ilustrasi hiasan :
Pengarang: Baqir Syarîf Al-Qurasyî.
Judul : Untaian Mutiara Keluarga Rasulullah saw.; Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.; diterjemahkan dari : Nafahât Min Sîrah A'immah Ahlil Bait, Bâqir Syarîf Al-Qurasyî.
Penulis : Baqir Syarîf Al-Qurasyî.
Penerjemah : A. Marzuqi Amin dan Tim.
Penyunting : M. Syamsul Arif.
Layout :
Ilustrasi dan desain sampul :
Penerbit : Lembaga Internasional Ahlul Bait (Majma' Jahani Ahlul Bait)
Cetakan Pertama : 1385 Syamsiah/1427 Hijriah/2007 M.
Jumlah : 5000 eks.
Percetakan : Laila.
Website : www.ahl-ul-bait.org
ISBN : 964
---------------------------------
Hak cipta Lembaga Internasional Ahlul Bait as. dilindungi oleh undang-undang
DAFTAR ISI BUKU
PENGANTAR PENERBIT 11
KATA PENGANTAR 12
PROLOG 13
PARA IMAM SUCI AHLUL BAIT 20
IMAM ALI BIN ABI THALIB 21
Putra Ka'bah 21
Gelar Imam Ali bin Abi Thalib 21
Perkembangan Hidup Imam Ali bin Abi Thalib 23
a. Di Bawah Asuhan Rasulullah saw. 23
b. Pembelaan Imam Ali Terhadap Rasulullah saw. 24
c. Ali, Pemeluk Islam Pertama 24
d. Kecintaan Ali as. kepada Nabi Muhammad saw. 24
e. Yawm Ad-Dâr (Hari Pembelaan) 25
f. Di Syi'ib (Lembah) Abu Thalib 26
g. Bermalam di Atas Ranjang Nabi saw. 27
h. Hijrah ke Yatsrib 28
Ali as. dalam Kaca Mata Al-Qur'an 28
a. Kategori Ayat Pertama 28
b. Kategori Ayat Kedua 31
c. Kategori Ayat Ketiga 33
d. Kategori Ayat Keempat 33
Ali as. dalam Kaca Mata Sunah 34
1. Kelompok Hadis Pertama 34
2. Kelompok Hadis Kedua 39
Jihad Ali as. Bersama Nabi saw. 41
1. Perang Badr 41
2. Perang Uhud 42
3. Perang Khandak 45
4. Penaklukan Benteng Khaibar 47
5. Penaklukan Kota Mekah 49
Haji Wadâ' 51
Muktamar Ghadir Khum 52
Duka Abadi 53
Tragedi Hari Kamis 54
Rasulullah saw. Menghadap ke Haribaan Ilahi 55
Menangani Proses Pemakaman Jenazah yang Agung 56
Menyalati Jenazah Rasulullah saw. 56
Menguburkan Jenazah Rasulullah saw. 57
Muktamar Tsaqîfah 57
Sikap Imam Ali as. Terhadap Pembaiatan Abu Bakar 58
Az-Zahrâ' Menuju ke Alam Baka 60
Pemerintahan Umar 61
Umar Terbunuh 61
Konsep Syûrâ 62
Pemerintahan 'Utsmân 62
Kelompok Penentang 'Utsmân 64
Penyerbuan atas 'Utsmân 64
Kekhalifahan Imam Ali as. 65
Imam Ali as. Menerima Kekhalifahan 66
Keputusan yang Tegas 66
1. Perang Jamal 67
2. Perang Shiffin 67
Mempermainkan Mushhaf 68
Penentuan Abu Mûsâ Al-Asy'arî 69
3. Melawan Khawârij 69
Syahadah Imam Ali as. 69
IMAM HASAN BIN ALI BIN ABI THALIB 71
Perkembangan Hidup Imam Hasan as. 72
Teladan Yang Agung 72
Imâmah 72
a. Arti Imâmah 72
b. Perlu Kepada Imâmah 72
c. Tugas-Tugas Seorang Imam 73
d. Karakteristik Imam 73
e. Penentuan Imam 74
Ketinggian Akhlak Imam Hasan as. 75
Kesabaran Imam Hasan as. yang Luas 75
Kedermawanan Imam Hasan as. 76
Kezuhudan Imam Hasan as. 77
Ilmu Pengetahuan Imam Hasan as. 77
Kata Mutiara Imam Hasan as. 78
Ceramah Imam Hasan as. 78
Ibadah Imam Hasan as. 79
Wudu dan Salat Imam Hasan as. 79
Ibadah Haji Imam Hasan as. 80
Imam Hasan as. Bersedekah 80
Imam Hasan as. Menghadapi Tuduhan 80
Kekhalifahan Imam Hasan as. 80
IMAM HUSAIN BIN ALI 83
Kecintaan Rasulullah saw. kepada Husain as. 83
Rasulullah saw. Memberitakan Syahadah Husain as. 84
Husain as. Bersama Sang Ayah 87
Imam Ali as. Memberitakan Syahadah Putranya 87
Kepribadian Imam Husain as. 88
1. Tekad yang Kuat 89
2. Menolak Kezaliman 89
3. Keberanian 90
4. Sikap Terus Terang 91
5. Teguh dalam Mengemban Kebenaran 92
6. Kesabaran 92
7. Kemurahan Hati 94
8. Kerendahan Hati 94
Nasihat dan Petunjuk 95
Mutiara Hikmah 95
Imam Husain as. bersama Umar 96
Imam Husain bersama Mu'âwiyah 96
Peringatan Imam Husain as. kepada Mu'âwiyah 97
Seminar Politik di Mekah 97
Penolakan Imam Husain as. Terhadap Kekhalifahan Yazîd 97
Kematian Mu'âwiyah 98
Revolusi Imam Husain as 98
Syahadah 99
Permohonan Imam Husain as. 100
Pembantaian Seorang Bayi 100
Keteguhan Imam Husain as. 101
Perpisahan dengan Keluarga 102
Munajat Imam Husain as. 104
Imam Husain as. Dibantai 105
IMAM ALI AS-SAJJAD 107
Gelar Imam As-Sajjâd 107
1. Zainul Abidin (Hiasan Para 'Abid) 107
2. Sayyidul Abidin (Junjungan Para 'Abid) 107
3. Dzuts Tsafanât 107
4. As-Sajjad 108
5. Az-Zakî 108
6. Al-Amîn 108
7. Ibn Al-Khairatain 108
Karakteristik Kejiwaan 108
Kesabaran (Al-Hilm) 109
Ketabahan (Ash-Shabr) 109
Berbuat Kebajikan kepada Orang Lain 111
Kedermawanan 111
Kasih Sayang kepada Fakir Miskin 112
Infak dan Sedekah 113
Keberanian 115
Imam Zainul Abidin di Madinah 116
Ibadah Imam Zainul Abidin 116
Bersama Para Budak 126
Wasiat kepada Anak Keturunan 128
Doa untuk Anak Keturunan 129
Hikmah dan Ajaran 129
Syahadah 130
IMAM MUHAMMAD Al-BAQIR 132
Kesabaran (Al-Hilm) 135
Ketabahan (Ash-Shabr) 135
Kasih Sayang kepada Fakir Miskin 136
Ibadah 137
Kezuhudan 138
Mutiara Hikmah 138
Nasihat Imam Al-Bâqir as. kepada Para Pengikut Syi'ah 139
Syahadah 139
IMAM JA'FAR ASH-SHADIQ 140
Biografi Kehidupan 140
Keluasan Ilmu Pengetahuan 142
Univertas Imam Ash-Shâdiq as. 142
Metode Ilmiah 144
Pembukuan Ilmu 145
Kriteria dan Karakteristik 145
Mutiara Hikmah 149
Menuju Surga Abadi 150
IMAM MUSA Al-KAZHIM 152
Keluasan Ilmu 152
Dialog Imam Mûsâ as. 152
1. Dialog Imam Mûsâ as. dengan Nafî' Al-Anshârî 152
2. Dialog Imam Mûsâ as. dengan Abu Yusuf 153
3. Bersama Hârûn Ar-Rasyîd 153
Karakter dan Jati Diri Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. 156
1. Kehebatan Ilmu 156
2. Zuhud Terhadap Dunia 157
3. Kedermawanan 157
4. Memenuhi Kebutuhan Orang Lain 157
5. Ibadah dan Ketaatan kepada Allah swt. 158
6. Kesabaran dan Menahan Amarah 159
7. Kemuliaan Akhlak 160
Mutiara Hikmah 162
Di Dalam Penjara Hârûn 162
Di Penjara Bashrah 163
Perintah kepada Isa untuk Membunuh Imam Al-Kâzhim as. 163
Penawanan Imam Al-Kâzhim as. di Rumah Fadhl 163
Kejenuhan Imam Al-Kâzhim as. 165
Penawanan Imam Al-Kâzhim as. di dalam Penjara Fadhl bin Yahyâ 165
Di Penjara As-Sindî 165
Jenazah Imam Al-Kâzhim as. Dicampakkan di Atas Jembatan 167
IMAM ALI AR-RIDHA 168
Pertumbuhan 168
Perangai dan Perilaku 168
Akhlak yang Tinggi 168
Kezuhudan 169
Keluasan Ilmu Pengetahuan 169
Mutiara Wejangan 170
Wasiat dan Nasihat 171
Mutiara Hikmah 172
Pengetahuan Imam Ar-Ridhâ atas Semua Bahasa 173
Fitnah dan Peristiwa 173
Kedermawanan dan Kemurahan Hati 174
Ibadah 175
Menjadi Putra Mahkota 176
Surat Fadhl kepada Imam Ar-Ridha 177
Para Delegasi Ma'mûn kepada Imam Ar-Ridhâ as. 178
Menuju ke Baitullah Al-Haram 178
Menuju ke Khurasan 179
Di Nisyabur 179
Ma'mûn Menyambut Imam Ar-Ridha 180
Ma'mûn Menawarkan Kekhalifahan kepada Imam Ar-Ridhâ as. 180
Kedudukan Putra Mahkota Ditawarkan kepada Imam Ar-Ridha 181
Imam Ar-Ridhâ Dipaksa untuk Bersedia Menjadi Putra Mahkota 181
Syarat-syarat yang Diajukan oleh Imam Ar-Ridhâ as. 181
Pembaiatan Imam Ar-Ridhâ as. 182
Keputusan-Keputusan Penting 182
Ketakutan Ma'mûn Terhadap Imam Ar-Ridha 182
Imam Ar-Ridhâ Dibunuh 183
Acara Ritual Pemakaman Tubuh Imam Ar-Ridha 183
IMAM MUHAMMAD AL-JAWAD 185
Di Bawah Asuhan Sang Ayah 185
Perhatian Keluarga Nabawi 186
Kezuhudan 186
Kedermawanan 187
Keluasan Ilmu Pengetahuan 188
Dari Kedalaman Iman 189
Akhlak yang Mulia 189
Tata Krama Berperilaku 190
Nasihat 190
Al-Ma'mûn Memohon kepada Imam Al-Jawâd 191
Imam Al-Jawâd as. Dibunuh 193
Ritual Pemakaman 195
Usia Imam Al-Jawâd 195
IMAM ALI AL-HADI 196
Kelahiran 196
Nama 196
Pertumbuhan 196
Anak Kecil yang Jenius 197
Pengagungan Bani Ali 198
Kedermawanan 199
Bekerja di Kebun 200
Kezuhudan 200
Ilmu Pengetahuan 201
Mutiara Hikmah Berharga 202
Mutawakkil Menyuruh Ibn Sikkît untuk Menguji Imam Al-Hâdî 203
Ibadah 204
Bersama Mutawakkil 204
a. Fitnah terhadap Imam Al-Imam Al-Hâdî 205
b. Imam Al-Hâdî Menggagalkan Tindak Provokasi 205
c. Surat Mutawakkil untuk Imam Al-Hâdî 205
d. Imam Ali Al-Hâdî Dihadirkan ke Samirra' 206
e. Di Gubuk Sha'âlîk 207
f. Imam Al-Hâdî Hidup Bersama Mutawakkil 207
g. Mutawakkil Menanyakan Siapakah Penyair Termahir? 208
h. Doa Imam Al-Hâdî Demi Kecelakaan Mutawakkil 210
i. Imam Al-Hâdî Memberitahukan Kematian Mutawakkil 211
j. Kematian Mutawakkil 211
Imam Ali Al-Hâdî Dibunuh 213
Menuju Surga Abadi 213
Ritual Pemakaman 214
Pengantaran Jenazah 214
Persemayaman Terakhir 214
IMAM HASAN AL-'ASKARI 215
Silsilah Keturunan 215
Kelahiran 215
Acara Ritual Kelahiran 216
Pertumbuhan dan Perkembangan 216
Bersama Sang Ayah 217
Ibadah 217
Kesabaran 217
Kedermawanan 217
Ilmu Pengetahuan 218
Ketinggian Akhlak 219
Mutiara Hikmah Pendek 219
Bukti-Bukti Imâmah 220
Surat Imam Al-'Askarî kepada Ali bin Husain 221
Bersama Para Penguasa 223
1. Pemerintahan Mutawakkil 223
2. Pemerintahan Muntashir 227
3. Pemerintahan Musta'în 227
4. Pemerintahan Mu'taz 228
5. Pemerintahan Mahdi 228
6. Pemerintahan Mu'tamid 229
Imam Al-'Askarî Dibunuh 230
Menuju Surga Abadi 230
Persiapan Pemakaman 230
Ke Liang Lahat 230
Di Persemyaman Terakhir 231
IMAM MAHDI AL-MUNTAZHAR 232
Sang Putra yang Agung 232
Acara Ritual Kelahiran 233
Undangan Makan Massal 233
Kebahagiaan Para Pengikut Syi'ah 234
Nama Sang Putra 234
Perjumpaan dengan Syi'ah 234
Karakter yang Tinggi 234
a. Keluasan Ilmu Pengetahuan 235
b. Kezuhudan
c. Kesabaran 236
d. Keberanian 236
e. Kedermawanan 237
f. Kokoh dalam Memegang Kebenaran 237
Ibadah 238
Periode Ghaibah Shughra 238
a. Masa Periode Ghaibah Shughra 238
b. Tempat Imam Mahdî as. Gaib 238
c. Para Duta Khusus 239
d. Wilayah Para Fuqaha 241
Periode Ghaibah Kubra 242
Pertanyaan dan Kritikan 242
1. Usia yang Panjang 242
2. Rahasia Usia Panjang 243
3. Mengapa Tidak Muncul? 243
4. Bagaimana Mungkin Ia Melakukan Perbaikan untuk Seluruh Dunia ini? 243
Tanda-tanda Kemunculan Imam Al-Muntazhar 244
1. Kezaliman Tersebar 244
2. Kemunculan Dajjâl 245
3. Kemunculan Sufyânî 246
4. Bendera Berwarna Hitam Berkibar 246
5. Seruan dari Langit 246
6. Al-Masih Turun dari Langit 247
Masa Kemunculan 248
IMAM JA'FAR ASH-SHADIQ
Imam Ash-Shâdiq adalah pemimpin figur umat ini dan pelopor kebangkitan pemikiran dan ilmiah mereka. Ia-seperti diungkapkan oleh Al-Jâhizh-telah memenuhi dunia ini dengan ilmu-ilmu pengetahuannya. Dari limpahan ilmunya ini, para imam mazhab-mazhab Islam menyimpulkan hukum-hukum syariat, baik yang berkenaan dengan masalah ibadah, transaksi, akad, maupun îqâ'. Kekayaan-kekayaan dan warisan fiqihnya masih selalu hijau dan senantiasa memberikan buah. Para fuqaha mazhab Imamiah merujuk kepada kekayaan-kekayaan fiqih tersebut dalam menyimpulkan hukum-hukum syariat, sebagaimana para ahli hukum juga memetik kekayaan-kekayaan fiqih tersebut dalam mencetuskan kaidah-kaidah hukum baru.
Ilmu pengetahuan Imam Ash-Shâdiq as. tidak hanya terbatas pada bidang ilmu Fiqih, Hadis, dan Kalam (Teologi). Ilmu pengetahuannya meliputi ilmu Fisika, Kimia, Kedokteran, dan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya yang telah berhasil ia cetuskan. Di antara ilmu pengetahuan yang telah berhasil ia cetuskan adalah oksigen. Ia telah memaparkan segala unsur utama pembentuk oksigen ini. Sebagaimana juga ia telah mengungkap bahwa hawa bukanlah sebuah unsur yang sederhana (basîth). Akan tetapi, hawa tersusun dari beberapa unsur yang beraneka ragam. Begitu juga, ia telah mengungkap rahasia alam semesta, orbit-orbit planet dunia, dan lain sebagainya. Hal ini telah diIsya'ratkan oleh para ilmuwan Barat yang sudah mempelajari pandangan-pandangannya melalui telaah atas hasil-hasil karya tulis muridnya, Jâbir bin Hayyân, seorang ilmuwan kebanggaan bangsa Timur. Menurut pengakuan Jâbir, semua karya tulisnya itu telah ia terima dari Imam Ash-Shâdiq as. Para ilmuwan Barat mengakui bahwa Imam Ash-Shâdiq as. adalah figur akal yang tidak memiliki tara di dunia insani ini.
Suatu hal yang aneh sekali ketika sebagian Orientalis berpendapat bahwa Imam Ash-Shâdiq as. tidak berasal dari bangsa Arab. Ia berasal dari bangsa Barat yang telah mengungsi ke dunia Timur. Hal itu lantaran bangsa Timur tidak pernah memiliki kemampuan ilmiah seperti yang dimiliki olehnya.
Mereka sepertinya lalai bahwa Imam Ash-Shâdiq as. berasal dari keluarga kenabian yang telah berhasil menaburkan cahaya dan kesadaran di muka bumi ini.
Imam Ash-Shâdiq as. adalah satu-satunya figur yang memiliki seluruh karunia dan ilmu pengetahuan itu di dunia ini. Ilmu pengetahuannya telah berhasil menerangi seluruh akal umat manusia dan mendorongnya menuju kemajuan dan perkembangan.
Kemampuan-kemampuan ilmiah dahsyat yang dimiliki oleh Imam Ash-Shâdiq as. itu membuktikan kebenaran pendapat mazhab Syi'ah tentang para imam Ahlul Bait as. bahwa Allah swt. telah menganugerahkan hikmah dan puncak segala ilmu kepada mereka, serta Dia telah mengilhamkan banyak ilmu pengetahuan kepada mereka, sebagaimana Dia telah menganugerahkan hal itu kepada para nabi dan rasul-Nya. Secara alamiah, pendapat dan persepsi ini tidak sedikit pun memuat unsur berlebih-lebihan dan keterlaluan (ghuluw) atau penyimpangan dari tolok ukur-tolok ukur ilmiah setelah ada argumentasi dan dalil-dalil terpercaya yang membuktikan hal itu.
Ala kulli hal, pada kesempatan ini, kami akan memaparkan-secara ringkas-biografi Imam Ash-Shâdiq as. dan sebagian karakteristik kejiwaannya, serta hal-hal lain yang masih berhubungan dengan tema pembahasan ini.
Biografi Kehidupan
Imam Abu Abdillah Ash-Shâdiq as. tumbuh berkembang di dalam sebuah rumah-dari sekian rumah-rumah Allah-yang paling agung. Itulah rumah yang telah memancarkan risalah Islam yang telah menjadikan umat manusia sebagai umat yang berkultur, menganugerahkan kemuliaan kepadanya, dan mangagungkan pemikiran (baca: akal).
Di dalam rumah yang agung itulah, Imam Ash-Shâdiq, pemimpin figur umat dan pelopor kebangkitan pemikiran dan kultur mereka ini, tumbuh berkembang. Kakeknya, Imam Zainul Abidin as. menangani pendidikannya. Ia menurunkan anugerah, keimanan, dan ketakwaan yang dimilikinya kepada cucunya itu. Imam Ash-Shâdiq as. menjalani masa hidupnya di bawah asuhan kakeknya ini selama dua belas belas tahun. Selama dua belas tahun itu, ia menyaksikan sirah sang kakek yang semerbak mewangi yang menghikayatkan sirah dan perjalanan hidup para nabi dan rasul Allah. Tidak ada satu amal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah swt. kecuali ia telah melakukannya dan tiada kemuliaan atau keutamaan yang dapat mengangkat jati diri seorang manusia kecuali semua karakter itu menjadi substansi jiwanya.
Imam Ash-Shâdiq as. senantiasa menyertai kakeknya, Imam Zainul Abidin as. ketika ia sibuk dengan ibadah kepada Allah swt. dan berpuasa siang dan malam. Karena terlalu banyak mengerjakan salat dan sujud, anggota-anggota sujudnya mengeras seperti kulit lutut unta.
Imam Ash-Shâdiq as. melihat kakeknya, Imam Zainul Abidin as. pada saat ia sedang memikul kantong yang berisi penuh makanan dan uang di pertengahan malam yang gelap-gulita untuk diinfakkan kepada para fakir miskin dan orang-orang lemah, sedangkan mereka tidak mengenalnya, sebagaimana ia selalu menimba air dan memikulnya untuk diberikan kepada orang-orang yang lemah.
Imam Ash-Shâdiq as. melihat kakeknya, Imam Zainul Abidin as. pada saat ia sedang menyebarkan ilmu pengetahuan di tengah-tengah masyarakat, sedangkan para pencari ilmu pengetahuan tengah berkumpul mengelilinginya untuk menimba ilmu pengetahuan darinya dan para qari senantiasa mengikuti jejaknya untuk mencatat hikmah, doa-doa, dan fatwa-fatwanya.
Ala kulli hal, Imam Zainul Abidin as. telah melaksanakan tugasnya untuk mendidik cucunya itu. Ia telah mencurahkan seluruh karakteristik jiwanya atas cucunya itu dan mempersiapkannya untuk mengemban kepemimpinan umat ini dalam menempuh jalur agama dan ilmu pengetahuan.
Sepeninggal kakeknya, Imam Zainul Abidin as. ini, Imam Muhammad Al-Bâqir as. melaksanakan tugas untuk memelihara sang putra dan memamahnya dengan segala ilmu pengetahuan. Imam Ash-Shâdiq senantiasa menghadiri majelis-majelis pelajaran ayahnya yang selalu diadakan di dalam rumahnya atau di masjid Nabi saw., sedangkan ia masih kecil yang sedang tumbuh berkembang. Kecerdasan dan kejeniusan Imam Ash-Shâdiq as. mengungguli seluruh murid ayahnya, padahal mereka adalah para ulama kaliber dan telah berusia lanjut. Realita ini diakui oleh Umar bin Abdul Aziz di hadapan Walîd bin Abdul Malik ketika ia berziarah ke Madinah. Walîd juga pernah berkata kepada Imam Abu Ja'far as: "Sesungguhnya putramu, Ash-Shâdiq, itu adalah allamah masa kini, padahal ia masih berusia belia."
Imam Ash-Shâdiq as. menjadi perumpamaan (matsal) dalam berbuat kebajikan kepada ayahnya. Menurutnya, amal yang paling utama adalah berbuat kebajikan kepada kedua orang tua. Ia selalu berkata: "Sesungguhnya Allah akan meringankan sekarat kematian untuk orang yang berbuat kebajikan kepada kedua orang tuanya ...."
Keluasan Ilmu Pengetahuan
Imam Ash-Shâdiq as. adalah satu-satunya figur yang memiliki keluasan ilmu pengetahuan pada masanya hidup. Ia adalah sang jenius dunia dalam seluruh cetusan ilmu pengetahuan yang ia miliki.
Syaikh Abu Zuhrah menulis: "Ia (Imam Ash-Shâdiq as.) adalah power pemikiran pada masa hidupnya. Ia tidak mencukupkan diri hanya dengan mengajar pengetahuan-pengetahuan Islam, ilmu-ilmu Al-Qur'an, Sunah dan Akidah. Tetapi, ia juga mengajarkan jagad raya ini beserta rahasia-rahasianya. Kemudian, dengan otaknya yang luar biasa itu, ia mengarungi angkasa raya dan orbit-orbit matahari, bulan, dan bintang-gumintang. Begitu juga, ia memberikan perhatian yang sangat luar biasa terhadap pengajaran jiwa manusia. Apabila ilmu Sejarah Filsafat menetapkan bahwa Socrates telah berhasil menurunkan ilmu Filsafat dari langit untuk umat manusia, sungguh Imam Ash-Shâdiq as. telah mengajarkan (rahasia) langit, bumi, manusia, dan syariat-syariat seluruh agama (samawi)."
Begitulah Imam Ash-Shâdiq as. Ia adalah sebuah muara yang dipenuhi oleh segala ilmu pengetahuan yang telah berhasil membekali dunia Islam dengan seluruh pindasi kebangkitan dan kemajuan. Ilmu pengetahuannya tidak berbatas. Ilmu pengetahuan ini telah menciptakan sesuatu yang baru dalam (sejarah) peradaban Islam dan mendorong kehidupan ilmiah ini untuk maju selangkah, tidak hanya di dalam dunia Islam saja, bahkan di seluruh dunia.
Univertas Imam Ash-Shâdiq as.
Universitas Imam Ash-Shâdiq as. adalah sebuah yayasan Islam yang paling menonjol pada masa kekuasaan dinasti Abbâsiyah. Universitas ini beraktifitas untuk memajukan kehidupan ilmiah dan telah berhasil mencetuskan berbagai jenis ilmu pengetahuan yang belum pernah dikenal oleh masyarakat sebelumnya. Universitas telah berhasil menelurkan para pemikir kenamaan terbaik, para filosof kaliber, dan para ulama handal.
Sebagian peneliti berkomentar: "Jika terdapat sebuah hakikat yang harus diungkapkan, hakikat itu adalah, bahwa peradaban Islam dan pemikiran Arab berutang budi kepada yayasan pemikiran ini dalam perkembangan dan kemajuannya, dan juga kepada tonggaknya, Ash-Shâdiq, dalam keagungan ilmiah dan warisannya yang sangat berharga."
Seorang 'arif tersohor berkata: "Termasuk sebuah kewajiban ilmiah adalah hendaknya kita berbicara tentang Imam Ash-Shâdiq as. sebagai seorang tonggak sebuah madrasah pemikiran pertama, sebagai seorang pemimpin sebuah pusat pengajaran Filsafat spiritual pertama, sebagai seorang penemu ilmu Kimia seperti ditegaskan oleh Jâbir bin Hayyân Ash-Shûfî Ath-Thursûsî, dan sebagai seorang figur yang telah mampu mengeluarkan akal pemikiran Islam dari ruang lingkup yang terbatas menuju ke sebuah ruang lingkup yang sangat luas yang didominasi oleh kebebasan berpikir secara ilmiah yang sehat dan bertumpu pada konsep hakikat, logika, dan realita."
Kami telah membahas tentang yayasan ilmiah ini di dalam buku yang berjudul Mawsû'ah Al-Imam Ash-Shâdiq as. (Ensiklopedia Imam Ash-Shâdiq as.) secara panjang lebar dan luas. Pada kesempatan ini, kami hanya akan mengIsya'ratkan sekelumit pembahasan tentang yayasan ilmiah ini sebagai berikut:
a. Pusat Universitas
Pusat universitas besar yang telah didirikan oleh Imam Ash-Shâdiq as. ini adalah Yatsrib (Madinah), tepatnya di dalam masjid Nabi saw. yang agung itu. Di dalam masjid inilah, ia melontarkan seluruh kuliah dan pidatonya. Dan pada kesempatan yang lain, ia juga pernah melontarkan kuliah dan pelajarannya di dalam rumahnya sendiri.
b. Delegasi-Delegasi Ilmiah
Para ilmuwan dan ahli ilmu pengetahuan dari berbagai penjuru dunia Islam dengan cepat bergabung dengan yayasan besar ini.
Sayid Abdul Aziz Al-Ahl menulis: "Kota Kufah, Bashrah, Wasith, dan
Hijaz mengirim para ilmuwan handalnya yang berasal dari berbagai
kabilah, seperti kabilah Bani Asad, Ghina, Mukhariq, Thayy, Sulaim,
Ghathafan, Ghifar, Al-Azd, Khuza'ah, Khasy'am, Makhzum, Bani Dhabbah,
Quraisy, dan-khususnya-Bani Harist bin Abdul Muthalib dan Bani Hasan bin
Ali untuk menimba ilmu pengetahuan kepada Ja'far bin Muhammad. Banyak
juga orang-orang merdeka dan putra-putra para tuan dari pemuka-pemuka
kabilah-kabilah Arab tersebut, serta negara Persia, khususnya kota Qom
yang telah pergi ke haribaannya (untuk menimba ilmu pengetahuan)."
Seluruh negeri Islam telah mengirimkan putra-putra terbaiknya untuk
menimba ilmu pengetahuan dari muara ilmunya dan mempelajari hukum-hukum
syariat Islam dari keturunan Nabi saw. ini.
c. Jumlah Murid
Jumlah murid yang pernah menimba ilmu pengetahuan dari universitas Imam
Ash-Shâdiq as. ini adalah empat ribu orang. Jumlah ini adalah sebuah
jumlah yang sangat besar yang tidak pernah dimiliki oleh yayasan ilmiah
mana pun pada masa itu. Al-Hâfizh Abul Abbâs bin 'Uqdah Al-Hamadânî
Al-Kûfî telah menulis sebuah buku yang memuat nama-nama para perawi yang
pernah meriwayatkan hadis-hadis Imam Ash-Shâdiq as. Ia menegaskan bahwa
jumlah mereka adalah empat ribu orang.
Dr. Mahmûd Al-Khâlidî
berkomentar: "Para perawi tsiqah yang berasal dari para
sahabatnya-yaitu, sahabat Imam Ash-Shâdiq as-berjumlah empat ribu orang.
Dan kami tidak merasa heran dengan jumlah ini. Kami akan merasa heran
jika malah yang terjadi adalah sebaliknya, seandainya hal itu terjadi
dan dinukil (oleh sejarah)."
Dalam kitab Al-Mu'tabar, Al-Muhaqqiq
menulis: "Pada masanya-yaitu, masa Imam Ash-Shâdiq as., berbagai jenis
dan ragam ilmu pengetahuan yang membuat akal kita terperana tersebar
darinya dan banyak sekali perawi-yang berjumlah sekitar empat ribu
orang-meriwayatkan (hadis) darinya."
Sayid Muhammad Shâdiq Nasy'at
berkomentar: "Rumah Ja'far Ash-Shâdiq berfungsi seperti universitas yang
senantiasa dipenuhi oleh ulama kaliber dalam bidang ilmu Hadis, Tafsir,
Hikmah, dan Teologi. Sering kali, majelis pelajarannya dihadiri oleh
dua ribu orang, dan kadang-kadang dihadiri oleh empat ribu ulama kaliber
dan tersohor. Hadis dan pelajaran-pelajaran yang telah diterima oleh
para muridnya di majelis pelajarannya itu telah dibukukan oleh mereka
dalam sekumpulan buku. Kumpulan buku ini memiliki fungsi sebagai
ensiklopedia ilmiah bagi mazhab Syi'ah atau mazhab Ja'farî."
Kami
telah menulis biografi tiga ribu enam ratus enam puluh dua (3662) perawi
hadis Imam Ash-Shâdiq dalam buku Mawsû'ah Al-Imam Ash-Shâdiq as.
d. Cabang-cabang Universitas Imam Ash-Shâdiq as.
Mayoritas ulama yang telah keluar dari universitas Imam Ash-Shâdiq as.
tersebut dan pulang kembali ke negeri mereka masing-masing telah
mendirikan berbagai ragam pusat ilmiah dan sekolah agama ... Cabang
terbesar yang pernah didirikan (dalam sejarah) adalah universitas yang
didirikan di masjid jami' Kufah.
Hasan bin Ali Al-Wasysyâ' berkata:
"Aku pernah berguru di masjid ini-yaitu, masjid jami' Kufah-kepada
sembilan ratus syaikh. Setiap orang dari mereka senantiasa berkata,
'Haddatsani Ja'far bin Muhammad (Ja'far bin Muhammad telah meriwayatkan
hadis ini kepadaku).'"
Gerakan ilmiah di kota Kufah telah mengalami
perkembangan yang sangat pesat, sebagaimana kebangkitan ilmiah juga
mengalami perkembangan yang sama di daerah-daerah lain.
Sayid Mir
Ali Al-Hindi berkomentar: "Tidak berlebihan jika kita katakan bahwa
tersebarnya ilmu pengetahuan pada masa itu telah berhasil membantu
pembebasan akal dari jeratan-jeratannya. Dengan demikian, dialog-dialog
filosofis menjadi mendominasi setiap pertemuan ilmiah yang ada di
seluruh penjuru negeri Islam. Perlu kami tambahkan lagi bahwa orang yang
memimpin gerakan (dahsyat ini) adalah seorang cucu Ali bin Abi Thalib
yang bernama Imam Ja'far dan bergelar Ash-Shâdiq. Ia adalah seorang
figur yang memiliki ufuk pemikiran yang luas, yang memiliki kedalaman
akal yang menakjubkan, dan yang menguasai seluruh bidang ilmu
pengetahuan yang berkembang pada masanya. Pada hakikatnya, ia adalah
figur pertama yang telah berhasil mendirikan sekolah-sekolah filfasat
yang masyhur di dunia Islam. Orang-orang yang menghadiri majelis ilmunya
tidak hanya terbatas pada mereka yang telah berhasil menjadi imam-Imam
mazhab. Tetapi, majelis ilmunya dihadiri oleh para pencari filsafat yang
berasal dari berbagai penjuru dunia yang sangat jauh dan terpencil."
Ala kulli hal, sebagian keluarga ilmiah yang terdapat di kota Kufah
telah mendapatkan kebanggan besar dengan menjadi murid Imam Ash-Shâdiq
as., dan mereka dikenal memiliki spesialisasi dalam bidang ilmu Fiqih
dan Hadis, seperti keluarga ?l Hayyân At-Taghlibî, ?l A'yun, Bani
'Athiyah, Bani Darrâj, dan keluarga-keluarga ilmiah lainnya.
Imam
Ash-Shâdiq as. pernah tinggal di kota Kufah selama dua tahun. Ia
berdomisili di daerah Bani Abdul Qais. Para pengikut Syi'ah
berbondong-bondong menjumpainya untuk memohon fatwa dan bertanya masalah
hukum syariat kepadanya. Tentang banyaknya manusia yang
berbondong-bondong menemuinya tersebut, Muhammad bin Ma'rûf Al-Hilâlî
bercerita: "Aku pernah pergi ke Hirah untuk menjumpai Ja'far bin
Muhammad. Aku tidak memiliki daya untuk menjumpainya lantaran banyaknya
masyarakat (yang ingin berjumpa dengannya). Pada hari keempat, ia
melihatku dan mendekat ke arahku. Gerombolan manusia itu pun berpencar.
Pada waktu itu, ia ingin pergi untuk berziarah ke makam kakeknya, Amirul
Mukminin as. Aku membuntutinya. Aku mendengar ucapannya, sedangkan aku
berjalan bersamanya."
Metode Ilmiah
Pelajaran dan kuliah-kuliah Imam Ash-Shâdiq as. meliputi seluruh jenis
ilmu pengetahuan dan ragam peradaban yang sangat tinggi. Ilmu-ilmu
pengetahuan berikut ini adalah di antara cabang ilmu pengetahuan yang
pernah diajarkan oleh beliau:
- Ilmu Fiqih.
- Ilmu Hadis.
- Ilmu Al-Qur'an.
- Ilmu Medis.
- Ilmu Kimia.
- Ilmu Fisika.
- Ilmu tentang tetumbuhan.
Dan begitu juga cabang-cabang ilmu pengetahuan lainnya yang memiliki
pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan masyarakat dan kemajuan
teknologi.
Di antara ilmu pengetahuan yang mendapatkan perhatian
penuh Imam Ash-Shâdiq as. adalah ilmu Fiqih Islam dalam semua bidangnya;
ibadah, transaksi, akad, dan îqâ'. Para fuqaha mazhab Imamiah merujuk
kepada hadis-hadis mulianya dalam menyimpulkan hukum-hukum syariat.
Pembukuan Ilmu
Imam Ash-Shâdiq as. menekankan kepada para sahabatnya untuk membukukan
seluruh pelajaran dan kuliah (yang telah ia berikan) lantaran ia
khawatir seluruh pelajaran berharga itu akan musnah. Abu Bashir pernah
bercerita: "Aku pernah bertamu ke rumah Abu Abdillah. Ia berkata, 'Apa
yang mencegah kamu semua untuk menulis? Kamu tidak akan dapat menghafal
dan menjaga (ilmu pengetahuan) sebelum kamu menulisnya. Aku pernah
memiliki sekelompok tamu dari penduduk Bashrah. Mereka menanyakan banyak
hal kepadaku, dan menulisnya.'"
Sebagai manifestasi atas
kepedulian Imam Ash-Shâdiq as. terhadap pembukuan ilmu pengetahuan, ia
memerintahkan muridnya, Jâbir bin Hayyân untuk menciptakan sebuah kertas
yang anti bakar. Jâbir memenuhi permintaannya tersebut. Setelah kertas
itu siap digunakan, Imam Ash-Shâdiq as. menulis sebuah kitab dengan
tangannya sendiri dan melemparkannya ke dalam api. Kitab itu tidak rusak
sedikit pun. Para perawi tidak menyebutkan nama kitab tersebut dan
tidak juga nama ilmu yang telah ia torehkan di atas kertas itu.
Para
ulama dari kalangan murid-murid Imam Ash-Shâdiq as. bergegas memenuhi
perintahnya tersebut. Jâbir bin Hayyân menulis pelajaran ilmu Kimia yang
telah ia dapatkan darinya. Karya-karya tulisnya mencapai lima ratus
risalah. Risalah-risalah tersebut menjadi muara yang jernih dalam bidang
ilmu Kimia yang dimanfaatkan oleh para ilmuwan sebaik mungkin.
Masih banyak lagi bintang-bintang kejora dari sekian murid Imam
Ash-Shâdiq as. yan memiliki karya tulis dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan. Peneliti agung, Syaikh Aqa Bozorg Tehrani-semoga Allah
mencerlangkan persemayaman abadinya-telah menulis biografi para penulis
dari murid-muridnya sebanyak dua ratus orang.
Dengan penjelasan singkat dan ringkas ini, kita telah menuntaskan pembahasan tentang universitas Imam Ash-Shâdiq as.
Kriteria dan Karakteristik
Tidak ada karakter yang mulia dan juga tidak ada akhlak yang utama
kecuali semua itu menjadi karakteristik substansial dan jati diri Imam
Ash-Shâdiq as. Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan sebagian dari
karakter-karakter mulia tersebut.
a. Ketinggian Akhlak
Imam Ash-Shâdiq as. memiliki ketinggian akhlak yang sangat lapang. Di
antara manifestasi ketinggian akhlaknya adalah berbuat baik kepada orang
yang telah bertindak kurang ajar terhadapnya. Para ahli sejarah telah
menyebutkan contoh-contoh yang tidak terhitung tentang ketinggian
akhlaknya ini. Di antaranya adalah (kisah berikut ini):
Salah
seorang jamaah haji menyangka bahwa sabuk uangnya telah hilang. Ia
mengadakan pencarian ke sana dan ke mari. Ia memasuki masjid Nabi saw.
Tiba-tiba ia melihat Imam Ash-Shâdiq as. sedang mengerjakan salat. Ia
memegangnya, sedangkan ia tidak mengenalnya. Ia bertanya: "Engkaukah
yang telah mencuri sabuk uangku?"
Imam Ash-Shâdiq as/ menghadapinya dengan penuh ramah sembari bertanya: "Berapakah isi sabuk uang tersebut?"
Ia menjawab: "1.000 dinar."
Imam Ash-Shâdiq memberikan uang sebanyak 1.000 dinar kepada orang
tersebut. Setelah menerima uang tersebut, ia pergi kembali ke tempat
penginapannya. Tiba-tiba ia menemukan sabuk uang tersebut (tergeletak di
tempat penginapan itu). Akhirnya, ia bergegas kembali untuk menemui
Imam Ash-Shâdiq as. dengan membawa uang tersebut dengan bermaksud untuk
memohon maaf. Imam Ash-Shâdiq enggan untuk menerima uang itu kembali
sembari berkata: "Ini adalah sesuatu yang telah keluar dari tanganku,
dan tidak mungkin akan kembali lagi kepadaku." Orang itu pun terperangah
dan mulai terusik untuk menanyakan siapakah sebenarnyanya itu. Salah
seorang penduduk menjawabnya: "Orang ini adalah Ja'far Ash-Shâdiq."
Setelah mendengar jawaban itu, ia berkata dengan penuh rasa takjub:
"Tidak heran jika tindakan ini adalah perbuatan yang biasa dilakukan
oleh orang-orang (agung) seperti dia."
Yang mendorong Imam
Ash-Shâdiq as. untuk membenarkan ucapan orang tersebut dan memberikan
uang kepadanya adalah ketinggian dan kemuliaan akhlaknya.
b. Rendah Hati
Salah satu karakter Imam Ash-Shâdiq as. yang sangat menonjol adalah
rendah hati dan tawadhu'. Sebagai manifestasi dari karakter rendah
hatinya, ia selalu duduk di atas hamparan pelepah daun kurma, menolak
untuk duduk di atas permadani-permadani yang mewah, dan menolak setiap
sikap orang-orang yang sombong. Ia pernah bertanya kepada seorang yang
berasal dari sebuah kabilah: "Siapakah pembesar kabilah ini?"
Orang itu menjawab: "Saya."
Imam Ash-Shâdiq menimpali: "Jika engkau adalah pembesar mereka, niscaya engkau tidak akan mengatakan 'saya'."
Salah satu manifestasi kerendahan hati Imam Ash-Shâdiq as. adalah (peristiwa berikut ini):
Salah seorang dari penduduk Kufah pernah bepergian bersama Imam
Ash-Shâdiq. Imam Ash-Shâdiq kehilangan orang tersebut. Ia bertanya
tentang keberadaannya kepada seseorang. Orang tersebut menjawab dengan
nada mengejek: "Ia adalah seseorang yang berasal dari kabilah Nabathi ."
Imam Ash-Shâdiq as. menjawab sembari berkata: "Yang pokok bagi
seseorang adalah akalnya, dan nilai kemuliaannya adalah agama,
kemurahan, dan ketakwaannya. Seluruh manusia adalah sama-sama (berasal)
dari Adam."
Sesunggunya rendah hati dan tawadhu' adalah salah satu
karakter jiwa tertinggi yang dapat mengungkapkan kemuliaan dan
kesempurnaan seseorang.
c. Tabah
Salah satu manifestasi ketinggian akhlak Imam Ash-Shâdiq as. yang lain
adalah ketabahan atas segala musibah masa dan petaka. Pada suatu hari,
ia dikejutkan oleh kewafatan putanya yang bernama Ismail. Ismail adalah
salah seorang tonggak Bani Ali as. dari sisi keilmuan dan akhlak. Ia
memanggil beberapa orang sahabat kenamaannya dan menyuguhkan hidangan
makanan kepadanya. Sebagian sahabatnya merasa heran dan menghadap
kepadanya seraya bertanya: "Aku tidak melihat secercah pun tanda-tanda
kesedihan atas kewafatan putra Anda?"
Imam Ash-Shâdiq as. menjawab:
"Mengapa aku tidak boleh bersikap seperti yang kamu sekalian lihat,
sedangkan orang yang paling jujur-yaitu, Rasulullah saw-pernah bersabda
kepada para sahabatnya, 'Sesungguhnya aku dan kamu semua akan meninggal
dunia.'"
d. Kedermawanan
Imam
Ash-Shâdiq as. adalah orang yang paling dermawan dan orang yang paling
banyak berbuat kebajikan kepada orang lain. Para perawi hadis telah
menukil contoh-contoh yang sangat banyak sekali tentang manifestasi
kedermawanannya. Di antara kedermawanannya adalah (kisah berikut ini):
Asyja' As-Sullamî pernah menjumpai Imam Ash-Shâdiq as. di rumahnya. Ia
menemukannya dalam kondisi sedang sakit. Asyja'menanyakan tentang faktor
penyakitnya itu. Imam Ash-Shâdiq menjawab: "Biarkanlah faktor
penyakitku. Katakanlah keperluanmu."
Asyja'menyenandungkan bati-bati syair berikut ini:
Semoga Allah menganugerahkan 'afiat kepadamu dalam lelap tidurmu.
Dengan mengeluarkan penyakit dari tubuhmu seperti Dia mengeluarkan kehinaan meminta-minta dari pundakmu.
Dari bait terakhir ini, Imam Ash-Shâdiq as. memahami keperluannya. Ia bertanya kepada budaknya: "Berapa engkau memiliki uang?"
Budak itu menjawab: "Empat ratus."
Imam Ash-Shâdiq as. memerintahkan supaya ia memberikan uang itu kepadanya.
Tentang kebajikannya kepada orang-orang fakir miskin, para perawi hadis
meriwayatkan bahwa ia senantiasa memberikan makanan dan pakaian kepada
mereka sehingga tidak tersisa sedikit pun makanan dan pakaian bagi
keluarganya sendiri.
Dan di antara manifestasi kedermawanan Imam Ash-Shâdiq as. yang lain adalah (kisah berikut ini):
Pada suatu hari seseorang melalui Imam Ash-Shâdiq yang ketika itu
sedang menyantap makan siang. Orang itu tidak mengucapkan salam
kepadanya. Imam Ash-Shâdiq mengajaknya untuk makan bersama. Sebagian
hadirin memprotes tindakannya itu seraya berkata: "Yang sunah adalah
hendaknya ia mengucapkan salam terlebih dahulu, lalu diundang (untuk
makan bersama). Dia 'kan tidak mengucapkan salam!"
Imam Ash-Shâdiq as. menjawab: "Ia adalah salah seorang penduduk Irak yang memiliki sedikit sifat kikir."
e. Bersedekah Secara Rahasia
Sebagaimana kakeknya, Imam Ali Zainul Abidin as., Imam Ash-Shâdiq
senantiasa mengunjungi orang-orang fakir miskin di pertengahan malam
yang gulita, sedangkan mereka tidak mengenal siapanya. Sang cucu
mengikuti jejak kakeknya. Di malam hari, ia memikul kantong kain yang
penuh berisi roti, daging, dan uang. Ia pergi menjumpai masyarakat yang
membutuhkan, lalu menginfakkan seluruh barang bawaannya itu kepada
mereka, sedangkan tidak mengenal siapanya. Dan mereka tidak mengetahui
realita yang sebenarnya sehingga ia meninggal dunia. Dengan kepergiannya
itu, mereka merasa kehilangan kunjungan dan sedekah-sedekah (yang
sering mereka dapatkan) di malam hari tersebut, dan dengan demikian,
mereka baru mengetahui bahwa seluruh sedekah itu adalah berasal darinya.
Di antara sekian contoh sedekah yang telah ia lakukan secara
rahasia adalah hadis yang diriwayatkann oleh Ismail bin Jâbir (berikut
ini):
Ismail bin Jâbir bercerita: "Abu Abdillah as. pernah
memberikan uang kepadaku sebanyak lima puluh dinar yang dibungkus sebuah
kantong uang. Ia berpesan kepadaku sembari berkata, 'Berikanlah uang
tersebut kepada salah seorang dari Bani Hâsyim, dan janganlah kau
beritahukan kepadanya bahwa aku yang telah memberikan uang ini
kepadamu.' Aku berangkat menjumpai orang tersebut dan menyerahkan uang
itu kepadanya. Ia bertanya kepadaku, 'Dari manakah uang ini?' Aku
memberitahukan kepadanya bahwa uang itu berasal dari seseorang yang
tidak ingin kau ketahui jati dirinya. Orang keturunan Bani Ali as. itu
menimpali, 'Orang ini senantiasa mengirimkan uang kepadaku setiap waktu
sehingga kami bisa menjalankan roda kehidupan hingga tahun mendatang.
Akan tetapi, Ja'far tidak pernah memberikan sepeser dirham pun kepadaku,
padahal ia memiliki banyak harta.'"
Imam Ash-Shâdiq as. menyembunyikan sedekah hanya lantaran mengharapkan keridaan Allah dan kebahagiaan di akhirat.
f. Bergegas Memenuhi Hajat Orang Lain
Jika seseorang meminta tolong kepada Imam Ash-Shâdiq as. untuk
menyelesaikan sebuah hajat, ia bergegas untuk memenuhi dan
menyelesaikannya. Ia pernah ditanya oleh seorang sahabat: "Mengapa Anda
secepat ini menyelesaikan hajat seseorang?" Ia menjawab: "Aku khawatir
ada orang lain yang lebih cepat menyelesaikannya. Dan dengan ini, aku
tidak akan mendapatkan pahala sedikit pun."
Begitulah Imam Ash-Shâdiq as. menjadi figur yang cerlang dalam setiap karunia dan keutamaan.
g. Ibadah
Imam Ash-Shâdiq as. tidak berbeda dengan nenek moyangnya yang agung
dalam menjalankan ibadah dan ketaatan kepada Allah swt. Ia adalah orang
yang paling 'abid pada masanya hidup. Ia senantiasa menginfakkan waktu
senggangnya untuk mengerjakan salat karena Allah swt. Ia tidak pernah
meninggalkan satu salat sunah pun, dan ia selalu mengerjakannya dengan
penuh khusyuk dan kehadiran hati terhadap Allah swt. Ia sering berpuasa
di siang hari. Jika bulan Ramadhan yang penuh berkah tiba, ia
menyambutnya dengan penuh rasa kerinduan yang dalam. Terdapat beberapa
doa yang ia baca di siang dan malam hari selama bulan Ramadhan. Kami
telah menyebutkan doa-doa tersebut di dalam buku yang berjudul
Ash-Shahîfah Ash-Shâdiqiyah.
Dalam menjalankan ibadah haji, ia
melaksanakannya dengan kerendahan hati dan kekhusyukan yang dalam
terhadap Allah swt. Sufyân Ats-Tsawrî pernah bercerita: "Demi Allah, aku
pernah melihat Ja'far bin Muhammad (sedang menjalankan ibadah haji),
dan aku tidak pernah melihat seorang jamaah haji berada di tempat-tempat
suci dan mengerahkan seluruh dayanya untuk khusyuk (di haribaan Ilahi)
yang melebihi dia. Ketika sampai di Arafah, ia menjauh dari para jamaah
haji yang lain dan menyibukkan dirinya dengan membaca doa di situ."
Bakr bin Muhammad Al-Azdî bercerita: "Aku pernah melakukan tawaf dan di
sisiku Imam Abu Abdillah as. (juga sedang melakukan tawaf). Ketika ia
usai melakukan tawaf, ia minggir dan mengerjakan salat di tempat yang
berada di antara Rukun Baitullah dan Hajarul Aswad. ketika ia melakukan
sujud, aku mendengarnya membaca (doa berikut ini):
سَجَدَ
وَجْهِيْ لَكَ تَعَبُّدًا وَ رِقًّا، لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ حَقًّا
حَقًّا، اَلْأَوَّلُ قَبْلَ كُلِّ شَيْءٍ وَ الْآخِرُ بَعْدَ
كُلِّ شَيْءٍ، وَ هَا أَنَا ذَا بَيْنَ يَدَيْكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ،
فَاغْفِرْ لِيْ، إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذَّنْبَ الْعَظِيْمَ
غَيْرُكَ، فَاغْفِرْ لِيْ
"Wajahku telah bersujud kepada-Mu dengan penuh rasa penghambaan dan
kehinaan, tiada tuhan selain Engkau yang sebenarnya, Tuhan Yang Maha
Awal sebelum segala sesuatu dan Yang Maha Akhir setelah segala sesuatu.
Kini aku berada di haribaan-Mu, ubun-ubunku berada di genggaman
tangan-Mu. Maka, ampunilah aku, karena tiada yang mampu mengampuni dosa
yang besar kecuali Engkau seorang. Maka, ampunilah aku."
Begitulah
Imam Ash-Shâdiq as. menjadi figur dan tauladan dalam bidang ibadah bagi
orang yang ingin bertobat dan bertakwa. Kami telah memaparkan ibadahnya
secara panjang lebar dalam buku kami yang berjudul Mawsû'ah A-Imam
Ash-Shâdiq as. (Ensiklopedia Imam Ash-Shâdiq as).
Mutiara Hikmah
Para perawi hadis telah meriawayatkan banyak mutiara hikmah Imam
Ash-Shâdiq as. yang bertalian dengan berbagai dimensi manusia dan
kehidupannya. Seluruh mutiara hikmah itu mengandung nilai-nilai yang
mulia dan karakter-krakter yang tinggi. Di antara mutiara-mutiara
hikmahnya adalah berikut ini:
1. Imam Ash-Shâdiq as. berkata: "Jika
kamu mendengar sebuah ucapan dari (mulut) seorang muslim, maka
tafsirkanlah dengan penafsiran terbaik yang ada dalam benakmu. Jika kamu
tidak dapat menemukan penafsiran (yang terbaik) untuk itu, maka
salahkanlah dirimu sendiri."
2. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Barang
siapa telah dipindahkan oleh Allah dari kehinaan maksiat kepada
kemuliaan taat, maka Dia telah menganugerahkan kekayaan kepadanya tanpa
harta, telah menentramkan (hatinya) tanpa seorang sahabat karib, dan
telah memuliakannya tanpa (bantuan) famili dan kerabat."
3. Imam
Ash-Shâdiq berkata: "Posisi terdekat yang dapat mejerumuskan salah
seorang dari kamu ke dalam jurang kekufuran adalah apabila ia memegang
cela saudara (seiman)-nya dengan tujuan untuk mencelakannya pada suatu
hari kelak."
4. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Sesungguhnya dosa dapat menghambat rezeki."
5. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Dosa besar yang paling besar adalah
mengingkari apa yang telah diturunkan oleh Allah di tengah-tengah kita."
6. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Setiap penyakit pasti memiliki obat, dan obat dosa adalah memohon ampunan (istighfar)."
7. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Memindahkan gunung adalah lebih ringan daripada memindahkan sebuah hati dari tempatnya."
8. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Jika urusan duniamu makmur, maka hati-hatilah terhadap agamamu."
9. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Dua orang mukmin tidak berjumpa kecuali
mukmin yang lebih utama dari mereka berdua adalah siapa di antara mereka
yang lebih mencintai yang lain."
10. Imam Ash-Shâdiq berkata:
"Seorang hamba tidak akan menjadi seorang mukmin kecuali jika ia merasa
takut dan berharap, dan ia tidak akan merasa takut dan berharap kecuali
apabila ia mengamalkan apa yang ia takuti dan harapkan."
11. Imam
Ash-Shâdiq berkata: "Saudaraku yang paling kucintai adalah orang yang
menghadiahkan cela-celaku kepada diriku sendiri."
12. Imam
Ash-Shâdiq berkata: "Bukanlah termasuk pengikut kami orang yang mengaku
hal itu dengan lisannya saja, sementara ia menyeleweng dari perilaku dan
tindakan yang kami lakukan. Akan tetapi, pengikut kami adalah orang
yang sejalan dengan kami dalam lisan dan hatinya, mengikuti jejak
perilaku kami, dan mengamalkan amal-amal kami. Mereka itulah pengikut
kami yang sebenarnya."( )
13. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Pemilik niat yang benar dan jujur adalah pemilik hati yang bersih."
14. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Janganlah kamu menampakkan kegembiraan
lantaran kedukaan yang telah menimpa saudara seimanmu, lantaran (bisa
jadi) Allah akan merahmatinya dan menimpakan kedukaan itu kepadamu."
15. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Rahasiamu terdapat dalam darahmu. Maka, janganlah kau teteskan di selain urat-urat lehermu."
16. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Harta yang haram akan tampak akibatnya pada anak keturunan."
17. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Apabila niat seseorang adalah baik, maka Allah akan menambahkan rezekinya."
18. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Jangan kamu berbicara dengan orang yang
engkau hawatir akan membohongkanmu, jangan engkau meminta kepada orang
yang engkau khawatir akan mencegahmu (baca: menolakmu), dan jangan kamu
merasa aman terhadap orang yang engkau khawatir akan menerormu."
19. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Mengamalkan kebajikan dapat mencegah
kematian yang jelek, sedekah dapat memadamkan api amarah Tuhan,
silaturahmi dapat menambah umur dan menghilangkan kemiskinan, dan zikir
lâ ilâha illalalâh adalah sebuah harta simpanan di antara sekian harta
simpanan surga."
Menuju Surga Abadi
Imam
Ash-Shâdiq as. senantiasa melakukan perlawanan terhadap Khalifah
Al-Manshûr sang durjana. Al-Manshûr merasa terpojok dan tertekan
lantaran perlawanan-perlawanannya tersebut. Akhirnya, ia meminumkan
racun kepada Imam Ash-Shâdiq melalui tangan gubernurnya untuk daerah
Yatsrib (Madinah). Imam Ash-Shâdiq mengalami rasa sakit yang sangat
menyakitkan, dan maut pun menghampirinya dengan cepat. Selang beberapa
masa, ruhnya yang suci itu menghadap Sang Pencipta sebagai ruh tersuci
yang naik ke atas langit.
Tonggak Islam dan pemimpin kebangkitan
pemikiran dan ilmiah-yang tidak tertandingi oleh siapa pun dalam
kejeniusan dan keluasan ilmu pengetahuannya kecuali oleh nenek moyangnya
itu-telah meninggal dunia. Putra dan washî-nya, Imam Al-Kâzhim as.
melaksanakan ritual pemakamannya. Imam Al-Kâzhim memandikan jenazahnya,
mengafani, menyalati, dan lalu menguburkannya di pemakaman Baqi' di
samping kakeknya, Imam Zainul Abidin as. dan ayahnya, Imam Muhammad
Al-Bâqir as. Dengan kepergiannya itu, ilmu pengetahuan dan segala
sesuatu yang menjadi faktor keagungan umat manusia pun ikut terkuburkan
pula.
Catatan Kaki:
Al-Imam As-Shâdiq as. Kama 'Arafahu 'Ulamâ' Al-Gharb, hal. 120-130.
Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 1, hal. 34.
Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Bâqir as., jilid 1, hal. 38.
Al-Imam As-Shâdiq as. Kama 'Arafahu 'Ulamâ' Al-Gharb, hal. 112.
Wasîlah Al-Ma'âl fi Manâqib Al-?l, hal. 208.
( ) Al-Imam Ash-Shâdiq as., hal. 101-102.
( ) Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 1, hal. 131.
( ) Ja'far Ash-Shâdiq Mulhim Al-Kimiya', hal. 32.
Ja'far bin Muhammad as., hal. 59.
Al-Irsyâd, jilid 2, hal. 179; I'lam Al-Wara, jilid 1, hal. 535; Al-Mu'tabar, jilid 1, hal. 26.
Ash-Shawâ'iq Al-Muhriqah, hal. 120.
Al-Ushûl Al-Fikriyah li Ats-Tsaqâfah Al-Islamiyah, jilid 1, hal. 203.
Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 1, hal. 134.
Al-Imam Ash-Shâdiq wa Al-Madzâhib Al-Arba'ah, jilid 1, hal. 62.
Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 1, hal. 135.
Ja'far bin Muhammad as., hal. 59.
Târîkh Al-Kufah, hal. 408.
( ) Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 1, hal. 136.
( ) Mustadrak Al-Wasa'il, jilid 17, hal. 292, hadis ke-292.
( ) Al-Imam Ash-Shâdiq Kama 'Arafahu Ulama' Al-Gharb, hal. 54; Jabir bin Hayyan wa Khulafa'uh, hal. 57.
( ) Mir'ah Al-Jinan, jilid 1, hal. 304; Al-A'lam, jilid 1, hal. 186.
( ) Adz-Dzari'ah, jilid 6, hal. 301-374.
Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 1, hal. 66.
Ath-Thabaqât Al-Kubrâ, jilid 1, hal. 32.
Nabâthi adalah sebuah kabilah Arab yang hidup di daerah pertengahan antara Kufah dan Bashrah-pen.
Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 1, hal. 66.
Manâqib Ali Abi Thalib, jilid 4, hal. 345; Amali Ath-Thusi, jilid 1, hal. 287.
Târîkh Al-Islam, jilid 6, hal. 45; Mir'âh Az-Zamân, jilid 6, hal. 160; Tahdzîb Al-Kamâl, jilid 5, hal. 87.
Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 1, hal. 64.
Ibid.
Majmû'ah Warram, jilid 2, hal. 82.
Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 1, hal. 71.
Qurb Al-Isnâd, hal. 28.
Jamharah Al-Awliyâ', jilid 2, hal. 79.
Bahjah Al-Majâlis, jilid 1, hal. 394.
Da'âim Al-Islam, jilid 2, hal. 12.
Al-Ghâyât, hal. 100.
Ibid. hal. 85.
Jâmi' Al-Akhbâr, hal. 22.
Tuhaf Al-'Uqûl, hal. 357.
Al-Hikam Al-Ja'fariyah, hal. 46.
Al-Mahâsin, hal. 209.
Majmû'ah Warram, jilid 2, hal. 185.
Tuhaf Al-'Uqûl, hal. 366.
Ushûl Al-Kâfî, jilid 2, hal. 196.
Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 4, hal. 481.
Al-Imam Ash-Shâdiq as. wa Al-Madzâhib Al-Arba'ah, jilid 4, hal. 354.
Ibid. hal. 351.
Ibid. hal. 357.
Al-Mahâsin, hal. 207.
Tadzkirah Abi Hamdûn, hal. 85.
Târîkh Al-Ya'qûbî, jilid 3, hal. 116.
IMAM MUSA Al-KAZHIM
Kehidupan Imam Mûsâ bin Ja'far as. dipenuhi dengan pancaran cahaya,
kemuliaan, dan perilaku cemerlang yang merefleksikan sepiritual,
perjuangan, pengabdian, dan konsistensi Rasulullah saw. terhadap Islam.
Berikut ini, kami paparkan sebagian dari sisi-sisi kehidupan imam yang
satu ini.
Keluasan Ilmu
Para perawi hadis
dan penulis biografi sepakat bahwa Imam Mûsâ as. adalah orang yang
paling alim pada zamannya. Ia memiliki keluasan ilmu dan makrifat yang
luar biasa. Banyak ulama dan perawi hadis yang meneguk ilmu pengetahuan
darinya. Mereka berbondong-bondong menulis fatwa, mutiara hikmah, dan
adab yang ia sampaikan. Imam Mûsâ as. di kalangan para imam Ahlul Bait
as. adalah imam pertama yang mencetuskan bab halal dan haram dalam
syariat Islam.
Pada masa itu, banyak ulama besar dan fuqaha yang
menamatkan pelajaran dari madrasah Imam Mûsâ as. Kami telah menulis
biografi para sahabat dan perawinya sebanyak 331 orang dalam buku kami
yang berjudul Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as. Sebagian dari mereka
memiliki peran penting dalam dunia ilmu pengetahuan pada masa itu. Dan
sebagian yang lain terjun dalam dunia diskusi dan dialog dengan para
ulama yang mengingkari imâmah, dan dengan ulama-ulama lain dari golongan
dan mazhab yang berbeda-beda. Di antara sahabat Imam Mûsâ yang menonjol
dalam dunia diskusi dan dialog adalah Hisyâm bin Hakam. Dia banyak
melakukan diskusi dan dialog yang mengagumkan dengan para pengikut
aliran Barâmikah.
Dalam sebuah dialog di pendopo kerajaan Bani
Abbâsiyah, Hisyâm berhasil membuktikan keyakinan Syi'ah tentang konsep
imâmah dengan argumentasi dan dalil yang kuat. Kami telah memaparkan
kisah ini dalam biografi Hisyâm bin Hakam yang terdapat dalam buku kami,
Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 2.
Dialog Imam Mûsâ as.
Imam Mûsâ as. sering melakukan dialog yang mengagumkan dan tangguh
dengan para musuhnya dan sebagian ulama Yahudi dan Nasrani. Hal itu
menunjukkan sejauh mana keluasan dan kekuatan ilmu pengetahuannya.
Setiap orang yang pernah berdebat dengannya mengakui kelemahan dan
kekalahan dirinya. Mereka bertekuk lutut di hadapan hujah-hujahnya dan
mengakui keunggulan ilmunya atas ilmu mereka.
Berikut ini kami bawakan sebagian dialog Imam Mûsâ as. tersebut.
1. Dialog Imam Mûsâ as. dengan Nafî' Al-Anshârî
Nafî' Al-Anshârî adalah salah seorang yang membenci Imam Mûsâ as. Dia
sangat marah ketika melihat Imam Mûsâ as. begitu dihormati di pendopo
kerajaan Bani Abbâsiyah.
Dalam suatu pertemuan, ketika hendak masuk
menemui Hârûn, Imam Mûsâ as. disambut oleh penjaga pintu dengan penuh
penghormatan. Nafî' bergegas berjalan. Pada waktu itu, ia disertai oleh
Abdul Aziz. Nafî' bertanya kepadanya: "Siapakah orang ini?" Abdul Aziz
menjawab: "Dia adalah pemuka keluarga Abu Thalib, Mûsâ bin Ja'far as."
Mendengar jawaban itu, Nafî' berkata: "Aku tidak pernah melihat suatu
kaum yang lebih lemah dari kaum ini (Banni Abbâsiyah). Mereka
menghormati seseorang yang bisa menggulingkan mereka dari takhta
kerajaan. Jika dia keluar, aku akan mengganggunya."
Abdul Aziz
melarang Nafî' untuk mengganggu Imam Mûsâ as. seraya berkata: "Jangan
kau lakukan itu. Sesungguhnya mereka adalah Ahlul Bait. Tidak ada
seorang pun yang mengganggunya dengan ucapan, kecuali orang itu pasti
dipecundangi dengan suatu jawaban yang akan tetap menjadi tanda
kehinaannya untuk selama-lamannya."
Ketika Imam Mûsâ as. keluar dari
ruang pertemuan Hârûn, Nafî' menghampirinya dan memegang kendali
kudanya. Nafî' berkata: "Siapakah engkau?"
Imam Mûsâ manjawab: "Hai
Fulan, jika kamu menginginkan nasabku, aku adalah putra Muhammad
Habîbullâh, putra Ismail Dzabîhullâh, dan putra Ibrahim Khalîlullâh.
Jika kamu menginginkan kota, maka aku berasal dari kota yang Allah swt.
mewajibkan kaum muslimin dan kamu-bila kamu termasuk dari kalangan
mereka-untuk melakukan ibadah haji kepadanya. Jika kamu menginginkan
kebanggaan, demi Allah orang-orang musyrik kaumku tidak senang muslimin
kaummu sebagai padanan mereka, sehingga mereka berkata, 'Hai Muhammad,
keluarkanlah orang-orang yang sepadan dengan kami dari kalangan kaum
Quraisy saja.' Hai fulan, lepaskanlah kendali kudaku!"
Nafî' pun mengaku kalah dan tampak marah sekali karena ia telah dipecundangi oleh Imam Mûsâ as.
2. Dialog Imam Mûsâ as. dengan Abu Yusuf
Suatu hari Hârûn memerintahkan Abu Yusuf untuk bertanya kepada Imam
Mûsâ as. tentang masalah fiqh. Hârûn berharapan Imam Mûsâ as. tidak
mampu untuk menjawab sehingga kelemahan ini bisa dimanfaatkan untuk
menghina dan memojokan Imam Mûsâ as. Hârûn pun mempertemukan Imam Mûsâ
dengan Abu Yusuf. Abu Yusuf mulai bertanya kepada Imam Mûsâ as.: "Apa
pendapatmu tentang bernaung bagi orang yang sedang melakukan ihram?"
"Tidak boleh", jawab Imam Mûsâ pendek.
Abu Yusuf bertanya lagi: "Bagaimana jika membangun kemah dan masuk ke dalam rumah?"
"Tidak masalah", jawab Imam Mûsâ.
Abu Yusuf menimpali: "Apa perbedaan antara keduanya?"
"Apakah wanita yang sedang haid wajib mengqadha salat?", Imam Mûsâ balik bertanya.
"Tidak", jawab Abu Yusuf.
Imam Mûsâ as. bertanya: "Apakah ia wajib mengqadha puasanya?"
"Ya", jawab Abu Yusuf.
"Mengapa?", tanya Imam Mûsâ lagi.
"Seperti itulah ketentuannya", jawab Abu Yusuf pendek.
Imam Mûsâ as. menimpali: "Begitu juga ketentuannya dalam masalah ini."
Abu Yusuf terdiam seribu bahasa. Ia tampak tidak berdaya di hadapan
Imam Mûsâ as. Hârûn bertanya kepadanya: "Mengapa kamu tidak menjawab?"
Abu Yusuf berkata: "Dia telah membungkam mulutku dengan batu yang tajam."
Imam Mûsâ as. keluar dari pertemuan itu, sedangkan Hârûn Ar-Rasyîd kelihatan marah karena telah gagal menjatuhkan Imam Mûsâ as.
3. Bersama Hârûn Ar-Rasyîd
Hârûn menahan Imam Mûsâ as. dan memasukkannya ke dalam penjara selama
beberapa tahun. Suatu hari, ia memeritahkan supaya Imam Mûsâ as.
menghadap. Ketika Imam Mûsâ as. sudah menghadap, Hârûn berkata dengan
suara keras karena marah: "Hai Mûsâ bin Ja'far, ada dua khalifah yang
uang pajak diberikan kepada mereka."
Imam as. berpaling kepadanya
dengan bersahabat dan lemah lembut seraya berkata: "Hai Amirul Mukminin,
aku memperlindungkan kamu kepada Allah swt. dari menanggung dosaku dan
dosamu dan dari menerima kebatilan dari musuh-musuh kami atas kami.
Sesungguhnya kamu telah mengetahui bahwa kami didustakan dari semenjak
kematian Rasulullah saw. dengan sesuatu yang beliau ketahui ada di
sisimu. Jika kamu meyakini tali kekerabatan antara kamu dengan
Rasulullah saw., izinkan aku untuk menyampaikan satu hadis yang telah
disampaikan oleh ayahku dari ayah-ayahnya dan berasal dari kakekku,
Rasulullah saw."
Hârûn berkata: "Aku telah izinkan."
Imam Mûsâ
as. berkata: "Ayahku memberitahukan kepadaku suatu hadis yang ia
riwayatkan dari dari ayah-ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah saw. bahwa
Rasulullah saw. bersabda, 'Sesungguhnya jika rahim menyentuh rahim, maka
ia akan bergerak dan bergoncang. Maka ulurkanlah tanganmu kepadaku.'"
Hârûn pasrah dan menjulurkan tangannya kepada Imam Mûsâ as. Lalu Hârûn
menarik Imam Mûsâ ke arah dirinya dan memeluknya erat-erat sedang
matanya berlinang air mata. Hârûn berkata kepada Imam Mûsâ as.: "Engkau
benar dan benar juga kakekmu. Sesungguhnya darahku terasa bergerak dan
nadiku bergetar sehingga aku pun pasrah dan air mataku bercucuran. Ada
masalah yang hendak kutanyakan kepadamu. Masalah ini selalu bergejolak
dalam hatiku dari dulu dan aku belum pernah menanyakannya kepada siapa
pun. Jika kamu menjawab pertanyaanku ini, maka aku akan membebaskanmu
dan aku tidak akan mempercayai ucapan siapa pun tentang dirimu. Sungguh
aku mendengar bahwa kamu tidak pernah berbohong dan aku mempercayai hal
itu. Maka jawablah pertanyaan yang ada dalam hatiku ini dengan
sejujurnya."
Imam Mûsâ as. berkata: "Ilmu tentang hal itu tidak ada
di sisiku. Tapi aku akan memberitahukan kepadamu tentang hal itu bila
kamu menjamin keselamatanku."
Hârûn menjawab: "Kamu aman, jika kamu
menjawab pertanyaanku dengan jujur dan meninggalkan taqiyah yang kamu
yakini itu, hai keturunan Fathimah."
Imam Mûsâ as. berkata: "Tanyakanlah apa yang ingin kau inginkan."
Hârûn berkata: "Mengapa kalian diutamakan atas kami, padahal kalian dan
kami berasal dari satu pohon? Bani Abdul Muthalib, ayah kami, dan ayah
kalian adalah satu. Bani Abbâs dan kalian adalah keturunan Abu Thalib.
Mereka berdua (Abu Thalib dan Abbâs) adalah paman Rasulullah saw. dan
hubungan kekerabatan mereka berdua adalah sama?"
Imam Mûsâ as. menjawab: "Kami lebih dekat (kepada Rasulullah saw.)."
"Bagaimana bisa?", tukas Hârûn.
Imam Mûsâ as. menjawab: "Karena Abdullah dan Abu Thalib adalah saudara
sekandung, sedangkan ayah kalian, Abbâs, tidak dilahirkan dari ibu
Abdullah dan Abu Thalib."
Hârûn lebih lanjut bertanya: "Mengapa
kalian mengaku dapat mewarisi Rasulullah, sedangkan seorang paman dapat
menghalangi anak seorang paman yang lain (dari warisan)? Rasulullah saw.
wafat dan Abu Thalib telah meninggal sebelum itu, sedangkan Abbâs,
paman Rasulullah, masih hidup kala itu."
Imam Mûsâ as. menjawab:
"Saya mohon Amirul Mukminin memaafkanku dari pertanyaan ini, dan silakan
bertanya tentang masalah-masalah yang lain."
"Tidak! Kamu harus menjawabnya", jawab Hârûn bersikeras.
Imam Mûsâ as. menimpali: "JAmînlah keamanan bagiku!"
Hârûn menjawab: "Sudah aku jAmîn sebelum kita memulai dialog."
Imam Mûsâ as. menjawab: "Menurut pendapat Ali, jika anak kandung masih
ada, baik laki-laki maupun perempuan, maka pewaris yang lain tidak
berhak memperoleh harta warisan, kecuali kedua orang tua, suami, dan
istri. Paman tidak berhak memperoleh harta warisan selama anak kandung
masih hidup. Hanya saja, menurut pendapat Bani Taim, Bani 'Adî, dan Bani
Umayyah, paman adalah seperti ayah. Pendapat mereka itu masing-masing
tidak memiliki realita dan bukti dari Nabi saw."
Kemudian Imam Mûsâ
as. menyebutkan pendapat para fuqaha pada zaman itu yang memiliki fatwa
sama dengan fatwa kakeknya, Amirul Mukminin as., dalam masalah ini. Ia
menambahkan: "Para fuqaha terdahulu Ahlusunah telah meriwayatkan dari
Nabi saw. bahwa beliau bersabda, 'Ali adalah paling alim di antara
kalian (aqdhâkum).' Umar bin Khaththab juga berkata, 'Ali adalah orang
yang paling alim di antara kita (aqdhânâ).' Dan kosa kata qadhâ' adalah
kata benda yang meliputi segala sesuatu. Karena semua yang dipuji pada
diri Nabi saw., seperti keahlian membaca, pengetahuan tentang kewajiban,
dan ilmu pengetahuan termasuk dalam kategori qadhâ'."
Hârûn meminta
supaya Imam Mûsâ as. menjelaskan masalah itu lebih rinci lagi. Imam
Mûsâ as. berkata: "Sesungguhnya Nabi saw. tidak mewariskan kepada orang
yang tidak berhijrah dan tidak pula menetapkan wilâyah untuknya sehingga
dia berhijrah."
"Apa dalilmu", tanya Hârûn pendek.
Imam Mûsâ
as. berkata: "Firman Allah swt., 'Dan orang-orang yang beriman akan
tetapi tidak berhijrah, maka tidak ada sedikit pun wilâyah bagi kalian
atas mereka sehingga mereka berhijrah.' Sesungguhnya pamanku, Abbâs,
tidak berhijrah."
Hârûn pun marah seraya berkata kepada Imam Mûsâ
as.: "Apakah engkau telah berfatwa kepada salah seorang dari musuh kami,
ataukah engkau telah memberi tahu tentang hal ini kepada salah seorang
di antara para fuqaha?"
Imam Mûsâ as. menjawab: "Tidak. Belum ada seorang pun yang bertanya tentang hal ini selain engkau."
Kemarahan Hârûn pun reda. Ia melanjutkan pertanyaannya: "Mengapa engkau
izinkan orang-orang khusus dan umum untuk menisbahkan kalian kepada
Rasulullah saw. dan memanggil kalian, 'Wahai putra Rasulullah.' Padahal
kalian adalah keturunan Ali. Nasab keturunan seseorang hanya menyambung
kepada ayahnya, sementara Fathimah hanyalah sebagai wadah, dan
Rasulullah adalah kakekmu dari pihak ibu kalian?"
Imam Mûsâ as.
menjawab pertanyaan Hârûn ini dengan hujah yang tegas. Ia berkata: "Jika
seandainya Nabi saw. dihidupkan kembali dan melamar anak perempuanmu,
apakah kamu akan menerima lamaran beliau?"
Hârûn menjawab: "Maha
suci Allah! Mengapa aku tidak menerimanya? Bahkan aku akan berbangga
diri dengan lamaran itu terhadap bangsa Arab, 'Ajam, dan suku Quraisy."
Imam Mûsâ menjawab as.: "Akan tetapi, beliau tidak akan melamar anakku dan aku juga tidak akan menikahkan anakku dengannya."
"Mengapa tidak?", tanya Hârûn pendek.
Imam Mûsâ as. menjawab: "Karena beliau telah melahirkanku dan tidak melahirkanmu."
Hârûn: "Bagus, hai Mûsâ. Tetapi bagaimana kalian mendakwa bahwa kalian
adalah keturunan Nabi saw., padahal beliau tidak memiliki keturunan?
Sesungguhnya nasab keturunan itu diukur melalui jalur pihak laki-laki,
bukan melalui jalur pihak perempuan. Dan kalian adalah keturunan
putrinya."
Imam Mûsâ as. menjawab: "Aku mohon kepadamu-berkat hubungan kekerabatan kita-agar kamu memaafkanku (dari pertanyaan ini)."
Hârûn menjawab: "Tidak, atau kamu mengajukan hujahmu tentang masalah
ini, hai putra Ali as. Dan engkau, hai Mûsâ, adalah pemimpin dan imam
zaman mereka. Aku tidak akan memaafkanmu."
Imam Mûsâ as. balik bertanya: "Apakah kamu mengizinkan aku menjawab?"
"Silakan", jawab Hârûn pendek.
Imam Mûsâ as. menjawab: "Allah swt. berfirman, '... dan dari
keturunannya adalah Dâwûd, Sulaimân, Ayyûb, Yûsuf, Mûsâ, dan Hârûn.
Begitulah kami membalas orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan (begitu
juga) Zakariâ, Yahyâ, Isa, dan Ilyâs. Semuanya termasuk orang-orang yang
saleh.' Hai Amirul Mukminin, siapakah ayah Isa?"
Hârûn menjawab: "Isa tidak memiliki ayah."
Imam Mûsâ as. menjawab: "Allah memasukkannya ke dalam keturunan para
nabi melalui jalur Maryam. Begitu juga Allah swt. memasukkan kami kepada
keturunan Rasulullah saw. melalui ibu kami, Fathimah as."
Hârûn meminta hujah yang lebih rinci tentang masalah itu.
Maka Imam Mûsâ as. menambahkan: "Allah swt. berfirman, 'Barang siapa
yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan
kamu), maka katakanlah (kepadanya), 'Marilah kita memanggil anak-anak
kami dan anak-anakmu, istri-istri kami dan istri-istrimu, diri kami dan
dirimu; kemudian marilah kita ber-mubâhalah kepada Allah dan kita minta
supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.' Tak
seorang pun yang berpendapat bahwa Nabi saw. memasukkan seseorang ke
dalam Kisâ' ketika beliau ber-mubâhalah dengan kaum Nasrani, kecuali Ali
bin Abi Thalib, Fathimah, Hasan, dan Husain."
Hujah Hârûn pun
musnah dan Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. telah menutup seluruh celah yang
dapat digunakan oleh Hârûn untuk melarikan diri.
Dengan dialog itu,
kami tutup seri dialog Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. Kami telah mengumpulkan
dialog-dialog Imam Mûsâ as. dalam buku kami, Hayâh Al-Imam Mûsâ bin
Ja'far as., jilid 1.
Karakter dan Jati Diri Imam Mûsâ Al-Kâzhim as.
Sesungguhnya karakter yang agung dan perilaku yang mulia adalah jati
diri, ciri khas, dan bagian yang tak terpisahkan dari diri Imam Mûsâ as.
Kami akan memaparkan sebagian karakter dan jati dirinya berikut ini:
1. Kehebatan Ilmu
Semua perawi hadis sepakat bahwa Imam Al-Kâzhim as. merupakan orang
yang paling 'alim pada zamannya. Ilmunya tergolong kategori ilham
seperti halnya ilmu para nabi dan washî. Para teolog Syi'ah telah
membuktikan hal ini dengan beberapa dalil dan argumentasi. Ayahnya, Imam
Ash-Shâdiq as. telah bersaksi akan kemampuan ilmu yang dimiliki oleh
putranya itu. Imam Ash-Shâdiq as. pernah berkata kepada Isa: "Jika
engkau bertanya kepada anakku ini tentang apa yang ada dalam mushaf ini,
maka ia akan mampu menjawabnya."
Imam Ash-Shâdiq as. juga berkata:
"Dia (Imam Mûsâ as.) memiliki hikmah, pemahaman, kedermawanan, dan
makrifah atas segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia tentang
masalah agama yang mereka perselisihkan."
Syaikh Mufid berkata:
"Orang-orang telah meriwayatkan banyak sekali riwayat dari Abul Hasan
Mûsâ as. Dan ia adalah orang yang paling faqih pada zamannya." Para
ulama telah meriwayatkan dari Imam Mûsâ as. aneka ragam ilmu pengetahuan
tekstual dan rasional sehingga ia terkenal di kalangan para perawi
sebagai orang yang alim.
2. Zuhud Terhadap Dunia
Imam Mûsâ as. telah berpaling dengan sepenuh hati dari kegemerlapan dan
perhiasan kehidupan. Ia hanya menfokuskan diri kepada Allah swt. dan
senantiasa melakukan segala sesuatu yang bisa mendekatkan diri
kepada-Nya. Ibrahim bin Abdul Hamid pernah bercerita tentang kezuhudan
Imam Mûsâ as. Ia berkata: "Suatu hari aku masuk ke rumah Imam Mûsâ as.
Pada waktu itu, ia sedang mengerjakan salat, dan tidak ada sesuatu
apapun di dalam rumahnya kecuali sehelai kain kasar, pedang yang
tergantung, dan mushaf."
Sungguh kehidupan Imam Mûsâ as. sangat
zuhud. Rumahnya sangat sederhana, padahal ia menerima harta yang banyak
dan hak-hak syar'î dari masyarakat Syi'ah. Ia menginfakkan semua harta
itu untuk fakir miskin, orang-orang yang membutuhkan, dan untuk
kepentingan di jalan dan keridaan Allah swt. Imam Mûsâ as. merasa kagum
dengan kezuhudan sahabat Nabi, Abu Dzar. Ia pernah bercerita kepada para
sahabatnya mengenai kehidupan Abu Dzar seraya berkata: "Semoga Allah
memberikan rahmat kepada Abu Dzar. Ia pernah berkata, 'Allah telah
mencukupkan dunia bagiku sebagai sebuah kehinaan dengan dua adonan
gandum; aku makan siang dengan satu adonan dan makan malam dengan adonan
yang lain, dan dengan dua helai pakaian bulu yang kasar; satu helai
kukenakan dan satu helai yang lain kugunakan sebagai penutup tubuhku."
Begitulah keturunan Nabi saw. yang satu ini hidup zuhud di dunia,
berpaling dari keindahan, dan kegemerlapannya. Ia telah berhasil memaksa
dirinya hidup renta hanya demi mengharap pahala Allah swt.
3. Kedermawanan
Salah satu karakter Imam Mûsâ as. yang luhur adalah ia telah menjadi
buah bibir masyarakat luas dalam kedermawanan. Kaum fakir dan miskin
berbondang-bondang mendatanginya untuk mendapatkan kebaikan dan
kemurahannya. Keluarga Imam Mûsâ berkata: "Sangat aneh sekali curahan
pemberian yang telah diberikan oleh Mûsâ, sementara ia dalam kekuarangan
dan kefakiran."
Imam as. sering keluar di malam yang gelap gulita
untuk memberikan santunan kepada orang-orang fakir dan miskin. Santunan
yang ia selalu berikan mencapai dua ratus sampai empat ratus dinar.
Orang-orang fakir di Madinah menikmati kebaikan, pemberian, dan
santunannya. Pada jilid 1 buku Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., kami
telah sebutkan segolongan orang fakir yang telah banyak dibantu oleh
Imam Mûsâ Al-Kâzhim as.
4. Memenuhi Kebutuhan Orang Lain
Salah satu karakter Imam Kâzhim as. yang lain adalah keinginan untuk
memenuhi kebetuhan orang lain. Ia tidak menunda-nunda untuk membantu
orang yang membutuhkan. Ia dikenal dengan sifat mulia ini. Kaum lemah
selalu mendatanginya demi meminta pertolongan darinya, dan Imam
Al-Kâzhim as. senantiasa memenuhi kebutuhan mereka. Di antara mereka
adalah seorang penduduk kota Rei. Ia memiliki utang yang menumpuk kepada
negara. Ia menanyakan tentang penguasa daerah itu. Ia diberitahu bahwa
penguasa itu adalah seorang Syi'ah Ahlul Bait as. Maka penghuni Rei itu
berangkat ke Madinah untuk memohon petunjuk kepada Imam Mûsâ as. Imam
Mûsâ as. mengutusnya kembali untuk menjumpai penguasa daerah tersebut
dengan membawa sepucuk surat. Isi surat itu adalah berikut ini:
Camkanlah bahwa di bawah 'Arsy Allah swt. terdapat sebuah naungan yang
tidak akan didiami kecuali oleh orang yang berbuat baik kepada saudara
seimannya, meringankan kesusahanya, atau memasukkan kebahagiaan ke dalam
hatinya. Dan orang ini adalah saudaramu. Wassalaam.
Penghuni Rei
itu mengambil surat tersebut dan berangkat menjumpai penguasa daerah itu
dengan membawa surat dari Imam Al-Kâzhim as. itu. Ketika sampai di
istana, ia mengetuk pintu. Budah penguasa daerah itu keluar seraya
bertanya: "Siapa kamu?"
Penghuni Rei itu menjawab: "Aku adalah utusan Ash-Shâbir (orang yang sabar), Mûsâ."
Dengan serta-merta budak itu masuk ke dalam istana untuk memberitahukan
hal itu kepada tuannya. Sang tuan keluar dengan telanjang kaki dan
segeral menanyakan keadaan Imam Al-Kâzhim as. Ia menyambut penghuni Rei
itu dengan hangat dan penuh penghormatan. Penghuni Rei menyerahkan surat
dari Imam Al-Kâzhim as. kepadanya. Penguasa daerah itu langsung
menciumnya. Setelah membaca surat itu, ia menyuruh budaknya untuk
membawakan semua harta (yang telah disita negara) dan memberikannya
kepada penghuni Rei itu. Untuk harta yang tidak bisa diserahkan,
penguasa daerah itu menyerahkan harganya. Dengan lembut lembut, ia
bertanya: "Hai saudaraku, apakah aku telah membuatmu bahagia dengan
ini?"
Penghuni Rei itu menjawab: "Ya, demi Allah. Bahkan lebih dari itu."
Kemudian penguasa daerah itu meminta buku yang berisi catatan seluruh
utang penghuni Rei itu. Ia memerintahkan supaya semua utang itu dihapus
dan penghuni Rei itu dinyatakan bebas. Penghuni Rei itu keluar dari
istana dengan penuh gembira dan kembali ke kotanya. Tak lama kemudian,
ia pergi ke Madinah dan memberitahukan seluruh kebaikan penguasa daerah
itu kepada Imam Al-Kâzhim as. Imam Al-Kâzhim as. pun sangat bahagia.
Penghuni Rei itu bertanya kepada Imam Al-Kâzhim as.: "Wahai tuanku,
apakah Anda senang mendengar ini?"
Imam Al-Kâzhim as. menjawab: "Ya,
demi Allah. Sungguh ia telah membuat aku dan Amirul Mukminin bahagia.
Demi Allah, ia telah membuat Rasulullah saw. bahagia. Sungguh ia juga
telah membuat Allah swt. bahagia."
Imam Al-Kâzhim as. terkenal
dengan karakter ini. Fatwanya yang menyatakan bahwa kafarah seorang
penguasa adalah berbuat baik kepada saudara-saudaranya telah tersebar
luas di antara kaum Syi'ah.
5. Ibadah dan Ketaatan kepada Allah swt.
Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. adalah orang yang paling 'abid pada zamannya
sehingga ia diberi gelar Al-'Abd Ash-shâlih (hamba yang saleh) dan Zain
Al-Mujtahidîn (hiasan para 'abid). Umat manusia tedak pernah terlihat
orang seperti Imam Al-Kâzhim as. dalam ibadah kepada Allah swt. Menurut
riwayat para perawi hadis, ketika Imam Al-Kâzhim as. berdiri di hadapan
Allah swt. untuk mengerjakan salat, matanya basah dengan air mata dan
hatinya berdebar serta menggigil karena takut kepada Allah swt.
Di
antara manifestasi dan bukti-bukti penghambaan Imam Al-Kâzhim as. adalah
ia pernah masuk ke dalam masjid Nabi saw. di permulaan awal malam. Ia
lantas bersujud sekali sembari merintih seraya berkata: "Sungguh dosaku
sangatlah banyak. Maka baguskanlah pengampunan dari sisi-Mu, wahai ahli
ketakwaan dan ahli pengampunan." Imam Al-Kâzhim as. selalu
mengulang-ulangi ucapan ini dengan khusyuk dan bersimpuh di haribaan
Allah swt. hingga pagi tiba.
Imam Al-Kâzhim as. selalu mengerjakan
salat sunah malam dan menyambungnya dengan salat Shubuh. Kemudian ia
membaca ta'qîb (wirid) salat hingga matahari terbit. Lalu ia bersimpuh
bersujud di haribaab Allah swt. dan tidak mengangkat kepalanya dari doa
hingga mendekati matahari tergelincir.
Asy-Syaibânî meriwayatkan:
"Setiap hari, Abul Hasan Mûsâ as. selalu melakukan sujud dari terbit
matahari hingga menjelang matahari tergelincir selama sepuluh tahun.
Ketika Hârûn memasukannya ke dalam penjara yang dikepalai oleh Ar-Rabî',
Hârûn memperhatikan gerak-gerik Imam Al-Kâzhim as. dari atas istananya.
Harun tidak melihat seorang pun dalam penjara yang tampak. Yang tampak
hanyalah setumpuk baju yang tergeletak dan tidak bergerak sedikit pun.
Hârûn bertanya kepada Ar-Rabî', 'Baju apa yang sering aku lihat di
tempat itu?'
Ar-Rabî' pun segera menjawab: 'Ya Amirul Mukminin, itu
bukanlah baju. Itu adalah Mûsâ bin Ja'far yang selalu melakukan sujud
setiap hari dari terbit matahari hingga menjelang matahari tergelincir.'
Hârûn pun berkata dengan nada keheranan, 'Sungguh dia adalah rahib Bani Hasyim.'
Ar-Rabî' berpaling kepada Hârûn seraya berkata, 'Ya Amirul Mukminin, mengapa Anda mengurungnya dalam penjara?'
Hârûn menjawab, 'Celaka kamu! Sesungguhnya ini harus aku lakukan.'
Saudara perempuan As-Sindî bin Syâhik pernah memasuki penjara ketika
Imam Al-Kâzhim as. berada di dalam tahanan saudaranya. Ia berkata, 'Jika
dia (Imam Al-Kâzhim as.) mengerjakan salat Isya', ia bertahmid, memuji,
dan berdoa kepada Allah swt. hingga pertengahan malam sirna. Kemudian
ia berdiri dan mengerjakan salat hingga waktu salat Shubuh tiba, dan ia
pun mengerjakan salat Shubuh. Setelah itu ia berzikir kepada Allah swt.
hingga matahari terbit. Kemudian ia duduk dan lalu bersujud hingga
menjelang matahari tergelincir. Setelah itu, ia berwudu dan mengerjakan
salat hingga mengerjakan salat Ashar. Lalu ia berzikir hingga salat
Maghrib. Setelah itu, ia mengerjakan salat sunah antara salat Maghrib
dan Isya'. Begitulah kebiasaanya hingga ia wafat.'"
Karena
banyaknya bersujud, seluruh anggota sujud Imam Al-Kâzhim as. mengeras
seperti kulit lutut unta. Ia memiliki seorang budak yang selalu memotong
kulit keras bekas sujud di dahi dan ujung hidungnya. Tentang hal ini
seorang penyair berkata:
Kulitnya mengeras karena sujud panjang, yang telah melukai dahi kepalanya.
Dia melihat kesempatan di penjara, sebagai sebuah nikmat yang layak disyukuri.
Inilah sebagian manifestasi ibadah Imam Al-Kâzhim as. yang
menghikayatkan ibadah nenek moyangnya yang yang telah menyerahkan
seluruh hidup mereka kepada Allah swt. dengan tulus. Tentang ibadah Imam
Al-Kâzhim as. ini, kami telah memaparkannya dalam buku kami, Hayâh
Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as.
6. Kesabaran dan Menahan Amarah
Di antara karakter dan jati diri Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. yang paling
menonjol adalah kesabaran dan mengekang amarah. Ia selalu memaafkan
orang yang berbuat jahat kepadanya dan lapang dada terhadap orang yang
menyakitinya. Bahkan ia selalu berbuat baik kepada orang yang berbuat
tidak baik kepada dirinya. Reaksi semacam ini membuat sifat egoisme dan
keburukan seseorang menjadi hilang.
Para ahli sejarah banyak
menceritakan manifestasi kemurahan hati Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. Menurut
sebuah riwayat, seseorang dari keturunan Umar bin Khaththab pernah
berbuat buruk terhadap Imam Al-Kâzhim as. dan mencaci-maki nenek
moyangnya. Sebagian sahabat geram dan hendak memberi pelajaran kepada
orang tersebut. Imam Al-Kâzhim as. melarang sahabat itu untuk melakukan
hal itu, karena ia ingin menyelesaikanya dengan jalan yang lain.
Imam Al-Kâzhim as. menanyakan tempat tinggal orang itu. Sahabat yang
ditanya menjawab bahwa ia tinggal di sebuah sawah di sekitar kota
Madinah. Imam Al-Kâzhim as. langsung menunggangi keledainya dan pergi
menemuinya dengan menyamar. Imam Al-Kâzhim menemukan keturunan Umar itu.
Ketika Imam Al-Kâzhim tiba di sisinya, orang itu mengenali Imam
Al-Kâzhim. Orang itu langsung marah karena melihat tunggangan keledai
Imam Al-Kâzhim as. telah merusak tanamannya. Imam Al-Kâzhim as.
menghadapinya dengan lemah lembut seraya bertanya: "Berapakah ganti rugi
yang kamu inginkan untuk kebun ini?"
"Seratus dinar", jawabnya pendek.
Imam Al-Kâzhim as. kembali bertanya: "Berapakah keuntungan yang dapat kamu peroleh dari hasil sawah ini?"
"Aku tidak mengetahui ilmu gaib", jawab orang itu pendek.
Imam Al-Kâzhim as. bertanya lagi: "Yang kumaksud, berapakah keuntungan yang kamu harapkan dari hasil sawah ini?"
Ia menjawab: "Aku berharap keuntungan sebanyak dua ratus dinar."
Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. memberikan tiga ratus dinar kepadanya seraya
berkata: "Ini untukmu, tanamanmu juga tetap menjadi milikmu."
Keturunan Khalifah Umar itu merasa malu atas kekurangajaran yang telah
diperbuatnya terhadap Imam Al-Kâzhim as. Ia pun bergegas pergi ke masjid
Nabawi. Ketika Imam Al-Kâzhim as. menyambutnya, orang itu pun berdiri
dan menghampiri Imam Al-Kâzhim as. seraya berkata dengan suara yang
keras: "Allah adalah lebih tahu di mana Dia harus meletakkan
risalah-Nya."
Para sahabat orang itu berdatangan menghampirinya
seraya menanyakan tentang perubahan menakjubkan itu. Ia menjawab dengan
menjelaskan kemurahan Imam Al-Kâzhim as. Imam Al-Kâzhim as. menoleh
kepada para sahabat seraya mengajukan pertanyaan: "Manakah yang lebih
baik, cara yang kalian inginkan itu ataukah cara yang kugunakan untuk
memperbaiki sikapya itu?"
Salah satu manifestasi kesabaran Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. yang lain adalah kisah berikut ini:
Imam Kâzhim as. melewati sekelompok musuhnya. Di antara mereka terdapat
Ibn Hayyâj. Ibn Hayyâj mengisyaratkan kepada salah seorang temannya
untuk memegang kendali keledai Imam Al-Kâzhim as. Ibn Hayyâj mengklaim
bahwa keledai itu miliknya. Temannya itu segera memegang tali kendali
keledai Imam Al-Kâzhim as. seraya mengklaim bahwa keledai itu adalah
milik Ibn Hayyâj. Imam Al-Kâzhim as. pun segera turun dan memberikan
keledai itu kepadanya.
Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. selalu berwasiat
kepada putra putrinya agar selalu bersabar dan bermurah hati. Ia berkata
kepada mereka: "Hai anak-anakku, aku nasihati kalian dengan sebuah
nasihat. Barang siapa yang menjaganya, maka ia akan memperoleh manfaat
darinya. Jika seseorang datang kepada kalian dan mengucapkan kata-kata
yang buruk di telinga kanan kalian, lalu pindah ke telinga yang kiri,
kemudian ia meminta maaf kepada kalian seraya berkata, 'Aku tidak pernah
mengatakan apa-apa', maka terimalah permohonan maafnya."
Nasihat
ini menandakan betapa besar kesabaran Imam Mûsâ Al-Kâzhim as., dan
menunjukkan keluasan akhlak dan ketinggian jati dirinya.
7. Kemuliaan Akhlak
Islam datang dengan membawa kemuliaan akhlak dan menganggap akhlak
sebagai kaidah fundamental dalam risalah mulianya. Rasulullah saw.
bersabda: "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak." Akhlak
Rasulullah saw. adalah jelmaan dari kemuliaan manusiawi tertinggi.
Setalahnya, para imam maksum as. mengikuti jejak beliau dalam membina
akhlak yang mulia dan amal yang baik. Semua itu dapat dibuktikan dengan
melihat perbuatan dan seluruh nasihat dan bimbingan yang telah mereka
berikan kepada para sahabat mereka.
Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. sangat
memperhatikan masalah ini. Ia selalu berwasiat kepada para sahabatnya
untuk menghiasi diri mereka dengan akhlak yang mulia supaya perilaku dan
tindakan mereka menjadi suri teladan yang saleh bagi masyarakat.
Berikut ini kami paparkan sebagian manifestasi kemuliaan akhlak yang
pernah diriwayatkan tentang imam yang satu ini:
a. Kedermawanan dan Keluhuran Perilaku
Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. selalu menekankan kepada para sahabatnya untuk
selalu dermawan dan berperilaku yang luhur. Ia berkata: "Orang yang
dermawan dan berakhlak yang mulia berada di bawah pengawasan Allah. Dia
tidak akan membiarkanya sehingga Dia akan memasukannya ke dalam surga.
Allah tidak mengutus seorang nabi, kecuali ia adalah seorang yang
dermawan. Ayahku selalu mewasiatkan kepadaku untuk selalu dermawan dan
berperilaku yang luhur sampai ia wafat."
b. Ketabahan
Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. juga selalu berwasiat kepada para sahabatnya
untuk selalu tabah, walaupun bencana atau kesulitan menimpa mereka.
Karena kegelisahan dan tindakan mengeluh dapat menghilangkan pahala yang
telah Allah swt. janjikan kepada orang yang sabar.
Imam Al-Kâzhim
as. berkata: "Satu musibah itu tidak dapat mendatangkan pahala bagi
seseorang, kecuali bila ia menghadapinya dengan tabah dan mengembalikan
semua itu kepada Allah swt."
Dan ia juga berpesan: "Sesungguhnya kesabaran atas bencana lebih baik daripada kesehatan ketika senang."
c. Diam
Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. senantiasa mewasiatkan kepada sahabatnya untuk
lebih banyak diam dan menjelaskan kepada mereka manfaat diam. Ia pernah
berkata: "Sesungguhnya diam adalah satu pintu dari sekian pintu hikmah.
Sesungguhnya diam dapat menimbulkan rasa cinta, dan diam adalah bukti
untuk semua kebaikan."
d. Memberikan Maaf dan Mendamaikan Orang Lain
Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. selalu menganjurkan para sahabatnya untuk
selalu memaafkan dan berbuat baik pada orang yang berlaku buruk terhadap
mereka, sebagaimana ia juga menganjurkan kepada mereka untuk
mendamaikan orang lain. Ia juga menjelaskan akibat orang-orang berbuat
baik dan beramal saleh serta pahala yang besar di sisi Allah swt. Ia
pernah berkata: "Seorang penyeru akan berseru pada hari kiamat akan
berseru, 'Barang siapa yang memiliki pahala di sisi Allah swt.,
hendaknya ia berdiri.' Tak seorang pun yang berani berdiri kecuali orang
yang suka memaafkan dan yang suka mendamaikan antara manusia."
e. Berucap yang Baik
Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. juga selalu berwasiat kepada para sahabatnya
untuk berkata dan berperilaku baik kepada manusia. Ia pernah berkata
kepada Fadhl bin Yunus: "Berperilakulah yang baik dan berkatalah yang
baik. Janganlah kamu memiliki sikap imma'ah!"
Fadhl bertanya: "Apakah imma'ah itu?"
Imam Al-Kâzhim as. menjawab: "Janganlah kamu selalu berkata, 'Aku
selalu mengikuti orang lain dan aku seperti salah seorang dari mereka.'
Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah bersabda, 'Wahai manusia,
sesungguhnya di sini ada dua jalan: jalan kebaikan dan jalan keburukan.
Jangan sampai jalan keburukan itu lebih kalian sukai daripada jalan
kebaikan.'"
f. Mensyukuri Nikmat
Salah satu wasiat Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. kepada para sahabatnya adalah
agar mereka selalu menampakkan dan mensyukuri nikmat Allah swt. Ia
berkata: "Menyebut-nyebut (tahadduts) nikmat Allah swt. adalah sebuah
cara bersyukur, dan meninggalkannya adalah kekufuran. Maka ikatlah
nikmat Tuhan kalian itu dengan syukur, bersihkanlah harta kalian dengan
zakat, dan tolaklah bencana itu dengan doa. Sesungguhnya doa adalah
benteng yang dapat menghalau bencana, meskipun bencana itu
sungguh-sungguh telah ditetapkan …."
Mutiara Hikmah
Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. memiliki banyak mutiara hikmah. Dalam sebagian
mutiara hikmah itu, ia memaparkan ajaran akhlak dan cara bermasyarakat
(yang ideal). Berikut ini kami sebutkan beberapa mutiara hikmah
tersebut:
1. Imam Al-Kâzhim as. berkata: "Pertolonganmu terhadap orang yang lemah adalah sedekah yang paling utama."
2. Imam Al-Kâzhim as. berkata: "Seorang mukmin adalah lebih kokoh
daripada gunung. Gunung bisa dihancurkan dengan cangkul, tetapi agama
seorang mukmin tidak akan hancur dengan apapun."
3. Imam Al-Kâzhim
as. pernah berkata kepada Muhammad bin Al-Fadhl: "Hai Muhammmad,
bohongkanlah pendengaran dan penglihatanmu tentang saudaramu. Seandainya
lima puluh sumpah memberikan kesaksian kapadamu, sedangkan saudaramu
itu mengucapkan satu ucapan kepadamu, maka percayalailah dia dan jangan
kamu percayai seluruh sumpah itu. Dan janganlah kamu sebarkan sesuatu
yang menjadi aib baginya."
4. Imam Al-Kâzhim as. berkata:
"Sebaik-baik ibadah setelah makrifah adalah intizhâr al-faraj (menunggu
kemunculan Imam Mahdî as.)."
5. Imam Al-Kâzhim as. berkata: "Seorang
mukmin seperti dua sisi timbangan. Semakin bertambah imannya, maka
semakin banyak juga cobaannya."
6. Imam Al-Kâzhim as. berkata:
"Menyampaikan amanat dan jujur dapat mendatangkan rezeki. Tetapi khianat
dan bohong dapat mendatangkan kefakiran dan kemunafikan."
7. Imam
Al-Kâzhim as. berkata: "Setiap kali seseorang berbuat dosa yang belum
pernah ia lakukan, maka Allah swt. akan menimpakan kepadanya bencana
yang belum pernah ia perkirakan."
Di Dalam Penjara Hârûn
Keutamaan, ilmu, dan kemuliaan akhlak Imam Mûsâ as. telah tersebar dan
menjadi bahan pembicaraan masyarakat. Realita ini menjadi beban berat
bagi Hârûn sebagai sosol yang paling dengki terhadap keturunan Ali as.
Hârûn merasa resah dengan keberadaan seorang imam di antara keturunan
Ali as. seperti Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. yang kaum muslimin sepakat untuk
mengagungkan dan mengakui keutamaanya. Ketika Hârûn berada di Madinah,
ia pergi ke kuburan Nabi saw. Ia menyampaikan salam seraya berkata:
"Demi ayah dan ibuku, ya Rasulullah, aku minta maaf kepadamu lantaran
perkara yang telah kuniatkan. Sesungguhnya aku berniat menangkap Mûsâ
bin Ja'far dan memenjarakannya, karena aku takut ia akan menyulut
peperangan di antara umatmu yang dapat menumpahkan darah mereka."
Hârûn mengutus bala tentaranya untuk menangkap Imam Mûsâ Al-Kâzhim as.
Ketika mereka sampai, Imam Al-Kâzhim as. sedang mengerjakan salat di
samping makam kakeknya, Rasulullah saw. Mereka memotong salatnya. Ia
mengadukan perbuatan mereka itu kepada Rasulullah saw. sembari berkata:
"Aku hanya mengadu kepadamu, ya Rasulullah ...."
Mereka membawa
Imam Al-Kâzhim as. ke hadapan Hârûn dalam keadaan terbelenggu. Ketika
Imam Al-Kâzhim as. berada di depannya, Hârûn bertindak zalim dan
berbicara kasar kepadanya. Hârûn menangkap dan memenjarakan Imam
Al-Kâzhim as. pada tanggal 20 Syawal 179 H.
Di Penjara Bashrah
Sang tagut, Hârûn, mengeluarkan perintah agar Imam Al-Kâzhim as. dibawa
ke Bashrah. Ia menyuruh Isa bin Abi Ja'far, gubernurnya atas Bashrah,
untuk memenjarakan Imam Al-Kâzhim as. di salah satu rumah tahanan. Isa
mengunci seluruh pintu penjara dan tidak membukanya kecuali untuk dua
hal: pertama, ketika Imam Al-Kâzhim as. ingin bersuci, dan kedua, ketika
ingin mengantarkan makanan kepada Imam Al-Kâzhim as.
Terfokus untuk Beribadah
Imam Mûsâ as. selalu beribadah kepada Allah swt. Ia selalu berpuasa di
siang hari dan salat pada malam hari. Ia tidak mengeluh karena
dipenjarakan. Ia menganggap kesempatan untuk beribadah ini sebagai
sebuah nikmat dari Allah swt. Imam as. selalu bersyukur atas ini dan
berkata: "Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku selalu
memohon untuk memberikan kepadaku kesempatan untuk beribadah. Ya Allah,
sungguh Engkau telah lakukan itu. Maka segala puji hanya untuk-Mu …."
Perintah kepada Isa untuk Membunuh Imam Al-Kâzhim as.
Sang tiran, Hârûn, memerintahkan Isa, gubernur Bashrah, untuk membunuh
Imam Al-Kâzhim as. Tetapi Isa merasa keberatan untuk melakukan hal itu.
Akhirnya ia meminta pendapat para penasihatnya. Mereka menyarankan agar
tidak melakukan perbuatan jahat tersebut. Isa menerima pendapat itu, dan
menulis sepucuk surat kepada Hârûn. Di dalam surat itu, Isa memohon
supaya dimaafkan dari keputusan membunuh itu. Isi surat itu adalah
sebagai berikut:
Telah lama Mûsâ bin Ja'far berada dalam penjaraku.
Aku telah mengawasi seluruh gerak-geriknya dengan mengutus mata-mata
selama tempo ini. Aku tidak mendapati ia merasa lelah dari beribadah.
Aku juga menyuruh seseorang untuk mendengarkan seluruh doa yang selalu
dibacanya. Dia tidak pernah berdoa keburukan sama sekali atasmu dan juga
tidak atasku. Tidak pernah juga ia menyebut-nyebut keburukan kita. Dia
hanya mendoakan ampunan dan rahmat untuk dirinya. Jika memang engkau
ingin melakukan hal itu, aku serahkan urusan ini kepada orang lain. Dan
jika tidak, bebaskanlah dia. Karena aku merasa berat memenjarakannya.
Penawanan Imam Al-Kâzhim as. di Rumah Fadhl
Hârûn Ar-Rasyîd mengabulkan permohonan Isa. Ia memerintahkan agar Imam
Al-Kâzhim as. dibawa ke Baghdad dan diserahkan kepada Fadhl bin Rabî'.
Setelah menerima Imam Al-Kâzhim as., Fadhl menahannya di rumahnya. Imam
Al-Kâzhim as. hanya menyibukkan diri dengan ibadah; berpuasa di siang
hari dan salat di malam hari. Fadhl sangat kagum dengan ibadah Imam
Al-Kâzhim as. Fadhl berbicara kepada sebagian sahabatnya betapa agungnya
ketaatan Imam Al-Kâzhim as. kepada Allah swt.
Abdullah Al-Qazwînî,
salah seorang pengikut Syi'ah, meriwayatkan berkata: "Aku pernah
menjumpai Fadhl bin Rabî'. Ketika itu ia sedang duduk di halaman
rumahnya. Ia berkata kepadaku: 'Mendekatlah kemari.'
Aku pun mendekat hingga berdiri sejajar dengannya. Ia berkata: 'Tengoklah ke dalam rumah.'
Aku pun menengok ke dalam rumah. Setelah itu Fadhl bertanya: 'Apa yang kau lihat di dalam rumah itu?'
'Aku hanya melihat pakaian terhampar', jawabku.
'Lihatlah baik-baik', pinta Fadhl lagi
'Aku melihat seseorang sedang sujud', jawabku.
'Apakah engkau mengenalnya?', tanya Fadhl.
'Tidak', jawabku pendek.
'Ia adalah pemimpinmu', sela Fadhl.
'Siapa pemimpinku', tanyaku keheranan.
'Engkau berpura-pura tidak tahu di depanku', sergah Fadhl.
'Aku tidak berpura-pura. Aku tidak merasa memiliki seorang pemimpin', jawabku.
'Ia adalah Abul Hasan Mûsâ bin Ja'far', tegas Fadhl."
Fadhl mulai bercerita kepada Abdullah tentang ibadah Imam Al-Kâzhim as.
Ia berkata: "Aku senantiasa mengawasinya siang dan malam. Aku tidak
mendapatinya pada setiap waktu dan kesempatan melainkan ia berada dalam
keadaan yang telah kukabarkan kepadamu. Ia melakukan salat Shubuh.
Seusai salat, ia membaca berbagai zikir sampai matahari terbit. Kemudian
ia sujud sangat panjang hingga matahari tergelincir. Ia meminta kepada
seorang pembantunya agar melihat kapan matahari tergelincir. Aku tidak
tahu kapan pembantu itu memberitahukan kepadanya bahwa matahari telah
tergelincir. Karena ia segera bangkit untuk melakukan salat lagi tanpa
memperbaharui wudu ... Ketika itu aku tahu bahwa ia tidak tidur ketika
melakukan sujud panjang. Ia juga tidak mengantuk dan ia senantiasa
berada dalam kondisi seperti itu hingga usai mengerjakan salat Ashar.
Setelah mengerjakan salat Ashar, ia sujud panjang hingga matahari
terbenam. Apabila matahari telah terbenam, ia bangkit dari sujudnya
untuk mengerjakan salat Maghrib tanpa memperbaharui wudu. Ia senantiasa
mengerjakan salat dan berzikir hingga salat Isya'. Setelah usai
mengerjakan salat Isya', ia berbuka puasa dengan makanan yang telah
disediakan untuknya. Setelah itu, ia memperbaharui wudu, kemudian ia
sujud kembali. Setelah itu ia bangkit dari sujud dan tidur sejenak.
Kemudian ia bangun lagi untuk memperbaharui wudu dan mengerjakan salat
hingga fajar terbit. Kemudian mengerjakan salat Shubuh. Dan begitulah
kebiasaannya semenjak ia diserahkan kepadaku."
Tatkala Abdullah
melihat bahwa Fadhl betul-betul mengagungkan Imam Al-Kâzhim as., ia
memperingatkannya agar jangan sampai menyakitinya sedikit pun. Abdullah
berkata kepadanya: "Takutlah kepada Allah. Jangan sampai engkau
ceritakan hal ini kepada siapa pun. Karena hal itu akan menyebabkan
kemusnahan seluruh nikmatmu. Engkau sendiri tahu bahwa jika seseorang
berbuat buruk kepada orang lain, pasti nikmatnya akan hilang."
Fadhl
menimpali: "Mereka telah mengirimkan utusan kepadaku berkali-kali dan
menyuruhku untuk membunuhnya. Tetapi aku tidak melaksanakan perintah
itu. Aku tegaskan kepada mereka bahwa aku tidak akan melakukan hal itu.
Sekalipun mereka membunuhnku, niscaya aku tidak akan mengabulkan apa
yang mereka inginkan dariku itu."
Kejenuhan Imam Al-Kâzhim as.
Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. merasa jenuh dan lelah karena telah terlalu
lama diam di penjara Hârûn. Akhirnya ia mohon kepada Allah swt. agar
dibebaskan dari penjara Hârûn. Pada suatu malam yang gulita, ia
mengerjakan salat empat rakaat dan berdoa kepada Allah: "Wahai
Junjunganku, bebaskanlah aku dari penjara Hârûn. Bebaskanlah aku dari
cengkeramannya. Wahai Dzat yang memisahkan pohon di antara pasir dan
tanah, wahai Dzat yang memisahkan api di antara besi dan batu, wahai
Dzat yang memisahkan susu di antara kotoran dan darah, wahai Dzat yang
memisahkan anak di antara kandungan dan rahim, wahai Dzat yang
memisahkan ruh di antara isi perut dan usus, bebaskanlah aku dari
cengkeraman Hârûn …."
Allah swt. mengabulkan doa wali-Nya itu dan
membebaskannya dari penjara sang tiran, Hârûn. Hârûn membebaskan Imam
Al-Kâzhim as. karena mimpi yang pernah ia lihat dalam tidurnya. Kisah
mimpi ini telah kami paparkan dalam buku kami, Hayâh Al-Imam Mûsâ bin
Ja'far as.
Penawanan Imam Al-Kâzhim as. di dalam Penjara Fadhl bin Yahyâ
Tidak lama setelah Imam Al-Kâzhim as. keluar dari penjara itu, Hârûn
menangkapnya kembali dan memenjarakannya di penjara Fadhl bin Yahyâ.
Fadhl bin Yahyâ melayani dan memperlakukan kepada Imam Al-Kâzhim as.
dengan baik dan penuh penghormata, suatu perlakuan yang tidak pernah ia
alami di penjara-penjara lainnya. Seorang pengkhianat yang mengetahui
perlakukan Fadhl terhadap Imam Al-Kâzhim as. segera melaporkan kepada
Hârûn. Hârûn naik pitam dan menyuruh beberapa orang algojo agar
mencambuk Fadhl sebanyak seratus kali. Mereka segera melaksanakan
perintah itu. Hârûn memanggil para menteri, komandan pasukan, dan para
pemuka masyarakat untuk hadir ke istana. Ia berkata dengan geram: "Hai
manusia, sesungguhnya Fadhl bin Yahyâ telah berkhianat kepadaku dan
menentang perintahku. Aku akan mengutuknya, maka kutuklah dia."
Suara gemuruh terdengar di ruang istana mengutuk dan mencerca Fadhl.
Yahyâ bin Khâlid yang turut hadir di pertemuan itu segera mendekati
Hârûn seraya berbisik kepadanya: "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya
Fadhl masih seumur jagung. Aku akan memenuhi apa yang Anda inginkan."
Mendengar ucapan Yahyâ itu, Hârûn merasa terhibur dan murkanya segera
sirna. Ia menampakkan kerelaannya kepada Fadhl seraya berkata: "Fadhl
memang telah menentang perintahku, dan aku telah melaknatnya. Sekarang
ia telah bertobat dan kembali menaatiku. Maka kalian cintailah dia."
Suara gemuruh kembali terdengar dari setiap sudut ruang pertemuan itu
mendeklarasikan ketaatan dan pengokohan terhadap politik yang
kontradiksi ini. Mereka berkata: "Wahai Amirul Mukminin, kami mencintai
orang yang Anda cintai dan memusuhi orang yang Anda musuhi. Dan kini
kami mencintai Fadhl."
Di Penjara As-Sindî
Hârûn Ar-Rasyîd mengeluarkan perintah agar Imam Al-Kâzhim as.
dipindahkan dari penjara Fadhl bin Yahyâ ke penjara As-Sindî bin Syâhik.
As-Sindî adalah seorang majusi, algojo yang keji, dan tidak beriman
kepada Allah dan hari akhirat. Ia memperlakukan Imam Al-Kâzhim as.
dengan betul-betul keji. Pada akhirnya, ia meracun Imam Al-Kâzhim as.
Racun itu merembet ke seluruh tubuh Imam Al-Kâzhim as. dengan cepat
sehingga ia betul-betul merasakan sakit yang luar biasa. Akhirnya Imam
Al-Kâzhim as. menjumpai Allah swt. Dunia pun menjadi gelap dengan
kepergiannya. Sementara akhirat bersinar dengan kedatangannya. Berbagai
macam penyiksaan dan duka telah ditimpakan kepada Imam Al-Kâzhim as.
oleh Hârûn Ar-Rasyîd, tiran masa itu, yang hatinya telah dipenuhi dengan
kedengkian dan permusuhan terhadap keluarga Rasulullah saw. Semua itu
dihadapi oleh Imam Al-Kâzhim as. dengan ikhlas karena Allah swt.
Bala tentara Hârûn segera melakukan penelitian untuk mencari faktor
kematian Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. Hal ini mereka lakukan untuk
membebaskan Hârûn dari segala tuduhan. 'Amr bin Wâqid bercerita: "Pada
suatu malam, As-Sindî bin Syâhik mengutus seseorang kepadaku. Ketika itu
aku berada di Baghdad. Aku merasa khawatir ia hendak berbuat jahat
terhadapku. Kemudian aku meminta isteriku agar menyiapkan seluruh bekal
yang kuperlukan. Aku berseru, 'Innâ lillâh wa innâ ilahi râji'ûn.' Lalu
aku menaiki kudaku untuk menemui As-Sindî. Ketika ia melihatku sedang
datang, dia berkata kepadaku, 'Hai Abu Hafsh, nampaknya engkau merasa
khawatir?'
'Ya', jawabku pendek.
'Tidak ada apa-apa. Urusan baik', jawab As-Sindî menghibur.
'Utuslah seseorang kepada keluargaku untuk memberitahukan kepada mereka bahwa aku tidak apa-apa', pintaku.
'Baiklah', jawab As-Sindî singkat.
Setelah aku merasa lega dan tenang hati, As-Sindî berkata kepadaku:
'Hai Abu Hafsh, tahukah engkau, mengapa aku mengutus seseorang
memanggilmu?'
'Tidak tahu', jawabku singkat.
'Apakah kamu kenal Mûsâ bin Ja'far?', tanyanya lagi.
'Aku kenal dia. Aku bersahabat dengannya sejak bertahun-tahun', jawabku.
'Apakah di Baghdad ada orang yang kamu kenal dan dapat dipercayai ucapannya bahwa ia mengenal Mûsâ bin Ja'far?', tanyanya lagi.
'Ya, ada', jawabku pendek.
Lalu aku menyebutkan beberapa orang yang mengenal Imam Al-Kâzhim as.
Mereka semua dipanggil. Ketika mereka telah berkumpul, As-Sindî berkata
kepada mereka, 'Apakah kalian mengenal orang yang mengenal Mûsâ bin
Ja'far?'
Mereka pun menyebutkan beberapa orang yang mengenal Imam
Al-Kâzhim as. Mereka pun diminta datang pada malam itu juga. Ketika
fajar mulai nampak, orang-orang yang mengenal Imam Al-Kâzhim as. dan
dihadirkan sebagai saksi telah berkumpul sejumlah lebih dari 50 orang.
As-Sindî menyuruh sekretarisnya agar menulis nama, karakter, alamat
rumah, dan pekerjaan mereka. Setelah itu, ia keluar bersama orang-orang
trersebut.
As-Sindî berkata kepadaku, 'Hai Abu Hafsh, bangkitlah dan
bukalah kain yang menutupi wajah Mûsâ bin Ja'far itu.' Aku pun berdiri
dan membuka kain yang menutupi wajah Imam Al-Kâzhim as. Ternyata ia
telah meninggal dunia. As-Sindî menoleh kepada orang-orang yang hadir
dan berkata kepada mereka, 'Lihatlah dia.'
As-Sindî menyuruh mereka
untuk melihat jenazah Imam Al-Kâzhim as. lebih dekat. Lalu ia berkata
kepada mereka, 'Apakah kalian bersaksi bahwa jenazah ini adalah Mûsâ bin
Ja'far?'
'Ya', jawab mereka.
Kemudian As-Sindî menyuruh
pembantunya agar membuka baju Imam Al-Kâzhim as. Pembantu itu segera
melaksanakan perintahnya. As-Sindî berkata kepada mereka, 'Apakah kalian
melihat bekas-bekas di tubuhnya yang aneh?'
'Tidak', jawab mereka pendek.
Kemudain As-Sindî mencatat kesaksian mereka dan mereka pun segera
bubar. Setelah itu, As-Sindî memanggil para fuqaha, para pembesar, dan
pemuka masyarakat. Ia meminta kesaksian mereka untuk tujuan membebaskan
Hârûn dari berbagai tuduhan dan menghilangkan keraguan atas kematian
Imam Al-Kâzhim as.
Jenazah Imam Al-Kâzhim as. Dicampakkan di Atas Jembatan
Setelah ritual persaksian itu usai, As-Sindî meletakkan jenazah Imam
Mûsâ Al-Kâzhim as. yang mulia di atas jembatan Rashâfah sehingga
orang-orang yang berlalu-lalang di situ, baik yang berasal dari daerah
dekat maupun jauh, menyaksikan jenazah itu. Wajah Imam Al-Kâzhim as.
yang mulia tidak ditutupi sehelai kain pun. Tujuan penguasa zalim dengan
itu semua adalah untuk mempermalukan dan merusak kehormatan Imam
Al-Kâzhim as., menghinakan Syi'ah, dan merendahkan kehormatan mereka.
Tapi usaha Hârûn Ar-Rasyîd pasti gagal. Ia adalah imam yang dikenang
masa dan makamnya adalah makam yang terindah dari sekian makam para wali
Allah yang saleh. Makam ini senantiasa diliputi curahan rahmat Ilahi.
Kaum muslimin tak henti-henti menziarahinya.
Kini, lihatlah Hârûn.
Ia tidak memiliki bekas sedikit pun untuk diingat dan juga tidak
mempunyai kuburan untuk diziarahi. Ia dikuburkan bersama keluarganya di
dalam kegelapan abadi. Kelak Allah swt. akan mengadakan perhitungan atas
segala kezaliman dan kedurjanaannya dengan perhitungan yang sangat
sulit.
Penguasa tiran ini tidak cukup memperlakukan Imam Al-Kâzhim
as. sampai di situ. Ia semakin jauh dalam jurang kesesatan dan
kejahatan. Ia menyuruh budak-budaknya agar menggiring jenazah Imam
Al-Kâzhim as. di jalan-jalan raya Baghdad sambil berteriak: "Inilah Mûsâ
bin Ja'far yangdiakui oleh para pengikutnya tidak akan mati. Lihatlah,
kini ia telah menjadi mayat." Di samping itu, mereka juga meneriakkan
yel-yel yang sangat keji. Sebagai ganti dari slogan "Imam Mûsâ as.
adalah orang baik putra orang baik", mereka malah mengatakan sebaliknya.
Sulaiman bin Abu Ja'far Al-Manshûr segera bangkit untuk mengurus
jenazah Imam Al-Kâzhim as. Para pembantunya segera merampas jenazah Imam
Al-Kâzhim as. dari tangan bala tentara Hârûn seraya berteriak dengan
suara lantang: "Barang siapa yang ingin menghadiri tasyyî' jenazah orang
baik putra orang baik, Mûsâ bin Ja'far ini, maka segera hadilah."
Mendengar seruan itu, masyarakat dari berbagai tingkatan keluar untuk
mengiringi jenazah Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. sehingga kota Baghdad tidak
pernah menyaksikan acara tasyyî' jenazah seagung itu. Jalan-jalan raya
dipenuhi dengan arak-arakan yang mengulang-ulang ungkapan kesedihan dan
duka nestapa yang mendalam atas syahadah imam yang agung ini. Sulaiman
bin Abu Ja'far berada di bagian depan barisan bersama seluruh aparat
yang berkuasa.
Jenazah Imam Al-Kâzhim as. dibawa ke pemakaman
Quraisy. Di sana mereka menggali kuburan untuk Imam Al-Kâzhim as.
Sulaiman menurunkan jenazahnya di tempat persinggahannya yang terakhir.
Kemudian Sulaiman menguburnya bersama seluruh karakteristik terpuji,
kelembutan, ilmu pengetahuan, kemuliaan, dan teladan yang luhur.
Salam sejatera untuknya ketika ia dilahirkan, ketika ia meneguk cawan syahadah, dan ketika ia dibangkitkan hidup kembali.
Catatan Kaki:
Al-Fiqh Al-Islami, Madkhal li Dirâsah Nizhâm Al-Mu'âmalah, hal. 160.
Nuzhah An-Nâzhir fî Tanbîh Al-Khâthir, hal. 45.
Al-Manâqib, jilid 3, hal. 429.
QS. Al-Anfâl [8]:72.
QS. Al-An'âm [6]:85-85.
QS. Ali 'Imrân [3]:61.
Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 1, hal. 261-265.
Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 1, hal. 138.
Al-Irsyâd, hal. 272.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 11, hal. 265.
UshûlAl-Kâfî, jilid 2, hal. 134.
'Umdah Ath-Thâlib, hal. 185.
Târîkh Baghdad, jilid 13, hal. 28; Kanz Al-Lughah, hal. 766.
Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 1, hal 161-162.
Wafayât Al-A'yân, jilid 4, hal. 93; Kanz Al-Lughah : 766
Târîkh Abil Fidâ', jilid 2, hal. 12
Al-Anwâr Al-Bahiyyah, hal. 93.
Târîkh Baghdad, jilid 13, hal. 28-29; Kasyf Al-Ghummah, hal. 247.
Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 1, hal. 157.
Al-Fushûl Al-Muhimmah, hal. 22.
Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 1, hal. 275-259.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 17, 196.
Al-Manâqib, jilid 2, hal. 395.
Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 2, hal. 465.
Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 2, hal. 466.
Al-Manâqib, jilid 2, hal. 279.
Kasyf Al-Gummah fî Ma'rifah Al-A'immah, jilid 3, hal. 25.
'Uyûn Akhbâr Ar-Ridhâ, jilid 1, hal. 98-99.
Al-Manâqib, jilid 2, hal. 370.
Maqâtil At-Thâlibiyyîn, hal. 503-504.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 11, hal. 30.
Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 2, hal. 522.
IMAM ALI AR-RIDHA
Imam Ar-Ridhâ as. adalah secercah nur Ilahi dan sebersit rahmat Allah
(yang maha luas). Ia adalah imam kedelapan dari para imam maksum as.
yang telah dibersihkan oleh Allah swt. dari segala jenis kekotoran dan
menyucikan mereka sesuci-sucinya.
Khalifah Ma'mûn pernah bertanya
kepada Abdullah bin Mathar, salah seorang tokoh pemikiran dan sastra
kala itu, tentang mereka sembari berkata: "Apa pendapatmu tentang Ahlul
Bait?"
Abdullah menjawab dengan ungkapan: "Apa yang dapat kukatakan
tentang sebuah keluarga yang telah dicetak dengan air risalah dan
disirami dengan mata air wahyu! Apakah terhembus dari tubuh mereka
selain minyak misik petunjuk dan wanginya ketakwaan?"
Ucapan ini
dapat mempengaruhi naluri dan hati kecil Ma'mûn, sedangkan Imam Ar-Ridhâ
as. sedang berada di situ pada waktu itu. Akhirnya, Ma'mûn
memerintahkan supaya mulut Abdullah dihiasai dengan mutiara.
Sesungguhnya seluruh nilai yang agung dan karakter yang tinggi telah
terjelmakan dalam diri imam yang agung ini. Ia adalah salah satu
kekayaan agama Islam dalam setiap tingkah laku, kerendahan hati, dan
ketidakpeduliannya terhadap kegermelapan dunia, kecuali yang berhubungan
dengan masalah kebenaran dan hak.
Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan sebagian sisi sejarah hidup Imam Ar-Ridhâ as. secara ringkas.
Pertumbuhan
Imam Ar-Ridhâ as. tumbuh berkembang di dalam sebuah rumah Islam yang
paling mulia. Rumah ini adalah pusat turunnya wahyu; sebuah rumah yang
Allah mengizinkan nama-Nya disebut di dalamnya. Rumah itu adalah rumah
Imam Mûsâ bin Ja'far as., sosok figur yang memiliki keserupaan dengan
Isa bin Maryam as. dalam ketakwaan dan wara'. Dengan demikian, rumah ini
adalah salah satu pusat ibadah dan ketaatan kepada Allah swt.,
sebagaimana rumah ini juga adalah sebuah tempat penyebaran ilmu
pengetahuan di tengah-tengah masyarakat. Di dalam rumah ini juga, ribuan
ulama, fuqaha, dan sastrawan berhasil menamatkan pelajaran mereka.
Di dalam rumah yang agung itulah Imam Ar-Ridhâ as. tumbuh berkembang dan
mempelajari etika ayah dan keluarganya yang telah diciptakan untuk
mengemban keutamaan, ketakwaan, dan keimanan kepada Allah swt.
Perangai dan Perilaku
Perangai dan perilaku Imam Ar-Ridhâ as. memiliki keistimewaan khusus.
Ia tegar dalam memegang kebenaran dan menentang kezaliman. Ia sering
memerintah Khalifah Ma'mûn Al-Abbâsî untuk bertakwa kepada Allah dan
mengkritik seluruh tindakannya yang tidak sesuai dengan agama. Dengan
tindakannya ini, Ma'mûn marah besar dan bertindak untuk membunuh Imam
Ar-Ridhâ as. Seandainya Imam Ar-Ridhâ mau bertoleransi dengan Ma'mûn dan
tidak menentang seluruh politiknya, sebagaimana orang-orang dekat
Ma'mûn lainnya yang mengiakan setiap dosa dan kejahatan yang dilakukan
oleh Ma'mûn, niscaya Imam Ar-Ridhâ akan memiliki posisi yang paling
dekat dengannya. Alangkah cepatnya Ma'mûn meminumkan racun kepadanya
sehingga ia cepat meninggalkan kita.
Akhlak yang Tinggi
Imam Ar-Ridhâ as. adalah figur terindah untuk akhlak yang mulia dan
tata krama yang tinggi. Di antara manifestasi ketinggian akhlaknya ini
adalah ketika ia duduk di samping sebuah hidangan makanan, ia juga
mendudukkan seluruh budak-sampai-sampai pemelihara kuda dan penjaga
pintu-di samping hidangan makanan itu.
Ibrahim bin Al-Abbâs
berkata: "Aku pernah mendengar Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ berkata, 'Aku
bersumpah untuk membebaskan budak, dan aku tidak pernah bersumpah untuk
membebaskan budak kecuali aku pasti membebaskan seorang budak. Sungguh
aku akan membebaskan seluruh budakku jika aku merasa diriku lebih baik
dari budak ini-beliau menunjuk salah seorang budaknya yang hitam legam.
Aku tidak memiliki kemuliaan lantaran hanya kekerabatanku dengan
Rasulullah saw. kecuali jika aku berbuat sebuah amal saleh. Dengan amal
saleh tersebut aku merasa memiliki keutamaan.'
Salah seorang yang hadir lantas berkata, 'Demi Allah, Anda adalah sebaik-baik manusia ....'
Ia menimpali ucapannya sembari berkata, 'Jangan engkau merasa khawatir,
hai sahabatku. Orang yang lebih baik dariku adalah orang yang paling
bertakwa dan lebih taat kepada Allah 'Azza Wajalla. Demi Allah, ayat ini
belum dinasakh, 'Dan Kami jadikan kamu bersuku-suku dan
berkabilah-kabilah supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling
bertakwa.' (QS. Al-Hujurât [49]:13)"
Dalam ketinggian akhlak dan
etika ini, Imam Ar-Ridhâ as. telah mewarisi kakeknya, rasul teragung
saw., yang memiliki keutamaan atas seluruh nabi yang lain dengan
akhlaknya yang tinggi.
Kezuhudan
Tidak
berbeda dengan nenek moyangnya yang senantiasa zuhud terhadap harta
dunia ini, Imam Ar-Ridhâ as. juga selalu memalingkan diri dari segala
kemewahan dan kegemerlapan dunia ini. Kakeknya, Amirul Mukminin as.,
telah menceraikan dunia ini sebanyak tiga kali sehingga ia tidak berhak
merujuknya lagi.
Muhammad bin 'Abbâd pernah meriwayatkan tentang
kezuhudan Imam Ar-Ridhâ as. Ia berkata: "Pada saat musim panas, Ar-Ridhâ
duduk di atas pelepah kurma dan pada saat musim dingin, ia duduk di
atas kain kasar. Pakaiannya terbuat dari kain yang kasar dan ia menghias
diri dengan pakaian tersebut jika ia keluar untuk menjumpai
masyarakat."
Kezuhudan terhadap harta dunia adalah salah satu sifat
dan karakter jiwa Imam Ar-Ridhâ as. yang paling menonjol. Para perawi
hadis dan ahli sejarah sepakat bahwa ketika menduduki posisi sebagai
putra mahkota kerajaan, ia tidak pernah mengenakan satu pun kemegahan
kerajaan yang ada. Tidak hanya itu, ia tidak pernah memberi nilai
sedikit pun terhadap kemegahan tersebut dan juga tidak pernah memiliki
keinginan terhadap protokol resmi kerajaan. Ia sangat membenci
pengagungan yang biasa dilakukan oleh masyarakat terhadap raja-raja
mereka. Pernah diriwayatkan bahwa ia berkata: "Para pengawal yang
berjalan di belakang seseorang adalah fitnah baginya dan kehinaan bagi
mereka."
Keluasan Ilmu Pengetahuan
Imam
Ar-Ridhâ as. adalah figur yang paling 'alim pada masa ia hidup, paling
utama, dan paling tahu terhadap seluruh jenis ilmu pengetahuan, seperti
ilmu Fiqih, Filsafat, Ulumul Qur'an, Medis, dan lain sebagainya.
Al-Hirawî bercerita tentang keluasan ilmu pengetahuannya seraya berkata:
"Aku tidak pernah melihat orang yang lebih 'alim daripada Ali bin Mûsâ
Ar-Ridhâ, dan tidak ada orang 'alim pun yang pernah melihatnya kecuali
ia akan bersaksi seperti kesaksianku. Khalifah Ma'mûn pernah mengundang
beberapa ulama agama-agama lain (selain Islam), para fuqaha, dan ahli
ilmu Kalam dalam beberapa majelis pertemuannya. Ia berhasil mengungguli
mereka semua sehingga tidak tersisa seorang pun dari mereka kecuali
mengakui keutamaannya, sedangkan ia sendiri mengakui kelemahan dirinya.
Aku pernah mendengar ia berkata, 'Pada suatu hari, aku sedang duduk di
Rawdhah, dan juga banyak ulama Madinah yang duduk di situ. Jika salah
seorang dari mereka diminta untuk memecahkan sebuah masalah, mereka
semua menunjuk ke arahku. Akhirnya, mereka mengirimkan masalah tersebut
kepadaku dan aku memecahkannya.'"
Ibrahim bin Abbâs pernah berkata:
"Aku tidak pernah melihat Ar-Ridhâ ditanya tentang suatu masalah
kecuali ia pasti bisa menjawab. Dan aku tidak pernah melihat orang yang
lebih 'alim daripadanya dari sejak zaman awal hingga pada masa ia hidup.
Khalifah Ma'mûn selalu mengujinya dengan pertanyaan-pertanyaan tentang
segala sesuatu, dan ia menjawabnya."
Ma'mûn pernah berkata: "Aku
tidak pernah mengetahui ada seseorang di atas bumi ini yang lebih utama
dari orang ini-yaitu Imam Ar-Ridha."
Perdebatan dan dialog Imam
Ar-Ridhâ as. dengan para ulama di Bashrah, Khurasan, dan Madinah
membuktikan keluasan ilmu pengetahunnya. Para ulama dunia yang telah
diundang oleh Ma'mûn untuk mengujinya juga mengakui keutamaan itu. Tidak
pernah ada utusan ilmiah yang mengadakan pertemuan dengannya kecuali
mereka mengakui keutamaannya. Realita ini memaksa Ma'mûn untuk
mengurungnya dari mata masyarakat supaya mereka tidak terfitnah.
Mutiara Wejangan
Banyak sekali mutiara hikmah, tata krama, wasiat, dan nasihat yang
telah diriwayatkan dari Imam Ar-Ridhâ as. dan sangat bermanfaat bagi
umat manusia. Semua itu membuktikan bahwa ia adalah seorang guru besar
untuk dunia Islam pada masa ia hidup. Ia telah mengerahkan segala
upayanya untuk menyucikan dan mendidik muslimin dengan mutiara-mutiara
hikmah yang ia miliki. Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan
sebagian dari mutiara-mutiara hikmah berharga ini.
Keutamaan Akal
Akal adalah kenikmatan paling utama yang telah dianugerahkan oleh Allah
kepada umat manusia. Dengan akal ini, Dia telah membedakannya dari
binatang. Dalam sebagian hadis, Imam Ar-Ridhâ as. pernah mengisyaratkan
masalah akal ini:
1. Ia berkata: "Sahabat setiap orang adalah akalnya, dan musuhnya adalah kebodohannya."
Alangkah indahnya mutiara hikmah ini. Akal adalah sahabat terbesar yang
dapat menjaga, memelihara, dan menyelematkannya dari seluruh ujian
dunia. Musuh manusia yang paling besar adalah kebodohan yang akan
menjerumuskannya ke dalam jurang kesengsaraan dunia yang sangat dalam.
2. Ia berkata: "Akal yang paling utama adalah pengenalan manusia terhadap dirinya."
Jika manusia mengetahui bagaimana dirinya dibentuk dan juga bagaimana
akan berakhir, niscaya ia telah mendapatkan kebaikan yang banyak.
Pengetahuan ini akan menjauhkannya dari keinginan-keinginan yang jahat
dan mendorongnya untuk memiliki keinginan-keinginan yang baik. Begitu
juga, pengetahuan ini akan menunjukkan jalan baginya untuk mengenal
Penciptanya Yang Maha Agung. Dalam sebuah hadis ditegaskan: "Barang
siapa mengenal dirinya, niscaya ia telah mengenal Tuhannya."
Koreksi Diri
Imam Ar-Ridhâ as. berkata: "Barang siapa mengoreksi diri, niscaya ia
pasti beruntung, dan barang siapa lalai terhadap dirinya, pasti ia telah
merugi."
Jika seseorang bersedia mengoreksi dirinya tentang
kebaikan dan keburukan yang telah dilakukannya, maka tindakan ini
menunjukkan ketinggian jiwa dan kemenangan yang dapat membuahkan
keuntungan dan kebaikan. Hal ini karena ia dapat mencegah dirinya untuk
melakukan keburukan dan menumbuhkan kebaikan. Sedangkan orang yang lalai
untuk mengoreksi dirinya, maka jiwa yang terlalaikan ini akan
menjerumuskannya ke dalam jurang keburukan yang sangat dalam.
Kemuliaan Sebuah Usaha
Imam Ar-Ridhâ as. berkata: "Sesungguhnya pahala orang yang mencari
rezeki untuk menjamin kebutuhan hidup keluarganya adalah lebih agung
daripada pahala mujahid di jalan Allah."
Berusaha dan bekerja untuk
menghidupi keluarga adalah sebuah jihad di jalan Allah, sebuah
kemuliaan yang dapat diperoleh oleh orang yang sedang bekerja, dan
keagungan yang menjadi kebanggaannya.
Manusia Terbaik
Imam Ar-Ridhâ as. pernah ditanya tentang hamba terbaik. Ia menjawab:
"Mereka adalah orang-orang yang berbahagia apabila berbuat kebaikan,
memohon ampunan apabila berbuat keburukan, bersyukur jika diberi,
bersabar apabila ditimpa musibah, dan memaafkan apabila sedang dilanda
amarah."
Sungguh, orang yang memiliki sifat dan karakter-karakter
tersebut adalah orang yang paling utama dan paling mulia yang telah
berhasil menggapai puncak kesempurnaan dan keutamaan.
Wasiat dan Nasihat
1. Imam Ar-Ridhâ as. pernah berwasiat kepada Ibrahim bin Abi Mahmûd
seraya berkata: "Ayahku pernah memberitahukan kepadaku dari nenek
moyangnya bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, 'Barang siapa
mendengarkan ucapan seorang pembicara, sungguh ia telah menyembahnya.
Jika pembicara itu berasal dari sisi Allah, maka ia telah menyembah
Allah, dan apabila ia berasal dari sisi Iblis, sungguh ia telah
menyembah Iblis ... Hai putra Abi Mahmûd, jika masyarakat menempuh jalan
kanan dan jalan kiri, maka tetaplah kamu berpegang teguh kepada agama
kami. Karena, barang siapa tetap berpegang teguh kepada kami, niscaya
kami akan selalu bersamanya, dan barang siapa berpisah dari kami, maka
kami juga akan berpisah darinya. Sesungguhnya tindakan paling sepele
yang dapat mengeluarkan seseorang dari lingkaran keimanan adalah ia
mengatakan bahwa kerikil ini adalah sebutir biji kurma, lalu ia meyakini
ucapannya itu dan membebaskan diri dari orang yang menentang
pendapatnya. Hai putra Abi Mahmûd, jagalah apa yang telah kukatakan
kepadamu ini, karena aku telah mengumpulkan kebaikan dunia dan akhirat
untukmu dalam ucapan ini."
Wasiat ini dipenuhi oleh perintah untuk
mengikuti jejak Ahlul Bait as. dan menempuh jalan sirah mereka. Karena,
hal ini adalah keselamatan dan keamanan dari segala kebinasaan, serta
kemenangan dengan menggapai rida Allah swt.
2. Persamaan antara orang kaya dan orang miskin.
Imam Ar-Ridhâ as. berwasiat kepada para sahabatnya untuk menyamaratakan
antara orang kaya dan orang miskin dalam mengucapkan salam kepada
mereka. Ia pernah berkata: "Barang siapa berjumpa dengan seorang fakir
yang muslim, lalu ia mengucapkan salam kepadanya dengan cara yang
berbeda dengan salamnya kepada orang kaya, maka ia akan berjumpa dengan
Allah 'Azza Wajalla sedangkan Dia dalam keadaan murka terhadapnya."
3. Tersenyum ketika berjumpa dengan seorang mukmin.
Imam Ar-Ridhâ as. berwasiat kepada para sahabat untuk menemui seorang
mukmin dengan wajah yang penuh senyum dan tidak menghadapinya dengan
raut wajah mengkerut. Ia berkata: "Barang siapa menemui saudara
seimannya dengan wajah tersenyum, Allah akan menulis satu kebaikan
baginya, dan barang siapa telah ditulis sebuah kebaikan oleh Allah
baginya, maka Dia tidak akan menyiksanya."
Ini semua adalah akhlak
dan budi pekerti tinggi yang selalu diwasiatkan oleh para imam maksum
as. kepada para sahabat mereka sehingga mereka menjadi panutan yang baik
bagi seluruh masyarakat.
4. Wasiat umum.
Imam Ar-Ridhâ as. pernah berwasiat kepada para sahabat dan masyarakat secara umum dengan wasiat berikut ini:
Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah berkenaan dengan seluruh
nikmat-Nya yang telah dicurahkan atas kalian. Janganlah kamu
menyingkirkan kenikmatan itu dari diri kalian dengan bermaksiat
kepada-Nya. Ketahuilah, kalian semua tidak akan pernah bersyukur kepada
Allah dengan sesuatu-setelah iman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
pengakuan atas hak-hak para wali Allah dari kalangan keluarga Muhammad
saw.-yang lebih dicintai daripada menolong saudara-saudaramu seiman
dalam urusan dunia mereka. Semua ini adalah jembatan bagi kalian untuk
menuju surga-surga Tuhan mereka. Sesungguhnya orang yang telah melakukan
demikian, niscaya ia termasuk hamba-hamba Allah yang istimewa."
Wasiat ini dipenuhi oleh anjuran kepada kita untuk bertakwa kepada Allah
swt., membantu saudara-saudara seiman, dan mencurahkan segala kebajikan
kepada mereka.
Mutiara Hikmah
Banyak
sekali ucapan-ucapan pendek yang telah diriwayatkan dari Imam Ar-Ridhâ
as. dan dipenuhi oleh mutiara-mutiara hikmah yang sangat berharga.
Antara lain:
a. Ia berkata: "Barang siapa mempersiapkan dirinya
untuk berkhidmat kepada seorang penguasa yang zalim, lalu ia ditimpa
malapetaka, maka ia tidak akan diberi pahala karena itu dan juga tidak
akan dianugerahi kesabaran untuk memikulnya."
b. Ia berkata: "Mencintai sesama manusia adalah setengah akal."
c. Ia berkata: "Akan datang sebuah masa di mana keselamatan pada masa
itu tersembunyi dalam sepuluh bagian: sembilan bagian terdapat dalam
menjauhi masyarakat dan satu bagian lagi terdapat dalam berdiam diri
tidak berbicara."
d. Ia berkata: "Orang yang kikir tidak pernah
memiliki ketenangan, orang yang iri hati tidak akan pernah merasakan
kenyamanan, orang yang selalu bosan tidak pernah memiliki kesetiaan, dan
pembohong tidak pernah memiliki harga diri."
e. Ia berkata: "Barang siapa membereskan urusan seorang mukmin, Allah akan membereskan urusannya pada hari kiamat kelak."
f. Ia berkata: "Seorang mukmin adalah saudara sekandung mukmin yang
lain. Terlaknat, terlaknat orang yang menuduh saudaranya! Terlaknat,
terlaknat orang yang menipu saudaranya! Terlaknat, terlaknat orang yang
tidak menasihati saudaranya! Terlaknat, terlaknat orang yang menutup
diri dari saudaranya! Terlaknat, terlaknat orang menggunjing sudaranya!"
Pengetahuan Imam Ar-Ridhâ atas Semua Bahasa
Imam Ar-Ridhâ as. mengetahui semua bahasa. Abu Ismail As-Sindî
bercerita: "Di India, aku pernah mendengar bahwa Allah memiliki seorang
hujah di negeri Arab. Aku melakukan perjalanan untuk mencarinya.
Masyarakat setempat menyuruhku untuk menjumpai Imam Ar-Ridhâ as. Aku pun
pergi menjumpainya. Aku mengucapkan salam kepadanya dengan menggunakan
bahasa Sind, dan ia menjawab salamku dengan bahasa yang sama. Aku
berkata kepadanya, 'Aku pernah mendengar bahwa Allah memiliki seorang
hujah di negeri Arab. Aku mengadakan perjalanan ini untuk mencarinya.'
Ia menjawab, 'Hujah itu adalah saya.' Kemudian ia berkata kepadaku,
'Tanyakanlah apa yang kau inginkan.' Aku pun bertanya banyak masalah
kepadanya dan ia menjawab seluruh pertanyaanku dengan menggunakan
bahasaku."
Abu Shalt Al-Hirawî pernah berkata: "Imam Ar-Ridhâ as.
berbicara dengan masyarakat dunia dengan menggunakan bahasa mereka
masing-masing. Aku pernah menanyakan hal ini kepadanya. Ia menjawab,
'Hai Abu Shalt, saya adalah hujah Allah untuk seluruh makhluk-Nya, dan
Dia tidak pernah mengutus seorang hujah atas sebuah kaum, sedangkan ia
tidak mengetahui bahasa mereka. Apakah kamu tidak pernah mendengar
Amirul Mukminin as. berkata, 'Kami diberi anugerah Fashl Al-Khithâb?
Bukankah Fashl Al-Khithâb itu adalah pengetahuan atas seluruh bahasa?'"
Yâsir Al-Khâdim pernah bercerita: "Di rumahnya, Abul Hasan Ar-Ridhâ as.
memiliki (budak-budak) yang berasal dari daerah Shaqâlibah dan Romawi.
Ia memiliki hubungan yang akrab sekali dengan mereka. Ia pernah
mendengar mereka berbicara dengan bahasa kaum Shaqâlibah dan Romawi
untuk meminta sesuatu, dan ia memberikannya kepada mereka."
Syaikh Muhammad bin Hasan Al-Hurr pernah melantunkan realita ini dalam sebuah bait syairnya berikut ini:
Pengetahuannya terhadap seluruh bahasa, adalah mukjizat dan kekuasaan Ilahi yang paling cerlang.
Fitnah dan Peristiwa
Imam Ar-Ridhâ as. sering memberitahukan kejadian sebuah fitnah dan
peristiwa sebelum semua itu terjadi. Dan setelah itu, semua peristiwa
dan fitnah itu sungguh terjadi. Realita ini menguatkan keyakinan mazhab
Syi'ah bahwa Allah swt. telah menganugerahkan kelebihan ilmu kepada para
imam Ahlul Bait as. sebagaimana Dia pernah menganugerahkan hal itu
kepada para nabi dan rasul-Nya. Di antara berita tersebut adalah, bahwa
Ma'mûn akan membunuh saudaranya sendiri, Amîn bin Zubaidah. Ia
mengutarakan hal ini dengan melantunkan syair berikut ini:
Sungguh kedengkian setelah kedengkian akan menguasai dirimu dan mengeluarkan penyakit yang selama ini terpendam.
Dan tidak lama masa berselang, Ma'mûn pun membunuh saudaranya, Amîn.
Di antara peristiwa-peristiwa yang telah diberitahukan oleh Imam
Ar-Ridhâ as. sebelum terjadi adalah peristiwa pemberontakan Muhammad bin
Imam Ash-Shâdiq as. Ketika Muhammad mengadakan pemberontakan terhadap
Ma'mûn, ia mencercanya seraya berkata: "Hai pamanku, janganlah engkau
membohongkan ayah dan saudaramu-yaitu Imam Al-Kâzhim. Sesungguhnya
tindakanmu ini tidak akan berlangsung sempurna."
Muhammad tidak
menggubris nasihat Imam Ar-Ridhâ dan keluar dengan memproklamirkan
pemberontakannya terhadap Ma'mûn. Tidak lama berselang, bala tentara
Ma'mûn yang dipimpin oleh Al-Jalûdî berhasil mengalahkan mereka.
Muhammad memohon suaka politik dan Al-Jalûdî pun memberikan jaminan
keamanan kepadanya. Al-Jalûdî naik ke atas mimbar seraya berseru:
"Urusan ini akan diserahkan kepada Ma'mûn sepenuhnya."
Juga di
antara peristiwa-peristiwa yang telah diberitahukan oleh Imam Ar-Ridhâ
as. sebelum terjadi adalah musibah besar yang akan menimpa kaum
Barâmikah. Pada suatu hari, Yahyâ Al-Barmakî pernah melewati Imam
Ar-Ridhâ sedangkan Imam Ar-Ridhâ menutupi wajahnya dengan sehelai sapu
tangan supaya tidak terkena debu. Imam Ar-Ridhâ berkata: "Miskin mereka
itu. Mereka tidak tahu apa yang akan menimpa mereka pada tahun ini ...."
Kemudian, ia melanjutkan ucapannya: "Dan ada satu hal lagi yang lebih
mengherankan dari hal ini. Aku dan Hârûn adalah seperti dua jari ini."
Ia merapatkan jari telunjuk kepada jari tengahnya.
Peristiwa yang
telah diprediksikan oleh Imam Ar-Ridhâ as. itu pun terjadi. Tidak lama
berselang, Hârûn Ar-Rasyîd menimpakan musibah dan bencana yang besar
atas kaum Barâmikah. Begitu juga, Hârûn Ar-Rasyîd mati di Khurasan dan
Imam Ar-Ridhâ as. dikuburkan berdekatan dengannya.
Ini adalah
sebagian peristiwa yang telah diberitakan oleh Imam Ar-Ridhâ as. sebelum
terjadi. Kami telah menyebutkan banyak contoh tentang masalah ini dalam
buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ as.
Kedermawanan dan Kemurahan Hati
Kemurahan hati adalah salah satu unsur yang membentuk jati diri Imam
Ar-Ridhâ as. Ia senantiasa berbuat kebajikan kepada orang-orang fakir
dan miskin. Para ahli sejarah telah menyebutkan contoh yang banyak
sekali tentang kemurahan hati dan kedermawanannya ini. Di antaranya
adalah berikut ini:
a. Pada suatu hari Arafah, ia menginfakkan
seluruh harta yang dimiliki kepada orang-orang fakir dan miskin ketika
ia berada di Khurasan, dan dengan itu, ia tidak memiliki harta sepeser
pun. Melihat tindakan ini, Fadhl bin Sahl memprotesnya seraya berkata:
"Sungguh ini adalah sebuah kerugian besar ...."
Imam Ar-Ridhâ as.
menjawab: "Bahkan sebaliknya, ini adalah sebuah keuntungan besar. Jangan
kamu menganggap sebuah tindakan yang engkau pasti mendapatkan pahala
dan karunia sebagai sebuah kerugian ...."
Bukanlah sebuah kerugian
besar harta yang diinfakkan oleh seseorang kepada orang-orang fakir dan
miskin dengan mengharapkan pahala di sisi Allah swt. Kerugian yang
sangat besar adalah harta berlimpah-ruah yang diinfakkan oleh para raja
dan menteri-menteri mereka untuk kepentingan tujuan-tujuan politik dan
pribadi mereka.
b. Pada suatu hari, datang seorang laki-laki
kepada Imam Ar-Ridhâ as. seraya berkata: "Aku adalah salah seorang
pecinta Anda dan pecinta nenek moyang Anda. Aku sudah usai malaksanakan
ibadah haji dan biaya perjalananku telah habis. Aku tidak memiliki
sepeser harta pun yang dapat kugunakan untuk kembali ke tempat
tinggalku. Jika Anda berkehendak, kembalikanlah aku ke daerahku. Jika
aku telah sampai di daerahku, aku akan menyedekahkan seluruh harta yang
Anda berikan kepadaku itu atas nama Anda."
Imam Ar-Ridhâ as.
memerintahkannya untuk duduk. Ia menghadapkan diri kepada hadirin dan
berbicara dengan mereka hingga (usai) dan mereka semua pergi. Yang
tersisa hanyalah Sulaiman Al-Ja'farî dan budaknya. Ia meminta izin
kepada mereka berdua dan masuk ke dalam rumah. Lalu, ia keluar melalui
pintu atas seraya berkata: "Manakah orang yang berasal dari Khurasan
itu?" Orang itu berdiri dan menghampirinya. Imam Ar-Ridhâ as. berkata
kepadanya: "Ambillah dua ratus dinar ini dan gunakanlah untuk nafkah dan
keperluanmu di jalan, serta tidak perlu engkau bersedekah atas namaku."
Orang Khurasan itu mohon pamit dan pergi dengan senang hati lantaran nikmat yang telah dianugerahkan olehnya.
Sulaiman menoleh ke arah Imam Ar-Ridhâ as. seraya bertanya: "Semoga aku
dijadikan tebusan Anda! Anda telah memberikan uang banyak dan karunia
kepadanya. Lalu, mengapa Anda menutupi wajah Anda sehingga tidak
terlihat oleh orang tersebut?"
Imam Ar-Ridhâ as. menjawab: "Aku
bertindak demikian lantaran aku khawatir akan melihat kehinaan
meminta-minta di wajahnya karena aku telah memenuhi hajatnya. Bukankah
kamu mendengar Rasulullah saw. pernah bersabda, 'Orang yang menutupi
perbuatan baiknya, hal itu menyamai tujuh puluh ibadah haji, dan orang
yang melakukan keburukan secara terang-terangan adalah terhina? Apakah
kamu tidak pernah mendengar seorang penyair berkata,
Kapan pun aku mendatanginya untuk memohon sebuah hajat, aku pasti kembali kepada keuargaku dengan membawa karunianya?"
Anda lihat bagaimana kebajikan yang telah dilakukan oleh Imam Ar-Ridhâ
as. tersebut? Ia sungguh tulus hanya karena Allah swt. tidak
mengharapkan pahala dan pujian dari siapa pun.
c. Pernah
seorang miskin menjumpai Imam Ar-Ridhâ as. seraya berkata: "Berikanlah
harta kepadaku sesuai dengan kadar kebaikan dan kemurahan Anda ...."
Imam Ar-Ridhâ as. menjawab: "Aku tidak mampu untuk itu ...."
Kebaikan Imam Ar-Ridhâ as. tidak terbatas, dan ia tidak memiliki harta
sebanyak itu untuk menginfakkannya sekadar kebaikannya tersebut. Orang
miskin itu memahami kekeliruan ucapannya. Akhirnya ia merubah ucapannya
sembari berkata: "Bantulah aku sesuai dengan kadar kebaikan dan
kemurahanku."
Imam Ar-Ridhâ as. menatapnya dengan senyuman penuh
kebahagiaan yang terurai di wajahnya seraya menjawab: "Jika demikian,
aku akan mengabulkan permintaanmu ...." Kemudian, ia memerintahkan
supaya ia diberi uang sebanyak dua ratus dinar.
Ini adalah sebagian
contoh dari kedermawanan dan kemurahan hati Imam Ar-Ridhâ as. Kami
telah menyebutkan banyak contoh tentang hal ini di dalam buku kami yang
berjudul Hayâh Al-Imam Ar-Ridhâ as.
Ibadah
Imam Ar-Ridhâ as. telah meMûsâtkan seluruh jiwa dan raganya hanya untuk
Allah swt. dan mengerjakan segala sesuatu yang dapat mendekatkan dirinya
kepada-Nya. Ibadah telah mendominasi bagian terbesar dari kehidupan
spiritualnya yang terjelmakan dalam bentuk cahaya, ketakwaan, dan wara'.
Sebagian sahabatnya pernah mengaku sembari berkata: "Aku tidak pernah
melihatnya kecuali selalu kulantunkan firman Allah swt. yang berbunyi,
'Mereka sedikit sekali merebahkan diri pada malam hari.'" (QS.
Adz-Dzâriyât [51]:17)
Asy-Syabrâwî pernah menceritakan ibadah Imam
Ar-Ridhâ seraya berkata: "Beliau selalu berwudu dan mengerjakan salat.
Pada seluruh malam, ia senantiasa berwudu, mengerjakan salat, tidur
(sejenak), dan begitu seterusnya hingga fajar menyingsing."
Kami
telah memaparkan ibadah, salat, dan doa-doanya pada saat membaca qunut
dan sujud secara terperinci dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam
Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ as.
Menjadi Putra Mahkota
Salah satu peristiwa historis paling penting yang pernah terjadi pada
masa kekuasaan dinasti Bani Abbâsiyah adalah penyerahan posisi putra
mahkota kepada Imam Ar-Ridhâ as. yang dilakukan oleh Khalifah Ma'mûn,
satu tindakan yang mengindikasikan perpindahan tangan dinasti
kekhalifahan dari Bani Abbâsiyah kepada musuh-musuh mereka dari kalangan
Bani Ali as. Masyarakat merasa heran dengan keputusan ini dan seluruh
majelis pertemuan umum dan khusus membicarakan peristiwa yang sangat
penting ini. Hal itu lantaran garis politik yang telah ditentukan oleh
Bani Abbâsiyah adalah membasmikan Bani Ali as. Mereka telah membantai
kalangan pemuda mereka dan melemparkan anak-anak kecil mereka ke dalam
sungai Dajlah. Tidak hanya itu, mereka juga mencari setiap pengikut
mereka meskipun mereka bersembunyi di balik bebatuan dan tanah. Dengan
demikian, permusuhan Bani Abbâsiyah terhadap Bani Ali sudah menjadi
rahasia umum. Dengan itu semua, bagaimana mungkin permusuhan yang sangat
keras tersebut bisa berubah menjadi rasa cinta kasih, pengakuan
terhadap hak-hak mereka, dan penyerahan pucuk kepemimpinan pemerintah
terpenting kepada mereka? Inilah yang selalu dipertanyakan oleh khalayak
ramai saat itu.
Satu hal yang pasti, Ma'mûn melakukan tindakan ini
bukan lantaran ia meyakini hak-hak Bani Ali dan bahwa mereka adalah
figur-figur yang lebih berhak atas kekhalifahan daripada dirinya
sendiri. Ia mengangkat Imam Ar-Ridhâ as. menjadi putra mahkota karena
dorongan faktor-faktor tertentu, di antaranya adalah sebagai berikut
ini:
a. Ia merasa tidak memiliki posisi penting di dalam
dinasti Bani Abbâsiyah. Hal itu lantaran ibunya, Murâjil, hanyalah
seorang sahaya dan pembantu istana. Atas dasar ini, mereka
memperlakukannya sebagai orang biasa, dan lebih memperlakukan
saudaranya, Amîn, dengan penuh penghormatan yang istimewa. Hal itu
karena ibunya, Zubaidah, berasal dari keluarga ningrat asli Bani
Abbâsiyah. Atas dasar ini, Ma'mûn ingin menutup mulut keluarganya dengan
mengangkat Imam Ar-Ridhâ as. sebagai putra mahkota.
b. Di
antara tujuan yang telah disusun oleh Ma'mûn ketika mengangkat Imam
Ar-Ridhâ as. sebagai putra mahkota adalah ia ingin menampakkan kepada
masyarakat ramai bahwa Imam Ar-Ridhâ bukanlah sosok figur yang zuhud
terhadap kegemerlapan dunia. Malah, ia adalah salah seorang pecinta
kerajaan dan kekuasaan. Dan hal ini dibuktikan dengan penerimaannya
untuk menjadi putra mahkota.
Politik licik ini tidak tersembunyi
bagi Imam Ar-Ridhâ as. Oleh karena itu, ia mengajukan beberapa syarat
kepada Ma'mûn, yaitu ia tidak mau mengangkat siapa pun menjadi pejabat
ngara, tidak menurunkan seorang pejabat negara pun, dan supaya ia berada
jauh dari hiruk-pikuk urusan pemerintahan. Syarat-syarat ini
mengindikasikan kezuhudannya terhadap kekuasaan.
c. Mayoritas
pasukan militer Ma'mûn, baik dalam jajaran komandan maupun prajurit
biasa, didominasi oleh para pengikut Syi'ah. Dengan mengangkat Imam
Ar-Ridhâ as. menjadi putra mahkota ini, ia ingin menarik kecintaan dan
kesetiaan mereka.
d. Revolusi dan pemberontakan-pemberontakan
dengan motivasi menentang kekhalifahan dinasti Bani Abbâsiyah telah
meledak di seluruh penjuru negeri Islam. Semua ini mengindikasikan
keruntuhan dinasti dan ketamatan riwayat dirinya. Syiar dan slogan para
pemberontak adalah mengajak masyarakat untuk berpihak kepada Ar-Ridhâ
dari keluarga Muhammad saw. Ketika Imam Ar-Ridhâ as. dibaiat menjadi
putra mahkota, para pemberontak mengaminkan baiat tersebut dan mereka
rela membaiat Ma'mûn. Dengan ini semua, ia telah terbebaskan dari bahaya
yang selama itu mengancam kedaulatan negaranya. Tindakan dan keputusan
yang telah diambil oleh Ma'mûn ini tergolong keputusan kelas utama dalam
dunia diplomatik. Dengan itu semua, ia telah berhasil menguasai seluruh
peristiwa yang selalu mengancam negaranya.
Ini adalah sebagian tujuan yang memaksa Ma'mûn untuk mengangkat Imam Ar-Ridhâ as. menjadi putra mahkota.
Surat Fadhl kepada Imam Ar-Ridha
Ma'mûn memerintahkan Perdana Menterinya, Fadhl bin Sahl, untuk menulis
sepucuk surat kepada Imam Ar-Ridhâ as. dengan harapan supaya ia bersedia
menerima kekhalifahan dari Ma'mûn. Isi suratnya adalah sebagai berikut:
Untuk Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ dan putra Rasulullah saw. Al-Mushthafâ,
yang petunjuknya layak untuk diikuti, yang seluruh tindakan dan
perilakunya layak dijejaki, penjaga agama Allah, dan penyimpan wahyu
Allah. Dari hambanya, Fadhl bin Sahl, yang telah berusaha untuk
mengembalikan hak kepada jantungnya dengan tak mengenal siang dan malam.
Salam atasmu, wahai figur yang telah mendapatkan petunjuk, juga rahmat
dan berkah Allah. Aku bersyukur untuk Anda kepada Allah yang tiada tuhan
selain Dia dan aku memohon kepada-Nya supaya mencurahkan salawat atas
Muhammad, hamba-Nya. Amma ba'du:
Aku berharap semoga Allah telah
menepati untuk Anda dan mengizinkan bagi Anda untuk mengembalikan hak
Anda (kepada Anda) dari orang yang telah meremehkan Anda. Begitu juga
semoga Dia memperagung anugerah-Nya kepada Anda dan menjadikan Anda
sebagai pemimpin pewaris dan memperlihatkan kepada musuh-musuh Anda dan
orang-orang yang membenci Anda apa yang selama ini mereka khawatirkan.
Sesungguhnya suratku ini kutulis atas harapan dari Amirul Mukminin
Abdullah Imam Al-Ma'mûn dan dariku juga supaya aku mengembalikan hak
Anda yang telah terzalimi itu kepada Anda, menetapkan hak-hak Anda di
dalam kedua tangan Anda, dan menyerahkan semua hak itu sepenuhnya kepada
Anda dengan harapan semoga Allah-yang mengetahui semua
itu-menjadikanku-dengan itu semua-sebagai manusia yang paling berbahagia
di dunia ini, termasuk dalam golongan orang-orang yang menang di
sisi-Nya, termasuk dalam golongan orang-orang yang melaksanakan hak
Rasulullah saw., dan juga termasuk dalam golongan orang-orang yang
menolong Anda sehingga-di bawah wilâyah dan kekuasaan negara Anda-aku
dapat menggapai dua kebahagiaan itu.
Apabila suratku ini telah
sampai di tangan Anda dan memungkinkan bagi Anda untuk tidak
menyia-nyiakannya sehingga Anda pergi berjumpa dengan Amirul
Mukminin-yang memandang Anda sebagai partnernya dalam setiap urusan,
memiliki kesamaan nasab keturunan, dan orang yang paling berhak atas
segala sesuatu yang berada di bawah kekuasannya ..., niscaya Anda telah
melakukan tindakan yang tentang itu aku telah dikelilingi oleh kehendak
Allah, telah dijaga oleh para malaikat-Nya, dan telah dipelihara oleh
penjagaan-Nya. Sesungguhnya Allah menanggung seluruh kebaikan yang akan
kembali kepada diri Anda dan kemalsahatan umat ini lantaran tindakan
Anda. Cukuplah Allah bagi kita dan Dia adalah sebaik-baik wakil.
Wassalamu'alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Surat ini dipenuhi oleh curahan gelar-gelar yang mulia dan sifat-sifat
yang agung bagi Imam Ar-Ridhâ as., sebagaimana juga berisi permohonan
untuk mengembalikan kekhalifahan kepadanya. Semua itu tertuang atas
usaha Fadhl dan Ma'mûn. Ia memohon kepada Imam Ar-Ridhâ as. untuk
bergegas pergi ke Khurasan demi memegang tampuk kekhalifahan. Kami tidak
menemukan jawaban Imam Ar-Ridhâ atas surat yang telah dikirim oleh
pejabat tertinggi kerajaan dinasti Bani Abbâsiyah ini. Menurut sangkaan
yang kuat, ia tidak menjawab surat tersebut lantaran ia mengetahui
seluruh kebohongan yang telah tertuang di dalamnya.
Para Delegasi Ma'mûn kepada Imam Ar-Ridhâ as.
Ma'mûn mengutus delegasi resmi untuk menghadirkan Imam Ar-Ridhâ as.
dari Yatsrib (Madinah) ke Khurasan. Ia memerintahkan kepada kepala
delegasi untuk membawanya melalui daerah Bashrah dan Ahwaz, lalu ke
Fars. Ia memerintahkannya supaya tidak membawa Imam Ar-Ridhâ as. melalui
Kufah dan Qom, seperti yang telah dijanjikan kepada Imam Ar-Ridhâ as.
sebelumnya.
Sangat gamblang sekali alasan mengapa Ma'mûn
memerintahkan supaya Imam Ar-Ridhâ as. dibawa melalui jalan Bashrah,
bukan Kufah dan Qom. Hal itu lantaran kedua kota tersebut adalah pusat
para pengikut mazhab Syi'ah. Jika ia dibawa melalui kedua kota tersebut,
Ma'mûn khawatir ia akan disambut oleh masyarakat setempat dengan segala
penghormatan dan pengagungan, satu realita yang dapat melemahkan pusat
kekuasaannya dan seluruh Bani Abbâsiyah.
Delegasi Ma'mûn bergegas
berangkat hingga tiba di Yatsrib. Mereka menghadap kepada Imam Ar-Ridhâ
as. dan mengutarakan perintah-perintah Ma'mûn kepadanya. Ia tidak
memiliki jalan lain kecuali harus menerima perintah itu, sedangkan ia
yakin bahwa permintaan Ma'mûn supaya ia menjadi putra mahkota dan
khalifah itu hanyalah sebuah sandiwara politik. Tujuan aslinya adalah
memusnahkan dirinya secara fisik.
Dengan seluruh kesedihan dan
keputusasaan atas kehidupan dunia ini, Imam Ar-Ridhâ as. pergi menghadap
makam suci kakeknya, Rasulullah saw., dengan air mata hangat
berkucuran. Ia mengucapkan salam perpisahan terakhir kepada sang kakek
tercinta itu.
Muhawwil As-Sijistânî meriwayatkan tata cara
perpisahan Imam Ar-Ridhâ as. dengan kakeknya ini. Ia berkata: "Ketika
delegasi datang untuk membawa Imam Ar-Ridhâ ke Khurasan, aku pada waktu
itu berada di Madinah. Ia masuk ke dalam masjid untuk mengucapkan salam
perpisahan dengan kakeknya, Rasulullah saw. Ia mengucapkan salam
perpisahan itu berkali-kali, sedangkan suaranya melengking dengan
tangisan dan isakan. Aku maju ke depan dan mengucapkan salam kepadanya.
Ia menjawab salamku. Aku mengucapkan selamat kepadanya atas kedudukan
yang akan diserahkan kepadanya itu. Ia menjawab, 'Biarkanlah aku. Aku
akan keluar dari sisi kakekku saw. dan aku akan meninggal dunia dalam
kesendirian dan dikuburkan di samping Hârûn.'
Aku pun pergi mengikuti jalan Imam Ar-Ridhâ sehingga ia meninggal dunia di Thûs dan dimakamkan di samping Hârûn."
Menuju ke Baitullah Al-Haram
Sebelum beranjak berangkat menuju ke Khurasan, Imam Ar-Ridhâ as.
singgah terlebih dahulu di Baitullah Al-Haram untuk melakukan umrah.
Sebagian besar keluarganya juga ikut serta dalam perjalanan ini. Di
antara mereka adalah putranya, Imam Muhammad Al-Jawâd as. Ketika sampai
di Baitullah yang agung itu, ia lantas melakukan tawaf dan lalu
mengerjakan salat di belakang Maqam Ibrahim as. Setelah itu, ia
melakukan sa'i dan selanjutnya mencukur rambut.
Imam Al-Jawâd as.
juga melakukan ibadah umrah bersama ayahandanya. Ketika sampai di Hijir
Ismail, ia duduk di situ, sedangkan kesedihan dan kesusahan menguasai
raut wajahnya. Muwaffaq Al-Khâdim menemuinya dan memohon kepadanya
supaya berdiri. Ia menolak untuk berdiri. Muwaffaq bergegas menemui Imam
Ar-Ridhâ as. untuk memberitahukan kondisi putranya itu. Imam Ar-Ridhâ
as. pun bergegas menemuinya seraya meminta supaya Imam Al-Jawâd as.
berdiri. Imam Al-Jawâd as. menerima permintaan sang ayah sembari
melantunkan keluhan-keluhan yang melukiskan kesedihan dan kesusahan
seraya berkata: "Bagaimana mungkin aku berdiri dan pergi, sedangkan aku
telah mengucapkan selamat tinggal kepada Baitullah, ucapan selamat
tinggal yang tidak mungkin berjumpa lagi setelah itu?"
Imam
Al-Jawâd as. telah melihat kesedihan dan petaka yang akan menimpa sang
ayah. Ia memprediksikan dari peristiwa ini bahwa hal ini adalah akhir
dari kehidupan ayahnya.
Menuju ke Khurasan
Imam Ar-Ridhâ as. meninggalkan Baitullah Al-Haram untuk menuju ke
Khurasan. Ia tidak singgah di sebuah kota dan daerah kecuali penduduk
kota dan daerah tersebut menyambutnya dengan penuh pemuliaan dan
pengagungan. Mereka memohon kepadanya untuk bertamu di rumah mereka
masing-masing demi mempersembahkan khidmat kepadanya. Atas sambutan yang
hangat tersebut, ia sangat berterima kasih kepada mereka.
Di Nisyabur
Kafilah Imam Ar-Ridhâ as. bergerak cepat tak memperdulikan padang pasir
yang gersang. Akhirnya, kafilah agung ini sampai di Nisyabur. Ia
disambut secara resmi oleh penduduk setempat dengan penyambutan yang tak
ada tandingannya. Para ulama dan fuqaha yang dipelopori oleh Yahyâ bin
Yahyâ, Ishâq bin Râhawaeh, Muhammad bin Râfi', Ahmad bin Harb, dan
selain mereka mengerumuninya. Ketika masyarakat melihatnya, mereka
melantunkan takbir dan pujian kepada Allah. Tangisan pun mendominasi
situasi. Para ulama dan orator berseru dengan suara yang lantang: "Wahai
manusia, diam dan sadarlah. Janganlah kamu sakiti putra Rasulullah saw.
ini."
Masyarakat pun diam tak bersuara. Para ulama memohon kepada
Imam Ar-Ridhâ as. untuk meriwayatkan sebuah hadis yang memiliki sanad
bersambung kepada kakeknya, Rasulullah saw. Ia (memenuhi permohonan
mereka itu seraya) berkata: "Aku mendengar Mûsâ bin Ja'far pernah
berkata, 'Aku mendengar ayahku, Ja'far bin Muhammad pernah berkata, 'Aku
mendengar ayahku, Muhammad bin Ali pernah berkata, 'Aku mendengar
ayahku, Ali bin Al-Husain pernah berkata, 'Aku mendengar ayahku,
Al-Husain bin Ali pernah berkata, 'Aku mendengar ayahku, Ali bin Abi
Thalib pernah berkata, 'Aku mendengar Nabi saw. pernah bersabda, 'Allah
swt. berfirman, 'Lâ ilâha illallâh adalah benteng-Ku. Maka barang siapa
yang masuk ke dalam benteng-Ku, niscaya ia akan aman dari siksa-Ku dan
barang siapa masuk ke dalam benteng-Ku, niscaya ia akan aman dari
siksa-Ku.' Akan tetapi, dengan syarat-syaratnya, dan aku adalah salah
satu dari syarat-syarat tersebut."
Hadis ini ditulis oleh para
perawi hadis yang berjumlah sekitar dua puluh ribu perawi. Hadis ini
dinamakan Hadis Emas, lantaran hadis ini ditulis dengan tinta-tinta
emas. Sanad hadis tersebut termasuk sanad hadis yang paling agung dan
bernilai.
Ahmad bin Hambal berkata: "Seandainya sanad hadis ini
dibacakan kepada orang yang gila, niscaya ia akan sembuh dari penyakit
gilanya itu." Sebagian raja dinasti Sâmâniyah berwasiat supaya hadis ini
ditulis dengan tinta emas dan dikuburkan bersama dirinya.
Ma'mûn Menyambut Imam Ar-Ridha
Ma'mûn mengeluarkan perintah untuk menyambut Imam Ar-Ridhâ as. dengan
penyambutan resmi kerajaan. Seluruh angkatan bersenjata dan rakyat
keluar untuk menyambutnya. Ma'mûn berdiri di barisan paling depan dengan
disertai oleh para menteri dan anggota Dewan Musyawarah Kerajaan. Ia
bergegas maju ke depan untuk menyambut dan menjabat tangan Imam
Ar-Ridhâ, serta memeluknya. Ia menyambutnya dengan sambutan yang sangat
hangat. Para menterinya juga melakukan hal yang sama. Ma'mûn menyediakan
satu rumah khusus untuknya. Rumah itu dihampari permadani-permadani
yang paling mewah dan dilengkapi dengan pembantu-pembantu (yang selalu
siap melaksanakan segala titah).
Ma'mûn Menawarkan Kekhalifahan kepada Imam Ar-Ridhâ as.
Ma'mûn mengutarakan masalah kekhalifahan kepada Imam Ar-Ridhâ as. Ia
berkeinginan untuk mengundurkan diri secara resmi dan menyerahkan
kedudukan ini kepada Imam Ar-Ridhâ sepenuhnya. Ia berkata: "Wahai putra
Rasulullah, aku telah mengetahui keutamaan, ilmu pemgetahuan, kezuhudan,
wara', dan ibadah Anda. Oleh karena itu, menurut pendapatku, Anda
adalah lebih pantas daripada aku untuk memegang tampuk kekhalifahan
ini."
Imam Ar-Ridhâ as. menjawab: "Dengan zuhud terhadap
kegemerlapan dunia aku mengharapkan keselamatan dari kejahatan dunia.
Dengan menahan diri dari hal-hal yang haram aku mengharapkan dapat
menggapai segala keuntungan (akhirat). Dan dengan kerendahan hati di
dunia ini aku mengharapkan ketinggian kedudukan di sisi Allah ...."
Ma'mûn bergegas menimpali: "Sesungguhnya aku ingin mencabut diriku dari kekhalifahan ini dan menyerahkannya kepada Anda."
Seluruh niat licik Ma'mûn tidak tersembunyi bagi Imam Ar-Ridhâ as. Ia
mengusulkan kekhalifahan itu kepadanya hanya untuk menggapai
tujuan-tujuan politiknya. Bagaimana mungkin ia akan mengundurkan diri
dari kursi kekhalifahan, sedangkan ia telah tega membunuh saudaranya,
Amîn untuk merebutnya? Lalu, bagaimana mungkin ia menyerahkannya kepada
Imam Ar-Ridhâ as.?
Imam Ar-Ridhâ as. menepis segala usaha Ma'mûn dan
memberikan jawaban yang tegas kepadanya sembari berkata: "Jika
kekhalifahan ini adalah hakmu, maka tidak boleh engkau melepas pakaian
yang telah dipakaikan oleh Allah kepadamu dan memberikannya kepada orang
lain. Dan jika kekhalifahan ini bukan hakmu, maka engkau tidak boleh
memberikan kepadaku sesuatu yang bukan milikmu."
Mendengar jawaban
ini, Ma'mûn marah besar dan mengancam Imam Ar-Ridhâ as. seraya berkata:
"Engkau harus menerima kekhalifahan ini ...."
Imam Ar-Ridhâ as. menjawab: "Aku tidak akan menerima kekhalifahan lantaran aku taat kepadamu ...."
Imam Ar-Ridhâ yakin seratus persen bahwa penyerahan kekhalifahan itu
adalah suatu usaha yang bohong dan tidak serius. Ma'mûn berasal dari
keluarga Bani Abbâsiyah yang selalu merasa iri hati dan benci kepada
Ahlul Bait as. Mereka telah melakukan tindakan-tindakan zalim kepada
Ahlul Bait as. yang tidak pernah dilakukan oleh dinasti Bani Umayyah.
Dengan ini semua, bagaimana mungkin ia bisa mempercayainya?
Kedudukan Putra Mahkota Ditawarkan kepada Imam Ar-Ridha
Ketika Ma'mûn sudah merasa putus asa memaksa Imam Ar-Ridhâ as. untuk
menerima kekhalifahan, untuk kali kedua ia menawarkan kepadanya untuk
menerima kedudukan sebagai putra mahkota kerajaan. Imam Ar-Ridhâ as. pun
menolak tawaran tersebut dengan keras. Seluruh usaha Ma'mûn untuk
mewujudkan cita-citanya itu berlangsung selama dua bulan, dan tidak
mendapatkan hasil sedikit pun. Imam Ar-Ridhâ as. selalu menghela untuk
menerima kedudukan pemerintahan apapun yang ditawarkan kepadanya.
Imam Ar-Ridhâ Dipaksa untuk Bersedia Menjadi Putra Mahkota
Seluruh cara diplomatik yang telah dicoba oleh Ma'mûn untuk merelakan
Imam Ar-Ridhâ as. menjadi putra mahkota kerajaan menemui jalan buntu.
Oleh karena itu, ia berinisiatif untuk menempuh jalan pemaksaan.
Akhirnya, ia mengutus pesuruh kerajaan untuk memanggil Imam Ar-Ridhâ as.
menghadap. Imam Ar-Ridhâ as. berkata kepadanya: "Demi Allah, aku tidak
pernah berbohong dari sejak Tuhanku 'Azza Wajalla menciptakanku ...
Sesungguhnya aku tahu apa yang engkau inginkan."
Ma'mûn bergegas bertanya: "Apa yang kuinginkan?"
Imam Ar-Ridhâ as. menimpali: "Apakah engkau menjamin keamananku?"
"Kujamin keamananmu," jawabnya pendek.
Imam Ar-Ridhâ as. berkata: "Engkau ingin supaya masyarakat berpendapat,
'Ali bin Mûsâ telah mengabaikan kezuhudan terhadap dunia. Malah, dunia
yang enggan menempel dengannya (dan ia mengejar-ngejarnya). Jika tidak
demikian, bagaimana mungkin ia menerima kedudukan sebagai putra mahkota
jika bukan karena tamak terhadap kekhalifahan?'"
Ma'mûn marah besar.
Ia berteriak atas Imam Ar-Ridhâ as. sembari berkata: "Engkau senantiasa
melontarkan ucapan-ucapan yang tidak kusenangi. Aku telah menjaminmu
dari amarahku. Demi Allah, jika engkau menerima kedudukan sebagai putra
mahkota, maka itulah yang kuharapkan, dan jika engkau enggan
menerimanya, aku akan memaksamu. Jika engkau menurut, maka itulah
harapanku, dan jika engkau tidak menurut, maka aku akan memenggal
lehermu."
Imam Ar-Ridhâ as. menghadapkan diri kepada Allah seraya
berdoa: "Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah melarangku untuk
menjerumuskan diriku ke dalam jurang kebinasaan. Aku telah dipaksa dan
terpaksa lantaran aku mendapatkan ancaman untuk dibunuh oleh Abdullah
Ma'mûn apabila aku tidak menerima kedudukan sebagai putra mahkota. Aku
telah dipaksa dan terpaksa sebagaimana Yusuf dan Daniyal terpaksa
menerima kepemimpinan dari tangan penguasa zalim pada masa mereka."
Dengan segala keterpaksaan, Imam Ar-Ridhâ as. menerima kedudukan sebagai putra mahkota, sedangkan ia menangis dan sedih.
Syarat-syarat yang Diajukan oleh Imam Ar-Ridhâ as.
Imam Ar-Ridhâ as. memberikan beberapa syarat kepada Ma'mûn untuk
menerima kedudukan itu. Seluruh syarat itu menunjukkan bahwa ia dipaksa
harus menerima kedudukan tersebut. Syarat-syarat tersebut adalah:
a. Tidak mengangkat seseorang untuk menjadi pejabat negara.
b. Tidak memberhentikan seseorang dari kedudukannya sebagai pejabat negara.
c. Tidak bersedia membatalkan satu pun dari ritual-ritual resmi negara.
d. Menjadi penasihat negara dari jauh (baca: secara tidak resmi).
Ma'mûn terpaksa menyetujui syarat-syarat yang sangat bertentangan
dengan tujuan-tujuan (politik)nya itu. Kami telah memaparkan teks surat
pengangkatannya sebagai putra mahkota dan butir-butir yang telah
ditentukan oleh kerajaan dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Ali
bin Mûsâ Ar-Ridhâ as.
Pembaiatan Imam Ar-Ridhâ as.
Ma'mûn mengadakan sebuah acara resmi istimewa yang dihadiri oleh para
menteri, petinggi militer, para pembesar kerajaan, dan tokoh-tokoh
penting masyarakat. Acara resmi ini ditujukan untuk membaiat Imam
Ar-Ridhâ as. sebagai putra mahkota kerajaan. Orang pertama yang
melakukan baiat adalah Abbâs bin Ma'mûn yang langsung diikuti oleh Bani
Abbâsiyah dan Bani Ali as.
Tata cara pembaiatan ini sangat berbeda
dan tidak pernah dialami oleh Bani Abbâsiyah selama itu. Imam Ar-Ridhâ
as. mengangkat tangannya. Bagian belakang telapak tangannya menghadap ke
wajahnya sendiri dan telapak tangannya menghadap ke wajah para
pembaiat. Ma'mûn terkejut dengan cara pembaiatan semacam ini seraya
berkata: "Julurkanlan tanganmu untuk dibaiat."
Imam Ar-Ridhâ as. menjawab: "Sesungguhnya dengan cara beginilah Rasulullah saw. dibaiat."
Mungkin tindakannya ini bersandarkan kepada firman Allah swt. yang
berbunyi: "Tangan Allah berada di atas tangan mereka." (QS. Al-Fath
[48]:10) Dengan demikian, tangan pembaiat tidak layak berada di atas
tangan Rasulullah saw. dan Imam Ar-Ridhâ as.
Keputusan-Keputusan Penting
Ma'mûn mengeluarkan surat keputusan-surat keputusan penting dalam
rangka pengangkatan Imam Ar-Ridhâ as. sebagai putra mahkota. Surat
keputusan-surat keputusan tersebut adalah:
a. Gaji seluruh anggota militer dan tentara diberikan untuk setahun penuh.
b. Larangan untuk mengenakan pakaian berwarna hitam yang merupakan
pakaian simbol Bani Abbâsiyah dan perintah untuk mengenakan pakaian
berwarna hijau, lantaran pakaian berwarna hijau adalah pakaian para
penduduk surga. Allah swt. berfirman: "Dan mereka mengenakan pakaian
berwarna hijau yang terbuat dari sutra." (QS. Al-Kahf [18]:31)
c. Mencetak dinar dan dirham kerajaan dengan dibubuhi nama Imam Ar-Ridhâ as.
Ketakutan Ma'mûn Terhadap Imam Ar-Ridha
Tidak lama berlalu dari penobatan Imam Ar-Ridhâ as. sebagai putra
mahkota, Ma'mûn mulai gelisah. Ia merasa takut dan khawatir atas
masyarakat banyak yang selalu berkumpul mengerumuninya. Seluruh
pertemuan dan majelis selalu membicarakan keutamaan dan ketinggian
pribadinya, serta bahwa ia sangatlah layak untuk menduduki kursi
kekhalifahan dan Bani Abbâsiyah tidak lain adalah keluarga pencuri dan
pembikin keonaran. Ma'mûn marah besar. Oleh karena itu, ia mengambil
keputusan-keputusan berikut ini:
a. Melakukan penjagaan ketat atas
Imam Ar-Ridhâ as. dengan meletakkan kekuatan-kekuatan keamanan yang
selalu siap menghitung keluar masuk napasnya. Kepemimpinan penjagaan
ketat ini diserahkan kepada Hisyâm bin Ibrahim Ar-Râsyidî. Ia selalu
melaporkan setiap ucapan yang keluar dari mulut Imam Ar-Ridhâ as.
b.
Melarang para pengikut Syi'ah untuk menghadiri majelis pertemuan Imam
Ar-Ridhâ as. dan mendengarkan ucapan-ucapannya. Ma'mûn menyerahkan
urusan ini kepada penjaga pintu istana yang bernama Muhammad bin 'Amr
Ath-Thûsî. Ia selalu mengusir para Syi'ah dan memperlakukan mereka
dengan penuh kekerasan.
c. Melarang para ulama untuk mengadakan hubungan dengan Imam Ar-Ridhâ as. dan menimba ilmu pengetahuan darinya.
Imam Ar-Ridhâ Dibunuh
Ma'mûn sendiri yang telah membunuh Imam Ar-Ridhâ as. Ia memasukkan
racun yang membinasakan ke dalam buah anggur atau delima. Ketika Imam
Ar-Ridhâ as. memakan buah tersebut, racun merayap ke sekujur tubuh
sucinya. Tidak lama berselang, jiwanya harus menghadap ke haribaan Ilahi
dengan diiringi oleh para malaikat Rahman dan dijemput oleh roh para
nabi as. di surga keabadian.
Imam Ar-Ridhâ as. pergi menghadap Tuhan
Yang Kudus setelah ia melaksanakan tugas menyebarkan risalah Allah
kepada para hamba-Nya. Ia tidak pernah ikut campur tangan dalam
akfititas kerajaan Ma'mûn, dan sebagai gantinya, ia telah menerima
segala macam kezaliman dan panganiayaan darinya.
Acara Ritual Pemakaman Tubuh Imam Ar-Ridha
Tubuh Imam Ar-Ridhâ as. diantarkan ke liang lahat dengan acara ritual
pemakaman yang sangat agung yang tidak pernah disaksikan oleh kota
Khurasan di sepanjang sejarahnya. Kantor-kantor resmi kerajaan,
pusat-pusat perdagangan, dan seluruh kegiatan masyarakat libur total.
Seluruh lapisan masyarakat keluar dari rumah-rumah mereka untuk
mengantarkan tubuh suci Imam Ar-Ridhâ as. Tampak di barisan paling depan
adalah Ma'mûn, para menterinya, para pembesar kerajaan, dan petinggi
angkatan militer kerajaan. Ma'mûn keluar dengan kepala dan kaki
telanjang. Ia berkata dengan suara yang nyaring: "Aku tidak tahu musibah
manakah yang paling besar di antara dua musibah yang telah menimpaku
ini: aku kehilanganmu dan harus berpisah denganmu atau tuduhan
masyarakat bahwa aku telah membunuhmu?"
Ma'mûn menampakkan kesedihan
dan kesusahan yang sangat dalam atas kepergian Imam Ar-Ridhâ as. demi
membebaskan dirinya dari tuduhan membunuhnya tersebut. Akan tetapi,
tidak lama berselang seluruh kelicikan dan riya' hatinya tersingkap di
mata khalayak ramai. Mereka akhirnya tahu bahwa orang yang bertanggung
jawab atas pembunuhan Imam Ar-Ridhâ as. itu adalah Ma'mûn sendiri.
Tubuh suci Imam Ar-Ridhâ as. dikeluarkan dengan disertai takbir dan
tahlil yang menggema. Ma'mûn menguburkan tubuh suci itu di
persemayamannya yang terakhir di dekat kuburan Hârûn. Dengan
kepergiannya itu, seluruh kemuliaan umat manusia dan karakter-karakter
tinggi insani pun terkubur juga.
Imam Ar-Ridhâ as. telah dimakamkan
di tanah yang suci tersebut, dan makam sucinya di Khurasan menjadi
lambang kemuliaan insani. Makamnya ini adalah makam termulia di dalam
agama Islam. Umat manusia tidak pernah mengenal makam seorang wali Allah
yang dipenuhi oleh kemuliaan dan keagungan seperti makam Imam Ar-Ridhâ
as. ini.
Ma'mûn pernah ditanya mengapa Imam Ar-Ridhâ as. dimakamkan
di dekat kubur Hârûn. Ia menjawab: "Supaya Allah mengampuni ayahku
lantaran berdekatan dengan Ar-Ridhâ."
Penyair dunia pemikiran Islam,
Di'bil Al-Khuzâ'î mengolok-olok logika murahan ini seraya
menyenandungkan bait-bait syair berikut:
Ada dua kuburan di Thûs:
satu kuburan manusia terbaik, dan satu lagi kuburan manusia terburuk.
Alangkah ini adalah sebuah palajaran.
Kotoran tak akan bersih dengan berada dekat orang yang suci, dan orang suci pun tak 'kan ternodai dengan berada dekat kotoran.
Tidaklah demikian! Setiap orang menanggung segala perbuatannya,
baginyalah kedua tangannya, maka ambillah yang kau sukai atau
tinggalkan.
Ala kulli hal, dengan kepergian Imam Ar-Ridhâ as., satu
lembaran (sejarah) dunia Islam yang cerlang dengan petunjuk dan keimanan
telah sirna. Muslimin pun telah kehilangan pemimpin dan imam teragung
mereka. Innâ lillâh wa innâ ilaih râji'ûn.
Catatan Kaki:
Hayâh Al-Imam Ar-Ridhâ as., jilid 1, hal. 10.
Nûr Al-Abshâr, hal. 138.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 12, hal. 28.
'Uyûn Akhbâr Ar-Ridhâ, jilid 2, hal. 178; Al-Manâqib, jilid 4, hal. 361.
Kasyf Al-Ghummah, jilid 3, hal. 107.
Dalam sebuah naskah yang lain terdapat ungkapan"kecuali ia mengetahui".
Hayâh Al-Imam Al-Jawâd as., hal. 42.
A'yân Asy-Syi'ah, jilid 4, hal. 200.
Ushûl Al-Kâfî, jilid 1, hal. 11; Wasa'il sy-Syi'ah, jilid 11, hal. 161.
A'yân Asy-Syi'ah, jilid 4, hal. 196, bagian kedua.
Ushûl Al-Kâfî, jilid 2, hal. 111.
Tuhaf Al-'Uqûl, hal. 445.
Ibid.
Wasâ'il Asy-Syi'ah, jilid 18, hal. 92.
Ibid., jilid 8, hal. 442.
Ibid., hal. 483.
Ad-Durr An-Nazhîm, hal. 215.
Târîkh Al-Ya'qûbî, jilid 3, hal. 181.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 78, hal. 335.
Tuhaf Al-'Uqûl, hal. 446.
Ibid.
Wasâ'il Asy-Syi'ah, jilid 12, hal. 587.
Ibid., jilid 8, hal. 563.
Hayâh Al-Imam Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ as., jilid 1, hal. 38.
Al-Manâqib, jilid 4, hal. 333.
Ibid.
Nuzhah Al-Mâjalis, jilid 2, hal. 107.
Jawharah Al-Kalâm, hal. 146.
Hayâh Al-Imam Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ as., jilid 1, hal. 39.
Al-Ithâf bi Hubb Al-Asyrâf, hal. 59.
Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Jawâd as., hal. 40.
Hayâh Al-Imam Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ as., jilid 1, hal. 35.
Al-Manâqib, jilid 4, hal. 361.
Hayâh Al-Imam Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ as., jilid 2, hal. 284.
'Uyûn Akhbâr Ar-Ridhâ as., jilid 2, hal. 149; Hayâh Al-Imam Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ as., jilid 2, hal. 285.
Hayâh Al-Imam Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ as., jilid 2, hal. 285; A'yân As-Syi'ah, jilid 2, hal. 18.
A'yân As-Syi'ah, jilid 4, hal. 122, bagian kedua.
Hayâh Al-Imam Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ as., jilid 2, hal. 287.
'Uyûn Akhbâr Ar-Ridhâ as., jilid 2, hal. 135. Hadis ini memiliki
kedudukan yang sangat penting di kalangan para ulama. Oleh karena itu,
mereka memasukkannya ke dalam kategori hadis-hadis yang mutawâtir.
Akhbâr Ad-Duwal, hal. 115.
Ash-Shawâ'iq Al-Muhriqah, hal. 95.
Akhbâr Ad-Duwal, hal. 115.
Maqâtil Ath-Thâlibiyyîn, hal. 455.
Hayâh Al-Imam Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ as., jilid 2, hal. 306.
Kami telah memaparkan kisah pembunuhan terhadap Imam Ar-Ridhâ as ini di
dalam buku kami yang berjudul Hayâh Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ as.
IMAM MUHAMMAD AL-JAWAD
Imam Muhammad Al-Jawâd as. memiliki seluruh keutamaan yang ada di alam
semesta ini. Ia adalah figur ajaib di kalangan umat manusia dengan
perbedaan agama dan naluri yang mereka miliki. Ia telah memegang tampuk
imâmah pada usia tujuh tahun beberapa bulan. Banyak sekali ilmu
pengetahuan telah nampak darinya yang membuat setiap akal takjub dan
terheran-heran. Umat manusia senantiasa membicarakan karunia dan
kejeniusan-kejeniusannya di sepanjang masa.
Para fuqaha dan ulama
telah mengelilinginya (untuk menimba ilmu pengetahuan) sedangkan ia
masih berusia semuda itu. Mereka bertanya kepadanya tentang
masalah-masalah yang paling sulit dan ruwet, dan ia menjawab semua
masalah itu bak seorang 'alim yang sangat mumpuni. Para perawi hadis
meriwayatkan bahwa ia pernah ditanya tentang tiga puluh ribu masalah
dalam kesempatan dan majelis yang berbeda-beda, dan ia menjawab seluruh
masalah tersebut.
Sangat gamblang sekali bahwa tidak ada sebab dan
faktor lain atas seluruh keajaiban tersebut kecuali keyakinan yang
dimiliki oleh mazhab Syi'ah bahwa Allah swt. telah menganugerahkan ilmu
pengetahuan, hikmah, dan Fashl Al-Khithâb kepada para imam Ahlul Bait
as. Dia telah memberikan keutamaan kepada mereka yang tidak pernah
diberikan-Nya kepada siapa pun di dunia ini.
Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan sebagian sisi pribadi dan kehidupan imam dan pemimpin yang agung ini.
Di Bawah Asuhan Sang Ayah
Imam Al-Jawâd as. hidup di bawah naungan dan lindungan sang ayah dengan
penuh kasih sayang dan kecintaan. Imam Ar-Ridhâ as. tidak pernah
memanggilnya dengan menyebut namanya. Imam Ar-Ridhâ as. selalu
memanggilnya dengan menyebut gelarnya, Abu Ja'far. Selama Imam Ar-Ridhâ
as. berdomisili di Khurasan, Imam Al-Jawâd as. senantiasa menulis surat
kepada sang ayah. Surat-surat ini ditulis dengan kefasihan yang sangat
tinggi.
Di antara manifestasi keagungan pendidikan Imam Ar-Ridhâ
as. terhadap putranya adalah ia senantiasa memberi semangat kepada sang
putra untuk berbuat kebajikan dan kebaikan kepada orang-orang fakir
miskin. Ketika ia berada di Khurasan, ia menulis surat kepada Imam
Al-Jawâd as. yang di antara isinya adalah sebagai berikut:
Semoga
jiwaku menjadi tebusanmu! Aku mendengar berita bahwa jika engkau
menunggangi kuda (untuk keluar rumah), para budak mengeluarkanmu melalui
pintu kebun yang kecil itu. Tindakan mereka ini menunjukkan sifat
kekikiran mereka supaya tak seorang pun berhasil mendapatkan kebaikanmu.
Aku memohon kepadamu demi hak yang kumiliki atasmu, hendaknya keluar
masukmu terlaksana melalui pintu rumah yang besar itu. Jika engkau
menunggangi kuda (untuk keluar rumah)-insya Allah, hendaknya engkau
membawa serta kepingan emas dan perak sehingga apabila seseorang memohon
bantuan kepadamu, engkau dapat memberikan bantuan kepadanya. Jika salah
seorang dari paman-pamanmu memohon kebaikanmu, janganlah kamu berikan
kepadanya uang lebih sedikit dari lima puluh dinar, dan jika engkau
ingin memberi uang lebih banyak, itu semua terserah kepadamu. Jika salah
seorang dari bibi-bibimu memohon kebaikanmu, janganlah kamu berikan
kepadanya uang kurang dari lima puluh dinar, dan jika engkah ingin
memberi uang lebih banyak, itu semua terserah kepadamu. Jika salah
seorang dari bangsa Quraisy memohon kebikanmu, janganlah kamu berikan
kepadanya uang kurang dari dua puluh lima dinar, dan jika engkau ingin
memberi uang lebih banyak, itu semua terserah kepadamu. Aku ingin supaya
Allah menganugerahkan taufik kepadamu, Maka, infakkanlah hartamu dan
janganlah kamu khawatirkan kemiskinan dari Dzat Pemilik 'Arsy.
Anda
perhatikan pendidikan agung nan tinggi yang penuh dengan kemuliaan dan
keagungan ini? Imam Ar-Ridhâ as. telah menanamkan akhlak yang mulia dan
karakter yang agung di dalam lubuk hati putranya supaya ia layak untuk
menjadi panutan bagi umat kakek ia saw.
Perhatian Keluarga Nabawi
Keluarga nabawi memberikan perhatian yang khusus kepada Imam Al-Jawâd
as. dan memperlakukannya dengan penuh pengagungan dan pemuliaan,
sedangkan ia masih berusia belia pada waktu itu. Coba kita lihat Ali bin
Ja'far, seorang faqih agung dan saudara kandung Imam Mûsâ bin Ja'far
as. Ia adalah salah seorang tonggak Bani Ali as. dalam keutamaan dan
ketakwaan. Ia sangat menyucikan dan mengagungkan Imam Al-Jawâd as. Ia
juga mengakui keutamaan dan kedudukan imâmah-nya, meskipun ia masih
berusia belia.
Muhammad bin Hasan bin 'Imârah bercerita: "Aku pernah
duduk-duduk di rumah Ali bin Ja'far di Madinah. Aku diam di rumahnya
selama dua tahun untuk mencatat seluruh hadis yang telah ia riwayatkan
dari saudaranya, yaitu Imam Mûsâ as. Tiba-tiba Abu Ja'far Muhammad bin
Ali Ar-Ridhâ as. masuk ke dalam masjid Rasulullah saw. Seketika itu juga
Ali bin Ja'far melompat tanpa alas kaki dan jubah, lantas mencium
tangannya dan mengagungkannya. Imam Al-Jawâd as. menoleh ke arahnya
seraya berkata, 'Duduklah hai pamanku. Semoga Allah merahmatimu ....'
Ali bin Ja'far membungkuk dengan penuh rasa hormat dan takzim seraya
berkata, 'Wahai junjunganku, bagaimana mungkin aku duduk, sedangkan Anda
masih berdiri?'
Imam Al-Jawâd pun lalu pergi dan Ali bin Ja'far
kembali menemui para sahabatnya. Mereka bertanya-tanya kepadanya,
'Engkau adalah paman ayahnya, dan engkau memperlakukannya demikian?'
Ali menjawab pertanyaan mereka dengan logika keimanan seraya berkata,
'Duduklah kamu semua. Jika Allah-sambil memegang jenggotnya-tidak
memberikan kelayakan kepada jenggot ini-untuk memegang imâmah-dan
memilih pemuda ini (untuk itu), serta meletakannya di tempat yang Dia
kehendaki, kita harus berlindung kepada Allah dari apa yang telah kamu
ucapkan itu. Bahkan, aku adalah hamba baginya ....'"
Riwayat ini
mengindikasikan kedalaman imam Ali bin Ja'far. Ia menegaskan kepada para
sahabatnya bahwa imâmah tidak tunduk kepada kehendak manusia. Urusan
imâmah ini berada di tangan Allah swt. Dia-lah yang menganugerahkan
kedudukan ini kepada hamba yang dikehendaki-Nya tanpa ada perbedaan
antara orang yang sudah berusia dewasa dan belia.
Kezuhudan
Imam Al-Jawâd as. zuhud terhadap seluruh harta dunia dan
kegermelapannya. Ia tak ubahnya seperti nenek moyangnya yang selalu
zuhud terhadap dunia dan meMûsâtkan seluruh konsentrasi hanya kepada
Allah swt. dengan sepenuh hati dan wujud mereka.
Pada waktu itu,
Imam Al-Jawâd as. masih berusia muda. Al-Ma'mûn selalu mengucurkan harta
yang berlimpah kepadanya, di samping hak-hak syar'î yang senantiasa
datang kepadanya dan harta-harta wakaf yang terdapat di kota Qom. Hanya
saja, ia tidak pernah menginfakkan seluruh harta tersebut untuk
kepentingan-kepentingan pribadinya. Ia selalu menginfakkannya-dengan
segala kemurahan hati-kepada orang-orang fakir-miskin dan tertindas.
Husain Al-Mukârî menceritakan kepada kita pengagungan dan pemuliaan
yang didapatkan oleh Imam Al-Jawâd as. di Baghdad. Ia berbisik dalam
hatinya untuk tidak kembali pulang ke negerinya. Sebagai gantinya, ia
akan berdomisili di Baghdad untuk memanfaatkan seluruh kenikmatan dunia
yang sudah tersedia. Imam Al-Jawâd as. mengetahui apa yang terbersit di
dalam hatinya. Ia menghadap kepadanya sembari berkata: "Hai Husain, roti
gandum dan garam kasar di samping haram kakekku, Rasulullah saw. adalah
lebih kucintai daripada seluruh harta yang kau lihat ini ...."
Imam Al-Jawâd as. bukanlah sosok orang pecinta kerajaan dan kekuasaan.
Ia tidak pernah berbahagia dengan seluruh harta yang dikucurkan oleh
kerajaan kepadanya. Ia meneruskan kehidupannya dengan berzuhud dan
berpaling dari harta dunia.
Kedermawanan
Imam Al-Jawâd as. adalah figur yang paling murah tangan dan selalu
berbuat kebajikan kepada orang-orang fakir-miskin melebihi orang lain.
Ia diberi gelar Al-Jawâd lantaran kedermawanannya ini. Di antara
contoh-contoh menifestasi kedermawanannya ini, kita bisa bisa
memperhatikan riwayat-riwayat berikut ini:
a. Para ahli sejarah
meriwayatkan bahwa Ahmad bin Hadîd pernah melakukan ibadah haji bersama
beberapa orang sahabatnya. Di pertengahan jalan, mereka diserang oleh
segerombolan perampok. Gerombolan pencuri itu merampas seluruh harta
yang mereka miliki. Ketika tiba di Madinah, Ahmad pergi menemui Imam
Al-Jawâd as. dan menceritakan peristiwa yang telah dialami oleh
rombongannya. Ia memerintahkan supaya mereka diberi pakaian dan uang,
serta dibagikan kepada rombongannya. Seluruh pakaian dan harta yang
telah diberikan oleh Imam Al-Jawâd tersebut adalah senilai dengan harta
mereka yang telah dirampas oleh gerombolam perampok tersebut.
b. Al-'Atbî meriwayatkan bahwa salah seorang keturunan Bani Ali as.
mencintai seorang sahaya di Madinah, dan ia tidak memiliki harta untuk
membelinya. Ia mengadukan hal itu kepada Imam Al-Jawâd as. Imam Al-Jawâd
bertanya tentang tuan sahaya tersebut kepadanya, dan ia memberitahukan
siapa tuannya. Imam Al-Jawâd bangkit dan membeli seluruh tanah, banguna,
kebun, dan sahaya tersebut dari tuannya.
Pada suatu hari, 'Alawi
tersebut keluar rumah untuk menanyakan tentang sahaya itu. Ia diberi
tahu bahwa sahaya itu telah dijual dan mereka tidak tahu siapa yang
telah membelinya secara diam-diam. Ia bergegas menemui Imam Al-Jawâd
seraya menjerit: "Sahaya itu telah dijual."
Imam Al-Jawâd as. menyambutnya dengan senyuman penuh bahagia seraya bertanya: "Tahukah kamu siapa yang telah membelinya?"
"Tidak," jawabnya pendek.
Imam Al-Jawâd as. pergi membawanya menuju kebun dan bangunan mewah yang
ditempati oleh sahaya itu. Ia menyuruhnya untuk masuk ke dalam. Ia
menolak karena tidak tahu siapa pemiliknya. Ia memaksanya dan akhirnya
ia bersedia masuk. Ketika memasuki rumah tersebut, ia mendapatkan sahaya
itu terdapat di dalamnya. Imam Al-Jawâd as. bertanya kepadanya: "Apakah
kamu kenal dia?"
Ia menjawab: "Ya." Ia akhirnya tahu bahwa Imam
Al-Jawâd adalah orang yang telah membelinya. Imam Al-Jawâd as. berkata
kepadanya: "Sahaya, rumah, tanah, kebun, dan seluruh harta yang terdapat
di dalamnya adalah untukmu." 'Alawi itu terbang lantaran bahagia dan
sangat berterima kasih kepadanya.
Dua kisah ini adalah salah satu contoh dari kedermawanan Imam Al-Jawâd as.
Keluasan Ilmu Pengetahuan
Meskipun masih berusia masih muda, Imam Al-Jawâd as. adalah figur yang
paling 'alim pada masanya. Ia sering melakukan perdebatan-perdebatan
filosofis, teologis, dan fiqih dengan para ulama kenamaan, dan ia selalu
keluar sebagai pemenang. Mereka mengakui keutamaan dan keunggulan ia
atas diri mereka.
Para fuqaha dan ulama berkumpul mengelilingi Imam
Al-Jawâd as. (untuk menimba ilmu pengetahuan), sedangkan ia masih
berusia tujuh tahun. Mereka menimba banyak ilmu pengetahuan darinya
sehingga keutamaannya dikenal oleh masyarakat umum dan majelis-majelis
ilmiah senantiasa membicarakan hal itu.
Imam Al-Jawâd as. adalah
keajaiban dunia dalam kejeniusannya. Ketika Al-Ma'mûn ingin menikahkan
Imam Al-Jawâd dengan anak perempuannya, Bani Abbâsiyah khawatir dan
memohon kepadanya untuk diizinkan menguji keilmuannya. Al-Ma'mûn memberi
izin. Mereka memilih Yahyâ bin Aktsam, Hakim Agung Baghdad, untuk
melakukan ujian atas Imam Al-Jawâd. Mereka menjanjikan harta melimpah
kepadanya jika ia mampu menguji Imam Al-Jawâd as. dan ia tidak mampu
menjawab.
Dalam sebuah pertemuan yang dipenuhi oleh para menteri
kerajaan, komandan militer, dan tokoh masyarakat, Yahyâ maju ke depan
untuk mendekat kepada Imam Al-Jawâd as. seraya bertanya: "Semoga aku
dijadikan tebusan Anda! Apakah Anda mengizinkan kepadaku untuk bertanya
tentang suatu masalah?"
Imam Al-Jawâd as. menyambutnya dengan senyuman yang merekah seraya berkata: "Tanyakanlah apa yang kau kehendaki."
Ia bertanya: "Bagaimana pendapat Anda-semoga Allah menjadikanku sebagai
tebusan Anda-tentang seseorang yang sedang melakukan ihram dan membunuh
seekor binatang buruan?"
Imam Al-Jawâd as. menjabarkan pertanyaan
itu ke dalam beberapa masalah lagi dan memecahnya menjadi beberapa
masalah cabang. Ia bertanya kepada Yahyâ cabang masalah manakah yang
ingin ia tanyakan. Ia berkata: "Ia membunuh binatang tersebut di daerah
halal (baca: di luar daerah Mekah dan Madinah) atau di daerah haram? Ia
mengetahui hukum atau tidak? Ia sengaja atau tidak? Ia adalah seorang
budak atau merdeka? Ia masih kecil atau sudah besar? Ia membunuh untuk
pertama kalinya atau sudah yang ke berapa kali? Binatang buruan tersebut
berasal dari bangsa burung atau selainnya? Bangsa burung yang kecil
atau yang besar? Ia menyesal atas tindakannya itu atau tidak? Ia
membunuhnya pada malam hari di sarangnya atau di siang hari dan di
khalayak ramai? Apakah ia melakukan ihram untuk ibadah haji atau umrah?"
Yahyâ tercengang dan nampak tak berkutik, lantaran ia tidak
membayangkan seluruh masalah cabang yang dapat dijabarkan dari
pertanyaannya itu. Ruangan pertemuan itu dipenuhi dengan gemuruh gema
takbir dan tahlil. Gamblang bagi seluruh hadirin bahwa Allah swt. telah
menganugerahkan hikmah dan ilmu pengetahuan kepada para imam Ahlul Bait
as., sebagaimana Dia telah menganugerahkannya kepada para nabi dan
rasul-Nya.
Imam Al-Jawâd as. telah memecah masalah tersebut menjadi
beberapa masalah cabang, meskipun sebagian masalah itu tidak memiliki
perbedaan hukum dengan yang lainnya. Seperti, membunuh binatang buruan
di siang atau malam hari. Hukum tentang masalah ini adalah satu. Akan
tetapi, ia menyebutkan keduanya demi membungkam mulut lawan bicara dan
membuktikan kelemahannya. Hal itu lantaran ia datang hanya untuk
menguji.
Akhirnya, Al-Ma'mûn menoleh kepada seluruh Bani Abbâsiyah
yang hadir seraya berkata kepada mereka: "Segala puji bagi Allah atas
nikmat ini. Dan terbukti bahwa pendapatku adalah benar. Apakah kamu
semua sudah tahu sekarang apa yang selama ini kamu ingkari?"
Setelah terbukti bagi seluruh keluarga Bani Abbâsiyah tentang keutamaan
dan keluasan ilmu pengetahuan Imam Al-Jawâd as., padahal ia masih
berusia muda belia, Al-Ma'mûn berdiri dan menikahkannya dengan anak
perempuannya.
Dari Kedalaman Iman
Imam
Al-Jawâd as. memiliki banyak nasihat yang sangat bermutu dan mengajak
kita untuk beriman kepada Allah dan pasrah diri kepada-Nya. Di antara
nasihat-nasihat itu adalah sebagai berikut:
a. Percaya Penuh kepada Allah
Imam Al-Jawâd as. berkata: "Barang siapa percaya penuh kepada Allah,
niscaya Dia akan menampakkan kepadanya kebahagiaan dan barang siapa
berpasrah diri kepada Allah, niscaya Dia akan mencukupkan baginya segala
urusan. Percaya penuh kepada Allah adalah sebuah benteng yang tidak
bertahan di dalamnya kecuali seorang mukmin, dan pasrah diri (tawakal)
kepada Allah adalah keselamatan dari segala keburukan dan tameng
terhadap setiap musuh ...."
Kalimat-kalimat emas ini terisi penuh
wejangan indah yang diperlukan oleh seluruh umat manusia dalam kehidupan
mereka. Yaitu, percaya penuh kepada Allah, Pencipta alam semesta dan
Penganugerah kehidupan. Barang siapa percaya penuh kepada-Nya, niscaya
Dia akan menampakkan kepadanya kebahagiaan dan barang siapa berpasrah
diri kepada-Nya, niscaya Dia akan mencukupkan baginya segala urusan.
b. Merasa Kaya dan Cukup Hanya dengan Berpegang Teguh kepada Allah
Imam Al-Jawâd as. mengajak umat manusia untuk merasa kaya hanya dengan
berpegang teguh kepada Allah swt. dan menaruh harapan hanya kepada-Nya,
bukan kepada selain-Nya.
Imam Al-Jawâd as. pernah berpesan: "Barang
siapa merasa kaya dan cukup hanya dengan berpegang teguh kepada Allah,
niscaya masyarakat akan membutuhkannya dan barang siapa bertakwa kepada
Allah, niscaya masyarakat akan mencintainya."
Sesungguhnya barang
siapa telah merasa kaya dan cukup dengan berpegang teguh kepada Allah,
ia tidak akan merasa membutuhkan orang lain dan-sebaliknya-orang lainlah
yang akan merasa butuh kepadanya. Karena, ia akan menjadi sumber
anugerah baginya.
c. Memfokuskan Seluruh Wujud dan Perhatian Hanya kepada Allah
Imam Al-Jawâd as. mendorong umat manusia untuk memfokuskan seluruh
wujud dan perhatian mereka hanya kepada Allah swt. yang anugerah dan
kasih sayang-Nya tak pernah terputus. Orang yang memfokuskan seluruh
wujud dan perhatiannya kepada selain Allah, ia telah mengalami kerugian
besar. Ia berpesan: "Barang siapa yang menfokuskan seluruh wujudnya
(inqitha') kepada selain Allah, niscaya Dia akan menyerahkannya kepada
orang tersebut ...."
Akhlak yang Mulia
Imam Al-Jawâd as. mengajak kita semua untuk memiliki akhlak yang mulia
dan karakter yang bagus. Di antara wasiat-wasiat ia adalah berikut ini:
Imam Al-Jawâd as. berkata: "Termasuk salah satu akhlak seseorang yang
mulia adalah mencegah diri untuk mengganggu orang lain, termasuk salah
satu kedermawanannya adalah berbuat kebaikan kepada orang yang dicintai,
termasuk salah satu kesabarannya adalah sedikit mengadu, termasuk salah
satu nasihatnya adalah mencegah apa yang tidak diridai oleh dirinya,
termasuk salah satu kelembutan hatinya terhadap saudaranya adalah tidak
mencelanya di hadapan orang yang membencinya, termasuk salah satu
kejujurannya dalam menjalin persahabatan adalah menanggung biaya hidup
sahabatnya, dan termasuk alamat kecintaan dalam dirinya adalah banyak
sepakat dan sedikit menentang."
Dengan ungkapan-ungkapan yang
menawan itu, Imam Al-Jawâd as. telah meletakkan pondasi akhlak yang
mulia dan tindakan yang terpuji, serta mengajak kita untuk menjalin
suatu persahabatan berdasarkan logika dan kelemah-lembutan.
Tata Krama Berperilaku
Imam Al-Jawâd as. telah mencetuskan program-program yang jitu untuk
membangun tata krama dan sopan santun yang terpuji dalam berperilaku di
hadapan masyarakat luas. Di antara wejangan-wejangannya berkenaan dengan
masalah ini adalah berikut ini:
a. Ia berkata: "Ada tiga hal yang
dapat mendatangkan kecintaan: tahu diri dalam bergaul, tenggang rasa
dalam kesulitan, dan memiliki kalbu yang suci."
b. Ia berkata:
"Jika seseorang memiliki tiga hal, maka ia tidak akan menyesal:
meninggalkan keterburu-buruan, bermusyawarah, dan pasrah diri (tawakal)
kepada Allah swt. ketika telah mengambil sebuah keputusan. Barang siapa
menasihati saudaranya secara sembunyi-sembunyi, ia telah menghiasinya
dan barang siapa menasihatinya secara terang-terangan (baca: di hadapan
khalayak), ia telah mencoreng mukanya ...."
c. Ia berkata: "Tanda
buku catatan amal seorang mukmin adalah kemuliaan akhlaknya dan tanda
buku catatan amal seorang yang berbahagia adalah pujian yang baik
untuknya. Bersyukur adalah hiasan sebuah penjelasan, kerendahan hati
adalah hiasan ilmu, tata krama yang mulia adalah hiasan akal, keindahan
terbersit di mulut, dan kesempurnaan tersembunyi di dalam akal ...."
Ucapan-ucapan ini mengandung prinsip dasar hikmah, kaidah akhlak, dan
tata krama. Jika tidak ada suatu hal lain selain ucapan-ucapan ini,
niscaya seluruh ucapan ini sudah cukup untuk membuktikan bahwa ia adalah
seorang imam. Hal itu lantaran bagaimana mungkin ia dalam usianya yang
masih belia itu dapat mencetuskan hikmah-hikmah kekal abadi yang tidak
dapat dicetuskan oleh para ulama kenamaan seperti ini?
Nasihat
Banyak nasihat yang telah diriwayatkan dari Imam Al-Jawâd as. Di antaranya adalah berikut ini:
a. Ia berkata: "Menunda-nunda tobat adalah sebuah kesombongan,
memperpanjang penangguhan adalah sebuah kebingungan, mencari-cari alasan
terhadap Allah adalah sebuah kebinasaan, dan mengulangi perbuatan dosa
adalah merasa aman diri dari makar Allah. 'Tidak merasa aman dari makar
Allah kecuali kaum yang merugi.'" (QS. Al-A'râf [7]:99)
b.
Seseorang pernah berkata kepadanya: "Berwasiatlah kepadaku." Imam
Al-Jawâd as. berwasiat kepadanya dengan wasiat yang berharga seraya
berkata: "Milikilah kesabaran, rangkullah kefakiran, enyahkanlah
syahwat, tentanglah hawa nafsu, dan ketahuilah bahwa engkau tidak akan
pernah luput dari pengawasan Allah. Maka, lihatlah mau jadi apa engkau
...."
c. Imam Al-Jawâd as. pernah menulis sepucuk surat yang berisi
nasihat dan wejangan-wejangan yang sangat berharga kepada sebagian
pengikut setianya. Di antara isi surat tersebut adalah "Kita semua hanya
akan mengambil secedok air dari dunia ini. Akan tetapi, barang siapa
yang kehendaknya mengikuti kehendak sahabatnya dan meniti jalan yang
dititi olehnya, ia akan selalu bersamanya di mana pun ia berada. Dan
akhirat adalah rumah keabadian."
Ini adalah sebagian nasihat Imam
Al-Jawâd as. yang memuat ajakan untuk mengamalkan segala sesuatu yang
dapat mendekatkan seseorang kepada Tuhannya dan menjauhkannya dari
siksa-Nya. Nasihat-nasihat itu juga berisi larangan untuk mengikuti
karakter-karakter buruk yang terpendam dalam diri manusia. Lantaran
karakter-karakter buruk ini dapat mendorong kita terjungkal ke dalam
jurang kebinasaan dan menjerumuskan kita ke dalam jurang kehinaan dan
perbuatan dosa.
Imam Al-Jawâd as. telah memberikan perhatian yang
besar dalam menasihati dan memberikan petunjuk kepada masyarakat,
sebagaimana hal ini juga pernah dilakukan oleh nenek moyangnya. Realita
ini adalah salah satu realita paling cerlang yang dapat kita baca dalam
sirah dan sejarah hidup mereka.
Al-Ma'mûn Memohon kepada Imam Al-Jawâd
Al-Ma'mûn pernah memohon kepada Imam Al-Jawâd as. untuk menjelaskan
masalah yang telah ditanyakan oleh Yahyâ bin Aktsam di atas. Ia
mengabulkan permohonan tersebut seraya menjelaskan: "Jika orang yang
sedang melakukan ihram membunuh seekor bintang buruan di daerah halal
dan binatang buruan itu termasuk bangsa burung yang besar, maka ia harus
membayar satu kambing. Jika ia membunuhnya di daerah haram, maka ia
harus membayar kafarah dua kali lipat. Jika ia membunuh anak burung di
daerah halal, maka ia harus membayar kibasy yang sudah disapih, dan ia
tidak harus membayar harga anak burung itu juga, karena pembunuhan itu
tidak terjadi di daerah haram. Jika ia membunuhnya di daerah haram, maka
ia harus membayar kibasy dan harga anak burung itu. Jika binatang
buruan itu termasuk bangsa binatang liar, maka ia harus membayar sapi
apabila binatang yang telah dibunuh itu adalah keledai liar, dan jika
binatang yang telah dibunuhnya itu adalah burung unta, maka ia harus
membayar unta yang gemuk (badanah). Jika ia tidak mampu (untuk itu),
maka ia harus memberi makan enam puluh orang miskin, dan jika ia tidak
mampu juga, maka ia harus berpuasa selama delapan belas hari. Jika
binatang yang dibunuh itu adalah seekor sapi, maka ia harus membayar
seekor sapi. Jika ia tidak mampu, maka ia harus memberi makan tiga puluh
orang miskin, dan jika ia tidak mampu juga, maka ia harus berpuasa
selama sembilan hari. Jika binatang yang dibunuh itu adalah kijang, maka
ia haru membayar seekor kambing. Jika ia tidak mampu, maka ia harus
memberi makan sepuluh orang miskin, dan jika ia tidak mampu juga, maka
ia harua berpuasa selama tiga hari. Jika ia membunuh binatang liar itu
di daerah haram, maka ia harus membayar kafarah sebanyak dua kali lipat.
'Sebagai hadya yang dibawa sampai ke Ka'bah.' Ia harus menyembelih
binatang kafarah itu di Mina-di mana para jamaah yang lain menyembelih
binatang kurban-jika ia membunuhnya ketika sedang melaksanakan ibadah
haji, dan jika ia membunuhnya pada saat melaksanakan ibadah umrah, maka
ia harus menyembelihnya di Mekah di halaman Ka'bah dan bersedekah
seharga satu kambing.
Jika ia membunuh seekor burung dara yang hidup
di daerah haram, maka ia harus membayar 1 dirham, lalu menyedekahkannya
dan 1 dirham lagi untuk dibelikan makanan burung-burung dara haram
tersebut. Jika ia membunuh anak burung dara, maka ia harus membayar
setengah dirham, dan jika ia memecahkan telurnya, maka ia harus membayar
seperempat dirham.
Setiap tindakan (baca: kesalahan) yang dilakukan
oleh orang yang sedang melaksanakan ihram karena ia tidak tahu hukum
atau keliru, maka ia tidak wajib membayar kafarah apapun, kecuali
memburu binatang. Memburu binatang mewajibkan kafarah, baik hal itu
dilakukan karena ia tidak tahu hukum atau tahu, karena keliru atau
sengaja.
Setiap kesalahan yang dilakukan oleh seorang budak,
kafarahnya ditanggung oleh tuannya dan kafarahnya adalah sama seperti
kafarah yang harus dibayar oleh tuannya.
Jika seseorang menunjukkan
keberadaan seekor binatang buruan, sedangkan ia sedang melaksanakan
ihram dan binatang buruan itu dibunuh, maka ia harus membayar kafarah.
Orang yang mengulangi membunuh binatang buruan, ia akan mendapatkan
siksa di akhirat di samping kafarah yang harus ia bayar. Orang yang
menyesali perbuatannya, ia tidak akan memiliki tanggung jawab apapun di
akhirat setelah membayar kafarahnya.
Jika ia membunuh binatang di
malam hari karena keliru ketika binatang itu berada di sarangnya, maka
ia tidak memiliki kewajiban apapun, kecuali ia memburunya. Jika ia
memburunya, baik di siang hari maupun di malam hari, maka ia harus
membayar kafarah. Orang yang melakukan ihram untuk ibadah haji harus
menyembelih binatang kafarahnya di Mekah ...."
Al-Ma'mûn
mengeluarkan perintah supaya masalah ini ditulis. Setelah itu, ia
menoleh ke arah Bani Abbâsiyah yang hadir seraya berkata: "Apakah ada di
antara kalian semua yang bisa memberikan jawaban seperti ini?"
Mereka menjawab: "Tidak, demi Allah. Dan tidak juga sang hakim."
Sebagian yang lain menjawab: "Wahai Amirul Mukminin, Anda lebih tahu tentang masalah ini daripada kami."
Al-Ma'mûn menimpali: "Apakah kamu semua tidak tahu bahwa penghuni rumah
ini bukanlah makhluk seperti makhluk yang lain? Sesungguhnya Rasulullah
saw. telah membaiat Hasan dan Husain, sedangkan mereka berdua masih
kecil, dan ia tidak pernah membaiat selain mereka ketika ia masih kecil.
Apakah kamu semua tidak tahu bahwa ayah mereka, Ali telah beriman
kepada Rasulullah saw. sedangkan ia baru berusia sembilan tahun, lalu
Allah dan Rasul-Nya menerima imannya, sedangkan ia tidak pernah menerima
keimanan anak kecil selainnya dan tidak juga pernah memanggil anak
kecil selainnya? Apakah kamu semua tidak tahu bahwa mereka adalah sebuah
keturunan yang sebagian mereka berasal dari sebagian yang lain, dan
akan mengalir kepada orang terakhir dari mereka apa yang pernah mengalir
kepada orang pertama mereka?"
Al-Ma'mûn mempercayai bahwa para
imam Ahlul Bait as. memiliki posisi dan kedudukan tertinggi di dalam
agama Islam, serta yang masih kecil dan yang sudah besar dari mereka
mempunyai keutamaan yang sama.
Perlu kita ingat bersama bahwa ketika
Imam Al-Jawâd as. berada di Baghdad, para ulama dan perawi selalu
mengitarinya. Ia melontarkan kuliah-kuliah yang sangat berharga kepada
mereka dalam bidang ilmu Fiqih, Teologi, Filsafat, Tafsir Al-Qur'an,
Ushul Fiqih, dan lain sebagainya.
Pertemuan dan majelis-majelis
ilmiah selalu heboh untuk membicarakan kedalaman ilmu pengetahuan Imam
Al-Jawâd as. pada saat ia masih berusia muda itu. Para pengikut mazhab
Syi'ah meyakini bahwa Allah swt. telah menganugerahkan ilmu pengetahuan,
hikmah, dan Fashl Al-Khithâb kepada para imam Ahlul Bait as., serta
juga memberikan keutamaan kepada mereka yang belum pernah diberikan
kepada orang lain di dunia ini.
Kami telah memaparkan keluasan ilmu
pengetahuan, hikmah, dan tata krama Imam Al-Jawâd as. yang sampai kepada
kita dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Jawâd as.
Imam Al-Jawâd as. Dibunuh
Imam Muhammad Al-Jawâd as. tidak meninggal dunia secara alamiah. Ia
dibunuh dengan racun oleh Mu'tashim Al-Abbâsî yang hatinya telah
dipenuhi oleh kebencian dan iri hati kepadanya. Mu'tashim marah besar
ketika mendengar keutamaan dan ketinggian derajat Imam Al-Jawâd as. di
dalam kalbu muslimin. Keirihatian ini telah mendorong dia melakukan dosa
besar itu.
Ada faktor lain yang mendorong Mu'tashim untuk membunuh
Imam Al-Jawâd as. Yaitu fitnah dan hasudan yang dilontarkan oleh Abu
Dâwûd As-Sijistânî lantaran Mu'tashim menyetujui pendapat Imam Al-Jawâd
as. dan tidak menggubris pendapat para fuqaha yang lain dalam memecahkan
sebuah masalah fiqih. Persitiwanya adalah sebagai berikut:
Ada
seorang pencuri yang mengaku telah mencuri sebuah barang. Mu'tashim
memerintahkan supaya ia disucikan dengan menjalankan had atasnya. Ia
mengumpulkan seluruh fuqaha dan juga menghadirkan Imam Al-Jawâd as. Ia
memaparkan masalah pencurian tersebut kepada mereka. Abu Dâwûd
As-Sijistânî mengajukan pendapat seraya berkata: "Tangannya harus
dipotong dari bagian pergelangan tangan. Allah swt. berfirman, 'Maka,
usaplah sebagian wajah dan tanganmu.'" (QS. An-Nisâ' [4]:43)
Sementara itu, sebagian fuqaha yang lain melontarkan pendapat seraya
berkata: "Tangannya harus dipotong dari bagian siku-siku. Dalilnya
adalah firman Allah swt., '... dan tanganmu hingga siku-siku.'" (QS.
Al-Mâ'idah [5]:6)
Mu'tashim menoleh ke arah Imam Al-Jawâd as. seraya bertanya: "Hai Abu Ja'far, bagaimana pendapatmu dalam masalah ini?"
Imam Al-Jawâd as. menjawab: "Wahai Amirul Mukminin, mereka telah melontarkan pendapat masing-masing tentang masalah ini."
Mu'tashim menimpali: "Janganlah kau hiraukan pendapat mereka dalam
masalah ini. Aku sumpah kamu demi Allah, katakanlah pendapatmu tentang
masalah ini."
Imam Al-Jawâd as. menjawab: "Karena engkau telah
menyumpahku demi Allah, maka harus kukatakan bahwa mereka semua telah
menentang sunah. Pemotongan tangan harus dimulai dari sendi-sendi
jari-jemari dan telapak tangan harus disisakan."
"Mengapa harus demikian?" tanya Mu'tashim pendek.
Imam Al-Jawâd as. menjawab: "Karena sabda Rasulullah saw. yang
menegaskan, 'Sujud harus terlaksana dengan tujuh anggota: wajah, dua
telapak tangan, dua lutut, dan dua kaki.' Oleh karena itu, jika tangan
pencuri harus dipotong dari bagian pergelangan tangan atau siku-siku,
maka ia tidak memiliki tangan yang dapat digunakan untuk bersujud. Dan
Allah swt. berfirman, 'Sesungguhnya tempat-tempat sujud itu adalah milik
Allah.' (QS. Al-Jinn [72]:18) Yaitu, ketujuh anggota sujud yang harus
digunakan untuk melaksanakan sujud. Dan segala sesuatu yang hanya
dimiliki oleh Allah tidak boleh dipotong."
Mu'tashim terheran-heran
takjub atas fatwa dan argumentasi Imam Al-Jawâd as. ini. Lantas ia
memerintahkan supaya tangan pencuri itu dipotong dari sendi-sendi
jari-jemarinya, bukan pergelangan tangannya, dan tidak menggubris fatwa
para fuqaha tersebut.
Abu Dâwûd marah besar. Setelah tiga hari
berlalu, ia beranjak untuk menjumpai Mu'tashim. Ia berkata kepada
Mu'tashim: "Amirul Mukminin wajib memberikan nasihat kepadaku, sedangkan
aku melontarkan sebuah ucapan yang dapat menjerumuskanku ke dalam api
neraka ...."
Mu'tashim dengan sigap bertanya: "Ada apa ini?"
Ia
menjawab: "Amirul Mukminin telah mengumpulkan fuqaha rakyat dan ulama
mereka untuk memutuskan sebuah perkara agama yang telah terjadi, dan
menanyakan hukum perkara tersebut kepada mereka. Mereka pun telah
mengeluarkan hukum perkara tersebut, sedangkan majelis pertemuan itu
dihadiri oleh keluarga Amirul Mukminin, para petinggi negara, para
menteri, dan para sekretaris Anda, serta rakyat juga mendengarkan itu
semua dari balik pintu rumah Anda. Setelah itu, Anda tidak menggubris
fatwa mereka gara-gara fatwa satu orang yang diyakini oleh segelintir
masyarakat sebagai imam dan pemimpin, serta mereka mendakwa bahwa ia
adalah orang yang lebih utama berkenaan dengan masalah ini. Kemudian,
Amirul Mukminin menjalankan hukumnya dan meninggalkan hukum yang telah
ditentukan oleh para fuqaha."
Warna kulit Mu'tashim berubah seketika
dan memahami ucapannya. Ia berkata kepadanya: "Semoga Allah membalas
kebaikan bagimu atas nasihat ini."
Sang faqih yang merupakan salah
seorang orator penasihat kerajaan ini mendorong Mu'tashim untuk membunuh
Imam Al-Jawâd as. Celakalah ia karena dosa besar yang telah
dilakukannya ini. Dengan tindakannya itu, ia telah memiliki andil dalam
membunuh salah seorang imam Ahlul Bait as. yang ketaatan kepada mereka
telah diwajibkan oleh Allah swt. atas setiap muslim dan muslimah.
Para ahli sejarah berbeda pendapat berkenaan dengan orang yang diserahi
tugas oleh Mu'tashim untuk membunuh Imam Al-Jawâd as. Sebagian mereka
berpendapat bahwa Mu'tashim menyuruh sebagian sekretaris menterinya
untuk melakukan tindakan ini. Sekretaris itu mengundang Imam Al-Jawâd
as. untuk datang ke rumahnya demi memohon berkah atas kedatangannya ini.
Imam Al-Jawâd menolak untuk datang. Akan tetapi, sang sekretaris tidak
putus asa. Ia memohon sambil memelas-melas seraya berkata: "Salah
seorang menteri ingin berjumpa dengan Anda di rumahnya." Imam Al-Jawâd
as. tidak memiliki alasan lagi untuk menolak permohonannya. Ia datang ke
rumahnya. Ketika menyantap hidangan, ia merasakan dirinya teracuni. Ia
meminta binatang tunggangannya dan keluar dari rumah menteri itu.
Akan tetapi, ahli sejarah yang lain menegaskan bahwa Mu'tashim
mengiming-imingi uang melimpah kepada kemenakan perempuannya, istri Imam
Al-Jawâd as. yang bernama Ummul Fadhl untuk membunuhnya, dan ia pun
rela meracuninya.
Ala kulli hal, racun itu bereaksi dalam tubuh
Imam Al-Jawâd as. sehingga ia mengalami rasa sakit yang luar biasa.
Racun itu memutus usus dan lambungnya. Penguasa dinasti Bani Abbâsiyah
memerintahkan Ahmad bin Isa untuk menjenguknya di waktu sahar demi
mencari tahu tentang berita sakitnya itu. Kematian telah mendekati Imam
Al-Jawâd dengan cepat, sedangkan ia masih berusia muda belia. Ketika
merasa ajal telah dekat, ia mulai membaca beberapa surah Al-Qur'an
hingga ia menghembuskan napas terakhir. Dengan kepergiannya ini, sebuah
pelita imâmah dan kepemimpinan spiritual dunia Islam juga padam. Dengan
kepergiannya ini, sebuah lembaran risalah Islami yang telah berhasil
menerangi alam pemikiran dan mengangkat bendera ilmu pengetahun dan
keutamaan di atas bumi pun sirna.
Ritual Pemakaman
Tubuh suci Imam Al-Jawâd as. telah dipersiapkan untuk dimakamkan. Imam
Ali Al-Hâdî as. memandikan, mengafani, dan menyalatinya. Setelah itu,
tubuh agung itu dipikul dengan arakan yang maha dahsyat untuk dibawa
menuju pekuburan kaum Quraisy. Masyarakat luas ikut mengantarkan
jenazahnya dan di barisan depan berjalan para menteri, sekretaris
kerajaan, dan seluruh keluarga besar Bani Abbâsiyah, serta tak
ketinggalan pula Bani Ali as. dengan mengenang kerugian besar yang telah
menimpa dunia Islam dengan penuh kesedihan.
Tubuh suci Imam
Al-Jawâd as. itu dibawa ke pekuburan kaum Quraisy dan dimakamkan di
dekat makam kakeknya, Imam Mûsâ bin Ja'far as. Dengan ini pula, mereka
telah menguburkan nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi dan suri teladan
yang agung.
Usia Imam Al-Jawâd
Imam
Al-Jawâd as. hanya berusia dua puluh lima tahun. Ia adalah imam Ahlul
Bait as. yang paling muda. Dalam usianya yang pendek ini, ia telah
berhasil menyebarkan ilmu pengetahuan, keutamaan, dan keimanan di
tengah-tengah masyarakat luas.
Catatan Kaki:
Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Jawâd as, hal. 30.
Ad-Durr An-Nazhîm, hal. 315.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 12, hal. 117; Ushûl Al-Kâfî, jilid 1, hal. 379.
Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Jawâd, hal. 75.
Al-Wâfî bi Al-Wafayât, jilid 4, hal. 105.
Mir'âh Az-Zamân, jilid 6, hal. 105.
Al-Irsyâd, hal. 261; Al-Wasâ'il, jilid 9, hal. 187. Dan buku-buku referensi lainnya.
Al-Fushûl Al-Muhimmah, karya Ibn Ash-Shabbagh, hal. 373.
Jawharah Al-Kalâm, hal. 150.
Hayâh Al-Imam Al-Jawâd as., hal. 105.
Ad-Durr An-Nazhîm, hal. 223; Al-Ithâf bi Hubb Al-Asyrâf, hal. 77.
Jawharah Al-Kalâm, hal. 150.
Al-Ithâf bi Hubb Al-Asyrâf, hal. 78.
Ibid.
Tuhaf Al-'Uqûl, hal. 456.
Ibid.
Ibid.
Di dalam tafsir hadis ini disebutkan: "Jika binatang yang dibunuh itu
adalah keledai liar, maka ia harus membayar badanah. Begitu juga jika
binatang yang dibunuh itu adalah burung unta."
Tuhaf Al-'Uqûl, hal.
452; Wasâ'il As-Syi'ah, jilid 9, hal. 188. Syaikh Mufid menyebutkan
dialog ini secara ringkas dalam bukunya, Al-Irsyâd, hal. 312.
Hal ini bisa dirujuk kepada buku 'Aqîdah Asy-Syi'ah, hal. 200 dan Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Jawâd as, hal. 257.
Had adalah sebuah hukuman yang telah ditentukan bentuk dan jenisnya
oleh Allah swt. sebagai pemilik syariat. Had untuk pencuri adalah potong
tangan-pen.
Tafsir Al-'Ayâsyî, jilid 1, hal. 319; Tafsir Al-Burhân,
jilid 1, hal. 471; Bihâr Al-Anwâr, jilid 12, hal. 99; Wasâ'il
As-Syi'ah, jilid 18, hal. 490; Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Jawâd as, hal.
270.
Tafsir Al-'Ayâsyî, jilid 1, hal. 320; Bihâr Al-Anwâr, jilid 12, hal. 99; Tafsir Al-Burhân, jilid 1, hal. 471.
Nuzhah Al-Jalîs, jilid 2, hal. 111; Al-Manâqib, jilid 4, hal. 391.
Al-Irsyâd, hal. 369.
Nûr Al-Abshâr, karya Al-Mazandarani, hal. 276; Muntahâ Al-?mâl, karya
Al-Qomi, jilid 2, hal. 452. Di dalam Mir'âh Al-Jinân, jilid 2, hal. 81
ditegaskan bahwa Al-Wâtsiq bin Mu'tashim menyalati Imam Al-Jawâd as.. Di
dalam Nuzhah Al-Jalîs, jilid 2, hal. 111 juga disebutkan bahwa
Al-Wâtsiq dan Mu'tashim bergegas untuk menyalatinya.
IMAM ALI AL-HADI
Imam Ali Al-Hâdî as. adalah imam kesepuluh dari para imam maksum
pembawa petunjuk as. Ia adalah salah seorang harta berharga Islam dan
manifestasi ketakwaan dan keimanan. Ia adalah suara kebenaran yang
menentang kezaliman para penguasa dinasti Bani Abbâsiyah dan tidak
pernah tergiur oleh kegemerlapan dunia di sepanjang sejarah hidupnya
selama hal ini tidak memiliki kaitan erat dengan kebenaran. Ia lebih
mengutamakan ketaatan kepada Allah swt. atas segala sesuatu. Pada
kesempatan ini, kami akan memaparkan sebagian sisi kehidupannya.
Kelahiran
Dengan kelahiran bayi yang penuh berkah ini, dunia menjadi terang
benderang. Imam Ali Al-Hâdî as. dilahirkan di BashrYa. Imam Al-Jawâd
as., sang ayah, bergegas menjenguk sang putra suci dan mengadakan acara
ritual Islam untuk putranya yang penuh berkah ini. Ia membacakan azan di
telinga kananya dan iqamah di telinga kirinya. Di samping itu, ia juga
melaksanakan akikah untuknya dengan menyembelih seekor kambing, sebagai
sebuah sunah yang biasa dilakukan oleh para imam maksum as. itu.
Imam Ali Al-Hâdî as. dilahirkan pada tanggal 27 Dzulhijjah 212 Hijriah.
Nama
Sang ayah, Imam Al-Jawâd as., memberi nama Ali kepada putranya sebagai
upaya untuk mengharap berkah dari nama kakeknya, Amirul Mukminin Ali as.
Ia sangat menyerupai sang kakek dari segi kefasihan berbicara, jihad,
dan ujian dalam menempuh jalan Allah. Sang ayah memberi julukan Abul
Hasan untuknya dan memberi gelar Al-Murtadhâ, Al-'?lim, Al-Faqîh, dan
gelar-gelar mulia yang lainnya.
Pertumbuhan
Imam Ali Al-Hâdî as. tumbuh berkembang di dalam sebuah keluarga yang
berbeda dengan seluruh kalangan masyarakat dengan sopan santun yang
cerlang dan tata krama yang tinggi. Anak yang masih kecil di kalangan
mereka menghormati orang yang sudah besar dan orang yang sudah besar
menyayangi anak yang masih kecil. Di antara contoh manifestasi sopan
santun dan tata krama mereka adalah pengakuan para ahli sejarah ini.
Mereka menyatakan bahwa Imam Husain as. tidak pernah berbicara di
hadapan saudaranya, Imam Hasan as. karena menghormati dan
mengagungkannya. Begitu juga mereka meriwayatkan bahwa Imam Zainul
Abidin as. tidak pernah mau makan bersama wanita pengasuhnya, padahal ia
selalu memohon supaya makan bersama. Hal itu lantaran ia takut
mengambil makanan yang telah diinginkan oleh wanita pengasuh tersebut
terlebih dahulu, dan dengan tindakan ini, ia telah dianggap sebagai
orang yang durhaka kepadanya.
Tata krama dunia manakah yang dapat menyerupai tata krama yang menghikayatkan tata krama dan sopan santun para nabi as. ini?
Imam Ali Al-Hâdî as. telah tumbuh berkembang di bawah asuhan sang ayah,
Imam Muhammad Al-Jawâd as. di mana ia sendiri adalah sebuah dunia
keutamaan dan sopan santun. Imam Al-Jawâd as. telah menumpahkan seluruh
cahaya spiritual, akhlak, dan sopan santun yang dimilikinya kepada sang
putra, Imam Ali Al-Hâdî as. ini.
Anak Kecil yang Jenius
Pada saat masih kanak-kanak, Imam Ali Al-Hâdî as. memiliki kejeniusan
dan kecerdasan luar biasa yang membuat seluruh pemikir takjub. Di antara
manifestasi kejeniusan dan kecerdasannya adalah kisah berikut ini:
Setelah membunuh ayahnya, Mu'tashim Al-Abbâsî memerintah Umar bin Faraj
untuk pergi ke Yatsrib (Madinah) demi mencari sorang guru bagi Imam
Al-Hâdî as. Pada saat itu, Imam Al-Hâdî as. masih berusia enam tahun dan
beberapa bulan. Mu'tashim juga berpesan supaya guru itu memiliki
karakter permusuhan dan kebencian kepada Ahlul Bait as. yang luar biasa.
Mu'tashim berharap supaya ia bisa menanamkan permusuhan dan kebencian
di dalam diri Imam Al-Hâdî as. kepada mereka. Mu'tashim sepertinya tidak
tahu bahwa para imam yang suci itu adalah anugerah Allah swt. untuk
para hamba-Nya, dan Dia telah menyucikan mereka dari segala bentuk dan
jenis kotoran.
Ketika Umar bin Faraj tiba di Madinah, ia berjumpa
dengan gubernur Madinah dan menjelaskan tugas tersebut kepadanya.
Gubernur Madinah memberikan petunjuk kepadanya untuk menjumpai
Al-Junaidî. Ia sangat membenci dan memusuhi keturunan Bani Ali as.
Umar bin Faraj mengutus seseorang untuk membawa Al-Junaidî ke rumahnya.
Setelah tiba, Umar membeberkan perintah Mu'tashim kepadanya dan
Al-Junaidî pun menerima tugas itu. Umar pun menentukan imbalan bulanan
kepadanya dan memerintahkannya supaya melarang para pengikut Syi'ah
untuk berjumpa dengan Imam Ali Al-Hâdî as.
Al-Junaidî pun memulai
tugasnya mengajar Imam Al-Hâdî as., dan ia sangat takjub dan
terheran-heran dengan kejeniusannya. Pada suatu hari, Muhammad bin
Ja'far pernah bertanya kepada Al-Junaidî seraya berkata: "Bagaimana
kondisi anak kecil yang sedang kau didik itu?"
Al-Junaidî
mengingkari cara bertanya semacam itu. Ia mengekspresikan ketakjuban dan
pengagungannya terhadap Imam Al-Hâdî as. Ia menjawab: "Apakah engkau
mengatakan bahwa dia adalah anak kecil, bukan orang yang sudah dewasa?!
Aku sumpah kamu demi Allah, apakah engkau mengenal seseorang yang lebih
tahu tentang adab dan ilmu pengetahuan di Madinah daripada aku?"
Muhammad menjawab: "Tidak."
Al-Junaidî menimpali: "Demi Allah, aku menjelaskan satu huruf tentang
adab dan aku menyangka bahwa aku telah menjelaskan hal itu berlebihan.
Kemudian, ia membuka pintu-pintu (adab dan ilmu pengetahuan) untukku dan
aku banyak mengambil manfaat darinya. Lalu, masyarakat menyangka bahwa
aku telah mengajarinya. Tidak! Demi Allah, akulah sebenarnya yang telah
belajar darinya ...."
Hari-hari pun berlalu. Pada suatu hari,
Muhammad bin Ja'far berjumpa dengan Al-Junaidî seraya bertanya
kepadanya: "Bagaimana kondisi anak kecil itu?"
Al-Junaidî pun tidak
menyetujui ungkapannya itu seraya berkata: "Tinggalkanlah ucapanmu ini.
Demi Allah Yang Maha Tinggi, ia adalah penghuni bumi yang terbaik dan
makhluk paling utama yang pernah diciptakan oleh Allah swt. Pada suatu
hari, ia pernah meminta izin kepadaku untuk masuk kamarku. Kukatakan
kepadanya, 'Kamu boleh masuk asalkan telah membaca surah Al-Qur'an.' Ia
bertanya lagi, 'Surah apakah yang kau inginkan kubaca?'
Aku
menyebutkan surah-surah yang sangat panjang yang tidak mungkin ia dapat
membacanya. Tiba-tiba ia bergegas membacanya dengan suara fasih yang aku
sendiri belum pernah mendengar suara sefasih itu. Ia membacanya dengan
lantunan suara yang lebih indah daripada lantunan kidung Dâwûd. Ia hafal
Al-Qur'an dari awal hingga akhir, dan mengetahui takwil dan sebab-sebab
turunnya."
Al-Junaidî menambahkan: "Ia adalah anak kecil yang
tumbuh berkembang di Madinah di dalam tembok-tembok kota yang hitam
kelam. Lalu, siapakah yang mengajari ilmu pengetahuan yang maha luas itu
kepadanya? Maha Suci Allah!"
Dengan pengalaman itu, Al-Junaidî
mencabut seluruh rasa kebencian dan permusuhan kepada Ahlul Bait as. itu
dari dalam dadanya dan menjadi orang yang sangat mencintai mereka.
Tidak ada alasan dan justifikasi lain bagi realita ini kecuali
keyakinan yang dimiliki oleh mazhab Syi'ah bahwa Allah swt. telah
menganugerahkan ilmu pengetahuan, hikmah, dan Fashl Al-Khithâb kepada
para imam suci itu yang tidak pernah diberikannya kepada siapa pun di
alam semesta ini.
Pengagungan Bani Ali
Imam
Ali Al-Hâdî as. mendapatkan pengagungan dan penghormatan khusus dari
kalangan Bani Ali as. Mereka telah mengenal kedudukan spiritualnya yang
tinggi dan bahwa ia adalah imam dan pemimpin yang harus ditaati.
Para perawi hadis menceritakan sikap Zaid bin Imam Mûsâ bin Ja'far
(terhadap Imam Ali Al-Hâdî as.), sedangkan ia telah berusia lanjut. Pada
suatu hari, Zaid meminta izin kepada penjaga pintu rumah Imam Al-Jawâd
as., Umar bin Faraj, untuk berjumpa dengannya. Umar mempersilahkannya
masuk. Setelah masuk, ia duduk di hadapan Imam Al-Hâdî as. dengan penuh
takzim dan penghormatan.
Pada kali yang lain, Zaid pernah bertamu ke
rumah Imam Al-Hâdî as. dan secara kebetulan tidak ada di tempat pada
waktu itu. Akhirnya, Zaid duduk di depan (sebagai orang tertua). Ketika
Imam Al-Hâdî as. datang, ia melompat dari tempat duduknya dan
mendudukkannya di tempat itu. Lalu, ia duduk di hadapannya dengan penuh
sopan santun, padahal Imam Al-Hâdî masih berusia muda. Hal ini adalah
sebuah pengakuan dari Zaid atas keagungan pribadi Imam Al-Hâdî as. dan
kelaziman untuk menaatinya.
Penghormatan dan pengagungan terhadap
Imam Ali Al-Hâdî ini tidak hanya terbatas dilakukan oleh kaum Bani Ali
as. Tindakan ini telah mendominasi seluruh lapisan masyarakat.
Muhammad bin Hasan Al-Asytar pernah meriwayatkan seraya berkata: "Aku
pernah menemani ayahku di depan pintu istana Mutawakkil. Masyarakat yang
berasal dari berbagai marga seperti Thâlibî, Abbâssî, dan Ja'farî juga
ikut hadir berkumpul di situ. Ketika kami sedang berdiri, tiba-tiba Abul
Hasan (Al-Hâdî) as. datang. Seluruh masyarakat yang hadir langsung
turun dari tunggangan mereka demi mengagungkan dan menghormatinya hingga
ia masuk ke dalam istana. Sebagian orang yang merasa iri hati terhadap
Imam Al-Hâdî as. mengingkari keutamaannya ini seraya berseloroh dengan
penuh kedengkian, 'Mengapa kita harus turun dari tunggangan kita untuk
anak kecil ini? Dia bukanlah orang termulia di antara kita dan juga
bukan orang yang lebih tua dari kita. Demi Allah, jika ia keluar, kami
tidak akan turun ....'
Seorang mukmin yang bernama Abu Hâsyim
Al-Ja'farî menjawab kekurangajarannya itu seraya berkata, 'Demi Allah,
engkau pasti akan turun dari tunggangan kalian demi dia dengan perasaan
hina dina.'
Imam Ali Al-Hâdî as. keluar dari dalam istana. Suara
masyarakat bergemuruh dengan lantunan takbir dan tahlil, dan mereka
berdiri demi mengagungkan dan menghormatinya. Abu Hâsyim menoleh kepada
kelompok tersebut seraya bertanya, 'Bukankah kalian semua telah berjanji
untuk tidak turun dari tunggangan kalian demi menghormatinya?'
Mereka tidak dapat menahan rasa takjub seraya menjawab, 'Demi Allah,
kami telah kehilangan kontrol diri sehingga kami harus turun dari
tunggangan kami demi menghormatinya.'"
Begitulah pribadi Imam Ali
Al-Hâdî as. telah memenuhi seluruh hati masyarakat dengan pengagungan
dan penghormatan (suci) sehingga seluruh jiwa membungkuk di hadapannya
dengan penuh kekhusyukan. Karismanya ini tidak berasal dari kerajaan
maupun kekuasaan. Hal ini hanya bersumber dari ketaatannya kepada Allah
dan kezuhudannya terhadap dunia. Di antara salah satu karismanya yang
agung ini adalah ketika ia masuk ke dalam istana Mutawakkil sang lalim,
tak seorang pun yang berada di dalam istana itu kecuali berdiri di
hadapannya demi mengagungkan dan menghormatinya. Mereka berlomba-lomba
untuk menyingkap tirai-tirai istana dan membukakan pintu baginya, serta
mereka tidak merasa terpaksa untuk itu semua.
Kedermawanan
Di antara karakter-karakter yang dimiliki oleh Imam Ali Al-Hâdî as.
adalah, bahwa ia merupakan figur yang paling dermawan dan paling peduli
untuk berbuat kebaikan kepada orang lain. Berikut ini adalah beberapa
contoh dari manifestasi kedermawanan imam yang satu ini:
a.
Ishâq Al-Jallâb meriwayatkan seraya bercerita: "Aku pernah membeli
kambing dalam jumlah sangat banyak untuk Abul Hasan Al-Hâdî as. pada
hari Tarwiyah. Lalu, ia membagi-bagikan seluruh kambing itu kepada
kerabat-kerabatnya. Beberapa tokoh dan pemuka mazhab Syi'ah pernah
berjumpa dengannya. Di antara mereka adalah Abu Umar, 'Utsmân bin Sa'îd,
Ahmad bin Ishâq Al-Asy'arî, dan Ali bin Ja'far Al-Hamdânî. Ahmad bin
Ishâq mengadukan utangnya yang melilit. Imam Al-Hâdî as. menoleh ke arah
wakilnya, 'Amr, seraya berkata kepadanya, 'Berikanlah tiga puluh ribu
dinar kepadanya dan kepada Ali bin Ja'far juga tiga puluh ribu dinar.'
Di samping itu, ia juga memberikan kadar uang yang sama kepada wakilnya
itu."
Ibn Syahr ?syûb memberikan catatan atas kedermawanan ini
sembari berkomentar: "Kedermawanan adalah sebuah mukjizat yang tidak
dapat dilakukan kecuali oleh para raja, dan kami tidak pernah mendengar
pemberian sebesar itu (selama ini)."
Dengan pemberian yang melimpah
ini, Imam Ali Al-Hâdî as. telah mengucurkan kenikmatan dan kehidupan
yang lapang kepada para tokoh tersebut. Dan satu hal yang sangat natural
sekali bahwa sebaik-baik pemberian adalah pemberian yang dapat
mengabadikan sebuah kenikmatan.
b. Abu Hâsyim pernah mengadukan
kesempitan rezeki yang sedang dialaminya kepada Imam Ali Al-Hâdî as.
Imam Al-Hâdî memahami kemiskinan yang sedang melilitnya itu. Dengan
demikian, ia ingin meringankan kesulitan-kesulitan yang sedang
menimpanya seraya berkata kepadanya: "Hai Abu Hâsyim, nikmat Allah 'Azza
Wajalla manakah yang ingin kau syukuri? Semoga Allah menganugerahkan
keimanan kepadamu sehingga Dia mengharamkan tubuhmu atas api neraka,
semoga Dia menganugerahkan kesehatan kepadamu sehingga kesehatan ini
dapat membantumu menjalankan ketaatan, dan semoga Dia memberikan sikap
menerima kepadamu sehingga karakter ini dapat menjagamu dari sikap
menghambur-hamburkan harta."
Setelah berkata demikian, Imam Ali Al-Hâdî as. memberikan seratus dinar kepadanya.
Sesungguhnya kenikmatan-kenikmatan yang telah diberikan oleh Imam Ali
Al-Hâdî as. adalah termasuk kenikmatan-kenikmatan agung yang
dianugerahkan oleh Allah swt. kepada para hamba-Nya.
Bekerja di Kebun
Imam Ali Al-Hâdî as. sering bekerja di kebun untuk menghidupi
keluarganya. Ali bin Hamzah meriwayatkan: "Aku pernah melihat Abul Hasan
Ketiga sedang bekerja di tanah miliknya, sedangkan kedua telapak
kakinya basah oleh keringat yang bercucuran. Aku bertanya kepadanya,
'Manakah orang-orang Anda?'
Imam Ali Al-Hâdî as. menjawab
kesombongan dan kritikanku seraya berkata, 'Hai Ali, orang yang lebih
baik dariku dan dari ayahku telah bekerja di kebun miliknya dengan
menggunakan cangkul.'
Ali bin Hamzah bertanya, 'Siapakah gerangan dia itu?'
Imam Al-Hâdî as. menjawab, 'Rasulullah saw., Amirul Mukminin, dan
seluruh nenek moyangku bekerja dengan tangan mereka sendiri. Bekerja
adalah aktifitas para nabi, rasul, washî, dan orang-orang yang saleh.'"
Kami telah menyebutkan realita ini dalam buku kami yang berjudul
Al-'Amal wa Huqûq Al-'Amal fî Al-Islam, sebagaimana juga telah kami
paparkan contoh-contoh lain yang membuktikan urgensi bekerja dan bahwa
bekerja adalah sirah para nabi dan rasul as.
Kezuhudan
Imam Ali Al-Hâdî as. zuhud terhadap seluruh kegemerlapan duniawi dan
tidak pernah memberikan perhatian sedikit pun terhadap masalah ini
kecuali dunia yang memiliki hubungan erat dengan kebenaran dan hak. Ia
selalu lebih mementingkan ketaatan kepada Allah swt. atas segala
sesuatu.
Para perawi hadis meriwayatkan bahwa rumah Imam Al-Hâdî as.
yang terdapat di Madinah dan Samirra' kosong dari setiap perabot rumah
tangga. Tentara kerajaan Mutawakkil pernah mengadakan penggeledahan
terhadap rumahnya di Samirra' dan memeriksanya dengan sangat jeli dan
teliti. Mereka tidak menemukan sedikit pun kegemerlapan dunia di rumah
itu. Mereka hanya menemukan Imam Al-Hâdî as. berada di sebuah kamar yang
tertutup dengan mengenakan jubah yang terbuat dari bulu. Ia sedang
duduk di atas pasir dan kerikil, sedangkan tidak ada secarik karpet pun
yang melindunginya dari tanah.
Sibth bin Al-Jawzî berkata: "Ali
Al-Hâdî tidak memiliki kecenderungan sedikit pun terhadap harta dunia.
Ia selalu berada di dalam masjid. Ketika mereka menggeledah rumahnya,
mereka tidak menemukan apapun di dalamnya kecuali mushaf-mushaf,
kitab-kitab doa, dan buku-buku ilmu pengetahuan."
Imam Ali Al-Hâdî
as. hidup seperti kakeknya, Amirul Mukminin as., hidup. Amirul Mukminin
as. adalah figur yang paling zuhud terhadap dunia dan telah
menceraikannya sebanyak tiga kali sehingga tidak ada istilah rujuk
setelah itu. Pada masa menjadi khalifah, ia tidak pernah mengambil
bagian sedikit pun dari harta-harta kekhalifahan itu. Ia malah
menempelkan batu-batu di atas perutnya untuk menahan rasa lapar.
Sandalnya terbuat dari serabut yang ia jahit dengan tangannya sendiri.
Begitu juga halnya berkenaan dengan sabuk pinggangnya. Sabuk pinggang
ini juga terbuat dari serabut.
Di atas garis inilah, Imam Ali
Al-Hâdî dan para imam maksum as. yang lain menjalani kehidupan. Mereka
berlaku tenggang rasa terhadap kaum fakir miskin dalam kesengsaraan
hidup dan kekasaran pakaian mereka.
Ilmu Pengetahuan
Imam Ali Al-Hâdî as. adalah satu-satunya ulama dunia yang memiliki
kemampuan ilmiah terhebat dan terdahsyat. Kemampuan ilmiahnya ini
meliputi seluruh bidang ilmu pengetahuan. Rahasia-rahasia hakikat dan
problema-problema ilmiah yang terjelimet terbuka gamblang di hadapannya.
Para ulama dan fuqaha selalu sepakat untuk merujuk kepada pendapatnya
dalam memecahkan masalah-masalah hukum syariat yang ruwet dan
membingungkan. Mutawakkil, salah seorang musuh Imam Al-Hâdî dan nenek
moyangnya yang paling getol senantiasa merujuk kepadanya ketika
menghadapi perbedaan pendapat para fuqaha dalam menyelesaikan berbagai
macam masalah, dan selalu mengunggulkan pendapatnya. Di antara masalah
dan problematika yang dipecahkan oleh Imam Al-Hâdî as. ketika Mutawakkil
merujuk kepadanya adalah sebagai berikut:
a. Mutawakkil
memiliki seorang sekretaris yang beragama Kristen. Sekretaris ini sangat
agung dan mulia dalam pandangannya. Ia sangat tulus mencintainya. Oleh
karena itu, ia tidak pernah menyebut namanya. Ia selalu memanggil nama
julukannya, Abu Nuh. Melihat itu, sebagian fuqaha memprotes seraya
berkata: "Seorang muslim tidak boleh memanggil nama julukan seorang
kafir." Sementara itu, sebagian fuqaha yang lain membolehkan hal itu.
Mutwakil menulis surat kepada Imam Ali Al-Hâdî as. untuk menanyakan
fatwa tentang masalah ini. Dalam jawabannya, setelah menulis basmalah,
Imam Al-Hâdî as. menyebutkan ayat yang berbunyi: "Binasalah kedua tangan
Abu Lahab dan sesungguhnya ia akan binasa." Dengan menyebutkan ayat
tersebut, Imam Al-Hâdî menjadikannya sebagai bukti atas kebolehan
memanggil nama julukan seorang kafir. Mutawakkil pun menerima fatwanya
ini.
b. Mutawakkil pernah menderita sebuah penyakit. Ia
bernazar jika Allah menyembuhkan penyakitnya, ia akan menyedekahkan
dinar yang sangat banyak sekali. Setelah sembuh dari penyakitnya itu, ia
mengumpulkan para fuqaha untuk menanyakan kadar yang harus ia
sedekahkan. Mereka berbeda pendapat dalam menentukan hal itu. Akhirnya,
ia meminta fatwa kepada Imam Ali Al-Hâdî as. tentang masalah ini. Imam
Al-Hâdî as. menjawab supaya ia bersedekah sebanyak delapan puluh tiga
dinar. Mereka terheran-terheran dengan fatwa ini. Demi kejelasan
masalah, mereka memohon supaya Mutawakkil menanyakan dalil fatwa
tersebut kepada Imam Al-Hâdî. Imam Al-Hâdî as. menjawab: "Sesungguhnya
Allah swt. berfirman, 'Sesungguhnya Allah telah menolong kamu [hai para
mukminin] di medan peperangan yang banyak.' (QS. At-Tawbah [9]:25)
Keluarga kami telah meriwayatkan bahwa medan peperangan dalam missi
Sariyah hanya berjumlah delapan puluh tiga."
Di akhir jawabannya,
Imam Al-Hâdî as. menambahkan: "Ketika Amirul Mukminin berbuat kebajikan
lebih banyak lagi, maka hal itu akan lebih bermanfaat baginya di dunia
dan akhirat."
c. Seorang pengikut agama Kristen pernah
memperkosa seorang wanita muslimah, dan ia dihadapkan kepada Mutawakkil.
Mutwakil ingin menjalankan had atas orang Kristen tersebut. Yahyâ bin
Aktsam berfatwa: "Keimanannya telah memusnahkan kesyirikan dan
tindakannya itu." Sementara itu, sebagian fuqaha berpendapat bahwa ia
harus didera sebanyak tiga had, dan fuqaha yang lain memiliki pendapat
yang bertentangan dengan pendapat tersebut. Mutawakkil memerintahkan
supaya masalah ini diadukan dan diajukan kepada Imam Ali Al-Hâdî as.
Imam Al-Hâdî as. menjawab supaya orang Kristen tersebut didera hingga
mati.
Yahyâ dan para fuqaha yang lain menentang keputusan itu
sembari berkata: "Ketentuan ini tidak pernah ada di dalam Al-Qur'an dan
tidak juga di dalam sunah (Nabi)."
Mutawakkil terpaksa menulis surat
kepada Imam Al-Hâdî as. yang berbunyi: "Sesungguhnya fuqaha muslimin
menentang keputusan tersebut dan menegaskan bahwa hal itu tidak terdapat
di dalam sunah (Nabi) dan tidak juga di dalam Al-Qur'an. Oleh karena
itu, jelaskanlah kepada kami mengapa Anda berfatwa supaya orang Kristen
itu didera hingga mati."
Setelah basmalah, Imam Ali Al-Hâdî as.
menjawab surat tersebut dengan menyebutkan ayat yang berbunyi: "Maka
tatkala mereka melihat azab Kami, mereka berkata, 'Kami beriman hanya
kepada Allah saja dan kami kafir kepada sesembahan-sesembahan yang telah
kami persekutukan kepada Allah.' Maka iman mereka tiada berguna bagi
mereka tatkala mereka telah melihat siksa Kami." (QS. Al-Mukmin
[40]:84-85)
Mutwakil pun menerima fatwa dan keputusan Imam Al-Hâdî as. tersebut.
Mutiara Hikmah Berharga
Imam Abul Hasan Ali Al-Hâdî as. telah meninggalkan banyak pesan emas
yang dapat dijadikan sebagai kekayaan pemikiran Islam yang paling
menawan. Dengan pesan-pesan tersebut, ia telah mengobati banyak
problematika pendidikan dan spiritual masyarakat. Di antara pesan-pesan
tersebut adalah berikut ini:
a. Ia berkata: "Yang lebih baik dari
kebaikan adalah orang yang melakukannya, yang lebih indah dari sesuatu
yang indah adalah orang yang mengucapkannya, dan yang paling berharga
dari ilmu pengetahuan adalah orang yang mengamalkannya ...."
Dengan ucapan ini, Imam Al-Hâdî as. ingin memuji orang-orang yang memiliki karakter-karakter tersebut, yaitu:
o Pelaku kebaikan; dilihat dari sisi nilai-nilai etika, ia adalah adalah lebih baik dari kebaikan itu sendiri.
o Pengucap keindahan; sesuai dengan tolok ukur-tolok ukur kejiwaannya,
ia adalah lebih indah dari sebuah keindahan. Hal itu lantaran kebaikan
yang dikucurkannya kepada masyarakat.
o Pengamal ilmu; ia adalah
lebih berharga dari sekedar ilmu pengetahuan. Hal itu lantaran ilmu
pengetahuan mencari sebuah sarana untuk diamalkan dan disucikan. Jika
penyandang ilmu telah mengamalkannya, maka ia telah merealisasikan
missinya, menjaga ilmu, dan meninggikan kedudukannya. Dengan ini semua,
ia adalah lebih baik dari ilmu itu sendiri.
b. Ia berkata: "Kemaslahatan orang yang tidak mengetahui kemuliaan adalah kehinaannya."
Alangkah indahnya ucapan ini! Orang yang tidak mengenal kemuliaan dan
nilai-nilai insani, maka ia layak dihina, diremehkan, dan ditinggalkan.
c. Ia berkata: "Musibah yang paling buruk adalah akhlak yang jelek."
Salah satu musibah dan petaka yang paling besar adalah akhlak yang
jelek, karena hal ini akan menjerumuskan seseorang ke dalam jurang
keburukan yang dalam dan menciptakan banyak kesusahan dan problem
baginya.
d. Ia berkata: "Kebodohan dan kekikiran adalah akhlak yang paling tercela ...."
Tidak diragukan lagi bahwa kebodohan dan kekikiran adalah termasuk
akhlak dan perangai yang jelek. Kedua karakter ini dapat menjauhkan
seseorang dari Tuhannya dan membuat kehidupannya seperti kehidupan
binatang liar.
e. Ia berkata: "Mengkufuri nikmat adalah tanda kesombongan dan faktor perubahan (nikmat) ...."
Tidak diragukan lagi bahwa orang yang mengkufuri nikmat dan enggan
menyukurinya adalah orang yang sombong dan keluar dari ruang lingkup
ketaatan kepada Pemberi nikmat, sebagaimana juga kesombongan adalah
salah satu faktor perubahan nikmat dan kesirnaannya.
f. Ia berkata:
"Perdebatan dapat merusak persahabatan yang sudah lama terjalin dan
menguraikan tali-temali yang sudah erat tertambat. Kadar minimal
perdebatan tersebut adalah rasa ingin menang, dan rasa ingin menang
adalah pondasi seluruh faktor keterputusan dan perpecahan ...."
Dalam bahasa Arab, perdebatan disebut mirâ'. Perdebatan ini dapat
menyebabkan tali-temali persahabatan terurai, kecintaan sirna, dan
kebencian tersebar luas.
Mutawakkil Menyuruh Ibn Sikkît untuk Menguji Imam Al-Hâdî
Mutawakkil meminta kepada seorang 'alim kenamaan dan tersohor, Ya'qûb
bin Ishâq yang lebih dikenal dengan nama Ibn Sikkît untuk menanyakan
suatu masalah yang sangat sulit kepada Imam Al-Hâdî as. dengan harapan
ia tidak dapat menyelesaikannya. Dengan ini, Mutawakkil dapat menjadikan
ketidakbisaannya ini sebagai bahan untuk mengolok-oloknya di depan
khalayak ramai.
Ibn Sikkît mulai mencari sebuah masalah yang sangat
pelik untuk dipersiapkan mengujinya. Setelah beberapa waktu berlalu, ia
berhasil menemukan masalah tersebut. Mutawakkil pun mengumumkan sebuah
seminar ilmiah (resmi) di istananya. Ibn Sikkît maju ke depan. Setelah
berdiri di hadapan Imam Ali Al-Hâdî as., ia mengajukan pertanyaanya
seraya berkata: "Mengapa Allah mengutus Mûsâ dengan mukjizat tongkat dan
telapak tangan yang putih bersinar, mengutus Isa dengan mukjizat
penyembuhan orang yang berpenyakit lepra dan menghidupkan orang yang
sudah meninggal dunia, dan mengutus Muhammad dengan membawa mukjizat
Al-Qur'an dan pedang?"
Imam Al-Hâdî as. menjawab: "Allah mengutus
Mûsâ dengan membawa mukjizat tongkat dan tangan putih bersinar pada
suatu masa yang didominasi oleh ilmu sihir. Lalu, ia membawa mukjizat
dari ilmu sihir itu yang dapat mengalahkan ilmu sihir mereka dan
menetapkan hujah atas mereka. Dia mengutus Isa dengan membawa mukjizat
penyembuhan orang yang berpenyakit lepra dan menghidupkan kembali orang
yang sudah meninggal dunia pada suatu masa yang didominasi oleh ilmu
kedokteran. Ia membawa mukjizat dari ilmu kedokteran tersebut yang dapat
mengalahkan dan membungkam mulut mereka. Dan Dia mengutus Muhammad
dengan membawa mukjizat Al-Qur'an dan pedang pada masa yang dikuasai
oleh pedang dan syair. Ia membawa mukjizat dari Al-Qur'an dan pedang
yang dapat mengalahkan syair dan pedang mereka, serta menetapkan hujah
atas mereka ...."
Dengan jawab tersebut, Imam Al-Hâdî as. memaparkan
hikmah di balik pengutusan para rasul-Nya yang agung dengan membawa
seluruh mukjizat tersebut di mana seluruh mukjizat itu sesuai dengan
kondisi dan situasi yang berlaku pada masa masing-masing.
Allah swt.
telah menguatkan Mûsâ dengan mukjizat tongkat yang dapat berubah
menjadi ular naga besar yang melahap seluruh tali-temali para penyihir
yang disihir oleh mereka menjadi ular-ular itu. Dengan demikian, mereka
merasa kalah dan menyerah di hadapan mukjizat tersebut dan mengumumkan
keimanan mereka kepada kenabian Mûsâ as. Begitu juga, Allah swt.
menguatkannya dengan tangan yang putih bersinar bak matahari bersinar,
dan ini adalah sebuah mukjizat atas kebenarannya.
Allah swt.
menguatkan Al-Masih Isa bin Maryam dengan mukjizat penyembuhan orang
yang berpenyakit lepra dan menghidupkan orang yang sudah meninggal dunia
pada masa di mana ilmu medis dan kedokteran telah mencapai puncak
kegemilangannya. Di hadapan mukjizat itu, para ahli media menyerah
kalah.
Dan Allah swt. juga menguatkan pamungkas para nabi saw.
dengan Al-Qur'an, sebuah mukjizat abadi yang bukan hanya dalam segi
balaghah dan kefasihannya saja. Tetapi, di dalam kitab ini juga
terkandung undang-undang yang sangat maju dan dapat menjamin terwujudnya
kemuliaan dan kehidupan umat manusia yang aman. Dengan itu semua, para
sastrawan Arab tidak mampu menandingi dan mengungguli kitab ini. Begitu
juga, Allah swt. menguatkannya dengan pedang yang senantiasa menang dan
unggul. Yaitu, pedang Amirul Mukminin as. yang telah berhasil memanen
kepala-kepala kaum musyrikin Arab yang membangkang. Para jawara Arab
tidak memiliki nyali untuk menghadapi pedang ini. Mereka selalu
bersemboyan: "Melarikan diri dari peperangan adalah sebuah cela kecuali
dari pedang Ali." Pedangnya adalah bak halilintar yang dapat
meluluh-lantakkan tokoh-tokoh musyrikin dan kaum kafir.
Ala kulli
hal, untuk selanjutnya Ibn Sikkît menanyakan dalil yang digunakan oleh
Imam Al-Hâdî as. untuk menjelaskan semua itu. Ia menjawab: "Akal. Dengan
akal ini, pembohong atas Allah dapat dikenali. Dengan itu, ia layak
dibohongkan."
Ibn Sikkît pun bungkam dan tidak mampu untuk
menandingi Imam Al-Hâdî as. Yahyâ bin Aktsam menyebarkan kekalahannya
kepada khalayak ramai. Ibn Sikkît menjawab: "Ibn Sikkît memang tidak
layak untuk berdialog. Ia hanyalah seorang ahli dalam bidang ilmu Nahwu,
syair, dan bahasa."
Imam Ali Al-Hâdî as. adalah orang yang paling
'alim pada masanya. Bukan hanya dalam bidang syariat Islam, tetapi dalam
seluruh bidang ilmu pengetahuan. Kami telah memaparkan kemampuan ilmiah
Imam Ali Al-Hâdî as. ini dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam
Ali Al-Hâdî as.
Ibadah
Satu hal yang
menonjol dalam sirah dan sejarah hidup para imam maksum as. adalah
hubungan mereka yang erat dengan Allah swt. Kecintaan kepada-Nya telah
tertancap di dalam hati mereka dan mengalir ke seluruh wujud dan naluri
mereka. Mereka selalu menjalani kahidupan sehari-hari dengan berpuasa
dan melewati malam-malam mereka dengan mengerjakan salat, bermunajat
kepada Allah, dan membaca kitab-Nya. Ketika membandingkan kehidupan para
imam suci ini dengan kehidupan Bani Abbâsiyah, penyair handal, Abu
Firâs Al-Hamdânî bersenandung:
Tilawah Al-Qur'an bersenandung dalam
rumah-rumah mereka, sementara itu kidungan dan petikan kecapi
bersenandung di rumah-rumahmu.
Umat manusia tidak pernah melihat
seseorang yang seperti Imam Ali Al-Hâdî as. dalam ibadah, ketakwaan, dan
kegetolannya dalam menjalankan agama. Para perawi hadis mengatakan
bahwa ia tidak pernah meninggalkan satu salat sunah pun. Ketika
mengerjakan salat sunah Maghrib, pada rakaat ketiga, ia membaca surah
Al-Fâtihah dan surah Al-Hadîd hingga firman Allah yang berbunyi: "Wa
huwa 'alîmun bi dzâtish shudûr." (QS. Al-Hadîd [57]:6) Dan pada rakaat
keempat, ia membaca surah Al-Fâtihah dan ayat terakhir surah Al-Hujurât.
Ia juga memiliki sebuah salat sunah khusus. Salat sunah ini berjumlah
dua rakaat. Pada rakaat pertama, ia membaca surah Al-Fâtihah dan sura
Yasin, serta pada rakaat kedua ia membaca surah Al-Fâtihah dan surah
Ar-Rahmân. Kami telah memaparkan doa-doanya pada saat membaca qunut dan
setelah mengerjakan salat Shubuh dan 'Ashar dalam buku kami yang
berjudul Hayâh Al-Imam Ali Al-Hâdî as.
Bersama Mutawakkil
Mutawakkil Al-Abbâsî adalah orang yang paling memusuhi keluarga nabawi
saw. Ia dikenal dengan kebencian dan permusuhannya terhadap mereka. Ia
adalah orang yang telah menghancurkan makam suci Sayidus Syuhada' Imam
Husain as. dan melarang masyarakat menziarahinya, serta menyiksa orang
yang berziarah kepadanya. Ia-seperti diakui oleh para ahli
sejarah-adalah lebih zalim terhadap Bani Ali as. daripada Bani Umayyah
yang telah dikenal sebagai keluarga yang memiliki permusuhan besar
terhadap Ahlul Bait as.
Faktor kebencian sang zalim ini adalah
lantaran ia mendengar Imam Ali Al-Hâdî as. memiliki kedudukan yang
tinggi di dalam hati masyarakat luas dan tempat yang kokoh di dalam
lubuk hati mereka. Ia pun marah besar karena itu.
Pada kesempatan
ini, kami akan memaparkan kondisi kehidupan Imam Ali Al-Hâdî as. di
bawah kekuasaan sang zalim ini secara ringkas.
a. Fitnah terhadap Imam Al-Imam Al-Hâdî
Salah seorang yang tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap agama
dan tidak mengharapkan perlindungan Allah swt. memfitnah Imam Al-Hâdî
as. Abdullah bin Muhammad, gubernur Mutawakkil untuk Madinah mengadukan
Imam Al-Hâdî kepadanya. Pengaduannya ini berisi hal-hal yang sangat
berbahaya. Di antaranya adalah berikut ini:
a. Banyak harta
berdatangan dari berbagai penjuru negara Islam kepada Imam Al-Hâdî as.
Dan tidak jauh kemungkinannya bahwa ia membeli senjata dengan harta
tersebut untuk mengadakan perlawanan terhadap pemerintahan Abbâsiyah.
b. Imam Al-Hâdî as. memiliki kecintaan dan keagungan di seluruh penjuru dunia Islam.
c. Ada kemungkinan Imam Al-Hâdî as. akan mengadakan revolusi
besar-besaran untuk menumbangkan kedaulatan dinasti Bani Abbâsiyah. Sang
Gubernur memohon kepada Mutawakkil supaya ia ditangkap dan dijebloskan
ke dalam penjara supaya garis perlawanannya tidak menguat.
b. Imam Al-Hâdî Menggagalkan Tindak Provokasi
Ketika mengetahui fitnah tersebut, Imam Ali Al-Hâdî as. khawatir
Mutawakkil mengambil keputusan-keputusan keras yang merugikan dirinya.
Ia bergegas mengambil sikap untuk menggagalkan tindak provokasi ini. Ia
menulis surat kepada Mutawakkil yang berisi penjelasan tentang
kedengkian yang dimiliki oleh sang Gubernur, kejahatan tindakannya, dan
kebohongan fitnahnya. Ia juga menegaskan bahwa ia tidak ingin berbuat
jahat terhadap Mutawakkil dan mengadakan perlawanan terhadap
kekuasaannya. Ketika surat itu sampai di tangan Mutawakkil, ia yakin
atas ketidakberdosaan Imam Al-Hâdî as. dan kebohongan tuduhan yang telah
dinisbahkan kepadanya.
c. Surat Mutawakkil untuk Imam Al-Hâdî
Sebagai jawaban atas surat Imam Ali Al-Hâdî as. ini, Mutawakkil menulis
sepucuk kepadanya. Di dalam surat ini, Mutawakkil menjelaskan bahwa ia
telah mengetahui seluruh peristiwa yang sebenarnya dan ingin menurunkan
Gubernur Madinah dari jabatannya. Begitu juga, ia mengundangnya untuk
datang ke Samirra' dan berdomisili di situ. Berikut ini adalah teks
surat Mutawakkil kepada Imam Al-Hâdî as:
Amma ba'du. Amirul Mukminin
mengetahui kedudukan Anda, memperhatikan kekerabatan Anda, melaksanakan
hak Anda, dan menentukan untuk Anda dan keluarga Anda apa yang Allah
akan memperbaiki kondisi Anda dan kondisi mereka, mengokohkan kemuliaan
Anda dan kemuliaan mereka, serta menjamin keamanan bagi Anda dan bagi
mereka. Ia melakukan semua itu hanya untuk mengharap keridaan Tuhannya
dan melaksanakan kewajiban yang telah diwajibkan atasnya terhadap Anda
dan mereka.
Amirul Mukminin telah berniat untuk menurunkan Abdullah
bin Muhammad dari jabatannya sebagai pemegang pucuk komando perang dan
imam salat di Madinah Rasulullah saw. Hal itu apabila apa yang telah
Anda paparkan dalam surat itu karena kebodohannya terhadap hak Anda,
peremehannya terhadap kedudukan Anda, dan lantaran sekedar tuduhan yang
telah ia lakukan atas Anda di mana Amirul Mukminin tahu bahwa Anda
terbebaskan dari semua itu dan Anda memiliki niat yang tulus dalam
setiap kebaikan dan ucapan Anda, serta Anda tidak mempersiapkan diri
untuk mengadakan apa yang telah dituduhkan kepada Anda tersebut.
Sebagai gantinya, Amirul Mukminin telah menentukan Muhammad bin Fadhl
dan memerintahkannya untuk menghormati dan mengagungkan Anda, menjadikan
keputusan dan pendapat Anda sebagai keputusan terakhir dan penentu,
serta mendekatkan diri kepada Allah dan Amirul Mukminin dengan semua
itu.
Amirul Mukminin sangat rindu untuk memadu janji dan bersua
dengan Anda. Jika Anda tidak berkeberatan, Anda dapat menziarahinya dan
berdomisili di sisinya dengan membawa siapa pun di antara keluarga dan
pembantu Anda yang Anda sukai, serta dengan penuh ketenangan dan
kedamaian; Anda berangkat jika Anda kehendaki, Anda berhenti kapan pun
Anda sukai, dan Anda berjalan kapan pun Anda kehendaki. Jika Anda
menginginkan supaya Yahyâ bin Hurtsumah, budak Amirul Mukminin dan
seluruh bala tentara yang berada di bawah komandonya mengawal Anda, hal
itu semua terserah Anda. Dengan itu semua, kami hanya ingin melakukan
ketaatan kepada Anda. Beristikharahlah kepada Allah sehingga Anda dapat
berjumpa dengan Amirul Mukminin. Tak seorang pun dari keluarga dan
orang-orang dekat Amirul Mukminin yang lebih memiliki kedudukan paling
mulia, lebih memiliki kedekatan yang layak dipuji, yang lebih layak
untuk dipandang, yang lebih dirindukan, yang lebih layak untuk dikucuri
kebajikan, dan yang lebih menenangkan hatinya daripada Anda.
Wassalamu'alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.
Surat ini ditulis oleh Ibrahim bin Abbâs pada bulan Jumadits Tsaniyah 243 Hijriah.
d. Imam Ali Al-Hâdî Dihadirkan ke Samirra'
Mutawakkil memerintahkan Yahyâ bin Hurtsumah untuk pergi ke Madinah.
Tujuan Mutawakkil adalah supaya menghadirkan Imam Ali Al-Hâdî as. ke
Samirra' dan mengadakan sebuah penelitian yang jeli tentang tuduhan yang
telah dituduhkan kepada Imam Al-Hâdî bahwa ia ingin menggulingkan
kerajaan dan mengadakan perlawanan terhadap penguasa.
Yahyâ pergi
ke Madinah dengan tidak memiliki niat apa-apa. Ketika sampai di Madinah,
ia berjumpa dengan Imam Ali Al-Hâdî as. dan menyerahkan surat
Mutawakkil kepadanya. Para penuduk Madinah merasa khawatir ketika
mengetahui apa yang sedang terjadi, lantaran takut atas jiwa Imam
Al-Hâdî di bawah pengawasan kezaliman sang lalim tersebut. Mereka sangat
mencintai Imam Al-Hâdî lantaran ia senantiasa memberikan masukan kepada
para ulama mereka, berbuat kebajikan kepada orang-orang miskin mereka,
dan tidak memiliki sedikit pun kecenderungan terhadap harta dunia. Yahyâ
menenangkan kekhawatiran mereka itu. Ia bersumpah kepada mereka bahwa
ia tidak diperintah untuk menyakiti Imam Al-Hâdî as.
Imam Al-Hâdî
as. meninggalkan Madinah bersama keluarganya. Yahyâ berkhidmat
kepadanya. Ia merasa takjub terhadap ketakwaan, ibadah, dan kezuhudan
Imam Al-Hâdî terhadap dunia. Rombongan itu pun berjalan menempuh padang
sahara yang luas sehingga sampai di daerah Yâsiriyah. Rombongan ini
disambut oleh Ishâq bin Ibrahim di situ. Ketika berita kedatangan Imam
Al-Hâdî di Yâsiriyah tersebar, penduduk kota itu berbondong-bondong
keluar untuk menyambutnya. Pihak-pihak yang tidak menginginkan sesuatu
terjadi merasa khawatir dengan seluruh penyambutan itu. Akhirnya, ia
dimasukkan ke Baghdad pada malam hari supaya ia tidak disambut oleh para
pengikut Syi'ah yang selalu haus ingin berjumpa dengannya dengan
penyambutan yang semarak.
Yahyâ pergi untuk menjumpai Ishâq bin
Ibrahim Azh-Zhâhirî, penguasa Baghdad. Yahyâ menceritakan kedudukan Imam
Al-Hâdî as. dan seluruh kezuhudan, ibadah, dan ketakwaannya yang telah
ia saksikan sendiri. Ishâq berpesan kepadanya: "Sesungguhnya orang
ini-yaitu, Imam Al-Hâdî as-telah dilahirkan oleh Rasulullah saw., dan
engkau telah mengetahui kesesatan dan penyelewengan Mutawakkil. Jika
Mutawakkil mendengar sebuah kalimat yang mengandung penghinaan
terhadapnya, niscaya Mutawakkil akan membunuhnya, dan Nabi saw. akan
menjadi musuhmu pada hari kiamat ...."
Ishâq telah memberikan
peringatan kepada Yahyâ supaya tidak menukil satu ucapan jelek pun
bekenaan dengan hak Imam Al-Hâdî kepada Mutawakkil yang telah dikenal
sebagai orang yang memusuhi dan membenci Ahlul Bait as. Yahyâ bergegas
menjawab: "Demi Allah, aku tidak mengetahui sesuatu darinya yang dapat
kuingkari dan juga tidak menemukan sesuatu darinya kecuali sesuatu yang
indah."
Setelah itu, rombongan Imam Ali Al-Hâdî as. meninggalkan
Baghdad untuk menuju ke Samirra'. Ketika tiba di Samirra', Yahyâ
bergegas menjumpai Washîf At-Turki, salah seorang yang memiliki
kedudukan penting di jajaran kerajaan. Yahyâ memberitahukan kedatangan
Imam Al-Hâdî as. di Samirra' kepadanya. Washîf pun segera memberikan
peringatan kepada Yahyâ untuk tidak menukil sebuah kalimat pun yang
dapat merusak nama baik Imam Al-Hâdî as. kepada Mutawakkil seraya
berkata: "Hai Yahyâ, demi Allah, jika sehelai rambutnya jatuh, hanya
engkau yang akan dimintai pertanggungjawaban."
Yahyâ pun merasa
takjub dan terheran-heran dengan kesatuan wasiat Washîf At-Turki dan
Ishâq, penguasa Baghdad tentang Imam Al-Hâdî as. dan kelaziman untuk
memeliharanya.
e. Di Gubuk Sha'âlîk
Mutawakkil memerintahkan supaya Imam Al-Hâdî as. ditempatkan di gubuk
Sha'âlik dengan tujuan untuk menjatuhkan dan meremehkan harga dirinya di
mata khalayak ramai. Shâlih bin Sa'îd pernah menemuinya dan merasa
sakit hati dengan apa yang dilihatnya seraya berkata: "Semoga aku
menjadi tebusan Anda! Dalam setiap hal, mereka ingin memadamkan cahaya
Anda dan meremehkan nilai Anda sehingga mereka menempatkan Anda di dalam
gubuk yang menjijikkan ini, gubuk Sha'âlik."
Imam Ali Al-Hâdî as.
berterima kasih atas kecintaan dan ketulusan hatinya itu. Imam Al-Hâdî
meringankan rasa sakit hati yang hinggap di kalbunya. Ia menampakkan
mukjizat yang telah digunakan oleh Allah untuk menolong para wali dan
nabi-Nya. Ia menenangkan kekhawatiran yang ada dalam hati Shâlih
sehingga kesedihan hatinya pun sirna.
f. Imam Al-Hâdî Hidup Bersama Mutawakkil
Yahyâ bergegas menjumpai Mutawakkil dan memberitahukan kebersihan sirah
dan kezuhudan Imam Ali Al-Hâdî as. kepadanya. Tak lupa ia juga
menyampaikan bahwa ia telah menggeledah rumah Imam Al-Hâdî dan tidak
menemukan apa pun di dalamnya kecuali mushaf-mushaf dan kitab-kitab doa.
Di samping itu, ia juga memberitahukan bahwa Imam Al-Hâdî terbebaskan
dari segala tuduhan ingin menggulingkan kerajaan yang dituduhkan
kepadanya itu. Dengan penjelasan ini, amarah sang lalim itu reda. Ia
memerintahkan supaya Imam Al-Hâdî as. dihadirkan ke hadapannya. Ketika
Imam Al-Hâdî telah hadir di hadapannya, Mutawakkil menyambutnya dengan
segala pengagungan dan pemuliaan, serta mempererat hubungan dengannya.
Hanya saja, ia memaksanya untuk berdomisili di Samirra' supaya segala
gerak-geriknya berada di bawah pengawasan dan pantauannya.
g. Mutawakkil Menanyakan Siapakah Penyair Termahir?
Mutawakkil pernah bertanya kepada Ali bin Jahm tentang penyair
termahir. Ali bin Jahm menyebutkan beberapa nama penyair yang pernah
hidup pada masa jahiliah. Akan tetapi, Mutawakkil tidak tertarik dengan
semua nama itu. Akhirnya, ia menoleh ke arah Imam Ali Al-Hâdî as. dan
menanyakan pertanyaan yang sama kepadanya. Imam Al-Hâdî as. menjawab:
"Al-Humânî. Dalam sebuah syairnya ia pernah berkata,
Sekelompok kaum Quraisy berbangga-bangga atas kami dengan jidad yang lebar dan jari-jemari yang terbentang.
Jika kami mengadu perang mulut dengan mereka, ia menangkan kami atas mereka dengan seruan syahadatain.
Engkau lihat kami terdiam sedangkan saksi keutamaan kami atas mereka selalu mendengung di setiap perkumpulan.
Sungguh Rasulullah Ahmad adalah kakek kami dan kami anak cucunya bak bintang gumintang yang cerlang."
Mutawakkil menoleh ke arah Imam Al-Hâdî as. seraya bertanya: "Hai Abul Hasan, apa yang dimaksud dengan nidâ' ash-shawâmi' ?"
Imam Al-Hâdî as. menjawab: "Asyhadu an(l) lâ ilâha illallâh wa asyhadu
anna Muhammad(an) Rasulullah. Apakah Muhammad itu adalah kakekku atau
kakekmu?"
Sang lalim tersulut api amarah dan menjawab pertanyaannya
ini dengan suara gemetar sembari berkata: "Ia adalah kakekmu, dan kami
tidak mengingkari hal ini."
Sang lalim mengingkari seluruh
keutamaan Imam Ali Al-Hâdî as. dan jiwanya terpenuhi oleh kebencian dan
permusuhan atasnya. Oleh karena itu, ia melakukan beberapa tindakan
berikut ini:
1. Menggeledah Rumah Imam Al-Hâdî as.
Mutawakkil memerintahkan kekuatan militernya untuk menyerang rumah Imam
Ali Al-Hâdî as. pada malam hari dan menahannya. Mereka menyerang
rumahnya di pertengahan malam dan menemukannya sedang berada di dalam
sebuah kamar yang tertutup. Pada saat itu, ia mengenakan jubah yang
terbuat dari bulu dan duduk di atas pasir dan kerikil yang terhampar di
atas lantai kamar itu dengan menghadap ke arah Kiblat sembari membaca
firman Allah swt.: "Apakah orang-orang yang berbuat kejahatan itu
menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang
beriman dan mengerajakan amal yang saleh, yaitu sama antara kehidupan
dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu." (QS.
Al-Jâtsiyah [45]:21)
Mereka membawa Imam Al-Hâdî as. ke hadapan
Mutawakkil, sedangkan ia masih tetap dalam kondisi semula yang
menggambarkan nilai spiritualitas para nabi as. itu dan Mutawakkil
sedang duduk di depan hidangan khamar dalam kondisi mabuk sempoyongan.
Ketika melihat Imam Al-Hâdî as., ia menawarkan segelas khamar kepadanya.
Imam Al-Hâdî as. menghardiknya seraya berkata: "Demi Allah, daging dan
darahku tidak pernah dikotori oleh khamar untuk selamanya."
Mutawakkil menoleh ke arah Imam Al-Hâdî as. seraya berkata: "Senandungkanlah syair untukku."
Imam Al-Hâdî as. menjawab: "Aku tidak banyak meriwayatkan syair."
Sang lalim itu memaksa sembari berkata: "Engkau harus menyenandungkan syair untukku."
Imam Al-Hâdî as. tidak memiliki pilihan lain kecuali harus mengabulkan
permintaannya itu. Lalu, ia membacakan bait-bait syair menyedihkan
berikut ini yang dapat merubah sang lalim yang sedang mabuk sempoyongan
itu menjadi sedih dan menangis:
Mereka hidup di atas puncak
kekuasaan dengan dikawal oleh pengawal-pengawal kuat, tapi puncak
kekuasaan tak bermanfaat bagi mereka.
Mereka diturunkan dari
kedudukannya setelah beberapa saat merasa mulia, dan diletakkan di liang
kuburan. Oh, alangkah jeleknya liang mereka.
Sebuah suara menyeru mereka setelah mereka dikuburkan: "Manakah takhta, manakah pernik perhiasan, dan manakah gemerlap mahkota?
Manakah wajah-wajah yang sebelumnya bergelimangan nikmat, yang seluruh kelambu dan tirai dibentangkan di hadapannya?"
Liang kubur pun berbicara ketika ia mempertanyakan mereka: "Itulah wajah-wajah itu tengah digerayangi ulat-ulat berpesta-pora.
Mereka telah banyak makan dan minum setelah beberapa masa, dan setelah berselang masa yang lama itu, mereka telah jadi mangsa."
Mutawakkil tersentak dan rasa mabuk pun sirna dari kepalanya. Ia
kehilangan kontrol dan menangis sesenggukan. Ia memerintahkan supaya
gelas-gelas khamar itu disingkirkan dari hadapannya seraya menoleh ke
arah Imam Al-Hâdî as. sembari bertanya: "Hai Abul Hasan, apakah engkau
memiliki utang?"
Imam Al-Hâdî menjawab: "Ya. Empat puluh ribu dinar."
Mutawakkil memerintahkan supaya uang itu diberikan kepadanya, dan ia dikembalikan ke rumahnya.
Peristiwa ini mengindikasikan jihad dan sikap Imam Ali Al-Hâdî as. yang
agung dalam menghadapi sang lalim yang melakukan setiap dosa yang telah
dilarang Allah swt. Ia tidak gentar dengan kerajaan dan kekuasaan yang
dimilikinya. Ia menasihati dan memperingatkannya atas siksa Allah yang
sedang menanti. Ia juga memberitahukan masa depannya setelah ia
meninggalkan dunia ini, dan bahwa bala tentara, kerajaan, dan seluruh
kekuatan besar yang dimilikinya itu tidak dapat menolak kematian pasti
yang telah dijanjikan. Lebih dari itu, ia memberitahukan nasib tubuhnya
yang lemah itu setelah meninggal dunia, yaitu tubuh itu akan menjadi
santapan ulat-ulat dengan berpesta-pora.
Bisa dipastikan bahwa
nasihat semacam ini belum pernah hinggap di telinga Mutawakkil. Karena,
telinganya senantiasa dihirukkan oleh suara-suara merdu para penyanyi,
dan ia dijemput maut sedangkan ia tersanjung di tengah-tengah para
penari gemulai. Ia tidak pernah ingat kepada Allah swt. selama masa ia
hidup.
2. Embargo Ekonomi Terhadap Imam Al-Hâdî
Mutawakkil pernah memberlakukan embargo ekonomi yang sangat ketat
terhadap Imam Al-Hâdî as. dan menentukan siksaan yang paling keras bagi
para pengikutnya yang mengantarkan harta-harta khumus dan zakat
kepadanya atau melakukan jenis hubungan apapun dengannya. Dengan
demikian, pada masa kekuasaan Mutawakkil ini, ia dan seluruh keturunan
Bani Ali as. hidup dalam krisis ekonomi yang sangat parah. Muslimin
enggan untuk menunaikan hak-hak mereka karena takut kepada penguasa.
Mukminin mengirimkan hak-hak mereka dengan menimbunnya di dalam kaleng
minyak goreng dan menjual minyak goreng itu kepada mereka. Pihak
penguasa tidak mengetahui strategi ini. Oleh karena itu, sebagian
sahabat Imam Al-Hâdî as. dikenal sebagai penjual minyak goreng.
3. Penangkapan dan Penahanan Imam Al-Hâdî
Sang lalim Mutawakkil memerintahkan supaya Imam Al-Hâdî as. ditangkap
dan dijebloskan ke dalam penjara. Ia mendekam di dalam rumah tahanan
selama beberapa waktu. Pada suatu hari, Shaqr bin Abi Dilf menjenguknya
di dalam penjara. Penjaga penjara menyambutnya dengan sangat hangat, dan
ia tahu bahwa Shaqr adalah seorang pengikut Syi'ah. Penjaga penjara
bertanya kepadanya: "Untuk keperluan apa kamu datang kemari?"
Shaqr menjawab: "Untuk sebuah kebaikan."
Ia bertanya lagi: "Mungkin kamu datang untuk menanyakan kondisi tuanmu?"
Shaqr menjawab: "Tuanku adalah Amirul Mukminin." Yang ia maksudkan adalah Mutawakkil.
Penjaga penjara itu tersenyum seraya berkata: "Diam kamu. Tuanmu adalah
kebenaran-yaitu, Imam Al-Hâdî as-dan janganlah kamu takut kepadaku,
karena aku juga mengikuti mazhabmu."
Shaqr berujar lega: "Alhamdulillâh."
Ia bertanya lagi: "Kamu ingin untuk menjumpainya?"
"Ya," jawab Shaqr pendek.
Ia menjawab: "Duduklah hingga tukang pos itu keluar."
Ketika tukang pos itu keluar, penjaga penjara berkata kepada
bawahannya: "Antarlah Shaqr ini dan masukkanlah ke dalam bilik yang
dihuni oleh 'Alawi yang sedang ditahan itu, serta biarkanlah mereka
berdua sendirian."
Bawahan itu mengantarkan Shaqr dan membawanya
masuk ke dalam bilik Imam Al-Hâdî as. Ia duduk di atas sebuah pelepah
kurma dan di hadapannya telah digali sebuah kuburan atas perintah
Mutawakkil untuk menakut-nakutinya. Ia menoleh ke arah Shaqr seraya
bertanya: "Hai Shaqr, apa yang menyebabkan kamu datang kemari?"
Shaqr menjawab: "Aku datang hanya untuk mengetahui kondisi Anda."
Shaqr pun menangis tersedu-sedu karena khawatir atas jiwa Imam Al-Hâdî
as. Ia berkata kepadanya: "Hai Shaqr, janganlah kamu menangis. Mereka
tidak akan dapat berbuat kejahatan terhadap kami ...."
Imam Al-Hâdî
as. menenangkan rasa takutnya, dan ia bersyukur kepada Allah atas hal
ini. Selanjutnya, ia bertanya tentang beberapa masalah agama, dan
setelah Imam Al-Hâdî as. menjawabnya, ia pun mohon pamit.
h. Doa Imam Al-Hâdî Demi Kecelakaan Mutawakkil
Imam Al-Hâdî as. sudah merasa tidak tahan lagi menghadapi Mutawakkil.
Mutawakkil selalu memperlakukannya dengan segala jenis kekerasan dan
menyiksanya dengan siksa yang paling pedih. Imam Al-Hâdî as. mengadukan
hal itu kepada Allah swt. dan berdoa untuk kecelakaannya dengan doa
Ahlul Bait as. yang paling agung. Doa ini dikenal dengan nama "doa orang
mazlum untuk kecelakaan orang zalim". Doa ini adalah salah satu doa
simpanan yang sangat mulia. Kami telah menyebutkan doa ini di dalam buku
kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Ali Al-Hâdî as., dan tidak perlu lagi
kami menyebutkannya lagi dalam biografi ringkas para imam maksum as.
ini.
i. Imam Al-Hâdî Memberitahukan Kematian Mutawakkil
Mutawakkil menggunakan segala cara dan sarana untuk menurunkan derajat
Imam Al-Hâdî as. dan mengurangi pamornya di hadapan khalayak ramai. Ia
memerintahkan seluruh rakyat untuk berjalan di hadapannya. Mereka
melaksanakan perintahnya, dan Imam Al-Hâdî as. berada di hadapan mereka
sedang berkucuran keringat, karena pada waktu itu hawa memang sangat
panas. Zurâqah, penjaga pintu istana Mutawakkil melihat Imam Al-Hâdî
sedang berkucuran keringat. Zurâqah bergegas menuju ke arahnya dan
mendudukkannya di dalam sebuah ruangan. Ia mengambil sebuah sapu tangan
dan lantas menyapu keringat Imam Al-Hâdî yang sedang berkucuran. Ia
berusaha meringankan kesedihan yang ada di dalam relung hatinya seraya
berkata: "Anak pamanmu itu tidak memiliki tujuan apa-apa terhadapmu
dengan tindakan ini ...."
Imam Al-Hâdî as. menjawab: "Diamlah kamu!"
Setelah itu, ia membaca firman Allah swt. yang berbunyi: "Bersukarialah
kamu sekalian di rumahmu selama tiga hari, itu adalah janji yang tidak
dapat didustakan." (QS. Hûd [11]:65)
Zurâqah berkata: "Aku memiliki
seorang sahabat yang bermazhab Syi'ah. Aku sering bergurau dengannya.
Ketika pulang ke rumahku, aku memanggilnya untuk datang ke rumahku.
Ketika ia telah datang, aku memberitahukan kepadanya apa yang telah
kudengar dari Imam Al-Hâdî. Lantas, wajahnya berubah seraya berkata
kepadaku, 'Berhati-hatilah dan kumpulkanlah seluruh harta yang kamu
miliki, karena Mutawakkil akan mati atau dibunuh setelah tiga hari.'"
Ia menafsirkan hal itu dari kesaksian Imam Al-Hâdî as. dengan ayat
tersebut. Ucapannya berpengaruh kuat pada diri Zurâqah. Ia melanjutkan
ceritanya: "Tidak ada jeleknya jika aku mempersiapkan segala sesuatunya.
Jika memang hal itu terjadi, aku telah bersiap-siap diri sebelumnya,
dan seandainya tidak terjadi sesuatu, semua itu tidak akan membahayakan
aku. Akhirnya, aku menunggangi kudaku menuju ke istana Mutawakkil dan
kukeluarkan seluruh harta milikku, lalu kutitipkan kepada orang yang
kukenal. Tiga hari belum berlalu, Mutawakkil pun mati."
Peristiwa ini menjadi faktor Zurâqah mendapatkan petunjuk dan meyakini mazhab imâmah.
j. Kematian Mutawakkil
Setelah Imam Al-Hâdî as. memberitahukan tentang kematiannya itu,
Mutawakkil tidak hidup kecuali selama tiga hari. Anaknya yang bernama
Muntashir mengatur rencana untuk membantainya. Beberapa orang
berkebangsaan Turki menyerangnya pada malam Rabu yang bertepatan dengan
tanggal 4 Syawal 247 Hijriah. Kelompok ini dipimpin oleh seorang
berkebangsaan Turki yang bernama Bâghir. Mereka telah menghunus
pedang-pedang mereka. Pada waktu itu, Mutawakkil sedang dalam keadaan
mabuk sempoyongan. Fath bin Khâqân ketakutan seraya menjerit: "Celaka
kamu sekalian. Ini adalah Amirul Mukminin!" Mereka tidak menggubrisnya.
Fath melemparkan dirinya di atas tubuh Mutawakkil supaya menjadi kambing
korban baginya. Akan tetapi, tindakan Fath itu tidak dapat membela
Mutawakkil dan tidak juga dirinya. Pedang-pedang kelompok berkebangsaan
Turki itu menyabet tubuh mereka berdua dan memotong-motongnya sehingga
tidak dikenali manakah potongan daging tubuh Mutawakkil dan potongan
daging tubuh Fath. Sepotong daging mereka jatuh ke dalam gelas-gelas
khamar (yang telah dihidangkan). Akhirnya, Mutawakkil dan Fath
dikuburkan bersama dalam satu kuburan. Dengan peristiwa mengerikan ini,
masa kekuasaan Mutawakkil-sebagai sosok yang paling memusuhi Ahlul Bait
as-berakhir.
Mengenang kematian Mutawakkil ini, seorang penyair yang
bernama Ibrahim bin Ahmad Al-Asadî melantunkan bait-bait syair berikut
ini:
Beginilah kematian orang-orang besar, di dalam pelukan seruling, kecapi, dan tetesan-tetesan khamar.
Di dalam gelimangan dua gelas yang selalu mengenyangkannya, gelas kelezatan dan gelas kematian.
Ia selalu terjaga dalam kebahagiaan hingga datang kematian yang telah ditentukan Allah ketika ia lelap tidur.
Kematian memiliki tingkat-tingkat yang berbeda-beda, dan di ujung pedanglah kematian orang-orang besar.
Ia sendiri tidak tahu malaikat pembawa maut mengirimkan berbagai macam penyakit dan mala petaka.
Ia merasa ketakutan dan di malam yang gelap gulita, pedang-pedang tajam mencabik-cabik tubuhnya.
Penyair itu menangisinya dengan bait-bait syair yang menggambarkan
kegilaan dan kekotoran perangainya. Ia dijemput maut pada saat ia
bersenda gurau dengan gelas-gelas khamar dan alat-alat musik, dan segala
penyakit yang sedang dideritanya tidak mencegah ia melakukan itu semua.
Pedang-pedang kelompok berkebangsaan Turki itu telah memanen tubuhnya
dan ia tidak meneguk rasa sakit kecuali sedikit. Sebelum ini, para
penyair telah mengenang kematian para raja lantaran mereka enggan
memperbaiki kondisi kehidupan sosial masyarakat, enggan menebarkan
keadilan, keamanan, dan ketentramanan di tengah-tengah mereka.
Ala
kulli hal, mimpi buruk itu telah sirna dari tengah-tengah kehidupan Bani
Ali dan para pengikut mereka. Sekarang, Muntashir-yang telah memimpin
pemberontakan atas ayahnya sendiri-memegang tampuk kekhalifahan.
Pemerintahannya ini diterima oleh masyarakat luas dengan kebahagiaan
yang meluap. Setelah berhasil memegang tampuk kekuasaan itu, ia
melakukan banyak kebaikan kepada Bani Ali. Di antaranya adalah berikut
ini:
a. Membatalkan pelarangan berziarah kepada Imam Husain as.,
pelopor kemuliaan umat manusia itu, dan tindakannya ini mendapatkan
pujian dan ucapan terima kasih yang tak terhingga. Ayahnya telah
memberlakukan pelarangan untuk menziarahi cucu Rasulullah saw. ini dan
menentukan hukuman-hukuman yang sangat berat bagi orang-orang yang
berani menziarahinya.
b. Mengembalikan tanah Fadak kepada Bani Ali as.
c. Mengembalikan wakaf-wakaf Bani Ali as. yang telah disita oleh pemerintah kepada mereka.
d. Menurunkan gubernur Madinah, Shâlih bin Ali yang telah berbuat jahat
terhadap Bani Ali as. dari kedudukannya. Sebagai gantinya, ia menunjuk
Ali bin Hasan sebagai gubernur Madinah dan ia berwasiat kepadanya supaya
bertindak baik terhadap Bani Ali as.
Para penyair berterima kasih
kepada Muntashir atas segala karunia dan kebaikan yang telah ia lakukan
terhadap Bani Ali as. tersebut. Yazid bin Muhammad Al-Mihlabî
bersenandung:
Engkau telah berbuat baik kepada Bani Abu Thalib setelah mereka mendapat cercaan dan perlakukan jahat sekian lama.
Engkau kembalikan kecintaan kepada Bani Hâsyim dan kau anggap sebagai saudara setelah dimusuhi sekian lama.
Engkau tentramkan kehidupan mereka dan berbuat derma atas mereka sehingga mereka lupa sakit hati sekian lama.
Seandainya para leluhur melihat engkau telah berbuat derma kepada mereka, mereka yakin timbanganmu terberat di sana.( )
Muntashir telah menyambung tali kekerabatan dengan keluarga nabawi
setelah Bani Abbâsiyah, para leluhurnya selalu berusaha untuk memutusnya
dan menghinakan mereka. Ia menghentikan segala ancaman, kesengsaraan,
penghinaan, dan tekanan-tekanan yang selama itu dialami oleh mereka.
Akan tetapi, sangat disayangkan sekali. Masa kekuasaannya tidak
berlangsung lama. Seorang dokter kerajaan telah membunuhnya. Ia
meracuninya atas dasar perintah dari bangsa Turki. Dan Muntashir pun
meninggal dunia pada saat itu juga. Dengan kematiannya itu, masyarakat
telah kehilangan kebaikan yang tak terhingga. Ia telah berhasil
memberikan kebebasan beragama kepada mereka dan membasmikan mimpi buruk
itu dari kehidupan mereka.
Imam Ali Al-Hâdî Dibunuh
Mu'tamid Al-Abbâsî tidak tahan lagi melihat Imam Al-Hâdî as. Hal itu
lantaran Imam Al-Hâdî memiliki kedudukan yang agung nan tinggi di
tengah-tengah masyarakat Islam. Mu'tamid marah besar ketika
keutamaan-keutamaannya tersebar luas, dan seluruh majelis dan
pertemuan-pertemuan sosial kemasyarakat selalu membicarakan kehebatan
ilmiahnya dan penguasaannya yang luar biasa terhadap masalah-masalah
agama.
Mu'tamid meracuni Imam Al-Hâdî as. dengan racun pembunuh.
Ketika Imam Al-Hâdî as. meminum racun tersebut, sekujur tubuhnya
teracuni dan ia tidak bisa beranjak dari tempat tidur. Para tokoh dan
pemuka mazhab Syi'ah senantiasa menjenguknya silih berganti. Di antara
para penjenguk tersebut adalah Abu Hâsyim Al-Ja'farî. Ketika ia
melihatnya berperang melawan rasa sakit racun tersebut, tangisannya pun
tak tertahan lagi. Ia melantunkan beberapa bait syair berikut ini:
Dunia menggoncang hatiku yang sedih pedih dan rentetan musibah mengganyang sekujur tubuhku.
Ketika kudengar berita Sang Imam pucat pasi terbentang sakit; Aku menjerit: "Kujadikan tebusannya jiwaku."
Agama pun sakit lantaran kau sakit, dan bintang gumintang pun turut sakit bersimpuh di hadapanmu.
Heran, pabila engkau mati lantaran sakit dan penyakit, padahal engkaulah imam dan musuh penyakit.
Engkaulah obat termujarab untuk agama dan dunia, serta penghidup orang mati dan yang masih hidup.
Bait-bait syair ini mengungkapkan kepedihan Abu Hâsyim dan kedalaman
rasa sedihnya lantaran Imam Al-Hâdî as. sakit, padahal ia adalah musuh
penyakit, harapan umat, dan pemimpin mereka.
Menuju Surga Abadi
Racun itu merasuki sekujur tubuh Imam Ali Al-Hâdî as. dan kematian pun
mendekat kepadanya dengan begitu cepat. Ketika merasa ajal sudah dekat,
ia menghadap ke arah Kiblat dan membaca beberapa ayat kitab Allah yang
mulia. Ajal menjemputnya sedangkan mulut sucinya masih membaca zikir.
Ruhnya yang suci telah diangkat menuju Penciptanya dengan diiringi oleh
para malaikat Rahman. Dunia akhirat terang benderang menunggu
kedatangannya, sementara itu dunia fana menjadi gelap gulita karena
kepergiannya. Dengan demikian, ayah, pemimpin, dan pembela hak-hak
orang-orang lemah dan tertindas telah meninggal dunia.
Ritual Pemakaman
Putranya, Imam Abu Muhammad Hasan Al-'Askarî as. melaksanakan ritual
pemakaman atas sang ayah. Imam Hasan as. memandikan tubuh suci sang ayah
dan mengafaninya. Ia menyalati sang ayah dengan bercucuran air mata dan
hatinya seakan-akan tersayat sembilu karena kepergian ayah tercinta.
Pengantaran Jenazah
eluruh lapisan penduduk kota Samirra' hiruk-pikuk berebutan untuk
mendapatkan kejayaan mengantarkan jenazah Imam Al-Hâdî as. yang suci.
Para menteri, ulama, hakim, dan petinggi angkatan militer memimpin
penggotongan jenazahnya, sedangkan mereka merasakan musibah yang sangat
menyedihkan dan merenungkan kerugian besar tak terganti yang telah
menimpa dunia Islam. Kota Samirra' tidak pernah menyaksikan acara ritual
pengantaran jenazah sebesar dan seagung itu di mana seluruh lapisan
masyarakat mengHâdîrinya, baik orang-orang yang saleh maupun yang taleh.
Kantor-kantor resmi pemerintah, pusat-pusat perniagaan, dan lain
sebagainya juga libur resmi.
Persemayaman Terakhir
Tubuh suci itu dibawa menuju persemayamannya yang terakhir dengan
diiringi oleh takbir dan takzim yang menggemuruh. Ia dimakamkan di
rumahnya yang memang sudah dipersiapkan untuk makamnya sendiri dan makam
keluarganya. Dengan kepergiannya ini, nilia-nilai insani yang sangat
tinggi juga dikuburkan.
Imam Ali Al-Hâdî as. berusia empat puluh
tahun dan ia wafat pada hari Senin, 25 Jumadil Akhir 254 Hijriah. Dengan
ini, usailah pembahasan tentang sejarah hidup Imam Ali Al-Hâdî as.
Catatan Kaki:
Bashriya adalah sebuah desa yang dibangun oleh Imam Mûsâ bin Ja'far as. Desa ini berjarak sekitar 3 mil dari Madinah.
Hayâh Al-Imam Ali Al-Hâdî as., hal. 24-26.
Ibid. hal. 26.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 13, hal. 131; A'yân As-Syi'ah, jilid 4, hal. 275, bagian kedua.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 13, hal. 129.
Hayâh Al-Imam Ali Al-Hâdî as., hal. 243.
Al-Manâqib, jilid 4, hal. 441.
Amâlî Ash-Shadûq, hal. 498.
Hayâh Al-Imam Ali Al-Hâdî as., hal. 46.
Ibid., hal. 239.
Târîkh Al-Islam, karya Adz-Dzahabî, Rijâl Ath-Thabaqah As-Sâdisah wa Al-'Isyrin; Tadzkirah Al-Khawwâsh, hal. 360.
Al-Muntazhim, jilid 12, hal. 26.
Syarah Syâfiyah Abi Firâs, jilid 2, hal. 168.
Hayâh Al-Imam Ali Al-Hâdî as., hal. 158-160.
Hayâh Al-Imam Ali Al-Hâdî as., hal. 242-243.
Wasâ'il Asy-Syi'ah, jilid 4, hal. 750.
Ibid., jilid 5, hal. 298.
Al-Irsyâd, hal. 375-376.
Mir'âh Az-Zamân, jilid 9, hal. 553.
Mir'âh Az-Zamân, jilid 9, hal. 553; Murûj Adz-Dzahab, jilid 4, hal. 114; Tadzkirah Al-Khawwâsh, hal. 359.
Al-Irsyâd, hal. 376.
Mir'âh Az-Zamân, jilid 9, hal. 553.
Al-Humânî adalah Yahyâ bin Abdul Hamid Al-Kûfî. Ia berpindah ke Baghdad
dan meriwayatkan hadis di kota ini dari beberapa orang. Di antara
mereka adalah Sufyân bin 'Uyainah, Abu Bakar bin 'Ayyâsy, dan Wakî'. Hal
ini dipaparkan oleh Al-Khathîb Al-Baghdâdî di dalam bukunya yang
berjudul Târîkh Baghdad, dan ia menyebutkan beberapa hadis yang telah ia
riwayatkan dari Yahyâ bin Mu'în. Dalam komentarnya, Yahyâ bin Mu'în
berkata, "Yahyâ bin Abdul Hamid Al-Humânî adalah orang yang jujur
(Shadûq) dan terpercaya (tsiqah)." Diriwayatkan bahwa Al-Humânî pernah
berkata, "Mu'âwiyah meninggal dunia bukan atas dasar agama Islam." Ia
meninggal dunia di Samirra' pada tahun 228 Hijriah, dan ia adalah ahli
hadis pertama yang meninggal dunia di kota ini. Silakan Anda rujuk
Al-Kunâ wa Al-Alqâb, jilid 2, hal. 191.
Dalam teks asli syair
tersebut disebutkan nidâ' ash-shawâmi' dan kami menerjemahkannya dengan
"seruan syahadatain", lantaran mengambil ilham dari jawaban Imam Al-Hâdî
as. ketika menjawab pertanyaan Mutawakkil tersebut-pen.
Hayâh Al-Imam Ali Al-Hâdî as., hal. 241.
Mir'âh Az-Zamân, jilid 2, hal. 960; Tadzkirah Al-Khawwâsh, hal. 361; Al-Ithâf bi Hubb Al-Asyrâf, hal. 67.
Hayâh Al-Imam Ali Al-Hâdî as., hal. 262-264.
Ibid., hal. 263-264.
Ibid., hal. 265.
Zuhar Al-Adab, jilid 1, hal. 227.
Târîkh Ibn Al-Atsîr, jilid 5, hal. 311.
Murûj Adz-Dzahab, jilid 4, hal. 83.
Târîkh Al-Khulafâ', karya As-Suyûthî, hal. 357.
I'lâm Al-Warâ, hal. 348.
Nûr Al-Abshâr, hal. 150; Kasyf Al-Ghummah, jilid 3, hal. 174.
Ibid.
IMAM HASAN AL-'ASKARI
Imam Abu Muhammad Hasan Al-'Askarî as. adalah imam kesebelas dari para
imam Ahlul Bait as. yang telah bertugas mengemban risalah Islam dan
menegakkan tujuan dan nilai-nilai luhurnya. Ia adalah sebuah anugerah
Allah swt. untuk para hamba-Nya, dan juga salah satu tanda kekuasaan-Nya
dalam segala karunia, nilai-nilai luhur, dan jihad yang telah ia
lakukan. Ia telah mengadakan penentangan terhadap kekuasaan dinasti Bani
Abbâsiyah yang menyeleweng dan berusaha untuk merealisasikan keadilan
di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan sekilas tentang sejarah kehidupan dan biografi imam agung yang satu ini.
Silsilah Keturunan
Silsilah keturunan Imam Hasan Al-'Askarî as. berasal dari garis
keturunan keluarga nabawi yang telah dijadikan oleh Allah swt. sebagai
mata air kemuliaan muslimin. Keluarga ini telah diserahi tugas untuk
menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, serta sekaligus menebarkannya
di tengah-tengah kehidupan umat manusia. Saya tidak yakin bahwa ada
sebuah keluarga di dunia ini yang telah berkiprah untuk berkhidmat
kepada kebenaran dan menebarkan nilai-nilai luhur di tengah-tengah
kehidupan umat manusia seperti keluarga nabawi yang satu ini.
Sesungguhnya Imam Hasan Al-'Askarî as. memiliki hubungan nasab dengan
Rasulullah saw. dan Kota Ilmunya, Imam Amirul Mukminin as. Ia adalah
putra Imam Ali Al-Hâdî bin Imam Muhammad Al-Jawâd bin Imam Ali bin Mûsâ
Ar-Ridhâ bin Imam Mûsâ bin Ja'far bin Imam Ja'far Ash-Shâdiq bin Imam
Muhammad Al-Bâqir bin Imam Ali bin Husain bin Imam Husain bin Ali bin
Ali bin Abi Thalib-semoga salam Allah senantiasa tercurahkan atas
mereka. Mereka semua adalah para imam petunjuk, pelita kegelapan, dan
bendera ketakwaan yang telah dijauhkan oleh Allah dari segala jenis
kekotoran dan disucikan sesuci-sucinya. Di samping itu, Rasulullah saw.
telah menjadikan mereka sebagai bahtera-bahtera keselamatan, tempat
keamanan para hamba, dan pintu hiththah yang dapat menjamin keamanan
bagi setiap orang yang memasukinya.
Kelahiran
Dunia Islam menjadi terang benderang kembali dengan kelahiran salah
seorang keuturunan Nabi saw. dan penerus missi imâmah ini. Para perawi
hadis dan ahli sejarah berbeda pendapat berkenaan dengan daerah yang
telah mendapatkan kemuliaan untuk menerima kelahirannya itu. Sebagian
berpendapat bahwa daerah itu adalah Madinah Al-Munawarah dan menurut
sebuah pendapat, ia dilahirkan di Samirra'. Tentang tanggal dan tahun
kelahirannya, mereka juga tidak memiliki kesepakatan pendapat. Berikut
ini adalah pendapat-pendapat mereka dalam masalah ini:
a. Ia dilahirkan pada bulan Rabi'ul Awal 230 Hijriah.
b. Ia dilahirkan pada tahun 231 Hijriah.
c. Ia dilahirkan pada tahun 232 Hijriah.
d. Ia dilahirkan pada tahun 233 Hijriah.
Acara Ritual Kelahiran
Ketika diberitahukan tentang kelahiran sang putra yang penuh berkah
itu, Imam Al-Hâdî as. bergegas melaksanakan acara ritual kelahiran atas
putranya itu. Ia mengumandangkan azan di telinga kanannya dan membacakan
iqamah di telinga kirinya. Imam yang suci ini menyambut alam wujud ini
dengan mengumandangkan kalimat-kalimat tauhid sebagai secercah sinar
dari nur Allah swt. dan zikir muslimin di setiap tempat dan masa. Yaitu,
Allahu Akbar, lâ ilâha illalâh.
Pada hari ketujuh dari kelahiran
sang putra, Imam Al-Hâdî as. mencukur rambutnya dan menyedekahkan emas
atau perak kepada orang-orang miskin seberat rambut yang telah dicukur
itu. Ia juga melaksanakan acara akikah dengan menyembelih seekor kambing
untuk sang putra sebagai tindak mengamalkan sunah Islami yang sangat
dianjurkan untuk dilakukan. Ia memberi nama Hasan kepada sang putra
seperti nama pamannya yang tertinggi. Yaitu, Imam Hasan Al-Mujtabâ,
penghulu pemuda surga. Ia juga memberi nama panggilan Abu Muhammad.
Muhammad ini adalah nama imam yang sedang ditunggu-tunggu kedatangannya
di mana ia adalah harapan orang-orang yang tertindas di muka bumi ini.
Pertumbuhan dan Perkembangan
Imam Abu Muhammad tumbuh berkembang di dalam sebuah rumah Allah yang
termulia. Yaitu, rumah imâmah yang telah dijauhkan oleh Allah dari
segala kotoran dan disucikan sesuci-sucinya.
Tentang rumah yang
agung ini, Asy-Syabrâwî berkomentar: "Alangkah mulianya rumah dan
silsilah keturunan yang agung ini. Alangkah kemuliaan yang sangat agung.
Cukuplah bagimu ketinggian kedudukan yang dimiliki oleh rumah ini bahwa
mereka semua memiliki nasab yang mulia dan pokok yang baik. Mereka sama
rata bak gigi-gigi sisir dan sama-sama memiliki saham dalam seluruh
kegungan. Aduhai rumah yang sangat agung. Rumah ini terjulang ke langit
dan memiliki tempat di sisi bintang-gumintang, dan tenggelam dalam
kemuliaan."
Takut kepada Allah swt.
Karakter yang sangat menonjol pada waktu Imam Al-'Askarî as. pada waktu
masih kecil adalah rasa takut kepada Allah swt. Para ahli sejarah
meriwayatkan bahwa seseorang pernah lewat melaluinya ketika sedang
bermain bersama teman-teman sebayanya, sedangkan ia menangis
terisak-isak. Orang itu menyangka bahwa ia menangis lantaran merasa iri
terhadap mainan yang dimiliki teman-teman sebayanya dan ia tidak
memilikinya. Orang itu bertanya kepada Imam Al-'Askarî: "Maukah
kubelikan sebuah mainan yang dapat kau gunakan untuk bermain?"
Imam Al-'Askarî menjawab: "Tidak! Kita tidak diciptakan untuk bermain-main."
Orang itu terherean-heran seraya bertanya: "Untuk apa kita diciptakan?"
Imam Al-'Askarî menjawab: "Untuk ilmu pengetahuan dan ibadah."
Orang itu bertanya lagi: "Dari manakah kau dapatkan semua ini?"
Imam Al-'Askarî menjawab lebih lanjut: "Dari firman Allah yang
berbunyi, 'Apakah kamu semua menyangka bahwa Kami ciptakan kamu
sia-sia?'"
Orang itu diam seribu bahasa dan berdiri kebingungan
seraya bertanya: "Apa yang telah terjadi pada dirimu, sedangkan engkau
masih kecil begini?"
Imam Al-'Askarî menjawab: "Enyahlah dariku. Aku
pernah melihat ibuku sedang menyalakan api dengan menggunakan kayu
bakar yang besar, dan api itu tidak mau menyala kecuali dengan kayu
bakar yang kecil. Aku takut apabila aku menjadi kayu bakar yang kecil
bagi neraka Jahanam."
Anda perhatikan keimanan itu bereaksi aktif
dalam diri Imam Hasan Al-'Askarî as. sedangkan ia masih berusia
kanak-kanak. Lebih dari itu, keimanan adalah karakter dan subtansi
sejati jiwanya.
Bersama Sang Ayah
Imam Abu
Muhammad as. pernah mengalami hidup bersama sang ayah beberapa masa
lamanya dan tidak pernah berpisah darinya, baik sang ayah berada di
kediaman maupun dalam perjalanan. Imam Al-Hâdî as. mengumumkan keutamaan
sang putra seraya berkata: "Abu Muhammad adalah salah seorang keturunan
keluarga Muhammad saw. yang paling benar nalurinya dan yang paling kuat
hujahnya. Ia adalah putraku yang terbesar. Ia adalah penggantiku dan
kepadanya tali temali imâmah dan hukum-hukum kami berakhir."
Ucapan
ini mengungkapkan karakter dan sifat Imam Abu Muhammad as. yang
tertinggi dan teragung. Ia adalah salah seorang keturunan keluarga
Muhammad saw. yang paling benar naluri dan tabiatnya, serta yang paling
kuat hujah dan dalilnya. Kepadanyalah kekhalifahan dan imâmah berakhir.
Dengan karakter-karakter tersebut, telah terkumpul dalam dirinya seluruh
sifat keutamaan dan kesempurnaan.
Ibadah
Imam Hasan Al-'Askarî as. adalah figur paling 'abid pada masa ia hidup
dan orang yang paling banyak bertobat dan taat kepada Allah swt. Pada
siang hari, ia sering berpuasa dan pada malam hari, ia selalu
mengerjakan salat, membaca Al-Qur'an, dan berdoa.
Muhammad
Asy-Syâkirî berkata: "Imam Abu Muhammad selalu duduk di mihrab dan
bersujud. Aku tertidur dan ketika bangun, ia masih dalam kondisi sujud."
Rohnya telah terikat dengan Allah swt. dan tidak pernah tergiur oleh
gemerlap kehidupan dunia. Telah diriwayatkan banyak doa qunutnya yang
mengungkapkan tobat kepada Allah swt., sebagaimana juga banyak doa
diriwayatkan yang selalu ia baca setelah usai mengerjakan salat. Kami
telah menyebutkan semua doa itu dalam buku kami yang berjudul Hayâh
Al-Imam Hasan Al-'Askarî as.
Kesabaran
Imam
Hasan Al-'Askarî as. adalah figur yang tersabar dan paling mampu
menahan amarah. Dinasti Bani Abbâsiyah pernah ingin menahan dan
menjebloskannya ke dalam penjara. Tapi, ia menanggapi semua itu dengan
pebuh kesabaran dan tak satu pun kata keluhan yang keluar dari mulutnya.
Ia tidak pernah mengadukan kepada siapa pun mala petaka dan kepahitan
penjara (yang akan menimpa dirinya).
Kedermawanan
Imam Abu Muhammad as. adalah orang yang paling dermawan dan banyak
berbuat derma kepada kaum fakir-miskin. Ia memerintahkan para wakilnya
yang telah ditunjuk sebagai pemungut zakat dan khumus untuk menginfakkan
seluruh harta tersebut kepada kaum fakir-miskin dan tidak mampu,
memperbaiki hubungan antara dua orang yang sedang berselisih, dan
hal-hal lain yang bermanfaat bagi seluruh masyarakat.
Di antara manifestasi kedermawan Imam Hasan Al-'Askarî as. adalah riwayat berikut ini:
Para ahli sejarah meriwayatkan dari Muhammad bin Ali bin Ibrahim bin
Imam Mûsâ bin Ja'far as. Ia bercerita: "Kehidupan kami pernah mengalami
kesulitan. Pada suatu hari, ayahku berkata, 'Marilah kita pergi
menjumpai orang itu-yaitu, Imam Abu Muhammad. Kami sering mendengar
kedermawanannya.'
Aku bertanya kepada ayahku, 'Apakah kamu mengenalnya?'
Ia menjawab, 'Aku tidak mengenalnya dan tidak pernah melihatnya sekejap pun.'
Kami pun berangkat. Di pertengahan jalan, ayahku berguman, 'Kali ini,
betapa kita membutuhkan orang yang dapat memberikan lima ratus dirham:
dua ratus dirham untuk membeli pakaian, dua ratus dirham untuk membeli
tepung, dan seratus sisanya untuk modal.' Aku juga berguman dalam
diriku, 'Oh, seandainya ia memberikan tiga ratus dirham: seratus dirham
kugunakan untuk membeli keledai, seratus dirham kupergunakan untuk
modal, dan seratus sisanya kumanfaatkan untuk membeli pakaian. Lalu, aku
pergi ke daerah Jabul (untuk mencari mata pencarian hidup).'
Ketika
kami tiba di depan pintu rumah Imam Hasan Al-'Askarî, pembantunya
keluar menyongsong kedatangan kami seraya berkata, 'Ali bin Ibrahim dan
putranya dipersilakan masuk.'
Ketika kami masuk dan mengucapkan
salam, ia berkata kepada ayahku, 'Hai Ali, apa yang menyebabkan kamu
terlambat menjumpai kami hingga saat ini?'
Ayahku menjawab, 'Wahai junjunganku, aku malu untuk berjumpa dengan Anda.'"
Ali dan sang putra berada di sisi Imam Abu Muhammad as. beberapa saat.
Setelah itu, mereka memohon pamit. Tidak lama kemudian, pembantu Imam
Al-'Askarî datang dan memberikan sebuah kantong uang yang berisi lima
ratus dirham kepada Ali seraya berkata kepadanya: "Dua ratus dirham
untuk membeli pakaian, dua ratus dirham untuk membeli tepung, dan
seratus dirham untuk modal." Ia juga memberikan sebuah kantong uang
kepada putranya, Muhammad, yang berisi tiga ratus dirham seraya berkata
kepadanya: "Seratus dirham untuk membeli keledai, seratus dirham untuk
membeli pakaian, dan seratus dirham sisanya untuk modal. Tetapi, jangan
kamu pergi ke Jabul. Sebagai gantinya, pergilah ke daerah Sûrâ'( ).'
Muhammad pun pergi ke daerah Sûrâ' sesuai dengan perintah Imam Abu
Muhammad as., dan kondisi kehidupannya pun terus membaik sehingga ia
menjadi salah seorang Bani Ali yang terkaya.
Para ahli sejarah
menyebutkan banyak contoh atas kedermawanan, kebajikan, dan usaha-usaha
Imam Hasan Al-'Askarî as. untuk menyelamatkan kehidupan kaum
fakir-miskin.
Ilmu Pengetahuan
Para penulis
biografi Imam Abu Muhammad as. sepakat bahwa ia adalah figur yang
paling 'alim dan paling utama pada masanya. Hal itu bukan hanya dalam
bidang ilmu syariat dan hukum-hukum agama, tetapi dalam seluruh bidang
ilmu pengetahuan.
Bakhtisyû', seorang dokter yang menganut agama
Kristen, pernah berkata kepada salah seorang muridnya: "Dia adalah figur
yang paling 'alim pada masa kita dibandingkan dengan seluruh manusia
yang hidup di jagad ini ...."
Dari ucapan sang dokter ini dapat
dipahami bahwa Imam Hasan Al-'Askarî as. adalah figur yang paling 'alim
di seluruh dunia dan ia memiliki kemampuan ilmiah yang luar biasa yang
tidak dimiliki oleh selainnya. Dan ini adalah keyakinan mazhab Syi'ah
bahwa Allah swt. telah menganugerahi seluruh ilmu pengetahuan kepada
para imam Ahlul Bait as.
Ketinggian Akhlak
Imam Abu Muhammad as. adalah salah satu tanda kekuasaan Allah swt. dalam
ketinggian akhlak dan adab. Ia selalu menghadapi kawan dan lawan dengan
keceriaan wajah. Banyak sekali kisah yang telah diriwayatkan berkenaan
dengan ketinggian dan kemuliaan akhlaknya ketika menghadapi para lawan
dan orang-orang yang membencinya. Dengan cara seperti ini, mereka
berubah total menjadi pecintanya. Di antara orang-orang yang telah
terpengaruh karena akhlaknya adalah Ali bin Awtânesy. Ia terkenal dengan
permusuhannya yang dahsyat terhadap keluarga Nabi saw. Hanya saja,
ketika ia berjumpa dengan Imam Al-'Askarî, sikapnya berubah total. Ia
tidak pernah mengangkat kepalanya untuk melihat Imam Al-'Askarî karena
menghormati dan takzim kepadanya. Dan ia adalah orang yang paling baik
memuji Imam Al-'Askarî.
Dalam ketinggian dan kemuliaan akhlak ini,
Imam Abu Muhammad as. adalah salah satu manifestasi hembusan risalah
Islami dan buah segar dari sekian buah yang telah dihasilkan oleh
Rasulullah saw.
Mutiara Hikmah Pendek
Telah diriwayatkan dari Imam Abu Muhammad Al-'Askarî as. banyak hadis
yang memuat nasihat, petunjuk, dan penyucian jiwa menuju nilai-nilai
insani yang luhur. Di antara hadis-hadis tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Ia berkata: "Sesungguhnya kalian berada dalam lingkaran
ajal yang selalu berkurang dan dalam lingkup hari-hari yang terbatas.
Kematian akan datang secara tiba-tiba. Barang siapa menanam kebaikan,
niscaya ia akan memanen kebahagiaan dan barang siapa menanam keburukan,
niscaya ia akan memanen penyesalan. Setiap penanam tanaman akan
memperoleh apa yang telah ia tanam. Bagian orang yang lambat berjalan
tidak akan didahului oleh orang lain dan orang yang tamak tidak akan
mendapatkan apa yang tidak ditentukan baginya. Barang siapa diberi
sebuah kebaikan, Allah-lah yang telah memberikannya dan barang siapa
terjaga dari sebuah keburukan, Allah-lah yang telah menjaganya."
b.
Ia berkata: "Orang yang paling wara' adalah orang yang menahan diri
ketika menghadapi syubhah (hal-hal yang tidak pasti hukumnya-pen.).
Orang yang paling 'abid adalah orang yang kontinyu menjalankan
kewajiban. Orang yang paling zuhud adalah orang yang meninggalkan
hal-hal yang haram. Orang yang paling banyak berusaha adalah orang yang
meninggalkan dosa."
c. Ia berkata: "Sesungguhnya sampai kepada
Allah 'Azza Wajalla adalah sebuah perjalanan (panjang) yang tidak akan
dapat digapai kecuali dengan bangun malam."
d. Ia berkata: "Menderita kemiskinan bersama kami adalah lebih baik daripada bergelimang kekayaan bersama musuh kami."
e. Ia berkata: "Keberanian seorang anak kepada ayahnya pada saat ia
masih kecil dapat menyebabkan ia berbuat durhaka kepadanya pada saat ia
sudah besar."
f. Ia berkata: "Ibadah itu bukanlah sekadar
memperbanyak puasa dan salat. Ibadah itu adalah merenungkan urusan
(baca: ciptaan) Allah."
Bukti-Bukti Imâmah
Allah swt. menganugerahkan mukjizat-mukjizat kepada para nabi dan
washî-Nya yang tidak dapat didatangkan oleh umat manusia yang lain
supaya mukjizat itu menjadi saksi atas kebenaran missi petunjuk dan
kebaikan untuk umat manusia yang telah mereka terima dari Allah swt. Di
antara mukjizat-mukjizat tersebut adalah mereka mengetahui segala
sesuatu yang terpendam di dalam hati kecil orang lain, sebagaimana
mereka juga mengetahui fitnah dan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi
di masa mendatang.
Allah swt. telah menganugerahkan kemampuan ini
kepada para imam Ahlul Bait as. Anda tidak membaca sejarah kehidupan
salah seorang dari mereka kecuali Anda pasti menemukan banyak peristiwa
dan kejadian yang telah diprediksikan oleh mereka sebelum peristiwa itu
terjadi.
Pada kesempatan ini, kami akan menyebutkan sebagian hadis
yang telah diriwayatkan dari Imam Abu Muhammad Al-'Askarî as. yang
memprediksikan beberapa peristiwa sebelum terjadi. Di antara hadis-hadis
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Ismail bin Muhammad
Al-Abbâsî bercerita: "Aku pernah mengadukan sebuah hajat kepada Abu
Muhammad dan aku bersumpah kepadanya bahwa aku tidak memiliki uang
sedirham pun (untuk memenuhi itu). Ia berkata kepadaku, 'Apakah engkau
bersumpah bohong karena Allah, padahal engkau masih memendam dua ratus
dinar? Ucapanku ini bukanlah sebuah usaha penolakan untuk memberikan
uang kepadamu. Hai pembantuku, berapakah uang yang kau miliki?'
Usai
berkata demikian, ia memberikan dua ratus dinar kepadaku. Setalah itu,
ia menoleh kepadaku sembari berkata, 'Sesungguhnya engkau akan
kehilangan dinar-dinar yang telah kau pendam itu pada saat engkau lebih
membutuhkannya.'
Beberapa saat setelah peristiwa ini, aku merasa
membutuhkan uang. Aku mencari-cari uang tersebut dan tidak menemukannya.
Tiba-tiba aku mendengar berita bahwa salah seorang anakku telah
mengetahui tempat penyembunyiannya. Lalu ia mencurinya dan melarikan
diri."
b. Abu Hâsyim bercerita: "Aku pernah dipenjara. Aku
mengadukan kesempitan dan kesengsaraan yang kualami selama berada di
dalam penjara kepada Abu Muhammad. Ia menulis surat yang berisi, 'Kamu
akan mengerjakan salat Zhuhur di rumahmu pada hari ini.' Dan hal itu
betul-betul terjadi." Ia keluar dari penjara pada waktu Zhuhur dan
mengerjakan salat Zhuhur di rumahnya.
c. Abu Hâsyim
meriwayatkan: "Aku pernah mendengar Abu Muhammad as. berkata, 'Surga
memiliki sebuah pintu yang bernama pintu Al-Ma'rûf dan pintu ini tidak
akan dimasuki kecuali oleh orang-orang yang ahli makruf.' Mendengar
ucapannya ini, aku memuji Allah di dalam diriku dan gembira karena dapat
membereskan hajat-hajat masyarakat. Ia melanjutkan, 'Kamu telah
mengetahui posisimu (di surga). Sesungguhnya mereka yang ahli makruf di
dunia ini adalah ahli Al-Ma'rûf di akhirat. Semoga Allah menjadikan kamu
termasuk dalam golongan mereka dan merahmatimu.'"
d. Muhammad
bin Hamzah Ad-Dawrî meriwayatkan: "Aku pernah menulis sepucuk surat
kepada Imam Abu Muhammad as. sembari memohon supaya ia memohon kekayaan
kepada Allah untukku. Aku telah ditimpa kemiskinan dan aku khawatir atas
kesengsaraan hidup ini. Ia menjawab surat tersebut, 'Berbahagialah,
karena Allah swt. telah menganugerahkan kekayaan kepadamu. Kemenakanmu,
Yahyâ bin Hamzah telah meninggal dunia dan meninggalkan harta
peninggalan sebanyak seratus ribu dirham dan ia tidak memilik seorang
pewaris pun kecuali kamu. Seluruh harta peninggalannya menjadi hak
milikmu. Maka, bersyukurlah kepada Allah, pergunakanlah harta itu secara
ekonomis, dan jauhilah penggunaan secara berlebih-lebihan ....' Aku
menerima harta tersebut dan sekaligus berita kematian
kemenakanku-seperti diberitakan oleh Imam Al-'Askarî-beberapa hari
setelah itu. Kemiskinan pun hengkang dariku. Aku penuhi hak Allah dan
kujauhi tindakan berhambur-hamburan."
e. Muhammad bin Hasan
bin Maimun meriwayatkan: "Aku pernah menulis surat kepada junjunganku,
Hasan Al-'Askarî as. mengadukan kemiskinan yang melilit kehidupanku.
Setelah itu, aku berguman dalam diriku, 'Bukankah Abu Abdillah as.
pernah berpesan, 'Derita kemiskinan bersama kami adalah lebih baik
daripada gelimangan kekayaan bersama musuh kami dan terbunuh bersama
kami adalah lebih baik daripada hidup bersama musuh kami.'
Tidak
lama kemudian surat jawaban Imam Al-'Askarî datang, 'Sesungguhnya Allah
'Azza Wajalla membersihkan dosa-dosa para pengikut kami jika dosa-dosa
itu bergesekan dengan kemiskinan, dan kadang-kadang juga Dia mengampuni
dosa-dosa yang tak terhingga. Hal ini adalah seperti yang kau bisikkan
dalam dirimu. Derita kemiskinan bersama kami adalah lebih baik daripada
gelimangan kekayaan bersama musuh kami dan kami adalah goa bagi orang
yang berlindung kepada kami, cahaya bagi orang yang mencari cahaya
dengan perantara kami, dan perlindungan ('ishmah) bagi orang yang
mencari perlindungan dengan perantara kami. Barang siapa mencintai kami,
niscaya ia akan hidup bersama kami di dalam tingkat surga yang
tertinggi dan barang siapa menyeleweng dari kami, niscaya ia terjerumus
ke dalam dalam neraka.'"
f. Abu Hâsyim bercerita: "Aku pernah
bertamu ke rumah Abu Abdillah as. dan ingin meminta sebuah mata cincin
kepadanya untuk kuletakkan di atas cincinku supaya aku mendapatan berkah
darinya. Aku pun duduk dan lupa untuk keperluan apa aku bertamu ke
rumahnya itu. Ketika aku memohon pamit dan hendak pergi, ia memberiku
sebuah cincin sembari tersenyum. Ia berkata, 'Kamu menginginkan sebuah
mata cincin dan kami memberikan sebuah cincin kepadamu. Dengan ini
engkau telah untung mata cincin tersebut. Semoga Allah memberkahimu
dengan cincin itu.'
Aku terheran-heran dengan peristiwa ini, dan
lantas berkata, 'Wahai junjunganku, sesungguhnya Anda adalah wali Allah
dan imamku yang aku menyembah Allah dengan karunia dan ketaatan
kepadanya.' Ia menimpali, 'Semoga Allah mengampunimu, wahai Abu
Hâsyim.'"
Ini adalah sebagian contoh peristiwa yang telah
diberitahukan oleh Imam Abu Muhammad as. Semua itu dapat membuktikan
kebenaran imâmah-nya.
Layak disebutkan di sini bahwa telah banyak
riwayat diriwayatkan dari para imam Ahlul Bait as. yang menceritakan
peristiwa dan hal-hal yang disembunyikan oleh masyarakat di dalam hati
mereka, (lalu para imam as. menyingkapnya tanpa mereka beritahukan).
Allah swt. telah menganugerahkan semua itu kepada mereka untuk
membuktikan kebenaran imâmah mereka, sebagaiman Dia juga telah
menganugerahkan mukjizat-mukjizat kepada para nabi dan rasul as. yang
orang lain tidak dapat mendatangkan mukjizat yang serupa dengannya. Ini
adalah akidah dan keyakinan mazhab Syi'ah tentang para imam mereka as.,
dan hal ini tidak sedikit pun mengandung ghuluw (keyakinan yang
berlebih-lebihan) dan keluar dari jalur logika.
Surat Imam Al-'Askarî kepada Ali bin Husain
Imam Hasan Al-'Askarî as. pernah menulis sepucuk surat kepada seorang
faqih 'alim dan agung yang bernama Abul Hasan Ali bin Husain bin Mûsâ
bin Bâbawaeh Al-Qomî. Ia adalah seorang tokoh kenamaan Syi'ah dan
bendera panutan yang selalu tegak berkibar dalam bidang ilmu Hadis,
Fiqih, dan bidang-bidang ilmu Islam lainnya. Setelah basmalah, surat itu
berisi berikut ini:
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
Akibat segala sesuatu adalah untuk orang-orang yang bertakwa. Surga
adalah untuk orang-orang yang mengesakan Allah dan neraka adalah nasib
orang-orang yang mengingkari. Tiada permusuhan kecuali atas orang-orang
yang zalim dan tiada tuhan selain Allah, sebaik-baik Pencipta. Semoga
shalawat senantiasa tercurahkan atas sebaik-baik makhluk-Nya, Muhammad
dan 'Itrahnya yang suci. Amma ba'du:
Aku berwasiat kepadamu wahai
Syaikhku, orang kepercayaanku, dan faqihku, Abul Hasan Ali bin Husain
Al-Qomî-semoga Allah memberikan taufik kepadamu untuk menggapai
keridaan-Nya dan menjadikan keturunan yang saleh dari sulbimu dengan
rahmat-Nya-dengan takwa kepada Allah, mendirikan salat, dan menunaikan
zakat. Aku berwasiat kepadamu supaya mengampuni dosa (orang lain),
menahan amarah, bersilaturahmi, bertenggang-rasa terhadap
saudara-saudara seiman dan berusaha untuk memenuhi hajat-hajat mereka,
baik kamu berada dalam kondisi lapang maupun sulit, bersabar ketika
(menghadapi) kebodohan (orang lain), memahami dan memperlajari agama,
berdiri kokoh dalam segala urusan, berjanji kepada Al-Qur'an,
berperangai yang baik, dan melaksanakan amar makruf dan nahi mungkar;
Allah 'Azza Wajalla berfirman: "Tidak ada kebaikan pada kebanyakan
bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh
[manusia] memberi sedekah, berbuat makruf, atau mengadakan perdamaian
di antara manusia." (QS. An-Nisâ' [4]:114) (Begitu juga aku wasiatkan
kepadamu) untuk meninggalkan seluruh keburukan. Kerjakanlah salat malam.
Karena, Nabi saw. pernah mewasiatkan hal ini kepada Ali seraya
bersabda: "Wahai Ali, kerjakanlah salat malam-ia besabda demikian
sebanyak tiga kali. Barang siapa meremehkan salat malam, maka ia bukan
termasuk dalam golongan kami."
Kerjakanlah wasiatku ini dan
perintahkanlah kepada Syi'ahku untuk melaksanakannya. Bersabarlah dan
selalu bersiagalah untuk menanti faraj. Karena, Nabi saw. pernah
bersabda: "Amal umatku yang paling utama adalah menunggu faraj."
Syi'ah kami senantiasa ditimpa kesedihan sehingga anakku yang telah
dijanjikan oleh Nabi saw. akan memenuhi bumi ini dengan keadilan setelah
bumi itu dipenuhi oleh kezaliman itu muncul. Maka, bersabarlah wahai
Syaikhku dan perintahkanlah Syi'ahku untuk bersabar. "Sesungguhnya bumi
ini adalah milik Allah. Dia akan mewariskannya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya dari para hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah
untuk orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-A'râf [7]:128)
Cukuplah Allah bagi kita semua dan Dia adalah sebaik-baik wakil. Dia adalah sebaik-baik Mawla dan sebaik-baik Penolong.
Surat ini mengindikasikan hal-hal berikut ini:
a. Penegasan atas ketinggian kedudukan yang dimiliki oleh sang faqih,
Ali bin Husain. Imam Al-'Askarî as. telah menyematkan julukan-julukan
mulia kepadanya yang menunjukkan kedudukannya yang tinggi di sisinya.
Para penulis biografi kehidupannya menegaskan bahwa ia adalah salah
seorang faqih yang agung, penunjuk jalan untuk mengenal keluarga
Muhammad saw., fanatik dalam masalah agama, pembasmi pondasi-pondasi
orang-orang pengingkar agama, dan salah seorang pondasi utama syariat.
Ke-tsiqah-an dan ketinggian kedudukannya mendorong para fuqaha Imamiah
untuk menerima dan bersandar kepada fatwa-fatwanya ketika mereka tidak
menemukan dalil, seperti yang dilakukan oleh Syahid di dalam kitab
Adz-Dzikrâ.
b. Dalam surat itu, Imam Al-'Askarî as. mendoakan
keturunan yang saleh dan penuh berkah untuknya. Allah telah mengabulkan
doanya ini dan menganugerahkan Abu Ja'far yang memiliki gelar Ash-Shadûq
kepadanya. Ash-Shadûq adalah salah seorang ulama muslimin yang memiliki
keutamaan khusus dengan peninggalan karya-karya tulisnya untuk umat
ini. Ia telah berhasil menghidupkan syariat dan membukukan hadis-hadis
yang telah diriwayatkan dari para imam suci as. Ia memiliki karya tulis
yang berjumlah sekitar tiga ratus buku. Di antara karya-karya tulisnya
yang paling menonjol adalah kita Man Lâ Yahdhuruh Al-Faqîh. Kitab ini
adalah salah satu buku referensi agung yang menjadi sandaran utama para
fuqaha Imamiah.
c. Surat ini mengajak seluruh Syi'ah untuk berakhlak
mulia, seperti silaturahmi, bertenggang rasa terhadap saudara yang
lain, memenuhi hajat-hajat orang lain, mempelajari agama, berdiri kokoh
dalam seluruh urusan, dan karakter-karakter positif yang lain.
d.
Imam Al-'Askarî as. memerintahkan para pengikutnya untuk menanti faraj
dan kemunculan Al-Qâ'im keluarga Muhammad saw. di mananya adalah harapan
orang-orang tertindas. Dengan hukum Islam yang akannya jalankan, dunia
akan bergemilang dan dengan pemertintahan yang akannya tegakkan sebagai
penerus pemerintahan kakeknya, Rasulullah saw., kalimat Ilahi akan tegak
berdiri.
Ini adalah sebagian isi dan kandungan surat tersebut. Imam
Al-'Askarî as. juga memiliki surat-surat lain yang pernahnya kirimkan
kepada para tokoh kenamaan Syi'ah. Kami telah menyebutkan surat-surat
tersebut di dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Hasan Al-'Askarî
as.
Bersama Para Penguasa
Imam Al-'Askarî
as. menjalani kehidupannya yang sangat pendek itu di bawah penindasan
dan kelaliman para penguasa yang senantiasa berusaha untuk memerangi
para imam Ahlul Bait as. Ia telah menghadapi aneka ragam pelecehan dan
kezaliman yang paling pedih dari mereka. Di antara para penguasa
tersebut adalah berikut ini:
1. Pemerintahan Mutawakkil
Mutawakkil memegang tampuk kekuasaan dan kerajaan pada tahun 232
Hijriah. Pada tahun ini juga Imam Abu Muhammad as. dilahirkan. Jiwa
Mutawakkil dipenuhi oleh kebencian dan permusuhan yang dahsyat terhadap
para Bani Ali as. Mereka mengalami berbagai ragam kezaliman dan
kelaliman pada masa ia berkuasa yang belum pernah mereka alami
sebelumnya.
Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan sebagian sisi kehidupan Mutawakkil.
a. Hidup Berfoya-foya
Mutawakkil menjalani hidupnya dengan bergelimang kesia-siaan dan ia
tidak sedikit pun pernah memiliki keinginan untuk hidup serius. Seluruh
kehidupannya diwarnai oleh foya-foya dan pesta-pora. Para ahli sejarah
menegaskan bahwa tak seorang pun dari para raja dinasti Bani Abbâsiyah
yang melakukan foya-foya dan pesta pora seperti yang pernah dilakukan
oleh Mutawakkil.
Di antara contoh-contoh kehidupannya yang tak berarti itu adalah peristiwa berikut ini:
Pada suatu hari ia pernah berkata kepada Abul 'Anbâs: "Ceritakanlah
kepadaku tentang keledaimu dan kematiannya, serta apakah syair yang
telah ia senandungkan untukmu di alam mimpi?"
Abul 'Anbâs berkata:
"Ya, wahai Amirul Mukminin. Keledai itu adalah lebih berakal dari para
hakim negara. Ia tidak pernah melakukan tindak kriminalitas dan tidak
juga kesalahan. Pada suatu hari, ia tertimpa penyakit secara tiba-tiba
dan mati. Setelah itu, aku melihatnya di alam mimpi, sebagaimana
orang-orang lain bermimpi. Aku bertanya kepadanya, 'Aduhai keledai
kesayanganku, bukankah aku telah menyediakan air yang sejuk untukmu,
bukankah aku telah membersihkan untaian gandum bagimu, dan bukankah aku
telah berusaha keras untuk keselamatanmu? Lalu, mengapa engkau mati
secara tiba-tiba? Bagaimana kondisimu?'
Keledai itu menjawab, 'Ya.
Pada suatu hari, ketika engkau sedang berbicara dengan seorang penjual
obat di sebuah toko obat, seekor keledai betina lewat melintasiku. Aku
melihatnya dan ia berhasil merenggut seluruh kalbuku. Aku pun
mencintainya dan kerinduanku kepadanya tak tertahankan. Karena kerinduan
(tak terpenuhi itu), aku mati gigit jari.'
Aku bertanya kepadanya, 'Apakah engkau melantunkan bait syair pada saat itu?'
'Ya,' jawabnya pendek.
Lalu ia membacakan syair berikut ini untukku:
Hatiku terjerat oleh seekor keledai betina di depan pintu toko penjual obat.
Ketika kita keluar, ia jebak kalbuku dengan susunan giginya yang indah.
Dan dengan kedua pahanya yang lembut dan panjang bak Syanqarânî.
Dengan itu aku mati; seandainya aku hidup, niscaya panjanglah hinaku.
Aku bertanya lagi, 'Aduhai keledai kesayanganku, apakah Syanqarânî itu?'
Ia menjawab, 'Syanqarânî adalah keledai yang ajaib.'"
Mendengar ini, Mutawakkil pun terbang melayang. Lantas, ia
memerintahkan para penyanyi untuk melantunkan bait-bait syair keledai
itu untuk dirinya. Ia sangat berbahagia pada saat itu tiada taranya, dan
ia tidak pernah sebahagia hari itu. Ia menambahkan hadiah yang berlipat
ganda kepada Abul 'Anbâs.
Celakalah zaman dan berantakanlah masa!
Apakah orang yang selalu beroya-foya seperti ini layak menjadi penguasa
muslimin, sementara itu Abu Muhammad Hasan Al-'Askarî as. dihengkangkan
dari kekuasaan?
Mutawakkil selalu hidup bergelimangan dalam
foya-foya dan pesta-pora. Ia memiliki dua orang budak yang memiliki
keahlian dalam bidang menyanyi dan bermain musik. Mereka tidak pernah
berpisah darinya. Salah seorang dari kedua budak itu memetik kecapi dan
yang lain meniup seruling untuknya. Ia tidak memasuki arena
minum-minuman keras kecuali dengan mendengar permainan musik mereka
berdua.
Mutawakkil memiliki lima ribu orang sahaya. Menurut sebuah
riwayat, ia telah menyetubuhi mereka semua. Sebagian orang dekatnya
pernah berkata: "Sumpah demi Allah, seandainya Mutawakkil tidak dibunuh,
ia tidak akan hidup (lama) lantaran sering melakuan hubungan badan."
Orang-orang dekat Mutawakkil senantiasa berusaha mengadakan pendekatan
dengannya dengan memberikan hadiah sahaya-sahaya yang menawan dan
khamar-khamar yang murni. Fath bin Khâqân pernah menghadiahkan seorang
sahaya yang sangat cantik dan menawan, dua buah periuk yang terbuat dari
emas, dan mangkok besar yang terbuat dari kaca blour dan penuh berisi
khamar murni yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Fath menghadiahkan
semua itu ketika Mutawakkil baru sembuh dari sebuah penyakit yang
dideritanya. Bersama hadiah-hadiah itu, Fath juga menulis sebuah bait
syair berikut ini:
Jika imam keluar dari renggutan penyakit dan memperoleh keselamatan dan kesembuhan,
tiada obat penyembuh baginya kecuali khamar yang tertuang dalam periuk yang indah menawan,
dan mata cincin yang baginya dihadiahkan. Dan semua itu sangat jitu untuk setelah sakit menahan.
Mutawakkil tertarik dan tertambat hati kepada bait-bait syair itu. Pada
waktu itu, Yuhannâ bin Mâsûyeh, dokter pribadinya sedang duduk di
sampingnya. Yuhannâ berkata kepadanya: "Demi Allah, Fath lebih mahir
dalam ilmu kedokteran daripada aku. Oleh karena itu, jangan paduka
tentang sarannya."
Kami telah menyebutkan foya-foya dan pesta fora
Mutawakkil dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Hasan Al-'Askarî
as. Jika pembaca budiman berkenaan, silakan rujuk.
b. Melakukan Maksiat Secara Terang-Terangan
Mutawakkil selalu melakukan dosa dan maksiat secara terang-terangan,
dan ia tidak pernah malu kepada masyarakat. Pada suatu hari, Hakim Ahmad
bin Dâwûd pernah meminta izin untuk berjumpa dengannya. Pada waktu itu,
Mutawakkil sedang bermain judi. Fath bin Khâqân ingin untuk
mengumpulkan alat permainan judi itu dan Mutawakkil melarangnya seraya
berkata: "Apakah aku berbuat sesuatu terhadap Allah secara
terang-terangan, lalu kututup-tutupi dari mata hamba-hamba-Nya?"
Tindak mengikuti hawa nafsu yang selalu dilakukannya itu telah melampaui
batas sehingga para teman minumnya bermain catur di hadapannya dan ia
tidak pernah melarang mereka. Di antara tindakan hewaninya ini adalah ia
pernah meminta supaya istrinya, Rabthah bin Ghubais melepas kerudung
dan menggelung rambutnya layaknya dayang-dayang istana. Sang istri
menolak dan Mutawakkil menceraikannya. Ia tidak pernah berharap
kewibawaan kepada Allah dan juga tidak pernah mengindahkan syiar-syiar
Islam.
c. Tindakan Terhadap Bani Ali
Salah satu karakter yang bersifat substantif dalam diri Mutawakkil
adalah kebenciannya yang dahsyat kepada Bani Ali as. Ia telah
mengerahkan segala upaya dan usahanya untuk menzalimi dan menumpahkan
darah mereka. Ia juga pernah memberlakukan embargo ekonomi atas mereka.
Ia melarang segala jenis dan bentuk bantuan ekonomi dan kebajikan kepada
mereka. Jika ia mendengar seseorang berbuat kebajikan kepada mereka, ia
tidak segan-segan menyiksanya dan mewajibkan ia membayar denda yang
sangat berat. Muslimin pun enggan untuk mengadakan segala jenis hubungan
dengan mereka lantaran takut terhadap siksa yang telah ditentukan oleh
sang lalim ini.
Dunia telah menjadi sempit bagi kaum Bani Ali as.
Kesengsaraan dan kemiskinan mereka telah sampai pada suatu batas di mana
satu gamis digunakan oleh kaum wanita mereka untuk mengerjakan salat
secara bergantian. Setelah itu, mereka menambal pakaian-pakaian mereka
yang robek dan duduk di atas alat-alat pemintal kain dalam kondisi
telanjang menyedihkan. Padahal sang lalim itu mengeluarkan berjuta-juta
dinar emas (untuk berfoya-foya) di malam-malam kelamnya dan memberikan
uang yang tak terkira jumlahnya kepada para penyanyi dan penari.
Sementara itu, ia mengharamkan sepoton roti untuk keturunan Rasulullah
saw.
d. Kebencian Terhadap Amirul Mukminin
Mutawakkil sangat membenci Imam Amirul Mukminin Ali as., sang tokoh
kebenaran dan keadilan di dalam dunia Islam itu. Sang lalim ini
mengingkari keberadaannya. Pada suatu hari, ia menjadikan kera-kera
piaraan dan kaki tangannya sebagai penari yang menari dengan gemulai,
dan ia menyerupakan dirinya dengan Imam Amirul Mukminin as. yangnya
sendiri adalah diri Rasulullah saw. dan pintu kota ilmunya. Tindakan ini
membuat rasa ingin membela Muntashir-yang ia sendiri adalah salah
seorang keturunan orang-orang berkemanusiaan-bangkit. Lalu, ia mengambil
keputusan untuk membunuhnya.
e. Penghancuran Makan Suci Imam Husain
Salah satu kejahatan paling buruk yang pernah dilakukan oleh Mutawakkil
adalah penghancuran makam suci sang junjungan pemuda penduduk, Imam
Husain as. Makam suci ini sangat dihormati oleh seluruh muslimin dan
selalu dipenuhi oleh para peziarah, meskipun haluan pemikiran mereka
berbeda-beda. Sedangkan, kuburan para raja dinasti Bani Abbâsiyah
terletak di sampah-sampah bumi dan menjadi tempat anjing dan
binatang-binatang buas lainnya berlindung. Realita ini menceritakan
kezaliman dan kelaliman yang pernah mereka lakukan.
Ketika muslimin
sendiri menolak untuk menghancurkan makam suci itu, Mutawakkil menyuruh
beberapa orang Yahudi yang kotor untuk menghancurkannya. Mereka
menghancurkan seluruh bangunan yang terdapat di sekeliling makam suci
itu. Setelah itu, mereka mengalirkan air ke makam suci tersebut. Hanya
saja, air itu tidak melahapnya. Ia hanya tergenang di sekitarnya. Oleh
karena itu, makam suci itu dinamakan Al-Hâ'ir. Dari dalam makam suci itu
keluar sebuah bau wangi yang masyarakat sekitar belum pernah mencium
bebauan seharum itu ... Bau wangi itu adalah semerbak wangi risalah
Islam, semerbak wangi kemuliaan dan kedermawanan.
Al-Jawâhirî menyenandungkan syair:
Kucium makam sucimu lalu semerbak mewangi bertebaran, semerbak mewangi kemuliaan dari tanah tak berair.
Muslimin marah besar terhadap Mutawakkil dan mencelanya pada setiap
pertemuan dan majelis mereka, serta berdoa demi kebinasaannya setiap
kali mereka usai mengerjakan salat. Lebih dari itu, mereka juga menulis
plakat-plakat yang berisi celaan atasnya di dinding-dinding bangunan dan
rumah. Bait-bait syair berikut ini tersebar luas di kalangan masyarakat
kala itu:
Demi Allah, jika Bani Umaiyah telah membantai putra dari putri Nabi secara zalim,
Bani Abbâsiyah telah melakukan hal yang sama. Inilah makamnya dihancurkan,
karena menyesal mengapa tidak andil membantainya. Lalu, mereka mengganyangnya setelah dimakamkan.
Pemerintahan dan raja-raja pun datang silih berganti. Akan tetapi,
makam suci Syayidus Syuhada' as. tetap tegar dan kokoh berdiri dan akan
tetap menjadi simbol, kebanggaan, dan kemuliaan bagi umat Islam. Makam
suci ini telah berhasil memiliki tempat di dalam hati sanubari muslimin
dan para peziarahnya melebihi para peziarah Baitullah Al-Haram.
f. Bersama Imam Al-Hâdî
Pada pembahasan yang lalu, kami telah memaparkan peristiwa pemenjaraan
dan penangkapan yang telah dialami oleh Imam Al-Hâdî as., serta pelarang
harta zakat dan khumus para pengikut Syi'ah untuk sampai ke tangannya.
Pada waktu itu, Imam Al-'Askarî as. masih berusia belia. Sanubari dan
perasaannya tersiksa dan terluka oleh sikap-sikap keras yang telah
diambil Mutawakkil untuk melawan Imam Al-Hâdî as. dan para pengikut
Syi'ah. Hal itu berlanjut hingga Allah membebaskan masyarakat dari
jeratan penguasa lalim ini, dan pucuk pemerintahan pun berpindah ke
tangan Muntashir Al-Abbâsî. Berikut ini penjelasan tentang penguasa yang
satu ini.
2. Pemerintahan Muntashir
Muntashir memegang tampuk kekuasaan setelah revolusi yang dipeloporinya
untuk melawan ayahnya sendiri. Kegembiraan dan kebahagiaan meliputi
seluruh ruang kehidupan para pengikut Syi'ah. Mimpi buruk yang kelam itu
telah sirna dari dunia mereka dan Muntashir melakukan tindakan
kebajikan kepada Bani Ali dan pengikut mereka. Ia juga membatalkan
larang untuk menziarahi makam Sayidus Syuhada' as. dan mengembalikan
tanah Fadak kepada Bani Ali as. Dan masih banyak lagi
kebajikan-kebajikan yang telah ia perbuat bagi mereka.
Sangat
disayangkan sekali masa pemerintahan penegak kebajikan yang mulia ini
tidak berlangsung lama. Menurut mayoritas buku referensi sejarah, ia
meninggal dunia dengan diracun atas dasar inisiatif orang-orang Turki.
Dengan ini, satu lembar cemerlang yang memuat kemuliaan dan kepahlawanan
telah ditutup.
3. Pemerintahan Musta'în
Musta'în memegang tampuk kekuasaan pada hari Ahad, tanggal 5 Rabi'ul
Akhir 248 Hijriah. Para ahli sejarah menegaskan bahwa ia adalah sosok
yang senang berfoya-foya, memusuhi kebenaran, dan membenci para imam
pembawa petunjuk as-sebagaimana nenek moyangnya. Ia juga sangat membenci
Imam Abu Muhammad as. Hal itu lantaran ia memiliki kedudukan yang
tinggi di dalam hati muslimin dan sangat banyak sekali dari kalangan
mereka yang meyakini imâmah-nya. Sedangkan ia sendiri dan nenek
moyangnya tidak memiliki kedudukan sedikit pun di dalam hati mereka.
Sang lalim ini memerintahkan para kaki tangannya untuk menangkap Imam
Abu Muhammad as., dan ia dijebloskan ke dalam penjara Awtâmesy. Isa bin
Fath bersamanya di dalam penjara. Imam Al-'Askarî berkata kepadanya:
"Hai Isa, kamu sekarang berusia enam puluh lima tahun satu bulan dan dua
hari."
Isa terheran-heran dan melihat buku yang dibawanya. Di dalam
buku itu tercatat tanggal kelahiran dirinya. Usianya sesuai dengan apa
yang telah dikatakan oleh Imam Al-'Askarî itu.
Setelah itu, Imam Al-'Askarî bertanya lagi kepadanya: "Apakah kamu memiliki anak?"
"Tidak," jawab Isa pendek.
Imam Al-'Askarî berdoa untuknya seraya berkata: "Ya Allah,
anugerahkanlah seorang anak baginya supaya anak itu menjadi tulang
punggungnya. Sebaik-baik tulang punggung adalah seorang anak." Setelah
berdoa demikian, ia membaca syair berikut ini:
Siapa memiliki tulang
punggung, ia 'kan urusi hartanya yang terlalimi. Sungguh orang hina
adalah orang yang tak bertulang punggung.
Isa kembali bertanya: "Wahai junjunganku, apakah Anda memiliki anak?"
Imam Al-'Askarî as. menjawab: "Demi Allah, aku akan memiliki seorang
anak yang akan memenuhi bumi ini dengan keadilan. Untuk sekarang ini,
saya masih belum memiliki anak ...."
Para pengikut Syi'ah khawatir
atas penangkapan Imam Al-'Askarî tersebut dan kekhawatiran mereka ini
bertambah ketika mereka mendengar berita bahwa Musta'în ingin
membunuhnya. Imam Al-'Askarî as. menenangkan kekhawatiran mereka dan
memberikan berita gembira kepada mereka bahwa dirinya akan selamat dan
bahwa musuhnya yang lalim ini akan ditumbangkan setelah tiga hari.
Berita yang telah diberikan olehnya itu terbukti dan sebelum tiga hari
berlalu, Musta'în telah digulingkan oleh orang-orang berkebangsaan
Turki.
4. Pemerintahan Mu'taz
Mu'taz
adalah Zubair bin Ja'far Al-Mutawakkil. Ia memegang tampuk kekuasaan
pada usia yang masih muda, sedangkan ia belum memiliki pengalaman yang
cukup, belum ditempa oleh masa, dan belum memiliki keahlian yang mumpuni
untuk menjalankan tugas-tugas politik dan manajemen negara. Oleh karena
itu, ia menjadi alat permainan di tangan bangsa Turki dan mereka
memperalat kekuasaannya sesuai dengan keinginan mereka.
Mu'taz
sangat membenci Imam Abu Muhammad as. Ia menangkapnya dan
menjebloskannya di balik jeruji-jeruji penjara. Ia sangat tersiksa oleh
seluruh perilaku dan tindakan Mu'taz. Karena, Mu'taz sangat
berlebih-lebihan dalam berbuat penganiyaan dan permusuhan terhadapnya.
Imam Al-'Askarî berdoa kepada Allah supaya Mu'taz hancur. Dan Allah
mengabulkan permohonannya dan membalas dendam terhadapnya dengan
pembalasan yang sangat perih. Para pembesar bangsa Turki menuntut
imbalan mereka. Baitul Mal kosong tak berisi uang sepeser pun. Ia
merengek kepada ibunya yang menyimpan jutaan harta. Ia meminta uang itu
kepada sang ibu dan ia enggan memberikannya. Kaum Turki itu menyerang
Mu'taz dan menyeret kakinya. Mereka memukulnya dengan tongkat-tongkat
berkepala dan menjemurnya di bawah terik sinar matahari pada musim panas
yang menyengat, sedangkan mereka berseru: "Cabutlah dirimu dari
kekuasaan ini." Mereka menghadirkan Hakim Baghdad dan beberapa tokoh,
lalu mereka mencabutnya dari kekuasaan. Setelah lima hari berlalu dari
masa pencabutan ini, mereka memasukkannya ke dalam sebuah kamar mandi.
Ketika mandi, ia merada kehausan yang sangat. Mereka tidak memberikan
air kepadanya. Setelah itu, mereka menenggakkan air es kepadanya, dan
matilah dia.
Layak disebutkan di sini bahwa orang yang memimpin
pmberontakan ini adalah Shâlih bin Washîf. Ia menyerang ibu Mu'taz dan
merampas seluruh harta miliknya. Seluruh hartanya berjumlah lima ratus
ribu dinar. Di samping itu, ia juga berhasil menemukan harta-harta
simpanannya yang sangat banyak berada di bawah. Mereka menemukan sebuah
rumah miliknya di bawah tanah yang berisi satu juta tiga ratus ribu
dinar. Di dalam sebuah tas perhiasannya ditemukan sebuah batu zamrud
yang tak seorang pun pernah melihat batu zamrud semacam itu. Begitu juga
dalam sebuah tas perhiasannya yang lain, mereka mendapatkan sebuah batu
permata yang sangat besar dan dalam tas perhiasaan ketiga mereka juga
menemukan beberapa butir batu yaqut merah yang tiada tandingannya.
Seluruh harta itu dibawa ke hadapan Shâlih. Melihat semua itu, ia
berkomentar: "Ia rela mengantarkan anaknya terbunuh hanya demi tuntutan
harta sebanyak lima puluh ribu dinar, sedangkan dia sendiri memiliki
harta sebanyak ini." Ibu Mu'taz meninggalkan Baghdad menuju ke Mekah dan
selalu berdoa demi kecelakaan Shâlih. Begitulah, akibat orang-orang
zalim adalah kerugian yang nyata.
5. Pemerintahan Mahdi
Mahdi Al-Abbâsî memegang tampuk kekuasaan pemerintahan Islam pada saat
ia telah berusia tiga puluh tujuh tahun. Ia memiliki permusuhan yang
sangat dahsyat terhadap Ahlul Bait as. Ia telah mewarisi karakter ini
dari nenek moyangnya yang telah menumpahkan segala bentuk amarah mereka
atas Ahlul Bait as. dan menenggelamkan mereka ke dalam berbagai jenis
cobaan dan kesengsaraan.
Sang lalim ini memerintahkan para kaki
tangannya untuk menangkap Imam Abu Muhammad as. dan menjebloskannya ke
dalam penjara selama beberapa hari. Di dalam penjara itu, seorang
pengikut Syi'ah yang terpercaya (tsiqah) dan bersih bernama Abu Hâsyim
bersamanya. Ia adalah salah seorang tokoh kenamaan Syi'ah. Imam
Al-'Askarî berkata kepadanya: "Hai Abu Hâsyim, sesungguhnya sang lalim
ini ingin membunuhku pada malam ini, dan Allah telah memendekkan
usianya."
Sebagian pengikut Syi'ah pernah menulis surat kepada Imam
Abu Muhammad yang isinya: "Kami mendapat berita bahwa Mahdî (Al-Abbâsî)
mengancam Syi'ah Anda sembari berkata, 'Demi Allah, aku akan mengusir
mereka ke sebuah tanah yang baru.'"
Imam Hasan Al-'Askarî as.
menjawab surat tersebut yang isinya: "Hal itu adalah lebih penek dari
usianya. Hitunglah lima hari dari sekarang. Ia akan dibunuh pada hari
keenam setelah menderita kehinaan dan pelecehan."
Berita yang telah
diprediksikan oleh Imam Abu Muhammad as. tersebut betul terjadi. Bangsa
Turki menyerang Mahdî dan menusuknya dengan pisau dan belati. Salah
seorang pemimpin pemberontakan yang berkebangsaan Turki itu mengisap
darah yang mengucur deras dari lukanya. Pada waktu itu, ia sedang mabuk
sempoyongan. Setelah mengisap darah itu, ia berkata kepada para
sahabatnya: "Aku telah kenyang dengan darah Mahdî sebagaimana aku telang
kenyang dengan khamar pada hari ini."
Dengan ini, berakhirlah kehidupan Mahdî yang selalu memusuhi Imam Al-'Askarî as. itu.
6. Pemerintahan Mu'tamid
Mu'tamid berhasil memegang tampuk kekuasaan pada saat ia sedang berusia
dua puluh lima tahun. Ia sangat suka berfoya-foya dan berpesta-pora. Ia
selalu memantau dan memonitor seluruh gerak-gerik masyarakat, satu
tindakan yang telah membangkitkan kebencian mereka kepadanya.
Pada
masa kekuasaannya ini, Imam Al-'Askarî as. mengalami kesengsaraan yang
amat mengerikan. Mu'tamid memerintahkan supaya ia ditangkap dan ditawan.
Ia memerintahkan kepada kepala penjara untuk melaporkan setiap berita
dan informasi baru tentang Imam Al-'Askarî. Kepada penjara ini
melaporkan kepadanya bahwa Imam Al-'Askarî tidak pernah melakukan sebuah
tindakan pun yang bertentangan dengan politik dinasti Bani Abbâsiyah.
Lebih dari itu, ia telah memutuskan diri dari dunia dengan melakukan
puasa di siang hari dan menghidupkan malam dengan ibadah. Pada kali yang
lain, Mu'tamid pernah menanyakan informasi baru mengenai Imam
Al-'Askarî, dan kepala penjara itu melaporkan hal yang sama. Setelah
mendengar laporan itu, Mu'tamid membebaskannya dan memohon maaf
kepadanya. Kepala penjara bergegas pergi untuk memberitahukan
kebebasannya itu, dan ia mendapatkan Imam Al-'Askarî telah bersiap-siap
untuk keluar dari penjara. Ia telah mengenakan pakaian dan memakai
sepatu khuf-nya. Ia terheran-heran dengan itu seraya menyerahkan surat
Mu'tamid kepadanya. Di dalam penjara itu, ia bersama Ja'far, saudaranya.
Ia enggan keluar dari penjara sebelum Ja'far dikeluarkan.
Ala
kulli hal, Imam Al-'Askarî as. masih saja menghadapi berbagai jenis
kesengsaraan dan pelecehan dari sang lalim ini. Ia meletakkan
prajurit-prajurit kerajaan yang tak terhitung jumlahnya untuk menghitung
setiap tarikan napasnya dan mengusir setiap pengikut Syi'ah yang ingin
berjumpa dengannya.
Imam Al-'Askarî Dibunuh
Keberadaan Imam Abu Muhammad as. sudah tidak tertahankan lagi oleh sang
lalim Abbasi ini. Hal itu lantaran ia mendengar berita bahwa seluruh
masyarakat menyucikan, mengagungkan, dan lebih mengutamakannya atas
seluruh Bani Ali dan Bani Abbâsiyah. Akhirnya, Mu'tamid mengambil
keputusan untuk membunuhnya, dan ia meracuninya dengan racun yang
mematikan. Ketika Imam Al-'Askarî meminum racun tersebut, racun itu
meracuni sekujur tubuh sucinya dan ia tidak bisa beranjak dari tempat
tidur. Karena kekerasan racun itu, ia menderita rasa sakit yang tak
terperikan, sedangkan ia tetap bersabar sembari menyerahkan segala
urusan kepada Allah swt.
Mu'tamid memerintahkan lima orang
kepercayaannya untuk selalu mengawasi rumah Imam Al-'Askarî as. dan
mencari tahu tentang seluruh gerak-beriknya, sebagaimana ia juga
memerintahkan tim dokter untuk melakukan pemeriksaan atas tubuhnya siang
dan sore. Ia juga memerintahkan mereka untuk tidak meninggalkan
rumahnya. Tujuan perintah ini adalah untuk mencari tahu tentang putra
Imam Al-'Askarî, sang reformis agung yang telah diberitagembirakan oleh
Nabi saw.
Menuju Surga Abadi
Kondisi Imam
Hasan Al-'Askarî semakin parah dan para dokter telah putus asa. Ajalnya
pun mendekat dengan cepat. Dalam kondisi seperti ini, ia senantiasa
membaca zikir dan ayat-ayat Al-Qur'an hingga rohnya yang agung naik
menghadap Allah swt. dengan diiringi oleh para malaikat Rahman dan
seraya disambut oleh para nabi Allah dan rasul-Nya.
Kepergiannya ini
adalah sebuah malapetaka yang telah menimpa muslimin yang hidup kala
itu. Mereka telah kehilangan seorang pemimpin, pendidik, penunjuk jalan,
dan reformis yang senantiasa memperhatikan kemaslahatan diri mereka.
Persiapan Pemakaman
Jenazah Imam Hasan Al-'Askarî as. dimandikan. Setelah di-tahnîth, tubuh
suci itu dimasukkan ke dalam kafan. Jenazah suci itu digotong untuk
disalati. Putranya, Hujah Allah di atas bumi ini, Imam Al-Muntazhar as.
menyalati jenazah sang ayah. Setelah itu, Abu Isa bin Mutawakkil maju ke
depan dan menyingkap wajah Imam Al-'Askarî as. seraya memperlihatannya
kepada Bani Hâsyim dari kalangan Bani Ali dan Bani Abbâsiyah, para
petinggi militer, para sekretaris kerajaan, para kepala kantor-kantor
pemerintah, para hakim, dan lain sebagainya sembari berkata kepada
mereka: "Hasan bin Muhammad bin Ar-Ridhâ meninggal dunia secara alamiah
di atas tempat tidurnya. Di antara para pembantu Amirul Mukminin yang
hadir pada saat itu adalah Polan dan Polan, di antara tim dokter adalah
Polan dan Polan, dan di antara para hakim adalah Polan dan Polan."
Setelah berkata demikian, ia menutupi kembali wajah Imam Al-'Askarî as.
yang suci itu. Ia melakukan tindakan itu dengan tujuan menepis tuduhan
yang telah tersebar di kalangan masyarakat bahwa Mu'tamid telah membunuh
Imam Al-'Askarî.
Ke Liang Lahat
Seluruh
lapisan masyarakat Samirra' keluar untuk mengantarkan jenazah Imam
Al-'Askarî as. ke liang lahat. Seluruh kantor pemerintah, pusat-pusat
perdagangan, dan pasar tutup. Kota Samirra' mirip dengan kondisi hari
kiamat. Di sepanjang sejarahnya, kota ini tidak pernah menyaksikan
ritual pengantaran jenazah yang dihadiri oleh seluruh lapisan masyarakat
dengan perbedaan kasta dan alur pemikiran yang mereka miliki seperti
ini. Mereka mengantarkan jenazahnya sembari menghitung-hitung
keutamaannya dan menyebutkan malapetaka dan kerugian yang telah menimpa
muslimin.
Di Persemayaman Terakhir
Tubuh
suci Imam Hasan Al-'Askarî as. digotong dengan diiringi oleh gemuruh
takbir dan takzim menuju persemayamannya yang terakhir. Tubuh suci itu
dimakamkan di rumahnya di sisi sang ayah, Imam Al-Hâdî as. Dengan
menguburkan sempalan hati Rasulullah saw. ini, mereka telah mengubur
juga manifestasi kesabaran, ilmu, dan ketakwaan.
Dengan ini, kami
menutup pembahasan tentang sejarah hidup Imam Abu Muhammad as. Jika
pembaca budiman ingin mengetahui sejarah kehidupannya ini lebih dalam
lagi, silakan Anda rujuk buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Hasan
Al-'Askarî as.
Catatan Kaki:
Akhbâr Ad-Duwal, hal. 117; Bahr Al-Ansâb, hal. 2.
Tadzkirah Al-Khawwâsh, hal. 324.
Târîkh Abi Al-Fidâ', jilid 2, hal. 48.
An-Nujûm Az-Zâhirah, jilid 3, hal. 32.
Bahr Al-Ansâb, hal. 2; Akhbâr Ad-Duwal, hal. 167; Al-Ithâf bin Hubb Al-Asyrâf, hal. 86.
Dâ'irah Al-Ma'ârif, karya Al-Bustânî, jilid 7, hal. 45.
Hayâh Al-Imam Hasan Al-'Askarî as., hal. 19.
Al-Ithâf bin Hubb Al-Asyrâf, hal. 86.
Dâ'irah Al-Ma'ârif, karya Al-Bustânî, jilid 7, hal. 45; Jawharah Al-Kalâm fi Mad-h As-Sâdah Al-A'lâm, hal. 155.
A'yân Asy-Syi'ah, jilid 4, hal. 295, bagian kedua.
Hayâh Al-Imam Hasan Al-'Askarî as., hal. 40.
Hayâh Al-Imam Hasan Al-'Askarî as., hal. 40.
Jabul adalah sebuah desa yang terletak di pesisir sungai Dajlah, Irak-pen.
Sûrâ' adalah sebuah daerah di Irak yang terletak di kota Babylion. Daerah ini adalah tempat kediaman bangsa Suryânî-pen.
Kasyf Al-Ghummah, jilid 3, hal. 300.
Hayâh Al-Imam Hasan Al-'Askarî as., hal. 38.
Kasyf Al-Ghummah, jilid 3, hal. 2.
Hayâh Al-Imam Hasan Al-'Askarî as., hal. 42.
Tuhaf Al-'Uqûl, hal. 519.
Ibid.
Hayâh Al-Imam Hasan Al-'Askarî as., hal. 99.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 5, hal. 299.
Hayâh Al-Imam Hasan Al-'Askarî as., hal. 98.
Tuhaf Al-'Uqûl, hal. 518.
Nûr Al-Abshâr, hal. 153.
I'lâm Al-Warâ, hal. 372.
Nûr Al-Abshâr, hal. 152.
Ibid.
Manâqib Al Abi Thalib, jilid 4, hal. 435.
I'lâm Al-Warâ, hal. 375; Al-Manâqib, jilid 4, hal. 437.
Rawdhât Al-Jannât, jilid 4, hal. 273-274.
Ibid., hal. 276.
Murûj Adz-Dzahab, jilid 4, hal. 43.
Baina Al-Khulafâ' wa Al-Khula'â' fi Al-'Ashr Al-Abbâsî, hal. 115.
Tsimâr Al-Qulûb, hal. 123.
Mir'âh Az-Zamân, jilid 6, hal. 69.
Dâ'irah Ma'ârif Al-Qarn Al-'Isyrin, jilid 10, hal. 964.
Zuhar Al-Adab, jilid 4, hal. 3.
Baina Al-Khulafâ' wa Al-Khula'â' fi Al-'Ashr Al-Abbâsî, hal. 108.
Mir'âh Az-Zamân, jilid 6, hal. 169.
Maqâtil Ath-Thâlibiyyîn, hal. 579.
Ibid., hal. 599.
Hayâh Al-Imam Hasan Al-'Askarî as., hal. 202.
Jawharah Al-Kalâm, hal. 155.
Muhaj Ad-Da'awât, hal. 273.
Al-Ghaibah, karya Syaikh Thusi, hal. 632.
Târîkh Al-Khulafâ', hal. 36.
Târîkh Ibn Al-Atsîr, jilid 5, hal. 544.
Murûj Adz-Dzahab, jilid 4, hal. 124.
Muhaj Ad-Da'awât, hal. 274.
Murûj Adz-Dzahab, jilid 4, hal. 127.
Ibid., hal. 128.
Ibid.
Muhaj Ad-Da'awât, hal. 274.
Al-Irsyâd, hal. 383.
Ibid.
Ibid.
IMAM MAHDI AL-MUNTAZHAR
Kita sedang berada di hadapan harapan nilai-nilai insani, nilai-nilai
nsani yang terkoyak dan dihancurkan oleh kajahatan perang dan dibasmikan
oleh ketamakan kaum Imperialis. Kita sedang berada di hadapan keadilan
tegar yang akan membasmikan kezaliman, meluluh-lantakkan sistem
perbudakan, dan menghancurkan kelaliman, menebar rahmat dan menyebar
cinta kasih di tengah-tengah umat manusia, serta memenuhi hati
orang-orang tertindas dengan harapan dan rahmat.
Kita sedang berada
di hadapan Al-Qâ'im keluarga Muhammad saw. yang telah dipersiapkan oleh
Allah swt. untuk memperbaiki dunia dan merombak sistem-sistem
pemerintahan bejat yang telah menjerumuskan umat manusia ke dalam jurang
dalam yang tidak memiliki kestabilan. Kita sedang berada di hadapan
figur yang telah dipilih dan dipersiapkan oleh Allah untuk memenuhi bumi
dengan keadilan, setelah bumi ini dipenuhi oleh kezaliman dan
kelaliman.
Sesungguhnya Allah swt. telah memilih wali-Nya yang
teragung, wali-Nya yang paling pemberani, wali-Nya yang memiliki
bashirah yang paling peka, dan wali-Nya yang paling rendah hati untuk
merealisasikan perbaikan yang menyeluruh dan universal ini. Cukuplah
sebagai bukti kedudukannya yang agung bahwa ia berasal dari Ahlul Bait
yang telah dbersihkan oleh Allah dari segala jenis kotoran dan disucikan
sesuci-sucinya.
Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan sekilas
sejarah kehidupan dan biografi manifestasi keadilan dan harapan kaum
tertindas ini.
Sang Putra yang Agung
Dunia
terang benderang dengan kelahiran sang reformis agung yang akan
mengembalikan kejayaan dan nikmat Islam kepada umat manusia dan
meyelamatkan mereka dari segala jenis kezaliman dan kelaliman. Termasuk
karunia Allah swt. yang agung ketika Dia merahasiakan kehamilan dan
kelahirannya, sebagaima Dia juga pernah merahasiakan kehamilan dan
kelahiran nabi-Nya, Mûsâ bin 'Imrân as.
Para ahli sejarah
meriwayatkan kisah kelahiran Imam Mahdî as. Menurut mereka, Imam Hasan
Al-'Askarî as. memanggil bibinya yang bernama Sayyidah Hakîmah, salah
seorang putri Imam Muhammad Al-Jawâd as. Sayyidah Hakîmah menyerupai
neneknya, Fathimah Az-Zahrâ' as. dalam sisi ibadah, kemuliaan, dan
kesucian. Ketika ia sampai, Imam Al-'Askarî as. menyambutnya dengan
seluruh penghormatan dan pengagungan. Ia berkata kepadanya: "Hai bibiku,
berbuka puasalah malam ini di rumahku. Allah 'Azza Wajalla akan
memberikan berita gembira kepada Anda dengan (kelahiran) wali dan
hujah-Nya, serta khalifahku sepeninggalku."
Sayyidah Hakîmah sangat
gembira dan bahagia. Ia bertanya: "Semoga Allah menjadikanku sebagai
tebusan Anda! Wahai junjunganku, dari siapakah khalifah ini akan lahir?"
"Sûsan," jawab Imam Al-'Askarî pendek.
Sayyidah Hakîmah menoleh ke arah Sûsan dan ia tidak melihat tanda-tanda kehamilan. Ia berkata lagi: "Ia tidak hamil."
Imam Al-'Askarî as. tersenyum seraya berkata kepadanya dengan halus:
"Jika waktu fajar tiba, kehamilannya akan nampak bagimu. Sûsan adalah
sama seperti ibunda Mûsâ. Ibunda Mûsâ juga tidak memiliki tanda-tanda
kehamilan dan tak seorang pun tahu tentang hal itu hingga ia melahirkan.
Hal itu karena Fir'aun selalu merobek setiap perut wanita yang hamil
demi mencari Mûsâ. Anakku ini adalah sama seperti Mûsâ."
Sayyidah
Hakîmah bermalam di rumah keponakannya itu. Ketika waktu salat Maghrib
tiba, ia mengerjakan salat Maghrib. Lalu, ia berbuka puasa bersama
Sayyidah Sûsan, ibunda Imam Al-Muntazhar. Setelah usai berbuka puasa, ia
menuju ke tempat tidur. Ketika akhir malam tiba, ia bangun untuk
mengerjakan salat malam. Ketika sampai di rakaat terakhir-yaitu, salat
Witir, Sayyidah Sûsan melompat (dari tempat tidur) dalam kondisi takut
dan gemetar. Ia juga mengerjakan salat sunah malam. Setelah usai
mengerjakan salat sunah malam, ia merasakan rasa sakit hendak
melahirkan. Sayyidah Hakîmah bergegas menjumpainya seraya berkata
kepadanya: "Apakah kamu merasakan sesuatu?"
Sayyidah Sûsan menjawab dengan penuh rasa ketakutan dan kekhawatiran: "Sungguh aku menemukan sesuatu yang sangat dahsyat."
Sayyidah Hakîmah menenangkannya seraya berkata kepadanya dengan penuh kasih sayang: "Kamu tidak takut, insya Allah."
Tidak lama berselang, Sayyidah Sûsan melahirkan putranya yang agung
yang akan membersihkan bumi ini dari kotoran orang-orang lalim dan
kezaliman orang-orang zalim, serta menegakkan hukum Allah swt. di muka
bumi ini.
Ketika Imam Al-'Askarî as. diberitahukan tentang kelahiran
sang putra, ia sangat gembira dan bahagia. Ia mulai membohongkan tekad
para lalim dari kalangan penguasa Bani Abbâsiyah yang selalu berkehendak
ingin membunuhnya dan memutus keturunannya seraya berkata: "Para zalim
itu menyangka akan dapat membunuhku untuk memutus keturunan ini.
Bagaimana mereka melihat kekuatan Allah ini?"
Acara Ritual Kelahiran
Imam Hasan Al-'Askarî as. menyambut kelahiran sang putra dengan
kebahagiaan dan kegembiraan yang luar biasa. Ia melaksanakan acara
ritual kelahiran atas putra yang baru lahir ini. Ia mengumandangkan azan
di telinga kanannya dan membacakan iqamah di telinga kirinya. Ia telah
memperdengarkan dengungan Allahu Akbar, lâ ilâha illallâh di telinganya.
Dengan ritual ini, Imam Al-'Askarî as. telah memberikan makanan
spiritual kepadanya dengan kalimat-kalimat yang merupakan rahasia wujud
dan missi terpenting para nabi as. itu. Sang putra yang baru lahir itu
berbicara (seraya melantunkan) ayat Al-Qur'an yang berfirman: "Dan Kami
hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di muka bumi
dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan orang-orang yang mewarisi
bumi, serta akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi dan akan
Kami perlihatkan kepada Fir'aun dan Haman beserta bala tentaranya apa
yang selalu mereka khawatirkan." (QS. Al-Qashash [28]:5-6)
Pemimpin
teragung ini telah dilahirkan dalam kondisi rahasia dan tersembunyi
semacam ini lantaran khawatir atas ancaman dinasti Bani Abbâsiyah yang
selalu melakukan monitoring atasnya dengan ketat demi menghabisi
jiwanya. Hal itu mereka lakukan karena meyakini bahwa ia adalah figur
yang akan membasmi kerajaan dan kekuasaan mereka.
Ala kulli hal,
Sayyidah Hakîmah menggendong bayi yang baru lahir itu dan menciuminya
seraya berkata: "Aku mencium sebuah bau semerbak mewangi dari tubuhnya
yang aku belum pernah mencium bau sewangi itu selama ini." Setelah itu,
Imam Al-'Askarî as. menggendongnya seraya berkata: "Aku menitipkanmu
kepada Allah sebagaimana Dia pernah menitipkan kepada ibunda Mûsâ.
Hiduplah berada di bawah karunia Allah, tabir-Nya, dan haribaan-Nya."
Setelah berkata demikian, ia menoleh ke arah bibinya seraya berpesan:
"Rahasiakanlah berita kelahiran sang bayi ini dan janganlah kamu
beritahukan hal ini kepada siapa pun sehingga kitab sampai kepada
masanya."
Undangan Makan Massal
Setelah
kelahiran sang putra yang penuh berkah itu, Imam Hasan Al-'Askarî as.
menyuruh seseorang untuk membeli daging dan roti dalam jumlah yang
banyak demi disedekahkan kepada orang-orang fakir-miskin yang hidup di
kota Samirra'. Di samping itu, ia juga melakukan akikah untuknya dengan
menyembelih tujuh puluh ekor kambing dan mengirimkan empat ekor di
antaranya kepada Ibrahim dengan disertai surat yang berisi:
"Kambing-kambing ini berasal dari anakku, Muhammad Al-Mahdî. Makanlah
kambing-kambing itu dan ajaklah pengikut kami yang kamu jumpai untuk
makan bersama."
Kebahagiaan Para Pengikut Syi'ah
Kebahagiaan dan kegembiraan yang tak terkira mendominasi seluruh
masyarakat Syi'ah atas kelahiran pemimpin yang agung ini. Mereka datang
silih berganti menjumpai Imam Abu Muhammad as. untuk mengucapkan selamat
atas kelahiran sang putra yang penuh berkah itu. Salah seorang di
antara mereka adalah Hasan bin Hasan Al-'Alawî. Ia bercerita: "Aku
bertamu ke rumah Abu Muhammad Hasan bin Ali dan kuucapkan selamat atas
kelahiran putranya Al-Qâ'im di Samirra'."
Seseorang pernah berkata
kepada Hamzah bin Fath: "Kabar gembira! Tadi malam putra Abu Muhammad
telah lahir." Hamzah bertanya: "Siapakah namanya?" Orang itu menjawab:
"Muhammad dan nama panggilannya adalah Abu Ja'far."
Nama Sang Putra
Pemimpin yang agung ini diberi nama seperti nama kakeknya, Rasulullah
yang agung saw. yang telah berhasil memancarkan sumber-sumber hikmah dan
ilmu pengetahuan di muka bumi ini. Para perawi hadis sepakat bahwa
orang yang telah memberi namanya dengan nama tersebut adalah kakeknya,
Rasulullah saw. Ia diberi gelar Al-Mahdî lantaran ia memberikan petunjuk
jalan kepada agama yang benar. Gelar ini adalah gelarnya yang sangat
dikenal oleh masyarakat luas.
Perjumpaan dengan Syi'ah
Imam Hasan Al-'Askarî as. menunjukkan sang putra yang agung itu kepada
para pengikut Syi'ah yang tulus dan terpilih sehingga tak seorang
pengingkar pun mengingkari keberadaannya dan juga tak seorang peragu pun
yang meragukan kelahirannya. Mereka semua berjumlah empat puluh orang.
Di antara mereka adalah Muhammad bin Ayyûb, Muhammad bin 'Utsmân, dan
Mu'âwiyah bin Hakîm. Ia berpesan kepada mereka: "Anak ini adalah imammu
sepeninggalku dan khalifahku atas kamu semua. Taatilah ia dan janganlah
kamu berpecah-belah dalam masalah agama sepeninggalku, karena kamu pasti
binasa. Ingatlah bahwa kamu sekalian tidak akan pernah melihatnya lagi
setelah hari ini."
Imam Al-'Askarî as. telah menyempurnakan hujah
kepada para pengikutnya dan memperkenalkan mereka kepada imam mereka
supaya mereka dapat menjadi saksi-saksi yang jujur untuk menyampaikan
amanat mereka itu kepada selain mereka.
Karakter yang Tinggi
Tidak ada satu karakter sempurna pun kecuali ia menjadi karakter
substantif sang reformis agung ini. Allah telah menciptakannya dari
cahaya, memberisakannya dari setiap kekurangan, menyucikannya dari
segala kotoran, dan menyimpannya untuk memperbaiki hamba-Nya dan
menegakkan agaman-Nya. Di antara karakter-karakter agung tersebut adalah
berikut ini:
a. Keluasan Ilmu Pengetahuan
Sebuah realita yang pasti adalah, bahwa Imam Mahdî as. adalah figur
manusia yang memiliki penguasaan yang paling sempurna dan luas atas
seluruh janis dan bidang ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan yang
baru maupun yang kuno. Tidak ada satu bidang ilmu pun di dunia ini
kecualinya telah menguasainya secara sempurna. Nenek moyangnya telah
mengungkapkan ketinggian kedudukan ilmiahnya ini sebelumnya diciptakan.
Marilah kita simak ungkapan-ungkapan mereka dalam hal ini:
a.
Imam Amirul Mukminin as. berkata: "Dia adalah figur yang memiliki tempat
perlindungan yang paling lapang, yang memiliki ilmu
pengetahuan yang paling luas, dan yang lebih menyambung tali silaturahmi."
b. Hârits bin Mughîrah bercerita: "Aku pernah bertanya kepada Abu
Abdillah Husain bin Ali as., 'Dengan tanda apakah Al-Mahdî bisa
diketahui?' Ia menjawab, 'Dengan pengetahuannya terhadap halal dan haram
dan dengan kebutuhan masyarakat kepadanya, sedangkan ia sendiri tidak
membutuhkan siapa pun.'"
c. Imam Abu Ja'far Al-Bâqir as. berkata:
"Urusan-yakni imâmah-ini akan dipegang oleh seorang keturunan kami yang
paling muda dan paling bagus nama baiknya. Allah mewariskan ilmu
pengetahuan kepadanya dan Dia tidak akan pernah menyerahkan (urusan)nya
kepada dirinya sendiri."
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa
ketika muncul kembali, ia akan mengadakan perdebatan dengan orang-orang
Yahudi dengan bersandarkan kepada kitab Taurat, dan mayoritas mereka
akan memeluk agama Islam.
Pada masa periode Ghaibah Shughra, Imam
Mahdî as. menjadi tempat rujukan tertinggi bagi dunia Islam dalam
masalah-masalah Fiqih dan lain sebagainya. Empat wakil khususnya
senantiasa menghaturkan masalah-masalah yang ditanyakan oleh muslimin
kepadanya dan ia menjawab seluruh pertanyaan tersebut. Buku-buku
referensi Fiqih mazhab Imamiah penuh dengan jawabannya itu. Para fuqaha
menjadikan jawaban itu sebagai sandaran dalam mengeluarkan fatwa
berkenaan dengan sebuah hukum syariat. Syaikh Shadûq as. telah menulis
dengan tangannya sendiri fatwa-fatwa Imam Mahdî itu dalam jumlah yang
sangat banyak.
Suatu realita yang pasti adalah, bahwa ketika Imam
Mahdî as. telah muncul kembali, seluruh ilmuwan dunia, baik dalam bidang
Medis, Fisika, dan bidang-bidang ilmu pengetahuan yang lain akan
berjumpa dengannya untuk menguji tingkat keilmuannya, dan ia pasti akan
menjawab mereka dengan jawaban yang paling jitu. Dengan demikian, mereka
akan memeluk agama Islam dan tak seorang pun tersisa kecuali meyakini
kepemimpinannya.
b. Kezuhudan
Seluruh
sejarah kehidupan para imam pembawa petunjuk as. ini memiliki keserupaan
dalam segala bidang pemikiran dan ilmiah. Di antara titik-titik
kesamaan itu juga adalah kezuhudan terhadap dunia dan kepenolakan
terhadap seluruh kelezatan dan kegemerlapannya. Anda tidak membaca
sejarah hidup seorang imam dari mereka kecuali Anda pasti menemukan
bahwa karakternya yang paling menonjol adalah kezuhudan terhadap harta
dunia. Mereka semua mengikuti jejak junjungan mereka, junjungan 'Itrah
yang suci, yaitu Imam Amirul Mukminin as. yang telah menceraikan dunia
sebanyak tiga kali sehingga tidak ada istilah rujuk setelah itu. Di atas
jalan benderang inilah, keturunannya menjalani kehidupan ini.
Telah
banyak hadis yang diriwayatkan dari para imam maksum as. yang
menegaskan kezuhudan Imam Al-Muntazhar as. sebelumnya sendiri
dilahirkan. Di antara hadis-hadis itu adalah sebagai barikut ini:
a.
Mu'ammar bin Khallad meriwayatkan dari Imam Abul Hasan Ar-Ridha as.
bahwa ia berkata: "Al-Qâ'im tidak memiliki pakaian kecuali pakaian yang
kasar dan tidak memiliki makanan kecuali makanan yang kasar pula."( )
b. Ali bin Hamzah dan Wuhaib, masing-masing meriwayatkan dari Imam
Ash-Shadiq as. bahwa ia berkata: "Alangkah tergesa-gesanya kamu sekalian
menunggu kemunculan Al-Qâ'im. Demi Allah, ia tidak memiliki pakaian
kecuali pakaian yang kasar dan tidak memiliki makanan kecuali gandum
yang kasar pula."( )
c. Abu Bashir meriwayatkan dari Imam Ash-Shadiq
as. bahwa ia berkata: "Ia tidak memiliki pakaian kecuali pakaian yang
kasar dan tidak memiliki makanan kecuali (gandum) yang kasar pula."( )
Seandainya sirah kehidupannya tidak sejalan dengan kezuhudan semacam
ini, niscaya Allah swt. tidak akan memilihnya untuk melaksanakan tugas
reformasi (atas kondisi umat manusia) dari sejak Dia menciptakan bumi
ini. Beliaulah figur yang akan memenuhi bumi ini dengan keadilan setelah
dienuhi oleh kezaliman dan kelaliman, menyelamatkan umat manusia yang
terlalimi dari kezaliman orang-orang zalim dan kesombongan para
penguasa, dan menebarkan karunia dan rahmat Allah di kalangan
orang-orang tertindas. Dengan itu semua, tidak akan tersisa bayangan
kefakiran dan kemiskinan.
c. Kesabaran
Salah satu karakteristik jiwa Imam Al-Muntazhar as. yang lain adalah
kesabaran atas segala ujian dan malapetaka. Ia adalah salah sorang imam
yang akan menghadapi ujian dan malapetaka yang paling berat. Selama
periode yang panjang ini, ia telah menyaksikan peristiwa-peristiwa
mengerikan yang telah menyerang dan menghujam dunia Islam. Salah satu
peristiwa yang sangat menyakitkan hati itu adalah seluruh lapisan umat
Islam menjadi buruan kaum Imperialis kafir. Kaum ini telah menebarkan
kemungkaran di dalam kehidupan mereka, menghentikan hukum-hukum Allah,
merampas seluruh kekayaan mereka, dan ikut campur tangan dalam seluruh
urusan dalam negeri yang sangat menentukan masa depan mereka. Sebagai
seorang pemimpin spiritual pada masa kini dan ayah penyayang bagi
seluruh muslimin, ia melihat semua malapetaka itu dan ia tetap bersabar
seraya menyerahkan seluruh urusan kepada Allah swt. hingga Dia
mengizinkan dan memerintahkannya untuk keluar mengomandokan jihad.
d. Keberanian
Imam Mahdî as. adalah figur yang memiliki hati paling pemberani dan
tekad yang paling kokoh. Ia tidak berbeda dengan kakeknya, Rasulullah
saw. dalam sisi kekokohan jiwa dan kekuatan kehendak. Rasulullah saw.
telah menghadapi para srigala kemusyrikan dan singa kekufuran yang
senantiasa ingin melipat bendera Islam dan memadamkan cahaya Allah swt.
Tapi, dengan kekuatan kehendaknya, beliau berhasil memanen kepala-kepala
mereka dan memporak-porandakan barisan bala tentara mereka, serta
mengibarkan bendera Allah di muka bumi ini. Dengan mengemban peran yang
sama, cucunya, Imam Al-Muntazhar as. akan bangkit dan menenggakkan
minuman pahit ke mulut orang-orang zalim dan sombong dan mengembalikan
kemuliaan dan kejayaan Islam yang tidak akan pernah mengenal kehinaan
lagi. Tak ada satu kekuatan pun di dunia ini yang akan mampu melawannya
dan seluruh masyarakat dunia akan tunduk patuh terhadap segala titahnya.
Dengan itu, bendera Tauhid akan berkibar di seluruh penjuru dunia.
e. Kedermawanan
Imam Al-Muntazhar as. adalah sosok manusia yang paling dermawan dan
murah tangan. Di bawah kekuasannya, tidak akan tersisa satu pun bayangan
kefakiran dan kemiskinan. Marilah kita simak hadis-hadis yang telah
diriwayatkan dari nenek moyangnya tentang kedermawannya berikut ini:
a. Abu Sa'îd meriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau pernah
menceritakan tentang kedermawanan Imam Mahdî as. Beliau bersabda:
"Seorang rakyat akan datang menjumpainya seraya berkata kepadanya,
'Wahai Mahdî, tolonglah aku, tolonglah aku!' Ia akan memenuhi pakaian
orang itu dengan uang sehingga ia tidak dapat membawanya."
b. Jâbir
bercerita: "Seseorang pernah datang menjumpai Imam Abu Ja'far as.
sedangkan aku hadir di situ. Orang itu berkata kepadanya, 'Semoga Allah
merahmati Anda! Terimalah khumus yang berjumlah seratus dirham ini dan
gunakanlah pada tempat-tempat pemakaiannya. Harta ini adalah zakat
harta-hartaku.'
Abu Ja'far berkata kepadanya, 'Kamu ambil sendiri
dan berikanlah kepada tetangga-tetanggamu, anak-anak yatim, dan
orang-orang miskin, serta saudara-saudaramu dari kalangan muslimin. Cara
pembagian semacam ini akan terjadi pada saat Al-Qâ'im kami muncul. Ia
akan melakukan pembagian (harta) secara sama rata dan menyamaratakan
keadilan terhadap seluruh makhluk Dzat Yang Maha Pengasih, baik makhluk
yang baik maupun yang jahat. Barang siapa menaatinya, ia telah menaati
Allah dan barang siapa menentangnya, ia telah menentang Allah. Ia
dinamai Al-Mahdî karena ia akan memberikan petunjuk kepada sebuah
perkara yang samar. Ia akan mengeluarkan Turat dan seluruh kitab
(samawi) yang lain dari sebuah goa yang berada di Anthaqiyah dan ia akan
menjalankan hukum atas pengikut Taurat dengan bersandarkan kepada kitab
Taurat, atas pengikut Injil dengan bersandarkan kepada kitab Injil,
atas pengikut Zabur dengan menggunakan kitab Zabur, dan atas pengikut
Furqân dengan bersandarkan kepada Al-Furqân. Seluruh harta dunia, baik
yang berada di dalam perut bumi maupun yang nampak di atasnya akan
terkumpul di tangannya, dan lalu ia berkata kepada seluruh manusia,
'Kemari dan ambillah apa yang telah menyebabkan kamu sekalian memutus
tali silaturahmi-ia mengisyaratkan kepada harta-harta itu-dan
menumpahkan darah, serta melanggar larangan-larangan Allah.' Setelah
berkata demikian, ia akan memberikan harta kepada mereka dalam jumlah
yang belum pernah diberikan oleh siapapun sebelum dia."
Dan masih
banyak hadis-hadis lain yang menegaskan bahwa ia adalah lautan
kedermawan dan kemurahan tangan, serta bahwa ia akan berbuat derma
kepada seluruh makhluk Allah swt. demi menyelamatkan mereka dari
ketelanjangan dan kelaparan, serta meratakan kekayaan di tengah-tengah
mereka.
f. Kokoh dalam Memegang Kebenaran
Imam Al-Muntazhar as. adalah salah seorang figur yang paling kokoh dalam
membela kebenaran dan tidak peduli dengan celaan para pencela.
Karakternya ini persis seperti karakter nenek moyang sucinya yang telah
tegar membela kebenaran dan menghaturkan jiwa-jiwa mereka sebagai korban
demi menebarkan keadilan sosial di tengah-tengah masyarakat.
Jika
dunia ini menjadi terang benderang dengan kemunculan Al-Qâ'im keluarga
Muhammad saw, ia akan menegakkan kebenaran dengan seluruh arti dan
maknanya, sertanya tidak akan meninggalkan bayangan kezaliman dan
kelaliman sedikit pun kecualinya akan membasmikan dan memusnahkannya.
Ibadah
Suatu hal yang pasti adalah, bahwa ibadah Imam Al-Muntazhar as. adalah
persis seperti ibadah nenek moyang sucinya yang telah menghibahkan
seluruh hidup mereka untuk Allah swt. Mereka telah menginfakkan mayortas
hidup mereka dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah dan khusyuk di
haribaan-Nya dengan berpuasa di siang hari dan beribadah di malam hari.
Mereka tekun melakukan salat, membaca doa, dan melantunkan Al-Qur'an. Di
atas jalan yang cemerlang ini jualah, Imam Al-Muntazhar as. berjalan.
Para perawi hadis telah meriwayatkan banyak doa mulia yang selalu ia
baca ketika mengerjakan salat dan membaca qunut. Semua doa itu
menegaskan kedalaman hubungannya dengan Allah swt. dan kepasrahannya
terhadap segala ketentuan-Nya. Kami telah memaparkan sebagian doa
tersebut di dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Muhammad
Al-Muntazhar as.
Periode Ghaibah Shughra
Termasuk salah satu karunia Allah swt. yang agung kepada Imam
Al-Muntazhar as. adalah Dia telah menutupinya dari padangan mata para
penguasa dinasti Bani Abbâsiyah zalim yang selalu berusaha untuk
memusnahkan beliau. Ia keluar dari kepungan mereka, sedangkan mereka
tidak mengetahui hal itu. Hal itu sebagaimana Dia pernah menutupi
kakeknya, Rasulullah saw. dari pandangan mata orang-orang Quraisy yang
telah berkumpul untuk membunuh beliau.
Pada kesempatan ini, kami
akan memaparkan sejarah kehidupan Imam Al-Muntazhar as. pada periode
Ghaibah Shughra ini secara ringkas.
a. Masa Periode Ghaibah Shughra
Periode Ghaibah Shughra dimulai dari sejak Imam Hasan Al-'Askarî as.
wafat pada tahun 260 Hijriah. Dari sejak saat itu, Imam Al-Muntazhar as.
tersembunyi dari pandangan mata umat manusia. Hanya saja, ia masih
melakukan hubungan dengan orang-orang mukmin yang saleh.
b. Tempat Imam Mahdî as. Gaib
Imam Al-Muntazhar as. gaib dari padangan umat manusia di rumahnya yang
terletak di kota Samirra'. Di rumah ini juga terdapat makam suci
ayahanda dan kakeknya.
Ada sebuah keyakinan sangat aneh yang
diyakini oleh sebagian orang yang menaruh rasa dengki terhadap mazhab
Syi'ah. Mereka meyakini bahwa Imam Al-Muntazhar as. gaib di sebuah
sirdab (ruang bawah tanah) yang terdapat di Samirra' atau di kota
lainnya. Setelah mengerjakan salat Maghrib, mereka berdiri di depan
pintu sirdab yang terdapat di Samirra' tersebut setiap malam dengan
menyebut-nyebut namanya dan memanggilnya supaya cepat keluar. Mereka
melakukan demikian hingga bintang-gumintang tampak. Setelah itu, mereka
bubar dan menunggu keputusan hingga malam berikutnya tiba, sedangkan
mereka memiliki penantian yang sama.
Ini adalah sebuah keyakinan
aneh yang tidak ber-sanad. Keyakinan ini mengindikasikan rasa dengki
kepada Ahlul Bait as. Adapun sirdab yang terdapat di kota Samirra'
tersebut adalah sebuah mushalla bagi tiga imam Ahlul Bait as. dan hujah
Allah atas hamba-Nya. Tak seorang pun dari ulama dan ahli sejarah Syi'ah
yang berpendapat bahwa ia gaib di sirdab tersebut atau sirdab-sirdab
lain yang telah dipaparkan oleh orang-orang yang tidak memiliki rasa
tanggung jawab terhadap agama. Kami telah memaparkan kebohongan mereka
ini dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as.
c. Para Duta Khusus
Pada periode ini, Imam Al-Muntazhar as. menentukan beberapa orang ulama
yang saleh sebagai dutanya yang berperan sebagai mediator antara
dirinya dan para pengikut Syi'ah. Tugas mereka yang terpenting adalah
mengantarkan pertanyaan dan problematika syariat kepadanya dan menerima
jawabannya atas seluruh pertanyaan tersebut.
Para duta tersebut adalah sebagai berikut:
1. 'Utsmân bin Sa'îd
'Utsmân adalah duta Imam Al-Muntazhar as. yang pertama. Ia adalah
seorang yang tsiqah dan terpercaya. Ia telah melakukan perannya yang
positif dan istimewa dalam berkhidmat kepada para imam Ahlul Bait as.
pada masa Mutawakkil berkuasa dan pda saat ia memberlakukan embargo
ekonomi atas Imam Ali Al-Hâdî as. dan melarang penyampaian harta zakat
dan khumus kepadanya. Seluruh harta tersebut sampai ke tangan 'Utsmân
bin Sa'îd dan ia meletakkannya di bagian bawah kaleng minyak goreng,
lalu mengirimkannya kepada Imam Al-Hâdî as. dan setelah Imam Al-Hâdî
wafat, kepada Imam Hasan Al-'Askarî as. Dengan cara demikian, ia telah
berhasil mengatasi krisis ekonomi yang membelenggu para imam Ahlul Bait
as.
'Utsmân adalah titik penghubung antara Imam dan para pengikut
Syi'ah. Ia memiliki kedudukan sebagai wakil mutlak Imam Mahdî as. Dengan
demikian, ia berhak menghaturkan seluruh harta zakat dan khumus, serta
surat-surat mereka kepadanya.
Wafat
Tidak lama setelah itu, 'Utsmân meninggal dunia dan dimakamkan di
Baghdad di dekat daerah Ar-Rashâfah. Ia memiliki makam ramai yang selalu
diziarahi oleh mukminin.
Belasungkawa Imam Al-Muntazhar
Imam Al-Muntazhar as. mengucapkan belasungkawa yang sedalam-dalamnya
atas kepergian 'Utsmân bin Sa'îd yang agung itu dengan mengirim surat
kepada putranya yang 'alim dan suci, Muhammad bin 'Utsmân. Surat itu
berisi: "Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji'ûn. Kita terima segala
titah-Nya dan kita rida atas segala ketentuan-Nya. Ayahmu telah hidup
dengan bahagia dan meninggal dunia dengan terpuji. Semoga Allah
merahmatinya dan menggabungkannya dengan para wali dan kekasih-Nya.
(Selama hidup), ia senantiasa berusaha untuk menyelesaikan masalah
mereka (baca: masyarakat) dan berusaha untuk menggapai apa yang Allah
'Azza Wajalla dapat mendekatkannya kepada mereka. Semoga Allah
membahagiakannya dan mengampuni ketergelincirannya. Semoga Allah
memperagung pahalamu dan turut berduka cita denganmu. Kamu mendapatkan
petaka dan kami juga mendapatkan petaka. Kamu telah menderita lantaran
berpisah darinya dan kami juga demikian. Semoga Allah menganugerahkan
kebahagiaan kepadanya di tempat ia kembali. Salah satu kebahagiaan yang
ia miliki sekarang ini adalah Allah telah menganugerahkan kepadanya
seorang putra sepertimu yang menggantikannya setelah ia meninggal dunia,
menduduki kedudukannya, dan berbelas kasih kepadanya. Kutegaskan bahwa
segala puji bagi Allah, karena seluruh jiwa percaya terhadap kedudukanmu
dan terhadap segala karunia yang telah dianugerahkan oleh Allah 'Azza
Wajalla kepadamu. Begitu pula, Dia menguatkanmu, mendukungmu, dan
membarikan taufik kepadamu dengan itu semua. Sedangkan Dia senantiasa
menjadi wali dan penjagamu ...."
Surat itu menunjukkan betapa Imam
Al-Muntazhar as. sedih atas kepergian dutanya itu di mana ia adalah
salah seorang figur dan unsur keimanan. Begitu juga, ia menegaskan
kepercayaannya yang dalam kepada putranya, Muhammad yang telah memiliki
seluruh unsur karakter kesempurnaan.
2. Muhammad bin 'Utsmân
Muhammad bin 'Utsmân menjadi duta Imam Al-Muntazhar as. (sepeninggal
ayahnya). Ia adalah salah seorang figur tsiqah dalam mazhab Syi'ah dan
ulamanya yang handal. Sebagaimana sang ayah, ia mendapat kepercayaan di
hati seluruh masyarakat Syi'ah. Seluruh surat masyarakat Syi'ah dan
harta khumus dan zakat mereka diberikan kepadanya dan selanjutnya, ia
menyampaikan seluruh amanat itu kepada Imam Al-Muntazhar as. Setelah
itu, ia memberikan jawabannya kepada mereka.
Imam Al-Muntazhar as.
pernah menulis sepucuk surat kepada Muhammad bin Ibrahim Al-Ahwâzî
tentang kepribadian Muhammad bin 'Utsmân yang isinya: "Ia-yaitu Muhammad
bin 'Utsmân-adalah orang kepercayaan kami pada saat ayahnya masih
hidup-semoga Allah meridai dan membahagiakannya. Ia menduduki
kedudukannya dan menempati posisinya. Sang putra hanya mengeluarkan
perintah atas perintah kami dan juga mengamalkannya. Semoga Allah
memberikan anugerah kepadanya. Oleh karena itu, ambillah ucapannya."
Muhammad bin 'Utsmân meninggal dunia pada bulan Jumadil Ula 305 Hijriah.
3. Husain bin Ruh
Ia adalah duta ketiga Imam Al-Muntazhar as. Ia memiliki karakter
ketakwaan, kesalehan, keluasan ilmu pengetahuan, dan akal yang sangat
besar. Ia mendapatkan kemuliaan untuk menjadi duta dan wakilnya setelah
Muhammad bin 'Utsmân meninggal dunia. Dan Muhammad bin 'Utsmânlah yang
menegaskan hal itu. Ketika para tokoh kenamaan Syi'ah bertanya kepadanya
tentang orang yang akan menggantikan posisinya, ia menjawab: "Abul
Qasim Husain bin Ruh bin Abi Bahr An-Nawbakhtî ini adalah penggantiku,
duta (kepercayaan) antara kamu sekalian dan Shâhidul Amr-semoga Allah
mempercepat farajnya, wakil, dan orang kepercayaannya. Oleh karena itu,
rujuklah kepadanya berkenaan dengan seluruh urusanmu dan percayakanlah
kepadanya setiap problematika yang menimpamu. Aku telah diperintah untuk
menyampaikan hal ini dan kini aku telah sampaikan ...."
Husain bin
Ruh pernah mengadakan dialog yang sangat menarik dengan seorang
penentang kebenaran, dan ia unggul atasnya. Muhammad bin Ibrahim bin
Ishâq merasa heran dengan kemenangannya itu seraya bertanya kepadanya:
"Apakah semua jawaban itu berasal dari dirimu sendiri atau kamu
menerimanya dari para imam pembawa petunjuk itu?"
Husain bin Ruh
menjawab: "Hai Muhammad bin Ibrahim, aku terjatuh dari langit menuju ke
bumi, lalu aku disantap oleh burung atau aku dihempaskan oleh angin di
tempat yang sangat jauh adalah lebih kusukai daripada aku mengatakan
sesuatu berkenaan dengan agamaku yang berasal dari pendapatku sendiri.
Semua jawaban itu berasal dari sumbernya dan aku telah mendengarnya dari
Hujah (baca: Imam Mahdi) as. ...."
Husain bin Ruh menjadi duta
Imam Mahdî as. selama dua puluh satu atau dua puluh dua tahun. Selama
itu, ia menjadi tempat rujukan para pengikut Syi'ah dan mediator yang
terpercaya antara mereka dan Imam. Pada suatu hari, ia tertimpa penyakit
hingga meninggal dunia pada tahun 326 Hiriah. Acara ritual pemakaman
jenazahnya dilakukan dengan sangat meriah. Ia dimakamkan di Baghdad,
tepatnya di pasar Syurjah yang sekarang merupakan sebuah pusat
perdagangan ramai di Baghdad.
4. Ali bin Muhammad As-Samurî
Ia menerima kemuliaan sebagai duta dan wakil Imam Mahdî as. dengan
penentuannya sendiri secara langsung. Ia adalah dutanya yang terakhir
dan telah melaksanakan tugasnya sebagai duta dengan penuh kejujuran dan
ketulusan. Para perawi hadis mengatakan bahwa sebelum meninggal dunia,
ia pernah menunjukkan sebuah surat yang telah ditandatangani oleh Imam
Al-Muntazhar as. kepada para pengikut Syi'ah. Di antara isi surat
itu-setelah basmalah-adalah berikut ini:
Hai Ali bin Muhammad
As-Samurî, semoga Allah mengagungkan pahala saudara-saudaramu dengan
kepergianmu. Kamu akan meninggal dunia dan sisa hari-harimu hanyalah
enam hari. Oleh karena itu, bereskanlah seluruh urusanmu dan janganlah
berwasiat kepada siapa pun untuk menggantikan posisimu setelah kamu
meninggal dunia. Masa kegaiban yang total telah tiba dan tiada
kemunculan (bagiku) kecuali dengan perintah dari Allah swt. Dan
kemunculan itu akan terjadi setelah masa yang panjang berlalu, setelah
hati-hati mengeras, dan setelah bumi dipenuhi oleh kelaliman. Akan
datang kepada Syi'ahku orang yang mengaku berjumpa denganku. Ia adalah
pembohong dan pembual. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan
pertolongan Allah Yang Maha Tinggi nan Maha Agung ....
Di dalam
surat itu kita dapatkan bahwa ia menolak setiap orang yang mengaku
pernah berjumpa dengan Imam Al-Muntazhar as. pada masa priode Ghaibah
Kubra dan menegaskan bahwa ia adalah seorang pembohong dan pembual.
Padahal, suatu hal yang pasti adalah beberapa orang mukmin yang saleh
pernah berjumpa dengannya dan mendengarkan ucapannya.
Oleh karena
itu, surat tersebut ditakwilkan dengan berbagai macam takwil, dan
mungkin takwil yang paling jitu adalah, bahwa orang yang mengaku pernah
berjumpa dengan Imam Al-Muntazhar as. sebagai duta dan wakilnya, seperti
empat orang dutanya tersebut, adalah pembohong dan pembual. Mungkin
takwil ini lebih mendekati kebenaran.
As-Samurî tertimpa penyakit
dan menderita penyakit itu selama beberapa hari. Sebagian pengikut
Syi'ah pernah menjenguknya seraya bertanya: "Siapakah washî-mu setelah
kamu meninggal dunia?"
Ia menjawab: "Urusan itu hanya milik Allah dan Dia yang akan mengurusnya."
Ia meninggal dunia pada tanggal 15 Sya'ban 329 Hijriah.
d. Wilayah Para Fuqaha
Imam Al-Muntazhar as. telah menetapkan para fuqaha Syi'ah yang agung
sebagai wali dan wakilnya seraya memerintahkan para pengikut Syi'ah
untuk merujuk kepada mereka dan menyelesaikan seluruh problematika
sosial politik sesuai dengan pandangan mereka. Di dalam surat yang telah
ia kirim kepada Syaikh Mufid ra, ia menegaskan: "Berkenaan dengan
peristiwa-peristiwa yang terjadi, rujuklah kaian kepada para perawi
hadis kami, karena mereka adalah hujahku atas kamu dan aku sendiri
adalah hujah Allah atas kalian."
Kami telah memaparkan pembahasan tentang hal ini di dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as.
Periode Ghaibah Kubra
Para fuqaha yang agung mendapatkan kemuliaan sebagai wakil Imam
Al-Muntazhar as. (pada periode ini). Kepada merekalah para pengikut
Syi'ah merujuk untuk menanyakan hukum-hukum syariat.
Layak
disebutkan di sini bahwa Imam Al-Munatazhar as. pernah berjumpa dengan
tokoh ulama dan orang-orang yang bertakwa. Di antara mereka adalah
seorang 'alim agung dan tsiqah yang terpercaya, Syaikh Mufid ra. Imam
Al-Mahdî as. pernah mengirimkan beberapa surat kepadanya, dan Syaikh
Mufid pernah menerima tiga pucuk surat darinya. Kami telah menyebutkan
sebagian surat itu dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Muhammad
Al-Mahdî as.
Pertanyaan dan Kritikan
Sejarah hidup Imam Al-Muntazhar as. menghadapi berbagai ragam pertanyaan dan kritikan. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Usia yang Panjang
Banyak sekali pertanyaan yang dilontarkan berkenaan dengan usia Imam
Al-Muntazhar as. yang sangat panjang. Bagaimana mungkin ia hidup selama
seribu seratus lima puluh tahun lebih, sedangkan ia tidak mengalami masa
lansia yang merupakan sebuah realita natural kehidupan seorang manusia?
Sel-sel tubuh manusia mengalami perkembangan dan penguatan secara
bertahap, dan makin panjang usia yang dimilikinya, seluruh sel tubuhnya
pasti akan mengalami dis-fungsional. Hal itu lantaran mikroba-mikroba
yang selalu menyerangnya atau akibat racun yang merasuk ke dalam
tubuhnya melalui makanan yang kotor atau faktor-faktor yang lain, suatu
hal yang dapat menyebabkan ia harus meninggalkan dunia ini.
Jawaban atas pertanyaan ini adalah:
Pertama, manusia berusia panjang-secara logis-adalah suatu hal yang
mungkin, dan tidak mustahil, seperti sekutu Tuhan atau premis "sesuatu
adalah ganjil dan genap dalam waktu yang sama". Masalah ini adalah
persis seperti masalah naik ke bulan atau ke planet yang lain. Hal ini
adalah suatu yang mungkin secara logis dan sudah terealisasi setelah
faktor-faktor alaminya tersedia bagi umat manusia. Dengan demikian, usia
panjang bagi Imam Al-Muntazhar as. adalah sesuatu yang mungkin, baik
secara praktik maupun teorik. Dan hal itu dengan kehendak Sang Pencipta
Yang Maha Agung. Dengan kehendak-Nya, Allah dapat menjaga seluruh sel
pembentuk tubuh seorang manusia dari pengaruh segala faktor eksternal
yang dapat menyebabkan ketuaan dan kefanaannya. Lebih dari itu, Nabi Nuh
as. hidup di tengah-tengah kaumnya mengajak kepada kalimat Tauhid
selama sembilan ratus lima puluh tahun-sebagaimana ditegaskan oleh
Al-Qur'an yang mulia. Dengan semua bukti ini, mengapa kita meyakini usia
panjang yang dimiliki oleh Nabi Nuh as., sementara kita mengingkari
usia panjang yang dimiliki oleh Imam Al-Muntazhar as., padahal keduanya
sama-sama mendapatkan perintah untuk melakukan perombakan dan reformasi
sosial?
Kedua, jika kita terima bahwa usia panjang bagi
seseorang selama ratusan atau ribuan tahun-secara logis-tidak mungkin;
lantaran hal ini bertentangan dengan undang-undang alamiah yang
mengharuskan masa tua dan kefanaannya, hal itu tidak mungkin hanya untuk
kita. Adapun berkenaan dengan Allah swt., hal itu adalah suatu hal yang
sangat sederhana sekali. Dia telah menjadikan api-yang merupakan faktor
pembakar-dingin dan membawa keselamatan bagi Syaikhul Anbiyâ' Ibrahim
as. Begitu juga ia telah membelah lautan untuk Nabi Mûsâ dan kaumnya,
lalu menyelamatkan mereka dari tenggelam, dan Dia menenggelamkan Fir'aun
dan bala tentaranya.
Sesungguhnya jika kehendak Allah swt. telah
tertuju kepada sesuatu, kehendak itu dapat merubahnya dari ketiadaan
menjadi keberadaan.
2. Rahasia Usia Panjang
Terdapat satu pertanyaan lain yang biasa dilontarkan berkenaan dengan
tema ini. Yaitu, apa rahasia di balik usia panjang yang telah
dianugerahkan oleh Allah swt. kepada Imam Al-Muntazhar as.? Mengapa
usianya tidak dibatasi seperti usia nenek moyang sucinya yang suci itu?
Jawab: Allah swt. memberikan tugas khusus kepada Imam Al-Muntazhar as.
untuk memperbaiki dunia ini secara total dan menyerahkan kepadanya
urusan penyelamatan masyarakat manusia dari seluruh jenis kesesatan
kelam yang dapat memporak-porandakan kehidupan mereka dan
menjerumuskannya ke dalam jurang kebodohan hidup yang sangat dalam.
Dengan demikian, Imam Al-Muntazhar as. adalah seorang reformis tunggal
untuk seluruh umat manusia yang hidup di atas bumi ini. Oleh karena itu,
ia harus melihat periode-periode kelam (sejarah dunia) yang dialami dan
disaksikan oleh umat manusia selama rentang kehidupan mereka
sehingganya menjadi seorang penyelamat terakhir yang akan menebarkan
cahaya kesejahteraan dan memenuhi bumi ini dengan suara keadilan.
3. Mengapa Tidak Muncul?
Di antara pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan berkenaan dengan
masalah kegaiban Imam Al-Muntazhar as. adalah mengapa ia tidak kunjung
muncul dan menegakkan hukum Allah swt. di muka bumi ini?
Jawab:
kemunculan Imam Al-Mahdî as. tidak berhubungan dan tunduk terhadap
keinginan umat manusia. Semua itu berada di tangan Sang Pencipta Yang
Maha Agung. Allah swt. mengutus hamba dan rasul-Nya, Muhammad saw.
setelah berlalu lima abad dari periode jahiliah. Dan hal itu terjadi
setelah kondisi umum masyarakat mendukung demi perealisasian
risalah-Nya. Begitu juga berkenaan dengan kemunculan Imam Mahdî as. Ia
akan muncul kembali sesuai dengan ketentuan Allah swt., dan untuk itu
Dia "harus" mempersiapkan kondisi yang mendukung di seluruh penjuru
dunia sehingga Dia membangkitkannya kembali demi menegakkan keadilan
yang murni di tengah-tengah para hamba-Nya.
4. Bagaimana Mungkin Ia Melakukan Perbaikan untuk Seluruh Dunia ini?
Di antara kritikan yang selalu dilontarkan berkenaan dengan tema Imam
Al-Muntazhar as. adalah bagaimana mungkin ia melakukan perbaikan atas
seluruh dunia ini dan merombak metode kehidupan yang telah dipenuhi oleh
kezaliman menjadi sebuah kehidupan yang aman dan sejahtera tak satu pun
bayangan kezaliman dan pemerasan serta tidak juga bayang-bayang
kemiskinan menghantuinya?
Jawab: hal ini adalah suatu hal yang
mungkin sekali. Karena, corak kehidupan dunia dan peristiwa-peristiwa
besar yang dapat merubah metode kehidupan (umat manusia) hanya
tergantung kepada tokoh-tokoh umat manusia (yang memiliki perang
penting). Nabi mulia saw. adalah satu-satunya figur yang telah berhasil
mengibarkan bendera Allah tinggi-tinggi, bukan paman-paman beliau.
Kabilah-kabilah Quraisy, para singa Arab, dan pengikut ahlulkitab telah
menentang beliau. Akan tetapi, dengan kemauan dan tekadnya, beliau mampu
menundukkan mereka dan mengumandangkan suara Tauhid. Begitu juga Nabi
Mûsâ as. Ia telah berhasil memprak-porandakan Fir'aun dan mengangkat
kalimat Allah di muka bumi ini. Tidak berbeda juga dengan Nabi Isa as.
dan para nabi dan rasul yang lain. Mereka telah melaksanakan peran
mereka secara independen demi merealisasikan missi reformis mereka.
Dengan itu semua, peran setiap individu nampak unggul dalam rangka
melakukan sebuah reformasi sosial. Berbeda dengan pandangan Marxisme
yang menafikan nilai dan peran individu, dan bahwa ia tidak memiliki
pengaruh sama sekali dalam usaha merombak sebuah peristiwa (sejarah).
Seluruh pengaruh dan peran hanya dimiliki oleh kelompok dan sosial.
Ala kulli hal, Imam Al-Muntazhar as-seperti kakeknya, Rasulullah agung
saw.-akan melakukan perombakan atas metode kehidupan yang sudah tegak
berdiri di atas pondasi kezaliman dan permusuhan. Dengan itu, ia akan
menyelamatkan umat manusia dari seluruh malapetaka dan cobaan yang
melilit mereka dan menebarkan keamanan, kesejahteraan, kecintaan, dan
kebersamaan di tengah-tengah masyarakat manusia.
Dengan jawaban ini,
kita telah usai menjawab sebagian pertanyaan (seputar Imam Al-Muntazhar
as). Kami telah menyebutkan banyak pertanyaan beserta jawabannya dalam
buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as.
Tanda-tanda Kemunculan Imam Al-Muntazhar
1. Kezaliman Tersebar
Di antara tanda-tanda yang paling menonjol bagi kemunculan Imam
Al-Muntazhar as. adalah kezaliman tersebar, keamanan musnah, dan
kemiskinan merebak di mana kehidupan dipenuhi oleh segala macam
peristiwa dan malapetaka, dan umat manusia hidup dengan segala
kekhawatiran lantaran rasa takut dan ancaman yang selalu mereka hadapi.
Kehidupan jahiliah-dengan seluruh bentuk kejahatan dan tindak-tindak
kriminalnya-akan mendominasi kehidupan masyarakat, seluruh manusia
berlomba-lomba untuk berbuat kemungkaran, dan Islam kembali asing
seperti sedia kala; kekuatannya padam, seluruh kekuasaan dunia
meluluh-lantakkan prinsip-prinsipnya, merampas seluruh kekayaannya, dan
menjadikannya berada di bawah telapak kaki kekuasannya.
Marilah kita simak sebagian hadis berikut ini:
a. Abu Sa'îd Al-Khudrî meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"Akan menimpa umatku di akhir zaman petaka besar yang tiada petaka lebih
besar dari itu yang dilakukan oleh penguasa mereka sehingga bumi yang
terhampar luas ini menjadi sempit bagi mereka dan sehingga bumi ini
dipenuhi oleh kezaliman dan kelaliman. Seorang mukmin tidak akan
menemukan tempat perlindungan untuk berlindung dari kezaliman itu.
Setelah itu, Allah 'Azza Wajalla akan membangkitkan salah seorang dari
'Itrahku yang akan memenuhi bumi ini dengan keadilan sebagaimana telah
dipenuhi oleh kezaliman. Seluruh penghuni langit dan bumi merasa rida
terhadapnya. Bumi tidak menyimpan satu biji pun kecuali ia akan
mengeluarkannya dan langit tidak juga menahan satu tetes air pun kecuali
Allah akan mencurahkannya atas mereka dengan deras."
Hadis ini
mengutarakan malapetaka dan bencana yang akan dialami oleh muslimin dari
tangan para penguasa dan raja mereka yang selalu berbuat zalim terhadap
mereka. Setelah itu, Allah swt. akan menyelamatkan mereka dengan
perantara Imam Mahdî as. Dengan perantara imam ini, Allah memenuhi bumi
ini dengan rahmat dan segala jenis kebaikan dan menghabisi seluruh
dedengkot kelaliman itu.
b. 'Awf bin Mâlik meriwayatkan bahwa
Rasulullah saw. bersabda: "Hai 'Awf, apa yang akan kamu lakukan jika
umat ini berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan; satu golongan
berada di surga dan selebihnya berada di dalam api neraka?"
'Awf bertanya: "Bagaimana hal itu bisa terjadi?"
Beliau menjawab dengan menceritakan malapetaka besar yang akan dialami
oleh umat ini seraya bersabda: "(Hal itu terjadi) apabila bala tentara
(kezaliman) bertambah banyak, para budak menjadi penguasa, orang-orang
bodoh duduk di atas mimbar, harta Faiy' dijadikan sebagai harta warisan,
harta zakat dijadikan harta rampasan dan amanat dijadikan kesempatan
untuk mengeruk keuntungan, agama Allah dipelajari bukan karena Allah,
seorang laki-laki menaati istrinya, seseorang berbuat durhaka kepada
ibunya dan kurang ajar terhadap ayahnya, generasi terakhir umat ini
melaknat generasi pertama, orang fasik menjadi penguasa kabilah, orang
yang terhina menjadi pemimpin sebuah kaum, dan seseorang dihormati
karena takut terhadap kejahatannya."
Selanjutnya beliau menambahkan:
"Setelah itu, datanglah sebuah fitnah dahsyat yang kelam, kemudian
fitnah-fitnah (yang lain) berdatangan silih berganti sehingga salah
seorang dari Ahlul Baitku yang bernama Mahdî keluar."
Riwayat ini
menceritakan kebejatan, kerusakan, dan penyelewengan muslimin dari
prinsip-prinsip agung agama mereka yang akan menimpa dunia Islam. Dengan
itu, kezaliman akan tersebar luas dan malapetaka akan mendominasi
(kehidupan masyarakat). Setelah itu, Allah swt. akan menyelamatkan
mereka dengan perantara wali-Nya yang agung, Imam Mahdî as. yang akan
menghidupkan kembali agama ini dan menegakkan tonggak-tonggaknya.
c. Rasulullah saw. juga bersabda: "Mahdi umat ini berasal dari kami
apabila dunia telah menjadi berantakan, fitnah-fitnah bermunculan,
jalan-jalan (menuju kebenaran) terputus, dan sebagian manusia menyerang
sebagian yang lain. Tiada orang besar yang mengasihi anak yang kecil dan
tiada anak kecil yang menghormati orang yang besar. Kemudian, Allah
mengutus Mahdî kami. Ia adalah anak kesembilan dari keturunan Husain as.
Ia akan membebaskan benteng-benteng kesesatan dan membuka hati-hati
yang terkunci. Ia akan menegakkan agama di akhir zaman sebagaimana aku
telah menegakkannya di awal zaman. Ia akan memenuhi bumi ini dengan
keadilan sebagaimana telah dipenuhi oleh kezaliman."
Hadis ini
menegaskan fitnah, kegoncangan, dan tiadanya tolok ukur-tolok ukur yang
benar yang akan mendominasi seluruh kehidupan umat manusia. Setelah itu,
Allah swt. akan menyelamatkan umat manusia dengan perantara wali-Nya
yang agung yang akan membangun sebuah kehidupan sejahtera yang
didominasi oleh seluruh jenis kebaikan.
2. Kemunculan Dajjâl
Termasuk salah satu tanda kemunculan Imam Al-Muntazhar as. yang pasti
adalah kemunculan Dajjâl di arena kehidupan ini dan usahanya untuk
menyesatkan opini masyarakat umum. Di samping itu, orang-orang Yahudi
juga akan bergabung dengannya.
Marilah kita simak hadis-hadis berikut ini:
a. Hisyâm bin '?mir berkata: "Aku pernah mendengar Rasulullah saw.
bersabda, 'Tiada suatu hal yang lebih dahsyat dari sejak penciptaan Adam
hingga hari kiamat terjadi daripada Dajjâl.'"
Arti hadis ini
adalah, bahwa (kemunculan) Dajjâl termasuk salah satu peristiwa dunia
yang sangat penting. Hal itu lantaran fitnah dan penumpahan darah yang
akan terjadi setelah kemunculannya.
b. Anas bin Mâlik
meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Tidak ada seorang nabi pun
kecuali ia telah memberikan peringatan tentang masalah Dajjâl yang satu
matanya buta dan pembohong. Ingatlah bahwa ia buta satu matanya, dan
sesungguhnya Tuhan kamu sekalian tidak buta satu mata-Nya."
Para
nabi as. telah mengingatkan kita akan fitnah Dajjâl yang selalu menipu
umat manusia dan mencegah mereka dari kebenaran, serta menjerumuskan
mereka ke dalam jurang kejahatan yang maha besar.
Ini adalah
sebagian hadis berkenaan dengan Dajjâl yang buta satu matanya di mana ia
adalah perusak sejarah umat manusia yang paling dahsyat. Kami telah
menyebutkan kondisi dan karakternya di dalam buku kami yang berjudul
Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as.
3. Kemunculan Sufyânî
Salah satu tanda kemunculan Imam Al-Muntazhar as. yang pasti adalah
kemunculan Sufyânî. Ia adalah salah satu tonggak kejahatan dan kerusakan
di atas bumi ini. Silsilah keturunannya berakhir kepada Abu Sufyân,
musuh besar Islam itu. Imam Amirul Mukminin as. telah menjelaskan
karakter, fitnah, dan petakanya dalam sebuah hadis panjang dan
terperinci yang telah kami sebutkan di dalam buku kami yang berjudul
Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as.
4. Bendera Berwarna Hitam Berkibar
Di antara tanda-tanda kemunculan Imam Al-Muntazhar as. yang pasti
adalah pembentukan sebuah laskar Islam yang mengibarkan bendera-bendera
berwarna hitam. Menurut perkiraan yang kuat, seluruh bendera itu dibuat
dari kain yang berwarna hitam untuk menghaturkan belasungkawa kepada
Sayidus Syuhada' as. Banyak sekali hadis yang menegaskan masalah ini. Di
antaranya adalah sebagai berikut:
a. Dengan sanad-nya, Hasan
meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. menyebutkan malapetaka dan fitnah
yang akan menimpa Ahlul Baitnya as. sehingga Allah mengangkat sebuah
bendera berwarna hitam dari arah timur. Beliau bersabda: "Barang siapa
menolongnya, niscaya Allah akan menolongnya dan barang siapa
menghinakannya, niscaya Allah akan menghinakannya. (Hal itu terus
berlanjut) sehingga mereka mendatangi salah seorang yang namanya adalah
seperti namaku. Lalu, mereka menyerahkan urusan mereka kepadanya,
kemudian Allah menguatkannya dan menolong mereka."
b. Tsawbân
meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Jika kamu melihat
bendera-bendera berwarna hitam berkibar dari arah Khurasan, maka
datangilah, karena di sana terdapat Khalifah Allah Al-Mahdî."
c. Jâbir meriwayatkan bahwa Imam Abu Ja'far as. berkata:
"Bendera-bendera yang keluar dari Khurasan akan sampai di Kufah. Jika
Mahdî as. muncul di Mekah, bendera-bendera itu akan menuju kepadanya
dengan membawa baiat."
Dan masih banyak lagi hadis-hadis yang
menegaskan kemunculan bendera-bendera berwarna hitam dari arah Khurasan
atau arah timur, dan hal ini adalah salah satu tanda kemunculan Imam
Mahdî as.
5. Seruan dari Langit
Di antara
tanda-tanda kemunculan Imam Mahdî as. yang pasti adalah seruan seorang
malaikat dari langit yang memberitahukan kemunculannya dan mengajak
seluruh umat manusia untuk membaiatnya, serta ia berbicara dengan setiap
umat dengan bahasa mereka masing-masing.
Banyak hadis yang menegaskan hal ini. Di antaranya adalah hadis-hadis berikut ini:
a. Abdullah bin 'Imrân meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"Mahdî akan muncul sedangkan ia memakai serban dan di atas kepalanya
terdapat seorang malaikat yang berseru, 'Ini adalah Khalifah Allah
Al-Mahdî. Maka, ikutilah dia.'"
b. Imam Ar-Ridhâ as. berkata:
"Jika ia-yaitu Imam Al-Muntazhar as-muncul, bumi akan terang benderang
dengan cahayanya dan timbangan keadilan akan dipampangkan di hadapan
umat menusia. Tak ada satu orang pun yang akan menzalimi yang lain. Ia
adalah orang yang bumi dihamparkan untuknya dan ia tidak memiliki
bayangan. Ia adalah orang yang seorang penyeru dari langit berseru
(untuknya) dan suaranya dapat didengar oleh seluruh penduduk seraya
berkata, 'Ingatlah! Sesungguhnya hujah Allah telah muncul di samping
Baitullah swt. Maka, ikutilah dia, karena kebenaran selalu bersamanya
dan ada dalam dirinya. Ini adalah firman Allah yang berbunyi, 'Jika Kami
kehendaki, niscaya Kami menurunkan kepada mereka sebuah tanda dari
langit, maka senantias kuduk-kuduk mereka tunduk kepadanya.'" (QS.
Asy-Syu'arâ' [26]:4)( )
c. Imam Amirul Mukminin Ali as.
berkata: "Jika malaikat penyeru berseru dari langit bahwa kebenaran
berada dalam keluarga Muhammad saw., maka pada saat itu Mahdî akan
muncul kepada umat manusia. Mereka merasa sangat bahagia dengan itu, dan
mereka tidak mengingat apapun selain dia."
Masih banyak lagi
riwayat dan hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. dan para imam
maksum as. yang memiliki kandungan yang sama. Seluruh hadis itu
menegaskan bahwa salah satu tanda kemunculan Imam Al-Muntazhar as.
adalah seruan malaikat dari langit. Dan sangat bisa dipastikan bahwa
seruan itu ditujukan kepada seluruh umat manusia dengan menggunakan
bahasa mereka masing-masing.
6. Al-Masih Turun dari Langit
Termasuk salah satu tanda kemunculan Imam Al-Muntazhar as. yang pasti
adalah Nabi Isa as. turun dari langit ke bumi dan membaiatnya, serta
mengerjakan salat di belakangnya. Jika umat Kristen melihat ini, mereka
akan memeluk Islam.
Marilah kita simak hadis-hadis berikut ini:
a. Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya para khalifah dan washî-ku
berjumlah dua belas orang. Yang pertama adalah saudaraku dan yang
terakhir adalah anakku."
Salah seorang sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, siapakah saudara Anda itu?"
Beliau menjawab: "Ali bin Abi Thalib."
Salah seorang sahabat bertanya lagi: "Siapakah anak Anda itu?"
Beliau menjawab: "Mahdi yang akan memenuhi bumi dengan keadilan seperti
telah dipenuhi oleh kezaliman. Demi Dzat yang telah mengutusku dengan
membawa berita gembira kebenaran, seandainya tidak tersisa dari usia
dunia ini kecuali satu hari, niscaya Allah akan memanjangkan hari itu
sehingga anakku Mahdî muncul. Lalu, Isa bin Maryam turun (dari langit)
dan mengerjakan salat di belakangnya, bumi terang benderang dengan
cahaya Tuhannya, dan kerajaannya akan mencapai kawasan timur dan barat."
b. Rasulullah saw. bersabda: "Isa bin Maryam akan muncul
ketika waktu Shubuh tiba ... Ia berkulit putih, berambut pirang
kekuning-kuningan, dan rambutnya dibelah dua seakan-akan kepalanya
kerkucuran minyak wangi. Ia akan memecahkan segala jenis salib, membunuh
seluruh babi, membinasakah Dajjâl, membawa harta Imam as., dan seluruh
pengikut ahlulkitab berjalan di belakangnya. Ia adalah mentri Al-Qâ'im
yang terpercaya, penjaga, dan wakilnya. Ia akan membentangkan keamanan
di kawasan timur dan barat."
Sangat banyak sekali hadis yang
menegaskan bahwa Al-Masih as. akan turun dari langit, membaiat Imam
Al-Muntazhar as., mengerjakan salat di belakangnya, dan melaksanakan
peran yang sangat positif dalam rangka menolong dan mendukung beliau.
Kami telah menyebutkan banyak contoh hadis dalam hal ini di dalam buku
kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as.
Ini adalah
sebagian tanda-tanda pasti bagi kemunculan imam kebenaran dan suara
keadilan insani. Dalam buku-buku referensi hadis yang lain juga telah
disebutkan tanda-tanda kemunculan Imam Mahdî as. yang lain.
Masa Kemunculan
Kemunculan Imam Al-Muntazhar as. akan terjadi pada hari Sabtu, 10
Muharam. Hari ini adalah hari syahadah buah hati Rasulullah saw., Imam
Husain as. Hal itu sebagaimana ditegaskan oleh hadis-hadis berikut ini:
a. Abu Bashîr meriwayatkan bahwa Imam Ash-Shâdiq as. berkata: "Al-Qâ'im
akan muncul pada hari Sabtu di hari Asyura. Yaitu, hari Al-Husain
dibunuh."
b. Ali bin Mahziyâr meriwayatkan bahwa Imam Abu
Ja'far Muhammad Al-Bâqir as. berkata: "Seakan-akan aku melihat Al-Qâ'im
di hari Asyura pada hari Sabtu sedang berdiri di antara Rukun Ka'bah dan
Maqam (Ibrahim). Di hadapannya berdiri Malaikat Jibril yang menyeru,
'Baiat hanya untuk Allah.' Lalu, ia akan memenuhi bumi ini dengan
keadilan sebagaimana bumi itu telah dipenuhi oleh kezaliman."
Dan
masih banyak lagi hadis lain yang menentukan dengan pasti masa dan
tempat kemunculan Imam Mahdî as. Kami telah memaparkan banyak hal
tentang sejarah Imam Al-Muntazhar as. ketika ia muncul dalam buku kami
yang berjudul Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as.
Dengan pemaparan
singkat berkenaan dengan sejarah hidup para imam maksum pembawa petunjuk
as. ini, pembahasan kita pun tuntas. Dan kami telah memaparkan sejarah
kehidupan mereka-sebagai tongkat estafet kehidupan kakek mereka,
Rasulullah saw.-secara tematis dan menyeluruh dalam ensklopedia Ahlul
Bait as.
Catatan Kaki:
Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as., jilid 1, hal. 24.
Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as., hal. 24.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 13, hal. 3.
Ibid., hal. 10.
Al-Ghaibah, karya Syaikh Thusi, hal. 38.
Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as., hal. 26.
'Iqd Ad-Durar, hal. 53.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 13, hal. 10.
Yanâbî' Al-Mawaddah, hal. 460.
( ) Al-Ghaibah, karya An-Nu'mani, hal. 214.
( ) 'Iqd Ad-Durar, hal. 69.
( ) Ibid., hal. 109.
( ) Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as., hal. 39.
( ) Ibid.
( ) Bihâr Al-Anwâr, jilid 52, hal. 359.
( ) Al-Ghaibah, karya An-Nu'mani, hal. 234.
( ) Ibid., hal. 233.
Muntakhab Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 29; Yanâbî' Al-Mawaddah, hal. 431; Mashâbîh As-Sunah, jilid 3, hal. 493.
Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as., hal. 45.
Muqadimah Ibn Khaldûn, hal. 359.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 13, hal. 96.
Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as., hal. 124.
Ibid., hal. 126.
Muntakhab Al-Atsar, hal. 397.
Ibid.; Al-Ghaibah, karya Syaikh Thusi, hal. 386.
Muntakhab Al-Atsar, hal. 392.
Mu'jam Rijâl Al-Hadîts, ilid 13, hal. 186.
Al-Ghaibah, karya Syaikh Thusi, hal. 342.
Wasâ'il Asy-Syi'ah, kitab Al-Qadhâ', jilid 18, hal. 101.
'Iqd Ad-Durar, hal. 113.
Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 44. Hampir sama dengan hadis tersebut
hadis yang terdapat di dalam Al-'Urf Al-Wardî, jilid 2, hal. 67.
Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as., hal. 251.
'Iqd Ad-Durar, hal. 324.
Ibid., hal. 323; Shahîh Al-Bukhârî, jilid 3, hal. 1214.
Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as., hal. 276.
Kanz Al-'Ummâl, jilid 7, hal. 182.
Al-'Urf Al-Wardî, jilid 2, hal. 68.
Ibid., jilid 2, hal. 11; Nûr Al-Abshâr, hal. 155; Yanâbî' Al-Mawaddah, hal. 447.
Farâ'id As-Simthain, jilid 2, hal. 337.
Al-Malâhim wa Al-Fitan, hal. 36.
Gâyah Al-Marâm, hal. 43; Farâ'id As-Simthain, jilid 2, hal. 312.
Ibid., hal. 697, menukil dari tafsir Ats-Tsa'labî.
( ) Kamâl Ad-Dîn, jilid 2, hal. 254.
( ) Al-Ghaibah, karya Syaikh Thusi, hal. 453.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar