ilustrasi hiasan:
AWAL DAN SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM SYI'AH DARI SAQIFAH SAMPAI IMAMAH
pengarang : S.H.M. Jafri
Pengantar : Nurcholish Madjid mustalu Hidayah
ISI BUKU
SEKILAS TINJAUAN HISTORIS TENTANG PAHAM PAHAM SUNNAH-SYI'AH;
Oleh: Nurcholish Madjid
PENGANTAR
BAB 1. LANDASAN-LANDASAN KONSEPTUAL
BAB 2. SAQIFAH: MANIFESTASI PERTAMA
BAB 3. ALI DAN DUA KHALIFAH PERTAMA
BAB 4. PEMUNCULAN KEMBALI PARTAI ALI
BAB 5. KUFAH PENTAS AKTIVITAS SYI'I
BAB 6. PEMAKZULAN HASAN
BAB 7. KESYAHIDAN HUSAIN
BAB 8. REAKSI SETELAH KARBALA
BAB 9. PERJUANGAN UNTUK LEGITIMASI
BAB 10. IMAMAH JA'FAR ASH-SHADIQ
BAB 11. DOKTRIN IMAMAH
BIBLIOGRAFI
KATA PENGANTAR
SEKILAS TINJAUAN HISTORIS TENTANG PAHAM-PAHAM SUNNAH-SYI'AH *)
Oleh : Nurcholish Madjid
Kaum Muslim Indonesia sering digambarkan sebagai kumpulan pemeluk yang relatif homogen, yaitu "hanya" terdiri dari kaum Sunni (Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah), bahkan hanya dari mazhab Syafi'i. Meskipun tampilnya Muhammadiyah dengan reformasinya di Indonesia membuat corak pemeluknya menjadi sedikit lebih beragam. Begitu pula dengan tampilnya Persis dan Al-Irsyad. Namun hal itu tidak mengubah kesan homogenitas ke-Sunni-an Islam Indonesia. Memang ada indikasi bahwa aliran Syi'ah pernah muncul di sebagian daerah tanah air - seperti sering ditafsirkan dari adanya adat perayaan Tabut di Pariaman, Sumatera Barat. Di samping ada petunjuk bahwa kelompok Muslim tertentu, sementara ”kaum Alawi,' Indonesia konon dari semula adalah penganut setia aliran Syi'ah. Namun jelas bahwa munculnya Syi'isme dalam percaturan keagamaan di Indonesia adalah barang baru”, dan pengenalannya oleh kebanyakan kaum Muslim Indonesia juga 'barang baru”. Boleh dikata bagi kebanyakan Muslim Indonesia yang struktur pemikirannya dibentuk dan didominasi oleh paham Sunni, adanya Syi'isme hanya sayup-sayup terdengar, atau malah tidak pernah terdengar sama sekali.
Kata pengantar ini diambil dari makalah Dr. Nurcholish Madjid yang disampaikan pada Seminar Sehari Sunnah Syi'ah, yang di selenggarakan oleh Korps Mahasiswa Penghafal dan Pengkaji Al-Quran. (KOMPPAD) Keluarga Jawa Barat di Jakarta, bertempat di Wisma Sejahtera, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tanggal 8 Desember 1987.
Munculnya perbincangan sekitar Syi'isme dengan tiba-tiba jelas sekali adalah disebabkan, sebagian besar, oleh timbulnya Revolusi Iran. Setiap revolusi dengan sendirinya bersifat anti tatanan mapan (establishment). Karena itu bagi masyarakat Indonesia yang karena berbagai faktor obyektif sekelilingnya, sangat memerlukan kestabilan dan ketertiban, kejadian revolusioner di luar negeri akan di amati secara was-was, khususnya jika mengandung kemungkinan mempunyai dampak ke dalam negeri. Revolusi Iran adalah jenis revolusi semacam itu. Revolusi yang mengandung kemungkinan mempunyai dampak ke dalam negeri Indonesia, karena revolusi itu dilancarkan atas nama agama Islam, misal nya, dan kebanyakan rakyat Indonesia beragama Islam
Karena itu Syi'isme bagi banyak orang Indonesia tidak saja merupakan masalah agama (misalnya, untuk orang-orang sekitar Dewan Da'wah Indonesia dan Rabithah Alam Islami yang agaknya mempunyai pretensi kuat untuk 'melindungi” Sunnisme di sini), tapi juga untuk sementara orang merupakan masalah politik (misalnya, untuk sebagian tokoh pemerintahan, khususnya mereka yang bertanggung-jawab atas kestabilan dan keamanan).
Tapi jelas yang lebih baik atau yang diperlukan, adalah tidak melihat Syi'isme sebagai masalah, baik agama maupun politik, melainkan sebagai kenyataan; jika bukan kenyataan di Indonesia - karena lemah atau sedikit sekali kaum Syi'i di sini - namun jelas ia adalah suatu kenyataan internasional, khususnya Dunia Islam. Di samping itu, lebih penting lagi, Syi'isme adalah kenyataan historis yang secara tak terpungkiri ikut mewarnai sejarah agama dan umat Islam selama lima belas abad. Mengingkari kenyataan itu, tidak saja merupakan suatu kenaifan, tapi lebih-lebih lagi suatu kemustahilan. Maka dalam rangka melihat Syi' isme sebagai kenyataan, diperlukan sikap yang lebih bersedia untuk memahami serta mengenali bentuk-bentuk interaksinya dengan aliran-aliran Islam yang lain, khususnya dengan Sunnisme, dan belajar hidup dengan kenyataan itu.
Terjadi beberapa fitnah dalam sejarah Islam, yang pertama ialah pembunuhan Utsman ibn Affan, Khalifah yang ketiga. Pembunuhnya ialah suatu rombongan delegasi dari Mesir yang hendak menyampaikan keluhan dan protes mereka atas tindakan-tindakan Khalifah yang mereka anggap tidak adil, khususnya praktek nepotismenya yang hanya mementingkan klan Umayyah. Kebetulan, klan itu adalah saingan klan Hasyim, asal Nabi, di kalangan suku Quraisy di Makkah, yang pimpinannya memusuhi Nabi dan orang orang Muslim hampir sampai saat-saat terakhir hayat Nabi. Agaknya Nabi menyadari potensi konflik itu, dan berusaha menghilangkannya dengan berbagai kebijaksanaan, termasuk melalui hubungan perkawinan. Nabi berhasil, dan keadaan umat yang utuh dapat bertahan melewati masa-masa Abu Bakar dan Umar.
Pada masa Utsman, disebabkan kelemahan leadershipnya, konflik itu kambuh. Pembunuhan Utsman diikuti pengangkatan Ali sebagai Khalifah keempat, disponsori oleh para bekas pelaku pembunuhan itu. Segera Mu'awiyah, seorang tokoh terkemuka klan Umayyah, gubernur Damaskus yang diangkat Utsman, menuntut Ali untuk menemukan dan menghukum para pembunuh Utsman. Agaknya mus tahil bagi Ali memenuhi tuntutan itu, karena para pembunuh itu justru pendukung utama kekhalifahannya. Ali juga mengalami kesulitan dari Aisyah, isteri Nabi, puteri Abu Bakar. Maka suasana Madinah khususnya dan Hijaz umumnya, menjadi tidak menguntungkan Ali, dan beliau pindah ke Kufah di Irak. Perang dengan Mu'awiyah tak terhindarkan. Ali hampir menang secara militer. tapi dengan cepat Mu'awiyah minta penyelesaian secara diplomatik, yang ia menangkan.
Setelah kekalahan diplomatik Ali, fase berikutnya adalah pecahnya para pendukungnya, yang memberontak dan yang tetap setia. Yang memberontak menamakan diri al-Syurat (Kaum Musyawarah), juga dikenal sebagai al Haruriyyun (mereka yang berpangkal di al-Harura', sebuah tempat dekat Kufah), tapi kelak lebih dikenal sebagai golongan Khawarij (Pembelot).
Kaum Khawarij ingin mengembalikan masalah kekhalifahan kepada rakyat banyak, melalui pemilihan. Tapi terhalang oleh Ali dan Mu'awiyah, sehingga mereka merencanakan untuk membunuh keduanya. Mereka berhasil membunuh Ali, tapi tidak terhadap Mu'awiyah. Bahkan Mu'awiyah berhasil mengkonsolidasikan diri dan umat Islam, berkat kecakapan politik dan ketegaran kepemim pinannya. Karena trauma oleh berbagai penumpahan darah, kaum Muslimin secara pragmatis dan realistis mendukung kekuasaan de facto Mu'awiyah. Maka tahun itu, yaitu tahun 41 Hijri, secara khusus disebut tahun persatuan l'am al-jama'ah).1.
Sementara itu, dalam bidang keagamaan an sich, trauma tersebut juga menjurus kepada sikap kenetralan, khususnya bagi warga Madinah, yang dipelopori oleh Abdullah ibn Umar ibn al-Khaththab). Mereka mendalami agama berdasarkan Al-Quran, dan memperhatikan serta ingin mem pertahankan tradisi (Sunnah) penduduk Madinah. Tradisi kota Nabi itu dipandang sebagai kelanjutan langsung tradisi yang tumbuh pada zaman Nabi, jadi merupakan cermin Sunnah Nabi sendiri. Kaum netralis ini ditenggang oleh penguasa Umayyah, meskipun mereka juga sering melakukan oposisi moral dengan rezim Damaskus. Maka terjadilah proses penggabungan dan penyatuan golongan jama'ah (para pendukung Mu'awiyah) dan golongan Sunnah (para netralis politik di Madinah), dan kelak melahirkan Golongan Sunnah dan Jama'ah (Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah). Mereka tumbuh dengan doktrin-doktrin tersendiri (berbeda dari lainnya seperti Khawarij dan Syi'ah) yang berkembang
[Al-Syaykh Muhammad al-Hudlari Bek, Tarikh al-Tasyri' al-Islami (Beirut: Dar al-Fikir, 1387 H/1967 M), hal 110.]
selama beberapa abad, sampai tuntasnya masalah pembukuan hadis sebagai wujud nyata Sunnah pada sekitar akhir abad ketiga. Saat itu, lengkap sudah kodifikasi hadis dan menghasilkan al-Kutub al-Sittah (Buku Yang Enam), yakni oleh al-Bukhari (w.256 H), Muslim (w.261 H), Ibn Majah (w. 273 H), Abu Dawud (w. 275), al-Turmudzi (w. 279 H), dan al-Nasa'i (w. 303 H).
Sementara itu, para pendukung setia Ali tetap berjuang untuk merebut kekhalifahan. Mereka melihat kesempatan pada wafatnya Mu'awiyah yang digantikan oleh Yazid, anaknya. Karena Hasan (ibn Ali) berhasil ”dibujuk' oleh Damaskus dan puas dengan hidupnya yang berkecukupan, Husain didorong maju, memberontak terhadap Yazid, dan terjadilah tragedi Karbala. Tragedi itu ternyata justru merupakan "turning point" bagi pertumbuhan kaum Syi'ah dan Syi'isme. Dari sudut pandangan kaum Sunni, setelah berbagai kegagalan politik Syi'ah, pada mereka lambat laun tumbuh pandangan bahwa yang sebenarnya berhak menggantikan peranan Rasulullah saw. menjadi Khalifah, adalah Ali, menantu dan kemenakan beliau. Dan Ali akan digantikan oleh anak turun beliau, melalui wasiat. Diceritakan, di depan para Sahabat di sebuah tempat bernama Ghadir Khum, Nabi pernah menyatakan wasiat beliau bahwa kelak Ali adalah penggantinya. Hadis "Wasiat di Ghadir Khum” itu ringkasnya ialah, Nabi saw. dalam perjalanan pulang dari haji wada, mengumpulkan para Sahabat di tempat yang disebut Ghadir Khum, lalu beliau mengambil tangan Ali, dan berdiri bersama Ali dengan disaksikan Para Sahabat, bersabda, "Inilah (Ali) penerima wasiatku dan saudaraku serta khalifah sesudah ku, maka dengarlah dan taatilah!" ? Berdasarkan hadis ini, kaum Syi'ah ada
[Musthafa al-Siba'i, Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri' al-Islami (Kairo: al-Dar al-Qawmiyyah li al-Thiba'ah we al-Nasyr, 1368 H/1949 M), hal. 80.]
yang menolak keabsahan tidak saja kekhalifahan Utsman, tapi juga Abu Bakar dan Umar. Mereka disebut kaum Rafid lah (mereka yang menolak). Mereka juga menerangkan bahwa tiga Khalifah yang pertama itu berhasil berkuasa adalah karena merebut dari Ali yang berhak, dan karena ada semacam "persekongkolan" untuk menyembunyikan hadis wasiat Ghadir Khum.
Kenyataan historis itu menjadi sangat menarik, sebab “kawan seperjuangan” kaum Syi'ah pada awal pertama dukungan mereka kepada Ali, yaitu kaum Khawarij, justru para pengagum Dua Syeikh (al-Syaykhan), Abu Bakar dan Umar. Dan mereka membunuh, atau membenarkan untuk membunuh, Utsman justru karena dalam pandangan mereka, Khalifah ketiga itu telah bertindak menyalahi dua pendahulunya, Abu Bakar dan Umar. Maka Khalifah "klasik" yang sah bagi kaum Syi'ah hanyalah Ali, bagi kaum Khawarij hanya Abu Bakar dan Umar, bagi kaum Umayyah adalah Abu Bakar, Umar dan Utsman. Kemudian tampil Khalifah Umar ibn Abdul-Aziz dari kalangan Umayyah, yang diketahui sebagai penguasa pertama yang memerintahkan pembukuan hadis dan cukup bijaksana untuk berusaha mengurangi sumber-sumber fitnah di kalangan umat. la melakukan gerakan untuk merehabilitasi nama Ali, musuh kakeknya, dan mengakuinya sebagai Khalifah yang sah. Maka sejak itu kebanyakan orang-orang Muslim (Jama'ah) mendudukkan Ali sederetan dengan para pendahulu nya, sehingga Khalifah klasik yang berpetunjuk atau bijaksana (al-Khulafa al-Rasyidun) itu ialah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali.
Sementara itu, bagi kaum Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah hadis wasiat Ghadir Khum adalah palsu, yang dibuat oleh kaum Rafidlah. Menurut Musthafa al-Siba'i, mengutip pen dapat para ulama Sunni :
"Para ulama berkata, "Salah satu pertanda kepalsuan hadis (Ghadir Khum) ialah adanya penegasan bahwa terjadinya dengan persaksian para Sahabat sekalian, namun kemudian para Sahabat semuanya bersepakat untuk menyembunyikan hadis itu pada waktu diangkatnya Abu Bakar 1.a. sebagai Khalifah. Hal serupa itu sangat jauh kemungkinannya terjadi, dan mustahil menurut adat dan kenyataan. Maka adanya hadis ini hanya dituturkan oleh kaum Rafidlah saja, tanpa di sertai mayoritas orang-orang Muslim, merupakan petunjuk atas kebohongan mereka”. 3
Lebih keras lagi ialah pendapat Ibn Taymiyyah, yang ber kata :
... Dari perkara ini disebutkan adanya nas untuk kekhalifahan Ali, dan kita mengetahui bahwa hal itu dusta dari berbagai jurusan. Sebab nas itu tidak seorang pun menuturkannya secara sahih, apalagi secara mutawatir, dan tidak seorangpun dikutip sebagai menuturkannya secara sembunyi-sembunyi, padahal orang ramai bertengkar tentang kekhalifahan dan mereka bermusyawarah mengenainya pada hari Saqifah. Begitu pula pada saat Umar meninggal, perkara kekhalifahan itu diserahkan pada musyawarah antara enam orang yang ditunjuk. Kemudian, ketika Utsman terbunuh dan orang berselisih pendapat tentang Ali, maka sudah dapat dipastikan bahwa nas tersebut, kalau seandainya benar seperti yang dikatakan kaum Rafidlah bahwa beliau (Nabi) memberi nas yang jelas dan pasti untuk Ali jika beliau udzur, dan nas itu diketahui oleh orang orang Muslim semuanya, maka diketahui secara pasti bahwa banyak orang - bahkan kebanyakan orang, akan mengutipnya persis seperti itu dalam situasi yang sedemikian banyak alasan orang untuk menyebutkannya.
[Ibid., hal. 98.]
Maka tidak adanya sesuatu (hadis) yang diketahui sebagai memastikan, juga berarti tidak adanya sesuatu (kekhalifahan Ali) yang diketahui sebagai dipastikan.". *
Berkenaan dengan ini Ibn Hazm juga mengatakan :
"Kami sama sekali tidak mendapatkan riwayat dari seorang pun tentang nas, yang diklaim itu, kecuali riwayat yang lemah, berasal dari orang yang tidak dikenal, kepada orang yang tidak dikenal pula, yang bernama Abu al-Hamra, yang kita tidak mengetahui siapa dia di antara ummat manusia ini?'' 5 Dan Ibn Abi al-Hadid dalam kitabnya :
"... seperti yang diklaim oleh kaum Imamiyyah, yang mengatakan bahwa Rasul saw. memberi nas atas Amir al-Mu'minin Ali a.s. secara jelas dan gamblang, tidak berupa nas pada peristiwa al-Ghadir (saja). . ., tetapi Nabi memberi nas kepadanya (Ali) untuk menjadi Khalifah dan Amir kaum beriman, dan Nabi memerintahkan orang-orang Muslim untuk membaca salam kepada Ali atas kedudukannya itu dan mereka pun memberinya salam, dan Nabi menegaskan di berbagai tempat bahwa Ali adalah seorang Khalifah atas mereka, dan menyuruh mereka supaya mendengar dan taat kepadanya. Tidak dapat diragukan bahwa siapa pun yang berkesadaran, jika mendengar apa yang terjadi sesudah wafat Rasulullah saw. akan mengetahui secara pasti bahwa nas serupa itu tidak pernah ada". Ó
Masalah sekitar hadis wasiat Ghadir Khum itu penting sekali, karena dapat dipandang sebagai pangkal tolak utama
[Ibn Taymiyyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah fī Naqdl Kalam al-Syi' ah wa al-Qadariyyah, 4 jilid (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, l.t.). jilid IV., hal. 118.] Al-Siba'i, op. cit., hal. 99. Ibn Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, 1 : 135 (sebagaimana dikutip dalam al-Siba'i, op. cit.).
perpisahan kaum Syi'ah dan kaum Sunnah (dan kaum Khawarij). Tidak perlu lagi dikatakan bahwa hadis itu, meski pun dengan tegas dinilai palsu oleh kaum Sunnah (dan Khawarij), bagi kaum Syi'ah adalah otentik.
Tapi lepas dari otentik atau tidaknya hadis Ghadir Khum itu, adanya golongan Syi'ah sebagai golongan kedua terbesar dalam pangkuan Dunia Islam, adalah kenyataan. Kemenangan revolusi mereka di Iran merupakan titik balik perkembangan Islam sedunia, yaitu dengan dirasakannya secara nyata kehadiran Syi'isme. Di masa lalu, meskipun secara keseluruhan sejarah Syi'ah adalah cerita kegagalan demi kegagalan (sehingga pada mereka tumbuh kuat Messianisme), namun keberadaan mereka amat terasa dalam beberapa keberhasilan atau hampir-keberhasilan yang mereka alami. Revolusi Abbasiyah yang menghabisi kaum Umayyah berhasil gemilang karena dukungan kaum Syi'ah (dan Khawarij). Meskipun ternyata kaum Abbasiyah lebih suka kepada Sunnisme warisan kaum Umayyah (lebih-lebih Khalifah Harun al-Rasyid), namun kehadiran kaum Syi'ah dan kaum Khawarij sangat terasa dalam dinasti Abbasiyah. (Dalam wawasan teologis atau kalam, kaum Khawarij sedikit-sebanyak "menitis'' pada kaum Mu'tazilah, "favorite" Khalifah terkenal, al-Ma'mun ibn Harun al Rasyid). Di samping itu, kaum Syi'ah pernah berkuasa secara mantap dan gemilang sekurang-kurangnya pada dua dinasti. Pertama, dinasti Fathimiyyah di Mesir (yang mendirikan kota Kairo dan masjid-universitas al-Azhar (bentuk jantan dari al-Zahra', gelar Fathimah, puteri Nabi dan istri Ali]), dan kedua, dinasti Shafawiyyah di Iran (dengan ibu kota Isfahan, konon kota paling indah di muka bumi), kekuasaan yang ikut membuat Iran yang semula Sunni menjadi Syi'i.
Lebih penting dari semuanya, sesungguhnya secara berangsur-angsur banyak terjadi proses pendekatan antara paham Sunni dan paham Syi'i. Tanpa mengingkari adanya kelompok-kelompok Syi'ah yang ekstrem? (sebagaimana ekstremisme juga ada pada kelompok Sunni), mayoritas kaum Syi'ah sekarang adalah jenis yang "moderat”. Mula mula kaum Sunnah memang ibarat "bertepuk sebelah tangan”, yaitu mereka sangat menghormati Ali dan keturunannya, termasuk para Imam Syi'ah. Tapi orang Syi'ah, khususnya kaum Rafidlah tidak mau mengakui tokoh-tokoh Sunnah seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman, apalagi Mu'awiyah. Namun hal ini akhirnya nampak sangat melunak, sampai-sampai kaum Syi'ah ternyata juga menggunakan mushaf standar Utsman, tokoh yang mereka anggap paling tidak bisa diterima. Kutipan dari catatan tentang Al-Quran, cetakan kaum Syi'ah di Teheran, membuktikan hal itu :
[Khatte bisyar ziba, qavi, va purmayihe an keh be manand ast be rasm al-Khatt ashil wa qadim-e Qur'an-e ma'ruf beh "rasm al-mushhaf" ya "rasm 'Utsmani" nivisytih syudih ast. Qira'at-e an az mu'taburtarine qira'at-ha-ye ast keh bar rivayat-e "Hafsh" az "Ashim" va ba yik thariqat az Amir al-Mu'minin 'Ali (a.s.) va az an thariq beh syakhse Payambar-e akram (Saw). *]
Di kalangan kaum Syi'ah terdapat kelompok-kelompok ekstrem seperti kaum Druz yang mengkultuskan -boleh disebut menuhankan- tokoh al-Hakim, salah seorang khalifah Dinasti Fathimiyyah di Mesir. Juga ada kelompok kecil amat ekstrem yang menuhankan Ali (al-Mu'allihah). mengatakan Ali itu Nabi (al-Ghulat), menolak kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Utsman (al-Rafidlah), dan, yang paling lunak, yang mengatakan bahwa, berbeda dari pandangan umum kaum Sunni, Ali lebih utama daripada yang lain itu (al-Mufadldliah). Mayoritas kaum Syi'i sekarang adalah Syi'ah Itsna 'Asyariyyah (Syi'ah Duabelas, karena percaya pada adanya Imam duabelas), kemudian Syi'ah Sab'iyyah (Syi'ah Tujuh, karena percaya pada adanya Imam tujuh), yang dipimpin oleh Aga Khan, seorang milyarder dunia yang terkenal.
Mushaf, Al-Qur'an al-Karim, dengan pengantar, terjemahan Parsi oleh Sayyid Kadhim al-Ma' azzi, indeks, dll. (Teheran: Mu'assasah Intisya rat-e Shabirin, 1405 H), hal. 983.
(Tulisan yang amat bagus dan kuat, yang pangkalnya telah diambil dari yang serupa dengan bentuk tulisan Al-Quran yang paling asli dan awal, yang dikenal dengan "rasm al-mushhaf” atau "rasm Utsmani". Qiraatnya berasal dari berbagai qiraat yang paling sah (mu'tabar) dengan riwayat Hafsh berasal dari 'Ashim, dan dari jurusan lain berasal dari Amirul Mukminin Ali a.s., dan dari jalan itu berasal dari pribadi Nabi yang mulia, Saw.).
Dari kutipan itu, dan dengan membaca sendiri Al-Quran yang mereka pegang dan anut, sudah jelas tidak benar pendapat, atau malah tuduhan, bahwa orang-orang Syi'ah mempunyai Al-Quran tersendiri yang berbeda dengan Al Quran kaum Sunni, seperti dikesankan oleh buku-buku yang kini banyak beredar di Indonesia. Demikian pula dalam hal hadis, ada indikasi bahwa orang-orang Syi'ah dalam batas-batas tertentu juga menggunakan hadis Sunni dari riwayat yang "kontroversial" menurut pandangan mereka seperti Abu Hurayrah.'°.
Di samping itu, karena kedekatan mereka dengan kaum Khawarij (yang menjelma dalam sistem kalam kaum Mu'tazillah, sebagaimana telah disinggung di atas), kaum Syi'i lebih baik daripada kaum Sunni dalam mewarisi dan mengembangkan tradisi intelektual spekulatif. Kaum Sunni berhak, dan mungkin dapat dibenarkan, menyesali 'macet”. nya pemikiran mendasar Ibn Taymiyyah di tangan mereka yang mengaku sebagai pengikut dan penerusnya.
Misalnya, buku Prof. Dr. Ikhsan Ilahi Zhahir, MA, Al-Syi'ah wa al Sunnah, yang telah diterjemahkan oleh Bey Arifin, dengan pengantar oleh Muhammad Natsir, ketua DDI pusat, menjadi Syiah dan Sunnah (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1406 H/1986 M). (Perhatikan catatan pada sampulnya: "Buku ini dibagikan dengan cuma-cuma tidak untuk diperjual belikan"). Lihat, misalnya, kutipan terhadap hadis riwayat Abu Hurayrah dalam Sayyid Kadhim, Ha'iri, Bunyan-e Hukumat dar Islam (Teheren: Vizarate Irsyad e Islami, 1364 H), hal. 109 dan 111.
Misalnya, buku Prof. Dr. Ikhsan Ilahi Zhahir, MA, Al-Syi'ah wa al Sunnah, yang telah diterjemahkan oleh Bey Arifin, dengan pengantar oleh Muhammad Natsir, ketua DDI pusat, menjadi Syiah dan Sunnah (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1406 H/1986 M). (Perhatikan catatan pada sampulnya: "Buku ini dibagikan dengan cuma-cuma tidak untuk diperjual belikan"). Lihat, misalnya, kutipan terhadap hadis riwayat Abu Hurayrah dalam Sayyid Kadhim, Ha'iri, Bunyan-e Hukumat dar Islam (Teheren: Vizarate Irsyad e Islami, 1364 H), hal. 109 dan 111.
penyesalan seperti yang dilakukan oleh Muhammad Iqbal. 1 1 Sebab dalam pemikiran mendasar pemikir, abad ke 14 dari Damaskus itu, ada argumen yang amat kuat untuk melakukan metode empiris dalam memahami hakikat. Bukan deduktif-spekulatif seperti dalam filsafat Barat, yang ternyata pemikiran empiris itu, yang membawa tero bosan masuk ke zaman ilmu pengetahuan modern. Namun, betapa pun sahnya penyesalan itu, kaum Sunnah akan dapat memetik manfaat lebih besar jika seandainya interaksi intelektual mereka dengan kaum Syi'ah lebih terbuka dan reseptif, mampu melepaskan diri dari trauma-trauma poli tik masa lampau. Sebab, sementara pemikiran filosofis yang canggih dan kreatif banyak disinyalir mandek dengan coup de grace yang diberikan oleh al-Ghazzali, namun di kalangan kaum Syi'ah tradisi intelektual itu tetap hidup dan berkembang, bahkan pada abad ketujuhbelas masih mampu melahirkan seorang pemikir besar, Mulla Sadra, yang bisa dibandingkan dengan para pemikir sezamannya di Barat. 12 (Pikiran kefilsafatan Ibn Taymiyyah pun. diapresiasi mulanya hanya di Hyderabad, yang mengenal Syi'isme dan budaya Parsi). 13.
Yang amat diperlukan oleh umat Islam di mana saja, termasuk di Indonesia, pada penghujung abad keduapuluh Masehi ini ialah usaha membina saling pengertian. Mereka harus belajar saling menerima eksistensi kelompok masing masing, dalam semangat persamaan dan persaudaraan.
Lihat, Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: SH Muhammad Asyraf, 1960), hal. 129. Lihat, Fazlur Rahman The Philosophy of Mulla sadra (Albany, N. Y.: State University of New York Press, 1975). Salah satu karya Ibn Taymiyyah yang amat penting dalam bidang ini ialah Kitab al-Radd ala al-Manthiqiyyin, diterbitkan di Hyderabad. Daccan, India, dan tempat-tempat lain menerbitkan dengan mengkopi terbitan Hyderabad.
Mereka harus belajar melepaskan diri dari trauma-trauma (politik) masa lalu yang membuat mereka selama ini seolah olah mengenakan kaca mata hitam terhadap sesama Muslim. Kelebihan dan kekuarangan selalu ada pada setiap kelompok (dan pribadi), dan kita semua dituntut untuk menerima kenyataan itu apa adanya, tanpa menanggalkan kewajiban untuk secara tulus bersama-sama nerusaha mewujudkan keadaan yang lebih baik, dan terus lebih baik lagi. Jelas sekali, tidak saja merupakan kebodohan dan kepicikan pandangan, tapi juga menyalahi Sunnatullah dalam sejarah umat manusia, jika ada yang berkeinginan untuk memaksa kan pendapatnya dan berusaha menghapuskan pihak lain.
Sejarah Islam khususnya, dan umat manusia umumnya, menunjukkan bukti yang tak terbantah, bahwa kezaliman absolutisme akan selalu membawa serta kezaliman mono litisisme, totalitarianisme dan otoritarianisme. Dan setiap bentuk kezaliman ditakdirkan untuk gagal, dan akan mem bawa kesengsaraan. Mengulang kembali pandangan dasar etis (akh-laqi) kaum Salaf, terutama sebagaimana dicontoh kan oleh Umar al-Faruq, kita perlu menangkap dinamika zaman, menghargai hak-hak individu, membuat keputusan untuk setiap tindakan kemasyarakatan melalui musyawarah, menerima pendapat yang benar sekalipun datang dari se orang 'perempuan tua ?!'* Bisa juga dikatakan, kita harus menangkap kembali "Api Islam” (istilah Bung Karno) yang kini redup dan hampir hilang karena tertimbun oleh abu dan puing kepentingan duniawi perorangan dan go longan, termasuk kepentingan politiknya.
Maka itu, patut sekali kita renungkan kembali ayat ayat ukhuwwah :
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersauda ra, maka damaikanlah antara kedua saudaramu, dan
Umar pernah ditegur keras oleh seorang perempuan tua berkenaan de. ngan keterangannya tentang maskawin yang menyalahi Al-Quran, dan Umar menjawab: "Seorang perempuan benar, seorang lelaki salah." (Lihat al-Siba'i, op. cit., hal 77).
bertaqwalah kepada Allah, semoga kamu semua di rahmati-Nya. Wahai orang-orang yang beriman, jangan lah suatu kaum menghina kaum yang lain, kalau-kalau mereka (yang dihina) itu lebih baik daripada mereka (yang menghina), dan jangan pula ada para wanita (yang menghina) para wanita (yang lain), kalau-kalau mereka (yang dihina) itu lebih baik daripada mereka (yang menghina)...”15
Sebenarnya orang-orang Muslim tidak hanya dituntut untuk bisa saling memahami sesama mereka sendiri, tapi juga sesama umat manusia secara keseluruhan. Apalagi petunjuk Ilahi tentang persaudaraan kaum yang beriman itu bersambungan langsung dengan petunjuk tentang persau daraan umat manusia :
Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu sekalian dari pria dan wanita, dan Kami jadikan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu bagi Allah adalah yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah itu Maha Menge tahui dan Maha Teliti. 16.
Dalam persoalan politik termasuk politik orang-orang Muslim (seperti yang sekarang membelah antara Iran dan Irak, Iran dan Arab Saudi, Irak dan Syria, Syria dan Mesir, Mesir dan Lybia, dst.) orang-orang Islam mau tak mau ha rus belajar memandangnya secara proporsional dan dewa sa. Tanpa pengabsolutan yang antara lain, misalnya, memba wa-bawa surga dan neraka. Simbol-simbol perlu, karena manusia tidak mungkin hidup tanpa simbol-simbol. Tetapi simbol yang mengikat terlalu kuat, apalagi yang absolutis tik, adalah termasuk jenis syirik. Yaitu sistem pandangan mitologis dan tertutup kepada alam dan sesama manusia QS. Al-Hujurat/49:10-11. QS. Al-Hujurat/49:13.
beserta produk-produknya. Yang termasuk produk ialah, penggolongan dan pengelompokan, yang pada dirinya sen diri memang wajar dan alami, namun ia akan merosot men jadi sejenis kemusyrikan jika ia melahirkan fanatisme dan chauvinisme golongan atau sektarianisme, dengan indikasi merasa benar sendiri :
... dan janganlah kamu tergolong orang-orang musy rik. Yaitu mereka yang memecah-belah agama mereka, kemudian mereka menjadi bergolong-golongan, setiap kelompok membanggakan apa yang ada pada mereka.!?
Maka sekali lagi, terbaginya manusia menjadi kelompok kelompok, seperti Sunnah dan Syi'ah dalam Islam, adalah wajar, alami, dan tak terhindarkan, karena merupakan produk proses sejarah yang tidak mungkin dihapus. Yang tidak alami, tidak wajar, dan tidak sesuai dengan sifat da sar kemanusiaan (fithrah) adalah jika seseorang atau saatu kelompok merasa benar sendiri, lalu serta-merta memaksa kan kehendak dan pandangannya kepada orang lain. Itu termasuk syirik, politheisme, yang tak terampuni oleh Tuhan.
Wallah a'lam bi al-shawab.
Wallah a'lam bi al-shawab.
[QS. Al-Rum/30:32. Terhadap firman ini, A. Yusuf Ali memberi komen tar: "A good description of self satisfied sectarianism as against Real Religion (al-Din al-Qayyim)". (Lihat, a Yusuf Ali, The Holy Qur'an, hal 1060, catatan 3544).]
PENGANTAR
Timbul dan berkembangnya Islam telah menjadi subyek berbagai kajian, baik umum maupun khusus. Tetapi masalah pokok, yakni asal-muasal dan awal perkembangan Islam Syi'ah, tidak mendapat perhatian yang memadai. Sejauh ini, pendekatan terhadap subyek ini umumnya merujuk pada karya para penulis tentang bid'ah (heresio grapher) seperti Baghdadi, Ibn Hazm, dan Syahrastani; sehingga gambaran yang muncul adalah, bahwa Syi'ah itu aliran bid'ah yang didirikan berdasarkan pertimbangan politik dan ekonomi. Sesungguhnya - meski karya para penulis ini berharga juga untuk memahami masalah ter sebut - menggantungkan diri kepada karya polemik se macam itu, hanya akan melahirkan hasil seperti demikian.
Sebenarnya, dasar yang lebih bisa dipertanggungjawab kan untuk keperluan riset dapat diperoleh dari naskah historis yang banyak menyimpan dokumen kontemporer dan fragmen yang lebih tua serta catatan-catatan yang lebih tepercaya, tapi sayangnya, dalam kajian mereka tentang Islam Syi'ah, para ilmuwan jarang menilik karya-karya yang lebih obyektif ini. Naskah-naskah ini, memang, hanya dapat diperoleh dalam manuskrip-manuskrip kuno yang disimpan dalam koleksi-koleksi khusus yang tersebar di seluruh dunia. Dan dalam karya itu sendiri, bagian yang relevan bagi subyek kita seringkali hanya ditemukan setelah membaca seluruh jilid. Kini, bagaimanapun, meningkatnya perhatian ilmiah di dunia Islam di Timur dan Barat telah membawa manfaat, dan si peneliti dapat memperoleh apa yang diperlu kannya dari edisiedisi kritik modern atas s’mber awal dan berlimpahnya referensi yang tak ternilai.
Mengingat petunjuk yang kini tersedia, mungkinlah kiranya melakukan perkiraan ulang kritis tentang asal muasal dan perkembangan Islam Syi'ah. Karena itu, dalam halaman-halaman ini diupayakan melacak dan merekons truksi kecenderungan dan gagasan awal yang menjadi ciri khas Islam Syi'ah. Karena faktor-faktor ini hadir untuk menyorot masalah kepemimpinan religius, pembicaraan kami akan berkisar sepenuhnya pada responsi Syi'ah ter hadap problema ini, sejak kelahirannya di antara kelompok pertama kaum Muslimin hingga Imamah Ja'far ash-Shadiq. Pada waktu ini, seluruh elemen fundamental Syi'isme telah timbul, dan tengah dirumuskan ke dalam apa yang kemudi an menjadi doktrin sistem Dua Belas Imam dan praktek hukumnya.
Tujuan saya adalah mengkonstruksikan dan menampil kan perkembangan cita Islam – yakni visi khusus Imamah yang timbul segera setelah kematian Rasul – berdasarkan kesaksian sumber historis. Dalam hal ini, usaha saya mung kin dapat dilihat lengkap setelah Bab Delapan, ketika membahas pergerakan Tawwaabun. Bab Sembilan ber urusan dengan batang-tubuh Syi'ah itu sendiri, dan di sini tentu sumber historis tak dapat menolong banyak. Landasan historis yang kembali dapat dimanfaatkan setelah Bab Sepuluh, menampilkan latar belakang bagi Imamah Ja'far ash-Shadiq. Bagian akhir sesungguhnya bukan meru pakan puncak dari tema pokok karya ini, tetapi menawar kan kepada pembaca penilaian atas suatu konsep terkem bang kepemimpinan religius sejak muncul dari dasar-dasar awalnya.
Dengan kata-kata yang sedikit tentang karya ini, sudah seharusnya saya mengungkapkan bantuan berharga yang diberikan kepada saya dalam mempersiapkan kajian ini. Profesor Nicola A. Ziadeh berbaik hati memberi ke sempatan kepada saya untuk menulis dalam seri-serinya. Banyak usaha riset dimungkinkan berkat pelimpahan dana dari American University of Beirut. Mr. Lawrance I. Conrad menunjukkan kesabaran dan bantuan ketekunan selama
kerja saya berlangsung, dan Nona Lamia Awad mengetik manuskrip dengan jeli dan awas. Sejumlah kolega dan teman telah membaca bagian-bagian dari naskah ini dan telah memberikan komentar dan usul yang berharga. Kepada mereka saya ucapkan terima kasih tak terhingga.
Sayyid Husain M. Jafri
American University of Beirut 27 Agustus 1976
BAB I
LANDASAN-LANDASAN KONSEPTUAL
Pembagian masyarakat Islam ke dalam Sunni dan Syi'i umumnya dijelaskan dalam acuan perbedaan politik semata. Asal-usulnya dinisbahkan, terutama, kepada per bedaan politik sehubungan dengan kepemimpinan Umat. perbedaan yang kemudian pecah ke dalam konflik perang saudara antara Ali dan Mu'awiyah. Perang ini tidak hanya membawa Umayyah pada kekuasaan, tetapi juga menandai kemunculan Syi'isme sebagai gerakan religius yang terpisah dari tubuh utama kaum mukminin. Interpretasi yang demi kian, nyata sekali menyepelekan situasi yang sangat kom pleks. Mereka yang menekankan corak politis Syi'isme, barangkali terlalu berhasrat untuk memproyeksikan pema haman Barat modern tentang pemisahan gereja dan negara ke dalam masyarakat Arab pada abad ketujuh. Cara pema haman seperti itu bukan saja ganjil, tapi juga tidak dapat dimengerti. Pendekatan seperti itu juga menyiratkan ke munculan spontanitas Syi'isme, bukan kebangkitan dan
perkembangan bertahap dalam masyarakat Islam. Konsepsi Barat mutakhir seputar "gerakan spiritual mumi” merupa kan kekecualian. Sepanjang sejarah manusia, agama terlihat secara intim dalam keseluruhan hidup manusia di masya rakat, termasuk dalam kegiatan politiknya. Bahkan ajaran religius murni Yesus pun - sebagaimana pendapat pada umumnya - bukan tanpa relevansi politik.'
W. Montogmery Watt, Islamic Political Thought (Edinburgh, 1968), hal 26
Sebagaimana Rasul yang pada dasarnya seorang guru, utusan keagamaan dan spiritual, tapi pada saat yang sama, karena keadaan, sekaligus sebagai penguasa duniawi dan negarawan. Islam sejak kelahirannya merupakan disiplin keagamaan dan, boleh dikata, gerakan sosio-politik. Pada dasarnya Islam bersifat religius karena status yang diperoleh Muhammad sebagai Rasul Allah yang ditunjuk dan dikirim oleh Dia untuk menyampaikan risalah-Nya kepada manusia, dan bersifat politis karena lingkungan dan keadaan tempat ia timbul dan tumbuh. Sebaliknya, Syi'isme, dalam watak yang dibawanya, selalu bersifat religius dan politis, dan aspek-aspek ini ditemukan berdampingan sepanjang sejarah nya. Oleh sebab itu, sulit untuk mengatakan, pada tingkat eksistensinya yang mana ”Syi'ah politik” berbeda dengan "Syi'ah religius”. Melalui tiga atau empat abad pertama serta perkembangan keagamaan dan undang-undang Islam, orang tidak akan sulit melihat bahwa seluruh pembicaraan di kalangan Muslim mempunyai relevansi baik politik maupun sosial. Jika kita menganalisa kemungkinan hubung an berbeda yang dikandung masing-masing kepercayaan religius dan undang-undang dalam Islam, kita temukan klaim dan kecenderungan doktrinal dari para pendukung Ali lebih condong ke aspek religius ketimbang politik. Di sini tampak terjadi paradoksi, bahwa kelompok yang klaim-klaimnya didasarkan terutama pada konsiderasi spiritual dan religius, sebagaimana akan kita rinci segera, secara tradisi justru dicap politis dalam keasliannya.
Istilah Syi'ah - mengingat perkembangan sejarahnya, secara harfiah berarti pengikut, partai, kelompok, perkum pulan, partisan, atau dalam makna yang agak longgar ber arti "pendukung”2 - akan dibahas secara saksama se panjang bagian ini. Dalam arti-arti ini kata Syi'ah beberapa kali muncul dalam Al-Quran. Dalam arti terapannya.
Lihat Lane, Lexicon, IV, hal 1632 Mislanya XIX, 69; XXVIII, 15;XXXVII, 83
sebagai tanda khusus bagi para pengikut Ali dan Ahlul Baitnya – dan, karena itu, sebagai penamaan khusus dalam Islam yang terbedakan dari Sunni, istilah Syi'ah kemudian digunakan. Dalam awal pertumbuhan sejarah Islam, orang tak dapat bicara tentang apa yang disebut kelompok "Sun nah yang ortodoks" dan "Syi'ah yang bid'ah”, melainkan tentang dua butir pandangan samar yang meregang terus menerus, dan akhirnya semakin tak dapat dirujukkan. Dengan mengingat arti istilah Syi'ah ini, tujuan utama kita di sini adalah melacak latar belakang dukungan bagi Ali dan untuk menyelidiki asal-usulnya dalam masyarakat Arab zaman itu di saat lahirnya Islam. Sebagai konsekuensinya, akan digambarkan bagaimana sikap ini mewujudkan diri segera setelah Muhammad wafat.
Titik tolak dalam kajian Islam Syi'ah yang bagaimana pun, harus dimulai dari sifat dan komposisi masyarakat Muslim yang timbul di Madinah di bawah kepemimpinan Muhammad. Komunitas ini tidak homogen baik dalam latar belakang kultural, tradisi maupun dalam institusi sosio politik. Penyatuan beragam orang atau kelompok dalam sistem baru tidak menunjukkan penghapusan menyeluruh atau bahkan perubahan dalam beberapa nilai dan adat mereka yang berakar dalam. Karena itu, lumrah bahwa nilai, ide tertentu dan berbagai bagian komponen Umat memanifestasikan diri dalam aspek tertentu dari orde ke agamaan baru. Konsekuensinya, bukan pendekatan homo gen terhadap seluruh masalah, melainkan orang mesti berusaha menemukan berbagai pendekatan dan titik pan dang dalam Umat, dengan kekecualian bahwa Rasul beserta misinya menjadi faktor fundamental yang mengikat ber bagai kelompok itu.
Kecenderungan sebagian orang Arab di kalangan para Sahabat Rasul untuk mendukung Ali adalah akibat yang wajar dari gagasan-gagasan yang telah ada di kalangan berbagai suku Arab yang bersama-sama membentuk Umat Muhammad di Madinah. Umat ini terdiri dari orang-orang
Makkah, baik Quraisy Al-Bithah (mereka yang bermukim di sekitar Ka'bah) maupun Quraisy Az-Zawahir (yang tinggal di daerah pinggiran); orang Madinah, yang terbagi ke dalam suku Aus dan Khazraj – keduanya asal Arabia Selatan dan masih menyimpan banyak watak negeri asal mereka – orang Arab gurun sekitar Madinah; dan bahkan sebagian Arab dan non-Arab dari berbagai pelosok, seperti Bilal dari Abesinia dan Salman yang berasal dari Persia. Mereka ini bersama-sama membentuk masyarakat di bawah naungan Islam. Tetapi, bila kita menimbang masalah yang lazim di kalangan mereka, kita harus memperhatikan berbagai watak dan kecenderungan masing-masing kelom. pok, bukan hanya sekelompok orang, grup, atau tempat. Kita harus menganggap bahwa orang Arab dari berbagai asal dan latar belakang sosio-kultural itu memahaini Islam, setidaknya dalam perkembangan awalnya, menurut gagasan sosial dan moral mereka masing-masing.
Masyarakat Arab, yang berkelana dan yang bermukim, diatur dalam garis kesukuan dan dari semua ikatan sosial; kesetiaan kepada suku (Al-'Ashabiyah) dianggap paling utama. Perasaan Al-'Ashabiyah ini, bersama dengan aspek aspek hidup kesukuan lain, memberikan ekspresi paling tegas dan tema tetap bagi puisi pra-Islam. Sistem kabilah didasarkan pada keturunan aktual atau khayalan seputar nenek-moyang, dari situlah status sosial dan moral para anggota suku ditetapkan. Orang yang tak dapat menunjuk kan kebesaran dan keagungan moyang mereka, akan men dapat kedudukan sosial yang rendah dan menjadi sasaran makian. Pengetahuan dan kebanggaan akan nenek-moyang merupakan titik sentral dalam kesadaran masyarakat Arab, dan merupakan tolok ukur bagi kehormatan serta keagung an suatu suku dibanding suku lain. Tiap klaim prestise dan kehormatan dari para anggota individu, bahkan juga keseluruhan suku, tergantung pada moyang-moyang itu. Kata yang digunakan untuk klaim demikian adalah hasab, yang umumnya dijelaskan oleh filolog Arab dalam makna:
sejumlah perbuatan masyhur para nenek-moyang." Ini tidak berarti kata hasab mengesampingkan sejumlah itu sendiri yang justru termasuk salah satu dari pohon silsilah, baik dari ayah maupun ibu. Jika perbuatan-perbuatan bajik moyang seseorang cukup banyak untuk dibanggakan dan dirinci satu-satu secara sombong oleh turunan mereka, makin kayalah hasab atau kemuliaan mereka, sebagaimana nyata dari ekspresi populer, al-hasab atau syaraf al dhakhan. Ini bermakna keningratan yang menjadi lebih "tebal” dan lebih kokoh melalui akumulasi perbuatan bajik para moyang dari generasi ke generasi.? Nah, me nyanyilah penyair Arab terkenal Nabighah Adz-Dzubyani:
"Ayahnya sebelum dia dan ayah dari ayahnya, membangun keagungan hidup sebagai model.' 8
Suatu suku dengan jumlah anggota besar tetapi dengan sedikit perbuatan masyhur para moyangnya yang dapat dibanggakan, tidak hanya memiliki kedudukan sosial rendah tapi juga menjadi sasaran ejekan mereka yang dapat merinci lebih banyak perbuatan bajik moyang mereka. Dengarlah penyair Hamrah berkata:
"Dan turunan yang mereka lakukan di kalangan ras Sa'ad dan Malik: tak lebih dari kayu-api suku itu, iak bersinar dan tak berharga."
Dalam sistem kesukuan yang kaku seperti sistem Arab itu, kemasyhuran para leluhur dan perbuatan terpuji me reka, merupakan sumber gengsi paling utama dan klaim superioritas. Kebangsawanan yang dengan demikian diper
[Ibn Qutaybah, Rasa'il al-Bulagha, hal. 360 Aghani, I, hal 45 Aghani, I, hal 72; Yaqut, Mu'jam al-Buldan, III, hal 519 Aghani, X, hal 300 Diwan an-Nabighah adz-Dzubyani, edisi Shukri Faisal (Beirut, 1968), hal 165 Mufadhdhaliyar, XCIII, jilid 14]
oleh, dianggap oleh suatu suku sebagai faktor penyatu dalam menuntut kedudukan tinggi dalam hubungannya dengan suku lain. Di dalam klan, tertentu suatu suku mempunyai klaim lebih tinggi atas keagungan, dan selanjut. nya kepemimpinan, jika jalur langsung para moyangnya lebih istimewa berkenaan dengan perbuatan bajik mereka dalam hubungannya dengan klan lain dari suku yang sama. Kemasyhuran moyang ini bagi turunannya bukan merupa kan ornamen silsilah semata, melainkan mempunyai rele vansi individu bagi tiap orang dan mempunyai arti penting bagi klaim kehormatan suatu individu. 10 Sebagai contoh, Nu'man b. Al-Mundzir, Raja Hira, bertanya kepada 'Amr b. Uhaymir b. Bahdalah, yang mengklaim posisi tertinggi di kalangan yang hadir. "Apakah engkau yang paling mulia di kalangan seluruh Arab sehubungan dengan sukumu?” Ia menjawab: "Ma'ad melebihi dalam kebangsawanan dan jumlah, dan di kalangan Ma'ad, Nizar melampaui semua, dan di antara mereka Mudar melebihi semua, dan di kalangan mereka Tamim berada di atas, dan di kalangan ini Auf-lah yang tertinggi, sedang di kalangan Auf keluarga Bahdalah di atas segalanya. Barangsiapa tidak mengakui ini, silakan bertanding dengan aku."!!
Orang Arab memandang bahwa bukan hanya ciri-ciri fisik yang diturunkan secara genetis, 12 tetapi mereka juga percaya bahwa kemuliaan pun diwariskan di dalam turunan tertentu. Jadi, kualitas moral pun diturunkan secara genetik. Kebajikan terbaik bagi individu, karena itu, dimiliki mereka dari leluhumya. Orang Arab membuat batas yang jelas antara kebangsawanan yang diwariskan dengan kebangsa wanan yang diklaim hanya karena perbuatan baik pribadi; yang pertama menjadi sumber prestise sosial yang besar, sedang yang kedua tak banyak berpengaruh. Dengan kata
[Mufadhdhaliyat. XXXI, jilid 4: "Demi Allah, sepupuku, engkau tidak lebih baik dari aku dalam ras, (La afdhalta fi hasabi)" Ibn Qutaybah, seperti dikutip di atas, hal. 348; 'lad, UL hal 332 Aghani, I, hal 31]
lain, kemasyhuran dan jasa pribadi hanya memiliki penga ruh yang kecil dalam mengamankan kedudukan tinggi seseorang; kemasyhuran dan keningratan yang diwarisilah yang mengukuhkan penghargaan dalam masyarakat, 13 Ada sejumlah rujukan dalam syair pra-Islam di mana ke luhuran dan kebajikan leluhur dilukiskan sebagai bangunan kokoh dan megah yang mereka bangun untuk turunan mereka, dan akan memalukan sekali bagi generasi ber ikutnya apabila mereka menghancurkannya.'s Kemasyhur an kebangsawanan dan tindakan-tindakan bajik leluhur haruslah dipelihara sebagai pendorong terkuat dan paling awet untuk diadopsi oleh anak-cucu. Dalam pengertian inilah istilah Sunnah telah sering digunakan, jauh sebelum Islam.16 Setelah Islam, institusi Sunnah tetap hidup seperti sediak ala, namun isinya diganti secara drastis dengan Sunnah Nubuwah. Bagaimanapun, kecenderungan tertentu dari Sunnah sebelumnya tetap tinggal, paling tidak di bagian tertentu dari komunitas Muslim-Arab.
Yang paling memiliki hak istimewa dalam masyarakat Arab, di saat kebangkitan Islam, adalah orang yang dapat menyatakan di depan umum, bahwa ia ditakdirkan me miliki para moyang yang meninggalkan baginya 'segalanya yang serba istimewa' sebagai Sunnah mereka. Kata yang umum digunakan untuk mengekspresikan gagasan kemam puan melacak kualitas moral hingga kepada moyang ningrat seseorang adalah 'irq. (jamak: a'raq dan 'uruq). 'Irq artinya akar, asal manusia, dan bentuk jamaknya l'araq) menyirat kan arti moyang manusia. Jadi banyak ungkapan mengenai warisan yang diperoleh seseorang dari lelulur ningrat ditemukan dalam bentuk seperti, "ia punya andil-turunan
['Amr b. Kultsum, Mu'allaqah, jilid 40, 52, 55; Mufadhdhaliyat, XL, jilid 44; LXXXVII, jilid 2; Zuhair b. Abi Salman, Mu'allaqah, v, hal 26; Aghani, X, hal 300 Labid, Mu'allaqah, jilid 83: 'Amr b. Kultsum, Mu'allaqah, jilid 52 Aghani XXII, hal 3 Labid, seperti dikutip di atas, jilid 81]
dalam kedermawanan atau kemuliaan,"17 atau "darah ningrat mengangkatnya ke leluhurnya."18
Jelas bahwa dalam sentimen religius orang Arab, ke salehan leluhur, perbuatan bajik, dan kualitas moral sebagai Sunnah memainkan peran utama. Agama orang Arab, yang berbeda dalam kekuatan dan keutamaan dari satu tempat ke tempat lainnya di seluruh jazirah, aslinya adalah penyem bahan terhadap lambang-lambang suku, yang kemudian menjadi identik dengan kekuatan alam tertentu, dilambang kan dengan dewa-dewa. Dewa suku, disimbolkan dalam batu suci (nasab), disebut tuhan (rabb) kuil itu. Allah, dewa tertinggi tempat berlindung orang Makkah, dilukiskan sebagai Rabb al-Ka'bah atau Rabb Hadza al-Bait. 19 Penting untuk dicatat bahwa kata rabb sering diacukan bukan kepada dewa tapi kepada pewenang tempat suci.
Tidak ada hirarki kependetaan yang terorganisasi di sana, kecuali klan yang bertugas sebagai penjaga tempat suci. Penjagaan ini berlanjut dari generasi ke generasi. seiring dengan reputasi bagi keturunan suci.20 Kesucian ini, yang mempunyai sumber asalnya dalam kekuatan magik diatributkan dinisbahkan kepada berhala yang mereka sem bah, berkait erat dengan ide keningratan ras alias kebang gaan sebagai turunan ningrat. Kebangsawanan klan didapat lewat turunan, sedang mapan klan kependekatan yang sudah mewakili aristokrasi tertinggi di Arabia pra-Islam. Jejak jenis orang Arab, khususnya Arab Selatan, bahwa anggota keluar ga tertentu memiliki kharisma atau kekuatan spirituil, atau kemuliaan. Pengawas tempat suci dan "kehormatan" (Sya raf) difahami sebagai dua kata yang tak dapat dipisahkan.21
[Lane, Lexicon, V, hal-hal. 2020 dan seterusnya. Yaqut, seperti dikutip di atas, III, hal 471 Quran, CVI, 3 Ibn Hisyam, 1, hal. 126; 'lad, III, hal 333 Mengenai ini lihat R. B. Serjeant "Haram and Hawthan, The Sacred Enclave: in Arabia", dalam Melanges Thaha Husain, edisi 'Abdurrahman Badawi (Kairo, 1962), hal 42 dan seterusnya; dan "The Saiyids of Ha]
Hasilnya, kependetaan di Arabia seringkali digabungkan de ngan kepemimpinan suku, bahkan dengan kepangkatan raja. Kita dapat melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa kepemimpinan politik di sana, pada dasarnya berwatak reli gius dan kependetaan. Lembaga mukarrib Arabia Selatan yang monarkis itu, adalah bukti jelas jabatan pendeta raja yang mencakup sekaligus otoritas keagamaan dan ke duniaan.
Klan-klan penguasa politik dapat memperoleh status keningratan yang besar setelah memperoleh kekuasaan mela lui cara-cara politik, namun bagaimanapun, mereka tak dapat menyamai tingkat turunan suci. Sebagai contoh dapat dikemukakan, bahwa raja-raja Kinda hanya berada pada ranking ketiga setelah keluarga kependetaan yang paling luhur. Tiga keluarga itu setelah keluarga Hasyim b. 'Abd Manaf di kalangan Quraisy adalah: az-Zurarah b. *Udas dari suku Tamim. Al-Hudzaifah b. 'Abdullah b. Hammam dari suku Syaiban. Dalam hal ini, Kinda tidak ter masuk ahlal-buyutai, meskipun mereka adalah para raja.? 2
Jelas sudah bahwa tidak hanya status religius yang merupakan landasan bagi kepemimpinan politik, tetapi bila kepemimpinan politik didapat oleh orang yang bukan dari klan yang religi, kepada mereka dipaksakanlah fungsi fungsi keagamaan, antara lain sebagai perantara antara ma nusia dan dewa. Maka, gagasan kepemimpinan suku dan pengabdian kepada Tuhan menjadi sejalan. Mereka yang me mimpin suku dengan sendirinya pengawal bait suku itu. Mereka adalah ahl al-bait ("orang dalam”), atau bait suku si anu.? 3 Klan-klan terkemuka ini bersama-sama memben tuk status ningrat Arabia. buvutat al-'Arab. 24 Bahkan
[dhramaut". BSOAS, XXI (London, 1957); juga Ibn Durayd, Isyriqaq. hal 173 Ibn Durayd, seperti dikutip di atas, hal. 238; Aghani, XIX, hal. 128; Tad, III, hal. 331 dan seterusnya. Ibn Hisyam, I, hal 143, 145; 'lqd, III, hal 313, 333; Ibn Durayd, diku tip di tempat yang sama: Serjeant, "Haram and Hawthah", hal. 43 El articles "Ahl al-Bair" dan "Buyutat al-'Arab"]
kemudian, ketika arti ahl-al-bait dibatasi hanya kepada ke turunan Nabi Muhammad, istilah buyutat al-'Arab bertahan sampai pada abad sesudahnya, dalam arti aristokrasi dan ke ningratan suku. 25
Terhadap latar belakang inilah kita harus meninjau status Banu Hasyim yang tidak hanya sebagai kalangan orang Makkah, tetapi dalam lingkup yang lebih luas, meng ingat hubungan luas mereka dengan orang di berbagai tem pat melalui pertemuan tahunan pekan raya 'Ukadz dan haji ke Ka'bah. Sebagian sarjana Barat secara skeptis memper soalkan apakah para leluhur Nabi Muhammad memang mempunyai kedudukan penting. keningratan dan pengaruh. sebagaimana dilaporkan berbagai sumber, dan mereka biasa nya mengklaiin bahwa keutamaan Banu Hasyim sesungguh nya hanya sesuatu yang dilebih-lebihkan. Dasar keraguan
ini karena Abbasiyah, turunan Hasyim, telah mendapat saingan mereka, yakni Umayyalı, turunan 'Abd Syams, dan bahwa yang disebut kedua diperlakukan secara tidak sim patik oleh para sejarawan yang kebetulan menulis di bawahı rezim Abbasiyah.
Karena alasan ini, dikatakanlah bahwa Hasyim dan ke luarganya, moyang para khalifali Abbasiyah, telah diberikan keutamaan lebih besar dalam sejarah ketimbang yang se sungguhnya mereka miliki. Keseluruhan hipotesa ini, bagai manapun, terbuka untuk kritik. Penelitian yang saksama ter hadap berbagai sumber mengungkapkan bahwa hal itu tak
terjadi sampai kepada tingkat yang berlebihan, dan bahwa tidak ada dasar bagi anggapan pemalsuan serius atau penye lewengan dalam skala besar dalam menampilkan leluhur Muhammad. 26
Tak perlu menengok sampai kepada Qushayy, ayah 'Abd ad-Dar dan 'Abd Manaf, kepada siapa bukti sejarah yang kabur menampilkan sebagai penguasa tertinggi Makkah
Serjeant, dikutip di tempat yang sama Lihat W. Montgomery Watt, Muhammad at Mecca (Oxford, 1953) hal 31; Serjeant, "The Saiyids of Hadhramaut", hal 7
yang tak tertandingi baik dalam agama maupun dalam masa lah politik.27 Setelah kematian Qushayy, 'Abd ad-Dar me warisi otoritas ayahnya, tetapi ia mati muda dan putranya terlalu muda untuk secara efektif melestarikan hak-hak me reka. 'Abd Manaf, putra bungsu Qushayy, menjadi saingan berat abangnya dan akhirnya mengkonsentrasikan sebagian pos penting ayahnya ke dalam tangannya setelah kematian 'Abd ad-Dar.2 8 Pada akhirnya anak-anak 'Abd Manaf me warisi pengaruh ayah mereka; di antara mereka, Hasyim, meskipun paling bontot, dipercayakan dengan jabatan-ja batan paling terhormat menyangkut Ka'bah, ar-rifadah dan as-siqayah, menyediakan makanan dan air bagi jama'ah haji.? 9 Tidak cukup dasar untuk meragukan laporan yang diberikan hadis, bahwa Hasyim mencapai sukses dan keja yaan besar dalam hidupnya lantaran tindakan tindakannya yang demi berorientasi kepada kesejahteraan umum, dan melalui keramah-tamahan yang istimewa kepada rombongan haji yang mengunjungi Ka'bah dari seluruh pelo sok Arabia. 30 Ketika Hasyim meninggal, ia digantikan sau daranya al-Muththalib. Untuk beberapa waktu singkat, tam pak bahwa keberuntungan keluarga itu merosot di bawah kepemimpinan Al-Muththalib, tetapi segera pulih kembali di bawah anak Hasyim yakni Abdul-Muthalib yang dibe sarkan di Madinah bersama ibunya, dan kemudian diboyong ke Makkah oleh pamannya, Muththalib.31
Ibn Hisyam, l' hal. 131 dan seterusnya; Azraqi, Akhbar Makkah, I, hal 64 dan seterusnya; Ibn Sa'ad, I, hal 69 dan seterusnya; 'lqd, III, hal 312 dan seterusnya. Ibn Sa'ad, I, hal 74; Azraqi, Akhbar, I, hal 66, menyatakan bahwa 'Abdu Manaf tidak hanya menguasai ar-rifada dan al-siqaya, tetapi juga al.qiyadan, kepemimpinan Makkah. Ibn Hisyam, I, hal. 143 dan seterusnya; Ibn Sa'ad, I, hal 78; Azraqi, Akhbar, I, menyatakan bahwa setelah 'Abd Manaf, jabatan ar-rifada dan as-siqayah beralih ke Hasyim, dan al-qiyadah diberikan kepada 'Abd Syams. Ibn Hisyam, dikutip di tempat yang sama; Ibn Sa'ad, dikutip di tempat yang sama Ibn Hisyam, I, hal 145 dan seterusnya; Ibn Sa'ad, I, hal. 81 dst.
Putra lain Hasyim meninggal tanpa meninggalkan anak lelaki, Abdul-Muthalib mengepalai urusan keluarga, yang berarti fusi de facto Banu Hasyim dan Banu Abdul-Muth thalib. Ini bukan tempatnya untuk membicarakan apakah benar keluarga Hasyim pada waktu itu makmur dan ber pengaruh terhadap masalah intern penduduk Makkah seperti sediakala. Sumber yang sama, yang terlalu sering mencurigai penyelewengan dalam menampilkan moyang Muhammad dalam situasi yang sangat menguntungkan itu, tidak segan segan menyatakan bahwa betapa Abdul-Muthalib meng hadapi kemerosotan serius pada awal karirnya. Jabatan ar-rifadah dan as-siqayah yang hebat itu menjamin keluarga Hasyim pengaruh yang menentukan dan permanen, dan kiranya lumrah bahwa dengan kebajikan jabatan ini kemasy huran luas keluarga ini di mancanegara, tak terelakan, paling tidak. bagi sebagian yang punya hubungan di Makkah. Abdul-Muthalil tampaknya orang yang gesit dan ener gik32 syarat utama menjadi orang terkemuka dalam aris tokrasi saudagar Makkah. Ia secara gemilang miengangkat kedudukannya dengan memulihkan sumur Zamzam kuno. Dalam perjalanan waktu, ia menjadi penjaga utama Ka'bah dan juga dipandang sebagai hakim kondang bagi hukum adat. Karena posisinya sebagai satu-satunya orang yang ber tanggung jawab terhadap pelayanan utama menyangkut tempat suci yang paling dihormati di Jazirah itu, ia menjadi salah satu, kalau bukan satu-satunya, tokoh Makkah yang paling terkemuka. Ibn Sa'd dan Ibn Hisyam mengatakan baliwa, "ia adalah pemimpin Quraisy hingga akhir hayat nya." dan bahwa "kebesarannya dalam kehormatan (sya raf) memperoleh kedudukan ningrat yang tidak satu pun dari bapak-bapaknya mencapai tingkat seperti dia. Dia memiliki wibawa yang besar dan sangat dicintai kaum nya.'
Setelah Abdul-Muthalib wafat, anak sulungnya yang
[Bandingkan dengan Mongomeri Watt, Muhammad at Mecca, hal. 31 Ibn Sa'ad, I, hal. 85; Ibn Hisyam, I, hal. 150]
masih hidup, Abu Thalib, mewarisi kedudukan ayahnya. Namun, tampaknya, Abu Thalib tak sekaliber dan sehebat ayah dan kakek-kakeknya. Akibatnya, keluarga itu kehi langan sebagian kekuasaan dan wibawa yang sebelumnya dimiliki dalam siklus inti masyarakat aristokratik Mak kah.34 Bagaimanapun, tidak dengan sendirinya bahwa me rosotnya keuntungan materiil keluarga itu diikuti oleh hilangnya, dalam pikiran orang, kenangan atas masa silam mereka yang baru berlalu. Penghormatan kepada tiga atau empat generasi pengganti yang kondang tak dapat pudar be gitu cepat, khususnya di kalangan kelompok luar Makkah. Tempat suci Ka'bah, rumah ibadah yang sangat tua, adalah pusat peribadatan yang sangat penting dan populer di Ja zirah itu.35 dan jabatan-jabatannya: as-siqayah dan imarat al-bait (penjaga Ka'bah) disebut dalam Qur'an.36 Peniasok air bagi jama'ah haji mestinya pekerjaan yang meng untungkan di Makkah di mana air sangat langka dan air Zamzam, yang segera kemudian menjadi bagian dalam ke sucian tempat ibadah itu, tidak hanya dibutuhkan rombong an haji tahunan, tetapi juga oleh kafilah besar para pedagang yang berhenti di Makkah.3 ? Banyak penulis terdahulu men catat hal-hal detil mengenai pengaruh universal Ka'bah, ten tang kontak luas orang Makkah mengingat ia pusat bagi ka filah dagang dari Yaman di Selatan, dari Daumat al-Jandal di paling Utara, dan dari tempat-tempat jauh, dan tentang 'Ukadz, pekan raya tahunan Arab yang terbesar. Karena itu, wajar bahwa pelayanan bagi menyangkut tempat suci dan dilayani oleh keluarga Hasyim untuk periode panjang me luaskan kemasyhuran dan prestise keluarga itu hingga sampai kepada kawasan yang sangat luas ketika rombongan meninggalkan Makkah. Dengan demikian kita dapat me
[Bandingkan dengan El' articles "Abu Thalib" Tema berulang dalam Quran, ilustrasi terbaik dalam II, 126-7 IX, 19 Lihat Muhammad Hamidullah, "The City State of Mecca", IC“ XII (1938), hal 266]
nyimpulkan bahwa di waktu kemunculan Muhammad, ke luarganya masih menyimpan kejayaan dan kenangan atas turunan sakral Hasyim yang berjalan lama meskipun keber untungan materiil dan politik keluarga tersebut pada waktu itu berada pada tingkat yang rendah. Paling tidak, secara psi kologis, karya dan perbuatan tiga generasi pendahulu terse but dapat dilenyapkan dari kesadaran orang-orang diluar Jazirah, meskipun mereka mengalami kemerosotan men dadak dalam hal harta dan kekuasaan politik pada generasi sesudahnya, di Makkah. Banu Hasyim umum diakui oleh orang Arab sebagai para pengawal rumah suci (Ahl al-Bait) Makkah.38
Dalain latar belakang keluarga inilah Muhammad bang. kit sebagai Utusan Tuhan dan pemulih Sunnah religius yang benar, yakni Sunnah Ibrahim dan Isma'il3 9 yang telah disele wengkan oleh orang-orang melalui rentangan abad. Ibrahim tidak hanya dikenal orang Arab sebagai bapak dan leluhur kabilah mereka, tetapi diakui pula sebagai pendiri tempat suci Ka'bah dan Makkah. Tradisi ini bukan legenda Muslim. Jika bukan karena kebenaran yang telah diterima jauh sebe lum Muhammad, ia tak akan disebut dalam Quran sebagai kenyataan yang diakui; juga tempat-tempat suci sekitar Ka' bah pra-Islam tidak akan dikaitkan, dengan nama Ibrahim dan Ismail, sebagaimana yang kita tahu. • Nabi Muhammad sadar betul akan adanya keterkaitan antara Ibrahim dengan Ka'bah yang populer dan berakar dalam. Orang Arab pada umumnya, dan empat generasi pengganti pada khususnya, sangat merasakan keterkaitan itu. Ibn Khaldun menunjuk bahwa hal itu dipandang sebagai sesuatu yang luar biasa dan sangat terhormat jika kepemimpinan berkesinambungan da lam satu dan keluarga yang sama untuk empat generasi.* 1
Ibn Hisyam, I, hal. 145; Thabari, I, hal. 2786 dst. Quran, S 2, 135-137 ibid, 2, 125 Ibn Khaldun, Proleg. I, hal. 289, bandingkan dengan Von Kremer Staat-sidee des Islam; terjemahan Khuda Bukhsy, Politics in Islam (Laho re, 1920) hal. 10
Semua faktor yang dibicarakan di atas berpadu mem bentuk latar belakang yang tak dapat dipisahkan, hal mana masalah penggantian terhadap Muhammad harus dipertim bangkan masak-masak. Sebagaimana telah ditunjuk di atas, masalah ini tidak hanya harus ditimbang dari titik pandang masyarakat Arab abad ketujuh, karena, Umat Muhammad di waktu kematiannya, terdiri dari orang-orang dari berbagai latar belakang, nilai dan gagasan, yang datang dari berbagai pelosok Arabia. Karena itu, wajar bahwa bermacam orang memandang masalah dari titik pandang yang berbeda-beda. Cara menyelesaikan masalah penggantian dalam pertemuan Saqifalı antara kematian dan pemakaman Nabi akan dibi carakan nanti sanıbil lalu, cukuplah kiranya dicatat di sini, bahwa keputusan yang diambil di Saqifah itu sejalan dengan praktek dan adat Arab kuno yang pupuler, setidaknya bagi satu kelompok penting di kalangan mereka.
Dua kelonipok utama yang menyusun Umat di saat wa fat Muhammad ialah orang Arab dari Arabia Utara dan Tengah, dari mereka ini suku Quraisy-lah yang paling pen ting dan dominan. orang-orang asal Arabia Selatan, Banu Qailah, yang dua cabang utamanya, Aus dan Khazraj, ber mukim di Yatsrib. Mereka dikenal sebagai kaum Anshar. (penolong), karena mereka memberi perlindungan dan rumah kepada Muhammad pada saat-saat genting misi Nabi itu. Berbeda dalam hampir seluruh aspek kehidupan -- SO sial, budaya, ekonomi keagamaan, dan bahkan agaknya rasial dan moyang -- antara Arab Selatan dan Utara sudah sangat dikenal sehingga tak perlu dirinci panjang lebar di sini. Goldziher, 4 ? Wellhausen,“ 3 Nicholson, 4 dan banyak sarjana terkenal lainnya telah mengkaji subyek ini secara da lam. Namun, harus digarisbawahi bahwa, menganggap selu
Muhammedanische Studien, terjemahan S.M. Stern dan C. R. Barber, Muslim Studies (London, 1967), I, hal 79-100
The Arab Kingdom and Its Fall; terjemahan M. Weis (Calcutta, 1927), passim.
Literary History of The Arabs (Cambridge, 1969), hal 1 dst
ruh orang Arab sebagai suatu kelompok budaya tunggal, merupakan suatu kesalahan besar. Mereka tak pemah demi kian. Utara terpisah dari Tengah oleh padang pasir, sebagai mana Selatan terpenggal dari Arabia lainnya oleh Rub'al Khali. Kondisi geografi dan ekonomi yang besar perbedaan nya, memainkan peran tak terhindarkan dan lumrah dalam tiap aspek perkembangan dua keluarga se-ras ini. Orang Arab Utara dan Tengah, Hijaz, dan dataran tinggi Najd, berkembang mengikuti jalur berbeda dari orang Arab Ya man Selatan dalam karakter, cara hidup, dan institusi sosio politik dan sosio-religius. Sebagaimana dalam aspek kehi dupan lain, dua kelompok itu berbeda besar dalam kepeka an religius dan perasaan. Di kalangan masyarakat yang su dah lebih maju dan lebih beradab di propinsi-propinsi Arabia Selatan, terdapat jelas ide-ide keagamaan yang ung gul, sedangkan perasaan religius orang Utara jelas sekali ku rang. Pangeran Arabia Selatan. umpamanya, di prasasti pemenuhan nazar bersyukur pada tuhan-tuhan yang telahı membuat ia menang atas musuh-inusuhnya, menusuk para prajurit mendirikan tugu peringatan pemenuhan nazar atas pertolongan Tuhan atas keberhasilan apa saja yang mereka capai. Secara umum, syukuran dan perasaan tawadhu ter hadap tuhan-tuhan merupakan tema pokok berbagai monu men orang Arabia Selatan. Berbeda sekali dengan ini, para pendekar Arabia Utara mengumbar kegigihan heroik dan ke beranian sahabat-sahabat mereka. Mereka tak merasa wajib berterimakasih kepada kekuatan ilahi atas kesuksesan me reka, meskipun mereka tidak menolak untuk mengakui ada nya kekuatan-kekuatan itu.4. Bahkan secuil perasaan perasaan religius yang adem ayem itu yang masih ada di kalangan Arab Utara tersebut tak dapat dipisahkan dari pengaruh Arab Selatan yang bermukim di Utara. 6 Per bedaan dalam sentimen religius ini tentu saja tercermin da lam pola kepemimpinan suku mereka. Para tetua atau
[Goldziher, Muslim Studies, I, hal. 12-13 ibid. hal 14]
syeikh-syeikh di Utara selalu dipilih berdasar prinsip seniori tas dalam usia dan kemampuan dalam kepemimpinan. Ka dang kala terdapat pertimbangan lain, seperti kebangsawan an dan prestise langsung, tetapi di Selatan hal ini justru ku rang penting. Orang Arab di Selatan, di pihak lain, biasa dengan penggantian kepemimpinan berdasar turunan karena kesucian turunan itu. Karena kenyataan inilah para kabi lah Arabia Selatan, Aus dan Khazraj, di Yatsrib, menghadir kan iklim yang lebih mudah terpanggil kepada pemikiran ke agamaan yang sangat penting dalam keberhasilan Muham mad. Jadi kita boleh beranggapan bahwa mayoritas orang Arab Utara memahami Islam, paling tidak, pada tahap awal penerimaan mereka, sebagai disiplin sosio-politik berdasar agama yang diajarkan Nabi, toh mereka adem ayem saja terhadap perasaan religius. Aus dan Khazraj, aslinya orang Arab Selatan, memahami Islam pada dasarnya sebagai di siplin keagamaan berpadu dengan gerakan sosio-politik, karena dalam budaya masa lalu mereka, meskipun sudah jauh, mereka lebih peka terhadap agama. Ini hanyalah masa lah penekanan dalam pendekatan dan pemahaman, paling tidak pada awal responsi spontan.
Ketika Nabi wafat, persoalan penggantiannya difaha mi sebagai menggabungkan kepemimpinan politik dan reli gius, suatu prinsip yang dikenal baik oleh orang Arab, mes kipun, tentu saja, dengan tingkat penekanan yang berbeda pada salah satu dari dua aspek ini. Bagi sebagian orang, po litik lebih diperhatikan ketimbang religius; sedang bagi yang lain, religius lebih diberi perhatian ketimbang politik. Mayo. ritas Muslim, yang mudah menerima Abu Bakar, lebih mem beri tekanan pada sisi sosio-politik dalam penerimaan prose dur adat penggantian kepemimpinan dalam interpretasi baru yang diberikan khalifah pertama itu, sebagaimana akan kita kaji, kemudian. Mereka, secara luas, jika bukan melulu, mengabaikan prinsip keagamaan dan gagasan kesakralan tu runan bagi keluarga tertentu. Asumsi ini didukung kuat oleh pernyataan Umar b. Khaththab kepada Ibn Abbas, "Orang tak suka kerasulan dan khilafat berada sekaligus di tangan
Banu Hasyim."47 Kita harus menyetujui bahwa kedua nya, Umar dan Abu Bakar, sadar betul pentingnya gagasan warisan kesakralan dipegang satu golongan Umat. Pada saat bersamaan mereka mestinya juga sadar bahwa jika pemi lihan Abu Bakar dibuka untuk dipertanyakan, kesatuan Umat akan menghadapi bahaya serius. Bagaimanapun, me reka menganggap perlu menceraikan khilafat dari kepe ngurusan turun menurun pada Ka'bah, yang terabadikan dalam kesakralan turunan Banu Hasyim.
Pihak lain, terutama orang-orang Arabia Selatan, ber pikir bahwa dalam kepemimpinan Makkah, bersama-sama dengan hak istimewa kependetaan, diwariskan dalam klan 'Abd Manaf lewat Hasyimiyah, 48 meskipun setelah kema tian Abdul-Muthalib mereka dibayang-bayangi oleh Banu Umayyah dalam perkara politik. Kebangkitan Muhammad sebagai Utusan Tuhan dan pemegang otoritas tertinggi di Arabia, lagi-lagi membawa Banu Hasyim ke tampuk keku asaan, suatu fakta yang diakui dengan menyerahnya Abu Sufyan kepada Nabi ketika Makkah jatuh. Bagi sebagian sa habat, karena itu, pilihan logis pengganti Nabi normalnya jatuh ke tangan turunan Hasyim yang lain dan keseluruhan masalah penggantian kepemimpinan komunitas Muslim, bagi mereka, merupakan problema keagamaan yang sangat ber arti. Selain kebijakan politik, pertimbangan religius yang berakar dalam harus diperhitungkan melalui para Sahabat tertentu. Mereka ini, kita dapat menyebut mereka para individu berpikiran lebih legalistik tak dapat menyetujui in terprestasi yang disodorkan Abu Bakar dan para pendukung nya, karena seperti yang akan kita lihat nanti, mereka me mahami kepemimpinan komunitas berada di atas jabatan re ligius. Bagi mereka, Muhammad adalan pemulih agama be nar Ibrahim dan Isma'il, dan karena itu didirinya kesakral
Tabari, I' hal. 2769 dst Kebanyakan pendukung Ali di awal perselisihan atas khilafat adalah orang-orang asal Arabia Selatan dan cukup jelas dalam pembelaan mereka terhadap klaim Ali berdasar pijakan religius.
an turunan klannya menjangkau tingkat tertinggi. Ide ini pun didukung kuat oleh Qur'an ketika memaklumatkan, misalnya, "Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga 'Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing).'*9 Para pengulas yang se cara bulat menjelaskan bahwa Muhammad termasuk "ke luarga Ibrahim" merupakan acuan ayat ini. Jadi ketika ia meninggal penggantinya haruslah orang dari keluarga yang sama dan dikaruniai kualitas-kualitas yang sama melalui prinsip-prinsip yang sama pula.
Dalam kaitan ini, harus diperhatikan konsep Qurani seputar keluarga agung dan bijak, yang sokongannya di mata Tuhan bersumber dari amal dan pengabdian saleh di jalan Allah. Sepanjang zaman, para Nabi secara khusus, prihatin akan jaminan bahwa sokongan Tuhan dilimpahkan kepada mereka untuk tuntutan manusia dipelihara dalam keluarga mereka dan berlanjut pada turunan mereka. Quran berulang ulang berbicara mengenai para Nabi yang berdoa kepada Tuhan untuk anak-cucu mereka dan memohon kepada-Nya melanjutkan tuntunan-Nya dalam keturunan mereka. Dalam jawaban terhadap doa ini, ayat-ayat Quran membawa bukti langsung akan sokongan khusus Tuhan yang dijamin kepada keturunan langsung para Nabi untuk menjaga keutuhan janji (Covenant) ayah mereka, sehingga menjadi teladan yang benar dari kelurusan ayah mereka, dan tetap di atas jalan yang benar yang dicontohkan para Nabi ini. Empat istilah digunakan berulang-ulang dalam Quran untuk mengungkapkan sokongan Allah bagi anak-cucu Nabi: Dzurriyah, Al, Ahl, dan Qurba.
Kata Dzurriyah, bermakna anak-cucu, keturunan, atau keturunan langsung, telah digunakan dalam tiga puluh dua ayat Quran. Ini digunakan, baik dalam hubungan langsung dengan Nabi-Nabi sendiri agar anak-keturunan mereka tetap berada di jalan mereka maupun tugas tuntunan mereka dilanjutkan kepada anak-cucu mereka. Sering kata
ini digunakan dalam ayat-ayat di mana para Nabi mengklaim bahwa Tuhan telah memilih mereka sebagai model kebajik an berdasar turunan langsung mereka dari Nabi-Nabi lain. Prihatin kepada anak-cucu Nabi ini direfleksikan dalam ayat (II, 124) di mana Ibrahim dikatakan Tuhan: "Aku akan menjadikan engkau Imam bagi kaummu.” Lalu Ibra him menanggap, "Dan bagaimana dengan anak-cucuku (Dzurriyah)?” Tuhan menjawab, "Janji-ku tidak meliputi orang-orang yang sesat." Dalam ayat semacam (14, 37) Ibrahim memohon kepada Tuhan:
"Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menem patkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.'
Doa ini merupakan jawaban menyenangkan ketika Tuhan berfirman (19, 58):
"Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi ni'mat oleh Allah, yaitu para Nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang kami angkat ber sama Nuh (dalam Perahu), dan dari keturunan (dzur riyah) Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah kami beri petunjuk dan telah kami pilih."
Istilah Al, bermakna lebih dekat atau hubungan ter dekat melalui keturunan ayah atau moyang yang sama atau keluarga atau kekerabatan seseorang, digunakan dalam Quran sebanyak dua puluh enam kali dalam hubungan dengan keturunan para Nabi, atau yang mengganti mereka dalam hidayat dan sokongan khusus dari Tuhan. Aya menggambarkan Muhammad sebagai orang dari ke Ibrahim telah dikutip di atas. Dalam ayat la kita dapati:
"Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muham mad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepada manusia itu? Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim (AI Ibrahim), dan Kami telah berikan kepadanya kerajaan yang besar.”
Kata Ahl, yang banyak digunakan dalam Quran, selalu berinakna sama dengan Al, meskipun ia juga digunakan dalam arti yang lebih luas dalam menunjuk kepada masya. rakat suatu kota atau penduduk, grup, atau pengikut pengikut. Bila digunakan dalam kata penghubung dengan istilah bait: Ahl al-bait, ia mengacu kepada keturunan langsung suatu keluarga atau keluarga tertentu dari "rumah” yang sama atau bait. Dalam bentuk gabungan ini, Ahl al-bait digunakan dalam Quran khususnya dalam menunjuk pada keluarga dekat Muhammad. Dalam ayat 33 Surat 33. kita dapati:
"Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilang kan dosa dari kamu, hai ahl al-bait (Muhammad) dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.”
Semua mufassir Quran sepakat dalam pendapat, bahwa istilah ahl al-bait dalam ayat ini menunjuk kepada Fathimah putri Muhammad, Ali sepupu dan menantunya, dan dua cucu kesayangannya, Hasan dan Husain.
Istilah keempat, qurba (dari akar kata qaruba, kede katan) berarti dekat atau hubungan daralı, kerabat, atau sanak. Seperti halnya dengan istilah Ahl al-bait, istilah qurba juga digunakan khususnya bagi kerabat dekat Mu hammad. Maka Quran (42, 23) mengatakan:
"Itulah (karunia) yang (dengan itu) Allah menggen birakan hamba-hamba-Nya yang beriman dan me ngerjakan amal saleh. Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kecintaan kepada kerabat(-ku)."
Tentang ayat ini, para mufassir sekali lagi bersepakat hulat bahwa kata quraba menunjuk kepada kerabat Muham
4 - Fathimah, Ali, Hasan dan Husain. Satu-satunya
ketidaksepakatan muncul setelah para mufassir Sunni memasukkan juga istri-istri Muhammad, sedangkan mufassir Syi'ah tidak demikian.
Jumlah total ayat yang mencantumkan permohonan bagi pelimpahan khusus dan jaminan bagi bermacam ke luarga Nabi oleh Tuhan, mencapai ratusan dalam Quran. Dari sini kita dapat menarik dua kesimpulan. Jika seseorang menerima dalil bahwa Quran diturunkan dalam kerangka yang dapat difahami dalam kondisi budaya Arabia abad ketujuh, maka dengan sendirinya bahwa gagasan kesakralan keluarga Nabi merupakan prinsip yang diterima secara umum pada waktu itu. Bahkan lebih penting dari itu adalah, kenyataan bahwa pengulangan Quran seputar gagasan ini tentu meninggalkan kesan di kalangan sebagian Muslim bahwa keluarga Muhammad memiliki prerogatif keagamaan atas yang lain.
Baik Banu Taim b. Murrah, klan Abu Bakar, maupun Banu 'Adi b. Ka'ab, kaum Umar, tidak pernah dipandang mulia dalam hal keagamaan manapun. Jadi golongan yang menekankan azas religius, tak dapat menerima mereka sebagai calon pengganti Muhammad. Kandidat hanya mungkin dari Banu Hasyim, dan di kalangan mereka, sosok Ali merupakan yang paling menonjol. Ia pun merupakan cicit Hasyim dan cucu Abdul-Muthalib; ia putra Abu Thalib, paman Muhammad, yang telah memelihara Nabi dan memberikan cinta ayah kepada Muhammad yang telah kehilangan ayah sebelum ia lahir. Ali adalah orang yang terdekat dan sekutu Muhammad yang paling dekat, karena Muhammad telah bertindak sebagai pelindungnya selama masa kelaparan Makkah, dan beliau kemudian mengadopsi nya sebagai saudara, baik sebelum Hijrah maupun di Madi nah.so la lelaki pertama yang memeluk Islam;s: Khadijah
Ibn Hisyam, I, hal 262 dst; II, hal. 150 dst; Baladzuri, I, hal 270; Ibn Habib, Muhabbar, hal. 70 Menurut Ibn Ishaq, Ali berusia sepuluh tahun ketika Muhammad pertama kali menerima wahyu dan orang pertama yang shalat bersama Nabi dan
Sambungan tautan selengkapnya :
https://drive.google.com/file/d/0B_l0We7EQa4JZGlySHJ6eEp1ZkU/view
Sambungan tautan selengkapnya :
https://drive.google.com/file/d/0B_l0We7EQa4JZGlySHJ6eEp1ZkU/view
Tidak ada komentar:
Posting Komentar