ilustrasi hiasan:
Iftitah
Muhammad Ridha Jabbariyan
عليكم بعلي بن أبي طالب فإنو مولاكم فأحبوه ، وكبيركم فاتبعوه ، وعالِمكُم فأكرموه ، وقائدكم إلى
الجنة فعززوه ، فإذا دعاكم فأجيبوه ، وإذا أمركم فأطيعوه ، أحبوه بحبي ، وأكرموه بكرامتي ، ماقلت لكم في
علي إلا ماأمرني بو ربي جلّت عظمتو
Rasulullah Saw bersabda:
‚Hendaklah kalian bersama Ali bin Abi Thalib, lantaran ia adalah pemimpin dan maula kalian, cintailah ia.
Ia adalah orang besar di antara kalian, ikutilah ia.
Dan merupakan orang alim di antara kalian, muliakanlah ia.
Pemimpin kalian menuju firdaus, agungkanlah ia.
Tatkala ia menyerumu penuhilah seruannya, ketika ia memerintahmu taatilah.
Cintailah ia, sebagaimana kalian mencintaiku.
Muliakanlah ia, sebagaimana kalian memuliakanku.
Aku tidak berkata sesuatu apapun tentang Ali bin Abi Thalib kecuali menjalankan perintah Tuhanku.‛
Sekapur Sirih dari Penulis
Tanpa syak kepribadian Ali bin Abi Thalib As
merupakan kepribadian agung dan unggul setelah Rasulullah Saw. Kehadiran
Ali bin Abi Thalib membuat seluruh alam semesta menjadi indah.
Kepribadian nurani Ali bin Abi Thalib As sedemikian
cemerlang menyinari kemanusiaan sehingga akal manusia sepanjang
perjalanan sejarah terheran dan terperanjat. Jalan untuk mencapai
kepribadian agung rabbani tersebut, betapapun seluruh akal dan tabiat
menstimulirnya, hanya jalan cinta yang mampu melintasinya.
Apa yang telah diberi ulasan oleh pena dan lisan
para ahli cinta dan fadilah terlewatkan oleh keindahan nuraninya. Pada
hakikatnya derajat makrifat kitalah yang tidak berada pada derajat untuk
dapat mencerap kepribadian manusia agung tersebut. Dengan pengakuan dan
iktiraf pada keluasan tanpa batas ruh kudusnya, kita berusaha
meneladani hadis nabawi, untuk menemukan sejumput jalan supaya dapat
mendekat kepada derajatnya yang suci.
Tujuan utama dari penulisan buku ini adalah ingin
membuktikan bahwa hari Al-Ghadir merupakan hari raya (ied) dan
memberikan penjelasan sebagian dari adab-adab hari penuh berkah ini.
Sejalan dengan ritual-ritual yang lain, kami
berupaya menyingkap dengan mengulas kepribadian agung Imam Ali dan
bercermin dari sabda Rasulullah Saw sehingga dapat melongok keindahan
Ali bin Abi Thalib As yang memesona.
Harapan semoga kami dan para pembaca yang budiman dapat meraup dan menuai keberuntungan dari perjalanan maknawi ini.
Pada akhir buku ini, kami memandang perlu untuk
menyebutkan beberapa poin bahwa kebanyakan tema dari buku ini bersandar
dari kitab-kitab muktabar (yang diterima) Ahlu Sunnah.
Untuk itu, kami tidak lupa menyebutkan sumber
setiap hadis atau peristiwa yang kami jadikan sandaran, dengan
menyebutkan jilid, halaman, penerjemah, penerbit dan percetakannya,
tahun dan tempat penerbitannya.
Dalam masalah yang kurang mendapatkan perhatian
oleh Ahlu Sunnah dalam kitab-kitab mereka, kami merujuk kepada
kitab-kitab muktabar Syi’ah dan kitab-kitab itu telah diperkenalkan
dengan teliti sebagaimana kitab-kitab Ahlu Sunnah.
Terkait dengan keterangan sebuah hadis yang dinukil
dengan menyebutkan satu atau beberapa referensi yang telah dipandang
memadai, tidaklah berarti bahwa hadis tersebut tidak dijumpai dalam
sumber-sumber lain; akan tetapi lantaran minimnya waktu dan tempat yang
menjadi sebab tidak termuatnya seluruh referensi yang ada.
Kami memuat matan hadis-hadis tanpa perubahan, memberikan penjelasan pada hal-hal yang dipandang perlu.
Karena buku ini disusun dalam bahasa Persia, kami
berupaya menerjemahkan hadis-hadis yang tertuang dalam buku ini dan
menukil matan-matan (teks-teks) hadis yang dipandang perlu.
Buku ini terbagi menjadi enam bagian, yakni sebagai berikut.
Bagian Pertama : Kisah Al-Ghadir
Bagian Kedua : Khilâfah dan Wishayah
Bagian Ketiga : Kriteria-kriteria
Bagian Keempat : Selangit Keutamaan
Bagian Kelima : Perlakuan Khusus Rasulullah Saw
Bagian Keenam : Adab-adab dan Kebiasaan-kebiasaan Idul Ghadir
Kami berharap dengan hadirnya riset singkat ini, tetesan samudra keutamaan Al-Ghadir dapat mengucur pada diri kita.
Muh. Ridha Jabbariyan
Bagian Pertama
Kisah Al-Ghadir
Ahli bahasa beranggapan bahwa derivasi ‘ied adalah
dari kata ‘aud, yang bermakna kembali. Oleh karena itu, setiap ied
adalah berarti kembali atau mudik.
Kembali secara berulang adalah sebuah gerakan yang
muncul setelah melintasi kausa nuzuli (kurva turun) dan mulai beranjak
naik menuju kausa su’udi (kurva naik). Sebagaimana kita memperingati
tahun baru (nawruz, tahun baru Persia--AK) sebagai saat-saat kembalinya
kehidupan kepada tabiat (alam).
Sebuah kehidupan yang terpasung dalam tawanan
suasana dingin, dan pada puncak kedinginan musim salju (winter,
semiztân) dan bahkan pada batas ketiadaan – hingga seolah-olah tiada –
dan kemudian lahir kembali dengan tibanya musim semi dan ibarat melodi
yang mengalun naik.
Kembalinya kehidupan kepada suasana musim semi ini
harus diperingati. Hal ini merupakan puncak semangat sebuah maktab yang
dipersembahkan kepada dunia materi.
Kini apabila alegori (kiasan) ini kita aplikasikan
pada teks-teks agama bahwa seluruh semesta merupakan mukadimah bagi
wujud manusia dan tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah, maka
seyogianya hari raya harus dimeriahkan sebagai hari kembalinya
kehidupan maknawi manusia.
Dalam madrasah seperti ini, hari raya manusia,
adalah hari kembalinya ia kepada kesejatiannya dan menemukan kembali
dirinya yang hilang; Hari ketika manusia meninggalkan derâkât (pada
hal-hal yang negatif disebut derâkât dan pada hal-hal yang positif
disebut derajat, AK) kehidupan bendawi dan menuju kepada derajat
kehidupan maknawi. Hari tatkala manusia menemukan taufik, topeng tanah
yang merupakan roman jiwa sucinya ia hadapkan kepada Sang Pencipta.
Bulan suci Ramadhan merupakan bulan ketika sâlik
(orang yang meniti jalan suluk, 'irfan dan tazkiyatun nafs, AK) yang
berpuasa mendapatkan taufik dengan perjuangan dalam menghadapi
angin-angin jahat keterikatan-keterikatan duniawi, api cinta Ilahi yang
terpasung dalam peti-peti es bendawi, membara dan kembali ia nyalakan,
dan melakukan muraqabah (menjaga api tersebut tetap menyala) hingga
lisan api itu menjilat seluruh wujudnya dan meleburkan segala
ketidaktulusan eksistensinya. Hingga akhirnya, penghambaan tulus dan
murni menjelma serta tujuan penciptaan mengejewantah dalam dirinya.
Kemudian sâlik merayakan hari Idul Fitri.
Ibadah haji merupakan kesempatan yang lain. Orang-orang yang melaksanakan setelah melintasi pelbagai tingkatan mendapatkan taufik, ia sembelih segala sesuatu yang selain-Nya di tempat penyembelihan hewan kurban di Mina dan membebaskan dirinya dari penghambaan diri lalu melambung melintasi kausa su’udi (kurva naik) gerakan manusia. Sebagai hasilnya, ia mencapai derajat yang tinggi dalam penghambaan, kemudian ia merayakan hari Idul Qurban.
Dari sini perbedaan antara ied dan perayaan atau
festival menjadi jelas. Perayaan atau festival adalah dalih untuk
mendapatkan kesenangan dan kegembiraan, sedangkan ied adalah
ditemukannya kembali kehidupan manusia.
Atas alasan ini juga, ied-ied memiliki sumber syariat dan ied-ied dalam Islam telah disyariatkan. Sementara, perayaan atau festival tidak demikian adanya.
Oleh karena itu, hakikat ied dalam Islam adalah ditemukannya kembali kehidupan dan penetapannya berada di pundak syariat.
Kita percaya bahwa hari Al-Ghadir juga memiliki kekhususan sebagai sebuah ied dalam Islam. Peletak hukum Islam, Rasulullah Saw memperkenalkan Idul Ghadir sebagai hari raya umat Islam.
Buku yang ada di hadapan pembaca budiman ditulis dengan motivasi untuk membuktikan (itsbât) dua klaim di atas ini dan menjelaskan secara ringkas adab-adab hari bahagia ini.
Menelaah sebagian dalam tulisan ini, akan membina keyakinan bahwa hari Al-Ghadir merupakan salah satu hari raya besar Islam. Bahkan termasuk hari raya yang paling besar. Apabila kita melihatnya dengan rigoris dan kecermatan (researchfull), kita akan memahami bahwa hari Al-Ghadir adalah hari raya terbesar bagi umat manusia.
Al-Ghadir
Al-Ghadir secara lughawi (leksikal) berarti telaga,
kolam dan rawa. Lubang-lubang yang terletak pada sahara yang menanti
hingga rintik air hujan atau lintasan bah memenuhi lubang tersebut
sehingga musafir sahara yang dahaga dengan setangkup air dari anugerah
berharga ini dapat menarik nafas lega dan memenuhi kantung kulit
keringnya dari telaga ini. Telaga, rawa dan kolam ini disebut sebagai
al-ghadir.
Ghadir Khum
Musafir yang melakukan perjalanan dari kota Madinah
menuju Mekkah, menempuh perjalanan sepanjang 500 kilometer. Selepas
melewati 270 kilometer, ia akan sampai pada sebuah daerah yang disebut
sebagai ‚rabigh‛.[1]
Rabigh merupakan daerah belantara yang terletak
berdampingan dengan daerah Juhfa. Daerah ini merupakan salah satu miqat
dalam ibadah haji yang terdiri dari lima miqat; tempat dimana para haji
dari Syam (Suriah) dan orang-orang yang ingin pergi ke Mekkah melalui
kota Jeddah, di tempat ini mereka akan mengenakan pakaian ihram.
Jarak Juhfah ke Mekkah kira-kira 250 kilometer dan ke Rabigh kurang-lebih 26 kilometer.[2]
Di tempat itu terdapat ghadir (kolam) yang airnya busuk dan beracun dan
tidak dapat dimanfaatkan oleh para musafir. Kafilah-kafilah yang lewat
di dekat oase itu tidak akan berhenti.[3]
Tampaknya dengan alasan ini ghadir (kolam) ini disebut khum lantaran
khum digunakan pada segala sesuatu yang rusak dan bau. Kandang ayam juga
dengan alasan ini disebut khum.
Laporan dari Hajjatul Wida’
Tahun ini adalah tahun kesepuluh Hijriah. Islam
telah menyebar ke seantero Jazirah Arab dan orang-orang di sana
memberikan pengakuan terhadap risalah Nabi Muhammad Saw. Tanda dan bekas
dari berhala-berhala setiap kabilah tidak lagi terlihat. Upaya dan
kerja keras yang dilakukan oleh Nabi Saw menuai hasil dan buah manisnya.
Berhala yang disembah tumbang di hadapan uluhiyyat, dan kalimat tauhid
(thayyibah) lâ ilâha illallâh merebak di setiap penjuru Jazirah Arab.
Kini satu-satunya perbedaan yang ada di antara
masyarakat adalah iman yang terdapat dalam hati dan latar belakang
mereka dalam Islam. Selama kurang lebih 23 tahun, Nabi Saw memikul
seberat-beratnya beban, dan selama kurun waktu yang panjang ini pula
semangatnya sedetik pun tidak pernah kendor dalam menunaikan tugas
menyampaikan risalah kepada manusia. Sedetik pun beliau tidak pernah
merasa lelah.
Kini telah datang kabar bahwa ia segera akan
meninggalkan dunia fana ini dan berjumpa dengan Tuhan Yang Esa. Maka
tanpa henti ia berusaha mengajarkan ajaran-ajaran Islam kepada umat
Namun, masih ada tersisa sedikit dari ahkam (plural
dari hukum) yang harus disampaikan dan diajarkan kepada umat. Namun
waktu yang tepat belum tersedia. Ahkam yang belum sempat disampaikan itu
misalnya kewajiban penting yang harus ditunaikan dalam menjalankan
ibadah haji. Hingga hari itu Nabi Saw belum menemukan waktu yang tepat
untuk mengajarkan ahkam haji kepada umat sebagaimana ahkam salat.
Sekarang ini satu-satunya kesempatan yang tersisa.
Warta umum telah disiarkan bahwa Rasulullah Saw
akan menunaikan ibadah haji. Kaum Muslimin dari setiap kabilah
berduyun-duyun bergerak ke kota Madinah. Pada hari Kamis, selama enam
hari, atau hari Sabtu selama empat hari akhir Dzulqaidah[4]
Nabi Saw menugaskan Abu Dujanah sebagai man in charge (deputi).[5]
Sementara Nabi Saw beserta para istri dan keluarganya berangkat bersama menyertainya[6]
berikut seratus unta[7]
bertolak meninggalkan Madinah.
Pada masa-masa itu, (penyakit cacar atau tipes)
menyebar di kota Madinah yang membuat banyak di antara kaum Muslimin
tidak dapat ikut serta bersama Nabi Saw.[8]
Dalam keadaan ini, masih terdapat puluhan ribu kaum
Muslimin yang ikut serta bersama Nabi Saw. Para sejarawan menulis angka
orang-orang yang ikut beserta Nabi Saw, empat puluh ribu, sembilan
puluh ribu, seratus empat belas ribu, seratus dua puluh ribu dan seratus
dua puluh empat ribu.[9]
Kendati dengan adanya perbedaan ini, yang benar kita berkata bahwa
sedemikian banyak orang yang ikut bersama Nabi meninggalkan Madinah
sehingga hanya Tuhan yang tahu berapa jumlah pasti dari orang-orang yang
ikut bersama Nabi Saw.[10]
Mereka adalah orang-orang yang datang dari Madinah.
Akan tetapi jumlah jamaah haji tidak bisa dibatasi dengan angka-angka
yang disebutkan di atas. Lantaran penduduk kota Mekkah dan kota-kota di
sekelilingnya serta orang-orang Yaman yang datang bersama dengan Amirul
Mukminin Ali As juga ikut serta dalam ibadah haji musim itu.
Baginda Nabi Saw mandi, melumuri tubuhnya dengan minyak, menggunakan minyak wangi dan menyisir rambutnya,[11]
dan meninggalkan Madinah. Tatkala bertolak menuju kota Madinah, ia hanya
mengenakan dua lembar pakaian. Salah satunya diletakkan di atas bahu
dan yang lainnya diikat pada pinggangnya. Ia melalui pintu demi pintu,
rumah demi rumah.
Ketika sampai di Dzil Hulaifah, ia mengenakan pakaian ihram.[12]
Demikianlah seterusnya hingga pada hari Selasa,[13]
Dzulhijjah tiba di kota Mekkah. Ia memasuki Masjidil Haram melalui pintu Bani Syaibah,[14]
melakukan thawaf, menunaikan salat thawaf, sa’i antara Shafa dan Marwa
dan seterusnya secara beruntun amalan-amalan umrah berakhir.[15]
Beliau bersabda bahwa barangsiapa yang tidak membawa hewan kurban
bersamanya, ia telah melakukan kesalahan dan hendaknya keluar dari
keadaan ihram.[16]
Karena beliau membawa hewan kurban bersamanya, beliau tetap dalam
keadaan mengenakan pakaian ihram sehingga dapat melakukan pemotongan
hewan kurban di kota Mina.[17]
Amirul Mukminin As telah mendapat berita tentang
kepergian Nabi Saw ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Ia bergerak
dari Yaman beserta pasukannya, sembari membawa 37 hewan kurban, untuk
ikut serta bersama Rasulullah Saw dalam menunaikan ibadah haji.
Di miqât orang Yaman, sebagaimana Nabi Saw dengan
niat mengenakan pakaian ihram, ia juga berniat mengenakan pakaian ihram.
Seperti Nabi Saw, selepas menjalankan sa’i antara Shafa dan Marwah,
Amirul Mukminin Ali As tetap dalam keadaan mengenakan pakaian ihram.[18]
Pada hari ke delapan Dzulhijjah, Rasulullah Saw
bergerak menuju sahara di bilangan Arafah untuk memulai ibadah haji.
Hingga matahari terbenam pada hari kesembilan, ia tinggal di kota Mina,
kemudian bertolak menuju Arafah. Setiba di Arafah, ia berhenti di
kemahnya sendiri.
Di Arafah, di hadapan massa kaum Muslimin, ia
menyampaikan khotbah. Dalam khotbah ini, Nabi Saw memberikan wejangan
untuk menggemarkan persaudaraan dan sikap saling menghormati,
mengganggap seluruh ajaran jahiliah sebagai ajaran yang sesat dan
mengumumkan ihwal berakhirnya (khatam) silsilah kenabian (nubuwwah).[19]
Nabi Saw tetap tinggal di Arafah hingga matahari
tenggelam pada hari kesembilan Dzulhijjah. Ketika matahari terbenam dan
keadaan menjadi remang dan sedikit gelap, Nabi Saw bertolak menuju
Muzdalifah.[20]
Ia melewati malam di Muzdalifah. Pada waktu subuh, hari kesepuluh,
Rasulullah Saw bergerak menuju Mina. Ia melaksanakan adab-adab tatkala
mampir di kota Mina. Demikianlah Nabi Saw mengajarkan manasik haji
kepada kaum Muslimin.
Nabi Saw menyebut musim haji ini sebagai hajjatul
wida’ (haji perpisahan), hajjatul Islâm, hajjatul balâgh (haji
penyampaian), hajjatul kamâl (haji sempurna), hajjatul tamâm (haji
penghabisan).[21]
Dengan selesainya ibadah haji, Nabi Saw bergerak kembali menuju kota
Madinah. Tatkala sampai di bumi Rabigh, di tempat yang bernama Khum;
Malaikat Jibril As turun, menyampaikan, dan membacakan pesan dari Allah
Swt:
﴿ يَا أَيُّ هٰا الرَّسُولُ بلٍّغْ مٰا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبٍّك وَإِنْ لَمْ تَ فْعَلْ
فَمٰ ا بَ لَّغْتَ رِسٰالَتَوُ وَاللهُ يَ عْصِمُكَ مِنَ النّٰاسِ إِنَّ اللهَ لٰا يَ هْدِي القَوْمَ الكٰافِرِينَ ﴾
‚
Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika engkau tidak kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) engkau tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memeliharamu dari gangguan manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah [5]:67)[22]
Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika engkau tidak kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) engkau tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memeliharamu dari gangguan manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah [5]:67)[22]
Pesan Ilahi ini meninggalkan tugas yang sangat
riskan di atas pundak Rasulullah Saw: mengumumkan sesuatu yang seluruh
orang harus tahu, dan apabila ia tidak melakukan hal ini, seolah-olah
tugas risalah tidak tertunaikan.
Oleh karena itu, sebaik-baik keadaan untuk
menyampaikan pesan seperti ini adalah di tempat ini, tempat yang di
dalamnya orang-orang yang berjalan ke arah Mesir, Irak, Madinah,
Hadramaut, dan Tahamah berpisah. Hal ini akan membuat para haji tidak
dapat menghindar dari penyampaian pesan ini. Ghadir Khum merupakan
tempat yang paling tepat dan pas untuk menyampaikan pesan samawi ini
kepada seluruh orang yang baru saja menunaikan ibadah haji.
Kemudian perintah untuk berhenti dikeluarkan. Nabi
Saw memerintahkan agar orang-orang yang telah pergi untuk kembali dan
bersabar hingga mereka mudik ke tempatnya masing-masing.[23]
Perhelatan akbar pun digelar di padang sahara. Hari itu panas terik
membakar dan tempat itu segera saja menjadi tempat yang panas.
Sedemikian panasnya sehingga orang-orang menanggalkan setengah
pakaiannya dan meletakkannya di atas kepala, sedangkan setengah lainnya
dililitkan di kaki-kaki mereka.[24]
Seluruh orang bertanya-tanya dan ingin tahu ada apa
gerangan Nabi Saw memerintahkan untuk berhenti di tempat yang secara
lahir tidak pantas bagi mereka untuk berhenti. Rasa dahaga bercampur
dengan panasnya udara membuat para haji surut semangatnya.
Rasulullah Saw memerintahkan kepada mereka untuk
menebang beberapa pohon tua dan mengumpulkannya dengan pelana-pelana
unta supaya berdirilah sebuah mimbar. Menjelang zuhur, ketika seluruh
haji telah berkumpul, Nabi Saw naik ke atas mimbar dan menyampaikan
khotbah:
‚Segala puji hanya bagi Allah Swt. Kita meminta
pertolongan dari-Nya dan beriman kepada-Nya. Kita bertawakal ke atas-Nya
dan berlindung dari segala keburukan dan kejahatan dari diri kita;
tiada diberi petunjuk orang-orang yang sesat, dan tidak akan tersesat
orang-orang yang mendapatkan petunjuk-Nya. Aku bersaksi bahwa tiada
tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Wahai manusia, Allah Swt yang Maha Pemurah dan
Mahatahu memberikan kabar kepadaku bahwa tidak seorang nabi yang akan
hidup melebihi setengah dari usia nabi-nabi sebelumnya.‛
Orang-orang berkata, ‚Kami bersaksi bahwa engkau
telah menyampaikan risalah Ilahi, memberikan nasihat dan telah berupaya
keras dalam menyampaikan risalah Tuhan. Semoga Allah Swt memberikan
ganjaran yang setimpal kepadamu.‛
Nabi Saw bersabda, ‚Apakah kalian tidak ingin
memberikan kesaksian bahwa tiada tuhan yang layak disembah selain Allah
dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, surga, neraka dan kematian
adalah benar adanya (hak) dan tanpa ragu hari kiamat akan datang dan
Allah Swt akan membangkitkan seluruh orang yang telah mati?‛
Mereka berkata, ‚Benar, kami memberikan kesaksian bahwa semuanya itu adalah benar.‛
Nabi Saw bersabda, ‚Tuhanku saksikanlah.‛[25]
Lalu Nabi Saw bertanya, ‚Wahai manusia, apakah kalian mendengarkan suaraku?‛
Mereka menjawab, ‚Iya, kami mendengarnya.‛
Nabi Saw bersabda, ‚Aku akan tiba lebih dahulu dari
kalian di telaga Kautsar dan kalian akan masuk dari tepi telaga untuk
bertemu denganku.
Telaga Kautsar merupakan telaga yang lebarnya
antara Sana’ (Yaman) hingga Busrah (Suriah) dan di telaga itu terdapat
piala-piala untuk minum yang terbuat dari perak sebanyak jumlah
bintang-bintang. Kini perhatikanlah bahwa selepasku apa yang kalian
lakukan dengan dua pusaka yang aku wariskan kepada kalian.‛
Seorang tiba-tiba menyeruak di tengah-tengah kerumunan massa itu, ‚Wahai Rasulullah! Apakah gerangan dua pusaka berharga itu?‛
Rasulullah Saw bersabda, ‚Salah satu dari kedua itu
yang lebih besar adalah Kitabullah (Al-Quran). Satu sisinya di sisi
Allah Swt dan sisi lainnya di tangan kalian, maka berpegang teguhlah
kepadanya hingga kalian tidak tersesat. Yang satunya yang lebih kecil
adalah itrah-ku dan keluargaku.
Allah yang Maha Pemurah mengabariku bahwa kedua
pusaka ini tidak akan berpisah satu dari yang lain hingga keduanya
berjumpa denganku di telaga Kautsar pada hari kiamat. Aku juga telah
bermohon demikian kepada Allah Swt. Hendaklah kalian menjaga keduanya
supaya kalian tidak celaka. Lantaran kalau kalian membiarkannya niscaya
kalian akan binasa.‛
Kemudian Nabi Saw meraih dan mengangkat tangan Ali
bin Abi Thalib As sedemikian sehingga warna putih dari bawah ketiak
mereka terlihat dan seluruh manusia yang hadir di tempat itu mengenal
Amirul Mukminin Ali As.
Kemudian Nabi Saw bersabda, ‚Wahai manusia,! Siapakah yang lebih utama bagi kaum Mukminin daripada diri mereka sendiri?‛
Mereka menjawab, ‚Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.‛
Rasulullah Saw bersabda, ‚Allah Swt adalah Mawla
dan junjunganku dan aku adalah mawla dan junjungan kaum Mukminin. Dan
aku lebih utama dari kaum Mukminin melebihi keutamaan atas diri mereka
sendiri. Maka barangsiapa yang menjadikanku sebagai mawla-nya, maka Ali
adalah mawla dan junjungannya.‛[26]
Nabi Saw mengulang sebanyak tiga kali pernyataan ini.
Lalu ia bersabda, ‚Allahumma! Lindungilah orang
yang berwilayah kepada Ali dan musuhilah orang-orang yang memusuhinya;
cintailah orang yang mencintainya; bencilah orang yang membencinya;[27]
bantulah orang yang membantunya dan tinggalkanlah orang yang meninggalkannya[28]
dan jadikan kebenaran senantiasa bersama Ali di manapun ia berada.[29]
Wahai manusia, hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.‛[30]
Lantaran khotbah telah usai, Sang Pembawa Wahyu,
Malaikat Jibril turun untuk yang kedua kalinya. Ia mendapat kehormatan
dengan membawa pesan ini:
﴿اَلْيَ وْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيكُمْ نِعمَتي﴾
‚
Hari ini telah Kusempurnakan agama bagimu dan telah Kucukupkan nikmat bagimu..... ‛[31]
Hari ini telah Kusempurnakan agama bagimu dan telah Kucukupkan nikmat bagimu..... ‛[31]
Rasulullah Saw setelah mendapatkan wahyu ini, ia
meneruskan kepada khalayak. Nabi Saw bersabda, ‚Allah Mahabesar yang
telah menyempurnakan agama dan nikmat dan Tuhanku telah ridha dengan
risalah yang aku bawa dan wilâyah Ali setelahku.‛[32]
Seremoni Ucapan Selamat
Setelah menyelesaikan khotbah Nabi Saw turun dari
mimbar dan duduk dalam kemah dan memerintahkan supaya Ali duduk di kemah
yang lain. Setelah itu, Nabi Saw memerintahkan para sahabat untuk
segera berjumpa dengan Amirul Mukminin dan menyampaikan ucapan selamat
kepadanya atas makam wilâyah yang kini diembannya.
Penulis kitab Raudha Al-Syifa setelah menukil peristiwa Al-Ghadir, menulis:
‚Setelah itu Nabi Saw turun dari mimbar dan duduk
di sebuah kemah khusus. Beliau lalu bersabda bahwa Amirul Mukminin duduk
di kemah yang lain. Lantas beliau memerintahkan kepada khalayak agar
bergegas menuju ke kemah Amirul Mukminin As untuk menyampaikan ucapan
selamat kepadanya. Setelah kaum Muslimin menyampaikan ucapan selamat,
giliran para ummâhat (para istri Rasulullah Saw yang disebut sebagai
ummâhatul mukminin), sesuai dengan tuturan Khawajah Kaniyat,
menyampaikan selamat kepada Amirul Mukminin As.‛[33]
Disebutkan dalam kitab sejarah Habib Al-Siyar
setelah menukil hadis Al-Ghadir bahwa ‚setelah Amirul Mukminin –
karramallâhu wajhah – menjawab titah Rasulullah Saw untuk duduk di kemah
agar supaya khalayak yang terdiri dari berbagai kabilah dan suku datang
menyampaikan ucapan selamat kepadanya. Dari kalangan sahabat, Umar bin
Khaththab ra menyampaikan selamat kepada Ahli Wilayat,
بخ بخ لك يا بن أبي طالب أصبحت وأمسيت مولاي ومولى كل مؤمن ومؤمنة
‚
Alangkah beruntungnya engkau wahai putra Abu Thalib! Engkau telah menjadi mawla-ku dan mawla seluruh kaum Mukminin dan Mukminat .‛[34]
Alangkah beruntungnya engkau wahai putra Abu Thalib! Engkau telah menjadi mawla-ku dan mawla seluruh kaum Mukminin dan Mukminat .‛[34]
Setelah itu, ummahatul mukminin berdasarkan
petunjuk Sayyidul Mursalin datang kepada Amirul Mukminin As untuk
menyampaikan ucapan selamat.
Almarhum Thabarsi Ra, mufassir (ahli tafsir) dan
muhaddits (ahli hadis) Mazhab Syi’ah Imamiyah juga meriwayatkan hadis
yang sama dalam kitabnya I’lâm Al-Wara.[35]
Semua sahabat kembali membaiat Rasulullah Saw dan
pada saat yang sama juga membaiat Amirul Mukminin Ali As. Orang-orang
yang pertama kali memberikan tangannya (membaiat) Nabi Saw dan Imam Ali
As adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Thalhahh dan Zubair.[36]
Sebelumnya kami telah menyebutkan bahwa untuk menyenangkan Nabi Saw dan
Imam Ali As, Umar mengatakan sesuatu yang terekam baik dalam sejarah:
بخ بخ لك يا بن أبي طالب أصبحت وأمسيت مولاي ومولى كل مؤمن ومؤمنة
‚
Alangkah beruntungnya engkau wahai putra Abu Thalib! Engkau telah menjadi mawla-ku dan mawla seluruh kaum Mukminin dan Mukminat.‛ [37]
Alangkah beruntungnya engkau wahai putra Abu Thalib! Engkau telah menjadi mawla-ku dan mawla seluruh kaum Mukminin dan Mukminat.‛ [37]
Tak terbilang para muhaddits Ahlu Sunnah menukil
ucapan ini dan meriwayatkan orang-orang yang hadir di tempat itu. Di
antara orang yang menukil ucapan ini adalah sahabat-sahabat seperti Bin
Abbas, Abu Hurairah, Burai bin Azib, Zaid bin Arqam, Sa’ad bin Abi
Waqqas, Abu Said Khudri, dan Anas bin Malik.
Allamah Amini ra dalam kitabnya Al-Ghadir
menyebutkan tiga ratus nama ulama Ahlu Sunnah yang menukil riwayat ini
dalam kitab-kitab mereka. Sebagian yang lain menisbahkan hadis ini
kepada Abu Bakar.[38]
Tatkala seremoni ucapan selamat selesai, Hassan bin
Tsabit seorang pujangga masa itu, bangkit dan berkata, ‚Wahai
Rasulullah! Izinkan aku untuk mendeklamasikan syair di hadapanmu tentang
Ali As.‛
Nabi Saw bersabda, ‚Dengan berkat Allah Swt, lantunkanlah.‛
Kemudian Hassan bin Tsabit naik ke atas mimbar dan mendeklamasikan syair berikut.
Kepada kaum Muslimin pada hari Ghadir Nabi menyeru,
Bagaimanakah pesuruh Allah berseru,
Ia bersabda: Siapakah mawla dan nabi kalian?
Di tempat itu semua berkata terang tanpa keraguan
Dan tidaklah layak bagi kami untuk menentang dan bermaksiat kepadamu dalam urusan wilâyah,
Tuhanmu adalah mawla kami dan engkau adalah nabi kami,
Ia berkata kepadanya, bangkitlah wahai Ali
Sesungguhnya aku rela engkau menjadi imam dan pemberi petunjuk selepasku
Maka barangsiapa yang menjadikan aku sebagai pemimpin
dan junjungannya, maka Ali adalah pemimpin dan junjungannya. Ikutilah
dan taatilah perintahnya.
Dan di tempat itu Sang Nabi Agung berdoa, ‚Allahumma, cintailah orang yang mencintai Ali dan musuhilah orang yang memusuhinya.‛[39]
Penyematan Jubah Kebesaran pada Hari Al-Ghadir
Seremoni ucapan selamat dan baiat itu berlangsung selama tiga hari.[40]
Kini khilâfah besar Ilahi telah menjadi diketahui dan khalifah
Rasulullah Saw telah ditetapkan. Masyarakat mengenal Imam Ali As dan
memberikan baiat kepadanya. Kini tiba giliran upacara penyematan
dilangsungkan. Rasulullah Saw meminta Amirul Mukminin As untuk maju dan
ia mengenakan ammamahnya (sebuah pakaian khusus) yang disebut sebagai
sahab itu kepada Imam Ali As sehingga sahab itu bergantung di kedua
bahunya dan bersabda:
يا علي العمائم تيجان العرب
"Amamah merupakan pakaian kebesaran orang Arab .‛[41]
Supaya orang-orang di bawahnya melihatnya, maka Nabi Saw bersabda, ‚Menghadaplah kepadaku.‛
Imam Ali As berdiri menghadap Nabi Saw. Kemudian beliau bersabda lagi, ‚Kembali.‛ Imam Ali As pun kembali.[42]
Lantas Nabi Saw menghadap ke arah para sahabat dan
bersabda, ‚Para malaikat yang turun membantuku pada hari Badar dan
Hunain mengenakan amamah seperti ini.‛[43]
Beliau bersabda lagi, ‚Amamah merupakan roman wajah Islam,[44]
amamah adalah sebuah perlambang yang memisahkan seorang Muslim dengan seorang musyrik.‛[45]
Kata beliau lagi, ‚Para malaikat dengan cara seperti ini datang kepadaku.‛[46]
Demikian seterusnya, peristiwa Al-Ghadir berakhir.
Akhirnya, para haji kembali ke kampung mereka masing-masing yang
bertebaran di seantero Jazirah Arabia.
Sekarang peristiwa Al-Ghadir secara ringkas telah menjadi maklum. Ada dua poin yang layak untuk disimak.
A. Kebenaran peristiwa Al-Ghadir dalam perspektif sejarah;
B. Muatan sabda Rasulullah Saw pada khotbah Al-Ghadir.
Kebenaran Peristiwa Ghadir dalam Perspektif Sejarah
Al-Ghadir merupakan mata air yang darinya kemurnian
Islam bersumber. Barangsiapa yang mengakui realitas ini dan jiwanya
karam dalam kemurniannya, ia akan mendapatkan keselamatan dalam
lindungan Islam. Barangsiapa yang menutup mata dan telinga atas realitas
ini, dengan segala dalih dan alasan, tidak akan mendapatkan sesuatu
kecuali suara bel dari jauh.
Al-Ghadir bukanlah sebuah tempat atau kediaman
untuk berhenti ketika Rasulullah Saw memperkenalkan penggantinya kepada
umat. Nabi yang mulia ini berkali-kali dalam setiap kesempatan dan
penjelasan telah memperingatkan umat atas realitas ini dalam bentuk yang
beragam serta memperkenalkan pemimpin umat masa datang
Mereka yang memiliki hubungan baik dengan baginda
Nabi Saw dan senantiasa berhubungan dengan apa saja yang terjadi pada
sentral pemerintahan Islam, tahu bahwa Ali As merupakan khalifah belâ
fashl (immediate, segera setelah Rasulullah Saw), orang yang paling
dicintai Rasulullah dan sahabat terdekat Rasulullah Saw.
Khilâfah bukanlah merupakan sebuah masalah yang
didiamkan hingga tahun sepuluh Hijriah. Khalifah Rasulullah Saw telah
diketahui semenjak pemakluman kenabian (nubuwwah) di kota Mekkah.[47]
Selepas itu, khususnya hingga tahun kesepuluh
Hijriah sedemikian masalah ini berulang-ulang dibicarakan sehingga
seluruh penduduk kota Madinah tahu masalah ini. Semua hadis seperti
hadis manzilah, hadis râyat dan hadis thayir[48]
telah mereka dengar. Hadis tsaqalain[49]
telah berkali-kali dibacakan kepada mereka. Turunnya ayat seperti ayat ‚mawaddah‛,[50]
ayat ‚mubahalah‛[51]
dan ayat wilâyah[52]
telah menjadi sebab mentari pribadi Amirul Mukminin As semakin bertambah terang dan kemilau.
Dengan semua hadis ini, hadis Al-Ghadir jauh lebih
populer. Seluruh hadis yang telah diriwayatkan dalam bidang ini
merupakan hadis-hadis sahih dan masyhur dan sebagian mutawatir (banyak
orang yang menukilnya); akan tetapi hadis Al-Ghadir bahkan melebihi
tingkatan tawatur.
Almarhum Allamul Huda Sayyid Murtada ra bertutur tentang masalah ini:
‚Barangsiapa yang menghendaki dalil dari riwayat
ini, seolah-olah menghendaki dalil kebenaran riwayat ghazawat dan
keadaan Rasulullah Saw dan sedemikian terang sehingga ia seakan-akan
meragukan akan kebenaran riwayat hajjatul wida’. Lantaran kesemua ini
dari sisi kemasyhuran berada pada satu tingkatan.
Lantaran seluruh ulama Syi’ah menukil riwayat ini
dan demikian juga para muhaddits (ahli hadis) dengan sanad-sanad
meriwayatkan hadis tersebut. Para sejarawan dan penulis sejarah
sebagaimana mereka menarasikan peristiwa-peristiwa penting, tanpa sanad
tertentu melalui generasi demi generasi, meriwayatkan
peristiwa-peristiwa tersebut. Para ahli hadis memverifikasi riwayat
Al-Ghadir dan menggolongkannya sebagai hadis sahih.
Riwayat ini memiliki keistimewaan. Sementara
riwayat-riwayat yang lain tidak memiliki keistimewaan sebagaimana
riwayat ini. Karena khabar atau riwayat terdiri dari dua bagian:
Bagian pertama adalah khabar atau riwayat yang
tidak memerlukan sanad yang bersambung; seperti riwayat Perang Badar,
Khaibar, Jamal, Shiffin dan seluruh kejadian penting yang diketahui oleh
orang-orang melalui generasi demi generasi tanpa bersandar pada sanad.
Bagian kedua adalah khabar atau riwayat yang
memerlukan sanad yang bersambung; misalnya riwayat yang berkenaan dengan
hukum-hukum syariat.
Riwayat Al-Ghadir telah dinukil melalui dua jalan
ini. Maksudnya di samping riwayat tentang Al-Ghadir sedemikian makruf
dan masyhurnya dan tidak memerlukan sanad, ia juga memiliki sanad yang
bersambung.
Terlebih riwayat yang dinukil dengan hukum-hukum
syariat semuanya merupakan khabar wahid (riwayat tunggal). Akan tetapi,
riwayat tentang Al-Ghadir banyak yang merawikannya.‛[53]
Bukan di sini tempatnya untuk menyebutkan satu
persatu perawi yang meriwayatkan hadis atau kabar Al-Ghadir, lantaran
tidak hanya tempatnya yang terbatas tetapi juga kita tidak terlalu
berkepentingan kepadanya. Almarhum Allamah Amini Ra menyebutkan para
perawi hadis ini sesuai dengan urutan masa hidupnya. Kami hanya akan
mencukupkan diri dengan menyebut jumlah perawi hadis Al-Ghadir pada
setiap zamannya. Bagi mereka yang ingin mengkaji lebih jeluk, silahkan
rujuk kepada kitab Al-Ghadir karya Allamah Amini.[54]
Di antara para sahabat Rasulullah Saw terdapat 110 sahabat yang meriwayatkan hadis Al-Ghadir ini.
Di antara para tabi’in terdapat 84 orang;
Di antara ulama abad kedua Hijriah terdapat 56 orang;
Di antara ulama abad ketiga Hijriah terdapat 92 orang;
Di antara ulama abad keempat Hijriah terdapat 43 orang;
Di antara ulama abad kelima Hijriah terdapat 24 orang;
Di antara ulama abad keenam Hijriah terdapat 20 orang;
Di antara ulama abad ketujuh Hijriah terdapat 21 orang;
Di antara ulama abad kedelapan Hijriah terdapat 18 orang;
Di antara ulama abad kesembilan Hijriah terdapat 16 orang;
Di antara ulama abad kesepuluh Hijriah terdapat 14 orang;
Di antara ulama abad kesebelas Hijriah terdapat 12 orang;
Di antara ulama abad keduabelas Hijriah terdapat 13 orang;
Di antara ulama abad ketigabelas Hijriah terdapat 12 orang;
Di antara ulama abad keempatbelas Hijriah terdapat 19 orang;
Dan Hamu menulis:
Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadis ini dengan 40
sanad, Bin Jarir Thabari dengan tujuh puluh dua sanad, Jazari Muqarri
dengan delapan puluh sanad, Bin Uqdah dengan seratus lima sanad, Abu
Sa’ad Mas’ud Sajistani dengan seratus dua puluh sanad, dan Abu Bakar
Jua’bi dengan seratus dua puluh lima sanad.[55]
Bin Hajar dalam kitabnya Al-Shawâiq al-Muhriqah
menulis, ‚Hadis ini diriwayatkan oleh tiga puluh orang sahabat
Rasulullah Saw. Sanad-sanad hadis tersebut adalah sanad-sanad sahih dan
hasan.‛[56]
Bin Maghazali dalam kitabnya Manâqib menulis:
‚Hadis Al-Ghadir adalah hadis sahih dimana
kira-kira seratus orang sahabat yang di antara mereka adalah sepuluh
orang yang mendapatkan berita gembira masuk surga (‘asyara mubasyarah)
meriwayatkan hadis ini dari Nabi Saw. Hadis ini adalah hadis yang
sifatnya tsâbit (tetap) dan tidak ada persoalan (isyakalan) atasnya.
Kenyataan ini merupakan keutamaan Imam Ali As yang tidak dimiliki oleh
seorang pun.‛[57]
Sayyid Bin Thawus salah seorang ulama besar Syi’ah dalam kitabnya Iqbâl Al-A’mâl menulis:
‚Abu Sa’ad Mas’ud bin Nasir Sajistani menyusun
sebuah kitab yang terdiri dari sepuluh juz yang bernama Al-Dirâyah fii
hadis Al-Wilâyah. Hadis [Al-Ghadir] ini ia riwayatkan dari seratus dua
puluh sahabat.‛
Muhammad bin Jarir Thabari dalamnya kitabnya Al-Rad
‘ala al-Hurqusha menulis, ‚Hadis wilâyah diriwayatkan dari tujuh puluh
lima jalan.‛
Abul Qasim Abdullah Huskani dalam masalah ini
menyusun sebuah kitab tersendiri yang berjudul Du’a Al-Hudat ilaa Ada
Haqqi Al-Walât. Abul Abbas Ahmad bin Sa’id bin ‘Uqda juga menulis sebuah
kitab yang diberi judul Hadits Al-Wilâyah dan hadis ini ia nukil dari
seratus lima puluh orang. Setelah menukil redaksi para perawi, ia
menulis:
‚Seluruh kitab ini selain kitab Al-Thabari ada pada
perpustakaan pribadi penulis; khususnya kitab Bin Uqdah yang telah
disusun pada masa hidupnya (tahun 330 H).‛[58]
Yang terpenting dari itu, semenjak abad kedua
hingga masa-masa munculnya mazhab, tidak satu pun dari perawi hadis ini
berasal mazhab Syi’ah. Di kalangan Syi’ah sendiri jarang dijumpai
seorang alim yang tidak menukil hadis ini dengan sanad yang berbeda.
Signifikansi hadis Al-Ghadir ini sedemikian
asasinya sehingga banyak ulama Islam menulis atau menyusun kitab perihal
peristiwa Al-Ghadir. Sesungguhnya Allamah Amini dalam kitab Al-Ghadir,
hingga masanya terdapat dua puluh enam kitab tersendiri telah ditulis
atau diriset oleh para ulama dalam membuktikan tawatur-nya hadis
Al-Ghadir.[59]
Masalah ini sedemikian terangnya dan jelasnya dan
merupakan perkara yang pasti pada semua orang sehingga Ahlul Bait As dan
orang-orang yang mengikuti mereka dalam pelbagai kesempatan berdalil
dan berdebat menggunakan hadis Al-Ghadir ini.
Kita jumpai dalam riwayat-riwayat yang beragam
ketika Amirul Mukminin As sepanjang tahun pascawafatnya Nabi Muhammad
Saw, dalam berbagai majelis, bersumpah bahwa apakah kalian tidak
mengingat Rasulullah Saw bersabda pada hari Al-Ghadir: ‚Barangsiapa yang
menjadikan aku sebagai mawla-nya, maka Ali adalah mawla-nya?‛ Mereka
bersumpah bahwa mereka telah mendengarnya dari Nabi Saw.[60]
Sesuai dengan apa yang telah dibahas sebelumnya,
hadis Al-Ghadir merupakan peristiwa yang tidak dapat disepelekan oleh
orang-orang jahat dan atau ditutup-tutupi oleh sekelompok orang-orang
jahil; apatah lagi untuk menutupi mentari benderang hakikat Imam Ali As.
Dengan alasan ini, seorang ulama, Abdul Fattah
Abdul Maqsud Misri yang menyusun kitab Imam Ali As, sembari memberikan
pujian atas kitab Al-Ghadir, menulis:
‚Hadis Al-Ghadir tanpa syak, merupakan sebuah
kenyataan yang dengan sendirinya tidak akan pernah sirna; Hadis
Al-Ghadir merupakan hadis yang jelas dan terang, seperti terangnya siang
hari. Hal ini merupakan salah satu kenyataan yang jelas bahwa Al-Ghadir
adalah sumber ilham yang tersebar dari dada Nabi Saw hingga ia
memaklumkan orang pilihan dan binaannya di antara umat.‛[61]
Kandungan Hadis Al-Ghadir
Kalimat yang menjadi saksi pada peristiwa Al-Ghadir
dan pada hakikatnya pesan utama Al-Ghadir terkandung di dalamnya adalah
sabda Nabi Saw bersabda:
مَنْ كُنْتُ مَوْلاهُ فَ عَليٌّ مَولاه
“ “
‚
Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya, maka Ali adalah mawlanya.‛
Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya, maka Ali adalah mawlanya.‛
Orang-orang yang ber-istidlal (bernalar dan
berdalil) dengan hadis ini memaknai mawla sebagai awla. Dan awla
bermakna orang yang lebih layak untuk mengatur. Dengan ungkapan yang
lebih sederhana adalah bahwa yang layak untuk membina dan memimpin.
Dengan demikian, makna hadis ini adalah: Barangsiapa yang menjadikan aku
sebagai pemimpin dan pembinanya, Ali As adalah pemimpin dan
pembinanya.‛
Oleh karena itu, barangsiapa yang menerima Nabi Saw
sebagai pemimpin dan pembinanya konsekuensinya menerima Ali As sebagai
pemimpin dan pembinanya.
Kini yang harus diketahui adalah apakah dalam
bahasa Arab, makna ini digunakan atau tidak? Dan yang lainnya adalah
apabila kita menerima bahwa mawla dalam bahasa Arab sesuai dengan makna
ini, apakah dalam khotbah Al-Ghadir kata mawla bermakna yang sama atau
tidak?
Almarhum Allamah Amini menyebutkan empat puluh dua
ulama besar dalam bidang tafsir dan bahasa yang dua puluh tujuh dari
mereka berkata: ‚Mawla bermakna awla.‛ Lima belas orang yang lain
berkata: ‚Awla merupakan salah satu makna dari mawla.‛[62]
Akan tetapi tentang masalah apakah dalam hadis ini
kata mawla bermakna yang sama (awla), dengan memperhatikan situasi dan
kondisi tatkala hadis ini disampaikan dan menelaah khotbah yang memuat
hadis ini, tidak secuil pun syak yang akan tersisa bahwa kata mawla
dalam hadis ini adalah bermakna awla.
Lantaran sosok agung seperti Nabi Saw yang
merupakan akal keseluruhan (aql kul), insan paripurna dan Nabi teragung
dan duta langit, pada hari yang sedemikian panas dan sahara yang
sedemikian membakar kaki-kaki para pengelana dan sinar matahari yang
sedemikian terik yang membuat otak manusia mendidih, pada sahara yang
membara dan tanpa adanya fasilitas[63]
yang apabila daging diletakkan di atas tanah, maka akan terpanggang.[64]
Sebuah tempat yang tidak satu pun kafilah yang mau berhenti di situ.
Nabi Saw menahan puluhan ribu haji di tempat itu
dan orang-orang yang telah pergi untuk menantikan orang-orang yang masih
tinggal dan menyampaikan khotbah pada saat-saat yang paling terik. Di
samping itu, Nabi Saw berkali-kali bertanya kepada khalayak ketika itu
untuk mencari tahu apakah mereka mendengarkan suara Nabi Saw dengan
baik. Pada akhirnya, beliau menunjukkan Ali As kepada mereka. Nabi Saw
menyebutkan nama dan nasabnya lalu bersabda:
مَنْ كُنْتُ مَوْلاهُ فَ عَليٌّ مَولاهُ
“ “
(Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya maka Ali adalah mawlanya)
Lalu ia menugaskan orang-orang yang hadir untuk
menyampaikan warta penting ini kepada orang-orang yang tidak hadir di
tempat itu. Setelah itu, ia meminta orang-orang untuk berbaiat kepadanya
dan menyampaikan ucapan selamat, serta mengenakan amamah kepunyaannya
di atas kepala Ali As dan bersabda kepadanya, ‚Pakaian kebesaran bangsa
Arab adalah ammamah.‛ Nabi Saw bersabda kepada para sahabatnya, ‚Para
malaikat yang turun membantuku pada hari Badar mengenakan ammamah
seperti ini.‛
Sekarang apabila kita berasumsi hadis ini sampai di
tangan seseorang tanpa qarinah (indikasi), tafsir dan penjelasan dan
tanpa ada tujuan memperhatikan hadis ini, ia akan menjumpai -
berseberangan dengan ucapan sebagian orang-orang jahil - bahwa Nabi Saw
tidak pada tempatnya berkata, ‚Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai
temannya, maka Ali adalah temannya.‛ Atau ‚Barangsiapa yang menjadikan
aku sebagai penolongnya, maka Ali adalah penolongnya!‛
Lantaran teman dan penolong tidak memerlukan adanya
ucapan selamat, pengenaan ammamah dan secara umum sabda Nabi Saw ini
tidaklah sedemikian penting sehingga harus disampaikan pada situasi dan
kondisi seperti itu dan dengan adanya pengumuman pendahuluan.
Atas alasan-alasan ini, Sibt bin Jauzi seorang
ulama Ahlu Sunnah, setelah membahas tuntas masalah ini, sampai pada
sebuah kesimpulan bahwa hadis ini (mawla) adalah bermakna awla.[65]
Bin Thalhahh dalam kitab Mathâlib Al-Su’âl menulis:
‚Setiap makna mawla yang dinisbahkan kepadanya,
Baginda Nabi Saw nisbahkan juga kepada Ali. Nisbah ini merupakan
kedudukan tinggi yang diberikan kepada Ali As.‛[66]
Hal ini merupakan konklusi yang ditunjukkan dari
kandungan khotbah Rasulullah Saw dengan seluruh kalimatnya. Hal itu
adalah yang dipahami dari sabda Nabi Saw oleh seratus dua puluh ribu
Arab, tanpa adanya syak dan keraguan. Atas alasan ini, Hassan bin Tsabit
bangkit dan berdiri mendeklamasikan syair untuk memuji Amirul Mukminin
As dan aksinya itu mendapat sokongan dari Nabi Saw.
Setelah itu, siapa saja yang mendengar berita
tentang peristiwa Al-Ghadir memahami bahwa Nabi Saw telah menetapkan
pengganti dan khalifah selepasnya.
Sepanjang abad selanjutnya, seluruh pakar bahasa
dan ulama Islam juga demikian memahami peristiwa Al-Ghadir itu. Ratusan
pujangga Arab dan non-Arab mendendangkan syair perihal Ghadir. Dalam
lirik-lirik syair, mereka menjelaskan bahwa Nabi Saw memilih Amirul
Mukminin Ali As sebagai penggantinya dan karena itu mereka memuliakan
hari Al-Ghadir.
Pada masa khilâfah zhahiri-nya (secara resmi) di
Kufah, Amirul Mukminin As acapkali berdalil dengan hadis ini dan meminta
para sahabat Nabi Saw untuk bersumpah supaya memberikan kesaksian atas
peristiwa Al-Ghadir ini. Padahal kurang-lebih peristiwa Al-Ghadir telah
berlalu selama empat puluh tahun dan banyak dari kalangan sahabat Nabi
Saw telah meninggal dan yang masih hidup di penjuru negeri. Di samping
itu, kota Kufah terletak jauh dari pusat pemukiman para sahabat di
Madinah.
Tanpa prediksi dan persiapan pendahuluan Amirul
Mukminin As meminta kesaksian dari mereka. Jumlah orang-orang yang
memberikan kesaksian ini layak untuk diperhatikan. Orang-orang yang
memberikan kesaksian cukup banyak dan membenarkan perkataan Imam Ali As.
Jumlah saksi yang disebutkan dalam riwayat beragam. Menurut sebagian
riwayat terdapat lima atau enam orang,[67]
sebagian riwayat melaporkan terdapat sembilan orang[68]
, riwayat yang lain menyebutkan dua belas orang[69]
, riwayat yang lain menukil dua belas orang ahli Badar (orang-orang yang ikut perang Badar, -AK)[70]
, riwayat yang lain terdapat tiga belas orang[71]
, dan riwayat yang lain enam belas orang[72]
, dan pada riwayat yang lain terdapat delapan belas orang[73]
, dan dalam riwayat yang lain terdapat tiga puluh orang[74]
, sesuai dengan riwayat yang lain sekelompok orang[75]
, sesuai dengan salah satu riwayat terdapat lebih dari sepuluh orang[76]
, sesuai dengan salah satu riwayat menyebutkan sebagian[77]
dan riwayat yang lain sekelompok orang banyak[78]
, dan riwayat lain terdapat tujuh belas orang[79]
yang memberikan kesaksian bahwa Nabi Saw pada hari Al-Ghadir bersabda:
مَنْ كُنْتُ مَوْلاهُ فَ عَليٌّ مَولاهُ
“ “
Demikian juga Ahlul Bait As dan para pengikutnya dalam banyak hal berdalil dan berdebat dengan menggunakan hadis ini. Almarhum Allamah Amini Ra menukil dua puluh dua entri dari perdebatan (ihtijâjâj) ini. Di sini, kita hanya akan menyebutkan beberapa matlab sebagai contoh:
1. Istidlâl Ummu Aimmah, Fatimah Zahra As
Apakah kalian telah melupakan sabda Nabi Saw yang
menyerukan: ‚Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai mawla-nya, maka Ali
adalah mawla-nya.‛[80]
2. Istidlâl Imam Hasan Mujtaba As
Tatkala Imam Hasan Mujtaba mengambil keputusan
untuk berdamai dengan Muawiyah, ia menyampaikan khotbah. Sebagian dari
khotbah tersebut tertoreh dalam sejarah:
Umat ini mendengar dari datukku Rasulullah Saw yang
bersabda: ‚Setiap umat yang mewakilkan urusan mereka kepada seseorang
yang lebih alim dan lebih layak di antara mereka, mereka akan mengalami
kejatuhan dan degradasi; kecuali mereka memprioritaskan orang yang lebih
layak di kalangan mereka.‛ Kalian juga mendengar ia bersabda kepada
ayahku: ‚Engkau bagiku ibarat Harun bagi Musa; hanya saja tidak ada nabi
selepasku.‛ Kalian mendengar bahwa pada Ghadir Khum ia mengangkat
tangan ayahku dan bersabda:
مَنْ كُنْتُ مَوْلاهُ فَ عَليٌّ مَولاه
‚
Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya, maka Ali adalah mawlanya. Allahumma, cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya. Kemudian ia bersabda, ‘orang-orang yang hadir hendaknya menyampaikan kepada orang-orang yang tidak hadir.’‛[81]
Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya, maka Ali adalah mawlanya. Allahumma, cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya. Kemudian ia bersabda, ‘orang-orang yang hadir hendaknya menyampaikan kepada orang-orang yang tidak hadir.’‛[81]
3. Istidlâl ‘Ammar Yasir
Pada Perang Shiffin, tatkala Ammar Yasir berhadap-hadapan dengan Amr bin Ash, ia berkata:
‚Rasulullah Saw memberikan titah kepadaku untuk
berperang melawan Nakitsin dan aku telah memenuhi titah tersebut. Ia
menitahkan untuk berperang dengan Qâsithin. Kalian adalah orang-orang
Qâsithin itu yang kini aku perangi dan aku tidak tahu apakah aku dapat
menuruti titah baginda Nabi Saw untuk memerangi Mariqin atau tidak.
Wahai pria abtar (orang yang keturunannya terputus, -AK), apakah engkau
tidak tahu bahwa Rasulullah Saw bersabda ihwal Ali As:
اَللّهُمَّ والَ مَنْ وَالاهُ وَعادَ مَنْ عادَاه ¸ مَنْ كُنْتُ مَوْلاهُ فَ عَليٌّ مَولاهُ
‚
Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya, maka Ali adalah mawlanya. Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya. Mawlaku adalah Allah dan Rasul-Nya dan setelahnya Ali. Tetapi engkau tidak memiliki mawla.
Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya, maka Ali adalah mawlanya. Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya. Mawlaku adalah Allah dan Rasul-Nya dan setelahnya Ali. Tetapi engkau tidak memiliki mawla.
Amr bin Ash menjawab: ‚Wahai Aba Yaqzhan, mengapa engkau mencibir aku sementara aku tidak mencibirmu?‛[82]
4. Istidlâl Ashbagh bin Nabatah
Pada Perang Shiffin Amirul Mukminin As menulis
surat dan ia menugaskan Ashbagh bin Nabatah untuk menyampaikan surat itu
kepada Muawiyah. Tatkala Ashbagh memasuki majelis Muawiyah, sekelompok
laskar juga hadir di tempat itu. Di antara laskar tersebut, dua orang
sahabat Rasulullah Saw yaitu Abu Hurairah dan Abu Darda berada dalam
majelis tersebut. Ashbagh berkata, ketika Muawiyah membaca surat itu,
‚Mengapa Ali tidak menyerahkan kepada kita orang yang membunuh Utsman.‛
Aku berkata, ‚Wahai Muawiyah! Jangan engkau berdalih dengan darah
Utsman; Engkau adalah orang yang mengejar kekuasaan dan pemerintahan.
Apabila engkau ingin membantu Utsman, sebenarnya engkau dapat
membantunya pada masa hidupnya. Akan tetapi. kini engkau berdalih atas
darahnya (kematian Utsman). Engkau sangat dahaga kekuasaan hingga ia
terbunuh.‛
Muawiyah menjadi bungkam dengan ucapan Ashbagh ini.
‚Dan aku yang lebih ingin menumpahkan amarah
berkata kepada Abu Hurairah, ’Wahai sahabat Rasulullah Saw! Aku
bersumpah kepada Tuhan yang Esa, Yang Mahatahu yang lahir dan gaib dan
kepada kekasih-Nya Muhammad Saw, apakah engkau hadir pada hari Ghadir
Khum?’ Ia menjawab, ’Iya aku hadir di tempat itu.’
Aku berkata: ’Apakah yang engkau dengar dari Rasulullah Saw perihal Ali?’
Ia berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda:
Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya, maka Ali adalah
mawlanya. Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah
orang yang memusuhinya. Bantulah orang yang membantunya dan
tinggalkanlah orang yang meninggalkannya.’
Aku berkata: ’Wahai Abu Hurairah! Lalu mengapa engkau bersahabat dengan musuhnya dan memusuhi orang yang bersahabat dengannya?’
Abu Hurairah berseru, ‘Duhai,’ dan berkata, ‘Inna lillahi wa inna ilahi raji’un.‛[83]
Lebih jauh dari itu, dalam banyak perkara,
orang-orang awam beristidlal dan bersandar pada hadis Al-Ghadir di
hadapan orang-orang masyhur yang tidak mengamalkan tuntutan hadis ini
dan bahkan menentang Amimrul Mukminin As. Di antara orang-orang awam itu
adalah:
5. Istidlâl Istri Darami
Ia adalah seorang wanita hitam dari Syi’ah Imam Ali
As yang berasal dari keluarga besar Daram yang bermukim di daerah Hujun
Mekkah. Atas alasan ini, ia disebut sebagai Daramiyah Hujuniyyah.
Tampaknya lantaran kemasyhuran dan popularitas
gelar ini, namanya tidak disebut dalam sejarah. Dalam perjalanan haji,
Muawiyah memanggil wanita itu dan berkata, ‚Apakah engkau tahu mengapa
aku memanggilmu?‛
Wanita itu berkata, ‚Mahasuci Allah! Aku tidak mengetahui perkara gaib.‛
Muawiyah berkata, ‚Aku ingin bertanya, mengapa engkau mencintai Ali dan membenciku? Engkau menerima wilâyahnya dan memusuhiku?‛
Ia berkata, ‚Apabila mungkin engkau membolehkan aku untuk tidak menjawab pertanyaan itu.‛
Muawiyah berkata, ‚Aku tidak membolehkanmu.‛
Ia berkata, ‚Karena engkau mendesakku untuk
menjawab pertanyaanmu. Kini aku berkata, ‘Aku cinta kepada Ali, lantaran
perilakunya mencerminkan keadilan dan membagi harta baitul mal dengan
rata. Aku membencimu karena engkau berperang dengan orang yang paling
pantas untuk menjadi khalifah, dan engkau menuntut sesuatu yang bukan
hakmu. Aku menerima wilâyah Ali lantaran Nabi Saw menyematkannya kepada
Ali. Karena ia mencintai orang-orang miskin dan menghormati orang-orang
beragama. Aku memusuhimu karena engkau menumpahkan darah dan menyebarkan
perpecahan; engkau bertindak zalim mengikuti hawa nafsu dalam
peradilan.’‛[84]
6. Istidlâl Pemuda Tak Dikenal
Suatu ketika Abu Hurairah masuk ke Masjid Kufah.
Orang-orang segera mengerumuninya. Setiap orang mengajukan pertanyaan
kepadanya. Seorang pemuda bangkit dan bertanya, ‚Aku bersumpah kepada
Allah, apakah engkau mendengar Rasulullah Saw bersabda: ’Barangsiapa
yang menjadikan aku sebagai mawlanya, maka Ali adalah mawlanya. Ya
Allah! Cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang
memusuhinya.’‛ Abu Hurairah berkata, ‚Aku bersaksi bahwa aku mendengar
Rasulullah Saw bersabda demikian.‛[85]
Demikian juga sepanjang sejarah, bahkan orang-orang
yang berada dalam jajaran orang yang bermusuhan dengan Ali,
ber-istidlal dengan hadis Al-Ghadir. Di antaranya:
7. Istidlâl Amr bin Ash
Semua orang tahu bahwa Amr bin Ash merupakan salah
seorang musuh bebuyutan Amirul Mukminin As. Ialah yang menjadi penasihat
dan kontributor pemikiran bagi Muawiyah sekaligus ia juga yang
merancang Muawiyah untuk berhadapan dengan Ali.
Dengan intriknya yang licin, ia yang membuat Imam
Ali bungkam (selama 25 tahun), dan dengan mengajukan usulan hakamiyat
(Al-Quran yang menjadi hakim atas pertikaian mereka, AK), ia memberikan
kekuatan kepada laskar Syam dan menyebarkan perpecahan di kalangan
prajurit Kufah. Dari tempat itulah, nutfah Khawarij bersemi. Berkat jasa
besar ini, ia mendapatkan ganjaran pemerintahan Mesir dari Muawiyah.
Dalam sepucuk suratnya, Muawiyah memohon bantuan darinya: ‚Ali yang menyebabkan Utsman terbunuh dan aku adalah khalifah Utsman.‛
Dalam menjawab surat Muawiyah, Amr bin Ash menulis:
Aku telah membaca surat dan telah memahaminya
dengan baik. Adapun engkau memintaku untuk keluar dari agama Islam, aku
telah mengucapkan selamat tinggal kepada Islam dan memasuki lembah
kesesatan dan membantumu pada jalan-jalan batil dan menghunus pedang di
hadapan Amirul Mukminin, padahal ia adalah saudara, wali, washi, dan
pewaris Rasulullah Saw dan ialah yang telah menunaikan agama Rasulullah
dan memenuhi janji-janjinya, ia adalah menantu Nabi dan suami dari
penghulu wanita seluruh alam, bapak dari Hasan dan Husain penghulu
pemuda di surga. Aku tidak dapat menerima permintaanmu ini.
Adapun engkau berkata: ‚Aku adalah khalifah
Utsman‛, dengan tewasnya Utsman engkau telah tergeser. Kekhalifahanmu
akan sirna. Engkau berkata: ‚Amirul Mukmininlah yang menggerakkan
sahabat untuk membunuh Utsman‛. Perkataan ini adalah dusta dan palsu.
Celakalah engkau wahai Muawiyah! Tidakkah engkau tahu bahwa Abul Hasan
telah mempersembahkan jiwanya di jalan Allah dan tidur di pembaringan
Rasulullah Saw dan Rasulullah Saw bersabda tentangnya: ‚Barangsiapa yang
menjadikan aku sebagai mawla, maka Ali adalah mawlanya.‛[86]
8. Istidlâl Umar bin Abdul Azis
Seseorang yang bernama Yazid bin Umar berkata, ‚Aku
berada di Syam. Umar bin Abdul Azis membagi-bagikan harta. Untuk
mendapatkan saham dari harta tersebut, aku juga turut ke sana. Tatkala
giliranku tiba, ia berkata, ‘Engkau berasal dari kabilah mana?’ ‘Aku
berasal dari Quraisy.’
Ia bertanya lagi, ’Dari thaifah mana?’
’Dari thaifah Bani Hasyim,’ jawabku.
Ia bertanya lagi, ’Dari keluarga mana?’
Aku berkata, ’Dari keluarga Ali – dalam riwayatnya redaksinya ‘dari mawla Ali’.
Ia berkata, ’Ali yang mana?’
Aku tidak menjawab pertanyaan itu.
Umar bin Abdul Azis sembari meletakkan tangannya di dada, ia berkata, ’Demi Tuhan, aku juga berasal dari keluarga Ali.’
Sekelompok orang meriwayatkan hadis kepadaku bahwa
Nabi Saw bersabda, ‚Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai mawla-nya,
maka Ali adalah mawla-nya.‛
Kemudian ia menghadap ke arah stafnya yang
membagikan harta lalu bertanya, ‘Berapa yang engkau berikan kepada orang
seperti ini?’ ‘Seratus atau dua ratus dirham,’ jawabnya. Ia berkata,
‘Sekarang berikan kepadanya lima puluh dinar.[87]
Karena ia memiliki wilâyah Ali bin Abi Thalib.’ Kemudian ia berkata
kepadaku, ’Kembalilah ke kotamu. Bagianmu dari baitul mal engkau akan
dapatkan di tempat itu juga.’‛[88]
9. Istidlâl Makmun, Khalifah Bani Abbasiyah
Pada saat terjadi perdebatan antara Makmun dan
Ishaq bin Ibrahim, hakim agung pada masanya, tentang keutamaan
sahabat-sahabat Nabi Saw, Makmun bertanya kepadanya, ‚Apakah engkau
pernah meriwayatkan hadis wilâyah?‛ Ia berkata, ‚Iya.‛
Makmun bertanya, ‚Coba engkau sebutkan hadis itu.‛
Kemudian Yahya menyampaikan hadis tersebut.
Makmun bertanya lagi, ‚Menurutmu, apakah hadis ini
menetapkan kewajiban yang harus ditunaikan oleh Abu Bakar dan Umar di
hadapan Ali ataukah tidak?‛
Ishaq menjawab, ‚Mereka berkata, ‘Nabi menyampaikan
hadis ini tatkala terjadi perbedaan antara Ali dan Zaid bin Haritsah.
Zaid menegasikan kekerabatan Ali dengan Rasulullah Saw; karena alasan
ini Nabi Saw bersabda: ‚Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai
mawla-nya, maka Ali adalah mawla-nya.‛
Makmun bertanya, ‚Apakah Nabi Saw menyampaikan hadis ini pada saat kembalinya dari Hajjatul Wida’?‛
Ishaq menjawab, ‚Iya.‛
Makmun berkata, ‚Zaid bin Haritsah telah meninggal
sebelum peristiwa Al-Ghadir. Bagaimana engkau dapat menerima bahwa Nabi
Saw menyampaikan hadis ini karena Zaid. Coba katakan kepadaku, apabila
seorang pemuda lima belas tahun berkata kepada orang-orang: Wahai
manusia, ketahuilah! Siapa saja yang menjadi kerabatku adalah kerabat
putra pamanku juga.‛
Apakah engkau tidak akan berkata kepadanya bahwa
mengapa Anda menyampaikan kembali sesuatu yang bukan rahasia lagi dan
diketahui oleh semua orang?‛
Ia berkata, ‚Tentu, aku akan bertanya kepadanya.‛
Makmun berkata, ‚Wahai Ishaq! Anda tidak menerima
perbuatan pemuda lima belas tahun tetapi menerima perbuatan Rasulullah
Saw? Celakalah engkau, mengapa engkau menyembah para fuqahamu.‛[89]
Sebagaimana yang kita lihat pada seluruh
perbincangan ini yang menjadi pembahasan adalah khilâfah Baginda Amirul
Mukminin As. Orang-orang yang bersandar pada hadis ini telah menetapkan
khilâfah Baginda Amirul Mukminin As. Orang-orang yang diajak berdialog
atau berdebat tidak berkata bahwa mawla dalam hadis ini bukan bermakna
pemimpin atau junjungan.
Apabila hadis ini tidak bermakna kepemimpinan
Baginda Ali maka Abu Hurairah tidak akan berkeluh sendu, ‚Duhai‛ (tanda
penyesalan) dan takluk serta menahan malu di hadapan Ashbagh. Demikian
juga Amr bin Ash di hadapan Ammar bin Yasir.
Oleh karena itu, apabila ada seseorang – apapun
motivasinya – meragukan muatan hadis Al-Ghadir, maka ia tidak hanya
menutupi hakikat yang sebenarnya, tetapi juga telah mendistorsi sabda
Rasulullah Saw. Dan, menyitir Makmun bahwa sesuatu yang dinisbahkan
kepada Rasulullah Saw tidak dapat dinisbahkan kepada pemuda lima belas
tahunan.[]
Bagian Kedua
Khilâfah dan Wishâyah
Khalifah yang Memerintah dengan Kebenaran
Menurut akidah mazhab Syi’ah, khalifah Rasulullah Saw memiliki dua tugas:
1. Pemerintahan Lahir
Yaitu pemerintah yang mengimplementasikan hukum
(qanun), menjaga terlaksananya hak-hak dan menjaga negeri-negeri Islam
dan sebagainya.
Dalam masalah ini, khalifah seperti para
pemerintahan yang lain. Dengan perbedaan bahwa dalam pemerintahan Islam
terjaganya keadilan sosial yang merupakan kewajiban dan tipologi
pemerintahan Islam.
2. Pemerintahan Maknawi
Dalam bagian ini, pemerintah mengemban tugas untuk
menjelaskan poin-poin yang masih kabur, rumit dan masih belum dijelaskan
dengan tuntas ihwal masalah madrasah (school of thought) kepada kaum
Muslimin.
Di samping menjalankan tugas sebagai pemerintah,
khalifah juga mengemban tugas sebagai penjelas ahkam (plural dari hukum)
dan mufasir Al-Quran. Ia juga dapat menjaga maktab dari segala macam
penyimpangan dan membelanya dari segala keraguan (syubhat).
Oleh karena itu, khalifah seharusnya seorang yang
lebih alim dan lebih tahu di kalangan umat perihal masalah-masalah
fondasi dan muatan-muatan syariat. Yakni, ia melebihi dari yang lain
telah melepas dahaga ilmu dan makrifat dari sumber mata air ilmu dan
makrifat nabi.
Dengan demikian, ia harus memiliki keislaman yang
lebih awal dan telah banyak mengambil manfaat dari Nabi Suci Saw.
Demikian juga, ia harus mengedepankan kepentingan kaum Muslimin dan umat
Islam di atas kepentingan pribadi atau golongan. Demi menjaga Islam ia
pun rela mengorbankan jiwa dan raga.
Khalifah dari sisi pemerintahan adalah penguasa
atas seluruh harta kaum Muslimin, seperti harta khumus, zakat,
pendapatan negara, pajak, pampasan perang (ghanimah), mineral-mineral,
dan harta-harta umum. Kesemua ini merupakan harta yang berada dalam
kekuasaan khalifah.
Khalifah juga memiliki tugas, tanpa adanya
pelanggaran dan kezaliman, untuk membagikan harta-harta ini kepada kaum
Muslimin; atau demi kemaslahatan umat ia dapat memanfaatkan
negeri-negeri Islam.
Oleh karena itu, seorang khalifah tidak boleh
memiliki hasrat dan keinginan terhadap dunia, sehingga dalam menghadapi
perasaan-perasaannya tidak terjerembab dan terpuruk dalam kesalahan.
Persis dengan alasan ini, khilâfah merupakan posisi
yang ditentukan oleh Tuhan yang di dalamnya seorang khalifah ditetapkan
dari orang-orang yang paling layak dan paling berilmu di kalangan umat,
dan bukan masalah pemilihan (yang dilakukan oleh umat, AK).Dengan kata
lain, khilâfah merupakan penetapan ketika suara rakyat tidak memiliki
pengaruh sama sekali di dalamnya. Oleh karena itu, untuk menentukan
pengganti Rasulullah Saw, kita harus mencarinya dengan perhatian yang
fair dan imparsial dalam nas dan instruksi hukum serta sabda-sabda Nabi
Saw tentang masalah ini dan mengamalkan apa yang telah kita temukan dari
nas, hukum dan sabda Nabi Saw.
Kita telah mengetahui bahwa peristiwa Al-Ghadir
merupakan salah satu sandaran yang paling dapat diandalkan dan merupakan
sebuah peristiwa yang terjadi dalam Dunia Islam.
Di samping itu, hadis wilâyah merupakan salah satu
hadis yang paling definitif yang telah datang dari Nabi Saw. Dari sisi
makna dan mafhum-nya (yang dapat dipahami darinya) tidak terdapat
sedikit pun sifat mubham (kabur, tidak jelas) dan mujmal (global, tidak
rinci) di dalamnya; lantaran bagi mereka yang telah merasakan aroma
sastra Arab dan familiar dengan muatan-muatan ‘urf (kebiasaan umum) –
kebiasan orang-orang berakal dan melihat dengan pandangan tanpa bias dan
prasangka, ia akan memberikan pengakuan bahwa hadis ini memberikan
petunjuk tentang masalah imâmah, kepemimpinan, dan prioritas Amirul
Mukminin Ali bin Abi Thalib As atas yang lain.
Bahkan apabila kita tidak mengindahkan hari ini,
kita masih cukup memiliki selaksa hadis yang diriwayatkan oleh Ahlu
Sunnah dan Syi’ah ihwal masalah imâmah dan kepemimpinan Amirul Mukminin
Ali As.
Penggalan hadis-hadis dari Rasulullah Saw yang mengulas masalah ini akan kita sampaikan dalam dua bagian yang terpisah:
Bagian pertama, hadis-hadis seperti hadis Al-Ghadir dengan jelas dan tegas menunjukkan khilâfah Amirul Mukminin Ali As.
Bagian kedua, hadis-hadis yang memperkenalkan
kepribadian Amirul Mukminin As yang menegaskan kandungan hadis Al-Ghadir
dan khilâfah Baginda Ali As.
Setelah itu, terlepas dari hadis-hadis yang
disebutkan di atas dan dalil-dalil lafzi, kita akan mengkaji kelayakan
secara substansial dan keutamaan Baginda Ali As. Pada akhirnya kita akan
ketengahkan latar belakang Idul Ghadir berikut adab-adabnya.
Dalil-dalil Tegas atas Khilâfah Imam Ali As
Dalil-dalil – terlepas dari hadis Al-Ghadir – yang
secara otomatis menunjukkan secara tegas dan jelas tentang khilâfah dan
kepemimpinan Amirul Mukminin As yang tersedia yang untuk menyebutkannya
memerlukan waktu yang lapang dan buku yang tebal. Di sini kita hanya
akan menyebutkan beberapa dalil yang menyebutkan secara tegas dan terang
ihwal khilâfah dan imâmah Imam Ali As.
Sebelum menukil dalil-dalil tersebut – kendati umat
tergelincir dalam kesalahan dalam memilih pengganti selepas Nabi Saw
dan khalifah yang sebenarnya ditahan untuk tidak turut campur dalam
urusan kaum Muslimin selama dua puluh lima tahun, akan tetapi tidak satu
pun yang berkurang dari substansi nilai Baginda Ali As, melainkan
merekalah yang telah tertahan untuk meraup manfaat dari seorang pemimpin
maksum.
Lantaran nilai-nilai dan keutamaan Imam Ali As
tidak bergantung pada penetapan pemerintahan secara lahir, akan tetapi
nilai kursi khilâfah-lah yang bergantung pada bertugasnya Amirul
Mukminin; artinya kapan saja ada orang lain selain dirinya yang
menduduki pos khilâfah, pos khilâfah ini akan mengalami degradasi nilai.
Jabatan khilâfah ini kembali akan menemui nilainya manakala Imam Ali
menduduki jabatan khilâfah tersebut.
Disebutkan bahwa:
Tatkala Amirul Mukminin As memasuki kota Kufah,
seseorang datang kepadanya dan berkata, ‚Demi Allah! Wahai Amirul
Mukminin! Khilâfah kini menjadi rupawan dan elok dipandang mata
berkatmu, bukan lantaran khilâfah engkau menjadi rupawan dan elok.
Wujudmu telah membuat nilai posisi khilâfah ini menjadi tinggi, bukan
karena khilâfah wujudmu menjadi lebih tinggi. Khilâfah yang
memerlukanmu, bukan engkau yang memerlukan khilâfah.‛[90]
Abdullah bin Imam Ahmad bin Hanbal berkata, ‚Suatu
hari aku duduk di hadapan ayahku. Sekelompok orang yang berasal dari
Kufah datang menghadap ayahku dan berkata-kata tentang khilâfah para
khalifah. Akan tetapi tatkala sampai pada khilâfah Imam Ali As,
pembicaraan menjadi sangat lama. Ayahku mengangkat kepalanya dan
berkata, ’Alilah yang memberikan keindahan kepada khilâfah, bukan
khilâfah kepada Ali.’‛[91]
1. Hadis Yaum al-Dâr
Khilâfah Rasulullah Saw dan kepemimpinan umat Islam
bukan merupakan sebuah masalah yang didiamkan oleh Rasulullah Saw
hingga akhir hayatnya dan meninggal tanpa ada kejelasan bagi umat Islam
terkait dengan masalah kepemimpinan (imâmah) dan khilâfah. Semenjak
waktu diperintahkan untuk mengumumkan risalahnya secara terang-terangan,
Rasulullah Saw telah memikul tugas untuk memperkenalkan penggantinya.
Tatkala ayat﴾ ﴿وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ اْلأَقْ رَبِينَ
Dan berikanlah peringatan kepada kerabat terdekatmu (QS. Asy-Syua’ara 26:214) turun pada tahun ketiga bi’tsah, ia meminta Imam Ali As datang kepadanya dan bersabda, ‚Aku diperintahkan Tuhanku untuk mengajak para kerabatku kepada Islam. Siapkanlah makanan dan semangkuk susu, dan undanglah Bani Abdul Muththalib supaya aku dapat menjalankan tugas yang dipikulkan di pundakku kepada mereka.‛
Hadrat Ali As bertutur: ‚Aku mengundang seluruh
Bani Abdul Muththalib yang jumlahnya kurang-lebih empat puluh orang.
Makanan yang telah disiapkan, aku hidangkan. Mereka menyantap hidangan
makanan dan meminum susu. Akan tetapi, makanan dan susu yang ada tidak
berkurang-kurang. Manakala Nabi Saw ingin menyampaikan pidato kepada
mereka, Abu Lahab berkata, ‘Muhammad telah melakukan sihir kepada
kalian.’ Majelis pun bubar sebelum Nabi Saw menyampaikan pidatonya.
Pada keesokan harinya, Nabi Saw memerintahkan untuk mengundang mereka kembali dan menyiapkan makanan dan susu untuk mereka.
Ketika mereka telah berkumpul dan selesai menyantap
hidangan, Nabi Saw angkat bicara dan bersabda, ’Wahai Bani Abdul
Muththalib, Demi Allah, aku tidak mengenal seorang Arab yang membawa
sesuatu yang lebih baik dari yang aku bawa kepada kalian. Aku membawa
sesuatu yang berharga bagi dunia dan akhirat kalian dan Tuhanku
menitahkan kepadaku untuk mengajak kalian kepadanya (Islam). Siapakah di
antara kalian yang siap membantuku dalam menjalankan tugas ini?’
Aku (Ali) yang saat itu adalah orang yang paling
muda di antara hadirin, berkata, ’Wahai Rasulullah! Aku siap membantumu
dalam menjalankan tugasmu.’
Rasulullah Saw merangkul leherku dan bersabda,
’Inilah saudara, washi dan khalifahku di antara kalian. Dengarkanlah ia
dan taatilah perintahnya.’
Pada saat-saat itu, seluruh hadirin berdiri dan
sembari tertawa, mereka berkata kepada Abu Thalib, ’Keponakanmu
memerintahkanmu untuk menaati Ali (anakmu).’‛[92]
Menurut sebuah riwayat Rasulullah Saw mengulang
tiga kali permintaannya kepada hadirin tentang siapa yang akan
membantunya dalam menjalankan tugas risalah dan tidak seorang pun yang
memenuhi permintaan itu kecuali Hadrat Ali As.[93]
2. Hadis Manzilah
Dalil lain yang menunjukkan khilâfah Hadrat Ali As
adalah hadis manzilah. Hadis manzilah merupakan hadis yang paling
masyhur yang disabdakan oleh Nabi Saw dan para sahabat beliau
meriwayatkan hadis tersebut.
Bin Asakir dalam kitab Târikh Dimasyq[94]
meriwayatkan hadis ini dari tiga puluh dua orang sahabat melalui jalan dan sanad yang berbeda.
Dari hadis ini terdapat indikasi-indikasi (qarâin)
yang dapat digunakan. Sabda mulia ini telah berulang-ulang disampaikan
oleh Nabi Saw, tetapi yang paling masyhur di antaranya adalah yang
disampaikan pada ghizwah Tabuk (ghizwah adalah [ekspedisi] perang yang
dipimpin langsung oleh Rasulullah Saw, AK).
Pada ghizwah Tabuk, Nabi Saw yang memimpin dan
mengomandani laskar kaum Muslimin. Laskar yang dikomandani oleh Nabi Saw
bergerak dari Madinah, sedangkan Ali ditinggal di Madinah sebagai
wakilnya.
Perang Tabuk merupakan perang yang di dalamnya Imam
Ali tidak menyertai Nabi Saw. Oleh sebab itu, sangatlah sukar baginya
untuk tinggal di Madinah sementara Nabi Saw berangkat ke medan laga.
Tatkala pasukan beranjak meninggalkan Madinah, ia
datang menghadap kepada Nabi Saw dan berkata, ‚Apakah engkau
meninggalkan aku di Madinah bersama para wanita dan anak-anak?‛ Dalam
menjawab pertanyaan Hadrat Ali, beliau bersabda:
أَما تَ رْضَى أنْ تَكُونَ مِنٍّي بِمَنْزِلَةِ ىَارُونَ مِنْ مُوسَى إلاَّ أنَّوُ لاَ نَبِيَ بَ عْدِي
‚
Apakah engkau tidak ridha kedudukanmu bagiku laksana kedudukan Harun bagi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku?‛[95]
Apakah engkau tidak ridha kedudukanmu bagiku laksana kedudukan Harun bagi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku?‛[95]
Kita jumpai dalam Al-Quran bahwa hubungan Harun
bagi Musa memiliki lima relasi: Saudara, mitra dalam nubuwwah
(kenabian), wazir dan penolong, pendukung[96]
; khalifah dan washi.[97]
Oleh karena itu, Hadrat Ali juga memiliki lima
relasi dengan Nabi Saw lantaran ia memilih Ali dan bersabda, ‚Engkau
adalah saudaraku dunia dan akhirat.‛[98]
Ia adalah mitra Rasulullah Saw dalam menyampaikan pesan Ilahi, lantaran
Nabi Saw bersabda, ‚Tidak ada yang menyampaikan pesan Ilahi kecuali aku
dan Ali.‛[99]
Ali adalah wazir Nabi Saw karena Nabi Saw bersabda, ‚Ali adalah wazirku.‛[100]
Ali adalah penolong Nabi Saw lantaran Allah Swt menolong Nabi Saw dan Hadrat Ali As.[101]
Dan Hadrat Ali adalah khalifah Rasulullah Saw; karena Nabi Saw memilih Imam Ali As sebagai khalifahnya.[102]
3. Hadis Wishâyah dan Wirâtsah
Rasulullah Saw bersabda:
لِكُلٍّ نَبِيٍ وَصِيٌّ وَوَارِثٌ وَإنَّ عَلِياًّ وَصِيٍّي وَوَارِثي
‚
Setiap nabi memiliki washi dan warits dan Ali adalah washi dan warits bagiku. ‛[103]
Setiap nabi memiliki washi dan warits dan Ali adalah washi dan warits bagiku. ‛[103]
Ia bersabda lagi:
أنَا نَبِيُّ ىٰذِهِ الْأُمَّةِ وَعَلِيٌّ وَصيٍّي في عِتْ رَتيِ وَأىْلِ بيتي وأمَّتي مِنْ ب عْدِي
‚
Aku adalah rasul umatku dan Ali adalah washi bagiku di kalangan keluarga dan umatku.‛[104]
Aku adalah rasul umatku dan Ali adalah washi bagiku di kalangan keluarga dan umatku.‛[104]
Dan bersabda:
عَلِيٌّ أخِي وَوَزِيرَي وَوارِثِي وَوَصِيٍّي وَخَلِيفَتي في أُمَّتي
‛
Ali adalah saudara, wazir, wârits, washi, dan khalifahku di kalangan umatku.‛[105]
Ali adalah saudara, wazir, wârits, washi, dan khalifahku di kalangan umatku.‛[105]
Dalam riwayat ini dua gelar washi dan wârits
mendapatkan afirmasi dan penegasan. Masing-masing gelar ini dengan
sendirinya menunjukkan kekhalifahan Amirul Mukminin Ali As.
Washi
Washi adalah seseorang yang dapat menunaikan
seluruh urusan orang yang memberikan wasiat kepadanya, kecuali dalam
urusan tertentu yang diwasiatkan kepadanya yang ia hanya memiliki hak
untuk menunaikannya dalam masalah itu saja.
Dalam riwayat ini, ketika memberikan wasiat kepada
Hadrat Ali As, Nabi Saw tidak membatasinya dalam masalah tertentu saja.
Beliau memberikan wasiat kepada Imam Ali secara mutlak. Artinya ia dapat
menjalankan atau menunaikan segala sesuatu yang berkenaan dengan urusan
Nabi Saw.
Dengan kata lain, Hadrat Ali memiliki seluruh kewenangan yang dimiliki oleh Nabi Saw dan inilah makna khilâfah.
Wârits
Sesuatu yang dapat digambarkan dalam benak ketika
mendengar istilah wârits adalah seorang yang diwariskan, menjadi pemilik
harta pewaris, tetapi Hadrat Ali As bukan pewaris harta Nabi Saw.
Karena, sesuai dengan fiqih Imamiyah bahwa apabila si mayit memiliki
keturunan, si warits tidak akan mendapatkan warisan dari si mayit – anak
keturunan berada pada derajat pertama dalam pembagian warisan dan
kerabat pada derajat berikutnya – dan kita ketahui bahwa Nabi Saw pada
masa hidupnya memiliki keturunan.
Fatimah Zahra setidaknya masih hidup selama tujuh
puluh lima hari selepas wafatnya Nabi Saw. Selain itu, para istri nabi
yang kesemuanya mendapat warisan Nabi Saw sebanyak seperdelapan bagian
dengan syarat mereka hidup tatkala Nabi Saw wafat.
Dengan asumsi bahwa semuanya kita abaikan, Ali
adalah putra paman Nabi Saw dan putra paman berada pada derajat ketiga
dalam pembagian warisan. Kita tahu bahwa Abbas adalah paman Nabi Saw dan
ia masih hidup pada saat Nabi Saw wafat dan paman berada pada derajat
kedua dalam pembagian warisan.
Akan tetapi sesuai dengan fiqih Ahlu Sunnah,
setelah menyerahkan saham (seperdelapan) para istri, harta dibagi
menjadi dua bagian, satu bagian untuk Fatimah Zahra yang merupakan putri
satu-satunya Nabi Saw. Dan bagian yang lain, yang bukan bagiannya,
diserahkan kepada Abbas pamannya.
Oleh karena itu, Amirul Mukminin As tidak akan
pernah menjadi wârits Nabi Saw. Dari sisi lain, karena Nabi Saw dengan
jelas dan tegas mengumumkan bahwa Ali As adalah wârits Nabi Saw, maka
wârits dalam hadis ini pastilah sesuatu yang lain. Tentu saja, tema
warisan dalam hadis-hadis ini adalah kedudukan, posisi maknawi dan
derajat sosial Nabi Saw. Benar, Ali adalah wârits ilmu dan sunnah Nabi
Saw, dan oleh sebab itu ia adalah khalifah Rasulullah Saw.
Nabi Saw bersabda kepada Ali As, ‚Engkau adalah
saudara dan wâritsku.‛ Ia berkata, ‚Wahai Rasulullah! Apa yang akan aku
warisi darimu?‛ Nabi Saw bersabda, ‚Sesuatu yang telah diwariskan oleh
para nabi sebelumku.‛ Ia berkata, ‚Warisan apa yang mereka tinggalkan
kepadamu?‛ Nabi Saw bersabda,
‚Kitabullah dan sunnah para nabi Allah.‛[106]
Imam Ali As sendiri berkata, ‚Aku adalah wârits ilmu nabi.‛[107]
4. Ali adalah Wali Mukminin
Setiap saat Nabi Saw bersua dengan seseorang yang
bersikap kurang ajar kepada Ali, atau orang-orang jahil yang mengadu
kepada Nabi Saw, ia bersabda:
ما تُرِيدُونَ مِنْ عَليٍّ ، إنَّ عَليّاً مِنّي وَأنا مِنْوُ وَىُوَ وَليُّ كُلُّ مُؤمِنٍ بَعدِي
‚
Apa yang engkau inginkan dari Ali, Ali adalah dariku dan Aku dari Ali. Ali adalah pemimpin kaum Mukminin setelahku.‛[108]
Apa yang engkau inginkan dari Ali, Ali adalah dariku dan Aku dari Ali. Ali adalah pemimpin kaum Mukminin setelahku.‛[108]
Kendati makna wali memiliki makna yang beragam
secara bahasa, dalam hadis ini tidak memiliki makna yang lain selain
makna pemimpin dan junjungan; dengan memperhatikan redaksi ‚setelahku‛
dalam hadis ini menegaskan makna tersebut. Lantaran, apabila arti dari
wali itu adalah teman, penolong, jiran dan teman bersumpah dan
sebagainya, tidak perlu ada pengkhususan masa setelah Nabi Saw, pada
masa hidupnya juga tetap berlaku.
5. Hasil-hasil Kepemimpinan Ali dalam Sabda Nabi Saw
Kapan saja para sahabat berbincang dengan Nabi Saw
ihwal khalifah dan pemimpin umat pasca Nabi Saw, ia menyampaikan –
menurut beberapa riwayat berkeluh sendu duhai – sebagai hasil dan buah
kepemimpinan Ali As.
Sebagai contoh, Nabi Saw bersabda:
إنْ وَلَّيتُمُوىا علياً وجدتموه ىادياً مَهدياً يَسلُكُ بِكم على الطريق المستقيم
‚
Apabila kalian menyerahkan khilâfah kepada Ali, kalian melihatnya bahwa ia adalah seorang penuntun dan tertuntun, yang membawa kalian ke jalan yang benar.‛[109]
Apabila kalian menyerahkan khilâfah kepada Ali, kalian melihatnya bahwa ia adalah seorang penuntun dan tertuntun, yang membawa kalian ke jalan yang benar.‛[109]
أما والذي نفسي بيده لئن أطاعوه لَيَدْخُلُّن الجنة أجمعين أكتعين
‚
Demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya, apabila mereka menaati Ali As, seluruhnya, seluruhnya akan memasuki firdaus.‛[110]
Demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya, apabila mereka menaati Ali As, seluruhnya, seluruhnya akan memasuki firdaus.‛[110]
إن تستخلفوا علياً ولا أراكم فاعلين تجدوه ىادياً مَهدي اً
يحملكم على المحجة البيضاء
.
‚
Apabila kalian menjadikan Ali sebagai khalifah – dan aku kira kalian tidak akan melakukan hal itu – kalian telah melihatnya bahwa ia adalah orang yang terbimbing yang akan membawamu ke jalan utama.‛[111]
Apabila kalian menjadikan Ali sebagai khalifah – dan aku kira kalian tidak akan melakukan hal itu – kalian telah melihatnya bahwa ia adalah orang yang terbimbing yang akan membawamu ke jalan utama.‛[111]
6. Khilâfah Intishâbi Ali As
Pada bagian sebelumnya, dalam menjelaskan hadis
Al-Ghadir, kita berkata bahwa Rasulullah Saw memperkenalkan Ali sebagai
penggantinya adalah perintah dari Allah Swt. Sekarang kita akan menukil
sebuah riwayat yang akan menjelaskan masalah (matlab) ini dengan baik.
Diriwayatkan dari Rasulullah Saw, ‚Pada malam
mikraj, tatkala aku sampai pada derajat puncak kedekatan, aku berdiri di
haribaan Tuhanku, Dia berfirman, ’Wahai Muhammad!’ Aku menjawab,
’Labbaik.’ Dia berfirman, ’Apakah engkau telah menguji para hamba-Ku
hingga engkau tahu bahwa siapa di antara mereka yang lebih taat?’
Aku menjawab, ’Tuhanku, yang paling taat di antara mereka adalah Ali.’
Dia berfirman, ’Engkau berkata benar, wahai
Muhammad! Apakah engkau telah memilih khalifah yang akan menunaikan
tugas-tugasmu dan memberikan pengajaran kepada hamba-hamba-Ku ihwal apa
yang mereka tidak ketahui tentangnya?’
Aku berkata, ’Tuhanku, pilihkanlah untukku.’
Dia berfirman, ’Aku telah memilih Ali untukmu. Pilihlah ia sebagai washi dan khalifah bagimu.’‛[112]
Demikian Nabi Saw bersabda, ‚Allah Swt memilih
seorang nabi untuk setiap umat, dan setiap nabi memiliki seorang washi
dan khalifah baginya. Aku adalah nabi umat ini dan Ali adalah washiku.‛[113]
[]
Bagian Ketiga
Kriteria-kriteria
Selain memperkenalkan Ali As sebagai khalifahnya
dan kedudukan-kedudukan yang lain pada hari Ghadir dengan penjelasan
yang berbeda-beda dengan tegas dan jelas, Rasulullah Saw juga memberikan
penjelasan-penjelasan yang lain yang konsekuensinya adalah khilâfah
Amirul Mukminin Ali As.
Dalam bagian ini, hadis-hadis yang kami sampaikan
digunakan sebagai kriteria-kriteria dimana Nabi Saw berada pada tataran
penetapan standar dan kriteria bagi umat Islam tatkala berada pada
posisi ragu, atau tatkala hak dan batil bercampur, maka dengan bersandar
kepadanya, mereka akan menemukan kebenaran dan menjauhi kebatilan.
Dalam hadis-hadis ini, Baginda Nabi Saw menetapkan
bahwa Ali As adalah pelita hidayah, kriteria iman dan mizan kebenaran.
Sesuai dengan hadis ini, Ali As bukanlah seorang pemimpin biasa. Akan
tetapi, ia adalah seorang pemimpin Ilahi yang ucapan dan perbuatannya
adalah sebuah ukuran; amalan menjadi benar ketika ia mengerjakannya;
ucapan menjadi benar ketika ia menuturkannya, barisan yang benar adalah
barisan tempat ia berdiri. Barangsiapa yang tidak berada dalam
barisannya, maka ia adalah sesat dan batil.
1. Kecintaan
Salah satu kriteria yang dapat dijadikan sebagai
kriteria pemimpin pasca Rasulullah Saw adalah mizan kecintaan dan kasih
beliau kepada orang tersebut.
Sepanjang perjalanan sejarah yang berhasil merekam
keadaan kaum Muslimin dan kejadian-kejadian yang mengitari mereka pada
masa-masa awal datangnya Islam serta hadis-hadis dan riwayat-riwayat
menjadi saksi bahwa tidak seorang pun yang lebih dicintai oleh
Rasulullah Saw melebihi kecintaannya kepada Ali As.[114]
Seperti yang ditulis oleh Bin Hajar dalam kitabnya Al-Shawâiq: ‚Ali As adalah orang yang paling dicintai oleh Rasulullah Saw.‛[115]
Baginda Nabi Saw bukan saja sangat mencintai Ali
As, ia juga meminta kaum Muslimin untuk mencintainya dan permintaan ini
yang ditujukan kepada semua seukuran dengan firman Tuhan kepada semua
manusia.[116]
Terkadang Nabi Saw bersabda, ‚Allah Swt lebih mencintainya melebihi diriku.‛[117]
Dan atau: ‚Orang yang paling dicintai di sisi Allah Swt adalah Ali.‛[118]
Aisyah berkata, ‚Allah Swt tidak menciptakan seseorang seperti Ali yang paling dicintai oleh Rasulullah Saw.‛[119]
Nabi Saw bersabda kepada para sahabat, ‚Tuhanku
berfirman supaya aku mencintai empat orang sahabatku.’ Dia berfirman
bahwa Dia juga mencintai mereka.’ Para sahabat bertanya, ’Siapakah
mereka wahai Rasulullah? Kami berharap bahwa kami adalah mereka yang
empat itu.’
Nabi Saw bersabda, ’Ketahuilah bahwa Ali adalah
dari mereka (yang empat itu).’ Kemudian beliau diam. Kembali ia
bersabda, ’Ketahuilah bahwa adalah Ali dari mereka’, dan kembali beliau
diam.‛[120]
Beliau kembali bersabda:
يُحبُّ الله وَرَسُولُو وُيحُبُّو الله وَرُسُولُو
‚
Allah dan Rasul-Nya mencintai Ali, sebaliknya Ali pun mencintai Allah dan Rasul-Nya.‛[121]
Allah dan Rasul-Nya mencintai Ali, sebaliknya Ali pun mencintai Allah dan Rasul-Nya.‛[121]
Anas bin Malik menuturkan, ‚Hadiah berupa ayam
panggang dihadapkan kepada Rasulullah Saw. Nabi Saw menengadahkan
tangannya untuk berdoa, ‚Allahumma, datangkanlah kepada kami orang yang
dicintai Allah dan Rasul-Nya.
Ketika itu, Ali As datang dan mengetuk pintu.
Karena aku berharap bahwa yang mengetuk pintu itu adalah seorang Anshar,
aku berkata kepadanya bahwa Rasulullah Saw sedang sibuk, Ali As
kembali. Selang beberapa lama kemudian, ia kembali mengetuk pintu. Aku
tetap memberikan alasan yang sama kepadanya, ia pun kembali. Tatkala ia
mengetuk pintu untuk yang ketiga kalinya, Rasulullah Saw bersabda
kepadaku, ’Wahai Anas, biarkanlah ia masuk.’ Yang aku maksud ialah
orangnya.‛[122]
Di samping itu, untuk mencintai Hadrat Ali As,
karakteristik dan tipologi yang disebutkan dalam hadis atau riwayat,
tidak seorang pun yang menyamai karakteristik dan tipologi yang dimiliki
oleh Ali As. Di antara karakteristik tersebut adalah:
1.1. Kecintaan kepada Ali As adalah Kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya
Diriwayatkan dari Bin Abbas bahwa suatu hari
Rasulullah Saw bersabda sembari memegang tangan Ali As keluar dari
rumah, ‚Ketahuilah! Barangsiapa yang memiliki kebencian kepada Ali dalam
dirinya, ia memillki kebencian kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan
barangsiapa yang mencintai Ali As, ia mencintai Allah dan Rasul-Nya.‛[123]
Rasulullah Saw bersabda kepada Ali As:
يا عَلي ! أَنْتَ سَيٍّدٌ في الدُنْ يَا وَالْْخِرَةِ حَبيبُكَ حَبِيبي وَحَبِيبي حَبِيبُ الله
وَعَدُوُّكَ عَدُوٍّي وَعَدُوٍّي عَدُوَّ الله وَالْوَيْلُ لِمَن أبْ غَضَكَ بَ عْدِي
‚
Wahai Ali! Engkau adalah tuan di dunia dan tuan di akhirat. Sahabatmu adalah sahabatku dan sahabatku adalah sahabat Allah, musuhmu adalah musuhku, musuhku adalah musuh Allah. Celakalah orang yang memusuhimu setelahku.‛[124]
Wahai Ali! Engkau adalah tuan di dunia dan tuan di akhirat. Sahabatmu adalah sahabatku dan sahabatku adalah sahabat Allah, musuhmu adalah musuhku, musuhku adalah musuh Allah. Celakalah orang yang memusuhimu setelahku.‛[124]
Dan bersabda:
يَا عَلِيُّ مُحِبُّكَ مُحِبٍّي وَمُبْغِضُكَ مُبْغِضي
"Wahai Ali, barangsiapa yang mencintai Ali, ia mencintaiku, dan barangsiapa yang memusuhinya, ia memusuhiku".[125]
1.2. Mencintai Ali Mendatangkan Kebahagiaan
Rasulullah Saw bersabda, ‚Barangsiapa yang mecintai
kedua anak ini (Hasan dan Husain), mencintai ayah dan ibunya, ia akan
sederajat denganku pada hari kiamat.‛[126]
Dan bersabda, ‚Barangsiapa yang ingin mati dan
hidup sebagaimana aku dan bermukim dalam surga untuk selamanya yang
dijanjikan Tuhan kepadaku, maka cintailah Ali bin Abi Thalib.‛[127]
Rasulullah Saw bersabda:
‚Jibril mengabarkan kepadaku, ’Kebahagiaan yang
hakiki didapatkan oleh orang yang mencintai Ali pada masa hidupnya dan
setelah matinya. Sebaliknya, kecelakaan hakiki didapatkan oleh orang
yang memusuhi Ali pada masa hidupnya dan setelah matinya.‛[128]
Bin Abbas berkata, ‚Aku bertanya kepada Rasulullah Saw, ’Wahai Rasulullah! Apakah ada jalan untuk selamat dari api neraka?’
Ia bersabda, ’Iya.’
Aku berkata, ’Apakah itu, wahai Rasulullah?’
Ia bersabda, ’Cinta kepada Ali bin Abi Thalib.’‛[129]
1.3. Mencintai Ali adalah Sebuah Amal Saleh
Rasulullah Saw bersabda:
حُبُّ عليٍّ بْنِ أبي طالِبْ يأكُلُ السيٍّئَاتِ كَمَا تأَكُلُ النَّارُ اَلْحَطَبَ
‚
Kecintaan kepada Ali melenyapkan segala keburukan, sebagaimana api melenyapkan seluruh kayu bakar.‛[130]
Kecintaan kepada Ali melenyapkan segala keburukan, sebagaimana api melenyapkan seluruh kayu bakar.‛[130]
Dan bersabda:
عنوان صحيفة المؤمن حب علي بن أبي طالب
‚
Alamat lembar kebaikan orang-orang Mukmin adalah kecintaannya kepada Ali bin Abi Thalib.‛[131]
Alamat lembar kebaikan orang-orang Mukmin adalah kecintaannya kepada Ali bin Abi Thalib.‛[131]
1.4. Tidak Mencintai Ali Membuat Seluruh Amalan Ditolak
Rasulullah Saw bersabda:
لو أن عبداً عبد الله ألف عام وألف عام وألف عام بين الركن والمقام ثمن
لقي الله عز وجل مبغضاً لعلي بن أبي طالب وعترتي أكبَّو الله على منخريو في النار
‚
Apabila seorang hamba hidup selama seribu tahun, seribu tahun, seribu tahun beribadah kepada Tuhan di antara rukun dan makam (di sekitar Ka’bah terdapat empat rukun, dan makam Nabi Ibrahim As. Beribadah di tempat ini memiliki ganjaran yang sangat melimpah, AK), akan tetapi ia membenci Ali dan Ahlul Baitku, maka Tuhan akan melemparkannya ke dalam jahannam.‛[132]
Apabila seorang hamba hidup selama seribu tahun, seribu tahun, seribu tahun beribadah kepada Tuhan di antara rukun dan makam (di sekitar Ka’bah terdapat empat rukun, dan makam Nabi Ibrahim As. Beribadah di tempat ini memiliki ganjaran yang sangat melimpah, AK), akan tetapi ia membenci Ali dan Ahlul Baitku, maka Tuhan akan melemparkannya ke dalam jahannam.‛[132]
Dan bersabda:
يا علي لو أن أمتي صاموا حتى يكونوا كالحنايا وصلُّوا
حتى يكونوا كالأوتار ثم أبغضوك لأكبهم الله على وجوىهم في النار
‚
Wahai Ali! Apabila umatku sedemikian ia berpuasa sehingga badannya menjadi bungkuk dan sedemikian ia mengerjakan shalat sehingga raganya seolah-olah mengejang, lalu ia membencimu, maka Allah Swt akan melemparkannya ke dalam jahannam.‛[133]
Wahai Ali! Apabila umatku sedemikian ia berpuasa sehingga badannya menjadi bungkuk dan sedemikian ia mengerjakan shalat sehingga raganya seolah-olah mengejang, lalu ia membencimu, maka Allah Swt akan melemparkannya ke dalam jahannam.‛[133]
1.5. Kebencian kepada Ali Tidak Akan Bersatu dengan Kecintaan kepada Rasulullah Saw
Rasulullah bersabda:
يا علي من زعم أنو يحبني وىو يبغضك فهو كذاب
‚
Wahai Ali! Berdustalah orang yang mengatakan cinta kepadaku namun memiliki kebencian kepadamu.‛[134]
Wahai Ali! Berdustalah orang yang mengatakan cinta kepadaku namun memiliki kebencian kepadamu.‛[134]
1.6. Kebencian kepada Ali Tidak Akan Bersatu dengan Iman
Rasulullah Saw bersabda:
من زعم أنو آمن بي وما جِئْتُ بو وىو يبغض علياً فهو كاذب ليس بمؤمن
‚
Barangsiapa yang menyangka bahwa ia beriman kepadaku dan agamaku, tetapi membenci Ali maka ia berkata dusta. Ia bukanlah seorang Mukmin.‛[135]
Barangsiapa yang menyangka bahwa ia beriman kepadaku dan agamaku, tetapi membenci Ali maka ia berkata dusta. Ia bukanlah seorang Mukmin.‛[135]
1.7. Kebencian kepada Ali adalah Kekafiran
Rasulullah Saw bersabda, ‚Barangsiapa yang
membencimu dan kemudian ia meninggal, ia meninggal dalam keadaan kafir;
akan tetapi, ia akan dihisab seperti orang-orang Muslim.[136]
Layak kiranya hadis ini kita berikan ulasan yang
jeluk dan menyingkap makna yang bersemayam dalamnya. Terdapat dua
pendapat ihwal hisab orang-orang kafir:
Pendapat pertama, orang-orang kafir akan dihukum
dan dijerat karena dosa-dosa mereka. Akan tetapi, meninggalkan
amalan-amalan yang diwajibkan dalam Islam maka ia tidak akan dijerat dan
dihukum. Sebagaimana apabila ia melakukan perbuatan yang diharamkan
dalam Islam, ia tidak akan dihukum. Karena perhitungan ini terkhusus
bagi mereka yang tidak ternodai dengan kekufuran, apabila tidak dengan
adanya kekufuran (itu sendiri) setiap dosa adalah kecil.
Pendapat yang kedua, di samping ia akan dihukum
lantaran kekufuran dan ketiadaan akidah yang benar, orang-orang kafir
juga akan dihukum lantaran perbuatan dan tingkah lakunya. Artinya, dari
dimensi akidah ia akan mendapatkan hukuman kekafiran, dan pada wilâyah
perbuatan ia akan dihukum atas setiap perbuatan dosa yang ia lakukan dan
setiap kewajiban yang ia tinggalkan. Para penyokong pendapat ini
membuat sebuah kaidah yang menyebutkan:
‚Orang-orang kafir sebagaimana ia dihukum karena mengingkari ushuluddin, ia juga akan dihukum lantaran mengingkari furu’ddin.‛
Hadis yang disebutkan di atas, hukuman atas kebencian kepada Ali As ditetapkan berdasar kepada pendapat kedua.
1.8. Kecintaan kepada Ali adalah Alamat Keimanan dan Kebencian kepadanya adalah Alamat Kemunafikan
Rasulullah Saw bersabda:
يا علي لا يحبك إلا مؤمن ولا يبغضك إلا منافق
‚
Tidak mencintaimu selain orang mukmin dan tidak membencimu selain orang munafik.‛[137]
Tidak mencintaimu selain orang mukmin dan tidak membencimu selain orang munafik.‛[137]
Ali As sendiri bersabda, ‚Demi Allah! Rasulullah
Saw bersabda kepadaku bahwa tidak mencintaiku kecuali orang mukmin dan
tidak membenciku kecuali orang munafik.‛[138]
Berdasarkan alasan ini, para sahabat berkata
kepadanya, ‚Kami mengenal orang-orang munafik dengan mengenal orang yang
bermusuhan dengan Ali.‛[139]
2. Menyakiti Ali adalah Menyakiti Rasulullah Saw
Rasulullah Saw bersabda:
من آذى علياً فقد آذاني
‚
Barangsiapa yang menyakiti Ali, sesungguhnya telah menyakitiku.‛[140]
Barangsiapa yang menyakiti Ali, sesungguhnya telah menyakitiku.‛[140]
Beliau juga bersabda:
‚Wahai Ali! Barangsiapa yang menyakitimu sama dengan menyakitiku dan barangsiapa yang menyakitiku sama dengan menyakiti Allah.‛[141]
3. Mencela Ali adalah Mencela Rasulullah Saw
Rasulullah Saw bersabda, ‚Barangsiapa yang mencela
Ali, ia telah mencelaku. Barangsiapa yang mencelaku, ia telah mencela
Allah. Barangsiapa yang mencela Allah, ia akan dilemparkan ke dalam
jahannam.‛[142]
4. Meninggalkan Ali Meninggalkan Rasulullah Saw
Rasulullah Saw bersabda:
من فارق علياً فارقني ومن فارقني فارق الله عز وجل
‚
Barangsiapa yang meninggalkan Ali, ia telah meninggalkan aku. Barangsiapa yang meninggalkan aku, ia telah meninggalkan Allah.‛[143]
Barangsiapa yang meninggalkan Ali, ia telah meninggalkan aku. Barangsiapa yang meninggalkan aku, ia telah meninggalkan Allah.‛[143]
5. Memerangi Ali adalah Memerangi Rasulullah Saw
Abu Hurairah berkata, ‚Rasulullah Saw datang menjenguk Ali, Fatimah, Hasan dan Husain dan bersabda:
أنا حرب لمن حاربكم وسلم لمن سالمكم
‘Barangsiapa yang berperang denganmu, maka aku berperang dengannya. Barangsiapa yang berdamai denganmu, maka aku berdamai dengannya.‛[144]
6. Panji Hidayah
Rasulullah Saw bersabda kepada Abu Barzah:
يا أبا برزة إن رب العالمين عَهِد إليَّ عهداً في
علي بن أبي طالب صلوات الله عليو وآلو
:
فقال : إنو راية الهدى ومنار الإيمان وإمام أوليائي ونور جميع من أطاعني
‚
Wahai Abu Barzah, Allah Swt berfirman kepadaku ihwal Ali: ‚Ia adalah panji hidayah, tanda keimanan, pemimpin para wali Allah dan cahaya yang memberikan kecerlangan seluruh orang yang menaati Allah Swt.‛
Wahai Abu Barzah, Allah Swt berfirman kepadaku ihwal Ali: ‚Ia adalah panji hidayah, tanda keimanan, pemimpin para wali Allah dan cahaya yang memberikan kecerlangan seluruh orang yang menaati Allah Swt.‛
7. Ali bersama Kebenaran
Rasulullah Saw bersabda:
علي مع الحق والحق معو حيثما دار
‚
Ali bersama hak dan hak bersama Ali.‛[145]
Ali bersama hak dan hak bersama Ali.‛[145]
8. Kebenaran bersama Ali
Rasulullah Saw bersabda:
“الحق مع علي حيث دار
”
‚
Kemana pun Ali berputar, kebenaran senantiasa menyertainya.‛[146]
Kemana pun Ali berputar, kebenaran senantiasa menyertainya.‛[146]
9. Ali, hak dan Al-Quran
Rasulullah Saw bersabda:
“علي مع الحق والقرآن والحق والقرآن مع علي لن يفترقا حتى يردا علىَّ الحوض
‚
Ali bersama kebenaran dan Al-Quran, dan hak serta Al-Quran bersama Ali. Keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya menemuiku di Al-Haudh.‛[147]
Ali bersama kebenaran dan Al-Quran, dan hak serta Al-Quran bersama Ali. Keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya menemuiku di Al-Haudh.‛[147]
10. Ali dan Al-Quran
Rasulullah Saw bersabda:
“علي مع القرآن والقرآن مع علي لن يفترقا حتى يردا علىَّ الحوض
‛Ali bersama Al-Quran dan Al-Quran bersama Ali. Keduanya tidak akan berpisah hingga bertemu denganku di telaga Kautsar.‛[148]
11. Ali Laksana Ka’bah
Rasulullah Saw bersabda:
“أنت بمنزلة الكعبة تُؤتَى ولا تأتي
”
‚Wahai Ali! Engkau laksana Ka’bah ketika seluruh orang datang kepadanya; sementara engkau tidak akan pergi kepada seseorang.‛[149]
مثل علي فيكم كمثل الكعبة المُتَسَوَّرَة النظر إليها عبادة والحج إليها فريضة
‚Perumpamaan Ali bagi umatku laksana Ka’bah yang tatkala melihatnya adalah ibadah dan bagi orang yang melaksanakan haji wajib hukumnya untuk melihatnya.‛[150]
12. Ali adalah Gerbang Ampunan
Rasulullah Saw bersabda:
علي باب حطة فمن دخل منو كان آمناً ومن خرج منو كان كافر اً
‚Ali adalah gerbang ampunan. Barangsiapa yang memasukinya adalah mukmin dan barangsiapa yang keluarnya darinya adalah kafir.‛[151]
13. Mizan Iman
Rasulullah Saw bersabda:
لولاك يا علي ما عُرِف المؤمنون بعدي
‚Wahai Ali! Sekiranya kalau bukan karena engkau niscaya orang beriman tidak dikenali selepasku.‛[152]
14. Pembeda antara Hak dan Batil
Rasulullah Saw bersabda:
أنت الفاروق بين الحق والباطل
‚Wahai Ali! Engkau adalah pembeda antara hak dan batil.‛[153]
15. Tanda Keimanan
Rasulullah Saw bersabda:
جعلتك علماً فيما بيني وبين أمتي فمن لم يتَّبعك فقد كفر
‚Wahai Ali! Aku menjadikanmu sebagai tanda keimanan di antara umatku. Barangsiapa yang tidak mengikutimu adalah kafir.‛[154]
16. Pembagi Surga dan Neraka
Rasulullah Saw bersabda kepadanya:
أنت قسيم النار
‚Engkau adalah pembagi neraka.‛[155]
Dan Ali As sendiri bersabda, ‚Aku adalah pembagi neraka.‛[156]
Beliau juga bersabda, ‚Aku adalah pembagi neraka.
Pada hari kiamat, aku berkata kepada jahannam: ’Ini untukku dan itu
untukmu.’ Atau ini yang kau ambil dan ini yang aku ambil.‛[157]
Qasîm dalam tiga hadis ini bermakna muqâsim;
artinya masing-masing dari dua orang yang membagi sesuatu di antara
mereka berdua. Oleh karena itu, ketika kita berkata, Ali adalah qasîm
neraka, artinya adalah ia dan neraka membagi manusia masing-masing untuk
mereka. Dengan demikian, maksud dari riwayat ini adalah bahwa zat suci
Alawi berhadapan dengan jahannam; artinya sebagaimana sebagian manusia
nasib mereka memasuki jahannam, sebagian yang lain adalah bagian Imam
Ali As. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Hadrat Ali adalah jelmaan
surga.
Poin lain yang dapat disimpulkan dari hadis yang
ketiga adalah wewenang untuk membagi ini berada di tangan Hadrat Ali.
Lantaran ia berkata kepada neraka, ‘Apa yang engkau harus ambil dan yang
engkau harus lepaskan.’
Demikian juga Rasulullah Saw bersabda kepadanya, ‚Engkau adalah pembagi surga dan neraka.‛[158]
Qasîm (isim musyabbahatun bil fi’l, hiperbola)
dalam hadis ini bermakna qâsim (isim fâil, nomina pelaku). Artinya
seseorang yang membagi sesuatu. Hadis ini secara lahir menegaskan bahwa
Ali membagi orang-orang yang masuk ke dalam surga dan neraka. Akan
tetapi pada hakikatnya, ia tidak memerlukan pembagian ini. Hadrat Ali
sendiri merupakan kriteria pembagian. Artinya, Ali adalah standar dan
kriteria surgawinya setiap orang. Setiap orang dapat menjadi surgawi
atau ahli surga (orang yang masuk surga) sepanjang mereka bersama Ali
dan tidak menyimpang dari jalannya. Akan tetapi apabila menyimpang dari
jalannya, ia tidak layak untuk dapat bersama Ali yang suci dan kudus.
Tidak ada yang lebih layak untuknya kecuali kayu bakar kering yang tidak
lain untuk membakarnya dalam neraka jahannam. Oleh karena itu,
kandungan hadis ini ekuivalen dengan kandungan hadis-hadis yang
sebelumnya. Kandungan seluruh hadis tersebut adalah jelmaan surga dan
kriteria surgawinya seseorang.
17. Surat Izin untuk Melintasi Shirath
Rasulullah Saw bersabda, ‚Tidak ada yang akan
melintasi jembatan shirath kecuali Ali telah memberikan surat izin
kepadanya untuk melintasinya.‛[159]
18. Kemenangan dengan Mengikuti Ali
Rasulullah Saw, seraya menunjuk kepada Ali, bersabda:
“والذي نفسي بيده إن ىذا وشيعتو ىم الفائزون يوم القيامة
‚Demi Zat yang jiwaku di tangannya, orang ini (isyarat kepada Ali) dan Syi’ahnya (pengikutnya) adalah orang-orang yang meraih kemenangan di hari kiamat.‛[160]
19. Para Syi’ah (Pengikut) Ali di Surga
Rasulullah Saw bersabda kepadanya,
“أنت وشيعتك في الجنة
‚Engkau dan Syi’ahmu adalah ahli surga.‛[161]
20. Partai yang Meraih Kemenangan
Rasulullah Saw, sembari menunjuk Ali, bersabda,
“ىذا وحزبو المفلحون
‚Orang ini (isyarat kepada Ali) dan partainya (hizbuhu) adalah orang-orang yang menang.‛[162]
21. Mengikuti Ali, Terpuji dan Ridha
Hadrat Ali As sendiri bersabda:
أن خليلي’ قال : يا علي أنك ستقدم
على الناس وشيعتك راضين
‚Rasulullah Saw mengabariku bahwa aku dan Syi’ahku ketika dikumpulkan di hari Masyhar, kami berada dalam keadaan ridha kepada Allah Swt dan Allah Swt ridha kepada kami.‛
Di bawah ayat ini, terdapat riwayat yang dinukil
dari Rasulullah Saw bahwa tuntutan ayat ini, yang dimaksud adalah Ali
dan Syi’ahnya. Derajat ini adalah derajat yang Allah ridha kepada
manusia dan manusia ridha kepada Allah Swt. Hal ini merupakan kedudukan
yang tertinggi dari kesempurnaan manusia; sebagaimana Al-Quran,
menganggap orang-orang tersebut sebagai jiwa yang tenang dengan
bersandar kepada mengingat Allah dan terlepas dari segala kepenatan
duniawi, menegaskan
يا أيتها النفي المطمئنة ارجعي إلى ربك راضية مرضية
"Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan engkau ridha dan diridhai."
22. Mengingat (Dzikir) Ali adalah Ibadah
Rasulullah Saw bersabda:
ذكر علي عبادة
‚Mengingat nama Ali adalah ibadah.‛[163]
23. Memandang Wajah Ali adalah Ibadah
Diriwayatkan dari Aisyah bahwa ia berkata, ‚Aku
melihat ayahku yang banyak memandang wajah Ali. Aku berkata kepadanya:
’Wahai ayah! Mengapa engkau sedemikian banyak memandang wajah Ali?’
Ia berkata kepadaku, ‘Putriku, aku mendengar dari Rasulullah yang bersabda, ‘Memandang wajah Ali adalah ibadah.’‛[164]
24. Ali adalah Gerbang Surga
Rasulullah Saw bersabda,
“أنا مدينة الجنو وعلي بابها ، يا علي كذِب من زعم أنو يدخلها من غير بابها
‚Aku adalah kota surga dan Ali adalah gerbang kota ini. Kelirulah orang yang beranggapan bahwa ia dapat memasuki kota tanpa melalui gerbangnya.‛[165]
25. Pendaran Cahaya Ali di Surga
Rasulullah Saw bersabda,
‚‘علي يُزىِرُ لأىل الجنة كما يُزىِرُ كوكب الصبح لأىل الدنيا
‚Ali menyinari penduduk surga sebagaimana bintang fajar menyinari penduduk bumi.‛[166]
26. Ali adalah Bapak Kaum Muslimin
Rasulullah Saw bersabda,
‚حق علي على كل مسلم حق الوالد على ولده
‚Haknya Ali atas umat ini sebagaimana hak seorang ayah atas anaknya.‛[167]
27. Menaati Ali
Rasulullah Saw bersabda,
من أطاعني فقد أطاع الله ومن أطاعك أطاعني ، ومن عصاني فقد عصى الله ومن عصاك فقد عصاني
“Barangsiapa yang menaatiku, ia telah menaati Allah Swt. Barangsiapa yang menaati Ali, ia telah menaatiku. Barangsiapa yang membangkang terhadapku, ia telah membangkangi Allah Swt. Barangsiapa yang membangkangi Ali, ia telah membangkang kepadaku.‛[168]
28. Penjaga Rahasia Rasulullah Saw
Rasulullah Saw bersabda,
صاحب سري علي بن أبي طالب
‚Penjaga rahasiaku adalah Ali.‛[169]
Aisyah menukil dari ayahnya bahwa Ali As adalah penjaga rahasia Rasulullah Saw.[170]
29. Ali adalah Kepala bagi Rasulullah Saw
Rasulullah Saw bersabda,
علي مني مثل رأسي من بدني
‚Hubungan Ali kepadaku ibarat hubungan kepala terhadap badan.‛[171]
30. Gelar-gelar Imam Ali As
Salah satu kriteria yang dapat dijadikan sebagai
ukuran untuk menentukan khalifah Rasulullah Saw. Pelbagai gelar (laqab)
dan julukan (kuniyah) yang diberikan oleh Rasulullah Saw selama masa
hidupnya kepada orang tersebut. Sejauh yang dapat dijadikan sebagai
referensi di antara riwayat dan hadis, tidak satu pun di antara para
sahabat yang memiliki gelar kehormatan dan laqab agung sebanyak yang
diterima oleh Amirul Mukminin As. Di antara gelar yang diberikan oleh
Rasulullah Saw kepada Amirul Mukminin As selama masa hidupnya adalah:
a. Shiddîq;[172]
b. Shadîqul Akbar;[173]
c. Sayyidul ‘Arab;
Suatu hari Rasulullah Saw bersabda kepada Aisyah:
‚Apabila engkau ingin melihat tuan dan sayid orang Arab, lihatlah Ali
bin Abi Thalib.‛ Aisyah berkata, ‚Wahai Rasulullah! Bukankah engkau ini
adalah sayid Arab. Ia bersabda, ‚Aku adalah tuan bagi seluruh manusia
dan Ali adalah tuannya bangsa Arab.‛[174]
d. Sayyidul Musliminin wa Imâmul Muttaqin;[175]
e. Sayyidul Mukminin wa Imâmul Muttaqin wa Qâ’idul Ghurra al-Muhajjalin;
Artinya: tuan kaum Mukminin, pemimpin orang-orang
yang bertakwa dan junjungan orang-orang yang wajahnya bercahaya
cemerlang pada hari kiamat.
Rasulullah Saw bersabda, ‚Pada malam Mikraj, tiga
hal yang diwahyukan kepadaku tentang Ali bin Abi Thalib: Ia adalah
Sayyidul Mukminin dan Imâmul Muttaqin dan Qâ’idul Ghurra al-Muhajjilin.‛[176]
f. Ya’subul Mukminin;[177]
g. Amirul Mukminin;[178]
h. Sayyidu Syababul Ahli Jannah;[179]
Penjelasan: ‚Dari hadis yang dapat digunakan untuk
menjelaskan gelar ini adalah bahwa seluruh ahli surga adalah pemuda.
Artinya, orang-orang tua juga tatkala memasuki surga akan menjadi muda.
Karena itu, apabila seseorang menjadi tuan pemuda ahli surga bermakna
tuan seluruh ahli surga.
i. Khairul Bariyyah;[180]
Gelar ini sedemikian masyhur untuk Ali bin Abi
Thalib As sehingga para sahabat tatkala melihatnya, mereka berkata:
‚Sebaik-baik makhluk telah datang.‛[181]
j. Hujjatullâh;
Rasulullah Saw bersabda:
أنا وعلي حجة الله على عباده
‚
Aku dan Ali adalah hujjah Allah atas seluruh hamba-Nya.‛[182]
Aku dan Ali adalah hujjah Allah atas seluruh hamba-Nya.‛[182]
k. Wâziru Rasulullâh Saw;
Anas bin Malik berkata, ‚Tatkala surah Al-Nashr
turun, kami memahami bahwa surat ini membawa warta akan wafatnya
Rasulullah Saw. Kami berkata kepada Salman Farisi, ‘Coba engkau tanyakan
kepada Rasulullah Saw bahwa setelah ia, siapakah yang akan menjadi
tempat rujukan dan tempat berlindung kami, dan siapakah yang lebih ia
cintai dari semuanya.’ Salman Farisi datang menghadap kepada Rasulullah
Saw dan ia menanyakan masalah ini. Rasulullah Saw berpaling dan tidak
memberikan jawaban. Salman kembali bertanya. Kembali Rasulullah Saw
berpaling dan tidak memberikan jawaban. Salman merasa cemas
jangan-jangan ia telah membuat Rasulullah Saw gundah. Setelah itu ia
tidak lagi bertanya. Selang beberapa lama, Rasulullah Saw bersabda
kepadanya, ;Apakah engkau ingin mendengar jawaban soalanmu itu?’ Salman
menjawab, ’Benar wahai Rasulullah! Aku takut aku telah membuatmu marah.’
Rasulullah Saw bersabda, ’Tidak. Ketahuilah bahwa saudaraku, wazirku,
khalifah dan penggantiku dalam keluargaku. Ia adalah sebaik-baik orang
yang tinggal selepasku, menjalankan agamaku dan menunaikan
janji-janjiku. Ia adalah Ali bin Abi Thalib As.’‛[183]
Amirul Mukminin As, dalam memberikan isyarat
tentang keutamaannya ini, berucap, ‚Aku adalah saudara dan wazir
Rasulullah Saw. Tidak seorang pun sebelumku dan setelahku yang berkata
tentang hal ini, kecuali pendusta.‛[184]
[]
Bagian Keempat
Selangit Keutamaan
Ghadir merupakan telaga air yang mata airnya
bersumber dari keutamaan Amirul Mukminin As. Tentu saja apabila di
kalangan para sahabat Rasulullah Saw ada yang lebih utama dari Amirul
Mukminin As, ia akan mendapatkan kehormatan dengan kedudukan ini. Akan
tetapi, yang benarnya bahwa selepas Rasulullah Saw bukan hanya tidak ada
orang yang lebih utama dari Amirul Mukminin, bahkan tidak seorang pun
yang dapat mencapai kedudukannya meski hingga kakinya.[185]
Keutamaan-keutamaan Ali As yang dinukil dari
Rasulullah Saw dan para sahabat melebihi keutamaan-keutamaan yang
dinukil ihwal para sahabat. Padahal dengan politik destruktif yang
mencoba menutupi keutamaannya dan memelihara kedudukannya, mereka
mencela dan mencibir Amirul Mukminin As.[186]
Imam Ahmad bin Hanbal berkata, ‚Tidak satu pun
riwayat yang menukil para sahabat Nabi Saw melebihi riwayat yang dinukil
ihwal Ali As.‛[187]
Seseorang datang menghadap Bin Abbas seraya
berkata, ‚Mahasuci Allah! Alangkah banyaknya keutamaan dan keistimewaan
Ali! Aku mengira ia memiliki tiga ribu keutamaan.‛ Bin Abbas merespon,
‚Mengapa engkau tidak berkata bahwa ia memiliki hampir mendekati tiga
puluh ribu keutamaan?‛[188]
Dalam menjawab pertanyaan Manshur Dawaniqi, seorang
Khalifah Abbasiyah, yang menanyakan berapa banyak riwayat yang menukil
keutamaan Ali As, Sulaiman A’masy berkata, ‚Jumlahnya sedikit yang aku
riwayatkan. Kira-kira sepuluh ribu riwayat atau sedikit lebih banyak.‛[189]
Bin Hajar dalam Al-Shawâiq menulis, ‚Tidak satu pun ayat yang turun melebihi ayat yang diturunkan untuk Ali.‛[190]
Hamu menulis, ‚Terdapat tiga ratus ayat Al-Quran yang turun untuk Ali As.‛[191]
Diriwayatkan dari Bin Abbas, ‚Pada setiap ayat,
‚Wahai orang-orang yang beriman, Ali adalah pemimpin dan yang utama.
Allah Swt banyak mengecam para sahabat Rasulullah Saw, tetapi tidak
menyebut nama Ali kecuali dengan kebaikan.‛[192]
Dalam pembahasan ini, kita akan menghitung
penggalan dari keutamaan-keutamaan Amirul Mukminin yang memberikan
kelayakan kepadanya untuk mengemban tugas pemimpin kaum Muslimin dan
khilâfah Rasulullah Saw.
1. Kesamaan Substansi dengan Rasulullah Saw
Kendati kita tidak dapat menyingkap hakikat
kesamaan ini, tetapi melalui jalan riwayat kita dapat memahami hakikat
keberadaannya. Banyak riwayat yang dinukil dari Rasulullah Saw, dengan
uraian yang beragam, yang menunjukkan bahwa orisinalitas dan substansi
Amirul Mukminin ekuivalen dengan orisinalitas dan substansi Rasulullah
Saw.
a. Nur (cahaya) Rasulullah Saw dan nur Amirul
Mukminin telah ada sebelum penciptaan Adam dan keduanya dicipta dari
unsur yang sama.[193]
Yang dimaksud nur di sini adalah unsur maknawi dan
fitrah malakuti yang sangat memainkan peran penting dalam membangun
struktur wujud para nabi dan para maksum.
b. Allah Swt menciptakan manusia dari pohon yang
beragam. Akan tetapi Dia menciptakan Rasulullah Saw dan Imam Ali As dari
pohon yang satu.[194]
ياٰ عَلِيُ النَّاسُ مِنْ شَجَرٍ شَتَّى وَأَنَا وَأَنْتَ مِنْ شَجَرَةٍ وَاحِدَة
c. Allah Swt secara bersamaan memilih Ali dan Rasulullah Saw.[195]
d. Ali adalah diri Nabi Saw.
Di samping itu, ayat mubahalah dan riwayat-riwayat
yang menjelaskan ayat tersebut, terdapat riwayat tersendiri yang
menjelaskan integrasi antara wujud Rasulullah Saw dan wujud Imam Ali As.
Menurut riwayat ini, tatkala diperlukan, Rasulullah
Saw memberikan ancaman kepada sebuah kaum atau kabilah, sembari
menunjuk Ali, dan bersabda, ‚Ataukah kalian meninggalkan perbuatan itu,
atau aku mengirim seseorang kepada kalian yang dirinya seperti aku?‛[196]
e. Darah dan daging Ali adalah darah dan daging Rasulullah Saw.[197]
لَحْمُوُ لَحْمِي ودَمُوُ دَمِي
f. Ali adalah semisal Rasulullah Saw.[198]
g. Ali adalah akar dan fondasi Rasulullah Saw.[199]
عَ لِيٌ أَصْلِي
Mungkin yang dimaksud dari akar dan fondasi di sini bahwa sebagaimana akar yang menjadi sebab tegaknya sebuah pohon, maka keberadaan Ali menjadi sebab tegaknya dan dawamnya agama Rasulullah Saw. Sebagai konsekuensinya, lestarinya nama beliau. Makna urf ini adalah lebih dekat digunakan untuknya.
h. Ali ibarat kepala bagi badan Rasulullah Saw.[200]
عَ لِيٌّ مِنٍّي كَرَأسِي مِنْ بَدَني
2. Tarbiyah Imam Ali As
Seluruh ahli sejarah sepakat, sejak masa kecil Imam
Ali As tumbuh dan besar di dalam pangkuan dan di bawah asuhan
Rasulullah Saw.[201]
Pada tahun-tahun sebelum bi’tsah Rasulullah Saw di
Mekkah terjadi masa paceklik dan kelaparan. Ketika itu Kaum Quraisy
berhadapan dengan kesulitan keuangan. Abu Thalib As memiliki banyak
anak. Karena itu, Rasulullah Saw memberikan usulan kepada pamannya Abbas
untuk mengambil salah satu dari anak Abu Thalib dan memikul tanggung
jawab merawat dan mengasuh mereka.
Abbas memikul tanggung jawab merawat dan mengasuh Ja’far, sementara Rasulullah Saw merawat dan mengasuh Ali As.
Bin Atsir menganggap peristiwa ini sebagai nikmat
Ilahi yang dianugerahkan kepada Ali. Tulisnya, ‚Setelah itu, Ali As
diasuh dan dirawat di haribaan Rasulullah Saw hingga beliau diutus untuk
menyampaikan risalah dan Ali menjadi pengikutnya.‛[202]
Ali sendiri berkata tentang masalah ini:
‚Ketika itu aku berusia belia, aku berada di
sampingnya dan memberiku tempat di dadanya, menidurkanku dalam
pembaringannya sedemikian sehingga seolah-olah badanku menjadi badannya,
dan ia menebarkan semerbak bau badannya kepadaku dan terkadang ia
menguyah sesuatu kemudian menyuapkannya kepadaku.‛[203]
Sejarawan Syahir Mas’ud dalam kitabnya Itsbât
Al-Washiyah menulis, ‚Tatkala Ali lahir, Rasulullah Saw telah berusia
tiga puluh tahun. Beliau sangat mencintai dan mengasihi Ali. Ia meminta
kepada Fatimah binti Asad untuk meletakkan buaian atau ayunan Ali di
samping pembaringannya. Rasulullah Saw mengemban tanggung jawab untuk
merawat dan mengasuh Ali. Ia meminumkan susu kepada Ali dan mengayun
buaian Ali, hingga ia tertidur pulas. Apabila ia terbangun, Rasulullah
Saw akan bermain dengannya. Terkadang beliau menggendong Ali di
pundaknya, memeluk dan mendekapnya dan bersabda, ‚Ali adalah saudaraku,
penolongku, pilihanku, washiku, bekalku, menantuku dan orang
kepercayaanku.‛
Rasulullah Saw membawa Ali di sekitar kota Mekkah
dan menghabiskan waktu di sekeliling bukit, gunung dan tempat tinggi.
Keadaan ini terus berlangsung hingga masa paceklik datang menimpa
penduduk kota Mekkah. Adapun Abu Thalib, ia adalah seorang pemurah,
santun dan ramah.
Semenjak masa itu, Rasulullah Saw mengemban tugas dan tanggung jawab membina, merawat dan mengasuh Ali.‛[204]
3. Latar Belakang dalam Islam
Tak syak lagi, Ali adalah orang pertama yang
memeluk Islam dan menjadi pengikut Rasulullah Saw. Namun sebelum
memasuki pembahasan ini, perlu kiranya menyebutkan dua poin di sini:
Pertama, Keislaman Amirul Mukminin As sangat
berbeda dengan keislaman orang lain. Mereka memeluk Islam setelah sekian
lama menjadi penyembah berhala, tetapi Amirul Mukminin As sekali-kali
tidak pernah menundukkan kepalanya kepada selain Tuhan dan menyembah
berhala.
Apabila kita berkata bahwa ia adalah orang pertama yang memeluk Islam, ia serupa dengan makna sabda Nabi Ibrahim Al-Khalil As: ‚Aku adalah Muslim yang pertama
.‛ (QS. Al-An’am [6]:163 ).
Apabila kita berkata bahwa ia orang pertama yang menjadi Mukmin, ia selaras dengan makna sabda Nabi Musa As: ‚Aku adalah yang pertama-tama beriman.‛
(QS. Al-A’raf 7:143).
Apabila kita berkata bahwa ia adalah Ali memeluk Islam, ia senada dengan makna Al-Quran yang mengisahkan Nabi Ibrahim:Ketika Tuhan bertanya kepadanya: ‚Tunduk dan patuhlah‛, Ibrahim menjawab: ‚Aku tunduk dan patuh kepada Tuhan semesta alam.‛
(QS. Al-Baqarah [2]:131)
Dan apabila kita berkata bahwa ia adalah seorang
mukmin, ketahuilah bahwa hal itu sejalan dengan firman Ilahi yang
menarasikan kedudukan Rasulullah Saw:Rasul telah beriman kepada apa yang diturunkan oleh Tuhannya
(QS. Al-Baqarah [2]:285)
Kedua, Iman dengan makna kecenderungan atau
kepercayaan kepada sesuatu berbeda pada setiap tingkatan pemikiran dan
orang. Perbedaan ini adalah tingkatan [kualitas] iman yang menyebabkan
adanya kedekatan kepada dan kejauhan dari Allah Swt.
Amirul Mukminin As berada pada tingkatan tertinggi
iman dan yakin kepada Allah Swt dan makrifat-makrifat Islam. Ia sendiri
berkata, ‚Demi Allah! Sekiranya seluruh tirai tersingkap, tidak akan
bertambah keyakinanku.‛[205]
Rasulullah Saw bersabda tentang iman Amirul
Mukminin As: ‚Apabila imannya Ali As diletakkan pada sebuah bagian
teraju dan langit beserta bumi di bagian sebelahnya, maka iman Ali akan
lebih berat.‛[206]
Bahkan apabila terlepas dari dua sisi yang telah
disebutkan, kita menganggap Ali seperti sebagian kaum Muslimin, ia tetap
menjadi orang yang pertama memeluk Islam, artinya pada hari ketika
Rasulullah Saw diutus.
Anas bin Malik berkata, ‚Rasulullah Saw diutus pada hari Senin, dan Ali mendirikan shalat bersamanya pada hari Selasa.‛[207]
Atau ia beriman kepadanya.[208]
Hari tatkala Rasulullah Saw mengumumkan risalahnya, orang yang pertama
mengumumkan dengan jelas beriman dan mendukung Rasulullah Saw adalah
Ali. Kendati menurut ukuran usia ketika itu, ia tergolong sebagai orang
yang paling muda di antara orang-orang yang hadir.[209]
Lantaran ketika itu, Ali masih berusia sepuluh tahun. Ia sendiri
bersabda, ‚Aku menjadi Muslim mendahului semua orang. Padahal ketika itu
aku belum lagi menginjak masa balig.‛[210]
Latar belakang Ali sedemikian masyhur dan tenar
sehingga para sejarawan Ahlu Sunnah berkata, ‚Orang yang pertama masuk
Islam adalah Ali. Hal ini merupakan ijma’ (konsensus) seluruh ahli
sejarah.‛[211]
Kebanyakan sahabat Rasulullah Saw dan para tabiin mengakui perihal keutamaan ini.
Allamah Amini Ra menyebutkan lima puluh satu orang
sahabat dan tabiin serta ulama Ahlu Sunnah yang meriwayatkan keutamaan
ini. Ia juga menyebutkan lima belas orang pujangga awal kedatangan Islam
mendendangkan syair-syair mereka tentang keutamaan Ali As.[212]
Di samping itu, terdapat banyak hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw bahwa Ali adalah orang yang pertama memeluk Islam.[213]
Rasulullah Saw bersabda, ‚Orang yang pertama akan
mendatangiku di samping telaga adalah orang yang pertama masuk Islam.
Dan, orang pertama yang masuk Islam itu adalah Ali bin Abi Thalib.‛[214]
Rasulullah Saw bersabda, ‚Orang pertama yang menunaikan shalat bersamaku adalah Ali.‛[215]
Juga, ‚Tidak ada yang shalat bersamaku selama tujuh tahun kecuali Ali. Para malaikat memberikan salam kepada kami berdua.‛[216]
Menurut hadis yang dinukil oleh Mas’udi dalam kitab
Itsbât Al-Washiyyah bahwa Ali bin Abi Thalib dua tahun sebelum bi’tsat
mengerjakan shalat bersama Nabi Saw di Mekkah.[217]
Berbagai redaksi dalam beberapa riwayat menegaskan
makna ini. Sebagai contoh, kami akan menunjukkan beberapa redaksi yang
masyhur, di antaranya:
1. Orang pertama yang memeluk Islam;[218]
2. Orang pertama yang beriman;[219]
3. Orang pertama yang mengerjakan shalat;[220]
4. Orang pertama yang memeluk Islam mendahului semua orang;[221]
5. Orang pertama yang mukmin dan pertama yang memeluk Islam mendahului semua orang.[222]
Ali sendiri berkali-kali menegaskan poin ini dengan ucapannya, ‚Aku adalah orang pertama yang beriman kepada Rasulullah Saw.‛[223]
Demikian juga, ia bersabda, ‚Aku adalah orang pertama yang menunaikan shalat bersama Rasulullah Saw.‛[224]
Dalam satu khotbah Nahj Al-Balâgha disebutkan:
‚Aku senantiasa bersamanya, dalam perjalanan
(safar) atau mukim, laksana anak unta bersama induknya. Setiap hari ia
menunjukkan akhlaknya dan ia memintaku untuk mengikutinya. Setiap tahun
ia berkhalwat di Gua Hira dan aku melihatnya. Tidak ada yang melihatnya
kecuali aku. Ketika itu, tidak satu pun rumah yang dijumpai yang di
dalamnya adalah orang-orang Muslim kecuali rumah Rasulullah Saw dan
Khadijah. Aku adalah orang yang ketiga dari mereka. Aku melihat
benderangnya wahyu dan kenabian. Aku pun mencium semerbak kenabian
(nubuwwah).[225]
Dan ia berujar lagi, ‚Sebelum seseorang dari umat
ini menyembah Tuhan, aku menyembah Allah Swt di samping Rasulullah Saw
selama tujuh tahun.‛[226]
4. Ilmu dan Pengetahuan
Salah satu sifat yang harus diperhatikan dalam
menetapkan pemimpin adalah ilmu dan pengetahuan. Ilmu dan pengetahuan
memiliki pengaruh penting dalam menetapkan pemimpin dan imam umat Islam
yang harus diatur dan dikelola senapas dengan hukum syariat Islam.
Apabila kita menganggap bahwa ilmu dan pengetahuan
merupakan syarat kepemimpinan umat Islam, maka sesuai konsensus (ijma’)
seluruh ulama dalam mazhab-mazhab Islam berkata bahwa Ali adalah orang
yang paling alim dan berpengetahuan dalam komunitas Islam.
Dalam masa dua puluh tiga tahun bersama dan di samping Rasulullah,[227]
Ali begitu menguasai ahkam (masalah-masalah hukum) agama sehingga tidak
satu pun yang tertutup olehnya dalam masalah ushul dan furu’ agama.
Seluruh sahabat memerlukan ilmunya, sementara ia selepas Rasulullah Saw
tidak perlu kepada siapa pun.
Lantaran selama masa dua puluh tiga tahun, setiap
kali ia bertanya, ia mendengar jawaban dari Nabi saw. Setiap kali ia
diam tanpa soal, Rasulullah Saw yang mengajukan pertanyaan.[228]
Rasulullah Saw bersabda kepadanya, ‚Aku memiliki tugas untuk mendekatimu dan mengajarkanmu.‛[229]
Hadis-hadis nabawi yang bercerita tentang ilmu yang melimpah ruah Amirul Mukminin As sangat banyak jumlahnya. Di antaranya:
Orang yang paling berilmu setelahku adalah Ali bin Abi Thalib As.[230]
أعلم أمتي من بعدي علي بن أبي طالب
Ali adalah tempat menyimpan ilmuku.‛[231]
علي أمير المؤمنين . . وعاء علمي
Ali adalah gerbang ilmuku.‛[232]
علي باب علمي
Ali adalah kotak ilmuku.‛[233]
علي عيبة علمي
Engkau adalah telinga yang mendengar ilmuku.‛[234]
أنت أذن واعية لعلمي
Sahabat yang paling alim dan paling teliti dalam mengadili.‛[235]
Ilmu Ali lebih banyak dari yang lain.‛[236]
Aku adalah rumah hikmah dan Ali adalah gerbang rumah ini.‛[237]
أنا دار الحكمة وعلي بابها
Aku adalah kota hikmah dan Ali gerbang kota ini. Barangsiapa yang menghendaki hikmah, ia harus melalui pintunya.‛[238]
أنا مدينة الحكمة وعلي بابها
فمن أراد الحكمة فليأت الباب
Aku adalah kota ilmu dan Ali gerbang kota ini. Barangsiapa yang menghendaki ilmu, harus melalui pintunya.‛[239]
أنا مدينة العلم وعلي بابها
فمن أراد العلم فليأت الباب
Almarhum Allamah Amini Ra pada jilid keenam al-Ghadir (hal. 61 hingga 77) dalam memberikan ulasan atas syair di bawah ini menulis:
وقَالَ رَسُولُ اللهِ إِنّي مَدِينَةُ مِنْ الْعِلْمِ وَىُوَ الْبٰابُ فَاقْصُدِ
Dan bersabda Rasulullah, Aku adalah kota ilmu
Dan ia adalah gerbang, maka tujulah ia
Dan ia menyebut seratus empat puluh tiga orang ulama Ahlu Sunnah yang meriwayatkan hadis:
أَنٰا مَدِينَةُ الْعِلْمِ وَعَلِيٌّ بٰابُها
Ali As sendiri berujar, ‚Rasulullah Saw mengajarkan kepadaku seribu bab ilmu kepadaku dan terbuka dari setiap babnya seribu bab ilmu lagi.‛[240]
Amirul Mukminin As bersabda, ‚Bertanyalah kepadaku
sebelum kalian kehilanganku, meski kalian bertanya ihwal segala sesuatu
di bawah Arasy, aku akan menjawabnya.‛[241]
Dan sabda beliau lagi, ‚Demi Allah! Aku mengetahui
setiap ayat. Sebab apa turunnya dan di mana turunnya. Karena Tuhanku
memberkatiku dengan hati yang berpikir dan lisan yang penuh dengan
pertanyaan.‛[242]
Juga, ‚Bertanyalah kepadaku tentang kitab Allah
(Al-Quran). Demi Allah! Aku mengetahui setiap ayat yang turun pada malam
hari, ataukah di siang hari, di padang sahara ataukah di gunung.‛[243]
Khalifah Kedua berkata, ‚’Ali lebih alim dari kami semua dalam mengadili.‛[244]
Bin Mas’ud berkata, ‚Ali lebih alim dari semua penduduk kota Madinah dalam mengadili.‛[245]
Dan, ‚Ali lebih unggul dari seluruh orang dalam umat Islam. Lebih alim dan lebih pandai dalam mengadili.‛[246]
Perlu diingatkan di sini bahwa berpengetahuan atau
alim dalam mengadili adalah ungkapan lain dari alim dalam Islam dan
Sunnah Rasulullah Saw.
Aisyah berkata, ‚Ali adalah orang yang paling alim terhadap Sunnah.‛[247]
Imam Hasan Mujtaba As bersabda kepada orang-orang
pada keesokan hari syahadah ayahandanya, ‚Kemarin seorang dari kalian
telah pergi yang ilmu dan pengetahuannya tidak ada yang melebihnya pada
masa lalu dan masa akan datang.‛[248]
Bin Abbas juga menambahkan, ‚Ilmu terbagi menjadi
enam bagian: kelima bagian ilmu itu berada pada Ali dan satu bagiannya
berada pada manusia. Ali juga memiliki bagian dari satu bagian tersebut.
Saham Ali lebih banyak dan lebih berilmu.‛[249]
Ia berkata lagi, ‚Hikmah telah dibagi menjadi
sepuluh bagian: sembilan bagian diberikan kepada Ali dan satu bagiannya
kepada seluruh manusia.‛[250]
5. Pengorbanan dan Pembelaan terhadap Islam
Semua orang ketika menelaah sejarah awal Islam,
akan menemukan bahwa Imam Ali As melewatkan seluruh usianya untuk
membela Islam. Tidak satu masa pun Islam memiliki pembela yang lebih
tinggi dari Ali As. Sebagaimana Bin ‘Abbas katakan, ‚Tidak seorang pun
yang melebihi Imam Ali dalam hal mengorbankan jiwanya pada medan tempur
yang berbahaya.‛[251]
Dalam kesempatan ini kami akan menunjukkan beberapa
periode signifikan sejarah Islam ketika dengan kehadiran Amirul
Mukminin As,di medan laga, hak dan Islam meraih kemenangannya.
Setelah pengorbanan Hadrat Amirul Mukminin As, yang
ketika itu baru berusia tiga belas tahun, di Mekkah. Epik ini sendiri
memiliki kisah yang panjang dan heroisme. Pengorbanan ini merupakan
contoh yang pertama. Dengan mengorbankan jiwanya, Amirul Mukminin As
tidur di pembaringan Rasulullah Saw pada malam hijrah. Tindakan prawira
ini dan penuh dengan pengorbanan ini telah menjadi sebab kelalaian kaum
musyrikin akan kehadiran Nabi Saw di Mekkah. Dengan memiliki kesempatan
yang cukup dan tanpa kepanikan serta ketakutan dari penguntitan, Nabi
Saw merancang rencana hijrahnya.[252]
Mengingat pentingnya malam ini dan nilai tindakan
Ali, telah memadai bagi kita untuk mengetahui bahwa ayat ini turun
berkenaan dengan tindakan Amirul Mukminin As:
﴿ ومِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرَيِ نَ فْسَوُ اِبْتِغٰاءَ مَرْضٰاةِ الله وَاللهُ رَؤُوفُ بِالْعِبٰاد﴾
Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya. (QS. Al-Baqarah [2]:207][253]
Imam Sajjad As bersabda:
إن أول من شرى نفسو ابتغاء رضوان الله ىو علي بن أبي طالب
‚
Orang pertama yang mengorbankan jiwanya di jalan Allah Swt adalah Ali bin Abi Thalib As.‛[254]
Orang pertama yang mengorbankan jiwanya di jalan Allah Swt adalah Ali bin Abi Thalib As.‛[254]
Setelah masa hijrah, salah satu contoh pengorbanan
Amirul Mukminin As dalam menjaga Islam, adalah keikutsertaannya dalam
Perang Badar.
Dari berbagai riwayat yang dinukil dalam bagian ini
disebutkan bahwa Amirul Mukminin As sedemikian prawiranya ia rela
mengorbankan jiwanya. Lantaran kehadirannya - bahkan setelah syahadahnya
tersimpan dalam benak kaum Muslimin - setelah itu, kitab-kitab riwayat
dan hadis melimpah menyebutnya.[255]
Pada hari Perang Uhud ia berdiri membela Rasulullah
Saw. Sebagian muhaddits (pakar hadis) berkata, ‚Tekanan yang terjadi
pada Perang Uhud dapat ditangani dengan kesabaran Ali.‛
Ia sendiri berkata, ‚Pada Perang Uhud aku menerima enam belas kali pukulan.‛[256]
Dalam Usd Al-Ghabah Bin Atsir menulis, ‚Pada hari
Perang Uhud, ia [Ali] menderita sebanyak enam belas kali pukulan yang
masing-masing dari pukulan itu membuatnya terjatuh; akan tetapi Jibril
kemudian mengangkatnya.‛[257]
Dalam sebuah riwayat disebutkan: ‚Orang yang
membunuh pembawa panji kaum Musyrikin adalah Ali As. Tatkala mereka
terbunuh, Rasulullah Saw melihat sekelompok kaum musyrikin: ‘Wahai ‘Ali!
Seranglah mereka.’ Hadrat Amirul Mukminin segera menyerang yang membuat
pasukan musyrikin kocar-kacir dan sebagian mereka terbunuh.
Setelah itu, Rasulullah Saw melihat sekelompok yang
lain. Ia memerintahkan Ali untuk menyerang. Beliau pun menyerang.
Laskar musuh pun kocar-kacir dan sebagian mereka terbunuh. Karena
kejadian ini berulang sebanyak tiga kali, Jibril berkata kepada
Rasulullah Saw, ‚Wahai Rasulullah! Inilah yang disebut pengorbanan.‛
Hadrat Rasulullah Saw bersabda, ‚Iya. Karena ia dariku dan aku darinya.‛
Jibril berkata, ‚Dan aku dari kalian berdua.‛
Kemudian terdengar suara yang menggemakan:
لا سيف إلا ذو الفقار ولا فتى إلا علي
‚
Tidak ada pedang kecuali Dzulfiqar dan tidak ada pemuda selain Ali.‛[258]
Tidak ada pedang kecuali Dzulfiqar dan tidak ada pemuda selain Ali.‛[258]
Dalam Perang Khandaq, tebasan pedang Alilah yang
menjadi penentu kemenangan perang. Amru bin Abduwud yang nyaris membuat
laskar kaum Muslimin goncang, tersungkur di atas tanah.
Selepas itu, kaum kafir yang menyerang, kabur
tunggang langgang karena ketakutan dan Madinah kota Nabi kembali menjadi
aman dari gempuran dan serangan kaum musyrikin.
Medali keprawiraan yang dianugerahkan oleh Nabi kepadanya yang senantiasa melekat di dadanya adalah:
‚Tebasan pedang Ali pada Perang Khandaq lebih baik dari seluruh amal kebaikan umatku hingga hari kiamat.‛[259]
Dan tatkala Hadrat Ali As maju ke medan laga, Rasulullah Saw bersabda, ‚Seluruh iman maju ke medan seluruh kekufuran.‛
Dan pembawa wahyu turun membacakan ayat berkenaan dengannya:
﴿وردَّ الله الذين كفروا بغيظهم لم ينالوا خيراً وكفى الله المؤمنين القتال﴾
Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apa pun. Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. (QS. Al-Ahzab [33]:25)
Turunnya ayat ini berkaitan dengan Amirul Mukminin
sedemikian masyhurnya sehingga – menurut riwayat yang dinukil oleh
Suyuthi dalam kitab Al-Durr Al-Mantsur dari Bin Mas’ud – para sahabat
besar Rasulullah Saw dan pembaca Al-Quran membaca kalimat ini:
وكفى الله المؤمنين القتال بعليٍ
‚
Allah Swt membuat cukup kaum Mukminin yang berperang dengan keberadaan ‘Ali.‚
Allah Swt membuat cukup kaum Mukminin yang berperang dengan keberadaan ‘Ali.‚
Sebagai sisipan dari ayat ini, hadis yang
diriwayatkan oleh Bin Mas’ud menunjukkan bahwa turunnya ayat ini
berkenaan dengan Amirul Mukminin As, adalah sangat pasti di sisi Bin
Mas’ud.
Khaibar merupakan satu lagi pentas kehadiran
penting Amirul Mukminin As. Artinya, tanpa kehadiran Amirul Mukminin As,
Islam akan terhenti di balik gerbang Khaibar yang terkunci. Dan laskar
Islam akan kembali ke Madinah dengan kecewa. Kemudian, tidak jelas apa
yang akan dilakukan oleh kaum Yahudi terhadap Islam.
Dua hari berturut-turut laskar Islam menelan kekalahan dari Yahudi dan kembali ke barak mereka.
Rasulullah Saw di hadapan seluruh laskar Muslimin
bersabda, ‚Besok, aku akan serahkan panji kepada seseorang yang
mencintai Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah serta Rasul-Nya juga
mencintainya; ia adalah seorang penerjang yang tidak pernah kabur dari
medan juang.‛
Pada malam hari tersebut, seluruh sahabat melewati
malam itu dengan harapan bahwa esok hari, Rasulullah Saw menyerahkan
panji kepada mereka.
Akan tetapi tatkala fajar pagi menyingsing,
Rasulullah Saw menyerahkan panji peperangan kepada Amirul Mukminin Ali
bin Abi Thalib As.
Mereka berkata, ‚Wahai Rasulullah! Ali matanya sakit.‛
Rasulullah Saw bersabda,,‚Bawalah ia kemari!‛
Lantas beliau mengoleskan air liurnya ke mata Ali
As dan menyerahkan panji kepadanya. Setelah itu, Imam Ali bergegas ke
medan tempur.
Akhirnya, Islam meraih kemenangan – yang masyhur
dalam sejarah - berkat Amirul Mukminin As. Problema kehadiran Yahudi pun
di Jazirah Arab dapat dipecahkan.[260]
Pada hari itu, tameng jatuh ke tangan Amirul
Mukminin As. Beliau mengangkat salah satu gerbang hingga akhir
peperangan, gerbang yang dijadikan tameng itu senantiasa berada di
tangannya.
Setelah peperangan, laskar Islam mengamati dan mengetahui bahwa untuk menyerang gerbang tersebut diperlukan empat puluh orang,[261]
sedangkan untuk mengembalikan gerbang tersebut diperlukan sebanyak delapan orang.[262]
Pada Perang Hunain, seluruh laskar Muslimin kabur
dari medan perang dan meninggalkan Rasulullah Saw sendiri, kecuali tiga
orang yang bertahan setia di samping beliau. Orang itu adalah Abbas bin
Abdul Muththalib, Abu Haritsah putra paman Nabi Saw, dan Amirul Mukminin
Ali bin Abi Thalib. Imam Alilah yang dengan ksatria berperang di
samping Nabi Saw dan membelanya, hingga peperangan berakhir dengan
kemenangan Islam.‛[263]
Sebelum Perang Hunain meletus, juga pada hari Fathu
Makkah (pembebasan kota Mekkah), Imam Alilah yang berdiri di pundak
Rasulullah Saw guna menyucikan Ka’bah dari polusi berhala-hala.[264]
Ringkasnya Imam Ali As senantiasa ikut serta dalam
setiap peperangan kecuali pada Perang Tabuk yang harus tinggal di
Madinah menuruti perintah Rasulullah Saw.[265]
Bin Abbas berkata, ‚Panji Rasulullah Saw dalam setiap penyerangan berada di tangan Ali As.‛[266]
Dan, demikianlah wujud Imam Ali sebagai penegas terhadap wujud mulia Rasulullah Saw.[267]
Rasulullah Saw bersabda:
لما عُرِج بي رأيت على ساق العرش مكتوب اً
لا إلو إلا الله محمد رسول الله أيدتو بعلي ونصرتو بعلي
‚
Tatkala aku dibawa mikraj, aku melihat di bawah singgasana Arasy tertulis: ’Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah. Bersama Ali aku menegaskannya, bersama Ali aku menolongnya.’‛[268]
Tatkala aku dibawa mikraj, aku melihat di bawah singgasana Arasy tertulis: ’Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah. Bersama Ali aku menegaskannya, bersama Ali aku menolongnya.’‛[268]
6. Kekerabatan
Kekerabatan dengan Rasulullah Saw sepanjang
perjalanan sejarah dapat dijadikan sandaran sebagai salah satu keutamaan
bagi orang yang menjalankan kursi khilâfah.
Selama tidak dapat dijumpai seseorang yang mampu
menjalankan roda khilâfah, ia tidak akan mengklaim kekerabatan dengan
Rasulullah Saw.
Keutamaan ini (kekerabatan) telah menjadi kriteria
dalam pemilihan khalifah pada Saqifah Bani Saidah. Kaum Muhajir yang
hadir di Saqifah menggunakan dalil adanya kedekatan dan kekerabatan
mereka dengan Rasulullah Saw. Dengan alasan atau dalil ini, mereka
mencegah kaum Anshar untuk memberikan baiat kepada Sa’ad bin Ubadah.[269]
Kami juga berkeyakinan bahwa kekerabatan dengan
Rasulullah Saw merupakan syarat untuk menggantikan dan menjadi khalifah
Rasulullah Saw, tetapi bukan kekerabatan secara lahir yang dijadikan
sebagai dalil oleh orang-orang yang hadir di Saqifah. Kendati Amirul
Mukminin As secara lahir juga merupakan orang yang paling dekat
kekerabatannya dengan Rasulullah Saw.
Ia adalah putra paman, menantu dan saudara
Rasulullah Saw. Dii antara kaum Muslimin tidak seorang pun yang memiliki
tiga hubungan seperti ini pada saat yang bersamaan. Ali adalah putra
paman Rasulullah Saw, Abu Thalib, yang hubungannya dengan Rasulullah Saw
seperti hubungan antara anak dan ayah. Ia melewatkan usianya dalam
membela Islam dan Rasulullah Saw. Pada keadaan yang paling genting
sekalipun Abu Thalib tidak akan melepaskan dukungannya kepada Rasulullah
Saw.[270]
Ali adalah menantu Rasulullah Saw; suami Hadrat
Shiddiqah Thahirah Fatimah Zahra yang merupakan insan yang paling
dicintai oleh Rasulullah Saw.[271]
Siapa saja dari kalangan sahabat yang mencoba
mengajukan lamaran untuk meminang putri kinasihnya, Rasulullah Saw
menolak hingga Ali datang mengajukan lamarannya.[272]
Dalam hal ini beliau bersabda, ‚Allah Swt menitahkan aku untuk menikahkan Fatimah kepada Ali As.‛[273]
Ali juga adalah saudara Rasulullah Saw. Di kalangan Anshar dan Muhajirin, Rasulullah Saw memilihnya sebagai saudara.[274]
Tentang ini, Nabi bersabda:
أنت أخي في الدنيا والْخرة
‚
Engkau adalah saudaraku di dunia dan akhirat.‛[275]
Engkau adalah saudaraku di dunia dan akhirat.‛[275]
أنت أخي وصاحبي
Dan juga: ‚Engkau adalah saudara dan orang yang menyertaiku.‛[276]
Rasulullah Saw terkadang memanggilnya dengan
sebutan saudara. Terkadang ia menyebut dirinya sebagai Ali dan terkadang
menganggapnya sebagai Ahlul Baitnya.
Tatkala menugaskan kaum Muslimin untuk mencintai Rasulullah Saw sebagai upah risalahnya, Al-Quran mengatakan:
﴿ق لْ لَا أَسْأَلُكُمْ أَجْراً إِلَّاالْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبٰى﴾
‚
Wahai (Rasul Kami) katakanlah kepada kaum Muslimin bahwa aku tidak menghendaki upah dari tugas penyampaian risalah kecuali kalian mencintai keluargaku (al-qurba).‛ (QS. Al-Syu’ara 26:23)
Wahai (Rasul Kami) katakanlah kepada kaum Muslimin bahwa aku tidak menghendaki upah dari tugas penyampaian risalah kecuali kalian mencintai keluargaku (al-qurba).‛ (QS. Al-Syu’ara 26:23)
Mereka bertanya, ‚Wahai Rasulullah! Siapakah keluargamu (al-qurba)itu?‛
Rasulullah Saw bersabda, ‚’Ali, Fatimah dan kedua putranya.‛[277]
Ya. Ali As memiliki kedekatan yang sangat erat dan
lekat dengan Rasulullah Saw. Beliau merasa bangga dengan kedekatan ini.
Seluruh sahabat juga mengakui kedekatan tersebut.
Pada hari Syura (musyawarah untuk memilih pengganti
Umar, AK), Amirul Mukminin As berbicara kepada mereka, ‚Demi Allah!
Apakah di antara kalian ada yang memiliki kedekatan kepada Nabi Saw
melebihi kedekatan yang aku miliki kepadanya?‛ Mereka seluruhnya
berkata, ‛Demi Allah, tidak ada.‛[278]
Namun kedekatan Ali As kepada Nabi Saw juga lebih
erat dan lekat dibandingkan hal ini. Amirul Mukminin As tidak sekedar
jiwa Rasulullah Saw tetapi juga merupakan Ahlul Bait Rasulullah Saw.[279]
Tatkala ayat tathhir (QS. Ahzab [33]:33) turun,
Hadrat Rasulullah Saw memanggil Ali, Fatimah, Hasan dan Husain untuk
mendekat kepadanya dan berkata, ‚Ya Allah, mereka adalah Ahlul Baitku.‛[280]
Supaya kaum Muslimin tahu siapakah Ahlul Bait Rasulullah, tatkala ayat suci turun:
﴿ وأْمُرْ أَىْلَكَ بِالصَّلََة واصطبر عليها﴾
Dan perintahkanlah keluargamu untuk shalat dan bersabarlah atasnya. (QS. Thaha [20]:132)
maka selama beberapa hari saban subuh, Rasulullah Saw datang ke kediaman mereka dan bersabda:
الصلَة رحمكم الله إنما يريد الله أن يذىب عنكم الرجس أىل البيت ويطهركم تطهير اً
‚Waktunya shalat. Semoga Allah merahmati kalian. Sesungguhnya Allah hendak menyucikan kalian dari segala kotor dan nista Ahlul Bait dan membersihkan kalian dengan sebersih-bersihnya.‛
Membacakan ayat ini, memerlukan penjelasan dan
elaborasi tersendiri. Maksud Rasulullah Saw ketika melakukan hal ini
adalah supaya seluruh kaum Muslimin mengetahui Ahlul Bait Nabi Saw.
Kemudian mengutus Ali As untuk mengambil surah
Al-Bara’ah dari Abu Bakar dan menyampaikannya pada orang-orang haji di
Mekkah. Dalam menjelaskan perbuatan ini, Rasulullah Saw sendiri
bersabda:
لاٰ يَ بْ لُغُها إِلاَّ رَجُلٌ مِنْ أَىلْي
‚
Tidak menyampaikan surat ini kecuali orang dari keluargaku.‛[281]
Tidak menyampaikan surat ini kecuali orang dari keluargaku.‛[281]
Iya. Ali adalah jiwa Rasulullah Saw juga berasal
dari keluarganya. Akan tetapi, ia lebih tinggi kedudukannya dari makna
kekerabatan dengan Rasulullah Saw yang kita anggap sebagai syarat
khilâfah: Kedekatan merupakan syarat khilâfah yang menyatukan dua
hubungan (karena Imam Ali adalah diri Rasulullah Saw sehingga tidak lagi
tersisa dua hubungan yang lain). Dan, karena itu, pembahasan hubungan
dan kekerabatan ini menjadi tidak perlu.
Al-Quran al-Karim menegaskan:
﴿ق لْ تَ عٰالُوا نَدْعُ أَبْ نٰاءَنٰا وَأَبْ نٰاءكَُمْ وَنِسٰاءَنٰا وَنِسٰاءكَُمْ وَأَنْ فُسَنا وَأَنْ فُسَكُمْ﴾
‚...katakanlah (kepadanya): ‚Marilah kita memanggil anak-anak kami, dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu; ‚ (QS. Ali Imran 3: 61)
Sesuai dengan dawuh Ilahi, Rasulullah Saw harus
mengajak anaknya, perempuannya, dan dirinya sendiri, kemudian melakukan
mubahalah dengan orang Nasrani dari Najran. Beliau datang beserta Hasan,
Husain, Fatimah dan Ali supaya seluruh orang tahu bahwa yang dimaksud
‚dirinya‛ yang harus ia ajak adalah Ali, yakni dirinya Rasulullah Saw.[282]
Pada hari Syura, Ali As bersabda, ‚Demi Allah!
Apakah ada orang di antara kalian yang dijadikan sebagai dirinya sendiri
oleh Rasulullah Saw?‛ Mereka berkata, ‚Tidak ada. Demi Allah.‛[283]
Demikianlah Rasulullah Saw bersabda,
علي مني وأنا منو لا يؤدي عني إلا أنا أو علي
‚
’Ali adalah dariku dan aku dari Ali. Tidak ada yang dapat menyampaikan pesanku kecuali aku dan Ali.‛[284]
’Ali adalah dariku dan aku dari Ali. Tidak ada yang dapat menyampaikan pesanku kecuali aku dan Ali.‛[284]
Dan sabdanya juga:
لَحْمُوُ لحَمْ ي وَدَمُوُ دَمِي
‚
Dagingnya dan darahnya adalah dagingku dan darahku.‛[285]
Dagingnya dan darahnya adalah dagingku dan darahku.‛[285]
Saat memberikan ancaman kepada kaum kafir,
Rasulullah Saw bersabda, ‚Aku akan mengutus seseorang kepada mereka
orang yang seperti denganku.‛[286]
Dalam menjawab pertanyaan kedudukan Ali As dalam
hati Rasulullah Saw, beliau menghadapkan wajahnya kepada para sahabat
dan bersabda, ‚Orang ini bertanya pada hatiku tentang kedudukanku.‛[287]
Demikianlah perbandingan antara Hadrat Amirul
Mukminin As dan Rasulullah Saw. Barangsiapa yang tidak mengetahui dan
menganggap bahwa kekerabatan dengan Rasulullah Saw merupakan salah satu
syarat khilâfah, dengan kehadiran Ali As, giliran orang lain bakal tidak
kesampaian.
7. Zuhud
Khalifah dan pengganti Rasulullah Saw berada pada
puncak piramida di tengah umat Islam. Seluruh kekayaan harta dan benda
milik kaum Muslimin berada dalam kekuasaannya. Ia memiliki keluasaan
untuk menggunakan apa pun bentuknya. Secuil saja keinginan pada dunia
telah memadai bagi pemimpin umat Islam untuk menyimpang dari jalan
keadilan menuju pada pemanfaatan kesempatan (aji mumpung, AK),
penyelewengan kekuasaan, banyak tuntutan dan menghamburkan uang
sebanyak-banyaknya.
Umat Islam banyak memiliki pengalaman getir dalam
masalah ini. Beberapa orang menjadi khalifah Rasulullah Saw dengan
berdalih sebagai pemimpin umat, tetapi bertingkah laku bak kaisar dan
kisra kepada umat. Karena itu, salah satu sifat yang harus, niscaya dan
tidak dapat dihindari oleh pemimpin umat Islam adalah zuhud dan tuna
hasrat kepada dunia.
Sifat zuhud mengejewantah dalam diri Amirul Mukminin As sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
يا علي أن الله زينك بزينة لم يزين العباد بزينة أحبَّ منها وىي زينة الأبرار عند الله
وىي الزىد في الدنيا فجعلك لا ترزء من الدنيا شيئاً ولا ترزَء الدنيا منك شيئ اً
‚
Wahai Ali! Allah Swt telah memberikan keindahan kepadamu yang paling indah dan tidak seorang pun diberikan keindahan yang paling dicintai selainnya dan keindahan itu adalah keindahan yang baik di sisi Allah Swt adalah zuhud di dunia.‛[288]
Wahai Ali! Allah Swt telah memberikan keindahan kepadamu yang paling indah dan tidak seorang pun diberikan keindahan yang paling dicintai selainnya dan keindahan itu adalah keindahan yang baik di sisi Allah Swt adalah zuhud di dunia.‛[288]
Zuhud Amirul Mukminin As baik pada masa khilâfah
atau selepasnya sedemikian terkenalnya sehingga seperti sebuah legenda.
Sekarang kami akan tunjukkan beberapa teladan dari zuhud Amirul Mukminin
As terhadap dunia.
Pada masa kekhalifahannya dan pada saat seluruh
harta kaum Muslimin berada dalam kekuasaannya, Amirul Mukminin Ali As
mengenakan pakaian bertambal.[289]
Beliau menyantap makanan kering dan sederhana. Biaya hidup sehari-hari keluarganya didapatkan dari hasil kerja kerasnya.
Suwaidah bin Ghafalah berkata, ‚Aku datang
menghadap Amirul Mukminin di Darul Imarah (Balai Kota). Aku melihat di
hadapan Amirul Mukminin terdapat susu masam yang bau masamnya tercium
dari kejauhan dan sepotong roti kering di tangannya yang
potongan-potongan kulit gandumnya terlihat dari permukaannya.
Ia memotong kecil-kecil roti tersebut dengan tangannya dan terkadang dengan lututnya dan mencampur roti tersebut dengan susu.
Tatkala melihatku, ia bersabda, ’Mendekatlah dan
makanlah makanan kami.’ Aku berkata, ’Aku sedang berpuasa.’ Beliau
berkata lagi, ‚Aku mendengar dari Rasulullah Saw bahwa barangsiapa yang
berpuasa, menghindarkan diri dari memakan yang ia senangi, maka Allah
Swt akan menjamunya dengan makanan dan minuman surga.‛
Suwaid berkata, ‚Kaniz (budak) Imam Ali As berdiri
di situ. Aku berkata kepadanya, ‘Mengapa engkau tidak menunaikan hak
orang tua ini. Tidakkah engkau takut kepada Allah? Mengapa engkau tidak
menyaring tepung roti ini dan tidak mengambil biji-biji besar dan kasar
ini darinya?’
Kaniz berkata, ’Amirul Mukminin As memerintahkan
untuk tidak menyaring tepung rotinya dengan apapun.’ Hadrat Amirul
Mukminin As mengetahui perbincangan kami. Ia bertanya, ‚Apa yang engkau
katakan kepadanya?‛
Aku mengulang kembali ucapanku kepadanya. Dalam
menjawab pertanyaanku, Hadrat Amirul Mukminin bersabda, ’Ayah dan ibuku
menjadi tebusannya orang yang tidak pernah menyaring tepung rotinya dan
selama tiga hari berturut-turut tidak pernah kenyang dari roti gandum
hingga Tuhannya menjemputnya.‛[290]
Maksud Hadrat Amirul Mukminin Ali As adalah kebiasaan (sunnah) Rasulullah Saw.
Seseorang berkata, ‚Pada hari ‘Idul Qurban, aku
datang menghadap Amirul Mukminin As. Ia menawarkan sup kambing kepadaku.
Aku berkata, ‘Dengan segala nikmat Tuhan yang diberikan, alangkah
baiknya sekiranya engkau memberikan daging bebek kepada kami. Hadrat
Amirul Mukminin As bersabda, ‚Aku mendengar dari Rasulullah Saw
bersabda: ‚Khalifah tidak memakan dari harta Tuhan kecuali dua mangkuk.
Satu mangkuk untuknya dan keluarganya dan semangkuk lainnya untuk ia
tawarkan kepada masyarakat.’‛[291]
Yang dapat disimpulkan dari sabda mulia ini adalah
bahwa Hadrat Amirul Mukminin mendapatkan pelajaran dari Rasulullah Saw
tentang metode pemerintahan dan mengurus umat. Amirul Mukminin As
mengikuti Rasulullah Saw dalam setiap langkahnya. Segala yang dilihat
dari kehidupan Amirul Mukminin baik kehidupan personal atau kehidupan
sosial, masing-masing mengandung pelajaran selama dua puluh tiga tahun
bersama Rasulullah Saw.
Dalam sebuah kitab ditulis: ‚Beberapa orang datang
kepada Amirul Mukminin membawa hadiah sejenis kue manis. Ia meletakkan
tempat kue manis itu di depan dan melihatnya sekilas lalu bersabda:
‘Engkau memiliki bau, warna dan rasa yang baik, tetapi aku tidak ingin
membiasakan diriku pada sesuatu yang asing bagiku.‛
Pada masa kekhalifahannya, orang-orang melihatnya
di pasar Kufah membawa pedangnya untuk dijual. Ia berkata setengah
berteriak, ‚Siapakah yang ingin membeli pedang ini? Demi Allah! Dengan
pedang ini, acapkali aku membersihkan duka Rasulullah Saw. Apabila aku
memiliki uang setara dengan nilai satu pakaian, aku tidak akan menjual
pedang ini.‛[292]
Sementara pada waktu itu, ia memiliki penghasilan
pertahun yang ia wakafkan mencapai empat puluh ribu Dinar, ia sendiri
mengikat perutnya dengan batu untuk menahan lapar.[293]
Orang-orang melihatnya di pasar Kufah, kurma yang
ia beli untuk keluarganya ia tumpahkan ke dalam karung lalu ia pikul di
pundaknya.
Orang-orang yang mencintainya segera menawarkan bantuan untuk mengantarkannya sampai depan pintu rumah Amirul Mukminin As.
Beliau bersabda, ‚Kepala keluargalah yang lebih patut untuk membawa karung ini.‛[294]
Atas alasan ini, ketika orang-orang berkata tentang
zuhud dan menyebut nama orang-orang zuhud di hadapan Umar bin
Abdulaziz, ia berkata, ‚Orang yang paling zuhud di dunia adalah Ali bin
Abi Thalib As.‛
Ketika menjelaskan penghasilan Amirul Mukminin As
pada masa itu, disebutkan bahwa setiap dinar ekuivalen dengan 18 gram
emas. Oleh karena itu, 40.000 dinar setara dengan 30 mitsqal emas.
Selanjutya, apabila kita asumsikan dengan harga emas hari ini, yaitu
setiap mitsqal sama dengan 4.000.000 Rial maka penghasilan maksimum
Amirul Mukminin ketika itu setara dengan 16.000.000.000.000 Rial.[]
Bagian Kelima
Perlakuan Khusus Rasulullah Saw
Perlakuan Khusus Rasulullah Saw
Salah satu faktor yang membantu kita untuk memahami
hadis Al-Ghadir adalah perlakuan Rasulullah Saw terhadap Ali As.
Menurut timbangan ini, apabila beliau memperlakukan Ali As sebagaimana
salah seorang sahabat dan bahkan seperti salah seorang kerabat dan
anggota keluarganya, dan tidak memandang Hadrat Amirul Mukminin As
sebagai memiliki keutamaan maka tidak ada yang dapat dimanfaatkan dari
kandungan hadis Ghadir.
Akan tetapi, apabila kita tahu bahwa perlakuan
Rasulullah Saw terhadap Ali As adalah perlakuan yang berbeda
dibandingkan perlakuannya terhadap seluruh kaum Muslimin, jika kita
memperhatikan secara seksama dalam perlakuan ini, maka hal itu akan
membimbing kita kepada masalah bahwa Ali di mata Rasulullah Saw berbeda
dari yang lain. Seluruh usia dan risalahnya berada pada tataran untuk
mengerjakan sebuah pekerjaan raksasa yaitu membinanya dan memperkenalkan
kepada seluruh kaum Muslimin akan keutamaan yang dimiliki oleh Amirul
Mukminin Ali As.
Pada aspek ini, setiap perlakuan Rasulullah Saw
terhadap Amirul Mukminin As dengan sendirinya menjadi penegas atas
kandungan hadis Ghadir.
Seluruh perlakuan dan perilaku Rasulullah Saw terhadap Amirul Mukminin As memiliki satu arah dan tujuan.
Dengan masing-masing dari perlakuan ini Rasulullah
Saw hendak memberikan pemahaman terhadap satu poin bahwa Ali berbeda
dengan orang lain dan ia merupakan seorang manusia yang berasal dari
tipologi Rasulullah Saw sendiri.
Hal ini merupakan perhatian khusus Allah Swt bahwa
ia layak untuk memikul tugas memimpin umat Islam dan membimbing kaum
Muslimin.
Dalam pembahasan ini, kita akan menyebutkan
beberapa penggalan dari perlakuan Rasulullah Saw terhadap Amirul
Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib As.
1. Menutup Semua Pintu
Masjid Nabi Saw di Madinah didirikan di sebuah
tempat yang sekelilingnya terdapat rumah-rumah yang menjadi tempat
lintasan dan lalu-lalang seluruh penduduk rumah yang ada di tempat itu.
Beberapa lama setelah masjid dibangun pintu rumah-rumah yang ada di
sekeliling masjid dibiarkan terbuka. Penghuni rumah itu lalu-lalang dari
masjid ke rumah. Rumah Hadrat Amirul Mukminin Ali As bertempat di
samping masjid dan termasuk salah satu rumah yang berada di samping
masjid.
Selang beberapa lama, Rasulullah Saw memerintahkan
untuk menutup seluruh pintu rumah yang ada di sekeliling masjid kecuali
pintu rumah Ali bin Abi Thalib As.
Sekelompok orang memprotes diskriminasi ini. Mereka
menyampaikan protes kepada Rasulullah Saw. Dalam menjawab protes
mereka, beliau bersabda,, ‚Aku memerintahkan untuk menutup seluruh pintu
kecuali pintu Ali tetapi sebagian dari kalian memprotesnya. Demi Allah!
Aku tidak membuka atau menutup pintu melainkan menuruti perintah yang
ditujukan kepadaku dan aku menunaikan perintah itu.‛[295]
Menurut riwayat lain, Nabi Saw bersabda, ‚Aku tidak membuka pintu tersebut melainkan Tuhanlah yang membukanya.‛[296]
Hadis ini diriwayatkan oleh Bin Asakir yang menukilnya dari beberapa orang sahabat Rasulullah Saw.[297]
Dalam kitabnya Farâid Junaid menulis: ‚Kira-kira tiga puluh sahabat yang menukil hadis Saddul Abwâb (menutup pintu) ini.‛[298]
2. Perhatian Khusus
Dari Abu Sa’id Al-Khudri seorang sahabat besar
Rasulullah Saw diriwayatkan bahwa beliau dengan Ali As memiliki hubungan
seakan-akan tidak ada orang bersama mereka.[299]
Dari Amirul Mukminin Ali As sendiri diriwayatkan
bersabda: ‚Setiap kali aku mengajukan soal, aku mendengar jawabannya.
Dan setiap kali terdiam, beliau (Nabi) sendiri yang akan (mulai)
berbicara.‛[300]
3. Berbisik dengan Tuhan
Pada hari peperangan suku, Rasulullah Saw dan Ali
pergi menyepi. Mereka berbicara secara berbisik. Tatkala pembicaraan
mereka usai, sebagian sahabat berkata, ‚Wahai Rasulullah!
Pembicaraan Baginda terlalu lama.‛ Rasulullah Saw
bersabda, ‚Aku tidak berbicara secara berbisik dengannya melainkan
Tuhanlah yang berbisik dengannya.‛[301]
4. Gelar Amirul Mukminin
Buraidah Aslami, salah seorang sahabat Rasulullah
Saw. meriwayatkan: ‚Kami berjumlah delapan orang dan aku paling muda di
antara mereka. Rasulullah Saw bersabda kepadaku, ’Berilah salam kepada
Ali.’ dan katakanlah, ‚Salam kepadamu wahai Amirul Mukminin.’‛[302]
5. Penyampaian Surah Al-Taubah
Rasulullah Saw menugaskan Abu Bakar untuk
menyampaikan surah al-Barâ’ah (Taubah) kepada orang-orang haji di
Mekkah. Tidak lama selepas itu, beliau mengutus Ali agar mengambil surah
al-Barâ’ah itu dari Abu Bakar dan menyampaikannya kepada orang-orang
haji di Mekkah. Rasulullah Saw bersabda, ‚Tidak ada yang dapat
menyampaikan surah tersebut kecuali orang dari keluargaku.‛[303]
Dalam riwayat lain disebutkan, ‚Tidak ada yang menyampaikan pesanku kecuali aku sendiri atau Ali.‛[304]
6. Pembawa Panji Rasulullah Saw
Sepanjang peperangan tradisional masih digunakan
dan alat-alat perang modern belum lagi digunakan di medan perang,
bendera utama yang disebut sebagai panji (liwâ) termasuk barometer untuk
menunjukkan keadaan laskar. Berkibarnya panji perlambang konsistensi
perjuangan, sedangkan gugurnya panji tersebut adalah alamat kejatuhan
laskar.
Berangkat dari sini, orang yang memikul tugas
membawa panji dan membiarkannya tetap berkibar adalah orang yang paling
mulia, paling berani dan paling gigih di medan perang.
Pada seluruh peperangan Rasulullah Saw melawan kaum kuffar, orang yang membawa panji prajurit Islam adalah Ali bin Abi Thalib.[305]
Menurut beberapa riwayat, tatkala Rasulullah Saw
ditanya: ‚Siapakah yang akan membawa panjimu pada hari kiamat wahai
Rasulullah!‛
Rasulullah Saw bersabda, ‚Yang akan membawa panjiku
pada hari kiamat adalah orang yang membawanya di dunia, Ali bin Abii
Thalib.‛[306]
7. Pernikahan dengan Fatimah As
Jawaban positif Rasulullah Saw atas pinangan Ali
bin Abi Thalib terhadap Fatimah Zahra As harus dianggap sebagai sikap
khusus beliau terhadap Ali.
Padahal banyak sahabat besar Rasulullah Saw
mengajukan lamaran kepadanya untuk meminang Fatimah Zahra As. Namun
beliau menolak lamaran mereka. Kondisi berubah tatkala Ali As mengajukan
lamaran. Tanpa pikir panjang, Nabi saw langsung menerima lamaran
tersebut.‛[307]
Menurut riwayat yang lain,[308]
tanpa pinangan Ali, Rasulullah Saw memanggil para sahabat dan membacakan
khotbah nikah di hadapan sekelompok sahabat yang bermaksud mengajukan
lamaran, beliau bersabda, ‚Allah Swt mewahyukan kepadaku untuk
menikahkan Fatimah As kepada Ali As.[309]
[]
Bagian Keenam
Adab-adab dan Kebiasaan Pada Hari Ghadir
Sejarah Idul Ghadir di Kalangan Muslimin
Apabila Al-Ghadir bermakna kembalinya ingatan pada
perubahan besar dalam sejarah umat manusia, di tengah budaya kaum
Muslimin, hari Al-Ghadir layak untuk diperingati sebagai hari raya akbar
umat manusia khususnya bagi kaum Muslimin.
Lantaran perubahan besar dalam sejarah umat manusia
berlangsung pada hari ini. Dan, sebagaimana kita mendengar dari lisan
riwayat, bahwa pada hari tersebut kesempurnaan agama dan kebahagiaan
manusia telah distempel dan dijamin.
Semua agama samawi, sebagai pendahulu agama Islam
telah sempurna pada hari Al-Ghadir. Dan Allah Tuhan semesta alam (Rabbul
‘Alamin) telah rela dengan agama Islam.
﴿ اَلْيَوم أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَليكُم نِعْمَتي وَرَضِيتُ لَكُم الِإسْلَمَ دين اً﴾
Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu dan telah Kulengkapi nikmat-Ku atasmu dan Aku ridha Islam sebagai agamamu.
(QS. Al-Maidah [5]:3)[310]
Tidak satu pun peristiwa yang lebih signifikan
melebihii sempurnanya agama pada kehidupan manusia. Oleh sebab itu,
tidak ada hari yang lebih layak untuk diperingati dan dimeriahkan
melebihi hari Al-Ghadir.
Persis dengan alasan yang sama, Rasulullah Saw pada
hari ini ia umumkan sebagai hari ied dan meminta kepada kaum Muslimin
untuk menyampaikan ucapan selamat kepadanya.
Rasulullah Saw bersabda:
ىنئوني ، ىنئوني إن الله تعالى خصني بالنبوة وخصَّ أىل بيتي بالإمامة
‚
Berikan ucapan selamat kepadaku, berikan ucapan selamat kepadaku. Sesungguhnya Allah mengkhususkan kepadaku kenabian (nubuwwah) dan kepemimpinan (imâmah) kepada keluargaku.‛[311]
Berikan ucapan selamat kepadaku, berikan ucapan selamat kepadaku. Sesungguhnya Allah mengkhususkan kepadaku kenabian (nubuwwah) dan kepemimpinan (imâmah) kepada keluargaku.‛[311]
Beliau juga bersabda:
يوم الغدير أفضل أعياد أمتي وىو اليوم الذي أمرني الله تعالى ذِكره
بنصب أخي علي بن أبي طالب عَلَماً لأمتي يهتدون بو من بعدي
وىو اليوم الذي أكمل الله فيو الدين وأتم على
أمتي فيو النعمة ورضي لهم الإسلَم دين اً
‚
Hari Al-Ghadir merupakan hari ied yang paling afdhal. Pada hari itu, Allah Swt menugaskan kepadaku untuk memperingatinya dengan melantik saudaraku Ali bin Abi Thalib bagi umatku, sehingga selepasku mereka menemukan hidayah. Allah Swt menyempurnakan agama dan melengkapkan nikmat bagi umatku pada hari itu dan ridha Islam sebagai agama merekanya.‛[312]
Hari Al-Ghadir merupakan hari ied yang paling afdhal. Pada hari itu, Allah Swt menugaskan kepadaku untuk memperingatinya dengan melantik saudaraku Ali bin Abi Thalib bagi umatku, sehingga selepasku mereka menemukan hidayah. Allah Swt menyempurnakan agama dan melengkapkan nikmat bagi umatku pada hari itu dan ridha Islam sebagai agama merekanya.‛[312]
Oleh karena itu, memperhatikan hari Ghadir sebagai
salah satu hari ‘ied dalam Islam memiliki akar pada masa Rasulullah Saw.
Beliau sendiri mengumumkan pada hari itu sebagai hari ‘ied dan ia pada
hakikatnya merupakan pencetus hari ‘ied ini.
Selepas Rasulullah Saw, para imam maksum sangat memberikan perhatian khusus terhadap hari Al-Ghadir sebagai hari ‘ied.
Pada hari Al-Ghadir yang bertepatan dengan hari Jumat Amirul Mukminin Ali As menyampaikan khotbah yang berbunyi:
‚Semoga Allah Swt merahmati kalian! Hari ini
bagikanlah kepada keluarga kalian uang belanja. Dan bersikap santunlah
kepada saudara-saudara kalian, dan bersyukurlah kepada Allah Swt yang
telah menganugerahkan nikmat ini kepada kalian. Senantiasalah kalian
bersama sehingga Allah Swt mengumpulkan orang-orang yang berpisah di
antara kalian. Berbuat baiklah kepada sesama kalian, sehingga Allah Swt
mendatangkan rahmat dengan keakraban dan perkumpulan ini.
Demikianlah Allah Swt menganugerahkan nikmat kepada
kalian, ganjaran atas ‘ied hari ini dilipatgandakan atas hari-hari ied
yang lain. Dan di antara nikmatnya adalah bahwa sesama kalian hendaknya
saling membimbing. Berbuat baik pada hari ini akan memperbanyak rezeki
dan memanjangkan usia. Bersikap pemurah pada hari ini akan mendatangkan
cinta dan kasih Tuhan.‛[313]
Sebagaimana kita ketahui bahwa pada masa
kekhalifahan Amirul Mukminin Ali As banyak di antara sahabat Rasulullah
Saw ikut hadir dalam perayaan Al-Ghadir. Mereka mendengar sabda Imam Ali
ini; apabila ied tidak pasti bagi mereka, niscaya mereka akan
menyampaikan protes.
Selepas Amirul Mukminin As, sejauh yang dapat
direkam oleh para perawi, para imam maksum sangat memberikan perhatian
terhadap hari Ied ini. Mereka merayakan dan memeriahkan hari tersebut.
Pada hari ini mereka menunaikan puasa. Mereka meminta kepada para
sahabat dan kerabatnya untuk menunaikan puasa juga sebagaimana mereka.
Tsiqât Al-Islâm Kulaini dalam Al-Kâfi, meriwayatkan dari Salim:
Aku berkata kepada Imam Shadiq As, ‚Apakah kaum Muslimin memiliki hari ied selain hari Jumat, Idul Fitri dan Idul Adha?‛
Ia bersabda, ‚Iya, Idul akbar (hari raya yang paling besar).‛
Aku bertanya lagi, ‚Hari apa itu wahai Imam?‛
Imam bersabda, ‚Hari tatkala Rasulullah Saw
menetapkan wilâyah Amirul Mukminin As dan bersabda: ‚Man kuntu mawlahu,
fa ‘Aliyun mawlahu.‛[314]
Juga diriwayatkan dari Hasan bin Rasyid yang
mengajukan pertanyaan kepada Imam Shadiq As. Ia berkata, ‚Semoga diriku
menjadi tebusanmu wahai Imam! Apakah kaum Muslimin memiliki ‘ied selain
‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha?‛
Imam bersabda, ‚Iya. Lebih besar dan lebih utama dari keduanya.‛
Aku berkata, ‚Hari apakah itu wahai Imam?‛
Imam bersabda, ‚Hari ketika wilâyah Amirul Mukminin Ali As ditetapkan.‛
Aku berkata, ‚Semoga diriku menjadi tebusanmu! Pada hari ini, apa yang harus kami lakukan?‛
Imam As bersabda, ‚Berpuasa dan bershalawat ke atas
Nabi Saw dan keluarganya. Tunjukanlah rasa penyesalan dari orang-orang
yang engkau tindas. Para nabi Ilahi memerintahkan kepada para khalifah
mereka bahwa pada hari penetapan khalifah dirayakan sebagai hari ‘ied.‛
Aku berkata, ‚Apa ganjaran bagi orang yang mengerjakan puasa pada hari ini?‛
Imam As bersabda, ‚Ganjarannya adalah sebanding dengan enam ratus bulan berpuasa.‛[315]
Demikian juga, Furat bin Ibrahim meriwayatkan dalam
kitab tafsirnya bahwa Imam Shadiq As ditanya, ‚Apakah kaum Muslimin
memiliki ied yang lebih utama daripada Idul Fitri, Idul Adha dan hari
Jumat dan hari Arafah?‛
Imam As bersabda, ‚Iya. Lebih utama, lebih mulia
dan lebih besar dari seluruh ‘ied di sisi Allah. Hari itu adalah hari
ketika Allah Swt menyempurnakan agama-Nya, dan menurunkan wahyu kepada
Nabi-Nya:
﴿ اَلْيَوم أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَليكُم نِعْمَتي وَرَضِيتُ لَكُم الِإسْلَمَ دين اً﴾
Pada hari ini Aku telah sempurnakan agamamu untukmu dan telah Kulengkapi nikmatKu atasmu dan Aku ridha Islam sebagai agamamu.
(QS. Al-Maidah [5]:3)
Seorang perawi berkata, ‚Hari apakah itu?‛
Imam bersabda, ‚Tatkala menetapkan khalifah dan
pengganti mereka, para nabi Bani Israil merayakannya sebagai hari ied.
Dan hari ied untuk kaum Muslimin adalah hari ketika Rasulullah Saw
menetapkan wilâyah Imam Ali As. Dan pelbagai ayat turun berkaitan
dengannya, dan menyempurnakan agama dan melengkapkan nikmat-Nya atas
kaum Mukminin.‛[316]
Demikian juga, ia bersabda, ‚Hari ini adalah hari
ibadah, hari shalat dan hari memanjatkan syukur. Lantaran Allah Swt
telah menganugerahkan nikmat wilâyah kami kepada kalian. Aku ingin
engkau laksanakan puasa pada hari ini.‛[317]
Dalam sebuah riwayat yang bersumber dari Fayyadh bin Muhammad bin Umar Thusi, bahwa ia datang menghadap Imam Ridha As.
Aku melihat Imam sedang menjamu para sahabatnya
dengan ifthâr (buka puasa) di rumahnya. Beliau mengirimkan kepada mereka
beragam hadiah berupa pakaian dan bahkan sepatu dan cincin. Di
kediamannya, terdapat suasana yang berbeda.
Aku melihat para pembantu Imam memperbaharui semua
yang mereka punyai dan bahkan temasuk peralatan-peralatan yang mereka
gunakan sehari-hari.
Imam As menyampaikan khotbah tentang kemuliaan dan keutamaan hari itu kepada para hadirin.[318]
Terlepas dari itu, yang dapat kita manfaatkan dari
catatan sejarah bahwa kaum Muslimin sepanjang perjalanan sejarah yang
berbeda memeriahkan dan merayakan hari Ghadir.
Abu Raihan Biruni dalam kitab Al-Âtsar Al-Bâqiyah menulis:
‚Hari kedelapan belas merupakan hari raya (‘Ied)
Ghadir Khum. Nama itu merupakan nama sebuah tempat dimana Rasulullah Saw
selepas Hajjatul Wida’ berhenti dan mengumpulkan perlengkapan
unta-unta. Kemudian mengambil lengan Ali bin Abi Thalib As. Kemudian
beliau menaiki mimbar (dari tumpukan kumpulan perlengkapan unta, AK) dan
bersabda: ‚Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai mawla-nya, maka Ali
adalah mawla-nya.‛[319]
Mas’ud dalam kitabnya at-Tanbih wa al-Asyrâf menulis:
‚Putra-putri Ali dan Syi’ah-nya merayakan dan memeriahkan hari ini (Al-Ghadir).[320]
Dalam kitabnya Mathâlib Al-Su’ul, Bin Talhah Syafi’i menulis:
‚Dan hari ini, disebut sebagai hari Ghadir Khum dan
merupakan hari raya. Lantaran pada hari itu merupakan hari ketika
Rasulullah Saw menetapkannya (Ali) pada kedudukan yang tinggi. Hanya
dialah yang dapat mencapai kedudukan ini di antara semua orang.‛[321]
Dalam kitab Tsamârat Al-Qulûb, Tsa’alabi menyebut
malam hari Al-Ghadir termasuk malam yang paling khusus. Tulisnya: ‚Malam
hari Al-Ghadir merupakan malam ketika Rasulullah Saw pada keesokan
harinya yaitu pada hari Ghadir Khum menaiki mimbar yang terbuat dari
pelana-pelana unta dan bersabda:
مَ نْ كُنْتُ مَولَاهُ فَ عَلِى
مَولَاه اَللَّهُمَّ وَالَ مَنْ وَالَاهُ وَعٰادَ مَنْ عٰادَاهُ مَنْ
نَصَرَهُ وَاخَذَلَ مَنْ خَذَلَو
Orang-orang Syi’ah
merayakan malam itu dan mengerjakan ibadah-ibadah pada malam hari itu.‛[322]
Orang-orang Syi’ah
merayakan malam itu dan mengerjakan ibadah-ibadah pada malam hari itu.‛[322]
Demikian juga, Bin Khallaqan dalam Syarh Hali al-Musta’li Fathimi bin al-Mustanshir menulis:
‚Pada hari raya (‘Ied) Ghadir yaitu bertepatan dengan tanggal 18 Dzulhijjah 487 H, orang-orang memberikan baiat kepadanya.‛[323]
Dalam Syarh Hâl al-Mustanshir Fâthimi menulis:
‚Ia wafat pada Kamis malam dua belas hari tersisa
dari bulan Dzulhijjah 487 H dan malam ini adalah malam Idul Ghadir yaitu
malam 18 Dzulhijjah.‛[324]
Sebagaimana yang kita saksikan dalam berbagai
riwayat dan ucapan para sejarawan, hari Al-Ghadir merupakan tahun-tahun
terakhir usia Rasulullah Saw yaitu tahun ia menetapkan wilâyah Amirul
Mukminin Ali As yang dikenal sebagai hari raya. Pada tahun itu dan
padang sahara itu juga Idul Ghadir, tersebar dari mulut ke mulut di
sepanjang sejarah dan negeri-negeri Islam.
Dari perspektif sejarah, pada masa Imam Shadiq As
wafat tahun 148, pada masa Imam Ridha As wafat tahun 203, pada masa
ghaibah shughra yaitu masa ketika dimana Furat bin Ibrahim Kufi dan
Kulaini Razi hidup, pada masa Mas’udi wafat tahun 345, Tsa’alabi
Naisyaburi wafat tahun 429, Thalhahh Syafi’i wafat tahun 654, dan Abu
Raihan Biruni wafat tahun 430 H, hari ini dianggap sebagai hari raya.
Dari sisi menjuntainya letak geografis, pada
daerah-daerah Timur Dunia Islam yaitu pada sekeliling an-nahr
(daerah-daerah seperti Iran, Irak, Suriah, AK) yang merupakan tempat
tinggal Abu Raihan dan Naisyabur yang merupakan tempat lahir Tsa’alabi,
hingga kota kelahiran dan bermukim Kulaini, dan hingga kota Baghdad kota
kelahiran dan besarnya Mas’udi, hingga Halab tempat tinggal dan
wafatnya Bin Thalhah Syafi’i dan Mesir yang menjadi tempat tinggal dan
wafatnya Bin Khallaqan, orang-orang di tempat-tempat ini mengetahui
tentang hari raya Al-Ghadir dan mereka merayakan hari besar itu.
Hal ini apabila kita berasumsi bahwa masing-masing
pembesar ini menyampaikan berita ini kepada orang-orang di sekitarnya;
sementara kita ketahui bahwa pertama-tama sebagian orang-orang seperti
Mas’udi dan Biruni mengelilingi hampir seluruh negeri Islam; yang kedua
dalam tulisan-tulisan mereka hari ini disebutkan sebagai hari raya kaum
Muslimin.
Adab-adab dan Amalan Idul Ghadir
Unsur asasi dalam menemukan setiap hari raya, di
antara bangsa-bangsa, kejadian-kejadian yang memberikan kebahagiaan dan
keceriaan, terjadi dalam lintasan perjalanan waktu, muatan kejadiannya
telah dibuat berbeda sebelum dan setelahnya.
Kemudian masyarakat menyebut hari itu sebagai hari
raya (ied) , selaras dan sejalan dengan budaya dan ajaran mereka, serta
memperingatinya sepanjang abad dan zaman.
Dalam kultur dan budaya Islam, unsur asasi ini,
disebut sebagai anugerah. Setiap insan berakal, ia memandang dirinya
wajib untuk menyampaikan rasa syukur atas kebaikan yang diterimanya.
Atas alasan ini, salah satu tata-cara umum agama
Islam dalam perayaan-perayaan ini adalah penetapan ibadah dan
amalan-amalan khusus yang menjadi penyebab semakin mendekatnya manusia
kepada Tuhan semesta alam – sang pemberi nikmat sejati.
Pada hari Al-Ghadir juga sebagaimana ied-ied yang
lain, orang-orang dianjurkan dan diprogramkan untuk mengerjakan
ibadah-ibadah dan mengadakan perayaan-perayaan khusus.
Adab-adab hari raya besar ini memiliki dua tipologi nyata:
1. Adab-adab hari raya Ghadir tidak dapat disamakan
atau dibandingkan dengan adab-adab hari-hari besar Islam sedemikian
sehingga dapat dikatakan: apa yang diriwayatkan tentang adab-adab pada
hari Al-Ghadir, termasuk model umum dari seluruh amal kebaikan,
perbuatan-perbuatan terpuji, dan sebuah kehidupan ideal dalam skala
personal atau sosial.
2. Menurut riwayat yang sampai di tangan kita dari
para maksum As dalam masalah ini, masing-masing perbuatan memiliki
nilai-nilai yang tinggi. Atas alasan ini perbuatan-perbuatan tersebut
mendapatkan ganjaran yang melimpah.
Oleh karena itu, hari Al-Ghadir merupakan hari yang sangat bernilai dan hidup dan harus dirayakan.
Satu-satunya jalan untuk memperingati dan memuliakan hari ini, mengerjakan adab-adab yang telah dicontohkan oleh Ahlul Bait As.
Adab-adab ‘Idul Ghadir dalam Beberapa Fokus Umum
Amal Saleh
Kendati seluruh adab hari raya Al-Ghadir
masing-masing merupakan amal saleh, tetapi dalam sebuah aturan umum dan
sebagai pendahuluan adab-adab ini terdapat dalam riwayat: ‚Setiap
perbuatan baik (amal saleh) sama dengan perbuatan baik selama delapan
puluh bulan.‛[325]
Oleh karena itu, hari Al-Ghadir merupakan memiliki peran seperti bulan Ramadhan dan malam Qadhar.
Dari sini, dapat disebutkan bahwa amal saleh pada
hari-hari dan malam-malam ini senantiasa berada pada keadaan terbuka.
Pada saat-saat ini, layak kiranya bagi insan untuk memanfaatkan waktu
ini secara maksimal sehingga ia dapat mengerjakan kebaikan dan amal
saleh.
Menggemarkan Ibadah
Imam Ridha As bersabda, ‚Al-Ghadir merupakan hari
ketika Allah Swt akan menambahkan rezeki terhadap orang-orang yang
beribadah pada hari itu.‛[326]
Definisi ibadah secara umum adalah seluruh
perbuatan dilakukan dengan niat qurbah (mendekatkan diri) dan akan
menjadi penyebab dekatnya hamba kepada Tuhan.
Ibadah dalah artian ini boleh jadi berbentuk
perbuatan-perbuatan mubah. Artinya, apabila manusia dalam
perbuatan-perbuatan kesehariannya dengan berniat taqarrub dan meraup
keridhaan Allah, maka seluruh perbuatan tersebut terhitung sebagai
ibadah.
Ibadah yang dinasihatkan untuk dikerjakan pada hari
Al-Ghadir termasuk seluruh jenis ibadah yang kita kenal dalam Islam.
Mengerjakan shalat, berpuasa, mandi, berdoa, memanjatkan puji dan
syukur, berziarah, menyampaikan shalawat dan mengekspresikan barâ’at
(berlindung) dari musuh-musuh, masing-masing merupakan satu adab dari
adab-adab hari penuh berkah ini.
Berpuasa
Puasa merupakan sebuah bentuk ibadah disamping
bersifat wajib pada bulan Ramadhan, juga ada yang bersifat mustahab yang
dilakukan setiap hari sepanjang tahun, selain hari-hari Idul Fitri dan
Idul Qurban.
Akan tetapi pada beberapa hari tertentu sangat
dianjurkan untuk dilakukan. Riwayat-riwayat menyebutkan nilai-nilai yang
tinggi yang dikandung puasa-puasa tersebut. Salah satu puasa tersebut
adalah puasa hari Al-Ghadir.
Para Imam Maksum As tidak hanya mengharuskan diri
mereka untuk berpuasa pada hari ini, tetapi mereka juga mengajurkan
kepada para kerabat dan sahabatnya untuk mengikuti mereka berpuasa.
Demikian juga, dari riwayat yang dapat dimanfaatkan
bahwa puasa pada hari ini adalah sunnah Rasulullah Saw yang diwariskan
kepada kita.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa barangsiapa
berpuasa pada hari ke-18 Dzulhijjah, Allah Swt akan mencatatkan ganjaran
sebanyak enam ratus tahun puasa.[327]
Dalam sebuah riwayat, sembari memberikan nasihat
kepada orang-orang untuk berpuasa pada hari ini, Imam Shadiq As
bersabda, ‚Puasa pada hari ini sebanding dengan puasa selama enam ratus
bulan.‛[328]
Dalam riwayat yang lain, ia bersabda, ‚Puasa hari
Ghadir Khum, sebanding amalan seratus haji dan seratus umrah di sisi
Allah Swt.‛[329]
Demikian juga beliau bersabda, ‚Puasa pada hari
Ghadir Khum, sebanding dengan puasa seumur dunia. apabila seseorang
dapat hidup selama itu dan melakukan ibadah puasa seumur dunia.‛[330]
Shalat
Demikian juga kebanyakan hari dan keadaan-keadaan
khusus, ia mengerjakan shalat khusus untuk hari dan keadaan-keadaan itu.
Dan untuk hari Al-Ghadir dianjurkan melaksanakan beberapa jenis shalat
beserta adab-adab khususnya.
Sayid Bin Thawus Ra dalam kitab monumentalnya Iqbâl al-A’mâl menukil amalan tiga shalat hari Al-Ghadir dari Imam Shadiq As.
Menurut salah satu riwayat ini, Hadrat Shadiq As
bersabda, ‚Hari ini merupakan hari ketika Allah Swt mewajibkan kepada
orang-orang beriman untuk menghormatinya. Lantaran pada hari ini, Allah
Swt menyempurnakan agama-Nya dan melengkapkan nikmat atas mereka, dan
mengulang janji serta akad yang diambil dari mereka semenjak awal
penciptaan dan setelah itu mereka lupakan, lalu memberikan taufik kepada
mereka supaya mereka menerimanya dan tidak termasuk sebagai orang-orang
yang ingkar.‛[331]
Yang dimaksud ikrar (mitsâq) dalam hadis mulia ini
adalah ikrar yang disebutkan dalam Al-Quran ayat 172 Surah al-A’raf.
Dalam surah ini, Allah Swt berfirman: Dan ingatlah tatkala Tuhanmu
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‚Bukankah
Aku ini Tuhanmu?‛ Mereka menjawab: ‚Benar (Engkau Tuhan kami), kami
menjadi saksi.‛ (Kami lakukan demikian itu) agar di hari kiamat kalian
tidak mengatakan: ‚Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang
lalai terhadap ini (ke-Esaan Tuhan).‛
Ikrar (mitsâq) ini adalah mitsâq yang diambil Tuhan atas tauhid dan keesaan dalam ibadah dari umat manusia.
Karena itu, dari hadis ini dapat dikatakan bahwa
sebagaimana Dia mengambil janji dan ikrar dari manusia untuk menyembah
Tuhan dan mengesakan-Nya, Imam Shadiq As juga mengambil janji dan ikrar
dari manusia dalam hal wilâyah.
Ikrar atas tauhid, apapun bentuknya, juga berlaku dalam masalah wilâyah.
Apabila ada orang yang ingin seperti orang yang
bersama Rasulullah Saw pada hari itu, berperilaku jujur sebagai sahabat
Amirul Mukminin terhadap Allah dan Rasul-Nya, dan pada saat yang
bersamaan, ingin seperti orang yang syahid di sisi Rasulullah Saw,
Amirul Mukminin As, Imam Hasan dan Imam Husain As, dan seperti orang
yang berada di bawah panji Hadrat Imam Mahdi Ajf dalam kemahnya, dan
dari kalangan orang-orang besar dan tergolong orang selamat, maka
tatkala tiba waktu zuhur – yaitu saat-saat tatkala Rasulullah Saw
beserta sahabat-sahabatnya tiba di Ghadir Khum –mengerjakan dua rakaat
shalat, dan selepas shalat, mengerjakan sujud syukur dan seratus kali
membaca: ‚
شُكْراً لِلّ
ه
(Syukur hanya kepada Allah)[332]
Kemudian Hadrat memanjatkan doa yang panjang dan
mengajarkan kepada para hadirin ketika itu selepas mengerjakan shalat.
Doa ini secara asasi memiliki beberapa fokus umum:
1. Pengakuan terhadap akidah yang sehat dan benar Islam, seperti tauhid dan nubuwwah;
2. Bersyukur dan berterima kasih atas nikmat wilâyah;
3. Harapan untuk gigih dan istikamah di jalan kebenaran (haq);
Di antara salah satu untaian doa ini kita membaca:
Tuhanku! Dengan kemurahan dan kelembutan-Mu yang
membuat kami mendapatkan taufik untuk menyambut seruan nabi-Mu dan
membenarkannya, kami beriman kepada Amirul Mukminin dan mengingkari
thaghut dan para penyembah berhala. Setelah Engkau memilih kami untuk
ber-wilâyah, jadikan mereka sebagai wali kami dan dikumpulkan bersama
para pemimpin kami di hari Masyhar, dimana kami dengan keyakinan yang
kami tambatkan kepada mereka, kami pasrah kepada urusan mereka, lahir
dan batin, syahid dan ghaib, hidup dan matinya mereka, dan kami rela dan
ridha atas kepemimpinan mereka.
Mereka memadai menjadi wasilah antara kami dan
Tuhan, tidak perlu kepada yang lain. Kami tidak menghendaki pengganti
mereka, kami tidak mengambil selain mereka untuk menjadi teman setia dan
tempat curahan rahasia-rahasia kami.[333]
Dalam frase yang lain dari doa ini disebutkan:
Tuhanku aku bersaksi bahwa agama kami adalah agama Muhammad dan keluarga Muhammad dan ucapan kami adalah ucapan mereka.
Agama kami adalah agama mereka. Apa yang kami ucapkan adalah apa yang mereka sabdakan dan mengikuti apa yang mereka ikut.
Apa saja yang mereka ingkari, kami turut
mengingkarinya. Apa saja yang mereka cintai, kami juga mencintainya.
Dengan siapa pun mereka bermusuhan, maka akan juga menjadi musuh kami.
Siapa saja yang dilaknat oleh mereka, akan menjadi sasaran laknat kami.
Kepada siapa saja mereka muak, kami juga akan merasa muak. Kami
mengirimkan rahmat kepada siapa saja yang mereka kirimin rahmat.[334]
Shalat ini merupakan manisfestasi ruh yang
mengetahui anugerah Ilahi dan bersyukur secara hakiki dari segala nikmat
yang diterima. Mendirikan shalat ini pada waktu menjelang shalat zuhur
pada hari Al-Ghadir merupakan perlambang supaya orang yang mengerjakan
shalat menjadi tahu bahwa pada saat-saat ini Malaikat Jibril Amin turun
untuk menyampaikan pesan Ilahi,[335]
pesan utama dan asasi. Turunnya malaikat pembawa wahyu ini adalah membawa berita gembira kepada umat manusia berupa wilâyah.
Wilâyah merupakan penjamin kelestarian agama dan
jiwa syariat dan menjadi penopang tauhid, risalah, pembela keutamaan
takwa dalam komunitas umat manusia. Utamanya, karena menegakkan keadilan
merupakan tujuan asli diutusnya seluruh rasul Ilahi dan diturunkannya
kitab-kitab samawi. Menegakkan keadilan adalah sebagai tanggung jawab
mereka. (QS. al-Hadid [57]:25)
[Disebut] Utama lantaran apabila tidak disampaikan
berarti pesan Ilahi (secara keseluruhan, AK) tidak disampaikan. (Qs.
al-Maidah [5]:3)
Orang-orang yang mengerjakan shalat memberikan
perhatian pada semua hal ini dan dengan maksud untuk menyampaikan rasa
syukur, ia bersujud di atas tanah. Dalam keadaan bersyukur, ia
menempatkan dahinya di atas tanah dan dengan kerendahan hati ber-tawasul
menengadahkan tangannya ke haribaan Tuhan yang senantiasa menjaganya
pada kedudukan tinggi ini, dan terlepas dahaganya dari mata air rahmat
pada seluruh kehidupannya. Demikianlah ia akan sederajat dengan para
sahabat Rasulullah Saw dan satu kubu dengan para mujahid masa-masa awal
Islam.
Ia akan beserta dengan para syuhada yang berada di
samping Amirul Mukminin, Imam Hasan, Imam Husain yang memeluk para
syuhada dan ibarat seseorang yang menebaskan pedang di bawah panji Imam
Mahdi Ajf dan berposko di kemahnya.
Berziarah
Ziarah merupakan sumber mata air yang menyemburkan
air kepada para perindu yang terlupakan untuk melepas dahaganya dan
memenuhi jiwanya dengan kebeningan dan menyucikan ruhnya dari panasnya
perpisahan dalam arus kedekatan (qurb).
Ziarah merupakan buah rahmat dan ganjaran yang
diberikan kepada para salik atas kesabaran yang mereka jalani. Doa
ziarah adalah surat yang tak terbaca dari kehidupan yang konstan dan
wahana kucuran rahmat.
Apa yang dibacakan oleh para peziarah di Haram para
Maksum As sebenarnya merupakan kumpulan hasrat dan kecintaan serta
ajaran-ajaran benar yang ditunjukkan kepada para peziarah tatkala bersua
dan bercengkerama dengan para Imam Maksum, dan meminta penegasan dari
mereka.
Dan hal ini merupakan kebiasaan para salafusshaleh yang menjadi kenang-kenangan bagi kita.
Hari Al-Ghadir merupakan hari wilâyah dan wishâyah.
Hari yang merupakan milik Amirul Mukminin As dan dimeriahkan dengan
namanya yang agung.
Dari sini, salah satu adab yang terpenting hari
Al-Ghadir adalah mengulang ikrar dan baiat, menciptakan hubungan maknawi
dengan sang pemilik wilâyah.
Orang-orang Syiah merindukan dapat berdiri di
hadapan washi Rasulullah Saw dan menuruti perintahnya untuk memberikan
baiat kepada khalifahnya. Setiap tahun, ia memperbaharui ikrar ini dan
di haribaan Gerbang Ilmu Nabi, ia demonstrasikan imannya, dan
membubuhkan stempel Imam Hammâm (Imam Ali) pada surat keyakinannya.
Dalam sebuah riwayat dari Imam Ridha As yang
bersabda: ‚Di manapun kalian berada, cobalah untuk merayakannya di
sekitar Haram Hadrat Amirul Mukminin As. Karena Tuhan pada hari ini
mengampuni dosa-dosa orang beriman selama enam ratus tahun, dan melebihi
dua kali pahala bulan Ramadhan, malam al-Qadar , dan malam Idul Fitri,
yang membebaskan orang-orang beriman dari neraka.‛[336]
Apabila kita tidak dapat berziarah secara langsung di hadapan Haramnya, kita dapat berziarah dari kejauhan.
Diriwayatkan dari para imam suci bahwa pada hari
Al-Ghadir terdapat tiga ziarah. Ketiga ziarah tersebut dapat dibaca dari
dekat atau dari tempat yang jauh.
Yang paling tersohor dari ketiga ziarah itu adalah
doa ziarah Aminullah yang pendek dan ringkas dari sisi matan (isi) sahih
dan sarat dengan makna.
Dalam doa ziarah ini (Aminullahh), kita alamatkan kepada Amirul Mukminin As:
‚Salam padamu wahai Amin dan Hujjatullah di muka bumi,
Aku bersaksi wahai Amirul Mukminin bahwa engkau
telah berjuang di jalan Allah dengan sebenar-benarnya perjuangan
(jihad), engkau telah mengamalkan kitab Allah dan mengikuti sunnah
Rasulullah Saw hingga Allah Swt mengganjarimu dengan sebaik-baik
ganjaran, dan Dia memanggilmu dari dekat dan menempatkan ruh agungmu di
samping-Nya. Meski engkau memiliki seluruh burhan bagi seluruh makhluk,
Allah dengan kesaksianmu, Dia telah menamatkan hujjah atas
musuh-musuhmu.
‛Tuhanku! Hati-hati orang yang khusyuk takjub
kepada-Mu, jalan ke arah para perindu ke kediaman-Mu terbuka; Mereka
yang berhajat kepada-Mu, memiliki ayat-ayat yang jelas. Hati mereka yang
diperuntukkan untuk-Mu kosong selain-Mu. Bagi mereka yang
menghendaki-Mu, suaranya meninggi. Dan gerbang ijabah terbuka baginya.
Ia yang berkata jujur dengan-Mu doanya terkabulkan. Taubat adalah ia
yang kembali kepada-Mu dan diterima. Barangsiapa yang luruh air matanya
karena takut kepada-Mu, rahmat mengucur ke atasnya sebanyak cucuran air
matanya; barangsiapa yang mencari pertolongan dari-Mu, Engkau akan
menolongnya; barangsiapa yang ingin bantuan-Mu, Engkau akan membantunya;
Engkau memenuhi janji yang Engkau berikan kepada para hamba-Mu.
Barangsiapa yang menginginkan-Mu, Engkau akan mengabaikan
kesalahan-kesalahannya.‛[337]
Berbuat Kebajikan
Salah satu adab Idul Ghadir adalah berbuat ihsan
dan kebaikan kepada orang-orang Mukmin. Terdapat banyak riwayat yang
datang dari para Imam As dalam bagian ini. Di antara tanda-tanda
pentingnya ihsan (berbuat kebajikan) pada hari ini di antaranya:
Pertama: Dalam hadis dan riwayat, dengan tema yang
beragam, dianjurkan untuk berbuat ihsan. Infak, ihsan, menolong,
memperlakukan orang seperti apa yang diinginkan baginya untuk
diperlakukan (muwâsât), memberikan hadiah, bertamu, memberi makan,
memberikan [makanan untuk] buka puasa, mengasihi dan mencintai serta
berusaha memenuhi hajat-hajat orang beriman merupakan tanda-tanda yang
dianjurkan dalam riwayat untuk dilakukan.
Kedua: Dinasihatkan, barangsiapa yang tidak
memiliki harta untuk berbuat ihsan, hendaknya ia meminjamnya dari orang
lain. Imam Ali As bersabda, ‚Barangsiapa yang meminjam uang sehingga ia
dapat membantu saudara mukminnya, aku menjamin bahwa apabila ia masih
hidup, ia mampu membayar utang tersebut, dan apabila ia tidak dapat
menunaikan utangnya, lepas tanggung jawabnya.‛[338]
Sementara kita ketahui dari perspektif syariah
bahwa berutang bukanlah merupakan sebuah perbuatan yang baik, dan Islam
sangat menghargai hak-hak manusia.
Pada suatu Jumat yang bertepatan dengan hari
Al-Ghadir, Baginda Amirul Mukminin As menyampaikan khotbah. Khotbah yang
disampaikan oleh Amirul Mukminin As di antaranya:
‚Semoga Allah merahmati kalian! Tatkala kalian
beranjak meninggalkan tempat ini dan bertebaran di mana-mana,
tunaikanlah uang belanja keluarga kalian, berbuat baiklah kepada
saudara-saudara kalian, dan bersyukurlah kepada Allah Swt yang telah
menganugerahkan nikmat kepada kalian... Berbuat baik pada hari ini akan
menambahkan rezeki dan memanjangkan umur. Sayangilah orang lain –
semampu kalian – karena hal itu akan menurunkan rahmat dan cinta Allah.
Apa yang dianugerahkan Tuhan kepadamu, berbagilah dengan saudaramu.
Bersilaturahmilah kalian dengan suka dan cita.
Bersyukurlah kepada Tuhan atas anugerah yang diberikan kepadamu. Kepada
orang-orang yang mengharapkanmu, berilah bantuan lebih banyak kepadanya
sehingga kalian dapat berlaku secara adil di antara orang-orang papa dan
lemah.
Pada hari ini berinfak dengan satu Dirham setara dengan dua ratus Dirham, dan lebih banyak dari itu apabila Tuhan menghendaki.
Barangsiapa yang lebih dahulu berbuat baik kepada
saudaranya, dan dengan antusias berbuat ihsan, maka ia akan mendapatkan
ganjaran seperti ganjaran orang yang melakukan puasa pada hari ini.‛[339]
Merayakan dan Memeriahkan
Adalah terpuji bagi insan mukmin untuk berbeda pada
hari ini ketimbang hari-hari biasanya – dalam batasan normal dan
syar’i. Ia hadapi hari ini dengan penuh keceriaan dan kegembiraan. Di
antara tanda-tanda keceriaan yang terdapat dalam riwayat adalah mandi,
menggunakan minyak wangi, menghias dan mendandani diri, membersihkan
rumah, mengenakan pakaian baru, merasa bangga dan suci, bersilaturahmi,
menyampaikan ucapan selamat, berjabat tangan dan saling membagikan uang
belanja.
Bergembira pada hari Al-Ghadir, di samping sebagai
contoh di atas, berbagi simpati dan empati dengan Ahlul Bait, juga telah
dianjurkan dan ditegaskan.
Dalam sebuah riwayat, setelah memaparkan peristiwa
Al-Ghadir dan menyebutkan sebagian adab-adab hari bahagia ini, Imam
Shadiq As bersabda, ‚Makan dan minumlah. Kendati ada orang-orang yang
menyampaikan duka dan nestapa – semoga Tuhan melipatgandakan duka dan
nestapanya – bergembiralah dan meriahkanlah hari ini.‛[340]
Adalah baik manakala seseorang berduka dan bersedih
lantaran meninggalnya orang-orang yang dicintainya atau musibah yang
menimpanya, pada hari ini ia tepikan pakaian hitam itu sebagai alamat
duka. Imam Ridha As bersabda, ‚Hari ini adalah hari untuk mengenakan
pakaian-pakaian baru dan menepikan pakaian-pakaian hitam.‛[341]
Orang yang mengenakan pakaian-pakaian terbaik yang dimilikinya merupakan sebuah perbuatan terpuji. Imam Ridha As bersabda,
‚Hari ini adalah hari berindah-indah. Barangsiapa
yang menghias dirinya demi memuliakan hari ini, Allah Swt akan
mengampuni dosa besar dan dosa kecil yang pernah dilakukannya. Dia akan
menugaskan seorang malaikat untuk menulis kebaikan baginya hingga tahun
yang lain. Derajatnya akan ditinggikan dan apabila ia meninggal pada
waktu ini, ia meninggal dalam keadaan syahid, dan apabila ia hidup, ia
akan mendapatkan kebahagiaan.‛[342]
Demikian juga, adalah layak bagi seorang mukmin
untuk bertemu dengan saudara seiman dengan riang dan gembira dan
berusaha untuk menggembirakan semua orang.
Imam Ridha As bersabda:
‚Hari ini adalah hari untuk tersenyum di hadapan
orang-orang beriman. Barangsiapa yang membagi senyuman kepada
saudaranya, Allah Swt akan menatapnya dengan penuh rahmat pada hari
kiamat. Memenuhi segala hajat yang dimilikinya dan membangunkan sebuah
istana yang bergerbang putih untuknya dan membuat wajahnya penuh
keceriaan.‛[343]
Doa
Berdoa merupakan salah satu ibadah yang terbesar
yang disyariatkan dalam agama suci Islam. Doa adalah ibadah yang
ditegaskan dalam Al-Quran, Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepadaku,
niscaya akan kuperkenankan bagimu." Sesungguhnya orang-orang yang
menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk ke neraka dalam keadaan
hina dina." (QS. Al-Mu'min [40]:60)
Doa adalah cengkerama manusia dengan Tuhannya, Sang
Pencipta seluruh wujud. Doa menjadi penyebab timbulnya perhatian dan
inayah Tuhan kepada para hamba-Nya.
Al-Quran Karim menyebutkan:
﴿ قُلْ ماٰيَعبَ ؤُ بِكُمْ رَبٍّي لَو لا دُعا ئُکُم ﴾
Katakanlah sekiranya kalau bukan doa kalian, Tuhanku tidak akan memperhatikan kalian.‛ (QS. Al-Furqan [25]:77)
Doa merupakan hal yang urgen dalam kehidupan
manusia. Kehidupan tanpa doa ibarat gelombang yang bergemuruh dan pada
akhirnya terhempas pada rawa-rawa dunia. Doa adalah senandung kehidupan
atau denting genta kafilah yang beranjak menuju tujuannya. Kehidupan bak
tunas, dengan doa tunas itu tumbuh bersemi dan menuai buah.
Oleh karena itu, terlepas dari apakah manusia
memiliki hajat, atau telah terpenuhi hajatnya, doa merupakan program
dawam dan selalu menjadi keperluan insan beriman. Akan tetapi, terkadang
terdapat suasana dan keadaan khusus ketika doa mampu menyingkapnya,
membuahkan hasil dan memberikan aroma manis terhadap wujud manusia.
Hari Al-Ghadir merupakan waktu yang terbaik dan keadaan khusus untuk berdoa.
Imam Ridha As bersabda, ‚Hari Al-Ghadir adalah hari ketika doa diterima (mustajabah).‛[344]
Atas alasan ini, di samping terdapat doa-doa yang
dinukil dari riwayat pada ta’qib-ta’qib shalat mustahab dan berbagai
acara pada hari ini, juga terdapat doa yang dibacakan secara terpisah.
Fokus Doa-doa Ghadir
Fokus utama dalam doa-doa hari Al-Ghadir adalah
nikmat wilâyah. Orang yang memanjatkan doa pada hari ini, dengan
penjelasan yanga beragam, bercengkerama dengan Tuhannya ihwal nikmat
agung ini.
Terkadang ia bersyukur kepada Tuhan atas nikmat
agung ini yang telah dianugerahkan kepadanya. Terkadang ia meminta
kepada Tuhan untuk tidak mengambil nikmat ini darinya dan sepanjang
hayatnya ia mempertahankan nikmat ini dengan kokoh dan gigih.
Terkadang ia meminta kepada Tuhan sebagaimana Dia
menganugerahkan karamah ini kepadanya dan menganggap layak baginya untuk
menerima wilâyah ini, ia meminta juga kepada Tuhan untuk memaafkan
kesalahannya dan mengampuni dosa-dosanya.
Terkadang ia meminta untuk supaya Tuhan
memberikannya taufik supaya ia memenuhi tuntutan-tuntutan wilâyah ini;
ketaatan murni dari wali yang merupakan syarat utama wilâyah ini dan
memberikan taufik kepadanya hingga ia memusuhi orang yang memusuhi para
Imam Maksum As dan bersahabat dengan orang-orang yang bersahabat dengan
para Imam Maksum As.
Dalam untaian doa waktu pagi hari Al-Ghadir yang dikenal sebagai doa Zinat, kita membaca:
‚Kami adalah pecinta Ali dan pecinta orang-orang
yang mencintai Ali As; sebagaimana Engkau memerintahkan kami untuk
mencintainya dan memusuhi musuh-musuhnya. Barangsiapa yang membencinya,
kami turut membencinya. Murka mereka kepadanya, murka kami kepada
mereka. Mencintai mereka yang mencintainya.[345]
Terkadang menyebut kedudukan dan derajat para Imam
Maksum As. Dengan menyebut mereka membuat hati menjadi bersih
sebersih-bersihnya, menyaksikan dari dekat puncak keagungan para
awliya,. dan dengan mengirim salam berkelanjutan, ruh akan bersambung
dengan ruh-ruh mereka yang suci dan terapung di samudera yang tak
terbatas akan keutamaan manusia.
Dalam salah satu doa hari Ghadir Khum, kita membaca:
اللهم صل على محمد وآل محمد الأئمة القادة ، والدعاة السادة ،
والنجوم الزاىرة ، والأعلَم الباىرة ، وساسة العباد ، وأركان البلَد ،
والناقة المرسلة ، والسفينة الناجية الجارية في اللجج الغامرة
.
‚
Ya Allah! Sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad. Mereka adalah imam para pemimpin, pengajak pada kebahagiaan, bintang gemintang gemerlap, dan tanda-tanda yang terang. Merekalah yang mengatur urusan seluruh hamba-Mu, rukun-rukun negara, mukjizat yang dengannya orang-orang diuji, bahtera penyelamat yang berlayar di atas gelombang lautan.
Ya Allah! Sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad. Mereka adalah imam para pemimpin, pengajak pada kebahagiaan, bintang gemintang gemerlap, dan tanda-tanda yang terang. Merekalah yang mengatur urusan seluruh hamba-Mu, rukun-rukun negara, mukjizat yang dengannya orang-orang diuji, bahtera penyelamat yang berlayar di atas gelombang lautan.
Ya Allah! Sampaikan shalawat kepada Muhammad dan
keluarga Muhammad; penjaga ilmu, singgasana tauhid dan pengesaan Tuhan,
tiang agama dan sumber-sumber keteladanan, mereka yang Engkau pilih di
antara ciptaan-ciptaan-Mu dan hamba-hamba-Mu. Mereka adalah orang-orang
bertakwa dan suci, orang-orang mulia dan baik, gerbang yang menjadi
tempat ujian manusia. Barangsiapa yang memasukinya akan selamat dan
barangsiapa yang memalingkan diri, akan terjungkal.
Ya Allah! Sampaikan shalawat kepada Muhammad dan
keluarga Muhammad, ahli zikir yang Engkau firmankan adalah mereka tempat
kami bertanya, keluarga yang Engkau titahkan untuk kami cintai, yang
Engkau wajibkan untuk ditunaikan hak-haknya dan surga yang Engkau
anugerahkan kepada mereka yang mengikutinya.
Ya Allah! Sampaikan shalawat kepada Muhammad dan
keluarga Muhammad, lantaran mereka mendawuhkan untuk menaati-Mu dan
tidak bermaksiat kepada-Mu, dan mengajak hamba-hamba-Mu untuk
mengesakan-Mu.‛[346]
Persaudaraan Islam
Salah satu kebanggaan Islam adalah menciptakan
hubungan yang paling kokoh di antara orang-orang yang secara lahir tidak
memiliki hubungan satu dengan yang lain. Persaudaraan adalah hubungan
yang paling lekat dan terajut di antara dua orang.
Cinta persaudaraan merupakan cinta yang paling
kokoh dan kuat di antara seluruh bangsa. Akan tetapi di antara bangsa
Arab – khususnya pada masa-masa lampau – persaudaraan memiliki
penghormatan yang lebih sedemikian sehingga menjadi kriteria hak dan
batil, antara benar dan salah.
Dalam tradisi ini, saudara yang memiliki kebenaran
dan harus ditolong dan bangkit untuk membantunya meski pada hakikatnya
ia adalah seorang zalim dan pelanggar hak. Barangsiapa yang
menentangnya, ia harus dikalahkan kendati yang menentang itu berada pada
kubu yang benar.
Dalam lingkungan seperti ini, dengan definisi yang
baru tentang persaudaraan, Islam membidik kepercayaan yang batil dan
tidak benar ini dan menawarkan sebuah definisi baru sebagai berikut:
﴿إنَّمَا الْمُؤمِنُونَ إخْوَة ﴾
‚
Sesungguhnya setiap mukmin itu bersaudara‛
Sesungguhnya setiap mukmin itu bersaudara‛
(QS. Al-Hujurât [49]:10)
Oleh karena itu, insan non-mukmin dalam keluarga (Islam) ini adalah seorang asing, walau ia lahir dan besar dalam keluarga ini.
Persaudaraan ini merupakan kaidah yang dibangun
oleh Al-Quran. Berdasarkan kaidah ini, seluruh orang mukmin dalam
keluarga besar ini adalah saudara.
Dalam dua periode – pra dan pasca hijrah – dengan
maksud untuk menjaga keselarasan kaum Muslimin dan menghadapi
kesulitan-kesulitan yang mengancam pemerintahan baru dan masyarakat
Islam, Rasulullah Saw menyampaikan kaidah asasi ini. Ia menciptakan
hubungan persaudaraan antara sesama Muslim dan menjalinkan masing-masing
dua orang Muslim menjadi satu saudara.
Sekelompok besar sejarawan dan ahli hadis kawakan menulis:[347]
‚Kriteria Rasulullah Saw dalam menentukan saudara untuk masing-masing
Muslim, kesesuaian derajat dan kualitas, dan kedekatan derajat iman.‛
Rasulullah Saw mempersaudarakan orang-orang yang
memiliki kesamaan dan keserupaan satu dengan yang lain Misalnya, Umar
dipersaudarakan dengan Abu Bakar. Thalhah dan Zubair, Utsman dan
Abdurrahman bin Auf, Abu Dzar dan Miqdad, putrinya Fatimah Zahra dan
istrinya Ummu Salamah, masing-masing mengikat tali persaudaraan.
Atas alasan ini, Rasulullah Saw tidak mempersaudarakan Amirul Mukminin dengan siapa pun dari golongan Muslim.
Beliau mempersiapkan dirinya untuk merajut tali persaudaraan dengan Amirul Mukminin As.[348]
Rasulullah sendiri tidak memilih seseorang untuk ia
persaudarakan, hingga Amirul Mukminin As datang kepada Rasulullah Saw
dan berkata, ‚Aku melihat engkau mempersaudarakan seluruh sahabat, akan
tetapi tidak memilih seorang pun untuk menjadi saudaraku? Rasanya ruh
keluar dari ragaku dan seolah-olah pinggangku patah. Apabila engkau
marah kepadaku, engkau memiliki hak untuk menghukumku.‛ Dalam menjawab
kesah Amirul Mukminin, Rasulullah Saw bersabda, ‚Aku bersumpah demi yang
telah mengutusku dengan haq, aku sengaja menundanya supaya aku
memilihmu sebagai saudaraku.‛[349]
Pengaruh Persaudaraan Islam
Kaidah yang dibangun oleh Islam sebagai
persaudaraan , bukan hanya sebuah perkara konvensional dan bersandar
pada rencana lahiriah. Akan tetapi persaudaraan ini merupakan sebuah
realitas yang memiliki pengaruh nyata dan hakiki.
Satu umat Muhammad dan keluarga besar ahli iman
yang mengikuti satu sistem khusus. Setiap anggota dari keluarga besar
ini, dalam berhubungan dengan anggota lainnya, memiliki tugas untuk
saling memenuhi hak-hak anggota lainnya.
Terdapat banyak hadis yang bersumber dari Amirul
Mukminin As yang menetapkan tugas dan kewajiban saudara-saudara seiman.
Aturan praktis yang paling umum dalam bidang ini adalah hadis yang
diriwayatkan dari Rasulullah Saw, dan kita menukilnya dari kitab Makâsib
Muharramah, karya Syaikh Ansari Ra.
Syaikh Anshari menukil dari kitab Wasâil asy-Syiah,
dari Kanz Al- Fawâid karya Syaikh Karajiki yang menukil dari Amirul
Mukminin As bahwa Rasulullah Saw bersabda, ‚Setiap Muslim memiliki hak
sebanyak tiga puluh terhadap saudaranya yang lain. Dan ia tidak dapat
menghindar dari hak kecuali ia penuhi atau orang yang mesti ditunaikan
haknya memberi maaf kepadanya.
يَ غْفِرُ زَلَّتَو
1
.
Memaafkan kesalahannya
ويَ رْحَمُ عَ بْرتَو
2
.
Mengasihi cucuran air matanya
ويَسْتُ رُ عَوْرَتَو
. 3
Menutup aib-abinya
وَيُقيلُ عَثْ رَتَو
4
.
Mengurangi kesalahannya
وَيَ قْبَلُ مَعْذِرَتَو
. 5
Menerima maafnya
وَيَ رُدُّ غَيْبَتُو
. 6
Membelanya tatkala ia tidak ada
7ويُديمُ نَصيحَتَو
Senantiasa menginginkan kebaikan darinya
وَيَحْفَظُ خَلَّتَو
8
Memelihara persaudaraan dan kecintaannya
وَيَ رْعىٰ ذِمَّتَو
. 9
Memelihara orang yang berada dalam pengamanannya[350]
وَيَ عُودُ مَرَضَو .
10
Menengoknya tatkala sakit
ويَشْهَدُ مَيٍّتَو
11
Mengurus jenazahnya
وَيُجِيبُ دَعْوَتَو
12
Memenuhi undangannya
وَيَ قْبَلُ ىَدِيَ تَو
. 13
Menerima hadiah darinya
وَيُكَافى صِلَتَو
14
Membalas kebaikan dan hadiah yang diterima darinya
وَيَشْكُرُ نِعْمَتَو .
15
Mensyukuri pemberian darinya
وَيَحْسُنُ نُصْرَتَو
. 66
Menolongnya dengan baik
وَيَحْفَظُ حَلِيلَتَو
67
Menjaga kehormatannya
وَيَ قْضِى حٰاجَتَو
. 68
Memenuhi hajatnya
وَيَسْتَ نْجِحُ مَسْئَ لَتَو
. 69
Memecahkan masalah yang ia hadapi
2وَيُسَمٍّتُ عَطْسَتَو
0
Berkata alhamduliLlah manakala ia bersin
2وَي رُْشِدُ ضٰالَّتَو
6
Membimbing orang-orang yang hilang darinya
2وَيَ رُدُّ سَلَٰمَو
2
Menjawab salamnya
وَيُطِيبُ كَلَٰمَو .
3
Berbicara santun dengannya
2وَ يَ بَ رُّ اِنْ عٰامَو
. 4
Menerima pemberiannya
2وَيُصَدٍّقُ اَقْسٰامَو
5
Meyakini sumpahnya
2وَيُواٰلى وَلِيَّو .
6
Mencintai orang yang mencintainya
2وَلاٰ ي عُٰادِيوِ
. 7
Tidak memusuhinya
2وَيَ نْصُرُهُ ظٰاِلماً وَمَظْلُومًا اَمّٰا نُصْرَتُوُ ظٰالِمًا فَ يَ رُدُّهُ عَنْ ظُلْمِوِ
. 8
وَاَمّٰا نُصْرَتُوُ مَظْلُومًا فَ يُعِينُوُ عَلىٰ اَخْذِ حَقٍّوِ
.
Menolongnya, baik ia berlaku aniaya atau dianiaya;
artinya apabila ia berlaku aniaya, mencegahnya dari berbuat aniaya. Dan
apabila ia teraniaya, membantunya untuk mendapatkan haknya.
2وَلاٰ يُسَلٍّمُوُ وَلاٰ يَخْذُلُوُ
9
Tidak meninggalkannya sendiri tanpa pertolongan
وَِيُحِبُّ لَوُ مِنَ الْخَيْرِ مٰا يُحِبُّ لِنَ فْسِوِ وَ يَكْرَهُ لَوُ مِنَ الشَرٍّ مٰا يَكْرَهُ لِنَ فْسِوِ
30
Mencintai baginya kebaikan apa yang dicintainya, dan membenci yang buruk apa yang buruk baginya.
Kemudian Baginda Amirul Mukminin Ali As bersabda, "Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda:
اِنَّ اَحَ دُكُمْ لَيَدَعُ مِنْ حُقُوقِ اَخِيوِ شَيئًا فَ يُطالِبُوُ بِوِ يَ وْمَ القِياٰمَةِ فَ يَ قْضىٰ لَوُ عَلَيْوِ
"Terkadang di antara kalian tidak menunaikan
hak-hak saudaranya dan ia akan menuntut hak-haknya yang telah dilalaikan
pada hari kiamat dan ia (yang melalaikan) akan terhukum di hadapan
mahkamah Ilahi.‛[351]
Akad Persaudaraan pada Hari Ghadir
Almarhum Muhaddits Qummi dalam kitab Mafatih Al-Jinan, menganggap akad ukhuwah sebagai adab hari Al-Ghadir, menulis:
‚Sangat tepat kiranya pada hari ini membacakan akad
ukhuwwah dengan saudaranya seiman. Cara-caranya seperti yang ditulis
oleh syaikh kita dalam Mustadrak Al-Wasâil[352]
yang menukilnya dari kitab Zadul Firdaus seperti ini, tangan kanannya mengangkat tangan kanan saudara mukminnya dan membaca:
وَآخِيتُكَ فِي اللّو وَصٰافَ يْتُكَ فِي اللّوِ وَصٰافَحْتُكَ فِي اللّو
وَعٰاىَدْتُ اللّو وَمَلََئِكَتَوُ وَكُتُبَوُ وَرُسُلَوُ
وَأَنْبِيٰائَوُ وَالْأَئِمَّةَ المَعْصُومِينَ عَلَيهِمْ السَلَمُ عَلىٰ اَ نىٍّ إنْ كُنْتُ مِنْ أَصْحٰابِ الْجَنَّةِ
وَالشَّفَاعَةِ وَاُذِنَ لى بِأَنْ أَدْخُلَ الْجَنَّةَ لَا أَدْخُلُهٰا إِلَّا وَأَنْتَ مَعَى
;
‚
Aku telah menjadi saudaramu karena Allah dan aku telah memilihmu karena Allah dan aku memberikan tanganku kepadamu karena Allah, dan aku mengikat janji kepada Allah, para malaikat, para rasul-Nya dan para imam maksum As bahwa sekiranya aku menjadi penduduk surga dan mendapatkan syafaat dan memiliki izin untuk memasuki surga, aku tidak akan memasukinya kecuali bersamamu memasukinya.”
Aku telah menjadi saudaramu karena Allah dan aku telah memilihmu karena Allah dan aku memberikan tanganku kepadamu karena Allah, dan aku mengikat janji kepada Allah, para malaikat, para rasul-Nya dan para imam maksum As bahwa sekiranya aku menjadi penduduk surga dan mendapatkan syafaat dan memiliki izin untuk memasuki surga, aku tidak akan memasukinya kecuali bersamamu memasukinya.”
Kemudian yang diajak berikrar dan berjanji mengatakan: ‚Aku menerimanya.‛ Dan setelah itu berkata:
أ سْقَطْتُ عَنْكَ جَمِيعَ حُقُوقِ الْأِخْوَةِ مٰا خَلََ الشَّفٰاعَةَ وَالدُّعٰا وَالِزيٰارَة
;
Kutinggalkan seluruh hak persaudaraan darimu
Selain syafaat, doa dan ziarah.
Tugas-tugas setiap mukmin di hadapan saudara
seagamanya terdapat dua jenis: sebagian memiliki hukum syar’i dan
termasuk sebagai taklif. Artinya setiap mukmin memiliki tugas untuk
memenuhi hak-hak saudaranya seiman.
Sebagian yang lain adalah hak-hak yang masing-masing dimiliki oleh keduanya.
Dari sisi tidak terlepasnya hukum syariat, artinya
tidak satupun yang dapat membatalkan hukum syariat. Oleh karena itu, apa
yang batal dari akad ini, merupakan sisi sekunder, akan tetapi dari
sisi bahwa masing-masing dari hak-hak ini yang merupakan bagian dari
hukum-hukum syariat dan masing-masing bertugas untuk menunaikannya, maka
hal ini tidak dapat menjadi batal.
Pengaruh Akad Persaudaran
Tanpa ragu bahwa akad ini dari kaca mata sosial
akan menjadi sebab terekatnya hati-hati dan menimbulkan cinta dan
menghidupkan mental untuk bekerja sama. Dari sisi maknawi, juga memiliki
hasil yang sangat bernilai dimana hasil itu adalah janji untuk
memberikan syafaat. Syafaat merupakan kaidah yang kita terima
berdasarkan Al-Quran yang kita yakini bersama Dan, kita ketahui bahwa
Allah Swt apabila Dia menghendaki, Dia dapat memberikan izin kepada
orang untuk memberikan syafaat.[353]
Salah satu kelompok yang memberikan syafaat di hari kiamat adalah orang-orang beriman sesuai dengan izin Allah Swt.
Oleh karena itu, manusia dengan membaca ikrar dan
akad ini pada hakikatnya membawanya kepada rahmat dan ridha Allah Swt.
Akan tetapi harus diperhatikan bahwa pengaruh-pengaruh yang muncul dari
persaudaraan nasabi (keturunan) dan susuan seperti mahramiyat (saudara
sesusuan yang kemudian menjadi mahramnya, AK), warisan dan silaturahmi,
tidak berlaku dalam hal persaudaraan seiman ini.
Dengan demikian, dua orang yang membaca akan
persaudaraan hendaknya menjauhkan diri dari percampuran dengan maharim
satu sama lain, dan harus diketahui bahwa akad ini tidak akan menjadikan
keduanya menjadi mahram dengan saudari-saudari, putri-putri dan para
ibu dari mereka masing-masing.
Akad Persaudaran di antara Wanita
Ukhuwwah dalam bahasa Arab tidak melulu semakna
dengan pengertian persaudaraan tetapi memiliki makna yang menjuntai
dimana para wanita juga termasuk di dalamnya.
Ahli bahasa berkata, ‚Akh (saudara) artinya
seseorang yang berasal dari sulbi dan rahim yang sama denganmu.‛ Oleh
karena itu, akhwat, persaudarian juga termasuk di dalamnya.
Atas alasan ini sinonim akhwat dalam bahasa Arab
adalah ukht, termasuk feminim akh. Dari sini, seluruh aturan yang
mengulas tentang ukhuwwah mukminah dihitung sebagai sesuatu yang tunggal
termasuk di dalamnya pria dan wanita.
Baginda Nabi Saw juga tatkala merajut tali
persaudaraan di antara kaum Mukmin di Madinah, mempersaudarikan putrinya
Fatimah Zahra dengan Ummu Salamah istrinya.[354]
Oleh karena itu, akad ukhuwwah pada hari Al-Ghadir
tidak hanya khusus untuk kaum pria saja, kaum hawa juga dapat membaca
akad persaudarian.[]
Daftar Pusaka
1. Âtsâr al-Bâqiyah, Abu Raihan Biruni, terjemahan Akbar Dana Seresyt, Bin Sina, 1352 S.
2. Itsbâtul Washiyyah lil Imâm ‘Ali bin Abi Thalib
As, Abul Hasan ‘Ali bin Husain bin ‘Ali Mas’ud, wafat 3435 H, Penerbit
Bashirati, cetakan kelima.
3. Al-Isti’âb fî Ma’rifatil Ashâb, Abu ‘Umara Yusuf
bin ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdil Bar (Sunni), Intisyarat Nahdha
al-Misr li ath-Thiba’a wa an-Nasyr wa at-Tauzi’ Kairo.
4. Usud al-Ghabah fii Ma’rifati al-Ashab, Abu ‘Umar
Yusuf bin ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdulbar (Sunni), Intisyarat
Nahdha al-Misr li ath-Thiba’a wa an-Nasyr wa at-Tauzi’ Kairo.
5. Asna al-Mathalib fii Manâqib Sayyiduna ‘Ali bin
Abi Thalib, Syamsuddin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Jazari Syafi’i
(Sunni), wafat pada tahun 833 H, Kitabkhane Amir al-Mu’minin As,
Isfahan.
6. I’lam al-Wara bi A’lam al-Huda, Aminul Islam Abu
‘Ali Fadhl bin Hasan Thabarsi (Syi’ah), ulama abad ke-6, Darul Kitab
al-Islamiyah, Teheran.
7. Iqbâl al-A’mal, Radhiuddin Abul Qasim ‘Ali bin
Musa bin Ja’far bin Thawus (Syi’ah) – lebih dikenal sebagai Sayid bin
Thawus, wafat pada tahun 664 H, cetakan batu dari Penerbit Darul Kitab
al-Islamiyah, Teheran, 1390 H atau 1349 S.
8. Al-Imâmah wa as-Siyâsah, atau lebih populer
dengan sebutan Târikh al-Khulafâh, Abu Muhammad 'Abdillah bin Muslim bin
Qutaibah Dainawari (Sunni), wafat pada tahun 276 H, Intisyarat Musthafa
Abu wa Abna.
9. Imtâ’ al-Asmâ, Taqiyuddin Ahmad bin 'Ali Maqrizi
(Sunni), Lajnah at-Ta'lif wa at-Tarjamah wa an-Nasyr bil Kahira (Kairo)
: 1941 M.
10. Bihâr al-Anwâr, 'Allamah Muhammad Baqir Majlisi (Syi'ah), Muassasah al-Wafa, Beirut: 1403 H atau 1983 M.
11. Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, Abul Fada bin Katsir
Damsyqi (Sunni), wafat pada tahun 774 H, Darul Kitab al-'Ilmiyyah,
Beirut: 1405 H atau 1985 M.
12. Tâj al-‘Arus, Sayid Muhammad Murthadha Husaini Zubaidi Thabari (Sunni, Intisyarat Istiqamat Kairo: 1385 H atau 1939 M.
13. Târikh al-Umam wal Muluk, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Thabari (Sunni), Intisyarat al-Istiqamah Kairo, 1358 H, 1939 M.
14. Târikh Baghdad, Abu Bakar Ahmad ‘Ali Khatib Baghdadi (Sunni), wafat tahun 463 H, Darul Fikri Beirut.
15. Târikh Habib as-Sair fi Akhbar Afrad Basyar,
Ghiyatsuddin bin Hammamuddin al-Husaini (Sunni), lebih dikenal sebagai
Khund Amir, wafat tahun 942 H, Intisyarat Maktaba Khayyam, Teheran,
cetakan ketiga: 1362 S.
16. Târikh Raudhatush Shafa, Mir Muhammad bin Sayid
Burhanuddin Khawund Syah (Sunni), lebih dikenal sebagai Mirkhand, wafat
tahun 903 H, Nasyriyat Markazi, Khayyam, Firuz.
17. Târikh Madinah Damsyiq, populer dengan nama
Târikh bin ‘Asakir, Abul Qasim ‘Ali bin Hasan bin Hubbatullah Syafi’i,
lebih dikenal sebagai Bin ‘Asakir, wafat tahun 571 H, terbitan Muasassah
Mahmudi, Beirut: 1398 H, 1978 M.
18. Tadzkiratul Khawwash, ‘Allamah Sibth bin Jauzi
(Sunni), wafat pada tahun 654 H, Muassasah Ahlil Bait, Beirut: 1401 H
atau 1981.
19. At-Tafsir al-Kabir, Abu ‘Abdillah Muhammad bin
‘Umar bin Husain Thabari, lebih dikenal sebagai al-Imam al-Fakhr Ramni,
wafat tahun 606 H, (Sunni).
20. Tafsir Qur’ân, Abul Qasim Furat bin Ibrahim bin
Furat Kufi, ulama yang hidup pada masa ghaibah sughrah, terbitan
Muassasah dan Nasyr Wizarat ats-Tsaqafiyah wal Irsyad Islami, Teheran,
cetakan pertama: 1410 H, 1990 M.
21. Talkhish asy-Syafi, Syaikh ath-Thaifah Abu
Ja’far Muhammad bin Thusi, wafat tahun 460 H, terbitan Darul Kutub
al-Islamiyah Qum, cetakan ketiga: 1294 H, 1974 M, (Syi’ah).
22. at-Tanbih wal Isyrâf, Abul Hasan ‘Ali bin
Husain bin ‘Ali Mas’ud (Sunni), wafat pada tahun 345 H, cetakan
Intisyarat Darush Shawi, Kairo.
23. Tahzib at-Tahzib, Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad
bin ‘Ali bin Hajar ‘Aqlani (Sunni), wafat pada tahun 852 H, Darul Kutub
al-‘Ilmiyyah, Beirut, cetakan pertama: 1415 H atau 1994 M.
24. Tsimar al-Qulub fii al-Mudhaf wal Mansub, Abu
Manshur ‘Abdul Mulk bin Muhammad bin Isma’il Tsa’alabi Naisyaburi
(Sunni), wafat pada tahun 429, Darul Ma’rif Kairo,
25. Al-Jâmi’ li Ahkam al-Qur’ân, populer dengan
nama Tafsir Qurthubi, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad Nashari Qurthubi
(Sunni), Darul Ihya at-Turatas al-‘Arabi, Beirut.
26. Hilyatul Awliyâ wa Thabaqâtul Asfiyâ, Abu Na’im
Ahmad bin ‘Abdullah Isfahani (Sunni), wafat pada tahun 430 H, Darul
Kitab al-‘Arabi, Beirut: 1407 H atau 1987 M.
27. Ad-Durrul Mantsûr fii Tafsir bil Ma’tsûr,
‘Allamah Jalaluddin ‘Abdurrahman Suyuthi (Sunni), wafat tahun 911 H,
Mathba’ Ayatullah al-Uzhma Mar’asyi Najafi, Qum: 1404 H.
28. Dzakhâirul Aqâbi, Abul ‘Abbas Ahmad bin
Abdullah bin Muhammad bin Abu Bakar bin Muhammad Thabari (Sunni), wafat
pada tahun 694 H, Maktabatu al-Qudsi Kairo: 1356 H.
29. Rahnamân al-Haramaîn asy-Syarifaîn, Abu Ibrahim Ghaffari, salah seorang ulama kontemporer Syi’ah, Intisyarat Uswah: 1370 H.
30. Rabi’ul Abrâr wa Nushushul Akhbâr, Mahmud bin ‘Umar Zamakhsyari, wafat pada tahun 528 H, Darul Dzakhair, Qum:1410 H.
31. Ar-Riyadh an-Nadharah fii Manaqib al-‘Asyarah
al-Mubasyarah, Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdullah Thabari (Sunni), dikenal
sebagai Muhib Thabari, wafat tahun 694 H, Darul Nadwah al-Jadidah,
Beirut, cetakan pertama: 1408 H atau 1988 M.
32. Sunan Bin Majah, Abu ‘Abdillah Muhammad bin
Yazid Qazwini (Sunni), wafat pada tahun 275 H, Darul Ihya Turats
al-‘Arabi, Beirut: 1395 H atau 1975 M.
33. Sunan Tirmidzi, Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Surah (Sunni), wafat pada tahun 279 H, Darul Fikr, Beirut.
34. As-Sirah an-Nabawiyah, Abu Muhammad ‘Abdul Mulk
bin Hisyam bin Ayyub Humairi (Sunni), wafat tahun 213 H, Mustafa Bani
wa Awladuhu, Mesir: 1355 H atau 1936 M.
35. As-Sirah Khalabiyah, ‘Ali bin Burhanuddin Halabi (Sunni), wafat pada tahun 1044 H, Darul Ma’arif, Beirut.
36. As-Sirah an-Nabawiyah wal Atsar
al-Muhammadiyah, Sayid Ahmad Zaini (Sunni), dikenal sebagai Dahlan,
Darul Ma’arif, Beirut, cetakan kedua.
37. Ash-Shawâiqul Muhriqah fii Rad ‘Ala Ahli Bid’ah
wa az-Zindiqah, Ahmad bin Hajar Haitami Makki (Sunni), wafat pada tahun
974 H, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut: 1405 H atau 1983 M.
38. Al-‘Aqdul Farid, Ahmad bin Muhammad bin
‘Abdurabbah al-Andalusi (Sunni), wafat pada tahun 328 H, Darul Ihya
at-Turats al-‘Arabi: 1409 atau 1989 M.
39. Al-Ghadir fil Kitâb wa as-Sunnah wa al-‘Adab,
Syaikh ‘Abdul Husain Ahmad a-Amini (Syi’ah), al-Haidari, Teheran: 1396
atau 1976 M.
40. Farâidh as-Simthain, Ibrahim bin Muhammad bin
Muayyad Juwaini Khurasani(Sunni), wafat pada tahun 730 H, Muassasah
Mahmudi, Beirut: 1400 H atau 1980 M.
41. Faîdh al-Qadîr Syarh al-Jâmi’ ash-Shagîr, ‘Allamah Muhamad ‘Abdurrauf al-Munâwi(Sunni), Beirut: 1391 H atau 1972 M.
42. Al-Kâfi, Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub Kulaini (Syi’ah), wafat pada tahun 328 H, Darul Kutub al-Islamiyah: 1367 H.
43. Al-Kâmil fii at-Târikh, ‘Izzuddin Abul Hasan
‘Ali bin Abi al-Karam Syaiyan (Sunni), dikenal sebagai Bin Atsir, wafat
pada tahun 630 H, Darush Shadr, Beirut: 1385 H atau 1965 M.
44. Al-Kassyâf ‘an Haqâiq Ghawâmidh at-Tanzil,
Muhammad bin ‘Umar Zamakhsyari (Sunni), wafat pada tahun 528, Darul
Kitab ‘Arabi, Beirut.
45. Kanzul ‘Ummâl fii Sunan al-Aqwâl wal Af’âl,
‘Alauddin ‘Ali al-Munqi bin Hassamuddin al-Hindi al-Burhan Fauri
(Sunni), wafat pada tahun 975 H, Muassasah Risalat :1399 H atau 1979 M.
46. Lisânul ‘Arabi, Abul Fadhl Jamaluddin Muhammad
bin Mukarram bin Manzhur Afrikai Mesri (Sunni), wafat pada tahun 711 H,
Nasyr Adab al-Hauzah: 1405 H atau 1363 S.
47. Majma’ al-Bahraîn, Syaikh Fakhruddin Tharihi (Syi’ah), wafat pada tahun 1085 H, Murthadawi, Teheran.
48. Majma’ az-Zawâid wa Manba’ al-Fawâid, Nuruddin
‘Ali bin Abi Bakar Haitsami (Sunni), wafat pada tahun 807 H, Darul Kitab
al-‘Ilmiyyah, Beirut: 1408 H atau 1988 M.
49. Al-Murâqabât, Haj Mirza Jawad Aqa Maliki Tabrizi (Syiah), wafat pada tahun 1343 H, Haidari, Teheran: 1381 H.
50. Al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihaîn, ‘Abdullah Hakim Naisyaburi (Syi’ah), Darul Ma’rifat, Beirut.
51. Mustadrak al-Wasâil, Haj Mirza Husain Nuri
Thabarsi (Syi’ah), dikenal sebagai Muhaddits Nuri, wafat pada tahun 1320
H, Muassasah Ali Bait, Qum: 1407 H.
52. Musnad Imâm Ahmad bin Hanbal, Imam Ahmad bin Hanbal (Sunni), Darush Shadir, Beirut.
53. Mishbâhul Mujtahid, Syaikh ath-Thaifah Abu
Ja’far Muhammad bin Hasan bin ‘Ali Thusi (Syi’ah), wafat pada tahun 460
H, Muassasah Fiqh as-Syi’ah, Beirut, cetakan pertama:1411 H.
54. Al-Mathâlib as-Suul fii Manâqib Âli Rasul,
Kamaluddin Muhammad bin Thalhah Syafi’i (Sunni), wafat pada tahun 654 H,
tulisan tangan, Muassasah Darul Hadis, Qum.
55. Mu’jam al-Buldân, Abu ‘Abdillah Ya’qub bin
‘Abdillah Hamu Baghdadi, wafat pada tahun 626 H, Darul Ihya at-Turats
al-‘Arabi, Beirut: 1399 H atau 1979 M.
56. Al-Mu’jam al-Kabîr, Abul Qasim Sulaiman bin
Ahmad Thabarani (Sunni), wafat pada tahun 360 H, Darul Ihya at-Turats
al-‘Arabi, Beirut: 1405 H atau 1984 M.
57. Maqtal al-Husaîn, Maufuq bin Ahmad bin Muhammad Makki Khawarzami (Sunni), wafat pada tahun 568 H, Intisyarat Mufid, Qum.
58. Al-Makâsib, Syaikh Murtadha al-Anshari
(Syi’ah), wafat pada tahun 1281 H, cetakan batu dari penerbit
Ittila’at-e Tabriz: 1375 H.
59. Al-Manâqib, Maufuq bin Ahmad bin Muhammad Makki Khawarzami (Sunni), wafat pada tahun 568 H, Jamiatul Mudarrisin, Qum.
60. Al-Manâqib ‘Ali bin Abi Thâlib¸ lebih dikenal
sebagai Manâqib Bin Maghâzali, Abul Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Muhammad
al-Wasithi al-Jalali asy-Syafi’i (Sunni), popular dengan nama Bin
Maghâzali, wafat tahun 483 H, Maktabah al-Islamiyah, Teheran: 1403 H.
61. Manâqib al-Imâm Amirul Mukminin, Hafizh
Muhammad bin Sulaiman Kufi (Sunni), dari ulama abad ketiga, Majma’ Ihya
ats-Tsaqafah al-Islamiyah, Qum: 1412 H.
62. Muntahal Âmal fii Ahwâlâti Nabî wal Âli, Haj Syaikh ‘Abbasi Qummi, ulama kontemporer Syi’ah, Sazeman Intisyarat Javidan.
63. Mizân al-‘Itidâl fii Naqd ar-Rijâl, Abu
‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman Dzahabi (Sunni), wafat pada
tahun 748 H, Darul Ma’arif, Beirut.
64. Nuzulul Abrâr Bimâ Shahha min Manâqib Ahlil
Bait al-Athhâr, Muhammad bin Mu’tamid Khan Badakhsyani Haritsi (Sunni),
wafat pada tahun 1126 H, Syarkatul Kutubi, Beirut, cetakan kedua: 1413
atau 1993 M.
65. Nazamu Durra as-Samathaîn fii Fadhâil
al-Musthafâ wa al-Murtadhâ wa al-Batûl wa as-Sibthaîn, Jamaluddin
Muhammad bin Yusuf bin Hasan bin Muhammad Zarnadi Hanafi (Sunni), wafat
pada tahun 750 H, Intiyarat Nainawa.
66. Nahjul Balâgha, terjemahan Dr. Sayid Ja’far
Syahidi, ulama kontemporer Syi’ah, Sazeman Intisyarat wa Amuzesyi
Inqilab Islami, Teheran: 1368 S.
67. Nawâdir al-Usûl fii Ma’rifati Ahâdits ar-Rasûl,
Abu ‘Abdillah Muhammad Hakim Tirmidzi (Sunni), wafat pada tahun 319 H,
Darul Kutub al-‘Ilmiyyah Beirut: 1413 H.
68. Wasâil asy-Syi’ah ilâ Tahshâl Masâil
asy-Syariah, Syaikh Muhammad bin Hasan Hur ‘Amili (Syi’ah), wafat pada
tahun 1104 H, Muassasah Alil Bait, Qum.
69. Wafayâtul A’yân wa Anbâu Abnâi az-Zamân,
Syamsuddin Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakar bin Khallaqan, lebih dikenal
sebagai Bin Khallaqan (Sunni), wafat pada tahun 681 H, Darul Ihya
at-Turats al-Arabiyah, Beirut: 1397 atau 1977 M.
70. Waqa’atu ash-Shiffîn, Nasr bin Mazahim Minqari, wafat pada tahun 212 H, Intisyarat Madani, Kairo.
71. Yanâbi’ul Mawaddah, Sulaiman bin Ibrahim
al-Qanduzi al-Hanafi (Sunni), wafat pada tahun 1294 H, Maktaba
al-Haidiriyyah, Najaf: 1384 atau 1965.[]
Daftar Isi
PERISTIWA GHADIR DALAM 1
PERSPEKTIF AHLUSUNNAH 1
Muhammad Ridha Jabbariyan 1
Iftitah 2
Sekapur Sirih dari Penulis 3
Bagian Pertama 6
Kisah Al-Ghadir6
Al-Ghadir8
Ghadir Khum 8
Laporan dari Hajjatul Wida’9
Seremoni Ucapan Selamat18
Penyematan Jubah Kebesaran pada Hari Al-Ghadir21
Kebenaran Peristiwa Ghadir dalam Perspektif Sejarah 22
Kandungan Hadis Al-Ghadir28
1. Istidlâl Ummu Aimmah, Fatimah Zahra As 33
2. Istidlâl Imam Hasan Mujtaba As 34
3. Istidlâl ‘Ammar Yasir35
4. Istidlâl Ashbagh bin Nabatah 35
5. Istidlâl Istri Darami37
6. Istidlâl Pemuda Tak Dikenal38
7. Istidlâl Amr bin Ash 38
8. Istidlâl Umar bin Abdul Azis 39
9. Istidlâl Makmun, Khalifah Bani Abbasiyah 40
Bagian Kedua 43
Khilâfah dan Wishâyah 43
Khalifah yang Memerintah dengan Kebenaran 43
1. Pemerintahan Lahir43
2. Pemerintahan Maknawi43
Dalil-dalil Tegas atas Khilâfah Imam Ali As 46
1. Hadis Yaum al-Dâr47
2. Hadis Manzilah 49
3. Hadis Wishâyah dan Wirâtsah 51
4. Ali adalah Wali Mukminin 53
5. Hasil-hasil Kepemimpinan Ali dalam Sabda Nabi Saw 54
6. Khilâfah Intishâbi Ali As 55
Bagian Ketiga 56
Kriteria-kriteria 56
1. Kecintaan 56
1.1. Kecintaan kepada Ali As adalah Kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya 58
1.2. Mencintai Ali Mendatangkan Kebahagiaan 59
1.3. Mencintai Ali adalah Sebuah Amal Saleh 60
1.4. Tidak Mencintai Ali Membuat Seluruh Amalan Ditolak 60
1.5. Kebencian kepada Ali Tidak Akan Bersatu dengan Kecintaan kepada Rasulullah Saw 61
1.6. Kebencian kepada Ali Tidak Akan Bersatu dengan Iman 61
1.7. Kebencian kepada Ali adalah Kekafiran 62
1.8. Kecintaan kepada Ali adalah Alamat Keimanan dan Kebencian kepadanya adalah Alamat Kemunafikan 63
2. Menyakiti Ali adalah Menyakiti Rasulullah Saw 63
3. Mencela Ali adalah Mencela Rasulullah Saw 64
4. Meninggalkan Ali Meninggalkan Rasulullah Saw 64
5. Memerangi Ali adalah Memerangi Rasulullah Saw 64
6. Panji Hidayah 65
7. Ali bersama Kebenaran 65
8. Kebenaran bersama Ali65
9. Ali, hak dan Al-Quran 66
10. Ali dan Al-Quran 66
11. Ali Laksana Ka’bah 66
12. Ali adalah Gerbang Ampunan 67
13. Mizan Iman 67
14. Pembeda antara Hak dan Batil67
15. Tanda Keimanan 67
16. Pembagi Surga dan Neraka 68
17. Surat Izin untuk Melintasi Shirath 69
18. Kemenangan dengan Mengikuti Ali70
19. Para Syi’ah (Pengikut) Ali di Surga 70
20. Partai yang Meraih Kemenangan 70
21. Mengikuti Ali, Terpuji dan Ridha 70
22. Mengingat (Dzikir) Ali adalah Ibadah 71
23. Memandang Wajah Ali adalah Ibadah 71
24. Ali adalah Gerbang Surga 72
25. Pendaran Cahaya Ali di Surga 72
26. Ali adalah Bapak Kaum Muslimin 72
27. Menaati Ali72
28. Penjaga Rahasia Rasulullah Saw 73
29. Ali adalah Kepala bagi Rasulullah Saw 73
30. Gelar-gelar Imam Ali As 73
Bagian Keempat77
Selangit Keutamaan 77
1. Kesamaan Substansi dengan Rasulullah Saw 78
2. Tarbiyah Imam Ali As 80
3. Latar Belakang dalam Islam 82
4. Ilmu dan Pengetahuan 86
5. Pengorbanan dan Pembelaan terhadap Islam 90
6. Kekerabatan 96
7. Zuhud 101
Bagian Kelima 106
Perlakuan Khusus Rasulullah Saw 106
Perlakuan Khusus Rasulullah Saw 106
1. Menutup Semua Pintu 107
2. Perhatian Khusus 108
3. Berbisik dengan Tuhan 108
4. Gelar Amirul Mukminin 109
5. Penyampaian Surah Al-Taubah 109
6. Pembawa Panji Rasulullah Saw 109
7. Pernikahan dengan Fatimah As 110
Bagian Keenam 112
Adab-adab dan Kebiasaan Pada Hari Ghadir112
Sejarah Idul Ghadir di Kalangan Muslimin 112
Adab-adab dan Amalan Idul Ghadir119
Adab-adab ‘Idul Ghadir dalam Beberapa Fokus Umum 120
Amal Saleh 120
Menggemarkan Ibadah 121
Berpuasa 122
Shalat123
Berziarah 127
Berbuat Kebajikan 129
Merayakan dan Memeriahkan 130
Doa 132
Fokus Doa-doa Ghadir133
Persaudaraan Islam 136
Pengaruh Persaudaraan Islam 138
Akad Persaudaraan pada Hari Ghadir141
Pengaruh Akad Persaudaran 142
Akad Persaudaran di antara Wanita 143
Daftar Pusaka 145
[1]Menurut
ahli bahasa dan sejarawan, kota kecil ini tidak ada pada masa-masa
lampau dan kemudian muncul. Rabigh pada masa Rasulullah Saw tidak lebih
dari sekedar sebuah belantara. Tharihi dalam Majmâ Al-Bahrain menulis:
Rabigh merupakan sebuah belantara dekat Juhfah. Disebutkan dalam Majmâ’
al-Buldân, jilid 3, hal. 11: ‚Rabigh adalah sebuah belantara antara
Bazwah dan Juhfah yang dilintasi oleh para haji.‛
[2]Rahnemâi Haramain Syarifain, jilid 5, hal. 13.
[3]Muntahâ Al-Amâl, jilid 1, hal. 120, Târikh Habib Al-Siyar, jilid 1, hal. 411..
[4]Sirah Halabi, jilid 3, hal. 312.
[5]Ibid, jilid 3, hal. 309..
[6]Imtâ’ Al-Asmâ’, hal. 510.
[7]Ibid, hal. 51.
[8]Sirah Halabi, jilid 3, hal. 312.
[9]Sirah Zaini Dahlan, jilid 2, hal. 143; Sirah
Halabi, jilid 3, hal. 308, Imtâ’ Al-Asmâ’, hal. 512; Tadzkirah
Al-Khawwâs, hal. 37.
[10]Sirah Halabi, jilid 3, hal. 308.
[11]Imta’ Al-Asma’, hal. 518; Sirah Halabi, jilid 3, hal. 517.
[12]Sirah Halabi, jilid 3, hal. 317.
[13]Sirah Halabi, jilid 3, hal. 317.
[14]Ibid.
[15]Imta’ Al-Asma’, hal. 518.
[16]Sirah Halabi, jilid 3, hal. 318.
[17]Ibid, jilid 3.
[18]Ibid, hal. 319.
[19]Sirah Halabi, jilid 3, hal. 321.
[20]Ibid, hal. 325.
[21]Sirah Halabi, jilid 3, hal. 307; Imtâ’ Al-Asmâ’, hal. 510; Sirah Zaini Dahlân, jilid 2, hal. 143.
[22]Habib Al-Siyar, jilid 1, hal. 411.
[23]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 79, bab 11, hadis ke-37.
[24]Manâqib ibn Maghâzali, hal. 16.
[25]Sirah Halabi, jilid 3, hal. 336; Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 45, hadis ke-547.
[26]Kanz Al-‘Ummâl, jilild 13, hal. 104 dan 105, hadis ke-36340 hingga 36344 dan hal. 133, hadis ke-36420.
[27]Ibid., jilid 13, hal. 138, hadis ke-36437.
[28]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 73, bab 12, hadis ke-39.
[29]Sirah Halabi, jilid 3, hal. 336, dan Majmâ Al-Zawâid, jilid 9, hal. 104 hingga 108.
[30]Seluruh khotbah dapat Anda jumpai pada
Al-Ghadir, jilid 1, hal. 10 dan 11, Nawâdir Al-Ushul, jilid 1, hal. 163;
Mu’jam Kabir Thabarani, jilid 5, hal. 166, hadis ke-4971; Nuzul
Al-Abrâr, hal. 51.
[31]Manâqib ibn Maghâzali, hal. 19, hadis ke-24; Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 73, bab 12, hadis ke-39 & 40.
[32]Farâidh Al-Simthain, ibid.
[33]Târikh Raudhah Al-Syifâ, jilid 1, hal. 541.
[34]Târikh Habib Al-Siyar,jilid 1, hal. 411.
[35]I’lâm Al-Wara’ bi A’lam Al-Huda, hal. 133.
[36]Al-Ghadir, jilid 1, hal. 270; dinukil dari
kitab Al-Wilayah, karya Muhammad bin Jarir Thabari; Manâqib ‘Ali bin Abi
Thalib, karya Ahmad bin Muhammad Thabari dikenal sebagai Khalili.
[37]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 65, bab 9, hadis ke-30 & 31 dan 70 & 71, bab 11, hadis ke-38.
[38]Al-Ghadir, jilid 1, hal. 272 hingga 283.
[39]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 73, bab
12, hadis ke-39 & 40, Maqtal Khawârazmi, jilid 1, hal. 48, Tadzkirah
Al-Khawwâs, hal. 39.
[40]Al-Ghadir, jilid 1, hal. 270; dinukil dari
kitab Al-Wilayah, karya Muhammad bin Jarir ath-Thabari; Manâqib ‘Ali bin
Abi Thalib, karya Ahmad bin Muhammad Thabari dikenal sebagai Khalili.
[41]Tâj Al-‘Arus, kata tauj, jilid 5, hal. 40 & 4; Lisân Al-Arab, kata tauj.
[42]Nazhm Dur ra Al-Simthain, hal. 112; Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 76, bab 12, hadis ke-42.
[43]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 76, bab
12, hadis ke-43; Manâqib Al-Imâm Amir Al-Mukminin, jilid 2, hal. 42,
hadis ke-5529; Nazhm Dur ra Al-Simthain, hal. 112.
[44]Manâqib Al-Imâm Amir Al-Mukminin As, jilid 2, hal. 389, hadis ke-864.
[45]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 75, bab
12, hadis ke-41; Manâqib Al-Imâm Amir Al-Mukminin, jilid , hal. 389,
hadis ke-864.
[46]Nazhm Dur ra as-Simthain, hal. 112; Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 76, bab 12, hadis ke-42.
[47]Kanz Al-‘Ummâl, jilid 13, hal. 114, hadis
ke-36371, dan hal. 129, hadis ke- 36407, dan hal. 131, hadis ke-36419;
Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 85, bab 16, hadis ke-65.
[48]Silahkan Anda lihat pada bagian kedua dari buku ini.
[49]Yanâbi’ Al-Mawaddah, hal. 39: Rasulullah Saw
bersabda: ‚Aku tinggalkan dua pusaka di tengah-tengah kalian, Kitabullah
dan Ithrahku; keduanya tidak akan berpisah dari yang lainnya hingga ia
menjumpaiku di telaga Kautsar dan apabila kalian berpegang teguh
kepadanya, kalian tidak akan tersesat selamanya.‛
[50]QS Al-Syura [42]:23.
[51]QS. Ali ‘Imran 3:61.
[52]QS. Al-Maidah [5]: 55.
[53]Talkhish Al-Syafi, jilid 1, hal. 167.
[54]Al-Ghadir, jilid 1, hal. 14 hingga 151.
[55]Al-Ghadir, jilid 1, catatan kaki hal. 14.
[56]Ash-Shawâiq al-Muhriqah, hal. 188.
[57]Manâqib ibn Maghâzali, hal. 27, hadis ke- 39.
[58]Iqbâl al-‘Amâl, hal. 453.
[59]Al-Ghadir, jilid 1, hal. 152 hingga 158.
[60]Sumber dari hadis-hadis ini segera akan disebutkan dalam bagian ini.
[61]Al-Ghadir, mukadimah jilid 6, hal. wa & zain.
[62]Al-Ghadir, jilid 1, hal. 344 hingga 350.
[63]Wafâyat Al-A’yân, jilid 5, hal. 231.
[64]Sayid ibn Thawus menukil matlab ini dalam kitab Iqbâl Al-‘Amâl, hal. 456 dari kitab Al-Nasyr wa Al-Thai.
[65]Tadzkirah Al-Khawwâsh, hal. 38.
[66]Mathâlib Al-Su'al, hal. 16, baris 25.
[67]Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 21, hadis ke- 521; Majmâ Al-Zawâid, jilid 9, hal. 104.
[68]Musnad Ahmad ibn Hanbal, jilid 1, hal. 119.
[69]Ibid Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 68
& 69, bab 10, hadis ke- 34 & 36; Kanz al-‘Ummâl, jilid 13, hal.
154, hadis ke- 36480 dan hal. 157, hadis ke- 36485; Manâqib ibn
Maghâzali, hal. 28, hadis ke- 38 dan hal. 20, hadis ke-37; Târikh
Dimasyq, jilid 2, hal. 12, hadis ke-511509, dan hal. 14, hadis ke-514
dan hal. 19, hadis ke-517.
[70]Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 9, hadis ke-506
dan hal. 11, hadis ke- 508, hal. 24, hadis ke-523; Kanz Al-‘Ummâl,
jilid 13, hal. 170, hadis ke- 36515, dan Majmâ Al-Zawâid, jilid 9, hal.
105.
5 Tadzkirah Al-Khawwâsh, hal. 35; Kanz al-‘Ummâl,
jilid 13, hal. 158, hadis ke- 36487, dan hal. 170, hadis ke- 36514;
Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 18, hadis ke- 515 & 516, dan hal. 25,
hadis ke- 524, Majmâ Al-Zawâid, jilid 9, hal. 105; Yanâbi’ al-Mawaddah.
[71]Tadzkirah Al-Khawwâsh, hal. 35; Kanz
al-‘Ummâl, jilid 13, hal. 158, hadis ke- 36487, dan hal. 170, hadis ke-
36514; Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 18, hadis ke- 515 & 516, dan
hal. 25, hadis ke- 524, Majmâ Al-Zawâid, jilid 9, hal. 105; Yanâbi’
al-Mawaddah.
[72]Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 5, hadis ke- 503 dan hal. 27, hadis ke- 530 dan Majmâ Al-Zawâid, jilid 9, hal. 107.
[73]Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 13, hadis ke-
512 dan hal. 14, hadis ke- 513 dan hal. 18, hadis ke- 516; Majmâ
Al-Zawâid, jilid 9, hal. 108.
[74]Musnad Ahmad ibn Hanbal, jilid 4, hal. 307;
Târikh Al-Khulafâ, hal. 188; Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 7, hadis
ke-505; Majmâ Al-Zawâid, jilid 9, hal. 104.
[75]Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 6, hadis ke- 504, hal. 22, hadis ke- 522.
[76]Ibid, hal. 12, hadis ke- 510.
[77]Ibid, hal. 20, hadis ke- 520.
[78]Tadzkirat Al-Khawwâsh, hal. 35; Majmâ Al-Zawâid, jilid 9, hal. 104.
[79]Yanâbi’ Al-Mawaddah, hal. 36.
[80]Asnâ Al-Mathâlib, hal. 50. Jazairi pengarang
kitab menulis: Sanad riwayat menukil hadis Al-Ghadir ini merupakan sanad
yang paling indah karena dalam hadis tersebut terdapat lima orang
Fatimah, yang masing-masing menukil dari bibi mereka, Fatimah binti Imam
Ridha As dari Fatimah dan Zainab serta Kultsum binti Musa bin Ja’far,
dari Fatimah binti Imam Shadiq, dari Fatimah binti Imam Baqir As, dari
Fatimah binti Imam Sajjad, dari Fatimah dan Sukainah binti Imam Husain
As, dari Ummu Kultsum binti Fatimah Zahra As.
[81]Yanâbi’ al-Mawadadah, hal. 578.
[82]Waqa’at ash-Shiffin, hal. 338.
[83]Tadzkirat Al-Khawwâsh, hal. 83.
[84]Rabi’ Al-Abrâr, jilid 3, hal. 269, bab 41.
[85]Majmâ’ Al-Zawâid, jilid 9, hal. 105.
[86]Tadzkirat Al-Khawwâsh, hal. 84.
[87]Dinar adalah mata uang yang berasal dari
emas, sedangkan dirham mata uang yang berasal dari perak. Di samping
itu, berat dirham ekuivalen dengan berat 8/10 minwân dinar.
[88]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 66, bab 10, hadis ke- 31; Hilyat Al-Awliyâ, jilid 5, hal. 364.
[89]Al-‘Aqd Al-Farid, jilid 5, hal. 82.
[90]Târikh Dimasyq, jilid 3, hal. 145, dan Yanâbi’ Al-Mawaddah, 344.
[91]Ibid, jilid 3, hal. 146, hadis 1163 dan Târikh Baghdâd, jilid 1, hal. 135.
[92]Kanz Al-‘Ummâl, jilid 13, hal. 131, hadis ke-36419 dan hal. 149, hadis ke-36465; Târikh Thabari, jilid 2, hal. 62.
[93]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 85, bab 16, hadis ke-65.
[94]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 306 hingga 394 dan 336 hingga 356, bab 16, hadis ke-65.
[95]Musnad Imâm Ahmad ibn Hanbal, jilid 1, hal.
177; Al-Shawâiq Al-Muhriqah, hal. 178, hadis pertama; Farâidh
Al-Simthain, jilid 1, hal. 122, bab 21, hadis ke-85 hingga 89; Kanz
Al-‘Ummâl, jilid 13, hal. 158, hadis ke-9 dan 36488; Târikh Dimasyq,
jilid 3, hal. 145, hadis ke-150; Manâqib Ibn Maghâzali, hal. 27 hingga
37, hadis ke- 40 hingga 55.
[96]وَاجْعَلْ لِى وَزِيرًا مِنْ اَىْلِى .ىٰارُونَ اَخِى. اُشْدُدْ بِوِ اَزْرِى. وَ اَشْرِكْوُ فِى اَمْرِى
‚Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari
keluargaku. (Yaitu) Harun, saudaraku. Teguhkanlah dengan ia kekuatanku.
Dan jadikanlah ia sekutu dalam urusanku. (QS. Thaha [20]:29 – 32)
[97]وَ قٰالَ مُوسٰىِ لاَخِيوِ ىٰارُونَ اخْلُفْنِي فِى قَومِى وَ اَصْلِحْ وَ لَا تَ تَّبِعُ سَبِيلَ الْمُفْسِدِينَ
"Dan berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun,
‚Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah
engkau mengikuti orang-orang yang membuat kerusakan.‛ (QS. Al-A’raf 7:
142)
[98]Kanz Al-Ummâl, jilid 13, hal. 114, hadis ke- 36370 dan hal. 105. hadis ke-36345.
[99]Al-Shawâiq Al-Muhriqah, hal. 188, hadis ke-6 dan Sunan ibn Majah, jilid 1, hal. 44, bab 11, hadis ke-119.
[100]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 311, bab
57, hadis ke-249 dan hal. 315, bab 58, hadis ke-250, Târikh Dimasyq,
jilid 1, hal. 130, hadis ke-155 & 157 & 158.
[101]Târikh Baghdâd, jilid 1, hal. 135; Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 235, bab 46, hadis ke-183 hingga 185.
[102]Kanz Al-‘Ummâl, jilid 13, hal. 131, hadis ke- 36419 dan Târikh Thabari, jilid 2, hal. 62.
[103]Târikh Dimasyq, jilid 3, hal. 5, hadis ke-1030 & 1031 dan Manâqib ibn Maghâzali, hal. 200, hadis ke-238.
[104]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 272, bab 52, hadis ke-211.
[105]Ibid., hal. 315, bab 58, hadis ke-25.
[106]Kanz Al-‘Ummâl, jilid 13, hal. 106, hadis ke-36345.
[107]Al-Mustadrak ‘ala Shahihain, jilid 3, hal. 126.
[108]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 56, bab
16, hadis ke-21; Kanz Al-‘Ummâl, jilid 13, hal. 135, hadis ke-36425 dan
jilid 3, hal. 142, hadis ke-36444.
[109]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 266, bab
52, hadis ke-208 dan Târikh Dimasyq, jilid 3, hal. 90 hingga 94, hadis
ke-1119 hingga hadis ke-1123.
[110]Târikh Dimasyq, jilid 3, hal. 95, hadis ke-1124 dan Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 247, bab 52, hadis ke-212.
[111]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 256, bab 52, hadis ke-207.
[112]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 269, bab 52, hadis ke-210.
[113]Ibid, jilid 1, hal. 271, bab 52, hadis ke-211.
[114]Mustadrak ‘ala Al-Shahihain, jilid 3, hal. 155.
[115]Al-Shawâiq Al-Muhriqah, hal. 187, hadis 2; Kanz Al-’Ummâl, jilid 13, hal. 145, hadis 36457, dan Dzakhair Al-Uqba, hal. 62.
[116]Kanz Al-’Ummâl, jilid 13, hal. 143, hadis ke-36447.
[117]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 324, bab 58, hadis ke-252, dan Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 159, hadis 646.
[118]Mustadrak ‘ala Al-Shahihain, jilid 3, hal. 155; Usd Al-Ghabah, jilid 4, hal. 111.
[119]Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 162, hadis ke-648.
[120]Mustadrak ‘ala Al-Shahihain, jilid 3, hal. 130; Al-Shawâiq Al-Muhriqah, hal. 188, hadis ke-5.
[121]Ibid., jilid 3, hal. 132; Al-Shawâiq
Al-Muhriqah, hal. 187, hadis ke-2; Kanz Al-‘Ummâl, jilid 13, hal. 123,
hadis ke-36393, dan hal. 162, hadis ke-36493.
[122]Usd Al-Ghabah, jilid 4, hal. 11; Sunan
Al-Tirmidzi, jilid 5, hal. 595; Kanz Al-‘Ummâl, jilid 13, hal. 166, dan
hal. 167, hadis ke-36508; Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 209, bab
42, hadis ke-165 hingga 167; Manâqib ibn Maghazali, hal. 165 hingga 175,
hadis ke- 189 hingga 212.
[123]Kanz Al-‘Ummâl, jilid 13, hal. 109, hadis ke-36358.
[124]Mustadrak ‘ala Al-Shahihain, jilid 3, hal. 128.
[125]Mustadrak ‘ala Al-Shahihain, jilid 3, hal.
130; Al-Shawâiq Al-Muhriqah, hal. 197, hadis ke-17; Manâqib ibn
Maghâzali, hal. 96, hadis ke-233.
[126]Usd Al-Ghabah, jilid 4, hal. 110.
[127]Mustadrak ‘ala Al-Shahihain, jilid 3, hal. 128.
[128]Kanz Al-‘Ummâl, jilid 13, hal. 145, hadis ke-36458.
[129]Târikh Baghdâd, jilid 3, hal. 161.
[130]Ibid,, jilid 4, hal. 195; Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 103, hadis ke-610.
[131]Ibid, jilid 4, hal. 410; Al-Shawâiq Al-Muhriqah, hal. 193, hadis ke-32; Manâqib ibn Maghâzali, hal. 243, hadis ke-290.
[132]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 332, bab 61, hadis ke-257, dan Târikh Dimasyq, jilid 1, hal. 148, hadis ke-182.
[133]Târikh Dimasyq, jilid 1, hal. 145, hadis ke-179.
[134]Kanz Al-‘Ummâl, jilid 13, hal. 122, hadis ke-36392, Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 134, bab 22, hadis ke-96.
[135]Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 210, hadis ke-712.
[136]Kanz Al-‘Ummâl, jilid 13, hal. 159, hadis ke-36491.
[137]Sunan Al-Tirmidzi, jilid 5, hal. 601.
[138]Kanz Al-‘Ummâl, jilid 13, hal. 120, hadis
ke-36385 dan hal 117, hadis ke-36529; Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal.
130, bab 22, hadis ke-92, 93, 95; Al-Shawaiq Al-Muhriqah, hal. 188,
hadis ke-8.
[139]Al-Mustadrak ‘ala Al-Shahihain, jilid 3,
hal. 129; Usd Al-Ghabah, jilid 4, hal. 110; Al-Shawaiq Al-Muhriqah, hal.
188, hadis ke-8; Kanz Al-‘Ummâl, jilid 13, hal. 106, hadis ke-36347.
[140]Kanz Al-‘Ummâl, jilid 13, hal. 142, hadis
ke-36445; Al-Shawaiq Al-Muhriqah, hal. 190, hadis ke-16; Faraidh
Al-Simthain, jilid 1, hal. 298, bab 55, hadis ke-226; Târikh Dimasyq,
jilid 1, hal. 420, hadis ke-494 hingga 502.
[141]Târikh Dimasyq, jilid 1, hal. 452, hadis ke-501.
[142]Al-Mustadrak 'ala Al-Shahihain, jilid 3,
hal. 121; Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 302, bab. 56, hadis ke-241,
Al-Sawâiq Al-Muhriqah, hal. 190, hadis ke-16.
[143]Al-Mustadrak 'ala Al-Shahihain, jilid 3,
hal. 123; Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 299, bab. 55, hadis ke-8
dan 237; Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 267, hadis ke-796, Manâqib ibn
Maghâzali, hal. 240, hadis ke-287 dan 288; Manâqib Khawarazmi, hal. 105,
hadis ke-109.
[144]Manâqib ibn Maghâzali, hal. 65, hadis ke-90, hal. 50, hadis ke-73; Dzakhair Al-Uqba, hal. 25.
[145]Al-Mustadrak 'ala Al-Shahihain, jilid 3, hal. 121; Târikh Baghdâd, jilid 14, hal. 21.
[146]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 177, bab 36, hadis ke-139.
[147]Ibid, hadis ke- 140; Târikh Dimasyq, jilid 3, hal. 153, hadis ke-1172.
[148]Al-Mustadrak 'ala Al-Shahihain, jilid 3, hal. 124; Al-Shawâiq Al-Muhriqah, hal. 191, hadis ke-21, Faidh Al-Qadir, 3564.
[149]Usd Al-Ghabah, jilid 4, hal. 31.
[150]Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 406, hadis ke-912; Manâqib ibn Maghâzali, hal. 107, hadis ke-149.
[151]Al-Shawâiq Al-Muhriqah, hal. 193, hadis ke-34.
[152]Kanz Al-'Ummâl, jilid 13, hal. 152, hadis ke-36477; Manâqib ibn Maghâzali, hal. 70, hadis ke-101.
[153]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 39, bab
1, hadis ke-3 dan hal. 140, bab 24, hadis ke- 102; Târikh Dimasyq, jilid
3, hal. 157, hadis ke-1174.
[154]Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 489, hadis ke-1019.
[155]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 325, bab
59, hadis ke-5 dan 234; Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 224, hadis ke-762;
Al-Shawâiq Al-Muhriqah, hal. 195, hadis ke-40.
[156]Kanz Al-'Ummâl, jilid 13, hal. 152, hadis ke-36475.
[157]Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 2423, hadis ke-761 hingga 763; Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 289, bab 54, hadis ke-228.
[158]Al-Shawâiq Al-Muhriqah, hal. 195, hadis ke-40.
[159]Manâqib ibn Maghâzali, hal. 242, hadis ke-289; Dzakhair Al-Uqba, hal. 71.
[160]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 156, bab 31, hadis ke-118; Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 344, hadis ke-853, 856, 858.
[161]Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 345, hadis ke-853.
[162]Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 347, hadis ke-854.
[163]Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 408, hadis ke-914; Manâqib ibn Maghâzali, hal. 206 dan 243.
[164]Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 391, hadis
ke-894 hingga 911; Al-Shawaiq al-Muhriqah, hal. 190, hadis ke-15;
Manâqib ibn Maghâzali, hal. 206, hadis ke-244 hingga 245.
[165]Ibid., hal. 457, hadis ke-989; Manâqib ibn Maghâzali, hal. 86, hadis ke-127.
[166]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 295, bab
55, hadis ke-233; Al-Shawâiq Al-Muhriqah, hal. 193, hadis ke-36; Manâqib
ibn Maghâzali, hal. 140, hadis ke-184.
[167]Ibid., hadis ke-234; Târikh Dimasyq, jilid
2, hal. 271, hadis ke-797 hingga 799; Manâqib ibn Maghâzali, hal. 47,
hadis ke-70.
[168]Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 266, hadis ke-793 hingga 795.
[169]Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 311, hadis ke-722.
[170]Manâqib ibn Maghâzali, hal. 73, hadis ke-108.
[171]Manâqib ibn Maghâzali, hal. 92, hadis ke-135
& 136; Faidh Al-Qadir, jilid 4, hal. 357; Al-Riyadh Al-Nadhirah,
jilid 2, hal. 105
[172]Kanz Al-'Ummâl, jilid 13, hal. 164.
[173]Sunan ibn Majah, jilid 1, hal. 44, bab 11, hadis ke-120; Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 247, bab. 47, hadis ke-192 .
[174]Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 261, hadis ke-787; Al-Shawâiq Al-Muhriqah, hal. 188, jilid 4.
[175]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 141, bab 25, hadis ke-104.
[176]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 143, bab 25, hadis ke-104.
[177]Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 260, hadis ke-
785; Kanz Al-'Ummâl, jilid 119, hadis ke- 2 dan 36381; Al-Shawâiq
Al-Muhriqah, hal. 193, hadis ke-37.
[178]Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 259, hadis ke-783.
[179]Ibid, hal. 260, hadis ke-786.
[180]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 154, bab 31, hadis ke-116.
[181]Ibid, hal. 156, bab 31, hadis ke-118; Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 442, hadis ke-958.
[182]Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 243, hadis ke-800 hingga 804; Manâqib ibn Maghâzali, hal. 45, hadis ke-67.
[183]Târikh Dimasyq, jilid 1, hal. 130, hadis ke-155. Hadis yang serupa juga terdapat pada hadis ke-157 dan 158.
[184]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 311, bab 57, hadis ke-249 dan hal. 315, bab 58, hadis ke-250.
[185]Târikh Dimasyq, jilid 3, hal. 311 hingga 317, hadis ke-1350 hingga 1357.
[186]Ibid, jilid 3, hal. 127, hadis 1149 dan Al-Shawâiq Al-Muhriqah, hal. 186.
[187]Al-Mustadrak ‘ala Al-Shahihaîn, jilid 3,
hal. 107; Al-Shawâiq Al-Muhriqah, hal. 186, bagian kedua; Farâidh
Al-Simthaîn, jilid 1, hal. 379, bab 69, hadis 309; Târikh Dimasyq, jilid
3, hal. 83, hadis ke-1117.
[188]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 364, bab 66, hadis ke-292.
[189]Manâqib ibn Maghâzali, hal. 145, hadis ke-188.
[190]Al-Sawâiq al-Muhriqah, hal. 196 dan Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 430, hadis ke-940.
[191]Ibid, dan Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 431, hadis ke-941.
[192]Ibid, dan Kanz Al-’Ummâl, jilid 13, hal. 108, hadis ke-36353; Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 429, hadis ke-938.
[193]Mizân Al-‘Itidâl, jilid 1, hal. 235; Târikh
Baghdad, jilid 6, hal. 85; Hilyat Al-‘Awliyâ, jilid 1, hal. 84; Farâidh
Al- Simthain , jilid 1, hal. 40, bab 1, hadis ke- 5 dan 17; Târikh
Damsyq, jilid 1, hal. 139, hadis 173 dan 176.
[194]Al-Mustadrak ‘ala Al-Shahihaîn, jilid 2,
hal. 241 dan jilid 3, hal. 160; Al-Shawâiq Al-Muhriqah, hal. 190, jilid
12; Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 52, bab 5, hadis 17; Târikh
Dimasyq, jilid 1, hal. 139, hadis ke-173 dan 176.
[195]Al-Mustadrak ‘ala Al-Shahihaîn, jilid 2,
hal. 241; Usd Al-Ghabah, jilid 4, hal. 42, Kanz Al-’Ummâl, jilid 13,
hal. 108, hadis 36355.
[196]Al-Mustadrak ‘ala Al-Shahihaîn, jilid 2,
hal. 120; Tafsir Al-Kasysyâf, jilid 3, hal. 360; Al-Shawâiq Al-Muhriqah,
hal. 194, hadis 40.
[197]Majma’ Al-Zawâid, jilid 9, hal. 111.
[198]Al-Riyadhah Al-Nadhirah, jilid 2, hal. 108.
[199]Faidh Al-Qadir, jilid 4, hal. 365.
[200]Manâqib ibn Maghâzali, hal. 92, hadis ke-135
dan 136; Al-Riyadhah Al-Nadhirah, jilid 2, hal. 105; Faidh Al-Qadir,
jilid 4, hal. 357.
[201]Al-Mustadrak ‘ala Al-Shahihaîn, jilid 3, hal. 576; Manâqib Khawârazmi, hal. 51, hadis ke-13.
[202]Al-Kâmil fii Al-Târikh, jilid 2, hal. 57 dan Târikh Al-Thabarî, jilid 2, hal. 52.
[203]Nahj Al-Balâghah, terjemahan Dr. Sayid
Ja’far Syahidi, hal. 229, penggalan khotbah 192 yang dikenal sebagai
khotbah qâshi’ah.
[204]Itsbât Al-Washiyah, hal. 140.
[205]Bihâr Al-Anwâr, jilid 40, hal. 153, hadis
54, bab 93. Almarhum Muqarram dalam kitab Al-Sayyidatu Sukainah, hal. 35
memberi catatan di bawah hadis ini: ‚Alusi menulis ucapan ini dalam
tafsir Ruh Al-Ma’âni, jilid 3, hal. 27 di bawah ayat ‚Kaifa tuhyi
al-maut. Abu Suud dalam kitab tafsirnya yang memberikan ulasan atas
kitab tafsir Al-Razi, jilid 4, hal. 570 di bawah ayat: ‚wa idzâ tuliyat
‘alaihim ayatun zadathum imânan.‛ Dalam surah Al-Anfal yang menukilnya
dari Amirul Mukminin As.
[206]Târikh Dimasyq, jilid 4, hal. 364, hadis ke- 872 dan 871; Manâqib ibn Maghâzali, hal. 279, hadis 330.
[207]Usd Al-Ghabah, jilid 4, hal. 93; Al-Shawâ’iq
Al-Muhriqah, hal. 185, bagian pertama; Faraidh Al-Simthain, jilid 1,
hal. 243, bab. 47, hadis ke-188; Târikh Dimasyq, jilid 1, hal. 48, hadis
ke-70.
[208]Sunan Al-Tirmidzi, jilid 5, hal. 598;
Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 246, bab 47, hadis ke-189; Usd
Al-Ghabah, jilid 4, hal. 93; Kanz Al-’Ummâl, jilid 13, hal. 128, hadis
ke-34407.
[209]Kanz Al-’Ummâl, jilid 13, hal. 114, 129, dan
133; Târikh Dimasyq, jilid 1, hal. 97, hadis ke-133 hingga 137 dan
Târikh Kâmil, jilid 2, hal. 63.
[210]Usd Al-Ghabah, jilid 4, hal. 92; Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 43, hadis ke-62.
[211]Kanz Al-’Ummâl, jilid 13, hal. 111, hadis ke-36363.
[212]Al-Shawâ’iq Al-Muhriqah, hal. 185, bagian
pertama. Demikian juga Allamah Amini menukil dari Hakim Naisyaburi dan
Ibn Abdulbar tentang ijma ini.
[213]Al-Ghadir, jilid 3, hal. 219 dan 236.
[214]Târikh Dimasyq, jilid 1, hal. 72, hadis ke-
115 hingga 117. Hadis ini juga dinukil dari Salman Farisi dalam kitab
Kanz Al-’Ummâl, jilid 13, hal. 144, hadis ke- 36452.
[215]Usd Al-Ghabah, jilid 4, hal. 93 dan Kanz Al-’Ummâl, jilid 13, hal. 124.
[216]Usd Al-Ghabah, jilid 4, hal. 94;
Al-Mustadrak ‘ala Al-Shahihaîn, jilid 3, hal. 112; Faraidh Al-Simthain,
jilid 1, hal. 242, bab 47, hadis 187; Târikh Dimasyq, jilid 1, hal. 71,
hadis ke- 94 hingga 100.
[217]Itsbât Al-Washiyyah, hal. 141.
[218]Usd Al-Ghabah, jilid 4, hal. 92;
Al-Mustadrak ‘ala Al-Shahihaîn, jilid 3, hal. 136, Musnad Imâm Ahmad ibn
Hanbal, jilid 4, hal. 368 dan 371; Kanz Al-’Ummâl, jilid 13, hal. 144;
Sunan Al-Tirmidzi, jilid 5, hal. 600; Al-Ashabah, jilid 8, hal. 183.
[219]Usd Al-Ghabah, jilid 4, hal.[berapa]; Al-Ahbabihi, jilid 7, hal. 167.
[220]Sunan Al-Tirmidzi, jilid 5, hal. 600;
Al-Mustadrak ‘ala Al-Shahihaîn, jilid 3, hal. 131; Musnad Imâm Ahmad ibn
Hanbal, jilid 1, hal. 99 dan 371; Usd Al-Ghabah, jilid 4, hal. 93;
Faraidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 245, bab 47, hadis ke- 190.
[221]Musnad Imâm Ahmad ibn Hanbal, jilid 5, hal. 26.
[222]Kanz Al-’Ummâl, jilid 13, hal. 144, hadis ke-36392 dan hal. 124, hadis ke-36395.
[223]Târikh Baghdâdi, jilid 4, hal. 233.
[224]Kanz Al-’Ummâl, jilid 13, hal. 124, hadis ke-36396.
[225]Nahj Al-Balâghah, terjemahan Dr. Sayid Ja’far Syahidi, hal. 229, penggalan khotbah 192, dikenal sebagai Khotbah Qâshi’ah.
[226]Kanz Al-’Ummâl, jilid 13, hal. 122, hadis
ke-36390 dan hal. 126, hadis ke-364000; Usd Al-Ghabah, jilid 4, hal. 93;
Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 247, bab 47, hadis ke-191.
[227]Selama masa ini, yaitu masa setelah bi’tsah,
Ali senantiasa bersama Rasulullah Saw. Di samping itu, sebelum bi’tsah
ia besar dan ditarbiyah di haribaan Rasulullah Saw.
[228]Kanz Al-’Ummâl, jilid 13, hal. 128, hadis
ke-36405 dan 36406 dan hal. 120, hadis ke- 36387; Al-Shawâiq
Al-Muhriqah, hal. 189, hadis ke- 11.
[229]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 200, bab. 40, hadis ke-156; Kanz Al-’Ummâl, jilid 13, hal. 135, hadis ke-36426.
[230]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 96, bab. 18, hadis ke-66.
[231]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 150, bab. 29, hadis ke-113.
[232]Al-Shawâiq Al-Muhriqah, hal. 189, hadis ke- 9.
[233]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 332, bab. 61, hadis ke-257; Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 482, hadis ke-1010.
[234]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 200, bab. 40, hadis ke-156; Kanz Al-’Ummâl, jilid 13, hal. 177, hadis ke-36525.
[235]Hilyat Al-Awliyâ,jilid 1, hal. 56.
[236]Musnad Imâm Ahmad ibn Hanbal, jilid 5, hal. 26; Usd Al-Ghabah, jilid 5, hal. 520.
[237]Sunan Al-Tirmidzi, jilid 5, hal. 598; Hilyat
Al-Awliyâ,jilid 1, hal. 56; Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 99, bab.
19, hadis ke-68; Al-Shawâiq Al-Muhriqah, hal. 189, hadis ke- 9.
[238]Târikh Baghdâdi, jilid 11, hal. 204.
[239]Al-Mustadrak ‘ala Al-Shahihaîn, jilid 3,
hal. 126; Al-Shawâiq al-Muhriqah, hal. 189, hadis ke- 9; Târikh
Baghdâdi, jilid 4, ha. 348; Usd Al-Ghabah, jilid 4, hal. 100; Farâidh
Al-Simthain, jilid 1, hal. 98, bab. 18, hadis ke-67.
[240]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 101, bab.19, hadis ke-70; Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 483, hadis 1012.
[241]Kanz Al-‘Ummâl, jilid 13, hal. 165.
[242]Hilyat Al-Awliyâ, jilid 1, hal. 67; Kanz
Al-‘Ummâl, jilid 13, hal. 128, hadis ke-35404; Farâidh Al-Simthain,
jilid 1, hal. 201, bab. 20, hadis ke-157; Al-Shawâiq al-Muhriqah, hal.
197, bagian 4.
[243]Al-Mustadrak ‘ala Al-Shahihaîn, jilid 3, hal. 135; Al-Shawâiq al-Muhriqah, hal. 195, bagian 3.
[244]Hilyat Al-Awliyâ, jilid 1, hal. 65; Al-Shawâiq Al-Muhriqah, hal. 195, bagian 3.
[245]Al-Mustadrak ‘ala Al-Shahihaîn, jilid 3, hal. 135; Al-Shawâiq Al-Muhriqah, hal. 195, bagian 3.
[246]Târikh Dimasyq, jilid 3, hal. 44, hadis ke- 1071 hingga 1078.
[247]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 367, bab.
68, hadis ke-297; Al-Shawâiq Al-Muhriqah, hal. 196, bagian 3; Târikh
Dimasyq, jilid 3, hal. 61, hadis ke-1078 hingga 1090.
[248]Musnad Imâm Ahmad ibn Hanbal, jilid 1, hal. 199; Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 234, bab. 46, hadis ke-182.
[249]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 369, bab. 68, hadis ke-298.
[250]Ibid, jilid 1, hal. 94, bab. 18, hadis ke-63.
[251]Manâqib Ibn Maghâzhali, hal. 71, hadis ke-102.
[252]Musnad Imâm Ahmad ibn Hanbal, jilid 1, hal. 348; Al-Mustadrak ‘ala Shahihaîn, jilid 3, hal. 4.
[253]Tafsir Qurthubi, jilid 3, hal. 21; Tafsir Kabir, jilid 3, hal. 223; Tafsir Furât, hal. 65, Usd Al-Ghabah, jilid 4, hal. 99.
[254]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 330, bab 60, hadis ke-265; Manâqib Khawarazmi, hal. 127, hadis ke-141.
[255]Hilyat al-Awliyâ, jilid 9, hal. 145.
[256]Al-Shawâiq Al-Muhriqah, hal. 186, bagian pertama.
[257]Usd al-Ghabah, jilid 4, hal. 97.
[258]Târikh Dimasyq, jilid 1, hal. 167, jilid 213 & 214; Târikh Thabari, jilid 2, hal. 197.
[259]Al-Mustadrak ‘ala Shahihaîn, jilid 3, hal. 4, hal. 120 dan Maqtal Khawarizmi, jilid 1, hal. 45.
[260]Al-Durr Al-Mantsur, jilid 5, hal. 192, baris 35.
[261]Kanz Al-‘Ummâl, jilid 13, hal. 162, hadis
ke-36496 hingga 36406; Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 261;
Al-Shawâiq Al-Muhriqah, hal. 187, hadis ke-2, bab. 50, hadis ke-201;
Târikh Dimasyq, jilid 1, hal. 174 hingga 246, hadis ke-217 hingga 290,
Manâqib ibn Maghâzali, hal. 176 hingga 189, hadis ke- 213 hingga 224.
[262]Târikh Baghdâd, jilid 11, hal. 324; Kanz Al-‘Ummâl, jilid 13, hal. 136, hadis ke- 36431; Al-Shawâiq Al-Muhriqah, hal. 186.
[263]Musnad Imâm Ahmad ibn Hanbal, jilid 6, hal. 8, dan Al-Shawâiq Al-Muhriqah, hal. 186.
[264]Al-Bidâyah wa Al-Nihâyah,jilid 4, hal. 325.
[265]Manâqib ibn Maghâzali, hal. 202, hadis ke-240.
[266]Al-Shawâiq Al-Muhriqah, hal. 185, bagian pertama.
[267]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 363, bab 66, hadis ke-289.
[268]Târikh Baghdâd, jilid 11, hal. 173; Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 235, bab 46, hadis ke-183 hingga 185.
[269]Al-Imâm wa Al-Siyâsah, hal. 6 dan 11.
[270]Târikh Thabari, jilid 2, hal. 58, 67 dan 68.
[271]Kanz al-‘Ummâl, jilid 13, hal. 114, hadis ke-36370; Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 88, bab 17, hadis ke-68.
[272]Kanz Al-‘Ummâl, jilid 13, hal. 114, hadis ke-36370; Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 88, bab 17, hadis ke-68..
[273]Al-Shawâiq Al-Muhriqah, hal. 192, hadis ke-36.
[274]Kanz Al-‘Ummâl, jilid 13, hal. 105, hadis
ke-36345 dan 120, hadis ke-36348, Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 111
hingga 120, hadis ke-79 hingga 83.
[275]Al-Shawâiq al-Muhriqah, hal. 192, hadis
ke-36; Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 150, bab 29, hadis ke- 113,
Manâqib ibn Maghâzali, hal. 37, hadis ke-57 dan 38 hadis ke-39..
[276]Musnad Imâm Ahmad bin Hanbal, jilid 1, hal. 230, dan Kanz Al-‘Ummâl, jilid 13, hal. 150, hadis ke-36467..
[277]Manâqib ibn Maghâzali, hal. 307, hadis ke-352 dan Dzakhair Al-Uqbâ, hal. 25.
[278]Târikh Dimasyq, jilid 3, hal. 116, hadis ke-1140.
[279]Al-Shawâiq Al-Muhriqah, hal. 194, hadis
ke-40 dan Kanz Al-‘Ummâl, jilid 13, hal. 163, hadis ke-36496 dan hal.
115, hadis ke-36374.
[280]Al-Shawâiq Al-Muhriqah, hal. 187, hadis ke-3.
[281]Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 376, hadis ke-878 hingga 880.
[282]Tafsir Al-Kasysyâf, jilid 1, hal. 368.
[283]Târikh Dimasyq, jilid 3, hal. 116, hadis ke-1140.
[284]Al-Shawâiq Al-Muhriqah, hal. 188, hadis
ke-6; Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 58 dan 258, bab. 50, hadis
ke-198; Sunan ibn Majah, jilid 1, hal. 44, bab. 11, hadis ke-119; Târikh
Dimasyq, jilid 2, hal. 378, hadis ke-883 hingga 893; Manâqib ibn
Maghâzali, hal. 226, hadis ke-272 hingga 274.
[285]Majma’ Al-Zawâid, jilid 9, hal. 111.
[286]Al-Mustadrak ‘ala Shahihain, jilid 2, hal. 120 dan Tafsir Kasysyâf, jilid 3, hal. 360.
[287]Kanz Al-‘Ummâl, jilid 13, hal. 143, bab 22, hadis ke-36552.
[288]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 136, bab. 22, hadis ke-100 dan Manâqib ibn Maghâzali, hal. 105, hadis ke-147
[289]Kanz Al-‘Ummâl, jilid 13, hal. 185, hadis ke-36552.
[290]Manâqib Khawârizmi, hal. 118, hadis ke-130 dan Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 352, bab 66, hadis ke-277.
[291]Musnad Imâm Ahmad ibn Hanbal, jilid 1, hal. 78.
[292]Kanz Al-‘Ummâl, jilid 13, hal. 184, hadis ke-36552; Manâqib Khawârizmi, hal. 121, hadis ke-135.
[293]Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 450, hadis ke-975 dan 976.
[294]Kanz Al-‘Ummâl, jilid 13, hal. 180, hadis ke-36573.
[295]Târikh Dimasyq, jilid 1, hal. 281, hadis ke-325.
[296]Ibid, hadis ke-326
[297]Ibid, jilid 1, hal. 281 hingga 296, hadis ke-323 hingga 335.
[298]Farâid Al-Simthain, jilid 1, hal. 208.
[299]Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 453, hadis ke-982.
[300]Ibid, hal. 454, hadis ke-984 hingga 987.
[301]Ibid, jilid 2, hal. 307, hadis ke-816 hingga 821.
[302]Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 260, hadis ke-784.
[303]Ibid, hal. 376, hadis ke- 878 hingga 885.
[304]Ibid, hal. 379, hadis ke- 885, dan Farâid Al-Simthain, jilid 1, hal. 58 dan 61.
[305]Târikh Dimasyq, jilid 1, hal. 163, hadis ke-206 hingga 208.
[306]Ibid, jilid 2, hal. 379, hadis ke- 885 dan Farâid Al-Simthain, jilid 1, hal. 58 dan 61.
[307]Farâid al-Simthain, jilid 1, hal. 88, hadis ke- 68.
[308]Ibid, hal. 90, hadis ke- 59.
[309]Ibid
[310]Sebagaimana dinukil oleh Ibn Maghazali dalam Manâqib, hal. 19
dan Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 73, bab 12, hadis 39 dan 40 bahwa
ayat ini turun pada harii Al-Ghadir setelah penetapan Amirul Mukminin
Ali As.
[311]Al-Ghadir, jilid 1, hal .247, yang menukil dari Syaraf Al-Mushthafa karya Abu Sa’id Khargusi Naisyaburi, wafat tahun 407 H.
[312]Al-Ghadir, jilid 1, hal .283 dan Iqbâl al-‘Amal hal. 466.
[313]Ibid., jilid 1, hal. 284 dan Iqbâl Al-‘Amal hal. 463.
[314]Furu Al-Kâfi, jilid 1, hal. 148, bab Shiyâm Targhib, hadis ke-3.
[315]Ibid., hadis pertama.
[316]Tafsir Furât, hal. 118.
[317]Ibid.,
[318]Mishbâh Al- Mujtahid, hal. 752.
[319]Tarjameh Âtsar al-Bâqiyah, hal. 460.
[320]Al-Tanbih wa Al-Irsyâd, hal. 221.
[321]Mathâlib Al-Su’ul, hal. 16, baris terakhir.
[322]Tsamârat Al- Qulûb, hal. 636
[323]Wafayât Al ‘Ayân, jilid 1, hal. 180.
[324]Ibid, jilid 5, hal. 230.
[325]Iqbâl ‘Amâl, hal. 465, baris akhir.
[326]Ibid, hal. 464, baris 18.
[327]Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 77, bab 13, hadis ke-44 dan Manâqib ibn Maghâzali, hal. 19, hadis ke-24.
[328]Iqbâl Al-‘Amâl, hal. 465, baris 29.
[329]Al-Ghadir, jilid 1, hal. 275.
[330]Iqbâl al-‘Amâl, hal. 463, baris 27.
[331]Iqbâl al-‘Amâl, hal. 472, baris 7.
[332]Iqbâl Al-‘Amâl, hal. 472, baris 14.
[333]Iqbâl Al-‘Amâl, hal. 473, baris 8.
[334]Iqbâl Al-‘Amâl, hal. 473, baris 16.
[335]Ibid, hal. 472, baris 13
[336]Iqbâl al-‘Amâl, hal. 467, baris 14.
[337]Iqbâl Al-‘Amâl, hal. 470.
[338]Al-Murâqabât, hal. 464, baris 2.
[339]Iqbâl Al-‘Amâl, hal. 463, baris 20 dan seterusnya.
[340]Iqbâl Al-‘Amâl, hal. 475, baris 21.
[341]Iqbâl Al-‘Amâl, hal. 464, baris 28.
[342]Ibid, hal. 470.
[343]Ibid, hal. 464, baris 28.
[344]Iqbâl Al-'Amâl, hal. 464, baris 21.
[345]Iqbâl Al-'Amâl, hal. 474, baris 3.
[346]Iqbâl al-'Amâl, hal. 492, baris 19.
[347]Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 112, hadis ke-80, dan hal. 118, hadis ke-83.
[348]Ibid, jilid 1, hal. 116, hadis ke-80.
[349]Farâidh Al-Simthain, jilid 1, hal. 112, hadis ke-80, dan hal. 118, hadis ke-83.
[350]Salah satu kewajiban dalam agama suci Islam
yang memiliki dimensi sosial dan politik, memberikan perlindungan.
Artinya, apabila salah seorang Muslim memberikan jaminan keamanan kepada
seorang kafir dan berada dalam perlindungannya, sepanjang dalam masa
ini tidak terdapat muslihat dan konspirasi, seluruh kaum musliminin
memiliki tugas memberikan perlindungan kepada si kafir tersebut demi
menghormati saudaranya yang memberikan perlindungan kepada si kafir. Hal
ini adalah memelihara dzimmah (orang yang dilindungi) atau menghormati
orang yang berada dalam pengamanan seorang Muslim.
[351]Makâsib al-Muharramah, hal. 48, Wasâil asy-Syi'ah, jilid 12, hal. 212, hadis ke- 6843.
[352]Mustadrak al-Wasâil, jilid 6, hal. 278, hadis ke-6843.
[353]QS. Thaha (20): 109.
[354]Al-Ghadir, jilid 3, hal. 113.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar