Rabu, 21 November 2018

IMAN SEMESTA





ilustrasi hiasan:


PENULIS : MT MISHBAH YAZDI

Sekapur Sirih Penerbit

Khazanah Ahlulbait as yang tersimpan utuh di dalam madrasah mereka dan hingga sekarang tetap terpelihara dengan baik, merupakan universitas lengkap yang meliputi berbagai cabang ilmu-ilmu Islam. Madrasah ini telah mampu mendidik jiwa-jiwa yang siap menggali pengetahuan dari khazanah itu dan mengetengahkannya kepada umat dan ulama-ulama besar Islam; pembawa risalah Ahlulbait as yang mampu menjawab secara argumentatif segala keraguan dan persoalan yang dilontarkan oleh berbagai mazhab dan aliran pemikiran, baik dari dalam maupun dari luar Islam.
Berangkat dari tugas-tugas yang diemban, Majma Jahani Ahlulbait (Lembaga Internasional Ahlulbait) berusaha mempertahankan kemuliaan risalah dan hakikatnya dari serangan berbagai golongan dan aliran yang memusuhi Islam; dengan cara mengikuti jejak Ahlulbait as dan penerus mereka yang senantiasa berusaha menjawab berbagai tantangan dan tuntutan, serta berdiri tegak di garis depan perlawanan sepanjang masa.
Khazanah yang terpelihara di dalam kitab-kitab ulama Ahlulbait as itu tidak ada tandingannya, karena kitab-kitab tersebut disusun di atas landasan logika dan argumentasi yang kokoh, jauh dari sentuhan hawa nafsu dan fanatisme buta. Mereka pun mengetengahkan karya-karya ilmiah yang dapat diterima oleh akal dan fitrah yang bersih kepada kalangan ulama dan pakar.
Berbekal kekayaan pengalaman, Lembaga Internasional Ahlulbait berupaya mengajukan metode baru kepada para pencari kebenaran melalui berbagai tulisan dan karya ilmiah yang disusun oleh para penulis kontemporer yang komit pada khazanah Ahlulbait as, dan oleh para penulis yang telah mendapatkan karunia Ilahi untuk mengikuti ajaran mulia tersebut. Di samping itu, Lembaga ini berupaya meneliti dan menyebarkan berbagai tulisan bermanfaat, hasil karya ulama Syi'ah terdahulu, agar kekayaan ilmiah ini menjadi mata air bagi pencari kebenaran yang mengalir ke segenap penjuru dunia, di era kemajuan intelektual yang telah mencapai kematangannya, sementara interaksi antarindividu semakin terjalin demikian cepatnya, hingga terbuka pintu hatinya dalam menerima kebenaran tersebut melalui madrasah Ahlulbait as
Akhirnya, kami mengharap kepada para pembaca yang mulia, kiranya sudi menyampaikan berbagai pandangan, gagasan dan kritik konstruktif demi berkembangannya lembaga ini di masa-masa mendatang. Kami juga mengajak kepada berbagai lembaga ilmiah, ulama, penulis, dan penerjemah untuk bekerja sama dengan kami dalam upaya menyebarluaskan ajaran dan khazanah Islam yang murni. Semoga Allah SWT berkenan menerima usaha sederhana ini, melimpahkan taufik-Nya, serta senantiasa menjaga Khalifah-Nya, Imam Mahdi afs. di muka bumi ini.
Kami ucapkan terima kasih banyak dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Profesor Ayatullah Muhammad Taqie Misbah Yazdi yang telah berupaya menulis buku ini. Demikian juga kami sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Ustadz Ahmad Marzuqi Amin yang telah bekerja keras menerjemahkan buku ini ke dalam bahasa Indonesia. Tak lupa ucapan terima kasih yang tak terhingga kami sampaikan kepada semua pihak yang telah berpartisipasi di dalam penerbitan buku ini.

Divisi Budaya 


Lembaga Internasional Ahlulbait

Pendahuluan Penulis
Segala puji bagi Allah Pengatur semesta alam. Salawat dan salam senantiasa tercurah ke atas makhluk-Nya yang terbaik, Nabi Muhammad saw beserta keluarganya yang suci as, terutama ke atas Baqiyyatullah Imam Mahdi afs. di muka bumi ini (semoga Allah mempercepat kehadirannya dan menjadikan kita sebagai pengikutnya!).
Sesungguhnya prinsip-prinsip keyakinan merupakan asas bagi setiap tatanan nilai moral dan bagi setiap ideologi yang kokoh. Disadari atau tidak, keyakinan tersebut dapat membentuk sikap dan tingkah laku seseorang.
Berangkat dari kesadaran inilah sepatutnya kita menanamkan benih-benih keyakinan dan akidah di dalam diri kita masing-masing sebagai akar bagi sebuah pohon yang besar dan berkah ini, agar kelak ia memberikan hasil yang memuaskan dan menjamin kebahagiaan dunia dan akhirat.
Oleh karena itu, sejak awal kemunculan Islam, para ulama berusaha menjelaskan akidah Islam dengan bentuk dan metode yang beragam. Para mutakallim (teolog) telah menulis berbagai macam kitab Kalam (Teologi) dan akidah untuk berbagai tingkatan dalam masyarakat. Begitu pula pada masa kini-setelah menghadapi gelombang keraguan kontemporer-mereka telah menulis sebagian buku akidah untuk semua lapisan masyarakat. Akan tetapi, buku-buku tersebut biasanya ditulis untuk dua tingkatan yang sangat berbeda, salah satunya untuk tingkatan masyarakat umum dengan metode yang sangat sederhana dan penjelasan yang panjang lebar. Lain dari itu, untuk tingkatan khusus dengan metode yang rumit, ungkapan-ungkapan yang berat dan sarat dengan istilah-istilah ilmiah. Sementara itu, perpustakaan-perpustakaan Islam masih kosong dari kitab-kitab pelajaran yang sesuai dengan tingkatan menengah. Sejak bertahun-tahun lamanya, sekolah-sekolah agama Islam tidak memiliki kitab-kitab pelajaran akidah seperti ini, padahal kebutuhan kepa-danya sudah sangat mendesak.
Oleh sebab itu, berkat usulan para pengurus yang terhormat dan bantuan para guru serta pengurus yayasan Dar Roh-e Hak (Di Jalan Hak), kami menulis sebuah buku Akidah dengan beberapa keistimewaan sebagai berikut:
1. Materi pembahasan buku ini diusahakan tersusun secara sistematis. Untuk itu, sedapat mungkin kami tidak menunda penjelasan suatu masalah sampai ke pembahasan berikutnya.
2. Kami berusaha sedapat mungkin menggunakan ungkapan-ungkapan yang sederhana dan menghindari istilah-istilah yang rumit. Alih-alih merangkai kalimat indah, kami lebih memilih ungkapan yang mendekati pemahaman pelajar.
3. Dalam membuktikan suatu masalah, kami berusaha mengajukan argumentasi yang kokoh dan jelas, serta menghindari koleksi dalil yang mungkin sebagiannya itu lemah.
4. Kami pun berusaha menghindari penjelasan yang panjang yang membuat jenuh pelajar. Dari sisi lain, kami selalu menjaga penjelasan yang ringkas dan proporsional.
5. Mengingat buku ini kami tulis untuk pelajar tingkat menengah, kami tidak membawakan argumentasi yang rumit yang memerlukan penjelasan-penjelasan Filsafi, Tafsir atau Fiqhul Hadits. Dan bila dianggap perlu, kami akan menjelaskan premis-premis sesederhana mungkin. Pada bagian lain, kami limpahkan pembahasan selengkapnya ke kitab-kitab yang lebih luas demi mendorong minat dan gairah siswa untuk meneruskan penelitiannya.
6. Kandungan buku ini dibagi kepada beberapa pelajaran, sehingga setiap pelajaran layak untuk dijadikan satu jam mata pelajaran.
7. Poin-poin penting sebagian pelajaran akan disinggung pada pelajaran berikutnya sehingga terkadang terjadi pengulangan. Hal ini kami lakukan agar materi pelajaran tersebut lebih melekat pada benak pelajar.
8. Di akhir setiap pelajaran, kami sajikan beberapa pertanyaan dengan tujuan, membantu pelajar agar lebih banyak memahami dan menguasai materi pelajaran secara lebih baik.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa buku ini tidak luput dari berbagai keterbatasan dan kekurangan. Dan kami berusaha untuk memperbaikinya pada cetakan berikutnya. Untuk itu, kami berharap kepada guru-guru yang mulia; sudilah kiranya memberikan koreksi dan kritik membangun atas segala kekurangan dan kelemahan tersebut.
Akhirnya, kami berharap semoga kiranya Imam Mahdi afs. (ruh kita sebagai tebusannya dan semoga Allah mempercepat kehadirannya) dapat menerima persembahan yang sederhana ini dan merestuinya sebagai bagian dari upaya memenuhi hutang bakti kami kepada Hauzah Ilmiyah dan para syuhada Islam.

Qum Al-Muqaddasah

Dzul Hijjah 1406 H.

Muhammad Taqie Misbah Yazdi




PELAJARAN 1 
Tauhid


Apakah Agama itu?

Definisi Agama
Tujuan penyusunan buku ini ialah menjelaskan akidah Islam yang dikenal dengan istilah ushuluddin (prinsip-prinsip agama). Untuk itu, terlebih dahulu kami akan menjelaskan kata din (agama) secara singkat dan kata-kata lain yang berhubungan dengannya. Hal itu-sebagaimana telah di-singgung dalam ilmu Mantiq-penting mengingat tahap pembahasan definisi(Mabadi Tashawwuriyyah) mengawali pembahasan masalah lainnya.
Secara leksikal, kata din berasal dari bahasa Arab yang berarti ketaatan dan balasan. Sedangkan secara teknikal, din berarti iman kepada pencipta manusia dan alam semesta, serta kepada hukum praktis yang sesuai dengan keimanan tersebut. Dari sinilah kata al-ladini (orang yang tak beragama) digunakan pada orang yang tidak percaya kepada wujud pencipta alam secara mutlak, walaupun ia meyakini shudfah (kejadian yang tak bersebab-akibat) di alam ini, atau meyakini bahwa terciptanya alam semesta ini akibat interaksi antar-materi semata. Adapun kata al-mutadayyin (orang yang beragama) secara umum digunakan pada orang yang percaya akan wujud pencipta alam semesta ini, walaupun kepercayaan, perilaku dan ibadahnya bercampur dengan berbagai penyimpangan dan khurafat. Atas dasar inilah agama yang dianut oleh umat manusia terbagi menjadi dua; agama yang hak dan agama yang batil. Agama yang hak merupakan dasar yang meliputi keyakinan-keyakinan yang benar; yang sesuai dengan kenyataan, dan ajaran-ajaran serta hukum-hukumnya dibangun di atas pondasi yang kokoh dan dapat dibuktikan kesahihannya.

Usuluddin dan Cabang-cabangnya
Dari uraian singkat di atas tampak jelas bahwa istilah din atau agama terdiri dari dua unsur pokok: pertama, akidah atau aqa'id (keyakinan-keyakinan) yang merupakan prinsip agama. Kedua, hukum-hukum praktis yang merupakan konsekuensi logis dari prinsip agama tersebut.
Oleh karena itu, tepat sekali apabila bagian akidah ini dinamakan sebagai ushul (prinsip) agama, dan bagian ahkam (hukum-hukum) praktis dinamakan sebagai furu' (cabang), sebagaimana para ulama Islam menggunakan dua istilah tersebut pada bidang akidah dan hukum-hukum Islam.

Pandangan Dunia dan Ideologi
Pandangan dunia (Ar-Ru'yah Al-Kauniyyah) dan ideologi adalah dua istilah yang berdekatan artinya. Salah satu arti pandangan dunia ialah seperangkat keyakinan mengenai penciptaan, alam semesta dan manusia, bahkan mengenai wujud secara mutlak.Sedangkan arti ideologi, salah satunya ialah seperangkat pandangan universal tentang sikap praktis manusia. Berdasarkan dua arti ini, sistem akidah setiap agama dapat dianggap sebagai sebuah pandangan yang bersifat universal. Sedang sistem hukum praktis agama yang bersifat umum adalah ideologinya. Maka itu, kedua istilah ini dapat diterapkan pada ushuluddin dan furu'uddin.
Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa istilah ideologi itu tidak meliputi hukum-hukum juz'i (partikular), begitu pula istilah padangan dunia itu tidak meliputi keyakinan-keyakinan yang juz'i. Hal lain yang juga perlu diperhatikan ialah bahwa istilah ideologi terkadang digunakan untuk pengertian yang bahkan mencakup pandangan dunia itu sendiri.

Pandangan Dunia Ilahi dan Materialisme
Pada umat manusia, terdapat berbagai pandangan dan keyakinan mengenai penciptaan alam semesta ini. Akan tetapi, semua itu-dari sisi keimanan atau pengingkaran terhadap alam metafisis-dapat dibagi menjadi dua bagian utama; pandangan dunia Ilahi dan pandangan dunia Materialisme.
Dahulu, penganut pandangan dunia Materialisme dikenal sebagai ath-thabi'i dan ad-dahri. Terkadang juga disebut sebagai zindik dan mulhid (ateis). Sedangkan di zaman kita sekarang ini, mereka dikenal sebagai al-maddi (materialis). Di dalam kaum materialis sendiri, terdapat aliran-aliran. Yang paling menonjol pada masa kita sekarang ini adalah Materialisme Dialektika yang merupakan bagian Filsafat Marxisme.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa istilah pandangan dunia tidak terbatas hanya pada kepercayaan agama saja, namun mempunyai pengertian yang lebih luas lagi, karena istilah itu juga digunakan pada pandangan ilhadiyyah (ateisme) dan madiyyah (materialisme), sebagaimana istilah ideologi itu tidak hanya digunakan untuk sistem hukum suatu agama.

Agama Samawi dan Dasar-dasarnya
Para ulama, ahli sejarah agama dan sosiologi berbeda pendapat mengenai kemunculan agama. Adapun sumber-sumber Islam menyatakan bahwa agama tauhid lahir seketika kelahiran manusia pertama. Manusia pertama yang lahir di muka bumi ini adalah nabi (Adam as) dan penyeru ajaran tauhid (mengesakan Allah). Adapun agama-agama musyrik muncul lantaran penyimpangan, pemaksaan kehendak dan ambisi busuk, yang bersifat individu maupun kelompok.
Agama-agama tauhid adalah agama-agama samawi yang hakiki dengan tiga prinsip universal mereka, yaitu pertama: iman kepada Allah Yang Esa. Kedua, iman kepada kehidupan abadi setiap manusia di akhirat kelak untuk menerima pembalasan amal yang pernah ia lakukan semasa hidupnya di dunia. Ketiga, iman kepada para nabi dan rasul yang diutus oleh Allah untuk memberi hidayah dan bimbingan kepada seluruh umat manusia demi mencapai puncak kesempurnaan dan kebahagiaan dunia serta akhirat.
Pada dasarnya, tiga prinsip ini merupakan jawaban yang paling tegas atas persoalan-persoalan fundamental manusia yang berakal. Yaitu, siapakah pencipta alam semesta ini? Bagaimanakah akhir kehidupan ini? Dan apakah cara untuk mengetahui sistem kehidupan yang terbaik? Sistem kehidupan yang dibangun atas dasar wahyu pada hakikatnya adalah ideologi yang bersumber dari pandangan dunia Ilahi.
Prinsip-prinsip akidah itu mempunyai berbagai konsekuensi dan rincian yang semuanya membentuk sebuah sistem akidah agama. Adanya perbedaan di antara berbagai keyakinan merupakan sebab munculnya berbagai agama dan madzhab. Kita perhatikan bagaimana perbedaan tentang status kenabian sebagian nabi-nabi Ilahi dan tentang penentuan kitab yang orisinil dan utuh menjadi sebab utama perselisihan di antara agama Yahudi, Nasrani dan Islam. Atau perbedaan-perbedaan lainnya seputar masalah akidah dan ibadah, sehingga sebagian dari agama itu sudah tidak sesuai lagi dengan ajarannya yang murni. Contohnya, keyakinan orang-orang Nasrani terhadap Trinitas yang jelas tidak sesuai dengan prinsip Tauhid, walaupun mereka telah berusaha untuk menafsirkan dan menakwilnya sebegitu rupa agar dapat diterima. Demikian pula perselisihan mengenai kepemimpinan dan penentuan khalifah setelah wafatnya Rasul saw; apakah penentuan khalifah itu urusan Allah ataukah urusan manusia. Persoalan ini merupakan sebab utama terjadinya ikhtilaf antara mazhab Ahli Sunnah dan mazhab Syi'ah di dalam Islam.
Dengan demikian, Tauhid, Kenabian dan Ma'ad (Hari Kebangkitan) adalah prinsip-prinsip akidah pada semua agama samawi. Meski begitu, terdapat keyakinan-keyakinan yang merupakan turunan dari prinsip-prinsip tersebut. Misalnya, keyakinan terhadap keberadaan Allah adalah prinsip pertama, keyakinan terhadap keesaan-Nya adalah prinsip kedua. Atau, keyakinan terhadap Kenabian merupakan sebuah prinsip semua agama samawi, sedangkan keyakinan terhadap kenabian Nabi Muhammad saw adalah prinsip yang khas pada Islam. Sebagian ulama Syi'ah menjadikan Keadilan Tuhan-yang merupakan turunan dari prinsip Tauhid-sebagai prinsip akidah khas Syi'ah. Dan Imamah-sebagai perpanjangan dari Kenabian-adalah prinsip akidah khas Syi'ah lainnya. Sebenarnya, penggunaan kata prinsip (al-ashl) pada ajaran-ajaran akidah seperti ini mengikuti konvensi dan tidak perlu lagi diperdebatkan.
Oleh karena itu, kata ushuluddin dapat digunakan dalam dua istilah; umum dan khusus. Istilah umum ushuluddin mencakup akidah-akidah yang sahih; sebagai lawan dari furu'uddin. Sedang istilah khusus ushuluddin berlaku hanya pada keyakinan-keyakinan yang paling prinsipal. Istilah ushuluddin juga dapat digunakan secara mutlak (tidak hanya khusus bagi sebuah agama) pada sejumlah kesamaan prinsip akidah di antara agama-agama samawi seperti tiga prinsip di atas tadi, yaitu Tauhid, Kenabian dan Kebangkitan. Adapun jika ditambahkan prinsip-prinsip lainnya, istilah yang biasa digunakan adalah ushuluddin khusus. Demikian pula, jika ditambahkan akidah dan keyakinan yang khas pada mazhab tertentu, istilah yang digunakan adalah ushulul madzhab.[]

Jawablah beberapa pertanyaan berikut ini:
1. Jelaskan pengertian agama secara leksikal dan teknikal!
2. Apa definisi pandangan dunia dan ideologi? Dan jelaskan perbedaan antara keduanya!
3. Terangkan dua macam utama pandangan dunia!
4. Jelaskan istilah umum dan istilah khusus ushuluddin!
5. Apa saja prinsip akidah yang sama pada agama-agama samawi? Dan sebesar apakah nilai pentingnya?



PELAJARAN 2 
Pencarian Agama

Motivasi Pencarian
Salah satu keistimewaan manusia di atas makhluk lainnya yaitu adanya motivasi fitriyah untuk mengenal hakikat dan mengetahui berbagai realitas. Fitrah ini mulai tampak sejak masa kanak-kanak sampai akhir usianya. Ia yang lebih dikenal juga sebagai rasa ingin tahu (kuriositas) dapat mendorong seseorang untuk mencari agama yang benar dan memikirkan berbagai persoalan yang bersangkutan, antara lain:
Apakah ada wujud lain yang bersifat nonmateri dan gaib? Jika memang ada, apakah ada hubungan antara alam gaib dengan alam materi ini? Jika benar terdapat relasi di antara keduanya, apakah wujud nonmateri itu sebagai pencipta alam materi ini? Apakah wujud manusia itu terbatas pada badan fisikal ini saja? Apakah hidupnya terbatas pada kehidupan di dunia ini? Ataukah ada kehidupan lain? Apabila kehidupan lain itu ada, apakah ada hubungan di antara kehidupan duniawi ini dan kehidupan ukhrawi? Apabila hubungan itu ada, persoalan-persoalan duniawi apakah yang dapat menentukan urusan akhirat? Apakah cara untuk mengetahui tata hidup yang benar, yaitu sistem yang dapat menjamin kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun di akhirat kelak? Dan yang terakhir, berupa apakah sistem dan undang-undang tersebut?
Dengan demikian, naluri rasa ingin tahu itu merupakan motivasi utama yang mendorong seseorang untuk mencari berbagai persoalan, termasuk yang berkaitan dengan agama.
Motivasi kedua yang juga begitu kuat membangkitkan keinginan seseorang untuk mengetahui berbagai hakikat adalah rasa ingin memenuhi berbagai kebutuhan yang ada hubungannya dengan satu atau beberapa fitrah selain fitrah rasa ingin tahu. Berbagai kebutuhannya itu tidak dapat terealisasi kecuali dengan memperoleh pengetahuan tertentu.
Maka itu, berbagai kenikmatan dan kesenangan materi duniawi itu baru akan dapat dicapai dengan cara mengerahkan pikiran dan pengetahuan. Sedangkan pengetahuan empirik seseorang akan sangat membantunya untuk memenuhi berbagai kebutuhannya. Jika agama itu dapat membantu pula untuk memenuhi segala kebutuhannya dan meraih kesenangan dan keuntungan yang diinginkan serta melindungi dirinya dari bahaya yang mengancamnya, tentunya agama itu pun akan menjadi elemen utama di dalam kebutuhan hidupnya.
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa fitrah mencari keuntungan, kebahagiaan dan rasa aman dari marabahaya merupakan pendorong bawaan lainnya untuk mencari agama. Akan tetapi, mengingat pengetahuan yang berhubungan dengan hal ini banyak sekali, belum lagi syarat-syarat untuk mengetahui semua hakikat itu tidak mungkin dapat terpenuhi, maka sangat mungkin seseorang itu akan memilih masalah dan persoalan yang paling mudah untuk dipecahkan, yang paling banyak keuntungan materinya. Untuk itu, ia akan memilih jalan yang paling dekat untuk sampai kepada tujuan yang diinginkannya dan menghindar dari usaha mencari kebenaran agama, yang ia yakini bahwa hal itu sangat rumit dan sulit untuk dipecahkan, atau ia meyakini bahwa masalah-masalah agama itu tidak akan mebuahkan hasil yang berarti.
Atas dasar itu, kami perlu menjelaskan betapa pentingnya pengaruh masalah-masalah agama. Lebih dari itu, mencari masalah apa pun selain agama tidak akan memiliki nilai sebesar nilai yang dikandung oleh masalah-masalah agama.
Kita perhatikan bahwa sebagian ahli Psikologi meyakini bahwa beragama dan beribadah kepada Allah itu sebenarnya satu kecenderungan fitriyah tersendiri, yang basisnya disebut sebagai rasa beragama. Mereka menempatkan rasa beragama sebagai naluri keempat manusia, di samping naluri rasa ingin tahu (kuriositika), rasa ingin berbuat baik (etika) dan rasa ingin keindahan (estetika).
Selain mengandalkan bukti-bukti sejarah dan data-data arkeologis, para pakar itu pun menemukan bahwa rasa beragama dan beribadah kepada Allah adalah fenomena yang merata dan umum pada setiap generasi manusia sepanjang sejarah. Fenomena ini adalah bukti kuat bahwa ihwal beragama merupakan sebuah naluri dan fitrah manusia.
Keumuman naluri beragama ini tidak berarti bahwa hal itu senantiasa ada dan hidup dalam diri setiap orang yang lalu mendorongnya secara sadar kepada tujuan-tujuannya. Akan tetapi, sangat mungkin fitrah itu tertimbun di kedalaman jiwanya lantaran faktor-faktor yang melingkupinya dan pendidikan yang tidak benar, atau ia menyimpang dari jalan yang lurus, sebagaimana hal-hal ini pun-sedikit atau banyak-bisa menimpa naluri dan kecenderungan bawaan lainnya.
Berdasarkan pandangan ini dapat kita ketahui bahwa mencari agama merupakan naluri tersendiri pada diri setiap manusia sehinggga tidak perlu lagi menetapkan keberadaannya dengan argumentasi. Pandangan ini dapat ditopang oleh dalil-dalil dari Al-Qur'an dan Hadis yang berhubungan dengan naluri beragama. Akan tetapi, karena naluri dan kecenderungan semacam itu tidak dapat dirasakan secara langsung, sangat mungkin seseorang akan mengingkari keberadaannya dalam dirinya pada saat ia melakukan perdebatan.
Oleh karena itu, kami tidak sepenuhnya bersandar pada pandangan ini. Kami hanya akan membahas dan menjelaskan pentingnya mencari agama yang berdasarkan argumentasi-argumentasi aqli (rasional).

Pentingnya Mencari Agama
Dari uraian di atas jelaslah bahwa dorongan naluri untuk mengetahui berbagai hakikat dari satu sisi, dan motifasi untuk meraih keuntungan dan keamanan dari segala bahaya dari sisi lain, menjadi alasan kuat seseorang untuk memikirkan dan memperoleh berbagai keyakinan.
Oleh karena itu, ketika seseorang mengetahui ihwal orang-orang besar dalam sejarah yang mengaku bahwa mereka itu diutus oleh Sang Pencipta alam semesta ini untuk menuntun umat manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat, dan mereka telah mengerahkan segala kemampuan untuk menyampaikan risalah Ilahi dan memberi petunjuk kepada umat manusia, bahkan mereka siap menanggung berbagai tantangan dan kesulitan, hingga mempertaruhkan nyawa mereka demi tujuan mulia ini, tentunya orang itu-dengan dorongan naluri tersebut-akan tergerak hatinya untuk mencari agama dan melihat sejauh mana kebenaran klaim orang-orang besar itu. Apakah mereka membawa argumentasi yang kuat untuk membela klaim tersebut? Terutama ketika ia mengetahui bahwa dakwah dan risalah para nabi itu memberikan janji kebahagiaan abadi, di samping peringatan akan adanya siksa yang abadi pula.
Artinya, yakin pada dakwah mereka itu mengandung kemungkinan untung abadi. Begitu pula, menolak dakwah itu akan mendatangkan kemungkinan yang lain, yaitu kerugian dan kesengsaraan yang abadi pula. Maka itu, tidak ada alasan lagi bagi orang ini untuk acuh tak acuh terhadap agama dan enggan mencari kebenarannya.
Ya, mungkin saja sebagian orang tidak tergerak hatinya untuk mencari agama karena merasa malas dan ingin hidup santai serta suka berleha-leha, atau karena meyakini bahwa agama itu akan menuntut berbagai aturan dan mencegah mereka dari melakukan apa yang mereka inginkan.
Sesungguhnya orang-orang yang mempunyai pemikiran semacam ini akan ditimpa berbagai akibat buruk kemalasan dan kecongkakannya itu. Lebih dari itu, mereka pun terancam azab yang abadi. Orang-orang seperti ini lebih dungu dan jahil dari anak kecil yang sakit yang menolak diajak berobat ke dokter lantaran takut untuk minum obat yang pahit, sementara kematian telah mengancam dirinya. Hal ini terjadi karena anak kecil tersebut belum mencapai tingkat kesadaran yang dapat membedakan mana yang berguna dan mana yang berbahaya untuk dirinya.
Selain itu, menolak anjuran dokter tidak akan berakibat apa-apa selain kehilangan sejenak rasa senang dalam hidupnya di dunia. Sedangkan orang-orang yang telah mencapai usia dewasa dan berakal mempunyai kemampuan untuk berfikir dan membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang tidak untuk dirinya, serta dapat menimbang antara kenikmatan temporal dan azab yang abadi. Dalam perumpamaan Al-Qur'an, orang-orang yang lalai seperti itu lebih sesat dari binatang ternak:
Sesungguhnya mereka itu bagaikan binatang ternak bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai." (QS. Al-A'raf: 179).
Sesungguhnya seburuk-buruk binatang melata itu di sisi Allah adalah orang-orang yang tuli dan bisu yang tidak berfikir." (QS. Al-Anfal: 22).

Sebuah Keraguan
Barangkali ada sebagian orang yang enggan untuk berfikir dan mencari agama dengan alasan sebagai berikut: bahwa sepatutnya energi dan waktu ini dikerahkan untuk mengatasi hal-hal yang mungkin dapat diatasi oleh seseorang dan hasilnya pun dapat diharapkan secara nyata.Harapan dan kemungkinan seperti ini tidak akan didapati dalam upaya mencari agama dan hal-hal yang berhubungan dengannya.
Dengan demikian, alangkah baiknya jika tenaga dan wak-tu ini dikerahkan untuk usaha-usaha yang dapat memberikan keberhasilan lebih banyak daripada harus mencari dan membahas masalah-masalah agama yang belum jelas hasilnya itu.

Jawab:
pertama: adanya kemungkinan dan harapan akan ter-atasinya masalah-masalah agama itu tidak lebih kecil daripada kemungkinan dan harapan akan teratasinya masalah-masalah yang bersifat ilmiah. Kita telah mengetahui bahwa masalah-masalah ilmiah itu baru akan menuai hasil setelah puluhan tahun lamanya; setelah para ilmuwan mengerahkan segala upaya mereka dalam mengatasi hal ini.
Kedua: sesungguhnya nilai sebuah kemungkinan itu tidak diukur oleh satu indikasi saja, yaitu kuantitas kemungkinan (qordul ihtimal). Tetapi, ada indikasi kemungkinan lain yang patut dipertimbangkan, yaitu kualitas hal yang dimungkinkan (qodrul muhtamal). Misalnya, jika kemungkinan adanya keuntungan dalam suatu usaha itu sebesar 5 %, sedang dalam usaha lainya sebesar 10 %, akan tetapi jumlah keuntungan yang dimungkinkan dan yang bisa diharapkan dari usaha pertama itu sebesar 1000 rupiah, sementara keuntungan dari usaha yang kedua hanya sebesar 100 rupiah saja, maka usaha yang pertama itu lebih menguntungkan lima kali lipat dibandingkan dengan usaha yang kedua tersebut, padahal tingkat kemungkinan usaha yang pertama itu hanya 5 % saja, yaitu separuh dari tingkat kemungkinan yang terdapat pada usaha yang kedua. Hal ini disebabkan pentingnya derajat dan nilai objek yang dimungkinkan.
Mengingat bahwa keuntungan yang dimungkinkan yang dapat diperoleh dari mencari agama itu tidak terbatas besarnya, akan tetapi-meski tingkat kemungkinan untuk memperoleh hasilnya itu lebih kecil-besarnya nilai dan pentingnya sebuah pencarian dan pengerahan tenaga dalam usaha ini jauh mengungguli nilai pencarian usaha-usaha apapun yang hasilnya sedikit dan terbatas.
Sesungguhnya seseorang itu baru akan menyadari tidak perlunya mencari agama manakala ia merasa yakin bahwa agama yang dicarinya itu adalah batil dan telah menyimpang, atau ia merasa yakin bahwa masalah-masalah agama itu tidak mungkin dapat diselesaikan. Persoalannya, dari mana keyakinan terhadap batilnya sebuah agama itu dapat diperoleh jika tanpa penelitian dan pencarian?[]

Jawablah pertanyaan berikut ini:
1.Motivasi apakah yang mendorong seseorang untuk mengetahui berbagai hakikat?
2.Mengapa seseorang itu tidak mungkin mampu untuk mencari semua hakikat?
3.Apakah rasa beragama itu? Dan apa dalil keberadannya?
4.Terangkan pentingnya membahas ushuluddin!
5.Apakah rasa putus asa untuk menemukan jalan keluar yang meyakinkan dalam mengatasi masalah-masalah agama itu dapat dijadikan sebagai alasan untuk menghindari upaya mencari dan mengkajinya? Mengapa demikian?



PELAJARAN 3

Syarat Utama Kehidupan Manusia Mukadimah
Pada pelajaran yang lalu kami telah jelaskan secara luas pentingnya mencari agama dan berusaha mengenal agama yang hak, berangkat dari dorongan naluri bawaan manusia untuk mencari kebahagiaan dan keamanan dari segala bahaya. Dorongan itu dapat ditemukan oleh setiap manusia di dalam jiwanya sendiri. Dengan ungkapan lain, setiap manusia dapat mengetahui naluri insaninya secara langsung dan dengan pengetahuan hudhuri[1] yang tidak mungkin keliru.
Pada pelajaran ini kami berusaha untuk membuktikan persoalan tersebut, akan tetapi dengan metode lain yang berdasar pada premis-premis yang lebih teliti, untuk kemudian sampai pada satu kesimpulan bahwa sesungguhnya setiap orang yang tidak mau mencari agama, tidak mau berpikir tentangnya dan tidak percaya pada satu pandangan dan ideologi yang benar, maka tidak akan sampai kepada kesempurnaan insaninya. Bahkan pada hakikatnya, orang seperti itu tidak dianggap sebagai manusia. Artinya, syarat utama bagi kehidupan manusia itu adalah komitmen pada pandangan dunia dan ideologi yang benar. Seseorang yang melandasi kehidupannya dengan dua dasar ini (pandangan dunia dan ideologi yang benar), ia akan dapat hidup sebagai seorang manusia yang hakiki.
Dalil ini bertolak dari tiga premis, yaitu:
Pertama, manusia adalah makhluk pencari kesempurnaan.
Kedua, kesempurnaan insani bisa terwujud melalui usaha ikhtiari (yang disengaja) yang muncul dari kesadaran dan akal yang sehat.
Ketiga, hukum-hukum akal praktis terbentuk dari konsep-konsep tertentu, yang terpenting di antaranya ialah tiga prinsip, yaitu: tahu akan sumber wujud (Tauhid), tahu akan akhir kehidupan (Ma'ad) dan tahu akan jalan keselamatan yang dapat mengarah kepada sistem yang menjamin kebahagiaan (Kenabian). Singkat kata, mengenal wujud, mengenal manusia dan, mengenal jalan hidup.
Kita awali pembahasan ini dengan menjelaskan tiga premis tersebut, satu persatu.

Manusia Makhluk Pencari Kesempurnaan
Jika kita amati berbagai motif yang ada dalam jiwa dan kecenderungan-kecenderungannya, kita akan menemukan bahwa kebanyakan motif utama tersebut adalah keinginan meraih kesempurnaan. Kita tidak akan menemukan seorang pun yang menyukai kekurangan pada dirinya. Manusia senantiasa berusaha keras mungkin untuk menghilangkan berbagai cela dan cacat dirinya sampai ia dapat mencapai kesempurnaan yang diinginkan. Sebelum menghilangkan segala kekurangannya itu, ia berusaha sedapat mungkin untuk menutupinya dari pandangan orang lain. Apabila motif ini berjalan sesuai dengan nalurinya yang sehat, ia akan meningkatkan kesempurnaannya, baik yang bersifat materi maupun maknawi. Namun, bila motif ini menyimpang dari jalannya yang normal-lantaran faktor-faktor dan kondisi tertentu-justru akan melahirkan berbagai sifat buruk seperti congkak, sombong, riya', dll.
Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa ingin sempurna merupakan faktor yang kuat di dalam jiwa setiap manusia.Akan tetapi, biasanya faktor itu terefleksikan dalam sikap nyata yang dapat menarik perhatian. Kalau saja direnungkan sejenak, kita akan dapat mengetahui bahwa sesungguhnya dasar dan sumber berbagai sikap lahiriah itu adalah cinta kepada kesempurnaan.

Akal sebagai Kesempurnaan Manusia
Sesungguhnya proses perkembangan dan kesempurnaan pada tumbuhan itu bersifat niscaya dan terpaksa karena tunduk kepada terpenuhinya berbagai faktor dan kondisi di luar diri mereka. Sebuah pohon tidak tumbuh dengan kehendaknya sendiri, ia tidak menghasilkan buah-buahan sesuai dengan kehendaknya, karena tumbuhan tidak memiliki perasaan dan kehendak. Berbeda dengan binatang; ia mempunyai kehendak dan ikhtiar dalam menempuh kesempurnaannya, akan tetapi kehendak dan ikhtiarnya itu timbul dari naluri hewani semata, dimana proses dan aktivitasnya terbatas hanya pada kebutuhan-kebutuhan alamiahnya saja dan atas dasar perasaan yang sempit dan terbatas dengan kadar indra hewaninya.
Adapun manusia, di samping memiliki segala kelebihan yang dimiliki tumbuhan dan binatang, ia pun memiliki dua keistimewaan lainnya yang bersifat ruhani. Dari satu sisi, keinginan fitriyahnya tidak dibatasi oleh kebutuhan-kebutuhan alami dan material, dan dari sisi lain ia memiliki kekuatan akal yang dapat memperluas pengetahuannya sampai pada dimensi-dimensi yang tak terbatas. keistimewaan semacam inilah yang membuat kehendak manusia itu dapat melampaui batasan-batasan materi yang sempit, bahkan dapat terus bergerak ke satu tujuan yang tak terbatas.
Sebagaimana kesempurnaan yang dimiliki oleh tumbuhan itu bisa berkembang dengan perantara potensinya yang khas, juga kesempurnaan yang dimiliki oleh binatang itu dapat dicapai dengan kehendaknya yang muncul dari naluri dan pengetahuannya yang bersifat indrawi, demikian pula halnya dengan manusia. Kesempurnaan khas manusia pada hakikatnya terletak pada kesempurnaan ruh yang dapat dicapai melalui kehendaknya dan arahan-arahan akalnya yang sehat, yaitu akal yang telah mengenal berbagai tujuan dan pandangan yang benar. Ketika ia dihadapkan pada berbagai pilihan, akalnya akan memilih sesuatu yang lebih utama dan lebih penting.
Dari sini dapat kita ketahui bahwa perbuatan manusia itu sebenarnya dibentuk oleh kehendak yang muncul dari kecenderungan-kecenderngan dan keinginan-keinginan yang hanya dimiliki oleh manusia dan atas dasar pengarahan akal. Adapun perbuatan yang dilakukan karena motif hewani semata-mata adalah perbuatan yang-tentunya-bersifat hewani pula, sebagaimana gerak yang timbul dari kekuatan mekanik dalam tubuh manusia merupakan sebuah gerak fisis semata-mata.

Perlunya Hukum Praktis pada Landasan Teoritis
Perbuatan yang disengaja (ihktiyari) merupakan sarana untuk mencapai hasil yang diharapkan. Dan nilai hasil yang diharapkan itu bergantung kepada kualitas tujuannya dan sejauh mana pengaruhnya terhadap kesempurnaan ruh. Begitu pula, jika perbuatan sengaja itu kehilangan sisi kesempurnaan ruhnya, ia akan membuahkan hasil yang negatif.
Dengan demikian, akal baru akan dapat memberikan penilaian terhadap perbuatan sengaja, apabila ia telah mengetahui jenjang-jenjang kesempurnaan manusia, hakikat wujudnya, dimensi-dimensi yang melingkupi kehidupannya dan jenjang kesempurnaan yang mungkin dapat dicapai olehnya. Artinya, akal harus mengetahui dimensi-dimensi wujud manusia dan tujuan penciptaannya. Oleh karena itu, akal tidak dapat menggunakan ideologi yang benar (nilai-nilai moral yang mengatur perbuatan sengaja) dengan baik, kecuali jika ia mempunyai pandangan yang benar mengenai penciptaan alam semesta dan dapat memecahkan berbagai persoalan yang berhubungan dengannya.
Jika akal tidak dapat memecahkan persoalan-persoalan di atas, ia tidak mungkin dapat menentukan nilai perbuatan tersebut secara pasti. Begitupula, jika akal tidak mengetahui tujuan hidup, ia tidak akan dapat menentukan jalan yang semestinya ditempuh demi tujuan tersebut. Jadi, pengetahuan akan dasar-dasar teoritis dari pandangan dunia merupakan landasan utama bagi nilai-nilai moral dan hukum-hukum praktis akal.

Konklusi
Berdasarkan premis-premis di atas tadi, kita dapat membuktikan pentingnya usaha mencari agama dan mengerahkan segenap kemampuan untuk menemukan ideologi dan keyakinan yang benar melalui argumentasi berikut ini:
Bahwa secara fitriyah, setiap manusia memiliki kecenderungan untuk berusaha menemukan kesempurnaan insaninya dengan melakukan berbagai perbuatan. Akan tetapi, untuk memilih perbuatan-perbuatan yang dapat menyampaikannya kepada tujuan yang diinginkan, terlebih dahulu ia harus mengetahui puncak kesempurnaannya. Puncak kesempurnaan ini hanya dapat diketahui manakala ia telah mengenal hakikat dirinya, awal dan akhir perjalanan hidupnya. Kemudian ia pun harus mengetahui adanya hubungan-baik positif maupun negatif-di antara berbagai perbuatan dengan aneka-ragam jenjang kesempurnaan, sehingga ia dapat menemukan jalannya yang tepat. Selama ia belum mengetahui dasar-dasar teoritis pandangan dunia ini, ia tidak akan dapat menemukan sistem nilai dan ideologi yang benar.
Dengan demikian, betapa pentingnya usaha mencari dan mengenal agama yang hak yang mencakup ideologi dan pandangan dunia yang benar. Karena jika tidak demikian, seseorang tidak akan dapat mencapai kesempurnaannya yang hakiki. Dan setiap perbuatan yang dilakukan tidak atas dasar nilai-nilai moral dan dasar-dasar pengetahuan semacam itu, tidak bisa dianggap sebagai perbuatan insani. Mereka yang malas dan enggan mencari agama yang benar, atau mereka yang mengetahui kebenaran namun mengingkarinya dan membelot dari jalannya dengan cara menentangnya dan tunduk sepenuhnya kepada kepentingan hewani dan kenikmatan duniawi yang semu, pada hakikatnya adalah binatang belaka. Allah SWT melukiskan mereka bahwa:
"Mereka itu bersenang-senang dan pekerjaannya hanyalah makan dan minum tak ubahnya seperti binatang-binatang ternak." (QS. Muhammad: 12).
Hanya karena menyia-nyiakan potensi insani dan anugerah Ilahi itu, mereka akan menerima balasan dan siksa yang pedih nun mengerikan di akhirat kelak. Allah swt. berfirman:
"Biarkanlah mereka itu di dunia ini makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan kosongnya, kelak mereka akan mengetahui akibat dari perbuatannya itu." (Qs. Al-Hijr: 3).

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Apakah premis dalil kedua atas pentingnya mencari agama yang hak?
2. Jelaskan motif manusia untuk mencapai kesempurnaan hakiki?
3. Apakah keistimewaan-keistimewaan utama pada diri manusia?
4. Apakah hubungan antara keistimewaan-keistimewaan tersebut dengan kesempurnaan hakiki manusia?
5. Bagaimana ideologi itu seharusnya berlandaskan pada pandangan yang benar mengenai penciptaan alam semesta ini?
6. Terangkan argumentasi kedua dalam bentuknya yang logis!
________________________________________
[1] Mengenai istilah hudhuri dapat dirujuk ke pelajaran 5.




PELAJARAN 4 
Solusi atas Berbagai Masalah Prinsipal

Mukaddimah
Tatkala seseorang berusaha mencari solusi atas berbagai persoalan prinsipal pandangan dunia dan berusaha mengenal dasar-dasar agama yang benar, ia akan menghadapi beberapa pertanyaan, yaitu: pertama, cara apakah yang harus ia tempuh untuk memecahkan persoalan tersebut? Kedua, jalur apa saja yang tersedia untuk memperoleh pengetahuan yang sahih? Ketiga, manakah jalur yang harus dipilih untuk memperoleh pengetahuan itu?
Kajian teknis dan luas mengenai pertanyaan-pertanyaan ini berada pada bagian Pengetahuan dari ilmu Filsafat, yakni Epistemologi. Di sana, dibahas berbagai pengetahuan manusia dan nilai-nilainya. Sementara di sini, kami tidak akan membahasnya, mengingat tidak begitu relevan dengan maksud penyusunan buku ini.
Kendati demikian, kami akan membahas masalah-masalah yang diperlukan di sini. Serincinya, kami serahkan kepada buku-buku yang secara khusus membahas masalah itu.

Macam-macam Pengetahuan
Pengetahuan manusia-dari satu sudut pandang-dapat dibagi menjadi empat macam:
1. Pengetahuan Indrawi. Seseorang akan memperoleh pengetahuan ini melalui panca indranya, tentunya tanpa menafikan peran khas akal dalam proses perolehan itu. Pengetahuan ini biasanya digunakan di berbagai cabang ilmu empirik seperti: Fisika, Kimia, Biologi.
2. Pengetahuan Rasional. Pengetahuan ini tersusun dari konsep-konsep abstraktif (mafahim intiza'iyah) yang disebut juga dengan konsep sekunder (ma'qulat tsanawiyah). Dalam hal ini, akal mempunyai peranan utama untuk memperolehnya, walaupun dalam kondisi umumnya digunakan juga indra dan eksperimen dalam proses abtraksi konsep atau dalam membentuk premis-premis analogis. Ruang lingkup pengetahuan rasional ini adalah Logika, Filsafat, Matematika.
3. Pengetahuan Tekstual. Pengetahuan ini memiliki peran sekunder karena ketergantungannya pada pengetahuan sebelumnya, yaitu pengetahuan tentang sumber informasi yang tepercaya (otoritas) dan diperoleh melalui informasi orang yang jujur. Misalnya, pengetahuan para pemeluk agama yang mereka peroleh dari ucapan para pemuka agama. Bisa jadi keyakinan mereka yang diperoleh dari pengetahuan tekstual (ta'abbudi) ini lebih kokoh dibandingkan dengan keyakinan yang mereka peroleh melalui indera dan eksperimen.
4. Pengetahuan Hudhuri atau Syuhudi. Berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya, pengetahuan ini terkait langsung dengan wujud objeknya (ma'lum), tanpa melalui perantara gambaran konseptual di benak (mafhum dzihni), serta bebas dari kekeliruan. Akan tetapi, sebagaimana hal itu dijelaskan pada tempatnya, pengetahuan hudhuri ini biasanya disertai oleh penafsiran konseptual empunya. Maka, kekeliruan amat mungkin terjadi pada penafsiran yang menyertai pengetahuan ini.

Macam-macam Pandangan Dunia
Berdasarkan macam pengetahuan di atas tadi, pandangan dunia mengenai penciptaan alam semesta ini dapat dibagi menjadi empat macam pula:
1. Pandangan dunia empiris; yaitu pandangan universal seputar wujud yang diperoleh melalui data-data empiris.
2. Pandangan dunia falsafi; yang diperoleh melalui analisis rasional dan penalaran akal.
3. Pandangan dunia agama; yang diperoleh dari jalur kepercayaannya pada para pemimpin agama dan pada ucapan-ucapan mereka.
4. Pandangan dunia irfani (gnostik); yang diperoleh melalui jalur kasyf (penyingkapan) dan syuhudi (penyaksian batin).
Selanjutnya, yang perlu dicermati ialah, apakah persoalan-persoalan mendasar di dalam pandangan dunia dapat dipecahkan oleh empat jalur pandangan di atas ini ataukah tidak? Jelas, bahwa pertanyaan ini mendahului penimbangan atas keunggulan satu di atas lainnya.

Analisis Kritis
Mengingat jangkauan pengetahuan empirik itu terbatas pada fenomena-fenomena alam materi, kita tidak mungkin dapat mengetahui dasar-dasar pandangan dunia mengenai penciptaan alam semesta dan mengatasi berbagai persoalan yang bersangkutan hanya mengandalkan data-data penge-tahuan tersebut. Sebab, persoalan-persoalan semacam ini di luar jangkauan ilmu-ilmu empiris. Ilmu empiris manapun tidak berbicara seputar masalah-masalah tersebut, baik menafikan ataupun menetapkannya. Sebagai contoh, kita tidak mungkin dapat menetapkan ataupun-na'udzu billah-menafikan wujud Allah melalui penelitian di laboratorium. Pengalaman indrawi tidak mampu menilai ada tiadanya sesuatu di luar lingkaran materi.
Karenanya, pandangan dunia empiris (sesuai dengan penjelasan yang lalu atas istilah "pandangan dunia") tiada lain adalah fatamorgana dan tidak dapat dikatakan sebagai pandangan dunia mengenai wujud dan alam semesta dalam arti yang sebenarnya. Maksimalnya, ia dapat disebut sebagai "pengetahuan tentang alam materi". Dan, pengetahuan semacam ini tidak mampu menuntaskan persoalan-persoalan mendasar dalam pandangan dunia.
Adapun pengetahuan yang diperoleh melalui jalur ta'abbudi (taklid)-sesuai dengan yang telah dijelaskan-berlaku dan bernilai secara sekunder, karena kita harus membuktikan terlebih dahulu keberadaan pengetahuan sebelumnya sebagai sumber bagi pengetahuan ini. Misalnya, sehubungan dengan masalah Kenabian, kita harus menetapkan terlebih dahulu kenabian seorang nabi supaya risalah dan seluruh sabdanya itu dapat diakui. Sebelum itu, kita pun harus membuktikan adanya Sang Pengutusnya, yaitu Allah SWT. Jelas bahwa kita tidak akan dapat menetapkan keberadaan Sang Pengutus dan kenabian seorang rasul melalui lisan rasul itu sendiri. Misalnya, kita tidak dapat mengatakan bahwa mengingat Al-Qur'an telah menjelaskan keberadaan Allah, maka masalah keberadaan Allah itu dianggap tuntas (berdasarkan firman-Nya itu sendiri). Yang benar adalah, setelah kita dapat membuktikan keberadaan Allah dan kenabian seorang nabi, dan kita telah mengenalnya secara pasti, juga kita telah membuktikan bahwa Al-Qur'an itu adalah kitab Allah yang hak, barulah kita dapat menerima berbagai macam keyakinan far'iyah (parsial) lainnya dan ajaran-ajaran yang bersifat praktis dengan bersandar kepada informasi orang yang jujur dan sumber yang tepercaya.
Adapun mengenai persoalan-persoalan prinsipal, kita harus menetapkannya terlebih dahulu melalui pengetahuan yang lain. Dengan demikian, pengetahuan ta'abbudi ini tidak mempunyai peran langsung dalam menyelesaikan berbagai persoalan prinsipal di dalam pandangan dunia seputar wujud dan penciptaan alam semesta.
Adapun mengenai pengetahuan hudhuri dan syuhudi, kita memerlukan pembahasan yang luas dan panjang. Mengingat bahwa pertama: pandangan dunia seputar penciptaan alam semesta merupakan pengetahuan yang terbentuk dari gambaran-gambaran konseptual di dalam pikiran, sementara pada konteks hudhuri tidak ada tempat lagi bagi gambaran semacam itu. Dengan demikian, penisbahan gambaran konseptual kepada konteks hudhuri lebih merupakan toleransi dan ditilik dari kapasitasnya sebagai basis kemunculan gambaran konseptual tersebut.
Kedua, menjelaskan berbagai perkara-perkara yang hudhuri dan syuhudi melalui kata-kata dan konsep membutuhkan kemampuan dan kekuatan nalar tertentu yang tidak dapat dicapai kecuali dengan dasar-dasar dan latar belakang yang cukup panjang, berupa kemampuan analisis rasional dan filosofis. Seorang yang tidak mempunyai kekuatan semacam ini terpaksa menggunakan kata-kata, ungkapan-ungkapan dan konsep-konsep yang abu-abu (mutasyabih) sehingga-sangat mungkin-malah menjadi faktor yang berdampak pada distorsi dan penyimpangan.
Ketiga, seringkali terjadi kesamaran dan kekeliruan antara hakikat realitas yang disaksikan dalam konteks syuhudi itu yang hakiki dengan gambaran-gambaran khayalan serta penafsiran konseptual terhadap hakikat tersebut. Bahkan, kekeliruan dan kekaburan itu bisa juga menimpa sekalipun pada si pelaku syuhud (musyahid) itu sendiri.
Keempat, seseorang tidak mungkin mencapai berbagai hakikat batin kecuali setelah melakukan sair-suluk irfani (pelatihan ruhani) bertahun-tahun lamanya. Akan tetapi, keimanan dan keyakinan seseorang terhadap metode sair-suluk-yang dianggap sebagai pengetahuan praktis-bergantung kepada dasar-dasar teoritis dan persoalan-persoalan yang mendasar dalam pandangan dunia.
Oleh karenanya, sebelum seseorang itu mulai mengamalkan sair-suluk, ia harus mampu menuntaskan persoalan-perseoalan itu dengan baik. Sedangkan pengetahuan syuhudi itu baru bisa diperoleh tatkala ia berada di dalam atau di puncak perjalanan sair-suluk tersebut. Pada hakikatnya, irfan hakiki itu baru akan dapat dicapai oleh seseorang tatkala ia berusaha dengan sungguh-sungguh dan penuh ikhlas beribadah kepada Allah. Sementara usaha dan suluknya itu sendiri bergantung kepada pengetahuan tentang Allah SWT dan tentang cara ibadah kepada-Nya.

Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat kita tarik dari ulasan di atas adalah bahwa satu-satunya jalan bagi seseorang yang berusaha untuk mencari solusi dalam menghadapi masalah-masalah pokok pandangan dunia adalah jalan logika atau metode rasional. Maka itu, pandangan dunia yang sebenarnya adalah pandangan dunia filsafi.
Akan tetapi, perlu kita ketahui bahwa membatasi upaya mencari solusi atas masalah-masalah tersebut pada metode rasional dan premis-premis filosofis tidak berarti bahwa untuk pencapaian pandangan dunia semacam itu bergantung kepada pemecahan atas seluruh persoalan Filsafat. Upaya itu cukup dengan mengkaji sebagian masalah filsafat yang sederhana dan tampak gamblang. Dengan cara inilah kita dapat membuktikan wujud Allah SWT. Hal ini merupakan masalah yang paling penting dalam pandangan dunia, walaupun studi khusus mengenai masalah-masalah ini dan cara menghadapi berbagai kritik serta keraguan dan pemecahannya membutuhkan kejelian filosofis secara luas.
Begitu pula ketika kita membatasi berbagai pengetahuan yang dapat membuahkan dan menyelesaikan masalah-masalah yang mendasar melalui pengetahuan rasional, bukan berarti kita membuang pengetahuan-pengetahuan lainnya untuk memecahkan masalah-masalah tersebut. Bahkan kita dapat menggunakan argumen-argumen rasional yang sebagian premisnya dihasilkan dari jalur ilmu hudhuri atau indra dan eksperimen. Sebagaimana juga kita dapat menggunakan pengetahuan ta'abbudi untuk dapat menyelesaikan masalah-masalah rincian yang biasanya dibuktikan dengan ayat Al-Qur'an dan hadis yang merupakan sumber agama.
Akhirnya, tatkala pandangan dunia dan ideologi yang benar itu dapat dicapai, seseorang akan melangsungkan usahanya hingga sampai ke mukasyafah dan musyahadah (penyaksian mata batin) melalui usaha yang gigih dalam menempuh jenjang-jenjang sair-suluk sehingga dapat menyaksikan-tanpa melalui konsep-konsep mental-berbagai hakikat yang dibuktikan oleh argumen-argumen rasional.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Sebutkan macam-macam pengetahuan manusia dan pengertiannya masing-masing!
2. Ada berapa macamkah pandangan dunia yang dapat digambarkan?
3. Dengan jalan apakah masalah-masalah pokok mengenai pandangan dunia dapat dibuktikan?
4. Bagaimana Anda menilai pandangan dunia empiris?
5. Apakah mungkin menggunakan pengetahuan yang bersifat inderawi untuk menetapkan persoalan pandangan dunia?
6. Apakah mungkin menggunakan pengetahuan yang bersifat ta'abbudi untuk membuktikan masalah-masalah akidah? Dan sebutkan bidang-bidangnya?
7. Apakah pandangan dunia irfani itu? Dan apakah mungkin berbagai permasalahan pokok pandangan dunia itu dapat dituntaskan dengan jalan syuhudi irfani? Mengapa?




PELAJARAN 5

Mengenal Allah
Bertolak dari kesimpulan-kesimpulan yang lalu; bahwa prinsip agama adalah keimanan kepada wujud Tuhan yang menciptakan alam semesta, dan bahwa perbedaan mendasar antara pandangan dunia Ilahi dan pandangan dunia Materialisme terletak pada ada atau tidaknya keimanan kepada Tuhan pencipta alam ini, maka upaya pertama yang perlu dijalani oleh seorang pencari kebenaran sebelum segala sesuatunya, yaitu bagaimana ia memberikan jawaban terhadap pertanyaan; apakah Allah itu ada ataukah tidak?
Untuk menjawab pertanyaan ini, sebagaimana yang telah dijelaskan pada pelajaran yang lalu, kita harus menggunakan akal sehingga nanti akan dapat menemukan jawaban, positif ataukah negatif, yang betul-betul meyakinkan. Ketika jawaban itu positif, barulah kita akan membahas masalah-masalah berikutnya, yaitu masalah Tauhid, Keadilan Ilahi dan seluruh sifat-sifat Allah swt. Sedangkan bila jawaban itu negatif yang berarti bukti atas kebenaran pandangan dunia Materialisme, kita tidak perlu lagi membahas semua persoalan-persoalan yang berkaitan dengan agama.

Pengetahuan Hudhuri dan Pengetahuan Hushuli
Dalam rangka mengenal Allah, ada dua macam penge-tahuan di hadapan kita, yaitu pengetahuan hudhuri (presentif) dan pengetahuan hushuli (representatif). Pada pengetahuan hudhuri, seseorang dapat mengetahui dan mengenal Allah dengan jalur hati dan batin (syuhudi, qalbi), tanpa perantara pemahaman-pemahaman yang berupa gambaran konseptual di benak. Jelas bahwa seseorang yang memiliki pengetahuan hudhuri mengenai Allah, sebagaimana yang diakui oleh para urafa', tidak membutuhkan argumentasi rasional.
Tetapi, sebagaimana telah kami jelaskan pada pelajaran yang lalu, pengetahuan hudhuri atau syuhudi tidak dapat dikuasai oleh manusia biasa tanpa terlebih dahulu membina jiwanya melalui sair suluk islami. Adapun tingkatan-tingkatan yang rendah dari pengetahuan ini, walaupun dapat dicapai oleh orang-orang biasa, akan tetapi karena biasanya ia tidak dilandasi kesadaran, tidaklah cukup untuk membentuk pandangan dunia yang berlandaskan kesadaran.
Pada pengetahuan hushuli, seseorang mengenal Allah melalui konsep-konsep universal seperti Sang Pencipta, Mahakaya, Mahatahu, Mahakuasa dan meyakini keberadaan-Nya.Kemudian, ia menggabungkannya dengan pengetahuan hushuli lainnya hingga ia dapat memperoleh suatu pandangan dunia yang utuh. Semua pengetahuan yang didapatkan manusia dari studi rasional dan argumentasi filosofis, masuk ke dalam pengetahuan hushuli ini. Ketika manusia telah memiliki ilmu semacam ini, ia pun dapat mengenal Allah dengan ilmu hudhuri.

Pengetahuan Fitrah
Dalam hadis para imam atau ucapan kaum urafa', seringkali kita menjumpai ungkapan seperti "Pengenalan fitriyah tentang Tuhan" atau "Secara fitriyah, manusia mengenal Tuhannya". Untuk memahami ungkapan semacam ini, terlebih dahulu kita perlu menjelaskan kata fitrah. Kata ini berasal dari bahasa Arab yang berarti "sebuah bentuk penciptaan". Sesuatu itu fitriyah (dinisbahkan kepada fitrah) ketika bentuk penciptaan suatu makhluk menuntut sesuatu itu.
Dari sinilah kita dapat memperhatikan tiga karakteristik pada perkara-perkara fitriyah:
1. Perkara-perkara fitriyah adalah titik kesamaan bagi makhluk-makhluk satu spesis, kendati keberadaannya itu berbeda dari sisi kualitas; lemah dan kuatnya.
2. Perkara-perkara fitriyah selalu ada sepanjang hidup manusia. Dan tidak mungkin setiap makhluk mempunyai fitrah yang mengalami perubahan dan perbedaan dari satu masa ke masa.
"Itulah fitrah Allah yang telah Dia ciptakan manusia atas dasar fitrah itu dan tidak mungkin mengalami perubahan bagi Allah." (QS. Ar-Rum: 30).
3. Karena perkara-perkara fitriyah itu sebuah kemestian dari penciptaan makhluk, ia tidak diusahakan melalui proses pembelajaran, walaupun untuk memperkuat dan mengembangkannya membutuhkan bimbingan dan arahan.
Perkara-perkara fitri yang ada pada manusia dapat dibagi kepada dua macam:
Pertama, pengetahuan-pengetahuan fitriyah yang dimiliki oleh setiap orang tanpa memerlukan proses belajar.
Kedua, kecenderungan-kecenderungan fitriyah. Maka, jika pada seseorang terbukti adanya semacam pengetahuan tentang Allah (ma'rifatullah) yang tidak perlu proses belajar, pengetahuan itu dapat dinamakan pengenalan fitriyah terhadap Allah (ma'rifatullah 'alal fitrah). Dan apabila terbukti adanya kecenderungan kepada Allah dan kecondongan untuk menghamba kepada-Nya pada setiap manusia, hal itu dapat dinamakan penghambaan fitriyah kepada Allah.
Kami telah memaparkan pada pelajaran kedua, bahwa kebanyakan pemikir memandang agama dan kecenderungan kepada Allah termasuk keistimewaan yang ada pada setiap manusia, sebagai perasaan atau kesadaran beragama. Dan kami akan menambahkan di sini bahwa mengenal Allah dapat pula dikategorikan sebagai kelaziman fitrah setiap manusia.
Akan tetapi, sebagaimana dorongan fitrah dalam penghambaan diri kepada Allah itu bukan termasuk dorongan yang berkesadaran (syu'uri), begitu pula dorongan fitriyah dalam mengenal Allah itu bukanlah pengetahuan yang berkesadaran, yaitu pengetahuan yang didasari oleh kesadaran di mana orang-orang biasa tidak lagi membutuhkan telaah rasional dalam rangka mengenal Allah.
Di samping itu, patut diperhatikan catatan berikut ini, bahwa pada setiap individu terdapat derajat pengenalan kepada Allah yang bersifat hudhuri (presentif) atau fitriyah, walaupun derajat ini itu sangatlah rendah. Oleh karena itu, mungkin setiap orang akan meyakini adanya Allah hanya dengan merenung sejenak atau dengan bernalar secara sederhana. Kemudian ia akan berusaha berangsur-angsur untuk meningkatkan dan memperkokohpengenalannya kepada Allah sampai mata batinnya terbuka, atau bahkan ia akan sampai kepada derajat syu'uriyah, yaitu pengetahuan yang penuh kesadaran.
Kesimpulannya, mengenal Allah secara fitriyah yaitu bahwa hati seseorang dapat mengenal Allah, dan di dalam jiwanya terdapat potensi pengenalan ini secara sadar, yang kemudian dapat menjadi kuat. Akan tetapi, potensi-potensi fitriyah ini pada orang biasa tidak sebegitu kuat disadari. Maka itu, mereka memerlukan argumentasi rasional. Artinya, selain melalui fitrah, mereka tetap membutuhkan pembahasan rasional untuk dapat mengenal Allah secara sadar.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Apakah masalah-masalah prinsipal dalam pandangan dunia dan mengapa bersifat prinsipal?
2. Jelaskan pengetahuan hudhuri dan pengetahuan hushuli tentang Allah!
3. Apakah seseorang dapat mencapai pengetahuan hudhuri tentang Allah melalui akal atau logika?
4. Apakah peran pengetahuan hushuli serta pengaruhnya pada pengetahuan hudhuri!
5. Jelaskan pengertian fitrah!
6. Jelaskan karakteristik perkara-perkara fitriyah!
7. Jelaskan macam perkara-perkara fitriyah!
8. Apakah perkara fitriyah yang berhubungan dengan Allah itu?
9. Jelaskan maksud dari pengenalan fitriyah terhadap Allah SWT!
10. Apakah adanya fitrah mengenal Tuhan membuat orang biasa tidak lagi memerlukan pembahasan rasional?




PELAJARAN 6

Cara-cara Mengenal Allah
Untuk mengenal Allah, terdapat berbagai macam cara dan metede yang telah dijelaskan dalam buku-buku Filsafat dan Kalam, juga dalam hadis-hadis para para Imam Suci as serta dalam kitab-kitab samawi. Berbagai macam argumen yang disebutkan dalam kitab-kitab tersebut menjelaskan sisi dan dimensinya masing-masing. Misalnya dalam suatu buku, dijelaskan premis-premis secara empirik. Sedangkan buku yang lainnya menjelaskan premis-premis yang bersifat rasional semata. Bahkan ada sebagian buku yang membuktikan keberadaan Allah SWT secara langsung, sebagaimana juga dalam buku lainnya menjelaskan keberadaan sesuatu yang tidak membutuhkan selainnya (Wajibul Wujud). Berdasarkan argumen ini, untuk menetapkan sifat-sifat Allah haruslah bersandar kepada argumentasi yang khas.
Sehubungan dengan argumen-argumen atas keberadaan Allah SWT tersebut, dapat kita umpamakan dengan jembatan-jembatan yang dipasang di atas sebuah sungai yang besar yang akan dilalui oleh orang-orang untuk menyemberang ke tepi lainnya. Salah satu dari jembatan itu dibuat dari kayu-kayu yang sederhana yang ditancapkan di atas sungai tersebut untuk tujuan agar setiap orang yang membawa barang-barang yang ringan dapat melewati dan berjalan di atas jembatan tersebut menuju ke tempat tujuannya dengan segera. Sedangkan jembatan yang lainnya dibuat dari batu-batu beton yang panjang yang memiliki kekuatan luar biasa, akan tetapi untuk melewati jembatan tersebut membutuhkan waktu yang lama.
Terdapat dalil-dalil yang dibangun bagaikan jalan-jalan yang terbuat dari besi yang kuat, berkelok dan berliku serta harus melewati bukit dan dataran yang luas yang akan dilewati kereta-kereta yang membawa beban yang cukup berat.
Seseorang yang hanya memiliki pikiran yang sederhana, ia dapat mengenal Tuhannya dengan cara yang sangat sederhana pula. Kemudian ia mempraktikkannya dalam beribadah. Adapun seseorang yang akal pikirannya mampu menampung beban keraguan, ia dapat melewati jalan-jalan terjal. Sementara orang yang membawa tumpukan beban yang berat serta mampu menghadapi berbagai keraguan dan kritik, maka ia harus melewati jalan yang dibuat di atas dasar-dasar yang kokoh, sehingga ia mampu bertahan ketika di tengah jalan mendapatkan berbagai tantangan, kesulitan dan cobaan.
Pada pelajaran ini, kami hanya akan memberikan penjelasan mengenai jalan yang paling mudah untuk dapat mengenal Allah. Setelah itu, kami akan menjelaskan beberapa argumentasi sederhana yang sesuai dengannya. Adapun agumentasi yang rumit, yang untuk dapat memahaminya memerlukan dasar-dasar dan kaidah-kaidah filosofis, itu tepat bagi mereka yang pikiran-pikirannya seringkali dilintasi oleh berbagai macam keraguan, juga bagi mereka yang ingin menyanggah berbagai macam keraguan dan ingin menyelamatkan orang-orang yang tersesat dan menyimpang.

Keistimewaan Cara Mudah
Cara mudah untuk membuktikan adanya Allah SWT mempunyai beberapa keistimewaan. Pertama, bahwa cara ini tidak memerlukan premis-premis yang sulit, rumit dan teknis, serta dapat dijelaskan dengan mudah dan gamblang. Oleh karena itu, semua orang-dengan berbagai tingkat pengetahuannya-akan dapat memahaminya dengan baik.
Kedua, cara mudah ini akan mengantarkan manusia secara langsung untuk mengenal Allah, Sang Pencipta alam semesta yang Mahakuasa. Berbeda dengan kebanyakan argumentasi filosofis dan teologis yang terlebih dahulu membuktikan keberadaan dzat Allah yang dikenal dengan Wajibul Wujud. Setelah itu sifat-sifat Allah seperti; ilmu, kuasa dan sifat-sifat lainnya akan dibuktikan oleh argumentasi lainnya.
Ketiga, kesan utama cara ini ialah membangkitkan fitrah manusia dan membimbing pengetahuan fitriyah mereka kepada jenjang kesadaran. Apabila seseorang berusaha me-mahami cara mudah ini dengan baik, ia akan merasakan kondisi irfani, seolah-olah ia dapat menyaksikan kekuasaan Allah dalam menciptakan alam dan kejadian-kejadiannya beserta pengaturannya. Itulah pengetahuan yang ditunjukkan oleh fitrah seseorang di dalam mata batinnya.
keistimewaan-keistimewaan di atas membuat para ulama dan tokoh agama langit memilih cara ini guna menjelaskan dan membuktikan wujud Allah, serta mengajak masyarakat untuk menapakinya. Sedangkan kepada para pengikut setia, mereka mengajarkan metode argumentasi yang lain. Mereka pun menggunakan argumen-argumen yang rumit dalam perdebatan dan diskusi mereka dengan para pemuka ateis atau para filosof materialis.

Tanda-tanda yang Jelas
Sesungguhnya cara mudah untuk menetapkan wujud Allah SWT dapat diperoleh dengan merenungkan ayat-ayat, tanda-tanda kekuasaan-Nya yang terhampar dan memenuhi jagad raya ini. Al-Quran mengungkapkannya dengan istilah "tafakkur liayatillah" (memikirkan ayat-ayat Tuhan). Seakan-akan setiap individu dan fenomena alam ini, baik yang ada di bumi atau pun di langit atau yang ada pada diri setiap manusia itu sendiri, merupakan dalil dan ayat Allah SWT yang memberikan petunjuk kepada hati untuk beranjak menuju pusat wujud yang hadir pada setiap ruang dan waktu.
Sesungguhnya buku yang ada di hadapan Anda ini merupakan salah satu dalil dan ayat atas wujud Allah. Bukankah dengan membaca buku ini Anda akan mengenal keberadaan pengarangnya dan mempunyai tujuan? Pernahkah Anda berasumsi bahwa buku ini muncul akibat pengaruh sekelompok benda tanpa seorang penulis yang mempunyai motif dan tujuan? Bukankah termasuk kebodohan jika seseorang percaya bahwa sebuah ensklopedia berjilid-jilid tercetak dan terbit akibat ledakan kandungan bumi kemudian pecahan-pecahan yang beterbangan di udara itu menyatu dan membentuk huruf-huruf dan kemudian secara tiba-tiba membentur kertas-kertas dan terbitlah buku yang berjilid-jilid tersebut? Lebih tidak masuk akal lagi seseorang yang berkeyakinan bahwa alam semesta yang penuh hikmah, baik yang diketahui maupun tidak, tercipta secara spontan, terjadi begitu saja, tanpa sebab apapun. Bahkan bisa dikatakan bahwa orang yang berkeyakinan semacam ini ribuan kali lebih bodoh dibandingkan orang yang meyakini terciptanya kitab yang berjilid-jilid secara tiba-tiba.
Sesungguhnya setiap sistem terarah dan bertujuan merupakan dalil atas adanya pembuat sistem tersebut. Kita saksikan bahwa sistem yang terarah dan bertujuan pada seluruh alam semesta ini merupakan sistem universal yang menunjukkan adanya Sang Pencipta Yang Mahabijak yang telah menciptakan sistem tersebut, dan Dia senantiasa memeliharanya.
Bunga-bunga yang tumbuh di taman dengan berbagai macam warna yang indah dan aroma yang semerbak, pohon apel yang memberikan buah yang berasal dari sebutir biji yang kecil, yang setiap tahun mengeluarkan buah yang meruah dengan berbagai warna yang memikat dan rasa yang lezat. Begitu pula burung Bulbul yang berkicau dan begitu lincah berpindah dari satu tangkai ke tangkai yang lain. Serta ayam yang membelah dan memecahkan kulit sebutir telur kemudian keluar darinya seekor anak. Juga, anak sapi yang lahir dari induknya kemudian menyusu. Air susu yang memenuhi kantong susu induknya dipersiapkan untuk menyusui anak-anaknya. Seluruh fenomena itu merupakan tanda-tanda kekuasaan, kebesaran dan wujud Sang Pencipta.
Sungguh merupakan penciptaan dan pengaturan yang menakjubkan, dimana keluarnya air susu dari penyusuan induknya itu bersamaan dengan kelahiran anak-anaknya. Ikan-ikan di laut yang setiap tahunnya untuk pertama kali menempuh perjalanan ribuan kilometer guna mengeluarkan telurnya. Burung-burung laut yang mengetahui sarang-sarangnya di antara tumbuh-tumbuhan laut yang begitu banyak dan beragam, tidak pernah keliru mengambil jalan kembali ke sarangnya, walau untuk sekali saja. Lebah-lebah yang keluar dari sarangnya setiap pagi lalu menempuh perjalanan yang panjang untuk mengisap bunga-bunga yang harum kemudian kembali pada malam hari ke sarang-sarangnya.
Semua itu merupakan tanda-tanda wujud dan kebesaran Allah SWT. Yang lebih mengherankan dan menakjubkan dari itu semua adalah bahwa lebah, sapi atau kambing tersebut menghasilkan madu dan susu melebihi kebutuhannya dengan tujuan agar manusia pun-sebagai makhluk yang memiliki kelebihan tersendiri-dapat mengambil manfaat darinya. Hanya saja, manusia yang durhaka ini malah mengingkari Sang Pemberi karunia dan nikmat tersebut dengan cara menentang-Nya.
Kita akan lebih banyak menemukan tanda-tanda kekuasaan dan pengaturan Sang Pencipta yang Mahabijak yang lebih menakjubkan di dalam raga manusia. Organ-organ tubuh manusia itu tersusun begitu rapi. Setiap organ tersusun dari jutaan sel yang hidup secara mandiri. Padahal seluruh sel itu tumbuh dan berasal dari satu sel betina. Dan setiap sel itu mengandung bahan-bahan yang dibutuhkan dengan porsi tertentu. Dan, masing-masing organ itu diletakkan pada tempatnya yang sesuai. Kita perhatikan pula bagaimana organ-organ berfungsi; menghirup oksigen melalui paru-paru, lalu memindahkannya melalui darah merah, juga aktivitas-aktivitas hati untuk membuat gula yang diperlukan kemudian menyingkirkan sel-sel yang rusak dan menggantikannya dengan sel-sel yang baru dan memusnahkan kuman-kuman melalui mekanisme tertentu. Demikian pula cara kerja organ-organ tubuh lain yang begitu mengagumkan. Semua itu menunjukkan wujud dan kebesaran Sang Penciptanya.
Siapakah yang mengadakan sistem cipta yang sangat menakjubkan ini, dimana ribuan ilmuwan sepanjang sejarah umat manusia tidak mampu mengungkap rahasia-rahasia alam penciptaan. Setiap sel merupakan sistem kecil yang mempunyai tujuan. Dan setiap kelompok dari sel-sel itu membentuk anggota yang merupakan sistem yang lebih besar. Kumpulan dari kelompok-kelompok yang banyak dan rumit itu membentuk satu sistem badan yang lebih luas dan terarah pada tujuan yang khas.
Tidak berakhir sampai di situ saja. sistem-sistem yang tak terhingga, yang terdiri dari makhluk-makhluk bernyawa dan mati itu, membentuk tata cipta yang universal sebagai alam yang diatur oleh Tuhan Yang Esa dengan pengaturannya yang cermat dan bijak. Allah berfirman:
"Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. Demikian itulah Allah, maka mengapa kamu masih berpaling?" (QS. Al-An'am: 95).
Jelas bahwa semakin banyak dan luasnya pengetahuan manusia dan semakin banyak sistem serta hubungan antara fenomena alam yang dapat disingkap, maka semakin jelas pula rahasia-rahasia penciptaan alam semesta ini. Akan tetapi, memikirkan fenomena alam yang sederhana melalui dalil-dalil yang jelas sudah cukup bagi hati yang tulus untuk membuktikan keberadaan wujud Sang Pencipta alam yang Mahakuasa.[]

Jawablah pertanyaan- pertanyaan berikut ini!
1. Jelaskan cara-cara untuk membuktikan wujud Allah SWT dan jelaskan pula keistimewaan masing-masing cara tersebut!
2. Apakah cara yang paling mudah untuk membuktikan wujud Allah SWT dan apakah keistimewaan cara mudah itu?
3. Jelaskan tanda-tanda kekuasaan Allah yang terdapat pada sebagian makhluk-Nya!




PELAJARAN 7

Pembuktian atas "Wajibul Wujud"
Telah kami jelaskan pada pelajaran yang lalu bahwa para filosof Ilahi dan para ulama Kalam telah menghimpun sejumlah argumentasi dalam membuktikan wujud Allah. Dan hal ini telah dibahas dalam kitab-kitab Filsafat dan Kalam secara terinci. Pada pelajaran ini, kami akan memilih sebuah argumen saja dari sekian banyak argumen tersebut. Argumen ini berlandaskan pada premis-premis yang lebih sedikit sehingga akan lebih mudah untuk dipahami. Meski demikian, argumen ini tampak lebih kuat.
Sebelumnya perlu ditekankan bahwa argumen ini dapat membuktikan wujud Allah sebagai Wajibul Wujud (wujud yang pasti). Artinya, Allah swt. itu maujud, dan wujud-Nya merupakan hal yang dharuri (pasti) tanpa memerlukan sesuatu lain yang mewujudkan-Nya. Adapun untuk menetapkan sifat-sifat Allah, yang positif (tsubutiyah) maupun yang negatif (salbiyah) seperti; sifat ilmu, kuasa, tidak beraga, tak terbatas oleh ruang dan waktu, hal ini itu tidak dapat dibuktikan oleh dalil ini, akan tetapi harus dibuktikan oleh dalil lain.

Bentuk Argumentasi
Berdasarkan asumsi rasional, realitas terbagi menjadi dua; wajibul wujud (yang pasti adanya) dan mumkinul wujud (yang mungkin adanya). Secara rasional, tidak ada satu realitas pun yang keluar dari asumsi tersebut. Dan kita tidak mungkin mengatakan bahwa seluruh realitas itu mumkinul wujud. Karena setiap mumkinul wujud membutuhkan kepada sebab.
Apabila setiap sebab masih berupa mumkinul wujud, maka ia adalah akibat yang tentunya membutuhkan kepada sebab yang lain. Dan pada akhirnya, tidak akan ada realitas apa pun sama sekali. Artinya, bahwa rangkaian sebab itu sebenarnya adalah rangkaian akibat "yang mungkin" dan tidak pasti adanya. Oleh karena itu, rangkaian mumkinul wujud menjadi ada tatkala berakhir kepada suatu realitas yang bukan lagi akibat dari realitas apapun. Artinya, bahwa rangkaian wujud itu akan berakhir pada wajibul wujud.
Argumen di atas ini adalah argumen filsafat yang paling sederhana untuk menetapkan wujud Allah. Ia terdiri dari beberapa premis rasional, tanpa terlibat premis empirik di dalamnya. Akan tetapi, karena argumen semacam ini biasanya menggunakan sejumlah konsep dan istilah filosofis, terlebih dahulu kita harus menjelaskan beberapa istilah dan premis yang menyusun argumen ini.

"Wujub" dan "Imkan"
Setiap proposisi (qadhiyah), sekalipun yang paling sederhana, sekurang-kurangnya mesti tersusun dari dua konsep; subjek (maudhu') dan predikat (mahmul). Misalnya proposisi yang berbunyi: "Matahari bersinar". Proposisi ini terdiri dari matahari sebagai subjek dan bersinar sebagai predikat.
Lalu, tertetapkannya predikat pada subjek tidak keluar dari tiga keadaan; satu, ketetapan predikat pada subjek bersifat mustahil (mumtani'). Contohnya, angka 3 itu lebih besar dari angka 4. Dua, tertetapkannya predikat pada subjek itu bersifat pasti (dharuri). Contohnya, 2 itu adalah 1/2 dari 4. Tiga, tertetapkannya predikat pada subjek bersifat tidak mustahil sekaligus tidak pasti. Contohnya, matahari berada di atas kepala kita.
Dalam Logika dijelaskan bahwa proposisi pada keadaan pertama itu bersifati mumtani', yaitu tidak mungkin terjadi, seperti pada contoh pertama tadi bahwa angka 3 itu lebih besar dari angka 4. Pada keadaan kedua, proposisi itu bersifat dharuri atau wajib, yaitu niscaya dan pasti. Dan pada keadaan ketiga, proposisi itu bersifat mumkan (mungkin) dengan makna khusus. Lantaran Filsafat hanya membahas sesuatu yang ada, para filosof mambagi realitas kepada dua bagian, wajibul wujud dan mumkinul wujud.
Wajibul wujud adalah realitas yang ada dengan sendirinya; tidak bergantung kepada realitas yang lain. Tentu, realitas ini bersifat azali (tidak bermula) dan abadi (tidak berakhir).Karena, apabila sesuatu itu ma'dum (tiada) pada masa tertentu, ini menunjukkan bahwa wujud sesuatu itu bukan berdasarkan pada dirinya sendiri, akan tetapi wujudnya membutuhkan kepada realitas selainnya yang merupakan sebab atau syarat keberadaannya. Tentunya, jika sebab atau syarat itu tidak ada, sesuatu tersebut tidak akan mengada.
Sedangkan mumkinul wujud adalah realitas yang ada tidak dengan sendirinya, akan tetapi wujudnya diadakan dan bergantung kepada realitas selainnya. Dengan kata lain, mumkinul wujud tidak mungkin terwujud kecuali dengan perantara selainnya.
Penjelasan rasional ini menafikan secara pasti adanya mumtani'ul wujud (wujud yang mustahil). Pada saat yang sama, penjelasan ini tidak mengidentifikasi; apakah realitas di luar itu wajibul wujud ataukah mumkinul wujud. Dengan kata lain, kita dapat menggambarkan kebenaran sebuah proposisi tersebut dengan tiga asumsi.
Pertama, setiap realitas itu wajibul wujud.
Kedua, setiap realitas itu mumkinul wujud.
Ketiga, sebagian realitas itu wajibul wujud, dan sebagian lainnya adalah mumkinul wujud.
Berdasarkan asumsi pertama dan ketiga, keberadaan wajibul wujud sudah tertetapkan. Yang harus kita bahas lebih lanjut ialah asumsi kedua, yaitu apakah mungkin setiap realitas itu mumkinul wujud? Kalau kita dapat menggugurkan asumsi ini, maka dapat ditegaskan keberadaan wajibul wujud secara pasti, walaupun untuk menetapkan keesaan dan seluruh sifat-sifat-Nya diperlukan argumentasi tersendiri.
Untuk menggugurkan asumsi kedua, kita perlu menambahkan premis lain ke dalam argumen terdahulu itu, yaitu bahwa seluruh realitas tidak mungkin bersifat mumkinul wujud. Akan tetapi, premis ini bukanlah premis yang badihi; jelas dengan sendirinya. Oleh karena itu, para ulama menjelaskan premis ini sebagai berikut:
? Bahwa mumkinul wujud itu butuh kepada sebab.
? Bahwa rangkaian sebab yang tak berujung adalah muhal (mustahil). Maka itu, rangkaian sebab harus berakhir kepada realitas yang bukan berupa mumkinul wujud dan juga tidak butuh lagi kepada sebab. Artinya, ia adalah wajibul wujud.
Dari sinilah sebagian konsep filosofis lainnya terlibat di dalam argumentasi ini dan perlu kepada penjelasan.

Sebab dan Akibat
Apabila wujud realitas itu bergantung kepada realitas yang lain, di dalam Filsafat, realitas yang bergantung itu disebut sebagai akibat (ma'lul), dan realitas yang digantunginya disebut sebagai sebab ('illah). Dan boleh jadi sebab ini sendiri masih bergantung kepada sebab yang lain.
Artinya, bahwa pada gilirannya sebab itu sendiri masih membutuhkan dan bergantung kepada sebab yang lain, dimana ia juga adalah akibat dari realitas ketiga ini. Namun, jika sebab itu bukan akibat dan tidak bergantung kepada yang lain, maka ia adalah sebab mutlak yang tidak butuh kepada selainnya sama sekali. Dengan ini, kita telah mengenal dua istilah filsafat; sebab dan akibat, serta definisi keduanya.
Selanjutnya, kami akan menjelaskan premis bahwa setiap mumkinul wujud membutuhkan kepada sebab. Mengingat bahwa mumkinul wujud itu mengada tidak dengan sendirinya, maka wujud mumkinul wujud tersebut bergantung kepada realitas yang lain. Dan karena qadhiyah berikut ini gamblang; yaitu ketika suatu predikat dibandingkan dengan suatu subjek, adakalanya predikat itu bisa ditetapkan pada subjek itu secara dzati (substansial), dan adakalanya ditetapkan secara aradhi (aksidental; karena sesuatu yang lain).
Misalnya, adakalanya sesuatu itu terang secara substansial (dengan sendirinya), adakalanya ia terang karena sesuatu yang lain, misalnya cahaya. Atau, setiap benda (jism) adakalanya berminyak dengan sendirinya, atau berminyak dengan perantara yang lain seperti: minyak. Adapun asumsi bahwa sesuatu itu terang atau berminyak tidak dengan sendirinya, tidak pula melalui perantara yang lain, adalah asumsi yang absurd.
Maka itu, adakalanya ketetapan wujud (sebagai predikat) pada suatu subjek secara substansial, yaitu dengan sendirinya dan tanpa perantara yang lain, atau dengan perantara yang lain.Apabila ketetapan wujud pada suatu subjek tidak dengan sendirinya, pasti wujudnya itu ditetapkan dengan perantara yang lain. Atas dasar ini, setiap mumkinul wujud (yang mungkin wujudnya) itu ada dengan perantara yang lain dan ia adalah akibat baginya.
Adalah kaidah Logika yang diterima oleh semua orang yang berakal, bahwa setiap mumkinul wujud membutuhkan sebab.Namun, berangkat dari pengertian Hukum Kausalitas; bahwa setiap realitas membutuhkan kepada sebab, sebagian orang menganggap bahwa seharusnya wujud Allah SWT itu pun mempunyai sebab. Mereka lalai bahwa subjek pada Hukum Kausalitas itu bukanlah realitas secara mutlak, akan tetapi realitas yang mumkin atau ma'lul (akibat). Dengan kata lain, setiap realitas "yang tidak berdiri sendiri" membutuhkan sebab, bukan setiap realitas tanpa ajektif itu.

Kemustahilan Tasalsul
Premis terakhir yang digunakan dalam argumentasi ini ialah bahwa mata rantai sebab harus berakhir pada realitas yang dirinya bukan lagi akibat. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh ahli Kalam, bahwa tasalsul (mata rantai akibat-sebab yang tak berujung) itu mustahil. Atas dasar ini, dapat dibuktikan wujud Tuhan sebagai wajibul wujud. Bahwa wajibul wujud merupakan sebab pertama yang ada dengan sendirinya dan tidak perlu kepada wujud yang lain.
Para filosof telah mengajukan berbagai argumen untuk menunjukkan kemustahilan tasalsul ini, meski pada dasarnya hal itu adalah masalah yang nyaris badihi (tidak perlu pembuktian). Dan setiap orang-sejenak saja merenungkan-akan dapat memastikan kemustahilan tasalsul. Artinya, setiap wujud akibat itu membutuhkan sebab. Keberadaannya disyarati oleh keberadaan sebab tersebut.
Apabila diasumsikan bahwa segala sesuatu itu adalah akibat; yang semuanya membutuhkan sebab, tentu tidak akan terealisasi realitas apa pun. Karena tidaklah logis mengasumsikan adanya mata-rantai yang saling bergantungan tanpa suatu wujud yang merupakan puncak kebergantungan mata rantai tersebut.
Sebagai contoh, lomba lari maraton.Apabila seluruh peserta lomba berdiri di garis star, berarti mereka siap untuk berlomba. Akan tetapi, setiap anggota tidak mau memulai untuk berlari kecuali apabila yang lainnya memulai lari terlebih dahulu. Nah, apabila keputusan semacam ini diambil oleh seluruh peserta, maka tidak akan terjadi perlombaan tersebut. Begitu pula, apabila wujud segala sesuatu itu disyarati dengan wujud yang lain, tidak akan terwujud sesuatu apa pun, sama sekali.
Dengan demikian, adanya hal-hal objektif di luar ini merupakan bukti atas keberadaan realitas yang tidak membutuhkan; yang wujudnya itu tidak disyarati oleh wujud selainnya.

Perumusan Argumen
Berdasarkan premis-premis tersebut-sekali lagi-kami akan menjelaskan rumusan argumen di atas. Bahwa wujud segala sesuatu "yang mungkin" tidak lepas dari dua kondisi; wujudnya itu bersifat pasti, dharuri dan ada dengan sendirinya yang diistilahkan dengan wajibul wujud, atau tidak bersifat dharuri, akan tetapi wujudnya tergantung kepada yang lain. Wujud yang demikian ini diistilahkan dengan mumkinul wujud.
Dengan kata lain, bahwa sesuatu itu adalah wajibul wujud atau mumkinul wujud. Jelas bahwa apabila wujud sesuatu itu bersifat mumtani' (tidak mungkin), maka sesuatu itu tidak akan terwujud sama sekali, dan kita tidak akan menganggapnya sebagai sesuatu apapun. Dengan demikian, setiap sesuatu adalah sebagai wajibul wujud atau mumkinul wujud.
Lalu, jika kita pikirkan konsep mumkinul wujud secara teliti, jelas bahwa sesuatu yang menjadi mishdaq[1] dari konsep itu niscaya sebagai akibat dan membutuhkan kepada sebab. Karena, sesuatu yang ada tidak dengan sendirinya dan keberadaannya membutuhkan kepada perantara yang lainnya, wujudnya itu menjadi niscaya melalui perantara yang lainnya. Sebagaimana setiap sifat yang tidak bisa ditetapkan dengan sendirinya, mesti ditetapkan dengan perantara.
Inilah pengertian Hukum Kausalitas, bahwa setiap sesuatu yang wujudnya itu lemah atau mempunyai ketergantungan dan bersifat mumkinul wujud, tentu ia membutuhkan sebab. Ketika dinyatakan bahwa "setiap sesuatu" membutuhkan sebab tidak berarti bahwa Allah pun butuh kepada sebab, tidak pula berarti bahwa iman kepada Allah, Dzat Yang tak bersebab, bertentangan dengan Hukum Kausalitas.
Dari sisi lain, jika dikatakan bahwa setiap yang ada itu adalah mumkinul wujud dan butuh kepada sebab, maka tidak akan ada sesuatu apa pun. Hal ini sebagaimana misal yang telah kami kemukakan, bahwa setiap peserta dari kelompok lomba maraton, apabila menggantungkan keputusan larinya kepada yang lainnya, maka perlombaan itu tidak akan berlangsung, sama sekali.
Dengan demikian, hal-hal yang ada di luar itu merupakan dalil atas keberadaan wajibul wujud.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Jelaskan istilah imkan dan wujub dalam Logika dan Filsafat!
2. Terangkan definisi wajibul wujud dan mumkinul wujud!
3. Apakah keadaan-keadaan yang dapat diasumsikan untuk membagi sesuatu secara aqli kepada wajibul wujud dan mumkinul wujud?
4. Jelaskan definisi sebab dan akibat!
5. Apakah pengertian Hukum Kausalitas itu?
6. Mengapa mumkinul wujud itu membutuhkan sebab?
7. Apakah Hukum Kausalitas memestikan bahwa Allah pun mempunyai sebab? Mengapa?
8. Apakah beriman kepada Allah sebagai dzat yang bukan makhluk itu bertentangan dengan Hukum Kausalitas?
9. Jelaskan kemustahilan tasalsul!
10. Terangkan rumusan logis argumen filosofis dan jelaskan secara cermat klaim yang diupayakan pembuktiannya!
________________________________________
[1] Mishdaq merupakan istilah penting dalam tradisi Logika klasik dan Filsafat Islam. Istilah Arab ini digunakan sebagai bandingan langsung untuk istilah mafhum atau konsep. Maka, bila mafhum atau konsep itu didefinisikan sebagai gambaran pengetahuan di mental, mishdaq di sini ialah apa saja yang gambaran pengetahuan itu bisa diterapkan dan berlaku padanya. Menurut pengertian ini, mishdaq tidak selalunya dan semuanya di luar mental; yakni di alam luar yang konkret ini, sebagaimana wujud Hasan atau Husein sebagai mishdaq dalam perbandingan mereka dengan konsep manusia atau konsep anak, tetapi juga bisa di dalam (satu lapisan) mental. Misalnya, konsep manusia itu adalah sebuah mishdaq dari konsep "yang universal", atau dari konsep "spesis". Terkadang, istilah mishdaq diper-kenalkan secara leksikal dengan kata intanta, terapan, ekstensi, personifikasi. Di sini dan untuk selanjutnya, kami menggunakan istilah ini sebagaimana aslinya (peny.)




PELAJARAN 8
Sifat-sifat Allah

Mukaddimah
Telah kami jelaskan pada pelajaran yang lalu, bahwa sebagian besar argumen filosofis itu digunakan untuk menetapkan dzat yang dikenal sebagai wajibul wujud. Jika argumen itu ditambahkan dengan argumen-argumen yang lain, maka akan dapat ditetapkan sifat-sifat salbiyah (negatif) dan sifat-sifat tsubutiyah (positif) pada wajibul wujud.
Melalui semua argumen itu kita mengenal Allah SWT dengan segala sifat-Nya yang khas yang membedakan dzat-Nya dari makhluk-makhluk-Nya. Jika tidak demikian, maka sekedar menetapkan bahwa Allah itu adalah wajibul wujud tidaklah memadai untuk mengenal Allah sebagaimana semestinya. Karena, sangat mungkin sebagian orang mempunyai keyakinan bahwa materi atau energi-misalnya-merupakan mishdaq dari konsep wajibul wujud.
Dari sinilah penting bagi kita-dari satu sisi-untuk menetapkan sifat-sifat salbiyah pada Allah, supaya kita dapat mengetahui bahwa wajibul wujud itu suci dari sifat-sifat yang khas pada makhluk-makhluk-Nya, yang tidak mungkin diterapkan pada dzat-Nya.
Dari sisi lain, kita juga harus menetapkan sifat-sifat tsubutiyah pada Allah, agar menjadi jelas bahwa Dialah yang layak untuk disembah, dan agar terbuka peluang untuk menetapkan semua keyakinan-keyakinan lainnya seperti Kenabian, Ma'ad dan masalah-masalah rinciannya.
Melalui argumen yang lalu, kita telah sampai pada kesimpulan bahwa wajibul wujud itu tidak membutuhkan sebab. Bahkan, Dialah sebab bagi semua realitas yang mungkin. Jadi, kita telah menetapkan dua sifat bagi wajibul wujud:
Pertama, bahwa wajibul wujud tidak butuh kepada selain-Nya, karena kalau ia butuh kepada wujud yang lain sekecil apa pun, maka wujud yang lain itu merupakan sebab bagi-Nya. Dan telah kita ketahui makna sebab dalam Filsafat, yaitu bahwa wujud sesuatu itu dibutuhkan untuk keberadaan sesuatu yang lain.
Kedua, bahwa semua yang mungkin (mumkinul wujud) adalah akibat dan butuh kepada sebab. Jadi, wajibul wujud merupakan sebab utama bagi kemunculan dan keberadaan wujud-wujud mungkin tersebut.
Berdasarkan dua kesimpulan ini, kami berusaha membahas konsekuensi masing-masing yang berhubungan dengan kedua sifat tersebut. Kita juga akan membuktikan adanya sifat-sifat negatif dan sifat-sifat positif bagi wajibul wujud. Tentunya, untuk menetapkan tiap-tiap sifat telah dibawakan argumen-argumen yang beragam yang terdapat dalam kitab-kitab Filsafat dan Kalam. Akan tetapi, demi memudahkan pemahaman secara merata dan menjaga keutuhan antara satu pelajaran dengan pelajaran yang lain, kita akan memilih argumen-argumen yang ada kaitannya dengan argumen yang telah lalu.

Azali dan Abadinya Allah SWT
Apabila realitas itu akibat dan membutuhkan realitas yang lain, maka mujudnya itu bergantung kepada wujud selainnya. Dan apabila wujudnya itu tiada, tentu ia tidak lagi mewujud. Artinya, apabila wujud itu sirna pada saat tertentu, hal ini menunjukkan ketergantungan (faqr)-nya, butuh kepada yang lain, dan menunjukkan dirinya sebagai mumkinul wujud. Mengingat bahwa wajibul wujud itu ada dengan sendirinya dan tidak membutuhkan kepada yang selainnya, ia adalah abadiyul wujud (wujudnya abadi dan azali).
Dari uraian di atas, kita dapat menetapkan dua sifat pada wajibul wujud. Pertama, bahwa wajibul wujud itu bersifat azali, yakni Dia tidak didahului oleh ketiadaan. Kedua, Dia adalah abadi, yakni tidak akan tersentuh oleh ketiadaan selama-lamanya. Terkadang kedua sifat ini disederhanakan ke dalam sifat sarmadi.
Berdasarkan penjelasan ini, setiap sesuatu yang didahului oleh ketiadaan, atau menyimpan kemungkinan menjadi sirna walaupun hanya sekejap, ia bukanlah wajibul wujud. Dengan demikian jelaslah kemustahilan asumsi wajibul wujud pada hal-hal material.

Sifat-sifat Negatif
Sifat lainnya yang merupakan keniscayaan wajibul wujud adalah basathah (sederhana dan tidak tersusun). Bahwa setiap yang tersusun pasti membutuhkan bagian-bagian, sedangkan wajibul wujud suci dari segala kebutuhan. Apabila kita berasumsi bahwa wajibul wujud itu tersusun, akan tetapi bagian-bagiannya tidak ada secara fi'li (aktual) dan akan muncul secara bil quwwah (potensial)-layaknya sebuah garis yang diasumsikan terbelah menjadi dua-asumsi ini batil. Karena, sesuatu yang mempunyai bagian-bagian secara bil quwah bisa dibagi secara rasional, walaupun secara fi'li (aktual) bagian-bagiannya itu belum terealisasi di luar. Asumsi bahwa ia dapat dibagi ialah bahwa secara keseluruhan ia bisa sirna, seperti garis yang panjangnya satu meter. Apabila garis itu dibagi dua, garis yang panjangnya satu meter tersebut tidak ada lagi. Dan telah kita ketahui sebelumnya, bahwa wajibul wujud tidak mungkin mengalami kefanaan dan kesirnaan.
Mengingat bahwa susunan dari bagian-bagian bil fi'li (aktual) dan bil quwah (potensial) itu termasuk karakter jism (benda), dapat ditetapkan bahwa setiap yang bendawi tidak mungkin sebagai wajibul wujud. Dengan kata lain, berdasarkan hal di atas itu kita dapat menetapkan tajarrud (kenon-materian) Allah. Menjadi Jelas pula bahwa Allah tidak mungkin dapat dilihat dengan mata kepala, tidak mungkin dapat dijangkau dengan indra apa pun, karena setiap yang dapat dijangkau oleh indra merupakan sifat-sifat khas benda dan materi.
Demikian pula dengan ternafikannya ihwal kebendaan dari dzat Allah, akan ternafikan pula semua sifat khusus benda dari wajibul wujud, seperti butuh kepada tempat dan masa. Karena, tempat ialah sesuatu yang memiliki bentuk dan panjang. Begitu pula segala sesuatu yang bersifat masa ialah yang dapat dibagi kepada ekstensi dan durasi masa. Dua hal ini merupakan bagian-bagian yang bil quwah (potensial) pada benda.
Dengan demikian, kita sama sekali tidak mungkin menggambarkan Allah SWT itu sebagai dzat yang butuh kepada tempat dan masa. Begitu pula, segala sesuatu yang membutuhkan tempat dan masa bukanlah wajibul wujud. Kemudian dengan ternafikannya waktu dari wajibul wujud, akan ternafikan pula gerak, perubahan dan penyempurnaan dzat. Karena, setiap gerak atau perubahan apa pun tidak mungkin terwujud tanpa masa.
Oleh karena itu, orang-orang yang meyakini bahwa Allah SWT berada pada satu tempat seperti 'arsy atau menisbahkan gerak dan turun dari langit kepada-Nya, atau meyakini bahwa Allah bisa dilihat dengan mata, atau dapat berubah dan meningkat, berarti mereka tidak mengenal Allah dengan sebenarnya. Secara global, setiap arti dan konsep yang menunjukkan kekurangan, keterbatasan dan kebutuhan, ternafikan dari dzat Allah. Inilah arti sifat salbiyah Ilahiyah (sifat-sifat negatif bagi Allah).

Sebab Pengada
Kesimpulan kedua yang dapat kita ambil dari argumen yang terdahulu, ialah bahwa wajibul wujud merupakan sebab bagi keberadaan makhluk-Nya. Berikut ini kami akan membahas konsekuensi dari kesimpulan ini. Pertama-tama, kami akan jelaskan macam-macam sebab, kemudian menyelidiki keistimewaan-keistimewaan Sebab Ilahi.
Sebab-menurut maknanya yang umum-dapat diterapkan kepada setiap realitas yang kepadanya realitas lain bergantung. Pada pengertian ini, sebab mencakup syarat-syarat dan sebab penyiap (illah mu'iddah). Dan sebab semacam ini tidak berlaku pada Allah. Tidak adanya sebab bagi Allah SWT artinya bahwa Dia-sedikit pun-tidak mempunyai ketergantungan dengan realitas yang lain. Maka itu, tidak mungkin kita menyatakan bahwa Allah SWT mempunyai syarat dan pengada (bagi wujud-Nya).
Adapun makna Allah sebagai sebab bagi seluruh realitas ialah bahwa sebagai pencipta dan pengada, Dia merupakan makna khusus dari 'illah fa'iliyah (sebab pelaku, efficient cause). Untuk menjelaskan poin ini, terlebih dahulu kita harus mengetahui secara global akan macam-macam sebab. Penjelasan yang lebih luas mengenai hal ini bisa dirujuk ke kitab-kitab Filsafat.
Telah kita ketahui, bahwa secara pasti munculnya tumbuh-tumbuhan di atas bumi ini disebabkan oleh adanya bibit-bibit, tanah yang subur, air dan udara. Di samping itu, harus terpenuhi faktor-faktor lainnya seperti; faktor alami atau insani yang menebarkan bibit-bibit tersebut di atas tanah dan mengalirkan air ke atasnya. Berdasarkan definisi sebab yang telah kami jelaskan, semua faktor-faktor ini merupakan sebab munculnya tumbuh-tumbuhan tersebut.
Dari aspek-aspek tertentu, sebab-sebab tersebut dapat diklasifikasikan kepada beberapa macam. Misalnya, sebab-sebab yang keberadaannya selalu dharuri (mesti) bagi terwujudnya akibat dinamakan sebagai sebab hakiki. Sekelompok sebab yang kesinambungannya tidak diperlukan untuk kesinambungan wujud akibat, seperti petani kaitannya dengan tanaman, dinamakan sebagai sebab penyiap. Ada pula sebab-sebab yang posisinya dapat digantikan oleh sebab-sebab selainnya dinamakan sebagai sebab alternatif (illah badilah). Sedangkan sebab-sebab yang posisi dan pengaruhnya tidak mungkin digantikan oleh selainnya dinamakan sebagai sebab definitif ('illah munhasirah).
Terdapat satu macam sebab yang berbeda dengan sebab-sebab tersebutkan pada realitas tumbuh-tumbuhan di atas. Sehubungan dengan sebab ini, kita dapat temukan mishdaq-nya pada jiwa manusia, sebagian keadaan dan kondisi kejiwaannya. Ketika seseorang menciptakan suatu bayangan di dalam benaknya atau bertekad mengerjakan suatu tindakan, terjadilah di dalam dirinya suatu fenomena nafsiyah (kejiwaan) yang dinamakan dengan gambaran mental (shuroh dzihniyah), atau kehendak yang keberadaannya merupakan akibat dan bergantung kepada keberadaan jiwa (nafs). Jelas, akibat semacam ini tidak memiliki kemandirian sedikit pun dari sebabnya, dan tidak mungkin berpisah dan mandiri dari wujud sebabnya.
Akan tetapi, pada saat yang sama, kita perhatikan bahwa penciptaan jiwa (fa'iliyah nafs) atas gambaran di mental atau atas kehendak memerlukan syarat-syarat tertentu yang muncul lantaran kekurangan, keterbatasan dan kemungkinan (imkan) wujud yang merupakan sifat-sifat substansial jiwa.
Oleh karena itu, penciptaan (fa'iliyah) wajibul wujud atas alam semesta jauh lebih hebat dan lebih sempurna dibandingkan penciptaan jiwa atas keadaan dan pengalaman-pengalaman dirinya. Kita tidak akan mendapatkan padanan efesiensi (fa'iliyah) Tuhan atas seluruh efesiensi, karena efesiensi Allah sama sekali tidak butuh kepada apapun untuk mengadakan akibat-Nya, yaitu akibat yang sekujur wujudnya hanyalah ketergantungan mutlak kepada-Nya.

Keistimewaan Sebab Pengada
Berdasarkan penjelasan di atas, kami dapat menyebutkan sifat-sifat khas yang penting yang dimiliki oleh Sebab Pengada.
Pertama, Sebab Pengada memiliki seluruh kesempurnaan akibatnya secara lebih sempurna, sehingga ia bisa memberikan kesempurnaan kepada setiap akibat sesuai dengan kapasitas wujudnya masing-masing. Berbeda halnya dengan sebab penyiap dan sebab materi yang berlaku sebagai pengadaan lahan yang sesuai untuk perubahan pada wujud akibat, bukan untuk wujudnya itu sendiri. Oleh karena itu, sebab penyiap dan sebab materi tidak mesti mencakup kesempurnaan-kesempurnaan akibatnya.
Misalnya, tersedianya tanah itu tidak perlu kepada kesempurnaan yang dimiliki oleh tumbuh-tumbuhan, atau keberadaan kedua orang tua tidak butuh kepada kesempurnaan anak-anaknya. Adapun Allah SWT sebagai sebab pengada (illah mujidah), mesti memiliki semua kesempurnaan-kesempurnaan wujud segala sesuatu, di samping sifat basatah-Nya (ketaktersusunan).
Kedua, Sebab Pengada itu mewujudkan akibatnya dari ketiadaan. Yakni, Dia menciptakan (khalq) akibatnya. Akan tetapi, penciptaannya ini tidak mengurangi wujudnya, sedikitpun.Berbeda sebab alami (fa'il tabi'i) yang aktif; mengubah akibat yang ada dengan mengerahkan seluruh potensi. Apabila diasumsikan ada sesuatu yang terpisah dari dzat wajibul wujud, ini berarti bahwa dzat Allah dapat dibagi dan berubah. Padahal, ini telah jelas kemustahilannya.
Ketiga, Sebab Pengada merupakan sebab sejati ('illat hakikiyah). Oleh sebab itu, keberadaannya merupakan dharuri (niscaya) untuk kesinambungan wujud akibatnya. Berbeda dengan sebab penyiap; kesinambungan akibatnya tidak lagi butuh kepadanya.
Searah dengan penjelasan ini, maka apa yang telah disampaikan oleh sebagian mutakalimin Ahli Sunnah bahwa kekekalan alam semesta tidak butuh kepada Allah SWT, begitu juga apa yang dikatakan oleh sebagian filsuf Barat, bahwa alam materi ini laksana jam yang telah diatur dan diukur putaran waktunya lalu secara otomatis bergerak dengan sendirinya, maka alam semesta ini; tidak butuh lagi kepada Allah dalam melanjutkan berbagai aktifitasnya, pandangan-pandangan seperti ini jauh dari kebenaran. Karena, alam wujud ini selalu butuh dan bergantung kepada Allah SWT dalam segala keadaannya. Apabila Allah menghentikan anugerah-Nya, meski untuk sekejap saja, tidak akan ada lagi yang tersisa dari alam tersebut.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Kenapa kita harus mengenal sifat-sifat Allah?
2. Apakah kesimpulan dari argumen-argumen yang telah lalu?
3. Apakah argumen atas ke-sarmadi-an Allah?
4. Bagaimana kita dapat menetapkan bahwa dzat Ilahi itu basith (tidak tersusun) dan suci dari bagian-bagian, baik secara fi'li maupun bil quwah?
5. Apakah dalil atas ketakbendaan Allah?
6. Mengapa kita tidak mungkin bisa melihat Allah dengan mata kepala?
7. Apakah argumen atas kemustahilan masa, zaman dan tempat pada dzat Allah?
8. Apakah kita dapat menisbatkan gerak dan diam kepada Allah SWT dan mengapa?
9. Sebutkan macam-macam sebab!
10. Sebutkan sifat-sifat khas Sebab Pengada!



PELAJARAN 9
Sifat-sifat Dzatiyah

Mukaddimah

Dari uraian yang lalu, kita ketahui bahwa Allah SWT merupakan Sebab Pengada bagi alam semesta ini, dimana seluruh kesempurnaan wujud terdapat pada dzat-Nya, dan berbagai kesempurnaan yang dimiliki oleh setiap maujud apa pun bersumber dari-Nya, tanpa mengurangi kesempurnaan zat-Nya sedikit pun ketika Dia menganugerahkan kesempurnaan tersebut kepada makhluk-makhluk-Nya. Poin ini dapat didekatkan melalui contoh berikut ini; ketika seorang guru mengajarkan berbagai ilmu kepada murid-muridnya, ilmu yang dimilikinya itu tidak berkurang sedikit pun. Sudah pasti bahwa anugerah wujud dan segenap kesempurnaan wujud dari Allah SWT itu jauh lebih unggul dan mulia daripada contoh tersebut.
Barangkali ungkapan yang lebih mendekati hal ini ialah bahwa alam wujud itu merupakan nur dan tajalli (manifestasi) dari dzat Ilahi Yang Mahasuci. Ungkapan semacam ini dapat ditemukan pada ayat yang berbunyi:
"Allah adalah nur bagi langit dan bumi." (QS. an-Nur: 35)
Mengingat bahwa kesempurnaan Ilahi itu tidak terbatas, maka setiap konsep (mafhum) yang mengungkapkan kesempurnaan yang tidak melazimkan apapun kekurangan dan batasan dapat diterapkan pada Allah, sebagaimana konsep-konsep kesempurnaan yang diungkapkan oleh ayat-ayat Al-Qur'an, hadis-hadis dan doa-doa serta munajat para Imam as seperti; cahaya (An-Nur), sempurna (Al-Kamal), indah (Al-Jamal), cinta (Al-Mahabbah), dan ungkapan lainnya (yang menjelaskan kesempurnaan mutlak pada Allah.
Adapun sifat-sifat Allah yang disebutkan di dalam kitab-kitab Filsafat dan Kalam Islam amatlah terbatas. Sifat-sifat itu dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sifat-sifat dzatiyah dan sifat-sifat fi'liyah. Mula-mula, kami akan menjelaskan dua bagian tersebut. Setelah itu, kami akan memaparkan sifat yang paling penting di antara sifat-sifat itu, kemudian menetapkannya dan membawakan argumentasinya.

Sifat-sifat Dzatiyah dan Fi'liyah
Sesungguhnya sifat-sifat yang dinisbatkan kepada Allah, adakalanya berupa konsep-konsep (gambaran di mental) yang diperoleh akal dari pengamatannya atas zat Allah, sambil menekankan bahwa sifat-sifat tersebut mencakup berbagai kesempurnaan seperti; sifat hidup (Al-Hayah), ilmu (Al-'Ilm), dan kuasa (Al-Qudrah) dan sifat-sifat lainnya.Atau, adakalanya sifat-sifat itu berupa konsep-konsep yang diperoleh akal dari pengamatannya atas bentuk-bentuk hubungan antara Allah SWT dengan makhluk-makhluk-Nya seperti; penciptaan (Al-Khaliqiyah) dan pemberian rizki (Ar-Razikiyah). Kelompok pertama disebut sebagai sifat-sifat dzatiyah, dan kelompok kedua sebagai sifat-sifat fi'liyah.
Perbedaan mendasar antara dua sifat tersebut ialah bahwa sifat-sifat pada kelompok pertama merupakan realitas objektif yang nyata bagi dzat Ilahi yang suci-Nya. Adapun sifat-sifat pada kelompok kedua merupakan relasi (nisbah) antara Allah dan makhluk-Nya. Di sini, dzat Allah dan dzat makhluk-Nya merupakan dua sisi relasi, misalnya Al-Khaliqiyah. Sifat ini diperoleh dari hubungan yang terdapat pada makhluk-makhluk-Nya dengan dzat Allah. Dalam hal ini, Allah SWT dan seluruh makhluk merupakan dua sisi hubungan tersebut. Akan tetapi dalam realitasnya, tidak terdapat apa pun selain dzat Allah yang suci dan dzat-dzat makhluk-Nya. Artinya bahwa Al-Khaliqiyah itu bukanlah sebuah realitas yang nyata.
Sudah jelas bahwa pada tataran dzat, Allah SWT memiliki sifat Al-Qudrah (kekuasaan) untuk mencipta. Akan tetapi, sifat ini merupakan sifat dzatiyah. Adapun Al-Khalq (penciptaan) merupakan mafhum idlafi (konsep relasional) yang diperoleh pada tataran tindakan Allah. Oleh karena itu, Al-Khaliq (pencipta) termasuk sifat fi'liyah. Lain halnya jika kita menafsirkan Al-Khaliq (pencipta) dengan Al-Qadir 'alal khalq (kuasa untuk mencipta), dalam hal ini ia kembali kepada sifat dzatiyah, yakni Al-Qudrah.
Sifat-sifat dzatiyah Allah yang penting ialah Al-Hayah (hidup), Al-'Ilm (tahu), dan Al-Qudrah (kuasa). Adapun sifat mendengar (As-Sami') dan melihat (Al-Bashir), apabila kita tafsirkan kedua sifat ini bahwa Allah mengetaui apa saja yang didengar dan apa saja yang dilihat, atau kuasa untuk mendengar dan melihat, maka kedua sifat tersebut menginduk kepada Al-'Alim dan Al-Qadir (Mahatahu dan Mahakuasa). Namun, jika maksud kedua sifat itu adalah mendengar dan melihat secara tindakan (fi'li) yang dicerap akal dari hubungan Dzat Yang Mahadengar dan Mahalihat dengan segala sesuatu yang mungkin untuk didengar dan dilihat, maka kedua sifat tersebut harus digolongkan ke dalam sifat fi'liyah. Sebagimana sifat ilmu terkadang digunakan dengan pengertian demikian ini. Istilah seperti ini dinamakan sebagai ilmu fi'li.
Sebagian mutakalimin menggolongkan sifat berkata (Al-Kalam) dan berkehendak (iradah) ke dalam sifat dzatiyah, yang Insya Allah hal ini akan kita bahas pada bagian berikutnya.

Menetapkan Sifat-sifat Dzatiyah
Cara yang paling mudah untuk menetapkan sifat Al-Hayah, Al-Qudrah dan Al-'Ilm pada Allah SWT adalah sebagai berikut; bahwa tatkala konsep (dari sifat-sifat) tersebut berlaku pada makhluk-makhluk, ia merupakan kesempurnaan bagi mereka. Konsekuensinya adalah sifat-sifat itu pun terdapat pada Sebab Pengada dalam bentuk yang lebih mulia dan lebih sempurna. Karena, setiap kesempurnaan yang ada pada makhluk manapun bersumber dari Sebab Pengada, yaitu Allah SWT. Dengan demikian, Dia pasti memiliki sifat-sifat tersebut sehingga menganugerahkan kepada makhluk-makhluk-Nya. Sebab, tidak mungkin suatu dzat adalah sebagai Pencipta kehidupan, sementara Dia sendiri tidak memilikinya, atau menganugerahkan pengetahuan dan kekuasaan kepada makhluk-makhluk-Nya, sementara Dia sendiri jahil dan lemah. Jelas, bahwa setiap yang tidak memiliki sesuatu tidak akan dapat memberikan sesuatu kepada selainnya (Faqidu As-Syai' La Yu'thihi).
Maka itu, keberadaan sifat-sifat kesempurnaan pada sebagian makhluk-Nya merupakan dalil atas keberadaan sifat-sifat tersebut pada Al-Khaliq (pencipta) tanpa berkurang dan terbatas. Artinya, Allah SWT memiliki sifat hidup, ilmu dan kuasa secara mutlak dan tak terbatas. Untuk selanjutnya, kami akan membahas masing-masing dari ketiga sifat tersebut secara lebih luas.

Hidup (Al-Hayat)
Pengertian hidup (Al-Hayat) digunakan untuk dua golongan makhluk. Golongan pertama adalah tumbuhan yang mempunyai potensi untuk tumbuh dan berkembang. Kelompok kedua adalah hewan dan manusia yang mempunyai perasaan dan kehendak. Akan tetapi, makna pertama dari pengertian hidup meniscayakan adanya kekurangan dan kebutuhan. Karena, kodrat tumbuh dan berkembang pada tumbuhan melazimkan bahwa sesuatu yang tumbuh itu pada awalnya tidak memiliki kesempurnaan. Akan tetapi, terdapat sebagian faktor dan efek luar yang mewujudkan perubahan dan perkembangan sehingga ia mencapai kesempurnaan terakhirnya secara berangsur-angsur. Kelaziman semacam ini tidak mungkin dinisbahkan kepada Allah, sebagaimana telah kami bahas pada tema sifat-sifat salbiyyah (negatif).
Adapun makna kedua dari hidup adalah pengertian yang sempurna (tidak melazimkan kekurangan dan kebutuhan), walaupun pada sebagian realitas yang mungkin diliputi oleh sejumlah kekurangan dan keterbatasan. Meski begitu, kita dapat memahami makna hidup ini secara tak terbatas dan tak berkekurangan, murni dari batasan ataupun kebutuhan, sebagaimana makna Al-Wujud dan Al-Kamal.
Sifat hidup yang meniscayakan pengetahuan dan pelaku yang berkehendak termasuk kelaziman wujud nonmateri. Meskipun dinisbahkan kepada makhluk-makhluk hidup fisikal, sebenarnya sifat hidup ini merupakan sifat bagi ruhnya, bukan bagi badan fisisnya. Badan disifati dengan hidup karena ia mempunyai hubungan yang erat dengan ruh. Dengan kata lain, sebagaimana imtidad (ekstensi) merupakan keniscayaan wujud materi, demikian pula hidup merupakan keniscayaan wujud mujarrad (nonmateri).
Dari sini, terbetik argumen lain atas sifat hidup Allah, yaitu bahwa Allah Yang Suci itu bersifat nonmateri dan tidak berbentuk, sebagaimana telah kami jelaskan pada pelajaran yang lalu. Dan bahwa setiap yang nonmateri itu memiliki sifat hayat secara substansial (dzati). Dengan demikian, Allah SWT memiliki sifat hidup secara substansial.

Tahu
Tahu merupakan konsep yang paling jelas dan gamblang. Akan tetapi, bila diterapkan pada makhluk-makhluk-Nya, mishdaq konsep ini di luar sangatlah kurang dan terbatas. Sifat tahu demikian ini-yang merupakan sifat makhluk-tidak mungkin berlaku pada Allah. Akan tetapi, akal kita-sekali lagi-dapat menggambarkan mishdaq konsep tersebut secara murni dari kekurangan dan keterbatasan. Yaitu bahwa tahu identik dengan dzat si pengetahu itu sendiri. Inilah ilmu dzati (pengetahan substansial) yang ada pada Allah SWT.
Untuk membuktikan sifat tahu pada Allah SWT, kita dapat menggunakan beberapa cara. Pertama, menggunakan cara yang telah kita gunakan untuk menetapkan seluruh sifat-sifat dzati bagi-Nya. Artinya, mengingat bahwa tahu itu terdapat pada makhluk-makhluk Allah SWT, sudah pasti sifat itu pun terdapat pada-Nya dengan bentuk yang lebih mulia dan sempurna.
Kedua, menggunakan dalil keteraturan (argument from design), yaitu bahwa setiap fenomena atau makhluk yang memiliki keteraturan atau keutuhan lebih banyak, maka lebih banyak menunjukkan pengetahuan penciptanya, sebagaimana kita temukan pada karya ilmiah atau bait kosidah yang indah, atau karya seni yang menunjukkan sejauhmana penciptanya memiliki pengetahuan, cita-rasa dan pengalaman. Tidak mungkin seorang yang berakal akan menganggap bahwa sebuah buku ilmiah atau kitab filsafat ditulis oleh orang bodoh dan tidak berpendidikan. Maka itu, bagaimana mungkin alam semesta beserta isinya yang penuh dengan berbagai rahasia dan keunikan ini diciptakan oleh dzat yang tidak tahu.
Ketiga, menggunakan premis-premis Filsafat Teoritis yang ghairu badihiyah (perlu pembuktian). Misalnya, kaidah Filsafat yang berbunyi: "Setiap maujud nonmateri yang mandiri itu tahu" sebagaimana yang dibuktikan dalam kitab-kitab yang khusus membahas masalah ini.
Perhatian seseorang terhadap pengetahuan Allah itu mempunyai peranan yang besar dalam membangun kepribadiannya. Oleh karena itu, Al-Qur'an seringkali menekankan hal ini. Di antara ayat-ayat yang menyinggung hal itu adalah:
"Dia itu mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati." (QS. Al-Mu'minun: 19).

Kuasa
Setiap pelaku yang melakukan tindakannya dengan kehendak dan pilihannya disebut bahwa ia memiliki kemampuan atas tindakan tersebut. Dengan demikian, kuasa ialah kekuatan dan dasar bagi pelaku yang memiliki pilihan dalam melakukan tindakan yang mungkin dilakukannya. Setiap kali pelaku itu lebih banyak mempunyai kesempurnaan dari sisi derajat wujudnya, ia semakin banyak mempunyai kekuasaan dan kemampuan. Maka itu, sudah pasti dzat yang mempunyai kesempurnaan yang tak terbatas memiliki kekuasaan dan kemampuan yang tak terbatas pula. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Baqarah: 20).
Sehubungan dengan ini, perlu kami tekankan beberapa poin berikut ini:
Pertama, setiap tindakan yang ada kaitannya dengan kuasa mesti bersifat mumkin tahaqquq (mungkin terealisasi). Maka, sesuatu yang secara substansial tidak mungkin (mumtani') terwujud, atau sesuatu yang meniscayakan kemustahilan, tidak ada hubungannya dengan kuasa. Ungkapan bahwa Allah SWT Mahakuasa atas segala tindakan, tidak berarti bahwa Dia-katakanlah!-mampu menciptakan Tuhan selain-Nya, karena Dia adalah Tuhan yang artinya dzat yang tidak diciptakan, juga tidak berarti bahwa Dia mampu menjadikan angka 2 sebagai angka 2 lebih besar daripada angka 3, atau Dia menciptakan anak sebagai anak sebelum menciptakan bapaknya.
Kedua, kuasa atas segala tindakan tidak menuntut dzat yang berkuasa untuk melakukan segala tindakan yang sanggup ia lakukan. Akan tetapi, ia hanya akan melakukan setiap tindakan yang sesuai dengan kehendaknya. Dan Allah SWT Yang Mahabijak tidak menghendaki kecuali tindakan-tindakan yang baik dan bijak. Dan Dia tidak akan merealisasikan tindakan-tindakan yang tidak baik dan tidak bijak, meskipun Dia Mahakuasa dan Mampu untuk melakukan tindakan yang buruk dan munkar. Hal ini akan kita bahas pada pelajaran Hikmah Ilahiyah.
Ketiga, menurut pengertian yang telah kami jelaskan, kuasa juga mengandung ikhtiar (kebebasan). Di samping Allah SWT memiliki derajat kekuasaan dan kemampuan yang paling tinggi, Dia pun memiliki ikhtiar yang paling tinggi dan sempurna. Tidak mungkin ada faktor apa pun yang memaksa-Nya untuk melakukan suatu tindakn atau mencabut ikhtiar dari-Nya. Karena, wujud dan kemampuan segala sesuatu dan bersumber dari Allah. Maka, tidak mungkin Dia dipaksa dan dikalahkan oleh berbagai kekuatan dan kekuasaan yang Ia berikan kepada makhluk-makhluk-Nya.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Apakah pengertian-pengertian yang mungkin dapat diterapkan Allah SWT?
2. Berikan definisi sifat dzatiyah dan sifat fi'liyah, dan jelaskan perbedaan antara keduanya!
3. Apakah cara umum yang digunakan untuk menetapkan sifat-sifat dzatiyah?
4. Pengertian apa saja yang digunakan pada sifat hidup? Dan makna apakah yang mungkin dapat digunakan pada Allah SWT?
5. Jelaskan argumen khusus atas sifat hidup Allah SWT!
6. Sebutkan tiga argumen atas pengetahuan Allah!
7. Jelaskan pengertian kuasa dan sebutkan pula argumen tentang kekuasaan Allah yang tak terbatas!
8. Hal-hal apakah yang tidak mungkin berkaitan dengan kekuasaan Allah SWT?
9. Mengapa Allah tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk dan mungkar?
10. Jelaskan maksud bahwa Allah memiliki kehendak bebas!


PELAJARAN 10
Sifat-sifat Fi'liyah

Mukaddimah
Telah kami jelaskan pada pelajaran yang lalu, bahwa sifat fi'liyah merupakan konsep-konsep di mental yang diperoleh akal dari perbandingan antara dzat Allah dan makhluk-makhluk-Nya, dengan cara mengamati hubungan tertentu di antara keduanya. Dalam hal ini, Khaliq dan makhuk-Nya merupakan dua sisi hubungan, seperti konsep Al-Khaliqiyah yang diperoleh akal dengan cara mengamati hubungan wujud makhluk-makhluk dengan Allah SWT. Apabila hubungan di antara keduanya ini tidak diamati, konsep tersebut tidak mungkin dapat diperoleh.
Hubungan-hubungan yang mungkin dapat tergambar antara Allah SWT dan makhluk-Nya itu tidak terbatas. Akan tetapi, secara global dan dari satu sisi, hubungan-hubungan tersebut dapat dibagi kepada dua kelompok:
Kelompok pertama, hubungan-hubungan antara Khaliq dan makhluk-Nya yang dapat dipahami dengan cara mengamati secara langsung, seperti Al-Ijad (mewujudkan), Al-Khalq (menciptakan), Al-Ibda` (mengadakan), dan sebagainya.
Kelompok kedua, hubungan-hubungan yang dapat dipahami setelah mempersepsi hubungan-hubungan yang lain seperti; rizki. Karena, pada awalnya kita mesti mengasumsikan adanya hubungan dzat pemberi rizki dan dzat penerima rizki. Setelah itu kita memahami ihwal limpahan rahmat Allah kepadanya, sehingga dengan begitu kita memperoleh konsep Ar-Raziq (pemberi rizki) dan Ar-Razzaq (Mahapemberi rizki).
Bahkan, terkadang kita pun dapat mengonsepkan berbagai hubungan antara satu makhluk dengan yang lainnya sebelum sifat fi'liyah pada Allah SWT itu dipahami. Setelah itu, barulah kita mengamati hubungannya dengan Allah.
Di samping itu, kita dapati pula adanya konsep yang muncul dari beberapa hubungan sebelumnya antara Allah SWT dan makhluk, seperti konsep maghfirah, dimana konsep ini muncul dari rububiyah tasyri'iyah Ilahiyah (pengaturan syariat Ilahi), penentuan Allah terhadap hukum-hukum syariat dan penyimpangan hamba darinya. Dengan demikian, untuk dapat memahami sifat-sifat fi'liyah, kita harus melakukan suatu perbandingan antara Allah SWT dan makhluk-makhluk-Nya, kemudian kita temukan adanya hubungan antara dzat pencipta dan yang dicipta, lalu dengan cara ini kita memperoleh konsep idhafi (relasional) dari hubungan tersebut. Oleh karena itu, dzat Allah yang suci tidak bisa dijadikan mishdaq sifat-sifat fi'liyah secara tersendiri; tanpa mengamati hubungan tersebut. Inilah perbedaan utama antara sifat-sifat dzatiyah dan sifat-sifat fi'liyah.
Pada pelajaran yang lalu, telah kami jelaskan bahwa kita pun dapat memperhatikan sifat-sifat fi'liyah pada asal- usulnya. Degan begitu, sifat-sifat fi'liyah akan bermuara pada sifat-sifat dzatiyah, sebagaimana pada Al-Khaliq (pencipta) dan al-Khallaq (Maha pencipta). Apabila kita tafsirkan sifat ini dengan Qadir (Mahakuasa) atas makhluknya, maka ia berasal dari sifat Al-Qadir (Mahakuasa). Atau, sifat As-Sami' (Mahadengar) dan sifat Al-Bashir (Mahalihat), yang bila kita tafsirkan kedua sifat ini dengan mengetahui (Al-'Alim) atas hal-hal yang mungkin didengar dan dilihat, maka ia sesung-guhnya berasal dari sifat Al-'Alîm (Mahatahu).
Terdapat pula beberapa konsep yang dapat digolongkan ke dalam sifat-sifat dzatiyah, akan tetapi padanya ditemukan pula adanya makna idhafi (relasional) dan makna fi'li (bersifat aksional). Oleh karena itu, sifat-sifat tersebut dapat dianggap sebagai sifat-sifat fi'liyah, seperti konsep Al-'Ilm (tahu) yang digunakan Al-Qur'an-di sekian banyak ayat-dengan makna relasional.
Satu hal yang perlu kita catat secara seksama adalah apabila kita temukan adanya hubungan antara Allah dan hal-hal material, sehingga diperolehlah sifat fi'liyah tertentu pada Allah, tentu sifat ini dibatasi oleh tempat dan waktu dari sisi keterkaitannya dengan maujud-maujud materi sebagai salah satu sisi hubungan tersebut. Kendati demikian, bila dilihat dari sisi keterkaitannya dengan Allah sebagai sisi lain hubungan tersebut, sifat ini suci dari batasan apa pun. Misalnya, pemberian rizki Allah kepada seseorang hanya bisa terwujud pada masa dan tempat tertentu.Pada hakikatnya, batasan masa dan waktu ini berkaitan dengan orang yang menerima rizki itu, bukan dengan Allah Sang Pemberi rizki, karena Dia Mahasuci dari penisbahan masa dan tempat apa pun.
Catatan ini merupakan kunci untuk menyelesaikan berbagai keraguan yang dilontarkan terhadap upaya mengenal sifat-sifat dan tindakan Allah yang telah menyebabkan banyaknya pertikaian di antara para ulama dan pemikir.

Pencipta
Setelah kita dapat membuktikan wajibul wujud dan bahwa ia merupakan sebab utama bagi keberadaan mumkinul wujud, dan dengan memperhatikan bahwa segala yang ada itu pada wujudnya sendiri bergantung mutlak kepada Allah, dari sini dapat ditemukan sifat pencipta (Al-Khaliqiyah) pada wajibul wujud dan sifat yang dicipta (makhluqiyah) pada makhluk-Nya. Sifat pencipta ini identik dengan Sebab Pengada. Dan seluruh yang mungkin (mumkinul wujud) yang butuh kepada pencipta dan merupakan satu sisi hubungan penciptaan disifati dengan makhluqiyah (ciptaan, yang dicipta).
Akan tetapi, terkadang kata Al-Khalq (penciptaan) mengandung makna mahdudiyah (keterbatasan) yang lebih banyak, dimana objek penciptaan ini adalah maujud yang hanya dicipta dari materi yang sebelumnya. Lawan dari makna tersebut ibda` (pewujudan), dimana makna ini digunakan untuk realitas-realitas yang wujudnya tidak didahului oleh materi (seperti realitas-realitas abstrak dan hayula).
Atas dasar inilah, ijad (penciptaan) dibagi menjadi dua bagian, yaitu khalq dan ibda` (penciptaan dan pewujudan). Dengan demikian, tindakan mencipta yang dilakukan oleh Allah SWT tidak sama dengan tindakan yang dilakukan manusia ketika membuat sesuatu; mereka butuh kepada gerak dan anggota badan agar gerakannya menjadi sebuah tindakan, dan hal yang terjadi merupakan hasil tindakan tersebut.
Adapun penciptaan Allah SWT tidaklah demikian. Artinya, penciptaan bukan sesuatu dan yang dicipta bukan pula sesuatu yang lain. Karena, di samping Allah SWT itu suci dari gerak dan ciri-ciri khas segala maujud materi, jika tindakan cipta-Nya berupa realitas objektif tersendiri di luar, berarti tindakan cipta ini adalah wujud mungkin yang-pada dasarnya-merupakan makhluk dan ciptaan Allah. Jika demikian, pembicaraan akan kembali lagi seputar penciptaan Allah atas tindakan cipta-Nya, dan ini justru melazimkan daur yang mustahil. Akan tetapi sebagaimana telah kami singgung mengenai sifat-sifat fi'liyah, bahwa sifat-sifat tersebut merupakan konsep-konsep (mafhum) yang diperoleh dari berbagai relasi yang terdapat antara Allah dan makhluk-Nya. Sedangkan dasar untuk menilai adanya relasi-relasi itu adalah akal.

Pengatur
Salah satu relasi yang dapat diamati antara Allah SWT dan makhluk-Nya adalah bahwa makhluk-makhluk itu tidak saja butuh kepada Allah pada asal wujudnya, bahkan segala hal yang berkaitan dengan wujud dan kesinambungannya ber-gantung kepada-Nya. Mereka tidak mandiri, sama sekali. Oleh karena itu, Allah SWT memiliki hak tasharruf (perlakuan) atas mereka dan mengatur berbagai urusannya sesuai dengan kehendak-Nya.
Ketika mengamati relasi tersebut secara umum, kita dapat mencerap konsep rububiyah (pengaturan) yang kelazimannya adalah mengatur segala urusan. Konsep ini memiliki berbagai mishdaq[1] seperti: Al-Hafidh (penjaga), Al-Muhyi (meng-hidupkan), Al-Mumit (mematikan), Ar-Raziq (pemberi rizki), Al-Hadi (pemberi hidayah), Al-Amir (pemerintah), An-Nahi (pelarang) dan sebagainya.
Hal-hal yang berhubungan dengan rububiyah ini dapat dibagi menjadi dua kelompok:
Satu: Rububiyah Takwiniyah (pengaturan cipta). Rububiyah ini meliputi pengaturan berbagai urusan setiap maujud dan pemenuhan berbagai kebutuhannya. Singkat kata, ia meliputi pengaturan alam semesta.
Dua: Rububiyah Tasri'iyah (pengaturan tinta). Rububiyah ini hanya berlaku atas makhluk yang bisa merasa dan memilih. Hal ini meliputi beberapa masalah seperti peng-utusan para Nabi, penurunan kitab-kitab samawi, penetapan tugas dan kewajiban dan penyusunan hukum dan undang-undang.
Dengan demikian, rububiyah mutlak Ilahi berarti bahwa seluruh makhluk dalam segala urusan hidup dan wujudnya bergantung kepada Allah SWT. Dan berbagai hubungan yang terjalin antara sesama mereka pada akhirnya berujung kepada-Nya. Dialah yang mengatur dan mengurus sebagian makhluk-Nya dengan perantara makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dialah yang melimpahkan rizki kepada segenap makhluk melalui sumber-sumbernya yang telah Dia hamparkan. Dialah yang memberi hidayah kepada seluruh makhluk yang berperasaan, baik melalui sarana-sarana internal (seperti akal dan seluruh daya indra) maupun melalui sarana-sarana eksternal (seperti para Nabi dan kitab samawi).Dan Dia pulalah yang menetapkan hukum-hukum, aturan-aturan, berbagai tugas dan kewajiban kepada para mukallaf (orang yang terbebani tugas-tugas syari'i).
Sebagaimana khaliqiyah, rububiyah merupakan konsep relasional (idhafi). Bedanya, aspek-aspek yang diamati pada konsep tersebut adalah hubungan-hubungan khusus antara berbagai makhluk itu sendiri. Sebagaimana yang telah kami jelaskan pada konsep Raziqiyah. Apabila dengan teliti kita merenungkan konsep khaliqiyah dan rububiyah sebagai sifat idhafiyah, akan tampak jelas bahwa di antara kedua sifat tersebut terdapat talazum (hubungan niscaya), bahwa pengatur alam semesta ini mustahil bukan penciptanya. Maka, dzat yang menciptakan seluruh makhluk dengan ciri-ciri tertentu dan menciptakan hubungan antara sesamanya, Dia pulalah yang memelihara dan mengaturnya. Pada hakikatnya, konsep rububiyah dan tadbir diperoleh akal dari proses penciptaan pada berbagai makhluk, dan adanya hubungan antara satu makhluk dengan yang lainnya.


Yang Disembah
Para ulama Islam telah banyak membahas seputar konsep al-ilah dan uluhiyah di dalam kitab-kitab tafsir.Makna yang kami pilih untuk konsep ini ialah bahwa ilah berarti Al-Ma'bud (sembahan) atau bermakna yang berhak diibadahi dan ditaati. Seperti halnya kata Al-Kitab yang berarti Al-Maktub (yang ditulis), artinya sesuatu yang layak ditulis. Berdasarkan pengertian ini, uluhiyah merupakan sifat yang apabila kita hendak memahaminya, harus mengasumsikan adanya hubungan antara ibadah seorang hamba dan ketaatannya. Karena orang-orang yang sesat, meskipun mereka menjadikan sesuatu sebagai sembahannya, yang berhak untuk diibadahi dan ditaati hanyalah Allah Al-Khaliq dan Ar-Rabb semata.
Keyakinan demikian ini adalah kadar yang mesti dipenuhi oleh setiap orang dalam masalah-masalah ketuhanan. Artinya, di samping ia mengimani bahwa Allah swt. itu adalah wajibul wujud, pencipta, pengatur dan bahwa alam ini tunduk di bawah kehendak-Nya, ia pun mesti mengimani bahwa Dialah yang berhak ditaati dan diibadahi. Dari sinilah diperoleh konsep uluhiyah sebagai salah satu syiar Islam, yaitu La ilaha Illallah.[]


Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini !
1. Apakah hubungan antara sifat-sifat dzatiyah dan fi`liyah, dan bagaimana salah satunya itu berasal dari yang lain?
2. Mengapa sifat-sifat fi'liyah itu terbatas dan terikat dengan masa dan tempat?
3. Jelaskan pengertian Al-Khaliqiyah dan terangkan perbedaan antara konsep tersebut dengan Al-Ijad dan Al-Ibda' !
4. Mengapa kita tidak mungkin menggambarkan Al-Khalq (penciptaan) sebagai realitas di luar yang berbeda dan mandiri dari makhluk?
5. Jelaskan pengertian rububiyah!


PELAJARAN 11

Seluruh Sifat-sifat Fi'liyah
Termasuk tema yang rumit di dalam ilmu Kalam adalah masalah Iradah Ilahiyah (kehendak Allah) yang dibahas dari beberapa sisi. Ikhtilaf seputarnya pun tidak bisa dihindari, seperti apakah kehendak ini termasuk sifat zatiyah ataukah sifat fi'liyah? Apakah sifat tersebut qadim ataukah hadist? dan apakah ia itu satu ataukah berbilang?
Selain itu, terdapat tema-tema lainnya yang dibahas oleh Filsafat mengenai kemutlakan kehendak, khususnya kehendak Allah. Jelas bahwa kajian atas tema ini secara luas tidak sesuai dengan buku yang ada di hadapan Anda ini. Oleh karena itu, kami memulai penjelasan masalah ini dengan pengertian iradah. Setelah itu, akan kami jelaskan secara ringkas tentang iradah Allah.

Iradah
Setidak-tidaknya, kata iradah secara konvensional digunakan dalam dua makna. Salah satunya bermakna cinta (muhabbah), dan yang kedua bermakna keputusan (tashmim) untuk melakukan suatu perbuatan. Dilihat dari sisi bidang-bidangnya, makna pertama sangatlah luas, karena meliputi cinta akan segala sesuatu yang berada di luar tindakan seseorang dan tindakan orang lain. Berbeda dengan makna yang kedua yang digunakan khusus untuk tindakan-tindakan seseorang itu sendiri.
Iradah dengan pengertian pertama (mahabbah), meskipun bagi manusia merupakan aradh (aksiden) dan kaifiyah nafsaniyah (kualitas jiwa), akan tetapi akal kita-dengan cara menyisihkan berbagai kekurangan darinya-dapat menggambarkan konsep umum baginya, sehingga bisa diterapkan atas entitas-entitas di luar, bahkan atas Allah SWT. Sebagaimana penyisihan tersebut dilakukan oleh akal terhadap
pengetahuan (ilmu).
Maka itu, Hubb (cinta)-yang diterapkan atas mahabbah (kecintaan) Allah terhadap dzat-Nya-dapat digolongkan ke dalam sifat dzatiyah. Dengan demikian, apabila maksud Iradah Ilahiyah adalah hubbul kamal (cinta kesempurnaan) yang-pada prinsipnya-berhubungan dengan kesempurnaan Ilahi yang tidak terbatas, dan berikutnya berhubungan dengan seluruh makhluk dari sisi bahwa kesempurnaan itu merupakan kesan (atsar) dari kesempurnaan-Nya, maka kita dapat menggolongkan sifat cinta ini ke dalam sifat dzatiyah sebagaimana sifat dzatiyah lainnya; qadim dan esa, identik ('ayn dzat) dengan zat Allah itu sendiri (yakni merupakan substansi Allah itu sendiri).
Adapun iradah dengan makna keputusan untuk melakukan suatu tindakan, tidak diragukan lagi bahwa ia termasuk sifat fi'liyah yang-dilihat dari kaitannya dengan fenomena-fenomena alam (hawadist)-terikat dengan batasan-batasan waktu, sebagaimana yang juga tampak pada ayat yang berbunyi:
"Sesungguhnya manakala amr-Nya menghendaki sesuatu, Dia berkata, 'Jadilah', maka terjadilah." (QS. Yasin: 82).
Namun, perlu diperhatikan bahwa penyifatan Allah dengan sifat-sifat fi'liyah ini tidak berarti dzat-Nya mengalami perubahan atau terdapat aradh (aksiden) padanya. Penyifatan ini hanyalah menyoroti hubungan antara dzat Allah dan makhluk-makhluk-Nya dari sisi tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu pula, sehingga dengan cara itu dapat dipe-roleh sebuah konsep relasional (mafhum idlafi) yang tergolong sebagai sifat fi'liyah.
Pada iradah, hubungan berikut ini dapat diamati; bahwa setiap makhluk itu diciptakan dari aspek bahwa ia memiliki kesempurnaan, kebaikan dan kemaslahatan. Maka wujudnya itu-pada masa, tempat dan cara tertentu-terkait dengan ilmu dan cinta Allah SWT. Dan sesungguhnya Dia menciptakannya dengan kebebasan dan kehendak-Nya, tanpa ada pemaksaan dari siapa pun.
Dengan memperhatikan hubungan ini, kita dapat memperoleh sebuah konsep yang dinamakan iradah. Konsep relasional ini dibatasi oleh batasan-batasan tertentu dilihat dari kaitannya dengan sisi hubungan yang terbatas pula. Selain itu, konsep ini bersifat hudust dan kastrah (proses dan jamak), karena kerelasiannya yang tentunya mengikuti dua sisi yang mengapitnya, dimana hudust dan kasrat pada salah satu sisi saja akan berlaku pada relasi itu sendiri.


Hikmah
Bertolak dari apa yang telah kami jelaskan seputar Iradah Ilahiyah, menjadi jelas bagi kita bahwa iradah itu tidak terkait dengan penciptaan sesuatu secara sia-sia, tanpa pertimbangan dan hikmah. Melainkan bahwa Iradah Ilahiiyah itu pada dasarnya berkaitan dengan sisi kesempurnaan dan kebaikan segala sesuatu. Mengingat bahwa terjadinya benturan antara satu materi dengan lainnya itu mengakibatkan timbulnya kekurangan pada sebagiannya dari sebagian lainnya, cinta Ilahi kepada kesempurnaan melazimkan terciptanya suatu tatanan materi yang melazimkan kebaikan dan kesempurnaan yang lebih banyak.
Dari pengamatan terhadap hubungan-hubungan itu, kita memperoleh konsep yang namanya maslahat. Tanpa pengamatan itu, maslahat itu sendiri tidak memiliki wujud mandiri yang memberi efek pada keberadaan makhluk ataupun pada iradah Ilahiyah. Artinya, kita tidak mendapati wujud luar mandiri yang dinamakan maslahat yang dapat mempengaruhi wujud makhluk, lebih tidak benar lagi jika dikatakan bahwa maslahat itu dapat mempengaruhi Iradah Ilahiyah.
Kesimpulannya, bahwa tindakan Ilahi itu muncul dari sifat-sifat dzatiyah Allah SWT seperti: ilm, qudrat dan cinta-Nya kepada kesempurnaan dan kebaikan. Oleh karena itu, tindakan-tindakan Allah senantiasa berdasarkan maslahat dan tidak mungkin kosong darinya, yakni selalu terdapat kebaikan dan kesempurnaan yang ghalib. Iradah semacam ini dinamakan iradah hakimah; Kehendak yang Mahabijak. Dari sinilah akal menemukan sifat fi'liyah Allah yang lain, yaitu sifat bijaksana (hakim). Sebagaimana pula semua sifat-sifat fi'liyah lainnya, sifat ini pun berasal dari sifat dzatiyah Allah SWT.
Perlu kiranya kami tekankan, bahwa melakukan suatu tindakan karena maslahat, bukan berarti bahwa maslahat itu merupakan sebab tujuan ('illat gha'iyah) bagi Allah swt. Melainkan bahwa maslahat itu merupakan tujuan kedua dan bersifat tak langsung (taba'i). Adapun tujuan dasarnya tindakan Allah adalah cinta-Nya kepada kesempurnaan diri-Nya sendiri yang tak terbatas, dimana cinta kesempurnaan-Nya tersebut secara tak langsung berhubungan dengan berbagai atsar-nya (efeknya), yaitu kesempurnaan segala yang ada. Berangkat dari sini mereka mengatakan bahwa sebab tujuan pada tindakan Allah adalah sebab pelaku ('illah fa'iliyah) itu sendiri. Karena, Allah swt. tidak memiliki ghayah mustaqil (tujuan di luar diri-Nya) sebagai tambahan atas dzat-Nya.
Namun demikian, konklusi ini tidak menafikan adanya kesempurnaan, kebaikan dan maslahat pada segala yang ada sebagai tujuan sampingan (far'i dan tabi'i). Maka itu, tindakan-tindakan Allah dalam Al-Qur'an disebutkan sebagai sebab bagi sebagian perkara dan tujuan yang semuanya berakhir kepada kesempurnaan dan kebaikan seluruh makhluk itu sendiri. Ayat-ayat Al-Qur'an menyebutkan bahwa ujian, bencana, memilih perbuatan yang paling baik, beribadah kepada Allah SWT dan mencapai rahmat Ilahi yang abadi merupakan tujuan penciptaan manusia. Setiap tujuan tersebut disiapkan untuk tujuan lainnya secara gradual sebagaimana yang telah dijelaskan.


Kalam
Termasuk konsep yang dinisbahkan kepada Allah SWT adalah konsep kalam atau takallum (berkata). Sejak dahulu, persoalan kalam Ilahi ini telah dibahas oleh kaum teolog. Bahkan sebagian mereka mengatakan bahwa sebab penamaan ilmu Kalam adalah larutnya para teolog ke dalam pembahasan seputar kalam Ilahi. Madzab Asy'ariyah (Ahli Sunnah) menganggap bahwa kalam Ilahi termasuk sifat dzatiyah. Sementara Mu'tazilah menganggapnya sebagai sifat fi'liyah. Di antara persoalan yang menyebabkan terjadinya pertikaian sengit antara kedua madzab tersebut ialah: apakah Al-Qur'an-sebagai kalam Allah-termasuk makhluk atau tidak? Bahkan bisa jadi sebagian mereka mengkafirkan sebagian lainnya hanya karena perbedaan pandangan dalam masalah ini.
Dengan memperhatikan pengertian sifat dzatiyah dan sifat fi'liyah terdahulu, tampak jelas bahwa kalam Ilahi termasuk sifat fi'liyah; yang tidak dapat ditangkap akal kecuali dengan mengandaikan audiens (mukhatab) yang berusaha me-nangkap maksud ucapan mutakalim (pembicara) dengan cara mendengar suara atau melihat tulisan atau terbetik suatu pema-haman di dalam benaknya, ataupun dengan cara lainnya.
Pada hakikatnya, konsep mutakalim itu diperoleh dari adanya hubungan antara Allah yang hendak menyingkapkan suatu hakikat kepada selain-Nya dan audiens yang hendak menangkap hakikat tersebut. Berbeda bila yang dimaksudkan takalum itu adalah makna lain seperti qudrat (kuasa) untuk bicara atau tahu isi pembicaraan. Berdasarkan maksud ini, sifat kalam akan kembali kepada sifat dzatiyah. Sebagaimana telah disinggung, sebagian dari sifat-sifat fi'liyah mengalami penyederhanaan seperti ini.
Adapun Al-Qur'an yang tersusun dari kalimat-kalimat atau kata-kata atau pemahaman-pemahaman yang tersirat di benak ataupun berupa hakikat nurani nonmateri, semua itu termasuk makhluk. Kecuali jika dikatakan bahwa ilmu dzati Allah adalah hakikat Al-Qur'an, maka dalam asumsi ini Al-Qur'an berkaitan dengan sifat ilmu dzatiyah. Akan tetapi, takwil dan penafsiran atas kalam Ilahi dan Al-Qur'an semacam ini sangat jauh dari pemahaman umum, dan hal ini harus dihindari.

Benar
Sesungguhnya kalam Ilahi-bila berupa bentuk perintah, larangan dan penyaratan (preskriptif)-adalah suatu penentuan akan berbagai hukum dan tugas praktis atas segenap hamba. Ketika itu, ia tidak bisa disifati dengan benar dan dusta. Karena memang bentuk-bentuk itu tidak bisa disifati dengan benar dan dusta. Namun, apabila ia berbentuk infor-masi tentang berbagai hakikat, peristiwa masa lalu atau pun yang akan datang, kalam Ilahi ini bisa disifati sebagai benar (Ash-Shidq).
"Siapakah yang lebih benar ucapannya daripada Allah?" (QS. An-Nisa: 87)
Sifat ini merupakan landasan bagi rumusan argumen lainnya, yaitu dalil wahyu (naqliyah) untuk menetapkan masalah-masalah partikular (far'iyah) atau bahkan berbagai masalah akidah dalam pandangan dunia Ilahi.
Salah satu dalil rasional atas kalam Ilahi ialah bahwa kalam Ilahi adalah bagian dari rububiyah dan pengaturan Allah atas alam semesta dan manusia. Kalam ini berlandaskan ilmu dan hikmah, serta bertujuan untuk memberikan hidayah kepada segenap makhluk, dan memenuhi sarana untuk menyampaikan berbagai pengetahuan yang benar kepada audiens (mukhatab).Bila dikatakan bahwa kalam Ilahi itu-boleh jadi-tidak sesuai dengan kenyataan objektif, maka Allah sebagai penyampai tidak dapat lagi dipercaya, karena menggugurkan tujuan kalam itu sendiri. Demikian ini bertentangan dengan Hikmah Ilahiyah.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Apakah makna ungkapan bahwa iradah termasuk sifat dzatiyah? Dan apakah makna pengertian bahwa ia termasuk sifat fi'liyah?
2. Hubungan apakah yang dilihat antara Allah dan makhluk-Nya untuk menangkap mafhum iradah sebagai sifat fi'liyah?
3. Bagaimana iradah Ilahiyah itu bisa disifati dengan huduts dan kasrat?
4. Jelaskan hikmah Ilahiyah!
5. Bagaimana kita dapat sampai kepada pengertian maslahat?
6. Dengan makna dan pengertian bagaimana kita dapat menganggap maslahat, kebaikan makhluk dan kesempurnaannya merupakan tujuan bagi penciptaan?
7. Jelaskan kalam Ilahi itu!
8. Jelaskan dalil rasional atas sifat sidq Allah SWT!



PELAJARAN 12
Analisis atas Beberapa Faktor Penyimpangan

Mukaddimah
Pada pelajaran pertama, telah kami bahas bahwa secara umum pandangan dunia terbagi menjadi dua; pandangan dunia Ilahi dan pandangan dunia Materialisme. Perdebatan terpenting kedua pandangan tersebut berkisar pada wujud Tuhan yang Mahatahu dan Mahakuasa. Pandangan dunia Ilahi menjadikan keberadaan Tuhan sebagai sebuah prinsip utama. Sedangkan pandangan dunia Materialisme mengingkari keberadaan Tuhan.
Masih pada pelajaran yang sama, kami juga telah membahas-sekadar kapasitas buku ini-pembuktian atas wujud Allah swt.dan sifat-sifat Ilahiyah; salbiyah dan tsubutiyah, dzatiyah dan fi'liyah. Demi memantapkan keimanan terhadap dasar yang penting ini, kami akan mengkritisi pandangan dunia Materialisme secara ringkas. Dengan cara ini, kita akan lebih yakin pada kebenaran pandangan dunia Ilahi dan kerapuhan pandangan dunia Materialisme.
Untuk tujuan ini, mula-mula kami akan menyinggung beberapa faktor penyimpangan pada pandangan Ilahiyah yang mengarah kepada pandangan Ateisme. Setelah itu, kami akan menjelaskan poin-poin terpenting kelemahan pandangan Materialisme.

Faktor-faktor Penyimpangan
Materialisme dan Ateisme memiliki sejarah yang panjang dalam kehidupan manusia. Meskipun keimanan kepada Allah swt. senantiasa ada di tengah bangsa-bangsa terdahulu, sebagaimana ditunjukkan oleh bukti-bukti sejarah dan arkeologi, namun masih saja ditemukan individu dan kelompok yang mengingkari Allah, dimana kecenderungan anti agama sejak abad 18 mulai tersebar di Eropa kemudian perlahan-lahan menyebar ke seluruh dunia.
Walaupun fenomena ini pada awalnya sebagai reaksi dari tekanan gereja Kristen, akan tetapi anginnya menghembus ke seluruh agama dan aliran. Barat telah mengekspor pandangan ateisme tersebut ke seluruh belahan dunia berbarengan dengan ekspor industri, seni dan teknologi, kemudian me-nyebar pada kurun terakhir bersamaan dengan tersebarnya dasar-dasar sosiologi dan ekonomi Marxisme di kebanyakan bangsa dan negara sehingga membentuk rintangan, bahaya besar dan sindrom yang menakutkan bagi umat manusia.
Sebenarnya faktor-faktor yang menyebabkan muncul dan tersebarnya penyimpangan ini banyak sekali. Pembahasan tentang semua faktor ini memerlukan buku tersendiri. Akan tetapi dalam buku yang terbatas ini, secara umum kami akan menyederhanakan faktor-faktor itu pada tiga kategori:

1. Faktor Kejiwaan
Yaitu faktor-faktor yang mendorong seseorang kepada pandangan ateistik, sekalipun ia tidak menyadari adanya pengaruh tersebut. Faktor terpenting adalah rasa ingin senang, santai, malas, dan tidak memiliki rasa tanggung jawab. Yakni dari satu sisi, bahwa kesulitan mengkaji-khususnya dalam hal-hal yang tidak memiliki kenikmatan indrawi-menjadi penghalang bagi orang yang malas, santai dan tidak memiliki minat untuk meneliti. Dari sisi lain, kecenderungan untuk bebas sesuka hati dan tidak adanya rasa tanggung jawab menjadi kendala bagi mereka menuju pandangan dunia Ilahi.
Menerima pandangan dunia Ilahi dan meyakini adanya Pencipta Yang Mahabijak merupakan titik tolak untuk menerima seperangkat keyakinan lainnya yang menuntut seseorang agar memiliki rasa tanggung jawab dalam seluruh pilihan dan tindakannya. Rasa tanggung jawab ini mengharuskannya agar konsisten pada kewajiban Ilahi dan berpaling dari desakan hawa nafsu. Tentunya, konsistensi tersebut tidak selalunya sejalan dengan rasa ingin bebas. Oleh karena itu, keinginan hewani ini-tanpa disadari-menjadi sebab untuk menghindar dari tanggung jawab dan dari berbagai aturan, serta menjadi sebab untuk mengingkari wujud Allah SWT.
Ada pula faktor-faktor kejiwaan lain yang mempunyai peran penting dalam mengarahkan seseorang menjadi ateisme dan akan nampak terlihat di antara semua faktor.

2. Faktor Sosial
Yakni situasi dan kondisi sosial yang buruk yang tampak pada sebagian masyarakat ketika para pemimpin agama turut andil dalam mewujudkan dan memperluas kondisi buruk tersebut. Maka situasi dan kondisi buruk semacam ini akan mengikis pandangan dan akidah yang benar dari pikiran sebagian orang yang dangkal pandangannya, lemah pemikirannya, serta tidak dapat mengkaji secara jeli faktor-faktor yang sebenarnya terjadi di balik kondisi tersebut. Karena itu, ketika mereka melihat bahwa orang-orang yang beragama turut berperan dalam menciptakan kondisi buruk tersebut, mereka mengkaitkannya dengan agama. Mereka menuduh bahwa keyakinan-keyakinan agama merupakan faktor utama bagi munculnya situasi dan kondisi buruk tersebut sehingga hal itu membuat mereka jauh dari agama.
Kondisi masyarakat Eropa di era Renaisains merupakan pengalaman yang jelas bagi faktor tersebut. Ketika itu, sikap dan citra Gereja tampak buruk di berbagai bidang agama, sistem hukum dan politiknya merupakan faktor terpenting yang membuat masyarakat kristian menjauhi Kristen, bahkan menjauhi agama secara umum.
Termasuk hal penting yang harus diperhatikan oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap masalah agama, hendaknya mereka memahami faktor-faktor dominan tersebut. Pemuka agama harus memahami pentingnya keberadaan mereka di tengah masyarakat, dan betul-betul mengerti bahwa kesalahan mereka dapat mengakibatkan masyarakat menjadi sesat dan celaka.

3. Faktor Pemikiran
Maksud dari faktor pemikiran di sini adalah berbagai dugaan dan keraguan yang terbetik di benak seseorang atau yang ia dengar dari orang lain. Akan tetapi ia tidak mampu menghadapinya lantaran kemampuannya yang minim untuk berfikir dan berargumentasi. Oleh karena itu, sedikit banyaknya ia tunduk di bawah keraguan-keraguan tersebut. Paling tidak, hal itu menjadi sebab munculnya keraguan dan kegoncangan dalam pikirannya sehingga ketenangan dan keyakinan dalam hatinya terganggu.
Pada gilirannya, faktor pikiran ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian sekunder, seperti keraguan-keraguan yang berdasarkan kecondongan kepada persoalan-persoalan indrawi, keraguan-keraguan yang timbul dari keyakinan-keyakinan khurofat, keraguan-keraguan yang timbul dari penafsiran-penafsiran yang keliru, argumen-argumen yang lemah, keraguan-keraguan yang berhubungan dengan peristiwa dan tragedi yang menyakitkan hati sehingga hal itu diyakini berlawanan dengan hikmah, kebijaksanaan dan keadilan Ilahi, keraguan-keraguan yang timbul dari asumsi-asumsi ilmiah yang dipahami oleh sebagian orang bahwa hal itu bertentangan dengan keyakinan agama, dan keraguan-keraguan yang berhubungan dengan hukum-hukum dan ajaran agama, khususnya masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum dan politik.
Barangkali masih ada dua atau beberapa faktor lainnya yang semuanya itu turut andil dalam membentuk kondisi kebimbangan atau penolakan. Kadangkala kita temukan bahwa berbagai kesusahan jiwa dapat menjadi faktor penyiap bagi timbulnya berbagai keraguan. Karena sebab itu seseorang dapat ditimpa penyakit jiwa yang berupa waswas pemikiran. Akibatnya, penderita ini mengalami kondisi serbaragu, sehingga tidak pernah merasa puas dengan dalil dan argumen apapun, sebagaimana hal ini kita saksikan pada seseorang yang tertimpa waswas dalam pekerjaannya dan tidak merasa yakin akan kebenaran setiap amal yang ia lakukan. Misalnya, kita saksikan bagaimana ia mencelupkan tangannya ke dalam air berpuluh-puluh kali. Meskipun demikian, tetap saja ia tidak merasa yakin dengan kesucian tangannya. Padahal sangat mungkin tangannya itu telah suci pada celupan yang pertama.

Cara Penanggulangan
Dengan mengkaji berbagai macam faktor penyimpangan, menjadi jelas bahwa untuk mengatasi masing-masing faktor tersebut membutuhkan metode tertentu, sikap dan solusi secara khusus. Misalnya untuk mengatasi faktor-faktor kejiwaan dan moral, diperlukan pendidikan yang benar dan mengetahui berbagai efek buruknya, sebagaimana hal ini telah kami jelaskan pada pelajaran 2 dan 3, yaitu dalam pembahasan pentingnya mencari agama dan efek-efek buruk dari sikap tidak peduli dan apriori terhadap agama.
Demikian pula halnya dalam menanggulangi efek-efek buruk dari faktor-faktor sosial. Maka itu, di samping berusaha untuk mencegah terjadinya situasi dan kondisi serta faktor-faktor seperti ini, kitapun harus menjelaskan perbedaan yang besar antara kebatilan agama itu sendiri dan tidak adanya konsistensi orang-orang yang beragama atau buruknya tingkah laku mereka. Sesungguhnya menyadari dan mengetahui adanya pengaruh faktor-faktor kejiwaan dan sosial-paling tidak-akan menuai ketidaktundukan seseorang secara tidak sadar terhadap faktor-faktor semacam ini.
Demikian pula kita harus menggunakan metode-metode yang benar dan sikap yang baik dari berlipatgandanya berbagai pengaruh faktor-faktor pemikiran, seperti membedakan antara keyakinan-keyakinan khurofat dengan keyakinan-keyakinan yang benar, atau menghindari penggunaan argumen-argumen yang lemah dan tidak logis dalam membuktikan keyakinan-keyakinan agama.
Begitu pula kita harus menjelaskan kepada mereka akan hakikat berikut ini, bahwa kelemahan argumen tidak menunjukkan atas ketidakbenaran klaim. Jelas bahwa membahas seluruh faktor penyimpangan ini dan menjelaskan metode-metode yang semestinya dalam menanggulangi masing-masing faktor tersebut, tidaklah sesuai dengan kapasitas buku ini. Oleh karena itu, kami cukupkan hanya dengan menyebutkan sebagian faktor pemikiran ateistik dan menjawab sebagian keraguan yang bersangkutan.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Apakah manfaat yang diperoleh dari mengkritisi dan mengkaji pandangan dunia Materialisme?
2. Bagaimana paham ateisme bisa tersebar luas pada kurun terakhir ini?
3. Jelaskan faktor-faktor kejiwaan pada penyimpangan agama!
4. Terangkan faktor-faktor sosial pada fenomena penyim-pangan!
5. Jelaskan faktor-faktor pemikiran dan faktor-faktor yang timbul darinya!
6. Bagaimana waswas pemikiran itu dapat terjadi?
7. Bagaimana menanggulangi berbagai faktor penyelewengan?



PELAJARAN 13
Beberapa Keraguan dan Jawaban

Meyakini Realitas yang tak Bisa Diindra
Di antara keraguan-keraguan yang dilontarkan seputar keimanan kepada Allah SWT adalah: Bagaimana mungkin kita beriman kepada realitas yang tak dapat diindra, yang kita tidak mungkin mengetahuinya dengan perantara indra.
Keraguan semacam ini timbul dari orang-orang yang merasa heran dengan adanya maujud yang tidak dapat dijangkau oleh indra dan persepsi. Bahkan sebagian ilmuwan yang melandaskan pemikirannya dengan otentisitas indra, juga mengingkari realitas yang tak bisa diindra tersebut. Atau minimalnya, mereka mempunyai pandangan bahwa maujud ini tidak bisa diketahui secara yakin dan pasti.
Jawaban atas keraguan tersebut ialah bahwa pengetahuan-pengetahuan indrawi bisa diperoleh hanya dengan adanya hubungan antara anggota-anggota badan dengan materi. Masing-masing indra kita dapat mengetahui fenomena-fenomena materi yang sesuai dengan kodrat indra itu sendiri dan di bawah syarat-syarat tertentu. Sebagaimana kita yakin bahwa mata kita tidak mungkin dapat melihat suara dan telinga kita tidak mungkin dapat menangkap warna, begitu pula kita harus mengerti bahwa indra kita tidak akan mampu mengetahui seluruh makhluk yang ada di alam ini. Karena, pertama: terdapat sebagian realitas materi yang memang tidak mungkin dapat dijangkau oleh indra. Misalnya, indra kita tidak akan mampu menjangkau pancaran sinar ultraviolet atau infra merah. Atau gelombang-gelombang magnetis listrik dan sebagainya.
Kita dapat mengetahui berbagai hakikat tanpa melalui indra lahiriah, lebih dari itu kita pun meyakininya dengan mantap, padahal itu tidak dapat dijangkau oleh indra. Misalnya kita merasakan adanya rasa takut, cinta atau keinginan dalam diri kita dan kita meyakininya secara penuh. Padahal itu semua termasuk kondisi jiwa-seperti ruh itu sendiri-yang tidak mungkin dapat dipersepsi dan dilihat oleh indra kita. Bahkan idrak (persepsi) itu sendiri merupakan perkara nonmateri yang tidak dapat diindra.
Dengan demikian, tidak terjangkaunya sesuatu melalui indra bukanlah dalil atas ketiadaannya. Bahkan tidak selayaknya hal ini membuat kita heran dan merasa aneh.

Peran Rasa Takut dan Bodoh pada Iman
Ada keraguan dari sebagian sosiolog, bahwa iman itu lahir akibat rasa takut dari bahaya dan ancaman, seperti bahaya gempa, halilintar dan bencana alam lainnya. Demi menenangkan hati, manusia menciptakan (nastaghfirullah) realitas khayalan yang dinamakan Allah, kemudian mereka menyembah-Nya. Oleh sebab itu, semakin banyak diketahui sebab-sebab alami dan cara penanggulangannya, iman mereka semakin bertambah lemah. Sebagian orang marxis merumuskan pandangan ini dengan penuh antusias. Mereka menilai bahwa hal itu merupakan sebuah pandangan sosiologi kemudian sanggup memikat pikiran orang.
Jawab: pertama, Sesungguhnya dasar keraguan semacam ini adalah asumsi yang dilontarkan oleh sebagian sosiolog yang tidak didukung oleh argumen ilmiah.
Kedua, dewasa ini, telah banyak ilmuwan yang lebih banyak mengenal sebab-sebab di balik berbagai peristiwa dan fenomena tersebut. Namun, mereka mengimani adanya Allah Yang Bijak secara mutlak. Maka itu, iman kepada Allah SWT bukan karena rasa takut dan kebodohan.
Ketiga, apabila keadaan jiwa seperti; rasa takut terhadap sebagian bencana atau ketidaktahuan akan sebab-sebab alami pada sebagian fenomena, menjadi faktor yang mendorong seseorang untuk mengenal Allah swt., itu tidak berarti bahwa Allah adalah sebagai penyebab timbulnya rasa takut dan kebodohannya. Karena, seringkali kita dapati betapa motif jiwa-seperti cinta kelezatan, ingin tenar dan sebagainya-mendorong seseorang untuk serius melakukan kajian ilmiah, seni dan filsafat, dan usaha semacam itu tidak dinilai buruk sedikit pun.
Keempat, apabila ditemukan sebagian individu yang meyakini bahwa Allah SWT adalah sebab terjadinya berbagai peristiwa yang tidak diketahui sebab-sebabnya, kemudian dengan terungkap sebab-sebab alaminya itu iman mereka menjadi lemah, justru kita harus menilai bahwa itu merupakan bukti atas lemahnya pemahaman dan iman mereka, bukan bukti atas irrasionalitas iman kepada Allah. Karena, Allah sebagai sebab fenomena-fenomena alam ini tidak sejajar secara horizontal dengan sebab-sebab alami.Akan tetapi, Dia berada di atas garis vertikal bagi seluruh sebab-sebab materi maupun nonmateri. Dan tahu atau tidaknya akan sebab-sebab alami sama sekali tidak berpengaruh pada penetapan maupun penafian wujud Allah SWT.

Apakah Hukum Kausalitas Bersifat Universal?
Keraguan lain yang dilontarkan oleh sebagian ilmuwan Barat adalah bahwa Hukum Kausalitas, apabila berupa konsep yang universal, tentu hukum ini juga berlaku pada Allah SWT. Dengan demikian, kita mesti berasumsi bahwa Allah pun memiliki sebab juga. Padahal telah dibuktikan bahwa Allah SWT merupakan sebab utama yang tidak memiliki sebab apapun selain-Nya. Maka itu, iman kepada Tuhan yang tidak memiliki sebab justru menggugurkan Kukum Kausalitas dan menunjukkan bahwa hukum itu tidak bersifat universal. Jika kita mengingkari universalitasnya, kita tidak mungkin-dengan hukum ini-membuktikan Tuhan sebagai wajibul wujud. Sebab, bisa jadi seseorang menganggap bahwa asal materi atau energi itu terwujud dengan sendirinya; tanpa memerlukan sebab. Dan dengan berubahnya asal materi dan energi tersebut, muncullah semua fenomena dan makhluk.
Sebagaimana telah dijelaskan pada pelajaran 7, keraguan ini muncul lantaran penafsiran yang keliru tentang Hukum Kausalitas. Mereka mengira bahwa maksud hukum ini ialah bahwa segala sesuatu butuh kepada sebab. Padahal maksud yang benar adalah bahwa setiap sesuatu yang mumkinul wujud atau setiap wujud rabith (yang bergantung) butuh kepada sebab. Hukum ini bersifat umum, pasti (dharuri) dan tak terkecualikan. Adapun asumsi bahwa materi dan energi utama bisa terwujud tanpa sebab dan bahwa perubahannya merupakan sebab wujudnya segala sesuatu di alam ini, adalah sumsi yang dapat dikritisi dengan berbagai catatan sebagaimana pada pelajaran yang akan datang.

Hasil Pengetahuan Empiris
Keraguan lain yang layak diamati ialah bahwa meyakini wujud pencipta alam dan manusia tidak sesuai dengan sebagian hasil penelitian ilmu modern. Misalnya dibuktikan dalam ilmu Kimia bahwa kuantitas materi dan energi senantiasa ada. Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa tidak mungkin setiap sesuatu itu muncul dari ketiadaan dan tidak mungkin pula maujud apa pun mengalami ketiadaan. Sedangkan orang mukmin meyakini bahwa Allah SWT telah menciptakan makhluk-Nya dari ketiadaan. Begitu pula telah dibuktikan di dalam ilmu Biologi, bahwa makhluk hidup lahir dari benda-benda mati lalu ia mengalami perkembangan (evolusi) secara bertahap sampai akhirnya menjadi manusia yang hidup akibat perkembangan tersebut. Padahal orang mukmin meyakini bahwa Dialah yang menciptakan segala sesuatu dengan cara yang mandiri.
Jawab: Pertama, hukum keutuhan materi dan energi adalah hukum ilmiah empiris yang bisa dijadikan sebagai landasan bagi hal-hal yang tunduk kepada eksperimen saja, dan tidak mungkin dapat mengatasi masalah-masalah filosofis seperti; apakah materi atau energi itu bersifat abadi atau tidak?
Kedua, bahwa keutuhan kuantitas totalitas materi dan energi tidak berarti ketakbutuhannya kepada pencipta. Bahkan semakin panjang usia alam materi, ia semakin butuh kepada pencipta. Karena, tolak ukur butuhnya akibat kepada sebab adalah sifat substansialnya, yakni imkan dan fakir dzati (ketergantungan substansial), bukan huduts (kejadian) dan masanya yang terbatas.Artinya, materi dan energi merupakan sebab material bagi alam ini dan-sama sekali-bukan sebab pelaku baginya. Dan keduanya itu (yakni materi dan energi) pada gilirannya membutuhkan sebab pelaku pula. Ketiga, bahwa tetapnya kuantitas materi dan energi tidak melazimkan ternafikannya kemunculan berbagai fenomena yang baru atau bertambah dan berkurangnya fenomena tersebut.
Ketiga, sesungguhnya realitas seperti ruh, hidup, rasa, kehendak dan lain-lain tidaklah seperti materi dan energi, dimana bertambah atau berkurangnya dapat menafikan hukum keutuhan materi dan energi. Keempat, bahwa teori evolusi-di samping bahwa hal itu tidak mendapatkan pengakuan nilai ilmiah yang cukup, teori ini pun telah ditolak oleh kebanyakan ilmuwan besar-tidak bertentangan.
Keempat, dengan iman kepada Allah SWT, maksimalnya teori evolusi ini hanya menetapkan sebab penyiap di antara makhluk-makhluk hidup, dan sama sekali tidak menafikan hubungan mereka dengan Allah SWT. Bukti atas hal ini adalah bahwa mayoritas pendukung teori ini beriman kepada Tuhan Pencipta alam dan manusia.[]

Jawablah beberapa pertanyaan berikut ini!
1. Apakah kritikan-kritikan atas Empirisme dan pengingkaran hal-hal yang non-indrawi?
2. Apakah jawaban atas sebagian ahli Sosiologi yang mengatakan bahwa rasa takut atau kebodohan merupakan sebab keimanan kepada wujud Allah SWT?
3. Apakah iman kepada wujud Allah swt. menafikkan universalitas hukum kausalitas, dan mengapa?
4. Apakah hukum keutuhan materi dan energi menafikkan iman kepada pencipta alam ini, dan mengapa?
5. Apakah teori evolusi dapat menggugurkan iman pada wujud Allah SWT, dan mengapa?




PELAJARAN 14
Pandangan Dunia Materialis dan Beberapa Kritik

Dasar-dasar Pandangan Dunia Materialisme
Dasar-dasar pandangan dunia Materialisme dapat dididenahkan sebagai berikut:

Pertama, wujud itu sama dengan materi dan material. Sesuatu itu dianggap ada apabila ia berupa materi yang memiliki bentuk dan meliputi tiga dimensi (panjang, lebar dan padat) atau meliputi tipologi materi sehingga ia disifati dengan kuantitas dan dapat dibagi. Atas dasar inilah penganut Materialisme mengingkari wujud Allah, karena wujud-Nya nonmateri dan metafisis.
Kedua, bahwa materi bersifat azali, abadi, tidak dicipta dan tidak membutuhkan sebab apapun, yang dalam Filsafat dinamakan wajibul wujud.
Ketiga, kita tidak mungkin mengatakan bahwa alam ini memiliki tujuan dan sebab akhir, karena tidak ada pelaku yang memiliki ilmu dan kehendak sehingga dapat dinisbahkan suatu tujuan penciptaan kepadanya.
Keempat, sesungguhnya fenomena alam (baca: bukan materi utamanya) muncul akibat adanya perpindahan pada atom-atom materi, dan adanya interaksi antara satu dengan lainnya. Dari sini dapat dikatakan bahwa fenomena alam yang terdahulu berperan sebagai syarat dan sebab penyiap bagi fenomena-fenomena berikutnya. Dalam hal ini, kita pun dapat menerima kemungkinan yang paling jauh, bahwa fenomena alam terdahulu itu adalah sebagai sebab pelaku alami di antara hal-hal material. Misalnya, sebuah pohon dapat dianggap sebagai pelaku alami bagi munculnya buah-buahan. Sedang hal-hal yang bersifat fisikal dan kimiawi dapat disandarkan kepada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Namun, tidak ada satu pun fenomena yang butuh kepada pelaku dan pencipta Ilahi.
Di sini, dapat pula ditambahkan basis epistemologis sebagai dasar kelima. Dan bisa pula dianggap sebagai prolog bagi semua dasar-dasar lainnya, yaitu bahwa pengetahuan yang diperoleh berdasarkan empiris adalah satu-satunya pengetahuan yang dapat diakui keabsahannya, mengingat bahwa eksperimen indrawi hanya dapat membuktikan wujud materi dan hal-hal material, dan tidak bisa membuktikan wujud lainnya. Karenanya, kita tidak mungkin menerima wujud apa pun yang selain materi. Akan tetapi, pada pelajaran yang telah lalu telah jelas kerapuhan pandangan ini, dan kami rasa tidak perlu lagi mengulanginya. Untuk itu, kita akan membahas empat dasar saja.

Kritik atas Dasar Pertama
Dasar ini merupakan yang terpenting dalam pandangan dunia Materialis, meski sekadar klaim minus argumen. Argumen apa pun tidak dapat digunakan untuk menafikan wujud metafisis, khususnya berdasarkan epistemologi materialistik yang berlandaskan pada indra dan persepsi. Karena eksperimen indrawi apa pun tidak akan dapat menjelaskan tentang sesuatu di luar lingkup materi dan material, baik penilaiannya yang positif maupun negatif. Asumsi maksimal-sesuai dengan logika materialis-yang dapat dinyatakan adalah bahwa wujud metafisis itu tidak dapat dibuktikan. Dengan demikian, paling tidak kita harus menerima asumsi kewujudannya, karena sesuatu yang tidak dapat dibuktikan kewujudannya tidak berarti bahwa sesuatu itu benar-benar tidak ada, sebagaimana ungkapan para filosof bahwa "Adamu al-wujdan la yadullu ala adami al-wujud" (tidak diketahui tidak berarti tiada).
Pada pembahasan sebelumnya telah kami jelaskan bahwa manusia dapat mengetahui berbagai persoalan nonmateri yang tidak memiliki kekhasan materi seperti ruh, seseorang dapat mengetahuinya dengan ilmu hudhuri (ilmu presentif). Bahkan argumen rasional pun telah banyak membuktikan berbagai wujud abstrak (mujarrad) dalam buku-buku filsafat. Bukti yang paling utama atas keberadaan abstrak ruh ialah adanya mimpi yang nyata, perbuatan-perbuatan para petapa, mukjizat-mukjizat para Nabi dan karamah para wali Allah.
Alhasil, untuk mengikis dasar-dasar Materialisme tersebut cukup dengan menggunakan dalil-dalil yang digunakan untuk menetapkan wujud Allah SWT dan kenonmaterian-Nya.

Kritik atas Dasar Kedua
Dasar ini berlandaskan pada keabadian dan keutuhan materi. Kesimpulannya, materi itu bukan yang tercipta.
Kritik atas dasar ini adalah: Pertama, kita tidak mungkin dapat menetapkan keabadian materi berdasarkan dalil-dalil ilmiah dan eksperimen. Karena, ruang-lingkup eksperimen sangatlah terbatas yang tidak mungkin dapat mencakup bidang ini. Bahkan eksperimen apapun tidak akan dapat membuktikan ketidakterbatasan alam semesta ini dari sisi ruang dan waktunya.
Kedua, bahwa keabadian materi tidak memestikan ketakbutuhannya kepada pencipta. Misalnya, asumsi adanya gerak mekanik yang bersifat abadi menuntut asumsi adanya potensi penggerak yang bersifat abadi pula, bukan malah membuktikan ketidakbutuhannya kepada potensi penggerak.
Di samping itu, pandangan bahwa materi itu tidak dicipta berarti ia merupakan wajibul wujud. Pada pelajaran kedelapan telah kita buktikan kemustahilan materi sebagai wajibul wujud.

Kritik atas Dasar Ketiga
Dasar ketiga ini adalah pengingkaran atas tujuan alam semesta sebagai akibat dari mengingkari Sang Pencipta. Tentu, jika kita dapat membuktikan adanya Sang Pencipta yang bijak, dasar pemikiran ini akan gugur.
Di samping itu, ada sebuah pertanyaan yang perlu mereka jawab, yaitu bahwa setiap orang yang berakal-ketika menyaksikan hasil ciptaan manusia-mengetahui bahwa mereka mempunyai tujuan. Akan tetapi ketika ia menyaksikan tatanan alam semesta yang menakjubkan, dan memiliki hubungan yang serasi antara satu dengan yang lainnya, serta memberikan anugerah kenikmatan yang melimpah ruah yang tidak terhitung banyaknya, bagaimana mungkin ia meyakini bahwa alam tersebut tidak memiliki tujuan?

Kritik atas Dasar Keempat
Dasar keempat bagi pandangan dunia Materialisme adalah membatasi sebab hanya pada hubungan materi pada feno-mena alam. Banyak sekali kritik yang dilontarkan atas dasar ini, di antaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, bahwa dasar dan pandangan ini melazimkan tidak ditemukannya realitas yang baru apapun di alam ini. Padahal, kita senantiasa saksikan munculnya fenomena-fenomena materi yang baru, khususnya pada alam manusia dan binatang. Paling utamanya adalah kehidupan, rasa, sensitifitas, indra, pikir, penciptaan dan kehendak. Kaum Materialis menganggap bahwa fenomena-fenomena ini merupakan ciri-ciri khas materi dan bukan sesuatu yang lain.
Ada beberapa catatan untuk menjawab pandangan di atas:
a. Bahwa keunikan yang melazimkan materi dan material yang tidak mungkin berpisah darinya adalah imtidad (ekstensi) dan dapat dibagi. Ciri-ciri ini tidak ditemukan pada fenomena-fenomena yang telah kami sebutkan.
b. Tidak diragukan lagi bahwa fenomena-fenomena yang dinamakan "keunikan materi" tersebut tidak ditemukan pada materi yang tidak bernyawa. Dengan kata lain, materi tersebut sebelumnya tidak memiliki keunikan masa. Barulah kemudian keunikan masa ini diwujudkan padanya. Dengan demikian, fenomena-fenomena itu-yang dikenal dengan tipologi materi-butuh kepada pencipta yang telah mengadakannya di dalam materi. Pencipta inilah yang dinamakan 'illat mujidah (sebab pengada).
Kedua, pandangan ini melazimkan Jabariyah (determinisme) atas munculnya seluruh fenomena alam, karena tidak ada peluang baginya untuk berikhtiar dan berkehendak akibat pengaruh dan reaksi materi. Sedangkan menolak ikhtiar-di samping bertentangan dengan nurani dan realita-dapat melazimkan pengingkaran terhadap tanggung jawab, norma-norma moral dan nilai-nilai maknawi. Dan kita tahu betapa malapetaka yang akan menimpa atas kehidupan manusia akibat mengingkari tanggung jawab dan nilai-nilai akhlak tersebut.
Akhirnya, dengan memperhatikan bahwa materi itu tidak mungkin sebagai wajibul wujud-sebagaimana telah kami buktikan pada pembahasan yang telah lalu-maka ia (materi) harus memiliki sebab. Sebab tersebut mesti bukan berupa sebab natural dan penyiap. Karena, hubungan-hubungan tersebut tidak dapat dipahami kecuali di antara hal-hal material saja. Adapun totalitas materi itu sendiri tidak mungkin memiliki hubungan semacam itu dengan sebabnya. Atas dasar ini, sebab yang mengadakan materi adalah Sebab Pengada yang nonmateri.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
1. Jelaskan dasar-dasar pandangan dunia materialis!
2. Jelaskan definisi tentang materi dan material!
3. Jelaskan kritikan-kritikan terhadap dasar pertama!
4. Jelaskan kritikan-kritikan terhadap dasar kedua!
5. Sanggahlah dasar ketiga!
6. Terangkan kritik-kritik dasar keempat!


PELAJARAN 15
Materialisme Dialektika: Analisis dan Kritik

Materialisme Mekanika dan Dialektika
Materialisme memiliki berbagai macam aliran. Setiap aliran menafsirkan fenomena alam ini dengan caranya masing-masing. Di awal era modern, kaum Materialisme-yang terilhami oleh fisika Newton-menafsirkan fenomena alam ini sesuai dengan gerak mekanik, yaitu bahwa setiap gerak merupakan akibat dari kekuatan penggerak tertentu, yang lalu masuk ke dalam benda yang bergerak. Artinya mereka menggambarkan bahwa alam ini merupakan mesin raksasa; yang kekuatan penggerak di dalamnya berpindah-pindah sehingga mengakibatkan gerak seluruh mesin. Teori ini dinamakan Materialisme Mekanika.
Adanya berbagai kelemahan pada pandangan ini membuka banyak tanggapan kritis. Di antaranya, apabila setiap gerakan itu disebabkan oleh kekuatan luar, maka mesti diasumsikan adanya kekuatan penggerak lain yang datang dari luar untuk menggerakkan materi pertama bagi alam semesta ini. Hal ini membawa kita untuk beriman kepada maujud di balik materi, setidaknya sebagai sebab pada gerak awal yang terdapat pada alam materi ini.
Kritik lain atas pandangan Materialisme Mekanika, bahwa kekuatan mekanika hanya menjelaskan gerak-gerak posisif (wadh'i). Padahal fenomena alam semesta tidak mungkin dibatasi dengan perubahan posisi dan tempat. Oleh karena itu, kita mesti mengimani adanya sebab dan faktor lain untuk menafsirkan kemunculan seluruh fenomena alam ini. Kritik-kritik tersebut mendorong penganutnya mengkaji faktor lainnya untuk menafsirkan adanya perubahan dan gerak pada alam ini. Paling tidak, mereka berusaha untuk menafsirkan sebagian gerak dengan penafsiran dinamika sehingga dapat mengasumsikan adanya gerak esensial bagi materi tersebut.
Pendiri Materialisme Dialetika (Marx dan Engels) menilai bahwa faktor gerak tersebut adalah tadhad dakhili (kontradiksi internal) di dalam fenomena-fenomena materi. Dalam masalah ini, mereka menggunakan teori-teori filsafat Hegel. Di samping meyakini bahwa materi itu bersifat abadi, azali, tidak akan rusak, tidak dicipta, memiliki gerak yang menyeluruh, dan adanya interaksi antarfenomena, mereka pun mengajukan tiga prinsip untuk menjelaskan pandangannya:

- Prinsip Kontradiksi Internal.
- Prinsip Lompatan, atau perubahan kuantitas (kamm) kepada kualitas (kaif).
- Prinsip Negasi terhadap Negasi, atau dinamika alami.

Berikut ini penjelasan sekaligus kritik atas tiga prinsip tersebut.

Prinsip Kontradiksi Internal
Materialisme Dialetika percaya bahwa setiap benda tersusun dari dua kontradiksi (tesis dan antitesis). Kontradiksi ini merupakan faktor utama bagi gerak dan perubahan benda tersebut. Dalam pergulatan tesis dan antitesis, yang kedua ini dapat mengalahkan yang pertama sehingga munculah materi baru yang disebut dengan sintesis. Misalnya, telur ayam itu mengandung sperma, kemudian secara berangsur mengalami perubahan dan perkembangan dengan mencerna makanan yang terdapat di dalamnya. Dan akhirnya ia melahirkan anak ayam yang merupakan sintesis. Gelombang listrik yang memuat aliran positif dan negatif adalah contoh lain akan adanya kontradiksi dalam fenomena fisika. Demikian juga dengan teori menghimpun dan membagi dalam Matematika pemula, atau pecahan dan integral dalam Matematika tingkat tinggi.
Materialisme Dialektika juga berperan dalam berbagai peristiwa sosial dan sejarah. Misalnya pada masyarakat kapitalis, kita dapati adanya golongan proletariat (buruh), yang merupakan antitesis bagi golongan borjuis, dan secara berangsur mengalahkan yang kedua, kemudian muncullah masyarakat sosialis komunis sebagai sintesis. Para pendukung teori Marxis juga menambahkan, bahwa prinsip kontradiksi ini dapat membuktikan kebatilan prinsip metafisika, yakni hukum nonkontradiksi.

Kritik
Perlu kami tekankan bahwa tidak seorang pun yang menolak adanya dua realitas materi yang saling bersentuhan sebegitu rupa hingga salah satunya mendesak yang lainnya, atau malah menghancurkannya, sebagaimana hal ini dapat kita saksikan pada air dan api. Meski begitu, pertama: kondisi seperti ini tidak bersifat mutlak dan tidak mungkin dapat kita terima sebagai sistem alam yang universal. Karena dapat kita metemukan ratusan bahkan ribuan fakta yang menentang kenyataan ini.
Kedua, adanya kontradiksi pada sebagian fenomena alam tidak ada hubungannya dengan kontradiksi yang diyakini kemustahilannya oleh logika klasik dan Filsafat Murni. Karena, kemustahilan yang mereka akui adalah ber-kumpulnya dua hal yang kontradiktif pada "satu subjek". Sedangkan contoh-contoh kontradiksi yang diyakini kaum materialis tidak menyoroti satu subjek. Kita pun tidak butuh kepada contoh-contoh dangkal atas dua hal kontradiktif yang menjadi bahan cemoohan kaum Marxisme seperti; berkumpulnya antara menghimpun dan mengurai, bilangan pecahan dan bilangan yang benar (integral) dan ramalan kosong yang mereka buat-buat tentang munculnya kekuasaan golongan proletariat di negara-negara sosialis.
Ketiga, apabila setiap fenomena mesti terangkap dari dua hal yang kontradiktif (tesis dan antitesis), masing-masing dari keduanya itu mesti terangkap pula, karena mereka itu adalah fenomena. Berdasarkan prinsip kontradiksi, tesis maupun antitesis mesti tersusun dari dua hal yang kontradiktif. Konsekuensinya, bahwa setiap fenomena yang terbatas mesti tersusun dari kontradiksi-kontradiksi yang tak terbatas.
Sekaitan dengan kontradiksi internal yang mereka angkat sebagai faktor penggerak, yang dengan cara ini mereka ingin menutupi sejumlah kelemahan Materialisme Mekanika, kritik yang paling ringan atasnya adalah bahwa tidak didapati argumentasi ilmiah apapun yang mendukung prinsip tersebut. Di samping itu, kita tidak dapat mengingkari adanya gerak-gerak mekanis yang terjadi akibat kekuatan luar. Lain halnya jika mereka mengatakan pula bahwa gerak bola pun muncul akibat adanya kontradiksi internal di dalam bola itu sendiri, bukan akibat dari tendangan pemain sepak bola?!

Dasar Lompatan
Kita saksikan bahwa berbagai perubahan alam tidak seluruhnya terjadi secara berangsur dan segaris. Bahkan banyak sekali fenomena yang baru itu muncul, namun tidak semirip fenomena-fenomena sebelumnya. Dalam hal ini, kita tidak dapat menganggap bahwa fenomena yang baru tersebut adalah imtidad (ekstensi) perubahan dan gerak sebelumnya.
Berangkat dari sinilah kaum materialis meyakini prinsip lain, yaitu lompatan (thafrah), atau perpindahan dari perubahan kuantitas ke perubahan kualitas. Artinya, ketika perubahan kuantitas mencapai tingkat tertentu, ia akan berubah menjadi kualitas yang baru dan menjadi sebab atas terjadinya perubahan kualitas tersebut. Sebagai contoh, air ketika diletakkan di atas api, derajat panasnya akan meningkat. Kemudian jika panasnya itu meningkat sampai derajat tertentu (100 derajat celsius), ia akan berubah menjadi uap. Demikian pula, setiap lempengan tembaga yang memiliki titik leleh tertentu, yang bila dipanaskan sampai derajat tertentu, ia akan berubah dan mencair. Tidak beda halnya dengan masyarakat. Bila terjadi pergulatan antarkelas sosial, pada puncaknya pasti akan terjadi revolusi.

Kritik
Pertama, tidak ada fenomena apa pun yang di dalamnya terjadi perubahan kuantitas kepada kualitas. Maksimal yang bisa kita katakan bahwa terjadinya fenomena tertentu itu tergantung pada wujud kuantitas tertentu, misalnya derajat panas air itu tidak akan berubah menjadi uap. Akan tetapi perubahan air menjadi uap itu tergantung pada panas yang telah mencapai tingkat tertentu.
Kedua, tidak mesti kuantitas itu akan terjadi dalam derajat tertentu akibat bertambahnya kuantitas yang sebelumnya secara berangsur. Bahkan hal itu bisa terjadi akibat sedikitnya kuantitas yang sebelumnya, seperti perubahan uap ke air yang bergantung pada turunnya derajat panas.
Ketiga, berbagai perubahan kualitas tidak selamanya terjadi secara seketika dalam satu waktu. Bahkan tidak jarang ia terjadi secara berangsur, seperti melelehnya lilin atau kaca. Maka itu, yang dapat diterima adalah kemestian terpenuhinya kuantitas tertentu dalam mewujudkan sebagian fenomena alam, bukan adanya perubahan kuantitas kepada kualitas, bukan pula bertambahnya kuantitas secara berangsur. Dan kita pun sulit tidak menerima universalitas prinsip ini kepada semua perubahan kuantitas. Jadi, sebenarnya tidak ada sistem alam universal yang dinamakan lompatan (insidental) atau perpindahan dari berbagai perubahan kuantitas menuju perubahan-perubahan kualitas.

Prinsip Negasi terhadap Negasi
Prinsip ini disebut juga dengan hukum perkembangan dua kontradiktif atau dinamika alami. Yaitu, bahwa dalam perubahan dialektis yang bersifat universal, tesis itu bisa lenyap dengan perantara antitesis. Dan antitesis ini-pada gilirannya-akan lenyap dengan perantara sintesis. Ini dapat kita amati pada dunia tumbuh-tumbuhan; sebuah pohon dapat melenyapkan bijinya, lalu pohon itu sendiri pada gilirannya akan dilenyapkan oleh bibit-bibit yang baru. Demikian pula sperma, ia dapat melenyapkan sel telur yang pada gilirannya pun akan dilenyapkan oleh itik. Akan tetapi, dengan proses semacam ini, fenomena yang baru akan lebih banyak memiliki kesempurnaan dibandingkan fenomena sebelumnya. Dengan ungkapan lain, gerak dialektis senantiasa mengalami peningkatan dan penyempurnaan. Pada poin inilah dasar penting ini tersembunyi, karena ia dapat menunjukkan gerak perubahan dan menekankan peningkatan dan kesempurnaan gerak tersebut.

Kritik
Tentu dalam setiap perubahan, keadaan sebelumnya akan sirna lalu muncul fenomena baru. Apabila prinsip di atas itu mengarah kepada pengertian ini, ia tidak menghasilkan selain interpretasi atas kelaziman suatu perubahan. Akan tetapi, interpretasi ini-yaitu bahwa arah gerak itu terbatas, bahwa gerak itu senantiasa mengalami peningkatan dan penyempurnaan, dan bahwa fenomena berikutnya mesti lebih sempurna dari yang sebelumnya-tidak dapat dikatakan sebagai hukum yang berlaku secara universal atas semua gerak dan perubahan alam. Apakah uranium yang berubah menjadi peluru setelah diproses dan disinari berarti ia lebih sempurna? Apakah air menjadi lebih sempurna ketika ia berubah menjadi uap? Ataukah uap tersebut lebih sempurna ketika berubah menjadi air? Dan apakah ketika pohon itu kering dan layu hingga tidak tersisa lagi buah dan bijinya sedikit pun, berarti ia lebih banyak memiliki kesempurnaan?
Betul bahwa sebagian realitas alam ini lebih banyak memiliki perkembangan dan kesempurnaan akibat adanya perubahan dan gerak. Meski begitu, hukum ini tidak meliputi setiap gerak dan perubahan. Karenanya, kita tidak dapat menerima prinsip perkembangan dan kesempurnaan sebagai suatu hukum yang universal atas setiap fenomena alam.
Akhirnya, perlu kami tekankan di sini, meskipun diasumsikan bahwa prinsip-prinsip tersebut berlaku atas alam semesta, maksimal yang mungkin dapat ditetapkan olehnya adalah bahwa ia menjelaskan bagaimana terjadinya fenomena tersebut, sebagaimana hal ini terdapat dalam semua hukum yang terdapat pada ilmu-ilmu alam. Akan tetapi, keberadaan hukum yang bersifat universal dan berlaku pada alam materi ini tidak berarti bahwa berbagai fenomena dan peristiwa tidak butuh lagi kepada pencipta dan sebab pengada. Sebagaimana pada pelajaran sebelumnya, materi itu merupakan mumkinul wujud (wujud mungkin), yang secara pasti ia senantiasa butuh kepada wajibul wujud.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Jelaskan perbedaan antara Materialisme Dialetika dan Materialisme Mekanika!
2. Terangkan prinsip kontradiksi dan kritik-kritik terhadapnya!
3. Terangkan prinsip lompatan dan kritik-kritik terhadapnya!
4. Terangkanlah prinsip menafikkan negatif dan ajukan kritik terhadapnya!
5. Jika diasumsikan bahwa prinsip-prinsip itu benar dan bersifat universal, apakah berarti bahwa alam ini tidak butuh lagi kepada pencipta, dan mengapa?



PELAJARAN 16
Tauhid kepada Allah

Mukadimah
Pada pelajaran sebelumnya, telah kita buktikan kemestian adanya Tuhan Pencipta alam semesta, Tuhan yang Mahatahu dan Mahakuasa. Dialah yang menciptakan, memelihara dan mengatur alam semesta. Pada pelajaran terakhir, juga kami telah memaparkan pandangan dunia Materialisme terhadap alam semesta. Dan melalui catatan kritis kami terhadap beberapa pandangan tersebut, menjadi jelas bagi kita bahwa kemestian adanya alam semesta tanpa Tuhan adalah kemestian yang irrasional dan penafsiran yang tidak mungkin dapat diterima.
Selanjutnya, kami akan membahas tema Tauhid, sekaligus menyanggah pandangan dan keyakinan orang-orang musyrik.
Para sosiolog mengajukan berbagai macam pandangan seputar perkembangan keyakinan-keyakinan syirik di masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan silih-berganti. Akan tetapi, pandangan dan penafsiran itu tidak berdasarkan dalil yang valid.
Ada kemungkinan bahwa faktor pertama kecenderungan syirik dan keyakinan pada banyaknya tuhan adalah tatkala seseorang melihat beragamnya realitas-realitas di langit dan bumi. Dari itulah mereka berkeyakinan bahwa setiap bagian realitas tunduk di bawah pengaturan Tuhan tertentu. Sebagian dari mereka percaya bahwa seluruh kebaikan bersumber dari Tuhan kebaikan, dan seluruh keburukan berasal dari Tuhan keburukan. Berangkat dari sinilah mereka yakin bahwa alam semesta ini memiliki dua sumber wujud dan pencipta.
Demikian pula pengamatan mereka terhadap pengaruh sinar matahari, bulan dan bintang-bintang terhadap realitas bumi, sehingga mereka-dari satu sisi-memandang bahwa benda-benda tersebut memiliki suatu bentuk pengaturan terhadap apa yang ada di bumi. Dari sisi lain, kecondongan manusia untuk menyembah sembahan yang dapat diindra mendorong mereka untuk membuat berbagai lambang dan simbol bagi tuhan-tuhan yang mereka anggap untuk kemudian mereka sembah. Lambang itu lambat laun mendarah daging di hati orang-orang yang pikirannya lemah. Selanjutnya, setiap bangsa bahkan suku membuat ritual keagamaan tertentu-sesuai dengan anggapan mereka-untuk menyembah lambang tersebut. Dengan cara itulah mereka dapat memenuhi desakan fitrah (menyembah Allah) dari dalam diri mereka.
Lebih dari itu, mereka pun memenuhi tuntutan-tuntutan hewani dan hawa nafsunya dalam bentuk kesucian agama. Sebagian dari ritual-ritual keagamaan tersebut masih berlanjut hingga sekarang, yang disertai dengan berbagai macam tarian, nyanyian, minum khamar, hubungan seks dan perilaku hewani lainnya yang semuanya mewarnai suasana ritual keagamaan para penyembah lambang tersebut.
Di samping itu semua, adanya tujuan para penguasa zalim, congkak dan tamak, yang sengaja ingin memanfaatkan keyakinan dan pemikiran masyarakat awam demi memenuhi ambisi busuk mereka, mengokohkan dan memperluas daerah kekuasaan mereka. Untuk tujuan itulah mereka menebarkan keyakinan-keyakinan syirik, menurunkan pengaturan alam di bawah kuasa mereka, dan menjadikan raja-raja yang zalim sembahan dan bagian dari upacara keagamaan. Kenyataan ini tampak begitu jelas pada raja-raja dan sultan-sultan di Cina, India, Iran, Mesir dan negeri-negeri yang lain.
Dengan demikian, keyakinan-keyakinan dan dasar-dasar syirik itu sudah tumbuh di tengah umat manusia karena faktor yang beragam. Lalu, keyakinan-keyakinan itu tersebar luas sehingga menjadi kendala bagi proses kesempurnaan hakiki umat manusia; proses yang hanya dapat dicapai melalui ajaran Ilahi dan Tauhid. Maka itu, para nabi mengerahkan sebagian besar tenaganya untuk memberantas syirik, sebagaimana konfrontasi antara hak dan batil ini banyak disinggung oleh Al-Qur'an.
Pada dasarnya, keyakinan-keyakinan dan dasar-dasar syirik itu bertumpu pada kepercayaan adanya pengatur alam selain Allah. Di samping itu, banyak kaum musyrik yang percaya bahwa pencipta alam semesta adalah satu. Nyatanya, mereka mempercayai konsep Tauhid dalam penciptaan. Namun pada waktu yang sama, mereka pun meyakini adanya tuhan-tuhan sebagai pengatur alam secara mandiri, dan mereka juga menamakan Tuhan Pencipta sebagai "Tuhan di atas tuhan-tuhan pengatur".
Sebagian mereka menganggap bahwa tuhan-tuhan pengatur itu adalah malaikat. Musyrikin Arab percaya bahwa tuhan-tuhan pengatur itu adalah putri-putri Allah, sebagian lain percaya bahwa mereka itu adalah jin, ada pula yang percaya bahwa mereka itu adalah ruh bintang-bintang atau ruh orang-orang terdahulu atau bentuk-bentuk maujud yang abstrak.
Pada pelajaran 10, kami telah mengisyaratkan adanya kaitan yang erat antara penciptaan (Khaliqiyah) dan pengaturan (Rububiyah) yang hakiki. Sehingga keimanan pada penciptaan dan pengaturan itu tidak dapat dipisahkan sama sekali, dan keimanan pada Allah sebagai pencipta tidak sejalan dengan kepercayaan kepada selain Allah sebagai pengatur. Mereka yang memiliki keyakinan seperti ini belum menyadari adanya kontradiksi di dalamnya. Untuk menyanggah keyakinan mereka, cukuplah dengan mengangkat poin kontradiksi tersebut.
Sebenarnya banyak sekali dalil atas Tauhid kepada Allah yang telah dipaparkan di berbagai kitab Teologi dan Filsafat. Di sini, kami hanya akan membawakan satu dalil yang secara langsung menunjukkan Tauhid dalam pengaturan, sekaligus menyanggah keyakinan-keyakinan kaum musyrik.

Argumen atas Tauhid kepada Allah
Sesungguhnya kemestian banyaknya tuhan bagi alam semesta ini tidak keluar dari asumsi berikut ini: Pertama: Kita memestikan bahwa setiap realitas alam ini merupakan akibat dan diciptakan oleh seluruh tuhan tersebut.
Kedua: Setiap unit atau kelompok realitas alam ini adalah akibat dan diciptakan oleh satu di antara tuhan-tuhan.
Ketiga: semua realitas di alam ini diciptakan oleh Tuhan Yang Esa, sementarta tuhan-tuhan yang lain berperan sebagai pengatur mereka.
Asumsi bahwa setiap realitas alam ini memiliki banyak tuhan sebagai pencipta adalah mustahil. Sebab, keyakinan ini berarti memestikan ada dua tuhan atau lebih sebagai pencipta (baca: sebab-pewujud). Yakni, bahwa setiap tuhan itu memberi wujud kepada setiap realitas alam. Konsekuensinya, setiap realitas itu memiliki tuhan-tuhan sebanyak bilangan yang diasumsikan, sementara setiap realitas hanya memiliki satu wujud saja. Karena jika tidak demikian, setiap realitas tidak lagi satu.
Adapun asumsi bahwa setiap tuhan menciptakan satu makhluk atau sekelompok makhluk tertentu, berarti bahwa masing-masing makhluk itu bergantung hanya kepada penciptanya saja dan tidak butuh kepada maujud yang lain, kecuali dalam hal-hal yang kebutuhannya itu berakhir kepada penciptanya. Dan ini merupakan kebutuhan yang khas bagi makhluk-makhluknya.
Dengan kata lain, asumsi kedua itu melazimkan pula adanya sistem yang banyak di dalam alam, dan setiap sistem itu mandiri dan terpisah dari yang lain, padahal alam ini hanya memiliki satu sistem. Sebagaimana terdapat hubungan di antara realitas-realitas alam pada satu zaman, yang setiap mereka butuh kepada yang lain. Kenyataan ini menunjukkan bahwa ada hubungan di antara realitas-realitas sebelumnya dengan realitas-realitas yang sedang berlangsung. Demikian juga antara realitas-realitas yang sedang berlangsung dengan yang berikutnya dan setiap realitas yang lalu merupakan prasyarat bagi wujud berikutnya. Dengan begitu, alam yang terdiri dari bagian-bagian ini saling berhubungan dan berkait diatur oleh satu sistem yang tidak mungkin sebagai akibat dari beberapa sebab pengada.
Adapun asumsi bahwa pencipta seluruh makhluk adalah Tuhan Yang Esa, sedangkan tuhan-tuhan yang lain bertugas mengatur alam, tidaklah benar. Karena seluruh wujud dan aktifitas setiap akibat itu bergantung kepada sebab yang mengadakannya, dan tidak ada celah bagi maujud mandiri apa pun untuk ikut campur dalam urusan tersebut, selain interaksi antara sesama akibat-akibat dari satu sebab; yang tentunya seluruh akibat ini tunduk kepada sebab pengada mereka, tidak keluar dari wilayah kekuasaan-Nya, dan satu pun tidak akan terjadi kecuali dengan izin cipta-Nya.
Dengan demikian, tuhan-tuhan itu-selain Tuhan Pencipta dan Pewujud-bukan tuhan dalam arti yang sebenarnya. Karena, makna Tuhan yang sebenarnya adalah Dzat yang dapat memperlakukan segala makhluk-Nya secara mandiri. Sedangkan pada asumsi di atas, tuhan-tuhan itu tidak mandiri dalam pengaktifkan kekuasaan mereka, bahkan mereka itu adalah serpihan dari rububiyah Pencipta Sejati dan menjadi aktif dengan kekuatan yang Dia berikan kepada mereka. Tanpa anugerah-Nya, segala aktifitas apa pun tidak akan terwujud.
Maka itu, asumsi adanya tuhan-tuhan pengatur alam tidak menafikan Tauhid Rububiyah (tauhid dalam pengaturan), sebagaimana suatu penciptaan yang terjadi dengan izin Allah pun tidak menafikan Tauhid Khaliqiyyah-Nya. Di dalam Al-Qur'an dan hadis-hadis, terdapat ungkapan yang menun-jukkan ketetapan penciptaan atau pengaturan vertikal (taba'i) dan tidak mandiri pada sebagian hamba-hamba Allah. Sekaitan dengan ihwal Nabi Isa as, Allah SWT berfirman:
"Dan ingatlah ketika kamu menciptakan dari tanah seperti bentuk burung dengan izin-Ku, kemudian kamu meniupkan padanya, lalu ciptaan itu menjadi burung (yang sebenarnya) dengan izin-Ku." (QS. Al-Maidah: 110)
Di ayat lain Allah SWT berfirman:
"Dan (malaikat-malaikat) yang mengatur suatu urusan." (QS. An-Nazi'at: 5).
Alhasil, dugaan tentang kemungkinan adanya tuhan-tuhan bagi alam ini muncul dari menyerupakan Allah dengan sebab-sebab material dan sebab-sebab penyiap, sehingga dapat dikatakan bahwa tuhan itu bisa berbilang bagi satu akibat. Akan tetapi, kita tidak mungkin dapat menyerupakan sebab pewujud dengan sebab-sebab tersebut, atau mengasumsikan diwujudkannya suatu akibat oleh sejumlah sebab pewujud dan sebilang pengatur yang mandiri.
Jadi, untuk menyanggah dugaan tersebut, kita mesti berpikir lebih dalam tentang konsep sebab pengada dan ciri-ciri khasnya sehingga kita mengetahui kemustahilan berbilangnya sebab bagi satu akibat. Demikian pula kita mesti perhatikan saling terkaitnya sesama realitas alam, tampak jelas bahwa sistem yang saling terpadu di alam semesta ini tidak mungkin diciptakan oleh banyaknya tuhan atau tunduk pada pengaturan banyaknya pengatur yang mandiri.
Dari penjelasan di atas menjadi jelas pula bahwa keyakinan terhadap wilayah takwiniyah (kekuasaan cipta) pada sebagian hamba yang saleh tidak menafikan keimanan terhadap Tauhid. Akan tetapi, jangan sampai kita menafsirkan wilayah ini dengan makna penciptaan atau pengaturan yang mandiri. Sebagaimana keyakinan terhadap wilayah tasyri'iyah (kekuasaan hukum) pada Nabi saw dan para imam maksum as juga tidak menafikan pengaturan kekuasaan hukum Allah (tasyri'iyah Ilahiyyah). Karena wilayah itu diwujudkan oleh Allah, dengan izin-Nya, dan bersumber dari-Nya.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!

1. Jelaskan faktor-faktor yang menyebabkan munculnya keyakinan-keyakinan syirik!
2. Apakah dasar yang menjadi pusat keyakinan-keyakinan syirik tersebut?
3. Jelaskan hubungan pasti antara penciptaan dan pengaturan!
4. Mengapa kita tidak mungkin memestikan banyaknya tuhan sebagai pencipta satu akibat?
5. Mengapa kita tidak mungkin meyakini bahwa sekelompok makhluk diciptakan oleh pencipta tertentu?
6. Apakah sanggahan atas keyakinan bahwa seluruh alam ini diciptakan oleh satu tuhan, dan pada saat yang sama ia memiliki pengatur-pengatur yang mandiri?
7. Dari mana munculnya dugaan tentang kemungkinan adanya banyak tuhan? Dan bagaimana cara menyanggahnya?
8. Mengapa keyakinan terhadap wilayah takwiniyah bagi para wali Allah tidak menafikan Tauhid penciptaan (Khaliqiyyah) dan pengaturan (Rububiyyah)?



PELAJARAN 17
Beberapa Istilah Tauhid

Mukaddimah
Secara leksikal, kata tauhid berarti "menganggap sesuatu itu satu". Menurut istilah kaum filsuf, teolog, ulama akhlak, dan ahli irfan, tauhid digunakan dalam arti yang beragam. Masing-masing arti terfokus pada keesaan Allah SWT dari sisi tertentu. Dan terkadang keragaman itu dipandang sebagai ungkapan dari macam-macam Tauhid, atau tingkatan-tingkatannya. Jelas kapasitas buku ini tidak sesuai untuk membahas semua arti tersebut. Untuk itu, di sini kami hanya akan menyebutkan beberapa istilah dan arti yang lebih popular dan lebih sesuai dengan topik pembahasan.

Pertama : Negasi terhadap Keberbilangan
Istilah pertama yang umum dari tauhid adalah meyakini keesaan Allah, menafikan keberbilangan dari dzat-Nya. Arti ini merupakan lawan dari syirik yang nyata, yaitu keyakinan pada dua tuhan atau lebih; dengan pengertian bahwa masing-masing tuhan itu memiliki wujud mandiri dan terpisah dari yang lain.

Kedua : Negasi terhadap Ketersusunan
Ini adalah istilah kedua dari Tauhid. Yakni meyakini keesaan, basathah (kesederhanaan) di dalam dzat Allah, dan ketiadaan rangkapan pada dzat-Nya dari bagian-bagian, baik secara aktual (bil fi'li) maupun potensial (bil quwwah).
Arti ini pada umumnya diungkapkan dalam bentuk sifat salbiyah sebagaimana telah kami singgung pada pelajaran sepuluh. Sebab, pikiran kita lebih akrab dengan konsep rang-kapan dan sekaligus lawannya, yakni menafikan rangkapan, dari pada konsep basith (sederhana).

Ketiga : Negasi terhadap Perbedaan Sifat dari Dzat
Istilah ketiga berarti keyakinan bahwa sifat-sifat dzatiyah itu identik dengan dzat Allah dan menafikan sifat-sifat yang berbeda dengan dzat-Nya. Istilah ini dinamai dengan "Tauhid Sifati". Dalam riwayat disebutkan dengan ungkapan "Menafikan Sifat-sifat" sebagai lawan dari pandangan sebagian madzhab (misalnya Asy'ariyyah) yang meyakini bahwa sifat-sifat Allah itu adalah berbeda dengan dzat-Nya. Mereka meyakini "Al-Qudama' Ats-Tsamaniyah" (delapan sifat asli).
Dalil atas Tauhid Sifati adalah: seandainya masing-masing sifat Allah adalah realitas yang mandiri, persoalannya tidak keluar dari beberapa hal berikut ini: Pertama: kita meng-asumsikan bahwa realitas sifat-sifat itu berada di dalam dzat Allah. Asumsi semacam ini melazimkan tersusunnya dzat Allah dari bagian-bagian. Padahal, sebelumnya telah kami jelaskan kemustahilan hal ini.
Kedua: kita mengasumsikan bahwa realitas sifat Allah berada di luar dzat-Nya. Di sini, kita bisa andaikan sifat ini ke dalam dua hal: ia sebagai wajibul-wujud yang tidak butuh kepada pencipta, atau sebagai mumkinul-wujud yang diciptakan oleh Allah SWT.
Bila kita ambil yang pertama, bahwa realitas sifat-sifat Allah adalah wajibul-wujud, berarti bahwa dzat Allah itu berbilang; sebuah corak keyakinan syirik yang nyata, dan saya tidak menduga ada seorang muslim yang berpandangan demikian ini. Atau kita asumsikan realitasnya sebagai mumkinul-wujud, ini justru melazimkan bahwa dzat Ilahi-dalam keadaan tidak memiliki sifat-sifat ini-menciptakan sifat-sifat tersebut kemudian Dia menyandang sifat-sifat yang dibuatnya itu.
Misalnya, ketika secara substansial dzat Allah tidak memiliki sifat hayat (hidup), kemudian Dia menciptakan sesuatu maujud yang dinamakan hayat (hidup), setelah itu barulah Dia tersifati dengan sifat hayat ini. Begitu juga dengan sifat Ilmu, kuasa dan lainnya. Padahal, mustahil apabila sebab pengada itu secara substansial tidak memiliki kesempurnaan yang ada pada makhluk-Nya. Lebih ganjil lagi, jika kita meyakini bahwa Pencipta itu memperoleh sifat hidup, ilmu, dan kuasa dari makhluk-makhluk-Nya, lalu Dia disifati dengan seluruh sifat kesempurnaan berkat makhluk-nya tersebut.
Dengan gugurnya asumsi-asumsi di atas, tampak jelas bahwa masing-masing sifat Ilahi itu bukanlah realitas yang mandiri dan terpisah dari dzat-Nya. Pada hakikatnya, semua sifat itu merupakan konsep-konsep yang dicerap oleh akal dari satu realitas yang sederhana (basith), yaitu dzat Allah Yang Suci.

Keempat : Tauhid Tindakan
Istilah keempat yang berkembang di kalangan filsuf dan teolog ini menyatakan bahwa Allah swt. dalam segala tindakan-Nya tidak butuh kepada apa pun, dan tidak mungkin ada satu maujud pun yang memberikan bantuan kepada-Nya dalam segala tindakan-Nya.
Tauhid ini dapat kita buktikan melalui sifat khas sebab pengada, yaitu qayyumiyyah, ketika dikaitkan dengan seluruh akibat-Nya. Yakni, akibat yang terwujud dari sebab seperti ini bergantung mutlak kepadanya. Dalam Filsafat, akibat ini bermakna bahwa sejatinya ia (bukan dzat yang bergantung, tetapi) relasi ketergantungan itu sendiri kepada sebabnya; ia tidak memiliki kemandirian sedikit pun.
Dengan kata lain, segenap yang dimiliki oleh akibat hanyalah berian dari Sebab Pengada (Allah), tunduk di bawah kekuasaan cipta dan kepemilikan-Nya yang hakiki. Adapun kekuasaan dan kepemilikan selain Allah adalah kepanjangan dari kekuasaan-Nya.
Dua kekuasaan vertikal ini tidaklah berbenturan, layaknya kepemilikan harta yang bersifat konvensional yang diperoleh seorang budak melalui usaha. Harta itu merupakan kepanjangan dari kepemilikan majikannya. Jika diri budak dan apa yang dimilikinya adalah milik majikannya, bagaimana mungkin Allah membutuhkan bantuan kepada selain-Nya yang seluruh wujud dan urusannya bergantung kepada-Nya?

Kelima : Pengaruh Mandiri
Istilah Tauhid yang kelima ini berarti kemandirian dalam memberi pengaruh, yakni bahwa seluruh makhluk dalam segala tindakannya tidak mungkin tidak butuh kepada Allah, bahwa segala bentuk interaksi pengaruh di antara makhluk berlangsung hanya karena izin Allah dan di bawah kekuasaan yang dianugerahkan kepada mereka.[1] Pada hakikatnya, dzat yang kuasa-secara mandiri dan tanpa butuh kepada selainnya-memberi pengaruh pada sesuatu dan dalam setiap kondisi hanyalah Allah Yang Mahasuci. Adapun seluruh tindakan dan pengaruh selain Allah adalah perpanjangan dari tindakan dan pengaruh-Nya, berada di bawah kekuasaan-Nya.
Atas dasar inilah Al-Qur'an menisbahkan segenap pengaruh pelaku dan sebab natural ataupun nonnatural (seperti malaikat, jin dan manusia) kepada Allah SWT. Misalnya, Al-Qur'an menisbahkan turunnya hujan, tumbuhnya tumbuh-tumbuhan dan berbuahnya pepohonan kepada Allah SWT. Banyak ayat yang mendesak manusia agar mencermati penisbahan ini, dan merenungkan hubungan vertikal antara pengaruh Tuhan dan pengaruh sebab-sebab selain-Nya.
Sebagai pendekatan, kami ajukan sebuah ilustrasi: yaitu seorang pengawai melakukan sebuah tindakan yang diperintahkan oleh atasannya. Tentu, tindakan itu dinisbahkan kepada atasan tersebut, meski pada saat yang sama dilakukan oleh pegawainya. Bahkan dalam pandangan umum manusia, penisbahan tindakan pegawai itu kepada atasannya lebih akurat.
Pelaku dalam tata cipta juga memiliki rangkaian mata rantai. Yakni, mengingat bahwa wujud setiap pelaku itu bergantung kepada kehendak Allah, semisal bergantungnya wujud bayangan di benak kepada diri empunya (kendati bagi Allahlah misal yang lebih agung), maka pengaruh-pengaruh sebab-akibat yang muncul dari setiap pelaku dan pemberi pengaruh-pada mata rantai tertingginya-bergantung dan bernisbah kepada izin dan kehendak kausal Allah SWT. (La Haula wa la Quwwata illa bil-Lahil Aliyyil Adhim; tiada daya dan kekuatan kecuali karena Allah Yang Mahatinggi dan Mahaagung).

Dua Konsekuensi Penting
Konsekuensi pertama dari Tauhid Tindakan ialah bahwa manusia hendaknya tidak memandang siapa pun dan apa pun yang berhak disembah selain Allah SWT. Seperti yang telah kami isyaratkan sebelumnya, bahwa apa pun selain Pencipta dan Pengatur makhluk tidak berhak disembah, yakni bahwa Uluhiyyah berkaitan erat dengan Khaliqiyah dan Rububiyah.
Konsekuensi kedua dari Tauhid dengan makna terakhir ialah bahwa manusia-dalam segala keadaannya-harus bersandar dan bertawakal kepada Allah, serta memohon pertolongan kepada-Nya dalam segala upaya. Hendaknya ia tidak meminta bantuan kecuali kepada-Nya, tidak mengharap atau merasa cemas kecuali kepada-Nya dan dengan-Nya; sehingga seandainya sebab-sebab yang biasa tidak memenuhi kebutuhan dan keinginannya, maka ia tidak mengalami rasa putus asa dan kecewa, karena Allah mampu memenuhi kebutuhannya melalui jalur-jalur dan sebab-sebab yang tidak biasa. Keadaan orang seperti ini sungguh berada di bawah naungan kekuasaan khusus Allah, sehingga ia hidup dalam jiwa yang tenang yang tidak ada bandingannya. Allah SWT berfirman:
"Ketahuilah, sesungguhnya awliya Allah itu tidak pernah merasa khawatir dan bersedih hati." (QS. Yunus: 62).
Dua konsekuensi di atas terkandung di dalam ayat yang sering dibaca oleh setiap muslim, minimal sepuluh kali dalam sehari:
"Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami mohon perlindungan." (QS. Al-Fatihah: 5).

Sebuah Keraguan
Di sini, barangkali terbetik sebuah keraguan.Yaitu, kalaulah tauhid yang sempurna itu melazimkan agar manusia tidak lagi memohon pertolongan kepada selain Allah, maka ber-tawassul kepada para wali Allah adalah perbuatan yang tidak benar.
Jawab: jika dimaksudkan dari tawassul itu ialah pengakuan terhadap kekuasaan para wali untuk menolong pelaku tawassul secara mandiri dan lepas dari izin Allah, tawassul yang seperti ini tidaklah sesuai dengan Tauhid. Adapun tawassul dalam pengertian bahwa Allahlah yang menjadikan para wali-Nya itu sebagai wasilah untuk mencapai rahmat-Nya, dan Dia pun memerintahkan tawassul melalui mereka, tawassul seperti ini-di samping tidak menafikan Tauhid-justru sebuah manifestasi Tauhid dalam ibadah dan ketaatan, karena tawassul ini dilakukan atas perintah Allah SWT.
Adapun mengapa Allah SWT menetapkan wasilah-wasilah ini? Dan mengapa Dia memerintahkan manusia ber-tawassul kepada para wali-Nya?, perintah dan ketetapan Ilahi ini memiliki hikmah dan maslahat sebagaimana di bawah ini:
o Memperkenalkan derajat yang tinggi yang telah dicapai oleh hamba-hamba-Nya yang saleh.
o Mendorong mereka kepada ibadah dan ketaatan yang dapat mengantarkannya kepada derajat yang tinggi itu.
o Mencegah mereka dari memandang dirinya unggul dan merendahkan orang lain karena merasa paling benar ibadahnya, merasa bahwa dirinya telah mencapai derajat tertinggi dan kesempurnaan insani yang teragung. Sangat disayangkan bahwa hal semacam ini menimpa mereka yang terhalangi dari nikmat wilayah Ahlul Bait as dan tawassul kepada mereka.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Jelaskan arti leksikal dan arti teknikal (istilah) Tauhid!
2. Apakah dalil atas Tauhid Sifati?
3. Bagaimana cara menetapkan Tauhid Sifati?
4. Jelaskan Tauhid dalam arti "memberi pengaruh secara mandiri"!
5. Konsekuensi apakah yang muncul dari dua macam Tauhid yang terakhir?
6. Apakah ber-tawassul kepada para wali Allah menafikan Tauhid? Mengapa?
7. Apa hikmah di balik perintah Allah SWT untuk ber-tawassul?
________________________________________
[1] Kaum Urafa' menggunakan istilah "Tauhid Tindakan" dengan pengertian ini.



PELAJARAN 18 
Keadilan

Determinasi dan Kehendak Bebas

Mukaddimah
Selaras dengan penjelasan kami pada pelajaran yang lalu, bahwa Tauhid kepada Allah sebagai Pengaruh Mutlak Yang Mandiri merupakan salah satu pengetahuan yang bernilai tinggi dan berperan besar dalam pembinaan umat manusia. Oleh karena itu, Al-Qur'an sangat menekankan dan menyampaikannya dengan ungkapan yang beragam sehingga dapat dipahami secara benar. Di antara ungkapan-ungkapan tersebut ialah bahwa setiap kejadian di alam ini terwujud dengan izin, masyi'ah, kehendak, qadha' dan qadar Allah.
Pemahaman yang benar atas persoalan ini, di samping memerlukan kematangan akal-pikiran, juga membutuhkan kepada pengkajian dan penafsiran yang benar. Mereka yang tidak memiliki pencerahan akal yang semestinya, tidak mau berusaha menimba ajaran-ajaran para imam yang maksum dan penafsir hakiki Al-Qur'an, akan tergelincir dalam menaf-sirkan persoalan di atas itu sedemikian rupa sehingga menisbahkan segala pengaruh sebab-akibat hanya kepada Allah SWT, sembari menafikan pengaruh apapun dari sebab-sebab dan perantara, padahal penafsiran ini bertolak belakang dengan keterangan Al-Qur'an. Mereka berusaha meyakinkan kita-misalnya-akan kebiasaan ('adah) Allah yang berlaku pada munculnya panas dari api, atau pada rasa kenyang dan segar setelah makan dan minum. Tanpa kebiasaan Allah, pada dasarnya api, makanan dan air itu tidak punya pengaruh sedikit pun dalam kejadian panas, kenyang ataupun hilangnya dahaga.
Konsekuensi buruk dari penyimpangan ini menjadi lebih jelas apabila kita mengkaji dampak-dampaknya pada tindakan-tindakan bebas manusia dan tanggung jawabnya. Bahwa timbulnya pemikiran ini adalah akibat penisbahan langsung segala tindakan manusia kepada Allah dan menafikan manusia sebagai pelaku tindakan dirinya secara mutlak. Atas dasar ini, tentu tidak seorangpun yang akan dimintai tanggung jawab atas tindakannya.
Dengan kata lain, bahwa dampak-dampak buruk pemikiran tersebut ialah keyakinan terhadap determinisime (keterpaksaan manusia) dan menampik tanggung jawab. Hal itu berarti menafikan ciri khas manusia yang paling penting, dan tidak bermanfaatnya setiap sistem pendidikan, moral, dan hukum, termasuk juga di antaranya syariat Islam.
Karena, jika kita mencabut kehendak bebas dari diri manusia atas tindakannya sendiri, tentu tidak lagi tersisa tanggung jawab, tugas, perintah, larangan, pahala dan siksa. Bahkan dapat melazimkan sia-sianya sistem alam itu; tanpa tujuan apapun di dalamnya. Sebab, penciptaan alam semesta ini-sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat dan hadis-hadis serta dalil-dalil rasional-adalah untuk menyiapkan lahan yang sesuai bagi penciptaan manusia agar dapat mencapai kesempurnaannya dan kedekatan dirinya di sisi Allah SWT sehingga ia layak mendapatkan anugerah-Nya, yaitu dengan cara menjalankan berbagai kewajiban Ilahi secara sadar dan bebas.
Adapun, asumsi bahwa manusia itu tidak memiliki kehendak bebas dan tanggung jawab, ia tidaklah berhak memperoleh pahala, kesenangan abadi dan keridhaan Ilahi. Dengan demikian, tujuan dari penciptaan manusia akan gugur, undang-undang penciptaan itu akan berubah menjadi pentas besar permainan; layaknya boneka yang bergerak dan memainkan perannya tanpa kehendak dan kebebasan pada dirinya, kemudian ia dihujat dan disiksa, atau disanjung dan diganjar mulia.
Faktor terpenting yang memperluas pemikiran yang berbahaya ini ialah ambisi politis pihak penguasa zalim. Mereka menjadikannya sebagai pembenaran atas perilaku busuk mereka, menyiasati rakyat awam untuk menerima pemerintahan zalimnya, dan meredam protes serta penentangan mereka. Maka, paham Jabariyah (determinisme) merupakan cara efektif yang utama untuk membius rakyat.
Ada sebagian orang yang sadar akan bahaya Jabariyah, akan tetapi karena tidak memiliki kemampuan untuk menolak paham itu sekaligus komit pada Tauhid yang sempurna, dan tidak berusaha menggali ajaran-ajaran Ahlul Bait yang suci nun mulia, mereka malah jatuh ke dalam paham tafwidh dan Qodariyah (kebebasan mutlak manusia). Mereka menganggap bahwa tindakan bebas manusia itu di luar jangkauan tindakan Allah.Dengan begitu, sebenarnya mereka telah terjebak ke dalam bentuk dalain dari penyimpangan pemikiran, dan telah merenggang jauh dari ajaran Islam.
Sementara mereka yang memiliki kesiapan pengetahuan yang memadai dan mengenal para pengajar dan penafsir hakiki Al-Qur'an, senantiasa terjaga dari penyimpangan-penyimpangan tersebut. Dari sisi lain, mereka percaya bahwa perbuatan mereka itu bersumber dari kekuatan yang Allah berikan kepada mereka, sehingga mereka bertanggung jawab atas perbuatannya masing-masing. Dari sisi lain, merekapun menyadari adanya pengaruh Allah yang mandiri pada levelnya yang lebih tinggi, sehingga mereka mendapatkan kesimpulan yang jernih.
Di dalam hadis-hadis para imam a.s.yang sampai kepada kita, terdapat keterangan-keterangan brilian mengenai masalah ini, yang tercatat di dalam kitab-kitab hadis di bawah judul "Kemampuan dan Menafikan Keterpaksaan dan Kebe-basan mutlak". Selain itu juga dicatat di dalam bab-bab; Izin, Masyi'ah, Iradah, Qadha' dan Qadar Ilahi. Terdapat sebagian hadis yang melarang orang yang minim kesiapan untuk mendalami persoalan-persoalan rumit tersebut, agar mereka tidak tertimpa penyimpangan.
Benar bahwa masalah determinisme dan kehendak bebas ini menyimpan berbagai dimensi. Meski bukui ini tidak relevan untuk mengulas semua dimensi itu, kami akan berusaha membahas beberapa di antaranya, mengingat pentingnya masalah ini, tentunya dengan metode yang sederhana. Perlu kami tekankan pula kepada mereka yang ingin meneliti lebih dalam agar bersabar dan tekun dalam mengkaji dasar-dasar filosofis masalah ini.

Penjelasan seputar Kehendak Bebas
Pada hakikatnya, kemampuan memilih dan mengambil keputusan merupakan salah satu yang begitu gamblang disadari oleh manusia. Karena, setiap orang menyadari kemampuan itu dengan pengetahuan hudhuri (presentif) yang tidak mungkin mengalami kekeliruan. Sebagaimana juga-dengan pengetahuan hudhuri ini-ia dapat merasakan kondisi jiwanya. Seandainya ia ragu akan sesuatu, tentu ia tidak ragu akan keraguannya ini, sebab ia mengetahui kondisi ragunya itu secara hudhuri, dan ia tidak mungkin ragu akan pengetahuan semacam ini.
Begitu pula, setiap orang dapat mengetahui-hanya dengan sedikit konsentrasi pada dirinya-bahwa ia mampu berbicara atau tidak. Atau, dia yakin akan kemampuannya untuk menggerakkan tangannya atau mendiamkannya. Dia pun mampu untuk menelan makanan atau tidak.
Kehendak untuk melakukan satu perbuatan itu terkadang untuk memenuhi dorongan naluri hewani, seperti rasa lapar yang mendorong seseorang untuk makan dan rasa haus yang mendorongnya untuk minum, atau terkadang untuk memenuhi kebutuhan akal dan untuk merealisasikan nilai insani yang mulia, seperti seorang pasien yang meminum obat yang pahit dengan harapan pulih. Untuk tujuan mulia ini, ia rela untuk menahan dirinya dari mengkonsumsi makanan yang ia sukai. Atau pelajar yang meninggalkan kenikmatan duniawi demi memperoleh ilmu dan hakikat kebenaran serta tabah dalam menjalani berbagai kesulitan. Juga seperti prajurit yang gagah berani, sekalipun harus mengorbankan nyawanya demi meraih cita-citanya yang tinggi.
Pada hakikatnya, nilai seseorang itu akan tampak tatkala berbagai keinginannya saling berbenturan. Untuk mencapai kesempurnaan ruhani yang abadi, qurb (kedekatan) dan keridhaan Ilahi, ia akan menepikan hasrat-hasrat hewaninya yang rendah. Dan setiap tindakan yang dilakukannya secara lebih disadari, akan berpengaruh lebih kuat pula dalam penyempurnaan atau mengerdilan jiwanya, serta akan mewujudkan kelayakan yang lebih besar dalam menerima pahala atau siksa.
Jelas bahwa kemampuan untuk melawan berbagai desakan hawa nafsunya tidaklah sama rata di antara semua orang dan dalam kaitannya dengan segala sesuatu. Kendati demikian, setiap orang, sedikit-banyaknya, memiliki anugerah Ilahi (kehendak bebas) ini. Dan, semakin ia melatih kemampuan resistensi ini, semakin ia dapat menguatkan kehendak bebasnya itu.
Oleh karena itu, kita sama sekali tidak ragu akan adanya kehendak bebas di dalam jiwa setiap manusia. Dan jangan sampai perkara yang sudah jelas ini dikeruhkan oleh berbagai keraguan. Seperti yang telah kami bahas dalam pelajaran sebelumnya, bahwasanya realitas kehendak bebas itu merupakan dasar yang begitu jelas telah diterima oleh semua sistem pendidikan, moral serta agama-agama samawi.
Tanpa kehendak bebas, tidak akan tersisa lagi peluang untuk validitas sebuah hak dan tanggung jawab, sanjungan dan hujatan, pahala dan siksa. Apa yang mengakibatkan keraguan terhadap hakikat yang jelas serta mengarah kepada paham Jabariyah yaitu munculnya sejumlah keraguan yang harus dijawab secara tuntas. Untuk itu, kami akan berusaha mendiskusikannya secara padat sebagaimana di bawah ini.

Menjawab Jabariyah
Keraguan-keraguan paling serius yang dilontarkan oleh para penganut Jabariyah adalah berikut ini:
Keraguan pertama: kehendak seseorang itu muncul lantaran bangkitnya hasrat-hasrat subjektif dari dalam dirinya. Pada gilirannya, hasrat-hasrat ini bangkit bukan karena kehendak bebasnya, bukan pula karena faktor-faktor dari luar dirinya. Maka itu, tidak ada lagi tempat untuk sebuah pemilihan dan kehendak bebas.
Jawab: bangkitnya hasrat-hasrat itu merupakan lahan penyiap untuk kehendak. Timbulnya kehendak seseorang untuk melakukan suatu tindakan bukanlah kejadian determinatif dari bangkitnya hasrat-hasrat tersebut, sehingga kemampuannya menjadi hilang. Bukti atas hal itu ialah munculnya keadaan ragu dan bimbang pada diri manusia dalam berbagai kasus. Dalam keadaan ini, untuk mengambil suatu keputusan, ia perlu merenung, berpikir serta mempertimbangkan untung ruginya suatu tindakan. Dan terkadang ia menemui kesulitan dalam melakukan semua ini.
Keraguan kedua: telah dibuktikan dalam berbagai disiplin ilmu, bahwa terdapat berbagai faktor yang heterogen yang mempunyai pengaruh dan peranan di dalam membentuk kehendak umat manusia. Faktor-faktor itu seperti keturunan dan pengaruh yang diakibatkan oleh bahan-bahan makanan dan obat-obatan tertentu. Demikian pula faktor-faktor sosial. Sesungguhnya beragamnya umat manusia di dalam tingkah laku dan sifat-sifat mereka itu tunduk kepada faktor-faktor semacam ini.
Yang perlu diperhatikan pula, bahwasanya teks-teks agama itu mendukung-dari dekat ataupun dari jauh, sedikit atau pun banyak-adanya pandangan dan pemikiran semacam ini. Oleh karena itu, tidaklah bisa diterima adanya pandangan yang menyatakan bahwa perbuatan seseorang itu timbul dari kehendak bebasnya.
Jawab: keyakinan terhadap adanya ikhtiar dan kehendak yang bebas itu tidak berarti menolak faktor-faktor ini serta pengaruh dan peranannya. Bahkan hal itu berarti bahwa meskipun faktor-faktor itu telah ada, akan tetapi manusia mempunyai pilihan dan kemampuan untuk melakukan perlawanan. Ketika terjadi pertentangan di dalam dorongan-dorongan yang bermacam-macam, didapati bahwa seseorang itu mempunyai kemampuan untuk memilih sebagiannya.
Tentunya, faktor-faktor yang dominan akan menjadi sulit untuk dilawan, sesulit memilih suatu pekerjaan yang menentang keinginan-keinginannya. Akan tetapi, perlawanan dan pemilihan yang sulit semacam ini akan lebih berpengaruh pada kesempurnaan insani dan pada upaya meraih ganjaran yang berlipat ganda. Sebagaimana pula terkadang sebagian kondisi yang menggoncangkan serta interaksi-interaksi yang tajam, atau sebagian kondisi yang sulit merupakan sebab peringanan siksa atau penurunan tingkat kejahatan.
Keraguan ketiga: bahwa Allah SWT Mahatahu akan segala fenomena dan makhluk di alam semesta. Di antaranya, Allah mengetahui seluruh perbuatan-perbuatan manusia sebelum kejadiannya. Dan pengetahuan Ilahi itu tidak akan salah. Maka setiap fenomena itu pasti akan terjadi sesuai dengan ilmu azali yang abadi dan tidak mungkin bertentangan dengannya. Jadi tidak ada lagi peluang bagi manusia untuk memilih dan berkehendak bebas.
Jawab: pada hakikatnya, pengetahuan Allah itu berhu-bungan dengan setiap fenomena yang sesuai dengan kenyataannya, dan perbuatan sengaja manusia itu telah diketahui oleh Allah sesuai dengan kenyatannya, yaitu bahwa perbuatan tersebut bersifat disengaja dan dikehendaki. Apabila perbuatan sengaja tersebut terjadi secara deterministik dan tak terpaksa, pengetahuan Allah berarti salah.
Misalnya, Allah SWT mengetahui bahwa si fulan pada kondisi tertentu akan melakukan suatu perbuatan. Pengetahuan Ilahi ini tidak berhubungan hanya dengan perbuatan itu; terlepas dari berawalnya perbuatan tersebut dari kehendak si fulan itu. Akan tetapi, Allah mengetahui perbuatan itu sebagai sebuah kejadian yang muncul dari kehendak si fulan. Dengan demikian, ilmu Ilahi yang azali itu tidak menafikan kehendak bebas manusia.
Keraguan lain berkaitan dengan masalah qadha' dan qadar yang-menurut mereka-tidak sesuai dengan kehendak bebas manusia. Dan hal ini akan kita bahas pada pelajaran mendatang.[]


Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Terangkan faktor-faktor yang menyebabkan seseorang condong kepada paham Jabariyah dan jelaskan pula bagaimana paham ini bisa tersebar!
2. Apakah dampak-dampak buruk dari paham ini?
3. Jelaskan adanya kehendak bebas pada manusia!
4. Apakah pengaruh kecondongan internal dan faktor yang membangkitkan fenomena-fenomena itu menafikan adanya ikhtiar pada diri manusia, dan mengapa?
5. Apakah perbedaan antara orang yang tunduk pada sebagian kondisi dari reaksi-reaksi jiwa yang tidak wajar dan kondisi-kondisi yang sulit? Apakah perbedaan itu dengan mereka yang tidak tunduk?
6. Apakah pengaruh faktor keturunan dan faktor sosial melazimkan Jabariyah, dan mengapa?
7. Apakah ilmu azali yang abadi itu menafikan kehendak bebas manusia, dan mengapa?




PELAJARAN 19

Qadha' dan Qadar

Definisi
Kata qadar berarti ukuran (miqdar), dan taqdir (takdir) yaitu ukuran sesuatu dan menjadikannya pada ukuran tertentu, atau menciptakan sesuatu dengan ukurannya yang ditentukan. Sedangkan kata qadha berarti menuntaskan dan memutuskan sesuatu, yang di dalamnya menyiratkan semacam unsur konvensi. Terkadang dua kata ini digunakan secara sinonim yang berarti nasib.
Maksud dari takdir Ilahi yaitu bahwa Allah SWT telah menciptakan segala sesuatu serta telah menetapkan kadar dan ukurannya masing-masing dari segi kuantitas, kualitas, ruang dan waktu. Dan hal ini dapat terealisasi di dalam rangkaian sebab-sebab.
Sedangkan yang dimaksud qadha Ilahi adalah menyampaikan sesuatu kepada tahap kepastian wujudnya, setelah terpenuhinya sebab-sebab dan syarat-syarat sesuatu itu. Berdasarkan maksud ini, tahap takdir itu lebih dahulu dari tahap qadha', karena di dalam takdir terdapat beberapa tahap gradual dan syarat-syarat yang jauh, tengah dan dekat. Dan takdir ini dapat mengalami perubahan dengan berubahnya sebagian sebab dan syaratnya.
Misalnya, perjalanan janin yang berangsur-angsur dari sperma, segumpal darah, segumpal daging sampai membentuk janin yang sempurna. Janin ini melewati tahap-tahap yang beragam untuk sampai kepada takdir tersebut, dan di antara tahap-tahap itu adalah ruang dan waktu. Keluar atau gugurnya janin pada salah satu tahap-tahap tersebut adalah perubahan pada takdir itu.
Adapun tahap qadha' bersifat seketika (daf'i). Qadha' ini berhubungan dengan tahap terpenuhinya segenap sebab-sebab dan syarat-syarat. Maka itu, ia bersifat pasti serta tidak akan mengalami perubahan. Allah SWT berfirman:
"Apabila Allah menetapkan suatu perkara, Ia akan mengatakan, "Jadilah." Maka terjadilah." (QS. Ali Imran: 47)[1]
Akan tetapi, sebagaimana telah kami jelaskan, qadha' dan qadar ini juga bisa digunakan sebagai dua kata yang sinonim. Dari sinilah qadha' dan qadar dapat dibagi menjadi dua bagian: qadha' dan qadar yang pasti (hatmi) dan qadha dan qadar yang tidak pasti (ghairi hatmi). Berdasarkan pembagian ini, sebagian riwayat, hadis, dan doa-doa menyinggung perubahan tersebut. Di antaranya, bahwa bersedekah, patuh kepada kedua orang tua, silaturahim dan doa termasuk faktor-faktor yang bisa mengubah qadha'.

Qadha' Qadar Ilmi dan Aini
Terkadang taqdir dan qadha' Ilahi pun digunakan dengan arti ilmu Allah, yakni ketika sebab-sebab serta syarat-syaratnya telah terpenuhi. Atau ketika telah terpenuhinya sebab-sebab dan syarat-syarat yang mempunyai pengaruh dalam mewujudkan fenomena-fenomena. Qadha' qodar juga digunakan untuk ilmu Tuhan terhadap kejadian fenomena-fenomena yang bersifat pasti. Arti qadha' qadar ini dinamakan sebagai qadha qadar ilmi.
Kerapkali kedua kata ini digunakan pula untuk penisbahan proses penciptaan yang bertahap kepada makhluk-makhluk di alam ini. Sebagaimana pula terjadinya hal itu dalam wujud luar dinisbahkan kepada Allah SWT. Hal itu dinamakan qadha' qadar 'aini.
Sesuai dengan ayat dan riwayat yang menyinggung hal ini, ilmu Allah dipercayakan kepada pada lauh mahfuz, yaitu makhluk Ilahi yang tinggi dan mulia ang darinya terefleksi seluruh fenomena objektif (tahaqquq) di dunia luar (khariji). Dan setiap orang dapat bersentuhan dengan mencapai lauh mahfuz itu dengan ijin Allah SWT.
Ketika seseorang dapat mencapai peringkat tersebut, ia akan menjadi alim dan mengetahui segala peristiwa yang telah lalu dan akan datang. Ada lauh-lauh yang lainnya juga yang peringkat dan derajatnya lebih rendah dibanding lauh mahfuz, yang padanya tercatat fenomena-fenomena dan makhluk-makhluk dalam bentuk yang bersyarat, tidak sempurna. Dan setiap orang yang dapat mengenal lauh tersebut akan mempunyai pengetahuan yang terbatas dan tidak sempurna, bersyarat dan dapat berubah. Barangkali ayat Al-Qur'an ini menjelaskan ihwal kedua lauh tersebut:
"Sesungguhnya Allah SWT akan menghapus apa-apa yang Ia kehendaki dan juga akan menetapkannya. Di sinilah terdapat ummul kitab (kitab induk)." (QS. Ar-Ra'ad: 39).
Adanya perubahan pada takdir yang bersyarat dan tak pasti semacam ini diistilahkan dengan bada'. Dengan ini, iman kepada qadh'a dan qadar ilmi tidak melazimkan kesulitan-kesulitan logis yang lebih banyak sebagaimana kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan ilmu Ilahi yang azali, seperti yang telah kata pelajari keraguan Jabariyah di dalam masalah ilmu Ilahi. Dan telah jelas bagi kita bagaimana kelemahan pandangan tersebut.
Akan tetapi, yang lebih sulit lagi terdapat dalam hal keyakinan terhadap qadha' dan qadar 'aini, khususnya dalam hal keimanan terhadap nasib yang pasti. Dan kita akan berusaha untuk mengatasi dan menjawab masalah ini dengan baik, meskipun jawaban dari masalah tersebut yang secara global telah diungkapkan dalam persoalan Tauhid dengan pengertian pengaruh yang mandiri.

Antara Qadha', Qadar dan Kehendak Bebas Manusia
Telah kita pelajari pada pelajaran yang telah lalu bahwa keyakinan terhadap qadha' dan qadar 'aini Ilahi itu menuntut adanya keyakinan bahwa keberadaan setiap makhluk dari awal keberadaannya lalu tahap-tahap pertumbuhannya sam-pai akhir usianya, bahkan sejak terpenuhinya syarat-syarat yang jauh, seluruhnya tunduk kepada takdir dan pengaturan Ilahi yang mahabijak. Begitu pula, terpenuhinya syarat-syarat bagi kemunculan dan proses mereka hingga tahap akhir dari keberadaan mereka sungguh bersandar kepada kehendak Allah SWT.
Dengan kata lain, sebagaimana wujud setiap fenomena itu bersandar kepada ijin dan kehendak cipta (takwiniyah) Allah SWT, dan tanpa izin dan kehendak-Nya, maka seluruhnya tidak akan mungkin mencapai pelataran eksistensi. Demikian pula wujud dan terbentuknya segala sesuatu bersandarkan kepada qadha' dan takdir Ilahi; yang tanpa keduanya segala realitas tidak akan sampai kepada bentuk dan batasan-batasannya yang khas serta ketentuan ajalnya. Penjelasan atas penyandaran dan penisbahan ini pada dasarnya lebih merupakan pengajaran secara bertahap tentang Tauhid dalam arti Pengaruh Mandiri; sebuah derajat tauhid yang paling tinggi, yang memiliki peranan besar dalam membentuk kepribadian seseorang, sebagaimana telah kami jelaskan.
Adapun disandarkannya seluruh makhluk kepada izin Allah, atau bahkan kepada kehendak-Nya itu lebih mudah dan lebih dekat kepada pemahaman. Dibandingkan dengan menyandarkan tahap terakhir dan kepastian wujud mereka kepada qadha' Ilahi adalah sulit dan lebih banyak menjadi topik perdebatan, karena sulitnya mengkompromikan antara keimanan terhadap qadha' Ilahi ini dan keimanan terhadap kehendak bebas yang ada pada manusia dalam menentukan jalan dan nasib hidupnya.
Oleh karena itu, kita melihat sebagian kaum mutakalim, yaitu para teolog Asy'ariyah, tatkala mereka menerima kemutlakan qadha' Ilahi pada perbuatan-perbuatan manusia, tampak kecondongan mereka kepada pemikiran Jabariyah (determinisme). Lain halnya ketika kita melihat teolog lainnya, yaitu kaum Mu'tazilah. Madzhab teologi ini tidak menerima pandangan Jabariyah. Kaum Mu'tazilah mengingkari qadha' Ilahi pada seluruh perbuatan manusia yang bersifat sengaja dan berkehendak bebas.
Masing-masing kelompok menakwilkan ayat-ayat Al-Qur'an dan riwayat-riwayat yang saling berlawanan satu dengan yang lainnya, sebagaimana hal ini tercatat di dalam ilmu Kalam dan dalam risalah-risalah yang membahas secara khusus masalah jabr dan tafwidh, keterpaksaan dan kebebasan (mutlak).
Titik inti persoalan yang mengemuka di sini adalah bahwa perbuatan manusia itu, apabila ia bersungguh-sungguh dengan sifat kebebasan kehendaknya, dan bahwa perbuatannya itu bersandar kepada kehendaknya sendiri, maka bagaimana mungkin hal itu dapat disandarkan kepada kehendak dan qadha' Allah SWT. Sebaliknya, apabila perbuatan manusia itu disandarkan kepada qadha' Ilahi, bagaimana mungkin hal itu tunduk kepada kehendak bebas manusia itu sendiri.
Untuk menjawab persoalan semacam ini dan mengkompromikan perbuatan manusia dan kehendak bebasnya, serta penyandaran dan penisbahannya kepada qadha' Ilahi, kita mesti membahas berbagai macam penyandaran satu akibat kepada sebab yang beraneka ragam. Sehingga akan menjadi jelaslah jenis penyandaran suatu perbuatan sengaja manusia kepada dirinya dan kepada Allah SWT.

Macam Pengaruh Sebab yang Berbeda-beda
Dapat kita gambarkan adanya pengaruh berbagai sebab yang berbeda-beda terhadap kejadian suatu makhluk melalui beberapa keadaan:
Pertama, beberapa sebab secara serempak dan bersama-sama memberikan pengaruh atas sesuatu. Misalnya, berkumpulnya biji dan air, panas dan lainnya yang menyebabkan terbelahnya biji tersebut dan keluarnya tumbuhan.
Kedua, beberapa sebab saling bergantian pengaruhnya. Setiap sebab ini memberikan pengaruh ke atas sesuatu sedemikian rupa sehingga panjang usianya terbagi sesuai jumlah sebab-sebab itu, dan setiap bagiannya merupakan akibat dari sebab-sebab yang pada gilirannya memberi pengaruh juga. Misalnya, beberapa mesin yang hidup secara bergiliran dan menjadi sebab bergeraknya sebuah pesawat.
Ketiga, masing-masing sebab mempengaruhi sebab yang lain secara beruntun seperti benturan bola-bola, dimana setiap bola itu membentur yang lainnya sehingga sebuah bola menjadi sebab pada gerak yang lain, dan bola itulah yang menimbulkan gerakan berantai, satu sama lainnya saling mempengaruhi dan menggerakkan yang lain, secara beruntun. Atau misalnya, kalau kita lihat perhatikan pengaruh kehendak manusia dalam menggerakkan tangannya dan pengaruh tangan dalam menggerakkan sebuah pena dan pengaruh pena dalam kejadian tindakan menulis.
Keempat, pengaruh yang muncul dari beberapa sebab vertikal, dimana wujud setiap sebab itu bergantung kepada wujud sebab lainnya. Ini berbeda dengan keadaan tiga di atas tadi, dimana wujud pena tidak mempunyai hubungan dengan wujud tangan dan wujud tangan juga tidak berhubungan dengan kehendak manusia.
Pada seluruh keadaan ini, bisa terjadi berkumpulnya (pengaruh) beberapa sebab pada satu akibat. Tidak sekedar bisa (baca: mungkin) terjadi perkumpulan ini, akan tetapi mesti terjadi. Dan pengaruh kehendak Allah dan kehendak manusia dalam perbuatan yang bersifat sengaja dan berkehendak bebas itu termasuk ke dalam keadaan terakhir, yaitu keadaan keempat. Karena sesungguhnya wujud manusia dengan kehendaknya itu berhubungan erat dengan kehendak Allah SWT.
Adapun gambaran yang tidak mungkin terjadi, yaitu berkumpulnya beberapa sebab pada satu akibat, ialah berkumpulnya dua sebab pengada (dengan pengertian yang telah lalu), atau berkumpulnya dua sebab dalam memberikan pengaruh yang sama secara sejajar atau bergantian, pada satu akibat. Seperti dalam asumsi satu kehendak yang muncul dari dua subjek (pelaku) yang sama-sama berkehendak, atau satu fenomena yang bersandar kepada dua kelompok sebab yang kedua-duanya merupakan sebab lengkap (illah tammah).

Jawaban atas keraguan
Berdasarkan penjelasan di atas, jelas bahwa penyandaran kejadian perbuatan-perbuatan sengaja manusia itu kepada Allah SWT tidak bertentangan dengan penyandarannya kepada manusia itu sendiri, karena dua penyandaran ini berada pada kepanjangan yang lainnya, dan tidak ada benturan di antara keduanya.
Dengan kata lain, penyandaran suatu perbuatan kepada manusia sebagai pelaku berada pada satu tahap. Sedangkan penyandaran perbuatan yang sama kepada Allah SWT berada pada tahap yang lebih tinggi. Pada tahap kedua inilah keberadaan manusia sendiri, keberadaan materi yang terlibat dalam kejadian perbuatannya dan juga keberadaan sarana-sarana yang digunakan untuk menuntaskan perbuatan tersebut, semua itu bersandar kepada Allah SWT.
Dengan demikian, pengaruh kehendak manusia yang merupakan bagian akhir dari sebab sempurna terhadap perbuatannya itu tidaklah menegasikan penyandaran seluruh bagian-bagian sebab sempurna kepada Allah SWT. Karena Dialah dzat yang memiliki seluruh kekuatan. Pada-Nyalah kekuatan untuk mewujudkan alam, manusia dan berbagai macam kondisi wujudnya. Dialah dzat yang menganugrahkan wujud kepada manusia secara terus-menerus, dan seluruh makhluk itu tidak terlepas dari-Nya sekejap pun, dalam keadaan dan kondisi apapun. Karena, makhluk-makhluk ciptaannya itu tidaklah mandiri.
Atas dasar ini, perbuatan-perbuatan sengaja manusia itu senantiasa membutuhkan dan bergantung kepada Allah SWT, dan tidak mungkin keluar dari kehendak Ilahi. Seluruh sifat-sifat makhluk, ciri-ciri khusus dan berbagai kelebihannya serta batasan-batasannya selalu berhubungan dan bergantung kepada takdir dan qadha' Allah SWT.
Tidaklah seperti apa yang telah disebutkan di atas, bahwa seluruh perbuatan ini ada kalanya hanya bersandar kepada kehendak manusia, ada kalanya pula ia hanya bersandar kepada kehendak Allah saja. Sebab, dua kehendak ini tidak berada pada satu tahap, sehingga yang tidak mungkin lagi bertemu kedua-keduanya. Dua kehendak ini pun tidak mempunyai pengaruh dalam mewujudkan berbagai perbuatan secara bergantian.
Sesungguhnya kehendak manusia, sebagaimana asal keberadaan wujud dirinya sendiri, senantiasa berhubung dan bergantung kepada kehendak Allah, dan sesungguhnya kehendak Allah SWT itu niscaya untuk terwujudnya kehendak manusia tersebut.
Allah SWT berfirman:
"Dan kalian tidak berkehendak melainkan Allah, pengatur alam semesta inilah yang berkehendak." (QS. At-Takwir: 29).

Manfaat Keyakinan pada Qadha' dan Qadar
Keyakinan pada qadha' dan qadar, di samping merupakan peringkat yang tinggi ma'rifatullah dalam dimensi penalaran dan mendorong manusia menuju kesempurnaan insaninya, secara praktikal menyimpan manfaat yang melimpah. Sebagian manfaat ini telah kami kemukakan, dan berikut ini akan kami jelaskan sebagian lainnya.
Kaum mukmin yang meyakini bahwa setiap kejadian tidak bisa lepas dari kehendak Allah Yang Bijak, dan semua kejadian itu bersumber dari takdir dan qadha' Ilahi, ia tidak akan merasa takut menghadapi peristiwa yang menyakitkan. Ia tidak akan pernah berputus asa. Ketika ia merasa yakin bahwa kejadian-kejadian itu merupakan bagian dari tatanan alam Ilahi Yang Bijak, pasti akan terwujud sesuai dengan kemaslahatan dan kebijaksanaan, maka ia akan menerimanya dengan lapang dada. Karena dengan jalan ini seorang mukmin akan sampai kepada sifat-sifat yang terpuji seperti: sabar, tawakal, ridha, dan sebagainya.
Demikian pula hati seorang mukmin tidak akan terkait dan tidak akan tertipu oleh dunia, dan tidak akan bangga dengan kesenangannya. Ia tidak akan tertimpa penyakit sombong. Dan ia tidak akan menjadikan nikmat Ilahi sebagai sarana untuk mencapai status sosial.
Allah SWT menyinggung manfaat-manfaat besar ini melalui ayat-Nya:
"Tidak ada suatu bencana apa pun yang menimpa di muka bumi ini dan tidak pula pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab lauh mahfuz, sebelum Kami menciptakannya.Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Kami jelaskan yang demikian itu agar kalian tidak berduka cita dari apa yang lepas dari diri kalian dan supaya kalian jangan terlalu bergembira terhadap apa yang diberikan-Nya terhadap kalian dan Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri." (Qs. Al-Hadid: 22-23).
Hendaknya kita berusaha menghindari pengaruh-pengaruh yang berlipat ganda dari penafsiran yang menyimpang terhadap masalah qadha', qadar dan tauhid dalam kemandirian pengaruh Allah. Karena penafsiran yang keliru atas masalah-masalah tersebut akan mengakibatkan kejemuan, kemalasan, kepasrahan di hadapan tindak kezaliman dan kejahatan penguasa zalim, serta lari dari tanggung jawab. Kiranya perlu kita ketahui bahwa sesungguhnya kebahagiaan dan kesengsaraan abadi manusia hanyalah dapat diusahakan melalui perbuatan bebas dan sengaja manusia sendiri. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya ia akan mendapat pahala dari perbuatan baik yang ia lakukan dan ia akan mendapat siksa dari perbuatan buruk yang ia kerjakan pula." (QS. Al Baqarah: 286)
"Dan manusia tidak akan mendapat balasan apa-apa melainkan apa yang telah ia usahakan sendiri." (QS. An-Najm: 39).

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Jelaskan pengertian dari qadha' dan qadar menurut bahasa!
2. Apa yang dimaksud dengan takdir dan qadha Ilahi?
3. Atas dasar apakah qada dan qadar itu dibagi menjadi qadha dan qadar pasti (hatmi) dan qada dan qadar yang tidak pasti (ghairi hatmi)?
4. Apakah yang dimaksud dengan bada'?
5. Jelaskan qadha' dan qadar ilmi dan aini!
6. Terangkanlah tentang lauh mahfuz dan lauh penghapus dan ketetapan serta hubungan keduanya dengan perjalanan yang pasti dan tidak pasti?
7. Jelaskan sulitnya menghimpun antara qadha, qadar dan ikhtiar manusia dan perbedaan pandangan para mutakalimin sekitar tema tersebut!
8. Jelaskan macam-macam pengaruh dan sebab-sebab yang bermacam-macam terhadap akibat yang satu dan jelaskan pula berbagai macam kemustahilan yang ada di dalamnya, berkumpulnya ilat yang bermacam-macam atas akibat yang satu!
9. Jelaskan jawaban keraguan jabariyah sehubungan dengan masalah qadha' dan qadar!
10. Terangkan pengaruh berkeyakinan kepada qadha' dan qadar Ilahi!
________________________________________
[1] Lihat juga QS. Al-Baqarah: 117, Maryam: 35, dan Ghafir: 68.



PELAJARAN 20

Keadilan Ilahi

Mukaddimah
Sepanjang pelajaran-pelajaran yang lalu tampak banyak ikhtilaf di antara dua mazhab Kalam, yaitu Asy'ariyah dan Mu'tazilah dalam berbagai masalah. Di antaranya, masalah kalam Allah, iradah Allah, Tauhid Sifati, Determinasi dan Kehendak Bebas, Qadha dan Qadar. Kita pun melihat betapa pandangan dua mazhab tersebut mengesankan sikap ifrat dan tafrit.
Salah satu ikhtilaf mendasar di antara Asy'ariyah dan Mu'tazilah ialah masalah Keadilan Ilahi. Di sini, kita temukan bagaimana Syi'ah sejalan dengan Mu'tazilah. Kedua mazhab ini dikenal juga dengan 'Adliyah, sebagai lawan dari Asy'ariyah. Mengingat pentingnya masalah ini, masalah ini dianggap sebagai masalah pokok di dalam ilmu Kalam. Bahkan masalah ini dianggap sebagai masalah ushulul 'aqaid dan termasuk keistimewaan yang dimiliki oleh madzhab Syi'ah dan Mu'tazilah. Perlu diketahui bahwa madzhab Asy'ariyah juga sebenarnya tidak menolak keadilan Ilahi. Mereka tidak menilai bahwa Allah SWT itu zalim, na'udzubillah. Karena sesungguhnya ayat-ayat Al-Qur'an yang jelas yang tidak perlu ditakwil menetapkan adanya keadilan Ilahi dan menafikan berbagai macam kezaliman dari-Nya.
Akan tetapi, pembahasan dalam tema ini berkisar tentang apakah akal manusia-tanpa bersandar kepada Al-Qur'an dan Sunnah-dapat mengetahui dasar-dasar untuk suatu perbuatan, khususnya perbuatan Allah, yang atas dasar tersebut mengharuskan seseorang agar melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya. Misalnya, akal dapat menghukumi bahwa Allah SWT itu mesti memasukkan kaum mukmin ke dalam surga dan kaum kafir ke dalam neraka. Ataukah hukum-hukum seperti ini tidak dapat dipahami kecuali dengan bersandar kepada wahyu Ilahi, yang tanpanya akal tidak dapat menyatakan hukum-hukum tersebut?
Dengan demikian, masalah utama yang diperdebatkan adalah yang diistilahkan dengan baik dan buruk akli (husn wa kubh aqli). Asy'ariyah mengingkari hal tersebut. Mereka berkeyakinan bahwa segala hal penciptaan yang dilakukan Allah adalah kebaikan, dan hukum apa saja yang disyariatkan oleh-Nya adalah kebaikan. Bukan lantaran perbuatan itu baik lalu Allah memerintahkan untuk dilakukan atau ditinggalkan.
Adapun madzhab 'Adliyah meyakini bahwa segala perbuatan, terlepas dari kaitan penciptaan dan pensyariatannya pada Allah, pada dirinya sendiri bersifat baik atau buruk. Pada batas-batas tertentu, Akal mampu menjangkau kebaikan dan keburukan suatu perbuatan serta menyucikan dzat Allah dari melakukan perbuatan buruk. Pengetahuan akal ini tidak berarti bahwa akal-na'udzubillah-memerintah Allah atau mencegah-Nya. Maksud di atas ini ialah bahwa akal dapat mengetahui kesesuaian atau tidaknya suatu perbuatan dengan sifat-sifat sempurna Allah. Karenanya, 'Adliyah meyakini kemustahilan dilakukannya perbuatan buruk oleh Allah SWT.
Jelas bahwa pengkajian terperinci atas tema-tema ini dan jawaban atas kritik serta keraguan yang dilontarkan oleh madzhab Asy''âriyah-dalam mengingkari baik dan buruk akli dan berhadapan dengan 'Adliyah-tidaklah sesuai dengan kapasitas buku ini. Begitu pula, sangat mungkin terdapat beberapa kelemahan pada Mu'tazilah yang perlu diurai dan dikritisi. Akan tetapi, keyakinan dasar terhadap baik dan buruk akli itu telah diterima oleh Syi'ah. Akan tampak bahwa hal itu didukung oleh Al-Qur'an, hadis Nabi saw dan sabda para imam maksum as.
Oleh karena itu, terlebih dahulu kami akan menjelaskan pengertian adil atau keadilan. Lalu, kami akan menjelaskan dalil-dalil rasional atas sifat adil tersebut yang termasuk sifat-sifat fi'liyah Allah. Pada bagian akhir, kami akan mengkritisi keraguan-keraguan penting dalam masalah ini dan memberikan jawabannya.

Arti Keadilan
Keadilan secara leksikal berarti sama dan menyamakan. Dan menurut pandangan umum, keadilan yaitu menjaga hak-hak orang lain. Keadilan merupakan lawan kezaliman yang berarti merampas hak-hak orang lain. Atas dasar ini, definisi keadilan ialah memberikan hak kepada yang berhak menerimanya. Maka itu, pertama kita harus mempunyai gambaran adanya pihak yang mempunyai hak sehingga dapat dikatakan bahwa menjaga haknya merupakan keadilan dan merampas haknya adalah kezaliman.
Akan tetapi, terkadang pengertian adil ini lebih diperluas lagi dan digunakan dengan makna: menempatkan sesuatu pada tempatnya atau mengerjakan segala sesuatu dengan baik. Berdasarkan definisi ini, keadilan sinonim dengan bijakasana. Maka, perbuatan yang adil yaitu perbuatan yang bijak. Adapun bagaimana hak orang yang berhak dan posisi semestinya setiap sesuatu itu dapat ditentukan, pembahasan persoalan ini sangat luas dan merupakan bagian yang penting dalam pembahasan Filsafat Etika dan Filsafat Hukum yang tidak mungkin dapat kita bahas pada kesempatan ini.
Yang perlu kami tekankan di sini adalah bahwa setiap orang yang berakal pasti mengetahui bahwa apabila seseorang itu merampas sepotong roti dari seorang anak yatim tanpa alasan yang jelas, atau menumpahkan darah orang lain yang tidak bersalah, berarti ia telah melakukan kezaliman dan melakukan tindakan yang buruk.
Demikian pula sebaliknya, apabila seseorang mengambil kembali sepotong roti yang telah diambil dari seorang pencuri, kemudian mengembalikannya kepada anak yatim atau ia memberikan sanksi atas pembunuh yang berbuat jahat sesuai dengan kejahatannya, berarti ia telah berbuat baik dan benar.
Sesungguhnya penilaian terhadap kebaikan dan keburukan, keadilan dan kezaliman ini tidak bergantung kepada perintah dan larangan Allah, sebab penilaian ini dapat dipahami sekalipun oleh orang yang tidak beriman kepada wujud Allah SWT. Adapun apa sebenarnya dasar hukum tersebut, dan kekuatan indra apa yang dapat mengetahui kebaikan dan keburukan perbuatan, adalah bagian masalah Filsafat.
Dengan demikian, keadilan dapat didekatkan dengan dua pengertian: pengertian khusus dan pengertian umum. Yang pertama ialah menjaga hak-hak orang lain, dan yang kedua adalah keluarnya suatu perbuatan dengan cara hikmah di mana menjaga hak-hak orang lain termasuk bagian dari mishdaq-nya (instanta). Berdasarkan hal itu, maka adil bukan berarti memberikan secara sama kepada seluruh umat manusia atau di antara segala sesuatu. Seorang guru yang adil bukanlah yang memiliki sikap yang sama terhadap seluruh anak didiknya, sehingga ia menyamakan seluruhnya dalam hal memberikan teguran dan pujian baik kepada anak didiknya yang rajin maupun yang malas. Seorang hakim yang adil bukanlah yang membagi harta yang dipertikaikan itu secara sama antara orang yang bertikai. Seorang guru yang adil adalah yang memuji setiap anak didiknya dan juga memberikan peringatan kepada mereka sesuai dengan hak-haknya. Hakim yang adil adalah hakim yang mengembalikan harta yang dipertikaikan kepada yang berhak.
Demikian pula, sesuai dengan Hikmah dan Keadilan Ilahi, Allah SWT tidak menciptakan seluruh makhluk-Nya dalam bentuk yang sama, misalnya Allah menciptakan manusia bertanduk atau bersayap dan sebagainya. Akan tetapi, Dia menciptakan alam semesta dalam bentuk yang terukur sehingga dapat terealisasi kebaikan dan kesempurnaan. Allah SWT menciptakan segenap makhluk-Nya dalam bentuk yang serasi antara bagian-bagiannya dengan tujuannya yang terakhir.
Demikian pula sesuai dengan Hikmah dan Keadilan Ilahi, Allah membebankan tugas (taklif) kepada setiap manusia sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dan Dia pun memutuskan suatu hukum sesuai dengan kemampuan dan kehendak bebas mereka, serta memberikan balasan, baik berupa pahala atau siksa yang setimpal dengan tiap-tiap perbuatan mereka. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Allah tidak akan membebani manusia sesuai dengan kemampuannya." (QS. Al-Baqarah: 286)
"Dan akan diputuskan kepada mereka itu suatu tugas hukum dengan keadilan dan tidak dizalimi sedikit pun." (QS. Yunus: 54)
"Maka pada hari kiamat tidak dizalimi seorang pun dan tidak diberikan balasan terhadap apa yang mereka lakukan melainkan sesuai dengan apa yang telah mereka perbuat." (QS.Yasin: 54)

Dalil atas Keadilan Ilahi
Telah kami katakan bahwa Keadilan Ilahi merupakan salah satu mishdaq Hikmah Ilahiyah. Berdasarkan salah satu penafsiran, keadilan adalah Hikmah Ilahiyah itu sendiri. Tentunya, dalil yang digunakan untuk menetapkan Keadilan Ilahi adalah dalil yang juga digunakan untuk menetapkan Hikmah Ilahiyah, seperti yang telah dibahas pada pelajaran 11. Di sini kami akan mengulanginya secara lebih terrinci.
Pada pelajaran yang lalu telah kita ketahui bahwa Allah SWT memiliki tingkat kekuasaan yang paling tinggi dan sempurna, bahwa Dia Mahamampu untuk melakukan pekerjaan apa saja yang mungkin terjadi, atau tidak melakukannya tanpa tunduk pada pengaruh apapun dan tanpa dipaksa oleh selainnya. Akan tetapi, Allah SWT tidak melakukan segala apa yang Ia mampu untuk melakukannya, melainkan Dia hanya melakukan sesuatu yang Ia kehendaki.
Telah kita ketahui pula bahwa kehendak Allah SWT tidaklah sia-sia dan main-main. Hanya saja Dia tidak menghendaki sesuatu kecuali sesuai dengan sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Apabila sesuatu itu tidak sesuai dengan sifat-sifat kesempurnaan, maka sesuatu itu tidak akan terjadi dan tidak akan Allah lakukan sama sekali, karena Dia adalah kesempurnaan yang mutlak dan murni, maka kehendak-Nya pun hanya berurusan dengan sisi kesempurnaan dan kebaikan makhluknya saja. Apabila keberadaan suatu makhluk melazimkan sebagian keburukan atau kekurangan, maka sisi keburukan itu tidak dimaksudkan secara mendasar, akan tetapi hanya merupakan efek, sebab kehendak Allah secara mendasar hanya berurusan dengan kebaikan.
Dengan demikian, sesuai dengan sifat-sifat Ilahi yang sempurna, Allah SWT menciptakan alam semesta ini dalam bentuk yang sesempurna dan sebaik mungkin. Dari sinilah kita dapat menetapkan tentang sifat hikmah pada Allah SWT. Maka itu, kehendak Ilahiyah itu hanyalah berurusan dengan penciptaan manusia dari sisi wujudnya yang mungkin (mumkinul wujud), yang merupakan sumber kebaikan sebanyak mungkin.
Sebuah keistimewaan utama yang dimiliki oleh manusia adalah kehendak dan usaha bebasnya. Tidak syak lagi bahwa kekuatan berkehendak dan berusaha merupakan kesempurnaan manusia, dan bahwa orang yang memilikinya dianggap lebih utama ketimbang orang yang tidak memilikinya. Akan tetapi, kelaziman kehendak bebas manusia ialah bahwa ia mampu melakukan berbagai perbuatan yang baik yang dapat menyampaikannya kepada puncak kesempurnaan, juga ia mampu melakukan perbuatan yang buruk sehingga ia akan menderita kerugian dan kecelakaan yang abadi.
Tentunya, sesuatu yang secara mendasar berkaitan dengan kehendak Ilahiyah adalah proses kesempurnaan manusia. Hanya saja proses kesempurnaan manusia membuka kemungkinan bahwa ia pun bisa gagal lantaran mengikuti hawa nafsu dan keinginan-keinginan setan. Oleh karena itu, kehendak Ilahiyah pun berhubungan secara kausal dengan kegagalan usaha bebas umat manusia.
Karena usaha yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan perasaan itu membutuhkan pengetahuan yang benar akan jalan-jalan kebaikan dan keburukan, Allah memerintahkan umat manusia untuk melakukan sesuatu yang mengandung kebaikan dan kemaslahatan baginya dan mencegah dari apa saja yang membawanya kepada kerusakan, penyelewengan serta kemunduran. Oleh karena itu, Allah SWT memenuhi segala kebutuhan untuk usaha-usaha kesempurnaan.
Selain itu, karena tugas-tugas Ilahi disyariatkan atas manusia untuk tujuan menyampaikan mereka kepada hasil dari pengamalan tugas-tugas Ilahi tersebut, maka itulah tugas-tugas tersebut harus sesuai dengan kemampuan mereka. Oleh karena itu, tugas yang tidak mungkin dilakukan adalah sia-sia dan tak berarti.
Atas dasar itu, tingkat pertama bagi keadilan (dalam pengertian khusus) yaitu keadilan dalam hal penetapan tugas, dapat dibuktikan dengan argumen sebagai berikut: yaitu bahwa jika Alah SWT menetapkan tugas ke atas hamba-Nya yang ia tidak mampu untuk melakukannya, tugas itu tidak mungkin dilakukan dan menjadi penetapan yang sia-sia.
Adapun keadilan dalam hal mengadili hamba-hamba dapat dibuktikan sebagai berikut: yaitu bahwa pengadilan dapat dilakukan oleh Allah untuk menentukan orang-orang yang berhak menerima pahala atau azab.Apabila pengadilan tersebut bertentangan dengan keadilan, itu melazimkan adanya kekurangan dan bertentangan dengan tujuan-Nya.
Kemudian keadilan dalam hal memberi pahala atau siksa dapat dibuktikan dengan memperhatikan tujuan puncak penciptaan. Bahwa Allah SWT menciptakan manusia dengan bertujuan untuk menyampaikan mereka kepada hasil-hasil usaha mereka, baik usaha yang baik maupun yang buruk. Jika memberi pahala dan siksa itu tidak setimpal dengan perbuatan mereka, tujuan penciptaan itu tidak terpenuhi.
Dengan demikian, dalil atas keadilan Allah dengan arti yang sesungguhnya dan pada semua tingkatnya ialah bahwa sifat-sifat dzatiyah Allah SWT menuntut tindakan-Nya itu pasti adil dan bijaksana, dan tidak terdapat satu sifat pada-Nya yang melazimkan kezaliman atau kesia-siaan.

Beberapa Keraguan dan Jawaban
Bagaimana mungkin berbagai perbedaan pada makhluk Allah, khususnya manusia, itu bisa sesuai dengan Keadilan dan Hikmah Ilahiyah? Dan mengapa Allah Yang Mahaadil dan Bijak tidak menciptakan seluruh makhluk-Nya dalam bentuk yang sama?
Jawab: perbedaan yang terdapat pada makhluk-makhluk Allah SWT di alam ini adalah suatu hal yang pasti terjadi sesuai dengan tata cipta-Nya dan tunduk kepada hukum sebab akibat yang menguasai tata cipta itu. Asumsi persamaan pada ciptaan Allah merupakan asumsi yang dangkal dan sia-sia. Kalau kita pikirkan baik-baik, akan kita ketahui bahwa asumsi semacam itu berarti meninggalkan ciptaan, karena apabila seluruh manusia itu adalah laki-laki atau perempuan semuanya, maka tidak akan terealisasi kelahiran dan keturunan dan pasti akan habis manusia di muka bumi ini. Dan apabila semua makhluk Allah itu adalah manusia saja, tidak akan didapati bahan makanan atau hal-hal lain yang dapat memenuhi kebutuhan manusia.Dan seandainya seluruh makhluk Allah itu adalah hewan atau satu macam tumbuhan yang mempunyai warna dan sifat-sifat yang satu pula, maka tidak akan ditemukan adanya karunia dan manfaat-manfaat yang banyak, dan tidak akan didapati pula pemandangan yang indah.
Adanya fenomena semacam ini, yaitu bentuk dan sifat yang beragam, merupakan kelaziman faktor-faktor dan syarat-syarat yang dapat terpenuhi sesuai dengan proses perubahan dan dan pergantian materi, dan tidak seorang pun-sebelum ia diciptakan-mempunyai hak untuk mengatur penciptaan Allah SWT atas dirinya, yaitu menuntut agar Dia menciptakannya dalam bentuk, tempat dan zaman tertentu saja, sehingga terdapat peluang untuk keadilan dan kezaliman.

Keraguan Kedua
Apabila Hikmah Ilahiyah itu menuntut hidupnya manusia di alam dunia ini, namun mengapa setelah itu Allah mematikan manusia dan mengakhiri hidupnya?
Jawab: pertama, kehidupan dan kematian segala sesuatu di dunia ini sebenarnya tunduk pada hukum alam (takwini) dan sebab-akibat, serta merupakan kemestian bagi tata cipta alam ini.
Kedua, apabila seluruh makhluk hidup ini tidak mengalami kematian, tidak akan ada lahan untuk makhluk-makhluk hidup yang akan datang. Dengan demikian, generasi berikutnya tidak mendapatkan kehidupan.
Ketiga, apabila kita berasumsi bahwa kehidupan manusia ini berlangsung abadi, maka tidak akan berlalu masa yang panjang kecuali kita akan melihat permukaan bumi ini dipenuhi oleh umat manusia, dan bumi akan menjadi sempit dengan keberadaan mereka, sehingga setiap manusia akan mengharapkan kematian karena beratnya menanggung rasa lapar, sakit dan kelelahan.
Keempat, sesungguhnya tujuan utama diciptakannya manusia adalah untuk kebahagiaan yang abadi dan hakiki. Jika manusia tidak dipindahkan dari kehidupan dunia ke kehidupan lainnya (akhirat) melalui kematian, tujuan utama untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki tersebut tidak akan terealisasi.

Keraguan Ketiga
Kejadian berbagai penyakit dan bencana alam seperti banjir, gempa bumi serta adanya patologi-patologi sosial seperti kezaliman dan peperangan, bagaimana bisa sesuai dengan Keadilan Ilahi?
Jawab: pertama, gejala-gejala dan bencana alam yang menyakitkan itu merupakan kelaziman dari perbuatan-perbuatan yang bersifat materi, dimana benda-benda itu saling berinteraksi, bergesekan dan berbenturan. Mengingat bahwa kebaikan gejala-gejala tersebut lebih banyak daripada keburukannya, hal itu tidak bertentangan dengan Hikmah Ilahiyah. Demikian pula, krisis sosial sebenarnya muncul lantaran usaha manusia. Usaha ini sesuai dengan Hikmah Ilahiyah. Hanya yang perlu diperhatikan di sini ialah bahwa manfaat dari kehidupan sosial dan hal-hal yang positif sebenarnya lebih banyak daripada kerugiannya. Seandainya kerugian itu lebih banyak, tentu tidak akan ada lagi manusia di muka bumi ini.
Kedua, kejadian berbagai macam bencana dan musibah tersebut, di satu sisi akan mendorong manusia untuk mencari rahasia dan sebab-sebab alami, serta berusaha untuk mengungkapnya. Dengan demikian, akan lahir pengetahuan, penemuan, serta produk-produk yang berbagai macam. Di sisi lain, ihwal menghadapi bencana-bencana tersebut lalu berusaha untuk mencari jalan keluarnya berperan besar dalam menggali dan mengembangkan potensi manusia, serta dalam mencapai kesempurnaan umat manusia itu sendiri demi peningkatan dan kemajuan hidup. Sehingga pada akhirnya, akan timbul ketabahan dalam menanggung beban penyakit dan musibah tersebut. Apabila ketabahan itu dilandasi oleh alasan-alasan yang benar dan sesuai dengan syariat, hal itu akan mendatangkan pahala yang abadi di akherat kelak. Ketabahan itu tidak akan sia-sia, bahkan ia akan diimbal dengan ganjaran yang lebih mulia dan berlipat ganda.

Keraguan Keempat
Bagaimana siksa Allah yang bersifat abadi atas dosa-dosa yang sekejap dilakukan oleh pelaku-pelakunya di alam dunia ini bisa selaras dengan Keadilan Ilahi?
Jawab: Sebenarnya ada hubungan sebab-akibat antara perbuatan yang baik atau buruk dan antara pahala atau siksa akhirat, sebagaimana yang diungkap oleh wahyu, dan manusia pun telah diingatkan akan hal itu. Sebagaimana kita perhatikan di alam dunia ini adanya kejahatan yang pengaruhnya berlangsung dalam waktu yang cukup panjang, walaupun kejahatan tersebut bersifat sementara atau sesaat saja. Misalnya, jika seseorang menciderai mata orang lain sampai buta, atau ia mencederai matanya sendiri. Perbuatan semacam ini terjadi sekejap saja, akan tetapi akibatnya berlangsung terus sepanjang usianya.
Demikian pula, dosa-dosa besar berpengaruh pada nasib buruk ukhrawi yang bersifat abadi. Jika kemudian pelaku dosa itu tidak melakukan cara yang dapat menghapusnya (seperti taubat), keadaannya ini akan berdampak buruk selama-lamanya, sebagaimana kebutaan seseorang sampai akhir hayatnya hanya lantaran perbuatannya yang sekejap saja. Ini semua tidak menentang Keadilan Ilahi. Demikian pula azab Ilahi yang abadi itu merupakan akibat dari dosa-dosa besar. Juga hal ini tidak mengabaikan keadilan Ilahi, karena ia merupakan dampak dari dosa yang dilakukan pelakunya atas dasar kesadarannya.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Apakah akar ikhtilaf dalam masalah keadilan Ilahi?
2. Jelaskan pengertian keadilan itu?
3. Sesuai dengan keadilan Ilahi, apakah segala sesuatu itu menuntut adanya kesamaan dan penyamarataan bagi semua maujud?
4. Jelaskan hal-hal yang memestikan hikmah dan keadilan Ilahi?
5. Apakah dalil yang menunjukkan atas keadilan Ilahi itu?
6. Apakah tujuan diciptakannya manusia?
7. Bagaimanakah bisa sesuai perbedaan-perbedaan yang bersifat takwini dan alami yang terdapat pada makhluk Ilahi dengan hikmah dan keadilan Ilahi?
8. Mengapa Allah SWT yang bersifat bijak mematikan seluruh makhluknya?
9. Bagaimanakah bisa sesuai adanya fenomena-fenomena dan bencana-bencana alam dan bencana sosial dengan keadilan Ilahi?
10. Bagaimanakah dosa-dosa yang terbatas dan sementara ini dapat mengakibatkan azab yang bersifat terus menerus dan tidak terbatas? Dan apakah ini sesuai dengan keadilan Ilahi?




PELAJARAN 21 
Kenabian

Mukadimah

Sebagaimana di bagian pertama buku ini, telah kita ketahui bahwa ada persoalan-persoalan mendasar yang wajib diketahui oleh setiap manusia berakal supaya ia dapat membina kehidupan insani yang sesuai dengan tuntutan akalnya. Persoalan-persoalan itu ialah:
o Siapakah yang menciptakan dan mengatur alam semesta ini?
o Bagaimana perjalanan hidup ini? Apakah tujuan akhir di balik kehidupan manusia?
o Dengan memperhatikan kebutuhan setiap manusia untuk mengetahui dan menempuh jalan kehidupan yang benar ini hingga ia bisa mencapai kebahagiaan sejati dan kesempurnaan hakikinya, apakah sarana yang dapat menjamin untuk memperoleh pengetahuan tersebut, dan siapakah pembawanya?
Jawaban yang benar atas pertanyaan-pertanyaan tadi adalah-yang diistilahkan dengan-tiga prinsip, yaitu Tauhid, Ma'ad (Hari Kebangkitan), dan Kenabian. Tiga prinsip ini merupakan dasar-dasar utama pada semua agama samawi.
Pada bagian pertama buku ini, kami telah membahas prinsip Tauhid. Di sana kita telah sampai pada beberapa kesimpulan; bahwa sumber wujud setiap makhluk adalah Pencipta Yang Tunggal, bahwa seluruh makhluk itu berada di bawah penguasaan dan pengaturan-Nya, dan bahwa tidak ada satu makhluk pun yang tidak membutuhkan-Nya dalam segala perkara dan keadaannya.
Kami juga telah membuktikan masalah-masalah ini dengan dalil akal, bahwa masalah-masalah ini tidak mungkin dapat tertuntaskan kecuali dengan dalil akal tersebut. Karena, apabila masalah tersebut dijelaskan dengan dalil wahyu, itu hanya bisa dibenarkan bila wujud Allah dan validitas kalam-Nya telah dibuktikan dengan dalil akal terlebih dahulu. Sebagaimana halnya bersandar kepada hadis-hadis Nabi saw dan para imam maksum as secara lebih dahulu bergantung kepada pembuktian rasional atas kenabian dan keimamahan mereka, serta validitas ucapan mereka.
Maka itu, terlebih dahulu kita harus membuktikan prinsip Kenabian dengan dalil-dalil akal. Setelah kita buktikan bahwa Al-Qur'an adalah hak dan benar, kita dapat membuktikan rincian-rincian masalah tersebut melalui ayat-ayatnya. Begitu pula rincian-rincian prinsip Ma'ad, harus dibuktikan melalui ayat-ayat tersebut, kendati sebenarnya prinsip itu sendiri dapat dibuktikan dengan dalil akal dan dalil wahyu.
Jadi, untuk menjelaskan Kenabian dan Ma'ad, pertama kali kita akan membuktikan kedua prinsip ini melalui argumentasi rasional. Kemudian, setelah kenabian Muhammad saw dan kebenaran Al-Qur'an terbukti benar, kita dapat menerangkan rincian masalah-masalah yang berkaitan dengan dua prinsip tersebut dengan bersandar pada kandungan Al-Qur'an dan Sunnah.
Akan tetapi, karena pemisahan dua masalah tersebut akan lebih efektif dalam mempelajari masalah akidah ini dan lebih mudah untuk dipahami, kita akan mengikuti metode tradisional. Yaitu pertama-tama, kita akan mengkaji masalah-masalah yang berhubungan dengan prinsip Kenabian. Setelah itu, kita akan membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan prinsip Ma'ad. Kemudian, sekiranya dalam sebagian argumentasi kami menggunakan sebuah premis yang harus dibuktikan kebenarannya, kami akan menjadikannya sebagai postulat dalam argumentasi tersebut. Adapun pembuktian kebenarannya akan kita bahas pada tempatnya yang sesuai.

Tujuan Pembahasan
Tujuan pertama pada pembahasan Kenabian di dalam buku ini ialah membuktikan adanya sarana pengetahuan selain indra dan akal, yang terjamin dari kekeliruan, serta dapat mengantarkan manusia untuk mengetahui hakikat-hakikat wujud dan jalan hidup yang benar. Sarana pengetahuan itu adalah wahyu. Wahyu merupakan satu bentuk pengajaran Ilahi yang diberikan secara khusus kepada hamba-hamba pilihan Allah yang saleh. Tentunya, selain mereka tidak mengetahui hakikat wahyu tersebut, karena manusia biasa tidak dapat melihat bentuk nyata hakikat wahyu tersebut di dalam diri mereka. Meski demikian, mereka dapat mengetahui kenyataan wahyu tersebut melalui tanda-tanda yang ada. Dengan cara ini, mereka dapat membenarkan klaim para nabi bahwa mereka telah menerima wahyu dari Allah. Tentunya, apabila turunnya wahyu atas seorang nabi itu telah dapat dibuktikan dan ia menyampaikan risalahnya kepada orang lain, maka wajib atas orang lain untuk menerima dan mengamalkan hal-hal yang sesuai dengan wahyu tersebut, dan tidak seorang pun dibenarkan untuk menentangnya, kecuali bila risalah tersebut dikhususkan untuk orang atau kelompok atau zaman tertentu.
Dengan demikian, persoalan-persoalan pokok dalam Kenabian ialah keharusan mengutus nabi dan keutuhan wahyu dari penyimpangan, baik yang disengaja ataupun tidak, sehingga kandungan wahyu itu dapat diterima oleh manusia secara utuh. Dengan kata lain, kita akan membahas keniscayaan kemaksuman pada diri nabi dalam menerima dan menyampaikan wahyu Ilahi, juga keniscayaan adanya suatu cara pada umat manusia untuk membuktikan kenabian para nabi.
Setelah memaparkan masalah-masalah pokok itu melalui dalil akal, kita segera akan memasuki masalah-masalah rincian seperti: jumlah para nabi, kitab-kitab mereka, dan syariat-syariat samawi. Selain itu, kita akan berusaha menuntaskan pembuktian atas kenabian seorang nabi, kitab samawi yang terakhir, dan penentuan para khalifah nabi. Akan tetapi, tidak mudah bagi kita untuk membuktikan semua masalah ini dengan dalil akal. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini kita akan bersandar pada dalil-dalil wahyu.

Metodologi Ilmu Kalam
Dari penjelasan di atas jelaslah perbedaan mendasar antara Filsafat dan Kalam. Filsafat membahas masalah-masalah yang hanya bisa dibuktikan oleh pembuktian akal. Sedangkan ilmu Kalam mencakup masalah-masalah yang tidak mungkin dapat dibuktikan kebenarannya kecuali melalui pembuktian wahyu. Dengan kata lain, nisbah antara masalah-masalah Filsafat dan masalah-masalah Kalam ialah umum dan khusus dari satu sisi (`umum wa khusus min wajh). Artinya, meskipun Filsafat dan Kalam itu memiliki masalah-masalah serupa yang dapat dibuktikan secara rasional, akan tetapi masing-masing mempunyai masalah-masalah yang khusus. Masalah-masalah khusus Filsafat bisa dibuktikan dengan akal, sedangkan masalah-masalah khusus Kalam hanya bisa dibuktikan dengan teks-teks agama. Maka itu, metode ilmu Kalam adalah gabungan dari dalil akal dan dalil wahyu. Di dalamnya kita bisa menggunakan dua macam dalil tersebut.
Yang jelas, terdapat dua perbedaan yang mendasar antara Filsafat dan Kalam:
1. Bahwa kedua ilmu itu, di samping memiliki masalah-masalah yang sama seperti masalah tauhid, mempunyai masalah-masalah yang khusus yang tidak dibahas oleh ilmu lainnya. Artinya, masalah khusus yang terdapat di dalam Kalam tidak bisa dibahas dalam masalah filsafat, begitu pula sebaliknya.
2. Metode pembahasan seluruh masalah Filsafat berdasarkan akal. Adapun dalam ilmu Kalam, sebagian masalahnya dibahas atas dasar akal (seperti masalah-masalah yang serupa dengan sebagian masalah Filsafat). Sebagian masalah Kalam, seperti Imamah (khilafah), dibahas atas dasar teks agama, dan sebagian yang lain, seperti Ma'ad, dibahas melalui akal dan teks agama.
Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa masalah masalah khusus teologi yang dapat dibuktikan secara tekstual tidak semuanya berada pada satu tingkatan. Bahkan sebagian di antaranya, seperti validitas keterangan (sunnah) Nabi saw, dapat dibuktikan secara langsung oleh ayat Al-Qur'an, tentunya setelah kebenaran Al-Qur'an dapat dibuktikan secara rasional. Setelah itu, masalah-masalah lain seperti: penentuan pengganti nabi (khilafah), atau validitas ucapan para Imam, bisa dibuktikan melalui keterangan Nabi tersebut. Pada gilirannya, terdapat sejumlah masalah yang dapat dituntaskan melalui keterangan para Imam. Sudah pasti kesimpulan yang kita capai melalui dalil-dalil wahyu benar-benar meyakinkan bila jalur periwayatannya itu pun sahih, tidak ada cacat di dalamnya.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Mengapa kita harus menjelaskan masalah-masalah Tauhid dengan dalil akal saja?
2. Apakah masalah-masalah yang mendasar pada prinsip Kenabian?
3. Apakah mungkin kita membuktikan masalah-masalah pokok pada prinsip Kenabian dan prinsip Ma'ad melalui dalil-dalil tekstual (ayat dan riwayat)? Apakah ada perbedaan di antara keduanya?
4. Masalah-masalah apakah yang terdapat di dalam ilmu Kalam yang dapat dibuktikan oleh dalil wahyu?
5. Mengapa pembahasan Kenabian itu harus didahulukan dari pembahasan Ma'ad? Apakah ada urutan logis yang mengatur kedua prinsip tersebut?
6. Apakah perbedaan-perbedaan antara Filsafat dan Kalam?
7. Ada berapa bagian dalam masalah-masalah Kalam dari sisi pembuktiannya? Sebutkanlah secara berurutan?




PELAJARAN 22

Ketergantungan Manusia kepada Wahyu dan Kenabian

Perlunya Diutus Nabi
Masalah ini merupakan masalah yang paling penting dalam prinsip Kenabian. Masalah ini dapat dibuktikan oleh argumentasi berikut ini yang tersusun dari tiga premis.
Pertama, bahwa tujuan penciptaan manusia ialah mencapai kesempurnaannya, dengan cara mengamalkan perbuatan-perbuatan sengaja (ikhtiari) demi mencapai puncak kesempurnaan tersebut yang tidak mungkin dapat dicapai kecuali dengan usaha, kehendak, dan pilihannya. Dengan ungkapan lain, manusia itu diciptakan oleh Allah SWT agar-dengan amal ibadah dan ketaatannya kepada Allah-berhak memperoleh rahmat Ilahi yang hanya dikhususkan bagi orang-orang yang sempurna. Dan hanya kehendak Ilahi yang bijaksanalah yang berkaitan secara langsung (bil-asalah) dengan kesempurnaan dan kebahagiaan manusia. Akan tetapi, karena kesempurnaan ini tidak akan dapat dicapai kecuali dengan cara pengamalan dan ibadah yang sifatnya ikhtiari (disengaja), maka kehidupan umat manusia ini terpecah menjadi dua jalan, yaitu jalan kanan (yamin) dan jalan kiri (yasar). Tujuan adanya dua jalan ini ialah supaya manusia bisa memilih jalan yang dikehendakinya. Jelas bahwa jalan kiri itu menuju kesengsaraan dan bencana. Di sini, kehendak Allah pun berkaitan dengan jalan kiri tersebut, namun secara tidak langsung (bittaba'). Premis ini telah kami jelaskan pada pembahasan Hikmah dan Keadilan Ilahi.
Kedua, usaha sengaja manusia itu, di samping membutuhkan kemampuan dan faktor-faktor eksternal serta adanya kecondongan dan motivasi untuk melakukan suatu perbuatan, ia juga membutuhkan pengetahuan yang benar tentang perbuatan baik dan buruk, tentang jalan-jalan yang benar dan jalan-jalan yang salah. Seseorang bisa memilih kesempurnaannya dengan penuh kesadaran dan kebebasan bilamana ia mengetahui tujuan dan jalannya serta segala kendala yang akan menghambatnya.
Dengan demikian, Kebijaksanaan (hikmah) Ilahi menuntut tersedianya sarana bagi manusia agar mereka dapat memperoleh pengetahuan tentang hal-hal di atas. Karena jika tidak demikian, Allah tidak ubahnya dengan orang yang mengundang teman untuk bertamu ke rumahnya, akan tetapi dia tidak mau memberikan alamat rumah, tidak pula memberitahu jalan yang semestinya ditempuh. Jelas bahwa perbuatan semacam ini tidak sesuai dengan sifat kemahabijaksanaan Allah, juga tidak sesuai dengan tujuan-Nya (dalam mencipta). Premis kedua ini begitu jelas sehinga tidak memerlukan penjelasan lebih banyak lagi.
Ketiga, pengetahuan manusia biasa-yang pada umumnya diperoleh melalui kerjasama indra dan akal-meskipun mempunyai peran begitu efektif dalam memenuhi sebagian kebutuhan hidupnya, namun itu tidak cukup untuk mengenal jalan kesempurnaan dan kebahagiannya yang hakiki dalam semua bidang, baik yang bersifat individu maupun kelompok, bendawi maupun maknawi, duniawi maupun ukhrawi. Oleh karena itu, jika tidak ada jalan lain untuk menutupi berbagai kekurangan dan kekosongan tersebut, tujuan Allah dari penciptaan manusia ini menjadi sia-sia.
Berdasarkan tiga premis di atas ini, dapat disimpulkan bahwa Hikmah Ilahiyah itu melazimkan adanya sebuah perangkat, selain indra dan akal, bagi umat manusia untuk dapat mengenal jalan kesempurnaan di berbagai bidang, sehingga mereka dapat menggunakan jalan tersebut, baik secara langsung maupun melalui individu atau kelompok. Perangkat ini adalah wahyu yang Allah berikan kepada para nabi sehingga dapat memanfaatkan wahyu secara langsung, dan melalui merekalah umat manusia dapat memanfaatkannya dan mempelajari segala apa yang mereka perlukan darinya demi mencapai puncak kesempurnaan dan kebahagiaan yang abadi.
Di antara premis-premis tersebut, barangkali masih terdapat keraguan terutama terhadap premis terakhir. Oleh karena itu, kami memandang perlu untuk menjelaskannya lebih luas lagi hingga kita bisa menyadari kadar pengetahuan manusia dalam menentukan jalan kesempurnaannya dan ketergantungan manusia kepada wahyu.

Kadar Pengetahuan Manusia
Untuk mengetahui jalan kehidupan yang benar pada semua aspeknya, seseorang harus mengetahui asal usul keberadaannya dan akhir perjalanan hidupnya, hubungannya yang bisa dijalin dengan makhluk sejenisnya dan dengan semua makhluk, serta pengaruh berbagai hubungan terhadap kebahagiaan dan kesengsaraannya. Di samping itu, dia pun harus mengetahui kadar manfaat dan bahaya, tingkat berbagai maslahat dan mudharat, serta menimbang semua itu agar ia dapat menentukan tugas milyaran manusia yang mempunyai bentuk fisik dan jiwa yang berbeda-beda. Mereka semua hidup di dalam kondisi alam dan sosial yang berbeda-beda.
Akan tetapi, mengetahui semua persoalan ini bukan hanya sulit bagi individu atau kelompok, bahkan ribuan ahli dan kelompok spesialis dari berbagai cabang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan manusia pun menemui kesulitan dalam menyingkap tolok ukur dan formula rumit ini. Mereka juga sulit untuk merumuskannya dalam bentuk undang-undang yang cermat, tepat dan tegas agar semua maslahat-baik yang bersifat individu maupun kelompok, materi maupun maknawi, duniawi ataupun ukhrawi-dapat terpenuhi bagi semua umat manusia. Tatkala terjadi benturan dan pertentangan antara berbagai maslahat dan mafsadah, dan hal ini justru seringkali terjadi, dia dapat menentukan mana yang memang lebih bermaslahat, sehingga pada tahapan praktis ia dapat mendahulukannya di atas yang lain.
Kalau kita perhatikan dengan seksama berbagai perubahan sistem hukum sepanjang sejarah umat manusia, nyatanya sampai hari ini-meskipun berbagai pembahasan dan segala tenaga telah dikerahkan oleh para ahli hukum selama ribuah tahun-belum kita dapati adanya satu sistem hukum yang benar, sempurna dan komprehensif. Kita perhatikan pula bahwa para perancang undang-undang dan lembaga-lembaga hukum di berbagai belahan dunia senantiasa mengakui kekurangan produk hukum yang mereka buat. Maka itu, mereka selalu berusaha untuk merevisi atau menyempurnakannya, dengan cara menghapus pasalnya, atau menambahkannya, atau memberikan catatan di sisinya.
Hendaknya kita pun tidak lalai bahwa mereka banyak memanfaatkan syariat samawi dan sistem hukum agama dalam menyusun undang-undang tersebut. Juga kita ketahui bahwa kesungguhan para pembuat undang-undang itu lebih banyak dicurahkan untuk kepentingan yang sifatnya duniawi dan sosial. Mereka tidak memperhatikan masalah-masalah ukhrawi dan sejauh mana hubungan maslahat ukhrawi tersebut dengan masalah-masalah duniawi.
Apabila mereka juga menganggap penting sisi ukhrawi di dalam masalah ini, mereka tidak akan mampu menemukan kesimpulan yang meyakinkan. Karena, maslahat-maslahat yang bersifat materi dan duniawi- batas-batas tertentu-meski bisa dicapai dengan jalan eksperimen dan pengalaman praktis, namun maslahat-maslahat maknawi dan ukhrawi tidak bisa dipastikan melalui eksprimen indrawi, dan tidak mungkin dapat diketahui secara detail. Maka itu, ketika terjadi benturan antara maslahat-maslahat duniawi dan ukhrawi, mereka tidak dapat mengetahui mana yang lebih penting.
Dengan memperhatikan ihwal perundangan-undangan buatan manusia pada zaman sekarang ini, kita dapat menilai kehandalan ilmu pengetahuan manusia di sepanjang ribuan atau ratusan ribu tahun. Darinya kita menjumpai satu kesimpulan yang meyakinkan bahwa manusia pada abad-abad dahulu lebih lemah dibandingkan dengan manusia pada zaman sekarang ini dalam mengetahui dan menentukan tatanan dan cara hidup yang benar.
Andaikan saja, manusia pada zaman sekarang ini telah mampu merumuskan sebuah sistem perundang-undangan yang sempurna dan komprehensif melalui pengalaman selama ribuan tahun, dan sistem ini sanggup menjamin kebahagiaan yang abadi dan ukhrawi, maka pertanyaan yang masih menghadang umat manusia ialah; apakah Kebijaksanaan Allah dan tujuan Ilahi penciptaan mereka akan membiarkan milyaran manusia jaman dahulu tetap dalam kebodohan?
Kesimpulannya, bahwa tujuan penciptaan manusia, sejak awal hingga akhir, akan terwujud secara nyata bila tersedia perangkat selain indra dan akal untuk mengetahui hakekat kehidupan ini dan tugas-tugas yang sifatnya individu maupun kelompok. Perangkat itu tidak lain adalah wahyu Ilahi.
Dari penjelasan di atas, menjadi jelas pula bahwa sesuai dengan argumen ini, manusia pertama itu adalah seorang nabi hingga ia dapat mengenal jalan hidup yang benar melalui wahyu Allah agar dapat merealisasikan tujuan penciptaan Ilahi dalam dirinya. Setelah itu, umat manusia yang lainnya dapat menemukan jalan petunjuk melaluinya.

Manfaat Diutusnya Nabi
Di samping tugas untuk menunjukkan jalan hidup, menerima wahyu dan menyampaikannya kepada umat manusia, para Nabi juga mempunyai tugas-tugas penting lainnya demi kesempurnaan umat manusia, di antaranya:
1. Banyak pengetahuan yang bisa dijangkau oleh akal manusia. Namun, karena hal itu memerlukan waktu dan pengalaman yang panjang, atau karena perhatiannya dicurahkan pada urusan-urusan materi dan pemuasan hawa nafsu, ia melupakan pengetahuan tersebut. Atau, karena pengajaran yang keliru dan propaganda yang menyesatkan, pengatahuan ini tersembunyi. Dengan perantara para nabilah pengetahuan itu diajarkan kepada umat manusia. Mereka selalu mengingatkan manusia supaya tidak melupakannya, dan mencegah terjadinya penyimpangan dengan cara pengajaran yang benar dan logis. Maka dari itulah dapat kita ketahui sebab penamaan para nabi dengan dua istilah; Al-Mudzakkir dan An-Nadzir, dan penamaan Al-Qur'an dengan nama-nama Az-Zikr, Az-Zikra dan At-Tazkirah.
Dalam rangka memaparkan manfaat dan hikmah-hikmah diutusnya para nabi, Imam Ali as mengatakan, "Sesungguhnya para nabi itu diutus supaya mereka dapat mengembalikan umat manusia kepada ikrar fitrahnya, dan mengingatkan mereka akan nikmat-nikmat yang telah dilupakannya, serta supaya mereka menyempurnakan hujah mereka atas manusia melalui tabligh."
2. Salah satu faktor terpenting dalam pendidikan dan penyempurnaan manusia ialah adanya qudwah (suri teladan) dalam berbuat, sebagaimana yang telah terbukti dalam Psikologi. Para nabi adalah manusia-manusia sempurna yang mendapatkan didikan dan perhatian Ilahi. Mereka tampil sebagai sebaik-baiknya teladan manusia. Di samping mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan, mereka pun mempunyai peranan penting di dalam mendidik dan membersihkan hati umat. Kita telah mengetahui bahwa Al-Qur'an telah menyejajarkan ta'lim (pengajaran) dan tazkiah (pembersihan jiwa). Bahkan dalam sebagian ayat, kata tazkiyah disebutkan terlebih dahulu dari kata ta`lim.
3. Salah satu berkah keberadaan para nabi di tengah umat manusia yaitu di saat kondisi memungkinkan, mereka akan memegang kendali kepemimpinan sosial-politik umat manusia. Jelas bahwa pemimpin yang maksum adalah satu nikmat Ilahi terbesar bagi umat manusia, dimana mereka akan dapat mengatasi berbagai macam persoalan sosial, serta menyelamatkan umat manusia dari berbagai kemelut dan penyelewengan. Dengan begitu, para nabi dapat menuntun umat manusia menuju kesempurnaan yang sesungguhnya.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
1. Apakah tujuan penciptaan manusia?
2. Apakah iradah Ilahi yang bijaksana itu berkaitan dengan azab dan kesengsaraan umat manusia sebagaimana ia berkaitan dengan kebahagiaan dan rahmat? Ataukah ada perbedaan di antara keduanya itu?
3. Apakah perkara-perkara yang dibutuhkan oleh umat manusia untuk mengaktifkan kekuatan pilih dan usahanya secara sadar?
4. Mengapa akal manusia tidak cukup menemukan berbagai macam pengetahuan yang diperlukan?
5. Terangkan argumen tentang perlunya diutus nabi?
6. Apabila manusia bisa mengenal jalan kebahagiaannya, yang bersifat duniawi maupun ukhrawi, dengan cara menggunakan eksperimennya yang panjang, apakah lalu ia tidak lagi membutuhkan wahyu? Mengapa?
7. Apakah mungkin menggunakan dalil rasional untuk membuktikan kenabian manusia pertama di bumi? Bagaimana kalau mungkin?
8. Terangkan beberapa manfaat diutusnya para nabi?



PELAJARAN 23

Beberapa Keraguan dan Jawaban
Dari berbagai argumentasi yang telah kami sampaikan atas keniscayaan diutusnya para nabi, muncul beberapa keraguan yang akan kita paparkan di sini berikut jawaban-jawabannya.

Keraguan Pertama
Jika Hikmah Ilahiyah itu menuntut pengutusan para nabi untuk menyampaikan petunjuk kepada seluruh umat manusia, mengapa seluruh nabi itu diutus di kawasan tertentu, yaitu di Timur Tengah? Sedangkan belahan bumi lainnya tidak mendapatkan anugerah pengutusan tersebut, terutama kalau kita perhatikan dengan seksama keterbatasan sarana transportasi dan komunikasi serta pertukaran informasi yang lamban pada masa-masa itu. Barangkali ada bangsa-bangsa zaman dulu yang tidak mengetahui pengutusan para nabi sama sekali.
Jawab: pertama, para nabi itu diutus tidak khusus pada kawasan tertentu saja. Coba perhatikan ayat-ayat Al-Qur'an yang menunjukkan kehadiran seorang nabi di tengah setiap bangsa. Allah SWT berfirman,
"Dan tidak satu umat pun yang kosong dari seorang penyeru." (QS. Fathir: 24).
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus kepada setiap umat itu seorang rasul supaya ia menyuruh mereka beribadah hanya kepada Allah dan menjauhkandiri dari taghut (selain Allah)." (QS. An-Nahl: 36).
Kalau Al-Qur'an hanya menyebutkan sebagian nama-nama nabi, ini tidak berarti jumlah mereka terbatas pada jumlah tersebut. Bahkan Al-Qur'an menjelaskan banyaknya nabi sedangkan nama-nama mereka tidak tersebut di dalamnya. Seperti yang tertera dalam firman-Nya:
"Dan para rasul yang kami tidak kisahkan tentang mereka kepadamu." (QS. An-Nisa': 164).
Kedua, argumentasi di atas menuntut adanya perangkat pengetahuan selain akal dan indra untuk digunakan dalam membimbing umat manusia. Namun, hidayah Ilahi pada setiap individu bergantung kepada dua syarat:
a. Adanya kehendak bebas dan usaha sendiri untuk memanfaatkan hidayah tersebut.
b.Tidak ada orang lain yang menciptakan kendala di hadapannya untuk mendapatkan hidayah.
Dapat kita perhatikan bahwa kebanyakan umat manusia tidak mendapatkan anugerah hidayah dari para nabi karena buruknya kehendak dan usaha mereka, atau karena adanya kendala yang diusahakan oleh sebagian manusia sehingga menghambat gerak laju risalah para nabi dan penyebarannya. Kita mengetahui bahwa para nabi itu telah mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk mengatasi rintangan-rintangan tersebut dan berjuang untuk memberantas musuh-musuh Allah SWT, terutama mustakbirin dan taghut (pemerintahan zalim). Bahkan banyak di antara para nabi itu mengorbankan jiwa dan raga mereka demi menyampaikan risalah dan hidayah Ilahi kepada umat manusia. Tatkala mendapatkan pengikut, mereka melancarkan perlawanan dan peperangan terhadap para taghut dan penguasa yang zalim. Sebab, keberadaan yang belakangan ini merupakan kendala yang paling besar dalam usaha menyebarkan agama Ilahi.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa karakteristik ikhtiar manusia dalam menempuh jalan kesempurnaan itu memerlukan adanya lahan bagi pihak hak dan batil untuk dapat memilih jalan mereka. Namun ketika para penguasa zalim sedemikian kuatnya sehingga mereka menutup jalan hidayah dan memadamkan cahaya petunjuk bagi masyarakat, Allah akan turun tangan dan menolong hamba-hamba-Nya melalui jalan gaib.
Kesimpulan yang bisa kita ambil adalah bahwa jika tidak ada kendala dan rintangan, dakwah para nabi akan sampai kepada semua telinga manusia di muka bumi ini, dan mereka akan mendapatkan anugerah dari nikmat hidayah Ilahi tersebut melalui jalan wahyu dan kenabian. Dengan demikian, tercegahnya mayoritas manusia dari hidayah Ilahi itu lantaran berdirinya pemerintahan zalim dan kendala-kendala yang menghambat tersebarnya risalah para nabi.

Keraguan Kedua
Apabila para nabi itu diutus untuk melengkapi syarat-syarat yang harus dipenuhi demi kesempurnaan umat manusia, mengapa masih saja ditemukan kerusakan dan kemunduran di muka bumi ini? Mengapa mayoritas manusia di sepanjang sejarah kehidupan berada di bawah kemaksiatan dan kemungkaran, bahkan para pengikut agama langit itu pun senantiasa memerangi pengikut agama lain dan menyalakan api peperangan, kerusakan dan penghancuran? Apakah Hikmah Ilahiyah itu tidak menuntut sebab-sebab lain yang dapat mencegah munculnya berbagai kerusakan di muka bumi ini, sehingga-paling tidak-para pengikut nabi tidak saling berperang?
Jawab: bila kita merenungkan karakteristik kesempurnaan manusia yang berasaskan pada ikhtiar dan kebebasannya, kita akan menemukan jawaban keraguan di atas. Sebelumnya telah kami sebutkan bahwa Hikmah Ilahiyah menuntut pengadaan syarat-syarat kesempurnaan bagi manusia yang bersifat ikhtiari (bukan paksaan) supaya orang-orang yang ingin mendapatkan kebenaran mampu mengenal jalan mereka dan menempuhnya hingga sampai kepada kesempurnaan. Namun tersedianya faktor-faktor kesempurnaan tersebut tidak berarti bahwa semua manusia memanfaatkannya dengan benar dan mereka semua pasti akan sampai kepada kesempurnaan.
Menurut Al-Qur'an, Allah menciptakan manusia dengan tujuan untuk menguji siapa yang amalnya lebih baik.[1] Al-Qur'an sendiri berkali-kali menekankan bahwa apabila Allah berkehendak, Dia mampu membimbing semua manusia menuju kebenaran dan mencegah mereka dari kebatilan.[2] Tapi dalam kondisi ini, tidak ada tempat yang tersisa untuk kehendak dan usaha bebas manusia, dan semua tindakannya tidak akan memiliki nilai. Selain itu, tujuan Allah untuk menguji manusia yang bebas ini tidak akan terwujud.
Walhasil, kita bisa mengambil kesimpulan dari penjelasan di atas bahwa perjalanan manusia menuju kerusakan, kesesatan, kekufuran dan kemaksiatan, bersumber dari buruknya usaha bebas manusia itu sendiri. Kemampuan manusia untuk melakukan tindakan semacam ini telah dipertimbangkan oleh Allah dalam menciptakannya. Meski-pun secara prinsipal dan langsung, kehendak Allah berkaitan dengan kesempurnaan manusia, tapi karena kehendak-Nya itu bergantung pada kehendak dan usaha bebas manusia, maka Dia tidak menutup kemungkinan ketergelinciran manusia lantaran usahanya yang buruk. Hikmah Ilahi tidak memastikan manusia untuk selalu menempuh jalan yang benar, meski hal itu bertentangan dengan kehendak-Nya.

Keraguan Ketiga
Dinyatakan bahwa Hikmah Ilahi menuntut agar manusia dapat mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan yang hakiki dan abadi dengan cara yang lebih baik. Bila benar demikian, tidakkah lebih baik jika Allah swt. menyingkap tabir rahasia alam semesta ini kepada manusia melalui jalan wahyu agar mereka lebih cepat mencapai kesempurnaan? Seperti yang kita perhatikan, penemuan berbagai macam potensi alam dalam beberapa abad terakhir dan penciptaan berbagai fasilitas kehidupan sangat berperan dalam kemajuan peradaban manusia yang mencakup lebih terjaminnya kesehatan manusia dan perkembangan pertukaran informasi. Jelas apabila para nabi membantu manusia dengan cara mengajarkan berbagai teknologi dan menyediakan fasilitas hidup, niscaya pengaruh mereka di tengah kehidupan manusia akan semakin bertambah dan dakwah mereka semakin berhasil.
Jawab: kebutuhan utama kepada wahyu dan kenabian itu ialah untuk menyelesaikan masalah-masalah yang tidak dapat dijelaskan oleh perangkat pengetahuan biasa manusia. Ketika masalah-masalah itu tidak jelas, mereka tidak mampu menentukan jalan kesempurnaan mereka, apalagi berjalan di atasnya.
Dengan kata lain, para nabi diutus untuk membantu umat manusia agar dapat mengetahui jalan hidup mereka menuju kesempurnaan, sehingga mereka akan dapat lebih mudah mengenal tugas-tugas mereka dalam berbagai kondisi serta menggunakan kekuatan dan potensi mereka untuk meng-usahakan tujuan mereka, baik yang tinggal di pedesaan, pegunungan dan di kemah-kemah, ataupun yang tinggal di kota-kota dengan budaya dan teknologi yang sudah maju. Dengan itu, mereka juga dapat mengenal nilai-nilai hakiki kemanusiaan, tugas-tugas dan tanggung jawab mereka dalam beribadah kepada Allah SWT di dalam kehidupan pribadi dan sosial mereka, sehingga dengan mempraktikkan dan mengamalkan tugas-tugas ini, mereka akan sampai pada kesempurnaan dan kebahagiaan yang hakiki dan abadi.
Adapun perbedaan potensi, kemampuan dan sarana industri dan alami, baik pada satu zaman ataupun pada masa yang berbeda, adalah akibat dari beberapa faktor tertentu. Hal ini bukanlah pengaruh utama dalam perjalanan mereka menuju kesempurnaan hakiki dan perjalanan mereka yang abadi.Sebagaimana yang bisa kita perhatikan pada masa sekarang, bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat memperluas dan mengembangkan hal-hal materi dan duniawi itu sama sekali tidak memberikan pengaruh dalam kesempurnaan spiritual manusia, bahkan dapat dikatakan bahwa kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan itu meninggalkan dampak yang sebaliknya.
Kesimpulannya, bahwa Hikmah Ilahiyah menuntut agar umat manusia-dengan menggunakan nikmat-nikmat materi-dapat melangsungkan kehidupan mereka di dunia ini dan melestarikannya. Dan dengan menggunakan akal dan wahyu, mereka dapat mengetahui dan menentukan jalan hidup mereka menuju kesempurnaan yang hakiki dan kebahagiaan yang abadi. Adapun adanya perbedaan potensi fisikal dan spiritual, perbedaan kondisi alam dan sosial, atau perbedaan dalam memanfaatkan berbagai macam ilmu pengetahuan dan industri, semua itu tunduk pada faktor-faktor alami tertentu yang sesuai dengan Hukum Kausalitas.
Perbedaan-perbedaan tersebut tidak berpengaruh penting terhadap perjalanan umat manusia kepada tujuan mereka yang abadi. Barangkali ada individu atau kelompok yang hidup dengan cara sederhana dan tidak menikmati sarana teknologi serta tidak berbekal materi melimpah, akan tetapi mereka dapat mencapai derajat kesempurnaan yang tinggi. Sebaliknya, berapa banyak individu dan kelompok yang mampu menggunakan berbagai fasilitas hidup mewah, industri yang maju dan ilmu pengetahuan yang canggih, akan tetapi mereka terpuruk ke dalam lembah kesengsaraan akibat kekufuran mereka terhadap nikmat Allah SWT dan kecongkakan mereka.
Tentunya, di samping melaksanakan tugas utama dalam membimbing umat manusia menuju kesempurnaan dan kebahagiaan abadi, para nabi juga telah membantu manusia untuk hidup lebih baik dalam dunia ini. Dalam beberapa kondisi-apabila Hikmah Ilahiyah menuntut hal itu-para nabi menyingkapkan rahasia-rahasia alam dan membangun peradaban manusia. Kita dapat melihat bukti khidmat para nabi kepada manusia dalam kehidupan Nabi Dawud, Nabi Sulaiman dan Dzul Qarnain as.[3] Dalam hal pengaturan negara pun, para nabi telah berkhidmat kepada umat manusia, seperti yang dilakukan oleh Nabi Yusuf as di Mesir (lihat QS. Yusuf: 55). Namun semua ini hanyalah khidmat sampingan para nabi, bukan khidmat utama mereka.
Adapun pertanyaan mengapa para nabi tidak menggunakan kekuatan teknologi, ekonomi dan militer untuk mengangkat risalah mereka, jelas bahwa-seperti yang telah kami sebutkan berulang-ulang-tujuan para nabi as adalah untuk menciptakan kondisi yang sesuai dengan usaha, kehendak dan kebebasan manusia. Apabila dakwah mereka menggunakan kekuatan selain kekuatan biasa, maka kedewasaan spiritual dan kesempurnaan umat manusia tidak akan terwujud, bahkan mereka akan mengikuti nabi karena adanya tekanan dan kekuasaannya, bukan karena kehendak dan kebebasan mereka sendiri.
Sehubungan dengan masalah ini, Imam Ali as pernah bersabda, "Jika Allah SWT berkehendak untuk membekali para nabi di saat mereka diutus dengan gudang-gudang emas permata, kebun-kebun penuh buah dan menjadikan burung-burung di udara dan hewan-hewan di daratan tunduk kepada mereka, maka Dia pasti mampu melakukannya. Akan tetapi jika hal itu Dia lakukan, maka gugurlah bala' dan batallah balasan .… Apabila para nabi itu memiliki kekuatan yang tidak bisa dikalahkan, kemulian yang tidak ada bandingannya, kekuasaan yang melingkari leher-leher setiap orang sehingga mereka semua menuju kepadanya, maka-jika demikian halnya-mereka tidak lagi memiliki nilai di mata manusia dan bahkan membuat mereka semakin jauh. Bahkan mereka (manusia) akan beriman karena rasa takut dan terpaksa atau karena ketamaan harta. Niat, tujuan dan nilai-nilai menjadi sama. Akan tetapi Allah SWT berkehendak agar manusia menaati rasul-Nya, membenarkan buku-Nya, menghadap kepada-Nya, melakukan perintah-Nya dan berserah diri karena mentaati-Nya dengan motivasi Ilahi yang murni. Setiap kali cobaan dan ujian semakin sulit, maka pahala dan ganjarannya pun akan semakin besar."[4]
Ketika umat manusia memilih dan mengikuti ajaran agama yang hak atas dasar kehendak dan usaha bebas mereka dan menegakkan tatanan masyarakat Ilahi berdasarkan ridha Allah SWT, ketika itu para nabi layak menggunakan kekuatan untuk mewujudkan tujuan ilahi, khususnya untuk memberantas orang-orang yang zalim dan membela hak-hak orang-orang yang beriman. Contoh hal ini dapat kita saksikan dalam pemerintahan Nabi Sulaiman as.[5][]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini !
1. Apakah seluruh nabi itu diutus di tempat tertentu saja?
2. Apakah argumen atas hal itu?
3. Mengapa dakwah para nabi itu tidak menyebar secara luas ke seluruh penjuru dunia?
4. Mengapa Allah SWT tidak menciptakan situasi dan kondisi serta faktor-faktor yang dapat mencegah adanya kerusakan dan peperangan yang destruktif?
5. Mengapa para nabi itu tidak mengungkap rahasia alam semesta ini untuk manusia supaya mereka dapat mengikuti para nabi dan dapat menggunakan nikmat Ilahi ini dengan lebih baik dan lebih sempurna?
6. Mengapa para nabi itu tidak mau menggunakan kekuatan industri dan ekonomi untuk merealisasikan tujuan mereka?
________________________________________
[1] Surah Hud: 7, Al-Kahfi: 7, Al-Mulk: 2, Al-Ma'idah: 48, dan Al-An`am: 165.
[2] Surah Al-An`am: 35,107,112,137,127, Yunus: 99, Hud:118, Al-Nahl: 9,93, Asy-Syura: 8, Asy-Syu'ara: 4, dan Al-Baqarah: 253.
[3] Surah Al-Anbiya: 78-82, Al-Kahfi: 83-97, dan Saba': 10-13. Perlu diperhatikan bahwa menurut sebagian riwayat, Dzul Qarnain bukan seorang nabi, tapi seorang wali Allah.
[4] Nahjul Balaghah, khotbah Al-Qoshiah, Al-Furqan 7-10, dan Az-Zukhruf: 31-35.
[5] Surah Al-Anbiya': 81-82 dan an-Nahl: 15-44.



PELAJARAN 24
Kemaksuman Para Nabi

Urgensi Keutuhan Wahyu
Setelah terbukti perlunya wahyu sebagai sarana alternatif untuk memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan manusia demi menutupi kekurangan-kekurangan indra dan akal mereka, ada masalah berikutnya yang perlu dibahas di sini. Yaitu, mengingat bahwa manusia biasa tidak mungkin dapat memanfaatkan sarana pengetahuan ini secara langsung dan tidak memiliki potensi untuk menerima wahyu Ilahi,[1] karenanya risalah Ilahiyah harus disampaikan kepada mereka melalui para nabi.
Pertanyaannya, apakah yang menjamin keutuhan risalah ini? Bagaimana kita dapat mempercayai bahwa nabi telah menerima dan menyampaikan wahyu Ilahi kepada umat manusia secara utuh? Jika terdapat perantara antara Allah SWT dan nabi, yaitu Malaikat Jibril, lalu bagaimana kita bisa percaya bahwa Malaikat itu menyampaikan risalah tersebut secara utuh pula?
Pertanyaan-pertanyaan di atas muncul karena wahyu itu hanya bisa berperan untuk menutupi berbagai kekurangan pengetahuan manusia apabila-semenjak diturunkan hingga disampaikannya kepada manusia-terjaga dari penyimpangan, kesamaran, secara sengaja ataupun tidak.
Bila tidak demikian, maka dengan adanya kemungkinan kelalaian dan kekhilafan pada satu atau sejumlah perantara, atau adanya perubahan yang disengaja dalam kandungan wahyu, akan timbul dugaan dalam benak manusia akan kemungkinan kecacatan dan kerancuan pada risalah yang sampai kepada mereka, dan akan menggoyahkan kepercayaan mereka terhadap risalah itu. Maka itu, dengan cara apakah kita dapat meyakini sampainya wahyu Ilahi kepada umat manusia secara utuh dan selamat dari penyelewengan dan kesalahan?
Jelas apabila hakikat wahyu itu tidak diketahui oleh manusia, dan mereka tidak memiliki potensi untuk menerima wahyu itu, maka mereka tidak mempunyai jalan untuk mengawasi dan meneliti kebenaran perantara-perantara itu. Mereka baru bisa memahami adanya kesalahan dalam wahyu bila ia mengandung isi yang bertentangan dengan hukum pasti akal.
Misalnya, apabila ada seseorang yang mengaku bahwa dia diberikan wahyu oleh Allah SWT yang menyatakan bahwa dua hal yang kontradiksi itu mungkin atau pasti terjadi, atau ada seseorang yang mengaku (na'udzu billah!) bahwa dzat Allah SWT itu tersusun, atau berbilang, atau hancur, atau hilang. Pada kondisi seperti ini, kita bisa membantah dan membuk-tikan kebatilan pengakuan tersebut melalui penilaian akal yang pasti (qath'i).
Akan tetapi, kebutuhan utama kepada wahyu itu terdapat pada masalah-masalah yang akal manusia tidak menemukan jalan untuk membuktikan atau menafikannya, juga tidak mampu menilai kebenaran atau kesalahan risalah tersebut. Dalam kondisi semacam ini, dengan jalan apakah kita dapat menetapkan kebenaran kandungan wahyu dan keterjagaannya dari pengaburan dan penyelewengan yang disengaja atau kelalaian para perantara, yaitu malaikat Jibril dan para nabi as?
Jawaban atas pertanyaan di atas ini ialah bahwa sebagaimana halnya akal-dengan memperhatikan Hikmah Ilahiyah pada pelajaran 22-mengetahui bahwa ada jalan lain untuk mengetahui hakikat dan cara hidup manusia, meskipun ia tidak mengetahui secara pasti hakikat jalan itu, dia juga memahami bahwa Hikmah Ilahiyah menuntut agar wahyu Allah terlindung dari penyimpangan hingga berada di hadapan manusia secara utuh. Karena bila tidak demikian, akan terjadi pertentangan di dalam tujuan-Nya.
Dengan kata lain, setelah diketahui bahwa risalah Ilahi itu harus sampai kepada umat manusia melalui seorang atau beberapa perantara sehingga tercipta kondisi yang cukup untuk kesempurnaan umat manusia dan terealisasinya tujuan Ilahi dari penciptaan manusia terebut, maka-dengan mengacu pada sifat-sifat kesempurnaan Ilahi-akan dapat dibuktikan pula bahwa risalah itu harus terjaga utuh dari penyelewengan dan kekhilafan, yang disengaja ataupun tidak. Karena jika Allah SWT tidak menghendaki sampainya risalah kepada umat manusia secara utuh, ini bertentangan dengan Hikmah Ilahiyah, dan kehendak-Nya yang bijaksana pun menafikan asumsi ini.
Dan seandainya Allah SWT tidak mengetahui dengan apa atau melalui siapa risalah itu akan disampaikan secara utuh kepada hamba-hamba-Nya, ini bertentangan dengan ilmu-Nya yang tak terbatas.
Dan jika Dia tidak kuasa untuk memilih para pengemban wahyu yang layak dan melindungi mereka dari sentuhan tangan-tangan kotor dan setan-setan, ini tidak sesuai dengan kekuasaan-Nya yang tidak terbatas.
Maka, dengan bukti kemahatahuan Allah SWT, tidak ada alasan bagi kita untuk memberi kemungkinan bahwa Dia memilih pembawa wahyu yang tidak Dia ketahui ketulusan dan amanatnya.[2] Dan dengan bukti kemahakuasaan Allah SWT, kita tidak mungkin menduga bahwa Allah tidak mampu menjaga wahyu-Nya dari campur tangan setan, orang-orang jahat, dan dari kelalaian dan kelupaan pada diri pembawa wahyu-Nya.[3] Dan dengan adanya Hikmah Ilahiyah, tidak mungkin bahwa Allah itu tidak berkehendak untuk menjaga risalah-Nya dari berbagai kesalahan dan kelalaian.[4] Oleh karena itu ilmu, kekuasaan dan hikmah Allah SWT menuntut risalah itu agar sampai kepada hamba-hamba-Nya secara utuh.
Dengan penjelasan rasional inilah kita dapat menetapkan keutuhan wahyu dari berbagai kecacatan. Penjelasan ini pula dapat membuktikan kemaksuman Malaikat Wahyu dan para nabi pada tahap menerima wahyu dan kemaksuman mereka dari pengkhianatan yang disengaja, atau dari kelalaian dan kelupaan pada tahap menyampaikan wahyu.
Dari uraian di atas jelaslah bagi kita sebab penekanan Al-Qur'an atas sifat amanat para pembawa wahyu dan para nabi serta kemampuan mereka untuk menjaga amanat Ilahiyah dan menolak berbagai pengaruh setan. Secara umum, tampak jelas apa yang telah kami singgung mengenai penegasan Al-Qur'an atas terpeliharanya wahyu dan para penjaga wahyu, sehingga wahyu tersebut sampai kepada umat manusia secara utuh.

Pembahasan Lain Ihwal Kemaksuman
Sesungguhnya kemaksuman (ishmah) pada malaikat dan para nabi yang telah kami buktikan berdasarkan argumen di atas, khusus pada tahap penerimaan wahyu dan penyampaiannya. Namun ada tahap kemaksuman lain yang tidak dapat dibuktikan dengan argumen tersebut. Hal ini dapat dibagi kepada tiga bagian. Pertama, kemaksuman para malaikat. Kedua, kemaksuman para nabi. Ketiga, kemaksuman sebagian individu, seperti para imam yang suci, atau seperti Siti Fatimah as dan Siti Maryam as.
Selain tentang kemaksuman para malaikat pada tahap penerimaan dan penyampaian wahyu, kita akan membahas dua persoalan. Pertama, kemaksuman Malaikat Wahyu di luar tugas sebagai penerima dan penyampai wahyu. Kedua, kemaksuman para malaikat selain Malaikat Wahyu, seperti malaikat-malaikat yang dipercaya untuk mengatur rizki, menulis amal manusia, mencabut ruh dan tugas-tugas yang lainnya.
Tentang kemaksuman para nabi yang tidak berhubungan dengan risalah mereka, kita akan membahas dua masalah. Pertama, kemaksuman para nabi dari dosa dan maksiat yang disengaja. Kedua, kemaksuman mereka dari kelalaian dan kelupaan. Dua masalah ini juga akan kita bahas sehubungan dengan orang-orang selain para nabi.
Adapun masalah-masalah yang berkaitan dengan para malaikat pada selain tahap penerimaan wahyu dan penyampaiannya hanya dapat kita bahas dengan argumentasi akal apabila kita telah mengenal hakekat malaikat itu sendiri. Namun, mengenal hakekat dan esensi malaikat, selain tidak mudah, juga tidak sesuai dengan pembahasan di sini.
Oleh karena itu, kami hanya cukup menyebutkan dua ayat yang menunjukkan kemaksuman malaikat:
"Mereka (para malailkat) adalah hamba-hamba yang mulia yang tidak mendahului-Nya dengan ucapan dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya." (QS. Al-Anbiya': 27)
"Sesungguhnya mereka (para malaikat) tidak bermaksiat kepada Allah terhadap apa yang diperintahkan kepada mereka dan mereka senantiasa melaksanakan apa yang diperintahkan." (QS. At-Tahrim: 6)
Dua ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwa para malaikat itu adalah hamba Allah yang mulia yang tidak melakukan selain perintah Allah, dan tidak akan melanggar perintah-Nya tersebut. Ya, masih tersisa pertanyaan, yaitu apakah ayat-ayat ini mencakup seluruh para malaikat?
Adapun mengenai kemaksuman sebagian individu selain para nabi, hal ini akan lebih sesuai dengan pembahasan Imamah. Maka itu, di sini kita hanya akan membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan kemaksuman para nabi secara khusus. Walaupun sebagian masalah tidak mungkin untuk dipecahkan melainkan dengan dalil-dalil wahyu. Dan masalah-masalah ini dapat dibahas setelah memastikan validitas Al-Qur'an dan Sunnah. Akan tetapi, demi menjaga konsistensi di antara tema-tema masalah tersebut, kita akan membahasnya pada bagian ini. Adapun validitas Al-Qur'an dan Sunnah, kita terima saja sebagai postulat yang akan kita bahas pada saatnya.

Kemaksuman para Nabi
Terdapat ikhtilaf di antara mazhab-mazhab Islam tentang sejauh mana kesucian para nabi dari dosa. Syi'ah Imamiyah percaya bahwa sejak dilahirkan hingga wafat, para nabi itu terjaga dari segala dosa dan maksiat, baik yang kecil atau yang besar, yang disengaja atau tidak. Ada yang berpendapat bahwa para nabi itu hanya terjaga dari dosa-dosa besar saja.
Ada madzhab yang meyakini para nabi itu terjaga dari dosa sejak masa akil balig. Sebagian yang lain mengatakan sejak masa kenabian. Sebagian dari Madzhab Ahlus Sunnah seperti Al-Khasyawiyah dan sebagian dari Ahlul Hadits mengingkari kemaksuman para nabi, sama sekali. Menurut mereka, mungkin saja para nabi melakukan dosa dengan sengaja, bahkan pada masa kenabian mereka sekalipun.
Sebelum membuktikan kemaksuman para Nabi, perlu kami jelaskan sebagian poin-poin penting berikut ini:
Pertama, maksud dari kemaksuman para nabi atau selain mereka, bukan sekedar tidak melakukan dosa. Karena bisa jadi seorang manusia biasa tidak melakukan maksiat sepanjang usianya, khususnya apabila orang itu berusia pendek. Akan tetapi yang kita maksud dengan kemaksuman para nabi di sini adalah adanya malakah nafsaniyah (karakter jiwa) yang kuat yang mencegah dia dari berbuat dosa dan maksiat, sekalipun dalam kondisi yang sulit. Malakah ini dicapai dengan pengetahuannya yang sempurna akan keburukan dosa, dan dengan kehendak serta keinginan yang kuat untuk mengendalikan hawa nafsu. Karena malakah semacam ini tidak mungkin dapat terwujud kecuali dengan bantuan dan inayah Allah swt.secara khusus, maka pemilik malakah diidentikkan dengan-Nya.
Kemaksuman mereka tidak berarti bahwa Allah memaksa mereka untuk meninggalkan dosa dan mencabut kebebasan kehendak dan usaha mereka. Kemaksuman sebagian manusia sempurna seperti para nabi dan imam juga bisa dinisbahkan kepada Allah dengan makna yang lain, yaitu bahwa Dialah yang menjamin kemaksuman mereka.
Kedua, kemaksuman seseorang itu menuntutnya untuk meninggalkan berbagai perbuatan yang dilarang ke atasnya, seperti perbuatan maksiat yang diharamkan dalam seluruh syariat, dan perbuatan yang dilarang dalam syariat yang ia ikuti. Dengan demikian tidak terdapat kontradiksi antara kemaksuman para nabi dengan mengamalkan sebagian perbuatan yang dibolehkan dalam syariatnya untuk pribadi mereka secara khusus, sekali pun itu diharamkan dalam syariat-syariat yang sebelumnya atau diharamkan pada ajaran yang akan datang.
Ketiga, maksud dari maksiat yang seorang maksum tersucikan darinya ialah perbuatan yang "haram" dalam istilah Fiqih, atau meninggalkan perbuatan yang "wajib" menurut istilah Fiqih. Adapun kata maksiat dan semacamnya, yaitu adz-dzanbu (dosa), terkadang digunakan untuk hal-hal yang lebih luas daripada makna maksiat dan dosa, seperti bisa juga digunakan untuk mengartikan tarkul aula (meninggalkan yang lebih utama). Meninggalkan yang lebih utama tidaklah menafikan kemaksuman dari diri mereka.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Bagaimana kita dapat membuktikan terjaganya wahyu dari berbagai macam kesalahan dan penyelewengan?
2. Apakah bidang-bidang kemaksuman selain dari terjaganya nabi dalam menerima wahyu dan menyampaikannya?
3. Dengan jalan dan cara apakah kita dapat membuktikan kemaksuman malaikat?
4. Apakah pandangan-pandangan tentang kemaksuman para nabi? Bagaimana pandangan Syi'ah Imamiyah itu sendiri dalam hal ini?
5. Berikan definisi tentang kemaksuman? Dan sebutkan konsekuensi-konsekuensi kemaksuman?
________________________________________
[1] Tentang hal ini Allah SWT berfirman, "Allah tidak akan menampakkan hal gaib kepada kalian, tetapi Ia memilih utusan-utusan-Nya dengan kehendak-Nya." (QS. Ali Imran: 179)
[2] Dalam Al-Qur'an disebutkan, "Allah lebih mengetahui kepada siapa Dia menyerahkan risalah-Nya." (QS. Al-An`am: 124)
[3] "Allah Maha Mengetahui hal yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan hal gaib kepada siapapun. Kecuali kepada rasul yang Dia ridahi. Sesungguhnya Dia menciptakan para penjaga di depan dan belakangnya. Supaya Dia mengetahui bahwa rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah Tuhan mereka. Allah mengetahui apa yang ada dalam mereka dan menghitung segala sesuatu." (QS. al-Jin: 26-27).
[4] "Supaya orang binasa atau hidup dengan keterangan yang nyata." (QS. al-Anfal: 42)



PELAJARAN 25
Argumentasi atas Kemaksuman Para Nabi

Mukadimah
Meyakini kemaksuman para nabi dari maksiat dan dosa, yang disengaja atau tidak, merupakan keyakinan yang pasti dan populer di kalangan Syi'ah Imamiyah yang telah diajarkan oleh para imam suci kepada syi'ah (pengikut setia) mereka. Mengenai masalah ini, mereka terlibat dalam dialog dengan orang-orang yang menentang mereka melalui berbagai macam metode. Di antaranya, dialog yang dilakukan oleh Imam Ridha as yang disebutkan dalam buku-buku hadis dan sejarah. Akan tetapi, ada perbedaan mengenai mungkinnya kealpaan dan kelupaan pada diri para nabi as dalam hal-hal yang sifatnya mubah. Bahkan secara zahir, riwayat-riwayat yang dinukil dari Ahlulbait as itu pun tidak lepas dari pertentangan. Pembahasan mengenai hal ini memerlukan luang yang lebih luas lagi. Yang jelas, hal itu tidak mungkin dianggap sebagai keyakinan yang prinsipal.
Dalil-dalil atas kemaksuman dapat dibagi menjadi dua kelompok; dalil akal dan dalil wahyu. Walaupun menggunakan dalil kedua lebih banyak daripada dalil pertama, di sini kami hanya akan menjelaskan dua dalil pertama saja. Kemudian setelah itu kami akan menyebutkan dalil-dalil wahyu dari Al-Qur'an.

Dalil Akal atas Kemaksuman Para Nabi
Dalil akal yang pertama atas keterjagaan para Nabi dari maksiat ialah bahwa tujuan utama diutusnya para nabi itu ialah untuk memberikan petunjuk kepada seluruh umat manusia dan membimbing mereka kepada hakikat kebenaran dan tugas-tugas yang telah ditentukan oleh Allah SWT ke atas mereka. Pada hakikatnya, para nabi itu merupakan duta-duta Tuhan untuk seluruh umat manusia. Mereka mempunyai tugas untuk memberikan hidayah kepada jalan yang lurus. Apabila mereka sendiri tidak konsisten dengan ajaran Ilahi, atau bahkan mengamalkan yang sebaliknya; yang menyalahi kandungan risalah yang mereka emban, atau menyalahi ucapan yang mereka katakan dan pesan yang mereka berikan, pasti umat manusia akan menilai bahwa perbuatan mereka tersebut sebagai penjelasan yang menyalahi ucapan mereka sendiri. Dengan demikian, seorang pun tidak akan percaya lagi kepada ucapan mereka. Akibatnya, tidak akan terealisasi secara sempurna tujuan diutusnya mereka.
Karenanya, hikmah dan rahmat Ilahi itu menuntut bahwa para nabi itu harus maksum dan suci dari berbagai dosa. Bahkan tidak akan keluar perbuatan yang tidak baik dari diri mereka, sekalipun dalam bentuk lalai atau pun kelupaan, supaya umat manusia tidak berasumsi bahwa mereka menjadikan pengakuan lalai dan lupa sebagai alasan untuk melakukan dosa dan maksiat.
Dalil akal yang kedua atas kemaksuman para nabi adalah bahwa di samping ditugaskan untuk menyampaikan kandungan wahyu dan risalah kepada umat manusia dan memberikan petunjuk kepada mereka ke jalan yang lurus, para nabi juga ditugaskan untuk mendidik dan membersihan jiwa mereka, dan mengantarkan individu-individu yang mempunyai potensi kepada peringkat yang terakhir dari peringkat kesempurnaan insani.
Artinya, di samping memberikan pengajaran dan tuntunan kepada umat manusia, para nabi juga mempunyai tugas penting lainnya, yaitu memimpin dan mendidik mereka secara menyeluruh, sekalipun mereka termasuk orang-orang yang berpotensi dan terpandang di masyarakat. Dan kedudukan yang tinggi ini tidak mungkin dapat dicapai kecuali oleh orang-orang yang telah mencapai derajat kesempurnaan insani dan yang memiliki lebih banyak karakter kesempurnaan, yaitu karakter kemaksuman. Selain itu, peran sikap dan perilaku seorang pendidik itu lebih berpengaruh daripada ucapannya dalam proses pembinaan. Jika ditemukan berbagai kekurangan dan kesalahan pada perbuatannya, ucapannya itu pasti tidak lagi berarti.
Dengan demikian, tujuan Ilahi dari diutusnya para nabi-sebagai penuntun dan pendidik umat manusia-hanya bisa terealisasi secara penuh apabila mereka itu maksum dan terpelihara dari berbagai macam maksiat, kesalahan, dan penyelewengan, baik dalam ucapan maupun perbuatan mereka.

Dalil Wahyu atas Kemaksuman Para Nabi
Pertama, Al-Qur'an menggunakan istilah al-mukhlas pada sebagian individu ketika mereka tidak tersentuh oleh bujuk-rayu setan. Dari sinilah setan bersumpah untuk menyesatkan seluruh Bani Adam, kecuali mereka yang mukhlas, sebagaimana terdapat dalam firman-Nya:
"Maka dengan keagungan-Mu aku akan berusaha sekuat tenaga untuk meyesatkan seluruh umat manusia kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas." (QS. Shad: 82-83)
Tidak diragukan lagi bahwa sebab putus asanya setan dari menyesatkan orang-orang yang mukhlas itu karena mereka suci dan terjaga dari dosa dan maksiat. Kalau tidak demikian, musuh-musuh mereka itu tentu akan dapat menggoda mereka dan penyesatan setan dapat menyentuh mereka. Dan jika mereka pun bisa disesatkan, setan tidak akan membiarkan mereka sedetik pun. Oleh karena itu, arti al-mukhlash itu identik dengan arti al-ma'shum. Walaupun tidak dijumpai argumen yang menunjukan kekhususan sifat mukhlas ini bagi para nabi, akan tetapi tidak diragukan lagi bahwa sifat ini disandang oleh mereka. Al-Qur'an telah memberikan penilaian atas sebagian para nabi dengan sifat al-mukhlasin:
"Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim Ishak dan Ya'qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan manusia akan akhirat." (QS. Shad: 45-46).
"Dan ceritakanlah kisah Musa di dalam al-Kitab (Al-Qur'an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang hamba yang mukhlas dan seorang rasul dan nabi." (QS. Maryam: 51).
Begitu pula ihwal disucikannya Nabi Yusuf as dari peyelewengan ketika beliau berada pada kondisi yang sangat sulit, karena beliau adalah hamba Allah yang mukhlas. "Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba-Ku yang mukhlas." (QS. Yusuf: 4).
Kedua, Al-Qur'an telah mewajibkan seluruh umat manusia untuk mentaati Nabi secara mutlak:
"Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan untuk ditaati dengan izin Allah." (QS. An-Nisa': 64).
Ketaatan umat secara mutlak kepada para Nabi hanya terjadi jika para nabi itu berada di bawah ketaatan kepada Allah SWT dan sebagai perpanjangan dari-Nya, sehingga ketaatan kepada para nabi itu tidak menafikan ketaatan kepada Allah SWT. Kalau tidak demikian, perintah secara mutlak untuk mentaati Allah SWT itu bertentangan dengan perintah secara mutlak kepada orang-orang yang melakukan kesalahan dan penyelewengan.
Ketiga, Al-Qur'an telah mengkhususkan kedudukan Ilahi kepada mereka yang sama sekali tidak berbuat zalim. Allah SWT berfirman ketika menjawab permintaan Nabi Ibrahim as akan kedudukan imamah untuk putra-putranya, "Janjiku tidak akan meliputi orang-orang yang zalim."
Kita tahu bahwa maksiat itu merupakan perbuatan zalim-paling tidak-atas diri sendiri. Dan setiap pelaku maksiat adalah manusia zalim menurut Al-Qur'an. Dengan begitu, para nabi dan orang-orang yang mempunyai kedudukan Ilahi (kenabian dan risalah) pasti suci dari kezaliman dan maksiat. Argumentasi atas kemaksuman para Nabi ini bisa juga dijumpai pada ayat dan riwayat yang lain yang tidak mungkin kami jelaskan di sini.

Rahasia Kemaksuman Para Nabi
Di akhir pelajaran ini, barangkali tepat bila kami membubuhkan catatan tentang falsafah kemaksuman para nabi dalam hal menerima wahyu. Yaitu, bahwa mengetahui wahyu itu adalah perkara yang tidak mungkin mengalami kesalahan. Dan nabi-nabi yang berhak menerima wahyu akan mendapatkan hakikat ilmu secara hudhuri,[1] mereka menyaksikan hubungan ilmu ini dengan Pemberi Wahyu (Allah), baik melalui perantara malaikat atau tidak. Maka, tidak mungkin penerima wahyu akan merasa ragu; apakah yang diterimanya itu berupa wahyu atau bukan? Atau siapakah yang mewahyukan kepadanya? Atau apakah kandungan wahyu yang diturunkan kepadanya? Apabila terdapat sebagian hikayat yang menceritakan bahwa ada seorang nabi yang merasa ragu dengan kenabiannya, atau ia tidak mengetahui kandungan wahyu, atau ia tidak mengetahui siapakah pemberi wahyu itu, hikayat semacam ini adalah dusta dan dibuat-buat. Kebatilan kisah semacam ini sama dengan ungkapan: ia ragu terhadap wujudnya sendiri, atau ragu terhadap pengetahuannya yang bersifat hudhuri dan wijdani.
Adapun falsafah kemaksuman para nabi dalam menjalankan tugas-tugas Ilahi seperti: menyampaikan risalah Allah kepada seluruh umat manusia, ini memerlukan premis sebagai berikut:
Suatu perbuatan manusia akan sempurna apabila terdapat di dalam hatinya kecondongan kepada sesuatu yang diinginkannya. Dan kecondongan itu muncul karena berbagai faktor yang menentukan jalan agar ia sampai kepada tujuan yang diinginkannya tersebut dengan bantuan berbagai pengetahuan. Kemudian, ia akan melakukan perbuatan yang sesuai dengan tujuannya tersebut. Apabila terdapat kecondongan dan keinginan yang saling bertentangan, ia berusaha untuk mengetahui manakah yang lebih utama dan paling banyak nilainya. Ketika itu ia akan memilih yang lebih baik lalu melakukannya. Akan tetapi terkadang-akibat adanya kekurangan pada pengetahuannya-ia keliru dalam menentukan mana yang lebih utama, atau karena ia tidak mengetahui manakah yang lebih bermaslahat, atau karena ia telah terbiasa dengan hal-hal yang buruk, maka ia memilih hal-hal yang buruk pula, dan tidak ada kesempatan baginya untuk berfikir jernih dan memilih yang lebih bermaslahat.
Oleh karena itu, semakin pengetahuan, kesadaran dan perhatian seseorang terhadap berbagai hakikat itu luas dan kuat, dan semakin kuat kehendaknya untuk menentukan kecondongan-kecondongan dan reaksi-reaksi internal, niscaya pilihannya akan lebih baik, dan lebih terjaga dari berbagai kesalahan dan penyimpangan.
Dari sinilah sebagian individu yang mempunyai pengetahuan dan potensi yang tinggi membekali dirinya dengan kesadaran yang tinggi dan pendidikan yang bersih. Orang-orang semacam ini pasti akan sampai ke peringkat kesempurnaan dan keutamaan. Mungkin juga mereka ini akan mencapai peringkat yang mendekati kemaksuman. Bahkan mungkin tidak terlintas dalam benak mereka pikiran untuk berbuat dosa dan hal-hal yang buruk. Sebagaimana tidak seorang pun yang berakal sehat mempunyai pikiran untuk minum racun atau ramuan yang dapat membinasakan dirinya atau mengkonsumsi sesuatu yang kotor dan berbau busuk.
Maka itu, apabila kita berasumsi adanya seseorang yang kapasitasnya telah terpenuhi untuk memperoleh berbagai macam hakikat, ruh dan hatinya telah mencapai derajat yang tinggi, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an, "Hampir-hampir minyaknya itu dapat menerangi walaupun tidak disentuh oleh api", lantaran kapasitasnya yang sudah penuh, jiwanya yang bersih, memperoleh pendidikan Ilahi serta ditopang dengan ruhul qudus. Orang semacam ini pasti akan melewati tangga-tangga kesempurnaan dengan cepat yang tidak bisa dibayangkan. Bahkan bisa jadi ia akan melewati jalan yang tidak mungkin dilewati oleh orang lain selama seratus tahun, dan sangat mungkin ia akan mengungguli orang lain walaupun ia masih kanak-kanak, bahkan sekalipun dia masih berupa janin. Bagi orang semacam ini akan tampak jelas nistanya perbuatan maksiat dan dosa, persis dengan tampaknya bahaya minum racun, sesuatu yang berbau busuk dan kotoran-kotoran bagi orang lain. Sebagaimana orang biasa itu menjauhi hal-hal yang berbahaya dan kotor tanpa dipaksa, seorang yang maksum pun akan menjauhi berbagai maksiat dan dosa tanpa menafikan kehendak dan usaha bebasnya sama sekali.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini !
1. Sebutkan dalil-dalil akal atas kemaksuman para nabi!
2. Sebutkan ayat-ayat Al-Qur'an yang menunjukkan kemaksuman para nabi!
3. Apakah falsafah kemaksuman para nabi dari kesalahan dalam menerima wahyu?
4. Bagaimana kemaksuman para nabi dari perbuatan maksiat itu sesuai dengan kehendak bebas mereka?
________________________________________
[1] Tentang terminologi hudhuri, lihat Pelajaran 5.


PELAJARAN 26
Beberapa Keraguan dan Jawaban
Ada beberapa keraguan yang pernah dilontarkan sehubungan dengan masalah kemaksuman para nabi. Hal itu akan kami paparkan di sini berikut jawabannya.

Keraguan Pertama
Apabila Allah SWT telah menjaga para nabi dan mensucikan mereka dari perbuatan maksiat, dimana hal itu berarti Dia telah menjamin perbuatan mereka dari kesalahan dalam menjalankan tugas-tugas, maka sedikit pun tidak ada keistimewaan pada kehendak dan usaha bebas mereka. Dan mereka tidak berhak memperoleh ganjaran Allah SWT atas amal dan tugas-tugas yang mereka lakukan dan perbuatan maksiat yang mereka tinggalkan tersebut. Karena, jika Allah menjadikan maksum siapa saja yang Dia kehendaki, orang itu pasti akan sama seperti para nabi. Karena Allahlah yang menganugerahkan kemaksuman tersebut kepadanya.
Jawab: secara ringkas, kemaksuman itu tidak berarti keterpaksaan dalam melakukan suatu tugas atau meninggalkan suatu maksiat, sebagaimana telah kami jelaskan pada pelajaran yang telah lalu. Ketika kami katakan bahwa Allah SWT itu menjaga para nabi dari perbuatan dosa dan maksiat, hal ini tidak berarti menafikan penisbahan kehendak dan usaha bebas kepada mereka, sebab setiap fenomena dan kejadian disandarkan-pada akhir mata rantainya-kepada kehendak cipta Allah SWT (iradah takwiniyah Ilahiyah) sebagaimana yang telah dijelaskan pada prinsip Tauhid, yang di dalamnya terdapat bantuan dan pertolongan khusus dari-Nya, oleh karena itu sangat ditekankan bahwa segenap perbuatan itu disandarkan kepada Allah. Akan tetapi, kehendak Allah sebagai perpanjangan dari kehendak manusia tidaklah sejajar dan tidak pula saling mengambil alih posisi.
Adapun bantuan khusus Allah kepada para imam tak ubahnya dengan sarana perlengkapan khusus yang diberikan kepada orang-orang tertentu, yang menjadikan tanggung jawab mereka itu lebih besar dan lebih berat. Sebagaimana pahala atas perbuatan mereka itu dilipatgandakan, siksa mereka akan lebih keras apabila berbuat dosa. Dengan demikian, menjadi seimbanglah antara ganjaran dan siksa. Dan manusia yang maksum, lantaran usaha baiknya, tidak berhak menerima siksa dari Allah SWT.
Kita perhatikan pula bahwa keseimbangan ini terdapat pula pada setiap orang yang dianugerahi nikmat tertentu, sebagaimana hal ini terjadi pada ulama dan orang-orang yang mengikuti Ahlulbait as. Maka, tanggung jawab mereka itu pasti lebih besar dan lebih beresiko dibandingkan dengan yang lainnya. Lain dari itu, sebagaimana ganjaran dan pahala atas amal perbuatan mereka itu lebih banyak, tentu siksanya lebih keras jika mereka berbuat dosa.
Oleh karena itu, dapat kita pahami bahwa setiap orang yang derajat maknawinya lebih tinggi, ancaman jatuhnya pun akan lebih besar, dan rasa takutnya dari ketergelinciran menjadi lebih banyak.

Keraguan Kedua
Sesungguhnya para nabi dan imam as menganggap diri mereka itu berbuat dosa, sebagaimana hal ini terungkap di dalam munajat dan doa-doa mereka, juga dinukil tentang adanya ungkapan istighfar mereka atas dosa-dosa. Dari pengakuan terbuka mereka sendiri, bagaimana mungkin kita menganggap mereka itu adalah orang-orang yang maksum?
Jawab: para imam maksum as itu telah mencapai derajat kesempurnaan dan kedekatan kepada Allah SWT dengan tidak mengabaikan perbedaan dalam peringkat mereka masing-masing. Karenanya, mereka merasakan bahwa mereka itu dibebani dengan tugas-tugas yang sangat penting yang melebihi tugas-tugas orang lain. Bahkan mereka menganggap bahwa sedikit saja perhatian mereka tertuju kepada selain Allah dan Kekasih mereka, mereka memandangnya sebagai dosa yang besar. Oleh karena itu, mereka mengucapkan istighfar dan mohon ampun kepada Allah SWT.
Telah kami jelaskan pada pelajaran sebelumnya, bahwa kemaksuman para nabi itu tidak berarti bahwa manusia maksum itu suci dari seluruh perbuatan yang diistilahkan dengan maksiat dalam pengertian yang luas. Akan tetapi, yang dimaksud dengan kemaksuman ialah bersih dari perbuatan yang menyalahi tugas yang diwajibkan kepadanya, dan dari melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan menurut fiqih, bukan bersih dari seluruh maksiat secara mutlak.

Keraguan Ketiga
Sebagian ayat Al-Qur'an menjelaskan kemaksuman para nabi dan mereka dianggap sebagai orang-orang yang mukhlasin sehingga setan tidak mungkin dapat menggoda mereka sedikit pun. Akan tetapi di sisi lain, Al-Qur'an sendiri menyebutkan terjadinya pengaruh setan-setan pada diri mereka sebagaimana disebutkan dalam surah Al-A'raf, "Wahai Bani Adam, jangan sampai kalian dapat difitnah oleh setan sebagaimana dia dapat mengeluarkan ayah ibumu (Adam dan Hawa) dari surga." (QS. Al-A'raf: 27)
Ayat ini menjelaskan terjadinya tipu daya setan kepada Adam dan Hawa sehingga keduanya itu dikeluarkan dari surga.
Di dalam surah Shad ayat 41, Allah SWT berfirman (atas ucapan Ayub as), "Ketika dia (Ayub) menyeru kepada Tuhannya, 'Sesungguhnya aku diganggu oleh setan dengan kepayahan dan siksaan.'"
Pada ayat yang lain, Allah SWT berfirman, "Dan kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak pula seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai suatu keinginan, setanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginannya itu." (QS. Al-Hajj: 52)
Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan adanya gangguan setan pada seluruh Nabi.
Jawab: di dalam ayat-ayat tersebut tidak tampak pengaruh dan godaan setan yang mengakibatkan para nabi itu melanggar tugas-tugas yang dibebankan kepada mereka. Adapun ayat 27 dari surat Al-A'raf yang menjelaskan godaan setan kepada Adam dan Hawa untuk memakan pohon yang terlarang, tidak ada kaitannya dengan larangan "haram" memakan buah tersebut. Akan tetapi, larangan itu hanya merupakan peringatan kepada Adam dan Hawa bahwa apabila mereka memakan buah tersebut, mereka akan dikeluarkan dari surga dan diturunkan ke muka bumi. Dan godaan setan dalam ayat tersebut hanya menjelaskan pelanggaran Adam dan Hawa terhadap anjuran akal (irsyadi). Dan perlu diketahui bahwa alam tersebut bukan alam pembebanan syariat, karena ketika itu syariat belum diturunkan sama sekali.
Adapun ayat 41 pada surat Shad menjelaskan adanya kepayahan dan tantangan dari pihak setan terhadap Nabi Ayub as. Ayat itu sedikit pun tidak menunjukkan bahwa ia melanggar larangan dan perintah Allah SWT.
Sedang pada ayat 52 dari surat Al-Hajj berhubungan dengan berbagai rintangan yang dilakukan oleh setan terhadap para nabi dan hambatan-hambatan yang diletakkan di atas jalan-jalan yang akan menyampaikan mereka pada tujuannya dalam memberikan petunjuk kepada umat manusia. Dan akhirnya Allah SWT menghancurkan tipu daya setan dan mengokohkan agama yang hak.

Keraguan Keempat
Pada surah Thaha ayat 121, disebutkan adanya perbuatan maksiat yang dinisbahkan kepada Adam as. Dan surat yang sama ayat 115, kelupaan dinisbahkan kepada Nabi Adam as. Lalu bagaimana hal ini bisa selaras dengan kemaksuman beliau?
Jawab: berdasarkan pembahasan sebelumnya sudah dapat diketahui, bahwa maksiat dan kelupaan itu tidak ada hubungannya dengan taklif ilzami (kewajiban syariat).

Keraguan Kelima
Disebutkan di dalam Al-Qur'an bahwa kedustaan telah dinisbahkan kepada sebagian nabi-nabi. Di antara ayat-ayat yang menunjukkan hal itu adalah surah Shaffat ayat 89, yang menukil ucapan Nabi Ibrahim. Beliau berkata, "Sesungguhnya aku ini sakit", padahal ketika itu Nabi Ibrahim as tidak sakit.
Dan pada ayat 63 dari surah Al-Anbiya' Nabi Ibrahim berkata, "Bahkan yang melakukan penghancuran ini adalah yang paling besar yaitu ini", padahal beliau sendiri yang menghancurkan patung-patung itu. Kemudian pada surat Yusuf ayat 70, Allah SWT berfirman, "Kemudian berteriaklah seorang penyeru, 'Wahai kafilah, sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang mencuri'", padahal saudara-saudara Nabi Yusuf as tidak mencuri.
Jawab: sesungguhnya ucapan-ucapan tersebut bertujuan untuk tauriyah, yaitu mengehendaki makna yang lain demi sebagian maslahat yang lebih penting, sebagaimana diisyaratkan dalam sebagian riwayat. Juga dapat dipahami dari sebagian ayat tersebut bahwa ucapan-ucapan tersebut merupakan ilham Ilahi, sebagaimana kisah Nabi Yusuf ketika Allah berkata, "Demikianlah kami buat tipu daya untuk Nabi Yusuf." Alhasil, dusta semacam itu tidak dianggap maksiat dan tidak bertentangan dengan kemaksuman.

Keraguan Keenam
Terdapat dalam kisah Nabi Musa as, bahwa seorang yang berbangsa Qibti bertengkar dengan seorang laki-laki dari bangsa Israil. Kemudian Nabi Musa membunuh orang tersebut. Oleh karena itu, beliau kabur dan meninggalkan kota Mesir. Dan ketika diutus oleh Allah SWT untuk berdakwah kepada Fir'aun, beliau berkata, "Sesungguhnya aku mempunyai dosa kepada mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku." (QS. Asy-Syu'ara: 14)
Dan ketika Fir'aun mengingatkannya ihwal pembunuhan tersebut, Nabi Musa as berkata, "Ya, aku telah melakukannya, kalau begitu aku termasuk orang-orang yang sesat." (QS. Asy-Syu'ara: 20)
Kisah semacam ini bagaimana bisa sesuai dengan kemaksuman para nabi sebelum mereka diutus?
Jawab: pertama, pembunuhan yang terjadi atas seorang Qibti bukan merupakan kesengajaan, tetapi akibat dari pukulan Musa as yang secara kebetulan membuatnya mati.
Kedua, bahwa ayat yang berbunyi, "Sesungguhnya aku mempunyai dosa kepada bangsa Fir'aun" yang diucapkan oleh Nabi Musa adalah menurut pandangan Fir'aun. Maksud dari ucapan itu adalah bahwa Fir'aun itu menganggapku sebagai pembunuh dan pelaku dosa, karenanya aku kuatir mereka akan membunuhku sebagai pembalasan dendam.
Ketiga: adapun ungkapan "Dan aku termasuk orang-orang yang sesat" dalam ayat tersebut mengandung dua penafsiran, yaitu jika saat itu aku dikatakan sebagai orang-orang yang sesat, maka Allah telah memberi hidayah kepadaku dan Allah telah mengutusku dengan bukti-bukti yang meyakinkan. Penafsiran kedua adalah bahwa sesat di sini yaitu tidak mengetahui akibat suatu pekerjaan. Alhasil, ucapan Nabi Musa as itu tidak menunjukkan bahwa ia menyalahi taklif (tugas) Ilahi yang dibebankan kepadanya.

Keraguan Ketujuh
Kepada Nabi saw Allah SAW berfirman, "Apabila engkau masih ragu terhadap apa yang telah Aku turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada mereka yang membaca Kitab sebelummu. Telah datang kepadamu al-haq dari Tuhanmu, maka janganlah engkau termasuk orang-orang yang ragu." (QS. Yunus: 94)
Kemudian pada surah Al-Baqarah ayat 147, Ali 'Imran ayat 60, Al-An'am ayat 114, Hud ayat 17, dan As-Sajadah ayat 23, Allah melarang Rasul terhadap keraguan dan kebimbangan. Lalu, bagaimana bisa dikatakan bahwa beliau tidak merasa ragu dan bimbang dalam menerima wahyu Ilahi itu?
Jawab: sesungguhnya ayat-ayat ini tidak menunjukkan terjadinya keraguan dan kebimbangan pada diri Nabi saw sedikit pun. Ucapan itu hanya ditujukan untuk mengokohkan masalah wahyu, bahwa tidak ada peluang sedikit pun untuk keraguan dan kebimbangan di dalam risalah beliau, dan bahwa Al-Qur'an dan seluruh isinya itu adalah kebenaran. Pada hakekatnya, bentuk pengungkapan ayat itu senada dengan "Iyyaki 'anni wasma'i ya jaroh" (perhatikanlah aku dan dengarkanlah wahai jiran!).

Keraguan Kedelapan
Di dalam Al-Qur'an terdapat penisbahan sebagian dosa kepada Nabi saw, kemudian Allah SWT mengampuni dosa beliau itu. Allah SWT berfirman, "Agar Allah mengampunimu atas dosa-dosa yang telah lalu dan yang akan datang." (QS. Al-Fath: 2)
Bagaimana hal ini bisa sesuai dengan kemaksuman beliau?
Jawab: yang dimaksud dengan al-dzanbu (dosa) dalam ayat ini adalah dosa (kesalahan) yang dilontarkan oleh orang-orang musyrik kepada Nabi saw sebelum hijrah dan setelahnya, yaitu penghinaan beliau kepada patung-patung dan tuhan-tuhan mereka. Adapun maksud dari maghfirah (ampunan) ialah menghilangkan resiko perbuatan Nabi tersebut.
Bukti penafsiran semacam ini adalah bahwa Fathu Makkah (takluknya kota Mekah) merupakan sebab turunnya maghfirah Allah kepada beliau, sebagaimana firman Allah, "Sesungguhnya Kami telah memberikan kemenangan dengan nyata agar Allah memberikan maghfirah kepadamu atas segala kesalahanmu baik yang telah lalu maupun yang akan datang."
Apabila maksud dosa itu adalah dosa yang diistilahkan dalam syari'at, maka tidak ada alasan untuk menjadikan maghfirah sebagai sebab takluknya kota Mekah.

Keraguan Kesembilan
Al-Qur'an menceritakan pernikahan Rasul saw dengan istri Zaid bin Haritsah (anak angkat beliau) yang telah ditalak:
"Sesungguhnya engkau lebih takut kepada manusia, padahal Allah lebih berhak untuk engkau takuti".
Bagaimana hal ini bisa sesuai dengan kemaksuman beliau?
Jawab: pernikahan tersebut merupakan perintah Allah SWT untuk mengikis salah satu tradisi jahiliyah yang menyimpang, dimana anak angkat dianggap sebagai anak kandung sendiri. Ketika perintah itu turun, Rasul saw merasa kuatir bahwa mereka akan menduga-karena lemahnya iman mereka-bahwa Rasulullah mengawini bekas istri anak angkatnya sendiri karena nafsu pribadi beliau, beliau pun kuatir hal itu akan mengakibatkan mereka keluar dari Islam. Kemudian Allah SWT berfirman kepada beliau bahwa dalam memberantas adat jahiliyah yang menyimpang tersebut terdapat maslahat yang besar. Karenanya, lebih layak untuk melakukan perintah Allah itu daripada mengabaikannya. Dengan demikian, ayat tersebut bukanlah kecaman Allah SWT terhadap Rasul-Nya.

Keraguan Kesepuluh
Sesungguhnya Al-Qur'an mengecam Rasul saw pada beberapa peristiwa, di antaranya ketika beliau memberikan izin kepada beberapa orang untuk tidak ikut serta ke medan perang bersama beliau. Allah SWT berfirman, "Allah memberikan maaf kepadamu lantaran engkau telah memberikan izin kepada mereka untuk tidak ikut berperang."
Selain itu, ketika Rasul saw mengharamkan perkara yang dihalalkan syariat Islam demi menyenangkan hati sebagian istri beliau, Allah SWT berfirman:
"Wahai Nabi, Mengapa engkau mengharamkan apa yang Allah halalkan buatmu karena mengharapkan kesenangan istri-istrimu."
Bagaimana hal ini bisa sejalan dengan kemaksuman beliau?
Jawab: bentuk pengungkapan ayat-ayat itu pada hakikatnya adalah pujian dengan cara menegur, dimana perbuatan tersebut menunjukkan betapa Nabi saw memiliki belas kasih yang tinggi, sekalipun kepada orang munafik dan orang yang berniat busuk, karena beliau tidak membuat mereka berasa putus asa dan tidak pula mengungkap rahasia mereka. Demikian pula ketika beliau lebih mendahulukan kesenangan sebagian istri-istrinya daripada keinginan pribadinya, sehingga beliau mengharamkan perkara yang mubah dengan bersumpah. Hal ini-wal 'iyadzu billah-tidak berarti bahwa beliau mengubah hukum Allah dengan mengharamkan apa yang dihalalkan bagi umat manusia. Pada hakikatnya, ayat-ayat semacam ini menyiratkan adanya kesungguhan dan perhatian beliau yang besar untuk memberikan petunjuk kepada orang-orang kafir. Seperti pada ayat yang berbunyi, "Boleh jadi kamu akan membinasakan dirimu sendiri akibat mereka tidak mau beriman." (QS. Asy-Su'ara: 3).
Atau seperti ayat-ayat yang menunjukkan kesungguhan beliau yang besar dalam beribadah kepada Allah awt. Allah SWT berfirman, "Thaha, sesungguhnya Kami tidak menurunkan Al-Qur'an ini kepadamu agar engkau celaka." (QS. Thaha: 3)
Ala kulli hal, ayat-ayat semacam ini tidak menafikan kemaksuman Rasul saw.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini !
1. Apakah keunggulan usaha para Imam Maksum atas orang lain? Dan apakah ganjaran yang berhak diterima untuk perbuatan yang didasari oleh kemaksuman Ilahi?
2. Mengapa para nabi dan para wali Allah itu menganggap diri mereka sebagai orang-orang pendosa dan mereka selalu ber-tadharru' dan ber-istighfar kepada Allah?
3. Bagaimana pengaruh setan terhadap diri para Nabi itu bisa sejalan dengan kemaksuman mereka?
4. Bagaimana adanya maksiat dan kelupaan yang dinisbahkan oleh Al-Qur'an kepada Adam as bisa sesuai dengan kemaksuman beliau?
5. Apabila seluruh nabi itu maksum, mengapa masih saja keluar kedustaan dari Nabi Yusuf dan Nabi Irahim as?
6. Apakah keraguan yang dilontarkan sekitar kemaksuman Nabi Musa as? Sebutkan berikut jawabannya!
7. Apabila mengetahui wahyu itu tidak terdapat kekeliruan sama sekali, lalu mengapa Allah mencegah Nabi saw. untuk bersifat ragu dan bimbang dalam risalah-Nya?
8. Bagaimana bisa sejalan adanya dosa pada diri Rasul dalam surat al Fath dengan kemaksuman beliau?
9. Sebutkanlah keraguan yang berhubungan dengan cerita Zaid bin Haritsah? Dan berikan jawabannya?
10. Apakah keraguan sekaitan dengan kecaman Allah SWT kepada Rasul saw? Sebutkan pula jawabannya?



PELAJARAN 27
Mukjizat

Cara Membuktikan Kenabian
Masalah mendasar yang ketiga di dalam Kenabian adalah bagaimana umat manusia itu dapat mengakui kebenaran klaim para nabi yang hakiki dan mengingkari para pengaku nabi palsu? Tidak syak lagi, bahwa seseorang yang sesat dan pelaku maksiat, yang akal sehat dapat mengetahui keburukannya, tidak mungkin dipercaya dan dibenarkan. Hal itu dapat dibuktikan kedustaannya ketika ia mengaku sebagai seorang nabi jika kita mensyarati kemaksuman pada para nabi, khususnya ketika orang tersebut mengajak kepada hal-hal yang bertentangan dengan akal sehat dan fitrah manusia, atau ketika didapati kontradiksi dalam perkataannya. Ini dari satu sisi. Dari sisi lain, kehidupan dan tingkah laku yang bersih di masa lampau bagi seorang nabi akan membuat masyarakat dapat mempercayai klaimnya, khususnya bila pikiran sehat mereka pun menyaksikan kebenaran dakwahnya.
Begitu pula kenabian seseorang itu dapat dibuktikan kebenarannya dengan kabar, warta dan cerita dari nabi lainnya sehingga tidak ada lagi keraguan atau kebingungan sedikit pun bagi orang-orang yang mencari kebenaran bahwa dia adalah seorang nabi. Akan tetapi jika manusia tidak mengetahui adanya tanda-tanda dan bukti-bukti yang membuat mereka percaya dan kabar dari nabi yang lain pun tidak sampai kepada mereka, dalam hal ini diperlukan jalan lain untuk membuktikan kenabian tersebut. Dan Allah Yang Mahabijak telah menciptakan jalan ini dan melengkapi para Nabi dengan berbagai mukjizat sebagai tanda kebenaran pengakuan mereka yang dinamakan ayat-ayat.
Kesimpulannya bahwa pengakuan para nabi yang hakiki itu dapat dibuktikan kebenarannya melalui tiga cara:
Pertama, dengan adanya bukti-bukti yang membuat masyarakat percaya, seperti kejujuran, amanah, istiqamah dan tidak pernah menyimpang dari jalan yang hak dan keadilan sepanjang hidupnya. Akan tetapi cara ini tidak akan terwujud kecuali pada diri para nabi yang hidup di tengah masyarakat dalam waktu yang cukup panjang sehingga sejarah hidup mereka sudah dikenal dikalangan mereka. Adapun seorang nabi yang diutus dengan risalah kenabian pada usia muda dan sebelum diketahui perangai dan kepribadiannya oleh masyarakat, tidak mungkin kebenaran klaimnya itu dipastikan dengan cara semacam ini.
Kedua, dengan cara diperkenalkan oleh nabi sebelumya atau nabi lain yang hidup semasa dengannya. Cara ini khusus bagi masyarakat yang telah mengenal nabi lainnya dan telah mengetahui adanya kabar baik tersebut. Jelas bahwa cara ini tidak mungkin bisa diterapkan pada nabi yang pertama.
Ketiga, menampakkan mukjizat yang pengaruhnya lebih kuat dan lebih luas. Dari sinilah kami akan mengkaji cara ini.

Definisi Mukjizat
Mukjizat adalah perkara yang keluar dari kebiasaan manusia yang tampak pada diri seseorang yang mengaku sebagai Nabi dengan kehendak Allah SWT dan sebagai dalil akan kebenaaran pengakuannya. Perlu diperhatikan bahwa definisi tersebut mencakup tiga unsur:
o Adanya fenomena yang keluar dari kebiasaan manusia yang tidak bisa didapati dengan sebab-sebab yang wajar.
o Bahwa perkara yang keluar dari adat kebiasaan itu timbulnya dari para nabi dengan kehendak Ilahiyah dan izin dari-Nya secara khusus.
o Terjadinya perkara yang keluar dari kebiasaan seperti ini dapat dijadikan dalil atas kebenaran klaim seorang nabi. Perkara inilah yang dinamakan mukjizat.
Berikut ini kami akan menjelaskan ketiga unsur yang dikandung oleh definisi tersebut.

Kejadian-kejadian yang Luar Biasa
Fenomena semesta itu biasanya terjadi akibat dari sebab-sebab yang dapat diketahui melalui berbagai eksperimen, seperti fenomena fisika, kimia, biologi dan psikologi. Akan tetapi ada kejadian lainnya yang bisa terjadi dengan cara yang lain yang sebab-sebabnya tidak dapat diketahui melalui eksperimen indrawi. Begitu pula diketahui adanya bukti-bukti yang menunjukkan terjadinya kejadian semacam itu berawal dari sejumlah faktor yang khas, seperti perbuatan-perbuatan yang aneh yang dilakukan oleh para petapa (murtadhin). Para ahli dari berbagai ilmu telah memberikan kesaksian bahwa perbuatan semacam itu tidak mungkin terjadi sesuai dengan tatanan ilmu-ilmu empirik. Kejadian semacam ini dinamakan sebagai kejadian luar biasa.

Kejadian Ilahi yang Luar Biasa
Secara umum kejadian luar biasa itu dapat dibagi menjadi dua macam: pertama, kejadian yang sebab-sebabnya tidak wajar, akan tetapi masih dapat diusahakan oleh manusia, misalnya melalui pelatihan seperti perbuatan para petapa.
Kedua, perbuatan-perbuatan luar biasa yang tidak akan terwujud kecuali dengan izin Allah secara khusus, dan hanya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai hubungan dengan Allah SWT. Perbuatan ini memiliki dua keistimewaan: (1) tidak dapat dapat dipelajari, dan (2) tidak tunduk pada kekuatan lain yang lebih tinggi, bahkan tidak ada faktor apa pun yang dapat mengalahkannya.
Perbuatan luar biasa ini adalah untuk hamba-hamba pilihan Allah SWT, dan tidak dapat dijangkau oleh orang-orang yang sesat dan durhaka. Akan tetapi, ia tidak khususkan bagi para nabi saja, karena sebagian para wali pun dibekali kemampuan seperti itu. Oleh karena itu, dalam ilmu Kalam, semua itu tidak dinamakan mukjizat. Jika perbuatan seperti itu dilakukan oleh selain nabi dinamakan karomah. Begitu pula ilmu-ilmu Ilahi yang luar biasa itu tidak terbatas pada wahyu. Ketika ilmu itu diberikan kepada selain nabi, ia dapat disebut sebagai ilham atau tahdist.
Dari uraian di atas dapat kita ketahui cara untuk mengenal dan membedakan antara dua macam perbuatan luar biasa manusia; yang Ilahi dan yang non-Ilahi. Apabila perbuatan luar biasa itu dapat dipelajari atau ada faktor-faktor yang dapat menahan kejadiannya atau menggagalkan pengaruh-nya, itu bukanlah perbuatan luar biasa yang Ilahi, tetapi perbuatan dari setan dan hawa-nafsu, bahkan dapat dinilai sebagai kesesatan, kerusakan akidah dan akhlak pelakunya lantaran ia tidak berhubungan dengan Allah SWT.
Yang perlu dicatat di sini ialah bahwa Allah SWT bisa ditempatkan sebagai pelaku perbuatan luar biasa yang Ilahi tersebut, di samping Dia sebagai pelaku kejadian semua makhluk dan fenomena yang wajar, dari sisi bahwa kejadian perbuatan tersebut dengan izin khusus Allah SWT. Perbuatan itu bisa juga dinisbahkannya kepada makhluk-Nya seperti malaikat dan para nabi, dari sisi peran mereka sebagai mediator dan pelaku dekat. Sebagaimana Al-Qur'an menisbahkan ihwal menghidupkan mayit, menyembuhkan orang sakit dan menciptakan burung kepada Isa as. Dua penisbahan ini tidak kontradiktif, karena perbuatan hamba itu merupakan kepanjangan dari perbuatan Allah SWT.

Keistimewaan Mukjizat Para Nabi
Unsur ketiga di dalam definisi mukjizat ialah fungsinya sebagai bukti atas kebenaran klaim mereka sebagai nabi. Karenanya, suatu perbuatan luar biasa adalah mukjizat-menurut ilmu Kalam-jika ditampakkan sebagai dalil atas kenabian seorang nabi, di samping kaitan perbuatan itu kepada izin khusus Allah SWT. Apabila arti perbuatan tersebut diperluas lagi, maka akan mencakup seluruh perbuatan luar biasa yang merupakan bukti atas kebenaran klaim imamah. Maka itu, istilah karomah khusus untuk seluruh perbuatan luar biasa yang keluar dari para wali. Lawannya adalah perbuatan luar biasa yang berasal dari kekuatan ruh dan setan seperti sihir, perdukunan dan perbuatan para petapa. Selain dapat dipelajari, perbuatan seperti ini pun dapat digugurkan oleh kekuatan yang lebih hebat. Pembuktian bahwa hal itu tidak bersumber dari Allah biasanya dengan melihat kerusakan akhlak dan akidah pelakunya.
Hal lain yang perlu diperhatikan ialah bahwa mukjizat para nabi berfungsi untuk membuktikan secara langsung atas kebenaran klaim mereka sebagai nabi. Adapun kebenaran isi risalah, kemestian mentaati ajaran mereka, hanya dapat dibuktikan secara cara tidak langsung. Artinya, kenabian para nabi itu dapat dibuktikan oleh akal, adapun isi risalah mereka hanya bisa dibuktikan oleh wahyu (naqli).[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini !
1. Apakah cara untuk mengenal para nabi yang hakiki? Dan apakah perbedaan di antara cara-cara tersebut?
2. Apakah dalil atas pengakuan bohongan nabi palsu?
3. Berikan definisi mukjizat!
4. Apakah perbuatan yang luar biasa itu?
5. Apakah perbedaan antara perbuatan luar biasa yang Ilahi dan perbuatan luar biasa yang non-Ilahi?
6. Bagaimana mengenal perbuatan luar biasa yang Ilahi?
7. Apakah keistimewaan mukjizat para nabi atas semua perbuatan luar biasa Ilahi lainnya?
8. Jelaskan kedua istilah mukjizat dan karomah!
9. Apakah mukjizat itu perbuatan yang disandarkan kepada Allah SWT ataukah kepada nabi?
10. Apakah mukjizat itu dalil atas kenabian seorang nabi? Ataukah sebagai bukti atas kebenaran isi risalahnya?




PELAJARAN 28
Beberapa Keraguan dan Jawaban
Berikut ini adalah beberapa keraguan sekaitan dengan mukjizat dan jawaban-jawabannya.

Keraguan Pertama
Setiap kejadian material mempunyai sebab-sebab tertentu yang dapat diketahui secara empirik. Tidak diketahuinya sebab kejadian itu hanya karena terbatasnya sarana empiris tidaklah bisa dijadikan sebagai dalil atas ketiadaan sebab yang wajar pada kejadian tersebut. Maka itu, suatu kejadian hanya bisa diterima keluarbiasaannya bila terjadi dari sebab-sebab yang tak diketahui. Maksimalnya, pengetahuan akan sebab-sebabnya bisa dianggap sebagai mukjizat selama sebab-sebab itu belum diketahui. Adapun mengingkari sebab-sebab yang bisa diketahui melalui eksperimen empirik berarti menolak prinsip kausalitas, dan ini sulit diterima.
Jawab: prinsip kausalitas hanya menetapkan bahwa setiap realitas akibat memiliki sebab tertentu. Namun, statemen ini tidak berarti bahwa setiap sebab dapat diketahui melalui eksperimen ilmiah. Bahkan tidak ada dalil yang menunjukkan hal ini, karena lahan eksperimen itu terbatas pada hal-hal fisikal, dan sama sekali tidak dapat memastikan ada tidaknya hal-hal metafisikal, atau ada tidaknya pengaruh mereka.
Adapun penafsiran mukjizat sebagai pengetahuan akan sebab-sebab misterius, tidaklah tepat. Sebab, jika pengetahuan ini dapat diperoleh melalui sebab-sebab yang wajar, maka tidak akan ada bedanya dengan kejadian biasa lainnya, dan tidak dapat dikatakan sebagai perkara yang luar biasa.
Dan jika pengetahuan itu diperoleh melalui cara yang tak wajar, maka ia adalah perkara yang luar biasa, yang bersandar pada izin khusus Allah SWT dan munculnya itu sebagai bukti atas kebenaran klaim kenabian, juga tentunya bisa di-kategorikan sebagai mukjizat ilmu (mu'jizat ilmiyah), sebagaimana pengetahuan Isa as tentang apa yang akan dimakan oleh masyarakat dan apa yang akan mereka simpan dalam rumah-rumah mereka. Kenyataan ini dianggap sebagai mukjizat beliau. Akan tetapi, kita tidak dapat membatasi mukjizat hanya pada pengetahun seperti itu saja lalu menafikan selainnya.
Akhirnya, tersisa satu persoalan di sini, yaitu mengenai perbedaan antara peristiwa-peristiwa ini dengan peristiwa-peristiwa lain yang luar biasa sehubungan dengan hukum kausalitas.

Keraguan Kedua
Sunnatullah (hukum cipta Allah) berlaku bahwa setiap fenomena itu terjadi melalui sebab-sebab tertentu. Al-Qur'an menjelaskan, "Engkau tidak akan mendapatkan bagi sunah Allah itu pergantian dan juga engkau tidak akan mendapatkan bagi sunah Allah itu perubahan." (QS. Al-Isra': 77)[1]
Namun, kejadian luar biasa itu merupakan perubahan dan pergantian pada sunnahtullah dinafikan oleh ayat-ayat tersebut.
Jawab: keraguan ini sama dengan keraguan pertama dengan sedikit perbedaan, bahwa keraguan pertama berdasarkan argumentasi akal, sedangkan keraguan kedua bersandar pada ayat-ayat Al-Qur'an.
Jelas bahwa membatasi sebab-sebab berbagai kejadian hanya pada sebab-sebab wajar sebagai bagian dari sunnatullah yang tidak mungkin berubah adalah pandangan yang tidak berdasar. Sama halnya dengan pengakuan seseorang yang membatasi sebab panas hanya pada api sebagai bagian dari sunnatullah yang tidak mungkin berubah. Terhadap pandangan semacam ini perlu ditegaskan bahwa beragamnya sebab bagi berbagai akibat, dan adanya sebab-sebab luar biasa yang menempati sebab-sebab yang wajar merupakan kejadian yang selalu terjadi di alam ini, dan dianggap sebagai salah satu sunnatullah.Sedangkan membatasi sebab-sebab hanya pada sebab-sebab biasa dan wajar merupakan perubahan atas sunnatullah itu sendiri, yang dinafikan oleh ayat-ayat tersebut.
Alhasil, menafsirkan ayat-ayat yang menafikan perubahan dan pergantian dalam sunnatullah sebegitu rupa sehingga tidak ada sesuatu lain yang menempati posisi dan peran sebab-sebab biasa dan bahwa hal itu dianggap sebagai sunnatullah yang tidak berubah, adalah penafsiran yang keliru. Karena, banyak sekali ayat-ayat yang menunjukkan terjadinya mukjizat dan peristiwa-peristiwa luar biasa sebagai dalil yang kuat atas kesalahan penafsiran tersebut.
Dengan demikian, kita perlu mencari penafsiran yang benar dalam kitab-kitab tafsir. Pada kesempatan ini kami akan menyinggungnya secara ringkas. Bahwa ayat-ayat Al-Qur'an tersebut dimaksudkan untuk menafikan penceraian akibat dari sebabnya, tidak menafikan berbilang dan beragamnya sebab, tidak pula menafikan sebab yang tak wajar yang menempati sebab yang wajar. Bahkan dapat dikatakan bahwa kadar minimal yang bisa ditarik dari ayat-ayat tersebut ialah adanya pengaruh dari sebab-sebab yang tak wajar.

Keraguan Ketiga
Terdapat ayat-ayat Al-Qur'an yang menunjukkan desakan dan tuntutan yang berkali-kali dari sebagian orang agar Rasul saw mendatangkan mukjizat. Namun, beliau tidak mengabulkan tuntutan itu. Jika mukjizat adalah pembuktian atas kenabian, mengapa Rasul tidak menggunakan cara tersebut untuk membuktikan kenabiannya?
Jawab: ayat-ayat tersebut berkaitan dengan tuntutan yang mereka nyatakan atas dasar ingkar atau motif selain mencari kebenaran, setelah hujah atas mereka itu sempurna, dan setelah adanya bukti kebenaran kenabian Nabi saw dengan tiga cara; dalil yang benar, kabar dari para nabi sebelumnya dan menampakkan mukjizat. Maka, Hikmah Ilahiyah menuntut agar beliau tidak memenuhi tuntutan mereka tersebut.
Penjelasannya: bahwa tujuan ditampakkannya mukjizat-sebagai kejadian unik di dalam sistem cipta yang berkuasa di alam ini, yang terkadang terjadi demi memenuhi permintaan manusia (seperti peristiwa unta Nabi Saleh as), atau terjadi tanpa permintaan mereka (seperti mukjizat Nabi Isa as)-untuk memperkenalkan para nabi dan menyempurnakan hujah Allah SWT atas manusia, bukan untuk memaksa mereka agar menerima dakwah, tunduk dan taat secara terpaksa kepada para nabi, juga bukan untuk menghibur mereka dengan mempermainkan tata hukum kausalitas. Tujuan semacam ini tidak harus mengabulkan setiap tuntutan manusia. Bahkan, memenuhi tuntutan mereka terkadang bertentangan dengan tujuan dan Hikmah Ilahiyah, seperti menuntut perbuatan yang malah menutup pintu kehendak, usaha dan kebebasan, atau menuntut manusia untuk menerima dakwah para nabi, atau menuntut karena pengingkaran, atau karena tujuan-tujuan selain mencari kebenaran.
Apabila tuntutan-tuntutan semacam itu dipenuhi, justru mukjizat akan menjadi bahan olokkan, dan masyarakat berbondong-bondong untuk menyaksikannya sekadar mengisi waktu mereka di dalam hiburan dan hal-hal yang sia-sia tersebut, atau mereka akan berkumpul dan mengerumuni para nabi hanya untuk kepentingan pribadi belaka. Dari sisi lain pintu ujian, cobaan dan usaha bebas akan tertutup karena manusia akan mengikuti para nabi secara terpaksa akibat tunduk kepada faktor-faktor keterpaksaan. Kedua sisi tersebut bertentangan dengan Hikmah Ilahiyah dan tujuan ditampakkannya mukjizat tersebut.
Adapun selain tuntutan-tuntutan tersebut dan ketika Hikmah Ilahiyah sendiri yang menuntutnya, para nabi pasti akan memenuhi permintaan manusia, seperti halnya berbagai mukjizat yang pernah didatangkan oleh Rasul saw. Sebagian mukjizat beliau dinukil secara mutawatir di dalam banyak riwayat. Mukjizat yang terbesar dan abadi adalah Al-Qur'an Al-Karim. Hal ini akan kami bahas pada pelajaran berikutnya.

Keraguan Keempat
Dari kaitannya dengan izin khusus Allah, mukjizat dapat dijadikan sebagai bukti atas adanya hubungan khusus antara Allah dengan pembawa mukjizat tersebut yang membuktikan bahwa izin khusus Allah itu telah diberikan kepadanya.
Artinya, mukjizat tersebut terjadi melalui kekuasaan dan kehendaknya. Akan tetapi, secara logis hubungan ini tidak melazimkan adanya ikatan yang lain antara Allah SWT dan pembawa mukjizat, misalnya ia sebagai rasul-Nya yang telah menerima wahyu dari-Nya. Jadi, mukjizat tidak bisa dianggap sebagai dalil akal atas kebenaran klaim seseorang sebagai nabi. Maksimalnya, dalil itu hanyalah dalil dugaan (dzanni) dan persuasif (iqna'i).
Jawab: perbuatan luar biasa, sekalipun yang Ilahi, tidak menunjukkan adanya hubungan wahyu dengan sendirinya. Juga, karomah para wali itu tidak mungkin dianggap sebagai dalil atas kenabian mereka. Akan tetapi, fokus kita di sini adalah seseorang yang mengklaim kenabian dan menampakkan mukjizat sebagai dalil atas kebenaran klaimnya tersebut.
Atas dasar itu, jika kita berasumsi bahwa orang yang mengaku nabi itu dusta, ia telah melakukan maksiat paling besar, dan perbuatannya tersebut akan berdampak buruk, di dunia maupun di akhirat. Jelas, orang seperti ini sama sekali tidak patut untuk menjalain hubungan khusus itu dengan Allah SWT. Selain itu, Hikmah Ilahiyah tidak mungkin membekali orang tersebut dengan kemampuan menampakkan mukjizat yang akan dijadikan sebagai alat untuk menyesatkan dan menyelewengkan umat mansuia.
Kesimpulannya, akal itu dapat mengetahui dengan jelas bahwa seseorang yang pantas menjalin hubungan khusus dengan Allah SWT dan layak untuk dibekali kemampuan menampakkan mukjizat, hanyalah orang yang tidak mungkin berbuat khianat kepada Tuhannya dan tidak akan menjadikan mukjzat itu sebagai alat untuk menyesatkan dan menyeng-sarakan manusia selama-lamanya.
Dengan demikian, menampakkan mukjizat merupakan dalil akal yang pasti untuk membuktikan kebenaran dan kejujuran seseorang atas pengakuannya sebagai nabi.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Apakah statemen prinsip kausalitas itu? Dan apakah kelaziman yang muncul darinya?
2. Mengapa mengakui prinsip kausalitas tidak menafikan ihwal mukjizat?
3. Mengapa penafsiran mukjizat sebagai pengetahuan akan sebab-sebab yang tidak diketahui itu tidak benar?
4. Apakah mengakui mukjizat menafikan sunnatullah pada perubahan di alam ini? Mengapa?
5. Apakah para nabi itu mendatangkan mukjizat di awal kenabian mereka? Ataukah mereka mendatangkannya untuk memenuhi tuntutan sebagian orang?
6. Mengapa para nabi tidak memenuhi setiap tuntutan orang agar menampakkan mukjizatnya?
7. Jelaskanlah pikiran berikut ini: bahwa mukjizat bukanlah dalil dugaan untuk memuaskan semata, tetapi ia adalah dalil akal untuk membuktikan kebenaran pengakuan kenabian seseorang!
________________________________________
[1] Al-Ahzab: 62, Al-Fathir: 43, dan Al-Fath: 23.



PELAJARAN 29
Beberapa Keistimewaan Para Nabi

Berbilangnya para Nabi
Sampai di sini, kita telah membahas tiga masalah pokok mengenai prinsip Kenabian, dan kita sampai pada satu kesimpulan bahwa beranjak dari dangkalnya pengetahuan manusia untuk mencapai berbagai pengetahuan yang dapat menyampaikannya kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, maka Hikmah Ilahiyah menuntut dipilihnya seorang atau beberapa nabi yang diberi berbagai ajaran dan hakikat yang penting untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia secara utuh dan selamat dari berbagai kekaburan dan penyimpangan.
Dari sisi lain, para nabi itu dituntut menyampaikan risalahnya kepada seluruh umat sehingga hujjah menjadi lengkap atas mereka. Cara yang terbaik dan lebih merata untuk hal ini ialah dengan memperlihatkan mukjizat. Dan kami telah membuktikan masalah tersebut melalui dalil akal. Akan tetapi dalil-dalil tersebut tidak menunjukkan banyaknya jumlah para nabi, kitab-kitab dan ajaran-ajaran samawi. Apabila kita berasumsi bahwa kondisi kehidupan umat manusia itu memungkinkan seorang Nabi untuk menerangkan apa yang mereka butuhkan sampai penghabisan alam ini, dimana setiap individu atau kelompok di sepanjang sejarah dapat mengenal tugas-tugas dan kewajibannya melalui risalah nabi tersebut, maka hal itu tidak menyimpang dari dalil-dalil. Akan tetapi, perlu kita ketahui bahwa:
Pertama: usia manusia itu-siapa pun, termasuk para nabi-terbatas. Dan hikmah diciptakannya makhluk tidak menuntut nabi yang pertama agar hidup sampai penghabisan alam untuk membimbing seluruh umat manusia seorang diri.
Kedua: bahwa situasi dan kondisi kehidupan manusia pada setiap zaman dan tempat tidaklah sama, khususnya dengan melihat adanya kesulitan yang berangsur-angsur yang menimpa hubungan sosial, tentunya dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas tata hukum dan sistem sosial. Bahkan terkadang hal itu menuntut dibentuknya undang-undang yang baru. Jika diasumsikan bahwa penjelasan dan penyampaian undang-uundang semacam itu dilakukan oleh seorang nabi yang diutus sebelum ribuan tahun, sudah pasti penjelasan dan penyampaian undang-undang tersebut akan menjadi sia-sia belaka, di samping juga sangat sulit menjaga dan menjalankannya di dalam bidang-bidang tertentu.
Ketiga: pada umumnya, di masa lampau belum ada sarana informasi dan media cetak untuk menyebarkan dakwah para nabi yang memungkinkan seorang nabi untuk dapat menyampaikan risalahnya kepada seluruh umat manusia di muka bumi ini.
Keempat: ajaran para nabi itu terkadang mengalami penyimpangan, penyelewengan dan penafsiran yang keliru-akibat beberapa faktor-di tengah masyarakat yang menerima ajaran tersebut di sepanjang berlalunya masa. Kemudian selang beberapa masa, boleh jadi ajaran tersebut telah berubah menjadi agama yang kabur dan menyimpang. Sebagaimana dapat kita perhatikan hal ini yang terjadi pada ajaran Nabi Isa as yang telah berubah menjadi agama yang berideologi trinitas.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut menjadi jelas Hikmah Ilahi dalam hal berbilangnya para nabi dan berbedanya syariat-syariat samawi tentang sebagian hukum ibadah dan sosial, walaupun syariat-syariat itu sama di dalam prinsip-prinsip akidah dan akhlak, juga di dalam hukum-hukum pribadi dan sosial. Misalnya, shalat disyariatkan pada semua agama samawi, kendati umatnya berbeda cara melakukannya atau berbeda kiblatnya. Demikian pula dengan zakat dan infak. Zakat dan infak ini disyariatkan dalam semua ajaran samawi, sekalipun kadar dan tempatnya berbeda-beda.
Di atas segalanya, diwajibkan bagi setiap orang untuk mempercayai seluruh nabi tanpa membeda-bedakan kenabian mereka, apalagi mendustakan ajaran dan hukum-hukum yang mereka bawa. Karena mendustakan seorang saja di antara mereka berarti mendustakan semuanya. Dan mengingkari satu hukum Ilahi saja itu berarti mengingkari seluruh hukum-hukum Allah SWT. Tentunya, tugas setiap umat pada setiap zaman ialah mengikuti dan mengamalkan ajaran-ajaran yang dibawa oleh nabi mereka pada zamannya masing-masing.
Satu hal yang perlu diperhatikan di sini ialah bahwa sekalipun akal manusia mampu mengetahui hikmah berbilangnya para nabi, keragaman kitab-kitab samawi dan perbedaan syariat Ilahi, namun akal tidak dapat mengetahui secara pasti ihwal kapan dan di mana nabi yang baru itu harus diutus dan syariat yang baru itu harus diturunkan. Akal manusia hanya mampu mengetahui bahwa nabi yang baru itu tidak perlu diutus lagi apabila kehidupan masyarakat berada pada kondisi dimana seluruh dakwah para nabi itu sampai dan didengar oleh seluruh umat manusia, dan tetap terjaga keutuhannya untuk generasi yang akan datang, dan perubahan kondisi sosial tidak menuntut penurunan syariat yang baru, atau pengubahan atas hukum-hukum yang ada.

Jumlah Para Nabi
Telah kami jelaskan pada pelajaran yang lalu, bahwa akal tidak mempunyai jalan lain untuk mengetahui jumlah para nabi dan kitab-kitab samawi, dan tidak mudah baginya untuk membuktikan hal-hal yang semacam ini kecuali bersandar kepada penjelasan wahyu. Meskipun Al-Qur'an telah men-jelaskan bahwa Allah SWT telah mengutus setiap nabi untuk setiap umat, akan tetapi tidak menjelaskan jumlah yang pasti, baik jumlah umat maupun jumlah para nabinya. Al-Qur'an hanya menyebutkan nama-nama sejumlah kira-kira 20 nabi atau lebih sedikit, dan menjelaskan kisah-kisah sebagian mereka tanpa menjelaskan nama-nama mereka.
Di dalam sebagian riwayat yang datang dari Ahlul Bait as dijelaskan bahwa Allah SWT telah mengutus sebanyak 124.000 nabi, dan mata rantai para nabi itu dimulai dari Nabi Adam as (bapak manusia) dan diakhiri oleh Nabi Muhammad saw.
Di samping status kenabian yang menunjukkan kedudukan khas Ilahi, nabi-nabi Allah itu mereka memiliki sifat-sifat yang lain seperti: an-nadzir atau al-mundzir (pemberi ancaman), al-basyir atau al-mubasysyir (pemberi harapan). Dan mereka termasuk as-shalihin (orang-orang soleh) dan al-mukhlashin (orang-orang yang dituluskan oleh Allah). Bahkan sebagian dari mereka telah mencapai derajat ar-risalah (kerasulan). Dalam sebagian riwayat diterangkan bahwa rasul Allah itu sebanyak 313 orang. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami akan membahas istilah an-nubuwah dan al-risalah dan perbedaan antara nabi dan rasul.

Kenabian dan Risalah
Kata ar-rasul berarti pembawa risalah. Dan kata an-nabi, bila diderivasi dari kata naba'a, berarti pembawa berita penting. Akan tetapi, bila diambil dari kata nubuw, maka ia berarti seseorang yang mencapai peringkat tinggi nun mulia.
Sebagian ulama meyakini bahwa pengertian an-nabi itu lebih luas daripada pengertian al-rasul, karena nabi ialah seseorang yang menerima wahyu dari Allah SWT, apakah ia diperintahkan untuk menyampaikannya kepada orang lain ataukah tidak. Sedangkan rasul ialah seorang yang mendapatkan wahyu dari Allah SWT seraya diperintahkan untuk menyampaikannya.
Akan tetapi, penafsiran ini tidaklah tepat. Karena dalam Al-Qur'an telah disinggung sifat an-nabi setelah al-rasul. Padahal sesuai dengan penafsiran di atas, seharusnya sifat yang mengandung pengertian al-'alim-yaitu an-nabi-disebutkan sebelum sifat khusus, yakni al-rasul. Di samping itu, tidak ada dalil yang menunjukan kekhususan perintah menyampaikan wahyu itu atas para rasul saja. Terdapat di dalam beberapa riwayat, bahwa pemegang kedudukan kenabian itu hanya dapat melihat Malaikat Wahyu di dalam mimpi, dan mendengar suaranya ketika terjaga saja. Sedangkan pemegang kedudukan risalah itu dapat menyaksikan Malaikat Wahyu ketika ia terjaga pula. Meski begitu, perbedaan semacam ini tidak dapat diterapkan pada pengertian dua kata tersebut. Barangkali yang bisa diterima adalah bahwa mishdaq nabi-bukan pengertiannya-itu lebih umum ketimbang mishdaq rasul. Artinya, seluruh nabi itu memiliki kedudukan kenabian. Adapun kedudukan risalah hanya dikhususkan pada sekelompok dari mereka.
Adapun jumlah para rasul-berdasarkan riwayat terdahulu, adalah 313 orang. Tentunya, kedudukan mereka lebih tinggi daripada kedudukan seluruh nabi. Sebagaimana di antara para rasul itu sendiri tidak sama kedudukan, derajat dan keutamaan satu sama lainnya, sebab sebagian mereka dapat mencapai kedudukan imamah juga.

Nabi-nabi Ulul 'Azmi
Al-Qur'an menyebut sejumlah nabi sebagai ulul azmi, akan tetapi tidak menjelaskan ciri-ciri mereka. Dari riwayat-riwayat Ahlul Bait as, dapat dipahami bahwa jumlah nabi ulul azmi itu adalah lima, yaitu-sesuai runutan zamannya-Nabi Nuh as, Nabi Ibrahim as, Nabi Musa as, Nabi Isa as dan Nabi Muhammad saw. Adapun keistimewaan yang mereka sandang, di samping sifat tabah yang tinggi dan istiqomah yang teguh, Al-Qur'an pun telah menyinggung bahwa masing-masing mereka mempunyai kitab dan syari'at yang khas. Dan syari'at mereka itu diikuti oleh nabi yang lainnya, yang semasa atau yang datang kemudian, sampai diutus nabi ulul 'azmi yang lain dengan membawa kitab dan syari'at yang baru.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa sangat mungkin dua orang nabi itu bertemu dan berkumpul dalam satu masa, sebagaimana Nabi Luth hidup sezaman dengan Nabi Ibrahim as, Nabi Harun as dengan Nabi Musa as, dan Nabi Yahya as dengan Nabi Isa as

Beberapa Catatan Penting
Di akhir pelajaran ini, kami akan menyinggung beberapa masalah secara singkat:
Pertama, antara satu nabi dengan nabi yang lain, terdapat kesaksian yang saling membenarkan; nabi sebelumnya memberikan kabar gembira tentang kedatangan nabi berikutnya. Oleh karena itu, seorang yang mengaku sebagai nabi, apabila ia diingkari oleh para nabi sebelumnya, atau yang sezaman dengannya, maka ia dianggap sebagai pendusta.
Kedua, para nabi Allah sama sekali tidak meminta balasan dari umat manusia atas risalah dan tugas yang mereka bawa. Dan Rasul saw sama sekali tidak pernah meminta upah dari umatnya atas risalah yang beliau sampaikan, selain wasiat beliau agar mereka mencintai Ahlubait beliau. Dan beliau sangat menekankan agar mereka mengikuti dan berpegang teguh pada Ahlubait. Pada hakikatnya, maslahat wasiat Rasul saw tersebut hanya untuk umat manusia itu sendiri.
Ketiga, sebagian nabi Allah itu mempunyai kedudukan Ilahi lainnya, seperti kekuasaan memutuskan hukum pengadilan. Sebagian dari para nabi terdahulu yang mempunyai kedudukan tersebut adalah Nabi Daud as dan Nabi Sulaiman as Dari surah An-Nisa' ayat 64-yang menjelaskan wajibnya mentaati semua rasul secara mutlak-dapat dipahami bahwa para rasul itu memiliki kedudukan tersebut.
Keempat, sebagian jin-sebagai makhluk yang memiliki kewajiban syariat dan kebebasan memilih, dimana manusia tidak dapat melihat mereka pada kondisi yang wajar-dapat mengetahui dakwah dan ajaran para nabi Allah. Sebagian dari mereka yang saleh dan bertakwa telah beriman. Di antara mereka adalah pengikut Nabi Musa as dan Nabi Muhammad saw. Sebagaimana sebagian mereka ada juga yang kafir dan ingkar kepada para nabi karena mengikuti setan yang terkutuk.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini !
1. Jelaskan hikmah dan sebab berbilangnya para nabi!
2. Apakah tugas umat manusia terhadap dakwah dan ajakan para nabi?
3. Dalam kondisi yang bagaimanakah nabi yang baru itu tidak perlu diutus?
4. Sebutkan jumlah para nabi dan rasul?
5. Apakah perbedaan antara nabi dan rasul? Dan apakah hubungan antara keduanya ditinjau dari sisi arti (konsep) dan wujud mereka?
6. Dengan kedudukan Ilahi apakah sebagian nabi itu mengungguli yang lainnya?
7. Siapakah para nabi ulul 'azmi itu? dan apakah ciri-ciri dan keistimewaan mereka?
8. Apakah mungkin sejumlah nabi berkumpul pada satu masa? Jika mungkin terjadi, tunjukkan faktanya!
9. Apakah sifat-sifat para nabi Allah lainnya?
10. Bagimanakah sikap jin terhadap para nabi dari sisi kekafiran dan keimanannya?




PELAJARAN 30 

Manusia dan Para Nabi
Ketika Al-Qur'an menyebutkan para nabi terdahulu, menjelaskan sebagian dimensi kehidupan mereka yang penuh berkah, serta menghilangkan upaya-upaya penyelewengan-secara disengaja maupun tidak-dari lembaran sejarah mereka yang gemilang, itu berarti bahwa Al-Qur'an menaruh perhatian yang besar terhadap umat manusia dalam menyikapi mereka.
Di satu sisi, Al-Qur'an menjelaskan sikap umat manusia terhadap para nabi Allah dan faktor-faktor yang menyebabkan mereka mengingkari para nabi tersebut. Di sisi lain, Al-Qur'an memberikan gambaran ihwal petunjuk, hidayah dan pendidikan para nabi dan cara-cara memberantas faktor-faktor kekufuran dan kemusyrikan. Al-Qur'an juga menjelaskan hubungan-hubungan sabab-akibat dalam pengelolaan masyarakat, khususnya hubungan imbal-balik antara manusia dan para nabi yang meliputi hal-hal penting dan berbagai manfaat yang membuahkan hasil pendidikan yang unggul.
Pembahasan semacam ini, walaupun tidak berhubungan secara langsung dengan masalah-masalah akidah dan Kalam, akan tetapi mengingat hal ini dapat menjelaskan masalah-masalah kenabian dan dapat menghilangkan berbagai kesamaran, dan mengingat pengaruhnya yang positif dalam upaya perbaikan dan pembinaan umat manusia, serta kandungan pelajaran dari peristiwa-peristiwa sejarah yang sebegitu penting, maka pembahasan mengenai hal itu amat berguna dan diperlukan. Oleh karena itu, kami akan menjelaskan berbagai hal penting yang berkaitan pada pelajaran ini.

Sikap Umat Terhadap Para Nabi
Ketika para nabi menyeru umat manusia untuk menyembah Allah Yang Esa, mentaati segenap ajaran-Nya, meninggalkan tuhan-tuhan mereka yang batil, menolak ajakan setan dan penguasa zalim, memerangi kezaliman, kerusakan, maksiat dan berbagai perbuatan mungkar, mereka menghadapi penentangan dari masyarakat, terutama dari para penguasa yang zalim, orang-orang kaya, orang-orang yang suka berfoya-foya, dan orang-orang yang bangga dengan harta dan kedudukan, atau dengan ilmu, budaya dan pendidikan mereka. Mereka mengerahkan semua tenaga dan kekuatan untuk menghadapi para nabi, menghadang dakwah mereka dan mengajak kelompok-kelompok lainnya untuk bersekongkol dengan mereka dan menghalangi orang-orang dari mengikuti kebenaran.
Akan tetapi secara berangsur-angsur, sebagian kelompok yang mayoritas berasal dari golongan bawah menerima dakwah para nabi. Sedikit sekali masyarakat yang terbentuk di atas akidah yang benar, keadilan dan ketaatan kepada perintah Allah dan para nabi-Nya, sebagaimana yang terlihat pada masa Nabi Sulaiman as. Meski begitu, sebagian ajaran para nabi dapat menyusup ke tengah-tengah budaya masyarakatnya lalu menyebar ke masyarakat yang lain sehingga banyak yang mengambil manfaat darinya. Bahkan terkadang sebagian ajaran para nabi itu dilontarkan sebagai penemuan baru para pemimpin kekufuran, padahal mereka menukilnya dari syariat-syariat samawi, kemudian mereka melontarkannya sebagai pandangan yang baru tanpa menyebutkan sumbernya yang asli.

Faktor dan Motif Penentangan
Di samping faktor-faktor umum seperti: rasa ingin bebas dan mengikuti hawa-nafsu, terdapat faktor-faktor dan motif-motif lainnya dalam penentangan terhadap para nabi, antara lain sifat congkak, egoisme, dan arogansi. Galibnya, sifat-sifat ini tampak di kalangan elite dan kaya di masyarakatnya. Faktor lainnya adalah fanatisme, berpegang teguh pada tradisi leluhur mereka yang keliru. Demikian pula mempertahankan kepentingan ekonomi dan status sosial merupakan motif yang kuat bagi orang-orang kaya, para penguasa dan para ilmuwan dalam mengambil sikap terhadap para nabi.
Dari sisi lain, kebodohan dan tidak adanya kesadaran masyarakat juga berperan besar yang membuat mereka tertipu dan jatuh ke dalam perangkap thaghut (para penguasa zalim), bertaklid buta kepada para tokoh, dan mengikuti kebanyakan orang, serta menyebabkan manusia lebih condong mengikuti dugaan dan keyakinan mereka serta menolak agama yang hanya diikuti oleh kelompok kecil saja. Terlebih lagi, orang-orang mutadayyin (yang taat pada agama) tidak mempunyai kedudukan sosial yang berarti di tengah masyarakat, bahkan mereka itu adalah orang-orang yang tersingkir dari kaum elite dan mayoritas. Di samping itu semua adalah tekanan dari pihak-pihak yang berkuasa.

Metode Penentangan
Para penentang nabi telah menggunakan berbagai macam metode untuk menentang dakwah para nabi. Di antara metode tersebut ialah:

a. Menghina dan Mengejek
Pada mulanya, mereka berusaha membunuh para nabi, atau menyingkirkan mereka dengan cara menghina dan mencemooh sehingga masyarakat mengambil sikap acuh tak acuh terhadap dakwah para nabi.

b. Dusta dan Fitnah
Lalu, mereka menggunakan cara-cara bohong, fitnah dan tuduhan yang keji; bahwa Rasul itu, misalnya, dungu atau gila. Tatkala beliau mendatangkan mukjizat, mereka menuduhnya sebagai penyihir. Mereka juga menyebut risalah nabi itu sebagai semata-mata dongeng dusta.

c.Debat dan Mughalathah
Ketika para nabi berbicara di hadapan umat dengan bahasa yang penuh hikmah dan argumentasi yang kuat, atau berdialog dengan mereka melalui debat sebaik mungkin, menasihati dan mengingatkan mereka akan bahaya kekafiran, kemusyrikan dan pengingkaran, menjelaskan kepada mereka bahwa iman dan ibadah kepada Allah SWT. itu akan mendatangkan keuntungan, dan memberikan kabar gembira kepada kaum mukmin dan orang-orang yang beramal saleh akan kebahagiaan dunia dan akherat.
Melihat kondisi semacam ini, para tokoh kafir berusaha mencegah umat dari mendengarkan ajakan para nabi tersebut. Kemudian mereka berusaha menjawab ajakan tersebut dengan logika yang lemah. Mereka juga berusaha menipu masyarakat dengan retorika yang secara lahiriah menarik, serta mencegah mereka dari mengikuti ajakan para nabi. Untuk itu, biasanya mereka menggunakan cara-cara dan adat yang biasa dipakai oleh nenek moyang mereka dalam menghadapi ajakan para nabi itu, misalnya dengan harta dan kekuatan materi yang mereka miliki.
Kaum penentang selalu menjadikan para pengikut nabi yang miskin dan lemah sebagai dalil atas ketidakbenaran akidah dan perilaku mereka. Kemudian mereka mencari-cari berbagai alasan untuk membendung dakwah nabi seperti: mengapa Allah tidak mengutus para nabi-Nya itu dari malaikat? Atau, mengapa Allah tidak mengutus malaikat bersama para nabi? Atau, mengapa para nabi itu tidak memiliki kekayaan yang melimpah dan kehidupan yang menonjol? Puncak penentangan ialah tatkala mereka mengatakan, "Kami tidak akan beriman sampai Allah menurunkan wahyu kepada kami sendiri, atau kami dapat melihat Allah dengan jelas dan mendengar perkataan-Nya tanpa perantara."

d. Ancaman dan Propaganda
Metode lain yang digunakan oleh kebanyakan umat sebagaimana dikisahkan oleh Al-Qur'an ialah mengancam para nabi dan pengikut mereka, dan menakut-nakuti dengan berbagai macam intimidasi, seperti mengusir mereka dari kota, melempari mereka dengan batu-batu, atau membunuh mereka.[1] Dari sisi lain, mereka menggunakan propaganda yang memikat, terutama melalui harta yang melimpah demi mencegah manusia dari mengikuti ajakan para nabi.[2]

e.Kekerasan dan Pembunuhan
Akhirnya, melihat kesabaran dan keteguhan para nabi, dan menyaksikan ketegaran pengikut mereka yang setia, dan setelah merasa putus asa dari berbagai sarana dan cara untuk membendung dakwah para nabi, mereka membunuh para nabi itu agar umat manusia terhalangi dari wujud mereka sebagai karunia Ilahi yang paling besar dan penyelamat masyarakat yang agung.[3]

Sunnatullah dalam Pengelolaan Umat
Sesungguhnya tujuan utama diutusnya para nabi ialah untuk membimbing umat manusia agar memperoleh pengetahuan yang cukup, menyampaikan mereka kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, serta menutupi kekurangan mereka-lantaran terbatasnya akal dan pengalaman mereka-dengan menurunkan wahyu. Singkatnya, tujuan utama itu ialah menyempurnakan hujjah atas mereka.[4] Akan tetapi, ketika para nabi itu diutus, Allah SWT dengan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada hamba-hamba-Nya dan melalui pengaturan-Nya yang bijaksana, melengkapi mereka dengan kondisi jiwa sehingga mereka dapat menerima dakwah nabi dan membimbing manusia dalam menempuh jalan kesempurnaan.
Mengingat faktor terbesar pengingkaran, penyimpangan dan penolakan terhadap Allah dan para nabi adalah rasa tidak butuh[5] dan lalai akan sebegitu luasnya kebutuhan makhluk, maka Allah Yang Mahabijak menyiapkan kondisi dan sebab-sebab yang mendorong manusia agar dapat menyadari kebutuhan dan kepentingan mereka, juga untuk menyelamatkan mereka dari kelalaian, kecongkakan dan fanatisme.[6] Maka itu, Allah menguji mereka dengan berbagai macam ujian, bencana dan musibah agar mereka merasa dan mengakui kelemahannya kemudian tunduk di hadapan Allah SWT.
Akan tetapi faktor inipun tidak berpengaruh secara merata dan menyeluruh, sebab masih banyak sekali manusia-khususnya orang-orang yang memiliki kekayaan materi yang melimpah-yang hidup dalam usia yang panjang di dalam kesenangan dan kezaliman terhadap orang lain. Dalam gambaran Al-Qur'an, mereka bagaikan batu bahkan lebih keras.[7] Mereka tidak sadar akan kelalaian mereka, bahkan senantiasa tenggelam dan terus berjalan dalam kesesatan, sakalipun mereka telah ditimpa berbagai bencana. Nasehat dan peringatan para nabi tidak lagi berarti bagi mereka sama sekali. Dan ketika Allah mengangkat azab dan bencana dari mereka lalu mengembalikan nikmat-Nya kepada mereka, mereka berkata, "Kesusahan sudah biasa terjadi di dunia ini, seperti yang menimpa nenek-nenek moyang kita",[8] lalu mereka kembali berbuat maksiat dan menumpuk harta kekayaan dan menghimpun kekuatan. Mereka lalai bahwa semua itu merupakan ujian Ilahi yang dapat membuat mereka sengsara, baik di dunia maupun di akhirat.
Alhasil, ketika pengikut dan pembela para nabi telah mencapai jumlah yang memungkinkan untuk membentuk sebuah masyarakat yang mandiri, dapat menjaga dan membela diri serta memerangi musuh-musuh Allah, mereka diperintahkan untuk melakukan jihad.[9] Ketika itulah azab Allah akan ditimpakan kepada orang-orang yang kafir melalui kekuatan orang-orang mukmin.[10] Jika kondisi tidak memungkinkan, kaum mukmin diperintahkan oleh para nabi untuk menghindar dan menjauhi orang-orang kafir karena azab dan bencana Ilahi-melalui jalan lainnya-akan diturunkan ke atas umat penentang yang tidak dapat diharapkan lagi kebaikannya, dan mereka tidak mungkin kembali ke naungan Ilahi.[11] Inilah sunnatullah yang tidak mungkin berubah dan berganti dalam mengatur kehidupan umat manusia.[12][]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini !
1. Terangkan sikap-sikap umat manusia terhadap dakwah para nabi?
2. Sebutkan faktor-faktor dan motif yang mendorong mereka sehingga menentang nabi!
3. Apakah sarana yang digunakan oleh orang-orang yang menentang nabi?
4. Sebutkan sunnatullah sekaitan dengan diutusnya para nabi dan sikap umat terhadap mereka!
________________________________________
[1] Lihat surah Ibrahim: 13, Hud: 91, Maryam: 36, Yasin: 18, dan Ghafir: 26.
[2] Lihat surah Al-Anfal: 36.
[3] Lihat surah Ibrahim: 12, Al-Baqarah: 61, 87, 91, Ali 'Imran: 21 dan 112, 181, Al-Ma'idah: 70, dan An-Nisa': 155.
[4] Lihat surah An-Nisa': 65, dan Thaha: 134.
[5] Lihat surah Al-'Alaq: 6.
[6] Lihat surah Al-An'am: 42 dan Al-A'raf: 94.
[7] Lihat surah Al-An'am: 43 dan Al-Mu'minun: 76.
[8] Lihat surah Al-A'raf: 95, 182, 183, Ali 'Imran: 178, At-Taubah: 55-58, dan Al-Mu'minun: 54-56.
[9] Lihat surah Ali 'Imran: 146.
[10] Lihat surah At-Taubah: 14.
[11] Lihat surah Al-'Ankabut: 40, dan di surah-surah lainnya.
[12] Lihat surah Fathir: 43, Ghafir: 85, dan Al-Isra': 77.



PELAJARAN 31

Nabi Islam

Mukadimah
Puluhan ribu nabi telah diutus sepanjang sejarah hidup manusia di berbagai penjuru dunia. Mereka melakukan tugas dengan sebaik-baiknya dalam memberi petunjuk dan mendidik umat, serta meninggalkan berkah yang besar pada mereka. Para nabi telah mendidik masyarakat atas dasar akidah yang benar dan nilai-nilai yang tinggi yang memiliki pengaruh secara tidak langsung kepada umat lainnya. Bahkan sebagian dari mereka telah berhasil membangun masyarakat mukmin yang berdiri di atas landasan Tauhid dan keadilan. Para nabi itu sendiri berperan sebagai pembimbing dan pemimpin mereka.
Di antara para nabi, ada yang mempunyai keistimewaan di atas yang lainnya. Mereka adalah Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa as, karena Allah SWT telah menurunkan kepada mereka kitab-kitab samawi yang mencakup berbagai hukum yang bersifat individu maupun sosial, berbagai ajaran dan tugas moral, serta undang-undang yang sesuai dengan situasi dan kondisi mereka. Kitab-kitab dan ajaran tersebut berada di tengah mereka, yang darinya mereka mendapatkan arahan menganai kehidupan yang lebih baik di dunia dan akhirat.
Namun, ada sebagian kitab-kitab itu hilang sama sekali di sepanjang zaman, ada pula yang telah diselewengkan dan diubah, baik teks maupun maknanya. Akibatnya, agama-agama dan syariat-syariat samawi tersebut menjadi pudar, sebagaimana Taurat Musa as telah mengalami perubahan yang tidak sedikit. Sementara dari Injil Isa as, tidak ada yang tersisa selain yang ditulis oleh para pengikut setia beliau yang mereka kumpulkan atas nama "Kitab Suci".
Seseorang yang secara seksama mencermati Taurat dan Injil (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) yang beredar di masyarakat sekarang ini, akan mengetahui bahwa kitab-kitab itu bukanlah kitab yang diturunkan kepada Isa dan Musa as Karena, Taurat menggambarkan Allah SWT secara antro-pomorfis (kemanusia-manusiaan); Dia tidak mengetahui banyak persoalan[1] dan seringkali menyesali perbuatan-Nya.[2] Atau, ketika Allah bergulat dengan nabi Ya'qub as dan tidak mampu mengalahkannya, Dia memohon kepadanya agar melepaskan-Nya supaya umat manusia tidak melihat Tuhan mereka dalam keadaan tak berdaya.[3]
Selain itu, banyak sekali perbuatan tercela yang dinisbahkan kepada para nabi Allah. Misalnya berzina dengan seorang wanita muhshanah (yang bersuami)-wal'iyadzubillah-dinisbahkan kepada Nabi Daud as.[4] Minum arak dan zina dengan wanita muhrim (orang yang haram untuk dinikahi) dinisbahkan kepada Nabi Luth as.[5] Taurat juga menyebutkan secara rinci ihwal wafat, sakaratulmaut dan tempat wafat Nabi Musa as.[6] Tidakkah kisah-kisah tersebut sudah cukup untuk membuktikan bahwa kitab itu tidak benar jika dinisbahkan kepada Nabi Musa as?
Adapun kitab Injil, kondisinya lebih buruk lagi dari Taurat, karena sampai hari ini tidak ada kitab apapun yang diturunkan kepada Nabi Isa as Bahkan kaum nasrani sendiri tidak mengakui bahwa Injil yang ada saat ini adalah kitab yang diturunkan Allah SWT kepada Isa as, sebab kitab yang beredar pada masa sekarang ini mengandung sebagian tulisan yang dinisbahkan kepada sebagian pengikut beliau. Di samping membolehkan minum khamar, tersebut di dalam kitab itu bahwa membuat khamar termasuk mukjizat Isa as.[7]
Alhasil, wahyu yang diturunkan kepada dua nabi besar kita itu, Isa a. dan Musa as, telah mengalami perubahan dan penyelewengan serta tidak mungkin dijadikan pedoman untuk memberi petunjuk kepada umat manusia. Adapun mengapa dan bagaimana bisa terjadi penyelewengan tersebut, merupakan persoalan yang panjang dan bukan tempatnya untuk dibahas di sini.[8]
Pada abad keenam setelah kelahiran Nabi Isa as, ketika seluruh alam diliputi kegelapan, kejahilan dan kezaliman, dan pelita hidayah Ilahi telah padam di seluruh penjuru dunia, Allah SWT mengutus nabi-Nya yang terakhir dan yang paling utama di satu tempat yang paling terbelakang, mundur dan penuh kezaliman, untuk menerangi seluruh umat manusia dengan obor wahyu sampai akhir masa, untuk menyampaikan Kitab Ilahi yang abadi dan terjaga dari perubahan dan pengubahan kepada seluruh umat manusia, dan untuk mengajarkan ilmu hakiki, kebenaran dari langit, hukum-hukum dan undang-undang Ilahi, serta untuk membimbing seluruh manusia menuju kebahagiaan yang abadi, di dunia dan akhirat.[9]
Imam Ali as di dalam sebuah khutbahnya telah menjelaskan kondisi dunia ketika Rasul saw diutus, "Allah mengutus Rasul-Nya ketika masa para rasul sebelumnya telah jauh berlalu, umat manusia dalam keadaan tidur lelap yang panjang, api fitnah dan kerusakan tersebar di mana-mana, peperangan sedang berkecamuk, maksiat dan kebodohan menyelimuti dunia, angkuh dan congkak tampak jelas, daun-daun pohon kehidupan manusia telah layu menguning dan tidak diharapkan lagi buahnya karena airnya telah kering, sinar hidayah telah lama padam, bendera kesesatan berkibar-kibar, keburukan dunia menyerang umat, ia menampakan wajah masam kepada pencarinya, buahnya adalah fitnah, makanannya adalah bangkai, syiarnya adalah rasa takut dan tempat berlindungnya adalah pedang."[10]
Sejak diutusnya Nabi Muhammad saw, setelah masalah Tauhid, pembahasan tentang kenabian dan risalah beliau serta kebenaran agama Islam merupakan tema yang penting bagi setiap orang yang mencari kebenaran. Dengan terbukti kebenaran hal-hal itu yang melazimkan kebenaran Al-Qur'an dan validitasnya sebagai satu-satunya kitab samawi yang beredar di kalangan umat manusia dan terjaga dari perubahan dan penyimpangan, umat manusia akan mendapatkan petunjuk-sampai akhir kehidupan-kepada satu-satunya jalan untuk membuktikan berbagai keyakinan yang benar, mengenal nilai-nilai luhur akhlak, tugas-tugas dan hukum-hukum praktis, sekaligus menjadi kunci pemecahan atas berbagai pandangan dunia dan ideologi.

Dalil atas Risalah Nabi Islam
Telah kami jelaskan pada pelajaran 27, bahwa kita dapat membuktikan kenabian para nabi melalui tiga jalan: pertama, melalui biografi dan cara hidup mereka sambil bersandar pada bukti-bukti yang meyakinan. Kedua, melalui berita dari nabi-nabi sebelumnya. Ketiga, melalui mukjizat mereka.
Tiga cara tersebut telah terpenuhi pada Nabi Muhammad saw. Bahkan penduduk kota Makkah yang hidup semasa dengan beliau selama 40 tahun, menyaksikan kehidupan beliau dari dekat. Mereka sedikit pun tidak menjumpai titik lemah dan keraguan dalam kehidupan beliau yang penuh dengan kemulian dan keluhuran. Mereka mengenal sifat jujur dan amanah beliau, sampai-sampai mereka memberikan julukan al-amin (orang yang tepercaya). Maka itu, tidak ada sedikit pun kemungkinan dusta pada diri orang seperti beliau.
Dari sisi lain, terdapat berita dari para nabi sebelumnya tentang kedatangan Nabi saw.[11] Sehingga sekelompok dari ahlulkitab menunggu-nunggu saatnya. Mereka telah mengetahui sebagian tanda-tanda beliau yang jelas dari kitab-kitab mereka.[12] Kepada kaum musyrikin Arab mereka berkata, bahwa sebentar lagi akan datang seorang nabi dari suku Arab keturunan Nabi Ismail as Nabi itu akan membenarkan nabi-nabi sebelumnya dan agama-agama Tauhid.[13] Sebagian ulama Yahudi dan Nasrani telah beriman kepada nabi tersebut berdasarkan kabar yang menggembirakan itu.[14] Walaupun sebagian mereka menolak untuk memeluk Islam lantaran hawa-nafsu dan bisikan setan. Al-Qur'an telah memberikan isyarat tentang ini, "Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka bahwa para ulama Bani Israil telah mengetahuinya?" ( QS. As-Syu'ara: 197)
Pengetahuan para ulama Bani Israil ihwal Nabi Muhammad saw-berdasarkan kabar yang mereka terima dari nabi-nabi sebelumnya-merupakan bukti yang jelas atas kebenaran risalahnya dan dalil yang meyakinkan bagi seluruh ahlulkitab. Selain itu, pengetahuan mereka merupakan bukti yang kuat, bahwa para nabi yang memberikan kabar itu sendiri adalah benar. Hal itu juga menjadi bukti atas manusia lainnya, bahwa Nabi Muhammad saw adalah benar. Karena, kebenaran pengetahuan para ulama Bani Israil itu dan kesesuaian tanda-tanda nabi yang akan datang pada sosok Muhammad saw terbukti melalui penyaksian langsung dengan mata kepala dan akal mereka.
Ironisnya, bahwa Injil dan Taurat yang telah mengalami distorsi (tahrif), walaupun mereka telah berusaha kuat untuk menyembunyikan kabar gembira tersebut, masih saja bisa ditemukan sebagian tanda-tanda yang jelas yang menjadi bukti bagi para pencari kebenaran.[15] Sebagaimana banyak pemuka Yahudi dan Nasrani yang tulus pada kebenaran, telah mendapatkan hidayah melalui tanda-tanda dan kabar gembira yang masih tersisa di dalam Taurat dan Injil tersebut.
Buku-buku sejarah dan hadis sebegitu banyak mencatat mukjizat-mukjizat yang jelas dari Rasul saw, melebihi batas mutawatir.[16] Di samping mukjizat-mukjizat yang menjadi bukti atas orang-orang yang semasa beliau untuk kemudian menjadi referensi bagi selain mereka, kepedulian Allah menghendaki adanya mukjizat lain yang menunjukkan kebenaran Nabi Muhammad saw dan agamanya yang kekal. Mukjizat itu ialah Al-Qur'an Al-Karim yang abadi dan menjadi bukti atas seluruh manusia sepanjang masa. Untuk itu, kami akan membahas kemukjizatan Al-Qur'an pada pelajaran berikutnya.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini !
1. Sebutkan kondisi kitab-kitab yang diturunkan kepada para nabi terdahulu!
2. Sebutkan bukti-bukti penyelewengan di dalam Taurat!
3. Tunjukkan bahwa Injil yang ada sekarang ini tidak dianggap sebagai kitab yang otentik!
4. Jelaskan pentingnya masalah "risalah Nabi Muhammad saw"!
5. Terangkan cara-cara untuk membuktikan kebenaran risalah Nabi Muhammad saw!
________________________________________
[1] Lihat Taurat, kitab Kejadian, bab 3, no. 8-12.
[2] Ibid, bab. 6, no. 6.
[3] Ibid, bab. 32, no. 24-32.
[4] Lihat Perjanjian Lama, kitab 2, Samuel, bab 11.
[5] Lihat Perjanjian Lama, kitab Kejadian, bab. 19, ayat 30-38.
[6] Lihat Perjanjian Lama, kitab Ulangan, bab. 34.
[7] Lihat Perjanjian Baru, Yohanes, bab. 3.
[8] Bisa dirujuk ke Izhhar al-Haq, Rahmatullah Hindi, atau Al-Huda ila Dinil Mushthafa, karya Allamah Balaghi, atau Rahe Saodat, Allamah Sya'rani.
[9] Lihat surah Al-Jumu'ah: 2-3.
[10] Nahjul Balaghah, khotbah ke-187.
[11] Lihat surah Ash-Shaff: 6.
[12] Lihat surah Al-A'raf: 157, Al-Baqarah: 146, dan Al-An'am: 20.
[13] Lihat surah Al-Baqarah: 89.
[14] Lihat surah Al-Ma'idah: 83 dan Al-Ahqaf: 10.
[15] Di antara mereka adalah Mirza Muhammad Ridha, seorang pemikir besar Yahudi di Tehran, penulis Iqamah asy-Syuhud fi Radd al-Yahud, Baba Qazweini Yazdi, penulis Mahdhar asy-Syuhud fi Radd al-Yahud, Prof. Abdul Ahad Dawud, seorang uskup dan penulis Muhammad fi Taurat wa Injil.
[16] Lihat Bihâr al-Anwâr, jild. 17, hal. 225 s/d jilid 18. Lihat juga kitab-kitab induk hadis dan sirah.



PELAJARAN 32
Mukjizat Al-Qur'an

Al-Qur'an sebagai Mukjizat
Al-Qur'an merupakan satu-satunya kitab samawi yang dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa tidak seorang pun yang mampu mendatangkan kitab sepertinya, meskipun seluruh manusia dan jin berkumpul untuk melakukan hal itu.[1] Bahkan, mereka tidak akan mampu sekalipun untuk menyusun, misalnya, sepuluh surat saja,[2] atau malah satu surat pendek sekalipun yang hanya mencakup satu baris saja.[3]
Oleh karena itu, Al-Qur'an menantang seluruh umat manusia untuk melakukan hal itu. Dan banyak sekali ayat-ayat Al-Qur'an yang menekankan tantangan tersebut. Sesungguhnya ketidakmampuan mereka untuk mendatangkan hal yang sama dan memenuhi tantangan tersebut merupakan bukti atas kebenaran kitab suci itu dan risalah Nabi Muhammad saw dari Allah SWT.[4]
Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa Al-Qur'an telah membuktikan pengakuannya sebagai mukjizat. Sebagaimana Rasul saw, pembawa kitab ini, tersebut telah menyampaikannya kepada umat manusia sebagai mukjizat yang abadi dan bukti yang kuat atas kenabiannya hingga akhir masa.
Hari ini-setelah 14 abad berlalu-bahana suara Ilahi itu masih terus menggema di tengah umat manusia melalui media-media informasi dan sarana-sarana komunikasi, baik dari kawan maupun lawan. Itu semua merupakan hujjah atas mereka.
Dari sisi lain, nabi Islam, Muhammmad saw-sejak hari pertama dakwahnya-senantiasa menghadapi musuh-musuh Islam dan para pendengki yang sangat keras. Mereka telah mengerahkan seluruh tenaga dan kekuatan untuk memerangi agama Ilahi ini. Setelah putus asa lantaran ancaman dan tipu daya mereka tidak berpengaruh sama sekali, mereka berusaha melakukan pembunuhan dan pengkhianatan. Akan tetapi, usaha jahat itu pun mengalami kegagalan berkat inayah Allah SWT dengan cara menghijrahkan Nabi saw ke Madinah secara rahasia pada malam hari.
Setelah hijrah, Rasul saw menghabiskan sisa-sisa umurnya yang mulia dengan melakukan berbagai peperangan melawan kaum musyrikin dan antek-antek mereka dari kaum Yahudi. Dan semenjak wafatnya hingga hari ini, orang-orang munafik dari dalam dan musuh-musuh Islam dari luar senantiasa berusaha memadamkan cahaya Ilahi ini. Mereka telah mengerahkan segenap kekuatan dalam rangka ini. Seandainya mereka mampu menciptakan sebuah kitab sepadan Al-Qur'an, pasti mereka akan melakukannya, tanpa ragu sedikitpun.
Di zaman modern sekarang ini, dimana kekuatan adidaya dunia melihat bahwa Islam adalah musuh terbesar yang sanggup mengancam kekuasaan arogan mereka, maka itu mereka senantiasa berusaha memerangi Islam dengan segala kekuatan dan sarana yang mereka miliki berupa materi, strategi, politik, dan informasi. Seandainya mereka mampu menjawab tantangan Al-Qur'an, dan sanggup menulis satu baris saja yang menandingi satu surat pendek darinya, pasti mereka sudah melakukannya dan menyebarkannya melalui media informasi dunia. Karena memang cara semacam itu (menyebarkan informasi ke seluruh dunia) merupakan usaha yang paling mudah dan paling efektif dalam menghadapi Islam dan menahan perluasannya.
Atas dasar uraian di atas, setiap manusia berakal yang mempunyai kesadaran yang cukup merasa yakin-setelah memperhatikan hal-hal tersebut-bahwa Al-Qur'an merupakan kitab samawi yang istimewa, yang tidak mungkin ditiru atau dipalsukan, dan tidak mungkin pula bagi setiap individu atau kelompok manapun untuk mendatangkan kitab yang sepadan dengannya, sekalipun mereka mengerahkan seluruh kekuatan dan telah menjalani pendidikan dan pelatihan demi hal itu.
Artinya, kitab suci itu memiliki ciri-ciri kemukjizatan, yaitu luar biasa, tak bisa ditiru dan dipalsukan, dan diturunkan sebagai bukti atas kebenaran kenabian seseorang. Tampak jelas bahwa Al-Qur'an merupakan bukti yang paling akurat dan kuat atas kebenaran klaim Muhammad saw sebagai nabi Allah. Dan agama Islam yang suci adalah hak dan karunia Ilahi yang paling besar bagi umat Islam. Al-Qur'an diturunkan sebagai mukjizat abadi hingga akhir masa, kandungannya merupakan bukti atas kebenarannya. Sebegitu sederhananya argumentasi ini hingga dapat dipahami oleh setiap orang dan dapat diterima tanpa mempelajarinya secara khusus.

Unsur-Unsur Kemukjizatan Al-Qur'an
Setelah secara global kita mengetahui bahwa Al-Qur'an merupakan kalam dan mukjizat Ilahi, kami akan menjelaskan lebih luas lagi unsur-unsur kemukjizatan kitab suci ini.

1. Kefasihan dan Keindahan Al-Qur'an
Unsur pertama kemukjizatan Al-Qur'an ialah kefasihan dan balaghah-nya. Artinya, untuk menyampaikan maksud dan tujuan dalam setiap masalah, Allah SWT menggunakan kata dan kalimat yang paling lembut, indah, ringan, serasi, dan kokoh. Melalui cara tersebut, Dia menyampaikan makna-makna yang dimaksudkan kepada para mukhathab (audiens), yaitu melalui sastra yang paling baik dan mudah dipahami.
Tentunya, tidak mudah memilih kata dan kalimat yang akurat dan sesuai dengan makna-makna yang tinggi dan mendalam kecuali bagi orang yang telah menguasai sepenuhnya ciri-ciri kata, makna yang dalam dan hubungan imbal balik antara kata dan maknanya agar dapat memilih kata dan ungkapan yang paling baik dengan memperhatikan seluruh dimensi, kondisi dan kedudukan makna yang dimaksudkan. Pengetahuan lengkap tentang hal itu tidak mungkin dapat dicapai oleh siapapun kecuali dengan bantuan wahyu dan ilham Ilahi
Sesungguhnya setiap manusia dapat mengetahui sejauh mana kandungan Al-Qur'an yang mencakup nada malakuti dan irama yang syahdu. Setiap orang yang mengetahui bahasa Arab, ilmu kefasihan dan keindahannya (Balaghah), pasti dapat menyentuh keunggulan sastra Al-Qur'an.
Adapun untuk mengetahui kemukjizatan Al-Qur'an dari unsur balaghah, kefasihan dan keindahan bahasanya, tidaklah mudah kecuali bagi orang-orang yang memiliki pengalaman dan spesialisasi di dalam pelbagai ilmu sastra Arab dan melakukan perbandingan antara keistimewaan-keistimewaan Al-Qur'an dan berbagai macam bahasa yang fasih dan baligh, serta menguji kemampuan mereka dengan melakukan analogi dalam hal itu. Pekerjaan semacam ini tidak sulit dilakukan kecuali oleh para penyair dan sastrawan Arab, karena keistimewaan orang-orang Arab yang paling menonjol pada masa diturunkannya Al-Qur'an ialah ilmu Balaghah dan sastra. Puncak kemahiran mereka pada masa itu tampak ketika mereka mengadakan pemilihan bait-bait kasidah dan syair-setelah diadakan penelitian dan penilaian-yang merupakan kegiatan seni dan sastra yang paling besar.

2. Ke-ummi-an Nabi saw
Kendati ukurannya tidaklah besar, Al-Qur'an adalah kitab suci yang mancakup berbagai pengetahuan, hukum-hukum dan syariat, baik yang bersifat personal maupun sosial. Untuk mengkaji secara mendalam setiap cabang ilmu tersebut memerlukan kelompok-kelompok yang terdiri dari para ahli di bidangnya masing-masing, keseriusan yang tinggi dan masa yang lama agar dapat diungkap secara bertahap sebagian rahasianya, dan agar hakikat kebenarannya bisa digali lebih banyak, meski hal itu tidak mudah, kecuali bagi orang-orang yang betul-betul memiliki ilmu pengetahuan, bantuan dan inayah khusus dari Allah SWT.
Al-Qur'an mengandung berbagai ilmu pengetahuan yang paling tinggi, paling luhur dan berharga nilai-nilai akhlaknya, paling adil dan kokoh undang-undang pidana dan perdatanya, paling bijak tatanan ibadah, hukum-hukum pribadi dan sosialnya, paling berpengaruh dan bermanfaat nasehat-nasehat dan wejangannya, paling menarik kisah-kisah sejarahnya, dan paling baik metode pendidikan dan pengajarannya. Singkat kata, Al-Qur'an mengandung seluruh dasar-dasar yang dibutuhkan oleh setiap manusia untuk merealisasikan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat. Semuanya itu dirangkai dengan susunan yang indah dan menarik yang tidak ada bandingannya, sehingga semua lapisan masyarakat dapat mengambil manfaat darinya sesuai dengan potensi mereka masing-masing.
Terangkumnya semua ilmu pengetahuan dan hakikat di dalam sebuah kitab seperti ini mengungguli kemampuan manusia biasa. Akan tetapi yang lebih mengagumkan dan menakjubkan adalah bahwa kitab agung ini diturunkan kepada seorang manusia yang tidak pernah belajar dan mengenyam pendidikan sama sekali sepanjang hidupnya, serta tidak pernah-walaupun hanya sejenak-memegang pena dan kertas. Ia hidup dan tumbuh besar di sebuah lingkungan yang jauh dari kemajuan dan peradaban.
Yang lebih mengagumkan lagi, selama 40 tahun sebelum diutus menjadi nabi, ia tidak pernah terdengar ucapan mukjizat semacam itu. Sedangkan ayat-ayat Al-Qur'an dan wahyu Ilahi yang beliau sampaikan pada masa-masa kenabiannya memiliki metode dan susunan kata yang khas dan berbeda sama sekali dari seluruh perkataan dan ucapan pribadinya. Perbedaan yang jelas antara kitab tersebut dengan seluruh ucapan beliau dapat disentuh dan disaksikan oleh seluruh masyarakat dan umatnya. Sekaitan dengan ini, Allah SWT berfirman, "Dan kamu tidak pernah membaca sebelum satu bukupun dan kamu tidak pernah menulis satu buku dengan tanganmu. Karena jika kamu pernah membaca dan menulis, maka para pengingkar itu betul-betul akan merasa ragu [terhadap Al-Qur'an]". (QS. Al-'Ankabut: 48)
Pada ayat yang lainnya Allah SWT berfirman, "Katakanlah, 'Jikalah Allah menghendaki, niscaya aku tidak membacakannya kepadamu dan Allah tidak pula memberi tahukannya kepadamu.' Sesungguhnya aku telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya. Maka apakah kamu tidak memikirkannya?" (QS.Yunus: 16)
Dan kemungkinan besar bahwa ayat 23 surah Al-Baqarah yang menegaskan, "Dan jika kalian masih merasa ragu terhadap apa yang kami turunkan kepada hamba Kami, maka buatlah yang serupa dengannya," menunjukan unsur kemukjizatan ini. Yakni, kemungkinan besar kata ganti "nya" yang terdapat pada kata "serupa dengannya" itu kembali kepada kata "hamba Kami".
Kesimpulannya, barangkali kita berasumsi-tentu mustahil-bahwa ratusan kelompok yang terdiri dari para ilmuan yang ahli di bidangnya masing-masing bekerja sama dan saling membantu itu mampu membuat kitab yang serupa dengan Al-Qur'an. Namun, tidak mungkin bagi satu orang yang ummi (tidak belajar baca-tulis sama sekali) mampu melakukan hal tersebut. Dengan demikian, kedatangan Al-Qur'an dengan segenap keistimewaan dan keunggulannya dari seorang yang ummi merupakan unsur lain dari kemukjizatan kitab suci itu.

3. Konsistensi Kandungan Al-Qur'an
Al-Qur'an adalah sebuah kitab suci yang Allah turunkan selama 23 tahun dari kehidupan Nabi Muhammad saw, yaitu masa-masa yang penuh dengan berbagai tantangan, ujian dan berbagai peristiwa yang pahit maupun yang manis. Akan tetapi, semua itu sama sekali tidak mempengaruhi konsistensi dan kepaduan kandungan Al-Qur'an serta keindahan susunan katanya. Kepaduan dan ketiadaan ketimpangan dari sisi bentuk dan kandungannya merupakan unsur lain dari kemukjizatan Al-Qur'an. Allah SWT berfirman, "Apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur'an. Seandainya Al-Qur'an itu datang dari selain Allah, pasti mereka akan menemukan banyak pertentangan." (QS. An-Nisa': 82)
Penjelasannya: minimalnya, setiap manusia menghadapi dua perubahan. Pertama, pengetahuan dan pengalamannya itu akan bertambah dan berkembang. Semakin bertambah dan berkembangnya pendidikan, pengetahuan, pengalaman, dan kemampuannya, akan semakin mempengaruhi ucapan dan perkataannya. Sudah sewajarnya akan terjadi perbedaan yang jelas di antara ucapan-ucapannya itu sepanjang masa dua puluh tahun.
Kedua, berbagai peristiwa yang terjadi dalam kehidupan seseorang akan berdampak pada berbagai kondisi jiwa, emosi dan sensitifitasnya, seperti putus asa, harapan, gembira, sedih, gelisah, dan tenang. Perbedaan kondisi-kondisi tersebut berpengaruh besar dalam cara pikir seseorang, baik pada ucapannya maupun pada perbuatannya. Dan, dengan banyak dan luasnya perubahan tersebut, maka ucapannya pun akan mengalami perbedaan yang besar. Pada hakikatnya, terjadinya berbagai perubahan pada ucapan seseorang itu tunduk kepada perubahan-perubahan yang terjadi pada jiwanya. Dan hal itu pada gilirannya tunduk pula kepada perubahan kondisi lingkungan dan sosialnya.
Kalau kita berasumsi bahwa Al-Qur'an itu ciptaan pribadi Nabi saw sebagai manusia yang takluk kepada perubahan-perubahan tersebut, maka-dengan memperhatikan berbagai perubahan kondisi yang drastis dalam kehidupan beliau-akan tampak banyaknya kontradiksi dan ketimpangan di dalam bentuk dan kandungannya. Nyatanya, kita saksikan bahwa Al-Qur'an tidak mengalami kontradiksi dan ketimpangan itu.
Maka itu, kepaduan, konsistensi dan ketiadaan kontradiksi di dalam kandungan Al-Qur'an serta ihwal kemukjizatannya ini merupakan bukti lain bahwa kitab tersebut datang dari sumber ilmu yang tetap dan tidak terbatas, yakni Allah Yangkuasa atas alam semesta, dan tidak tunduk pada fenomena alam dan perubahan yang beraneka ragam.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini !
1. Jelaskan bahwa Al-Qur'an mengklaim sebagai mukjizat yang abadi!
2. Terangkan sebuah dalil secara global atas kemukjizatan Al-Qur'an!
3. Apakah kita dapat berasumsi bahwa tidak ada seorangpun yang ingin menciptakan serupa Al-Qur'an? Ataukah mungkin sudah ada orang yang melakukan itu, hanya saja kita tidak mengetahuinya? Dan mengapa?
4. Jelaskan unsur balaghah atau keindahan sastra sebagai kemukjizatan Al-Qur'an!
5. Apakah hubungan antara ke-ummi-an Nabi saw dan kemukjizatan Al-Qur'an?
6. Bagaimana mungkin bahwa tidak adanya ikhtilaf di dalam Al-Qur'an itu sebagai bukti mukjizatnya?
________________________________________
[1] Lihat surah Al-Isra': 88.
[2] Lihat surah Hud: 13.
[3] Lihat surah Yunus: 38.
[4] Lihat surah Al-Baqarah: 23-24.




PELAJARAN 33
Keutuhan Al-Qur'an dari Perubahan

Mukaddimah
Argumentasi atas pentingnya kenabian-sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan yang telah lalu-menuntut sampainya risalah Ilahi kepada umat manusia dalam bentuknya yang tetap utuh; tidak mengalami distorsi (tahrif), sehingga mereka dapat memanfaatkannya demi kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat. Maka itu, tidak perlu lagi membahas terjaganya Al-Qur'an sejak diturunkan hingga disampaikan kepada umat manusia, sebagimana kitab-kitab samawi lainnya. Akan tetapi, sebagaimana kita ketahui, semua kitab samawi mengalami perubahan setelah sampai di tangan manusia, atau ditinggalkan setelah disampaikan lalu hilang. Kita saksikan pada zaman sekarang ini, bahwa kitab Nabi Nuh as dan Ibrahim as telah hilang sama sekali. Sementara kitab Nabi Musa as dan Nabi Isa as yang asli sudah tidak ditemukan lagi. Kenyataan seperti ini menimbulkan pertanyaan berikut ini: "Melalui jalan apakah kita dapat mengetahui bahwa kitab yang ada pada kita sekarang ini, yang bernama Al-Qur'an, adalah satu-satunya kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, yang tidak tersentuh oleh perubahan dan penyimpangan, dan tidak mengalami penambahan ataupun pengurangan?
Tentunya, setiap orang yang tahu-walaupun sedikit-akan sejarah Islam, serta kepedulian Rasul saw dan para khalifahnya yang maksum terhadap penulisan dan pencatatan ayat-ayat Al-Qur'an, dan kepedulian kaum muslimin dalam menghafal ayat-ayat Al-Qur'an-sebagaimana dinukil bahwa dalam sebuah peperangan telah terbunuh sebanyak 70 orang laki-laki penghafal Al-Qur'an-dan juga setiap orang yang tahu bahwa Al-Qur'an dinukil secara mutawatir selama 14 abad, dan tahu akan kepedulian mereka dalam menghitung ayat-ayat, kalimat-kalimat dan huruf-hurufnya, tentu tidak akan terlintas di benaknya kemungkinan terjadinya perubahan dan penyelewengan di dalam Al-Qur'an.
Akan tetapi, terlepas dari bukti-bukti sejarah yang meyakinkan tersebut, kita dapat membuktikan keutuhan Al-Qur'an dari perubahan dengan dua dalil, yaitu dalil akal dan dalil wahyu. Dalil pertama adalah untuk membuktikan tidak adanya tambahan pada Al-Qur'an. Setelah itu, kita akan membuktikan tidak adanya kekurangan padanya berdasarkan ayat-ayatnya sendiri. Oleh karena itu, kami akan membahas masalah keutuhan Al-Qur'an dari perubahan melalui dua sisi, penambahan dan pengurangan, secara terpisah.

Al-Qur'an Tidak Mengalami Penambahan
Seluruh kaum muslimin percaya bahwa Al-Qur'an tidak mengalami penambahan, bahkan hal ini adalah kesepakatan antara orang-orang yang telah mengetahuinya di seluruh dunia, karena tidak ada satu faktor pun yang memungkinkan terjadinya tambahan pada kitab tersebut, juga tidak ada bukti sama sekali atas kemungkinan seperti itu. Kendati demikian, kita dapat menggugurkan asumsi adanya penambahan melalui dalil akal, sebagaimana berikut ini:

Apabila disumsikan adanya tambahan satu poin utuh ke dalam Al-Qur'an, ini berarti adanya kemungkinan untuk diciptakan yang serupa dengannya. Asumsi semacam ini tidaklah sesuai dengan kemukjizatan Al-Qur'an, dan dengan ketidakmampuan manusia untuk menciptakan padanannya.
Bahkan, jika kita berasumsi bahwa Al-Qur'an mengalami tambahan pada satu kalimat atau satu ayatnya yang pendek seperti kata mudhammatan, hal itu merusak kepaduan bahasanya, keluar dari bentuk aslinya dan dari kemukjizatannya. Jika demikian halnya, maka Al-Qur'an akan dapat ditiru dan dibuatkan padanannya, sebab tata ungkap Al-Qur'an dan susunan bahasa yang mengandung mukjizat amat terkait pula dengan pemilihan kata dan kalimat, sehingga kemukjizatannya hilang dengan asumsi perubahan, walaupun sedikit.
Jadi, dalil atas kemukjizatan Al-Qur'an itu sendiri merupakan dalil atas keutuhan Al-Qur'an dari penambahan. Begitu pula dengan dalil tersebut, akan ternafikan kekurangan pada kata-kata dan kalimat-kalimat, hal yang mengeluarkan ayat-ayat Al-Qur'an dari kemukjizatannya. Adapun tidak hilangnya satu surat atau satu poin penuh yang tidak membuat seluruh ayat-ayatnya itu keluar dari kemukjizatannya, maka hal ini memerlukan argumen yang lain.

Al-Qur'an Tidak Mengalami Pengurangan
Ulama Islam dari Ahli Sunnah maupun Syi'ah telah menegaskan bahwa Al-Qur'an tidak mengalami pengurangan ataupun penambahan. Untuk membuktikan kebenaran tersebut mereka mengajukan berbagai dalil. Sayangnya, lantaran penukilan sebagian riwayat palsu ke dalam kitab-kitab hadis kedua madzab itu, penafsiran yang keliru dan pemahaman yang salah terhadap sebagian riwayat yang muktabar, sebagian mereka menganggap atau malah meyakini bahwa sebagian ayat Al-Qur'an itu telah raib. Namun, selain adanya berbagai bukti sejarah yang akurat atas keutuhan Al-Qur'an dari berbagai perubahan, penambahan atau pengurangan, juga adanya dalil mukjizat yang menafikan raibnya sebagian ayat-ayat yang dapat merusak sistem bahasa Al-Qur'an, kita pun dapat membuktikan keutuhannya dari keraiban satu ayat atau satu surat berdasarkan Al-Qur'an sendiri.
Setelah dapat dibuktikan bahwa seluruh kandungan Al-Qur'an yang ada sekarang ini adalah Kalamullah yang masih otentik, maka seluruh kandungan ayat-ayatnya-yang merupakan dalil wahyu yang paling kuat-pun menjadi bukti. Salah satu kesimpulan yang dapat diambil dari ayat-ayat Al-Qur'an ialah bahwa Allah SWT telah berjanji untuk menjaga kitab suci ini dari berbagai perubahan. Tidak seperti dengan kitab-kitab samawi yang lain; yang penjagaannya dibebankan ke atas umat manusia itu sendiri. Allah berfirman, "Sungguh Kami telah menurunkan Adz-Dzikr, dan sung-guh Kami pula yang akan menjaganya." (QS. Al-Hijr: 9)
Ayat ini terdiri dari dua kalimat. Kalimat pertama, "Sungguh Kami telah menurunkan Adz-Dzikra", menekankan bahwa Al-Qur'an ini diturunkan oleh Allah SWT, dan di dalam penurunannya tidak mengalami perubahan apapun. Dan, kalimat kedua, "sungguh Kami pula yang akan menjaganya" kata "sungguh" (inna) diulang kembali, dan bentuk kalimatnya (haiat)-yang menunjukkan kontinuitas (istimrar)-menekankan bahwa Allah SWT benar-benar berjanji untuk menjaga Al-Qur'an dari berbagai distorsi (tahrif) sepanjang masa.
Namun begitu, perlu diperhatikan bahwa meskipun ayat ini menunjukkan tidak adanya penambahan pada Al-Qur'an, namun menjadikan ayat ini sebagai dalil untuk menafikan adanya tambahan adalah istidlal dauri (pembuktian berputar-putar tanpa henti), karena bisa juga ayat ini diasumsikan sebagai sebagai tambahan pada Al-Qur'an, maka itu menafikan asumsi tersebut berdasarkan ayat ini tidaklah benar. Karenanya, kita dapat menggugurkan asumsi penambahan itu melalui dalil yang membuktikan kemukjizatan Al-Qur'an. Setelah itu barulah kita dapat menggunakan ayat ini untuk membuktikan keutuhan Al-Qur'an dari hilangnya satu ayat atau satu surat penuh (dengan bentuk yang tidak mengakibatkan rusaknya kemukjizatan struktur bahasanya). Jadi, kita dapat memastikan keutuhan Al-Qur'an dari perubahan; penambahan maupun pengurangan, berdasarkan penjelasan komplikatif dari dalil akal dan dalil wahyu di atas ini.
Akhirnya, kami perlu menekankan bahwa terjaganya Al-Qur'an dari berbagai perubahan tidak berarti bahwa setiap kitab Al-Qur'an yang beredar sekarang ini dianggap terjaga pula sepenuhnya dari kesalahan tulis dan baca, tidak juga berarti bahwa Al-Qur'an tidak mengalami kesalahan penafsiran atau penyelwengan makna, atau ayat-ayat dan surat-suratnya telah disusun sesuai dengan runutan penurunannya. Jadi, maksud dari keterjagaan Al-Qur'an dari berbagai perubahan ialah bahwa kitab suci itu tetap utuh di tengah umat manusia sehingga setiap pencari kebenaran akan dapat menjumpai seluruh ayat-ayatnya seperti saat ia diturunkan, tanpa adanya penambahan atau pengurangan.
Dengan demikian, terjadinya kekurangan atau kesalahan cetak pada sebagian kitab Al-Qur'an, atau terdapat perbedaan cara baca, perbedaan urutan ayat-ayat dan surat-suratnya dengan urutan penurunannya, atau terjadi penyelewengan makna dan penafsiran yang beraneka-ragam, ini semua tidak menafikan terjaganya Al-Qur'an dari penyimpangan dan perubahan yang telah kami jelaskan.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini !
1. Mengapa keutuhan Al-Qur'an dari berbagai perubahan itu perlu dibahas?
2. Apakah bukti-bukti sejarah atas terjaganya Al-Qur'an dari perubahan?
3. Apakah argumentasi atas keutuhan Al-Qur'an?
4.Apakah dalil atas tiadanya penambahan pada Al-Qur'an?
5.Apakah dalil atas tiadanya pengurangan pada Al-Qur'an?
6. Apakah dalil itu juga dapat membuktikan ketiadaan penambahan pada Al-Qur'an? Mengapa?
7. Jelaskan statemen berikut ini: "Adanya kekurangan dan kesalahan di sebagian Al-Qur'an, terjadinya perbedaan qirâat (bacaan), atau perbedaan urutan ayat-ayat dan surat-suratnya dengan urutan penurunannya, atau adanya penafsiran yang menyimpang dan maknanya yang diselewengkan, ini semua tidak menafikan terjaganya Al-Qur'an dari perubahan"!




PELAJARAN 34

Universalitas dan Keabadian Islam
Telah kita ketahui dari pelajaran yang lalu bahwa mengimani seluruh nabi dan membenarkan semua risalah mereka adalah perkara yang penting. Mengingkari salah seorang dari mereka, atau salah satu hukum dan syariat mereka berarti mengingkari seluruh syariat Ilahi, dan hal ini sama dengan kekufuran Iblis. Karenanya, setelah terbukti risalah nabi Islam saw, hal penting lainnya ialah mengimani risalah beliau tersebut dan segenap ayat yang turun kepadanya serta seluruh hukum dan ajaran yang datang dari Allah SWT. Akan tetapi, beriman kepada setiap nabi dan kitabnya tidak berarti kita pun harus menjalankan syariatnya.
Yang perlu diperhatikan ialah bahwa seluruh kaum muslimin diwajibkan beriman kepada seluruh nabi as dan semua kitab samawi mereka, kendati tidak mungkin dan bahkan tidak boleh mengamalkan syariat-syariat yang telah lalu tersebut. Sebagaimana pada pelajaran yang lalu, kewajiban setiap umat ialah mengamalkan syariat dan ajaran nabi yang diutus kepada mereka. Maka itu, seluruh umat manusia diwajibkan untuk mengamalkan syariat Islam itu apabila telah terbukti bahwa risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw itu tidak hanya untuk satu umat saja (bangsa Arab), juga tidak ada nabi lain yang akan diutus setelahnya untuk menghapus risalahnya itu.
Dengan kata lain, Islam adalah agama yang universal dan abadi. Untuk itu, poin yang perlu kita bahas berikutnya adalah: apakah risalah Nabi Muhammad saw itu bersifat universal dan abadi? Ataukah khusus untuk satu kaum atau pada zaman tertentu saja?
Yang jelas, masalah ini tidak dapat dibahas hanya dengan jalur akal, tetapi harus mengikuti metode kajian di dalam ilmu-ilmu naqli dan sejarah. Artinya, kita harus merujuk referensi-referensi yang valid. Tentu, bagi orang yang telah membuktikan dan meyakini kebenaran Al-Qur'an, kenabian Muhammad saw dan kemaksuman beliau, tidak ada sumber dan referensi yang lebih valid selain Al-Qur'an dan Sunnah.

Universalitas Islam
Universalitas Islam dan ketakterbatasannya untuk satu kaum atau kawasan tertentu, adalah salah satu kepercayaan yang dharuri (jelas dan pasti) dalam agama Ilahi ini. Bahkan orang-orang nonmuslim pun mengetahui bahwa risalah Islam itu mendunia, tidak terbatas pada suatu daerah saja.
Di samping itu, banyak bukti-bukti sejarah yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad saw telah mengirimkan surat dakwahnya kepada penguasa-penguasa dunia pada saat itu, seperti Kaisar Romawi, Kisra Iran, raja-raja di Mesir, Syam (Suriah), Habasyah dan para pemimpin suku-suku Arab. Beliau juga mengutus duta-duta khusus kepada setiap penguasa itu untuk mengajak mereka kepada Islam, dan memberikan peringatan kepada mereka akan dampak buruk dari pengingkaran mereka terhadap agama suci ini.
Jika Islam bukan agama universal, dakwah seluas itu tidak akan dijalankan, dan setiap bangsa mempunyai alasan yang kuat tatkala mereka tidak memeluk Islam. Maka itu, tidak bisa dipisahkan antara iman pada kebenaran Islam dan keharusan beramal sesuai dengan syariatnya. Dan tidak ada pengecualian bagi siapa pun untuk konsisten pada agama Ilahi ini.

Dalil-dalil Al-Qur'an atas Universalitas Islam
Telah kami singgung pada pelajaran yang telah lalu, bahwa Al-Qur'an itu sendiri-yang telah dibuktikan validitasnya-merupakan dalil dan referensi yang paling akurat untuk membuktikan persoalan ini. Dan setiap orang yang secara global saja menelaah kitab suci Ilahi ini, akan mengetahui dengan jelas bahwa dakwah Al-Qur'an itu bersifat universal, tidak khusus untuk suatu kaum atau suatu bahasa saja.
Di antara dalil Al-Qur'an atas universalitas Islam ialah ayat-ayat yang berbicara kepada umat manusia dengan ungkapan "ya ayyuhannas" (wahai sekalian manusia!), atau "ya Bani Adam" (wahai anak-anak Adam). Dan Al-Qur'an memandang bahwa petunjuknya itu tertuju kepada seluruh umat manusia (an-nas) dan seluruh alam (al-'alamin). Bahkan serta menegaskan Al-Qur'an telah menekankan melalui satu ayatnya ihwal risalah Nabi Muhammad saw.sebagai misi dunia untuk segenap manusia yang mendengarnya.[1]
Dari sisi lain, dengan nada kecaman, Al-Qur'an berbicara kepada pengikut agama-agama yang lain dengan ungkapan ahlulkitab dan membuktikan kebenaran risalah Nabi saw atas mereka.[2] Al-Qur'an juga memandang bahwa tujuan penurunannya kepada Nabi saw adalah untuk mengangkat Islam dan mengunggulkannya di atas seluruh agama.[3] Dengan mempelajari ayat-ayat tersebut, tidak ada lagi keraguan akan universalitas dakwah Al-Qur'an dan Islam yang suci ini.

Keabadian Islam
Selain sebagai argumentasi atas universalitas Islam seperti ungkapan umum Bani Adam, an-nas, al-'alamin, dan ungkapan umum lainnya yang ditujukan kepada umat-umat selain bangsa Arab serta kepada pengikut agama lainnya seperti ungkapan "ya ahlal kitab, ayat-ayat itu juga-secara ithlaq zamani (kemutlakan waktu)-menafikan batasan masa tertentu, terutama pada ungkapan "liyudhhirahu 'aladdini kullih" (demi mengunggulkan Islam di atas segenap agama), sehingga tidak tersisa lagi keraguan akan hal ini. Kenyataan ini pun dapat disimak pada dua ayat 41 dan 42 dari surah Fushilat, "Dan Al-Qur'an itu sungguh kitab yang mulia, yang tak tersentuh kebatilan, dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan yang Mahabijaksana dan Mahaagung."
Ayat ini menunjukkan bahwa kitab suci Al-Qur'an sama sekali tidak pernah mengalami kehilangan validitas dan akurasinya. Begitu pula dalil-dalil yang membuktikan diakhirinya kenabian oleh Nabi Muhammad saw-sebagaimana akan dibahas pada pelajaran berikutnya-menggugurkan seluruh dugaan tentang dihapusnya agama Ilahi ini melalui nabi atau syariat yang lain.
Sehubungan dengan keabadian Islam ini, terdapat riwayat yang banyak sekali, seperti "Halal Muhammad adalah halal sampai hari kiamat, dan haramnya adalah haram sampai hari kiamat."[4]
Di samping itu, kelanggengan Islam-sebagaimana keuniversalannya-termasuk daruriyat (doktrin yang jelas dan pasti) agama Ilahi ini, dan tidak perlu kepada dalil selain dalil-dalil yang membuktikan kebenaran Islam.

Menjawab beberapa Keraguan
Aneka ragam peraguan dari musuh-musuh Islam yang berusaha keras menentangnya dan mencegah penyebarannya, telah diupayakan untuk membuktikan bahwa Islam hanya diturunkan untuk bangsa Arab saja, dan risalahnya tidak meliputi segenap umat manusia. Dalam rangka melontarkan keraguan-keraguan tersebut, mereka menggunakan ayat-ayat Al-Qur'an yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw hanya diperintah oleh Allah untuk memberikan hidayah kepada keluarga, kerabat dan kabilahnya atau warga Mekkah dan sekitarnya saja.[5]
Misalnya, setelah menyinggung orang-orang Yahudi, Shabiin dan Nasrani, ayat 69 Al-Ma'idah menyatakan bahwa sumber kebahagiaan itu terletak pada iman dan amal saleh saja, tanpa menyinggung peran Islam dalam meraih kebahagiaan tersebut. Di samping itu, Fiqih Islam tidak mengakui ahlulkitab itu sama dengan kaum musyrikin. Bahkan, Fiqih Islam menganggap bahwa apabila ahlulkitab membayar jiz'yah (pajak) sebagai ganti dari khumus (khums) atau zakat yang diwajibkan atas kaum muslimin, mereka mendapatkan jaminan keamanan di dalam negara Islam dan dibolehkan mengamalkan syariat mereka. Ini adalah dalil atas kebenaran seluruh agama.
Menjawab keraguan ini kami katakan bahwa ayat-ayat yang berkenaan dengan keluarga Nabi saw atau penduduk Mekkah, hendak menjelaskan tahap-tahap dakwah, dimana dakwah beliau dimulai dari keluarga terdekat, lalu meningkat sampai ke seluruh warga Mekkah dan sekitarnya, kemudian meluas sampai ke seluruh manusia di muka bumi ini. Dan ayat-ayat ini tidak mempersempit (takhsis) makna ayat-ayat yang menunjukkan universalitas risalah Nabi Muhammad saw, karena-di samping bentuk ungkapan ayat-ayat tersebut (berkenaan dengan keluarga Nabi) menolak penyempitan atas makna ayat-ayat yang menunjukkan universalitas risalah Nabi saw-penyempitan ini justru melazimkan penyempitan yang lebih banyak, yang ganjil dan keliru menurut opini masyarakat luas (urful 'uqola').
Adapun ayat 69 Al-Ma'idah hendak menjelaskan kenyataan bahwa sekedar memeluk agama ini atau agama itu tidaklah cukup untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki. Akan tetapi, faktor utama kebahagiaan ialah iman yang hakiki dan melakukan tugas-tugas yang disyariatkan oleh Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya. Sesuai dengan argumen-argumen yang menunjukkan atas universalitas dan keabadian Islam, tugas seluruh umat manusia setelah datangnya Nabi Muhammad saw adalah mengamalkan syariat dan hukum Islam.
Adapun keutamaan yang diberikan Islam kepada ahlulkitab di atas seluruh orang-orang kafir tidak berarti mereka dibolehkan untuk tidak memeluk Islam dan tidak melaksanakan hukum-hukumnya, akan tetapi keutamaan itu hanyalah belas-kasih duniawi (irfaq duniawi) Islam terhadap hak-hak mereka demi beberapa maslahat. Dan dalam pandangan Syi'ah, belas-kasih itu bersifat sementara, dan pada saat kehadiran Imam Mahdi afs nanti akan diputuskan hukum final mereka, dan sikap Islam terhadap mereka kelak sama dengan sikapnya terhadap orang-orang kafir. Kesimpulan ini dapat diambil dari firman Allah SWT: "liyudhhirahu 'Aladdini Kulih" (untuk mengunggulkan Islam di atas segenap agama).[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini !
1. Dalam kondisi bagaimanakah seluruh umat manusia itu diwajibkan mengikuti syariat Islam?
2. Jelaskan dalil-dalil Al-Qur'an atas keuniversalan dan kelanggengan Islam!
3. terangkan dalil-dalil yang lain atas keuniversalan dan kelanggengan Islam!
4. Jelaskan statemen berikut ini: "Sesungguhnya ayat-ayat yang memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk memberikan hidayah kepada keluarga dan kerabatnya yang paling dekat kemudian kepada penduduk Mekkah tidak menunjukkan dikhususkannya risalah tersebut hanya kepada mereka saja"!
5. Jelaskan bahwa ayat 69 Al-Ma'idah tidak menunjukkan diampuninya umat apapun meskipun tidak mengikuti Islam!
6. Jelaskan statemen berikut ini: bahwa diizinkannya Ahli Dzimmah (orang kafir yang mendapatkan perlindungan di dalam pemerintahan Islam) untuk mengamalkan syariat mereka tidak berarti bahwa mereka itu dibolehkan untuk tidak mengikuti syariat Islam"!
________________________________________
[1] Lihat surah Al-'An'am: 19.
[2] Lihat surah Ali 'Imran: 64, 70, 71, 98, 99, 110, dan Al-Ma'idah: 15, 19.
[3] Lihat At-Taubah: 33, Al-Fath: 28, dan Ash-Shaff: 9.
[4] Riwayat ini bisa Anda lihat pada Al-Kâfi, jilid 1/58 dan jilid 2/17, Biharul Anwar jilid 2/260 dan jilid 4/288, dan Wasaiul asy-Syi'ah, jilid18/124.
[5] Lihat surah Asy-Syu'ara: 7 dan 214, Al-An'am: 92, As-Sajadah: 3, Al-Qashahs: 46, Yasin: 5-6, dan Al-Ma'idah: 69.



PELAJARAN 35

Akhir Kenabian
Berangkat dari keabadian Islam, tidak ada lagi kemungkinan diutusnya nabi lain yang akan menghapus syariat Islam. Akan tetapi, ada sebuah kemungkinan diutusnya seorang nabi untuk melakukan dakwah dan penyebaran Islam, sebagaimana pada para nabi terdahulu, baik mereka hidup sezaman dengan pemegang syariat seperti: Nabi Luth as yang hidup sezaman dengan Nabi Ibrahim as dan mengikuti syariatnya, atau para nabi yang diutus setelah nabi pemegang syariat, akan tetapi mereka mengikutinya, seperti kebanyakan nabi-nabi Bani Israil.
Untuk itu, kita harus membahas akhir dan ditutupnya kenabian oleh Nabi Muhammad saw secara khusus, sehingga tidak ada lagi kemungkinan diutusnya nabi selain beliau.

Dalil Al-Qur'an atas Akhir Kenabian
Salah satu doktrin pasti Islam ialah berakhirnya mata rantai kenabian dengan diutusnya Nabi Muhammad saw, dan tidak akan diutus lagi nabi setelah beliau. Bahkan non-muslim pun mengetahui bahwa kenyataan ini merupakan bagian akidah Islam yang wajib diyakini oleh setiap muslim. Karenanya, masalah ini sama dengan masalah-masalah pasti agama lainnya yang tidak membutuhkan dalil. Meski demikian, kita dapat mengambil kesimpulan dari Al-Qur'an dan riwayat-riwayat yang mutawatir. Allah SWT berfirman, "Muhammad bukanlah ayah seseorang dari laki-laki kalian, ia hanyalah rasul Allah dan penutup para nabi." (QS. Al-Ahzab: 40)
Ayat ini menerangkan dengan jelas bahwa Nabi Muhammad saw adalah penutup seluruh nabi. Sebagian musuh-musuh Islam melontarkan dua kritik sehubungan dengan ayat tersebut:
Pertama, bahwa kata al-khatam mengandung arti selain makna penutup, yaitu khatamul yad, artinya cincin hiasan di jari tangan. Jadi, maksud dari khatam dalam ayat ini ialah penghias, yakni bahwa Nabi Muhammad saw itu adalah penghias para nabi sebelumnya, bukan sebagai penutup.
Kedua, kalaupun al-khatam diartikan dengan arti konvensionalnya (yakni penutup), berarti mata rantai kenabian ditutup oleh Nabi Muhammad saw, tetapi tidak menunjukkan diakhirinya mata rantai kerasulan para rasul oleh beliau.
Terhadap kritik pertama perlu ditegaskan bahwa makna al-khatam adalah sesuatu yang digunakan untuk mengakhiri sesuatu lainnya. Maka itu, cincin pun dinamakan sebagai al-khatam, karena ia digunakan untuk mengakhiri surat-surat atau yang semacamnya. Yakni, al-khatam bisa berarti tanda tangan atau stempel, maka Nabi Muhammad saw adalah stempel atau pemungkas para nabi sebelumnya.
Jawaban atas kritik kedua ialah bahwa setiap nabi itu memiliki kedudukan sebagai rasul di samping kedudukan mereka sebagai nabi. Dan dengan berakhirnya mata rantai para nabi, berakhir pula mata rantai kerasulan mereka. Sebagaimana telah disinggung pada pelajaran 29, bahwa meskipun pengertian an-nabi tidak lebih umum (luas) dari pengertian ar-rasul, akan tetapi dari sisi wujud di luar, yang pertama lebih umum daripada yang kedua.

Dalil Riwayat atas Diakhirinya Kenabian
Terdapat ratusan riwayat yang menegaskan diakhirinya kenabian oleh nabi Muhammad saw. Di antaranya adalah hadis Al-Manzilah.[1] Hadis ini diriwayatkan oleh Syi'ah mau-pun Ahli Sunnah dari Rasul saw secara mutawatir, sehingga tidak ada keraguan sedikit pun bahwa hadits-hadits tersebut merupakan sabda beliau. Yaitu ketika beliau keluar menuju perang Tabuk dan meninggalkan Imam Ali as untuk menggantikan beliau di kota Madinah. Ketika itu, Imam Ali as menangis. Kemudian Rasul saw berkata kepadanya, "Wahai Ali, tidakkah engkau senang bahwa kedudukanmu di sisiku sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi lagi setelahku."
Dalam riwayat yang lain Nabi saw bersabda, "Wahai manusia, ketahuilah, tidak ada nabi lagi setelahku dan tidak ada umat lagi setelah kalian."[2]
Di dalam hadis yang lainnya lagi Nabi saw bersabda, "Wahai manusia, sesungguhnya tidak ada nabi lagi setelahku dan tidak ada sunnah lagi setelah sunnahku."[3]
Kandungan hadist-hadis semacam ini pun banyak dinukil di dalam khutbah-khutbah Imam Ali as dalam Nahjul Balaghah,[4] juga di dalam berbagai riwayat, doa-doa dan ziarah-ziarah para Imam suci as yang tidak dapat kami sampaikan pada tempat yang terbatas ini.

Falsafah Diakhirinya Kenabian
Telah kami singgung pada pelajaran 29 bahwa hikmah dan falsafah banyaknya para nabi dan diutusnya mereka secara bertahap adalah bahwa dari satu sisi, tidak mungkin bagi satu orang untuk menyampaikan risalah Ilahi dan meyebarkannya-pada masa-masa dahulu-ke seluruh penjuru dan ke segenap bangsa.
Dari sisi lain, semakin luas dan rumitnya komunikasi dan terjadinya berbagai fenomena sosial yang baru menuntut undang-undang yang baru pula, atau menuntut perubahan undang-undang yang lama. Sebagaimana perubahan dan penyelewengan akibat campur tangan individu atau kelompok orang-orang yang bodoh menuntut perbaikan ajaran-ajaran Ilahi melalui nabi lainnya.
Namun begitu, dalam situasi dan kondisi yang memungkinkan seorang nabi sehingga ia dapat menyampaikan risalah Ilahi ke seluruh umat manusia di muka bumi ini dengan bantuan para pengikut dan khalifahnya, dan syariat, hukum-hukum dan ajaran-ajarannya dapat memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat pada masa itu dan untuk masa yang akan datang, serta meliputi seluruh tuntutan yang penting sesuai dengan konteks kontemporer, serta terjaminnya keutuhan dan keterjagaan risalah dari berbagai perubahan dan penyimpangan, maka tidak perlu lagi diutusnya nabi yang lain.
Akan tetapi, pengetahuan manusia biasa tidak mungkin dapat menentukan situasi, kondisi dan faktor-faktor semacam itu. Adapun Allah SWT dengan ilmu-Nya yang tak terbatas dan meliputi segala sesuatu, tentu dapat menentukan kapan terealisasinya kondisi tersebut. Oleh karena itu, hanya Allahlah yang dapat mengabarkan diakhirinya kenabian, sebagaimana hal itu Dia lakukan di dalam kitab samawi-Nya yang terakhir.
Hanya saja diakhirinya kenabian tidak berarti terputusnya hubungan hidayah-sama sekali-dari Allah SWT untuk hamba-hamba-Nya di bumi. Sesungguhnya Allah SWT melimpahkan ilmu gaib-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang saleh tatkala maslahat-Nya menuntut demikian, kendati tidak melalui jalur wahyu kenabian.
Sebagaimana diyakini oleh Syi'ah, bahwa ilmu-ilmu gaib itu telah Allah SWT anugerahkan kepada para imam maksum as poin penting ini akan kita bahas pada pelajaran-pelajaran mengenai "Imamah dan Kepemimpinan" yang akan datang selekas ini, Insya Allah.

Menjawab Beberapa Keraguan
Dari uraian-uraian di atas kita dapat menarik beberapa kesimpulan mengenai falsafah dan hikmah diakhirinya kenabian, yaitu:
Pertama, dengan bantuan para khalifah dan pengikut-pengikut setia, Nabi Muhammad saw dapat menyampaikan risalahnya ke seluruh umat manusia di muka bumi ini.
Kedua, kitab samawi Nabi Muhammad saw senantiasa terjamin utuh dari penyelewengan dan perubahan.
Ketiga, syariat Islam dapat memenuhi kebutuhan seluruh umat manusia hingga akhir masa.
Berkenaan dengan kesimpulan ketiga, terdapat tanggapan kritis, yaitu bahwa pada masa-masa dahulu tampak kesulitan-kesulitan dalam interaksi dan komunikasi sosial yang menuntut dibuatnya hukum-hukum yang baru atau diubahnya hukum-hukum yang lama, sehingga diutuslah nabi yang lain. Kenyataan ini pun tetap berlaku sekalipun Nabi Muhammad saw itu telah diutus, sebab telah terjadi berbagai perubahan yang drastis dan cepat yang membuat hubungan sosial menjadi semakin rumit.
Lalu, bagaimana mungkin kondisi semacam ini-yakni setelah wafat Nabi saw-tidak menuntut diturunkannya syariat yang baru?
Jawab: sebagaimana telah kami singgung pada pelajaran yang lalu, bahwa manusia biasa tidak dapat menentukan berbagai perubahan yang menuntut diubahnya syariat Islam yang prinsipal, sebab kita tidak mengetahui dasar-dasar hukum, syariat serta hikmah-hikmahnya. Bahkan-melalui argumen-argumen atas langgengnya Islam dan ditutupnya kenabian oleh Nabi Muhammad saw-kita dapat menyingkap tidak perlunya mengubah syariat dan hukum-hukum Islam secara mendasar.
Memang benar, kita tidak dapat mengingkari adanya fenomena-fenomena sosial yang baru yang menuntut hukum-hukum yang baru pula. Akan tetapi, bukankah di dalam syariat Islam telah tersedia dasar-dasar dan kaidah-kaidah umum, sehingga-berbekal pada dasar-dasar tersebut-dapat dirumuskan hukum-hukum yang bersifat juz'i (parsial) oleh pihak-pihak yang berwenang untuk kemudian diterapkan. Penjelasan terinci poin terakhir ini secara khusus dapat dijumpai di dalam Fiqih Islam, yaitu pada tema "Kewenangan-kewenangan Pemerintahan Islam (Imam Maksum as dan Wali Faqih).[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini !
1. Setelah keabadian Islam dapat dibuktikan, apakah urgensi isu diakhirinya kenabian?
2. Bagaimana kita dapat membuktikan diakhirinya kenabian dengan dalil-dallil Qur'an?
3. Jelaskan keraguan-keraguan yang dilontarkan sekitar dalil tersebut beserta jawabannya!
4. Sebutkan tiga riwayat yang menjelaskan diakhirinya kenabian!
5. Mengapa mata rantai kenabian itu ditutup dengan datangnya Nabi Muhammad saw?
6. Apakah berakhirnya kenabian berarti ditutupnya jalan untuk memperoleh pengetahuan Ilahi? Mengapa?
7. Apakah perubahan-perubahan sosial pascahidup Nabi saw. menuntut dibuatnya syariat yang baru? Mengapa?
8. Apakah cara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kepada hukum-hukum yang dapat mengatasi berbagai kasus kontemporer?
________________________________________
[1] Biharul Anwar, jilid 37/254-289, Sahih al-Bukhari, jilid 3/58, Sahih Muslim, jilid 2/323, Sunan Ibnu Majah, jilid 1/28, Mustadrakul Hakim, jilid 3/109, dan Musnad Ibnu Hambal, jilid 1/28, 331 dan jilid 2/ 369, 437.
[2] Lihat Wasail asy-Syi'ah, jilid 1/15 dan Al-Khishal, jilid 1/ 322dan jilid 2/487.
[3] Lihat Wasail asy-Syi'ah, jilid 18/555, Man La Yahdlarahul Haqih, jilid 4/163, Kasyful Ghumah, jilid1/21, dan Biharul Anwar , jilid 22/531.
[4] Lihat Nahjul Balaghah , khutbah no. 1, 69, 83, 87, 129, 168, 193, dan 230.



PELAJARAN 36 
Imamah

Imamah dan Kepemimpinan

Mukaddimah
Setelah Rasulullah saw hijrah ke Madinah dan mendapatkan dukungan besar dari kaum Anshar dan dari kaum muslimin (baca: kaum Muhajirin) yang menyertai hijrah beliau dari Makkah, segera beliau meletakkan dasar-dasar kehidupan masyarakat Islam dan merumuskan undang-undangnya. Ketika itu masjid, selain digunakan sebagai tempat ibadah, berfungsi sebagai tempat berteduh dan berlindung bagi kaum Muhajirin, orang-orang terlantar (tuna wisma), dan tempat pemecahan berbagai problema sosial, politik, dan ekonomi masyarakat Islam.
Lebih dari itu, masjid merupakan titik-tolak penyebaran risalah Ilahiyah, pusat pendidikan masyarakat, gedung mahkamah dalam menyelesaikan perselisihan dan berbagai kasus tindak pidana serta perdata. Masjid jugalah yang telah menjadi markas instruksi militer, persiapan pasukan tempur, perlengkapan perang, dan basis utama dalam menyelesaikan berbagai problem pemerintahan lainnya.
Ala kulli hal, berbagai macam urusan hidup masyarakat secara umum, baik agama maupun dunia, berada di tangan Rasulullah saw. Ketika itu, kaum muslimin menyadari bahwa mereka dituntut untuk mengikuti dan mentaati bimbingan, ajaran, dan perintah beliau. Karena sesungguhnya Allah SWT, di samping telah mewajibkan umat manusia untuk mentaati Rasul secara mutlak, juga dengan tegas memerintahkan mereka untuk mematuhi beliau dalam masalah politik, sosial, ekonomi, dan militer.
Dengan ungkapan lain, selain kedudukannya sebagai nabi yang bertugas menyampaikan syariat Islam serta menjelaskannya kepada umat, Rasul saw juga mengemban jabatan Ilahi lainnya, yaitu memimpin umat Islam dan mengatur mereka dalam urusan politik, ekonomi, sosial, militer, dan lain sebagainya. Sebab, Islam adalah agama yang mencakup tugas-tugas dan aturan-aturan ibadah dan akhlak, pun meliputi undang-undang politik, ekonomi, hak-hak serta lainnya. Dan sebagaimana Rasul saw memikul tugas dakwah dan mendidik umat, beliau pun memikul tanggung jawab dari sisi Allah SWT untuk menerapkan hukum-hukum dan syariat Islam. Maka, di tangan beliaulah kendali agama dan pemerintahan berada.
Sudah jelas, sebuah agama dan ajaran yang diakui sebagai pelita hidayah dan penuntun seluruh umat manusia sampai Hari Kiamat, sungguh absurd bila agama ini tidak menaruh perhatian terhadap masalah-masalah politik, sosial dan ekonomi. Masyarakat yang hidup berasaskan agama ini mustahil tidak memiliki wewenang politik semacam ini, wewenang yang merupakan kelaziman posisi seorang imam.
Pembahasan penting kita sekarang ini adalah, siapakah yang berhak memimpin umat manusia setelah Rasul saw wafat? Dan, siapakah yang mengangkat khalifah dan pemimpin umat tersebut? Apakah-sebagaimana Allah SWT mengangkat Rasul untuk menduduki jabatan kepemimipinan umat-Dia juga yang mengangkat dan menentukan para pengganti rasul-Nya? Apakah sebenarnya jabatan Imamah dan Khilafah itu dianggap ilegal jika tidak ditentukan dan ditunjuk oleh-Nya? Ataukah ketentuan Ilahi dalam masalah ini hanya berkenaan dengan Nabi saja, sementara setelah beliau wafat, masalah pengangkatan seorang pemimpin umat sepenuhnya diserahkan kepada pilihan masyarakat? Apakah memang masyarakat itu benar-benar memiliki hak dalam masalah pemilihan imam ini atau tidak?
Titik utama perbedaan pandangan antara Ahli Sunnah dan Syi'ah terletak pada persoalan Imamah dan Khilafah ini. Mazhab Syi'ah meyakini bahwa persoalan Imamah ini merupakan urusan Allah. Hanya Dialah yang berhak memilih dan mengangkat hamba-hamba-Nya yang saleh untuk menduduki jabatan imamah dan khilafah. Dan sesungguhnya peristiwa pengangkatan imam ini telah terjadi pada masa hidup Nabi saw, yaitu tatkala Allah memilih dan mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai imam dan khalifah muslimin sepeninggal beliau. Pemilihan dan pengangkatan Ali tersebut dilakukan oleh Rasul saw secara langsung dan di hadapan umat Islam. Beliau pun memilih dan menentukan 11 orang lainnya dari keturunan Ali sebagai imam kaum muslimin setelah wafatnya.
Berbeda halnya dengan keyakinan Ahli Sunnah wal Jamaah. Mazhab ini meyakini bahwa perkara Imamah tidak berbeda dengan masalah kenabian dari sisi bahwa perkara itu telah berakhir seketika wafatnya Nabi saw. Adapun setelah itu, perkara Imamah sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat Islam dan umat manusia. Bahkan sebagian tokoh mazhab ini menyatakan secara tegas, bahwa apabila ada seseorang merebut kedudukan imamah dengan kekuatan pedang sekalipun, maka wajib atas umat Islam untuk tunduk, mengakui dan mentaatinya.
Jelas bahwa pandangan semacam ini akan membuka peluang bagi para thagut dan para penguasa rakus untuk mencapai dan meraih ambisi kotornya itu, dengan cara menduduki kursi kepemimpinan umat. Bahkan lebih dari itu, pandangan ini akan membuka jalan bagi pihak-pihak yang membuat umat Islam hancur, terbelakang, dan memecah belah persatuan mereka.
Pada dasarnya, pandangan Ahli Sunnah mengenai legalitas Imamah dan Khilafah yang tidak didasari oleh ketetapan Ilahi ini menjadi basis pemikiran sekularisasi (pemisahan agama dari politik).
Sesungguhnya pandangan Ahli Sunnah itu-menurut penilaian Syi'ah Imamiyyah-adalah pandangan yang menyimpang dari ajaran Islam yang otentik, dan dari batas-batas ubudiyyah dan penghambaan diri secara mutlak di hadapan Allah SWT dalam segenap dimensi kehidupan. Penyimpangan ini bahkan menjadi sumber utama berbagai penyelewengan di dalam tubuh masyarakat Islam yang terjadi menjelang wafatnya Rasul hingga sekarang ini.
Oleh karena itu, Imamah merupakan masalah yang sangat penting, yang patut diberi perhatian oleh setiap muslim, masalah yang sama sekali tidak sepatutnya diabaikan. Hendaknya setiap muslim mengkaji masalah ini dengan baik dan serius, namun jauh dari fanatisme dan taklid buta, dan berusaha keras dalam mencari serta mengungkap mazhab yang hak dan membelanya dengan penuh keikhlasan hati.
Di samping itu, hendaknya para pengikut dan pemeluk berbagai mazhab menjauhkan diri dari perpecahan, dan perselisihan yang dapat menciptakan suasana permusuhan dan membuka jalan bagi musuh-musuh Islam demi mewujudkan ambisi mereka dalam merusak Islam dan menghancurkan kaum muslimin.
Hendaknya kaum muslimin sendiri tidak melakukan hal-hal yang dapat memperbesar ikhtilaf di antara mereka sendiri yang dapat menggoyahkan persaudaraan, dan melemahkan kekuatan mereka dalam menghadapi serangan-serangan orang-orang kafir. Sebab, kerugian dan resiko buruknya hanya akan kembali kepada umat Islam itu sendiri.
Akan tetapi dari sisi lain, jangan sampai maksud baik membina wahdah, persaudaraan, dan kasih sayang sesama kaum muslimin itu malah menjadi kendala dalam mengkaji, meneliti, dan mencari mazhab yang hak secara serius, dan dalam menciptakan kondisi yang kondusif untuk mempelajari masalah-masalah ilmiah serta menemukan penyelesaian atas keraguan-keraguan dan persoalan lainnya seputar Imamah. Karena, upaya memecahkan masalah ini-jika dilakukan dengan baik-akan mengambil peranan yang sangat penting yang dapat menentukan perjalanan kaum muslimin dan kebahagiaan hakiki mereka, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak.

Definisi Imamah
Menurut bahasa, Imamah yaitu kepemimpinan. Dan setiap orang yang menduduki kursi kepemimpinan suatu kelompok manusia disebut sebagai imam, baik berada di atas jalan yang hak ataupun jalan yang batil. Oleh karena itu, Al-Qur'an menggunakan istilah a'immatul kufr (imam-imam kekufuran) berkenaan dengan para pemimpin orang-orang kafir. Sedangkan orang yang diikuti oleh orang-orang yang shalat dinamakan imam jama'ah.
Adapun menurut istilah Kalam, Imamah ialah kepemimpinan umum atas segenap umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan, baik yang bersifat ukhrawi maupun duniawi. Dicantumkannya kata "duniawi" di sini hanyalah untuk mempertegas ihwal betapa luasnya cakupan Imamah, karena sudah jelas bahwa pengaturan masalah-masalah dunia bagi umat Islam merupakan bagian dari agama Islam.
Menurut mazhab Syi'ah, Imamah dan kepemimpinan umat itu baru dianggap legal bila ditetapkan oleh Allah SWT. Dengan demikian, tidak seorang pun berhak untuk menduduki jabatan Imamah ini selain orang-orang yang maksum, yang terjaga dari dosa dan kesalahan dalam menerangkan dan menyampaikan hukum-hukum Islam, serta yang suci dari berbagai maksiat dan kezaliman.
Pada hakikatnya, imam maksum itu-kecuali jabatan kenabian-memiliki seluruh kewenangan yang diemban oleh Rasulullah saw. Maka, hadis-hadis imam maksum itu merupakan hujjah (bukti kuat) dalam menjelaskan hukum-hukum, syariat, dan ajaran Islam. Dengan begitu, adalah wajib menaati dan mengamalkan segala perintah dan hukum-hukumnya dalam berbagai masalah pemerintahan.
Dari sini, tampak adanya perbedaan yang jelas antara pandangan Syi'ah Imamiyah dan pandangan Ahlusunah wal Jamaah dalam masalah Imamah. Paling tidak, ada tiga masalah pokok yang menjadi titik perbedaan di antara kedua mazhab tersebut, yaitu:
Pertama, Imam itu harus ditentukan oleh Allah SWT.
Kedua, Imam itu harus memiliki ilmu ladunni dari sisi Allah.
Ketiga, Imam itu harus terjaga dari segala kesalahan dan dosa.
Sudah barang tentu, derajat kemaksuman itu (keterjagaan dari dosa dan kesalahan) tidak khusus pada Imam. Karena Sayyidah Fatimah Az-Zahra as-sejauh keyakinan Syi'ah-juga termasuk maksum, hanya saja beliau tidak memiliki posisi Imamah, sebagaimana Sayyidah Maryam as yang juga mencapai derajat kemaksuman. Dan sangat mungkin di antara para wali Allah ada yang telah mencapai anak tangga kemaksuman tersebut, sekalipun kita tidak mengenalnya. Karena, manusia maksum memang tidak mudah dikenali kecuali dengan isyarat dari Allah SWT.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1.Apakah jabatan Rasulullah saw selain kenabian dan kerasulan?
2.Apakah titik utama perbedaan antara Syi'ah dan Ahlusunah?
3.Apakah konsekuensi dari keyakinan pada kepemimpinan yang tak didasari oleh penunjukkan langsung dari Allah SWT?
4.Jelaskan arti Imamah, baik secara bahasa maupun secara istilah?
5.Apakah persoalan-persoalan mendasar dalam masalah Imamah?



PELAJARAN 37 
Pentingnya Kehadiran Imam

Mukaddimah
Mereka yang tidak mempelajari masalah-masalah akidah dengan baik dan teliti menduga bahwa titik perselisihan antara Syi'ah dan Ahlusunah-sehubungan dengan masalah Imamah-terletak pada masalah pengangkatan imam atau khalifah. Artinya, Syi'ah meyakini bahwa Nabi saw telah mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai imam dan khalifah dalam mengatur dan membimbing umat.
Sementara itu, Ahlusunah meyakini bahwa pengangkatan semacam itu tidak pernah terjadi. Yang terjadi adalah bahwa umat Islam mengadakan pemilihan atas seorang pemimpin dengan suara mereka sendiri. Kemudian khalifah pertama yang telah terpilih itu mengangkat dan menentukan sendiri khalifah setelahnya. Sementara pada periode ketiga, pengangkatan seorang khalifah diserahkan kepada sekelompok manusia yang terdiri atas enam orang. Adapun khalifah keempat ditentukan kembali oleh suara rakyat. Dengan begitu, tidak ada mekanisme khusus dan baku untuk menentukan dan mengangkat seorang khalifah di antara kaum muslimin. Maka itu, setelah jabatan khalifah keempat berakhir, kursi khilafah ini diduduki oleh orang-orang yang kuat dan busuk, seperti yang juga berlangsung di negara-negara non-Islam.
Dengan kata lain, sebagian orang menduga bahwa pandangan Syi'ah tentang pengangkatan khalifah pertama sama dengan Ahlusunah dalam hal pengangkatan khalifah kedua yang dilakukan oleh khalifah pertama. Bedanya, keputusan Nabi saw tidak diterima umat, sedangkan keputusan khalifah pertama diterima oleh mereka!
Akan tetapi, terlepas dari pertanyaan-pertanyaan seperti; atas dasar apakah khalifah pertama itu punya hak dalam mengangkat khalifah yang kedua? Berdasarkan keyakinan Ahlusunah, mengapa Rasul saw tidak lebih memiliki rasa peduli terhadap Islam dibandingkan khalifah pertama? Bagaimana bisa terjadi bahwa Nabi saw meninggalkan umat Islam yang baru saja lahir tanpa seorang pemimpin yang akan menggantikan beliau, padahal setiapkali Nabi saw keluar dari Madinah menuju medan jihad selalu menunjuk seorang wakil dan khalifah di kota itu? Di samping itu, Nabi saw sendiri acapkali memperingatkan umatnya akan terjadinya fitnah, perselisihan dan bencana di tengah mereka.
Terlepas dari pertanyaan-pertanyaan tersebut atau pertanyaan lainnya, perlu kita tekankan bahwa ikhtilaf di antara Ahlusunah dan Syi'ah berkisar pada masalah berikut ini; Apakah imamah, qiyadah, wilayah dan kepemimpinan itu merupakan posisi keagamaan yang tunduk pada syariat dan ketentuan Ilahi, ataukah posisi duniawi yang takluk pada faktor-aktor sosial dan kehendak masyarakat?
Syi'ah meyakini bahwa sebenarnya Nabi saw sekalipun tidak mempunyai kewenangan dalam menentukan khalifahnya. Beliau hanya melakukan pengangkatan khalifah dan imam-imam atas dasar perintah Ilahi semata. Pada hakikatnya, falsafah di balik khatamiyah (berakhirnya) kenabian benar-benar terkait erat dengan penunjukkan seorang imam maksum. Karena, dengan keberadaan seorang imam maksumlah kesejahteraan utama umat Islam setelah wafat Nabi saw akan dapat tercapai sepenuh mungkin.
Berangkat dari masalah inilah tampak jelas mengapa masalah imamah umat diangkat sebagai persoalan prinsipal akidah Syi'ah, bukan sekedar persoalan parsial Fiqih. Juga tampak jelas, mengapa tiga syarat pokok harus terpenuhi pada diri seorang imam, yaitu memperoleh ilmu ladunni dari Allah, terjaga dari segala kesalahan dan dosa, serta harus ditentukan oleh Allah SWT. Juga menjadi jelas bahwa menurut Syi'ah masalah Imamah ini sama sekali tidak bisa dipisahkan dari masalah marja'iyyah (otoritas seorang mujtahid) dalam upaya menemukan hukum Ilahi, dan dari masalah hukumah (pemerintahan) serta wilayah (kedaulatan) di tengah umat.
Dengan demikian, kata "imamah" itu mencakup persoalan di atas. Berangkat dari sini-dan setelah kita memahami pengertian Imamah serta kedudukannya di dalam kepercayaan Syi'ah-kami akan membahas seberapa kuat validitas pengertian tersebut.

Pentingnya Kehadiran Seorang Imam Maksum
Telah dijelaskan pada pelajaran 22, bahwa terealisasinya tujuan penciptaan manusia itu berhubungan erat dengan hidayah dan bimbingan wahyu Ilahi. Untuk itu, Hikmah Ilahiyah menuntut diutusnya para nabi untuk melakukan dan menjalankan berbagai macam tugas, antara lain:
o Menuntun umat manusia kepada jalan kebahagiaan du-niawi dan ukhrawi, dan untuk memenuhi segala kebutuhan yang berhubungan dengannya.
o Mendidik setiap individu yang mempunyai potensi untuk diantarkan kepada akhir peringkat kesempurnaan insaninya yang mungkin dapat mereka capai.
o Memberlakukan hukum-hukum Islam di tengah kehidu-pan sosial dan individu tersebut, sejauh situasi dan kondisinya memungkinkan.
Telah kami jelaskan pada pelajaran 34 dan 35, bahwa Islam adalah agama yang universal dan abadi. Tidak ada agama lain setelahnya yang menggantikannya, sebagaimana pula tidak ada lagi nabi yang datang kemudian dan membawa risalah baru. Ditutupnya kenabian hanya bisa sesuai dengan hikmah dan falsafah diutusnya para nabi bila syariat samawi yang terakhir ini dapat memenuhi seluruh kebutuhan umat manusia, di samping bahwa syariat tersebut juga telah dijamin kelanggengannya sampai akhir masa.
Al-Qur'an sebagai kitab samawi pamungkas telah dijamin kelanggengan dan keutuhannya oleh Allah SWT dari berbagai perubahan dan penyimpangan hingga akhir masa. Akan tetapi, lahiriah ayat-ayat Al-Qur'an tidak menjelaskan hukum-hukum dan semua ajaran Islam secara detail. Sebagai contoh, kita tidak dapat mengetahui jumlah rakaat shalat lima kali dalam sehari semalam melalui ayat-ayat Al-Qur'an, begitu pula tata-cara pelaksanaannya. Dan ratusan hukum lainnya, yang sunnah maupun yang wajib. Karena memang, Al-Qur'an tidak diturunkan untuk menjelaskan perincian hukum. Perincian hukum dan syariat Islam diletakkan di pundak Nabi saw lalu menerangkannya kepada seluruh umatnya, yaitu melalui ilmu-ilmu yang Allah SWT berikan kepada beliau selain dari wahyu qur'ani.
Oleh karena itu, berangkat dari uraian di atas, hadis-hadis Nabi saw menjadi hujjah dan sumber otentik ajaran Islam. Tetapi, kondisi sulit yang dialami oleh beliau, seperti pada tahun-tahun pemboikotan di lembah Syi'eb Abi Thalib, dan peperangan melawan musuh-musuh Islam selama 10 tahun, semua itu tidak memberikan kesempatan sama sekali kepada Nabi saw untuk menjelaskan semua hukum dan syariat Islam kepada seluruh umat. Bahkan sebagian hukum Islam yang telah dipelajari oleh sahabat-sahabat beliau pun tidak terjamin kemurniannya. Contoh yang paling mudah yaitu masalah wudhu. Para sahabat berbeda pendapat tentang bagaimana tata-cara Rasul saw melakukan wudhu yang benar, padahal beliau mempraktekkan wudhu di hadapan mereka selama bertahun-tahun. Tampak bagaimana masalah sesederhana wudhu di atas tadi diperdebatkan oleh mereka, padahal masalah ini diperlukan oleh seluruh kaum muslimin untuk diamalkan setiap hari.
Lebih dari itu dapat dikatakan, bahwa mereka itu tidak punya motif tertentu untuk menyelewengkan masalah ini. Terlebih lagi pada masalah-masalah lainnya yang prakteknya tidak dilakukan setiap hari oleh Nabi saw, dan tidak setiap hari pula mereka saksikan, baik dalam masalah sosial, politik, ekonomi, ibadah, muamalah dan lain sebagainya. Jadi, pada masalah-masalah yang lebih detail dan rumit sangat mungkin terjadi kekeliruan dalam penukilan, dan bisa jadi terdapat perubahan dan penyimpangan yang disengaja, khususnya dalam hukum dan ajaran yang tidak sejalan dengan selera dan hawa nafsu sebagian orang, atau berlawanan dengan kepentingan dan ambisi pribadi mereka.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa agama Islam hanya dapat ditawarkan sebagai agama yang sempurna yang dapat memenuhi semua kebutuhan umat manusia sampai akhir masa kehidupan dunia ini, apabila terdapat jalan yang terbuka lebar untuk memenuhi segala kebutuhan umat manusia di dalam agama itu sendiri, yaitu berbagai persoalan yang mengancam kehancuran mereka setelah wafat Rasul saw.
Peluang untuk menjelaskan dan mempraktikkan ajaran Islam yang murni, yang dapat memenuhi segala kebutuhan umat, tidak akan terwujud kecuali dengan cara menentukan khalifah Rasul saw yang saleh dan bersih jujur. Dialah khalifah yang memiliki ilmu ladunni dari Allah SWT, yang mampu menjelaskan semua syariat Islam dari seluruh dimensi dan keistimewaannya. Dialah khalifah yang ilmu dan ketakwaannya dapat mengangkatnya ke tingkat kemaksuman, sehingga ia tidak terpengaruh oleh hawa nafsu, dan tidak melakukan penyimpangan atas syariat Islam, serta mampu menjalankan peran Nabi saw dalam mendidik umat, menuntun dan membimbing orang-orang yang mempunyai potensi dan kemauan yang tinggi untuk mencapai kesempurnaan insani. Dialah khalifah yang mampu menjalankan roda pemerintahan Islam dengan baik dan jujur, melaksanakan syariat Islam di bidang sosial, politik, ekonomi, militer, serta mampu menyebarkan kebenaran dan meratakan keadilan ke seluruh dunia.
Pendek kata, berakhirnya kenabian itu hanya akan sesuai dengan Hikmah Ilahiyah jika dibarengi dengan penunjukkan imam maksum; yang memiliki segala kriteria yang dimiliki oleh Nabi saw, tentunya selain kenabian dan kerasulan.
Dengan begitu, jelaslah betapa pentingnya kehadiran seorang imam di tengah-tengah umat, betapa pentingnya ilmu ladunni dari Allah SWT bagi seorang imam, dan betapa pentingnya pengangkatan imam oleh-Nya. Karena, hanya Dialah yang dapat mengetahui hamba-hamba-Nya yang pantas diberi ilmu dan kemaksuman sesuai dengan usaha mereka. Pada dasarnya, hanya Dialah yang memiliki hak wilayah (kedaulatan) dan penentuan atas hamba-hamba-Nya itu, Diapun dapat memberikan hak wilayah ini kepada orang-orang tertentu yang telah memenuhi kriteria-kriteria khusus.
Perlu kami tegaskan di sini, bahwa Ahlusunah tidak menetapkan syarat dan kriteria apapun bagi seorang khalifah. Artinya, seorang khalifah tidak harus ditentukan dan ditunjuk oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, tidak perlu kepada ilmu karuniawi dari-Nya, juga tidak perlu menjadi maksum dari segala kesalahan, dosa dan maksiat.
Maka itu, jika seorang khalifah itu melakukan kesalahan, berbuat maksiat, itu tidak akan menggugurkan kekhalifahannya. Karenanya, tidak mengherankan bila ulama mazhab ini menukil dan mencatat di dalam kitab-kitab mereka berbagai macam kesalahan dan kelemahan para khalifah dalam menghadapi berbagai macam persoalan agama yang dikeluhkan oleh masyarakat. Bahkan khalifah pertama mereka (Abu Bakar)-sejauh yang dinukil oleh para ulama mereka-pernah mengaku secara terus terang, "Sesungguhnya aku ini mempunyai setan yang selalu mempengaruhiku".[1] Sedang khalifah kedua mereka (Umar al-Khattab)-setelah dipilih oleh khalifah pertama-pernah menyatakan, "Sungguh baiat atas khalifah pertama itu terjadi secara tergesa-gesa dan faltah (tidak beres)",[2] sehingga lantaran begitu sering dan banyaknya kesalahan serta kekeliruan yang dilakukan oleh khalifah kedua ini, acapkali ia mengulang-ulang pengakuannya di hadapan halayak, "Laula Ali lahalaka Umar" (Kalau saja tidak ada Ali, Umar pasti sudah binasa).[3]
Adapun kesalahan yang telah dilakukan oleh khalifah ketiga, Utsman bin Affan, dan para khalifah dari Bani Umayyah serta Bani Abbas, saking jelas dan banyaknya, tidak perlu lagi kami paparkan di sini. Setiap orang yang mengetahui sejarah Islam walau sealakadarnya, dan setiap orang yang mau mengkaji serta membaca buku-buku sejarah tersebut, akan dapat menyingkapnya. Hanya Syi'ahlah yang meyakini keharusan terpenuhinya tiga syarat penting tersebut bagi Imam dua belas mereka.
Pada pelajaran yang telah lalu, kami telah menyinggung kesahihan akidah mereka sehubungan dengan masalah Imamah ini, sehingga kami kira tidak diperlukan lagi dalil-dalil yang panjang dan terperinci. Hanya pada pembahasan berikutnya, kami akan menjelaskan dalil-dalil yang bersumber dari Al-Qur'an dan hadis.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut Ini !
1. Jelaskan pandangan Syi'ah tentang masalah Imamah dan perbedaannya dengan pandangan Ahlusunah!
2. Mengapa mazhab Syi'ah menganggap masalah Imamah itu sebagai dasar akidah?
3. Terangkan pentingnya keberadaan imam?
4. Apakah kesimpulan yang bisa diambil dari penjelasan ini?
________________________________________
[1] Lihat Syarah Nahjul Balaghah, Ibnu Abil Hadid jilid 1/85 dan jilid 4/231-262 dan Al-Ghadir, Al-Amini, jilid 7/102-180.
[2] Lihat Syarah Nahjul Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jilid 1/142-185 dan jilid 3/57.
[3] Lihat Al-Ghadir, Al-Amini, jilid 6/93.



PELAJARAN 38 

Penunjukan Imam
Telah kami jelaskan pada pembahasan yang lalu, bahwa sekiranya penutupan kenabian tidak dilengkapi oleh penunjukkan imam maksum akan bertentangan dengan Hik-mah Ilahiyah.Dan kesempurnaan Islam yang universal dan abadi sampai akhir masa bergantung pada pengangkatan para imam dan khalifah yang saleh, maksum, alim, serta memiliki-kecuali kenabian dan kerasulan-kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh Nabi saw setelah kemangkatan beliau.
Konsep imamah demikian ini mengacu pada ayat-ayat Al-Qur'an dan riwayat-riwayat yang tak terbilang jumlahnya, sebagaimana telah dinukil oleh ulama Syi'ah-bahkan oleh ulama Ahlusunah-di dalam sumber-sumber mereka. Di antara ayat-ayat Al-Qur'an yang menjadi acuan utama adalah ayat ke-3 Al-Ma'idah. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya pada hari ini [yaitu pada hari setelah pengangkatan Imam Ali sebagai khalifah Rasul saw] telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Aku lengkapi atas kalian nikmat-Ku, dan juga Aku telah ridha bahwa Islam sebagai agama kalian."
Dari penelaahan terhadap ayat ini berikut tafsir dan sebab turunnya di dalam berbagai kitab tafsir, akan kita dapati bagaimana para ahli tafsir telah bersepakat, bahwa ayat tersebut turun pada haji Wada', yaitu haji perpisahan (terakhir) Rasul saw yang terjadi beberapa bulan sebelum beliau wafat.
Masih dalam rangkaian ayat tersebut, setelah menyinggung ihwal orang-orang kafir yang telah berputus asa untuk mengadakan penyimpangan terhadap Islam, Allah SWT berfirman, "Pada hari ini orang-orang kafir telah berputus asa dari agama kalian."
Allah SWT menegaskan bahwa pada hari itu agama Islam dan nikmat wilayah telah Dia lengkapi dan sempurnakan.
Apabila kita cermati dengan baik riwayat-riwayat yang menjelaskan sebab turun ayat tersebut, akan tampak jelas lagi bahwa ikmal dan itmam (penyempurnaan dan pelengkapan), yang disusul oleh keputusasaan orang-orang kafir untuk melakukan penyimpangan terhadap Islam, terwujud dengan diangkatnya seorang khalifah Nabi dari sisi Allah SWT. Karena musuh-musuh Islam menduga, bahwa sepeninggal Rasul saw agama Islam dan para pemeluknya tidak punya pemimpin lagi. Terlebih Rasul sendiri tidak punya seorang putra pun. Dengan demikian, agama Islam akan menjadi lemah dan akan mengalami kehancuran.
Dugaan mereka itu sungguh keliru, karena Islam telah mencapai kesempurnaannya dengan diangkatnya seorang pengganti Rasul yang akan melanjutkan risalah dan perjuangan beliau. Maka, menjadi lengkaplah nikmat Ilahi, sementara segala angan-angan, harapan dan ambisi orang-orang kafir menjadi sirna.
Pengangkatan khalifah Nabi saw itu terjadi tatkala beliau dan rombongan jemaah haji dalam perjalanan pulang mereka dari haji Wada'. Ketika itu, beliau mengumpulkan semua jemaah haji di satu tempat yang dikenal dengan nama "Ghadir Khum". Pada kesempatan itu, beliau menyampaikan khutbahnya yang panjang. Kepada kaum muslimin beliau bertanya:
"Bukankah aku ini lebih utama daripada diri kalian sendiri?"
Serempak mereka menjawab:
"Benar, ya Rasulullah …."
Kemudian Nabi saw memegang tangan Ali bin Abi Thalib as dan mengangkatnya di hadapan mereka semua, lalu berkata, "Barang siapa yang menjadikan aku ini sebagai pemimpinnya, maka sungguh Ali adalah pemimpinnya."
Dengan demikian, Nabi saw telah menetapkan wilayah Ilahiyah itu atas Imam Ali as. Segera setelah itu, seluruh kaum muslimin yang hadir di tempat itu bangkit membaiatnya. Di antara mereka, tidak ketinggalan pula khalifah kedua, Umar bin Khattab. Kepadanya Umar mengucapkan selamat dan berkata, "Engkau beruntung sekali wahai Ali. Kini engkau telah menjadi pemimpinku dan pemimpin seluruh masyarakat yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan."
Pada hari yang agung tersebut, turunlah ayat yang berbunyi, "Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian, dan telah Aku lengkapi pula nikmat-Ku atas kalian, dan Aku pun rela Islam sebagai agama kalian.
Dengan turunnya ayat ini, Rasul saw mengucapkan takbir lalu berkata, "Kesempurnaan kenabianku dan kesempurnaan agama Allah itu terletak pada wilayah Ali sepeninggalku."
Seorang ulama Ahlusunah terkemuka bernama Al-Juwaini menukil sebuah riwayat, "Ketika ayat tersebut turun, Abu Bakar dan Umar berkata, 'Ya Rasul Allah, apakah kepemimpinan ini dikhususkan untuk Ali?'
Rasul menjawab, 'Ya, wilayah (kepemimipinan) ini diturunkan untuknya dan untuk para washi-ku sampai Hari Kiamat.'
Lalu kedua orang itu berkata lagi, 'Ya Rasul Allah, jelaskanlah kepada kami siapa sajakah mereka itu?'
Beliau menjawab, 'Mereka itu adalah Ali, ia adalah saudaraku, wazirku, pewarisku, washiku dan khalifahku bagi umatku, dan dialah wali (pemimpin) setiap mukmin sepeninggalku, kemudian setelahnya adalah cucuku Al-Hasan, kemudian cucuku Al-Husein dan kemudian sembilan orang dari putra-putra keturunan Al-Husein secara berurutan. Al-Qur'an senantiasa bersama mereka, sebagaimana mereka selalu bersama Al-Qur'an, keduanya itu tidak akan pernah berpisah hingga mereka menjumpaiku di telaga Surga."[1]
Kalau kita mengkaji secara seksama beberapa riwayat yang berhubungan dengan pengangkatan Ali as sebagai imam, wali dan washi Rasul saw, kita dapat memahami bahwa Rasul saw sebelum itu telah diperintahkan oleh Allah SWT untuk mengumumkan secara resmi kepada masyarakat umum tentang Imamah dan wilayah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Akan tetapi, beliau merasa kuatir terhadap protes dan penentangan mereka dalam melakukan perintah Ilahi itu. Beliau kuatir akan anggapan mereka bahwa hal itu adalah ambisi pribadi beliau semata, karenanya ada kemungkinan mereka akan menolaknya.
Untuk itu, Rasul saw menunggu kesempatan yang tepat untuk menyampaikan pesan penting tersebut hingga turunlah ayat ini, "Wahai Rasul, sampaikanlah pesan dan wahyu yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu. Dan jika kamu tidak melaksanakannya, maka berarti kamu tidak menyampaikan seluruh risalah-Nya. Dan janganlah kamu takut, karena Allah akan menjagamu dari kejahatan manusia." (QS. Al-Ma'idah: 67)
Sejauh yang dapat kita cermati, tampak sebegitu besarnya penekanan Allah SWT atas pentingnya menyampaikan perintah Ilahi itu yang tidak kurang pentingnya daripada perintah-perintah Ilahi lainnya. Bahkan jika perintah tersebut tidak disampaikan, ini sama artinya dengan tidak pernah menyampaikan semua risalah Allah. Lebih dari itu, di dalam ayat di atas terdapat kabar gembira, bahwa Allah senantiasa akan menjaga dan melindungi Nabi saw dari berbagai kejahatan dan perlakuan buruk yang mungkin direncanakan oleh musuh-musuh Allah tatkala mereka mendengar perintah tersebut.
Berbarengan dengan turunnya ayat tersebut, Rasul saw memperoleh kesempatan yang sangat tepat untuk menyampaikan perintah Ilahi yang amat penting itu. Ketika melihat bahwa tidaklah bijak menunda perintah itu, beliau pun segera mengumpulkan kaum muslimin di padang Ghadir Khum untuk menerima pesan-pesan dan wasiat beliau.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa keistimewaan hari "Ghadir" ini terletak pada diumumkannya secara resmi pengangkatan Imam Ali bin Abi Thalib as di hadapan khalayak umat, sekaligus pengambilan baiat dari mereka. Karena sebelum itu, Rasul saw seringkali memberikan isyarat tentang khilafah Ali as dengan berbagai ungkapan dan dalam berbagai kesempatan sepanjang masa kenabian beliau.
Sebagai contoh, pada masa-masa awal bi'tsah (kenabian) Muhammmad saw sebuah ayat turun kepada beliau, "Berikanlah peringatan kepada keluargamu yang terdekat" (QS.As-Syu'ara: 214)
Lantas beliau berseru kepada keluarganya, "Siapakah di antara kalian yang siap menjadi penolongku dalam urusan agamaku ini, aku akan jadikan ia sebagai saudaraku, washi-ku dan khalifahku atas kalian."
Kedua mazhab besar Ahlusunah dan Syi'ah sepakat, bahwa ketika itu tidak seorang pun dari keluarga Nabi saw yang memberikan jawaban kecuali Imam Ali bin Abi Thalib as.[2]
Demikian juga ketika turun ayat, "Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya dan taati pula Ulil Amri (para Imam) di antara kalian." (QS. An-Nisa': 59)
Secara tegas Allah SWT mewajibkan semua orang-orang yang beriman untuk mentaati "Ulil Amri" secara mutlak. Dan, menaati mereka sama dengan mentaati Rasulullah saw.
Sekaitan dengan ayat di atas, Jabir bin Abdillah bertanya, "Ya Rasulullah, siapakah orang-orang yang wajib ditaati seperti yang diisyaratkan dalam ayat ini?"
Rasulullah saw menjawab, "Yang wajib ditaati adalah para khalifahku wahai Jabir, yaitu para imam kaum muslimin sepeninggalku nanti. Imam pertama mereka adalah Ali bin Abi Thalib, kemudian Hasan, kemudian Husein, kemudian Ali bin Husein, kemudian Muhammad bin Ali yang telah dikenal di dalam kitab Taurat dengan nama "Al-Baqir" dan engkau akan berjumpa dengannya wahai Jabir. Apabila engkau nanti berjumpa dengannya, maka sampaikanlah salamku kepadanya. Kemudian setelah itu As-Shadiq Ja'far bin Muhammad, kemudian Musa bin Ja'far, kemudian Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin Ali, kemudian Ali bin Muhammad, kemudian Hasan bin Ali, kemudian yang terakhir ialah Al-Mahdi bin Hasan bin Ali sebagai Hujjatullah di muka bumi ini dan Khalifatullah yang terakhir."[3]
Sebagaimana yang baru saja kita simak, Nabi saw telah mengabarkan kepada sahabat beliau yang bernama Jabir bin Abdillah Al-Anshari, bahwa dia kelak akan dapat berjumpa dengan Imam Muhammad Al-Baqir as Dan sejarah mencatat bahwa Allah mengaruniai Jabir umur panjang, ia hidup sampai pada masa Imam Baqir as Ketika berjumpa, ia begitu senang sampaikan salam Rasul saw kepada Imam as.
Abu Bashir dalam sebuah hadis yang diriwayatkannya berkata, "Aku pernah bertanya kepada Aba Abdillah Ja'far Ash-Shadiq as tentang firman Allah SWT, 'Athi'ullaha Wa Athi'urrasula Wa Ulil Amri minkum.'
Beliau menjawab, "Sesungguhnya ayat tersebut diturunkan sehubungan dengan khilafah Ali bin Abi Thalib, Hasan dan Husein."
Kembali aku bertanya, "Akan tetapi mengapa Allah tidak menyebutkan nama Ali dan Ahlulbaitnya di dalam Al-Qur'an?"
Imam Ja'far Ash-Shadiq as menjawab, "Katakanlah kepada mereka, 'Bahwa ayat-ayat tentang shalat yang turun kepada Nabi sama sekali tidak menjelaskan tentang jumlah rakaatnya; tiga atau pun empat, akan tetapi Nabilah yang menjelaskan ayat-ayat tersebut kepada mereka. Begitu pula ketika turun ayat ini, beliaulah yang menjelaskan bahwa Ulil Amri itu adalah Ali bin Abi Thalib as, dan para imam dari keturunannya. Bahkan ketika Rasulullah saw berwasiat kepada mereka agar tetap berpegang teguh kepada "Kitabullah" dan Ahlubaitnya, yang keduanya itu tidak akan berpisah sampai akhir masa. Nabi saw menambahkan, 'Janganlah kalian menggurui mereka, karena mereka itu lebih alim dari kalian, dan mereka tidak akan mengeluarkan kalian dari pintu petunjuk dan tidak akan menjerumuskan kalian ke dalam lembah kesesatan.'"
Kalau kita amati dengan baik sabda-sabda Nabi saw yang berhubungan dengan masalah wasiat, akan kita dapati betapa seringnya Nabi saw mengulang-ulang wasiatnya itu. Bahkan di akhir hayat, Nabi saw masih saja mengulang wasiatnya tersebut, "Sesungguhnya aku meninggalkan dua pusaka berharga untuk kalian, yaitu Kitabullah dan Ahlilbaitku. Keduanya itu tidak akan berpisah sehingga menjumpaiku di telaga Surga kelak."
Perlu diketahui bahwa hadis mengenai wasiat tersebut merupakan hadis yang mutawatir, baik dari Syi'ah Imamiyah maupun dari jalur Ahlusunah wal Jamaah.
Di antara tokoh-tokoh Ahlusunah yang meriwayatkan hadis tersebut adalah At-Turmudzi, An-Nasa'i, Al-Hakim, dll. Ulama yang belakangan ini pun meriwayatkan sebuah hadis lainnya, bahwa Nabi saw. telah bersabda, "Ketahuilah sesungguhnya perumpamaan Ahlulbaitku bagaikan bahtera Nuh as, siapa yang turut naik bersamanya, ia akan selamat. Dan siapa yang menolaknya, maka ia akan karam."[4]
Termasuk hadis yang sering diulang-ulang oleh Nabi saw ialah "Wahai Ali, engkau adalah pemimpin bagi setiap mukmin setelah wafatku nanti."[5]
Dan puluhan hadis lainnya yang pernah disampaikan oleh beliau sehubungan dengan wasiat mengenai wilayah Imam Ali as Kami kira bukan pada tempatnya untuk menukil semua hadis tersebut di tempat yang terbatas ini.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Apakah ayat yang berkaitan dengan penentuan Imam? Jelaskan argumentasi ayat tersebut!
2. Terangkan peristiwa pengangkatan Ali bin Abi Thalib as sebagai imam!
3. Mengapa Nabi saw tidak segera menyatakan imamah Ali as? Dan bagaimana Nabi saw. melaksanakan tugas tersebut?
4. Sebutkan riwayat-riwayat yang menunjukkan imamah seluruh imam maksum as!
5. Jelaskan riwayat-riwayat yang menunjukkan imamah Ahlulbait as!
________________________________________
[1] Ghayatul Maram, bab 58, hadis ke-4.
[2] Bisa dirujuk ke 'Abaqat Al-Anwar dan Al-Ghadir.
[3] Rujuk ke Ghayah al-Maram, jilid 10, hal. 267, Itsbat al-Hudat, jilid 3/123 dan Yanabi' al-Mawaddah, hal. 494.
[4] Rujuk ke Mustadrak al-Hakim, jilid 3/151.
[5] Rujuk ke Mustadrak al-Hakim, jilid 3/111, 134, Ash-Shawa'iq Al-Muhriqah, hal. 103, dan Musnad Ibnu Hanbal, jilid 1/331 dan jilid 4/438.



PELAJARAN 39

Kemaksuman Dan Ilmu Imam
Sebagaimana pada pelajaran 36, bahwa titik perbedaan antara Syi'ah dan Ahlusunah sekaitan dengan Imamah berkisar pada tiga poin penting, yaitu: pertama, keharusan pengangkatan imam dari sisi Allah SWT. Kedua, seorang imam harus memiliki kemaksuman. Ketiga, seorang imam harus memiliki ilmu ladunni dari Allah.
Pada pelajaran 37 pun kami telah menjelaskan-dengan dalil-dalil rasional-ketiga masalah tersebut. Bahkan pada pelajaran 38, tidak hanya dalil-dalil itu, telah kami lengkapi pula pembahasan tersebut dengan dalil-dalil wahyu, yaitu ketika kami menjelaskan penunjukkan para imam yang suci dari sisi Allah SWT. Studi kita selanjutnya adalah mengenai kemaksuman dan ilmu ladunni mereka dari Allah SWT.

Kemaksuman Seorang Imam
Setelah dapat dibuktikan bahwa sebenarnya masalah Imamah terfokus pada pengangkatan Ilahi yang telah Allah anugerahkan kepada Ali bin Abi Thalib as dan sebelas keturunannya, kita pun dapat menetapkan kemaksuman mereka melalui ayat ini, "Sesungguhnya janji Kami tidak akan meliputi orang-orang yang zalim." (QS. Al-Baqarah: 142)
Ayat ini secara tegas menafikan kedudukan karuniawi Ilahi (Imamah) itu bagi orang-orang yang telah tersentuh noda maksiat dan dosa, sekecil apa pun dosa itu.
Selain ayat ini, kita pun dapat menetapkan kemaksuman mereka dengan ayat Ulil Amri di pelajaran lalu. Di dalam ayat itu, Allah SWT mewajibkan ketaatan kaum muslimin kepada mereka secara mutlak, dan menggandengkannya dengan ketaatan kepada Rasul-Nya. Artinya, ketaatan kepada mereka itu tidak akan bertentangan dengan ketaatan kepada Allah SWT. Jadi, dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa perintah mentaati mereka secara mutlak berarti Allah SWT telah menjamin kemaksuman mereka, dan mereka itu adalah orang-orang yang sungguh memiliki kemaksuman.
Ayat lain yang dapat dijadikan sebagai argumen atas kemaksuman para Imam Ahlulbait as adalah "Ayat Tathir" yang berbunyi, "Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan kenistaan dari kalian wahai Ahlu Bait Nabi dan mensucikan kalian dengan sesuci-sucinya." (QS. Al-Ahzab: 33)
Penjelasannya, kehendak Allah dalam ayat ini bukan berupa iradah tasyri'iyah (kehendak tinta Ilahi), karena iradah tasyri'iyah ihwal mensucikan hamba-hamba-Nya bersifat dan berlaku secara umum, artinya tidak khusus hanya kepada orang-orang tertentu saja. Sedangkan kehendak Allah dalam ayat ini khusus untuk Ahlulbait Nabi saw. Dengan demikian, kehendak Allah dalam ayat ini tidak lain adalah iradah takwiniyah (kehendak cipta Ilahi) yang tidak mungkin akan mengalami perubahan, sebagaimana firman-Nya, "Sesungguhnya "amr" Allah apabila ia menghendaki sesuatu, ia berkata, 'Jadilah', maka terjadilah ia." (QS.Yasin: 82)
Penyucian secara mutlak dan pembersihan segala bentuk kotoran, kenistaan dan keburukan adalah kemaksuman. Kita telah mengetahui, bahwa tidak ada satu pun dari mazhab-mazhab Islam yang mengklaim adanya kemaksuman bagi seorang pun yang silsilah keturunannya bersambung kepada Nabi saw selain mazhab Syi'ah Imamiyah. Penganut Syi'ah meyakini bahwa Siti Fatimah Az-Zahra as, putri Rasul saw, dan 12 Imam dari keturunannya menyandang sifat maksum.
Perlu kami tekankan di sini, bahwa terdapat lebih dari 70 hadis yang kebanyakan diriwayatkan oleh ulama Ahlusunah, yang menunjukkan bahwa "Ayat Tathir" tesebut diturunkan kepada lima manusia agung, yaitu Rasulullah saw., Imam Ali as, Fatimah as, Al-Hasan as dan Al-Husein as.
Syeikh Ash-Shaduq menukil sebuah riwayat dari Amirul Mukminin Ali as, bahwa Rasulullah saw bersabda, "Wahai Ali, sesungguhnya ayat tathir ini diturunkan untukmu dan kepada kedua putramu dan para Imam dari putra-putramu."
Aku berkata, "Wahai Rasulullah, berapa orangkah jumlah imam setelahmu?"
Rasul saw menjawab, "Para Imam itu adalah engkau sendiri wahai Ali, kemudian setelah itu kedua putramu Al-Hasan dan Al-Husein. Setelah Al-Husein adalah Ali putranya. Setelah Ali adalah Muhammad putranya. Setelah Muhammad adalah Ja'far putranya. Setelah Ja'far adalah Musa putranya. Setelah Musa adalah Ali putranya. Setelah Ali adalah Muhammad putranya. Setelah Muhammad adalah Ali putranya. Setelah Ali adalah Al-Hasan putranya. Dan setelah Al-Hasan adalah Al-Hujjah putranya. Demikianlah aku dapatkan nama-nama mereka tertulis di kaki 'Arsy. Ketika itu aku bertanya kepada Allah tentang nama-nama tersebut. Allah berfirman, 'Wahai Muhammad, mereka adalah para Imam setelahmu, mereka itu suci dan terjaga dari segala dosa, kesalahan dan kealpaan. Sedang musuh-musuh mereka adalah orang-orang yang terkutuk.'"
Demikian pula hadis "Tsaqalain" (dua pusaka berharga). Dalam hadis ini, Rasul saw menggandengkan Ahlulbaitnya dengan Al-Qur'an. Beliau sangat menekankan, bahwa keduanya itu tidak akan berpisah selama-lamanya. Hadis ini merupakan argumen yang jelas atas kemaksuman mereka. Karena, apabila mereka melakukan maksiat, walau sekecil apa pun dan sekali pun karena kelupaan, berarti mereka itu secara praktis telah berpisah dari Al-Qur'an.
Dengan kata lain, tidak terpisahnya mereka sekejap mata pun dari Al-Qur'an menunjukkan bahwa segala perkataan, perbuatan, tingkah laku dan apa saja yang keluar dari mereka itu sejalan dengan Al-Qur'an, sesuai dengan kehendak Allah SWT, dan berarti mereka tidak pernah berbuat dosa dan lupa. Inilah yang dimaksud dari kemaksuman mereka.

Ilmu Imam
Tidak diragukan lagi bahwa Ahlulbait as telah menimba ilmu dari Nabi saw jauh lebih luas dan mendalam dibandingkan para sahabat mana pun dan siapa pun. Sebagaimana Nabi saw telah bersabda, "Janganlah kalian mengajari mereka, karena mereka itu jauh lebih pandai daripada kalian."
Terutama Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as, yang tumbuh dan besar dalam asuhan Rasul saw sejak masa kecilnya dan senantiasa menyertai beliau sampai akhir hayatnya.
Ali as adalah orang yang paling dekat dengan Nabi saw dan senantiasa menimba berbagai ilmu dari beliau, hingga ia menyandang gelar "bab 'ilmu an-nabi" (gerbang ilmu Nabi). Sehubungan dengan itu, Rasul saw bersabda, "Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya."[1]
Hadis ini telah diakui kesahihannya, baik oleh ulama Ahlusunah maupun ulama Syi'ah. Bahkan seorang ulama Ahlusunah telah menulis sebuah buku yang berjudul "Fath al-Malik al-'Aly bi Sihhati Hadis Madinatil Ilmi 'Ali". Buku tersebut ditulis pada tahun 1354 H. dan dicetak di Mesir.
Dalam sebuah riwayat, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata, "Sesungguhnya Rasulullah telah mengajarkanku seribu pintu ilmu, dan setiap pintu dari ilmu tersebut terbuka bagiku seribu pintu ilmu lainnya, maka aku memiliki sejuta pintu ilmu, sehingga aku mengetahui segala apa yang telah terjadi dan segala apa yang akan terjadi sampai hari kiamat. Dan aku pun mengetahui 'ilmu manaya' (tentang kematian seseorang), 'ilmu balaya' (tentang terjadinya bencana) dan 'Fashlul khithab' (tentang mengadili dan memberikan keputusan)."[2]
Meski begitu, ilmu Ahlulbait as tidak terbatas hanya pada apa yang mereka dengar dari Rasulullah saw, baik secara langsung ataupun melalui perantara. Mereka juga memiliki potensi untuk mendapatkan ilmu dari Allah SWT dengan cara-cara lainnya, bukan hanya dengan cara-cara yang biasa dan wajar. Cara lain itu ialah ilham atau tahdist,[3] sebagaimana ilham yang diterima oleh Hidir as dan Dzul Qarnain as,[4] juga Siti Maryam as dan ibu Nabi Musa as.[5] Bahkan terkadang Al-Qur'an menggunakan istilah wahyu untuk sebagian ilham tersebut, akan tetapi maksudnya tentu bukanlah wahyu kenabian.
Dengan cara inilah sebagian para imam as telah mencapai kedudukan imamah sejak masa kecil. Oleh karena itu, mereka dapat mengetahui berbagai masalah, tanpa proses belajar dan bimbingan dari orang lain. Kenyataan ini dapat kita temukan dan kita buktikan di dalam riwayat-riwayat yang tidak sedikit jumlahnya, yang datang dari para imam suci itu sendiri. Dengan mengkaji riwayat-riwayat tersebut, akan dapat dibuktikan kemaksuman mereka.
Sebelum menunjukkan riwayat-riwayat tersebut, kami akan memberikan isyarat dari ayat-ayat Al-Qur'an yang menjelaskan seseorang atau beberapa orang yang memiliki "Ilmu Kitab" (Man 'indahu ilmul kitab). Allah SWT berfirman, "Katakanlah wahai Muhammad, cukuplah hanya Allah dan seseorang yang memiliki "ilmu kitab" sebagai saksi antaraku dan antara kalian."
Pertama, ayat tersebut menjelaskan bahwa Rasul saw berada dalam hak dan kebenaran melalui kesaksian Allah SWT dan seorang imam maksum, yaitu Ali bin Abi Thalib as.
Kedua, menjelaskan bahwa kesaksian seseorang yang digandengkan dengan kesaksian Allah SWT, ditambah pula dengan ilmu kitab yang dimilikinya, tidak diragukan lagi bahwa orang tersebut (Ali as) telah mencapai derajat tinggi di sisi Allah SWT.
Dalam ayat lainnya, telah disinggung pula bahwa Imam Ali as sebagai saksi yang mengiringi Rasul saw. Allah SWT berfirman, "Bukankah ia (Muhammad saw) berada dalam bayyinah dari sisi Tuhannya dan diiringi oleh seorang "Syahid" (saksi, yaitu Imam Ali as) dari kerabatnya." (QS. Hud: 17)
Kata "minhu" (darinya) dalam ayat ini menunjukkan bahwa saksi tersebut adalah dari keluarga dan Ahlulbait Nabi saw sendiri. Sehubungan dengan ini, telah dinukil riwayat yang jumlahnya tak terbilang, baik melalui jalur Syi'ah atau pun jalur Ahlusunah. Riwayat-riwayat tersebut menjelaskan bahwa saksi tersebut tidak lain adalah Ali bin Abi Thalib as.
Adapun riwayat-riwayat yang dapat kami nukilkan di sini sebagai bukti ketinggian ilmu Imam Maksum as adalah apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Al-Maghazili Asy-Syafi'i dari Abdullah bin 'Atha' bahwa ia pernah berkata, "Ketika aku sedang duduk di sisi Abu Ja'far (Imam Baqir as), lewat di hadapan kami Ibnu Abdillah bin Salam (Abdullah adalah seorang ulama Ahli Kitab yang telah masuk Islam pada masa hayat Rasulullah saw), aku berkata, "Semoga Allah menjadikanku sebagai tebusanmu, inikah dia putra seseorang yang memiliki ilmu kitab?"
Imam Al-Baqir as menjawab, "Bukan, akan tetapi (yang memiliki ilmu kitab) adalah Ali bin Abi Thalib as yang telah Allah turunkan ayat-ayat Al-Qur'an berkenaan dengan ketinggian derajatnya, yaitu ayat: "Wa man 'indahuu ilmu al-kitab" dan ayat: "afaman kaana 'alaa bayyinatin min rabbihii wa yatluuhu syaahidun minhu" dan ayat: "Innamaa waliyyukumullahu wa Rasuluhu walladziina aamanuu …."
Ayat yang terakhir tadi artinya, "Sesungguhnya wali dan pemimpin kalian adalah Allah, Rasul-Nya (Muhammad Saw) dan orang-orang yang betul-betul beriman (Imam Ali As dan 11 orang putra keturunannya) ...."
Kedua mazhab Ahlusunah dan Syi'ah telah menukil beberapa riwayat, bahwa yang dimaksudkan Asy-Syahid dalam surat Hud itu ialah Ali bin Abi Thalib as Dan kenyataannya memang, apabila kita mengamati dengan teliti kata "minhu" dalam ayat tersebut, jelas bahwa yang dimak-sudkan dari kata "minhu" (darinya) itu tidak lain ialah Imam Ali bin Abi Thalib as.
Adapun masalah Ilmu kitab, kita akan dapat mengetahui betapa pentingnya hal tersebut ketika kita mengkaji kisah Nabi Sulaiman as dan kehadiran istana Ratu Balqis di sisinya. Al-Qur'an telah menukil kisah tersebut.
"Dan berkata orang yang memiliki ilmu dari al-kitab, 'Akulah yang akan menghadirkan singgana Balkis itu ke hadapanmu sebelum matamu berkedip." (QS. An-Naml: 40)
Dari penjelasan ayat tersebut, dapatlah kita pahami bahwa mengetahui sebagian saja dari ilmu kitab mempunyai kekuatan yang begitu dahsyat dan luar biasa. Washi atau khalifah Nabi Sulaiman as yang bernama Asif bin Barkhiya itu hanya memiliki ilmun nimal kitab, yakni sebagian dari ilmu kitab saja, sehingga denganya ia mampu memindahkan istana Ratu Balqis hanya dengan sekejap mata, bahkan lebih cepat dari itu. Sementara Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as memiliki ilmu kitab, yakni seluruh ilmu kitab. Sungguh kita tidak akan dapat membayangkan kehebatan, ketinggian dan kemuliaan ilmu beliau.
Dalam sebuah riwayat, Sudair berkata, "Aku mengunjungi rumah beliau (Abu Abdillah Ja'far Ash-Shadiq as) bersama Abu Bashir dan Maisar. Kami berkata kepada beliau, 'Diri kami menjadi tebusanmu wahai Imam, kami telah mendengar di majlis tadi ucapan Anda tentang itu (bahwasanya tidak ada yang mengetahui hal-hal yang gaib selain Allah SWT sekaitan dengan budak perempuan engkau yang telah kabur) sedang kami tahu bahwa engkau memiliki ilmu yang sangat banyak dan kami tidak menisbahkan ilmu gaib kepada engkau.'
Sudair berkata, "Kemudian Imam Ja'far as berkata, 'Wahai Sudair, bukankah kamu membaca Al-Qur'an?"
Aku menjawab, "Benar wahai Imam."
Imam as berkata, 'Apakah dari yang kamu baca itu kamu mendapati ayat yang berbunyi, 'Orang yang memiliki sebagian ilmu kitab itu', berkata, 'Aku akan mendatangkannya kepadamu sebelum matamu berkedip.'
Sudair berkata, 'Diriku ini tebusanmu, sungguh aku telah membacanya.'
Imam as berkata, 'Apakah kamu tahu siapa orang itu? Apakah kamu tahu bahwa ia hanya memiliki sebagian saja dari ilmu kitab?'
Sudair berkata, 'Beritahukan aku tentang hal itu, wahai Imam!'
Imam as berkata, "Sebagian ilmu yang ia miliki itu hanyalah setetes air lautan saja."
Kemudian Imam Ja'far Ash-Shadiq as melanjutkan sabdanya, "Wahai Sudair, apakah engkau menemukan dari apa yang telah engkau baca itu firman Allah, "Qul kafaa billahi syahiidan baynii wabaynakum waman 'indahuu ilmul kitâb?'
Aku menjawab, "Ya betul, aku telah membacanya."
Lalu beliau berkata lagi, "Apakah orang yang memahami ilmu kitab seluruhnya itu lebih pandai ataukah orang yang hanya memahami sebagiannya saja?"
Aku berkata, 'Tentu orang yang memahami seluruh ilmu kitab itulah yang lebih pandai.'
Sudair melanjutkan kisahnya, "Kemudian beliau memberikan isyarat dengan tangannya ke dadanya seraya berkata, 'Demi Allah, seluruh ilmu kitab itu ada pada kami, demi Allah, seluruh ilmu kitab itu ada pada kami.'
Berikut ini kami nukilkan beberapa riwayat lainnya yang berhubungan dengan ilmu Ahlulbait Nabi saw. Imam Ali Ar-Ridha as bersabda dalam salah satu hadisnya yang panjang, "… dan sesungguhnya seorang hamba, jika Allah berkehendak memilihnya untuk mengatasi berbagai urusannya, Dia melapangkan hatinya untuk tugas tersebut, menganugrahkan sumber-sumber hikmah ke dalam hatinya, dan mencurahkan ilmu melalui ilham. Maka setelah itu, hamba tersebut tidak akan merasa lelah untuk menjawab berbagai persoalan, tidak akan merasa bingung dari kebenaran, ia akan selalu ditopang dengan kemaksuman, selalu benar dan diberi taufik, ia senantiasa aman dari segala kesalahan, kekeliruan dan ketergelinciran. Allah mengkhususkan anugerah-Nya itu kepadanya agar ia menjadi hujjah atas hamba-hamba-Nya, dan menjadi saksi bagi segenap makhluk-Nya. Itulah karunia Allah, Dia memberikannya kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Maka apakah mereka itu (orang-orang yang berkumpul di Saqifah Bani Sa'idah ketika Rasulullah saw wafat) mengutamakan hamba yang seperti ini kemudian mereka memilihnya? Ataukah orang-orang yang mereka pilih itu memiliki sifat-sifat semacam ini sehingga mereka mengutamakannya?'"[6]
Hasan bin Yahya Al-Madaini meriwayatkan sebuah hadis dari Abu Abdillah Ja'far as, dia berkata, "Aku bertanya kepada Abu Abdillah as, 'Wahai Imam, bagaimana (dan dengan ilmu apa) Imam menjawab tatkala ditanya?'
Imam as berkata, 'Dengan ilham dan sama' ( mendengar dari malaikat), atau mungkin pula dengan kedua-duanya.[7]
Di dalam riwayat lainnya, Imam Ash-Shadiq as bersabda, "Apabila seorang Imam itu tidak mengetahui apa yang benar dan apa yang akan terjadi, maka ia bukanlah Hujjah Allah bagi seluruh makhluk-Nya."
Di dalam beberapa riwayat, Imam Ja'far Ash-Shadiq as bersabda, "Sesungguhnya seorang imam maksum, jika ia berkehendak mengetahui sesuatu, Allah akan memberitahunya."
Dan dalam beberapa riwayat lainnya, beliau ditanya tentang maksud ayat, "Dan demikianlah kami wahyukan kepadamu "ruh" dari "amr" Kami."
Beliau bersabda, "Ruh tersebut adalah makhluk Allah, ia lebih agung daripada Jibril as dan Mikail as, ia senantiasa menyertai Rasulullah saw, membawa berita untuknya dan menopangnya. Dan (setelah beliau saw wafat) ia selalu bersama Imam-imam maksum as."[8]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Sebutkan ayat-ayat yang dapat digunakan untuk menetapkan kemaksuman para imam as!
2. Sebutkan riwayat-riwayat yang berhubungan dengan kemaksuman imam as!
3. Apakah jalan-jalan yang dapat menyampaikan imam askepada ilmu khusus?
4. Siapakah yang memiliki ilmu seperti ini pada masa sebelumnya?
5. Apakah ayat yang menunjukkan ihwal ilmu Imam as? Dan terangkan!
6. Jelaskan pentingnya ilmul kitab!
7. Sebutkan riwayat yang berhubungan dengan ilmu para imam maksum as!
________________________________________
[1] Rujuk ke Mustadrakul Hakim, jilid 3/226.
[2] Rujuk ke Yanabi'ul Mawaddah,hal. 88, Ushulul Kâfi, jilid 1/296.
[3] Ushulul Kafi, kitab Al-Hajj, hal. 264, 270.
[4] Lihat surah Al-Kahfi: 65-98 dan Ushulul Kafi, jilid 1/268.
[5] Lihat surah Ali Imran: 42, Maryam: 17-21, Thaha: 38, dan Al-Qashash: 7.
[6] Ushulul Kafi, jilid 1/198-203.
[7] Biharul Anwar, jilid, 26/58.
[8] Ushulul Kafi, jilid 1/273.



PELAJARAN 40

Imam Mahdi
Pada pembahasan yang lalu, kami telah menyinggung sebagian riwayat yang menyebutkan nama-nama dua belas imam as dan riwayat-riwayat lainnya, baik yang datang dari Ahlusunah maupun dari Syi'ah Imamiyyah, yang sebagiannya hanya menyebutkan jumlah mereka saja.
Dalam beberapa riwayat yang lain terdapat tambahan, bahwa para imam tersebut dari bangsa Quraisy. Beberapa riwayat lainnya menyebutkan bahwa jumlah mereka sebanyak nuqaba' Bani Israil (pengikut setia Nabi Isa as). Ada pula riwayat yang menyebutkan bahwa sembilan orang imam dari mereka itu adalah putra-putra keturunan Imam Husein as. Bahkan dari sebagian hadis Ahlusunah, ada yang menyebutkan nama-nama mereka, satu persatu. Sedangkan riwayat yang terakhir ini termasuk hadis mutawatir pada mazhab Syi'ah Imamiyyah.[1]
Dalam sumber-sumber Syi'ah, banyak sekali hadis yang menjelaskan imamah dan wilayah setiap imam. Sayang sekali, kami kira bukan tempatnya di sini untuk menukilkan hadis-hadis tersebut. Silahkan Anda merujuknya ke kitab-kitab seperti: Bihar Al-Anwar, Ghayat Al-Maram, Istbat Al-Hudat dan selainnya. Untuk itu, pembahasan terakhir mengenai Imamah di dalam kitab ini kami khususkan untuk membahas ihwal imam kedua belas. Pada kesempatan ini pun kami hanya akan membahas poin-poin terpenting.

Pemerintahan Universal Ilahi
Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa tujuan utama diu-tusnya para nabi adalah untuk melengkapi syarat-syarat yang harus dipenuhi demi perkembangan, kemajuan dan kesempurnaan manusia secara ikhtiari, bebas dan dengan penuh kesadaran. Dan hal itu bisa terwujud melalui penyampaian wahyu Ilahi kepada umat manusia dan menempatkannya dalam jangkauan mereka. Tujuan lainnya ialah untuk membantu pemberdayaan akal, pengembangan pemikiran, pembinaan ruh dan jiwa seseorang yang memang mempunyai potensi untuk menyempurna.
Lebih dari itu, para nabi yang agung berusaha untuk membentuk masyarakat ideal yang berdiri di atas landasan ibadah (penghambaan diri secara mutlak) kepada Allah SWT, nilai-nilai dan ajaran Islam, serta menegakkan keadilan di muka bumi. Untuk tujuan mulia itu, mereka telah berusaha dengan segenap kapasitas yang mereka miliki, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat yang mereka hadapi pada masa dan zaman yang berbeda-beda.
Sejarah mencatat bahwa sebagian dari para nabi itu telah berhasil mendirikan negara dan pemerintahan Ilahi di belahan dunia tertentu atau pada penggalan masa tertentu, walaupun memang kenyataan menunjukkan bahwa tidak seorang pun dari mereka yang berhasil mendapatkan situasi dan kondisi yang memadai untuk menegakkan negara dan pemerintahan Ilahi yang bersifat universal.
Perlu dipahami bahwa tidak terciptanya situasi dan kondisi tersebut bukan berarti bahwa metode dakwah dan ajaran yang mereka emban itu mengandung cacat dan kekurangan, atau terjadi kerancuan di dalam manejemen dan kepemimpinan mereka, tidak juga berarti bahwa misi dan tujuan Ilahi itu tidak terealisasi melalui risalah mereka. Karena pada prinsipnya, tujuan Ilahi hanyalah menyiapkan lahan dan kondisi yang sesuai dengan kebebasan dan hidup manusia.
Dengan kata lain, bahwa tujuan Ilahi hanyalah menyediakan sarana yang sesuai dengan kebutuhan umat manusia untuk mencapai kehidupan yang damai dan bahagia. Sarana itu berupa pengutusan para nabi dan rasul serta penurunan syariat dan ajaran yang sesuai dengan kondisi setiap umat. Dan senyatanya memang hal itu telah terwujud. Adapun keputusan untuk memilih dan mengikuti seruan Ilahi tersebut sepenuhnya dilimpahkan kepada mereka secara bebas. Sehingga dengan terpenuhinya sarana-sarana tersebut, mereka tidak lagi dapat menggugat Allah SWT di Hari Pembalasan kelak. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman, "Agar umat manusia itu tidak lagi mengajukan hujjah dan alasan terhadap Allah setelah diutusnya para rasul." (QS. An-Nisa': 165)
Dengan demikian jelaslah, bahwa tujuan Allah tidak berarti hendak memaksa umat manusia untuk memeluk agama dan ajaran yang hak dan mengikuti para pemimpin Ilahi. Akan tetapi, Allah SWT telah berjanji-di dalam kitab-kitab samawi-akan menegakkan pemerintahan Ilahi di jagat ini. Janji Allah ini dapat dikatakan sebagai kabar gaib akan terpenuhinya syarat-syarat dan kondisi yang memadai untuk tegaknya satu agama yang hak bagi seluruh umat manusia dalam skala global.

Beberapa Catatan Penting
Pertama, sebagian individu dan kelompok-yang memiliki kelebihan, keunggulan, dan dengan bantuan gaib Ilahi-berhasil menyingkirkan sebagian kendala yang menghambat proses berdirinya pemerintahan universal Ilahi, dan tersebarnya keadilan serta kedamaian pada bangsa-bangsa yang ditindas oleh para penguasa tiran dan mereka pun telah berputus harapan dari berbagai konsep dan metode yang berkuasa.
Kedua, berdirinya pemerintahan (hukumah) Ilahi dan meratanya keadilan dan kedamaian di seluruh penjuru dunia merupakan tujuan utama diutusnya nabi terakhir Muhammad saw dan agama dunia yang kekal, sebagaimana firman Allah SWT, "Demi tegak dan unggulnya agama Islam atas semua ajaran lainnya." (QS. At-Taubah: 33, Al-Fath: 28, dan Ash-Shaf: 9)
Ketiga, bahwasanya Imamah merupakan pelengkap kenabian dan realisasi falsafah ditutupnya kenabian.
Berdasarkan tiga poin ini, kita dapat menarik sebuah kesimpulan; bahwa tujuan utama diutusnya Nabi saw akan terwujud melalui imam yang terakhir, yaitu Imam Mahdi afs. (Ajjalallah farajahus-syarif!; semoga Allah mempercepat kemunculannya). Konsep mahdawi ini telah disinggung dalam riwayat-riwayat yang mutawatir, yang sangat kuat menopang konsep tersebut.
Berikut ini kami menukil ayat-ayat Al-Qur'an yang membawa janji dan harapan besar akan tegaknya pemerintahan Islam yang bersifat universal tersebut. Setelah itu kami akan menyebutkan sebagian riwayat yang ada hubungannya dengan masalah ini.

Janji Ilahi
Allah SWT berfirman, "Dan telah kami tetapkan di dalam kitab Zabur setelah al-Dzikri (Al-Qur'an) bahwa bumi akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh." (QS. Al-Anbiya': 105)
Kandungan yang sama dengan ayat tersebut terdapat pula pada ayat lainnya di dalam surat Al-A'raf ayat 128, yaitu ketika berbicara tentang Musa as Satu hal yang tidak mungkin dapat dibantah dan diragukan lagi adalah bahwa akan tiba suatu hari di mana janji ilahi ini akan terealisasi.
Dalam ayat lainnya telah disinggung kisah Fir'aun yang telah menyebabkan umat manusia di waktu itu hidup sengsara dan tertindas. Allah SWT berfirman, "Dan Kami menghendaki untuk memberikan karunia kepada orang-orang yang tertindas di muka bumi ini. Dan Kami akan menjadikan mereka sebagai para pemimpin dan menjadikan mereka pula sebagai para pewaris." (QS. Al-Qashash: 5)
Walaupun ayat ini diturunkan berkenaan dengan Bani Israil dan kekuasaan mereka atas berbagai perkara setelah bebasnya mereka dari cengkeraman raja-raja Mesir, akan tetapi ungkapan "wanuridu" (Kami menghendaki) berkenaan dengan kehendak Tuhan yang berlangsung terus. Oleh karena itu, ayat ini sesuai dengan riwayat-riwayat yang menjelaskan kemunculan Imam Mahdi afs.[2]
Pada ayat lainnya, Allah SWT berbicara kepada orang-orang yang beriman lewat firman-Nya, "Sesungguhnya Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang berbuat amal saleh, akan menjadikan mereka sebagai khalifah di muka bumi ini, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka sebagai khalifah, dan Dia akan menegakkan bagi mereka agama yang Ia ridlai untuk mereka, dan Dia akan menggantikan rasa takut mereka dengan keamanan, mereka akan menyembah-Ku, tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu pun. Dan barang siapa yang kufur setelah itu, maka mereka adalah orang-orang yang fasik." (QS. An-Nur: 55)
Di dalam sebagian riwayat dijelaskan, bahwa janji Ilahi ini akan terealisasi secara nyata pada masa munculnya Imam Mahdi afs kelak.[3]
Riwayat lainnya bahkan menjelaskan bahwa sebagian ayat seperti: liyudzhirohu 'aladdini kullih, wa yakunud-dinu kulluhu lillah, baqiyyatullahi khoirun lakum, dan selainnya begitu sesuai dengan ihwal Imam Mahdi yang gaib. Demi meringkas buku ini, kami tidak akan menyebutkan riwayat-riwayat tersebut.[4]

Beberapa Contoh Riwayat
Sesungguhnya riwayat-riwayat dari Rasulullah saw yang telah dinukil, baik oleh Syi'ah maupun Ahlusunah, tentang Imam Mahdi afs melebihi batas mutawatir. Bahkan riwayat-riwayat yang hanya dinukil oleh Ahlusunah itu sendiri-sehubungan dengan hal ini-telah melampaui batas mutawatir, sejauh pengakuan sekelompok ulama mereka.[5] Selain mereka, ada sekelompok ulama Ahlusunah yang menganggap bahwa meyakini Imam Mahdi afs termasuk permasalahan yang disepakati oleh seluruh aliran dalam Islam.[6]
Kita temukan pula sebagian ulama Ahlusunah yang telah menulis kitab khusus mengenai Imam Mahdi afs dan tanda-tanda kemunculannya, seperti: Al-Bayan fi Akhbari Shahibiz Zaman, karya al-Hafiz Muhammad bin Yusuf al-Kanji al-Syafi'i yang hidup pada abad VII, Al-Burhan fi Alamati Mahdi Akhiri al-Zaman, karya al-Muttaqi al-Hindi yang hidup pada abad X, dan sebagainya.
Berikut ini kami akan sebutkan beberapa riwayat yang telah dinukil oleh ulama Ahlusunah di dalam kitab-kitab mereka:
1. Rasulullah saw bersabda, "Jika zaman tidak ada yang tersisa lagi kecuali hanya sehari saja, Allah SWT pasti akan mengutus seorang lelaki dari keluargaku untuk mengisi muka bumi ini dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi dengan kezaliman."[7]
2. Riwayat lainnya dari Ummu Salamah, bahwa Rasul saw telah bersabda, "Al-Mahdi adalah dari 'ithrah dan keluargaku, dan dari putra Fatimah."[8]
3. Ibnu Abbas berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya Ali adalah Imam setelahku bagi umatku, dan Al-Qa'im Al-Muntazar adalah putra keturunannya. Apabila ia muncul, ia akan memenuhi muka bumi ini dengan keadilan dan kebijaksanaan sebagaimana ia telah dipenuhi dengan kezaliman dan penindasan."[9]

Kegaiban dan Falsafahnya
Kegaiban (ghaibah) termasuk salah satu keistimewaan imam kedua belas, Imam Mahdi afs. Hal ini sesuai dengan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ahlulbait as. Abdul 'Azim Al-Hasani meriwayatkan sebuah hadis dari Imam Muhammad Al-Jawad as, dari ayah dan kakek-kakeknya, dari Amirul Mukminin Ali as, beliau bersabda, "Sesungguhnya Al-Qa'im (Imam Mahdi afs) itu dari keturunan kami, ia akan mengalami kegaiban yang sangat panjang masanya, aku melihat orang-orang Syi'ah pada masa kegaibannya itu pergi berlalu-lalang ke sana ke mari mencarinya bagaikan hewan-hewan ternak yang berhamburan mencari tempat perlindungan, namun mereka tidak menemukannya. Ketahuilah, barang siapa di antara mereka yang berpegang teguh pada ajarannya dan hatinya tidak menjadi keras akibat panjangnya kegaiban Imamnya itu, kelak ia akan bersamaku dalam satu derajat pada Hari Kiamat."
Kemudian beliau melanjutkan, "Sesungguhnya Al-Qa'im itu dari keturunan kami, apabila ia telah bangkit (muncul), ia tidak akan mengadakan baiat dan kompromi kepada seorang penguasa pun. Oleh karena itulah kelahirannya tersembunyi dan sosoknya pun dalam kegaiban."[10]
Diriwayatkan dari Imam Ali Zainal Abidin as, dari ayahnya, dari kakeknya Ali bin Abi Thalib as, bahwa beliau bersabda, "Sesungguhnya Al-Qa'im itu dari keturunan kami, ia akan mengalami dua kali kegaiban; kegaiban yang satu lebih panjang dari yang lainnya. Hanya orang-orang yang kokoh keyakinannya dan benar makrifatnyalah yang akan tetap berpegang teguh kepada Imamahnya."[11]
Dalam rangka membongkar falsafah dan hikmah kegaiban Imam Zaman afs, kita harus menengok dan mengkaji sejarah hidup dan sirah para imam suci as Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa mayoritas umat Islam telah membaiat Khalifah Abu Bakar setelah wafatnya Rasul saw. Kemudian, kekhalifahan jatuh ke tangan Umar, dan setelahnya ke tangan Utsman.
Pada akhir kekuasaan Khalifah Utsman, telah terjadi pemberontakan massa terhadapnya lantaran banyaknya kebusukan dan kerusakan yang timbul dari perlakuan yang tidak adil terhadap rakyatnya. Akhirnya mereka membunuh Ustman. Dan setelah itu, mereka membaiat Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as.
Pada masa kekuasaan tiga khalifah, Imam Ali as yang merupakan khalifah yang sah, yang langsung diangkat oleh Rasulullah saw atas perintah Allah SWT, lebih banyak diam dalam menghadapi penyelewengan-penyelewengan mereka. Hal itu beliau lakukan demi menjaga maslahat kaum muslimin yang baru mengenal Islam. Beliau tidak banyak berbicara kecuali pada hal-hal yang telah lengkap buktinya. Pada sat yang sama, beliau sama sekali tidak lalai untuk selalu berkhidmat dan bekerja keras demi kemaslahatan Islam dan kaum muslimin.
Namun pada masa kekhilafahannya, Imam Ali as terpaksa menghabiskan seluruh masa itu di medan-medan peperangan melawan pasukan 'Aisyah, Muawiyah, dan kelompok Khawarij. Kehidupan beliau pun berakhir dengan syahadah di tangan salah seorang pengikut Khawarij.
Kemudian kita saksikan bagaimana Imam Hasan as mencapai syahadahnya setelah diracun oleh seseorang atas perintah Muawiyah. Dan setelah kematian Muawiyah, anaknya Yazid menduduki kursi kekuasaan dinasti Umayah. Yazid sama sekali tidak mengenal nilai-nilai Islam, tidak pula mengamalkannya. Karenanya, Islam terancam kehancuran pada masa kekuasaannya itu akibat dari perilakunya yang sewenang-wenang. Oleh karena itu, Imam Husein as bangkit demi menegakkan keadilan. Akhirnya, beliau meraih syahadah dalam keadaan teraniaya. Dengan cara demikian itu, beliau telah dapat menyelamatkan Islam dari ancaman kehancuran, karena hanya dengan cara itulah beliau telah berhasil membangkitkan tidur dan kelalaian umat Islam. Hanya saja, kondisi sosial masa itu belum meluangkan untuk menegakkan negara Islam yang adil.
Berangkat dari sinilah para imam suci pascakesyahidan Imam Husein as bekerja keras untuk mengokohkan dasar-dasar akidah, menyebarkan nilai-nilai dan hukum-hukum Islam, dan mendidik jiwa umat yang mempunyai potensi untuk itu. Sesuai dengan kondisi yang dihadapi, para imam itu menggugah masyarakat secara sembunyi-sembunyi untuk memerangi penguasa-penguasa zalim. Di samping itu, mereka menanamkan benih-benih harapan akan munculnya negara Ilahi di seluruh dunia, sampai akhirnya para imam suci itu menemui kesyahidannya, satu persatu.
Dengan usaha yang begitu serius dan gigih, para imam suci as dapat menjelaskan dan menyebarkan hakikat Islam kepada umat manusia dalam tempo dua setengah abad, meski mereka banyak mengalami tantangan yang keras, rintangan yang besar, dan keletihan yang berat. Mereka jelaskan sebagian dari hakikat dan nilai-nilai Islam itu kepada umat manusia secara umum, dan sebagian lainnya hanya kepada pengikut-pengikut setia dan sahabat-sahabat pilihan mereka. Dengan cara seperti itu tersebarlah ajaran-ajaran dan nilai-nilai Islam dengan berbagai sisi dan dimensinya kepada umat manusia. Dan dengan cara itu pula syariat Muhammad saw dapat terjamin kelanggengannya.
Berkat perjuangan para imam suci tersebut terbentuklah kelompok-kelompok kecil di negara-negara Islam yang berani mengadakan perlawanan terhadap para penguasa tiran, dan mereka pun mampu-meskipun dalam bentuk yang terbatas-mengurangi tekanan para penguasa diktator tersebut dalam berbuat aniaya, melakukan penyimpangan-penyimpangan, dan berlaku sewenang-wenang terhadap umat Islam.
Akan tetapi, satu hal yang sangat ditakuti oleh para penguasa zalim dan membuat mereka resah ialah janji Allah akan munculnya Imam Mahdi afs yang berpotensi memusnahkan eksistensi mereka. Oleh karena itulah para penguasa tiran yang hidup semasa dengan Imam Hasan Al-Askari as senantiasa mengawasi beliau dengan sangat ketat untuk dapat membunuh setiap bayi laki-laki yang akan lahir dari keturunannya. Dan kita saksikan bagaimana beliau sendiri menemui kesyahidannya di tangan mereka pada usia yang relatif muda.
Akan tetapi, Hikmah Ilahiyah menghendaki bahwa Al-Mahdi afs telah lahir sebelum wafatnya ayah beliau itu, sebagai janji untuk menyelamatkan dan membebaskan umat manusia. Sebab itulah pada masa hidup ayahnya sampai usianya masuk 5 tahun, tidak seorang pun yang berhasil berjumpa dengannya kecuali hanya beberapa syi'ah pilihan. Dan setelah ayahnya wafat, Imam Mahdi afs menjalin hubungan dengan masyarakat melalui empat orang perantara yang masing-masing berperan sebagai wakil-wakil khusus beliau. Mereka itu adalah Utsman bin Sa'id, Muhammad bin Usman bin Sa'id, Husain bin Ruh dan Ali bin Muhammad As-Samari.
Kegaiban Imam Mahdi afs terhitung sejak kelahirannya hingga wafatnya wakil beliau yang keempat, dinamakan Kegaiban Kecil (ghaibah shugra). Dan setelah itu, mulailah Kegaiban Besar (ghaibah kubra) yang akan berlangsung terus dalam masa yang tidak diketahui, sampai suatu hari kelak umat manusia telah memiliki kesiapan yang cukup untuk menerima pemerintahan Ilahi yang berskala global dan universal. Ketika itulah Imam Mahdi afs akan muncul dengan izin dan perintah Allah SWT.
Dengan uraian singkat di atas dapat kita pahami bahwa hikmah, falsafah dan rahasia kegaiban Al-Mahdi afs adalah demi menjaga keselamatan beliau dari tangan para penguasa tiran. Hikmah dan falsafah lainnya yang telah disinggung oleh sebagian riwayat ialah untuk menempa keimanan umat manusia, dan menguji sejauh mana kesetiaan mereka hingga mampu istiqamah dan bertahan setelah hujjah itu telah sempurna atas mereka.
Dan yang perlu dipahami, bahwa terjadinya Kegaiban Besar pada Al-Mahdi afs. tidak berarti umat manusia itu terhalangi sama sekali dari berkah wujudnya. Beberapa riwayat menjelaskan bahwa kegaiban beliau laksana matahari yang bersembunyi di balik awan, yang pancaran sinarnya masih bisa dimanfaatkan oleh penduduk bumi.[12]
Di samping itu, tidak sedikit orang-orang yang telah mendapat taufik berjumpa dengan Imam Al-Mahdi afs, walaupun beliau menampakkan dirinya sebagai seorang yang tampak asing. Banyak di antara mereka yang mendapatkan berkah dari beliau, seperti terpenuhinya hajat dan teratasinya kesulitan-kesulitan mereka, baik yang sifatnya duniawi atau pun ukhrawi.
Yang jelas, keyakinan pada keberadan dan hidupnya Imam Mahdi afs merupakan faktor penting dan pengaruh yang besar dalam menanamkan ketenangan hati, serta menaruh harapan di tengah-tengah umat manusia, sehingga mereka berusaha untuk memperbaiki diri mereka dan bersiap-siap menyambut kemunculannya.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini !
1. Apakah tujuan akhir dari diutusnya Nabi saw?
2. Bagaimana tujuan ini dapat terwujud?
3. Ayat-ayat apa saja yang memberikan kabar gembira ihwal akan ditegakkannya pemerintahan Islam yang universal?
4. Sebutkan contoh dari riwayat-riwayat Ahlusunah tentang Imam Mahdi afs?
5. Sebutkan contoh dari riwayat-riwayat Ahlu bait asberkaitan dengan kegaiban Imam afs?
6. Jelaskan Kegaiban Kecil dan Kegaiban Besar, serta perbedaan antara keduanya!
7. Apakah manfaat dan berkah yang dapat diambil oleh umat manusia pada masa kegaiban sekarang ini?
________________________________________
[1] Muntakhab al-Atsar fi al-Imam al-Tsani 'Asyar, hal. 10-140.
[2] Lihat Biharul Anwar, jilid 51/54 hadis ke-35.
[3] Ibid, jilid 51/58, 50, 54, 34, 35.
[4] Ibid, jilid 51/ 44-64.
[5] Lihat Ash-Shawai'qul Muhriqah, Ibnu Hajar hal. 99, Nurul Abshar, Syablanji, hal. 155, Is'afu Al-Raghibin hal. 140, dan Al-Futuhat al-Islamiyah, jilid 2/211.
[6] Syarah Nahju al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jilid 2/535, Sabaiku al-Dzahab, Suwaidi, hal. 78, dan Ghayatu al-Ma'mul, jilid 5 /362.
[7] Shahih Turmudzi, jilid 2/46, Shahih Abu Daud, jilid 2/207, Musnad Ibnu Hanbal, jilid 1/378, Yanabi'ul Mawaddah, hal. 186, 285, 440, 488, 490.
[8] Is'afu al-Raghibin, hal. 134 yang menukil dari kitab Shahih Muslim, Abu Daud, Nasa'i, Ibnu Majah dan Baihaqi.
[9] Yanabi'ul Mawaddah, hal. 494.
[10] Muntakhab Al-Atsar, hal. 251.
[11] Ibid.
[12] Biharul Anwar, Al-Majlisi, jilid 52/ 92.




PELAJARAN 41 
Ma'ad

Nilai Pembahasan tentang Akhir Kehidupan

Di awal-awal buku ini, kita telah mempelajari pentingnya mencari agama dan prinsip-prinsip akidahnya, yaitu Tauhid, Kenabian, dan Ma'ad. Dan telah kami jelaskan bahwa kehidupan manusia itu berlandaskan pengetahuannya yang benar dalam menangani masalah ini. Juga telah kita pelajari masalah-masalah Tauhid pada bagian pertama. Dan pada bagian kedua, kita pun telah mempelajari jalan dan penuntun kehidupan (Kenabian dan Imamah). Berikut ini kami akan berusaha memeriksa masalah-masalah penting prinsip Ma'ad yang dikenal dengan istilah "Akhir Perjalanan".
Pertama-tama, kami akan mengurai ciri-ciri khas prinsip Ma'ad dan pengaruhnya secara khusus terhadap sikap praktis individu maupun sosial. Setelah itu kami akan menjelaskan hubungan logis antara pengertian kita tentang Ma'ad dan pengenalan kita akan ihwal ruh. Sebagaimana mengenal ihwal wujud tanpa meyakini Allah Yang Esa adalah upaya yang kurang, begitu pula pengenal ihwal manusia tanpa meyakini adanya ruh yang kekal adalah pengenalan yang tidak seutuhnya. Setelah itu semua, barulah kami menjelaskan masalah-masalah prinsipal Ma'ad sesuai dengan kapasitas buku ini.


Pentingnya Iman kepada Ma'ad
Pada dasarnya, motif di balik berbagai macam aktifitas hidup ini adalah rasa ingin memenuhi segala kebutuhan, keinginan dan merealisasikan berbagai tujuan dan ambisi, yang pada akhirnya akan mencapai kebahagiaan dan puncak kesempurnaan. Dan, nilai suatu aktifitas serta cara mengarahkannya amat bergantung pada pembatasan atas tujuan yang diusahakan pencapaiannya melalui aktifitas tersebut. Oleh karena itu, mengetahui tujuan akhir bagi suatu kehidupan berperan besar dalam mengarahkan berbagai aktifitas dan memilih suatu tindakan. Pada hakikatnya, faktor utama dalam membatasi perjalanan hidup terdapat pada cara pandang seseorang terhadap hakikat dirinya; kesempurnaannya dan kebahagiaannya.
Seseorang yang percaya bahwa hakikat dirinya tidak lebih dari sekumpulan unsur-unsur materi dan interaksi yang rumit di antara mereka, memandang bahwa kehidupannya dibatasi oleh masa yang singkat di dunia ini, ia pun tidak mengakui adanya kepuasan, kebahagiaan atau kesempurnaan selain keuntungan dan usaha duniawi. Tentu, ia akan mengatur aktifitas dan tindakannya sesuai dengan tuntutan dan keinginan duniawinya.
Adapun seseorang yang yakin bahwa hakikat dirinya itu lebih luas daripada materi, bahwa kematian itu bukanlah akhir kehidupan, akan tetapi sebuah perpindahan dari alam dunia yang sementara menuju alam akhirat yang kekal, dan bahwa perbuatannya yang saleh merupakan sarana untuk mencapai kebahagiaan dan kesempurnaannya yang abadi, tentu ia akan menjalani hidupnya dengan cara yang lebih bermanfaat, lebih unggul, dan lebih berpengaruh terhadap kehidupannya yang abadi. Lebih dari itu, segala kelelahan, kesalahan, dan kerugian yang ia alami di dunia tidak menggoyahkan tekadnya, tidak membuatnya putus asa, dan tidak juga mencegahnya dari melanjutkan segala aktifitas dan perjuangannya dalam menjalankan berbagai tugasnya demi mencapai kebahagiaan dan kesempurnaannya yang abadi.
Dua model kepercayaan manusia di atas tadi tidak terbatas pengaruhnya pada kehidupan personal saja, tetapi juga pada kehidupan sosial dan pada sikap praktis setiap individu dan hubungan satu dengan lainnya. Keyakinan terhadap kehidupan akhirat, pahala dan siksa yang bersifat abadi amat berpengaruh besar dalam menjaga hak-hak orang lain dan berbuat baik kepada orang-orang yang lemah dan miskin. Tatkala suatu masyarakat mengarah kepada keyakinan semacam ini, tidak perlu lagi mengutamakan kekuatan untuk menerapkan undang-undang dan hukum-hukum keadilan serta memberantas kezaliman dan mengembalikan hak seseorang. Meratanya keyakinan semacam ini sanggup mengatasi sekian banyak problema negara.
Berdasarkan uraian di atas, tampak jelas pentingnya prinsip Ma'ad dan nilai pembahasannya. Bahkan keyakinan pada prinsip Tauhid sekalipun, apabila tidak dilapisi oleh keyakinan pada Ma'ad, tidak akan memberikan pengaruh yang berarti dan menyeluruh dalam mengarahkan kehidupan yang benar dan bertujuan. Dari sini pula tampak jelas besarnya perhatian agama-agama samawi-khususnya Islam-terhadap prinsip Ma'ad, dan betapa para nabi telah mengerahkan segenap upaya mereka dalam menanamkan prinsip akidah ini di dalam jiwa manusia.
Keyakinan terhadap kehidupan akhirat itu baru dapat berpengaruh dalam mengarahkan perilaku seseorang, baik yang bersifat personal maupun sosial, bilamana hubungan sebab-akibat antara apa yang diusahakan di dunia ini-berupa perbuatan, kesenangan, kesengsaraan-dengan alam akhirat dapat diterima sepenuhnya. Setidaknya, harus ada pengakuan bahwa ganjaran akhirat itu akan menjadi pahala atau siksa atas amal-amal baik dan buruk yang dilakukan di dunia ini.
Adapun jika kita meyakini bahwa kebahagiaan akhirat itu akan dapat dicapai di alam akhirat itu sendiri, sebagaimana kenikmatan-kenikmatan duniawi itu dapat diperoleh di dunia ini, maka keyakinan terhadap kehidupan alam akhirat akan kehilangan pengaruh utamanya dalam kehidupan kita di dunia. Sebab berdasarkan keyakinan ini, dapat dikatakan bahwa untuk memperoleh kebahagiaan dunia, setiap orang harus berusaha di dalamnya, sebagaimana untuk memperoleh kebahagian akhirat ia harus berusaha untuk memperolehnya di alam akhirat kelak, yaitu setelah kematian.
Maka itu, di samping membuktikan realitas Ma'ad dan kehidupan akhirat, termasuk hal yang penting ialah membuktikan adanya hubungan antara kehidupan dunia dan akhirat serta pengaruh berbagai tindakan ihktiyari (bebas) terhadap kebahagiaan atau kesengsaraan yang abadi.


Perhatian Al-Qur'an terhadap Ma'ad
Kita perhatikan bahwa lebih dari sepertiga Al-Qur'an berkaitan dengan kehidupan abadi. Sekelompok dari ayat-ayatnya menekankan keharusan beriman pada Hari Akhirat.[1] Sekelompok lainnya menyingkapkan dampak pengingkaran Ma'ad. Kelompok ketiga menjelaskan berbagai macam kenikmatan abadi. Kelompok keempat menerangkan berbagai macam azab yang abadi. Kelompok kelima menegaskan adanya hubungan antara amal-amal kebajikan atau keburukan beserta pengaruh dan konsekuensi ukhrawinya. Kelompok keenam-dengan ungkapan yang beragama-menekankan pentingnya Hari Kiamat serta menyanggah keraguan-keraguan para pengingkarnya. Ada pula kelompok ketujuh dari ayat-ayat Al-Qur'an yang menjelaskan bahwa sebab terjadinya berbagai macam kesesatan dan penyelewengan itu lantaran kelalaian atau pengingkaranterhadap Hari Kiamat atau Hari Pembalasan.
Berangkat dari ayat-ayat Al-Qur'an, dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa sebagian besar sabda para nabi dan dialog mereka dengan masing-masing umatnya berkisar pada prinsip Ma'ad. Bahkan dapat dikatakan bahwa usaha yang mereka lakukan untuk membuktikan Ma'ad lebih banyak dibandingkan dengan usaha yang mereka kerahkan untuk masalah Tauhid, karena mayoritas manusia mengambil sikap ragu atau menolak terhadap prinsip ini.
Adapun faktor penolakan mereka terhadap Ma'ad dan Tauhid dapat disimpulkan pada dua hal: pertama, faktor umum yang telah mendarah-daging pada diri mereka dalam mengingkari setiap perkara yang gaib dan non-materi.
Kedua, faktor khusus terhadap masalah Ma'ad, yakni ada keinginan untuk mencari-cari alasan dan keinginan bebas dari tanggung jawab. Karena, sebagaimana yang telah kami jelaskan, keyakinan terhadap Hari Kiamat dan hisab (perhitungan) merupakan penopang yang kuat untuk menanamkan rasa tanggung jawab, dan pendorong yang besar untuk menerima ketentuan-ketentuan dalam berbuat, mencegah kezaliman, merampas hak orang lain, berbuat kerusakan dan maksiat. Dan pengingkaran Ma'ad akan membuka jalan untuk melakukan kesewenang-wenangan, tunduk pada hawa nafsu, egoisme, dan berbagai macam penyelewengan. Allah SWT berfirman, "Apakah manusia mengira bahwa kami tidak akan menghimpun tulang belulangnya? Tidak, sesungguhnya Kami mampu untuk menciptakan jari-jemarinya, akan tetapi manusia akan selalu ingin berbuat jahat di hadapan-Nya." (Qs.Al-Qiyamah: 3-5)
Dari ayat ini kita dapat melihat sikap dan kondisi jiwa orang-orang yang tidak mau mengakui Ma'ad dengan pengertian yang sebenarnya. Mereka berusaha mengartikan kebangkitan, Hari Akhirat dan ungkapan-ungkapan qur'anik tentang Ma'ad-dalam ucapan-ucapan dan tulisan-tulisan mereka-berdasarkan fenomena duniawi, misalnya membangkitkan bangsa-bangsa, mendirikan masyarakat tanpa mengenal kelas, membangun surga dunia, atau mereka menafsirkan alam akhirat dan istilah-istilah yang berkaitan dengannya dengan nilai moral yang semu.
Al-Qur'an menganggap orang-orang seperti itu sebagai setan-setan manusia dan musuh-musuh para nabi, karena mereka berusaha mengkaburkan pemikiran dan menipu hati-hati manusia melalui ucapan mereka yang menipu dan menghancurkan. Mereka juga menjauhkan umat manusia dari keimanan yang lurus dan komitmen terhadap hukum dan ajaran Ilahi. Allah SWT berfirman, "Demikianlah telah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan dari jenis manusia dan dari jenis jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang memikat tuk menipu manusia. Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. Dan agar hati kecil oran-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang setan-setan kerjakan." (Qs. Al-An'am:12-13)


Kesimpulan

Agar manusia dapat memilih jalan yang membawanya kepada kebahagiaan yang hakiki dan puncak kesempurnaan di dalam hidupnya, semestinya ia berpikir: apakah kehidupan dunia ini berakhir dengan kematian? Apakah terdapat kehidupan lain setelah kehidupan ini? Apakah perpindahan dari alam ini ke alam yang lain tak ubahnya dengan perpindahan dari satu kota ke kota lain, dimana ia dapat menyiapkan perbekalan hidupnya di kota pertama? Ataukah kehidupan ini hanyalah awal dan lahan guna memperoleh kebahagiaan ataupun penderitaan di alam lain, sehingga ia harus mempersiapkan bekal dan berbakti di dunia ini untuk memperoleh hasil akhir di alam itu? Seseorang yang tidak dapat menjawab masalah ini tidak akan dapat mengenal jalan, menentukan cara hidupnya dengan baik, karena jika ia tidak mengenal tujuan perjalanannnya, ia tidak akan dapat menentukan jalan yang akan menyampaikannya.
Akhirnya, kami menekankan kemungkinan adanya kehidupan akhirat, walaupun asumsi ini lemah sekali. Kemungkinan ini sendiri sudah memadai untuk mendorong manusia yang berakal dan sadar guna mengkaji kehidupan akhirat tersebut, karena kualitas kemungkinan tersebut tidaklah terbatas (baca: keabadian).[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!

1. Jelaskan perbedaan antara orang yang meyakini Ma'ad dan orang yang tidak meyakininya dalam pengaruhnya pada berbagai aktifitas hidupnya!
2. Kapankah keyakinan terhadap alam akhirat itu akan memberikan pengaruh yang besar dalam mewujudkan kehidupan yang mulia?
3. Jelaskan perhatian Al-Qur'an terhadap masalah Ma'ad!
4. Jelaskan faktor-faktor pengingkaran sebagian orang terhadap masalah Ma'ad!
5. Sebutkan contoh sebagian orang yang berusaha memalingkan manusia dari keyakinan terhadap Ma'ad, serta sikap Al-Qur'an terhadap usaha mereka itu!
6. Jelaskan pentingnya membahas Ma'ad dan keutama-annya daripada masalah-masalah duniawi!
________________________________________
[1] Lihat surah Al-Baqarah: 4, Luqman: 4, dan An-Naml: 3.



PELAJARAN 42
Kaitan antara Ma'ad dan Masalah Ruh

Standar Kesatuan pada Makhluk Hidup
Tubuh manusia itu tersusun dari sekelompok sel-sel sebagaimana pada seluruh hewan. Dan setiap sel senantiasa berubah dan berganti. Misalnya, jumlah sel itu tidak tetap sejak seseorang itu dilahirkan sampai akhir hidupnya. Kita tidak akan menemukan manusia yang unsur-unsur tubuhnya tidak mengalami perubahan sepanjang hidupnya, atau jumlah sel yang berada dalam tubuhnya itu tetap utuh.
Perubahan dan pergantian pada tubuh manusia, dan hewan pada umumnya, menimbulkan sebuah pertanyaan: apakah sebenarnya standar untuk menilai kelompok yang berubah-ubah ini sebagai wujud yang satu (wahid)? Sebab, kita amati bahwa bagian-bagiannya itu dapat berubah-ubah dan berganti sepanjang hidupnya lebih dari satu kali.
Jawaban sederhana atas pertanyaan ini adalah bahwa standar kesatuan pada setiap mahluk hidup ialah adanya hubungan bagian-bagian itu dalam satu masa atau pada masa yang berbeda-beda. Walaupun sel-sel itu mengalami kematian secara berangsur lalu digantikan oleh sel-sel baru, akan tetapi mengingat adanya hubungan antara satu sel dengan sel lainnya, dapat dikatakan bahwa kelompok yang non-permanen itu sebenarnya realitas yang satu.
Jawaban ini tidaklah memuaskan, karena kalau kita berasumsi akan adanya satu bangunan yang tersusun dari sekelompok batu-batu, lalu batu-batu ini mengalami perubahan secara berangsur sehingga tidak tersisa lagi wujud batu-batu yang terdahulu lantaran posisinya digantikan oleh batu-batu yang baru, dalam asumsi ini kita sulit menganggap sekelompok batu yang baru ini adalah bangunan yang awal itu. Perumpamaan material ini dibawakan sebagai pendekatan dalam persoalan ini, khususnya bagi orang yang tidak mengetahui adanya perubahan dan pergantian pada bagian-bagian kelompok tersebut.
Jawaban itu dapat disempurnakan sebagai berikut: bahwa perubahan yang terjadi secara gradual itu tidaklah mengganggu kesatuan kelompok tersebut pada bentuknya yang baru, karena adanya faktor alami dan internal, sebagaimana hal ini dapat kita amati pada makhluk-makhluk hidup. Namun, tatkala batu-batu bangunan itu berubah dan berganti akibat faktor-faktor eksternal dan internal, kita tidak dapat menisbahkan kesatuan yang hakiki kepadanya sepanjang adanya bagian-bagian yang senantiasa berganti dan berubah pada mahluk-mahluk hidup karena faktor alami.
Jawaban ini didasari oleh pengakuan terhadap adanya satu faktor alami yang senantiasa utuh sepanjang fase-fase perubahan, dan ia pula yang menjaga keutuhan antarbagian-bagian yang membentuk tubuh. Dari sinilah timbul satu pertanyaan mengenai faktor itu sendiri: Apakah faktor itu? Apakah standar kesatuan pada dirinya?
Menurut sebuah teori populer filsafat, standar kesatuan pada setiap realitas adalah hakikat yang sederhana (tak tersusun) dan non-indrawi yang dinamakan dengan thabi'ah atau forma (shuroh), yang tidak mengalami perubahan meski maddah (materi)-nya berubah-ubah. Hakikat permanen ini dinamakan dengan ruh (nafs), khususnya pada makhluk hidup yang melakukan berbagai aktifitas hidup seperti: makan, tumbuh dan berkembang.
Para filsuf klasik menganggap bahwa ruh yang ada pada tumbuhan dan hewan itu bersifat materi (maddi). Adapun ruh yang ada pada manusia adalah non-materi (mujarrad). Namun, kebanyakan filsuf Islam, seperti Sadrul Muta'allihin Syirazi (Mulla Sadra) dan selainnya menganggap bahwa ruh hewan (nafs hayawani) itu juga memiliki sederajat kenonmaterian, dan bahwa ihwal merasa dan berkehendak itu merupakan kemestian dan ciri khas wujud nonmateri.
Sementara itu, kaum materialis yang membatasi wujud ini hanya pada materi dan sifat-sifat khasnya, mengingkari adanya ruh yang bersifat non-materi. Tipe pembaharu dari Materialisme, seperti Positivisme, mengingkari segala sesuatu yang tak dapat diindera. Mereka percaya bahwa sesuatu yang tidak dapat diindera itu tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Oleh karena itu, mereka tidak menerima keberadaan forma yang abstrak (non-materi) itu. Dengan demikian, mereka pada dasarnya tidak menawarkan solusi yang tuntas dalam menentukan standar kesatuan pada makhluk hidup.
Dengan kata lain, standar kesatuan pada tumbuhan adalah forma atau ruh tumbuh (nafs nabati). Maka itu, kehidupan tumbuhan tergantung pada keberadaan ruh tumbuh yang terdapat khusus pada materi-materi yang memiliki potensi. Ketika potensi itu sirna dari meteri-materi tersebut, ruh tumbuh itu pun menjadi sirna. Lalu, apabila kita mengasumsikan adanya potensi pada materi-materi tersebut untuk menerima kembali ruh tumbuh, maka ruh ini akan dicurahkan kepada mereka. Namun berdasarkan pandangan ini, tidak akan ada kesatuan hakiki antara tumbuhan yang lama dengan tumbuhan yang baru, walaupun terdapat kemiripan di antara keduanya itu. Yakni, bila dicermati secara teliti, kita tidak akan menganggap lagi bahwa tumbuhan yang baru ini adalah tumbuhan yang lama itu.
Adapun pada hewan dan manusia, mengingat ruh mereka adalah non-materi, ruh tersebut bisa tetap utuh meskipun tubuh mereka telah hancur lebur. Dan ketika ruh itu berhubungan kembali dengan tubuh, ia akan menjaga kesatuan seseorang, sebagaimana hal itu demikian sebelum kematiannya, yaitu bahwa kesatuan ruh merupakan standar kesatuan seseorang. Adapun pergantian materi tubuh tidak menyebabkan keberbilangan (katsroh) dirinya.
Lain halnya orang itu berkeyakinan bahwa wujud hewan dan manusia itu terbatas pada tubuh yang materi dengan sifat-sifat khasnya dan menganggap bahwa ruh itu merupakan ciri khas tubuh, bahkan sekalipun ia menganggap bahwa ruh itu merupakan bentuk yang tidak bisa diindera akan tetapi ia adalah materi yang akan sirna ketika anggota tubuh itu hancur luluh, orang seperti ini tidak akan mempunyai pengertian yang tepat tentang Ma'ad. Karena jika diasumsikan bahwa tubuh itu memperoleh potensi barunya untuk hidup, akan tampak adanya ciri-ciri khas dan sifat-sifat yang baru pula. Atas dasar ini, ia tidak mungkin menjadi standar yang hakiki bagi kesatuannya, karena ciri-ciri khusus yang terdahulu-berdasarkan asumsi itu-akan sirna sama sekali ketika ciri-ciri khas yang baru telah muncul.
Alhasil, kita dapat menggambarkan kehidupan setelah kematian dengan benar jika kita menganggap bahwa ruh itu bukanlah tubuh dan tidak memiliki ciri-ciri serta sifat-sifat tubuh. Lebih dari itu, kita mesti tidak menganggap bahwa ruh itu adalah bentuk material yang menempati tubuh dan ia akan sirna ketika tubuh itu hancur.
Oleh karena itu pertama, kita harus mengakui adanya ruh. Kedua, kita harus percaya bahwa ruh itu merupakan hakikat yang substansial; bukan sifat-sifat tubuh. Ketiga, kita harus meyakini bahwa ruh itu mandiri dan tetap utuh meskipun tubuh telah hancur luluh. Ia tidaklah seperti forma-forma tercetak pada materi, yang akan sirna ketika tubuh itu hancur luluh.

Ihwal Ruh pada Wujud Manusia
Hal lain yang perlu diperhatikan di sini ialah bahwa tersusunnya manusia dari ruh dan raga tidak seperti zat kimia yang terdiri dari dua unsur, semisal tersusunnya air dari oksigen dan hidrogen, yang apabila salah satunya berpisah dari yang lainnya, wujud susunan tersebut akan sirna berikut seluruh sifat-sifat susunannya. Sementara ruh adalah unsur substansial dan hakikat manusia. Selama ruh itu ada, kemanu-siaan manusia dan kepribadiannya tetap ada dan utuh dengan sendirinya. Oleh karena itu, perubahan dan pergantian sel-sel tubuh tidak merusak kesatuan pribadi, karena standar kesatuan hakiki manusia adalah ruhnya yang satu.
Hal ini telah disinggung oleh Al-Qur'an tatkala menjawab para pengingkar Ma'ad yang bertanya-tanya: Bagaimana mungkin manusia itu mendapatkan kehidupannya yang baru setelah organ tubuhnya itu hancur luluh?
"Katakanlah sesungguhnya yang mematikan kalian adalah malaiakat maut yang diwakilkan oleh Allah untuk tugas itu." (QS. As-Sajdah: 11)
Dengan demikian, hakikat setiap manusia itu didasari oleh sesuatu yang dicabut oleh Malaikat Maut, yakni ruh, bukan bagian-bagian tubuhnya yang telah hancur di dalam bumi.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Dapatkah kita menganggap adanya hubungan bagian-bagian yang berubah pada satu kelompok sebagai standar kesatuannya dan mengapa?
2. Apakah standar lain yang dapat diasumsikan bagi adanya kesatuan pada susunan tubuh?
3. Apakah teori populer filsafat mengenai kesatuan wujud yang tersusun, khususnya makhluk hidup?
4. Apakah perbedaan antara forma natural dan ruh?
5. Apakah perbedaan antara ruh tumbuhan dan ruh hewani dan ruh insani? Dan apakah pengaruh perbedaan tersebut terhadap masalah Ma'ad?
6. Apakah dasar-dasar yang diperlukan untuk dapat memberikan pengertian yang tepat mengenai Ma'ad?
7. Apakah perbedaan antara susunan manusia yang terdiri dari ruh dan raga dengan susunan kimiawi?



PELAJARAN 43

Kenonmaterian Ruh
Pelajaran yang lalu telah menerangkan bahwa masalah Ma'ad itu berkaitan erat dengan masalah ruh. Artinya, seseorang yang dihidupkan setelah kematian adalah pribadinya itu sendiri yang hidup sebelumnya. Ini menjadi mungkin bila ruhnya tetap ada, meskipun tubuhnya telah hancur. Dengan kata lain, setiap manusia itu memiliki substansi (jauhar) yang nonmateri dan mandiri dari tubuhnya, dimana hakikat kemanusiaannya terkait erat dengannya. Jika tidak demikian, asumsi kehidupan yang baru bagi seseorang tidaklah logis. Karenanya, sebelum kami membahas Ma'ad, kita harus mengkaji masalah ruh itu yang akan diupayakan dalam pelajaran ini. Untuk hal ini, ada dua dalil yang bisa diajukan; dalil akal dan dalil wahyu.

Dalil Akal
Sejak dahulu, para ulama telah banyak membahas masalah ruh. Dalam Filsafat Islam, ruh yang disebut dengan istilah nafs, menjadi fokus penting, sehingga para filsuf menulis secara khusus bagian-bagian yang berkaitan dengan masalah ini. Bahkan, mereka menulis kitab-kitab dan risalah-risalah tersendiri, lalu mengkritisi-dengan sekian banyak dalil-pandangan yang menyatakan bahwa ruh itu merupakan aksiden ('aradh) bagi tubuh atau forma material (shurah maddiyyah) yang ada pada tubuh material. Tentunya, pembahasan luas mengenai masalah ini tidak sesuai dengan buku ini. Untuk itu, kami berusaha membahasnya secara ringkas, jelas dan padu.
Pembahasan ini menyinggung sebagian dalil-dalil akal yang akan kami mulai dari premis-premis berikut ini:
Kita menyaksikan warna kulit dan bentuk tubuh kita dengan mata kepala kita sendiri. kitapun dapat merasakan kasar-lembutnya bagian-bagian tubuh kita dengan indra sentuhan, dan kita tidak dapat mengetahui bagian dalam tubuh kita kecuali secara tidak langsung. Namun begitu, kita dapat mengetahui rasa kuatir, cinta, benci, kehendak, dan pikiran kita tanpa melalui indra. Begitu pula, kita dapat mengenal "aku" kita yang memiliki perasaan-perasaan dan berbagai keadaan tersebut tanpa menggunakan indra. Jadi, manusia itu memiliki dua macam pengetahuan; pengetahuan melalui indra dan pengetahuan tak melalui indra.
Premis lainnya ialah terjadinya kekeliruan-kekeliruan pada pengetahuan melalui indra. Maka itu, juga sangat mungkin terjadi kekeliruan pada pengetahuan macam pertama. Berbeda dengan pengetahuan macam kedua, yang tidak mengalami kekeliruan keraguan. Seseorang bisa ragu terhadap warna kulitnya; apakah senyatanya memang demikian apa yang ia lihat. Akan tetapi, ia tidak akan ragu; apakah ia itu berpikir atau tidak, menghendaki sesuatu atau tidak, dan merasa ragu atau tidak.
Premis ini dinyatakan sebagai berikut: bahwa pengetahuan hudhuri[1] itu bersentuhan langsung dengan hakikat wujud objeknya. Oleh karena itu, ia tidak mengalami kesalahan. Adapun ilmu hushuli, lantaran diperoleh melalui gambaran perseptual di benak, ia pada dasarnya bisa mengalami keraguan dan kesalahan.
Artinya, kebanyakan pengetahuan pasti manusia adalah pengetahuan hudhuri dan syuhudi, termasuk di dalamnya ialah pengetahuan kita akan jiwa (nafs), perasaan, emosi dan keadaan-keadaan jiwa lainnya. Oleh karena itu, "aku" yang mengetahui, berfikir, dan berkehendak tidak akan mengalami keraguan sedikit pun, sebagaimana keadaan atau rasa takut, cinta, benci, berfikir, dan berkehendak tidak dapat diragukan faktanya.
Dari uraian tersebut timbul satu pertanyaan: Apakah "aku" ini adalah tubuh fisikal yang terindra itu? Apakah keadaan-keadaan jiwa berlaku sebagai aksiden (aradh) bagi tubuh? Ataukah hakikatnya berbeda dengan realitas tubuh sekalipun, walaupun "aku" memiliki hubungan yang erat dengan tubuh, dimana "aku" ini banyak melakukan berbagai aktifitas melalui tubuh, dan sebagaimana ia mempengaruhi tubuh, ia pun dapat dipengaruhi olehnya?
Jadi, perdasarkan premis di atas ini, jawaban atas pertanyaan itu dapat dirumuskan secara lebih mudah. Pertama, kita mengetahui "aku" masing-masing secara hudhuri. Adapun tubuh kita ini diketahui melalui bantuan indra. Dengan demikian, "aku" (nafs atau ruh) bukanlah tubuh.
Kedua, "aku" adalah hakikat yang tetap dan utuh selama puluhan tahun dengan sifat kesatuan dan identitas dirinya sendiri. Kesatuan dan identitasnya dapat diketahui melalui pengetahuan hudhuri yang tidak akan bisa keliru. Adapun bagian-bagian tubuh mengalami perubahan dan pergantian berulang kali, sehingga ia tidak mempunyai standar kesatuan hakikatnya di antara bagian-bagiannya yang terdahulu dan yang baru.
Ketiga, sesunguhnya "aku" ini bersifat sederhana (tak tersusun) yang tidak mungkin dapat dipecah. Misalnya, kita tidak dapat memecah "aku" menjadi dua bagian. Ini berbeda dengan anggota tubuh yang berbilang dan dapat dipecah.
Keempat, mengingat bahwa seluruh keadaan jiwa seperti perasaan, kehendak dan selainnya itu tidak memiliki ciri-ciri dasar materi, yakni ekstensi dan keterpecahan, maka kita tidak dapat menganggap hal-hal yang nonmateri itu sebagai aksiden (aradh) bagi materi (tubuh). Oleh karena itu, subyek hal-hal nonmateri itu adalah substansi (jauhar) yang nonmateri (mujarrad).[2]
Di antara dalil-dalil yang dapat meyakinkan seseorang terhadap keberadaan, kemandirian, keutuhan ruh setelah kematiannya, adalah mimpi benar. Sebagian orang yang telah meninggal dapat memberikan sebagian informasi yang benar kepada orang yang sedang tidur. Dalil lainnya ialah cara menghadirkan ruh yang diiringi dengan bukti-bukti yang pasti dan meyakinkan.
Demikian pula, kita dapat membuktikan kenonmaterian ruh itu melalui karomah-karomah para wali Allah, bahkan bisa juga dengan sebagian perbuatan petapa, yogi dan semacamnya. Tentunya, studi mengenai masalah ini memerlukan buku tersendiri.

Dalil Wahyu
Al-Qur'an memandang bahwa ruh manusia itu ada.Pandangan qur'anik ini tidak mungkin dapat diragukan. Ruh adalah hakikat yang dinisbatkan kepada Allah SWT lantaran begitu mulia dan agungnya. Ketika berbicara tentang penciptaan manusia, Al-Qur'an menyatakan, "Dan ia meniupkan ke dalamnya dari ruh-Nya." (QS. As-Sajdah: 9)
Hal ini tidaklah berarti-wal'iyadzu billah-bahwa ada sesuatu yang terpisah dari dzat Allah lalu berpindah ke dalam tubuh manusia.
Sehubungan dengan pembahasan mengenai penciptaan Adam, Allah berfirman, "Dan aku tiupkan ke dalamnya dari ruh-Ku." (QS. Al-Hijir: 29, Ash-Shad: 72)
Begitu pula, dari bebarapa ayat lainnya kita dapat memahami bahwa ruh itu bukanlah tubuh, bukan pula sebagai sifat-sifat dasar dan ciri-ciri khasnya, dan sesunguhnya ruh itu-tanpa raga-memiliki potensi untuk tetap kekal. Di antara ayat-ayat tersebut adalah sebagaimana dinukilkan oleh Al-Qur'an berdasarkan ucapan orang-orang kafir, "Apakah kalau kami sesat di muka bumi ini kami akan diciptakan kembali?" (QS. As-Sajdah: 10)
Yakni, manakala bagian-bagian tubuh kami melebur di dalam tanah. Al-Qur'an menjawab, "Katakanlah sesungguhnya yang mematikan kalian adalah malaikat maut yang diberikan tugas untuk itu pada kalian kemuian setelah itu kalian dikembalikan pada Tuhan kalian." (QS. As-Sajdah: 11)
Dengan demikian, standar hakikat manusia itu adalah ruhnya yang dicabut oleh Malaikat Maut dan senantiasa kekal, bukan bagian-bagian tubuh yang mengalami kehancuran dan melebur di dalam tanah.
Di tempat lain, Allah SWT berfirman, "Allah memegang jiwa seseorang ketika matinya dan memegang jiwa seseorang yang belum mati diwaktu tidurnya, maka Ia menahan jiwa orang yang telah Ia tetapkan kematiannya dan Ia melepaskan jiwa yang lain sa-mpai pada waktu yang ditentukan." (QS. Az-Zumar: 42)
Sehubungan dengan kematian orang-orang yang zalim, Allah SWT berfirman, "Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat diwaktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan-tekanan sakaratul maut sedang para malaikat memukul dengan tangannya sambil berkata, 'Keluarkanlah nyawamu.'" (QS. Al-An'am: 93)
Dari ayat-ayat di atas serta ayat-ayat yang lain, kita dapat memahami bahwa jiwa setiap manusia itu identik dengan suatu hakikat yang dicabut oleh Malaikat Maut atau malaikat-malaikat yang diberikan kekuasaan untuk mencabut ruh, dan ketiadaan tubuh itu tidak ada pengaruhnya terhadap kekalnya ruh dan satunya jiwa manusia.
Yang dapat disimpulkan dari penjelasan di atas adalah:
Pertama, di dalam diri manusia terdapat suatu hakikat yang dinamakan ruh.
Kedua, sesungguhnya ruh manusia itu dapat kekal dan mandiri dari tubuhnya. Ruh bukan layaknya aksiden dan forma dari materi, yang akan sirna ketika subjek yang menampungnya itu hancur.
Ketiga, sesungguhnya hakikat setiap orang itu terletak pada ruhnya. Dengan ungkapan yang lain, hakikat setiap manusia itu adalah ruhnya. Adapun tubuh manusia hanya berperan sebagai alat bagi ruh.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Apakah definisi pengetahuan hudhuri dan hushuli dan jelaskan perbedaan antara keduanya?
2. Jelaskan dalil-dalil akal atas kenonmaterian ruh!
3. Apakah cara-cara lain yang dapat digunakan untuk membuktikan kenonmaterian ruh?
4. Sebutkan ayat-ayat Al-Qur'an yang berhubungan dengan masalah ini!
5. Apakah kesimpulan-kesimpulan yang ditarik dari ayat-ayat tersebut?
________________________________________
[1] Mengenai hudhuri dan hushuli, bisa dirujuk ke Pelajaran 5-peny.
[2] M.T.Misbah Yazdi, Omuzesye Falsafeh, Jilid 2, Pelajaran 44 & 49.




PELAJARAN 44
Pembuktian atas Ma'ad

Mukaddimah
Telah kami singgung di awal-awal buku ini, bahwa keyakinan terhadap Ma'ad dan dihidupkannya kembali seluruh manusia di alam akhirat merupakan salah satu prinsip-prinsip akidah yang paling penting di dalam seluruh agama samawi.
Para nabi senantiasa menekankan pentingnya Ma'ad dan mereka banyak menanggung berbagai kesusahan dan tantangan dalam usaha menanamkan dan menumbuhkan prinsip tersebut di dalam jiwa umat manusia. Al-Qur'an menganggap bahwa keyakinan terhadap Ma'ad sama dengan keyakinan terhadap Tauhid. Kitab suci ini menggunakan lebih dari dua puluh ayat sehubungan dengan dua kata; Allah dan Hari Akhir yang disebut secara berdampingan.
Di samping itu, Al-Qur'an berbicara tentang berbagai keadaan akhirat lebih dari dua ribu ayat di dalam berbagai surat. Dan di awal pembahasan Ma'ad ini kami telah menunjukkan pentingnya membahas "Akhir Perjalanan Hidup". Kami juga telah menjelaskan bahwa pemahaman yang benar mengenai Ma'ad terkait pada pengenalan terhadap ruh yang merupakan standar hakikat setiap manusia; hakikat yang kekal pascakematian dan setelah hancurnya tubuh. Sehingga dapat dikatakan, bahwa seseorang yang telah mati di dunia ini adalah ia itu sendiri yang akan dibangkitkan dan hidup kembali di alam akhirat kelak.
Begitu pula, kami telah membahas pembuktian adanya ruh melalui akal dan wahyu. Semua itu diusahakan demi memudahkan pengkajian kita terhadap masalah yang prinsipal mengenai kehidupan abadi manusia. Kini, tiba saatnya untuk membahas pembuktian prinsip akidah ketiga ini, yaitu Ma'ad.
Sebagaimana masalah ruh itu telah dituntaskan melalui pembuktian akal dan wahyu, masalah Ma'ad ini pun bisa dibuktikan melalui dua jalan yang sama. Di sini, kami hanya akan memaparkan dua dalil akal atas pentingnya Ma'ad. Setelah itu, kami segera memaparkan sebagian ayat Al-Qur'an yang menyinggung kemungkinan terjadinya Ma'ad dan nilai pentingnya.

Dalil Hikmah
Telah kami jelaskan pada bagian pertama dari buku ini, yaitu ketika membahas prinsip Tauhid, bahwa penciptaan manusia tidaklah sia-sia, bahwa manusia diciptakan dengan tujuan tertentu. Sebab, cinta Allah akan kebaikan dan kesempurnaan, sebagai sifat dzatiyah-Nya, secara dasar dan lang-sung berkaitan dengan dzat-Nya sendiri, dan secara tidak langsung berkaitan dengan kesan-kesannya yang memiliki tingkat-tingkat kebaikan dan kesempurnaan. Maka, diciptakanlah alam semesta ini yang melazimkan kebaikan dan kesempurnaan sebanyak mungkin.
Atas dasar ini, kita membuktikan adanya sifat hikmah pada Allah; yang meniscayakan agar setiap makhluk dapat mencapai tujuan dan kesempurnaan yang semestinya. Akan tetapi, mengingat begitu banyak dan luasnya benturan di alam materi ini, dimana kebaikan dan kesempurnaan setiap makhluk di dalamnya saling berbenturan, maka pengaturan Ilahi Yang Mahabijak melazimkan tertatanya semua makhluk sedemikian rupa sehingga muncullah kebaikan dan kesempurnaan sebanyak mungkin dari mereka.
Dengan ungkapan lain, alam materi ini memiliki tatanan yang baik dan sempurna. Maka itu, tertatalah berbagai unsur, kuantitas, kualitas, interaksi dan gerakan-gerakannya sebegitu rupa sehingga lahan dan kondisi yang memadai untuk penciptaan tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan. Lalu pada gilirannya, akan tersedia pula lahan yang sesuai untuk penciptaan manusia, yang merupakan makhluk yang paling sempurna di alam materi ini.
Namun, jika penciptaan alam materi ini terjadi dalam bentuk yang tidak memungkinkan terciptanya makhluk-makhluk hidup, atau tidak memungkinkan pertumbuhan dan perkembangan mereka, tentu hal itu bertentangan dengan Hikmah Ilahiyah.
Perlu kami tambahkan di sini, bahwa manusia itu memiliki ruh yang mempunyai potensi untuk kekal dan dapat mencapai kesempurnaannya yang abadi, yaitu kesempurnan yang tidak dapat dibandingkan dengan kesempurnaan materi dilihat dari sisi derajat dan nilai eksistensialnya. Bahkan, kesempurnaan manusia itu jauh mengungguli kesempurnaan materi.
Apabila diasumsikan bahwa kehidupan manusia itu hanya terbatas pada kehidupan dunia ini saja, ini sama sekali tidak sesuai dengan Hikmah Ilahiyah, apalagi jika kita perhatikan sebegitu banyak dan beragamnya bencana, kesudahan dan kelelahan hidup di dunia ini. Galibnya, seseorang tidak dapat meraih kesenangan tanpa bersusah payah terlebih dahulu. Dan para ahli menyimpulkan bahwa usaha mencapai kesenangan yang sedikit itu tidaklah sebanding dengan kelelahan dan kesudahan yang ditanggung oleh pelakunya. Dari sinilah justru timbul Nihilisme, bahkan sebagian umat manusia memilih bunuh diri, walaupun secara fitriyah mereka memiliki keinginan kuat untuk tetap hidup.
Jelas, jika kehidupan manusia itu didefinisikan sedemikian di atas, ia senantiasa mengalami kelelahan dan selalu berusaha mengatasi berbagai problem alam dan sosial untuk kemudian ia mendapatkan kesenangan dalam beberapa saat. Setelah itu, ia merebah dan tidur akibat dari kelelahannya itu. Setelah menjalani istirahat beberapa saat, ia bangun untuk kembali berhadapan dengan berbagai problem dan kesusahan. Ketika itu, ia mengerahkan seluruh tenaganya demi memperoleh sesuap nasi, kemudian ia merasakan nikmatnya santapan barang beberapa saat, setelah itu tidak ada lagi.
Rutinitas kehidupan yang melelahkan dan menjenuhkan semacam ini tidak diinginkan oleh manusia waras. Ia tidak ingin untuk memilihnya. Kehidupan semacam ini dapat diumpamakan secara lebih dekat dengan keadaan seorang supir yang mengendarai mobilnya menuju pom bensin untuk mengisi bahan bakar, setelah itu ia menjalankan mobilnya, menempuh rute-rute, dan begitulah seterusnya, sampai mobil itu uzur dan tidak lagi berfungsi, atau bertabrakan dengan kendaraan lain, atau menabrak sesuatu dan hancur.
Tak syak lagi, ingin kekal merupakan fitrah setiap manusia yang diletakkan oleh Pencipta Yang Mahabijak di dalam wujudnya. Ingin kekal itu merupakan kekuatan penggerak menuju keabadian, dan senantiasa mendorong seseorang untuk berada di atas geraknya.
Apabila kita mengasumsikan bahwa gerak perjalanan ini dan akhir aktifitasnya akan berbenturan dengan batu yang besar kemudian hancur luluh, lalu bagaimana mungkin penciptaan kekuatan penggerak seperti ini di dalam diri manusia akan sesuai dengan akhir perjalanan dan tujuannya?
Oleh karena itu, adanya kecenderungan fitriyah semacam itu, yakni ingin kekal, hanya akan sesuai dengan Hikmah Ilahiyah bila terdapat kehidupan yang lain yang bersifat abadi, bukan kehidupan alam materi ini yang diakhiri dengan kematian dan kebinasaan.


Kesimpulan

Dengan menggabungkan dua premis tersebut, yaitu Hikmah Ilahiyah dan kemungkinan adanya kehidupan abadi bagi manusia, kita sampai pada kesimpulan; bahwa seniscayanya ada kehidupan yang lain bagi manusia di balik kehidupan dunia yang singkat dan terbatas ini, sehingga tidak terdapat kehidupannya tidak menyimpang dari Hikmah Ilahiyah.
Kecenderungan fitrah untuk hidup kekal dan abadi tersebut dapat dianggap sebagai premis lain, yang juga dapat digabungkan dengan Hikmah Ilahiyah, sehingga kita akan dapat merumuskan dalil lain atas keniscayaan Ma'ad ini.
Dari uraian di atas juga jelas bahwa kehidupan abadi bagi manusia menuntut adanya tatanan yang khas yang tidak sama dengan tatanan kehidupan dunia yang membawa berbagai kelelahan dan kesusahan. Karena jika tidak demikian, berlangsungnya kehidupan dunia dengan berbagai kelelahan dan kesusahannya-meskipun bersifat kekal dan abadi-tidaklah sesuai dengan Hikmah Ilahiyah.

Dalil Keadilan
Di sadari atau tidak, bahwa manusia mempunyai ikhtiar dan kebebasan di alam dunia ini dalam melakukan perbuatan yang baik atau buruk.
Dari satu sisi, kita temukan bagaimana sebagian manusia menghabiskan seluruh usianya dalam ibadah kepada Allah SWT dan berbakti kepada sesamanya. Dan dari sisi lain, kita melihat pula bagaimana sebagian orang yang jahat dan durhaka berani melakukan berbagai kezaliman dan dosa demi mencapai ambisi dan kepentingan busuknya.
Selain itu, tujuan dari diciptakannya manusia di muka bumi ini, dilengkapinya dengan berbagai kecenderungan yang saling berlawanan, dengan kekuatan memilih, kehendak, dan dengan berbagai macam pengetahuan rasional maupun data-data literal, serta dipenuhinya kondisi untuk melakukan berbagai perbuatan dan berada di hadapan dua jalan; kebenaran dan kebatilan, kebaikan dan keburukan, tujuan diadakannya semua itu ialah sebagai lahan untuk berusaha secara bebas dan menerima berbagai cobaan agar mereka dapat memilih jalan kesempurnaannya berdasarkan kehendak dan usaha masing-masing, sehingga mereka akan memperoleh hasil dari usaha bebas tersebut, baik berupa pahala atau siksa.
Pada dasarnya, kehidupan dunia ini diciptakan untuk manusia sebagai tempat ujian dan lahan pembinaan kepribadian insaninya. Hingga detik-detik akhir hidup di dunia, ia tidak lepas dari ujian, cobaan, tanggung jawab, dan berbagai kewajiban.
Akan tetapi, kita melihat bagaimana orang-orang yang baik dan orang-orang yang jahat tidak memperoleh pahala dan siksa yang sesuai dengan perbuatan mereka di dunia ini. Bahkan kita temukan kebanyakan orang jahat itu lebih banyak mendapatkan kesenangan daripada orang-orang baik. Kita sadari pula bahwa kehidupan dunia ini tidak dapat memenuhi ganjaran ataupun siksa atas orang-orang yang berbuat baik ataupun buruk. Misalnya, seorang penjahat yang telah membunuh ribuan orang yang tidak berdosa, tidak mungkin akan dihukum mati di dunia ini kecuali sekali saja. Dengan begitu, betapa banyak kejahatannya berlangsung tanpa terkena hukuman. Padahal sesuai dengan Keadilan Ilahi, ia seharusnya mendapat balasan yang setimpal atas berbagai perbuatannya.
Dengan demikian, sebagaimana dunia ini adalah tempat ujian dan tugas, semestinya ada alam lain yang merupakan tempat pembalasan dan penampakkan hasil-hasil segenap perbuatan, agar setiap orang menerima balasan yang sesuai dengan perbuatannya, dan agar Keadilan Ilahi terealisasi secara nyata.
Lain dari itu, jelas pula bahwa alam akhirat bukanlah alam untuk memilih jalan dan menjalankan tugas. Insya Allah pada pelajaran berikutnya, kita akan membahas tema ini secara lebih rinci.

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Terangkan Hikmah Ilahiyah dan hubungannya dengan tata cipta yang sebaik mungkin!
2. Jelasklanh dalil hikmah dengan kedua bentuknya!
3. Apakah yang dapat kita simpulkan dari dalil hikmah, selain dari pembuktikan prinsip Ma'ad?
4. Jelaskan tujuan diciptakannya manusia di dunia ini!
5. Terangkan dalil keadilan!
6. Apakah poin-poin penting yang dapat diambil dari dalil keadilan?




PELAJARAN 45
Ma'ad di dalam Al-Qur'an

Mukaddimah
Ayat-ayat Al-Qur'an yang membahas Ma'ad dan sebagai dalil atas para pengingkarnya dapat dibagi menjadi lima kelompok, yaitu:
1. Ayat-ayat yang menegaskan bahwa tidak ada satu dalil pun yang menafikan Ma'ad. Kelompok ini berfungsi sebagai pelucutan senjata para pengingkar.
2. Ayat-ayat yang mengisyaratkan adanya fenomena-fenomena alam yang mirip dengan terjadinya Ma'ad. Kelompok ini menafikan ketakmungkinan Ma'ad.
3. Ayat-ayat menyanggah keraguan-keraguan pengingkar Ma'ad dan membuktikan kemungkinan kejadiannya.
4. Ayat-ayat yang menekankan bahwa Ma'ad merupakan janji Allah yang pasti terjadi. Pada hakikatnya, kelompok ini membuktikan terjadinya Ma'ad melalui informasi pembawa kabar yang jujur.
5. Ayat-ayat yang menunjukkan dalil akal atas pentingnya Ma'ad.
Pada dasarnya ayat-ayat kelompok pertama, kedua dan ketiga itu membahas kemungkinan terjadinya Ma'ad. Sedangkan kelompok keempat dan kelima membahas penting dan pastinya kejadian Ma'ad.

Pengingkaran Buta terhadap Ma'ad
Dalam rangka berdalil, berdialog dan menyanggah para pengikut kepercayaan-kepercayaan yang batil, Al-Qur'an menggunakan beberapa metode. Di antaranya, menuntut mereka agar membawakan argumentasi atas dugaan-dugaan mereka. Dengan cara ini, akan tampak kelemahan dan kerapuhan kepercayaan mereka; kepercayaan yang tidak berdasar pada argumentasi yang logis.
Dalam beberapa ayat, Al-Qur'an selalu menantang mereka dengan ungkapan "Katakanlah kepada mereka, 'Tunjukkanlah bukti kalian.'"[1]
Al-Qur'an mengatakan bahwa para pengikut kepercayaan batil dan pengingkar Ma'ad itu tidak memiliki keyakinan yang sesuai dengan kenyataan dan tidak berdasar pada argumentasi yang valid. Bahkan, mereka hanya membangun keyakinan di atas dugaan belaka yang bertentangan dengan kenyataan. Allah SWT berfirman, "Dan mereka (para pengingkar Ma'ad) berkata, 'Sungguh kehidupan itu terbatas hanya di dunia saja, setelah itu kita mati. Dan tidak ada yang membinasakan kita selain ad-dahr [masa].' Sungguh mereka sama sekali tidak tahu tentang itu, mereka hanya menduga-duga saja." (QS. Al-Jatsiyah: 24)[2]
Pada beberapa ayat lain[3] terdapat penegasan bahwa para pengingkar Ma'ad itu sama sekali tidak mempunyai dalil dan argumen selain dugaan batil. Sangat mungkin dugaan batil itu akan dapat diterima oleh para penyembah hawa-nafsu selama sesuai dengan nafsu dan kepentingan mereka. Akibat penerimaan demikian itu serta berbagai dosa dan kemungkaran yang mereka lakukan, secara bertahap dugaan itu menjadi keyakinan yang mantap pada diri mereka, bahkan bisa jadi seseorang akan memegangnya begitu kuat.[4]
Al-Qur'an telah menukil perkataan para pengingkar Ma'ad. Kebanyakan mereka menganggap bahwa Ma'ad itu mustahil terjadi. Terkadang Al-Qur'an pun menyinggung keraguan-keraguan lemah mengenai kejadian Ma'ad yang merupakan sebab dari keraguan dan penolakan mereka terhadap kemungkinan Ma'ad.[5] Oleh karena itu, Al-Qur'an menerangkan sebagian fenomena alam yang mirip dengan kejadian Ma'ad untuk mengikis keraguan mereka. Dari sisi lain, Al-Qur'an menjawab keraguan-keraguan yang mereka lontarkan setuntas mungkin sehingga kemungkinan terjadinya Ma'ad dapat dipastikan.
Tidak cukup sampai di situ saja, Al-Qur'an juga menjelaskan dalil-dalil akal atas keniscayaan Ma'ad, di samping adanya janji Ilahi yang bersifat pasti untuk menyempurnakan bukti atas manusia melalui wahyu, sebagaimana akan kita bahas pada pelajaran berikutnya, Insya Allah.


Fenomena Alam yang Mirip dengan Ma'ad
Pertama: Keluarnya Tumbuh-tumbuhan dari Bumi
Dilihat dari sisi bahwa kehidupan itu mendahului kematian, ihwal menghidupkan kembali manusia setelah kematiannya mirip sekali dengan ihwal keluarnya tumbuh-tumbuhan dari dalam perut bumi setelah kering dan kematiannya.
Setiap manusia waras dan mau menggunakan pikirannya untuk merenungkan fenomena yang sering terjadi di hadapan matanya, sudah cukup mendapatkan pelajaran bahwa kehidupan di alam lain amat mungkin bisa terjadi setelah kematian di dunia ini. Hanya saja, karena begitu kerapnya manusia menyaksikan fenomena semacam ini membuat mereka lalai dan menganggap kejadian itu suatu hal yang biasa. Padahal, kejadian semacam itu tidak jauh berbeda dengan cara menghidupkan kembali manusia setelah kematiannya dari sisi munculnya kehidupan yang baru di alam lain. Oleh karena itu, untuk mengikis anggapan bahwa kejadia itu merupakan kebiasaan belaka, Al-Qur'an selalu mengingatkan dan memfokuskan perhatian manusia terhadap fenomena itu dan menjelaskan kepada mereka bahwa hal itu mirip dengan terjadinya Hari Kebangkitan. Allah SWT berfirman, "Perhatikanlah tanda-tanda rahmat Allah, bagaimana Dia menghidupkan bumi yang telah mati. Sesungguhnya Dialah yang menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu." (QS. Ar-Rum: 50)

Kedua : Tidurnya Ashhabul Kahfi
Setelah memaparkan peristiwa nyata yang amat menakjubkan dan banyak memberikan pelajaran berharga, Al-Qur'an mengingatkan kita, "Dan demikian pula Kami mempertemukan manusia dengan mereka, agar manusia itu mengetahui, bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa kedatangan hari kiamat tidak ada keraguan padanya." (QS. Al-Kahfi: 21)
Tidak diragukan lagi bahwa peristiwa yang sangat menakjubkan ini membawa manfaat besar. Yaitu, ketika sekelompok anak muda yang hatinya dipenuhi iman telah tidur di dalam gua "Kahfi" begitu panjang, yakni selama tiga abad, tepatnya selama 300 tahun Syamsiyah atau 309 tahun Qamariyah. Setelah melewati masa yang begitu lama, mereka bangun dari tidurnya yang nyenyak itu.
Menyimak kisah nyata "sahabat-sahabat Kahfi" ini sangat efektif dalam mengarahkan umat manusia untuk menyadari kemungkinan terjadinya Ma'ad, serta menyingkirkan keraguan-keraguan dari dalam hatinya. Karena, setiap peristiwa tidur-walaupun mirip dengan kematian (tidur adalah saudaranya mati), dan setiap keterjagaannya mirip dengan terjadinya kehidupan setelah kematian-namun dalam kejadian tidur yang wajar sebagaimana kita alami setiap malam, organ-organ tubuh manusia itu tetap bekerja dan aktif. Oleh karena itu pada kejadian tidur-bangun biasa ini, kembalinya ruh ke tubuh setelah tidur bukanlah hal yang menakjubkan bagi umumnya orang. Akan tetapi, tubuh yang tidak pernah diberi makanan selama 300 tahun-menurut perhitungan manusia dan secara natural-pasti akan mengalami pembusukan, kematian dan tidak mungkin layak bagi ruh untuk kembali kepadanya. Hal ini sesuai dengan hukum alam yang berlaku di dunia ini.
Peristiwa yang menakjubkan ini dapat menyadarkan manusia akan hukum lain di balik hukum-hukum alam ini, dan membuat mereka paham bahwa kembalinya ruh ke tubuh tidak mesti terbatas pada terpenuhinya sebab-sebab dan kondisi-kondisi alami yang wajar. Dengan demikian, adanya kehidupan baru di alam lain pasca kematian tak ubahnya dengan peristiwa "Kahfi" tersebut. Artinya, Ma'ad dan Hari Kebangkitan bukanlah sesuatu yang mustahil, bahkan pasti terjadi sesuai dengan janji Allah SWT.

Ketiga : Hidup-kembalinya Hewan
Al-Qur'an juga mengkisahkan hidup kembalinya sebagian binatang dengan cara yang tidak wajar. Antara lain, hidup kembalinya empat ekor burung di tangan Nabi Ibrahim as, seekor binatang tunggangan sebagian nabi, segaimana yang akan kami bawakan kisahnya. Maka, manakala menghidupkan kembali hewan itu mungkin terjadi, tentu menghidupkan kembali manusia bukanlah hal yang mustahil.

Keempat: Hidupnya Kembali SebagianManusia di Dunia
Lebih penting dari seluruhnya ialah kejadian hidupnya kembali seorang manusia di dunia ini. Seperti yang dising-gung oleh Al-Qur'an, yaitu kisah salah seorang nabi Bani Israil. Allah SWT berfirman, "Perhatikanlah kisah seseorang yang melewati suatu negeri yang telah roboh dan hancur. Ketika itu ia berkata, 'Bagaimanakah Allah menghidupkan kembali negeri ini yang telah hancur?' Maka dengan serta merta Allah mematikan orang itu selama 100 tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Kepadanya Allah bertanya, 'Sudah berapa lamakah kamu tinggal di sini?' Ia menjawab, 'Aku telah tinggal di sini sehari atau setengah hari saja.' Allah berfirman, 'Sebenarnya kamu tinggal di sini sudah seratus tahun. Lihatlah makanan dan minuman yang masih utuh, dan lihat pula keledaimu (yang telah menjadi tulang belulang). Sesungguhnya Kami akan menjadikan kamu sebagai tanda kekuasaan Kami atas manusia. Dan lihatlah tulang belulang keledaimu itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, lalu Kami membalutnya dengan daging.' Tatkala semua itu telah nyata baginya, ia pun berkata, "Kini aku betul-betul yakin bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Baqarah: 259)
Pada tempat lain, Allah SWT memaparkan kisah Nabi Musa as bersama sekelompok kaum Bani Israil.
"Dan ingatlah ketika kalian berkata, 'Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan jelas.' Karena itulah kalian ditebas halilintar, sedang kalian sendiri menyaksikannya. Setelah itu Kami hidupkan kalian kembali setelah kematian kalian, agar kalian bersyukur kepada Kami." (QS. Al-Baqarah: 55-56)
Begitu juga cara menghidupkan kembali seorang Bani Israil di zaman Nabi Musa as melalui salah satu bagian tubuh sapi yang disembelih. Kisah ini terdapat di surat Al-Baqarah. Penamaan surat ini dengan nama itu juga lantaran kisah ini. Di akhir kisah, Allah SWT berfirman, "Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan kepada kalian akan tanda-tanda kekuasaan-Nya supaya kalian mengerti." (QS. Al-Baqarah: 72-73)
Demikian pula menghidupkan kembali orang-orang yang sudah mati melalui mukjizat Nabi Isa as. Contoh-contoh di atas ini dapat diangkat sebagai bukti atas kemungkinan terjadinya Ma'ad.

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Terangkan metode Al-Qur'an dalam menghadapi para pengingkar Ma'ad!
2. Apakah titik kesamaan antara keluarnya tumbuh-tumbuhan dari perut bumi dengan menghidupkan kembali manusia pada Hari Kiamat? Sebutkan pandangan Al-Qur'an mengenai masalah ini!
3. Apakah kesimpulan yang dapat diambil dari kisah Ashhabul Kahfi sehubungan dengan masalah Ma'ad?
4. Ceritakan kisah hidup kembalinya burung di tangan Ibrahim as dan jelaskan hubungannya dengan Ma'ad!
5. Sebutkan orang-orang yang-di dalam Al-Qur'an-telah hidup kembali!
________________________________________
[1] Lihat surah Al-Baqarah: 111, Al-Anbiya': 24, dan An-Naml: 64.
[2] Rujuk surah Al-Mu'minun: 117, An-Nisa': 157, Al-An'am: 100, 119, 148, Al-Kahfi: 5, Al-Hajj,: 3, 8,71, Al-'Ankabut: 8, Ar-Rum: 29, Luqman: 20, Al-Ghafir: 42, Az-Zukhruf: 20, dan An-Najm: 28.
[3] Lihat surah Al-Qashash: 39, Al-Kahfi: 36, Shad: 27, Al-Jatsiyah: 32, dan Al-Insyiqaq: 14.
[4] Lihat surah Al-Rum: 10, Al-Muthaffifin: 10-14, dan An-Nahl: 38.
[5] Lihat surah Al-Isra': 51, Ash-Shaffat: 16,53, Ad-Dukhan: 34-36, Al-Ahqaf: 18, Qaf: 3, Al-Waqi'ah: 47-48, Al-Muthaffifin: 12-13, dan An-Nazi'at: 10-11





PELAJARAN 46 

Jawaban Al-Qur'an Terhadap Pengingkar Ma'ad
Dari bebarapa dialog dan kritik Al-Qur'an terhadap para pengingkar Ma'ad, dan dari metode jawabannya terhadap dugaan-dugaan mereka, tampak sejumlah keraguan di dalam benak mereka. Berikut ini akan kami paparkan keraguan-keraguan tersebut berikut jawaban-jawabannya.

1. Keraguan Mengembalikan yang Telah Tiada
Telah kami singgung bahwa Al-Qur'an telah memberikan jawaban kepada orang-orang yang menyatakan bahwa bagaimana manusia itu dapat dihidupkan kembali setelah tubuhnya hancur luluh. Inti jawaban Al-Qur'an yaitu bahwa hakikat manusia adalah ruhnya, bukan karena anggota tubuh manusia yang beserpihan di dalam tanah.
Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa motif utama orang-orang kafir dalam mengingkari Ma'ad ialah keraguan yang dalam Filsafat dikenal sebagai "Kemustahilan Mengembalikan yang telah Tiada" (Istihalatu i'adatil ma'dum). Yakni, mereka meyakini bahwa manusia itu adalah tubuh materi ini yang akan hancur setelah kematiannya. Dan jika ia dihidupkan kembali setelah kematian, ini berarti ia adalah manusia yang lain. Maka itu, mengembalikan yang telah tiada merupakan perkara yang mustahil, yang pada dasarnya dan secara substansial tidak akan terjadi.
Jawaban Al-Qur'an atas keraguan ini juga cukup jelas, bahwa hakikat setiap manusia adalah ruhnya. Artinya, Ma'ad itu bukanlah mengembalikan yang telah tiada, akan tetapi kembalinya ruh yang sudah ada.

2. Keraguan Ketakmungkinan Tubuh Dihidupkan Kembali
Keraguan pertama itu berkaitan dengan Ma'ad dari sisi kemungkinan terjadinya secara substansial. Adapun keraguan kedua ini berkaitan dengan kemungkinan terjadinya secara nyata. Artinya, sekalipun kembalinya ruh ke tubuh tidak mustahil secara logis dan asumsi kemungkinannya tidak melazimakan kontradiksi, namun kembalinya ruh tersebut secara aktual (bil fi'li) dan kejadian konkretnya tergantung pada potensi tubuh.
Kita melihat bahwa adanya kehidupan itu tergantung kepada syarat-syarat tertentu yang mesti terpenuhi secara bertahap. Misalnya, sperma itu harus menetap di dalam rahim dan keharusan terpenuhinya syarat-syarat yang memadai pertumbuhan dan perkembangannya agar ia menjadi janin yang sempurna secara berangsur sampai menjadi bentuk manusia. Akan tetapi, tubuh yang telah hancur luluh akan kehilangan potensinya untuk hidup kembali.
Jawaban atas keraguan ini ialah bahwa sistem kehidupan di dunia ini bukanlah satu-satunya sistem yang mungkin. Dan syarat-syarat yang kita ketahui melalui eksperimen bukanlah sebab-sebab yang terbatas (hanya itu saja). Buktinya adalah kejadian sebagian fenomena yang luar biasa di dalam kehidupan ini, seperti menghidupkan sebagian binatang atau manusia. Jawaban seperti ini dapat dirujuk ke beberapa fenomena luar biasa yang tersebut di dalam Al-Qur'an.

3. Keraguan terhadap Kemampuan Pelaku
Keraguan ketiga ialah bahwa di samping adanya kemungkinan secara substansial (imkan dzati) dan potensi objek (qobil), kemampuan pelaku merupakan syarat terjadinya setiap fenomena. Masalahnya, bagaimana kita dapat mengetahui bahwa Allah SWT itu memiliki kemampuan untuk menghidupkan kembali orang-orang yang sudah mati?
Keraguan lemah ini biasanya dilontarkan oleh orang-orang yang tidak memahami kekuasaan Allah yang nirbatas. Jawabannya adalah bahwa kekuasaan Allah SWT tidak terbatas dan berurusan dengan segala sesuatu yang mungkin (secara substansial) terjadi, sebagaimana kita perhatikan bahwa Allah telah menciptakan alam semesta yang mahaluas dan begitu mengagumkan ini. Allah SWT berfirman, "Apakah mereka tidak melihat sesungguhnya Allah-yang telah menciptakan langit dan bumi dan tidak merasa lelah dengan menciptakan itu semua-Mahakuasa untuk menghidupkan kembali orang-orang yang sudah mati. Ketahuilah sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Ahqaf: 33)
Di samping itu, menciptakan sesuatu yang baru tidak lebih sulit dibandingkan menciptakannya pertama kali, dan tidak membutuhkan kemampuan dan kekuasaan yang lebih besar. Bahkan dapat dikatakan bahwa menciptakan untuk yang kedua itu lebih mudah, karena Ma'ad hanyalah mengembalikan ruh yang telah ada. Allah SWT berfirman, "Mereka berkata siapakah yang akan mengembalikan kami?" Katakanlah, 'Ialah yang telah menciptakan kalian pertama kali. Kemudian mereka akan menundukkan kepalanya di hadapanmu.'" (QS. Al-Isra': 51)
Di ayat lain, Allah SWT berfirman, "Dialah yang memulai penciptaan kemudian Dia mengembalikannya lagi, dan itu lebih ringan bagi-Nya." (QS. Ar-Rum: 27)

4. Keraguan terhadap Ilmu Pelaku
Keraguan keempat ialah ketika Allah SWT hendak menghidupkan kembali manusia dan membalas perbuatan mereka, baik dengan pahala atau pun siksa, maka dari satu sisi Dia harus dapat membedakan antara tubuh-tubuh yang tidak terhitung jumlahnya agar Ia dapat mengembalikan ruh mereka ke tubuhnya masing-masing. Dari sisi lain, Ia pun harus mengingat seluruh perbuatan mereka, yang baik ataupun yang buruk, sehingga Dia memberi balasan pahala atau siksa sesuai dengan haknya masing-masing. Namun, bagaimana mungkin Allah SWT dapat membedakan dan mengidentifikasi jasad-jasad yang telah berubah menjadi tanah itu dan masing-masing bagiannya telah melebur dengan yang lainnya? Dan bagaimana mungkin Dia dapat mengingat secara tepat seluruh perbuatan setiap manusia sepanjang ribuan bahkan jutaan tahun untuk dilakukan perhitungan?
Keraguan ini biasanya dilontarkan oleh mereka yang tidak mengerti ketakterbatasan ilmu Allah SWT. Mereka menimbang ilmu Allah dengan ilmu mereka yang serbakurang dan serbaterbatas.
Jawaban atas keraguan ini ialah bahwa ilmu Allah SWT tidaklah terbatas. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Dan, Allah tidak pernah lupa akan segala apapun. Melalui dialog Fir'aun dan Nabi Musa as, Al-Qur'an menegaskan, "Bagaimana mereka yang hidup pada kurun waktu pertama?" Musa menjawab, 'Sesungguhnya ilmu itu berada pada Tuhanku di dalam satu kitab. Tuhanku tidak sesat dan tidak pernah lupa.'" (QS.Thaha: 51)
Di ayat lain, Al-Qur'an memberikan jawaban terhadap dua keraguan terakhir sekaligus, "Katakanlah, yang telah menghidupkannya kembali itu adalah yang telah menciptakannya pertama kali dan Dia Mahatahu akan segala ciptaan-Nya." (QS.Yasin: 79)[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Jelaskan keraguan mustahilnya mengembalikan yang telah tiada beserta jawabannya!
2. Terangkan keraguan bahwa tubuh itu tidak memiliki potensi untuk hidup kembali beserta jawabannya!
3. Jelaskan keraguan terhadap kemampuan pelaku Ma'ad beserta jawabannya!
4. Terangkan keraguan terhadap ilmu pelaku Ma'ad beserta jawabannya!




PELAJARAN 47

Janji Ilahi Mengenai Hari Kiamat
Sebagai risalah Allah SWT untuk segenap hamba-Nya, Al-Qur'an sangat menekankan akan terjadinya Hari Kiamat dan menganggapnya sebagai janji Ilahi yang pasti terjadi, sehingga dengannya sempurnalah hujjah atas umat manusia. Ini dari satu sisi. Dari sisi lain, kita melihat bagaimana Al-Qur'an memberikan isyarat akan adanya dalil-dalil akal atas pentingnya masalah Ma'ad, sehingga dengan ini mendorong manusia untuk mengetahuinya secara rasional dan melipatgandakan hujjah atas mereka.
Dari sini kita dapat membagi sikap Al-Qur'an terhadap Ma'ad kepada dua macam yang akan kami paparkan melalui ayat-ayatnya yang berkaitan.

Janji Allah yang Pasti
Al-Qur'an menganggap bahwa terjadinya Hari Kiamat dan hidup kembalinya seluruh umat manusia di alam akhirat adalah perkara yang tak diragukan lagi. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Hari Kiamat itu pasti akan datang tanpa ada keraguan sedikit pun." (QS. Ghafir: 59)
Al-Qur'an juga menganggap bahwa Hari Kiamat itu merupakan janji yang hak dan pasti, "Demikianlah sebagai janji Allah yang benar." (QS. An-Nahl: 38)
Di berbagai ayat, Al-Qur'an pun bersumpah atas terjadi-nya Hari Kiamat, "Katakanlah, 'Benar, demi Tuhanku! Sesungguhnya kalian akan dibangkitkan dan akan diberitahu tentang segala apa yang kalian telah lakukan dan hal itu sangat mudah bagi Allah.'" (QS. At-Taghabun: 7)
Selain itu, Al-Qur'an menganggap peringatan kepada manusia tentang Hari Kiamat itu sebagai tugas para nabi yang paling penting, "Dia meletakkan ruh dari amr-Nya kepada orang-orang yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya agar ia memberikan peringatan tentang hari perjumpaan." (QS. Al-Ghafir: 15)
Kepada para pengingkar Ma'ad, Al-Qur'an memberi ancaman kesengsaraan yang abadi dan azab yang pedih. Allah SWT berfirman, "Dan kami telah menyiapkan neraka sa'ir bagi orang yang mendustakan Hari Kiamat." (QS. Al-Furqan: 11)
Berdasarkan penjelasan di atas, siapa saja yang mengetahui kebenaran kitab samawi ini (Al-Qur'an), tidak ada alasan baginya untuk meragukan Ma'ad, apalagi mengingkarinya.
Pada pelajaran yang lalu telah kami jelaskan bahwa setiap orang yang sadar dan tulus pada kebenaran dapat menerima Al-Qur'an sebagai kitab suci yang hak. Karenanya, tidak seorang pun yang tidak mengakui kebenaran itu akan dimaafkan, kecuali bila kemampuan nalarnya lemah, atau karena faktor-faktor tertentu sehingga ia tidak dapat mencapai pada kebenaran yang sudah diupayakannya sebaik-baiknya.

Penjelasan Rasional
Pada dasarnya, Al-Qur'an lebih banyak menggunakan dalil-dalil akal atas pentingnya Ma'ad. Dalil itu berbasis pada Hikmah dan Keadilan Ilahi. Di antaranya, apa yang disinggung oleh Al-Qur'an secara istifham inkari (pertanyaan retoris), "Apakah kalian menyangka bahwa kami telah menciptakan kalian itu dengan sia-sia dan kalian tidak akan dikembalikan kepada kami?" (QS. Al-Mukminun: 115)
Dengan jelas ayat ini menunjukkan bahwa jika Ma'ad dan Hari Kembali kepada Allah itu tidak terjadi, penciptaan manusia di alam dunia ini menjadi sia-sia. Karena kesia-siaan itu tidak mungkin dilakukan oleh Allah Yang Mahabijak, alam lain (akhirat) itu niscaya keberadaannya, sehingga umat manusia dapat kembali kepada-Nya.
Pada dasarnya, Argumen ini berupa qiyas ististna'i (silogisme hipotetik); premisnya yang pertama berupa qadhiyyah syartiyah (proposisi hipotetis) yang menyatakan bahwa penciptaan manusia di alam dunia ini benar-benar bertujuan jika ia kembali kepada Allah setelah kehidupan dunia ini dan akan memperoleh hasil perbuatannya itu di alam akhirat. Konsekuensi (mulazamah) ini telah kami jelaskan pada pelajaran yang telah lalu, yaitu tatkala membahas dalil hikmah. Untuk itu, kami kira tidak perlu mengulangnya di sini.
Adapun premis kedua, yaitu bahwa Hikmah Ilahiyah memustahilkan kesia-siaan pada tindakan-tindakan Allah SWT, sebagaimana telah dijelaskan pada bagian Tauhid, bahkan telah kami jelaskan pula pada di dalam dalil hikmah. Maka itu, ayat di atas itu dapat diterapkan sepenuhnya atas dalil ini.
Perlu kami tambahkan bahwa sesungguhnya penciptaan manusia itu merupakan tujuan dari penciptaan alam. Maka, apabila penciptaan manusia di alam ini adalah sia-sia dan tidak mempunyai tujuan yang bijak, berarti penciptaan seluruh alam pun menjadi batil dan sia-sia belaka.
Kesimpulan dari kenyataan ini dapat kita petik dari ayat-ayat Al-Qur'an yang menekankan bahwa keberadaan alam akhirat itu merupakan keharusan bagi penciptaan alam secara penuh hikmah dan bijaksana. Maka, keberadaan alam akhirat itu sesuai dengan penciptaan yang bijak bagi alam semesta ini.
Sebagian ayat Al-Qur'an menyebutkan sifat Ulil Albab (orang-orang yang berfikir). Di antaranya, "Dan mereka senantiasa memikirkan penciptaan langit dan bumi sembari berseru, 'Wahai Tuhan kami, sesungguhnya apa yang telah Engkau ciptakan ini tidaklah batil. Maha suci Engkau, maka lindungilah kami dari siksa neraka." (QS. Ali 'Imran: 191)
Dari ayat ini juga dapat kita simpulkan bahwa merenung dan memikirkan bagaimana terjadinya penciptaan alam semesta ini dapat memfokuskan perhatian seseorang pada Hik-mah Ilahiyah. Artinya, Allah yang Mahabijak mempunyai tujuan yang bijak pula di balik penciptaan alam semesta yang agung ini, dan Dia tidak menciptakannya secara sia-sia belaka. Karena, jika tidak terdapat alam lain yang merupakan tujuan akhir dari penciptaan alam ini, seluruh penciptaan Allah SWT menjadi sia-sia dan tidak memiliki tujuan.
Adapun sekelompok ayat lain yang menyinggung dalil akal atas pentingnya Ma'ad, dapat dibandingkan secara penuh dengan dalil keadilan. Yakni, berdasarkan Keadilan Ilahi, orang-orang yang baik dan yang buruk itu harus mendapatkan pahala ataupun siksa atas usaha mereka, sehingga akhir perjalanan masing-masing dapat dibedakan. Mengingat tidak adanya perbedaan semacam ini di alam dunia ini, tentu ada alam lain, yaitu alam akhirat sehingga Keadilan Ilahi betul-betul terealisasi. Di antara ayat-ayat tersebut ialah:
"Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa kami akan memperlakukan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu. Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang hak, dan agar diberikan balasan tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya dan mereka tidak akan dirugikan." (QS. Al-Jatsiyyah: 21-22)
Hal lain yang perlu ditekankan ialah bahwa ayat yang menyatakan, "Dan Allah telah menciptakan langit dan bumi dengan hak" mengisyaratkan dalil hikmah, sebagaimana dalil keadilan bisa saja disederhanakan pada dalil hikmah. Sebab, seperti yang dijelaskan pada tema Keadilan Ilahi, bahwa keadilan merupakan mishdaq Hikmah Ilahiyah.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Jelaskan cara Al-Qur'an membuktikan masalah Ma'ad sehingga menjadi sempurna hujjah atas manusia!
2. Sebutkan ayat-ayat yang menyinggung dalil hikmah! Jelaskan pula cara berdalil dengan ayat tersebut!
3. Apakah ayat-ayat yang menyinggung dalil keadilan? Jelaskan pula cara berdalil dengan ayat tersebut!
4. Bagaimana dalil keadilan itu dapat disederhanakan pada dalil hikmah?




PELAJARAN 48
Ciri-ciri Khas Alam Akhirat

Mukaddimah
Seseorang tidak mungkin memiliki pengetahuan yang sempurna mengenai persoalan-persoalan yang belum ia alami atau belum mengetahuinya secara hudhuri, atau belum ia sentuh dengan indranya. Berangkat dari kenyataan ini, kita tidak dapat meyakini hakikat alam akhirat dan keadaan-keadaannya secara detail dan sempurna, kita juga tidak dapat menyingkap hakikat-hakikatnya. Meski begitu, kita bisa mengetahui sifat-sifat akhirat melalui akal atau wahyu. Lain dari itu, sepatutnya kita menahan diri untuk melampaui dua jalur pengetahuan ini.
Sangat disayangkan bahwa-dari satu sisi-kita melihat sebagian orang berusaha menggambarkan alam akhirat itu layaknya dunia ini, sehingga mereka beranggapan bahwa surga yang tinggi itu ada di dunia ini, dan berada di satu atau bebarapa planet di langit, dan pada suatu hari nanti-sebagai konsekuensi dari kemajuan ilmu pengetahuan dan penemuan-penemuan yang baru dan canggih-manusia akan pindah ke surga tersebut agar dapat hidup di sana dengan penuh ketenangan dan kedamaian.
Dari sisi lain, kita melihat sebagian orang mengingkari wujud nyata alam akhirat, dan menganggap bahwa surga itu adalah nilai-nilai akhlak yang disandang oleh orang-orang yang baik, bijak dan berbakti kepada bangsa dan masyarakatnya. Mereka berkeyakinan bahwa perbedaan antara dunia dan akhirat adalah perbedaan antara manfaat dan nilai.
Yang perlu ditanyakan kepada kelompok pertama ialah apabila benar surga itu ada di planet lain dan pada suatu saat nanti generasi mendatang akan sampai ke sana, lalu apa artinya seluruh manusia itu dihidupkan kembali pada Hari Kiamat kelak, dimana peristiwa ini didukung oleh Al-Qur'an? Dan, bagaimana pula pemberian pahala dan siksa itu bisa terjadi atas semua perbuatan makhluk di sana?
Juga perlu ditanyakan kepada kelompok kedua, apabila benar surga itu berupa nilai-nilai moral, dan bahwa jahanam itu hanyalah lawan dari pada nilai-nilai tersebut, mengapa Al-Qur'an senantiasa menekankan Ma'ad dan menekankan kebangkitan manusia setelah kematian? Jika benar demikian, apakah tidak lebih baik para nabi itu berterus terang akan kenyataan ini, sehingga mereka tidak dituduh sebagai orang gila dan berbicara bohong?
Tatkala melampaui dua pandangan lemah ini, segera kita akan menjumpai perselisihan antara kaum mutakallim (teolog) dan kaum filosof mengenai satu masalah Ma'ad; apakah kebangkitan jasmani atau ruhani, dan pada masalah-masalah lainnya seperti: apakah alam materi ini akan sirna sama sekali ataukah tidak? Apakah tubuh ukhrawi itu adalah tubuh duniawi itu sendiri ataukah berbeda?
Meskipun upaya-upaya rasional dan filosofis dalam rangka mendekati dan mengungkap hakikat tersebut perlu dihargai, namun upaya-upaya itu mengandung titik-titik kelemahan di samping titik-titik kekuatannya. Tampaknya, kita akan sulit menyingkap hakikat kehidupan akhirat melalui jalan akal dan filsafat.
Sejatinya, sampai saat ini apakah kita betul-betul mengenal hakikat dunia ini secara sempurna? Apakah mungkin para ilmuwan dari berbagai bidang; fisika, kimia, biologi dan lain sebagainya dapat mengetahui hakikat materi, potensi dan macam-macam kekuatan lain di alam? Apakah mereka dapat mengetahui secara penuh dan pasti akan masa depan alam ini? Apakah mereka mengetahui apa yang akan terjadi jika gravitasi bumi ini dicabut dari alam ini atau gerak elektronnya terhenti? Apakah demikian ini akan terjadi atau tidak? Apakah para filosof itu dapat mengatasi seluruh masalah rasional yang berhubungan dengan alam ini secara tuntas?
Dan masih banyak lagi masalah-masalah yang perlu dijawab seperti: hakikat benda (jism), forma spesis (shurah nau'iyyah), hubungan ruh dan badan, dan lain sebagainya.Bukankah masalah-masalah ini memerlukan penelitian yang mendalam? Lalu, bagaimana mungkin kita yakin-dengan segenap bantuan pengetahuan dan pemikiran kita yang serbabatas-akan dapat menyentuh hakikat alam yang belum kita alami sama sekali?
Jelas bahwa dangkalnya ilmu pengetahuan manusia tidak berarti bahwa tidak sesuatu pun dapat diketahui walau dengan jalan apa pun, atau kita tidak perlu berusaha secara serius untuk mengetahui wujud yang lebih unggul. Tidak syak lagi, betapa banyak hakikat yang dapat kita ketahui dengan mengoptimalkan potensi akal yang dianugerahkan oleh Allah kepada kita, sebagaimana kita dapat menyingkap rahasia-rahasia alam dengan bantuan indera dan empiris.
Kita harus mengerahkan segenap kekuatan ilmiah dan falsafi dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan dan pemikiran kita. Pada saat yang sama, kita juga harus mengenal batasan-batasan akal dan pengetahuan empirik, sehingga kita tidak melampauinya. Hendaknya kita perlu menyadaari kenyataan diri yang terbatas ini:
"Dan kalian tidak diberikan ilmu pengetahuan melainkan sedikit sekali." (QS. Al-Isra': 85)
Teori dan data-data ilmiah, ketundukan yang bijak dan kewaspadaan religius, semua itu menuntut kita agar tidak melontarkan pernyataan-pernyataan pasti (qath'i) ihwal hakikat kiamat dan alam gaib, atau berpegang kepada pelbagai takwil yang tidak berlandaskan dalil kecuali dalam batas dan jangkauan dalil akal dan nash wahyu.
Yang jelas, cukuplah bagi setiap manusia mukmin untuk meyakini kebenaran apa yang diturunkan oleh Allah SWT. meskipun ia tidak dapat mengetahui sifat-sifatnya secara detail dan menjelaskan perinciannya, khususnya mengenai perkara-perkara yang tidak dapat dijangkau oleh akal, indra dan ilmu pengetahuan.
Selanjutnya kita perlu mengetahui sedapat mungkin sifat-sifat alam akhirat dan ciri-cirinya melalui akal serta perbedaannya dengan dunia.

Beberapa Ciri Khas Alam Akhirat menurut Akal
Beranjak dari dalil-dalil atas pentingnya Ma'ad, kita akan dapat memahami beberapa keistimewaan alam akhirat. Antara lain:
Pertama, dalil pertama memperlihatkan bahwa alam akhirat itu mesti bersifat kekal dan abadi. Karena, dalil tersebut telah menegaskan kemungkinan hidup yang abadi dan kecenderungan fitriyah kepada kehidupan tersebut, dan terwujudnya alam kehidupan abadi itu sesuai dengan Hikmah Ilahiyah.
Kedua, yang dapat dipahami dari kedua dalil itu dan juga telah disinggung di akhir dalil pertama, ialah bahwa alam akhirat merupakan wadah yang pasti untuk terealisasinya kenikmatan dan kasih sayang yang seutuhnya, tanpa ada kesusahan dan kelelahan di dalamnya, sehingga orang-orang yang telah mencapai tingkat kesempurnaan insaninya dapat menikmati kebahagiaan itu. Alam tersebut tidak dicemari oleh maksiat dan penyelewengan apapun. Berbeda dengan dunia yang di dalamnya kebahagiaan yang seutuhnya tidak mungkin terwujud. Yang hanya terwujd di dunia adalah kebahagiaan semu dan bercampur dengan berbagai kesulitan dan kesengsaraan.
Ketiga, alam akhirat setidaknya meliputi dua bagian yang terpisah, yang pertama adalah rahmat, dan yang kedua adalah siksa, sehingga dapat dibedakan orang-orang yang baik dari orang-orang yang jahat, dan masing-masing mendapatkan balasan perbuatannya.Kedua bagian ini biasa dikenal dalam syariat dengan istilah surga dan neraka.
Keempat, dari dalil keadilan dapat dipahami bahwa alam akhirat itu luas sehingga bisa menampung pahala dan siksa bagi seluruh umat manusia atas segala apa yang mereka lakukan, berupa amal baik dan amal buruk. Misalnya, ketika seseorang melakukan pembunuhan atas jutaan manusia yang tidak bersalah, hukuman siksa terhadapnya semestinya bisa terjadi di alam itu. Begitu pula sebaliknya, jika seseorang menyelamatkan nyawa jutaan umat manusia, ia dapat menerima pahala setimpal yang terdapat di alam tersebut.
Kelima, keistimewaan yang sangat penting yang dijumpai pada dalil keadilan, sebagaimana tercatat di akhir dalil, ialah bahwa alam akhirat itu merupakan tempat pembalasan, bukan tempat pembebanan tugas dan tanggung jawab.
Penjelasannya: kehidupan di dunia ini adalah tempat hidupnya setiap manusia dengan kecondongan dan keinginan yang saling bertentangan, dan mereka senantiasa berada di persimpangan jalan, sehingga harus memilih salah satu jalan tersebut. Tempat seperti inilah yang dapat memenuhi lahan dan kondisi pembebanan tugas Ilahi, yaitu tanggung jawab yang berlangsung terus sampai nafas terakhir seseorang.
Sementara itu, Hikmah dan Keadilan Ilahi menuntut agar manusia sebagai pelaku tugas dapat memperoleh ganjaran yang setimpal, sebagaimana orang yang menyia-nyiakan tugas akan mendapatkan siksa yang setimpal pula. Kalau kita mengasumsikan terbukanya pembebanan tugas dan peluang memilih jalan di alam akhirat, maka rahmat wujud dan anugerah Allah SWT melazimkan tidak adanya halangan bagi manusia menjalankan berbagai tugas dan memilih jalan di alam tersebut.
Mengingat tidak ada lagi tugas Ilahi dan upaya memilih jalan di alam akhirat, semestinya alam akhirat itu bukanlah alam dunia ini, yang di dalamnya diberikan pahala dan siksa. Pada hakikatnya, alam yang kita asumsikan sebagai alam akhirat mesti dipandang sebagai dunia yang lain. Adapun alam akhirat yang hakiki adalah alam terakhir yang tidak tersisa lagi tugas dan ujian, juga tidak ada lagi peluang pembebanan dan pelaksanaan tugas, yaitu benturan antar-tuntutan dan keinginan.
Dari poin-poin di atas ini tampak jelas beberapa perbedaan penting antara alam dunia dan alam akhirat, yaitu bahwa dunia ini adalah tempat usaha, ujian dan cobaan, sementara alam akhirat adalah tempat pahala dan siksa yang abadi sebagai hasil dan dampak dari perbuatan yang baik ataupun yang buruk yang dilakukan di dunia ini. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as bersabda, "Sesungguhnya dunia ini adalah tempat beramal tanpa hisab, sedangkan akhirat adalah tempat hisab tanpa amal." (Nahjul Balaghah, Khutbah 42).[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
1. Mengapa kita tidak dapat mengetahui alam akhirat secara detail dan sempurna?
2. Sebutkan dua tipe dari pandangan yang menyimpang mengenai alam akhirat dan bawakan kritik terhadapnya!
3. Dengan jalan apakah kita dapat mengetahui ciri-ciri khas alam akhirat?
4. Jelaskan ciri-ciri khas alam akhirat berdasarkan pandangan akal!



PELAJARAN 49

Dari Kematian Hingga Kiamat
Telah kita ketahui pada pelajaran yang lalu, bahwa pengetahuan yang kita miliki ini sangatlah sedikit dan terbatas, maka kita tidak dapat mengetahui hakikat alam akhirat dan alam gaib secara mutlak. Hendaknya kita merasa cukup dengan serangkaian pengetahuan yang global yang dapat kita peroleh melalui dalil-dalil akal, dan dengan ciri-ciri khas serta sifat-sifat yang telah diterangkan oleh wahyu. Juga telah kami singgung pada pelajaran yang sama tentang sebagian sifat dan keistimewaan umum yang kita jumpai dari dalam dalil dalil akal. Berikut ini kami akan memaparkan sifat-sifat dan ciri-ciri khas akhirat yang dapat kita tarik dari ayat-ayat Al-Qur'an.
Perlu kiranya kami tekankan bahwa sangat mungkin sebagian kalimat yang digunakan untuk menyifati alam akhirat itu berupa mutasyabih (tidak jelas maknanya), sehingga gambaran konseptual yang muncul di mental kita dari kalimat-kalimat tersebut tidak benar-benar tepat dan tidak sesuai dengan fakta dan mishdaq yang seutuhnya di luar. Ini bukan karena lemahnya penjelasan tersebut, tetapi hanya karena dangkalnya pemahaman kita. Sebab tidak syak lagi bahwa Al-Qur'an menggunakan kata dan kalimat yang paling fasih yang dapat digunakan untuk mengungkapkan hakikat tersebut, juga sesuai dengan daya paham dan nalar kita.
Mengingat bahwa ayat-ayat Al-Qur'an itu pun menerangkan permulaan-permulaan hari ahkirat, pada kesempatan ini kami akan memulai pembahasan tersebut dari kematian manusia.

Setiap Manusia akan Mengalami Kematian
Al-Qur'an menegaskan bahwa seluruh manusia, bahkan seluruh makhluk hidup, akan mengalami kematian. Tidak seorang pun yang akan hidup kekal di dunia ini. Allah SWT berfirman,
"Semua yang ada di muka bumi ini akan fana." (QS. Ar-Rahman: 36)
"Setiap yang bernyawa itu pasti akan mengalami kematian."(QS. Ali 'Imran: 185)
"Sesungguhnya engkau-wahai Rasul-akan mati. Dan sesungguhnya mereka pun akan mati." (QS. Az-Zumar: 30)
"Dan kami tidak menjadikan orang-orang yang sebelum kamu itu hidup kekal. Apakah jika kamu mati mereka itu hidup kekal?" (QS. Al-Anbiya': 34)
Dari ayat-ayat ini kita dapat memastikan bahwa kematian merupakan hukum kehidupan umum dan mutlak bagi setiap makhluk hidup di dunia ini.

Pencabut Ruh
Kita mengamati bangaimana Al-Qur'an menisbahkan pencabutan ruh kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman, "Allah mencabut jiwa-jiwa ketika tiba kematiannya." (QS. Az-Zumar: 42)
Ini dari satu sisi. Dan dari sisi lain, Al-Qur'an juga men-yatakan bahwa malaikat maut itu ditugaskan untuk mencabut nyawa manusia. Allah SWT berfirman, "Katakanlah! yang mematikan kalian adalah malaikat maut yang diwakilkan kepada kalian." (QS. As-Sajdah: 11)
Di tempat lain, Al-Qur'an menisbahkan pencabutan ruh kepada malaikat Allah dan rasul-rasul-Nya.
"Sehingga ketika salah seorang di antara kalian didatangi oleh kematian, maka rasul-rasul Kami itu mematikannya." (QS. Al-An'am: 61)
Jelas bahwa tatkala pelaku melakukan perbuatannya melalui pelaku lainnya, perbuatan itu bisa dinisbahkan kepada kedua pelaku tersebut. Kemudian, jika pelaku yang kedua pun mempunyai perantara dalam perbuatannya itu, perbuatan itu pun bisa dinisbahkan kepada pelaku yang ketiga. Mengingat bahwa Allah SWT itu mencabut ruh-ruh dengan perantara malaikat maut, dan pada gilirannya malaikat maut itu melaksanakan tugasnya dengan perantara para malaikat yang tunduk di bawah perintahnya, pencabutan ruh itu bisa dinisbahkan kepada tiga pelaku tersebut.

Lembut dan Kerasnya Pencabutan Ruh
Dari ayat-ayat Al-Qur'an dapat kita simpulkan bahwa para pencabut nyawa itu tidak menyamaratakan dalam pencabutan ruh-ruh manusia. Terkadang mereka mencabut ruh seseorang dengan penuh kelembutan dan penghormatan. Pada kesempatan lain, mereka mencabut ruh secara kasar dan keras. Mengenai pencabutan ruh orang-orang mukmin, Allah SWT berfirman, "Mereka yang dimatikan oleh para malaikat yang baik itu berkata, 'salam sejahtera atas kalian.'" (QS. An-Nahl: 32)
Dan mengenai pencabutan ruh orang-orang kafir, Allah SWT berfirman, "Jika saja kamu melihat ketika malaikat itu mematikan orang-orang yang kafir, mereka memukul-mukul wajah mereka dan punggung mereka." (QS. Al-Anfal: 5)
Dapat juga dikatakan bahwa cara pencabutan ruh itu, baik keras atau pun lembut, berbeda-beda di antara kaum mukmin dan kaum kafir sendiri, tergantung derajat keimanan dan kekufuran mereka.

Nilai Iman dan Taubat Ketika Kematian Tiba
Ketika tiba saat kematian orang-orang kafir dan para pemaksiat, sementara rasa putus asa untuk tetap hidup pun telah menghantui mereka, mereka menyesal akan apa yang telah mereka lakukan. Segera mereka menampakkan keimanan serta bertaubat atas dosa-dosa mereka. Hanya saja keimanan dan taubat demikian ini tidak diterima sama sekali. Allah SWT berfirman,
"Pada hari ketika telah datang sebagian ayat-ayat Tuhanmu, maka tidak bermanfaat iman seseorang, dimana ia tidak pernah beriman sebelumnya atau melakukan kebaikan dalam keimanan." (QS. Al-An'am: 158)
"Bukanlah taubat itu bagi orang-orang yang telah melakukan keburukan, sehingga ketika telah datang kepada salah seorang dari mereka kematiannya, ia berkata, 'Sesungguhnya aku telah bertaubat.'" (QS. An-Nisa': 18)
"Aku telah beriman bahwa sesungguhnya tiada tuhan melainkan Tuhan yang diimani oleh Bani Israil dan aku termasuk orang-orang muslim." (Qs. Yunus: 90)
"Baru sekarang inikah engkau beriman? Padahal sebelumnya engkau bermaksiat dan termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan?" (QS. Yunus: 91)

Mengharap Dikembalikan ke Dunia
Al-Qur'an menukil kisah orang-orang durhaka dan kafir, bahwa ketika telah tiba saat-saat kematian, atau ketika siksa itu menimpa, mereka mengharapkan kembali ke dunia ini agar dapat beriman dan berbuat amal kebajikan, atau memohon kepada Allah SWT agar dikembalikan lagi ke dunia untuk dapat mengubah hari-hari hitam mereka yang telah mereka lalui. Hanya saja Allah SWT mengabulkan permohonan itu. Dan, harapan mereka sia-sia.
Di sebagian ayat, Al-Qur'an mengungkapkan bahwa sekalipun mereka dikembalikan lagi ke dunia ini, pasti mereka akan kembali melakukan berbagai kemungkaran sebagaimana yang pernah mereka jalani. Kelak di Hari Kiamat, mereka mengemiskan permohonan semacam itu. Hanya Allah tidak mengabulkan permohonan mereka. Allah SWT berfirman, "Sehingga ketika kematian itu menjemput salah seorang dari mereka, ia berkata, 'Tuhanku, kembalikanlah aku ke dunia, aku berharap akan berbuat amal saleh yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak, itu hanyalah ucapan kosong belaka.'" (QS. Al-Mu'minun: 99-100)
"Atau engkau akan berkata ketika melihat siksa, 'Seandainya aku ini dikembalikan sekali lagi, maka aku akan termasuk oran -orang yang baik.'" (QS. Az-Zumar: 58)
"Ketika mereka itu dihentikan di atas neraka, mereka berkata, 'Wahai seandainya kami ini dikembalikan lagi dan tidak lagi mendustakan ayat-ayat Tuhan kami, maka wahai Tuhan kami, kami akan menjadi orang-orang yang beriman.'" (QS. Al-An'am: 27-28)
"Ketika orang-orang yang durhaka itu menundukkan kepala di hadapan Tuhan mereka, mereka berkata, 'Wahai Tuhan kami melekkanlah kami dan kami mendengar, maka kembalikanlah kami agar dapat berbuat kebajikan. Sesungguhnya kami orang-orang yang yakin.'" (QS. As-Sajdah: 32)
Secara jelas kita dapat memahami dari ayat-ayat di atas bahwa alam akhirat itu bukanlah tempat berikhtiar, mencari jalan dan melakukan berbagai kewajiban, meskipun keyakinan yang mereka dapatkan pada saat sekarat maut dan di alam akhirat, tidak akan membantu sama sekali proses kesem-purnaan mereka, juga tidak membuat mereka berhak menerima pahala apapun. Oleh karena itu, orang-orang kafir dan pemaksiat mengharapkan kembali ke dunia ini agar mereka dapat beriman dan melakukan amal-amal saleh.

Alam Barzakh
Dari ayat-ayat yang lain kita dapat memahami bahwa setelah mengalami kematian dan sebelum terjadinya Hari Kiamat, manusia akan melewati satu masa di alam kubur dan barzakh. Di alam barzakh, mereka akan mendapatkan berbagai kesenangan dan kenikmatan, ataupun kesengsaraan dan siksaan. Di dalam riwayat banyak disebutkan bahwa orang-orang mukmin yang melakukan dosa pada kehidupan mereka di dunia akan menghadapi berbagai kesulitan dan penderitaan di alam barzakh seberat dosa-dosa yang pernah mereka lakukan, untuk mensucikan diri mereka agar tidak menanggung beban berat di alam akhirat.
Mengingat bahwa ayat-ayat yang menjelaskan tentang alam barzakh memerlukan studi tafsir, kami hentikan pembahasan itu sampai di sini. Dalam hal ini, kami hanya membawakan satu ayat. Allah SWT berfirman, "Dan di belakang mereka itu terdapat alam barzakh sampai tiba Hari Kebangkitan." (QS. Al-Mu'minun: 100)[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Jelaskan pandangan Al-Qur'an mengenai ketakabadian manusia di dunia ini sambil membawakan sebagian ayat yang berkaitan!
2. Siapakah yang mencabut ruh manusia itu? Dan bagaimana kita dapat menguraikan perbedaan antara ayat-ayat yang berkaitan?
3. Terangkan perbedaan cara pencabutan nyawa!
4. Terangkan pandangan Al-Qur'an mengenai keimanan dan taubat ketika telah tiba saat kematian dengan membawakan ayat-ayat yang terkait!
5. Ihwal kembali ke dunia yang bagaimanakah yang ditolak oleh Al-Qur'an? Dan apakah mengingkari ihwal kembali semacam ini bertentangan dengan keyakinan terjadinya raj'ah? Mengapa?
6. Jelaskanlah alam barzakh itu?




PELAJARAN 50

Hari Kiamat menurut Al-Qur'an
Dengan mengkaji ayat-ayat Al-Qur'an, kita dapat memahami bahwa pada tahap pertama kehidupan alam akhirat bukan dihidupkannya kembali manusia, tetapi terjadi per-ubahan yang menyeluruh di dalam sistem dan hukum alam semesta, lalu terjadilah alam akhirat yang memiliki ciri-ciri khas yang tidak mungkin dapat kita ketahui secara detail. Dan nyatanya, kita tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai hal itu. Ketika hari itu terjadi, seluruh umat manusia akan dibangkitkan secara bersamaan, dari manusia pertama yang diciptakan Allah SWT sampai manusia terakhir, agar mereka semua dapat melihat akibat dan hasil dari perbuatan mereka di dunia ini, yang kemudian mereka akan menempati surga atau neraka selama-lamanya.
Ayat-ayat Al-Qur'an yang berhubungan dengan masalah ini banyak sekali, sementara pembahasan tentangnya memerlukan waktu dan tempat yang cukup, untuk itu pada kesempatan ini kami akan menjelaskannya secara singkat saja.

Kondisi Bumi, Laut dan Gunung
Ketika Hari Kiamat tiba, terjadi goncangan bumi yang luar biasa dahsyat. Bumi ini memuntahkan seluruh isi perutnya ke luar, berhamburan dan hancur berantakan. Lautan meluap dan terbelah. Gunung-gunung bergerak dan berguncang keras, kemudian pecah beserpihan bagaikan butir-butir pasir yang berserakan, beterbangan bagaikan kapas-kapas yang bertebaran di udara. Gunung-gunung yang menjulang tinggi itu pun tak ubahnya dengan fatamorgana, tak lagi meninggalkan bekas keperkasaannya.[1]

Kedaaan Langit dan Bintang-bintang
Al-Qur'an memberikan gambaran tentang keadaan benda-benda langit ketika Hari Kiamat tiba. Bahwa bulan, matahari, bintang-bintang yang begitu besar, bahkan sebagian bintang-bintang itu lebih besar dari bumi yang kita tempati ini, yang lebih terang jutaan kali lipat dan sinarnya dari matahari yang kita lihat, semua itu akan hancur dan sinarnya menjadi pudar lalu padam. Segala gerak, tatanan dan aturannya menjadi hancur. Matahari bertabrakan dengan bulan. Adapun langit yang kita lihat akan bergoncang, terbelah dan hancur. Gugusan langit akan luluh bagaikan barang-barang tambang yang diluluhkan dan mencair. Alam ini dipenuhi dengan asap tebal dan awan gelap.[2]

Jerit Kematian
Dalam kondisi seperti itu, ditiuplah sangkakala, jerit kematian pun menyeruak ke seluruh jagad. Ketika itu, seluruh manusia dan makhluk hidup mengalami kematian. Tidak sesuatu pun yang tersisa di dunia ini. Pada detik-detik peristiwa itu terjadi, seluruh manusia merasa ketakutan dan panik. Mereka goncang dan kebingungan, kecuali orang-orang mukmin yang memahami hakikat wujud ini, segala hikmah dan rahasianya, hati mereka tenggelam dalam makrifat dan mahabbah (cinta) kepada Allah SWT.

Jerit Kebangkitan dan Permulaan Kiamat
Setelah peristiwa itu terjadi, alam akhirat pun memasuki babak baru; alam yang memiliki potensi untuk kekekalan dan keabadian.Nur Ilahi memancarkan sinarnya, jeritan kebangkitan menggema, nusyur segera berlangsung, seluruh umat manusia serta binatang-binatang pun dihidupkan kembali hanya dengan sekejap saja. Seluruh manusia diliputi kebingungan dan goncangan jiwa yang dahsyat bagaikan kupu-kupu yang beterbangan tanpa arah.
Kini, mereka berada di satu tempat yang agung, berdiri di hadapan Tuhan Yang Mahabesar untuk dilakukan hisab dan perhitungan amal atas masing-masing. Seluruh manusia dikumpulkan. Bahkan, sebagian mereka mengira bahwa mereka berada di alam barzakh hanya sekejap atau sehari saja.

Kerajaan Allah dan Terputusnya Sebab dan Nasab
Di alam baru itu tersingkaplah segala hakikat. Kerajaan dan kekuasaan seluruhnya hanya milik Allah. Seluruh umat manusia menjadi ketakutan dan tidak seorang pun yang berani atau mampu berkata-kata dan mengangkat suara. Mereka tenggelam di dalam pikiran masing-masing; tentang nasib dan perjalanan akhir mereka. Bahkan, anak akan lari dan tak peduli lagi akan ayah dan ibunya. Sanak keluarga satu sama lainnya saling meninggalkan, hubungan nasab dan keturunan pun menjadi terputus tak lagi berarti. Hubungan kekerabatan dan persahabatan yang dibina berdasarkan keuntungan materi, duniawi dan hawa nafsu berubah menjadi permusuhan satu sama lainnya. Seluruh jiwa manusia dipenuhi oleh penyesalan dan kerugian terhadap apa yang telah mereka lakukan di dunia.[3]

Mahkamah Keadilan Ilahi
Kemudian, dibentuklah Mahkamah Keadilan Ilahi, segala amal perbuatan seluruh manusia pun dihadirkan. Lembaran amal dibagi-bagikan, setiap amal dibukakan di hadapan masing-masing pelakunya sebegitu jelas sehingga tidak lagi memerlukan pemeriksaan terhadap amal tersebut.
Di dalam mahkamah ini, dihadirkan para malaikat, para nabi dan hamba-hamba pilihan sebagai saksi-saksi atas berbagai amal tiap-tiap manusia. Bahkan tangan, kaki dan kulit tubuh pun akan berbicara dan menjadi saksi atas perbuatan seseorang. Seluruh manusia akan dihisab secara teliti. Segenap perbuatan mereka akan ditimbang dengan timbangan (mizan) Ilahi. Seluruhnya akan diadili berdasarkan Keadilan Ilahi, dan masing-masing diri akan melihat hasil perbuatannya.
Secara khusus, orang-orang saleh akan dilipatgandakan ganjarannya. Mereka yang membawa amal kebajikan akan mendapatkan balasan sepuluh kali lipat. Di sana, seseorang tidak akan menanggung dosa dan perbuatan orang lain. Sementara mereka yang tersesat dan menyesatkan orang lain akan menanggung kesesatan orang lainnya yang disesatkannya itu, selain menerima balasan atas perbuatan mereka sendiri, tanpa kurang sedikitpun.
Pengorbanan seseorang untuk orang lain pada saat itu tidak akan berarti. Bahkan, syafa'at dan pertolongan seseorang pun tidak akan diterima, kecuali syafa'at orang-orang yang diizinkan oleh Allah SWT mereka dapat memberikan syafa'at sesuai dengan timbangan-timbangan yang diridhai Allah SWT.[4]

Menuju ke Tempat Abadi
Setelah pengadilan itu selesai, tibalah babak berikutnya, diumumkanlah keputusan Ilahi. Orang-orang yang saleh dipisahkan dari orang-orang yang durhaka. Kaum mukmin menuju ke surga firdaus dengan wajah yang berseri-seri dan penuh gembira. Sinar Ilahi memancar dan mengantarkan mereka ke tempat keabadian surgawi. Sedangkan orang-orang kafir dan kaum munafik digiring ke neraka jahanam dalam keadaan terhina. Wajah mereka hitam dan kotor, berjalan di dalam kegelapan. Ketika itu, orang-orang munafik berkata kepada orang-orang yang beriman, "Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman, 'Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebagian dari cahayamu.' Ketika itu dikatakan kepada mereka, 'Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya untukmu." Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang yang beriman) seraya berkata, 'Bukankah kami dahulu bersama-sama kalian?' Mereka menjawab, 'Benar, akan tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menunggu kehancuran kami dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah, dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh setan yang amat menipu.' Maka pada hari ini tidak diterima tebusan darimu dan tidak pula dari orang-orang kafir. Tempat kamu adalah neraka, itulah tempat berlindungmu dan seburuk-buruknya tempat kembali bagimu." (QS. Al-Hadid:13-15)
Ketika orang-orang mukmin telah mendekati surga, dibukakan pintu untuk mereka. Para malaikat rahmat pun menyambut kedatangan mereka seraya mengucapkan selamat dengan penuh hormat, dan memberi kabar gembira kepada mereka akan kebahagiaan yang abadi.[5]
Akan tetapi, tatkala orang-orang kafir dan munafik itu sampai di neraka jahanam, terbukalah pintu di hadapan mereka, dan para malaikat azab mencaci-maki mereka dengan kasar dan penuh kedengkian. Mereka diancam dengan siksa pedih selama-selamanya.

Surga
Di dalam surga, terdapat taman yang membentang, seluas langit dan angkasa, dipenuhi oleh aneka ragam pepohonan dengan bermacam-macam buahnya yang sudah matang dan mudah dipetik. Di dalam taman itu juga terdapat tempat isitirahat dan bersenang-senang yang sangat luas dan indah, sungai-sungai dengan airnya yang sejuk, susu, madu dan minuman yang bersih dan segar. Apa pun yang mereka inginkan tersedia di dalamnya. Bahkan lebih dari apa yang mereka inginikan.
Pakaian penduduk surga terbuat dari sutra, sundus dan istabrak (jenis sutra) yang dihiasi dengan bermacam-macam hiasan yang indah. Mereka duduk bersandaran di atas dipan-dipan dan kasur-kasur yang empuk sambil berhadap-hadapan. Tidak terdengar suara apapun dari penduduk surga selain puji dan syukur kepada Allah SWT. Mereka tidak pernah berbicara dengan kata-kata yang sia-sia dan kotor, mereka pun tidak mendengar hal yang serupa. Mereka tidak diganggu oleh rasa dingin atau pun panas, tidak mengenal rasa sakit, lelah dan bosan, tidak juga rasa sedih dan takut. Hati mereka bersih, tidak sedikit pun tergores rasa dengki dan iri.
Para pelayan anak-anak kecil senantiasa melingkari mereka bagaikan mutiara-mutiara yang tersimpan rapih, begitu indah dan menakjubkan. Mereka menyajikan gelas-gelas yang berisikan minuman surgawi nan lezat dan membangkitkan semangat yang tak terbayangkan. Tidak ada bahaya dan rasa sakit apa pun. Mereka dapat menikmati berbagai macam buah dan daging burung.
Di dalam surga, kaum laki-laki mendapatkan pelayanan terbaik dari isteri-isteri yang cantik, suci dari segala aib dan sangat mencintai suami-suaminya. Lebih dari itu semua, mereka pun memperoleh kenikmatan ruhani dan keridhaan Ilahi. Mereka senantiasa mendapat kasih sayang dan kelembutan dari Tuhan Yang Mahakasih, sehingga mereka hanyut dalam kebahagiaan dan kedamaian yang tidak seorang pun dapat menggambarkannya. Sungguh kebahagiaan yang tidak ada bandingan. Segala kenikmatan yang tidak mungkin terbayangkan, dan rahmat, keridhaan serta kedekatan diri di sisi Allah, semua itu abadi dan tak terbatas.

Neraka
Neraka adalah tempat akhir orang-orang kafir dan kaum munafik yang tidak mempunyai nur sama sekali di dalam hatinya. Di tempat itulah seluruh para pendurhaka dikumpulkan. Neraka masih saja dapat menampung dan menyambut, sampai ia berkata: "Apakah masih ada tambahan lagi?". Di dalamnya tidak ada selain api dan siksa.
Lidah api neraka itu menjilat-jilat sampai ke atas dan dari semua arah. Suaranya yang menakutkan dan penuh murka menambah rasa takut, ngeri dan menggetirkan jiwa. Wajah-wajah penghuninya masam, redup, gelap, hitam dan sangat jelek. Bahkan, para malaikat yang dipercaya untuk menjaganya pun berlaku keras dan kejam. Dari wajah-wajah mereka tidak tampak rasa belas kasih, sedikit pun.
Penghuni neraka itu dibelenggu dengan rantai-rantai dari besi. Mereka dikelilingi api neraka dari semua sisi, bahkan mereka sendiri sebagai kayu-kayu bakarnya. Mereka tidak mendengar apa-apa selain jeritan, rintihan, tangisan dan keluh kesah para penghuninya, serta teriakan para malaikat yang mengawal mereka.
Wajah-wajah para penghuni neraka itu disiram dengan air mendidih yang sangat panas sehingga isi perut mereka pecah. Setiap kali meminta minum, mereka diberikan minuman dari muhl yang sangat panas dan berbau busuk. Mereka menerima minuman itu bagaikan unta-unta yang kehausan. Ketika diminum, usus-usus mereka menjadi terputus-putus dan hancur.
Makanan mereka terbuat dari pohon zakum, yaitu sejenis pohon yang tumbuh di dalam neraka. Jika mereka memakannya, akan bertambah pedih siksa mereka, perut mereka terbakar. Adapun pakaian mereka terbuat dari bahan hitam yang sangat kasar, yang jika dipakai akan menambah siksa menjadi lebih pedih lagi.
Di dalam neraka, mereka ditemani oleh setan-setan, jin dan para durjana, sehingga mereka berangan-angan ingin menghindar jauh. Satu sama lain saling melaknat dan bertikai. Setiap kali menampakkan penyesalan dan memohon maaf kepada Allah, mereka malah menerima siksa yang semakin pedih agar mereka diam. Ketika itulah mereka memohon kepada penjaga neraka. Al-Qur'an mengisahkan, "Para penghuni neraka itu berkata kepada penjaga jahanam, 'Mohonlah kepada Tuhanmu agar meringankan azab kami ini walaupun hanya satu hari saja!' Mereka menjawab, 'Bukankah sudah datang kepadamu para utusanmu itu dengan membawa penjelasan?' Mereka menjawab, 'Ya.' Mereka berkata lagi, 'Kalau begitu mintalah. Sesungguhnya doa-doa orang-ornag kafir senantiasa dalam kesesatan.'" (QS. Ghafir: 49-50)
Begitu beratnya siksa yang diderita, mereka meminta dimatikan lagi. Akan tetapi, jawaban yang datang kepada mereka adalah: kalian akan menetap di neraka ini selama-lamanya. Allah SWT berfirman, "Mereka memanggil-manggil, 'Wahai penjaga, mohonlah agar Tuhanmu itu mengadili kami lagi.' Ia menjawab, 'Sesungguhnya kalian akan menetap di sini.'"
Meskipun diliputi oleh kematian dari semua sisi, mereka tidak mengalami kematian lagi. Setiap kali kulit mereka terbakar, digantikan dengan kulit yang baru sehingga siksa itu terus berlangsung, mendera tiada henti.
Akhirnya, mereka memohon kepada penduduk surga agar memberikan air dan makanan walau sedikit saja. Jawaban yang datang hanyalah "Sesungguhnya Allah SWT mengharamkan atas kalian kenikmatan surga. Penduduk surga bertanya kepada mereka, "Apakah yang membuat kamu masuk ke neraka saqar?" Mereka menjawab, "Kami tidak melakukan shalat, kami juga tidak memberi makan fakir miskin. Kami tenggelam bersama orang-orang yang durhaka dan kami mendustakan Hari Kiamat." (QS. Al-Muddatstsir: 42-46)
Kemudian terjadilah adu-bicara sesama mereka sendiri di dalam neraka itu. Orang-orang yang sesat berkata kepada orang-orang yang menyesatkan mereka: "Sesungguhnya kalianlah yang telah menyesatkan kami". Mereka menjawab, "Justru kalianlah yang menghendaki sendiri hal itu lantas mengikuti kami." Orang-orang yang tertindas dan lemah berkata kepada orang-orang yang congkak, "Seandainya tidak karena kalian, maka kami ini adalah orang-orang yang beriman." Orang-orang yang sombong itu berkata kepada orang-orang yang lemah, 'Kamikah yang telah menghalangi kalian dari petunjuk setelah petunjuk itu datang kepada kalian? Tidak, sebenarnya kalian sendirilah orang-orang yang berdosa.'" (QS. Saba': 32)
Lalu, mereka berkata kepada setan-setan, "Sesungguhnya kalianlah yang telah menyesatkan kami." Setan-setan itu pun menjawab mereka, "Dan berkatalah setan ketika urusan hisab telah diselesaikan, 'Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepada kalian dengan janji yang benar dan aku pun telah berjanji kepada kalian akan tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan sekedar aku ini menyuruh kamu, lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku, akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak akan dapat menolongmu. Dan kamu pun tidak akan dapat meno-longku." (QS.Ibrahim:22)
Sungguh, tidak ada jalan lain di hadapan mereka kecuali menyerah dan menerima siksaan lantaran kekufuran dan kesesatan mereka. Mereka menetap untuk selama-lamanya di dalam neraka jahim.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
1. Jelaskan keadaan bumi dan langit ketika terjadi Hari Kiamat!
2. Terangkan permulaan Hari Kiamat dan ciri-cirinya!
3. Terangkan secara rinci Mahkamah Ilahi yang adil!
4. Jelaskan perjalanan orang-orang mukmin dan orang-orang kafir ketika menuju ke tempat abadi mereka!
5. Apakah nikmat surga itu? Jelaskan!
6. Terangkan keadaan neraka dan penghuninya!
7. Jelaskan secara rinci percakapan di antara penghuni neraka!
________________________________________
[1] Lihat surah Az-Zilzal: 1-2, Al-Hajj: 1, Al-Waqi'ah: 4, Al-Muzammil: 14, Al-Insyiqaq: 4, Al-Haqqah: 14, Al-Fajr: 21, At-Takwir: 6, Al-Infithar: 3, Al-Kahfi: 47, An-Nahl: 88, Ath-Thur: 10, Al-Takwir; 2, Al-Ma'arij: 9, dan Al-Qari'ah: 5.
[2] Lihat surah Al-Qiyamah: 8-9, Al-Takwir: 1-2, Al-Infithar: 2, Ath-Thur: 1, Al-Haqqah: 16, Ar-Rahman: 37, Al-Mursalat: 9, An-Naba': 19, Al-Anbiya': 104, Al-Furqan: 25, Ad-Dukhan: 10.
[3] Lihat surah Ibrahim: 21, Al-'Adiyat: 10, Ath-Thariq: 9, Qof: 22, Al-Haqqoh: 18, Al-Hajj: 56, Al-Furqon: 26, Ghafir: 16, Al-Infithor: 19, Hud: 105, Thaha: 108, An-Naba': 38, 'Abasa: 34, Asy-syuara': 88, Al-Ma'arij: 10-14, Luqman: 33, Al-Baqoroh: 166, Al-Mu'minun: 101, dan Az-zukhruf: 67.
[4] Lihat surah Al-An'am: 31, 70, 160, Maryam: 39, 87, Yunus: 54, 59, Ali-Imran: 30, 91, Lukman: 33, Al-Ma'idah: 36, Al-Hadid: 15, At-Takwir: 14, Al-Isra': 49, 13-14, Al-Haqqah: 19, Al-Insyiqaq: 7-10, Ar-Rahman: 39, Az-Zumar: 7, 24, 69, 75, Al-Baqarah: 143, 255, 281-286, Ali 'Imran: 140, 25, 161, An-Nisa': 41, 69, Hud: 18, 111, Al-Hajj: 78, Yasin: 65, 54, 47, Fushshilat: 20-21, An-Nur: 24, Al-Mu'minun: 102-103, Al-Qari'ah: 6-8, Al-Jatsiyah: 17, 22, An-Nahl: 25, An-Naml: 78, An-Najm: 26, 40-41, 39, Ibrahim: 51, Thaha: 15, 109, Ghafir: 17, Ath-thur: 21, Al-Muddatsir: 38, Al-'Ankabut: 13, Fathir: 18. Saba': 23, dan Az-Zukhruf: 87.
[5] Lihat surah Al-A'raf: 33, Al-Anfal: 37, Ar-Rum: 14-16, 43-44, Asy-Syura': 7, Hud: 105-108, Yasin: 59, Az-Zumar: 60, 71, 73, Ar-Ra'd: 23-24, Ali 'Imran: 106, Al-An'am: 124, Yunus: 27, Maryam: 71-72, 86, Thaha: 101, 124-126, Ibrahim: 43, Al-Qamar: 8, Al-Mi'raj: 44, Al-Ghasyiyah: 2, Al-Isra': 72, 97, 'Abasa: 40-41, Al-Hadid: 13-15, At-Tahrim: 6, dan Al-Anbiya': 103.




PELAJARAN 51

Perbandingan antara Dunia dan Akhirat
Setelah mengetahui sebagian ciri-ciri khas alam akhirat melalui dalil akal dan wahyu, kita dapat mengadakan perbandingan antara alam dunia dan alam akhirat dari beberapa sisi yang berbeda. Beruntung bila ternyata Al-Qur'an melakukan perbandingan ini. Maka itu, kita dapat menggunakan ayat-ayatnya untuk menilai kehidupan dunia dan akhirat secara akurat, dan menerangkan keutamaan alam yang kedua.

Kefanaan Dunia dan Keabadian Akhirat
Perbedaan pertama yang tampak jelas antara alam dunia dan alam akhirat ialah bahwa usia dunia ini sangatlah terbatas dan sementara, sedangkan akhirat bersifat kekal dan abadi. Kita amati bahwa manusia di alam dunia ini memiliki usia dan ajal tertentu, yang pada suatu saat-lambat atau cepat-akan mengalami kematian. Meskipun seseorang dapat hidup dalam usia ratusan atau ribuan tahun di dunia ini, kelak suatu saat hayatnya akan berakhir juga. Dunia ini akan mengalami perubahan yang menyeluruh ketika ditiupkan shur (sangkakala) pada tiupan pertama, sebagaimana telah dijelaskan pada pelajaran yang lalu. Dari sisi lain, kita temukan lebih dari 80 ayat yang menunjukkan bahwa akhirat itu kekal dan abadi. Sudah pasti bahwa sesuatu yang terbatas-meski usianya sebegitu panjang-jika dibandingkan dengan sesuatu yang tidak terbatas, tidaklah berarti apa-apa.
Dengan demikian, alam akhirat itu jauh lebih utama dibandingkan dengan alam dunia ini dari sisi kekekalannya. Kesimpulan ini juga didukung oleh ayat Al-Qur'an yang sangat banyak jumlahnya dan dengan ungkapan yang beragam, seperti bahwa akhirat itu abqa (lebih kekal), dan bahwa harta kekayaan dunia itu sedikit. Sedang ayat lainnya menegaskan kehidupan di dunia tak ubahnya tumbuh-tumbuhan yang hanya bisa hidup beberapa hari saja lalu mulai menguning dan layu, akhirnya ia kering dan punah. Allah SWT berfirman, "Apa yang ada di sisimu itu akan sirna. Sedang apa yang ada di sisi Kami akan tetap kekal."

Perbedaan Nikmat dan Azab di Akhirat
Perbedaan utama lainnya antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat ialah bahwa kenikmatan dunia itu bercampur dengan rasa lelah dan payah. Kita tidak menemukan sekelompok orang yang hidup di dunia ini yang senantiasa mengalami kesedihan, kesengsaraan dan siksaan di setiap bidang dan waktu. Bahkan seluruh manusia itu hidup-sedikit banyaknya-mendapatkan kenikmatan, kesenangan dan kebahagiaan, sebagaimana pula ia mengalami kesedihan, ketakutan dan kesengsaraan.
Adapun alam akhirat terbagi kepada dua bagian yang masing-masing mempunyai ciri-ciri khas, yaitu surga dan neraka. Di surga tidak terdapat siksa, kelelahan, kepayahan, ketakutan dan kesedihan sedikit pun, sebagaimana di neraka itu hanyalah api, rasa sakit, kerugian, penyesalan dan keresahan. Sudah pasti kelezatan, kepayahan dan rasa sakit di akhirat jauh lebih besar dibandingkan dengan kelelahan dan kenikmatan dunia. Al-Qur'an pun telah memaparkan perbandingan ini dan menjelaskan perbedaan keduanya. Dikatakan bahwa kenikmatan ukhrawi dan kedekatan kepada Allah itu lebih utama dibandingkan dengan kenikmatan dunia. Al-Qur'an pun menjelaskan siksa akhirat yang jauh lebih nista dan keras dari kelelahan dan musibah duniawi apa pun.

Akhirat sebagai Kehidupan Hakiki
Perbedaan penting lainnya antara dunia dan akhirat adalah bahwa kehidupan dunia itu merupakan mukadimah bagi kehidupan akhirat, sebagai sarana untuk memperoleh kebahagiaan abadi. Kehidupan akhirat merupakan kehidupan yang sesungguhnya. Karena kehidupan dunia, meskipun nikmat-nikmat materi dan maknawinya itu dituntut oleh manusia, namun melihat kenyataan bahwa kehidupan dunia itu hanyalah tempat ujian dan jalan untuk meraih kesempurnaan hakiki dan kebahagiaan abadi, kehidupan dunia itu bukanlah yang sejati. Yang sejati adalah bahwa manusia itu menyiapkan bekal untuk kehidupannya di akhirat kelak.
Maka itu, siapa yang melupakan kehidupan akhirat dan pandangannya hanya terfokus kepada kelezatan dunia, serta ia menganggap bahwa kelezatan dunia itu merupakan tujuan terakhirnya, berarti ia belum mengetahui nilai akhirat secara baik. Bahkan ia menduga bahwa dunia itu mempunyai nilai sendiri, karena ia menempatkan sarana sebagai tujuan. Sebenarnya usaha dan penilaiannya itu adalah sia-sia dan penipuan atas diri sendiri. Oleh karena itu, Al-Qur'an menganggap kehidupan dunia ini sebagai permainan, sia-sia dan tipu daya, serta mengangkat akhirat sebagai kehidupan yang hakiki dan sejati.
Akan tetapi, perlu diketahui bahwa hinanya dunia sedemikian itu dalam kaitannya dengan pandangan para pecinta dunia dan orang-orang yang senantiasa hidup dalam kesenangan dunia. Pada dasarnya, kehidupan dunia ini bagi orang-orang yang saleh yang telah mengenal hakikatnya dan memandang dunia ini hanyalah sarana, senantiasa dioptimalkan untuk kebahagiaan mereka yang abadi. Maka, dunia bagi orang-orang seperti ini tidaklah hina dan tercela, malah sebagai sarana yang bernilai besar bagi mereka.

Akibat Mengutamakan Kehidupan Dunia
Setelah kita memahami ciri-ciri khas alam akhirat yang penuh dengan kenikmatan surgawi dan keridaan Ilahi yang jauh lebih mulia dan tinggi nilainya dibandingkan dengan kelezatan duniawi, tidak tersisa lagi keraguan bahwa mengutamakan kehidupan dunia-yang hanya meninggalkan kerugian dan penyesalan-di atas akhirat adalah perbuatan yang bodoh menurut akal sehat. Bodoh, buruk, tercela dan salahnya pilihan tersebut akan lebih nampak ketika kita mengetahui bahwa memilih dan menumpahkan hati pada kelezatannya yang sementara itu bukan saja kendala dalam mencapai kebahagiaan abadi, bahkan dapat menyebabkan kesengsaraan yang abadi pula.
Dengan kata lain, seseorang yang memilih dan mengu-tamakan kelezatan duniawi yang sementara ini untuk meraih kebahagiaan abadi-walaupun sebut saja pilihannya itu tidak membawa dampak buruk pada dirinya di akhirat kelak-ini menunjukkan kebodohan dan kedunguan dirinya, karena ia telah memilih kehidupan dunia dan meninggalkan kelezatan dan kenikmatan akhirat yang bersifat abadi. Yang jelas, tidak seorang pun yang dapat mengelak dari kehidupan abadi. Seseorang yang mengerahkan kesungguhannya demi meraih kehidupan dunia dan kesenangannya dan melupakan atau mengingkari alam akhirat, ia tidak saja jauh dari kenikmatan surga, bahkan akan mendapatkan siksa dan kerugian yang berlipat ganda di jahanam kelak.
Dari sinilah Al-Qur'an menekankan-dari satu sisi-keutamaan nikmat akhirat dan memperingatkan manusia dari tipu-daya dunia. Dari sisi lain, Al-Qur'an memperingatkan keburukan dan bahayanya terikat dengan dunia, melupakan akhirat, mengingkari alam abadi atau ragu tentangnya. Al-Qur'an menekankan bahwa hal-hal semacam ini akan mengakibatkan kesengsaraan dan kehinaan yang abadi. Kelirulah orang yang mengira bahwa mengutamakan dunia itu hanya akan membuat orang kehilangan pahala akhirat saja, namun di samping kehilangan, justru orang seperti ini akan men-dapatkan siksa abadi.
Rahasia dan hikmah di balik itu adalah bahwa orang yang hatinya terpatri pada dunia ini telah menyia-nyiakan anugerah Ilahi sehingga pohon yang hijau dan rindang itu telah menjadi kering dan rontok di tangannya, padahal diharapkan akan mendatangkan buah yang abadi. Ia telah membuat layu pohon itu dan tidak lagi dapat berbuah. Ia tidak peduli kepada pemberi nikmat yang hakiki. Ia menggunakan nikmat Ilahi itu bukan pada jalan yang diridai Allah SWT. Tatkala penyeleweng seperti ini menyaksikan hasil usahanya yang hampa dan merugikan lantaran pilihannya yang buruk, berharap ingin menjadi tanah sehingga dapat terhindar dari bencana besar dan nasib terakhir yang amat menyakitkan.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Jelaskan perbedaan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat!
2. Terangkan sebab-sebab terhinanya dunia!
3. Jelaskan sisi-sisi buruk keterkaitan hati pada dunia!
4. Mengapa tidak adanya iman kepada akhirat akan mengakibatkan siksa yang abadi?




PELAJARAN 52 

Kaitan Dunia dengan Akhirat
Telah kita ketahui bahwa kehidupan manusia tidak terbatas hanya pada kehidupan duniawi yang semu dan sementara saja, akan tetapi ia akan dikembalikan lagi ke kehidupan lain untuk kedua kalinya di alam akhirat, agar ia hidup selama-lamanya. Telah kita ketahui pula bahwa kehidupan akhirat merupakan kehidupan yang hakiki dan sejati, sehingga dunia ini tidak layak untuk disebut sebagai kehidupan bila dibandingkan dengan kehidupan akhirat.
Kini, tiba saatnya kita membahas relasi antara kehidupan duniawi dan kehidupan ukhrawi, dan memberikan batasan jenis relasi itu. Meskipun jenis relasi ini telah jelas pada batasan tertentu melalui pembahasan yang telah lalu. Akan tetapi, menilik sebagian pandangan yang menyimpang dalam bidang ini, selayaknya kita harus lebih banyak memahami tema ini, dan kita akan membahasnya lebih dalam lagi agar kita dapat mengetahui relasi antara dunia dan akhirat melalui dalil akal dan dalil wahyu.

Dunia Sebagai Lahan Akhirat
Pertama yang perlu ditekankan adalah bahwa kebahagiaan dan kesengsaraan ukhrawi itu tergantung kepada perbuatan manusia di dunia ini. Maka itu, tidak mungkin seseorang akan memperoleh kenikmatan ukhrawi dengan cara berusaha keras di alam akhirat itu sendiri, dimana setiap orang yang tubuhnya lebih kuat dan pemikirannya akan lebih cerdas dapat menyiapkan bekal kenikmatan di alam tersebut, atau bagi sebagian penipu yang dapat menggunakan cara muslihatnya akan dapat menguasai hasil jerih-payah orang lain di alam tersebut. Sebagaimana dugaan sebagian manusia, bahwa alam akhirat merupakan alam tersendiri; yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan alam dunia.

Al-Qur'an menukil sebagian kisah kaum kafir:
"Dan aku tidak mengira bahswasannya hari kiamat itu tidak akan terjadi dan sekiranya aku ini dikembalkikan kepada Tuhanku, maka aku akan dapati kebaikan itu terbalik." (QS. Al-Kahfi: 36)
"Dan aku tidak mengira bahwasannya hari kiamat itu akan terjadi, dan sekiranya aku ini dikembalikan kepada Tuhanku, maka sesungguhnya aku memiliki kebajikan disisi-Nya." (QS. Fushshilat: 50)
Mereka menduga akan memperoleh kenikmatan yang melimpah di alam akhirat dengan jalan mengerahkan segenap tenaga mereka di alam tersebut, atau menduga bahwa kenikmatan yang mereka peroleh di dunia ini menunjukkan adanya kasih sayang Ilahi yang khusus terhadap diri mereka, dan di akhirat kelak kasih sayang tersebut akan mereka peroleh juga, sebagaimana hal itu mereka peroleh di alam dunia, dengan alasan bahwa sebelumnya mereka telah memperolehnya, yakni di alam dunia.
Jelasnya, seseorang yang percaya bahwa alam akhirat itu merupakan alam yang mandiri dan sama sekali terpisah dari alam dunia, dan amal kebaikan dan keburukan di alam dunia ini tidak berpengaruh pada kenikmatan dan siksa di alam akhirat kelak, ia sama sekali tidak beriman kepada Ma'ad yang merupakan prinsip akidah pada seluruh agama samawi. Sebab, prinsip ini ditopang oleh adanya pahala dan siksa atas amal perbuatan di dunia.
Oleh karena itu, dunia diibaratkan selaksa pasar, tempat jual-beli, berniaga, dan tempat bercocok tanam untuk akhirat. Maka seharusnya bagi setiap manusia mengerahkan segenap potensinya di dunia ini untuk beramal dan bercocok tanam, agar ia memperoleh keuntungan dan hasil yang abadi di akhirat. Inilah yang diperlihatkan oleh dalil-dalil akal Ma'ad dan ayat-ayat Al-Qur'an yang tidak dijelaskan yang lebih banyak lagi.

Kenikmatan Dunia dan Kebahagiaan Akhirat
Sebagian orang percaya bahwa harta benda, anak-anak, dan sarana kehidupan yang menyenangkan di alam dunia ini akan membuat mereka tentram, damai dan akan memperoleh kenikmatan di akhirat. Barangkali memendam emas, perak, dan permata yang berharga, bahkan juga sebagian bahan makanan, bersama orang yang telah mati adalah akibat dari kepercayaan semacam ini.
Al-Qur'an menekankan bahwa harta benda, dan anak-anak itu sendiri (terlepas dari sikap manusia terhadapnya) tidak menyebabkan dekatnya seseorang kepada Allah, tidak pula sama sekali berpengaruh positif bagi seseorang di alam akhirat kelak. Di alam tersebut akan terputus seluruh hubungan, sebab-sebab dan berbagai ikatan duniawi. Setiap orang akan meninggalkan berbagai kekayaannya dan segala hal yang berhubungan dengannya. Ia akan digiring di hadapan Allah seorang diri. Ketika itu, tidak tersisa lagi ikatan apa pun selain ikatan maknawi dengan Allah SWT.
Maka itu, orang-orang mukmin yang menjalin ikatan dengan istri-istri, putra-putri, dan sanak-kerabat mereka berdasarkan iman akan berkumpul kembali bersama-sama di dalam surga.
Kesimpulannya, ikatan dan hubungan antara dunia dan akhirat bukanlah seperti hubungan dan ikatan antara makhluk di alam dunia ini, tidak pula seperti yang diduga oleh sebagian orang bahwa apabila seseorang di alam dunia ini lebih banyak kekuatan, kelezatan, kenikmatan, kekayaan dan keindahannya, ia akan digiring dalam keadaan yang sama di akhirat nanti. Jika memang demikian, orang seperti Fir'aun dan Qarun akan lebih banyak memperoleh kebahagiaan di alam akhirat. Yang jelas, sebagian orang yang hidupnya di alam dunia ini mengalami kelelahan, kepayahan, dan kesengsaraan, namun hanya karena usahanya melakukan kewajiban-kewajiban Ilahi, mereka itu akan digiring dalam keadaan selamat, mulia, penuh keindahan dan kekuatan, akan memperoleh kenikmatan abadi di alam akhirat kelak.
Sebagian orang-orang yang bodoh mengira bahwa ayat yang berbunyi, "Dan barang siapa yang buta di alam dunia ini, maka di alam akhirat pun ia akan buta dan sesat dari jalan yang benar." (QS. Al-Isra': 72) mengandung hubungan positif. Arti-nya, keselamatan dan kenikmatan duniawi melazimkan keselamatan dan kenikmatan akhirat. Mereka lalai bahwa maksud dari "buta" di dalam ayat ini bukan berarti buta lahiriyah, akan tetapi "buta mata hati", sebagaimana disinggung dalam ayat lain, "Sesungguhnya pandangan mata itu tidak buta, akan tetapi yang buta adalah pandangan hati yang ada di dalam dada." (QS. Al-Hajj: 46)
Di ayat lain, Allah SWT berfirman, "Barang siapa yang berpaling dari mengingat Kami maka ia akan mengalami kehidupan yang sempit dan akan Kami bangkitkan di hari kiamat dalam keadaan buta. Ia berkata, 'Wahai Tuhanku, mengapa Engkau bangkitkan kami dalam keadaan buta, Padahal sebelumnya aku melihat?' Kemudian Dia berfirman, 'Demikianlah ketika datang ayat-ayat Kami, kemudian engkau melupakannya dan demikian pula engkau pada hari ini dilupakan." (QS. Thaha: 124-126)
Jadi, sebab kebutaan di alam tersebut lantaran melupakan ayat-ayat Ilahi di dunia ini, bukan karena buta mata di kepala. Dengan demikian, hubungan antara dunia dan akhirat bukanlah hubungan antara sebab-sebab dunia, akan tetapi suatu bentuk hubungan yang khas.

Kenikmatan Duniawi tidak Berarti Kesengsaraan Ukhrawi
Sebagian orang malah percaya bahwa ada hubungan terbalik antara kenikmatan-kenikmatan dunia dan kenikmatan-kenikmatan akhirat, yaitu bahwa orang-orang yang akan memperoleh kebahagian akhirat adalah mereka yang tidak mendapatkan kenikmatan dunia. Begitu pula sebaliknya, yaitu mereka yang memperoleh kenikmatan dunia yang melimpah ruah, tidak akan memperoleh kebahagiaan akhirat.
Sehubungan dengan ini, mereka menggunakan sebagian ayat Al-Qur'an dan riwayat-riwayat yang menunjukkan bahwa penyembah dunia tidak akan mendapatkan keuntungan apapun di akhirat. Mereka lalai bahwa mencari dunia dan terikat olehnya tidak berarti memenuhi kenikmatan dunia. Tetapi sesungguhnya "pencari dunia" adalah orang yang menjadikan kenikmatan duniawi sebagai tujuan utama usaha dan perbuatannya. Dan mereka telah mengerahkan segenap wujudnya untuk memperoleh kelezatan tersebut walaupun secara faktual mereka belum memperolehnya.
Adapun "pencari akhirat" adalah orang yang hatinya tidak terikat sedikit pun oleh kesenangan-kesenangan duniawi, tujuan hidupnya hanyalah akhirat, meskipun mereka banyak memperoleh kenikmatan-kenikmatan dunia, seperti Nabi Sulaiman as dan para wali Allah as, dimana mereka memperoleh kenikmatan-kenikmatan dunia yang begitu banyak, tetapi mereka menggunakannya untuk mencari kebahagiaan akhirat dan keridhaan Allah SWT.
Oleh sebab itu, tidak ada kelaziman antara memperoleh kenikmatan-kenikmatan duniawi dan meraih kenikmatan-kenikmatan ukhrawi, Sebagaimana pula tidak ada hubungan negatif antara keduanya. Akan tetapi kenikmatan-kenikmatan duniawi itu, demikian pula halnya dengan bencana-bencana duniawi, telah ditebarkan di tengah umat manusia berdasarkan pengaturan Ilahi yang bijak. Semua itu Allah jadikan sebagai sarana untuk menguji umat manusia. Memperoleh atau tidak kenikmatan dunia yang melimpah tidaklah menunjukkan dekat-dekatnya seseorang kepada rahmat Ilahi, tidak juga menjanjikan kebahagiaan ataupun kesengsaraan di akhirat.


Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat kita ambil dari pembahasan ini ialah bahwa mengingkari hubungan antara dunia dan akhirat sama dengan mengingkari prinsip Ma'ad. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa meyakini adanya hubungan antara kenikmatan dunia dan kenikmatan akhirat, sebagaimana pula tidak adanya hubungan antara kenikmatan dunia dan siksa akhirat, ataupun sebaliknya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa hubungan antara dunia dan akhirat bukanlah semacam hubungan antara makhluk-makhluk dunia yang tunduk kepada hukum-hukum fisika dan biologi. Bahkan, yang menyebabkan kebahagiaan atau siksa akhirat itu adalah usaha manusia itu sendiri secara bebas di dunia ini. Usaha ini tidak berarti hanya mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan serta menciptakan sebagian perubahan pada hal-hal yang bersifat materi. Akan tetapi, keluarnya tenaga dan usaha itu dilihat dari sisi keimanan atau kekufuran pelakunya.
Inilah yang ditunjukkan ratusan ayat Al-Qur'an yang menekankan bahwa kebahagiaan akhirat itu bergantung pada iman seseorang kepada Allah, Hari Kiamat, para nabi dan mengamalkan berbagai perbuatan yang diridai Allah SWT. seperti: shalat, puasa, jihad, infak, berbuat ihsan (kebaikan) kepada hamba Allah, amar makruf dan nahi munkar, memberantas kekafiran, kejahatan, dan orang-orang zalim, serta menegakkan keadilan.
Al-Qur'an juga menekankan bahwa bencana dan siksa abadi itu disebabkan oleh kekafiran, kesyirikan, kemunafikan, pengingkaran atas Hari Kiamat dan para nabi, serta berbagai maksiat dan kezaliman. Banyak pula ayat yang menekankan secara global bahwa faktor kebahagiaan akhirat itu adalah iman dan amal saleh. Sedang faktor kesengsaraan yang abadi adalah kekafiran dan maksiat.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Apakah kritik terhadap orang yang mengingkari hubungan antara dunia dan akhirat?
2. Terangkan maksud dari statemen ini: "Dunia adalah lahan akhirat"!
3. Apakah hubungan antara kenikmatan duniawi dan kenikmatan ukhrwai?
4. Apakah hubungan antara kenikmatan duniawi dan siksa ukhrawi?
5. Apakah perkara-perkara dunia yang mewujudkan hubungan hakikinya dengan kebahagiaan atau kesengsaraan di akhirat?




PELAJARAN 53

Jenis Hubungan antara Dunia dan Akhirat
Pada pelajaran yang lalu kita telah mengetahui bahwa terdapat hubungan lurus antara iman dan amal saleh dari satu sisi, dan antara kedekatan Ilahi dan nikmat ukhrawi dari sisi lain. Demikian pula, antara kufur dan maksiat dari satu sisi dan antara jauh dari Allah dan kerugian akan nikmat-nikmat yang abadi dari sisi lainnya.
Begitu pula, terdapat hubungan terbalik antara iman-amal saleh dan siksa akhirat, dan antara kufur-maksiat dan kenikmatan yang abadi. Tak syak lagi bahwa Al-Qur'an mengakui hubungan-hubungan semacam ini. Maka, mengingkarinya sama dengan mengingkari Al-Qur'an itu sendiri.
Akan tetapi, ada bebarapa pembahasan seputar masalah ini yang perlu didudukkan secara lebih jelas. Misalnya, Apakah hubungan-hubungan di atas itu adalah hakiki dan takwini, ataukah ia hanyalah hubungan buatan dan konvensional? Dan apa hubungan antara iman dan amal saleh? Antara kufur dan maksiat? Lalu, apakah terdapat pengaruh antara perbuatan-perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk itu sendiri?
Pada pelajaran ini, kami akan memfokuskan telaah pada pertanyaan pertama dan berusaha menjelaskan bahwa hubungan-hubungan tersebut bukanlah perkara buatan dan hasil kesepakatan.

Hubungan Hakiki ataukah Buatan?
Telah kami sebutkan berulang kali bahwa hubungan antara perbuatan duniawi, nikmat dan siksa akhirat tidak sejenis hubungan materi dan fisikal sebagaimana umumnya, dan tidak mungkin ditafsirkan melalui dasar dan hukum fisika, kimia dan semacamnya. Maka, tidaklah tepat bila sebagian orang percaya bahwa energi yang digunakan untuk melakukan suatu perbuatan-berdasarkan teori berubahnya materi menjadi energi dan sebaliknya-akan berbentuk (tajassum) di akhirat. Yakni, di akhirat kelak, perbuatan itu akan tampak dalam bentuk kenikmatan atau siksa ukhrawi.
Ada beberapa alasan yang dapat meragukan kepercayaan ini. Di antaranya:
Pertama, mungkin saja energi yang digunakan oleh manusia untuk berbicara dan bekerja tidak bisa berubah menjadi sebuah apel, dan lebih tidak mungkin lagi bila berubah menjadi kenikmatan surgawi yang tidak terhitung banyaknya.
Kedua, ihwal perubahan materi menjadi potensi dan sebaliknya terjadi karena faktor-faktor tertentu yang tidak ada hubungannya dengan perbuatan yang baik dan yang buruk serta niat si pelaku, juga tidak dapat dibedakan oleh hukum alam mana pun antara amal perbuatan yang ihklas dan amal perbuatan yang riya', sehingga energi salah satu dari keduanya itu berubah menjadi kenikmatan, dan energi yang lainnya berubah menjadi azab.
Ketiga, energi yang pernah digunakan di jalan ibadah sangat mungkin dapat digunakan lagi di jalan maksiat.
Akan tetapi, mengingkari hubungan seperti ini tidak berarti mengingkari hubungan yang hakiki secara mutlak, karena ruang lingkup hubungan-hubungan yang hakiki juga meliputi hubungan-hubungan yang tidak diketahui dan yang tidak tunduk kepada empiris.
Sesungguhnya ilmu-ilmu empirik, selain tidak dapat digunakan untuk menilai hubungan sebab-akibat antara fenomena duniawi dan fenomena ukhrawi, juga tidak dapat digunakan untuk menggugurkan hubungan sebab-akibat manapun di antara mereka sendiri.
Maka, asumsi adanya pengaruh amal yang baik atau yang buruk terhadap jiwa pelaku, dan adanya kualitas-kualitas kejiwaan yang mendatangkan kenikmatan atau siksa ukhrawi-sebagaimana adanya pengaruh sebagian jiwa pada sebagian fenomena duniawi yang luar biasa-tidak dapat dianggap sebagai asumsi yang tidak logis. Bahkan, hal itu dapat dibuktikan melalui premis-premis filosofis secara khusus. Hanya saja kadar buku ini tidak cukup menampung penjelasan premis-premis tersebut.

Bukti-bukti Al-Qur'an
Barangkali pikiran kita menangkap adanya hubungan buatan dan konvensional dari kebanyakan ayat Al-Qur'an, seperti ayat-ayat yang mengisyaratkan ihwal pahala dan balasan, namun terdapat ayat-ayat yang memberi pengertian yang khas. Bahwa hubungan antara perbuatan manusia dan pahala atau siksa ukhrawi bukan sekedar hubungan buatan.
Maka itu, dapat dikatakan bahwa kelompok pertama dari ayat-ayat Al-Qur'an itu ditunjukkan untuk menyederhanakan masalah dan beradaptasi dengan pemahaman kebanyakan manusia yang lebih akrab dengan arti-arti konvensional itu.
Begitu pula kita menemukan bukti yang banyak di dalam riwayat-riwayat nan mulia yang menunjukkan bahwa usaha bebas manusia mempunyai aneka bentuk malakuti dan akan tampak di alam barzakh dan pada Hari Kiamat, kelak.
Berikut ini adalah contoh-contoh dari ayat Al-Qur'an yang menunjukkan atas adanya hubungan yang hakiki antara perbuatan manusia dan dampak ukhrawinya.
"Dan apa saja yang kalian perbuat untuk diri kalian berupa kebaikan, kalian mendapatinya di sisi Allah." (QS. Al-Baqarah: 110)
"Pada hari di mana tiap-tiap diri mendapati kebajikan dihadapkan kepadanya, begitu pula kejahatan yang telah dikerjakannya, ia ingin kalau sekiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh." (QS. Ali 'Imran: 30)
"Pada hari di mana seseorang melihat apa yang telah ia lakukan." (QS. An-Naba' :20)
"Barang siapa melakukan kebaikan seberat dzarrahpun niscaya ia akan melihat balasannya, dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun niscaya ia kan melihat balasannya pula." (QS. Az-Zalzalah: 7-8)
"Kalian tidak dibalas melainkan apa yang kalian telah kerjakan." (QS. An-Naml: 90)
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya sebenarnya mereka itu memakan api di dalam perutnya." (QS. An-Nisa': 10)
Jelas bahwa sekedar melihat apa yang telah diperbuat di dunia pada hari kiamat nanti-pada dasarnya-bukan merupakan pahala atau siksa atas seseorang. Bentuk malakuti dari perbuatan itulah yang nantinya akan menjelma dalam bentuk kenikmatan atau siksa yang beraneka macam. Dengan itu, manusia mendapatkan kenikmatan atau siksa.
Keterangan ini juga dapat kita pahami dari ayat terakhir, yaitu bahwa dan bentuk batin pemakan harta anak-anak yatim sesungguhnya ia memakan api. Dan ketika tersingkap berbagai hakikat di alam akhirat, ia akan dapat melihat bahwa batin dan bentuk hakiki dari makanan haram tersebut adalah api yang akan memecahkan perutnya. Saat itulah ia diingatkan, bahwa api ini tidak lain adalah harta haram yang kau makan selagi di dunia![]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Berikan kritik terhadap penafsiran terbentuknya amal perbuatan melalui perubahan energi menjadi materi yang digunakan di dalam berbuat!
2. Bagaimana kita menerangkan hubungan hakiki antara perbuatan manusia dan dampak ukhrawinya secara logis?
3. Apakah ayat-ayat yang menunjukkan berbentuknya amal ibadah dan maksiat?
4. Mengapa sebagian ayat menggunakan ungkapan-ungkapan; balasan, pahala, siksa dan semisalnya?
5. Apakah mungkin berbentuknya amal itu ditafsirkan dengan kehadiran amal dalam bentuknya yang duniawi itu sendiri? Mengapa?



PELAJARAN 54

Pengaruh Iman dan Kufur pada Kebahagiaan dan Kesengsaraan Abadi
Apakah iman dan amal saleh merupakan dua faktor yang masing-masing secara mandiri dapat mendatangkan kebahagiaan abadi? Ataukah kebahagiaan ini merupakan hasil perkalian dari kedua-duanya sekaligus, dimana salah satunya tidak berarti apa-apa dalam mendatangkan kebahagiaan bila terlepas dari yang lainnya?
Pertanyaan senada juga bisa diangat mengenai kekufuran (lawan iman) dan maksiat. Yakni, apakah masing-masing kekufuran dan maksiat merupakan dua faktor yang secara terpisah dapat menyebabkan siksa abadi? Ataukah siksa abadi ini terjadi akibat gabungan dua faktor tersebut?
Lalu, berdasarkan pertanyaan kedua, jika manusia hanya memenuhi iman saja, atau amal saleh saja, maka apakah akibat dan resiko yang kelak akan ia hadapi? Begitu pula jika seseorang bersikap kekufuran saja, atau ia hanya melakukan maksiat, apakah yang akan terjadi ke atas dirinya? Kemudian apabila seorang mukmin melakukan dosa-dosa yang begitu banyak, atau seorang kafir melakukan kebajikan yang sangat banyak, apakah kelak ia akan bernasib bahagia ataukah bernasib celaka? Pada kedua bentuk pertanyaan terakhir, apabila seseorang hidup pada suatu saat dalam keadaan konsisten pada keimanan dan amal saleh, dan pada saat lain ia mengambil sikap kufur atau berbuat maksiat, apakah akhir hidup yang akan dijumpainya?
Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas telah dibahas sejak abad pertama Hijriah. Di dalam masyarakat Islam, kaum Khawarij berkeyakinan bahwa melakukan maksiat merupakan faktor yang cukup dan mandiri dalam mendatangkan kesengsaraan abadi. Menurut mereka, perbuatan maksiat malah akan mengakibatkan kekufuran dan kemurtadan. Kelompok lain seperti Murji'ah berkeyakinan bahwa hanya imanlah yang akan membentuk kebahagiaan abadi. Adapun perbuatan maksiat sama sekali tidak mengancam kebahagiaan seorang mukmin.
Yang perlu dikatakan di antara dua keyakinan ekstrim itu ialah bahwa tidak setiap maksiat itu menyebabkan kekufuran dan kesengsaraan abadi. Meskipun bisa saja akibat menumpuknya dosa, maksiat tersebut akan menyebabkan tercabutnya iman. Dari sisi lain, tidak benar pula jika dinyatakan bahwa sekedar iman akan mengakibatkan diampuninya segala dosa dan maksiatnya, dan dengan hanya imanlah maksiat itu tidak berarti apa-apa.
Di awal pelajaran ini kami akan menjelaskan hakikat iman dan kufur. Setelah itu barulah kami mambahas pengaruh iman dan kufur terhadap pencapaian kebahagiaan dan kesengsaraan yang abadi.Adapun masalah-masalah lain akan kami bahas pada pelajaran selanjutnya, Insya Allah.

Hakikat Iman dan Kufur
Iman merupakan kondisi hati dan jiwa yang timbul dari pengetahuan tentang sesuatu dan kecondongan kepadanya. Iman itu bisa bertambah, bisa berkurang, tergantung pada lemah atau kuatnya kedua faktor tersebut, yaitu pengetahuan dan kecondongan. Seseorang yang tidak mengetahui atau menduga adanya sesuatu, ia tidak akan beriman kepadanya.
Kendati demikian, pengetahuan tidaklah cukup untuk membangun keimanan di dalam diri seseorang, karena sangat mungkin apa yang diketahuinya atau konsekuensi-konsekuensinya bertentangan dengan keinginan dan kecondongannya, yaitu tatkala ia condong kepada apa yang bertentangan dengan pengetahuannya. Maka itu, ia tidak bersungguh-sungguh dan komit pada konsekuensi-konsekuensi pengetahuannya. Bisa jadi ia malah memutuskan untuk melakukan tindakan yang melawan pengetahuannya sendiri. Sebagaimana firman Allah SWT. mengenai raja-raja Fir'aun:
"Mereka itu mengingkarinya padahal hati mereka meyakininya karena kezaliman dan merasa tinggi." (QS. An-Naml:14)
Dalam menjawab Fir'aun, Musa as mengatakan, "Sesungguhnya engkau telah mengetahui bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Tuhan yang memelihara langit dan bumi." (QS. Al-Isra':102)
Sementara Fir'aun tidak juga beriman. Kepada rakyat ia berkata, "Aku tidak mengetahui adanya Tuhan selain dari aku sendiri." (QS. Al-Qashas: 38)
Fir'aun hanya beriman pada saat-saat akan tenggelam di lautan. Ketika itu ia menyatakan, "Aku beriman bahwasanya tidak ada tuhan selain Tuhan yang diimani oleh Bani Israil." (QS. Yunus: 90)
Telah kita ketahui bahwa "iman terpepet" seperti ini tidak akan diterima, walaupun bisa saja diberi nama iman.
Dengan demikian, iman itu terkait erat dengan kecon-dongan hati dan usaha bebas. Berbeda dengan pengetahuan yang dapat diperoleh tanpa adanya kebebasan di hadapan objek (maklum). Dari sinilah kita dapat menegaskan bahwa iman itu adalah usaha hati secara bebas. Dan, jika kita perluas pengertian usaha dan perbuatan sampai mencakup perbuatan-perbuatan hati, kita dapat menganggap iman itu sebagai wujud konkret dari sebuah usaha dan perbuatan manusawi.
Adapun kata al-Kufr (kekufuran), terkadang digunakan untuk menerangkan tidak adanya karakter iman. Yakni bahwa kufur itu berati ketiadaan iman, apakah ketiadaan iman itu akibat keraguan, jahl basith (kebodohan sederhana), atau karena jahl murakkab (kebodohan rangkap), atau pun timbul dari kecondongan yang menyimpang dari iman secara sengaja dan angkuh. Terkadang pula kufur itu digunakan dalam arti yang terakhir ini, yaitu kondisi keangkuhan dan pembangkangan. Atas dasar ini, kufur merupakan perkara konkret yang berlawanan dengan iman.

Ukuran Imam dan Kufur
Dari ayat-ayat Al-Qur'an dan riwayat-riwayat, dapat kita pahami bahwa batas minimal dari iman yang mesti dipenuhi oleh seseorang-untuk meraih kebahagiaan yang abadi-ialah iman kepada Allah Yang Esa, pahala dan siksa akhirat, dan iman kepada kebenaran apa yang dibawa oleh para nabi as konsekuensi dari iman ini adalah kesungguhan dan tekad secara global untuk mengamalkan ajaran-ajaran Ilahi dan hukum-hukum-Nya. Adapun derajat iman yang tinggi khusus bagi para nabi dan wali Allah SWT.
Sementara, batas awal dari kekufuran ialah meng-ingkari Tauhid, Kenabian, Ma'ad, atau ragu terhadap kejadiannya, atau mengingkari pesan dan hukum para nabi yang sudah diketahui kedatangannya dari sisi Allah SWT. Sedangkan batas terbawah dari kekufuran adalah pengingkaran secara terang-terangan terhadap suatu perkara setelah menyadari kebenarannya, dan bertekad untuk memerangi agama yang hak. Dari sinilah syirik (mengingkari tauhid) termasuk salah satu tipe konkret dari kekufuran. Adapun nifaq ialah kekufuran di dalam batin dan secara rahasia yang dibarengi dengan penipuan dan pura-pura muslim. Munafik (kafir yang laten) itu lebih busuk dari seluruh tipe kekufuran sebagaimana firman Allah SWT, "Sesungguhnya orang-orang munafik itu berada di neraka yang paling bawah." (QS. An-Nisa': 145)
Yang perlu kami tekankan di sini adalah bahwa Islam atau kufur yang dibahas dalam pelajaran fikih dan yang menjadi subjek sebagian hukum-hukum Islam seperti: kesucian binatang sembelihan dan kehalalannya, bolehnya menikah dan berlaku tidaknya warisan, semua itu tidak berkaitan dengan iman atau kufur yang tengah kita bahas di dalam Usuluddin ini. Karena, bisa jadi seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat lalu ia wajib menjalankan hukum-hukum fikih Islam, tetapi hatinya tidak beriman pada kandungan tauhid, kenabian dan konsekuensi-konsekuensinya.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa jika seseorang tidak mampu mengenal Ushuluddin, misalnya ia mengidap penyakit gila, tidak waras, atau ia tidak dapat mengetahui agama yang hak lantaran kondisi-kondisi yang melingkupinya, orang seperti ini akan diampuni sesuai dengan kadar uzur dan kelemahannya. Tetapi, jika ia memiliki kesiapan untuk mencari kebenaran, lalu ia lalai dan teledor sehingga tetap berada dalam keraguan, atau ia mengingkari Ushuluddin dan hal-hal yang gamblang dan penting dalam agama tanpa dalil yang jelas, tentu ia tidak akan dimaafkan, dan kelak akan diganjar siksa yang abadi.

Pengaruh Iman pada Kebahagiaan-Kesengsaraan Abadi
Berdasarkan kenyataan bahwa kesempurnaan hakiki manusia itu terwujud dalam qurb Ilahi, dan bahwa terjerumusnya manusia akibat keterjauhan dari Allah SWT, dapat kita nyatakan bahwa iman kepada Allah SWT, kepada pengaturan-Nya secara cipta dan tinta yang menuntut keyakinan terhadap Kenabian dan Ma'ad, akan membentuk kesempurnaan hakiki seseorang. Adapun perbuatan yang diridai Allah SWT lebih merupakan cabang dan dan daun sebuah pokok, dan buah hasilnya adalah kebahagiaan abadi yang akan dijumpai di hari akhirat kelak.
Dengan demikian, apabila seseorang tidak menyemaikan benih keimanan di dalam hatinya, dan tidak menanamkan pokok yang berkah ini, atau ia malah menaburkan benih-benih kekufuran dan maksiat yang beracun di dalam hatinya, sungguh ia telah menyia-nyiakan nikmat Ilahi yang diberikan kepadanya. Bahkan, ia menanam pohon yang mendatangkan buah zaqum jahanam. Orang yang menyimpang seperti ini tidak mendapatkan jalan kebahagian abadi yang dapat ditempuh. Sementara amal kebajikannya tidak melampaui batas-batas dunia ini.
Mengapa demikian? Pada hakikatnya, setiap perbuatan dan usaha bebas merupakan proses dan gerak ruh menuju satu tujuan yang diinginkan oleh pelakunya. Maka, seseorang yang yang tidak percaya akan alam akhirat yang abadi dan derajat qurb Ilahi, bagaimana ia akan dapat menyadari dan menatap akhirat dan Qurb Ilahi itu sebagai tujuannya, dan bagaimana ia akan mengarahkan usaha dan aktifitasnya itu searah dengan tujuan tersebut? Tentu orang seperti ini tidak mempunyai harapan untuk mendapatkan pahala abadi dari Allah SWT. Maksimal, amal kebajikan yang dilakukan oleh orang-orang kafir hanya berpengaruh dalam meringankan siksa mereka saja. Karena, bisa jadi kebajikan itu akan melemahkan semangat pengingkaran dan penyembahan terhadap hawa nafsu.

Bukti-bukti Al-Qur'an
Kita amati bahwa Al-Qur'an sangat menekankan adanya pengaruh dasari dan positif pada iman dalam menurunkan kebahagiaan abadi untuk seseorang. Di samping itu, Al-Qur'an menyebutkan puluhan ayat mengenai amal saleh setelah menyebutkan iman dalam satu susunan kalimat. Sebagian ayat menekankan bahwa iman itu merupakan syarat utama sehingga amal-amal saleh berperan dalam menciptakan kebahagiaan abadi. Allah SWT berfirman, "Dan barang siapa melakukan amal-amal saleh baik ia itu laki-laki ataupun wanita dan ia orang yang beriman, maka kelak ia akan masuk surga". (QS. An-Nisa': 124)
Ini dari satu sudut. Dari sudut lain, kita melihat bagaimana Al-Qur'an menyebutkan bahwa Allah SWT telah menyiapkan jahanam dan siksa abadi bagi orang-orang kafir, dan menilai amal perbuatan mereka itu batil dan tidak berarti sama sekali. Al-Qur'an mengumpamakan amal mereka itu bagaikan debu-debu yang beterbangan ketika tertiup angin kencang, sehingga tidak lagi tersisa sedikit pun. Allah SWT befirman,
"Orang-orang kafir kepada Tuhannya, amal ibadah mereka laksana debu-debu yang ditiup angin kencang pada suatu hari dimana angin bertiup kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan di dunia ini. Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh." (QS. Ibrahim: 18)
"Dan Kami ajukan segala amal yang telah mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu bagaikan debu-debu yang beterbangan." (QS. Al-Furqan: 23)
Di ayat lain, Al-Qur'an mengumpamakan amal kebajikan mereka bagaikan fatamorgana yang tampak dari kejauhan oleh mereka yang sedang kehausan, namun setelah didekati mereka tidak mendapatkan apa-apa sama sekali.
"Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka itu laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga. Akan tetapi ketika ia mendatangi air itu ia tidak mendapati apa-apa sama sekali. Dan ia mendapati Allah disisinya. Lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitunganya." (QS. An-Nur: 39)
Kemudian Allah SWT berfirman, "Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam yang diliputi oleh ombak, yang iatasnya ombak pula, iatasnya lagi awan; gelap gulita yang tindih menindih, apabila ia megeluarkan tangannya, ia tidak dapat melihatnya. Dan barang siapa yang tidak diberi cahaya petunjuk oleh Allah maka ia tidak mempunyai cahaya sedikitpun." (QS. An-Nur: 40)
Terdapat ayat-ayat yang menegaskan bahwa hasil perbuatan para penuntut dunia itu akan diberikan di alam dunia ini saja.Sementara di akhirat kelak, mereka tidak mendapat apa-apa, karena perbuatan mereka tidak lagi berarti bagi mereka sendiri. Allah SWT berfirman, "Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang mereka telah usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan." (QS. Huud: 15-16)[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Jelaskan pandangan kaum Khawarij dan Murji'ah mengenai masalah iman dan kufur! Jelaskan pula pandangan yang benar yang menentang kedua pandangan tersebut!
2. Terangkan hakikat iman dan kufur serta hubungan keduanya dengan pengetahuan dan kebodohan!
3. Jelaskan derajat awal dari iman dan kufur!
4. Terangkan hubungan antara syirik dan nifak dengan kufur!
5. Apakah hubungan Islam dan kufur secara fiqih dengan iman dan kufur secara teologis?
6. Jelaskan pengaruh iman dan kufur terhadap kebahagiaan dan kesengsaraan yang abadi!
7. Sebutkan bukti-bukti Al-Qur'an atas adanya pengaruh iman dan kufur itu!



PELAJARAN 55

Hubungan Imbal balik antara Iman dan Amal
Telah kita ketahui bahwa ada dua faktor utama sepanjang usaha meraih kebahagiaan dan kesengsaraan abadi, yaitu iman dan kufur. Hanya iman yang kokoh dan istiqamahlah yang menjamin kebahagiaan abadi, walaupun perbuatan dosa itu mengakibatkan sebagian siksa. Dari sisi lain, kekufuran yang terus menerus mengakibatkan kesengsaraan abadi. Dengan kekufuran, tidak ada amal kebaikan apapun yang berpengaruh pada pencapaian kebahagiaan abadi.
Juga telah kita ketahui bahwa iman dan kufur itu bisa bertambah, bisa juga berkurang. Dan sangat mungkin bertumpuknya dosa itu menyebabkan hilangnya iman dari pelakunya. Demikian pula, amal-amal kebaikan dapat menyebabkan lemahnya akar-akar kekufuran, bahkan mungkin dapat membuka jalan untuk meraih iman.
Dari sini muncul pertanyaan penting mengenai hubungan antara iman dengan amal. Pada pelajaran ini, kami berusaha untuk menjawabnya.

Hubungan Iman dengan Amal
Perlu kami ulang bahwa iman adalah kondisi jiwa yang timbul atas dasar pengetahuan dan kecenderungan. Iman ini menuntut sang mukmin agar bertekad dan berkehendak secara global untuk komitmen pada konsekuensi-konsekuensinya, juga menuntut agar melakukan perbuatan yang sesuai dengan imannya. Oleh karena itu, seseorang yang mengetahui hakikat sesuatu, namun bermaksud untuk tidak mengamalkan konsekuensi dari pengetahuan itu, sebenarnya ia belum beriman kepada sesuatu itu. Begitu pula orang yang ragu untuk mengamalkannya. Allah SWT berfirman, "Orang-orang Arab Badui itu berkata, 'Kami telah beriman." Katakanlah kepada mereka, "Kalian belum beriman, akan tetapi katakanlah bahwa kami telah tunduk, karena iman itu belum masuk ke dalam hati kalian.'" (QS. Al-Hujurat: 14)
Iman yang hakiki itu bertingkat-tingkat. Hanya, tidak setiap tingkat akan selalu mendesak pemiliknya untuk melakukan konsekuensi praktisnya. Karena iman yang lemah, sebagian dorongan hawa-nafsu dan nafsu ammarah-nya menggiring dirinya kepada maksiat, meski tidak sampai membuatnya senantiasa berbuat maksiat dan melanggar seluruh konsekuensi iman tersebut. Tentunya, semakin kuat dan sempurna iman seseorang, semakin besar pengaruhnya untuk melakukan amal perbuatan yang sesuai dengan keimanannya.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya, iman itu menuntut suatu perilaku yang menjadi kon-sekuensinya. Dan, kadar pengaruh iman itu tergantung kepada kuat-lemahnya iman tersebut. Juga, tekad dan kehendak seseorang itu dapat menentukan dirinya untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan yang dituntut oleh imannya.

Hubungan Amal dengan Iman
Ada kalanya, usaha bebas itu baik dan sesuai dengan keimanan, ada kalanya tidak baik dan bertentangan dengan arah keimanan. Usaha baik akan berpengaruh positif dalam memperkokoh iman dan menerangi hati. Sedangkan usaha buruk akan menyebabkan lemahnya iman dan gelapnya hati. Oleh karena itu, usaha-usaha baik seorang mukmin, sebagaimana muncul atas dasar keimanannya, pada gilirannya akan bertambah dan meningkat karena kuat dan mapannya keimanan tersebut, akan membuka jalan, serta akan mendorongnya untuk melakukan usaha-usaha baik lainnya. Allah SWT berfirman, "Kepada-Nyalah kalimat-kalimat mulia itu naik, sedang amal saleh itu mengangkatnya". (QS. Fathir: 10)
Juga di tempat lain, Al-Qur'an menekankan bahwa orang-orang yang saleh itu senantiasa bertambah iman, cahaya dan hidayah di dalam jiwa-jiwa mereka. Dari sisi lain, seseorang yang membiarkan hasratnya bertentangan dengan tuntutan imannya dan mendorongnya untuk melakukan cara-cara yang buruk, sementara kekuatan imannya tidak dapat membentung dorongan buruk tersebut, bisa jadi imannya menjadi semakin lemah, sedangkan peluang untuk melakukan dan mengulangi perbuatan buruk semakin terbuka baginya.
Apabila kondisi semacam itu berlangsung terus pada diri seseorang, akan menyebabkannya melakukan dosa-dosa besar dan mengulanginya, sehingga secara berangsur dosa-dosa itu akan menyeretnya kepada kekerdilan dan kehinaan yang lebih dalam lagi, sampai akar imannya terancam usang dan berubah menjadi kekufuran dan kemunafikan.
Pada ayat berikut ini Al-Qur'an menceritakan orang-orang yang perjalanannya itu membelot ke dalam kemunafikan:
"Maka Allah menurunkan kemunafikan pada hati mereka sampai saatnya mereka menemui Allah, karena mereka itu telah mengingkari apa yang telah mereka ikrarkan kepada Allah dan karena mereka itu selalu berdusta." (QS. At-Taubah: 77)
"Kemudian, akibat orang-orang yang mengerjakan kejahatan itu adalah siksa yang lebih buruk, karena mereka itu telah mendustakan ayat-ayat Allah dan mereka selalu memperolok-oloknya." (QS. Ar-Rum: 10)


Kesimpulan

Dengan memperhatikan adanya hubungan imbal-balik antara iman dan amal, serta pengaruhnya dalam meraih kebahagiaan seseorang, kita dapat mengumpamakan kehidupan yang bahagia dengan sebuah pohon yang akar-akarnya adalah iman kepada Allah Yang Esa, kepada rasul, risalah dan syariatnya, kepada Hari Kebangkitan, pahala dan siksa Ilahi. Adapun pokoknya adalah kehendak dan tekad yang kuat untuk mengamalkan segala konsekuensi yang tumbuh dari akar-akar iman tersebut. Sedang dahan-ranting dan dunnya adalah amal-amal saleh tumbuh dari akar-akar yang sama melalui pokok tersebut. Maka, buah perkalian akar, pokok, dahan dan daun demikian ini adalah kebahagiaan yang abadi. Pohon yang tidak mempunyai akar tidak akan menumbuhkan dahan dan daun, serta tidak akan menghasilkan buah yang diharapkan.
Akan tetapi, perlu diketahui bahwa keberadaan akar itu tidak selalunya melazimkan adanya dahan dan dedaunan yang sesuai, atau menghasilkan buah yang diharapkan. Mungkin saja dahan dan daun-daun sebuah pohon itu tidak tumbuh lantaran faktor-faktor lingkungan yang tidak mendukung pertumbuhannya, sehingga ia tercemari oleh berbagai macam hama.
Bahkan, sangat mungkin faktor-faktor itu membuat pohon tersebut menjadi kering lalu mati. Tentu, tidak satu buah pun yang bisa diharapkan darinya. Begitu pula, apabila dahan, cabang dan pokok, atau bahkan akar pohon itu dipupuk secara tidak benar, malah mengakibatkan berubahnya pohon tersebut menjadi jenis lain. Inilah perumpamaan berubahnya iman menjadi kekufuran.
Alhasil, dapat dikatakan bahwa iman kepada hal-hal tersebut di atas itu merupakan faktor utama yang menentukan kebahagiaan hakiki seseorang. Hanya saja, sempur-nanya pengaruh positif faktor ini amat tergantung kepada bahan-bahan pupuk dan konsumsi semestinya; yakni melakukan amal-amal saleh, dan merawatnya sehingga terlindung dari berbagai penyakit dan bahan-bahan pupuk yang membahayakan, dengan cara menjauhi maksiat. Demikian pula, meninggalkan kewajiban dan dan melakukan larangan dapat melemahkan akar keimanan, bahkan bisa membuatnya kering. Atau, percaya akan akidah-akidah yang sesat dan mazhab-mazhab yang menyimpang dapat mengubah esensi keimanan seorang mukmin.[]

Jawablah beberapa pertanyaan berikut ini:
1. Jelaskan pengaruh iman terhadap amal-usaha yang baik!
2. Terangkan pengaruh amal-usaha yang baik atau yang buruk terhadap kadar kuat-lemahnya iman!
3. Jelaskan macam-macam hubungan imbal balik antara iman dan amal, serta hubungan keduanya dengan kebahagiaan manusia!



PELAJARAN 56
Beberapa Catatan Penting

Mukaddimah
Terdapat sekelompok orang yang tidak memiliki penge-tahuan yang cukup mengenai peradaban besar Islam, dan menilai perbuatan manusia secara lahiriyah dan dari lapisan luarnya, tanpa peduli terhadap peran penting tujuan dan niat pelakunya. Secara istilah dinyatakan bahwa, mereka tidak meyakini baiknya pelaku (husn fa'ili) selain baiknya perilaku (husn fi'li) pada sebuah perbuatan. Atau, mereka meyakini bahwa standar nilai suatu perbuatan itu terletak pada pengaruhnya dalam menciptakan ketentraman hidup orang lain di dunia.
Orang-orang demikian itu telah melakukan penyimpangan dalam menangani berbagai ajaran-ajaran Islam, atau mereka tdak mampu memahami dan menafsirkannya secara baik. Termasuk di antara penyimpangan itu kesalahan mereka dalam menafsirkan peran iman dan hubungannya dengan amal-amal saleh, pengaruh-pengaruh negatifnya terhadap kekufuran dan syirik, serta dalam menafsirkan keutamaan sebagian amal-amal kecil yang temporal atas amal-amal yang besar dan berjangka panjang.
Misalnya, mereka memandang bahwa penemu-penemu besar yang telah menyediakan berbagai sarana kenyamanan hidup untuk umat manusia, atau tokok-tokoh pembaruan dan para pejuang kemerdekaan yang telah mengangkat kebebasan bangsa mereka, tentu akan mendapatkan kedudukan yang tinggi dan mulia di akhirat, walaupun tidak beriman kepada Allah dan Hari Kiamat. Pada intinya, pandangan ini menyimpulkan bahwa keimanan yang cukup untuk kebahagiaan hakiki ialah keimanan keimanan pada nilai-nilai kemanusiaan dan puncak pembelaan atas para pekerja dan kaum buruh di dunia ini. Bahkan, mereka menganggap konsep Allah sebagai sebuah nilai moral semata-mata!
Walaupun pelajaran-pelajaran yang lalu telah memperlihatkan titik-titik kelemahan dan kekeliruan pada pandangan-pandangan semacam ini, namun mengingat penyebaran dan pengaruh-pengaruh negatifnya di masa-masa sekarang ini atau pun bagi generasi yang akan datang, kami melihat hal itu sangat mendesak untuk dikaji sedikit lebih rinci.
Tentunya, pengkajian komprehensif ini memerlukan kesempatan yang lebih luas. Untuk itu, di sini kami hanya memaparkan beberapa permasalahan dan catatan penting yang berkaitan dengan dimensi-dimensi teologisnya dan sesuai dengan metodologi buku ini.

Kesempurnaan Hakiki Manusia
Dalam pembandingan pohon apel dengan pohon pada kodratnya memang tidak berbuah, jelas bahwa pohon apel itu lebih bernilai dan lebih berarti ketimbang pohon kedua. Kejelasan ini tampak tidak hanya karena manusia telah mendapatkan banyak manfaat dari buah tersebut, akan tetapi karena pohon apel itu sendiri memiliki wujud yang lebih sempurna, dan memiliki pengaruh wujud yang lebih banyak. Namun, tatkala pohon apel itu tercemari dan menyimpang dari garis kesempurnaan dan perkembangannya, ia akan kehilangan nilainya, dan barangkali ia menjadi penyebab pencemaran dan kerusakan bagi pohon-pohon yang lain.
Perihal pohon apel dan pohon-pohon lain di atas ini dapat mendekatkan perbandingan posisi manusia dan seluruh makhluk hidup. Ketika manusia sampai kepada kesempurnaan yang semestinya dan nampak pengaruh-pengaruh wujudnya yang sesuai dengan fitrahnya, ia akan lebih bernilai di atas seluruh makhluk hidup lainnya. Akan tetapi, jika ia terkena berbagai penyakit dan penyelewengan, boleh jadi ia malah lebih hina dan lebih berbahaya ketimbang seluruh makhluk hidup. Al-Qur'an telah menjelaskan bahwa sebagian manusia lebih busuk daripada seluruh hewan yang ada dan lebih hina ketimbang binatang ternak.
Ini dari satu sisi. Dan dari sisi lain, orang-orang yang peduli pada pohon apel pada masa-masa berbuahnya saja, menyangka bahwa masa-masa itu tidak lain adalah puncak kesempurnaannya. Juga demikian, orang-orang yang hanya melihat kesempurnaan menengah manusia, tidak akan memahami dan mencapai puncak kesempurnaan hakiki dirinya, karena mereka tidak mengetahui nilai hakikat manusia yang sesungguhnya.
Maka itu, kesempuraan hakiki manusia hanya akan dicapai oleh seseorang yang mengenalnya. Hanya masalahnya, kesempurnaan hakiki itu tidak semacam kesempurnaan fisikal, karena sebagaimana telah dijelaskan tadi, bahwa hakikat manusia terkait erat dengan ruhnya, dan bahwa proses kesempurnaan seseorang sebenarnya merupakan penyempurnaan ruh itu sendiri yang dijalani melalui kesungguhan dan amal-usaha bebasnya, apakah itu amal batin hati ataukah amal lahiriyah badan. Dan kita tidak dapat mengenal atau mengukur kesempurnaan ini melalui pengalaman-pengalaman indra atau alat-alat ukur kuantitas. Tentunya, kita pun tidak akan bisa mengusahakan kesempurnaan hakiki di dalam laboratorium atau memalui alat-alat empirik dan saintik. Jadi, jika manusia sendiri belum sampai pada kesempurnaan ini dan belum merasakannya dalam bentuk pengetahuan hudhuri dan syuhudi qalbi (penyaksian hati), ia harus mengetahuinya melalui dalil akal, atau melalui wahyu dan keterangan kitab-kitab samawi.
Adapun dari sudut pandang Al-Qur'an dan hadis-hadis Ahlul Bait yang maksum, tidak diragukan lagi bahwa puncak kesempurnaan manusia adalah satu derajat dari sekian derajat wujudnya yang dinamakan sebagai Qurb Ilahi (kedekatan diri di sisi Tuhan). Dampak baik dan kesan mulia derajat ini akan tampak pada nikmat-nikmat yang abadi dan keridhaan Ilahi yang akan dijumpai di alam akhirat. Dan jalan utamanya adalah ibadah kepada dan takwa Allah di dalam segenap urusan hidup individu dan sosial.
Adapun menurut perspektif akal, kesempurnaan hakiki manusia dapat dibuktikan oleh dalil-dalil akal yang rimut, teliti, dan butuh pada sejumlah premis filosofis. Di sini kami akan berusaha untuk menjelaskannya secara sederhana:

Penafsiran Rasional
Sesungguhnya manusia diciptakan atas dasar kecintaan dan kecenderungannya kepada kesempurnaan yang tak terbatas. Maka, ia memandang ilmu dan kekuasaan sebagai manifestasi kesempurnaan ini, dan pencapaiannya akan mendatangkan kenikmatan yang tak terbatas dan kebahagiaan yang abadi. Seseorang akan dengan mudah menjumpai kesempurnaan ini jika ia dapat berhubungan dengan sumber ilmu, kekuasaan, dan kesempurnaan yang mutlak dan tak terbatas, yaitu Allah SWT. Hubungan inilah yang disebut sebagai "al-qurb" (kedekatan di sisi Allah).[1]
Oleh karena itu, kesempurnaan hakiki manusia yang merupakan tujuan dari penciptaanya dapat diusahakan melalui hubungan dan kedekatannya kepada Allah SWT. Adapun manusia yang tidak memiliki sekalipun tingkat terendahnya, yakni tingkat iman yang paling lemah, tak ubahnya dengan pohon yang tidak menghasilkan buah apapun. Sehingga jika pohon ini kehilangan potensinya untuk berbuah lantaran tercemari atau terjangkit penyakit, akan terperosok jatuh lebih hina lagi pohon-pohon yang pada dasarnya memang tidak berbuah.
Dengan demikian, pentingnya pengaruh iman terhadap kesempurnaan dan kebahagiaan manusia dari sisi bahwa keistimewaan utama jiwa manusia adalah hubungan berkesadaran dan ikhtiari dengan Allah SWT. Tanpa hubungan ini, ia tidak akan menyentuh kesempurnaan hakiki dan kesan-kesan serta berkah-berkahnya. Dengan kata lain, tanpa qurb Ilahi, hakikat seseorang tidak akan pernah mengejawantah secara aktual (bil fi'il). Apabila ia mengabaikan anugerah Ilahi yang bernilai tinggi ini dengan ikhtiar buruknya, sungguh ia telah menjerumuskan dirinya ke dalam kezaliman yang paling besar, karenanya ia berhak mendapatkan siksa yang abadi. Al-Qur'an mengatakan, "Sesungguhnya seburuk-buruk makhluk di sisi Allah adalah orang-orang yang kafir, karena meraka adalah orang-orang yang tidak beriman." (QS. Al-Anfal: 55)
Alhasil, setiap iman dan kufur akan menentukan arah dan tujuan utama dari perjalanan hidup manusia; adakalanya bergerak ke arah kesempurnaan dan kebahagiaan, atau ke arah ke arah kehancuran dan kesengsaraan. Tentu saja, yang paling akhir dari iman dan kufur memiliki peran utama dan menentukan nasib seseorang.

Peran Motif dan Niat
Berangkat dari penjelasan rasional di atas, jelas bahwa nilai sesungguhnya bagi perbuatan dan usaha bebas manusia berkaitan erat dengan sejauh mana pengaruh perbuatan itu terhadap pencapaian kesempurnaan hakiki, yakni qurb Ilahi (kedekatan di sisi Allah SWT). Boleh jadi suatu perbuatan itu dinilai baik dan mulia karena pengaruhnya sedemikian rupa-walaupun melalui sejumlah perantara-dalam upaya memenuhi lahan yang sesuai untuk kesempurnaan orang lain. Akan tetapi, pengaruh perbuatan ini terhadap kebahagiaan abadi pelakunya hanya bergantung kepada pengaruhnya terhadap proses penyempurnaan ruhnya sendiri.
Dari sisi lain, hubungan perbuatan-perbuatan ragawi dengan ruh pelakunya bisa terjadi melalui kehendak, karena perbuatan-perbuatan itu terjadi dengan perantara. Dan kehendak untuk berbuat ini muncul dari motif; kecondongan, hasrat dan cinta kepada tujuan dan hasil dari sebuah perbuatan. Pada dasarnya, motif-motif ini menciptakan gerak di kedalaman jiwanya menuju tujuan yang diinginkan dan mengkristal menjadi sebuah kehendak untuk berbuat. Oleh karena itu, nilai suatu perbuatan yang didasari oleh kehendak ditentukan oleh niat dan motif si pelaku.
Jadi, baiknya sebuah perbuatan (husn fi'li) itu tidak akan berpengaruh posistif tanpa baiknya pelaku (husn fa'ili) dalam upaya menyempurnakan ruh dan mencapai kebahagiaan abadi. Oleh sebab itu, perbuatan-perbuatan yang dilakukan atas dasar motif-motif bendawi dan duniawi tidak memiliki pengaruh dalam proses pencapaian kebahagiaan abadi. Umpamanya, bakti dan kepedulian sosial yang paling besar sekalipun, jika dilakukan atas dasar riya', tidak akan memberikan pengaruh positif apapun bagi pelakunya, atau malah akan mendatangkan kerugian dan kemerosotan ruhnya.
Atas dasar inilah maka Al-Qur'an menekankan bahwa pengaruh perbuatan-perbuatan yang baik dalam memperoleh kebahagiaan yang abadi tergantung kepada iman dan niat taqarrub (untuk mencapai keridhaan Ilahi) semata.
Kesimpulannya adalah pertama, amal yang baik itu tidak sekedar berbuat baik kepada orang lain.
Kedua, di samping sebagai ibadah individual, perbuatan baik dan kepedulian antarsesama manusia itu turut ber-pengaruh dalam pencapaian puncak kesempurnaan dan kebahagiaan abadi bagi pelakunya bila dilakukan atas dasar niat dan motif yang Ilahi.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Apakah sesuatu yang merupakan nilai hakiki bagi setiap maujud?
2. Bagaimana kita dapat mengenal puncak kesempurnaan hakiki bagi manusia?
3. Buktikan bahwa puncak kesempurnaan manusia hanya dapat dicapai melalui hubungan khas, yaitu kedekatan diri di sisi Allah SWT!
4. Buktikan bahwa pengaruh dari perbuatan-perbuatan baik dalam mencapai kebahagiaan abadi manusia bergantung kepada niat dan motif yang Ilahi!
________________________________________
[1] Penjelasan selengkapnya bisa dirujuk ke "Khud Syenosyi baroye Khud Sozi", M.T.Misbah Yazdi.



PELAJARAN 57

Pengguguran dan Penambalan
Di antara isu-isu seputar hubungan iman dan amal saleh dengan kebahagiaan akhirat, begitu juga hubungan kufur dan maksiat dengan kesengsaraan abadi, yaitu sebagai berikut: Apakah hubungan antara setiap saat dari masa-masa iman dan kufur dengan dampak-dampak ukhrawinya? Begitu juga hubungan antara setiap amal baik atau buruk dengan pahala dan siksanya? Apakah hubungan ini pasti, tetap, dan tidak dapat berubah, ataukah memang dapat berubah?
Sebagai contoh, Apakah dampak maksiat itu dapat ditambal dengan amal saleh? Begitu juga sebaliknya, apakah mungkin pengaruh amal saleh itu dapat hilang lantaran berbuat maksiat? Lalu, apakah dapat dikatakan bahwa orang-orang yang menghabiskan sebagian usianya dalam kekufuran dan maksiat dan sebagian lainnya dalam keimanan dan ketaatan, akan mendapatkan siksa pada satu masa dan mendapatkan pahala pada masa yang lain? Ataukah seluruh amal perbuatannya akan ditimbang, amal yang satu menambal amalnya yang lain, sehinga hasil penambalan ini dapat ditentukan nasib akhir pelakunya; yakni kebahagiaan atau kesengsaraan di alam akhirat yang abadi? Ataukah perkara-perkara itu terjadi dengan cara lain?
Pada dasarnya, masalah ini adalah masalah "pengguguran dan penambalan"[1] yang sudah lama dibahas oleh para teolog Asy'ariyah dan Muktazilah. Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan pandangan Syi'ah secara singkat.

Hubungan antara Iman dan Kufur
Dari beberapa pelajaran yang lalu telah jelas bahwa perbuatan baik apapun, jika tanpa keimanan kepada prinsip-prinsip akidah, tidak akan berarti dalam usaha mencapai kebahagiaan yang abadi. Dengan kata lain, kekufuran dapat menghalangi pengaruh amal-amal saleh.
Perlu dicatat bahwa keimanan manusia di akhir umurnya dapat menghapus pengaruh-pengaruh buruk kekufurannya di masa lampau. Ia laksana cahaya yang memancar yang mampu menyingkirkan kegelapan yang lalu. Demikian pula sebaliknya, kekufuran seseorang di akhir hidupnya akan menghapus kesan-kesan keimanan yang lampau, dan akan merubah lembaran amalnya menjadi hitam, serta menghancurkan akhir kehidupan dan buah usahanya, bagaikan api yang dilemparkan ke lumbung padi yang akan membakar habis isinya hanya dengan sekejap.
Pendekatan lain mengenai kekufuran ini, bahwa iman laksana pelita yang begitu terang, menerangi ruangan hati dan jiwa, menyingkap kegelapan darinya. Sedangkan kufur bagaikan ketika redupnya pelita itu, ia memadamkan cahaya dan mendatangkan kegelapan. Selama jiwa manusia itu terkait erat dengan alam materi, alam perubahan dan perpindahan, ia akan selalu menjadi tempat datang perginya cahaya dan kuat lemahnya kegelapan, sampai pelita itu menjadi redup. Namun, tatkala ia telah lewat dan berpindah dari alam ini, dimana pintu-pintu usaha iman dan kekufuran telah ditutup, kendatipun ia berharap bisa kembali lagi ke alam ini agar dapat berusaha menghilangkan kegelapan-kegelapannya, harapan-harapannya itu tidak berguna lagi.
Tidak syak lagi bahwa Al-Qur'an mengakui interaksi antara keimanan dan kekufuran seperti ini. Dan banyak ayat-ayatnya yang menunjukkan hal ini, di antaranya:
"Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan beramal saleh, ia akan menghapus kejelekan-kejelekannya." (QS. At-Taghabun: 9)
"Dan barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu ia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." (QS. Al-Baqarah, 217)

Hubungan antara Amal-amal Baik dan Buruk
Telah kami singgung, bahwa hubungan antara iman dan kufur pada batas-batas tertentu juga dapat tergambar semacam hubungan antara amal baik dan amal buruk, di mana amal-amal baik manusia selalu tercatat di dalam lembaran amalnya, sedangkan amal-amal buruknya selalu terhapus darinya. Atau amal-amalnya yang buruk selalu tercatat di dalam lembaran amalnya, sedangkan amal-amal baiknya selalu terhapus dan hilang darinya, sebagaimana diyakini oleh sekelompok mutakallim Mu'tazilah. Atau, hasil dari penggabungan dan tambal-menambal antara amal-amalnya yang lalu akan tetap tercatat dari sisi kuantitas dan kualitasnya, sebagaimana diyakini oleh kelompok Mu'tazilah lainnya.
Sehubungan dengan amal, sepatutnya diuraikan secara rinci. Yaitu, apabila sebagian amal-amal yang baikdilakukan secara benar dan ikhlas, akan dapat menghapus pengaruh amal-amal buruk yang dulu, seperti taubat. Jika taubat ini dilakukan sesuai dengan syarat-syaratnya, maka kesalahan-kesalahan seseorang akan diampuni. Taubat tak ubahnya dengan cahaya menerangi titik-titik kegelapan secara penuh. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa setiap amal yang baik itu dapat menghapus seluruh pengaruh-pengaruh maksiat.
Maka dari itu, terkadang seorang mukmin disiksa untuk sementara lantaran maksiat-maksiatnya, setelah itu ia dimasukkan ke surga untuk selamanya. Tampaknya, jiwa manusia itu memiliki dimensi dan sisi-sisi yang beragam. setiap rangakaian dari amal baik atau buruk berkaitan dengan satu sisi dari jiwa. Misalnya, amal baik yang berkaitan dengan sisi A tidak akan menghilangkan bekas dosa yang berkaitan dengan sisi B, kecuali bila amal baik tadi sangat kuat cahayanya sehingga mampu menyinari seluruh sisi jiwa yang lain. Atau, dosa itu telah mencapai titik pekat dari kegelapan dan kenistaan sehingga merusak sisi-sisi yang lain.
Terdapat dalam beberapa riwayat yang mulia bahwa shalat yang diterima itu akan memersihkan dosa-dosa dan mendatangkan ampunan.
"Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan-perbuatan yang buruk". (QS. Hud: 114)
Atau, sebagian dosa seperti durhaka kepada orang tua dan minum khamer dapat mencegah diterimanya ibadah. Atau, mengungkit-ungkit sedekah dapat mengugurkan pahalanya. Disebutkan di dalam Al-Qur'an, "Janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)." (QS. Al-Baqarah: 264)
Namun begitu, untuk membatasi jenis dan kadar peng-aruh dan interaksi di antara amal-amal baik dan buruk, kita harus merujuk ke wahyu dan keterangan-keterangan dari para imam maksum as dan tidak bisa dirumuskan sebuah kaidah umum secara keseluruhan untuk pembatasan tersebut.
Di akhir pelajaran ini, selayaknya kami tambahkan bahwa terkadang amal-amal baik dan buruk itu mempunyai pengaruh pada amal yang lain di dunia ini, pada upaya meraih kebahagiaan atau kesengsaraan, atau pada proses mendapatkan taufik atau kehilangannya. Yang perlu diperhatikan ialah bahwa berbuat baik kepada orang lain, terutama kepada kedua orang tua dan sanak famili, berpengaruh dalam memanjangkan umur, menolak berbagai penyakit dan bencana. Dan, tidak menghormati orang-orang yang lebih besar, terutama kepada para guru, juga turut andil dalam menghilangkan taufik. Akan tetapi, terjadinya pengaruh-pengaruh ini di dunia, bukan berarti bahwa manusia telah mendapatkan pahala atau siksa secara penuh. Karena, tempat pahala dan siksa yang hakiki dan sesungguhnya adalah alam yang abadi, yaitu akhirat.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Jelaskan makna pengguguran dan penambalan!
2. Apakah pendekatan-pendekatan yang dapat diberikan mengenai hubungan antara iman dan kufur? Dan apakah pendekatan yang benar di antara semua itu?
3. Apakah pendekatan yang dapat diberikan mengenai hubungan antara amal-amal yang baik dan amal-amal yang buruk? Dan pendekatan manakah gambaran yang benar?
4. Apakah dampak-dampak duniawi dari amal-amal yang baik dan buruk itu dapat menempati pahala atau siksa akhirat, ataukah tidak?
________________________________________
[1]Secara urut, pengguguran dan peleburan ini ditarik dari dua istilah Al-Qur'an, yaitu al-khabth dan at-takfir. Yang pertama ialah ketakberartian usaha-usaha yang baik, dan yang kedua ialah penambalan maksiat.



PELAJARAN 58
Beberapa Keistimewaan Kaum Mukmin

Mukaddimah
Telah jelas pada bagian Tauhid, bahwa Kehendak Allah itu secara esensial dan langsung berhubungan dengan semua kebaikan dan kesempurnaan. Sedangkan keburukan dan kekurangan, Kehendak Allah hanya berurusan dengannya secara aksidental dan tak langsung.
Kaitannya dengan manusia, jelas bahwa Kehendak Allah berhubungan secara esensial dengan kesempurnaan dan proses mereka menuju kebahagiaan hakiki dengan segenap kelengkapan nikmat yang abadi.Adapun siksaan dan kesengsaraan para pendurhaka sebagai dampak dari buruknya usaha mereka sendiri, terkait dengan Kehendak Ilahi yang bijak secara tak langsung. Apabila siksa dan bencana Ilahi itu bukan kelaziman dari buruknya usaha mereka, tentu rahmat Ilahi yang luas mengharuskan ketidaan siksa bagi seluruh makhluk.
Akan tetapi, justru rahmat Ilahi yang luas itu menuntut penciptaan manusia yang dilengkapi dengan ciri-ciri khas, yaitu usaha bebas yang mengunikkan-nya dari makhluk-makhluk. Dan konsekwensi dari usaha bebas dan memilih salah satu dari dua jalan; jalan iman dan jalan kufur, ialah keberakhiran mereka di tempat yang mulia atau di tempat yang hina dengan catatan, bahwa keberakhiran mereka di tempat mulia terkait dengan Kehendak Ilahi secara esensial, sedangkan tempat hina, gelap dan menyakitkan itu terkait dengan Kehendak Ilahi secara aksidental.
Perbedaan itu sendiri meniscayakan pengutamaan sisi kebaikan dalam tata cipta dan tata tinta (syariat). Artinya, secara kodrat cipta, manusia itu diciptakan sedemikian rupa sehingga perbuatan-perbuatan mulia itu lebih banyak pengaruhnya dalam membentuk kepribadiannya. Dan secara kodrat kebebasannya, ia dibebani tugas-tugas syariat yang mudah dan ringan, sehingga tidak lagi perlu menjalankan tugas-tugas berat dan melelahkan untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan dari siksa abadi.
Begitu juga berkenaan dengan pahala dan siksa. Bahwa sisi pahala dan rahmat akan diutamakan, dan bahwa rahmat Allah SWT itu mendahului murka-Nya. Pengutamaan dan pendahuluan sisi rahmat Ilahi ini tampak pada beberapa perkara yang sebagiannya akan kami singgung di sini:

Melipatgandakan Pahala
Keistimewaan pertama yang diberikan oleh Allah SWT kepada orang-orang yang mencari jalan kebahagiaan adalah kedudukan pahala. Yakni, Allah tidak hanya memberi mereka pahala setimpal amal mereka, bahkan melipatgandakannya. Disebutkan di dalam Al-Qur'an:
"Siapa yang membawa kebaikan, ia memperoleh (balasan) yang lebih baik darinya." (QS. An-Naml: 89)
"Dan siapa yang mengerjakan kebaikan, akan kami tambahkan baginya kebaikan di atas kebaikannya itu." (QS. Asy-Syura': 23)
"Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (syurga) dan tambahannya." (Qs. Yunus: 26)
"Sesunguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walau-pun sekecil atom, dan jika ada kebajikan sekecil atom, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar." (Qs. An-Nisa': 40)
"Barang siapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barang siapa yang membawa perbuatan yang jahat, ia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya." (QS. Al-An'am: 160)

Memaafkan Dosa-dosa Kecil
Keistimewaan lainnya adalah bahwa jika orang-orang mukmin menjauhi dosa-dosa besar, Allah Yang Mahasayang akan mengampuni dosa-dosa kecil mereka dan menghapus resiko dan dampak-dampak buruknya.
"Jika kamu menjahui dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia [syurga]." (Qs. An-Nisa': 31)
Jelas bahwa pemberian maaf atas dosa-dosa kecil mereka tidak mensyaratkan taubat, karena taubat juga dapat menurunkan pengampunan atas dosa-dosa yang besar.

Memanfaatkan Amal-amal Orang Lain
Keistimewaan lain yang diberikan kepada orang-orang mukmin adalah bahwa Allah SWT menerima permohonan ampun (istighfar) malaikat dan hamba-hamba-Nya yang terpilih untuk orang-orang mukmin. Begitu juga, doa dan istighfar di antara sesama orang mukmin. Bahkan pahala amal-amal yang dihadiahkan seorang mukmin untuk saudaranya akan sampai kepada yang kedua itu.
Keistimewaan-keistimewaan ini telah disebutkan di dalam ayat-ayat dan riwayat yang banyak. Akan tetapi, karena ini secara langsung berkaitan dengan masalah syafa'at, kami akan membahasnya di sana secara luas dan terperinci. Untuk itu isyarat yang sederhana ini kami cukupkan sekian pada pelajaran ini.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
1. Apakah rahasia diutamakannya rahmat Ilahi?
2. Jelaskan bagaimana kenyataan pengutamaan itu dalam tata cipta dan tata tinta!
3. Jelaskan contoh-contoh konkret pengutamaan itu dalam kaitannya dengan pemberian pahala dan siksa manusia!




PELAJARAN 59
Syafa'at

Mukaddimah
Di antara keistimewaan yang diberikan oleh Allah SWT kepada kaum mukmin ialah bahwa jika seorang mukmin menjaga imannya hingga akhir hayatnya, tidak melakukan dosa-dosa yang menyebabkan hilangnya taufik darinya, tidak melakukan hal-hal yang menyebabkan su'ul khatimah, dan tidak condong kepada keraguan atau pengingkaran, singkatnya jika ia meninggal dunia dalam keadaan mukmin, maka ia tidak akan mengalami siksa yang abadi, dosa-dosa kecilnya akan diampuni lantaran ia menjauhi dosa besar, dan akan diampuni pula dosa-dosa besarnya jika ia melakukan taubat dengan segenap syarat-syaratnya.
Namun, jika ia tidak sempat melakukan taubat, ketabahannya dalam menanggung berbagai musibah dan kesulitan dunia dapat meringankan beban dosa-dosanya, berbagai kesulitan dan goncangan alam barzakh serta tahap-tahap awal nusyur (kebangkitan) dan Hari Kiamat. Apabila dosa-dosa dan kesalahannya itu masih juga belum bisa disucikan dengan itu semua, syafa'at akan melakukan perannya untuk menye-lamatkannya dari neraka. Syafa'at ini merupakan manifestasi rahmat Tuhan yang paling besar yang dianugerahkan kepada para kekasih-Nya, khususnya Rasul saw. dan Ahlul Baitnya yang mulia.
Dari beberapa riwayat, Al-Maqamal mahmud (kedudukan nan mulia) yang dijanjikan kepada Rasul saw di dalam Al-Qur'an adalah kedudukan syafa'at. Begitu juga, ayat yang berbunyi, "Dan kelak Tuhanmu pasti akan memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas." (QS. Adh-Dhuha: 5) mengisyaratkan ampunan Allah SWT yang mencakup orang-orang yang berhak mendapatkannya melalui syafa'at Rasul saw.
Maka itu, harapan terbesar dan tempat penantian terakhir kaum mukmin yang berdosa adalah syafa'at. Akan tetapi, pada saat yang sama, mereka tidak boleh merasa aman dari murka Allah. Hendaknya mereka waspada sehingga tidak melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan mereka su'ul khatimah dan tercabutnya iman pada saat ajalnya datang menjemput. Dan hendaknya mereka tidak terikat dengan perkara-perkara duniawi, dan jangan sampai mengakar di dalam hati-hati mereka sebegitu rupa sehingga mereka meninggalkan dunia ini dalam keadaan benci kepada Allah SWT. Karena Dialah yang-dengan kematian-memisahkan mereka dari apa yang mereka cintai itu.

Pengertian Syafa'at
Syafa'at berasal dari kata dasar as-syaf'u, artinya genap dan sesuatu yang digabungkan dengan yang ganjil. Umumnya, syafaat biasa diungkapkan untuk permohonan pribadi yang mulia kepada sosok yang lebih besar supaya berkenan memberikan maaf terhadap kesalahan orang ketiga, atau melipatgandakan upah sebagian para pekerja dan pembantu. Barangkali rahasia digunakannya kata syafa'at pada masalah-masalah ini adalah bahwa seseorang yang bersalah itu sebenarnya tidak berhak mendapatkan ampunan, atau seperti pekerja dan pembantu yang pada dasarnya mereka tidak berhak mendapatkan kelipatan upah, akan tetapi berkat permohonan si pemberi syafa'at (pribadi yang mulia), mereka menjadi berhak untuk itu.
Dalam kehidupan sosial, seseorang akan menerima syafaat dari syafi' (pemberi syafa'at) karena merasa kuatir; jika ia tidak menerima syafaatnya, maka pemberi syafaat akan merasa sakit hati. Akibatnya, ia tidak merasa nyaman dan akrab lagi ketika bergaul atau berkhidmat kepadanya. Bahkan terkadang jika tidak menerima syafaatnya, ia akan menerima gangguan dan ancaman bahaya dari sang pemberi.
Kita amati bahwa orang-orang musyrik yang meyakini bahwa Tuhan memiliki sebagian sifat-sifat manusia seperti: butuh ketentraman, bergaul dengan istri, menyesal, atau membutuhkan pembantu yang menyertainya dalam bekerja, atau gelisah akan disaingi oleh sekutu-Nya, sesungguhnya mereka itu-demi mendapatkan perhatian dan belas kasihan dari Sang Pencipta Yang Mahabesar, atau supaya selamat dari murka-Nya-berwasilah kepada-Nya dengan tuhan-tuhan buatan, atau menyembah malaikat dan jin, atau merendahkan diri di depan patung-patung. Mereka berkata:
"Mereka adalah penolong-penolong kami disisi Allah." (QS.Yunus: 18, Rum: 13)
"Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya." (QS. Az-Zumar: 3)
Sehubungan dengan kepercayaan jahiliyah ini, Al-Qur'an mengatakan, "Sedang bagi mereka tidak ada seorang pelindung dan pemberi syafa'at pun selain dari pada Allah." (QS. Al-An'am:51)
Akan tetapi, perlu ditekankan bahwa mengingkari para pemberi syafa'at atau penafian syafa'at seperti ini bukan berarti mengingkari syafa'at secara mutlak. Di dalam Al-Qur'an sendiri terdapat ayat-ayat yang menunjukkan adanya syafa'at (dengan izin Allah) dan dijelaskan pula syarat-syarat para pemberi syafa'at dan mereka yang berhak disyafa'ati.
Layak untuk diketahui bahwa Allah SWT menerima syafa'at dari para pemberi syafa'at yang telah diizinkan itu bukan lantaran takut atau butuh kepada mereka, tetapi sebagai sebuah jalan yang Allah berikan kepada orang-orang yang tidak berhak memdapatkan rahmat abadi kecuali segelintir hamba-Nya. Untuk mendapatkan hak syafa'at tersebut, Allah SWT telah menentukan syarat-syarat khusus. Sebenarnya, perbedaan antara syafa'at yang benar dan syafa'at yang batil itu tidak ubahnya dengan perbedaan antara kepercayaan terhadap wilayah (otoritas) atau pengaturan dengan izin Allah dan wilayah dan pengaturan yang mandiri, sebegaimana telah dijelas pada bagian Tauhid.
Terkadang kata syafa'at juga digunakan untuk makna yang lebih luas dari makna tersebut di atas, sehigga ia meliputi setiap pengaruh baik pada seseorang melalui orang lain. Sebagaimana syafa'at (pertolongan) kedua orang tua kepada putra-putrinya atau sebaliknya, dan syafa'at para guru kepada anak-anak didiknya. Bahkan, syafa'at ini juga meliputi syafa'at seorang muadzin kepada orang-orang yang hendak melaksanakan salat, yang ketika mendengar suara adzan, mereka segera bergegas menuju masjid. Sebenarnya pengaruh kebaikan pada diri mereka yang terdapat di dunia ini sendiri akan tampak pada Hari Kiamat nanti dalam bentuk syafa'at dan pertolongan.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa permohonan ampun untuk orang-orang yang bermaksiat di dunia ini termasuk ke dalam kategori syafa'at pula. Bahkan, do'a untuk orang lain dan tawassul kepada Allah agar dikabulkan hajat-hajatnya, sebenarnya ini pun merupakan syafa'at Allah. Sebab, semua itu merupakan wasilah Allah SWT untuk menyampaikan kebaikan kepada seseorang atau untuk menolak bencana darinya.

Ketentuan-ketentuan Syafa'at
Sebagaimana telah disinggung, bahwa syarat-syarat utama pada pemberi syafa'at atau diterimanya syafa'at bagi yang disyafaati adalah izin Allah SWT.
"Tidak ada seorangkan yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa seizin-Nya." (QS. Al-Baqarah: 255)
"Tiada seorang pun yang akan memberi syafa'at kecuali sesudah ada izin dari-Nya." (QS. Yunus: 3)
"Pada hari itu tidak berguna syafa'at kecuali (syafa'at) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Ia telah meridhai perkataannya." (QS. Thaha: 109)
"Dan tiadalah berguna syafa'at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafa'at itu ...." (QS. Saba': 23)
Dari ayat-ayat tersebut dapat dibuktikan secara global syarat izin Allah bagi terlaksananya syafa'at. Akan tetapi, dari ayat-ayat tersebut tidak dapat disimpulkan ciri-ciri orang yang mendapatkan izin-Nya. Namun, terdapat ayat-ayat lain yang dapat memberikan penjelasan secara gamblang mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak; yaitu sang pemberi syafa'at dan yang berhak disyafa'ati. Allah SWT berfirman, "Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memberi syafa'at akan tetapi [orang yang dapat memberi syafa'at adalah] orang yang mengakui yang hak dan mereka mengetahui[nya]." (Qs.Az-Zukhruf: 86)
Mungkin maksud dari Man syahida bil haq (orang yang mengakui yang hak) adalah para saksi perbuatan yang-berkat petunjuk Ilahi-mengetahui perbuatan dan niat pelakunya, dan mereka dapat memberikan kesaksian terhadap cara dan kualitas perbuatan tersebut. Sebagaimana atas dasar kesesuaian predikat dan subjeknya, dapat pula dikatakan bahwa para pemberi syafa'at harus memiliki pengetahuan sedemikian rupa sehingga mereka dapat menentukan orang-orang yang berhak mendapatkan syafa'at dari mereka. Setidak-tidaknya mereka yang memenuhi kedua syarat itu adalah para imam maksum as.
Dari sisi lain, dari sebagian ayat dapat dipahami pula bahwa orang-orang yang memberi syafaat adalah mereka yang diridai oleh Allah SWT.
"Dan mereka itu tidak dapat memberikan syafaat kecuali orang-orang yang diridhai Allah." (QS. Al-Anbiya': 28)
"Berapa banyak malaikat di langit yang syafaat mereka tidak berguna sedikitpun kecuali setelah Allah memberikan izin kepada orang yang dikehendaki dan diridhai-Nya." (QS. An-Najm: 26)
Jelas bahwa maksud dari "orang yang disyafa'at itu diridai oleh Allah" tidak berarti seluruh amal mereka itu diridai oleh-Nya. Karena jika demikian, tentu mereka tidak lagi membu-tuhkan syafa'at. Maksudnya, agama dan iman orang tersebut diridhai oleh Allah SWT, sebagaimana riwayat-riwayat menafsirkan demikian.
Di tempat lain, sebagian ayat menyebutkan sifat-sifat orang yang tidak berhak syafa'at, seperti dinyatakan melalui lisan orang-orang musyrik:
"Maka kami tidak mempunyai pemberi syafa'at seorang pun." (QS. Asy-Syu'ara': 100)
Dalam surat Al-Muddatstsir ayat 40-48, ketika para pendosa ditanya tentang sebab mereka masuk ke dalam neraka, disebutkan bahwa mereka telah meninggalkan salat, tidak memberi makan orang-orang miskin, dan mendustakan Hari Pembalasan. Setelah itu, Al-Qur'an mengatakan, "Maka tidak bermanfaat untuk mereka syafaat para pemberi syafa'at."
Dari ayat-ayat tersebut dapat dipahami bahwa orang-orang musyrik dan orang-orang yang mengingkari Hari Kiamat, tidak menyembah Allah, tidak membantu orang-orang miskin, dan tidak konsisten pada akidah-akidah yang benar, tidak akan mendapatkan syafa'at selamanya. Begitu juga, sambil mencermati istighfar Rasulullah saw di dunia sebagai syafa'at, dan tertolaknya istighfar beliau untuk orang-orang yang takabur, enggan beristighfar, dan enggan memohon syafa'at dari beliau, dapat dipahami pula bahwa para pengingkar syafa'at pun tidak akan mendapatkan syafa'at. Hal ini juga terdapat di dalam riwayat-riwayat.
Alhasil, pemberi syafa'at yang mutlak dan sejati, selain harus mendapat izin dari Allah SWT, tentu bukanlah pelaku maksiat dan memiliki kemampuan menentukan tingkat ketaatan dan maksiat orang lain, dan para pengikut setia pemberi syafa'at ini dapat membantu mereka meraih tingkat-tingkat yang lebih rendah dari syafa'at, seperti saat para pengikut itu digolongkan bersama para syuhada' dan shiddiqin.
Di samping itu, orang yang berhak mendapatkan syafa'at, selain izin dari Allah SWT, harus benar-benar beriman kepada Allah, para nabi dan Hari Kiamat, serta kepada setiap apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, di antaranya adalah mempercayai syafa'at itu sendiri; bahwa syafa'at adalah hak, dan hendaknya ia tetap berada di dalam keimanannya hingga akhir hidupnya.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Terangkan makna syafa'at dan letak penggunaannya!
2. Jelaskan perbedaan antara syafa'at yang benar dan syafa'at yang batil dan syirik!
3. Jelaskan syarat-syarat pemberi syafa'at !
4. Jelaskan syarat-syarat orang yang diberi syafa'at!



PELAJARAN 60
Beberapa Keraguan dan Jawaban seputar Syafa'at
Sekaitan dengan masalah syafa'at, banyak sekali keraguan dan kritik yang telah dilontarkan oleh sebagian orang. Pada pelajaran ini, kami akan mempelajari beberapa keraguan yang penting sekaligus memberikan jawaban-jawabannya.

Keraguan Pertama:
Sebagian ayat Al-Qur'an menjelaskan bahwa kelak di Hari Kiamat, syafa'at siapapun tidak akan diterima oleh Allah:
"Takutlah kalian pada hari yang seseorang tidak dapat membela orang lain walau sedikit pun, sebagaimana pula tidak diterima syafa'at dan tebusan darnya, dan tidak pula mereka itu akan ditolong." (QS. Al-Baqarah: 48)
Jawab: sesungguhnya ayat-ayat semacam ini diturunkan untuk menafikan syafa'at yang batil, yaitu syafa'at yang tidak memenuhi syarat, seperti yang diyakini oleh sebagian orang. Di samping itu, ayat-ayat itu bersifat umum yang ditafsirkan secara spesifik oleh ayat-ayat yang menyatakan diterimanya syafa'at yang memenuhi syarat-syarat tertentu dan atas dasar izin Allah SWT., sebagaimana telah kami singgung pada pela-jaran yang lalu.

Keraguan Kedua:
Syafa'at melazimkan ketaklukkan Allah SWT di bawah pengaruh para pemberi syafa'at. Dengan kata lain, syafa'at mereka mengharuskan pengampunan, padahal pengampunan ini merupakan urusan Allah SWT.
Jawab: bahwa Allah menerima syafa'at tidak berarti Dia takluk dan tunduk di bawah pengaruh para pemberi syafa'at, sebagaimana menerima taubat dan mengabulkan doa seorang hamba tidak menunjukkan adanya konsekuensi batil semacam itu. Sebab, semua perbuatan hamba-hamba dalam hal-hal tersebut memberi peluang dan kelayakan untuk menerima rahmat Allah. Secara teknis dinyatakan bahwa "Syafa'at adalah syarat kelayakan sesuatu itu sebagai penerima, bukan syarat kelayakannya sebagai pemberi".

Keraguan Ketiga:
Syafa'at berarti bahwa pemberi syafa'at itu lebih banyak rahmat dan belas kasihnya daripada Allah Yang Mahapenyayang. Karena itulah timbul asumsi bahwa seandainya tidak ada syafa'at mereka, pasti orang-orang yang pernah berbuat maksiat itu akan mendapatkan siksa atau akan menetap kekal di dalam neraka.
Jawab: sesungguhnya belas kasih para pemberi syafa'at merupakan limpahan dari rahmat Allah yang tak terbatas. Dengan kata lain, syafa'at itu sebagai perantara dan jalan yang Allah jadikan untuk memberikan ampunan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Justru pada hakikatnya, syafa'at mencerminkan keagungan rahmat Allah yang tampak pada hamba-hamba-Nya yang saleh dan dekat kepada-Nya. Sebagaimana juga doa dan taubat itu merupakan wasilah dan jalan lain yang telah Allah tetapkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan, atau untuk memaafkan segala dosa hamba-hamba-Nya yang beriman.

Keraguan Keempat:
Apabila menjatuhkan siksa ke atas orang-orang yang berbuat maksiat adalah keputusan Allah yang sejalan dengan keadilan, maka adanya syafa'at bagi mereka bertentangan dengan keadilan tersebut. Dan apabila selamatnya mereka dari siksa itu-dengan diterimanya konsep syafa'at-sesuai dengan keadilan, maka keputusan yang dijatuhkan sebelum terjadinya syafa'at itu merupakan keputusan yang bertentangan dengan keadilan.
Jawab: Setiap keputusan Allah-baik keputusan siksa sebelum adanya syafa'at, ataupun keputusan selamat dari siksa setelah adanya syafa'at-sejalan dengan hikmah dan keadilan Ilahi. Kesesuaian dua masalah ini dengan hikmah dan keadilan Ilahi itu tidak berarti semacam bertemunya dua kontradiksi. Karena, objek keduanya berbeda.
Penjelasannya: keputusan siksa itu merupakan akibat dari maksiat, tanpa bergantung pada terpenuhi atau tidaknya hal-hal yang membuat pemaksiat berhak disyafa'ati. Dan keputusan selamat dari siksa itu akan dijatuhkan lantaran terpenuhinya hal-hal tersebut. Dalam tata penciptaan ataupun tata syariat Islam, kita dapati begitu banyak fakta bahwa perubahan suatu hukum cipta atau syariat mengikuti perubahan ciri-ciri objek (qayd maudhu'). Begitu pula, keputusan suatu hukum yang adil yang telah di-nasakh dan diubah-sehubungan dengan masa berlakunya-tidaklah bertentangan dengan keadilan suatu hukum yang baru (nasikh) yang turun di masa setelah terjadinya perubahan itu. Kebijakan ditetapkannya suatu bencana atas seseorang sebelum ia berdo'a atau bersedekah tidaklah bertentangan dengan kebijakan diangkatnya bencana tersebut setelah ia berdo'a atau bersedekah. Demikian pula, keputusan diampuninya dosa-dosa seorang hamba setelah pemberian syafa'at tidak bertentangan dengan keputusan dijatuhkannya siksa ke atasnya sebelum pemberian tersebut.

Keraguan Kelima:
Allah SWT menganggap bahwa mengikuti bujukan setan akan menyebabkan seseorang masuk ke dalam neraka. Dia berfirman, "Sesungguhnya engkau wahai iblis tidak mempunyai kekuasaan atas hamba-hamba-Ku, kecuali mereka yang mengikuti kesesatanmu. Sungguh jahanam adalah tempat yang dijanjikan untuk mereka." (QS. Al-Hijr: 42-43)
Pada hakikatnya, menyiksa para pemaksiat di akhirat kelak merupakan bagian dari sunnatullah yang tidak akan mengalami perubahan:
"Engkau tidak akan menemukan perubahan pada sunnatullah dan engkau pun tidak akan melihat adanya pergantian padanya." (QS. Al-Fathir: 43)
Jika benar demikian, lalu bagaimana sunnatullah ini bisa mengalami perubahan dalam perkara syafa'at.
Jawab: diterimanya syafa'at oleh Allah untuk pemaksiat yang memenuhi syarat-syaratnya merupakan bagian dari sunnatullah yang tidak akan berubah.
Penjelasannya: sunnatullah itu berdasar pada batasan-batasan riel. Dan setiap sunnah (hukum) cipta Ilahi itu tidak akan menerima perubahan sedikit pun jika segenap syarat-syarat ada dan tiadanya terpenuhi. Hanya saja, perlu diperhatikan bahwa pernyataan-pernyataan yang menekan-kan sunnah-sunnah itu biasanya bukan pada konteks menjelaskan seluruh macam ciri dan syarat suatu objek. Oleh karena itu, kita akan temukan sebagian kasus yang disinggung oleh zahir-zahir ayat Al-Qur'an dikaitkan dengan sejumlah sunnatullah. Sementara, wujud konkret di luar dari kandangan ayat-ayat tersebut lebih spesifik dan tunduk pada batasan dan syarat yang lebih dominan.
Dengan demikian, setiap sunnatullah itu tetap dan tidak akan berubah jika dicermati pula ciri-ciri dan syarat-syarat faktual objeknya, tidak sekedar mengamati ciri-ciri dan syarat-syarat terungkap di dalam ayat-ayat tersebut. Dan, salah satu sunnatullah ialah syafa'at. Sebagaimana sunnatullah yang lain, syafaat juga tetap dan tidak akan berubah; diberikan kepada orang-orang berdosa tertentu, yaitu mereka yang memenuhi syarat-syarat tertentu pula dan ditentukan oleh batasan-batasan yang khas.

Keraguan Keenam:
Adanya janji syafa'at itu akan membuat manusia berani melakukan maksiat dan menyimpang dari jalan yang lurus.
Keraguan ini juga dilontarkan sekaitan dengan penerimaan taubat dan pengampunan dosa. Jawaban atas keraguan ini adalah bahwa pemberian syafa'at dan ampunan kepada seseorang bergantung pada berbagai syarat yang tidak dapat dipastikan pemenuhannya oleh pelaku dosa. Di antara syarat pemberian syafa'at ialah hendaknya ia menjaga imannya sampai akhir hidupnya. Kita sadar bahwa tidak seorang pun dapat memastikan terpenuhinya syarat ini.
Dari sisi lain, kita tahu bahwa jika pelaku dosa kehilangan harapan akan ampunan Ilahi, ia akan dicekam oleh rasa putus asa. Pada gilirannya, putus asa ini akan melemahkan motifasinya untuk menjauhi maksiat, atau malah mendorongnya untuk berlarut-larut di dalam dosa, maksiat dan penyimpangan.
Oleh karena itu, metode pendidikan para pendidik Ilahi, para nabi dan ulama sejati dalam membimbing umat ialah senantiasa menjaga mereka di atas keseimbangan cemas dan harap. Mereka tidak menanamkan harapan penuh akan rahmat Ilahi dalam diri setiap individu, sedemikian rupa sehingga mereka benar-benar merasa aman dari murka Allah. Mereka juga tidak menggugah rasa takut seseorang akan siksa Allah sampai-sampai ia putus asa dari rahmat Allah SWT. Jelas bahwa kedua kondisi ini merupakan dosa besar.

Keraguan Ketujuh:
Pengaruh syafa'at dalam menentukan keselamatan seseorang dari siksa Ilahi berarti adanya pengaruh para pemberi syafa'at terhadap kebahagiaan dan keselamatan dari kesengsaraan. Padahal, Allah SWT berfirman, "Dan bahwasanya seseorang tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya." (QS. An-Najm: 39)
Secara tegas ayat ini menerangkan bahwa hanya usaha dan kesungguhan seseoranglah yang akan membawanya kepada kebahagiaan dan keselamatan.
Jawab: untuk sampai kepada tujuan yang harapkan, terkadang usaha seseorang dapat dilakukannya sendiri dan berlangsung terus sampai akhir perjalanannya. Terkadang juga ia melakukan usahanya secara tak langsung; melalui penyediaan berbagai syarat dan perantara. Seseorang yang akan mendapatkan syafa'at pun harus berusaha keras untuk mengusahakan syarat-syarat kebahagiaan. Sebab, iman dan kesungguhan memenuhi syarat syafa'at merupakan usaha-usaha guna mencapai kebahagiaan, walaupun usaha itu masih dianggap kurang sempurna. Oleh karena itu, ia akan mengalami kesusahan dan goncangan di alam barzakh serta di tahap-tahap awal kiamat.
Bagaimanapun, ia telah menaburkan benih-benih kebahagiaan dengan usahanya sendiri, yaitu keimanan di dalam hatinya yang terkadang ia sirami dengan amal-amal yang saleh, sehingga tidak kering sampai kematiannya.
Dengan demikian, puncak kebahagiaan seseorang itu dicapai dari usaha dan kesungguhannya sendiri, di samping para pemberi syafat itu mempunyai kekuatan agar ia dapat memperoleh buah dari pohon tersebut, sebagaimana tampak di dunia ini, yaitu sebagian orang yang mempunyai kekuatan dalam mendidik dan memberi hidayah kepada umat manusia. Tentu saja, kekuatan mereka itu tidak berarti menafikan usaha seseorang dalam mencapai kebahagiaan dan keselamatan.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Banyak sekali ayat Al-Qur'an yang menunjukkan kebatilan syafa'at. Bila benar demikian, bagaimana mungkin meyakini ihwal syafa'at tersebut?
2. Apakah syafa'at itu meniscayakan pengaruh seorang pemberi syafa'at terhadap dzat Allah SWT?
3. Apakah syafa'at itu berarti bahwa para pemberi syafa'at memiliki rahmat dan belas kasih yang lebih banyak daripada Allah SWT?
4. Jelaskan hubungan antara syafa'at dan keadilan Ilahi!
5. Apakah syafa'at itu menyebabkan perubahan pada sunnatullah?
6. Apakah janji syafa'at itu menjadikan semakin beraninya para pendosa dalam bermaksiat?
7. Jelaskan bahwa syafa'at itu tidak bertentangan dengan penisbahan kebahagiaan setiap orang kepada usahanya sendiri!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

50 Pelajaran Akhlak Untuk Kehidupan

ilustrasi hiasan : akhlak-akhlak terpuji ada pada para nabi dan imam ma'sum, bila berkuasa mereka tidak menindas, memaafkan...