DAFTAR ISI
ISU-ISU TEOLOGI KONTEMPORER
DAFTAR ISI
1. Mukadimah Redaksi
2. Motivasi Mengenal Sang Pencipta
3. Beriman Kepada Tuhan Ghaib
4. Faktor-faktor Penyimpangan dan Cara Menanggulanginya
5. Kehudutsan Alam Materi
6. Pencipta Sang Pencipta?
7. Apakah Alam Semesta Muncul dari Ketiadaan?
8. Apakah Daur dan Tasalsul itu? Dan Mengapa Keduanya Batil?
9. Dengan ilmu yang terbatas ini, apakah kita bisa mengetahui bahwa alam yang tak berbatas ini ialah beraturan?
10. Keteraturan Alam Merupakan Argumen bahwa Alam adalah Makhluk?
11. Apakah Dzat Tuhan Pencipta Dapat Diserap?
12. Bagaimana Mungkin Fenomena yang Belum Terjadi dapat Diketahui oleh Tuhan?
13. Apakah Maksud dari Keindahan Tuhan?
14. Apakah Tuhan Mampu Menciptakan Sesuatu yang Serupa Dengan-Nya?
15. Apakah Tauhid Dzat, Tauhid Sifat, Tauhid Fi'il, dan Tauhid Ibadah itu?
16. Apakah Maksud dari Perjumpaan dengan Tuhan itu?
17. Apakah Maksud dari Wajah Tuhan itu?
18. Apakah Hakikat Kehendak Tuhan itu?
19. Kerusakan Apakah yang akan Terjadi Bilamana Tuhan yang berkuasa itu Banyak?
20. Apakah Maksud dari Kalam Tuhan itu?
1. MUKADDIMAH REDAKSI
Sering kali kita mendengar orang-orang bijak, para pemuka agama dan orang-orang besar mengatakan bahwa Al-Su’alu Nishfu al Ilm, artinya: Bertanya itu sebagian dari ilmu pengetahuan. Karena -secara logis- tidak mungkin seseorang akan mengajukan suatu pertanyaan jika ia tidak pernah mendengar atau mengenal sesuatu yang akan ditanyakannya sama sekali. Jelasnya bahwa pertanyaan senantiasa menjadi kunci ilmu pengetahuan manusia di sepanjang sejarah kehidupan. Setiap orang yang jarang atau sedikit sekali mengajukan pertanyaan, ia tidak akan mendapatkan peluang yang banyak dan besar untuk mendapatkan kunci ilmu tersebut. Pada dasarnya, mengajukan pertanyaan dan juga memberikan jawaban yang benar dan sesuai dengan pertanyaannya, merupakan hak logis bagi setiap orang. Setiap agama dan ajaran -terutama Islam- sangat menegaskan masalah ini. Idealnya adalah bahwa bertanya dalam hal apapun, hendaknya diajukan kepada ahli di setiap bidang ilmu masing-masing. Orang bijak menukil: “Bertanyalah kepada ahli ilmu, jika kamu tidak mengetahui.” Sudah tentu, bertanya hendaknya dalam hal-hal yang bermanfaat, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi.
Hak bertanya tidak dibatasi kepada para pengikut dan pemeluk sebuah agama, ajaran atau aliran tertentu. Siapapun bisa mengajukan pertanyaan kepda siapapun, bahkan anak-anak kecil dan balita pun bebas mengajukan pertanyaan apa saja yang mereka sukai dan setiap kali ada sesuatu yang terlintas di benak mereka. Islam tidak menetapkan batasan atas muslimin dalam mengajukan pertanyaan. Artinya bahwa Islam juga memberikan izin kepada non muslimin untuk melontarkan secara gamblang segala bentuk pertanyaan mengenai pelbagai masalah; akidah, sosial, etika, politik, dan lain sebagainya. Tetapi mengajukan soal-soal yang menyimpang untuk merusak dasar pemikiran dan keyakinan, menciptakan atau menumbuhkan keraguan dan goncangan pemikiran masyarakat secara umum, sikap kontroversial, debat kusir, keras kepala, dan fanatisme, tidak sejalan dengan kaidah di atas. Sebab, pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidak keluar dari akal pikiran yang sehat dan hati nurani yang bersih.
Berangkat dari kerangka ini, kami dari tim redaksi Al-Balagh berusaha untuk merangkum dan menghimpun berbagai pertanyaan yang berserakan di sana-sini seputar masalah-masalah Tauhid berdasarkan logika dan filsafat, kemudian menyusun dan menuangkannya di pojokan site ini. Kami juga, melalui kerja sama yang baik dan akrab dengan sebagian rekan-rekan, baik yang berada di tanah air, maupun di luar negeri (yang sedang menuntut berbagai cabang ilmu pengetahuan), berupaya secara teliti menyusun pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban yang terdapat dan berserakan di berbagai buku akidah dan filsafat serta berbagai pertanyaan yang ditujukan kepada Al-Balagh. Tim penerjemah Al-Balagh akan berusaha menata secara sistematis seluruh pertanyaan tersebut dan menulisnya dengan bahasa yang renyah dan mudah dipahami oleh setiap lapisan masyarakat.
Harapan dan doa kami, kiranya kumpulan soal-jawab ini dapat dijadikan sebagai sebuah jendela baru untuk membuka hati, meluaskan ufuk dan cakrawala pemikiran pemuda dan pemudi di tanah air, khususnya para mahasiswa yang merupakan harapan bangsa masa depan umat, serta menjadi bekal bagi kita semua demi menyongsong kebahagiaan di masa depan.
Tim Redaksi
Al-Balagh Al-Mubin
2. Motivasi Mengenal Sang Pencipta
Pertanyaan:
Sejak kecil, dan barang kali tepatnya sejak kami menduduki sekolah TK, kami sudah mulai diperkenalkan tentang adanya Tuhan pencipta yang memiliki berbagai sifat kesempurnaan; Mahakuasa, Mengetahui, memiliki surga dan neraka dan lain sebagainya. Usaha pengenalan tentang adanya tuhan Pencipta tersebut, tentu saja dilakukan secara dogmatis, sementara kami belum mampu untuk memikirkan apa-apa. Jadi hal itu kami terima secara taklid buta. Setelah menginjak usia dewasa, timbullah berbagai pertanyaan mengenai ketuhanan di dalam lubuk hati kami. Di antara pertanyaan itu dan pada kesempatan ini kami lontarkan kepada Al-Balagh adalah: Apa perlunya kita mengenal Tuhan Pencipta alam semesta ini dengan berbagai sifat-sifat-Nya? Apakah sebenarnya yang mendorong manusia untuk mengenal Tuhan Pencipta tersebut?
Jawab :
Sesungguhnya setiap gerak dan tingkah laku manusia tidak kosong dari motivasi atau bahkan berbagai motivasi. Dengan kata lain bahwa adanya motivasi merupakan penggerak utama bagi seseorang untuk melakukan hal-hal yang sejalan dengan motovasinya tersebut. Upaya mengenal Tuhan Pencipta pun tidak lepas dari hal tersebut. Karena upaya untuk mengetahui dan mengenal Tuhan Pencipta alam semesta ini tidak akan dapat terlaksana tanpa adanya motivasi dan dorongan yang bersemayam di dalam jiwanya. Biasanya para filosof dan teolog menyebutkan tiga faktor utama yang mendorong seseorang untuk mengenal Tuhan Pencipta.
Tiga faktor itu ialah: Motivasi Akal, Motivasi Fitri dan Motivasi Kasih. Mari kita ikuti perinciannya sebagai berikut :
1.Motivasi Akal
Tidak seorang pun yang tidak mencintai kesempurnaan. Setiap insan pasti mencintai kesempurnaan dirinya, karena cinta kepada kesempurnaan merupakan bagian dari naluri setiap insan. Hanya saja, setiap orang berbeda-beda dalam memandang dan menilai kesempurnaan dirinya. Yang jelas, pada umumnya dan kebanyakan manusia memandang kesempurnaan diri terletak pada hal-hal yang bersifat material dan fisikal, seperti berbadan sehat dan bugar, memiliki harta kekayaan yang cukup, menduduki jabatan yang terhormat, keamanannya terjamin dan lain sebagainya. Motivasi semacam ini disebut sebagai “naluri mencari keuntungan dan menghindari kerugian”. Berdasarkan pandangan ini, manusia melihat bahwa dirinya memiliki tugas untuk menyikapi secara serius hubungannya dengan segala hal yang bertalian dengan nasibnya di masa kini dan mendatang.
Pada umumnya, cinta kepada kesempurnaan, cenderung kepada keuntungan, baik yang bersifat material maupun spiritual, dan upaya menghindari segala bentuk bahaya dan kerugian, akan mendorong seseorang untuk mengadakan penelitian. Dorongan tersebut bersumber dari akalnya. Dengan kata lain bahwa akal pikirannya akan mendorongnya untuk mengadakan penelitian dan perhitungan; sejauh mana kemungkinan keuntungan itu dapat diraih, atau bahaya dan kerugian itu dapat menimpa dirinya. Semakin tinggi adanya kemungkinan untuk memperoleh keuntungan, atau menerima bahaya dan kerugian, maka penelitian atas persoalan tersebut semakin dianggap penting.
Tidak logis, jika seseorang merasa yakin terhadap adanya kemungkinan tentang suatu persoalan penting yang sangat menentukan nasibnya di masa mendatang, sementara ia tidak merasa tertarik untuk meneliti dan mengadakan analisa atas perkara tersebut.
Misalnya, ketika orang-orang yang tinggal di bawah kaki gunung merapi mendengar informasi dari sebagian orang yang tinggal di kota yang jauh dari gunung tersebut, bahwa gunung merapi yang bertengger di atas kepala mereka, kemungkinan besar -beberapa bulan lagi- akan memuntahkan api dan meletupkan lahar panasnya.
Mendengar informasi yang mengancam jiwa raga dan harta ini, mereka yang akal pikirannya sehat, dapat dipastikan akan bertanya-tanya, meneliti dan melakukan analisa; dari mana sumber informasi tersebut? Siapa yang membawa berita itu? Sejauh mana kebenaran berita yang disampaikannya? Selama sekian tahun ini, sudah berapa kali gunung merapi itu meletus? Dan seterusnya. Apabila ternyata informasi tersebut meyakinkan, dan kemungkinan besar akan terjadi letusan yang dahsyat dari gunung tersebut, maka dapat dipastikan mereka akan bergegas dan segera meninggalkan tempat tersebut demi menyelamatkan diri, keluarga dan harta benda mereka.
Misal lainnya adalah, seperti orang-orang yang tinggal di tepi pantai laut, sebagaimana kebiasaan dan adat suku Bugis secara turun temurun, atau mereka yang tinggal di pinggiran sungai Mahakam atau sungai Musi. Ketika mereka menerima informasi dari orang-orang yang tinggal agak jauh dari mereka akan terjadi bencana alam, seperti pasangnya air laut dan bahaya banjir di musim hujan, pasti mereka akan meneliti kebenaran informasi tersebut. Dan ketika mereka percaya dengan berita tersebut, pasti mereka semua akan segera pindah ke tempat yang lebih aman demi menyelamatkan diri dan anak-isteri mereka dari bencana yang dimungkinkan akan segera menimpa mereka. Hanya orang-orang dungu dan kurang waras akalnya yang tidak merasa tertarik untuk meneliti, menganalisa dan bergerak lari dari ancaman bencana tersebut.
Demikian pula misalnya, ketika sebagian orang yang tinggal di desa menerima informasi tentang adanya pekerjaan dengan gajih yang besar, atau perdagangan yang menghasilkan keuntungan yang berlipat ganda di sebuah kota. Secara logis, mereka pasti merasa tertarik dan kemudain mengadakan penelitian sejauh mana kebenaran informasi tersebut, sebelum mereka pergi ke kota untuk tujuan memperoleh keuntungan demi masa depan yang menjanjikan.
Ketika orang-orang jujur dan ikhlas; para utusan Tuhan, nabi dan muballig menyampaikan dakwah mereka kepada umat manusia tentang adanya balasan surga bagi orang-orang yang beriman, saleh dan taat menjalankan agamanya, dan ancaman neraka bagi mereka yang berbuat jahat dan mengingkarinya, maka akal sehat akan mendorong mereka untuk meneliti dan mengkaji kebenaran dakwah tersebut. Jika dakwah dan seruan itu benar, maka akal sehat pun akan mendorong mereka untuk menerima dan mentaatinya. Lebih dari itu, karena iman kepada Tuhan Pencipta dan pengkajian agama, merupakan perkara yang niscaya. Sebab, teks-teks agama dengan jelas memuat persoalan-persoalan yang berhubungan dengan nasib baik-buruk perilaku manusia yang berhubungan erat dengan iman.
Untuk menjelaskan masalah ini, kami bawakan perumpamaan lainnya. Misalnya ketika seseorang berada di persimpangan dua jalan. Di sini dia menghadapi tiga pilihan: tetap berdiri selamanya di tempat itu, berjalan menuju ke arah A atau ke arah B.
Ketika dia tahu bahwa tetap berdiri di tempat itu bukan saja tidak ada manfaatnya, tetapi malah akan membahayakan dirinya, sementara salah satu dari dua jalan yang ada di hadapannya itupun mengancam keselamatan jiwanya dan yang satunya lagi menjanjikan kebahagiaan dan keuntungan yang abadi. Maka pada kondisi seperti itu, ia dituntut untuk meneliti dua jalan tersebut dan berusaha mencari indikasi-indikasi dan bukti-bukti untuk keduanya. Karena mengabaikan kedua-duanya adalah bertentangan dengan akal sehatnya. Apabila hasil penelitian dan analisa akal sehatnya menyimpulkan bahwa tetap berdiri di tempat itu dan memilih jalan ke arah A tidak membawanya kepada kebahagiaan dan keselamatan, sementara jalan B menjanjikan keselamatan dan kebahagiaan yang sejati, maka pasti akal sehatnya segera mendorongnya untuk melangkah dan meniti jalan B. Meskipun jalan B yang ia tempuh itu -berdasarkan hasil penelitiannya- masih bersifat kemungkinan besar, belum sampai kepada tingkat yakin. Hal ini sesuai dengan kaidah akal: “menghindari kerugian yang dimungkinkan” merupakan turunan dari motivasi akal. Tentu saja, kaidah logika ini tidak ditujukan kepada mereka yang enggan menggunakan argumentasi logis. Sebab, apabila kaidah ini ditujukan kepada orang-orang yang keras kepala, pongah dan fanatik, pasti tidak bermanfaat dan tidak ada gunanya untuk mereka.
Kepada orang-orang yang enggan menggunakan akal sehatnya, hingga mereka memiliki anggapan bahwa Tuhan Pencipta, hari pembalasan amal perbuatan dan alam kubur itu tidak ada, hendaknya kita katakan: “Jika benar apa yang kalian katakan bahwa Tuhan Pencipta dan Hari Kiamat itu tidak ada, maka pada hari akhirat kelak, kami adalah orang-orang selamat dan kalian pun demikian juga. Tetapi, jika benar apa yang kami yakini -dan memang demikian kenyataannya- maka kami termasuk orang-orang yang selamat, beruntung dan akan meraih kebahagiaan sejati yang abadi, sedangkan kalian pasti termasuk orang-orang yang binasa dan sengsara untuk selamanya”.
2. Motivasi Kasih
Barang kali Anda pernah mendengar ucapan orang-orang bijak bahwa: “Manusia adalah hamba kebaikan”,atau “Dengan perbuatan baik, hati akan tertaklukkan”. Ungkapan lainnya yang hampir senada dengan itu, sebagai sebuah nasihat yang cukup berharga: “Lakukan kebaikan kepada siapa saja, niscaya engkau menjadi tuannya.
Apabila kita renungkan dengan seksama pesan-pesan semacam itu dan yang semisalnya, dapat kita pahami bahwa sebenarnya pesan-pesan tersebut sejalan dengan akal pikiran yang sehat dan naluri setiap insan. Karena secara logis setiap hati orang pasti akan takluk kepada siapa saja yang telah berbuat baik kepadanya dan akan murka kepada siapa saja yang berlaku buruk kepadanya. Perhatikanlah contoh yang kami bawakan di bawah ini yang terjadi pada selain makhluk manusia.
Setiap orang pasti mengenal raja hutan; singa atau harimau, bahkan anak-anak kecil sekalipun. Binatang buas ini tidak hanya menerkam dan memangsa binatang lainnya yang lebih lemah, bahkan manusia pun menjadi sasarannya. Tetapi jika ia diperhatikan secara serius, diperlakukan dengan baik dan segala keinginannya dipuaskan, seperti makan, minum dan tidur, maka bukan saja si raja hutan tersebut tidak menerkam majikannya, bahkan ia siap melakukan apa saja yang diperintahkan kepadanya demi berkhidmat kepada majikannya yang telah berbuat baik tersebut. Bukankah Anda pernah menyaksikan permainan dan akrobatik sirkus; bagaimana binatang-binatang seperti gajah, singa ataupun kuda dapat mendemonstrasikan kemampuan dan kebolehannya di hadapan khalayak ramai?
Contoh lain yang paling gamblang adalah binatang anjing. Hanya dengan sepotong tulang si pencuri dapat menaklukkannya untuk kemudian melakukan operasi pencuriannya dengan lancar. Dengan kebaikan yang sedikit saja, seekor anjing siap mentaati dan menjalankan perintah apa saja yang datang dari majikannya. Apabila anjing dan binatang buas saja dapat berbuat baik dan berkhidmat kepada majikannya sebagai balas jasa kepadanya, tentunya sangat wajar dan logis jika makhluk manusia yang dibekali akal pikiran yang sehat berterimakasih dan berusaha untuk membalas jasa atas kebaikan yang dilakukan oleh seseorang kepadanya.
Kesimpulan dari semua ini adalah; barangsiapa berbuat baik dan berkhidmat kepada orang lain, pasti si penerima kebaikan itu akan memiliki kecendrungan untuk mengenal pelakunya dan berterima kasih kepadanya. Bahkan lebih dari itu, ia akan berpikir dan berusaha untuk melakukan balas jasa atas kebaikan tersbut. Semakin tinggi nilai sebuah kebaikan, maka akan semakin takluk hati si penerimanya dan semakin tinggi pula keinginannya untuk mengenal pemberi kebaikan tersebut. Namun, perlu diperhatikan bahwa konsep berterimaksaih kepada pemberi kebaikan, terlebih dahulu diakui oleh rasa kasih, sebelum dibenarkan oleh mahkamah akal sehat.
Izinkanlah, kami ingin mengajak Anda untuk mrenungkan beberapa pertanyaan dan ungkapan berikut ini, karena dengan cara itu, Anda akan lebih dapat merasakan manfaat pembahasan ini. Tahukah Anda berapa harganya diri Anda yang tersusun dari dua unsur; unsur materi dan ruhani? Pernahkah Anda bertanya kepada dokter spesialis mata; berapakah harga kedua biji mata Anda itu? Bersediakah Anda menukar kedua bola mata Anda itu dengan sebuah istana yang megah lengkap dengan isinya, tetaoi Anda menjadi buta? Jika Anda mencoba menghitung dan menjumlah -secara materi- nilai dan harga seluruh anggota dan organ-organ tubuh Anda itu, kemudian Anda diminta oleh si pemberinya untuk mambayarnya seluruhnya, menurut Anda, berapakah harga yang layak untuk diberikan kepadanya? Mampukah Anda memberikan semua itu? Hingga saat ini, pernahkah Anda ditagih dan dimintakan uang untuk membayar sewa atau pajak dari penggunaan semua anggota tersebut?
Apabila telah Anda pahami dan ketahui betapa tinggi nilai diri Anda dan berbagai kenikmatan yang diberikan kepada Anda selama hayat ini, logiskah jika Anda merasa enggan atau tidak peduli untuk mengetahui dan mengenal siapa yang memberikan semua kenikmatan itu kepada Anda? Wajarkah jika si pemberi berbagai kenikmatan tersebut akan meminta pertanggung jawaban dari kita atas penggunaan yang kita lakukan selama hayat di kandung badan? Apabila Anda diberi hadiah sebesar seratus juta dolar -misalnya- oleh seseorang, bagaimana cara Anda berterimakasih kepadanya? Setiap orang yang mendapatkan hadiah sebesar itu, pasti akan berusaha mengenal siapa pemberinya, dan berpikir bagaimana caranya berterimakasih kepadanya. Apabila hal itu telah Anda pahami dengan baik, kami yakin, pasti Anda sependapat dengan kami, bahwa selayaknya bahkan seharusnya manusia yang telah menerima berbagai kenikmatan ini berusaha mengenal si pemberinya dan penciptanya. Dialah Tuhan Pencipta Anda dan alam semesta ini dengan berbagai isinya yang penuh dengan kenikmatan.
Kami akhiri bagian ini dengan sebuah syair yang pernah disampaikan oleh seorang pujangga Arab ternama sebagai sebuah isyarat kecil:
Berbuat baiklah kepada insan,
Niscaya hati mereka takluk kepada tuan,
Demikianlah insan adalah budak ihsan.
3. Motivasi Fitri
Makhluk manusia, di samping memiliki sarana akal dan pikiran untuk menjalani bahtera kehidupan di muka bumi ini, iapun dibekali dengan berbagai perasaan hati. Terkadang manusia -berbeda dengan binatang- melalui perasaan hatinya yang dalam dapat mengerti dan memahami wujud dan hakikat sesuatu. Artinya, tanpa melalui studi, pengkajian, bimbingan atau pemikiran rasional, ia dapat memahami atau menilai sesuatu. Perasan insan di dalam lubuk hatinya yang dalam itulah disebut fitrah insani. Pengetahuan secara fitrah artinya pemahaman dan pengetahuan yang diperoleh seseorang melalui perasaan lubuk hatinya yang dalam dan tanpa melalui proses belajar, mengkaji dan berpikir. Misalnya secara fitrah setiap manusia mencintai keindahan, suka perdamaian dan membenci kezaliman.
Ketika kita melihat sebuah pemandangan yang indah, atau sekuntum bunga yang semerbak mewangi dengan warnanya yang mempesona, pada saat itu kita merasa tertarik dengannya. Rasa tertarik dan cinta kepada keindahan tersebut timbul dari lubuk hati kita yang dalam. Apakah kita perlu belajar atau berpikir untuk tertarik dan mencintai keindahan tersebut? Jawabnya tentu saja tidak. Karena cinta keindahan merupakan persoalan fitri dan merupakan salah satu dari sekian banyak kecendrungan transendental jiwa manusia.
Upaya untuk mengenal Tuhan Pencipta alam semesta ini, bukan hanya merupakan perasaan esensial yang ada di dalam hati setiap manusia, lebih dari itu ia merupakan dorongan fitrah yang paling kuat yang bersemayam di dalam relung jiwa setiap insan.
Oleh karena itu, umat manusia sejak masa purba hingga sekarang dan juga pada masa akan datang, senantiasa berupaya untuk mengenal dan mengetahui Tuhan Pencipta yang telah mewujudkan diri mereka dan alam semesta ini. Munculnya rasa keberagamaan dan mencari sembahan sejati, sejalan dengan fitrah insani tersebut.
Setiap orang yang membaca dan mengkaji dengan cermat perjalanan dakwah para utusan Tuhan, dapat memahami dengan baik bahwa dasar risalah mereka adalah memerangi kemusyrikan dan penyembahan terhadap berhala-berhala buta, dan mereka tidak mengedepankan pembuktian wujud Tuhan Pencipta. Mengapa demikian? Jawabnya, karena masalah wujud Tuhan Pencipta telah tertanam di dalam lubuk hati setiap manusia sebagai persoalan fitri. Dengan kata lain, bahwa manusia tidak menuntut pembuktian wujud Tuhan Pencipta untuk ditanamkan pada lubuk hati mereka. Karena persoalan wujud Tuhan Pencipta merupakan hal fitri setiap insan. Oleh karena itu, para utusan Tuhan tersebut lebih banyak mengerahkan tenaga dan pikirannya untuk membunuh hama dan belukar yang acapkali membuat kering dan layu pokok keyakinan fitri tersebut, lalu menyiraminya dengan air budi pekerti yang luhur dan terpuji.
Di samping rasa tertarik dan cinta kepada keindahan, rasa ingin tahu dan cinta kepada pengetahuan pun merupakan persoalan fitri bagi setiap manusia. Rasa ingin tahu inipun merupakan pendorong yang kuat bagi setiap insan untuk mengenal Tuhan Pencipta alam raya ini.
Apakah mungkin seseorang yang menyaksikan sistem yang menakjubkan di dalam dirinya dan di alam semesta yang luas ini, tetapi ia tidak merasa tertarik untuk mengenal pencipta sistem tersebut?
Apakah mungkin seorang ilmuwan yang telah meluangkan waktunya dan bersusah-payah selama puluhan tahun untuk mengenal kehidupan habitat semut, atau ilmuwan lainnya yang telah menghabiskan waktunya selama puluhan tahun untuk meneliti habitat burung, pepohonan, atau ikan-ikan di laut, sementara tidak terdapat dorongan di dalam lubuk hatinya untuk mengenal Tuhan Pencipta, selain cinta terhadap pengetahuan yang terpatri di dalam lubuk hatinya tersebut? Bagaimana mungkin para ilmuwan itu tidak ingin mengenal sumber sejati penciptaan alam semesta tersebut? Yang jelas bahwa rasa tertarik kepada pengetahuan, merupakan motivasi yang mendorong manusia untuk mengenal Tuhan Pencipta.
Alhasil, Akal setiap insan menuntut dan menuntun mereka untuk mengenal dan mengetahui Tuhan Pencipta alam semesta ini. Rasa kasih akan menarik mereka kepada keinginan tersebut dan fitrah insani akan mendorong mereka untuk bergerak ke arah-Nya. Dengan jelas, telah kami uraikan mengenai berbagai motivasi yang mendorong manusia untuk mengenal Tuhan Pencipta. Karena kebahagiaan dan perdamaian yang sejati dan hakiki tidak akan dicapai kecuali dengan jalan tersebut []
3. Beriman Kepada Tuhan yang Ghaib
Pertanyaan:
Kaum agamawan senantiasa dan tak henti-hentinya menekankan peranan dan pentingnya beriman dan meyakini hal-hal yang gaib, yaitu sesuatu yang tidak dapat diindera secara kasat mata. Nampaknya memang dalam ajaran agama, banyak hal-hal yang bersifat gaib yang tidak mudah dapat dipercaya dan diyakini keberadaannya begitu saja. Mungkin karena dalam kehidupan sehari-hari kita selalu berhadapan dan berinteraksi dengan hal-hal yang dapat dilihat dengan kasat mata dan dapat dirasa dengan indera lainnya.
Seringkali kami merenung dan mencoba meyakinkan hati ini, bahwa Tuhan Yang Gaib itu ada. Surga, neraka, dan hal-hal gaib lainnya jua ada. Tetapi sangat sulit bagi kami meyakini hal itu semua. Sehingga amal ibadah yang kami lakukan -boleh dikatakan- hanya ikut-ikutan saja. Dan kami merasa tidak enak dengan keluarga dan masyarakat, jika tidak mengikuti acara-acara ritual bersama mereka. Oleh karena itu, melalui goresan pena ini, kami mencoba mengajukan pertanyaan; Bagaimana kami dapat beriman kepda Tuhan Yang Gaib? Bagaimana hati ini dapat meyakini bahwa Dia betul-betul ada ?
Jawab:
Sebenarnya problem keimanan kepada Tuhan yang bersifat Gaib dan meyakini hal-hal yang gaib lainnya yang merupakan bagian dari agama -yang kini sedang Anda alami- banyak dialami oleh masyarakat dunia sekarang ini, bahkan oleh semua pengikut agama, baik agama samawi ataupun bukan. Pertanyaan dan keberatan semacam itu merupakan keberatan yang sering kali dilontarkan oleh kaum materialis terhadap kaum agamawan dan orang-orang beriman. Mereka berkata:
“Bagaimana mungkin manusia dapat menerima dan beriman kepada wujud yang tidak dapat diindera dengan mata. Bukankah kaum agamawan mengatakan bahwa Tuhan itu tidak memiliki jasad, tidak bertempat, tidak memiliki ruang, tidak bercorak dan seterusnya. Jika demikian, dengan perantara apa wujud seperti ini dapat diindera? Kami (kaum materialis) hanya beriman kepada sesuatu yang dapat diindera oleh mata. Karena wujud yang tidak dapat diindera sama sekali, sebenarnya adalah wujud yang sama sekali tidak ada.”
Berikut ini, mari kita coba mengkaji dan membahas persoalan dan keberatan tersebut dari beberapa sisi:
1. Sebab utama penentangan
Pertama, mari kita pusatkan pandangan kita kepada kaum Materialis. Jika kita menganalisa sebab-sebab timbulnya penentangan kaum Materialis terhadap wujud Tuhan Yang Gaib, maka akan kita dapati, bahwa salah satunya adalah karena kepongahan dan kesombongan mereka. Mereka menganggap ilmu pengetahuan (sains) sebagai superior atas seluruh realitas.
Bagi mereka, ilmu pengetahuan empiris adalah segala-galanya. Akibatnya, mereka selalu mengkomparasikan segala sesuatu dengan ukuran pengetahuan empiris tersebut, dan membatasi sarana pemahaman pada sebab-sebab natural dan material. Menurut mereka, apapun (termasuk hal-hal yang gaib dan non-inderawi) harus dianalisa melalui jalan eksperimen.
Segala sesuatu yang tidak dapat dibuktikan dengan jalan uji-coba dan eksperimen, harus ditolak. Satu hal yang perlu dipahami adalah: Apakah lingkup aktivitas dan penetrasi seluruh ilmu alam itu memiliki batasan atau tidak? Sudah jelas, jawabnya adalah bahwa lingkup aktivitas ilmu pengetahuan itu terbatas. Karena, wilayah ilmu-ilmu alam adalah seluruh wujud terbatas yang bersifat material.
Oleh karena itu, bagaimana mungkin sesuatu yang tidak terbatas dapat diindera dengan sarana yang sangat terbatas. Dengan kata lain bahwa hal-hal yang bersifat materi dapat diteliti dan dianalisa melalui jalan eksperimen. Sementara segala hal yang bersifat non-materi -meskipun hasil ciptaan Tuhan- tidak dapat dianalisa dengan indera lahiriah dan jalan eksperimen.
Selama ini, pernahkan Anda mendengar seorang ilmuan ternama yang mengadakan analisa tentang wujud ruh manusia atau binatang melalui eksperimen di sebuah laboratorium? Akal pikiran, hasil mimpi seseorang, khayalan dan gambaran tentang sesuatu di benak kita, serta hal-hal lainnya yang bersifat non-materi, mungkinkah dapat diketahui hakikat dan asal usul kejadiannya melalui jalan eksperimen di sebuah laboratorium?
Perlu dipahami bahwa Tuhan Pencipta dan seluruh wujud metafisis dan hal-hal yang bersifat non-materi, berada di luar wilayah pengetahuan empiris. Dan sesuatu yang bersifat non-materi dan berada di luar wilayah natural, tidak mungkin dapat diindera dengan sebab-sebab natural, seperti eksperimen di laboratorium.
Wilayah metafisika bersifat tidak terbatas dengan dirinya sendiri dan tidak dapat dikomparasikan dan dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam dan pengetahuan empiris. Bahkan setiap jenis ilmu alam dan pengetahuan empiris itu sendiri, masing-masing memiliki instrumen dan ukuran-ukuran yang berbeda-beda satu sama lainnya, Ilmu astronomi, anatomi, dan mikrologi, masing-masing berbeda instrumen-instrumen pengkajiannya.
Menurut pandangan ilmuwan materialis, tidak mungkin dan tidak logis jika seseorang mengajukan pertanyaan atau permohonan sebagai berikut kepada seorang astronom:
“Coba Anda buktikan salah satu mikroba dengan menggunakan instrumen-instrumen dan alat kalkulasi astronomi!”
Demikian pula kita tidak layak untuk berharap dari seorang spesialis mikroba agar ia dapat menyingkap bintang-bintang senja dengan menggunakan instrumen-instrumen mikrologi. Karena mereka memiliki wilayah sendiri-sendiri. Setiap alat hanya dapat digunakan dalam wilayah spesialisasi ilmunya masing-masing dan tidak dapat digunakan di luar wilayah spesialisasi dan aplikasinya.
Oleh karena itu, ketika alat-alat tersebut berhadapan dengan hal-hal yang bersifat non-materi yang berada pada wilayah metafisik, maka alat-alat tersebut tidak akan dapat memberikan jawaban dengan positif (iya) atau negatif (tidak). Atas dasar itu, kita tidak mungkin dapat mengetahui kebenaran ilmu-ilmu alam dalam membahas sesuatu yang berada di luar wilayah naturalnya, lantaran wilayah penetrasinya terbatas pada alam, efek dan spesialisasinya saja.
Jika demikian halnya, maka kebenaran yang dapat diyakini oleh seorang ilmuwan ilmu alam adalah sebatas apa yang dapat ia analisa berdasarkan eksperimen semata. Dan seharusnya ia memilih diam ketika berhadapan dengan masalah metafisika dan hal-hal yang bersifat non-materi, karena masalah itu berada di luar batas pengkajian dan instrumen wilayah kerjanya. Dan bukan malah mengingkarinya.
August Comte, salah seorang pelopor dan peletak dasar-dasar filsafat empiris dalam bukunya Beberapa Kalimat Tentang Filsafat Empiris berkata:
“Karena kita tidak memiliki informasi sejak awal tentang seluruh wujud, maka kita tidak dapat mengingkari adanya wujud sebelum atau sesudahnya, sebagaimana kita juga tidak dapat membuktikannya. Pendeknya, Empirisme menghindar dari menyampaikan setiap bentuk pendapat, karena ketidaktahuan mereka dalam masalah ini. Demikian juga, ilmu-ilmu cabang yang menjadi fondasi Empirisme, harus menghindarkan diri dari bentuk penilaian atas awal dan akhir seluruh wujud. Maksudnya, kami tidak mengingkari ilmu dan hikmah Ilahi serta wujud-Nya, dan kami menjaga diri dalam netralitas; antara penafian dan pembuktian”.
Sebenarnya itulah apa yang kita maksudkan, yaitu bahwa alam metafisika tidak dapat disaksikan melalui jendela ilmu-ilmu alam. Dan menurut pandangan orang-orang beriman bahwa Tuhan yang ingin dibuktikan melalui jalan eksperimen, sebab dan instrumen natural, sebenarnya bukanlah Tuhan yang sesungguhnya, melainkan Tuhan khayalan belaka. Karena sesuatu yang dapat dibuktikan oleh sebab-sebab natural dan melalui eksperimen, berada di dalam jangkauan materi dan spesialisasi ilmu-ilmu alam. Bagaimana mungkin wujud materi dan natural dapat diyakini sebagai pencipta materi dan alam semesta ini?
Dasar keyakinan orang-orang beriman adalah bahwa Tuhan bebas dari segala bentuk materi dan aksiden-aksiden materi. Dan sekali-kali Dia tidak dapat dicerap melalui instrumen-instrumen dan alat-alat materi. Oleh karena itu, kita jangan pernah berharap dan berkhayal bahwa Tuhan Pencipta alam semesta ini, dapat dilihat pada kedalaman langit melalui alat mikroskop dan teleskop. Karena harapan dan khayalan semacam ini bukan pada tempatnya.
2. Tanda-tanda wujud Tuhan
Secara umum, sarana yang dapat digunakan untuk mengenal setiap wujud di jagad ini, hanyalah melalui efek-efek dan tanda-tandanya. Dengan kata lain, bahwa kita dapat mengenal setiap wujud, hanya melalui efek-efek dan tanda-tanda yang ditimbulkan oleh setiap wujud tersebut, termasuk wujud-wujud yang dapat kita kenal melalui mata dan indera lainnya. Karena tidak satu pun wujud yang dapat masuk ke dalam pikiran kita, dan mustahil otak kita menjadi wadah seluruh wujud.
Sebagai contoh, Apabila Anda ingin mengenal dan mengetahui sebuah benda yang belum Anda kenal sebelumnya dan ingin memahami wujud benda tersebut, pada mulanya, Anda tujukan pandangan mata Anda ke benda yang telah Anda perkirakan letaknya, sementara itu, dibutuhkan pula adanya cahaya yang menerangi benda tersebut, kemudian dari bola mata, pendaran-pendaran cahaya itu akan terefleksi pada area khusus yang bernama retinoscopy. Kemudian, syaraf-syaraf indera penglihatan menangkap cahaya tersebut, dan mengirimkannya ke otak.
Setelah itu, barulah Anda dapat mengenal dan memahami benda tersebut. Dan apabila hal itu Anda lakukan dengan jalan meraba dan menyentuhkan kulit tangan Anda ke benda tersebut, maka syaraf yang terdapat di bawah kulit Anda -melalui jalan persentuhan antara kulit dengan benda tersebut- akan mengirimkan informasi kepada otak Anda, barulah kemudian hal itu dapat Anda memahami dan mengenalinya.
Dengan demikian, bahwa suatu benda itu dapat dikenali dan dipahami melalui efeknya (warna, suara dan persentuhan kulit). Artinya bahwa benda itu sendiri, jika tidak dengan jalan sebagaimana dijelaskan di atas, sama sekali tidak akan pernah berpindah ke otak, benak atau akal pikiran seseorang. Dan sekiranya tidak ada warna, atau warna ada, tetapi syaraf-syaraf indera tidak dapat bekerja dan tidak berfungsi lagi, maka seseorang tidak akan pernah mengenal benda tersebut.
Agar materi pembahasan ini lebih mudah dicerna dan dipahami, kiranya uraian di atas perlu kami tambahkan. Begini, jika seseorang ingin mengenal dan mengetahui suatu maujud atau fenomena, maka hal itu cukup dilakukan melalui efek dan peninggalannya. Misalnya seseorang yang ingin mengetahui apa yang pernah terjadi sepuluh ribu tahun silam pada suatu titik bumi, maka cukuplah ia mengambil satu cerek keramik atau satu senjata yang telah berkarat. Kemudian ia mengadakan pengkajian mendalam atas efek-efek dan peninggalan ini. Dari efek ini ia akan dapat memahami keadaan-keadaan dan desain kehidupan serta pemikiran masyarakat di waktu itu.
Apabila setiap wujud materi, bahkan juga hal-hal yang bersifat non-materi dapat dikenal dan diketahu melalui pengkajian dan penelitian ilmiah atas efek-efek dan peninggalannya, apakah seluruh wujud dan fenomena -yang penuh dengan misteri dan rahasia yang menakjubkan di seluruh penjuru alam semesta yang membentang ini- tidak memadai bagi kita untuk dapat mengenal Tuhan Pencipta?
Hanya dengan melalui satu cerek keramik, setidak-tidaknya bagian dari kondisi masyarakat ribuan tahun silam dapat diketahui. Sementara di alam raya ini terdapat efek yang tidak terbatas, wujud yang tidak terbatas, dan sistem yang tidak terbatas. Apakah segala efek yang ada ini tidak memadai bagi kita untuk dapat mengenal-Nya?! Jika kita amati ciptaan alam raya ini, maka akan dapat kita saksikan pada setiap sudut jagad terdapat tanda-tanda kekuasaan dan ilmu-Nya. Masihkah Anda berkata, “Kami tidak melihatnya dengan mata, kami tidak mendengarnya dengan telinga, kami tidak menyaksikannya melalui pisau anatomi atau teleskop!” Memangnnya hanya dengan mata saja segala sesuatu itu dapat dikenali dan diketahui? Dan tidak bisa dengan indera lainnya?
3. Terbatasnya indera manusia
Dapat dikatakan bahwa sarana dan alat yang diberikan oleh ilmu-ilmu sains adalah alat yang terbaik untuk menafikan keyakinan kaum materialis.
Pada masa lampau, mungkin saja seorang ilmuan dapat berkata, “Kami tidak dapat menerima sesuatu yang tidak dapat diketahui dan dikenali oleh panca indera. Tetapi sekarang ini, berdasarkan kemajuan ilmiah yang berkembang sedemikian pesatnya telah terbukti, bahwa wujud yang bersemayam di alam semesta yang tidak dapat diindera, ternyata jauh lebih banyak dibandingkan dengan wujud yang telah dapat diketahui dan dikenali.
Jika kita mengadakan studi perbandingan antara wujud-wujud yang dapat diketahui dan dikenali dengan wujud-wujud yang masih belum dapat diketahui yang terdapat di alam raya ini, maka dapat kita simpulkan hasilnya, bahwa wujud-wujud yang telah dapat diketahui dan dikenali bernilai kosong dan nihil jika dibandingkan dengan wujud-wujud yang masih belum dapat diketahui. Sebagai contoh, mari kita coba renungkan bersama beberapa kasus di bawah ini:
a. Para ahli fisika -di dalam ilmu fisika- berpendapat, bahwa dasar warna tidak lebih dari tujuh macam. Warna yang pertama adalah merah dan yang terakhir adalah warna ungu. Tetapi, di balik warna-warna itu semua terdapat ribuan macam warna. Dan kita tidak dapat mencerap dan mengenali ribuan macam warna tersebut. Mereka beranggapan, bahwa beberapa hewan barangkali dapat melihat warna-warna tersebut.
Sebab perkara ini adalah jelas, yaitu bahwa warna-warna itu dapat terlihat karena adanya efek gelombang cahaya. Artinya, bahwa cahaya matahari atau cahaya-cahaya yang lainnya itu tersusun dari warna-warni yang beraneka ragam. Aneka warna-warni inilah yang membentuk warna putih. Ketika cahaya ini berpendar menyinari benda, maka benda yang tersinari tersebut mencerna bagian-bagian yang beragam dari warna-warni pada dirinya. Dan sebagian lainnya dipantulkan. Warna-warni yang dipantulkan inilah yang dapat kita saksikan. Oleh karena itu, benda-benda yang berada pada tempat yang gelap tidak memiliki warna.
Perubahan dan keragaman warna dihasilkan dari kuat dan lemahnya gelombang cahaya. Artinya, apabila gelombangnya kuat hingga mencapai 458 ribu miliar per detik, maka akan terbentuk warna merah. Dan pada gelombang 727 ribu miliar per detik, akan terbentuk warna ungu. Di antara warna ini, terdapat warna-warni yang beragam jumlahnya yang tidak dapat kita cerap dan cerna.
b. Gelombang suara yang dapat kita tangkap hanya pada 16 frekuensi per detik hingga 20.000 frekuensi per detik. Frekuensi yang lebih atau kurang dari hitungan ini, berapa pun jumlahnya, tidak dapat ditangkap oleh pendengaran kita.
c. Gelombang cahaya yang dapat kita cerap dalam setiap detiknya adalah terhitung dari 458 ribu miliar hingga 727 ribu miliar. Adapun gelombang cahaya yang lebih atau kurang dari hitungan ini, berapa pun jumlahnya, tidak dapat kita lihat.
d. Kita semua tahu bahwa bilangan makhluk yang dapat dilihat melalui kaca pembesar (virus dan bakteri) adalah lebih banyak dari jumlah manusia. Makhluk-makhluk tersebut tidak dapat dikenali dan dicerap oleh mata tanpa menggunakan mikroskop dan kaca pembesar. Dan betapa banyaknya makhluk yang paling kecil yang hingga kini belum diketahui dan disingkap oleh sains.
e. Sebuah atom dengan strukturnya yang tipikal dan khas, dan putaran elektron-elektron atas lingkaran proton-proton, dengan kekuatan raksasanya, hingga saat ini tidak dapat dicerap dan dilihat oleh indera mata. Dan setiap benda-benda alam natural terbentuk dari atom. Debu-debu yang terkadang kita lihat berterbangan di udara, terbentuk dari ribuan atom. Pendapat dan pandangan para ilmuwan yang berbicara ihwal atom, hanyalah merupakan sebatas teori dan asumsi belaka. Sementara itu, tidak seorang pun yang menafikan pendapat mereka itu.
Termasuk hal-hal yang tidak dapat diindera -padahal realitas tersebut tidak seorang ilmuan pun yang meragukannya- adalah gerakan planet bumi yang beraneka ragam. Misalnya, gerakan pasang-surut yang memasuki cortex planet bumi. Dan akibat pengaruh dari gerakan pasang-surut tersebut, dalam sehari dua kali tingkatan permukaan (surface) bumi di bawah kaki kita akan naik seukuran 30 centimeter.
Sementara itu, tidak satu pun tanda-tanda yang dapat menuntun kita untuk dapat mengetahui gerakan ini. Yang lainnya adalah udara yang berhembus di seputar kita, yang nota-bene memiliki beban dan berat yang sangat besar, dan badan manusia mampu memikul seukuran 16 ribu kilogram dari berat dan beban udara tersebut. Tentu saja, tekanan ini akan dinetralkan ketika berhadapan dengan tekanan internal badan yang bagi kita bukanlah sesuatu yang merisaukan.
Sementara itu, tidak seorang pun yang membayangkan bahwa udara memiliki berat dan beban. Sebelum masa Galileo dan Pascal, masalah ini masih misterius bagi seluruh manusia. Dan kini, meskipun sains memberikan kesaksian atas validitas perkara ini, tetapi indera kita masih belum dapat merasakannya.
Kebanyakan dari ilmuwan ilmu alam mengakui keberadaan wujud segala sesuatu yang bersifat non-inderawi.
Contohnya, keberadaan ether -sesuai dengan keyakinan para ilmuwan ilmu alam- yang memenuhi segala tempat di alam tabiat ini. Sebagian orang beranggapan bahwa ether ini merupakan sumber seluruh maujud. Mereka menguraikan bahwa ether ini merupakan wujud yang tanpa beban, tanpa bau dan tanpa warna, yang memenuhi seluruh planet dan tempat serta merasuk (infiltrasi) ke dalam seluruh benda, dan tentu saja tidak terlihat oleh kita. (Ether, derivasi dari kata Yunani, aithe-r yang berarti upper air [meta udara], di atas udara. Dalam chemistry [industri dan ilmu kimia], ether ini adalah sebuah cairan pelarut yang terbuat dari alkohol, tanpa warna dan tanpa beban. Biasanya digunakan untuk membius [anaestasia], dengan formula C2H5OC2H5)
Oleh karena itu, pendapat yang menyatakan bahwa tak terinderanya sesuatu adalah dalil atas ketiadaannya, sama sekali tidak dapat dijadikan alasan. Alangkah banyaknya bilangan benda-benda inderawi yang memenuhi jagad ini, sementara indera kita tidak mampu mencerapnya.
Sebagaimana bahwa sebelum penemuan atom atau wujud-wujud yang memerlukan kaca pembesar untuk melihatnya (seperti virus dan bakteri), setiap orang tidak berhak menafikan keberadaan wujud-wujud tersebut. Alangkah banyaknya bilangan wujud lain yang masih luput dari pandangan kita. Dan sains hingga kini masih belum dapat menguaknya untuk menyingkap rahasianya. Akal kita sekali-kali tidak memperkenankan kita -dalam kondisi seperti ini (keterbatasan sains dan impotensinya dalam mencerap wujud-wujud tersebut)- untuk berpendapat; menafikan atau menetapkannya.
Konklusinya adalah jangkauan indera dan instrumen-instrumen alam bersifat terbatas, dan kita tidak dapat membatasi alam semesta ini hanya pada indera dan instrumen-instrumen tersebut.
Untuk menegaskan perkara ini, tidak ada salahnya kita menukil ucapan Flamariun dalam bukunya “Rahasia-rahasia Kematian”. Ia berkata, “Manusia hidup dalam lembah kejahilan dan ketidaktahuan. Dan ia tidak mengetahui bahwa susunan badan manusia ini tidak dapat menuntunnya kepada hakikat-hakikat. Kelima indera manusia ini menipunya dalam segala hal.
Dan satu-satunya yang dapat menuntun manusia kepada hakikat dan kebenaran adalah akal, pemikiran dan akurasi ilmiah.” Kemudian ia memulai menjelaskan satu persatu perkara yang tidak dapat dicerap oleh panca indera manusia dan membuktikan keterbatasan setiap indera. Ia berkata, “Oleh karena itu, kesimpulannya adalah bahwa akal dan pengetahuan kita hari ini memberikan hukum pasti kepada kita bahwa terdapat sebagian gerakan-gerakan atom, udara dan benda-benda, serta kekuatan-kekuatan yang tidak terlihat oleh indera pengelihatan kita, dan kita tidak dapat merasakan benda non-kasat mata ini melalui panca indera.
Dengan demikian, boleh jadi di sekeliling kita terdapat wujud-wujud yang lain selain atom, udara dan sebagainya; wujud-wujud hidup dan memiliki kehidupan yang tidak dapat kita rasakan. Aku tidak berkata bahwa benda-benda tersebut ada, akan tetapi aku berkata barangkali ia ada. Lantaran kesimpulan dari penjelasan-penjelasan sebelumnya adalah bahwa kita tidak dapat berkata segala yang tidak kita lihat berarti tidak ada.
Oleh karena itu, ketika dengan argumentasi-argumentasi ilmiah telah terbukti bagi kita bahwa indera lahir yang kita miliki tidak memiliki kelayakan untuk dapat menyingkap seluruh wujud-wujud yang ada dan acap kali indera ini mengelabui kita serta menunjukkan hal-hal yang bertentangan dengan realitas kepada kita, maka kita tidak boleh mengkonsepsikan bahwa seluruh hakikat wujud terbatas pada apa yang kita rasakan dan saksikan. Tetapi, kita harus percaya yang sebaliknya, bahwa barangkali terdapat wujud yang tidak dapat kita rasakan.
Sebelum ditemukannya mikroba, seseorang tidak berkhayal bahwa terdapat jutaan mikroba di sekeliling setiap benda dan kehidupan setiap makhluk yang menjadi medan laga bagi mikroba-mikroba tersebut. Kesimpulannya, indera lahir ini tidak memiliki kelayakan untuk menyingkap realitas seluruh wujud. Dan satu-satunya yang dapat memperkenalkan realitas wujud secara paripurna adalah akal dan pikiran kita. Menukil dari ‘Alâ Itlal al-Madzhab al-Mâddi, karya Farid Wajdi, hal. 4.
Jangan sampai Anda berpikiran bahwa sebagaimana elektron dan proton-proton atau sebagian warna telah tersingkap dengan peralatan ilmiah dewasa ini, dan dengan kemajuan sains, segala yang tidak diketahui itu nantinya akan terungkap, maka mungkin saja suatu saat alam metafisika dapat disingkap dengan instrumen-instrumen dan sebab-sebab natural! Tidak, hal ini tidak mungkin dapat terwujud. Karena -sebagaimana telah kami jelaskan- bahwa dunia metafisika tidak dapat ditempuh melalui jalan-jalan natural dan material. Secara umum, jalan-jalan natural dan material ini keluar dari ranah aktifitas sebab-sebab materi.
Maksudnya, sebagaimana sebelum menyingkap dan mencerap wujud-wujud ini, kita tidak boleh mengingkarinya, kita tidak berhak -dengan alasan tersebut- untuk mengatakan bahwa kita telah mengenalinya, sebab-sebab natural tidak menunjukkan wujud-wujud ini kepada kita, sains tidak dapat membuktikannya kepada kita, dan ketiadaan wujud-wujud itu merupakan hal yang jelas, maka - sehubungan dengan dunia metafisika- kita pun tidak boleh mengeluarkan pandangan.
Oleh karena itu, kita harus melepaskan metode-metode yang salah ini, sambil dengan teliti menelaah dalil-dalil rasional orang-orang mukmin. Baru setelah itu kita menyampaikan keyakinan kita. Niscaya akan mendapatkan konklusi yang positif.
Kesimpulan dari jawaban pertanyaan Anda adalah bahwa sebenarnya Anda dan setiap orang yang mau berusaha dengan serius dan sungguh-sungguh dapat mempercayai dan meyakini, bahkan juga merasakan adanya hal-hal yang gaib, terutama Tuhan Pencipta alam raya ini. Akal pikiran manusia memiliki peranan utama untuk mencapai tujuan mulia dan agung tersebut.
Bukankah ruh Anda, akal pikiran dan hal-hal lainnya yang bersifat non-materi yang terdapat di sekitar Anda itu semua bersifat gaib? Bukanlah Anda senantiasa merasakan hal itu? Yakinlah, dengan banyak merenung dan memikirkan penciptaan diri Anda sendiri dan isi alam raya ini, Anda pasti akan mencapai keyakinan dan keimanan yang kokoh mengenai wujud Tuhan Pencipta dan hal-hal gaib lainnya, seperti surga, neraka, dan lain-lain.[]
4. Faktor-faktor Penyimpangan dan Cara Menanggulanginya
Pertanyaan:
Kemajuan informasi dan teknologi sedemikan pesatnya, hingga bukan hanya orang-orang yang tinggal di kota-kota besar, bahkan masyarakat pelosok-pelosok desa pun kini dapat menikmati manfaat dan merasakan mudharat berbagai sarana informasi dan teknologi mutakhir tersebut. Bukan hanya orang-orang yang melek huruf, bahkan mereka yang buta huruf pun tahu, bahwa masyarakat dunia, tidak terkecuali di negara tercinta kita Indonesia, semakin jauh dari Tuhan dan semakin lengket -sperti perangko yang menempel di amplop- dengan materi duniawi.
Jumlah orang-orang yang imannya lemah -selemah sarang laba-laba- dan tipis -setipis kulit bawang- kemudian murtad dari agamanya, setiap hari semakin meningkat. Sebagaimana jumlah orang-orang yang beriman kemudian imannya itu mengalami kerapuhan, dan orang-orang yang fitrah sucinya tercemari polusi berbagai maksiat dan kemungkaran, juga semakin bertambah.
Sebenarnya apa sih yang sedang terjadi di dunia ini? Mengapa umat manusia, khususnya masyarakat Indonesia yang kami saksikan sendiri, kelihatan jelas semakin berlomba mencintai dunia (materi), meninggalkan agama dan bahkan semakin nampak membenci ulama dan apa yang dibawanya? Faktor-faktor apakah sebenarnya yang menyeret mereka terjerembab ke dalam jurang gelap materialisme dan duniaisme tersebut? Adakah jalan-jalan dan langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk menyelamatkan umat yang sedang merana dan menderita penyakit kronis tersebut?
Saya sendiri merasa bingung dan tidak tahu apa yang harus saya lakukan, ketika menghadapi fenomena luas merata semacam ini. Saya tidak mengerti, apakah kita yang menjauhkan Tuhan ataukah Tuhan yang sudah jenuh dan menjauhkan rahmat-Nya dari mereka? Bahkan terkadang terbesit selintas di benak ini; Benarkah Tuhan Pencipta itu ada? Mengapa paham Materialisme itu nampaknya semakin menyebar dan mengakar? Sebenarnya sejak kapan paham tersebut mulai muncul di permukaan bumi ini? Bukankah ajaran Ilahi dan keyakinan terhadap wujud Sang Pencipta itu ada sejak diciptakan manusia pertama; Adam dan Hawa?
Barang kali rekan-rekan di Al-Balagh dapat menuangkan atau menukilkan sebagian dari pikiran-pikiran orang-orang pinternya untuk sekedar meng-adem-kan panasnya kepala saya ini, sehubungan dengan fenomena terjadinya berbagai penyimpangan keyakinan terhadap wujud Tuhan Pencipta, dan bagaimana cara menanggulanginya. Atas kesediaannya kami ucapkan banyak terimaksaih. Semoga besar manfaatnya, bukan hanya buat mendinginkan kepala saya ini, tetapi juga buat pembaca lainnya di berbagai belahan bumi Nusantara. Amin...........................
Jawab:
Pertama, kami ucapkan banyak terimakasih kepada Anda yang telah menyempatkan diri untuk melayangkan sepucuk surat yang berisikan beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan masalah akidah dan keyakinan. Harapan dan doa kami, semoga kiranya Anda sekeluarga tetap dalam kondisi sehat wal 'afiat dan dalam lindungan Tuhan Yang Esa, sehingga dapat menjalankan tugas, baik yang berhubungan dengan sesama makhkuk, khususnya manusia, maupun tugas-tugas yang berhubungan dengan Tuhan Pencipta alam semesta ini. Pertanyaan yang Anda ajukan dapat kami pahami dengan baik. Semoga jawaban yang akan kami sampaikan dan kami nukilkan, dapat pula dipahami dengan baik, sehingga bermanfaat untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Amin.........
Apa yang Anda katakan memang dapat dibenarkan dan merupakan fenomena umum yang dapat dibuktikan, khususnya di negara kita Indonesia. Sebelumnya, kami akan menyinggung -secara global- mengenai pandangan dan keyakinan umat manusia di muka bumi ini terhadap Tuhan Pencipta jagat raya. Mungkin dapat dibenarkan bahwa umat manusia di muka bumi ini, terbagi menjadi dua kaum dan kelompok besar; kaum agamawan dan kaum non agama.
Kaum agamawan, maksudnya ialah mereka yang meyakini suatu ajaran agama, baik agama samawi (langit) ataupun agama ardhi (bumi). Sementara kaum non agama ialah: Mereka yang tidak meyakini dan tidak mengikuti agama apapun, baik kaum ateisme maupun kaum materialisme. Dengan kata lain -secara umum- bahwa pandangan dunia -sehubungan dengan masalah keyakinan terhadap wujud Sang Pencipta alam semesta ini- terbagi menjadi dua bagian, yaitu pandangan dunia Ilahi dan pandangan dunia Materialisme.
Masing-masing dari kedua pandangan tersebut memiliki peran penting, bukan hanya dalam menentukan gaya dan sikap hidup seseorang dalam hidupnya di dunia fana ini, bahkan juga turut menentukan nasib mereka di alam akhirat, setelah mereka meneguk kematian. Perbedaan dan perdebatan terpenting kedua pandangan tersebut terletak dan berkisar pada wujud Tuhan yang Mahatahu dan Mahakuasa. Pandangan dunia Ilahi -yang merupakan keyakinan kaum agamawan- menjadikan keberadaan Tuhan sebagai sebuah prinsip utama. Sedangkan pandangan dunia Materialisme mengingkari keberadaan Tuhan Pencipta.
Pembuktian atas wujud Tuhan dan sifat-sifat-Nya, telah dibahas, dijelaskan secara luas dengan berbagai argumen rasional dan disajikan sesuai dengan selera pembaca dalam beberapa tema dan kajian di dalam situs Al-Balagh ini.
Pada kajian dan pembahasan kali ini, dan dalam memberikan jawaban atas beberapa pertanyaan yang diajukan di atas, juga demi memantapkan keimanan terhadap dasar yang penting ini, kami akan berusaha menjelaskan beberapa faktor penyimpangan yang terdapat pada pandangan dunia Ilahi dan kaum agamawan, yang mengarah kepada pandangan Ateisme. Setelah itu, kami akan menjelaskan poin-poin penting mengenai bagaimana cara menaggulangi penyakit yang kini sedang menjangkiti masyarakat dunia, tidak terkecuali rakyat Indonesia.
Faktor-faktor Penyimpangan
Jika kita menengok dan membuka-buka lembaran sejarah berbagai paham dan keyakinan umat manusia di muka bumi ini, akan kita dapati bahwa Materialisme dan Ateisme memiliki sejarah yang panjang dalam kehidupan manusia. Sementara keimanan dan keyakinan terhadap wujud Tuhan Pencipta alam raya, telah ada semenjak dimulai dan munculnya kehidupan umat manusia itu sendiri.
Meskipun keimanan kepada Tuhan Pencipta, senantiasa ada di tengah umat manusia dan bangsa-bangsa terdahulu -sebagaimana ditunjukkan oleh bukti-bukti sejarah dan arkeologi- namun demikian, masih saja ditemukan adanya individu dan kelompok yang mengingkari wujud Tuhan Pencipta. Di Eropa, kecenderungan anti agama mulai tersebar sejak abad 18.
Kemudian secara perlahan-lahan menyebar ke seluruh permukaan dunia. Negara kita; Indonesia, termasuk salah satu negara yang walaupun masyarakatnya memiliki dan menerima keyakinan yang beragam, termasuk keyakinan kepada ajaran agama samawi, namun merupakan lahan yang subur pula untuk tersebarnya penyakit anti agama dan anti Tuhan.
Walaupun pada awalnya fenomena ini merupakan reaksi dari tekanan gereja Kristen, tetapi anginnya menghembus ke seluruh agama dan aliran. Barat, telah mengekspor pandangan ateisme tersebut ke seluruh belahan dunia berbarengan dengan ekspor industri, seni dan teknologi. Kemudian menyebar pada kurun terakhir bersamaan dengan tersebarnya dasar-dasar sosiologi dan ekonomi Marxisme di kebanyakan bangsa dan negara, sehingga membentuk rintangan, bahaya besar dan sindrom yang menakutkan bagi umat manusia.
Sebenarnya faktor-faktor yang menyebabkan muncul dan tersebarnya penyimpangan ini banyak sekali. Pembahasan tentang semua faktor ini memerlukan buku tersendiri. Tetapi pada kesempatan yang terbatas ini, secara umum kami akan menyederhanakan faktor-faktor itu pada tiga kategori:
1. Faktor Kejiwaan
Yaitu faktor-faktor yang mendorong seseorang kepada pandangan ateistik, sekalipun ia tidak menyadari adanya pengaruh tersebut. Faktor terpenting adalah rasa ingin senang, santai, malas, dan tidak memiliki rasa tanggung jawab. Yakni dari satu sisi, bahwa kesulitan mengkaji -khususnya dalam hal-hal yang tidak memiliki kenikmatan inderawi- menjadi penghalang bagi orang yang malas, santai dan tidak memiliki minat untuk meneliti. Dari sisi lain, kecenderungan untuk bebas sesuka hati dan tidak adanya rasa tanggung jawab, menjadi kendala bagi mereka menuju pandangan dunia Ilahi.
Menerima pandangan dunia Ilahi dan meyakini adanya Pencipta Yang Mahabijak, merupakan titik tolak untuk menerima seperangkat keyakinan lainnya yang menuntut seseorang, agar memiliki rasa tanggung jawab dalam seluruh pilihan dan tindakannya. Rasa tanggung jawab ini, mengharuskannya agar konsisten pada kewajiban Ilahi dan berpaling dari desakan hawa nafsu. Tentunya, konsistensi tersebut tidak selalu sejalan dengan rasa ingin bebas. Oleh karena itu, keinginan hewani ini -tanpa disadari- menjadi sebab untuk menghindar dari tanggung jawab dan dari berbagai aturan, serta menjadi sebab untuk mengingkari wujud Tuhan Pencipta alam semesta.
Ada pula faktor-faktor kejiwaan lain yang mempunyai peran penting dalam mengarahkan seseorang menjadi ateisme dan akan nampak terlihat di antara semua faktor.
2. Faktor Sosial
Maksudnya adalah situasi dan kondisi sosial yang buruk, yang tampak pada sebagian masyarakat, ketika para pemimpin agama turut andil dalam mewujudkan dan memperluas kondisi buruk tersebut. Situasi dan kondisi buruk semacam ini, akan mengikis pandangan dan akidah yang benar dari pikiran sebagian orang yang dangkal pandangannya, lemah pemikirannya, serta tidak dapat mengkaji secara jeli faktor-faktor yang sebenarnya terjadi di balik kondisi tersebut. Karena itu, ketika mereka melihat bahwa orang-orang yang beragama turut berperan dalam menciptakan kondisi buruk tersebut, mereka mengkaitkannya dengan agama. Mereka menuduh bahwa keyakinan-keyakinan agama merupakan faktor utama bagi munculnya situasi dan kondisi buruk tersebut, sehingga hal itu membuat mereka jauh dari agama.
Kondisi masyarakat Eropa di era Renaisains, merupakan pengalaman yang jelas bagi faktor tersebut. Ketika itu, sikap dan citra Gereja tampak buruk di berbagai bidang agama, sistem hukum dan politiknya merupakan faktor terpenting yang membuat masyarakat kristian menjauhi Kristen, bahkan menjauhi agama secara umum.
Termasuk hal penting yang harus diperhatikan oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap masalah agama, hendaknya mereka memahami faktor-faktor dominan tersebut. Pemuka agama harus memahami pentingnya keberadaan mereka di tengah masyarakat, dan betul-betul mengerti bahwa kesalahan mereka dapat mengakibatkan masyarakat menjadi sesat dan celaka.
3. Faktor Pemikiran
Maksud dari faktor pemikiran di sini adalah berbagai dugaan dan keraguan yang terbetik di benak seseorang, atau yang ia dengar dari orang lain. Tetapi, ia tidak mampu menghadapinya lantaran kemampuannya yang minim untuk berpikir dan berargumentasi. Oleh karena itu, sedikit banyaknya ia tunduk di bawah keraguan-keraguan tersebut. Paling tidak, hal itu menjadi sebab munculnya keraguan dan kegoncangan dalam pikirannya, sehingga ketenangan dan keyakinan dalam hatinya terganggu.
Pada gilirannya, faktor pikiran ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian sekunder, seperti keraguan-keraguan yang berdasarkan kecondongan kepada persoalan-persoalan indrawi, keraguan-keraguan yang timbul dari keyakinan-keyakinan khurafat, keraguan-keraguan yang timbul dari penafsiran-penafsiran yang keliru, argumen-argumen yang lemah, keraguan-keraguan yang berhubungan dengan peristiwa dan tragedi yang menyakitkan hati, sehingga hal itu diyakini berlawanan dengan hikmah, kebijaksanaan dan keadilan Ilahi, keraguan-keraguan yang timbul dari asumsi-asumsi ilmiah yang dipahami oleh sebagian orang bahwa hal itu bertentangan dengan keyakinan agama, dan keraguan-keraguan yang berhubungan dengan hukum-hukum dan ajaran agama, khususnya masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum dan politik.
Barangkali masih ada dua atau beberapa faktor lainnya yang semuanya itu turut andil dalam membentuk kondisi kebimbangan atau penolakan. Kadangkala kita temukan bahwa berbagai kesusahan jiwa dapat menjadi faktor penyiap bagi timbulnya berbagai keraguan. Dengan sebab itu, seseorang dapat ditimpa penyakit jiwa yang berupa waswas pemikiran.
Akibatnya, penderita ini mengalami kondisi serbaragu, sehingga tidak pernah merasa puas dengan dalil dan argumen apapun, sebagaimana hal ini kita saksikan pada seseorang yang tertimpa waswas dalam pekerjaannya, dan tidak merasa yakin akan kebenaran setiap amal yang ia lakukan. Misalnya, kita saksikan bagaimana ia mencelupkan tangannya ke dalam air berpuluh-puluh kali. Meskipun demikian, tetap saja ia tidak merasa yakin dengan kesucian tangannya. Padahal sangat mungkin tangannya itu telah suci pada celupan yang pertama.
Cara Penanggulangan
Dengan mengkaji berbagai macam faktor penyimpangan, menjadi jelas bahwa untuk mengatasi masing-masing faktor tersebut membutuhkan metode tertentu, sikap dan solusi secara khusus. Misalnya untuk mengatasi faktor-faktor kejiwaan dan moral, diperlukan pendidikan yang benar dan mengetahui berbagai efek buruknya. Demikian pula halnya dalam menanggulangi efek-efek buruk dari faktor-faktor sosial.
Oleh karena itu, di samping berusaha untuk mencegah terjadinya situasi dan kondisi serta faktor-faktor seperti ini, kitapun harus menjelaskan perbedaan yang besar antara kebatilan agama itu sendiri dan tidak adanya konsistensi orang-orang yang beragama atau buruknya tingkah laku mereka. Sesungguhnya menyadari dan mengetahui adanya pengaruh faktor-faktor kejiwaan dan sosial –paling tidak– akan menuai ketidaktundukan seseorang secara tidak sadar terhadap faktor-faktor semacam ini.
Demikian pula, kita harus menggunakan metode-metode yang benar dan sikap yang baik dari berlipatgandanya berbagai pengaruh faktor-faktor pemikiran, seperti membedakan antara keyakinan-keyakinan khurafat dengan keyakinan-keyakinan yang benar, atau menghindari penggunaan argumen-argumen yang lemah dan tidak logis dalam membuktikan keyakinan-keyakinan agama.
Begitu pula kita harus menjelaskan kepada mereka akan hakikat berikut ini, bahwa kelemahan argumen tidak menunjukkan atas ketidakbenaran klaim. Artinya bahwa terkadang seseorang itu memiliki keyakinan yang kokoh terhadap wujud Tuhan Pencipta, karena kebersihat fitrahnya misalnya. Tetapi ia tiak mampu atau lemah dan tidak memiliki kemampuan yang handal, untuk menjelaskan apa yang diyakininya tersebut. Ketidak mampuannya atau kelemahannya dalam menyampaikan argumen atas keyakinannya itu, tidak mesti menunjukkan kelemahan akidahnya.
Dan sebaliknya, bahwa keyakinan yang batil jika disampaikan dengan berbagai argumen yang kuat, tidak menunjukkan dan sama sekali tidak menjadikan keyakinan batil itu menjadi benar dan harus diikuti. Dengan demikian bahwa lemahnya argumen seseorang tidak mesti menunjukan kebatilan akidah dan keyakinannya. Dan banyaknya argumen dan kuatnya argumen secara lahiriyah, tidak mesti menunjukkan benarnya akidah dan keyakinan seseorang. Tetapi hal itu harus teruji dalam diskusi dan dialog terlebih dahulu.[]
5. Kehudutsan Alam Materi
Pertanyaan:
Di antara site-site yang berbahasa Indonesia, dan di antara site-site yang menggarap masalah-masalah keagamaan, tidak berlebihan, paling tidak menurut pandangan saya pribadi, jika site Al-Balagh, berada dibarisan paling depan. Hal itu karena yang disajikan oleh site Al-Balagh adalah konsumsi dasar dan yang paling utama, dibandingkan dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Jelasnya, site Al-Balagh menghidangkan menu-menu primer demi memandu dan membimbing setiap akal dan jiwa insan yang sehat untuk dapat memilih dan meniti jalan-jalan terang, aman, damai, keselamatan dan kebahagiaan nan abadi.
Bukan hanya di dunia, bahkan juga di akhirat kelak. Jika demikian, betapa kami memerlukan kehadiran Al-Balagh. Ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kami sampaikan kepada rekan-rekan yang sibuk di dapur Al-Balgh. Kami harapkan sajian Al-Balagh semakin sedap, enak disantap, mudah dikunyah dan membuat tenaga baru buat ruh dan akal pikiran semua lapisan masyarakat negara kita Indonesia, demi meraih kebahagiaan di masa depan yang abadi. Kemudian, setelah kami mengkaji bahasan-bahasan yang disajikan Al-Balagh, namapaknya pembahaan mengenai kebaharuan alam (al-huduts) belum lagi dihidangkan.
Oleh karena itu -pada kesempatan ini- kami ingin menanyakan seputar masalah huduts (kebaharuan alam) tersebut. Setahu kami, bahwa para ulama tauhid atau teolog Islam memiliki pandangan, bahwa alam semesta ini, beserta segala macam materi yang ada di dalamnya, bersifat hadits. Yang berarti ada mulanya dan ada akhirnya. Dan kehudutsan alam ini, mereka jadikan sebagai argumen untuk membuktikan wujud Tuhan Pencipta yang bersifat qadim dan azali. Berbeda halnya dengan pandangan kaum Materialis; mereka mengklaim, bahwa materi dan alam semesta ini bersifat qadim dan azali.
Yang perlu kami tanyakan dan mohon dijelaskan adalah, bagaimana alam materi ini dapat dibuktikan kehudutsannya? Bagaimana kehudutsan alam materi ini menjadi bukti adanya Tuhan Pencipta? Dan apa kritik ulama Islam atas klaim kaum Materialis tersebut? Atau, apa jawaban mereka untuk mengingkari pandangan dan klaim kaum Materialis tersebut?
Jawab:
Terimakasih kembali kami sampaikan kepada Anda, pengunjung setia site Al-Balagh. Al-Balagh bukanlah milik kami pribadi, bukan pula milik sekelompok orang. Tetapi, Al-Balagh adalah milik kita semua dan milik semua orang yang memiliki jiwa dan akal yang sehat, yang berusaha mencari dan meniti jalan-jalan yang terang, jelas, logis, rasional dan filosofis.
Sebenarnya, masalah membuktikan keberadaan Tuhan Pencipta itu, tidak terpaku dan tidak bergantung kepada pembuktian hâdits dan tidaknya materi dan alam emesta ini. Dengan kata lain yang mungkin lebih jelas, bahwa boleh jadi seseorang memiliki pandangan, bahwa dunia dan alam semesta ini adalah bersifat qadim dan azali. Tetapi pada saat yang sama, ia juga meyakini adanya Tuhan Pencipta. Karena, meskipun terdapat hipotesa bahwa materi dan alam dunia ini bersifat azali, tetapi –nyatanya- tidak seorang pun yang dapat mengklaim bahwa kualitas-kualitas yang terdapat di dunia dan di alam semesta ini adalah azali.
Misalnya begini, tata surya, dengan segala isi dan maujud yang terdapat di dalamnya, dan juga aneka ragam makhluk yang eksis di planet bumi, dan kemungkinan juga hidup pada sebagian planet tata surya tersebut, tidaklah demikian semenjak permulaannya. Artinya, bahwa masing-masing dari kualitas-kualitas serta fenomena-fenomena itu, memiliki sejarah-sejarah tersendiri. Dan pada masa yang jauh dan dekat, telah berbentuk seperti ini.
Dari satu sisi, bahwa sistem yang berlaku di alam semesta ini, bukan merupakan akibat dari sebuah aksidental atau kebetulan. Karena terdapat selaksa dalil di hadapan kita, berkaitan dengan tema pembahasan ini, bahwa kebetulan atau aksdidental (by chance) tidak mungkin menjadi sumber sebuah sistem, seperti sistem dan tatanan alam semesta ini.
Oleh karena itu, kita dapat menjumpai beberapa figur di kalangan filosof, yang percaya pada ke-azalian materi. Tetapi pada saat yang sama, mereka juga berada pada barisan filosof Ilahi.
Tetapi, tidak diragukan lagi, bahwa mereka yang memandang materi dunia itu adalah hâdits, memiliki segudang dalil untuk membuktikan wujud Tuhan Pencipta.
Dengan memperhatikan dari apa yang telah disebutkan di atas, kini kita beranjak pada masalah, apakah alam semesta ini hadits atau azali. Sehingga -nantinya- kita dapat menilai, manakah yang benar dari kedua pendapat di atas dan sesuai dengan kenyataan. Dan manakah yang batil, untuk kita tinggalkan.
Berikut ini, mari kita coba mengkaji dan memahami dalil-dalil filosofis dan ilmiah, dalam membuktikan kebaruan alam materi:
1. Para filosof, memiliki dalil-dalil atas kebaruan (hâdits) materi, dimana hal tersebut bersumber dari masalah gerak (harakah). Penjelasannya sebagai berikut:
Sebagaimana kita ketahui, bahwa seluruh materi alam ini berada dalam gerak (in flux). Gerak adalah sesuatu yang berada pada dua masa, dan pada dua keadaan atau dua titik. Oleh karena itu, tidak ada gerakan yang muncul tanpa ada pendahulunya. Dengan kata yang lebih terang, bahwa setiap gerak adalah sesuatu yang senantiasa hâdits (baru dan sebelumnya tiada).
Dan juga sudah menjadi maklum, bahwa apabila sesuatu itu memiliki kualitas-kualitas kebaruan (hâdits), maka ia juga merupakan hâdits (baru). Oleh karena itu, dengan kata lain, setiap materi senantiasa berada pada medan peristiwa-peristiwa atau kebaruan-kebaruan, serta tidak satu waktu pun, peristiwa atau kebaruan itu, tidak berpermulaan. Artinya setiap peristiwa, fenomena dan kebaruan pasti ada awal dan permulaannya. Mungkinkah sesuatu itu bersifat azali, tetapi tipologi yang tak terhindarkan dan yang senantiasa melekat pada dirinya itu, bersifat hâdits (baru)?
Inferensi dan istidlal ini, merupakan inferensi yang telah digunakan oleh para ulama kalam (teolog Ilahi), semenjak masa lampau sekali. Mereka menuangkan istidlal tersebut dalam bentuk dua kalimat dan redaksi yang pendek. Dah istidlal itu, telah masyhur di kalangan filosof dan teolog. Dua kalimat itu adalah:
Alam ini senatiasa berubah.
Dan setiap yang berubah adalah hâdits.
Maka alam ini adalah hâdits.
2. Dewasa ini juga, para ilmuan dengan bantuan sains, telah membeberkan bukti-bukti atas kebaruan materi. Sains berkata kepada kita, bahwa materi-materi alam ini -dari satu sisi- dan energi-energinya -dari sisi lain- berada dalam erosi. Dengan ungkapan yang lebih jelas, bahwa semakin tua usia dunia, maka akan semakin banyak pula atom-atom yang akan terurai. Misalnya planet matahari, setiap masa dua puluh empat jam, satu kali kehilangan atau berkurang beratnya.
Berat yang berkurang dan sirna darinya itu, kira-kira sebanyak tiga ratus ribu juta ton. Artinya bahwa ekuivalen jumlah ini, bersumber dari materi-materi pembentuk planet matahari. Dan melalui jalan penguraian atom, berganti menjadi energi cahaya dan panas. Artinya jelas, bahwa keadaan ini menyebabkan dan mengakibatkan matahari menjadi berkurang kesempurnaannya. Dan pada suatu masa nanti, akan sirna, habis dan halik. Karena seluruh materinya akan berganti menjadi energi.
Tentu saja, perubahaan dan pergantian ajeg ini, yaitu perubahan materi menjadi energi, tidak terbatas hanya pada matahari saja. Tetapi hal itupun terjadi pada seluruh materi yang menjadi pembentuk alam semesta ini. Artinya, bahwa materi-materi itu -secara gradual- akan terurai dan sirna, dan berubah menjadi energi. Dan hal ini merupakan sebaik-baik dalil untuk membuktikan kebaruan dan kehudutsan materi.
Apabila matahari, atau materi-materi pembentuknya, atau setiap planet-planet langit yang lain, bersifat azali; artinya bahwa materi-materi itu melewati masa yang nirbatas, maka -jika demikiian halnya- semestinya seluruh kemaujudannya hingga kini akan tiada dan sirna. Sementara kita saksikan bahwa materi-materi itu masih ada, aktif dan bergerak. Perkara ini merupakan bukti nyata, bahwa mereka memiliki histori, dan pada masa dekat atau jauh bersifat hâdits. Ucapan ini dapat dijelaskan dalam sebuah ungkapan filosofis sebagai berikut: Sains berkata kepada kita, bahwa :
Seluruh materi yang turut andil dalam membentuk alam semesta ini, pada akhirnya nanti, akan terurai dan sirna. Oleh karena itu, bahwa materi-materi tersebut tidak bersifat abadi.
Filsafat berkata kepada kita: Sesuatu yang tidak abadi, tidak mungkin akan menjadi azali, yakni tidak mungkin tidak didahului oleh ketiadaan, yakni pasti hadist dan bermula.
Dari sisi lain, seluruh energi alam semesta ini, berada dalam keadaan menua dan merenta. Artinya, bahwa seluruh energi itu -secara perlahan- akan berubah menjadi energi pasif. Dan kita belum dapat menyematkan nama atas energi-energi tersebut.
Jika kita letakkan sebuah wadah besar yang berisikan air panas di tengah kamar, maka perbedaan antara derajat panas wadah air tersebut dengan suasana di sekitarnya, menyebabkan wadah ini menjadi sumber energi aktif. Ia juga akan memberikan dan meninggikan suhu panas terhadap suasana di sekitarnya. Akibatnya, hawa dingin yang ada di sekitar ruangan tersebut, akan diggantikan oleh hawa panas yang ada. Dan proses suhu udara di tempat itu dan juga di atasnya, menjadi teratur.
Tatkala sumber energi ini melebur panasnya, dan menebar di sekitarnya, maka panas itu menjadi satu bentuk, diam dan hening, yang akan mengambil alih tempat itu. Kemudian gerakan itu tidak lagi dapat terlihat di sekiling tempat itu. Artinya, ia menjadi sebuah energi yang mati.
Matahari, planet-planet langit dan sumber-sumber energi yang lainnya, juga memiliki kondisi yang sama. Yang dengan berlalunya waktu dan masa, maka keadaan binasa dan sirna, akan mengambil alih suasana tersebut. Kecuali terdapat faktor lain yang berada di alam metafisika, terdapat gelombang dan gerak yang baru dan terjadi pergolakan yang baru.
Dari penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa energi-energi terkini, seluruhnya adalah bersifat hadits. Lantaran apabila seluruh energi tersebut bersifat azali, maka seharusnya keadaan satu bentuk tersebut itulah, -hingga kini- yang dapat kita saksikan.
Konklusinya adalah, bahwa majemuk alam materi dan bahkan energi-energinya, seluruhnya bersifat hadits dan bukan azali.
Kehudutsan alam materi bukti wujud Tuhan Pencipta
Dari uraian di atas dapat kita simplkan, bahwa alam semesta ini, dengan seluruh isinya dan berbagai materi serta fenomena yang ada, bersifat hadits, baru, ada awalnya dan mengalami halik, binasa dan kehancuran pada saatnya nanti. Masalahnya adalah, bagaimana kehudutsan alam semesta ini menjadi bukti adanya Tuhan Pencipta?
Sebenarnya, untuk membuktikan kehudutsan alam semesta ini, masih terdapat jalan-jalan lainnya, selain jalan yang biasa dilalui oleh ulama kalam dengan istidlal dan inferensi masyhur yang telah kami uraikan tadi. Jalan lainnya itu, seperti istidlal harakah jauhariyah dan istidlal dengan sins modern. Untuk mempermudah kajian dan menyingkat pembahasan, maka hal itu kami tangguhkan pada kesempatan lainnya.
Untuk membuktikan adanya Tuhan Pencipta alam semesta beserta isinya ini melalui kehudutsannya, setelah dapat kita buktikan kehudustannya, mudah saja. Begini, bahwa sesungguhnya segala yang hadits itu memerlukan kepada illat dan sebab. Hal ini sesuai dengan hukum akal. Bahkan hal itu merupakan sesuatu yang badihi, jelas dan gamblang.
Dengan ungkapan lain, bahwa setiap yang hadits, pasti memerlukan si muhdits sebagai pemberi wujud, penganugerah gerak dan pencipta serta pengaturnya. Karena segala sesuatu yang bersifat huduts, pasti bersifat imkan atau mumkin, yakni tidak mungkin dapat menciptakan dan mengadakan dirinya sendiri. Karenanya ia tidak qadim, tidak azali dan tidak bersifat abadi.
Apabila telah kita pahami, bahwa segala sesuatu yang hadits itu tidak dapat menciptakan dirinya sendiri, maka pasti ia memerlukan wujud lainnya yang telah menciptakannya. Wujud lainnya yang telah mewujudkan dan menciptakannya itu, mesti bersifat qadim, azali dan memiliki segala sifat kesempurnaan. Karena jika penciptanya itu bersifat hadits pula, pasti akan terjadi tasalsul (mata rantai yang tidak berpangkal dan tidak berujung).
Sementara telah kita buktikan pada pembahasan lainnya, dan di tempat yang lain, bahwa tasalsul itu -secara akal- hukumnya mustahil dan batil. Dengan demikian, maka pewujud dan pencipta segala yang hadits itu mesti bersifat qadim, azali dan mandiri; tidak bergantung kepada sesuatu yang lainnya sama sekali. Maujud yang memiliki sifat-sifat: qadim, azali dan tidak bergantung kepada selainnya sama sekali, dikenal sebagai wajibul wujud. Dialah Allah Swt, Yang Mahakuasa, mengetahui, berkehendak dan penganugerah kehidupan kita di dunia fana ini.
Sebenarnya terdapat pula beberapa ayat Al-Qur'an yang -dapat dikatakan- menunjukkan kehudutsan alam raya ini. Dan kemudian membuktikan Allah Swt sebagai pewujud dan penciptanya. Seubungan dengan hal ini, kami persilahkan Anda merujuk kepada ayat-ayat: surat At-thur : 35, Al-A'raf: 191, An-Nahl: 20 dan surat Al-furqan: 3. Di dalam kitab hadits Al-Kafi, terdapat sebuah riwayat dari Imam Ja'far As-Shadiq As ketika beliau menjawab pertanyaan putera Abu Auja' mengenai "Apa argmen atas hudutsnya ajsam (segala materi)?". Jawabannya, silahkan rujukkitab Al-kafi 1: 77, pada bab hudutsul 'alam wa itsbatul muhdits di dalam bab Tauhid.
Kiranya, sudah cukup jawaban yang kami uraikan atas pertanyaan Anda. Akhirnya, semoga kajian dan pembahasan sederhana ini dapat memperkokoh iman dan keyakinan kita kepada Tuhan Pencipta, sehingga dapat menambah amal ibadah kita kepada-Nya.
6. Pencipta Sang Pencipta?
Pertanyaan:
Salah satu dalil atau argumen yang digunakan untuk membuktian wujud Sang Pencipta adalah argumen keteraturan (argument from design atau burhân nazhm). Dan salah satu premis dari argumen tersebut adalah hukum kausalitas, hukum kesebaban dan keakibatan ('illiyat dan ma'luliyat); artinya bahwa segala sesuatu yang wujud itu memiliki sebab. Oleh karena alam semesta ini maujud, maka ia harus memiliki sebab. Dan karena alam semesta ini memiliki sistem dan tatanan tipikal, maka yang menyebabkan keberadaannya dan penciptanya harus memiliki ilmu dan kekuasaan yang sangat tinggi. Konsekuensinya atau kesimpulannya adalah alam semesta ini memiliki pencipta yang berilmu dan memiliki kekuasaan yang dinamakan Allah.
Sehubungan dengan masalah ini terdapat sebuah pertanyaan yang menegaskan bahwa hukum kausalitas merupakan hukum yang bersifat universal dan mencakupi seluruh eksistensi. Jika demikian halnya -sesuai dengan hukum kausalitas tersebut- maka Tuhan semesta yang dinamakan "Allah" (Pencipta) itu juga harus memiliki sebab (pencipta) dan illat (creator). Sementara kita beranggapan bahwa Tuhan merupakan "illat al-'ilal" (Sebab segala sebab) dan tidak ada yang menjadi sebab bagi keberadaan-Nya. Dalam keadaan ini, bagaimana kita dapat menjawab universalitas dan menjuntainya hukum kausalitas yang menyatakan bahwa segala sesuatu memiliki sebab?
Jawab:
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kami akan menyebutkan bahwa puak-puak Materialis dan Ilahi berada dalam satu barisan dalam menghadapi pertanyaan ini. Karena dalam pandangan orang-orang yang menyembah Tuhan, seluruh maujud (yang ada) semuanya kembali kepada Tuhan dan Dialah sebagai sumber keberadaan. Dan dalam persfektif puak-puak Materialis, seluruh bentuk keberadaan kembali kepada materi dan materilah yang menjadi sumber segala bentuk keberadaan.
Disebutkan bahwa apabila aturan ini sedemikian universal dan menjuntai, maka orang-orang yang menyembah Tuhan harus menentukan dan membuktikan pencipta Tuhan dan demikian juga kaum Materialis harus menentukan dan membuktikan pencipta materi.
Dan tidaklah fair apabila hanya orang-orang Ilahiyun (orang-orang yang menyembah Tuhan) yang harus membuktikan dan menentukan sumber keberadaan Tuhan. Orang-orang Materialis juga harus menentukan sumber keberadaan materi. Dan jawaban apa pun yang akan diberikan oleh puak-puak Materialis maka Ilahiyun juga akan memberikan jawaban yang sama.
Anehnya bagaimana soal common antara Materialis dan Ilahiyyun ini hanya ditujukan kepada orang-orang yang menyembah Tuhan saja dan orang-orang Materialis bebas dan lepas dari kewajiban untuk menjawab pertanyaan ini.
Matematikawan Inggris, Bertrand Russel, dimana politik yang mengantarkannya menjadi seorang filosof, dalam bukunya yang makruf, Mengapa Aku Bukan Seorang Kristian, disebutkan:
"Aku beriman kepada Tuhan ketika aku berusia muda. Aku meyakininya melalui argumen kausalitas yang terbaik. Aku percaya bahwa seluruh eksistensi merupakan makhluk Tuhan, tetapi kemudian aku melihat apabila aku bertahan dengan keyakinan semacam ini, maka aku harus meninggalkan hukum kausalitas, karena sains berkata kepada kita bahwa "segala sesuatu memiliki sebab, lalu apabila aku beriman kepada Tuhan, aku harus mencari sebab dan illat untuknya, sementara Tuhan dalam kepercayaan ini merupakan maujud tanpa sebab. Maka untuk menjaga hukum kausalitas, aku cabut diri dari jajaran orang-orang yang menyembah Tuhan dan masuk dalam barisan Materialis.”
Menakjubkan! Bagaimana filosof ini lalai bahwa kekurangan hukum kausalitas ini (dengan asumsi benarnya) adalah common (sama) di antara kalangan Materialis dan Ilahi, karena sebagaimana "Tuhan" dalam maktab orang-orang yang menyembah Tuhan adalah maujud qadim dan tanpa sebab. Maka "materi" dalam maktab Materialis juga merupakan maujud qadim dan tanpa sebab. Kapan saja demi menjaga hukum kausalitas mencegah kita dari menyembah Tuhan, maka ia juga harus mencegah orang-orang Materialis dari menyembah materi dan bergabung dengan puak-puak Skeptis, bukannya dalam jejeran orang-orang Mulhid dan kaum yang mengingkari keberadaan Tuhan.
Bagaimana para filosof ini lalai dan alpa dari poin ini tidak jelas bagi kita. Kini kita alihkan untuk menjawab pertanyaan di atas.
Dalam pertanyaan ini terdapat sebuah fuzzy logic (mughâlatha) dan hal itu adalah menempatkan maujud sebagai fenomena dan keduanya merupakan hal yang sama dan sinonim. Penjelasannya di sini, kita memiliki dua matlab di sini. Satunya benar dan yang satu lagi adalah salah:
1. Setiap fenomena memiliki sebab
2. Setiap maujud memiliki sebab
Apa yang dijelaskan oleh hukum kausalitas kepada kita adalah sesuai dengan poin pertama. Dan makna yang sebenarnya adalah segala sesuatu yang sebelumyna tiada dan kemudian ada. Seperti anak Anda yang sebelumnya tiada dan kemudian ada, tentu saja memiliki sebab dan hukum ini merupakan hukum akal bukan hukum empiris dan sekali-kali tidak ada pengecualian di dalamnya.
Argumen rasional kaidah ini, menelaah pahaman atau komprehensi "mumkin" (kontingen) dimana ada dan tiadanya adalah ekuivalen dan setara. Dengan kata lain, boleh jadi pada berada pada suatu lingkaran dan kemudian tertarik kepada salah satu dari dua sisi lingkaran (ada dan tiada) niscaya memerlukan dalil dan sebab.
Sesuatu yang ada, tiadanya sebab adalah tiadanya fenomena baginya sudah mencukupi. Sementara wujud fenomena memerlukan adanya sebab yang mewujudkannya. Dan tidak satu pun eksponen Ilahiyun yang menegasikan dan menafikan hukum ini. Dan secara asasi, hukum inilah yang menjadi landasan dan fondasi argumen-argumen dan burhan-burhan monoteisme (tauhid).
Sementara poin kedua, adalah batil. Karena maujud apabila ia memerlukan sebab, ia memerlukan bagian dari fenomena dan maujud yang sama sekali bukan fenomena dan tidak memiliki latar belakang ketiadaan dan wujud semenjak azal, wujud semacam ini karena tidak perlu kepada sebab, ia tidak memiliki sebab dan tidak dapat memliki sebab.
Tuhan yang diintrodusir oleh orang-orang Ilahiyun sebagai mabda dan sumber segala keberadaan, merupakan maujud yang azali dan abadi dan tidak sedetik pun kosong dan sepi dari wujud dan setelah itu kumpulan wujud yang menutupinya (mengadakannya).
Dalam keadaan seperti ini, mencari dan menelusuri sebab untuk maujud semacam ini adalah bersumber dari kelalaian dan kealpaan terhadap realitas dan hakikat wujud-Nya.
Adapun di antara seluruh maujud, harus terdapat maujud yang bernama "Tuhan" berhadapan dengan realitas ini; artinya ia merupakan maujud azali dan abadi, dalilnya adalah kemustahilan dan kebatilan tasalsul yang telah terbukti bagi kita dimana rangkaian dan silsilah wujud harus berujung pada satu titik, dimana di dalamnya yang ada hanyalah kesebaban dan bukan keakibatan, ia adalah pemberi wujud dan bukan penerima wujud, ia harus mufidh (yang memberikan emanasi) bukan mustafhid (yang diemanasi); selain dari-Nya tidak mungkin alam kontingen dapat terwujud.
Realitas dan hakikat ilmiah ini telah disampaikan dalam sebuah penjelasan yang telah dibahas dalam filsafat di bawah sebuah kaidah yang menyebutkan:
Kullu mâ bi al-aradh labudda an yantahi ila mâ bi adz-dzat
(Segala yang aksiden harus berakhir kepada sebuah esensi)
Pertanyaan yang mengemukakan bahwa siapa yang menciptakan Sang Pencipta dan siapa pencipta-Nya adalah termasuk pertanyaan yang mengandung kontradiksi. Lantaran maksud dari Tuhan adalah maujud azali dan abadi yang senantiasa eksis dan ada dan sekali-kali tidak pernah tiada.
Secara definitif asumsi tema ini bahwa ia kaya dari sebab dan penciptaan senantiasa bersama-Nya.
Mereka yang bertanya setelah adanya asumsi ini bahwa siapakah pencipta Tuhan?
Terkadang untuk memahamkan matlab kepada orang-orang yang tidak ahli dan ekspert, mereka mengambil permisalan dan berkata: "Kemanisan segala sesuatu adalah kepada gula dan kream gula, tetapi kemanisan keduanya adalah bersumber darinya. Kecemerlangan segala sesuatu adalah kepada cahaya, tetapi cahaya secara esensial adalah terang dan cemerlang. Tetapi permisalan ini adalah untuk mendekatkan kepada pemahaman, dan dari berbagai sisi tidak sesuai dengan pembahasan di atas. Namun lantaran berada pada arsy transformasi pemahaman, maka tidak ada alternatif lain kecuali mengambil bantuan dari misal-misal tersebut.
Dengan demikian, setelah mengemukakan contoh dan misal di atas dalam menjawab soal di atas bahwa seluruh maujud bersumber dari Tuhan, lalu keberadaan Tuhan darimana? Harus dikatakan: Keberadaan Tuhan adalah bersumber dari-Nya dan bersumber dari wujud-Nya sendiri.
7. Apakah Alam Semesta Bermula dari Ketiadaan?
Pertanyaan:
Sebelum mengajukan pertanyaan izinkan saya menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada para krue site www.albalaghalmobeen.net yang telah berupaya, di tengah-tengah kesibukannya menuntut dan menggali ilmu dan makrifat, memberikan kontribusi kepada masyarakat yang dahaga terhadap ilmu dan makrifat khususnya ilmu dan makrifat kepada Tuhan. Pada pembahasan lalu, pada site yang sama telah diajukan sebuah pertanyaan bahwa apakah dunia itu hadits (yaitu berpermulaan)? Yang jawabannya telah dibeberkan secara detail oleh krue telaga. Trims.
Selanjutnya sebagai kelanjutan dari pertanyaan itu, kini sebuah pertanyaan lagi mengemuka bahwa apakah alam semesta itu (baca: dunia) bermula dari ketiadaan? Ataukah ia, betapapun hadits, bermula dari keberadaan? Lantaran dalam sains kita menerima kaidah bahwa:
"Sekali-kali sesuatu tidak pernah akan muncul dari ketiadaan" Kini sebuah pertanyaan mengemuka: Apakah dunia yang kita huni sekarang ini bersifat qadim atau azali? Ataukah hadits atau baru tercipta?
Apabila kita berkata bahwa alam ini adalah hadits, dalam bentuk seperti ini kita harus menerima bahwa dunia atau semesta ini bersumber dari ketiadaan dan keadaan ini berseberangan dengan kaidah pertama yang telah terbukti dalam sains.
Apabila kita berkata bahwa alam ini adalah qadim dan azali, dalam bentuk seperti ini kita harus menerima bahwa peran Tuhan dalam menciptakan semesta dan Tuhan hanya mengubah dan menggantinya bukan mencipta dan mengadakannya; dengan kata lain, kesimpulan dari asumsi ini adalah bahwa Tuhan tidak menciptakan materi pertama, akan tetapi materi semesta berada dalam bentuk maujud qadim. Namun Tuhan membuat perubahan di dalamnya dan memunculkannya dalam bentuk yang beragam. Sekali-kali seorang yang mengesakan dan memiliki makrifat kepada Tuhan tidak akan pernah menerima asumsi ini. Lantaran dalam bentuk seperti ini, akan terdapat wujud qadim yang lain selain Tuhan yang bernama materi yang serupa dengan keberadaan Tuhan yang azali dan qadim.
Apabila kita berkata bahwa seluruh perubahan-perubahan dan pergantian-pergantian merupakan tipologi materi, dalam keadaan seperti ini tidak tersisa lagi peran bagi Tuhan, lantaran keberadaan materi adalah qadim dan azali dan setiap jenis perubahan, pergantian dalam materi merupakan esensi materi dan selesai. Selebihnya perlu apa lagi kepada Tuhan. Sekian saja, terima kasih. Semoga Tuhan senantiasa memberikan kekuatan dan ekstra tenaga kepada Anda untuk senantiasa melakukan gerakan pencerahan lewat penyuluhan ilmu dan makrifat kepada masyarakat. Semoga.
Jawaban:
Terima kasih kembali atas perhatian dan kejelian Anda dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan berbobot di atas. Langsung saja, dalam menjawab pertanyaan penting di atas harus dikatakan:
Pertama, mereka yang berkata bahwa: sains telah membuktikan bahwa segala sesuatu tidak akan pernah bersumber dari ketiadaan, berkaitan dengan keadaan-keadaan dewasa ini; artinya pada kehidupan hari ini tidak satu tempat pun yang pernah terlihat bahwa sesuatu keluar dari ketiadaan, akan tetapi apakah kaidah ini berasal dari kaidah yang paling kuno, satu kaidah asasi dalam dunia eksistensi? Sekali-kali bukan dalil atas kaidah tersebut.
Misalnya sains berkata: Pada situasi dewasa ini tidak satu pun maujud yang hidup di alam natural bersumber dari maujud yang tidak memiliki ruh, bahkan makhluk-makhluk yang bernyawa misalnya tumbuh-tumbuhan dan hewan semuanya terlahir dan terwujud dari maujud yang bernyawa.
Sementara kita ketahui bahwa tidak selalu demikian adanya, lantaran tatkala planet bumi berpisah dari matahari, satu lembar api dan tidak satu pun maujud yang hidup yang terdapat pada tempat tersebut sehingga maujud-maujud yang bernyawa terwujud darinya.
Apabila disebutkan bahwa kehidupan dari planet-planet yang lain bertransmigrasi ke planet ini, ucapan ini juga kami ulangi pada planet-planet lain dimana mereka juga serupa dengan planet bumi adalah satu lembar kain api, lalu bagaimana maujud yang hidup di dalamnya dapat terwujud?
Oleh karena itu jelaslah bahwa dalam keadaan khusus maujud-maujud yang tanpa ruh, berbentuk maujud yang memiliki ruh dan mengalami perubahan; kendati pekerjaan ini dalam situasi yang ada sekarang ini tidak memungkinkan untuk dapat terlaksana.
Dalam hal ini apabila kita tidak menjumpai bahwa wujud tidak berasal dari 'adam (nothingness, ketiadan), bukanlah menjadi dalil atas kemustahilannya; khususnya bahwa sekecil-kecil dalil rasional atas tercegahnya juga tidak tersedia.
Akan tetapi ketika kita berkata bahwa dalil ketercegahan ditemukannya wujud yang bersumber dari ketiadaan dan wujud dapat bersumber dari ketiadaan, bukanlah berarti bahwa wujud adalah sesuatu yang secara otomatis bersumber dari ketiadaan dan nothingness merupakan mukaddimah dan pendahuluan keberadaan dan tanpa sebab apapun ketiadaan mengenakan busana keberadaan. Lantaran kemunculan keberadaan dari ketiadaan berarti, mengharuskan dan meniscayakan penafian hukum kausalitas. Dan natijah atau konklusinya adalah bahwa sesuatu tanpa adanya sebab yang mewujudkannya, tiba-tiba menjadi ada dan ketiadaanlah yang mengisi keberadaannya.
Namun yang kami maksudkan dari "munculnya ada (wujud) dari tiada ('adam)" adalah apabila sesuatu memiliki latar belakang ketiadaan dan nothingness, setelah itu dalam pancaran sebab yang kuat yang dapat melepaskan ketiadaan dan mengenakan buasana keberadaan dan latar belakang semacam ini tidak menjadi halangan yang berada dalam pancaran sebab menjadi ada.
Kedua, dunia materi tanpa ragu adalah hadits dan ia tidak dapat bersifat azali. Lantaran kita ketahui bahwa seluruh atom-atom semesta secara gradual berada dalam keadaan terpecah dan terurai. Dengan demikian, usia semesta dalam takaran tertentu akan menjadi tetap dimana dengan datangnya seluruh atom-atom akan terurai.
Apabila waktu berlalu tanpa batas atas semesta ini, maka akhir pekerjaan semesta akan tiba dan penguraian seluruh atom-atom akan terjadi dan hari ini tidak ada lagi sesuatu yang bernama materi yang tersisa.
Apabila kita melihat lampu minyak yang berada dalam keadaan terbakar, pastilah kita ketahui bahwa semenjak azal dan pada suatu masa yang tanpa batas tidak menyala, lantaran apabila lampu minyak itu menyala semenjak azal, dengan memperhatikan bahwa takaran minyak yang berada pada lampu tersebut adalah terbatas dan bukan tanpa batas, maka lampu itu beberapa waktu lalu padam; demikian juga atom-atom yang berada di alam semesta.
Karena sesuai dengan kaidah "anthropi" semesta ini berujung kepada ketuaan. Dan atom-atom semesta senantiasa dalam keadaan menua dan suatu hari seluruh energi yang berada di alam semesta ini akan pasif dan tidak terkonsumsi. Lantaran gerakan energi sama dengan kekuatan yang berasal dari gerakan air, dari titik tinggi ke titik rendah.
Apabila air yang ada bersumber dari telaga pada takaran tertentu (banyak atau sedikit), pada akhirnya pada suatu hari berlaku kesamaan tingkatan di antara air-air tersebut dan energi yang bersumber dari bawah air akan sirna dan punah.
Oleh karena itu, apabila semesta itu adalah azali maka haruslah pada beberapa masa yang lalu, energi-energinya tidak bekerja aktif dan berpengaruh dan dunia berada dalam keadaan bungkam dan gelap gulita dan satu bentuk dan pada hakikatnya sejenis ketiadaan dan 'adam yang berlaku.
Apa yang telah disebutkan, akan tertuai sebuah kesimpulan bahwa alam semesta ini memiliki permulaan dan historikal dan tidak dapat bersifat azali.
Poin yang menarik yang harus diperhatikan di sini adalah dimana sains berkata: alam semesta ini memiliki akhir, karena kaidah antropi, ketuaan, erosi dan mengurainya atom-atom merupakan sebaik-baik dalil untuk membuktikan bahwa alam semesta ini memiliki akhir.
Namun kita ketahui bahwa sesuatu yang memiliki akhir, tentu saja memiliki permulaan. Karena apabila sesuatu itu azali maka keberadaannya haruslah berasal darinya dan bersumber dari esensinya sendiri; dengan ungkapan lain keberadaanya merupakan ciri khas esensinya sendiri dan sesuatu yang keberadaannya bersumber dari dirinya dan wujudnya berasal dari ciri khas esensinya sendiri tidak mungkin memiliki akhir.
Dari sisi ini, para ilmuan berkata: Sesuatu yang memiliki akhir, tentu saja memiliki permulaan dan sesuatu yang tidak memiliki akhir dan tidak fana niscaya tidak memiliki awal dan permulaan; dengan ungkapan lain setiap maujud yang azali pastilah ia abadi sebagaimana setiap maujud yang fana (sirna) tentu saja ia hadits (berpermulaan).
Ketiga, perubahan dan pergantian yang merupakan sistem tipikal yang terlihat di alam semesta, tidak dapat bersumber dari tipologi materi itu sendiri. Lantaran maksud dari ucapan ini adalah bahwa sistem yang menakjubkan ini merupakan hasil dari tabrakan, padahal sistem yang berlaku di alam semesta ini khususnya yang berkaitan dengan alam hidup, sedemikian akurat dan kalkulatifnya dan terorganisir serta tertata sehingga tanpa control dari sebuah sumber ilmu dan kekuasaan mustahil dapat terwujud, dan kemungkinan tabrakan dalam penciptaan alam semesta, sesuai dengan perhitungan probablitas ekuivalen dengan nilai kosong; artinya secara praktis mustahil adanya.
Dengan memperhatikan ketiga kaidah ini, jawaban beragam pertanyaan ini menjadi jelas bahwa tidak menjadi halangan alam semesta ini bersumber dari ketiadaan dan kaidah sains juga menunjukkan bahwa materi dan energi semesta ini adalah bersifat hadits dan pada akhirnya menuju kepada ketiadaan dan kesirnaan.
Satu-satunya yang abadi dan azali adalah wujud yang muncul dari esensinya dan wujud seperti ini tidak memiliki permulaan (azali) dan juga tidak sirna (abadi).
Demikian juga menjadi jelas atas hipotesa bahwa materi semesta adalah azali, perubahan dan pergantian tidak dapat dianggap sebagai tipologi materi, lantaran filsafat dan sains telah membuktikan bahwa sistem semesta dan rahasia dan keajaiban-keajaibannya khususnya yang berkaitan dengan alam hidup dan kehidupan harus memiliki pencipta yang kuasa dan berpengetahuan.
8. Apakah Daur dan Tasalsul itu? Dan Mengapa Keduanya Batil?
Pertanyaan:
Para krue redaksi wisdoms4all.com
10
lbalaghalmobeen.net yang budiman, para filosof Ilahi dalam mengitsbat
dan membuktikan wujud Pencipta (Shane') mengajukan segudang argumentasi
dan burhan yang salah satu dari burhan tersebut adalah "tercegahnya atau
mustahilnya daur (circular reasoning) dan tasalsul (infinite circle)"
(imtina'-e daur wa tasalsul). Pertanyaan yang mengemuka di balik burhan
ini adalah apakah maksud dari daur dan tasalsul dan mengapa keduanya
batil (invalid) dan mustahil?
Jawab:
Daur dan tasalsul, keduanya merupakan terminologi yang sering digunakan dalam bidang Kalam dan Filsafat. Di sini kami akan menjelaskannya dengan ringkas:
1. Apakah daur itu? Dan mengapa mustahil adanya?
Maksud dari daur adalah sesuatu sebagai sebab bagi dirinya sendiri dengan satu atau beberapa perantara. Daur terbagi menjadi dua bagian: 1. Daur sharih. 2. Daur mudhmar. Sesuatu yang hanya memiliki satu perantara menjadi sebab bagi dirinya sendiri disebut sebagai daur langsung (daur sharih), sementara yang membutuhkan banyak perantara disebut sebagai daur tak langsung atau tersembunyi (daur mudhmar).
Dengan demikian asumsi bahwa A adalah sebab bagi B dan B sebagai sebab bagi A merupakan contoh daur langsung. Sedangkan contoh dari daur tak langsung sebagai berikut, A sebab bagi B, B sebab bagi C, C sebab bagi D dan D sebab bagi A. Kemustahilan daur, dalam bentuk apapun merupakan hal yang jelas dan nyata.
Atau dengan kata lain, daur adalah masing-masing dari kedua fenomena kita anggap sebagai sebab bagi yang lainnya; misalnya, tatkala menilik sebuah fenomena yang bernama "A", keberadaannya dalam sebuah lingkaran dimana sebelumnya fenomena "B" telah terwujud. Dan fenomena "A" merupakan maujud yang diwujudkannya dan demikian juga sebaliknya; artinya ketika kita menilik fenomena yang bernama "B" dan kita melihat keberadaannya berada dalam lingkaran dimana sebelumnya "A" telah teruwujud sehingga ia dapat menerima keberadaan darinya.
Hipotesa seperti ini adalah batil secara akal, lantaran keberadaan dan eksistensi keduanya, bergantung kepada keduanya dan lantaran tidak satu pun syarat dari keduanya yang tersedia, maka kesimpulan yang dapat diambil dari persyaratan semacam ini adalah keduanya masing-masing tidak terwujud.
Anggaplah, dua orang ingin mengangkat sebuah beban dan masing-masing, mengangkat sudut beban tersebut dan membawanya, mensyaratkan orang lain sebelum dirinya telah mengangkat dan membawa beban itu, dalam keadaan ini sekali-kali beban tersebut tidak pernah akan terangkat. Lantaran tidak terdapat syarat yang menentukan dari kedua orang tersebut untuk mengangkat beban itu.
Hakikat daur tidak lain adalah masing-masing keberadaan dari kedua peristiwa bergantung kepada wujud sebelumnya. Dan karena keduanya tidak memiliki wujud sebelumnya, tentu saja asumsi dan hipotesa semacam ini tidak pernah akan terwujud.
2. Apakah tasalsul itu? Dan mengapa ia batil?
Pengertian tasalsul dalam hal ini adalah satu rangkaian yang tak terbatas dari sebab-sebab dan akibat-akibat dimana tak akan pernah berhenti pada sebab pertama, dengan ungkapan yang sederhana, tasalsul ialah wujud (A) yang merupakan akibat dari wujud (B) dan wujud (B) sebagai akibat dari wujud (C) dan juga wujud (C) adalah akibat dari wujud (D) dan seterusnya dan rangkaian ini terus berlanjut hingga tak terbatas dan tak berakhir. Berdasarkan teori kemustahilan tasalsul, bentuk rangkaian seperti itu adalah batil. Sebagian filosof beranggapan bahwa kemustahilan tasalsul merupakan hal yang jelas, gamblang dan badihi. Dan sebagian filosof yang lain membangun argumentasi rasional untuk menggugurkan tasalsul tersebut.
Dengan kata lain, tasalsul adalah rangkaian sebab dan akibat yang tidak terbatas dan tidak berujung kepada satu titik dimana yang ada pada titik tersebut hanyalah sebab saja, bukan akibat. Asumsi semacam ini seperti yang telah kami jelaskan pada daur juga mustahil adanya (tercegah atau mumtani').
Karena dalam asumsi tasalsul, peristiwa akhir merupakan akibat (ma'lul) darinya dan akibat tersebut juga merupakan akibat dari peristiwa atau fenomena sebelumnya dan demikian seterusnya.
Oleh karena itu, peristiwa pertama yang kita hadapi bergantung dan bersyarat kepada sebuah peristiwa kedua yang telah ada sebelum akibat tersebut. Dan demikian juga peristiwa atau fenomena kedua bersyarat kepada adanya peristiwa ketiga sebelumnya; demikian seterusnya, semakin kita melaju sekali-kali kita tidak pernah akan sampai kepada sebuah peristiwa dimana wujud dan keberadaannya tidak bergantung kepada persyaratan sebelumnya.
Akan tetapi keadaan ini berlanjut hingga mencapai titik tanpa batas, dalam keadaan seperti ini, kita tidak hanya berhadapan dengan satu peristiwa– secara hipotikal – yang tidak terwujud, melainkan tidak satu pun dari bagian rangkaian kumpulan keberadaan ini dapat kita saksikan. Karena tatkala kita teliti masing-masing dari peristiwa, sesuai dengan bahasa keren hari ini: Aku memiliki wujud dan keberadaan sepanjang maujud yang ada sebelumku juga memiliki wujud dan keberadaan.
Kita bertanya kepada maujud sebelumnya, ia juga berkata: "Aku menerima keberadaan dan wujud sepanjang maujud sebelumku juga memliki wujud dan keberadaan dan lantaran tidak satu pun dari peristiwa yang tidak bersyarat, di tengah-tengah rangkaian dan silsilah ini, kita tidak akan sampai kepada keberadaan dimana terwujudnya peristiwa tersebut bersyarat kepada keadaan tanpa syarat. Dan tentu saja silsilah seperti ini sekali-kali tidak akan memiliki warna keberadaan dan wujud.
Kini apabila terdapat wujud di tengah-tengah peristiwa tersebut yang berkata bahwa keberadaanku tidak bergantung kepada maujud sebelumku, dalam keadaan seperti ini, ia akan menjadi keberadaan dan wujud mutlak dan tidak perlu kepada sebab dan dalam istilahnya ia akan menjadi wajib al-wujud. Kesimpulannya, silsilah akan terputus dan tidak akan ada tasalsul.
Dalam masalah "mengangkat beban", apabila orang pertama, ia mensyaratkan kepada orang kedua, mitra kerjanya, dan orang kedua mensyaratkan kepada orang ketiga, mitra kerjanya dan kemitraan bersyarat ini akan berlanjut hingga tanpa batas. Dan di antara mereka tidak ditemukan mitra kerja yang tidak memberikan persyaratan, maka kemitraan ini tidak akan pernah terlaksana, karena tidak ada persyaratan kemitraan yang diikat di antara mereka.
Akan tetapi apabila tidak sesuai dengan harapan, kemitraan ini terlaksana, tentu saja kita akan temukan, dalam lingkaran ini, seorang ksatria yang tidak mensyaratkan bantuannya dan mengangkat beban tersebut dan yang lainnya dengan memperhatikan terwujudnya persyaratan, ia memulai kemitraannya dan mengangkat beban itu; dengan kata lain, apabila silsilah atau rangkaian sebab dan akibat terjadi, maka kita akan memahami bahwa silsilah ini sampai kepada sebuah titik dimana wujud dan keberadaannya tidak bergantung dan bersyarat kepada "jika" dan wujud itu adalah wajib al-wujud dan wujud mutlak dan apabila silsilah itu tidak berujung kepada titik seperti ini dan silsilah ini seluruhnya bersyarat, maka ia tidak akan sampai kepada satu pun dari lingkaran wujud dan keberadaan. Inilah makna dan arti dari daur dan tasalsul dan atas alasan inilah mengapa keduanya mustahil.
Akan tetapi penjelasan ilmiah ini dan pada saat yang sama adalah sederhana, dapat dijelaskan kepada orang-orang ihwal realitas dari kedua pahaman ini dan sebab kemustahilan keduanya, sementara pembahasan tentang "daur dan tasalsul" merupakan perkara yang pelik dan rumit filsafat, melebihi dari apa yang kami jelaskan di sini.
Marhum Shadra al-Mutallihin dalam kitabnya al-Asfar dan Muhaqqiq Sabzawari dalam Syarh Manzhumah menyuguhkan beberapa argumen dan burhan atas kemustahilan tasalsul dimana ghalibnya argumen-argumen tersebut tertolak dalam pandangan kami. Di antara argumen yang ada, satu-satunya penjelasan yang paling jelas dan terang adalah penjelasan yang disampaikan oleh Allamah Thabathaba'i:
"Alam kontingen (imkan) mirip dengan makna-makna huruf di antara makna-makna tersebut pasti terdapat makna nomina (isim) yang bersandar kepadanya dan memperlihatkan dirinya dan silsilah illat (sebab) dan ma'lul (akibat) dalam bentuk tak-terbatas tanpa ujung bermuara kepada Wâjib sama dengan serangkaian makna-makna huruf tanpa batas tak akan terwujud tanpa adanya makna-makna nomina (isim).
Jawab:
Daur dan tasalsul, keduanya merupakan terminologi yang sering digunakan dalam bidang Kalam dan Filsafat. Di sini kami akan menjelaskannya dengan ringkas:
1. Apakah daur itu? Dan mengapa mustahil adanya?
Maksud dari daur adalah sesuatu sebagai sebab bagi dirinya sendiri dengan satu atau beberapa perantara. Daur terbagi menjadi dua bagian: 1. Daur sharih. 2. Daur mudhmar. Sesuatu yang hanya memiliki satu perantara menjadi sebab bagi dirinya sendiri disebut sebagai daur langsung (daur sharih), sementara yang membutuhkan banyak perantara disebut sebagai daur tak langsung atau tersembunyi (daur mudhmar).
Dengan demikian asumsi bahwa A adalah sebab bagi B dan B sebagai sebab bagi A merupakan contoh daur langsung. Sedangkan contoh dari daur tak langsung sebagai berikut, A sebab bagi B, B sebab bagi C, C sebab bagi D dan D sebab bagi A. Kemustahilan daur, dalam bentuk apapun merupakan hal yang jelas dan nyata.
Atau dengan kata lain, daur adalah masing-masing dari kedua fenomena kita anggap sebagai sebab bagi yang lainnya; misalnya, tatkala menilik sebuah fenomena yang bernama "A", keberadaannya dalam sebuah lingkaran dimana sebelumnya fenomena "B" telah terwujud. Dan fenomena "A" merupakan maujud yang diwujudkannya dan demikian juga sebaliknya; artinya ketika kita menilik fenomena yang bernama "B" dan kita melihat keberadaannya berada dalam lingkaran dimana sebelumnya "A" telah teruwujud sehingga ia dapat menerima keberadaan darinya.
Hipotesa seperti ini adalah batil secara akal, lantaran keberadaan dan eksistensi keduanya, bergantung kepada keduanya dan lantaran tidak satu pun syarat dari keduanya yang tersedia, maka kesimpulan yang dapat diambil dari persyaratan semacam ini adalah keduanya masing-masing tidak terwujud.
Anggaplah, dua orang ingin mengangkat sebuah beban dan masing-masing, mengangkat sudut beban tersebut dan membawanya, mensyaratkan orang lain sebelum dirinya telah mengangkat dan membawa beban itu, dalam keadaan ini sekali-kali beban tersebut tidak pernah akan terangkat. Lantaran tidak terdapat syarat yang menentukan dari kedua orang tersebut untuk mengangkat beban itu.
Hakikat daur tidak lain adalah masing-masing keberadaan dari kedua peristiwa bergantung kepada wujud sebelumnya. Dan karena keduanya tidak memiliki wujud sebelumnya, tentu saja asumsi dan hipotesa semacam ini tidak pernah akan terwujud.
2. Apakah tasalsul itu? Dan mengapa ia batil?
Pengertian tasalsul dalam hal ini adalah satu rangkaian yang tak terbatas dari sebab-sebab dan akibat-akibat dimana tak akan pernah berhenti pada sebab pertama, dengan ungkapan yang sederhana, tasalsul ialah wujud (A) yang merupakan akibat dari wujud (B) dan wujud (B) sebagai akibat dari wujud (C) dan juga wujud (C) adalah akibat dari wujud (D) dan seterusnya dan rangkaian ini terus berlanjut hingga tak terbatas dan tak berakhir. Berdasarkan teori kemustahilan tasalsul, bentuk rangkaian seperti itu adalah batil. Sebagian filosof beranggapan bahwa kemustahilan tasalsul merupakan hal yang jelas, gamblang dan badihi. Dan sebagian filosof yang lain membangun argumentasi rasional untuk menggugurkan tasalsul tersebut.
Dengan kata lain, tasalsul adalah rangkaian sebab dan akibat yang tidak terbatas dan tidak berujung kepada satu titik dimana yang ada pada titik tersebut hanyalah sebab saja, bukan akibat. Asumsi semacam ini seperti yang telah kami jelaskan pada daur juga mustahil adanya (tercegah atau mumtani').
Karena dalam asumsi tasalsul, peristiwa akhir merupakan akibat (ma'lul) darinya dan akibat tersebut juga merupakan akibat dari peristiwa atau fenomena sebelumnya dan demikian seterusnya.
Oleh karena itu, peristiwa pertama yang kita hadapi bergantung dan bersyarat kepada sebuah peristiwa kedua yang telah ada sebelum akibat tersebut. Dan demikian juga peristiwa atau fenomena kedua bersyarat kepada adanya peristiwa ketiga sebelumnya; demikian seterusnya, semakin kita melaju sekali-kali kita tidak pernah akan sampai kepada sebuah peristiwa dimana wujud dan keberadaannya tidak bergantung kepada persyaratan sebelumnya.
Akan tetapi keadaan ini berlanjut hingga mencapai titik tanpa batas, dalam keadaan seperti ini, kita tidak hanya berhadapan dengan satu peristiwa– secara hipotikal – yang tidak terwujud, melainkan tidak satu pun dari bagian rangkaian kumpulan keberadaan ini dapat kita saksikan. Karena tatkala kita teliti masing-masing dari peristiwa, sesuai dengan bahasa keren hari ini: Aku memiliki wujud dan keberadaan sepanjang maujud yang ada sebelumku juga memiliki wujud dan keberadaan.
Kita bertanya kepada maujud sebelumnya, ia juga berkata: "Aku menerima keberadaan dan wujud sepanjang maujud sebelumku juga memliki wujud dan keberadaan dan lantaran tidak satu pun dari peristiwa yang tidak bersyarat, di tengah-tengah rangkaian dan silsilah ini, kita tidak akan sampai kepada keberadaan dimana terwujudnya peristiwa tersebut bersyarat kepada keadaan tanpa syarat. Dan tentu saja silsilah seperti ini sekali-kali tidak akan memiliki warna keberadaan dan wujud.
Kini apabila terdapat wujud di tengah-tengah peristiwa tersebut yang berkata bahwa keberadaanku tidak bergantung kepada maujud sebelumku, dalam keadaan seperti ini, ia akan menjadi keberadaan dan wujud mutlak dan tidak perlu kepada sebab dan dalam istilahnya ia akan menjadi wajib al-wujud. Kesimpulannya, silsilah akan terputus dan tidak akan ada tasalsul.
Dalam masalah "mengangkat beban", apabila orang pertama, ia mensyaratkan kepada orang kedua, mitra kerjanya, dan orang kedua mensyaratkan kepada orang ketiga, mitra kerjanya dan kemitraan bersyarat ini akan berlanjut hingga tanpa batas. Dan di antara mereka tidak ditemukan mitra kerja yang tidak memberikan persyaratan, maka kemitraan ini tidak akan pernah terlaksana, karena tidak ada persyaratan kemitraan yang diikat di antara mereka.
Akan tetapi apabila tidak sesuai dengan harapan, kemitraan ini terlaksana, tentu saja kita akan temukan, dalam lingkaran ini, seorang ksatria yang tidak mensyaratkan bantuannya dan mengangkat beban tersebut dan yang lainnya dengan memperhatikan terwujudnya persyaratan, ia memulai kemitraannya dan mengangkat beban itu; dengan kata lain, apabila silsilah atau rangkaian sebab dan akibat terjadi, maka kita akan memahami bahwa silsilah ini sampai kepada sebuah titik dimana wujud dan keberadaannya tidak bergantung dan bersyarat kepada "jika" dan wujud itu adalah wajib al-wujud dan wujud mutlak dan apabila silsilah itu tidak berujung kepada titik seperti ini dan silsilah ini seluruhnya bersyarat, maka ia tidak akan sampai kepada satu pun dari lingkaran wujud dan keberadaan. Inilah makna dan arti dari daur dan tasalsul dan atas alasan inilah mengapa keduanya mustahil.
Akan tetapi penjelasan ilmiah ini dan pada saat yang sama adalah sederhana, dapat dijelaskan kepada orang-orang ihwal realitas dari kedua pahaman ini dan sebab kemustahilan keduanya, sementara pembahasan tentang "daur dan tasalsul" merupakan perkara yang pelik dan rumit filsafat, melebihi dari apa yang kami jelaskan di sini.
Marhum Shadra al-Mutallihin dalam kitabnya al-Asfar dan Muhaqqiq Sabzawari dalam Syarh Manzhumah menyuguhkan beberapa argumen dan burhan atas kemustahilan tasalsul dimana ghalibnya argumen-argumen tersebut tertolak dalam pandangan kami. Di antara argumen yang ada, satu-satunya penjelasan yang paling jelas dan terang adalah penjelasan yang disampaikan oleh Allamah Thabathaba'i:
"Alam kontingen (imkan) mirip dengan makna-makna huruf di antara makna-makna tersebut pasti terdapat makna nomina (isim) yang bersandar kepadanya dan memperlihatkan dirinya dan silsilah illat (sebab) dan ma'lul (akibat) dalam bentuk tak-terbatas tanpa ujung bermuara kepada Wâjib sama dengan serangkaian makna-makna huruf tanpa batas tak akan terwujud tanpa adanya makna-makna nomina (isim).
9. Dengan ilmu yang terbatas ini, apakah kita bisa mengetahui bahwa alam yang tak berbatas ini ialah beraturan?
Anda dalam menjawab klaim para Materialis tentang ketidak beraturan alam ciptaan, berkata demikian: “Seseorang dapat mempersentasikan bahwa seluruh atau sebagian dari kejadian-kejadian alam membuktikan bahwa alam tidak beraturan yang mana hal itu bergantung kepada seluruh rahasia-rahasia penciptaan, padahal maklumat dan pengetahuan yang diberikan kepada manusia jika dibandingkan dengan hal yang tak diketahuinya adalah hukumnya sama dengan nol”, ada kemungkinan bahwa orang yang menentang anda akan mengunakan jawaban ini tentang “pembuktian sistem aturan yang benar tentang alam” dengan bersandarkan pada pengetahuan yang ada sekarang, mengembalikannya kepada anda dan berkata: “Anda akan dapat membuktikan sistem keberaturan alam ketika anda sudah dapat mengenal seluruh rahasia-rahasia penciptaan, dengan ilmu yang terbatas ini, bagaimana alam yang tak berbatas ini anda yakini bijaksana?
Jawab:
Kita sama sekali tidak mengatakan bahwa: Seiring dengan pesatnya kemajuan ilmu teknologi, seluruh rahasia alam dapat diketahui oleh manusia dan semua teka-teki alam ciptaan dapat terselesaikan, akan tetapi, sebagaimana yang diucapkan oleh para cendikiawan bahwa: “Setiap kadar yang bertambah pada sebagian besar pengetahuan manusia, akan bertambah sebesar itu pula respek hal yang tidak ia ketahui” dan kita ingin membuktikan bahwa alam ini (selama ilmu dapat menyingkapnya dan tirai penghalang dapat kita tarik) memiliki aturan yang sangat bijak dan menakjubkan; adapun mengenai suatu hal yang masih belum tersingkap oleh ilmu pengetahuan kita pun tidak ingin menghukumi. Kita katakan bahwa bundaran ini yang secara ilmu jelas hasil milik seluruh aturan dan hitungan, walaupun secara pasti bundaran ini dibandingkan dengan rahasia-rahasia alam dihukumi nol, tapi jika dihubungkan pada dirinya sendiri memiliki bundaran yang sangat luas, yang juga cukup perlu diperhatikan.
Dengan kadar ini sudah cukup bagi kita untuk membuktikan adanya Tuhan Yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana; karena tidak mungkin diyakini bahwa milyaran aturan yang dibikin oleh ilmu secara jelas, itu adalah pengaruh atau efek dari kebetulan dan alam yang tidak memiliki intelejensi. Bahkan malah lebih dari itu, hal ini dapat dijadikan sebuah contoh dari bentuk alam ciptaan lainnya.
Tidak ada salahnya untuk lebih memperjelas permasalahan, anda perhatikan contoh ini: Coba anda asumsikan bahwa sebuah kitab yang sangat tebal dan besar yang terletak di gudang ruang bawah tanah yang berkaitan dengan peninggalan abad terdahulu jatuh ke tangan kita, dan setelah bertahun-tahun jerih payah dan daya upaya yang berkesenambungan dan dibantu dengan beratus-ratus dari berbagai kitab dan pengajar, akhirnya dapat berhasil memahami beberapa lembar halaman dari kitab tersebut, dan dari beberapa halaman tadi tidak hanya segudang hakekat dan rahasia yang dapat dicerna, bahkan di setiap barisnya ditemukan titik poin yang penuh dengan isi dan kandungan pengetahuan yang tinggi dan sangat bernilai, yang menceritakan tentang kecerdasan otak yang sangat luar biasa mampu dan pandai penuh dengan ilmu, kita walaupun tidak mengetahui isi bagian lainnya dari bagusnya dan jeleknya kitab itu, tapi secara global dari beberapa lembar tadi dapat disimpulkan bahwa kitab ini adalah peninggalan dari seorang jenius dunia ilmu dan seorang cendikiawan yang cocok dan terkemuka, bahkan mungkin dari beberapa halaman dapat kita pahami bahwa di lembar-lembar halaman yang belum sempat terbaca, terdapat ribuan rahasia dan titik poin yang penuh dengan keilmuan yang sampai saat ini belum pantas bagi kita untuk mencernanya.
10. Keteraturan Alam Merupakan Argumen bahwa Alam adalah Makhluk?
Dalil yang cukup jelas untuk membuktikan eksistensi Sang Pencipta ialah argumen keteraturan (nazhm). Kesimpulan dari dalil ini adalah bahwa alam berhubungan dengan zat yang menata dan mengaturnya, sebagaimana halnya kita mengatur segala yang ada di alam ini dan membuat sebuah peraturan. Namun dari dalil ini, tidak bisa disimpulkan bahwa seluluh makhluk di alam ini memiliki Pencipta.
Jawab:
Sebagaimana yang telah dikatakan bahwa argumen yang sangat jelas untuk membuktikan adanya Tuhan adalah argumen keteraturan (burhan nazhm), karena yang terlihat dari setiap bagian dari makhluk hidup adalah peraturan, perencanaan dan perhitungan, dan setiap makhluk yang cara hidupnya semacam demikian itu menunjukkan bahwa hal itu besumber dari dzat Yang Maha Tahu dan Maha Mampu.
Adapun pembahasan mengenai apakah pengatur seluruh makhluk hidup di alam ini dan yang menertibkan mereka menciptakan mereka dari ketiadaan, adalah pembahasan lain yang akan dikaji pada pembahasan mengenal Tuhan yang dibuktikan dari jalan bahwa suatu benda itu tidak azali (tidak berpermulaan); karena ketika terbukti bahwa benda tidak azali, maka pasti ada pencipta yang menciptakannya dari tiada menjadi ada. Ringkasnya adalah bahwa argumen atau burhan nazhm itu sebenarnya hanya untuk membuktikan kekuasaan Tuhan Yang Mahabesar atas alam ini; adapun permasalahan munculnya ciptaan dari ketiadaan dapat kita buktikan dengan dalil bahwa bahan ciptaan itu tidak azali (tidak berpermulaan).
Para filosuf alam telah membuktikan dari dalil-dalil filsafat bahwa madah itu adalah sesuatu yang hâdist (baru), dan setelah tersingkap kaidah kedua “termodinamika”, “antropi”(berabadnya alam, menurunnya hawa panas dan seluruh zat dari panas sedikit-demi sedikit menuju dingin) permasalahan materi bahwa materi adalah suatu hal yang haadist baru adalah termasuk dari permasalahan ilmu-ilmu alam yang kejelasannya sudah diakui.
Sekarang mari kita bahas secara ringkas tentang hal ini.
Orang pertama yang melalui ilmu-ilmu alam meneliti bahwa materi dan energi itu adalah sesuatu yang hâdist (baru), dan membuktikan bahwa alam ciptaan memiliki permulaan adalah Ishak Newton, ia dengan penelitiannya membuahkan hasil sebagai berikut bahwa: Alam dari keteraturan dan ketertiban akan menuju keporak-porandaan dan kerusakan, kemudian akan tiba pada suatu hari bahwa hawa panas seluruh zat akan sama dan setara. Dari sini diambil kesimpulan bahwa alam harus memiliki permulaan.
Kemudian melalui penelitian hawa panas yang ia lakukan, ia bekeyakinan bahwa seluruh perubahan yang dikeluarkan dari dalam hawa panas, itu adalah satu bagian dari kekuatan yang dapat digunakan berganti menjadi kekuatan yang tidak dapat digunakan dan tidak akan pernah terjadi pergantian bahwa kekuatan yang tidak dapat digunakan menjadi kekuatan yang dapat digunakan (dan inilah kaidah kedua termodinamika).
Bultzman seorang yang sangat jenius dan memiliki informasi matematika yang luas, telah memahami bahwa kaidah kedua hawa panas dan gaya gerak, memiliki keadaan istimewa yang bersumber dari sebuah dasar yang umum dan menunjukkan bahwa dalam seluruh perpindahan yang terjadi akan menghilangkan bagian dari keteraturan dan ketertiban, adapun dalam sisi hawa panas, dengan menganti kekuatan yang dapat digunakan menjadi kekuatan yang tidak dapat digunakan, keteraturan dan ketertiban molekul-molekul atom akan hilang dan rancangan ciptaan akan hancur.
Penjelelasannya adalah sebagai berikut: Sesuai dasar kedua termodinamika, yaitu kaidah hawa panas yang dinamakan “antropi”, hawa panas yang dihasilkan dari zat-zat panas mengalir ke arah zat-zat dingin, dan proses semacam ini otomatis tidak dapat berjalan secara terbalik.
Sebenarnya “antropi” adalah hubungan kekuatan yang tidak dapat digunakan, menjadi kekuatan yang dapat digunakan, dan dari sisi lain dalam sebuah ilmu telah diterima bahwa antropi menuju pada hal-hal yang bertambah, jika alam azali dan tidak memiliki permulaan, maka sudah sejak dulu hawa panas seluruh zat sama secara menyeluruh dan kekuatan yang dapat digunakan tidak akan tertinggal, dan hasilnya tidak ada aksi atau reaksi bahan kimia yang dapat dilakukan, dan kehidupan dipermukaan bumi pun menjadi hal yang mustahil, akan tetapi kita menyaksikan bahwa aksi dan reaksi bahan kimia tetap berlanjut dan juga kehidupan diatas permukaan bumi, masing-masing menunjukkan manifestasi mereka.
Ringkasnya: Alam menuju pada suatu kondisi dimana seluruh zat di dalamnya sampai pada kerendahan derajat yang sama dan tidak akan ada lagi energi yang dapat digunakan dan hidup sudah tidak dapat dimungkinkan lagi, jika alam tidak memiliki permulaan dan sudah ada sejak dulu, seharusnya sistem putaran matahari padam dari sejak dulu dan energi matahari beserta seluruh makhluk yang ada pada poros putaran matahari termasuk bumi dan penghuninya akan mengalami depresi dan kelesuan dan sama sekali unsur radio aktif tidak akan ditemukan.
11. Apakah Dzat Pencipta Semesta (Tuhan) dapat diserap?
Apakah Dzat pencipta alam itu terbatas atau tidak? Selain itu apakah akal dan pikiran kita dalam operasionalnya terbatas atau tidak? Dan apakah eksistensi wujud yang terbatas dapat memahami eksistensi wujud yang tidak terbatas?
Jawab:
Untuk menjawab pertanyaan ini dan pertanyaan yang serupa dengannya, kami akan membawa para pembaca yang budiman pada poin berikut:
Dalam pembahasan “Mengenal Tuhan” dan “Sifat Tuhan” telah dibuktikan pada tempatnya masing masing bahwa Tuhan adalah “dzat yang tidak ada batasannya dalam kenirbatasannya” yaitu tidak ada akhir dan nirbatas dari setiap penjuru: tidak terbatas dari arah eksistensi wujudnya, tidak terbatas dari sisi ilmu dan kekuasaannya, tidak terbatas dari sisi ruang dan waktunya, tiada ruang yang di situ tidak ada Tuhan, tiada waktu yang pada saat itu Tuhan tidak ada, tiada pekerjaan yang Tuhan tidak dapat ia lakukan( pastinya pekerjaan yang mustahil dikerjakan secara dzat, hal itu adalah pembahasan lain).
Dengan demikian Tuhan adalah eksistensi yang absolut dan tak berbatas dan tak berakhir dari seluruh penjuru, dan hal ini adalah termasuk “dasar utama” dalam setiap pembahasan yang berkaitan dengan sifat–sifat Tuhan. Dan para cendikiawan, kebanyakan dari sifat-sifat Tuhan dibuktikan dengan bersandar pada landasan dan dasar semacam ini.
Tatkala kita tinggalkan eksistensi Tuhan, semua yang ada pada alam ini adalah terbatas, terbatas dari sudut ruang dan waktu, atau terbatas dari sudut arah yang lain.
Merupakan hal yang jelas, gamblang dan swa-ada (badihi) bahwa eksistensi yang terbatas, tidak akan dapat menangkap satu dzat yang wujudnya tak terbatas sebagaimana mestinya, inilah yang kita katakan mencerap dzat suci Tuhan sebagaimana adanya, untuk manusia adalah hal yang tidak mungkin; pengetahuan kita terhadap dzat wujud yang tak berakhir adalah pengetahuan global, kita tahu Dia ada, kita tahu bahwa Dia memiliki ilmu dan kekuasaan, dan kita tahu bahwa Dia memiliki sifat yang sempurna, namun mengenai keistimewaan-keistimewaan wujud, ilmu dan kekuasaan-Nya (dengan kata lain yang lebih tepat adalah dari esensi dzat dan sifat-sifat-Nya) kita buta dan tak tahu.
Bagi kita tidak hanya esensi dzat Tuhan yang tidak diketahui(majhul), akan tetapi hakikat yang sangat luas dari eksistensi-eksistensi alam yang ada di sekitar kita pun tidak kita ketahui secara pasti, oleh karena itu manusia tidak akan sampai pada hakikat “hidup dan kehidupan”, karena berapa banyak dari esensi wujud yang ada tidak jelas bagi kita, kita hanya mengenal mereka dari peninggalan sejarah yang mereka tinggalkan, namun dari jati diri mereka yang sebenarnya kita tidak mengetahuinya. Menunggu informasi atas hakikat sebenarnya akan seluruh benda yang ada di alam, dari seorang manusia yang terbatas dengan peralatan yang serba terbatas, adalah sebuah penungguan yang keliru.
Pada dasarnya pikiran kita adalah seumpama sebuah takaran, dan dzat Tuhan yang tak berbatas seumpama samudra Atlantik yang tak bertepi, mungkinkah samudra atlantik tadi dapat kita tempatkan pada sebuah takaran tadi?
Dari sudut pandang gambaran, tidak ada lingkaran wujud yang dari setiap sudut lingkarannya berada di atasnya. Apakah demikian (jika ia memiliki akal) ia dapat mengambil gambaran yang benar dari ibunya dan wajah serta seluruh ciri khasnya?
Tentu tidak; walaupun keduanya adalah terbatas, karena ia adalah lingkaran dan ibunya adalah yang melingkarinya; dengan demikian bagaimana bisa diharapkan bahwa manusia dapat menguasai dzat yang tak berbatas serta mencerap hakikat dan esensiNya?!.
12. Bagaimana Fenemona yang Belum Terjadi Dapat Diketahui oleh Tuhan?
Dalam kajian teologi tentang masalah ilmu Tuhan Anda berkata: “Tuhan mengetahui segala sesuatu, baik yang akan datang, yang telah berlalu maupun masa sekarang dalam bentuk yang sama. Tidak ada satupun yang tersembunyi dari ilmu Tuhan dan ilmu-Nya terhadap semua fenomena berupa ilmu hudhuri. Artinya semua fenomena hadir di hadapanNya serta tidak ada hijab dan penghalang antara Tuhan dengan semua fenomena baik yang akan datang, yang sudah berlalu maupun masa sekarang.”
Pernyataan ini bisa diterima ketika berhubungan dengan fenomena-fenomena masa sekarang dan masa lalu, akan tetapi fenomena yang berhubungan dengan masa yang akan datang sepertinya terjadi kemusykilan/kerancuan; karena sesuatu yang belum terjadi dan belum terwujud bagaimana mungkin bisa hadir di sisi Tuhan ?
Jawab:
Kunci penyelesaian kerancuan ini dan kerancuan-kerancuan yang serupa sudah dijelaskan pada kajian teologi. Masa lalu, masa yang akan datang dan masa sekarang merupakan satu konsep buatan pikir dan keterbatasan wujud manusia. Karena, wujud kita baik dari segi ‘waktu’ atau dari segi ‘ruang’ merupakan wujud yang terbatas. Artinya, kita berada pada titik tertentu dari ruang dan waktu. Ketebatasan wujud kita dari sisi ruang, menghasilkan konsep-konsep ‘dekat dan jauh’ bagi kita. Jika seandainya wujud kita mencakup/memenuhi seluruh alam, apakah akan berarti konsep jauh dan dekat bagi kita?
Begitu juga keterbatasan kita dari segi waktu, dengan tergambarkannya konsep masal lalu, masa yang akan datang serta masa sekarang pada benak kita. "Masa sekarang" adalah waktu sebelum kita sekarang dimanapun wujud kita berada.
Oleh karenanya, "masa lalu" menurut kita, bagi orang yang hidup satu abad sebelum kita adalah "masa sekarang" dan bagi orang yang hidup dua abad sebelum kita adalah "masa akan datang."
Untuk wujud ‘tidak terbatas’ yang ada pada setiap ruang dan waktu, konsep-konsep seperti ini tidaklah berarti. Baginya masa yang akan datang dan masa yang lalu adalah masa sekarang dan baginya semua itu hadir disisinya dalam bentuk yang sama.
Contoh : seseorang yang dari semenjak kecilnya ia selalu melihat sekelompok unta dari dalam kamarnya dan setiap ia melihat tidak terjadi penambahan satupun bagi unta-unta tersebut. Masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang sudah tergambar dalam otaknya gambaran untuk sekelompok unta tersebut ( karena ruang pandangnya yang terbatas ). Akan tetapi orang yang melihatnya dari luar kamar dan melihat unta-unta tersebut secara sempurna, ia melihat semua sekaligus dalam keadaan bergerak. Dengan kata lain, bagi wujud yang berada di atas ruang dan waktu, semua fenomena berada pada tempatnya sendiri-sendiri, hadir di sisinya.
Ucapan kita tentang bahwa, fenomena-fenomena masa yang akan datang pada jaman sekarang tidak/belum terwujud, adalah benar. Karena, ‘al-an’ menunjukan masa sekarang dimana kita hidup, akan tetapi ini bukanlah alasan bahwa masa yang akan datang tidak (akan) ada walau pada tempat/kondisinya. Akan tetapi setiap wujud ada pada tempat/kondisinya sendiri-sendiri dan tidak mungkin kita menghapusnya dari lembaran wujud. Kita bisa mengatakan bahwa besoknya hari ini adalah tidak ada akan tetapi tidak bisa mengatakan bahwa ia sama sekali tidak ada. (Perhatikan baik-baik!)
13. Apakah Maksud dari Keindahan Tuhan?
Dalam kajian teologi sudah menjadi kepastian bahwa Tuhan tidak memiliki jism dan tidak bisa diindra. Serta tidak bisa dibenarkan penerapan kalimat atau kata-kata yang berbau jism dan kekhususan-kekhususan jism kepada-Nya. Akan tetapi dalam sebagian riwayat menyatakan: “Tuhan itu indah dan menyukai keindahan." Dari riwayat ini bisa di ambil kesimpulan bahwa Tuhan bisa dilihat melalui pelantaraan mata lahir. Karena keindahan meruapakan salah satu sifat yang bisa dilihat oleh mata lahir. Dalam riwayat lain: “ Barang siapa di dunia ini tidak butuh kepada manusia dan kebaikan orang lain dalam masalah rizki, maka di hari kiamat dia akan bertemu dengan Tuhan dengan melihat wajahNya seperti ia melihat bulan pada tanggal empat belas.” Kata ‘bertemu’ menunjukan bahwa Tuhan itu jism.
Jawab :
Dalam ayat-ayat al-Qur'an dan kalimat-kalimat para pemuka agama, terkadang didapatkan ungkapan-ungkapan tentang Tuhan dimana orang akan berpikir bahwa redaksi-redaksi “Tuhan bukanlah jism dan tidak memiliki tiplogi jism” bertentangan dengan redaksi seperti “Tangan Tuhan di atas semua tangan “ dan redaksi “ Tuhan maha melihat dan maha mendengar “ atau redaksi “Tuhan menyaksikan perbuatan-perbuatan kalian “. Dalam sejarah dan akidah Islam, kita berhadapan dengan kelompok ‘mujasamah’. Dari namanya sudah jelas bahwa mereka meyakini bahwa Tuhan berjism. Sebab dari kemunculan kelompok tersebut tidak lain kerana kajian yang dangkal terhadap ayat dan riwayat-riwayat di atas.
Akan tetapi dengan memperhatikan ayat-ayat serta riwayat-riwayat yang banyak yang dengan jelas menafikan segala bentuk ciri-ciri, tipologi-tipologi dan tanda-tanda jism dari Tuhan. Dan memperkenalkan Tuhan sebagai Dzat yang Mahasuci dan Dzat yang tidak ada yang menyerupai-Nya serta tidak bisa digambarkan. Jelas bahwa maksud ayat-ayat serta riwayat-riwayat kelompok pertama, tidak lain kecuali bentuk tasybih dan figuratif (majazi).
Penjelasan : kita mengetahui bahwa lafaz-lafaz serta kalimat-kalimat dibuat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sehari-hari dan berputar sekitar topik-topik yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Kenyataan-kenyataan yang berhubungan dengan mabda, ma’ad, ketuhanan dan sifat-sifat Tuhan, terpaksa harus dijelaskan dengan lafaz-lafaz dan kalimat-kalimat tersebut.
Karena tidak ada jalan lain selain ini dan lafaz-lafaz tersebut berhubungan dengan perkara-perkara materi, dan harus digunakan untuk menyesuaikan dan menyamakan dengan arti-arti baru yang berhubungan dengan alam non materi. Seperti, ketika kita ingin berkata bahwa Tuhan mengetahui semua obrolan dan suara-suara, tidak ada jalan lain kita harus berkata “ Tuhan mendengar perkataan”.
Maksud kalimat “ mendengar” adalah bukan mendengar dengan telinga, akan tetapi mengetahui semua perkataan. Begitu juga berhubungan dengan penglihatan dan sejenisnya, maksud dari itu semua adalah “hasil” dari melihat dan sejenisnya.
Oleh karenanya ungkapan Tuhan ‘indah’, maksunya bukanlah keindahan jism, akan tetapi maksudnya adalah kesempurnaan hakiki. Karena Tuhan meruapakan satu wujud yang memiliki seluruh kesempurnaan baik yang bisa digambarkan maupun yang tidak, walhasil wujud seperti ini merupakan wujud yang indah. Begitu pula maksud dari ‘bertemu’ dengan Tuhan di alam lain, bukanlah pertemuan dan berhadapan dengan Tuhan, akan tetapi maksudnya adalah menyaksikan bukti-bukti kekuasaan, kebesaran dan keadilan Tuhan ( yaitu berupa pahala dan balasan semua perbuatan ).
Itu semua merupakan tanda-tanda keberadaan Tuhan dan bukti-bukti sifat-sifat-Nya, dimana pertemuan dengan semua itu dianggap sebagai ganti pertemuan dengan Tuhan. Bahkan diriwayatkan dari Amirul Mukminin As, ia berkata : “ Aku tidak melihat sesuatu kecuali aku melihat Allah swt. Sebelumnya, setelahnya dan bersamanya. “ Maksud dari ucapan ini adalah aku menyaksikan bukti-bukti ilmu dan kekuasaan Tuhan di dalam segala sesuatu.
14. Apakah Tuhan Mampu Menciptakan Sesuatu yang Serupa Dengan-Nya?
Sudah bukan pembahasan lagi bahwa Tuhan maha kuasa atas segala sesuatu, dan kalimat : “ sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu. “ merupakan kayakinan semua orang yang menyembah Tuhan. Akan tetapi terlintas di pikiran, bahwa akal tidak akan bisa menerima bahwa Tuhan maha kuasa untuk menciptakan segala sesutau; dengan ini bagaimana kita bisa mengakui kekuasaan Tuhan yang luas dan Dia Mahakuasa untuk menciptakan segala sesuatu?
Sebagai contoh :
1. Apakah Tuhan mampu menciptakan satu wujud yang mirip denganNya ? Jika Dia mampu menciptakannya, berarti tidak mustahil adanya sekutu bagiNya, dan jika tidak mampu berarti Tuhan tidak kuasa untuk mencipta segala sesuatu.
2. Apakah Tuhan mampu memasukan dunia yang besar ini ke dalam telur ( tanpa harus mengecilkan dunia dan membesarkan telur )?
Jika kita berkata bahwa Dia tidak mampu, bagaimana bisa kita menganggap bahwa Tuhan kuasa atas segala seutau. Dan jika kita berkata bahwa Dia mampu, akal sehat tidak akan bisa menerima hal itu, bahwa bagaimana bisa dunia dengan segala kebesarannya bisa masuk ke dalam telor yang kecil.
3. Apakah Tuhan mampu menciptakan sesuatu yang Dia sendiri tidak bisa menghancurkan/meniadakannya atau Dia tidak bisa mengangkatnya? Kedua jawaban terhadapnya juga akan menghasilkan kerancuan seperti pertanyaan-pertanyaan sebelumnya. Karena setiap kita berkata bahwa Tuhan tidak mampu, maka bagaimana mungkin Dia berkuasa atas segala sesuatu. Dan jika kita berkata bahwa Tuhan mampu, maka kita pun mengingkari keumuman kekausan Tuhan. Karena jika Tuhan mampu menciptakan sesutau yang Dia sendiri tidak bisa meniadakan dan mengangkatnya, maka bagaimana mungkin Tuhan berkuasa atas segala sesuatu sementara Dia tidak bisa meniadakan dan mengangkat sesuatu yang diciptakannya?
Jawab :
Pertanyaan seperti ini bukanlah pertanyaan baru, semenjak dulu pertanyaan ini sudah ada di kalangan masyarakat Islam. Pertanyaan seperti ini sudah diutarakan kepada para Imam dan sudah dijawab.
Jawaban secara global untuk semua pertanyaan ini adalah satu kalimat: Walaupun kekuasan tidak berakhir dan tidak terbatas, akan tetapi kekuasaan itu hanya berhubungan dengan sesuatu yang bisa di-tasdiq (dibenarkan) oleh akal, dan akal meyakini bahwa sesutau tersebut ‘bisa terjadi’.
Akan tetapi sesutau yang secara dzatnya tidak mungkin terjadi dan menurut akal bahwa hal itu mustahil terwujud, maka kekuasaan itu tidak akan berhubungan (ta’alluq) dengannya.
Lebih jelasnya, ketika akal kita membandingkan apa yang ada di benak/konsep dengan apa yang ada di luar, akan terjadi dua bentuk:
Bentuk pertama: akal menganggap bahwa apa yang ada di benak tidak mustahil untuk ada, dan dalam mamakai pakaian "keberadaan" tidak butuh kepada sesuatu kecuali satu kekuasaan. Seperti alam penciptaan dengan segala keluasan dan kebesarannya, dengan segala sesuatu yang ada di dalamnya, dengan semua bintang gemintang, galaxi dan planet-planetnya dan sebagainya dimana semuanya secara dzati mungkin untuk ter-wujud dan di dalam naungan kekuasaan tak terbatas Tuhan mengenakan pakaian ‘keberadaan’.
Bentuk kedua: objek-objek yang tidak bisa diterima oleh akal dan mustahil untuk ada, bukan dari segi bahwasannya tidak ada kudrat/kekuasaan untuk mencipta hal itu, akan tetapi sesutau itu sendiri secara dzati tidak mungkin untuk terwujud.
Dengan kalimat yang lebih jelas: ketika akal menilai sesutau dan menganggap bahwa objek tersebut ( walaupun pencipta memiliki kekuasaan yang tidak terbatas ) tidak mungkin untuk terwujud, maka kelemahan (qushur) bukan pada sang pencipta, melainkan pada objek tersebut.
Sebagi contoh, ketika seorang yang pandai membuat pakaian disuruh untuk membuat pakaian dari sepotong batu bata atau dari kayu bakar. Dan ketika seorang pelukis yang handal disuruh untuk melukis bulu-bulu merak yang indah di atas angin pagi yang berkhembus atau di atas ombak lautan, maka pasti keduanya akan berkata : alat-alat serta benda-benda untuk objek yang anda maksud tidak mungkin terjadi, tidak mungkin sebuah pakaian dijahit dari batu bata dan tidak mungkin melukis di atas angin yang berhembus.
Ketika mereka orang berkata: “tidak bisa menjahit dan melukis“, bukan berarti mereka dalam jurusannya tidak sampai kepada tahapan untuk bisa menjahit pakaian dengan batu bata atau melukis di atas angin atau air. Akan tetapi kedua hal tersebut memang mustahil terwujud.
Mereka atau orang-orang yang seperti mereka, dimana manusia dengan ketelitian khusus mengetahui bahwa serangkain objek seperti ‘kayu bakar’ atau ‘besi’ bukanlah alat menjahit dan melukis di atas angin atau air adalah tidak mungkin. Dan hal-hal serupa banyak dihadapi di kehidupan sehari-hari.
Contoh, akal setiap manusia akan mengetahui bahwa mustahil sesuatu dalam satu waktu ada dan juga tidak ada atau satu lampu dalam satu waktu nyala dan juga tidak nyala atau satu bejana dalam satu waktu penuh dengan air dan juga kosong… .
15. Apakah Tauhid Dzat, Tauhid Sifat, Tauhid Fi’il, dan Tauhid Ibadah itu ?
Banyak orang berpendapat bahwa makna Tauhid Dzat (Pengesaan Tuhan dalam Dzat) adalah, bahwa Tuhan adalah Esa dan bukan dua. Ungkapan ini bukanlah sebuah ungkapan yang cermat, sebagaimana yang diriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali As Karena arti dari ungkapan ini adalah satu numerik. Artinya, dua bagi Tuhan dapat dikonsepsikan (tashawwur), akan tetapi tidak ada wujudnya di luar. Dan tentu saja ungkapan ini adalah ungkapan yang salah.
Ungkapan yang benar yaitu bahwa Tauhid Dzat berarti bahwa Tuhan itu satu dan dua bagi-Nya tidak dapat dikonsepsikan. Dengan kata lain, tidak ada yang serupa dan semisal dengan-Nya. Sesuatu tidak serupa dengan-Nya, dan juga Ia tidak serupa dengan sesuatu, sebab Dia adalah Satu Wujud Nir-Batas Nan Sempurna memiliki sifat seperti ini.
Dengan argumentasi yang sama, kita jumpai dalam hadis. Imam Ash-Shadiq As pernah ditanya oleh salah seorang sahabat, “Apakah arti dari Allâhu Akbar?”
Beliau menjawab, “Allah adalah lebih Besar dari segala sesuatu.” Dan beliau melanjutkan, “Apakah ada sesuatu yang lebih besar dari-Nya?”
Lalu sahabat itu bertanya lagi, “Lalu apa tafsir Allâhu Akbar itu?”
Beliau menjawab, “Allah adalah lebih Besar dari penyifatan.”[1]
Tauhid Sifat
Ketika kita mengatakan bahwa satu cabang tauhid adalah Tauhid Sifat (pengesaan Tuhan dalam sifat), maksudnya ialah; sebagaimana Dzat-Nya adalah azali (tidak bermula) dan abadi (tidak berakhir), pun sifat-Nya,seperti ilmu, kuasa, dan lain sebagainya azali dan abadi. Ini dari satu sisi.
Dari sisi lain, sifat ini bukanlah tambahan (zâ’id) dari luar Dzat-Nya, tidak memiliki sisi aksidental ('âridh) dan teraksiden (ma'rûdh), melainkan sifat ini adalah Dzat-Nya sendiri.
Dan dari sisi ketiga, sifat-Nya tidak terpisah dengan sifat yang lainnya. Maksudnya, ilmu dan kuasa-Nya adalah satu, dan keduanya adalah Dzat-Nya itu sendiri.
Penjelasan
Bilamana kita merujuk kepada diri kita sendiri, kita melihat pada mulanya kita tidak memiliki satu pun sifat-sifat yang melekat pada diri kita. Tatkala kita terlahir ke dunia ini, kita tidak memilki ilmu, juga tidak memiliki kekuasaan. Secara gradual, sifat-sifat ini terbina dalam diri kita. Dengan dasar ini, sifat-sifat yang kemudian muncul ini adalah perkara-perkara "lain" dari luar diri (dzat) kita. Oleh karena itu, mungkin saja suatu hari kekuatan, ilmu dan pengetahuan yang kita miliki akan sirna. Dan juga dengan jelas kita melihat, antara ilmu dan kekuasaan yang kita miliki terpisah satu dengan yang lainnya. Kekuasaan berada pada raga kita dan ilmu berada pada ruh kita.
Akan tetapi, Tuhan sama sekali tidak dapat dikonsepsikan seperti di atas tadi. Seluruh Dzat-Nya adalah ilmu, dan seluruh Dzat-Nya merupakan kuasa. Dan segala sesuatu yang ada pada-Nya adalah satu. Tentu saja kita memastikan bahwa makna-makna ini tidak berada pada diri kita. Sifat-sifat dengan makna seperti ini tidak akrab dan tampak ruwet. Mak tidak ada jalan bagi kita selain menggunakan kekuatan logika dan filsafat, serta penalaran cermat.
Tauhid Fi’il
Artinya, setiap wujud, setiap gerak, setiap perbuatan di alam semesta ini kembali kepada Dzat Kudus Ilahi. Tauhid Fi’il berarti pengesaan Tuhan dalam perbuatan. Dzat Kudus-Nya adalah sebab-musabab, sebab seluruh akibat. Bahkan, perbuatan yang kita kerjakan —dalam satu makna— berasal dari-Nya. Ia yang memberikan kekuatan (qudrah), kebebasan (ikhtiyâr), dan kehendak (irâdah) kepada kita. Padahal —dengan demikian— kita adalah pelaku dari perbuatan-perbuatan kita sendiri. Dan kita bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatan yang kita lakukan.
Dari satu perspektif, Tuhan adalah pelaku perbuatan kita sendiri. Lantaran segala sesuatu yang kita miliki berasal dari-Nya. Tiada yang dapat memberikan pengaruh di dalam alam wujud ini kecuali Allah!
Tauhid Ibadah
Maksudnya adalah Allah swt. satu-satunya Dzat yang harus disembah, dan selain-Nya tidak pantas disembah. Karena ibadah khusus bagi seseorang yang sempurna mutlak (kamâl mutlaq) dan mutlak sempurna (mutlaq kamâl). Dzat yang tidak memerlukan segala sesuatu, pemberi seluruh anugerah, pencipta seluruh wujud. Dan sifat ini tidak akan dijumpai selain pada Dzat Nan Kudus.
Tujuan utama ibadah adalah menemukan jalan untuk mendekatkan diri kepada derajat kesempurnaan mutlak dan mutlak sempurna, Wujud Nir-Batas itu. Dan refleksi pancaran dari sifat sempurna dan indah-Nya bertakhta dalam relung jiwa yang merupakan hasil penjagaan jarak dari hawa nafsu, serta menggayutkan diri kepada membina dan menghias diri (tahdzib nafs).
Tujuan ini hanya dapat tercapai dengan beribadah kepada Allah swt. yang merupakan Pemilik kesempurnaan mutlak. [2]
Catatan Kaki:
[1] Ma’ânî al-Akbâr, Syaikh Shaduq, hal. 11, hadis ke-1.
[2] Tafsir Nemûneh, jilid 27, hal. 446.
16. Apakah Maksud dari Perjumpaan dengan Tuhan itu?
Dalam beberapa ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas Hari Kebangkitan dan Hari Kiamat, terdapat redaksi liqâ’ Allah (perjumpaan dengan Tuhan) atau liqâ’ ar-Rabb (perjumpaan dengan Rabb). Redaksi ayat ini sarat makna dan memiliki kedalaman arti, betapa pun sebagian mufassir telah menafsirkan ayat-ayat ini secara sambil lalu.
Sebagian dari mereka berpendapat bahwa maksud dari liqâ’ Allah adalah pertemuan para malaikat Allah Swt. pada Hari Kiamat. Sebagian yang lain berkeyakinan bahwa maksudnya adalah perjumpaan setiap makhluk dengan perhitungan (hisâb), ganjaran (jazâ'), dan pahala (tsawâb). Dan kelompok ketiga berpendapat bahwa maknanya adalah perjumpaan hukum dan perintah-Nya.
Semua pendapat tersebut mengambil arti redaksi Al-Qur’an tersebut secara implisit. Sementara kita mengetahui bahwa apabila penafsiran implisit bertentangan dengan dzahir sebuah ungkapan (eksplisit), sepanjang tidak ada dalil atasnya, harus kita tinggalkan.
Tak syak lagi bahwa maksud dari redaksi perjumpaan (liqâ’) bukanlah melihat Tuhan. Lantaran perjumpaan indrawi (hissi) hanya berlaku pada benda-benda material yang terbatas di dalam ruang dan waktu, berwarna, dan kualitas-kualitas lain sehingga ia mampu untuk dilihat dengan mata kepala.
Dengan demikian, maksud dari perjumpaan di sini adalah syuhûd bâtini, perjumpaan dan pertemuan maknawi dan ruhani dengan Allah Swt. Karena pada Hari Kiamat, seluruh hijab akan tersingkap dan tanda-tanda kekuasaan-Nya sedemikian nampak pada hari Mahsyar dan seluruh tempat persinggahan Kiamat, bahkan orang-orang kafir akan berjumpa dengan Allah Swt. melalui mata batin mereka (meskipun perjumpaan ini pasti berbeda).
Allamah Thabathabai dalam Tafsir Al-Mîzân berkata: “Hamba-hamba Allah Swt. berada dalam keadaan tanpa hijab antara mereka dengan-Nya. Lantaran ciri khas Hari Kiamat adalah penampakan seluruh hakikat. Demikian pada surat An-Nur (24), ayat 25, Allah Swt. berfirman, ‘Pada hari itu mereka mengetahui bahwa sesungguhnya Allah, Ia-lah Hak Yang Nyata.’”[1]
Menariknya, dalam hadis sahih disebutkan bahwa seorang datang kepada Amirul Mukminin Ali a.s. dan berkata: “Aku terjatuh dalam kesangsian terhadap Al-Qur’an.”
Beliau kembali bertanya: “Mengapa”?
Orang itu berkata: “Kita melihat banyak ayat Al-Qur’an yang menegaskan perjumpaan dengan Allah Swt. pada Hari Kiamat, dan di sisi lain Dia berfirman, ‘Mata-mata tidak mampu menjangkaunya, dan Ia menjangkau seluruh mata.’ Bagaimana ayat ini bisa dipertemukan dengan yang lainnya?”
Beliau menjawab: “Perjumpaan di sini bukan penyaksian dengan mat, akan tetapi perjumpaan pada Hari Kiamat dan bangkitnya orang-orang dari kuburan. Oleh karena itu, pahamilah bahwa seluruh liqâ’ (perjumpaan) yang disebutkan dalam Al-Qur’an berarti kebangkitan.”[2]
Sebenarnya, Imam Ali a.s. memberikan tafsir ihwal perjumpaan dengan Allah swt. bahwa penyaksian (syuhûd) Allah swt. merupakan inherensi-inherensi dari syuhûd tersebut. Benar bahwa Hari Kiamat merupakan hari tersingkapnya pelbagai hijab dan tirai, tampaknya tanda-tanda Yang Maha Hak, dan tajallî (theophani) Allah kepada seluruh hati. Dan setiap orang -sesuai dengan tingkat pikirnya- dapat memahami ucapan beliau ini. Dan seperti yang telah kita katakan, bahwa syuhûd batini para kekasih Allah Swt. pada Hari Kiamat berbeda dengan perjumpaan orang-orang biasa.[3]
Dalam masalah ini, Fakhrurrazi dalam At-Tafsir Al-Kabîr-nya memberikan penjelasan yang menarik. Ia menulis, “Manusia di dunia ini, lantaran hanyut dalam urusan-urusan duniawi dan berupaya untuk mengejar kehidupan dunia, kerap melalaikan Allah. Akan tetapi pada Hari Kiamat, seluruh perhatian duniawi ini akan hilang. Manusia dengan seluruh wujudnya akan tercurah kepada Tuhan semesta alam. Dan inilah arti dari perjumpaan dengan Allah Swt.”[4]
Hal ini boleh jadi berdasarkan pengaruh takwa, ibadah, dan penyucian jiwa (tahdzibun nafs) dalam kehidupan dunia ini yang dapat dijumpai pada sekelompok umat manusia. Sebagaimana dalam Nahjul Balaghâh ditegaskan, bahwa salah seorang sahabat alim Imam Ali, Dza'lab al-Yamani, bertanya kepada beliau, “Apakah Anda melihat Tuhan Anda?”
Imam a.s. menjawab, “Apakah mungkin aku menyembah Tuhan yang tidak kulihat?”
Dan ketika ingin memberikan penjelasan lebih lanjut, beliau menambahkan, “Seluruh mata kepala sekali-kali tidak akan pernah menyaksikan-Nya, namun mata hatilah -dengan cahaya iman- dapat menyaksikan-Nya.”[5]
Namun, syuhûd batini ini pada Hari Kiamat berlaku untuk semua orang. Karena, tanda keagungan dan kekuasaan Allah Swt. pada hari itu sedemikian jelasnya sehingga setiap hati yang buta juga akan beriman penuh.[6]
Catatan Kaki:
[1] Tafsir al-Mîzân, jilid 15, hal. 103 dan jilid 10, hal. 69.
[2] Ringkasan Tauhid Shaduq, hal. 267.
[3] Tafsir Payâm-e Qur’ân, jilid 5, hal. 44.
[4] At-Tafsir al-Kabîr, Fakhrurrazi, ayat yang bersangkutan; Tafsir Nemûnehh, jilid 17, hal. 359.
[5] Nahjul Balaghâh, ceramah ke-179.
[6] Tafsir Nemûneh, jilid 1, hal. 217.
17. Apakah Maksud dari Wajah Tuhan itu?
Di dalam surat Al-Baqarah [2], ayat 272 disebutkan, “Dan janganlah Kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah (wajhillâh).” Berangkat dari ayat ini, sebuah soal mengemuka; apakah maksud dari ungkapan wajhullâh tersebut?
Wajh secara leksikal bermakna wajah, dan terkadang bermakna dzat (substansi). Oleh karena itu, wajhullah bermakna Dzat Allah. Niat para pemberi infak harus ditujukan kepada dzat kudus Allah Swt. Oleh karena itu, kata wajh pada ayat ini dan yang semisalnya bermuatan satu jenis penegasan. Karena, ketika wajh disebutkan (untuk dzat Ilahi), merupakan penegasan terhadap untuk Allah Swt. semata, bukan untuk yang lain.
Selain itu, galibnya, wajah manusia -secara lahiriah- adalah bagian termulia di dalam struktur tubuhnya. Lantaran organ-organ yang penting pada tubuh manusia terletak di wajahnya, seperti penglihatan, pendengaran, dan mulut. Atas dasar ini, ketika ungkapan wajhullah digunakan pada ayat ini, itu memberikan arti kemuliaan dan nilai penting. Di sini, wajh secara figuratif (majâzî) digunakan dalam kaitannya dengan Allah Swt, yang sejatinya merupakan satu bentuk penghormatan dan signifikansi dari ayat ini. Begitu jelas bahwa Allah Swt. tidak memiliki jasad dan wajah.[1]
Catatan Kaki
[1] Tafsir Nemûneh, jilid 2, hal. 263.
18. Apakah Hakikat Kehendak (irâdah) Tuhan itu?
Tidak syak lagi bahwa kehendak dengan makna yang ada pada manusia tidak sama dengan kehendak yang ada pada Allah swt. Karena, manusia terlebih dahulu mengkonsepsikan (tashawwur) sesuatu, meminum air, misalnya, lalu ia menimbang manfaat dari meminum air tersebut. Dan setelah memastikan (tashdiq) manfaat itu, keinginan (syauq) dan antusias untuk melakukan tindakan meminum terwujud dalam dirinya. Dan tatkala keinginan mencapai puncaknya, lahirlah perintah untuk mewujudkannya. Maka ia pun bergerak untuk melakukan pekerjaan tersebut.[1]
Akan tetapi, kita ketahui bahwa tidak satu pun dari konsepsi (tashawwur), afirmasi (tashdiq), syauq (keinginan), perintah, diri (nafs), dan gerakan otot dapat dinisbahkan kepada Allah swt. Karena, semua ini adalah perkara hâdits (sebelumnya tidak ada, kemudian mengada).
Lalu, apakah maksud dari kehendak (irâdah) Tuhan itu?
Dalam hal ini para ulama Kalam dan filsafat Islam mengkaji makna yang sesuai dengan wujud Tuhan yang sederhana; tak tersusun (basîth) dan bebas dari segala macam perubahan ini. Mereka menyimpulkan bahwa kehendak (irâdah) Allah swt. terdiri dari dua bagian:
a. Iradah Dzatiyah (kehendak dalam tahap dzat).
b. Iradah Fi'liyah (kehendak dalam tahap tindakan).
a. Kehendak Dzatiyah
Kehendak dzatiyah Tuhan adalah ilmu terhadap sistem terbaik pada alam penciptaan, dan kebaikan para hambanya terdapat pada hukum syariat.
Ia mengetahui sebaik-baiknya sistem untuk alam semesta. Dan setiap wujud pada setiap tingkatan harus bersifat baru. Ilmu ini merupakan sumber wujud bagi seluruh wujud. Dan kebaruan fenomena-fenomena yang terdapat pada setiap zaman adalah berbeda-beda.
Demikian juga dari sudut pandang hukum, Dia mengetahui letak maslahat seluruh hamba, dan ruh seluruh hukum adalah ilmu-Nya terhadap maslahat dan mafsadat.
b. Kehendak Fi'liyah
Kehendak Fi'liyah (perbuatan) Allah Swt. adalah pengadaan (îjâd) itu sendiri dan termasuk dalam sifat fi'liyah. Oleh karena itu, kehendak Allah Swt. atas penciptaan bumi dan langit adalah pengadaan bumi dan langit itu sendiri. Dan kehendak-Nya atas kewajiban shalat dan keharaman dusta adalah pewajiban dan pengharaman kedua perkejaan itu sendiri.
Pendeknya, kehendak Dzatiyah Allah Swt adalah ilmu-Nya itu sendiri, dan kehendak Fi'liyah Allah Swt. adalah pengadaan itu sendiri.[2]
Catatan Kaki:
[1] Sebagian filsuf beranggapan bahwa kehendak (irâdah) adalah syauq muakkad (keinginan yang sangat). Sementara, sebagian yang lain beranggapan bahwa selain syauq muakkad, ia juga bermakna perbuatan dan gerakan. Dan ia memandang kehendak (irâdah) itu adalah amalan nafsâni. (Perhatikan baik-baik)
[2] Tafsir Payâm-e Qurân, jilid 4, hal. 153.
Tidak syak lagi bahwa kehendak dengan makna yang ada pada manusia tidak sama dengan kehendak yang ada pada Allah swt. Karena, manusia terlebih dahulu mengkonsepsikan (tashawwur) sesuatu, meminum air, misalnya, lalu ia menimbang manfaat dari meminum air tersebut. Dan setelah memastikan (tashdiq) manfaat itu, keinginan (syauq) dan antusias untuk melakukan tindakan meminum terwujud dalam dirinya. Dan tatkala keinginan mencapai puncaknya, lahirlah perintah untuk mewujudkannya. Maka ia pun bergerak untuk melakukan pekerjaan tersebut.[1]
Akan tetapi, kita ketahui bahwa tidak satu pun dari konsepsi (tashawwur), afirmasi (tashdiq), syauq (keinginan), perintah, diri (nafs), dan gerakan otot dapat dinisbahkan kepada Allah swt. Karena, semua ini adalah perkara hâdits (sebelumnya tidak ada, kemudian mengada).
Lalu, apakah maksud dari kehendak (irâdah) Tuhan itu?
Dalam hal ini para ulama Kalam dan filsafat Islam mengkaji makna yang sesuai dengan wujud Tuhan yang sederhana; tak tersusun (basîth) dan bebas dari segala macam perubahan ini. Mereka menyimpulkan bahwa kehendak (irâdah) Allah swt. terdiri dari dua bagian:
a. Iradah Dzatiyah (kehendak dalam tahap dzat).
b. Iradah Fi'liyah (kehendak dalam tahap tindakan).
a. Kehendak Dzatiyah
Kehendak dzatiyah Tuhan adalah ilmu terhadap sistem terbaik pada alam penciptaan, dan kebaikan para hambanya terdapat pada hukum syariat.
Ia mengetahui sebaik-baiknya sistem untuk alam semesta. Dan setiap wujud pada setiap tingkatan harus bersifat baru. Ilmu ini merupakan sumber wujud bagi seluruh wujud. Dan kebaruan fenomena-fenomena yang terdapat pada setiap zaman adalah berbeda-beda.
Demikian juga dari sudut pandang hukum, Dia mengetahui letak maslahat seluruh hamba, dan ruh seluruh hukum adalah ilmu-Nya terhadap maslahat dan mafsadat.
b. Kehendak Fi'liyah
Kehendak Fi'liyah (perbuatan) Allah Swt. adalah pengadaan (îjâd) itu sendiri dan termasuk dalam sifat fi'liyah. Oleh karena itu, kehendak Allah Swt. atas penciptaan bumi dan langit adalah pengadaan bumi dan langit itu sendiri. Dan kehendak-Nya atas kewajiban shalat dan keharaman dusta adalah pewajiban dan pengharaman kedua perkejaan itu sendiri.
Pendeknya, kehendak Dzatiyah Allah Swt adalah ilmu-Nya itu sendiri, dan kehendak Fi'liyah Allah Swt. adalah pengadaan itu sendiri.[2]
Catatan Kaki:
[1] Sebagian filsuf beranggapan bahwa kehendak (irâdah) adalah syauq muakkad (keinginan yang sangat). Sementara, sebagian yang lain beranggapan bahwa selain syauq muakkad, ia juga bermakna perbuatan dan gerakan. Dan ia memandang kehendak (irâdah) itu adalah amalan nafsâni. (Perhatikan baik-baik)
[2] Tafsir Payâm-e Qurân, jilid 4, hal. 153.
19. Kerusakan apakah yang akan Terjadi bilamana Tuhan yang Berkuasa itu Banyak?
Pada ayat 22, surat Al-Anbiya’ [21], kita membaca: “Sekiranya ada Tuhan selain Allah, maka akan terjadi kerusakan dan sistem-semesta akan saling bertabrakan.”
Soal yang mengedepan di sini adalah banyaknya Tuhan akan menjadi sumber kerusakan di alam semesta, lantaran tiap-tiap mereka akan bangkit untuk memerangi satu sama lainnya. Akan tetapi, jika kita menerima mereka sebagai orang-orang bijak dan berpengetahuan, tentu saja dalam mengelola alam semesta ini mereka akan saling bahu-membahu.
Jawaban atas soal ini cukup sederhana. Kebijakan mereka tidak akan menafikan keberbilangan mereka. Ketika kita berasumsi mereka berjumlah banyak, berarti tidak adanya satu pendapat di antara mereka. Karena, apabila mereka adalah satu dari segala sisi, maka konsekuensinya adalah satu Tuhan. Oleh karena itu, jika ada jumlah banyak, pasti terdapat perbedaan-perbedaan dalam perbuatan, kehendak dan efek. Keadaan inilah yang akan menggiring semesta kepada kerusakan. (Perhatikan baik-baik!)
Argumentasi ini menjelaskan argumentasi Tamânu’ dalam rumusannya yang berbeda-beda. Namun, mengupas seluruh argumentasi yang ada bukanlah tujuan pembahasan kita kali ini. Apa yang kami sebutkan di atas merupakan rumusan argumentasi (tamânu’) yang terbaik.
Pada rumusan lain, argumentasi ini bersandar pada proposisi bahwa apabila ada dua kehendak yang berlaku dalam penciptaan, alam semesta tidak akan pernah tercipta. Sementara ayat yang dinukil di atas, berbicara tentang kerusakan jagad dan terjadinya kekacauan dalam sistem semesta, bukan tidak terciptanya atau wujudnya alam semesta. (Perhatikan baik-baik!).
Menariknya, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Hisyam bin Hakam dari Imam Ash-Shadiq a.s., ketika menjawab seorang kafir yang meyakini banyaknya Tuhan, beliau bersabda: “Dua Tuhan yang engkau katakan ini, apakah mereka itu qadim atau azali dan kuat, ataukah lemah dan tidak berdaya, atau satunya kuat dan lainnya lemah?
Apabila keduanya kuat, mengapa salah satunya tidak menyingkirkan yang lain dan memikul tanggungjawab mengatur alam semesta? Apabila anggapanmu seperti ini bahwa yang satu kuat dan yang lain lemah, engkau telah menerima Tauhid, karena yang kedua adalah lemah dan tidak berdaya. Dengan demikian, ia bukanlah Tuhan.
Dan apabila engkau berkata bahwa ada dua Tuhan (yang sama-sama kuat), maka asumsi ini tidak akan keluar dari dua kondisi; entah mereka bersepakat dari seluruh sisi atau berbeda. Akan tetapi, ketika kita melihat penciptaan yang sistemik; bintang-gemintang di langit masing-masing bergerak pada orbitnya, silih bergantinya siang dan malam secara teratur, bulan dan matahari bergerak sesuai dengan garis lintasnya masing-masing, koordinasi pengaturan jagad raya dan sistematika hukum-hukumnya adalah dalil bahwa pengaturnya adalah satu.
Terlepas dari masalah ini, sekiranya engkau mengklaim Tuhan ada dua, maka di antara mereka pasti ada jarak (keunggulan) sehingga dualitas itu terwujud. Di sini, jarak tersebut sendiri adalah wujud yang ketiga yang harus azali juga. Dan dengan demikian, Tuhan menjadi tiga. Dan apabila engkau meyakini Tuhan adalah tiga, maka harus ada jarak (keunggulan) juga di antara mereka. Dengan demikian, engkau harus percaya pada lima wujud qadim dan azali. Dan dengan ini, bilangan Tuhan akan semakin banyak, dan masalah ini tidak berakhir dan tak tertuntaskan.”[1]
Permulaan hadis ini mengindikasikan burhan tamânu’, dan di bagian akhirnya terdapat argumentasi lain yang dikenal sebagai argumentasi farjah (berbedanya poin persamaan dan poin perbedaan).
Dalam hadis yang lain disebutkan bahwa Hisyam bin Hakam bertanya kepada Imam Ash-Shadiq a.s.: “Dalil apa yang dapat membuktikan keesaan Tuhan?” Beliau bersabda, “Sistemika dan koordinasi pengaturan alam semesta dan sempurnanya penciptaan. Demikian Allah Swt. berfirman, ‘Sekiranya langit dan bumi terdapat Tuhan-Tuhan selain Allah, niscaya alam semesta ini akan mengalami kerusakan.” [2]
Catatan Kaki:
[1] Tauhid Shaduq, sesuai dengan nukilan dari Tafsir Nûr ats-Tsaqalain, jilid 3, hal. 417 dan 418.
[2] Idem.; Tafsir Nemûneh, jilid 13, hal. 373.
20. Apakah Maksud dari Kalam Tuhan itu?
Pada surat An-Nisa’ [4], ayat 164 disebutkan, “Allah berfirman kepada Musa dengan langsung.” Soal yang mengemuka dari ayat ini adalah apakah maksud dari Allah berfirman itu?
Maksud dari Allah Swt. berfirman bukanlah berucap dengan lisan. Sebab, berucap dengan lisan dan dengan suara merupakan aksiden-aksiden (‘awâridh) bentuk (benda). Dan Allah Swt. yang suci dari bentuk dan kebendaan tidak dapat disifati dengan sifat demikian.
Jadi, maksud dari berfirman adalah dengan perantara ilham hati atau pengadaan gelombang suara pada ruang. Dan hal itu tidak mustahil lantaran Allah Swt. mampu mencipatkan gelombang suara pada ruang. Dan gelombang suara ini sampai ke telinga para nabi dan rasul-Nya, dan Tuhan menyampaikan pesannya melalui jalan ini. Firman Allah kepada Musa bin ‘Imran di lembah Wadi Aiman -sebagaimana disebukan di dalam Al-Qur’an- memberikan kesaksian bahwa gelombang suara tercipta di sebuah pohon, dan Musa dipanggil ke arah pohon tersebut.[1]
Catatan Kaki:
[1] Tafsir Nemûneh, jilid 2, hal. 278; Payâm-e Qur'ân, jilid 4, hal. 379.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar