ilustrasi hiasan:
MANFAAT SILATURAHMI
- pengarang : sihono
- Sumber : sihonoblog
Selain Ibadah yang Wajib banyak lagi ibadah mendapat penilaian yang baik dari Allah salah satunya dalam Islam menyuruh umatnya memperbanyak silaturrahmi dengan siapapun dan dimanapun. Sebab dalam kehidupan keseharian, setiap individu selalu membutuhkan orang lain dan tidak bisa hidup sendiri. Silaturahmi merupakan ibadah yang sangat mulia, mudah dan membawa berkah. Kaum muslimin hendaknya tidak melalaikan dan melupakannya. Karena itu merupakan ibadah yang paling indah berhubungan dengan manusia, sehingga perlu meluangkan waktu untuk melaksanakan amal shalih ini. Silaturahim termasuk akhlak yang mulia.
Dianjurkan dan oleh Islam juga diseru. Peringatan yang terdapat dalam Al-Qur’an untuk tidak memutuskan tali silaturrahmi. Allah Ta’ala telah menyeru hambanya berkaitan dengan menyambung tali silaturahmi dalam sembilan belas ayat di kitab-Nya yang mulia. Allah Ta’ala memperingatkan orang yang memutuskannya dengan laknat dan adzab, diantara firmanNya:
“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikanNya telinga mereka, dan dibutakanNya penglihatan mereka.” (QS Muhammad :22-23).
Demikian banyak dan mudahnya alat transportasi dan komunikasi, seharusnya menambah semangat kaum muslimin bersilaturahmi. Bukankah silaturahmi merupakan satu kebutuhan yang dituntut fitrah manusia? Karena dapat menyempurnakan rasa cinta & interaksi sosial antar umat manusia. Silaturahmi juga merupakan dalil & tanda kedermawanan serta ketinggian akhlak seseorang.
Memutus tali silaturrahmi adalah perbuatan yang sangat dilarang dalam agama Islam, Allah berfirman:
“Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (Q.S An-Nisaa’ : 1)
Kini dapat kita mengerti, betapa pentingnya silaturahmi dalam Islam. Maka melihat pentingnya silaturahmi tersebut, berikut merupakan 10 manfaat Silaturahmi menurut Abu Laits Samarqandi, yaitu:
1. Mendapatkan ridha dari Allah SWT.
2. Membuat orang yang kita dikunjungi berbahagia. Hal ini amat sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, yaitu “Amal yang paling utama adalah membuat seseorang berbahagia.”
3. Menyenangkan malaikat, karena malaikat juga sangat senang bersilaturahmi.
4. Disenangi oleh manusia.
5. Membuat iblis dan setan marah.
6. Memanjangkan usia.
7. Menambah banyak dan berkah rejekinya.
8. Membuat senang orang yang telah wafat. Sebenarnya mereka itu tahu keadaan kita yang masih hidup, namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka merasa bahagia jika keluarga yang ditinggalkannya tetap menjalin hubungan baik.
9. Memupuk rasa cinta kasih terhadap sesama, meningkatkan rasa kebersamaan dan rasa kekeluargaan, mempererat dan memperkuat tali persaudaraan dan persahabatan.
10. Menambah pahala setelah kematiannya, karena kebaikannya (dalam hal ini, suka bersilaturahmi) akan selalu dikenang sehingga membuat orang lain selalu mendoakannya.
MENANAM SIKAP PERSAUDARAAN KAUM MUSLIM
- pengarang : Ahmad Baragbah
- Sumber : aljawad.tripod.com
Pada awal pembicaraan saya ini, saya akan memulai dengan sebuah riwayat yang nampaknya diakui kesahihannya oleh ulama-ulama besar kita. Setidaknya ini bisa dilihat pada kitab Al-Mahajjat Al-Baidha fi Tahdzib Al-Ihya' sebuah komentar dari ulama Ahlul Bait atas kitab Ihya Ulumuddin karya Al-Ghazali.
Di tengah-tengah pembahasan mengenai haji dan rahasia-rahasianya, dinukil sebuah hadis yang menyatakan : "Nanti di akhir zaman, orang-orang yang pergi haji itu ada empat golongan. Yang pertama, para penguasanya yang pergi hajinya itu untuk piknik saja, untuk berdarmawisata. Yang kedua, orang-orang kaya yang pergi berhajinya untuk kepentingan bisnis. Yang ketiga, orang fakir miskin yang pergi berhajinya itu untuk meminta-minta, untuk mencari rezeki di sana. Yang keempat, ahli-ahli qari, yakni ulama yang pergi berhaji untuk sum'ah." Sum'ah adalah saudara kandung riya'. Kalau riya' ingin dipuji orang karena dilihat, sedang sum'ah ingin dipuji orang karena didengar.
Itulah pernyataan dari Rasulullah Saww, tapi ada orang yang mengatakan sekarang bukanlah akhir zaman. Itu akan terjadi pada akhir zaman [di mana muncul empat golongan manusia yang berhaji]. Bahkan sebetulnya bukan di akhir zaman saja, karena riwayat yang cukup terkenal dari Imam 'Ali Zainal 'Abidin As-Sajjad as. menunjukkan bahwa ketika beliau melihat banyak orang orang yang menunaikan ibadah haji, beliau mengatakan, "Alangkah banyaknya hiruk-pikuk, tapi alangkah sedikit yang pergi haji."
Kita mengetahui bahwa misi Rasulullah Saww diutus ke dunia ini antara lain sebagai yang membawa kabar gembira dan memberi ancaman. Kita kaum Muslimin harus seimbang berada di tengah-tengah antara takut dan harapan. Kita berharap mendapatkan rahmat, ampunan, dan cucuran pertolongan dari Allah Swt., tapi kita pun harus khawatir jangan-jangan ibadah kita ini semua ditolak oleh Allah Swt. Karena ada riwayat terkenal yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saww. sendiri ketika akan menghadap Allah, shalat, wajah suci menjadi pucat.
Imam 'Ali Zainal Abidin dan juga tokoh-tokoh besar yang lain, diceritakan dalam kitab-kitab sejarah begitu bergetar dan pucat pasi wajahnya ketika akan mengucapkan talbiyah misalnya Labbaik Allahumma labbaik. Ketika ada yang bertanya kepada Imam 'Ali Zainal 'Abidin, "Kenapa Anda ini pucat bahkan sampai pingsan ?" Imam As-Sajjad menjawab, "Aku khawatir ucapanku ini ditolak oleh Allah Swt."
Semakin manusia mencapai puncak keimanannya, kepada maqam yang sangat tinggi, semakin dia merasa takut kepada Allah Swt. dan sebaliknya semakin rendah kedudukan manusia, semakin tidak punya rasa takut kepada Allah Swt. Karena itu, kita melihat bagaimana Rasulullah Saww. senantiasa beristighfar puluhan kali bahkan ratusan kali kepada Alah Swt. Kita, kalau membaca doa Kumayl, misalnya, betapa Amirul Mukminin begitu menampak-kan"dosanya", menampakkan kelemahannya di hadapan Allah Swt. Padahal kita tahu bahwa beliau termasuk manusia suci, ma'shum, manusia yang dibersihkan [dari dosa dan kesalahan] oleh Allah Swt. Tapi semakin bersih manusia itu, semakin dia merasa banyak berlumuran dengan dosa. Yang bahaya adalah ketika manusia sudah merasa dirinya suci, merasa dirinya bersih. A'udzubillahi min dzalik.
Jadi, ibadah itu saling berkaitan. Tidak dipisahkan satu dengan yang lainnya. Terutama ibadah haji. Ibadah haji termasuk ibadah yang lengkap. Saya sebetulnya tidak akan membahas soal haji. Namun, karena kebetulan, saat ini sedang diributkan soal haji. Dalam ibadah haji, ada ibadah shalat, jihad, pengorbanan, sedekah, bahkan dalam beberapa hal diwajibkan berpuasa.
Ibadah haji adalah ibadah yang lengkap karena didalamnya ada itsar yakni mementingkan orang lain dan kita perhatikan bagaimana syariat mengajarkan kepada umat ini supaya ibadah ini jangan kosong, atau hampa. Tapi harus ada maknanya. Yang penting semua ibadah ini mengantarkan manusia kepada kesucian jiwa dan kebersihan hati. Karena hal itu misi Rasulullah juga. Bahkan dalam surat Al-Jum'ah, misi untuk menyucikan jiwa didahulukan daripada mengajarkan Al-Kitab dan Al-Hikmah. Nampaknya tidak mungkin Al-Kitab dan Al-Hikmah itu masuk dalam hati sanubari seseorang, kalau jiwanya belum bersih.
Saya ingin menyampaikan secara ringkas isi kitab yang ditulis oleh seorang alim besar, Sayyid Abdullah Subar, yang terkenal dengan karyanya yang begitu banyak dan bermutu. Beliau meninggal dalam usia yang cukup muda.
Pernah murid-murid dekat beliau menceritakan bahwa beliau pernah menyampaikan pengalamannya yang bermimpi berjumpa dengan Imam Musa Al-Kazhim. Perlu diketahui beliau tinggal dekat makam Imam Musa Al-Kazhim di Kazhimiyyah, Baghdad. Dalam mimpinya, Imam Musa menghadiahkan sebuah pena, lalu me-ngatakan : : "Tulislah !" Hal itu pernah beliau ceritakan kepada murid-murid de-katnya dan ternyata me-mang betul bahwa mung-kin ratusan karya tulis be-liau ini, yang sampai sekarang banyak jadi rujukan di kalangan Hau-zah Ilmiyyah, di kalangan masyarakat Ahlul Bait. Jadi beliau menulis tentang akhlak yakni mengenai ba-gaimana seharusnya kita bersikap terhadap sesama ikhwan. Ini penting sekali karena ternyata ibadah, katakanlah semacam puasa, semacam haji dan lain sebagainya, yang begitu dijunjung tinggi oleh syari'ah, ternyata perlakuan kepada sesama ikhwan ini juga tidak kalah hebatnya dijunjung tinggi oleh Islam.
Dikatakan di sini ada hak-hak yang mesti dipenuhi, dalam kehidupan masyarakat, dalam bermuamalah dengan al-ikhwan dan juga dalam persahabatan. Hadis terkenal menyebutkan : "Mukmin itu saudara Mukmin, satu ayah dan satu ibu. Walaupun tidak dilahirkan oleh ibunya, tidak dilahirkan oleh ayahnya, tapi dia adalah saudaranya."
Dan pengertian akh (ikhwan) di sini diterangkan, bagaimana disebutkan kelanjutan dari hadis itu, "Terkutuklah orang yang menuduh saudaranya." Kemudian, "Terkutuklah orang yang menipu saudaranya." Kemudian berikutnya, "Terkutuklah orang yang mengumpat, yang menggunjing saudaranya." Dan yang terakhir, "Terkutuklah orang yang tidak mau menasihati saudaranya."
Ini mungkin sudah sering kita dengar dan begitu berat memang. Karena itulah bagaimana kita selalu merasa berdosa, bagaimana kalau kita berdoa kita meneteskan air mata kita, karena kita khawatir kita tidak akan mampu menunaikan kewajiban kita terhadap sesama ikhwan.
Terkutuklah yang tidak mau menasihati saudaranya dan tentunya lebih terkutuk lagi, kalau sudah dinasihati tidak mau menerima. Namun tentunya tidak etis kalau seorang saudara itu kerjanya menasihati saja. Sedikit-sedikit nasihat, sedikit-sedikit nasihat. Jadi nasihat ini pun mesti pada tempatnya. Segala sesuatu itu mesti pada tempatnya. Barang yang jelas-jelas baik sekalipun, kalau diletakkan bukan pada tempatnya jelas menjadi terbalik.
Di sini yang pertama sekali disebutkan oleh beliau adalah masalah harta, masalah al-maal. Bagaimana kita bersikap terhadap harta kita dalam hidup bersama-sama dengan ikhwan. Beliau sebutkan ini ada tiga tingkatan yang semuanya itu baik. Tingkatan yang rendah, tingkatan menengah, dan tingkatan tinggi. Namun setelah kita baca nampaknya yang paling rendah pun kita susah untuk melaksanakannya.
Yang paling rendah adalah disebutkan di sini, kita anggap ikhwan kita ini, saudara kita ini, bagaikan khadim kita, bagaikan pelayan kita atau bahkan bagaikan abid kita, bagaikan budak kita atau hamba sahaya kita. Berarti kalau kita anggap dia sebagai pelayan kita, mesti kita cukupi keperluannya tanpa dia harus meminta.
Sebagaimana kita memperlakukan pelayan kita, makannya mesti kita perhatikan, pakaiannya mesti kita perhatikan. Bahkan seorang Muslim yang baik itu jangan sampai pembantunya makannya berbeda dengan majikannya. Yang begitulah akhlak Islam. Jangan majikannya kalau makan beras yang harganya Rp 1500,00, pembantunya dikasih yang harganya Rp 700, 00 saja misalnya. Ini pun sudah diangggap tercela. Namun, kalau kebutuhan ini sudah dipenuhi, itu sudah suatu akhlak yang baik. Jadi, itulah sikap pertama yang paling rendah.
Yang menengah, tingkatan kedua, kita anggap saudara kita ini bagaikan diri kita sendiri. Apa yang membuat kita senang, kita usahakan kita berikan juga kepada dia supaya dia senang. Ini berat sekali, apa yang kita pakai kita berikan juga kepada ikhwan kita supaya memakainya pula. Bukan sebagai pelayan lagi tapi bagaikan diri kita sendiri. Ini saja rasanya sudah mustahil, padahal ini baru tingkatan kedua.
Tingkatan ketiga, kita anggap saudara kita lebih penting daripada kita sendiri. Ini yang dikatakan sebagai itsar, yakni lebih mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri walaupun dia sangat memerlukan. Sifat itsar ini hanya dimiliki para nabi dan para wali. Mungkin orang-orang selain nabi dan wali itu bisa itsar, tapi belum sampai kepada tingkatan malakah. Masih hal saja. Mungkin hari ini itsar, besok tidak lagi. Besoknya itsar, besoknya tidak lagi. [Jadi sifatnya temporal]. Kalau sudah jadi malakah, ini dijamin menjadi wali Allah Swt. Kalau betul-betul ikhlas dia memiliki sifat itsar dan sudah kokoh dalam jiwanya.
Kemudian yang berikutnya disebutkan di sini, berusaha membantu dengan segenap jiwanya dalam menunaikan hajat saudaranya dan ini pun bertingkat-tingkat. Ada orang yang mau membantu kalau diminta saja. Ada yang dia sudah tahu tanpa diminta dia membantu. Tentu derajatnya lain. Dan hadirin sekalian tentang menunaikan hajat orang Mukmin ini, wah sangat besar sekali pahalanya. Maka menunaikan hajat seorang Mukmin itu sepuluh kali lipat pahalanya daripada thawaf. Terdapat hadis-hadis di kalangan Ahlul Bait yang mengatakan demikian.
Diceritakan ada seorang yang ingin minta tolong kepada Imam Husain as., tapi kemudian dia lihat Imam Husain sedang melakukan thawaf, dia tidak jadi mengutarakan kebutuhannya. Lalu dia pun menghadap Imam Hasan as., kakak Imam Husain. Tidak disebutkan keperluannya apa, rupanya masalah yang cukup besar ini, kok harus Imam ini, harus cucu Rasulullah yang menunaikannya. Lalu ketika dia berjumpa dengan Imam Hasan dia mengatakan, "Sebetulnya saya tadi akan menyampaikan hajatku ini kepada adikmu, Al-Husain. Namun saya lihat dia sedang melaksanakan thawaf, akhirnya tidak jadi", kata Imam Hasan, "Seandainya kausampaikan hajatmu kepada adikku Al-Husain, pasti dia akan memutuskan thawafnya dan akan menunaikan hajat-mu."
Dalam hadis lain di-sebutkan bahwa kalau seorang Mukmin didatangi saudaranya yang memerlukan bantuan kemudian dia tidak mampu sehingga dia menjadi sedih ka-rena tidak mampu untuk mem-bantu saudaranya ini, kata Rasulullah, Allah akan mema-sukkan dia ke surga dengan pe-rasaan sedihnya. Jadi perasaan sedih dengan perasaan sumpek ini penyakit orang Mukmin, bahkan penyakit para nabi. Tapi sumpeknya bukan sampai kepada tingkatan stress oleh karena tidak ada rezeki misalnya. Namun sumpeknya tadi, misalnya, tidak dapat menunaikan hajat orang Mukmin, tidak dapat menunaikan kewajibannya terhadap Allah, terhadap Islam. Itulah kesedihan orang Mukmin. Namun orang Mukmin itu katanya kesedihannya cuma di hati saja, bahagianya cuma di muka saja. Jadi kalau sedih berusahalah jangan ditampak-tampakkan sedang murung, tampakkanlah bahagia walaupun hati kita sedang sedih bukan main. Jadi, itulah perihal memenuhi hajat orang Mukmin.
Yang ketiga yang disebutkan oleh beliau adalah kita harus menjaga lisan. Jangan menyebut-nyebut ke-lemahannya, menyebut-nyebut aibnya baik di hadapannya apalagi di belakangnya. Kemudian usahakan jangan mempersoalkan hal-hal yang membuat perdebatan, ke-cuali memang betul-betul itu dilandasi karena Allah Swt. Ini yang beliau tulis bukan tambahan dari saya. Kemu-dian juga menjaga rahasia-rahasianya, jangan diungkap begitu saja.
Dalam hadis juga dikatakan, Imam Khomeini pun menukil hadis ini dalam kitab Tahrir Al-Wasilah, "Ada tiga golongan manusia yang bakal mendapat perlindungan dari Allah Swt, perlindungan dari 'Arasy Allah pada hari yang tidak ada perlindungan, kecuali dari Allah Swt."
Pertama adalah seorang yang menikahkan saudaranya sesama Muslim. Ini pahalanya besar sekali.
Yang kedua, meladeninya, melayaninya dengan baik, khidmat kepada ikhwan. Wasiat dari ulama-ulama besar kita adalah usahakan hidup Anda ini penuh khidmat kepada sesama ikhwan. Apalagi kepada orang tua, guru, dan lebih-lebih para ulama, kalau ingin mendapat taufik dari Allah Swt. Jangan segan-segan untuk berkhidmat, untuk menjadi pelayan bagi sesama saudaranya. Saudara-saudara mungkin sudah membaca tulisan Syahid Muthahhari, kisah zaman Rasululah ketika Rasulullah pergi bersama-sama sahabatnya. Ada yang sibuk ibadah, ada yang sibuk menyiapkan makanan bagi sahabat-sahabatnya. Kata Rasulullah, yang ini [menyiapkan makanan red.] lebih afdhal daripada yang sibuk shalat, sibuk zikir, sibuk doa. Ini kedudukan khidmat, melayani sesama ikhwan.
Kemudian yang ketiga adalah menjaga rahasianya. Jadi yang menjaga rahasia saudaranya itu akan dijamin mendapatkan perlindungan dari Allah Swt. Memang sebetulnya masalah-masalah ini perlu penjelasan yang cukup. Cukup luas mestinya, namun ini secara umumlah bahwa kita harus menjaga kehormatan saudara kita. Kita harus menjaga betul martabatnya. Kalaupun kita mesti mengingatkan, ingatkanlah itu dengan Islam. Islam ini pun ada syariat bagaimana mengingatkan saudaranya. Memang, terus terang, itulah yang sering kita ratapi ikhwan sekalian. Jadi, masalah menjaga rahasia saudaranya ini, itu sangat dijunjung tinggi. Dalam hadis lain, "Barangsiapa yang mencari-cari kelemahan saudaranya, Allah akan menyingkap aibnya di hadapan banyak orang di padang Mahsyar nanti." Ini hadisnya juga banyak sekali, Juga menjaga terhadap orang-orang dekatnya, keluarganya dan lain-lain. Inilah hak seorang saudara, bukan kita bersikap kepada dia saja tapi termasuk kepada orang-orang dekatnya, kerabatnya, dan lain sebagainya.
Yang keempat disebutkan di sini bahwa dia berusaha menunjukkan bahwa dia itu mencintai sau-daranya. Ini sering memang guru-guru kita mencontohkan kalau apa-apa itu mungkin di Indonesia kurang wajar, tiba-tiba mengatakan : "Saya mencintai Anda." Ini pantasnya diutarakan bukan kepada sesama jenis, padahal itu yang dianjurkan. Kalau-kalau mencintai saudaramu, katakanlah kepada dia bahwa kamu mencintainya. Kita tunjukkan cinta kita, tentu bukan dengan lisan saja dengan bukti-bukti nyata bahwa kita mencintainya. Cinta yang sebenar-nya yaitu kalau saudara kita salah, kita betulkan dengan cara yang baik, kalau dia betul kita dukung. Itulah yang ada dalam syariat.
Dalam hadis dikatakan bahwa orang Mukmin itu adalah cermin dari saudaranya. Artinya, ketika berjumpa, bergaul, dia seakan-akan melihat dirinya sendiri, tidak menipu sama sekali. Jadi carilah teman yang betul-betul bagaikan cermin diri kita. Dalam kitab lain juga disebutkan bahwa kalau seandainya kita tidak dapat menemukan sahabat yang betul-betul baik, maka hidup sendiri lebih baik daripada bersahabat dengan sahabat yang tidak kenal.
Ulama kita sering memberi perumpamaan, manusia itu umumnya bagaikan air yang belum mencapai kurr yang gampang kena najis. Kena najis sedikit saja, saudara-saudara kalau belajar fiqih, bila air belum sampai kurr kira-kira 374 liter. Kalau dengan syibr, jengkal, kira-kira tiga setengah lebar kemudian panjang tiga setengah, dalam tiga setengah, berarti itu sudah satu kurr. Kalau kurang dari satu kurr kena najis sedikit saja walaupun tidak berubah apa-apa airnya.Itu najis semua airnya. Tapi kalau lebih dari satu kurr selama air itu tidak berubah, maka tidak najis. Jadi ulama-ulama kita sering mengumpamakan ke-banyakan manusia ini bagaikan air yang belum satu kurr, karena itu berhati-hatilah dalam bergaul.
Ini artinya tabiat atau watak kawan itu sangat berpengaruh sekali. Ini umumnya manusia. Tapi umumnya manusia mengatakan saya tidak mungkin terpengaruh, kan begitu, padahal umunya gampang terpengaruh. Karena itu sangat menyedihkan sekali kalau kita hidup dalam lingkungan yang tidak Islami, lingkungan yang tidak mendukung sedikit demi sedikit, nah masuk teman-teman yang baru datang dari Hauzah Ilmiyah, misalnya, merasakan betul tanpa disadarai tiba-tiba kok lain saya sekarang dengan waktu saya belajar dulu misalnya, sudah berbeda suasananya tanpa disadari lingkungan ini rupanya sudah berpengaruh dalam dirinya. Karena itu lebih baik dikatakan oleh ulama-ulama kita, lebih baik hidup sendiri kalau tidak mampu mendapatkan teman yang hakiki, teman yang sebenarnya.
Dalam fakta sejarah ada hal yang menarik. Saya ingat betul saya pernah sampaikan di Bandung ini dalam kesempatan yang lain bahwa kenapa Rasulullah Saww. ketika mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar tidak ada orang lain yang diambil saudara bagi Rasulullah kecuali Imam 'Ali bin Abi Thalib. Ini fakta sejarah, semua mengakui si fulan dengan si fulan, si anu dengan si anu. Ya, Muhajirin dan Anshar semuanya dipersaudarakan, tapi kenapa Rasulullah hanya mengambil 'Ali bin Abi Thalib sebagai saudaranya. Nampaknya karena Rasulullah merasa yakin hanya dengan 'Ali bin Abi Thalib saja yang dia tidak mungkin berkhianat; yang tidak mungkin menjelek-jelekkan di belakang, yang tidak mungkin mengingkari janjinya.
Demikianlah Rasulullah yang mengajarkan kepada kita bagaimana hakikat seorang akh (ikhwan), seorang ikhwan itu. Dari peristiwa itu kita tahu yang lain-lain itu masih dikhawatirkan jangan-jangan berkhianat, jangan-jangan bicara yang tidak-tidak di belakang. Ini memang karena fakta yang sampai kepada kita demikian. Karena itu yang paling dibanggakan oleh Imam 'Ali. Beliau mengatakan, "Saya adalah hamba Allah dan saudara Rasul." Kalimat ini yang paling dibanggakan oleh Imam ‘Ali bin Abi Thalib as. Jangan sampai masyarakat kita ini masyarakat yang kuat hujjahnya saja, kuat doktrin-doktrin ilmiahnya, namun penerapan dalam hidup bermasyarakat masih banyak kelompok lain yang jauh lebih baik daripada kita.
Kaum Muslimin secara umum masih belum menunjukkan sebagai masyarakat yang betul-betul menerapkan doktrin-doktrin Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Namun kita bisa saja membela diri, memamg susah sekali menerapkan doktrin-doktrin Islam yang begitu mulia dan luhur itu, memang susah sekali namun tetap ada terwujud walaupun jumlahnya sedikit. Kalau banyak bukan contoh lagi namanya. Biasanya kan yang disebut contoh sedikit. Namun kalaupun kita tidak mendapatkan yang seratus persen, yang tujuh puluh persen pun Alhamdulillah. Tapi perlu saya ceritakan juga di sini ada seorang ulama besar yang dia punya anak. Di bertanya kepada anaknya, "Besok kamu kalau sudah besar, mau jadi apa ?" Anaknya menjawab, "Ingin jadi seperti antum, ya abah, saya ingin jadi seperti kamu wahai ayah, seperti engkau." Kata ayahnya, "Kalau begitu enggak mungkin kamu jadi seperti aku." "Lalu bagaimana ?" tanya anaknya. "Saya dulu," kata ayahnya, "bercita-cita ingin menjadi seperti Imam Ja'far Ash-Shadiq. Jadinya seperti saya sekarang ini. Jadi kalau kamu ingin seperti aku, jadinya kamu seperti apa nanti?" Jadi memang mau mengejar target yang tinggi sekali.
Jadi yang kita sampaikan memang mulia sekali. Dapat lima persennya Imam Ja'far Ash-Shadiq saja sudah hebat sekali. Kalau mau ekstem, dapat nol koma nol sekian Sudah hebat sekali. Inilah yang kita tuju yakni bagaimana kita menerapkan doktrin-doktrin Islam ini dengan sebaik mungkin. Saya khawatir kalau saya baca semua juga sangat menjemukan. Tapi mudah-mudahan sebaik-baik pembicaraan itu yang sedikit dan yang langsung menuju kepada sasarannya. Mudah-mudahan ini saya tidaktahu apakah sedikit atau banyak, ini relatif sekali dan saya pikir juga ini belum menuju sasarannya. Saya mohon maaf sebesar-besarnya. Mudah-mudahan ini tempat menjadi tempat yang sangat mulia, yang menyebarkan ajaran-ajaran Islam yang sangat luhur dan kita betul-betul dalam rangka mempersiapkan tanggung jawab kita di hadapan Allah Swt. Kita harus persiapkan diri kita ini untuk orang-orang yang selalu siap mendengarkan dengan betul-betul. Mendengarkan betul-betul dengan perhatian, ucapan berupa nasihat, kritik, saran, kemudian mengikuti yang terbaik. Ini dalam rangka kita menyadari kelemahan diri kita. Kita menyadari segala macam kekurangan yang ada. Karena itu kita harus bersiap-siap untuk memperhatikan segala macam nasihat, ucapan-ucapan yang baik dengan berusaha mengikuti yang terbaik.
