Sabtu, 19 Januari 2019

Abdullah Ibn Saba : tokoh fiksi dalam perang unta



ilustrasi hiasan:



Abdullah Ibn Saba: tokoh fiksi dalam perang unta 

Dikompilasi oleh : APEP WAHYUDIN 



Daftar isi

KATAPENGANTAR 

BAGAN PERIWAYATAN KISAH FIKTIF ABDULLAH IBN SABA 

Abdullah Ibn Saba: tokoh fiksi dalam perang unta 
Untuk apakah kisah itu dibuat? 
Asal muasal cerita tentang Abdullah Ibn Saba 
Siapakah Sayf Ibn Umar itu? 
Lalu, apa yang dikatakan oleh para ulama Ahlu Sunnah tentang Sayf Ibn Umar? 
Kisah “Abdullah Ibn Saba” yang tidak punya sumber sejarah dan tidak punya rantai sanad 
Beberapa laporan tentang “Abdullah Ibn Saba” yang disampaikan tidak melalui Sayf Ibn Umar 
Al-Saba’iyah dan karakter Abdullah Ibn Saba yang berbagai macam 
Prestasi Sayf Ibn Umar 
Kembalinya Rasulullah kedunia 
Kebangkitan manusia pada masa lalu 
Kebangkitan manusia pada masa yang akan datang 
Al-Qur’an berbicara tentang kembalinya Rasulullah 

Ahlu Sunnah dan keyakinan al-Raj’a 
Doktrin tentang kepemimpinan Imam Ali 
Apakah anda lebih percaya kepada Sayf Ibn Umar daripada kepada Ali Ibn Thalib? 
Para perawi Sunni yang melaporkan kejadian di Saqifah 
Mereka menyerang dua orang sahabat Nabi yang paling dikasihi Nabi bersama para pengikutnya 
Hasutan untuk menentang Utsman Ibn Affan 
Thalhah Ibn Ubaydillah 
‘Aisyah binti Abu Bakar 
Amr Ibn al-Aas 
Alasan-alasan di balik penggulingan Utsman Ibn Affan 
Siapakah yang memulai peperangan? 

PERBANDINGAN ANTARA RIWAYAT TENTANG ABDULLAH IBN SABA MENURUT DUA SUMBER 



KATA PENGANTAR 


Tokoh Abdullah bin Saba ini diciptakan dan kemudian disebarkan oleh sebagian para sejarawan Sunni terkemudian untuk melenyapkan peran aktif dari ‘Aisyah binti Abu Bakar, Thalhah bin Ubaydillah, dan Zubayr bin Awwam yang kesemuanya adalah tokoh sahabat senior yang terkemuka (malah ‘Aisyah adalah isteri Rasulullah yang tentu saja harus dijaga kehormatannya—begitu kata mereka).


3 pentolan Perang Unta yang menjadi aktor intelektual di belakang perang saudara di antara kaum Muslimin itu seharusnya menjadi tersangka. Akan tetapi ada ketidak-relaan dan rasa sungkan di kalangan para sejarawan dan ulama Sunni untuk mengatakan yang sejujurnya. Oleh karena itu, gelar PENJAHAT PERANG harus disematkan pada tokoh lain yang kira-kira aman dan tidak akan melawan karena merasa dirinya dirugikan atau dicemarkan nama baiknya. Yang paling aman ialah menciptakan tokoh khayalan - tokoh yang takkan pernah melawan kalau dirinya dijadikan kambing hitam. 



BAGAN PERIWAYATAN KISAH FIKTIF ABDULLAH IBN SABA 
SKEMA JALUR PERIWAYATAN KISAH ABDULLAH BIN SABA’ MELALUI SYAI’F IBNU UMAR AT TAMIMI 
BAGAN PERIWAYATAN KISAH FIKTIF ABDULLAH IBN SABA 
SKEMA PENILAIAN ULAMA AHLU SUNNAH TERHADAP SYAIF IBNU UMAR AT TAMIMI
BAGAN PERIWAYATAN KISAH FIKTIF ABDULLAH IBN SABA 
SKEMA KISAH ABDULLAH BIN SABA’ DALAM TIMBANGAN IBNU HAJAR ASQOLANI 
SKEMA KISAH ABDULLAH BIN SABA’ DALAM PERIWAYATAN SEJAHRAWAN SUNNI 
SKEMA KISAH ABDULLAH BIN SABA’ DALAM PERIWAYATAN SEJAHRAWAN SYI’AH 
SKEMA KISAH ABDULLAH BIN SABA’ DALAM RIWAYAT al KUSYSI 
BAGAN PERIWAYATAN KISAH FIKTIF ABDULLAH IBN SABA 
SKEMA PERIWAYATAN ABDULLAH BIN SABA’ OLEH SEJAHRAWAN SYI’AH al QUMMI 
BAGAN PERIWAYATAN KISAH FIKTIF ABDULLAH IBN SABA 
PENELUSURAN ABDULLAH PADA NASKAH-NASKAH SEJAHRAWAN MUSLIM AWAL 
BAGAN PERIWAYATAN KISAH FIKTIF ABDULLAH IBN SABA 



Untuk apakah kisah itu dibuat? Kisah fiksi tentang Abdullah bin Saba itu dibuat oleh seseorang yang bernama Sayf Ibn Umar al-Tamimi. Ia memang dikenal sebagai seorang penulis cerita atau pendongeng dan ia hidup pada abad kedua Hijriah. Ia menulis cerita fiksi tentang Abdullah bin Saba itu dengan menggunakan (atau menyalah-gunakan—red) fakta-fakta sejarah yang ia temukan dalam sejarah Islam yang ada pada masanya. Sayf al-Tamimi menulis sebuah novel yang kurang lebih sama dengan yang pernah ditulis oleh Salman Rushdi dengan novel-nya yang legendaris yaitu “Satanic Verses” dengan motif yang kurang lebih sama. Hanya tokoh utamanya saja yang berbeda—dalam karya Sayf yang dijadikan tokoh ialah tokoh khayalan yang ia buat sendiri.


Sayf Ibn Umar menyimpangkan biografi atau kisah hidup dari beberapa sahabat Nabi hanya untuk menyenangkan rezim penguasa yang berkuasa pada waktu itu sekaligus ia juga mencoba untuk mengolok- olok dan menyimpangkan sejarah madzhab Ahlul Bayt sekaligus mengolok-olok Islam secara keseluruhan. Sayf Ibn Umar adalah penasihat dari keluarga Bani Umayyah yang paling setia dan ia juga dikenal sebagai seseorang yang sangat memusuhi para pengikut Ahlul Bayt dan oleh karena itu ia mencoba sekuat tenaga untuk membuat cara untuk menjatuhkan kredibilitas dari madzhab Ahlul Bayt.


Dalam cerita–cerita yang dibuat olehnya, Sayf Ibn Umar seringkali mengunggul-unggulkan sukunya sendiri di atas suku-suku Arab lainnya dengan menciptakan para sahabat Nabi imajiner/khayalan yang berasal dari sukunya. Walaupun begitu, para ulama Ahlu Sunnah berhasil menemukan kejanggalan-kejanggalan dalam setiap cerita yang ia buat yang tidak hanya mengenai tokoh khayalan “Abdullah bin Saba” saja melainkan tokoh lainnya. Pada akhirnya mereka mau meninggalkan cerita-cerita yang dibuat oleh Sayf dan kemudian memberikan label pada Sayf sebagai seorang pembohong dan penipu ulung. Tetapi masih juga ada sebagian kecil dari para pengikut Ahlu Sunnah yang masih percaya dan menggunakan kisah-kisah fantasinya untuk tujuan tertentu yaitu memojokkan para pengikut Ahlul Bayt. Pada tulisan ini kami akan paparkan beberapa tokoh ulama Ahlu Sunnah yang menyebutkan bahwa Sayf Ibn Umar sebagai orang yang tidak terpercaya; tidak jujur serta sangat pembohong dan kisah-kisahnya hendaknya diabaikan karena penuh dengan dusta dan khayalan.


Penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan dari orang-orang yang membenci madzhab Ahlul Bayt (Syi’ah) selalu menggunakan bahan-bahan yang dikarang oleh Sayf Ibn Umar dan mereka mengeksploitasi bahan- bahan ini agar tetap bisa lestari agar bisa terus digunakan untuk menyerang para pengikut Ahlul Bayt. Ini sama persis dengan apa yang telah digunakan oleh Sayf Ibn Umar sendiri semasa hidupnya. 


Asal muasal cerita tentang Abdullah Ibn Saba Kisah fiksi tentang Abdullah bin Saba ini sudah berusia 12 abad lamanya. Para sejarawan dan para penulis cerita satu sama lainnya saling menambahkan bahan-bahan yang lain kedalam cerita itu sehingga menjadi cerita yang kita kenal sekarang ini.


Dengan sekilas saja kita melihat ke untaian para perawi dari cerita Abdullah bin Saba ini, kita bisa melihat bahwa nama Sayf Ibn Umar selalu ada di dalam urutan pertama dari untaian perawi itu. Ini menunjukkan bahwa kisah itu bersumber dari satu orang yang sama dan para sejarawan mengutip langsung dari kisah yang dibuat olehnya. Para sejarawan berikut menuliskan tentang kisah yang dibuat oleh Sayf Ibn Umar:


1. Tabari (1) 

2. Dhahabi (2). Ia juga mengutip dari Tabari (1) 

3. Ibn Abi Bakir (3). Ia juga mengutip dari Ibn Athir (15), yang mengutip langsung dari Tabari (1) 

4. Ibn Asakir (4) 

Yang berikut telah mengutip langsung dari Sayf Ibn Umar: 

5. Nicholson (5) dari Tabari (1) 

6. Encyclopedia of Islam dari Tabari (1) 

7. Van Floton dari Tabari (1) 

8. Wellhauzen dari Tabari (1) 

9. Mirkhand dari Tabari (1) 

10. Ahmad Amin dari Tabari (1), dan dari Wellhauzen (8) 

11. Farid Wajdi dari Tabari (1) 

12. Hasan Ibrahim dari Tabari (1) 

13. Saeed Afghani dari Tabari (1), dan dari Ibn Abi Bakir (3), Ibn Asakir (4) dan Ibn Badran (21) 

14. Ibn Khaldun dari Tabari (1) 

15. Ibn Athir dari Tabari (1) 

16. Ibn Katsir dari Tabari (1) 

17. Donaldson dari Nicholson (5), dan dari Encyclopedia (6) 

18. Ghiath al-Din dari Mirkhand (9) 

19. Abul Fida dari Ibn Athir (15) 

20. Rashid Ridha dari Ibn Athir (15) 

21. Ibn Badran dari Ibn Asakir (4) 

22. Bostani dari Ibn Katsir (16)


Untaian “perawi” dari kisah fiksi Abdullah bin Saba dengan jelas memberikan kita gambaran utuh bahwa kisah itu berputar-putar di orang yang sama sebagai “perawi” sentral-nya. Cerita itu dimulai dari orang yang sama yaitu Sayf Ibn Umar dan Tabari mengutip langsung dari buku yang dikarang oleh Sayf itu seperti yang diakui oleh Tabari sendiri. (LIHAT: untaian perawi dari hadits-hadits yang berkenaan dengan Abdullah bin Saba, di dalam Tarikh Tabari. Misalnya, lihatlah di bagian index pada volume 15, versi bahasa Inggrisnya, di bawah nama Sayf Ibn Umar atau Abdullah bin Saba).


Oleh karena itu, sifat Sayf dan kisah-kisah sejarah yang ia tulis harus mendapatkan perhatian khusus dan harus diteliti dengan sangat seksama. 


Siapakah Sayf Ibn Umar itu? Sayf Ibn Umar al-Dhabbi al-Usayyidi al-Tamimi hidup pada abad ke-2 Hijriah (atau sekitar abad ke-8 Masehi) dan ia meninggal pada tahun 170H (atau tahun 750M). Al-Dhahabi mengatakan bahwa Sayf itu meninggal pada masa rezim Harun al-Rasyid di Baghdad (Irak). Selama hidupnya, Sayf telah menulis sebanyak 2 buku yang masih lestari selama rezim pemerintahan Bani Umayyah berkuasa. Buku yang pernah ia tulis ialah: 


1. “al-Futuh wa al-Riddah” yang menggambarkan periode sebelum wafatnya Rasulullah hingga masa rezim pemerintahan Utsman bin Affan sebagai penguasa kaum Muslimin 


2. “al-Jamal wa Masiri ‘Aisyah wa ‘Ali” yang menceritakan kisah tentang pembunuhan Utsman hingga peperangan Unta/Perang Jamal (peperangan yang melibatkan Imam Ali dan ‘Aisyah serta para sahabat) 


Kedua buku ini hilang entah kemana akan tetapi kedua buku itu tetap selamat hingga beberapa abad lamanya setelah Sayf meninggal. Berdasarkan fakta-fakta di lapangan yang kami temukan, orang terakhir yang mengaku pernah memiliki kedua buku itu ialah Ibn Hajar al-Asqalani (meninggal tahun 852H). 


Kedua buku Sayf ini lebih tepat berisikan sepak terjang beberapa tokoh ketimbang kebenaran dari sepak terjang itu sendiri; beberapa cerita diantaranya memang betul-betul karangan dan bukan kenyataan. Beberapa kejadian yang sebenarnya terjadi digambarkan dalam nada melecehkan sehingga fakta yang terkandung di dalamnya menjadi samar. 


Kedua buku Sayf Ibn Umar ini pada dasarnya membicarakan tentang para sahabat Nabi. Akan tetapi Sayf juga menambahkan beberapa tokoh sahabat khayalan di dalamnya dengan nama-nama yang aneh. Kisah- kisah khayalan dari Sayf ini mempengaruhi sejarah Islam pada masa awal. Beberapa penulis biografi seperti penulis kitab “Usdul Ghabah”, “Al-Isti’ab” dan “Isabah” serta para ahli geografi seperti penulis buku “Majma’ul Buldan” dan “Al-Rawzul Mi’tar” telah menulis sejarah hidup dari beberapa sahabat Nabi lengkap dengan nama tempatnya yang hanya terdapat dalam kedua buku tulisan Sayf Ibn Umar. Oleh karena itu, kehidupan dan sifat-sifat Sayf Ibn Umar serta kredibilitasnya hendaknya mendapatkan perhatian lebih.


Lalu, apa yang dikatakan oleh para ulama Ahlu Sunnah tentang Sayf Ibn Umar? Beberapa Ulama Ahlu Sunnah menyatakan bahwa Sayf Ibn Umar adalah seorang pembohong dan tidak pantas untuk dipercayai. Diantara para Ulama Ahlu Sunnah yang berpendapat seperti itu ialah:

1. al-Hakim (meninggal tahun 405H). Ia menuliskan, “Sayf itu ialah seorang yang suka mengada-ada. Ceritanya itu seharusnya diabaikan.” 


2. al-Nasa’I (meninggal tahun 303H). Ia menuliskan, “Kisah-kisah yang diceritakan oleh Sayf itu lemah dan harus dikesampingkan karena ia adalah orang yang bisa dipercaya dan tidak layak untuk dijadikan pegangan.” 


3. Yahya Ibn Mu’in (meninggal tahun 233H). Ia menuliskan, “Cerita-cerita yang disampaikan oleh Sayf itu lemah dan tidak berguna.”


4. Abu Hatam (meninggal tahun 277H). Ia menuliskan: “Hadits yang lewat melalui Sayf itu tertolak.”


5. Ibn Abi Hatam (meninggal tahun 327H). Ia menuliskan, “Para Ulama telah meninggalkan kisah-kisah yang disampaikan oleh Sayf”


6. Abu Daud (meninggal tahun 316H). Ia menuliskan, “Sayf itu tidak ada apa-apanya. Ia itu pembohong. Beberapa hadits yang melaluinya telah beredar dan kebanyakan darinya tertolak.” 


7. Ibn Habban (meninggal tahun 345H). Ia menuliskan, “Sayf telah menisbahkan hadits-hadits yang melaluinya kepada orang-orang yang terpercaya. Ia telah dituduh sebagai orang yang suka mengada-ada dan sekaligus pembohong.” 


8. Ibn Abd al-Barr (meninggal pada tahun 462). Ia menyebutkan dalam tulisannya tentang seseorang bernama al-Qa’qa sebagai berikut: “Sayf telah melaporkan bahwa al-Qa’qa pernah berkata: ‘Aku hadir ketika Rasulullah meninggal.’ Ibn Abd al-Barr melanjutkan: ‘Ibn Hatam berkata: “Sayf itu lemah. Jadi pernyataannya tentang al-Qa’qa hadir di tempat kejadian ketika Rasulullah wafat harus ditolak. Kalau kita menyampaikan hadits-hadits yang sampai lewat Sayf, maka itu hanya sebagai pengetahuan saja.”


9. al-Daruquthni (meninggal tahun 385H). Ia menuliskan, “Sayf itu lemah” 


10. Firuzabadi (meninggal tahun 817H) menuliskan dalam kitab “Tuwalif” bahwa Sayf dan beberapa orang lainnya itu sebagai lemah. “Mereka itu lemah” 


11. Ibn al-Sakan (meninggal tahun 353H). Ia menuliskan, “Sayf itu lemah” 


12. Safi al-Din (meninggal tahun 923H). Ia menuliskan: “Sayf itu dianggap lemah.” 


13. Ibn Udei (meninggal tahun 365H) menuliskan tentang Sayf. “Ia itu lemah. Beberapa dari kisah yang diceritakannya itu sangat terkenal akan tetapi kebanyakan darinya memalukan dan tidak patut untuk diikuti.” 


14. Jalaluddin as-Suyuthi (meninggal tahun 900H) menuliskan: “Hadits-hadits yang lewat kepada Sayf itu lemah.” 


15. Ibn Hajar al-Asqalani (meninggal tahun 852H). Ia menuliskan setelah menyebutkan sebuah hadits: “Beberapa perawi dari hadits ini lemah; dan yang paling lemah dari semuanya ialah Sayf.”


Sangat menarik untuk kita perhatikan di sini ialah bahwa meskipun Al-Dhahabi (meninggal pada tahun 748) telah mengutip langsung dari bukunya Sayf, akan tetapi ia juga menyatakan—dalam bukunya yang lain— bahwa Sayf itu adalah seorang perawi yang lemah. Dalam kitab “al-Mughni fi al-Dhu’afa” al-Dhahabi menuliskan sebagai berikut: 


“Sayf itu memiliki dua kitab yang seluruhnya diabaikan oleh para ulama.” 
(LIHAT: al-Mughni fi al-Dhu’afa, al-Dhahabi halaman 292) 


Hasil dari penyelidikan tentang kehidupan Sayf menunjukkan bahwa Sayf itu orang yang tidak peduli dengan agama (agnostik) dan seorang yang ceritanya tidak bisa dipercayai orang. Cerita-cerita yang dikisahkan oleh Sayf Ibn Umar itu semuanya meragukan dan hampir seluruhnya atau sebagian adalah hasil rekayasa. Di dalam cerita-cerita yang dikisahkannya, Sayf telah menggunakan nama-nama kota yang tak pernah ada di dunia ini. Abdullah bin Saba adalah tokoh unggulan yang ia gunakan dalam cerita- ceritanya. Ia juga memperkenalkan sekitar 150 nama sahabat Nabi yang semuanya fiktif atau khayalan hanya untuk mengisi kekosongan yang ada dalam ceritanya (KEBOHONGAN ITU HANYA BISA DITUTUPI DENGAN KEBOHONGAN LAINNYA. OLEH KARENA ITU, UNTUK MEM”BACK-UP” SEBUAH TOKOH KHAYALAN DIPERLUKAN TOKOH KHAYALAN LAINNYA AGAR KELIHATAN HIDUP DAN NYATA—red). Untuk itu Sayf harus menambahkan “fakta-fakta” khayalannya dengan nama-nama aneh yang tidak terdapat dalam dokumen manapun. Selain itu waktu kejadian yang digambarkan oleh Sayf dalam kisah- kisahnya senantiasa bertentangan dengan yang ada dalam dokumen-dokumen otentik yang dimiliki para ulama Sunni. Sayf juga seringkali menggunakan rantai sanad khayalan untuk setiap hadits yang ia sampaikan, dan di dalamnya seringkali dibumbui dengan kejadian-kejadian ghaib atau keajaiban (seperti seekor sapi berbicara dengan manusia dlsb). 


Beberapa pembela Sayf tetap bersikukuh menyatakan bahwa meskipun Sayf itu seorang perawi yang lemah dan banyak sekali para Ulama Hadits yang tidak mempercayai laporannya, itu hanya terbatas pada urusan Syari’ah dan bukan untuk fakta sejarah!!!! 


Dengan itu maka para pembela Sayf itu ingin memfokuskan diri pada “fakta sejarah” yang ada dalam setiap kisah yang dilaporkan oleh Sayf Ibn Umar. Para pembela Sayf itu ingin menggantungkan diri pada “fakta sejarah” yang ditulis oleh seorang zindiq dan pembohong!


Kalau saja Sayf itu hanya lemah dalam pengetahuan syari’ah saja, maka kita masih bisa mengatakan bahwa ia bisa dipercayai di bidang yang lain karena ia hanya lemah dalam pengetahuan syari’ah. Akan tetapi ternyata ia juga lemah dalam segalanya!!!! Sayf itu pembohong seperti yang diutarakan oleh para ulama Sunni terkemuka, dan Sayf paling suka mengada-ada dan merekayasa beberapa cerita dengan menggambarkan beberapa kejadian yang kemudian ia nisbahkan kepada para perawi yang terpercaya. Ia melakukan itu agar ceritanya bisa dipercaya dan diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, Sayf menjadi orang yang paling diragukan untuk semua bidang—baik itu syari’ah maupun sejarah. 


Untuk urusan sejarah kita akan diskusikan di bagian lain dalam tulisan selanjutnya dimana di sana kita akan lihat bahwa hatta para sejarawan Kristen pun telah menyebutkan bahwa laporan sejarah dari Sayf Ibn Umar itu penuh dengan ketidak-konsisten-an dan itu bisa dilihat dengan jelas ketika dibandingkan dengan tulisan para sejarawan lain yang jauh lebih waras dan cerdas. Itu ditambah lagi dengan pendapat para Ulama Sunni dan Syi’ah yang menyebutkan bahwa Sayf Ibn Umar itu adalah seorang yang suka sensasi dan suka mengada-ada. 


Kisah “Abdullah Ibn Saba” yang tidak punya sumber sejarah dan tidak punya rantai sanad Ada beberapa laporan baik itu dari para ulama Syi’ah maupun Ahlu Sunnah, juga dari para sejarawan dan para penulis cerita tentang kebudayaan lama yang menuliskan beberapa kalimat tentang “Abdullah bin Saba” akan tetapi mereka semua tidak menyertakan bukti atas klaim yang mereka buat. Mereka juga gagal mengajukan satupun rantai sanad untuk menopang pendapat mereka. Jadi mereka gagal memberikan bukti otentik untuk diuji di laboratorium hadits agar keterangan yang mereka buat bisa memberikan hasil yang memuaskan. 


Beberapa klaim mereka selalu diawali dengan kata-kata “ORANG-ORANG bilang begini dan begitu...........” atau “BEBERAPA ULAMA telah berkata begini dan begitu...........” semuanya sama tanpa mencantumkan siapakah ORANG-ORANG atau BEBERAPA ULAMA yang dimaksud. Juga tidak dijelaskan darimana ORANG-ORANG dan BEBERAPA ULAMA itu mengambil rujukan. Sebagiannya hanya berdasarkan gosip atau rumor yang dihembuskan oleh para penguasa Bani Umayyah lewat hasil karya Sayf Ibn Umar; sebagian lagi dihasilkan lewat kreatifitas para pendongeng pada waktu itu dimana setiap orang yang bercerita menambahkan atau menyisipkan cerita mereka ke cerita yang sudah beredar sehingga menjadi cerita yang kita kenal sekarang ini.


Ini bisa kita ketahui secara mudah ketika kita melihat para pengarang itu melaporkan kisah-kisah yang kelihatan jelas sangat janggal dan tidak masuk akal. Laporan-laporan yang dimaksud banyak sekali disampaikan oleh penulis yang telah menulis buku atau kitab “Al-Milal wa Nihal” (kisah tentang peradaban dan kebudayaan) atau “al-Firaq” (tentang perpecahan atau sekte-sekte).


Di kalangan kaum Ahlu Sunnah ada beberapa orang ulama yang menyebutkan nama ABDULLAH BIN SABA tanpa menyebutkan “sumber rujukan” untuk klaim. Mereka adalah sebagai berikut: 


1. Ali Ibn Isma’il al-Asy’ari (meninggal tahun 330) dalam kitabnya “Maqalat al-Islamiyyin” (Essay tentang Kaum Muslimin) 


2. Abdul Qahir Ibn Tahir al-Baghdadi (meninggal tahun 429) dalam kitabnya “al-Farq Bain al-Firaq” (Perbedaan Dari Berbagai Aliran)


3. Muhammad Ibn Abdil Karim al-Shahrastani (meninggal tahun 548) dalam kitabnya “al-Milal wan Nihal” (Peradaban dan Kebudayaan)


Para ulama Sunni di atas tidak pernah memberikan rantai sanad untuk kisah tentang “Abdullah bin Saba” yang mereka tuliskan dalam kitab-kitab yang mereka tulis di atas. Mereka menuliskan nama-nama aliran yang mereka sebut sebagai aliran dalam Islam padahal aliran-aliran itu tidak pernah ada dalam kehidupan nyata. Mereka menyebutkan “Aliran-aliran Islam” khayalan yang memperparah perpecahan diantara kaum Muslimin. “Aliran-aliran khayalan” yang mereka sebutkan memiliki nama-nama yang aneh seperti “Kaum al- Kawusiyyah”; “Kaum al-Tayyarah”; “Kaum al-Mamturah”; “Kaum al-Ghrabiyyah”; “Kaum al-Ma’lumiyyah”; “Kaum al-Majhuliyyah”!!! dan masih banyak lagi TANPA SEDIKITPUN RUJUKAN yang bisa memperkuat klaim mereka ketika mereka menuliskan nama-nama firqah itu. 


Karena mereka hidup pada abad pertengahan, para penulis ini menganggap bahwa semakin aneh cerita mereka dan semakin tidak masuk akal kejadian yang mereka ceritakan maka semakin tinggi kedudukan cerita mereka di atas cerita lainnya. Jadi mereka berlomba-lomba untuk membuat kisah mereka agar semakin aneh dan semakin tidak masuk akal karena mereka menganggap bahwa itulah yang akan membuat kedudukan mereka menjadi tinggi di mata masyarakat. Dan itulah yang terjadi........ mereka telah membuat kerusakan dalam sejarah Islam yang seharusnya berisi laporan yang otentik dan masuk akal serta ilmiah. Mereka pada hakikatnya telah melakukan tindak kejahatan secara sengaja atau tak sengaja karena telah melakukan kebohongan publik di kalangan kaum Muslimin selain juga menuduh kaum Muslimin atas apa-apa yang mereka tidak pernah lakukan. 


Beberapa dari mereka malah bertindak lebih jauh lagi. Mereka memasukkan legenda-legenda yang tidak masuk akal dan dongeng-dongeng peri yang kepalsuannya sudah barang tentu mudah sekali untuk diketahui dan dideteksi sampai saat ini. 


Kita lihat saja apa yang dikemukakan oleh al-Shahrastani dalam kitabnya “al-Milal wan Nihal” dimana ia menggambarkan sekelompok makhluk setengah manusia yang disebut dengan “al-Nas-Naas” yang memiliki wajah setengah, mata satu, tangan satu, dan kaki satu. Kaum Muslimin digambarkan bisa berkomunikasi dengan makhluk setengah manusia itu dan bahkan makhluk-makhluk itu bisa membuat puisi dan saling balas melontarkan puisi!!!! Beberapa orang Islam malah memburu makhluk setengah manusia ini dan memakan mereka!!!! Makhluk setengah manusia ini bisa melompat lebih cepat dari pada seekor kuda dan mereka makan dengan cara memamah biak!!! al-Shahrastani lebih jauh lagi menyebutkan bahwa al-Mutawakkil—salah seorang khalifah dari Bani Abbasiyyah—memerintahkan para ilmuwan pada masa itu untuk menyelidiki makhluk-makhluk ini!!! (LIHAT: “al-Milal wan Nihal karangan Shahrastani). 


Orang-orang pada waktu itu tidak memiliki alat yang memadai yang bisa mereka gunakan untuk membedakan mana kebohongan dan mana kebenaran ketika mendengar cerita-cerita yang tidak realistik ini dan mungkin saja mereka lebih suka kepada dongeng-dongeng yang lebih tidak masuk akal lagi yang menurut mereka lebih menjamin kebenarannya, meskipun semua dongeng itu sama sekali tidak ada rujukan yang pasti.


Kalau kita menggunakan penelitian kronologis dari masa hidup para penulis ini, maka kita bisa menyimpulkan dengan pasti bahwa mereka semua hidup jauh setelah Sayf Ibn Umar mati dan bahkan sebagian dari mereka lahir setelah masa hidup al-Tabari. Jadi adalah sangat mungkin apabila mereka mendapatkan semua cerita tentang “Abdullah bin Saba” itu dari Sayf sendiri. Klaim ini menjadi sangat kuat ketika seorang pengamat mengamati bahwa tidak ada satupun dari penulis itu mencantumkan sumber rujukannya karena mungkin mereka tidak ingin menjatuhkan kredibilitas diri mereka sendiri dengan mencantumkan rujukan dari Sayf bin Umar yang pada waktu itu dikenal sebagai pribadi yang bermasalah. 


Sementara itu, kita tidak menemukan satupun referensi tentang tokoh “Abdullah bin Saba” ini dari referensi yang lebih tua daripada yang ditulis oleh Sayf Ibn Umar. Ini sekaligus menunjukkan bahwa Sayf Ibn Umar- lah yang pertama kali menulis tentang “Abdullah bin Saba”. Kesimpulan lain yang mungkin pula bisa masuk akal ialah (apabila Abdullah Ibn Saba itu memang ada) bahwa Abdullah bin Saba itu sama sekali bukan tokoh yang penting hingga para sejarah sebelum Sayf Ibn Umar memunculkannnya. Jadi wal hasil, Abdullah bin Saba itu adalah tokoh yang diangkat atau dibuat oleh Sayf Ibn Umar al-Tamimi dan kemudian diperkenalkan kemana-mana untuk tujuan tertentu (itupun kalau Abdullah Ibn Saba itu benar-benar ada). 


Di kalangan kaum Syi’ah sendiri ada dua orang yang menceritakan tentang Abdullah bin Saba juga tanpa referensi sama sekali. Mereka berdua tidak menunjukkan dari mana cerita mereka sendiri berasal. Dua orang Syi’ah itu ialah: 


1. Sa’ad Ibn Abdillah al-Asy’ari al-Qummi (meninggal pada tahun 301H). Ia menyebut-nyebut tentang Abdullah bin Saba dalam kitabnya yang berjudul “al-Maqalat wal Firaq” dimana dalam salah satu tulisannya disebutkan laporan tentang Abdullah bin Saba. Akan tetapi ia tidak menyebutkan rantai sanad dari cerita yang ia tuliskan itu; juga tidak disebutkan dari kitab mana cerita tentang Abdullah bin Saba itu berasal. Lebih lanjut lagi, al-Asy’ari al-Qummi itu malah lebih banyak mengutip hadits-hadits dari kalangan Ahlu Sunnah. Al-Najasyi (meninggal tahun 450H) dalam kitabnya “al-Rijal” menyebutkan bahwa al-Asy’ari al- Qummi itu telah melakukan banyak sekali perjalanan ke pelbagai tempat dan ia juga dikenal kedekatannya dengan para sejarawan Ahlu Sunnah dan ia telah mendengar banyak sekali cerita dari para sejarawan itu. Al-Qummi menuliskan banyak sekali laporan dari apa-apa yang sudah ia dengar dan salah satu yang ia dengar ialah cerita tentang Abdullah Ibn Saba.............dan tanpa rujukan yang pasti sama sekali.......seperti biasa. 


2. Hasan Ibn Musa al-Nawbakhti (meninggal tahun 310H). Ia adalah seorang sejarawan Syi’ah yang menyebutkan dalam kitabnya yang berjudul “al-Firaq”, sebuah laporan dimana di dalamnya disebut-sebut nama Abdullan Ibn Saba. Meskipun begitu, ia sama sekali tidak menyebutkan darimana ia mendapatkan laporan itu dan apa sumber yang dijadikan rujukan untuk itu. 


Kedua orang di atas ialah orang-orang yang disebut-sebut sebagai penganut Syi’ah yang secara jelas menuliskan tentang keberadaan seseorang yang disebut sebagai Abdullah Ibn Saba—yang dilaporkan pernah hidup pada masa Imam Ali. Anda bisa lihat dengan jelas bahwa keduanya menuliskan tentang “Abdullah Ibn Saba” itu lama setelah Sayf Ibn Umar atau al-Tabari menuliskan tentang itu dalam kitab-kitab mereka. Oleh karena itu, ada kemungkinan yang kuat bahwa mereka berdua mendapatkan informasi tentang “Abdullah Ibn Saba” itu dari Sayf Ibn Umar atau dari orang-orang yang telah mengutip dari Sayf Ibn Umar seperti al-Tabari, misalnya. Ini tampak lebih mungkin lagi ketika kita melihat bahwa mereka berdua seringkali menuliskan kata-kata yang tidak pasti seperti “BEBERAPA ORANG BERKATA INI DAN ITU.....” tanpa menyebutkan dari mana laporan itu berasal dan siapakah yang dimaksud dengan “BEBERAPA ORANG” itu. 


Beberapa laporan tentang “Abdullah Ibn Saba” yang disampaikan tidak melalui Sayf Ibn Umar Kita harus sampaikan di sini bahwa ada kurang dari 14 laporan yang ada di dalam khasanah Syi’ah maupun Ahlu Sunnah yang menyebutkan tentang keberadaan Abdullah Ibn Saba. Kesemuanya disertai dengan rantai sanad yang mana dalam rantai sanad itu nama Sayf Ibn Umar tidak disebut-sebut.


Di jalur Syi’ah sendiri ada nama al-Kushshi (atau al-Keshshi atau sering juga disingkat Kash—meninggal tahun 369H) yang menulis kitab berjudul “Rijal” pada tahun 340H. Dalam kitab itu, ia menuliskan beberapa hadits yang di dalamnya disebut-sebut nama Abdullah Ibn Saba. Hadits-hadits itu dinisbahkan kepada para Imam Ahlul Bayt seperti yang akan kami paparkan di bawah ini. 


