Oleh : Syuplahan Gumay
Jurusan Kesejahteraan Sosial Universitas Bengkulu
A. Latar Belakang
1. Perayaan Tabot
1.1. Pengertian Tabot
Tabot berasal dari kata “Tabut” yang berasal dari bahasa Arab ‘At-tabutu’ yang berarti peti yang terbuat dari kayu.[1]
Namun menurut pengertian umum di daerah Kota
Bengkulu, Tabot adalah sebuah miniatur bangunan yang menyerupai pagoda
atau menara masjid yang bertingkat-tingkat terbuat dari rangka kayu dan
bambu, kadangkala pada bangunan tersebut ditambah pula bentuk-bentuk
lain seperti burung berkepala manusia, ikan, rumah adat dan sebagainya.
Bangunan ini dihiasi kertas aneka warna dan hiasan lainnya.[2]
Dalam prosesi upacara Tabot, miniatur bangunan yang
disebut Tabot ini diarak dalam upacara peringatan terjadinya perang
Karbala Irak pada bulan Muharram tahun 61 Hijriyah (681 M), upacara ini
dalam rangka mengenang peristiwa gugurnya cucu Nabi Muhammad SAW yaitu
Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib yang juga merupakan Imam Ketiga kaum
Syi’ah.[3]
Masyarakat Kota Bengkulu menyebutnya Tabot[4]
, sedangkan masyarakat di daerah Pariaman Sumatera Barat menyebutnya Tabuik.[5]
Namun karena telah berjalan cukup lama maka upacara
Tabot ini telah dipengaruhi dengan masuknya berbagai unsur budaya lokal
yang berasal dari kehidupan masyarakat Bengkulu.
Dan pada akhirnya upacara Tabot dengan segala
ritualnya telah dianggap milik masyarakat Bengkulu, yang
penyelenggaraannya selalu ditunggu setiap tahun.
Di antara jenis-jenis Tabot, ada yang
divisualisasikan dalam rupa kuda sembrani dengan warna badannya hitam
dan kepak sayap berwarna jingga. Di leher jenjangnya tergantung perisai
warna kuning keemasan.
Rambut hitamnya terjuntai, menambah keelokan bagian
kepala berbentuk wajah wanita cantik, lengkap dengan mahkota di
atasnya. Tegak bertengger di bahu bangunan menyerupai menara masjid,
kuda hitam bersayap dan berwajah wanita cantik simbol dari hewan bernama
buroq yang menjadi tunggangan Nabi Muhammad SAW saat melakukan tugas
kenabiannya pada peristiwa Isra’ Mijraj, serta masih banyak lagi
bentuk-bentuk bangunan Tabot.
Beraneka ragam bangunan dan variasi Tabot, mereka mempersiapkan sejak satu bulan menjelang prosesi agung tersebut.
Pada dasarnya Tabot itu melambangkan peti mati Imam
Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad SAW yang gugur dalam
pertempuran tak seimbang ketika harus melawan ribuan laskar Ubaidillah
bin Ziad Ali Bani Umayah di Padang Karbala Irak pada 10 Muharram tahun
61 Hijriyah (680 Masehi). Diriwayatkan bahwa Imam Husein bin Ali bin Abi
Thalib gugur dengan 33 tusukan tombak dan 34 luka sabetan pedang.[6]
Menurut sejarahnya, upacara Tabot merupakan tradisi
kaum Syi’ah, suatu aliran dalam Islam yang memuliakan Khalifah Ali bin
Abi Thalib, kaum Syi’ah ini adalah penganut Islam yang dianggap ekstrim
oleh sebagian besar umat Islam di luar Syi’ah, karena hanya mengakui
bahwa keturunan Nabi Muhammad saja yang berhak menjadi Khalifah
(pemimpin) umat Islam.[7]
Setelah nabi Muhammad SAW wafat, di kalangan para
sahabat mengalami perselisihan, dalam konteks perselisihan ini para
sahabat terbagi menjadi dua kelompok, yaitu :
(1) pertama memandang bahwa otoritas untuk
menetapkan hukum-hukum Tuhan dan menjelaskan makna Al-Qur’an setelah
Rasul wafat dipegang oleh ahl al-bait (keturunan nabi Muhammad),
(2) kelompok kedua menganggap bahwa tidak ada orang
tertentu yang ditunjuk Rasul untuk menafsirkan dan menetapkan perintah
Ilahi. Kelompok pertama inilah yang melahirkan aliran Syi’ah.[8]
Ajaran Syi’ah tentang konsep ishmatul a’immah
(kesucian para Imam), penolakan Syi'ah pada tiga Khalifah pertama yaitu
Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khatthab, Usman bin Affan dan sikap
Syi’ah yang hanya menerima hadits-hadits dari jalur Ahlul Bait menjadi
penyebab terjadinya resistensi dari kelompok Islam di luar aliran Islam
Syi’ah.
Syi’ah diambil secara langsung dari konsep ‘Syi’atu
Ali’ yang berarti pengikut partai Ali. Para ‘Syi’atu Ali’ adalah
orang-orang pengikut garis kepemimpinan spiritual dan politik Imam Ali,
sepupu sekaligus menantu nabi Muhammad, mereka biasanya diposisikan vis a
vis dengan yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khatthab, Usman bin
Affan dan dinasti-dinasti Islam turunannya seperti bani Ummayah serta
Abbasiyah.[9]
Upacara Tabot bagi kaum Syi’ah adalah peringatan mengenang Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib yang gugur di Padang Karbala Irak.
Awalnya arak-arakan atau pawai itu bertujuan untuk
membangkitkan kembali semangat juang para keluarga dan orang-orang
Syi’ah dalam menyebarkan syi’ar Islam.
Peristiwa tersebut mereka peringati setiap tahun,
dan akhirnya menjadi suatu tradisi bagi kaum Syi’ah di mana saja mereka
berada.
Tujuan dari upacara Tabot ini pada mulanya adalah
untuk meningkatkan rasa cinta mereka kepada ahlul-bait (keluarga
Rasulullah SAW) umumnya dan kepada Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib,
di samping untuk memupuk rasa permusuhan kepada keluarga klan Bani
Umaiyah yang telah membunuh Imam Husein.[10]
Dilihat dari prosesi ritual Tabot, terdapat
pesan-pesan yang dimaksudkan untuk mengingat kembali kekejaman pasukan
Yazid bin Mu’awiyah yang telah membunuh Imam Husein secara keji misalnya
pada prosesi Arak Penja atau Mengarak Jari-jari, yang menggambarkan
jari-jari tangan Imam Husein yang putus karena sabetan pedang, Arak
Seroban yang menggambarkan sorban Imam Husein yang terlepas dari
kepalanya yang dipenggal atau Hari Gam yang menggambarkan hari duka cita
karena wafatnya Imam Husein.
Sehingga dapat juga dikatakan bahwa tradisi
perayaan Tabot, memang bertujuan untuk melestarikan dendam atau
memelihara permusuhan atas terbunuhnya Imam Husein bin Ali bin Abi
Thalib.
Walaupun sejarah perayaan Asyura berawal dari
perang Karbala (Irak sekarang) namun selama 34 tahun Saddam Husen
berkuasa, ritual hari Asyura dilarang di Irak.[11]
Sebaliknya peringatan perayaan Asyura (Tabot) lebih berkembang di Iran
yang memang mayoritas menganut Islam Syi’ah dan mereka menjadikannya
sebagai ritual wajib setiap tahunnya.
Prosesi perayaan Asyura (Tabot) di Iran sampai saat
ini masih diwarnai praktek-praktek yang menunjukkan sikap permusuhan
itu. Pada saat perayaan Asyura mereka membawa perlengkapan perang saat
pawai upacara hari Asyura berlangsung.
Prosesi perayaan Asyuro yang penuh dengan
praktek-praktek yang menunjukkan sikap kebencian dan permusuhan dan
dendam atas terbunuhnya Imam Husein hal itu dapat dilihat dari laporan
perjalanan Petro Dalawaleh seorang petualang berkebangsaan Italia yang
telah dua kali menyaksikan acara peringatan Asyuro di masa Syah Abbas
Pertama (996-1038 H) di Ishfahan Iran. Petro Dalawaleh menulis laporan
sebagai berikut :
Kelompok-kelompok para pelaku ‘Aza (Asyura -Tabot)
memanggul sejumlah Tabut yang telah ditutup dengan kain berwarna hitam
dengan iringan bendera-bendera kebesaran.
Diatas tabut tersebut, diletakkan sejumlah senjata
tajam yang telah diwarnai, dengan menyilang dan mendatar, dan sejumlah
orang berjalan di sekelilingnya sambil melantunkan ratapan-ratapan
sementara sebagiannya lagi meniupkan terompet dan memukul sejumlah alat
yang dapat mengeluarkan bunyi, dan juga meneriakkan kata-kata yang
sangat menakjubkan dan ajaib.
Ia menganggap tabut-tabut ini sebagai lambang dan
simbol dari tabut Imam Ali AS dan juga menunjukkan sifat-sifat acara
‘Aza di hari Asyura yang disertakan dengan membawa tabut-tabut oleh para
pelaku ‘Aza.
Ia juga menulis bahwa di
sekeliling mereka, semuanya ditutup dengan kain berwarna hitam. Di atas
setiap Tabut diletakkan sebilah pedang dan sebuah ‘amamah (sorban yang
dililitkan di kepala) sementara senjata lainnya diletakkan di
sekitarnya. Segala sesuatu itu diletakkan di kepala sejumlah orang lalu
dengan suara keras dan nyaring mereka melompat-lompat sambil berputar
.[12]
1.2. Perkembangan Upacara Tabot di Kota Bengkulu
Walaupun mengenai sejarah upacara Tabot secara
lengkap termasuk tahapan-tahapan upacaranya akan penulis sampaikan pada
Bab II namun ada baiknya disinggung sepintas pada Bab I ini.
Versi pertama mengatakan bahwa masuk dan
berkembangnya upacara Tabot di Bengkulu diperkirakan abad ke XVII, yang
dibawa oleh orang-orang Muslim India.
Orang-orang India ini sengaja didatangkan oleh
Inggris sebagai serdadu dan pekerja untuk membangun benteng Marlborough
di Kota Bengkulu.
Namun secara khusus tidak ada catatan tertulis
sejak kapan upacara Tabot mulai dikenal di Bengkulu. Namun disebut-sebut
bahwa tradisi yang berangkat dari upacara berkabung para penganut faham
Syi’ah ini mulai ada sejak pembangunan benteng Marlborough (1718 -
1719) di Bengkulu.[13]
Salah satu tokoh penting yang dianggap berperan
dalam memperkenalkan upacara ini di Bengkulu adalah Syekh Burhanudin
atau lebih dikenal dengan Imam Senggolo.
Sementara versi dari Kerukunan Keluarga Tabot (KKT)[14]
meyakini bahwa sejarah asal-usul upacara Tabot di Bengkulu dibawa oleh
Syekh Burhanudin atau Imam Senggolo seorang ulama Islam berkebangsaan
Arab penyebar agama Islam yang pernah bermukim di Punjab Pakistan.
Alasannya adalah sampai saat ini kata-kata yang
berasal dari bahasa Urdu Punjab masih dipakai oleh keturunan Imam
Senggolo di Kota Bengkulu. Misalnya kata-kata : Dhada (kakek), Abba
(ayah), biwi (istri), mamu (paman), gam (sedih), penja (lima jari), soja
(menyembah), jel (penjara), dawat (tinta) dan pemacik (korek api).[15]
Dikatakan oleh versi pertama bahwa di Irak sendiri,
orang-orang Syi’ah pengikut tarekat Satariah selalu menyelenggarakan
peringatan Assyura, yang juga diikuti oleh pengikut tarekat yang lain
yang bermazhab Ahlusunah.
Kemudian acara peringatan berkembang pula di Iran.
Dari Iran tradisi ini terus berkembang ke India. Lalu dari India, ia
berkembang ke Bengkulu dan Pariaman Sumatera Barat, yang dibawa
orang-orang Syi’ah India, yang pernah menjadi tentara Inggris di tanah
Bengkulu.[16]
Dengan terjadinya asimilasi antara orang-orang
India yang datang ke Bengkulu ini dengan masyarakat Melayu di Bengkulu
ketika itu, maka secara perlahan upacara perayaan Tabot menjadi semakin
diterima masyarakat umum.
Akhirnya secara turun-temurun silih berganti lahirlah tokoh-tokoh Tabot[17]
pada generasi sesudahnya, yang membuat upacara Tabot semakin membudaya di Bengkulu.
Upacara Tabut sangat berakar di nusantara dan
berfungsi memperingati kematian Hasan dan Husein sebagai tanda bakti
kepada mereka dari penganut Syi’ah.[18]
Tradisi peringatan Tabut itu di Indonesia lebih sering disebut sebagai tradisi Muharram karena dilakukan pada bulan Muharram.
Beberapa daerah di Indonesia yang sampai saat ini
masih melestarikan tradisi ini antara lain, Bengkulu, Pariaman, Solok,
Padang Panjang Sumatera Barat, Pidie Aceh, Gresik dan Banyuwangi Jawa
Timur.
Tradisi Muharram oleh masyarakat Jawa disebut Syuroan sementara masyarakat Aceh menyebutnya bulan Hasan dan Husein.[19]
1.3.Waktu dan Tempat Penyelenggaraan
Sering dipahami bahwa penyelenggaraan upacara Tabot
di Kota Bengkulu berlangsung selama 10 hari, yaitu dari tanggal 1
sampai 10 Muharram. Hal itu dikarenakan orang hanya melihat prosesi yang
bersifat massal atau melibatkan masyarakat umum.
Namun sesungguhnya rangkaian acaranya sudah dimulai
sebelum tanggal 1 Muharram dan berakhir pada tanggal 13 Muharram setiap
tahunnya.[20]
Kegiatan upacara perayaan Tabot sebelum tanggal 1
Muharram dan setelah tanggal 10 Muharram lebih bersifat internal
keluarga Tabot (keturunan Imam Senggolo) saja, sehingga jarang diketahui
publik.
2. Upacara Tabot sebagai Tradisi
Menjadi pertanyaan tentunya, mengapa tradisi Tabot
yang berakar dari tradisi kaum Syi’ah ini dapat diterima secara luas di
Bengkulu, mengingat mayoritas umat Islam yang ada di Indonesia khususnya
di Bengkulu menganut aliran Sunni.
Sementara kita juga tahu bahwa sejak lama kelompok
Sunni tidak sefaham dengan kelompok Syi’ah, bahkan di beberapa tempat di
Indonesia misalnya di Sampang Madura terjadi penyerangan fisik terhadap
kelompok Syi’ah.[21]
Padahal kelompok agama Islam aliran Syi’ah di
Sampang tidak menunjukkan sikap atraktif dalam mengekspresikan identitas
maupun ajaran Syi’ahnya seperti kelompok Tabot di Kota Bengkulu.
Sebenarnya bibit-bibit konflik antara Islam Syi’ah
dengan Islam Sunni di Indonesia ada sejak bulan Maret 1984 ketika
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat mengeluarkan fatwa yang isinya agar
waspada terhadap ajaran Syi’ah.[22]
Yang terbaru adalah fatwa Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Propinsi Jawa Timur pada tanggal 21 Januari 2012 yang mengeluarkan
fatwa tertulis dengan nomor : Kep-01/SKF MUI/JTM/I/2012 Tentang
Kesesatan Ajaran Syi’ah.[23]
Lalu muncul pertanyaan lanjutan, mengapa perayaan
Tabot yang semula merupakan ritual agama Islam aliran Syi’ah yang
bertujuan memupuk rasa permusuhan kepada keluarga klan Bani Umaiyah[24]
yang telah membunuh Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib menjadi
berkembang dalam fungsi membina kerukunan sosial dan mengintegrasikan
masyarakat Kota Bengkulu, perayaan festival Tabot di Kota Bengkulu tidak
tampil dengan bentuk yang menggambarkan layaknya sebuah ritual
peringatan belasungkawa.
Namun sebaliknya peringatan gugurnya Imam Husein
bin Ali bin Abi Thalib di Kota Bengkulu dikemas dalam festival budaya
yang didalamnya masing-masing suku yang ada di Kota Bengkulu seperti
suku Jawa, Tionghoa, Minang, Lampung turut serta ambil bagian
memeriahkan festival tersebut.
Sehingga dalam perkembangannya fungsi ini masuk
dalam tatanan sosial-budaya masyarakat Kota Bengkulu yang bahkan
sekarang ini menjadi aset wisata andalan pemerintah Propinsi Bengkulu.
Dalam konteks yang lebih luas, mayoritas masyarakat
Kota Bengkulu sudah tidak mempersoalkan asal-usul Tabot, apakah
bersumber dari paham Syi’ah atau Sunni. Dimata kelompok Syi’ah di Kota
Bengkulu yang di wakili Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI)
perayaan Tabot merupakan bukti bahwa ajaran Syi’ah pernah berkembang di
Kota Bengkulu.
Walaupun mereka mengakui saat ini sangat sedikit
sisanya khususnya dalam hal ajaran fiqih Syi’ah. Sementara dalam
pandangan Keluarga Tabot (keturunan Syekh Burhanuddin atau Imam
Senggolo) lebih menempatkan tradisi Tabot dalam konteks yang lebih umum
tanpa dibatasi oleh sekat-sekat aliran keagamaan Syi’ah atau Sunni.
Perayaan Tabot lebih dilihat sebagai media untuk
penyiaran agama Islam. Tradisi Tabot merupakan warisan leluhur yang
wajib untuk dilaksanakan setiap tahun tanpa harus mendalami
latar-belakang tradisi ini apakah berasal dari Syi’ah atau Sunni. Hal
ini hampir sama dengan apa yang disimpulkan oleh Strehlow yang
mengatakan :
Ketika penduduk primitif
ditanya tentang apa persisnya mereka menyelenggarakan upacara-upacara
ini, secara umum mereka menjawab : karena para leluhur memang
melaksanakan demikian. Itu sebabnya kami melaksanakannya dengan cara
begini bukan dengan cara lain
.[25]
Banyak nilai-nilai universal yang dapat digali dari
13 fase kegiatan upacara Tabot, dimulai dari Do’a Mohon Keselamatan,
Mengambil Tanah, Duduk Penja, Malam Menjara, Meradai, Arak Penja atau
Mengarak Jari-jari, Arak Seroban, Hari Gam, Tabot Naik Pangkek, Arak
Gedang, Soja, Arak Gedang Tabot Tebuang dan Mencuci Penja.
Nilai-nilai universal itu antara lain memupuk
solidaritas, gotong-royong, kesederhanaan dan mencintai sesama. Mungkin
saja jika tokoh-tokoh Syi’ah yang membawa tradisi upacara Tabot di
Bengkulu lebih menonjolkan sisi ideologis dari faham Syi’ah dalam
upacara Tabot maka belum tentu masyarakat umum dapat menerimanya.
Dengan lebih menonjolkan upacara Tabot sebagai
sebuah Tradisi, ajaran Syi’ah yang terdapat pada ritual upacara Tabot
menjadi tidak begitu menonjol, terbukti tidak terdengar kata-kata dari
peserta upacara Tabot yang menolak Imam selain Imam Ali.
Sebaliknya yang ada hanya kata-kata yang memuliakan
Imam Ali dan Ahlulbaitnya. Selain itu juga terlihat pengaruh tradisi
lokal dalam upacara Tabot ini, misalnya penggunaan sesajian berupa bubur
merah dan bubur putih, sirih, gula merah, rokok nipah, air serobat atau
air santan kelapa, kopi pahit, air dadih yang terbuat dari susu sapi
mentah, air putih, air selasih, air cendana dan kemenyan menunjukkan
sisi kebudayaan lain diluar ideologi Syi’ah.
Tentu para pembawa tradisi Tabot ke Kota Bengkulu
seperti Imam Senggolo atau Syekh Burhanuddin sudah mempertimbangkan
untuk tidak menunjukkan sikap eksklusif dan menutup diri dari pengaruh
unsur budaya lokal dalam perayaan Tabot ini karena jika hal itu terjadi
maka tradisi Tabot akan mengalami benturan dengan budaya lokal yang
sudah lebih dulu hidup di Kota Bengkulu.
Sehingga dengan demikian terlihat jelas bahwa dalam
perkembangan upacara Tabot mengalami berbagai penyesuaian dengan budaya
lokal Melayu Bengkulu. Hal itu disebabkan oleh interaksi yang terjadi
antara pembawa budaya Tabot dengan pelaku budaya setempat yang sudah
lebih dulu eksis di Bengkulu. Lebih lanjut Koentjaraningrat mengemukakan
:
“wujud kebudayaan disebut
sistem sosial atau social system, mengenai tindakan berpola dari manusia
itu sendiri, sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia
yang berinteraksi, berhubungan, dan bergaul satu sama lain dari detik
ke detik, dari hari ke hari, dan dari tahun ke tahun, selalu menurut
pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai
rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat, sistem
sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari,
bisa diobservasi, difoto dan didokumentasi”
.[26]
Tentu antara agama dengan kebudayaan sangat
berkaitan erat sebagaimana yang dikatakan oleh Bassam Tibi bahwa Agama
merupakan sistem budaya dan oleh karena itu bersifat simbolik; sebagai
model untuk realitas, agama pun tidak dapat dipenetrasikan secara
eksperimental tetapi hanya secara interpretatif.[27]
Kebudayaan pada dasarnya adalah suatu hal yang
cukup rumit untuk dirumuskan secara definitive. Para ahli merumuskan
kebudayaan berbeda-beda dan rumit yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan semua kemampuan
dan kebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota masyarakat.
Dilihat dari cakupan diatas maka dapat dikatakan
bahwa ritual perayaan Tabot di Kota Bengkulu yang secara teologis
berakar dari kepercayaan dan ajaran Islam aliran Syi’ah yang semula
bertujuan untuk menghormati Imam Husein yang syahid[28]
di Padang Karbala adalah merupakan bagian dari aktifitas keagamaan Islam.
Kebudayaan menunjuk kepada berbagai aspek
kehidupan, meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan dan hasil dari
kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat dan kelompok penduduk
tertentu.
Tradisi, Sosial Budaya dan Ritual
a. Tradisi
Tradisi adalah suatu kebiasaan yang teraplikasikan
secara terus-menerus dengan berbagai simbol dan aturan pada sebuah
komunitas. Dalam Islam, tradisi disebut al-urf yaitu apa-apa yang telah
menjadi kebiasaan manusia, mereka tunduk kepadanya dalam persoalan
hidup, sehingga mereka merasa tidak asing dengannya dan mereka
menerimanya dengan jiwa yang tenang.[29]
Awal mulanya dari sebuah tradisi adalah
ritual-ritual individu, kemudian disepakati oleh beberapa kalangan dan
akhirnya diaplikasikan secara bersama-sama dan bahkan tak jarang
tradisi-tradisi itu berakhir menjadi sebuah ajaran, para pengikutnya
percaya, jika tradisi itu ditinggalkan akan mendatangkan bencana.
Demikian juga di masyarakat Bengkulu terdapat berbagai tradisi yang
teraplikasikan di antaranya tradisi Tabot.[30]
Penduduk Kota Bengkulu awalnya adalah suku bangsa
Melayu yang telah memiliki tradisi yang meliputi adat-istiadat,
kesenian, sastra, seni arsitektur, sistem kelembagaan. Hal ini dapat
dilihat dari kebiasaan-kebiasaan sosial kemasyarakatan mereka
sehari-hari termasuk dalam upacara-upacara adat, baik adat perkawinan,
adat waris dan sistem keturunan.
Adat istiadat yang mendominasi pelaku-pelaku sosial
Kota Bengkulu sejak dulu adalah adat Melayu, yang telah dijunjung
tinggi dan coba dipertahankan oleh suku bangsa asli daerah ini sejak
awal perkembangannya hingga sekarang.
Dalam perkembangannya, berangsur-angsur Kota
Bengkulu didatangi oleh berbagai suku, antara lain : suku Jawa, Minang,
Aceh, Palembang, Lampung, Tionghoa dan sebagainya.
Komunitas ini terbawa dan beradaptasi dengan
penduduk lokal, dengan tidak membedakan agama dan keyakinannya,
masing-masing mereka saling menghormati.
Sepanjang sejarah di Kota Bengkulu belum pernah ada
konflik horizontal maupun konflik terbuka antar suku, atau konflik
antar aliran keagamaan. Bahkan sampai saat ini kelompok Ahmadiyah dapat
tumbuh dan berkembang di Bengkulu tanpa ada gangguan.
Karena mereka menyadari akan pentingnya arti
persaudaraan dan toleransi yang akhirnya akan bermuara pada kerukunan
antar masyarakat. Situasi harmonis ini oleh pemerintah, tokoh
masyarakat, dan semua elemen masyarakat dipertahankan dengan berbagai
macam aktivitas lokal yang spesifik dan unik, antara lain turut berperan
serta dalam “Perayaan Upacara Tabot”.
b. Sosial Budaya dan Ritual
Tabot saat ini menampilkan wajah ‘bermuka dua’, di
satu sisi ritual yang sarat dengan tuntunan hidup dan di sisi lain
merupakan tontonan (sekuler), namun kenyataan ini tidak perlu
dirisaukan.
Karena gejala semacam ini wajar terjadi, di tengah
derasnya pengaruh budaya asing yang masuk ke Indonesia. Proses
modernisasi dan perubahan sosial masyarakat akan berdampak pula pada
prilaku dan nilai-nilai yang hidup ditengah masyarakat tersebut.
Mengingat bahwa masyarakat senantiasa bergerak
dinamis seiring dengan proses kehidupannya. Namun demikian seni budaya
tradisional harus mampu menyesuaikan dirinya sesuai tuntutan zaman,
sebab kalau tidak, justru tradisi itu lama-kelamaan akan musnah dan
ditinggalkan oleh pengikutnya.[31]
Apabila dilihat dari perspektif sejarahnya, substansi budaya Tabot itu merupakan simbolisasi dari seluruh keprihatinan sosial.[32]
Pengulangan drama tragedi Karbala yang ditampilkan
lewat tradisi perayaan Tabot sesungguhnya mewakili keprihatinan sosial
saat peristiwa itu terjadi.
Tragedi Karbala yang menyebabkan ratusan orang
meninggal termasuk perempuan dan anak-anak adalah potret dimana
kekejaman dengan motif politik dibungkus agama dipraktekkan tanpa
pelakunya merasa bersalah.
Tentu masyarakat sekarang dapat mengambil hikmah
dan pelajaran penting dari peristiwa Karbala tersebut. Dengan demikian,
sebagai produk budaya manusia secara tidak langsung lewat
tahapan-tahapan prosesi yang ada itu, perayaan Tabot juga mengusung
simbol-simbol solidaritas sosial atau merupakan simbolisasi kearifan
sosial yaitu sebuah praktek saling hormat-menghormati, tolong menolong
dan toleransi.
Hal ini dapat terlihat sebelum dan selama hari
pelaksanaan upacara, di sejumlah kampung tempat Keluarga Tabot
(keturunan Imam Senggolo) bermukim, mereka saling membantu dalam
mengerjakan bangunan Tabot, dalam suasana akrab.
Bahkan tidak hanya mereka yang keturunan keluarga
Tabot saja yang turut berpartisipasi dalam pembuatan Tabot, ambil contoh
di Kelurahan Teluk Sepang Kecamatan Kampung Melayu sebelah selatan Kota
Bengkulu yang berjarak sekitar 26 km dari Pusat Kota Bengkulu.
Sekalipun di Kelurahan Teluk Sepang sudah bermukim
beragam suku seperti Minang, Melayu, Batak namun setiap tiba waktu
perayaan Tabot masyarakat Kelurahan Teluk Sepang sibuk mempersiapkan
Tabot guna memeriahkannya. Wilayah Teluk Sepang merupakan pemukiman
baru, yang disiapkan pemerintah pada tahun 1998.
Partisipasi masyarakat luas juga terlihat pada
ritual yang disebut dengan Meradai yang artinya meminta sumbangan
sukarela dari rumah ke rumah, dana yang terkumpul akan dipergunakan
untuk kegiatan sosial kemasyarakatan.
Para pengumpul dana terdiri dari anak-anak berumur
10-12 tahun. Anak-anak ini disebut dengan Jola, kegiatan ini
dilaksanakan tanggal 6 Muharram dimulai pukul 07.00-17.00, orang-orang
yang lewat-pun menyumbang secara sukarela. Hal ini menunjukkan, bahwa
ritual Tabot didukung oleh semua elemen masyarakat Bengkulu tanpa
membeda-bedakan suku, agama dan ras.
Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya keterlibatan
masyarakat yang non muslim dalam menyukseskan perayaan Tabot, karena
mereka menyadari ritual Tabot bukan hanya milik orang Melayu muslim
Bengkulu saja, melainkan semuanya merasa memiliki.
Pada saat festival Tabot tahun 2010, etnis Tionghoa menyumbangkan sebuah pertunjukkan warisan leluhur mereka yaitu Barongsai.[33]
Memang tradisi memberikan sumbangan melalui ritual
Meradai yang dilakukan oleh anak-anak yang disebut Jola saat ini tidak
lagi sama dengan kondisi dulu. Tradisi Meradai selain bermaksud secara
langsung dari rumah-kerumah memberitahu kepada publik bahwa perayaan
Tabot sudah datang, juga memiliki latar-belakang agar masyarakat luas
member dukungan khususnya materi untuk biaya penyelenggaraan perayaan
Tabot. Namun kondisi saat ini tentu saja berbeda, pemberitahuan atau
lebih tepatnya pengumuman bahwa perayaan Tabot telah tiba lebih efektif
menggunakan media cetak dan elektronik. Pun demikian pula dengan
sumbangan, dulu perayaan Tabot hanya sebuah acara kecil namun sekarang
berubah menjadi sebuah acara besar, maka pembiayaannya tentu tidak bisa
hanya dengan mengandalkan penggalangan dana-dana publik melalui ritual
Meradai.
Subsidi dari pemerintah bukanlah bermaksud untuk
menjauhkan keikutsertaan masyarakat umum dalam turut membantu biaya
penyelenggaran Tabot, namun merupakan bentuk tanggung-jawab pemerintah
dalam rangka menjaga keberlangsungan tradisi Tabot ini. Namun tradisi
Meradai tidak dapat ditinggalkan sekalipun hanya sedikit sumbangan
publik yang didapat dari ritual Meradai itu. Karena Meradai juga
memiliki dimensi untuk melatih dan mengasah kepekaan masyarakat umum
dalam upaya turut serta memberikan dukungan pada perayaan ini. Anak-anak
kecil yang disebut Jola sebenarnya juga merupakan simbol anak-anak
yatim piatu yang orang tuanya gugur dalam tragedi Karbala. Dengan
demikian masyarakat juga didorong untuk peduli pada kehidupan anak-anak
yatim piatu dilingkungan sekitarnya.
Dalam perjalanannya melalui proses asimilasi,
akomodasi dan interaksi budaya yang cukup intens antara ritual Tabot
yang bernuansa Syi’ah dengan budaya-budaya lokal Bengkulu, maka Tabot
mengalami metamorphose budaya. Makanya walaupun awalnya Tabot digelar
dalam kerangka melaksanakan tradisi Syi’ah sebagai faham/ideologi tetapi
berubah menjadi sebuah kearifan lokal atau sekedar sebagai praktik
Syi’ah kultural. Dalam konteks ini perayaan upacara Tabot bukan lagi
dipandang sebagai praktek faham dan ideologi keagamaan, tetapi lebih
dimaknai sebagai tradisi.
B. Perumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang, maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Tradisi upacara perayaan Tabot yang berakar dari
tradisi dari kaum Syi’ah dapat menjadi salah-satu faktor pendukung
kerukunan antar-masyarakat di Kota Bengkulu yang sebagian besar
beraliran Sunni.
2. Masyarakat Kota Bengkulu yang sebagian besar beraliran Sunni dapat menerima perayaan Tabot yang berakar dari tradisi Syi’ah.
C. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengkaji fungsi upacara Tabot sebagai salah satu media pencipta kerukunan sosial di Kota Bengkulu.
2. Mengkaji sikap masyarakat Kota Bengkulu yang
heterogen dan sebagian besar beraliran Sunni yang dapat menerima
perayaan Tabot yang berakar dari tradisi Syi’ah.
D. Hipotesis
Perayaan upacara Tabot adalah ritual agama Islam
aliran Syi’ah yang bertujuan melestarikan dendam atau memelihara
permusuhan atas gugurnya Imam Husein ternyata dalam fungsinya dapat
berkembang menjadi alat pembina kerukunan sosial dan mengintegrasikan
masyarakat Kota Bengkulu yang sebagian besar penduduknya beraliran Sunni
karena upacara Tabot tampil sebagai sebuah tradisi secara publik bukan
sebagai ritual agama Islam aliran Syi’ah dan pada perkembangannya
upacara ini dapat berdampak positif bagi kehidupan ekonomi, sosial dan
budaya.
E. Kerangka Teoritis
Teori struktural fungsional
Teori struktural fungsional adalah salah satu teori
komunikasi yang masuk dalam kelompok teori umum atau general theories.
Ciri utama teori ini adalah adanya kepercayaan pandangan tentang
berfungsinya secara nyata struktur yang berada di luar diri pengamat.
Teori struktural fungsional adalah suatu bangunan
teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang.
Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan teori struktural fungsional
yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer.
Pemikiran struktural fungsional sangat dipengaruhi
oleh pemikiran biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling
bergantung. Ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi
agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup.
Sama halnya dengan pendekatan lainnya, pendekatan struktural fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial.
Namun bukan berarti teori ini dianggap sempurna,
karena banyak kritik mendasar yang ditujukan pada teori ini. Teori ini
dipandang hanya akan melanggengkan posisi orang-orang yang sedang pada
posisi istimewa.
Stratifikasi fungsional yang ada dalam teori
struktural fungsional dikritik karena pandangan bahwa struktur sosial
yang terstratifikasi itu sudah ada sejak dulu dan bersifat tetap.
Padahal ada kemungkinan bahwa masyarakat dimasa
depan akan ditata menurut cara lain, tanpa stratifikasi sosial seperti
yang disebut dalam teori ini.
Stratifikasi sosial yang disebut dalam teori ini
dipandang hanya akan memperkokoh dan melanggengkan posisi orang-orang
yang sedang pada posisi istimewa misalnya posisi majikan tentu lebih
istimewa dibandingkan dengan posisi buruh atau posisi pegawai dianggap
lebih baik dari posisi petani kecil.
Teori ini akan dipakai untuk melihat posisi peran
dari masing-masing pihak di Kota Bengkulu sebagai sebuah sistem yang
menjadi pendukung perayaan Tabot.
Pihak-pihak tersebut diantaranya komunitas keluarga
keturunan Tabot, akademisi, pemerintah, lembaga legislatif, organisasi
adat, organisasi keagamaan, pengusaha dan organisasi kesukuan lain
diluar keluarga keturunan Tabot yang ada di Kota Bengkulu.
Pendekatan struktural fungsional sebagai sebuah teori dapat kita kaji melalui sejumlah anggapan dasar mereka sebagai berikut[34]
:
1. Masyarakat haruslah dilihat sebagai sistem daripada bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain.
2. Dengan demikian hubungan pengaruh mempengaruhi di antara bagian-bagian tersebut adalah bersifat ganda dan timbal-balik.
3. Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat
dicapai dengan sempurna, namun secara fundamental sistem sosial selalu
cenderung bergerak ke arah equilibrium yang bersifat dinamis:
menanggapi perubahan-perubahan yang datang dari
luar dengan kecenderungan memelihara agar perubahan-perubahan yang
terjadi di dalam sistem sebagai akibatnya hanya akan mencapai derajat
minimal.
4. Sekalipun disfungsi, ketegangan-ketegangan dan
penyimpangan-penyimpangan senantiasa terjadi juga, akan tetapi dalam
jangka panjang keadaan tersebut akan teratasi dengan sendirinya melalui
penyesuaian-penyesuaian dan proses institusionalisasi.
Dengan perkataan lain, sekalipun integrasi sosial
pada tingkat yang sempurna tidak akan pernah tercapai, akan tetapi
setiap sistem sosial dan senantiasa berproses kearah itu.
5. Perubahan-perubahan di dalam sistem sosial pada
umumnya terjadi secara gradual, melalui penyesuaian-penyesuaian dan
tidak secara revolusioner.
Perubahan-perubahan yang terjadi secara drastis
pada umumnya hanya mengenai bentuk luarnya saja, sedangkan unsur-unsur
sosial budaya yang menjadi bangunan dasarnya tidak seberapa mengalami
perubahan.
6. Pada dasarnya, perubahan-perubahan sosial timbul
atau terjadi melalui tiga macam kemungkinan: penyesuaian-penyesuaian
yang dilakukan oleh sistem sosial tersebut terhadap perubahan-perubahan
yang datang dari luar (extra sistemic change), pertumbuhan melalui
proses diferensiasi struktural dan fungsional, serta penemuan-penemuan
baru oleh anggota-anggota masyarakat.
7. Faktor-faktor penting yang memiliki daya
mengintegrasikan suatu sistem sosial adalah konsensus di antara para
anggota masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan tertentu.
Di dalam masyarakat, demikian menurut pandangan
struktural fungsional selalu terdapat tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip
dasar tertentu terhadap sebagian besar anggota masyarakat yang
menganggap serta menerimanya sebagai suatu hal yang mutlak benar.
Sistem nilai tersebut tidak saja merupakan sumber
yang menyebabkan berkembangnya integrasi sosial, akan tetapi sekaligus
juga merupakan unsur yang menstabilisir sistem sosial budaya itu
sendiri.
Memang benar menurut pendekatan struktural
fungsional, bahwa perubahan-perubahan di dalam sistem sosial pada
umumnya terjadi secara gradual, melalui penyesuaian-penyesuaian dan
tidak secara revolusioner.
Demikian juga halnya dengan perkembangan perayaan
upacara Tabot di Kota Bengkulu. Upacara ritual Tabot sebagai produk
kebudayaan, fenomena budaya “bermuka dua” justru menjadikan Perayaan
Tabot khas Bengkulu sebagai local genius atau kearifan lokal yang tentu
saja mengandung banyak nilai-nilai luhur yang dapat diadopsi oleh banyak
pihak, perayaan Tabot juga dapat berfungsi sebagai salah-satu instrumen
penting dalam proses pembangunan negara.
Dampak positif bagi ekonomi kerakyatan dan
peningkatan wisatawan menjelang dan selama perayaan Tabot membuktikan
bahwa tradisi ini memberikan sumbangan dalam proses pembangunan itu.
Fenomena ini pula diyakini banyak kalangan yang
membuat ritual Tabot mampu bertahan dari benturan-benturan budaya yang
dihadapinya selama dua abad terakhir.
Penggunaan Teori struktural fungsional dalam Tesis
ini untuk menganalisis fenomena pergeseran upacara Tabot yang awalnya
semata-mata bertujuan untuk menjalankan tradisi Islam Syi’ah lalu
kemudian atas prakarsa pemerintah upacara Tabot digabungkan dalam
festival budaya dengan maksud membuka ruang partisipasi komunitas lain
diluar keluarga Tabot.
Dengan proses interaksi antar suku, agama yang
terjadi menjelang dan pada saat festival budaya tersebut membentuk
hubungan yang harmonis antar masyarakat di Kota Bengkulu.
Fenomena pergeseran itu merupakan hal yang wajar.
Sepanjang disebabkan karena kesadaran dan konsensus maka harus dilihat
sebagai perubahan yang positif dalam rangka mendorong terwujudnya
kerukunan dan integrasi sosial bagi masyarakat di Kota Bengkulu. Menurut
teori struktural fungsional faktor-faktor yang mengintegrasikan sistem
sosial adalah konsensus anggota masyarakat tentang nilai-nilai
kemasyarakatan tertentu.
Di dalam masyarakat, selalu terdapat tujuan-tujuan
dan prinsip-prinsip dasar tertentu terhadap sebagian besar anggota
masyarakat yang menganggap serta menerimanya sebagai suatu hal yang
mutlak benar.
Sistem nilai itu bukan hanya merupakan sumber yang
menyebabkan berkembangnya integrasi sosial, tetapi juga merupakan unsur
yang menstabilisir sistem sosial budaya itu sendiri.[35]
Walaupun pernah dalam sejarahnya yaitu pada tahun
2001 terjadi benturan pemahaman pada sebagian masyarakat di Kota
Bengkulu terhadap perayaan upacara Tabot, yaitu ada yang mengecam
perbuatan itu Syirik.[36]
Mereka menuding upacara ritual Tabot menyimpang
dari akidah ke-Islaman, terutama menyangkut kepercayaan keluarga Tabot
yang masih meyakini jika ritual ini tidak dilaksanakan akan mendatangkan
bencana bagi mereka.
Akan tetapi, secara perlahan walaupun belum
sepenuhnya hilang seiring dengan proses akulturasi, penolakan itu tidak
lagi menjadi penolakan terbuka, karena dalam perkembangannya upacara
Tabot dianggap sebagai tradisi.
Seperti yang jelaskan oleh teori struktural
fungsional bahwa dalam jangka panjang keadaan tersebut akan teratasi
dengan sendirinya melalui penyesuaian-penyesuaian dan proses
institusionalisasi.
Bentuk akomodasi kebudayaan lain pada kebudayaan
Tabot yang berasal dari Irak lalu menyebar ke Punjab kemudian berkembang
di Bengkulu merupakan proses penyesuaian yang terjadi demi menghindari
konflik.
Sepanjang eksistensi keluarga keturunan Tabot[37]
tetap terjaga dan kebudayaan Tabot tetap dapat dijalankan, masuknya
unsur kebudayaan lain tidak dipermasalahkan oleh Kerukunan Keluarga
Tabot (KKT).
Seperti yang dijelaskan Emile Durkheim bahwa
sebagai salah-satu upaya mencapai keteraturan sosial maka
diselenggarakannya ritus-ritus atau upacara-upacara yang tujuannya demi
memelihara hubungan dengan masa lalu dan melestarikan identitas moral
kelompok, bukan karena ada tujuan atau dampak fiscal yang ingin dicapai.[38]
Tentu saja maksud Emile Durkheim terkait dengan
melestarikan identitas moral kelompok tidak hanya tidak hanya menyangkut
satu kelompok kecil komunitas keluarga Tabot saja atau pada suku Arunta
di Australia saja yang menjadi objek penelitiannya.
Tetapi dapat saja sebuah komunitas besar masyarakat
sepanjang memang komunitas besar itu telah dipersatukan dengan berbagai
motif latar-belakang kepentingan seperti halnya masyarakat Kota
Bengkulu. Masyarakat Kota Bengkulu secara sosiologis sudah menerima
tradisi Tabot sebagai budaya bersama.
Hal ini terlihat dari adanya partisipasi masyarakat
umum menjelang dan selama perayaan Tabot. Secara hukum Tradisi Tabot
juga sudah diakui secara formal sebagai tradisi asli masyarakat Kota
Bengkulu sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Daerah Kota Bengkulu
Nomor 29 Tahun 2003 Tentang Adat Kota Bengkulu.
Durkheim mengatakan bahwa symbol-symbol agamais,
mitos-mitos, dan legenda-legenda popular sebagai bentuk representasi
kolektif. Dalam bahasa Perancis representation berarti “ide”.
Durkheim menggunakan istilah itu untuk mengacu baik
kepada suatu konsep kolektif maupun “kekuatan” sosial. Semua itu adalah
cara-cara masyarakat mencerminkan dirinya sendiri. Mereka menggambarkan
kepercayaan-kepercayaan, norma-norma, dan nilai-nilai kolektif, dan
mereka mendorong kita untuk menyesuaikan diri kepada klaim-klaim
kolektif itu.[39]
Representasi kolektif menurut Durkheim tidak dapat
direduksi menjadi para individu karena mereka muncul dari
interaksi-interaksi sosial, tetapi mereka dapat dipelajari secara lebih
langsung daripada nurani kolektif karena mereka lebih mungkin untuk
dihubungkan kepada symbol-symbol material seperti bendera, ikon-ikon dan
gambar-gambar atau dihubungkan dengan praktek-praktek seperti
ritual-ritual.[40]
Upacara-upacara atau ritus-ritus itu menurut
Durkheim tujuan utamanya adalah untuk membangkitkan ide dan perasaan,
untuk menggabungkan masa sekarang dengan masa lalu, menggabungkan yang
individu dengan yang kolektif.
Ini merupakan bukti tambahan yang menunjukkan bahwa
tataran psikis (psychis state) tempat berkumpulnya seluruh anggota
kelompok telah membentuk satu-satunya basis yang solid yang mapan yang
akan menjadi landasan dari apa yang disebut mentalitas ritual.[41]
Sama halnya dengan Upacara Tabot di Kota Bengkulu
yang secara periodik dilaksanakan setiap tahun dapat membangun rasa
saling memahami di antara berbagai elemen masyarakat Bengkulu yang
majemuk. Berbagai komponen masyarakat lintas agama, lintas budaya dan
lintas adat bisa secara sinergis menyukseskan tradisi.
Yang oleh Durkheim disebut dengan ‘menggabungkan
yang individu dengan yang kolektif’. Upacara Tabot memiliki fungsi
ganda, untuk komunitas keturunan Tabot maka upacara ini berfungsi untuk
menguatkan soliditas kelompok ini dalam konteks hubungan sejarah dalam
satu komunitas yang berasal dari satu keturunan yang sama.
Sementara untuk komunitas yang lebih besar yaitu
masyarakat Kota Bengkulu maka perayaan Tabot ini berfungsi menjadi media
interaksi antar beragam suku, agama yang selanjutnya melahirkan sikap
saling hormat-menghormati dan perasaan saling membutuhkan antar satu
suku dengan suku lainnya.
Melalui perayaan Tabot yang secara periodik
dilaksanakan setiap tahun dapat dibangun rasa saling memahami di antara
berbagai elemen masyarakat Bengkulu yang majemuk. Berbagai komponen
masyarakat lintas agama, lintas budaya dan lintas adat bisa secara
sinergis menyukseskan tradisi.
Hal ini diibaratkan oleh Emile Durkheim sebagai
“perekat” yang mempersatukan individu-individu yang memiliki
keanekaragaman interes pribadi.
Pada sisi religi mereka mendapatkan dirinya sebagai
suatu masyarakat moral dengan perangkat nilai bersama dan tujuan
bersama, sehingga terbina suatu masyarakat yang harmonis.
Ritual Tabot yang ada di Kota Bengkulu merupakan
apa yang disebut Emile Durkheim sebagai ‘alat memperkuat solidaritas
sosial’. Solidaritas sosial yang dimaksud adalah suatu hubungan antar
individu atau kelompok yang didasarkan pada kebersamaan.
Perasaan moral dan kepercayaan yang dianut
diperkuat oleh kebersamaan pengalaman emosional. Solidaritas sosial ini
lebih kuat di masyarakat jika dibandingkan dengan kontrak atas
persetujuan rasional. Kepercayaan yang sama juga merupakan pendukung
kesadaran kolektif. Namun untuk perkembangan selanjutnya, dengan adanya
solidaritas sosial maka umat berbagai agama juga dapat bekerjasama dan
saling mendukung.
Dalam perayaan Tabot, yang terlibat bukan hanya
pemeluk Islam tetapi juga semua pemeluk agama (Kristen, Katolik, Hindu,
Budha bahkan Konghucu) selalu ikut serta berpartisipasi dalam perayaan
tersebut.[42]
Perayaan Tabot memberikan ruang yang luas kepada
pemeluk agama dan kepercayaan untuk berpartisipasi. Kemajemukan suku dan
etnis yang ada di Kota Bengkulu diberi ruang yang seluas-luasnya untuk
berpartisipasi.
Masing-masing suku dan etnis diberikan ruang untuk
mengeksploitasi kebudayaannya. Pada saat perayaan Tabot selalu
diramaikan dengan pertunjukan seni barongsai, reog ponorogo, kuda
lumping, seni dan budaya nusantara dan budaya etnis lainnya.
Artinya perayaan Tabot dapat memperkuat solidaritas
sosial dimasyarakat dengan menciptakan kebersamaan dalam masyarakat
yang majemuk demi kepentingan bersama dan dalam upaya memajukan Kota
Bengkulu yang mereka cintai.[43]
Saat ini di Kota Bengkulu terdapat 16 suku yaitu :
Aceh, Batak, Nias, Melayu, Minang, Jambi, Bengkulu (termasuk didalamnya
suku Lembak/Rejang/Pekal/Serawai), Lampung, Betawi, Banten, Sunda,
Tionghoa, Jawa, Cirebon, Madura, Suku Lain Asal Sumatera.[44]
Heterogenitas masyarakat dan realitas bahwa
masing-masing suku saling membutuhkan dengan suku yang lainnya itu
menjadi salah-satu penyebab terbentuknya masyarakat yang toleran di Kota
Bengkulu.
Penggunaan Teori struktural fungsional dalam
penulisan Tesis ini akan dipakai sebagai alat analisis terhadap fenomena
pergeseran upacara Tabot yang semula bertujuan untuk menjalankan
tradisi Islam Syi’ah kemudian dalam perkembangannya berubah menjadi
ritual budaya didukung oleh faktor non ritual seperti festival, bazar,
pentas seni.
Hal itu membuka ruang partisipasi masyarakat diluar
komunitas inti keluarga Tabot. Dan selanjutnya bermuara pada
terciptanya hubungan yang harmonis antar agama dan suku di Kota
Bengkulu.
Sepanjang hal itu bukan sesuatu yang dipaksakan
atau dengan kata lain sepanjang itu terjadi karena kesadaran dan
kesepakatan atau konsensus, tentu saja fenomena pergeseran ini bukanlah
sesuatu yang salah, pergeseran itu haruslah dipandang sebagai perubahan
yang positif dalam konteks membangun kerukunan masyarakat di Kota
Bengkulu.
Karena menurut teori struktural fungsional bahwa
faktor-faktor penting yang memiliki daya mengintegrasikan suatu sistem
sosial adalah konsensus di antara para anggota masyarakat mengenai
nilai-nilai kemasyarakatan tertentu.
Di dalam masyarakat, demikian menurut pandangan
fungsionalisme struktural selalu terdapat tujuan-tujuan dan
prinsip-prinsip dasar tertentu terhadap sebagian besar anggota
masyarakat yang menganggap serta menerimanya sebagai suatu hal yang
mutlak benar.
Sistem nilai tersebut tidak saja merupakan sumber
yang menyebabkan berkembangnya integrasi sosial, akan tetapi sekaligus
juga merupakan unsur yang menstabilisir sistem sosial budaya itu
sendiri.[45]
F. Metode Penelitian
1. Bahan Penelitian
Penelitian ini terdiri dari penelitian kepustakaan
dan lapangan. Penelitian kepustakaan bertujuan untuk meneliti buku-buku,
pidato-pidato, hasil seminar, artikel-artikel, surat kabar yang ada
kaitannya dengan upacara Tabot. Sedangkan penelitian lapangan dilakukan
untuk memperoleh data dari para tokoh Tabot, alim ulama, pemuka
masyarakat, serta tokoh-tokoh agama lain.
2. Analisis data
Data yang telah terkumpul, dianalisis dengan metode hermeneutik reflektif. Langkah-langkah analisis itu adalah :
a. Deskripsi
Data yang berupa hasil seminar, hasil penelitian,
buku-buku, foto, film dan hasil wawancara dikumpulkan, ditelaah dan
ditafsirkan. Hasil deskripsi kemudian diinterpretasikan secara lengkap
dan utuh, sehingga dapat diungkapkan fungsionalitas upacara perayaan
Tabot sebagai salah satu pendukung terciptanya kerukunan antar-
masyarakat.
b. Interpretasi
Interpretasi memberi penafsiran data yang berupa
hasil seminar, hasil penelitian, buku-buku, foto, film dan hasil
wawancara diinterpretasikan, sehingga memperoleh makna baru dan
pemahaman yang lebih komprehensif.
c. Refleksi kritis
Hasil analisis itu diberi interpretasi yang lebih
aktual dan kontekstual. Karena seiring dengan proses perjalanan waktu
dapat saja terjadi pemaknaan akan ritual Tabot tidak kontekstual atau
mengalami perubahan arti, maksud dan makna.
Refleksi kritis itu bertujuan untuk menemukan suatu
pemahaman yang lebih komprehensif tentang nilai-nilai universal yang
terdapat pada tradisi perayaan Tabot dapat menciptakan kerukunan antar-
masyarakat.
G. Sistematika
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan
Bab ini berisi latar-belakang sejarah perayaan
Tabot oleh kaum Syi’ah, beberapa versi tentang kelompok yang membawa
tradisi perayaan Tabot ke Kota Bengkulu, penjelasan tentang interaksi
tradisi Tabot dengan budaya lokal yang mengakibatkan terjadinya
pergeseran makna Tabot yang semula merupakan ajaran dan doktrin Syi’ah
namun berubah menjadi sebuah tradisi kultural sehingga masyarakat Kota
Bengkulu yang sebagian besar beraliran Sunni dapat menerima tradisi
perayaan Tabot yang berasal dari Syi’ah.
Bahkan dalam perkembangannya Tradisi Tabot menjadi
alat pembina kerukunan antar masyarakat. Alasan penggunaan teori
struktural fungsional dalam tesis ini serta metode penelitian dan
sistematika penulisan.
Bab II Landasan Teori
Bab ini berisi potret Kota Bengkulu sebagai lokasi
penelitian, makna dan rangkaian peringatan ritual Tabot yang dimulai
dari Do’a Mohon Keselamatan, Mengambil Tanah, Duduk Penja, Malam
Menjara, Meradai, Arak Penja atau Mengarak Jari-jari, Arak Seroban, Hari
Gam, Tabot Naik Pangkek, Arak Gedang, Soja, Arak Gedang Tabot Tebuang
dan ditutup dengan Mencuci Penja.
Hubungan antara Teori Struktural Fungsional Emile
Durkheim dengan fungsi perayaan Tabot sebagai alat pembina kerukunan
antar masyarakat.
Bab III Analisis
Bab ini berisi analisis data Tabot baik data
sekunder berupa buku - buku, pidato-pidato, hasil seminar,
artikel-artikel, surat kabar, majalah, foto, film dan hasil wawancara
dengan menggunakan Teori Struktural Fungsional Emile Durkheim serta
analisis perayaan Tabot dari perspektif agama Islam, politik praktis,
ekonomi, pariwisata dan kepentingan pemerintah.
Bab ini juga menguraikan temuan-temuan dalam
penelitian dan hasil penelitian khususnya yang berkenaan dengan fungsi
perayaan Tabot sebagai alat pembina kerukunan antar masyarakat.
Bab IV Kesimpulan dan Rekomendasi
Bab ini berisi kesimpulan berdasarkan temuan-temuan
dalam penelitian dan hasil penelitian, terdapat rekomendasi untuk
kepentingan perayaan Tabot baik untuk keturunan keluarga Tabot,
masyarakat umum Kota Bengkulu maupun masyarakat lain diluar Propinsi
Bengkulu khususnya yang sampai saat ini masih terjadi konflik menyangkut
hubungan Syi’ah dengan Sunni.
Daftar Isi
Perayaan Tabot 1
Syuplahan Gumay 1
Jurusan Kesejahteraan Sosial Universitas Bengkulu 1
A. Latar Belakang 2
1. Perayaan Tabot 2
1.1. Pengertian Tabot 2
1.2. Perkembangan Upacara Tabot di Kota Bengkulu 9
1.3.Waktu dan Tempat Penyelenggaraan 12
2. Upacara Tabot sebagai Tradisi 13
Tradisi, Sosial Budaya dan Ritual 19
a. Tradisi 19
b. Sosial Budaya dan Ritual 21
B. Perumusan Masalah 25
C. Tujuan 25
D. Hipotesis 26
E. Kerangka Teoritis 27
Teori struktural fungsional 27
F. Metode Penelitian 39
1. Bahan Penelitian 39
2. Analisis data 39
a. Deskripsi 39
b. Interpretasi 39
c. Refleksi kritis 40
G. Sistematika 41
Bab I Pendahuluan 41
Bab II Landasan Teori 41
Bab III Analisis 42
Bab IV Kesimpulan dan Rekomendasi 42
Daftar Isi 43
Catatan Kaki:
[1]
Dahri, Harapandi, Tabot (Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu), (Jakarta : Pemikat Citra, 2009), h.76.
[2]
Ibid, h.77.
[3]
Armstrong, Karen, Islam; Sejarah Singkat, Terj:Fungky Kusnaendy Timur, (Jogjakarta : Jendela, 2002), h. 97.
[4]
Walaupun saat ini muncul keinginan dari para pengurus KKT untuk
mengubah istilah Tabot menjadi Tabut namun secara umum masyarakat di
Kota Bengkulu tetap menyebutnya dengan nama Tabot.
[5]
Perbedaan ritual Tabot di Kota Bengkulu dengan Tabuik di Pariaman
Sumatera Barat hanya mengenai soal lokasi pembuangan miniatur bangunan
Tabot saja, di Kota Bengkulu bangunan Tabot bukan di buang ke laut tapi
dibuang ke makam Syekh Burhanudin atau Imam Senggolo sedangkan Tabuik di
Pariaman ukurannya kebih kecil dan di larung atau di buang ke laut.
[6]
Kermani, Syekh Ibn Al Rais, Mega Tragedi, Kronologi Lengkap Asyura, (Jakarta: Al-Huda, 2008), h. 227.
[7]
Dahri, Harapandi, Tabot (Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu), (Jakarta : Pemikat Citra, 2009), h.117.
[8]
Bustamam-Ahmad, Kamaruzzaman, Islam Historis, Dinamika Studi Islam di Indonesia, (Yogyakarta : Galang Press, 2002), h. 306-307
[9]
Azyumardi Azra dkk, Sejarah dan Budaya Syiah di Asia Tenggara, (Yogyakarta : Pascasarjana Universitas Gajahmada, 2013), h. vii
[10]
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Upacara Tabot di Kotamadya Bengkulu, (Bengkulu: Depdikbud,1991), h.65.
[11]
http://news.liputan6.com/read/73143/hari-asyura-dirayakan-di-irak, diakses tanggal 20 Februari 2013
[12]
Iqbal, Muhammad Zafar, Kafilah Budaya, Pengaruh Persia Terhadap
Kebudayaan Indonesia Terj : Yusup Anas (Jakarta : Citra, 2006), h. 133.
[13]
http://agama.kompasiana.com/2010/12/16/peringatan-asyura-berdarah-darah/, diakses tanggal 20 Februari 2013
[14]
Dahri, Harapandi, Tabot (Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu), (Jakarta : Pemikat Citra, 2009), h.76.
[15]
Kerukunan Keluarga Tabot atau KKT adalah organisasi yang didirikan
oleh keturunan Imam Senggolo tahun 1990 yang menjadi pelaksana perayaan
upacara Tabot di Kota Bengkulu setiap tahunnya.
[16]
Syiafril, A, Sy, Tabut Karbala Bencoolen Dari Punjab Symbol Melawan Kebiadaban, (Jakarta : PT Walaw Bengkulen, 2012), h.107.
[17]
Iqbal, Muhammad Zafar, Kafilah Budaya, Pengaruh Persia Terhadap
kebudayaan Indonesia, Terj : Yusup Anas (Jakarta : Citra, 2006 ), h.172.
[18]
Tokoh-tokoh Tabot, istilah ini dipakai untuk menunjuk pada
orang-orang keturunan Imam Senggolo atau Syekh Burhanudin yang dipercaya
sebagai pemimpin pada keluarga Tabot.
[19]
Bin Musa MF dkk, Tradisi dan Kebudayaan Ahlulbait di Nusantara, (Makasar : Komunitas Mafatihul Jinan, 2010), h 21
[20]
Iqbal, Muhammad Zafar, Kafilah Budaya, Pengaruh Persia Terhadap
Kebudayaan Indonesia, Terj : Yusuf Anas (Jakarta : Penerbit Citra,
2006), h. 159-164.
[21]
Syiafril, A, Sy, Tabut Karbala Bencoolen Dari Punjab Symbol Melawan Kebiadaban, (Jakarta : PT Walaw Bengkulen, 2012), h.38.
[22]
www.republika.co.id/berita/regional/nusantara/11/12/29/lwz07n-150-pengikut-syiah-di-sampang-madura
dievakuasi, diakses tanggal 15 Februari 2013.
[23]
haidarrein.wordpress.com/2008/01/23/mui-syiah-bukan-aliran-sesat/, diakses tanggal 19 Februari 2013
[24]
videosyiah.com/02.%20Fatwa%20MUI%20Tentang%20Syiah/Fatwa-MUI-Tentang-Syiah-2012.pdf, diakses tanggal 19 Februari 2013
[25]
Dalam sejarah suku Quraisy, tercatat dua klan besar yang mendapat
kedudukan terhormat sebagai pemimpin kabilah. Klan pertama adalah Bani
Hasyim dan klan kedua adalah Bani Umayah. Kedua klan ini memiliki
hubungan keluarga sekaligus persaingan. Persaingan mereka berubah
menjadi permusuhan ketika Muhammad SAW bin Abdullah dari klan Bani
Hasyim, diutus sebagai Nabi Allah SWT. Lihat artikel Budi Darmawan,
‘Agar Tabot Tak Kehilangan Makna’ (Memahami Tabot dari Akarnya) Koran
Rakyat Bengkulu, 12 Desember 2012
[26]
Durkheim, Emile. The Elementary Form of The Religious Life, Sejarah
Bentuk-Bentuk Agama yang Paling Dasar, Terj :Inyiak Ridwan Muzir dan
M.Syukri, (Jogjakarta : IRCiSoD, 2011), h. 532-533.
[27]
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta : Rineka Cipta, 2009), h. 151.
[28]
Tibi, Bassam, Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial, Terj : Misbah
Zulfa Ellizabet dan Zainul Abas, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1999), h.
14
[29]
Al-Qardlawi, Yusuf, Keluasan dan Keluwesan Hukum Islam, Terj : Agil Husin Al Munawar (Semarang : Dina Utama, 1993), h. 19.
[30]
Dahri, Harapandi, Tabot (Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu), (Jakarta : Pemikat Citra, 2009), h.45.
[31]
Rohimin dkk, Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia, (Jakarta : Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2009), h.72.
[32]
Ibid, h. 73.
[33]
Surat Kabar Harian Rakyat Bengkulu, 20 Desember 2010.
[34]
Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta : Rajagrafindo, 1984), h.13-15.
[35]
Garna, K, Yudistira, Teori-teori ilmu sosial, program studi
ilmu-ilmu sosial, (Bandung : Program Pasca Sarjana Universitas
Padjajaran, 1994), h. 67.
[36]
Istilah Syirik dalam Islam adalah menyembah selain Allah salah satu dosa besar yang tidak diampuni oleh Tuhan
[37]
Keluarga keturunan Tabot adalah komunitas yang berasal dari Syekh
Burhanuddin atau Imam Senggolo yang dipercaya sebagai tokoh yang membawa
tradisi Tabot ke Kota Bengkulu.
[38]
Durkheim, Emile. The Elementary Form of The Religious Life, Sejarah
Bentuk-Bentuk Agama yang Paling Dasar, Terj : Inyiak Ridwan Muzir dan
M.Syukri, (Jogjakarta : IRCiSoD, 2011), h.533.
[39]
Ritzer, George Teori Sosiologi, Dari Sosiologi Klasik sampai
Perkembangan Terakhir Postmodern (Jakarta : Pustaka Pelajar, 2012),
h.139.
[40]
Ibid.
[41]
Durkheim, Emile. The Elementary Form of The Religious Life, Sejarah
Bentuk-Bentuk Agama yang Paling Dasar, Terj : Inyiak Ridwan Muzir dan
M.Syukri, (Jogjakarta : IRCiSoD, 2011), h.543.
[42]
Dahri, Harapandi, Tabot (Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu), (Jakarta : Pemikat Citra, 2009), h.154.
[43]
Ibid.
[44]
BPS Propinsi Bengkulu, Hasil Sensus Nasional Penduduk Kota Bengkulu ,2010.
[45]
Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta : Rajagrafindo, 1984), h.13-15.
Perayaan Tabot Bagian Kedua
BAB II
Perayaan Tabot Bagian Kedua
Oleh : Syuplahan Gumay
Jurusan Kesejahteraan Sosial Universitas Bengkulu
BAB II
LAHIRNYA UPACARA TABOT DI BENGKULU
Lahirnya upacara Tabot di Bengkulu tidak dapat
dilepaskan dari tradisi masuknya Syi’ah di Bengkulu. Tradisi Syi’ah yang
ada di Bengkulu dapat digambarkan melalui perayaan Tabot (Karbala)
Bengkulu.
Dibawah ini sekilas akan menjelaskan mengenai Islam Syi’ah.
A. Islam Syiah
Golongan Syi’ah merupakan elemen umat Islam yang
menyakini bahwa kepemimpinan hanya pada orang-orang keturunan Nabi
Muhammad saw yang berhak memerintah golongan Islam.
Walaupun di Indonesia dikenal dengan mazhab Syafi’i
dan menganut sunnah wal Jama, namun dikalangan masyarakat beberapa
tempat di Nusantara masih ditemukan jejak-jejak syiah yang semula
dikenal pusatnya di Persia (Iran).
Di Timur tengah dan Persia penganut ahlusunnah dan
penganut Syi’ah tidak sepaham terutama dalam hal sumber hukum Islam.
Dalam aliran ini sudah dimulai politisasi agama, terutama pada asar
hukum ijma.
Kaum Syi’ah menganggap bahwa yang berhak menjadi khalifah adalah yang keturunan Nabi Muhammad SAW.
Dengan adanya Ijma dimungkinkan yang bukan keturunan Nabi Muhammad SAW dapat menjadi khalifah.[1]
Atas pertimbangan inilah, kaum Syi’ah beranggapan
bahwa hanya al-Qur’an dan Hadist yang menjadi dasar hukum agama Islam,
sedangkan Ijma dan Qiyash tidak perlu.
Runtuhnya kesultanan Syi’ah tidak menyurutkan
ajaran yang terlanjur berkembang di masyarakat. Berbagai ritual Syi’ah
menjelma menjadi tradisi yang masih ditemukan di beberapa daerah di
Nusantara.
Di Indonesia penganut Syi’ah berjumlah tidak
banyak, namun di beberapa tempat tradisi yang biasa dilakukan umat Syiah
masih ditemukan dan secara kontinue dilakukan oleh kelompok masyarakat
tersebut.
Dapat dikemukakan sebagai contoh tentang tradisi
Syi’ah, misalnya perayaan Tabot peringatan hari wafatnya Husein bin Ali
oleh kaum Syi’ah dalam bentuk perayaan Tabot.
Tabot dibuat dari batang pisang yang dihiasi bunga
aneka warna, diaarak ke pantai dan di iringi dengan teriakan Hayya
Husein hayya Husein” artinya hidup husein hidup husein” pada akhir
upacara ini dibuang ke laut karena benda yang dinamakan Tabot
melambangkan keranda mayat.
Namun saat ini pembuangan Tabot di buang di makam
Imam Senggolo (Syekh Burhanuddin) karena jika dibuang dilaut akan
merusak keindahan laut Bengkulu.[2]
Tabot masih dilakukan masyarakat setiap tanggal
1-10 Muharram di Bengkulu, Pariaman dan Aceh. Sedangkan di jawa adanya
Asyura dalam sistem pertanggalan jawa berubah menjadi bulan suro
(Sebutan bulan Muharram: bulan wafatnya Husein).
Peringatan Asyura belakangan ini dikenal dengan istilah “ Hasan Hussein”.
Proses penyerapan tradisi Syi’ah ke dalam adat
istiadat lokal seperti fenomena perayaan Tabot dapat dijelaskan menurut
Jalaluddin Rahmat, kedatangan Syi’ah ke Indonesia bisa di terangkan
melalui beberapa teori.[3]
Teori pertama, merujuk pada masa penyebaran Islam
di Indonesia. Menurut teori ini, dahulu orang-orang Syi’ah yang
dikejar-kejar oleh para penguasa Abbasiyah lari dari timur tengah
sebelah utara yang sekarang menjadi daerah Irak sebelah selatan dibawah
pimpinan Ahmad Muhajir sampai di Yaman.
Mayoritas Syi’ah Indonesia adalah Syi’ah Intelektual. Syi’ah intelekttual maksudnya secara lahir menganut mazhab Syafi’i.
Belakangan ini terdapat bukti-bukti yang memperkuat teori ini.
Beberapa shalawat khas Syi’ah yang masih dijalankan
di pesantren - pesantren. Ada wirid-wirid tertentu yang menyebutkan
lima keturunan ahlulbait.
Tradisi ziarah kubur lalu membuat kubah pada
kuburan merupakan tradisi Syiah. Namun, tradisi itu lahir dalam bentuk
mazhab Syafi’i.
Teori kedua, menyatakan bahwa Islam yang datang ke
Indonesia itu adalah Islam Sunni, tetapi belakangan ini masuklah Syi’ah
terutama melalui aliran-aliran tarekat soalnya dalam tarekat syi’ah dan
sunni betemu sejak lama.
Silsilahnya dari Allah, malaikat Jibril,
Rasullullah, Husain, Ali bin Husain dan seterusnya. Dari situlah keluar
dari silsilah lain, tujuh atau delapan silsilah pertama adalah para imam
Syi’ah.
Jadi menurut teori ini ritus-ritus yang nampaknya
menunjukkan bahwa Syi’ah pertama kali datang ke Indonesia sebenarnya
ritus-ritus itu hanya menunjukkan adanya pengaruh Syi’ah yang masuk ke
dalam pemikiran Ahlusunnah lewat mazhab Syafi’i.[4]
Teori ketiga, mengatakan bahwa Syi’ah itu baru
datang setelah Revolusi Iran Irak (RII). Sebenarnya banyak orang yang
terpengaruh Syi’ah karena peristiwa Revolusi Iran Irak tersebut.
Salah satu dugaan yang bisa kita pahami untuk
menerima Syi’ah yang berbaju Syafi’i adalah bahwa Imam Syafi’i sendiri
sangat simpati terhadap Syi’ah.
Jadi argumentasinya Islam yang datang ke Indonesia
itu Syi’ah yang berbaju Syafi’i. Karena imam Syafi’i sendiri sangat
simpati terhadap Syi’ah.
Menurut riwayat, Imam Syafi’i pernah di seret dari hijaz hingga Syiria dalam belenggu besi dan dihadapkan pada Harun rasyid.
Satu per-satu kawannya dipotong dan hanya Imam Syafi’i yang selamat.
Sebagian menduga bahwa Imam Syafi’i bukan hanya bersimpati saja namun, juga termasuk orang yang berpaham Syi’ah.[5]
Menurut Rustam, paham Syi’ah tidak berkaitan dengan
budaya Tabot di Bengkulu, beliau mengatakan Syi’ah dengan budaya Tabot
itu berbeda.
Pelaksanaan upacara ritual Tabot di Bengkulu sudah
berlangsung sejak lama dan dilakukan khususnya oleh orang-orang dari
garis keturunan pembuat Tabot.
Tabot setiap tahunnya dilaksanakan pada tanggal
1-10 Muharram, sehingga tidak mengherankan apabila upacara sakral,
mistis, religius ini dikenal oleh masyarakat Bengkulu.[6]
Lahirnya Tabot di Bengkulu memiliki beberapa arti,
maksud dan tujuan upacara Tabot. Dibawah ini sekilas akan membahas
mengenai Pengertian Upacara Tabot.
B. Pengertian Upacara Tabot
Upacara Tabot pada dasarnya merupakan perwujudan
rasa berkabung dari keluarga Muslim Syi’ah yang berasal dari Bengala
(India) atas syahidnya Husain bin ali bin Abi Thalib di Padang Karbala
pada bulan Muharram 61 Hijrah.
Upacara Tabot itu sesungguhnya juga erat kaitannya
dengan perkembangan agama Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad pada
tahun 11 H/ 632 M di Madinah.
Upacara Tabot adalah perbuatan dan perayaan yang
dilakukan atau diadakan sehubungan dengan peristiwa penting dengan
membuat peti yang dibuat duari anyaman bambu yang terbuat dari kayu yang
dibawa berarak pada peringatan Hasan-Husein.[7]
Tabot merupakan upacara tradisional yang
bernafaskan Islam. Tabot sarat dengan ritual keagamaan mulai dari
persiapan, pelaksanaan hingga akhir upacara tidak terlepas dari kegiatan
keagamaan.
Agama Islam menyebar pada komunitas yang umumnya
telah memiliki tradisi atau adat istiadat yang sudah berakar dan
diwarisi secara turun-temurun dari nenek moyang mereka.
Tabot juga syarat dengan simbol-simbol religius yang mengandung makna yang dalam.[8]
Upacara Tabot yang diselenggarakan setiap tanggal
1-10 Muharram, tradisi ini sendiri dibawa oleh orang-orang India yang
menjadi tentara Inggris pada tahun 1685.
Salah satunya yang di kenal sebagai ulama adalah Syekh Burhanuddin atau populer dengan nama Imam Senggolo.[9]
Tabot sendiri merupakan simbol kepahlawanan cucu
dari Nabi Muhammad SAW yaitu Hasan dan terutama Husain yang wafat dalam
suatu peperangan di Padang Karbala, Irak.
Tabot yaitu sebuah menara yang tingginya 10 meter
terbuat dari kayu dan kertas yang digunakan dalam arak-arakan melalui
jalan-jalan protokol di Bengkulu untuk memperingati kematian Hasan dan
Husain, cucu Nabi Muhammad yang syahid dalam Perang Karbala di Irak pada
tahun 61 H (680 M).[10]
Acara mengarak Tabot ini merupakan tradisi peninggalan mazhab Syi’ah di Bengkulu dan diadakan setiap tanggal 10 Muharram.
Upacara tradisi Tabot yang setiap tahun
diselenggarakan pemerintah dan masyarakat Bengkulu sudah menjadi
komoditi pariwisata yang sangat bernilai bukan hanya bagi masyaakat
khususnya komunitas Syi’ah melainkan seluruh masyarakat Bengkulu hanyut
dalam perayaan tahunan tersebut.[11]
Maksud dari upacara ini pada awal mulanya adalah
upacara berkabung dari keluarga Syi’ah atas gugurnya Husein bin Ali bin
Abi Thalib pada tragedi perang karbala.
Sejak keluarga sipai lepas dari pengaruh ajaran
Syi’ah, maka maaksud penyelenggaraan upacara ini sekedar
kewajiban-kewajiban untuk memenuhi wasiat leluhur mereka.
Sedangkan pada masa akhir-akhir ini maksud dari
upacara ini selain melaksanakan wasiat leluhur juga turut berperan serta
mensukseskan program pemerintah dibidang pembinaan dan pengembangan
kebudayaan daerah serta mensukseskan pengembangan pariwisata di daerah
Bengkulu.
Tujuan dari upacara ini pada mulanya adalah untuk meningkatkan rasa cinta mereka kepada ahlulbait (keluarga Rasullullah saw).
Tujuan upacara ini bagi orang Bengkulu dan keluarga
sipai adalah untuk menanamkan rasa bangga atas budaya leluhur juga
untuk turut serta melestarikan kebudayaan daerah dan kebudayaan
nasional.[12]
Agar lebih jelasnya mengenai lahirnya Tabot, maka akan di jelaskan pada sub-bab di bawah ini.
C. Awal Mula Upacara Tabot Bengkulu
Menurut sejarahnya Tabot Pertama kali dibawa ke Indonesia oleh orangorang muslim India.
Orang-orang india ini sengaja didatangkan oleh
Inggris pada abad ke XVII sebagai serdadu dan pekerja untuk membangun
benteng Malborough di Bengkulu.
Di samping itu bangsa asing datang ke Bengkulu
seperti Portugis, Inggris, Belanda, Tionghoa dan India. Bangsa India
yang dibawa Inggris berasal dari Bengali dan mereka menganut Agama Islam
dari sekte Syi’ah.[13]
Selanjutnya budaya Tabot itu dibawa ke
daerah-daerah yang disinggahi dari Jazirah Arab seiring dengan masa
penyebaran agama Islam ke berbagai penjuru dunia.
Budaya Tabot terus masuk ke Punjab (India) lalu dari India budaya Tabot dibawa ke Bengkulu.
Sebelum tiba di Bengkulu, orang india tersebut
sudah menetap di Aceh, namun karena tidak memperoleh respon yang
memadai, mereka meninggalkan Aceh dan mendarat di Bengkulu tahun 756
atau 757 H (1336 M).
Jadi yang membawa budaya Tabot di Bengkulu ini
adalah orang India dari punjab dan asal muasalnya upacara Tabot ini dari
Jazirah Arab.
Istilah Tabot di Indonesia berasal dari ritual
sederhana yang ada di Irak, Persia dan India Selatan yang disebut
ta’ziyah. Sementara itu istilah Tabot dikenal di India utara untuk
menyebut istilah ta’ziyah.
Lebih lanjut lagi bahwa tipe Tabot di Indonesia ada
dua: pertama Hasan- Husein di Aceh serta Tabot di Sibolga yang
merupakan jenis ritual yang sederhana
Kedua, Tabot di Bengkulu dan Tabuik di Pariaman yang merupakan jenis dari tipe dielaborasi menjadi pertunjukan treatikal.[14]
Kejelasan bahwa asal upacara Tabot yang ada di
Bengkulu berasal dari India dapat terlihat dari waktu pelaksanaan dan
bentuk bangunannya.
Dari segi waktunya, Upacara Tabot di Bengkulu
dilaksanakan setiap tahun nya selama 10 hari ( 1- 10 Muharram) sama
halnya dengan festival muharram di India yang berlangsung 10 hari
sehingga dikenal dengan Ashura atau Tenth.
Ashura adalah peringatan hari kesyahidan Husain.
Dari segi bangunan Tabot, di Bengkulu berupa sebuah bangunan bertingkat
yang berbentuk limas (makin ke atas makin kecil) yang terbuat dari papan
atau triplek ( dulunya menggunakan bahan bambu).
Tinggi bangunan Tabot rata-rata 5-6 meter dan
bangunan ini dihiasi dengan kertas berwarna dan dekorasi kertasnya
adalah tulisan kaligrafi.
Jika malam Tabot-tabot ini dihiasi lampu-lampu
kecil beraneka warna mencolok menjadi cemerlang, bahkan dewasa ini telah
dilengkapi dengan sistem berputar.
Puncak bangunan adalah payung, kemudian bangunan
Tabot diarak dalam acara arak gedang dan pada acara Tabot tebuang yang
berlangsung pada tanggal 9-10 Muharram.[15]
Sedangkan dalam perayaan muharram di India dibuat
sebuah Tugu (biasanya disebut Ta’ziyah atau Tabot) sebagai peringatan
wafatnya cucu Nabi Muhammad Saw.[16]
Syekh Burhanuddin Ulakan memperkenalkan tradisi
Tabot ( perayaan asyura) dan basapa (berjalan) dipesisir barat sumatra
abad ke-17.
Sementara Syekh Jalaluddin Aididu memperkenalkan
tradisi maudu lompoa ( maulid Nabi yang agung) di daerah Makassar pada
abad ke -17.
Perayaan Tabot, Basapa, dan Maudu Lompoa semuanya
menunjukkan karakter Islam Syi’ah. Tradisi ini dikenalkan sebagai
instrument penyebaran agama Islam di Nusantara.
Syekh Burhanuddin Ulakan dikenal sebagai penyebar
Islam pertama di daerah Minangkabau dan Bengkulu, sementara Syekh
Jalaluddin Aidi adalah salah seorang tokoh penyebar Islam di daerah
Sulawesi Selatan.
Perayaan Tabot di Bengkulu pertama kali dilaksanakan oleh Syekh Burhanuddin yang dikenal sebagai Imam Senggolo pada tahun 1685.
Kemudian Imam Senggolo menetap di kota Bengkulu
menikahi 2 orang wanita setempat yang pertama cinggeri selebar bernama
Nurhumma mendapatkan 7 orang anak dan kedua dari sungai Lemau pondok
kelapa juga memperoleh 7 anak hingga waktu ini mempunyai keturunan yang
banyak sebagai inti dari masyarakat melayu islam pewaris tradisi
perayaan seni budaya Tabot.
kemudian anak mereka, cucu mereka dan keturunan mereka disebut sebagai keluarga Tabot (Sipai).
Selanjutnya Imam Senggolo memberi nama padang
karbala pada tanah seluas 40 hektar yang saat ini terletak antara
kelurahan Padang Jati dan kelurahan Kebun Tebeng yang digunakan sebagai
arena acara prosesi ritual budaya Tabot terbuang.[17]
Seni budaya Tabot menurut Imam senggolo sifatnya
selalu menyesuaikan kepada keadaan setempat kemana tabot itu dibawa dan
ditampilkan sehingga antara satu tempat dengan tempat lainnya pada
akhirnya terjadi perbedaan tradisi dalam berbagai hal anatara lain :
ujud benda-benda yang digunakan, tata cara dan tertib acara yang
ditampilkan.
Walaupun demikian missi yang dilakukan adalah sama
yaitu mengenang segala syahid di Karbala Iraq, mengenang kejayaan islam,
menongsong tahun baru hijriyah dan memuliakan serta memberi
penghormatan kepada Imam Husain sebagai cikal bakal ummat.
Tidak ada catatan tertulis sejak kapan upacara
Tabot mulai dikenal di Bengkulu. Namun, ada yang berpendapat lain bahwa
diduga kuat tradisi yang berangkat dari upacara berkabung para penganut
paham Syi’ah ini dibawa oleh para tukang yang membangun Benteng
Marlborought (1718-1719) di Bengkulu.
Para tukang bangunan tersebut, didatangkan oleh
Inggris dari Madras dan Bengali di bagian selatan India yang kebetulan
merupakan penganut Islam Syi‘ah.
Para pekerja yang merasa cocok dengan tata hidup
masyarakat Bengkulu, dipimpin oleh Imam Senggolo alias Syekh
Burhanuddin, memutuskan tinggal dan mendirikan pemukiman baru yang
disebut Berkas, sekarang dikenal dengan nama Kelurahan Tengah Padang.
Tradisi yang dibawa dari Madras dan Bengali
diwariskan kepada keturunan mereka yang telah berasimilasi dengan
masyarakat Bengkulu asli dan menghasilkan keturunan yang dikenal dengan
sebutan orang-orang Sipai (keluarga Tabot).
Upacara Tabot ini semakin meluas dari Bengkulu ke Painan, Padang, Pariaman, Maninjau, Pidie, Banda Aceh, Meuleboh dan Singkil.
Namun dalam perkembangannya, kegiatan Tabot menghilang di banyak tempat.
Hingga pada akhirnya hanya terdapat di dua tempat,
yaitu di Bengkulu dengan nama Tabot dan di Pariaman Sumbar (masuk
sekitar tahun 1831) dengan sebutan Tabuik.
Keduanya sama, namun cara pelaksanaannya agak berbeda.[18]
Upacara Tabot yang ada di Bengkulu mengandung dua aspek ritual dan non-ritual.
Aspek ritual hanya boleh dilakukan oleh Keluarga
Tabot dan dipimpin oleh dukun Tabot atau orang kepercayaan saja yang
memiliki ketentuan khusus dan norma-norma yang harus ditaati.[19]
Ritual tabot di Bengkulu dikelompokkan dalam dua
jenis. Pertama, Tabot sebagai ritus yang berarti merupakan keseluruhan
rangkaian kegiatan ritual yang dilaksanakan mulai malam tanggal 1 sampai
10 tiap bulan Muharram.
Sebagai ritus, ritual Tabot dipimpin oleh seorang
anggota keluarga Tabot yang menguasai secara detail ritual ini dan yang
dianggap memiliki kemampuan spiritual untuk melaksanakan ritual
tersebut.
Kedua, Tabot lebih bersifat fisik. Tabot dalam
pengertian ini dipahami sebagai suatu ornamen berbentuk candi atau rumah
yang mempunyai satu atau lebih puncak dengan ukuran yang berbeda-beda
dibuat dari bahan-bahan tertentu dan dikhususkan untuk ritual Tabot.[20]
Pada awalnya inti dari upacara Tabot adalah untuk
mengenang upaya pemimpin Syi’ah dan kaumnya mengumpulkan potongan tubuh
Husein, mengarak dan memakamnya di Padang Karbala.
Istilah Tabot berasal dari kata Arab Tabut yang secara harafiah berarti “kotak kayu” atau “peti”.
Dalam Al- Quran kata Tabot dikenal sebagai sebuah peti yang berisikan kitab Taurat.
Bani Israil di masa itu percaya bahwa mereka akan
mendapatkan kebaikan bila Tabot ini muncul dan berada di tangan pemimpin
mereka.
Sebaliknya mereka akan mendapatkan malapetaka bila benda itu hilang.
Jika pada awalnya upacara Tabot digunakan oleh
orang-orang Syi‘ah untuk mengenang gugurnya Husein bin Ali bin Abi
Thalib, maka sejak orang-orang Sipai lepas dari pengaruh ajaran Syi‘ah,
upacara ini dilakukan hanya sebagai kewajiban keluarga untuk memenuhi
wasiat leluhur mereka.
Belakangan, sejak satu dekade terakhir, selain
melaksanakan wasiat leluhur, upacara ini juga dimaksudkan sebagai wujud
partisipasi orang-orang Sipai dalam pembinaan dan pengembangan budaya
daerah Bengkulu setempat.
Kondisi sosial budaya masyarakat, nampaknya juga menjadi penyebab munculnya perbedaan dalam tatacara pelaksanaan upacara Tabot.
Di Bengkulu, Tabotnya berjumlah 17 yang menunjukkan kepada jumlah keluarga awal yang melaksanakan Tabot.
Pada awalnya Tabot di Bengkulu di buang ke laut,
namun pada perkembangannya Tabot di Bengkulu dibuang di rawa-rawa yang
berada di sekitar pemakaman umum yang dikenal dengan nama makam Karbela
yang diyakini sebagai tempat dimakamnya Imam Senggolo alias Syekh
Burhanuddin.
Setelah mengetahui awal mula upacara Tabot di
Bengkulu, maka akan dijelaskan mengenai keterkaitan agama Islam dengan
upacara Tabot di Bengkulu seperti di bawah ini.
D. Keterkaitan Agama Islam dengan Tradisi Upacara Tabot di Bengkulu
Pijnappel ialah sarjana Belanda yang pertama kali mengajukan teori bahwa asal Islam di Indonesia adalah Gujarat dan Malabar.
Orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i yang menetap di India itulah yang kemudian membawa Islam ke Indonesia.[21]
Penyebaran Islam dengan proses yang damai tidak sepenuhnya diterima oleh para ahli.
Ricklefs berpendapat bahwa memang benar dalam
proses Islamisasi di Indonesia tidak ada satu bukti pun yang menyebutkan
adanya ekspedisi militer asing yang memaksakan agama Islam melalui
penaklukan, tetapi setelah sebuah kerajaan Islam berdiri adakalanya
agama Islam disebarkan oleh kerajaan itu dengan peperangan ke daerah
lainnya.[22]
Budaya Tabot masuk seiring dengan penyiaran Islam
sebagai media dan daya tarik penarik bagi penyiaran itu sehingga dengan
mudah dapat mengumpulkan dan memberikan ajaran kepada ummat yang
didatangi.
Pengembangan pengajaran Islam lebih banyak
ditentukan oleh usaha perorangan yang menyadari kebenaran agamanya
sebagai rahmat Tuhan dan mereka merasa bahagia sekali apabila rahmat itu
terlimpah kepada orang orang lain.
Dengan demikian, sangat jelas bahwa penyebar-luasan Islam adalah bukan oleh raja-raja atau kerajaan.
Para perorangan tersebut meyebar ke daerah-daerah
pesisir menyusur pantai termasuk kota Bengkulu yang terletak di pantai
Barat Sumatra keudian mereka mengawini wanita-wanita setempat.[23]
Pandangan Islam terhadap ritual upacara Tabot
semenjak Islam masuk ke Nusantara terjadi akulturasi antara Islam dengan
budaya setempat.
Akulturasi itu menghadirkan ragam budaya yang
mengagumkan. Umumnya, sebagian bentuk akulturasi berkaitan erat dengan
penyebaran Islam di tanah air.
Satu dari sekian banyak akulturasi budaya, antara lain upacara tradisional Tabot.
Islam ketika berhadapan dengan adat yang sudah
mapan dituntut kearifannya. Islam dalam realitasnya mampu menampakan
kearifannya yang ditandai dengan pendekatan dakwah secara damai atau
bertahap-tahap bukan sebaliknya secara frontal dan kekerasan.
Singkatnya Islam mampu berdialetika secara harmonis
dengan kemajemukan adat dan memberikan klarifikasi secara bijaksana
tehadap unsur-unsur adat yang bernilai positif.
Dengan demikian, kehadiran agama Islam bukan untuk
menghilangkan adat dan budaya setempat melainkan untuk memperbaiki dan
meluruskannya menjadi lebih manusiawi.
Tradisi budaya Tabot masuk ke kota Bengkulu seiring
dengan penyiaran Islam yang menggunakan perayaan Tabot sebagai media
penarik penyiaran islam.
Sebelum terjadinya Tabot karbala, sebagaimana
catatan sejarah bahwa penyiaran Islam ke pulau Sumatra sudah berlangsung
sejak tahun 48 Hijriyah yang terus menerus secara bertahap dibawa oleh
orang arab dan umumnya bermukim di Persia (Iran), India sebagai wilayah
paling banyak di singgahi dan tempat hijrah orang Arab.[24]
Sedangkan masuknya bangsa Arab ke Iran, Pakistan, Bengali dan India telah dimulai dari tahun ke 25 Hijriyah.
Begitu mudah dan cepatnya penyiaran Islam diterima
di Iran pada waktu itu di sebabkan oleh adanya kesamaan ajaran berbagai
aliran kepercayaan di Iran pada waktu itu dan adanya faktor simpati
nasional dari masyarakat Iran akibat perkawinan Al-Husain dengan “Shahar
banu” ratu dunia putri yazdagrid raja terakhir Dinasti Sasaniah.
Kedatangan keturunan bangsa Arab dari Punjab ke wilayah Nusantara terus berlanjut.
Pada tahun 674 Masehi sudah tercatat ada
serombongan orang Arab menetap di Sumatra, setelah itu datanglah orang
arab dari Punjab tersebut berlangsung terus menerus hingga abad 15.
Berangkat dari cara seperti ini menjadikan masuknya Islam di Nusantara tidak mendapatkan hambatan dan rintangan.
Hal ini disebabkan oleh perwajahan Islam sebagai
sosok ajaran yang akomodatif, dinamis dan melindungi tradisi yang telah
dimiliki oleh bangsa Indonesia pra Islam.
Corak Islam yang menekankan prinsip akomodatif dan toleran ini setidak-tidaknya dapat disimak pada fenomena perayaan Tabot.[25]
Pola hubungan antara Islam dan tradisi tabot bisa
dikatakan saling melengkapi sehingga dianggap sebagai implementasi nyata
dari semangat “Tradisi lokal yang bercorak Islami dan Islam yang
bercorak local”.[26]
Tradisi adalah suatu kebiasaan yang teraplikasikan
secara terus menerus dengan berbagai simbol dan aturan yang berlaku pada
sebuah komunitas.
Awal mula dari tradisi adalah ritual- ritual
individu kemudian disepakati oleh beberapa kalangan dan akhirnya
diaplikasikan secara bersama-sama dan bahkan tak jarang tradisi-tradisi
itu berakhir menjadi sebuah ajaran yang jika ditinggalkan akan mendatang
bahaya.
Di masyarakat Bengkulu terdapat berbagai tradisi yang teraplikasikan diantaranya adalah adalah tradisi Tabot.
Budaya tidak bisa dipahami sebagai suatu hukum
kebiasaan belaka. Keragaman makna yang terwujud dalam budaya merentang
dari cita rasa makanan, desain, arsitektur, gaya berbusana, bertutur
dengan dialek tertentu serta sebgai pernik seremonial.
Adat memasuki segala aspek kehidupan komunitas yang mengakibatkan seluruh aspek kehidupan individu sangat dibatasi.[27]
Pada sisi lain, tidak semua nilai-nilai tradisi yang turun-temurun pada masyarakat sejalan dengan kehidupan beragama.
Nilai-nilai budaya dan adat istiadat tersebut jika
dilihat dari kacamata islam akan kita dapati sebagian dari praktek
budaya yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran.
Dipihak lain juga sebagai ritual ibadah maupun praktek sosial yang dibenarkan oleh syariat islam.
Keterkaitan antara Islam dengan Upacara Tabot di
Bengkulu yakni dengan adanya upacara Tabot di Bengkulu penyebaran agama
Islam mudah disampaikan.
Upacara Tabot menjadi media dakwah Islam di kota Bengkulu.
Daftar Isi
Perayaan Tabot 1
Syuplahan Gumay 1
Jurusan Kesejahteraan Sosial Universitas Bengkulu 1
BAB II 2
LAHIRNYA UPACARA TABOT DI BENGKULU 2
A. Islam Syiah 2
B. Pengertian Upacara Tabot 7
C. Awal Mula Upacara Tabot Bengkulu 10
D. Keterkaitan Agama Islam dengan Tradisi Upacara Tabot di Bengkulu 18
Daftar Isi 23
Catatan Kaki:
[1]
Wawancara langsung dengan Bapak Ir. A. Syiafril Sy, selaku ketua
Keturunan Keluarga Tabot pada tanggal 23 April 2013.
[2]
Bambang Budi Utomo, Kerjasama Iran dan Indonesia dalam Perspektif
Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka, 2001, hlm. 5-6.
[3]
Seluruh teori yang disebutkan mengacu kepada pernyataan Jalaluddin
Rackhmat yang dikutip dalam Jurnal umum Qur’an, No. 4/Vol-6, 1995 M.
[4]
Abbas, KH. Siradjuddi, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i.
Jakarta: Pustaka tarbiyah Baru, cetakan 16, 2009, hlm. 66
[5]
Wawancara langsung dengan Bapak Ir. A. Syiafril Sy, selaku Ketua
Kerukunan Tabot, 23 April 2013.
[6]
Wawancara langsung dengan Bapak Rustam Effendi, selaku pewaris
budaya Tabot, 5 April 2013.
[7]
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
1999, hlm. 988.
[8]
Harapandi Dahri. Tabot Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu.
Jakarta: Citra, 2009, hlm. 75.
[9]
Syekh Burhanuddin yang dikenal sebagai Imam senggolo pada tahun
1685. Syekh Burhanuddin (Imam Senggolo) menikah dengan wanita Bengkulu
kemudian anak mereka, cucu mereka dan keturunan mereka disebut sebagai
keluarga Tabot. Upacara dilaksanakan dari 1 sampai 10 Muharram setiap
tahun. 9Syiafril. Tabot Karbala Bencolen dari Punjab symbol melawan
kebiadaban. Jakarta: Walaw Bencolen, 2012, hlm. 36-37.
[10]
Lebih tepatnya, memperingati kesyahidan Imam Husain karena Imam
Hasan sendiri syahid pada 28 Shafar 50 H, kira-kira 10 Tahun sebelum Imam
Husain syahid di Karbala. Hasan Mutjaba: Pangeran sebatang kara. Jakarta :
Al-Huda, 2008, hlm. 61.
[11]
Makmur Erman, Tabut dan Peranannya dalam masyarakat. Proyek
Pengembangan Permusiuman Sumatra Barat, Padang, 1982, hlm. 24
[12]
Badrul Munir Hamidi, Upacara Tradisional Bengkulu : Upacara Tabot
di Bengkulu. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991, hlm. 64-65.
[13]
Tim penyusun, Adat istiadat daerah Bengkulu. Bengkulu: Depdikbud
1978, hlm. 22-23.
[14]
Kartomi, J. Margaret. Tabot ritual syiah transpalanted from India to
sumatra, 1986, hlm. 11.
[15]
Hamidi Munir Badrul, op.cit., hlm. 80-83.
[16]
Sharif Jafar, Islam in India. London: Curzon Press, 1975, hlm.84.
[17]
Tim penyusun, op.cit., hlm.15-18.
[18]
Harapandi Dahri, Tabot Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu.
Jakarta: Citra, 2009, hlm. 23-40.
[19]
Ibid., hlm. 56.
[20]
Kartomi, J. Margaret. op.cit., hlm.12-16.
[21]
Drewes, G.W.J. “ New Light in The Coming of Islam to Indonesia”
BKI. 1968, hlm. 40.
[22]
Ricklefs, M.C, Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1992, hlm. 21.
[23]
Arnol, Thomas W, 1896 “ The Preaching of Islam”, a.b., Drs. H.A
Nawawi Rambe, Sejarah Dakwah Islam. Jakarta : Wijaya, cetakan ketiga,
1985, hlm. 320.
[24]
Syiafril, dkk., Seminar Tabot. Dinas Pariwisata: Informasi dan Komunikasi Kota Bengkulu, 2003, hlm. 34- 41.
[25]
Istilah “Tabot” berasal dari kata Arab (Tabot ) yang secara harfiah
berarti “kotak kayu” atau “peti”. Dalam al-Quran kata Tabot dikenal
sebagai sebuah peti yang berisikan kitab Taurat. Bani Israil masa itu
percaya bahwa mereka akan mendapatkan kebaikan bila Tabot ini muncul dan
berada ditangan pemimpin mereka. Sebaliknya mereka akan mendapat
malapetaka bila benda itu hilang. Badrul Munir Hamidi, op.cit., hlm. 58.
[26]
Azyumardi Azra, Agama dalam Keragaman Etnik di Indonesia. Jakarta: Balitbang Agama, 1998, hlm. 34.
[27]
Alisyahbana, Sutan takdir. Values as Integrating Focus in Personality,
Society and Culture. Kualala Lumpur: University of Malaya Press, 1974,
hlm.102.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar