ilustrasi hiasan:
Tragedi Karbala adalah tragedi paling biadab dan paling memilukan dalam sejarah Islam. Dan salah satu pertanyaan klasik yang muncul ke permukaan berkaitan dengan tragedi kemanusiaan tersebut ialah haruskah kita mengisi kesyahidan imam Husain as.
Atau, berdosakah bila kita menangisi Tragedi Karbala? Atau dengan kata lain, apakah menangisi Imam Husain hanya tradisi dan rekayasa orang-orang Syiah
Buku ini berusaha menjawab dengan lugas dan praktis pertanyaan pertanyaan tersebut, sehingga Anda dapat menyimpulkan sendiri apakah tangisan Asyura' sunah atau bid'ah.
Bagian pertama dari buku ini diterjemahkan dari ceramah Syaikh Fadhil Maliki pada tahun 1999 M di Kuwait
Bagian kedua diterjemahkan secara bebas dari makalah : Al-Buka' wa ta'tsiruhu fi sulukil insan, karya Muhammad Taqi
Bagian kedua diterjemahkan secara bebas dari makalah : Al-Buka' wa ta'tsiruhu fi sulukil insan, karya Muhammad Taqi
Penerjemah : Tim Nuansa Ilmu
Penyunting : Mufakkir Mu`ashir
Penyunting : Mufakkir Mu`ashir
Diterbitkan oleh Penerbit Nuansa Ilmu Jl. Sukalila Utara No 16 Cirebon Jabar
Email: karva abadi@vahoo.com
Cetakan pertama : Muharram 1424 H/Maret 2003 M
Desain sampul : Mahdi Alcaff
DAFTAR ISI
Sikap Umat Islam terhadap Tragedi Karbala dan Syahadah Imam Husain
Analisa Kritis. Syahadah.
BAGIAN PERTAMA (Syaikh Fadhil Maliki)
Perdebatan Seputar Tangisan atas Imam Husain
Makna di Balik Terus Menerus Menangis
Menangis dan Bentuk Keluh kesah (Jaza“)
Dua Dimensi dalam Tragedi Karbala
Pesan di Balik Tangisan Fatimah
Tangisan Ya'qub
Apa yang Membuat Mata Ya'qub Buta?
Hikmah di Balik Tangisan Ya'qub
Bentuk Jaza' (Keluh Kesah) yang Dibolehkan
Ma‘tam yang Pertama Kali
Tujuan Menangis atas Imam Husain
BAGIAN KEDUA
(Muhammad Taqi)
Mukadimah
Keadaan Manusia
Tangisan dan Manfaatnya dalam Al-Qur'an
Menangis dalam Pandangan Hadis.
Usaha untuk menangis.
Tangisan adalah senjata orang mukmin.
Mengapa menangisi Imam Husain?
Hati nurani yang mati
Menjerumuskan diri pada kehancuran.
Masyarakat yang keras hati
SIKAP UMAT ISLAM TERHADAP TRAGEDI KARBALA DAN SYAHADAH IMAM HUSAIN
Berbagai tanggapan sikap dan pernyataan sering dilontarkan oleh banyak pihak sehubungan dengan peristiwa ini yang nantinya dikenal sebagai peristiwa berdarah di tanah Karbala. Mulai dari yang bernada mendukung dan yang menyetujui seluruh pengorbanan Al-Husain yaitu kelompok yang pro, sampai pada kelompok yang netral yang menempatkan dirinya pada posisi yang aman yaitu tidak memihak sama sekali, tidak berbicara dan tidak pula diam serta menanggapinya dengan sangat dingin, hingga sampai pada kelompok terakhir yaitu kelompok yang kontra dan menilainya sebagai satu kesalahan yang justru berada pada pihak Al-Husain yang dengan sadar melakukan gerakan agitasi, dan pemberontakan terhadap penguasa yang sah.
Sekelompok orang menilai kepergian Al-Husain ke medan jihad amatlah disesalkan yang dianggapnya mengotori dan menodai kesucian Islam dan keluarga Rasul pada khususnya. Tidaklah layak seorang cucu Nabi yang mulia melepaskan pedang kemarahan di tengah umat yang tengah “membangun"
Memberontak terhadap penguasa adalah tindakan yang salah dan berdosa karena sang khalifah, Yazid putra Mu'awiyah, adalah penguasa yang sah dan dipilih dengan cara yang benar pula.
Mereka pun mengatakan bahwa bentuk perlawanan Al-Husain tidak lebih dari dendam kesumat atas kematian ayahnya Ali bin Abi Thalib as. yang bagaimanapun juga insiden berdarah di Masjid Kufah menjelang fajar tersebut dipicu oleh penguasa wilayah Syiria saat itu yaitu Mu'awiyah. Alhasil, peristiwa itu menurut kaca mata mereka adalah kejadian yang diilhami oleh kepentingan pribadi Al-Husain semata untuk merebut, dan menguasai tampuk pimpinan kekuasaan Islam pada saat itu. Sehingga masih menurut mereka, terbunuhnya Al-Husain beserta seluruh keluarganya kecuali beberapa orang saja, adalah sesuatu hal yang logis dan tak terhindarkan demi stabilitas dan keamanan negara saat itu. Asumsi dan pernyataan-pernyataan di atas boleh dikatakan nyaris punah dan tidak ada sama sekali di zaman ini. Kalau toh ada adalah kelompok yang lebih sopan dari yang mengeluarkan pernyataan di atas yaitu kelompok yang tidak memihak, tidak menilainya, masa bodoh, tidak pernah menyesali tragedi tersebut, tidak memuji dan tidak pula mendukungnya.
Kelompok ini biasa disebut sebagai kelompok tengah atau kelompok yang dengan sadar menempatkan dirinya pada posisi yang netral sehingga aman.
Bagi mereka terseret pada pemihakan satu kelompok tentu merupakan kemunduran besar dan sangat berbahaya, lebih-lebih kaitannya dengan semangat persatuan Islam. Kelompok tengah ini makin yakin dengan mengatakan bahwa di era seperti sekarang ini kembali menghembuskan peristiwa dan luka adalah satu perbuatan yang naif, sia sia, bid'ah dan menjurus kepada perbuatan dan tipu muslihat syetan, yang selalu tidak pernah tenang melihat umat bersatu.
Mereka pun menambahkan, menghukumi seseorang atas sorga atau neraka apakah tidak mendahului keputusan Tuhan? Bukankah memaafkan kesalahan terhadap sesama adalah lebih baik daripada memendam dendam kesumat.
Mereka pun dengan lirih mengatakan “sudahlah untuk apa menyesali segala sesuatu yang sudah terjadi, apalagi dengan menangisi kepergiannya, itu perbuatan bi dah, pertanda tidak ikhlas, dan perbuatan dosa yang besar dan ujung-ujungnya nanti anda akan menuhankannya, Al-Husain-kan manusia biasa, jangan dilebih lebihkan dia hingga memunculkan mitos seperti sekarang ini.”
Lebih jauh lagi mereka menambahkan bahwa orang pada kelompok ini dengan sengaja telah memanfaatkan momen Karbala untuk mencoba memunculkan isu-isu kepiluan dan kesedihan dalam rangka mengambil hati dan simpati kelompok umat yang lain.
Namun benarkah sangkaan, pendapat dan keyakinan kelompok kedua ini yang konon diikuti mayoritas kalangan Muslim?
Penulis akan mencoba untuk menjawab beberapa bagian tertentu saja dari beberapa keberatan kelompok kedua di atas, yang kami pandang sangat urgens persoalannya. Yang nantinya secara tidak langsung menjawab berbagai asumsi yang lain, yang memang saling terkait satu dengan yang lain. Penulis akan berupaya untuk menghimpun dari banyak sumber terutama tulisan-tulisan dari berbagai artikel karya Dr. Ali Syari'ati berkenaan dengan tema syahadah yang kami anggap sangat layak untuk diturunkan di sini dengan menempuh kajian telaah bebas.
Kelompok yang terakhir atau yang ketiga yaitu kelompok yang menyatakan dirinya sebagai barisan Al-Husain as. Mereka atau kelompok ini menaruh perhatian penuh atas peristiwa ini.
Kesedihan dan kepiluan tergores dengan jelas pada menunjukan ketidaktahuan golongan ini dalam melihat suatu masalah secara utuh.
Analisa Kritis
Di sini kami akan menukilkan salah satu analisa yang paling menarik dari mahzab Ahlul Bait. yang dalam hal ini diwakili oleh seorang intelektual muda Islam, yaitu Dr. Ali Syari'ati yang sengaja kami pilih untuk menjawab keyakinan-keyakinan di atas.
Beliau mengatakan, bukannya Imam Husain as. menyatakan kepada penduduk Madinah saat itu bahwa “aku mengikuti tradisi kakek dan ayahku, aku akan meninggalkan Madinah dan mengajak orang-or ang ke arah yang baik, dan melarang yang buruk", maka beliau pun kemudian berkelana sejauh 600 Km dan tiba di Mekah secara terang-terangan disertai oleh keluarganya dan jamaahnya. Kemudian sesampainya di Mekah, beliau (Imam Husain a.s.) memberitahukan kepada para jamaah haji vang datang ke Mekah dalam rangka menjalankan ibadah haji, “aku akan menemui ajalku.”
Tentu orang yang sedang merencanakan suatu pemberontakan politik tidak akan berbicara seperti tersebut, melainkan ia akan mengatakan, “aku akan maju perang dan membunuh, aku akan menaklukan dan aku akan membinasakan musuhku." Namun Imam Husain a.s. berkata kepada orang-orang itu, “kematian bagi anak-anak Adam adalah seindah kalung yang menghiasi leher manusia.“
Lalu beliau pun meninggalkan Mekah menuju kematian. Maka bagaimana masih saja ada orang yang beranggapan bahwa hal itu adalah urusan pergerakan politik. Sudah barang tentu jika Imam bermaksud seperti itu, ia mesti harus benar-benar merahasiakan semua tujuan serta perjalanannya supaya tidak diketahui. Dan pada kesempatan ini pula, beliau secara resmi dan terang-terangan menyatakan niatnya tersebut kepada pemerintah, penguasa, gubernur dan masyarakat:
“Aku tidak mau memberi sumpahku; aku akan meninggalkan Mekah; aku akan hijrah ke Kufah; aku akan menemui ajalku; aku akan berangkat sekarang." Jika tiba-tiba masyarakat menyadari bahwa Imam Husain as. telah meninggalkan Mekah. Andaikata beliau meninggalkan kota ini secara rahasia. Jika beliau diam-diam hijrah dan atas bantuan suku-suku dan sampai ke Kufah dengan cara yang sama, seperti pada waktu Rasulullah hijrah dari Mekah ke Madinah. Maka setelah beberapa saat barulah Pemerintah Pusat sadar bahwa beliau telah sampai ke Kufah bersama kaum pemberontak lainnya. Kemudian barulah menjadi jelas bahwa Imam Husain as. telah memberontak terhadap pemerintah!
Akan tetapi bentuk pergerakannya, yakni kepergian beliau menggunakan kalifah, itu menunjukan bahwa Imam Husain as. telah bergerak dengan maksud lain. Tujuannya bukanlah untuk melarikan diri atau mengasingkan diri, beliau tidak menyerah dan mengesampingkan politik dan pemberontakan. Demi masalah intelektual, ilmiah; teologi serta moral dan bukan untuk revolusi militer. Lalu untuk apa? Persisnya untuk menegakkan kebenaran yang diruntuhkan oleh kebodohan dan kezaliman yang diciptakan tiran paling bejat yang pernah ada di muka bumi saat itu hingga sampai kapanpun. Apalagi kedudukan beliau sebagai Imam, sehingga beliau menganggap dirinya yang paling bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kelanggengan revolusi Tauhid yang dibangun oleh datuk beliau Muhammad Rasulullah saw.
Beliau pun bertanggung jawab untuk melindungi kebudayaan yang paling berharga serta kepercayaan masyarakat, karena kehancuran mereka menjadi sasaran utama pihak musuh yang amat keji itu. Sekali lagi, mereka ingin menciptakan suasa suasana kematian yang tidak dikenal, misterius, membuang orang-orang yang tidak disenanginya, merantai kaki tangan rakyat, memuja-muja kenikmatan, membeda-bedakan derajat, menimbun kekayaan, menjual belikan kepercayaan, kehormatan, menciptakan ketololan, agama barı, aristokrasi baru, jahiliah baru dan politisme baru.
Menganggap kematian dan terbantainya Al-Husain as. beserta keluargannya di padang Karbala sebagai hal yang mesti terjadi, logis dan tak terhindarkan kian membenarkan pernyataan-pernyataan sebelumnya, bahwa golongan ini atau kelompok ini sangat mengabaikan unsur-unsur dan seluruh aspek di dalam keimanan dan keberagamaannya.
Cukup banyak alasan untuk menyebutkan bahwa golongan ini yang praktis diwakili oleh kelompok yang pertama tadi telah keluar dari batas-batas kemanusiaan dan keimanan hal yang paling penting dalam mengikrarkan diri sebagai hamba Allah di dalam keberagamaan.
Sementara pernyataan yang menyatakan bahwa Imam Husain as. tidaklah pantas dan layak memimpin suatu pergerakan, dengan maksud menggulingkan penguasa, ternyata sama seperti yang dilakukan ulama-ulama dan penguasa Bani Umayah di saat itu. Semua kejadian baik yang sudah, sedang mengapa Imam Husain as memilih mati sebagai syahid di bumi Karbala? Kata syahid, dalam pandangan Imam Husain adalah mengandung bentuk tertinggi dan berarti hadir, memberikan kesaksian, seseorang yang memberikan kesaksian, di samping itu juga berarti sesuatu yang bijaksana. dan dapat dimengerti, kepadanyalah semua orang mengarahkan pandangannya. Akhirnya kata itu berarti model, pola dan contoh. Jadi, mati syahid mengandung arti bangkit dan memberikan kesaksian.
Dr. Ali Syari'ati mengatakan, lihatlah Husain a.s. bagaimana dia melepaskan hidupnya, meninggalkan kotanya dan bangkit untuk mati karena tidak memiliki senjata bagi perjuangannya demi mengutuk dan mempermalukan musuhnya. Dipilihnya itu untuk menyikap kedok-kedok yang menyelubungi wajah-wajah buruk dari rezim penguasa. Kalau dengan cara ini ia tidak dapat mempermalukan musuh-musuhnya itu, dan kalau dia tidak mampu menaklukkan rezim yang berkuasa itu, maka paling tidak ia dapat mengutuknya dengan cara menyuntikkan darah segar ataupun kepercayaan terhadap jihad ke dalam tubuh-tubuh mati dari generasi kedua. Kita lihat betapa baiknya ia (Imam) melaksanakan itu, dengan cara dan penalaran yang tepat; suatu kepergian dan hijrah yang mulia tepat dan terencana dengan baik, dipilihnya sahabat-sahabatnya secara khusus serta seluruh anggota keluarganya.
Kematian seluruh keluargannya maupun kematian dirinnya sendiri akan dapat memberikan kesaksian bahwa ia telah melaksanakan tanggung jawab pada waktu kebenaran tidak terlindungi dan tak berdaya sama sekali.
Pada tanggal 10 Muharram, Imam Husain mengusap darah anaknya Ali Ashgar kemudian dicipratkannya ke angkasa sambil berkata,
“ Lihatlah! Terimalah pengorbananku, jadilah saksiku, ya Allah." Pada saat itulah mati" bagi manusia memberikan jaminan kehidupan” suatu bangsa. Kematian itu merupakan protes berdarah terhadap kedaulatan yang sewenang-wenang dan merupakan jerit kemarahan di tengah kesunyian yang mencekam, dan akhirnya mati syahid merupakan satu satunya cara untuk melawan supaya kebenaran dan keadilan dapat tetap hidup pada suatu zaman di bawah rezim dimana kesia-siaan, kepalsuan dan penindasan berkuasa dan bukankah Rasulullah telah berkata kepada Imam Husien as.: "Allah ingin melihat engkau dibunuh"
Seseorang syahid tidak perlu disucikan, dikafani dan tak perlu mendapatkan hisab di hari kiamat. Karena itulah, maka pada malam Asyura' Imam Husain as. dengan hati-hati membersihkan diri, bercukur, dan mengenakan pakaian terbaik di tengah ancaman kematian. Pendek kata, mati syahid dalam budaya kita merupakan taraf, mutu, pangkat dan berbeda dengan mazhab-mazhab lain vang
menganggapnya sebagai suatu peristiwa, suatu keterlibatan, suatu kematian yang dialami seorang pahlawan, suatu tragedi.
Mati syahid bukan merupakan suatu pengangkatan melainkan tujuan, keaslian, kesempurnaan dan merupakan jalan tengah menuju puncak kemanusiaan tertinggi dan merupakan suatu kebudayaan. Mati syahid menggemakan panggilan kepada semua zaman dan generasi tentang cara memilih kematian terpuji di antara ajakan hidup terhormat.
"Kami nyatakan damai dengan orang-orang berdamai denganmu dan menyatakan berperang kepada orang yang memerangimu”. (Hadis Nabi)
"Kullu samin Asyura wakullu ardhin Karbala. Assalamu alaika ja Aba Abdillah. "
Ir. Saleh. M. Alatas
Bagian Pertama:
FALSAFAH MENANGIS ATAS IMAM HUSAIN
Oleh : Sveikh Fadhil Maliki
PERDEBATAN SEPUTAR TANGISAN ATAS IMAM HUSAIN
Semoga Allah SWT mencurahkan salam kepadamu wahai junjunganku dan pemimpinku, Abu Abdillah. Salam kepadamu wahai pemimpinku dan putra pemimpinku, wahai putra Rasulullah saw. Sungguh beruntung orang yang berpegang teguh dengan talimu dan sungguh aman orang yang berlindung di bentengmu. Wahai Tuhan kami, kami benar benar bersama mereka (ahlul bait) sehingga kami memperoleh kemenangan yang besar. Allah SWT berfirman: “Dan Yaqub berpaling dari mereka (anak anakına) serayu berkata: "Aduhai duka citaku terhadap Yusuf, dum kedua maianya menjadi putih (hura) karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amaralımja (terhadap anak-anaknya). Mereka berkata: "Demi Allah, senantiasa kamu mengingat Yusuf, sehingga kamu mengidap penyakit yang berat atau termasuk orang yang binasa." Ya'qub menjawab: "Sesungguha hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahumu." (QS. Yusuf: 84-86)
Banyak perdebatan seputar masalah menangis atas Imam Husain as.
Tangisan ini dianggap sebagai bentuk jaza' (keluh kesah yang tidak berguna). Kami pikir inilah (bulan Muharram) saat yang tepat untuk membahas tema ini. Banyak kesalahan, syubhat, dan kemusykilan yang dikemukakan berkenaan dengan persoalan ini. Agar kita menjadi mengerti terhadap syiar-sviar tentang Imam Husain yang biasa kita lakukan maka sudah semestinya kita membahas topik ini secara obyektif, argumentatif, logis sesuai dengan tuntunan Al-Qur'an, hadis dan akal. Kami akan mengambil manfaat dari nas-nas yang dijadikan acuan dan pijakan oleh Ahli Sunah dan Syi'ah. Sebab, kami meyakini bahwa problema Imam Husain bukan hanya problema yang menjadi "milik" Syi'ah namun ia sesungguhnya problema Islam. Namun seperti biasa peringatan tragedi Imam Husain lebih banyak diadakan oleh masyarakat Syi'ah ketimbang lainnya. Seharusnya seluruh kaum Muslim terlibat dalam peringatan syahadah Imam Husain. Kami melihat bahwa kaum Muslim yang berpikir obyektif (fair), bahkan mereka yang tidak menggunakan syiar-syiar tertentu, namun di hati mereka yang paling dalam terpancar loyalitas dan kesetiaan kepada sayyidus siuhada (penghulu para syahid). Seorang Muslim yang beriman kepada Allah SWT, setiap Muslim yang berpikir adil (tidak memihaki), meskipun bukan orang Syiah pasti menghormati dan menyucikan“ sikap Husain as dan terpengaruh dengan tragedinya. Selanjutnya. kita dapat katakan bahwa tragedi Imam Husain melampaui batas Islam dan menjamah ruang lingkup kemanusiaan secara umum. Berapa banyak orang non-Muslim yang terpengaruh dengan kisah Imam Husain, mengucapkan pujian padanya, bahkan menulis buku tentangnya, padahal tidak ada ikatan apa-apa antara mereka dengan Imam Husain. Namun pengaruh tidak akan menghasilkan sesuatu yang diharapkan kecuali dengan adanya interaksi pada masalah yang berkaitan dengannya. Jadi, yang memperoleh manfaat adalah sesuatu yang dipuji, bukan orang yang memuji. Adapun keadaan yang dipuji maka cukuplah anugerah (minhali) yang Allah berikan kepada ahlul bait dengan firma. Nya: "Sesungguhma Allah berkehendak untuk menghilangkam nisia duri kamu ahlul bait dan menyucikan kamu sesuci-sucinya." (QS. Al-Ahzab: 33) Dan cukuplah sabda Nabi saw: “Husain dariku dan aku dari Husain."
Dan cukuplah kedudukan Imam Husain sebagai penghulu pemuda surga (sayyidus syababi ahlil jannah).
MAKNA DI BALIK TERUS MENERUS MENANGIS
Seseorang biasanya menangisi mayit (orang yang meninggal) untuk beberapa saat lalu berakhirlah tangisannya. Mungkin ia menangis selama beberapa hari, seminggu, setahun, dua tahun, misalnya, lalu berakhirlah tangisannya. Adapun mayit yang ditangisi selama bertahun-tahun. sepanjang generasi sampai hari kiamat maka di sinilah letak rahasia kehebatan dan keutamaan tangisan tersebut. Semua agama dan kevakinan sampai sekarang pun menangisi orang yang meninggal sebagaimana kita menangisi Imam Husain. Sepanjang masa kita memperingati syalıcıdah Imam Husain dan menangis karenanya. Tentu dalam peringatan tersebut kita menunjukkan makna dan penghayatan yang dalam. Terkadang ada orang yang “puas" dengan membaca syair atau kasidah saat peringatan itu. Yang lain lagi merasa puas hanya dengan mengucapkan sekata dua kata. Sebagian umat memperingati para pahlawan dan para pejuangnya, misalnya, dengan mengadakan acara pesta dan kegembiraan. Sedangkan mengadakan peringatan terhadap orang yang meninggal dengan tangisan dengan cara seperti ini dan terjadi sepanjang masa maka ini tampak begitu menonjol saat kita mengenang peristiwa Karbala.
Nah, dari sini terlontar pertanyaan penting: mengapa kita terus menangis atas Husain? Bukankah seharusnya mayit ditangisi untuk beberapa saat lalu tangisan ini pun berakhir? Mengapa kita terus menangisi Imam Husain? Bukankah menangis atas mayit merupakan bentuk jaza' (keluh kesah)? Misalnya, seseorang yang ditinggal mati oleh ayahnya lalu ia menangis setiap kali ia mengingatnya. Bukankah kita menemukan-pada setiap tahun-majelis-majelis belasungkawa (majalis 'aza') di mana di dalamnya hadirin menangis tersedu-sedu untuk Imam Husain, terutama di hari pertama dari bulan Muharram sampai hari kesepuluh. Maka, keadaan seperti ini pasti mengundang pertanyaan. Seseorang yang menangisi ayahnya sepanjang hidupnya sampai ia mati maka banyak orang yang akan merasa heran dengannya. Pertanyaan yang muncutangisan atas Husain? Kami kira, jika kita mengetahui falsafah menangis maka kita akan mengetahui falsafah terus menerusnya tangisan ini. Yakni, ini adalah jawaban atas pertanyaan pertama tentang falsafah menangis. Bila kita mengetahui mengapa kita menangis atas Imam Husain maka kita mengerti mengapa kita melanjutkan tangisan ini. Jawaban pertanyaan kedua terlihat pada jawaban pertanyaan pertama.
MENANGIS DAN BENTUK KELUH KESAH (JAZA)
Ada beberapa fenomena yang kita anggap sebagai bentuk dari jara: Jaza memiliki dua bentuk: pertama, jaza' berarti keluarnya manusia yang tertimpa musibah dari kemampuan alaminya dalam mengekspresikan derita atau musibah. Kedua, jaza' bermakna mengerjakan sesuatu yang saat memuji orang yang meninggal. Misalnya, seseorang yang menentang hukum (keputusan) Allah SWT karena saking beratnya derita yang dialaminya. Contohnya dengan mengatakan, mengapa anak itu mati; mengapa tidak ditunda dua tahun lagi? Penentangan terhadap urusan Allah ini merupakan salah satu bentuk jaza'. Atau ia mengungkapkan penderitaan atas kepergian si mavit namun dengan cara-cara yang haram.
Ini juga termasuk jaza: Namun jasa seperti apa? Ini adalah jaza' yang dilarang. Namun ada bentuk jaza' yang tidak dilarang, yaitu jaza' al-mafrudh (jaza' yang terjadi di luar ikhtiar manusia).
Yakni ketika manusia tidak mampu mengendalikan kemampuan alaminya saat memuji orang yang mati. Misalnya, ada riwayat yang sampai pada kita tentang larangan memukul-mukul paha saat kita tertimpa musibah. Ini dianggap bentuk jasa', namun jaza' yang bagaimana? Ini adalah jaza' al-mafrudh, yang tidak mencapai tingkat keharaman.
Dari sini kita bertanya: mengapa kita menangisi Imam Husain. bahkan kita memukul-mukul bagian tertentu dari tubuh kita? Bukankah dalam pandangan masyarakat umum (urf) menangis dengan keras dan terus menerus menangis termasuk bentuk jaza"? Jadi, apa falsafah tangisan atas Imam Husain? Pertama, apa karakter dan tugas tangisan itu? Yakni, ketika saya menangis maka apa tugas dari tangisan itu? Tugas tangisan ialah: pertama, menghilangkan penderitaan dan kesedihan (at-tanfis anil alanı wal huzni). Kedua, interaksi dengan problema keagamaan (at-tafa 'ul ma'a qadhiyyah risaliyyah).
DUA DIMENSI DALAM TRAGEDI KARBALA
Problema keagamaan ini tidak mungkin akan tertanam dalam jiwa dengan hanya sekadar memikirkannya (penggunaan nalar) namun ia harus menyentuh emosi (perasaan) dan harus mengguncangkan hati. Anda saksikan bahwa banyak peradaban atau banyak teori atau disertasi para tokoh besar yang jenius yang bertahan untuk beberapa masa saja setelah itu hilang dan lenyap Namun sebagian darinya justru bertahan sepanjang masa dan abadi Mengapa demikian? Terkadang pemikiran kehilangan aktualitas dan ikatan emosional, sehingga dalam situasi-situasi sulit kadang kala pemikiran terkalahkan. Lagi pula, pemikiran hanya dipahami oleh sebagian orang yang memang spesialis di bidang ini, sedangkan mayoritas manusia umumnya lebih mudah berinteraksi dengan ikatan emosional dari suatu problem.
Bila problem menciptakan ikatan emosional maka ia akan memicu seseorang untuk membelanya, meskipun ia tidak memiliki argumentasi. Cukuplah ikatan emosional yang menjadi buktinya. Problema Imam Husain memiliki dua dimensi: dimensi rasional (janib fiki) dan dimensi emosional (janih 'athifi). Tragedi yang dialami Imam Husain tidak hanya dipahami oleh pemikiran (rasio); pemikiran adalah hal yang utama dan penting. Namun dalam menghadapi tantangan-tantangan yang berat biasanya manusia yang memiliki rasio terkalahkan. Sedangkan mereka yang memiliki ikatan emosional dan kesetiaan hati kepada Imam Husain justru tegar dan perkasa dalam menghadapi tantangan yang berat. Berapa banyak kita saksikan manusia yang mempersembahkan kepalanya, tangannya dan apa saja yang berharga karena adanya ikatan rohani dan emosi serta kesatuan dengan problema Imam Husain. Kesatuan ini harus tetap terjaga.
PESAN DI BALIK TANGISAS FATIMAH
Terkadang manusia menangis hanya karena sedih. Namun terkadang tidak ada yang menangis dengan tujuan mengabadikan suatu problema atau peristiwa. Misalnya, para sejarawan menceritakan bahwa Fatimah az-Zahra menangis atas Rasulullah saw, sehingga sebagian orang Madinah berkata kepada Sayidina Ali: Katakan kepadanya, apakah ia akan tetap menangis siang dan malam. Kami merasa tidak nyaman karena saking seringnya mendengar tangisan Fatimah. Lalu Fatimah menangis sepanjang malam di rumahnya, sedangkan di waktu siang ia berteduh di pohon arak dan menangis di tempat ini. Kemudian orang-orang datang ke tempat tersebut dan memotong pohon itu. Maka Imam Ali as. membangun rumah kesedihan (haitul alcan) di atasnya. Demikianlah Fatimah melewati hari harinya dengan penuh kesedihan. Beliau menangis di pohon tersebut di waktu siang dengan ditemani Hasan dan Husain. Dan menjelang Maghrib, Ali mengantar mereka pulang ke rumahnya; dan Fatimah melanjutkan tangisannya di sini di waktu malam. Tentu di antara kita ada yang bertanya: mengapa Fatimah menangis sampai batas seperti ini? Meskipun yang ditangisinya adalah Rasul saw yang agung dan kematiannya adalah musibah yang besar pula, tapi apakah Fatimah tidak cukup bersabar dan apakah ia tidak mampu menahan diri? Jika kita memahami tangisan hanya sebatas ungkapan kesedihan maka tentu kita akan bertanya-tanya seperti itu.
Namun pertanyaan itu tidak akan menggelinding bila kita memahami bahwa di balik tangisan tersebut menyimpan pesan tertentu: pesan pengingkaran (risalah istmkar), pesan kecaman (risalah jandich), dan pesan kutukan (risalah idanah) yang ditujukan kepada siapapun yang berkepentingan. Yakni, tangisan ini ingin menunjukkan bahwa di sana ada kezaliman. Atau dengan kata lain, tangisan ini merupakan suara lantang yang ingin mengatakan bahwa di sana terdapat kezaliman yang dialami
keluarga Muhammad saw (ahlul bait) sepeninggal Muhammad.
Dengan kalimat yang lebih jelas lagi, bahwa tangisan tersebut di samping membawa karakter syariat (thabi' syar'i). ia pun membawa pesan politik (thabi' siyasi). Dengan tangisan tersebut, Fatimah az-Zahra ingin menggerakkan dan memancing emosi; Fatimah ingin agar jiwa tergugah dengan problemanya dan penindasan yang dialaminya. Jangan Anda bayangkan bahwa problema Fatimah hanya sekadar kasus tanah Fadak, atau kasus penyerangan di rumahnya. Penyerangan atas rumah Fatimah adalah musibah yang besar, namun sebab-sebab yang melatarbelakangi penyerangan kaum merupakan musibah dan penyerangan yang hakiki. Yakni. penyerangan atas kedudukan (muqcm) ahlul bait sepeninggal Rasul saw: Di sinah letak musibah yang sesungguhnya. Kaum (orang-orang yang menyerang) itu ingin menyingkirkan kedudukan mulia ahlul bait yang telah Allah tetapkan bagi mereka. Sekali lagi, inilah musibah yang besar dan inilah pengkhianatan yang luar biasa. Keadaan tragis ahlul bait ini digambarkan oleh Imam Baqir dalam perkataannya: “Ketika Rasulullah meninggal, maka ahlul baitnya seakan-akan tidak dinaungi oleh langit dan tidak dilindungi oleh bumi.” Jadi, tangisan putri Nabi saw tersebut membawa pesan agama, bukan sekadar tangisan biasa. Oleh karena itu, Fatimah terus menerus menangis sehingga masuk dalam kelompok lima orang yang banyak menangis sebagaimana yang dinyatakan dalam riwayat Imam Shadiq as.
TANGISAN YA'QUB
Karena kami mengawali pembahasan ini dengan ayat-ayat yang mengemukakan kisah Nabi Ya'qub yang menangis hingga matanya buta, maka kami akan mengupas ayat tersebut. Dalam surah Yusuf disebutkan:
"Dan Ya'quh berpaling dari mereka," yakni dari anak-anaknya yang menyingkirkan Yusuf dan saudaranya Benjamin. Ya'qub berpaling dari mereka serau berkata: "Acului duka cituku.terhadap Susuf." Kata al asaf berarti sedih atas apa yang telah terjadi atau berlalu (al-huen ala ma fata). Sebagian sahabat berkata, Ya'qub mengucapkan "ia asafa". karena saat itu belum ada kalimat “ima lillah wa inna ilaihi raji'un" dan beliau belum mendapatkan ilham tentang kalimat tersebut. Ibarat yang ada saat itu adalah ungkapan ya asafa. Setelah Nabi Muhammad saw hadir maka Allah SWT mengilhamkan syiar ini, sehingga syiar yang mengungkapkan kesedihan atas apa yang terjadi dari ya asafa diganti dengan syiar inna lillah. Hal ini masih perlu dibuktikan kebenarannya. Kalimat inna lillah digunakan saat mulai mengungkapkan kesedihan atas orang yang meninggal. Sedangkan Ya'qub mengetahui bahwa Yusuf masih hidup karena dalam ayat tersebut Ya'qub mengatakan: “Aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya. “ Para musuh mengatakan kepadanya: "Demi Allah, senantiasa kamu mengingai Yusuf, sehingga kamu hidup dengan berat," yakni engkau tetap hidup tapi menjalaninya dengan penderitaan: boleh jadi engkau kehilangan mata atau kehilangan akal (gila), atau termasuk orang yang binasa. Ya'qub menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang
kami riada mengetahuima."
Para musuh itu mengatakan padanya: tangisanmu tidak membawa manfaat apa-apa padamu karena Yusuf sudah dimakan oleh serigala. Tetapi Ya'qub menjawab: “Aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuima. "Yakni, aku diberitahu oleh Allah melalui malaikat Jibril bahwa Yusuf masih hidup dan ia akan kembali padaku dan aku akan melihatnya. Dan urusan Allah pasti menang. Tetapi kapan ini terjadi? Ini berada di tangan Allah SWT. Aku menangis karena perpisahan dengannya. Aku menangis karena-untuk beberapa saat aku tidak dapat menatap wajahnya lagi. Aku menangis, meskipun aku tahu bahwa ia akan kembali. Namun bagaimana ia kembali? Apakah ia kembali dalam keadaan selamat, sehat atau sakit? Bukti yang menunjukkan bahwa Ya'qub mengetahui dari sisi Allah bahwa Yusuf masih hidup adalah ayat berikut ini:
Para musuh itu mengatakan padanya: tangisanmu tidak membawa manfaat apa-apa padamu karena Yusuf sudah dimakan oleh serigala. Tetapi Ya'qub menjawab: “Aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuima. "Yakni, aku diberitahu oleh Allah melalui malaikat Jibril bahwa Yusuf masih hidup dan ia akan kembali padaku dan aku akan melihatnya. Dan urusan Allah pasti menang. Tetapi kapan ini terjadi? Ini berada di tangan Allah SWT. Aku menangis karena perpisahan dengannya. Aku menangis karena-untuk beberapa saat aku tidak dapat menatap wajahnya lagi. Aku menangis, meskipun aku tahu bahwa ia akan kembali. Namun bagaimana ia kembali? Apakah ia kembali dalam keadaan selamat, sehat atau sakit? Bukti yang menunjukkan bahwa Ya'qub mengetahui dari sisi Allah bahwa Yusuf masih hidup adalah ayat berikut ini:
“ Takkala telah tiba pembawa kabar gembira itu, maka diletakkannya baju ganiis itu ke wajah Ya'qub sehingga ia kembali dapat melihat. Ya'kub berkata: “Tidakkah aku kalakan padamu, balnıa aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tidak mengetahuinya.” (QS. Yusuf: 96) Bukankah aku telah mengatakan bahwa Yusuf akan kembali? Tangisanku semata-mata karena perpisahan karena aku diberitahu bahwa perpisahanku dengannya terjadi dalam waktu yang lama.
Alhasil, Al-Qur'an menceritakan bahwa ketika Yusuf dijauhkan oleh Al lah dari pandangan Ya'qub maka ia menangis sampai matanya “mengering” karena saking sedihnya. Memang Al-Qur'an tidak menyebut kata “menangis" (al-buka'), namun dengan melakukan tadabur terhadap ayat ayat tersebut kita akan mengetahui makna yang tersirat darinya. Nabi Ya'qub mengungkapkan kesedihan atas kebenaran, bukan kebatilan karena berpisah dengan anak yang mulia; anak yang merupakan wali dari wali-wali Allah.
APA YANG MEMBUAT MATA YA'QUB BUTA?
Selanjutnya, Al-Qur'an mengatakan: “Dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya). Apa yang dimaksud dengan kedua matanya menjadi putih?
Sebagian mufasir mengatakan bahwa Ya'qub terkena kelemahan dalam pandangan sehingga ia tidak dapat melihat sesuatu kecuali dari jarak dekat sekali. Namun menurut riwayat dari ahlul bait bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah kebutaan, yakni Ya'qub menjadi buta. Apa bukti atau indikasi (qurinali) dari hal ini? Buktinya adalah perkataan Yusuf: “Pergiluh kamu dengan membaia baju gamisku ini, lalu letakkımlah di wajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali." (QS. Yusut: 93) Jadi. yang dimaksud matanya menjadi putih ialah buta, buta karena sedih. Namun karena sedih saja tidak akan menyebabkan buta. Lalu mengapa disebutkan kata kata kesedihan (al-huz11)? Penyebutan kesedihan karena diiringi dengan sebab musabab. Sebab kebutaan adalah tangisan; lalu apa yang menjadi sebab tangisan? Sebab tangisan adalah kesedihan. Dalam bahasa Arab ada ungkapan maja: (metafor)seperti: was 'al qaryah (tanyalah kepada desa ). Yang dimaksud dari pernyataan ini adalah was ‘al ahlal qaryah (tanyalah kepada penduduk desa). Demikian juga dengan ayat karena kesedihan, vakni karena tangisan yang disebabkan oleh kesedihan. Ayat ini perlu kita amati dengan seksama. Sebab sebagian mereka mempersoalankan tangisan Ya'kub dengan mengatakan: apakah engkau menangis sampai engkau kehilangan matamu; apakah ini termasuk bentuk jaza yang diperbolehkan? Ya'qub adalah seorang Nabi yang menangisi salah satu manusia termulia dan teragung yang hilang. Apakah ajaran sawami membolehkan tangisan sehebat ini terhadap orang yang hilang? Lalu bagaimana dengan tangisan yang dilakukan terhadap orang yang hilang selama-lamanya (orang yang mati? Apakah benar tangisan Ya'qub terhadap anak yang hilang sehingga matanya buta? Ini adalah masalah syar'iyyah: boleh atau tidak boleh? Banyak jawaban yang dapat dikemukakan atas pertanyaan ini.
HIKMAH DI BALIK TANGISAN YA'QUB
Tangisan yang menyebabkan kebutaan Ya'kub ini bukan tangisan yang bersifat ikhtiar (dibuat-buat atau dilakukan dengan kesadaran penuh). Tangisan ini keluar dari batas ikhtiar karena sakit kuatnya ikatan cinta antara Ya‘kub dan Yusuf. Yusuf bukan hanya anak Ya‘kub, namun lebih dari itu ia adalah wali Allah yang agung, sehingga karena ini tangisan Ya kub semakin menjadi-jadi dan ia tidak dapat menguasai dirinya lagi alias keluar dari batas ikhtiarnya. Dan sesuatu yang keluar dari batas ikhtiar tidak dapat disifati halal atau haram. Meskipun ia melakukan maksiat, dengan asumsi bahwa perbuatan tersebut adalah maksiat, namun ia mengerjakan sesuatu di luar ikhtiar dan pilihannya.
Kemudian, siapa yang mengatakan bahwa jaza' selalu diharamkan sehingga apa yang dilakukn Ya kub pun dilarang. Sebab, terkadang sebagian bentuk jueu diperbolehkan oleh syariat Islam yang mulia demi tujuan-tujuan risalah (agama), seperti tangisan la qub yang semata-mata mengagungkan kedudukan Yusuf, peristiwa Yusuf, dan sikap Yusuf dimana Allah SWT ingin agar semua itu terjadi. Lalu tangisan yang membutakan ini pun justru menunjukkan karamah Yusuf ketika ia memerintahkan agar pakaiannya diletakkan di wajah ayahnya sehingga ia melihat kembali. Ya'qub adalah Nabi yang maksum yang tidak mungkin berbuat salah. Ketika ia menangisi Yusuf sampai matanya buta karena kesedihan maka ini menunjukkan bahwa jaza' baginya—dalam keadaan apa pun tidak dilarang.
BENTUK JAZA' (KELUH KESAH) YANG DIBOLEHKAN
Meskipun dalam situasi-situasi biasa jaza' dilarang namun bagi sebagian pribadi ia justru tidak dilarang. Apa contohnya? Imam Ja'far ash-Shadiq as. berkata: “Untuk keadaan seperti Husain, pipi boleh ditampar dan kantong boleh dirobek."
Lalu apa ini tidak bertentangan dengan wasiat Imam Husain kepada putri putri Rasulullah: “Janganlah kalian mencakar pipi, jangan memukul-mukul tubuh: jangan merobek-robek kantong." Larangan ini sangat tepat di hadapan musuh karena boleh jadi mereka akan memukul-mukul diri mereka di depan musuh Imam Husain saat itu berada dalam purncak kesabaran dan puncak ketegaran dalam menanggung derita. Saat beliau merasakan puncak penderitaan, beliau tetap bersabar dan tidak menangis di hadapan musuh. Namun ketika beliau menyendiri, beliau pun menangis. Banyak keadaan dan peristiwa yang menunjukkan bahwa beliau menangis.
Ketika beliau memasuki Karbala pada hari kedua dari Muharram, dan dikatakan bahwa tanah yang diinjaknya adalah Karbala maka mata beliau bercucuran air mata. Jadi, yang dimaksud perkataan Imam Husain: janganlah menampar pipi, yakni di hadapan musuh. Adapun wanita yang mengalami penderitaan berat di antara waktu pagi dan petang; di sebagian hari ia kehilangan delapan lelaki dari keluarganya; kemahnya dibakar; perempuan-perempuannya ditawan, dan rentetan tragedi dan musibah lainnya, lalu ia-di luar ikhtiarnya dan kesadarannya---mencakar-cakar pipinya maka apakah kita akan mempersoalkan tindakannya, menghujatnya dan menghukuminya? Para ahli hadis menyebutkan bahwa ketika Nabi Harun meninggal dunia, Nabi Musa merobek-robek saku bajunya. Apa rahasia hal ini? Ini merupakan ungkapan tentang besarnya tragedi dan tindakan ini terjadi di luar ikhtiyar dan kesadaran. Ketika Musa mendapati kenyataan bahwa saudaranya Harun meninggal dunia semasa hidupnya maka ia tak sadar dan merobek robek sakunya. Tentu tindakan ini jika dilakukan oleh selainnya makruh (dibenci). Namun problema yang membawa pesan agama dalam hal ini tidak dianggap makruh atau tidak dilarang karena terdapat nas-nas yang cukup memadai tentang masalah ini.
MA‘TAM YANG PERTAMA KALI
Apakah terdapat kontradiksi ketika seseorang menangisi orang lain sebelum kematiannya, meskipun cukup berat musibahnya? Apakah seseorang yang menangisi orang lain 50 tahun sebelum kematiannya dianggap melakukan jaza' dalam pandangan masyarakat umum? Kaum Muslim sepakat bahwa Rasulullah saw menangis atas Imam Husain 50 tahun sebelum terbunuhnya Imam Husain. Riwayat menyebutkan bahwa malam Asyura' bertepatan dengan 11 Hijriah, yakni tahun kematian Nabi saw. Imam Husain terbunuh pada 61 Hijriah. Jadi jarak yang terpaut adalah 50 tahun. Pada malam Asyura Rasul saw tampak begitu sedih, murung, dan lesu.
Hakim an-Naisaburi dalam Mustadrak Shahih Muslim dan Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah saw keluar menemui para sahabatnya setelah malaikat Jibril memberitahunya tentang terbunuhnya Imam Husain dan ia membawa tanah Karbala. Beliau menangis tersedu sedu di hadapan para sahabatnya sehingga mereka menanyakan hal tersebut. Beliau memberitahu mereka, "Beberapa saat lalu Jibril mendatangiku dan membawa tanah Karbala, lalu ia mengatakan kepadaku bahwa di tanah itulah anakku Husain akan terbunuh.“ Kemudian beliau pun menangis lagi dan para sahabat pun ikut menangis. Oleh karena itu, para ulama mengatakan bahwa inilah malam (acara kesedihan dan belasungkawa untuk Imam Husain) yang pertama kali. Jika ada orang yang bertanya: kapan ma`tam yang pertama kali diadakan oleh umat Is lam untuk Imam Husain? Jawabannya adalah malam yang dihadiri oleh Nabi Muhammad saw dan pendengarnya adalah para sahabat Rasulu:lah. Tentu tidak ada seseorang yang berani mengusik masalah ini. Sebab, masalah ini memiliki keistimewaan dibandingkan dengan masalah lainnya.
TUJUAN MENANGIS ATAS IMAM HUSAIN
Lalu apa iujuan dari menangis atas Imam Husain? Apakah masalah ini hanya berkisar pada ungkapan sedih dan derita? Problema ini lebih besar dari hanya sekadar ungkapan sedih dan derita. Kami telah katakan bahwa orang non-Muslim yang obyektif ketika mendengar kisah Imam Husain ia menangis. Namun tujuan menangis atas Imam Husain bukan ungkapan kesedihan dari sisi kemanusiaan. Tujuan menangis yang sesungguhnya ialah mengabadikan problema Imam Husain, ajarannya. nilai-nilainya serta prinsip-prinsipnya melalui tangisan yang menyingkap kezaliman dari satu sisi, yang menyebabkan terikatnya jiwa pada orang yang diperingati dan prinsip-prinsipnya sepanjang masa. Tangisan yang kita persembahkan untuk Imam Husain merupakan bentuk pengingkaran dan perlawanan terhadap kezaliman. Hal yang demikian ini tidak dapat diwaliki oleh pemikiran dan penalaran saja. Dan Allah SWT berkehendak agar tragedi Imam Husain tetap kekal dalam jiwa dalam bentuk tangisan dan pelajaran. Karena itu, terdapat riwayat yang berbunyi: "Aku korban pembunuhan yang meniberi pelajaran." Yakni, setiap orang mukmin yang mengingatku pasti ia akan mengambil pelajaran dan menangis.
Dalam kitab Mustadrak disebutkan bahwa Nabi saw bersabda:
“Sesungguhnya terbunuhnya Husain menciptakan bara pada hati orang mukmin yang tak akan pernah padam.“ Jadi, tangisan kita atas Imam Husain bukan hanya sekadar tangisan atas mavit namun ia merupakan senjata pemusnan kezaliman dan usaha berinteraksi dengan problema emosional serta mengikat jiwa dengan kesemangatan dan kesetiaan padanya sepanjang masa. Oleh karena itu, seorang penyair berkata:
Mataku menangis bukan karena pukulan Namun semata-mata imtukmu ia menangis
Bagian Kedua:
MENANGIS ATAS TRAGEDI IMAM HUSAIN:
SUNAH ATAU BID'AH?
Oleh: Muhammad Taqi
MUKADIMAH
Pertama-tama kami tegaskan bahwa masalah memperingati Tragedi Karbala (10 Muharram) bukanlah masalah khas Syi'ah, tetapi masalah islami. Sebab, Husain (salam Allah atasnya tokoh utama di balik tragedi tersebut — bukanlah pelita bagi orang-orang Syi'ah saja. tetapi beliau adalah lentera hati setiap mukmin, apapun mazhabnya. Maka, dari sini kami menyimpulkan bahwa apa saja yang berkaitan dengan peristiwa Karbala pada hakikatnya adalah fenomena dan tradisi islami.
Tema yang ingin kami kaji kali ini adalah tentang tangisar. dan pengaruhnya terhadap perilaku manusia. Kami berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis seputar tangisan yang biasa dilakukan orang-orang Syi'ah saat mengenang peristiwa Karbala. Visalnya, mengapa kita menangisi Imam Husain, padahal beliau adalah penghulu para syuhada? Bukankah beliau telah mendapatkan tempat yang terhormat di sisi Allah? Apa rahasia di balik tangisan, teriakan, dan tamparan dada atau kepala yang dilakukan orang-orang Syi'ah di hari Asyura'? Bukankah tangisan itu menjerumuskan diri kita ke dalam kehancuran? Sampai kapan kita akan menangis sehingga kita meninggalkan aktifitas-aktifitas sehari hari, padahal musuh-musuh kita selalu menanti kelenggahan kita? Apa manfaat tangisan ini? Apakah tangisan ini hanya, seperti kata orang, air mata buaya?
Kami akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan mengemukakan ayat-ayat Al-Quran al-Karim dan hadis hadis Nabi yang otentik yang menunjukkan bahwa menangis merupakan tradisi (sunah) para nabi dan orang-orang saleh. Tujuan utama kami adalah mengembalikan kebenaran ke tempat asalnya, sehingga tidak ada seorang Muslim yang berkata: Tinggalkanlah tangisan ini! Itu adalah bid'ah dan buatan (kreatifitas) orang-orang Syi'ah.
Akhirnya, Allah-lah yang mewujudkan segala keinginan dan Dia penunjuk jalan kebenaran.
KEADAAN MANUSIA
Manusia manapun pasti akan merasakan pahitnya kehidupan. Manusia tidak akan bisa menghindar dari kegetiran zaman dan perputaran roda kehidupan. Kata orang: Apabila masa cukup adil, maka hari ini Anda akan beruntung (baca: gembira) dan esok hari Anda akan merugi (baca: sedih). Lembaran kehidupan manusia diawali dengan tangisan dan diakhiri pula dengan tangisan. Terkadang manusia dalam keadaan tertawa riang dan terkadang dalam keadaan menangis sedih. Manusia gembira dan tertawa ketika kehidupannya dikelilingi oleh kenikmatan-kenikmatan. Sebaliknya, ia sedih dan menangis ketika mengalami penderitaan dan kesusahan Tetapi, seorang Muslim sadar dan mengetahui bahwa dunia yang hina ini adalah tempat cobaan dan ujian. Dia tidak peduli dengan musibah musibah keras yang menimpanya dan tidak pula dia mengeluh kesal atasnya. Dia berkata: "Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kepada Nva kita kembali.“ Dengan kesadaran penuh dia akan meneruskan perjalanan menuju Allah meski segudang rintangan menghadangnya. Sosok Muslim sejati seperti itu dapat kita lihat pada Nabi Yusuf As-Shidiq (vang benar) melalui perkataannya: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. " (QS. Yusuf: 33)
Dan sosok Muslim hakiki seperti itu juga kita temukan pada pribadi Imam Husain ketika beliau menyampaikan kalimat abadinya: "Sungguh aku tidak melihat kematian kecuali kebahagiaan dan kehidupan bersama orang-or ang zalim adalah kesengsaraan."?
Ringkasnya, orang Muslim hakiki senantiasa mengingat Allah SWT dalam kelapangan dan kesempitan dan mengorbankan dirinya dan barang berharga yang dimilikinya untuk menegakkan agama-Nya. Maka, kebahagiaan abadi baginya hanya ditemukan di surga dan dunia baginya adalah tempat tangisan (cobaan) dan kehancuran.
TANGISAN DAN MANFAATNYA DALAM AL-QUR'AN
Kami akan menunjukkan beberapa ayat Al-Quran Al-Karim yang menunjukkan perlunya menangis beserta manfaatnya. Dalil yang pertama: Allah SWT berfirman dalam surat An '.l-Valhuffla Qarla Al-Thufus, hal. 98.
Najm: “Apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu meneriarakan dan tidak menangis?" (QS. An-Najm: 59-60)
Maknanya ialah: Apakah kalian heran (ingkar) terhadap Al-Quran al-Karim dan Rasulullah saw: dan kalian tertawa (mengejek) dan tidak menangis? Pertanyaan dalam ayat ini untuk mencaci:
Dalil kedua: Firman-\va dalam surat Maryam: "Dam ceritakamlah kisah Ismail (tang tersebut di dalam Al-Quran al-Karim. Sesungguhuma ia adalah seorang yang benar jamjima, dan ia adalah seorang rasul dan nahi. Dan ia memuruh umatnya untuk bersembahyang dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuulianmya.
Dan ceritakanlah (kepada mereka kisah) Idris (yang tersebut) dalam Al-Quran al-Karim. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi. Dan Kami telah mengangkama ke martabat yang tinggi. Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmcı oleh Allah SWT, rainu para nabi dari kenurunan Adam, dan Silakan merujuk Al-Mizan, juz 19 hal. 47
Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan mal-ayat Allah Yang Maha Pencurah kepada mereka, maka mereka memungkur dengan bersujud dan menangis." (QS. Maryam: 54-58)
Allah SWT menceritakan dalam ayat-ayat tersebut bahwa menangis termasuk karakterisktik moral para nabi. Dan nikmat menangis ini disebakan empat tingkatan spiritual: rida (ar-rida”), kebenaran (ash shidig), petunjuk (al-hidayah) dan pemilihan (al-isthifa'). Para nabi telah mencapai empåt tingkatan spiritual yang tinggi ini.
Dalil ketiga: Allah Yang Maha Mulia berfirman: "Sesunggulima orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Quran al-Karim dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata, "Maha Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi." Dan mereka memungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusuk. " (QS. Al-Isra': 107-109) Melalui ayat-ayat yang mulia di atas dapat kita simpulkan bahwa ilmu dan makrifat (pengetahuan) adalah penyebab timbulnya tangisan. Setiap orang yang mengetahui hakikat sesuatu, mengetahui hakikat Rasulullah saw, dan mengetahui hakikat Imam Husain yang mati syahid, maka hati nuraninya sangat peka atas penderitaan orang lain dan gampang menangis. Hal ini sesuai dengan hadis nabi yang berbunyi:
“Seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan tertawa sedikit dan banyak menangis.***
Tangisan yang hakiki ini menyebabkan timbulnya rasa khusyuk. Namun hati manusia tidak dapat menjadi khusyuk kalau mereka tidak merasa sedih atas musibah dan kesulitan yang menimpa orang lain
Dalil keempat: “Dan apabila mereka mendengarkan apa rang diturunkan kepada Rasul Aluhammad). kamu melihai masa mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran yang telah mereka ketahui; seraya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka caratlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi."" (QS Al-Maidah: 83)
Ayat di atas menjelaskan tentang sekelompok orang-orang Nasrani yang beriman di hadapan Rasulullah saw, lalu air mata mereka bercucuran karena mereka mengetahui kebenaran. Jadi, faktor timbulnya tangisan ini adalah pengetahuan akan kebenaran. ? Tsumma Ihtadaitu, hal. 63
MENANGIS DALAM PANDANGAN HADIS
Pertama, disebutkan dalam hadis bahwa mata yang menangis adalah mata yang paling dicintai oleh Allah SWT.*
Kedua, semua mata akan menangis pada hari kiamat karena penderitaan dahsyat di hari itu kecuali mata yang pernah menangis atas musibah yang menimpa Imam Husain. Nlata tersebut bergembira riang dengan nikmat surga."
Ketiga, sesungguhnya mata akan mendapat kenikmatan ketika melihat telaga al-Kautsar di surga. Namun bukan hanya sekadar melihat karena boleh jadi setiap orang bisa melihatnya tetapi tidak mendapatkan kenikmatan.
Keempat, dalam riwayat disebutkan bahwa para malaikat menyentuh mata untuk mengambil air mata darinya.'
Kelima, hati yang keras (yang tidak gampang menangis) jauh dari rahmat Allah SWT.8 Demikianlah sebagian riwayat yang telah mencapai batas Tsuurima Ihtadaitu, hal. 63 .tl-Bihar, juz 15. hal. 207 .tl-Bihar. juz 14. hal. 293 • Al-Bihar Inwar. juz H, hal. 305 * Kanzul limmal, juz I. hal. 148
Terima kasih kepada pengarang karena karangannya dijadikan sumber dan dikongsikan di wadah ini, semoga menjadi pahala yang berterusan, selamat membaca tautan sambungan selengkapnya : https://drive.google.com/file/d/0B_l0We7EQa4Jc1VXQ3hsNElOTHc/view
Tidak ada komentar:
Posting Komentar