berpidato setelah melakukan pertemuan penting dengan Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad: “Bagi kami para Kristiani sejati, Yerusalem adalah tempat yang sangat suci di mana Nabi Yesus akan datang bergandeng tangan dengan Hazrat Mahdi sehingga perdamaian akan menyelimuti seluruh dunia.”
Kenyataan bahwa Chavez mengisyaratkan bahwa umat muslim dan Kristiani akan bersatu melawan kejahatan adalah sesuatu yang tidak diinginkan oleh Zionis. Mereka telah menghabiskan miliaran dolar pada lembaga think tank Islamfobia dan media untuk meminggirkan umat muslim.
Hadis-hadis yang menyebutkan tentang kedatangan Imam Mahdi yang memimpin tentara pembawa bendera hitam menyebutkan bahwa hanya sedikit dari orang Arab yang akan mendukung tentara tersebut namun justru berpihak pada para tiran. Orang-orang Arab yang akan bersama dengan imam telah terindikasi siapa mereka, yaitu tentara kecil Hizbullah yang telah mengalahkan Israel. Para pejuang Hizbullah mungkin memiliki perlengkapan sedikit tapi memiliki semangat yang sama dengan pasukan yang dipimpin Ali bin Abi Thalib ketika menghancurkan benteng Yahudi di Khaibar, semangat yang sama dengan Imam Husain di Karbala di mana pasukannya yang berjumlah 72 orang melawan tentara Yazid berjumlah 10.000 pasukan.
Sangat menyedihkan bahwa hadis yang berusia lebih dari seribu tahun menyebutkan bahwa banyak orang Arab akan bekerja sama dengan para tiran untuk melawan kedatangan imam. Siapakah orang-orang Arab ini? Kita telah melihat Arab Saudi dan penguasa-penguasa Teluk yang bersekutu dengan Israel dan tidak ada lagi yang lebih jelas daripada konflik Suriah saat ini. Israel bersama dengan Arab Saudi dan Qatar memaksakan perang terhadap Suriah dan Iran dengan menyalurkan sejumlah besar uang dan senjata kepada milisi di Suriah. Membunuh pengikut Syiah merupakan bagian dari agenda tersebut.
Jurnalis Seymour Hersh dalam artikel New Yorker, “The Redirection”, menyoroti betapa seluruh fokus pemerintahan Bush adalah untuk menekan Iran dan melemahkan Hizbullah melalui kerja sama dengan Arab Saudi yang membiayai kelompok ekstrimis. New World Order telah berhasil menciptakan kekuatan brutal dalam Islam yang ramah, sebuah kekuatan yang mengira tidak masalah untuk memperkosa wanita dan anak-anak dan menunjukkan potongan tubuh yang dipenggal dalam video YouTube. Bentuk intoleransi Islam ini diciptakan oleh agen Inggris, (Muhammad bin) Abdul Wahab, dan disebarkan oleh rezim Saudi yang melihat pengikut Syiah sebagai musuh, dan bukan Israel.
Abdallah Tamimi, salah seorang pemimpin Tentara Pembebasan Suriah (FSA), telah meminta pertolongan Israel untuk membentuk pemerintahan suni untuk menindas pengikut Syiah, Kristen, dan Druze, dan menekankan bahwa “Israel bukanlah musuh kami, kami ingin Israel menolong kami.”
Mungkin saja bahwa keyakinan Milenarianisme akan semakin menguat ketika para pemimpin dan penguasa dunia bekerja dengan para pendukung New World Order, menyeret negara dan penduduk mereka kepada penjajahan dan perbudakan, dan satu-satunya organisasi (PBB) yang seharusnya melindungi negara beserta hak-haknya adalah “… sebuah (organisasi) yang tidak masuk akal, tidak adil, dan benar-benar sebuah struktur dan mekanisme yang tidak demokratis. Melalui penyalahgunaan mekanisme yang telah dilakukan Amerika dan sekutunya ia berhasil menyamarkan intimidasi mereka sebagai konsep mulia dan memaksakannya kepada dunia,” kata Imam Khamenei.
Sebuah strategi yang telah dilancarkan oleh Israel melalui dukungan AS untuk mencari imam yang gaib membuat seseorang percaya bahwa mungkin saja ada kebenaran dalam kisah Alkitab. Di sebuah dunia yang masih mempercayai pahlawan super, mungkin masih masuk akal jika mata kita terlihat penuh dengan harapan terhadap sebuah pasukan yang akan muncul dari Khorasan membawa bendera hitam yang dipimpin oleh seseorang yang dijanjikan untuk melawan ketidakadilan.
HARAPAN IMAM MAHDI A.S. DARI LAPISAN MASYARAKAT
- pengarang : Sayed Ja’far Rabbany
Sayed Ja’far Rabbany
Dalam doa “اللهم ارزقنا توف?ق الطاعة” (Ya Allah! Anugerahkanlah kami rizki ketaatan [kepada-Mu]) Imam Mahdi as berdoa untuk berbagai lapisan masyarakat yang pada dasarnya menunjukkan penantian dan harapan beliau as. Doa ini dapat dibagi dalam dua klasifikasi: Bagian pertama, beliau as memohon dari Allah swt untuk semua orang dan bersifat umum, dan pada bagian kedua doa diperuntukkan bagi masing-masing lapisan masyarakat secara terpisah.
Pada bagian kedua, pada dasarnya beliau as menjelaskan pula harapan dan kekhawatiran beliau dari setiap lapisan. Target kita dalam artikel ini adalah bagian tersebut yang kini dengan seizin Allah swt kita akan mengisyaratkan sebagian darinya:
1- Ulama’
“و تفضل عل? علمائنا بالزهد و النص?حة”
“Dan anugerahkanlah kepada ulama’ kami kezuhudan dan nasehat”.[1]
Dalam bagian ini Imam Mahdi as menyatakan kekhawatiran beliau terhadap penumpukan harta dan nasehat yang ditinggalkan oleh ulama’.
Berkenaan dengan dua hal ini telah disinggung dalam riwayat-riwayat dan menjelaskan dua kriteria ini sebagai parameter untuk ulama’. Telah dinukil dari Imam Jakfar Shadiq as: “Bila kalian melihat seorang alim telah cenderung kepada dunia, maka tuduhlah dia; karena setiap pencinta akan mengitari di sekeliling yang dicinta. Allah swt telah mewahyukan kepada nabi Daud as: “Janganlah engkau menjadikan seorang alim yang tenggelam dalam dunia sebagai perantara Aku dan engkau karena ia akan menghalangi engkau dari mencintai-Ku. Mereka ini adalah perampok hamba-hamba-Ku. Minimal balasan-Ku bagi mereka adalah Aku akan mengambil kemanisan dan kelezatan beribadah kepada-Ku dari mereka.””[2]
Berhubungan dengan penggunaan ilmu, penjelasan hukum-hukum Ilahi dan nasehat untuk masyarakat, para imam as juga menyabdakan demikian: “Bila telah muncul bid’ah-bid’ah maka orang alim harus menampakkan ilmunya dan bila ia tidak melakukan hal demikian maka cahaya imannya akan dicabut.”[3]
Kita tambahkan pula sebuah poin bahwa al-Qur’an ketika menerangkan keistimewaan ulama’ ahli kitab juga menyinggung kegilaan terhadap dunia dan penutupan hakekat.
2- Kaum Pelajar
“و عل? المتعلم?ن بالجهد و الرغبة”
“Dan [anugerahkan pula] kepada kaum terpelajar kesungguhan dan kecintaan belajar”.
Doa dan harapan Imam Mahdi as dari seluruh kaum pelajar adalah supaya mereka menunjukkan kesungguhan, keseriusan dan kecintaan belajar dalam menuntut ilmu dan menjauhkan diri dari segala jenis kemalasan dan keenggana belajar. Imam Jakfar Shadiq as ketika menjelaskan tentara-tentara akal dan jahl (kebodohan), memandang kerajinan dan kesungguhan sebagai tentara akal sementara kemalasan sebagai tentara jahl,[4] dan oleh karena itulah Imam Shadiq as dalam sebuah doa berlindung kepada Allah swt dari kemalasan dan kelemahan usia lanjut:[5]
“اللهم ان? اعوذ بک من الکسل و الهرم”
Dalam kitab-kitab riwayat terdapat sebuah bab independen dengan tema “باب کراهة الکسل” dan disebutkan banyak riwayat dalam mencela kemalasan dan keengganan untuk belajar.
Imam Kadhim as bersabda: “Ayahku berkata kepada sebagian dari putera-putera beliau sebagai berikut:
“ا?اک و الکسل و الضجر فانهما ?منعانک من حظک من الدن?ا و الآخرة”
“Hati-hatilah engkau dari kemalasan dan kejenuhan (ketidaksungguhan), karena keduanya akan menghalangimu dari bagian dunia dan akheratmu”.[6]
Imam Ali as bersabda: “Suatu saat ketika segala sesuatu berpasang-pasangan, kemalasan dan ketidakberdayaan akan dipersandingkan dan akan melahirkan anak bernama kafakiran”.[7]
Dalam wasiat-wasiat Nabi saw kepada Imam Ali as disebutkan: “Wahai Ali! Hindarilah dua karakter: Kemalasan dan ketidaksungguhan, karena ketika itu engkau tidak akan memiliki kemampuan melaksanakan haq dan akan kehilangan ketenangan”.[8]
Imam Jakfar Shadiq as juga bersabda:
“ا?اک و الضجر و الکسل انهما مفتاح سوء. انه من کسل لم ?ؤد حقا و من ضجر لم ?صبر عل? حق”
“Berhati-hatilah dari ketidaksungguhan dan kemalasan karena keduanya adalah kunci keburukan. Bahwasanya barangsiapa yang bermalas-malasan tidak akan dapat menunaikan haq dan barangsiapa yang tidak bersungguh-sungguh tidak akan bersabar atas haq”.[9]
Amirul Mukminin Ali as bersabda:
“آفة النُجْح الکسل”
“Penyakit kesuksesan adalah kemalasan”.[10]
Dan beliau as pun menyatakan kesungguhan dan keseriusan dalam menuntut ilmu sebagai salah satu kriteria orang-orang bertakwa (و حرصا ف? علم).[11]
3- Para Pemuda
“و عل? الشباب بالإنابة و التوبة”
“Dan [anugerahkanlah] kepada para pemuda untuk kembali [kepada perintah Allah swt] dan bertaubat”.
Dalam riwayat-riwayat terdapat atensi khusus terhadap para pemuda bahwa mereka memperoleh perhatian Allah swt. Imam Jakfar Shadiq as bersabda:
“اما علمت ان الله تعال? ?کرم الشباب منکم”
“Apakah Anda tidak mengetahui bahwa Allah swt memuliakan para pemuda di antara kalian”.[12]
Masa muda adalah masa pembentukan kepribadian dan oleh sebab itulah para imam maksum as menegaskan keakraban para pemuda dengan al-Qur’an. Imam Shadiq as bersabda: “Seorang pemuda mukmin yang membaca al-Qur’an, maka al-Qur’an akan mendarah daging dengannya dan Allah swt mengumpulkannya dengan abrar (orang-orang yang berbuat kebajikan)”.[13] Jelas bahwa pemuda seperti ini pada hari kiamat akan merasa aman di hadapan kesulitan hari itu. Dari sisi lain, masa muda adalah masa klimak kekuatan dan perasaan ini dalam sebagian riwayat diekspressikan dengan “mabuk kepayang”[14] dan pada sebagian lain diungkapkan dengan “gila”.[15]
Dengan alasan inilah maka pemuda harus ditempatkan pada jalur ibadah dan penghambaan kepada Allah swt. Salah satu langkah penting dalam hal ini adalah permasalahan pernikahan. Nabi saw menujukan kepada para pemuda bersabda demikian:
"?ا معشر الشباب من استطاع منکم الباه فل?تزوج فانه اغض للبصر و احصن للفرج"
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah maka menikalah karena sesungguhnya hal itu lebih dapat memalingkan pandangan dan menjaga kehormatan”.[16]
Dalam hal ini al-Qur’an menyebutkan kisah suci dan benar nabi Yusuf as bagaimana beliau di puncak masa muda membebaskan diri dari dosa.
Berkenaan dengan watak suci para muda Imam Shadiq as bersabda:
“عل?ک بالأحداث فانهم اسرع ال? کل خ?ر”
“Perhatikanlah para tunas pemuda karena sesungguhnya mereka lebih cepat ke arah kebaikan”.[17]
4- Kaum Wanita
“و عل? النساء بالح?اء و العفة”
“Dan [anugerahkanlah] kepada para wanita rasa malu dan kehormatan”.
Peran kaum wanita yang tidak dapat tergantikan akan tampak ketika kita membuka kembali lembaran sejarah dan kita melihat cermat peran Fatimah Zahra’ as dan Zainab Kubra as, selanjutnya kita memperhatikan para pengikut masing-masing dari mereka seperti isteri Zuhair bin Qain di Karbala’ dan lain-lain. Adapun yang memberikan nilai lebih dan kedudukan tinggi kepada kaum wanita adalah rasa malu dan kehormatan mereka. Dalam sebuah riwayat yang dinukil dari Imam Shadiq as menegaskan bahwa sumber keutamaan dan kebesaran adalah “rasa malu” dan beliau bersabda:
“المکارم عشر... و رأسهن الح?اء”
“Kemulian ada sepuluh... dan yang paling utama adalah rasa malu”.[18]
Mungkin sangat jarang dapat ditemukan suatu riwayat yang ketika menyebutkan nilai-nilai akhlaki tidak menjelaskan sebutan “rasa malu”, bahkan para imam as dan para pemimpin agama menegaskan dalam hal ini; karena dengan rasa malu maka berbagai nilai akhlaki akan hidup dan sebaliknya, ketidakmaluan terutama pada kaum wanita dapat menciptakan berbagai hal yang tidak normal.
Dalam sebuah riwayat lain, Imam Shadiq as dengan menukil dari Rasulullah saw bersabda:
“خ?ر نسائکم العف?فة الغلمة”
“Sebaik-baik wanita kalian adalah yang menjaga kehormatan dan mencintai suami”.[19]
Pada satu riwayat dari Imam Baqir as kita membaca demikian: “Allah swt memiliki rasa malu dan mencintai orang-orang yang memiliki rasa malu”.[20] Dan dalam kasus lain disebutkan:
“الح?اء خ?ر کله”
“Malu adalah kebaikan seluruhnya”.[21]
Ketika kaum wanita menanggalkan pakaian malu dan kehormatan maka mereka akan berubah menjadi jerat-jerat setan:
“النساء حبالة الش?طان”
“Para wanita adalah jerat setan”.[22]
5- Orang-orang Kaya
"و عل? الاغن?اء بالتواضع و السعة"
“Dan [anugerahkanlah] kepada orang-orang kaya dengan kerendahan diri [tawadhu’] dan kelapangan”.
Penyakit kekayaan dalah kesombongan (takabbur) dan kekikiran (bakhil) maka orang-orang kaya harus menyadari bahwa karena orang-orang faqir mereka memperoleh nikmat-nikmat Allah swt; sebagaimana Imam Musa bin Jakfar as bersabda: “Allah swt berfirman: “Aku tidak menjadikan orang-orang kaya sebagai kaya karena menghormati mereka dan tidak menjadikan orang-orang miskin sebagai miskin karena menghinakan mereka, akan tetapi hal ini (kefakiran dan kekayaan) merupakan suatu ujian bagi kaum faqir dan orang-orang kaya dan bila tidak ada orang-orang faqir maka orang-orang kaya tidak layak memperoleh imbalan surga””.[23]
Imam Shadiq as juga bersabda: “Orang-orang kaya Syiah kami adalah yang dipercaya atas orang-orang yang membutuhkan. Oleh karena itu jagalah kami berkenaan dengan mereka maka Allah swt akan menjaga kalian”.[24]
Orang kaya tanpa derita adalah mayat bergerak dan bukan tanpa alasan bila di dalam hadis disebutkan: “Duduk bersama orang-orang kaya dapat mematikan hati”.[25]
Demi memangkas kefakiran, Islam juga melatakkan hukum-hukum untuk harta benda dan kekayaan; di antaranya mewajibkan zakat yang merupakan tugas minimal kaum Muslimin dan bila sumber ini tidak mencukupi untuk mengangkat kebutuhan mereka, Allah swt menjadikan sumber-sumber lain; seperti pemberian shadaqah kepada kaum faqir, inilah sepert yang difirmankan oleh Allah swt:
“وَ الَّذينَ في أَمْوالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُوم”
“Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu”.[26]
Maka “bagian tertentu” adalah selain zakat yang wajib dan harus bagi setiap orang menurut kadar kemampuannya.[27] Imam Ridha as menukil dari Imam Shadiq as bersabda:
“و لو خرج الناس زکاة اموالهم ما احتاج احد”
“Bila semua orang mengeluarkan zakat harta mereka maka tidak ada seorang pun yang membutuhkan”.[28] Imam Shadiq as juga bersabda: “Allah swt menjadikan orang-orang faqir sebagai kolega orang-orang kaya. Oleh karena itu orang-orang kaya tidak berhak mengeluarkan harta benda mereka untuk kepentingan selain keloga mereka”.[29]
6- Orang-orang Faqir
“و عل? الفقراء بالصبر و القناعة”
“Dan [anugerahkanlah] kepada orang-orang faqir dengan kesabaran dan qana’ah”.
Imam Shadiq as bersabda: “Allah swt menganegerahkan 10 keistimewaan kepada nabi-nabi-Nya. Maka tengoklah dalam diri kalian, bila keistimewaan-keistimewaan tersebut ada pada diri kalian maka pujilah Allah swt dan bila tidak terdapat dalam diri kalian maka mohonkanlah hal itu dari Allah swt dan di antara 10 karakter tersebut adalah kesabaran dan qana’ah”.[30]
Beliau as juga bersabda: “Aku memohon kemenangan dan aku mendapatkannya dalam kesabaran, dan aku mengharapkan ketidakbutuhan dan aku memperolehnya dalam qana’ah”.[31]
Dalam perjalanan kehidupan manusia membutuhkan kepada suatu kendaraan yang tidak mengenal lelah dan senjata tajam yang menurut Imam Ali as “Kesabaran adalah sebuah kendaraan yang selalu berguna dan qana’ah merupakan sebilah pedang tajam”.[32]
Dalam sebagian riwayat juga disebutkan bahwa qana’ah adalah harta karun yang tidak terbatas. Konsekwensi kesabaran dan qana’ah adalah dua hal: Pertama, tidak mengulurkan tangan kepada harta haram, Kedua, tidak mengincar harta benda orang lain.
7- Para Penguasa
“و عل? الاُمراء بالعدل و الشفقة”
“Dan [anugerahkanlah] kepada para penguasa dengan keadilan dan kasih sayang”.
Amirul Mukminin Ali as bersabda: “Allah swt mengazab enam kelompok dengan enam sebab dan di antaranya mengazab para penguasa karena kezaliman mereka”.[33]
Dalam riwayat lain dapat kita baca demikian:
“ان شر البقاع دور الامراء الذ?ن لا?قضون بالحق”
“Sesungguhnya tempat paling buruk adalah rumah para penguasa yang tidak menghukumi dengan kebenaran”.[34]
Bila para penguasa bertindak adil maka ketaatan rakyat kepda mereka akan menjadi sebab kemuliaan mereka, dan bila tidak maka selain kehinaan tidak ada hal lain yang diperoleh rakyat. Imam Sajjad as bersabda:
“و طاعة ولاة العدل تمام العز”
“Dan ketaatan para penguasa adil adalah seluruh kemulian”.[35]
Ucapan Imam Shadiq as berikut ini pun menarik sekali yang dalam mendiskripsikan keadilan bersabda: “Keadilan lebih segar dari air yang diperoleh seseorang yang haus. Alangkah besar dan agungnya keadilan meskipun sedikit!”.[36] Dan dalam hadis lain beliau as juga bersabda: “Keadilan lebih manis dari madu, lebih lembut dari minyak dan lebih wangi dari kasturi”.[37]
Berkenaan dengan hasil-hasil dan efek-efek keadilan –terutama bila keadilan dari pihak pemerintahan yang berkuasa- Imam Shadiq as bersabda:
“ان الناس ?ستغنون اذا عدل ب?نهم و تنزل السماء رزقها و تخرج الارض برکتها بإذن الله تعال?”
“Sesungguhnya manusia akan merasa kecukupan bila keadilan berada di tengah-tengah mereka, langit menurunkan rizkinya dan bumi akan mengeluarkan berkahnya dengan seizin Allah swt”.[38]
Pada akhirnya kita memohon dari Allah swt supaya mentari keadilan keluar dari balik tirai dan menerapkan keadilan yang sebenarnya di seluruh dimensi-dimensinya. Kita pun di samping mendengungkan doa ini di semua tempat, juga berusaha memberikan jawaban terhadap harapan dan penantian Imam Mahdi as dan pula menyampaikan misi dan pesan beliau as kepada seluruh lapisan masyarakat. [www.al-shia.org]
* Diterjemahkan oleh Imam Ghozali dari artikel Persia “Intizarat-e Imam Zaman as Az Guruh-ha-ye Ijtimaiy” yang dimuat di “Farhang-ge Kaosar” [The Culture Of Kosar Quarterly Of Think And Precedures Of Ahlul-bayt (as) Holy, Tahun ke-11, Musim Panas 1387 HS].
Catatan Kaki:
[1] Doa ini terdapat dalam beberapa kitab penting; di antaranya: Al-Balad Al-Amin, Ibrahim bin Ali ‘Amili Kaf’amy (wafat tahun 905), hal. 350, lithography; Kasyf Al-Ghummah, Ali bin Isa Arbily (wafat tahun 693), jilid 1, hal. 279, Maktabah Bani Hasyim, Tabriz, 1381 H; Al-Mishbah, Kaf’amy, hal. 280, percetakan Radhi, Qom, 1405 H.
[2] Al-Kafi, Muhammad bin Ya’qub Kulainy (wafat tahun 329, jilid 1, hal. 47, Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, Teheran; Bihar Al-Anwar, Allamah Majlisi (wafat tahun 1110), jilid 2, hal. 108, Muassasah Al-Wafa’, Beirut; ‘Ilal Asy-Syarai’, Syaikh Shaduq (wafat tahun 381), jilid 2, hal. 395, Maktabah Ad-Davary; Majmu’ah Warram, Warram bin Abi Farras (wafat tahun 605), jilid 2, hal. 36, Maktabah Al-Faqih, Qom; Misykat Al-Anwar, Abul Fadhl Ali bin Hasan Thabarsi (wafat tahun 600), hal. 140, Kitab Khane-ye Haidariyeh, Najaf; Munyah Al-Murid, Syahid Tsany (wafat tahun 966), hal 138, Percetakan Daftar-e Tablighat, Qom.
[3] Wasail Asy-Syi’ah, Hurr ‘Amily (wafat tahun 1104), jilid 16, hal. 271, Muassasah Alul Bait as, Bihar Al-Anwar, jilid 48, hal. 252; ‘Ilal Asy-Syarai’, jilid 1, hal. 235; ‘Uyun Akhbar Ar-Ridha as, Syaikh Shaduq, hjilid 1, hal. 113, Percetakan Jahan; Al-Ghaibah, Syaikh Thusi (wafat tahun 460), hal. 63, Muassasah Ma’arif Islamy, Qom; Rijal Al-Kesyi, Muhammad bin Umar Kesyi (Abad ke-empat), hal. 493, Percetakan Universitas Masyhad.
[4] Al-Kafi, jilid 1, hal. 20.
[5] Ibid, jilid 2, hal. 585.
[6] Ibid, jilid 5, hal. 85.
[7] Ibid, hal. 86.
[8] Wasail Asy-Syi’ah, jilid 16, hal. 23.
[9] Mustadrak Al-Wasail, Mirza Nury (wafat tahun 1320), jilid 11, hal. 177, Muassasah Alul Bait as, Qom.
[10] Ibid, jilid 13, hal. 44; Ghurar Al-Hikam Wa Durar Al-Kalam, Abdul Wahid Amudy (wafat tahun 550), hal. 463, Percetakan Daftar-e Tablighat, Qom.
[11] Bihar Al-Anwar, jilid 64, hal. 315; A’lam Ad-Din, Hasan bin Abil Hasan Ad-Daylamy (wafat tahun 841), hal. 136, Muassasah Alul Bait as.
[12] Al-Kafi, jilid 8, hal. 33.
[13] Wasail Asy-Syi’ah, jilid 6, hal 177.
[14] Mustadrak Al-Wasail, jilid 11,hal. 371.
[15] Man La Yahdhuruhu Al-Faqih, Syaikh Shaduq, (wafat tahun 381), jilid 4, hal. 377, Percetakan Jami’ah Mudarrisin.
[16] Mustadrak Al-Wasail, jilid 14, hal. 153.
[17] Al-Kafi, jilid 8, hal. 93.
[18] Ibid, jilid 2, hal. 56.
[19] Ibid, jilid 5, hal. 324.
[20] Man La Yahdhuruhu Al-Faqih, jilid 3, hal. 506.
[21] Ibid, jilid 4, hal. 379.
[22] Ibid, hal. 376.
[23] Al-Kafi, jilid 2, hal. 265.
[24] Ibid.
[25] Ibid, hal. 641
[26] QS. Al-Ma’arij [70]: 24.
[27] Al-Kafi, jilid 3, hal. 498.
[28] Ibid, hal. 507.
[29] Ibid, hal. 556.
[30] Ibid, jilid 2, hal. 56.
[31] Bihar Al-Anwar, jilid 1, hal. 158.
[32] Ibid, jilid 68, hal. 96.
[33] Al-Kafi, jilid 8, hal. 163.
[34] Man La Yahdhuruhu Al-Faqih, jilid 3, hal. 6.
[35] Al-Kafi, jilid 1, hal. 20.
[36] Ibid, jilid 2, hal. 146.
[37] Ibid, hal. 147.
[38] Ibid, jilid 3, hal 568.
MENGAPA KITA MENANTI IMAM MAHDI?
Apakah dasar-dasar filsafat penantian Imam Mahdi (Mahdawiyah)?
Dasar-dasar falsafah mahdawiyah (penantian Imam Mahdi) dapat dilihat dari dua sisi; dari sisi illat gha’i (sebab akhir) dan dari sisi illat fa’ili (sebab pelaku). Yakni, dari satu sisi tujuan adanya penciptaan dan kemustahilan menafikan tujuan keharusan adanya kehadiran insan sempurna. Dan manusia sempurna itu merupakan matarantai illat gha’i (sebab akhir) penciptaan alam semesta ini. Dari sisi lain jika dilihat dari sudut illat fa’ili (sebab pelaku) harus dikatakan bahwa sinkhiyyah (kesesuaian) antara illat dan ma’lul (sebab dan akibat) meniscayakan bahwa illat pertama alam semesta mesti satu dari semua sisinya, artinya tidak ada sisi katsrat (keragaman) padanya. Dan juga ma’lul-ma’lul alam yang bersifat mutakatsirah (banyak dan beragam) menuntut adanya sisi wahdat (kesatuan, kesesuaian), artinya dari satu sisi mereka (ma’lul-ma’lul) tersebut memiliki hubungan erat dengan wahdatul kul (kesatuan universal) dan dari sisi lain memiliki kesesuaian dan keserasian dengan alam katsrat (alam ciptaan). Dan hal ini hanya bisa terealisasi pada alam nafs (alam ruh, malakut), yaitu nafs dan ruh manusia sempurna yang dapat menerima alam katsrat (alam semesta). Dan manusia sempurna adalah Nabi Muhammad Saw dan para Imam suci Ahlulbait As.
Dasar-dasar filsafat penantian Imam Mahdi (Mahdiisme) dapat dikaji dalam dua sisi: Sisi pertama adalah sisi sebab tujuan dan sisi kedua adalah sisi sebab pelaku.
1. Manusia sempurna dan kedudukannya pada matarantai sebab-sebab tujuan.
Hikmah, sebab akhir dan tujuan Tuhan dalam menciptakan alam semesta ini adalah manusia sempurna. Tujuan ini terjelma dan terealisasi dalam wujud empat belas manusia suci As. Oleh karena itu dia (insan kamil) merupakan penguasa dan khalifah Tuhan di atas muka bumi ini. Dengan tujuan ini, para filosof Islam meneliti sebuah permasalahan tentang wali sempurna dan kehadiran khalifah Allah Swt di atas bumi ini yang mereka kaji berasaskan dasar-dasar dan dalil-dalil rasional.
Filosof ternama; Abu Ali Sina dalam kitabnya “Al-Syifâ” -dalam sebuah pasal- telah membahas sebuah tema yang berkaitan dengan masalah imam dan khalifah. Pada pasal tersebut beliau juga membahas tentang kedudukan, derajat spiritual, moralitas dan amal perbuatan seorang manusia sempurna. Dia berkata:[1] “Barang siapa yang berhasil menyandang sifat-sifat kenabian, maka dia menjadi “tuhan pengatur manusia,” menjabat sebagai penguasa dan menjadi khalifah Allah di muka bumi.[2]
Dalam filsafat Iluminasi (Isyraq), telah dibahas permasalahan imam, khalifah dan pemimpin masyarakat, demikian juga masalah ghaibah. Syihabuddin Sahruwardi, filosof mazhab Iluminasi (Syaikh Isyraq), dalam bukunya “Hikmatul Isyrâq” mengutarakan pembahasan imam, pemimpin umat dan pembagiannya serta tokoh pemimpin umat. Sesuai dengan kaidah-kaidah dan dasar-dasar filsafat iluminasinya ia menjelaskan syarat-syarat seseorang yang dapat menjadi ketua, pemimpin dan pembina masyarakat. Mengenai hal ini ia berkata: “Dunia tidak akan pernah kosong dari hikmah (ilmu yang sempurna) dan dari keberadaan seseorang yang memiliki hikmah, hujjah-hujjah dan penjelasan-penjelasan. Orang semacam ini adalah khalifah Allah di muka bumi, dan akan tetap seperti itu selama langit masih tetap kokoh. Oleh karena itu, pada setiap masa terdapat seseorang yang sampai kepada tingkatan dimana Tuhan menjadikannya sebagai contoh sempurna dalam ilmu dan amal perbuatan. Kepemimpinan masyarakat berada di tangannya dan dia adalah khalifah Tuhan di bumi dan bumi tidak akan pernah kosong dari orang-orang semacam ini. Ketika kami katakan bahwa kepemimpinan umat berada di tangannya, maksudnya adalah bukan berarti pemerintahan Ilahi itu nampak secara lahir. Akan tetapi pada suatu masa seorang pemimpin yang menyandang sifat-sifat Ilahi itu berhasil membentuk sebuah pemerintahan, dapat berkuasa dengan jelas dan dapat menembus ke segenap lapisan umat. Dan pada masa lainnya ia hidup secara rahasia dan tidak nampak dalam pandangan manusia (gaibah). Masyarakat menyebut imam tersebut dengan panggilan “Qutbu Zamân” (poros zaman) “Wali Asr” (pemimpin masa). Kepemimpinan umat berada di tangannya, walaupun belum nampak tanda-tanda itu padanya. Yang pasti jika pemimpin ini muncul dan berada pada puncak kepemimpinan, maka seluruh penjuru dunia akan menjadi terang bercahaya.[3]
Allamah Thabathaba’i dalam Risâlah Wilâyah menulis: "Wilayah adalah sebuah derajat kesempurnaan sejati yang paling akhir bagi manusia. Wilayah merupakan tujuan akhir pen-syariatan ajaran hak Ilahi. "[4]
Beliau dalam kitab tafsir al-Mizân menuturkan: "Wilâyah, walaupun telah disebutkan mempunyai banyak arti, namun artinya yang asli adalah tersingkapnya tabir yang menghalangi antara dua hal, sehingga sesuatu yang bukan dari keduanya itu tidak lagi tersisa." [5]
Para filosof Ikhwan As-shafa juga -dalam filsafat mereka- menaruh perhatian serius terhadap masalah Mahdisme. Dan mereka juga meyakini prihal “Ghaibah dan Dzuhur” Imam Mahdi Ajf. Mereka meyakini bahwa Imam Mahdi akan menguasai dunia dan memenuhi dunia dengan keadilan setelah dipenuhi dengan kezaliman dan kejahatan.
Imam Mahdi As memiliki dua masa kepemimpinan: masa kasyf (zhuhur, nampak) dan masa satr (gaib, tersembunyi). Pada masa kasyf, kekuasaan beliau akan nampak jelas di tengah-tengah umat. Dan pada masa satr, beliau berkuasa di balik tabir yang tidak nampak secara langsung bagi umat. Hal itu terjadi bukan karena beliau takut. Hanya para wakil beliaulah yang mengetahui tempat kediaman beliau. Dan setiap kali mereka mempunyai urusan dengannya, mereka pergi untuk menjumpainya. Karena jika tidak demikian, maka dunia ini akan kosong dari seorang hujjah (khalifah) Allah Swt. Sementara Allah Swt tidak pernah membiarkan umat ini hidup tanpa seorang hujjah dan imam pilihan-Nya. Para imam maksum As adalah sebagai tali penghubung yang tidak pernah terputus antara makhluk dan Khalik. Mereka laksana paku-paku bumi dan para khalifatullah yang sejati baik pada masa kasyf maupun pada masa satr. Siapa saja yang mati dan tidak mengenal imam zamannya, maka dia dianggap mati seperti orang-orang Jahiliyah.[6]
Sebagian ulama Islam berkata: “Sesungguhnya tujuan penciptaan manusia adalah untuk mencapai kesempurnaan. Kesempurnaan yaitu berhubungan dengan wujud paling paripurna, dan wujud paripurna hanyalah Allah Swt semata. Sudah pasti bahwa tujuan ini dapat terealisasi pada sebagian manusia. Karena jika tidak, maka hal ini akan menafikan tujuan utama penciptaan yang melazimkan kelemahan dan kebodohan Tuhan Yang Maha Haq, dan hal itu sesuatu yang mustahil. Sebagian manusia yang telah mencapai puncak kesempurnaan itu adalah 14 manusia suci.[7] Yakni berdasarkan illat akhir dari tujuan penciptaan alam ini adalah manusia sempurna tersebut.
2. Manusia Sempurna dan kedudukannya pada matarantai illat pelaku
Dari sisi sebab pelaku (illat fâ’iliyah) dapat dikatakan bahwa: sinkhiyyah (keserasian) antara sebab dan akibat itu menuntut terwujudnya sisi wahdat (kesatuan) di antara sebab pertama (Pencipta alam semesta yang Esa dari seluruh sisi-Nya dan sama sekali tidak terdapat sisi katsrat pada-Nya) dan akibat-akibat alam yang mempunyai sisi katsrat. Yakni -dari satu sisi- hubungan itu terjadi dengan wahdatulkull (esa secara mutlak) dan dari sisi lainnya harus sesuai dengan alam katsrat. Dan hal ini hanya dapat terwujud pada alam malakut (alam ruh). Ruh suatu wujud itu memiliki dua sisi; pada sisi dzatnya ia berasal dari alam materi, dan pada maqam kesempurnaannya ia berasal dari alam malakut. Akan tetapi tidak setiap ruh itu dapat mencapai maqam kesempurnaan. Hanyalah manusia sempurna (yang mampu menembus ke seluruh alam katsrat) yang dapat mencapainya. Mereka adalah Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As.[8]
Dengan demikian, jika tidak ada ruh (nafs) Nabi Saw, maka sisi kesatuan alam tidak akan terjadi dan ketika itu, sisi katsrat pun tidak mungkin terwujud.
Almarhum Sayyid Haidar Amuli dalam bukunya; Jâmi al-Asrâr berkata:[9]
“Pandangan Allah adalah manusia sempurna dimana Allah Swt memandang alam semesta ini dengan pandangannya sebagaimana Dia berfirman, Laulaka (Sekiranya bukan karenamu). Yakni seorang manusia sempurna pada maqam kesempurnaannya telah mencapai maqam washl (puncak kesempurnaan insani). Dan Tuhan mengatur alam semesta ini dengan perantara sebab-sebab tertentu, yaitu melalui manusia sempurna (insan kamil).[10]
Pada tempat lainnya beliau berkata bahwa kaidah filsafat, "al-wâhid lâ yashdûr 'anhu illa al-wâhid atau illa min al-wâhid." [11]
Kaidah ini merupakan kaidah filsafat yang gamblang dan merupakan bagian dari kaidah sinkhiyyah (keserasian) antara illat (sebab) dan ma’lul (akibat). Hal ini dapat dipahami bahwa di antara kita dan Tuhan harus ada perantara dalam urusan ciptaan, anugerah, kesempurnaan, terpenuhinya hajat, dan sebagainya. Para filosof menyebut sarana-sarana tersebut dengan istilah “uqul al-muqaddasah” (akal-akal suci). Kelompok filosof Masysyai’ (Peripatik) meyakini bahwa jumlah uqul itu ada sepuluh. Sementara kelompok Isyraq (Iluminasi) meyakini -tanpa argumen- bahwa mereka itu sangat banyak jumlahnya dan bahkan tidak terbatas.[12]
Dengan uraian itu, maka ungkapan beberapa kalimat petikan dari doa ziarah Jâmi’ah Kabirah di bawah ini akan menjadi jelas maksudnya.
"Dengan perantara kalian Allah membuka (memulai) dunia ini dan dengan perantara kalian Dia menutup (menuntaskan) ciptaan-Nya dan dengan perantara kalian Allah menurunkan hujan dan dengan perantara kalian Dia menahan langit untuk tidak jatuh ke bumi kecuali dengan izin-Nya dan dengan perantara kalian Dia menghapus kesedihan, mengangkat kesengsaraan dan pada diri kalian terdapat rahasia-rahasia penurunan para rasul dan para malaikat." [13]
Di akhir pembahasan ini kami tutup dengan sebuah ungkapan suci dari Imam Khomeini Ra: “Tujuan penciptaan manusia adalah alam ghaib secara mutlak, sebagaimana tercantum di dalam hadis qudsi:
“Wahai anak Adam segala sesuatu itu Aku ciptakan karenamu, dan engkau aku ciptakan hanya untuk-Ku.”
Dan firman Allah dalam Al-Qur’an yang mulia yang ditujukan kepada Nabi Musa bin Imran As, “Dan Aku telah memilihmu untuk diri-Ku” (Qs. Thaha [20]:41)
Juga firman-Nya: “Dan Aku telah memilihmu” (Qs. Thaha [20]:13)
Oleh karena itu manusia diciptakan “liajliLlah" (hanya untuk Allah semata). Dan dari sekian banyak makhluk ia adalah pilihan-Nya. Tujuan perjalanannya adalah sampai pada pintu Allah, fana dalam dzat-Nya dan menetap pada kefanaan Allah Swt (baqa ba'da fana). Dan akhirnya adalah kepada Allah, dari Allah, dalam Allah dan dengan Allah sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an: “Sesungguhnya kepada Kami-lah mereka kembali.” (Qs. Al-Ghasyiah [88]:2)
Sementara makhluk-makhluk lainnya kembali kepada Yang Haq melalui manusia suci. Bahkan tempat kembali mereka kepada manusia suci. Hal itu sebagaimana tersebut di dalam doa ziarah Jâmiah, bahwa, “Dan kembalinya seluruh makhluk itu kepadamu dan penghisaban mereka kepada kalian”. Dan selaras dengan apa telah disinggung di atas, "bikum fatahaLlah wa bikum yakhtim, (Dengan perantara kalian Allah membuka [memulai] dunia ini dan dengan perantara kalian Dia menuntaskan ciptaannya).
Ketika dikatakan di dalam Al-Qur’an bahwa: “Sesungguhnya kepada kamilah mereka kembali dan kemudian sesungguhnya kewajiban kamilah menghisab mereka” (Qs. Al-Ghasiyah [88]:25-26) dan dalam doa ziarah Jamiah dikatakan, “Dan kembalinya mereka kepada kalian dan penghisaban mereka pada kalian” pada hakikatnya menegaskan sebuah rahasia dari rahasia-rahasia tauhid. Demikian juga mengisyaratkan bahwa kembali kepada manusia sempurna adalah sama dengan kembali kepada Allah Swt. Karena manusia sempurna itu telah mencapai kefanaan mutlak dan tetap (baqa’) dengan tetapnya Allah Swt. Ta’ayyun (entifikasi), inniyat (keakuan) dan ananiyah (ego) tidak mendapat tempat dalam diri insan kamil. Mereka sebagai asmâ al-husna Allah dan ismul a’zhâm-Nya. Dan makna ini telah banyak diisyaratkan di dalam Al-Qur’an dan hadis-hadis mulia.[14][]
Daftar pustaka untuk telaah lebih jeluk:
1. Syifâ, Ilahiyat, makalah 10, (tentang Khalifah dan Imam)
2. Qabasât, cetakan baru, hal. 397.
3. Hikmate Isyrâq, jilid 2, hal. 11-12.
4. Syarhe Hikmate Isyrâq, hal. 23-24.
5. Târikhe Falsafeh dar Jahâne Islâmi, hal. 207-208.
6. Hakimi, Muhammad Ridho, Khursyide Magrib, hal. 152-158.
[1] Al-Syifâ, hal. 455, pasal 5
[2] Dalam kitab Syarah Manzhumah ungkapan redaksi Abu Ali (Sina) tertulis semacam demikian:
: "و رؤوس هذه الفضائل عفّة و حكمة و شجاعة و مجموعها العدالة و هي خارجة عن الفضيلة النظرية. و من اجتمعت له معها الحكمة النظرية فقد سعد و من فاز مع ذلك بالخواص النبوية كاد أن يصير ربّا إنسانيّا و كاد أن تحلّ عبادته بعد اللّه تعالى و أن تفوّض إليه أمور عباد اللّه و هو سلطان العالم الأرضي و خليفة اللّه فيه"؛
"Dan puncak keutamaan-keutamaan ini adalah kesederhanaan, hikmah dan keberanian dan kemajemukan dari semuanya ini adalah keadilan dan keadilan adalah di luar dari pada keutamaan teoritis dan barang siapa yang di dalam dirinya terkumpul hikmah teoritis (nazhari) maka termasuk orang-orang yang beruntung dan siapa saja yang beruntung mensifati dirinya dengan sifat kenabian dia dapat menjadikan dirinya sebagai tuhan kemanusiaan (memiliki andil dalam pembentukan gambaran-gambaran) dan ... hampir saja menempatkan dirinya untuk disembah setelah Allah Swt dan akan diserahkan padanya urusan-urusan hamba-hamba-Nya yaitu secara alami dan legalitas agamis memiliki wewenang terhadap mereka dan dia sebagai penguasa di atas muka bumi dan khalifah Allah di atasnya." Syarah Al-Manzhumah, jil. 4, hal 313.
[3]. Hikmah Isyrâq, dari tulisan dan karangan Syeikh Isyraq, jil. 2, hal. 11-12; Syarah Hikmah Isyraq, hal. 23-24.
[4] Al-Syiah, kumpulan diskusi-diskusi dengan Henry Corbin, hal. 185-186.
[5] Al-Mizân, jil. 10, hal. 89.
[6] Hena Al fakhuri, Khalil Al-Jar, terjemah, Aiti, Abdul Muhammad, Târikh Falsafah dar Jahane Islâmi, hal. 207-208.
[7] Muhammad Ali Gerami, ihwal hadis لولا فاطمه (Sekiranya kalau bukan Fatimah), hal. 17.
[8] Ibid, hal. 22.
[9] .Jâmiul Asrâr, hal. 381.
[10] Gerami, Muhammad Ali, mengenai hadits لولا فاطمه, hal. 23.
[11] Dari yang satu tidak keluar darinya kecuali satu , atau kecuali dari yang satu.
[12] Gerami, Muhammad Ali, mengenai hadits لولا فاطمه, hal. 66-70.
[13] بِكُمْ فَتَحَ اللَّهُ وَ بِكُمْ يَخْتِمُ [اللَّهُ] وَ بِكُمْ يُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَ بِكُمْ يُمْسِكُ السَّمَاءَ أَنْ تَقَعَ عَلَى الْأَرْضِ إِلا بِإِذْنِهِ وَ بِكُمْ يُنَفِّسُالْهَمَّ وَ يَكْشِفُ الضُّرَّ وَ عِنْدَكُمْ مَا نَزَلَتْ بِهِ رُسُلُهُ وَ هَبَطَتْ بِهِ مَلائِكَتُه Mafatihul Jinan, hal. 549.
[14] A^dab al-Shalat, Imam Khomaini, Hal. 263.
RAHASIA DAN FILSAFAT KEGHAIBAN
Oleh : Ayatullah Shafi Gulpaygani
Rahasia Kegaiban
SEBELUM kami memulai pembahasan mengenai manfaat dan maslahat kegaiban Imam Mahdi as, harus kita pahami bahwa ilmu pengetahuan yang manusia raih melalui cara yang alamiah guna mendapatkan rahasia-rahasia penciptaan alam sampai hari ini belumlah tuntas. Dan, sekiranya pengetahuan manusia ini ribuan bahkan jutaan tahun sekalipun terus berlanjut perkembangan kemajuannya, maka apa yang ia ketahui dibandingkan dengan yang ia tidak ketahui adalah satu hal yang tak bisa dibandingkan dan sama sekali tidak memiliki arti. Seorang ilmuwan pernah mengatakan, "Sesuatu yang terbatas dalam perbandingannya dengan sesuatu yang tak terbatas itu juga pada posisi kalau kita mengumpulkan segenap pengetahuan yang dimiliki oleh manusia merupakan perbandingan yang bukan pada tempatnya." Kalau seorang ilmuwan dengan pengetahuan yang ia miliki dibandingkan dengan rahasia alam penciptaan tentunya bukanlah perbandingan yang tepat bahkan merupakan hal yang lucu dan tanda dari kebodohan dan kejahilan manusia.
Imam Ali as bersabda, "Mahasuci Engkau, betapa besar apa yang kami lihat dari apa yang Engkau ciptakan dan apa yang kecil dari sisi qudrat-Mu adalah tersembunyi bagi kami", karena itu seseorang tak dapat mengatakan bahwa sebuah benda yang kecil kalau dibandingkan dengan dunia yang besar ini disebabkan karena tiadanya pengetahuan yang ia miliki, ia tidak menerima bahkan memprotes penciptaan alam atau segelintir dari alam semesta ini, seseorang tak dapat mengatakan sistem alam ini tidaklah berguna atau tidak memiliki manfaat sama sekali.
Begitu juga tak seorang pun dapat mengatakan secara yakin bahwa dari bagian kecil ciptaan yang ada berikut kejadian-kejadian alam yang terjadi tidak terdapat rahasia dan titik tersembunyi, seseorang juga tak dapat mengatakan bahwa ia mengetahui segenap rahasia alam. Filosof, hakim dan para ilmuwan dari masa lalu dan yang akan datang mengatakan dengan bangga dalam serangkai syair:
Kosong jiwaku terasing dari ilmu
Faqir dari rahasia yang tak terpahami
Tujuh puluh dua tahun kuberjuang petang dan pagi
Akhirnya kuketahui bahwa aku tiada mengetahui
Pengetahuanku tiba dimana ku mengetahui bahwa aku tak mengetahui
Seorang wanita datang bertanya terkait dengan masalah yang dia hadapi pada seorang hakim. Sang hakim menjawab, "Saya tidak tahu." Wanita itu berkata, "Wahai hakim, sang raja telah memberikan gaji dan upah kepadamu setiap bulan hingga kamu dapat menyelesaikan masalah dan kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat. Saya malu, engkau tak dapat menyelesaikan kesulitan yang saya hadapi. Engkau telah memperlihatkan kejahilan dan kebodohanmu?"
Sang hakim berkata, "Upah dan gaji yang diberikan oleh sang raja kepadaku bila dibandingkan dari apa yang saya ketahui tentunya cukup. Akan tetapi, kalau gaji dan upah itu dibandingkan dengan apa yang saya tidak ketahui sekiranya segenap uang yang ada di dunia dan emas dikumpulkan untuk diberikan kepadaku, maka sesungguhnya itu tidaklah cukup."
Manusia senantiasa harus mencari dan menuntaskan ketidaktahuannya dalam memahami segenap rahasia alam. Kalau pada suatu saat kepintaran yang dibarengi dengan rasa keingintahuan yang tinggi dalam mencari rahasia-rahasia tersembunyi dari alam semesta ini berujung pada jalan buntu, maka ini kemudian tidak berarti bahwa sesuatu yang dicari itu tak ada. Begitupun juga ketika manusia dengan alat teleskop yang super canggih mampu melihat secara detail dari alam ini, begitu mereka tak mampu melihat keberadaan alam sana dengan teleskop, maka ini tidak berarti bahwa di sana tak ada suatu keberadaan yang dapat ditemukan. Begitu juga ketika seekor hewan yang tak dapat melihat warna-warna yang ada atau hewan tersebut melihat hanya dengan satu warna yang sama, kita tak dapat mengatakan bahwa warna-warna lain yang ada dan dikenal oleh manusia itu tak ada atau dengan kata lain mengingkari warna-warna tersebut. Gelombang supersonik yang tak dapat didengar oleh telinga manusia ketika manusia tidak dapat mendengarnya, tidak berarti bahwa gelombang supersonik itu tidak ada.
Kaidah yang kami sampaikan ini menjelaskan bahwa pada alam penciptaan, baik yang takwini maupun yang tasyri'i juga terdapat hal yang demikian. Pada alam tasyri'i, banyak hal yang kita temukan ketika akal manusia dan pembahasan filsafat belum dapat memahami. Begitu juga dengan alam tasyri'i dan alam takwini. Kedua hal ini saling berkesesuaian antara satu dengan yang lain. Tentunya dalam hal ini seseorang tak dapat protes karena dia tidak mengetahui apa yang ada pada sisi tasyri'i dan apa yang ada pada sisi takwini. Bahkan sekiranya dari kedua sisi ini (takwiniyah dan tasyri'iyah) kita temukan sebuah persoalan yang akal sehat dan argumentasi yang benar, disebabkan kerugian dan tiadanya manfaat dari yang ditimbulkannya, kita bisa saja menjadi tidak senang atau bahkan tidak menyukainya sama sekali. Namun demikian hal yang seperti ini belum kita temukan pada alam takwiniyah dan tasyri'iyah dan tak akan pernah kita temukan hal-hal yang seperti itu.
Dari pengantar di atas ini, kami menyatakan, "Kami dalam keimanan pada terhadap kegaiban Imam Mahdi as. Kita sama sekali tidak membutuhkan alasan untuk mengetahui rahasia kenapa Sang Imam digaibkan. Kita meyakini keberadaan beliau secara yakin betul dan kita secara umum juga mengetahui manfaat dari kegaiban sang imam.
Namun antara apa yang kita ketahui dengan apa yang kita tidak ketahui, antara apa yang terjadi dengan apa yang tidak terjadi maka sama sekali tidak memiliki kaitan. Kalaupun kita tidak mengetahui secara benar atau alasan sesungguhnya kenapa mesti harus ada kegaiban, maka pada kenyataannya hal ini tak akan mengubah kenyataan yang ada.
Kegaiban Imam Mahdi adalah sebuah kenyataan yang hal ini telah dibuktikan dengan periwayatan dari hadis-hadis mu'tabar. Semenjak masa kegaiban para ulama arif telah memiliki kesempatan bertemu dengan beliau yang merupakan manifestasi kesucian. Antara pembahasan yang ada pada pembahasan gaibnya Imam Mahdi baik dari rahasia kegaibannya maupun kemungkinan kemunculannya sama sekali tidak memiliki hubungan. Kita dapat mengatakan bahwa terkait dengan kegaiban beliau, kita tidak mengetahuinya tapi kita meyakini kegaibannya. Sama halnya kalau kita mengatakan bahwa kita tidak mengetahui manfaat dari banyak hal tapi dari keberadaanya kita meyakini bahwa sesuatu itu ada.
Rahasia Kegaiban
SEBELUM kami memulai pembahasan mengenai manfaat dan maslahat kegaiban Imam Mahdi as, harus kita pahami bahwa ilmu pengetahuan yang manusia raih melalui cara yang alamiah guna mendapatkan rahasia-rahasia penciptaan alam sampai hari ini belumlah tuntas. Dan, sekiranya pengetahuan manusia ini ribuan bahkan jutaan tahun sekalipun terus berlanjut perkembangan kemajuannya, maka apa yang ia ketahui dibandingkan dengan yang ia tidak ketahui adalah satu hal yang tak bisa dibandingkan dan sama sekali tidak memiliki arti. Seorang ilmuwan pernah mengatakan, "Sesuatu yang terbatas dalam perbandingannya dengan sesuatu yang tak terbatas itu juga pada posisi kalau kita mengumpulkan segenap pengetahuan yang dimiliki oleh manusia merupakan perbandingan yang bukan pada tempatnya." Kalau seorang ilmuwan dengan pengetahuan yang ia miliki dibandingkan dengan rahasia alam penciptaan tentunya bukanlah perbandingan yang tepat bahkan merupakan hal yang lucu dan tanda dari kebodohan dan kejahilan manusia.
Imam Ali as bersabda, "Mahasuci Engkau, betapa besar apa yang kami lihat dari apa yang Engkau ciptakan dan apa yang kecil dari sisi qudrat-Mu adalah tersembunyi bagi kami", karena itu seseorang tak dapat mengatakan bahwa sebuah benda yang kecil kalau dibandingkan dengan dunia yang besar ini disebabkan karena tiadanya pengetahuan yang ia miliki, ia tidak menerima bahkan memprotes penciptaan alam atau segelintir dari alam semesta ini, seseorang tak dapat mengatakan sistem alam ini tidaklah berguna atau tidak memiliki manfaat sama sekali.
Begitu juga tak seorang pun dapat mengatakan secara yakin bahwa dari bagian kecil ciptaan yang ada berikut kejadian-kejadian alam yang terjadi tidak terdapat rahasia dan titik tersembunyi, seseorang juga tak dapat mengatakan bahwa ia mengetahui segenap rahasia alam. Filosof, hakim dan para ilmuwan dari masa lalu dan yang akan datang mengatakan dengan bangga dalam serangkai syair:
Kosong jiwaku terasing dari ilmu
Faqir dari rahasia yang tak terpahami
Tujuh puluh dua tahun kuberjuang petang dan pagi
Akhirnya kuketahui bahwa aku tiada mengetahui
Pengetahuanku tiba dimana ku mengetahui bahwa aku tak mengetahui
Seorang wanita datang bertanya terkait dengan masalah yang dia hadapi pada seorang hakim. Sang hakim menjawab, "Saya tidak tahu." Wanita itu berkata, "Wahai hakim, sang raja telah memberikan gaji dan upah kepadamu setiap bulan hingga kamu dapat menyelesaikan masalah dan kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat. Saya malu, engkau tak dapat menyelesaikan kesulitan yang saya hadapi. Engkau telah memperlihatkan kejahilan dan kebodohanmu?"
Sang hakim berkata, "Upah dan gaji yang diberikan oleh sang raja kepadaku bila dibandingkan dari apa yang saya ketahui tentunya cukup. Akan tetapi, kalau gaji dan upah itu dibandingkan dengan apa yang saya tidak ketahui sekiranya segenap uang yang ada di dunia dan emas dikumpulkan untuk diberikan kepadaku, maka sesungguhnya itu tidaklah cukup."
Manusia senantiasa harus mencari dan menuntaskan ketidaktahuannya dalam memahami segenap rahasia alam. Kalau pada suatu saat kepintaran yang dibarengi dengan rasa keingintahuan yang tinggi dalam mencari rahasia-rahasia tersembunyi dari alam semesta ini berujung pada jalan buntu, maka ini kemudian tidak berarti bahwa sesuatu yang dicari itu tak ada. Begitupun juga ketika manusia dengan alat teleskop yang super canggih mampu melihat secara detail dari alam ini, begitu mereka tak mampu melihat keberadaan alam sana dengan teleskop, maka ini tidak berarti bahwa di sana tak ada suatu keberadaan yang dapat ditemukan. Begitu juga ketika seekor hewan yang tak dapat melihat warna-warna yang ada atau hewan tersebut melihat hanya dengan satu warna yang sama, kita tak dapat mengatakan bahwa warna-warna lain yang ada dan dikenal oleh manusia itu tak ada atau dengan kata lain mengingkari warna-warna tersebut. Gelombang supersonik yang tak dapat didengar oleh telinga manusia ketika manusia tidak dapat mendengarnya, tidak berarti bahwa gelombang supersonik itu tidak ada.
Kaidah yang kami sampaikan ini menjelaskan bahwa pada alam penciptaan, baik yang takwini maupun yang tasyri'i juga terdapat hal yang demikian. Pada alam tasyri'i, banyak hal yang kita temukan ketika akal manusia dan pembahasan filsafat belum dapat memahami. Begitu juga dengan alam tasyri'i dan alam takwini. Kedua hal ini saling berkesesuaian antara satu dengan yang lain. Tentunya dalam hal ini seseorang tak dapat protes karena dia tidak mengetahui apa yang ada pada sisi tasyri'i dan apa yang ada pada sisi takwini. Bahkan sekiranya dari kedua sisi ini (takwiniyah dan tasyri'iyah) kita temukan sebuah persoalan yang akal sehat dan argumentasi yang benar, disebabkan kerugian dan tiadanya manfaat dari yang ditimbulkannya, kita bisa saja menjadi tidak senang atau bahkan tidak menyukainya sama sekali. Namun demikian hal yang seperti ini belum kita temukan pada alam takwiniyah dan tasyri'iyah dan tak akan pernah kita temukan hal-hal yang seperti itu.
Dari pengantar di atas ini, kami menyatakan, "Kami dalam keimanan pada terhadap kegaiban Imam Mahdi as. Kita sama sekali tidak membutuhkan alasan untuk mengetahui rahasia kenapa Sang Imam digaibkan. Kita meyakini keberadaan beliau secara yakin betul dan kita secara umum juga mengetahui manfaat dari kegaiban sang imam.
Namun antara apa yang kita ketahui dengan apa yang kita tidak ketahui, antara apa yang terjadi dengan apa yang tidak terjadi maka sama sekali tidak memiliki kaitan. Kalaupun kita tidak mengetahui secara benar atau alasan sesungguhnya kenapa mesti harus ada kegaiban, maka pada kenyataannya hal ini tak akan mengubah kenyataan yang ada.
Kegaiban Imam Mahdi adalah sebuah kenyataan yang hal ini telah dibuktikan dengan periwayatan dari hadis-hadis mu'tabar. Semenjak masa kegaiban para ulama arif telah memiliki kesempatan bertemu dengan beliau yang merupakan manifestasi kesucian. Antara pembahasan yang ada pada pembahasan gaibnya Imam Mahdi baik dari rahasia kegaibannya maupun kemungkinan kemunculannya sama sekali tidak memiliki hubungan. Kita dapat mengatakan bahwa terkait dengan kegaiban beliau, kita tidak mengetahuinya tapi kita meyakini kegaibannya. Sama halnya kalau kita mengatakan bahwa kita tidak mengetahui manfaat dari banyak hal tapi dari keberadaanya kita meyakini bahwa sesuatu itu ada.
Ihwal Kegaiban
Harus kita ketahui bahwa pertanyaan-pertanyaan terkait dengan kegaiban sang Imam tidaklah dimulai dari zaman kita. Bahkan pertanyaan ini telah ada pada saat digaibkannya sang imam tadi. Terlebih jauh lagi sebelum kegaiban beliau. Bahkan sebelum kelahiran beliau, soal ini telah dikemukakan semenjak zaman para nabi dan para imam maksum lainnya seperti pertanyaan:
Kenapa mesti terjadi kegaiban dan apa manfaat dari digaibkannya beliau? Pada masa kegaiban, bagaimana kita dapat mengambil manfaatnya? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini telah mebimbing kita pada kemunculan dari sang Imam dan tentunya ini adalah berita gembira. Jawaban-jawaban telah diberikan dari pertanyaan di atas dan sebagian akan kami utarakan secara ringkas.
Jawaban pertama yang menjadi alasan dan rahasia dari digaibkannya beliau dan hakikat sesungguhnya dari kegaiban beliau tak akan pernah diketahui sampai pada hari kemunculan beliau sendiri, sebagaimana hikmah dari apa yang dilakukan oleh Nabi Khidhir as pada saat bersama Nabi Musa as ketika beliau sama sekali tidak mengetahui alasan kenapa Nabi Khidhir as melakukan perbuatan-perbuatan tadi sampai pada masa berpisahnya mereka. Begitupun juga dengan manfaat dan faedah dari ciptaan-ciptaan yang ada, tumbuhan dan hewan bahkan dari jenis molekul-molekul sederhana seperti tanah, air, dan ciptaan-ciptaan lain. Bahkan manusia, sekalipun setelah berlalu bulan dan tahun, belum mengetahui hakikat sesungguhnya dari penciptaan mereka.
Jawaban kedua, salah satu hikmah dan rahasia kegaiban adalah ujian bagi hamba itu sendiri karena dengan perantaraan gaibnya Imam, terkhusus lagi jika rahasia digaibkannya sang imam tetap terjaga dan tidak diketahui, maka tingkat keimanan dan penyerahan orang-orang terhadap takdir dan ketentuan Ilahi akan terlihat dan kekuatan keyakinan dan tasdiq dari apa yang mereka ketahui akan nampak dengan jelas. Di zaman kegaiban dengan perantaraan kejadian dan fitnah-fitnah yang ada, ujian yang datang menimpa manusia pun semakin dasyat. Salah satu dari rahasia kegaiban Imam Mahdi adalah bahwa masyarakat dunia secara perlahan-lahan bersiap untuk menerima kedatangan beliau, baik dari sisi kesiapan pengetahuan, kesiapan akhlak dan tentunya kesiapan amal karena kedatangan beliau seperti kedatangan para nabi, sebahagian dari keperluan dan kebutuhan yang ada bersandar pada sebab-sebab alami dari kemunculan beliau yang manajemen kepemimpinan beliau merupakan kepemimpinan dunia yang disandarkan pada hakikat hukum yang sebenarnya, tak ada lagi kepura-puraan, menekankan pada pelaksanaan amar ma'ruf nahi munkar, dan balasan yang keras terhadap amal perbuatan yang dilakukan. Beliau adalah tuan yang dirajakan, yang mengerjakan segenap pekerjaan yang ada dan tentunya pekerjaan yang sifatnya mutlak di sini membutuhkan kesempurnaan pengetahuan, tafakkur, kesempurnaan akhlak, di mana potensi perkembangan ilmu manusia menuju keuniversalan duniawi, dan pemerintahan hukum-hukum Al-Quran dapat terlaksana.
Di akhir pembahasan yang ada kami mengharapkan pembaca dapat merujuk pada buku-buku yang membahas tentang tema-tema kegaiban Imam Mahdi as seperti buku Ghaybah karya Nu'mani, Ghaybah karya Syekh thusi, Kamaluddin wa tamamun ni'mah, karena pada pembahasan tentang kegaiban pada buku-buku ini akan memberikan informasi yang sangat berguna .
Kami berharap bahwa Allah Swt menyegerakan kedatangan beliau dan menghiasi kehidupan ruhaniah kita dengan pemerintahan dunia Islam, dan memenuhi dunia dengan keadilan, menghapuskan segenap kezaliman dan ketidakadilan di dunia ini. Melepaskan manusia dari kehausan kekuasaan dan kudrat, yang tentunya semua ini merupakan keberkahan dari Rasulullah saw beserta Ahlulbaitnya yang disucikan.
Hikmah dan Filsafat Kegaiban
Wa qul Rabbi zidni ilman
Kebanyakan masyarakat awam berpikiran bahwa mereka mengetahui hakikat dari segala sesuatu dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan sentuh. Dengan hal-hal tersebut, mereka beranggapan bahwa mereka telah memahami hakikat dari sesuatu tersebut dan mungkin lebih sedikit dari mereka yang memerhatikan ketidaktahuan mereka. Seorang petani yang sedang bertani atau berkebun dan mereka yang sedang sibuk dengan apa yang mereka kerjakan, mungkin berpikir bahwa tak ada sesuatu yang berhubungan dengan mereka, baik yang berasal dari tanah, air yang mereka pakai, akar, batang dedaunan dari pohon dan tumbuhan yang mereka tanam dari biji dan buah, batu dan cahaya matahari. Semuanya tidak memiliki hubungan. Bagi mereka, semua keberadaan tersebut bisa jadi satu hal yang tidak majhul atau tidak diketahui. Begitu juga dengan para penambang, gembala, mereka berpikir bahwa apa yang mereka saksikan dan di bawah dari pandangan mereka semuanya mereka ketahui. Bahkan orang-orang yang belajar pun terkadang tejatuh pada kesalahan yang sama. Mereka bepikir bahwa mereka mengetahui segenap hakikat dari segala sesuatu. Seorang insinyur listrik, penambang, petani, dokter ahli di bidang kulit, otak, tulang, matematikawan, ahli perbintangan, psikolog, fisikawan, kimiawan dan sebagainya, mereka ingin memberikan definisi dari setiap keberadaan yang ada dan berhubungan dengan apa yang menjadi bidang dan lahan keahlian mereka. Tapi satu hal yang disayangkan adalah bahwa dari pengenalan atau pencarian pengetahuan yang mereka lakukan tidak menunjukkan hakikat dari sesuatu tersebut bahkan semakin mereka mencari dan mencari, senantiasa datang kritikan dan kesusahan silih berganti dan pada akhirnya mereka tak mampu memberikan definisi sebagaimana mestinya dari keberadaan-keberadaan yang ingin mereka definisikan.
Dunia dan semesta memiliki silsilah yang sangat panjang yang ujung pangkalnya bagi manusia menyisakan pertanyaan yang tak terjawab. Setiap lingkaran mata rantai kehidupan senantiasa terdapat rantai kehidupan yang baru yang akhirnya bagi manusia sendiri hanya menimbulkan ketakjuban dan keheranan.
Lady Nancy Astor berkata, "Kalau setiap manusia tidak mengucapkan sesuatu yang berasal dari hakikat sesuatu, maka kesunyian dan kesepian akan memimpin dunia." Warren Weaver seorang wakil direktur dari Yayasan Rockefeller juga berpendapat, "Apakah pengetahuan dan ilmu akan menang dalam peperangan melawan kejahilan dan kebodohan? Sementara pengetahuan dari setiap pertanyaan yang telah mendapatkan jawaban senantiasa mendapatkan dan memunculkan pertanyaan baru, dan betapa kita tenggelam dalam jalan menemukan jawaban terhadap ketidaktahuan yang ada, kegelapan akan kejahilan semakin bertambah dan bertambah, pengetahuan manusia senantiasa tak pernah cukup dan perasaan ini tak pernah mengawal dan senantiasa tersisa. Setiap hari yang berlalu dari apa saja yang kita rasakan dan kita tidak memahaminya atau tidak mengetahuinya akan menyebabkan kita menjadi rendah dan semakin rendah."
Memang betul bahwa manusia telah berhasil berdasarkan pengetahuan dan percobaan ilmiah yang mereka lakukan terkait dengan listrik, air, uap, tanah, udara, bahkan atom. Mereka menjulurkan tangan untuk menguasai apa saja yang ada di langit, menguak segenap unsur, segenap alat-alat industri seperti telepon, telegraf, radio, televisi dan lainnya tetapi mereka masih belum mampu memahami dan mengetahui hakikat siang dan malam. Bukanlah dari hakikat tanah, api, air atau bahkan unsur-unsur alam lainnya, dari apa yang mereka tambang, dari sel-sel tubuh manusia, hormon-hormon genetika, elektron dan proton, manusia tidak mengetahui hakikat wujud-wujud tersebut. Memang betul mereka telah menemukan beberapa hal, namun hakikat sesungguhnya dari keberadaan tersebut masih tetap tanda tanya besar bagi manusia itu sendiri.
Salah seorang ilmuwan mengatakan, orang-orang beranggapan bahwa manusia yang kemudian didefinisikan sebagai hewan yang berpikir dan binatang lain seperti kuda didefinisikan sebagai hewan yang tak berpikir. Dengan pendefinisian seperti ini menunjukkan kesombongan pengetahuan. Mereka pikir bahwa dengan pendefinisian seperti ini mereka telah sampai pada hakikat manusia atau kuda itu tadi. Padahal sesungguhnya mereka tidaklah sampai pada hakikat manusia itu sendiri atau bahkan pada hakikat hewan itu sendiri. Ada baiknya kita mengatakan bahwa pendefinisian yang seperti ini bukanlah pendefinisian yang membahasakan hakikat dari keberadaan tersebut.
Manusia bahkan tidak mampu mengetahui sesuatu yang paling dekat dengan dirinya sekalipun karena dari keberadaan manusia sendiri tidak ada yang lebih dekat dari ruh dan jiwanya. Apakah manusia mengetahui bagaimana kehidupan ruhnya? Apakah hakikat dari kehidupan ruh dapat dijelaskan? Apakah manusia memiliki pengetahuan terhadap silsilah batin yang ia miliki? Apakah ia mengenal hal-hal yang merupakan bagian dari batinnya seperti cinta, keberanian, kenikmatan, … dan lainnya? Meskipun demikian apakah dengan segenap kesusahan yang ada dari ketidaktahuan manusia itu sendiri, ia dapat mengingkari hakikat dari wujud-wujud itu tadi ? Apakah kita bisa mengatakan dari ribuan juta makhluk yang ada-karena ketidakmampuan kita untuk memahami keberadaan mereka-kita mengingkari wujud atau keberadaan mereka? Apakah bisa kita menafikan segenap rahasia dari lembaran-lembaran buku penciptaan dan manfaat dari keberadaan makhluk tadi disebabkan karena ketidakmampuan mengungkap hakikat wujud mereka kita mengatakan bahwa mereka itu tidak ada?
Apakah bisa kita mengatakan karena kita tidak melihat sesuatu, maka sesuatu itu tidak ada, karena kita tidak menemukan manfaat dari sesuatu itu maka sesuatu tersebut tidak bermanfaat? Sejauh manusia bertambah cerdas dan pintar, semakin mereka menjadi ilmuwan dan memiliki pengetahuan yang lebih banyak. Mereka tak akan pernah punya kemampuan untuk mengaku bahwa "saya mengetahui hakikat dari segala sesuatu".
Ribuan tahun lalu manusia takut akan petir dan kilat yang menyambar. Pada masa itu manusia tidak memiliki pengetahuan baik tentang manfaat yang dapat mereka peroleh dari petir dan kilat tadi. Mereka mengatakan bahwa ini adalah bagian dari kekuatan dan kekuasaan Ilahi. Mereka tidak mengetahui apa manfaat yang diberikan kilat dan petir terhadap pertumbuhan pohon dan tumbuhan lainnya begitu juga terhadap kehidupan hewan-hewan yang ada. Apakah ini berarti bahwa pada saat manusia tidak mengetahui manfaat dari petir dan kilat tadi, ini berarti bahwa kilat dan petir tidak memiliki manfaat dan bukan merupakan bagian dari rahmat Allah Swt?
Para arsitektur melihat dunia sebagai bagian dari sistem keteraturan yang secara lahiriah merupakan harta karun hakikat yang tersembunyi. Mereka melihat alam sebagai sebuah universitas raksasa yang penuh dengan hikmah dan ilmu. Alam ini merupakan bagian dari atribut dan tanda. Kesemestian pengaruh yang muncul dari alam ini memberikan sebuah kenikmatan tersendiri bagi para pengagumnya. Alam yang merupakan sebuah unversitas besar yang para mahasiswanya sampai akhir hayatnya dapat mengambil manfaat dan kenikmatan darinya itu pun kenikmatan yang tak dapat dihitung dan dibandingkan nilainya. Mereka melihat alam laksana sebuah rumus matematika atau rumus-rumus keteknikan secara lahiriah, namun ketika mereka masuk ke dalamnya, semakin mereka masuk ke dalam, mereka semakin menemukan kesusahan dan kesulitan yang semakin menjeluk.
Bagi seorang filosof atau pemikir, medan ini adalah satu hal yang sangat menyenangkan yang senantiasa akan menambah kebingungan sekaligus keheranan. Mereka akan tiba pada sebuah titik ketika akal mereka akan mengatakan bahwa ia sama sekali tidak punya kemampuan untuk mengetahui atau mengungkap setiap inci rahasia terpendam dari alam semesta ini. Kemajhulan dan ketidaktahuan akan menghampiri mereka dan pada saat itu mereka mengumandangkan ayat suci Al-Quran:
)وَلَوْ أَنَّ ما فِي الْأَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلامٌ وَ الْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ ما نَفِدَتْ كَلِماتُ اللهِ إِنَّ اللهَ عَزيزٌ حَكيمٌ(
Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (laut itu kering), niscaya kalimat Allah tidak akan pernah habis. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Mereka juga mengatakan bahwa pertemuan telah selesai. Begitu pun juga dengan umur kita. Sekiranya sejak awal kita melakukan pencarian dan penelitian akan hikmah, sistem, logika, naluri, kehendak, dan kekuatan dari sang Mahamutlak untuk mengenal dunia ini, maka kita tak akan pernah menemukan ketidakteraturan dan ketiadaan manfaat dari alam ini.
Ini adalah ringkasan bayangan dari ketidakmampuan manusia dalam pencarian bagaimana memahami, mengetahui dan mengenal yang pada saat bersamaan melihat bagaimana fungsi akal dan kecerdasan manusia. Kalau kita melihat dari apek falsafah setiap wujud atau keberadaan yang ada khususnya melihat alam dari sisi falsafah takwiniyah dan tasyri'iyah, maka ketidakmampuan manusia dalam memberikan tafsiran dan pemaknaan akan lafaz-lafaz makna semesta yang kemudian keberadaannya tak dapat dipungkiri.
Perumpamaan alam makna dan hakikat-hakikatnya dengan ilmu dan pengetahuan manusia seperti perumpamaan lafaz dengan makna dan masalah. Dalam dunia bahasa ketika sebuah lafaz memiliki makna yang lebih banyak dan luas, maka ia tidak dapat mengandung segenap makna yang ada, karena bahasa makna dan kalimat memiliki keterbatasan makna sementara makna dari benda yang dimaksud itu tidak terbatas. Dari apa yang terbatas dengan yang tidak terbatas tentunya tidak dapat melingkupi semua makna yang ada. Seorang penyair Arab mengatakan :
و ان قميصا خيط من نسج تسعة و عشرين حرفا عن معاليه قاصر
Bahasa yang paling sempurna dalam membahasakan hakikat semesta ini adalah bahasa Al-Quran, yang menyatakan itu dalam sebuah ayat:
قُلْ لَوْ كانَ الْبَحْرُ مِداداً لِكَلِماتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِماتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنا بِمِثْلِهِ مَدَداً
Katakanlah, "Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhan-ku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)."
Al-Quran Al-Karim telah membahasakan ketidakmampuan manusia ini empat belas abad silam. Dari ayat ini setiap harinya mukjizat dan kedasyatan pengetahuan dinampakkan darinya (Al-Quran) dengan bahasa yang paling fasih. Kebesaran dan ketakterbatasan dari jumlah mahkluk yang ada sejak awal penciptaan sampai yang akan datang telah di kumandangkan dalam ayat ini.
Hadis-hadis dan riwayat yang dibahasakan oleh Ahlulbait Nabi as juga menyatakan kenyataan dan hakikat yang ada ini, seperti dalam sebuah riwayat suatu saat manusia mengenal beberapa jumlah bintang yang ada di langit dan selebihnya mereka tidak mengetahui berapa jumlah sesungguhnya dari bintang-bintang tadi. Hal ini kemudian ditamsilkan dan diperumpamakan dengan jumlah rintikan air hujan dan kerikil kecil dari padang yang luas. Imam Ja'far Shadiq as bersabda:
"يا ابن آدم لو اكل قلبك طائر لم يشبعه و بصرك لو وضع عليه خرت ابرة لغطاه تريد ان تعرف بها ملكوت السموات و الارض"
Dari pengantar yang kami sampaikan ini kepada orang-orang yang senantiasa mencari hakikat dari rahasia kegaiban Imam Mahdi, sebab dan falsafah kegaibannya, kami mengatakan, "Bertanyalah, perhatikan, dan telitilah secara seksama soal yang saudara tanyakan. Kami tidaklah menolak pertanyaan itu. Silahkan bertanya dan carilah, karena pada hakikatnya kalau sebab asli atau sebab sesungguhnya dari kegaiban Imam Mahdi yang Anda cari, maka saudara tak akan mendapat jawabannya, tapi saudara bisa melihat apa hikmah dari kegaiban tadi. Saudara harus mengetahui bahwa pencarian alasan kegaiban akan membimbing saudara pada sebuah silsilah pengetahuan. Namun demikian, kalau maksud pencarian pengetahuan ini, dengan keberatan dan kritikan yang saudara sampaikan, ingin membuktikan sebab kegaiban dengan pengetahuan dan kemampuan saudara sendiri, maka pemahaman saudara terhadap kegaiban beserta kritikan terhadap kegaiban ini tidak akan pernah bermakna bahwa eksistensi Imam Mahdi dan kegaibannya itu tidak ada dan tidak nyata. Tentunya, hal ini menandakan bahwa jalan kebenaran dan pengakuan rasional bagi saudara telah tertinggal jauh. Satu hal yang pasti, akidah dan keimanan yang ada, tak akan goyah dengan kritikan dan ribuan pertanyaan yang menghadang. Ketiadaan alasan dan dalil atau argumentasi ini tidak berarti bahwa sesuatu itu tidaklah ada. Apakah ketidaktahuan saudara hanya pada tema dan pembahasan ini? Apakah saudara dengan pengatehuan yang saudara miliki telah menemukan hakikat segenap keberadaan makhluk? Apakah setiap pertanyaan manusia tentang bagian-bagian terkecil dari alam ini, dari apa yang lahir dan batinnya saudara telah menemukan jawabannya? Apakah karena saudara tidak mengetahui rahasia apa di balik itu maka dapat berarti bahwa hal ini tidak memiliki faedah dan manfaat? Apakah neraca dan timbangan dari ketiadaan faedah disebabkan tiadanya pahaman saudara dan saya? Ataukah ketidaksanggupan saudara dalam menyingkap tabir sebab kegaiban dan hikmah-hikmah alasan akan ketidakmampuan pikiran dan potensi yang Anda miliki? Saudara meyakini bahwa sekiranya akal dan pengetahuan manusia digantikan dengan alat lain yang jauh lebih canggih, misalnya sebagai alat berhubungan dengan dunia luar, apakah ini berarti bahwa rahasia alam ini akan menyebabkan kita menjadi lebih memahami dan lebih mengetahui?
Kalau seorang pemikir memberikan jawaban terhadap pertanyaan dan jawaban soal yang ada di atas, maka ini berarti ia mengakui ketidakmampuannya. Kalau kita memerhatikan ketidaktahuan yang setiap harinya bertambah, maka semakin menjelaskan bahwa ketidaktahuan bukanlan alasan untuk mengatakan bahwa sesuatu tiada. Segala sesuatu yang ada di dunia ini dengan rahasia dan keajaiban-keajaiban yang tak terhitung dapat kita lihat dan kita mengatakan: "Lihatlah sang laron karena pengetahuannya ia bertanya taman ini kapan bermula, karena musim semi melahirkannya dan kematiannya menjadi asap, ia pergi mendekati cahaya dan terbakar tercabik dua mata penglihatannya, hilanglah pula dua pendengarannya, penciumannya punah dari dua potong tulang pemahamannya, dua rintikan darah adalah jiwa kecil dari kekotoran yang penuh ketertarikan dunia yang luas".
Maka itu, janganlah begitu tenggelam dalam pencarian falsafah kegaiban dan pertanyaan-pertanyaan yang seperti ini. Karena, apabila kita mengetahui atau tidak mengetahui alasan terjadinya kegaiban, kegaiban adalah sebuah peristiwa yang telah terjadi dan ketiadaan pengetahuan kita sama sekali tidak berarti bahwa kita tidak dapat menerima kegaiban itu tadi.
Kami meyakini bahwa qadha dan qadar sedikit kurangnya bersandar pada informasi yang sifatnya filosofis beserta bimbingan Al-Quran dan Ahlulbait Nabi. Namun demikian apakah seseorang dapat mengatakan bahwa penjelasan akan qadha dan qadar adalah hasil dari kemunculan ilmu pengetahuan dan informasi. Oleh karena terhadap pemikiran akan qadha dan qadar telah dilarang dikatakan bahwa:
Dalam lembah kegelapan janganlah engkau melakukan suluk (perjalanan ruhani)
kuda yang mencari janganlah engkau tunggangi di sini
karena lelah dan hanya akan tertinggal di sini
Di lembahku tersesat di dalam gelapnya
selangkah demi selangkah adalah awal langkah,
engkau susah dalam pemburuan yang tak kunjung datang,
kelilingilah itu mengapa terkuak duhai engkau manusia bodoh
Masalah takwiniyah dan tasyri'iyah dari segala sisi tidak dapat meliputi dan dipahami oleh pemikiran manusia. Ini berarti bahwa manusia tidaklah memiliki kemampuan untuk memahami setiap inci dari segala rahasia yang terdapat pada alam takwiniyah maupun tasyri'iyah.
Seseorang yang tak mengetahui dimana rumah kekasih begitu cinta datang menghampiri laksana api dari Lembah Ayman, bukanlah aku yang senang dan cukup, Musa di sini dengan harapan datangnya Qabasi, bara yang tak berujung dari lembah hingga dari perkataan tolong pun hanyalah kata yang muncul dari ribuan khayal.
Pada posisi ini, yang ada hanya penyerahan dan penghambaan akan keimanan. Namun pada saat yang bersamaan, bukanlah keimanan yang betul murni iman, melainkan keimanan yang mendapatkan bimbingan akal dan fitrah sebagai sumber keberadaannya, bahasa wahyu dan ayat-ayat Al-Quran serta hadis-hadis mutawatir dan mukjizat menjadi pembimbing dari sumber keimanan seperti ini. Yang ingin kami katakan terhadap rahasia dari alam kegaiban lebih banyak akan berbicara pada pengaruh, efek, dan manfaat dari adanya kegaiban Imam Mahdi as, karena yang pasti adalah bahwa sebab asli dari kegaiban beliau adalah satu hal yang majhul, tidak diketahui. Makna hadis-hadis yang berbicara tentang kegaiban Imam pada artian bahwa rahasia kegaiban itu tidak terbuka dan tetap menjadi rahasia sampai pada masa munculnya beliau sendiri, sebagaimana tidaklah diketahui rahasia dari pepohonan jauh sebelum pepohonan itu mendatangkan buah, rahasia dari air hujan yang turun ke bumi tidaklah diketahui sebelum ia menumbuhkan rerumputan, menghijaukan bumi, taman, kebun, dan peternakan.
Syekh Shaduq dalam kitab Kamaluddin (Kesempurnaan Agama) dan kitab Elallu syaraye' (Sebab-sebab Syariat) dengan sanad dari Abdullahi bin Fadhl Hasyimi meriwayatkan bahwa saya mendengar Imam Ja'far Shadiq as bersabda, "Adalah satu hal yang pasti bahwa pemilik dari kegaiban ini tak ada jalan yang lain, padanya setiap yang mencari kebatilan, mereka akan terjatuh pada keraguan dan kebimbangan." Aku bertanya, "Kenapa demikian, duhai Tuanku?" Beliau berkata, "Dikarenakan kita tidak mendapatkan izin untuk menceritakan dan membahasakan hal ini." Saya berkata, "Kalau memang kita tidak memiliki izin untuk membahasakan perihal beliau (Imam Mahdi), apakah terdapat hikmah di balik semua ini?" Imam Ja'far Shadiq as menjawab, "Hikmah kegaiban Hujjah Tuhan di muka bumi ini berada pada tangan sang Imam sendiri. Sesungguhnya hikmah dari kegaiban Imam Mahdi yang sesungguhnya tak akan pernah didapati. Hanya ketika beliau telah muncul hal ini dapat dipahami, sebagaimana hikmah dari apa yang di kerjakan oleh Nabi Khidhir as dari melubangi perahu, membunuh seorang budak, dan membuat sebuah dinding. Bagi Nabi Musa apa yang dilakukan oleh Nabi Khidhir as adalah pekerjaan yang tak dapat dipahami oleh Nabi Musa as sampai beliau berpisah dengan Nabi Khidhir maka apa yang tersembunyi baginya kemudian menjadi jelas. Wahai putra Fadhl, ketahuilah bahwa kegaiban ini adalah kehendak dan perintah Ilahi dan salah satu dari rahasia singgasana Ilahiah, kegaiban yang merupakan bagian dari ilmu gaib Tuhan dan setelah itu kita mengetahui bahwa Tuhan itu hakim. Kami bersaksi bahwa pekerjaan ini senantiasa bersesuaian dengan perkataan dan hikmah-Nya meskipun hal ini tidak menjadi jelas bagi kita."
Sebagian manfaat dan faedah hal-hal yang terkait dengan kegaiban Imam Mahdi adalah adalah dengan menyadarkan persoalan yang ada pada jalan rasionalitas dan habituasi akan kepercayaan masyarakat. Di lain hal kita juga dapat menggunakan bahasa dan pandangan-pandangan yang disampaikan oleh para ilmuwan dan ulama-ulama dalam agama Islam. Pada pembahasan yang akan dating, kita juga akan menyampaikan beberapa pandangan dari ilmuwan dan ulama-ulama tadi.
Ketakutan Akan kematian
وَ أَوْحَيْنا إِلى أُمِّ مُوسى أَنْ أَرْضِعيهِ فَإِذا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقيهِ فِي الْيَمِّ وَلا تَخافي وَلا تَحْزَني إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَ جاعِلُوهُ
مِنَ الْمُرْسَلينَ
Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa, "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya, maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.
فَفَرَرْتُ مِنْكُمْ لَمَّا خِفْتُكُمْ فَوَهَبَ لي رَبِّي حُكْماً وَ جَعَلَني مِنَ الْمُرْسَلينَ
Lalu aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepadamu, kemudian Tuhanku memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang di antara para rasul.
Kulaini dan Syekh Thusi dalam kitab Al-Kâfî dan Gaibat dengan sanad dari Zurarah bahwa ia mendengar dari Imam Ja'far Shadiq bahwa beliau bersabda, "Kemunculan Imam Mahdi as sebelumnya di ulai dengan kegaiban." Saya bertanya, "Mengapa demikian?" "Disebabkan karena ketakutan akan kematian." Sebagaimana hadis ini dan hadis-hadis dalam periwayatan yang berbeda, salah satu sebab dari kegaiban Imam Mahdi adalah takut akan terbunuh yang hal ini berkaitan dengan adanya kegaiban. Namun demikian, ketakutan akan dibunuhnya beliau dan tiadanya pengamanan jiwa telah menjadi salah satu dari penyebab kegaiban. Hal ini dapat kita rujuk pada kitab-kitab yang bisa dipercaya. Dalam kitab-kitab hadis dan sejarah, dapat kita temukan pembahasan akan hal ini.
Berdasarkan riwayat-riwayat yang mereka dapati sebelumnya, Dinasti Abbasiyah telah mengetahui bahwa seseorang dari keturunan Nabi besar Muhammad dari cucu keturunan Sayyidina Ali as dan Sayyidah Fatimah as akan lahir seseorang yang akan memutuskan rantai pemerintahan orang-orang yang tak memiliki kasih sayang dan dogmatis dalam memimpin dan memerintah dan anak itu adalah anak Imam Hasan Askari as, kematian dan usaha-usaha pembunuhan akan dilakukan sebagaimana apa yang dilakukan oleh Firaun terhadap Nabi Musa as karena Firaun telah mendapat berita tentang kelahiran Nabi Musa. Untuk itu ia memata-matai dan mencoba mencari tahu tentang Nabi Musa as. Selanjutnya ia menyuruh orang untuk mencari Nabi Musa as dan menangkapnya. Namun Tuhan menghendaki lain dan menjaga Nabi Musa as, Tuhan membuat musuh-musuhnya putus asa dan pesimis. Kejadian yang menimpa Imam Mahdi memiliki latar yang hampir sama dengan kejadian yang menimpa Nabi Musa as. Pada awalnya naiknya Bani Abbas ke khilafah pemerintahan Islam dimulai dengan perang saudara dalam tubuh Bani Umayah kemudian berlanjut dengan provokasi Bani Abbasiyah dengan revolusi shahibul zanj. Dengan provokasi ini ia memulai manuver-manuver politiknya.
Dari sebuah peninggalan sejarah dari masa pemerintahan Al-Nashir LidiniLlah seorang khalifah dan ilmuwan dari Dinasti Bani Abbas diketahui bahwa khalifah mukmin ini meyakini dan mempercayai keberadaan Imam Mahdi as mulai dari kelahiran beliau. Dalam sebuah hikayah yang disampaikan oleh Ismail Herqeli dalam kitab Kasyf al-Ghummah dengan sanad yang sahih dari riwayat yang digunakan bahwa khalifah Bani Abbas yang bernama Al-Mustanshar Billah di Bagdad juga meyakini keberadaan beliau. Dengan menghadiahkan seribu dinar kepada Ismail Harquli, ia meminta kepada Ismail untuk mengantarkannya kepada Imam untuk melaksanakan kehendak Imam. Ismail Harquli, berdasarkan perintah Imam Mahdi, menolakan permintaan Mustanzhar Billahi. Penolakan itu menyebabkan ia merasa sangat kecewa.
Hasilnya adalah bahwa terjadinya kegaiban itu, salah satunya disebabkan oleh ketakutan akan dibunuhnya Imam. Pembunuhan yang direncanakan ini memiliki hubungan yang erat dengan pemerintah zaman itu. Semenjak kelahiran Imam Mahdi as bahaya laten akan ancaman pembunuhan terhadap beliau telah ada sejak awal. Bahkan sebelum kelahiran beliau. Satu hal yang tak diragukan bahwa rencana pembunuhan Imam Mahdi adalah satu hal yang pasti. Karena itu, berita kelahiran Imam pun dirahasiakan bagi mereka (Bani Abbas) sebagaimana dirahasiakannya kelahiran Nabi Musa as terhadap Firaun. Setelah kelahiran beliau pun, beliau melalui masa kegaiban dan usaha apa pun yang dilakukan oleh Firaun untuk menemukan Nabi Musa as tidak membuahkan hasil apa-apa.
وَ أَوْحَيْنا إِلى أُمِّ مُوسى أَنْ أَرْضِعيهِ فَإِذا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقيهِ فِي الْيَمِّ وَلا تَخافي وَلا تَحْزَني إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَ جاعِلُوهُ
مِنَ الْمُرْسَلينَ
Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa, "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya, maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.
فَفَرَرْتُ مِنْكُمْ لَمَّا خِفْتُكُمْ فَوَهَبَ لي رَبِّي حُكْماً وَ جَعَلَني مِنَ الْمُرْسَلينَ
Lalu aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepadamu, kemudian Tuhanku memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang di antara para rasul.
Kulaini dan Syekh Thusi dalam kitab Al-Kâfî dan Gaibat dengan sanad dari Zurarah bahwa ia mendengar dari Imam Ja'far Shadiq bahwa beliau bersabda, "Kemunculan Imam Mahdi as sebelumnya di ulai dengan kegaiban." Saya bertanya, "Mengapa demikian?" "Disebabkan karena ketakutan akan kematian." Sebagaimana hadis ini dan hadis-hadis dalam periwayatan yang berbeda, salah satu sebab dari kegaiban Imam Mahdi adalah takut akan terbunuh yang hal ini berkaitan dengan adanya kegaiban. Namun demikian, ketakutan akan dibunuhnya beliau dan tiadanya pengamanan jiwa telah menjadi salah satu dari penyebab kegaiban. Hal ini dapat kita rujuk pada kitab-kitab yang bisa dipercaya. Dalam kitab-kitab hadis dan sejarah, dapat kita temukan pembahasan akan hal ini.
Berdasarkan riwayat-riwayat yang mereka dapati sebelumnya, Dinasti Abbasiyah telah mengetahui bahwa seseorang dari keturunan Nabi besar Muhammad dari cucu keturunan Sayyidina Ali as dan Sayyidah Fatimah as akan lahir seseorang yang akan memutuskan rantai pemerintahan orang-orang yang tak memiliki kasih sayang dan dogmatis dalam memimpin dan memerintah dan anak itu adalah anak Imam Hasan Askari as, kematian dan usaha-usaha pembunuhan akan dilakukan sebagaimana apa yang dilakukan oleh Firaun terhadap Nabi Musa as karena Firaun telah mendapat berita tentang kelahiran Nabi Musa. Untuk itu ia memata-matai dan mencoba mencari tahu tentang Nabi Musa as. Selanjutnya ia menyuruh orang untuk mencari Nabi Musa as dan menangkapnya. Namun Tuhan menghendaki lain dan menjaga Nabi Musa as, Tuhan membuat musuh-musuhnya putus asa dan pesimis. Kejadian yang menimpa Imam Mahdi memiliki latar yang hampir sama dengan kejadian yang menimpa Nabi Musa as. Pada awalnya naiknya Bani Abbas ke khilafah pemerintahan Islam dimulai dengan perang saudara dalam tubuh Bani Umayah kemudian berlanjut dengan provokasi Bani Abbasiyah dengan revolusi shahibul zanj. Dengan provokasi ini ia memulai manuver-manuver politiknya.
Dari sebuah peninggalan sejarah dari masa pemerintahan Al-Nashir LidiniLlah seorang khalifah dan ilmuwan dari Dinasti Bani Abbas diketahui bahwa khalifah mukmin ini meyakini dan mempercayai keberadaan Imam Mahdi as mulai dari kelahiran beliau. Dalam sebuah hikayah yang disampaikan oleh Ismail Herqeli dalam kitab Kasyf al-Ghummah dengan sanad yang sahih dari riwayat yang digunakan bahwa khalifah Bani Abbas yang bernama Al-Mustanshar Billah di Bagdad juga meyakini keberadaan beliau. Dengan menghadiahkan seribu dinar kepada Ismail Harquli, ia meminta kepada Ismail untuk mengantarkannya kepada Imam untuk melaksanakan kehendak Imam. Ismail Harquli, berdasarkan perintah Imam Mahdi, menolakan permintaan Mustanzhar Billahi. Penolakan itu menyebabkan ia merasa sangat kecewa.
Hasilnya adalah bahwa terjadinya kegaiban itu, salah satunya disebabkan oleh ketakutan akan dibunuhnya Imam. Pembunuhan yang direncanakan ini memiliki hubungan yang erat dengan pemerintah zaman itu. Semenjak kelahiran Imam Mahdi as bahaya laten akan ancaman pembunuhan terhadap beliau telah ada sejak awal. Bahkan sebelum kelahiran beliau. Satu hal yang tak diragukan bahwa rencana pembunuhan Imam Mahdi adalah satu hal yang pasti. Karena itu, berita kelahiran Imam pun dirahasiakan bagi mereka (Bani Abbas) sebagaimana dirahasiakannya kelahiran Nabi Musa as terhadap Firaun. Setelah kelahiran beliau pun, beliau melalui masa kegaiban dan usaha apa pun yang dilakukan oleh Firaun untuk menemukan Nabi Musa as tidak membuahkan hasil apa-apa.
Hubungan antara Kelanggengan Masa kegaiban dengan Ketakutan akan Terancam Jiwa Imam
Meskipun Allah Swt punya kemampuan di mana, dan kapan saja beliau bisa saja dimunculkan dan secara pasti ia mengalahkan segenap pemerintahan yang ada di dunia dan menguasai mereka, namun demikian hal ini tak akan terjadi tanpa adanya sebab-sebab yang memperantarai kemunculan beliau. Allah Swt menjadikan sesuatu berdasarkan sebab dan akibatnya. Sejauh sebab-sebab kemunculan Sang Imam belum terwujud, maka kehadiran dan kebangkitan beliau tak akan pernah terjadi, dan pastinya perubahan dan revolusi yang beliau bawa akan mengalami kemunduran.
Pada awal-awal kerasulan, Nabi Muhammad saw tidaklah melakukan jihad sebagai langkah kerja awal kenabian. Bahkan beliau melakukan hal ini ketika tiba waktu diperintahkannya. Artinya, sarana untuk melakukan medan jihad telah terbuka dan pada saat itu pertolongan Allah datang untuk kemajuan Islam.
Pertanyaan: Kenapa Imam tidak muncul seperti pendahulunya ataukah kenapa kemenangan tidak menghampirinya, ataukah kenapa beliau tidak syahid di jalan Tuhan?
Jawab: Kemunculan Imam Mahdi as adalah akhir dari cahaya Ilahiah dan terwujudnya tujuan diutusnya para nabi dan rasul sebelumnya, kedamaian, syafaat, keadilan dan keamanan umum di bawah bendera Islam, seruan dan penerapan tauhid, pelaksanaan hukum-hukum Qurani di seluruh persada semesta.
Satu hal yang jelas bahwa pelaksana aturan Ilahiah ini haruslah pada kondisi dan syarat terwujudnya revolusi ketika keberhasilan dan kemenangan akan terwujudnya adalah seratus persen terjadi, sebagaimana yang telah kami sebutkan pada pembahasan sebelumnya bahwa pertolongan gaib dan bantuan dari langit dari sisi hikmah Ilahi tidak terjadi. Kalau pada kondisi lain, tujuan kebangkitan dan revolusi ini tidak terjadi, maka penantian akan kedatangan dari Sang Imam akan berlanjut sampai terpenuhinya secara betul syarat-syarat untuk kemenangan dari revolusi yang dibawa oleh sang Imam.
Mengembalikan Ketiadaannya Baiat
Salah satu tanda kemunculan Imam Mahdi di akhir zaman adalah bahwa baiat dari seseorang, bahkan negara atau bangsa yang zalim meskipun dalam bentuk taqiyah sekalipun tidak diterima. Sementara, penisbahan dari kelompok yang tak memiliki kasih sayang dan pemerintah-pemerintah yang zalim tak akan pernah menyerah dan dengan jalan taqiyah pemerintahan yang tidak islami ini, begitu pun juga pemerintah yang secara keseluruhan tidak islami dan secara lahiriah tidak menerima pemerintahan Imam Mahdi, harus tunduk di bawah pemerintahan beliau. Imam Mahdi adalah manifestasi (mazhar) dari asma-asma Ilahiah seperti keadilan, kekuasaan (sulthan), hakim. Orang-orang yang berada pada posisi di bawah pemerintah yang tidak Ilahiah ataukah mereka taqiyah dari pemerintah yang ada, berdasarkan berita dari riwayat yang ada tidak akan selamat karena beliau akan menghakimi yang benar dan yang salah, yang batil dan yang hak bagi mereka tidak akan tersisa di muka bumi ini.
Salah satu dari hukum dan manfaat dari kegaiban adalah bahwa Imam Mahdi sebelum tibanya masa kebangkitannya sebagaimana perintah dari Allah Swt beliau tidak akan melakukan revolusi. Pasalnya, dengan jalan taqiyah seperti yang dilakukan oleh ayahnya dan kakeknya pada masa pemerintahan Bani Abbas, banyak dari mereka pada masa pemerintahan Bani Abbas yang menyatakan baiat pada Imam Hasan Askari, ayahnya, dan kakeknya (Imam Ali Hadi), namun pada masa kemunculan mereka tadi tidak satu pun dari mereka menyatakan baiat. Pada masa kemunculan Imam Mahdi, tak ada lagi baiat semacam ini; tak ada lagi pemerintah selain dari pemerintahan Tuhan di muka bumi ini; hukum-hukum Al-Quran akan ditegakkan, bahkan taqiyah pun tidak lagi memiliki tempat. Dan makna dari apa yang dibahas di atas adalah beberapa di antaranya dari kitab Kamaluddin Bab 48 "Tentang Sebab Kegaiban", begitu juga dalam kitab-kitab 'Uyûn wa Elal juga dibahas hal yang sama. Dalam sebuah riwayat yang disanadkan oleh Hisyam bin Salim bahwa Imam Ja'far Shadiq as bersabda, "Imam Mahdi as akan bangkit sementara tak ada baiat padanya." Hadis lain yang diriwayatkan oleh Hasan bin Ali bin Fadhdhal bahwa, "Ketika berita akan kegaiban beliau setelah wafatnya Imam Hasan Askari, 'Saya bertanya untuk apa?' Imam Ridha as menjawab, 'Supaya tak ada lagi baiat padanya karena ia akan bangkit dengan pedang.'"
Ringkasan dan Ujian
Salah satu manfaat kegaiban adalah ringkasan dan ujian tingkat penyerahan diri kepada Tuhan, tingkatan keberimanan para Syi'ah beliau. Sebagaimana kita mengetahui, perbuatan, syariat, ayat-ayat Al-Quran dan Hadis adalah alasan dari hal ini bahwa sunnah Ilahi akan senantiasa dijalankan dan ditegakkan ujian bagi hamba-hamba yang saleh, kehidupan dan kematian, punya dan tidak punya, kemampuan dan ketidakkuasaan, kesehatan dan kesakitan, dan setiap dari nikmat yang ada, senang dan sedih semua ini adalah ringkasan dan ujian dari Yang Mahakuasa. Tentunya hal ini adalah demi kesempurnaan potensi dan aktualisasi potensi tersebut, iman dan kesabaran, serta keistikamahan tiap-tiap individu dari tingkatan kekhusyukan dan penyerahan diri mereka dibarengi dengan ketaatan terhadap Tuhan Pencipta alam semesta. Dalam riwayat di bahasakan bahwa pada masa kegaiban Imam Mahdi as ada dua ujian yang sangat dasyat akan menimpa manusia :
Ujian Pertama:
Bahwa dasar dari kegaiban yang sangat panjang ini mayoritas manusia berada dalam keraguan dan kebimbangan akan keberadaan beliau dimulai dari masa kelahiran beliau sampai pada masa gaibnya hari ini. Hanya orang-orang yang memiliki keikhlasan pengetahuan dan ujian-ujian yang mereka dapat, orang-orang dengan keyakinan dan iman pada keberadaan Imam tidak akan tersisa sebagaimana riwayat dari Rasulullah saw dari Jabir bahwa beliau bersabda :
"ذلك الذى يغيب عن شيعته و اوليائه غيبة لا يثبت فيها على القول بامامته الا من امتحن الله قلبه للايمان"
Dia itulah orang yang telah digaibkan dari pengikut dan wali-walinya sebagai suatu kegaiban yang menyebabkan orang tidak menetapkan imamahnya kecuali siapa saja yang telah Allah uji hatinya dengan iman (kepadanya)
Satu hal yang diketahui bahwa keimanan dan baqanya kehidupan, umur yang panjang, masa kegaiban yang lama dan penantian akan kemunculan beliau pada masa yang sangat panjang dari kegaiban, iman pada kegaiban, alasan kepercayaan yang benar, dan kepercayaan pada berita-berita gaib dari Nabi Muhammad saw dan tanda keberimanan pada qudrat Ilahi dan tanda-tanda akan kuatnya penyerahan diri dan perbedaan dari perintah ajaran agama adalah demi kesempurnaan iman. Keyakinan pada berita dari alam gaib tak akan pernah ada kecuali bagi orang-orang yang memiliki keyakinan dan ketakwaan yang sesungguhnya. Orang-orang yang lepas dari kegelapan dan waswas dan beralih menuju rumah keyakinan dan ketetapan pendirian akidah, kesenangan hati dari cahaya hidayah yang memancar. Ia yang tidak memerhatikan syubhat dan keraguan yang dimunculkan dalam langkah-langka wilayah dan dalam keyakinan agama tidak goyah adalah orang-orang yang bisa menerima kegaiban dari sang Imam.
Ujian Kedua:
Dasyatnya ujian dan cobaan yang ada dari perubahan-perubahan yang terjadi semasa era kegaiban telah menyebabkan masyarakat lari dari apa yang semestinya mereka yakini. Penjagaan keimanan adalah satu hal yang sangat langka dan susah. Iman dan keyakinan orang-orang di bawah pada perisiwa dan kejadian yang sangat susah sebagaimana riwayat dari Imam Ja'far Shadiq as: "Orang-orang yang menginginkan dirinya pada masa kegaiban bersandar pada berita agama seperti orang-orang yang memegang tangkai pada sebuah pohon yang berduri hingga duri-durinya terpotong karena menancap di tangannya." Pada saat itu, Imam mengisyaratkan pada tangannya kemudian berkata, "Sesunguhnya pemilik kegaiban ini senantiasa menjauh dari setiap hamba Tuhan dan ia harus bersandar pada keyakinan agamanya." Matan dari hadis di atas sebagai berikut:
"ان لصاحب هذا الامر غيبة المتمسك فيها بدينه كالخارط للقتاد ثم قال : هكذا بيده.ثم قال : ان لصاحب هذا الامر غيبة فليتق الله عبده و ليتمسك بدينه"
Sesungguhnya Shahibul Amr ini telah mengalami kegaiban menurut pendapat orang yang berpegang teguh kepada agama-Nya laksana kusir terhadap pedatinya kemudian dia (Imam Ja'far) berkata, "Ini terjadi dengan kekuasaan-Nya." Kemudian dia berkata lagi, "Sesungguhnya Shahibul-Amr ini telah mengalami kegaiban maka hendaklah hamba-Nya bertakwa kepada Allah dan berpegang teguh kepada agama-Nya."
Pada masa kegaiban, keindahan dunia semakin menjadi-jadi, dan semakin larut di dalamnya. Hati akan semakin tertipu, kenikmatan hewaniah dari segenap alat dan media diciptakan untuk masyarakat dunia, lagu-lagu yang menyesatkan meliputi semua wilayah, pria dan wanita yang saling tak kenal melampiaskan hawa nafsu setaniahnya dengan jalan yang tidak benar, hilangnya malu di antara manusia, penerimaan hal-hal yang haram menjadi sangatlah mudah bahkan hal itu adalah resmi sebagai penerimaan masyarakat. Mayoritas masyarakat melakukan hal yang demikian. Bagi orang-orang mukmin tebasan pedang menjadi lebih mudah daripada sebuah dirham yang halal. Materialisme, kehidupan yang hedonis dari para penyembah dunia menguasai umumnya masyarakat. Pemerintahan jatuh pada orang-orang yang tidak mengakui hukum-hukum Tuhan. Para wanita mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang mestinya dilakukan oleh kaum pria. Riba, minuman-minuman terlarang, judi, dan pelacuran adalah hal yang bisa bagi mereka.
Orang-orang yang beragama dan amanah menjadi terhina, sementara orang-orang kafir menjadi mulia, amar makruf nahi mungkar adalah hal yang tak bermakna. Bahkan lebih parah lagi mereka menjadikan yang makruf menjadi mungkar dan menjadikan yang mungkar menjadi makruf. Dengan maksiat dan dosa mereka bekerja sama dengan para kaum yang zalim, dosa adalah kebanggaan bagi mereka, amanah dan sedekah tak lagi memiliki arti. Syiar-syiar dan adab Islam ditinggalkan digantikan dengan budaya dan kebiasaan kaum kafir. Mereka meresmikan budaya kaum kafir menjadi budaya mereka. Para wanita dengan keras kepala meninggalkan budaya-budaya Islam. Mereka kembali ke masa jahiliah. Para mukmin dalam keadaan tekanan realitas dan mereka terbelenggu dari kebebasan, tak seorang pun berani untuk melawan apalagi menyuarakan nama Tuhan kecuali dalam keadaan sembunyi-sembunyi. Penjagaan akan keimanan adalah pekerjaan yang sangat susah. Seseorang yang terbangun pada pagi hari dan ia menghitung jumlah kaum mukmin dan Muslim sementara malam harinya ia telah keluar dari Islam dan menjadi kafir.
Dari Imam Ja'far Shadiq as diriwayatkan, "Kondisi ini tak akan terjadi kepadamu, setelah keputusasaan, tidaklah datang kepada Tuhan hingga engkau (mukmin dan munafik) terpisah antara satu dengan yang lain, kepada Tuhan tak akan datang hingga ia terjatuh dan barangsiapa yang terjatuh dan ia bahagia maka ia telah terjatuh."
Dalam riwayat lain dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Muhammad saw bersabda, "Orang-orang yang pada masa kegaiban meyakini imamahnya (Imam Mahdi) lebih jarang di temukan daripada permata yakut merah." Kemudian Jabir berdiri dan berkata, "Wahai Rasulullah apakah bagi al-Qaim (Imam Mahdi) dari putramu terdapat kegaiban?" Beliau menjawab, "Iya, demi Tuhan yang telah menciptakan jagad raya semesta bahwa ia akan meringkasnya. Ia akan membuat kaum kafir menjadi pucat pasi. Wahai Jabir, perintah ini adalah perintah Tuhan dan bagian dari rahasia-rahasia Ilahiah yang tersembunyi dan tertutupi bagi hamba-hambanya, ketahuilah bahwa keraguan akan perbuatan Tuhan adalah kufur."
Pada hadis yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Shalt, bahwa Imam Husain as bersabda, "Dari kami terdapat dua belas orang Mahdi (yang telah terhidayah). Yang pertama dari mereka adalah Amirul Mukminin, Imam Ali bin Abu Thalib as dan yang terakhir darinya adalah yang kesembilan dari anak-anakku. Dialah imam yang bangkit dengan Haq Tuhan. Ia menghidupkan bumi setelah matinya; ia akan menzahirkan din (agama) dan memenangkannya meskipun kaum kafir tidak menerimanya; baginya kegaiban hingga sekelompok orang menjadi murtad dan keluar dari agama dan yang lain menjadi tetap agamanya, kepada mereka dikatakan, "Kapankah janji ini akan terpenuhi (kebangkitan Imam Mahdi) jika engkau berkata benar? Ketahuilah bahwa orang-orang yang bersabar pada masa kegaiban atas gangguan dan cobaan yang ia terima, ibarat orang yang berjihad dengan pedang bersama Rasulullah saw."
Persiapan Kondisi dunia
Salah satu manfaat dan maslahat dari kegaiban adalah penantian menyempurnanya akal manusia, dan persiapan pemikiran untuk kemunculan beliau karena cara dan jalan yang ditempuh beliau bersandar pada pelaksanaan syariat secara lahiriah dan penghukuman yang lahir berdasarkan hakikat yang sesungguhnya. Tiadanya tempat untuk melakukan taqiyah, tiadalah lagi perkomplotan dalam kegiatan keagamaan, pemberian hak sesuai dengan yang memiliki hak, penerapan keadilan, memerangi kezaliman, dan penerapan segenap hukum-hukum Islam.
Apa yang didengar oleh musuh-musuh Islam, orang-orang yang melakukan penentangan, politik yang ingin mencari kedudukan akan di dihancurkan, dan apa yang di sembunyikan dari hukum-hukum islam akan Nampak, islam akan hidup seperti hidupnya islam yang di bawah oleh kakeknya Nabi Muhammad saw. Dan berdasarkan pengaruh dari kesewenang-wenangan dari orang-orang yang merasuk untuk memata-matai, negarawan yang ahli dunia akan mati dan di tinggalkan. cahaya yang meliputi dunia, mulai dari penciptaan sampai penyeruan akan islam mereka akan kembali kepada Al-Quran.
Sementara orang-orang yang melakukan penentangan, yang mengambil hak masyarakat akan dihukumi secara tegas, para ahli maksiat akan dihukum tanpa kompromi sama sekali dan pemerintahan dunia yang disandarkan pada Islam akan ditegakkan. Adalah satu hal yang jelas bahwa pelaksanaan revolusi ini membutuhkan peranan progritas dari seluruh umat manusia dari segenap bidang baik dari sisi keilmuwanan, pemikiran, akhlak, dan persiapan masyarakat untuk penerimaan dan penyambutan revolusi yang dibawa dengan kelayakan kepemimpinan yang sempurna, mesti ada orang-orang yang membantu sang Imam dalam menegakkan revolusi ini dan mereka adalah orang-orang yang memiliki kesempurnaan bashirah dan pengetahuan yang sempurna pula. Sebuah jumlah yang pasti telah dibahasakan dalam hadis, perangai dan kesiapan masyarakat dunia dalam menyambut hal ini. Mereka memahami bahwa pemerintah dari rezim yang berbeda tidaklah memiliki kelayakan untuk memimpin mereka. Kelompok-kelompok politik dan ekonomi yang berbeda tidak dapat menyelesaikan persoalan yang ada. Konferensi dan pertemuan-pertemuan internasional dalam perancangan dan usaha untuk menjaga dan menegakkan hak asasi manusia sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa. Dengan kata lain, apa yang mereka lakukan akan membuat mereka sendiri putus asa dan pesimis untuk menuju perubahan yang lebih baik. Kerusakan dan maksiat, syahwat yang merajalela, kezaliman berada dalam satu barisan dengan tekanan yang sangat kuat seperti yang dibahasakan dalam beberapa riwayat dan hadis.
Lelaki dan wanita sama sekali tidak memiliki malu lagi. Mereka berbuat dan melampiaskan nafsu syahwat mereka seperti yang dilakukan oleh hewan-hewan di jalanan. Sebagaimana yang kita lihat hari ini rancangan dan program yang diberikan pada jalur yang salah dari sebuah kenyataan peradaban. Puncak kezaliman dan maksiat, sebab-sebab kebimbangan dan keraguan, kemurtadan, restitusi, yang sebahagian besar pada pelampiasan nafsu hewaniah serta ketidakacuhan pada sisi maknawiyah dari manusia. Ketika kondisi dan keadaan dunia dari peradaban manusia kosong akan nilai-nilai insaniah, kegelapan alam dunia ini akan nampak, maka kehadiran seorang manusia Ilahi dengan cahaya inayah dari alam gaib akan muncul dan menyibak tirai-tirai kegelapan. Ia akan melepaskan dahaga para musafir yang haus akan hakikat, keadilan, mata air pengetahuan, kebahagian, menghidupkan hati-hati yang mati, menyirami dengan jiwa yang baru di mana ayat al-Quran dikumandangkan:
??عْلَمُوا أَنَّ اللهَ يُحْيِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِها قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآياتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ?
Ketahuilah olehmu bahwa sesungguhnya Allah menghidupkan bumi sesudah ia mati. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda kebesaran (Kami) supaya kamu memikirkannya.
Pada syarat dan kondisi yang seperti ini penerimaan masyarakat akan suara ruhaniah dari seruan bahasa langit akan menjadi tak tertandingi, karena dalam dasyatnya kegelapan cahaya yang nampak akan memberikan pengaruh yang luar biasa. Akan tetapi, kalau kondisi yang ada tidak menguntungkan dan terjadi pengunduran dari waktu yang semestinya beliau harus muncul, maka senantiasa akan terdapat hikmah Ilahi di dalamnya. Hasil dan manfaat dari kemunculan beliau pada kondisi yang seperti ini tidak akan memberikan hasil yang semestinya.
Dengan demikian, kemunculan Imam Mahdi sampai waktu yang ditentukan akan mengalami kemunduran, dan pada kondisi di mana syarat dan hikmah Ilahi telah mencapai waktu kemunculan beliau dan seruan langit telah diumumkan, tak ada satu pun orang yang memiliki informasi tentang kapan dan waktu kejadiannya, dan kalau ada yang menentukan waktu kedatangannya, maka sesungguhnya dia telah berdusta.
Diriwayatkan dari Imam Ja'far Shadiq as bahwa beliau bersabda, "Dari waktu kemunculan Imam Mahdi, tak diketahui sebagaimana hari kiamat pengetahuan tentang itu berada di sisi Tuhan," hingga beliau berkata, "untuk kemunculan Imam Mahdi tak ada yang dapat menentukannya, kecuali orang yang bersekutu dengan ilmu Tuhan dan menyerukan bahwa Tuhanlah yang memberikan pengetahuan kepadanya."
Kemunculan Orang Mukmin dari Balik Orang Kafir
Sebagaimana riwayat dan hadis memberitakan bahwa Allah Swt menempatkan banyak nutfah pada sulbi kaum kafir sebagai pinjaman dan pinjaman ini harus teraktualkan, dan sebelum teraktualnya pemberian pinjaman (wadi'ah) ini, kebangkitan Imam Mahdi as dengan pedang dan membunuh kaum kafir adalah untuk menghilangkan jizyah (upeti) karena ini akan menghalangi keluar dan teraktualnya wadi'ah yang diberikan oleh Allah Swt. Siapa yang akan menyangka bahwa sulbi (keturunan) dari Hajjaj yang zalim di antara musuh-musuh Ahlulbait dengan kesalahan yang tak terampuni, lahir dari sulbinya seorang anak yang bernama Husain bin Ahmad bin Hajjaj yang terkenal dengan nama Hajjaj sang Penyair, seorang khatib dan pembicara dari mazhab Ahlulbait, seorang pecinta keluarga risalah kenabian. Ia telah menulis kasidah dan puisi manaqib untuk Imam Ali as. Ia mencela para musuh Ahlulbait dan mendakwahkan mazhab Ahlulbait. Sebuah bait syair kasidah yang terkenal darinya:
يا صاحب القبة البيضاء على النجف من زار قبرك و استشفى لديه شفى "
Apakah seseorang akan membayangkan bahwa dari keturunan Sanadi bin Syahik yang telah membunuh Imam Musa bin Ja'far, akan muncul seorang penyair yang merupakan bintang di dunia adabiyat (tata bahasa Arab) yang dipengaruhi oleh wilayah Imam Ali as, ia menghabiskan segenap umurnya untuk menceritakan keutamaan Ahlulbait Nabi as.
Dengan demikian, tema dari keluarnya nutfah mukmin dari sulbi orang-orang kafir adalah tema penting yang tidak boleh menghalangi kemunculan Imam Mahdi dan kehadiran beliau pada waktu yang ditentukan, harus terjadi dan ini meniscayakan bahwa di setiap sulbi dari orang-orang kafir mesti lahir orang-orang yang beriman sehingga pinjaman Tuhan tidak ada yang tersisa. Sebagaimana kisah dari Nabi Nuh as yang di beritakan dalam Al-Quran:
?إِنَّكَ إِنْ تَذَرْهُمْ يُضِلُّوا عِبادَكَ وَلا يَلِدُوا إِلاَّ فاجِراً كَفَّاراً?
Karena jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir.
Dalam surah yang sama Allah berfirman:
?مِمَّا خَطيئاتِهِمْ أُغْرِقُوا فَأُدْخِلُوا ناراً فَلَمْ يَجِدُوا لَهُمْ مِنْ دُونِ اللهِ أَنْصاراً?
Disebabkan kesalahan-kesalahan mereka, mereka ditenggelamkan lalu dimasukkan ke neraka. Maka mereka tidak akan mendapat penolong-penolong bagi diri mereka selain dari Allah
Dalam riwayat-riwayat yang berbeda seperti pada tafsir Al-Burhan, ash-Shâfî dan sebagian lain kitab-kitab tafsir lainnya menyampaikan berita dan penafsiran dari ayat-ayat di atas. Jaminan riwayat dan bahasa Al-Quran di atas memberitahukan kepada kita bahwa Imam Mahdi tidak akan muncul kecuali jika pinjaman Tuhan telah dikeluarkan dan setelah ia keluar musuh-musuh Allah di muka bumi ini akan nampak semua dan pada akhirnya mereka akan mati.
Senarai Kata dari Syekh Thusi
Syekh Thusi yang bernama Khawjah Nashiruddin Thusi adalah seorang hakim dan filosof masyhur di Dunia Islam. Dalam sebuah risalah filsafat yang ia tulis, Syekh bercerita tentang imamah yang mengkhususkan diri pada pembahasan tentang kegaiban Imam Mahdi secara sempurna dan sangat lama. Pada akhir tulisan beliau, sebab-sebab kegaiban beliau berkata:
"و اما سبب غيبته فلا يجوز ان يكون من الله سبحانه و لا منه كما عرفت فيكون معي المكلفين،و هو الخوفالغالب و عدم التمكين و الظهور يجب عند زوال السبب"
"Namun demikian sebab dari kegaiban Imam Mahdi as bukanlah dari sisi Allah Swt atau dari beliau sendiri bahkan seperti yang kita ketahui hal ini dikarenakan oleh
masyarakat yang belum siap untuk menerima beliau, dikarenakan takut akan terancamnya jiwa atau terbunuhnya beliau. Jika masyarakat telah siap untuk menerima kehadiran dan siap mengikuti apa saja yang diperintahkan oleh Imam, maka pada saat itu kemuculan dan kehadiran beliau adalah sebuah keniscayaan."
Sebagaimana yang bisa kita perhatikan dan kita simak dari perkataan Khwajah Thusi di atas, dalam kaitannya dengan pencerahan, akal dan hikmah dari kegaiban dapat kita terima dan menjadikannya penjelas tema kegaiban. Pada makalah sebelumnya, telah kami sampaikan bahwa tiadanya ketaatan, terancamnya jiwa beliau yang kemudian berakhir pada terbunuhnya beliau merupakan sebuah alasan kenapa terjadi kegaiban. Kalau dari sebab-sebab yang ada ini dapat dihilangkan tentunya kemunculan beliau adalah sebuah kesemestian. Dengan demikian, adalah sebuah kesalahan jika hamba bertanya tentang sebab kegaiban atau dengan mengkritik dan menghujat mengapa terjadi kegaiban.
Selama manusia tidak menghilangkan sebab-sebab terjadinya kegaiban, maka kehendak Tuhan senantiasa akan meliputi beliau sampai pada saat dimana masyarakat bumi menaati dan beliau menguasai bumi sebagaimana firman Allah yang berbunyi:
وَعَدَ اللهُ الَّذينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَ عَمِلُوا الصَّالِحاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَ لَيُمَكِّنَنَّ
لَهُمْ دينَهُمُ الَّذِي ارْتَضى لَهُمْ وَ لَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَني لا يُشْرِكُونَ بي شَيْئاً وَ مَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذلِكَ
فَأُولئِكَ هُمُ الْفاسِقُونَ
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan suatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.
Dunia ini akan diwariskan kepada kaum mukmin dan Imam Mahdi as. Sekiranya umur dunia ini hanya tinggal sehari saja, maka pada hari itu akan dijadikan hari yang sangat panjang hingga Sang Imam yang dinantikan datang dan memenuhi dunia mayapada ini dengan keadilan.[]
Catatan Kaki:
1. QS Thaha [20]: 114.
2. Al-Mukhtâr min Raydar Zedaijast,hal37,november 1959.
3. Majalah Al-Mukhtâr min Raydar Zedaijast,hal 113 ,oktober 1959.
4. Makalah "Sawaiqul Ni'mah", ringkasan dari majalah bulanan sains, Al-Mukhtâr min Raydar Zedaijast, hal 106, Oktober 1959.
5. QS Lukman [31]: 27.
6. QS Al-Kahfi [18]:109.
7. Haqqul Yaqin Syabre, jilid 1, hal. 46.
8. Syair dari dua bait Ganj-e Dânish, atau Shad Pand (Seratus Pesan) Almarhum Ayah Ayatullah Shafi Gulpaigani .
9. Muntakhab al-Atsar, Shafi Gulpaigani, Pasal 2, Bab 28, hal 1.
10. QS Qashash: 7.
11. QS Asy-Syuara: 21.
12. Muntakhab al-Atsâr, Shafi Gulpaigani, pasal 2 bab 28 dan 47.
13. Muntakhab al-Atsâr, pasal 7, bab 8 , hal 4.
14. Kamâluddin, jilid 2 hal 16, bab 34; Muntakhab al-Atsar, pasal 2, bab 27, hadis 10.
15. Kamâluddin,jilid 2, bab 34, hal 15.
16. Kamâluddin, jilid 1, bab26, hal 404-405.
17. Kamâluddin, jilid 1 bab 30, hal 434, Syekh Shaduq.
18. QS Al-Hadid: 17.
19. Itsbât al-Hudâ, jilid 7, pasal 55, bab 32, hal. 156.
20. Duhai pemilik kubah putih di Najaf, siapa yang menziarahi kuburmu dan memohon kesembuhan di sisinya, dia akan disembuhkan.
21. QS Nuh: 27.
22. QS Nuh: 25.
23. Risalah ini diterbitkan di Tehran pada tahun 1335 Hijriah Syamsiah, pada bab 3 hal 25.
24. QS An-Nur: 55.
MAHDIISME : PANDANGAN MASA DEPAN
Oleh: Arif Mulyadi
Berbicara tentang masa depan bukanlah suatu perkara yang mudah. Ini disebabkan konsep masa depan dipengaruhi oleh pandangan dunia manusia itu sendiri. Dalam hal ini, terdapat dua pola pandangan dalam memandang masa depan : pertama, pandangan materialistis dan kedua, pandangan Islam.
Kelompok pandangan pertama melihat bahwa sistem penciptaan alam semesta tidaklah memiliki tujuan tertentu. Kebaikan dan keburukan, keadilan dan kezaliman, dipandang sebagai sesuatu yang tidak ada bedanya. Alam ini tidak peduli terhadap nilai-nilai dan tolok ukur yang universal. Dengan demikian, bagi kaum materialistis, alam tidak punya mata, telinga, akal, dan nalar, yang dengan itu ia bisa berpikir tentang nilai-nilai yang beraneka untuk mendukung dan menopang orang-orang yang berjalan di jalan kebenaran dan menghinakan mereka yang berjalan di jalan yang sesat.
Temuan-temuan sains yang menyebutkan bahwa sekumpulan bintang berjalan dengan cepat yang sedikit demi sedikit mendekati orbit bumi dan, pada titik tertentu, akhirnya akan bertabrakan dengan bumi dan meluluhlantakkannya kian memperkuat keyakinan mereka akan sia-sianya sistem penciptaan. Karena, pengetahuan menjadi suatu bumerang bagi dirinya sendiri. Termasuk di dalamnya penyusutan lapisan ozon, mencairnya kutub es di belahan lain bumi, usia planet bumi yang diperkirakan "tinggal empat puluh milyar tahun", kekeringan yang berkepanjangan, banjir di mana-mana, krisis pangan serta fenomena-fenomena alam lainnya semakin memperteguh pandangan materialistiknya.
Sementara pada saat yang sama, dalam tataran sosiologis, kehidupan manusia tampak carut marut dengan tingkat kejahatan yang beragam. Mulai dari peperangan, pembunuhan, pemerkosaan, serta kejahatan-kejahatan lain yang dilakukan manusia sendiri.
Ketakutan akan fenomena-fenomena alam serta kejahatan-kejahatan yang ditimbulkan manusia menjadikan pandangan mereka tentang masa depan sebagai sesuatu yang apatis, sia-sia, pesimistik, dan hampa dari harapan. Racun-racun atas pandangan seperti ini mereka suntikkan pada aliran musik, film, sastra, filsafat, dan lain-lain. Dengan sarana media massa yang menggurita, racun tersebut melanda pula kepada sebagian kaum Muslimin. Generasi muda kaum Muslimin tenggelam dalam fantasi-fantasi, pil-pil ekstasi, dan arus gaya hidup yang meninabobokan mereka akan sejarah masa depan. Ibadah menjadi sesuatu yang "dipaksakan" bukan suatu "kemerdekaan" dari Ar-Rahman.
Sebaliknya, dalam pandangan Islam, tatanan alam semesta berdasarkan suatu perencanaan yang mengagumkan, indah, dan bertujuan. Adalah mustahil bagi Tuhan menciptakan suatu tatanan alam semesta tanpa suatu rencana, tujuan, dan program.
Pandangan semacam ini menjadikan mereka semangat untuk terus berjuang mempertahankan kehidupan. Apa sebabnya ? Karena, di balik fenomena-fenomena alam yang serba menakutkan ataupun kejahatan-kejahatan manusia yang mengerikan, mereka yakin akan adanya Tangan Gaib yang menuntun mereka kepada masa depan yang mencerahkan. Masa ketika ada seorang, dengan luthf Allah, membawa keadilan untuk menggantikan kezaliman yang sudah lama melanda dunia. Kehadirannya memberkahi seluruh semesta alam sehingga setiap tempat mengeluarkan kekayaannya dari balik bumi. Inilah masa datangnya Ratu Adil, Juru Selamat. Dalam bahasa Islam, ajaran penantian akan datangnya Juru Selamat atau Ratu Adil itu disebut dengan Mahdiisme.
Filsafat Mahdiisme
Mahdiisme dalam wacana komunitas Muslim sesungguhnya merupakan sebuah tradisi dari pergerakan Islam di samping syahadah. Dengan kata lain, Mahdiisme dan syahadah merupakan tradisi "militansi " kaum Muslimin dalam mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Di sekitarnya berdiri prinsip-prinsip dasar kaum Muslimin – seperti akidah, ibadah, eskatologi, dan ummah - yang akan memperkukuh harapan akan datangnya masa depan yang cerah bagi kaum Muslimin (A.Ezzati, 1990). Dari keyakinan Mahdiisme tersebut semestinya menampilkan kinerja positif dalam kehidupan kaum Muslimin yakni sikap hidup yang bercita-cita. Implikasi praktisnya adalah menampilkan etos kerja, etos ilmu, dan etos moral yang baik serta laras-lurus dengan Kehendak Yang Mahatinggi..
Di sini kerja bukan dipandang dalam spektrum sosio-ekonomis semata, namun mencakup makna-makna di luarnya, seperti mencari ilmu, mengajar, meneliti, serta aspek-aspek lain yang mendukung pengertian dari amal saleh. Sehingga penantian akan munculnya Imam Zaman, tidak melahirkan sikap-sikap yang bertolak belakang dengan Mahdiisme itu sendiri.
Penantian Positif
Merupakan suatu paradoks bila di tengah-tengah krisis yang melanda negeri ini yang timbul adalah sikap berpangku tangan atau saling menunggu komando. Padahal masa depan sudah di hadapan mata. Lahan-lahan amal saleh telah terhampar di hadapan kita. Agar termotivasi ada baiknya kita merenungkan kembali ayat berikut :
Dan katakanlah : "Beramallah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat amal-amal kamu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu amalkan (QS At-Taubah, 9 : 105).
Apabila kita renungkan secara mendalam jelas ayat ini memberikan suatu pencerahan kepada pandangan masa depan kita sebagai manusia. Masa depan begitu optimistik sekiranya kita berpegang teguh kepada penantian Al-Mahdi. Mengapa tidak ? Karena toh saat kita menanti kehadiran kembali Imam Zaman itu pun tergolong ibadah (: penantian positif).
Alasan lain mengapa pernyataan bahwa "menanti kehadiran kembali Imam Zaman adalah termasuk ibadah" bisa dijumpai, paling tidak, pada dua noktah berikut :
Pertama, Allah menciptakan seluruh wujud ini bukanlah tanpa tujuan, tidak sia-sia. Ini merupakan refleksi dari Allah sebagai Zat Yang Mahaadil.
Kedua, sehingga, alam semesta berikut kejadian-kejadian yang ada pada ciptaan Allah ini berada pada tataran kebijakan Ilahi, berada pada sistem terbaik. Jika tidak yang terbaik, maka ini bertentangan dengan kemahaadilan Allah yang menciptakan semesta alam penuh tujuan..
Dengan dua alasan tersebut maka jelas kegaiban Al-Mahdi pun tidak lepas dari hikmah-hikmah yang mendalam. Hanya saja kita, sebagai manusia yang penuh kekurangan dan kelemahan, tidak mampu menguak tabir rahasia itu (Lihat tulisan Ustadz Hasan Rahmat, Imam Mahdi : Suatu Kajian Teks pada buletin Al-Jawad nomor ini juga).
Tentu saja kita memerlukan sikap yang konsisten (istiqamah*) dalam memahami hikmah-hikmah kegaiban Al-Mahdi as (semoga Allah mempercepat kemunculannya). Istiqamah tiada lain merupakan sikap hidup yang bercita-cita, sikap hidup yang memasa depan. Dengan demikian, kegagalan-kegagalan yang menjegal, kesulitan-kesulitan yang membelit, ataupun rintangan-rintangan yang menantang tiada lain merupakan wasilah (perantara) untuk mempertajam mata hati kita. Dari sana, kita akan mengevaluasi seluruh amal yang telah kita lakukan untuk selanjutnya menyempurnakan apa yang kurang.
Last but not least, "penderitaan" (dalam menanti kehadiran kembali Sang Imam) yang kita alami pada hakikatnya untuk mengasah sikap hidup kita yang penuh cita-cita untuk disaksikan oleh Imam Zaman, Muhammad Al-Mahdi Al-Muntazhar as. Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ali Muhammad wa ‘ajjil farajahum.[]
Wallahu a’lam bi shawwab
_________________
*Istiqamah mengandung tiga muatan makna : (1) Istiqamah dalam mempertahankan secara terus menerus kalimah syahadah; (2) istiqamah dalam kehendak yang benar; (3) istiqamah dalam ketaatan kepada Imam dan ibadah kepada Allah.
IMAM MAHDI : SUATU KAJIAN TEKS*
Oleh : Ust. Hasan Rahmat
Pengantar
Sya’ban merupakan bulan yang istimewa bagi kaum Muslimin. Menurut riwayat yang masyhur ada tiga imam ma’shum yang lahir pada bulan tersebut yakni Imam Husain bin ‘Ali (3 Sya’ban), Imam ‘Ali bin Husain (5 Sya’ban), dan terakhir, Imam Muhammad Al-Mahdi Al-Muntazhar (15 Sya’ban) – yang kini dalam kegaiban besar. Di dunia Sunni, malam kelahiran Imam Al-Mahdi lebih dikenal sebagai malam nishfu Sya’ban yang pada malam tersebut catatan amalan kaum Muslim dilaporkan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Tulisan di bawah ini jelas bukan untuk membahas itu. Namun lebih menyorot Sang Imam Ghaib yang dilahirkan pada malam tersebut. Berangkat dari teks-teks keagamaan yang ada dan bersumber pada dua jalur, Sunni dan Syi’i, penulis memadatkan keyakinan Mahdiisme pada manusia. Di luar Islam, nama Imam Mahdi dikenal dengan beberapa istilah seperti Juru Selamat, Heru Cakra, Ratu Adil serta gelar-gelar lainnya. Namun dalam Islam namanya serta nasabnya sudah dipastikan dan tidak disamarkan sehingga menghindari pemalsuan ataupun penyelewengan makna. Selamat menyimak !
Mahdi Menurut Bahasa
Mahdi artinya penunjuk jalan; pemimpin. Imam Mahdi adalah pemimpin (yang dianggap suci) yang akan datang ke dunia apabila hari kiamat hampir tiba (Kamus Besar Bahasa Indonesia 1990 hal. 543). Mahdi dari bahasa Arab (Al-Mahdiyy), artinya orang yang dipimpin Allah kepada kebenaran. Mahdi adalah salah satu julukan bagi imam suci yang kedua belas.
Imam Mahdi dalam Alquran
Di dalam Alquran yang mulia tidak terdapat ayat-ayat yang jelas dan tegas tentang imamah, khilafah, dan kepemimpinan Al-Imam Al-Mahdi ‘alaihissalam, tetapi isyarat-isyarat ke arah itu ada, misalnya, saja dalam firman-firman Allah Azza wa Jalla berikut ini :
"Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka, Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukainya." (QS At-Taubah, 9 : 32).
"Dia yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan ajaran yang benar untuk dimenangkan-Nya atas seluruh ajaran, kendatipun orang-orang musyrik membencinya," (QS At-Taubah, 9 : 33).
"Dia yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan ajaran yang benar untuk dimenangkan-Nya atas seluruh ajaran, kendatipun orang-orang musyrik membencinya," (QS Ash-Shaff, 61: 9).
"Dia yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan ajaran yang benar untuk dimenangkannya atas ajaran seluruhnya, dan cukuplah Allah sebagai saksi, " (QS Al-Fath, 48 : 28).
Kata Imam Ja’far Ash-Shadiq bahwa kemenangan Islam hingga menguasai dunia ialah pada zaman Al-Mahdi (Al-Mizan fi Tafsir Al-Quran 9 : 225). Kata As-Sudi bahwa kemenangan Islam atas ajaran seluruhnya itu ialah pada masa Al-Mahdi (Tafsir Al-Fakhr Ar-Razi 16 : 42).
Al-Mahdi dalam As-Sunnah
Banyak hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah Saww tentang Al-Mahdi; tentang namanya, kun-yahnya, gelarannya, nasabnya, sifat-sifatnya, tentang apa yang akan dilakukannya, imamah dan khilafahnya, ghaibah (kegaiban) serta zhuhur (kemunculannya) dan sebagainya. Sejumlah sahabat Rasulullah Saww telah meriwayatkan hadis-hadis dari Rasulullah Saww yang berkenaan dengan Al-Mahdi seperti Imam ‘Ali as, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Abu Hurairah, Thalhah, Abu Sa’id Al-Khudri, Ummu Salamah dan lain-lain.
Nama dan Nasabnya serta Keadilan yang Akan Ditegakkan pada Masa Kemunculannya
Telah diriwayatkan yang sanadnya dari Ashim bin Bahdalah dari Zirrin dari Abdullah, dia telah berkata : Telah bersabda Rasulullah Saww : "Dunia tidak akan lenyap sampai seorang lelaki dari Ahli-baitku yang namanya sama denganku menguasai bangsa Arab," (HR At-Tirmidzi 2 : 36 cet. Bulaq).
"Tidak akan terjadi saat (kiamat) hingga berkuasa seorang lelaki dari Ahli-Baitku yang namanya sama dengan namaku," (Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal 1 : 376).
Sabdanya, "Akan tampil seorang lelaki dari Ahli-baitku yang namanya sama dengan namaku dan perawakannya menyerupai perawakanku lalu ia akan memenuhi bumi ini dengan keadilan dan kebenaran sebagaimana sebelumnya bumi ini telah diliputi kezaliman dan kesesatan," (Hadis ini telah dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dari Ibnu Mas’ud, Kanz Al-Ummal 7 : 188).
Dari Hudzaifah, "Sesungguhnya Nabi Saww telah bersabda,"Seandainya usia dunia tinggal satu hari lagi, niscaya Allah akan memperpanjang hari itu sampai Dia membangkitkan seorang lelaki dari (keturunan) anakku yang namanya seperti namaku". Salman berkata, "Dari anakmu yang mana, wahai Rasulullah ?" Beliau bersabda, "Dari keturunan anakku ini, " sambil beliau menepukkan tangannya kepada Al-Husain as (Dakhair Al-‘Uqba).
Nabi Isa Turun Setelah Imam Mahdi Muncul dan Shalat Di Belakangnya
Di dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan secara implisit bahwa Nabi Isa ‘alaihissalam akan turun setelah Imam Mahdi as muncul (Shahih Bukhari 2 : 256 cet. Dar Al-Fikr).
Di dalam Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal 3 : 345 telah diriwayatkan dengan sanadnya dari Jabir bahwa dia telah mendengar Nabi Saww bersabda, "Senantiasa segolongan dari umatku berperang di atas kebenaran mereka menang hingga hari kiamat tiba, lalu turunlah Isa putra Maryam, kemudian berkatalah pemimpin mereka (Al-Imam Al-Mahdi) : "Mari shalat (sebagai imam) bagi kami." Dia (Nabi Isa) bersabda, "Tidak, sesungguhnya engkau pemimpin bagi mereka, sungguh Allah telah memuliakan umat ini."
Di dalam Al-Shawaiq Al-Muhriqah, Ibnu Hajar telah berkata : Ath-Thabrani telah mengeluarkan hadis secara marfu : ‘"Al-Mahdi akan memperhatikan ketika Isa bin Maryam telah turun seolah air menetes dari rambutnya, kemudian Al-Mahdi akan berkata : "Silakan ke depan shalat (sebagai imam) bagi manusia." Isa ‘alahissalam berkata, "Shalat telah di-iqamah-kan untukmu," kemudian dia shalat di belakang seorang lelaki dari keturunanku.’" (Al-Shawaiq Al-Muhriqah, hal. 98).
Bacalah hadis-hadis tentang Al-Imam Al-Mahdi as di dalam kitab-kitab berikut ini : Sunan At-Tirmidzi 1 : 36 cet. Bulaq; Sunan Abi Dawud di dalam kitab "Al-Mahdi"; Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal 1 : 99, 376-377, 430, 448; juz 3 : 17, 28, 98-99, 317, 345, 367, 384, dan juz 2 : 336; Shahih Ibnu Majah dalam "Abwab Al-Jihad" dan "Abwab Al-Fitan"; Al-Mustadrak 4 : 460, 463, 502, 514, 554, 557-558; Majma’ Al-Zawaid 7 : 314-317; Kanz Al-‘Ummal 7 : 189; 260-261; Shahih Muslim dalam "Kitab Al-Fitan"; Qashash Al-Anbiya hal. 554; Hilyah Al-Auliya 3 : 184; Usud Al-Ghabah 1 : 259 dan lain-lain.
Imamah dan Kegaibannya
Telah diriwayatkan dengan sanad sampai kepada Imam Muhammad Al-Baqir as bahwa ia telah mendengar Jabir bin ‘Abdullah Al-Anshari berkata : "Saya masuk ke rumah Fathimah Az-Zahra – ‘alaihassalam – dan di hadapannya ada sebuah papan yang memuat nama-nama para washi’ (penerima wasiat), lalu saya hitung semuanya ada dua belas nama, yang terakhir adalah Al-Qa’im (Imam Mahdi), tiga orang mereka dari mereka bernama Muhammad [yang dimaksud adalah Muhammad Al-Baqir, Muhammad Al-Jawad, Muhammad Al-Mahdi –red.], dan empat orang dari mereka bernama ‘Ali [yang dimaksud adalah Imam ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Ali bin Husain As-Sajjad, ‘Ali bin Musa Ar-Ridha, ‘Ali bin Muhammad Al-Hadi –red.], shalawat Allah semoga dicurahkan kepada mereka semua." (Sirah Al-A’immah Al-Itsna ‘Asyar 2 : 529).
Ash-Shadiq telah meriwayatkan di dalam Al-Ikmal dan kitab lainnya dari sejumlah muhadditsin terpercaya pengikut Ahlul Bait dengan sanadnya sampai kepada Al-Asbagh bin Nubatah bahwa ia telah berkata :
Saya telah datang kepada Amirul Mukminin (‘Ali bin Abi Thalib) as lalu saya melihat dia sedang bertafakkur memperhatikan bumi. Saya berkata, "Apakah Anda senang kepadanya ?" Beliau berkata, "Tidak, demi Allah, aku tidak senang kepadanya dan juga kepada dunia satu hari pun. Akan tetapi aku sedang berpikir tentang anak yang akan lahir yang kedua belas dari keturunanku. Dia adalah Al-Mahdi. Dia akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana bumi ini telah diliputi dengan kezaliman dan ketidakadilan. Dia akan mengalami kegaiban ketika pada masa itu sebagian orang tersesat dan yang lainnya mendapat hidayah."
Saya bertanya, "Wahai Amirul Mukminin, apakah ini akan terjadi ?"
Beliau berkata, "Ya, sesungguhnya dia [Al-Mahdi] akan diciptakan. Sesungguhnya aku dengan ilmu menceritakan ini kepadamu, wahai Asbagh ! Mereka [para imam] itu adalah orang-orang terbaik dari ‘itrah ini."
Saya berkata, " Apa yang bakal terjadi setelah itu ?"
Beliau berkata, ""Allah akan berbuat menurut yang Dia kehendaki." (Sirah Al-A’immah Al-Itsna ‘Asyar 2 : 528).
Fase Kegaiban
Imamah Al-Mahdi as dimulai sejak ayahnya wafat tahun 260 H. Ketika itu Imam Mahdi berusia empat setengah tahun. Setelah itu hingga waktu yang dikehendaki Allah terjadilah kegaiban atas beliau. Kegaiban beliau terbagi kepada dua fase : kegaiban kecil (ghaibah shugra) dan kegaiban besar (ghaibah kubra).
Selama beliau dalam kegaiban kecil, beliau berhubungan dengan para pengikutnya atas perantaraan duta-dutanya yang empat secara bergantian. Duta atau safir yang pertama adalah Utsman bin Sa’id Al-’Umari, kemudian digantikan oleh putranya, Muhammad bin Utsman Al-‘Umari. Setelah duta kedua wafat digantikan oleh duta yang ketiga yaitu Al-Husain bin Ruh An-Naubakhti dan setelah wafat, beliau lalu diganti oleh ‘Ali bin Muhammad As-Samari, dia dipilih sebagai duta terakhir. Duta yang keempat ini wafat pada 329 H, ketika usia Imam Mahdi ‘alaihissalam 74 tahun. Jadi kegaiban kecilnya berlangsung selama 69,5 tahun. Sedangkan kegaiban besarnya dimulai dari dari tahun 329 H sampai waktu yang dikehendaki Allah Azza wa Jalla.
Tentang dua fase kegaiban ini Imam Ja’far Ash-Shadiq as telah berkata, "Sesungguhnya bagi yang mempunyai perintah ini (Imam Mahdi –red.) ada dua kegaiban. Salah satunya sangat panjang hingga sebagian orang berkata, ‘Dia telah wafat’, dan sebagian lagi mengatakan, ‘Dia telah pergi’, sehingga tidak tinggal atas perkaranya dari sahabat-sahabatnya melainkan sekelompok kecil," (Mizan Al-Hikmah I : 28; Bihar Al-Anwar 52 : 153).
Muhammad Al-Baqir as telah berkata, "Sesungguhnya bagi Al-Qa’im ada dua kegaiban. Dikatakan kepada salah satunya : ‘Dia telah wafat’, dan sebenarnya dia tidak diketahui pada lembah yang mana dia menempuh," (Mizan Al-Hikmah 1 : 281; Bihar Al- Anwar 52 : 156).
Hikmah Kegaiban
Para perawi hadis telah menyebutkan tentang kegaiban Imam Muhammad Al-Mahdi bin Hasan Al-‘Askari ‘alaihimmassalam dan sebab-sebabnya. Mereka telah meriwayatkan dari Imam Ja’far Ash-Shadiq dan dari Imam Musa bin Ja’far ‘alaihimmassalam, bahwa Allah Swt telah menyembunyikan kelahiran dan kegaibannya dari manusia agar tidak ada bai’at di pundaknya kepada seseorang, sebagaimana mereka telah meriwayatkan dari Muhammad Al-Baqir as bahwa dia telah gaib karena "takut" kepada Bani Al-‘Abbas, dan pada riwayat Abdullah bin Al-Fadhl Al-Hasyimi disebutkan : Imam Ja’far Ash-Shadiq as telah berkata ketika menjawab pertanyaan orang yang bertanya kepadanya tentang hikmah di dalam kegaibannya : "Sesungguhnya perkara ini hikmahnya tidak terbuka wajah hikmah pada apa-apa yang telah Allah berikan kepada Nabi Khidir as melainkan setelah dia berpisah dari Musa as." Kemudian Imam Ja’far Ash-Shadiq berkata, "Sesungguhnya perkara ini adalah perkara Allah dan rahasia ini dari rahasia-rahasia-Nya serta kegaiban ini dari kegaiban-Nya. Jika kita yakin bahwa Dia adalah Mahabijaksana, kita tentu membenarkan bahwa perbuatan-pebuatan-Nya seluruhnya pasti hikmah di dalamnya, sekalipun wajah hikmah tersebut tidak terbuka bagi kita".
Jadi masalah kegaiban Al-Mahdi itu kita kembalikan saja kepada Allah Azza wa Jalla sebagaimana disebutkan di dalam riwayat ‘Abdullah bin Al-Fadhl dari Imam Ja’far Ash-Shadiq as bahwa tidak lain kewajiban kita melainkan menerima dan menetapi (taslim dan iltizam) kepada apa yang telah ditentukan oleh kehendak-Nya.
Rasulullah Saww telah ditanya, "Apakah para pengikut Ahlul Bait akan mendapatkab manfaat dengan Al-Qa’im pada masa kegaibannya ?" Beliau menjawab, "Ya, demi Yang telah membangkitkanku dengan kenabian. Sesungguhnya mereka akan mendapatkan cahaya dengan nur wilayahnya pada masa kegaibannya itu, seperti orang-orang mendapatkan manfaat dengan matahari sekalipun terhalang awan," (Mizan Al-Hikmah 1 : 289).
Imam Muhammad Al-Mahdi as sendiri telah berkata : "...adapun dari segi mendapatkan manfaat denganku pada masa kegaibanku nanti adalah seperti mendapatkan manfaat dari di kala tidak terlihat karena tertutup awan, dan sesungguhnya aku adalah pengaman bagi penduduk bumi sebagaimana bintang-bintang sebagai pengaman bagi penduduk langit." (Mizan Al-Hikmah 1 : 289).
Beriman kepada Qudrah dan Iradah Allah serta Taslim kepada Sabda Nabi yang Dia "La Yanthiqu ‘An Al-Hawa"
Mungkin ada orang yang merasa keberatan menerima imamah Al-Mahdi, karena ia gaib dan usianya yang yang begitu panjang. Sampai saat ini beliau telah berusia 1164 tahun, meskipun telah banyak orang-orang yang sebelum Al-Mahdi telah dipanjangkan umurnya, seperti Nabi Isa ‘alaihissalam, dan Alquran telah menyangkal dan mendustakan orang-orang Yahudi yang mengklaim telah membunuhnya; Nabi Nuh ‘alaihissalam telah dipanjangkan usianya lebih dari seribu tahun; dan seandainya hidupnya Al-Masih putra Maryam masih samar bagi kita, maka usia Nabi Nuh ‘alaihissalam yang dikisahkan Alquran kepada kita adalah sebaik-baik saksi, bahwa manusia ada yang hidup dalam zaman yang panjang. Di dalam hadis dan tarikh disebutkan orang-orang yang telah dipanjangkan usianya, barangkali bisa menguatkan hal ini. Di antaranya : Luqman bin Ka’ab yang dikenal dengan Al-Mustaughir 400 tahun, dia wafat sebelum Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saww muncul, ‘Abdulmasih bin Baqlah Al-Ghasani lebih dari 350 tahun, Nabi Khidir ‘alaihissalam hidup pada zaman yang panjang, menurut kebanyakan kabar beliau sekarang masih hidup, dan Ash-habul Kahfi hidup ratusan tahun, mereka ditidurkan Allah ‘Azza wa Jalla di dalam gua selama 309 tahun.
Kesimpulan
Imam Mahdi adalah khalifah Rasulullah yang kedua belas. Nama beliau adalah Muhammad bin Hasan Al-‘Askari. Beliau dilahirkan pada tahun 255 H. Setelah ayahnya wafat (260 H), imamah pindah kepadanya sejak itu sampai usia beliau mencapai 74 tahun. Beliau kerap kali berada di rumah ayahnya, beliau tidak berhubungan dengan para pengikutnya atau dengan umat secara langsung melainkan dengan perantaraan duta-dutanya yang empat dan itulah yang disebut dengan ghaibah shugra (kegaiban kecil). Dan ketika pencarian atas beliau diperketat dan rumahnya dikepung, beliau keluar dengan inayah Allah ‘Azza wa Jalla sebagaimana telah terjadi atasnya lebih dari satu kali, dan sejak beliau meninggalkan rumahnya sampai Allah mengizinkan beliau muncul disebut ghaibah kubra (kegaiban besar).
Imam Mahdi adalah imam yang kedua belas, dari Ahlul Bait Nabi Saww, beliau keturunan Fathimah Az-Zahra’ as atau keturunan Imam Husain as. Menurut nubuwah (ramalan) Nabi Muhammad Saww beliau akan muncul nanti untuk tampil memimpin dunia. Beliau akan memenuhi bumi ini dengan kebenaran dan keadilan sebagaimana bumi ini telah diliputi sebelumnya diliputi oleh kezaliman dan kesesatan. Allah akan men-zhahir-kan Islam ini dengan kemunculan beliau sekalipun orang-orang kafir, musyrik, dan munafik membencinya.[]
Daftar Rujukan
1. Shahih Bukhari oleh Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari
2. Sunan Abi Dawud oleh Abu Dawud
3. Al-Mustadrak ‘ala Al-Shahihain oleh Al-Hakim
4. Al-Mizan fi Tafsir Al-Quran oleh As-Sayyid Muhammad Husain Ath-Thabathaba’i
5. Sirah Al-A’immah Al-Itsna ‘Asyar oleh Hasyim Ma’ruf Al-Hasani
6. Fadha’il Al-Khamsah oleh As-Sayyid Murtadha Al-Husaini
7. ‘Iqd Al-Durar fi Akhbar Al-Muntazhar oleh Yusuf bin Yahya
8. Dll.
* Tulisan ini pernah dimuat pada buletin Al-Mawaddah No. 05. Mengingat relevansinya yang kuat, redaksi memuat kembali tulisan tersebut atas izin penulisnya dengan sedikit perubahan redaksional. Atas izin beliau, redaksi mengucapkan banyak terima kasih.
IMAM MUHAMMAD AL-MAHDI AJF
a. Biografi Singkat Imam Muhammad Al-Mahdi a.s.
Imam Mahdi a.s. dilahirkan di Samirra`pada tanggal 15 Sya’ban 255 H. Ibunya bernama Narjis. Ia sempat mengalami hidup bersama ayahnya selama lima tahun. Pada saat memegang tampuk imamah, ada dua tugas yang harus dilakukan oleh Imam Hasan Askari a.s.: pertama, ia harus bertindak esktra hati-hati terhadap pemerintahan yang berkuasa saat itu, dan kedua, memperkenalkan Imam Mahdi a.s. kepada para pengikutnya yang setia.
Imam Mahdi a.s. sudah harus memegang tampuk imamah pada tahun 260 H. dalam usianya yang ke-5 tahun. Kemudaan usia Imam Mahdi a.s. (ketika memegang tampuk imamah) bukanlah suatu hal yang layak untuk diherankan. Karena Nabi Yahya a.s. pada usia kanak-kanak sudah mendapat mandat kenabian. Allah berfirman: “Wahai Yahya, ambillah (dan peganglah) kitab ini dengan erat. Dan Kami telah menganugerahkan kitab kepadanya ketika ia masih kecil”. (Maryam : 12)
Beberapa hari sebelum wafat, di sebuah pertemuan yang dihadiri oleh empat puluh orang sahabatnya yang setia yang antara lain adalah Muhammad bin Ustman, Mua’wiyah bin Hakim dan Muhammad bin Ayyub, Imam Hasan Askari a.s. berkata: “Ia adalah pemimpin dan khalifah kalian setelah aku wafat. Ia adalah Al-Qaa`im yang ditunggu-tunggu oleh para makhluk. Ketika bumi sudah dipenuhi oleh kezaliman, ia akan muncul demi memenuhinya dengan keadilan”.
b. Empat Wakil Imam Mahdi a.s.
Ghaibah Shughra (kecil) Imam Mahdi a.s. dimulai dari tahun 260-329 H. Pada periode ini Imam Mahdi a.s. menjawab segala pertanyaan dan problema yang dihadapi oleh masyarakat Syi’ah melalui wakil-wakilnya yang telah ditunjuk oleh dia sendiri. Mereka berjumlah empat orang, antara lain: Utsman bin Sa’id Al-’Amri (ia menjadi wakil Imam Mahdi a.s. selama lima tahun), Muhammad bin Utsman al-’Amri (ia menjadi wakilnya selama empat tahun), Husein bin Ruh An-Naubakhti (ia menjadi wakil Imam a.s. selama dua puluh satu tahun) dan Ali bin Muhammad As-Samuri (ia menjadi wakil Imam a.s. selama tiga tahun). Tugas-tugas mereka yang terpenting adalah menyelesaikan seluruh problema yang sedang menimpa masyarakat Syi’ah tanpa sepengetahuan pemerintah kala itu.
Dengan wafatnya keempat wakil di atas, Ghaibah Kubra (besar) dimulai. Hal ini terjadi pada tahun 329 H. dan usia Imam Mahdi a.s. pada saat itu adalah 74 tahun. Pada periode ini Imam Mahdi a.s. tidak menentukan para wakil secara khusus. Wakil-wakilnya pada periode ini ditunjuk secara umum melalui hadis-hadis yang datang dari mereka. Mereka adalah fuqaha` yang memenuhi syarat-syarat perwakilan.
c. Imam Mahdi a.s. dalam Pandangan Ulama Ahlisunnah
Keyakinan berkenaan dengan Imam Mahdi a.s. tidak didominasi oleh pemeluk Syi’ah saja. Para pengikut Ahlussunnah juga meyakini hal tersebut. Hanya saja, sebagian dari mereka mengingkari bahwa ia telah lahir.
Syabrawi Asy-Syafi’i dalam kitabnya Al-Ithaaf menulis: “Syi’ah meyakini bahwa Imam Mahdi yang telah dijanjikan dalam hadis-hadis yang sahih adalah putra Hasan Askari yang akan muncul di akhir zaman. Akan tetapi, pendapat yang benar adalah ia hingga sekarang belum dilahirkan dan akan dilahirkan di masa mendatang. Ia termasuk anggota Ahlul Bayt yang mulia”.
Ibnu Abil Hadid dalam Syarah Nahjul Balaghah khotbah ke-16 menulis: “Mayoritas ahli hadis berkeyakinan bahwa Imam Mahdi a.s. adalah dari keturunan Fathimah a.s. Para pengikut Mu’tazilah tidak mengingkari hal itu. Mereka menyebutkan namanya dalam buku-buku mereka dan para guru kami pun mengakui hal itu. Akan tetapi, --menurut keyakinan kami-- ia belum dilahirkan hingga sekarang dan akan dilahirkan di masa mendatang”.
Meskipun demikian, mayoritas sejarawan dan ahli hadis Ahlissunnah meyakini bahwa ia sudah dilahirkan. Mereka antara lain:
a. ’Izzuddin bin Atsir (wafat 630 H.) ketika menulis peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 260 H. menulis: “Abu Muhammad Al-Askari (Imam Hasan) lahir pada tahun 232 H. dan wafat pada tahun 260 H. Ia adalah ayah Muhammad yang dinamai oleh Syi’ah dengan “al-muntazhar”.
b. ’Imaduddin Abul Fida` Ismail bin Nuruddin Asy-Syafi’i (wafat 732 H.) menulis: “Ali Al-Hadi wafat pada tahun 254 di Samirra`. Ia adalah ayah Hasan Al-Askari dan imam kesebelas dari dua belas imam serta ayah Muhammad Al-Muntazhar yang menghilang di sirdab (ruang bawah tanah yang dimiliki oleh mayoritas rumah-rumah di Timur Tengah--pen.) dan lahir pada tahun 255 H.”.
c. Ibnu Hajar Al-Haitsami Al-Makki Asy-Syafi’i (wafat 974 H.) dalam kitab Ash-Shawaa’iqul Muhriqah.
d. Nuruddin Ali bin Muhammad bin Shabbagh Al-Maliki (wafat 855 H.).
e. Abul Abbas Ahmad bin Yusuf Ad-Dimasyqi (wafat 1019 H.) dalam kitab Akhbaarud Duwal wa Atsaaru Uwal.
f. Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Yusud Al-Ganji Asy-Syafi’i (wafat 658 H.) dalam buku Kifaayatut Thaalib.
g. Khojah Parsa Al-Hanafi dalam kitab Pashlul Khithaab.
h. Ibnu Thalhah Kamaluddin Asy-Syafi’i (wafat 654 H.) dalam kitab Mathaalibus Sa`uul fi Manaaqib Aalir Rasuul.
i. Syamsuddin Abul Muzhaffar Sibth bin Al-Jauzi Al-Hanafi (wafat 654 H.) dalam kitab Tadzkiratul Khawwaash.
j. Abdul Wahhab Asy-Sya’rani Asy-Syafi’i Al-Mishri (wafat 973 H.) dalam kitab Al-Yawaaqiit wal Jawahiir.
Pada kesempatan ini kami haturkan kepada para pembaca yang budiman ucapan-ucapan suci yang pernah diucapkan oleh Imam Mahdi a.s. dengan harapan semoga ucapan-ucapan tersebut dapat menjadi penunjuk jalan bagi kehidupan kita.
1. Imam Mahdi a.s. memperhatikan kita
“Kami tidak akan lupa untuk menjaga kalian, dan tidak akan lalai untuk mengingat kalian. Jika tidak karena hal itu, segala kesulitan akan menimpa kalian dan para musuh akan melahap kalian. Oleh karena itu, takutlah kepada Allah dan bantulah kami”.
2. Kebenaran pasti menang
“Allah tidak menghendaki dari kebenaran kecuali Ia akan menyempurnakannya dan dari kebatilan kecuali kehancurannya. Ia bersaksi terhadap apa yang saya katakan ini”.
3. Munculnya kebenaran
“Jika Allah mengizinkan kami untuk berbicara, niscaya kebenaran pasti akan muncul, kebatilan akan sirna dan segala kesulitan akan terangkat dari kalian”.
4. Rahasia bersin
Nasim, salah seorang pembantu Imam Mahdi a.s. bercerita: Imam berkata kepadaku: “Apakah kuberitahukan kepadamu tentang rahasia bersin?”
“Ya”, jawabku singkat.
“Bersin adalah pengaman dari kematian selama tiga hari”, jawabnya.
5. Izin pemilik
“Tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk menggunakan milik orang tanpa seizinnya”.
6. Pengaman penduduk bumi
“Aku adalah pengaman bagi penduduk bumi sebagaimana bintang-bintang di langit adalah pengaman bagi penduduk langit”.
7. Merujuk kepada para “perawi” hadis
“Ada pun peristiwa dan problema-problema yang terjadi di tengah-tengah kalian, merujuklah kepada para “perawi” hadis kami (untuk menyelesaikannya). Karena mereka adalah hujjahku atas kalian dan aku adalah hujjah Allah atas mereka”.
8. Bak matahari di balik awan
“Mereka dapat mengambil manfaat dari keberadaanku meskipun aku ghaib sebagaimana mereka dapat mengambil manfaat dari matahari ketika tertutup awan”.
9. Imam a.s. mengetahui kita
“Ilmu kami meliputi seluruh berita berkenaan dengan kalian dan tidak satu pun darinya yang terlewatkan dari ilmu kami”.
10. Perbanyaklah doa untuk kemunculanku
“Perbanyaklah doa supaya kemunculanku cepat. Karena kemuncunlanku adalah sebuah kejembaran bagi kalian”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar