ilustrasi hiasan:
Jihad?
Tiba-tiba sebuah negara diserang, penduduknya dibunuh dan rumah-rumahnya dibombardir.
Apa yang mesti dilakukan? Mengajak agresor yang berlumuran darah untuk berdamai agar tidak dianggap anti perdamaian, ataukah melawannya demi harga diri dan keadilan?
Seberapa dekat jarak antara 'jihad' dan 'jahat'? Mengapa kata 'jihad' begitu menyeramkan bagi sebagian orang? Mestikah jihad dianggap sebagai kekerasan atas nama agama (teror)? Benarkah jihad bisa dilakukan oleh siapa saja, kapan saja dan terhadap siapa saja?
Mengapa kata jihad' dalam al-Quran disandingkan dengan kata 'di jalan Allah'? Apa jihad ruhani dan jihad jasmani itu? Apa jihad agresif dan jihad defensif itu?
Siapakah mujahid sejati? Jihad! Perlukah?
Masalah-masalah itu terlalu rumit untuk dijawab ala kadarnya tanpa dasar dalil yang cukup. Dapatkan semua jawabannya dalam buku ini, lalu lenyapkan salah paham anda tentang jihad.
Jihad! Selamat berjuang!
------------------------------------------------------
AL-HUDA Perpustakaan Nasional Republik Indonesia : Katalog Dalam Terbitan (KDT)
pengarang : M. Taqi Misbah Yazdi
penerjemah : Akmal Kamil
penyunting : Muhsin Labib
penyunting : Pedar Basil
Pewajah Sampul : Eja Assagaf
Penata Letak : Irman Abdurrahman
penyunting : Pedar Basil
Pewajah Sampul : Eja Assagaf
Penata Letak : Irman Abdurrahman
Judul Asli : Jang wa Jihad dar Qur'an
-----------------------------------------------------
Hak terjemahan dilindungi undang-undang All rights reserved
Cetakan pertama: Agustus 2006 M/Rajab 1427 H ISBN 979-35115-80-5
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit AL-HUDA PO. BOX 7335 JKSPM 12073 e-mail: info@icc-jakarta.com
----------------------------------------------------
----------------------------------------------------
DAFTAR ISI
BAGIAN PERTAMA:
PEMBAHASAN UMUM
Perang dan Bentuk-bentuknya
PEMBAHASAN UMUM
Perang dan Bentuk-bentuknya
Mengevaluasi beberapa Kata Kunci
BAGIAN KEDUA:PERANG DALAM PERSPEKTIF SISTEM
PENCIPTAAN
Penjelasan Filosofis seputar Perang
Perang dan Irâdah Takwini Tuhan
Faktor-faktor Pengontrol Perang
Apakah Perang Fenomena Aksidental atau Sistemis
Beberapa Pelajaran Umum al-Quran seputar Perang
BAGIAN KETIGA:KEDUDUKAN PERANG DALAM TATANAN
Penjelasan Filosofis seputar Perang
Perang dan Irâdah Takwini Tuhan
Faktor-faktor Pengontrol Perang
Apakah Perang Fenomena Aksidental atau Sistemis
Beberapa Pelajaran Umum al-Quran seputar Perang
BAGIAN KETIGA:KEDUDUKAN PERANG DALAM TATANAN
TASYRI'I
Penjelasan beberapa Hal
Penjelasan beberapa Hal
Perang dan Penjagaan Kehormatan Manusia
Perang pada Agama-agama pra-Islam . Jihad dalam Islam
Disyariatkannya Jihad
Perbedaan antara Difa' dan Qishâsh
Perbedaan antara Difa' dan Qishâsh
Batasan Qishásh dalam Perang
BAGIAN KEEMPAT: PEPERANGAN DALAM AL-QURAN
Al-Quran dan Peperangan di Awal Sejarah Islam
Nilai dan Substansi Perang dalam Al-Quran
Pengertian fi sabilillah
Pengertian lillâhi (karena Tuhan) dalam Perspektif al Quran
BAGIAN KEEMPAT: PEPERANGAN DALAM AL-QURAN
Al-Quran dan Peperangan di Awal Sejarah Islam
Nilai dan Substansi Perang dalam Al-Quran
Pengertian fi sabilillah
Pengertian lillâhi (karena Tuhan) dalam Perspektif al Quran
Delapan Jenis Jihad dalam al-Quran
Sistematika ayat-ayat jihad
Jihad Ofensif dan Memulai Perang dalam Islam
JIHAD OFENSIF SEBAGAI SALAH SATU Modus PERTAHANAN.
BAGIAN KELIMA: METODE MOTIVASI DAN MENDIDIK PARA MUJAHID ..
JIHAD OFENSIF SEBAGAI SALAH SATU Modus PERTAHANAN.
BAGIAN KELIMA: METODE MOTIVASI DAN MENDIDIK PARA MUJAHID ..
Metode Nasehat
Contoh-contoh Ayat yang Berkaitan dengan Tabsyi
Kabar Gernbira dengan Kenikmatan-kenikmatan
Contoh-contoh Ayat yang Berkaitan dengan Tabsyi
Kabar Gernbira dengan Kenikmatan-kenikmatan
Ukhrawi
Balasan dengan Kenikmatan-kenikmatan Duniawi
Contoh-contoh Ayat tentang Ancaman dan Peringatan
Celaan bagi yang Meninggalkan Jihad: Metode Lain Pemberian Peringatan
Metodologi Khusus Memotivasi dan Mendidik Mujahid
BAGIAN KEENAM: BANTUAN GAIB ILAHI DAN KEMENANGAN
Contoh-contoh Ayat tentang Ancaman dan Peringatan
Celaan bagi yang Meninggalkan Jihad: Metode Lain Pemberian Peringatan
Metodologi Khusus Memotivasi dan Mendidik Mujahid
BAGIAN KEENAM: BANTUAN GAIB ILAHI DAN KEMENANGAN
PIHAK YANG BENAR
Bantuan Ilahi dan Kemenangan Pendukung Kebenaran
Metode Pertolongan Gaib
Metode Pertolongan Gaib
Metode Bantuan Tuhan
Syarat-syarat Hadirnya Pertolongan Gaib Ilahi
KATA PENGANTAR
Perang dalam perjalanan sejarah umat manusia memiliki latar belakang yang sangat panjang. Ia dapat disebut sebagai kembaran kehidupan sosial umat manusia dan pasangan yang senantiasa mendampinginya.
Bilamana membuka lembaran sejarah umat manusia pada dimensi yang berbeda, kita tidak menemukan satu masa pun yang tidak terdapat satu perang di dalamnya. Kita menemukan berbagai peperangan yang berkecamuk sepanjang sejarah perjalanan umat manusia.
Kendati perang senantiasa disertai dengan pelbagai kerugian, musibah, petaka, kegetiran, dan peristiwa-peristiwa yang mengharu-biru, dan yang karenanya juga umat manusia secara original dan esensial menghindari peperangan tersebut; akan tetapi perkara ini tidak dapat mencegah meletusnya ribuan perang dalam sejarah umat manusia.
Baik pada masa berlakunya hukum konvensional tempatan (hukum kabilah) atas suatu masyarakat maupun setelah terbentuknya negara dan sistem negara-negeri dan negara kemudian tercipta sebuah bangsa, senantiasa terdapat perang sebagai satu realitas sosial pada tataran hidup umat manusia.
Barangkali berdasarkan pandangan-pandangan ini, sebagian pemikir yang memiliki otoritas percaya bahwa pada dasarnya perang merupakan satu hal yang tidak terpisahkan dan mesti ada dalam kehidupan sosial umat manusia. Umat manusia sekali kali tidak dapat dipisahkan dari perang.
Pemikiran-pemikiran filosofis seperti yang dilontarkan Hobbes bahwa manusia merupakan serigala atas manusia lainnya dan pandangan Nietzsche bahwa tertindasnya orang-orang lemah oleh orang-orang kuat merupakan aturan alam kehidupan sosial umat manusia juga merupakan sumber inspirasi keyakinan tersebut dan melangkah di atas keyakinan ini.
Bagaimanapun, apa yang dinukil dari sejarah adalah adanya kontinuitas perang pada panggung kehidupan sosial umat manusia. Oleh karena itu, sikap antipati (terhadap perang) tidak lain adalah cerminan sikap menutup mata terhadap realitas tersebut. Ucapan ini tidaklah bermakna propaganda dan sedang menabuh genderang perang melainkan semata-mata pengakuan terhadap realitas sosiologis dan fenomena penting yang terjadi pada masyarakat sosial.
Apabila hendak melihat secara objektif, alih-alih menutup mata dan mengenyampingkan realitas ini, kita harus menganalisis dan mengkaji fenomena tersebut. Pertanyaan serta problem penting yang berkenaan dengan fenomena perang harus kita jelaskan dan carikan jawabannya.
Oleh karena itu, melalui Islam sebagai paham sosial yang realistis, dalam seluruh ajarannya, dengan menjelaskan pelajaran-pelajaran dan subjek-subjek yang beragam ihwal perang, kita dapat menunjukkan bimbingan dan panduan penting serta sangat produktif dalam menjawab realitas sosial tersebut.
Tema-tema dan masalah-masalah yang membahas perang, pada satu pembagian universal, dapat dibagi menjadi dua bagian: pertama, masalah yang berkaitan dengan dimensi-dimensi "ontologis” dan “realitas” perang; kedua, yang berkaitan dengan tema-tema "aturan" dan "harus" serta "tidak harus" dan "tatanan hukum perang”.
Dengan menyampaikan selayang pandang terhadap ayat-ayat al-Quran, kita menjumpai bahwa tiap-tiap bagian tersebut secara beragam telah dijelaskan dalam al-Quran.
Buku yang hadir di hadapan Anda merupakan analisis dan kajian fenomena perang dari sudut pandang al-Quran. Dengan demikian, jenis pembahasan, sejatinya, adalah “tafsir tematis al Quran" dan sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya bahwa dalam buku ini yang akan dikaji adalah tema perang dalam al-Quran dan ayat-ayat yang berhubungan dengannya.
Inti pembahasan ini merupakan pelajaran-pelajaran yang disampaikan Profesor Ayatullah Misbah Yazdi - semoga Allah melanggengkan pancarannya - yang dilaksanakan pada tahun 1865 dan 1866 S di Muassasah Dar Râh-e Haq di hadapan sekumpulan pelajar Hauzah.
Kami memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan yang telah menganugerahkan taufik sehingga kami sanggup, Insya Allah, menyusun dan menata karya ini. Penyusunan dan penataan karya ini akan menjadi saham kami, meski kecil, dalam menyebarkan budaya Qurani dan Islami. Semoga kerja kecil ini mendapatkan ijábah dan pengabulan di sisi Allah dan juga di sisi Baqiyatullahil 'Azhâm-semoga ruh kami menjadi tebusannya.
Muhammad Husain iskandari Muhammad Mahdi Nadiri Pâiz (Musim Gugur) 1382 S
BAGIAN PERTAMA: PEMBAHASAN UMUM
PERANG DAN BENTUK-BENTUKNYA
Tema utama yang dikaji pada buku ini adalah fenomena “perang" W dalam perspektif al-Quran. Kita akan mempelajari ayat-ayat tentang perang dan yang bertalian dengannya.
Perang dari sudut pandang yang beragam telah menarik perhatian para ilmuwan. Perang dapat dikaji dari disiplin humaniora yang beragam. Dalam ilmu sejarah, terdapat pembahasan yang mengulas peperangan sepanjang sejarah. Jelaslah tujuan ilmu sejarah hanya memberikan warta kepada kita tentang peristiwa dan kejadian yang dialami orang-orang terdahulu,
Dalam filsafat sejarah, masalah yang diulas dan dibahas adalah perang dari sudut pandang sebab-sebab dan faktor-faktor terjadinya serta berlakunya sejarah pada suatu kaum atau komunitas. Dari perspektif ini, tatkala berbicara tentang perang, kita ingin mengetahui perang-perang yang terjadi dalam sejarah masyarakat manusia, termasuk aturan-aturan yang digunakan dan faktor-faktor kemenangan atau kekalahan yang dialami sebuah bangsa dalam perang-perang mereka.
Adapun dalam filsafat hukum, apabila pembahasan perang mengemuka, yang menjadi pembicaraan adalah bagaimana dan
atas dasar apa kita memberikan justifikasi dan pembenaran atas perang. Dari sisi lain, hukum internasional mengulas hak-hak dan kewajiban setiap bangsa dan setiap prajurit dalam suasana perang yang mereka lalui. Sementara itu, pada fakultas-fakultas militer dan perang, ditunjukkan metode perencanaan dan petunjuk pelaksanaan militer.
Oleh karena itu, jurusan-jurusan yang beragam dari ilmu humaniora tersebut mengkaji, meneliti, dan menganalisis sedemikian rupa sehinga tiap-tiapnya menemukan hubungannya dengan perang dan khususnya dengan fenomena sosial dan sejarah ini.
Dalam riset kontemporer, kita harus memperhatikan poin ini bahwa al-Quran al-Karim bukanlah kitab yang membahas ilmu sejarah, filsafat sejarah, sosiologi agama, filsafat hukum, atau hukum internasional dan atau karya-karya yang berkenaan dengan taktik-taktik militer dan seni tempur; melainkan tujuan asli dari pewahyuan Kitab suci ini adalah untuk membimbing dan mengarahkan manusia menuju kesempurnaan mental dan spiritual.
Berangkat dari sini, kitab suci membahas masalah ini pada lintasan dan arah tersebut demi mencapai tujuan tersebut. Dengan kata lain, ayat-ayat ini diperuntukkan bagi orang yang mencari kesempurnaan dan menginginkan peningkatan derajat kemanusiaan. Ia membimbing manusia dalam perang, perdamaian, dan hubungan internasional sehingga mengetahui dengan siapa ia berperang dan dalam situasi bagaimana ia harus berperang. Ia juga harus membimbing manusia tentang kapan harus menarik diri dari peperangan dan memilih jalan damai dengan musuhnya.
Al-Quran menjelaskan dengan baik tujuan utamanya kepada para pengikutnya tentang masalah perang; masalah yang terhitung paling klasik dan paling antikuasi dalam kehidupan sosial umat manusia. Ini semestinya tidak dianggap sebagai masalah yang tidak wajar dan sederhana.
Akan tetapi, tanpa ragu bahwa banyak nuktah yang patut diadopsi dari Kitab samawi ini. Nuktah-nuktah tersebut bertalian dengan ilmu sejarah, filsafat sejarah, sosiologi, filsafat hukum, hukum internasional, moral dan bahkan filsafat-yang akan kita singgung beberapa bagian yang terpenting dari disiplin ilmu ini. Akan tetapi, kita harus mengetahui bahwa tujuan utama Kitab suci ini adalah seperti yang telah kami singgung sebelumnya sekalipun jalan yang ditempuh untuk mencapai tujuan ini telah disinggung pada subjek-subjek dispilin ilmu di atas dan atau bahkan pada subjek ilmu biologi dan fisika.
MENGEVALUASI BEBERAPA KATA KUNCI
Sebelum mulai mengkaji ayat-ayat lahiriah perang dan penjelasannya, kita akan membahas kata-kata yang paling penting yang bermakna 'perang dalam al-Quran. Sebagian terminologi yang disinggung dalam al-Quran lebih pelik, lebih sarat dengan muatan, dan lebih kaya dibandingkan padanannya dalam bahasa Persia. Sebagian lainnya dari terma-terma tersebut memiliki makna yang sama dengan mafhum (pengertian) perang. Di sini, kita akan menelusuri dan menjelaskan terma-terma tersebut satu per satu.
PERANG (HARB) DAN ORANG YANG BERPERANG (MUHÂRIB)
Dapat dikatakan bahwa dua terma “harb" ('perang') dan "muharib" ("pelaku perang") kurang-lebih ekuivalen dengan pengertian "jang" dalam bahasa Persia. Sementara itu, antara “harb" dan "jang" sinonim satu dengan yang lainnya.
Dalam al-Quran, terma "harb" digunakan sebanyak empat kali sementara derivat (mashdar) muhârib dan juga dalam bentuk verba (fi'il) digunakan sebanyak dua kali. Dalam salah satu ayat yang membahas ihwal kaum Yahudi, disebutkan:
... Setiap mereka mencetuskan harb (menyalakan api peperangan dengan umat Muslim), Allah memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan di muka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan. (QS. al-Maidah (5):64) Dalam ayat yang lain disebutkan:
(Wahai Rasul) Jika engkau menemui mereka dalam harb (peperangan), dengan menumpas mereka, maka cerai-beraikanlah orang-orang yang di belakang mereka, supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. al-Anfal (8]:57)
Dan dalam ayat yang lain ditegaskan: Apabila engkau bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila engkau telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan selepas itu engkau boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai harb (perang) berhenti... (QS.
Muhammad [47]:4) Dalam tiga ayat di atas, terma “harb” (perang) digunakan sama dengan padanan makna teknisnya “jang" (perang) dalam bahasa Persia.
Akan tetapi pada satu ayat, terma “harb” (perang) digunakan selain pada makna teknisnya “jang" (perang) dalam bahasa Persia.
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu adalah orang-orang yang beriman. Maka apabila kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu (bi harbin)..." (QS. al-Baqarah [2]:278 dan 279). Terma "harb" dalam ayat ini tidak termasuk makna 'perang sebenarnya dan tidak bernuansa militeristik, melainkan bermakna memakan riba seolah-olah mengumumkan perang dengan Allah dan dihukumi sebagai berperang terhadap Allah.
Akar terma “harb" ini dalam al-Quran digunakan dalam bentuk verba (fi'il) dari bab "mufā'ala" dalam dua hal; pertama "hârib” digunakan dalam bentuk lampau (past tense, mâdho dan kedua "yuhâribuna" digunakan dalam bentuk present (mudhâri'). Dalam dua hal ini, juga digunakan terma yang bermakna “jang” ('perang').
Salah satu ayat diturunkan berkenaan dengan “masjid adh dhirâr”. Para pendiri mesjid ini adalah orang-orang munafik meskipun secara lahir menampakkan diri sebagai Muslim. Mereka berniat untuk mendirikan mesjid sebagai pusat konspirasi menentang Islam. Berangkat dari sini, sembari mencirikan orang orang munafik dan mesjid mereka, Allah Swt berfirman:
Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada yang mendirikan mesjid untuk menimbulkan kemudharatan kepada (orang-orang mukmin) dan lantaran kekafiran(nya), dan untuk memecah-belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi (hârib) Allah dan Rasul-Nya semenjak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah, “Kami tidak menghendaki selain kebaikan." Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). (QS. at-Taubah (9):107) Allah Swt dalam ayat ini menyebutkan orang-orang kafir dan musuh-musuh Islam sebagai “man haraba Allâh. wa Rasûlah” (orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya').
Pada ayat yang lain, balasan, hukuman, dan retribusi bagi orang-orang yang menyatakan perang dengan Allah Swt dan Rasul-Nya saw adalah salah satu dari empat hal berikut:
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka memperoleh siksaan yang besar. (QS. al-Maidah (51:33)
QITAL
Klausul (mâddah lain yang bermakna perang yang digunakan dalam al-Quran adalah qatala. Klausul ini secara keseluruhan digunakan sebanyak 170 kali dalam al-Quran. Dari keseluruhan jumlah tersebut, 94 kali digunakan dalam bentuk trikotomi (tsulatsi mujarrad, qatala yaqtulu), 67 kali dalam model bab mufā'ala, 5 kali dalam model bab taf il dan 4 kali dalam model bab ifti'āl
Harus diperhatikan bahwa qatl dan taqtil bermakna 'perbuatan membunuh seseorang yang dilakukan oleh seseorang yang lain'. Keduanya tentu saja bercorak satu arah. Oleh karena itu, makna 'perang' yang berarti qitál dan konflik yang bersifat dua arah (mutual) tidak dipergunakan. Akan tetapi, terma-terma gitâl dan iqtitál bersifat dua arah dan tiap-tiapnya digunakan ketika kedua belah pihak memutuskan dan mencoba untuk saling membunuh. Keduanya bercorak dua arah lantaran kedua pihak saling menyerang.
Dari sini, terma yang bermakna 'perang' (dua arah) hanya berasal dari bab mufā'ala dan isti'âl. Kedua istilah ini sesuai dan selaras dengan tema pembahasan kita nantinya.
JIHAD
Terma jihad dan derivatnya digunakan sebanyak 35 kali dalam al-Quran. Jihad secara leksikal bermakna 'usaha memberdayakan serta mengerahkan kekuatan dan kemampuan untuk mewujudkan satu tujuan. Akan tetapi, karena derivasinya berasal dari bab mufā'ala, biasanya ia digunakan dalam hal-hal yang di dalamnya terdapat semacam korporasi, kerja sama, persyarikatan, dan pertemanan.
Oleh karena itu, dalam terma jihad biasanya pihak lainnya juga digunakan. Tiap-tiap pihak berdiri pada barisannya dan berupaya untuk mengerahkan kemampuannya semaksimal mungkin sehingga dapat menaklukkan salah satu pihak.
Tentu saja harus diperhatikan bahwa jihad tidak hanya bersifat militer dan perlawanan serta pertempuran. Selain bercorak militer, jihad juga bernuansa ekonomi, budaya, atau politik. Semuanya termasuk ke dalam makna jihad ini.
Harus diketahui juga bahwa terma jihad tidak selamanya bermakna positif. Terkadang terma jihad bermakna negatif. Contohnya adalah ayat 8 surah al-Ankabut. Dalam ayat ini, setelah memerintahkan manusia untuk berbuat baik kepada orang tua mereka, Allah Swt berfirman:
... Dan jika keduanya memaksamu (jahada-ka) untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah engkau mengikuti keduanya. Hanya kepada-Kulah kembalimu, lalu Aku wartakan kepadamu apa yang telah engkau kerjakan. Pada ayat yang lain disebutkan bahwa Allah Swt berfirman 'ala an tusyrika bi ('untuk menjadikanmu sekutu dengan Aku') sebagai ganti firman litusyrika bi (untuk mempersekutukan Aku'):
Dan jika keduanya memaksamu untuk menjadikanmu sekutu dengan-Ku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah engkau mengikuti keduanya, dan pergauilah keduanya di dunia dengan baik... (QS. Luqman (31]:15) Pada bagian dari dua ayat suci tersebut, ketika jihad di dalamnya bermakna 'usaha dan upaya ibu dan bapak untuk membuat anaknya musyrik-yang secara natural tidak memiliki satu pun makna positif-terma jihad dan mujahadah digunakan. Pada ayat yang lain, disebutkan maknanya yang positif ketika manusia mengerahkan usaha-usaha untuk mewujudkan tujuan tujuan yang sehat serta diridhai Allah Swt.
Usaha dan upaya positif semacam itu terkadang hanya memanfaatkan sarana-sarana finansial dan ekonomi, yang disebut sebagai jihad finansial; misalnya, menyediakan biaya perang untuk melawan kaum kafir, musyrik, serta munafik; membantu kaum fakir dan miskin dalam lingkungan sosial; menolong tersedianya biaya bagi orang-orang sakit dan orang-orang yang terluka; membangun rumah sakit, sekolah, dan mesjid; atau membangun jalan-jalan dan fasilitas umum lainnya.
Terkadang usaha-usaha tersebut juga memiliki sisi militerisik, yang tentu saja di dalamnya, terdapat ancaman dan risiko bagi keselamatan jiwa manusia. Bahkan mungkin hingga batas tertentu ia mengorbankan jiwa dan melahirkan syahadah (martyrdom).
Jelaslah, terma jihad yang sinonim dengan kata perang inilah yang menjadi tema utama yang akan dibahas dalam buku ini.
Terkadang yang juga dimaksud dengan jihad adalah menentang nafs ammarah yang disebut sebagai “jihad melawan nafsu" atau “jihad akbar". Sebagian besar ayat al-Quran memuat terma jihad dengan makna demikian.
Allah Swt berfirman:
Dan barangsiapa berjihad (jahada), maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. IQS. al Ankabut (29):6). Pada ayat lain, Allah berfirman:
Dan orang-orang yang berjihad (jahadû) untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kani. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS. al-Ankabut (291:69) Bagaimanapun, contoh jelas dan makna yang paling gamblang dari terma jihad adalah 'berperang di jalan Allah Swt untuk mencapai syahadah'. Jihad semacam ini juga akan memiliki korelasi dengan jihad melawan hawa nafsu.
Orang yang berjihad (mujahid) di jalan Allah harus mengenyahkan dan mengeliminasi sebagian besar keinginan pribadi dan egonya. Ia harus mengabaikan dunia. Ia harus meninggalkan istri, anak, dan relasinya serta harta bendanya sehingga dapat pergi ke medan laga untuk bertempur melawan musuh. Ia meletakkan hidup dan ketenteramannya dalam ancaman dan kesirnaan. Adalah jelas bahwa pekerjaan ini akan bermuara pada jihad besar dan perang luar biasa terhadap hawa nafsu.
PENUMPAHAN DARAH
Ungkapan lain yang dekat pada makna perang adalah penumpahan darah. Safk dam yang berarti 'penumpahan darah' disebutkan sebanyak dua kali dalam al-Quran.
Dalam satu ayat, Allah Swt berfirman:
Ingatlah tatkala Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata, "Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah (yusfiku ad. dima'), padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau? (QS. al
Baqarah [2]:30) Pada ayat yang kedua, yakni ayat 84 surah al-Baqarah, di dalamnya Allah Swt mengalamatkan firman-Nya kepada Bani Israil:
Dan (ingatlah), ketika kami mengambil janji dari kamu (yaitu): kamu tidak akan menumpahkan darahmu (tasfikuna dima'), dan kamu tidak akan mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu,.. Harus diperhatikan bahwa "safk dima" ("menumpahkan darah') lebih umum sifatnya dari qital ('membunuh') dan tidak semata berurusan dengan masalah perang, melainkan termasuk juga membunuh; artinya baik berkaitan dengan seseorang yang membunuh seseorang lainnya maupun bertalian dengan kedua belah pihak yang bermaksud untuk saling menumpahkan darah. Masalah kedua inilah yang sinonim dengan terma perang.
Di ujung bagian dari pembahasan ini, kami memandang perlu untuk mengingatkan bahwa, dalam al-Quran, terdapat terma terma dan ungkapan-ungkapan yang bermakna 'perang tetapi kami menganggapnya tidak signifikan untuk dikaji di sini.
ISTILAH-ISTILAH BERNILAI DAN BEBAS NILAI TENTANG PERANG
Terma-terma dan ungkapan-ungkapan yang bermakna 'perang', yang tersebut dalam al-Quran, seperti “harb”, “muhârabah", "qitál", “muqatala”, “iqtitál", tidak memuat tatanan nilai (non-valuable) yang begitu determinan. Artinya, terma-terma secara otomatis tidak mengindikasikan bahwa perang--dari sudut pandang orang orang yang menggunakannya-adalah benar atau salah; mencerminkan keadilan atau mencerminkan tirani; legal atau tidak legal. Berangkat dari sini, tiap-tiap masalah ini dapat diterapkan secara objektif. Oleh karena itu, “harb" dan "qitât” dan terma-terma yang serumpun dengan keduanya dapat bercorak baik ataupun buruk, dan kedua terma ini sendiri tidak dapat dipahami secara subjektif.
Kita juga memiliki terma yang secara otomatis memuat tatanan nilai (valuable), yang lebih umum dari positif atau negatif; misalnya “jihad" dan "safk dam".
Dalam komunikasi umum dan kamus Islam, kata jihad memiliki konotasi positif. Sebaliknya, safk dam memiliki konotasi negatif. Memang jihad secara leksikal bermakna 'segala jenis usaha dan upaya untuk mewujudkan dan mengejewantahkan segala bentuk tujuan' tetapi dalam praktik al-Quran dan dalam urf umat Muslim yang menjadi pengikut al-Quran, hanyalah perang antara umat Muslim melawan kaum kafir dan musyrik yang disebut sebagai jihad. Jihad tidak disebut dalam kegiatan-kegiatan tempur dan militer kaum kafir dan musyrik-baik yang ada di antara mereka ataupun yang melawan umat Muslim.
Demikian juga, "safk dam" secara leksikal bermakna 'penumpahan darah'. Namun, dengan memperhatikan konteks dan kondisi serta motivasi yang beragam, “sask dam” secara otomatis dapat menjadi sesuatu yang bermakna terpuji atau tercela. Namun, dalam budaya al-Quran, ungkapan ini memiliki konotasi negatif dan digunakan dalam konteks yang tercela dan proses yang ilegal.
Oleh karena itu, dalam kamus al-Quran dan Islam dan dalam budaya umat Muslim, jihad disebut sebagai perang yang memiliki tujuan mencari kebenaran dan keadilan. Berangkat dari sini, sebagian penerjemah mengalihbahasakan jihad sebagai 'perang suci'. Sebaliknya, terma "safk dam” dalam kamus al-Quran dan Islam bertalian dengan perang yang bercorak tiranikal dan tidak memiliki tujuan untuk mencari kebenaran.
Demikian juga, haruslah diperhatikan bahwa di mana pun setelah ungkapan perang, dengan segala sebutan, selalu disertakan ungkapan “fi sabilillâh”. Hal ini mengindikasikan kebenaran dan adanya keridhaan Tuhan di balik perang tersebut, baik penyertaan (stipulasi) ini disebutkan selepas terma jihad dan terma-terma serumpun, yang secara otomatis memiliki muatan positif, maupun selepas terma qitål dan kalimat-kalimat serumpun, yang secara otomatis tidak memuat satu pun tatanan nilai. Dengan kata lain, frase “fi sabilillâh” setelah “jihad” merupakan petunjuk bagi terma-terma serumpun perang kelompok kedua yang berkonotasi positif.
BAGIAN KEDUA: PERANG DALAM PERSPEKTIF
SISTEM PENCIPTAAN
Setelah mengulas beberapa kata kunci, kini tiba saatnya bagi Ukita untuk membahas dan mengkaji tinjauan al-Quran tentang perang beserta seluruh dimensinya.
Ini dapat dilaksanakan berdasarkan sistematika sejarah dan sistematika pewahyuan ayat-ayat suci al-Quran. Artinya, kita memulai dari ayat pertama yang turun berkenaan dengan perang, lalu mengkaji satu dengan yang lainnya sesuai sistematika sejarah ayat-ayat yang turun bertalian dengan masalah ini.
Metode-metode beragam yang lain dapat juga diaplikasikan dalam proyek penting ini. Di tengah pembahasan ini, kita akan menggunakan metode logis tipikal, yang di dalamnya permasalahan dan problematika asasi dan fundamental, yang menurut pemahaman orang lain masalah-masalah perang memiliki peran sentral, secara sistematis akan diprioritaskan signifikansi dan perannya.
Kita tidak ragu bahwa, dalam hal persepsi dan objektifikasi (itsbât, sebagian masalah perang berbeda dan bergantung kepada pemahaman dan penetapan penggalan lain dari masalah-masalah perang. Oleh karena itu, kita harus mematuhi sistematika natural dan logis untuk memahami dengan mudah masalah-masalah perang
Dengan ungkapan lain, di antara selaksa problematika dan permasalahan ihwal perang, terdapat prioritas dan posterioritas logis. Apabila aturan natural dan logis ini tidak diperhatikan dalam penelaahan, maka pekerjaan ini tidak akan menuai kesuksesan. Sebagai hasilnya, upaya untuk meraup natijah nilai' dan konklusi akan kandas.
Banyak masalah asasi seputar perang, yang apabila tidak dijelaskan sebelumnya, kita tidak akan mampu atau sukar untuk menjawab masalah-masalah yang lain. Oleh karena itu, agar mencapai konklusi, prioritas, posterioritas, dan sistematika logis pembahasan harus diperhatikan dan diterapkan.
Sebagai contoh, pertanyaan dapat diajukan bahwa apakah perang itu baik ataukah buruk? Apabila perang itu buruk, bagaimana manusia dapat mengantisipasi supaya perang tidak berkecamuk? Apabila perang itu baik, apakah batasannya, hingga kapan dan ke mana harus berlanjut? Undang-undang apa yang berlaku dalam peperangan sehingga hak-hak asasi manusia tetap terpelihara dengan baik?
Namun, sebelum menjawabnya, kita harus menjawab pertanyaan yang lebih asasi terlebih dahulu, mengapa perang itu ada? Pertanyaan ini bercorak filosofis (ontologis) dan secara natural lebih fundamental daripada pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan nilai-nilai dan hukum perang. Apabila jawaban atas pertanyaan asasi itu belum dikemukakan, pertanyaan-pertanyaan lain yang mengemuka di atas tidak akan terjawab secara proporsional.
Oleh karena itu, kita, dalam tulisan ini, akan memulai menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Lalu, secara sistematis, kita mengedepankan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang lebih asasi. Selanjutnya, jawaban terhadap satu pertanyaan dan solusi atas setiap masalah, dengan sendirinya, akan menjadi jawaban dan solusi atas permasalahan-permasalahan berikutnya.
PENJELASAN FILOSOFIS SEPUTAR PERANG
Pada pembahasan sebelumnya, kami telah menyinggung bahwa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang paling asasi adalah pra-mukadimah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan lainnya yang berhubungan dengan perang. Pertanyaan itu adalah: mengapa perang terjadi? Mengapa Allah Swt menciptakan manusia sedemikian rupa sehingga berujung pada peperangan dan pertumpahan darah. Mengapa pembunuhan, kerusakan, kehancuran, dan kerugian menghantui kehidupan manusia? Apakah terjadinya perang dalam tatanan penciptaan dan pada iradâh takwini (keinginan penciptaan') semesta telah dipertimbangkan, dan Allah Swt menghendaki yang demikian serta ridha atasnya? Apabila makhluk-Nya menjadi makhluk yang
berseteru dan suka berperang, maka apakah Allah menyesal telah menciptakan manusia? Kita membaca dalam Taurat ihwal masalah ini, “Allah melihat kejahatan manusia di muka bumi sangat banyak dan konsepsi apa saja yang diimajinasikan atas diri manusia tidak lain kecuali kejahatan. Dan Tuhan berkata bahwa penciptaan manusia dan hewan-hewan dan serangga dan burung burung aku gagalkan, karena aku menyesal menciptakan mereka. Adapun Nuh mendapatkan perhatian dari Tuhan."|
Berdasarkan Taurat yang ada tersebut--yang tentu saja telah mengalami distorsi-perangai manusia yang suka berperang belum dipertimbangkan Tuhan dalam tatanan penciptaan. Tatkala melihat bahwa manusia suka berbuat angkara, Tuhan pun menyesali penciptaan manusia dan merasa sedih atas penciptaan tersebut. Tentu saja klaim ini tidak berdasar dan tidak layak diklarifikasi.
Bagaimanapun, kini harus dilihat bahwa dalam perspektif Islam, jawaban apa yang dapat ditemukan bagi pertanyaan asasi semacam ini? Jawaban apa yang ditawarkan Islam atas pertanyaan filosofis seperti ini? Apa yang diperkenalkan Islam sebagai tujuan penciptaan? Mengapa Tuhan menciptakan manusia yang suka berbuat onar dan angkara serta menumpahkan darah? Bagaimanakah kedudukan segala kerusakan, pertumpahan darah, dan angkara manusia ini dalam tatanan yang lebih baik (nizhâm ahsan)? Setelah menjawab permasalahan-permasalahan asasi ini, kita akan mampu memberikan perhatian terhadap posisi qanûn, hukum, dan nilai perang. Al-Quran bercerita ihwal sifat angkara dan keonaran yang ditimbulkan oleh manusia:
Ingatlah tatkala Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata, "Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah (yusfiku ad dimâ'), padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” (QS. al
Baqarah [2]:30) Dari ayat di atas, dapat dijumpai dengan jelas bahwa bahkan para malaikat mengenal identitas dan esensi manusia sebelum penciptaannya. Mereka mengetahui bahwa manusia adalah pembuat angkara dan penumpah darah.2
Oleh karena itu, dalam mengemukakan dan merancang sebuah pertanyaan, para malaikat dengan santun menyampaikan keberatan atas terpilihnya manusia sebagai khalifah di muka bumi. Mereka bertanya kepada Allah Swt mengapa Engkau ingin menciptakan makhluk yang senang berbuat onar dan penumpah darah sebagai khalifah-Mu di muka bumi sementara bukankah kami yang lebih layak untuk kedudukan tersebut karena senantiasa sibuk memuji dan bertasbih kepada-Mu serta taat dan setia kepada perintah-Mu?
Allah Swt, dalam menjawab pertanyaan para malaikat tersebut, berfirman dalam bentuk global: Aku lebih tahu apa yang kalian tidak ketahui. Jawaban ini menegaskan bahwa, di tengah umat manusia yang dianggap oleh para malaikat sebagai pembangkang dan ahli maksiat, terdapat orang-orang yang lebih unggul dan daripada para malaikat dan lebih patut menjadi khalifah Tuhan di muka bumi.
Dengan memperhatikan ayat tersebut, dapat dikatakan bahwa, dari sudut pandang al-Quran, perang dan pertumpahan darah merupakan keniscayaan wujud manusia di bumi dan kehidupan sosialnya. Allah Swt berserta para malaikat-Nya telah menimbang dan mengetahui tipologi dan karakteristik manusia ini sebelum penciptaan. Dengan demikian, tidak dapat dikatakan bahwa Tuhan tidak mengenal makhluk ini dan tidak mengetahui fenomena perang yang bakal terjadi pada kehidupan sosial manusia. Apatah lagi untuk mengatakan bahwa Tuhan menyesali penciptaan manusia setelah memahami hakikat yang getir ini.
Kini menjadi maklum bahwa Allah Swt dan para malaikat mengetahui ihwal tipologi dan karakteristik manusia sebagai "perusak” dan “penumpah darah”. Pertanyaan berikut ini yang merupakan sebuah pertanyaan penting filosofis--mengemuka, mengapa Allah Swt sedemikian rupa menciptakan manusia sehingga ia menjadi seorang pembuat angkara dan gemar terhadap peperangan? Secara asasi, apakah maksud adanya kejahatan baik kejahatan manusiawi atau kejahatan alami, di alam ini?
Para filosof dan teolog, sesuai dengan disiplin ilmu mereka, memberikan jawaban atas pertanyaan ini dan jawaban detil atas pertanyaan ini haruslah ditemukan pada bidangnya dan ruang lingkupnya masing-masing. Yang dapat disebutkan secara global di sini adalah kehadiran kejahatan dan mafsadah (kerusakan') yang bersifat manusiawi dan alami ini sejatinya adalah inheren dan niscaya bagi eksistensi alam natural dan paradoksialnya alam materi.
Allah Swt, berdasarkan hikmah-Nya, menciptakan alam natural, “mau atau tidak mau", disertai dengan kejahatan dan keburukan seperti perang, kemiskinan, penyakit, banjir, gempa bumi, dan topan.
Eksistensi alam natural dan alam material tidak mungkin tanpa eksistensi kejahatan dan keburukan semacam itu karena ketiadaan penciptaan alam ini tidak sesuai dan selaras dengan “fayadhat 'ala al-ithlaq” Ilahi (emanasi-emanasi mutlak Tuhan). Tatkala alam semacam ini diciptakan Allah Swt, “secara niscaya” kejahatan dan keburukan semacam itu juga akan menyertainya. Akan tetapi, keikutsertaan kejahatan dan keburukan dengan penciptaan alam tidak dapat menjadi penghalang terwujudnya Kehendak Ilahi, yaitu terciptanya semesta ini. Hal itu karena dengan adanya seluruh keburukan tersebut, secara keseluruhan, kebaikan dan kemaslahatan semesta ini akan mengalahkan segala keburukan dan kejahatannya.
Jawaban ini adalah jawaban yang bersifat global. Sedikit banyak dapat menjelaskan adanya perang dan pertumpahan darah dalam strata kehidupan manusia.
PERANG DAN IRÁDAH TAKWINI TUHAN
Sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya, ayat-ayat al-Quran dengan jelas menunjukkan bahwa terjadinya perang bukan tidak diperhatikan dalam tatanan penciptaan Ilahi dan bertolak belakang dengan kehendak Tuhan serta lepas dari pengaturan-Nya. Salah satu contoh ayat dari ayat-ayat yang memberikan kesaksian dengan jelas atas klaim tersebut adalah:
(Di antara) Utusan-utusan itu (dan Rasul-rasul Kami) lebihkan sebagian dari mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada orang yang Allah berkata kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. Dan Kami berikan kepada 'Isa putra Maryam beberap mukjizat serta Kami perkuat ia dengan Ruhul Qudus. Dan kalau Allah menghendaki niscaya tidaklah berbunuh bunuhan orang-orang yang datang sesudah rasul rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.
(QS. al-Baqarah [2]:253) Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah Swt dapat berkehendak untuk menjadikan manusia dan sistem kehidupannya teratur sehingga mereka tidak berperang dan menumpahkan darah. Akan tetapi, Dia tidak menghendaki manusia terpaksa meninggalkan perang dan mengatur mereka untuk senantiasa hidup dalam kedamaian dan ketenteraman.
Allah Swt tidak menginginkan untuk membimbing dan memberi petunjuk kepada manusia secara paksa (jabr), yang apabila Dia menghendaki yang demikian, niscaya hal itu terlaksana:
Apabila Tuhan menghendaki tentulah terbimbinglah seluruh manusia. (gs. ar-Ra'd (13):31) Sebagaimana disebutkan pada ujung ayat yang menjadi subjek pembahasan kita di atas, khususnya mengenai pembunuhan (gitál), disebutkan: apabila Tuhan menghendaki manusia untuk tidak saling membunuh sesama mereka, maka kehendak tersebut terlaksana.
Ayat-ayat semacam itu dengan jelas menunjukkan bahwa Allah Swt menciptakan manusia, pada mulanya, dalam keadaan bebas (free will dan merdeka. Dia tidak menghendaki manusia tercegah dan tertahan dari pertumpahan darah dan konflik secara kodrati (determined) tetapi membekali mereka dengan kecenderungan dan keinginan yang terkadang bermuara pada pertikaian, percekcokan, dan bentrokan.
Jelaslah bahwa Allah Swt menciptakan manusia untuk mengemban tugas sebagai khalifah-Nya. Kekhalifahan Tuhan merupakan derajat yang tinggi, yang hanya dapat dicapai dengan kelayakan dan sejumlah syarat lainnya. Karenanya, manusia, untuk dapat mencapai kelayakan ini, harus berusaha dan menggunakan ikhtiarnya sendiri.
Untuk dapat meraup keutamaan dan kesempurnaan ini, manusia mesti diciptakan dalam keadaan merdeka dan bebas. Apabila manusia meiniliki beragam kecenderungan dan motivasi yang tidak bertentangan dan hasratnya kepada maksiat dan keburukan tidak terdapat pada dirinya, seluruh pekerjaannya tidaklah bernilai dan upaya untuk mencapai kesempurnaan tertinggi insani pun menjadi mustahil baginya.
Para malaikat yang notabene tidak melakukan dosa, dan bahkan tidak memiliki pikiran untuk berbuat dosa dan terlintas sedikit pun dalam benak mereka untuk membangkang, tidak memiliki kelayakan untuk mencapai derajat dan kedudukan ini sama sekali, karena mereka tidak memiliki ikhtiar dan keinginan bebas secara kodrati.
Oleh karena itu, derajat para wali Allah lebih tinggi dan utama daripada kedudukan para malaikat. Ketaatan para malaikat tidaklah dapat dibandingkan dengan ketaatan para wali Allah. Ketaatan para malaikat tidak memiliki nilai dan kadar di hadapan ketaatan para wali Allah.
Para insan Ilahi adalah orang-orang merdeka dan memiliki ikhtisar. Kendati memiliki motivasi untuk bermaksiat dan kecenderungan untuk berbuat dosa, mereka tetap tidak melakukan hal itu. Mereka tunduk dan patuh pada seluruh hukum Ilahi.
Apabila mampu mencapai derajat khalifah Ilahi, maka manusia mencapainya dengan usaha dan ikhtiarnya sendiri. Ia tidak menjatuhkan dirinya pada lubang maksiat dan tidak mengerjakan perbuatan-perbuatan tercela.
Kehendak Ilahi juga menegaskan bahwa manusia dengan ikhtiar dan usahanva memilih kehidupannya sendiri, bukan dengan terpaksa dan koersis melintasi jalur penciptaan yang telah ditetapkan baginya. Ikhtiar dan kehendak bebas inilah yang menyediakan ruang dan peluang bagi manusia untuk dapat mencapai kesempurnaan.
Oleh karena itu, gerakan menuju kesempurnaan insani dapat terwujud tatkala manusia secara bebas memilih apa yang ia kehendaki. Dari sisi lain, kebebasan manusia, yang menyediakan ruang dan peluang bagi kesempurnaannya, memiliki potensi kezaliman dan kemungkinan untuk berbuat aniaya serta melanggar batas.
Dengan demikian, kebebasan manusia, pada satu sisi, bergantung kepada keniscayaan kesempurnaannya sementara, pada sisi lain, meniscayakan adanya ketidakadilan, kezaliman, pertumpahan darah, dan peperangan.
Sebagian besar hewan yang hidupnya jauh dari setiap bentuk kezaliman, perang, dan pertikaian, kehidupan yang mereka lalui adalah kehidupan yang sederhana. Akan tetapi, manusia tidaklah demikian karena apabila Allah Swt mengambil secara paksa kemungkinan pelanggaran, bentrokan, dan peperangan dari manusia, kendati dalam keadaan seperti itu, manusia tidak memiliki kerisauan terhadap perang dan lebih mudah melalui hidupnya-ia tidak akan sampai pada kesempurnaan yang layak.
Memperhatikan hal di atas adalah penting karena tentu saja perang dan pertikaian ini sepanjang menjadi penyebab kebaikan dan kemaslahatan manusia, secara original (baca: dzali atau essensial-penerjemah) mengikuti kehendak Tuhan, akan tetapi yang berkaitan dengan keburukan dan kejahatan secara ikutan (bittaba') (baca: 'aradhi, aksidensial-penerjemah) akan mengikuti kehendak Tuhan.
Secara asasi, dalam seluruh permasalahan penciptaan, kehendak yang penuh kebijaksanaan Tuhan, secara esensial. menyangkut masalah kesempurnaan dan kebaikan. Akan tetapi terwujudnya kebaikan dan kemaslahatan, dalam hal yang senantiasa dengan ditemukannya penggalan kejahatan dan keburukan, mafsadah semacam ini secara ikutan (bittaba', aksidental) berpulang kepada kehendak takwini Tuhan.
Subjek ini dalam riwayat-riwayat, dengan metode khusus dan dengan bahasa yang tipikal, telah dijelaskan, misalnya pada sebagian doa berikut, “Yâ man sabaqat rahmatuhi ghadabahu," 'Wahai yang rahmat-Nya mendahului murka-Nya'.
Yang dapat dipahami dari redaksi riwayat di atas adalah tujuan Allah Swt sejatinya adalah agar manusia mencapai rahmat Ilahi, mendulang kebaikan, dan menggapai kesempurnaan. Namun, untuk mewujudkan tujuan tersebut, tidak ada pilihan kecuali kemurkaan Ilahi juga harus terjelma. Rahasia dari masalah ini berkaitan dan bermuara dari pembahasan yang telah kami singgung sebelumnya.
Dari satu sisi, kebaikan dan kesempurnaan manusia harus dicapai melalui upaya dan kegiatan yang merdeka serta kehendak bebas manusia. Inherensi (kemestian) tercapainya manusia kepada kesempurnaan adalah manusia harus bebas dalam kerangka ikhtiar. Namun, pada sisi lain, manusia yang bebas terkadang menyalahgunakan kebebasan yang dimilikinya, yang akan mengundang kemurkaan Tuhan.
Dengan demikian, kebebasan manusia, di samping memiliki peran determinan untuk meraih kesempurnaan, juga meniscayakan suatu mata rantai keburukan dan kejahatan. Dari sisi lain, secara universal, alam natural merupakan alam paradoks dan tazāhum 'saling bergesekan'. Di samping berbagai kebaikan dan kenikmatan, ia juga sarat dengan keburukan, luka, dan kesulitan.
Allah Swt, sejak mencipta, mengetahui dengan sempurna seluruh akibat ikutannya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa keburukan dan kejahatan, yang merupakan keniscayaan alam natural ini, bittaba' telah diketahui Sang Pencipta alam semesta ini serta memiliki tempat khusus dalam proses desain universal penciptaan. Maka, maksud dari "kehendak ikutan" Tuhan dalam hubungannya dengan perang dan seluruh kejahatan yang lain adalah bahwa kendati mereka buruk, berbagai kenikmatan dan kebaikan yang terdapat dalam alam tabiat memenuhinya.
Jawaban atas pertanyaan, “Apakah terjadinya perang dalam tatanan penciptaan telah dipertimbangkan dan apakah kehendak Tuhan terpenuhi atau tidak di dalamnya.” adalah bahwa jawaban kami atas pertanyaan tersebut bersifat afirmatif dan positif. Apakah mungkin sebuah peristiwa terjadi di dunia ini tanpa adanya kehendak dari Tuhan? Tentu saja harus diperhatikan bahwa hasil hasil baik dan bermanfaat, anugerah dan keberkahan bersifat primer serta keburukan dan kejahatan perang adalah fenomena yang bersifat “ikutan" (sekunder) jalan kehendak Ilahi.
Ucapan tersebut berarti bahwa Tuhan semenjak hari pertama mengetahui tabiat penumpah darah dan sifat destruktif yang dimiliki manusia. Tuhan pun mengetahui bahwa manusia ini akan mewarnai medan kehidupan sosialnya dengan perang dan angkara murka. Namun, selaras dengan tuntutan hikmah paripurna-Nya, Dia memilih manusia untuk mengemban tugas khalifah di muka bumi dan memberikan kepadanya kebebasan sempurna. Dengan kebebasan yang dimiliki inilah, manusia dapat meraih kesempurnaan dan melebihi kedudukan para malaikat atau justru membuat keburukan, kejahatan, serta maksiat sehingga terpuruk dan lebih buruk daripada binatang.
FAKTOR-FAKTOR PENGONTROL PERANG
Isu lain yang mengemuka dalam masalah ini dan harus dijawab adalah batasan atau ketakterbatasan kebebasan manusia dalam menumpahkan darah, berperang, dan melakukan perbuatan destruktif.
Apakah Tuhan menghendaki bahwa perang dan pertikaian manusia melebihi batas manapun dan akibat getir apa pun, bahkan apabila hal itu menyebabkan punahnya seluruh orang orang saleh serta tertutupnya gerbang keadilan dan kebenaran? Ataukah kebebasan dan kemampuan yang dimiliki manusia membatasinya pada kerusakan dan penumpahan darah sementara ia tidak memiliki kekuatan untuk melewati batasan tersebut? Apakah tatkala mencapai batasan tersebut, yang menonjol adalah kejahatan dan penumpahan darah yang dilakukan manusia?
Dalam menjawab pertanyaan tersebut, al-Quran menyatakan bahwa Allah Swt menempatkan manusia di muka bumi dengan merdeka dan bebas sehingga ia melalui kehidupannya dalam lintasan menuju kesempurnaan atau memilih terjerembab dan terpuruk ke dalam kubangan dosa dan maksiat. Namun, cakupan kebebasan ini tidaklah begitu luas sehingga manusia dapat melanggar tujuan dan maksud utama Tuhan dan hikmah-Nya dalam penciptaan.
Sejatinya, pemberian kebebasan takwini kepada manusia adalah agar manusia dapat menggapai kesempurnaan insaninya; dan dalam lintasan ini apabila kebebasan manusia menjadi sebab seluruh manusia, alih-alih menuju kesempurnaan, ia memilih terjerembab dalam kubangan keburukan dan menjadi syirik serta kufur. Pada titik inilah, tujuan penciptaan menjadi tidak tercapai.
Dengan demikian, hikmah Ilahi tidak menuntut kebebasan tanpa batas yang berujung pada dominasi seutuhnya kaum perusak dan penjahat atas komunitas umat manusia. Di bawah dominasi tersebut, mereka membuat suasana satu arah (one way) dengan menutup rapat jalan-jalan keadilan dan kebenaran serta memusnahkan ajaran-ajaran Ilahi. Hasilnya, tidak seorang pun akan berjalan di atas rel keadilan dan kebenaran serta lubang yang ada pun akan dianggap sebuah jalan.
Hikmah Ilahi menuntut adanya kebebasan sehingga jalan bagi pengikut kebenaran tetap terbuka lebar. Oleh karena itu, manakala keburukan dalam masyarakat berkuasa dan orang-orang saleh dan baik berada di ambang kepunahan, Allah Swt dengan berbagai cara akan mencegah dominasi kekufuran dan kesyirikan atas orang-orang baik sehingga bumi dan manusia tidak dikuasai ketidakadilan dan kemaksiatan.
Pertanyaan utama di sini adalah bagaimana Tuhan mengontrol perang dan kerusakan dalam kerangka batasan yang disebutkan di atas? Jawaban kita atas pertanyaan ini adalah bahwa Allah Swt menindak mereka dengan tiga jalan. Media untuk mencegah keadaan sosial semacam itu, serta mengontrol perang dan kerusakan, terkadang menggunakan unsur-unsur supranatural seperti bencana-bencana langit- sehingga sebuah kaum secara keseluruhan musnah dari panggung sejarah.
Yang kedua, terkadang Tuhan melakukan pekerjaan tersebut dengan menggunakan unsur-unsur natural. Yang ketiga, Tuhan menggunakan unsur-unsur insani, yakni menugaskan insan-insan mukmin, orang-orang saleh, dan orang-orang yang taat untuk mengalahkan kaum perusak, kafir, dan munafik dengan berperang melawan mereka dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan sebelum mencapai batasannya.
Akan tetapi, penggunaan unsur-unsur tersebut haruslah sedemikian rupa sehingga, pada akhirnya, kemaslahatan umat manusia tetap terjaga. Alhasil, kehidupan manusia akan dilalui dengan sebaik-baiknya kehidupan dan berkelanjutan dalam keberkahan serta kebaikan yang lebih banyak.
Kami menganggap demikian bahwa, sebagai perumpamaan, apabila Allah Swt mengalahkan musuh-musuhnya inelalui tangan tangan nabi-Nya, maka alam semesta akan menjadi taman yang indah dan kesempurnaan yang lebih banyak dapat terwujud.
Anggapan sedemikian itu adalah anggapan yang sederhana karena melihat satu sisi dan kurang akurat. Dalam perhitungan seperti itu, kita sejatinya tidak mengetahui hakikat yang sebenarnya bahwa ada dan tidak adanya orang-orang seperti itu boleh jadi memiliki ribuan efek positif.
Terkadang generasi-generasi suci dan manusia-manusia yang layak lahir dari mereka. Demikian juga, orang-orang mukmin dan orang-orang saleh dengan perantara kaum kafir dan musyrik, diuji dan dicoba. Sebagai hasilnya, kesabaran dan istiqamah berhadapan dengan derita dan kesengsaraan yang mereka pikul. Mereka pun meraih kesempurnaan. Mereka melalui tingkatan tingkatan tertinggi kemanusiaan dan meraih kedudukan qurb ('kedekatan') di sisi Allah.
Oleh karena itu, apabila para perusak, penjahat, dan ahli mungkar tidak ada, maka kebanyakan medan ujian dan jalan untuk meraih kesempurnaan dan derajat-derajat tertinggi bagi orang-orang saleh dan orang-orang yang mencari kebaikan menjadi tertutup. Masalah ini tidak boleh dipandang sebelah mata dan ditilik dari kejauhan.
Kesimpulannya adalah bahwa hikmah Ilahi “menyertakan" kejahatan dan kemungkaran sepanjang menyisakan akibat yang baik dan positif bagi orang-orang saleh dan sepanjang jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, dan perbaikan tidak tertutup.
Akan tetapi, apabila kezaliman dan kerusakan begitu menyeluruh sehingga orang-orang pencari kebenaran dan kesempurnaan tidak dapat menemukan jalan kehidupan yang lurus dan jalan kebenaran tidak dapat dikenali secara total, dalam keadaan seperti ini, Tuhan akan mencegahnya melalui tiga jalan yang disebutkan di atas dan membatasi kebebasan tirani dan kerusakan.
APAKAH PERANG FENOMENA AKSIDENTAL ATAU SISTEMIS
Pertanyaan lain yang patut dikaji dan dikemukakan di sini adalah apakah fenomena perang sepanjang sejarah manusia hingga kini mengikuti sebuah aturan khusus dan apakah selanjutnya akan terjadi berdasarkan aturan khusus tersebut? Ataukah peperangan yang beragam itu merupakan fenomena sporadis dan tidak saling berkaitan sehingga dapat dikatakan bahwa setiap perang yang berkecamuk terjadi secara aksidental, tidak mengikuti satu aturan mana pun, dan tidak berkaitan dengan perang-perang sebelumnya?
Pertanyaan tersebut pada hakikatnya berhubungan dengan pembahasan filsafat sejarah dan sosiologi. Secara umum, pembahasan tersebut menyajikan pertanyaan, apakah fenomena fenomena fisikal dan natural mengikuti satu aturan dan undang undang khusus ataukah tidak. Ini merupakan fokus pemikiran para filosof humaniora dan sosial. Kami juga telah membahas masalah keteraturan dan ketertataan fenomena-fenomena kemanusiaan dan sosial dalam buku Jâmi'e wa Târikh az Didgâh e Qur'ân sehingga tidak perlu lagi untuk kami ulang di sini. Akan tetapi, kami akan menyebutkan tiga pandangan mengenai masalah-masalah yang secara khusus berkaitan dengan perang.
JAWABAN SOSIOLOGI DARWINISME
Perspektif pertama merupakan pandangan yang bersandar pada teori biologi yang dikemukakan naturalis Inggris, Charles Darwin (1809-1882). Menurut teori ini, setiap tumbuhan atau hewan berlomba dan berjejal untuk memenuhi kebutuhannya serta harus bersusah payah dan bertarung dengan mempertaruhkan nyawa berhadapan dengan medan terjal habitatnya untuk dapat bertahan hidup.
Usaha dan upaya terus-menerus inilah yang disebut Darwin sebagai "survival of the fittest" (tanazu' baqa), yang menghasilkan terpilihnya makhluk-makhluk terbaik. Teori sosiologi Darwin membekali teorinya sendiri tentang ekologi dan biologi. Teori ini mempengaruhi hubungan dan interaksi sosial manusia.
Menurut teori ini, orang-orang dan kelompok-kelompok manusia dengan segala tipologi yang beragam: suku bangsa, ras, nasionalitas, kabilah, bahasa, dan budaya berperang dan beradu sebagai sebuah proses perkara natural.
Dalam pertempuran yang berkelanjutan tersebut, sebagian orang dan kelompok yang keluar sebagai pemenang tampil lebih maju, lebih lengkap, dan lebih layak untuk melanjutkan kehidupan sosialnya.
Kelompok ini akan mengeliminasi secara keseluruhan atau mendudukkan orang-orang atau kelompok-kelompok yang lemah dan cacat dalam dominasi dan koloni mereka.
Menurut pandangan ini, sebagaimana dalam biologi, binatang yang lebih lemah dan tidak memiliki kekuatan untuk membela diri dianggap dan dihukumi punah serta tiada.
Hal itu juga berlaku dalam ranah sosiologi dan sejarah, yakni bahwa kelompok dan masyarakat yang tidak memiliki kekuatan dan kedigdayaan tidak layak untuk bertahan hidup. Orang-orang lemah dipastikan punah dan sirna, kecuali mereka yang tunduk dan menyerah kepada dominasi dan koloni kelompok dan masyarakat yang lebih digdaya.
PERSPEKTIF MARX
Pandangan kedua dibangun di atas fondasi pendapat filosof Karl Marx. Marx mengklaim bahwa ia telah menemukan prinsip filosofis yang bersifat inklusif dan global. Secara asasi, ditemukannya setiap fenomena merupakan hasil kontradiksi (tadhâd) antara thesis dan anti-thesis. Dalam diri setiap fenomena, thesis dan anti-thesis berperang. Dari pertempuran tersebut, muncullah sebuah fenomena baru yang disebut synthesis, yang merupakan gabungan antara thesis dan anti-thesis serta lebih sempurna daripada keduanya.
Paham (aliran) ini berpandangan bahwa dialektika merupakan sebuah prinsip filsafat yang luas dan berlaku atas seluruh penjuru semesta dan fenomena manusia, termasuk fenomena sosial.
Oleh karena itu, sosiologi Marxis juga menekankan prinsip dialektika dan menegaskan bahwa dalam tubuh setiap masyarakat terdapat thesis dan anti-thesis.
Kontradiksi (tadhâd) yang berlaku di antara kedua fenomena tersebut, yang tak terhindarkan (undeniable), berujung pada munculnya synthesis yang lebih sempurna daripada keduanya. Melalui proses inilah, masyarakat memasuki etape sejarah yang baru dan menemukan tatanan yang baru. Oleh karena itu, sejarah tidaklah bermakna apa pun tanpa perang antar-strata sosial. Sementara itu, perang adalah sebuah fenomena alamiah, yang mengikuti aturan dan merupakan sesuatu yang natural, berdasarkan sebab-sebab dan unsur-unsurnya serta aturan universal yang akan segera berlaku.
PERSPEKTIF ISLAM
Seraya memberikan kritik terhadap dua pandangan di atas, kami akan mengajukan pandangan Islam. Tampaknya, kedua pandangan di atas tertolak, baik secara ilmiah maupun filosofis. Keduanya tidaklah selaras dengan fondasi pemikiran filsafat Islam. Prinsip yang dijelaskan dalam pandangan Islam mengenai fenomena perang berbeda secara mendasar dengan kedua pandangan di atas. D sini, kami akan menyinggung sebagian dari perbedaan tersebut.
Pertama, di samping menganggap fenomena perang sebagai fenomena yang memiliki aturan, Islam sekali-kali tidak pernah mengingkari tanggung jawab dan usaha orang-orang serta anggota komunitas dalam hubungannya dengan perang dan sejarah. Perkara ini sangat berbeda secara fundamental dari dua pandangan di atas. Keharusan akan keteraturan yang menjadi klaim dua pandangan di atas adalah determinasi sejarah dan penafian terhadap hak pilih manusia serta penegasian tanggung jawabnya dalam hubungannya dengan perang dan kejadian-kejadian serta urusan-urusan sosial lainnya.
Islam tidak memandang bahwa terjadinya perang bukan karena faktor determinasi dan keluar dari ranah kebebasan manusia. Akan tetapi, Islam beranggapan bahwa manusia dapat mencegah terjadinya perang dan atau menghentikan perang yang terlanjur berkecamuk. Demikian juga, Islam memandang manusia bertanggung jawab terhadap fenomena dan mengancam orang orang yang bertindak berdasarkan motivasi penindasan serta melanggar hak-hak orang lain dengan menyulut api peperangan atau orang-orang yang ikut serta dalam peperangan dalam barisan musuh dan orang-orang zalim. Demikian juga, Islam akan meminta pertanggungjawaban orang-orang tertindas yang tidak membela diri dan tidak bergerak untuk menuntut hak-hak mereka. Orang orang seperti ini kelak akan ditanyai di hadapan mahkamah Ilahi.
Pendek kata, kedua pihak berperang karena kehendak bebas dan memiliki ikhtiar. Keduanya bebas dalam tindakannya masing masing--apakah motivasi ini baik atau buruk, tertindas atau menindas, pada kubu hak atau batil, dan memuat nilai-nilai etika yang positif atau negatif.
Kedua, masalah ketaatan kepada aturan pada setiap urusan dan secara umum, dari sudut pandang Islam, memiliki tujuan dan bersumber dari hikmah Ilahi. Ia tidak semata bermakna hubungan yang tak jelas dan tanpa tujuan di antara dua fenomena natural, yang menjadi obyek pemikiran paham lain.
Aturan alam, sebagai contoh, tidak berkata lebih daripada ini bahwa oksigen dan hidrogen adalah dua keadaan dan situasi khusus dan dengan hubungan tertentu, keduanya kemudian menjadi satu komposisi atau mixture. Dari komposisi oksigen dan hidrogen ini, kemudian muncullah air. Pada keadaan panas tertentu, air itu berubah menjadi uap. Uap air pun pada keadaan, atmosfer, dan suasana khusus berubah menjadi air.
Aturan alam ini tidak berarti bahwa seluruh aksi dan reaksi yang beragam memiliki tujuan tertentu atau tidak. Namun, di samping aturan alam tidak ternafikan, Islam menegaskan pandangan bahwa seluruh interaksi ini serta efek dan pengaruhnya adalah pendahuluan dalam rangka terwujudnya sebuah tujuan yang telah diatur dalam tatanan penciptaan. Artinya, Allah Swt mengatur dan menata fenomena-fenomena yang beragam itu sedemikian rupa sehingga, secara akumulatif, tujuan penciptaan semesta terwujudkan.
BEBERAPA PELAJARAN UMUM AL-QURAN SEPUTAR PERANG
Dalam perspektif al-Quran, tidak hanya sebab utama terjadinya perang yang mengikuti kehendak Ilahi dan mengikuti tatanan kebijaksanaan semesta tetapi kualitas dan kuantitas dan kejadian serta akibat-akibatnya juga mengikuti tatanan kebijaksanaan yang berlaku di alam semesta. Di sini, kami akan menyebutkan beberapa prinsip yang berlaku dalam perang menurut perspektif al-Quran.
KEBEBASAN DAN IKHTIAR MANUSIA DALAM PERANG
Allah Swt menciptakan manusia dalam keadaan bebas dan merdeka supaya, melalui jalan kebebasan dan ikhtiarnya, ia dapat menggapai kesempurnaan. Ciri-ciri bahwa manusia telah menyempurna adalah bahwa kesempurnaan itu hanya dapat tercapai melalui ikhtiar dan kebebasan.
Allah Swt tidak menciptakan manusia seperti malaikat, yang perbuatannya senantiasa baik dan sekali-kali tidak memiliki motivasi dan kekuatan untuk berbuat buruk. Pada diri manusia, di samping terdapat motivasi untuk mengerjakan kebaikan, juga terdapat motivasi untuk berbuat kecurangan dan keburukan. la pun mampu, berdasarkan kehendaknya, memilih kedua tipe perbuatan tersebut.
Manusia dengan struktur seperti itu dan dengan adanya pelbagai motivasi yang beragam-kendati memiliki kecenderungan intrinsik untuk terjerembab ke dalam perbuatan buruk-mampu memilih untuk melakukan pekerjaan yang terpuji dan motivasinya dalam mengerjakan perbuatan ini adalah tidak lain kecuali untuk meraih keridhaan Tuhan. Maka, ia akan mendapatkan kesempurnaan yang tertinggi melebihi kesempurnaan yang dimiliki oleh malaikat.
Oleh karena itu, tuntutan hikmah Ilahi adalah bahwa dalam urusan personal dan sosial, tangan manusia terbuka (memilki ikhtiar) dan dapat melakukan pekerjaannya berdasarkan kehendak dan keinginannya sendiri. Apabila hendak taat kepada Allah Swt, ia taat. Apabila tidak hendak taat, ia pun dapat bermaksiat. Hanya
Terima kasih kepada setiap orang yang diambil ilmu dan sumber mereka, hanya tuhanlah yang membalas pahala sedekah dan ilmu yang berterusan dari mereka, selamat membaca sambungan tautan selengkapnya : https://drive.google.com/file/d/0B_l0We7EQa4JblpMekxJVWVpUnM/view
Tidak ada komentar:
Posting Komentar