PERSAHABATAN
Sumber : sediqin.com
Islam mempunyai pandangan tentang persahabatan dan memilih teman, dan menjelaskannya kepada orang-orang mukmin. Imam Ali as. berkata, “Sesiapa yang tidak mempunyai teman, maka ia tidak memiliki simpanan.” (al-Bihâr, juz 5, h.363)
Beliau juga berkata, “Teman adalah kerabat yang paling dekat.” (al-Ghurar, juz 1, h.177)
Imam dalam hadis lain bersabda, “Teman adalah satu nyawa bagi jasad-jasad yang bermacam-macam.” (al-Ghurar, juz 2, h.123)
Yang harus diperhatikan di sini ialah bahwa tidak semua persahabatan diperkenankan oleh Islam. Ketika seorang teman itu sangat dekat melebihi kerabat, biasanya ia mempunyai banyak pengaruh bagi seseorang. Rasulullah saw. bersabda, “Jika seseorang ingin berteman dalam agama, maka lihatlah dengan siapa ia berteman.” (al-Bihâr, juz 72, bab 14, hadis ke-12)
Nabi saw. pernah bersabda, “Kenalilah orang-orang melalui teman-teman mereka, karena setiap orang berteman dengan seseorang yang membuat dirinya merasa senang.” (al-Mustadrak, juz 8, bab 10, h.327, hadis riwayat 9568)
Imam Ali as. berkata, “setiap orang cenderung pada yang serupa dengannya.” (al-Ghurar, juz 4, h.532)
Imam juga berkata, “Orang-orang baik tidak bersahabat kecuali dengan orang yang sejalan dengan mereka, dan orang-orang buruk tidak suka (berteman) kecuali dengan orang yang serupa dengan mereka.” (al-Ghurar, juz 6, h.376)
Dapat kita simpulkan dari keterangan hadis-hadis di atas bahwa memilih teman dan sahabat harus teliti dan mempunyai kriteria-kriteria khusus. Pada pelajaran ini dengan melihat uraian ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis, akan kami paparkan dengan jelas tentang kriteria terpenting bagi seorang teman dan sahabat. Akan kami terangkan pula di pelajaran berikutnya tentang orang-orang yang tidak layak dijadikan teman—menurut Al-Quran dan hadis— dan berteman dengan mereka harus dihindari jauh-jauh.
1. Dua ayat di bawah ini mengajak kita agar bergaul dan berteman dengan orang-orang yang siang dan malamnya selalu ingat kepada Allah dan selalu mencari keridhaan-Nya.
Firman Allah, “Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan petang, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya.” (QS al-An’âm:52)
Dan firman Allah, “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharapkan keridhaan-Nya.” (QS al-Kahfi:28)
2. Rasulullah saw. juga mewasiatkan agar kita berteman dengan orang-orang besar dan mulia. Sabda beliau mengatakan, “Orang yang paling bahagia adalah orang yang bergaul dengan orang-orang mulia.” (al-Bihâr, juz 1, bab 4, hadis ke-13)
3. Diterangkan dalam hadis (Nabi saw.) yang lain, beliau mengajak kita agar berteman dengan manusia-manusia Ilahi. Nabi saw. ketika ditanya, “Siapakah orang yang paling utama untuk dijadikan teman?”
Rasulullah saw. menjawab, “Adalah orang yang mengingatkanmu kepada Allah ketika memandangnya, dan yang ucapannya menambah pengetahuanmu serta yang amal perbuatannya mengingatkanmu akan hari akhirat.” (al-Mustadrak, juz 5, bab 42, hadis 6173)
4. Imam Hasan Askari as. membawakan sebuah hadis yang panjang dari jalur ayah-ayahnya (ke atas), dari Imam Sajjad as., menjelaskan tentang tolok ukur yang tepat dalam mengenal (pribadi) orang-orang. Dalam hadis itu diterangkan tanda-tandanya yang dengan itu akan dapat mengenal (memilah) antara hamba-hamba Allah yang saleh dan yang lain. Begitu pula sebaliknya, kita dapat mengetahui orang-orang yang tidak layak dijadikan teman. Dari hadis itu, terdapat suatu petunjuk bagi kita, jika memperhatikan dengan saksama keterangan-keterangannya yang memukau dan hal-hal yang jelas dan bermanfaat. Pada hakikatnya hadis itu adalah sebuah pelajaran yang agung.
Imam Ali Zain al-Abidin as. berkata, “Apabila kamu melihat seorang lelaki yang baik kelakuannya dan cara petunjuknya; yang zuhud ucapannya; yang tawadhu tingkah lakunya, maka hati-hati jangan sampai kamu tertipu. Alangkah banyak orang yang ditaklukkan oleh kesenangan dunia dan perbuatan haram yang disebabkan lemahnya dan kerendahan dirinya dan jiwa pengecutnya. Dan karena itu ia jadikan agama sebagai kedok, sehingga orang-orang terkecoh oleh lahiriahnya.
“Jika ia berkuasa atas perbuatan haram, ia akan mencobanya; dan bila kamu temukan ia, ia bersih dari harta yang haram. Maka hati-hatilah jangan sampai kamu tertipu, sebab nafsu syahwat makhluk bermacam-macam. Alangkah banyak orang yang tidak makan harta haram meskipun nilainya banyak, namun ia masih mau melakukan perbuatan buruk dan akibatnya ia terjerumus dalam perbuatan haram. Jadi, jika kamu melihat perilaku ini, hati- hatilah jangan sampai tertipu, sampai kamu saksikan pandangannya berlandaskan pada apa.
“Sungguh banyak orang yang berbuat buruk tetapi -pada saat yang sama- yang haram ia tinggalkan, lalu ia tidak kembali pada akal yang kukuh. Dalam kondisi seperti itu yang membuat ia tersesat (disebabkan kebodohannya), lebih banyak dari memperbaiki dirinya dengan akalnya. Jadi bila kamu temukan orang yang berakal kukuh, lagi-lagi berwaspadalah, jangan sampai kamu tertipu! Sampai kamu saksikan apakah hawa nafsunya mengalahkan akalnya? Ataukah dengan akalnya ia menguasai nafsunya? Seberapa besar cintanya pada pemerintahan yang batil? Dan seberapa besar kezuhudannya terhadap itu? Sebab, di tengah orang-orang terdapat manusia yang rugi dunia akhirat; meninggalkan dunia karena dunia. Dan ia melihat, kenikmatan pemerintahan yang batil lebih utama dari kenikmatan harta dan kenikmatan-kenikmatan yang mubah dan halal lainnya. Kemudian ia tinggalkan itu semua dengan mencapai kedudukan pemerintahan, sehingga ‘Apabila dikatakan kepadanya, “Bertakwalah kepada Allah”, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkan berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka jahanam. Dan sungguh neraka jahanam itu tempat tinggal seburuk- buruknya.’ (QS al-Baqarah:206)
“Ia menjadi geram dan membabibuta, ia ikuti awal kebatilan menuju ke puncak kerugian yang paling jauh; dan Tuhan menolongnya sesudah ia memohon atas lemah terhadap sesuatu di waktu lalim; di waktu itu ia menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah. Tetapi ketika sukses pemerintahannya, ia tidak peduli dengan kehilangan agamanya. Mereka itu adalah orang-orang yang dalam kemarahan Allah dan Allah melaknat mereka dan janji Allah bagi mereka adalah azab yang sangat pedih.
“Adapun seorang lelaki adalah lelaki yang sejati (sempurna). Seorang lelaki yang paling utama adalah orang yang keinginannya menaati perintah Allah; yang daya kekuatannya dipergunakan untuk meraih keridhaan Allah; ia menyaksikan suatu kehinaan di jalan kebenaran itu lebih dekat pada kemuliaan abadi yang batil; dan ia mengetahui bahwa sedikitnya beban dan ujian yang dipikul dapat mengantarkannya pada kenikmatan yang abadi di alam yang tak binasa dan tak berakhir; dan bahwa kenikmatan yang banyak yang membuatnya tunduk pada hawa nafsu akan mengantarkan pada azab yang tak henti-henti. Seorang lelaki yang demikian itu adalah lelaki yang paling utama, maka berpeganglah kamu kepadanya dan contohlah perilakunya; dan bertawasullah kepada Allah darinya, sebab Allah pasti mengabulkan permohonannya dan tidak akan menyia-nyiakan permintaannya.” (al-Bihâr, juz 2, bab 14, hadis ke-10) .
Hadis ini, yang merupakan pandangan Imam Sajjad as., mengungkapkan bahwa tolok ukur keutamaan seseorang bukan kebaikan lahiriah, bukan ucapan yang zuhud, juga bukan sikap jaga jarak dengan harta dan hal yang haram dan lain-lain. Hanyalah orang yang hatinya bersih dari cinta dunia dan jabatan duniawi, yang siap menanggung kehinaan demi keridhaan Allah dan segala keinginannya dilandasi akal dan syariat Allah, adalah orang yang patut diikuti dan menjadi teman karib.
5. Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw. mewasiatkan agar kita bersahabat dengan orang-orang yang bijaksana dan orang-orang miskin: “Bertanyalah kepada alim ulama, bergaullah dengan orang-orang bijaksana dan duduklah bersama orang-orang miskin.” (al-Bihâr, juz 1, bab 3, hadis ke-5)
Dalam hadis yang serupa dengan hadis atas, Imam Ali as. berkata, “Bergaullah dengan orang-orang yang bijaksana, duduklah bersama para ulama, dan hindarilah dunia materi, maka kelak tempat tinggalmu di surga al-Ma’wa.” (al-Ghurar, juz 4, h.205)
Imam juga berkata, “Sering-seringlah berbuat benar dan maslahat dengan bertemankan para pemikir.”
6. Imam Hasan Mujtaba as. dalam nasihatnya kepada Junadah bin Abi Umayyah, mengatakan, “Bersahabatlah dengan orang yang membuat dirimu mulia dan wibawa; yang dapat menambah kemuliaanmu; yang dalam segala hal membuatmu sempurna; dan yang dengan bantuannya dapat menutupi kekuranganmu.”
Beliau berkata, “Bersahabatlah dengan orang yang jika kamu bersahabat dengannya, dapat menghiasi dirimu; yang jika kamu khidmat kepadanya, terpelihara kepribadianmu; dan yang jika kamu perlu bantuannya, ia membantumu. Dan jika kamu berkata, ia percaya; jika kamu ulurkan tanganmu di hadapannya untuk kebaikan, ia sambut; jika melihatmu mempunyai masalah, ia berusaha menyelesaikan; jika melihat kebaikanmu, ia (selalu) mengingatnya; jika kamu menginginkan sesuatu darinya, ia berikan, dan jika kamu diam, ia sodorkan kepadamu; jika kamu perlu sesuatu, ia sodorkan kepadamu sebelum kamu berkata kepadanya; dan jika marabahaya mendatangimu, ...” (al-Bihâr, juz 44, bab 22, hadis ke-6)
7. Iika berteman dan bersahabat dilandasi kebenaran maka antarteman harus saling menghiasi dan mengisi, saling mengingatkan, dan menutupi kekurangan bukan menguntungkan sepihak serta saling menghormati dan pengertian. Imam Baqir as. berkata, “Iringilah orang yang menangisimu dan menasihatimu. Jangan ikuti orang yang menertawakanrnu dan dia menipumu. Kamu semua akan kembali kepada Allah dan kamu akan mengetahuinya.” (juz 75, bab 48, hadis ke-31)
Imam Ja’far Shadiq as. berkata, “Saudaraku yang paling aku cintai ialah orang yang menghadiahkan aib-aibku kepada diriku.” (juz 74, bab 19, hadis ke-4)
Hal yang perlu diperhatikan dalam hadis Imam Shadiq as. ialah memberitahu kekurangan seperti memberi hadiah yang membuat hatinya senang dan gembira.
Kesimpulannya dari pembahasan di atas adalah, dalam memilih teman dan sahabat kita harus teliti. Di satu sisi, hal itu disebabkan teman membawa pengaruh bagi kepribadian manusia dan di sisi lain menjelaskan tentang kejiwaan, spiritual dan kepribadian setiap manusia dalam masyarakat. Kita harus berhubungan dengan teman dan bersahabat dengan orang-orang tertentu yang memberi pengaruh baik bagi kepribadian kita dan membuat diri kita sempurna, mulia, dan wibawa di masyarakat.
Selanjutnya, kami ingin menjelaskan tentang siapakah orang yang patut dan yang harus kita temani? Dan siapakah orang yang menurut Rasulullah saw. dan para imam as. harus kita jauhi dan waspadai untuk menjadi teman kita?
Pada dasarnya, kita harus tahu bahwa seorang muslim di sisi Allah terikat oleh keadaan dirinya, oleh keinginan akan segala hal, suara dan bisikan hati, ingin berbuat sesuatu, ingin bergaul, dan seterusnya.
Dalam hal ini, Imam Zain al-Abidin as. berkata, “Tidak sepatutnya kamu duduk bersama siapa saja yang kamu inginkan, sebab Allah swt. berfirman, “Dan apabila kamu melihat orang-orang yang memperolok-olok ayat- ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa, maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (QS al-An’âm:68) "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” Rasulullah saw. bersabda, ‘Allah merahmati seorang hamba yang berkata baik lalu beruntung atau diam lalu selamat. Dan tidak patut bagimu mendengar segala apa yang ingin kamu dengar, sebab Allah Azza wa Jalla berfirman, “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabnya.” (QS al-Isrâ.:36).
Di sisi lain, perhatikanlah bahwa sahabat yang mempunyai kriteria tersebut akan membawa dampak negatif bagi manusia dan menyebabkan hati gelap. Bisa jadi ia akan mendorong manusia untuk berbuat keburukan, atau bisa jadi kita berperan dalam kemarahan Allah dan mengantarkan mereka ke siksaan-Nya.
Terekam dalam sejarah, seorang sahabat Imam Ali bin Musa ar-Ridha as., yang bernama Sulai Ja’fari meriwayatkan, “Suatu hari aku mendengar Imam berkata kepada ayahku, ‘Mengapa kamu berhubungan dengan Abdurrahman bin Ya’qub?’
Ayah menjawab, ‘Ia bapak mertuaku.’
‘Namun pernyataannya tentang Tuhan sangat memberatkan, dia telah menyifati Allah dengan sifat-sifat terbatas, padahal Allah swt. tak tersifati,’ tegas Imam.
Ayah berkata, ‘Apapun yang dikatakannya tidak meyakinkanku sama sekali.’
Imam berkata, ‘Tidakkah kamu takut akan turun malapetaka yang menimpa kalian semua? Tidakkah kamu tahu bahwa seorang sahabat Nabi Musa as., ayahnya adalah teman dekatnya Fir’aun? Ketika tentara Fir’aun mengejar Musa as., sahabat Musa itu keluar dari kelompoknya mendekati tempat ayahnya untuk menasihatinya agar ikut dengan kelompok Musa as. Ia dan ayahnya muncul sedang dalam bertikai, sampai mereka tergiring di pinggir laut. Dan kala itu azab Allah turun, dan kedua-duanya tenggelam bersama tentara Fir’aun. Berita ini terdengar oleh Musa as., dan beliau menanyakan keadaan sahabatnya itu. Jibril as. berkata kepada beliau, “Ia tenggelam, semoga Allah merahmatinya. Ia tidak percaya dengan keyakinan ayahnya, namun saat azab turun maka orang-orang yang berada di dekat orang berdosa tidak dapat menghindari azab.’” (al-Bihâr, juz 74, bab 14, hadis ke-39)
Nah, dengan mernperhatikan hal-hal di atas, dengan melihat keterangan-keterangan ayat Al-Quran dan hadis para imam, kita akan mengetahui siapakah orang yang tidak patut dijadikan teman dan sahabat.
1.Kelompok pertama ialah orang-orang yang mengolok-olok firman dan agama Allah. Dalam ayat 68 surat al-An’âm yang dimuat dalam hadis Imam Zain al-Abidin as. yang lalu, telah diketahui bahwa Allah swt. melarang orang-orang mukmin bersahabat dengan orang-orang yang mengolok-olok firman-Nya. Juga, dalam surat al-Maidah ayat 57 Allah melarang kita bersahabat dengan kaum kafir dan orang-orang yang melecehkan agama. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agama jadi bahan ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir.”
2.Kelompok kedua ialah orang-orang yang direndahkan dan dicela Nabi saw. dan para imam as. Pada awal periode dakwah Rasulullah saw., di tengah kaum penyembah berhala Hijaz, terdapat seorang lelaki bemama ‘Uqbah bin Mu’ith. Seorang musyrik dan penyembah berhala itu mengundang jamuan makan. Suatu hari Rasulullah berpapasan dengannya dan ia mengharapkan kedatangan beliau dalam acara jamuan makan. Nabi saw. berkata kepadanya, “Aku tidak mungkin makan bersamamu, kecuali kamu seorang Muslim.” ‘Uqbah paham bahwa Rasulullah mau diundang makan bersama, dengan syarat ia mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi muslim. Di kala itu, Ubay kawan ‘Uqbah menjadi marah ketika mendengar berita tentang masuk Islamnya ‘Uqbah. Ia datang dan mencaci-maki ‘Uqbah, “Kamu sudah murtad dari agamamu.”
‘Uqbah berkata, “Aku mengundang orang sebagai tamuku, dan dia tidak akan datang di meja makanku kalau aku tidak menjadi muslim.”
Ubay berkata, “Sekarang aku bukan sahabatmu lagi, kalau kamu tidak kembali ke agamamu sebelumnya dan cacilah dia (Muhammad).” Ketika itu, ‘Uqbah atas desakan Ubay kembali ke kepercayaannya dan keluar dari Islam. Dan di waktu perang Badar berkecamuk, ia terbunuh di tangan kaum muslimin, dan begitu pula Ubay pada perang Uhud. Mereka mati dalam kemusyrikan. Berkenaan dengan itu turunlah wahyu (ayat 27-29 dalam sural al-Furqan) yang menyinggung ‘Uqbah, “Dan (ingatlah) pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan Yang Maha Pemurah. Dan adalah (hari itu), satu hari yang penuh kesukaran bagi orang-orang kafir. Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Quran ketika Al-Quran itu telah datang padaku. Dan adalah setan itu tidak mau menolong manusia.”
Ayat di atas telah jelas dengan melihat kejadian dan bentuk pengaruh seorang teman yang tidak saleh dan perusak, bahwa ia telah menyesatkan manusia. Peristiwa ini memberi peringatan kepada kita, untuk menjauhi persahabatan dengan orang-orang bejat yang bisa jadi mereka itu berani menghina Rasulullah saw.
Imam Ja’far Shadiq as. berkata, “Jika kamu menghadapi nawâshib (orang-orang yang mengingkari kebenaran dan kedudukan Ahlulbait as.) dan di majelis-majelis mereka, maka jadilah kamu seolah-olah duduk di atas batu panas sampai kamu berdiri (kiasan untuk cepat-cepat keluar dari majlis itu), sebab Allah melaknat mereka. Dan jika kamu melihat mereka mencela seorang imam dari para imam as., maka berdirilah (pergilah segera) sebab kemarahan Allah turun dari atas menimpa mereka.” (al-Bihâr, juz 74, bab 14, hadis ke-50)
Beliau juga berkata, “Sesiapa yang duduk di tengah para pencela wali-wali Allah, maka telah bermaksiat kepada Allah.” (kitab yang sama)
Imam Shadiq pernah berkata, “Sesiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka janganlah kamu duduk di majelis yang mencela seorang dari para imam atau membahas ruh seorang mukmin.” (juz 74, bab 14, hadis ke- 48)
3. Kelompok yang ketiga ialah orang-orang tukang bid’ah agama dan orang-orang yang melontarkan keraguan terhadap pokok-pokok agama. Tentang masalah ini, Rasulullah saw. bersabda, “Jika kamu melihat ahli keraguan dan ahli bid’ah setelahku, maka tampakkanlah penolakanmu terhadap mereka; perbanyaklah celaanmu kepada mereka; jatuhkanlah mereka; dan diamkanlah mereka supaya mereka tidak merajalela dalam merusak Islam. Peringatkanlah orang-orang akan bahaya mereka agar tidak belajar kepada mereka. Semoga Allah mencatat kebaikan-kebaikanmu dan mengangkat derajat kamu di akhirat.” (al-Bihâr, juz 74, bab 14, hadis ke-41)
Imam Ja’far Shadiq as. berkata, “Janganlah kamu bersahabat dengan ahli bid’ah dan janganlah duduk bersama mereka jika di mata orang-orang, kamu bukan dari golongan mereka. (Karena) Rasulullah saw bersabda, “Orang itu atas agama teman dan karibnya.” (hadis ke-40)
Imam Ali as. berkata, “Tidak seharusnya bagi insan muslim menjalin persaudaraan dengan orang yang bejat, karena dia akan mewarnai dirinya dan senang menjadi serupanya; ia tidak akan membantu dalam urusan dunianya dan urusan akhiratnya; tempat ia masuk,dan keluar adalah buruk bagi seorang Muslim.” (al-Kâfi, juz 2, h.640, hadiske-2)
Imam Ja’far Shadiq as. berkata, “Tidak seharusnya bagi insan muslim menjalin persaudaraan dengan orang yang bejat, tidak pula dengan orang dungu dan juga pendusta.” (al-Kâfi, juz 2, h.640, hadis ke-3)
Beliau juga bersabda, “Tidak patut orang mukmin duduk di majelis maksiat kepada Allah sedang ia tidak mampu mengubahnya.” (al-Bihâr, juz 74, bab 14, hadis ke-38)
Imam Ali as. berkata, “Duduknya orang-orang yang baik di majelis orang-orang yang buruk, melahirkan buruk sangka orang terhadap orang-orang yang baik. Dan duduknya orang-orang yang buruk di majelis orang-orang yang baik akan membuat orang-orang yang buruk ikut baik, dan sebaliknya duduknya orang-orang yang baik di majelis orang-orang yang buruk akan membuat orang-orang yang baik ikut buruk. Maka jika perkara seseorang mirip denganmu dan kamu tidak tahu ia beragama apa, maka lihatlah kumpulan teman-temannya! Jika mereka ahli agama Allah, maka ia atas agama Allah; dan jika mereka bukan beragamakan Allah, maka ia bukan orang yang beragamakan Allah. Sesungguhnya Rasulullah pernah bersabda, ‘Sesiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka janganlah ia menjalin persaudaraan dengan orang kafir dan janganlah bergaul dengan orang yang bejat! Sesiapa yang menjalin persaudaraan dengan orang kafir dan bergaul dengan orang yang bejat, maka ia seorang kafir dan bejat pula.” (al-Bihâr, juz 74, bab 14, hadis ke-31)
Imam Ali juga pernah berkata, “jauhilah bersahabat dengan orang fasik, karena keburukan itu mengiringi keburukan.” (juz 33, bab 29, hadis ke- 707)
5. Kelompok kelima terdiri dari orang-orang yang kurang beragama, kurang berakhlak, kurang berbuat baik dan kurang memahami serta kurang berperasaan. Meskipun mereka mungkin tidak sampai fasik dan bejat, tetapi mereka itu golongan orang-orang pendusta, muka tembok, kikir, pandir dan ingkar janji, dan lain sebagainya.
Imam Ali as berkata, “Hendaklah seorang muslim itu menjauhi tiga hal, yaitu: al-majin (yang bermuka tembok), yang dungu, dan pembohong.” (al-Bihâr, juz 74, bab 14, hadis ke-43)
Imam Baqir as. berkata, “Ayahku Ali bin Husain as. berkata, ‘Wahai anakku, lihatlah lima hal, yang jangan kamu temani, jangan diajak bicara dan jangan kamu jadikan sebagai teman perjalanan.’
“Aku bertanya, ‘Wahai ayah, beritahu aku siapakah mereka?’
“Beliau berkata, ‘(Pertama) Jauhilah bertemankan pendusta karena ia sama halnya dengan fatamorgana, ia mendekatkanmu kepada yang jauh dan menjauhkan dari yang dekat. (Kedua) Hindarilah bertemankan orang fasik, karena ia akan menjual dirimu dengan sesuap makanan atau lebih sedikit dari itu. (Ketiga) Jauhilah orang kikir, karena ia akan merendahkanmu dengan hartanya yang lebih dibutuhkan dari dirimu. Dan (keempat) Hindarilah bertemankan orang dungu, sebab ia ingin memanfaatkanmu tetapi mudarat bagimu. Dan (kelima) jauhilah bertemankan orang yang memutuskan hubungan keluarga, sebab di dalam kitabullah (al-Quran) aku temukan tiga buah ayat yang melaknatnya.” (al-Bihâr, juz 74, bab 14, hadis ke-29)
Kemudian Imam Baqir as. melantunkan tiga ayat itu, yang antara lain adalah Surat Muhammad ayat 22, surat ar- Ra’d ayat 25 dan surat al-Baqarah ayat 27. (lihat pelajaran 4)
Imam Shadiq as. berkata, “Empat hal yang mengusir rezeki, yaitu pertama, cinta yang diberikan orang yang ingkar janji.” (al-Bihâr, juz 2, bab 13, hadis ke-10)
Imam Baqir as. juga pernah berkata, “Jangan dekati dan jangan jadikan saudara empat kriteria ini: orang dungu, orang pelit dan orang pengecut serta pendusta. Adapun orang dungu, ia ingin memanfaatkan kamu tetapi membahayakan dirimu. Orang yang pelit, ia mengambil darimu dan ia tidak memberimu. Orang pengecut, ia akan lari darimu dan dari kedua orang tuanya. Dan pendusta, orang tidak percaya padanya meskipun ia berkata jujur.” (juz 74, bab 14, hadis ke-8)
KRITERIA SEORANG IKHWAN
Sumber : Daru Taqrib
*. Saudara tidak harus sekandung. Ada pula persaudaraan yang tak berkaitan dengan hubungan darah, tapi berkaitan dengan keimanan. Imam Ali as berkata, “barangkali kau memiliki saudara yang tak dilahirkan ibumu.”
*. Salah satu manfaat persaudaraan sejati adalah syafa’at. Rasulullah saw bersabda, “perbanyaklah saudara-saudara kalian. Sesungguhnya tiap mukmin bisa memberi syafa’at di hari kiamat.”
*. Hal-hal yang melanggengkan persaudaraan : 1) sikap obyektif 2) saling mengasihi 3) membuang rasa dengki.
*. Makna sikap obyektif kepada saudara : mencintai baginya apa yang kita cintai, dan membenci baginya apa yang kita benci. Contohnya, jika kita suka diberi hadiah, maka hendaknya kita juga memberi hadiah kepada saudara kita. Jika kita tidak suka digunjing, maka kita jangan menggunjing saudara kita.
*. Kita dihimbau untuk tidak menjalin persaudaraan dengan sebagian orang. Imam Baqir as berkata, “jangan berteman dan bersaudara dengan orang pandir, pelit, pengecut, dan pembohong.”
*. Tanda-tanda kepandiran : Imam Ali as berkata, “kepandiran seseorang bisa diketahui dengan 3 hal : 1) berbicara yang tak perlu dan penting baginya 2) menjawab pertanyaan yang tak diajukan kepadanya 3) sikap nekat dan tanpa perhitungan.”
*. Kita harus bersabar menghadapi kekeliruan yang kadang dilakukan saudara kita, karena tentu saja dia bukan maksum. Imam Ali as berkata, “sesiapa yang tidak tahan atas kesalahan saudaranya, maka ia akan mati sendirian tanpa teman.”
*. Saudara terbaik : Imam Ja’far as berkata, “saudara yang paling kucintai adalah yang menunjukkan aib dan kekuranganku kepadaku.”
*. Saudara terburuk : Imam Ali as berkata, “saudara terburuk adalah yang merepotkan dan menyusahkan saudaranya.”
Walhamdulillahi rabbil ‘alamin. Wa shallallahu ‘ala sayyidina Muhammadin wa alihi ath-thohiriin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar