ilustrasi hiasan:
KUFAH, IMAM HASAN DAN PASUKANNYA
- Sumber : ikmalonline.com
Pagi setelah malam pemakaman Amirul mu`minin Ali, putranya, Imam
Hasan, menyampaikan ceramah di tengah orang-orang tentang
keutamaan-keutamaan ayahnya dalam Islam dan di sisi Rasulullah saw. Lalu
berhenti, dan menangis tersedu-sedu. Orang-orang pun turut menangis.
Kemudian berkata:
“Akulah putra sang pembawa kabar gembira; akulah putra sang pemberi peringatan; akulah putra sang penyeru kepada Allah dengan izin-Nya; akulah putra as-Sirajul munir (Sang Lentera yang menerangi); aku bagian dari Ahlulbait yang Allah hilangkan dari mereka dosa dan nista dan Dia sucikan sesuci-sucinya; aku bagian dari Ahlulbait yang Allah wajibkan cinta kepada mereka di dalam kitab-Nya. Allah berfirman:
Katakanlah, “Aku tidak meminta kepadamu suatu upah pun atas seruanku ini kecuali kecintaan kepada keluargaku.” Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu.
Jadi, kebaikan (hasanah) adalah cinta kepada kami Ahlulbait.” (al-Irsyad/al-Mufid 2/8)
Usai ceramah, Ubaidillah bin Abbas bangkit mengajak muslimin agar
langsung baiat kepada beliau: “Hai orang-orang, inilah putra Nabi kalian
dan washi Imam kalian, berbaiatlah kepadanya!”. Mereka menyambut ajakan
ini. Maka mereka menyatakan kerelaan dan ketaatan: “Ia lah yang paling
kami cinta, yang paling harus kami penuhi haknya dan yang paling berhak
atas khilafah.”
Imam Hasan turun dari mimbar. Kemudian mengatur umara dan urusan kepemimpinan. Pada hari itu setelah mereka berbaiat, Ibnu Muljam (yang telah membunuh Amirul mu`minin Ali) dihadirkan. Sampai di hadapan Imam Hasan, dia berkata: “Apa yang telah ayahmu perintahkan kepadamu?”
Imam menjawab, “Beliau menyuruhku agar tidak membunuh selain si pembunuhnya..” Kemudian dia dihukum qishash (eksekusi).
Ketika Muawiyah tahu Amirul mu`minin Ali wafat dan orang-orang berbaiat kepada Imam Hasan, dia menyusupkan dua orangnya; yang satu dari Himyar ke Kufah, dan yang lain dari bani al-Qain ke Basrah, untuk mata-matai dan mengacaukan urusan Imam. Namun kemudian keduanya tertangkap dan dihukum atas perintah Imam. Setelah itu beliau layangkan surat ke Muawiyah: “Kau telah mengirim mata-mata kepadaku seakan ingin berjumpa denganku..”
Di dalam surat lainnya sebagai jawaban atas surat Muawiyah yang menyinggung suluh dan baiat untuk mengangkat dia di posisi wilayatul ‘ahd (putra mahkota), Imam mengatakan: “Ikutilah kebenaran niscaya kau tahu bahwa aku pemihaknya..” (Maqatil ath-Thalibin 33). Namun Muwaiyah cenderung menolak kebenaran. Terlebih pasca kesyahidan Amirul mu`minin Ali, ambisinya terhadap kekhalifahan yang persyaratannya tak ada pada dirinya, semakin besar.
Muawiyah mengumpulkan kekuatan dan mempersiapkan pasukan dari kaum yang
menyimpang. Dia pimpin dan gerakkan mereka yang berjumlah enamribu orang
-atau lebih- menuju Irak. Sementara Imam Hasan membangkitkan penduduk
Kufah untuk berjihad melawan Muawiyah. Namun, mereka diam ketika diminta
untuk menyambut seruan jihad beliau. ‘Adi bin Hatim melihat sikap
mereka, mengungkapkan:
“Subhanallah.. Alangkah buruknya posisi (kalian) ini! Tidakkah kalian menjawab imam kalian, putra dari putri Nabi kalian?”
Imam Hasan menoleh kepadanya dan berkata, “Siapa yang mau datang kepadaku (bergabung), maka datanglah untuk menepati janji..” Beliau kemudian keluar dari masjid, menaiki tunggangannya dan pergi.. dan ‘Adi bin Hatim lah orang pertama yang menjadi prajuritnya. Disusul oleh Qais bin Sa’ad bin Ubadah al-Anshari, Ma’qal bin Qais ar-Riyahi dan Ziyad bin Sha’sha’ah at-Taimi. Mereka pun melontarkan seperti yang telah dikatakan ‘Adi kepada orang-orang yang enggan bergabung.
Imam mengapresiasi mereka yang tergabung dalam pasukan: “Aku masih mengenal kalian melalui ketulusan niat, penepatan janji, ketaatan dan kecintaan yang benar. Semoga Allah membalas kebaikan kalian.”
Pasukan Imam Hasan merupakan gabungan unik dari berbagai kelompok. Mengejutkan bahwa sebagian mereka dari khawarij dan yang pro kekuasaan bani Umayah. Namun kemudian mereka berbuat hal melampaui batas dan menampakkan pengkhianatan terhadap beliau.
Mereka mudah terpecah karena beda tujuan, dan kurang beliau percaya. Imam sempat berkata kepada pasukannya di al-Madain: “Kalian dulu berada di perjalanan menuju Shiffin dan agama kalian mendahului dunia kalian. Tetapi kini, dunia kalian mendahului agama kalian. Kalian berada di antara dua pihak yang terbunuh; pertama yang terbunuh di Shiffin, yang kalian tangisi. Kedua, yang terbunuh di Nahrawan, yang kalian harap dari kami menuntut balas atasnya..” (Tarikh Madinah Dimasyq 13/268)
Mengingat Allah (Dzikrullah)
“Akulah putra sang pembawa kabar gembira; akulah putra sang pemberi peringatan; akulah putra sang penyeru kepada Allah dengan izin-Nya; akulah putra as-Sirajul munir (Sang Lentera yang menerangi); aku bagian dari Ahlulbait yang Allah hilangkan dari mereka dosa dan nista dan Dia sucikan sesuci-sucinya; aku bagian dari Ahlulbait yang Allah wajibkan cinta kepada mereka di dalam kitab-Nya. Allah berfirman:
Katakanlah, “Aku tidak meminta kepadamu suatu upah pun atas seruanku ini kecuali kecintaan kepada keluargaku.” Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu.
Jadi, kebaikan (hasanah) adalah cinta kepada kami Ahlulbait.” (al-Irsyad/al-Mufid 2/8)
Ambisi Kekuasaan Menolak Kebenaran
Imam Hasan turun dari mimbar. Kemudian mengatur umara dan urusan kepemimpinan. Pada hari itu setelah mereka berbaiat, Ibnu Muljam (yang telah membunuh Amirul mu`minin Ali) dihadirkan. Sampai di hadapan Imam Hasan, dia berkata: “Apa yang telah ayahmu perintahkan kepadamu?”
Imam menjawab, “Beliau menyuruhku agar tidak membunuh selain si pembunuhnya..” Kemudian dia dihukum qishash (eksekusi).
Ketika Muawiyah tahu Amirul mu`minin Ali wafat dan orang-orang berbaiat kepada Imam Hasan, dia menyusupkan dua orangnya; yang satu dari Himyar ke Kufah, dan yang lain dari bani al-Qain ke Basrah, untuk mata-matai dan mengacaukan urusan Imam. Namun kemudian keduanya tertangkap dan dihukum atas perintah Imam. Setelah itu beliau layangkan surat ke Muawiyah: “Kau telah mengirim mata-mata kepadaku seakan ingin berjumpa denganku..”
Di dalam surat lainnya sebagai jawaban atas surat Muawiyah yang menyinggung suluh dan baiat untuk mengangkat dia di posisi wilayatul ‘ahd (putra mahkota), Imam mengatakan: “Ikutilah kebenaran niscaya kau tahu bahwa aku pemihaknya..” (Maqatil ath-Thalibin 33). Namun Muwaiyah cenderung menolak kebenaran. Terlebih pasca kesyahidan Amirul mu`minin Ali, ambisinya terhadap kekhalifahan yang persyaratannya tak ada pada dirinya, semakin besar.
Imam Hasan Mensifati Pasukannya
“Subhanallah.. Alangkah buruknya posisi (kalian) ini! Tidakkah kalian menjawab imam kalian, putra dari putri Nabi kalian?”
Imam Hasan menoleh kepadanya dan berkata, “Siapa yang mau datang kepadaku (bergabung), maka datanglah untuk menepati janji..” Beliau kemudian keluar dari masjid, menaiki tunggangannya dan pergi.. dan ‘Adi bin Hatim lah orang pertama yang menjadi prajuritnya. Disusul oleh Qais bin Sa’ad bin Ubadah al-Anshari, Ma’qal bin Qais ar-Riyahi dan Ziyad bin Sha’sha’ah at-Taimi. Mereka pun melontarkan seperti yang telah dikatakan ‘Adi kepada orang-orang yang enggan bergabung.
Imam mengapresiasi mereka yang tergabung dalam pasukan: “Aku masih mengenal kalian melalui ketulusan niat, penepatan janji, ketaatan dan kecintaan yang benar. Semoga Allah membalas kebaikan kalian.”
Pasukan Imam Hasan merupakan gabungan unik dari berbagai kelompok. Mengejutkan bahwa sebagian mereka dari khawarij dan yang pro kekuasaan bani Umayah. Namun kemudian mereka berbuat hal melampaui batas dan menampakkan pengkhianatan terhadap beliau.
Mereka mudah terpecah karena beda tujuan, dan kurang beliau percaya. Imam sempat berkata kepada pasukannya di al-Madain: “Kalian dulu berada di perjalanan menuju Shiffin dan agama kalian mendahului dunia kalian. Tetapi kini, dunia kalian mendahului agama kalian. Kalian berada di antara dua pihak yang terbunuh; pertama yang terbunuh di Shiffin, yang kalian tangisi. Kedua, yang terbunuh di Nahrawan, yang kalian harap dari kami menuntut balas atasnya..” (Tarikh Madinah Dimasyq 13/268)
Referensi:
A’lam al-Hidayah (4)KIDUNG DI SENJA SAFAR
"Di penghujung bulan Safar, suasana duka kembali menyelimuti langit-langit hati kita. Wafatnya Rasuullah, syahidnya Imam Hasan dan Imam Ridha As merupakan rentetan peristiwa yang menutup Safar ini dengan kidung senja. Sisa-sisa duka belum lagi sirna setelah Arbain Imam Husain, kini derai air mata kembali tumpah ruah mengenang syahadah para manusia suci. Pada kesempatan ini, sembari berziarah ke ruh kudus Imam Hasan, sejenak mari kita menelaah ulang sekilas ihwal peri kehidupannya untuk kita jadikan teladan bagi kehidupan kita.
Disebutkan oleh Mas'udi dalam Muruj adz-Dzahab bahwa ketika Imam Hasan dikebumikan, saudaranya Muhammad bin Hanafiyyah berdiri di samping pusaranya dan berkata: "Jika hidupmu dengan kemuliaan, kepergianmu telah menjadi sebab kekalahan. Alangkah bahagianya kafan yang menyelimuti dirimu. Mengapa tidak demikian sementara engkau adalah pelita hidayah dan khalifah ahli taqwa."
Imam Hasan merupakan putra sulung dari Imam 'Ali dan Hadrat Fatimah. Ketika Nabi Saw menerima berita gembira kelahiran cucunya, ia datang ke rumah putri kinasihnya, menggendongnya, membacakan adzan di telinga kanannya dan iqamah di telinga kirinya, dan sesuai dengan perintah Allah Swt, Nabi Saw memberikan nama anak tersebut dengan nama al-Hasan."
Masa Kanak-kanak
Masa tujuh tahun pertama dari masa kecilnya diberkati dengan perlindungan Nabi Saw, yang menganugerahkan kepadanya seluruh keutamaan dan menghiasinya dengan ilmu-ilmu Ilahi, toleransi, intelegensi, sikap pemurah dan keberanian. Karena maksum sejak kecil dan dihiasi dengan ilmu-ilmu Ilahiah oleh Allah Swt, cakrawala pemikirannya menembus hingga al-Lawhul Mahfuz.
Imam yang suci ini segera menjadi akrab dengan seluruh kandungan al-Qur'an yang diwahyukan kepada Rasulullah Saw. Rasulullah Saw menyingkapkan kandungan-kandungan ayat suci al-Qur'an kepada kerabat dekatnya. Nabi Saw bahkan terkejut ketika Hadrat Fatimah As membacakan ayat-ayat dengan tepat persis setelah baru saja diwahyukan sebelum Nabi Saw menyingkapkannya kepadanya. Ketika Hadrat Zahra ditanya, dia menjawab bahwa melalui al-Hasan dia belajar Wahyu.
Mengingat Allah (Dzikrullah)
Imam As banyak menyibukkan dirinya dengan ibadah sedemikian banyaknya, sehingga seluruh anggota badannya disibukkan dengan sujud sampai menyisakan goresan dan bekas-bekas sujudnya. Hampir seluruh malam dihabiskan dalam doa dan munajat. Perasaan tawadu' dan asyik dalam ibadah kepada Allah Swt membuat air matanya tumpah-ruah karena takut kepada Allah Swt. Pada waktu mengerjakan wudu, ia bergetar takut dan raut wajahnya menjadi pias tatkala waktu shalat tiba. Kegemarannya dalam mengerjakan shalat dan keasyikannya yang luar biasa dalam bercengkerama dengan Allah Swt membawanya tidak sadar terhadap keadaan di sekelilingnya.
Ketakwaan dan Sifat Qana'ah
Imam Hasan memiliki harta dunia dan dapat menikmati kehidupan yang mewah, akan tetapi seluruh harta dan kesempatan untuk menikmati kehidupan mewah itu digunakan untuk membantu memperbaiki keadaan orang-orang miskin disekitarnya.
Dia sangat pemurah dan rendah-hati sehingga tidak pernah ragu untuk duduk bersama para pengemis di jalan-jalan kecil dan dalam perjalanan safar menuju ke Madinah untuk memenuhi taklif mereka. Karena sikapnya yang ramah dan hangat, dia tidak pernah membiarkan kaum fakir dan orang-orang miskin merasa rendah di hadapannya ketika mereka mengunjunginya.
Imâmah
Wafatnya Rasulullah Saw yang disusul oleh sebuah peristiwa di mana dunia Islam (di bawah penguasa sumbang) masuk mengambil alih kendali dengan semangat ekspansionisme dan penaklukan. Namun bahkan di dalam tahap revolusioner seperti itu, Imam Hasan tetap membaktikan dirinya dengan tugas-tugas suci perdamaian dalam mendakwahkan Islam dan ajaran-ajaran kudus Nabi Saw bersama ayahnya Imam 'Ali As.
Syahadahnya Imam 'Ali As yang terjadi pada tanggal 21 Ramadan menandai naiknya Imam Hasan ke kursi Imâmah. Mayoritas kaum Muslimin menyampaikan dukungan kepadanya dan mengakhirinya dengan formalitas bai'at. Tidak lama setelah mengambil alih kendali kepemimpinan, Imam Hasan As harus berhadapan dengan tantangan Mua'wiyah Gubernur Syiri'a, yang menyatakan perang terhadapnya. Sesuai dengan kehendak Allah Swt dan dengan perhitungan yang matang untuk mencegah jatuhnya korban dari pihak kaum Muslimin, Imam Hasan As menyetujui sebuah perjanjian gencatan senjata (damai) dengan Mu'awiyah dengan syarat-syarat (yang tidak diakuri dan dijalankan oleh Mu'awiyah), namun demi menyelamatkan Islam dan menghentikan perang saudara. Akan tetapi, gencatan senjata ini tidak berarti diserahkannya tampuk Imâmah kepada Mua'wiyah. Gencatan senjata hanya bersifat sementara, peralihan administrasi pemerintahan kekuasaan Islam, dengan syarat bahwa administrasi pemerintahan diserahkan kembali kepada Imam Hasan As setelah Mu'wiyah meninggal lalu diserahkan dan diwariskan kepada Imam Husain As. Setelah melepaskan dirinya dari kesemrawutan tanggung jawab administrasi, Imam Hasan menjaga kepemimpinan agama dan membaktikan dirinya untuk penyebaran Islam dan ajaran-ajaran kudus Rasulullah Saw di Madinah.
Syahadah Imam Hasan As
Kejahatan Mu'awiyah terhadap Imam Hasan As makin tak terkendali dan pada akhirnya Mu'awiyah mengadakan persekongkolan dengan istri Imam Hasan, Jadah binti Ash'ath. Dia diperalat oleh Mu'awiyah untuk memberikan racun terhadap makanan Imam Hasan yang mengoyak jantungnya. Imam Hasan jatuh kepada rencana keji Mu'awiyah dan meraih syahadah pada tanggal 28 Safar 50 H. Prosesi penguburan Imam Hasan dihadiri oleh Imam Husain dan anggota keluarga Bani Hasyim. Jasad suci Imam Hasan ketika diusung ke pemakaman dekat haram Rasulullah Saw, panah-panah dilancarkan oleh musuh-musuhnya (di bawah pengawasan dan persetujuan Aisyah), dan jasad Imam Hasan itu harus dialihkan ke pemakaman umum Jannatul Baqi di Madinah. Haram-nya dirubuhkan bersama marqad-marqad (kuburan) lainnya pada tanggal 8 Syawal 1344 H (21 April 1926) oleh penguasa Saudi yang naik ke tampuk kekuasaan di Hijaz.
Syarat-syarat perjanjian segera dilanggar, akan tetapi hanya menyisakan kemenangan yang sekejap bagi Mu'awiyah. Konsekuensinya membawa neraka dan malapetaka bagi nasib anaknya Yazid dan bencana bagi seluruh Bani Umayyah. Setelah kematian Mu'awiyah, Imam Husain muncul sebagai gunung kebenaran yang tak terdaki. Dalam tragedi Karbala, dengan kekuatan pasukan besar, dan dengan mengisolir ke-tujuh puluh dua sahabat Imam Husain dan mencegah mereka untuk mendapatkan air selama tiga hari, Yazid berhasil membunuh ke-tujuh puluh dua sahabat Imam Husain termasuk anggota keluarga Imam Husain yang ikut serta dalam kafilah tersebut.
Kesuksesan pengecut Yazid ini, bagaimanapun, berusia pendek. Kaum Muslimin beralih menentangnya setelah mengetahui perbuatan keji dan kepengecutan yang dia lakukan dan akibatnya Yazid diturunkan dari kekuasaan dan Bani Umayyah punah dari muka bumi.
Allamah Tabataba'i menulis:
Imam Hasan Mujtaba As, adalah Imam Kedua. Dia dan saudaranya Imam Husain merupakan putra Imam 'Ali As dan Hadrat Fatimah As, putri Rasulullah Saw. Berulang kali Nabi Saw bersabda bahwa: "Hasan dan Husain adalah putraku." Karena sabda Rasulullah Saw ini sehingga Imam 'Ali berkata kepada anak-anaknya yang lain, "Kalian adalah anakku dan Hasan dan Husain adalah putra Rasulullah Saw."
Imam Hasan As lahir pada tahun ke-3 Hijriah di Madinah, dan menghabiskan usianya selama tujuh tahun bersama datuknya Rasulullah Saw, tumbuh dewasa pada usia seperti itu di bawah bimbingan kasih Nabi Saw. Setelah wafatnya Nabi Saw yang berlangsung tidak lebih dari tiga –atau beberapa sesuai dengan riwayat yang lain– enam bulan lebih awal dari kematian Rasulullah Saw, Hasan ditempatkan secara langsung di bawah pengawasan ayahnya. Setelah ayahnya wafat, melalui instruksi Ilahi dan sesuai dengan wasiat ayahnya, Imam Hasan menjadi Imam; dia juga menduduki fungsi sebagai khalifah selama enam bulan, dia melaksanakan administrasi urusan-urusan kaum Muslimin. Selama masa itu, Mua'wiyah, yang merupakan musuh bebuyutan Imam 'Ali dan keluarganya dan telah berjuang dengan gigih untuk menduduki kursi khalifah, menggiring pasukannya dari Irak, untuk menjatuhkan Imam Hasan dari khilâfah. Peperangan terjadi selama masa Mu'awiyah secara perlahan menyuap jendral dan pimpinan pasukan Imam Hasan dengan uang banyak dan iming-iming hingga pasukan memberontak terhadap Imam Hasan. Akhirnya, Imam Hasan terpaksa untuk menyetujui gencatan senjata dan menyerahkan khilâfah kepada Mu'awiyah, dengan syarat bahwa khilâfah harus diserahkan kepada Imam Hasan jika Mu'awiyah wafat dan keluarga Imam dan pengikutnya dilindungi dalam setiap keadaan.
Dengan cara seperti ini, Mu'awiyah menduduki khalifah dan memasuki Irak. Dalam sebuah pidato resminya, ia menginjak-injak isi perjanjian itu dan dalam segala kemungkinan menekan keluarga Imam (Ahlulbait Nabi Saw) dan pengikutnya. Selama sepuluh tahun masa Imâmah Imam Hasan As, Imam Hasan menjalani hidup dengan payah dan di bawah tekanan, tanpa rasa aman termasuk di rumahnya sendiri. Pada tahun 50 H, dia diracun dan disyahidkan oleh keluarganya sendiri, seperti yang dicatat sejarah, yang mendapat mandat dari Mu'awiyah.
Dalam hal kesempurnaannya, Imam Hasan merupakan cerminan kesempurnaan ayahnya dan teladan sempurna datuknya. Kenyataannya, selama Rasulullah Saw hidup, dia dan saudaranya senantiasa bersama Rasulullah Saw, terkadang Rasulullah Saw memanggul mereka berdua di pundaknya. Sumber-sumber maktab Sunni dan Syiah meriwayatkan sabda Nabi Saw ini berkenaan dengan Imam Hasan dan Husain:
"Kedua anakku ini adalah Imam, dalam keadaan berdiri atau duduk, (isyarat apakah mereka menjabat khalifah atau tidak)". Juga, terdapat dalam banyak hadis-hadis Nabi dan Imam 'Ali bertalian dengan kenyataan bahwa Imam Hasan akan mendapatkan Imâmah selepas ayahnya. (Shiite Islam).[LM]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar