Rabu, 09 Januari 2019

STOP BERGUNJING



ilustrasi hiasan:


citra

Manusia adalah makhluk komunikasi, insan pembicara. Ia tak bisa diam membatu. 

Dalam kategori modern, semakin ia berbicara semakin “eksis" dia. Di sinilah masalahnya. Tak jarang, pembicaraan manusia menjurus kepada ghibah, pergunjingan. 

Bahaya dan dampak buruk ghibah inilah yang mendorong Syekh Taqiyuddin Ibrahim untuk mengupas duduk perkara ghibah. Dikemas dalam lima bab pembahasan, penulis secara runtut menguraikan faktor-faktor mengapa manusia melakukan ghibah, pencegahannya, kebolehan mengghibah pada masalah tertentu hingga bertobat dari ghibah. 


Buku yang relatif tipis tetapi sarat analisis ini layak dijadikan pelengkap referensi Anda di momen-momen yang dimuliakan Allah seperti bulan Ramadan. 

BERGUNJING FIKIH SEPUTAR GHIBAH 

pengarang : Taqiyuddin Ibrahim 




Diterjemahkan dari : kashful-Reebuun.Ilikumul-Gheebun Romerilly Duubi from Gheebu Rulings)
karya : Syahid Awal Taqiyuddin Ibrahim bin Ali Amiii, terbitan Ansariyan Publications, 2008 
Penerjemah Inggris : Yasin T. Al-Jibouri 
Penerjemah Indonesia : Retno W. Wulandari dan Ali Bin Yahya 
Penyunting : Galih Mahdi 
Pembaca Pruf : Syafrudin Mbojo 
Penata Letak : Iyos Rosyidah 
Perancang Sampul : Arif Bayu Satya 
Cetakan 1 Agustus 2011/Ramadan 1432 11 ISBN: 978-979-2307-22-1 
Diterbitkan oleh Penerbit Citra e-mail : redaksicitra yahoo.com 
Hak terjemahan dilindungi undang-undang 
All rights reserved 


-------------------------------------------------


Daftar Isi

OBOJ 

Sekapur Sirih

Pengantar Penerbit (Edisi Inggris)

BAB 1 MENGAPA MANUSIA MELAKUKAN GHIBAH

Jenis-jenis Ghibah

BAB 2 TINDAKAN PENCEGAHAN TERHADAP GHIBAH

BAB 3 GHIBAH YANG DIBOLEHKAN

BAB 4 MERENUNGKAN AKIBAT-AKIBAT GHIBAH

BAB 5 

MENGHILANGKAN KERAGUAN TENTANG HUKUM-HUKUM 

YANG RELEVAN DENGAN GHIBAH-

Daftar isi




SEKAPUR SIRIH 


Ghibah atau bergunjing adalah membicarakan seseorang dengan hal yang tidak disukainya seandainya ia mendengar, baik tentang kekurangan yng ada pada badan, nasab (keturunan), akhlak, perbuatan, perkataan, agama, dunianya, bahkan pakaian, rumah dan kendaraannya. 

Al-Quran mengumpamakan orang yang suka menggunjing laksana orang yang memakan daging saudaranya sendiri. Begitu juga dengan orang yang mendengar ghibah. Ia tidak terbebas dari dosa kecuali dengan mengingkari secara lisan atau dengan hatinya seperti sabda Nabi saw berikut, “Barangsiapa yang membela kehormatan saudaranya yang sedang dipergunjingkan, niscaya Allah akan membebaskannya dari api neraka.” (HR Ahmad bin Hambal dan Thabrani) 

Mengingat bahaya dan dampak buruknya yang luar biasa dari ghibah, yang merasuk ke hampir setiap stikul lv pular xylutade lini kehidupan manusia, Penerbit Citra menerbitkan salah satu karya ulama terdahulu, Taqiyuddin Ibrahim bin Ali Amili, yang mendedah persoalan ghibah secara mendetail. Kepakaran penulis di bidang hadis dan fikih menjadikan buku yang relatif tipis tetapi bernas ini layak untuk dijadikan bahan perbaikan-diri. Terutama di momen-momen kudus seperti bulan Ramadan, bulan evaluasi-diri. 

Semoga upaya penebaran gagasan-gagasan ulama ini mampu membuat manusia Indonesia kian bermartabat dan berkarakter mulia. 

Jakarta, Syakban 1432 H/Juli 2011 

Penerbit Citra 




PENGANTAR PENERBIT


Kali ini, Penerbit Ansariyan-penerbit literatur Islam berkualitas dalam berbagai bahasa-dengan senang hati menyajikan buku bertema Ghibah karya Syahid Awal Taqiyuddin Ibrahim bin Ali Amili yang diterjemahkan oleh Yasin T. Al-Jibouri. Kami telah mempublikasikan sejumlah buku yang ditulis atau diterjemahkan oleh Yasin T. Al-Jibouri, dan senang sekali menambahkan buku ini ke dalam daftar terbitan kami. Buku pertama tulisan Al Jibouri yang diterbitkan Penerbit Ansariyan pada tahun 2000 (1421 H), yaitu Fast of the Month of Ramadan: Philosophy and Ahkām (Puasa Bulan Ramadan: Falsafah dan Hukumnya) dan buku berikutnya adalah Allāh: The Concept of God in Islam (Allah: Konsep Tuhan Dalam Islam?), serta Karbala and Beyond. Jadi, buku yang kini 


Diambil dari edisi online buku ini. Sudah diterbitkan oleh Penerbit Al-Huda dengan judul Bercermin pada 99 Asma Allah: Ikhtiar Menuju Akhlak Ilahi (2003)--penerj. Tikill Cldpular Glutesh berada di tangan Anda ini, merupakan salah satu dari sekian banyak karya terjemahannya. 

Para pembaca setia buku-buku terbitan Ansyarian kerapkali meminta agar kami memperkenalkan para penulis atau penerjemahnya. Karena itu, agar terasa lebih nyaman, kami mempersilakan mereka untuk membuka untaian kata Pengantar Penerbit kami dalam buku Uswat al-Arifeen. Di sana, para pembaca akan memperoleh rincian lebih lengkap tentang penerjemah. Di sini, kami hanya memberikan uraian tentang biografi penerjemah seperlunya saja: 

Yasin T. Al-Jibouri lahir di Bagdad, Irak, pada tahun 1946 dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di kota suci Kazhimiyah. Dia memperoleh gelar sarjana muda dalam Bahasa Inggris pada 30 Juni 1969 dari Sekolah Tinggi Seni, Universitas Bagdad, dan MA dalam Bahasa Inggris dari Universitas Atlanta (sekarang namanya Universitas Clark-Atlanta), di Atlanta, Georgia, 20 Desember 1978. Selanjutnya, Maret 1988, Yasin T. Al-Jibouri mendapat sertifikat kesarjananaan di bidang Mikroprosesor dan Mikrokomputer dari NRI Washington, DC., selain tiga 


Sebuah buku yang membahas biografi singkat kehidupan arif besar Ayatullah Uzhia Syekh Bahjat Fumani, yang wafat pada 17 Mei 2009--. penerj. ikuh Baputty tuled sertifikat di bidang elektronika dan pemrograman; termasuk pemrograman tingkat lanjut, serta menulis lebih dari 100 konsep pemrograman. 

Al-Jibouri pernah mengajar Bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di sekolah menengah di Irak, sebuah lembaga kejuruan di Arab Saudi, dan sebuah universitas di Amerika Serikat. Selain itu, dia menyunting dan merevisi tiga terjemahan al-Quran berbahasa Inggris dari karya: 1) S.V. Mir. Ahmed Ali; 2) A. Yusuf Ali; dan 3) M.H. Shakir. Al-Jibouri juga menyunting sejumlah naskah berita berkala dan majalah; salah satunya adalah Middle East Business Magazine, majalah bisnis papan atas yang berkantor pusat di Arlington, Virginia, Amerika Serikat, tempat dia menjadi Editor Senior. Sementara sebagai editor buku, beberapa buku yang pernah digarapnya, yaitu: Socio-Economic Justice with Particular Reference to Nahjul-Balagha, A Biography of Leaders of Islam dan Your Kalima and the Savior. Al-Jibouri adalah orang pertama yang menerjemahkan karya-karya tentang ekonomi dari Syahid Imam Ayatullah Muhammad Baqir Sadhr seperti Contemporary Man and the Social Problem, A General Outlook at Rituals, The General Bases of Banking in the Muslim Society, and What Do You Know About Islamic Economics? Judul kedua hanya tersedia di 


Wilbroad xvuld Perpustakaan Kongres AS di Washington, DC, USA. Dia juga menerjemahkan dan/atau menerbitkan banyak judul buku, di antaranya, yaitu: A Biography of Muhammad Bāqir al-Sadr, The Form of Islamic Government and Wilāyat al-Faqeen, About the World Political Situation From a Muslim's Viewpoint, Our Faith dan A Biography of Imam al-Rida oleh almarhum Syekh Muhammad Jawad Fadhlullah, di samping sejumlah besar traktat politik, pamflet, terjemahan dan berita berkala. 


Di antara karya-karya terjemahannya yang lain adalah: 

1. Empat Jilid pertama dari serial berjudul Al-Islam Risalatuna 
2. Al-Muraja'at A Shi'i-Sunni Dialogue, terjemahan Bahasa Inggris autentik pertama buku Al-Muraja'at karya Imam Sayid Syarafuddin Shadruddin Musawi 
3. Al-Shi'a hum Ahl al-Sunnah karya Dr. Muhammad Tijani Samawi
4. Al-Maqtal (epos kesyahidan Imam Husain) dari karya Abdrrazzaq Mugarram. Al-Jibouri juga menerjemahkan judul-judul berikut ini yang awalnya ditulis dalam Bahasa Arab oleh Rachad Vtihah ilmuks, * Iul 2011 El-Moussaoui: Best Month, Best Night; The Book of Istikhāra; Weapon of the Prophets; Miracles of the Holy Qur'ān; dan The Great Names of Allāh (Asmā' Allāh al Husna).
Akan tetapi, buku-buku ini tidak mencantumkan nama penerjemahnya. 


Dia menerjemahkan dua buku karya Almarhum Ayatullah Uzhma Muhammad Syirazi:
1) Canon: A Glimpse at the Islamic Law and
2) The Pathway to an Islamic Revival. 

Selain menerjermahkan, Al-Jibouri juga menulis beberapa artikel untuk Islamic Monitor, buletin dari Islamic Research & Information Center. 

Dia telah menulis delapan judul buku, yakni 

1. Jilid pertama dari otobiografinya, dengan judul Memoirs of a Shia Missionary in America: TWO Decades of Da'wah 
2. Fast of the Month of Ramadān: Philosophy and Ahkam 
3. The Ninety-Nine Attributes of Allah 
4. Mary and Jesus in Islam 
5. Allah: The Concept of God in Islam 
6. Muhammed: The Prophet and Messenger of Allah fikuh Adipuu Wilulil 
7. Ghadir Khumm: Where Islam was perfected, dan 
8. Karbala and Beyond. 

Kegiatannya yang lain adalah sebagai penceramah. Dia cukup aktif dalam kegiatan dakwah Islam di Amerika Serikat. Dia mendirikan Masyarakat Islam Georgia, Inc (Atlanta, Georgia) tahun 1973, Gerakan Kebangkitan Islam tahun 1980, International Islamic Society of Virginia, Inc pada 1982, dan Iraq News Monitor tahun 1992. Dan, menjadi editor pada media berkala Islamic Affairs dari Januari 1974 - Juni 1989. 

Pada 3 September 2003, Al-Jibouri kembali ke tanah airnya dan kembali tinggal di Kazhimiyah. Di kota itu, dia telah menerjemankan lima buku, seperti kashf al-Reeba an Ahkam al-Gheeba karya Syekh Taqiyuddin Ibrahim bin Ali Amili, yang dikenal sebagai Syahid Awal; Al-Siraj: The Lantern (Towards the path of Allah) karya Syekh Husain bin Ali bin Shadiq Bahrani dan The Truth about the Shi'ah Ithna-Ashari Faith karya As'ad Wahid Qasim. Semua buku itu diterbitkan oleh Penerbit Ansariyan. 

Penerbit Ansariyan 



Tentang Buku ini dan Pengarangnya 


Dengan Nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang 

Segala puji bagi Allah yang menyucikan lidah-lidah para wali dan kekasih-Nya dari pembicaraan sia-sia dan omong kosong, menggunjing dan memfitnah, menyucikan jiwa mereka dari akhlak rendah dan kebiasaan-kebiasaan tercela. Terpujilah atas Nabi pilihan-Nya (salawat Allah semoga tercurah atasnya dan keluarganya), yang diutus dengan membawa syariat yang mudah dipraktikkan dan jalan lurus. Terpujilah juga keturunannya yang disucikan, yang mengikuti jalannya dan sepenuhnya memahami sunnahnya, dan yang dilindungi dari perilaku rendah dan dikenal karena kebaikan-kebaikannya. 

Saya melihat banyak orang di zaman sekarang digambarkan sebagai masyarakat yang mempunyai 
pengetahuan, kebajikan dan menyandang sifat adil. Mereka biasa ditunjuk sebagai orang-orang yang mumpuni dalam memelihara pelaksanaan salatnya, biasa berpuasa, tindak kebaktian mereka yang begitu berlimpah can sabar dalam mencari kedekatan kepada Allah Swt. Mereka menghindari dosa-dosa besar seperti perzinahan, minum khamar dan perbuatan-perbuatan buruk nyata yang lainnya. Akan tetapi, orang-orang di zaman kini, meskipun dengan semua hal baik yang telah dilakukannya itu, kerap menghabiskan banyak waktu untuk sekadar bersenang senang dalam pertemuan-pertemuan dan perbincangan mereka. Di dalamnya, mereka memberikan asupan kepada jiwa kita dengan melancarkan serangan terhadap kehormatan saudara-saudara seiman dan rekan-rekan muslim mereka tanpa merasakan bahwa perbuatan perbuatan demician sebagai dosa, dan mereka juga tidak berhati-hati, seolah-olah Yang Mahakuasa tidak mencatat dan memperhitungkan perbuatan mereka itu. 







Fikih Seputar Ghibah 

BAB I 

MENGAPA MANUSIA MELAKUKAN GHIBAH 


Salah satu alasan mengapa kebanyakan orang terjerembab dalam persoalan ghibah, dibandingkan dengan jerat kemaksiatan yang lain, barangkali disebabkan oleh kurangnya kepedulian mereka terhadap jebakan perbuatan yang diharamkan ini, meskipun kita telah seringkali mendengarkan berbagai pembahasan dari ayat-ayat dan riwayat-riwayat hadis yang mengingatkan orang-orang untuk memberikan perhatian terhadapnya. Hal inilah yang kerap disebut sebagai alasan minimal dari mereka yang biasanya tidak memedulikan perkara ghibah. 

Mungkin saja, mereka menganggap bahwa kebiasaan ghibah itu tidak memengaruhi status keutamaan mereka, disebabkan oleh jenis perilaku rendah ini yang tersembunyi dari orang-orang yang mencari posisi pada orang-orang jahil. Jika Iblis membujuk mereka untuk meminum anggur (minuman keras) atau melakukan zina dengan wanita-wanita suci, tentulah mereka tidak akan mematuhinya lantaran perbuatan tersebut diketahui jelas oleh orang banyak sebagai dosa dan pelakunya berada di tempat terhina. Yakni, bagi orang banyak, perbuatan tersebut merupakan salah satu perbuatan dosa yang sangat jelas. Tapi mengghibah, punya ciri yang berbeda. 

Seandainya orang banyak menggunakan kekuatan penalaran mereka dan memanfaatkan cahaya akal mereka, mereka akan menemukan perbedaan yang jauh di antara dosa-dosa tersebut dan sejumlah besar variasi di dalamnya. Sekali-kali tidak! Tidak ada jalan untuk membandingkan dosa-dosa yang mengurangi hak Allah, segala puji bagi-Nya, dan apa yang relevan dari dosa-dosa itu bagi para hamba-Nya, terutama kehormatan karena kehormatan (manusia) lebih besar dan lebih berharga dibandingkan dengan kekayaan harta benda. Semakin lebih berharga sesuatu, semakin lebih besar pula dosanya jika ia dilanggar, di samping berakibat kerusakan lain yang parah sebagaimana akan kita ketahui, insya Allah. 


Dalam risalah ini, saya akan mencoba mengajukan sejumlah pernyataan tentang ghibah; bagaimana Kitabullah dan sunnah melarangnya, dan bagaimana akal sehat sampai pada kesimpulan tentang itu, dengan memberi judul uraian Stop Gosip: Hukum Seputar Ghibah (aslinya: Kashf al-Reeba 'an Ahkam al-Gheebah), disambung dengan materi-materi lain yang berhubungan dengan pembahasanghibah dan beberapa hukum tentang hasud, lalu menutup pembahasan dengan komunikasi sugestif, yang menganjurkan pada cinta dan kebaikan. Risalah ini tersusun dalam tiga bagian: Pengantar, Pembahasan dan Kesimpulan. 

Dalam Pengantar, berisi definisi ghibah dan sejumlah larangan tentangnya, yang berisi beberapa peringatan tegas. Dalam kesempatan kali ini, saya hanya akan menyebutkan sebagian di antaranya saja. 

Kita katakan bahwa ghibah, bergunjing-sebagai sebuah ekspresi—memiliki dua definisi. 

Salah satunya adalah definisi yang dikenal umum, yakni, menyebutkan kondisi seseorang ketika dia tidak hadir dalam cara yang dia benci, mengatributkan kepadanya apa yang dianggap sebagai sebuah kekurangan menurut kesepakatan sosial untuk meremehkan dan menjelekkannya. 


Sebagai contoh, kita harus berhati-hati dan waspada, jangan sampai meremehkan sesuatu yang salah ketika, misalnya, berbicara kepada seorang dokter; atau ketika memohon belas kasihan kepada penguasa; atau ketika mencela waktu; atau berbicara tentang seorang buta dan menunjukkan kekurangan-kekurangannya. Seseorang memang bisa saja tidak melakukan demikian sambil menyatakan ketidaksenangan terhadap hal-hal tertentu yang diatributkan kepada orang lain yang menjadi sasarannya. 

Definisi lain adalah menarik perhatian seseorang terhadap sesuatu dimana orang yang menjadi sasaran pembicaraan tersebut membenci untuk dikenali seperti itu. Ini lebih umum dibandingkan dengan definisi yang pertama karena membuat pernyataan, referensi, atau meriwayatkan cerita atau hal-hal lain, dan itu lebih baik karena apa yang akan kita jelaskan tentang ghibah tidak terbatas hanya dengan membuat pernyataan pernyataan. 

Sebuah hadis terkenal menyebutkan bahwa Rasulullah saw pernah bertanya kepada para sahabatnya, "Apakah kalian mengetahui apa itu ghibah?" Mereka berkata, "Allah dan Rasul-nya lebih mengetahui." Beliau berkata, "Yaitu ketika kalian mengatakan sesuatu tentang saudara kalian yang dia benci.” Salah seorang sahabat menanggapi dengan mengatakan, "Bagaimana jika apa yang aku katakan tentang saudaraku itu adalah benar?" Rasulullah saw menjawab, “Jika apa yang kalian katakan itu benar, itu adalah ghibah, dan jika itu tidak benar, itu adalah fitnah.” Ini tercatat dalam kitab Tanbih al Khawathir, jilid 1, halaman 118. Riwayat ini juga tercatat dalam al-Targhib wa al-Tarhib, jilid 3, halaman 515. 

Beberapa orang menyebutkan nama seseorang di dalam majelis Nabi Muhammad saw, dengan mengatakan, "Betapa lemahnya dia!” Beliau saw berkata, “Kamu telah melakukan ghibah terhadap teman kamu.” Mereka berkata, "Wahai Rasulullah! Apa yang kami katakan tentang dia adalah benar!" Beliau saw menegaskan, “Jika kamu menyifatkan sesuatu yang salah kepadanya, kamu memfitnahnya." Riwayat ini dinyatakan dalam al-Durr al Mantsur, jilid 6, halaman 96. 

Ada konsensus tentang larangan ghibah. Ghibah merupakan dosa besar karena kitabullah dan sunnah memberikan peringatan tentangnya. 

Allah swt dengan jelas memandangnya sebagai perbuatan keji dalam kitab-Nya, membuat tamsil bagi 


Fikih seputar Ghiladi orang-orang yang melakukannya dengan ibarat seperti orang yang memakan daging saudaranya yang telah mati. Dia (Allah) berfirman, Wahai orang-orang yang beriman! Hindarilah sebanyak (mungkin) prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu mengghibah sebagian lainnya. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang telah mati? Tentu saja kamu merasa jijik memakannya. Dan takutlah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat dan Maha Penyayang (QS. al-Hujurat: 12). 

Rasulullah saw bersabda, "Seorang muslim, semua darinya, diharamkan merugikan muslim lainnya, apakah menumpahkan darahnya, atau merampas hak-hak miliknya, atau merugikan kehomatannya" (Tanbih al Khawathir, jil.1, hal.115). 

Jabir bin Abdullah Anshari dan Abu Sa'id Khudri mengatakan, "Nabi Muhammad saw bersabda, 'Waspadalah, dan jangan melakukan ghibah, karena ghibah itu lebih buruk dibandingkan dengan zina. Apabila seorang pezina bertobat, Allah menerima tobatnya, tapi pelaku ghibah tidak diampuni dosanya kecuali jika orang yang menjadi korban ghibahnya itu memaafkannya?" (Tanbih al-Khawathir, jil.1, hal.115; Irsyad al-Qulub, hal.116). 

Dalam sebuah riwayat terkenal yang cukup panjang, Rasulullah saw menyatakan, "Para malaikat pencatat amal melaporkan perbuatan-perbuatan seorang hamba Allah, dan ia bercahaya seperti cahaya matahari yang tetap berlangsung hingga mencapai langit yang lebih rendah karena para malaikat pencatat amal menaruh perhatian besar terhadap perbuatan-perbuatan hamba itu dan memberikan kesaksian untuknya. Namun ketika mencapai pintu gerbang, malaikat yang bertugas menjaga pintu itu berkata, 'Pukullah wajah pelaku dari perbuatan ini! Aku sedang bertugas memantau ghibah; Tuhanku 

Rasulullah saw bersabda, "Seorang muslim, semua darinya, diharamkan merugikan muslim lainnya, apakah menumpahkan darahnya, atau merampas hak-hak miliknya, atau merugikan kehomatannya" 


Fikih & puta Wurth memerintahkan aku untuk tidak membiarkan perbuatan baik dari orang yang mengghibah orang-orang lain untuk bertemu Tuhanku'" (Al-Targhib wa al-Tarhib, jil.1, hal. 74). 

Anas mengutip perkataan Rasulullah saw seperti ini, "Pada malam Isra, aku melewati orang-orang yang sedang menggaruk hidung-hidung mereka dengan kuku kuku mereka. Aku bertanya kepada Jibril tentang keadaan mereka. Jibril menjawab, "Itulah orang-orang yang mengghibah orang lain dan menjelekkan kehormatan mereka'" (Tanbih al-Khawathir, jil.1, hal. 115; Irsyad al Qulub, hal.116). 

Barra bin Azib berkata, “Rasulullah pernah menyampaikan sebuah khotbah yang lantang kepada kami, sehingga wanita-wanita merdeka di rumah-rumah mereka mendengarnya. Beliau saw berkata, “Wahai manusia yang keimanannya sebatas lidah dan tidak di hati! Janganlah mengghibah kaum muslim, dan janganlah mencari-cari kekurangan-kekurangan mereka, karena jika seseorang mencari-cari kekurangan saudaranya, Allah akan membuka kekurangannya, dan jika Allah membuka kekurangannya maka Dia akan membeberkannya bahkan hingga bagian terdalam dari rumahnya'" (Tanbih al Khawathir, jil.1, hal.115). 

an bin Jabir berkata, “Aku pergi menemui Rasulullah saw dan berkata kepada beliau, 'Ajarkanlah aku sesuatu yang baik di mana karenanya Allah Swt memberi manfaat bagiku. Beliau berkata, 'Janganlah engkau meremehkan suatu perbuatan baik meskipun sekadar menuangkan dari bejanamu ke dalam cangkir orang yang meminta minum, dan ketika engkau bertemu saudaramu, temuilah dia dengan senyuman. Ketika dia (saudaramu] pergi, janganlah mengghibahnya'" (Tanbih al-Khawthir, jil.1, hal.115). 

Anas bin Malik berkata, “Rasulullah saw pernah menyampaikan sebuah khotbah kepada kami dan menyebutkan riba, menyinggung tentang bahaya besarnya. Beliau berkata, 'Satu dirham yang didapatkan oleh seseorang melalui riba, di sisi Allah dosanya lebih besar dibandingkan dengan tiga puluh enam kali perbuatan zina yang dilakukan seseorang. Namun ada yang paling berbahaya dibandingkan dengan riba, yaitu ketika seseorang menjelekkan kehormatan seorang muslim (mengghibahnya)'" (Tanbih al-Khawathir, jil.1, hal.116). 

Jabir berkata, "Kami menemani Rasulullah ketika beliau saw mendekati dua makam dari orang-orang yang 


Fikih sedang disiksa. Beliau berkata, 'Mereka tidak disiksa karena telah melakukan sebuah dosa besar. Salah seorang dari mereka biasa mengghibah orang lain. Seorang lainnya begitu tidak peduli untuk membersihkan dirinya setelah kencing: Rasulullah saw lalu meminta satu atau dua pelepah kurma segar yang kemudian beliau tanam setiap pelepahnya di atas masing-masing makam. Beliau saw berkata, 'Ini akan meringankan siksaan mereka, selama pelepah-pelepah ini tidak mengering'" (Tanbih al Khawathir, jil.1, hal.116). 

Anas berkata, “Rasulullah saw pernah memerintahkan orang-orang untuk berpuasa, kemudian berkata, “Tidak ada yang boleh membatalkan puasanya hingga aku memberinya izin. Orang-orang pun berpuasa. Ketika sore hari tiba, seorang lelaki datang dan berkata, 'Wahai Rasulullah! Aku telah menjaga puasaku; maka berilah aku izin untuk membatalkan puasaku', dan beliau memberinya izin. Seorang lelaki datang dan berkata, 'Wahai Rasulullah! Dua wanita muda di antara umatmu telah menjaga puasa mereka, tapi mereka begitu malu untuk datang kepadamu; maka berilah mereka izin untuk membatalkan puasa mereka! Rasulullah saw memalingkan wajah darinya. Lelaki itu mengulangi permintaannya, lalu Rasulullah berkata kepadanya, 'Mereka tidak melaksanakan puasa 



Bagaimana seseorang bisa berpuasa padahal dia memakan daging manusia? Pergi dan beritahukan mereka bahwa jika mereka sedang berpuasa, mereka seharusnya muntah.' Lelaki itu kembali kepada dua wanita muda itu dan menceritakan hal di atas kepada mereka. Mereka pun muntah. Masing-masing dari mereka memuntahkan segumpal daging. Lelaki itu kembali kepada Rasulullah saw dan memberitahukannya tentang kejadian tersebut. Beliau saw berkata kepadanya, 'Aku bersumpah demi Zat Yang menggenggam jiwa Muhammad dalam tangan-Nya bahwa seandainya gumpalan-gumpalan daging itu tetap berada dalam perut mereka, mereka akan memakannya seperti makan bara api.'" Versi lain dari peristiwa ini menyatakan bahwa ketika Rasulullah memalingkan wajahnya dari lelaki itu, maka lelaki itu kembali dan berkata, "Wahai Rasulullah! Mereka, demi Allah, hampir mati (lapar dan dahaga)." 

Rasulullah saw memberitahu lelaki itu untuk membawa kepada beliau dua wanita itu, yang beliau perintahkan untuk muntah. Masing-masing dari mereka berdua memuntahkan darah, yang memenuhi seluruh bejana. Kemudian beliau saw berkata, “Wanita-wanita ini menjauhkan diri dari apa yang Allah bolehkan bagi mereka dan membatalkan puasa mereka atas apa yang Allah larang bagi mereka. Masing-masing dari mereka duduk dan memakan daging manusia" (Ihya Ulum al-Din, jil.3, hal.134; al-Durr al-Mantsur, jil.6, hal.96). 

Juga telah diriwayatkan bahwa "Orang yang memakan daging saudaranya di dunia akan memiliki daging yang didekatkan kepadanya di akhirat dan akan dikatakan kepadanya, 'Makanlah ia dalam keadaan mati sebagaimana engkau memakannya dalam keadaan hidup.' Maka dia pun memakannya dan menjerit dengan marah dan bermuka muram'" (Ihya' Ulum al-Din, jil.3, hal.135). 

Rasulullah saw pernah merajam seorang lelaki karena telah melakukan zina. Seseorang berkata kepada temannya tentang laki-laki yang dirajam itu, "Orang ini biasa menyembur seperti anjing-anjing." Kemudian Rasulullah saw mendatangkan ke hadapan mereka yang menghina itu bangkai dan berkata, "Makanlah bangkai ini." Salah seorang yang mengghibah itu berkata, "Wahai Rasulullah! Haruskah kami benar-benar memakan bangkai yang telah membusuk baunya?!” Beliau saw berkata, "Apa yang baru saja kalian makan dari daging saudara kalian adalah lebih busuk baunya dari bangkai ini" (Tanbih al-Khawathir, jil.1, hal.116). 

Imam Ja'far Shadiq as berkata, "Ghibah diharamkan atas setiap muslim. Ghibah memakan perbuatan perbuatan baik sebagaimana api melahap kayu bakar” (Mishbah al-Syari'ah, hal.204-205). 

Syekh Shaduq mengutip para datuknya yang menyebutkan bahwa Amirul Mukminin Ali as berkata, sesungguhnya Rasulullah saw pernah menjelaskan sebagai berikut, "Ada empat orang yang akan menambah penderitaan bagi para penghuni neraka atas penderitaan yang sudah mereka rasakan; bahwa mereka akan diberikan minuman dari air mendidih. Mereka akan meratap dengan hebat, dan sedemikian hebat ratapan itu sehingga para penghuni neraka akan saling berkata, 'Apa salahnya empat orang itu, yang semakin membuat kita menderita di samping penderitaan yang sudah kita rasakan saat ini?' Salah seorang dari mereka akan berjuntai dari sebuah peti mati yang terbuat dari kayu-kayuan yang panas dan seorang lelaki lagi ada bersamanya. Dari mulut laki-laki itu keluar tetesan darah dan nanah. Seorang laki-laki yang lainnya lagi akan memakan dagingnya sendiri. Akan dikatakan kepada si lelaki dari peti mati itu, 'Apa salahnya lelaki yang sebelumnya itu karena dia telah menambahkan penderitaan kami?' Dia akan menjawab, 'Laki-laki yang paling dahulu itu meninggal dalam keadaan berutang; dia tidak membayar utangnya atau memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada mereka yang memberikan pinjaman. Kemudian, akan dikatakan kepada lelaki yang berada bersamanya, 'Apa salahnya dengan lelaki yang paling dahulu itu, yang telah menambahkan penderitaan kami?' Dia akan berkata, 'Lelaki yang paling dahulu itu biasa tidak peduli, yang kencingnya jatuh menyiprati tubuhnya.' Kemudian akan dikatakan kepada lelaki yang mulutnya meneteskan darah dan nanah, 'Apa salahnya dengan lelaki yang paling dahulu itu karena dia telah menambahkan penderitaan kami?' 

Imam Ja'far Shadiq as berkata, "Ghibah diharamkan atas setiap muslim. Ghibah memakan perbuatan perbuatan baik sebagaimana api melahap kayu bakar" (Mishbah al-Syari'ah, hal.204-205). 

Dia pun menjawab lagi, 'Lelaki yang paling dahulu biasa meniru-nirukan orang (dengan maksud buruk): Dia suka sekali memerhatikan setiap kata yang kotor, pujian dan kemudian mengulanginya.' Kemudian akan dikatakan Fikih usuli uache kepada orang yang memakan dagingnya sendiri, 'Apa salahnya dengan lelaki yang paling dahulu itu, dia benar benar telah menambahkan penderitaan kami?' Dia menjawab, 'Lelaki yang paling dahulu itu biasa memakan daging manusia dengan melakukan ghibah dan memfitnah orang-orang lain'" (Iqbal al-A'mal, hal.294). 

Dengan menelusuri rangkaian sanad hingga sampai pada Nabi Muhammad saw, bahwa beliau pernah bersabda, "Orang yang mengghibah saudaranya, dan membuka aib-aibnya, maka dia akan menempatkan langkah pertamanya di neraka, dan Allah (di Hari Pengadilan) akan membuka aib-aibnya kepada seluruh makhluk” (Igab al-A' mal, hal.337). 

Ghibah yang dilakukan oleh seseorang terhadap seorang muslim menjadikan puasanya batal, dan wudunya tidak sah. Maka, jika dia mati dalam keadaan demikian, dia akan dianggap sebagai orang yang telah menghalalkan apa yang Allah Swt haramkan" (Iqab al-A'mal, hal.332). 

Abu Abdillah as berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda, "Ghibah lebih cepat dalam merusak keyakinan seorang muslim dibandingkan dengan makanan dalam perutnya” (Al-Kafi, jil.2, hal.357; lihat juga al-Ikhtishas, hal.228). 


Rasulullah saw juga pernah menyatakan, "Duduk di mesjid menunggu salat merupakan ibadah selama seseorang tidak melakukan sesuatu yang mengerikan." Kemudian beliau saw ditanya, "Wahai Rasulullah! Apa hal yang mengerikan tersebut?" Beliau berkata, “Melakukan ghibah" (Rawdhah al-Wa'izhin, hal.470; lihat juga al-Kafi, jil.2, hal.257). 

Abu Abdillah as berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda, "Ghibah lebih cepat dalam merusak keyakinan seorang muslim dibandingkan dengan makanan dalam perutnya” (Al-Kafi, jil.2, hal.357; lihat juga al-ikhtishas, hal.228). 

Putra Abu Umar mengutip Abu Abdillah as yang mengatakan, "Orang yang melihat dengan matanya sendiri dan mendengar dengan telinganya sendiri atas sesuatu (yang buruk) pada seorang mukmin, kemudian menyebutkan apa yang didengar dan dilihatnya itu, maka dia termasuk di antara orang-orang yang tentang mereka Allah swt berfirman, Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan keji itu tersiar di antara orang 


Vihull Llopulen kulubeste orang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan akhirat" (QS. al-Nur: 19; al-Kafi, jil.2, hal.357). 

Mufadhdhal mengutip Abdullah bin Umar yang mengatakan bahwa Abu Abdillah berkata, "Orang yang memberitakan suatu cerita tentang seorang mukmin di mana dia bermaksud untuk mempermalukannya (dengan buruk), merusak prestise dan martabatnya, dan membuat orang banyak merendahkannya, maka Allah mengeluarkannya dari perlindungan-Nya dan menyerahkannya kepada perlindungan Iblis, dan bahkan Iblis pun tidak akan sudi melindunginya" (Al-Kafi, jil.2, hal.358; lihat juga al-Ikhtishas, hal.32). 

Allah Swt telah berfirman kepada Musa bin Imran bahwa jika seorang pelaku ghibah bertobat, dia akan menjadi orang terakhir yang masuk surga, dan jika dia tidak bertobat, dia akan menjadi orang pertama yang masuk neraka" (Mashabih al-Syari'ah, hal.205). 

Telah diriwayatkan bahwa Nabi Isa as dan para muridnya (Hawariyun) pernah melewati bangkai seekor anjing. Seorang muridnya berkata, "Betapa busuk baunya!" Nabi Isa as berkata, "Betapa putih giginya!" (Tanbih al-Khawathir, jil.1, hal.117). Adalah seolah olah sang Nabi melarang mereka untuk berbicara buruk tentang anjing itu, dengan menarik perhatian mereka untuk hanya menyebutkan apa yang terbaik dari makhluk makhluk Allah Swt. 

Telah ditunjukkan berkenaan dengan penafsiran ayat Allah Swt yang berbunyi, Celakalah bagi setiap pelaku fitnah dan ghibah (QS. al-Humazah: 1) bahwa yang dimaksud dengan pengumpat adalah orang yang memfitnah manusia, sedangkan pelaku ghibah adalah orang yang memakan daging hidup manusia" (Ihya Ulum al-Din, jil.3, hal.135). 

Hasan bin Ali as berkata, "Demi Allah! Ghibah adalah lebih cepat dalam memberikan dampak negatif atas) keimanan seorang mukmin dibandingkan dengan dampak dari apa yang dia makan terhadap tubuhnya” (Ihya Ulum al-Din, jil.3, hal.135). 

Dengan demikian menjadi jelas bahwa alasan yang memberikan perhatian lebih pada isu ghibah, dan membuatnya tampak lebih besar dibandingkan dengan banyak maksiat besar adalah inklusinya yang meliputi segala yang kontradiktif dengan tujuan (penciptaan) dari Zat Yang Mahabijak. Ghibah memang tidak seperti maksiat-maksiat lainnya, karena maksiat-maksiat lainnya kerapkali menyebabkan kerusakan-kerusakan parsial. 


Segala puji bagi Allah yang tidak pernah menciptakan segala sesuatu dengan sia-sia. 

Penjelasan dari keterangan alinea di atas adalah sebagai berikut. 

Tujuan penting dari pembuat tatanan hidup adalah untuk menyatukan jiwa-jiwa pada satu hal, pada satu jalan, yaitu: menempuh jalan Allah Swt dalam seluruh aspek ketetapan-Nya, tentang apa yang dibolehkan atau dilarang. Semua itu tidak dapat terwujud kecuali melalui kerjasama dan solidaritas di antara umat manusia. Kerjasama dan solidaritas di antara umat manusia itu bergantung pada tekad mereka yang dipersatukan, pada nurani mereka untuk menjadi suci, pada persahabatan kolektif dan cinta di antara mereka, sehingga mereka dapat seperti hamba sahaya tunggal yang mematuhi Tuannya. Itu pun tidak akan pernah terwujud kecuali dengan menghilangkan rasa dendam, kebencian, kedengkian dan sebagainya. Orang yang mengghibah saudaranya menimbulkan dendam dan mendorong reaksi serupa. Itu semua sesungguhnya bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh Sang Pembuat aturan. Ini suatu kerugian yang sangat besar, secara individu dan sosial; karenanya, Allah swt dan Rasul-Nya saw telah menekankan larangannya, mengingatkan tentangnya. Sesungguhnya kesuksesan itu hanya datang dari Allah. 

Setelah merampungkan mukadimah dan mengajak para pembaca merenungkan apa yang telah diuraikan di atas, marilah kita mulai mengkaji bab demi bab dari buku ini. 

Jenis-jenis Ghibah 

Kita telah mengetahui bahwa ghibah (atau menggunjing) berarti menyebutkan sesuatu yang tidak menyenangkan saudara kita jika dia mengetahui tentang hal itu, atau jika dia diberitahukan tentangnya atau perhatiannya diarahkan baginya, yang meliputi apa saja yang berhubungan dengan kekurangan atau aib dalam hal fisik, garis keturunan, perilaku, atau apapun yang dia katakan atau dia lakukan tentang keyakinan atau urusan 

Imam Shadiq as telah menunjukkan ini dengan mengatakan, "Aspek-aspek ghibah adalah bahwa engkau menyebutkan cacat dalam bentuk (atau perilaku), perbuatan-perbuatan, perlakuan, sekte, kejahilan atau semacamnya" (Mishbah al Syari'ah, hal.205). 


With chipul luleiki urusan duniawinya, termasuk hal-hal di luar pribadinya, seperti tentang apa yang dia pakai atau kendarai. 

Imam Shadiq as telah menunjukkan ini dengan mengatakan, "Aspek-aspek ghibah adalah bahwa engkau menyebutkan cacat dalam bentuk (atau perilaku), perbuatan-perbuatan, perlakuan, sekte, kejahilan atau semacamnya" (Mishbah al-Syari'ah, hal.205). 

Mengenai fisik seseorang, Anda mungkin menunjuk pada wujudnya, seperti bermata muram, bermata juling, bermata satu, berkepala botak, pendek, tinggi, hitam, kuning dan apapun yang seseorang dapat bayangkan sebagai memiliki "cacat" atau kelainan bentuk, yang dengan menyebutnya, dia menjadi benci atau tidak suka. 

Sedangkan tentang garis keturunan, orang mungkin mengatakan bahwa ayah seseorang adalah seorang yang bermoral jahat, hina, rendah, tukang tambal sepatu, pedagang, penenun, jahil atau semacamnya, atau predikat apapun yang seseorang mungkin tidak menyukainya. 

Lalu mengenai perilaku; orang mungkin mengatakan bahwa seseorang itu berperilaku buruk, licik, angkuh, pembual, cepat marah, pengecut, berhati lemah dan sebagainya. 


Seputar mulush 

Tentang perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan keyakinannya. Seseorang mungkin mengatakan bahwa orang itu adalah pencuri, pembohong, peminum khamar, pengkhianat, penindas, tidak mendirikan salat fardu hariannya dengan serius, rukuk dan sujudnya tidak bagus, dia tidak me:akukan pencegahan berkenaan dengan kesucian diri dan atau keluarganya, durhaka kepada orang tuanya, tidak menjaga dirinya dari melakukan ghibah atau berbicara buruk tentang kehormatan orang lain dan lain sebagainya. 

Tentang perbuatan-perbuatan duniawi; seperti perkataan bahwa dia tidak sopan, suka menyepelekan orang lain, gampang meremehkan, merendahkan orang karena penampilannya, merasa tidak punya kewajiban terhadap siapapun, banyak bicara, rakus, terlalu banyak tidur atau duduk di tempat yang tidak semestinya (dia duduk) dan sejenisnya. 

Kemudian, berkenaan dengan berpakaian; seperti dengan mengatakan; lengan bajunya terlalu lebar, jubahnya menyeretnya ke belakang, pakaiannya tidak bersih, celananya kedodoran, sepatunya dapat dari pinjam dan sebagainya. 

Ketahuilah bahwa melakukan ghibah tidak terbatas pada soal artikulasinya. Ghibah dilarang karena ghibah berarti mengungkapkan aib saudara atau sesama kepada orang lain, dan itu adalah sesuatu yang dibenci; baik isi maupun cara penyampaiannya. Artinya, membeberkan sesuatu yang dibenci (oleh orang yang diceritakan itu) sama saja dengan mempermalukannya. Hal ini meliputi apa saja yang berhubungan dengan perbuatan, seperti ucapan, sinyal, isyarat, penistaan, celaan, gerakan; dan juga segala sesuatu yang membiarkan orang lain membentuk kesan yang buruk terhadapnya. Semua itu termasuk kategori ghibah. 

Sebuah contoh untuk ini diriwayatkan tentang Aisyah yang mengatakan, "Seorang wanita datang kepada kami. Ketika ia pergi, aku mengisyaratkan dengan tanganku bahwa dia pendek. Rasulullah saw memberitahuku bahwa dengan begitu aku telah mengghibah wanita tersebut" (Tanbih al-Khawathir, jil.1, hal. 118). 

Contoh lain adalah meniru-nirukan. Misalnya ada seorang yang berjalan seolah-olah dia pincang atau bentuk dan gaya yang lain dengan maksud menirukan gaya berjalan orang lain. Itu adalah ghibah. Bahkan ada yang lebih dari itu; seperti menyampaikan dalam sebuah gambar yang dengan itu berarti menjelaskan sebuah gagasan. Ini mungkin saja akan berdampak lebih besar. Itu juga termasuk melakukan ghibah melalui tulisan. Sebuah buku, dikatakan, adalah salah satu dari dua lidah. Begitu pula orang yang menyebutkan pengklasifikasi khusus dan salah menggambarkan pernyataan-pernyataannya dalam bukunya sendiri, kecuali apabila dia menyebutkan alasan alasan yang mengharuskannya, seperti isu-isu ijtihad yang tanpanya tujuan di balik sebuah fatwa tidak tercapai, atau sebagai ajuan dalil untuk hal yang dimaksudkan; dan, kecuali jika dia memberi pernyataan "keliru” atas apa yang disampaikan tersebut, dan lain-lain. 

Bahkan, termasuk juga orang yang mengatakan sesuatu seperti ini, "Salah satu dari orang-orang yang melewati kami, dan sebagainya...," atau "Seseorang yang kita lihat hari ini tampak seperti anu dan anu, dan sebagainya." Karena, sebagaimana dimaklumi, sebagian orang tertentu akan dipahami orang lain sebagai termasuk dalam pernyataan tersebut. Jadi, apa yang harus hindari oleh seseorang ketika meletakkan suatu konteks atau kesan tertentu pada orang lain adalah yang menjadikan orang orang lain mengenali siapa tepatnya yang dimaksud. Yakni, pada umumnya, orang tidak akan mengenali siapakah orang yang terpicarakan itu. Rasulullah saw, kapanpun beliau melihat seseorang sedang melakukan sesuatu yang dia benci akan mengatakan, “Apa salahnya dengan orang orang yang melakukan anu dan anu?" (Ihya Ulum al-Din, jil.3, hal.137). Beliau tidak pernah menspesifikasikan satu hal sehingga dengan itu, orang-orang mengerti ke arah siapa pembicaraannya tertuju. 

Di antara jenis-jenis ghibah yang paling membahayakan adalah ghibah yang dilakukan oleh orang orang yang berpura-pura yang ingin agar orang-orang lain mencirikan mereka sebagai pribadi-pribadi yang memiliki pemahaman. Mereka menyampaikan pemikiran pemikiran mereka dalam metode yang digunakan oleh orang-orang yang bertakwa dan saleh supaya mereka dapat berpura-pura terbebas dari ghibah di saat menyampaikan pemikiran-pemikiran mereka. Dalam hal ini, disebabkan kejahilan, mereka telah mengombinasikan dua dosa: bersikap pura-pura dan melakukan ghibah. 

Sebuah contoh untuk itu adalah orang yang mendengar (baca: kemudian jadi paham) bahwa si Fulan sedang menyebutkan nama orang lain. Si Fulan berkata, "Segala puji bagi Allah yang tidak menimpakan pada kami dengan mencintai kekuasaan atau untuk mencintai dunia ini. Atau ucapan lain yang tampak dalam cara tertentu yang arahnya sama dengan pribadi yang disebutkan. 


Wikil Sepultura Atau si Fulan mungkin mengatakan, "Kami memohon perlindungan kepada Allah Swt terhadap ketidaksopanan dan nasib buruk," atau "Kami memohon kepada Allah untuk melindungi kami dari ini dan itu." Sesungguhnya, si Fulan yang semata-mata memuji Allah untuk tidak menjadikan dirinya lawan dari apa-apa yang dicirikannya, dianggap sebagai ghibah dalam bentuk permohonan, ketika dia bersembunyi d. balik jubah orang-orang bertakwa. Tujuan sebenarnya adalah untuk menyebutkan kesalahan orang tertentu dengan mengatakan sesuatu yang meliputi ghibah dan kepura-puraan, bahkan ketika dia berdoa kepada Allah untuk menghilangkan dosa-dosa. Yang dengan doa itu, dia tidak mengetahui bahwa dia sudah melakukan dosa yang lain (ghibah); dan ini dapat pula dianggap, dia telah melakukan yang terburuk dari dosa-dosa tersebut. 

Sebuah contoh untuk hal di atas adalah ketika seseorang mulai dengan memuji seseorang yang dia ingin mengghibahnya, maka dia mengatakan, “Betapa baik kondisi si Fulan! Dia tidak cukup melakukan pujian pujian terhadapnya, tapi kemudian dia telah mengurangi dan menderita dengan itu di mana kita semua menderita: ketidaksabaran." Dia berbicara buruk tentang dirinya padahal sesungguhnya dia bermaksud untuk berbicara buruk tentang orang lain. Dia memuji diri dengan seputar pluteal membandingkan dirinya dengan orang bertakwa sementara orang bertakwa mencela insinuasi jahat mereka. 

Oleh karena itu, dia dianggap telah melakukan ghibah; yakni, karena dia menjadi orang yang bersikap pura-pura. Dia memuji dirinya, dengan mengombinasikan tiga dosa sekaligus padahal, disebabkan kejahilannya, dia mengira dirinya termasuk di antara orang bertakwa yang bebas dari mengghibah orang lain. Maka Iblis menyeretnya ke dalam malapetaka besar seperti yang terjadi pada orang-orang jahil. Ini terjadi apabila mereka mencari pengetahuan, tetapi berbuat tanpa benar-benar mengenal jalan-jalan pengetahuan yang lurus. Iblis mengikuti mereka dan meliputi perbuatan-perbuatan mereka dengan rencana rencananya, menertawakan mereka dan memperolok olok mereka setelahnya. 

Yang juga termasuk sebagai ghibah adalah orang yang menyebutkan kekurangan atau aib seseorang, tapi tidak ada orang lain di antara orang-orang yang mendengarnya memerhatikan hal itu. Dia, misalnya, mengatakan, “Segala puji bagi Allah! Betapa anehnya hal itu!" Si pelaku ghibah menunjukkan demikian dengan harapan orang yang kurang memerhatikannya mungkin mendengarnya dengan hati-hati dan kemudian jadi memahami isyaratnya. Dia menyebutkan nama Allah, memuji-Nya, menggunakan nama-Nya sebagai sarana untuk mencapai kejahatan dan kebohongan. Karena kejahilan dan kesombongannya, dia mengira dirinya telah membuat Allah rida dengan menyebut nama-Nya tersebut. 

Juga termasuk ghibah adalah orang yang mengatakan bahwa seseorang melakukan ini dan itu atau telah tertimpa ini dan itu. Dia mungkin bahkan mengatakan, "Sahabat kami, semoga Allah menganugerahinya dan diri kita sendiri penerimaan tobat..., dan sebagainya." Jadi, dia berpura-pura memohon untuknya, merasakan penderitaannya, menjadi sahabatnya, padahal Allah mengenal kejahatan batin dan kerusakan pikiran pikirannya. Karena kejahilannya, dia tidak mengetahui bahwa dia telah lebih merendahkan dirinya dibandingkan dengan orang-orang jahil; yakni, telah merendahkan diri ketika mereka sendiri secara terbuka melakukan ghibah. 

Selain itu, di antara jenis-jenis ghibah yang tersembunyi adalah mendengarkan ghibah dengan cara mengekspresikan kekaguman. Seseorang memperlihatkan kekaguman ketika si pelaku ghibah sedang melakukan gunjingannya. Ini siasat merupakan setan untuk memberi energi bagi pelaku ghibah, yang mendorong si pelaku untuk terus melakukan ghibah. 


Dia seperti orang yang sedang menyadap ghibah keluar dari pohonnya (si pembicara) dalam cara demikian. Dia mungkin mengatakan, “Saya telah menjadi kagum pada apa yang baru saja Anda nyatakan. Hingga kini, saya tidak pernah mengetahuinya! Saya tidak mengetahui bahwa orang tersebut seperti itu!" Dia ingin untuk memberikan kesaksian bahwa pelaku ghibah itu jujur, memintanya secara baik-baik untuk memberinya "informasi lebih banyak lagi. Dengan memberikan kesaksian tentang kebenaran omongan (yang mengghibah itu), dengan cara mendengarkannya, atau bahkan tetap diam (sementara sedang menyimak) tentangnya, termasuk perbuatan ghibah itu sendiri. 

Rasulullah saw bersabda, "Orang yang mendengarkan (ghibah) merupakan salah satu dari dua pelaku ghibah” 

Rasulullah saw bersabda, "Orang yang mendengarkan (ghibah) merupakan salah satu dari dua pelaku ghibah" (Tanbih al-Khawathir, jil.1, hal. 119). Amirul Mukminin Ali, 

sang pemilik wajah penuh karamah, berkata, "Orang yang mendengarkan ghibah merupakan salah satu dari orang-orang yang melakukan ghibah" (Ghurar al-Hikam, hal.74). (Tanbih al-Khawathir, jil.1, hal. 119). Amirul Mukminin Ali, sang pemilik wajah penuh karamah, berkata, “Orang yang mendengarkan ghibah merupakan salah satu dari orang orang yang melakukan ghibah" (Ghurar al-Hikam, hal.74). 

Maksud ucapan Imam Ali tersebut adalah, jika seseorang mendengarkan ghibah dengan kegembiraan, meskipun tidak setuju, atau orang yang dapat mengingkari apa yang dia dengar tetapi tidak melakukan penolakan atau pencegahan, maka dia pun termasuk dalam perbuatan dosa. Karena dua individu itu, orang yang mendengarkan, atau orang yang mendengar dalam cara kegembiraan seperti itu, sesungguhnya melakukan ghibah. Hal ini disebabkan oleh keikutsertaannya dalam kesukaan (atau kesenangan) seirama dengan yang dirasakan oleh si pelaku ghibah saat ghibah itu berlangsung. 

Itu terjadi karena pikiran-pikiran mereka berdua dikondisikan dengan kesan-kesan rendah yang seharusnya tidak ada, bahkan meskipun mereka berdua berbeda dalam memahami faktanya, tetapi (mereka berdua) berada dalam posisi, yang satu menyampaikan dan yang lain mau menerima. Yakni, masing-masing dari mereka telah menggunakan cara tertentu yang membantunya melakukan ghibah. Yang seorang menggunakan lidah untuk mengekspresikan jiwa yang terkotori, dengan menggambarkan potret kebohongan-kebohongan, larangan-larangan, dan tekad untuk terlibat di dalamnya. Sementara yang lain mendengarkannya, ketika jiwanya menerima efek-efek polusi akhlak tersebut dengan mengambil pilihan buruk seperti itu, lalu menjadi terbiasa dengannya, dan selanjutnya memungkinkan peracunan pikiran bawah sadarnya dengan kebohongan. 

Sebuah contoh untuk hal di atas adalah seperti dalam perkataan bijak bahwa seorang pendengar merupakan pasangan bagi yang berbicara. Dalam contoh sebelumnya, ada sebuah indikasi bahwa ketika Nabi Muhammad saw berkata kepada salah seorang yang mengatakan tentang orang lain bahwa semburannya seperti semburan anjing. anjing, dengan kalimat "Makanlah bangkai ini!," bahwa Rasulullah saw telah menempatkan mereka berdua dalam posisi yang sama walaupun salah satu dari mereka adalah pembicara dan yang lainnya adalah pendengar. Pendengar tidak bebas dari dosa ghibah kecuali jika dia menolak dengan lidahnya. Tapi jika dia takut, dia bisa menolak dengan hatinya. Jika dia bisa berdiri dan pergi atau menginterupsi perkataan ghibah itu dengan sesuatu yang lain tapi tidak dilakukannya, maka dosa ghibah akan menjeratnya pula. Seandainya dia berkata dengan lidahnya, "Tutup mulutmu!" padahal secara batin dia suka mendengarkannya, hal itu merupakan kemunafikan, dan menjadi dosa lain yang akan ditambahkan. Tidak ada yang membuatnya terbebas dari dosa (ghibah) kecuali jika seseorang memang sungguh-sungguh membenci itu dengan hatinya. 

Rasulullah saw mengatakan, "Orang yang menyaksikan seorang mukmin dihina tanpa mendukungnya, padahal dia mampu untuk melakukan yang demikian, dia akan dihina oleh Allah pada Hari Kiamat ketika disaksikan (oleh seluruh) makhluk” (Ihya Ulum al-Din, jil.3, hal.138). 

Abu Darda mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda, "Orang yang melindungi kehormatan saudaranya ketika diserang dengan ghibah, Allah akan melindungi kehomatannya pada Hari Kiamat" (Tanbih al Khawathir, jil.1, hal. 119). 

Beliau saw juga bersabda, "Orang yang membela kehormatan saudaranya berkenaan dengan ghibah, Allah akan membebaskannya dari api neraka" (Tanbih al Khawathir, jil.1, hal. 119). 

Melalui rangkaian sanadnya hingga Rasulullah saw, Syekh Shadug menyatakan bahwa Rasulullah saw


Bersambung tautan selengkapnya : 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

50 Pelajaran Akhlak Untuk Kehidupan

ilustrasi hiasan : akhlak-akhlak terpuji ada pada para nabi dan imam ma'sum, bila berkuasa mereka tidak menindas, memaafkan...