Hadits-hadits yang dinisbahkan (disangkut-pautkan) kepada para Imam Ahlul Bayt ini agak berbeda dalam isinya dibandingkan dengan apa yang dikarang sendiri oleh Sayf Ibn Umar. Meskipun begitu, para ulama Syi’ah telah menemukan bahwa kitab karangan al-Kushshi itu penuh dengan kesalahan yang melimpah di sana-sini terutama kalau menyangkut masalah nama seseorang atau redaksi kalimatnya yang berlainan. Di dalam kitab karangan al-Kushshi itu juga terlalu banyak hadits-hadits yang lemah dan oleh karena itu kitab karangan al-Kushshi itu tidak pernah menjadi referensi kaum Syi’ah karena isinya tidak bisa dipercaya. Selain itu juga kitab karangan al-Kushshi itu juga menuliskan banyak laporan atau riwayat yang tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits utama yang 4 yang dipakai oleh kaum Syi’ah (LIHAT: untuk mengetahui lebih jauh tentang kesalahan-kesalahan fatal yang ada dalam Kitab-nya al-Kushshi ini bisa anda lihat penjelasannya di dalam Kitab al-Rijal yang ditulis oleh al-Tusteri—juga oleh al-Askari). 


Para ulama Syi’ah yang lain ada juga yang menyebut-nyebut tentang Abdullah Ibn Saba dan mereka mengutip dari kitabnya al-Kushshi atau dari para sejarawan yang lain yang sudah kami bahas di atas 
seperti al-Asy’ari al-Qummi dan al-Nawbakhti yang menuliskan “hadits-hadits riwayat” mereka dengan tanpa menuliskan para sanad-nya atau sumber rujukan darimana mereka mengutip “hadits-hadits” tersebut. Yang mengutip dari kitab-nya al-Kushshi (Kash) ialah: Shaikh al-Tusi (meninggal tahun 460H), Ahmad Ibnu Tawus (meninggal tahun 673H); dan Allama al-Hilli (meninggal tahun 726H), dan lain sebagainya. 


Sementara itu dari kaum Sunni—selain yang disampaikan oleh Sayf Ibnu Umar dan yang mengutip dari Sayf Ibn Umar seperti yang telah kami jelaskan di atas—ada juga laporan lain yaitu yang berasal dari Ibn Hajar al-Asqalani yang memberikan informasi yang serupa dengan yang diberikan oleh al-Kushshi (Kash). Berikut adalah beberapa poin tentang laporan dari kedua kalangan itu yang berbeda dengan yang dilaporkan oleh Sayf Ibn Umar: 


1. Kisah yang disampaikan oleh kalangan Sunni dan Syi’ah ini benar-benar berbeda dari apa yang disampaikan oleh Sayf Ibn Umar. Dalam hadits-hadits jenis ini digambarkan bahwa ada seorang laki-laki miskin yang bernama Abdullah Ibn Saba yang muncul pada MASA PEMERINTAHAN IMAM ALI (as.). Ia mengaku-aku sebagai seorang Nabi dan menyebutkan bahwa ALI itu adalah TUHAN. Ketika Imam Ali mendengar hal ini maka ia langsung memenjarakan orang itu dan memintanya untuk bertobat. Ia tidak mau bertobat dan oleh karena itu Imam Ali memerintahkan untuk membakarnya. Hadits-hadits jenis ini menyebutkan bahwa kemudian Imam Ali dan para keturunannya mengutuk orang ini (Abdullah Ibn Saba) dan menolak klaim ketuhanan Imam Ali. Demikianlah hadits-hadits jenis ini dalam bentuk aslinya. 


2. Hadits-hadits jenis ini (jumlahnya kurang dari 14 buah) SAMA SEKALI TIDAK KITA TEMUKAN dalam kitab sahih. Malahan NAMA ABDULLAH BIN SABA pun tidak terdapat dalam 6 kitab hadits sahih dari kalangan Sunni. Lebih jauh lagi, hadits-hadits seperti ini TIDAK PERNAH DIANGGAP SAHIH baik oleh kalangan Sunni maupun Syi’ah sekaligus menunjukkan bahwa kemungkinan besar orang yang namanya ABDULLAH BIN SABA itu TIDAK PERNAH ADA. Kesemuanya malah menunjukkan bahwa tokoh Abdullah Ibn Saba benar-benar tokoh khayalan ciptaan Sayf Ibn Umar—sama seperti 150 buah sahabat khayalan yang pernah dikarang oleh Sayf Ibn Umar sebelumnya; yang sama sekali tidak pernah disebut-sebut namanya dalam hadits-hadits lain selain yang melalui Sayf Ibn Umar. Karena Abdullah Ibn Saba itu karangan Sayf Ibn Umar maka Sayf bisa menggunakan tokoh itu sekehendak dia. Bukan itu saja, laporan- laporan dari Sayf itu ternyata juga bertentangan dengan laporan-laporan lainnya yang berasal dari kalangan Sunni (seperti yang akan kami jelaskan pada kesempatan lain, Insya Allah). Kejadian-kejadian yang dikarang atau direkayasa itu sangat mudah untuk dideteksi bahkan oleh para ulama Sunni sekalipun. 


Sekarang akan kami berikan kepada anda beberapa hadits yang tidak disampaikan oleh Sayf dan BANDINGKANLAH apa-apa yang disebutkan oleh Sayf tentang Abdullah Ibn Saba dengan penggambaran Abdullah Ibn Saba yang disebutkan dalam “hadits-hadits” yang dinisbahkan kepada para Imam Ahlul Bayt ini: 


“Hadits” ini dinisbahkan kepada Abu Ja’far (as) yang konon bersabda: 


“Abdullah Ibn Saba seringkali mengaku bahwa dirinya itu seorang Nabi dan mengaku bahwa Amirulmukminin Ali (as) itu sebagai Tuhan. Allah itu Maha Tinggi dan jauh lebih tinggi daripada yang disangkakan olehnya. Berita ini akhirnya sampai kepada Amirulmukminin Ali (as) dan kemudian memanggilnya dan menanyainya tentang hal itu. Akan tetapi ia tetap mengulangi apa yang ia pernah sampaikan kepada orang-orang dan kemudian ia berkata: “Engkau itu adalah DIA (Tuhan—red), dan telah diwahyukan kepadaku bahwa engkau itu Tuhan dan aku adala seorang Nabi.” Kemudian Amirulmukminin berkata: “Betapa beraninya kamu! Setan telah mengolok- olokmu. Bertobatlah dari apa-apa yang telah engkau katakan. Semoga ibumu masih mau menangisi kematianmu! Berhentilah dari apa-apa yang engkau katakan.” Akan tetapi ia menolak dan lalu Imam Ali memenjarakan dirinya dan memintanya sebanyak tiga kali agar bertobat, akan tetapi ia menolak. Kemudian Imam Ali membakarnya dan berkata: “Setan telah mempengaruhinya; ia seringkali datang menemuinya dan kemudian setan mempengaruhi pikirannya.” (LIHAT: Rijal, oleh al-Kushshi) 


Kemudian dalam “Hadits” lainnya yang dinisbahkan kepada Imam Ali Ibn Husein (as) adalah sebagai berikut. Imam Ali Ibn Husein dilaporkan “pernah” berkata:


“Semoga Allah mengutuk orang-orang yang telah berdusta tentang kami. Aku menyebutkan nama Abdullah Ibn Saba dan setiap rambut yang ada di tubuhku langsung berdiri; Allah telah mengutuknya. Imam Ali (as) itu, demi Allah, hanyalah seorang hamba Allah dan saudara dari Rasulullah. Ia tidak mendapatkan kemuliaan dari Allah kecuali karena ketaatannya saja pada Allah dan RasulNya. Dan Rasulullah tidak mendapatkan kemuliaan apapun dari Allah kecuali karena ketaatannya kepada Allah.” (LIHAT: Rijal, oleh al-Kushshi) 


Ini satu lagi “Hadits” yang dinisbahkan kepada seorang Imam Ahlul Bayt.Dilaporkan bahwa Abu Abdillah (as) pernah berkata: 


“Kami ini adalah keluarga yang beserta kebenaran. Akan tetapi kami tidak selamat sepenuhnya dari seorang pembohong yang berbohong mengenai kami untuk merusak kebenaran tentang kami dengan kebohongannya yang kemudian disebarkan kepada orang-orang. Rasulullah adalah orang yang paling benar diantara manusia atas apa yang ia katakan (Lahjatan) dan yang paling bisa dipercayai diantara manusia. Dan Musaylamah seringkali berdusta tentang Rasulullah. Amirulmukminin adalah yang paling benar diantara ciptaan Allah setelah Rasulullah; dan orang yang biasa berdusta tentangnya dan mencoba untuk merusak kebenaran dan berdusta tentang Allah ialah Abdullah Ibn Saba.” (LIHAT: Rijal, oleh al-Kushshi)


“Hadits” lainnya ialah: 

“Ketika ia (Aba Abdillah—Ja’far al-Sadiq) sedang memberitahu para sahabatnya tentang Abdullah Ibn Saba dengan apa yang dikatakannya tentang Ketuhanan Amirulmukminin (Ali Ibn Abi Thalib), ia berkata: ‘Ketika ia mengatakan itu tentang Ali, ia memintanya untuk bertobat akan tetapi ia menolak, lalu ia membakarnya dengan api.” (LIHAT: Rijal, oleh al-Kushshi) 


Sementara itu dari kalangan Ahlu Sunnah (Sunni), ada beberapa laporan dari Ibn Hajar al-Asqalani yang berisikan laporan yang persis sama dengan apa yang dilaporkan oleh al-Kushshi (Kash). Ibn Hajar menyebutkan:


“Abdullah Ibn Saba adalah salah seorang dari kaum al-Ghulat; atau seorang dualis/saduki/zindiq atau seorang sesat yang kemudian Ali membakarnya dengan api.” (LIHAT: Lisan al-Mizan, oleh Ibn Hajar al-Asqalani, volume 3, halaman 289)


Kemudian Ibn Hajar melanjutkan: 

“Ibn Asakir menyebutkan dalam kitab Tarikh-nya bahwa asal usul dari lelaki itu (Abdullah Ibn Saba) adalah dari Yaman dan ia itu seorang Yahudi yang memeluk Islam dan berkelana di pelbagai kota kaum Muslimin dan mendakwahkan kepada mereka untuk tidak mentaati para pemimpin mereka; membisikkan bisikan setan kepada mereka; dan kemudian ia memasuki kota Damaskus dengan tujuan yang sama.” Kemudian Ibn Asakir menyebutkan sebuah CERITA PANJANG yang ia kutip dari kitab al-Futuh karangan Sayf Ibn Umar yang sudah barang tentu tidak memiliki rantai isnad sama sekali.” (LIHAT: Lisan al-Mizan, oleh Ibn Hajar al-Asqalani, volume 3, halaman 289) 


Kemudian setelah itu Ibn Hajar sebuah “hadits” yang mana dua orang dari sanadnya hilang. Dalam catatan kakinya ia mengatakan bahwa hadits itu sendiri sudah dihapuskan. Inilah hadits yang dimaksud: 


“Ali naik keatas mimbar dan kemudian ia berkata: ‘Ada apa gerangan dengan orang ini? Orang- orang berkata: Ia telah berdusta atas nama Allah dan RasulNya.” (LIHAT: Lisan al-Mizan, oleh Ibn Hajar al-Asqalani, volume 3, halaman 289) 


Dalam “hadits” yang lain, Ibn Hajar melaporkan: 

“Ali berkata kepada Abdullah Ibn Saba: ‘Aku telah diberitahu bahwa akan datang 30 orang pembohong (yang mengaku sebagai nabi) dan engkau adalah salah satu dari mereka’” (LIHAT: Lisan al-Mizan, oleh Ibn Hajar al-Asqalani, volume 3, halamana 290) 

Ia juga menuliskan seperti berikut ini: 

“Ibn Saba dan para pengikutnya itu meyakini ketuhanan Ali Ibn Abi Thalib, dan tentu saja Ali kemudian membakarnya dengan api pada masa kepemimpinannya.” (LIHAT: Lisan al-Mizan, oleh Ibn Hajar al-Asqalani, volume 3, halaman 290) 


Hadits-hadits Sunni di atas tidak dikatagorikan shahih oleh Ahlu Sunnah sendiri. Jumlah dari “hadits-hadits” seperti ini (yang diriwayatkan baik di kalangan Ahlu Sunnah—yang diriwayatkan oleh orang-orang yang bukan Sayf Ibn Umar—dan Syi’ah) tidak lebih dari 14 buah saja jumlahnya dan itu bisa langsung berkurang kalau kita menghitung hadits-hadits yang memiliki redaksi sama dengan hitungan satu hadits. Keseluruhan “hadits” ini memiliki kandungan matan yang berbeda dengan yang disampaikan oleh Sayf Ibn Umar. Perbedaannya ialah sebagai berikut:


1. Abdullah Ibn Saba muncul pada masa pemerintahan Imam Ali Ibn Thalib; sementara di dalam “hadits- hadits” yang disampaikan oleh Sayf Ibn Umar, Abdullah Ibn Saba digambarkan muncul pada masa pemerintahan Utsman Ibn Affan 


2. Abdullah Ibn Saba tidak menyebutkan bahwa Ali itu sebagai pengganti atau pewaris Nabi seperti yang digambarkan oleh Sayf Ibn Umar. Dalam “hadits-hadits” yang tidak disebutkan oleh Sayf Ibn Umar, Ali diklaim sebagai Tuhan oleh Ibn Saba. 


3. “Hadits-hadits” yang tidak melalui Sayf Ibn Umar disebutkan bahwa Imam Ali (as) membakar Ibn Saba beserta para pengikutnya (kaum Ghulat). Sementara hal ini tidak disebutkan sama sekali oleh Sayf Ibn Umar. 


4. Dalam “hadits-hadits” yang tidak melalui Sayf Ibn Umar, sama sekali tidak disebutkan peran dan keberadaan Abdullah Ibn Saba pada masa pemerintahan Utsman (jadi, tiba-tiba saja muncul). Ia tidak disebutkan bahwa ia itu menghasut orang-orang untuk menentang Utsman yang berakhir dengan pembunuhan Utsman Ibn Affan seperti yang disebutkan oleh Sauf Ibn Umar 


5. Juga tidak disebutkan bahwa Abdullah Ibn Saba itu terlibat atau berperan dalam peperangan Unta (Perang Unta/Perang Jamal) seperti yang disebutkan oleh Sayf Ibn Umar


6. Dalam “hadits-hadits” yang tidak melewati Sayf Ibn Umar juga tidak disebutkan keterlibatan beberapa sahabat Nabi yang utama yang disebut-sebut telah mengikuti langkah Abdullah Ibn Saba. Sementara itu Sayf Ibn Umar mencemarkan nama baik dari beberapa sahabat Nabi yang mulia seperti Abu Dzar al- Ghifari dan Ammar Ibn Yassir. Mereka berdua dituding atau lebih tepatnya direkayasa menjadi sahabat setianya Abdullah Ibn Saba pada masa pemerintahan Utsman Ibn Affan.

Al-Saba’iyah dan karakter Abdullah Ibn Saba yang berbagai macam Pada awal masa Islam (pra-Islam) istilah Saba’iyah itu digunakan untuk menyebutkan para keturunan dari Saba, putera dan Yasyhub, putera dari Ya’rub, putera dari Qahtan (dari kata ini ada kata Qahtaniyyah). Mereka juga seringkali disebut sebagai kaum “Yamaniyyah” karena mereka berasal dari tanah Yaman. 


Kelompok bangsa atau suku ini (bangsa Saba’iyyah/Qahtaniyyah/Yamaniyyah) bisa dibandingkan dengan suku “Adnaniyyah” atau Nazariyyah” dan “Mudhariyyah” yang dulunya merupakan anak keturunan Mudhar puteranya Nazar, puteranya Adnan dan kemudian terus bersambung hingga Nabi Ismail (as) putera dari Nabi Ibrahim (as). Ada suku-suku lainnya yang merupakan sekutu dari suku-suku tersebut dan mendapatkan perlindungan dari suku-suku tersebut. Dan pada waktu itu suku-suku lain yang mendapatkan perlindungan itu diberinama yang sama dengan suku-suku yang melindunginya.


Pada umumnya, semua suku Arab itu berpangkal kepada salah satu dari dua suku induk (Qahtaniyyah dan Adnaniyyah) tersebut di atas. Ketika kedua suku tersebut di atas bergabung di kota Madinah untuk membentuk masyarakat Muslimin pertama yang dimpipin oleh Rasulullah pada tahun 0H, suku-suku yang berpangkal kepada suku Qahtan dinamai dengan kelompok Anshar yang bermukim dan bertempat tinggal di kota Madinah pada waktu itu. Sedangkan suku-suku yang berpangkal kepada suku Adnan dan sekutunya dan kemudian berhijrah ke kota Madinah disebut kaum Muhajirin.


Abdullah bin Wahab al-Saba’i—pemimpin pertama dari kelompok Khawarij (kelompok yang menentang Imam Ali as. selama masa kepemimpinannya) berasal dari suku Saba’iyyah atau Qahtahiyyah di atas. Ketika perpecahan makin meluas diantara kedua suku Adnan dan Qahtan di Madinah dan Kufah, kelompok suku Adnan seringkali menyebut kelompok suku Qahtan dengan sebutan suku Saba’iyyah. Walaupun begitu, sebutan atau panggilan semata-mata karena kesukuannya atau etnisitasnya hingga kemudian Sayf Ibn Umar (yang berasal dari kelompok suku Adnan) mulai menggunakan nama suku ini dengan muatan lebih. Sayf Ibn Umar yang muncul pada abad kedua pada masa rezim pemerintahan Bani Umayyah di Kufah, mulai mengambil keuntungan dari perpecahan antar suku ini dengan menciptakan dan memunculkan tokoh fiktif Abdullah Ibn Saba dimana Abdullah Ibn Saba dijadikan tokoh utamanya dari suku itu sekaligus mengubah nama suku (Saba’iyyah) menjadi nama sekte yang digambarkan mengikuti pemahaman agama dari Abdullah Ibn Saba.


Nama Abdullah Ibn Saba itu sendiri kemungkinan besar Sayf Ibn Umar mengubah nama Abdullah (bin Wahab) al-Saba’i seperti yang dijelaskan di atas menjadi Abdullah Ibn Saba yang ada dalam tulisan-tulisan atau laporan-laporan dari Asy’ari, al-Sama’ni dan Maqrizi. Nama Abdullah Ibn Saba bisa jadi juga diciptakan oleh Sayf Ibn Umar sendiri (jadi ia menciptakan ceritanya sekaligus tokohnya yaitu ABDULLAH IBN SABA). Meskipun begitu, tetap saja tidak ada bukti bahwa Abdullah Ibn Saba itu pernah ada pada masa rezim pemerintahan Utsman bin Affan atau Ali Ibn Thalib. Kalaupun ada orang yang namanya hampir-hampir mirip dengan Abdullah Ibn Saba itu ialah Abdullah Ibn Wahab al-Saba’i yang pernah hidup di jaman kedua khalifah itu dan ia adalah pemimpin kaum Khawarij seperti yang kami jelaskan di atas. 


Orang-orang yang tinggal di jazirah Arabia juga tahu bahwa orang-orang yang namanya diembel-embeli nama “Saba’i” (yang artinya ia berasal dari suku Qahtan) sudah tidak ada lagi atau hampir punah terutama di Iraq sana dimana kisah tentang Abdullah Ibn Saba itu berasal. Kebiasaan memberikan nama “Saba’i” di kalangan suku Qahtan ini berlangsung pada abad kedua hingga ketiga Hijriah terutama di daerah-daerah seperti Yaman, Mesir, Spanyol dimana sejumlah perawi Hadits (termasuk beberapa perawi hadits yang namanya ada di dalam kumpulan hadits-hadits Sunni yang enam) dari kalangan Ahlu Sunnah memiliki nama Saba’i karena mereka memiliki hubungan kekerabatan Saba Ibn Yasyhub dan bukan karena mereka terhubung pada tokoh fiktif bernama Abdullah Ibn Saba (yang konon dulunya seorang Yahudi yang menimbulkan huru-hara besar seperti yang didongengkan oleh Sayf Ibn Umar). 


Kemudian hari setelah kitab-kitab Tabari dan kitab-kitab lainnya yang di dalamnya terdapat dongeng tentang Abdullah Ibn Saba itu menyebar luas, kebiasaan memberinama anak dengan nama Saba’i itu ada dimana-mana. Kalau kita mengacu pada kitab-kitab itu, maka nama SABA’I itu ditujukan kepada orang- orang yang mengikuti Abdullah Ibn Saba sendiri meskipun dalam kehidupan nyata para pengikut Ibn Saba ini tidak ada orangnya karena yang diikutinya juga tidak pernah hadir dalam kehidupan nyata. Kisah “Abdullah Ibn Saba” itu akhirnya menyebar dan berkembang selama bertahun-tahun dengan jumlah pengarang yang terus bertambah dan jumlah orang percaya juga terus bertambah. Pada saat yang bersamaan, bagi Sayf Ibn Umar (pembuat cerita Abdullah Ibn Saba) Abdullah Ibn Saba itu adalah Ibn al- Sauda; sedangkan “Karakter” Abdullah Ibn Saba itu menjadi 2 pribadi yang berbeda pada abad 5 Hijriah disamping ada juga karakter-karakter mirip Abdullah Ibn Saba lainnya dalam berbagai laporan (LIHAT: “al- Farq” yang ditulis Abdul-Qahir Ibn Tahir al-Baghdadi). Kita bisa membatasi karakter-karakter yang mirip Abdullah Ibn Saba ini pada abad ke-5 sampai sekarang hingga menjadi 3 karakter saja, yaitu:


ABDULLAH BIN WAHAB AL-SABA’I, pemimpin Khawarij, yang menentang Imam Ali


ABDULLAH IBN SABA, yang konon pernah hidup dan ia membentuk kelompok Saba’iyyah yang mempercayai ketuhanan Imam Ali. Ia dan para pengikutnya kemudian dihukum dengan dibakar oleh api tidak lama setelah ia menyebarkan paham atau keyakinannya


ABDULLAH IBN SABA, juga dikenal nama lain yaitu IBN AL-SAUDA, dimana orang-orang mengutip cerita tentang IBN SABA ini dari SAYF IBN UMAR. Sayf menceritakan bahwa Ibn Saba ini adalah orang yang membuat kelompok Saba’iyyah yang percaya akan kepempinan Ali sebagai penerus Nabi; kemudian Ibn Saba itu dilaporkan menghasut orang-orang untuk menentang Utsman Ibn Affan yang mengawali peperangan Jamal.


YANG PERTAMA, memang tokoh sejarah dan memang pernah hidup dalam kehidupan nyata. Beberapa hadits yang disangkut-pautkan dengan Abdullah Ibn Saba sebenarnya berkenaan dengan tokoh ini yang dulunya merupakan tokoh pemimpin Khawarij.


YANG KEDUA, ada beberapa hadits yang telah kita diskusikan sebelumnya (yang tidak pernah dishahihkan oleh madzhab manapun) yang biasa dipakai untuk menyatakan bahwa tokoh ini pernah hidup di masanya. 


YANG KETIGA, adalah tokoh yang sengaja dikarang oleh Sayf Ibn Umar yang mungkin saja berasal dari sebuah cerita yang pernah ia dengar; bisa juga cerita yang berdasarkan kisah nyata sebelumnya dan kemudian ia menyadur cerita itu dan memasukkan tokoh khayalannya sehingga tokoh itu seakan-akan pernah ada dan hidup bersama kita.


Prestasi Sayf Ibn Umar Dalam bagian lain (bagian kedua dan ketiga) dari tulisan ini, kami hendak membandingkan kisah yang dibuat oleh Sayf Ibn Umar dengan kisah-kisah lainnya yang ditulis oleh orang lain. Sekarang kita akan diskusikan PRESTASI yang telah dibuat oleh Sayf Ibn Umar.


Sayf Ibn Umar itu dibayar untuk menuliskan kisah-kisah yang mana kisah-kisah itu akan digunakan untuk menutup-nutupi kesalahan orang-orang tertentu yang sudah terbukti dalam sejarah Islam pada masa awal. Kontroversi antara para sahabat ketika Rasulullah wafat (tahun 11H) hingga pertentangan berkelanjutan sampai tahun 40H menjadi fokus perhatian orang-orang yang membayar Sayf Ibn Umar. Sayf Ibn Umar hanya ditugaskan untuk menutup-nutupi sejarah Islam sepanjang kurun waktu tersebut (11H—40H) sedangkan sisanya bukan lagi urusan dia. 


Kontroversi pertama yang hendak ditutup-tutupi ialah sebuah kejadian yang berkenaan dengan ekspedisi pasukan Usamah dan saat-saat wafatnya Rasulullah. Kira-kira 4 hari sebelum Rasulullah wafat, Rasulullah memerintahkan kaum Anshar dan kaum Muhajirin (kecuali Ali Ibn Thalib) untuk meninggalkan kota Madinah dan pergi ke Syiria untuk bertempur melawan bangsa Romawi. Akan tetapi para sahabat senior membangkang dan tidak mau mematuhi perintah Rasulullah itu dan mereka malah mengeluhkan kebijakan Rasulullah yang menempatkan mereka di bawah komando seorang anak muda bernama Usamah (LIHAT: Sahih Bukhari, versi Arab-Inggris, hadits nomor 5. 552; 5.744; dan 5.745). Mereka menunda-nunda keberangkatan dan akhirnya mereka tidak jadi berangkat dan kembali ke kota Madinah untuk mendiskusikan tentang masalah suksesi kepemimpinan kalau Rasulullah wafat. 


Nah, disinilah Sayf masuk untuk membuat penipuan. Sayf menuliskan bahwa tidak ada pembatalan atau penundaan ekspedisi Usamah. Sayf berkata bahwa setelah Rasulullah wafat, malahan Abu Bakar menyuruh pasukan Usamah untuk segera bergegas dan membentak pasukan Usamah agar segera mematuhi perintah Nabi. Abu Bakar berkata, “Berangkatlah segera! Semoga Allah menghancurkan kalian dengan kebinasaan dan wabah penyakit!” (LIHAT: Referensi dari Sunni: Tarikh al-Tabari dan Tarikh dari Ibn Asakir yang melaporkan dari Sayf Ibn Umar tentang kejadian pada tahun 11H). 


Oleh karena laporan itu terasa aneh, maka para sejarawan tidak mau mengutip dan menggunakan laporan itu. Mereka tidak mau melaporkan kata-kata Abu Bakar yang dianggap aneh itu. Sayf sendiri (sebagai orang yang suka mencari sensasi) memiliki maksud yang tidak baik terhadap Islam dan sekaligus ia suka melakukan perbuatan yang bisa menyenangkan penguasa pada jamannya.


Kebohongan Sayf Ibn Umar lainnya ialah sebagai berikut: 

Sayf menceritakan sebuah kejadian tentang peristiwa Saqifah. Ia melaporkan seperti ini:


“Ali sedang berada di rumahnya ketika ia diberitahu bahwa Abu Bakar sedang duduk dan menerima bai’at kesetiaan dari orang-orang. Mendengar itu, Ali langsung pergi keluar dengan hanya mengenakan pakaian tidurnya saja dan bergegas karena ia takut ketinggalan memberikan bai’atnya. Kemudian sesampainya di luar, Ali memberikan bai’atnya kepada Abu Bakar dan ia kemudian menyuruh seseorang untuk mengambilkan pakaiannya. Setelah pakaiannya dibawakan, Ali mengenakan pakaian itu dan kemudian duduk bersama kerumunan (yang mengerumuni Abu Bakar)” 


(LIHAT: Referensi Sunni: History of al-Tabari, versi bahasa Inggris, volume 9, halaman 195—196, sesuai dengan laporan yang diberikan oleh Sayf Ibn Umar)


Kejadian yang menggelikan ini jelas sekali bertentangan dengan apa yang terdapat dalam kitab Sahih Bukhari dimana di sana disebutkan bahwa Imam Ali Ibn Thalib TIDAK MEMBERIKAN BAI’ATNYA kepada Abu Bakar hingga 6 bulan kekuasaan rezim pemerintahan Abu Bakar berlangsung. (LIHAT: Sahih al- Bukhari, versi Arab—Inggris, hadits nomor 5.546). 


Sayf sudah menghasilkan sekitar 7 buah kisah tentang Saqifah dan ia telah menggunakan (atau menciptakan) 3 orang sahabat khayalan yang dimasukkan kedalam kisah peristiwa Saqifah yang sebenarnya. Ke-3 orang “sahabat Nabi” itu namanya tak bisa kita dapati dalam kitab sejarah manapun selain kitab yang ditulis oleh Sayf Ibn Umar sendiri. Ke-3 sahabat itu namanya ialah QA’QA’, MUBASHSHIR, dan SAKHR. 


Legenda yang dibuat oleh Sayf Ibn Umar yang paling terkenal tentu saja LEGENDA ABDULLAH IBN SABA yang dengan kisah khayalannya itu, Sayf ingin mencoba membelokkan sejarah dan menceritakannya kepada kita semua. Sayf mencoba menceritakan tentang:


Munculnya Syi’ah 

Peristiwa pengusiran Abu Dzar (oleh Utsman Ibn Affan) 

Pembunuhan Utsman Ibn Affan (oleh kaum Muslimin) 

Perang Jamal atau Perang Unta (yang digelorakan oleh ‘Aisyah, Thalhah, dan Zubayr) 

Sayf ingin menjelaskan peristiwa-peristiwa tersebut di atas dengan gayanya sendiri dan demi menyenangkan pemerintah yang berkuasa pada waktu itu. 


Sayf juga mencoba untuk menghubung-hubungkan kisah palsu Abdullah Ibn Saba dengan munculnya Syi’ah Imam Ali (as) yang sekaligus membuktikan bahwa yang bersangkutan sama sekali tidak tahu (atau pengetahuannya kurang sekali) tentang Syi’ah. Karena kalau ia tahu tentang Syi’ah, maka Sayf Ibn Umar tidak akan menisbahkan keyakinan-keyakinan yang aneh-aneh yang sama sekali bukan keyakinan yang diyakini oleh kaum Syi’ah (para pengikut keluarga Ahlul Bayt Nabi).


Pada bagian berikutnya, Insya Allah, kami akan membahas kisah khayalan tentang Abdullah Ibn Saba ini dengan laporan-laporan yang ada di kalangan Ahlu Sunnah (Sunni). 


Kami akan sampaikan kepada anda seorang ulama bernama al-Askari yang memiliki prestasi tinggi. Ia telah mengungkapkan kebenaran dengan sangat meyakinkan. Dalam kitabnya yang berjudul “ABDULLAH IBN SABA DAN MITOS-MITOS LAINNYA”, al-Askari mengungkapkan bahwa Ibn Saba dan sepak terjangnya itu tak pernah ada dan tak pernah terjadi di dunia ini; sekaligus ia juga mengungkapkan bahwa kisah itu semua adalah hasil rekayasa dari Sayf Ibn Umar.


Kembalinya Rasulullah kedunia Sayf Ibn Umar mengisahkan bahwa Abdullah Ibn Saba itu pernah mengatakan bahwa Rasulullah itu akan kembali kedunia sebelum Hari Penghisaban. Sayf menuliskan bahwa Ibn Saba pernah berkata: “Seandainya Nabi Isa itu akan kembali kedunia, maka Muhammad juga akan kembali kedunia karena ia lebih penting daripada Nabi Isa” 


Konsep al-Raj’a atau al-Karra (konsep tentang kebangkitan tubuh orang yang meninggal ke dunia ini sebelum hari penghisaban) dinisbahkan oleh Sayf Ibn Umar kepada Abdullah Ibn Saba. Sayf Ibn Umar sengaja ingin mengelabui orang-orang agar mereka tersimpangkan dari jalan Islam yang lurus dan benar. Kalau saja Sayf Ibn Umar mau mempelajari Islam secara seksama maka ia tentunya bisa melihat dengan jelas bahwa Al-Qur’an dengan tegas mengungkapkan konsep al-Raj’a yang pernah beberapa kali terjadi dalam kehidupan masa lalu sebagai tanda dari kebesaran Allah. Kejadian ini terjadi bukan saja kepada individu tertentu tapi terhadap sebuah bangsa tertentu atau sekelompok umat tertentu; dan ini tentu saja tidak menutup kemungkinan akan terjadi lagi kelak sebagai tanda kekuasaan Allah itu sama sekali tidak pernah berakhir.


Meskipun sumber-sumber dari kalangan Syi’ah tidak pernah dijadikan bukti atau hujah oleh kalangan Sunni secara umum, banyak sekali hadits dari kalangan Ahlul Bayt (Syi’ah) yang menunjukkan konsep al-Raj’a dalam Al-Qur’an. Penarikan kesimpulan dari Al-Qur’an yang mereka gunakan begitu menarik dan sangat bisa dijadikan human oleh kelompok muslim manapun karena semua kelompok Islam percaya dan yakin serta beriman kepada Al-Qur’an yang sama. Oleh karena itu, ijinkanlah kami mengutip beberapa hadits dari Ahlul Bayt dan kami akan kelompokkan kedalam tiga kelompok, yaitu: 

Kebangkitan manusia pada masa lalu 

Kebangkitan manusia pada masa yang akan datang 

Kembalinya Rasulullah dan para Nabi lainnya 


Kebangkitan manusia pada masa lalu Al-Asbagh Ibn Nabata meriwayatkan bahwa Abdullah Ibn Abi Bakar al-Yasykari (juga dikenal sebagai Ibn al-Kawwaa—salah seorang yang berasal dari kelompok Khawarij) bertanya kepada Amirulmukminin Imam Ali tentang kemungkinan bangkitnya manusia setelah kematiannya. Imam Ali (as) kemudian menjawab: 


“Tidakkah engkau tahu bahwa Allah—yang maha Kuasa dan maha Mulia—berfirman dalam kitabNya, “Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohonkan tobat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan....”(QS. Al-‘Araf: 155).....Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang", karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya. Setelah itu Kami bangkitkan kamu sesudah kamu mati, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 55—56). Tidakkah engkau lihat wahai Ibn al-Kawwaa bahwa mereka itu bisa pulang kembali ke rumahnya masing-masing setelah mereka sempat meninggal dunia? Bukankah (setelah ayat tersebut di atas) kemudian Allah berfirman dalam kitabnya, “Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu "manna" dan "salwa" (QS. Al-Baqarah: 57)”. Dan ini terjadi setelah mereka mati dan Allah membangkitkan mereka kembali.”


Dan (aku akan ceritakan) kejadian yang sama dengan itu, wahai Ibn al-Kawwaa. Kepada anak-anak Israel Allah pernah berfirman:


“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; maka Allah berfirman kepada mereka: "Matilah kamu", kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 243) 


Dan Allah (milikNya semua Kemaha-perkasaan dan Kemahamuliaan) juga berfirman tentang Uzair dimana Allah berfirman: “Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: "Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?" Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: "Berapa lama kamu tinggal di sini?" Ia menjawab: "Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari". Allah berfirman: "Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya.......” Jadi janganlah ragu-ragu, wahai Ibn al-Kawwaa. Janganlah ragu-ragu terhadap kekuasaan Allah. KepadaNyalah Kemahaperkasaan dan Kemahamuliaan kembali. (LIHAT: al-Bihar, volume 53, halaman 72, Hadits no 72) 


Masih ada banyak lagi ayat-ayat Al-Qur’an tentang kembalinya orang yang sudah mati di masa lalu, diantaranya ialah (QS. Al-Baqarah: 260); (QS. Ali Imran: 49); (QS. An-Nahl: 38—41); (QS.Al-Kahfi: 18— 19); dlsb yang pembahasannya terpaksa kami lewat karena keterbatasan tempat. 


Kebangkitan manusia pada masa yang akan datang Dalam berbagai ayat dalam kitab suci Al-Qur’an ada beberapa petunjuk yang menggambarkan bahwa ada suatu masa di masa yang akan datang dimana para tokoh orang-orang beriman dan para tokoh orang- orang yang tidak beriman pada masing-masing masanya akan kembali ke dunia ini. Fenomena atau kejadian ini disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits dengan istilah al-Raj’a atau al-Karra. Ini akan terjadi pada masa kedatangan Imam Mahdi (as) dimana ia akan mendapatkan tantangan dari para tiran sepanjang zaman. Imam Mahdi pada saat itu akan menegakkan pemerintahan dunia yang penuh dengan keadilan dan ia harus berhadapan dengan para tiran yang tidak menyukai hal itu terjadi. Basir melaporkan: 


“Aku bertanya kepada Imam al-Sadiq (as) tentang ayat ini: “Dan (ingatlah) hari (ketika) Kami kumpulkan dari tiap-tiap umat segolongan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, lalu mereka dibagi-bagi (dalam kelompok-kelompok). (QS. An-Naml: 83)” Aku berkata: “Mereka berkata bahwa itu berkenaan dengan Hari Penghisaban.” Untuk itu Imam al-Sadiq (as) bersabda: “Apakah kamu berpikir bahwa Allah hanya akan sekelompok orang saja untuk masing-masing bangsa, dan tidak membangkitkan sisanya? Sesungguhnya ayat ini tentang al-Raj’a. Sementara ayat untuk menunjukkan Hari Penghisaban ialah ayat: “Dan (ingatlah) akan hari (yang ketika itu) Kami perjalankan gunung-gunung dan kamu akan melihat bumi itu datar dan Kami kumpulkan seluruh manusia, dan tidak Kami tinggalkan seorang pun dari mereka. (QS. Al-Kahfi: 47)” (LIHAT: Tafsir Ali Ibn Ibrahim, seperti yang dikutip dalam al-Bihar, volume 53, halaman 51, Hadits no 27) 


Ada lagi ayat lainnya yang kemudian dijelaskan oleh Imam Ja’far as-Sadiq (as). Ayat yang dimaksud ialah ayat: “Dan (ingatlah) hari (ketika) Kami kumpulkan dari tiap-tiap umat segolongan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, lalu mereka dibagi-bagi (dalam kelompok-kelompok). Hingga apabila mereka datang, Allah berfirman: "Apakah kamu telah mendustakan ayat-ayat-Ku, padahal ilmu kamu tidak meliputinya, atau apakah yang telah kamu kerjakan?" (QS. An-Naml: 83—84)” Imam Ja’far as-Sadiq bersabda: “Yang dimaksud dengan ayat-ayatKu adalah Amirul-mukminin dan para Imam setelahnya..........dan ayat ini tentang al-Raj’a” (LIHAT: Tafsir Ali Ibn Ibrahim, seperti yang dikutip dalam al-Bihar, volume 53, halaman 53, Hadits no 30).


Muhammad Ibn Muslim dan juga Abu Basir meriwayatkan: 

Ketika menjelaskan ayat berikut: “Dan telah (Kami) haramkan bagi kaum yang telah Kami binasakan bahwa mereka tidak akan mungkin kembali (QS. Al-Anbiya: 95)”, Imam al-Baqir (as) dan Imam al-Sadiq (as) keduanya bersabda: “Setiap kaum yang telah Allah binasakan dengan hukuman itu tidak akan kembali pada saat al-Raj’a. Ini menunjukkan bahwa ayat ini adalah salah satu dari tanda kebesaran dan kebenaran Allah karena tidak ada satupun diantara umat Islam yang menyangkal bahwa setiap manusia akan KEMBALI/DIBANGKITKAN pada Hari Penghisaban dengan tidak melihat apakah mereka akhirnya akan mendapatkan pahala atau siksa. Oleh karena itu, ketika ALLAH menyebutkan MEREKA TIDAK MUNGKIN KEMBALI itu menunjukkan bahwa mereka tidak akan dibangkitkan pada kejadian al-Raj’a (Kembalinya manusia kedunia). Sementara itu “mereka yang tidak kembali” akan tetap kembali pada Hari Penghisaban nanti untuk dimasukkan ke dalam api neraka.” (LIHAT: Tafsir Ali Ibn Ibrahim, seperti yang dikutip dalam al- Bihar, volume 53, halaman 52, Hadits no 29). 


Dalam menjelaskan ayat berikut: “Mereka menjawab: "Ya Tuhan kami Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula), lalu kami mengakui dosa-dosa kami. Maka adakah sesuatu jalan (bagi kami) untuk keluar (dari neraka)?" (QS. Al-Mukmin: 11)”, diriwayatkan bahwa Imam al- Baqir bersabda:


“Ayat ini khusus ditujukan untuk mereka (kaum Kuffar) yang kembali ke dunia ini setelah kematian mereka, dan ini adalah kalimat yang mereka ucapkan ketika mereka dikumpulkan pada Hari Penghisaban nanti (setelah kebangkitan mereka yang kedua). Jadi, mereka itu akan jauh (dari pengampunan) karena mereka adalah kaum yang berbuat dosa.” (LIHAT: al-Bihar, volume 53, halaman 116, Hadits no 139. Keterangan yang sama diberikan oleh Imam Ja’far as-Sadiq (as) dan Imam Ali al-Ridha (as). LIHAT: al-Bihar, volume 53, halaman 56, Hadits no 36, dan juga halaman 144). 


Menurut ayat di atas, pada Hari Penghisaban nanti kaum Kuffar yang telah mati dua kali akan meminta diberikan kesempatan yang ketiga kalinya agar mereka bisa bertaubat dari dosa-dosa yang telah mereka lakukan. Lihat terutama di ayat yang disebutkan di atas bahwa kematian itu disebutkan sebelum kehidupan (QS. Al-Mukmin: 11). Ini artinya bahwa kehidupan itu diartikan sebagai kebangkitan setelah kematian. Ada ada dua kematian bagi orang-orang seperti di atas dan setiap kali mereka mengalami kematian mereka akan dibangkitkan lagi kepada kehidupan. Dengan kata lain, setelah mereka mati di dunia ini, mereka akan kembali lagi ke dunia ini pada saat peristiwa al-Raj’a dan kemudian mereka akan dimatikan lagi setelah itu; untuk kemudian mereka akan dibangkitkan lagi pada Hari Penghisaban.


Dan lihatlah ayat berikut ini: “Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebahagian adzab yang dekat (di dunia) sebelum adzab yang lebih besar (di akhirat); mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. As-Sajdah: 21)”, dimana Mufadhdhal Ibn Umar menuliskan meriwayatkan sebuah riwayat yang berkenaan dengan penjelasan ayat itu: 


Imam Ja’far as-Sadiq (as) bersabda: “ADZAB YANG DEKAT yang dimaksud oleh ayat itu ialah al-Raj’a (saat ketika mereka kembali kedunia ini). Sedangkan ADZAB YANG LEBIH BESAR itu ialah hukuman yang didapatkan oleh manusia pada Hari Penghisaban dimana Allah berfirman, “(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. (QS. Ibrahim: 48)” (LIHAT: al-Bihar, volume 53, halaman 24) 


Selain itu ada ayat lain yaitu: “Dan sesungguhnya untuk orang-orang yang dzalim ada adzab selain itu. Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS. Ath-Thuur: 47)”, yang dijelaskan dalam sebuah riwayat berikut ini: 


Imam al-Baqir (as) bersabda: “Dan sesungguhnya bagi mereka yang bertindak semena-mena dan lalim terhadap hak keluarga Muhammad, akan ada hukuman sebelumnya (yaitu sebelum Hari Penghisaban). Meskipun begitu banyak orang yang tidak tahu, dan ini berkenaan dengan hukuman yang akan ditimpakan pada saat al-Raj’a.” (LIHAT: al-Bihar, volume 53, halaman 117, Hadits no 144)


Untuk ayat berikut ini: “Janganlah begitu! Kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu) (QS. At-Takaatsur: 3—4)”, Abdullah Ibn Najih meriwayatkan sebuah riwayat: 


Imam al-Sadiq (as) bersabda: “Kalimat yang pertama mengacu pada al-Karra (al-Raj’a) sedangkan kalimat kedua berkenaan dengan Hari Penghisaban.” (LIHAT: al-Bihar, volume 53, halaman 120, Hadits no 156) 


Muhammad Ibn Abdullah al-Husain meriwayatkan: 

Ayahku bertanya kepada Imam al-Sadiq (as): “Apa yang tuan akan katakan tentang al-Karra (Kebangkitan)?” Ia (as) kemudian bersabda: “Aku akan berkata sesuai dengan apa yang difirmankan oleh Allah—kepadaNya Kekuasaan dan Kemuliaan berasal—dan aku akan kembalikan penafsiran ini kepada Rasulullah......Allah berfirman: “Mereka berkata: "Kalau demikian, itu adalah suatu pengembalian yang merugikan". (QS. An-Naazi’aat: 12)”. Ini tentang kembalinya mereka kedunia (dan akan dihukum) dimana pembalasan terhadap mereka tidak akan berhenti di situ saja (artinya kembalinya mereka itu hanya akan mendatangkan kerugian bagi mereka karena hukuman yang akan mereka terima di dunia ini tidak akan menutupi hukuman yang kelak akan mereka terima di hari akhirat)” (LIHAT: al-Bihar, volume 53, halaman 46, Hadits no 17)


Zurara meriwayatkan: 

Aku bertanya kepada Imam al-Baqir (as) apakah kematian dan terbunuh itu sama artinya. Sang Imam menjawab: “Allah telah membedakan arti dari mati dan terbunuh di dalam Al-Qur’an. Kemudian Imam membacakan ayat, “.... Apakah jika dia wafat atau dibunuh ............”(QS. Ali Imran: 144) dan “Dan sungguh jika kamu meninggal atau terbunuh, tentulah kepada Allah saja kamu dikumpulkan”. (QS. Ali Imran: 158). “.......dan Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur'an.” (QS. at-Taubah: 111) “Dan Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati”. (QS. Al-Anbiyaa: 35)” “Tidakkah engkau lihat bahwa seseorang yang terbunuh (dengan senjata) tidak merasakan mati? Ia yang terbunuh atau dibunuh oleh sebilah pedang tidak sama dengan orang yang mati di atas ranjang pembaringan. Oleh karena itu (sambil merangkum ayat-ayat di atas), mereka (orang-orang beriman)yang terbunuh oleh sebilah pedang akan kembali hidup ke dunia ini dan kemudian meninggal seperti manusia normal lainnya” (LIHAT: al-Bihar, volume 53, halaman 65, Hadits no 58). 


Ayat (QS. At-Taubah: 111) yaitu “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar”, membuktikan bahwa SEMUA ORANG YANG BENAR-BENAR BERIMAN akan mati terbunuh dan ini adalah janji Allah. Allah menyebutkan bahwa mereka itu membunuh atau terbunuh. Sementara itu orang-orang beriman lainnya yang meninggal dengan proses alamiah akan dibangkitkan lagi dan kemudian bergabung bersama tentara Imam al-Mahdi (as) dan kemudian akan terbunuh dalam perang suci. Sedangkan orang-orang yang beriman yang sebelumnya mati terbunuh di dalam perang Jihad akan dibangkitkan kembali dan kemudian akan hidup dalam masa pemerintahan Imam Mahdi yang penuh dengan keadilan dan akhirnya mereka akan meninggal juga secara alami. Fakta ini telah disebutkan dalam berbagai Hadits termasuk hadits berikut ini: Abdurrahman Ibn Qasir meriwayatkan bahwa Imam al-Baqir (as) membacakan ayat berikut ini: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri mereka ....... (QS. At-Taubah: 111) dan kemudian bersabda: “Apakah engkau tahu apa arti dari ayat itu?” Imam (as) kemudian melanjutkan: “Siapapun diantara orang-orang beriman yang mati terbunuh akan dibangkitkan kembali hingga kemudian ia mati kembali secara normal; dan siapapun diantara orang beriman itu yang mati secara normal akan dibangkitkan kembali dan kemudian terbunuh di dalam Jihad. Dan ini adalah salah satu dari tanda kekuasaan Allah, jadi jangan coba-coba mengingkarinya.” (LIHAT: al-Bihar, volume 53, halaman 64, Hadits no 55). Dan tentang ayat: “Dan (ingatlah) hari (ketika) Kami kumpulkan dari tiap-tiap umat segolongan orang-orang.........” (QS. An-Naml: 83), Imam Ja’far as-Sadiq (as) bersabda: “Tidak akan tersisa satu orang beriman yang syahid pun yang tidak akan dibangkitkan sampai mereka semua satu persatu meninggal dunia. Dan tidak akan kembali kecuali memang ia orang yang sangat beriman atau orang yang sangat tidak beriman (yaitu orang- orang beriman tingkat tinggi dan orang-orang sesat tingkat tinggi)” (LIHAT: al-Bihar, volume 53, halaman 53, Hadits no 30) 


Himran Ibn A’ayun meriwayatkan: 

Aku bertanya kepada Abu Ja’far (as) “Apakah ada sesuatu yang terjadi kepada Bani Israel yang tidak akan terjadi kepada umat kita ini?” Imam (as) menjawab: “Tidak.” Kemudian aku bertanya: “Ceritakanlah kepadaku tentang arti dari firman Allah (tentang sekelompok Bani Israel) berikut ini: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; maka Allah berfirman kepada mereka: "Matilah kamu", kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.” (QS. al-Baqarah: 243), akankah MEREKA itu dibangkitkan kembali kedunia ini setelah mereka mati?” Imam (as) menjawab: “Benar. Bahkan Allah akan mengembalikan mereka kedunia ini hingga mereka tinggal untuk satu periode waktu lagi dan mereka makan serta minum dan menikah dan hidup selama Allah menghendaki, dan mereka kemudian akan meninggal (lagi) pada waktu yang telah ditentukan.” (LIHAT: Muntakhab al-Basa’ir, seperti dikutip dalam al-Bihar, volume 53, halaman 74, Hadits no 74)


Al-Hasan Ibn Jahm meriwayatkan: 

Al-Ma’mun bertanya kepada Imam Ali al-Ridha (as): “Wahai, Abal Hasan! Apa yang akan engkau katakan tentang al-Raj’a?” Imam (as) menjawab: “Itu adalah kebenaran. Sesungguhnya telah terjadi pada bangsa-bangsa yang telah lalu dan Al-Qur’an mengatakan tentang hal itu; dan sesungguhnya Rasulullah (saaw) telah bersabda: “Akan terjadi pada umat ini apa yang telah terjadi pada umat sebelumnya sama persis seperti sepasang sepatu.” (LIHAT: Uyun Akhbar al- Ridha (as) seperti dikutip dalam al-Bihar, volume 53, halaman 59, Hadits no 45) 


Rafa’a Ibn Musa meriwayatkan: 

Imam Ja’far al-Sadiq bersabda: “(Kelompok) Yang akan dibangkitkan pertama kalinya ialah Husain Ibn Ali (as) beserta para pengikutnya di satu pihak dan Yazid Ibn Mu’awiyyah (LA) beserta para begundalnya di pihak lainnya; kemudian mereka akan bertempur satu sama lainnya dan kemudian pasukan Imam Husain akan membunuhi mereka satu persatu. Kemudian Imam al-Sadiq (as) membacakan sebuah ayat suci al-Qur’an, “Kemudian Kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan Kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar.” (QS. Al-Israa: 6)”'” (LIHAT: al-Rijal al-Najashi, seperti yang dikutip dalam al-Bihar, volume 53, halaman 76, Hadits no 78). 


Sehubungan dengan ini, al-Mu’alli Ibn Khunais meriwayatkan: 

Imam Ja’far as-Sadiq bersabda: “Kelompok pertama yang akan kembali ke dunia ini (pada saat kedatangan Imam Mahdi as.) adalah Imam Husain Ibn Ali (as) yang akan memerintah di dunia ini hingga alisnya menutupi kedua matanya karena usianya yang sangat tua.” (LIHAT: al-Bihar, volume 53, halaman 46, Hadits 19 seperti dikutip dari Muntakhab al-Basa’ir; hadits-hadits yang serupa bisa kita temukan dalam Tafsir Ali Ibn Ibrahim al-Qummi, Rijal al-Kashshi, dan Tafsir al- Nu’mani).


Al-Qur’an berbicara tentang kembalinya Rasulullah Di bagian yang lalu kami menyediakan ayat-ayat suci al-Qur’an mengenai fakta bahwa kebanyakan orang- orang beriman itu akan kembali ke dunia ini pada penghujung usia dunia ini. Ini sekaligus menyiratkan bahwa Rasulullah pastilah akan beserta dengan mereka (selain karena Rasulullah orang yang paling beriman diantara seluruh umat manusia, tentunya). Untuk ini, kita akan fokuskan diskusi kita kali ini terhadap ayat-ayat yang menunjukkan bahwa semua Nabi dan Rasul akan termasuk Nabi Muhammad dan para Imam Ahlul Bayt.


Jamil Ibn Darraj meriwayatkan: 

“Aku bertanya kepada Imam Ja’far as-Sadiq (as) tentang sebuah ayat, yaitu: “Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (QS. Al-Mukmin: 51).” Kemudian Imam (as) menjawab: “Demi Allah, ini akan terjadi pada hari al-Raj’a. Bukankah engkau tahu betul bahwa banyak sekali Nabi Allah dan RasulNya yang tidak ditolong di dunia ini dan mereka dibunuh umatnya; dan juga para Imam (yaitu orang-orang yang beriman yang telah kita diskusikan dalam ayat yang lain) juga dibunuh orang dan mereka sama sekali tidak ditolong oleh Allah (sehingga mereka dibiarkan terbunuh begitu saja—red.)? Oleh karena itu, bantuan atau pertolongan yang disebutkan dalam ayat tersebut di atas akan terjadi pada hari al-Raj’a.” Kemudian aku bertanya lagi pada Imam (as) mengenai ayat ini: “Dan dengarkanlah (seruan) pada hari penyeru (malaikat) menyeru dari tempat yang dekat. (Yaitu) pada hari mereka mendengar teriakan dengan sebenar-benarnya, itulah hari keluar (dari kubur) (QS. Qaaf: 41—42).” Imam (as) menjawab: “Ini tentang al-Raj’a.”” (LIHAT: al-Bihar, volume 53, halaman 65, Hadits no 57). 


Asim Ibn Hamid meriwayatkan dari Imam al-Baqir (as) sebagai berikut: 

“Amirul Mukminin (Imam Ali Ibn Thalib) (as) pernah bersabda: ‘Sesungguhnya Allah, Yang Maha Tinggi, Maha Esa, yang sendirian dalam keesaanNya, IA mengucapkan sebuah kata, dan dengan kata itu jadilah cahaya dan kemudian IA ciptakan dari cahaya itu Nur Muhammad (saaw) dan kemudian IA menciptakan aku dan keturunanku, ..........dan pada waktu itu belum ada matahari, belum ada bulan, belum ada malam, dan belum ada siang....kami semua bertasbih memuji namaNya dan ini terjadi sebelum IA menciptakan makhluk-makhlukNya dan mengambil perjanjian dari para Nabi sebelum mereka melakukan tugasnya membimbing kita semua. Dan inilah apa yang difirmankan oleh Allah: “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: "Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.... (QS. Ali Imran: 81)". Imam Ali (as) kemudian melanjutkan: “Ini artinya bahwa kalian (para Nabi) harus meyakini Muhammad dan harus menolong (memberikan bantuan) kepada walinya (penerusnya). Dan kemudian mereka (para Nabi) akan segera memberikan bantuan kepadanya. Allah mengambil bai’at kesetiaan untukku bersama dengan Muhammad untuk saling membantu. Tentu saja, aku akan membantu Muhammad dan berjihad bersamanya dan membunuh musuh-musuhnya dan memenuhi janji Allah dan tak ada seorangpun diantara para Nabi dan Rasul Allah yang datang membantuku. Akan tetapi kelak mereka akan membantuku dan aku akan menguasai apa-apa yang ada diantara barat dan timur. Dan sesungguhnya Allah akan membangkitkan kembali para Nabi dari mulai Adam (as) hingga Muhammad (saaw) semua Nabi yang pernah diutus oleh Allah. Dan mereka akan bertempur bersama-sama denganku diikuti oleh seluruh orang-orang yang beriman baik yang sudah meninggal maupun yang masih hidup. Betapa mengagumkan sekali pemandangan yang kelak akan terjadi dimana Allah membangkitkan kembali sekelompok orang demi sekelompok orang sementara mereka semua mengucapkan kalimat “LABBAIK, LABBAIK”, “AKU DATANG, YA ALLAH” semuanya memanggul senjatanya masing-masing di pundaknya yang dengan senjata itu mereka akan memukul orang-orang yang sesat dan tidak beriman; para tiran yang kejam beserta para pengikutnya sepanjang zaman. Pertempuran akan terus berlangsung hingga Allah memenuhi janjiNya seperti yang dijanjikan di dalam al-Qur’an: “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang- orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku......(QS. An-Nuur: 55). Ini artinya bahwa semua orang akan menyembahnya tanpa ada rasa khawatir atau takut sedikitpun tanpa usah bersembunyi-sembunyi.” (LIHAT: al-Bihar, volume 53, halaman 46, Hadits no 20).


Untuk mengomentari ayat berikut: “Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Qur'an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai (QS. At-Taubah: 33), Mufadhdhal Ibn Umar meriwayatkan:


Aku bertanya kepada Imam al-Sadiq (as): “Apakah Rasulullah akan mengalahkan semua aga?” Imam (as) menjawab: “Ya, Mufadhdhal! Seandainya Rasulullah telah mengalahkan semua agama, maka tidak ada lagi agama Majusi, atau Yahudi, atau Nasrani. Juga tidak ada lagi yang namanya sekte-sekte agama, pertengkaran atas agama, keraguan atas agama, kemusyrikan dan penyembahan berhala. Sesungguhnya, Firman Allah yang mengatakan “untuk dimenangkan-Nya atas segala agama” menunjukkan masa ketika al-Mahdi berkuasa pada masa al-Raj’a, dan inilah FirmanNya: “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata- mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Anfal: 39) (LIHAT: al-Bihar, volume 53, halaman 33)


Salih Ibn Maitham meriwayatkan: 

Untuk menafsirkan ayat berikut: “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. (QS. Saba’: 28)”, Imam al-Baqir (as) bersabda: “Tidak ada lagi tempat di permukaan bumi ini kecuali di atasnya orang-orang bersaksi bahwa Tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah”. Dan kemudian Ia (as) menunjuk dengan tangannya ke arah ufuk yang jauh. (LIHAT: al-Bihar, volume 53, halaman 113, Hadits no 138—15).


Abu Khalid al-Kabuli (ra) meriwayatkan: 

Tentang ayat: “Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al Qur'an, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali. Katakanlah: "Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata" (QS. Al-Qashshas: 85),” Imam Ali Ibn al-Husain (as) bersabda: “Nabimu (saaw) akan kembali kepadamu.” (LIHAT: al- Bihar, volume 53, halaman 56, Hadits no 33, juga halaman 46, Hadits no 19)


Abu Marwan meriwayatkan: 

Aku bertanya kepada Imam al-Sadiq (as) mengenai ayat berikut: “Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al Qur'an, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali. Katakanlah: "Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata (QS. Al-Qashshas: 85)". Imam (as) kemudian menjawab: “Tidak, demi Allah! Dunia ini tidak akan berakhir hingga Rasulullah dan Ali datang bersama-sama di al-Thawiyya dan kemudian keduanya bertemu di sana dan mendirikan sebuah mesjid dengan pintu masuk sebanyak 12,000 buah di al-Thawiyyah, sebuah tempat di dekat Kufah.” (LIHAT: al- Bihar, volume 53, halaman 113, Hadits no 138—17).


Ahlu Sunnah dan keyakinan al-Raj’a Di kalangan saudara kita dari golongan Sunni, tidak ada penjelasan atau tidak ada diskusi tentang al-Raj’a yang menggunakan al-Qur’an. Bahkan dari hadits pun mereka tidak punya kecuali satu keterangan tentang kembalinya Yesus atau Nabi Isa (as). Untuk menyangkal gagasan atay keyakinan bahwa para Imam Ahlul Bayt (as) akan memimpin dunia ini tanpa ada saingan satupun; dan untuk mengikikis keyakinan itu sampai hadits, maka para ahli Hadits dan para ahli tafsir di kalangan Sunni telah berusaha sekuat tenaga untuk menyembunyikan hadits-hadits yang kira-kira bisa menyiratkan adanya konsep al-Raj’a. Dimana saja dan kapan saja mereka menemukan orang yang meriwayatkan hadits-hadits yang menggambarkan al-Raj’a, maka mereka serentak menuduh orang itu sebagai orang Syi’ah atau orang ekstrim. Mereka juga mencoba untuk menafsirkan ayat-ayat yang berkenaan dengan al-Raj’a atau al-Karra di dalam al-Qur’an sebagai penggambaran Hari Penghisaban dan bukan sebagai kejadian al-Raj’a, meskipun para Imam Ahlul Bayt yang notabene merupakan para cucu, cicit dan buyut dari Rasulullah telah menyebutkan bahwa itu merupakan keterangan yang sangat jelas tentang kejadian al-Raj’a seperti yang telah kita diskusikan di atas. Padahal tidak ada orang yang jauh lebih memahami al-Qur’an setelah Nabi Muhammad selain para Imam Ahlul Bayt yang ketika masih hidup merupakan orang yang paling pandai dan wara serta berilmu tinggi dan tidak ada yang menyangsikan ketinggian ilmunya itu.


Kaum Sunni menyindir al-Raj’a hanya sebagai perpindahan ruh saja dan tidak lebih dari itu. Kaum Sunni tidak bisa membedakan antara perpindahan ruh seseorang dengan kebangkitan seseorang dari kematiannya. Perpindahan ruh itu artinya bahwa ruh seseorang masuk kedalam tubuh atau jasad orang lain, dan ini jelas tidak sama dengan kebangkitan seseorang dari kematiannya setelah ruhnya masuk kembali ke jasadnya. Ruh itu masuk kedalam tubuh dirinya sendiri lengkap dengan sifat-sifat dirinya sendiri. Dan al-Raj’a itu sama dengan proses itu. Kalau saja al-Raj’a itu sama seperti yang disangkakan oleh kaum Sunni yaitu hanyalah perpindahan ruh seseorang, maka kejadian yang sama seharusnya terjadi pada diri Nabi Isa; dan kebangkitan manusia di hari penghisaban itu juga seharusnya sama saja yaitu hanyalah ruhnya saja tanpa jasad. Dan kita tahu itu tidak seperti itu.


Keyakinan bahwa di hari penghisaban itu setiap ruh akan kembali kepada jasadnya dan setiap jasad akan kembali ke dalam bentuk semula sebenarnya menguatkan gagasan adanya al-Raj’a. Tidak ada satupun yang aneh dalam konsep al-Raj’a ini selain karena kita mungkin belum pernah melihat yang seperti itu terjadi langsung di depan diri kita sendiri. Oleh karena itu, tidak ada satupun yang sebenarnya perlu diperdebatkan karena segala sesuatunya telah begitu jelas walaupun kejadian itu sangat luar biasa. Menentang al-Raj’a sebenarnya sama halnya dengan menentang keyakinan akan kebangkitan manusia setelah kematiannya. Allah menyebutkan dalam al-Qur’an:


“.......Ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?" Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk (QS. Yaasin: 78—79)”


Mereka yang mengecilkan atau melecehkan kemungkinan kembalinya Rasulullah (saaw) dan menghina para pengikut Ahlul Bayt karena mereka meyakini konsep al-Raj’a sebenarnya harus melihat sejarah secara seksama. Mereka yang mencintai Umar Ibn Khattab secara berlebihan seharusnya melihat bahwa Umar sendiri memiliki keyakinan yang sama terhadap al-Raj’a ini, sesuai dengan fakta-fakta sejarah yang kita temui. Para sejarawan muslim sepakat bahwa Umar pernah didapati sedang berteriak-teriak seperti ini:


Umar Ibn Khattab berdiri di depan mesjid Nabawi dan ketika itu Rasulullah sudah meninggal dunia. Umar berteriak lantang: “Adalah orang-orang munafik yang mengatakan bahwa Rasulullah sudah mati. Rasulullah itu tidak mati melainkan ia pergi menemui Tuhannya, seperti Musa putera Imran yang juga pergi menemui Tuhannya (untuk menerima perintah Tuhan). Demi Allah, Muhammad akan kembali kedunia ini sama seperti Musa akan kembali kedunia; dan ia akan memotong tangan dan kaki orang-orang yang mengatakan bahwa Rasulullah sudah mati.” (LIHAT: referensi Sunni, al-Sirah al-Nabawiyyah, oleh Ibn Hisyam, volume 2, halaman 655)


Meskipun Umar mengatakan kalimat di atas untuk tujuan lain dan keyakinannya itu tidak benar-benar sama dengan keyakinan al-Raj’a, tetapi kita bisa memastikan bahwa apa yang dikatakan oleh Umar itu betul- betul murni bukan dari Abdullah Ibn Saba karena Abdullah Ibn Saba belum diciptakan oleh Sayf Ibn Umar pada waktu itu karena Sayf sendiri belum lahir. Sayf menulis dongeng tentang Abdullah Ibn Saba yang konon katanya pernah masuk ke kota Madinah dan masuk menjadi seorang Muslim pada masa rezim pemerintahan Utsman Ibn Affan yang berarti jauh setelah wafatnya Rasulullah. 


Doktrin tentang kepemimpinan Imam Ali Sayf lebih jauh lagi mengklaim bahwa Abdullah Ibn Saba adalah orang yang memulai gagasan tentang kepemimpinan Imam Ali Ibn Thalib. Sayf menguraikan bahwa Ibn Saba-lah yang menyebutkan bahwa Imam Ali itu penerus kepemimpinan Rasulullah. Ia mengatakan bahwa telah beribu-ribu Nabi dan Rasul datang dan pergi dan semuanya meninggalkan seorang pengganti setelahnya dan Imam Ali adalah pengganti dari Rasulullah yang sah. Lebih jauh lagi, Sayf Ibn Umar menegaskan bahwa Ibn Saba itu pernah berkata bahwa ada tiga khalifah yang akan memimpin setelah Rasulullah dan semuanya adalah perampas kekuasaan dari pemiliknya yang sah. 


Sayf dan murid-muridnya lupa bahwa mereka pernah mengatakan bahwa Abdullah Ibn Saba itu baru masuk ke kota Madinah dan memeluk Islam pada masa rezim pemerintahan Utsman Ibn Affan. Dan ini terjadi lama setelah Rasulullah wafat. Sementara itu, di sisi lain, kitab sejarah Sunni sendiri menyatakan dengan jelas bahwa Rasulullah sendiri-lah yang mengangkat Imam Ali sebagai seorang penerus beliau dan itu dilakukan tepat pada masa awal tugas kenabiannya. Inilah hadits yang berkenaan dengan dakwah pertama dari Rasulullah (saaw):


“Ali (as) meriwayatkan: Ketika ayat: “ووووو وووووو وووووووو (Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, (QS. Asy-Syu’araa: 214)) diturunkan, Rasulullah memanggilku dan bersabda: “Ali, sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadaku untuk memberi peringatan kepada kerabat-kerabat terdekatku dan aku merasakan kesulitan atas tugas ini. Aku tahu kalau aku memberikan peringatan itu kepada mereka, aku tidak akan menyukai respon mereka terhadap peringatanku itu.” Kemudian Rasulullah mengundang para anggota keluarganya untuk makan malam dengan sedikit makanan dan susu. Ada 40 orang yang hadir pada waktu itu. Setelah mereka makan malam, Rasulullah langsung berbicara kepada mereka: 


“Wahai putera-putera Abdul Mutalib! Demi Allah, aku tidak tahu apakah ada seorang laki-laki muda dari kalangan Arab yang datang kepada kalian yang jauh lebih baik daripada aku. Aku telah membawakan kepada kalian kebaikan di dunia ini dan di akhirat nanti. Allah yang mahakuasa telah memerintahkan kepadaku untuk mengajak kalian ikut denganku. Siapakah diantara kalian yang mau membantuku dalam tugas dakwah ini dan menjadi saudaraku, pembantuku, dan penerusku?” 


Tidak ada satupun dari mereka yang menerima ajakan itu, dan kemudian aku mengajukan diri: “Ya, Rasulullah. Aku akan menjadi pembantumu.” Rasulullah memegang tengkukku dan melanjutkan ucapannya kepada mereka: “Inilah saudaraku, pembantuku, dan penerusku diantara kalian semua. Dengarkanlah dia dan patuhilah dia.” Mereka semua tertawa terbahak-bahak, sambil berkata kepada Abu Thalib: “Ia (Muhammad) memerintahkan kamu untuk mendengarkan puteramu dan mematuhinya.” 


(LIHAT: REFERENSI DARI AHLUSUNNAH/SUNNI berikut ini: 

Tarikh Tabari, Versi Bahasa Inggris, volume 6, halaman 88—92 (ada dua hadits) 

Tarikh Ibn Athir, volume 2, halaman 62 

Tarikh Ibn Asakir, volume 1, halaman 85 

Durr al-Mantsur, Jalaluddin As-Suyuthi, volume 5, halaman 97 

al-Sirah al-Halabiyah, volume 1, halaman 311 

Shawahid al-Tanzil, al-Hasakani, volume 1, halaman 371 

Kanzul Ummal, al-Muttaqi al-Hindi, volume 15, halaman 15, juga halaman 100—117 

Tafsir al-Khazin, Ala-ud-Din al-Shafi’i, volume 3, halaman 371 

Dala’il al-Nabawiyah, al-Baihaqi, volume 1, halaman 428—430 

al-Mukhtasar, Abul Fida, volume 1, halaman 116—117 

Life of Muhammad, Hasan Haykal, halaman 104 (Edisi Pertama saja, pada edisi keduanya


KALIMAT TERAKHIR YANG DIUCAPKAN OLEH RASULULLAH TELAH DIHAPUS) 

Tadhib al-Athar, volume 4, halaman 62—63) 


Hadits tersebut di atas juga disampaikan dan diteruskan oleh para tokoh Sunni ternama seperti Muhammad Ibn Ishaq (sejarawan Ahlu Sunnah yang terkemuka); kemudian Ibn Abi Hatim, dan Ibn Mardawayh. Juga dikutip oleh para orientalis seperti T. Carlyle, E. Gibbon, J. Davenport, dan W. Irving. 


Sekarang, izinkanlah kami untuk bertanya kepada anda: Imam Ali melaporkan bahwa Rasulullah adalah orang yang telah memberikannya tugas kepemimpinan, menjadikannya saudara, menjadikannya penerus pengganti kepemimpinan Nabi. Sementara itu, Sayf Ibn Umar melaporkan bahwa gagasan tentang kepemimpinan Imam Ali itu datang dari seorang Yahudi bernama Abdullah Ibn Saba. Kami ajukan pertanyaan kepada anda yang suka mengkafirkan orang-orang yang berbeda dengan diri anda....... 


Apakah anda lebih percaya kepada Sayf Ibn Umar daripada kepada Ali Ibn Thalib?


BUKANKAH ALI IBN THALIB ITU LEBIH TERPERCAYA DARIPADA SAYF IBN UMAR YANG TELAH DITUDUH PEMBOHONG OLEH PARA ULAMA AHLUSUNNAH? BUKANKAH SAYF PERNAH DITUDUH SEBAGAI SEORANG YANG LEMAH PERKATAANNYA, SERING MELAKUKAN PENIPUAN DAN SERING MEMBUAT BID’AH DALAM SEGALA SESUATU? 


Tentu saja, kita tidak mau berharap bahwa semua kaum Muslimin itu mengikuti seorang pembohong seperti Sayf Ibn Umar dan sekaligus mencampakkan laporan yang disampaikan oleh Imam Ali Ibn Abi Thalib, Amirulmukminin, saudara dari Rasulullah. Rasulullah sendiri seringkali bersabda kepada Imam Ali: 


“Kedudukanmu di sisiku itu sama dengan kedudukan Harus di sisi Musa; hanya tidak ada lagi Nabi setelahku.”


(LIHAT: REFERENSI DARI AHLUSUNNAH/SUNNI berikut ini: 

Sahih al-Bukhari, Versi Bahasa Arab—Inggris, Hadits 5.560 dan 5.700 

Sahih Muslim, Bahasa Arab, volume 4, halaman 1870—1871 

Sunan Ibn Majah, halaman 12 

Musnad Ahmad Ibn Hanbal, volume 1, halaman 174 

al-Khas’is, Nasa’i, halaman 15—16 

Mushkil al-Athar, al-Tahawi, volume 2, halaman 309)


Rasulullah ingin mengajarkan kepada kita bahwa Musa meninggalkan Harun—sebagai khalifah atau penjaga—untuk menjaga umatnya ketika Musa harus menghadap Tuhan untuk mendapatkan perintah Tuhan. Hal yang sama terjadi kepada kita ketika Rasulullah meninggalkan Ali sebagai wakilnya dan penerusnya untuk menjaga urusan-urusan yang berkenaan dengan kehidupan dan Islam. Allah berfirman dalam al-Qur’an:


“........ Dan berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun: "Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.” (QS. Al-A’raaf: 142)


(CATATAN: Katau “Ukhlufni” dalam ayat tersebut di atas bersama dengan kata “Khalifa” keduanya memiliki akar kata yang sama.)


Para penulis bayaran yang dibayar untuk mengarang dongeng-dongeng menyesatkan umat pastilah lupa atau pura-pura lupa. Mereka lupa sebuah kejadian yaitu sebuah kejadian pada waktu setelah haji wada’ dimana pada waktu itu Rasulullah berdiri di hadapan sekitar seratus ribu orang jemaah haji yang melaksanakan haji bersama-sama dengan beliau. Kejadian itu terjadi di sebuah tempat bernama Ghadir Khum. Rasulullah bersabda di sana: 


“Bukankah aku memiliki hak lebih atas orang-orang beriman daripada apa yang mereka miliki terhadap diri mereka sendiri? Orang-orang pada waktu serentak berteriak dan serentak menjawab: “Betul, Rasulullah! Engkau betul.” Kemudian Rasulullah memegang tangan Imam Ali dan kemudian bersabda: “Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai pemimpin, maka Ali adalah pemimpinnya. Ya, Allah, cintailah orang-orang yang mencintainya, dan jadikanlah musuhMu orang-orang yang memusuhinya!” 


(LIHAT: REFERENSI AHLUSUNNAH/SUNNI berikut ini: 

Sahih Tirmidhi, volume 2, halaman 298; juga volume 5, halaman 63 

Sunan Ibn Maja, volume 1, halaman 12, 43 

Musnad Ahmad Ibn Hanbal, volume 1, halaman 84, 118, 119, 152, 330; volume 4, halaman 281, 368, 370, 372, 378; volume 5, halaman 35, 347, 358, 361, 366, 419 (dari 40 rantai sanad yang berlainan!!!) 

Fada’il al-Sahaba, Ahmad Hanbal, volume 2, halaman 563, 572 

al-Mustadrak, al-Hakim, volume 2, halaman 129; volume 3, halaman 109—110, 116, 371 

Khasa’is, al-Nasa’i, halaman 4, 21 

Majma’ al-Zawa’id, al-Haythami, volume 9, halaman 103 (dari beberapa perawi) 

Tafsir al-Kabir, Fakhr al-Razi, volume 12, halaman 49—50 

al-Durr al-Mantsur, al-Hafiz Jalaluddin al-Suyuthi, volume 3, halaman 19 

Tarikh al-Khulafa, al-Suyuthi, halaman 169, 173 

Al-Bidayah wal-Nihayah, Ibn Katsir, volume 3, halaman 213; volume 5, halaman 208 

Mushkil al-Athar, al-Tahawi, volume 2, halaman 307—308 

Habib al-Siyar, Mir Khand, volume 1, bagian 3, halaman 144 

Sawaiq al-Muhriqah, Ibn Hajar al-Haythami, halaman 26 

al-Isabah, Ibn Hajar al-Asqalani, volume, halaman 509; volume 1, bagian 1, halaman 319; volume 2, bagian 1, halaman 57; volume 3, bagian 1, halaman 29; volume 4, bagian 1, halaman 14, 16, 143 

Tabarani, yang meriwayatkan dari para sahabat seperti Ibn Umar, Malik Ibn al-Hawirath, Habashi Ibn Junadah, Jari, Sa’ad Ibn Abi Waqash, Anas Ibn Malik, Ibn Abbas, Amarah Buraydah,.......dll. 

Tarikh, al-Khatib Baghdadi, volume 8, halaman 290 

Hilyatul Awliya’, Abu Nu’aym, volume 4, halaman 23; volume 5, halaman 26—27 

al-Istiab, Ibn Abd al-Barr, Bab tentang kata “ayn” (Ali), volume 2, halaman 462 

Kanzul Ummal, al-Muttaqi al-Hindi, volume 6, halaman 154, 397 

al-Mirqat, volume 5, halaman 568 

al-Riyadh al-Nadirah, al-Muhib al-Tabari, volume 2, halaman 172 

Dhaka’ir al-Uqba, al-Muhib al-Tabari, halaman 68 

Fayd al-Qadir, al-Manawi, volume 6, halaman 217 

Usdul Ghabar, Ibn Athir, volume 4, halaman 114 

Yanabi’ al-Mawaddah, Qunduzi al-Hanafi, halaman 29 

Dan masih banyak lagi yang lainnya...........)


Tidak ada satu orang Muslimpun yang pernah meragukan bahwa Rasulullah itu adalah pemimpin kaum Muslimin untuk seluruh generasi. Rasulullah dalam pernyataannya menyatakan bahwa Ali memiliki kedudukan yang sama persis dengan dirinya yaitu ketika Rasulullah menyebutkan bahwa Ali adalah pemimpin untuk setiap orang yang mengikuti Rasulullah.


Pernyataan ini yang disampaikan oleh lebih dari 110 orang sahabat dan disebut sebagai hadits yang sangat sahih dan mutawatir oleh para ulama Sunni, tidak hanya mengindikasikan bahwa Ali itu sebagai wakil dari Rasulullah melainkan juga menunjukkan bahwa Ali memiliki kedudukan yang mulia yaitu sebagai pemimpin dari kaum Muslimin sepeninggal Rasulullah. Akan tetapi masih ada juga para penulis bayaran yang dengan tanpa malu menyebutkan bahwa konsep Ali sebagai pemimpin setelah Nabi itu digagas oleh seorang Yahudi yang konon pernah hidup dan baru masuk Islam pada masa rezim pemerintahan Utsman Ibn Affan!


Abdullah Ibn Saba sama sekali tidak ada jejaknya (itupun kalau ia pernah ada dan hidup pada masanya) ketika kemelut terjadi pada saat meninggalnya Nabi. Abdullah Ibn Saba tidak pernah muncul ketika isu suksesi bergulir dan isu tentang suksesi itu diklaim oleh kelompok Syi’ah ketika Rasulullah wafat atau malah sebelum Rasulullah wafat; dan isu susksesi itu sama sekali bukan isu yang digulirkan pada masa rezim pemerintahan Utsman Ibn Affan dan itu jelas jauh sekali setelah Rasulullah wafat. Segera setelah Rasulullah wafat, kelompok Syi’ah Ali (pengikut Ali) termasuk beberapa sahabat Nabi yang paling taat dan paling shaleh seperti Ammar Ibn Yasir, Abu Dzar al-Ghifari, Miqdad, Salman al-Farisi, Ibn Abbas dll, semua berkumpul di rumah bunda Fathimah (as). Bahkan pada waktu itu, Thalhah dan Zubayr masih setia kepada Imam Ali dan mereka berdua juga ikut berkumpul di rumah Fathimah (as) seperti dilaporkan oleh al-Bukhari di dalam Sahih-nya: 


“Umar berkata: “Tida diragukan lagi setelah kematian Rasulullah, kami diberitahu bahwa kaum Ansar tidak setuju dengan kami dan mereka berkumpul di balairung Bani Sa’da. Sementara itu Ali dan Zubayr serta seorang lagi menentang kami, dan pada saat yang sama kaum Muhajirin berkumpul bersama Abu Bakar.”


(LIHAT: REFERENSI SUNNI, Sahih al-Bukhari, Edisi bahasa Arab-Inggris, volume 8, Hadits no 817) 

Para perawi Sunni yang melaporkan kejadian di Saqifah 

Umar Ibn Khattab berkata, “Ali Ibn Thalib, Zubayr Ibn Awwam dan siapa saja yang bersama-sama dengan mereka berpisah dari kami (dan kemudian berkumpul) di rumah Fathimah, puteri dari Rasulullah.” 

(LIHAT: REFERENSI SUNNI: 

Ahmad Ibn Hanbal, volume 1, halaman 55 

Sirah al-Nabawiyyah, Ibn Hisham, volume 4, halaman 309 

History of Tabari (Arabic), volume 1, halaman 1822 

History of Tabari, versi bahasa Inggris, volume 9, halaman 192)


Kemudian hadits berikut ini: 

Mereka memaksakan bai’at, akan tetapi Ali dan al-Zubayr tetap bersikukuh. Al-Zubayr menghunus pedangnya (dari sarungnya) seraya berkata, “Aku tidak akan menyarungkan kembali pedang ini hingga bai’at diberikan kepada Ali.” Ketika kabar ini sampai kepada Abu Bakar dan Umar, maka kemudian Umar berkata, “Lempari dia dengan batu, dan rampas pedangnya.” Dilaporkan bahwa Umar kemudian bergegas (menuju pintu rumah Fathimah) dan dan memaksa mereka untuk memberikan bai’atnya baik secara suka rela maupun secara paksa.”


(LIHAT: REFERENSI SUNNI, Tarikh al-Tabari, versi bahasa Inggris, volume 9, halaman 188—189)

Jelas sekali “orang Yahudi fiktif itu” sama sekali tidak memiliki peran apapun dalam konflik itu. Ia sama sekali tidak memecah para sahabat Nabi kedalam beberapa golongan karena jangankan memecah belah DIA sendiri tak pernah ada dalam kehidupan nyata. Mana mungkin orang yang tidak pernah ada bisa membuat perpecahan dan perang saudara diantara para sahabat Nabi???? 


Mereka menyerang dua orang sahabat Nabi yang paling dikasihi Nabi bersama para pengikutnya Sayf menyebutkan bahwa Ibn Saba itu adalah orang yang menghasut dua orang sahabat Nabi terkemuka yaitu Abu Dzar (ra) dan Ammar Ibn Yasir (ra) untuk menentang Utsman Ibn Affan. Sayf menyebutkan bahwa Ibn Saba bertemu dengan Abu Dzar di Damaskus (Syria) dan kemudian ia mengenalkan sebuah gagasan bahwa orang-orang Islam dilarang menumpuk-numpuk harta berupa emas dan perak. Sayf kemudian lebih jauh lagi memasukkan nama-nama para sahabat Nabi terkemuka berikut para pengikutnya kedalam daftar orang-orang yang dianggap mengikuti Abdullah Ibn Saba. Diantara mereka adalah:


Abu Dzar al-Ghifari 

Ammar Ibn Yasir 

Muhammad Ibn Abu Bakar, putera dari khalifah pertama 

Malik Asytar ............dan masih banyak lagi yang lainnya.


Untuk lebih mengetahui tentang kebohongan dan tuduhan keji yang dibuat oleh Sayf, marilah kita lihat terlebih dahulu biografi singkat dari orang-orang yang dituduh Sayf sebaga anak buah Ibn Saba itu: 


ABU DZAR AL-GHIFARI: (Jundub Ibn Junadah). Ia adalah orang ketiga dari empat orang pertama yang masuk Islam. Abu Dzar adalah orang monotheis (orang yang bertauhid) sejak awal bahkan sejak ia belum masuk Islam. Ia menyatakan ke-Islaman-nya tepat di sisi Ka’bah. Kaum Musyrikin kota Mekah memukulinya hingga hampir meninggal akan tetapi ia berhasil selamat; dan Rasulullah memerintahkan Abu Dzar untuk kembali ke sukunya. Setelah perang Badar dan perang Uhud berakhir, Abu Dzar kembali ke kota Madinah untuk menemui Nabi dan kemudian tinggal di Madinah sampai akhir hayat dari Rasulullah—orang yang paling dikasihinya. Pada masa rezim pemerintahan 3 khalifah pertama, Abu Dzar ditugaskan di Damaskus dimana disana ia bersitegang dengan Mu’awiyyah. Mu’awiyyah Ibn Sufyan mengeluhkan hal ini kepada Utsman Ibn Affan—khalifah ketiga—dan oleh karena itu akhirnya Utsman mengusir Abu Dzar ke Rabadha dimana ia kemudian meninggal dunia dalam pengasingan. Rabadha pada waktu itu dikenal sebagai tempat yang memiliki iklim dan cuaca terburuk. 


AMMAR IBN YASIR: dikenal juga dengan nama julukan Abu Yaqzan. Nama ibunya ialah Sumayyah. Ammar Ibn Yasir beserta kedua orang tuanya merupakan orang-orang yang masuk Islam terdahulu. Ammar Ibn Yasir adalah orang ke-7 yang masuk Islam dan menyatakan ke-Islaman-nya. Kedua orang tuanya dibunuh setelah terlebih dahulu disiksa oleh kaum Musyrikin kota Mekah karena mereka telah masuk Islam. Ammar Ibn Yasir sendiri berhasil menyelamatkan dirinya dengan kabur ke kota Madinah. Ammar bergabung dengan Ali dan berperang di pihak Ali pada perang Jamal atau perang Unta dan akhirnya Ammar Ibn Yasir menemui kesyahidannya di perang Siffin. Ia dibunuh oleh pasukan Mu’awiyya dan ketika itu Ammar berusia 93 tahun. 


MUHAMMAD IBN ABU BAKAR: Ia diangkat anak oleh Imam Ali tidak lama setelah ayahnya meninggal. Muhammad Ibn Abu Bakar adalah salah seorang kepala pasukan Imam Ali (as) dalam perang Unta. Ia juga turut berperang di pihak Imam Ali (as) pada perang Siffin. Imam Ali menunjuk dirinya sebagai gubernur Mesir, dan ia bertugas di sana hingga 15/9/37H. Kemudian, Mu’awiyyah mengirimkan sepasukan tentara yang dipimpin oleh Amr Ibn al-Aas ke Mesir padah tahun 38H. Amr Ibn al-Aas berhasil mengalahkan Muhammad Ibn Abu Bakar dan menangkapnya lalu kemudian membunuhnya. Tubuhnya dimasukkan kedalam perut seekor keledai yang sudah mati dan kemudian dibakar bersama keledai itu. (LIHAT: al- Istiab, volume 1, halaman 235; atau lihat Tarikh al-Tabari, volume 4, halaman 79; atau lihat juga Ibn Katsir, volume 3, halaman 180; atau Ibn Khaldun, volume 2, halaman 182).


MALIK ASYTAR AL-NAKHA’I: Ia pernah bertemu dengan Nabi dan ia kemudian menjadi salah seorang sahabat Nabi atau tabi’in yang sangat bisa dipercayai. Malik Asytar adalah kepala suku dari sukunya dan ia dijuluki “Asytar” setelah ia terluka dalam perang Yarmuk dan ia kehilangan sebuah matanya. Ia kemudian menjadi salah seorang jenderal pasukan Imam Ali dalam perang Siffin dan ia terkenal karena keberaniannya ketika memerangi musuh-musuh Islam. Pada usia 38 tahun, Malik ditunjuk oleh Imam Ali sebagai gubernur kota Mesir. Akan tetapi dalam perjalanannya ke Mesir—tepatnya di dekat Laut Merah, ia meninggal karena diracun. Makanannya dibubuhi madu yang sudah dicampuri racun oleh Mu’awiyyah. 


Biografi singkat di atas bisa menggambarkan karakter-karakter agung yang ada di sekitar Ahlul Bayt Nabi. Patut disesalkan kalau para sejarawan malah lebih suka mengambil laporan fiktif dari Sayf dan menuduh karakter-karakter agung tersebut di atas sebagai para pengikut dari seorang Yahudi yang misterius— karena memang tidak pernah terbukti keberadaannya. Para prajurit bayaran bahkan tidak segan-segan untuk menyerang karakter-karakter agung itu dengan berbagai cara. Mereka mengatakan bahwa Abu Dzar dan Ammar Ibn Yasir itu pernah bertemu dengan Abdullah Ibn Saba dan kemudian mereka terpengaruh oleh propagandanya dan oleh karena itu mereka mau menentang Utsman Ibn Affan. Akan tetapi kita tidak boleh lupa bahwa dengan menyerang dua sahabat Nabi yang mulia itu sebenarnya mereka telah menyerang Rasulullah secara tidak langsung karena Rasulullah seringkali memuji mereka dan memuliakan mereka seperti dalam hadits berikut ini:


Rasulullah berkata: “Sesungguhnya Allah memerintahkanku untuk mencintai empat orang dan Allah memberitahuku bahwa DIA mencintai mereka.” Para sahabat bertanya: “Ya, Rasulullah, siapakah gerangan empat orang itu?” Rasulullah menjawab: “Ali termasuk salah satu dari mereka (kemudian mengulanginya sebanyak 3 kali), kemudian Abu Dzar, Salman al-Farisi, dan Miqdad.”


(LIHAT: REFERENSI SUNNI: 

Sunan Ibn Majah, volume 1, halaman 52—53, Hadits no 149 

al-Mustadrak, al-Hakim, volume 3, halaman 130 

Musnad Ahmad Ibn Hanbal, volume 5, halaman 356 

Fada’il al-Sahaba, Ahmad Ibn Hanbal, volume 2, halaman 648, Hadits 1103 

Hilyatul Awliya’, Abu Nu’aym, volume 1, halaman 172)


Rasulullah juga pernah dilaporkan berkata: 

“Setiap Nabi diberikan oleh Allah para sahabat yang tulus. Aku diberkan 14 orang sahabat yang tulus.” Rasulullah menyebutkan nama-nama seperti Ali, al-Hasan, al-Husein, Hamza, Ja’far, Ammar Ibn Yasir, Abu Dzar, Miqdad, dan Salman.


(LIHAT: REFERENSI SUNNI: 

Fada’il al-Sahaba, Ahmad Ibn Hanbal, volume 2, Hadits no 109, 277 

Sahih Tirmidzi, volume 5, halaman 329, 662 

Musnad Ahmad Ibn Hanbal, volume 1, halaman 88, 148, 149 dari berbagai rantai sanad 

al-Kabir, al-Tabarani, volume 6, halaman 264, 265 

Hilyatul Awliya’, Abu Nu’aym, volume 1, halaman 128) 

Juga al-Tirmidzi, Ahmad, al-Hakim dan masih banyak lagi meriwayatkan hadits yang kurang lebih sama seperti misalnya: 

“Langit belum pernah menurunkan dan bumi belum pernah memberikan seorang lelaki yang sangat jujur seperti Abu Dzar. Ia berjalan di muka bumi ini dengan sikap kezuhudan Isa putera Maryam.”


(LIHAT: REFERENSI SUNNI: 

Sahih al-Tirmidzi, volume 5, halaman 334, Hadits no 3889 

Tahdib al-Athar, volume 4, halaman 158—161 

Musnad Ahmad Hanbal, Hadits no 6519, 6630, 7078 

al-Mustadrak, al-Hakim, volume 3, halaman 342 

al-Tabaqat, Ibn Sa’ad, volume 4, bagian 1, halaman 167—168 

Majma’al-Zawa’id, al-Haythami, volume 9, halaman 329—330) 

Ibn Majah, dalam Sunan-nya, meriwayatkan bahwa Imam Ali pernah bersabda:


“Aku duduk di rumah Rasulullah dan Ammar meminta ijin untuk bertemu dengan beliau. Kemudian Rasulullah bersabda: “Datanglah wahai orang baik dan disucikan”. Ibn Majah juga meriwayatkan bahwa A’isyah pernah melaporkan bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Kapanpun Ammar diberikan dua pilihan, maka ia selalu memilih yang paling baik diantara dua pilihan itu.”

Ada lebih banyak lagi hadits yang shahih dari Rasulullah (saaw) mengenai Ammar Ibn Yasir, seperti misalhnya “Ammar itu dipenuhi oleh keimanan.” Dalam sebuah hadits, Rasulullah dilaporkan pernah bersabda: “Sekelompok orang jahat akan membunuh Ammar.”


(LIHAT: REFERENSI SUNNI: 

Sahih Muslim, versi bahasa Inggris, Bab MCCV, halaman 1508—1509, hadits no 6966, 6970 (ada 5 hadits) 


al-Mustadrak, al-Hakim, volume 3, halaman 383)


Sekarang marilah kita lihat siapakah “sekelompok orang jahat” yang dimaksud oleh Nabi dalam hadits itu. Untuk itu kita bisa lihat dalam Musnad Imam Ahmad Ibn Hanbal dan Tabaqat Ibn Sa’ad yang meriwayatkan sebagai berikut: 


“Dalam perang Siffin, ketika kepala dari Ammad Ibn Yasir (ra) dipenggal dan dibawa ke hadapan Mu’awiyyah, 2 orang tampak bertikai tentang hal itu. Setiap orang mengaku bahwa dirinyalah yang telah membunuh Ammar.”


(LIHAT: REFERENSI SUNNI: 

Musnad Ahmad (diterbitkan di Dar al-Ma’arif, Mesir tahun 1952), hadits no 6538, 6929 

Tabaqat, Ibn Sa’ad, volume 3, halaman 253) 

Dalam sebuah hadits yang lain dilaporkan bahwa Rasulullah bersabda: 

“Surga rindu pada 3 orang: Ali, Ammar, dan Salman” 

(LIHAT: REFERENSI SUNNI: Sahih al-Tirmidzi, volume 5, halaman 332, Hadits no 3884)

Lebih lanjut lagi al-TIrmidzi meriwayatkan:


Ketika Rasulullah mendengar bahwa Ammar dan kedua orang tuanya disiksa di kota Mekah, beliau bersabda: “Anggota keluarga Yasir, bersabarlah. Karena kalian semua akan masuk surga.”


(LIHAT: REFERENSI SUNNI: Sahih al-Tirmidzi, volume 5, halaman 233)


Dengan itu, Ammar dan kedua orang tuanya adalah orang yang pertama kali dinyatakan oleh Rasulullah sebagai orang yang akan masuk surga kelak. 


Kita bisa ambil kesimpulan di sini: ketika seorang Muslim mengetahui bahwa Rasulullah telah memuji kedua orang sahabat ini (Abu Dzar & Ammar Ibn Yasir) begitu tingginya, maka apabila ia seorang yang beriman kepada kebenaran Muhammad, ia mau tidak mau diharamkan untuk menghina atau merendahkan kedua sahabat itu. Penghinaan seperti itu sama saja seperti menghina Rasulullah secara tidak langsung. Karena seperti yang telah kita lihat bersama, hadits-hadits shahih dari kalangan Sunni di atas menjelaskan bahwa Rasulullah bersabda bahwa HANYA ADA 4 ATAU 14 SAHABAT YANG TERKEMUKA dari sekitar 1400 sahabat yang ada. JADI SANGAT SEDIKIT SEKALI JUMLAH SAHABAT YANG DISEBUT OLEH RASULULLAH YANG TERMASUK KEDALAM SAHABAT YANG SETIA DAN MULIA. Menarik sekali bahwa Abu Dzar dan Ammar Ibn Yasir disebutkan diantara mereka yang sedikit jumlahnya itu. 


Kita sekarang bisa lihat dengan terang benderang bahwa kedengkian Sayf Ibn Umar al-Tamimi (yang hidup dua abad setelah Rasulullah wafat) beserta para muridnya terhadap kaum Syi’ah telah menyebabkan mereka bertindak jauh dengan menyebarkan propaganda palsu dan murahan. Sayf Ibn Umar tahu betul bahwa menyebutkan pemberontakan terhadap Utsman Ibn Affan sebagai hasil upaya dari Ibn Saba itu akan bertentangan dengan sejarah yang ada karena Abu Dzar dan Ammar Ibn Yasir adalah orang yang terdepan yang menentang rezim pemerintahan Utsman Ibn Affan. Oleh karena itu, Sayf Ibn Umar harus meruntuhkan reputasi dari kedua sahabat Nabi yang ternama itu. Sayf akhirnya memasukkan kedua nama sahabat Nabi terkemuka itu sebagai murid dari Abdullah Ibn Saba (seorang tokoh khayalan yang konon berkebangsaan Yahudi itu).


Seandainya saja Ibn Saba itu pernah ada dan hidup, maka itu artinya ia masuk Islam setelah Utsman dibunuh. Sekarang taruhlah bahwa kita menerima apa yang dikatakan oleh Sayf yaitu bahwa Abdullah Ibn Saba masuk Islam sesudah Utsman menjabat menjadi khalifah. Itu tidak menutup kebenaran bahwa Abu Dzar dan Ammar Ibn Yasir telah menentang Utsman jauh sebelum ia menjadi khalifah. Seperti yang diketahui umum dalam sejarah Islam, Abu Dzar dan Ammar Ibn Yasir adalah murid setia dari Imam Ali Ibn Thalib dan mereka yakin sekali bahwa Imam Ali telah ditunjuk oleh Rasulullah sebagai khalifah sepeninggalnya. Jadi mereka menentang Utsman jauh sebelum Ibn Saba masuk Islam (itupun dengan catatan bahwa Ibn Saba itu ada). Dengan itu, kisah rekaan Sayf itu sama sekali tidak punya dasar dan kebenaran. 


Sayf Ibn Umar yang dibayar oleh Bani Umayyah ingin membersihkan catatan kelam dari Utsman Ibn Affan dan untuk itu ia harus menjelek-jelekkan orang-orang yang menentang Utsman. Dengan cara memasukkan kedua nama sahabat Nabi yang mulia, Sayf sudah menyempurnakan cerita yang ia buat. 


Hasutan untuk menentang Utsman Ibn Affan Sayf Ibn Umar menyebutkan bahwa Abdullah Ibn Saba adalah orang yang menghasut para sahabat untuk menentang Utsman Ibn Affan. Abdullah Ibn Saba konon memprovokasi kaum Muslimin yang tinggal di berbagai kota dan provinsi seperti Basrah, Kufah, Syria, dan Mesir untuk segera datang ke kota Madinah untuk bersama-sama membunuh Utsman Ibn Affan dengan alasan bahwa Utsman Ibn Affan telah merampas kursi khilafah dari Ali Ibn Thalib. Di sisi lain, Sayf juga menceritakan bahwa para sahabat yang ada di kota Madinah seperti Thalhah dan Zubayr tidak menentang Utsman Ibn Affan.


Cerita Sayf Ibn Umar tentang penentangan para sahabat Nabi terhadap Utsman Ibn Affan yang digalang oleh Abdullah Ibn Saba ini sama sekali tidak pernah dilaporkan oleh para sejarawan yang lainnya. Tidak ada sama sekali jejak yang menunjukkan bahwa Abdullah Ibn Saba pernah menghasut atau menentang Utsman baik secara sendirian maupun secara berjamaah kecuali yang ada di dalam cerita yang hanya ditulis (atau dikarang) oleh Sayf Ibn Umar. Bahkan kaum sejarawan yang lain memiliki cerita atau kisah yang sama sekali berlainan dengan apa yang dikarang oleh Sayf Ibn Umar. 


Apabila anda seorang pengamat sejarah Islam yang bijak dan mau menanggalkan emosi dan pandangan sempitnya terhadap permasalahan ini, maka anda akan segera mengetahui bahwa ajakan untuk memberontak terhadap Utsman Ibn Affan itu tidak datang dari Basrah, Kufah, Syria, atau Mesir melainkan dari Madinah. Kelemahan Utsman Ibn Affan dalam mengurus negara menyebabkan banyak sekali sahabat senior Rasulullah berdiri untuk menentangnya. Ini mau tidak mau menimbulkan pergolakan kekuasaan diantara para sahabat yang tinggal di kota Madinah. Para sejarawan Sunni seperti al-Tabari, Ibnu Athir, dan al-Baladzuri serta masih banyak lagi yang lainnya melaporkan hadits-hadits (yang tidak diriwayatkan oleh Syaf) yang menyatakan bahwa hasutan untuk menentang Utsman Ibn Affan itu datang dari Madinah dan digagas oleh para sahabat penting dari Rasulullah. Para sahabat penting ini adalah orang-orang yang pertama yang mengajak para sahabat lainnya (yang tinggal di kota lainnya) untuk menggalang kekuatan dalam menentang Utsman Ibn Affan.


Ibn Jarir al-Tabari melaporkan: 


“Ketika orang-orang melihat apa yang dilakukan oleh Utsman, maka para sahabat Nabi di kota Madinah menulis surat kepada para sahabat lainnya yang bertebaran di kota-kota lainnya di provinsi yang berbeda: “Kalian sudah melakukan segala sesuatu kecuali melakukan sesuatu untuk Allah, yaitu melakukan sesuatu demi agama Muhammad. Ketika kalian tidak ada, agama Muhammad ini telah disimpangkan dan ditelantarkan. Jadi kalian harus kembali untuk menyelamatkan agama Muhammad.” Setelah itu, para sahabat datang dari berbagai penjuru hingga akhirnya mereka membunuh khalifah (Utsman Ibn Affan).” 


(LIHAT: Referensi Sunni: Tarikh al-Tabari, Versi Bahasa Inggris, volume 15, halaman 184)


Al-Tabari sendiri mengutip paragraf di atas dari Muhammad Ibn Ishaq Ibn Yasar al-Madani yang merupakan sejarawan Sunni yang paling terkenal. Ia adalah penulis dari “Sirah Rasulullah”.


Sejarah (yang bukan dilaporkan oleh Sayf—pencipta tokoh Abdullah Ibn Saba) menegaskan bahwa para sahabat terkenal-lah yang menjadi para penghasut utama untuk menentang Utsman Ibn Affan. Mereka ialah Thalhah Ibn Ubaydillah, Zubayr Ibn Awwam, ‘Aisyah Binti Abu Bakar, Abdurrahman Ibn Auf, dan Amr Ibn al-Aas. 


Thalhah Ibn Ubaydillah Dia adalah penghasut yang paling utama dalam menentang Utsman Ibn Affan dan dia juga yang merancang pembunuhan Utsman. Ia kemudian menggunakan “peristiwa pembunuhan Utsman” itu untuk menentang Ali Ibn Thalib yang mana ujungnya sudah kita ketahui semua yaitu peperangan saudara yang... 


Terima kasih dan kredit buat pengarang, Apep Wahyudin atas sumber yang dikongsikan di wadah ini, semoga menjadi pahala yang berterusan, Selamat membaca sambungan melalui  tautan selanjutnya : https://drive.google.com/file/d/0B_l0We7EQa4Jd2FadGNWb2p5S2c/view




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

50 Pelajaran Akhlak Untuk Kehidupan

ilustrasi hiasan : akhlak-akhlak terpuji ada pada para nabi dan imam ma'sum, bila berkuasa mereka tidak menindas, memaafkan...