Senin, 26 November 2018

CERITA-CERITA HIKMAH




Ilustrasi hiasan:



Pengarang : Muhammadi, Muhammad


Sekapur Sirih

ACAPKALI gagasan atau hikmah yang terkandung dalam sebuh tulisan acap terasa begitu sulit dicerna. Lebih-lebih jenis tulisan ilmiah yang selalu disesaki istilah teknis yang rumit dan membingungkan. Kesulitan ini diperparah dengan minimnya contoh-contoh kasus yang diajukan. Jadilah kemudian buku tersebut buku vampir yang menyedot habis energi pembacnya.
Ada sebuah kalimat bijak, “Sebuah kisah enteng jauh lebih baik dari paparan panjang lebar yang serius, prestisius, dan berbobot sekalipun.” Sebuah tulisan akan jauh lebih hidup, dialogis, dan menggelitik benak pembacnya pabila di sana-sini diselipkan kisah-kisah menarik dan penuh hikmah. Apapun jenis tulisannya; Tapi kisah yang bagaimana?

Sebuah kisah yang handal adalah kisah Yang bersahaja, diungkapkan dengan bahasa sehari-hari (vernakulistis), namun punya makna yang amat bertenaga. Sebuah kisah dapat dimaksudkan untuk menghibur, tapi juga untuk direnungkan. Tentunya secara moral, kisah yang kedua disebutkan jauh lebih bermakna tinimbang lainnya. Namun begitu, dalam metode penyajiannya, kedua maksud tersebut bisa digabungkan sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah kisah yang witty; renyah, “enteng”, jenaka, menggelitik, sekaligus menukik dan menghujamkan makna yang cerdas ke lubuk hati pembacnya. Buku kisah bernuansa keagamaan ini kirnya ingin berbuat seperti itu.

Dalam buku kisah-kisah religius ini, pembaca akan diajak bolak-balik dari zaman ke zaman. Mulai dari zaman nabi-nabi atau Rasul ke zaman berikutnya atau sekarang, balik lagi ke zaman nabi-nabi atau Rasul, begitu seterusnya. Gaya ini menjadikan pembaca mampu merajut kesinambungan konteks antarkisah, sekalipun satu dengan lainnya terpisah jarak waktu ratusan bahkan ribuan tahun.
Kisah-kisah dalam buku ini disusun sedemikian rupa agar mudah dikunyah pemahaman setiap orang. Sehingga para pembaca dapat menemukan makna atau hikmah yang melambari masing-masingnya. Terus terang, kisah-kisah religius yang disuguhkan dalam buku ini sebagian besarnya memiliki daya kejut dan daya bongkar terhadap pemahaman kita selama ini mengenai ihwal kehidupan beragama yang ideal.

Semoga saja setelah membaca rangkaian kisah dalam buku ini, para pembaca memperoleh wawasan dan kesadaran baru yang lebih jenius perihal bagaimana menempuh arung kehidupan ini. Sekali lagi, semoga....





BAB I

Kemurahan Allah Tiada Batas


Nabi Ibrahim as adalah pribadi yang amat senang menerima tamu. Suatu hari seorang Majusi mengunjingi rumah Nabi Ibrahim as dan berharap diterima sebagai tamunya. Nabi Ibrahim as berkata kepadanya, “Kalau engkau menerima Islam (yakni menerima agama hanîf-ku) maka aku akan menerimamu. Kalau tidak, aku tak akan menerimamu sebagai tamuku.”

Allah Swt berfirman kepada beliau: Wahai Ibrahim! Engkau mengatakan kepada orang Majusi itu, bahwa jika ia enggan menerima Islam, maka engkau tidak layak menjadi tamumu dan memakan makananmu, padahal selama 70 tahun ia dalam keadaan mengingkari-Ku (kufur kepada-Ku), dan Aku senantiasa memberinya rezeki dan makanan. Apa beratnya jika semalam saja engkan memberinya makan?

Nabi Ibrahim as merasa amat amat menyesal dan bergegas mengejar orang Majusi itu setelah mencari ke sana ke mari, akhrinya belau menemukannya. Dengan penuh rasa hormat, beliau meminta orang Majusi itu untuk bersedia menjadi tamunya orang Majusi mennyakan kepada Nabi Ibrahim as, gerangan apa yang terjadi setelah kepergiannya. Beliau pun menceritakan wahyu yang diterima dari Allah Swt.

Orang Majusi berkat, “Apakah benar Allah Swt sedemikian murah hati kepadaku? Jika demikian, jelaskanlah kepadaku Islam itu aku akan menerimnya.” Kemudian ia pun menerima dan memeluk Islam.


Keberanian Lelaki Tak Dikenal


Yazid mengeluarkan perintah untuk membunuh Muslim bin Aqil serta Hani bin Urwah. Setelah syahid, kepala keduanya dipisahkan dari tubuh masing masing. Lalu sekelompok orang yang tidak berperikemanusiaan mengikat jasad Muslim bin Aqil, dan diseret keluar-masuk lorong-lorong di Kufah.

Salah seorang pengikut Imam Husain yang gagah berani bernama Hanzhalah bin Murrah Hamdani yang tengah menunggang kuda, menyaksikan pemandangan amat mengenaskan itu. Ia lalu bertanya kepada orang-orang itu, “Wahai warga Kufah! Apa kesalahan yang telah dilakukan lelaki ini (Muslim bin Aqil) sehingga kalian menyeretnya semacam itu?”

Mereka menjawab, “Orang ini adalah khâriji. Ia telah menentang perintah Khalifah Yazid bin Muawiyah.”

Hanzhalah berkata, “Demi Allah, siapakah nama orang ini?”
Mereka menjawab, “Muslim bin Aqil anak paman Imam Husain?”
Hanzhalah menjawab, “Celakalah kalian yang mengetahui bahwa ia adalah anak paman Imam Husain as. Lalu, mengapa kalian membunuhnya dan jenazahnya kalian seret ke sana ke mari?”
Kemudian Hanzhalah turun dari kudnya, mengeluarkan pedang dari sarungnya, dan menyerang mereka seraya menjerit, “Duhai Tuanku, sama sekali tak ada kebaikan dalam hidupku sepeninggalmu!”

Ia terus bertempur melawan mereka, Hasilnya, empat orang dari mereka (yang menyeret jenazah Muslin―peny.) terbunuh. Ia akhirnya dikepung dari berbagai penjuru dan dijemput kesyahidan. Mereka lalu mengikat kakinya dan menyeret jasadnya sampai ke alun-alun Kunasah di Kufah dan dibiarkan tergeletak disana.


Isteri Maitsam al-Tammar yang Gagah Berani


Maitsam al-Tammar adalah salah seorang sahabat Imam Ali bin Abi Thalib as. Ia adalah sosok yang amat mulia dan gagah berani. Atas perintah Ibnu Ziyad, sepuluh hari menjelang kedatangan Imam Husain as ke Karbala, ia dibunuh dan digantung.

Ia memiliki seorang isteri pemberani dan teramat tegar di jalan Islam. Inilah cuplikan salah satu keberaniannya.

Sesuai perintah Ibnu Ziyad, jenazah Muslim bin Aqil, Hani bin Urwah, dan Hanzhalah bin Murrah (yang kisahnya telah disebutkan) tanpa dimandikan dan dikafani dibiarkan tergeletak di alun-alun Kunasah di Kufah. Tak seorang pun yang berani mengambil dan menguburkan jasad mereka.
Isteri Maitsam yang pemberani itu, memutuskan menguburkan mereka. Di tengah malam, tatkala orang-orang tengah tidur terlelap, diam-diam ia membawa ketiga jenazah itu ke rumahnya. Malam itu juga, jenazah-jenazah itu di bawa ke samping Masjid Agung Kufah. Di situ, ia menguburkan mereka dalam keadaan bersimbah darah suci. Tak seorang pun yang mengetahui kejadian ini selain tetanggnya, yakni isteri Hani bin Urwah.

Betapa mulia wanita pemberani itu ia benar layak menjadi isteri M Maitsam. Ya, pribadi semacam Maitsam, selayaknya memiliki isteri yang punya keberanian semacam itu. Inilah hasil dari usaha keras sang suami dalam membina mendidik dan menjadikan isternya begitu cerdas dan bertanggung jawab.


Rasa Hormat Ayatullah Burujurdi terhadap Imam Khomeini


Pada masa awal kedatangan Imam Khomeini di kota Qum, Ayatullah Burujurdi memerintahkan mencari seseorang yang mampu menulis dengan indah untuk dijadikan sekretris beliau; menulis dan menghapus sebagian tulisan-tulisan beliau.

Para sahabat lalu sibuk mencari orang yang layak untuk itu. Sampai pada suatu hari, mereka berhasil menemukan orang yang tulisannya indah dan membawnya ke hadapan Ayatullah Burujurdi untuk diperkenalkan kepada beliau. Kebetulan, saat itu hadir pula ImamKhomeini
Ternyata, Ayatullah Burujurdi menolak orang yang tulisannya indah itu sebagai sekretarisnya. Sebagian orang bertanya kepada Sayyid Ahmad Khomeini, tentang alasan Ayatullah Burujurdi menerima orang itu sebagai sekretarisnya.

Sayyid Ahmad Khomeini menjawab, “Tatkala orang itu menghadap Ayatullah Burujurdi, Imam Khomeini berada disana.

Ayatullah Burujurdi marah dan berkata, ‘Siapa saja yang duduk lebih tinggi dari Ayatullah Khomeini, tak ada glinnya bagiku.’”
Yakni, orang yang tidak menjaga sopan santun dan rasa hormat terhadap pribadi semacam Imam Khomeini, dianggap tak layak menjadi sekretaris beliau. Peristiwa ini menjelaskan betapa besarnya rasa hormat Ayatullah Burujurdi kepada Imam Khomeini. Itu terjadi sekitar 10 tahun sebelum kebangkitan Imam Khomeini melawan Rezim Syah.


Rahasia Penyembuhan


Seorang lelaki menikah dengan seorang wanita yang telah bertahun-tahun tidak melahirkan anak. Ia tahu bahwa isteri nya mandul. Kemudian ia membawnya ke dokter dan menuturkan kejadian yang sebenarnya. Ia berharap dokter dapat memberinya jalan keluar.

Wanita itu tergolong gemuk dan penuh lemak. Tatkala memeriksa denyut nadinya dan mengukur tekanan darahnya, dokter itu tahu bahwa jantungnya terbungkus lemak yang cukup tebal. Ia tahu sebab mengapa ia mandul; ia mengalami kegemukan. Lalu ia berbisik ke telinga sang suami dengan intonasi yang dapat didengar sangisteri, “Isterimu tak akan hidup lebih dari 40 hari.” Wanita itupun mendengar bisikan dokter. Ia lalu tenggelam dalam kesedihan siang dan malam. Ia merasa sedih dan gelisah, sehingga enggan makan dan minum. Itu menyebabkan hari demi hari tubuhnya semakin kurus. Namun, setelah empat puluh hari berlalu, ternyata ia masih tetap hidup. Setelah dua bulan, suaminya menemui dokter itu dan berkata, “Alhamdulillah, isteriku tidak mati, sekalipun telah lebih dari 40 hari, yakni dua bulan sejak kedatangan kami kepada Anda.”

Dokter berkata, “Sekarang gaulilah isterimu. Niscaya Anda memperoleh anak. ”
Lelaki itu bertanya, “Mengapa begitu? Setelah bertahun-tahun mandul, mungkinkah isteriku dapat melahirkan anak?”

Dokter menjawab, “Pada waktu itu, ia teramat gemuk dan penuh lemak. Sekarang ia kurus. Saat itu lemaknyalah yang menghalanginya untuk hamil.”

Dari sini, kita dapat menarik kesimpulan bahwa kegemukan dan kelebihan berat badan merupakan faktor utama yang memicu munculnya berbagai penyakit. Perhatikan berita ini. Seorang wanita mengidap 14 jenis penyakit sebagai berikut; mudah sakit kepala dan cepat lelah; tidak bergairah untuk bekerja dan beraktivitas; gampang merasa gelisah dan tertekan; perasanya sensitif; pelupa dan lemah daya ingatnya; selalu merasa malas; sedih dan hilang semangat; tak punya semangat hidup; selalu takut dan khawatir; tidak dapat tidur malam; iri dengki dan egois; pemalu; sebagian anggota tubuhnya suka gemetaran; dan syaraf tangan dan kakinya mati rasa.
Berat badan wanita itu 90 kilogram. Setelah 36 hari melakukan diet khusus, berat badannya berkurang 18 kilogram. Maka semua penyakitnya itu lenyap seketika.


Kharisma Imam Musa al-Kazhim


Nafi’ al-Anshari tengah berdiri samping istana Harun al-Rasyid (khalifah kelima Dinasti Abbasiah). Tiba-tiba ia melihat seseorang dengan menunggang keledai sedang mendekati istana. Tatkala penjaga istana melihatnya, ia langsung menghormat dan menyambutnya. Penjaga itu segera masuk ke dalam istana dan meminta izin. Tak lama, penunggang keledai itu masuk ke dalam istana.
Nafi’ al-Anshari bertanya kepada Abdul Aziz (salah seorang yang kebetulan ada di sana), “Siapakah orang yang mendapat penghormatan luar biasa itu? ”
Abdul Aziz menjawab, “Ia adalah kepala dari putera Abu Thalib dan pemimpin keturunan Muhammad saww; Musa bin Ja’far al-Kazhim.”
Nafi’ berkata, “Saya tidak pernah menjumpai orang yang lebih lemah dan lebih hina dari para penjaga pintu gerbang istana Harun; mereka menghormati sedemikian rupa orang yang dapat meruntuhkan kerajaan. Ketahuilah jika nantinya ia (Imam Musa al-Kazhim) keluar, aku akan bersikap kepadanya sedemikian rupa; sehingga ia nampak kecil dan hina.”
Abdul Aziz berkata kepada Nafi’, “Janganlah engkau lakukan itu. Sebab, ia adalah keturunan Rasul saww. Sedikit sekali orang yang berbuat jahat kepadanya lalu tidak merasa malu dan menyesal. Rasa malu itu terus dirasakannya sampai akhir hayat.”
Namun Nafi’ begitu egois dan sombong. Ia tidak mengindahkan nasihat Abdul Aziz dan memutuskan untuk tetap melecehkan Imam Musa saat keluar dari istana.
Tatkala Imam Musa al-Kazhim keluar dari istana, Nafi’ dengan penuh angkuh menghampiri beliau dan menarik tali kendali keledai beliau seraya berkata, “Hei! Siapa kamu?” Imam menjawab, “Hei! Jika kamu bertanya tentang nasab dan keturunanku, aku adalah putera Muhammad kekasih Allah, putera Ismail sembelihan Allah (dzabîhullâh), putera Ibrahim kekasih Allah. Jika engkau bertanya tentang tanah airku, aku adalah penduduk tempat di mana Allah mewajibkan seluruh muslimin―jika kamu salah satunya―untuk melakukan ibadah haji. Aku adalah penduduk Mekah. Jika kamu bertujuan menyombongkan diri, demi Allah, kaumku yang musyrik (Quraisy) tidak menganggap kaummu yang beriman sebagai tandingan dan sepadan dengan mereka. Bahkan dalam perang Badar mereka berkata, ‘Wahai Muhammad! Utuslah ke medan perang kami orang-orang yang sepadan dengan kami dari Quraisy!’ Dan jika maksudmu adalah sebutan dan nama, ketahuilah bahwa aku adalah orang-orang yang Allah mewajibkan (manusia) dalam shalatnya untuk bersalawat kepada kami dan engkau harus mengucapkan Allâhumma shallî ‘alâ Muhammad wa âli Muhammad; kami adalah keluarga dan keturunan Muhammad. Sekarang lepaskan tali kekang keledai ini!”
Tubuh Nafi’ gemetar setelah mendengar perijelasan mantap Imam Musa al-Kazhim. Dengan penuh rasa malu, ia melepaskan tali kekang keledai yang dipeganginya itu dan langsung ngeloyor pergi. Abdul Aziz melihat Nafi’ dan berkata kepadanya, “Tidakkah aku sudah katakan bahwa engkau tak dapat begitu saja meremehkan mereka (anak keturunan nubuwwah).”
Nafi’ kemudian melantunkan syair:
Pelita yang dihidupkan Yang Mahasuci
Membakar janggut orang yang meniupnya


Kisah Imam Khomeini


Imam Khomeini bercerita bahwa setelah dipastikan bebas dari penjara dan akan berada di bawah pengawasan Rezim Syah tahun 1945 beliau dibawa ke hadapan para agen Syah yang ada di penjara. Sewaktu beliau hendak meninggalkan pertemuan itu, salah seorang dari mereka berkata, “Hai Tuan, politik adalah kebohongan, tipu muslihat, dan kejahatan. Biarkan saja itu untuk kami.” Beliau menjawab, “Politik semacam itu memang politik milik Anda....”
Jelas, politik yang mereka maknai itu hanyalah kebohongan, tipu muslihat, kejahatan, perampokan masyarakat, penguasaan harta dan jiwa masyarakat. Politik semacam ini sama sekali tak ada hubungannya dengan politik Islam. Itu adalah politik setan. Namun politik yang bermakna bimbingan dan pembinaan masyarakat, akan menunjukkan jalan yang bermanfaat bagi individu dan masyarakat ini sebagaimana tercantum dalam hadis Rasulullah saww yang menyertakan kata politik (sâsah, ahli-siyâsah). Dalam berbagai doa Ziyârah al-Jâmi’âh, (berkaitan dengan para imam suci) terdapat sebuah ungkapan, “Sâsah al-‘ibâd” (para politikus para hamba).”[1]
Dalam riwayat itu juga disebutkan bahwa Rasul mulia saww diutus dan bertanggung jawab untuk mengemban politik (pemerintahan)umat.


Beban Derita Kematian


Nabi Yahya as putera Nabi Zakaria as adalah nabi yang hidup semasa Nabi Isa as. Ia amat dekat dari bersahabat dengan Nabi Isa as. Nabi Yahya meninggal dunia. Selang beberapa waktu, Nabi Isa as berziarah ke kuburnya dan memohon kepada Allah untuk menghidupkannya kembali. Doanya terkabul. Nabi Yahya hidup kembali dan keluar dan liang kubur. Ia berkata kepada Nabi Isa as, “Apa yang engkau inginkan dariku?” Nabi Isa as menjawab, “Aku menginginkan sebagaimana engkau di dunia dekat denganku. Sekarang engkau juga dekat denganku dan menjadi sahabat karibku.”
Nabi Yahya as menjawab, “Sampai saat ini, rasa pedih dan pahitnya kematian, masih belum lenyap dari diriku, dan engkau menginginkan aku kembali lagi ke dunia. Itu sama saja engkau menginginkan agar sekali lagi aku merasakan pedih dan pahitnya kematian.” Saat itu juga ia meninggalkan Nabi Isa as dan masuk kembali ke liang kubur.


Seorang Zuhud yang Dungu


Seorang zuhud meninggalkan kehidupan masyarakat dan pergi ke padang pasir untuk menyibukkan diri beribadah di sebuah tempat yang sunyi. Ia memutuskan mengucilkan diri dan tidak masuk ke kota serta berkumpul dengan masyarakat.
Dalam ibadahnya, ia memohon kepada Allah, “Ya Allah, berikanlah rezekiku yang telah Engkau tentukan bagiku.” Seminggu telah berlalu. Namun makanan yang diharapkan tak kunjung datang. Waktu itu rasa lapar sudah hampir membunuhnya. Ia lalu memohon kepada Allah, “Ya Allah, berikanlah bagian rezekiku. Jika tidak, cabutlah nyawaku.” Tiba-tiba terdengarlah suara, “Demi kemuliaan dan kebesaran-Ku, Aku tak akan memberimu rezeki sampai engkau kembali ke kota, dan berhubungan dengan masyarakat.” Lalu ia pun terpaksa kembali ke kota. Sesampainya di kota, seseorang memberinya makan dan yang lainnya memberinya minum, sampai akhirnya ia kekenyangan.
Dikarenakan tidak menyadari kebijakan Ilahi, dalam benaknya terlintas, “Mengapa justru masyarakat yang memberiku makan sementara Allah tidak memberikan apapun?” Ia lalu mendengar suara, “Apakah engkau menginginkan untuk berzuhud dengan cara yang keliru, dan mengingkari kebijakan-Ku? Apakah engkau tak tahu bahwa aku memberi rezeki hamba-hamba-Ku melalui tangan hamba-hamba-Ku juga? Cara semacam itu jauh lebih aku sukai ketimbang aku memberikannya secara langsung lewat tangan (kekuasaan)-Ku sendiri.”


Isteri Habib bin Mazhahir yang Ikhlas dan Berani


Muslim bin ‘Ausajah dan Habib bin Mazhahir adalah orang tua yang berasal dari satu keluarga (famili), yakni Bani Asad. Mereka berdua tinggal di Kufah. Semasa pemerintahan Imam Ali as, keduanya merupakan sahabat setia beliau.
Tatkala Muslim bin Aqil memasuki Kufah sebagai utusan Imam Husain, kedua orang ini berusaha keras membantu Muslim bin Aqil agar masyarakat membaiat Imam Husain. Sampai akhirnya Ubaidillah bin Ziyad memasuki Kufah dan melancarkan teror demi menakut-nakuti masyarakat tentang pemerintahan Yazid. Masyarakat pun pergi meninggalkan Muslim bin Aqil sendirian. Akhirnya, dalam pertempuran yang tidak seimbang ia ditawan sesuai perintah Ibnu Ziyad, ia pun bunuh. Dalam kondisi sulit ini, Muslim bin ‘Ausajah dan Habib bin Mazhahir diam-diam berangkat ke padang Karbala dan bergabung dengan pasukan Imam Husain as. Di situ, keduanya mereguk kesyahidan.
Usia Habib bin Mazhahir saat itu lebih dari 75 tahun. Ia termasuk salah seorang sahabat Rasul saww. Selama tinggal di Kufah, ia bertaqiah seraya menunggu kesempatan yang tepat untuk keluar dari Kufah dan bergabung dengan pasukan Imam Husain as.
Ia memiliki seorang isteri yang bertakwa dan pemberani, yang sangat bergembira pabila suaminya menjadi penolong Imam Husain. Habib bin Mazhahir, gerilyawan tua ini, berusaha agar tempat persembunyiannya tidak diketahui orang lain. Ia juga ingin keputusannya untuk bergabung dengan pasukan Imam Husain as tidak diketahui siapapun. Bahkan ia tidak menceritakan niatnya itu kepada isterinya sendiri. Itu dimaksudkan agar isterinya tidak menceritakannya kepada orang lain.
Imam Husain bersama rombongannya berangkat meninggalkan Mekah menuju Irak. Saat itu, Imam Husain menulis surat untuk Habib bin Mazhahir yang kemudian di bawa salah seorang utusan.
Pada suatu hari, Habib berada di samping isterinya. Tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk pintu rumahnya. Habib beranjak dari duduknya dan berdiri dibalik pintu. Ia melihat orang yang membawa surat dari Imam Husain. Setelah menerima surat itu dan kembali ke samping isterinya, ia membaca isinya sebagai berikut:
“Surat ini dari Husain bin Ali bin Abi Thalib, untuk orang yang pandai, Habib bin Mazhahir. Amma ba’du. Wahai Habib, Anda mengetahui hubungan kekeluargaanku dengan Rasulullah saww, dan Anda adalah orang yang mengenalku dengan baik. Anda adalah orang yang merdeka dan peka (terhadap Islam). Karenanya, janganlah Anda enggan menolongku, di mana di hari kiamat kakekku Rasulullah saww akan mengganjarAnda pahala.”
Habib berpikir jangan sampai seorangpun mengetahui isi surat dan keputusannya untuk berangkat menolong Imam Husain. Sehingga para mata-mata tidak sampai mengetahui peristiwa yang terjadi. Keluarganya sempat bertanya kepadanya setelah ia menerima surat, “Sekarang apa yang hendak kamu lakukan?” Ia bertaqiah dan menjawab, “Aku sudah tua, aku tak dapat melakukan apapun.” Isterinya menyangka Habib enggan membantu Imam Husain. Ia berkata, “Tampaknya engkau enggan berangkat ke padang Karbala dan menolong Imam Husain.” Habib hendak menguji isterinya seraya berkata, “Ya, aku tak punya untuk itu.”
Isterinya menangis dan berkata, “Duhai Habib! Apakah engkau lupa akan sabda Rasulullah saww tentang pribadi Imam Husain as, ‘Kedua anakku ini adalah penghulu penghuni surga dan keduanya adalah imam; baik ia diam ataupun bangkit....’ Engkau telah menerima surat Imam Husein. Lalu mengapa engkapa engkau enggan menolongnya?
Habib menjawab, “Aku khawatir jika anak-anakku menjadi yatim dan engkau mejadi janda.” Isterinya menjawab, “Kami akan meneladani wanita-wanita, puteri-puteri, dan yatim-yatim Bani Hasyim, dan cukuplah Allah sebagai pelindung kami.”
Tatkala Habib melihat isterinya benar-benar telah siap, ia pun mengatakan yang sebenarnya isterinya pun berdoa untuknya.
Tatkala Habib akan bertolak, isterinya berkata, “Aku perlu satu perkara.”
“Apa itu?”
“Tatkala engkau sampai di hadapan Imam Husain as, ciumlah tangan dan kakinya untuk mewakiliku, dan sampaikan salamku, ”pinta isterinya.
“Baiklah,” jawab Habib.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa demi berhati-hati, Habib berkata kepada istrinya, “Aku sudah tua dan apa yang dapat dilakukan orang-orang yang sudah lanjut usia?”
Dengan penuh rasa sedih dan marah, isterinya bangkit dan melepas kerudung di kepalnya lalu meletakannya di kepala Habib bin Mazhahir, seraya berkata, “Sekarang bila engkau enggan pergi, tinggallah di rumah seperti kaum wanita.” Kemudian ia berteriak, “Wahai Husain! Seandainya aku seorang lelaki, aku akan datang ke pangkuamu, berjuang bersamamu, dan kupersembahkan jiwaku untukmu. ”
Tatkala Habib mengetahui kecintaan isteririya terhadap Imam Husain, hatinya menjadi tenang dan berkata “Isteriku! Tenanglah! Aku akan membuatnya bergembira dan janggut yang memutih ini akan kuwarnai dengan darah dileherku. Tenangkanlah dirimu!”


Pemuda Tak Dikenal di Medan Tempur


Dalam perang Shiffin (peperangan antara Imam Ali dengan Muawiyah), Abbas bin Ali bin Abi Thalib sudah berusia empat belas tahun. Namun ia seorang pemuda yang matang. Setiap orang yang memandangnya menyangka ia telah berusia tujuh belas atau dua puluh tahun.
Pada suatu hari, tatkala peperangan masih berlangsung sengit, ia meminta izin kepada ayahnya untuk maju ke medan laga demi melawan musuh. Imam Ali menutupi wajahnya dengan kain, sehingga ia tidak dikenali musuh. Di medan perang, ia bertempur dengan gagah berani seraya berkeliling ke segenap penjuru, memperlihatkan seolah-olah semua wilayah sudah berada di bawah kekuasaannya. Pasukan Syam menyaksikan kegigihan dan keberanian pemuda tak dikenal ini. Para penasihat militer Muawiyah lalu bermusyawarah untuk mencari jalan keluar guna meredam serangan bertubi-tubi ysng dikomandoi pemuda tak dikenal itu. Namun mereka telah dihinggapi rasa takut sehingga tidak berani mengambil keputusan apapun. Akhirnya Muawiyah memanggil salah seorang prajuritnya yang paling berani, Ibnu Sya’tsa’. Ia disebut-sebut sanggup melawan 10 ribu pasukan berkuda. Muawiyah berkata, “Terjunlah ke medan laga dan hadapilah pemuda tak dikenalitu!”
Ibnu Sya’tsa’ menjawab, “Wahai Pemimpinku! Masyarakat mengenalku bahwa aku adalah pejuang yang melawan 10 ribu tentara. Layakkah aku berperang melawan anak itu?”
Muawiyah bertanya, “Lalu apa yang harus aku lakukan?”
Ibnu Sya’tsa’ menjawab, “Aku punya tujuh orang anak lelaki, dan salah satu dari mereka akan kuperintahkan untuk menghadapi dan membunuhya.” Muawiyah menyetujui usulannya.
Ibnu Sya’tsa’ mengutus salah seorang anaknya maju ke medan tempur. Namun tak berapa lama, ia mati di tangan pemuda tak dikenal itu. Kembali ia mengutus anak keduanya. Ia pun terbunuh. Lagi-lagi ia mengutus anak ketiga, keempat, sampai yang ketujuh. Namun semunya tewas di tangan pemuda tak dikenal itu.
Kemudian Ibnu Sya’tsa’ maju ke medan perang dan menyeru, “Hai pemuda, engkau telah membunuh semua anakku. Demi Allah, aku akan membunuh ayah dan ibumu.”
Sekonyong-konyong ia menyerang pemuda itu. Keduanya saling mengayunkan pedang. Tiba-tiba sang pemuda memukulkan pedangnya ke tubuh Ibnu Sya’tsa’ sampai terbelah dua. Tak pelak, Ibnu Sya’tsa’ pun tewas menyusul anak-anaknya. Mereka yang menyaksikan kejadian itu terkagum-kagum terhadap keberanian pemuda itu. Saat itu pula, Amirul Mukminin berteriak, “Wahai anakku! Kembalilah, aku khawatir engkau terkena mata musuh.” Ia pun kembali. Amirul Mukminin menyambut kedatangannya, membuka penutup wajahnya, dan mencium di antara kedua matanya. Para musuh menyaksikan bahwa pemuda tak dikenal itu adalah Qamar Bani Hasyim (bintangnya Bani Hasyim), Abbas bin Ali bin Abi Thalib .


Tertawa Tidak pada Tempatnya Berakibat Dosa


Seorang penduduk padang pasir menemui Rasulullah saww dengan menunggangi anak untanya. Ketika berjumpa dengan Rasulullah saww, in pun memberi salam. Ia ingin mendekat dan bertanya kepada Rasullulah saww. Namun untanya malah berbalik ke belakang dan berlari menjauh. Jadinya, ia pun semakin jauh dari dari Nabi saww. Peristiwa ini terjadi berulang-ulang sampai tiga kali.
Pemandangan semacam ini menyebabkan sebagian sahabat tertawa (yang tidak pada tempatnya; bukannya menolong orang Arab itu agar dapat menyampaikan pertanyaannya, mereka malah tertawa). Tawa mereka dan ulah untanya menjadikan orang itu gusar. Dengan sekali pukulan keras, ia membunuh untanya.
Pra sahabat berkata kepada Rasulullah saww, “Orang Arab itu membunuh untanya.”
Rasulullah saww bersabda, “Dan mulut kalian penuh dengan darahnya (unta).” (Yakni tawa kalianlah yang menyebabkan orang Arab bodoh itu gusar dan berbuat seperti itu. Kalian juga ikut andil dalam pembunuhan unta lemah itu. Mengapa kalian bersikap semacam itu?)


Hukum Tidak Mengenal Kekerabatan


Ummu Salamah adalah salah seorang isteri, Nabi saww. Ia memiliki budak wanita yang melakukan pencurian. Ia ditangkap dan dibawa ke hadapan Rasulullah saww. Ummu Salamah memohon agar budaknya dimaafkan (mengingat hubungan kekerabatan yang ada, ia mengharap tangan budak itu tidak dipotong).
Rasullah saww bersabda kepada Ummu Salamah, “Hai Ummu Salamah, ini adalah salah satu hukum dari hukum-hukum Allah, dan tidak dapat digagalkan.” Kemudian, Rasulullah saww, memerintahkan tangan budak wanita itu dipotong lantaran telah mencuri.


Imam Ali Mencari Kerja


Suatu hari, kondisi kehidupan Imam Ali teramat sulit. Kelaparan pun menyelimuti kehidupan Imam Ali. Lalu, beliau keluar rumah untuk mencari pekerjaan agar upahnya dapat digunakan untuk mengusir rasa laparnya. Di Madinah, beliau tidak menemukan lowongan kerja dan memutuskan untuk pergi ke luar Madinah (sebuah perkebunan yang terletak sekitar delapan kilometer di luar kota Madinah).
Di situ, beliau melihat seorang wanita yang tengah mencangkul tanah dan mengumpulkannya di suatu tempat. Beliau berpikir, “Barangkali wanita ini sedang membutuhkan seorang pembawa air, dan tanah itu akan dicampur air sehingga menjadi tanah liat yang dapat digunakan untuk membuat bangunan.” Imam Ali as menghampiri wanita itu. Jelas, wanita itu memang sedang menunggu kedatangan seseorang yang akan membantunya membawakan air.
Setelah berbincang dengannya, terjalinlah kesepakatan; Imam Ali menimbakannya air dari sumur. Untuk setiap timbaan, beliau mendapat upah sebutir kurma. Beliau sudah menimba air sebnyak enam belas kurma. Tangan beliau pun melepuh. Sesuai kesepakatan, air itu beliau tuangkan di atas gundukan tanah tersebut.
Wanita itu memberi Imam Ali enam belas butir kurma sebagai upahnya. Kemudian beliau kembali ke Madinah dan menceritakan kisahnya kepada Rasulullah saww. Lalu keduanya duduk bersama seraya menikmati buah kurma tersebut. Rasa lapar keduanyapun sirna.


Perintah Imam Ali Membunuh Tiga Teroris


Shalat subuh berjamaah di awal waktu di Masjid Nabi saww usai dilaksanakan. Kaum muslimin masih tinggal di sana. Rasulullah saww menghadap ke arah para hadirin seraya bersabda, “Wahai manusia! Aku telah menerima wahyu bahwa terdapat tiga orang kafir yang bersumpah atas nama berhala latta dan ‘uzza untuk membunuhku. Siapakah di antara kalian yang dengan sukarela siap menghadapi mereka dan membinasakan mereka sebelum tiba di Madinah?”
Masing-masing hadirin saling bertatapan dan diam seribu bahasa. Mereka tidak menjawab seruan Rasulullah saww.
Rasulullah saww melanjutkan, “Aku yakin Ali bin Thalib tak ada di tengah kalian.”
Salah seorang dari mereka yang bernama ‘Amir bin Qutadah berdiri seraya menjawab, “Malam ini, Ali menderita demam. Karena itulah ia tak ikut serta dalam shalat berjamaah. Ijinkanlah saya menemuinya dan menyampaikan seruan anda.”
Rasulullah saww mengizinkannya. Lalu ‘Amir menemui Imam Ali dan menceritakan peristiwa yang terjadi.
Imam Ali keluar dari rumah dengan leher tertutup lengan bajunya dan langsung menemui Rasul saww. Beliau menanyakan peristiwa yang terjadi, “Wahai Rasulullah saww, gerangan apa yang terjadi?”
Rasulullah saww menjawab, “Utusan Allah (Jibril) datang kepadaku dan memberitakan bahwa sekarang ini ada tiga orang kafir yang bersumpah untuk datang ke mari dan membunuhku, demi Tuhan Kabah, usaha mereka tak akan berhasil. Saat ini diperlukan seorang yang menghalangi kedatangannya.”
Imam Ali berkata, “Saya sendiri siap mencegah kedatangan mereka. Saya minta izin beberapa saat untuk mengenakan pakaian perang saya. ”
Rasul mulia saww bersabda, “Inilah pakaian besi dan pedangku, ambillah dan gunakanlah.” Kemudian Rasul mulia saww mengenakan pakaian besinya ke tubuh Imam Ali, melilitkan surban beliau ke kepala Imam Ali, menyerahkan pedang beliau ke tangan Imam Ali, mengambilkan kudanya dan membantu Imam Ali menaikinya, lalu mengutusnya menemui ketiga orang tersebut yang sudah berada beberapa kilometer dari Madinah.
Imam Ali keluar dari Madinah setelah tiga hari berlalu tak ada kabar tentang keadaan Imam Ali; baik dari langit (melalui Malaikat Jibril) maupun bumi. Sayyidah Fathimah merasa khawatir. Beliau lalu menggandeng al-Hasan dan al-Husain pergi menemui Rasulullah saww. “Saya kira dua anak ini telah menjadi yatim,” kata Sayyidah Fathimah. Mendengar ucapan ini, tanpa sadar Rasulullah saww meneteskan air mata. Lalu beliau saww bersabda, “Siapa saja yang membawa berita tentang keadaan Ali, aku akan memberinya imbalan surga.”
Muslimin bersungguh-sungguh mencari Imam Ali bin Abi Thalib. Sebab mereka sadar bahwa Rasulullah saww benar-benar menganggap penting dan amat menegaskan secara khusus masalah ini.
Sampai akhirnya ‘Amir bin Qutadah menyampaikan kabar kepada Rasulullah saww bahwa Imam Ali bin Abi Thalib dalam keadaan selamat dan akan segera kembali ke Madinah dengan membawa kemenangan.
Rasulullah saww bergegas menyambut kedatangan Imam Ali. Beliau saww menyaksikan Imam Ali datang membawa dua tawanan, sepenggal kepala, tiga ekor unta, dan tiga ekor kuda. Saat itu Rasulullah saww bersabda kepada Imam Ali, “Mana yang kamu sukai; aku yang menceritakan peristiwa yang engkau alami; ataukah engkau sendiri?” Kemudian beliau saww bersabda, “Sebaiknya engkau sendiri yang menjelaskannya agar disaksikan kaum yang ada.”
Kemudian Imam Ali memulai kisahnya, “Di tengah padang pasir, saya melihat tiga orang tengah menunggang unta ke arah saya. Sewaktu melihat saya, mereka berteriak, ‘Siapa kamu?’ Saya jawab, ‘Aku Ali bin Abi Thalib, anak paman utusan Allah (rasulullah) saww.’ Mereka berkata, ‘Kami tidak mengenal orang yang menjadi utusan Allah, dan bagi kami tak ada bedanya membunuhmu atau membunuh Muhammad.’”
“Pemilik kepala terpenggal ini langsung menyerang saya. Saat itu pula, berhembus angin merah. Lalu saya mendengar suara anda bersabda, ‘Pakaian besinya di bagian leher telah aku singkap, tebaslah urat lehernya,’ saya pun menebas urat lehernya dan membiarkannya.”
“Kemudian berhembus angin kuning. Saya mendengar suara anda di antara tiupan angin itu, ‘Baju besinya di bagian paha tersingkap, pukullah bagian pahanya,’ saya pun memukul bagian pahanya. Ia pun tersungkur. Saya lalu memisahkan kepalnya dari tubuhnya. Tatkala saya membunuhnya, kedua tawanan ini menghampiri saya dan berkata, ‘Temanku yang engkau bunuh ini berkemampuan membunuh seribu pasukan berkuda. Sekarang kami menyerahkan diri kepadamu. Kami mendengar Muhammad adalah orang yang pemurah dan berhati lembut. Janganlah engkau membunuh kami. Bawalah kami ke hadapan Muhammad hidup-hidup agar ia memutuskan hukuman yang layak kami terima.’”
Rasulullah saww bersabda, “Wahai Ali! Suara pertama yang engkau dengar adalah suara Jibril dan suara kedua yang engkau dengar adalah suara Mikail, sekarang bawalah kepadaku salah seorang tawanan itu.” Imam Ali membawa seorang tawanan menghadap Rasulullah saww. Kemudian Rasulullah saww bersabda kepadanya, “Ucapkanlah Tiada tuhan selain Allah (lâ ilâha illallâh).” Tawanan itu menjawab, “Memindahkan gunung Abu Qubais lebih aku sukai daripada harus mengucapkan kalimat itu.”
Rasulullah saww bersabda, “Bawalah ia dan tebaslah lehernya.” Kemudian Imam Ali melaksanakan perintah Rasulullah saww.
Kemudian Rasulullah saww bersabda kepada Imam Ali, “Bawalah kemari tawanan kedua.” Imam Ali membawa tawanan itu ke hadapan Rasulullah saww. Lalu Rasulullah saww bersabda,“Ucapkanlah, Tiada tuhan selain Allah.” Ia menjawab, “Gabungkan saja aku dengan temanku.”
Rasulullah saww bersabda kepada Imam Ali, “Bawalah ia juga, dan tebaslah lehernya.” Sekonyong-konyong Malaikat Jibril turun dari berkata, “Wahai Muhammad, Tuhanmu memberi salam kepadamu, dan berfirman: ‘Janganlah engkau bunuh orang itu, karena ia memiliki dua sifat yang mulia; di antara kaumnya ia adalah seorang yang dermawan dan juga memiliki budi pekerti yang baik.’”
Rasulullah saww bersabda kepada Imam Ali, “Hentikan! Utusan Allah mengatakan....” Tatkala mengetahui soal pembatalan pembunuhannya, orang kafir itu berkata, “Ya, aku bersumpah demi Tuhan, selama aku hidup bersama saudara-saudaraku aku tak pernah punya uang sedirham pun (maksudnya ia tidak menabung uang yang diperolehnya, melainkan selalu diserahkan kepada sanak kerabatnya), dan aku sama sekali tak pernah melarikan diri dari medan perang. Sekarang aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.”
Rasulullah saww bersabda, “Ia adalah orang yang ditarik menuju surga yang penuh kenikmatan oleh budi pekertinya yang baik dan kedermawanannya.”


Membuat Lupa, Senjata Ampuh Setan


Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (Âli Imrân: 135)
Tatkala ayat ini diturunkan (yang menyatakan bahwa mereka bertobat dan tobatnya diterima disisi Allah), iblis merasa khawatir lalu pergi ke gunung Tsaur (gunung tertinggi di Mekah). Di situ, ia berteriak dengan suara paling lantang untuk memanggil dan mengumpulkan para sahabat dan anak-anaknya. Setelah berkumpul, mereka menanyakan alasan seruan itu.
Ia menjawab, “Telah turun sebuah ayat (berkenaan dengan tobat, yang mana itu akan membuat semua usaha yang kita lakukan sia-sia belaka). Siapakah di antara kalian yang memiliki usul dan jalan keluar untuk mengatasi persoalan ini?”
Salah seorang dari mereka berkata, “Saya akan mengajak manusia melakukan dosa ini dan itu, sehingga pengaruh ayat tersebut akan berkurang.” Namun iblis menolak usul tersebut. Setan lain juga mengusulkan hal yang sama. Namun iblis lagi-lagi menolaknya. Setan ketiga, keempat, dan seterusnya memberi usulan, namun kembali ditolak oleh iblis.
Sampai akhirnya setan yang amat berpengalaman bernama al-waswâs al-khannâs datang dan berkata, “Saya akan mengatasi kesulitan ini.” Iblis bertanya, “Bagaimana carnya?” Al-khannâs menjawab, “Aku akan memberi janji-janji dan angan-angan kepada mereka sehingga mereka tercemari dosa, kemudian aku membuat mereka lupa beristigfar (maksudnya, membuatnya lupa dan menjauhkan manusia dari keinginan bertobat).”
Dalam hal ini, iblis menerima pendapat dan usulan tersebut, dan berkata, “Tugas ini untukmu.” Dan tugas ini pun dilaksankan al-khannâs sampai hari kiamat .
Di sini perlu diperhatikan bahawa kata “al-waswâs” berarti pembisik sedangkan kata “khannas” berarti lari dan bersembuyi. Ini menghingat setan akan lari bersembunyi tatkala nama Allah disebut-sebut.


Hasil Belas Kasih


Alkisah, seseorang yang saleh memiliki seorang sahabat yang sudah meninggal dunia. Selang beberapa waktu, ia melihatnya dalam mimpi. Ia bertanya kepada temannya itu, “Apa yang dilakukan Tuhan kepadamu?”
Temannya menjawab, “Aku diletakkan di sisi Tuhan dan diberi kabar gembira dengan ampunan. Lalu aku mendengar suara dari sisi Allah: Tahukah engkau mengapa Aku mengampunimu? Aku menjawab, ‘Dikarenakan amal-amal baikku.’ Muncul jawaban: Bukan. Aku menjawab, ‘Dikarenakan keikhlasanku dalam beribadah.’ Bukan. Aku menjawab, ‘Dikarenakan amalan ini dan itu.’ Bukan, semua itu bukan perkara yang menyebabkan Aku mengampunimu, tegas suara itu.”
“Aku bertanya, ‘Lalu apa yang menyebabkan Engkau mengampuniku?’ Terdengar jawaban: Apakah engkau masih ingat tatkala engkau tengah berjalan di salah satu lorong dikota Bagdad, lalu ada seekor kucing kecil yang tengah kepanasan dan berlindung di bawah dinding, kemudian engkau mengambilnya dan meletakkannya di bawah bajumu dan engkau selamatkan dirinya dari kepanasan? Aku menjawab, ‘Benar.’ Kembali muncul jawaban: Karena engkau mengasihi kucing itu; maka Akupun mengasihimu.”


Kesyahidan Utusan Imam Husain


Rombongan Imam Husain bertolak dari Mekah menuju Irak. Ketika tiba di dearah bernama Hajiz, surat Muslim bin Aqil sampai ke tangan Imam Husain. Di dalamnya tertulis, “Masyarakat (Kufah) memberi sambutan baik dan mereka semua menunggu kedatangan Anda....”
Imam Husain menulis surat untuk para pengikut beliau di Kufah. Lalu surat itu diserahkan kepada Qais bin Musahhar Shaidawi, untuk dibawa ke Kufah dan diserahkan kepada pemuka Syiah. Dalam surat itu tertulis, “Bismillâh al-Rahmân al-Rahîm, dari Husain untuk saudara seiman, assalâmu’alaîkum. Kami bersyukur kepada Allah yang Mahaesa, amma ba’du: Surat Muslim bin Aqil telah saya terima, yang isinya menjelaskan kebaikan pandangan kalian, dan kesiapan kalian membantu kami dan menuntut hak kami. Saya memohon kepada Allah agar usaha kita dapat berjalan lancar dan memberi kalian pahala. Pada hari Selasa tanggal delapan Dzulhijjah, saya keluar dari Mekah. Tatkala pembawa surat ini (Qais) sampai di sisi kalian, bersatulah dan bersiap-siaplah. Insya Allah pada hari-hari ini saya akan datang menemui kalian. Salam, rahmat, dan berkah Allah senantiasa menyertai kalian.”
Qais bertolak ke Kufah. Sesampainya di Qadisiyah, ia ditangkap orang-orang yang dipimpin Hashin bin Numair. Lalu ia dibawa ke hadapan Ibnu Ziyad. Di tengah perjalanan ia mengeluarkan surat Imam Husain yang dibawanya dan dirobek-robeknya. Tatkala sampai di hadapan Ibnu Ziyad, terjadilah dialog.
Ibnu Ziyad, “Siapakah kamu?”
Qais, “Seorang pengikut Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.”
“Mengapa engkau meobek-robek surat itu?”
“Supaya engkau tidak mengetahui apa yang tertulis dalam surat itu.”
“Dari siapakah surat itu dan untuk siapa?”
“Dari Imam Husain untuk perkumpulan masyarakat Kufah.”
“Apa nama perkumpulan itu?”
“Aku tak tahu.”
Ibnu Ziyad gusar dan berkata, “Naiklah ke ketinggian itu, dan caci makilah si pembohong anak pembohong Husain bin Ali.”
Qais pun melaksankan perintah itu setelah mengungkapkan pujian kepada Allah, ia berkata, “Wahai manusia! Husain bin Ali ini adalah anak Fathimah sebaik-baik makhluk Allah. Saya adalah utusannya untuk kalian. Di Hajiz, saya berpisah dengannya. Sambutlah ajakan Imam!” Kemudian ia mengutuk Ibnu Ziyad serta ayahnya dan memohon ampun untuk Imam Ali bin Abi Thalib.
Kemudian Ibnu Ziyad memerintahkan membawa Qais ke atap istana dan melemparkannya ke tanah. Akhirnya, ia pun mereguk kesyahidan.


Wasiat Abu Dzar


Semasa pemerintahan Umar bin Khathab, Abu Dzar jatuh sakit. Ia pun hanya bisa terbaring d tempat tidur. Merasa waktu kematiannya tengah menjelang, ia segera berwasiat berkaitan kehidupannya. Ia memutuskan bahwa orang yang berhak menjalankan wasiatnya adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Seseorang berkata kepadanya, “Jika Amirul Mukminin Umar engkau jadikan pelaksana wasiatmu, itu jusru lebih baik dari Ali bin Abi Thalib.”
Abu Dzar menjawab, “Demi Allah! Aku telah mewasiatkan kepada Amirul Mukminin yang sesungguhnya.”


Abbas dan Kedudukan Bâb al-Hawâij (Pintu Berbagai Keperluan)


Seorang yang saleh tinggal di Karbala. Anaknya yang juga saleh, tengah jatuh sakit. Pada malam hari, ayahnya berziarah ke makam suci hazrat Abu al-Fadl Abbas, dan bertawasul kepada beliau dengan tulus dan murni seraya berharap agar beliau memohonkan kepada Allah bagi kesembuhan puteranya.
Ketika masuk waktu subuh, salah seorang teman orang saleh itu menghampirinya dan berkata, “Malam ini aku bermimpi sangat menakjubkan. Aku akan menceritakannya padamu; dalam mimpiku aku melihat hazrat Abbas bin Abi bin Abi Thalib memohon kesembuhan bagi puteramu. Saat itu, datang seorang [malaikat] utusan Rasulullah saww menemui Abbas dan berkata, ‘Rasulullah saww bersabda bahwa berkaitan dengan kesembuhan anak ini janganlah engkau memberi syafaat karena ajal pasti (hatmî)-nya sudah dekat, dan usia yang telah ditakdirkan untuknya akan segera habis, dan kehidupannya akan segera berakhir.’”
“Kemudian hazrat Abbas berkata kepada malaikat itu, ‘Sampaikanlah salamku kepada Rasulullah saww dan katakan kepada beliau demi kedudukanmu di sisi Allah. Akumeminta kepadamu agar memberi syafaat dan mohonlah kepada Allah agar menyembuhkan pemuda yang sedang sakit ini.’”
“Malaikat itupun kembali dan menyampaikan salam Abbas kepada Rasulullah saww dan mengutarakan pesannya.”
“Rasulullah saww bersabda, ‘Pergi dan katakanlah kepada Abbas bahwa ajal anak lelaki itu telah tiba.’ Kemudian ia menyampaikan pesan Rasulullah saww kepada Abbas, dan Abbas pun memberi jawaban sebagaimana jawaban pertama. Dan kejadian ini berulang sampai tiga kali.”
“Akhirnya pada kali yang ketiga, wajah Abbas memucat. Ia lalu bangkit dan menemui Rasulullah saww seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah saww, tidakkan saya telah dijuluki dengan bâb al-hawâij? Dan orang-orang juga sudah mengetahuinya dan mereka bertawasul kepada saya serta memohon syafaat atas nama itu?’”
“Kemudian Rasulullah saww tersenyum dan bersabda kepada Abbas, ‘Kembalilah, Allah akan membuatmu merasa gembira. Engkau adalah bâb al-hawâij dan berilah syafaat kepada siapa yang engkau kehendaki, dan dengan berkah keberadaanmu, Allah tetap menyembuhkan pemuda yang sakit ini.’ Setelah itu saya terjaga dari tidur.”


Kecintaan Rasulullah saww Terhadap Para Penyair Ahlul Bait


Di’bil al-Khuza’î adalah seorang penyair yang bebas dan merdeka. Lewat syair-syairnya, ia membela kehormatan para imam Ahlul Bait. Jadinya, nama mereka pun senantiasa membayang di benak bnyak orang.
Anaknya Ali bin Di’bil berkata, “Saat-saat kematian ayahku tiba, aku menyaksikan ayahku akan menghembuskan nafas terakhirnya. Saat itu wajahnya berubah mmenjadi hitam dan lidahnya kaku. Dalam keadaan inilah ia meninggal dunia. Lalu saya meragukan kebenaran Mazhab Syiah yang dianutnya; benar atau menyimpangkah? Jika benar, mengapa ayahku meninggal dalam keadaan yang buruk ini? (Itu menunjukkan akhir hayat yang buruk) Keraguan ini senantiasa menyelimuti hatiku. Sampai lewat tiga hari setelah kematian ayahku, aku melihat ayahku di alam mimpi dengan mengenakan pakaian putih dan kopiah putih seraya berkata kepadaku, ‘Anakku! Apa yang engkau saksikan di saat kematianku; wajahku menghitam dan lidahku kaku, adalah karena sewaktu di dunia aku meminum minuman keras, dan aku senantiasa berada dalam keadaan itu sampai akhirnya aku berjumpa Rasulullah saww, dengan mengenakan baju dan kopiah putih, lalu beliau saww bertanya kepadaku, ‘Apakah engkau adalah Di’bil?’ Aku menjawab, ‘Benar wahai Rasulullah saww.’ Beliau saww bersabda, ‘Bacakanlah syair-syair yang kamu buat berkenaan dengan anak-anakku.’ Kemudian aku membacakan dua bait syair ini:
Wahai masa semoga Allah tidak membuatmu tertawa, disaat tertawa
Dan anak keturunan Muhammad tertindas dan menderita
Diusir dan diasingkan dari rumah-rumah mereka
Seakan mereka telah melakukan kejahatan yang tak terampuni.
Kemudian Rasulullah saww bersabda, ‘Bagus!’ Dan beliau saww memberiku syafaat. Pakaian dan kopiah putih yang engkau lihat ini adalah hadiah beliau saww.”


Dua Majelis Diskusi di Tengah Malam ‘Âsyûrâ’


Sayyidah Zainab menceritakan bahwa pada pertengahan malam ‘Âsyûrâ’, beliau mendatangi kemah saudaranya, Abu al-Fadl Abbas. Beliau melihat para pemuda Bani Hasyim tengah duduk melingkar di sekelilingnya. Dan ia duduk dengan tegap sambil memancing diskusi dengan mereka. Ia berkata, “Wahai saudara-saudaraku! Wahai putera-putera pamanku! Besok, tatkala perang dengan musuh dimulai, kalian harus berada di depan dan merupakan orang pertama yang maju ke medan perang. Jangan sampai orang-orang mengatakan bahwa Bani Hasyim menjadikan kita sebagai penolong mereka sementara mereka lebih mengutamakan kehidupannya sendiri ketimbang kematiannya.”
Para pemuda Bani Hasyim dengan penuh semangat menjawab, “Kami patuh pada perintah Anda.”
Sayyidah Zainab binti Ali bin Abi Thalib berkata, “Dari sana saya menuju kemah Habib bin Mazhahir dan melihat para sahabat (selain Bani Hasyim) duduk melingkarinya. Ia berkata kepada mereka, ‘Wahai para penolong! Besok tatkala perang dimulai, kalian harus menjadi orang pertama yang maju ke medan tempur, karena Bani Hasyim adalah para junjungan dan pembesar kita, dan kita harus berkorban untuk mereka.’ Para sahabat menjawab, ‘Benar sekali ucapanmu.’ Mereka pun menepati ucapan mereka dan bergerak maju ke medan tempur lebih dulu dari Bani Hasyim. Setelah melakukan perlawanan, akhirnya mereka gugur sebagai syuhada.”



Pengorbanan Burair di Malam Tâsû’â (Kesembilan Muharam)


Burair bin Khuzhair merupakan guru al-Quran dan pengikut setia Imam Ali bin Abi Thalib. Ia berasal dari kabilah Hamdan, Kufah. Dalam peristiwa Karbala, ia bergabung dengan pasukan Imam Husain dan termasuk penolong setia beliau. Pada hari ‘Âsyûrâ’ (kesepuluh Muharam), setelah melakukan pengorbanan yang cucup besar, ia gugur sebagai syahid.
Di Karbala, ia menawarkan diri kepada Imam Husain, “Wahai putera Rasulullah, Allah Swt mewajibkan kami berjuang bersamamu, sampai tubuh kami terpotong-potong, dan kami berharap mendapatkan syafaat kakekmu kelak di hari kiamat; kami telah siap terbunuh di jalanmu.”
Sukainah puteri Imam Husain berkata, “Di malam kesembilan Muharam, persediaan air di kemah Imam Husain telah habis; bejana-bejana penyimpan air telah kering. Kami dicekam kehausan sehingga bibir-bibir kami kering. Kami berharap meminum seteguk air. Lalu saya pergi menemui bibi saya, Zainab, untuk mendapatkan air. Sesampai di kemahnya, saya menyaksikan saudara kecil saya, Abdullah yang masih menyusu, sedang berada di pelukannya. Lantaran dicekam rasa haus, ia menggigit lidahnya. Bibiku kadang duduk dan kadang berdiri. Leherku rasa-rasnya seperti dicekik akibat tangisanku. Tapi supaya bibiku tidak merasa tersiksa, aku menjaga diriku agar tampak tenang. Saat itu juga, bibiku memandangku dan bertanya, ‘Mengapa engkau menangis?’ Saya menjawab, ‘Aku menangis lantaran menyaksikan adikku yang masih menyusui.’ Ia berkata, ‘Berdirilah. Marilah kita pergi ke kemah paman-paman dan kemenakan, mungkin sana mereka masih punya simpanan air.’”
“Saya menjawab, ‘Saya tidak yakin jika di sana masih terdapat air.’ Namun saya pergi juga ke kemah mereka. Di sana, ada sekitar 20 anak lelaki dan perempuan yang ikut bersama kami. Semunya menangis seraya berucap, ‘Haus! Haus!’ Burair beserta tiga orang sahabatnya mendengar jerit tengis anak-anak itu dan bertanya, ‘Mengapa mereka menangis?’”
“Seseorang menjawab, ‘Tangisan ini berasal dari anak-anak Imam Husain, karena mereka kehausan.’”
“Kemudian Burair memandang para sahabatnya dan berkata, ‘Pantaskah kita memiliki pedang dan anak-anak Rasulullah saww mati kehausan? Demi Allah kita tak akan membiarkan keadaan ini!’”
“Seorang sahabat berkata, ‘Menurut pandangan saya, sebaiknya setiap dari kita membawa seorang anak, dan kita bawa ke tepi sungai Eufrat dan membiarkan mereka minum sampai kenyang, lalu kembali.’”
“Burair berkata, ‘Pandangan semacam ini tidak tepat, sebab ada kemungkinan terjadi peperangan dan anak-anak akan terkena panah. Jelas, penyebabnya adalah kita. Menurut saya, kita membawa kantong air dan pergi ke sungai Eufrat. Lalu kita penuhi kantong itu dengan air dan semampunya kita bawa kembali ke kemah. Sekiranya diserang musuh, kita masih bisa mengadakan perlawanan serta mengorbankan jiwa dan raga kita untuk Imam Husain dan puteri-puteri Rasulullah saww.’”
“Para sahabat setuju. Mereka lalu membawa kantong air dan berangkat bersama Burair menuju sungai Eufrat. Dalam kegelapan, mereka sampai ke tepi sungai. Salah seorang musuh berteriak, ‘Siapa kalian?’ Burair menjawab, ‘Aku adalah Burair dengan beberapa sahabatku datang untuk mengambil air.’ Ia berkata, ‘Kalian boleh meminum air, tapi jangan membawa walau setetes pun untuk Husain.’”
“Burair menjawab, ‘Celakalah kalian! Kami minum air, sementara Husain dan puteri Rasulullah saww mati kehausan? Tidak, sama sekali tak akan terjadi.’ Kemudian ia memandang para sahabatnya dan berkata, ‘Jangan ada di antara kalian yang meminum air. Ingatlah mereka yang sedang kehausan di kemah.’”
“Salah seorang sahabatnya berkata, ‘Demi Allah, saya tak akan minum sampai hati putera-puteri Rasulullah menjadi dingin dengan tetesan air.’”
“Saat itu, Burair memenuhi kantong air yang dibawanya dan seorang meninggalkan sungai Eufrat. Melihat itu, pasukan musuh menghadang Burair dan para sahabatnya. Setelah berada di tengah kepungan musuh, mulailah mereka terlibat peperangan sengit. Burair berkata kepada para sahabatnya, ‘Salah satu dari kita harus membawa kantong air ini ke kemah, sementara yang lain tetap berperang melawan musuh. Salah seorang sahabatnya bersedia menjalankan tugas itu. Ia lalu mengalungkan tempat air tersebut di lehernya dan dibawanya ke kemah. Tiba-tiba, sebuah anak panah melesat dan mengenai tali kantong air dan menancap di leher. Darah mengalir dari lehernya. Ia mencabut anak panah itu seraya berkata, ‘Alhamdulillah, leherku telah aku korbankan demi tempat air dan putera-puteri Imam Husain.”’
“Burair terus berperang seraya menasihati musuh. Tatkala Imam Husain mendengar suara Burair, beliau berkata, ‘Seakan-akan aku mendengar suara Burair tengah menasihati musuh dan meminta bantuan kepada keluarga Hamdan’”
Seketika itu, dua belas orang sahabat Imam Husain bergegas memberikan bantuan dan menyelamatkannya dari terkaman musuh. Burair dan para sahabatnya kembali ke kemah dengan membawa kantong air. Ia merasa gembira karena dapat membawa kantong air ke kemah. Tatkala kantong air itu diletakkan ke tanah, anak-anak yang sudah amat kehausan itu segera menghampirinya dan saling berebut. Akibatnya, tutup kantong air itu terbuka dan airnya tumpah. Burair mejerit, “Celakalah aku, terhadap rasa haus yang menimpa putera-puteri Rasulullah....”


Kota Tanpa Kekurangan


Imam Muhammad al-Baqir menceritakan bahwa salah seorang raja dari Bani Israil menyatakan, “Saya akan membangun sebuah kota yang sama sekali tidak memiliki kekurangan. Tak seorang pun yang akan menemukan cacat dan kekurangannya.” Kemudian ia memerintahkan para pekerja dan ahli bangunan untuk membangun kota itu. Setelah selesai dibangun, orang-orang sibuk menyaksikan kota itu dan semunya sepakat bahwa kota tersebut tiada tandingannya dan tak memiliki cacat dan kekurangan apapun.
Namun, seorang lelaki menghampiri sang raja dan berkata, “Jika Anda menjamin keselamatan saya dan jiwa saya dalam keadaan aman, saya akan menyebutkan cela dan dan kekurangan kota ini.”
“Aku menjamin keselamatanmu,” jawab Raja.
Orang itu berkata, “Ada dua cacat dan kekurangan; Pertama, pemiliknya akan mati; kedua, sepeninggalmu kota ini akan hancur.”
Raja berpikir dan berkata, “Kekurangan apa yang lebih dari itu? Menurut pendapatmu, apa yang harus saya lakukan?”
Lelaki itu menjawab, “Bangunlah sebuah kota yang akan terus kekal dan tak akan hancur selamanya, serta di dalamnya Anda senantiasa dalam keadaan muda dan tidak dihampiri ketuaan (dan kota itu adalah surga).”
Sang raja menceritakan peristiwa yang dialami kepada isterinya. Berpikir sebentar, isterinya berkata, “Di antara orang orang yang hidup di kota ini, hanya dirinyalah satu-satunya orang yang jujur.”


Syarat Dikabulnya Doa


Imam Ja’far al-Shadiq berkata, “Seorang lelaki dari Bani Israil selama tiga tahun berdoa agar Allah mengaruniainya seorang anak lelaki. Namun doanya tidak terkabul. Tatkala menyadari bahwa Allah tidak mengabulkan doanya, ia berkata, “Ya Allah! Apakah aku jauh dari-Mu sehingga Engkau tidak mendengar suaraku, ataukah Engkau dekat tetapi tidak menjawab permintaanku?’”
“Dalam mimpinya, seseorang mendatanginya dan berkata, ‘Sesungguhnya engkau memohon kepada Allah dengan lisan sia-sia dan hati yang kotor dan tidak bertakwa, serta niat yang tidak benar. Karena itu, tinggalkanlah pembicaraan yang tidak bermanfaat, dan sucikanlah hati dan niatmu, agar doamu dikabulkan.’ Kemudian ia melaksanakan nasihat itu lalu memanjatkan doa. Dan Allah pun mengabulkan doanya serta mengaruniainya seorang anak lelaki.’”


Penjelasan Imam Khomeini kepada Rakyat


Mir Husain Musawi, mantan perdana menteri Republik Islam Iran mengatakan, “Kami para anggota pemerintahan, tatkala menghadap Imam Khomeini, beliau senantiasa menegaskan, ‘Jangan sampai kalian melakukan suatu pekerjaan dan tidak dapat menjelaskannya kepada rakyat.’”
“Pada suatu hari, kami datang menemui Imam Khomeini dan membicarakan soal pengorbanan masyarakat. Beliau berkata, ‘Masyarakat ini berada jauh di depan kita.’ Salah seorang dari kami berkomentar, ‘Jika kami mengatakan bahwa kami berada di belakang rakyat, itu benar, namun tidak demikian dengan Anda.’ Mendengar komentar ini, Imam Khomeini merasa tidak senang dan berkata, ‘Tidak, rakyat ini sudah berada jauh di depan kita semua.’”
Dalam ceramahnya (tanggal 4-3-1358 Hijriah Syamsiah) yang berkaitan dengan masyarakat tertindas, Imam Khomeini menyatakan di hadapan berbagai tokoh masyarakat, “Jika kalian menganggap lemh orang-orang yang berada di bawah kalian, kemudian―semoga Allah melindungi kita―kalian menekan mereka, maka kalian adalah para penindas, sementara mereka yang ada di bawah kekuasaan kalian adalah orang-orang yang tertindas.”


Pengadilan Amat Mencengangkan di Tengah Bani Israil


Imam Muhammad al-Baqir mengisahkan bahwa di antara Bani Israil, pernah hidup seorang yang kaya dan cerdik pandai. Ia memiliki dua orang isteri. Salah satunya suka menjaga kesucian diri. Dari wanita ini, ia memiliki seorang anak lelaki. Dan anak lelakinya itu amat mirip dengan ayahnya. Namun, isterinya yang lain tidak menjaga kesucian dirinya. Ia melahirkan dua orang putera. Tatkala berada di ambang kematian, sang ayah berwasiat kepada anak-anaknya sebagai berikut, “Hartaku adalah milik seseorang di antara kalian.” Tatkala telah meninggal dunia, ketiga anaknya itu berselisih dalam hal mewarisi harta warisan. Anak sulung berkata, “Seseorang itu adalah saya.” Anak pertengahan berkata, “Tidak,itu adalah saya.” Dan anak bungsu juga berkata, “Saya lah orang itu.”
Ketiganya mengadukan perselisihan mereka kepada seorang hakim. Lalu hakim berkata, “Saya tak dapat mengadili kalian. Namun saya akan menganjurkan kalian menemui tiga bersaudara dari Bani Ghanâm. Mintalah kepada mereka untuk menyelesaikan perselisihan kalian.”
Pertama-tama, mereka menemui salah seorang dari Bani Ghanâm itu yang ternyata adalah orang yang sudah tua renta dan sedang terbaring. Mereka lalu mengungkapkan persoalan yang ada. Ia menjawab, “Pergilah kalian menemui saudaraku yang lebih tua dariku.” Kemudian mereka menemui orang yang dimaksud yang ternyata adalah orang yang amat tua tapi masih tegap. Setelah mengungkapkan permasalahannya, mereka memperoleh jawaban, “Pergilah kalian menemui saudaraku yang lebih tua dariku.”
Mereka lalu berangkat menemui saudaranya yang ketiga. Wajah orang yang dimaksud tampak jauh lebih muda ketimbang kedua saudaranya. Mereka menanyakan perihal keadaan ketiga bersaudara dari Bani Ghanâm itu, “Mengapa usiamu lebih tua dari yang lain namun tampak lebih muda dari kedua adikmu?” Orang itu menjawab, “Saudaraku yang pertama kali kalian lihat adalah adikku yang paling kecil (bungsu) tetapi ia memiliki seorang isteri yang berperangai buruk. Namun ia tetap hidup berdampingan dengan wanita itu, bersabar, dan menanggung beban derita. Ia takut dan khawatir jika (bercerai dengannya) akan menghadapi berbagai bencana dari musibah yang tidak dapat ditanggungnya. Itulah yang menyebabkannya tampak lebih tua renta dan kehilangan tenaga. Adapun saudaraku yang kedua yang kalian saksikan adalah adikku yang pertengahan. Ia memiliki isteri yang adakalanya membuatnya bahagia dan adakalanya pula membuatnya bersedih dan menderita. Karena itu, kondisinya berada di tengah-tengah. Sedangkan aku punya seorang isteri yang baik yang senantiasa membuatku senang dan bergembira. Karena itulah, aku menjadi tampak lebih muda dari kedua adikku. Adapun jalan penyelesaian bagi wasiat ayah kalian; pergilah kalian ke kubur ayah kalian dan galilah kubur ayah kalian. Keluarkanlah tulang belulangnya dan bakarlah tulang itu kemudian pergilah ke hadapan hakim. Biarkan ia yang memutuskannya.”
Ketiga bersaudara itu segera meninggalkannya. Dua orang di antaranya yang merupakan putera dari wanita yang tidak menjaga kesucian diri, segera mengambil sekop dan cangkul. Lalu berangkat menuju kubur ayahnya untuk menggalinya....
Namun anak ketiga (yang ibunya adalah seorang wanita suci) malah mengambil pedang ayahnya dan mendatangi kubur ayahnya serta berkata kepada kedua saudaraya, “Saya memberikan bagian warisan saya dari ayah untuk kalian, tetapi kalian jangan menggali kubur ayah.”
Kemudian ketiganya menemui hakim dan menceritakan kisah yang dialami. Hakim berkata, “Usaha kalian sampai sekerang ini, sudah cukup. Aku akan mengambil keputusan. Serahkanlah harta warisan itu kepadaku dan aku akan memberikannya kepada yang berhak menerimnya.” Kemudian ia berkata kepada anak yang paling muda (yang tidak rela kubur ayahnya dibongkar), “Ambillah harta ini, engkaulah pemilik harta ini. Jika kedua saudaramu benar-benar anak dari ayahmu, niscaya hati mereka akan seperti hatimu; merasa bersedih dan tidak rela kubur ayahnya dibongkar.”

[1] Ungkapan ini merupakan bagian dari doa “Ziârah al-Jâmi’ah”. Doa ziarah ini diriwayatkan Imam Ali al-Ridha, “Bacalah doa ziarah ini tatkala kalian berziarah ke kubur salah seorang imam (ahlul bait) atau seluruh kubur suci para nabi dan wasyi”. Isi doa tersebut adalah, “Salam atasmu wahai Ahlul Bait kenabian... para politikus (pemimpin) para hamba dan tonggak tonggak negeri.”




BAB II

Hukuman atas Pemimpin nan Kejam


Salah seorang pemimpin pasukan musuh yang membantai Imam Husain dan para sahabatnya di Karbala, bernama Akhnas bin Zaid. Ia adalah orang yang kejam, buas, dan tak punya belas kasih. Di antara kekejamannya adalah memimpin sepuluh orang berkuda untuk menginjak-injak jasad suci Imam Husain, sampai tulang dada dan punggung beliau hancur.
Orang biadab ini selamat dari pembalasan Mukhtar al-Tsaqafi yang bangkit mengadakan pembalasan terhadap mereka yang telah membantai Imam Husain berserta para sahabatnya. Ia tetap hidup hingga berusia 90 tahun.
Pada suatu malam, ia―dengan berpura-pura menjadi orang asing―bertamu ke rumah, seorang muslim pecinta Ahlul Bait bernama Sudai. Sekarang marilah kita dengarkan kisahnya secara langsung dari lisan Sudai:
Pada suatu malam, seorang lelaki bertamu kerumahku dan aku menyambut kedatangannya dengan baik. Aku berharap malam itu aku dapat menjalin persahabatan dengannya. Ia adalah Akhnas bin Zaid. Sebelumnya, aku tidak mengenalnya. Aku mencurahkan isi hatiku, sampai akhirnya masuk ke pembahasan tragedi Karbala. Aku menarik nafas panjang. Ia bertanya, “Ada apa denganmu, mengapa engkau tampak bersedih?”
“Aku teringat berbagai musibah, yang berbagai musibah apapun (selain musibah itu) terasa amat ringan,” jawabku.
“Apakah engkau hadir di Karbala?” tanyanya.
“Aku bersyukur kepada Allah karena aku tidak hadir di sana,” jawabku.
“Ungkapan syukurmu ini untuk apa?”
“Karena aku tidak ikut serta dalam (tertumpahnya) darah al-Husain. Tidakkah engkau mendengar bahwa Rasulullah saww bersabda, ‘Barangsiapa ikut serta dalam (tertumpahnya) darah al-Husain, maka ia akan diperiksa sebagaimana orang yang menumpahkan darah al- Husain; pada hari kiamat timbangan amal (baik)nya akan menjadi ringan.’ Tidakkah engkau mendengar bahwasanya Rasulullah saww juga bersabda, ‘Barangsiapa membunuh puteraku al-Husain, maka di Jahanam nanti ia akan dimasukkan ke dalam peti yang dipenuhi dengan api.’ Tidakkah engkau mendengar....”
Mendengar itu, Akhnas berkata, “Engkau jangan percaya semua itu; bohong belaka.”
“Bagaimana aku tidak mempercayainya Sedangkan Rasulullah saww bersabda, ‘Aku tidak berbohong dan tidak pula dibohongi.’” jawabku.
Akhnas menjawab, “Mereka mengatakan bahwa Rasul saww bersabda, ‘Pembunuh al-Husain tidak akan berumur panjang.’ Tapi aku bersumpah demi nyawamu bahwa aku berumur lebih dari sembilan puluh tahun. Tidakkah engkau mengenalku?”
“Tidak,” tegasku.
“Aku adalah Akhnas bin Zaid, yang sesuai perintah Umar bir Sa’ad membawa kudaku ke jasad Husain dan menginjak-injaknya sampai tulang-tulangnya hancur....”
Sudai berkata, “Saat itu aku amat bersedih dan hatiku terasa sakit dan terbakar. Lalu aku berkata pada diriku sendiri, ‘Aku harus membinasakannya.’ Aku melihat nyala pelita di ruangan mulai meredup. Lalu aku bangkit untuk mengatur nyala apinya. Akhnas berkata, ‘Duduklah, biarkan aku yang melakukannya.’ Ia tampak sombong dan takabur atas panjangnya usia dan keselamatannya. Ia lalu bangkit untuk mengatur nyala pelita itu. Tiba-tiba pelita itu menyambar dan membakar telapak tangannya. Sekalipuan ia menggosok-gosokkan tangannya ke tanah, nyala api itu tak kunjung padam. Perlahan-lahan api itu membakar lengannya.”
“Kemudian dengan memelas ia memohon kepadaku, ‘Tolonglah aku! Aku terbakar.’ Sekalipun bermusuhan dengannya, aku segera mengambil air dan menyiramkan ke tangannya. Namun siraman itu sama sekali tidak berarti. Nyala api terus bekobar-kobar. Lalu ia berlari dan menceburkan dirinya ke sungai. Namun saking besarnya, kobaran api itu bukan padam, malah kian berkobar dan menjilat habis tubuhnya. Demi Allah, biarpun ia menceburkan dirinya ke dalam sungai, api tersebut tidak padam. Tak pelak, Akhnas pun menjadi arang dan mengapung di permukaan air .”


Penegasan Imam Ali al-Ridha tentang Upah Pekerja


Sulaiman bin Ja’far berkata, “Saya berjalan bersama Imam Ali al-Ridha untuk suatu pekerjaan. Sampai akhirnya saya ingin kembali ke rumah. Lalu beliau berkata kepadaku, ‘Ikutlah denganku dan malam ini menginaplah di rumahku.’ Saya menerima ajakan beliau dan berangkat menuju rumah beliau. Imam Ali al-Ridha memandangi budak-budaknya yang saat itu sedang sibuk membuat adonan tanah liat untuk membangun dinding. Pandangan mata beliau tertumbuk pada seorang budak hitam asing.
Beliau berkata kepada para budaknya, ‘Budak hitam ini, apa yang dikerjakannya di sini?’ Mereka menjawab, ‘Ia kami jadikan pekerja di sini untuk membantu pekerjaan kami dan nantinya kami akan memberinya upah.’ Imam Ali al-Ridha bertanya, ‘Apakah kalian telah membuat kesepakatan perihal upahnya?’ Para budak menjawab, ‘Belum, tapi ia yang datang untuk bekerja dengan kami, sehingga akan mendapat upah sesuai kerelaan kami.’ ‘Imam Ali al-Ridha merasa tidak senang terhadap cara seperti itu. Beliau memarahi budak-budaknya, bahkan mencambuknya. Setelah itu, beliau berkata, ‘Mengapa kalian tidak menentukan upah pekerja!’”
Sulaiman bin Ja’far bertanya, “Mengapa Anda begitu marah?” Imam Ali al-Ridha menjawab, “Saya telah berulangkali melarang budak-budak ini agar jangan sampai tidak menentukan jumlah upah bagi pekerja. Berulangkali saya berpesan kepada mereka agar terlebih dulu membuat perjanjian soal jumlah upah yang akan diterima pekerja. Hai Sulaiman! Ketauhilah bahwa jika engkau tidak terlebih dulu menentukan upah, setelah usai bekerja, dan engkau memberi upah kepada pekerja itu tiga kali lebih bnyak dari upah yang semestinya, maka ia tetap akan mengira bahwa upah yang diterimanya itu kurang dari semestinya. Dan bila engkau telah menentukan upahnya, maka tatkala perkerjaannya selesai lalu engkau memberi upah (yang telah disepakati bersama), niscaya ia akan berterimakasih kepadamu. Sekiranya engkau memberinya tambahan (dari ketentuan yang ada), ia akan tahu bahwa engkau telah memberi tambahan kepadanya.”


Jawaban Sulaiman untuk Seorang ‘Abid


Suatu hari Nabi Sulaiman as bersama pengawal kerajaannya mengadakan perjalanan. Burung-burung beterbangan di atas beliau demi melindungi beliau dari sengatan sinar matahari. Jin serta manusia yang berada di sekelilingnya, berjalan dengan penuh santun. Di tengah jalan, ia berjumpa dengan seorang ‘abid yang duduk di suatu sudut dan sibuk beribadah kepada Allah.
Sewaktu melihat Nabi Sulaiman berserta rombongannya, ‘abid itu mendekat dan berkata, “Hai putera Daud. Benarkah Allah Swt telah memberimu kerajaan dan kekuasaan yang amat besar?!”
Nabi Sulaiman as yang tidak memiliki keterikatan hati dengan kedudukan dan tidak terperdaya oleh status yang bersifat lahiriah berkata kepada sang ‘abid, “Tasbih di hati seorang mukmin lebih baik dari apa-apa yang diberikan kepada putera Daud. Sesungguhnya apa-apa yang diberikan kepada putera Daud akan lenyap sedangkan tasbih senantiasa kekal.”


Peperangan Abu al-Fadl Abbas dengan Marid bin Shudaif


Zuhair bin al-Qain adalah seorang prajurit dan pembela Imam Husain di Karbala yang gagah berani pada hari ‘Âsyûrâ’, tatkala Abbas bin Ali bin Abi Thalib hendak berangkat menuju medan perang, Zuhair menghampirinya dan berkata, “Wahai putera Amirul Mukminin! aku hendak menyampaikan sesuatu kepadamu.” Abbas menjawab, “Sampaikanlah, waktunya sempit.”
Wahai Abu al-Fadhl! Tatkala ayahmu hendak menikah dengan ibumu, Ummul Banin, ia berkata kapada suadaranya Aqil yang ahli dalam silsilah keturunan (nasab), “Pinanglah untukku seorang wanita yang berasal dari keturunan yang gagah berani, supaya Allah mengaruniaiku putera yang gagah berani, sehingga menjadi tangan dan rela berkorban demi menolong anakku al-Husain.’ Wahai Abbas! Ayahmu menghendakimu hari ini, oleh karena itu, janganlah engkau kurang sempurna dalam membela kehormatan Imam Husain.”
Mendengar ucapan ini Abbas amat tersentuh. Dengan bergegas dan mantap, ia menunggangi kudanya dan berkata, “Wahai Zuhair! Pada kesempatan ini, engkau hendak memberiku semangat dan kekuatan. Demi Allah, aku akan menunjukkan padamu pengorbananku, yang engkau sama sekali belum pernah saksikan tandingannya.”
Setelah menyampaikan jawabannya ini, Abbas memacu kudnya ke arah musuh. Ia menyerang musuh sedemikian dahsyat. Pedangnya bagaikan kilat yang menyambar-nyambar. Ia berhasil membunuh seratus pasukan musuh.
Saat itu, seorang musuh yang dikenal keberaniannya bernama Marid bin Shudaif Taghlabi, dengan topi besi melekat kuat di kepalnya dan mengenakan dua lapis pakaian besi yang rantainya kecil-kecil, bergegas menunggang kuda. Ia menggenggam sebuah tombak panjang. Dengan teriakan yang menggema ke seluruh medan laga, ia memacu kudnya ke arah Abbas dan berkat, “Hai anak lelaki! Kasihanilah dirimu. Masukkan kembali pedangmu ke sarungnya. Perlihatkanlah kepada orang-orang penyerahanmu; bagimu keselamatan jauh lebik baik dari penyesalan.”
Abbas menjawab sesumbar Marid, “Hai musuh Allah dan Rasul-Nya! Aku telah siap untuk berlaga dengan bertawakal kepada Allah yang Mahabesar, dan akan senantiasa bersabar. Karena aku memiliki hubungan kerabat dengan Rasulullah saww dan dibesarkan dari pohon kenabian. Orang yang berasal dari keturunan semacam ini, sama sekali tak akan menyerah kepada thaghût (orang zalim), dan tak akan bersedia bertekuk lutut di bawah panji penguasa zalim, tidak merasa gentar terhadap tebasan pedang. Aku adalah putera Ali dan tak akan pernah merasa lemah dalam menghadapi penantang....”
Kemudian Abbas melantunkan syair yang ditujukan kepada Marid.
Bertahanlah, ketahuilah bahwa segala sesuatu itu bakal musnah
Tak mungkin orang sepertiku akan merasa takut
Sekonyong-konyong Marid mengarahkan tombaknya yang penjang ke tubuh Abbas. Namun Abbas memegang erat tombak itu dan menariknya dengan kuat sehingga hampir saja Marid terlempar dari kudanya. Ia terpaksa melepas tombaknya dan menghunus pedangnya.
Abbas mengayunkan tombak Marid dan berteriak, “Hai musuh Allah, aku memohon kepada Allah agar mampu mengantarkanmu ke dasar neraka Jahanam.”
Segera saja Abbas menancapkan tombak Marid ke paha kuda yang ditunggangi Marid. Kudanya menjadi tidak terkendali. Marid pun menjatuhkan dirinya ke tanah. Kejadian ini sungguh memalukan. Melihat itu pasukan musuh guncang dan kebingungan. Kontan Syimr berteriak kepada pasukannya, “Celakalah kalian bantulah teman kalian, jangan sampai ia terbunuh.”
Seorang pemuda dari pasukan musuh menunggang kuda (kudanya itu berjuluk “thawiyah”) untuk menjemput Marid. Seketika itu, Marid berteriak, “Hai pemuda! Segara bawalah kemari Thawiyah, sebelum masuk ke dalam Hawiyah (neraka).”
Tatkala pemuda itu telah mendakat, Abbas menancapkan tombaknya ke dadanya. Ia pun jutuh tersungkur. Lalu Abbas menunggangi kuda thawiyah. Tak lama, datanglah 500 tentara musuh ke arah Abbas demi meyelamatkan Marid dari tangan Abbas. Kedatangan mereka sama sekali tidak membuat Abbas gentar. Dalam hitungan detik Abbas menancapkan tombaknya ke leher Marid. Akhirnya, Marid pun tersungkur ke tanah dan tewas. Kemudian Abbas menyerang musuh yang menghampirinya. Ia berhasil membunuh 70 orang. Sisanya lari tungang langgang.
Imam Ja’far al-Shadiq menyifati keberanian Abbas dengan mengatakan, “Aku bersaksi sesungguhnya engkau tidak lemah dan tidak pula takut dan engkau telah mengerahkan seluruh tenagamu (dalam menghadapi musuh).”


Syafaat Bagi Siapa?


Seorang ulama menceritakan bahawa seorang penyair bernama Hajib keliru dalam memahami syaafaat. Ia melantukan syair ini:
Jika Hajib bertransaksi di hari kebangitan dengan Ali (bin Abi Thalib)
Berbuatlah dosa sesukamu, dan saya akan menjamin
Di malam hari, ia bermimpi berjumpa dengan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dalam keadaan marah dan berkata kepadanya, “Engkau tidak melantunkan syair yang bagus.”
“Bagaimanakah sebaiknya?” tanya Hajib.
Imam Ali menjawab, “Perbaikilah syairmu menjadi ini:
Hayib jika bertransaksi di hari kebangkitan dengan Ali
Malulah kepada Ali, sedikitlah berbuat dosa.
Ya, harus terdapat keserasian antara pemberi syafaat dan penerima syafaat. Antara pemberi syafaat (syafî’) dan yang diberi syafaat (masyfû’) harus memiliki hubungan maknawi. Itu agar masyfû’ dapat memperoleh syafaat. Sebab syafaat adalah pertolongan yang diberikan kepada seorang yang memang patut mendapatkannya.


Bahaya Tanggung Jawab dalam Mengadili


Di Bani Israil, hidup seorang hakim yang senantiasa menghakimi berbagai permasalahan di tengah masyarakat dengan adil. Tatkala berada di ambang kematian, ia berkata kepada isterinya, “Kalau aku sudah mati, mandikanlah aku dan kafanilah. Tutupilah wajahku dan letakkanlah aku di sebuah peti. Insya Allah, engkau tak akan menyaksikan sesuatu yang buruk.”
Tatkala ia meninggal, isterinya mengurus jenazahnya sesuai perintahnya. Selang beberapa menit, ia menyingkapkan kain penutupi wajahnya. Tiba-tiba ia melihat sekumpulan ulat meng¬gerumuti wajahnya dan menggerogoti hidungnya. Ia merasa takut menyaksikan kejadian ini (segera menutup kembali wajah [jenzah suaminya] dan menguburkannya)
Pada malam itu, ia bermimpi melihat suaminya yang berkata, “Apakah engkau merasa takut terhadap apa yang dilakukan ulat-ulat itu?”
Wanita itu menjawab, “Ya.”
Sang Hakim berkata, “Demi Allah, pemandangan menakutkan itu disebabkan kecenderunganku pada saudaramu. Suatu hari, saudaramu bersengketa dengan seseorang dan datang kepadaku. Tatkala keduanya duduk di hadapanku dan memintaku menghakiminya, aku berkata kepada diriku sendiri, ‘Ya Allah, berilah kebenaran pada pihak saudara isteriu.’ Sewaktu persengketaan mereka selesai diteliti, ternyata kebenaran berada di pihak saudaramu. Aku merasa senang. Dan ulat yang engkau saksikan itu merupakan balasan atas kecenderunganku pada saudaramu, sekalipun saudaramu berada di pihak yang benar. Namun saat itu aku tak mampu menjaga hawa nafsuku untuk bersikap netral.”


Wajah Orang-orang Syiah


Pada suatu malam di bulan purnama, Imam Ali bin Abi Thalib keluar dari masjid Kufah dan hendak bertolak ke padang pasir. Sekolompok muslimin menyertai beliau. Imam Ali berhenti dan menghadapkan wajahnya kepada mereka lalu berkata, “Siapakah kalian?” Mereka menjawab, “Kami adalah pengikut [Syiah]mu, wahai Amirul Mukminin.”
Imam Ali memandangi wajah mereka satu persatu dengan seksama, lalu berkata, “Tapi mengapa saya tidak melihat wajah Syiah pada wajah kalian?” Mereka bertanya, “Bagaimanakah wajah Syiah itu?” Beliau menjawab, “Wajahnya kekuningan karena tidak tidur malam, matanya rusak karena banyak menangis, punggungnya bungkuk karena banyak berdiri, perutnya kempis karena berpuasa, bibirnya kering karena berdoa, padanya terdapat tanda-tanda orang yang khusuk (rendah hati).”


Menghormati Hak Orang Lain


Ayatullah Burujurdi pada saat mengajar dan berdiskusi dengan para muridnya, kadangkala marah (jelas kemarahannya itu bukan kemarahan yang bertentangan dengan ridha Allah). Namun seusai memberi pelajaran, beliau amat menyesali kemarahannya itu. Beliau menemui murid yang telah dimarahinya dan meminta maaf kepadanya. Adakalanya demi menarik simpatinya, beliau memberi bantuan harta. Dikarenakan itulah, di antara teman-teman muncul sebuah anekdot, “Marahnya Ayatullah Burujurdi membawa berkah.”
mengajar para muridnya, beliau kembali meminta maaf kepada orang tersebut. Dengan demikian, kita tahu betapa besarnya Beliau perhatian beliau dalam menjaga hak dan kehormatan orang lain. Belajar dari Imam Ja’far al-Shadiq yang mengatakan, “Seorang mukmin kehormatannya lebih agung dari kehormatan Kabah.” Yakni, penghormatan terhadap seorang mukmin jauh lebih agung dari penghormatan terhadap Kabah.
Perhatikanlah kisah di bawah ini:
Ayatullah Burujurdi mengajar pelajaran ushul fiqh (pririsip- pririsip fikih) di masjid ‘Isyqali. Suatu hari, salah seorang yang mulia bernama Syaikh Ali Capluqi melontarkan sanggahan. Beliau memberi jawabannya. Syaikh Ali kembali membantah jawaban beliau. Lalu beliau marah sehingga Syaikh Ali merasa terpukul dan hampir saja menangis. Pelajaran pun usai.
Salah seorang sahabat Ayatullah Burujurdi (Syaikh Khunshari) menuturkan bahwa dirinya baru saja selesai menunaikan shalat maghrib, tiba-tiba pembantu Ayatullah Burujurdi menghampirinya dan berkata, “Tuan! Ayatullah Burujurdi sedang berdiri di depan pintu perpustakaan dan merasa sedih dan menyesal dan berkata kepada saya, ‘Pergi dan panggillah Syaikh Khunshari.’” Kemudian ia pun bergegas menunaikan shalat isya dan langsung menemui beliau. Tatkala melihat kedatangannya, beliau langsung berkata, “Apa yang telah saya lakukan? Saya telah menyakiti, hati seorang alim yang mulia (yaitu Syaikh Ali Capluqi). Sekarang saya harus mendatanginya, mencium tangannya, serta meminta kerelaannya sehingga ia memaafkanku. Setelah itu barulah saya akan menunaikan shalat maghrib dan isya.”
Syaikh Khunshari berkata kepada beliau (Ayatullah Burujurdi) bahwa Syaikh Ali menjadi imam shalat di masjid Syah Zaid, dan seusai shalat menyampaikan beberapa permasalahan hukum fikih. Dengan demikian, setelah dua atau tiga jam, barulah beliau pulang ke rumah. “Sekarang saya akan menyampaikan kepadanya bahwa esok pagi Anda akan menemuinya,” kata Syekh Khunshari.
Di pagi hari, sepulang dari masjid, Syaikh melihat Ayatullah Burujurdi telah menunggu di samping rumahnya dengan menaiki andong. Lalu ia bersama beliau bertolok menuju rumah Syaikh Ali. Tatkala berhadapan dengan Syaikh Ali, Ayatullah Burujurdi hendak langsung mencium tangannya. Namun Syaikh Ali menolak. Ayatullah Burujurdi berkata, “Maafkanlah saya. Saya telah keluar dari keadaan normal dan marah kepada Anda....” Syaikh Ali menjawab, “Anda adalah penghulu muslimin. Sikap anda menumbuhkan kebanggaan dalam diri saya dan....” Ayatullah Burujurdi sekali lagi berkata, “Maafkanlah saya, maafkanlah saya.”
Kejadian ini menjadikan Syaikh Ali―sampai akhir hayatnya―mendapatkan curahan kasih dan sayang khusus dari Ayatullah Burujurdi.


Kedermawanan Suami Sayyidah Zainab


Abdullah bin Ja’far adalah sepupu Ali bin Abi Thalib dan suami Sayyidah Zainab binti Abi Thalib. Ia amat dermawan. Suatu hari, ia memasuki sebuah kebun kurma. Di situ ia melihat seorang budak hitam sedang bekerja. Tak lama, makanan dibawa untuk para budak. Dan ketika budak pekerja itu tengah menyantap jatah makannya, saat itu pula datanglah seekor anjing ke hadapannya. Ia lalu memberikan sekerat rotinya untuk anjing itu yang langsung memakannya. Begitu seterusnya; kerat demi kerat roti ia berikan untuk si anjing. Sampai semua jatah makannya pun diberikan kepada anjing tersebut.
Abdullah bertanya kepada sang budak, “apakah Cuma itu jatah makanmu?” Ia menjawab, “Ya, Cuma itu.” Abdullah kembali bertanya “Engkau tidak menyisakan sedikitpun untukmu. Semuanya engkau berikan kepada anjing, lalu bagaimana engkau menghilangkan rasa laparmu?” Budak menjawab, “Dalam keadaan lapar ini, aku tetap bertahan sampai malam tiba.” Abdullah bergumam, “Budak ini jauh lebih dermawan dariku.” Kemudian ia membeli kebun kurma beserta peralatan yang ada, termasuk budak tersebut dari pemiliknya. Ia lalu membebaskan si budak. Bukan cuma itu, ia juga menyerahkan kebun kurma besarta segenap perlengkapan dan peralatannuya kepada si budak.”


Akibat Rela dan Tidak Rela Ibu


Di tengah Bani Israil, hidup seorang ‘abid (orang yang rajin beribadah) bernama Juraih. Setiap hari ia sibuk beribadah di gua. Suatu hari, ibunya mendatangi gua tempatnya beribadah dan memanggilnya. Namun dikarenakan sibuk beribadah, ia tidak menghiraukan panggilan ibunya.
Ibunya kembali ke rumah. Selang beberapa jam, sang Ibu kembali mendatangi tempat peribadahannya dan memanggil Juraih. Namun Juraih tetap tak menghiraukan pangilan ibunya. Begitu pula untuk yang ketiga kalinya; sang ibu mendatangi tempat peribadahannya dan memanggilnya. Namun lagi-lagi lantaran sibuk beribadah, ia sama sekali tidak menghiraukan panggilan ibunya. Sang ibu merasa sakit hati atas perlakuan anaknya itu dan berkata, “Ya Allah, turunkan bencana terhadap anakku.”
Kesokan harinya, datanglah seorang wanita amoral yang sedang hamil ke tempat peribadahan sang ‘abid. Di sanalah ia melahirkan anaknya. Lalu ia menyerahkan anak itu kepada sang ‘abid dan menuduh anak itu sebagai anak ‘abid yang telah melakukan hubungan dengannya secara ilegal; bayi itu adalah anaknya.
Kemudian kasus ini menyebar ke tengah masyarakat di mana sang ‘abid telah didakwa berbuat zina. Raja pada masa itu mengeluarkan keputusan untuk menghukum mati ‘abid. Tatkala masyarakat tengah berkumpul untuk menghukum mati ‘abid, ibunya datang dan akan kembali mengutuknya (anaknya). Namun, dikarenakan rasa sedih yang mendalam, ia memukuli wajahnya sendiri dan menangis. Juraih menghadap ibunya dan berkata, “Ibuku! Tenanglah, kutukanmulah yang menyebabkan aku seperti ini. Sebenarnya aku tidak bersalah.”
Seluruh hadirin berkata kepada ‘abid, “Kami tak akan menerima pengakuanmu, kecuali jika kamu dapat membuktikan tuduhan kepadamu itu palsu.”
Saat itu (tatkala sang ibu telah merasa rela terhadapnya) ‘abid berkata, “Bawalah kemari bayi yang kalian tuduhkan sebagai anakku.” Lalu mereka membawa bayi itu. ‘Abid lalu mengambilnya dan berkata, “Siapakan ayahmu?” Si bayi dengan bahasa yang jelas menjawab, “Ayahku adalah si fulan (seorang pengembala).”
Dengan demikian, Allah telah mengembalikan harga diri dan kehormatan ‘abid, sekaligus menyingkap kepalsuan tuduhan wanita amoral itu. Sejak saat itu, Juraih bersumpah untuk tidak meninggalkan ibunya dan akan senantiasa berkhidmat kepadanya.”


Wanita Tua Mengadukan Angin


Allah Swt memberi kekuasaan kepada Nabi Sulaiman as terhadap segenap yang ada di langit dan bumi. Suatu hari, seorang wania tua, lantaran terpaan angin yang cukup kuat, terjatuh dari atap rumahnya dan tangannya patah. Ia menemui Nabi Sulaiman as untuk mengadukan perbuatan angin terserbut.
Nabi Sulaiman as memanggil sang angin dan menyampaikan pengaduan wanita tua itu. Angin berkata, “Allah mengirimku untuk menyelamatkan para penumpang kapal yang akan tenggelam di tengah laut, supaya kapal itu dapat bergerak ke tepian. Di tengah perjalanan, aku berpapasan dengan wanita tua yang sedang berada di atap rumahnya ini. Kakinya terpeleset dan jatuh ke tanah. Tangannya patah (saya tidak bermaksud melakukannya, alias tidak sengaja, lantaran sedang dalam perjalanan).”
Nabi Sulaiman as terdiam dan tak tahu bagaimana menentukan keputusan yang semestinya. Beliau berkata, “Ya Allah! Bagaimanakah aku menentukan hukuman atas perkara ini?” Allah Swt berfirman, “Ambillah biaya pengobatan untuk kecelakaan yang menimpa wanita tua dari pemilik kapal yang telah diselamatkan angin dari tenggelam di tengah lautan, karena Aku tidak rela ada seseorang yang teraniaya.”


Hukuman Nabi Yunus Meninggalkan yang Utama (tarkul aulâ)


Nabi Yunus as tinggal di sebuah kota bernama Nainawa (terletak di wilayah Irak, sekitar Kufah dan dekat Karbala). Masyarakat kota itu jumlahnya kurang lebih 100 ribu orang. Beliau sibuk mengajak mereka menjalankan ajaran agama.
Selama 33 tahun, ia menyampaikan ajaran Allah. Namun tak seorang pun yang beriman kepada-Nya melainkan cuma dua orang saja; seorang ‘abid bernama. Malikha dan seorang alim bernama Rubail. Selain keduanya, orang-orang tetap menyembah berhala.
Nabi Yunus as memutuskan untuk mengutuk mereka. Menurut sebagian pendapat, itu semata-mata atas usulan ‘abid. Akhirnya beliau pun mengutuk mereka. Setelah itu, beliau menerima wahyu bahwa di suatu masa nanti, Kami akan menurunkan azab. Tatkala masa turunnya azab Allah semakin mendekat, Nabi Yunus as dalam keadaan marah bersama sang ‘abid meninggalkan mereka dan sampai di pantai. Di situ terdapat sebuah kapal yang penuh dengan penumpang dan barang. Beliau meminta mereka mengijinkan dirinya dan sang ‘abid naik ke kapal.
Seandainya Nabi Yunus as tetap bertahan dan bersabar di tengah umatnya, hingga detik-detik terakhir menjelang turunnya azab Allah, justru jauh lebih baik dan utama. Namun ia malah meninggalkan yang lebih baik dan utama (tarkul aulâ) dan tergesa-gesa dalam bertindak; keluar meninggalkan kaumnya dan menaiki kapal untuk menjauh dari kawasan itu. Tiba-tiba seekor ikan paus menghadang perjalanan kapal dan mengangakan mulutnya, seakan-akan meminta makanan. Para penumpang terpakasa melakukan pengundian untuk menentukan siapa orang yang akan dilempar ke laut sebagai santapan ikan paus. Tiga kali mereka mengundi, tiga kali pula nama Nabi Yunus as yang keluar. Kemudian mereka melemparkan Nabi Yunus as ke laut dan ditelan ikan paus. Maka ia ditelan oleh ikan besar dalam keadaan tercela. (al-Shaffât: 142)
Nabi Yunus as berada dalam berbagai kegelapan; kegelapan dalam perot ikan paus, dalam lautan, dan malam. Namun beliau senantiasa mengingat dan menyebut nama Allah, serta berulang kali mengucapkan: “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim.” (Al-Anbiyâ: 87)
Akhirnya Allah Swt mengabulkan doa beliau dan menerima tobatnya. Dia memerintahkan ikan paus untuk mengelurkan Nabi Yunus as di tepi laut. Lalu ikan paus berenang ke tepian laut dan mengelurakan Nabi Yunus dari mulutnya.
Ya, Nabi Yunus as bertobat dengan sebenar-benarnya, semurni-murninya, dan bertasbih kepada Allah dan mengakui kesalahan yang telah dilakukannya sampai akhirnya meraih keselamatan. Jika tidak demikian, niscaya beliau akan senantiasa berada dalam perut ikan paus sampai hari kiamat. Maka kalau sekiranya ia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal dalam perut ikan itu sampai bari berbangkit. (al-Shaffât:143-144)


Peran Penyelamatan Seorang Bijak


Nabi Yunus as berkata kepada kaumnya bahwa azab Allah akan turun pada hari rabu, pertengahan bulan Syawal setelah terbit matahari. Tetapi kaumnya menganggap ia telah berbohong. Mereka lalu mengusir Nabi Yunus as yang langsung pergi meninggalkan kaumnya dengan ditemani soorang ‘abid (Malikha). Tetapi Rubail, orang alim dan bijak yang juga keturunan nabi, tetap tinggal bersama kaumnya. Tatkala bulan Syawal tiba, Rubail pergi mendaki bukit. Dengan suara lantang ia memperingatkan masyarakat, “Hai manusia! Waktu turunnya siksa Allah sudah dekat! Saya amat mengasihi dan menyayangi kalian. Sekarang selama masih ada kesempatan, mohon ampunlah dan bertobatlah kepadah Allah, agar Allah tidak jadi menurunkan siksa atas kalian.”
Hati masyarakat tersentuh oleh nasihat Rubail. Mereka bersama-sama menemui Rubail dan berkata, “Kami tahu anda adalah seorang arif, bijak dan penuh kasih sayang. Kami akan mengikut perintah Anda”.
Rubail berkata, “Pisahkanlah anak-anak dari ibunya dan bawalah mereka ke padang pasir. Letakkan mereka secara terpisah. Bila menyaksikan datangnya angin topan dari arah timur, kalian semua, kecil maupun besar, harus menangis dan merintih dengan merendahkan diri, bertobat, dan memohon ampunan-Nya agar kalian memperoleh curahan rahmat-Nya....” Semua hadirin siap melaksanakan nasihat Rubail. Pada hari yang telah ditentukan, saat terbit matahari, tiba-tiba mereka menyaksikan angin kuning (topan) bertiup dengan kuat. Seketika itu pula mereka―kecil maupun besar―menangis, merintih, serta memohon ampun dan pertolongan Allah. Mereka bertobat dengan sebenar-benarnya.
Rubail juga berdoa demi keselamatan mereka. Jadinya, Allah pun menjauhkan azab itu dari mereka. Allah Swt menerima tobat mereka dan memerintahkan Malaikat Israfil untuk mengalihkan arah angin topan ke daerah pengunungan di pinggiran kota. Tatkala masyarakat menyaksikan azab urung menimpa, mereka bersyukur kepada Allah. Pada hari kamis, Nabi Yunus as dan sang ‘abid, mengetahui soal pembatalan azab Allah terhadap kaumnya. Nabi Yunus as dan sang ‘abid bergegas menuju pantai dan menjauhi kota Nainawa. Keduanya menaiki kapal sampai akhirnya ditelan ikan paus (sebagaimana telah disebutkan pada kisah sebelumnya). Sedangkan Malikha kembali ke kota dan menemui si alim (Rubail), dan berkata, “Aku mengira dikarenakan kezuhudanku, aku lebih baik darimu. Namun sekarang aku mengerti bahwa ilmu yang diiringi ketakwaan jauh lebih baik dari kezuhudan dan ibadah yang tidak disertai ilmu.” Setelah itu, si ‘abid dan si alim saling bersahabat dan tinggal bersama masyarakat serta memberikan bimbingan kepada mereka.


Nabi Yunus as Kembali ke Kaumnya


Tatkala berada di dalam perut ikan paus, Nabi Yunus as bertobat dan memohon ampun kepada Allah. Lalu Allah Swt memerintahkan ikan paus untuk membawa Nabi Yunus as ke pantai dan melempar keluar dari mulutnya.
Tatkala keluar dari mulut ikan paus, tenaga Nabi Yunus as sudah habis sehingga tak mampu berjalan. Berkat karunia dan rahmat Ilahi, tumbuhlah tanaman labu di tepi pantai. Nabi Yunus as berteduh di bawahnya seraya berzikir dan menyebut nama Allah setiap saat. Setelah memakan buah tanaman tersebut, secara berangsur-angsur tenaganya kembali pulih. Lalu Allah mengutus seekor cacing untuk memakan akar tetumbuhan itu. Tanaman itupun mengering.
Tatkala tanaman itu kering dan mati Nabi Yunus as berada dalam kesulitan dan merasa bersedih. Lalu Allah menurunkan wahyu: Mengapa engkau bersedih? Beliau menjawab, “Tanaman ini melindungiku dari panas, lalu Engkau mengutus cacing untuk memakan akarnya sehinga tumbuhan ini kering dan mati.” Allah berfirman: Mengapa engkau bersedih atas keringnya tanaman yang engkau tidak menanam dan mengairinya, tetapi tidak merasa bersedih terhadap turunya siksa dan bencana atas seribu orang. Sekarang ketahuilah bahwa seluruh penduduk Nainawa telah beriman dan berjalan di jalan ketakwaan, dan azab telah Kami singkirkan dari mereka. Pergilah menemui mereka.”
Dalam riwayat lain disebutkan bahawa setelah tanaman itu kering Nabi Yunus as menampakkan rasa sedih dan susahnya. Lalu Allah memfirmankan: Hai Yunus! Hatimu tidak merasa sedih atas azab yang menimpa lebih dari seratus ribu jiwa tetapi engkau tidak mampu bertahan dalam menghadapi derita walau dnya satu jam saja.
Di sini Nabi Yunus as menyadari kekeliruannya dan berkata, “Ya Rabb, afwaka, afwaka (ya Allah aku memohon ampunan-ampunan-Mu).” Kemudian Nabi Yunus as bertolak menuju Nainawa. Tatkala sudah dekat dengan Nainawa, beliau merasa malu memasukinya. Tiba-tiba beliau melihat seorang pengembala. Beliau pun menemuinya seraya berkata, “Pergilah menemui penduduk Nainawa dan katakan kepada mereka bahwa Yunus akan datang.”
Pengembala berkata, “Tidakkah engkau berbohong? Tidakkah engkau merasa malu? Yunus telah tenggelam di dasar laut dan lenyap.”
Dengan perintah Nabi Yunus as seekor kambingnya mampu berbicara dengan bahasa yang jelas dan memberi kesaksian bahwa beliau adalah Nabi Yunus as. Pengembala itupun percaya bahwa sosok di hadapannya itu adalah Nabi Yunus as. Ia pun bergegas ke Nainawa dan mengabarkan kepada penduduk perihal kedatangan Nabi Yunus as. Ketika mendengar kabar itu, penduduk Nainawa tidak mempercayainya dan menangkap si pengembala. Mereka memutuskan memukulinya. Pengembala berkata, “Aku memiliki bukti atas kebenaran kabar yang aku sampaikan.” Mereka bertanya, “Apa buktinya?” “Buktinya adalah kambing ini,” jawab pengembala. Lalu kambing itu berbicara dengan kata-kata yang jelas dan memberi kesaksian atas kedatangan Nabi Yunus as. Mendengar itu, penduduk Nainawa pun percaya bahwa kabar itu benar adnya. Mereka lalu menyiapkan diri menyambut kedatangan Nabi Yunus as. beliau pun memasuki kota Nainawa dengan penuh kewibawaan dan mereka beriman kepadanya. Selama bertahun-tahun mereka hidup di bawah naungan dan bimbinga Nabi Yunus as.
Seseorang bertanya kepada Imam Muhammad al-Baqir tentang berapa lama Nabi Yunus meninggalkan kaumnya?
Imam Muhammad al-Baqir menjawab, “Selama empat minggu (28 hari); pada minggu pertama Nabi Yunus as keluar dari Nainawa dan sampai ke tepi taul; minggu kedua Nabi Yunus as berada di perut ikan; minggu ketiga Nabi Yunus as berteduh di bawah tanaman labu di tepi pantai; dan minggu keempat berangkat menuju kaumnya di Nainawa. Maka perjalanan berangkat dan kembali ditempuhnya selama 28 hari.


Pertemuan Nabi Yunus as dengan Qarun di Dasar Laut nan Dalam


Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib menceritakan bahwa tatkala Nabi Yunus as berada dalam perut ikan besar, ikan itu berenang ke dalam laut dan menuju laut Qulzum. Dari sana, ia berenang ke laut Mesir dan melanjutkannya ke laut hitam. Dari situ, ia masuk ke laut Tigris (Dajlah) di Bashrah. Di laut inilah, Nabi Yunus as dibawa ke dasar laut nan dalam.
Qarun hidup di masa Nabi Musa as dan mendapat murka Allah (Allah Swt berfirman pada bumi untuk menelannya). Saat itu seorang malaikat utusan Allah diperintahkan untuk membenamkan Qarun setiap harinya setinggi tubuh manusia. Nabi Yunus as dalam perut ikan senantiasa berzikir dan beristigfar. Di perut bumi, Qarun mendengar lantunan zikir Nabi Yunus as. Ia lalu berkata kepada malaikat yang menguasainya, “Berilah saya sedikit kesempatan untuk tetap berada di sini karena saya mendengar suara manusia.”
Allah Swt berfirman kepada malaikat itu untuk memberi kesempatan pada Qarun. Malaikat pun memberi kesempatan kepadanya untuk mendekati sumber suara. Qarun bekata, “Siapa kamu?” Nabi Yunus as menjawab, “Aku adalah orang yang bersalah dan berdosa Yunus bin Matta.” Kemudian Qarun menanyakan keadaan sanak keluarganya. Pertama kali ia bertanya, “Bagaimana keadaan nabi Musa?”
Nabi Yunus, “Musa as telah lama meninggal dunia.”
“Bagamana kabar Harun saudara Musa as?”
“Ia juga sudah meninggal dunia.”
“Bagaimana kabar tunanganku, Ummu Kultsum yang juga saudari Musa as?”
“Ia juga telah meninggal dunia.”
Di sini Qarun menangis dan merasa menyesal (hatinya merasa sedih memikirkan nasib sanak keluarganya).
Kemudian Allah mencurahkan rahmat-Nya kepadanya dan memerintahkan malaikat penjagnya untuk menghentikan siksaan dunia terhadap Qarun (ia berhenti sampai di situ dan tidak lagi ditenggelamkan ke dalam tanah setiap hari setinggi tubah manusia).
Tatkala Nabi Yunus as mengetahui kenyataan ini (ia menyadari bahwa Allah Swt mengasihi hamba-hamba-Nya yang berbuat baik), di tengah kegelapan ia menjerit, “Lâ ilâha illa anta subhânaka inni kuntu min al-zâlimîn (tak ada Tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim).”
Kemudian Allah Swt mengabulkan doanya dan memerintahkan sang ikan untuk melemparkannya ke pantai. Lalu ikan itu berenang ke tepian dan melemparkan Nabi Yunus as ke pantai. Di sana Allah Swt menumbuhkan tanaman labu dan Yunus as tidur di bawah naungannya. Berangsur-angsur, kesehatannya kembali pulih.
Kita dapat menyaksikan dengan jelas bahwa menjalin hubungan keluarga (silaturahmi), demikian pula dengan berdoa dan bertobat secara tulus dan murni serta mengakui dosa-dosa, akan menyebabkan keselamatan.


Ali dalam Asuhan Rasul saww


Tatkala Ali bin Abi Thalib mencapai usia sekitar enam tahun, daerah Mekah dan sekitarnya dilanda musim paceklik dan kekurangan pangan. Abu Thalib, ayahanda Imam Ali, seorang yang terhormat dan punya banyak anak. Tak pelak, ia pun dijepit kesulitan. Sanak keluarga Abu Thalib berniat merawat dan mengasuh sebagian anak-anaknya. Rasulullah saww menemui pamannya itu (Abu Thalib), dan bersabda, “Biarlah Ali bersama saya, dan saya akan berusaha keras mengasuh dan mendidiknya.” Abu Thalib menyetujui permintaan Rasulullah saww. Sejak itu, Ali bin Abi Thalib tinggal di rumah Rasulullah saww dan berada di bawah pengawasan dan bimbingan langsung beliau saww. Hingga saat Rasulullah saww diutus menjadi Rasul, orang pertama yang beriman kepada beliau saww adalah Imam Ali bin Abi Thalib as, yang saat itu sudah berusia 10 tahun.


Muslimin Asing dari Masjid


Konon, hiduplah seseorang yang secara lahiriah muslim, yang diistilahkan sekarang sebagat Islam KTP. Ia benar-benar tidak peduli terhadap hukum-hukum Islam. Sebagai contoh, ia sama sekali tak pernah datang ke masjid. Baginya, mendatangi masjid amatlah berat. Bila sewaktu-waktu melintas di samping masjid, ia akan cepat-cepat mengayunkan langkahnya dan sama sekali tidak melirik, apalagi menoleh, ke arah masjid.
Suatu hari, ia bertengkar dengan salah seorang anaknya yang masih kecil sekaitan dengan suatu persoalan. Ia hendak berdiri untuk memukul anaknya. Tapi, anaknya itu lari. Ia juga berlari mengejar anaknya. Akhirnya, si anak tiba di masjid dan masuk ke dalamnya. Sang ayah hanya berhenti di pintu masjid dan enggan masuk. Dari situ ia berteriak, “Ayo keluar! Ayo keluar! Seumur hidupku aku tak pernah masuk ke masjid. Janganlah engkau membuatku masuk masjid. Ayo keluar!”
Ya, orang-orang semacam ini memang ada. Sebagian hadir di masjid hanya untuk menghadiri acara pembacaan doa dan ayat-ayat suci al-Quran bagi sanak keluarganya yang meninggal dunia. Seakan-akan masjid itu dibangun hanya khusus untuk acara kematian saja.


Ayatullah al-Hâirî, Teladan Kemulian dan ketakwaan


Salah seorang ulama terkemuka dan agung adalah almarhum Ayatullah Syaikh Murtadha al-Hâirî. Beliau putera pendiri Hauzah Ilmiyah (sekolah agama), almarhum Syaikh Abdulkarim al-Hâirî. Beliau dilahirkan di Arak (Iran selatan) pada 14 Dzulhijjah 1334 Hijriah Qamariah. Pada tanggal 23 Jumadi al-Tsani dalam usia 72 tahun beliau wafat. Kubur beliau terletak di sekitar makam suci Sayyidah Fathimah al-Ma’shumah (di kota Qum) dan berada di samping kubur ayahandanya.
Syaikh Murtadha al-Hâirî benar-benar seorang alim serta memiliki pelbagai kesempurnaan maknawi dan kebersihan hati. Selama lebih dari 50 tahun, beliau aktif mengajar dan mendidik para pelajar di berbagai tingkat pendidikan. Beliau berperan sungguh luar biasa dalam mengembangkan Hauzah ilmiyah dalam berbagai aspeknya.
Berkenaan dengan pribadi Ayatullah al-Hâirî, Imam Khomeini menyatakan, “Sejak awal didirikannya Hauzah ilmiyah yang penuh berkah di kota Qum oleh ayah beliau yang mulia dan memberi berkah cukup banyak, saya telah mengenal beliau (Ayatullah Murtadha al-Hâirî). Setelah beberapa waktu, saya mengenal beliau lebih dekat dan menjadi sahabat beliau. Dalam pergaulan yang cukup lama, saya tidak melihat apapun pada diri beliau kecuali kebaikan. Beliau senantiasa berusaha keras mengemban tugas ilmiah dan keagamaan. Pribadi agung ini adalah sosok yang adil dan memiliki maqam (kedudukan) yang tinggi di bidang fikih. Pada awal pergerakan Islam Iran, beliau termasuk orang yang brerada di garda depan.”
Banyak kisah menarik berkenaan dengan perihidup Ayatullah Syaikh Murtadha al-Hâirî. Selama hidupnya, beliau sudah 64 kali pergi ke Masyhad untuk berziarah ke makam Imam Ali al-Ridha. Menurut cerita salah seorang ulama, beliau pernah berkata, “Dalam ziarah banyak 64 kali ini, saya senantiasa meminta kepada Imam Ali al-Ridha untuk menyambut panggilan saya dan melindungi saya di tiga tempat yang amat menakutkan; di saat pembagian buku amal perbuatan; di saat melintas jembatan (shirât); di saat berada di samping neraca (tempat penimbangan amal baik dan buruk).”
Dalam hal ini, Imam Ali al-Ridha sendiri berkata, “Barangsiapa datang dari tempat yang jauh untuk berziarah kepadaku, pada hari kiamat nanti aku akan mendatanginya di tiga tempat [di atas], dan akan menolongnya.”
Sejumlah orang yang dapat dipercaya, mengisahkan bahwa beliau (Ayatullah Syaikh Murtadha al- Hâirî) pernah berkata, “Pada perjalanan terakhirku ke Masyhad, Imam Ali al-Ridha berkata kepadaku (dalam mimpi atau lainnya) sebagai berikut, ‘Engkau jangan datang lagi kepadaku. Sekarang giliranku menemuimu.’” Dengan itu, beliau sadar bahwa ajalnya sudah dekat.
Kesejahteraan atasnya pada saat dilahirkan, wafat, dan dihidupkan kembali di hari dibangkitkan.


Nasihat Rasulullah saww pada Haji Terakhir


Pada tahun kesepuluh Hijriah (di bulan Dzulhijjah) Rasulullah saww menunaikan ibadah haji yang terakhir.
Ibadah haji ini dianggap sebagai hujjatul wida’. Saat itu banyak muslimin yang ikut menunaikannya.
Tatkala datang ke Mina untuk menunaikan sebagian amal ibadah haji, Rasul saww mengumpulkan orang-orang dan berceramah. Setelah mengucapkan pujian kepada Allah, beliau saww bersabda, “Wahai manusia! Hari apakah yang paling terhormat di antara hari-hari yang ada?”
Mereka menjawab, “Hari ini.”
Beliau saww kembali bertanya, “Bulan apakah yang paling terhormat di antara bulan-bulan ada?”
Mereka menjawab, “Bulan ini.”
Kembali beliau saww bertanya, “Kota manakah yang terhormat dari berbagai kota yang ada?”
Mereka menjawab, “Kota ini (Mekah).”
Beliau saww bersabda, “Hai manusia! Ketahuilah bahwa darah dan harta kalian adalah sebagaimana terhormatnya hari ini, di bulan ini, dan di Mekah ini, sampai kalian berjumpa dengan Allah. Pada hari itu (kiamat) Allah akan memeriksa amal perbuatan kalian. Ketahuilah apakah aku telah menyampaikan tugasku?”
Mereka menjawab, “Ya (anda telah menyampaikannya).”
Beliau saww bersabda, “Ya Allah saksikanlah!”
Kemudian beliau saww melanjutkan, “Wahai manusia ketahuilah! Barangsiapa memiliki amanat, hendaklah mengembalikan kepada pemiliknya dan ketahuilah bahwa darah dan harta muslimin itu tidak halal, melainkan dengan kerelaannya. Janganlah kalian berbuat zalim terhadap diri kalian sendiri, dan sepeninggalku janganlah kalian menggunakan cara-cara orang-orang kafir.”


Hud-hud dan Nabi Sulaiman


Nabi Sulaiman as adalah pemimpin dan penguasa masyarakat di zamannya. Pusat pemerintahan beliau terletak di Baitul Maqdis dan Syam. Allah Swt memberinya berbagai kekuasaan dan kemampuan. Sampai-sampai petir dan guntur, jin dan manusia, seluruh burung dan binatang melata, tunduk, patuh, dan berada di bawah perintah beliau. Beliau memahami betul seluruh pembicaraan dan bahasa mereka.
Nabi Sulaiman as memanfaatkan selurah karunia Ilahi itu untuk menarik manusia kepada Allah Swt. Khususnya dengan mencegah mereka dari berbagai penyimpangan dan dosa-dosa.
Pada masa Nabi Sulaiman as hidup seorang Ratu di negeri Yaman bernama Balqis. Ia memiliki kekuasaan dan kerajaan yang sangat besar. Namun Balqis dan rakyatnya bukan menyembah Allah, melainkan matahari dan berhala. Mereka jauh dari ajaran dan tuntunan Ilahi, serta tenggelam dalam kerusakan dan penyimpangan. Karena itu, Nabi Sulaiman as berkat pentunjuk dan arahan orang-orangnya yang cerdik dan pandai, mengajak mereka (Balqis dan rakyatnya) untuk keluar dari jalan gelap itu, menuju cahaya tauhid.
Pada suatu hari, Nabi Sulaiman as duduk di singgasananya. Seluruh burung―yang semunya dijadikan Allah tunduk dan patuh dan di bawah kekuasaan Nabi Sulaiman as terbang di atas kepala Nabi Sulaiman as dengan cara berjejer dan membentuk sebuah barisan dengan sayap selalu mengepak. Jadinya, Nabi Sulaiman as terlindung dari sengatan sinar matahari. Namun salah satu jenis burung (hud-hud) tidak hadir di antara burung-burung itu. Posisinya di udara nienjadi kosong. Dan kekosongannya menyebabkan sinar matahari langsung memancar ke dekat singgasana Nabi Sulaiman as.
Tatkala mengetahui peristiwa ini, Nabi Sulaiman as langsung mengangkat kepalnya memandang ke arah burung-burung di angkasa. Beliau tahu bahwa burung hud-hud tidak hadir. Beliau as bertanya: “Mengapa aku tidak melihat hud-hud apakah ia termasuk yang tidak hadir? Sungguh aku akan mengazabnya dengan azab yang keras, atau menyembelihnya kecuali jika ia datang kepadaku dengan alasan yang terang.” (al-Naml: 20-21)
Tak lama datanglah burung hud-hud, yang langsung meminta maaf kepada Nabi Sulaiman as sebagai berikut: Aku telah mengetahui suatu yang belum kamu ketahui; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang benar.”
Nabi Sulaiman as menerima alasan dan permintaan maaf burung hud-hud. Lebih dari itu, beliau merasa bertangung jawab untuk menyelamatkan Ratu Saba dan rakyatnya. Beliau as segera menulis surat untuk Ratu Balqis dan mengajaknya kepada tauhid. Surat tersebut sangat singkat namun penuh makna. Isinya: “Dengan menyebut nama Allah. Janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.” (al-Naml: 30-31)
Lalu Nabi Sulaiman as menyerahkan surat itu pada hud-hud seraya mengatakan, “Aku hendak mengujimu, apakah engkau termasuk jujur atau pembohong? Bawalah surat ini dan letakanlah di sebelah singgasana Ratu Saba kemudian kembalilah. Aku ingin melihat bagaimana sikap mereka dalam menghadapi ajakan kita?!”
Hud-hud membawa surat itu dan terbang dari Syam menuju Yaman. Dari atas udara, ia melemparkan surat itu tepat di samping singgasana Ratu Balqis, yang langsung mengambil dan membukanya. Mengetahui isi surat tersebut teramat penting dan dikirim seseorang yang agung, ia lalu memutuskan untuk bermusyawarah dengan para pembesar kerajaannya.


Nabi Sulaiman Menolak Pemberian Ratu Balqis


Ratu Balqis menemukan surat di samping singgasannya. Ia mengambil dan membacanya. Saat itu ia tahu bahwa surat tersebut ditulis seseorang yang agung dan berisikan permasalahan yang amat berat. Segera saja ia mengumpulkan orang-orang kerajaannya dan memusyawarahkan isi surat itu. Mereka berkata, “Kita punya kekuatan yang tangguh dan mampu berperang melawan mereka. Kita sama sekali tak akan pernah menyerah.”
Namun Ratu Balqis lebih cenderung memilih jalan damai ketimbang berperang. Ia sedar bahawa peperangan hanya akan mengakibatkan kehancuran dan kehinaan. Selama masih dapat diselesaikan lewat jalan damai, pikirnya, tentu tidak perlu mengobarkan api peperangan. Ia memutuskan untuk mengirim hadiah yang amat berharga kepada Sulaiman. Setelah itu, ia akan menanti kabar yang dibawa paa utusannya.[1]
Dalam musyawarah itu Ratu Balqis berkata, “Dengan mengirim hadiah kepada Sulaiman, aku hendak menguji. Jika benar seorang nabi, tentu ia tak akan cenderung pada dunia dan tak akan menerima hadiah kita. Namun jika seorang raja, niscaya ia akan menerimanya. Nah, bila ia memang seorang nabi, kita tak punya kekuatan dan kemampuan untuk menghadapinya. Kita harus tunduk dan menyerah kepadanya.”
Ratu Balqis memerintahkan orang-orangnya memasukkan berbagai jenis permata berharga ke dalam peti untuk dihadiahkan kepada Nabi Sulaiman, seraya mengatakan kepada mereka, “Bawalah permata ini kepada Sulaiman dan hadiahkanlah kepadanya”.
Sebagian orang mencatat, Balqis mengirimkan Sulaiman masing-masing 500 budak lelaki dan perempuan. Para budak wanita dikenakan pakaian lelaki sedangkan budak lelaki dikenakan pakain wanita. Di telinga budak lelaki diberi anting-anting dan tangannya diberi gelang. Sedangkan di kepala para budak perempuan diletakkan topi yang indah. Ia menegaskan dalam suratnya, “Jika engkau benar-benar seorang nabi, pasti mampu membedakan mana budak lelaki dan mana budak perempuan.”
Mereka dimasukkan ke kendaraan yang dihiasi emas yang mengangkut batu permata dalam jumlah cukup besar.
Lalu ia (Ratu Balqis) berkata kepada utusan khususnya, “Begitu sampai, lalu engkau melihat wajah Sulaiman dalam keadaan marah, ketahuilah bahwa ia seorang raja. Jika menyambutmu dengan ramah dan muka manis, ketahuilah ia seorang nabi.”
Utusan Ratu Balqis penguasa Saba beserta rombongan akhirnya sampai di istana Nabi Sulaiman. Mereka segera menyerahkan semua hadiah yang dibawa.
Namun dikarenakan tujuan Nabi Sulaiman as adalah menyelamatkan mereka secara maknawi, maka beliau as sama sekali tidak terpesona gemerlap hadiah yang dibawa. Tatkala beliau as menyaksikan mereka dan berbagai hadiah yang dibawa, dengan tegas beliau as berkata: “Apakah (patut) kamu menolong aku dengan (menghadiahkan) harta kepadaku? Apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu.” (al-Naml:36)
Kemudian Nabi Sulaiman as berkata kepada utusan khusus Ratu Saba: “Kembalilah kepada mereka kami akan mendatangi mereka dengan balatentara yang tidak kuasa mereka melawannya dan pasti kami akan megusir mereka dari negeri itu sebagi orang-orang bina dan mereka dan menjadi tunduk patuh.” (al-Naml:37)


Kedatangan Ratu Balqis dan Pernikahannya dengan Nabi Sulaiman


Utusan khusus Ratu Balqis beserta rombongannya kembali ke Yaman dengan membawa kembali hadiah yang dibawa.
Mereka menceritakan kebesaran keagungan dan kekuatan Nabi Sulaiman as kepada ratu.
Ratu Balqis mau tak mau harus tunduk dan menyerah kepada perintah Nabi Sulaiman as (untuk mengesakan Alah). Demi menyelamatkan diri dan rakyatnya, tak ada cara lain kecuali selain bergabung dengan umat Nabi Sulaiman as. Kemudian Ratu Balqis bersama para pembesar kerajaan meninggalkan Yaman dan bertolak menuju Syam (Syiria) untuk menemui Nabi Sulaiman as. Ia ingin melihat dari dekat sekaligus meneliti pribadi dan karakter Nabi Sulaiman as.
Tatkala mendapat kabar tentang keberangkatan Ratu Balqis dan orang-orangnya menuju Syam (Syiria) Nabi Sulaiman as berkata kepada orang-orang dekatnya, “Siapakah di antara kalian yang mampu mendatangkan singgasana Ratu Saba sebelum ia datang kemari.”
‘Ifrît (salah satu pemimpin bangsa jin) berkata, “Saya akan mendatanggkannya untuk Anda sebelum Anda bangkit dari duduk.” Namun Ashif bin Barkhiya dengan menggunakan ilmu dari kitab samawi berkata, “Saya akan mendatangkan singgasana itu sebelum mata anda berkedip.”
Tak lama, Nabi Sulaiman as menyaksikan singgasana Ratu Saba sudah berada di sampingnya. Segera saja beliau as bersyukur kepada Allah dan berkata: “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk menguji aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya).”
Kemudian Nabi Sulaiman as memerintahkan untuk merubah sebagian bentuk singgasana. Itu dimaksudkan agar ketika Balqis datang dan dipertanyakan apakah ini singgasannya, Nabi dapat melihat bagaimana jawabannya.
Tak lama, Balqis beserta rombongannya datang menemui Nabi Sulaiman. Seseorang menunjuk ke arah singgasana itu dan bertanya, “Apakah singgasanamu seperti ini?” Balqis dengan cerdik menjawab, “Seakan-akan ini adalah singgasana itu.”
Akhirnya Balqis menyadari bahwa itu adalah singgasananya yang didatangkan lebih awal dari kedatangannya berkat mukjizat. Akhirnya ia pun tunduk pada kebenaran dan menerima agama Nabi Sulaiman as. Pada dasarnya, jauh sebelumnya ia telah menyaksikan tanda-tanda kenabian Nabi Sulaiman as. Alhasil, ia memeluk agama yang dibawa Nabi Sulaiman as. Menurut kabar yang termasyhur, Nabi Sulaiman as akhirnya menikahi Ratu Balqis. Keduanya bersama-sama membimbing dan mengarahkan masyarakat menuju peribadahan kepada Tuhan yang Mahaesa.


Memperhatikan Kemuliaan Muslimin


Pada masa Ayatullah Burujurdi, diadakan rencana untuk membangun sebuah masjid dan pusat kajian Islam di kota Hamburg, Jerman.
Ayatullah Burujurdi mengutus seseorang ke Hamburg untuk membeli tanah bagi bangunan masjid itu. Orang tersebut berangkat dan membeli sebidang tanah. Lalu ia kembali menemui Ayatullah Burujurdi. Namun sebagian orang memberitahu Ayatullah Burujurdi bahwa letak tanah yang dibeli itu kurang layak dan kurang bagus.
Kemudian Ayatullah Burujurdi berkata kepada utusan yang membeli tanah itu, “Saya dengar bahwa letak tanah yang Anda beli itu kurang layak dan kurang bagus. Ini amat tidak sesuai bagi sebuah masyarakat yang cenderung memandang sesuatu dari sisi lahiriah. Jangan sampai di mata mereka, kita termasuk orang-orang yang rendah dan hina. Di sana terdapat berbagai agama lain yang bangunan tempat ibadahnya cukup megah dan mewah. Karena itu tidak layak bagi kita untuk mendirikan bengunan yang lebih rendah dari bangunan mereka.”
Orang itu menjawab, “Wahai Tuan, apakah Anda menginginkan saya membeli tanah di atas kota Hamburg dan di tepi pantai? Yempat di sana amat mahal.”
Beliau menjawab, “Ya, belilah tanah di tempat yang layak. Saya akan menjamin dananya. Apakah Anda mengira bahwa Anda membeli tanah itu untuk pribadi saya? Tidak, tempat itu untuk Imam Zaman (Imam Mahdi). Karenanya, ia harus berada di kawasan yang terhormat agar jangan sampai muslimin dihina dan dilecehkan.”
Kemudian dibangunlah sebuah masjid agung di kota Hamburg di atas sebidang tanh yang letaknya cukup strategis dan luasnya lebih kurang 4.000 meter persegi. Masjid itu terletak di tepi sebuah danau, “Saya telah melihat masjid itu dan sempat shalat di dalamnya. Masjid itu benar-benar megah dan indah. Letaknya yang di tepi danau menjadikannya semakin bertambah indah dan mentereng .”


Pahala Memenuhi Keperluan Orang yang Membutuhkan


Almahum Ayatullah Sayyid Jawad Burujurdi (saudara Allamah Bahr al-‘Ulûm), kakek ketiga dari Ayatullah Burujurdi, memiliki kepribadian yang agung dan disegani di kawasan Iran bagian Barat dan kota Brujurd. Beliau amat bersungguh-sungguh dalam mengurusi dan membantu berbagai keperluan orang-orang miskin. Pada tahun 1242 Hijriah Qamariah, beliau wafat di kota Brujurd dan kuburnya tidak pernah kosong dari orang-orang mukmin yang menziarahinya.
Ayatullah Burujurdi bercerita bahwa semasa beliau tinggal di kota Brujurd, pada suatu malam, beliau bermimpi memasuki sebuah rumah yang dikatakan orang-orang di dalamnya ada Rasulullah saww.” Lalu saya masuk ke dalamnya dan memberi salam kepada orang yang ada di situ. Saya duduk di salah satu tempat kosong di ujung majelis. Saya menyaksikan Rasulullah saww tengah duduk di tengah majelis, sementara para ulama dan para zahid (orang-orang zuhud) duduk di kanan-kiri beliau saww. Diantara mereka yang duduknya paling dekat dengan Rasulullah adalah Sayyid Jawad. Di sini saya merenungkan, padahal diantara ulama itu, masih ada yang lebih alim dan lebih zuhud dari Sayyid Jawad. Lalu, mengapa Sayyid Jawad lebih dekat kepada Rasulullah ketimbang yang lain? Tiba-tiba Rasulullah saww bersabda, ‘Sayyid Jawad lebih giat dari yang lain dalam mengurusi masyarakat dan memberi jawaban positif pada mereka yang membutuhkan bantuan!’”


Menghormati Nama Imam Zaman


Seorang sahabat Ayatullah Burujurdi mengatakan dirinya pernah berada di rumah Ayatullah Burujurdi dan duduk bersama beliau. Di luar rumah terdapat sebuah majelis Di situ, seseorang dengan suara keras berkata, “Marilah kita bersalawat demi keselamatan Imam Zaman dan Ayatullah Burujurdi.” Saat itu pula beliau berjalan ke arah pintu dan memukulkan tongkatnya dengan keras ke pintu. Orang-orang yang ada di halaman rumah merasa takut dan khawatir, jangan-jangan ada sesuatu yang tidak berkenan di hati beliau. Beberapa orang bergegas masuk ke rumah untuk melihat apa sebenarnya yang terjadi.
Ayatullah Burujurdi berkata, “Siapakah yang menyejajarkan namaku dengan nama mulia Imam Zaman. Usirlah orang itu dan jangan kalian izinkan datang lagi ke rumah ini.”


Menghormati Kesucian Agama


Suatu hari, raja Arab Saudi datang ke Iran dan mengirim utusan utuuk menyerahkan bermacam-macam hadiah kepada Ayatullah Burujurdi. Ayatullah Burujurdi hanya menerima sebagian hadiah; beberapa al-Quran dan secarik kain Kabah, seraya mengembalikan yang lainnya. Dengan hadiah-hadiah itu, si Raja berharap dapat bertatap muka dengan Ayatullah Burujurdi (sebagaimana disampaikan utusannya). Tapi Ayatullah Burujurdi menolaknya. Tatkala ditanya soal alasan penolakannya, beliau menjawab, “Orang ini (Raja Arab Saudi), jika datang ke Qum, tidak berziarah ke makam suci Sayyidah Fathimah al-Ma’shumah. Ini jelas sebuah penghinaan terhadap beliau. Saya sama sekali tak dapat menerima hinaan ini.”


Persahabatan Menyelamatkan Teman


Dua orang ‘abid (sebut saja bernama Ahmad dan Hamid) bersama-sama tinggal di sebuah gua di atas gunung. Keduanya sibuk beribadah kepada Allah. Hubungan persahabatan keduanya begitu dekat. Seolah-olah keduanya merupakan satu jiwa.
Suatu hari Hamid turun gunung menuju kota untuk membeli daging. Sesampainya di dekat penjual daging, ia melihat seorang wanita cantik berdiri di depan penjual. Pandangannya tertuju kepada wanita cantik itu. Ia kontan dikuasai hawa nafsu sehingga terjalinlah hubungan yang melanggar syariat. Sering kali ia keluar masuk rumah wanita itu.
Perbuatan tersebut berlangsung selama berhari-hati. ‘Abid lainnya, Ahmad, menunggu kedatangan sahabatnya kembali ke gua untuk melanjutkan ibadahnya. Namun ia tidak mendapat kabar soal keadaan sahabatnya itu. Terpaksa ia pun turun kekota untuk mencari sahabatnya yang sudah lama tidak kembali ke gua. Sewaktu memasuki kota dan menanyakan ke sana ke mari, ia tahu bahwa sahabatnya itu telah menyimpang dan berbuat dosa.
Ahmad seorang ‘abid yang tidak kaku. Namun punya hati yang hidup dan pikiran yang terang. Ketimbang menjauhi Hamid, ia memikirkan cara untuk menyelamatkannya dari dosa. Ia memperoleh informasi bahwa Hamid berada di rumah wanita itu. Demi menjumpai Hamid, ia mendatangi rumah wanita itu. Benar, Hamid berada di rumahnya. Dengan penuh rasa gembira, ia mendekati Hamid dan memeluknya serta menanyakan keadaannya. Dengan penuh rasa malu. Hamid berkata, “Siapa kamu? Aku tidak mengenalmu?”
Ahmad menjawab, “Hai saudaraku, aku tahu peristiwa yang menimpamu. Aku amat menyukaimu dan kamu adalah orang yang paling mulia di hatiku. Bagaimana mungkin aku dapat berpisah darimu? Marilah kita kembali ke tempat kita semula.”
Hamid tertarik dengan ajakan Ahmad. Ia pun bersedia kembali bersama Ahmad ke gua untuk bertobat dengan sebenar-benarnya dan menjauhi dosa.
Dengan demikian, Ahmad―dengan cara yang indah―telah melaksanakan tugasnya sebagai sahabat. Ia telah menyelamatkan sahabatnya itu.. Apakah ada cara yang lebih baik dari ini? Ataukah Hamid dibiarkan tanggelam dan hanyut dalam dosa dan sengsara?


Memohon Pertolongan Allah demi Meninggalkan Dosa


Allah Swt memfirmankan Nabi Daud as untuk menemui Nabi Danial as dan menyampaikan kepadanya: Engkau sekali berbuat dosa (yakni meninggalkan yang utama [tarkul aulâ]) kepada-Ku, lalu Aku ampuni, lalu untuk keduakalinya engkau berbuat dosa, dan Aku pun mengampunimu, untuk ketigakalinya engkau berbuat dosa kepada-Ku, dan Aku tetap mengampunimu, nam«n sekiranya engkau berbuat dosa untuk yang keempat kali, Aku tak akan mengampunimu.
Nabi Daud as berangkat menemui Nabi Danial as dan menyampaikan firman Allah tersebut. Kemudian Nabi Danial as berkata kepada Nabi Daud as, “Hai Nabi Allah, engkau telah menyampaikan tugasmu.”
Tengah malam, Nabi Danial as berdoa dan bermunajat kepada Allah seraya berkata, “Ya Allah, Nabi-Mu, Daud as telah menyampaikan firman-Mu kepadaku; yang jika aku berbuat dosa untuk keempat kalinya, Engkau tak akan mengampuniku. Maka aku bersumpah demi kemuliaan-Mu, sekiranya Engkau tidak menjagaku, maka aku akan bermaksiat kepada-Mu, bermaksiat kepada-Mu, bermaksiat kepada-Mu.”
Benar. Meninggalkan dosa jelas berat dan sulit. Karennya, untuk itu harus memohon bantuan dan petolongan Allah Swt ini sebagimana tercantum dalam al-Quran: “Dan jika tidak Engkau hindarkan dariku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka berbuat dosa) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (Yûsuf: 32) Juga dalam surat lainnya: Sesungguhnya wanita itu telah berkeinginan (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun berkeinginan untuk (melakukannya) dengan wanita itu andaikata ia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. (Yûsuf: 24)
Ya, tatkala Yusuf akan diperdaya hawa nafsunya dan menghadapi keadaan yang menyeretnya ke lembah dosa, burhân Allah (yakni ilmu iman dan pengetahuan), maqam ishmah dan kenabiannya serta permohonan pertolongannya kepada-Nya, menjadikannya selamat dari semua itu.
Menurut riwayat saat itu, terdapat sebuah patung yang dijadikan sesembahan isteri Aziz (Zulaikha). Tiba-tiba pandangan Zulaikha tertuju pada patung itu. Ia merasa malu hati dan berusaha menutupi patung itu dengan sehelai kain. Yusuf yang menyaksikan peristiwa ini merasa heran dan berkata, “Kamu merasa malu pada patung yang tak punya akal dan perasaan ini. Lalu, bagaimana mungkin aku tidak merasa malu kepada Tuhanku yang melihat segala perbuatanku?”


Wanita Tua nan Tegar dan Pemberani


Bakkarah keturunan Hilali adalah seorang wanita tegar dan pemberani yang tinggal di Madinah. Ia pendukung setia Imam Ali bin Abi Thalib. Berbagai musibah dan bencana yang menimpanya menjadi tua dan buta. Namun ia memiliki hati yang terang dan muda. Suatu hari, tatkala Muawiyah yang sedang berada di puncak kekuasaannya datang ke Madinah yang mengadakan mejelis pertemuan, Bakkarah menghadirinya.
Terjadilah dialog antara dirinya dengan Muawiyah.
Muawiyah, “Hai bibi! bagaimana keadaanmu?”
Bakkarah, “Baik, wahai pemimpin!”
Muawiyah, “Waktu telah membuatmu menderita.”
Bakkarah, “Benar, waktu memiliki tinggi dan rendah; orang yang berusia panjang akan menjadi tua, dan orang yang mati akan musnah.”
Amr bin ‘Ash, penasihat Muawiyah, juga hadir di majelis itu. Ia ingin menjadikan Muawiyah memusuhi wanita itu. Ia berkata, “Demi Allah, wanita ini telah melantunkan syair yang menghinamu dan memuji Ali bin Abi Thalib.” Kemudian ia melantunkan syair yang dimaksud.
Marwan juga hadir dalam majelis itu. Ia melantunkan syair lain yang lagi-lagi dinishahkan kepada wanita itu. Begitu pula dengan Said bin ‘Ash yang berkata, “Demi Allah, Bakkarah telah melantunkan syair-syair ini (pujian untuk Ali bin Abi Thalib dan kutukan kepadamu).” Ia melantunkan syair yang dimaksud.
Kemudian Muawiyah mengutuk dan menghina Bakkarah.
Dengan penuh keberanian, Bakkarah menjawab, “Hai Muawiyah! Sepak terjangmu telah membuat kedua mataku buta, lisanku kaku. Demi Allah! Aku telah melantunkan syair-syair itu dan tak perlu aku tutup-tutupi darimu.”
Muawiyah tertawa dan berkata, “Sekalipun demikian, aku tak akan menahan diriku untuk berbuat baik kepadamu. Katakanlah kepadaku, apa keperluanmu agar aku dapat memenuhinya.”
Bakkarah menjawab, “Sekarang ini aku tidak membutuhkan sesuatu darimu.” Kemudian ia meninggalkan majelis dengan penuh kewibawaan dan keagungan. Ia melenggang tanpa menghiraukan sedikitpun para budak uang yang berkerumun di sekeliling Muawiyah.
Sejujurnya, darimanakah munculnya ketegaran dan keberanian jiwa wanita tua tersebut? Semua itu tak lain karena ia digembleng dan dididik dalam madrasah Imam Ali bin Abi Thalib.


Para Haji Palsu


Pada ritual ibadah haji, seorang pengikut setia dan murid teladan Imam Ja’far al-Shadiq bernama Abu Basyir ikut bersama beliau menunaikan ibadah haji. Ia dan Imam Ja’far al- Shadiq bersama-sama mengelilingi (tawaf) Kabah.
Saat itu Abu Basyir berkata kepada Imam al-Shadiq, “Apakah Allah akan mengampuni semua orang yang jumlahnnya cukup banyak ini, yang datang guna melaksanakan ibadah haji?”
Imam Ja’far al-Shadiq menjawab, “Hai Abu Basyir, sebagian besar orang-orang yang engkau saksikan ini adalah kera dari babi.”
Abu Basyir bertanya, “Tunjukkanlah kepadaku hakikat mereka.” Lalu Imam Ja’far al-Shadiq mengusapkan kedua telapak tangan beliau ke kedua mata Abu Basyir, seraya mengucapkan beberapa kalimat. Tiba-tiba Abu Basyir melihat sebagian besar mereka yang mengeliligi Kabah adalah kera dan babi. Ia merasa takut. Lalu Imam Ja’far al-Shadiq kembali mengusapkan dua telapak tangannya ke kedua mata Abu Basyir. Sekonyong-konyong ia pun kembali melihat mereka secara normal. Kemudian beliau berkata, “Jangan khawatir, engkau bersamaku di surga. Bergembiralah, engkau tidak termasuk golongan penghuni neraka. Demi Allah, tiga orang, bahkan dua orang, bahkan seorang dari kalian tak akan masuk neraka.”


Pesan Ibu kepada Puterinya di Malam Pengantin


Seorang wanita cerdik menikahkan puterinya. Di malam pernikahan, tatkala hendak mengantarkan puterinya ke rumah suaminya, ia memanggilnya dan memberi pesan kepada sang puteri; bahwa demi mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sejahtera, harus dijalankan sepuluh perkara.
Ia berkata, “Anakku! Ketahuilah, engkau telah berpisah dengan kehidupan yang telah menyatu dengan darah dan dagingmu. Rumah yang akan engkau huni benar-benar asing bagimu. Di sana engkau akan bersanding dengan seorang teman yang belum engkau kenal baik. Jadilah budaknya agar ia juga menjadi budakmu. Dengarlah sepuluh pesan ini dan amalkanlah agar engkau berbahagia di rumah barumu.
1. Jadikanlan sifat qana’ah (merasa cukup) sebagai landasan hidup rumah tanggamu bersama suamimu.
2. Berusahalah selalu mendengar dan patuhi ucapan suamimu.
3. Pandanglah suamimu dengan lembut dan rendah hati
4. Jagalah kebersihan dan keharumanmu.
5. Jagalah harta suamimu dan ketahuilah bahwa menjaga harta suami adalah dengan perkiraan (dalam pengeluaran) dan tidak berlebih-lebihan.
6. Hormatilah sanak kerabat suamimu, dan ketahuilah bahwa sikap ini hnya dapat engkau lakukan dengan kesadaran dan kebijaksanaan.
7. Persiapkanlah makanan suamimu dengan baik dan tepat waktu, karena rasa lapar dapat memicu munculnya berbagai perkara yang tidak menyenangkan.
8. Jagalah ketenangan saat suami sedang beristirahat, karena adanya gangguan dalam tidur akan membangkitkan amarah.
9. Janganlah engkau membongkar rahasianya, karena jika rahasinya terbongkar, engkau tak akan pernah selamat dari tipudaya (makar)nya.
10. Taatilah dirinya, karena melanggar perintahnya―yang masih berada dalam batasan syariat―menyebabkan hatinya dipenuhi rasa benci kepadamu.
Anakku! Jika pesanku ini engkau laksanakan dengan baik, tabah, dan penuh semangat, yakinlah bahwa engkau akan menarik hati dan kasih sayang suamimu yang dengannya engkau akan memiliki kehidupan yang indah bersama suamimu.”


Hinaan Reza Khan terhadap Ruhaniawan Agung dan Bertakwa


Ayatullah Syaikh Muhammad Taqi Bafqî adalah orang alim dan arif yang bertakwa sekaligus mujahid. Pada masa Ayatullah Syaikh Abdul Karim al-Hâ’irî, beliau merupakan salah seorang guru terkemuka di Hauzah Ilmiyah Qum. Pada tahun 1322 Hijriah Syamsyiah (1943 Masehi), beliau meninggal di tempat pengasingannya di kota Rayy. Di situ, beliau dikuburkan dalam masjid Bala-ye Sar yang terletak di sekitar makam suci Sayyidah Fathimah al- Ma’shumah.
Pada hari raya Nu Ruz (tahun baru) tahun 1306 Hijriah Syamsyiah (bertepatan dengan 27 Ramadhan 1346 Hijriah Qamariyah), banyak orang hadir di makam suci Sayyidah Ma’shumah. Saat itu keluarga Reza Khan Pahlevi datang ke kota Qum dan hendak berziarah ke makam Sayyidah Ma’shumah tanpa mengenakan hijab. Tatkala hendak memasuki makam Sayyidah Ma’shumah, dikarenakan sikap melecehkan dan menghina ini, mereka menghadapi kegusaran masyarakat. Seorang ruhaniawan bernama Sayyid Nazhim Wa’idh mengajak masyarakat melaksanakan amar makruf nahi mungkar.
Kabar demikian sampai ke telinga Ayatullah Syaikh Muhammad Taqi Bafqî. Kemudian beliau mengirim pesan kepada keluarga Reza Khan sebagai berikut, “Jika kalian adalah muslim tidak selayaknya kalian hadir di tempat suci ini dalam keadaan semacam itu. Sekiranya kalian bukan muslim, kalian juga tidak berhak (untuk masuk).” (Karena orang kafir tidak dibenarkan memasukinya).
Keluarga Reza Khan tidak mengindahkan peringatan Ayatullah Bafqî. Akhirnya, almarhum Ayatullah Bafqî sendiri yang datang ke makam suci Sayyidah Ma’shumah dan memberi peringatan keras kepada keluarga Reza Khan. Kejadian ini nyaris memicu kebangkitan masyarakat melawan pemerintahan Syah.
Kepolisian menyampaikan kabar kepada Reza Khan bahwa keluarganya (isteri dan kedua anaknya, Syams dan Asyraf) ditahan di sebuah ruangan atas perintah para ruhaniawan. Keduanya tidak dibenarkan memasuki ruangan Makam Sayyidah Ma’shumah tanpa mengenakan hijab.
Reza Khan sendiri beserta satu unit pasukannya datang ke Qum untuk membebaskan keluarganya. Ia memasuki ruangan makam Sayyidah Ma’shumah dengan mengenakan sepatu serta memukuli dan memaki Ayatullah Bafqî.
Atas perintah Syah Reza Khan, Syaikh Muhammad Taqi ditengkurapkan dan Syah memukulinya dengan sebuah tongkat. Syaikh menjerit, “Wahai Imam Zaman, tolonglah aku!” Kemudian sosok alim dan bertakwa itu dijebloskan ke penjara untuk beberapa waktu. Setelah keluar penjara, beliau sepanjang hidupnya berada dalam pengawasan polisi. Biar begitu, beliau tetap sibuk beribadah.

[1] al-Naml: 29-35.




BAB IV

Pengaruh Air Susu Ibu


Konon seekor keledai dan seekor unta sedemikian kurus kering, sampai tak sanggup lagi mengangkut barang. Keduanya dilepas dan dibuang pemiliknya. Bersama-sama keduanya merumput di sebuah padang rumput yang subur.
Keledai berkata, “Sebauknya sekarang kita hidup bersaudara dan tidak meninggalkan tempat yang penuh rumput dan air ini. Kita jangan sampai terlihat oleh orang-orang yang datang kemari, agar kita dapat tetap berada di tempat menyenangkan ini.”
Unta menjawab, “Sebuah usulan bagus jika tidak dipengaruhi air susu ibu.”
Keledai berkata , “Apakah pengaruh air susu ibu?”
Unta berkata , “Bukannya tidak berpengaruh.”
Dalam waktu lama, kedua binatang itu dengan bebas dan leluasa menikmati rerumputan dan air di padang itu. Kan keduanya merasa senang dan bahagia. Tiba-tiba datang kafilah yang memiliki beberapa ekor keledai, melintas di tepi padang rumput itu. Orang-orang dalam kafilah itu, demi beristirahat dan menghilangkan rasa letihnya, berhenti di padang tersebut. Saat itu, keledai-keledai yang di bawa kafilah itu bersuara. Keledai teman si unta itupun ikut-ikutan mengeluarkan suaranya.
Unta bertanya, “Mengapa engkau bersuara? Suaramu menyebabkan orang-orang mengetahui keberadaan kita. Mereka akan datang mengambil kita dan membebani kita dengan barang-barang yang berat.”
Keledai menjawab, “Ini adalah pengaruh air susu ibu.”
Tepat dugaan unta. Orang-orang mulai sibuk mencari sumber suara. Mereka kemudian melihat keberadaan keledai dan unta yang gemuk dan sehat yang tanpa pemilik. Mereka mengambilnya dan membebani punggung keduanya dengan barang bawaan yang berat. Setelah itu, kafilah kembali bergerak dan meninggalkan padang rumput. Kafilah terus berjalan sampai akhirnya mendekati sebuah bukit. Sewaktu mulai mendaki bukit itu, si keledai kehilangan tenaganya dan jutuh tergolek di tanah. Sebabnya, selama ini ia hnya sibuk makan, minum, dan tidur, sehingga tak terbiasa lagi membawa beban yang berat.
Melihat keledai dalam keadaan itu, orang-orang dalam kafilah langsung meletakkan keledai itu ke punggung unta. Unta pun melanjutkan perjalanannya menaiki bukit dengan membawa beban yang lebih berat. Setelah mencapai puncak bukit, unta menggoyang- goyangkan dirinya.
Keledai berkata, “Hai saudaraku! apakah engkau tahu di manakah kita sekarang ini? Kalau engkau terua bergoyang-goyang, niscaya aku akan terjatuh dari puncak ini dan tubuhku bakal hancur lebur.”
Unta menjawab, “Saudaraku ini adalah pengaruh air susu ibu!” Lalu keledai itu pun terjatuh dari punggung unta dan binasa.


Nasihat Rasulullah


Seorang lelaki menemui Rasulullah saww dan berkata, “Hai Rasulullah! Ajarilah aku.” Rasulullah saww bersabda, “Hendaklah engkau tidak mengharapkan apa-apa yang ada di tangan manusia; sesungguhnya itu adalah kekayaan nyata.”
Ia berkata, “Tambahkan lagi, wahai Rasulullah.”
Rasulullah saww bersabda, “Hindarilah rasa tamak; sesungguhnya itu adalah kefakiran yang nyata.”
Ia berkata, “Wahai Rasulullah, tambahkan lagi.”
Rasulullah saww bersabda, “Kalau engkau menginginkan suatu perkara maka pikirkanlah akibatnya. Sekiranya itu berakibat baik dan (memberi) petunjuk, laksanakanlah, dan sekiranya itu berakibat kesesatan, tinggalkanlah.”


Peristiwa Keracunan Rasulullah saww dan Pemaafannya


Pada tahun ketujuh Hijriah, dalam upaya melaksanakan perintah Rasulullah untuk menaklukkan Khaibar, kaum muslimin mengepung benteng orang-orang Yahudi pembangkang. Dengan terbunuhnya Marhab, pejuang Yahudi yang termasyhur, di tangan Imam Ali, benteng-benteng Yahudi berhasil dikuasai muslimin.
Saudari Marhab memutuskan meracuni Rasulullah saww dengan makanan yang dihadiahkan kepada Rasulullah saww. Ia memanggang dan memasak sejumlah daging dan kaki kambing, kemudian membubuhinya dengan racun. Setelah itu, ia memberikannya kepada Rasulullah saww sebagai hadiah.
Rasulullah saww dan para sahabatnya menyantap masakan itu. Namun tatkala memakannya, beliau saww mengetahui apa yang terjadi. Kemudian beliau saww memerintahkan para sahabatnya untuk berhenti makan. Beliau saww mengutus seseorang untuk menemui wanita Yahudi itu, dan membawanya ke hadapan beliau saww. Orang itu berangkat dan membawa wanita Yahudi itu ke hadapan Rasulullah saww.
Rasulullah saww bertanya kepada wanita itu, “Apakah daging kambing ini engkau campur dengan racun?”
Wanita ia menjawab, “Siapa yang memberitahumu tentang rahasia ini?”
Rasulullah saww bersabda, “Kaki kambing di tanganku itulah yang memberitahuku.”
Wanita menjawab, “Benar, aku membubuhinya dengan racun.”
Rasulullah saww bertanya, “Apa tujuanmu?”
Ia menjawab, “Saat itu aku berkata dalam hatiku sendiri bahwa seandainya ia seorang rasul, pasti racun ini tak akan mencelakakannya. Kalau bukan seorang rasul, kami niscaya akan terbebas darinya.”
Setelah mendengar jawaban itu, Rasulullah saww tidak jadi menghukumnya, melainkan malah memaafkannya.
Sebagian sahabat beliau saww yang telah memakan daging itu meninggal dunia. Lalu Rasulullah saww memerintahkan untuk mengeluarkan darah beliau dari tengkuk, agar dengan keluarnya darah itu, pengaruh racun berkurang. Abu Hind, seorang budak Bani Bayadhah (salah satu kabilah muslimin Anshar) yang telah dibebaskan, mengeluarkan darah beliau saww. Namun pengaruh racun dalam tubuh beliau saww masih ada. Sehingga adakalanya beliau sakit dan terbaring di tempat tidur. Akhirnya, akibat pengaruh racun yang sangat dahsyat itu, Rasulullah saww menderita sakit parah dan wafat.


Tangan Gaib


Imam Ali al-Sajjad beserta keluarga syuhada Karbala digiring pasukan Umar bin Sa’ad menuju Syam sebagai tawanan perang. Setibanya di Syam, Yazid berkata kepada Imam al-Sajjad, “Ayah dan kakekmu ingin menjadi pemimpin di tengah masyarakat. Tapi alhamdulillâh, mereka terbunuh dan darahnya tertumpah.”
Imam Ali al-Sajjad menjawab, “Kedudukan kenabian (nubuwwah) dan kepemimpinan (imamâh) khusus bagi ayah dan kekekku, jauh sebelim engkau dilahirkan.”
Tatkala Imam Ali al-Sajjad menisbatkan dirinya kepada Rasulullah saww (dan menjelaskan kepada Yazid bahwa dirinya dan penerusnya adalah pengganti dan penerus Rasul saww) seketika itu Yazid berkata kepada algojonya, “Bawalah orang ini (seraya menunjuk Imam Ali al-Sajjad) ke kebun dan galilah lubang kubur, lalu bunuh dan kuburkan di dalamnya.”
Kemudian algojo itu membawa Imam Ali al-Sajjad ke kubun. Selagi ia sibuk menggali kubur, Imam Ali al-Sajjad menunaikan shalat. Dan tatkala algojo itu hendak membunuh Imam, tiba-tiba muncul sebuah tangan di udara dan langsung menampar mukanya. Ia menjerit terjatuh ke tanah dan mati.
Tatkala menyaksikan peristiwa yang menimpa algojo itu, dengan segera Khalid (putera Yazid) menemui ayahnya dan menceritakan kejadiannya. Yazid memerintahkan untuk menguburkannya ke dalam kubur yang digalinya untuk Imam Ali al-Sajjad. Lalu Imam al-Sajjad dibebaskan dari kebun itu. Sampai sekarang dalam kebun itu berdiri sebuah masjid untuk mengenang peristiwa tersebut.


Kecerdasan Aqil


Suatu hari Aqil bin Abi Thalib (saudara Imam Ali bin Abi Thalib) menemui Muawiyah. Lalu Muawiyah berbisik kepada Amr bin Ash, “Hari ini aku akan membuatmu tertawa karena Aqil.”
Kemudian sampailah Aqil di hadapan Muawiyah dan memberi salam. Muawiyah berkata kepadanya, “Selamat datang, wahai orang yang pamannya adalah Abu Lahab.”
Seketika itu pula Aqil menjawab, “Selamat bagimu wahai orang yang bibinya pembawa kayu bakar (isteri Abu Lahab) yang di punggungnya terdapat tali yang terbuat dari sabut (perlu diperhatikan bahwa isteri Abu Lahab adalah Ummu Jamil, putera Harb, kakek pertama Muawiyah).”
Muawiyah berkata, “Menurutmu di manakah Abu Lahab?”
Aqil menjawab, “Tatkala engkau masuk ke neraka dan menoleh ke samping kirimu, di situlah Abu Lahab dan isterinya sedang berbaring.”


Qadha Shalat


Seseorang senantiasa hadir di masjid dan tak pernah meninggalkan shalat berjamaah. Karenanya, ia selalu datang ke masjid lebih awal dari yang lain dan berada di barisan pertama shalat berjamaah. Ia juga orang terakhir yang keluar dari masjid. Jelas, orang semacam ini pasti memiliki ketakutan yang amat sangat kepada Allah dan taat dalam menjalankan ajaran agama. Suatu hari terjadi sesuatu yang menyebabkan dirinya sedikit terlambat hadir di masjid. Ia melihat sudah tak ada lagi tempat kosong di barisan pertama. Terpaksa ia berdiri di barisan terakhir. Namun ia merasa malu. Dan itu tampak jelas di raut wajahnya. Ia bergumam, “Mengapa aku berada di barisan terakhir?”
Tiba-tiba ia tersadar tentang betapa buruk pikirannya. “Kalau aku benar-benar ikhlas beribadah, tak ada beda antara baris pertama atau terakhir,” pikirinya. Lagi-lagi ia berkata dalam hatinya, “Wah! Jelas sudah bahwa shalat yang kukerjakan selama 30 tahun telah tercemari riya. Kalau tidak, seharusnya hatiku tidak merasa menyesal tatkala diriku berada di baris terakhir.”
Pikiran ini menerbitkan cahaya di hatinya. Ia merasa harus segera mencari jalan keluarnya demi membuang perasaan riya di hatinya dengan segera. Seraya tetap memohon perlidungan Allah dari godaan setan, bersabar, dan penuh semangat, ia bertobat dengan sebenar-benarnya serta membenahi diri setiap saat. Ia pun memutuskan untuk menganti (qadha’) shalatnya yang telah dikerjakannya selama 30 tahun. Sebab ia tahu bahwa selama itu, dirinya berada di barisan pertama namun hatinya tercemari perasaan riya.
Ya, ia tersadar dari kelalaiannya. Dengan semangat membaja, ia membersihkan jiwanya dngan air tobat dan mengqadha’ shalatnya selama tiga puluh tahun itu.


Syahid Keledai


Di masa Rasulullah saww terjadi peperangan sengit antara pasukan Islam dengan pasukan kafir. Darinya terdengar suara gemerincing pedang yang sangat keras. Saat itu, pandangan salah seorang tentara Islam tertumbuk pada seorang tentara kafir yang sedang menunggang keledai putih. Keindahan keledai itu menarik hatinya. Itulah yang menjadikan setan mencemari niatnya. Ia berkata dengan hatinya, “Aku akan segera membunuh si kafir itu, sehingga keledai itu akan jadi milikku.”
Dengan niat itulah ia menyerang orang kafir tersebut. Sayang justru dirinyalah yang terbunuh di tangan orang kafir itu. Muslimin yang mengetahui niatnya yang tercemar itu, menjulukinya sebagai syahid keledai.
Ya, jihad harus di jalan Allah (fî sabîlillah), bukan di jalan keledai (fî sabîli al-khimâr).


Orang Paling Cerdik


Pada masa bahagia, para sahabat mengelilingi Rasulullah saww laksana kupu-kupu yang mengitari bunga. Mereka mendapat siraman maknawiah dari beliau saww.
Rasulullah saww bertanya kepada mereka, “Maukah kalian akan kuberitahu tentang orang yang paling cerdik dan paling dungu?”
Rasa ingin tahu mendorong mereka untuk mendapatkan jawabannya. Dengan penuh semangat, mereka menyatakan kesiapannya untuk mendengar jawabannya dangan berkata, “Ya, wahai Rasulullah saww.”
Rasulullah saww bersabda, “Orang paling cerdik adalah orang yang memperhitungkan dirinya dan beramal untuk (kehidupan) setelah kematian. Dan orang paling dungu adalah orang yang menuruti hawa nafsunya lalu mengharapkan dari Allah berbagai pengharapan (ketakwaan dan surga).”


Masyarakat Islam Sejati


Suatu hari, Said bin Hasan―seorang murid Imam Muhammad al-Baqir―menemui beliau. Imam al-Baqir bertanya, “Apakah dalam masyarakat di mana engkau hidup di dalamnya, terdapat kebiasaan ini; bila ada saudara seagama memiliki suatu kebutuhan lalu menemui saudara seagamanya dan memasukkan tangannya ke sakunya, kemudian mengambil uang (dari saku itu) sesuai kebutuhannya, dan si pemilik uang tidak berusaha mencegahnya?”
Said menjawab, “Tidak, hal ini tidak saya saksikan dalam masyarakat saya.”
Imam Muhammad al-Baqir berkata, “Kalau begitu, tidak terdapat persaudaraan islami di antara kalian.”
Said bertanya, “Apakah hal ini menandakan kami tengah berada dalam kehancuran dan kebinasaan?”
Imam Muhammad al-Baqir menjawab, “Akal masyarakat itu masih belum sempurna.” Maksudnya, tugas dan tanggung jawab (taklfî) setiap orang berbeda-beda sesuai kapasitas akal dan perkembangan keislamannya. Kalau sebuah masyarakat Islam di mana akal dan keislamaannya benar-benar tumbuh dan berkembang, niscaya orang-orang yang membutuhkan akan leluasa mengambil uang (sebatas diperlukan) dari saku orang-orang yang berkecukupan tanpa menemui hambatan apapun.


Dilarang Keras Membantu Orang Zalim


Adzafir adalah seorang murid Imam Ja’far al-Shadiq. Imam al- Shadiq mendengar berita bahwa Adzafir bekerja untuk Rabi’ dan Abu Ayyub (dua orang zalim) dan membuntu keduanya. Kemudian Imam al-Shadiq memanggilnya, “Wahai Adzafir! Aku mendengar berita demikian (engkau bekerja untuk orang zalim). Apakah engkau tidak berpikir bahwa di hari kiamat nanti engkau akan diseru Allah sebagai penolong orang-orang zalim? Saat itu bagaimana keadaanmu? Apa yang hendak kamu lakukan ?”
Adzafir merasa gelisah mendengar nasihat dan teguran keras Imam Ja’far al-Shadiq. Saking sedihnya, ia mengepalkan tangannya dan memukulkan ke tubuhnya. Lalu terdiam dengan memendam rasa sedih.
Imam Ja’far al-Shadiq mengetahui apa yang dirasakannya. Beliau berkata, “Wahai Adzafir, aku menakutimu tentang perkara yang Allah menakutiku akan perkata itu (maksudnya, masalah yang tergolong serius ini bukan perintah Imam melainkan perintah Allah).”
Putera Adzafir berkata, “Setelah beberapa hari, dikarenakan rasa sedih dan sesal lantaran telah bekerja sama dengan orang zalim, ia pun meninggal dunia.”


Pertolongan Allah


Di antara Bani Israil, hiduplah sebuah keluarga yang tinggal di dalam kemah di tengah padang pasir. Mereka sehari-hari sibuk beternak kambing dan menjalani pola hidup sederhana. Selain beberapa ekor kambing, mereka juga memiliki seekor ayam jantan, seekor keledai, dan seekor anjing.
Ayam jantan dipelihara untuk membangunkan mereka menunaikan shalat [subuh]; keledai untuk membawa perlengkapan hidup dan mengambil air dari tempat yang jauh; sedangkan anjing dijadikan sebagai penjaga dari gangguan binatang buas, khususnya di malam hari.
Pada suatu malam, datanglah seekor musang yang menyantap ayam jantan milik mereka. Semuanya bersedih, kecuali seorang lelaki (kepala keluarga) yang saleh yang berkata, “Tidak, insya Allâh.”
Selang beberapa hari, anjing mereka mati. Kembali mereka bersedih kecuali lelaki (kepala keluarga) itu yang lagi-lagi berkata, “Tidak, insya Allâh.” Tak berapa lama, datanglah beberapa ekor srigala yang menerkam dan memangsa keledai milik mereka. Sepert biasa, kepala keluarga itu berkata, “Tidak, insya Allâh.”
Dalam hari-hari itu, tatkala terbangun di waktu Subuh, mereka menyaksikan seluruh keluarga di sekitar kemah mereka diranipok musuh dan dijadikan tawanan. Di padang pasir itu, kini hanya satu keluarga itulah yang selamat dari perampokan.
Lelaki saleh itu berkata, “Rahasia mengapa kita selamat dari mereka adalah dikarenakan para penghuni kemah itu memiliki anjing, ayam jantan, dan keledai. Dikarenakan suara binatang itulah tempat mereka diketahui dan akhirnya menjadi tawanan musuh. Namun, dikarenakan kita tidak memiliki anjing, ayam jantan, dan keledai, tempat kita tidak diketahui mereka. Kita pun selamat, dari tangan mereka. Karenanya, keselamatan kita berkat kematian ayam jantan, anjing, keledai kita.”
Inilah hasil rasa syukur kepada Allah yang senantiasa dipanjatkan lelaki saleh itu yang senantiasa menghadapi berbagai musibah dengan ucapan, “Tidak, insya Allâh.” Ya, pertolongan dan karunia Allah senantiasa diberikan kepada orang-orang seperti itu.


Hasil Rasa Kasihan


Seorang ulama agung yang hidup di abad ke-12 Hijriah, almarhum Sayyid Muhammad Baqir Syifti Rasyti, yang biasa dipanggil Hujjatul Islam Syifti, merupakan mujtahid yang mulia dan bertakwa. Ia dilahirkan pada tahun 1175 Hijriah di kota Gilan dan meninggal pada usia 85 tahun di Isfahan. Kuburnya terletak di samping masjid Sayyid Isfahan, dan biasa diziarahi kaum mukminin.
Ia memiliki sebuah kisah yang amat menarik tentang hasil rasa kasihan terhadap kehidupannya.
Semasa menuntut ilmu di madrasah di Najaf dan Isfahan, hidup Hujjatul Islam Syifti amatlah miskin. Adakalanya dikarenakan menahan lapar, tubuhnya kehilangan tenaga dan jatuh pingsan. Namun ia senantiasa menyembunyikan kefakirannya dan tidak mengeluh kepada siapapun.
Suatu hari, di madrasah Isfahan, ada pembagian uang kepada mereka yang bersedia melakukan shalat wahsyah (shalat yang dilakukan sebagai hadiah bagi jenazah pada malam pertama dikuburkan). Ia pun menerima sejumlah uang untuk melaksanakan shalat itu. Dikarenakan sudah lama tidak makan daging, ia pun pergi ke pasar dan nmembeli hati kambing. Setelah itu, ia kembali ke madrasah. Di tengah perjalanan, ia melihat seekor anjing sedang terbaring di tanah dan anak-anaknya sibuk menghisap puting susunya. Anjing itu kurus kering dan tak mampu lagi berjalan.
Hujjatul Islam Syifti berkata dalam hatinya, “Kalau engkau benar-benar adil, anjing ini jauh lebih layak memakan hati itu ketimbang dirimu sendiri; karena ia amat kelaparan, begitu pula anak-anaknya.” Ia langsung memotong-motong hati yang baru saja dibelinya dari pasar dan diletakkan di dekat mulut anjing yang kelaparan itu.
Hujjatul Islam Syifti mengatakan bahwa tatkala melemparkan potongan hati kambing itu ke dekat mulut anjing tersebut, dirinya melihat anjing itu mendongakkan kepalanya ke langit seraya mengeluarkan suara. Ia tahu bahwa anjing itu sedang mendoakan dirinya.
Tak lama berselang dari kejadian itu, seseorang dari tempat kelahirannya mengirim uang untuknya dengan sebuah pesan, “Saya tidak rela uang ini engkau habiskan untuk memenuhi keperluan hidupmu. Tapi serahkanlah uang ini kepada seorang pedagang untuk dijadikan modal. Ambillah keuntungannya untuk memenuhi keperluan hidupmu.”
Ia lalu menjalankan pesan itu. Singkat cerita, berkat keuntungan yang diperolehnya, kondisi ekonominya berangsur-angsur membaik. Bahkan ia memperoleh keuntungan yang melimpah ruah. Darinya, ia mampu membeli seribu kedai dan tempat penginapan. Bahkan, ia membeli sebuah desa di dekat tempat tinggalnya. Hasil sewa sawah dari desa itu setiap tahunnya mencapai 900 karung beras. Ia hidup sejahtera bersama isteri dan anak-anaknya. “Semua ini berkat belas kasihan saya kepada anjing kelaparan itu. Saya lebih mengutamakan anjing itu dari diri saya seridiri.”


Menjaga dan Memelihara Hasil Perbuatan Baik


Sekelompok orang mendaangi Rasulullah saww. Lalu Rasulullah saww menghadap mereka dan bersabda, “Barangsiapa mengucapkan ‘subhanallâh’, Allah akan menanam untuknya sebatang pohon di surga. Dan barangsiapa mengucapkan ‘alhamdulillâh’, Allah juga akan menumbuhkan sebatang pohon di surga. Dan barangsiapa mengucapkan ‘lâilâhaillallâh’, Allah juga akan menumbuhkan baginya sebatang pohon di surga.”
Seorang Quraisy berkata, “Kalau begitu, kita akan memiliki banyak pohon di surga, karena kita sering mengucapkan kalimat itu.”
Rasulullah saww bersabda, “Ya, tapi jangan sampai kalian mengirim api padanya dan membakar (semua)nya, karena Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amal kamu sekalian.(Muhammad: 33)”


Menolak Usulan Damai Quraisy


Tatkala Rasulullah saww berdakwah secara terang-terangan di Mekah, orang-orang musyrik melakukan berbagai upaya untuk menghalang-halanginya. Namun mereka selalu gagal. Untuk tujuan damai, akhirnya mereka mendatangi Abu Thalib dan berkata, “Kemenakanmu melecehkan tuhan kita dan merusak akidah para pemuda kita serta menciptakan perpeahan di antara kita. Kami datang kemari untuk berdamai. Katakan kepadanya, kalau ia kekurangan harta, kami akan memberikan harta yang cukup banyak hingga ia menjadi orang Quraisy paling kaya. Kalau menginginkan kedudukan, kami bersedia menjadikannya sebagai pemimpin kami.”
Abu Thalib menyampaikan usulan musyirikin kepada Rasulullah saww. Lalu beliau saww menjawab, “Kalau mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tetap tidak menginginkannya, tetapi aku menghendaki mereka memberiku satu kalimat saja, yang dengan kalimat itu mereka akan menguasai Arab, dan orang-orang selain Arab (‘Ajam) akan cenderung pada agama mereka, dan di akhirat mereka akan menjadi pemimpin surga.”
Abu Thalib menyampaikan pesan Rasulullah saww kepada musyrikin Quraisy. Mereka masih belum mengerti apa kalimat yang dimaksud itu. Mereka berkata, “Tak ada masalah. Hanya satu kalimat saja amatlah ringan. Bahkan sepuluh kalimat pun kami akan mengkabulkannya. Katakanlah, apa kalimat itu?”
Kemudian Rasulullah saww menyatakan (via Abu Thalib), “Kalian bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan sesungguhnya aku adalah utusan Allah.”
Mendengar jawaban ini, musyikin terperanjat dan berkata, “Apakah kita harus meningalkan tuhan kita yang jumlahnya 360, lalu hanya memuja satu tuhan saja? Sungguh ini amat mengherankan?”
Ayat ke-4 sampai ke-6 dari surat al-Shad diturunkan berkenaan dengan kejadian ini. Pada ayat kelima berbunyi: Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang Mahaesa? Sesungguhnya ini benar-benar sesuatu hal yang sangat mengherankan.
Dengan cara demikian, Rasulullah saww menolak dan menentang berbagai bentuk usulan damai dari musyrikin. Dalam menjaga dan mempertahankan ketauhidan beliau tidak menyambut usulan mereka untuk menghentikan dakwahnya.


Oleh-oleh Syahid Muthahhari dari Paris


Sewaktu Imam Khomeini keluar dari Irak menuju Paris, sejumlah tokoh menemui beliau. Di antaranya adalah Syahid Muthahhari. Sekembalinya Syahid Muthahhati dari Paris, teman-temannya bertanya kepadanya, “Apa yang engkau saksikan di Paris?” Ia menjawab, “Aku menyaksikan empat âmana (ia percaya).” Marilah kita dengarkan secara langsung tuturan Syahid Muthahhari.
“Kurang lebih selama 12 tahun, saya belajar kepada pribadi agung ini. Dan selama perjalanan ke Paris, saya berkunjung dan bertemu dengan beliau. Banyak hal yang saya saksikan dari sisi kejiwaannya yang membuat saya tercengang dan menambah keimanan saya. Tatkala saya kembali ke Iran, teman-teman saya bertanya, ‘Apa yang kamu saksikari?’ Saya menjawab, ‘Saya menyaksikan empat âmana (ia percaya, ia beriman).
1. Ia percaya pada tujuannya; jika dunia ini dikumpulkan, tak mampu menyimpangkan dirinya dari tujuannya.
2. Ia percaya pada jalannya; tidak mungkin dibelokkan dari jalan itu. Ini persis seperti iman dan kepercayaan Rasul saww terhadap tujuan dan jalannya.
3. Ia percaya pada ucapannya; di antara teman-teman dan sahabat saya, saya tidak menjumpai seorang pun yang memiliki kepercayaan terhadap jiwa dan semangat rakyat Iran sebagaimana beliau. Tatkala mereka menasihati beliau agar bergerak secara perlahan lantaran rakyat sedang kurang semangat dan merasa keletihan, beliau malah menjawab, ‘Tidak, rakyat bukan sebagaimana yang kalian katakan, saya mengenal rakyat dengan baik.’ Saya menyaksikan bahwa hari demi hari ucapan beliau menjadi kenyataan.
Lebih dari itu, ia percaya kepada Tuhannya; dalam sebuah majelis khusus, beliau (Imam Khomeini) berkata kepada saya, ‘Hai fulan! Ini bukan kita yang melakukannya. Saya merasakan dengan jelas tangan Allah.’ Sosok yang mampu merasakan pertolongan dan karunia Allah, serta melangkahkan kaki di jalan Allah, niscaya Allah pun akan menurunkan bantuan dan pertolongan-Nya sebagaimana yang tercantum dalam ayat suci-Nya: Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukannmu. (Muhammad: 7) Saya benar-benar menyaksikan pertolongan Allah kepada pribadi agung itu; beliau bangkit demi Allah, dan Allah pun menganugerahi beliau hati yang tegar, yang sama sekali tidak terguncang rasa takut.... Pribadi ini sehari-harinya duduk dan memberi berbagai wejangan yang mengobarkan semangat, sedangkan di pagi buta minimal selama sejam, beliau berdoa dan bermunajat kepada Allah, seraya meneteskan air mata. Ini sulit dipercaya. Sosok ini, persis sebagaimana sosok Imam Ali bin Abi Thalib―yang sering disebut tersenyum ketika berhadapan dengan musuh di medan perang, dan menangis ketika berada di mihrab―sering menangis, meneteskan air mata, dan pingsan. Semua itu saya saksikan pada diri beliau (Imam Khomeini).”


Syiah Sejati menurut Imam Kedelapan


Imam Ali bin Musa al-Ridha tinggal di Khurasan. Secara lahiriah, beliau tampak seperti putera mahkota (waliyyul ahd) dari Ma’mun Abbasi. Serombongan Syiah lalu menemui beliau di Khurasan. Mereka meminta izin kepada penjaga pintu untuk masuk ke dalam rumah. Penjaga pintu menyampaikan kedatangan mereka kepada Imam Ali al- Ridha. Namun Imam tidak memberi izin.
Selama dua bulan penuh, setiap harinya dua kali mereka datang ke rumah Imam Ali al-Ridha. Namun beliau tetap tidak menerimanya. Mereka berkata kepada penjaga pintu untuk menyampaikan pesan kepada beliau bahwa mereka adalah Syiah beliau. Tatkala penjaga pintu itu menyampaikan pesan mereka, Imam Ali al-Ridha menjawab, “Sekarang saya sedang sibuk. Jangan engkau izinkan mereka masuk.”
Akhirnya mereka berkata kepada penjaga pintu, “Sampaikanlah kepada Imam, kami berasal dari negeri yang jauh. Sudah berulang kali kami meminta izin, namun beliau selalu menolak. Musuh-musuh kami tentu akan merasa gembira. Kalau kami kembali ke negeri kami sebelum berjumpa dengan Anda, niscaya kami merasa malu terhadap masyarakat negeri kami....”
Penjaga pintu menyampaikan pesan itu kepada Imam Ali al-Ridha. Lalu Imam berkata, “Izinkan mereka masuk.” Penjaga pintu mengizinkan mereka masuk.
Akhirnya mereka pun bertemu dengan Imam Ali al-Ridha. Setelah menanyakan keadaannya, mereka bertanya kepada Imam Ali al-Ridha, “Wahai putera Rasulullah, mengapa kami begitu hina dan rendah, setelah Anda enggan menerima kedatangan kami. Kami tak lagi memiliki harga diri. Apa sebabnya?”
Imam Ali al-Ridha menjawab, “Bacalah ayat ini: Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (al-Syûra: 30) Berkenaan dengan kalian, saya mengikuti tuntunan Allah, Rasul-Nya, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, ayah dan kakek-kakekku yang suci.”
Mereka menjawab, “Mengapa Anda tidak mempedulikan kami?”
Imam Ali al-Ridha berkata, “Karena kalian mengaku diri kalian adalah Syiah (pengikut) Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Celakalah kalian! Sesungguhnya Syiah Ali bin Abi Thalib adalah pribadi-pribadi seperti al-Hasan, al-Husain, Abu Dzar, Salman, Miqdad, Ammar, Muhammad bin Abubakar. Mereka semua sama sekali tak pernah melanggar perintah dan larangan beliau (Imam Ali bin Abi Thalib). Namun, sewaktu kalian menyatakan diri kalian adalah Syiah Ali, sebagian besar perbuatan kalian justru bertentangan dengan perintah dan larangan beliau. Kalian melalai- kan tugas dan kewajiban kalian, tidak menjaga dan memperhatikan hak-hak saudara kalian. Pada saat wajib bertaqiah, kalian tidak bertaqiah, dan pada saat haram bertaqiah kalian justru bertaqiah. Sekiranya kalian tidak mengatakan bahwa kami adalah Syiah, tetapi mengatakan bahwa kami adalah teman para kekasih Allah (auliyâullah) dan musuh orang yang memusuhi mereka (para kekasih Allah), maka saya tak akan menolak kalian. Namun kalian mengaku diri kalian memiliki kedudukan yang terhormat (Syiah). Padahal pengakuan kalian itu tidak sesuai dengan perbuatan dan perilaku kalian; kalian tengah melangkah di jalan kebinasaan, kecuali jika kalian bertobat dan mengganti kekurangan yang lalu.”
Mereka menjawab, “Setelah ini kami akan menyatakan bahwa kami adalah teman anda dan musuh mereka yang memusuhi Anda (dan bukan Syiah anda.)”
Imam Ali al-Ridha berkata, “Bagus, wahai saudara dan temanku.” Lalu Imam menghormati mereka dan mempersilahkan mereka duduk di dekat beliau. Kemudian beliau bertanya kepada penjaga pintu, “Berapa kali engkau menghalanginya masuk?” Ia menjawab, “Enam puluh kali.” Imam berkata, “Datanglah menemui mereka sebnyak enam puluh kali, lalu sampaikanlah salam saya kepadanya. Lantaran bertobat, mereka telah diampuni oleh Allah, dan berkat kecintaan mereka kepada kami, mereka beserta sanak keluarga mereka mendapat rahmat dan karunia khusus-Nya dan dianugerahi makanan serta harta melimpah ruah, dan dijauhkan dari berbagai penderitaan.”


Mengenang Seorang Syuhada Karbala


Seorang syuhada Karbala bernama Muhammad bin Basyar Hadhrami. Di awal malam ‘Âsyûrâ, sebagaimana seluruh sahabat Imam Husain lainnya, ia juga menyampaikan ungkapan kesetiaannya kepada beliau. Saat itu, ia mendengar kabar bahwa anaknya yang ada di perbatasan kota Rayy ditangkap dan ditawan musuh. Muhammad berkata, “Saya mengharapkan pahala dari Allah atas musibah yang menimpa anakku dan diriku.”
Imam Husain mendengar ucapannya. Beliau berkata, “Semoga Allah merahmatimu. Saya melepas baiatmu kepadaku. Pergilah, berusahalah untuk menyelamatkan anakmu.” Muhammad bin Basyar berkata, “Binatang buas memakanku hidup-hidup, jika aku berpisah darimu.”
Kemudian Imam Husain memberinya beberapa helai pakaian senilai seribu dinar, seraya berkata, “Berikanlah pakaian ini kepada anakmu yang lain, sehingga ia yang akan memberi pakaian ini kepada musuh (sebagai tebusan), yang dengannya ia akan membebaskan saudaranya dari tawanan musuh.”
Dengan demikian, sekalipun memiliki kesempatan untuk meninggalkan Imam Husain, namun Muhammad bin Basyar tetap tegar dan setia membela Imam Husain.


Ridha terhadap Ridha Ilahi


Seorang murid Imam Ja’far al-Shadiq bernama Qutaibah mengatakan, “Salah seorang anak Imam Ja’far al-Shadiq jatuh sakit. Lalu saya pergi ke rumah beliau untuk menengoknya. Tatkala sampai di depan pintu rumah beliau, saya melihat beliau sedang berdiri di samping pintu rumah dalam keadaan sedih. Saya bertanya, ‘Bagaimana kondisi anak Anda?’ Beliau menjawab, ‘Seperti itu dan terbaring.’ Kemudian beliau masuk ke dalam rumah. Selang beberapa jam, beliau keluar. Saya melihat beliau dalam keadaan gembira. Tak ada tanda-tanda kesedihan di wajah beliau. Kemudian saya berguman, ‘Pasti anak beliau sudah sembuh dan kesehatannya pulih kembali.’ Lalu saya bertanya kepada beliau, ‘Bagaimana kondisi anak Anda?’ Beliau menjawab, ‘Telah meninggal dunia.’ Saya heran dan bertanya, ‘Saat anak Anda masih hidup, Anda bersedih. Tapi tatkala ia meninggal dunia, saya tidak melihat tanda-tanda kesedihan di wajah Anda.’ Beliau menjawab, ‘KamiAhlul Bait, sebelum musibah kematian, kami bersedih. Namun tatkala qadha Ilahi telah datang, kami ridha dan pasrah pada ketentuan Ilahi.’”


Rasulullah Marah terhadap Ucapan Bilal


Pada masa Rasulullah saww, seorang wanita menderita sakit dan meninggal dunia. Setiap orang yang mendengar berita kematiannya seperti biasa berkata, “Wanita itu telah lega dan berbahagia.” Sudah menjadi kebiasaan bahwa tatkala seorang hidup di dunia dalam keadaan menderita lalu meninggal dunia maka orang-orang akan mengatakan bahwa dirinya sudah lega. Tak terkecuali Bilal. Tatkala berjumpa dengan Rasulullah saww ia berkata, “Wanita fulanah telah meninggal dan telah lega.”
Mendengar ucapan Bilal ini, Rasulullah saww marah dan bersabda, “Sesungguhnya lega bagi yang mendapat ampunan.” Maksudnya seseorang―dalam kondisi apapun―yang meninggal dunia tidak akan merasa lega dan bahagia. Boleh jadi itu malah menjadi awal kesengsaraannya. Lain hal dengan orang yang mendapatkan ampunan dikarenakan keimanan dan ketakwaannya; orang semacam ini akan merasa lega dan berbahagia.


Keberanian dan Firasat Imam Khomeini


Ada sebuah kejadian menarik sewaktu Imam Khomeini berada di Paris. Waktu itu, di Iran, Syah telah membentuk dewan kerajaan. Setelah itu, ia melarikan diri ke luar Iran. Kepala dewan kerajaan adalah Sayyid Jalaluddin Tehrani. Sosok Sayyid Jalaluddin cukup terkenal dan ahli nujum (astrologi). Ia punya tulisan tangan yang indah. Dalam upaya mengobati penyakitnya, ia bertolak ke Paris. Ia menggunakan kesempatan itu untuk menemui dan mengatakan pembicaraan dengan Imam Khomeini. Sesampainya di pintu rumah Imam, ia meminta izin bertemu dengan beliau. Lalu penjaga menyampaikan kedatangannya kepada Imam Khomeini.
Imam berkata, “Pertemuannya denganku harus dengan syarat; ia menulis surat pengunduran dirinya dari dewan kerajaan.”
Jawaban Imam disampaikan kepadanya. Dengan tulisannya yang indah, ia menulis surat pengunduran dirinya. Lalu surat itu diserahkan kepada Imam Khomeini.
Setelah mambaca surat itu, Imam berkata, “Ini tidak cukup. Karena ada kemungkinan, setelah keluar dari sini, ia akan mengatakan bahwa dirinya terpaksa menulis semua itu; ia harus menulis alasan pengunduran dirinya.” Pesan itu disampaikan kepada Sayyid Jalaluddin. Lalu ia menulis demikian, “Sesuai pernyataan Imam Khomeini bahwa dewan kerajaan bertentangan dengan undang-undang dasar, maka saya mengundurkan diri.”
Baru setelah itu Imam Khomeini mengizinkannya masuk dan bertemu beliau di sela-sela pembicaranya dengan Imam Khomeini, ia berkata, “Sikap ini amat berat dan mencemaskan. Saya takut akan risikonya.” Imam Khomeini berkata, “Engkau sama sekali jangan merasa takut. Syah telah pergi dan sama sekali tak akan pernah kembali!”


Lelaki Miskin Meninggal di Kubur Imam Ali


Alkisah, sekembalinya Imam Hasan dan Imam Husain dari menguburkan jasad suci Imam Ali, dan hendak ke Kufah, di tengah perjalanan keduanya melihat seorang lelaki miskin dan buta duduk di sampaing bangunan reot. Wajahnya tampak sangat sedih dan ketakutan dengan kepala tetunduk seraya menangis. Keduanya bertanya, “Siapakah Anda? Mengapa bersedih?”
Ia menjawab, “Saya adalah orang asing dan sendirian. Saya tak punya seorang pun untuk berbagi duka. Selama setahun saya berada di kota ini. Setiap hari ada seseorang yang baik hati menemui saya dan menanyakan keadaan saya, memberi saya makanan, dan berbincang-bincang dengan saya. Namun sekarang telah tiga hari berlalu dan ia tidak datang kemari, tidak menanyakan keadaan saya.”
Mereka bertanya, “Apakah engkau tahu namanya?”
Ia menjawab, “Tidak.”
Mereka bertanya, “Apakah engkau tidak menanyakan namanya?”
Ia menjawab, “Saya sudah menanyakannya, namun ia menjawab, ‘Apa kepentinganmu dengan namaku. Saya merawatmu demi keridhaan Allah.’”
Mereka bertanya, “Bagaimana wajah dan postur tubuhnya?”
Ia menjawab, “Saya buta saya tidak mengetahui wajah dan postur tubuhnya.”
Mereka bertanya, “Apakah engkau sama sekali tidak mengenal ciri-ciri sikap dan pembicaraannya?”
Ia menjawab, “Lisannya senantiasa dalam keadan berzikir. Tatkala ia berzikir dan bertasbih, bumi, pintu, dan dinding-dinding ikut bertasbih bersamnya; tatkala duduk di samping saya, ia berkata, ‘Orang miskin duduk di sebelah orang miskin, orang asing duduk di sebelah orang asing.’”
Imam Hasan dan Imam Husain, (Muhamad Hanafiah dan Abdullah bin Ja’far) amat mengenal orang baik dan tak dikenal itu. Mereka saling berpandangan dan berkata, “Hai orang miskin dan asing! Ciri-ciri yang engkau sebutkan itu adalah ciri-ciri ayah kami, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.”
Orang miskin berkata, “Lalu mengapa sudah tiga hari ini ia tidak datang menemuiku?”
Mereka menjawab, “Hai orang miskin dan asing! Seorang terkutuk telah menghunuskan belatinya ke kepalanya. Ia pun berpulang ke hadirat Allah. Tadi, baru saja kami kembali dari kuburnya.”
Tatkala mengetahui peristiwa yang terjadi, orang miskin itu menjerit dan menangis. Ia merebahkan tubuhnya ke tanah dan melempari wajahnya dengan pasir seraya berkata, “Apa keistimewaanku sehingga Amirul Mukminin merawatku? Mengapa mereka membunuhnya?”
Imam Hasan dan Imam Husain berusaha menenangkannya. Namun ia tak juga tenang. Kemudian orang tua miskin itu memeluk Imam Hasan dan Imam Husain dan berkata, “Demi kakek-kakek kalian, demi jiwa ayah kalian yang mulia, bawalah aku kuburnya.”
Imam Hasan memegang tangan kanannya, sementara Imam Husain memegang tangan kirinya. Mereka memapahnya ke kubur Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Setelah sampai, ia me-rebahkan dirinya ke kubur beliau dalam keadaan menangis dan meratap. Ia berkata, “Ya Allah, saya tak mampu menanggung beban perpisahan dengan ayah yang baik ini. Demi pengbuni kubur ini, ambillah nyawaku!”
Doanya terkabul! Ia pun menghembuskan nafas terakhirnya di atas kubur suci Imam Ali. Menyaksikan kejadian itu, Imam Hasan dan Imam Husain tak kuasa menahan tangis kesedihan. Mereka berdua segera memandikan, mengafani, dan menyalati jenazah si miskin, lalu dikuburkan di sekitar makam suci tersebut.


Penjara Pertama Imam Musa al-Kazhim


Berdasarkan perintah Harun al-Rasyid, Imam Musa bin Ja’far al-Kazhim dibawa dari Madinah ke Irak. Di sana, beliau lalu dipenjara. Beliau dipindah-pindahkan dari satu penjara ke penjara lain. Pertama kali beliau dimasukkan ke penjara Isa bin Ja’far di Bashrah, lalu dipindahkan ke penjara Fadhl bin Rabi’ di Baghdad, kemudian di pindahkan lagi ke penjara Fadhl bin Yahya juga di Baghdad. Terakhir beliau dimasukkan ke penjara Sindi bin Syahik. Di situ, beliau diracun sehingga menghembuskan nafas terakhirnya.
Pada kali yang pertama, Imam Musa al-Kazhim dibawa ke Bashrah dan diserahkan kepada Isa bin Ja’far bin Mansur (cucu Mansur al-Dawaniqi). Selama setahun, beliau menghuni penjara itu. Lalu Isa menulis surat kepada Harun sebagai berikut, “Selama Musa berada dalam penjara saya, saya telah mengujinya dan mengutus beberapa mata-mata untuk mengawasinya. Mereka tidak melihatnya [berbuat apapun] selain beribadah dan berdoa. Kemudian saya mengutus seseorang untuk mencari tahu apa yang dipanjatkan dalam doanya itu. Ternyata ia senatiasa memohon ampunan dan rahmat dari Allah untuk dirinya. Karena itu, tidak pantas saya menahannya dalam penjara. Utuslah seseorang untuk mengambilnya dari saya.”
Setelah menerima surat Isa, Harun segera mengutus seseorang untuk menjemput Imam Musa al-Kazhim dari penjara Isa bin Ja’far dan membawanya ke Baghdad menemui salah satu menterinya (Fadhl bin Rabi’). Di situ, beliau dimasukkan ke dalam penjara kedua.


Nasihat Orang Bijak dari Pisau Tukang Cukur untuk Raja


Dahulu kala, hiduplah seorang tukang cukur termasyhur yang biasa merapikan rambut dan janggut raja. Suatu hari, ia pergi ke pasar. Di situ, ia melihat seorang lelaki tua sedang duduk di sebuah kedai sederhana. Di hadapannya terdapat pena dan kertas. Namun, tak ada sesuatupun dalam kedai itu. Ia merasa heran dan bertanya-tanya, gerangan apa yang dijual lelaki bersurban itu. Ia pun menghampirinya dan bertanya, “Wahai tuan! Apa yang Anda jual?” Lelaki tua itu menjawab, “Aku orang bijak yang menjual nasihat.”
Tukang cukur, “Nasihat apa?”
“Nasihatku tidak gratis. Hargnya seratus dirham,” jawab lelaki tua.
Setelah terjadi tawar menawar, akhirnya si tukang cukur setuju memberinya seratus dirham. Lelaki tua itu pun segera mengambil ungnya dan menulis nasihat di atas selembar kertas. Setelah itu, ia menyerahkannya kepada si tukang cukur.
Nasihat yang diberikan kepada situkang cukur adalah sebagai berikut, “Orang yang paling cerdik adalah orang yang tidak melakukan suatu perbuatun sampai dirinya tahu apa akibat dari perbuatannya itu.”
Si tukang cukur segera mengambil kertas berisi nasihat itu. Dikarenakan nasihat tersebut dibelinya dengan harga yang tinggi, ia pun menyimpannya baik-baik. Bahkan, ia senantisa menuliskan nasihat itu di berbagai benda. Termasuk di atas batu yang biasa digunakannya untuk mengasah pisau cukurnya.
Suatu hari, perdana menteri saat itu (yang berniat jahat) datang menemui tukang cukur dan berkata, “Saya baru saja datang dari luar negeri dan membawa hadiah untukmu, sebuah pisau cukur terbuat dari emas. Karena kamu terbiasa mencukur dan merapikan janggut raja, sebaiknya setelah ini kamu gunakan pisau cukur ini untuk mencukur janggut raja (pisau cukur itu telah dilumuri racun oleh perdana menteri. Ia menginginkan racun itu bercampur dengan darah raja dan meninggal dunia).”
Tukang cukur merasa amat gembira. Tatkala hendak mencukur janggut raja, ia pun mengeluarkan pisau cukur emas itu. Saat itu matanya tertumbuk pada nasihat yang tertulis di batu asahan. Ia lalu merenung, “Saya masih belum pernah mengamalkan nasihat ini. Sebaiknya saya sekarang mengamalkannya. Karena saya masih belum tahu akibat dari menggunakan pisau cukur ini, saya tak akan menggunakannya untuk mencukur janggut raja.”
Mengetahui tukang cukurnya terdiam dan tercenung, Sang Raja bertanya, “Apa yang terjadi?” Lalu tukang cukur itu menceritakan tentang nasihat orang bijak dan hadiah pisau cukur dari perdana menteri.
Sang Raja tahu bahwa perdana menteri hendak membunuhnya lewat racun yang melekat di pisau cukur itu. Lalu ia segera mengumpulkan para pembesar kerajaan dan mengundang perdana menteri untuk hadir di sana. Ia memerintahkan tukang cukur untuk mencukur dan merapikan cambang serta janggut orang-orang yang berniat jahat. Tukang cukur itupun melaksanakan perintah raja. Tak lama, semunya meninggal dunia termasuk si perdana menteri.
Tukang cukur itu menerima hadiah yang besar. Ia tahu bahwa harga nasihat orang bijak itu lebih dari seratus dirham. Ya, uang seratus dirham yang dikeluarkannya ternyata tidaklah sia-sia.


Pelajaran buat Kaum Wanita


Ummu Salamah, isteri RasuIullah saww, menceritakan bahwa pada suatu hari, dirinya tengah duduk bersama Rasulullah saww. Saat itu salah seorang isteri beliau saww lainnya yang bernama Maimunah juga ada disitu. Tak lama berselang, Ibnu Ummi Maktum yang buta masuk untuk menemui Rasulullah saww. Lalu Rasulullah saww bersabda kepadanya dan Maimunah, “Kenakanlah hijab kalian berdua.” Saya bertanya, “Wahai Rasulullah saww, bukankah ia orang buta?” Rasulullah saww bersabda, “Apakah kalian berdua juga buta, bukankah kalian berdua melihatnya?”


Contoh Pengorbanan Murid-murid Rasulullah


Seorang memberi sebuah kepala kambing kepada seorang sahabat Rasulullah saww (saat itu terjadi kekurangan pangan sehingga hadiah ini dianggap sangat berharga). Sahabat tersebut menerima hadiah itu. Ia berguman, “Si fulan lebih membutuhkan dari saya.” Lalu ia memberikannya kepad si fulan dan diterimanya. Ia juga berguman, “Si fulan lebih membutuhkan dari saya.” Ia pun memberikan kepala kambing itu kepadanya orang ketiga juga berguman, “Si fulan lebih membutuhkan dari saya.” Lalu ia juga memberikannya kepada orang keempat, dan seterusnya sampai orang ketujuh. Orang ketujuh tidak tahu dari mana awal mula pengorbanan ini. Ia lalu menghadiahkan lagi kepada orang pertama....
Dengan demikian, kepala kambing itu telah mengelilingi tujuh rumah.
Kemurahan Imam Ali al-Ridha terhadap Orang Miskin yang Sakit
Pada masa Imam Ali al-Ridha, serombongan kafilah dari Khurasan bergerak menuju Kirman. Di tengah perjalanan, mereka diserang sekumpulan perampok yang menjarah harta mereka. Salah seorang kafilah, (sebut saja namanya Abdullah) ditawan para perampok. Mereka berkata kepadanya, “Engkau memeliki harta yang cukup banyak. Engkau harus menyerahkan seluruh hartamu kepada kami.” Abdullah memohon kepada para perampok itu untuk membebaskannya. Namun mereka menolak. Di pagi hari, mereka menyiksa Abdullah agar segera menyerahkan hartanya. Para perampok membaringkan Abdullah di tengah salju dan memenuhi mulutnya dengan salju. Mulutnya pun sakit parah sehingga ia tak mampu lagi berbicara.
Akhirnya salah seorang wanita dari kawanan perampok itu merasa iba. Ia memohon kepada para perampok itu untuk melepaskannya. Abdullah melarikan diri dari kawanan perampok itu. Dengan mulut penuh luka, ia kembali ke Khurasan. Di sana ia mendengar bahwa Imam Ali al-Ridha datang ke Khurasan dan sekarang sedang berada di Nisyabur, sekitar 75 kilometer dari Khurasan (Abdullah adalah seorang pecinta Ahlul Bait Rasulullah saww dan berharap memperoleh kesembuhan melalui mereka).
Sepanjang hari-hari itu Abdullah bermimpi seseorang datang menemuinya dan berkata, “Imam Ali al-Ridha berada di Nisyabur. Temuilah beliau dan mintalah beliau menyembuhkan sakit mulut dan lidahmu.” Dalam mimpi itu, Abdullah menemui Imam Ali al-Ridha dan menceritakan kejadian yang dialaminya. Imam bekata, “Raciklah sedikit uwisyan (sejenis sayuran) yang dicampur dengan jintan dan garam, lalu tumbuklah sampai halus dan lumat. Kemudian tempelkan racikan itu ke mulut dan lidahmu sebanyak tiga atau empat kali sehari.”
Abdullah terjaga. Namun ia tidak menghiraukan mimpinya itu seraya bergumam, “Apa yang terjadi dalam mimpi tak dapat dipercaya.” Ia lalu berangkat ke Nisyabur untuk menemui Imam Ali al-Ridha. Ia bertanya kepada orang-orang di Nisyabur tentang tempat Imam berada. Mereka mengatakan bahwa Imam Ali al-Ridha sedang berada di penginapan milik Sa’ad. Abdullah pergi ke tempat penginapan itu dan bertemu dengan Imam Ali al-Ridha. Ia menceritakan kejadian yang dialaminya kepada beliau, dan memohon beliau memberikan obat bagi kesembuhan lidah dan mulutnya.
Imam Ali al-Ridha berkata, “Bukankah aku telah memberitahumu dalam mimpimu tentang obat yang dapat menyembuhkan sakit lidah dan mulutmu?”
Abdullah berkata, “Jika tidak keberatan, saya berharap Anda memberitahu saya sekali lagi cara mengobati sakit lidah dan mulut saya.”
Imam Ali al-Ridha berkata, “Ambillah sedikit uwisyan, lalu campurlah dengan sedikit jintan dan garam, kemudian tumbuklah sampai halus dan lumat, lalu tempelkanlah racikan itu pada lidah dan mulutmu sebanyak tiga atau empat kali sehari, dan kamu akan segera sembuh.”
Abdullah berkata, “Kemudian saya pun melaksanakan apa yang beliau perintahkan. Sebagaimana yang beliau janjikan lidah dan mulut saya sembuh dan kembali seperti sedia kala.”


Balasan terhadap Seorang Kurdi yang Sombong


Seorang pemimpin bangsa Kurdi yang amat bengis dan kejam menjadi tamu seorang putera mahkota. Ia duduk di sampingnya dalam sebuah jamuan makan. Tatkala mata pemimpin Kurdi ini tertumbuk pada beberapa ekor burung puyuh panggang yang tersedia di meja jamuan, ia pun tertawa. Putera mahkota bertanya, “Apa yang menyebabkan Anda tertawa?” Ia menjawab, “Beberapa tahun lalu di awal-awal saya tumbuh menjadi seorang pemuda, saya pernah menghadang seorang saudagar. Ketika saya hendak membunuhnya, ia menghadap pada dua ekor burung puyuh yang ada di atas bukit seraya berkata, ‘Hai burung puyuh! saksikanlah bahwa lelaki ini adalah pembunuhku.’ Sekarang saya melihat kedua burung puyuh itu telah dipanggang dan tersedia di depan mataku. Saya teringat kedunguan saudagar itu (sekarang kedua burung puyuh itu telah mati dan akan menjadi santapan saya dan tak ada lagi yang akan menjadi saksi).”
Putera mahkota adalah orang yang adil dan bijaksana. Ia berkata kepada si Kurdi pembunuh itu, “Sebenarnya kedua burung puyuh ini telah memberi kesaksiannya.” Kemudian ia memerintahkan memenggal kepala si Kurdi itu. Akhirnya, si Kurdi sombong itu mendapat ganjaran setimpal atas kejahatan yang telah yang telah dilakukannya.


Pertanyaan Matematika kepada Imam Ali


Seseorang datang menemui Imam Ali bin Abi Thalib dan bertanya, “Aku memiliki sebuah bilangan yang dapat dibagi 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, dan tak ada sisanya.”
Imam Ali bin Abi Thalib dengan segera menjawab, “Kalikanlah hari-hari yang ada dalam sepekanmu, dengan hari-hari yang ada pada satu tahunmu.”
Kemudian si penanya mengalikan 7 dengan 360 (hari dalam setahun) dan hasil perkalian itu adalah 2520. Bilangan ini ternyata dapat dibagi 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, tanpa tersisa.


Ketenangan Jiwa Imam Husain di Hari Âsyûrâ (Kesembilan Muharam)


Imam Ali Zalnal Abidin al-Sajjad berkata, “Di hari Âsyûrâ, peristiwa yang menimpa Imam Husain amatlah berat. Sebagian sahabat beliau melihat kondisi beliau yang amat berbeda dengan kondisi mereka; tatkala kepungan musuh semakln ketat, mereka semakin bersedih dan jantungnya kian berdebar-debar. Tetapi, kondisi Imam Husain dan sebagian sahabat beliau justru menampakkan raut wajah yang kian berbinar-binar dan tubuhnya semakin tenang. Dalam keadaan itu, satu sama lain akan saling berkata, ‘Lihatlah, seakan-akan lelaki ini (Imam Husain) sama sekali tidak memiliki rasa gentar dalam menyambut kematian.’”
Imam Husain memandangi mereka dan berkata, “Wahai anak- anakku yang mulia dan agung, tenanglah, bersabar dan bertahanlah. Sebab, kematian merupakan jembatan yang akan mengantarkan kalian dari berbagai kesulitan dan bencana menuju surga nan luas yang penuh kenikmatan kekal dan abadi. Adakah di antara kalian yang enggan dipindahkan dari penjara ke istana? Ya, kematian bagi musuh-musuh kalian laksana dipindahkan dari istana menuju penjara. Ayahku meriwayatkan dari Rasulullah saww yang menyabdakan, ‘Sesungguhnya dunia ini adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir, dan kematian adalah jembatan mereka menuju surga-surganya dan jembatan mereka menuju jahim-jahim mereka.’”
Kemudian Imam Husain berkata, “Saya tidak berbohong dan tidak pula dibohongi (saya tidak berkata bohong dan saya juga tidak dibohongi ayah saya).”


Kejadian di Alam Barzkh


Allamah Thabathaba’i (Sayyid Muhammad Husain) berkata bahwa gurunya yang arif dan bertakwa, Haji Mirza Ali pernah bercerita, “Sewaktu saya berada di Najaf al-Asyraf, di dekat rumah saya ada seorang ibu (anak salah seorang pembesar Usmani Ahlusunah) meninggal dunia. Puterinya menangis, menjerit, dan merasa amat kehilangan. Ia ikut mengantarkan jenazah ibunya sampai ke liang kubur. Di sana ia menangis keras-keras sehingga membuat para pengantar jenazah ikut menangis.
Tatkala jenazah ibunya diletakkan di liang lahat, sang puteri menjerit, “Saya tak akan berpisah dengan ibu.” Orang-orang berusaha membujuk dan menenangkannya. Namun, usaha itu selalu gagal. Mereka kebingungan. Sekiranya mereka tetap memisahkannya dari ibunya, besar kemungkinan itu akan membahayakan jiwanya. Akhirnya mereka bersepakat untuk membiarkannya berbaring di samping jenazah ibunya. Liang kubur itu tidak ditimbuni tanah. Mereka hanya menutup atasnya dengan beberapa lembar papan yang diberi celah kecil agar anak perempuan itu tidak mati lemas lantaran kehabisan udara. Kapan saja ingin keluar, ia dapat melewati celah itu.
Pada malam pertama perempuan itu tertidur di samping ibunya. Keesokan harinya, orang-orang membuka papan penutup kuburan untuk mengetahui keadaan anak perempuan itu. Saat itu mereka melihat seluruh rambut di kepalanya telah menjadi uban.
Mereka bertanya, “Mengapa kamu menjadi semacam ini?” Ia menjawab, “Pada malam itu, saya tidur di samping jenazah ibu. Tiba-tiba saya melihat dua malaikat datang dan berdiri di samping kanan dan kiri ibu. Di tengahnya berdiri seseorang yang mulia. Kedua malaikat itu sibuk menanyakan akidah ibu saya; menanyakan ketauhidan, dan ibu saya menjawabnya dengan benar; menanyakan kenabian, dan ibu saya juga menjawabnya dengan benar bahwa nabinya adalah Muhammad bin Abdullah. Sampai akhirnya mereka menanyakan siapa imamnya? Orang mulia yang berdiri di tengah mereka berkata, ‘Aku bukan Imamnya (orang mulia itu ternyata Imam Ali bin Abi Thalib).’”
“Seketika itu, kedua malaikat tersebut mencambuk kepala ibu saya sampai mengeluarkan api yang percikannya sampai ke langit. Karena dicekam rasa takut yang hebat, saya pun menjadi seperti yang kalian saksikan; seluruh rambut saya menjadi uban.”
Almarhum Mirza Ali berkata, “Seluruh suku puteri ini yang bermazhab Ahlusunah, setelah menyaksikan kejadian ini, berbondong-bondong menganut mazhab Syiah (karena kejadian ini sesuai dengan ideologi mazhab Syiah). Adapun perempuan itu telah mendahului mereka dalam menyakini kebenaran mazhab Syiah.”


Dialog Imam Hasan al-Mujtaba dengan Sahabatnya


Imam Hasan al-Mujtaba memiliki seorang sahabat yang humoris. Setelah lama tidak bersua dengan beliau, ia memutuskan untuk datang menemui Imam Hasan al-Mujtaba. Imam Hasan berkata kepadanya, “Bagaimana keadaanmu?” Si sahabat menjawab, “Wahai putera Rasulullah! Hari-hari saya tidak saya lewati sesuai dengan yang saya inginkan, tidak sesuai dengan yang Allah inginkan, dan tidak sesuai dengan yang setan inginkan!”
Imam Hasan tertawa dan berkata kepadanya, “Jelaskanlah maksud pembicaraanmu.”
Sahabat, “Allah menginginkan saya taat kepada-Nya, dan saya sama sekali tidak bermaksiat, dan saya tidak demikian; setan menginginkan saya bermaksiat kepada Allah dan sama sekali tidak taat kepada-Nya, saya juga tidak demikian (terkadang taat kepada Allah, terkadang tidak); saya menghendaki untuk tidak mati, namun tidak demikian (karena akhirnya saya akan mati).”
Saat itu salah seorang hadirin berdiri dan berbicara, “Wahai putera Rasulullah! Mengapa kita tidak menyukai kematian dan menganggapnya tidak menyenangkan?”
Imam Hasan menjawab, “Karena kalian telah merusak akhirat dan membangun dunia kalian. Karena itu kalian tidak merasa senang bepergian dari tempat yang indah menuju tempat yang rusak.”


Kutukan Ali bin Abi Thalib


Malam Jumat, tanggal 19 Ramadhan tahun 40 Hijriah, adalah malam terakhir kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib. Imam Hasan menceritakan bahwa pada malam itu beliau bersama ayahnya hendak berangkat menuju masjid. Ayahnya berkata, “Anakku! Malam ini saya sekejap tertidur. Saat itu saya berjumpa dengan Rasulullah saww. Tetapi saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, betapa besar kebengkokan dan permusuhan yang saya hadapi dari umatmu.’ Rasulullah bersabda kepadaku, ‘Mohonlah [kepada Allah] agar keburukan menimpa mereka.’ Tetapi saya katakan, ‘Semoga Allah menggantikan mereka bagi saya dengan yang lebih baik, dan menggantikan saya bagi mereka dengan yang lebih buruk.’”
Di subuh hari itu, kutukan Ali terkabul.



Manusia yang Tak Berbahagia


Di masa kepemimpinan Imam Ali bin Abi Thalib, hiduplah seorang muslimin bernama Hartsamah bin Salim. Ia adalah orang yang tidak berbahagia dan tidak terlalu menghormati kebesaran Imam Ali. Namun isterinya adalah wanita yang taat dan suci serta pecinta Imam Ali bin Ali Thalib.
Hartsamah berkata, “Saya berangkat bersama Imam Ali dari Kufah menuju medan perang Shiffin. Ketika kami tiba di gurun Karbala, waktu shalat telah tiba. Lalu kami menunaikan shalat berjamaah bersama Imam Ali. Setelah selesai shalat, beliau mengambil segenggam tanah Karbala dan menciumnya seraya berkata, ‘Wahai tanah! Darimu akan dibangkitkan suatu kaum yang akan masuk surga tanpa perhitungan (hisâb).’ Lalu kami melanjutkan perjalanan ke medan Shiffin. Seusai pertempuran, saya pulang ke rumah. Saya menceritakan kepada isteri saya (yang Syiah) pengalaman saya. Saya berkomentar, ‘Ali mengaku memiliki ilmu gaib.’ Isteri saya menjawab, ‘Apa yang dikatakan adalah benar.’ Saya berkata, ‘Saya masih meragukan apa yang dikatakan Ali.’ Sampai kemudian terjadilah peristiwa Karbala (Ibnu Ziyad mengerahkan bala tentaranya ke gurun Karbala untuk memerangi Imam Husain). Saya masuk ke dalam pasukan Umar bin Sa’ad dan bertolak ke Karbala. Di sana, saya terkenang ucapan Imam Ali yang teryata benar. Karena itu, saya pun merasa sedih lantaran termasuk pasukan Umar bin Sa’ad. Pada suatu kesempatan, saya memacu kuda saya menuju Imam Husain dan menceritakan kepada beliau tentang ucapan ayahnya. Imam Husain berkata, ‘Sekarang apakah engkau termasuk pendukungku atau penentangku?’ Saya menjawab, ‘Tidak yang manapun. Sekarang saya sedang memikirkan nasib keluarga saya....’ Beliau berkata, ‘Kalau begitu, segeralah pergi dari sini. Sebab orang yang ada di sini dan mendengar panggilanku lalu enggan menolongku, pasti akan masuk neraka.’”
Hartsamah orang yang tidak berbahagia. Dalam kondisi genting semacam itu, ia justru enggan bergabung bersama Imam Husain. Ia pun segera memacu kudanya keluar dari gurun Karbala demi menyelamatkan nyawanya.


Jeritan Jenazah yang Menyeramkan


Syaikh Abbas al-Qummi, penyusun buku doa Mafâtih al-Jinân, (wafat 1359 Hijriah) adalah seorang ulama yang dikenal ketakwaan dan kejujurannya. Beliau menghabiskan usianya untuk membimbing manusia lewat goresan penanya.
Seseorang yang dapat dipercaya mengatakan bahwa Syaikh Abbas al-Qummi bercerita kepada dirinya, “Sewaktu berada di Najaf al-Asyraf, saya pergi ke pemakaman Wadi al-Salâm untuk berziarah. Tatkala saya memasuki komplek pemakaman itu, tiba-tiba saya mendengar lengkingan unta (berulang-ulang). Saya berpikir, pasti di sekitar situ ada unta yang sedang dicap dengan besi panas sehingga mengeluarkan lengkingan semacam itu. Suara itu menggema ke seluruh penjuru Wadi al-Salâm. Saya bermaksud menyelamatkan unta malang itu. Bergegas saya melangkahkan kaki ke arah sumber suara. Namun, ketika semakin dekat dengan suara itu, saya tidak melihat adanya seekor unta, melainkan sekumpulan orang yang tengah menggotong jenazah. Ya, suara menyeramkan itu bersumber dari jenazah yang mereka gotong. Saya heran; orang-orang yang hendak membawa jenazah itu ke liang kubur nampak tenang-tenang saja dan sama sekali tidak mendengar jeritan si jenazah.”
Ini merupakan sebagian kejadian di alam barzakh, yang tirai penutupnya telah disingkapkan teruntuk almarhum Syaikh Abbas al- Qummi. Jelas jenazah itu adalah orang yang telah banyak berbuat dosa. Di alam barzakh, ia pun mendapat siksaan Allah. Saking beratnya siksaan itu, sampai-sampai ia melengking semacam itu.
Ya, orang-orang saleh seperti Syaikh Abbas al-Qummi―semoga Allah merahmatinya―dikarenakan selalu menjaga dan menjauhkan diri jeratan hawa nafsu mampu mencapai derajat yang tinggi; di mana beliau mampu mengetahui siksa alam barzakh atas orang-orang yang berdosa.


Contoh Kekejaman Reza Khan terhadap Ruhaniawan


Husain Fardust (mantan jenderal Iran) dalam artikelnya yang menggambarkan keadaan semasa pemerintahan Reza Khan menulis sebagai berikut,
“Reza Khan menerapkan larangan kepada kalangan ruhaniawan untuk mengenakan pakaian khusus keruhanian. Hanya sebagian kecil saja dari mereka yang diizinkan mengenakannya. Sementara yang lainnya, bila di jalan raya dipergoki mengenakan aba’ah (sejenis jubah) dan surban, maka orang-orang Reza Khan akan langsung menarik surban dan melepas aba’ah tersebut, serta memaki-makinya.”
“Para penjaga istana berulangkali mengatakan kepada saya, ‘Ini adalah tugas kita, dan kita akan menjalankannya.’”
Pada masa itu, saya berada sedang di rumah saya di Teheran. Tetangga saya adalah dua orang ruhaniawan yang mengenakan surban. Yang satu seorang Syaikh, dan yang lain seorang sayyid (Sayyid Mahmud). Karena saya punya hubungan yang baik dengan mereka, dan mereka juga sering datang kerumah saya, maka saya membuat sebuah pintu kecil di dinding pemisah antara halaman rumah saya dan halaman rumah mereka. Sebelumnya saya pernah belajar al-Quran dan fikih kepadanya (Sayyid Mahmud). Ia pernah bercerita kepada saya, ‘Pada suatu hari, saya kelupaan dan keluar rumah menuju lorong jalan (dengan mengenakan surban dan jubah). Tiba-tiba seorang polisi menghampiri saya dan menarik surban saya serta melilitkannya ke leher saya. Ia menyeret saya (dengan surban itu) sampai depan rumah saya.’





BAB V

Kerendahan Hati Marja’ Taqlid di Hadapan Ahlul Bait Nabi


Almarhum Ayatullah Sayyid Syihabuddin al-Mar’asyi al-Najafi adalah seorang marja’ taqlid (ahli hukum Islam yang layak diikuti fatwa-fatwanya―peny.) besar dan berperan cukup besar dalam mengembangkan Hauzah Ilmiyah Qum dan dunia tasyayyu’. Beliau dilahirkan pada subuh hari Kamis, 20 Safar 1318 Hijriah, di Najaf al-Asyraf dan wafat di Qum, pada 8 Safar 1411 Hijriah. Beliau dimakamkan di tepi jalan masuk perpustakaan umum beliau di Qum.
Di antara kepribadian beliau adalah rasa cinta yang cukup mendalam terhadap Ahlul Bait Nabi saww. Beliau menyatakan dirinya sebagai “pembantu ilmu-ilmu Ahlul Bait dan pengemis di depan pintu mereka.” Secara teoritis dan praktis, beliau memang semacam itu.
Di antara wasiatnya, “Setelah saya meninggal dunia, letakkanlah jenazah saya di depan makam bibi Fathimah al-Ma’shumah. Ikatlah ujung surban saya ke jeruji makam suci (Fathimah al-Ma’shumah) dan ujung yang lain ke kerandaku (sebagai permohonan syafaat). Lalu bacakanlah kisah perpisahan Imam Husain dengan keluarganya yang suci di hari Âsyûrâ’.” Wasiat inipun mereka laksanakan.


Nilai Ucapan yang Benar


Pada suatu hari, Sufyan al-Tsauri yang merupakan orang yang cukup terkenal di masa Imam Ja’far al-Shadiq, menemui Imam al-Shadiq. Saat itu ia mendengar sebuah ucapan dari beliau yang begitu indah dan mendalam. Sufyah al-Tsauri dibuatnya tercengang. Ia berkata, “Wahai putera Rasulullah, demi Allah, ucapan anda itu adalah permata.”
Imam Ja’far al-Shadiq berkata, “Bahkan lebih indah dari permata. Bukankah permata itu hanya sebuah batu?”
Lewat jawaban itu, Imam Ja’far al-Shadiq hendak memberi pelajaran kepada kita semua bahwa sebagaimana kita menganggap permata merupakan suatu yang bernilai (berharga), maka seyogianya kita menghargai ucapan dan nasihat yang benar. Namun, permata hanyalah sebuah benda padat yang tidak bergerak. Adapun ucapan yang benar akan membangun, mendidik, dan mengantarkan manusia pada kesempurnaan.


Mengaku Tuhan, Diam Seribu Bahasa


Pada masa Imam Ja’far al-Shadiq, hidup seseorang yang bernama Ja’d bin Dirham. Ia seorang penetang Islam dan pencetak berbagai bidah. Namun begitu, ia punya banyak pengikut. Akhirnya, lantaran kelakuannya itu, ia dijatuhi hukuman mati pada hari Idul Adha.
Suatu hari, ia memasukkan sedikit tanah dan air ke dalam botol. Selang beberapa hari, muncullah beberapa ekor serangga dan ulat dalam botol itu. Ia lalu berkata, “Sayalah yang menciptakan serangga dan ulat ini. Karena sayalah yang menyebabkannya ada.”
Mereka menceritakan kejadian itu kepada Imam Ja’far al-Shadiq. Imam berkata, “Tanyakan kepadanya, berapa jumlah serangga dalam botol itu? Berapa jumlah jantan dan betinanya? Kalau benar penciptanya, ia harus dapat menjawabnya. Dan tanyakan juga berapa beratnya? Kalau memang penciptanya, ia pasti dapat memerintahkan serangga itu menjelma dalam bentuk yang lain.”
Mendengar pertanyaan itu, Ja’d bin Dirham diam seribu bahasa dan lari tunggang langgang.


Imam Ja’far al-Shadiq Tidak Menghiraukan Abu Hanifah


Abu Hanifah (Nu’man) adalah salah seorang tokoh dari tempat mazhabAhlusunah. Sekalipun seluruh ilmu yang dimilikinya semata-mata berasal dari ajaran Imam Ja’far al-Shadiq, ia menentang beliau dan mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan fatwa Imam Ja’far al-Shadiq.
Suatu hari, ia datang ke rumah Imam Ja’far al-Shadiq. Imam menemuinya dengan bertumpu di atas sebuah tongkat.
Abu Hanifah bertanya, “Tongkat itu untuk apa? Padahal orang seusia Anda masih belum layak memegang tongkat?”
Imam menjawab, “Benar, saya tidak memerlukan tongkat, tapi karena tongkat ini kenang-kenangan dari Rasulullah saww yang masih tersisa, saya ingin bertabaruk (mengambil berkah) dari tongkat ini.”
Abu Hanifah berkata, “Kalau saya tahu bahwa tongkat itu milik Rasulullah saww, saya akan menciumnya.”
Imam Ja’far al-Shadiq berkata, “Sungguh mengherankan!” Lalu beliau menyingsingkan lengan bajunya dan berkata, “Hai Nu’man! Demi Allah, engkau tahu bahwa kulit, rambut, dan lengan saya ini adalah kulit, rambut, dan lengan Rasulullah saww, namun engkau tidak menciumnya (engkau melakukan penentangan terhadapku).”
Abu Hanifah bangkit dan hendak mencium lengan Imam. Namun beliau menurunkan kembali lengan bajunya dan tidak menghiraukan sikap Abu Hanifah yang hanya berpura-pura.


Alasan Sa’ad bin Abi Waqas Tidak Mencemooh Imam Ali


Sa’ad bin Abi Waqas merupakan salah seorang panglima perang terkenal di masa awal Islam. Semasa pemerintahan Imam Ali, ia menarik diri hidup tanpa tidak berpihak kepada siapapun (baik kepada Imam Ali maupun Muawiyah).
Saat Muawiyah berkuasa, ia memaksa seluruh muslimin mengutuk Imam Ali. Namun Sa’ad bin Abi Waqas sama sekali tidak bersedia mengutuk beliau.
Suatu hari Muawiyah berjumpa dengan Sa’ad dan bertanya, “Mengapa engkau enggan mengutuk Abu Turab (julukan Imam Ali)?”
Sa’ad menjawab, “Aku teringat tiga perkara yang disabdakan Rasulullah saww mengenai peribadi Ali bin Abi Thalib. Karena itulah saya enggan mengutuk dan mencemoohnya. Bila salah satu dari ketiga perkara itu ada pada diri saya, maka itu jauh lebih berharga dari semua unta merah.”
“Pertama, saya mendengar Rasulullah saww, pada perang Tabuk, menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai wakil beliau saww di Madinah, sementara beliau saww sendiri yang berangkat ke Tabuk bersama kaum muslimin. Wwaktu itu Ali menemui Rasulullah saww dan berkata, ‘Wahai Rasulullah saww, apakah Anda akan membiarkan saya tinggal diam di madinah bersama para wanita?’ Rasulullah saww menjawab, ‘Tidakkah engkau merasa senang bila kedudukanmu di sisiku tak ubahnya kedudukan Harun di sisi Musa, namun tak ada nabi setelahku?’”
“Kedua, pada peristiwa perang Khaibar. Saya mendengar Rasulullah saww bersabda, ‘Aku akan berikan panji ini kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan ia dicintai Allah dan Rasul-Nya.’ Kemudian beliau saww memerintahkan memanggil Ali bin Abi Thalib dan menyerahkan panji itu kepada Ali yang kemudian berhasil menaklukkan Khaibar.”
“Ketiga, menurut ayat mubâhalah, Ali dianggap sebagai jiwa Rasulullah saww. Dalam peristiwa ketika para utusan Nasrani berdialog dengan Rasulullah saww namun mereka tetap enggan memeluk Islam, maka sesuai perintah Allah, Rasulullah saww mengajak mereka melakukan mubâhalah (beliau saww menyabdakan kepada mereka untuk membentuk dua kelompok yang saling berhadap-hadapan dan saling mengutuk, sehingga Allah menurunkan azab-Nya kepada kelompok yang sesat dan menyimpang) sebagaimana diabadikan dalam al-Quran; ‘Marilah kita memangil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubâhalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.’ (Âli Imrân:16) Lalu Rasulullah saww membawa Ali, Fathimah, al-Hasan, dan al-Husain ke padang pasir untuk bersama-sama melakukan mubâhalah, seraya menegaskan, ‘Mereka adalah Ahlul Bait (keluarga)ku.’
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Rasulullah saww menganggap Ali bin Abi Thalib sebagai diri dan nyawa beliau sendiri.”


Terputus dari Makhluk, Terikat kepada Allah


Di antara kepribadian Imam Khomeini adalah kuatnya keterikatan dan ketergantungah kepada Allah. Beliau senantiasa menganjurkan orang lain untuk bersikap semacam itu. Imam Khomeini berpesan kepada anaknya, Sayyid Ahmad Khomeini, “Anakku! Berusahalah sekuat tenaga, agar hatimu terikat kuat kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa tak ada daya upaya melainkan seizin-Nya.”
Semasa beliau mengajar di Hauzah Ilmiyah Qum, saat membuka pelajaran, beliau selalu membaca doa Sya’baniyah; doa yang biasa dibaca Imam Ali bin Abi Thalib dan para imam lainnya. Petikan doa itu sebagai berikut:
“Ya Allah, karuniakanlah kepada kami keterputusan sempurna (total) dari segala sesuatu selain-Mu. Terangilah penglihatan hati kami dengan cahaya penglihatan-Mu, sehingga pengihatan hati kami dapat merobek tirai cahaya dan sampai ke sumber keagungan. Ya Ilahi, dengan hak Muhammad dan keluarga Muhammad, karuniakanlah kami keterputusan sempurna dari segala sesuatu selain-Mu.”
Sekarang marilah kita perhatikan bersama kisah berikut.
Di tahun terakhir usianya, Imam Khomeini amat mencintai cucunya, Sayyid Ali, putera Sayyid Ahmad. Dalam riwayat disebutkan bahwa pabila seseorang berada di ambang kematian dan Malaikat Izrail berada di sampingnya untuk mencabut nyawanya, sementara orang itu memiliki kecintaan kuat terhadap sesuatu, maka pada saat-saat genting tersebut, setan akan hadir di sisinya dan berusaha keras lewat perantaran sesuatu yang dicintainya itu untuk menyelewengkannya ke dalam kekafiran dan kesesatan.
Demi menjaga agar jangan sampai dipengaruhi setan, pada hari-hari terakhir usianya, Imam Khomeini memisahkan diri dari Sayyid Ali. Beliau mengeluarkannya dari kamar beliau, sehingga hati dan perhatiannya hanya tertuju semata-mata kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Inilah makna nyata dari keterputusan sempurna dari selain Allah; terputus dari makhluk dan hanya terikat kepada Allah.


Mukjizat Rasulullah


Seorang Arab badui (tinggal di padang pasir) berhasil menangkap seekor rusa dan mengika lehernya, lalu membawanya ke Madinah.
Rasulullah saww yang sedang berada di luar kota Madinah mendengar suara panggilan, “Wahai Rasulullah.” Kemudian Rasulullah saww menoleh ke kanan dan ke kiri. Namun beliau saww tidak melihat seorang pun. Untuk kedua kalinya, beliau saww mendengar panggilan itu. Beliau pun menoleh. Namun beliau tak melihat orang yang memanggilnya. Akhirnya beliau melihat seorang Arab badui sedang membawa seekor rusa. Beliau saww tahu bahwa panggilan itu berasal dari rusa tersebut.
Rasulullah mendekati rusa itu dan bertanya, “Apa keperluanmu?”
Rusa itu menjawab, “Saya punya dua anak yang masih menyusui dan berada di balik gunung itu. Saya berharap sudilah kiranya Anda menjadi jaminan bagi kebebasanku, agar aku dapat pergi menyusui mereka dan kembali lagi.” Rasulullah saww bertanya, “Apakah engkau pasti akan kembali?” Rusa menjawab, “Jika saya tidak kembali, semoga Allah menyiksaku dengan siksaan orang-orang yang memakan riba.”
Lalu Rasulullah saww membicarakan soal pembebasan rusa dengan Arab badui itu. Ia menerimanya. Rasulullah saww melepaskan rusa itu yang langsung berlari ke balik gunung demi menemui anak-anaknya. Selang beberapa jam, rusa itu kembali.
Kejadian ini membuat Arab badui tersadar. Ia berkata kepada Rasulullah saww, “Saya akan memenuhi apapun yang Anda inginkan.” Rasulullah saww bersabda, “Lepaskanlah rusa ini.”
Arab badui itu melepaskan sang rusa dan berlari ke padang pasir seraya berkata, “Saya bersaksi bahwa tiada sesembahan selain Tuhan yang Mahaesa, dan engkau (Hai Muhammad) adalah utusan Allah.”


Kedermawanan dan Kemuliaan Imam Husain


Seorang muslim Madinah berutang kapada seseorang. Namun ia tak mampu melunasinya. Di sisi lain, si pemberi utang memaksanya melunasi utangnya.
Orang malang ini menemui Imam Husain guna menyelesaikan kesulitan yang dihadapinya. Setibanya di hadapan Imam Husain, ia ingin langsung mengungkapkan hajatnya. Namun Imam Husain telah mengetahui maksud kedatangannya. (Demi menjaga harga dirinya) beliau berkata kepada lelaki itu, “Jagalah harga dirimu dari meminta secara berhadap-hadapan. Tulislah permintaanmu di atas secarik kertas. Dengan seizin Allah, saya akan memberimu (sejumlah uang) yang akan menggembirakan hatimu.”
Dalam suratnya, ia menulis, “Wahai Abu Abdillah, saya berutang kepada fulan sebesar 500 dinar, dan ia memaksa saya melunasi piutangnya. Tolong Anda berbicara dengannya agar memberi saya kesempatan sampai saya memiliki sejumlah uang.”
Setelah membaca suratnya, Imam Husain masuk ke dalam rumah. Lalu beliau ke luar dengan membawa sebuah kantong berisikan uang sebanyak 1.000 dinar. Beliau menyerahkan kantong uang itu kepada lelaki tersebut seraya berkata, “Dengan 500 dinar ini, engkau melunasi hutangmu, dan dengan 500 dinar lainnya, engkau gunakan untuk keperluan hidupmu. Janganlah engkau mengungkapkan keperluanmu selain kepada tiga orang;
1. Orang yang beragama dan dijaga agamanya.
2. Orang dermawan dan dikarenakan kedermawanannya itulah ia merasa malu.
3. Orang yang berasal dari keluarga terhormat, di mana ia menyadari bahwa engkau tak ingin dipermalukan oleh kebutuhnmu, dan ia pun akan menjaga kehormatanmu serta memenuhi keperluanmu.”


Tulisan di Sayap Belalang


Diriwayatkan, Imam Husain bercerita bahwa beliau dan dua saudaranya, al-Husain dan Muhammad Hanafiah beserta tiga anak pamannya Abdullah Qutsam, dan Fadl (anak-anak dari Abbas [paman Rasul saww]), pada suatu hari duduk mengelilingi hidangan dan menikmati makanan. Tiba-tiba seekor belalang masuk ke rumah dan jatuh ke dalam hidangan. Abdullah mengambil belalang itu dan bertanya kepada al-Hasan, “Wahai Junjunganku! Apa yang tertulis di sayap belalang ini?”
Imam hasan menjawab bahwa dirinya telah menanyakan hal itu kepada ayahnya yang memberi jawaban, “Aku telah menanyakan pertanyaan itu kepada kakekmu, Rasulullah saww yang kemudian menyabdakan, ‘Di sayap belalang tertulis; tak ada sesembahan melainkan Tuhan yang Mahaesa, Yang memelihara dan memberi rezeki belalang; Aku adalah Allah; kapanpun Aku menghendaki, Aku akan mengutusmu (belalang) sebagai rezeki manusia, dan kapanpun Aku menghendaki, Aku akan mengutusmu sebagai bencana bagi mereka.’”
Abdullah bin Abbas bangkit dan mencium kepala Imam Hasan kemudian berkata, “Demi Allah, ini berasal dari ilmu yang tersembunyi.”


Tujuan Pemerintahan


Ibnu Abbas berkata, “Saya tiba di kawasa Dzi Qar (dekat kota Bashrah) untuk menemui Imam Ali. Sesampainya di hadapan beliau, saya melihat beliau tengah menjahit sandalnya.
Beliau lalu bertanya kepadasaya, ‘Adakah harga bagi sepatu ini?’ Saya menjawab, ‘Sama sekali tidak ada harganya?’ Beliau berkata, ‘Demi Allah, sesungguhnya aku lebih menyukainya ketimbang kepemimpinan atas kalian kecuali jika aku mampu menghidupkan kebenaran dan menyingkirkan kebatilan.’”


Banyak Omong


Seseorang menemui Rasulullah saww dan banyak berbicara. Lalu Rasulullah saww bertanya kepadanya, “Lisanmu itu memiliki berapa pintu?” Ia menjawab, “Dua pintu; bibir dan gigi-gigi.” Rasulullah saww bersabda, “Apakah pintu-pintu itu tidak mampu menahan sebagian omonganmu?”


Kebaikan Dunia dan Akhirat


Seseorang menulis surat kepada Imam Husain. Dalam surat itu, ia menulis, “Wahai Junjunganku, apakah kebaikan dunia dan akhirat itu? Terangkanlah kepadaku.”
Imam Husain menjawab surat itu, “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Amma ba’du. Orang yang menginginkan keridhaan Allah, sekalipun menyebabkan ketidakridhaan manusia, maka Allah akan memperbaiki hubungannya dengan manusia, dan orang yang menginginkan keridhaan manusia namun menyebabkan murka Allah, maka Allah akan menyerahkannya kepada manusia.”


Pernyataan Nabi Isa kepada Para Pendosa


Sekelompok orang yang melakukan perbuatan dosa berkumpul di suatu tempat. Untuk menghapus dosa-dosanya itu, mereka menangis. Nabi Isa as lewat di dekat mereka dan bertanya, “Mengapa mereka menangis?” Dijawab, “Mereka menangis dikarenakan dosa-dosa yang telah mereka perbuat.” Nabi Isa as berkata, “Hendaklah mereka meninggalkan dosa-dosa itu, dan mereka pun akan diampuni.”


Pembantaian di Masjid Guharsyad


Di antara keburukan pemerintahan Syah Reza Khan Pahlevi (ayah raja [Syah] yang digulingkan Imam Khomeini―penerj.)adalah menerapkan kebijakan “menyingkapkan hijab”. Sekaitan dengannya, orang-orang Syah dengan keras dan paksa melepas dan mencabut kerudung serta hijab yang dikenakan para wanita. Lebih lagi, Syah mengharuskan mereka menanggalkan hijabnya tatkala keluar rumah.
Ulama dan masyarakat di seluruh pelosok negeri bangkit menentang perintah itu. Di antaranya adalah sekelompok penentang yang berkumpul di Masjid Guharsyad yang terletak di dekat makam suci Imam Ali al-Ridha. Mereka saat itu sedang mendengar ceramah seorang ruhaniawan pejuang bernama Buhlul. Dalam ceramahnya, ia dengan berapi-api mengutuk dan menentang aturan kerajaan itu.
Panglima tentara kota Masyhad, Irej Mathbui’ (yang pada tahun 1979 dijatuhi hukuman mati) melaporkan peristiwa itu kepada Reza Khan, yang kemudian memerintahkan pasukannya memasuki makam suci Imam Ali al-Ridha dan mengintimidasi mereka. Sekiranya mereka tidak segera keluar, pasukan kerajaan diperintahkan untuk langsung mnembaki mereka. Saat itu juga Reza Khan mengutus Panglima Alborz ke Masyhad. Berdasarkan perintah Mathbu’i dan Alborz, pasukan kerajaan memasuki halaman makam Imam Ali al-Ridha dan melepaskan tembakan ke arah orang-orang yang sedang mendengarkan ceramah.... Dalam peristiwa ini, 25 orang tewas dan 40 orang lainnya luka-luka.
Inilah kekejaman Reza Khan terhadap mereka yang berlindung di makam suci Imam Ali al-Ridha; mereka dibantai lantaran membela dan mempertahankan ajaran Islam.


Syiah Hakiki dalam Pandangan Sayyidah Fathimah al-Zahra


Seorang lelaki berkata kepada isterinya, “Pergilah menemui Sayyidah Fathimah dan tanyakanlah apakah beliau menerima diriku sebagai Syiah (pengikut setia)nya?” Sang isteri berangkat menemui Sayyidah Fathimah al-Zahra. Setelah bertemu, ia pun menyampaikan pesan suaminya. Sayyidah Fathimah menjawab, “Sampaikan kepada suamimu bahwa, jika ia mengamalkan apa yang telah kami perintahkan dan meninggalkan apa yang kami larang, maka ia adalah Syiah kami. Jika tidak, maka tidak (termasuk Syiah kami).”
Sang isteri pulang menemui suaminya dan menyampaikan jawaban Sayyidah Fathimah al-Zahra. Begitu mendengar jawaban itu, si suami merasa bersedih dan menjerit, “Celakalah aku! Siapakah yang tidak terkotori dosa. Kalau tidak segera menyucikan diri dari dosa, saya bukanlah seorang Syiah. Dan kalau saya bukan Syiah, maka saya akan kekal dalam neraka.
Celakalah aku!”
Melihat kondisi suaminya yang hanyut dalam kesedihan semacam itu, sang isteri segera kembali menemui Sayyidah Fathimah al-Zahra dan menceritakan peristiwa yang disaksikannya.
Sayyidah Fathimah al-Zahra berkata kepada wanita itu, “Katakanlah kepada suamimu, ‘Bukan sebagaimana yang engkau bayangkan, para Syiah kami adalah orang-orang baik dan penghuni surga. Namun jika ia berdosa, maka berbagai bencana dan musibah yang menimpa mereka, kesulitan yang mereka hadapi di padang Mahsyar, di hari kiamat, akan menghapus dosa-dosa itu. Tatkala mereka masih berada di atas api neraka, dosa-dosanya akan berguguran. Karenanya, mereka akan bersih dan suci dari berbagai dosa. Setelah itu, kami akan menyelamatkan mereka (dari api neraka) dan membawanya ke surga.”


Mimpi Imam Khomeini


Isteri Imam Khomeini mengisahkan bahwa sekitar satu bulan setengah sebelum Imam Khomeini dioperasi (yang setelah itu beliau wafat), Imam Khomeini berkata kepadanya, “Saya bermimpi indah dan akan saya ceritakan kepadamu. Namun saya tidak rela jika selama saya masih hidup, kamu menceritakan mimpi ini kepada orang lain. Dalam mimpi itu, saya meninggal dunia dan Imam Ali datang serta memandikan, mengafani, dan menyalati jenazahku. Lalu beliau meletakkan jasadku di liang kubur, seraya bertanya, ‘Apakah sekarang kamu merasa nyaman?’ Saya menjawab, ‘Saya telah merasa nyaman, namun di sebelah kanan saya ada segenggam tanah liat yang membuat saya tidak nyaman.’ Kemudian Imam Ali mengambil gumpalan tanah liat itu seraya mengusapkan tangannya ke bagian tubuh saya yang sakit. Saat itu pula, rasa sakit saya lenyap dan saya merasa nyaman.”


Imam Khomeini dan Orang-orang Berkedok Islam


Imam Khomeini semasa diasingkan di Najaf al-Asyraf―kurang lebih, selama 15 tahun beliau hidup di pengasingan―menghadapi berbagai rintangan dan siksaan dari penguasa zalim dan orang-orang yang tidak punya komitmen terhadap Islam (kaum Islam liberal) dan para pembangkang seperti orang-orang Khawarij yang hidup di masa Imam Ali; mengenakan pakaian agama, tapi memusuhi dan menghalangi perkembangan agama.
Umum diketahui bahwa Imam Khomeini merupakan pencetus gagasan pemerintahan Islam. Dalam berbagai pelajaran yang beliau sampaikan, beliau senantiasa membahas masalah wilâyah al-faqîh dan pemerintahan Islam. Pembahasan tersebut bahkan beliau tuangkan ke dalam sebuah buku bertajuk “Hukûmat-e Islâmî wa Welâyat-e Faqih” (Pemerintahan Islam dan Wilâyah al-Faqih).
Sekelompok orang yang mengesankan diri sebagai ruhaniawan dan tokoh agama, mendatangi rumah Imam Khomeini. Mereka memohon dengan paksa agar Imam Khomeini memberi mereka buku yang beliau tulis itu, untuk dicetak dan disebarkan di Bagdad, Bashrah, dan kota-kota lainnya. Lalu mereka membawa buku itu.
Selang beberapa lama, diketahui bahwa buku tersebut tidak dijumpai di Bashrah, Baghdad, maupun di kota-kota lainnya. Para penipu itu membawa buku tersebut dan membuangnya ke sebuah sumur di kota Najaf atau di sungai Eufrat, demi menghalangi usaha dan perjuangan Imam Khomeini
Anda dapat saksikan, betapa buruknya kelakuan dan perbuatan orang-orang bodoh itu. Darinya, Anda dapat mengetahui dengan jelas bagaimana tantangan dan perlawanan yang dihadapi Imam Khomeini semasa 15 tahun pengasingannya. Namun begitu, beliau tetap teguh dan tegar sampai akhirnya meraih kemenangan.
Ikhlas Beramal
Pada suatu hari, sekelompok sahabat Ayatullah Burujurdi mengelilingi beliau. Mereka saling berbincang-bincang bersama. Salah seorang sahabat beliau (Ayatullah Sayyid Musthafa Khunshari) berkata, “Saya juga berada di antara mereka. Namun saya tidak berkata apapun. Lalu Ayatullah Burujurdi menghadap ke arah saya dan berkata, ‘Silahkan Anda menyampaikan sesuatu.’ Saya berkata, ‘Saya tidak memiliki bahan untuk dibicarakan, selain satu hadis dari kakek saya. Jika diperkenankan, saya akan menyampaikannya.’ Ayatullah Burujurdi berkata, “Ya, sampaikanlah.”
“Saya mengatakan bahwa kakek saya, Rasulullah saww menukil firman Allah: Ikhlaslah dalam beramal, sesugguhnya pemeriksa (amal perbuatan) memiliki penglihatan tajam.”
“Begitu saya menyampaikan hadis itu, Ayatullah Burujurdi langsung meneteskan air mata. Lalu beliau berkata, ‘Benar, jika amal perbuatan kita bukan untuk Allah, apa yang akan terjadi? Benar, pemeriksa amat jeli dan memiliki penglihatan yang tajam.’”
“Saya tidak lupa, bahwa setelah kejadian itu, setiap kali beliau memandang saya, beliau mengucapkan, ‘Ikhlaslah dalam beramal, sesungguhnya pemeriksa (amal perbuatan) memiliki penglihatan tajam, memiliki penglihatan tajam.’ Setelah mengucapkan itu, keadaan beliau pun berubah.’”


Menjaga Sopan Santun dalam Majelis Duka Cita


Salah seorang saat Ayatullah Burujurdi mengisahkan, “Pada suatu hari, di rumah Ayatullah Burujurdi, diadakan majelis duka cita demi memperingati wafatnya Sayyidah Fathimah al-Zahra. Hujjatul Islam Ahmad Thabathaba’i (anak beliau) duduk di sebelah saya. Setelah majelis usai, beliau menegur saya seraya berkata, ‘Mengapa Anda tidak membimbing Ahmad (karena saat itu anak beliau, Hujjatul Islam Ahmad Thabathaba’i tesenyum)? Apakah dalam mejelis duka cita Sayyidah Fathimah al-Zahra tidak diperlukan menjaga sopan santun?’”


Nasihat Seorang Bijak


Seorang cerdik dan bijak menemui raja pada masa itu. Raja berkata, “Berilah aku nasihat.”
Orang bijak itu mengatakan, “Memberi nasihat adalah mudah, namun mengamalkannya amat sulit. Sekarang dengarkanlah nasihat saya:
Kepala yang di dalamnya tidak terdapat akal
Seperti mata air yang tidak ada air
Setiap manusia tak punya kejantanan
Ibarat kebun yang tidak memiliki bunga
Setiap alim yang tidak bertakwa
Ibarat kuda yang tidak bertali kendali
Pemimpin yang tidak menjadikan rasa takut kepada Allah sebagai penuntunnya, dan tidak menjadikan sabar dan tabah sebagai sahabatnya, dan tidak memerintahkan orang-orang dekatnya bersikap adil dan jujur, layak mendapat murka Allah.”


Cahaya Iman di Hati Anak


Sahl Syusytari merupakan seorang arif besar. Beliau wafat di usia 80 tahun (pada tahun 283 Hijriah).
Beliau pernah bercerita, “Pada suatu waktu ketika masih berusia tiga tahun, saya melihat paman saya, Muhammad bin Siwar, bangun dari tempat tidur dan sibuk menunaikan shalat malam. Suatu hari ia berkata kepada saya, ‘Anakku apakah engkau tidak berzikir kapada allah yang menciptakanmu?’ Saya menjawab, ‘Bagaimana saya berzikir kepada-Nya?’ Ia berkata, ‘Sewaktu malam tiba, dan engkau sudah berada di atas tempat tidur dan bersiap-siap untuk tidur, ucapkanlah kalimat ini dari lubuk hatimu; Allah ada bersamaku, melihatku, dan aku berada di rumah-Nya.’”
“Beberapa malam saya mengucapkan kata-kata itu dalam lubuk hati. Lalu ia mengatakan kepada saya, ‘Ucapkanlah kalimat itu setiap malam sebanyak tujuh kali.’ Saya pun melakukannya. Rasa manis zikir itu meresap ke lubuk hati saya. Setelah setahun, ia berkata kepada saya, ‘Selama hayat masih dikandung badan, ucapkanlah selalu dalam lubuk hatimu, kalimat yang kuajarkan kepadamu. Karena kalimat itu akan menyelamatkanmu dalam dua kehidupan.’”
“Dengan begitu, cahaya iman dan tauhid telah menerangi hati saya sejak saya masih kanak-kanak.”
Menjaga Kehormatan
Almarhum Ayatullah Burujurdi pada mulanya mengajar di samping kubur Syaikh Abdul Karim al-Hâ’iri (terletak di sekitar makam Sayyidah Fathimah al-Ma’shumah). Pada suatu hari, tatkala beliau sedang mengajar, beliau melihat seorang pelajar bersandar di kubur almarhum Syaikh Abdul Karim al-Hâ’iri. Lalu beliau menegurnya dengan nada tinggi, “Janganlah Anda bersandar pada kubur itu. Pribadi agung itu telah berjuang keras untuk Islam. Hendaklah Anda menghormatinya.”
Ayatullah Burujurdi amat menghormati buku-buku agama. Beliau berkata, “Sepanjang hidup, saya tak pernah tidur di suatu ruangan yang terdapat buku hadis Nabi saww, sekalipun sebuah buku yang hanya berisikan satu hadis Nabi saww saja.”


Pahala Besar Pernikahan


Rasulullah saww sedang duduk bersama para sahabatnya. Tiba-tiba datang seorang wanita bernama Asma puteri Yazid al-Anshari yang berkata, “Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, wahai Rasulullah! Saya mewakili para wanita dan hendak mengajukan satu pertanyaan kepada Anda. Allah telah mengutus Anda sebagai nabi kepada seluruh umat manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Kami beriman kepadamu dan kepada Tuhanmu. Tapi ajaranmu memenjarakan kami, kaum wanita, di dalam rumah. Kami tidak diperkenankan ikut campur dalam masalah sosial dan politik. Kami hanya dijadikan alat pelampiasan nafsu birahi kaum lelaki dan tukang asuh anak-anak mereka. Namun kalian, kaum lelaki, lebih mulia ketimbang kami karena kalian berkumpul bersama, bersama-sama menjenguk orang sakit, hadir dalam pengurusan jenazah, melaksanakan ibadah haji, dan lebih dari itu berjuang di jalan Allah. Sebaliknya, kami tidak dibenarkan ikut serta dalam jihad tersebut. Dan tatkala kalian menunaikan ibadah haji dan berjuang di jalan Allah, kami hanya duduk di dalam rumah, menjaga harta benda kalian, menenun kain untuk pakaian kalian, menjaga dan merawat anak-anak kalian. Apakah dalam hal ini kami akan mendapat pahala sebagaimana pahala yang kalian dapatkan?”
Rasulullah saww memandangi para sahabatnya dan bersabda, “Apakah kalian pernah mendengar pertanyaan yang lebih baik dari yang diajukan wanita ini?” Lalu beliau memandang Asma dan bersabda, “Wahai wanita, dengarkan dan sampaikanlah kepada para wanita yang mengutusmu kemari bahwa sesungguhnya menjadi isteri yang baik bagi suami, dan berusaha mencari keridhaannya, patuh pada (perintah dan larangan)nya sebanding dengan semua itu.”
Kemudian Asma kembali menemui para wanita seraya berzikir menyebut nama Allah. Sewaktu sampai di hadapan para wanita, ia menyampaikan sabda Rasulullah saww. Semunya merasa amat bergembira. Sejak itu, mereka menjadikan Asma sebagai wakil mereka dalam menghadap Rasulullah saww.


Awal Mula Munculnya Bid’ah


Para pengikut Khalifah kedua (Umar bin Khathab) dalam azannya tidak mengucapkan kalimat, “Hayya ‘alâ khairi ‘amal (marilah kita menuju sebaik-baik amal perbuatan).” Sebagai gantinya, mereka mengucapkan, “Al-shalâtu khairun min al-naum (shalat itu lebih baik dari tidur).”
Malik bin Anas, tokoh mazhab Maliki, menulis sejarah awal mula bidah ini sebagai berikut, “Pada waktu shalat subuh, muazin khalifah kedua datang menghadap Khalifah untuk memberitahu bahwa waktu shalat subuh telah tiba. Ia mendapati Khalifah sedang tidur lelap. Untuk membangunkannya, ia berteriak, ‘Shalat itu lebih baik dari tidur.’ Kemudian Khalifah Umar terjaga. Ia menyukai kalimat itu. Lalu ia memerintah agar kalimat itu dimasukkan dalam kalimat azan. Dan mereka diperintahkan mengucapkannya pada azan subuh.”
Padahal, berpuluh-puluh riwayat yang bersumber dari Ahlusunah menyatakan bahwa semasa Rasulullah saww, kalimat tersebut tak pernah dikumandangkan dalam azan!


Kepekaan terhadap Kemungkaran


Di antara kepribadian Ayatullah Burujurdi adalah memerangi berbagal khurafat dan kemungkaran. Marilah kita perhatikan dua kisah dibawah ini.
Pada suatu hari, tatkala memasuki makam suci Imam Ali al-Ridha, Ayatullah Burujurdi melihat seorang ruhaniawan bersujud memberi hormat kepada Imam Ali al-Ridha. Menyaksikan itu, beliau menjadi amat marah dan memukulkan tongkat beliau ke punggung ruhaniawan itu, seraya membentak, “Apa yang sedang Anda perbuat? Dengan berbuat ini, Anda telah melakukan dua dosa; pertama, bersujud kepada selain Allah, dan kedua, karena Anda seorang ruhaniawan, maka orang-orang akan meniru perbuatan Anda.”
Seorang ulama bercerita bihwa pada suatu hari Ayatullah Burujurdi keluar rumah. Tiba-tiba seorang lelaki tua menghampiri beliau dan langsung menunduk dan mencium kaki beliau (demi mengungkapkan rasa hormat).
Ayatullah Burujurdi mengharamkan perbuatan itu dan menganggapnya sebagai perbuatan syirik. Beliau gusar dan memukulkan tongkatnya ke pinggang lelaki itu seraya berkata, “Ini perbuatan syirik, haram....” Setelah beliau berjalan beberapa langkah, beliau memanggil lelaki tua itu. Kemudian dengan lemah lembut, beliau berkata, “Perbuatan yang telah Anda lakukan itu syirik dan menurut syariat hukumnya haram.” Kemudian beliau memberi sejumlah uang kepada lelaki itu. Saya ingat betul bahwa uang yang beliau berikan kepada lelaki itu jumlahnya cukup banyak.


Kerendahan Ali bin Abi Thalib di Hadapan Allah


Imam Ali banyak memberi sedakah dan bantuan kepada orang-orang miskin. Seseorang yang menemui beliau berkata, “Betapa banyak Anda bersedekah! Tidakkah Anda menyisakannya untuk diri Anda sendiri?”
Imam Ali menjawab, “Benar, demi Allah, kalau saya tahu bahwa Allah telah menerima suatu perbuatan wajib yang telah saya kerjakan, maka saya tak akan berlebihan dalam bersedekah. Tapi saya tidak tahu apakan perbuatan ini diterima Allah atau tidak (karena saya tak mengetahui, maka saya akan memberi sedekah sebanyak mungkin sehingga salah satu di antaranya diterima Allah).”
Dengan cara itu dan penuh kerendahan hati, Imam Ali menyatakan bahwa dirinya tidak menghiraukan masalah diterimanya amal perbuatannya. Beliau lebih memperhatikan sisi kualitas amal perbuatan, bukan kuantitasnya. Dari sini, kita dapat menarik pelajaran dilakukan bahwa amal perbuatan kita dilakukan secara ikhlas. Inilah prasyarat utama bagi diterimnya amal perbuatan oleh Allah Swt.


Pertemuan Imam Husain dan Umar bin Sa’ad di Karbala


Imam Husain (demi menyempurnakan hujah) mengirim pesan kepada Umar bin Sa’ad bahwa beliau ingin bertemu dan berbicara dengannya. Umar bin Sa’ad menerima undangan Imam Husain dirancanglah sebuah pertemuan antara kedua pasukan; Umar bin Sa’ad dengan dua puluh pasukannya dan Imam Husain dengan dua puluh sahabatnya.
Dalam pertemuan itu Imam Husain berkata kepada para sahabatnya, “Kalian keluar dari majelis ini kecuali Abbas dan Ali Akbar.”
Umar bin Sa’ad juga berkata kepada pasukannya, “Kalian keluar dari majelis ini, kecuali anakku Hafsh dan budakku.” Kemudian terjadilah dialog.
Imam Husain, “Celakalah engkau! Hai Umar bin Sa’ad, apakah engkau tidak merasa takut pada saat kembali kepada Allah, karena memerangiku? Tidakkah engkau tahu bahwa aku adalah putera Fathimah dari Ali.... Hai Ibnu Sa’ad! Tinggalkan mereka (orang-orang Yazid) dan bergabunglah bersama kami. Itu amat baik bagimu, dan engkau akan dekat dengan Allah.”
Umar bin Sa’ad, “Saya khawatir mereka akan menghancurkan rumahku.”
Imam Husain, “Kalau mereka menghancurkannya, aku akan membangunnya kembali.”
Umar bin Sa’ad, “Saya khawatir mereka akan merampas kebunku.”
Imam Husain, “Kalau mereka merampasnya, aku akan memberimu tanah yang ada di Hijaz, yang terdapat mata air yang besar; mata air yang ingin dibeli Muawiyah dengan ribuan dinar, namun tidak dijual kepadanya.”
Umar bin Sa’ad, “Saya punya anak isteri. Saya khawatir mereka akan diganggu dan disiksa.”
Imam Husain terdiam. Beliau tidak memberi jawaban. Lalu beliau bangkit dan menjauh darinya, seraya berkata, “Apa yang telah engkau perbuat? Semoga Allah membunuhmu di tempat tidurmu. Semoga di hari kiamat, Allah tidak mengampunimu. Dan semoga engkau tidak memakan gandum dari (kota) Rayy, kecuali hanya sedikit.”
Umar bin Sa’ad menjawab dengan nada mengejek, “Cukup sya’irnya saja (maksudnya, jika tidak memakan gandumnya, saya cukup dengan memakan sya’ir [sejenis gandum kualitas rendahan]-nya).”
Betapa keji Umar bin Sa’ad. Sembga Allah menimpakan siksaan yang setimpal. Jawaban terakhirnya kepada Imam Husain sungguh tidak masuk akal. Dirinya begitu takut dan khawatir terhadap nasib keluarganya (yang akan disiksa dan disakiti). Namun, hatinya tidak merasa sedih pabila keluarga Rasulullah dan puteri-puteri Fathimah disiksa dan disakiti.
Hamid bin Muslim berkata bahwa dirinya adalah teman Umar bin Sa’ad. Setelah peristiwa Karbala, ia bertemu dengan Umar dan menanyakan keadaannya. Umar menjawab, “Jangan engkau bertanya keadaanku. Tak seorang pun yang bepergian lalu kembali ke rumah dengan memikul dosa sebesar yang saya pikul; saya telah memutus hubungan keluarga dan melakukan dosa yang sangat besar (antara Umar bin Sa’ad dengan Imam Husain masih terdapat hubungan kekerabatan mengingat ayah Umar bin Sa’ad (Sa’ad bin Waqqash) adalah cucu Abdu Manaf (kakek ketiga Rasulullah saww).”


Abu Jahal Dibunuh Dua Anak-anak


Pada tahun kedua Hijriah, terjadilah peperangan antara muslimin dan musyrikin yang disebut perang Badar. Abu Jahal merupakan tokoh musyirikin yang ikut serta dalam peperangan itu. Dengan semangat berkobar, ia mendorong musyrikin bangkit melawan Rasulullah saww. Saat itu, ikut pula dua orang anak yang masih berusia sekitar 14 tahun. Keduanya sama-sama bernama Ma’adz (Ma’adz bin Umar dan Ma’adz bin Afra’) dan berhasil membunuh Abu Jahal. Kisahnya di bawah ini.
Abdurahman bin ‘Auf menceritakan bahwa dalam peperangan itu, ia menoleh ke kanan dan ke kiri barisan pasukan muslimin. Tiba-tiba ia melihat dirinya sudah diapit dua anak muda belia yang berasal dari keluarganya juga (kaum Anshar). Saat itu―demi kedua anak itu―ia berharap para musuh tidak menyerang ke arahnya .
Salah seorang anak itu bertanya kepadanya, “Hai Paman! Apakah Anda mengetahui, mana yang bernama Abu Jahal? Tunjukkanlah orangnya.”
Abdurrahman menjawab, “Saya tahu, wahai anak pamanku. Apa urusanmu dengan Abu Jahal?”
Ia menjawab, “Saya mendapat kabar bahwa ia telah memaki Rasulullah saww. Demi Allah yang nyawaku ada di tangan-Nya, kalau saya mengetahui Abu Jahal, saya tak akan meninggalkannya sampai salah satu dari kami mati.”
Anak yang satunya lagi juga melontarkan pertanyaan semacam itu. Abdurrahman merasa kagum atas keberanian kedua anak itu. Tak lama kemudian, ia melihat Abu Jahal berada dibarisan musuh, sedang berteriak-teriak memompa semangat juang pasukannya. Lalu Abdurrahman menunjukinya dengan mengatakan, “Itulah Abu Jahal.” Kontan mereka berdua berlari secepat kilat ke arah Abu Jahal dengan menghunus pedangnya. Keduanya menyerang Abu Jahal. Akhirnya Abu Jahal tewas di tangan keduanya. Setelah itu, mereka berdua menghadap Rasulullah saww dan menceritakan peristiwa terbunuhnya Abu Jahal.
Rasulullah saww bertanya, “Siapakah di antara kalian berdua yang telah membunuhnya?” Masing-masing menjawab, “Saya yang membunuhnya.” Rasulullah saww bertanya, “Apakah kalian telah membersihkan pedang kalian?” Keduanya menjawab, “Belum.” Lalu Rasulullah saww melihat kedua pedang nillik mereka. Be1iau melihat keduanya diwarnai darah. Kemudian beliau bersabda, “Kalian berdua telah membunuhnya.”


Bersyukur kepada Allah


Pada suatu hari, Syaikh Abu Said (Seorang ‘urafâ’ yang wafat pada 440 Hijriah) melintasi jalan bersama murid-muridnya. Seorang wanita tiba-tiba melemparkan sejumlah abu dari atas rumah. Sebagian abu itu mengenai pakaian Syaikh Abu Said. Namun Syaikh tidak gusar karenanya. Lain hal dengan para muridnya yang merasa jengkel dan hendak memaki wanita itu.
Syaikh Abu Said berkata kepada para muridnya itu, “Tenang! Seorang yang layak dilempar api, namun hanya dilempar sedikit abu saja, sungguh layak bersyukur.”
Mereka terkesima oleh nasihat itu dan mengurungkan niat untuk membalas si wanita itu dan melanjutkan perjalanannya.

Menyimpa Rahasia
Pada suatu hari, seseorang datang menemui Syaikh Abu Said dan berkata, “Wahai Syaikh! Saya datang kepadamu, agar Anda mau mengajariku rahasia kebenaran.” Syaikh berkata, “Sekarang pulanglah. Besok datang lagi kemari. Saya akan memberimu sebuah pelajaran.”
Lelaki itupun pergi. Keesokan harinya, ia kembali menemui Syaikh. Sebelumnya, Syaikh memasukkan seekor tikus ke sebuah kotak tempat permata dan menutupnya rapat-rapat. Ketika lelaki itu datang, Syaikh memberi kotak itu kepadanya seraya berkata, “Bawalah kotak ini. Usahakan jangan sampai tutupunya terbuka.”
Lelaki itu membawa kotak tersebut. Dikarenakan rasa ingin tahu yang begitu menggelitik hatinya tentang gerangan apa yang ada dalam kotak itu, akhirnya ia membuka tutup kotak itu. Tiba-tiba ia melihat seekor tikus keluar dari kotak tersebut dan lari. Ia kembali menemui Syaikh dan berkata, “Saya menginginkan dari Anda soal rahasia Allah. Namun mengapa Anda memberi saya seekor tikus?”
Syaikh menjawab, “Hai Darwisy! Aku memberimu seekor tikus dalam kotak, dan kamu tidak mampu menyimpannya. Lalu bagaimana bila aku mengungkapkan kepadamu berbagai rahasia Allah? Mungkinkah kamu mampu menyimpannya?”
Mereka yang mengetahui rahasia al-Haq
Mereka mengunci dan menjahit mulutnya


Keikhlasan dan Kesadaran Marja’ Taqlîd


Seseorang mencetak kalender dan menaruh gambar Ayatullah Burujurdi di lembaran kalender tersebut. Lalu orang itu―untuk urusan tertentu―menemui Ayatullah Burujurdi (dengan membawa kalender tersebut dan berharap Ayatullah Burujurdi mengeluarkan fatwa yang sesuai dengan kepentingan pribadinya).
Saat berjumpa dengan Ayatullah Burujurdi, ia membawa kalender itu sedemikian rupa sehingga Ayatullah Burujurdi dapat melihat gambar beliau yang terpampang di situ. Ayatullah Burujurdi berkata kepadanya, “Apakah Anda mengira bahwa dengan cara itu, Anda dapat mempermainkan saya? Tidak, sama sekali tidak!”
Dengan demikian, pribadi agung dan mulia itu, telah mengajarkan kita tentang keikhlasan, dan menjauhkan diri dari sikap bangga diri (‘ujub) dan suka pamer (riyâ’). Beliau juga telah mengajarkan kita untuk senantisa sadar dan tidak sampai termakan tipuan orang-orang yang hendak memanfaatkan kita.


Tahun yang Baik Diketahui dari Musim Seminya


Hatim al-Tha’i adalah orang yang dikenal amat dermawan. Saudaranya juga menginginkan dirinya dikenal sebagai dermawan seperti Hatim. Ibunya berkata, “Janganlah engkau melakukan usaha yang sia-sia. Engkau sama sekali tak akan mampu mencapai derajat Hatim.” Ia bertanya, “Mengapa?” Ibunya menjawab, “Sewaktu Hatim masih kanak-kanak dan menyusui, setiap kali aku hendak menyusuinya, ia menolak, sampai aku harus mendatangkan anak-anak lain yang juga masih menyusui untuk menyusu di puting susuku yang lain. Namun, sewaktu engkau masih bayi, yang terjadi justru sebaliknya; setiap kali aku menyusuimu, engkau langsung menyusu, dan jika ada anak-anak lain yang masih menyusui berada di dekatku―lantaran khawatir kalau-kalau anak itu juga ikut menyusu―engkau akan menangis sekeras-kerasnya sampai anak itu pergi.”
Ya, tanda-tanda kemuliaan dan kehinaan di masa datang, adakalanya dapat diketahui sejak seseorang masih kanak-kanak. Benar, “Suatu tahun yang baik, dapat diketahui dari musim seminya (awal tahunnya).”


Beramal untuk Akhirat Bukan untuk Dunia


Tatkala hendak menyelamatkan diri dari kejahatan Firaun, Nabi Musa as berhijrah dari Mesir ke daerah Madain. Di luar Madain, beliau melihat para pengembala sedang mengambil air dari sebuah sumur untuk minum kambing yang mereka gembalakan. Beliau melihat dua orang wanita berdiri menunggu sampai sepi untuk mengambil air bagi kambing-kambingnya.
Nabi Musa as menghampiri mereka dan membantu mengambilkan air dari sumur. Mereka berdua adalah puteri Nabi Syuaib as. Hari itu, kedua puteri tersebut lebih cepat pulang ke rumah. Keduanya lalu menceritakan bantuan seorang pemuda asing dalam mengambil air di sumur.
Nabi Syuaib as mengutus seorang puterinya untuk menemui pemuda asing itu dan mengundangnya ke rumah. Puteri tersebut pergi menemui Nabi Musa as dan berkata, “Ayahku mengundang Anda datang ke rumah kami, dan hendak memberi balasan atas jerih payah Anda.”
Nabi Musa as menerima undangan itu dan pergi ke rumah Nabi Syuaib as. Ketika masuk ke rumah itu, Nabi Musa as melihat Nabi Syuaib as sedang duduk di hadapan sebuah hidangan malam. Beliau mengajak Nabi Musa as makan bersama. Tatkala pandangannya tertuju pada pemuda asing itu, Nabi Syuaib as berkata, “Duduklah, silahkan santap makanan ini (sampai saat itu Nabi Syuaib as belum mengenal Nabi Musa as).”
Nabi Musa as menjawab, “Aku berlindung kepada Allah.”
Nabi Syuaib as bertanya, “Mengapa Anda mengucapkan kalimat itu? Apakah Anda tidak lapar?”
Nabi Musa as menjawab, “Benar, saya lapar, tapi saya khawatir makanan ini menjadi upah atas bantuan saya terhadap puteri-puteri Anda. Kami berasal dari keturunan yang sama sekali tidak akan menjual amal akhirat dengan dunia yang penuh emas sekalipun.”
Nabi Syuaib as berkata, “Wahai pemuda! Tidaklah demikian. Demi Allah, tujuan saya bukanlah balasan duniawi. Namun kebiasaan dan tradisi ayah-ayah kami adalah memuliakan dan menghormati tamu, serta memberi makanan kepada orang lain.”
Mendengar itu Nabi Musa as langsung duduk di depan hidangan dan menikmati makanan yang tersaji.



Tauhid Murni


Suatu hari, Rasulullah saw bersabda kepada sekumpulan orang, “Barangsiapa berjumpa dengan Allah, dengan ikhlas mengakui keesaan-Nya, dan kesaksiannya atas keesaan Allah itu tidak dicampuri dengan yang lain, pasti akan masuk surga.”
Imam Ali berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah! Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu. Bagaimanakah mengucapkan kalimat ‘tiada tuhan selain Allah (lâ ilâha illallâh)’ secara murni? Dan bersaksi atas keesaan Allah tanpa dicampuri sesuatupun? Jelaskanlah kepada kami, agar kami mengetahuinya.”
Rasulullah saww bersabda, “Benar, jika hatinya terikat dengan dunia, manusia memperolehnya (dunia) dengan jalan yang tidak dibenarkan syariat. Pembicaraan mereka adalah pembicaraan orang-orang yang luhur, namun perbuatan dan perilaku mereka, seperti perilaku orang-orang zalim; dan bila seorang yang bersaksi atas keesaan Allah [dengan mengucapkan ‘lâ ilahâ illallâh’] sementara berbagai perkara tersebut (terikat dengan dunia, memperoleh dunia dengan cara melanggar syariat, berperilaku sebagaimana perilaku orang-orang zalim) tak ada pada dirinya, maka ia layak mendapatkan surga.”



Nilai Meyakini Maqâm Wilâyah (kepemimpinan) Ahlul Bait


Muyassir bin Abdul Aziz (seorang Syiah yang tulus dan murni) mengatakan bahwa dirinya menemui Imam Ja’far al-Shadiq seraya berkata, “Di sekitar rumah saya, ada seorang lelaki yang karena mendengar suaranya, saya terbangun di malam buta untuk menunaikan shalat malam; terkadang ia membaca al-Quran dan mengulang-ulang bacaan ayat-ayat al-Quran sambil menangis, dan adakalanya memanjatkan doa diringi rintihan. Saya ingin sekali mengetahui keadaannya. Orang-orang mengatakan bahwa ia sama sekali tidak melakukan dosa apapun (alhasil saya memiliki seorang tetangga yang amat bertakwa).”
Imam Ja’far al-Shadiq bertanya, “Apakah ia juga menerima apa yang engkau yakini (nenerima maqâm wilâyah [kepemimpinan] kami)?”
Muyassir menjawab, “Saya tidak menyelidikinya, Allah yang tahu.” Setelah pertemuan itu, waktu terus bergulir hingga tibalah musim haji di tahum berikutnya. Sebelum berangkat ke Mekah, ia menyelidiki keadaan tetangganya itu. Ternyata, tetangganya itu tidak meyakini kepemimpinan para imam suci Ahlul Bait. Lalu ia pergi menunaikan haji. Sesampainya di Mekah, ia menemui Imam Ja’far al- Shadiq. Setelah menanyakan keadaan beliau, ia menceritakan kembali keadaan tetangganya itu yang senantiasa membaca al-Quran dan berdoa sambil menangis dan merintih. Imam Ja’far al-Shadiq lagi-lagi bertanya, “Apakah ia meyakini apa yang engkau yakini?” Saya menjawab, “Tidak.” Imam Ja’far al-Shadiq berkata, “Wahai Muyassir! Tanah manakah yang paling dimuliakan?” Saya menjawab, “Allah dan Rasul-Nya serta keturunannya yang tahu.” Beliau berkata, “Tanah paling mulia adalah tanah yang terletak antara rukn dan maqâm (antara Hajar Aswad dan Maqam Ibrahim). Tanah itu merupakan taman dari taman surga. Begitupula tanah di antara kubur Rasulullah saww dan mimbar beliau saww; juga merupakan taman dari taman surga. Demi Allah, kalau seseorang berumur panjang dan beribadah selama seribu tahun di antara rukn dan maqâm dan di antara kubur dan mimbar Rasulullah saww, lalu dibantai secara zalim dan tanpa dosa di tempat tidurnya, dan dalam keadaan itu ia berjumpa dengan Allah, namun tidak meyakini kepemimpinan kami, maka layak bagi Allah untuk memasukkannya ke neraka Jahanam.”


Hukuman Mencari-cari Aib Mukminin


Abu Burdah menceritakan bahwa pada suatu hari, ia menunaikan shalat berjamaah bersama Rasulullah saww yang saat itu menjadi imamnya. Seusai shalat, beliau saww bergegas menuju pintu masjid. Lalu beliau saww meletakkan tangan sucinya ke daun pintu itu seraya bersabda, “Wahai orang-orang yang menyatakan Islam dengan lisannya, tetapi iman belum masuk ke hatinya, hindarkanlah diri kalian dari mencari-cari dan menyebut-nyebut aib mukminin. Sesunguhnya barangsiapa yang mencari-cari aib mukminin, maka Allah akan mencari-cari aibnya, dan barangsiapa yang dicari-cari aibnya oleh Allah, maka Allah akan mempermalukannya sekalipun (aibnya) tersembunyi dalam rumahnya.”



Syarat Terkabulnya Doa


Suatu hari, Nabi Musa as melintas disebuah kawasan. Di tengah jalan, beliau melihat seorang lelaki yang sedang menengadahkan kedua tangannya ke langit, seraya berdoa dengan diiringi tangisan dan rintihan. Ia memohon kepada Allah agar memenuhi permintaannya.

Nabi Musa as melintasinya. Lewat seminggu, beliau melintas di kawasan yang sama dan kembali menyaksikan lelaki itu masih sibuk berdoa dan memohon kepada Allah. Saat itu Nabi Musa as mendapat wahyu: Hai Musa! Jika lelaki itu berdoa hingga lidahnya putus, Aku tak akan mengabulkan doanya, kecuali jika ia masuk melalui jalan yang aku perintahkan (yakni beriman kepada para nabi dan wasyinya, lalu berdoa dengan didasari keyakinan semacam itu).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

50 Pelajaran Akhlak Untuk Kehidupan

ilustrasi hiasan : akhlak-akhlak terpuji ada pada para nabi dan imam ma'sum, bila berkuasa mereka tidak menindas, memaafkan...