Alim Sunni : “Orang-orang Syiah sering kali menjadikan hadits Ghadir
sebagai dalil wilayah dan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Padahal
meskipun memang hadits itu shahih, belum tentu yang dimaksud hadits
tersebut adalah diangkatnya Ali bin Abi Thalib sebagai imam.”
Penulis Syiah: “Apakah anda siap kita berdebat tentang masalah ini?”
Alim Sunni: “Ya, aku siap. Silahkan anda jelaskan hadits Ghadir yang akan kita bahas ini.”
Penulis Syiah: “Hadits Ghadir adalah hadits mutawatir yang ditukil
oleh 110 sahabat, 84 tabi’in, dan juga ulama serta ahli hadits di
abad-abad setelahnya hingga saat ini.
Secara singkat, hadits itu begini: Rasulullah saw memberi izin umat
Islam untuk melaksanakan haji pada tahun ke-10 Hijriah, dan paling tidak
90 ribu orang menunaikan ibadah itu bersamanya. Seusai ibadah tersebut,
saat mereka kembali dari Makkah menuju Madinah, tibalah rombongan di
suatu lembah yang bernama Ghadir Khum. Hari itu kamis, tanggal 8 Dzul
Hijjah. Malaikat Jibril turun dari sisi Tuhan kepada nabi dan
menyampaikan ayat suci:
“Wahai utusan Allah, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu oleh Tuhanmu.” (QS. Al Ma’idah: 67)
Dengan segera Rasulullah saw memerintahkan para rombongan yang
berjalan di depan beliau untuk kembali dan menanti para rombongan yang
di belakang agar berkumpul. Tak lama kemudian beliau memimpin shalat
dhuhur berjama’ah.
Setelah itu beliau berdiri untuk berkhutbah, di atas mimbar yang
dibuat dari tumpukan pelana-pelana onta. Seusai membaca pujian kepada
Tuhan, beliau mengingatkan kembali para hadirin akan tauhid, kenabian,
hari kiamat, lalu berwasiat tentang “Tsaqalain” (dua peninggalan
berharga, Al Qur’an dan Ahlul Bait), menjelaskan bahwa Rasulullah saw
lebih utama dari pada diri orang-orang yang beriman, lalu beliau
mengangkat tangan Imam Ali as hingga diriwayatkan sampai ketiak mereka
berdua terlihat. Lalu beliau berkata: “Barang siapa menjadikanku wali,
maka Ali-lah walinya.” Beliau mengulang perkataan itu sebanyak tiga
kali. Kemudian beliau mendoakan para pecintanya (pecinta Ali bin Abi
Thalib) dan melaknat para pembencinya. Lalu beliau meminta agar yang
hadir menyampaikan kabar ini kepada yang tidak hadir. Setelah itu Jibril
turun kembali dan membawakan ayat suci:
“Hari ini Aku telah menyempurnakan agama kalian bagi kalian dan Aku
sempurnakan nikmat-Ku atas kalian dan Aku ridha akan Islam sebagai
agama.” (QS. Al Ma’idah: 3)
Seusai membacakan ayat tersebut Rasulullah saw bersabda: “Allahu
Akbar (maha besar Allah) atas disempurnakannya agama, disempurnakannya
nikmat, dan ridhanya Allah atas risalahku dan wilayah Ali bin Abi Thalib
setelahku.”
Lalu semua orang saling mengucapkan selamat kepada Imam Ali as yang
di antara mereka adalah Abu Bakar dan Umar. Mereka menjabat tangan Imam
Ali as sambil berkata: “Selamat bagimu wahai Ali bin Abi Thalib. Engkau
telah menjadi maula (pemimpin) bagiku dan bagi semua orang yang
beriman.”
Demikianlah hadits Ghadir.”
Alim Sunni tersenyum sambil berkata: “Bagus sekali. Namun ini hanya permulaian dan kita belum membahas apapun.”
Penulis Syiah: “Silahkan utarakan kritikan anda lalu kita bahas bersama.”
Alim Sunni: “Bagaimanakah kalian mengartikan kata “maula” dalam hadits Ghadir itu?”
Penulis Syiah: “Artinya adalah orang yang memiliki wewenang dalam perkara umat, penganyom dan orang yang menghakimi.”
Alim Sunni: “Kalau begitu jelas kamu tidak tahu arti kata-kata dalam
bahasa Arab. Lebih baik kamu merujuk kepada kitab-kitab bahasa agar kamu
tahu apa arti kata “maula” itu. Setelah itu baru kita lanjutkan
pembahasan ini.”
Penulis Syiah: “Kalau begitu kamu saja yang jelaskan arti kata “maula” agar aku bisa belajar darimu.”
Alim Sunni: “Bagus. Sekarang kamu telah datang ke jalan yang benar.
Ketahuilah, bahwa “maula” memiliki banyak arti, seperti: Tuhan,
paman, anak, anak saudari, orang yang membebaskan budak, hamba, raja,
orang yang diberi nikmat, kawan, pengganti, sahabat yang menyertai,
tetangga, tamu, orang dekat, penolong, pecinta dan masih banyak lagi.”
Penulis Syiah: “Jika kita melihat kondisi dan suasana yang ada saat
nabi mengucapkan hadits itu, kita pasti bisa menyimpulkan sendiri bahwa
maksud nabi berkata “maula” bukanlah “maula” yang memiliki arti
bermacam-macam dan tidak jelas seperti yang anda katakan.
Misalnya, tidak mungkin yang dimaksud “maula” adalah arti “Tuhan”,
karena itu pasti syirik, dan tidak mungkin nabi menyebut Ali bin Abi
Thalib as sebagai Tuhan. Kata “maula” juga tidak mungkin berarti paman,
anak, anak saudari, orang yang membebaskan budak, budak, raja, yang
diberi nikmat, kawan, dan seterusnya, karena jelas Ali bin Abi Thalib
bukan itu. Yakni Ali bukan paman nabi, bukan anak nabi, bukan anak
saudari nabi, dan seterusnya.
Adapun jika kamu menganggap “maula” berarti kawan, tetangga, orang
dekat, atau tamu, itu juga tidak benar; karena tidak mungkin nabi dengan
begitu heboh dan seriusnya mengumpulkan sekian banyak jamaah haji di
gurun tandus yang panas hanya untuk menjelaskan kepada mereka bahwa Ali
bin Abi Thalib adalah sahabat beliau, itu saja; jelas tidak mungkin.
Atau hanya karena beliau ingin menjelaskan bahwa Ali bin Abi Thalib
adalah tetangganya; jelas mustahil dan tidak masuk akal. Mana mungkin
dalam keadaan seperti itu beliau hanya menjelaskan sesuatu yang tidak
penting dan tak berarti?
Dengan melihat kondisi dan suasana saat beliau menyampaikan hadits
tersebut tidak mungkin kata “maula” diartikan selain sebagai “orang yang
berhak dan berwewenang dalam memimpin umat Islam”.
Dengan melihat urutan kata-kata nabi dalam pembicaraannya juga
masalah ini dapat menjadi jelas. Sebelumnya nabi mengatakan “Apakah aku
lebih utama dari pada diri kalian?”, yang mana kata utama itu beliau
jelaskan dengan kata “auwla” yang masih satu akar dengan “maula”. Dengan
demikian ketika nabi berkata “Ali adalah maula” yang dapat kita artikan
adalah “Ali lebih mulia dari diri kalian bagaikan aku (nabi) lebih
mulia dari kalian semua”. Yakni nabi ingin meninggikan kedudukan nabi di
hadapan umat Islam setinggi kedudukan beliau, yang artinya tak lain
adalah Ali bin Abi Thalib as merupakan orang yang berkedudukan sama
seperti nabi sepeninggal beliau (pengganti bagi beliau).
Jibril menurunkan ayat tersempurnakannya agama setelah nabi
mengumumkan pengumuman itu. Apakah masuk akal kesempurnaan agama
tersebut hanya dikarenakan nabi mengumumkan bahwa Ali bin Abi Thalib
adalah tetangga atau sahabat biasa bagi beliau? Jelas tidak.
Kesempurnaan agama, suatu hal yang sangat penting, pasti dikarenakan hal
yang sangat penting pula, yaitu wilayah Ali bin Abi Thalib as sebagai
seorang Imam dan pengganti nabi.”
Alim Sunni: “Aku tetap masih punya pertanyaan yang terus membuatku tidak tenang.”
Penulis Syiah: “Maka tanyakanlah.”
Alim Sunni: “Jika memang hadits tersebut adalah hadits yang sangat
penting dan dasar kekhalifahan setelah nabi, lalu mengapa para sahabat
dan sekian banyak umat nabi sepeninggal beliau tidak menjalankan hadits
itu?”
Penulis Syiah: “Bukan hal yang aneh, silahkan anda merujuk sejarah
para sahabat, anda akan banyak menemukan betapa sering para sahabat
berbuat bertentangan dengan perintah-perintah nabi, dan kebanyakan
masalah-masalah politik. Mengabaikan hadits Ghadir adalah salah satu
contohnya.
Selain itu ada fakta sejarah lainnya yang serupa seperti para
sahabat tak mau bergabung dengan pasukan Usamah, pertentangan sebagian
sahabat terhadap nabi mengenai perdamaian Hudaibiah, dan lain
sebagainya. Allamah Syarfuddin Musawi dalam kitabnya An Nash wal Ijtihad
telah menyebutkan lebih dari 70 pertentangan para sahabat terhadap
nabi.
Justru yang kami tidak habis pikir adalah mengapa kalian, orang-orang
Ahlu Sunah begitu menganggap para sahabat suci dari kesalahan? Seakan
mereka sama sekali tidak pernah sedikit pun bertentangan dengan Al
Qur’an dan sunah nabi.”[1]
Catatan:
[1] Dialog Ilmiah, Sayid Ali Husaini Qumi, jilid 2, halaman 156.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar