ilustrasi hiasan :
Citra
"Ustaz, bolehkah saya menjamak salat Magrib dan Isya di waktu Isya, soalnya kalau saya pulang kerja waktu magrib suka terlewat?" "Ustaz, bolehkah saya menjamak salat Zuhur dan Asar atau salat Magrib dan Isya, padahal tidak bepergian, tidak sakit, tidak hujan?"
Barangkali pembaca sering menemukan pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Ya, persoalan menjamak salat sepertinya sudah menjadi bagian dari kompleksitas kehidupan modern, terutama daerah perkotaan. Dengan aktivitas perekonomian yang luar biasa, ibadah salat seakan "mengganggu" waktu produktif orang-orang kota dalam bekerja. Muslim yang punya kepedulian terhadap salat, - seperti buruh-buruh pabrik, pekerja profesional, supir taksi, dan lainnya - acap kali mengalami dilema antara menuntaskan pekerjaannya tetapi ketinggalan salat ataukah tetap salat tetapi kehilangan pendapatan. Dalam buku ini, pembaca akan menemukan betapa sebetulnya Islam sangat visioner atas masalah tersebut. Melalui dalil al-Quran maupun riwayat Nabi saw, sesungguhnya seorang muslim dapat saja menggabungkan dua waktu salat (baik zuhur dan asar maupun magrib dan isya) apabila kondisi memang menuntut demikian. Buku "Supersalat" : Fikih 5 Salat Fardu dalam 3 Waktu ini ditulis untuk memberi solusi kepada mereka yang sering terkendala dalam hal boleh tidaknya menjamak salat. Melalui metode takhrij hadis, pembaca dapat menyimpulkan bahwa Islam ternyata sangat fleksibel dan progresif dalam menjawab kebutuhan umatnya.
Barangkali pembaca sering menemukan pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Ya, persoalan menjamak salat sepertinya sudah menjadi bagian dari kompleksitas kehidupan modern, terutama daerah perkotaan. Dengan aktivitas perekonomian yang luar biasa, ibadah salat seakan "mengganggu" waktu produktif orang-orang kota dalam bekerja. Muslim yang punya kepedulian terhadap salat, - seperti buruh-buruh pabrik, pekerja profesional, supir taksi, dan lainnya - acap kali mengalami dilema antara menuntaskan pekerjaannya tetapi ketinggalan salat ataukah tetap salat tetapi kehilangan pendapatan. Dalam buku ini, pembaca akan menemukan betapa sebetulnya Islam sangat visioner atas masalah tersebut. Melalui dalil al-Quran maupun riwayat Nabi saw, sesungguhnya seorang muslim dapat saja menggabungkan dua waktu salat (baik zuhur dan asar maupun magrib dan isya) apabila kondisi memang menuntut demikian. Buku "Supersalat" : Fikih 5 Salat Fardu dalam 3 Waktu ini ditulis untuk memberi solusi kepada mereka yang sering terkendala dalam hal boleh tidaknya menjamak salat. Melalui metode takhrij hadis, pembaca dapat menyimpulkan bahwa Islam ternyata sangat fleksibel dan progresif dalam menjawab kebutuhan umatnya.
Muhammad Babul Ulum adalah penulis dan penerjemah untuk beberapa buku. Di antara karyanya adalah Mashdar al-Tasyri''inda madzhab al-Ja'fariah (2001), Ka'bah dalam Cengkraman Abu Lahab (2002), Tafsir Doa Nabi Khidhir, Filsafat Moral Islam (al-Huda, 2004), dan seterusnya. Kini dia sedang mengambil program doktoral UIN Ciputat.
----------------------------------------------------------------------
"Supersalat": Fikih 5 Salat Fardu dalam 3 Waktu
Karya : Muhammad Babul Ulumi
Penyunting Pembaca Pruf : Andri Kusmayadi : Syafrudin Mbojo
Hak cipta dilindungi undang-undang All right reserved Dilarang memperbanyak tanpa seizin penerbit
Diterbitkan oleh: Penerbit Citra Anggota IKAPI
Gedung Islamic Cultural Center
Jl. Buncit Rava Kav.35 Pejaten Jakarta 12510
Telp.: (021) 799 6767 Fax.021-799 6777 Website :ww.ice-jakarta.com e-mail : penerbit_citral 1@yahoo.com
Pewajah Isi : Robby Maulana
Pewajah Sampul : Nursyamsul
ISBN : 978-979-26-0721-5
----------------------------------------------------------------------
DAFTAR ISI
Prakata
BAB 1
Kedudukan Salat dan Menjamak Salat Dalam Ajaran Islam
BAB 2
Teori Syarah dan Kritik Hadis dengan Metode Takhrij
BAB 3
Pemalsuan, Svarah dan Kritik Hadis
BAB 1
Autentisitas Hadis Menjamak Dua Salat Tanpa Uzur Safar
BAB I Kehujahan Hadis Menjamak Dua Salat Tanpa Uzur Safar
ВАВ ()
Kesimpulan
Daftar Pustaka
Lampiran
Tentang Penulis
PRAKATA
Waktu Salat: Menurut Al-Quran dan Hadis
Ustaz Abu Zahra
Sebagaimana dipahami, salat adalah ibadah wajib terpenting dalam Islam. Ia menjadi parameter keislaman seseorang dan menjadi kunci pembuka diterima amal ibadah lainnya. Keabsahan pendirian salat salah satunya adalah masuknya waktu salat. Di sinilah masalahnya, yakni ketika seorang muslim disibukkan dengan berbagai aktivitas duniawi, tak jarang salat pun dikorbankan sehingga terlewat waktunya. Ini terjadi, misalnya, pada mereka yang bekerja sebagai buruh pabrik ataupun pekerja-pekerja profesional yang dituntut oleh perusahaannya untuk segera merampungkan pekerjaannya.
Pekerja muslim yang taat dihadapkan kegelisahan tersendiri dalam urusan ibadah salat ini. Mereka ingin tetap menjalankan kewajiban salatnya tetapi pada saat yang sama tidak memberatkan pekerjaan yang tengah digelutinya. Karenanya, sebagian mereka mengajukan sejumlah pertanyaan kepada para ustaz tertentu terkait waktu salat demi mendapatkan "keringanan" dalam pelaksanaannya. Akan tetapi, jawaban mereka cenderung belum memuaskan karena terikat pada berbagai persyaratan yang sepertinya dosa jika dilanggar (lihat Lampiran buku ini).
* Penulis buku Shalat Nabi: Versi Ahlulbaitnya yang Suci, Bandung: Kota Ilmu Bandung.
Untuk melengkapi kandungan buku ini-yang berusaha mengabsahkan masalah salat jamak dengan bersandar pada metode takhrij hadis—di bawah ini akan diandarkan, secara ringkas, persoalan waktu salat berdasarkan al-Quran, hadis dan fatwa ulama yang otoritatif.
Waktu Salat Menurut Al-Quran
فأقيموا الصلاة إن الصلاة كانت على المؤمنين كتابا موقوتا .
Maka dirikanlah salat, sesungguhnya salat itu fardu yang lazim yang ditentukan waktu-waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. al-Nisa [4]: 103)
أقم الصلاة لدلوك الشمس إلى غسق الليل وقران الفجر إن قرآن الفجر كان مشهودا.
Dirikanlah salat dari sesudah tergelincir matahari sampai tengah malam dan terbitnya fajar (salat Subuh), sesungguhnya terbitnya fajar itu disaksikan. (QS. al-Isra [17]: 78)
Jadi, dari ayat ini, yakni dari “sesudah tergelincir matahari sampai pertengahan malam” (ghasaq al-layl) ada empat salat fardu, yaitu dari tergelincir sampai menjelang terbenam matahari ada dua salat, yaitu Zuhur dan Asar yang suka disebut zhuhrayn (dua salat Zuhur), dan dari terbenamnya sampai pertengahan malam ada dua salat, yakni Magrib dan Isya yang disebut dengan 'isyâ'ayn (dua salat Isya), dan salat Subuh yang waktunya dari mulai terbit fajar sampai terbit matahari.
.lal1
اتو''
في النهار ولا من الليل إ الحسنات يذهبن
وأقم الصلاة السيئات ذلك ذكرى الاكرين.
Dan dirikanlah salat pada kedua tepi siang (Magrib dan Subuh) dan pada bagian permulaan dari malam, (Isya) sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu menghapus keburukan-keburukan, itulah peringatan bagi mereka yang ingat. (QS. Hud [11]: 114)
حافظوا على الصلوات والصلاة الوسطى وقوموا لله قانتين.
Jagalah salat-salat dan salat yang pertengahan (Zuhur) dan berdirilah karena Allah dengan kunut. (QS. al-Baqarah [2]: 238)
فاصبر على ما يقولود و سخ بحمير ترك قبل طلوع الشمس و قبل غروبها وبين آناني النيل فسخ وأطراف النهار لعلك ترضى.
Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu sebelum terbit matahari (Subuh) dan sebelum terbenamnya (Asar), dan bertasbihlah dari sebagian waktu malam (Magrib dan Isya) dan pada waktu siang hari (Zuhur) agar kamu rela. (QS. Thaha [20]: 130)
Dengan demikian, dalam ayat-ayat di atas salat fardu yang lima (al-shalawat al-khams) diuraikan, secara global, dalam tiga waktu.
Waktu Salat Menurut Hadis
Penjelasan waktu salat fardu dan sunnah atau nafilah dapat dilihat, misalnya, pada hadis-hadis dari jalur Ahlulbait, sebagai pembanding dengan hadis-hadis yang ada dalam bahasan buku ini maupun dalam lampirannya.
قال ژرارة بن أغين قلت لأبي جعفر (ع): أخبرني عما فرض الله تعالى من اللوات قال: خمس صلوات في الليل والنهار، قلت له: هل سماه الله ويله في كتابه؟ فقال: نعم، قال الله ع وكل لتبيه (ص): ((أقم الصلاة لدلوك الشمس إلى غسق الليل)) ولوكها زوالها فيما بين لوك الشمس إلى غسق الليل أربع صلوات
ماه الله وته و وقته وغسق الليل إنتافه ثم قال : ((وقرآن الفجر إن قرآن الفجر كان مشهودا)) فهذه الخامسة وقال في
ذلك: أقم الصلاة طرفي النهار وطرقاة المغرب والغداة ولفة من الليل وهي صلاة العشاء الآخرة وقال: ((حافظوا على الصلوات والصلاة الوسطى)) وهي صلاة الظهر وهي أول صلاۃ صها ممول الله (ص) وهي وسط صلاتين بالنهار صلاة الغداة وصلاة العصر .
Telah berkata Zurarah bin A'yan: Saya bertanya kepada Abu Ja>far as as, “Kabarkan kepadaku tentang salat salat yang Allah Ta'ala fardukan?" Beliau berkata, “Ada lima salat sehari semalam." Saya bertanya kepadanya, “Apakah Allah menyebutkan kelima salat itu di dalam kitab-Nya?" Beliau berkata, “Ya. Allah Azza wa Jalla telah berfirman kepada Nabi saw: Aqimish shalata li-dulûkisy syamsi ilâ ghasaqil layl (Dirikan salat olehmu ketika tergelincir matahari hingga tengah malam).
Dulûk matahari yaitu pada waktu zawalnya, maka waktu antara dulûkisy syams sampai ghasaq al-layl ada empat salat yang Allah sebutkan serta Dia jelaskan dan Dia tentukan waktu-waktunya. Ghasaq al-layl, yaitu waktu tengah malamnya.
Kemudian Dia berfirman: Wa qurānal fajri, inna qurānal fajri kâna masyhûdâ (Dan salat Subuh, sesungguhnya salat Subuh itu disaksikan). Maka ini adalah salat yang kelima. Juga dalam perkara itu Dia telah berfirman: Aqimish shalâta tharafayn nahâr (Dirikan olehmu salat pada dua penghujung siang). Dan dua ujung siang itu adalah Magrib dan Subuh.
Dia berfirman: Wa zulufan minal layl. Yaitu salat Isya. Dia berfirman: Hâfizhû ‘alash shalawâti wash shalâtil wusthâ (Jagalah olehmu salat-salat dan salat wustha). Al-Shalatu al-wustha (salat yang pertengahan), yaitu salat Zuhur, ia adalah salat yang pertama didirikan oleh Rasulullah saw. Salat Zuhur merupakan salat yang ada di tengah-tengah, yaitu salat yang ada di antara dua salat siang hari, antara salat Subuh dan salat Asar."
جعفر (ع) أنه قال: إذا زالت
وروی ژرارة عن أبي
دخل الوقتاني، الظهر والعصر، فإذا غابت
الشمس
والعشاء الآخرة.
المغرب
الوقتاني
دخل
الشمس
Zurarah telah meriwayatkan dari Abu Ja'far as bahwa beliau berkata, “Apabila matahari telah tergelincir, dua waktu telah masuk; yaitu waktu Zuhur dan Asar, maka apabila matahari telah terbenam, dua waktu telah masuk; yaitu Magrib dan Isya. "2
وسأل ژرارة أبا جعفر الباقر (ع) عن وقت الظهر فقال : ډراغ من زوال الشمس و وقت العصر ذراعاني من وقت الظهر فذاك أربعة أقدام بين زوال الشمس ثم قال: إن حائط مسجد رسول الله (ص) گا
1 Ma La Yahdhuruhu al-Faqih, jil.1, hal.195-196. 2 Ibid., hal.216.
قام و كان إذا مضى منه ډراغ صلى الظهر و إذا مضى منه ذراعاني صلى العصر ثم قال: أتدري إم جيل الأراء و الراعاني؟ قلت: إم جعل ذلك؟ قال: إمكاني النافلة لك أن تتنقل من والي الشمس إلى أن يمضي فيراغ فإذا بلغ فيئك ذراعا بدأت بالفريضة و تركت
ذراعيين بدأت بالقريضة و تركت الافلة.
الافلة و إذا بلغ في
Zurarah bertanya kepada Abu Ja'far (Imam Muhammad Baqir) as tentang waktu Zuhur, lantas beliau menjawab, "Apabila bayang-bayang telah sehasta panjangnya dari tergelincir matahari, dan waktu salat Asar apabila bayang bayang telah dua hasta panjangnya dari waktu Zuhur (di awal waktu), maka panjang bayang-bayang itu menjadi empat telapak kaki dari tergelincirnya matahari." Kemudian beliau berkata, "Sesungguhnya, tinggi dinding masjid Rasulullah saw itu setinggi tubuh, maka jika bayang-bayangnya telah sehasta, beliau mendirikan salat Zuhur dan apabila bayang-bayang itu telah mencapai dua hasta, beliau mendirikan salat Asar." Selanjutnya, beliau bertanya, “Apakah engkau tahu mengapa beliau menjadikan sehasta dan dua hasta?" Aku berkata, “Untuk apa itu?" Beliau berkata, "Maksudnya adalah untuk waktu salat nafilah. Engkau dapat melaksanakan dulu nafilah (salat sunah delapan rakaat sebelum salat Zuhur), dari mulai tergelincir matahari hingga bayang-bayang panjangnya sehasta. Jika bayang-bayang telah mencapai sehasta, engkau harus mulai mendirikan salat fardu (salat Zuhur) dan tinggalkanlah salat nafilah (walaupun belum selesai). Jika bayang-bayang telah mencapai dua hasta, engkau harus memulai salat fardu (salat Asar) dan tinggalkanlah olehmu salat nafilah (salat sunah delapan rakaat sebelum salat Asar)."3
وقال الصادق (ع) إذا غابت الشمس فقد تم الإفطار و وجبتي الصلاه وإذا صليت المغرب فقد دخل وقت العشاء الآخر إلى إنتصافي الليل.
او
Imam Shadiq as berkata, “Apabila matahari telah terbenam, maka telah halal berbuka puasa dan telah wajib salat, dan jika engkau telah salat Magrib, maka masuklah waktu salat Isya sampai pertengahan malam."4
Definisi Terbenam Matahari
Buka puasa dan awal masuk waktu salat Magrib itu apabila matahari telah terbenam. Ciri terbenamnya itu (jika cuaca cerah) kita melihat ke arah timur, bila mega merah di sebelah timur telah hilang, maka itu menunjukkan matahari telah terbenam dan itulah awal malam.
عن برید بن معاوية عن أبي جعفر (ع) قال: إذا غاب الخمرة من هذا الجانب يعني من المشرق فقد غابت الشمس من شرق الأرض و غربها .
Dari Buraid bin Muawiyah, dari Abu Jayfar as berkata, “Jika mega merah telah hilang di sebelah ini, yakni dari sebelah timur, maka sesungguhnya matahari telah terbenam dari timur bumi
3 Ibid., hal.217-218. 4 Ibid., hal.221.
dan baratnya."S
Kesimpulan
1. Waktu-waktu salat yang lima berikut nafilah-nya telah
ditentukan (kitâban mauqûtan). Waktu salat yang lima itu ada tiga waktu yang telah ditentukan Allah Azza wa Jalla dalam al-Quran, surah al-Isra: 78, surah Hud: 114, surah al-Baqarah: 238 dan surah Thaha: 130.
2. Waktu salat Zuhur dan Asar adalah sama (berserikat),
yaitu dari sejak tergelincir matahari hingga (menjelang) terbenamnya, hanya saja salat Asar itu dilakukan setelah salat Zuhur.
3. Waktu salat Magrib dan Isya adalah sama (bersekutu), yakni dari sejak terbenam matahari hingga pertengahan malam, tetapi salat Isya mesti dilaksanakan setelah salat Magrib.
4. Terbenam matahari yang sesungguhnya ditandai dengan hilangnya mega merah di sebelah timur.
5. Furu al-Kafi, jil.3, hal.278. “Kehati-hatian yang wajib diperhatikan adalah bahwa untuk salat Magrib, Isya dan sejenisnya, awal malam dihitung dari awal terbenamnya matahari hingga azan subuh. Karena itu, akhir waktu untuk salat Magrib dan Isya kira-kira terjadi 11 jam 15 menit setelah waktu zuhur syar'i. Contohnya, kalau waktu zuhur pada tanggal 14 Januari 2013 jatuh pada pukul 12.01 maka pertengahan malam hari jatuh pada pukul 23.16. Karenanya, sekalipun waktu magrib dan isya itu memanjang hingga azan subuh, tetapi salat Magrib dan Isya yang dilakukan setelah pertengahan malam, niatnya dilakukan sebatas melepaskan beban kewajiban. Untuk kedetailan masalah ini, lihat buku-buku fikih terkait seperti Imam Ali Khamenei, Daras Fikih, Jakarta: Al-Huda, 2010.
5. Menunaikan nafilah Zuhur yang delapan rakaat mesti setelah zawal dan sebelum bayang-bayang panjangnya sehasta orang dewasa. Nafilah Asar waktunya setelah salat Zuhur sampai panjang bayang-bayang mencapai dua hasta orang dewasa. Nafilah Magrib yang empat rakaat
dilaksanakan setelah salat Magrib.
6. Waktu salat Subuh dari sejak terbit fajar shidiq (fajar kedua) sampai terbit matahari.?
Pelaksanaan salat disatu-satukan (dijamak) antara Zuhur dan Asar; antara Magrib dan Isya termasuk kebiasaan Rasulullah saw dan beliau menganjurkannya, bahkan beliau mengatakan bahwa salat yang disatu-satukan itu bisa menambah rezeki. 8
Jika tidak ada uzur atau halangan yang mendesak, salat Zuhur mesti didirikan di awal waktu. Setelah salat Zuhur, kita lakukan ta'qib, kemudian ikamah untuk menunaikan salat Asar. Demikian pula halnya dengan salat Magrib dan Isya.
Pelaksanaan salat Zuhur dan Magrib semestinya tidak ditangguhkan dalam walaupun masih dalam waktunya jika tidak ada halangan yang berarti, sebab kita akan tergolong di antara
7 Tolok ukur syar'i dalam menentukan waktu salat Subuh adalah fajar sadik, bukan fajar kadzib (fajar palsu). Penentuannya dikembalikan kepada penilaian mukalaf. (Lihat, misalnya, Imam Ali Khamenei, Daras Fikih, (Jakarta, Al-Huda, 2010), hal.128. 8 Adapun dalil-dalil umum dalam menjamak salat, bisa dilihat dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim pada Bab al-Jam'u baina al Shalatayni fi al-Hadhar. Lihatlah juga al-Quran terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia dan catatan kakinya ketika menjelaskan ayat ke-78, surah al-Isra.
mereka yang lalai. Dan panjangnya waktu salat diperuntukkan bagi orang yang punya uzur atau yang sakit ketika tidak bisa salat di awal waktu. Di dalam al-Quran disebutkan,
فون المصلين الذين هم عن صلاتهم ساهون.
Maka wail (jurang dalam neraka) bagi orang-orang yang salat, yaitu orang-orang yang lalai dari salatnya.9
Abu Abdillah as mengatakan bahwa tafsir ayat tersebut adalah menangguhkan salat dari awal waktunya tanpa uzur.10
ع
الله
إلى
عمل أحب
قال أمير المؤمنين (ع): ليس وكل من الصلاة فلا يشغلتكم عن أوقاتها شيئ من أمور
الله عز وجل دم أقواما فقال: الذين هم عن
الدنيا فإ صلاتهم ساهون، يعني أنهم غافلون إنتهائؤا بأوقاتها .
Amirul Mukminin as berkata, “Tidak ada amal yang paling disukai Allah Azza wa Jalla selain salat, maka janganlah kalian disibukkan oleh suatu urusan dari urusan-urusan dunia, dikarenakan Allah Azza wa Jalla telah mencela beberapa kaum. Dia berfirman, Yaitu mereka yang lalai dari salatnya, 11 Yaitu bahwa mereka lalai dan mengabaikan waktu-waktunya."1212
9 QS. al-Ma'un [107]: 4-5. 10 Abu Abdillah as berkata, “Menangguhkan salat dari awal waktunya tanpa uzur (seperti sakit, sibuk yang sangat atau dalam keandaraan).” [Bihar al-Anwar, juz 80, hal.6] 11 QS. al-Ma'un (107): 5. 12 Bihar al-Anwar, juz 80, hal.13.
BAB 1 KEDUDUKAN SALAT DAN MENJAMAK SALAT DALAM AJARAN ISLAM
Salat menempati posisi sentral dalam ajaran Islam. Ia menjadi penopang tegaknya ajaran agama. Urgensinya semakin jelas terbaca dalam wasiat terakhir Rasulullah saw kepada umatnya', juga dalam wasiat wasinya?, Ali, kepada kedua putranya, Hasan dan Husain, setelah ditikam oleh Abdurrahman bin Muljam.
| Abu Ya'la meriwayatkan dari Abu Khaitsamah dengan sanadnya yang bersambung kepada Ali bin Abi Thalib, bahwa wasiat terakhir Rasulullah saw kepada umatnya adalah untuk selalu menjaga dan memerhatikan salat. Ahmad bin Ali bin Mutsna Abu Ya'la Mushali Tamimi, Musnad Abi Ya'la, cetakan ke-1, juz 1, hal.447. Teks hadisnya berbunyi,
حدثنا أبو خيثمة حدثنا محمد بن فضيل حدثنا مغيرة عن أم موسی: عن على قال : كان آخر كلام رسول الله صلى الله عليه وسلم: الصلاة الصلاة، إتقوا الله فيما ملكت أيمانكم. قال حسين سليم أسد: إسناده حسن
Ucapan terakhir Rasulullah saw adalah salat, salat, perhatikan salat kalian. Takutlah kepada Allah Swt terkait orang-orang yang menjadi tanggungan kalian. Hadis ini sanadnya hasan. ? Wasi artinya pengemban wasiat. Gelar ini hanya dimiliki oleh Ali bin Abi Thalib merujuk kepada sabda Nabi saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dalam kitab Tarikh Dimisyqi, yang berbunyi,
الكل نبي وصي و وارث وإن عليا وصي و وارتير
"Setiap nabi memiliki seorang wasi dan pewaris, sesungguhnya Ali adalah wasiku dan pewarisku.” Muhammad Babul Ulum, Merajut Ukhuwah Memahami Syiah, (Bandung: Marja, 2008), cetakan ke-1, hal. 99. Wasiat Ali kepada kedua putranya untuk selalu memelihara salat terdapat dalam kumpulan khotbahnya yang dihimpun oleh Syarif Radhi, Nahj al-Balaghah, hal.493.
Allah Swt menjadikan salat sebagai barometer perbuatan manusia. Dengannya Allah Swt menilai amal perbuatan manusia di dunia, tidak hanya ritual ibadah, tetapi juga seluruh amal perbuatannya. Hal itu merujuk pada sebuah hadis sebagai berikut.
إن أول ما يحاسب به العبد يوم القيامة من عمله صلاته فإن صلحت فقد أفلح وأنجح فإن فسدت فقد خاب وخسر .
“Sesungguhnya, yang pertama kali dihisab dari seorang hamba adalah salatnya. Jika benar salatnya, dia pasti beruntung dan selamat. Dan bila rusak salatnya, dia pasti merugi dan celaka."3
Hanya salat yang benar yang akan diterima Allah Swt. Salat yang benar adalah yang sesuai dengan syarat rukunnya, yang di antaranya adalah telah masuk waktunya.4 Dan salat pada waktunya adalah satu dari
3 Muhammad bin Isa Abu Isa Tirmizi, Sunan Tirmizi, cetakan ke-1, juz 1, hal.421. 4 Pengikut mazhab Maliki (al-Malikiyah) membuat tiga syarat diterimanya salat, yaitu (1) syarat wajib, (2) syarat sah dan (3) syarat sah dan wajib. Memasuki waktu salat termasuk ke dalam syarat ketiga. Hal itu berbeda dengan para pengikut Syafi'i (al-Syafi'iyah) yang membagi syarat salat ke dalam dua saja, yaitu (1) syarat wajib dan (2) syarat sah. Bagi mereka, telah memasuki waktu salat termasuk ke dalam syarat yang kedua. Sama dengan al-Syafi'iyah, al-Hanafiyah (pengikut mazhab Hanafi) pun membagi syarat salat ke dalam dua saja, yaitu (1) syarat wajib dan (2) syarat sah. Dan dukhul al-waqti, atau telah memasuki waktu, menjadi syarat yang kedua. Berbeda dengan ketiga pengikut mazhab di atas, al Hanabilah tidak membagi syarat salat ke dalam syarat wajib dan syarat sah. Mereka membuat sembilan kriteria syarat diterimanya salat, yang salah satunya adalah telah memasuki waktu salat. Abdurrahman Jazairi, Kitab al-Figh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah, jil.1, hal.156-158.
antara perbuatan yang paling dicintai Allah Swt.5
Setiap orang Islam tentu ingin mempraktikkan sunnah Rasulullah saw dan ingin menjadi hamba yang dicintai Allah Swt dengan menunaikan kewajiban salat yang lima tepat pada waktunya, tidak mengkadanya. Akan tetapi, dalam menjalani kehidupan dunianya seringkali seseorang tampak dibuat repot oleh waktu salat yang lima kali tersebut. Tidak sedikit yang meninggalkan salat Zuhur, misalnya, karena sibuk bekerja, atau salat Magrib, karena masih dalam perjalanan pulang dari tempat kerja. Seperti seorang montir, badan dan pakaiannya berlumuran minyak pelumas yang sulit dibersihkan oleh air wudu dalam waktu singkat. Seorang dokter yang terkadang harus berjam-jam bertugas menangani pasien di ruang operasi. Seorang buruh yang harus berada di dalam pabrik selama satu hari penuh tanpa istirahat cukup. Seorang petani, tukang ojek, sopir angkot, pedagang pasar yang harus siap-siaga di tempat kerjanya setiap saat.
Bagi mereka, salat fardu yang ditetapkan oleh sebagian kalangan sebanyak lima waktu yang terpisah, tampak sangat memberatkan, merepotkan dan tidak praktis. Pada akhirnya, praktik ajaran agama seperti menjadi beban yang mengganggu rutinitas harian.
5 Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah Bukhari, Shahih Bukhari, juz 1, hal.134, Bab Fadhl al-Shalah 'ala Waqtiha.
Sehubungan hal di atas, sesungguhnya ajaran agama itu mudah dan memudahkan. Praktik agama yang paling disenangi Allah Swt adalah yang benar dan mudah (al hanafiyah al-samhah) dan Rasulullah saw diutus dengan membawa ajaran agama yang benar dan mudah. Agama datang untuk meringankan bukan untuk memberatkan. Seringkali, bila mengutus sebuah delegasi dakwah kepada suatu kaum, beliau berwasiat untuk mempermudah bukan mempersulit objek dakwah. Pesan Nabi saw ini direkam
oleh Bukhari di dalam Shahih-nya..
يسروا ولا تقوا، بشروا ولا تقوا.
berilah
“Permudahlah jangan mempersulit, kegembiraan jangan mengancam."
Di dalam al-Quran Allah Swt berfirman,
وما جعل عليكم في الدين من حرج.
Dan Dia tidak menjadikan untukmu di dalam agama ini suatu kesulitan.?
Sementara itu, al-Quran mengindikasikan pelaksanaan lima salat fardu dalam tiga waktu.
6 Ibid., juz 7, hal.101, Bab Qaul al-Nabiy Yassiru. ? QS al-Hajj [Yr]: 78.
أقم الصلاة إدلوك الشمس إلى غسق الليل وقران الفجر إ قرآن الفجر كان مشهودا .
Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan terbitnya fajar. Sesungguhnya, terbitnya fajar itu disaksikan oleh malaikat).
Menurut tim penafsir al-Quran Departemen Agama, ayat ini menerangkan waktu-waktu salat yang lima. Tergelincir matahari untuk waktu salat Zuhur dan Asar, gelap malam untuk waktu Magrib dan Isya, dan fajar untuk salat Subuh. Jadi, kewajiban salat fardu menurut tuntunan al-Quran adalah tiga waktu saja.. Penafsiran ini sejalan dengan paham yang diyakini oleh penganut mazhab Ja'fari. 10
Rasulullah saw sendiri, seperti dalam riwayat Tirmizi melalui jalur Ibnu Abbas, 11 saat sedang di Madinah dalam kondisi mukim, tidak musafir dan tidak ada halangan, salat delapan dan tujuh rakaat secara bersamaan. Salat delapan rakaat adalah salat Zuhur empat rakaat yang langsung diteruskan dengan salat Asar empat rakaat.
8 8 QS al-Isra [17]: 78. 9 Tim Penerjemah Departemen Agama, Al-Quran Dan Terjemahnya, hal.436. 10 Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh al-Ja'fari, terjemahan Umar Shahab, Fiqih Imam Ja'far Shadiq, hal.122. Il Tirmizi, op.cit., juz 1, hal.231.
Adapun tujuh rakaat adalah gabungan antara salat Magrib yang tiga rakaat dengan salat Isya empat rakaat. Riwayat Tirmizi ini dikuatkan oleh hadis riwayat Bukhari berikut, 12
حدثنا أبو النعمان قال: حدثنا حماد بن زید عن عمرو بن دینار عن جابر بن زيد عن إبن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم صلی بالمدينة سبعا و ثمانيا الظهر والعصر والمغرب والعشاء فقال أيوب: لعله في ليلة مطيرة، قال: عسی.
Telah menyampaikan hadis kepada kami Abu Nu'man yang berkata, "Hammad bin Zaid menyampaikan hadis kepada kami, dari Amr bin Dinar, dari Jabir bin Zaid, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah saw melakukan salat di Madinah tujuh dan delapan; salat Zuhur dan Asar dan salat Magrib dan Isya.' Abu Ayyub berkata, “Mungkin pada malam yang hujan.' Perawi berkata, “Mungkin."
Muslim juga meriwayatkan hadis yang menguatkan dua hadis di atas dengan tambahan alasan agar tidak memberatkan umatnya.13
حدثنا يحي بن يحي قال: قرأت على مالك عن أبي الزبير عن سعيد بن جبير، عن إبن عباس قال: صلى رسول الله صلى الله عليه وسلم الظهر والعصر جميعا، والمغرب والعشاء جميعا في
12 Bukhari, op.cit., juz 1, hal.137. 13 Abul Husain Muslim bin Hajjaj bin Muslim Qusyairi Naisaburi, al-Jami' al-Shahih, juz 1, hal.151.
17
غير خوف ولا سفر. قال سعيد: فقلت لإبن عباس: ما حمل على ذلك؟ قال: أراد أن لا يحرج أمته.
Telah menyampaikan hadis kepada kami Yahya bin Yahya yang berkata, “Aku membacakan kepada Malik, dari Abu Zubair, dari Sa'id bin Jubair, dari Ibnu Abbas yang berkata, 'Rasulullah saw salat Zuhur dan Asar bersamaan, Magrib dan Isya bersamaan, tidak dalam keadaan takut, tidak pula dalam kondisi safar.' Sa'id bertanya kepada Ibnu Abbas, 'Apa tujuan beliau?' 'Beliau tidak ingin memberatkan umatnya,' jawab Ibnu Abbas."
Selain hadis yang membolehkan, ada riwayat lain yang melarang menjamak salat. 14 Menurut hadis yang diriwayatkan Tirmizi ini, menjamak salat tanpa uzur sama dengan melakukan dosa besar.
البصري: حدثنا المعتمر
حدثنا أبو سلمة يحي بن خلف
عن عكرمة عن ابن عباس
بن سليمان عن أبيه عن حنش
جمع بين
الله عليه وسلم قال: من
عن النبي صلى
الكبائر .
بابا من أبواب
غير عذر فقد أتی
الصلاتين من
Telah menyampaikan hadis kepada kami Abu Salamah Yahya bin Khalaf Bashri, telah menyampaikan hadis kepada kami Mu'tamar bin Sulaiman, dari ayahnya,
14 Tirmizi., op.cit. juz 1, hal.231.
dari Hanasy, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari Nabi saw, “Barangsiapa menjamak dua salat tanpa alasan berarti, telah melakukan dosa besar."
Riwayat ini, menurut Mubarakfuri, komentator Sunan Tirmizi, lemah. Kelemahannya terletak pada sosok Hanasy yang dilemahkan oleh semua ulama dengan pelbagai idiom jarh. Sosoknya menurut Ahmad, matruk (harus ditinggalkan), menurut Abu Zur’ah dan Ibnu Ma'in, daif, menurut Bukhari, la yuktab haditsuhu (hadisnya tidak perlu ditulis), menurut Nasa'i, laysa bitsiqah (orangnya tidak dapat dipercaya), menurut Sa'di, hadis-hadisnya mungkar. Hadis larangan ini hanya dikenal melalui jalurnya saja. Dan, sangat bertentangan dengan hadis sahih yang membolehkan menjamak. 15
Meskipun hadis di atas daif, para pengikut mazhab Hanafi memakainya sebagai dasar pelarangan menjamak salat, bahkan saat sedang dalam perjalanan sekalipun.16 Mereka membolehkannya hanya pada saat di Mina dan Arafah, itu pun saat sedang melaksanakan ibadah haji. Selain pada tempat dan waktu tersebut, menurut mereka tidak dibolehkan menjamak salat, baik saat dalam kondisi safar dan apalagi hadhar/mukim (tidak dalam perjalanan). Bagi mereka, kewajiban salat fardu hanya boleh dilakukan
15 Abul A'la Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarh Jami' al-Tirmidzi, juz 1, hal.560. 16 Muhammad Jawad Mughniyah, al-Figh 'ala al-Madzahib al-Khamsah, hal.142.
dalam lima waktu salat yang terpisah, demikian juga yang diyakini penganut mazhab Ahlusunnah yang lain. Menurut mereka, pelaksanaan salat fardu bagi seorang mukim
tidak boleh dijamak. Lain halnya dengan mazhab Ja'fari yang membolehkannya. Mazhab Hanbali sedikit longgar dalam pelaksanaan jamak. Mereka membolehkannya bagi orang yang sedang sibuk bekerja, seperti juru masak atau pembuat roti dan siapa saja yang khawatir pekerjaannya terganggu, meski dalam kondisi mukim."?
Berangkat dari paparan di atas, penulis memandang perlu meneliti kembali hadis menjamak dua salat fardu tanpa uzur safar secara metodologis menurut perspektif ilmu hadis. Selain itu, tentunya perlu ditelusuri apa yang menyebabkan perbedaan pendapat para ulama dalam memahami hadis tersebut. Hal itu penting agar diketahui autentisitasnya sehingga diperoleh keyakinan yang kuat dalam menjadikannya dasar bagi alternatif pelaksanaan salat fardu.
Sehubungan hal di atas, di dalam buku ini akan dibahas tentang kehujahan hadis menjamak dua salat tanpa uzur safar. Agar kita dapat mencari solusi alternatif yang sah bagi umat Islam dalam menjalankan kewajiban salat fardu, yang fleksibel dan tidak memberatkan, terutama bagi mereka yang sibuk dengan aktivitas harian yang melelahkan.
17 Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, hal.291.
Kita tahu bahwa hadis sampai kepada generasi sekarang, pertama-tama, melalui sahabat Rasulullah saw. Pada mulanya para sahabat tidak mempersoalkan sanad. Hadis diterima begitu saja tanpa dipersoalkan siapa yang membawakannya.18 Akan tetapi, setelah terjadi fitnah,19 mereka menuntut nama-nama perawinya untuk diteliti. Hadis yang diriwayatkan Ahlusunnah mereka terima, sedangkan hadis yang diriwayatkan ahlulbidah mereka tolak.20 Berkenaan dengan sejumlah perawi dari para pelaku bidah yang berkualitas shaduq (jujur), Dzahabi mengambil kejujurannya dan membiarkannya bertanggung jawab atas kebidahannya itu."21
Untuk mengetahui syariat Islam, tidak ada jalan lain, kecuali melalui berita dari Nabi saw. Demikian juga untuk mengetahui berita-berita tersebut, tiada cara lain, kecuali melalui periwayatan yang sanadnya bersambung kepada Nabi Muhammad saw. Semua itu hanya dapat dicapai dengan menelusuri kitab-kitab hadis yang telah terkodifikasi. Karena, untuk masa sekarang ini, tidak ada
18 Muqaddimah Shahih Muslim, juz 1, hal.15. 19 Ada dua interpretasi maksud kata fitnah yang menjadi awal dimulainya kritik sanad. Pertama, fitnah yang dimaksud adalah huru-hara politik yang terjadi mengawali terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan. Kedua, fitnah yang dimaksud adalah chaos politik yang diawali dengan terbunuhnya Khalifah Walid bin Yazid, dan berlangsung terus hingga meruntuhkan Dinasti Umayah di wilayah Timur. Mayoritas ulama, dimotori oleh Ibnu Sirrin, lebih cenderung kepada pendapat pertama. Akram Dhiya Umari, Buhuts fi Tarikh al-Sunnah al-Musyarrafah, hal.47. 20 Muslim, op.cit, juz 1, hal.15. 21 Muhammad bin Ahmad bin Utsman Abu Abdillah Dzahabi, Mizan al l'tidal, juz 1, hal.5.
riwayat yang dapat dipertanggungjawabkan selain yang ada di dalam kitab-kitab tersebut. Orang yang diterima riwayatnya adalah yang berpredikat tsiqah atas apa yang diriwayatkannya, yaitu seorang muslim, berakal, balig, selamat dari sebab-sebab kefasikan dan juga selamat dari hilangnya kehormatan (muru'ah). Di samping itu, orang tersebut harus senantiasa terjaga, tidak pelupa, hafal ketika akan menyampaikan dan memahami hadis yang hendak dia sampaikan. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, periwayatannya ditolak. Dengan demikian, suatu hadis disebut sahih apabila diriwayatkan oleh orang yang adil, dhabit, sanadnya bersambung, tidak terdapat illat dan tidak syadz.22 Hadis sahih, menurut kesepakatan ulama, menjadi hujah dan wajib diamalkan.23
Selanjutnya, jika hadis itu maqbul, diteliti ta'amul nya, apakah ma'mul bih (dapat diamalkan) atau ghayr ma'mul bih (tidak dapat diamalkan). Apabila hadis maqbul itu tunggal, atau banyak, tetapi tidak ada pertentangan (ta'arudh) satu sama lain, hadis tersebut dapat diamalkan bila lafal dan maknanya jelas dan tegas. Namun, kalau terjadi mutasyabih, hadis itu ghayr ma'mul bih. Dan, jika terjadi tanaqudh dan ta'arudh (kontradiksi) yang bisa dikompromikan (al-jam'), hadis tersebut ma'mul bih. Jika melalui metode tarjih diketahui bahwa salah satu hadis maqbul yang saling bertentangan itu lebih kuat dari yang
22 Muhammad Jamaluddin Qasimi, Qawaid al-Tahdits, hal.79. 23 Nuruddin 'Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits, hal.244.
lain, yang lebih kuat dipandang lebih patut diamalkan (arjah), sedangkan yang lainnya (marjuh) tidak diamalkan. Metode nasakh dapat digunakan dalam mencari petunjuk pengamalan hadis tanaqudh. Hadis yang di-wurud-kan lebih dahulu (mansukh) tidak diamalkan. Adapun hadis yang di-wurud-kan belakangan (nasikh), akan diamalkan.
Akan tetapi, jika hadis maqbul tanaqudh tersebut tidak dapat dijamak, ditarjih dan dinasakh, hadis tersebut di-tawaqquf-kan dan tidak diamalkan
Beberapa metode yang digunakan untuk meneliti hadis, di antaranya metode takhrij, syarah dan kritik. Takhrij adalah metode spesifik dan baku yang dipakai untuk meneliti autentisitas dan kualitas hadis. Takhrij berarti penyebutan hadis dengan masing-masing sanadnya25 pada kitab sumber hadis dan penjelasan hadis yang lebih dahulu disebutkan, yang karenanya kekuatan hukum sanad dan matan pada hadis yang lebih dahulu disebutkan itu menjadi bertambah. Dengan demikian, takhrij adalah salah satu metode penunjukan hadis kepada sumber sumber aslinya, berikut sanadnya. Dan, jika diperlukan, dengan menjelaskan atau bahkan melakukan telaah kritis atas sanad dan matan, untuk menentukan derajat kualitas hadis tersebut.
24 Endang Soetari, Ilmu Hadis, hal.211.
25 Ibid.
Sumber data yang diambil penulis dalam buku ini adalah data sekunder yang berupa hadis-hadis yang terkait dengan menjamak salat yang terdapat di dalam al-Mashadir al-Ashliyah. Adapun sumber data penunjang yang diambil penulis adalah pelbagai kitab yang menuntun pada keberadaan dan autentisitas hadis, baik sanad maupun matan, seperti al-Jami' al-Shahih, al-Mu'jam al Mufahras, Tahdzib al-Tahdzib, Mizan al-I'tidal dan Tarikh Baghdad.
Data yang berhasil dihimpun, kemudian diklasifikasikan oleh penulis. Klasifikasi data tersebut ditafsirkan berdasarkan kerangka pemikiran dan teori. Sanad dan matan dari seluruh riwayat yang telah berhasil dilacak dari masing-masing kitab hadis yang terkumpul, dianalisis dengan memakai sepuluh anatomi. Kesepuluh anatomi itu, yaitu (1) teks hadis, (2) unsur hadis, (3) jenis hadis, (4) kualitas hadis, (5) tathbiq hadis, (6) mufradat dan maksud lafal, (7) munasabah dan asbabulwurud, (8) iştimbat hukum dan hikmah, (9) problematika tafhim dan tathbiq, (10) khulasah dan natijah.
Hampir semua ulama dari mazhab yang empat (Maliki, Syafi'i, Hanafi dan Hanbali) membolehkan menjamak dua salat fardu dengan alasan (1) safar, (2) sakit, (3) hujan lebat, serta (4) saat sedang berhaji di Arafah, Mina dan Muzdalifah.26 Keempat perkara itu disebut sebagai uzur/
26 Abdurrahman Jazairi, op.cit., hal.413-414.
alasan dibolehkannya menjamak dua salat fardu. Karena itu, dalam pelbagai publikasi fikih klasik dapat ditemukan Bab al-Jam'bayna al-Shalatain fi al-Safar, atau fi al-Mathar, atau fi al-Hajat dengan hadisnya masing-masing. Adapun Bab al-Jam' bayna al-Shalatain fi al-Hadhar (Menjamak Dua Salat Fardu dalam kondisi tidak Bepergian), tidak ditemukan di dalam kitab-kitab tersebut. Apalagi hadis yang membolehkan menjamak salat dalam kondisi mukim, tidak dalam bepergian. Barangkali hanya Sayid Sabiq yang membahas tema ini di dalam karyanya, Fiqh al-Sunnah. Namun, pembahasannya sangat singkat. Hanya sebagian riwayat Muslim saja hadis yang dia tampilkan.
BAB 2 TEORI SYARAH DAN KRITIK HADIS DENGAN METODE TAKHRIJ
A. Esensi Hadis
Musthafa Siba'i mendefinisikan hadis sebagai perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat-sifat fisik maupun nonfisik, serta perilaku Nabi saw baik sebelum maupun sesudah hijrah.27 Pemahaman hadis seperti ini tampaknya telah menjadi kesepakatan umum. Maksud yang sama, meski dengan ungkapan yang berbeda, terlihat dalam definisi hadis yang dibuat oleh Mahmud Thahhan yang menyebut hadis sebagai segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw berupa perkataan, perbuatan, ketetapan dan sebagainya.28
Definisi hadis di atas, meski diterima tanpa syarat, ternyata tidak jami' wa mani'. Sebab, dalam studi ilmu hadis, yang dinisbatkan kepada selain Nabi saw pun, juga disebut dengan hadis. Hanya saja namanya berbeda. Yang dinisbatkan kepada Nabi disebut hadis marfuk, kepada sahabat hadis mauquf, kepada tabiin hadis maqthu' dan
27 Mushthafa Hasani Siba'i, al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri' al Islamiy, hal.59. 28 Mahmud Thahhan, Taysir Mushthalah al-Hadits, cetakan ke-4, hal.15.
yang dinisbatkan kepada Allah Swt yang bukan al-Quran disebut hadis qudsi.29
Esensi hadis tidak bisa dipahami hanya dengan pengertian terminologis saja. Akan tetapi, harus benar benar diketahui secara nyata keberadaannya. Yang disebut hadis secara riil adalah semua hadis yang termaktub di dalam kompilasi yang mulai dihimpun secara resmi sejak paroh terakhir abad ke-2 Hijriah dan terus berlanjut sampai abad ke-4 dan ke-5 Hijriah.30
Kitab model pertama atau yang dihimpun pada awal abad ke-2 disebut Mushannaf. Sistematika penyusunan kitab Mushannaf dengan menghimpun hadis-hadis yang
29 Endang Soetari, Syarah dan Kritik Hadis dengan Metode Takhrij, hal.12. Definisi yang tidak jami' wa mani' ini, menurut hemat penulis, di belakang hari telah mengundang kritik kaum orientalis terhadap hadis Nabi saw. Mereka meragukan autentisitas hadis Nabi saw yang mereka anggap sebagai rekaman praktik kaum muslim generasi awal. Bahkan, sebagian praktik tersebut berasal dari kebiasaan pra-Islam (jahiliah) yang dilestarikan oleh Islam. Sebagian lagi hanyalah interpretasi para ahli hukum Islam (fukaha) terhadap tradisi yang telah ada, ditambah unsur-unsur yang berasal dari kebudayaan Yahudi, Romawi dan Persia. Menurut mereka, tidak ada di dalam 'hadis' tersebut yang benar-benar berasal dari Nabi saw. Scahct, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, hal.163-167. 30 Umar bin Abdul Aziz ditahbiskan sebagai tokoh yang memelopori penulisan hadis secara resmi. Tepatnya saat dia menjabat sebagai khalifah Bani Umayah (berkuasa tidak lebih dari tiga tahun, antara 99. 101 H). Dia mengkhawatirkan hilangnya hadis dengan meninggalnya para ulama penghafal hadis. Karena itu, segera dia mengirim surat kepada gubernurnya di Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm, untuk menghimpun hadis yang ada pada Amrah binti Abdurrahman dan Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar. Sa'dullah Assa'idi, Hadis-Hadis Sekte, cetakan ke-1, hal.17.
sama dalam satu bab, kemudian dibuatkan beberapa subbab untuk hadis-hadis yang lain. Materinya masih bercampur antara perkataan sahabat dan fatwa tabiin dengan hadis Nabi saw. Publikasi jenis ini yang berhasil sampai pada masa sekarang adalah al-Muwaththa yang disusun oleh Imam Malik bin Anas (w.179 H).31
Kitab jenis kedua adalah yang disusun pada pertengahan abad ke-2 sampai awal abad ke-3 Hijriah dan selanjutnya. Hadis-hadis yang dihimpun dalam periode ini memakai sistem Masanid. Riwayat setiap sahabat yang sebelumnya berserakan dijadikan satu dalam satu musnad. Mereka yang terkenal sebagai penyusun kitab Musnad, antara lain Hanafi (w. 150 H), Syafi'i (w.205 H), Ahmad (w.241 H), Abu Dawud Thayalisi (w.204 H) dan Musaddad bin Musarhid Bishri (w.228 H).32 Umari mencatat 36 musnad yang berhasil dihimpun pada masa itu. Hanya nama-nama yang tersebut di atas yang terkenal dan berhasil bertahan sampai sekarang. Meski demikian, bukan berarti nama nama yang tidak disebutkan di atas, hilang. Masih banyak ribuan manuskrip yang tersebar di berbagai perpustakaan di Istanbul, Maroko dan perpustakaan-perpustakaan lain di seluruh dunia yang belum jelas teridentifikasi. 33
31 Endang Soetari, op.cit., hal.13.
32 Ibid.
33 Akram Dhiya Umari, op.cit., hal.234.
Musnad-musnad tersebut bukan hanya menghimpun hadis-hadis sahih saja, tetapi juga memuat yang daif, bahkan palsu. Karena itu, tidak semua orang dapat menggunakannya kecuali mereka yang telah menguasai ilmu hadis dengan segala cabangnya. Selain itu, karena tidak disusun berdasarkan bab fikih, kitab Masanid tersebut sulit untuk dijadikan panduan dalam mengetahui dasar hukum syariat. 34 Hal itu, barangkali yang membuat Bukhari (w.256 H) menyusun karyanya, al-Shahih yang diakuinya hanya berisikan hadis-hadis yang sahih saja, meski tidak semua hadis sahih dia himpun dalam adikaryanya ini. Cara yang sama kemudian diikuti oleh Muslim (w.361 H) di dalam kitab Shahih-nya. Karya tersebut disusun secara tematik berdasarkan bab fikih untuk memudahkan para ulama dan fukaha dalam menetapkan hukum tertentu.
Mayoritas ulama menganggap kedua karya Bukhari dan Muslim sebagai kitab hadis yang paling sahih. Dalam menyusunnya, mereka mengandalkan kitab-kitab Musnad dan lembaran-lembaran hadis lain yang didapatkan dengan cara mendengar langsung dari guru-gurunya atau menukilnya dari karya-karya mereka dengan sanadnya yang lengkap, selain riwayat lisan yang ditambahkan oleh keduanya dalam karyanya masing-masing. Dengan
34 Khusus Musnad Ibnu Hanbal telah dicetak ulang dengan diberi nomor dan judul berdasarkan bab fikih oleh Ahmad Syakir, yang diterbitkan oleh Dar al-Jayl, Beirut. Urutannya, seperti yang berlaku pada kitab sahih atau sunan. Hal ini mempermudah untuk mencari hadis, khususnya hadis hukum (ahkam) sebagai landasan beramal.
29
demikian, kedua tokoh ini telah berhasil menyelamatkan banyak materi kitab-kitab Musnad yang telah hilang. Langkah keduanya diikuti oleh ulama lain yang hanya menyusun hadis-hadis sahih saja. Mereka itu adalah Ibnu Hibban (w.354 H), Ibnu Khuzaimah (w.312 H), Ibnu Jarud (w.307 H), Abu Awanah (w.316 H), Hakim (w.405 H).35
Sistematika penyusunan hadis berdasarkan bab fikih juga diikuti oleh para ulama lain, baik yang sezaman dengan mereka maupun yang sesudahnya. Publikasi jenis ini disebut dengan kitab Sunan. Mereka yang dikenal sebagai penyusun kitab Sunan, di antaranya, Abu Dawud (w.275 H), Tirmizi (w.279 H), Nasai (w.303 H), Ibnu Majah (w.275 H), Darimi (w.255 H), Daruquthni (w.385 H), Baihaqi (W.470 H) dan Dailami (w.505 H).
Abad ketiga dianggap sebagai zaman keemasan hadis. Al-Kutub al-Sittah yang menjadi pegangan umat disusun pada masa itu. Rihlah mencari ilmu semarak. Pemeliharaan hadis dilakukan dengan hafalan dan tulisan, Aktivitas ilmiah sangat kental. Di mana-mana muncul para ahli dan kritikus hadis. Buah dari aktivitas ini tampak dengan munculnya pelbagai publikasi hadis di atas. Adapun ulama abad sesudahnya hanya menghimpun karya-karya yang sudah ada, atau meringkasnya dengan menghapus sanadnya atau menertibkan ulang sistematikanya. Saat itu perhatian mereka difokuskan pada karya-karya yang
35 Endang Soetari, op.cit., hal.14.
telah ada, dan aktivitas lisan (hafalan) mulai berkurang. Oleh karena itu, Dzahabi menganggap permulaan tahun 300 H sebagai pemisah antara masa al-mutaqaddimun dengan al-mutaakhkhirun. 36
Dengan kajian ilmu hadis riwayah dipahami bahwa hadis Nabi saw dibawakan oleh sahabat yang mendengar apa yang disabdakan dan menyaksikan perbuatan dan keadaan Nabi saw. Apa yang didengar itu, kemudian dipelihara baik dalam bentuk hafalan (fi al-shudur), tulisan (fi al-suthur) dan amalan (fi al-'amal), untuk kemudian disampaikan kepada sahabat lain yang tidak mendengar atau menyaksikan.38 Selain itu, kepada tabiin, yang
36 Akram Dhiya Umari, op.cit., hal.236. 3. Ada beragam pendapat seputar definisi sahabat. Bukhari, menukil dari Ali Madaini, gurunya, mendefinisikan sahabat dengan orang yang menemani atau melihat Nabi saw walau hanya sebentar. Definisi ini berarti mencakup siapa saja yang murtad di zaman Nabi atau sesudahnya. Juga mencakup mereka yang melihat Nabi sebelum akil-balig. Sa'id bin Musayyab berbendapat lain, baginya, sahabat adalah siapa saja yang pernah tinggal bersama Nabi, baik satu atau dua tahun dan berperang bersamanya dalam satu atau dua peperangan. Ibnu Hajar menolak definisi Sa'id ini. Karena, menurut Ibnu Hajar, kaum muslim sepakat untuk menggolongkan siapa saja yang bersama Nabi dalam Haji Wada ke dalam sahabat. Meski beragam pendapat seputar definisi sahabat, yang jelas, gelar ini dikhususkan untuk siapa saja yang pernah bertemu dengan Rasulullah saw dalam keadaan beriman dan meninggal dunia juga dalam keadaan beriman. Apakah dia lama hidup bersama Nabi ataupun tidak, meriwayatkan darinya atau tidak. Nashir Ali Aidz Hasan Syaikh, Aqidah Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah fi al-Shahabah, juz 1, hal.33; Muhammad Babul Ulum, op.cit., hal.145.
38 Tidak semua sahabat mendengar hadis Nabi saw secara langsung. Di antara mereka ada yang hanya mendengar hadis dari sahabat yang lain. Hal ini berdampak pada pemahaman mereka terhadap apa yang mereka dengar. Bahkan tidak semua mereka -yang menyampaikan hadis Nabi
31
kemudian diteruskan kepada tabi' tabiin melalui proses tahamul wa al-ada'. Proses penyampaian hadis seperti ini berlangsung terus sejak dimulainya kegiatan kodifikasi hadis secara resmi sampai terhimpunnya seluruh hadis pada kitab-kitab hadis atau diwan yang menjadi al Mashadir al-Ashliyah pada abad ke-5 H.39
Melalui kajian teori sistem dan riwayat, esensi hadis dipahami dari unsur-unsurnya, yakni rawi, sanad dan matan. Perawi adalah orang yang meriwayatkan hadis, yaitu yang menerima, memelihara dan menyampaikan hadis. Mulai dari perawi sahabat, tabiin dan selanjutnya sampai perawi terakhir, yaitu mudawwin yang menyusun hadis pada sebuah kitab. Adapun sanad adalah sandaran hadis atau sumber pemberitaan hadis, yang berupa keseluruhan perawi yang meriwayatkan hadis tersebut yang dilacak melalui proses isnad,40 mulai dari mudawwin, gurunya, guru-gurunya dan seterusnya sampai pada perawi yang pertama kali menerima hadis dari Rasulullah saw yang disebut dengan asal sanad. Adapun matan adalah redaksi hadis.
benar-benar memahami apa artinya, apa yang dimaksud dan mengapa diucapkan. Hal ini yang di kemudian hari menimbulkan banyaknya perbedaan dalam periwayatan hadis. Nahj al-Balaghah, cetakan ke-5, hal.376, khotbah ke-210. 39 Endang Soetari, op.cit., hal.14. 40 Menghubungkan perawi hadis kepada matan atau menyandarkan hadis kepada penuturnya. Jumhur ulama memandang sama antara isnad dengan sanad, meski ada sebagian kecil yang melihatnya berbeda. Akram Dhiya Umari, op.cit., hal.235.
Ketiga unsur di atas disebut arkan yang menunjukkan keberadaan hadis, dan keseluruhan hadis pada kitab hadis al-Mashadir al-Ashliyah tertulis lengkap dengan ketiga unsur tersebut.41
B. Pembagian Hadis
Sebelum membahas tentang kehujahan hadis, kita akan membahas terlebih dahulu tentang pembagian hadis. Pembagian hadis itu bisa berdasarkan beberapa kriteria, di antaranya matan, sanad, jumlah perawi dan kualitasnya.
Dari bentuk matannya, hadis terbagi kepada hadis qauli, fi'li, taqriri dan hammi. Hadis qauli adalah yang bentuk matannya berupa ucapan, fi'li perbuatan, taqriri pernyataan, dan hammi berupa rencana atau cita cita. Dari sisi idhafah atau nisbat hadis terbagi kepada marfuk, mauquf, maqthu'. Hadis marfuk adalah hadis yang disandarkan (idhafah) kepada Nabi, mauquf kepada sahabat dan maqthu' kepada tabiin.
Pembagian selanjutnya dari segi sanad. Darisegi sanad itu, pembagian hadis itu bisa berdasarkan persambungan atau keadaan sanadnya. Dari segi persambungan sanad, hadis terbagi ke dalam hadis muttashil dan munfashil. Hadis muttashil adalah hadis yang sanadnya bersambung, yakni perawi murid dan perawi guru pada sanad bertemu,
41 Endang Soetari, op.cit., hal.15.
karena sezaman, setempat, seprofesi. Hadis munfashil adalah hadis yang sanadnya terputus. Putus pada perawi sahabat disebut mursal, putus pada guru mudawwin disebut mu'allaq, putus pada perawi sembarang tingkatan (thabaqah) sanad disebut mungathi', putus pada dua perawi dalam dua thabaqah yang berurutan disebut mu'adhdhal. Selain dari segi persambungan sanad, hadis juga dapat dibagi berdasarkan keadaan sanad hadis tersebut. Dari segi keadaan sanad, hadis terbagi kepada hadis mu'an'an, hadis muannan, hadis Ali, hadis nazil, hadis musalsal dan hadis mudabbaj.
Adapun pembagian berdasarkan jumlah perawinya, hadis itu dibagi menjadi hadis mutawatir dan ahad.
1. Hadis mutawatir
Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang pada setiap generasi, sejak generasi sahabat hingga generasi akhir. Orang banyak tersebut layaknya mustahil sepakat untuk bohong. Hasan Mas'udi mendefinisikannya sebagai berikut,
ما رواه من الإبتداء إلى الإنتهاء جمع عن جمع تمنع العادة إتفاقهم على الكذب .؟؟
Hadis mutawatir disebut qathi'iyul wurud, maksudnya, dipastikan berasal dari Rasulullah saw. Kedudukannya
42 Hasan Ma'sudi, op.cit., hal.11.
sama dengan al-Quran. Kaum ulama sepakat bahwa hadis mutawatir harus diterima sebagai yang berasal dari Nabi saw.
Hadis mutawatir dibagi menjadi dua, yaitu (1) mutawatir lafzhi dan (2) mutawatir ma'nawi. Mutawatir lafzhi adalah hadis yang diriwayatkan banyak perawi dengan lafal dan makna yang sama.
ما إتفق رواته في لفظه ومعناه .۱۳
Adapun mutawatir ma'nawi adalah hadis yang diriwayatkan dengan redaksi yang berbeda-beda, tetapi secara umum mengandung makna yang sama.
2. Hadis ahad
Adapun hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua, atau sedikit orang yang tidak mencapai mutawatir. Berbeda dengan hadis mutawatir yang qath'i (pasti). Hadis ahad bersifat zhanni. Meskipun bersifat zhanni bila memenuhi syarat sebagai hadis sahih, dapat dijadikan sebagai hujah.
Berdasarkan pada jumlah perawi tiap tingkatannya (thabaqah), hadis ahad dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu masyhur, aziz dan gharib.
43 Ibid.
Hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, tetapi belum mencapai derajat mutawatir.
ما رواه ثلاثة فأكثر ولم يصل درجة التواتر .
Hadis aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, meski hanya dalam satu tingkatan (thabaqah) saja.
مارواه إثنان ولو في طبقة واحدة.
Hadis gharib adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi saja, atau terjadi penyendirian dalam periwayatannya.
Dari segi kualitasnya, hadis ahad dibagi ke dalam dua kategori, yaitu hadis maqbul (diterima) dan mardud (ditolak) sebagai hujah.
a. Hadis maqbul
Kata maqbul adalah bentuk isim maf'ul dari asal kata Jga hi - u yang berarti “yang diterima." Adapun secara terminologis, maqbul memiliki pengertian sebagai berikut,
Ajjaj Khathib mendefinisikan hadis maqbul sebagai hadis yang telah memenuhi semua syarat penerimaannya.44
44 Muhammad Ajjaj Khathib, Ushul al-Hadits, hal.52.
ما توافرت فيه جميع شروط القبول.
Hadis yang telah memenuhi semua syarat penerimaan.
Sementara itu, Ibnu Hajar Asqalani mendefinisikannya sebagai berikut,
ما د دليل على جاني ثبوته .
Kadis yang ditunjukkan oleh suatu keterangan atau dalil yang menguatkan ketetapannya.45
Berdasarkan definisi pertama, suatu hadis dikatakan diterima bila telah memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan oleh para ulama secara baku, baik yang berkaitan dengan matan maupun sanad. Syarat yang berkaitan dengan sanad, yakni perawi yang meriwayatkan harus adil dan dhabit, sanadnya harus bersambung, matannya marfuk dan tidak cacat (illat) dan tidak ada kejanggalan (syadz).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa kedua definisi tersebut pada dasarnya adalah sama. Keduanya mengacu pada satu pernyataan bahwa suatu hadis dapat diterima dan dijadikan landasan beramal apabila telah ditemukan adanya penjelasan penjelasan mengenai kebenarannya. Kebenaran yang dimaksud di sini adalah apakah benar hadis itu berasal
45 Ibnu Hajar Asqalani, Syarh Nuhbah al-Fikr fi Mushthalahat Ahl al-Atsar, hal.52.
dari Rasulullah saw atau bukan. Untuk membuktikannya, para ulama mengajukan beberapa syarat. Jika syarat syarat tersebut terpenuhi, hadis tersebut benar-benar berasal dari Rasulullah saw. Sebaliknya, jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, konsekuensinya pun sebaliknya.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi hadis maqbul ada yang berkaitan dengan sanad dan ada pula yang berkaitan dengan matan. Syarat-syarat yang berkaitan dengan sanad adalah ketersambungan sanad serta bersumber dari para perawi yang adil dan dhabit. Sementara itu, syarat-syarat yang berkaitan dengan matan adalah marfuk tidak ada cacat (illat) dan tidak mengandung kejanggalan (syadz). Suatu hadis yang memenuhi syarat syarat tersebut, disebut hadis sahih bila ke-dhabitan nya sempurna, atau hasan, bila ke-dhabitan-nya kurang sempurna, yang berarti diterima kehujahannya. 46
Ditinjau dari aspek maqbul-nya, hadis ahad dibagi ke dalam hadis sahih dan hasan.
a. Hadis sahih
Kata sahih/shahih berasal dari kata bus top-m - bbws -, artinya “yang sehat,” “yang selamat.” Sementara itu, secara terminologis, hadis sahih didefinisikan sebagai berikut,
46 Muhammad Ghazali, al-Sunnah al-Nabawiyah bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits, cetakan ke-8, hal.15.
ده بنقل العدل الضابط ضبطا تاما عن مثله إلى
ما إتصل منتهى السن من غير شؤني ولا علة قادحة.
Hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit, diterima dari perawi yang adil dan dhabit juga hingga akhir sanad, tidak ada kejanggalan dan tidak ber-illat.47
Ibnu Shalah mendefinisikan hadis sahih sebagai berikut,
إسناده بنقل العدل الضابط عن العدلي
المسند الذي يتم الضابط إلى منتهاه ولا يؤث شادا و معللا
Hadis yang disandarkan kepada Nabi saw yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh (perawi) yang adil dan dhabit, diterima dari (perawi) yang adil dan dhabit hingga akhir sanad, tidak ada kejanggalan, dan tidak ber illat.48
Ibnu Hajar Asqalani mendefinisikan hadis sahih sebagai berikut,
ن النبي غير معلل و شاد.
ما رواه عدل تام الضبط م
Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang adil, dan sempurna ke-dhabitan-nya. Sanadnya bersambung, tidak ber-illat dan tidak syadz.
47 Ibid., hal.6. 48 Ibnu Shalah, Ulum al-Hadits, hal.10.
39
Dari definisi di atas diketahui bahwa sebuah hadis dinilai sahih dan diterima apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut,
Pertama, ketersambungan sanad.
Kedua, para perawinya harus orang-orang yang adil. Yang dimaksud adil di sini konsisten dalam beragama, baik akhlaknya, serta terhindar dari kefasikan dan hal hal yang merusak kepribadiannya. Menurut Subhi Shalih, tidak cukup menilai keadilan seorang perawi hanya dengan melihat praktik ritual dan sikap waraknya saja. Akan tetapi, segala perilaku dan gerak-gerik sang perawi harus dikenal dengan baik luar-dalam, agar memperoleh gambaran yang utuh tentangnya.49
Ketiga, para perawinya harus orang-orang yang sempurna ke-dhabitan-nya. Syarat ini terkait dengan kekuatan hafalan sang perawi ketika menerima dan memahami hadis yang didengarnya, dan memeliharanya sejak saat pertama kali menerimanya hingga menyampaikannya kepada orang lain. Suyuthi mengartikan dhabit dengan selalu sadar (mutayaqqidh), tidak pelupa dan tidak hanya hafal hadis, tetapi juga memahaminya dengan baik ketika akan menyampaikannya.50 Ada dua macam dhabith. Dhabith al-shadr, artinya, seorang perawi memiliki hafalan yang kuat, cermat dan mengetahui ada tidaknya perubahan, selain tidak pelupa. Dhabith al-kitabah, artinya, seorang perawi selalu memelihara catatan hadisnya sejak pertama kali dicatat dan memperbaikinya, bila ada yang perlu diperbaiki, hingga dia menyampaikannya kepada orang lain.
Keempat, matannya marfuk.
[49 Hasyim Ma'ruf Hasani, Dirasat fi al-Hadits wa al-Muhadditsin, hal.49. 50 Jalaluddin Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, hal.198.]
Kelima, hadis yang diriwayatkan tidak syadz. Maksudnya, informasi yang terkandung di dalamnya tidak bertentangan dengan informasi lain yang lebih kuat. Sungguhpun hadis diriwayatkan oleh orang-orang berkualitas dan bersambung sanadnya, kalau kandungan materinya ternyata syadz, riwayat itu tidak menjadi sahih.
Keenam, hadis yang diriwayatkan itu tidak cacat, seperti tidak ada upaya pengelabuan. Pengelabuan yang dimaksud, yaitu dengan cara menyambungkan sanad hadis yang sebenarnya tidak bersambung, atau mengatasnamakan dari Nabi, padahal sebenarnya bukan.
Para ulama membagi hadis sahih ke dalam dua bagian, yaitu shahih li dzatihi dan shahih li ghairihi. Shahih li dzatihi, yaitu hadis sahih dengan sendirinya, memenuhi lima syarat di atas. Adapun shahih li ghairihi, yaitu hadis yang kesahihannya oleh adanya keterangan lain. Hadis ini pada mulanya memiliki kelemahan pada aspek ke dhabitan perawinya, karena ke-dhabitan-nya tidak sempurna sehingga dianggap tidak memenuhi syarat
untuk dikategorikan sebagai hadis sahih. Dengan kata lain, pada mulanya hadis ini adalah hasan li dzatihi. Dengan ditemukannya syahid atau muttabi' yang menguatkan keterangan atau kandungan matannya, sehingga membuat derajat hadis ini naik setingkat lebih tinggi.
Hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang adil dan dhabit serta sanadnya bersambung dan matannya marfuk, tidak terdapat illat dan tidak syadz diterima sebagai dalil agama. Hadisnya dinilai sahih. Sesuai dengan fungsinya sebagai sumber ajaran agama, ia menjadi hujah dan wajib diamalkan.
b. Hadis hasan
yang حسن - يحسن - حسنا Kata hasan berasal dari kata
berarti baik, yang menurut bahasa berarti sebagai berikut,
ما تشتهي إليه النفس وتميل إليه.
Sesuatu yang diinginkan dan menjadi kecenderungan jiwa atau nafsu.
Jadi, secara bahasa, hadis hasan berarti hadis yang baik yang sesuai dengan keinginan jiwa. Sementara itu, menurut istilah, Tirmizi mendefinisikan hadis hasan sebagai berikut,
51 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, cetakan ke-3, hal.165-166. 52 Anton Athaillah, Perbedaan Ahl al-Bait dan al-Sunnah, cetakan ke-1, hal.10; Jamaluddin Qasimi, Qawaid al-Tahdits, hal.87.
Sambungan tautan selengkapnga : https://drive.google.com/file/d/0B_l0We7EQa4JWjV5c0ZCQXhrTFE/view
Tidak ada komentar:
Posting Komentar