Pengarang : Muhammadi, Muhammad
Sekapur Sirih
ACAPKALI gagasan atau hikmah yang terkandung dalam
sebuh tulisan acap terasa begitu sulit dicerna. Lebih-lebih jenis
tulisan ilmiah yang selalu disesaki istilah teknis yang rumit dan
membingungkan. Kesulitan ini diperparah dengan minimnya contoh-contoh
kasus yang diajukan. Jadilah kemudian buku tersebut buku vampir yang
menyedot habis energi pembacnya.
Ada sebuah kalimat bijak, “Sebuah kisah enteng jauh
lebih baik dari paparan panjang lebar yang serius, prestisius, dan
berbobot sekalipun.” Sebuah tulisan akan jauh lebih hidup, dialogis, dan
menggelitik benak pembacnya pabila di sana-sini diselipkan kisah-kisah
menarik dan penuh hikmah. Apapun jenis tulisannya; Tapi kisah yang
bagaimana?
Sebuah kisah yang handal adalah kisah Yang
bersahaja, diungkapkan dengan bahasa sehari-hari (vernakulistis), namun
punya makna yang amat bertenaga. Sebuah kisah dapat dimaksudkan untuk
menghibur, tapi juga untuk direnungkan. Tentunya secara moral, kisah
yang kedua disebutkan jauh lebih bermakna tinimbang lainnya. Namun
begitu, dalam metode penyajiannya, kedua maksud tersebut bisa
digabungkan sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah kisah yang witty;
renyah, “enteng”, jenaka, menggelitik, sekaligus menukik dan
menghujamkan makna yang cerdas ke lubuk hati pembacnya. Buku kisah
bernuansa keagamaan ini kirnya ingin berbuat seperti itu.
Dalam buku kisah-kisah religius ini, pembaca akan
diajak bolak-balik dari zaman ke zaman. Mulai dari zaman nabi-nabi atau
Rasul ke zaman berikutnya atau sekarang, balik lagi ke zaman nabi-nabi
atau Rasul, begitu seterusnya. Gaya ini menjadikan pembaca mampu merajut
kesinambungan konteks antarkisah, sekalipun satu dengan lainnya
terpisah jarak waktu ratusan bahkan ribuan tahun.
Kisah-kisah dalam buku ini disusun sedemikian rupa
agar mudah dikunyah pemahaman setiap orang. Sehingga para pembaca dapat
menemukan makna atau hikmah yang melambari masing-masingnya. Terus
terang, kisah-kisah religius yang disuguhkan dalam buku ini sebagian
besarnya memiliki daya kejut dan daya bongkar terhadap pemahaman kita
selama ini mengenai ihwal kehidupan beragama yang ideal.
Semoga saja setelah membaca rangkaian kisah dalam
buku ini, para pembaca memperoleh wawasan dan kesadaran baru yang lebih
jenius perihal bagaimana menempuh arung kehidupan ini. Sekali lagi,
semoga....
Nabi Ibrahim as adalah pribadi yang amat senang menerima tamu. Suatu hari seorang Majusi mengunjingi rumah Nabi Ibrahim as dan berharap diterima sebagai tamunya. Nabi Ibrahim as berkata kepadanya, “Kalau engkau menerima Islam (yakni menerima agama hanîf-ku) maka aku akan menerimamu. Kalau tidak, aku tak akan menerimamu sebagai tamuku.”
Yazid mengeluarkan perintah untuk membunuh Muslim bin Aqil serta Hani bin Urwah. Setelah syahid, kepala keduanya dipisahkan dari tubuh masing masing. Lalu sekelompok orang yang tidak berperikemanusiaan mengikat jasad Muslim bin Aqil, dan diseret keluar-masuk lorong-lorong di Kufah.
Maitsam al-Tammar adalah salah seorang sahabat Imam Ali bin Abi Thalib as. Ia adalah sosok yang amat mulia dan gagah berani. Atas perintah Ibnu Ziyad, sepuluh hari menjelang kedatangan Imam Husain as ke Karbala, ia dibunuh dan digantung.
Pada masa awal kedatangan Imam Khomeini di kota Qum, Ayatullah Burujurdi memerintahkan mencari seseorang yang mampu menulis dengan indah untuk dijadikan sekretris beliau; menulis dan menghapus sebagian tulisan-tulisan beliau.
Seorang lelaki menikah dengan seorang wanita yang telah bertahun-tahun tidak melahirkan anak. Ia tahu bahwa isteri nya mandul. Kemudian ia membawnya ke dokter dan menuturkan kejadian yang sebenarnya. Ia berharap dokter dapat memberinya jalan keluar.
Nafi’ al-Anshari tengah berdiri samping istana Harun al-Rasyid (khalifah kelima Dinasti Abbasiah). Tiba-tiba ia melihat seseorang dengan menunggang keledai sedang mendekati istana. Tatkala penjaga istana melihatnya, ia langsung menghormat dan menyambutnya. Penjaga itu segera masuk ke dalam istana dan meminta izin. Tak lama, penunggang keledai itu masuk ke dalam istana.
Imam Khomeini bercerita bahwa setelah dipastikan bebas dari penjara dan akan berada di bawah pengawasan Rezim Syah tahun 1945 beliau dibawa ke hadapan para agen Syah yang ada di penjara. Sewaktu beliau hendak meninggalkan pertemuan itu, salah seorang dari mereka berkata, “Hai Tuan, politik adalah kebohongan, tipu muslihat, dan kejahatan. Biarkan saja itu untuk kami.” Beliau menjawab, “Politik semacam itu memang politik milik Anda....”
Nabi Yahya as putera Nabi Zakaria as adalah nabi yang hidup semasa Nabi Isa as. Ia amat dekat dari bersahabat dengan Nabi Isa as. Nabi Yahya meninggal dunia. Selang beberapa waktu, Nabi Isa as berziarah ke kuburnya dan memohon kepada Allah untuk menghidupkannya kembali. Doanya terkabul. Nabi Yahya hidup kembali dan keluar dan liang kubur. Ia berkata kepada Nabi Isa as, “Apa yang engkau inginkan dariku?” Nabi Isa as menjawab, “Aku menginginkan sebagaimana engkau di dunia dekat denganku. Sekarang engkau juga dekat denganku dan menjadi sahabat karibku.”
Seorang zuhud meninggalkan kehidupan masyarakat dan pergi ke padang pasir untuk menyibukkan diri beribadah di sebuah tempat yang sunyi. Ia memutuskan mengucilkan diri dan tidak masuk ke kota serta berkumpul dengan masyarakat.
Muslim bin ‘Ausajah dan Habib bin Mazhahir adalah orang tua yang berasal dari satu keluarga (famili), yakni Bani Asad. Mereka berdua tinggal di Kufah. Semasa pemerintahan Imam Ali as, keduanya merupakan sahabat setia beliau.
Dalam perang Shiffin (peperangan antara Imam Ali dengan Muawiyah), Abbas bin Ali bin Abi Thalib sudah berusia empat belas tahun. Namun ia seorang pemuda yang matang. Setiap orang yang memandangnya menyangka ia telah berusia tujuh belas atau dua puluh tahun.
Seorang penduduk padang pasir menemui Rasulullah saww dengan menunggangi anak untanya. Ketika berjumpa dengan Rasulullah saww, in pun memberi salam. Ia ingin mendekat dan bertanya kepada Rasullulah saww. Namun untanya malah berbalik ke belakang dan berlari menjauh. Jadinya, ia pun semakin jauh dari dari Nabi saww. Peristiwa ini terjadi berulang-ulang sampai tiga kali.
Ummu Salamah adalah salah seorang isteri, Nabi saww. Ia memiliki budak wanita yang melakukan pencurian. Ia ditangkap dan dibawa ke hadapan Rasulullah saww. Ummu Salamah memohon agar budaknya dimaafkan (mengingat hubungan kekerabatan yang ada, ia mengharap tangan budak itu tidak dipotong).
Suatu hari, kondisi kehidupan Imam Ali teramat sulit. Kelaparan pun menyelimuti kehidupan Imam Ali. Lalu, beliau keluar rumah untuk mencari pekerjaan agar upahnya dapat digunakan untuk mengusir rasa laparnya. Di Madinah, beliau tidak menemukan lowongan kerja dan memutuskan untuk pergi ke luar Madinah (sebuah perkebunan yang terletak sekitar delapan kilometer di luar kota Madinah).
Di’bil al-Khuza’î adalah seorang penyair yang bebas dan merdeka. Lewat syair-syairnya, ia membela kehormatan para imam Ahlul Bait. Jadinya, nama mereka pun senantiasa membayang di benak bnyak orang.
Burair bin Khuzhair merupakan guru al-Quran dan pengikut setia Imam Ali bin Abi Thalib. Ia berasal dari kabilah Hamdan, Kufah. Dalam peristiwa Karbala, ia bergabung dengan pasukan Imam Husain dan termasuk penolong setia beliau. Pada hari ‘Âsyûrâ’ (kesepuluh Muharam), setelah melakukan pengorbanan yang cucup besar, ia gugur sebagai syahid.
BAB I
Kemurahan Allah Tiada Batas
Nabi Ibrahim as adalah pribadi yang amat senang menerima tamu. Suatu hari seorang Majusi mengunjingi rumah Nabi Ibrahim as dan berharap diterima sebagai tamunya. Nabi Ibrahim as berkata kepadanya, “Kalau engkau menerima Islam (yakni menerima agama hanîf-ku) maka aku akan menerimamu. Kalau tidak, aku tak akan menerimamu sebagai tamuku.”
Allah Swt berfirman kepada beliau: Wahai Ibrahim!
Engkau mengatakan kepada orang Majusi itu, bahwa jika ia enggan menerima
Islam, maka engkau tidak layak menjadi tamumu dan memakan makananmu,
padahal selama 70 tahun ia dalam keadaan mengingkari-Ku (kufur
kepada-Ku), dan Aku senantiasa memberinya rezeki dan makanan. Apa
beratnya jika semalam saja engkan memberinya makan?
Nabi Ibrahim as merasa amat amat menyesal dan
bergegas mengejar orang Majusi itu setelah mencari ke sana ke mari,
akhrinya belau menemukannya. Dengan penuh rasa hormat, beliau meminta
orang Majusi itu untuk bersedia menjadi tamunya orang Majusi mennyakan
kepada Nabi Ibrahim as, gerangan apa yang terjadi setelah kepergiannya.
Beliau pun menceritakan wahyu yang diterima dari Allah Swt.
Orang Majusi berkat, “Apakah benar Allah Swt
sedemikian murah hati kepadaku? Jika demikian, jelaskanlah kepadaku
Islam itu aku akan menerimnya.” Kemudian ia pun menerima dan memeluk
Islam.
Keberanian Lelaki Tak Dikenal
Yazid mengeluarkan perintah untuk membunuh Muslim bin Aqil serta Hani bin Urwah. Setelah syahid, kepala keduanya dipisahkan dari tubuh masing masing. Lalu sekelompok orang yang tidak berperikemanusiaan mengikat jasad Muslim bin Aqil, dan diseret keluar-masuk lorong-lorong di Kufah.
Salah seorang pengikut Imam Husain yang gagah
berani bernama Hanzhalah bin Murrah Hamdani yang tengah menunggang kuda,
menyaksikan pemandangan amat mengenaskan itu. Ia lalu bertanya kepada
orang-orang itu, “Wahai warga Kufah! Apa kesalahan yang telah dilakukan
lelaki ini (Muslim bin Aqil) sehingga kalian menyeretnya semacam itu?”
Mereka menjawab, “Orang ini adalah khâriji. Ia telah menentang perintah Khalifah Yazid bin Muawiyah.”
Hanzhalah berkata, “Demi Allah, siapakah nama orang ini?”
Mereka menjawab, “Muslim bin Aqil anak paman Imam Husain?”
Hanzhalah menjawab, “Celakalah kalian yang
mengetahui bahwa ia adalah anak paman Imam Husain as. Lalu, mengapa
kalian membunuhnya dan jenazahnya kalian seret ke sana ke mari?”
Kemudian Hanzhalah turun dari kudnya, mengeluarkan
pedang dari sarungnya, dan menyerang mereka seraya menjerit, “Duhai
Tuanku, sama sekali tak ada kebaikan dalam hidupku sepeninggalmu!”
Ia terus bertempur melawan mereka, Hasilnya, empat
orang dari mereka (yang menyeret jenazah Muslin―peny.) terbunuh. Ia
akhirnya dikepung dari berbagai penjuru dan dijemput kesyahidan. Mereka
lalu mengikat kakinya dan menyeret jasadnya sampai ke alun-alun Kunasah
di Kufah dan dibiarkan tergeletak disana.
Isteri Maitsam al-Tammar yang Gagah Berani
Maitsam al-Tammar adalah salah seorang sahabat Imam Ali bin Abi Thalib as. Ia adalah sosok yang amat mulia dan gagah berani. Atas perintah Ibnu Ziyad, sepuluh hari menjelang kedatangan Imam Husain as ke Karbala, ia dibunuh dan digantung.
Ia memiliki seorang isteri pemberani dan teramat tegar di jalan Islam. Inilah cuplikan salah satu keberaniannya.
Sesuai perintah Ibnu Ziyad, jenazah Muslim bin
Aqil, Hani bin Urwah, dan Hanzhalah bin Murrah (yang kisahnya telah
disebutkan) tanpa dimandikan dan dikafani dibiarkan tergeletak di
alun-alun Kunasah di Kufah. Tak seorang pun yang berani mengambil dan
menguburkan jasad mereka.
Isteri Maitsam yang pemberani itu, memutuskan
menguburkan mereka. Di tengah malam, tatkala orang-orang tengah tidur
terlelap, diam-diam ia membawa ketiga jenazah itu ke rumahnya. Malam itu
juga, jenazah-jenazah itu di bawa ke samping Masjid Agung Kufah. Di
situ, ia menguburkan mereka dalam keadaan bersimbah darah suci. Tak
seorang pun yang mengetahui kejadian ini selain tetanggnya, yakni isteri
Hani bin Urwah.
Betapa mulia wanita pemberani itu ia benar layak
menjadi isteri M Maitsam. Ya, pribadi semacam Maitsam, selayaknya
memiliki isteri yang punya keberanian semacam itu. Inilah hasil dari
usaha keras sang suami dalam membina mendidik dan menjadikan isternya
begitu cerdas dan bertanggung jawab.
Rasa Hormat Ayatullah Burujurdi terhadap Imam Khomeini
Pada masa awal kedatangan Imam Khomeini di kota Qum, Ayatullah Burujurdi memerintahkan mencari seseorang yang mampu menulis dengan indah untuk dijadikan sekretris beliau; menulis dan menghapus sebagian tulisan-tulisan beliau.
Para sahabat lalu sibuk mencari orang yang layak
untuk itu. Sampai pada suatu hari, mereka berhasil menemukan orang yang
tulisannya indah dan membawnya ke hadapan Ayatullah Burujurdi untuk
diperkenalkan kepada beliau. Kebetulan, saat itu hadir pula ImamKhomeini
Ternyata, Ayatullah Burujurdi menolak orang yang
tulisannya indah itu sebagai sekretarisnya. Sebagian orang bertanya
kepada Sayyid Ahmad Khomeini, tentang alasan Ayatullah Burujurdi
menerima orang itu sebagai sekretarisnya.
Sayyid Ahmad Khomeini menjawab, “Tatkala orang itu menghadap Ayatullah Burujurdi, Imam Khomeini berada disana.
Ayatullah Burujurdi marah dan berkata, ‘Siapa saja yang duduk lebih tinggi dari Ayatullah Khomeini, tak ada glinnya bagiku.’”
Yakni, orang yang tidak menjaga sopan santun dan
rasa hormat terhadap pribadi semacam Imam Khomeini, dianggap tak layak
menjadi sekretaris beliau. Peristiwa ini menjelaskan betapa besarnya
rasa hormat Ayatullah Burujurdi kepada Imam Khomeini. Itu terjadi
sekitar 10 tahun sebelum kebangkitan Imam Khomeini melawan Rezim Syah.
Rahasia Penyembuhan
Seorang lelaki menikah dengan seorang wanita yang telah bertahun-tahun tidak melahirkan anak. Ia tahu bahwa isteri nya mandul. Kemudian ia membawnya ke dokter dan menuturkan kejadian yang sebenarnya. Ia berharap dokter dapat memberinya jalan keluar.
Wanita itu tergolong gemuk dan penuh lemak. Tatkala
memeriksa denyut nadinya dan mengukur tekanan darahnya, dokter itu tahu
bahwa jantungnya terbungkus lemak yang cukup tebal. Ia tahu sebab
mengapa ia mandul; ia mengalami kegemukan. Lalu ia berbisik ke telinga
sang suami dengan intonasi yang dapat didengar sangisteri, “Isterimu tak
akan hidup lebih dari 40 hari.” Wanita itupun mendengar bisikan dokter.
Ia lalu tenggelam dalam kesedihan siang dan malam. Ia merasa sedih dan
gelisah, sehingga enggan makan dan minum. Itu menyebabkan hari demi hari
tubuhnya semakin kurus. Namun, setelah empat puluh hari berlalu,
ternyata ia masih tetap hidup. Setelah dua bulan, suaminya menemui
dokter itu dan berkata, “Alhamdulillah, isteriku tidak mati, sekalipun
telah lebih dari 40 hari, yakni dua bulan sejak kedatangan kami kepada
Anda.”
Dokter berkata, “Sekarang gaulilah isterimu. Niscaya Anda memperoleh anak. ”
Lelaki itu bertanya, “Mengapa begitu? Setelah bertahun-tahun mandul, mungkinkah isteriku dapat melahirkan anak?”
Dokter menjawab, “Pada waktu itu, ia teramat gemuk
dan penuh lemak. Sekarang ia kurus. Saat itu lemaknyalah yang
menghalanginya untuk hamil.”
Dari sini, kita dapat menarik kesimpulan bahwa
kegemukan dan kelebihan berat badan merupakan faktor utama yang memicu
munculnya berbagai penyakit. Perhatikan berita ini. Seorang wanita
mengidap 14 jenis penyakit sebagai berikut; mudah sakit kepala dan cepat
lelah; tidak bergairah untuk bekerja dan beraktivitas; gampang merasa
gelisah dan tertekan; perasanya sensitif; pelupa dan lemah daya
ingatnya; selalu merasa malas; sedih dan hilang semangat; tak punya
semangat hidup; selalu takut dan khawatir; tidak dapat tidur malam; iri
dengki dan egois; pemalu; sebagian anggota tubuhnya suka gemetaran; dan
syaraf tangan dan kakinya mati rasa.
Berat badan wanita itu 90 kilogram. Setelah 36 hari
melakukan diet khusus, berat badannya berkurang 18 kilogram. Maka semua
penyakitnya itu lenyap seketika.
Kharisma Imam Musa al-Kazhim
Nafi’ al-Anshari tengah berdiri samping istana Harun al-Rasyid (khalifah kelima Dinasti Abbasiah). Tiba-tiba ia melihat seseorang dengan menunggang keledai sedang mendekati istana. Tatkala penjaga istana melihatnya, ia langsung menghormat dan menyambutnya. Penjaga itu segera masuk ke dalam istana dan meminta izin. Tak lama, penunggang keledai itu masuk ke dalam istana.
Nafi’ al-Anshari bertanya kepada Abdul Aziz (salah
seorang yang kebetulan ada di sana), “Siapakah orang yang mendapat
penghormatan luar biasa itu? ”
Abdul Aziz menjawab, “Ia adalah kepala dari putera Abu Thalib dan pemimpin keturunan Muhammad saww; Musa bin Ja’far al-Kazhim.”
Nafi’ berkata, “Saya tidak pernah menjumpai orang
yang lebih lemah dan lebih hina dari para penjaga pintu gerbang istana
Harun; mereka menghormati sedemikian rupa orang yang dapat meruntuhkan
kerajaan. Ketahuilah jika nantinya ia (Imam Musa al-Kazhim) keluar, aku
akan bersikap kepadanya sedemikian rupa; sehingga ia nampak kecil dan
hina.”
Abdul Aziz berkata kepada Nafi’, “Janganlah engkau
lakukan itu. Sebab, ia adalah keturunan Rasul saww. Sedikit sekali orang
yang berbuat jahat kepadanya lalu tidak merasa malu dan menyesal. Rasa
malu itu terus dirasakannya sampai akhir hayat.”
Namun Nafi’ begitu egois dan sombong. Ia tidak
mengindahkan nasihat Abdul Aziz dan memutuskan untuk tetap melecehkan
Imam Musa saat keluar dari istana.
Tatkala Imam Musa al-Kazhim keluar dari istana,
Nafi’ dengan penuh angkuh menghampiri beliau dan menarik tali kendali
keledai beliau seraya berkata, “Hei! Siapa kamu?” Imam menjawab, “Hei!
Jika kamu bertanya tentang nasab dan keturunanku, aku adalah putera
Muhammad kekasih Allah, putera Ismail sembelihan Allah (dzabîhullâh),
putera Ibrahim kekasih Allah. Jika engkau bertanya tentang tanah airku,
aku adalah penduduk tempat di mana Allah mewajibkan seluruh
muslimin―jika kamu salah satunya―untuk melakukan ibadah haji. Aku adalah
penduduk Mekah. Jika kamu bertujuan menyombongkan diri, demi Allah,
kaumku yang musyrik (Quraisy) tidak menganggap kaummu yang beriman
sebagai tandingan dan sepadan dengan mereka. Bahkan dalam perang Badar
mereka berkata, ‘Wahai Muhammad! Utuslah ke medan perang kami
orang-orang yang sepadan dengan kami dari Quraisy!’ Dan jika maksudmu
adalah sebutan dan nama, ketahuilah bahwa aku adalah orang-orang yang
Allah mewajibkan (manusia) dalam shalatnya untuk bersalawat kepada kami
dan engkau harus mengucapkan Allâhumma shallî ‘alâ Muhammad wa âli
Muhammad; kami adalah keluarga dan keturunan Muhammad. Sekarang lepaskan
tali kekang keledai ini!”
Tubuh Nafi’ gemetar setelah mendengar perijelasan
mantap Imam Musa al-Kazhim. Dengan penuh rasa malu, ia melepaskan tali
kekang keledai yang dipeganginya itu dan langsung ngeloyor pergi. Abdul
Aziz melihat Nafi’ dan berkata kepadanya, “Tidakkah aku sudah katakan
bahwa engkau tak dapat begitu saja meremehkan mereka (anak keturunan
nubuwwah).”
Nafi’ kemudian melantunkan syair:
Pelita yang dihidupkan Yang Mahasuci
Membakar janggut orang yang meniupnya
Kisah Imam Khomeini
Imam Khomeini bercerita bahwa setelah dipastikan bebas dari penjara dan akan berada di bawah pengawasan Rezim Syah tahun 1945 beliau dibawa ke hadapan para agen Syah yang ada di penjara. Sewaktu beliau hendak meninggalkan pertemuan itu, salah seorang dari mereka berkata, “Hai Tuan, politik adalah kebohongan, tipu muslihat, dan kejahatan. Biarkan saja itu untuk kami.” Beliau menjawab, “Politik semacam itu memang politik milik Anda....”
Jelas, politik yang mereka maknai itu hanyalah
kebohongan, tipu muslihat, kejahatan, perampokan masyarakat, penguasaan
harta dan jiwa masyarakat. Politik semacam ini sama sekali tak ada
hubungannya dengan politik Islam. Itu adalah politik setan. Namun
politik yang bermakna bimbingan dan pembinaan masyarakat, akan
menunjukkan jalan yang bermanfaat bagi individu dan masyarakat ini
sebagaimana tercantum dalam hadis Rasulullah saww yang menyertakan kata
politik (sâsah, ahli-siyâsah). Dalam berbagai doa Ziyârah al-Jâmi’âh,
(berkaitan dengan para imam suci) terdapat sebuah ungkapan, “Sâsah
al-‘ibâd” (para politikus para hamba).”[1]
Dalam riwayat itu juga disebutkan bahwa Rasul mulia
saww diutus dan bertanggung jawab untuk mengemban politik
(pemerintahan)umat.
Beban Derita Kematian
Nabi Yahya as putera Nabi Zakaria as adalah nabi yang hidup semasa Nabi Isa as. Ia amat dekat dari bersahabat dengan Nabi Isa as. Nabi Yahya meninggal dunia. Selang beberapa waktu, Nabi Isa as berziarah ke kuburnya dan memohon kepada Allah untuk menghidupkannya kembali. Doanya terkabul. Nabi Yahya hidup kembali dan keluar dan liang kubur. Ia berkata kepada Nabi Isa as, “Apa yang engkau inginkan dariku?” Nabi Isa as menjawab, “Aku menginginkan sebagaimana engkau di dunia dekat denganku. Sekarang engkau juga dekat denganku dan menjadi sahabat karibku.”
Nabi Yahya as menjawab, “Sampai saat ini, rasa
pedih dan pahitnya kematian, masih belum lenyap dari diriku, dan engkau
menginginkan aku kembali lagi ke dunia. Itu sama saja engkau
menginginkan agar sekali lagi aku merasakan pedih dan pahitnya
kematian.” Saat itu juga ia meninggalkan Nabi Isa as dan masuk kembali
ke liang kubur.
Seorang Zuhud yang Dungu
Seorang zuhud meninggalkan kehidupan masyarakat dan pergi ke padang pasir untuk menyibukkan diri beribadah di sebuah tempat yang sunyi. Ia memutuskan mengucilkan diri dan tidak masuk ke kota serta berkumpul dengan masyarakat.
Dalam ibadahnya, ia memohon kepada Allah, “Ya
Allah, berikanlah rezekiku yang telah Engkau tentukan bagiku.” Seminggu
telah berlalu. Namun makanan yang diharapkan tak kunjung datang. Waktu
itu rasa lapar sudah hampir membunuhnya. Ia lalu memohon kepada Allah,
“Ya Allah, berikanlah bagian rezekiku. Jika tidak, cabutlah nyawaku.”
Tiba-tiba terdengarlah suara, “Demi kemuliaan dan kebesaran-Ku, Aku tak
akan memberimu rezeki sampai engkau kembali ke kota, dan berhubungan
dengan masyarakat.” Lalu ia pun terpaksa kembali ke kota. Sesampainya di
kota, seseorang memberinya makan dan yang lainnya memberinya minum,
sampai akhirnya ia kekenyangan.
Dikarenakan tidak menyadari kebijakan Ilahi, dalam
benaknya terlintas, “Mengapa justru masyarakat yang memberiku makan
sementara Allah tidak memberikan apapun?” Ia lalu mendengar suara,
“Apakah engkau menginginkan untuk berzuhud dengan cara yang keliru, dan
mengingkari kebijakan-Ku? Apakah engkau tak tahu bahwa aku memberi
rezeki hamba-hamba-Ku melalui tangan hamba-hamba-Ku juga? Cara semacam
itu jauh lebih aku sukai ketimbang aku memberikannya secara langsung
lewat tangan (kekuasaan)-Ku sendiri.”
Isteri Habib bin Mazhahir yang Ikhlas dan Berani
Muslim bin ‘Ausajah dan Habib bin Mazhahir adalah orang tua yang berasal dari satu keluarga (famili), yakni Bani Asad. Mereka berdua tinggal di Kufah. Semasa pemerintahan Imam Ali as, keduanya merupakan sahabat setia beliau.
Tatkala Muslim bin Aqil memasuki Kufah sebagai
utusan Imam Husain, kedua orang ini berusaha keras membantu Muslim bin
Aqil agar masyarakat membaiat Imam Husain. Sampai akhirnya Ubaidillah
bin Ziyad memasuki Kufah dan melancarkan teror demi menakut-nakuti
masyarakat tentang pemerintahan Yazid. Masyarakat pun pergi meninggalkan
Muslim bin Aqil sendirian. Akhirnya, dalam pertempuran yang tidak
seimbang ia ditawan sesuai perintah Ibnu Ziyad, ia pun bunuh. Dalam
kondisi sulit ini, Muslim bin ‘Ausajah dan Habib bin Mazhahir diam-diam
berangkat ke padang Karbala dan bergabung dengan pasukan Imam Husain as.
Di situ, keduanya mereguk kesyahidan.
Usia Habib bin Mazhahir saat itu lebih dari 75
tahun. Ia termasuk salah seorang sahabat Rasul saww. Selama tinggal di
Kufah, ia bertaqiah seraya menunggu kesempatan yang tepat untuk keluar
dari Kufah dan bergabung dengan pasukan Imam Husain as.
Ia memiliki seorang isteri yang bertakwa dan
pemberani, yang sangat bergembira pabila suaminya menjadi penolong Imam
Husain. Habib bin Mazhahir, gerilyawan tua ini, berusaha agar tempat
persembunyiannya tidak diketahui orang lain. Ia juga ingin keputusannya
untuk bergabung dengan pasukan Imam Husain as tidak diketahui siapapun.
Bahkan ia tidak menceritakan niatnya itu kepada isterinya sendiri. Itu
dimaksudkan agar isterinya tidak menceritakannya kepada orang lain.
Imam Husain bersama rombongannya berangkat
meninggalkan Mekah menuju Irak. Saat itu, Imam Husain menulis surat
untuk Habib bin Mazhahir yang kemudian di bawa salah seorang utusan.
Pada suatu hari, Habib berada di samping isterinya.
Tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk pintu rumahnya. Habib beranjak
dari duduknya dan berdiri dibalik pintu. Ia melihat orang yang membawa
surat dari Imam Husain. Setelah menerima surat itu dan kembali ke
samping isterinya, ia membaca isinya sebagai berikut:
“Surat ini dari Husain bin Ali bin Abi Thalib,
untuk orang yang pandai, Habib bin Mazhahir. Amma ba’du. Wahai Habib,
Anda mengetahui hubungan kekeluargaanku dengan Rasulullah saww, dan Anda
adalah orang yang mengenalku dengan baik. Anda adalah orang yang
merdeka dan peka (terhadap Islam). Karenanya, janganlah Anda enggan
menolongku, di mana di hari kiamat kakekku Rasulullah saww akan
mengganjarAnda pahala.”
Habib berpikir jangan sampai seorangpun mengetahui
isi surat dan keputusannya untuk berangkat menolong Imam Husain.
Sehingga para mata-mata tidak sampai mengetahui peristiwa yang terjadi.
Keluarganya sempat bertanya kepadanya setelah ia menerima surat,
“Sekarang apa yang hendak kamu lakukan?” Ia bertaqiah dan menjawab, “Aku
sudah tua, aku tak dapat melakukan apapun.” Isterinya menyangka Habib
enggan membantu Imam Husain. Ia berkata, “Tampaknya engkau enggan
berangkat ke padang Karbala dan menolong Imam Husain.” Habib hendak
menguji isterinya seraya berkata, “Ya, aku tak punya untuk itu.”
Isterinya menangis dan berkata, “Duhai Habib!
Apakah engkau lupa akan sabda Rasulullah saww tentang pribadi Imam
Husain as, ‘Kedua anakku ini adalah penghulu penghuni surga dan keduanya
adalah imam; baik ia diam ataupun bangkit....’ Engkau telah menerima
surat Imam Husein. Lalu mengapa engkapa engkau enggan menolongnya?
Habib menjawab, “Aku khawatir jika anak-anakku
menjadi yatim dan engkau mejadi janda.” Isterinya menjawab, “Kami akan
meneladani wanita-wanita, puteri-puteri, dan yatim-yatim Bani Hasyim,
dan cukuplah Allah sebagai pelindung kami.”
Tatkala Habib melihat isterinya benar-benar telah siap, ia pun mengatakan yang sebenarnya isterinya pun berdoa untuknya.
Tatkala Habib akan bertolak, isterinya berkata, “Aku perlu satu perkara.”
“Apa itu?”
“Tatkala engkau sampai di hadapan Imam Husain as,
ciumlah tangan dan kakinya untuk mewakiliku, dan sampaikan salamku,
”pinta isterinya.
“Baiklah,” jawab Habib.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa demi
berhati-hati, Habib berkata kepada istrinya, “Aku sudah tua dan apa yang
dapat dilakukan orang-orang yang sudah lanjut usia?”
Dengan penuh rasa sedih dan marah, isterinya
bangkit dan melepas kerudung di kepalnya lalu meletakannya di kepala
Habib bin Mazhahir, seraya berkata, “Sekarang bila engkau enggan pergi,
tinggallah di rumah seperti kaum wanita.” Kemudian ia berteriak, “Wahai
Husain! Seandainya aku seorang lelaki, aku akan datang ke pangkuamu,
berjuang bersamamu, dan kupersembahkan jiwaku untukmu. ”
Tatkala Habib mengetahui kecintaan isteririya
terhadap Imam Husain, hatinya menjadi tenang dan berkata “Isteriku!
Tenanglah! Aku akan membuatnya bergembira dan janggut yang memutih ini
akan kuwarnai dengan darah dileherku. Tenangkanlah dirimu!”
Pemuda Tak Dikenal di Medan Tempur
Dalam perang Shiffin (peperangan antara Imam Ali dengan Muawiyah), Abbas bin Ali bin Abi Thalib sudah berusia empat belas tahun. Namun ia seorang pemuda yang matang. Setiap orang yang memandangnya menyangka ia telah berusia tujuh belas atau dua puluh tahun.
Pada suatu hari, tatkala peperangan masih
berlangsung sengit, ia meminta izin kepada ayahnya untuk maju ke medan
laga demi melawan musuh. Imam Ali menutupi wajahnya dengan kain,
sehingga ia tidak dikenali musuh. Di medan perang, ia bertempur dengan
gagah berani seraya berkeliling ke segenap penjuru, memperlihatkan
seolah-olah semua wilayah sudah berada di bawah kekuasaannya. Pasukan
Syam menyaksikan kegigihan dan keberanian pemuda tak dikenal ini. Para
penasihat militer Muawiyah lalu bermusyawarah untuk mencari jalan keluar
guna meredam serangan bertubi-tubi ysng dikomandoi pemuda tak dikenal
itu. Namun mereka telah dihinggapi rasa takut sehingga tidak berani
mengambil keputusan apapun. Akhirnya Muawiyah memanggil salah seorang
prajuritnya yang paling berani, Ibnu Sya’tsa’. Ia disebut-sebut sanggup
melawan 10 ribu pasukan berkuda. Muawiyah berkata, “Terjunlah ke medan
laga dan hadapilah pemuda tak dikenalitu!”
Ibnu Sya’tsa’ menjawab, “Wahai Pemimpinku!
Masyarakat mengenalku bahwa aku adalah pejuang yang melawan 10 ribu
tentara. Layakkah aku berperang melawan anak itu?”
Muawiyah bertanya, “Lalu apa yang harus aku lakukan?”
Ibnu Sya’tsa’ menjawab, “Aku punya tujuh orang anak
lelaki, dan salah satu dari mereka akan kuperintahkan untuk menghadapi
dan membunuhya.” Muawiyah menyetujui usulannya.
Ibnu Sya’tsa’ mengutus salah seorang anaknya maju
ke medan tempur. Namun tak berapa lama, ia mati di tangan pemuda tak
dikenal itu. Kembali ia mengutus anak keduanya. Ia pun terbunuh.
Lagi-lagi ia mengutus anak ketiga, keempat, sampai yang ketujuh. Namun
semunya tewas di tangan pemuda tak dikenal itu.
Kemudian Ibnu Sya’tsa’ maju ke medan perang dan
menyeru, “Hai pemuda, engkau telah membunuh semua anakku. Demi Allah,
aku akan membunuh ayah dan ibumu.”
Sekonyong-konyong ia menyerang pemuda itu. Keduanya
saling mengayunkan pedang. Tiba-tiba sang pemuda memukulkan pedangnya
ke tubuh Ibnu Sya’tsa’ sampai terbelah dua. Tak pelak, Ibnu Sya’tsa’ pun
tewas menyusul anak-anaknya. Mereka yang menyaksikan kejadian itu
terkagum-kagum terhadap keberanian pemuda itu. Saat itu pula, Amirul
Mukminin berteriak, “Wahai anakku! Kembalilah, aku khawatir engkau
terkena mata musuh.” Ia pun kembali. Amirul Mukminin menyambut
kedatangannya, membuka penutup wajahnya, dan mencium di antara kedua
matanya. Para musuh menyaksikan bahwa pemuda tak dikenal itu adalah
Qamar Bani Hasyim (bintangnya Bani Hasyim), Abbas bin Ali bin Abi Thalib
.
Tertawa Tidak pada Tempatnya Berakibat Dosa
Seorang penduduk padang pasir menemui Rasulullah saww dengan menunggangi anak untanya. Ketika berjumpa dengan Rasulullah saww, in pun memberi salam. Ia ingin mendekat dan bertanya kepada Rasullulah saww. Namun untanya malah berbalik ke belakang dan berlari menjauh. Jadinya, ia pun semakin jauh dari dari Nabi saww. Peristiwa ini terjadi berulang-ulang sampai tiga kali.
Pemandangan semacam ini menyebabkan sebagian
sahabat tertawa (yang tidak pada tempatnya; bukannya menolong orang Arab
itu agar dapat menyampaikan pertanyaannya, mereka malah tertawa). Tawa
mereka dan ulah untanya menjadikan orang itu gusar. Dengan sekali
pukulan keras, ia membunuh untanya.
Pra sahabat berkata kepada Rasulullah saww, “Orang Arab itu membunuh untanya.”
Rasulullah saww bersabda, “Dan mulut kalian penuh
dengan darahnya (unta).” (Yakni tawa kalianlah yang menyebabkan orang
Arab bodoh itu gusar dan berbuat seperti itu. Kalian juga ikut andil
dalam pembunuhan unta lemah itu. Mengapa kalian bersikap semacam itu?)
Hukum Tidak Mengenal Kekerabatan
Ummu Salamah adalah salah seorang isteri, Nabi saww. Ia memiliki budak wanita yang melakukan pencurian. Ia ditangkap dan dibawa ke hadapan Rasulullah saww. Ummu Salamah memohon agar budaknya dimaafkan (mengingat hubungan kekerabatan yang ada, ia mengharap tangan budak itu tidak dipotong).
Rasullah saww bersabda kepada Ummu Salamah, “Hai
Ummu Salamah, ini adalah salah satu hukum dari hukum-hukum Allah, dan
tidak dapat digagalkan.” Kemudian, Rasulullah saww, memerintahkan tangan
budak wanita itu dipotong lantaran telah mencuri.
Imam Ali Mencari Kerja
Suatu hari, kondisi kehidupan Imam Ali teramat sulit. Kelaparan pun menyelimuti kehidupan Imam Ali. Lalu, beliau keluar rumah untuk mencari pekerjaan agar upahnya dapat digunakan untuk mengusir rasa laparnya. Di Madinah, beliau tidak menemukan lowongan kerja dan memutuskan untuk pergi ke luar Madinah (sebuah perkebunan yang terletak sekitar delapan kilometer di luar kota Madinah).
Di situ, beliau melihat seorang wanita yang tengah
mencangkul tanah dan mengumpulkannya di suatu tempat. Beliau berpikir,
“Barangkali wanita ini sedang membutuhkan seorang pembawa air, dan tanah
itu akan dicampur air sehingga menjadi tanah liat yang dapat digunakan
untuk membuat bangunan.” Imam Ali as menghampiri wanita itu. Jelas,
wanita itu memang sedang menunggu kedatangan seseorang yang akan
membantunya membawakan air.
Setelah berbincang dengannya, terjalinlah
kesepakatan; Imam Ali menimbakannya air dari sumur. Untuk setiap
timbaan, beliau mendapat upah sebutir kurma. Beliau sudah menimba air
sebnyak enam belas kurma. Tangan beliau pun melepuh. Sesuai kesepakatan,
air itu beliau tuangkan di atas gundukan tanah tersebut.
Wanita itu memberi Imam Ali enam belas butir kurma
sebagai upahnya. Kemudian beliau kembali ke Madinah dan menceritakan
kisahnya kepada Rasulullah saww. Lalu keduanya duduk bersama seraya
menikmati buah kurma tersebut. Rasa lapar keduanyapun sirna.
Perintah Imam Ali Membunuh Tiga Teroris
Shalat subuh berjamaah di awal waktu di Masjid Nabi
saww usai dilaksanakan. Kaum muslimin masih tinggal di sana. Rasulullah
saww menghadap ke arah para hadirin seraya bersabda, “Wahai manusia!
Aku telah menerima wahyu bahwa terdapat tiga orang kafir yang bersumpah
atas nama berhala latta dan ‘uzza untuk membunuhku. Siapakah di antara
kalian yang dengan sukarela siap menghadapi mereka dan membinasakan
mereka sebelum tiba di Madinah?”
Masing-masing hadirin saling bertatapan dan diam seribu bahasa. Mereka tidak menjawab seruan Rasulullah saww.
Rasulullah saww melanjutkan, “Aku yakin Ali bin Thalib tak ada di tengah kalian.”
Salah seorang dari mereka yang bernama ‘Amir bin
Qutadah berdiri seraya menjawab, “Malam ini, Ali menderita demam. Karena
itulah ia tak ikut serta dalam shalat berjamaah. Ijinkanlah saya
menemuinya dan menyampaikan seruan anda.”
Rasulullah saww mengizinkannya. Lalu ‘Amir menemui Imam Ali dan menceritakan peristiwa yang terjadi.
Imam Ali keluar dari rumah dengan leher tertutup
lengan bajunya dan langsung menemui Rasul saww. Beliau menanyakan
peristiwa yang terjadi, “Wahai Rasulullah saww, gerangan apa yang
terjadi?”
Rasulullah saww menjawab, “Utusan Allah (Jibril)
datang kepadaku dan memberitakan bahwa sekarang ini ada tiga orang kafir
yang bersumpah untuk datang ke mari dan membunuhku, demi Tuhan Kabah,
usaha mereka tak akan berhasil. Saat ini diperlukan seorang yang
menghalangi kedatangannya.”
Imam Ali berkata, “Saya sendiri siap mencegah
kedatangan mereka. Saya minta izin beberapa saat untuk mengenakan
pakaian perang saya. ”
Rasul mulia saww bersabda, “Inilah pakaian besi dan
pedangku, ambillah dan gunakanlah.” Kemudian Rasul mulia saww
mengenakan pakaian besinya ke tubuh Imam Ali, melilitkan surban beliau
ke kepala Imam Ali, menyerahkan pedang beliau ke tangan Imam Ali,
mengambilkan kudanya dan membantu Imam Ali menaikinya, lalu mengutusnya
menemui ketiga orang tersebut yang sudah berada beberapa kilometer dari
Madinah.
Imam Ali keluar dari Madinah setelah tiga hari
berlalu tak ada kabar tentang keadaan Imam Ali; baik dari langit
(melalui Malaikat Jibril) maupun bumi. Sayyidah Fathimah merasa
khawatir. Beliau lalu menggandeng al-Hasan dan al-Husain pergi menemui
Rasulullah saww. “Saya kira dua anak ini telah menjadi yatim,” kata
Sayyidah Fathimah. Mendengar ucapan ini, tanpa sadar Rasulullah saww
meneteskan air mata. Lalu beliau saww bersabda, “Siapa saja yang membawa
berita tentang keadaan Ali, aku akan memberinya imbalan surga.”
Muslimin bersungguh-sungguh mencari Imam Ali bin
Abi Thalib. Sebab mereka sadar bahwa Rasulullah saww benar-benar
menganggap penting dan amat menegaskan secara khusus masalah ini.
Sampai akhirnya ‘Amir bin Qutadah menyampaikan
kabar kepada Rasulullah saww bahwa Imam Ali bin Abi Thalib dalam keadaan
selamat dan akan segera kembali ke Madinah dengan membawa kemenangan.
Rasulullah saww bergegas menyambut kedatangan Imam
Ali. Beliau saww menyaksikan Imam Ali datang membawa dua tawanan,
sepenggal kepala, tiga ekor unta, dan tiga ekor kuda. Saat itu
Rasulullah saww bersabda kepada Imam Ali, “Mana yang kamu sukai; aku
yang menceritakan peristiwa yang engkau alami; ataukah engkau sendiri?”
Kemudian beliau saww bersabda, “Sebaiknya engkau sendiri yang
menjelaskannya agar disaksikan kaum yang ada.”
Kemudian Imam Ali memulai kisahnya, “Di tengah
padang pasir, saya melihat tiga orang tengah menunggang unta ke arah
saya. Sewaktu melihat saya, mereka berteriak, ‘Siapa kamu?’ Saya jawab,
‘Aku Ali bin Abi Thalib, anak paman utusan Allah (rasulullah) saww.’
Mereka berkata, ‘Kami tidak mengenal orang yang menjadi utusan Allah,
dan bagi kami tak ada bedanya membunuhmu atau membunuh Muhammad.’”
“Pemilik kepala terpenggal ini langsung menyerang
saya. Saat itu pula, berhembus angin merah. Lalu saya mendengar suara
anda bersabda, ‘Pakaian besinya di bagian leher telah aku singkap,
tebaslah urat lehernya,’ saya pun menebas urat lehernya dan
membiarkannya.”
“Kemudian berhembus angin kuning. Saya mendengar
suara anda di antara tiupan angin itu, ‘Baju besinya di bagian paha
tersingkap, pukullah bagian pahanya,’ saya pun memukul bagian pahanya.
Ia pun tersungkur. Saya lalu memisahkan kepalnya dari tubuhnya. Tatkala
saya membunuhnya, kedua tawanan ini menghampiri saya dan berkata,
‘Temanku yang engkau bunuh ini berkemampuan membunuh seribu pasukan
berkuda. Sekarang kami menyerahkan diri kepadamu. Kami mendengar
Muhammad adalah orang yang pemurah dan berhati lembut. Janganlah engkau
membunuh kami. Bawalah kami ke hadapan Muhammad hidup-hidup agar ia
memutuskan hukuman yang layak kami terima.’”
Rasulullah saww bersabda, “Wahai Ali! Suara pertama
yang engkau dengar adalah suara Jibril dan suara kedua yang engkau
dengar adalah suara Mikail, sekarang bawalah kepadaku salah seorang
tawanan itu.” Imam Ali membawa seorang tawanan menghadap Rasulullah
saww. Kemudian Rasulullah saww bersabda kepadanya, “Ucapkanlah Tiada
tuhan selain Allah (lâ ilâha illallâh).” Tawanan itu menjawab,
“Memindahkan gunung Abu Qubais lebih aku sukai daripada harus
mengucapkan kalimat itu.”
Rasulullah saww bersabda, “Bawalah ia dan tebaslah lehernya.” Kemudian Imam Ali melaksanakan perintah Rasulullah saww.
Kemudian Rasulullah saww bersabda kepada Imam Ali,
“Bawalah kemari tawanan kedua.” Imam Ali membawa tawanan itu ke hadapan
Rasulullah saww. Lalu Rasulullah saww bersabda,“Ucapkanlah, Tiada tuhan
selain Allah.” Ia menjawab, “Gabungkan saja aku dengan temanku.”
Rasulullah saww bersabda kepada Imam Ali, “Bawalah
ia juga, dan tebaslah lehernya.” Sekonyong-konyong Malaikat Jibril turun
dari berkata, “Wahai Muhammad, Tuhanmu memberi salam kepadamu, dan
berfirman: ‘Janganlah engkau bunuh orang itu, karena ia memiliki dua
sifat yang mulia; di antara kaumnya ia adalah seorang yang dermawan dan
juga memiliki budi pekerti yang baik.’”
Rasulullah saww bersabda kepada Imam Ali,
“Hentikan! Utusan Allah mengatakan....” Tatkala mengetahui soal
pembatalan pembunuhannya, orang kafir itu berkata, “Ya, aku bersumpah
demi Tuhan, selama aku hidup bersama saudara-saudaraku aku tak pernah
punya uang sedirham pun (maksudnya ia tidak menabung uang yang
diperolehnya, melainkan selalu diserahkan kepada sanak kerabatnya), dan
aku sama sekali tak pernah melarikan diri dari medan perang. Sekarang
aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.”
Rasulullah saww bersabda, “Ia adalah orang yang
ditarik menuju surga yang penuh kenikmatan oleh budi pekertinya yang
baik dan kedermawanannya.”
Membuat Lupa, Senjata Ampuh Setan
Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan
keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah lalu memohon
ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni
dosa selain dari Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya
itu, sedang mereka mengetahui. (Âli Imrân: 135)
Tatkala ayat ini diturunkan (yang menyatakan bahwa
mereka bertobat dan tobatnya diterima disisi Allah), iblis merasa
khawatir lalu pergi ke gunung Tsaur (gunung tertinggi di Mekah). Di
situ, ia berteriak dengan suara paling lantang untuk memanggil dan
mengumpulkan para sahabat dan anak-anaknya. Setelah berkumpul, mereka
menanyakan alasan seruan itu.
Ia menjawab, “Telah turun sebuah ayat (berkenaan
dengan tobat, yang mana itu akan membuat semua usaha yang kita lakukan
sia-sia belaka). Siapakah di antara kalian yang memiliki usul dan jalan
keluar untuk mengatasi persoalan ini?”
Salah seorang dari mereka berkata, “Saya akan
mengajak manusia melakukan dosa ini dan itu, sehingga pengaruh ayat
tersebut akan berkurang.” Namun iblis menolak usul tersebut. Setan lain
juga mengusulkan hal yang sama. Namun iblis lagi-lagi menolaknya. Setan
ketiga, keempat, dan seterusnya memberi usulan, namun kembali ditolak
oleh iblis.
Sampai akhirnya setan yang amat berpengalaman
bernama al-waswâs al-khannâs datang dan berkata, “Saya akan mengatasi
kesulitan ini.” Iblis bertanya, “Bagaimana carnya?” Al-khannâs menjawab,
“Aku akan memberi janji-janji dan angan-angan kepada mereka sehingga
mereka tercemari dosa, kemudian aku membuat mereka lupa beristigfar
(maksudnya, membuatnya lupa dan menjauhkan manusia dari keinginan
bertobat).”
Dalam hal ini, iblis menerima pendapat dan usulan
tersebut, dan berkata, “Tugas ini untukmu.” Dan tugas ini pun
dilaksankan al-khannâs sampai hari kiamat .
Di sini perlu diperhatikan bahawa kata “al-waswâs”
berarti pembisik sedangkan kata “khannas” berarti lari dan bersembuyi.
Ini menghingat setan akan lari bersembunyi tatkala nama Allah
disebut-sebut.
Hasil Belas Kasih
Alkisah, seseorang yang saleh memiliki seorang
sahabat yang sudah meninggal dunia. Selang beberapa waktu, ia melihatnya
dalam mimpi. Ia bertanya kepada temannya itu, “Apa yang dilakukan Tuhan
kepadamu?”
Temannya menjawab, “Aku diletakkan di sisi Tuhan
dan diberi kabar gembira dengan ampunan. Lalu aku mendengar suara dari
sisi Allah: Tahukah engkau mengapa Aku mengampunimu? Aku menjawab,
‘Dikarenakan amal-amal baikku.’ Muncul jawaban: Bukan. Aku menjawab,
‘Dikarenakan keikhlasanku dalam beribadah.’ Bukan. Aku menjawab,
‘Dikarenakan amalan ini dan itu.’ Bukan, semua itu bukan perkara yang
menyebabkan Aku mengampunimu, tegas suara itu.”
“Aku bertanya, ‘Lalu apa yang menyebabkan Engkau
mengampuniku?’ Terdengar jawaban: Apakah engkau masih ingat tatkala
engkau tengah berjalan di salah satu lorong dikota Bagdad, lalu ada
seekor kucing kecil yang tengah kepanasan dan berlindung di bawah
dinding, kemudian engkau mengambilnya dan meletakkannya di bawah bajumu
dan engkau selamatkan dirinya dari kepanasan? Aku menjawab, ‘Benar.’
Kembali muncul jawaban: Karena engkau mengasihi kucing itu; maka Akupun
mengasihimu.”
Kesyahidan Utusan Imam Husain
Rombongan Imam Husain bertolak dari Mekah menuju
Irak. Ketika tiba di dearah bernama Hajiz, surat Muslim bin Aqil sampai
ke tangan Imam Husain. Di dalamnya tertulis, “Masyarakat (Kufah) memberi
sambutan baik dan mereka semua menunggu kedatangan Anda....”
Imam Husain menulis surat untuk para pengikut
beliau di Kufah. Lalu surat itu diserahkan kepada Qais bin Musahhar
Shaidawi, untuk dibawa ke Kufah dan diserahkan kepada pemuka Syiah.
Dalam surat itu tertulis, “Bismillâh al-Rahmân al-Rahîm, dari Husain
untuk saudara seiman, assalâmu’alaîkum. Kami bersyukur kepada Allah yang
Mahaesa, amma ba’du: Surat Muslim bin Aqil telah saya terima, yang
isinya menjelaskan kebaikan pandangan kalian, dan kesiapan kalian
membantu kami dan menuntut hak kami. Saya memohon kepada Allah agar
usaha kita dapat berjalan lancar dan memberi kalian pahala. Pada hari
Selasa tanggal delapan Dzulhijjah, saya keluar dari Mekah. Tatkala
pembawa surat ini (Qais) sampai di sisi kalian, bersatulah dan
bersiap-siaplah. Insya Allah pada hari-hari ini saya akan datang menemui
kalian. Salam, rahmat, dan berkah Allah senantiasa menyertai kalian.”
Qais bertolak ke Kufah. Sesampainya di Qadisiyah,
ia ditangkap orang-orang yang dipimpin Hashin bin Numair. Lalu ia dibawa
ke hadapan Ibnu Ziyad. Di tengah perjalanan ia mengeluarkan surat Imam
Husain yang dibawanya dan dirobek-robeknya. Tatkala sampai di hadapan
Ibnu Ziyad, terjadilah dialog.
Ibnu Ziyad, “Siapakah kamu?”
Qais, “Seorang pengikut Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.”
“Mengapa engkau meobek-robek surat itu?”
“Supaya engkau tidak mengetahui apa yang tertulis dalam surat itu.”
“Dari siapakah surat itu dan untuk siapa?”
“Dari Imam Husain untuk perkumpulan masyarakat Kufah.”
“Apa nama perkumpulan itu?”
“Aku tak tahu.”
Ibnu Ziyad gusar dan berkata, “Naiklah ke ketinggian itu, dan caci makilah si pembohong anak pembohong Husain bin Ali.”
Qais pun melaksankan perintah itu setelah
mengungkapkan pujian kepada Allah, ia berkata, “Wahai manusia! Husain
bin Ali ini adalah anak Fathimah sebaik-baik makhluk Allah. Saya adalah
utusannya untuk kalian. Di Hajiz, saya berpisah dengannya. Sambutlah
ajakan Imam!” Kemudian ia mengutuk Ibnu Ziyad serta ayahnya dan memohon
ampun untuk Imam Ali bin Abi Thalib.
Kemudian Ibnu Ziyad memerintahkan membawa Qais ke atap istana dan melemparkannya ke tanah. Akhirnya, ia pun mereguk kesyahidan.
Wasiat Abu Dzar
Semasa pemerintahan Umar bin Khathab, Abu Dzar
jatuh sakit. Ia pun hanya bisa terbaring d tempat tidur. Merasa waktu
kematiannya tengah menjelang, ia segera berwasiat berkaitan
kehidupannya. Ia memutuskan bahwa orang yang berhak menjalankan
wasiatnya adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Seseorang berkata
kepadanya, “Jika Amirul Mukminin Umar engkau jadikan pelaksana wasiatmu,
itu jusru lebih baik dari Ali bin Abi Thalib.”
Abu Dzar menjawab, “Demi Allah! Aku telah mewasiatkan kepada Amirul Mukminin yang sesungguhnya.”
Abbas dan Kedudukan Bâb al-Hawâij (Pintu Berbagai Keperluan)
Seorang yang saleh tinggal di Karbala. Anaknya yang
juga saleh, tengah jatuh sakit. Pada malam hari, ayahnya berziarah ke
makam suci hazrat Abu al-Fadl Abbas, dan bertawasul kepada beliau dengan
tulus dan murni seraya berharap agar beliau memohonkan kepada Allah
bagi kesembuhan puteranya.
Ketika masuk waktu subuh, salah seorang teman orang
saleh itu menghampirinya dan berkata, “Malam ini aku bermimpi sangat
menakjubkan. Aku akan menceritakannya padamu; dalam mimpiku aku melihat
hazrat Abbas bin Abi bin Abi Thalib memohon kesembuhan bagi puteramu.
Saat itu, datang seorang [malaikat] utusan Rasulullah saww menemui Abbas
dan berkata, ‘Rasulullah saww bersabda bahwa berkaitan dengan
kesembuhan anak ini janganlah engkau memberi syafaat karena ajal pasti
(hatmî)-nya sudah dekat, dan usia yang telah ditakdirkan untuknya akan
segera habis, dan kehidupannya akan segera berakhir.’”
“Kemudian hazrat Abbas berkata kepada malaikat itu,
‘Sampaikanlah salamku kepada Rasulullah saww dan katakan kepada beliau
demi kedudukanmu di sisi Allah. Akumeminta kepadamu agar memberi syafaat
dan mohonlah kepada Allah agar menyembuhkan pemuda yang sedang sakit
ini.’”
“Malaikat itupun kembali dan menyampaikan salam Abbas kepada Rasulullah saww dan mengutarakan pesannya.”
“Rasulullah saww bersabda, ‘Pergi dan katakanlah
kepada Abbas bahwa ajal anak lelaki itu telah tiba.’ Kemudian ia
menyampaikan pesan Rasulullah saww kepada Abbas, dan Abbas pun memberi
jawaban sebagaimana jawaban pertama. Dan kejadian ini berulang sampai
tiga kali.”
“Akhirnya pada kali yang ketiga, wajah Abbas
memucat. Ia lalu bangkit dan menemui Rasulullah saww seraya berkata,
‘Wahai Rasulullah saww, tidakkan saya telah dijuluki dengan bâb
al-hawâij? Dan orang-orang juga sudah mengetahuinya dan mereka
bertawasul kepada saya serta memohon syafaat atas nama itu?’”
“Kemudian Rasulullah saww tersenyum dan bersabda
kepada Abbas, ‘Kembalilah, Allah akan membuatmu merasa gembira. Engkau
adalah bâb al-hawâij dan berilah syafaat kepada siapa yang engkau
kehendaki, dan dengan berkah keberadaanmu, Allah tetap menyembuhkan
pemuda yang sakit ini.’ Setelah itu saya terjaga dari tidur.”
Kecintaan Rasulullah saww Terhadap Para Penyair Ahlul Bait
Di’bil al-Khuza’î adalah seorang penyair yang bebas dan merdeka. Lewat syair-syairnya, ia membela kehormatan para imam Ahlul Bait. Jadinya, nama mereka pun senantiasa membayang di benak bnyak orang.
Anaknya Ali bin Di’bil berkata, “Saat-saat kematian
ayahku tiba, aku menyaksikan ayahku akan menghembuskan nafas
terakhirnya. Saat itu wajahnya berubah mmenjadi hitam dan lidahnya kaku.
Dalam keadaan inilah ia meninggal dunia. Lalu saya meragukan kebenaran
Mazhab Syiah yang dianutnya; benar atau menyimpangkah? Jika benar,
mengapa ayahku meninggal dalam keadaan yang buruk ini? (Itu menunjukkan
akhir hayat yang buruk) Keraguan ini senantiasa menyelimuti hatiku.
Sampai lewat tiga hari setelah kematian ayahku, aku melihat ayahku di
alam mimpi dengan mengenakan pakaian putih dan kopiah putih seraya
berkata kepadaku, ‘Anakku! Apa yang engkau saksikan di saat kematianku;
wajahku menghitam dan lidahku kaku, adalah karena sewaktu di dunia aku
meminum minuman keras, dan aku senantiasa berada dalam keadaan itu
sampai akhirnya aku berjumpa Rasulullah saww, dengan mengenakan baju dan
kopiah putih, lalu beliau saww bertanya kepadaku, ‘Apakah engkau adalah
Di’bil?’ Aku menjawab, ‘Benar wahai Rasulullah saww.’ Beliau saww
bersabda, ‘Bacakanlah syair-syair yang kamu buat berkenaan dengan
anak-anakku.’ Kemudian aku membacakan dua bait syair ini:
Wahai masa semoga Allah tidak membuatmu tertawa, disaat tertawa
Dan anak keturunan Muhammad tertindas dan menderita
Diusir dan diasingkan dari rumah-rumah mereka
Seakan mereka telah melakukan kejahatan yang tak terampuni.
Kemudian Rasulullah saww bersabda, ‘Bagus!’ Dan
beliau saww memberiku syafaat. Pakaian dan kopiah putih yang engkau
lihat ini adalah hadiah beliau saww.”
Dua Majelis Diskusi di Tengah Malam ‘Âsyûrâ’
Sayyidah Zainab menceritakan bahwa pada pertengahan
malam ‘Âsyûrâ’, beliau mendatangi kemah saudaranya, Abu al-Fadl Abbas.
Beliau melihat para pemuda Bani Hasyim tengah duduk melingkar di
sekelilingnya. Dan ia duduk dengan tegap sambil memancing diskusi dengan
mereka. Ia berkata, “Wahai saudara-saudaraku! Wahai putera-putera
pamanku! Besok, tatkala perang dengan musuh dimulai, kalian harus berada
di depan dan merupakan orang pertama yang maju ke medan perang. Jangan
sampai orang-orang mengatakan bahwa Bani Hasyim menjadikan kita sebagai
penolong mereka sementara mereka lebih mengutamakan kehidupannya sendiri
ketimbang kematiannya.”
Para pemuda Bani Hasyim dengan penuh semangat menjawab, “Kami patuh pada perintah Anda.”
Sayyidah Zainab binti Ali bin Abi Thalib berkata,
“Dari sana saya menuju kemah Habib bin Mazhahir dan melihat para sahabat
(selain Bani Hasyim) duduk melingkarinya. Ia berkata kepada mereka,
‘Wahai para penolong! Besok tatkala perang dimulai, kalian harus menjadi
orang pertama yang maju ke medan tempur, karena Bani Hasyim adalah para
junjungan dan pembesar kita, dan kita harus berkorban untuk mereka.’
Para sahabat menjawab, ‘Benar sekali ucapanmu.’ Mereka pun menepati
ucapan mereka dan bergerak maju ke medan tempur lebih dulu dari Bani
Hasyim. Setelah melakukan perlawanan, akhirnya mereka gugur sebagai
syuhada.”
Pengorbanan Burair di Malam Tâsû’â (Kesembilan Muharam)
Burair bin Khuzhair merupakan guru al-Quran dan pengikut setia Imam Ali bin Abi Thalib. Ia berasal dari kabilah Hamdan, Kufah. Dalam peristiwa Karbala, ia bergabung dengan pasukan Imam Husain dan termasuk penolong setia beliau. Pada hari ‘Âsyûrâ’ (kesepuluh Muharam), setelah melakukan pengorbanan yang cucup besar, ia gugur sebagai syahid.
Di Karbala, ia menawarkan diri kepada Imam Husain,
“Wahai putera Rasulullah, Allah Swt mewajibkan kami berjuang bersamamu,
sampai tubuh kami terpotong-potong, dan kami berharap mendapatkan
syafaat kakekmu kelak di hari kiamat; kami telah siap terbunuh di
jalanmu.”
Sukainah puteri Imam Husain berkata, “Di malam
kesembilan Muharam, persediaan air di kemah Imam Husain telah habis;
bejana-bejana penyimpan air telah kering. Kami dicekam kehausan sehingga
bibir-bibir kami kering. Kami berharap meminum seteguk air. Lalu saya
pergi menemui bibi saya, Zainab, untuk mendapatkan air. Sesampai di
kemahnya, saya menyaksikan saudara kecil saya, Abdullah yang masih
menyusu, sedang berada di pelukannya. Lantaran dicekam rasa haus, ia
menggigit lidahnya. Bibiku kadang duduk dan kadang berdiri. Leherku
rasa-rasnya seperti dicekik akibat tangisanku. Tapi supaya bibiku tidak
merasa tersiksa, aku menjaga diriku agar tampak tenang. Saat itu juga,
bibiku memandangku dan bertanya, ‘Mengapa engkau menangis?’ Saya
menjawab, ‘Aku menangis lantaran menyaksikan adikku yang masih
menyusui.’ Ia berkata, ‘Berdirilah. Marilah kita pergi ke kemah
paman-paman dan kemenakan, mungkin sana mereka masih punya simpanan
air.’”
“Saya menjawab, ‘Saya tidak yakin jika di sana
masih terdapat air.’ Namun saya pergi juga ke kemah mereka. Di sana, ada
sekitar 20 anak lelaki dan perempuan yang ikut bersama kami. Semunya
menangis seraya berucap, ‘Haus! Haus!’ Burair beserta tiga orang
sahabatnya mendengar jerit tengis anak-anak itu dan bertanya, ‘Mengapa
mereka menangis?’”
“Seseorang menjawab, ‘Tangisan ini berasal dari anak-anak Imam Husain, karena mereka kehausan.’”
“Kemudian Burair memandang para sahabatnya dan
berkata, ‘Pantaskah kita memiliki pedang dan anak-anak Rasulullah saww
mati kehausan? Demi Allah kita tak akan membiarkan keadaan ini!’”
“Seorang sahabat berkata, ‘Menurut pandangan saya,
sebaiknya setiap dari kita membawa seorang anak, dan kita bawa ke tepi
sungai Eufrat dan membiarkan mereka minum sampai kenyang, lalu
kembali.’”
“Burair berkata, ‘Pandangan semacam ini tidak
tepat, sebab ada kemungkinan terjadi peperangan dan anak-anak akan
terkena panah. Jelas, penyebabnya adalah kita. Menurut saya, kita
membawa kantong air dan pergi ke sungai Eufrat. Lalu kita penuhi kantong
itu dengan air dan semampunya kita bawa kembali ke kemah. Sekiranya
diserang musuh, kita masih bisa mengadakan perlawanan serta mengorbankan
jiwa dan raga kita untuk Imam Husain dan puteri-puteri Rasulullah
saww.’”
“Para sahabat setuju. Mereka lalu membawa kantong
air dan berangkat bersama Burair menuju sungai Eufrat. Dalam kegelapan,
mereka sampai ke tepi sungai. Salah seorang musuh berteriak, ‘Siapa
kalian?’ Burair menjawab, ‘Aku adalah Burair dengan beberapa sahabatku
datang untuk mengambil air.’ Ia berkata, ‘Kalian boleh meminum air, tapi
jangan membawa walau setetes pun untuk Husain.’”
“Burair menjawab, ‘Celakalah kalian! Kami minum
air, sementara Husain dan puteri Rasulullah saww mati kehausan? Tidak,
sama sekali tak akan terjadi.’ Kemudian ia memandang para sahabatnya dan
berkata, ‘Jangan ada di antara kalian yang meminum air. Ingatlah mereka
yang sedang kehausan di kemah.’”
“Salah seorang sahabatnya berkata, ‘Demi Allah,
saya tak akan minum sampai hati putera-puteri Rasulullah menjadi dingin
dengan tetesan air.’”
“Saat itu, Burair memenuhi kantong air yang
dibawanya dan seorang meninggalkan sungai Eufrat. Melihat itu, pasukan
musuh menghadang Burair dan para sahabatnya. Setelah berada di tengah
kepungan musuh, mulailah mereka terlibat peperangan sengit. Burair
berkata kepada para sahabatnya, ‘Salah satu dari kita harus membawa
kantong air ini ke kemah, sementara yang lain tetap berperang melawan
musuh. Salah seorang sahabatnya bersedia menjalankan tugas itu. Ia lalu
mengalungkan tempat air tersebut di lehernya dan dibawanya ke kemah.
Tiba-tiba, sebuah anak panah melesat dan mengenai tali kantong air dan
menancap di leher. Darah mengalir dari lehernya. Ia mencabut anak panah
itu seraya berkata, ‘Alhamdulillah, leherku telah aku korbankan demi
tempat air dan putera-puteri Imam Husain.”’
“Burair terus berperang seraya menasihati musuh.
Tatkala Imam Husain mendengar suara Burair, beliau berkata, ‘Seakan-akan
aku mendengar suara Burair tengah menasihati musuh dan meminta bantuan
kepada keluarga Hamdan’”
Seketika itu, dua belas orang sahabat Imam Husain
bergegas memberikan bantuan dan menyelamatkannya dari terkaman musuh.
Burair dan para sahabatnya kembali ke kemah dengan membawa kantong air.
Ia merasa gembira karena dapat membawa kantong air ke kemah. Tatkala
kantong air itu diletakkan ke tanah, anak-anak yang sudah amat kehausan
itu segera menghampirinya dan saling berebut. Akibatnya, tutup kantong
air itu terbuka dan airnya tumpah. Burair mejerit, “Celakalah aku,
terhadap rasa haus yang menimpa putera-puteri Rasulullah....”
Kota Tanpa Kekurangan
Imam Muhammad al-Baqir menceritakan bahwa salah
seorang raja dari Bani Israil menyatakan, “Saya akan membangun sebuah
kota yang sama sekali tidak memiliki kekurangan. Tak seorang pun yang
akan menemukan cacat dan kekurangannya.” Kemudian ia memerintahkan para
pekerja dan ahli bangunan untuk membangun kota itu. Setelah selesai
dibangun, orang-orang sibuk menyaksikan kota itu dan semunya sepakat
bahwa kota tersebut tiada tandingannya dan tak memiliki cacat dan
kekurangan apapun.
Namun, seorang lelaki menghampiri sang raja dan
berkata, “Jika Anda menjamin keselamatan saya dan jiwa saya dalam
keadaan aman, saya akan menyebutkan cela dan dan kekurangan kota ini.”
“Aku menjamin keselamatanmu,” jawab Raja.
Orang itu berkata, “Ada dua cacat dan kekurangan; Pertama, pemiliknya akan mati; kedua, sepeninggalmu kota ini akan hancur.”
Raja berpikir dan berkata, “Kekurangan apa yang lebih dari itu? Menurut pendapatmu, apa yang harus saya lakukan?”
Lelaki itu menjawab, “Bangunlah sebuah kota yang
akan terus kekal dan tak akan hancur selamanya, serta di dalamnya Anda
senantiasa dalam keadaan muda dan tidak dihampiri ketuaan (dan kota itu
adalah surga).”
Sang raja menceritakan peristiwa yang dialami
kepada isterinya. Berpikir sebentar, isterinya berkata, “Di antara orang
orang yang hidup di kota ini, hanya dirinyalah satu-satunya orang yang
jujur.”
Syarat Dikabulnya Doa
Imam Ja’far al-Shadiq berkata, “Seorang lelaki dari
Bani Israil selama tiga tahun berdoa agar Allah mengaruniainya seorang
anak lelaki. Namun doanya tidak terkabul. Tatkala menyadari bahwa Allah
tidak mengabulkan doanya, ia berkata, “Ya Allah! Apakah aku jauh dari-Mu
sehingga Engkau tidak mendengar suaraku, ataukah Engkau dekat tetapi
tidak menjawab permintaanku?’”
“Dalam mimpinya, seseorang mendatanginya dan
berkata, ‘Sesungguhnya engkau memohon kepada Allah dengan lisan sia-sia
dan hati yang kotor dan tidak bertakwa, serta niat yang tidak benar.
Karena itu, tinggalkanlah pembicaraan yang tidak bermanfaat, dan
sucikanlah hati dan niatmu, agar doamu dikabulkan.’ Kemudian ia
melaksanakan nasihat itu lalu memanjatkan doa. Dan Allah pun mengabulkan
doanya serta mengaruniainya seorang anak lelaki.’”
Penjelasan Imam Khomeini kepada Rakyat
Mir Husain Musawi, mantan perdana menteri Republik
Islam Iran mengatakan, “Kami para anggota pemerintahan, tatkala
menghadap Imam Khomeini, beliau senantiasa menegaskan, ‘Jangan sampai
kalian melakukan suatu pekerjaan dan tidak dapat menjelaskannya kepada
rakyat.’”
“Pada suatu hari, kami datang menemui Imam Khomeini
dan membicarakan soal pengorbanan masyarakat. Beliau berkata,
‘Masyarakat ini berada jauh di depan kita.’ Salah seorang dari kami
berkomentar, ‘Jika kami mengatakan bahwa kami berada di belakang rakyat,
itu benar, namun tidak demikian dengan Anda.’ Mendengar komentar ini,
Imam Khomeini merasa tidak senang dan berkata, ‘Tidak, rakyat ini sudah
berada jauh di depan kita semua.’”
Dalam ceramahnya (tanggal 4-3-1358 Hijriah
Syamsiah) yang berkaitan dengan masyarakat tertindas, Imam Khomeini
menyatakan di hadapan berbagai tokoh masyarakat, “Jika kalian menganggap
lemh orang-orang yang berada di bawah kalian, kemudian―semoga Allah
melindungi kita―kalian menekan mereka, maka kalian adalah para penindas,
sementara mereka yang ada di bawah kekuasaan kalian adalah orang-orang
yang tertindas.”
Pengadilan Amat Mencengangkan di Tengah Bani Israil
Imam Muhammad al-Baqir mengisahkan bahwa di antara
Bani Israil, pernah hidup seorang yang kaya dan cerdik pandai. Ia
memiliki dua orang isteri. Salah satunya suka menjaga kesucian diri.
Dari wanita ini, ia memiliki seorang anak lelaki. Dan anak lelakinya itu
amat mirip dengan ayahnya. Namun, isterinya yang lain tidak menjaga
kesucian dirinya. Ia melahirkan dua orang putera. Tatkala berada di
ambang kematian, sang ayah berwasiat kepada anak-anaknya sebagai
berikut, “Hartaku adalah milik seseorang di antara kalian.” Tatkala
telah meninggal dunia, ketiga anaknya itu berselisih dalam hal mewarisi
harta warisan. Anak sulung berkata, “Seseorang itu adalah saya.” Anak
pertengahan berkata, “Tidak,itu adalah saya.” Dan anak bungsu juga
berkata, “Saya lah orang itu.”
Ketiganya mengadukan perselisihan mereka kepada
seorang hakim. Lalu hakim berkata, “Saya tak dapat mengadili kalian.
Namun saya akan menganjurkan kalian menemui tiga bersaudara dari Bani
Ghanâm. Mintalah kepada mereka untuk menyelesaikan perselisihan kalian.”
Pertama-tama, mereka menemui salah seorang dari
Bani Ghanâm itu yang ternyata adalah orang yang sudah tua renta dan
sedang terbaring. Mereka lalu mengungkapkan persoalan yang ada. Ia
menjawab, “Pergilah kalian menemui saudaraku yang lebih tua dariku.”
Kemudian mereka menemui orang yang dimaksud yang ternyata adalah orang
yang amat tua tapi masih tegap. Setelah mengungkapkan permasalahannya,
mereka memperoleh jawaban, “Pergilah kalian menemui saudaraku yang lebih
tua dariku.”
Mereka lalu berangkat menemui saudaranya yang
ketiga. Wajah orang yang dimaksud tampak jauh lebih muda ketimbang kedua
saudaranya. Mereka menanyakan perihal keadaan ketiga bersaudara dari
Bani Ghanâm itu, “Mengapa usiamu lebih tua dari yang lain namun tampak
lebih muda dari kedua adikmu?” Orang itu menjawab, “Saudaraku yang
pertama kali kalian lihat adalah adikku yang paling kecil (bungsu)
tetapi ia memiliki seorang isteri yang berperangai buruk. Namun ia tetap
hidup berdampingan dengan wanita itu, bersabar, dan menanggung beban
derita. Ia takut dan khawatir jika (bercerai dengannya) akan menghadapi
berbagai bencana dari musibah yang tidak dapat ditanggungnya. Itulah
yang menyebabkannya tampak lebih tua renta dan kehilangan tenaga. Adapun
saudaraku yang kedua yang kalian saksikan adalah adikku yang
pertengahan. Ia memiliki isteri yang adakalanya membuatnya bahagia dan
adakalanya pula membuatnya bersedih dan menderita. Karena itu,
kondisinya berada di tengah-tengah. Sedangkan aku punya seorang isteri
yang baik yang senantiasa membuatku senang dan bergembira. Karena
itulah, aku menjadi tampak lebih muda dari kedua adikku. Adapun jalan
penyelesaian bagi wasiat ayah kalian; pergilah kalian ke kubur ayah
kalian dan galilah kubur ayah kalian. Keluarkanlah tulang belulangnya
dan bakarlah tulang itu kemudian pergilah ke hadapan hakim. Biarkan ia
yang memutuskannya.”
Ketiga bersaudara itu segera meninggalkannya. Dua
orang di antaranya yang merupakan putera dari wanita yang tidak menjaga
kesucian diri, segera mengambil sekop dan cangkul. Lalu berangkat menuju
kubur ayahnya untuk menggalinya....
Namun anak ketiga (yang ibunya adalah seorang
wanita suci) malah mengambil pedang ayahnya dan mendatangi kubur ayahnya
serta berkata kepada kedua saudaraya, “Saya memberikan bagian warisan
saya dari ayah untuk kalian, tetapi kalian jangan menggali kubur ayah.”
Kemudian ketiganya menemui hakim dan menceritakan
kisah yang dialami. Hakim berkata, “Usaha kalian sampai sekerang ini,
sudah cukup. Aku akan mengambil keputusan. Serahkanlah harta warisan itu
kepadaku dan aku akan memberikannya kepada yang berhak menerimnya.”
Kemudian ia berkata kepada anak yang paling muda (yang tidak rela kubur
ayahnya dibongkar), “Ambillah harta ini, engkaulah pemilik harta ini.
Jika kedua saudaramu benar-benar anak dari ayahmu, niscaya hati mereka
akan seperti hatimu; merasa bersedih dan tidak rela kubur ayahnya
dibongkar.”
[1]
Ungkapan ini merupakan bagian dari doa “Ziârah al-Jâmi’ah”. Doa ziarah
ini diriwayatkan Imam Ali al-Ridha, “Bacalah doa ziarah ini tatkala
kalian berziarah ke kubur salah seorang imam (ahlul bait) atau seluruh
kubur suci para nabi dan wasyi”. Isi doa tersebut adalah, “Salam atasmu
wahai Ahlul Bait kenabian... para politikus (pemimpin) para hamba dan
tonggak tonggak negeri.”
BAB II
Hukuman atas Pemimpin nan Kejam
Salah seorang pemimpin pasukan musuh yang membantai
Imam Husain dan para sahabatnya di Karbala, bernama Akhnas bin Zaid. Ia
adalah orang yang kejam, buas, dan tak punya belas kasih. Di antara
kekejamannya adalah memimpin sepuluh orang berkuda untuk menginjak-injak
jasad suci Imam Husain, sampai tulang dada dan punggung beliau hancur.
Orang biadab ini selamat dari pembalasan Mukhtar
al-Tsaqafi yang bangkit mengadakan pembalasan terhadap mereka yang telah
membantai Imam Husain berserta para sahabatnya. Ia tetap hidup hingga
berusia 90 tahun.
Pada suatu malam, ia―dengan berpura-pura menjadi
orang asing―bertamu ke rumah, seorang muslim pecinta Ahlul Bait bernama
Sudai. Sekarang marilah kita dengarkan kisahnya secara langsung dari
lisan Sudai:
Pada suatu malam, seorang lelaki bertamu kerumahku
dan aku menyambut kedatangannya dengan baik. Aku berharap malam itu aku
dapat menjalin persahabatan dengannya. Ia adalah Akhnas bin Zaid.
Sebelumnya, aku tidak mengenalnya. Aku mencurahkan isi hatiku, sampai
akhirnya masuk ke pembahasan tragedi Karbala. Aku menarik nafas panjang.
Ia bertanya, “Ada apa denganmu, mengapa engkau tampak bersedih?”
“Aku teringat berbagai musibah, yang berbagai musibah apapun (selain musibah itu) terasa amat ringan,” jawabku.
“Apakah engkau hadir di Karbala?” tanyanya.
“Aku bersyukur kepada Allah karena aku tidak hadir di sana,” jawabku.
“Ungkapan syukurmu ini untuk apa?”
“Karena aku tidak ikut serta dalam (tertumpahnya)
darah al-Husain. Tidakkah engkau mendengar bahwa Rasulullah saww
bersabda, ‘Barangsiapa ikut serta dalam (tertumpahnya) darah al-Husain,
maka ia akan diperiksa sebagaimana orang yang menumpahkan darah al-
Husain; pada hari kiamat timbangan amal (baik)nya akan menjadi ringan.’
Tidakkah engkau mendengar bahwasanya Rasulullah saww juga bersabda,
‘Barangsiapa membunuh puteraku al-Husain, maka di Jahanam nanti ia akan
dimasukkan ke dalam peti yang dipenuhi dengan api.’ Tidakkah engkau
mendengar....”
Mendengar itu, Akhnas berkata, “Engkau jangan percaya semua itu; bohong belaka.”
“Bagaimana aku tidak mempercayainya Sedangkan
Rasulullah saww bersabda, ‘Aku tidak berbohong dan tidak pula
dibohongi.’” jawabku.
Akhnas menjawab, “Mereka mengatakan bahwa Rasul
saww bersabda, ‘Pembunuh al-Husain tidak akan berumur panjang.’ Tapi aku
bersumpah demi nyawamu bahwa aku berumur lebih dari sembilan puluh
tahun. Tidakkah engkau mengenalku?”
“Tidak,” tegasku.
“Aku adalah Akhnas bin Zaid, yang sesuai perintah
Umar bir Sa’ad membawa kudaku ke jasad Husain dan menginjak-injaknya
sampai tulang-tulangnya hancur....”
Sudai berkata, “Saat itu aku amat bersedih dan
hatiku terasa sakit dan terbakar. Lalu aku berkata pada diriku sendiri,
‘Aku harus membinasakannya.’ Aku melihat nyala pelita di ruangan mulai
meredup. Lalu aku bangkit untuk mengatur nyala apinya. Akhnas berkata,
‘Duduklah, biarkan aku yang melakukannya.’ Ia tampak sombong dan takabur
atas panjangnya usia dan keselamatannya. Ia lalu bangkit untuk mengatur
nyala pelita itu. Tiba-tiba pelita itu menyambar dan membakar telapak
tangannya. Sekalipuan ia menggosok-gosokkan tangannya ke tanah, nyala
api itu tak kunjung padam. Perlahan-lahan api itu membakar lengannya.”
“Kemudian dengan memelas ia memohon kepadaku,
‘Tolonglah aku! Aku terbakar.’ Sekalipun bermusuhan dengannya, aku
segera mengambil air dan menyiramkan ke tangannya. Namun siraman itu
sama sekali tidak berarti. Nyala api terus bekobar-kobar. Lalu ia
berlari dan menceburkan dirinya ke sungai. Namun saking besarnya,
kobaran api itu bukan padam, malah kian berkobar dan menjilat habis
tubuhnya. Demi Allah, biarpun ia menceburkan dirinya ke dalam sungai,
api tersebut tidak padam. Tak pelak, Akhnas pun menjadi arang dan
mengapung di permukaan air .”
Penegasan Imam Ali al-Ridha tentang Upah Pekerja
Sulaiman bin Ja’far berkata, “Saya berjalan bersama
Imam Ali al-Ridha untuk suatu pekerjaan. Sampai akhirnya saya ingin
kembali ke rumah. Lalu beliau berkata kepadaku, ‘Ikutlah denganku dan
malam ini menginaplah di rumahku.’ Saya menerima ajakan beliau dan
berangkat menuju rumah beliau. Imam Ali al-Ridha memandangi
budak-budaknya yang saat itu sedang sibuk membuat adonan tanah liat
untuk membangun dinding. Pandangan mata beliau tertumbuk pada seorang
budak hitam asing.
Beliau berkata kepada para budaknya, ‘Budak hitam
ini, apa yang dikerjakannya di sini?’ Mereka menjawab, ‘Ia kami jadikan
pekerja di sini untuk membantu pekerjaan kami dan nantinya kami akan
memberinya upah.’ Imam Ali al-Ridha bertanya, ‘Apakah kalian telah
membuat kesepakatan perihal upahnya?’ Para budak menjawab, ‘Belum, tapi
ia yang datang untuk bekerja dengan kami, sehingga akan mendapat upah
sesuai kerelaan kami.’ ‘Imam Ali al-Ridha merasa tidak senang terhadap
cara seperti itu. Beliau memarahi budak-budaknya, bahkan mencambuknya.
Setelah itu, beliau berkata, ‘Mengapa kalian tidak menentukan upah
pekerja!’”
Sulaiman bin Ja’far bertanya, “Mengapa Anda begitu
marah?” Imam Ali al-Ridha menjawab, “Saya telah berulangkali melarang
budak-budak ini agar jangan sampai tidak menentukan jumlah upah bagi
pekerja. Berulangkali saya berpesan kepada mereka agar terlebih dulu
membuat perjanjian soal jumlah upah yang akan diterima pekerja. Hai
Sulaiman! Ketauhilah bahwa jika engkau tidak terlebih dulu menentukan
upah, setelah usai bekerja, dan engkau memberi upah kepada pekerja itu
tiga kali lebih bnyak dari upah yang semestinya, maka ia tetap akan
mengira bahwa upah yang diterimanya itu kurang dari semestinya. Dan bila
engkau telah menentukan upahnya, maka tatkala perkerjaannya selesai
lalu engkau memberi upah (yang telah disepakati bersama), niscaya ia
akan berterimakasih kepadamu. Sekiranya engkau memberinya tambahan (dari
ketentuan yang ada), ia akan tahu bahwa engkau telah memberi tambahan
kepadanya.”
Jawaban Sulaiman untuk Seorang ‘Abid
Suatu hari Nabi Sulaiman as bersama pengawal
kerajaannya mengadakan perjalanan. Burung-burung beterbangan di atas
beliau demi melindungi beliau dari sengatan sinar matahari. Jin serta
manusia yang berada di sekelilingnya, berjalan dengan penuh santun. Di
tengah jalan, ia berjumpa dengan seorang ‘abid yang duduk di suatu sudut
dan sibuk beribadah kepada Allah.
Sewaktu melihat Nabi Sulaiman berserta
rombongannya, ‘abid itu mendekat dan berkata, “Hai putera Daud. Benarkah
Allah Swt telah memberimu kerajaan dan kekuasaan yang amat besar?!”
Nabi Sulaiman as yang tidak memiliki keterikatan
hati dengan kedudukan dan tidak terperdaya oleh status yang bersifat
lahiriah berkata kepada sang ‘abid, “Tasbih di hati seorang mukmin lebih
baik dari apa-apa yang diberikan kepada putera Daud. Sesungguhnya
apa-apa yang diberikan kepada putera Daud akan lenyap sedangkan tasbih
senantiasa kekal.”
Peperangan Abu al-Fadl Abbas dengan Marid bin Shudaif
Zuhair bin al-Qain adalah seorang prajurit dan
pembela Imam Husain di Karbala yang gagah berani pada hari ‘Âsyûrâ’,
tatkala Abbas bin Ali bin Abi Thalib hendak berangkat menuju medan
perang, Zuhair menghampirinya dan berkata, “Wahai putera Amirul
Mukminin! aku hendak menyampaikan sesuatu kepadamu.” Abbas menjawab,
“Sampaikanlah, waktunya sempit.”
Wahai Abu al-Fadhl! Tatkala ayahmu hendak menikah
dengan ibumu, Ummul Banin, ia berkata kapada suadaranya Aqil yang ahli
dalam silsilah keturunan (nasab), “Pinanglah untukku seorang wanita yang
berasal dari keturunan yang gagah berani, supaya Allah mengaruniaiku
putera yang gagah berani, sehingga menjadi tangan dan rela berkorban
demi menolong anakku al-Husain.’ Wahai Abbas! Ayahmu menghendakimu hari
ini, oleh karena itu, janganlah engkau kurang sempurna dalam membela
kehormatan Imam Husain.”
Mendengar ucapan ini Abbas amat tersentuh. Dengan
bergegas dan mantap, ia menunggangi kudanya dan berkata, “Wahai Zuhair!
Pada kesempatan ini, engkau hendak memberiku semangat dan kekuatan. Demi
Allah, aku akan menunjukkan padamu pengorbananku, yang engkau sama
sekali belum pernah saksikan tandingannya.”
Setelah menyampaikan jawabannya ini, Abbas memacu
kudnya ke arah musuh. Ia menyerang musuh sedemikian dahsyat. Pedangnya
bagaikan kilat yang menyambar-nyambar. Ia berhasil membunuh seratus
pasukan musuh.
Saat itu, seorang musuh yang dikenal keberaniannya
bernama Marid bin Shudaif Taghlabi, dengan topi besi melekat kuat di
kepalnya dan mengenakan dua lapis pakaian besi yang rantainya
kecil-kecil, bergegas menunggang kuda. Ia menggenggam sebuah tombak
panjang. Dengan teriakan yang menggema ke seluruh medan laga, ia memacu
kudnya ke arah Abbas dan berkat, “Hai anak lelaki! Kasihanilah dirimu.
Masukkan kembali pedangmu ke sarungnya. Perlihatkanlah kepada
orang-orang penyerahanmu; bagimu keselamatan jauh lebik baik dari
penyesalan.”
Abbas menjawab sesumbar Marid, “Hai musuh Allah dan
Rasul-Nya! Aku telah siap untuk berlaga dengan bertawakal kepada Allah
yang Mahabesar, dan akan senantiasa bersabar. Karena aku memiliki
hubungan kerabat dengan Rasulullah saww dan dibesarkan dari pohon
kenabian. Orang yang berasal dari keturunan semacam ini, sama sekali tak
akan menyerah kepada thaghût (orang zalim), dan tak akan bersedia
bertekuk lutut di bawah panji penguasa zalim, tidak merasa gentar
terhadap tebasan pedang. Aku adalah putera Ali dan tak akan pernah
merasa lemah dalam menghadapi penantang....”
Kemudian Abbas melantunkan syair yang ditujukan kepada Marid.
Bertahanlah, ketahuilah bahwa segala sesuatu itu bakal musnah
Tak mungkin orang sepertiku akan merasa takut
Sekonyong-konyong Marid mengarahkan tombaknya yang
penjang ke tubuh Abbas. Namun Abbas memegang erat tombak itu dan
menariknya dengan kuat sehingga hampir saja Marid terlempar dari
kudanya. Ia terpaksa melepas tombaknya dan menghunus pedangnya.
Abbas mengayunkan tombak Marid dan berteriak, “Hai
musuh Allah, aku memohon kepada Allah agar mampu mengantarkanmu ke dasar
neraka Jahanam.”
Segera saja Abbas menancapkan tombak Marid ke paha
kuda yang ditunggangi Marid. Kudanya menjadi tidak terkendali. Marid pun
menjatuhkan dirinya ke tanah. Kejadian ini sungguh memalukan. Melihat
itu pasukan musuh guncang dan kebingungan. Kontan Syimr berteriak kepada
pasukannya, “Celakalah kalian bantulah teman kalian, jangan sampai ia
terbunuh.”
Seorang pemuda dari pasukan musuh menunggang kuda
(kudanya itu berjuluk “thawiyah”) untuk menjemput Marid. Seketika itu,
Marid berteriak, “Hai pemuda! Segara bawalah kemari Thawiyah, sebelum
masuk ke dalam Hawiyah (neraka).”
Tatkala pemuda itu telah mendakat, Abbas
menancapkan tombaknya ke dadanya. Ia pun jutuh tersungkur. Lalu Abbas
menunggangi kuda thawiyah. Tak lama, datanglah 500 tentara musuh ke arah
Abbas demi meyelamatkan Marid dari tangan Abbas. Kedatangan mereka sama
sekali tidak membuat Abbas gentar. Dalam hitungan detik Abbas
menancapkan tombaknya ke leher Marid. Akhirnya, Marid pun tersungkur ke
tanah dan tewas. Kemudian Abbas menyerang musuh yang menghampirinya. Ia
berhasil membunuh 70 orang. Sisanya lari tungang langgang.
Imam Ja’far al-Shadiq menyifati keberanian Abbas
dengan mengatakan, “Aku bersaksi sesungguhnya engkau tidak lemah dan
tidak pula takut dan engkau telah mengerahkan seluruh tenagamu (dalam
menghadapi musuh).”
Syafaat Bagi Siapa?
Seorang ulama menceritakan bahawa seorang penyair bernama Hajib keliru dalam memahami syaafaat. Ia melantukan syair ini:
Jika Hajib bertransaksi di hari kebangitan dengan Ali (bin Abi Thalib)
Berbuatlah dosa sesukamu, dan saya akan menjamin
Di malam hari, ia bermimpi berjumpa dengan Amirul
Mukminin Ali bin Abi Thalib dalam keadaan marah dan berkata kepadanya,
“Engkau tidak melantunkan syair yang bagus.”
“Bagaimanakah sebaiknya?” tanya Hajib.
Imam Ali menjawab, “Perbaikilah syairmu menjadi ini:
Hayib jika bertransaksi di hari kebangkitan dengan Ali
Malulah kepada Ali, sedikitlah berbuat dosa.
Ya, harus terdapat keserasian antara pemberi
syafaat dan penerima syafaat. Antara pemberi syafaat (syafî’) dan yang
diberi syafaat (masyfû’) harus memiliki hubungan maknawi. Itu agar
masyfû’ dapat memperoleh syafaat. Sebab syafaat adalah pertolongan yang
diberikan kepada seorang yang memang patut mendapatkannya.
Bahaya Tanggung Jawab dalam Mengadili
Di Bani Israil, hidup seorang hakim yang senantiasa
menghakimi berbagai permasalahan di tengah masyarakat dengan adil.
Tatkala berada di ambang kematian, ia berkata kepada isterinya, “Kalau
aku sudah mati, mandikanlah aku dan kafanilah. Tutupilah wajahku dan
letakkanlah aku di sebuah peti. Insya Allah, engkau tak akan menyaksikan
sesuatu yang buruk.”
Tatkala ia meninggal, isterinya mengurus jenazahnya
sesuai perintahnya. Selang beberapa menit, ia menyingkapkan kain
penutupi wajahnya. Tiba-tiba ia melihat sekumpulan ulat meng¬gerumuti
wajahnya dan menggerogoti hidungnya. Ia merasa takut menyaksikan
kejadian ini (segera menutup kembali wajah [jenzah suaminya] dan
menguburkannya)
Pada malam itu, ia bermimpi melihat suaminya yang
berkata, “Apakah engkau merasa takut terhadap apa yang dilakukan
ulat-ulat itu?”
Wanita itu menjawab, “Ya.”
Sang Hakim berkata, “Demi Allah, pemandangan
menakutkan itu disebabkan kecenderunganku pada saudaramu. Suatu hari,
saudaramu bersengketa dengan seseorang dan datang kepadaku. Tatkala
keduanya duduk di hadapanku dan memintaku menghakiminya, aku berkata
kepada diriku sendiri, ‘Ya Allah, berilah kebenaran pada pihak saudara
isteriu.’ Sewaktu persengketaan mereka selesai diteliti, ternyata
kebenaran berada di pihak saudaramu. Aku merasa senang. Dan ulat yang
engkau saksikan itu merupakan balasan atas kecenderunganku pada
saudaramu, sekalipun saudaramu berada di pihak yang benar. Namun saat
itu aku tak mampu menjaga hawa nafsuku untuk bersikap netral.”
Wajah Orang-orang Syiah
Pada suatu malam di bulan purnama, Imam Ali bin Abi
Thalib keluar dari masjid Kufah dan hendak bertolak ke padang pasir.
Sekolompok muslimin menyertai beliau. Imam Ali berhenti dan menghadapkan
wajahnya kepada mereka lalu berkata, “Siapakah kalian?” Mereka
menjawab, “Kami adalah pengikut [Syiah]mu, wahai Amirul Mukminin.”
Imam Ali memandangi wajah mereka satu persatu
dengan seksama, lalu berkata, “Tapi mengapa saya tidak melihat wajah
Syiah pada wajah kalian?” Mereka bertanya, “Bagaimanakah wajah Syiah
itu?” Beliau menjawab, “Wajahnya kekuningan karena tidak tidur malam,
matanya rusak karena banyak menangis, punggungnya bungkuk karena banyak
berdiri, perutnya kempis karena berpuasa, bibirnya kering karena berdoa,
padanya terdapat tanda-tanda orang yang khusuk (rendah hati).”
Menghormati Hak Orang Lain
Ayatullah Burujurdi pada saat mengajar dan
berdiskusi dengan para muridnya, kadangkala marah (jelas kemarahannya
itu bukan kemarahan yang bertentangan dengan ridha Allah). Namun seusai
memberi pelajaran, beliau amat menyesali kemarahannya itu. Beliau
menemui murid yang telah dimarahinya dan meminta maaf kepadanya.
Adakalanya demi menarik simpatinya, beliau memberi bantuan harta.
Dikarenakan itulah, di antara teman-teman muncul sebuah anekdot,
“Marahnya Ayatullah Burujurdi membawa berkah.”
mengajar para muridnya, beliau kembali meminta maaf
kepada orang tersebut. Dengan demikian, kita tahu betapa besarnya
Beliau perhatian beliau dalam menjaga hak dan kehormatan orang lain.
Belajar dari Imam Ja’far al-Shadiq yang mengatakan, “Seorang mukmin
kehormatannya lebih agung dari kehormatan Kabah.” Yakni, penghormatan
terhadap seorang mukmin jauh lebih agung dari penghormatan terhadap
Kabah.
Perhatikanlah kisah di bawah ini:
Ayatullah Burujurdi mengajar pelajaran ushul fiqh
(pririsip- pririsip fikih) di masjid ‘Isyqali. Suatu hari, salah seorang
yang mulia bernama Syaikh Ali Capluqi melontarkan sanggahan. Beliau
memberi jawabannya. Syaikh Ali kembali membantah jawaban beliau. Lalu
beliau marah sehingga Syaikh Ali merasa terpukul dan hampir saja
menangis. Pelajaran pun usai.
Salah seorang sahabat Ayatullah Burujurdi (Syaikh
Khunshari) menuturkan bahwa dirinya baru saja selesai menunaikan shalat
maghrib, tiba-tiba pembantu Ayatullah Burujurdi menghampirinya dan
berkata, “Tuan! Ayatullah Burujurdi sedang berdiri di depan pintu
perpustakaan dan merasa sedih dan menyesal dan berkata kepada saya,
‘Pergi dan panggillah Syaikh Khunshari.’” Kemudian ia pun bergegas
menunaikan shalat isya dan langsung menemui beliau. Tatkala melihat
kedatangannya, beliau langsung berkata, “Apa yang telah saya lakukan?
Saya telah menyakiti, hati seorang alim yang mulia (yaitu Syaikh Ali
Capluqi). Sekarang saya harus mendatanginya, mencium tangannya, serta
meminta kerelaannya sehingga ia memaafkanku. Setelah itu barulah saya
akan menunaikan shalat maghrib dan isya.”
Syaikh Khunshari berkata kepada beliau (Ayatullah
Burujurdi) bahwa Syaikh Ali menjadi imam shalat di masjid Syah Zaid, dan
seusai shalat menyampaikan beberapa permasalahan hukum fikih. Dengan
demikian, setelah dua atau tiga jam, barulah beliau pulang ke rumah.
“Sekarang saya akan menyampaikan kepadanya bahwa esok pagi Anda akan
menemuinya,” kata Syekh Khunshari.
Di pagi hari, sepulang dari masjid, Syaikh melihat
Ayatullah Burujurdi telah menunggu di samping rumahnya dengan menaiki
andong. Lalu ia bersama beliau bertolok menuju rumah Syaikh Ali. Tatkala
berhadapan dengan Syaikh Ali, Ayatullah Burujurdi hendak langsung
mencium tangannya. Namun Syaikh Ali menolak. Ayatullah Burujurdi
berkata, “Maafkanlah saya. Saya telah keluar dari keadaan normal dan
marah kepada Anda....” Syaikh Ali menjawab, “Anda adalah penghulu
muslimin. Sikap anda menumbuhkan kebanggaan dalam diri saya dan....”
Ayatullah Burujurdi sekali lagi berkata, “Maafkanlah saya, maafkanlah
saya.”
Kejadian ini menjadikan Syaikh Ali―sampai akhir hayatnya―mendapatkan curahan kasih dan sayang khusus dari Ayatullah Burujurdi.
Kedermawanan Suami Sayyidah Zainab
Abdullah bin Ja’far adalah sepupu Ali bin Abi
Thalib dan suami Sayyidah Zainab binti Abi Thalib. Ia amat dermawan.
Suatu hari, ia memasuki sebuah kebun kurma. Di situ ia melihat seorang
budak hitam sedang bekerja. Tak lama, makanan dibawa untuk para budak.
Dan ketika budak pekerja itu tengah menyantap jatah makannya, saat itu
pula datanglah seekor anjing ke hadapannya. Ia lalu memberikan sekerat
rotinya untuk anjing itu yang langsung memakannya. Begitu seterusnya;
kerat demi kerat roti ia berikan untuk si anjing. Sampai semua jatah
makannya pun diberikan kepada anjing tersebut.
Abdullah bertanya kepada sang budak, “apakah Cuma
itu jatah makanmu?” Ia menjawab, “Ya, Cuma itu.” Abdullah kembali
bertanya “Engkau tidak menyisakan sedikitpun untukmu. Semuanya engkau
berikan kepada anjing, lalu bagaimana engkau menghilangkan rasa
laparmu?” Budak menjawab, “Dalam keadaan lapar ini, aku tetap bertahan
sampai malam tiba.” Abdullah bergumam, “Budak ini jauh lebih dermawan
dariku.” Kemudian ia membeli kebun kurma beserta peralatan yang ada,
termasuk budak tersebut dari pemiliknya. Ia lalu membebaskan si budak.
Bukan cuma itu, ia juga menyerahkan kebun kurma besarta segenap
perlengkapan dan peralatannuya kepada si budak.”
Akibat Rela dan Tidak Rela Ibu
Di tengah Bani Israil, hidup seorang ‘abid (orang
yang rajin beribadah) bernama Juraih. Setiap hari ia sibuk beribadah di
gua. Suatu hari, ibunya mendatangi gua tempatnya beribadah dan
memanggilnya. Namun dikarenakan sibuk beribadah, ia tidak menghiraukan
panggilan ibunya.
Ibunya kembali ke rumah. Selang beberapa jam, sang
Ibu kembali mendatangi tempat peribadahannya dan memanggil Juraih. Namun
Juraih tetap tak menghiraukan pangilan ibunya. Begitu pula untuk yang
ketiga kalinya; sang ibu mendatangi tempat peribadahannya dan
memanggilnya. Namun lagi-lagi lantaran sibuk beribadah, ia sama sekali
tidak menghiraukan panggilan ibunya. Sang ibu merasa sakit hati atas
perlakuan anaknya itu dan berkata, “Ya Allah, turunkan bencana terhadap
anakku.”
Kesokan harinya, datanglah seorang wanita amoral
yang sedang hamil ke tempat peribadahan sang ‘abid. Di sanalah ia
melahirkan anaknya. Lalu ia menyerahkan anak itu kepada sang ‘abid dan
menuduh anak itu sebagai anak ‘abid yang telah melakukan hubungan
dengannya secara ilegal; bayi itu adalah anaknya.
Kemudian kasus ini menyebar ke tengah masyarakat di
mana sang ‘abid telah didakwa berbuat zina. Raja pada masa itu
mengeluarkan keputusan untuk menghukum mati ‘abid. Tatkala masyarakat
tengah berkumpul untuk menghukum mati ‘abid, ibunya datang dan akan
kembali mengutuknya (anaknya). Namun, dikarenakan rasa sedih yang
mendalam, ia memukuli wajahnya sendiri dan menangis. Juraih menghadap
ibunya dan berkata, “Ibuku! Tenanglah, kutukanmulah yang menyebabkan aku
seperti ini. Sebenarnya aku tidak bersalah.”
Seluruh hadirin berkata kepada ‘abid, “Kami tak
akan menerima pengakuanmu, kecuali jika kamu dapat membuktikan tuduhan
kepadamu itu palsu.”
Saat itu (tatkala sang ibu telah merasa rela
terhadapnya) ‘abid berkata, “Bawalah kemari bayi yang kalian tuduhkan
sebagai anakku.” Lalu mereka membawa bayi itu. ‘Abid lalu mengambilnya
dan berkata, “Siapakan ayahmu?” Si bayi dengan bahasa yang jelas
menjawab, “Ayahku adalah si fulan (seorang pengembala).”
Dengan demikian, Allah telah mengembalikan harga
diri dan kehormatan ‘abid, sekaligus menyingkap kepalsuan tuduhan wanita
amoral itu. Sejak saat itu, Juraih bersumpah untuk tidak meninggalkan
ibunya dan akan senantiasa berkhidmat kepadanya.”
Wanita Tua Mengadukan Angin
Allah Swt memberi kekuasaan kepada Nabi Sulaiman as
terhadap segenap yang ada di langit dan bumi. Suatu hari, seorang wania
tua, lantaran terpaan angin yang cukup kuat, terjatuh dari atap
rumahnya dan tangannya patah. Ia menemui Nabi Sulaiman as untuk
mengadukan perbuatan angin terserbut.
Nabi Sulaiman as memanggil sang angin dan
menyampaikan pengaduan wanita tua itu. Angin berkata, “Allah mengirimku
untuk menyelamatkan para penumpang kapal yang akan tenggelam di tengah
laut, supaya kapal itu dapat bergerak ke tepian. Di tengah perjalanan,
aku berpapasan dengan wanita tua yang sedang berada di atap rumahnya
ini. Kakinya terpeleset dan jatuh ke tanah. Tangannya patah (saya tidak
bermaksud melakukannya, alias tidak sengaja, lantaran sedang dalam
perjalanan).”
Nabi Sulaiman as terdiam dan tak tahu bagaimana
menentukan keputusan yang semestinya. Beliau berkata, “Ya Allah!
Bagaimanakah aku menentukan hukuman atas perkara ini?” Allah Swt
berfirman, “Ambillah biaya pengobatan untuk kecelakaan yang menimpa
wanita tua dari pemilik kapal yang telah diselamatkan angin dari
tenggelam di tengah lautan, karena Aku tidak rela ada seseorang yang
teraniaya.”
Hukuman Nabi Yunus Meninggalkan yang Utama (tarkul aulâ)
Nabi Yunus as tinggal di sebuah kota bernama Nainawa (terletak di wilayah Irak, sekitar Kufah dan dekat Karbala). Masyarakat kota itu jumlahnya kurang lebih 100 ribu orang. Beliau sibuk mengajak mereka menjalankan ajaran agama.
Selama 33 tahun, ia menyampaikan ajaran Allah.
Namun tak seorang pun yang beriman kepada-Nya melainkan cuma dua orang
saja; seorang ‘abid bernama. Malikha dan seorang alim bernama Rubail.
Selain keduanya, orang-orang tetap menyembah berhala.
Nabi Yunus as memutuskan untuk mengutuk mereka.
Menurut sebagian pendapat, itu semata-mata atas usulan ‘abid. Akhirnya
beliau pun mengutuk mereka. Setelah itu, beliau menerima wahyu bahwa di
suatu masa nanti, Kami akan menurunkan azab. Tatkala masa turunnya azab
Allah semakin mendekat, Nabi Yunus as dalam keadaan marah bersama sang
‘abid meninggalkan mereka dan sampai di pantai. Di situ terdapat sebuah
kapal yang penuh dengan penumpang dan barang. Beliau meminta mereka
mengijinkan dirinya dan sang ‘abid naik ke kapal.
Seandainya Nabi Yunus as tetap bertahan dan
bersabar di tengah umatnya, hingga detik-detik terakhir menjelang
turunnya azab Allah, justru jauh lebih baik dan utama. Namun ia malah
meninggalkan yang lebih baik dan utama (tarkul aulâ) dan tergesa-gesa
dalam bertindak; keluar meninggalkan kaumnya dan menaiki kapal untuk
menjauh dari kawasan itu. Tiba-tiba seekor ikan paus menghadang
perjalanan kapal dan mengangakan mulutnya, seakan-akan meminta makanan.
Para penumpang terpakasa melakukan pengundian untuk menentukan siapa
orang yang akan dilempar ke laut sebagai santapan ikan paus. Tiga kali
mereka mengundi, tiga kali pula nama Nabi Yunus as yang keluar. Kemudian
mereka melemparkan Nabi Yunus as ke laut dan ditelan ikan paus. Maka ia
ditelan oleh ikan besar dalam keadaan tercela. (al-Shaffât: 142)
Nabi Yunus as berada dalam berbagai kegelapan;
kegelapan dalam perot ikan paus, dalam lautan, dan malam. Namun beliau
senantiasa mengingat dan menyebut nama Allah, serta berulang kali
mengucapkan: “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau,
sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim.” (Al-Anbiyâ: 87)
Akhirnya Allah Swt mengabulkan doa beliau dan
menerima tobatnya. Dia memerintahkan ikan paus untuk mengelurkan Nabi
Yunus as di tepi laut. Lalu ikan paus berenang ke tepian laut dan
mengelurakan Nabi Yunus dari mulutnya.
Ya, Nabi Yunus as bertobat dengan sebenar-benarnya,
semurni-murninya, dan bertasbih kepada Allah dan mengakui kesalahan
yang telah dilakukannya sampai akhirnya meraih keselamatan. Jika tidak
demikian, niscaya beliau akan senantiasa berada dalam perut ikan paus
sampai hari kiamat. Maka kalau sekiranya ia tidak termasuk orang-orang
yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal dalam perut
ikan itu sampai bari berbangkit. (al-Shaffât:143-144)
Peran Penyelamatan Seorang Bijak
Nabi Yunus as berkata kepada kaumnya bahwa azab
Allah akan turun pada hari rabu, pertengahan bulan Syawal setelah terbit
matahari. Tetapi kaumnya menganggap ia telah berbohong. Mereka lalu
mengusir Nabi Yunus as yang langsung pergi meninggalkan kaumnya dengan
ditemani soorang ‘abid (Malikha). Tetapi Rubail, orang alim dan bijak
yang juga keturunan nabi, tetap tinggal bersama kaumnya. Tatkala bulan
Syawal tiba, Rubail pergi mendaki bukit. Dengan suara lantang ia
memperingatkan masyarakat, “Hai manusia! Waktu turunnya siksa Allah
sudah dekat! Saya amat mengasihi dan menyayangi kalian. Sekarang selama
masih ada kesempatan, mohon ampunlah dan bertobatlah kepadah Allah, agar
Allah tidak jadi menurunkan siksa atas kalian.”
Hati masyarakat tersentuh oleh nasihat Rubail.
Mereka bersama-sama menemui Rubail dan berkata, “Kami tahu anda adalah
seorang arif, bijak dan penuh kasih sayang. Kami akan mengikut perintah
Anda”.
Rubail berkata, “Pisahkanlah anak-anak dari ibunya
dan bawalah mereka ke padang pasir. Letakkan mereka secara terpisah.
Bila menyaksikan datangnya angin topan dari arah timur, kalian semua,
kecil maupun besar, harus menangis dan merintih dengan merendahkan diri,
bertobat, dan memohon ampunan-Nya agar kalian memperoleh curahan
rahmat-Nya....” Semua hadirin siap melaksanakan nasihat Rubail. Pada
hari yang telah ditentukan, saat terbit matahari, tiba-tiba mereka
menyaksikan angin kuning (topan) bertiup dengan kuat. Seketika itu pula
mereka―kecil maupun besar―menangis, merintih, serta memohon ampun dan
pertolongan Allah. Mereka bertobat dengan sebenar-benarnya.
Rubail juga berdoa demi keselamatan mereka.
Jadinya, Allah pun menjauhkan azab itu dari mereka. Allah Swt menerima
tobat mereka dan memerintahkan Malaikat Israfil untuk mengalihkan arah
angin topan ke daerah pengunungan di pinggiran kota. Tatkala masyarakat
menyaksikan azab urung menimpa, mereka bersyukur kepada Allah. Pada hari
kamis, Nabi Yunus as dan sang ‘abid, mengetahui soal pembatalan azab
Allah terhadap kaumnya. Nabi Yunus as dan sang ‘abid bergegas menuju
pantai dan menjauhi kota Nainawa. Keduanya menaiki kapal sampai akhirnya
ditelan ikan paus (sebagaimana telah disebutkan pada kisah sebelumnya).
Sedangkan Malikha kembali ke kota dan menemui si alim (Rubail), dan
berkata, “Aku mengira dikarenakan kezuhudanku, aku lebih baik darimu.
Namun sekarang aku mengerti bahwa ilmu yang diiringi ketakwaan jauh
lebih baik dari kezuhudan dan ibadah yang tidak disertai ilmu.” Setelah
itu, si ‘abid dan si alim saling bersahabat dan tinggal bersama
masyarakat serta memberikan bimbingan kepada mereka.
Nabi Yunus as Kembali ke Kaumnya
Tatkala berada di dalam perut ikan paus, Nabi Yunus
as bertobat dan memohon ampun kepada Allah. Lalu Allah Swt
memerintahkan ikan paus untuk membawa Nabi Yunus as ke pantai dan
melempar keluar dari mulutnya.
Tatkala keluar dari mulut ikan paus, tenaga Nabi
Yunus as sudah habis sehingga tak mampu berjalan. Berkat karunia dan
rahmat Ilahi, tumbuhlah tanaman labu di tepi pantai. Nabi Yunus as
berteduh di bawahnya seraya berzikir dan menyebut nama Allah setiap
saat. Setelah memakan buah tanaman tersebut, secara berangsur-angsur
tenaganya kembali pulih. Lalu Allah mengutus seekor cacing untuk memakan
akar tetumbuhan itu. Tanaman itupun mengering.
Tatkala tanaman itu kering dan mati Nabi Yunus as
berada dalam kesulitan dan merasa bersedih. Lalu Allah menurunkan wahyu:
Mengapa engkau bersedih? Beliau menjawab, “Tanaman ini melindungiku
dari panas, lalu Engkau mengutus cacing untuk memakan akarnya sehinga
tumbuhan ini kering dan mati.” Allah berfirman: Mengapa engkau bersedih
atas keringnya tanaman yang engkau tidak menanam dan mengairinya, tetapi
tidak merasa bersedih terhadap turunya siksa dan bencana atas seribu
orang. Sekarang ketahuilah bahwa seluruh penduduk Nainawa telah beriman
dan berjalan di jalan ketakwaan, dan azab telah Kami singkirkan dari
mereka. Pergilah menemui mereka.”
Dalam riwayat lain disebutkan bahawa setelah
tanaman itu kering Nabi Yunus as menampakkan rasa sedih dan susahnya.
Lalu Allah memfirmankan: Hai Yunus! Hatimu tidak merasa sedih atas azab
yang menimpa lebih dari seratus ribu jiwa tetapi engkau tidak mampu
bertahan dalam menghadapi derita walau dnya satu jam saja.
Di sini Nabi Yunus as menyadari kekeliruannya dan
berkata, “Ya Rabb, afwaka, afwaka (ya Allah aku memohon
ampunan-ampunan-Mu).” Kemudian Nabi Yunus as bertolak menuju Nainawa.
Tatkala sudah dekat dengan Nainawa, beliau merasa malu memasukinya.
Tiba-tiba beliau melihat seorang pengembala. Beliau pun menemuinya
seraya berkata, “Pergilah menemui penduduk Nainawa dan katakan kepada
mereka bahwa Yunus akan datang.”
Pengembala berkata, “Tidakkah engkau berbohong? Tidakkah engkau merasa malu? Yunus telah tenggelam di dasar laut dan lenyap.”
Dengan perintah Nabi Yunus as seekor kambingnya
mampu berbicara dengan bahasa yang jelas dan memberi kesaksian bahwa
beliau adalah Nabi Yunus as. Pengembala itupun percaya bahwa sosok di
hadapannya itu adalah Nabi Yunus as. Ia pun bergegas ke Nainawa dan
mengabarkan kepada penduduk perihal kedatangan Nabi Yunus as. Ketika
mendengar kabar itu, penduduk Nainawa tidak mempercayainya dan menangkap
si pengembala. Mereka memutuskan memukulinya. Pengembala berkata, “Aku
memiliki bukti atas kebenaran kabar yang aku sampaikan.” Mereka
bertanya, “Apa buktinya?” “Buktinya adalah kambing ini,” jawab
pengembala. Lalu kambing itu berbicara dengan kata-kata yang jelas dan
memberi kesaksian atas kedatangan Nabi Yunus as. Mendengar itu, penduduk
Nainawa pun percaya bahwa kabar itu benar adnya. Mereka lalu menyiapkan
diri menyambut kedatangan Nabi Yunus as. beliau pun memasuki kota
Nainawa dengan penuh kewibawaan dan mereka beriman kepadanya. Selama
bertahun-tahun mereka hidup di bawah naungan dan bimbinga Nabi Yunus as.
Seseorang bertanya kepada Imam Muhammad al-Baqir tentang berapa lama Nabi Yunus meninggalkan kaumnya?
Imam Muhammad al-Baqir menjawab, “Selama empat
minggu (28 hari); pada minggu pertama Nabi Yunus as keluar dari Nainawa
dan sampai ke tepi taul; minggu kedua Nabi Yunus as berada di perut
ikan; minggu ketiga Nabi Yunus as berteduh di bawah tanaman labu di tepi
pantai; dan minggu keempat berangkat menuju kaumnya di Nainawa. Maka
perjalanan berangkat dan kembali ditempuhnya selama 28 hari.
Pertemuan Nabi Yunus as dengan Qarun di Dasar Laut nan Dalam
Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib menceritakan
bahwa tatkala Nabi Yunus as berada dalam perut ikan besar, ikan itu
berenang ke dalam laut dan menuju laut Qulzum. Dari sana, ia berenang ke
laut Mesir dan melanjutkannya ke laut hitam. Dari situ, ia masuk ke
laut Tigris (Dajlah) di Bashrah. Di laut inilah, Nabi Yunus as dibawa ke
dasar laut nan dalam.
Qarun hidup di masa Nabi Musa as dan mendapat murka
Allah (Allah Swt berfirman pada bumi untuk menelannya). Saat itu
seorang malaikat utusan Allah diperintahkan untuk membenamkan Qarun
setiap harinya setinggi tubuh manusia. Nabi Yunus as dalam perut ikan
senantiasa berzikir dan beristigfar. Di perut bumi, Qarun mendengar
lantunan zikir Nabi Yunus as. Ia lalu berkata kepada malaikat yang
menguasainya, “Berilah saya sedikit kesempatan untuk tetap berada di
sini karena saya mendengar suara manusia.”
Allah Swt berfirman kepada malaikat itu untuk
memberi kesempatan pada Qarun. Malaikat pun memberi kesempatan kepadanya
untuk mendekati sumber suara. Qarun bekata, “Siapa kamu?” Nabi Yunus as
menjawab, “Aku adalah orang yang bersalah dan berdosa Yunus bin Matta.”
Kemudian Qarun menanyakan keadaan sanak keluarganya. Pertama kali ia
bertanya, “Bagaimana keadaan nabi Musa?”
Nabi Yunus, “Musa as telah lama meninggal dunia.”
“Bagamana kabar Harun saudara Musa as?”
“Ia juga sudah meninggal dunia.”
“Bagaimana kabar tunanganku, Ummu Kultsum yang juga saudari Musa as?”
“Ia juga telah meninggal dunia.”
Di sini Qarun menangis dan merasa menyesal (hatinya merasa sedih memikirkan nasib sanak keluarganya).
Kemudian Allah mencurahkan rahmat-Nya kepadanya dan
memerintahkan malaikat penjagnya untuk menghentikan siksaan dunia
terhadap Qarun (ia berhenti sampai di situ dan tidak lagi ditenggelamkan
ke dalam tanah setiap hari setinggi tubah manusia).
Tatkala Nabi Yunus as mengetahui kenyataan ini (ia
menyadari bahwa Allah Swt mengasihi hamba-hamba-Nya yang berbuat baik),
di tengah kegelapan ia menjerit, “Lâ ilâha illa anta subhânaka inni
kuntu min al-zâlimîn (tak ada Tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau,
sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim).”
Kemudian Allah Swt mengabulkan doanya dan
memerintahkan sang ikan untuk melemparkannya ke pantai. Lalu ikan itu
berenang ke tepian dan melemparkan Nabi Yunus as ke pantai. Di sana
Allah Swt menumbuhkan tanaman labu dan Yunus as tidur di bawah
naungannya. Berangsur-angsur, kesehatannya kembali pulih.
Kita dapat menyaksikan dengan jelas bahwa menjalin
hubungan keluarga (silaturahmi), demikian pula dengan berdoa dan
bertobat secara tulus dan murni serta mengakui dosa-dosa, akan
menyebabkan keselamatan.
Ali dalam Asuhan Rasul saww
Tatkala Ali bin Abi Thalib mencapai usia sekitar
enam tahun, daerah Mekah dan sekitarnya dilanda musim paceklik dan
kekurangan pangan. Abu Thalib, ayahanda Imam Ali, seorang yang terhormat
dan punya banyak anak. Tak pelak, ia pun dijepit kesulitan. Sanak
keluarga Abu Thalib berniat merawat dan mengasuh sebagian anak-anaknya.
Rasulullah saww menemui pamannya itu (Abu Thalib), dan bersabda,
“Biarlah Ali bersama saya, dan saya akan berusaha keras mengasuh dan
mendidiknya.” Abu Thalib menyetujui permintaan Rasulullah saww. Sejak
itu, Ali bin Abi Thalib tinggal di rumah Rasulullah saww dan berada di
bawah pengawasan dan bimbingan langsung beliau saww. Hingga saat
Rasulullah saww diutus menjadi Rasul, orang pertama yang beriman kepada
beliau saww adalah Imam Ali bin Abi Thalib as, yang saat itu sudah
berusia 10 tahun.
Muslimin Asing dari Masjid
Konon, hiduplah seseorang yang secara lahiriah
muslim, yang diistilahkan sekarang sebagat Islam KTP. Ia benar-benar
tidak peduli terhadap hukum-hukum Islam. Sebagai contoh, ia sama sekali
tak pernah datang ke masjid. Baginya, mendatangi masjid amatlah berat.
Bila sewaktu-waktu melintas di samping masjid, ia akan cepat-cepat
mengayunkan langkahnya dan sama sekali tidak melirik, apalagi menoleh,
ke arah masjid.
Suatu hari, ia bertengkar dengan salah seorang
anaknya yang masih kecil sekaitan dengan suatu persoalan. Ia hendak
berdiri untuk memukul anaknya. Tapi, anaknya itu lari. Ia juga berlari
mengejar anaknya. Akhirnya, si anak tiba di masjid dan masuk ke
dalamnya. Sang ayah hanya berhenti di pintu masjid dan enggan masuk.
Dari situ ia berteriak, “Ayo keluar! Ayo keluar! Seumur hidupku aku tak
pernah masuk ke masjid. Janganlah engkau membuatku masuk masjid. Ayo
keluar!”
Ya, orang-orang semacam ini memang ada. Sebagian
hadir di masjid hanya untuk menghadiri acara pembacaan doa dan ayat-ayat
suci al-Quran bagi sanak keluarganya yang meninggal dunia. Seakan-akan
masjid itu dibangun hanya khusus untuk acara kematian saja.
Ayatullah al-Hâirî, Teladan Kemulian dan ketakwaan
Salah seorang ulama terkemuka dan agung adalah
almarhum Ayatullah Syaikh Murtadha al-Hâirî. Beliau putera pendiri
Hauzah Ilmiyah (sekolah agama), almarhum Syaikh Abdulkarim al-Hâirî.
Beliau dilahirkan di Arak (Iran selatan) pada 14 Dzulhijjah 1334 Hijriah
Qamariah. Pada tanggal 23 Jumadi al-Tsani dalam usia 72 tahun beliau
wafat. Kubur beliau terletak di sekitar makam suci Sayyidah Fathimah
al-Ma’shumah (di kota Qum) dan berada di samping kubur ayahandanya.
Syaikh Murtadha al-Hâirî benar-benar seorang alim
serta memiliki pelbagai kesempurnaan maknawi dan kebersihan hati. Selama
lebih dari 50 tahun, beliau aktif mengajar dan mendidik para pelajar di
berbagai tingkat pendidikan. Beliau berperan sungguh luar biasa dalam
mengembangkan Hauzah ilmiyah dalam berbagai aspeknya.
Berkenaan dengan pribadi Ayatullah al-Hâirî, Imam
Khomeini menyatakan, “Sejak awal didirikannya Hauzah ilmiyah yang penuh
berkah di kota Qum oleh ayah beliau yang mulia dan memberi berkah cukup
banyak, saya telah mengenal beliau (Ayatullah Murtadha al-Hâirî).
Setelah beberapa waktu, saya mengenal beliau lebih dekat dan menjadi
sahabat beliau. Dalam pergaulan yang cukup lama, saya tidak melihat
apapun pada diri beliau kecuali kebaikan. Beliau senantiasa berusaha
keras mengemban tugas ilmiah dan keagamaan. Pribadi agung ini adalah
sosok yang adil dan memiliki maqam (kedudukan) yang tinggi di bidang
fikih. Pada awal pergerakan Islam Iran, beliau termasuk orang yang
brerada di garda depan.”
Banyak kisah menarik berkenaan dengan perihidup
Ayatullah Syaikh Murtadha al-Hâirî. Selama hidupnya, beliau sudah 64
kali pergi ke Masyhad untuk berziarah ke makam Imam Ali al-Ridha.
Menurut cerita salah seorang ulama, beliau pernah berkata, “Dalam ziarah
banyak 64 kali ini, saya senantiasa meminta kepada Imam Ali al-Ridha
untuk menyambut panggilan saya dan melindungi saya di tiga tempat yang
amat menakutkan; di saat pembagian buku amal perbuatan; di saat melintas
jembatan (shirât); di saat berada di samping neraca (tempat penimbangan
amal baik dan buruk).”
Dalam hal ini, Imam Ali al-Ridha sendiri berkata,
“Barangsiapa datang dari tempat yang jauh untuk berziarah kepadaku, pada
hari kiamat nanti aku akan mendatanginya di tiga tempat [di atas], dan
akan menolongnya.”
Sejumlah orang yang dapat dipercaya, mengisahkan
bahwa beliau (Ayatullah Syaikh Murtadha al- Hâirî) pernah berkata, “Pada
perjalanan terakhirku ke Masyhad, Imam Ali al-Ridha berkata kepadaku
(dalam mimpi atau lainnya) sebagai berikut, ‘Engkau jangan datang lagi
kepadaku. Sekarang giliranku menemuimu.’” Dengan itu, beliau sadar bahwa
ajalnya sudah dekat.
Kesejahteraan atasnya pada saat dilahirkan, wafat, dan dihidupkan kembali di hari dibangkitkan.
Nasihat Rasulullah saww pada Haji Terakhir
Pada tahun kesepuluh Hijriah (di bulan Dzulhijjah) Rasulullah saww menunaikan ibadah haji yang terakhir.
Ibadah haji ini dianggap sebagai hujjatul wida’. Saat itu banyak muslimin yang ikut menunaikannya.
Tatkala datang ke Mina untuk menunaikan sebagian
amal ibadah haji, Rasul saww mengumpulkan orang-orang dan berceramah.
Setelah mengucapkan pujian kepada Allah, beliau saww bersabda, “Wahai
manusia! Hari apakah yang paling terhormat di antara hari-hari yang
ada?”
Mereka menjawab, “Hari ini.”
Beliau saww kembali bertanya, “Bulan apakah yang paling terhormat di antara bulan-bulan ada?”
Mereka menjawab, “Bulan ini.”
Kembali beliau saww bertanya, “Kota manakah yang terhormat dari berbagai kota yang ada?”
Mereka menjawab, “Kota ini (Mekah).”
Beliau saww bersabda, “Hai manusia! Ketahuilah
bahwa darah dan harta kalian adalah sebagaimana terhormatnya hari ini,
di bulan ini, dan di Mekah ini, sampai kalian berjumpa dengan Allah.
Pada hari itu (kiamat) Allah akan memeriksa amal perbuatan kalian.
Ketahuilah apakah aku telah menyampaikan tugasku?”
Mereka menjawab, “Ya (anda telah menyampaikannya).”
Beliau saww bersabda, “Ya Allah saksikanlah!”
Kemudian beliau saww melanjutkan, “Wahai manusia
ketahuilah! Barangsiapa memiliki amanat, hendaklah mengembalikan kepada
pemiliknya dan ketahuilah bahwa darah dan harta muslimin itu tidak
halal, melainkan dengan kerelaannya. Janganlah kalian berbuat zalim
terhadap diri kalian sendiri, dan sepeninggalku janganlah kalian
menggunakan cara-cara orang-orang kafir.”
Hud-hud dan Nabi Sulaiman
Nabi Sulaiman as adalah pemimpin dan penguasa
masyarakat di zamannya. Pusat pemerintahan beliau terletak di Baitul
Maqdis dan Syam. Allah Swt memberinya berbagai kekuasaan dan kemampuan.
Sampai-sampai petir dan guntur, jin dan manusia, seluruh burung dan
binatang melata, tunduk, patuh, dan berada di bawah perintah beliau.
Beliau memahami betul seluruh pembicaraan dan bahasa mereka.
Nabi Sulaiman as memanfaatkan selurah karunia Ilahi
itu untuk menarik manusia kepada Allah Swt. Khususnya dengan mencegah
mereka dari berbagai penyimpangan dan dosa-dosa.
Pada masa Nabi Sulaiman as hidup seorang Ratu di
negeri Yaman bernama Balqis. Ia memiliki kekuasaan dan kerajaan yang
sangat besar. Namun Balqis dan rakyatnya bukan menyembah Allah,
melainkan matahari dan berhala. Mereka jauh dari ajaran dan tuntunan
Ilahi, serta tenggelam dalam kerusakan dan penyimpangan. Karena itu,
Nabi Sulaiman as berkat pentunjuk dan arahan orang-orangnya yang cerdik
dan pandai, mengajak mereka (Balqis dan rakyatnya) untuk keluar dari
jalan gelap itu, menuju cahaya tauhid.
Pada suatu hari, Nabi Sulaiman as duduk di
singgasananya. Seluruh burung―yang semunya dijadikan Allah tunduk dan
patuh dan di bawah kekuasaan Nabi Sulaiman as terbang di atas kepala
Nabi Sulaiman as dengan cara berjejer dan membentuk sebuah barisan
dengan sayap selalu mengepak. Jadinya, Nabi Sulaiman as terlindung dari
sengatan sinar matahari. Namun salah satu jenis burung (hud-hud) tidak
hadir di antara burung-burung itu. Posisinya di udara nienjadi kosong.
Dan kekosongannya menyebabkan sinar matahari langsung memancar ke dekat
singgasana Nabi Sulaiman as.
Tatkala mengetahui peristiwa ini, Nabi Sulaiman as
langsung mengangkat kepalnya memandang ke arah burung-burung di angkasa.
Beliau tahu bahwa burung hud-hud tidak hadir. Beliau as bertanya:
“Mengapa aku tidak melihat hud-hud apakah ia termasuk yang tidak hadir?
Sungguh aku akan mengazabnya dengan azab yang keras, atau menyembelihnya
kecuali jika ia datang kepadaku dengan alasan yang terang.” (al-Naml:
20-21)
Tak lama datanglah burung hud-hud, yang langsung
meminta maaf kepada Nabi Sulaiman as sebagai berikut: Aku telah
mengetahui suatu yang belum kamu ketahui; dan kubawa kepadamu dari
negeri Saba suatu berita penting yang benar.”
Nabi Sulaiman as menerima alasan dan permintaan
maaf burung hud-hud. Lebih dari itu, beliau merasa bertangung jawab
untuk menyelamatkan Ratu Saba dan rakyatnya. Beliau as segera menulis
surat untuk Ratu Balqis dan mengajaknya kepada tauhid. Surat tersebut
sangat singkat namun penuh makna. Isinya: “Dengan menyebut nama Allah.
Janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah
kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.” (al-Naml: 30-31)
Lalu Nabi Sulaiman as menyerahkan surat itu pada
hud-hud seraya mengatakan, “Aku hendak mengujimu, apakah engkau termasuk
jujur atau pembohong? Bawalah surat ini dan letakanlah di sebelah
singgasana Ratu Saba kemudian kembalilah. Aku ingin melihat bagaimana
sikap mereka dalam menghadapi ajakan kita?!”
Hud-hud membawa surat itu dan terbang dari Syam
menuju Yaman. Dari atas udara, ia melemparkan surat itu tepat di samping
singgasana Ratu Balqis, yang langsung mengambil dan membukanya.
Mengetahui isi surat tersebut teramat penting dan dikirim seseorang yang
agung, ia lalu memutuskan untuk bermusyawarah dengan para pembesar
kerajaannya.
Nabi Sulaiman Menolak Pemberian Ratu Balqis
Ratu Balqis menemukan surat di samping
singgasannya. Ia mengambil dan membacanya. Saat itu ia tahu bahwa surat
tersebut ditulis seseorang yang agung dan berisikan permasalahan yang
amat berat. Segera saja ia mengumpulkan orang-orang kerajaannya dan
memusyawarahkan isi surat itu. Mereka berkata, “Kita punya kekuatan yang
tangguh dan mampu berperang melawan mereka. Kita sama sekali tak akan
pernah menyerah.”
Namun Ratu Balqis lebih cenderung memilih jalan
damai ketimbang berperang. Ia sedar bahawa peperangan hanya akan
mengakibatkan kehancuran dan kehinaan. Selama masih dapat diselesaikan
lewat jalan damai, pikirnya, tentu tidak perlu mengobarkan api
peperangan. Ia memutuskan untuk mengirim hadiah yang amat berharga
kepada Sulaiman. Setelah itu, ia akan menanti kabar yang dibawa paa
utusannya.[1]
Dalam musyawarah itu Ratu Balqis berkata, “Dengan
mengirim hadiah kepada Sulaiman, aku hendak menguji. Jika benar seorang
nabi, tentu ia tak akan cenderung pada dunia dan tak akan menerima
hadiah kita. Namun jika seorang raja, niscaya ia akan menerimanya. Nah,
bila ia memang seorang nabi, kita tak punya kekuatan dan kemampuan untuk
menghadapinya. Kita harus tunduk dan menyerah kepadanya.”
Ratu Balqis memerintahkan orang-orangnya memasukkan
berbagai jenis permata berharga ke dalam peti untuk dihadiahkan kepada
Nabi Sulaiman, seraya mengatakan kepada mereka, “Bawalah permata ini
kepada Sulaiman dan hadiahkanlah kepadanya”.
Sebagian orang mencatat, Balqis mengirimkan
Sulaiman masing-masing 500 budak lelaki dan perempuan. Para budak wanita
dikenakan pakaian lelaki sedangkan budak lelaki dikenakan pakain
wanita. Di telinga budak lelaki diberi anting-anting dan tangannya
diberi gelang. Sedangkan di kepala para budak perempuan diletakkan topi
yang indah. Ia menegaskan dalam suratnya, “Jika engkau benar-benar
seorang nabi, pasti mampu membedakan mana budak lelaki dan mana budak
perempuan.”
Mereka dimasukkan ke kendaraan yang dihiasi emas yang mengangkut batu permata dalam jumlah cukup besar.
Lalu ia (Ratu Balqis) berkata kepada utusan
khususnya, “Begitu sampai, lalu engkau melihat wajah Sulaiman dalam
keadaan marah, ketahuilah bahwa ia seorang raja. Jika menyambutmu dengan
ramah dan muka manis, ketahuilah ia seorang nabi.”
Utusan Ratu Balqis penguasa Saba beserta rombongan
akhirnya sampai di istana Nabi Sulaiman. Mereka segera menyerahkan semua
hadiah yang dibawa.
Namun dikarenakan tujuan Nabi Sulaiman as adalah
menyelamatkan mereka secara maknawi, maka beliau as sama sekali tidak
terpesona gemerlap hadiah yang dibawa. Tatkala beliau as menyaksikan
mereka dan berbagai hadiah yang dibawa, dengan tegas beliau as berkata:
“Apakah (patut) kamu menolong aku dengan (menghadiahkan) harta kepadaku?
Apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang
diberikan-Nya kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu.”
(al-Naml:36)
Kemudian Nabi Sulaiman as berkata kepada utusan
khusus Ratu Saba: “Kembalilah kepada mereka kami akan mendatangi mereka
dengan balatentara yang tidak kuasa mereka melawannya dan pasti kami
akan megusir mereka dari negeri itu sebagi orang-orang bina dan mereka
dan menjadi tunduk patuh.” (al-Naml:37)
Kedatangan Ratu Balqis dan Pernikahannya dengan Nabi Sulaiman
Utusan khusus Ratu Balqis beserta rombongannya kembali ke Yaman dengan membawa kembali hadiah yang dibawa.
Mereka menceritakan kebesaran keagungan dan kekuatan Nabi Sulaiman as kepada ratu.
Ratu Balqis mau tak mau harus tunduk dan menyerah
kepada perintah Nabi Sulaiman as (untuk mengesakan Alah). Demi
menyelamatkan diri dan rakyatnya, tak ada cara lain kecuali selain
bergabung dengan umat Nabi Sulaiman as. Kemudian Ratu Balqis bersama
para pembesar kerajaan meninggalkan Yaman dan bertolak menuju Syam
(Syiria) untuk menemui Nabi Sulaiman as. Ia ingin melihat dari dekat
sekaligus meneliti pribadi dan karakter Nabi Sulaiman as.
Tatkala mendapat kabar tentang keberangkatan Ratu
Balqis dan orang-orangnya menuju Syam (Syiria) Nabi Sulaiman as berkata
kepada orang-orang dekatnya, “Siapakah di antara kalian yang mampu
mendatangkan singgasana Ratu Saba sebelum ia datang kemari.”
‘Ifrît (salah satu pemimpin bangsa jin) berkata,
“Saya akan mendatanggkannya untuk Anda sebelum Anda bangkit dari duduk.”
Namun Ashif bin Barkhiya dengan menggunakan ilmu dari kitab samawi
berkata, “Saya akan mendatangkan singgasana itu sebelum mata anda
berkedip.”
Tak lama, Nabi Sulaiman as menyaksikan singgasana
Ratu Saba sudah berada di sampingnya. Segera saja beliau as bersyukur
kepada Allah dan berkata: “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk menguji
aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya).”
Kemudian Nabi Sulaiman as memerintahkan untuk
merubah sebagian bentuk singgasana. Itu dimaksudkan agar ketika Balqis
datang dan dipertanyakan apakah ini singgasannya, Nabi dapat melihat
bagaimana jawabannya.
Tak lama, Balqis beserta rombongannya datang
menemui Nabi Sulaiman. Seseorang menunjuk ke arah singgasana itu dan
bertanya, “Apakah singgasanamu seperti ini?” Balqis dengan cerdik
menjawab, “Seakan-akan ini adalah singgasana itu.”
Akhirnya Balqis menyadari bahwa itu adalah
singgasananya yang didatangkan lebih awal dari kedatangannya berkat
mukjizat. Akhirnya ia pun tunduk pada kebenaran dan menerima agama Nabi
Sulaiman as. Pada dasarnya, jauh sebelumnya ia telah menyaksikan
tanda-tanda kenabian Nabi Sulaiman as. Alhasil, ia memeluk agama yang
dibawa Nabi Sulaiman as. Menurut kabar yang termasyhur, Nabi Sulaiman as
akhirnya menikahi Ratu Balqis. Keduanya bersama-sama membimbing dan
mengarahkan masyarakat menuju peribadahan kepada Tuhan yang Mahaesa.
Memperhatikan Kemuliaan Muslimin
Pada masa Ayatullah Burujurdi, diadakan rencana untuk membangun sebuah masjid dan pusat kajian Islam di kota Hamburg, Jerman.
Ayatullah Burujurdi mengutus seseorang ke Hamburg
untuk membeli tanah bagi bangunan masjid itu. Orang tersebut berangkat
dan membeli sebidang tanah. Lalu ia kembali menemui Ayatullah Burujurdi.
Namun sebagian orang memberitahu Ayatullah Burujurdi bahwa letak tanah
yang dibeli itu kurang layak dan kurang bagus.
Kemudian Ayatullah Burujurdi berkata kepada utusan
yang membeli tanah itu, “Saya dengar bahwa letak tanah yang Anda beli
itu kurang layak dan kurang bagus. Ini amat tidak sesuai bagi sebuah
masyarakat yang cenderung memandang sesuatu dari sisi lahiriah. Jangan
sampai di mata mereka, kita termasuk orang-orang yang rendah dan hina.
Di sana terdapat berbagai agama lain yang bangunan tempat ibadahnya
cukup megah dan mewah. Karena itu tidak layak bagi kita untuk mendirikan
bengunan yang lebih rendah dari bangunan mereka.”
Orang itu menjawab, “Wahai Tuan, apakah Anda
menginginkan saya membeli tanah di atas kota Hamburg dan di tepi pantai?
Yempat di sana amat mahal.”
Beliau menjawab, “Ya, belilah tanah di tempat yang
layak. Saya akan menjamin dananya. Apakah Anda mengira bahwa Anda
membeli tanah itu untuk pribadi saya? Tidak, tempat itu untuk Imam Zaman
(Imam Mahdi). Karenanya, ia harus berada di kawasan yang terhormat agar
jangan sampai muslimin dihina dan dilecehkan.”
Kemudian dibangunlah sebuah masjid agung di kota
Hamburg di atas sebidang tanh yang letaknya cukup strategis dan luasnya
lebih kurang 4.000 meter persegi. Masjid itu terletak di tepi sebuah
danau, “Saya telah melihat masjid itu dan sempat shalat di dalamnya.
Masjid itu benar-benar megah dan indah. Letaknya yang di tepi danau
menjadikannya semakin bertambah indah dan mentereng .”
Pahala Memenuhi Keperluan Orang yang Membutuhkan
Almahum Ayatullah Sayyid Jawad Burujurdi (saudara
Allamah Bahr al-‘Ulûm), kakek ketiga dari Ayatullah Burujurdi, memiliki
kepribadian yang agung dan disegani di kawasan Iran bagian Barat dan
kota Brujurd. Beliau amat bersungguh-sungguh dalam mengurusi dan
membantu berbagai keperluan orang-orang miskin. Pada tahun 1242 Hijriah
Qamariah, beliau wafat di kota Brujurd dan kuburnya tidak pernah kosong
dari orang-orang mukmin yang menziarahinya.
Ayatullah Burujurdi bercerita bahwa semasa beliau
tinggal di kota Brujurd, pada suatu malam, beliau bermimpi memasuki
sebuah rumah yang dikatakan orang-orang di dalamnya ada Rasulullah
saww.” Lalu saya masuk ke dalamnya dan memberi salam kepada orang yang
ada di situ. Saya duduk di salah satu tempat kosong di ujung majelis.
Saya menyaksikan Rasulullah saww tengah duduk di tengah majelis,
sementara para ulama dan para zahid (orang-orang zuhud) duduk di
kanan-kiri beliau saww. Diantara mereka yang duduknya paling dekat
dengan Rasulullah adalah Sayyid Jawad. Di sini saya merenungkan, padahal
diantara ulama itu, masih ada yang lebih alim dan lebih zuhud dari
Sayyid Jawad. Lalu, mengapa Sayyid Jawad lebih dekat kepada Rasulullah
ketimbang yang lain? Tiba-tiba Rasulullah saww bersabda, ‘Sayyid Jawad
lebih giat dari yang lain dalam mengurusi masyarakat dan memberi jawaban
positif pada mereka yang membutuhkan bantuan!’”
Menghormati Nama Imam Zaman
Seorang sahabat Ayatullah Burujurdi mengatakan
dirinya pernah berada di rumah Ayatullah Burujurdi dan duduk bersama
beliau. Di luar rumah terdapat sebuah majelis Di situ, seseorang dengan
suara keras berkata, “Marilah kita bersalawat demi keselamatan Imam
Zaman dan Ayatullah Burujurdi.” Saat itu pula beliau berjalan ke arah
pintu dan memukulkan tongkatnya dengan keras ke pintu. Orang-orang yang
ada di halaman rumah merasa takut dan khawatir, jangan-jangan ada
sesuatu yang tidak berkenan di hati beliau. Beberapa orang bergegas
masuk ke rumah untuk melihat apa sebenarnya yang terjadi.
Ayatullah Burujurdi berkata, “Siapakah yang
menyejajarkan namaku dengan nama mulia Imam Zaman. Usirlah orang itu dan
jangan kalian izinkan datang lagi ke rumah ini.”
Menghormati Kesucian Agama
Suatu hari, raja Arab Saudi datang ke Iran dan
mengirim utusan utuuk menyerahkan bermacam-macam hadiah kepada Ayatullah
Burujurdi. Ayatullah Burujurdi hanya menerima sebagian hadiah; beberapa
al-Quran dan secarik kain Kabah, seraya mengembalikan yang lainnya.
Dengan hadiah-hadiah itu, si Raja berharap dapat bertatap muka dengan
Ayatullah Burujurdi (sebagaimana disampaikan utusannya). Tapi Ayatullah
Burujurdi menolaknya. Tatkala ditanya soal alasan penolakannya, beliau
menjawab, “Orang ini (Raja Arab Saudi), jika datang ke Qum, tidak
berziarah ke makam suci Sayyidah Fathimah al-Ma’shumah. Ini jelas sebuah
penghinaan terhadap beliau. Saya sama sekali tak dapat menerima hinaan
ini.”
Persahabatan Menyelamatkan Teman
Dua orang ‘abid (sebut saja bernama Ahmad dan
Hamid) bersama-sama tinggal di sebuah gua di atas gunung. Keduanya sibuk
beribadah kepada Allah. Hubungan persahabatan keduanya begitu dekat.
Seolah-olah keduanya merupakan satu jiwa.
Suatu hari Hamid turun gunung menuju kota untuk
membeli daging. Sesampainya di dekat penjual daging, ia melihat seorang
wanita cantik berdiri di depan penjual. Pandangannya tertuju kepada
wanita cantik itu. Ia kontan dikuasai hawa nafsu sehingga terjalinlah
hubungan yang melanggar syariat. Sering kali ia keluar masuk rumah
wanita itu.
Perbuatan tersebut berlangsung selama berhari-hati.
‘Abid lainnya, Ahmad, menunggu kedatangan sahabatnya kembali ke gua
untuk melanjutkan ibadahnya. Namun ia tidak mendapat kabar soal keadaan
sahabatnya itu. Terpaksa ia pun turun kekota untuk mencari sahabatnya
yang sudah lama tidak kembali ke gua. Sewaktu memasuki kota dan
menanyakan ke sana ke mari, ia tahu bahwa sahabatnya itu telah
menyimpang dan berbuat dosa.
Ahmad seorang ‘abid yang tidak kaku. Namun punya
hati yang hidup dan pikiran yang terang. Ketimbang menjauhi Hamid, ia
memikirkan cara untuk menyelamatkannya dari dosa. Ia memperoleh
informasi bahwa Hamid berada di rumah wanita itu. Demi menjumpai Hamid,
ia mendatangi rumah wanita itu. Benar, Hamid berada di rumahnya. Dengan
penuh rasa gembira, ia mendekati Hamid dan memeluknya serta menanyakan
keadaannya. Dengan penuh rasa malu. Hamid berkata, “Siapa kamu? Aku
tidak mengenalmu?”
Ahmad menjawab, “Hai saudaraku, aku tahu peristiwa
yang menimpamu. Aku amat menyukaimu dan kamu adalah orang yang paling
mulia di hatiku. Bagaimana mungkin aku dapat berpisah darimu? Marilah
kita kembali ke tempat kita semula.”
Hamid tertarik dengan ajakan Ahmad. Ia pun bersedia
kembali bersama Ahmad ke gua untuk bertobat dengan sebenar-benarnya dan
menjauhi dosa.
Dengan demikian, Ahmad―dengan cara yang indah―telah
melaksanakan tugasnya sebagai sahabat. Ia telah menyelamatkan
sahabatnya itu.. Apakah ada cara yang lebih baik dari ini? Ataukah Hamid
dibiarkan tanggelam dan hanyut dalam dosa dan sengsara?
Memohon Pertolongan Allah demi Meninggalkan Dosa
Allah Swt memfirmankan Nabi Daud as untuk menemui
Nabi Danial as dan menyampaikan kepadanya: Engkau sekali berbuat dosa
(yakni meninggalkan yang utama [tarkul aulâ]) kepada-Ku, lalu Aku
ampuni, lalu untuk keduakalinya engkau berbuat dosa, dan Aku pun
mengampunimu, untuk ketigakalinya engkau berbuat dosa kepada-Ku, dan Aku
tetap mengampunimu, nam«n sekiranya engkau berbuat dosa untuk yang
keempat kali, Aku tak akan mengampunimu.
Nabi Daud as berangkat menemui Nabi Danial as dan
menyampaikan firman Allah tersebut. Kemudian Nabi Danial as berkata
kepada Nabi Daud as, “Hai Nabi Allah, engkau telah menyampaikan
tugasmu.”
Tengah malam, Nabi Danial as berdoa dan bermunajat
kepada Allah seraya berkata, “Ya Allah, Nabi-Mu, Daud as telah
menyampaikan firman-Mu kepadaku; yang jika aku berbuat dosa untuk
keempat kalinya, Engkau tak akan mengampuniku. Maka aku bersumpah demi
kemuliaan-Mu, sekiranya Engkau tidak menjagaku, maka aku akan bermaksiat
kepada-Mu, bermaksiat kepada-Mu, bermaksiat kepada-Mu.”
Benar. Meninggalkan dosa jelas berat dan sulit.
Karennya, untuk itu harus memohon bantuan dan petolongan Allah Swt ini
sebagimana tercantum dalam al-Quran: “Dan jika tidak Engkau hindarkan
dariku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi
keinginan mereka berbuat dosa) dan tentulah aku termasuk orang-orang
yang bodoh.” (Yûsuf: 32) Juga dalam surat lainnya: Sesungguhnya wanita
itu telah berkeinginan (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf
pun berkeinginan untuk (melakukannya) dengan wanita itu andaikata ia
tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. (Yûsuf: 24)
Ya, tatkala Yusuf akan diperdaya hawa nafsunya dan
menghadapi keadaan yang menyeretnya ke lembah dosa, burhân Allah (yakni
ilmu iman dan pengetahuan), maqam ishmah dan kenabiannya serta
permohonan pertolongannya kepada-Nya, menjadikannya selamat dari semua
itu.
Menurut riwayat saat itu, terdapat sebuah patung
yang dijadikan sesembahan isteri Aziz (Zulaikha). Tiba-tiba pandangan
Zulaikha tertuju pada patung itu. Ia merasa malu hati dan berusaha
menutupi patung itu dengan sehelai kain. Yusuf yang menyaksikan
peristiwa ini merasa heran dan berkata, “Kamu merasa malu pada patung
yang tak punya akal dan perasaan ini. Lalu, bagaimana mungkin aku tidak
merasa malu kepada Tuhanku yang melihat segala perbuatanku?”
Wanita Tua nan Tegar dan Pemberani
Bakkarah keturunan Hilali adalah seorang wanita
tegar dan pemberani yang tinggal di Madinah. Ia pendukung setia Imam Ali
bin Abi Thalib. Berbagai musibah dan bencana yang menimpanya menjadi
tua dan buta. Namun ia memiliki hati yang terang dan muda. Suatu hari,
tatkala Muawiyah yang sedang berada di puncak kekuasaannya datang ke
Madinah yang mengadakan mejelis pertemuan, Bakkarah menghadirinya.
Terjadilah dialog antara dirinya dengan Muawiyah.
Muawiyah, “Hai bibi! bagaimana keadaanmu?”
Bakkarah, “Baik, wahai pemimpin!”
Muawiyah, “Waktu telah membuatmu menderita.”
Bakkarah, “Benar, waktu memiliki tinggi dan rendah;
orang yang berusia panjang akan menjadi tua, dan orang yang mati akan
musnah.”
Amr bin ‘Ash, penasihat Muawiyah, juga hadir di
majelis itu. Ia ingin menjadikan Muawiyah memusuhi wanita itu. Ia
berkata, “Demi Allah, wanita ini telah melantunkan syair yang menghinamu
dan memuji Ali bin Abi Thalib.” Kemudian ia melantunkan syair yang
dimaksud.
Marwan juga hadir dalam majelis itu. Ia melantunkan
syair lain yang lagi-lagi dinishahkan kepada wanita itu. Begitu pula
dengan Said bin ‘Ash yang berkata, “Demi Allah, Bakkarah telah
melantunkan syair-syair ini (pujian untuk Ali bin Abi Thalib dan kutukan
kepadamu).” Ia melantunkan syair yang dimaksud.
Kemudian Muawiyah mengutuk dan menghina Bakkarah.
Dengan penuh keberanian, Bakkarah menjawab, “Hai
Muawiyah! Sepak terjangmu telah membuat kedua mataku buta, lisanku kaku.
Demi Allah! Aku telah melantunkan syair-syair itu dan tak perlu aku
tutup-tutupi darimu.”
Muawiyah tertawa dan berkata, “Sekalipun demikian,
aku tak akan menahan diriku untuk berbuat baik kepadamu. Katakanlah
kepadaku, apa keperluanmu agar aku dapat memenuhinya.”
Bakkarah menjawab, “Sekarang ini aku tidak
membutuhkan sesuatu darimu.” Kemudian ia meninggalkan majelis dengan
penuh kewibawaan dan keagungan. Ia melenggang tanpa menghiraukan
sedikitpun para budak uang yang berkerumun di sekeliling Muawiyah.
Sejujurnya, darimanakah munculnya ketegaran dan
keberanian jiwa wanita tua tersebut? Semua itu tak lain karena ia
digembleng dan dididik dalam madrasah Imam Ali bin Abi Thalib.
Para Haji Palsu
Pada ritual ibadah haji, seorang pengikut setia dan
murid teladan Imam Ja’far al-Shadiq bernama Abu Basyir ikut bersama
beliau menunaikan ibadah haji. Ia dan Imam Ja’far al- Shadiq
bersama-sama mengelilingi (tawaf) Kabah.
Saat itu Abu Basyir berkata kepada Imam al-Shadiq,
“Apakah Allah akan mengampuni semua orang yang jumlahnnya cukup banyak
ini, yang datang guna melaksanakan ibadah haji?”
Imam Ja’far al-Shadiq menjawab, “Hai Abu Basyir, sebagian besar orang-orang yang engkau saksikan ini adalah kera dari babi.”
Abu Basyir bertanya, “Tunjukkanlah kepadaku hakikat
mereka.” Lalu Imam Ja’far al-Shadiq mengusapkan kedua telapak tangan
beliau ke kedua mata Abu Basyir, seraya mengucapkan beberapa kalimat.
Tiba-tiba Abu Basyir melihat sebagian besar mereka yang mengeliligi
Kabah adalah kera dan babi. Ia merasa takut. Lalu Imam Ja’far al-Shadiq
kembali mengusapkan dua telapak tangannya ke kedua mata Abu Basyir.
Sekonyong-konyong ia pun kembali melihat mereka secara normal. Kemudian
beliau berkata, “Jangan khawatir, engkau bersamaku di surga.
Bergembiralah, engkau tidak termasuk golongan penghuni neraka. Demi
Allah, tiga orang, bahkan dua orang, bahkan seorang dari kalian tak akan
masuk neraka.”
Pesan Ibu kepada Puterinya di Malam Pengantin
Seorang wanita cerdik menikahkan puterinya. Di
malam pernikahan, tatkala hendak mengantarkan puterinya ke rumah
suaminya, ia memanggilnya dan memberi pesan kepada sang puteri; bahwa
demi mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sejahtera, harus dijalankan
sepuluh perkara.
Ia berkata, “Anakku! Ketahuilah, engkau telah
berpisah dengan kehidupan yang telah menyatu dengan darah dan dagingmu.
Rumah yang akan engkau huni benar-benar asing bagimu. Di sana engkau
akan bersanding dengan seorang teman yang belum engkau kenal baik.
Jadilah budaknya agar ia juga menjadi budakmu. Dengarlah sepuluh pesan
ini dan amalkanlah agar engkau berbahagia di rumah barumu.
1. Jadikanlan sifat qana’ah (merasa cukup) sebagai landasan hidup rumah tanggamu bersama suamimu.
2. Berusahalah selalu mendengar dan patuhi ucapan suamimu.
3. Pandanglah suamimu dengan lembut dan rendah hati
4. Jagalah kebersihan dan keharumanmu.
5. Jagalah harta suamimu dan ketahuilah bahwa
menjaga harta suami adalah dengan perkiraan (dalam pengeluaran) dan
tidak berlebih-lebihan.
6. Hormatilah sanak kerabat suamimu, dan ketahuilah
bahwa sikap ini hnya dapat engkau lakukan dengan kesadaran dan
kebijaksanaan.
7. Persiapkanlah makanan suamimu dengan baik dan
tepat waktu, karena rasa lapar dapat memicu munculnya berbagai perkara
yang tidak menyenangkan.
8. Jagalah ketenangan saat suami sedang beristirahat, karena adanya gangguan dalam tidur akan membangkitkan amarah.
9. Janganlah engkau membongkar rahasianya, karena
jika rahasinya terbongkar, engkau tak akan pernah selamat dari tipudaya
(makar)nya.
10. Taatilah dirinya, karena melanggar
perintahnya―yang masih berada dalam batasan syariat―menyebabkan hatinya
dipenuhi rasa benci kepadamu.
Anakku! Jika pesanku ini engkau laksanakan dengan
baik, tabah, dan penuh semangat, yakinlah bahwa engkau akan menarik hati
dan kasih sayang suamimu yang dengannya engkau akan memiliki kehidupan
yang indah bersama suamimu.”
Hinaan Reza Khan terhadap Ruhaniawan Agung dan Bertakwa
Ayatullah Syaikh Muhammad Taqi Bafqî adalah orang
alim dan arif yang bertakwa sekaligus mujahid. Pada masa Ayatullah
Syaikh Abdul Karim al-Hâ’irî, beliau merupakan salah seorang guru
terkemuka di Hauzah Ilmiyah Qum. Pada tahun 1322 Hijriah Syamsyiah (1943
Masehi), beliau meninggal di tempat pengasingannya di kota Rayy. Di
situ, beliau dikuburkan dalam masjid Bala-ye Sar yang terletak di
sekitar makam suci Sayyidah Fathimah al- Ma’shumah.
Pada hari raya Nu Ruz (tahun baru) tahun 1306
Hijriah Syamsyiah (bertepatan dengan 27 Ramadhan 1346 Hijriah
Qamariyah), banyak orang hadir di makam suci Sayyidah Ma’shumah. Saat
itu keluarga Reza Khan Pahlevi datang ke kota Qum dan hendak berziarah
ke makam Sayyidah Ma’shumah tanpa mengenakan hijab. Tatkala hendak
memasuki makam Sayyidah Ma’shumah, dikarenakan sikap melecehkan dan
menghina ini, mereka menghadapi kegusaran masyarakat. Seorang ruhaniawan
bernama Sayyid Nazhim Wa’idh mengajak masyarakat melaksanakan amar
makruf nahi mungkar.
Kabar demikian sampai ke telinga Ayatullah Syaikh
Muhammad Taqi Bafqî. Kemudian beliau mengirim pesan kepada keluarga Reza
Khan sebagai berikut, “Jika kalian adalah muslim tidak selayaknya
kalian hadir di tempat suci ini dalam keadaan semacam itu. Sekiranya
kalian bukan muslim, kalian juga tidak berhak (untuk masuk).” (Karena
orang kafir tidak dibenarkan memasukinya).
Keluarga Reza Khan tidak mengindahkan peringatan
Ayatullah Bafqî. Akhirnya, almarhum Ayatullah Bafqî sendiri yang datang
ke makam suci Sayyidah Ma’shumah dan memberi peringatan keras kepada
keluarga Reza Khan. Kejadian ini nyaris memicu kebangkitan masyarakat
melawan pemerintahan Syah.
Kepolisian menyampaikan kabar kepada Reza Khan
bahwa keluarganya (isteri dan kedua anaknya, Syams dan Asyraf) ditahan
di sebuah ruangan atas perintah para ruhaniawan. Keduanya tidak
dibenarkan memasuki ruangan Makam Sayyidah Ma’shumah tanpa mengenakan
hijab.
Reza Khan sendiri beserta satu unit pasukannya
datang ke Qum untuk membebaskan keluarganya. Ia memasuki ruangan makam
Sayyidah Ma’shumah dengan mengenakan sepatu serta memukuli dan memaki
Ayatullah Bafqî.
Atas perintah Syah Reza Khan, Syaikh Muhammad Taqi
ditengkurapkan dan Syah memukulinya dengan sebuah tongkat. Syaikh
menjerit, “Wahai Imam Zaman, tolonglah aku!” Kemudian sosok alim dan
bertakwa itu dijebloskan ke penjara untuk beberapa waktu. Setelah keluar
penjara, beliau sepanjang hidupnya berada dalam pengawasan polisi. Biar
begitu, beliau tetap sibuk beribadah.
[1]
al-Naml: 29-35.
BAB IV
Pengaruh Air Susu Ibu
Konon seekor keledai dan seekor unta sedemikian
kurus kering, sampai tak sanggup lagi mengangkut barang. Keduanya
dilepas dan dibuang pemiliknya. Bersama-sama keduanya merumput di sebuah
padang rumput yang subur.
Keledai berkata, “Sebauknya sekarang kita hidup
bersaudara dan tidak meninggalkan tempat yang penuh rumput dan air ini.
Kita jangan sampai terlihat oleh orang-orang yang datang kemari, agar
kita dapat tetap berada di tempat menyenangkan ini.”
Unta menjawab, “Sebuah usulan bagus jika tidak dipengaruhi air susu ibu.”
Keledai berkata , “Apakah pengaruh air susu ibu?”
Unta berkata , “Bukannya tidak berpengaruh.”
Dalam waktu lama, kedua binatang itu dengan bebas
dan leluasa menikmati rerumputan dan air di padang itu. Kan keduanya
merasa senang dan bahagia. Tiba-tiba datang kafilah yang memiliki
beberapa ekor keledai, melintas di tepi padang rumput itu. Orang-orang
dalam kafilah itu, demi beristirahat dan menghilangkan rasa letihnya,
berhenti di padang tersebut. Saat itu, keledai-keledai yang di bawa
kafilah itu bersuara. Keledai teman si unta itupun ikut-ikutan
mengeluarkan suaranya.
Unta bertanya, “Mengapa engkau bersuara? Suaramu
menyebabkan orang-orang mengetahui keberadaan kita. Mereka akan datang
mengambil kita dan membebani kita dengan barang-barang yang berat.”
Keledai menjawab, “Ini adalah pengaruh air susu ibu.”
Tepat dugaan unta. Orang-orang mulai sibuk mencari
sumber suara. Mereka kemudian melihat keberadaan keledai dan unta yang
gemuk dan sehat yang tanpa pemilik. Mereka mengambilnya dan membebani
punggung keduanya dengan barang bawaan yang berat. Setelah itu, kafilah
kembali bergerak dan meninggalkan padang rumput. Kafilah terus berjalan
sampai akhirnya mendekati sebuah bukit. Sewaktu mulai mendaki bukit itu,
si keledai kehilangan tenaganya dan jutuh tergolek di tanah. Sebabnya,
selama ini ia hnya sibuk makan, minum, dan tidur, sehingga tak terbiasa
lagi membawa beban yang berat.
Melihat keledai dalam keadaan itu, orang-orang
dalam kafilah langsung meletakkan keledai itu ke punggung unta. Unta pun
melanjutkan perjalanannya menaiki bukit dengan membawa beban yang lebih
berat. Setelah mencapai puncak bukit, unta menggoyang- goyangkan
dirinya.
Keledai berkata, “Hai saudaraku! apakah engkau tahu
di manakah kita sekarang ini? Kalau engkau terua bergoyang-goyang,
niscaya aku akan terjatuh dari puncak ini dan tubuhku bakal hancur
lebur.”
Unta menjawab, “Saudaraku ini adalah pengaruh air susu ibu!” Lalu keledai itu pun terjatuh dari punggung unta dan binasa.
Nasihat Rasulullah
Seorang lelaki menemui Rasulullah saww dan berkata,
“Hai Rasulullah! Ajarilah aku.” Rasulullah saww bersabda, “Hendaklah
engkau tidak mengharapkan apa-apa yang ada di tangan manusia;
sesungguhnya itu adalah kekayaan nyata.”
Ia berkata, “Tambahkan lagi, wahai Rasulullah.”
Rasulullah saww bersabda, “Hindarilah rasa tamak; sesungguhnya itu adalah kefakiran yang nyata.”
Ia berkata, “Wahai Rasulullah, tambahkan lagi.”
Rasulullah saww bersabda, “Kalau engkau
menginginkan suatu perkara maka pikirkanlah akibatnya. Sekiranya itu
berakibat baik dan (memberi) petunjuk, laksanakanlah, dan sekiranya itu
berakibat kesesatan, tinggalkanlah.”
Peristiwa Keracunan Rasulullah saww dan Pemaafannya
Pada tahun ketujuh Hijriah, dalam upaya
melaksanakan perintah Rasulullah untuk menaklukkan Khaibar, kaum
muslimin mengepung benteng orang-orang Yahudi pembangkang. Dengan
terbunuhnya Marhab, pejuang Yahudi yang termasyhur, di tangan Imam Ali,
benteng-benteng Yahudi berhasil dikuasai muslimin.
Saudari Marhab memutuskan meracuni Rasulullah saww
dengan makanan yang dihadiahkan kepada Rasulullah saww. Ia memanggang
dan memasak sejumlah daging dan kaki kambing, kemudian membubuhinya
dengan racun. Setelah itu, ia memberikannya kepada Rasulullah saww
sebagai hadiah.
Rasulullah saww dan para sahabatnya menyantap
masakan itu. Namun tatkala memakannya, beliau saww mengetahui apa yang
terjadi. Kemudian beliau saww memerintahkan para sahabatnya untuk
berhenti makan. Beliau saww mengutus seseorang untuk menemui wanita
Yahudi itu, dan membawanya ke hadapan beliau saww. Orang itu berangkat
dan membawa wanita Yahudi itu ke hadapan Rasulullah saww.
Rasulullah saww bertanya kepada wanita itu, “Apakah daging kambing ini engkau campur dengan racun?”
Wanita ia menjawab, “Siapa yang memberitahumu tentang rahasia ini?”
Rasulullah saww bersabda, “Kaki kambing di tanganku itulah yang memberitahuku.”
Wanita menjawab, “Benar, aku membubuhinya dengan racun.”
Rasulullah saww bertanya, “Apa tujuanmu?”
Ia menjawab, “Saat itu aku berkata dalam hatiku
sendiri bahwa seandainya ia seorang rasul, pasti racun ini tak akan
mencelakakannya. Kalau bukan seorang rasul, kami niscaya akan terbebas
darinya.”
Setelah mendengar jawaban itu, Rasulullah saww tidak jadi menghukumnya, melainkan malah memaafkannya.
Sebagian sahabat beliau saww yang telah memakan
daging itu meninggal dunia. Lalu Rasulullah saww memerintahkan untuk
mengeluarkan darah beliau dari tengkuk, agar dengan keluarnya darah itu,
pengaruh racun berkurang. Abu Hind, seorang budak Bani Bayadhah (salah
satu kabilah muslimin Anshar) yang telah dibebaskan, mengeluarkan darah
beliau saww. Namun pengaruh racun dalam tubuh beliau saww masih ada.
Sehingga adakalanya beliau sakit dan terbaring di tempat tidur.
Akhirnya, akibat pengaruh racun yang sangat dahsyat itu, Rasulullah saww
menderita sakit parah dan wafat.
Tangan Gaib
Imam Ali al-Sajjad beserta keluarga syuhada Karbala
digiring pasukan Umar bin Sa’ad menuju Syam sebagai tawanan perang.
Setibanya di Syam, Yazid berkata kepada Imam al-Sajjad, “Ayah dan
kakekmu ingin menjadi pemimpin di tengah masyarakat. Tapi alhamdulillâh,
mereka terbunuh dan darahnya tertumpah.”
Imam Ali al-Sajjad menjawab, “Kedudukan kenabian
(nubuwwah) dan kepemimpinan (imamâh) khusus bagi ayah dan kekekku, jauh
sebelim engkau dilahirkan.”
Tatkala Imam Ali al-Sajjad menisbatkan dirinya
kepada Rasulullah saww (dan menjelaskan kepada Yazid bahwa dirinya dan
penerusnya adalah pengganti dan penerus Rasul saww) seketika itu Yazid
berkata kepada algojonya, “Bawalah orang ini (seraya menunjuk Imam Ali
al-Sajjad) ke kebun dan galilah lubang kubur, lalu bunuh dan kuburkan di
dalamnya.”
Kemudian algojo itu membawa Imam Ali al-Sajjad ke
kubun. Selagi ia sibuk menggali kubur, Imam Ali al-Sajjad menunaikan
shalat. Dan tatkala algojo itu hendak membunuh Imam, tiba-tiba muncul
sebuah tangan di udara dan langsung menampar mukanya. Ia menjerit
terjatuh ke tanah dan mati.
Tatkala menyaksikan peristiwa yang menimpa algojo
itu, dengan segera Khalid (putera Yazid) menemui ayahnya dan
menceritakan kejadiannya. Yazid memerintahkan untuk menguburkannya ke
dalam kubur yang digalinya untuk Imam Ali al-Sajjad. Lalu Imam al-Sajjad
dibebaskan dari kebun itu. Sampai sekarang dalam kebun itu berdiri
sebuah masjid untuk mengenang peristiwa tersebut.
Kecerdasan Aqil
Suatu hari Aqil bin Abi Thalib (saudara Imam Ali
bin Abi Thalib) menemui Muawiyah. Lalu Muawiyah berbisik kepada Amr bin
Ash, “Hari ini aku akan membuatmu tertawa karena Aqil.”
Kemudian sampailah Aqil di hadapan Muawiyah dan
memberi salam. Muawiyah berkata kepadanya, “Selamat datang, wahai orang
yang pamannya adalah Abu Lahab.”
Seketika itu pula Aqil menjawab, “Selamat bagimu
wahai orang yang bibinya pembawa kayu bakar (isteri Abu Lahab) yang di
punggungnya terdapat tali yang terbuat dari sabut (perlu diperhatikan
bahwa isteri Abu Lahab adalah Ummu Jamil, putera Harb, kakek pertama
Muawiyah).”
Muawiyah berkata, “Menurutmu di manakah Abu Lahab?”
Aqil menjawab, “Tatkala engkau masuk ke neraka dan
menoleh ke samping kirimu, di situlah Abu Lahab dan isterinya sedang
berbaring.”
Qadha Shalat
Seseorang senantiasa hadir di masjid dan tak pernah
meninggalkan shalat berjamaah. Karenanya, ia selalu datang ke masjid
lebih awal dari yang lain dan berada di barisan pertama shalat
berjamaah. Ia juga orang terakhir yang keluar dari masjid. Jelas, orang
semacam ini pasti memiliki ketakutan yang amat sangat kepada Allah dan
taat dalam menjalankan ajaran agama. Suatu hari terjadi sesuatu yang
menyebabkan dirinya sedikit terlambat hadir di masjid. Ia melihat sudah
tak ada lagi tempat kosong di barisan pertama. Terpaksa ia berdiri di
barisan terakhir. Namun ia merasa malu. Dan itu tampak jelas di raut
wajahnya. Ia bergumam, “Mengapa aku berada di barisan terakhir?”
Tiba-tiba ia tersadar tentang betapa buruk
pikirannya. “Kalau aku benar-benar ikhlas beribadah, tak ada beda antara
baris pertama atau terakhir,” pikirinya. Lagi-lagi ia berkata dalam
hatinya, “Wah! Jelas sudah bahwa shalat yang kukerjakan selama 30 tahun
telah tercemari riya. Kalau tidak, seharusnya hatiku tidak merasa
menyesal tatkala diriku berada di baris terakhir.”
Pikiran ini menerbitkan cahaya di hatinya. Ia
merasa harus segera mencari jalan keluarnya demi membuang perasaan riya
di hatinya dengan segera. Seraya tetap memohon perlidungan Allah dari
godaan setan, bersabar, dan penuh semangat, ia bertobat dengan
sebenar-benarnya serta membenahi diri setiap saat. Ia pun memutuskan
untuk menganti (qadha’) shalatnya yang telah dikerjakannya selama 30
tahun. Sebab ia tahu bahwa selama itu, dirinya berada di barisan pertama
namun hatinya tercemari perasaan riya.
Ya, ia tersadar dari kelalaiannya. Dengan semangat
membaja, ia membersihkan jiwanya dngan air tobat dan mengqadha’
shalatnya selama tiga puluh tahun itu.
Syahid Keledai
Di masa Rasulullah saww terjadi peperangan sengit
antara pasukan Islam dengan pasukan kafir. Darinya terdengar suara
gemerincing pedang yang sangat keras. Saat itu, pandangan salah seorang
tentara Islam tertumbuk pada seorang tentara kafir yang sedang
menunggang keledai putih. Keindahan keledai itu menarik hatinya. Itulah
yang menjadikan setan mencemari niatnya. Ia berkata dengan hatinya, “Aku
akan segera membunuh si kafir itu, sehingga keledai itu akan jadi
milikku.”
Dengan niat itulah ia menyerang orang kafir
tersebut. Sayang justru dirinyalah yang terbunuh di tangan orang kafir
itu. Muslimin yang mengetahui niatnya yang tercemar itu, menjulukinya
sebagai syahid keledai.
Ya, jihad harus di jalan Allah (fî sabîlillah), bukan di jalan keledai (fî sabîli al-khimâr).
Orang Paling Cerdik
Pada masa bahagia, para sahabat mengelilingi
Rasulullah saww laksana kupu-kupu yang mengitari bunga. Mereka mendapat
siraman maknawiah dari beliau saww.
Rasulullah saww bertanya kepada mereka, “Maukah kalian akan kuberitahu tentang orang yang paling cerdik dan paling dungu?”
Rasa ingin tahu mendorong mereka untuk mendapatkan
jawabannya. Dengan penuh semangat, mereka menyatakan kesiapannya untuk
mendengar jawabannya dangan berkata, “Ya, wahai Rasulullah saww.”
Rasulullah saww bersabda, “Orang paling cerdik
adalah orang yang memperhitungkan dirinya dan beramal untuk (kehidupan)
setelah kematian. Dan orang paling dungu adalah orang yang menuruti hawa
nafsunya lalu mengharapkan dari Allah berbagai pengharapan (ketakwaan
dan surga).”
Masyarakat Islam Sejati
Suatu hari, Said bin Hasan―seorang murid Imam
Muhammad al-Baqir―menemui beliau. Imam al-Baqir bertanya, “Apakah dalam
masyarakat di mana engkau hidup di dalamnya, terdapat kebiasaan ini;
bila ada saudara seagama memiliki suatu kebutuhan lalu menemui saudara
seagamanya dan memasukkan tangannya ke sakunya, kemudian mengambil uang
(dari saku itu) sesuai kebutuhannya, dan si pemilik uang tidak berusaha
mencegahnya?”
Said menjawab, “Tidak, hal ini tidak saya saksikan dalam masyarakat saya.”
Imam Muhammad al-Baqir berkata, “Kalau begitu, tidak terdapat persaudaraan islami di antara kalian.”
Said bertanya, “Apakah hal ini menandakan kami tengah berada dalam kehancuran dan kebinasaan?”
Imam Muhammad al-Baqir menjawab, “Akal masyarakat
itu masih belum sempurna.” Maksudnya, tugas dan tanggung jawab (taklfî)
setiap orang berbeda-beda sesuai kapasitas akal dan perkembangan
keislamannya. Kalau sebuah masyarakat Islam di mana akal dan
keislamaannya benar-benar tumbuh dan berkembang, niscaya orang-orang
yang membutuhkan akan leluasa mengambil uang (sebatas diperlukan) dari
saku orang-orang yang berkecukupan tanpa menemui hambatan apapun.
Dilarang Keras Membantu Orang Zalim
Adzafir adalah seorang murid Imam Ja’far al-Shadiq.
Imam al- Shadiq mendengar berita bahwa Adzafir bekerja untuk Rabi’ dan
Abu Ayyub (dua orang zalim) dan membuntu keduanya. Kemudian Imam
al-Shadiq memanggilnya, “Wahai Adzafir! Aku mendengar berita demikian
(engkau bekerja untuk orang zalim). Apakah engkau tidak berpikir bahwa
di hari kiamat nanti engkau akan diseru Allah sebagai penolong
orang-orang zalim? Saat itu bagaimana keadaanmu? Apa yang hendak kamu
lakukan ?”
Adzafir merasa gelisah mendengar nasihat dan
teguran keras Imam Ja’far al-Shadiq. Saking sedihnya, ia mengepalkan
tangannya dan memukulkan ke tubuhnya. Lalu terdiam dengan memendam rasa
sedih.
Imam Ja’far al-Shadiq mengetahui apa yang
dirasakannya. Beliau berkata, “Wahai Adzafir, aku menakutimu tentang
perkara yang Allah menakutiku akan perkata itu (maksudnya, masalah yang
tergolong serius ini bukan perintah Imam melainkan perintah Allah).”
Putera Adzafir berkata, “Setelah beberapa hari,
dikarenakan rasa sedih dan sesal lantaran telah bekerja sama dengan
orang zalim, ia pun meninggal dunia.”
Pertolongan Allah
Di antara Bani Israil, hiduplah sebuah keluarga
yang tinggal di dalam kemah di tengah padang pasir. Mereka sehari-hari
sibuk beternak kambing dan menjalani pola hidup sederhana. Selain
beberapa ekor kambing, mereka juga memiliki seekor ayam jantan, seekor
keledai, dan seekor anjing.
Ayam jantan dipelihara untuk membangunkan mereka
menunaikan shalat [subuh]; keledai untuk membawa perlengkapan hidup dan
mengambil air dari tempat yang jauh; sedangkan anjing dijadikan sebagai
penjaga dari gangguan binatang buas, khususnya di malam hari.
Pada suatu malam, datanglah seekor musang yang
menyantap ayam jantan milik mereka. Semuanya bersedih, kecuali seorang
lelaki (kepala keluarga) yang saleh yang berkata, “Tidak, insya Allâh.”
Selang beberapa hari, anjing mereka mati. Kembali
mereka bersedih kecuali lelaki (kepala keluarga) itu yang lagi-lagi
berkata, “Tidak, insya Allâh.” Tak berapa lama, datanglah beberapa ekor
srigala yang menerkam dan memangsa keledai milik mereka. Sepert biasa,
kepala keluarga itu berkata, “Tidak, insya Allâh.”
Dalam hari-hari itu, tatkala terbangun di waktu
Subuh, mereka menyaksikan seluruh keluarga di sekitar kemah mereka
diranipok musuh dan dijadikan tawanan. Di padang pasir itu, kini hanya
satu keluarga itulah yang selamat dari perampokan.
Lelaki saleh itu berkata, “Rahasia mengapa kita
selamat dari mereka adalah dikarenakan para penghuni kemah itu memiliki
anjing, ayam jantan, dan keledai. Dikarenakan suara binatang itulah
tempat mereka diketahui dan akhirnya menjadi tawanan musuh. Namun,
dikarenakan kita tidak memiliki anjing, ayam jantan, dan keledai, tempat
kita tidak diketahui mereka. Kita pun selamat, dari tangan mereka.
Karenanya, keselamatan kita berkat kematian ayam jantan, anjing, keledai
kita.”
Inilah hasil rasa syukur kepada Allah yang
senantiasa dipanjatkan lelaki saleh itu yang senantiasa menghadapi
berbagai musibah dengan ucapan, “Tidak, insya Allâh.” Ya, pertolongan
dan karunia Allah senantiasa diberikan kepada orang-orang seperti itu.
Hasil Rasa Kasihan
Seorang ulama agung yang hidup di abad ke-12
Hijriah, almarhum Sayyid Muhammad Baqir Syifti Rasyti, yang biasa
dipanggil Hujjatul Islam Syifti, merupakan mujtahid yang mulia dan
bertakwa. Ia dilahirkan pada tahun 1175 Hijriah di kota Gilan dan
meninggal pada usia 85 tahun di Isfahan. Kuburnya terletak di samping
masjid Sayyid Isfahan, dan biasa diziarahi kaum mukminin.
Ia memiliki sebuah kisah yang amat menarik tentang hasil rasa kasihan terhadap kehidupannya.
Semasa menuntut ilmu di madrasah di Najaf dan
Isfahan, hidup Hujjatul Islam Syifti amatlah miskin. Adakalanya
dikarenakan menahan lapar, tubuhnya kehilangan tenaga dan jatuh pingsan.
Namun ia senantiasa menyembunyikan kefakirannya dan tidak mengeluh
kepada siapapun.
Suatu hari, di madrasah Isfahan, ada pembagian uang
kepada mereka yang bersedia melakukan shalat wahsyah (shalat yang
dilakukan sebagai hadiah bagi jenazah pada malam pertama dikuburkan). Ia
pun menerima sejumlah uang untuk melaksanakan shalat itu. Dikarenakan
sudah lama tidak makan daging, ia pun pergi ke pasar dan nmembeli hati
kambing. Setelah itu, ia kembali ke madrasah. Di tengah perjalanan, ia
melihat seekor anjing sedang terbaring di tanah dan anak-anaknya sibuk
menghisap puting susunya. Anjing itu kurus kering dan tak mampu lagi
berjalan.
Hujjatul Islam Syifti berkata dalam hatinya, “Kalau
engkau benar-benar adil, anjing ini jauh lebih layak memakan hati itu
ketimbang dirimu sendiri; karena ia amat kelaparan, begitu pula
anak-anaknya.” Ia langsung memotong-motong hati yang baru saja dibelinya
dari pasar dan diletakkan di dekat mulut anjing yang kelaparan itu.
Hujjatul Islam Syifti mengatakan bahwa tatkala
melemparkan potongan hati kambing itu ke dekat mulut anjing tersebut,
dirinya melihat anjing itu mendongakkan kepalanya ke langit seraya
mengeluarkan suara. Ia tahu bahwa anjing itu sedang mendoakan dirinya.
Tak lama berselang dari kejadian itu, seseorang
dari tempat kelahirannya mengirim uang untuknya dengan sebuah pesan,
“Saya tidak rela uang ini engkau habiskan untuk memenuhi keperluan
hidupmu. Tapi serahkanlah uang ini kepada seorang pedagang untuk
dijadikan modal. Ambillah keuntungannya untuk memenuhi keperluan
hidupmu.”
Ia lalu menjalankan pesan itu. Singkat cerita,
berkat keuntungan yang diperolehnya, kondisi ekonominya berangsur-angsur
membaik. Bahkan ia memperoleh keuntungan yang melimpah ruah. Darinya,
ia mampu membeli seribu kedai dan tempat penginapan. Bahkan, ia membeli
sebuah desa di dekat tempat tinggalnya. Hasil sewa sawah dari desa itu
setiap tahunnya mencapai 900 karung beras. Ia hidup sejahtera bersama
isteri dan anak-anaknya. “Semua ini berkat belas kasihan saya kepada
anjing kelaparan itu. Saya lebih mengutamakan anjing itu dari diri saya
seridiri.”
Menjaga dan Memelihara Hasil Perbuatan Baik
Sekelompok orang mendaangi Rasulullah saww. Lalu
Rasulullah saww menghadap mereka dan bersabda, “Barangsiapa mengucapkan
‘subhanallâh’, Allah akan menanam untuknya sebatang pohon di surga. Dan
barangsiapa mengucapkan ‘alhamdulillâh’, Allah juga akan menumbuhkan
sebatang pohon di surga. Dan barangsiapa mengucapkan ‘lâilâhaillallâh’,
Allah juga akan menumbuhkan baginya sebatang pohon di surga.”
Seorang Quraisy berkata, “Kalau begitu, kita akan memiliki banyak pohon di surga, karena kita sering mengucapkan kalimat itu.”
Rasulullah saww bersabda, “Ya, tapi jangan sampai
kalian mengirim api padanya dan membakar (semua)nya, karena Allah
berfirman: Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan
taatlah kepada Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amal
kamu sekalian.(Muhammad: 33)”
Menolak Usulan Damai Quraisy
Tatkala Rasulullah saww berdakwah secara
terang-terangan di Mekah, orang-orang musyrik melakukan berbagai upaya
untuk menghalang-halanginya. Namun mereka selalu gagal. Untuk tujuan
damai, akhirnya mereka mendatangi Abu Thalib dan berkata, “Kemenakanmu
melecehkan tuhan kita dan merusak akidah para pemuda kita serta
menciptakan perpeahan di antara kita. Kami datang kemari untuk berdamai.
Katakan kepadanya, kalau ia kekurangan harta, kami akan memberikan
harta yang cukup banyak hingga ia menjadi orang Quraisy paling kaya.
Kalau menginginkan kedudukan, kami bersedia menjadikannya sebagai
pemimpin kami.”
Abu Thalib menyampaikan usulan musyirikin kepada
Rasulullah saww. Lalu beliau saww menjawab, “Kalau mereka meletakkan
matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tetap tidak
menginginkannya, tetapi aku menghendaki mereka memberiku satu kalimat
saja, yang dengan kalimat itu mereka akan menguasai Arab, dan
orang-orang selain Arab (‘Ajam) akan cenderung pada agama mereka, dan di
akhirat mereka akan menjadi pemimpin surga.”
Abu Thalib menyampaikan pesan Rasulullah saww
kepada musyrikin Quraisy. Mereka masih belum mengerti apa kalimat yang
dimaksud itu. Mereka berkata, “Tak ada masalah. Hanya satu kalimat saja
amatlah ringan. Bahkan sepuluh kalimat pun kami akan mengkabulkannya.
Katakanlah, apa kalimat itu?”
Kemudian Rasulullah saww menyatakan (via Abu
Thalib), “Kalian bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan
sesungguhnya aku adalah utusan Allah.”
Mendengar jawaban ini, musyikin terperanjat dan
berkata, “Apakah kita harus meningalkan tuhan kita yang jumlahnya 360,
lalu hanya memuja satu tuhan saja? Sungguh ini amat mengherankan?”
Ayat ke-4 sampai ke-6 dari surat al-Shad diturunkan
berkenaan dengan kejadian ini. Pada ayat kelima berbunyi: Mengapa ia
menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang Mahaesa? Sesungguhnya ini
benar-benar sesuatu hal yang sangat mengherankan.
Dengan cara demikian, Rasulullah saww menolak dan
menentang berbagai bentuk usulan damai dari musyrikin. Dalam menjaga dan
mempertahankan ketauhidan beliau tidak menyambut usulan mereka untuk
menghentikan dakwahnya.
Oleh-oleh Syahid Muthahhari dari Paris
Sewaktu Imam Khomeini keluar dari Irak menuju
Paris, sejumlah tokoh menemui beliau. Di antaranya adalah Syahid
Muthahhari. Sekembalinya Syahid Muthahhati dari Paris, teman-temannya
bertanya kepadanya, “Apa yang engkau saksikan di Paris?” Ia menjawab,
“Aku menyaksikan empat âmana (ia percaya).” Marilah kita dengarkan
secara langsung tuturan Syahid Muthahhari.
“Kurang lebih selama 12 tahun, saya belajar kepada
pribadi agung ini. Dan selama perjalanan ke Paris, saya berkunjung dan
bertemu dengan beliau. Banyak hal yang saya saksikan dari sisi
kejiwaannya yang membuat saya tercengang dan menambah keimanan saya.
Tatkala saya kembali ke Iran, teman-teman saya bertanya, ‘Apa yang kamu
saksikari?’ Saya menjawab, ‘Saya menyaksikan empat âmana (ia percaya, ia
beriman).
1. Ia percaya pada tujuannya; jika dunia ini dikumpulkan, tak mampu menyimpangkan dirinya dari tujuannya.
2. Ia percaya pada jalannya; tidak mungkin
dibelokkan dari jalan itu. Ini persis seperti iman dan kepercayaan Rasul
saww terhadap tujuan dan jalannya.
3. Ia percaya pada ucapannya; di antara teman-teman
dan sahabat saya, saya tidak menjumpai seorang pun yang memiliki
kepercayaan terhadap jiwa dan semangat rakyat Iran sebagaimana beliau.
Tatkala mereka menasihati beliau agar bergerak secara perlahan lantaran
rakyat sedang kurang semangat dan merasa keletihan, beliau malah
menjawab, ‘Tidak, rakyat bukan sebagaimana yang kalian katakan, saya
mengenal rakyat dengan baik.’ Saya menyaksikan bahwa hari demi hari
ucapan beliau menjadi kenyataan.
Lebih dari itu, ia percaya kepada Tuhannya; dalam
sebuah majelis khusus, beliau (Imam Khomeini) berkata kepada saya, ‘Hai
fulan! Ini bukan kita yang melakukannya. Saya merasakan dengan jelas
tangan Allah.’ Sosok yang mampu merasakan pertolongan dan karunia Allah,
serta melangkahkan kaki di jalan Allah, niscaya Allah pun akan
menurunkan bantuan dan pertolongan-Nya sebagaimana yang tercantum dalam
ayat suci-Nya: Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama)
Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukannmu.
(Muhammad: 7) Saya benar-benar menyaksikan pertolongan Allah kepada
pribadi agung itu; beliau bangkit demi Allah, dan Allah pun
menganugerahi beliau hati yang tegar, yang sama sekali tidak terguncang
rasa takut.... Pribadi ini sehari-harinya duduk dan memberi berbagai
wejangan yang mengobarkan semangat, sedangkan di pagi buta minimal
selama sejam, beliau berdoa dan bermunajat kepada Allah, seraya
meneteskan air mata. Ini sulit dipercaya. Sosok ini, persis sebagaimana
sosok Imam Ali bin Abi Thalib―yang sering disebut tersenyum ketika
berhadapan dengan musuh di medan perang, dan menangis ketika berada di
mihrab―sering menangis, meneteskan air mata, dan pingsan. Semua itu saya
saksikan pada diri beliau (Imam Khomeini).”
Syiah Sejati menurut Imam Kedelapan
Imam Ali bin Musa al-Ridha tinggal di Khurasan.
Secara lahiriah, beliau tampak seperti putera mahkota (waliyyul ahd)
dari Ma’mun Abbasi. Serombongan Syiah lalu menemui beliau di Khurasan.
Mereka meminta izin kepada penjaga pintu untuk masuk ke dalam rumah.
Penjaga pintu menyampaikan kedatangan mereka kepada Imam Ali al- Ridha.
Namun Imam tidak memberi izin.
Selama dua bulan penuh, setiap harinya dua kali
mereka datang ke rumah Imam Ali al-Ridha. Namun beliau tetap tidak
menerimanya. Mereka berkata kepada penjaga pintu untuk menyampaikan
pesan kepada beliau bahwa mereka adalah Syiah beliau. Tatkala penjaga
pintu itu menyampaikan pesan mereka, Imam Ali al-Ridha menjawab,
“Sekarang saya sedang sibuk. Jangan engkau izinkan mereka masuk.”
Akhirnya mereka berkata kepada penjaga pintu,
“Sampaikanlah kepada Imam, kami berasal dari negeri yang jauh. Sudah
berulang kali kami meminta izin, namun beliau selalu menolak.
Musuh-musuh kami tentu akan merasa gembira. Kalau kami kembali ke negeri
kami sebelum berjumpa dengan Anda, niscaya kami merasa malu terhadap
masyarakat negeri kami....”
Penjaga pintu menyampaikan pesan itu kepada Imam
Ali al-Ridha. Lalu Imam berkata, “Izinkan mereka masuk.” Penjaga pintu
mengizinkan mereka masuk.
Akhirnya mereka pun bertemu dengan Imam Ali
al-Ridha. Setelah menanyakan keadaannya, mereka bertanya kepada Imam Ali
al-Ridha, “Wahai putera Rasulullah, mengapa kami begitu hina dan
rendah, setelah Anda enggan menerima kedatangan kami. Kami tak lagi
memiliki harga diri. Apa sebabnya?”
Imam Ali al-Ridha menjawab, “Bacalah ayat ini: Dan
apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan
tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu). (al-Syûra: 30) Berkenaan dengan kalian, saya
mengikuti tuntunan Allah, Rasul-Nya, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib,
ayah dan kakek-kakekku yang suci.”
Mereka menjawab, “Mengapa Anda tidak mempedulikan kami?”
Imam Ali al-Ridha berkata, “Karena kalian mengaku
diri kalian adalah Syiah (pengikut) Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.
Celakalah kalian! Sesungguhnya Syiah Ali bin Abi Thalib adalah
pribadi-pribadi seperti al-Hasan, al-Husain, Abu Dzar, Salman, Miqdad,
Ammar, Muhammad bin Abubakar. Mereka semua sama sekali tak pernah
melanggar perintah dan larangan beliau (Imam Ali bin Abi Thalib). Namun,
sewaktu kalian menyatakan diri kalian adalah Syiah Ali, sebagian besar
perbuatan kalian justru bertentangan dengan perintah dan larangan
beliau. Kalian melalai- kan tugas dan kewajiban kalian, tidak menjaga
dan memperhatikan hak-hak saudara kalian. Pada saat wajib bertaqiah,
kalian tidak bertaqiah, dan pada saat haram bertaqiah kalian justru
bertaqiah. Sekiranya kalian tidak mengatakan bahwa kami adalah Syiah,
tetapi mengatakan bahwa kami adalah teman para kekasih Allah
(auliyâullah) dan musuh orang yang memusuhi mereka (para kekasih Allah),
maka saya tak akan menolak kalian. Namun kalian mengaku diri kalian
memiliki kedudukan yang terhormat (Syiah). Padahal pengakuan kalian itu
tidak sesuai dengan perbuatan dan perilaku kalian; kalian tengah
melangkah di jalan kebinasaan, kecuali jika kalian bertobat dan
mengganti kekurangan yang lalu.”
Mereka menjawab, “Setelah ini kami akan menyatakan
bahwa kami adalah teman anda dan musuh mereka yang memusuhi Anda (dan
bukan Syiah anda.)”
Imam Ali al-Ridha berkata, “Bagus, wahai saudara
dan temanku.” Lalu Imam menghormati mereka dan mempersilahkan mereka
duduk di dekat beliau. Kemudian beliau bertanya kepada penjaga pintu,
“Berapa kali engkau menghalanginya masuk?” Ia menjawab, “Enam puluh
kali.” Imam berkata, “Datanglah menemui mereka sebnyak enam puluh kali,
lalu sampaikanlah salam saya kepadanya. Lantaran bertobat, mereka telah
diampuni oleh Allah, dan berkat kecintaan mereka kepada kami, mereka
beserta sanak keluarga mereka mendapat rahmat dan karunia khusus-Nya dan
dianugerahi makanan serta harta melimpah ruah, dan dijauhkan dari
berbagai penderitaan.”
Mengenang Seorang Syuhada Karbala
Seorang syuhada Karbala bernama Muhammad bin Basyar
Hadhrami. Di awal malam ‘Âsyûrâ, sebagaimana seluruh sahabat Imam
Husain lainnya, ia juga menyampaikan ungkapan kesetiaannya kepada
beliau. Saat itu, ia mendengar kabar bahwa anaknya yang ada di
perbatasan kota Rayy ditangkap dan ditawan musuh. Muhammad berkata,
“Saya mengharapkan pahala dari Allah atas musibah yang menimpa anakku
dan diriku.”
Imam Husain mendengar ucapannya. Beliau berkata,
“Semoga Allah merahmatimu. Saya melepas baiatmu kepadaku. Pergilah,
berusahalah untuk menyelamatkan anakmu.” Muhammad bin Basyar berkata,
“Binatang buas memakanku hidup-hidup, jika aku berpisah darimu.”
Kemudian Imam Husain memberinya beberapa helai
pakaian senilai seribu dinar, seraya berkata, “Berikanlah pakaian ini
kepada anakmu yang lain, sehingga ia yang akan memberi pakaian ini
kepada musuh (sebagai tebusan), yang dengannya ia akan membebaskan
saudaranya dari tawanan musuh.”
Dengan demikian, sekalipun memiliki kesempatan
untuk meninggalkan Imam Husain, namun Muhammad bin Basyar tetap tegar
dan setia membela Imam Husain.
Ridha terhadap Ridha Ilahi
Seorang murid Imam Ja’far al-Shadiq bernama
Qutaibah mengatakan, “Salah seorang anak Imam Ja’far al-Shadiq jatuh
sakit. Lalu saya pergi ke rumah beliau untuk menengoknya. Tatkala sampai
di depan pintu rumah beliau, saya melihat beliau sedang berdiri di
samping pintu rumah dalam keadaan sedih. Saya bertanya, ‘Bagaimana
kondisi anak Anda?’ Beliau menjawab, ‘Seperti itu dan terbaring.’
Kemudian beliau masuk ke dalam rumah. Selang beberapa jam, beliau
keluar. Saya melihat beliau dalam keadaan gembira. Tak ada tanda-tanda
kesedihan di wajah beliau. Kemudian saya berguman, ‘Pasti anak beliau
sudah sembuh dan kesehatannya pulih kembali.’ Lalu saya bertanya kepada
beliau, ‘Bagaimana kondisi anak Anda?’ Beliau menjawab, ‘Telah meninggal
dunia.’ Saya heran dan bertanya, ‘Saat anak Anda masih hidup, Anda
bersedih. Tapi tatkala ia meninggal dunia, saya tidak melihat
tanda-tanda kesedihan di wajah Anda.’ Beliau menjawab, ‘KamiAhlul Bait,
sebelum musibah kematian, kami bersedih. Namun tatkala qadha Ilahi telah
datang, kami ridha dan pasrah pada ketentuan Ilahi.’”
Rasulullah Marah terhadap Ucapan Bilal
Pada masa Rasulullah saww, seorang wanita menderita
sakit dan meninggal dunia. Setiap orang yang mendengar berita
kematiannya seperti biasa berkata, “Wanita itu telah lega dan
berbahagia.” Sudah menjadi kebiasaan bahwa tatkala seorang hidup di
dunia dalam keadaan menderita lalu meninggal dunia maka orang-orang akan
mengatakan bahwa dirinya sudah lega. Tak terkecuali Bilal. Tatkala
berjumpa dengan Rasulullah saww ia berkata, “Wanita fulanah telah
meninggal dan telah lega.”
Mendengar ucapan Bilal ini, Rasulullah saww marah
dan bersabda, “Sesungguhnya lega bagi yang mendapat ampunan.” Maksudnya
seseorang―dalam kondisi apapun―yang meninggal dunia tidak akan merasa
lega dan bahagia. Boleh jadi itu malah menjadi awal kesengsaraannya.
Lain hal dengan orang yang mendapatkan ampunan dikarenakan keimanan dan
ketakwaannya; orang semacam ini akan merasa lega dan berbahagia.
Keberanian dan Firasat Imam Khomeini
Ada sebuah kejadian menarik sewaktu Imam Khomeini
berada di Paris. Waktu itu, di Iran, Syah telah membentuk dewan
kerajaan. Setelah itu, ia melarikan diri ke luar Iran. Kepala dewan
kerajaan adalah Sayyid Jalaluddin Tehrani. Sosok Sayyid Jalaluddin cukup
terkenal dan ahli nujum (astrologi). Ia punya tulisan tangan yang
indah. Dalam upaya mengobati penyakitnya, ia bertolak ke Paris. Ia
menggunakan kesempatan itu untuk menemui dan mengatakan pembicaraan
dengan Imam Khomeini. Sesampainya di pintu rumah Imam, ia meminta izin
bertemu dengan beliau. Lalu penjaga menyampaikan kedatangannya kepada
Imam Khomeini.
Imam berkata, “Pertemuannya denganku harus dengan syarat; ia menulis surat pengunduran dirinya dari dewan kerajaan.”
Jawaban Imam disampaikan kepadanya. Dengan
tulisannya yang indah, ia menulis surat pengunduran dirinya. Lalu surat
itu diserahkan kepada Imam Khomeini.
Setelah mambaca surat itu, Imam berkata, “Ini tidak
cukup. Karena ada kemungkinan, setelah keluar dari sini, ia akan
mengatakan bahwa dirinya terpaksa menulis semua itu; ia harus menulis
alasan pengunduran dirinya.” Pesan itu disampaikan kepada Sayyid
Jalaluddin. Lalu ia menulis demikian, “Sesuai pernyataan Imam Khomeini
bahwa dewan kerajaan bertentangan dengan undang-undang dasar, maka saya
mengundurkan diri.”
Baru setelah itu Imam Khomeini mengizinkannya masuk
dan bertemu beliau di sela-sela pembicaranya dengan Imam Khomeini, ia
berkata, “Sikap ini amat berat dan mencemaskan. Saya takut akan
risikonya.” Imam Khomeini berkata, “Engkau sama sekali jangan merasa
takut. Syah telah pergi dan sama sekali tak akan pernah kembali!”
Lelaki Miskin Meninggal di Kubur Imam Ali
Alkisah, sekembalinya Imam Hasan dan Imam Husain
dari menguburkan jasad suci Imam Ali, dan hendak ke Kufah, di tengah
perjalanan keduanya melihat seorang lelaki miskin dan buta duduk di
sampaing bangunan reot. Wajahnya tampak sangat sedih dan ketakutan
dengan kepala tetunduk seraya menangis. Keduanya bertanya, “Siapakah
Anda? Mengapa bersedih?”
Ia menjawab, “Saya adalah orang asing dan
sendirian. Saya tak punya seorang pun untuk berbagi duka. Selama setahun
saya berada di kota ini. Setiap hari ada seseorang yang baik hati
menemui saya dan menanyakan keadaan saya, memberi saya makanan, dan
berbincang-bincang dengan saya. Namun sekarang telah tiga hari berlalu
dan ia tidak datang kemari, tidak menanyakan keadaan saya.”
Mereka bertanya, “Apakah engkau tahu namanya?”
Ia menjawab, “Tidak.”
Mereka bertanya, “Apakah engkau tidak menanyakan namanya?”
Ia menjawab, “Saya sudah menanyakannya, namun ia
menjawab, ‘Apa kepentinganmu dengan namaku. Saya merawatmu demi
keridhaan Allah.’”
Mereka bertanya, “Bagaimana wajah dan postur tubuhnya?”
Ia menjawab, “Saya buta saya tidak mengetahui wajah dan postur tubuhnya.”
Mereka bertanya, “Apakah engkau sama sekali tidak mengenal ciri-ciri sikap dan pembicaraannya?”
Ia menjawab, “Lisannya senantiasa dalam keadan
berzikir. Tatkala ia berzikir dan bertasbih, bumi, pintu, dan
dinding-dinding ikut bertasbih bersamnya; tatkala duduk di samping saya,
ia berkata, ‘Orang miskin duduk di sebelah orang miskin, orang asing
duduk di sebelah orang asing.’”
Imam Hasan dan Imam Husain, (Muhamad Hanafiah dan
Abdullah bin Ja’far) amat mengenal orang baik dan tak dikenal itu.
Mereka saling berpandangan dan berkata, “Hai orang miskin dan asing!
Ciri-ciri yang engkau sebutkan itu adalah ciri-ciri ayah kami, Amirul
Mukminin Ali bin Abi Thalib.”
Orang miskin berkata, “Lalu mengapa sudah tiga hari ini ia tidak datang menemuiku?”
Mereka menjawab, “Hai orang miskin dan asing!
Seorang terkutuk telah menghunuskan belatinya ke kepalanya. Ia pun
berpulang ke hadirat Allah. Tadi, baru saja kami kembali dari kuburnya.”
Tatkala mengetahui peristiwa yang terjadi, orang
miskin itu menjerit dan menangis. Ia merebahkan tubuhnya ke tanah dan
melempari wajahnya dengan pasir seraya berkata, “Apa keistimewaanku
sehingga Amirul Mukminin merawatku? Mengapa mereka membunuhnya?”
Imam Hasan dan Imam Husain berusaha menenangkannya.
Namun ia tak juga tenang. Kemudian orang tua miskin itu memeluk Imam
Hasan dan Imam Husain dan berkata, “Demi kakek-kakek kalian, demi jiwa
ayah kalian yang mulia, bawalah aku kuburnya.”
Imam Hasan memegang tangan kanannya, sementara Imam
Husain memegang tangan kirinya. Mereka memapahnya ke kubur Amirul
Mukminin Ali bin Abi Thalib. Setelah sampai, ia me-rebahkan dirinya ke
kubur beliau dalam keadaan menangis dan meratap. Ia berkata, “Ya Allah,
saya tak mampu menanggung beban perpisahan dengan ayah yang baik ini.
Demi pengbuni kubur ini, ambillah nyawaku!”
Doanya terkabul! Ia pun menghembuskan nafas
terakhirnya di atas kubur suci Imam Ali. Menyaksikan kejadian itu, Imam
Hasan dan Imam Husain tak kuasa menahan tangis kesedihan. Mereka berdua
segera memandikan, mengafani, dan menyalati jenazah si miskin, lalu
dikuburkan di sekitar makam suci tersebut.
Penjara Pertama Imam Musa al-Kazhim
Berdasarkan perintah Harun al-Rasyid, Imam Musa bin
Ja’far al-Kazhim dibawa dari Madinah ke Irak. Di sana, beliau lalu
dipenjara. Beliau dipindah-pindahkan dari satu penjara ke penjara lain.
Pertama kali beliau dimasukkan ke penjara Isa bin Ja’far di Bashrah,
lalu dipindahkan ke penjara Fadhl bin Rabi’ di Baghdad, kemudian di
pindahkan lagi ke penjara Fadhl bin Yahya juga di Baghdad. Terakhir
beliau dimasukkan ke penjara Sindi bin Syahik. Di situ, beliau diracun
sehingga menghembuskan nafas terakhirnya.
Pada kali yang pertama, Imam Musa al-Kazhim dibawa
ke Bashrah dan diserahkan kepada Isa bin Ja’far bin Mansur (cucu Mansur
al-Dawaniqi). Selama setahun, beliau menghuni penjara itu. Lalu Isa
menulis surat kepada Harun sebagai berikut, “Selama Musa berada dalam
penjara saya, saya telah mengujinya dan mengutus beberapa mata-mata
untuk mengawasinya. Mereka tidak melihatnya [berbuat apapun] selain
beribadah dan berdoa. Kemudian saya mengutus seseorang untuk mencari
tahu apa yang dipanjatkan dalam doanya itu. Ternyata ia senatiasa
memohon ampunan dan rahmat dari Allah untuk dirinya. Karena itu, tidak
pantas saya menahannya dalam penjara. Utuslah seseorang untuk
mengambilnya dari saya.”
Setelah menerima surat Isa, Harun segera mengutus
seseorang untuk menjemput Imam Musa al-Kazhim dari penjara Isa bin
Ja’far dan membawanya ke Baghdad menemui salah satu menterinya (Fadhl
bin Rabi’). Di situ, beliau dimasukkan ke dalam penjara kedua.
Nasihat Orang Bijak dari Pisau Tukang Cukur untuk Raja
Dahulu kala, hiduplah seorang tukang cukur
termasyhur yang biasa merapikan rambut dan janggut raja. Suatu hari, ia
pergi ke pasar. Di situ, ia melihat seorang lelaki tua sedang duduk di
sebuah kedai sederhana. Di hadapannya terdapat pena dan kertas. Namun,
tak ada sesuatupun dalam kedai itu. Ia merasa heran dan bertanya-tanya,
gerangan apa yang dijual lelaki bersurban itu. Ia pun menghampirinya dan
bertanya, “Wahai tuan! Apa yang Anda jual?” Lelaki tua itu menjawab,
“Aku orang bijak yang menjual nasihat.”
Tukang cukur, “Nasihat apa?”
“Nasihatku tidak gratis. Hargnya seratus dirham,” jawab lelaki tua.
Setelah terjadi tawar menawar, akhirnya si tukang
cukur setuju memberinya seratus dirham. Lelaki tua itu pun segera
mengambil ungnya dan menulis nasihat di atas selembar kertas. Setelah
itu, ia menyerahkannya kepada si tukang cukur.
Nasihat yang diberikan kepada situkang cukur adalah
sebagai berikut, “Orang yang paling cerdik adalah orang yang tidak
melakukan suatu perbuatun sampai dirinya tahu apa akibat dari
perbuatannya itu.”
Si tukang cukur segera mengambil kertas berisi
nasihat itu. Dikarenakan nasihat tersebut dibelinya dengan harga yang
tinggi, ia pun menyimpannya baik-baik. Bahkan, ia senantisa menuliskan
nasihat itu di berbagai benda. Termasuk di atas batu yang biasa
digunakannya untuk mengasah pisau cukurnya.
Suatu hari, perdana menteri saat itu (yang berniat
jahat) datang menemui tukang cukur dan berkata, “Saya baru saja datang
dari luar negeri dan membawa hadiah untukmu, sebuah pisau cukur terbuat
dari emas. Karena kamu terbiasa mencukur dan merapikan janggut raja,
sebaiknya setelah ini kamu gunakan pisau cukur ini untuk mencukur
janggut raja (pisau cukur itu telah dilumuri racun oleh perdana menteri.
Ia menginginkan racun itu bercampur dengan darah raja dan meninggal
dunia).”
Tukang cukur merasa amat gembira. Tatkala hendak
mencukur janggut raja, ia pun mengeluarkan pisau cukur emas itu. Saat
itu matanya tertumbuk pada nasihat yang tertulis di batu asahan. Ia lalu
merenung, “Saya masih belum pernah mengamalkan nasihat ini. Sebaiknya
saya sekarang mengamalkannya. Karena saya masih belum tahu akibat dari
menggunakan pisau cukur ini, saya tak akan menggunakannya untuk mencukur
janggut raja.”
Mengetahui tukang cukurnya terdiam dan tercenung,
Sang Raja bertanya, “Apa yang terjadi?” Lalu tukang cukur itu
menceritakan tentang nasihat orang bijak dan hadiah pisau cukur dari
perdana menteri.
Sang Raja tahu bahwa perdana menteri hendak
membunuhnya lewat racun yang melekat di pisau cukur itu. Lalu ia segera
mengumpulkan para pembesar kerajaan dan mengundang perdana menteri untuk
hadir di sana. Ia memerintahkan tukang cukur untuk mencukur dan
merapikan cambang serta janggut orang-orang yang berniat jahat. Tukang
cukur itupun melaksanakan perintah raja. Tak lama, semunya meninggal
dunia termasuk si perdana menteri.
Tukang cukur itu menerima hadiah yang besar. Ia
tahu bahwa harga nasihat orang bijak itu lebih dari seratus dirham. Ya,
uang seratus dirham yang dikeluarkannya ternyata tidaklah sia-sia.
Pelajaran buat Kaum Wanita
Ummu Salamah, isteri RasuIullah saww, menceritakan
bahwa pada suatu hari, dirinya tengah duduk bersama Rasulullah saww.
Saat itu salah seorang isteri beliau saww lainnya yang bernama Maimunah
juga ada disitu. Tak lama berselang, Ibnu Ummi Maktum yang buta masuk
untuk menemui Rasulullah saww. Lalu Rasulullah saww bersabda kepadanya
dan Maimunah, “Kenakanlah hijab kalian berdua.” Saya bertanya, “Wahai
Rasulullah saww, bukankah ia orang buta?” Rasulullah saww bersabda,
“Apakah kalian berdua juga buta, bukankah kalian berdua melihatnya?”
Contoh Pengorbanan Murid-murid Rasulullah
Seorang memberi sebuah kepala kambing kepada
seorang sahabat Rasulullah saww (saat itu terjadi kekurangan pangan
sehingga hadiah ini dianggap sangat berharga). Sahabat tersebut menerima
hadiah itu. Ia berguman, “Si fulan lebih membutuhkan dari saya.” Lalu
ia memberikannya kepad si fulan dan diterimanya. Ia juga berguman, “Si
fulan lebih membutuhkan dari saya.” Ia pun memberikan kepala kambing itu
kepadanya orang ketiga juga berguman, “Si fulan lebih membutuhkan dari
saya.” Lalu ia juga memberikannya kepada orang keempat, dan seterusnya
sampai orang ketujuh. Orang ketujuh tidak tahu dari mana awal mula
pengorbanan ini. Ia lalu menghadiahkan lagi kepada orang pertama....
Dengan demikian, kepala kambing itu telah mengelilingi tujuh rumah.
Kemurahan Imam Ali al-Ridha terhadap Orang Miskin yang Sakit
Pada masa Imam Ali al-Ridha, serombongan kafilah
dari Khurasan bergerak menuju Kirman. Di tengah perjalanan, mereka
diserang sekumpulan perampok yang menjarah harta mereka. Salah seorang
kafilah, (sebut saja namanya Abdullah) ditawan para perampok. Mereka
berkata kepadanya, “Engkau memeliki harta yang cukup banyak. Engkau
harus menyerahkan seluruh hartamu kepada kami.” Abdullah memohon kepada
para perampok itu untuk membebaskannya. Namun mereka menolak. Di pagi
hari, mereka menyiksa Abdullah agar segera menyerahkan hartanya. Para
perampok membaringkan Abdullah di tengah salju dan memenuhi mulutnya
dengan salju. Mulutnya pun sakit parah sehingga ia tak mampu lagi
berbicara.
Akhirnya salah seorang wanita dari kawanan perampok
itu merasa iba. Ia memohon kepada para perampok itu untuk
melepaskannya. Abdullah melarikan diri dari kawanan perampok itu. Dengan
mulut penuh luka, ia kembali ke Khurasan. Di sana ia mendengar bahwa
Imam Ali al-Ridha datang ke Khurasan dan sekarang sedang berada di
Nisyabur, sekitar 75 kilometer dari Khurasan (Abdullah adalah seorang
pecinta Ahlul Bait Rasulullah saww dan berharap memperoleh kesembuhan
melalui mereka).
Sepanjang hari-hari itu Abdullah bermimpi seseorang
datang menemuinya dan berkata, “Imam Ali al-Ridha berada di Nisyabur.
Temuilah beliau dan mintalah beliau menyembuhkan sakit mulut dan
lidahmu.” Dalam mimpi itu, Abdullah menemui Imam Ali al-Ridha dan
menceritakan kejadian yang dialaminya. Imam bekata, “Raciklah sedikit
uwisyan (sejenis sayuran) yang dicampur dengan jintan dan garam, lalu
tumbuklah sampai halus dan lumat. Kemudian tempelkan racikan itu ke
mulut dan lidahmu sebanyak tiga atau empat kali sehari.”
Abdullah terjaga. Namun ia tidak menghiraukan
mimpinya itu seraya bergumam, “Apa yang terjadi dalam mimpi tak dapat
dipercaya.” Ia lalu berangkat ke Nisyabur untuk menemui Imam Ali
al-Ridha. Ia bertanya kepada orang-orang di Nisyabur tentang tempat Imam
berada. Mereka mengatakan bahwa Imam Ali al-Ridha sedang berada di
penginapan milik Sa’ad. Abdullah pergi ke tempat penginapan itu dan
bertemu dengan Imam Ali al-Ridha. Ia menceritakan kejadian yang
dialaminya kepada beliau, dan memohon beliau memberikan obat bagi
kesembuhan lidah dan mulutnya.
Imam Ali al-Ridha berkata, “Bukankah aku telah
memberitahumu dalam mimpimu tentang obat yang dapat menyembuhkan sakit
lidah dan mulutmu?”
Abdullah berkata, “Jika tidak keberatan, saya
berharap Anda memberitahu saya sekali lagi cara mengobati sakit lidah
dan mulut saya.”
Imam Ali al-Ridha berkata, “Ambillah sedikit
uwisyan, lalu campurlah dengan sedikit jintan dan garam, kemudian
tumbuklah sampai halus dan lumat, lalu tempelkanlah racikan itu pada
lidah dan mulutmu sebanyak tiga atau empat kali sehari, dan kamu akan
segera sembuh.”
Abdullah berkata, “Kemudian saya pun melaksanakan
apa yang beliau perintahkan. Sebagaimana yang beliau janjikan lidah dan
mulut saya sembuh dan kembali seperti sedia kala.”
Balasan terhadap Seorang Kurdi yang Sombong
Seorang pemimpin bangsa Kurdi yang amat bengis dan
kejam menjadi tamu seorang putera mahkota. Ia duduk di sampingnya dalam
sebuah jamuan makan. Tatkala mata pemimpin Kurdi ini tertumbuk pada
beberapa ekor burung puyuh panggang yang tersedia di meja jamuan, ia pun
tertawa. Putera mahkota bertanya, “Apa yang menyebabkan Anda tertawa?”
Ia menjawab, “Beberapa tahun lalu di awal-awal saya tumbuh menjadi
seorang pemuda, saya pernah menghadang seorang saudagar. Ketika saya
hendak membunuhnya, ia menghadap pada dua ekor burung puyuh yang ada di
atas bukit seraya berkata, ‘Hai burung puyuh! saksikanlah bahwa lelaki
ini adalah pembunuhku.’ Sekarang saya melihat kedua burung puyuh itu
telah dipanggang dan tersedia di depan mataku. Saya teringat kedunguan
saudagar itu (sekarang kedua burung puyuh itu telah mati dan akan
menjadi santapan saya dan tak ada lagi yang akan menjadi saksi).”
Putera mahkota adalah orang yang adil dan
bijaksana. Ia berkata kepada si Kurdi pembunuh itu, “Sebenarnya kedua
burung puyuh ini telah memberi kesaksiannya.” Kemudian ia memerintahkan
memenggal kepala si Kurdi itu. Akhirnya, si Kurdi sombong itu mendapat
ganjaran setimpal atas kejahatan yang telah yang telah dilakukannya.
Pertanyaan Matematika kepada Imam Ali
Seseorang datang menemui Imam Ali bin Abi Thalib
dan bertanya, “Aku memiliki sebuah bilangan yang dapat dibagi 2, 3, 4,
5, 6, 7, 8, 9, 10, dan tak ada sisanya.”
Imam Ali bin Abi Thalib dengan segera menjawab,
“Kalikanlah hari-hari yang ada dalam sepekanmu, dengan hari-hari yang
ada pada satu tahunmu.”
Kemudian si penanya mengalikan 7 dengan 360 (hari
dalam setahun) dan hasil perkalian itu adalah 2520. Bilangan ini
ternyata dapat dibagi 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, tanpa tersisa.
Ketenangan Jiwa Imam Husain di Hari Âsyûrâ (Kesembilan Muharam)
Imam Ali Zalnal Abidin al-Sajjad berkata, “Di hari
Âsyûrâ, peristiwa yang menimpa Imam Husain amatlah berat. Sebagian
sahabat beliau melihat kondisi beliau yang amat berbeda dengan kondisi
mereka; tatkala kepungan musuh semakln ketat, mereka semakin bersedih
dan jantungnya kian berdebar-debar. Tetapi, kondisi Imam Husain dan
sebagian sahabat beliau justru menampakkan raut wajah yang kian
berbinar-binar dan tubuhnya semakin tenang. Dalam keadaan itu, satu sama
lain akan saling berkata, ‘Lihatlah, seakan-akan lelaki ini (Imam
Husain) sama sekali tidak memiliki rasa gentar dalam menyambut
kematian.’”
Imam Husain memandangi mereka dan berkata, “Wahai
anak- anakku yang mulia dan agung, tenanglah, bersabar dan bertahanlah.
Sebab, kematian merupakan jembatan yang akan mengantarkan kalian dari
berbagai kesulitan dan bencana menuju surga nan luas yang penuh
kenikmatan kekal dan abadi. Adakah di antara kalian yang enggan
dipindahkan dari penjara ke istana? Ya, kematian bagi musuh-musuh kalian
laksana dipindahkan dari istana menuju penjara. Ayahku meriwayatkan
dari Rasulullah saww yang menyabdakan, ‘Sesungguhnya dunia ini adalah
penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir, dan kematian
adalah jembatan mereka menuju surga-surganya dan jembatan mereka menuju
jahim-jahim mereka.’”
Kemudian Imam Husain berkata, “Saya tidak berbohong
dan tidak pula dibohongi (saya tidak berkata bohong dan saya juga tidak
dibohongi ayah saya).”
Kejadian di Alam Barzkh
Allamah Thabathaba’i (Sayyid Muhammad Husain)
berkata bahwa gurunya yang arif dan bertakwa, Haji Mirza Ali pernah
bercerita, “Sewaktu saya berada di Najaf al-Asyraf, di dekat rumah saya
ada seorang ibu (anak salah seorang pembesar Usmani Ahlusunah) meninggal
dunia. Puterinya menangis, menjerit, dan merasa amat kehilangan. Ia
ikut mengantarkan jenazah ibunya sampai ke liang kubur. Di sana ia
menangis keras-keras sehingga membuat para pengantar jenazah ikut
menangis.
Tatkala jenazah ibunya diletakkan di liang lahat,
sang puteri menjerit, “Saya tak akan berpisah dengan ibu.” Orang-orang
berusaha membujuk dan menenangkannya. Namun, usaha itu selalu gagal.
Mereka kebingungan. Sekiranya mereka tetap memisahkannya dari ibunya,
besar kemungkinan itu akan membahayakan jiwanya. Akhirnya mereka
bersepakat untuk membiarkannya berbaring di samping jenazah ibunya.
Liang kubur itu tidak ditimbuni tanah. Mereka hanya menutup atasnya
dengan beberapa lembar papan yang diberi celah kecil agar anak perempuan
itu tidak mati lemas lantaran kehabisan udara. Kapan saja ingin keluar,
ia dapat melewati celah itu.
Pada malam pertama perempuan itu tertidur di
samping ibunya. Keesokan harinya, orang-orang membuka papan penutup
kuburan untuk mengetahui keadaan anak perempuan itu. Saat itu mereka
melihat seluruh rambut di kepalanya telah menjadi uban.
Mereka bertanya, “Mengapa kamu menjadi semacam
ini?” Ia menjawab, “Pada malam itu, saya tidur di samping jenazah ibu.
Tiba-tiba saya melihat dua malaikat datang dan berdiri di samping kanan
dan kiri ibu. Di tengahnya berdiri seseorang yang mulia. Kedua malaikat
itu sibuk menanyakan akidah ibu saya; menanyakan ketauhidan, dan ibu
saya menjawabnya dengan benar; menanyakan kenabian, dan ibu saya juga
menjawabnya dengan benar bahwa nabinya adalah Muhammad bin Abdullah.
Sampai akhirnya mereka menanyakan siapa imamnya? Orang mulia yang
berdiri di tengah mereka berkata, ‘Aku bukan Imamnya (orang mulia itu
ternyata Imam Ali bin Abi Thalib).’”
“Seketika itu, kedua malaikat tersebut mencambuk
kepala ibu saya sampai mengeluarkan api yang percikannya sampai ke
langit. Karena dicekam rasa takut yang hebat, saya pun menjadi seperti
yang kalian saksikan; seluruh rambut saya menjadi uban.”
Almarhum Mirza Ali berkata, “Seluruh suku puteri
ini yang bermazhab Ahlusunah, setelah menyaksikan kejadian ini,
berbondong-bondong menganut mazhab Syiah (karena kejadian ini sesuai
dengan ideologi mazhab Syiah). Adapun perempuan itu telah mendahului
mereka dalam menyakini kebenaran mazhab Syiah.”
Dialog Imam Hasan al-Mujtaba dengan Sahabatnya
Imam Hasan al-Mujtaba memiliki seorang sahabat yang
humoris. Setelah lama tidak bersua dengan beliau, ia memutuskan untuk
datang menemui Imam Hasan al-Mujtaba. Imam Hasan berkata kepadanya,
“Bagaimana keadaanmu?” Si sahabat menjawab, “Wahai putera Rasulullah!
Hari-hari saya tidak saya lewati sesuai dengan yang saya inginkan, tidak
sesuai dengan yang Allah inginkan, dan tidak sesuai dengan yang setan
inginkan!”
Imam Hasan tertawa dan berkata kepadanya, “Jelaskanlah maksud pembicaraanmu.”
Sahabat, “Allah menginginkan saya taat kepada-Nya,
dan saya sama sekali tidak bermaksiat, dan saya tidak demikian; setan
menginginkan saya bermaksiat kepada Allah dan sama sekali tidak taat
kepada-Nya, saya juga tidak demikian (terkadang taat kepada Allah,
terkadang tidak); saya menghendaki untuk tidak mati, namun tidak
demikian (karena akhirnya saya akan mati).”
Saat itu salah seorang hadirin berdiri dan
berbicara, “Wahai putera Rasulullah! Mengapa kita tidak menyukai
kematian dan menganggapnya tidak menyenangkan?”
Imam Hasan menjawab, “Karena kalian telah merusak
akhirat dan membangun dunia kalian. Karena itu kalian tidak merasa
senang bepergian dari tempat yang indah menuju tempat yang rusak.”
Kutukan Ali bin Abi Thalib
Malam Jumat, tanggal 19 Ramadhan tahun 40 Hijriah,
adalah malam terakhir kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib. Imam Hasan
menceritakan bahwa pada malam itu beliau bersama ayahnya hendak
berangkat menuju masjid. Ayahnya berkata, “Anakku! Malam ini saya
sekejap tertidur. Saat itu saya berjumpa dengan Rasulullah saww. Tetapi
saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, betapa besar kebengkokan dan permusuhan
yang saya hadapi dari umatmu.’ Rasulullah bersabda kepadaku, ‘Mohonlah
[kepada Allah] agar keburukan menimpa mereka.’ Tetapi saya katakan,
‘Semoga Allah menggantikan mereka bagi saya dengan yang lebih baik, dan
menggantikan saya bagi mereka dengan yang lebih buruk.’”
Di subuh hari itu, kutukan Ali terkabul.
Manusia yang Tak Berbahagia
Di masa kepemimpinan Imam Ali bin Abi Thalib,
hiduplah seorang muslimin bernama Hartsamah bin Salim. Ia adalah orang
yang tidak berbahagia dan tidak terlalu menghormati kebesaran Imam Ali.
Namun isterinya adalah wanita yang taat dan suci serta pecinta Imam Ali
bin Ali Thalib.
Hartsamah berkata, “Saya berangkat bersama Imam Ali
dari Kufah menuju medan perang Shiffin. Ketika kami tiba di gurun
Karbala, waktu shalat telah tiba. Lalu kami menunaikan shalat berjamaah
bersama Imam Ali. Setelah selesai shalat, beliau mengambil segenggam
tanah Karbala dan menciumnya seraya berkata, ‘Wahai tanah! Darimu akan
dibangkitkan suatu kaum yang akan masuk surga tanpa perhitungan
(hisâb).’ Lalu kami melanjutkan perjalanan ke medan Shiffin. Seusai
pertempuran, saya pulang ke rumah. Saya menceritakan kepada isteri saya
(yang Syiah) pengalaman saya. Saya berkomentar, ‘Ali mengaku memiliki
ilmu gaib.’ Isteri saya menjawab, ‘Apa yang dikatakan adalah benar.’
Saya berkata, ‘Saya masih meragukan apa yang dikatakan Ali.’ Sampai
kemudian terjadilah peristiwa Karbala (Ibnu Ziyad mengerahkan bala
tentaranya ke gurun Karbala untuk memerangi Imam Husain). Saya masuk ke
dalam pasukan Umar bin Sa’ad dan bertolak ke Karbala. Di sana, saya
terkenang ucapan Imam Ali yang teryata benar. Karena itu, saya pun
merasa sedih lantaran termasuk pasukan Umar bin Sa’ad. Pada suatu
kesempatan, saya memacu kuda saya menuju Imam Husain dan menceritakan
kepada beliau tentang ucapan ayahnya. Imam Husain berkata, ‘Sekarang
apakah engkau termasuk pendukungku atau penentangku?’ Saya menjawab,
‘Tidak yang manapun. Sekarang saya sedang memikirkan nasib keluarga
saya....’ Beliau berkata, ‘Kalau begitu, segeralah pergi dari sini.
Sebab orang yang ada di sini dan mendengar panggilanku lalu enggan
menolongku, pasti akan masuk neraka.’”
Hartsamah orang yang tidak berbahagia. Dalam
kondisi genting semacam itu, ia justru enggan bergabung bersama Imam
Husain. Ia pun segera memacu kudanya keluar dari gurun Karbala demi
menyelamatkan nyawanya.
Jeritan Jenazah yang Menyeramkan
Syaikh Abbas al-Qummi, penyusun buku doa Mafâtih
al-Jinân, (wafat 1359 Hijriah) adalah seorang ulama yang dikenal
ketakwaan dan kejujurannya. Beliau menghabiskan usianya untuk membimbing
manusia lewat goresan penanya.
Seseorang yang dapat dipercaya mengatakan bahwa
Syaikh Abbas al-Qummi bercerita kepada dirinya, “Sewaktu berada di Najaf
al-Asyraf, saya pergi ke pemakaman Wadi al-Salâm untuk berziarah.
Tatkala saya memasuki komplek pemakaman itu, tiba-tiba saya mendengar
lengkingan unta (berulang-ulang). Saya berpikir, pasti di sekitar situ
ada unta yang sedang dicap dengan besi panas sehingga mengeluarkan
lengkingan semacam itu. Suara itu menggema ke seluruh penjuru Wadi
al-Salâm. Saya bermaksud menyelamatkan unta malang itu. Bergegas saya
melangkahkan kaki ke arah sumber suara. Namun, ketika semakin dekat
dengan suara itu, saya tidak melihat adanya seekor unta, melainkan
sekumpulan orang yang tengah menggotong jenazah. Ya, suara menyeramkan
itu bersumber dari jenazah yang mereka gotong. Saya heran; orang-orang
yang hendak membawa jenazah itu ke liang kubur nampak tenang-tenang saja
dan sama sekali tidak mendengar jeritan si jenazah.”
Ini merupakan sebagian kejadian di alam barzakh,
yang tirai penutupnya telah disingkapkan teruntuk almarhum Syaikh Abbas
al- Qummi. Jelas jenazah itu adalah orang yang telah banyak berbuat
dosa. Di alam barzakh, ia pun mendapat siksaan Allah. Saking beratnya
siksaan itu, sampai-sampai ia melengking semacam itu.
Ya, orang-orang saleh seperti Syaikh Abbas
al-Qummi―semoga Allah merahmatinya―dikarenakan selalu menjaga dan
menjauhkan diri jeratan hawa nafsu mampu mencapai derajat yang tinggi;
di mana beliau mampu mengetahui siksa alam barzakh atas orang-orang yang
berdosa.
Contoh Kekejaman Reza Khan terhadap Ruhaniawan
Husain Fardust (mantan jenderal Iran) dalam
artikelnya yang menggambarkan keadaan semasa pemerintahan Reza Khan
menulis sebagai berikut,
“Reza Khan menerapkan larangan kepada kalangan
ruhaniawan untuk mengenakan pakaian khusus keruhanian. Hanya sebagian
kecil saja dari mereka yang diizinkan mengenakannya. Sementara yang
lainnya, bila di jalan raya dipergoki mengenakan aba’ah (sejenis jubah)
dan surban, maka orang-orang Reza Khan akan langsung menarik surban dan
melepas aba’ah tersebut, serta memaki-makinya.”
“Para penjaga istana berulangkali mengatakan kepada saya, ‘Ini adalah tugas kita, dan kita akan menjalankannya.’”
Pada masa itu, saya berada sedang di rumah saya di
Teheran. Tetangga saya adalah dua orang ruhaniawan yang mengenakan
surban. Yang satu seorang Syaikh, dan yang lain seorang sayyid (Sayyid
Mahmud). Karena saya punya hubungan yang baik dengan mereka, dan mereka
juga sering datang kerumah saya, maka saya membuat sebuah pintu kecil di
dinding pemisah antara halaman rumah saya dan halaman rumah mereka.
Sebelumnya saya pernah belajar al-Quran dan fikih kepadanya (Sayyid
Mahmud). Ia pernah bercerita kepada saya, ‘Pada suatu hari, saya
kelupaan dan keluar rumah menuju lorong jalan (dengan mengenakan surban
dan jubah). Tiba-tiba seorang polisi menghampiri saya dan menarik surban
saya serta melilitkannya ke leher saya. Ia menyeret saya (dengan surban
itu) sampai depan rumah saya.’
BAB V
Kerendahan Hati Marja’ Taqlid di Hadapan Ahlul Bait Nabi
Almarhum Ayatullah Sayyid Syihabuddin al-Mar’asyi
al-Najafi adalah seorang marja’ taqlid (ahli hukum Islam yang layak
diikuti fatwa-fatwanya―peny.) besar dan berperan cukup besar dalam
mengembangkan Hauzah Ilmiyah Qum dan dunia tasyayyu’. Beliau dilahirkan
pada subuh hari Kamis, 20 Safar 1318 Hijriah, di Najaf al-Asyraf dan
wafat di Qum, pada 8 Safar 1411 Hijriah. Beliau dimakamkan di tepi jalan
masuk perpustakaan umum beliau di Qum.
Di antara kepribadian beliau adalah rasa cinta yang
cukup mendalam terhadap Ahlul Bait Nabi saww. Beliau menyatakan dirinya
sebagai “pembantu ilmu-ilmu Ahlul Bait dan pengemis di depan pintu
mereka.” Secara teoritis dan praktis, beliau memang semacam itu.
Di antara wasiatnya, “Setelah saya meninggal dunia,
letakkanlah jenazah saya di depan makam bibi Fathimah al-Ma’shumah.
Ikatlah ujung surban saya ke jeruji makam suci (Fathimah al-Ma’shumah)
dan ujung yang lain ke kerandaku (sebagai permohonan syafaat). Lalu
bacakanlah kisah perpisahan Imam Husain dengan keluarganya yang suci di
hari Âsyûrâ’.” Wasiat inipun mereka laksanakan.
Nilai Ucapan yang Benar
Pada suatu hari, Sufyan al-Tsauri yang merupakan
orang yang cukup terkenal di masa Imam Ja’far al-Shadiq, menemui Imam
al-Shadiq. Saat itu ia mendengar sebuah ucapan dari beliau yang begitu
indah dan mendalam. Sufyah al-Tsauri dibuatnya tercengang. Ia berkata,
“Wahai putera Rasulullah, demi Allah, ucapan anda itu adalah permata.”
Imam Ja’far al-Shadiq berkata, “Bahkan lebih indah dari permata. Bukankah permata itu hanya sebuah batu?”
Lewat jawaban itu, Imam Ja’far al-Shadiq hendak
memberi pelajaran kepada kita semua bahwa sebagaimana kita menganggap
permata merupakan suatu yang bernilai (berharga), maka seyogianya kita
menghargai ucapan dan nasihat yang benar. Namun, permata hanyalah sebuah
benda padat yang tidak bergerak. Adapun ucapan yang benar akan
membangun, mendidik, dan mengantarkan manusia pada kesempurnaan.
Mengaku Tuhan, Diam Seribu Bahasa
Pada masa Imam Ja’far al-Shadiq, hidup seseorang
yang bernama Ja’d bin Dirham. Ia seorang penetang Islam dan pencetak
berbagai bidah. Namun begitu, ia punya banyak pengikut. Akhirnya,
lantaran kelakuannya itu, ia dijatuhi hukuman mati pada hari Idul Adha.
Suatu hari, ia memasukkan sedikit tanah dan air ke
dalam botol. Selang beberapa hari, muncullah beberapa ekor serangga dan
ulat dalam botol itu. Ia lalu berkata, “Sayalah yang menciptakan
serangga dan ulat ini. Karena sayalah yang menyebabkannya ada.”
Mereka menceritakan kejadian itu kepada Imam Ja’far
al-Shadiq. Imam berkata, “Tanyakan kepadanya, berapa jumlah serangga
dalam botol itu? Berapa jumlah jantan dan betinanya? Kalau benar
penciptanya, ia harus dapat menjawabnya. Dan tanyakan juga berapa
beratnya? Kalau memang penciptanya, ia pasti dapat memerintahkan
serangga itu menjelma dalam bentuk yang lain.”
Mendengar pertanyaan itu, Ja’d bin Dirham diam seribu bahasa dan lari tunggang langgang.
Imam Ja’far al-Shadiq Tidak Menghiraukan Abu Hanifah
Abu Hanifah (Nu’man) adalah salah seorang tokoh
dari tempat mazhabAhlusunah. Sekalipun seluruh ilmu yang dimilikinya
semata-mata berasal dari ajaran Imam Ja’far al-Shadiq, ia menentang
beliau dan mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan fatwa Imam Ja’far
al-Shadiq.
Suatu hari, ia datang ke rumah Imam Ja’far al-Shadiq. Imam menemuinya dengan bertumpu di atas sebuah tongkat.
Abu Hanifah bertanya, “Tongkat itu untuk apa? Padahal orang seusia Anda masih belum layak memegang tongkat?”
Imam menjawab, “Benar, saya tidak memerlukan
tongkat, tapi karena tongkat ini kenang-kenangan dari Rasulullah saww
yang masih tersisa, saya ingin bertabaruk (mengambil berkah) dari
tongkat ini.”
Abu Hanifah berkata, “Kalau saya tahu bahwa tongkat itu milik Rasulullah saww, saya akan menciumnya.”
Imam Ja’far al-Shadiq berkata, “Sungguh
mengherankan!” Lalu beliau menyingsingkan lengan bajunya dan berkata,
“Hai Nu’man! Demi Allah, engkau tahu bahwa kulit, rambut, dan lengan
saya ini adalah kulit, rambut, dan lengan Rasulullah saww, namun engkau
tidak menciumnya (engkau melakukan penentangan terhadapku).”
Abu Hanifah bangkit dan hendak mencium lengan Imam.
Namun beliau menurunkan kembali lengan bajunya dan tidak menghiraukan
sikap Abu Hanifah yang hanya berpura-pura.
Alasan Sa’ad bin Abi Waqas Tidak Mencemooh Imam Ali
Sa’ad bin Abi Waqas merupakan salah seorang
panglima perang terkenal di masa awal Islam. Semasa pemerintahan Imam
Ali, ia menarik diri hidup tanpa tidak berpihak kepada siapapun (baik
kepada Imam Ali maupun Muawiyah).
Saat Muawiyah berkuasa, ia memaksa seluruh muslimin
mengutuk Imam Ali. Namun Sa’ad bin Abi Waqas sama sekali tidak bersedia
mengutuk beliau.
Suatu hari Muawiyah berjumpa dengan Sa’ad dan bertanya, “Mengapa engkau enggan mengutuk Abu Turab (julukan Imam Ali)?”
Sa’ad menjawab, “Aku teringat tiga perkara yang
disabdakan Rasulullah saww mengenai peribadi Ali bin Abi Thalib. Karena
itulah saya enggan mengutuk dan mencemoohnya. Bila salah satu dari
ketiga perkara itu ada pada diri saya, maka itu jauh lebih berharga dari
semua unta merah.”
“Pertama, saya mendengar Rasulullah saww, pada
perang Tabuk, menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai wakil beliau saww di
Madinah, sementara beliau saww sendiri yang berangkat ke Tabuk bersama
kaum muslimin. Wwaktu itu Ali menemui Rasulullah saww dan berkata,
‘Wahai Rasulullah saww, apakah Anda akan membiarkan saya tinggal diam di
madinah bersama para wanita?’ Rasulullah saww menjawab, ‘Tidakkah
engkau merasa senang bila kedudukanmu di sisiku tak ubahnya kedudukan
Harun di sisi Musa, namun tak ada nabi setelahku?’”
“Kedua, pada peristiwa perang Khaibar. Saya
mendengar Rasulullah saww bersabda, ‘Aku akan berikan panji ini kepada
seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan ia dicintai Allah dan
Rasul-Nya.’ Kemudian beliau saww memerintahkan memanggil Ali bin Abi
Thalib dan menyerahkan panji itu kepada Ali yang kemudian berhasil
menaklukkan Khaibar.”
“Ketiga, menurut ayat mubâhalah, Ali dianggap
sebagai jiwa Rasulullah saww. Dalam peristiwa ketika para utusan Nasrani
berdialog dengan Rasulullah saww namun mereka tetap enggan memeluk
Islam, maka sesuai perintah Allah, Rasulullah saww mengajak mereka
melakukan mubâhalah (beliau saww menyabdakan kepada mereka untuk
membentuk dua kelompok yang saling berhadap-hadapan dan saling mengutuk,
sehingga Allah menurunkan azab-Nya kepada kelompok yang sesat dan
menyimpang) sebagaimana diabadikan dalam al-Quran; ‘Marilah kita
memangil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan
isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita
bermubâhalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan
kepada orang-orang yang dusta.’ (Âli Imrân:16) Lalu Rasulullah saww
membawa Ali, Fathimah, al-Hasan, dan al-Husain ke padang pasir untuk
bersama-sama melakukan mubâhalah, seraya menegaskan, ‘Mereka adalah
Ahlul Bait (keluarga)ku.’
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Rasulullah saww menganggap Ali bin Abi Thalib sebagai diri dan nyawa beliau sendiri.”
Terputus dari Makhluk, Terikat kepada Allah
Di antara kepribadian Imam Khomeini adalah kuatnya
keterikatan dan ketergantungah kepada Allah. Beliau senantiasa
menganjurkan orang lain untuk bersikap semacam itu. Imam Khomeini
berpesan kepada anaknya, Sayyid Ahmad Khomeini, “Anakku! Berusahalah
sekuat tenaga, agar hatimu terikat kuat kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa
tak ada daya upaya melainkan seizin-Nya.”
Semasa beliau mengajar di Hauzah Ilmiyah Qum, saat
membuka pelajaran, beliau selalu membaca doa Sya’baniyah; doa yang biasa
dibaca Imam Ali bin Abi Thalib dan para imam lainnya. Petikan doa itu
sebagai berikut:
“Ya Allah, karuniakanlah kepada kami keterputusan
sempurna (total) dari segala sesuatu selain-Mu. Terangilah penglihatan
hati kami dengan cahaya penglihatan-Mu, sehingga pengihatan hati kami
dapat merobek tirai cahaya dan sampai ke sumber keagungan. Ya Ilahi,
dengan hak Muhammad dan keluarga Muhammad, karuniakanlah kami
keterputusan sempurna dari segala sesuatu selain-Mu.”
Sekarang marilah kita perhatikan bersama kisah berikut.
Di tahun terakhir usianya, Imam Khomeini amat
mencintai cucunya, Sayyid Ali, putera Sayyid Ahmad. Dalam riwayat
disebutkan bahwa pabila seseorang berada di ambang kematian dan Malaikat
Izrail berada di sampingnya untuk mencabut nyawanya, sementara orang
itu memiliki kecintaan kuat terhadap sesuatu, maka pada saat-saat
genting tersebut, setan akan hadir di sisinya dan berusaha keras lewat
perantaran sesuatu yang dicintainya itu untuk menyelewengkannya ke dalam
kekafiran dan kesesatan.
Demi menjaga agar jangan sampai dipengaruhi setan,
pada hari-hari terakhir usianya, Imam Khomeini memisahkan diri dari
Sayyid Ali. Beliau mengeluarkannya dari kamar beliau, sehingga hati dan
perhatiannya hanya tertuju semata-mata kepada Allah, bukan kepada
selain-Nya. Inilah makna nyata dari keterputusan sempurna dari selain
Allah; terputus dari makhluk dan hanya terikat kepada Allah.
Mukjizat Rasulullah
Seorang Arab badui (tinggal di padang pasir) berhasil menangkap seekor rusa dan mengika lehernya, lalu membawanya ke Madinah.
Rasulullah saww yang sedang berada di luar kota
Madinah mendengar suara panggilan, “Wahai Rasulullah.” Kemudian
Rasulullah saww menoleh ke kanan dan ke kiri. Namun beliau saww tidak
melihat seorang pun. Untuk kedua kalinya, beliau saww mendengar
panggilan itu. Beliau pun menoleh. Namun beliau tak melihat orang yang
memanggilnya. Akhirnya beliau melihat seorang Arab badui sedang membawa
seekor rusa. Beliau saww tahu bahwa panggilan itu berasal dari rusa
tersebut.
Rasulullah mendekati rusa itu dan bertanya, “Apa keperluanmu?”
Rusa itu menjawab, “Saya punya dua anak yang masih
menyusui dan berada di balik gunung itu. Saya berharap sudilah kiranya
Anda menjadi jaminan bagi kebebasanku, agar aku dapat pergi menyusui
mereka dan kembali lagi.” Rasulullah saww bertanya, “Apakah engkau pasti
akan kembali?” Rusa menjawab, “Jika saya tidak kembali, semoga Allah
menyiksaku dengan siksaan orang-orang yang memakan riba.”
Lalu Rasulullah saww membicarakan soal pembebasan
rusa dengan Arab badui itu. Ia menerimanya. Rasulullah saww melepaskan
rusa itu yang langsung berlari ke balik gunung demi menemui
anak-anaknya. Selang beberapa jam, rusa itu kembali.
Kejadian ini membuat Arab badui tersadar. Ia
berkata kepada Rasulullah saww, “Saya akan memenuhi apapun yang Anda
inginkan.” Rasulullah saww bersabda, “Lepaskanlah rusa ini.”
Arab badui itu melepaskan sang rusa dan berlari ke
padang pasir seraya berkata, “Saya bersaksi bahwa tiada sesembahan
selain Tuhan yang Mahaesa, dan engkau (Hai Muhammad) adalah utusan
Allah.”
Kedermawanan dan Kemuliaan Imam Husain
Seorang muslim Madinah berutang kapada seseorang.
Namun ia tak mampu melunasinya. Di sisi lain, si pemberi utang
memaksanya melunasi utangnya.
Orang malang ini menemui Imam Husain guna
menyelesaikan kesulitan yang dihadapinya. Setibanya di hadapan Imam
Husain, ia ingin langsung mengungkapkan hajatnya. Namun Imam Husain
telah mengetahui maksud kedatangannya. (Demi menjaga harga dirinya)
beliau berkata kepada lelaki itu, “Jagalah harga dirimu dari meminta
secara berhadap-hadapan. Tulislah permintaanmu di atas secarik kertas.
Dengan seizin Allah, saya akan memberimu (sejumlah uang) yang akan
menggembirakan hatimu.”
Dalam suratnya, ia menulis, “Wahai Abu Abdillah,
saya berutang kepada fulan sebesar 500 dinar, dan ia memaksa saya
melunasi piutangnya. Tolong Anda berbicara dengannya agar memberi saya
kesempatan sampai saya memiliki sejumlah uang.”
Setelah membaca suratnya, Imam Husain masuk ke
dalam rumah. Lalu beliau ke luar dengan membawa sebuah kantong berisikan
uang sebanyak 1.000 dinar. Beliau menyerahkan kantong uang itu kepada
lelaki tersebut seraya berkata, “Dengan 500 dinar ini, engkau melunasi
hutangmu, dan dengan 500 dinar lainnya, engkau gunakan untuk keperluan
hidupmu. Janganlah engkau mengungkapkan keperluanmu selain kepada tiga
orang;
1. Orang yang beragama dan dijaga agamanya.
2. Orang dermawan dan dikarenakan kedermawanannya itulah ia merasa malu.
3. Orang yang berasal dari keluarga terhormat, di
mana ia menyadari bahwa engkau tak ingin dipermalukan oleh kebutuhnmu,
dan ia pun akan menjaga kehormatanmu serta memenuhi keperluanmu.”
Tulisan di Sayap Belalang
Diriwayatkan, Imam Husain bercerita bahwa beliau
dan dua saudaranya, al-Husain dan Muhammad Hanafiah beserta tiga anak
pamannya Abdullah Qutsam, dan Fadl (anak-anak dari Abbas [paman Rasul
saww]), pada suatu hari duduk mengelilingi hidangan dan menikmati
makanan. Tiba-tiba seekor belalang masuk ke rumah dan jatuh ke dalam
hidangan. Abdullah mengambil belalang itu dan bertanya kepada al-Hasan,
“Wahai Junjunganku! Apa yang tertulis di sayap belalang ini?”
Imam hasan menjawab bahwa dirinya telah menanyakan
hal itu kepada ayahnya yang memberi jawaban, “Aku telah menanyakan
pertanyaan itu kepada kakekmu, Rasulullah saww yang kemudian
menyabdakan, ‘Di sayap belalang tertulis; tak ada sesembahan melainkan
Tuhan yang Mahaesa, Yang memelihara dan memberi rezeki belalang; Aku
adalah Allah; kapanpun Aku menghendaki, Aku akan mengutusmu (belalang)
sebagai rezeki manusia, dan kapanpun Aku menghendaki, Aku akan
mengutusmu sebagai bencana bagi mereka.’”
Abdullah bin Abbas bangkit dan mencium kepala Imam Hasan kemudian berkata, “Demi Allah, ini berasal dari ilmu yang tersembunyi.”
Tujuan Pemerintahan
Ibnu Abbas berkata, “Saya tiba di kawasa Dzi Qar
(dekat kota Bashrah) untuk menemui Imam Ali. Sesampainya di hadapan
beliau, saya melihat beliau tengah menjahit sandalnya.
Beliau lalu bertanya kepadasaya, ‘Adakah harga bagi
sepatu ini?’ Saya menjawab, ‘Sama sekali tidak ada harganya?’ Beliau
berkata, ‘Demi Allah, sesungguhnya aku lebih menyukainya ketimbang
kepemimpinan atas kalian kecuali jika aku mampu menghidupkan kebenaran
dan menyingkirkan kebatilan.’”
Banyak Omong
Seseorang menemui Rasulullah saww dan banyak
berbicara. Lalu Rasulullah saww bertanya kepadanya, “Lisanmu itu
memiliki berapa pintu?” Ia menjawab, “Dua pintu; bibir dan gigi-gigi.”
Rasulullah saww bersabda, “Apakah pintu-pintu itu tidak mampu menahan
sebagian omonganmu?”
Kebaikan Dunia dan Akhirat
Seseorang menulis surat kepada Imam Husain. Dalam
surat itu, ia menulis, “Wahai Junjunganku, apakah kebaikan dunia dan
akhirat itu? Terangkanlah kepadaku.”
Imam Husain menjawab surat itu, “Dengan menyebut
nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Amma ba’du. Orang
yang menginginkan keridhaan Allah, sekalipun menyebabkan ketidakridhaan
manusia, maka Allah akan memperbaiki hubungannya dengan manusia, dan
orang yang menginginkan keridhaan manusia namun menyebabkan murka Allah,
maka Allah akan menyerahkannya kepada manusia.”
Pernyataan Nabi Isa kepada Para Pendosa
Sekelompok orang yang melakukan perbuatan dosa
berkumpul di suatu tempat. Untuk menghapus dosa-dosanya itu, mereka
menangis. Nabi Isa as lewat di dekat mereka dan bertanya, “Mengapa
mereka menangis?” Dijawab, “Mereka menangis dikarenakan dosa-dosa yang
telah mereka perbuat.” Nabi Isa as berkata, “Hendaklah mereka
meninggalkan dosa-dosa itu, dan mereka pun akan diampuni.”
Pembantaian di Masjid Guharsyad
Di antara keburukan pemerintahan Syah Reza Khan
Pahlevi (ayah raja [Syah] yang digulingkan Imam Khomeini―penerj.)adalah
menerapkan kebijakan “menyingkapkan hijab”. Sekaitan dengannya,
orang-orang Syah dengan keras dan paksa melepas dan mencabut kerudung
serta hijab yang dikenakan para wanita. Lebih lagi, Syah mengharuskan
mereka menanggalkan hijabnya tatkala keluar rumah.
Ulama dan masyarakat di seluruh pelosok negeri
bangkit menentang perintah itu. Di antaranya adalah sekelompok penentang
yang berkumpul di Masjid Guharsyad yang terletak di dekat makam suci
Imam Ali al-Ridha. Mereka saat itu sedang mendengar ceramah seorang
ruhaniawan pejuang bernama Buhlul. Dalam ceramahnya, ia dengan
berapi-api mengutuk dan menentang aturan kerajaan itu.
Panglima tentara kota Masyhad, Irej Mathbui’ (yang
pada tahun 1979 dijatuhi hukuman mati) melaporkan peristiwa itu kepada
Reza Khan, yang kemudian memerintahkan pasukannya memasuki makam suci
Imam Ali al-Ridha dan mengintimidasi mereka. Sekiranya mereka tidak
segera keluar, pasukan kerajaan diperintahkan untuk langsung mnembaki
mereka. Saat itu juga Reza Khan mengutus Panglima Alborz ke Masyhad.
Berdasarkan perintah Mathbu’i dan Alborz, pasukan kerajaan memasuki
halaman makam Imam Ali al-Ridha dan melepaskan tembakan ke arah
orang-orang yang sedang mendengarkan ceramah.... Dalam peristiwa ini, 25
orang tewas dan 40 orang lainnya luka-luka.
Inilah kekejaman Reza Khan terhadap mereka yang
berlindung di makam suci Imam Ali al-Ridha; mereka dibantai lantaran
membela dan mempertahankan ajaran Islam.
Syiah Hakiki dalam Pandangan Sayyidah Fathimah al-Zahra
Seorang lelaki berkata kepada isterinya, “Pergilah
menemui Sayyidah Fathimah dan tanyakanlah apakah beliau menerima diriku
sebagai Syiah (pengikut setia)nya?” Sang isteri berangkat menemui
Sayyidah Fathimah al-Zahra. Setelah bertemu, ia pun menyampaikan pesan
suaminya. Sayyidah Fathimah menjawab, “Sampaikan kepada suamimu bahwa,
jika ia mengamalkan apa yang telah kami perintahkan dan meninggalkan apa
yang kami larang, maka ia adalah Syiah kami. Jika tidak, maka tidak
(termasuk Syiah kami).”
Sang isteri pulang menemui suaminya dan
menyampaikan jawaban Sayyidah Fathimah al-Zahra. Begitu mendengar
jawaban itu, si suami merasa bersedih dan menjerit, “Celakalah aku!
Siapakah yang tidak terkotori dosa. Kalau tidak segera menyucikan diri
dari dosa, saya bukanlah seorang Syiah. Dan kalau saya bukan Syiah, maka
saya akan kekal dalam neraka.
Celakalah aku!”
Melihat kondisi suaminya yang hanyut dalam
kesedihan semacam itu, sang isteri segera kembali menemui Sayyidah
Fathimah al-Zahra dan menceritakan peristiwa yang disaksikannya.
Sayyidah Fathimah al-Zahra berkata kepada wanita
itu, “Katakanlah kepada suamimu, ‘Bukan sebagaimana yang engkau
bayangkan, para Syiah kami adalah orang-orang baik dan penghuni surga.
Namun jika ia berdosa, maka berbagai bencana dan musibah yang menimpa
mereka, kesulitan yang mereka hadapi di padang Mahsyar, di hari kiamat,
akan menghapus dosa-dosa itu. Tatkala mereka masih berada di atas api
neraka, dosa-dosanya akan berguguran. Karenanya, mereka akan bersih dan
suci dari berbagai dosa. Setelah itu, kami akan menyelamatkan mereka
(dari api neraka) dan membawanya ke surga.”
Mimpi Imam Khomeini
Isteri Imam Khomeini mengisahkan bahwa sekitar satu
bulan setengah sebelum Imam Khomeini dioperasi (yang setelah itu beliau
wafat), Imam Khomeini berkata kepadanya, “Saya bermimpi indah dan akan
saya ceritakan kepadamu. Namun saya tidak rela jika selama saya masih
hidup, kamu menceritakan mimpi ini kepada orang lain. Dalam mimpi itu,
saya meninggal dunia dan Imam Ali datang serta memandikan, mengafani,
dan menyalati jenazahku. Lalu beliau meletakkan jasadku di liang kubur,
seraya bertanya, ‘Apakah sekarang kamu merasa nyaman?’ Saya menjawab,
‘Saya telah merasa nyaman, namun di sebelah kanan saya ada segenggam
tanah liat yang membuat saya tidak nyaman.’ Kemudian Imam Ali mengambil
gumpalan tanah liat itu seraya mengusapkan tangannya ke bagian tubuh
saya yang sakit. Saat itu pula, rasa sakit saya lenyap dan saya merasa
nyaman.”
Imam Khomeini dan Orang-orang Berkedok Islam
Imam Khomeini semasa diasingkan di Najaf
al-Asyraf―kurang lebih, selama 15 tahun beliau hidup di
pengasingan―menghadapi berbagai rintangan dan siksaan dari penguasa
zalim dan orang-orang yang tidak punya komitmen terhadap Islam (kaum
Islam liberal) dan para pembangkang seperti orang-orang Khawarij yang
hidup di masa Imam Ali; mengenakan pakaian agama, tapi memusuhi dan
menghalangi perkembangan agama.
Umum diketahui bahwa Imam Khomeini merupakan
pencetus gagasan pemerintahan Islam. Dalam berbagai pelajaran yang
beliau sampaikan, beliau senantiasa membahas masalah wilâyah al-faqîh
dan pemerintahan Islam. Pembahasan tersebut bahkan beliau tuangkan ke
dalam sebuah buku bertajuk “Hukûmat-e Islâmî wa Welâyat-e Faqih”
(Pemerintahan Islam dan Wilâyah al-Faqih).
Sekelompok orang yang mengesankan diri sebagai
ruhaniawan dan tokoh agama, mendatangi rumah Imam Khomeini. Mereka
memohon dengan paksa agar Imam Khomeini memberi mereka buku yang beliau
tulis itu, untuk dicetak dan disebarkan di Bagdad, Bashrah, dan
kota-kota lainnya. Lalu mereka membawa buku itu.
Selang beberapa lama, diketahui bahwa buku tersebut
tidak dijumpai di Bashrah, Baghdad, maupun di kota-kota lainnya. Para
penipu itu membawa buku tersebut dan membuangnya ke sebuah sumur di kota
Najaf atau di sungai Eufrat, demi menghalangi usaha dan perjuangan Imam
Khomeini
Anda dapat saksikan, betapa buruknya kelakuan dan
perbuatan orang-orang bodoh itu. Darinya, Anda dapat mengetahui dengan
jelas bagaimana tantangan dan perlawanan yang dihadapi Imam Khomeini
semasa 15 tahun pengasingannya. Namun begitu, beliau tetap teguh dan
tegar sampai akhirnya meraih kemenangan.
Ikhlas Beramal
Pada suatu hari, sekelompok sahabat Ayatullah
Burujurdi mengelilingi beliau. Mereka saling berbincang-bincang bersama.
Salah seorang sahabat beliau (Ayatullah Sayyid Musthafa Khunshari)
berkata, “Saya juga berada di antara mereka. Namun saya tidak berkata
apapun. Lalu Ayatullah Burujurdi menghadap ke arah saya dan berkata,
‘Silahkan Anda menyampaikan sesuatu.’ Saya berkata, ‘Saya tidak memiliki
bahan untuk dibicarakan, selain satu hadis dari kakek saya. Jika
diperkenankan, saya akan menyampaikannya.’ Ayatullah Burujurdi berkata,
“Ya, sampaikanlah.”
“Saya mengatakan bahwa kakek saya, Rasulullah saww
menukil firman Allah: Ikhlaslah dalam beramal, sesugguhnya pemeriksa
(amal perbuatan) memiliki penglihatan tajam.”
“Begitu saya menyampaikan hadis itu, Ayatullah
Burujurdi langsung meneteskan air mata. Lalu beliau berkata, ‘Benar,
jika amal perbuatan kita bukan untuk Allah, apa yang akan terjadi?
Benar, pemeriksa amat jeli dan memiliki penglihatan yang tajam.’”
“Saya tidak lupa, bahwa setelah kejadian itu,
setiap kali beliau memandang saya, beliau mengucapkan, ‘Ikhlaslah dalam
beramal, sesungguhnya pemeriksa (amal perbuatan) memiliki penglihatan
tajam, memiliki penglihatan tajam.’ Setelah mengucapkan itu, keadaan
beliau pun berubah.’”
Menjaga Sopan Santun dalam Majelis Duka Cita
Salah seorang saat Ayatullah Burujurdi mengisahkan,
“Pada suatu hari, di rumah Ayatullah Burujurdi, diadakan majelis duka
cita demi memperingati wafatnya Sayyidah Fathimah al-Zahra. Hujjatul
Islam Ahmad Thabathaba’i (anak beliau) duduk di sebelah saya. Setelah
majelis usai, beliau menegur saya seraya berkata, ‘Mengapa Anda tidak
membimbing Ahmad (karena saat itu anak beliau, Hujjatul Islam Ahmad
Thabathaba’i tesenyum)? Apakah dalam mejelis duka cita Sayyidah Fathimah
al-Zahra tidak diperlukan menjaga sopan santun?’”
Nasihat Seorang Bijak
Seorang cerdik dan bijak menemui raja pada masa itu. Raja berkata, “Berilah aku nasihat.”
Orang bijak itu mengatakan, “Memberi nasihat adalah mudah, namun mengamalkannya amat sulit. Sekarang dengarkanlah nasihat saya:
Kepala yang di dalamnya tidak terdapat akal
Seperti mata air yang tidak ada air
Setiap manusia tak punya kejantanan
Ibarat kebun yang tidak memiliki bunga
Setiap alim yang tidak bertakwa
Ibarat kuda yang tidak bertali kendali
Pemimpin yang tidak menjadikan rasa takut kepada
Allah sebagai penuntunnya, dan tidak menjadikan sabar dan tabah sebagai
sahabatnya, dan tidak memerintahkan orang-orang dekatnya bersikap adil
dan jujur, layak mendapat murka Allah.”
Cahaya Iman di Hati Anak
Sahl Syusytari merupakan seorang arif besar. Beliau wafat di usia 80 tahun (pada tahun 283 Hijriah).
Beliau pernah bercerita, “Pada suatu waktu ketika
masih berusia tiga tahun, saya melihat paman saya, Muhammad bin Siwar,
bangun dari tempat tidur dan sibuk menunaikan shalat malam. Suatu hari
ia berkata kepada saya, ‘Anakku apakah engkau tidak berzikir kapada
allah yang menciptakanmu?’ Saya menjawab, ‘Bagaimana saya berzikir
kepada-Nya?’ Ia berkata, ‘Sewaktu malam tiba, dan engkau sudah berada di
atas tempat tidur dan bersiap-siap untuk tidur, ucapkanlah kalimat ini
dari lubuk hatimu; Allah ada bersamaku, melihatku, dan aku berada di
rumah-Nya.’”
“Beberapa malam saya mengucapkan kata-kata itu
dalam lubuk hati. Lalu ia mengatakan kepada saya, ‘Ucapkanlah kalimat
itu setiap malam sebanyak tujuh kali.’ Saya pun melakukannya. Rasa manis
zikir itu meresap ke lubuk hati saya. Setelah setahun, ia berkata
kepada saya, ‘Selama hayat masih dikandung badan, ucapkanlah selalu
dalam lubuk hatimu, kalimat yang kuajarkan kepadamu. Karena kalimat itu
akan menyelamatkanmu dalam dua kehidupan.’”
“Dengan begitu, cahaya iman dan tauhid telah menerangi hati saya sejak saya masih kanak-kanak.”
Menjaga Kehormatan
Almarhum Ayatullah Burujurdi pada mulanya mengajar
di samping kubur Syaikh Abdul Karim al-Hâ’iri (terletak di sekitar makam
Sayyidah Fathimah al-Ma’shumah). Pada suatu hari, tatkala beliau sedang
mengajar, beliau melihat seorang pelajar bersandar di kubur almarhum
Syaikh Abdul Karim al-Hâ’iri. Lalu beliau menegurnya dengan nada tinggi,
“Janganlah Anda bersandar pada kubur itu. Pribadi agung itu telah
berjuang keras untuk Islam. Hendaklah Anda menghormatinya.”
Ayatullah Burujurdi amat menghormati buku-buku
agama. Beliau berkata, “Sepanjang hidup, saya tak pernah tidur di suatu
ruangan yang terdapat buku hadis Nabi saww, sekalipun sebuah buku yang
hanya berisikan satu hadis Nabi saww saja.”
Pahala Besar Pernikahan
Rasulullah saww sedang duduk bersama para
sahabatnya. Tiba-tiba datang seorang wanita bernama Asma puteri Yazid
al-Anshari yang berkata, “Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, wahai
Rasulullah! Saya mewakili para wanita dan hendak mengajukan satu
pertanyaan kepada Anda. Allah telah mengutus Anda sebagai nabi kepada
seluruh umat manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Kami beriman
kepadamu dan kepada Tuhanmu. Tapi ajaranmu memenjarakan kami, kaum
wanita, di dalam rumah. Kami tidak diperkenankan ikut campur dalam
masalah sosial dan politik. Kami hanya dijadikan alat pelampiasan nafsu
birahi kaum lelaki dan tukang asuh anak-anak mereka. Namun kalian, kaum
lelaki, lebih mulia ketimbang kami karena kalian berkumpul bersama,
bersama-sama menjenguk orang sakit, hadir dalam pengurusan jenazah,
melaksanakan ibadah haji, dan lebih dari itu berjuang di jalan Allah.
Sebaliknya, kami tidak dibenarkan ikut serta dalam jihad tersebut. Dan
tatkala kalian menunaikan ibadah haji dan berjuang di jalan Allah, kami
hanya duduk di dalam rumah, menjaga harta benda kalian, menenun kain
untuk pakaian kalian, menjaga dan merawat anak-anak kalian. Apakah dalam
hal ini kami akan mendapat pahala sebagaimana pahala yang kalian
dapatkan?”
Rasulullah saww memandangi para sahabatnya dan
bersabda, “Apakah kalian pernah mendengar pertanyaan yang lebih baik
dari yang diajukan wanita ini?” Lalu beliau memandang Asma dan bersabda,
“Wahai wanita, dengarkan dan sampaikanlah kepada para wanita yang
mengutusmu kemari bahwa sesungguhnya menjadi isteri yang baik bagi
suami, dan berusaha mencari keridhaannya, patuh pada (perintah dan
larangan)nya sebanding dengan semua itu.”
Kemudian Asma kembali menemui para wanita seraya
berzikir menyebut nama Allah. Sewaktu sampai di hadapan para wanita, ia
menyampaikan sabda Rasulullah saww. Semunya merasa amat bergembira.
Sejak itu, mereka menjadikan Asma sebagai wakil mereka dalam menghadap
Rasulullah saww.
Awal Mula Munculnya Bid’ah
Para pengikut Khalifah kedua (Umar bin Khathab)
dalam azannya tidak mengucapkan kalimat, “Hayya ‘alâ khairi ‘amal
(marilah kita menuju sebaik-baik amal perbuatan).” Sebagai gantinya,
mereka mengucapkan, “Al-shalâtu khairun min al-naum (shalat itu lebih
baik dari tidur).”
Malik bin Anas, tokoh mazhab Maliki, menulis
sejarah awal mula bidah ini sebagai berikut, “Pada waktu shalat subuh,
muazin khalifah kedua datang menghadap Khalifah untuk memberitahu bahwa
waktu shalat subuh telah tiba. Ia mendapati Khalifah sedang tidur lelap.
Untuk membangunkannya, ia berteriak, ‘Shalat itu lebih baik dari
tidur.’ Kemudian Khalifah Umar terjaga. Ia menyukai kalimat itu. Lalu ia
memerintah agar kalimat itu dimasukkan dalam kalimat azan. Dan mereka
diperintahkan mengucapkannya pada azan subuh.”
Padahal, berpuluh-puluh riwayat yang bersumber dari
Ahlusunah menyatakan bahwa semasa Rasulullah saww, kalimat tersebut tak
pernah dikumandangkan dalam azan!
Kepekaan terhadap Kemungkaran
Di antara kepribadian Ayatullah Burujurdi adalah
memerangi berbagal khurafat dan kemungkaran. Marilah kita perhatikan dua
kisah dibawah ini.
Pada suatu hari, tatkala memasuki makam suci Imam
Ali al-Ridha, Ayatullah Burujurdi melihat seorang ruhaniawan bersujud
memberi hormat kepada Imam Ali al-Ridha. Menyaksikan itu, beliau menjadi
amat marah dan memukulkan tongkat beliau ke punggung ruhaniawan itu,
seraya membentak, “Apa yang sedang Anda perbuat? Dengan berbuat ini,
Anda telah melakukan dua dosa; pertama, bersujud kepada selain Allah,
dan kedua, karena Anda seorang ruhaniawan, maka orang-orang akan meniru
perbuatan Anda.”
Seorang ulama bercerita bihwa pada suatu hari
Ayatullah Burujurdi keluar rumah. Tiba-tiba seorang lelaki tua
menghampiri beliau dan langsung menunduk dan mencium kaki beliau (demi
mengungkapkan rasa hormat).
Ayatullah Burujurdi mengharamkan perbuatan itu dan
menganggapnya sebagai perbuatan syirik. Beliau gusar dan memukulkan
tongkatnya ke pinggang lelaki itu seraya berkata, “Ini perbuatan syirik,
haram....” Setelah beliau berjalan beberapa langkah, beliau memanggil
lelaki tua itu. Kemudian dengan lemah lembut, beliau berkata, “Perbuatan
yang telah Anda lakukan itu syirik dan menurut syariat hukumnya haram.”
Kemudian beliau memberi sejumlah uang kepada lelaki itu. Saya ingat
betul bahwa uang yang beliau berikan kepada lelaki itu jumlahnya cukup
banyak.
Kerendahan Ali bin Abi Thalib di Hadapan Allah
Imam Ali banyak memberi sedakah dan bantuan kepada
orang-orang miskin. Seseorang yang menemui beliau berkata, “Betapa
banyak Anda bersedekah! Tidakkah Anda menyisakannya untuk diri Anda
sendiri?”
Imam Ali menjawab, “Benar, demi Allah, kalau saya
tahu bahwa Allah telah menerima suatu perbuatan wajib yang telah saya
kerjakan, maka saya tak akan berlebihan dalam bersedekah. Tapi saya
tidak tahu apakan perbuatan ini diterima Allah atau tidak (karena saya
tak mengetahui, maka saya akan memberi sedekah sebanyak mungkin sehingga
salah satu di antaranya diterima Allah).”
Dengan cara itu dan penuh kerendahan hati, Imam Ali
menyatakan bahwa dirinya tidak menghiraukan masalah diterimanya amal
perbuatannya. Beliau lebih memperhatikan sisi kualitas amal perbuatan,
bukan kuantitasnya. Dari sini, kita dapat menarik pelajaran dilakukan
bahwa amal perbuatan kita dilakukan secara ikhlas. Inilah prasyarat
utama bagi diterimnya amal perbuatan oleh Allah Swt.
Pertemuan Imam Husain dan Umar bin Sa’ad di Karbala
Imam Husain (demi menyempurnakan hujah) mengirim
pesan kepada Umar bin Sa’ad bahwa beliau ingin bertemu dan berbicara
dengannya. Umar bin Sa’ad menerima undangan Imam Husain dirancanglah
sebuah pertemuan antara kedua pasukan; Umar bin Sa’ad dengan dua puluh
pasukannya dan Imam Husain dengan dua puluh sahabatnya.
Dalam pertemuan itu Imam Husain berkata kepada para sahabatnya, “Kalian keluar dari majelis ini kecuali Abbas dan Ali Akbar.”
Umar bin Sa’ad juga berkata kepada pasukannya,
“Kalian keluar dari majelis ini, kecuali anakku Hafsh dan budakku.”
Kemudian terjadilah dialog.
Imam Husain, “Celakalah engkau! Hai Umar bin Sa’ad,
apakah engkau tidak merasa takut pada saat kembali kepada Allah, karena
memerangiku? Tidakkah engkau tahu bahwa aku adalah putera Fathimah dari
Ali.... Hai Ibnu Sa’ad! Tinggalkan mereka (orang-orang Yazid) dan
bergabunglah bersama kami. Itu amat baik bagimu, dan engkau akan dekat
dengan Allah.”
Umar bin Sa’ad, “Saya khawatir mereka akan menghancurkan rumahku.”
Imam Husain, “Kalau mereka menghancurkannya, aku akan membangunnya kembali.”
Umar bin Sa’ad, “Saya khawatir mereka akan merampas kebunku.”
Imam Husain, “Kalau mereka merampasnya, aku akan
memberimu tanah yang ada di Hijaz, yang terdapat mata air yang besar;
mata air yang ingin dibeli Muawiyah dengan ribuan dinar, namun tidak
dijual kepadanya.”
Umar bin Sa’ad, “Saya punya anak isteri. Saya khawatir mereka akan diganggu dan disiksa.”
Imam Husain terdiam. Beliau tidak memberi jawaban.
Lalu beliau bangkit dan menjauh darinya, seraya berkata, “Apa yang telah
engkau perbuat? Semoga Allah membunuhmu di tempat tidurmu. Semoga di
hari kiamat, Allah tidak mengampunimu. Dan semoga engkau tidak memakan
gandum dari (kota) Rayy, kecuali hanya sedikit.”
Umar bin Sa’ad menjawab dengan nada mengejek,
“Cukup sya’irnya saja (maksudnya, jika tidak memakan gandumnya, saya
cukup dengan memakan sya’ir [sejenis gandum kualitas rendahan]-nya).”
Betapa keji Umar bin Sa’ad. Sembga Allah menimpakan
siksaan yang setimpal. Jawaban terakhirnya kepada Imam Husain sungguh
tidak masuk akal. Dirinya begitu takut dan khawatir terhadap nasib
keluarganya (yang akan disiksa dan disakiti). Namun, hatinya tidak
merasa sedih pabila keluarga Rasulullah dan puteri-puteri Fathimah
disiksa dan disakiti.
Hamid bin Muslim berkata bahwa dirinya adalah teman
Umar bin Sa’ad. Setelah peristiwa Karbala, ia bertemu dengan Umar dan
menanyakan keadaannya. Umar menjawab, “Jangan engkau bertanya keadaanku.
Tak seorang pun yang bepergian lalu kembali ke rumah dengan memikul
dosa sebesar yang saya pikul; saya telah memutus hubungan keluarga dan
melakukan dosa yang sangat besar (antara Umar bin Sa’ad dengan Imam
Husain masih terdapat hubungan kekerabatan mengingat ayah Umar bin Sa’ad
(Sa’ad bin Waqqash) adalah cucu Abdu Manaf (kakek ketiga Rasulullah
saww).”
Abu Jahal Dibunuh Dua Anak-anak
Pada tahun kedua Hijriah, terjadilah peperangan
antara muslimin dan musyrikin yang disebut perang Badar. Abu Jahal
merupakan tokoh musyirikin yang ikut serta dalam peperangan itu. Dengan
semangat berkobar, ia mendorong musyrikin bangkit melawan Rasulullah
saww. Saat itu, ikut pula dua orang anak yang masih berusia sekitar 14
tahun. Keduanya sama-sama bernama Ma’adz (Ma’adz bin Umar dan Ma’adz bin
Afra’) dan berhasil membunuh Abu Jahal. Kisahnya di bawah ini.
Abdurahman bin ‘Auf menceritakan bahwa dalam
peperangan itu, ia menoleh ke kanan dan ke kiri barisan pasukan
muslimin. Tiba-tiba ia melihat dirinya sudah diapit dua anak muda belia
yang berasal dari keluarganya juga (kaum Anshar). Saat itu―demi kedua
anak itu―ia berharap para musuh tidak menyerang ke arahnya .
Salah seorang anak itu bertanya kepadanya, “Hai
Paman! Apakah Anda mengetahui, mana yang bernama Abu Jahal? Tunjukkanlah
orangnya.”
Abdurrahman menjawab, “Saya tahu, wahai anak pamanku. Apa urusanmu dengan Abu Jahal?”
Ia menjawab, “Saya mendapat kabar bahwa ia telah
memaki Rasulullah saww. Demi Allah yang nyawaku ada di tangan-Nya, kalau
saya mengetahui Abu Jahal, saya tak akan meninggalkannya sampai salah
satu dari kami mati.”
Anak yang satunya lagi juga melontarkan pertanyaan
semacam itu. Abdurrahman merasa kagum atas keberanian kedua anak itu.
Tak lama kemudian, ia melihat Abu Jahal berada dibarisan musuh, sedang
berteriak-teriak memompa semangat juang pasukannya. Lalu Abdurrahman
menunjukinya dengan mengatakan, “Itulah Abu Jahal.” Kontan mereka berdua
berlari secepat kilat ke arah Abu Jahal dengan menghunus pedangnya.
Keduanya menyerang Abu Jahal. Akhirnya Abu Jahal tewas di tangan
keduanya. Setelah itu, mereka berdua menghadap Rasulullah saww dan
menceritakan peristiwa terbunuhnya Abu Jahal.
Rasulullah saww bertanya, “Siapakah di antara
kalian berdua yang telah membunuhnya?” Masing-masing menjawab, “Saya
yang membunuhnya.” Rasulullah saww bertanya, “Apakah kalian telah
membersihkan pedang kalian?” Keduanya menjawab, “Belum.” Lalu Rasulullah
saww melihat kedua pedang nillik mereka. Be1iau melihat keduanya
diwarnai darah. Kemudian beliau bersabda, “Kalian berdua telah
membunuhnya.”
Bersyukur kepada Allah
Pada suatu hari, Syaikh Abu Said (Seorang ‘urafâ’
yang wafat pada 440 Hijriah) melintasi jalan bersama murid-muridnya.
Seorang wanita tiba-tiba melemparkan sejumlah abu dari atas rumah.
Sebagian abu itu mengenai pakaian Syaikh Abu Said. Namun Syaikh tidak
gusar karenanya. Lain hal dengan para muridnya yang merasa jengkel dan
hendak memaki wanita itu.
Syaikh Abu Said berkata kepada para muridnya itu,
“Tenang! Seorang yang layak dilempar api, namun hanya dilempar sedikit
abu saja, sungguh layak bersyukur.”
Mereka terkesima oleh nasihat itu dan mengurungkan niat untuk membalas si wanita itu dan melanjutkan perjalanannya.
Menyimpa Rahasia
Pada suatu hari, seseorang datang menemui Syaikh
Abu Said dan berkata, “Wahai Syaikh! Saya datang kepadamu, agar Anda mau
mengajariku rahasia kebenaran.” Syaikh berkata, “Sekarang pulanglah.
Besok datang lagi kemari. Saya akan memberimu sebuah pelajaran.”
Lelaki itupun pergi. Keesokan harinya, ia kembali
menemui Syaikh. Sebelumnya, Syaikh memasukkan seekor tikus ke sebuah
kotak tempat permata dan menutupnya rapat-rapat. Ketika lelaki itu
datang, Syaikh memberi kotak itu kepadanya seraya berkata, “Bawalah
kotak ini. Usahakan jangan sampai tutupunya terbuka.”
Lelaki itu membawa kotak tersebut. Dikarenakan rasa
ingin tahu yang begitu menggelitik hatinya tentang gerangan apa yang
ada dalam kotak itu, akhirnya ia membuka tutup kotak itu. Tiba-tiba ia
melihat seekor tikus keluar dari kotak tersebut dan lari. Ia kembali
menemui Syaikh dan berkata, “Saya menginginkan dari Anda soal rahasia
Allah. Namun mengapa Anda memberi saya seekor tikus?”
Syaikh menjawab, “Hai Darwisy! Aku memberimu seekor
tikus dalam kotak, dan kamu tidak mampu menyimpannya. Lalu bagaimana
bila aku mengungkapkan kepadamu berbagai rahasia Allah? Mungkinkah kamu
mampu menyimpannya?”
Mereka yang mengetahui rahasia al-Haq
Mereka mengunci dan menjahit mulutnya
Keikhlasan dan Kesadaran Marja’ Taqlîd
Seseorang mencetak kalender dan menaruh gambar
Ayatullah Burujurdi di lembaran kalender tersebut. Lalu orang itu―untuk
urusan tertentu―menemui Ayatullah Burujurdi (dengan membawa kalender
tersebut dan berharap Ayatullah Burujurdi mengeluarkan fatwa yang sesuai
dengan kepentingan pribadinya).
Saat berjumpa dengan Ayatullah Burujurdi, ia
membawa kalender itu sedemikian rupa sehingga Ayatullah Burujurdi dapat
melihat gambar beliau yang terpampang di situ. Ayatullah Burujurdi
berkata kepadanya, “Apakah Anda mengira bahwa dengan cara itu, Anda
dapat mempermainkan saya? Tidak, sama sekali tidak!”
Dengan demikian, pribadi agung dan mulia itu, telah
mengajarkan kita tentang keikhlasan, dan menjauhkan diri dari sikap
bangga diri (‘ujub) dan suka pamer (riyâ’). Beliau juga telah
mengajarkan kita untuk senantisa sadar dan tidak sampai termakan tipuan
orang-orang yang hendak memanfaatkan kita.
Tahun yang Baik Diketahui dari Musim Seminya
Hatim al-Tha’i adalah orang yang dikenal amat
dermawan. Saudaranya juga menginginkan dirinya dikenal sebagai dermawan
seperti Hatim. Ibunya berkata, “Janganlah engkau melakukan usaha yang
sia-sia. Engkau sama sekali tak akan mampu mencapai derajat Hatim.” Ia
bertanya, “Mengapa?” Ibunya menjawab, “Sewaktu Hatim masih kanak-kanak
dan menyusui, setiap kali aku hendak menyusuinya, ia menolak, sampai aku
harus mendatangkan anak-anak lain yang juga masih menyusui untuk
menyusu di puting susuku yang lain. Namun, sewaktu engkau masih bayi,
yang terjadi justru sebaliknya; setiap kali aku menyusuimu, engkau
langsung menyusu, dan jika ada anak-anak lain yang masih menyusui berada
di dekatku―lantaran khawatir kalau-kalau anak itu juga ikut
menyusu―engkau akan menangis sekeras-kerasnya sampai anak itu pergi.”
Ya, tanda-tanda kemuliaan dan kehinaan di masa
datang, adakalanya dapat diketahui sejak seseorang masih kanak-kanak.
Benar, “Suatu tahun yang baik, dapat diketahui dari musim seminya (awal
tahunnya).”
Beramal untuk Akhirat Bukan untuk Dunia
Tatkala hendak menyelamatkan diri dari kejahatan
Firaun, Nabi Musa as berhijrah dari Mesir ke daerah Madain. Di luar
Madain, beliau melihat para pengembala sedang mengambil air dari sebuah
sumur untuk minum kambing yang mereka gembalakan. Beliau melihat dua
orang wanita berdiri menunggu sampai sepi untuk mengambil air bagi
kambing-kambingnya.
Nabi Musa as menghampiri mereka dan membantu
mengambilkan air dari sumur. Mereka berdua adalah puteri Nabi Syuaib as.
Hari itu, kedua puteri tersebut lebih cepat pulang ke rumah. Keduanya
lalu menceritakan bantuan seorang pemuda asing dalam mengambil air di
sumur.
Nabi Syuaib as mengutus seorang puterinya untuk
menemui pemuda asing itu dan mengundangnya ke rumah. Puteri tersebut
pergi menemui Nabi Musa as dan berkata, “Ayahku mengundang Anda datang
ke rumah kami, dan hendak memberi balasan atas jerih payah Anda.”
Nabi Musa as menerima undangan itu dan pergi ke
rumah Nabi Syuaib as. Ketika masuk ke rumah itu, Nabi Musa as melihat
Nabi Syuaib as sedang duduk di hadapan sebuah hidangan malam. Beliau
mengajak Nabi Musa as makan bersama. Tatkala pandangannya tertuju pada
pemuda asing itu, Nabi Syuaib as berkata, “Duduklah, silahkan santap
makanan ini (sampai saat itu Nabi Syuaib as belum mengenal Nabi Musa
as).”
Nabi Musa as menjawab, “Aku berlindung kepada Allah.”
Nabi Syuaib as bertanya, “Mengapa Anda mengucapkan kalimat itu? Apakah Anda tidak lapar?”
Nabi Musa as menjawab, “Benar, saya lapar, tapi
saya khawatir makanan ini menjadi upah atas bantuan saya terhadap
puteri-puteri Anda. Kami berasal dari keturunan yang sama sekali tidak
akan menjual amal akhirat dengan dunia yang penuh emas sekalipun.”
Nabi Syuaib as berkata, “Wahai pemuda! Tidaklah
demikian. Demi Allah, tujuan saya bukanlah balasan duniawi. Namun
kebiasaan dan tradisi ayah-ayah kami adalah memuliakan dan menghormati
tamu, serta memberi makanan kepada orang lain.”
Mendengar itu Nabi Musa as langsung duduk di depan hidangan dan menikmati makanan yang tersaji.
Tauhid Murni
Suatu hari, Rasulullah saw bersabda kepada
sekumpulan orang, “Barangsiapa berjumpa dengan Allah, dengan ikhlas
mengakui keesaan-Nya, dan kesaksiannya atas keesaan Allah itu tidak
dicampuri dengan yang lain, pasti akan masuk surga.”
Imam Ali berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah!
Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu. Bagaimanakah mengucapkan kalimat
‘tiada tuhan selain Allah (lâ ilâha illallâh)’ secara murni? Dan
bersaksi atas keesaan Allah tanpa dicampuri sesuatupun? Jelaskanlah
kepada kami, agar kami mengetahuinya.”
Rasulullah saww bersabda, “Benar, jika hatinya
terikat dengan dunia, manusia memperolehnya (dunia) dengan jalan yang
tidak dibenarkan syariat. Pembicaraan mereka adalah pembicaraan
orang-orang yang luhur, namun perbuatan dan perilaku mereka, seperti
perilaku orang-orang zalim; dan bila seorang yang bersaksi atas keesaan
Allah [dengan mengucapkan ‘lâ ilahâ illallâh’] sementara berbagai
perkara tersebut (terikat dengan dunia, memperoleh dunia dengan cara
melanggar syariat, berperilaku sebagaimana perilaku orang-orang zalim)
tak ada pada dirinya, maka ia layak mendapatkan surga.”
Nilai Meyakini Maqâm Wilâyah (kepemimpinan) Ahlul Bait
Muyassir bin Abdul Aziz (seorang Syiah yang tulus
dan murni) mengatakan bahwa dirinya menemui Imam Ja’far al-Shadiq seraya
berkata, “Di sekitar rumah saya, ada seorang lelaki yang karena
mendengar suaranya, saya terbangun di malam buta untuk menunaikan shalat
malam; terkadang ia membaca al-Quran dan mengulang-ulang bacaan
ayat-ayat al-Quran sambil menangis, dan adakalanya memanjatkan doa
diringi rintihan. Saya ingin sekali mengetahui keadaannya. Orang-orang
mengatakan bahwa ia sama sekali tidak melakukan dosa apapun (alhasil
saya memiliki seorang tetangga yang amat bertakwa).”
Imam Ja’far al-Shadiq bertanya, “Apakah ia juga menerima apa yang engkau yakini (nenerima maqâm wilâyah [kepemimpinan] kami)?”
Muyassir menjawab, “Saya tidak menyelidikinya,
Allah yang tahu.” Setelah pertemuan itu, waktu terus bergulir hingga
tibalah musim haji di tahum berikutnya. Sebelum berangkat ke Mekah, ia
menyelidiki keadaan tetangganya itu. Ternyata, tetangganya itu tidak
meyakini kepemimpinan para imam suci Ahlul Bait. Lalu ia pergi
menunaikan haji. Sesampainya di Mekah, ia menemui Imam Ja’far al-
Shadiq. Setelah menanyakan keadaan beliau, ia menceritakan kembali
keadaan tetangganya itu yang senantiasa membaca al-Quran dan berdoa
sambil menangis dan merintih. Imam Ja’far al-Shadiq lagi-lagi bertanya,
“Apakah ia meyakini apa yang engkau yakini?” Saya menjawab, “Tidak.”
Imam Ja’far al-Shadiq berkata, “Wahai Muyassir! Tanah manakah yang
paling dimuliakan?” Saya menjawab, “Allah dan Rasul-Nya serta
keturunannya yang tahu.” Beliau berkata, “Tanah paling mulia adalah
tanah yang terletak antara rukn dan maqâm (antara Hajar Aswad dan Maqam
Ibrahim). Tanah itu merupakan taman dari taman surga. Begitupula tanah
di antara kubur Rasulullah saww dan mimbar beliau saww; juga merupakan
taman dari taman surga. Demi Allah, kalau seseorang berumur panjang dan
beribadah selama seribu tahun di antara rukn dan maqâm dan di antara
kubur dan mimbar Rasulullah saww, lalu dibantai secara zalim dan tanpa
dosa di tempat tidurnya, dan dalam keadaan itu ia berjumpa dengan Allah,
namun tidak meyakini kepemimpinan kami, maka layak bagi Allah untuk
memasukkannya ke neraka Jahanam.”
Hukuman Mencari-cari Aib Mukminin
Abu Burdah menceritakan bahwa pada suatu hari, ia
menunaikan shalat berjamaah bersama Rasulullah saww yang saat itu
menjadi imamnya. Seusai shalat, beliau saww bergegas menuju pintu
masjid. Lalu beliau saww meletakkan tangan sucinya ke daun pintu itu
seraya bersabda, “Wahai orang-orang yang menyatakan Islam dengan
lisannya, tetapi iman belum masuk ke hatinya, hindarkanlah diri kalian
dari mencari-cari dan menyebut-nyebut aib mukminin. Sesunguhnya
barangsiapa yang mencari-cari aib mukminin, maka Allah akan mencari-cari
aibnya, dan barangsiapa yang dicari-cari aibnya oleh Allah, maka Allah
akan mempermalukannya sekalipun (aibnya) tersembunyi dalam rumahnya.”
Syarat Terkabulnya Doa
Suatu hari, Nabi Musa as melintas disebuah kawasan.
Di tengah jalan, beliau melihat seorang lelaki yang sedang
menengadahkan kedua tangannya ke langit, seraya berdoa dengan diiringi
tangisan dan rintihan. Ia memohon kepada Allah agar memenuhi
permintaannya.
Nabi Musa as melintasinya. Lewat seminggu, beliau
melintas di kawasan yang sama dan kembali menyaksikan lelaki itu masih
sibuk berdoa dan memohon kepada Allah. Saat itu Nabi Musa as mendapat
wahyu: Hai Musa! Jika lelaki itu berdoa hingga lidahnya putus, Aku tak
akan mengabulkan doanya, kecuali jika ia masuk melalui jalan yang aku
perintahkan (yakni beriman kepada para nabi dan wasyinya, lalu berdoa
dengan didasari keyakinan semacam itu).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar