(14) Pembuktian Teologis atas Konsep Mahdiisme menyandang gelar sebagai khalifah, dan tidak mesti mereka memegang kekuasaan, karena yang dimaksud dari hadis adalah makna metaforis saja. Begitulah yang disebutkan di dalam Al-Mirqat.”
Dan menurut Maqrizi, jumlah dua belas imam adalah khalifah empat pertama dan Hasan cucunda Nabi saw. Ia mengatakan: “Dan padanya (Imam Hasan a.s.), masa khalifah rasyidin pun berakhir”. Maqrizi tidak memasukkan satu pun dari penguasa dinasti Umawiyah.
Masih menurut penjelasannya, khilafah setelah Imam Hasan a.s. telah menjadi sistem kerajaan yang di dalamnya telah terjadi kekerasan dan kejahatan.
Lebih lanjut, ia juga tidak memasukkan satu penguasa pun dari dinasti Abbasiyah, karena pemerintahan mereka telah memecah belah kalimat umat dan persatuan Islam, dan membersihkan kantor-kantor administrasi dari orang Arab lalu merekrut bangsa Turki. Yaitu, pertama-tama bangsa Dailam memimpin, lalu disusul bangsa Turki yang akhirnya menjadi sebuah bangsa yang begitu besar.
Maka, terpecahlah kerajaan besar itu kepada berbagai bagian, dan setiap penguasa suatu kawasan mencaplok dan menguasainya dengan kekerasan dan kebrutalan.25
Dengan demikian, tampak jelas bagaimana kebingungan madrasah Khulafa’ (Ahli Sunnah) dalam menafsirkan hadis tersebut; mereka tidak sanggup keluar dari keadaan ini selagi berpegang pada tafsir futuralistik itu.
Dalam kitab Al-Hawi lil Fatawa, As-Suyuthi mengatakan: ”Sampai sekarang, belum ada kesepakatan ‘Aunul Ma’bud fi Syarhi Sunani Abi Daud: 11/244. 25 As-Suluk lima’rifati Dualil Muluk: 1 / 13-15 bagian pertama. dari umat Islam mengenai setiap pribadi dua belas imam.”
Oleh karena itu, jika tafsir futuralistik tersebut memang benar dan sesuai dengan kenyataan, maka pertama kali yang akan mengimaninya adalah para sahabat nabi, bukan yang lain, dan kita akan mendengar dampaknya secara langsung dari para khalifah itu sendiri. Khalifah pertama akan mengatakan, akulah khalifah pertama dari dua belas khalifah, khalifah kedua juga demikian, begitu pula khalifah ketiga hingga khalifah kedua belas. Tentunya, pengakuan senada ini akan menjadi kebanggaan dan bukti yang mendukung legalitas kedaulatan setiap khalifah. Namun, sejarah tidak pernah mencatat satu pengakuan pun dari nama-nama khalifah yang telah disebutkan di atas itu.
Kemudian, hadis juga mengatakan bahwa masa kepemimpinan mereka adalah mencakup sepanjang sejarah Islam hingga akhir gugusannya; di mana dunia akan hancur ketika mereka sudah tidak ada lagi di muka bumi. Ahli Sunnah meriwayatkan dari Rasulullah, bahwa beliau bersabda:
”Agama ini akan senantiasa tegak dan langgeng selama ada kedua belas pemimpin dari bangsa Quraisy. Tatkala mereka tiada, dunia akan hancur lebur.”
Di samping bukti sejarah, kita juga melihat dunia belum hancur kendati Umar ibn Abdul Aziz itu telah mati. Bahkan setelah ketiadaannya, ilmu pengetahuan dan ilmu-ilmu agama berkembang pesat, seperti fikih, hadis Al-Hawi lil Fatawa: 2/85. Kanzul Ummal: 12.34, hadis ke-33861, diriwayatkan oleh Ibnu Najjar dari Anas.
dan tafsir di abad ketiga dan keempat Hijriah. Lebih dari itu, dapat dikatakan bahwa ilmu-ilmu keislaman berkembang dan menyebar setelah meninggalnya dua belas imam versi Ahli Sunnah, sementara dunia masih saja tidak hancur lebur.
Diriwayatkan juga dari Jabir ibn Samarah:
”Umat ini akan tetap tegar menjalankan agamanya, menaklukkan para musuhnya sehingga dua belas khalifah berlalu; mereka semua dari bangsa Quraisy, kemudian tibalah kekacauan yang dahsyat.”
Jika maksud dari al-maraj dalam hadis itu kegalauan dan kemelut, maka ini seharusnya tidak terjadi sampai masa Umar ibn Abdul Aziz. Sejarah juga mencatat, tidak ada cobaan dan fitnah, kemelut yang sangat dahsyat, kekacauan antara hak dan batil yang lebih besar dari tampilnya Muawiyah sebagai khalifah kaum muslimin.
Ini berarti bahwa maksud dari al-maraj ialah kegalauan terbesar dan kemelut akbar. Dan boleh jadi maksudnya adalah ditinggalkannya agama secara total. Tak syak lagi, kekacauan ini tidak akan terjadi kecuali saat Hari Kebangkitan telah dekat; yaitu kekacauan yang didahu- lui oleh kemakmuran yang dibawa oleh Imam Mahdi a.s.
Kemudian, apa maksud mereka memasukkan para raja ke dalam kategori khalifah kaum muslimin, padahal telah diriwayatkan oleh Ahli Sunnah dari Sa’ad ibn Abi Waqash; satu dari sepuluh sahabat pemberi harapan dan seorang juru runding yang telah ditentukan oleh Umar, bahwa ia pernah menemui Muawiyah setelah, sementara ia juga orang yang terlambat berbaiat kepadanya, dan berkata: ”Salam sejahtera kepada rajaku!” Muawiyah 28 Kanzul Ummal: 12 / 32, hadis 32848.
Mahdiisme dalam Perspektif Ahlul Bait a.s. (17) menjawab: “Kenapa bukan orang lain? Kalian adalah hamba yang mukmin, dan akulah Amiril Mukminin kalian”. “Memang demikian kalau kita menerimanya, dan kita juga disebut sebagai orang-orang yang beriman, hanya saja kami tidak mengangkatmu sebagai Amirul Mukminin”.
Aisyah juga telah menolak klaim Muawiyah sebagai khalifah. Begitu pula Ibnu Abbas dan Imam Hasan a.s. melakukan hal yang sama. Bahkan, setelah perdamaian beliau dengannya,29 Muawiyah adalah satu dari sekian manusia zalim yang disepakati umat, karena sabda nabi:
”Wahai Ammar! kamu akan dibunuh oleh golongan yang zalim”.
Kami juga tidak memahami kenapa orang zalim menjadi khalifah Rasul saw. atas umat Islam?! Lalu, apa maksud mereka memasuk-masukkan anak Muawiyah; Yazid yang secara terbuka menyatakan maksiat dan kezalimannya, menginjak-injak kehormatan dan hukum Allah swt.?! Ini adalah hal yang sangat mengherankan sekali; bagaimana mungkin kaum muslimin menerima orang yang telah menumpahkan darah Ahlul Bait Nabi saw., orang yang bala tentaranya menghancurkan kota Madinah Munawwarah dan membantai sekitar sepuluh ribu penduduknya sehingga tidak tersisa lagi pejuang perang Badar setelah tragedi “Al-Hirrah”, lalu tetap saja diperkenalkan sebagai khalifah Rasulullah saw.?! Dan begitulah halnya dengan para penguasa yang menurut Al-Quran sebagai pohon yang terlaknat.
Rasulullah juga pernah melihat mereka dalam mimpinya―dan kita ketahui mimpi para nabi itu benar 29 Lihat Al-Ghadir, Allamah Amini: 1/ 26-27.
(18) Pembuktian Teologis atas Konsep Mahdiisme dan jujur sejujur sinar surya di pagi hari―bahwa mereka (pohon terkutuk tersebut) akan bertengger dan bergelantungan di mimbar beliau layaknya monyet-monyet. Demikian ini sesuai pendapat mayoritas ahli tafsir dari Ahli Sunnah, yaitu ketika mereka menafsirkan ayat ke-60 dari surat Al-Isra’, tanpa perlu dibawakan redaksi pernyataan mereka secara detail.
Dengan demikian, akan tampak jelas bagi kita tiga poin penting dan jelas berikut ini:
a. Kesalahan tafsir pemberitaan futuralistik atas hadis kepemimpinan dua belas orang imam.
b. Faktor dan motif politis yang memaksa dan mengarahkan Ahli Sunnah kepada tafsir tersebut.
c. Kebenaran tafsir teologis yang menjelaskan pelantikan Rasulullah saw. atas dua belas imam kaum muslimin. Tafsir ini bersandar pada dalil logis, quranik serta hadis yang banyak sekali dan sering kita jumpai dalam pusaka ajaran para imam, yang kuno maupun yang terbaru, di berbagai bidang tafsir, hadis, kalam dan sejarah.
Selain itu, sejarah tetap bersikeras bahwa dua belas imam dari Ahlul Bait a.s. adalah manifestasi tunggal yang tak terbantahkan dari hadis tersebut, walaupun hanya melalui pengakuan tegas. Mereka diawali oleh Amirul Mukminin Ali ibn Abi Tahlib a.s. dan diakhiri oleh Imam Zaman, Al-Mahdi Al-Muntadzar a.s.
Dalam hal ini, telah banyak hadis mulia yang tak terhitung jumlahnya, yang menunjukkan manifestasi tersebut. Di sini, kami akan menyebutkan satu di antara hadis-hadis itu, yaitu sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Juwaini As-Syafi’i dalam kitab Faraidus Samthain, dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah saw.; beliau bersabda:
”Aku adalah penghulu para nabi, dan Ali ibn Abi Thalib penghulu para washi (khalifah), dan washi-washi setelahku berjumlah dua belas; yang pertama Ali ibn Abi Thalib, dan yang terakhir Al-Mahdi.” 30
Atas dasar ini, sebagian para peneliti31 mengasumsikan bahwa apa yang telah tertera dalam kitab-kitab hadis―yang menyebutkan bahwa tatkala Jabir ibn Samarah tidak mendengar dan tidak memahami sabda Nabi saw. kemudian bertanya kepada ayahnya yang segera memberi jawaban, bahwa Rasulullah bersabda:
”Semuanya dari bangsa Quraisy”―telah mengalami tahrif dan penyensoran terhadap jawaban sang ayah. Demikian pula, sebagian riwayat telah membongkar sebab ketaktegasan jawaban tersebut, misalnya; “Lantas kaum muslimin yang hadir di sana gaduh dan berbicara satu sama lain”, atau “Orang-orang berteriak”, atau
“Rasulullah mengatakan sesuatu yang membuat manusia hingga menulikan telingaku”, atau “Kemudian manusia berteriak sehingga aku tidak mendengar yang disabdakan Nabi”, atau “Manusia bertakbir dan berteriak”, atau “Tiba-tiba orang-orang berdiri dan duduk”.
Semua sebab-sebab ketaktegasan jawaban itu tidak sesuai dengan apa yang didengar oleh perawi, karena penetapan kepemimpinan pada bangsa Quraisy adalah pernyataan yang mudah dan tidak perlu diteriakkan dan diherankan. Maka dari itu, apa yang sesuai dengan kondisi yang kita gambarkan dalam riwayat ialah bahwa kepemimpinan ilahi itu adalah kewenangan kelompok tertentu, bukan pada bangsa Quraisy secara umum.
30 Faraidus Samthain: 2/313, hadis ke-564.
31 Al-Ghadir wa Mu’aridhun, Sayyid Ja’far Murtadha Al-‘Amili:70-72.
(20) Pembuktian Teologis atas Konsep Mahdiisme Inilah yang telah dibawakan oleh Al-Qanduzi dalam kitab Yanabiul Mawaddah. Di sana, ia menegaskan bahwa kalimat yang disabdakan oleh Rasulullah saw. menyatakan bahwa semua pemimpin itu dari Bani Hasyim.32
Maka, tatkala tampak kesalahan tafsir pemberitaan futuralistik atas hadis kepemimpinan dua belas imam dari satu sisi, dan tampak kebenaran tafsir teologis dari sisi kedua, serta tampak nama Al-Mahdi dalam silsilah dua belas imam Ahlul Bait a.s. sebagai Imam Kedua Belas yang dengannya Allah swt. memperbaiki dunia setelah kehancurannya dari sisi ketiga, tentu tidak ada keraguan lagi mengenai validitas konsep Mahdiisme yang ditekankan oleh mazhab Ahlul Bait a.s. lantaran adanya relasi yang sangat erat antara prinsip Imamah Dua Belas Imam dan konsep Mahdiisme; di mana relasi ini memperlihatkan tiga poin di atas itu dari dalam konsep Mahdiisme.
Sesungguhnya kegagalan tafsir futuralistik atas prinsip Imamah Dua Belas Imam berarti juga kegagalan tafsir demikian ini atas konsep Mahdiisme, sebagaimana kebenaran acuan politis pada tafsir ini mengenai prinsip Imamah Dua Belas Imam merupakan kebenaran acuan tersebut sekaitan dengan konsep Mahdiisme. Sebab, selain kalangan Ahli Sunnah memandang hadis ‘Khilafah Itsna Asyariyah’ sebagai pemberitaan masa depan berdasarkan teori Saqifah dan Khilafah serta legalitasnya, mereka juga memandang perlunya meletakkan konsep Mahdiisme dalam kerangka tafsir futuralistik sebagai upaya menghindari konsekuensi dari hak kepemimpinan Ahlul Bait a.s. dan dari ilegalitas sistem khilafah. 32 Yanabi’ul Mawaddah: 3/104, bab 77.
Mahdiisme dalam Perspektif Ahlul Bait a.s. (21) Tentu sebaliknya juga benar, bahwa terbuktinya kebenaran tafsir teologis atas hadis ‘Imamah Itsna Asyariyah’ berarti juga terbuktinya kebenaran muatan teologis dari konsep Mahdiisme.[]
Pasal Kedua
Karakteristik Konsep Mahdiisme
Setelah pembuktian teologis atas konsep Mahdiisme menurut Ahlul Bait a.s., kita akan memasuki tahap lain dari pembahasan ini, yaitu tahap pembahasan ciri-ciri konsep ini, dan pembuktian bahwa ciri-ciri tersebut adalah kenyataan yang berbasis pada fakta sejarah dan landasan syariat, dan bahwa kepercayaan pada konsep ini tidak melazimkan kerusakan akidah dan menentang sejarah. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut:
Ciri Pertama: Kelahiran Imam Mahdi a.s. Terjadi dalam Keserbarahasiaan yang Dikehendaki dan tak Terelakkan
Dengan terbuktinya konsep Mahdiisme versi Ahlul Bait, tampak jelas salah satu konsekuensi yang paling menonjol dari konsep ini, yaitu bahwa kelahiran Imam Kedua Belas serbarahasia, sehingga memungkinkan beliau untuk mengalami kegaiban dari pandangan manusia dan tersembunyi di tempat aman yang telah ditentukan oleh Allah swt. sampai beliau diizinkan muncul sebagai bintang terakhir di langit Imamah. Beliau adalah imam kaum muslimin yang tidak ada lagi imam setelahnya. Fakta ini melazimkan suatu kehidupan yang serba rahasia pula dan umur yang panjang. Dengan demikian, ihwal prinsip Imamah tetap ada sepanjang sejarah melalui wujud seorang dari dua belas imam, apakah ia hidup ataupun gaib.
Oleh karena itu, tidak tepat jika dikatakan; kenapa kelahiran Imam Mahdi a.s. dan wujud suci beliau―setelah wafat sang ayah―tidak disaksikan dan tersentuh oleh orang yang ingin melihat beliau, sehingga kita dapat mempercayai wujud suci beliau? Karena jika demikian, kegaiban dan kesembunyian beliau dari pandangan mata tidak lagi memungkinkan beliau, dan beliau bukan lagi imam kedua belas, di samping jumlah para imam akan melebihi angka dua belas. Semua ini bertentangan dengan dalil-dalil hadis yang telah kami sebutkan. Maka itu, kelahiran serbarahasia beliau adalah konsekuensi yang lazim dari dalil-dalil tersebut.
Dan telah dijelaskan bahwa pembuktian atas fakta objektif suatu masalah, seperti masalah kelahiran, wujud dan kehidupan Imam Mahdi, tidak bisa hanya bersandar pada sejarah, selagi dari awal kita meyakini bahwa masalah ini sangat dirahasiakan, akan tetapi diperlukan pembuktian teologis sekaligus historis yang di dalamnya akidah memerankan tugas utama, sedang sejarah berfungsi sebagai pelengkap saja. Karena, kita sejak awal mengakui adanya para pengingkar dan peragu masalah ini selama masalah kelahiran Imam ini masih serba-rahasia, sedang mereka yang mengetahui kelahiran beliau adalah sedikit, sehingga terbuka lebar bagi pihak lain untuk mengingkari dan meragukan, bahkan pihak-pihak yang masih menjadi kerabat dekat beliau dan para pengikut khusus. Dan selama mereka tertutup dari hakikat yang misterius ini, maka tatkala mereka ditanya tentang kelahiran Imam Mahdi a.s., wujud suci dan kehidupan beliau, mereka akan mengingkarinya dan menuturkan apa yang dikatakan oleh sebagian orang, bahwa mereka tidak pernah melihat dan mendengar berita dan wujud sucinya.
Oleh karena itu, di sini kita tidak membicarakan ihwal materi yang bisa diindra dan dikenali, juga tidak mendiskusikan masalah yang tunduk secara penuh kepada pena sejarah, sehingga dalam kerangka pembuktian atau pengingkarannya kita menunggu data-data ahli sejarah dan perawi. Akan tetapi, kita akan membahas pokok masalah kegaiban itu sendiri, kendati bukan kegaiban mutlak, karena kita juga masih merasakan percikan-percikan yang dapat dirasakan dan diketahui oleh orang-orang terbatas; yaitu mereka yang mengetahui kelahiran beliau kemudian bersaksi, dan mereka yang mengetahui kegaiban panjang. Oleh karena itu, telah kami tegaskan bahwa sudut pandang Ahlul Bait terhadap konsep Mahdiisme adalah teologis.
Artinya, pengingkaran sebagian orang atas Mahdiisme tidak bisa dijadikan sebagai bukti historis dan alasan logis untuk memastikan ketiadaan wujud beliau selama kita meyakini sejak awal, bahwa masalah ini sangat rahasia. Dengan demikian, kita hanya dapat membahasnya dari sisi sejarah melalui kesaksian orang-orang yang pernah melihat dan mendengar beliau, dan Mahdiisme dalam Perspektif Ahlul Bait a.s. 25 percaya kepadanya, tanpa peduli lagi pada ungkapan para pengingkar yang menganggap masalah ini sebagai fenomena yang biasa dan tidak rahasia.
Untuk itu, pada pasal ini, kita akan mendudukkan pembahasan pada dua tema: pertama, menelaah bukti-bukti atas kelahiran dan keberlangsungan wujud suci
beliau, dan kedua, mengkaji dalil-dalil para pengingkar.
Bukti-Bukti Sejarah atas Wujud Imam Mahdi a.s.
Tema ini adalah bagian yang sangat luas dari lembaran sejarah. Kita akan mengklasifikasikannya ke dalam beberapa poin:
a. Kesaksian Imam Hasan Askari atas Kelahiran Putra Beliau; Imam Mahdi a.s.
Dalam hal ini, terdapat riwayat yang sangat banyak yang dinukil oleh para perawi Syi’ah. Di antaranya, hadis yang diriwayatkan oleh Muhammad ibn Yahya dari Ahmad ibn Ishak dari Abi Hasyim Al-Ja’fari berkata:
“Aku berkata kepada Abu Muhammad; Imam Hasan Al-Askari a.s.: ‘Keagunganmu sungguh telah membuatku segan untuk bertanya kepadamu, maka izinkanlah aku bertanya!’ Beliau berkata: ‘katakanlah!’ Aku berkata: “Wahai tuanku! Apakah kamu memiliki seorang anak?” Ia menjawab: “Ya”.33
33 Ushul Kafi: 1/328, kitab ‘Al-Hujjah’, bab ‘Al-Isyarah wa Nashila Shahib Dar’.
26 Karakteristik Konsep Mahdiisme
Mengenai hadis ini, kita tidak perlu lagi membahas sanad dan kandungannya. Kitab-kitab Rijal telah membuktikan kredibilitas Muhammad ibn Yahya, Abu Ja’far Al-Atthar Al-Qumi yang pusaranya sampai saat ini sangat terkenal dan selalu dikunjungi. Kitab-kitab itu juga memberikan kesaksian atas ketinggian posisi Ahmad ibn Ishak ibn Abdillah ibn Sa’ad ibn Malik ibn Al-Ahwash Al-Asy’ari, dan Abu Ali Qumi di sisi Imam Hasan Askari a.s, serta menegaskan kedudukan Dawud ibn Al-Qasim ibn Ishak ibn Abdillah ibn Ja'far ibn Abi-Thaib, dan Abu Hasyim Al-Ja’fari.
Kemudian lihatlah sedikitnya perawi di dalam sanad hadis ini, sehingga ia disebut dengan Qurbul Isnad (sanad yang pendek). Tentunya ini merupakan salah satu penguat bagi kesahihan sebuah hadis.
b. Kesaksian Sang Bidan
Dia adalah saudari Imam, bibi seorang Imam dan putri seorang Imam, wanita Alawiyah yang suci, bernama Hakimah putri Muhammad Al-Jawad dan saudari Imam Hadi, bibi Imam Hasan Askari, saudari Imam Hadi a.s., bibi Imam Hasan Askari a.s. yang telah menegaskan kesaksiannya atas kelahiran Imam Mahdi a.s. pada malam kelahiran beliau.34 Wanita inilah yang mengurusi persalinan Sayyidah Narjis, ibunda Imam Mahdi a.s. dengan izin ayahanda beliau, Imam Al-Askari a.s.35 34 Ushul Kafi: 1/330, kitab ‘Al-Hujjah’, Bab ‘Tasmiyatu man Ra’ahu a.s.’.35 Kamaluddin: 2/424, bab 42.
c. Puluhan Saksi yang Melihat Imam Mahdi a.s.
Terdapat daftar panjang dari nama orang-orang yang pernah melihat dan berhubungan dengan Imam Mahdi a.s., sebagaimana telah dicatat oleh sumber-sumber sejarah dan dikumpulkan oleh sebagian penulis dalam karangan khas mereka, seperti kitab Tafsiratul wali fi man ra’a al-Qaim al-Mahdi, karya Sayyid Hasyim Al-Bahrani. Ia menyebutkan 79 nama yang telah melihat langsung Imam Mahdi di masa kanak-kanak dan di masa kegaiban singkat. Al-Bahrani juga menyebutkan sumber-sumber rujukannya.
Dalam catatan Syah Abu Thalib At-Tajlil At-Tabrizi, tak kurang dari tiga ratus empat orang yang telah melihat Imam Mahdi a.s. Syeikh Shaduq (wafat 381 H)―ulama besar yang hidup dekat dengan masa kegaiban singkat Imam―telah menghitung enam puluh empat orang yang pernah bersaksi melihat Imam. Mayoritas mereka adalah para wakil Imam36 sendiri yang berasal dari berbagai negeri.
Di antara wakil-wakil Imam Mahdi ialah Al-Qasim ibn Al-‘Ala dari Azarbaijan, Muhammad ibn Ibrahim ibn Mahziyar dari Ahwaz, Hajiz al-Bilali dan Usman ibn Said Al-‘Amri, Muhammad ibn Usman ibn Said Al-‘Amri dan Al-Atthar dari Baghdad, Al-‘Ashimi dari Kufah, Ahmad ibn Ishaq dari kota Qum, Muhammad ibn Shadzan dari Naysabur, dan Al-Basami Muhammad ibn Abi Abdillah Al-Kufi Al-Asadi serta Muhammad ibn Shaleh dari Hamadan. Adapun yang bukan wakil Imam Mahdi dan telah melihat beliau ialah Ibnu Basyadzalah dari Isfahan, Al-36 Kamaluddin: 2/442 bab 43 dan Biharul Anwar: 52/30 bab 26.
Hashini dari Ahwaz, Ahmad ibn Al-Hasan, Ishaq penulis keluarga Bani Nubakht, Abu Abdillah Al-Khiabari, Abu Abdillah ibn Farukh, Abu Abdillah Al-Kindi, Abu Qasim ibn Abi Halis, Abu Qasim ibn Dabis, Masrur Ath-Thabbah budak Abu Hasan a.s., Neili dan Harun Al-Fazari dari Baghdad, Ahmad ibn Akhi Al-Hasan ibn Harun dan pamannya Hasan ibn Harun dari Dainawar, Abu Ja'far Ar-Raffa’, Ali ibn Muhammad, Qasim ibn Musa, Ibnu Qasim ibn Musa, Abu Muhammad ibn Harun dan Muhammad ibn Muhammad Al-Kulaini dari kota Ray, Ali ibn Ahmad dan Mirdas dari kota Qazwin, Al-Hasan ibn An-Nader Husain ibn Ya’qub, Ali ibn
Muhammad ibn Ishak, Muhammad ibn Ishak, dan Muhammad ibn Muhammad dari Qom, dan Abu Raja’ dari Mesir, Ja'far ibn Hamdan, Muhammad ibn Kisymard dan Muhammad ibn Harun dari Hamadan, lalu Ibnul A’jami, Ja’fari, Hasan ibn Al-Fadhl ibn Yazid dan ayahnya Al-Fadhl ibn Yazid serta Simsyathi dari Yaman.
Sementara dari kaum Nasibi adalah Muhammad ibn Al-Wajna’. Syeikh Shaduq juga menyebutkan orang-orang yang telah melihat Imam dari negeri Syahrezur, Shaimarah, Fars Qabis dan Moro.
Lalu, Apakah mungkin puluhan nama yang kita sebutkan di atas telah bersepakat untuk berdusta, padahal kitab-kitab Rijal telah menetapkan ketsiqaha mereka?
d. Perlakuan Penguasa Dinasti Abbasiyah terhadap Anak Kecil
Menyusul wafat Imam Hasan Al-Askari a.s., penguasa dinasti Abbasiyah memperlakukan keluarga beliau dengan penuh kewaspadaan akan berita kelahiran seorang bayi yang dirahasiakan. Mereka senantiasa menyelidikinya dengan berbagai cara dan kekuatan yang mereka miliki. Dalam rangka itu, Khalifah Al-Mu’tamid (meninggal 279 H) memerintahkan pasukannya untuk menginterogasi Imam Al-Askari a.s. dan menggeledah secara teliti untuk melacak ihwal Imam Mahdi a.s. Ia juga memerintahkan untuk menangkap orang-orang yang diwasiati oleh Imam Al-Askari a.s. Dalam misi ini, Al-Mu’tamid dibantu oleh Ja'far al-Kadzzab (pendusta) lalu melakukan penangkapan, intimidasi, diskriminasi, penghinaan dan pelecehan.37
Semua ini terjadi ketika Imam Mahdi masih berusia lima tahun. Al-Mu’tamid tidak memandang umur dan tidak memperdulikan usia beliau setelah dia percaya bahwa anak kecil ini akan menghancurkan kekuasaan dinasti. Sebagaimana telah tersebar dalam hadis, bahwa imam kedua belas dari Ahlul Bait a.s. akan memenuhi dunia dengan keadilan setelah dipenuhi oleh kezaliman.
Ihwal Al-Mu’tamid bagi Imam Mahdi seperti Fir’aun bagi Musa yang dilepaskan oleh ibunya di laut (sungai Nil) saat masih bayi lantaran takut kepadanya.
Tidak hanya oleh Al-Mu’tamid, hal ini juga diketahui oleh penguasa sebelumnya seperti Al-Mu’taz dan Al-Muhtadi. Oleh karena itu, Imam Al-Askari bersikeras dan berusaha agar kabar kelahiran putranya, Imam Mahdi a.s., tidak tersebar kecuali di antara para sahabat-sahabat pilihan dan budak-budak beliau.
Sikap dan perlakuan penguasa itu menyingkapkan sebuah fakta bahwa mereka dan umat manusia telah 37 Al-Irsyad, Syeikh Mufid: 2/336. memahami secara benar, bahwa hadis Jabir ibn Samarah tidak sesuai dengan harapan mereka dan harapan para pendahulu mereka dari dinasti Umawiyah, dan bahwa satu-satunya mishdaq (personifikasi) dari hadis tersebut adalah Ahlul Bait Nabi a.s. sebagai bandara wahyu dan Al-Quran.
Mereka yakin bahwa anak itu adalah Mahdi yang dinantikan yang telah disinggung oleh hadis-hadis yang mutawatir. Kalau bukan karena keyakinan ini, lalu bahaya apa yang dapat mengancam eksistensi mereka dari wujud seorang anak kecil yang umurnya tak lebih dari lima tahun.
Seorang ulama mengatakan, jika kelahiran itu memang betul tidak terjadi, lalu apa arti dari penangkapan budak-budak dan pengerahan para serdadu untuk mengawasi mereka dan menggeledah wanita mereka yang mengandung dalam tempo yang tidak bisa dibenarkan, di mana salah satu dari budak wanita Imam Al-Askari diawasi selama hampir dua tahun. Belum lagi pengusiran dan teror terhadap para sahabat Imam terhadap mereka, lalu penyebaran mata-mata untuk mencari kabar tentang Imam Mahdi dan pengawasan rumah beliau sedemikian ketat dan kerasnya.
Dari semua ini, lalu kenapa para penguasa tidak puas dengan apa yang dikatakan oleh Ja'far bahwa saudaranya mati tanpa meninggalkan keturunan? Tidakkah mereka lebih mampu memberikan hak waris kepadanya sehingga segala sesuatunya berakhir tanpa perlu melakukan tindakan bodoh yang menunjukkan ketakutan dan kekalutan mereka dari putra Imam Hasan Ajjalallah Ta’ala Farajahu Syarif (semoga Allah mempercepat kemunculannya)?.
Memang, ada yang mengatakan bahwa itikad kuat penguasa saat itu untuk memberikan hak-hak kepada pemiliknya adalah alasan yang membuat mereka untuk menyelidiki keberadaan putra beliau sehingga Ja'far tidak secara serta-merta mendominasi warisan imam Hasan hanya karena kesaksiannya itu.
Kami katakan bahwa tidak sewajarnya penguasa saat itu melakukan kontrol sebegitu ketatnya hanya untuk tujuan tersebut, bahkan seharusnya penguasa Abbasiyah memproses dan menyerahkan klaim Ja'far Al-Kadzzab kepada salah satu hakim, apalagi sekedar kasus warisan yang lumrah terjadi, sehingga ia secara leluasa dapat melakukan pemeriksaan dan penyelidikan, misalnya memanggil bibi Imam Hasan Askari a.s., ibu, budak-budak wanita beliau dan kerabat dekat dari suku Bani Hasyim, lalu mendengarkan keterangan dan kesaksian mereka sehingga kasus itu menjadi tuntas.
Namun, sampainya kasus ini ke tangan elit tertinggi kekuasaan sebegitu cepatnya sementara jenazah Imam Al-Askari belum dikebumikan, dan keluarnya kasus ini dari lingkungan pengadilan yang semestinya ditangani di dalamnya, serta sikap zalim penguasa sejauh yang telah kita sebutkan, semua ini meyakinkan kita bahwa para penguasa saat itu telah mengetahui wujud Imam Mahdi yang dijanjikan; mata terakhir dari silsilah suci yang tak akan terputus dengan kematian Imam Kesebelas, terlebih ketika hadis ‘Tsaqolain’ Rasul saw. ini diriwayatkan secara mutawatir, bahwa:
“Dan keduanya (Al-Quran dan Ahlul Bait) tidak akan terpisah sehingga keduanya datang kepadaku di telaga surga kelak”.
Artinya, tidak lahirnya Imam Mahdi atau lenyapnya wujud beliau adalah sama dengan kepunahan ‘Al-Itrah’, dan tidak seorang pun yang disebut dengan Imratul Mukminin dari dinasti Abbasiyah akan menerima konsekuensi ini; yaitu pengingkaran atas sabda Nabi yang agung, bahkan tidak pernah keluar dari mulut seorang muslim sekalipun kecuali mereka yang meremehkan ihwal pendustaan terhadap Nabi, atau mereka yang menipu diri sendiri dengan berupaya menakwil hadis ‘Tsaqalain’ dan menyimpangkannya dari maksud yang tidak sebenarnya.38
e. Pengakuan Ulama Ahli Sunnah atas Lahirnya Imam Mahdi a.s.
Sayyid Tsamir Al-‘Amidi berkata: ”Pengakuan para tokoh fiqih, tafsir, hadis, sejarah, sastra dan bahasa dari ulama Ahli Sunnah telah menyatakan seratus lebih pengakuan yang begitu tegas mengenai lahirnya Imam Mahdi a.s. Sebagian menandaskan bahwa Muhammad ibn Al-Hasan Al-Mahdi adalah imam yang dijanjikan kemunculannya di akhir zaman. Pengakuan ini disusun sesuai urutan kehidupan para pengaku. Maka itu, pengakuan tersebut berurutan dengan urutan zamannya, sehingga seluruh para pengaku itu hidup sezaman dengan pengaku yang sebelumnya. Hal tersebut dimulai semenjak masa kegaiban singkat dan berlanjut hingga masa kita sekarang.
38 Difa’ ‘anil Kulaini, Hasan Hasyim Tsamir Al-‘Amidi, 1/567-568.
Pada lembaran berikutnya, kami akan menyebutkan pengakuan sebagian dari mereka yang kami temukan dalam sumber-sumber mereka. Selebihnya, kami cukup menyebutkan nama-nama selain mereka, karena tidak mungkin kita mencatat semuanya dalam pasal ini, di mana pengakuan dua puluh sembilan dari mereka yang termuat dalam kitab Ilzamun Nashib telah mencapai seratus halaman.39
Di samping itu, apa yang akan kami bawakan tanpa menyinggung sumbernya di catatan pinggir adalah alasan rujukan kami dari kitab-kitab Syi’ah Imamiyah yang lebih dahulu mengkaji topik ini dengan mencatat juz, halaman, tempat dan tahun cetaknya. Dapat dikatakan bahwa pembahasan paling luas dalam topik ini adalah kitab Al-Mahdi Al-Muntadhar fi Nahjul Balaghah karya Syeikh Mahdi Faqih Imani. Ia menyebutkan sekitar 102 orang dari perawi Ahli Sunnah yang menyatakan pengakuan dan kesaksian mereka.40 Syeikh Mahdi hanya menyebutkan nama mereka dan sumbernya termasuk juz dan halamannya, tanpa membahas redaksinya, dan boleh jadi terdesak untuk memastikan mediatornya secara definitif.
Sesungguhnya terdapat sekitar tiga puluh nama yang luput dari analisis Syeikh Mahdi, padahal mereka adalah referensi kami yang paling baik. Namun, kami tidak akan meliputnya sedikit pun, karena ulama selain kami telah 39 IIzamun Nashib fi Itsbatil Hujjah Al-Gaib, Syeikh Ali Yazdi Al-Hairi: 1/321-440.
40 Al-Mahdi Al-Muntadhar fi Nahjil Balaghah, Syeikh Mahdi Faqih Imani: 16-30. 34 Karakteristik Konsep Mahdiisme melakukannya,41 sehingga peran kami pada poin ini hanya sekedar upaya mengumpulkan dan menyusunnya menurut kurun waktu.42
Masih dari Syeikh Mahdi, bahwa terdapat 128 penulis dari ulama Ahli Sunnah yang mengulas Imam Mahdi a.s. dalam salah satu kitabnya; Al-Imam Ats-Tsani ‘Asyar min Aimmati Ahlil Bait. Jelas, kesaksian mereka memiliki nilai sejarah yang khas dan masyhur. Di antara nama-nama itu, ada yang hidup semasa dengan tahun kelahiran Imam Mahdi a.s. dan kegaiban singkatnya, yaitu:
1. Abu Bakar Ar-Ruyani, Muhammad ibn Harun, wafat pada 307 H, dalam kitab Al- Musnad.
2. Ahmad ibn Ibrahim ibn Ali Al-Kindi, salah satu murid Ibnu Jarir Ath-Thabari, wafat pada 310 H.
3. Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Ats-Tsalj, Abu Bakar Al-Baghdadi, wafat pada 322 H, dalam kitabMawalidul Aimmah yang dicetak dalam kitab Al-Fusulu Al-Asratu lil Ghaibah, karya Syeikh Mufid, dan kitab Nawadir Ar-Rawandi, cetakan Najaf, tahun 1370 H.
4. Mereka yang masa hidupnya dekat dengan ulama-ulama besar, seperti: Al-Kharazmi, wafat tahun 387 H dalam kitab Mafatihul Ulum, hal. 32-33, cetakan Leiden, 1895 M.
41 Al-Imam Tsani ‘Asyar, Sayyid Muhammad Said Al-Musawi: 27-
70 beliau telah menambahkan tiga puluh orang dari ulama Ahli Sunnah sebagaimana tersebut dalam lampiran indeksnya: 72-89, Al-Mahdi Al-Ma’ud Al-Muntadhar ‘inda Ahli Sunnah wal Imamiyah, Syeikh Najmudin Askari: 1/220-226. 42 Difa’ Anil Kafi: 1/568.
Sejenak Bersama Para Pengingkar
Telah jelas dari yang kita uraikan, bahwa konsep Mahdiisme adalah masalah teologis sebelum menjadi masalah historis, dan argumentasi atasnya harus bersifat teologis sebelum merujuk argumentasi historis. Juga telah jelas sejumlah bukti sejarah yang mengindikasikan hal tersebut, sebagaimana telah jelas pula bahwa masalah misterius dan serbagaib seperti masalah Imam Mahdi sangat lumrah jika memang memunculkan para pengingkar, karena seseorang yang tersembunyi dari pandangan manusia karena satu dan lain hal bermaksud agar tidak seorang pun yang melihatnya, sehingga jika manusia ditanya mereka akan menjawab “kami tidak melihatnya”, bahkan mereka yang masih termasuk kerabat dekat.
Dan telah kita sebutkan bahwa pengingkaran mereka terhadap masalah yang samar tidak bisa dijadikan sebagai bukti atas ketiadaan Imam Mahdi a.s. Inilah yang justru kekeliruan utama yang menjerat nalar para pengingkar kelahiran dan keberadaannya. Mereka berusaha mencari-cari bukti semacam itu dari sejarah.
Dan tatkala menjumpai serangkaian data, mereka segera menganggapnya sebagai bukti atas ketaklahiran dan ketiadaan Imam Mahdi a.s., seperti data-data yang menyangkut perbedaan pendapat di dalam Syi’ah mengenai waktu kelahiran, nama Imam Mahdi, dan kesaksian Ja'far Al-Kadzzab; paman Imam Mahdi bahwa saudara-nya meninggal tanpa meninggalkan keturunan.
Sanggahan utama kita terhadap klaim mereka ialah bahwa metode sejarah itu tepat digunakan untuk menengahi persoalan empirik yang sepenuhnya dapat diakses dan dianalisis oleh para perawi dan sejarawan, seperti peristiwa perang Shiffin, tragedi Karbala dan lain sebagainya. Namun, metode tersebut tidak cukup untuk menengahi persoalan teologis yang pada dasarnya bersifat abstrak, kendati memberikan isyarat indriawi bagi orang-orang tertentu, sehingga jika masyarakat umum ditanya tentangnya, mereka mengingkarinya.
Apakah logis pengingkaran rakyat umum dijadikan sebagai argumen atas ketiadaan duduk persoalan yang sejak dahulu dan turun temurun diyakini oleh para penganutnya; bahwa persoalan tersebut tidak bisa disentuh secara indriawi kecuali oleh beberapa pribadi pilihan?
Seyogyanya, mereka yang ingin menelaah konsep Mahdiisme memulai dari metode teologis, bukan dari lorong sejarah, karena sebuah masalah yang disembunyikan dengan tujuan tertentu dari pandangan mata para kerabat dekat, tidak menutup kemungkinan munculnya perbedaan tentangnya, seperti tentang waktu kelahiran Imam dan nama ibunya, juga tidak tidak dapat digugurkan oleh sebuah kesaksian seperti kesaksian Ja'far al-Kadzdzab. Karena, jawabannya cukup jelas; bahwa dalam kondisi semacam ini, polemik seputar tahun kelahiran dan nama ibu Imam adalah fenomena alamiah yang muncul dari keinginan kuat Imam Hasan Al-Askari untuk menyembunyikan masalah ini serahasia mungkin dari pandangan kerabat dekat sebagai upaya waspada agar tidak tercium oleh penguasa dinasti Abbasiyah.
Dan upaya ini terhitung berhasil, mengingat Ja'far Al-Kadzdzab bersaksi bahwa saudaranya telah mati tanpa meninggalkan anak. Imam Hasan Al-Askari a.s. menghendaki agar kelahiran putranya tidak diketahui saudaranya, dan agar tampak secara lahiriah bahwa beliau tidak memiliki keturunan. Langkah beliau di hadapan saudaranya ini adalah logis, kendati saudara itu bukan pembohong atau fasik, apalagi di hadapan Ja’far Al-Kadzdzab yang jelas kebohongan dan kefasikannya.43
Ciri Kedua: Kepemimpinan yang Masih Dini
Salah satu konsekuensi konsep Mahdiisme menurut Ahlul Bait a.s. adalah keyakinan pada kepemimpinan dini Imam Mahdi a.s. Terkadang konsekuensi atau ciri ini ditinjau dari sudut pandang agama dalam rangka pembuktian dan penyanggahan atas berbagai kritik terhadap ajaran agama, terkadang juga ditinjau dari sudut realitas dalam rangka menjelaskan kepemimpinan itu, yakni kepemimpinan konkret yang dilengkapi oleh kriteria yang memadai, bukan kepemimpinan yang dipaksakan atau diklaim begitu saja.
Jika ditinjau dari sudut pandang agama, pertama-tama kita akan menyadari pentingnya penempatan duduk persoalan Imamah; apakah masalah akidah? Atau masalah hukum syar’ie? Jika benar ia masalah akidah―sebagaimana yang diyakini oleh Syi’ah― maka kita mendapatkan Al-Quran sebegitu tegasnya menerangkan keniscayaan kenabian seorang anak kecil, padahal keniscayaan ini adalah masalah akidah. Allah swt. berfirman:
43 Lihat Ushul Kafi: 1/421, kitab ‘Al-Hujjah’, bab ‘Maulid Abi Muhammad al-Hasan ibn Ali a.s.’, Kamaluddin, Syeikh Shoduq: 1/40, Mukadimah Penulis atas Al-Irsyad: 2/ 321, A’lamu Wara Bi A’lami Huda, Al-Fadhl ibn Hasan Ath-Thabari: 357. Lihat juga Kamaluddin: 2/475, bab 43 dari para penyaksi Imam Mahdi a.s.
“Wahai Yahya! Terimalah kitab itu dengan kekuatan dan Kami telah memberikan kepadanya hukum dalam keadaan masih kecil.” (QS.19:12)
Jika Imamah adalah masalah hukum syar’ie, maka salah satu hukum Islam yang paling jelas ialah adalah hukum ketakkuasaan anak kecil, dan siapa saja yang tidak memiliki hak kuasa, ia pun tidak memiliki kekuasaan atas dirinya sendiri. Lalu, bagaimana mungkin kekuasaan atas orang lain akan dilimpahkan kepadanya? Maka dari itu, kepemimpinan anak kecil menurut hukum syar’ie adalah ilegal.
Kaum muslimin berbeda pendapat dalam masalah ini. Empat mazhab Ahli Sunnah memandang khilafah dan Imamah sebagai perkara hukum syar’ie dan sejenis perbuatan hamba. Sementara Syi’ah memandangnya sebagai masalah teologis dan usuluddin; di mana ia termasuk urusan kekuasaan Allah swt., bukan dari urusan dan perbuatan hamba. Oleh sebab itu, tatkala mazhab Ahlul Bait a.s. meyakini kepemimpinan dini sejumlah imam mereka, termasuk Imam Mahdi a.s., pada dasarnya sesuai dengan cara pandang tersebut, dan tidak bisa disanggah dari sisi teologis selama Al-Quran menegaskan kenabian dini Nabi Yahya a.s., juga tidak bisa dipermasalahkan dari sisi hukum syar’ie selagi masalah tersebut menurut Ahlul Bait a.s. keluar dari koridor syariat dan berada di dalam koridor akidah.
Adapun hukum-hukum syariat mengenai hak kuasa anak kecil hanya berlaku atas hamba; tidak atas Allah swt. karena hukum-hukum syariat itu adalah ketentuan-ketentuan Allah swt. yang ditujukan kepada hamba.
Dengan demikian, jelaslah tujuan kita mengetengahkan kenabian dini Nabi Yahya a.s. sebagai argumen, yakni untuk menjelaskan bahwa sebagaimana ihwal kenabian, Imamah juga masalah teologis yang tidak bisa tunduk pada ukuran-ukuran manusia, tidak juga tunduk pada batas-batas syariat yang diturunkan untuk mengatur perilaku hamba; tidak untuk diberlakukan ke atas Tuhan alam semesta. Maka itu, kenabian dini Nabi Yahya a.s. meyakinkan kita bahwa masalah teologis itu ditangani melalui argumentasi; jika argumentasi teologis membuktikan kepemimpinan seorang anak kecil, maka kita menerimanya sekuat kita menerima kenabian seorang anak kecil seketika ditemukan argumen teologis atasnya. Dan tidaklah tepat bila dikatakan bahwa berdalil dengan kenabian Nabi Yahya yang kecil tidaklah berarti apa-apa, karena kenabiannya secara gamblang telah dinyatakan dalam Al-Quran, sedangkan masalah Mahdiisme tidak pernah disinggung di sana.
Begitu pula, sanggahan Ibnu Hajar Al-Haitsami dan selainnya terhadap kepemimpinan Imam Mahdi tidak berdasar sama sekali, yaitu tatkala ia dengan cara yang tidak sopan sekali mengatakan: ”Telah ditentukan di dalam syariat yang suci, bahwa kepemimpinan anak kecil itu tidak legal. Jadi, bagaimana orang-orang dungu dan lalai itu bisa mempercayai kepemimpinan orang yang masih berumur lima tahun?!”44 Sebab, telah jelas bahwa hukum di atas ini bukan ketentuan syariat agama, akan tetapi sejenis ketentuan fikih mereka yang tidak legal bila diberlakukan ke atas kita.
Nah, jika meninjau Imamah dari sudut fakta sejarah, kita akan mendapatkan bahwa Imam Mahdi a.s. telah 44 Ash-Shawaiq Al-Muhriqah: 256, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah. menggantikan posisi ayahanda beliau dalam rangka memimpin umat manusia ketika masih berusia lima tahun. Ini berarti bahwa beliau adalah seorang imam dengan segenap kapasitas dan kriteria kepemimpinan agama dan umat, baik dari segi intelektualitas dan spiritualitas di masa yang sangat dini sekali.
Syahid Muhammad Baqir Ash-Shadr mengatakan:
”Kepemimpinan dini adalah sebuah fenomena yang telah dialami oleh kakek-kakek Imam Mahdi a.s. Sebagai contoh, Imam Muhammad Al-Jawad a.s. memangku imamah (kepemimpinan) dalam usia delapan tahun,45
Imam Ali Al-Hadi a.s. dalam usia sembilan tahun,46 dan ayahanda beliau; Imam Hasan Al-Askari a.s.,47 memegang imamah saat masih berusia dua belas tahun.
Puncak keunikan fenomena ini terjadi di masa Imam Mahdi a.s. dan Imam Al-Jawad a.s.
“Saya menyebutnya sebagai fenomena karena hal tersebut terjadi pada sejumlah kakek Imam Mahdi dan tampak sebagai subjek indriawi dan praktikal yang dirasakan langsung oleh kaum muslimin, dan mereka telah merasakan hal yang sama sepanjang pengalaman mereka dengan Imam Mahdi dengan bentuk yang lain.
Mengenai sebuah fenomena, kita tidak dapat menuntut dalil yang lebih gamblang dan lebih kuat dari 45 Al-Fushul Muhimmah, Ibnu Shibag Al-Maliki: 253 dan Al-Irsyad Syeikh Mufid: 2/274 dan selanjutnya.
46 At-tatimmah fi Tawarikh Al-Aimmah, Sayyid Tajuddin Al-‘Amili dari ulama ternama abad 11 Hijriah, cet. Muassasah Bi’sah –Qum.
Lihat juga As-Shawaiq Al-Muhriqah, Ibnu Hajar: 312-313, saat ia menyebut sekelumit kehidupan Imam dan karamahnya.
47 ibid. 41pengalaman umat.48 Ini dapat dijelaskan dalam beberapa poin berikut:
a) Kepemimpinan para imam dari Ahlul Bait a.s. bukan sebuah pusat kekuasaan dan pengaruh yang menjadi warisan seorang ayah untuk anaknya, bukan pula kepemimpinan yang didukung oleh sistem yang berkuasa seperti kepemimpinan para khalifah dinasti Fathimiyah dan dinasti Abbasiyah.
Namun, kepemimpinan mereka bertumpu pada basis-basis masyarakat melalui pembinaan jiwa dan pencerahan pemikiran basis-basis tersebut tentang kelayakan dan kompetensi mereka dalam memimpin Islam di atas dasar-dasar spiritualitas dan intelektualitas.
b) Basis-basis masyarakat itu telah dibangun sejak permulaan Islam, dan mencapai puncak keemasannya di masa dua imam; Imam Al-Baqir a.s. dan Imam Ash-Shadiq a.s., dan madrasah yang dikelola oleh kedua imam ini telah membentuk arus pemikiran yang luas di dalam dunia Islam.
Madrasah ini melahirkan ratusan ahli fikih, kalam, tafsir dan para pakar dari berbagai disiplin ilmu keislaman dan humaniora yang populer di zaman itu, sampai-sampai Hasan ibn Ali Al-Wasya mengatakan: “Aku pernah memasuki masjid Kufah,
48 Al-Irsyad, Syeikh Mufid : 2/218 dan seterusnya, As-Shawaiq Al-Muhriqah : 312-313. Keduanya telah membawakan sebuah dialog yang terjadi antara Imam Al-Jawad a.s. dan Yahya ibn Aktsam di masa Khalifah Ma’mun, dan bagaimana Imam mampu membuktikan keunggulan ilmu beliau hingga mampu menaklukkan Yahya, padahal saat itu beliau masih sangat belia sekali.
42 Karakteristik Konsep Mahdiisme dan aku melihat sembilan ratus syeikh (guru)49 yang seluruhnya mengatakan, bahwa kami mendengar demikian dari Ja'far ibn Muhammad”.
c) Kriteria-kriteria dan basis-basis sosial-politik umat Islam yang diyakini oleh madrasah ini secara konsekuen dalam menentukan seorang imam dan mengenali kelayakannya untuk memimpin adalah syarat-syarat begitu ketat, karena mereka percaya bahwa seseorang tidak akan menjadi imam kecuali ia adalah orang yang paling pintar dan saleh dari semua ulama di masanya.50
d) Madrasah dan basis-basis sosial-politiknya telah memberikan berbagai pengorbanan yang begitu besar dalam rangka mempertahankan keyakinan mereka pada prinsip Imamah, karena di mata para
49 Lihat: Al-Majalis Saniyah , Sayyid Al-Amin Al-‘Amili: 2/468, demikian ini telah masyhur diperbincangkan oleh ulama Syi’ah dan Ahli Sunnah. Lihat juga: Shhahul Akbar, Muhammad Sirojuddin Ar-Rifai,: 44, dengan menukil dari Al-Imam Ash-Shadiq wal MAdzahibul Arba’ah, Asad Haidar: 1/55. Dalam Ash-Shawaiq Al-Muhriqah: 305, Ibnu Hajar juga mengatakan: “Ucapan Ja'far Ash-Shadiq telah dinukil oleh banyak orang dalam berbagai disipilin ilmu yang populer, namanya telah tersebar ke seluruh penjuru dunia, dan para imam dan guru-guru besar tak ketinggalan dalam menukil dan menimba ilmu darinya seperti:
Yahya ibn Said, Ibnu Juraid, Malik, Sufyani, Abu Hanifah, Su’bah dan Ayyub As-Sakhtiyani....”. 50 Seorang Imam harus paling pandai dan paling alim di masanya.
Ini hal yang tak dapat diragukan menurut Syi’ah Imamiyah, lihat:
Bab Hadi Asyar, Allamah Hilli: 44. Dan para Imam telah mengalami berbagai ujian dalam hal ini, mereka selalu tampil unggul. Di dalam Ash-Shawaiq Muhriqah: 312, Ibnu Hajar secara detail menukil perdebatan Imam Al-Jawad a.s. dan Yahya ibn Aktsam.
penguasa masa itu, hal ini telah membentuk arus dan jaringan perlawanan, setidaknya pada tataran pemikiran. Hal ini membuat penguasa masa itu melancarkan penekanan, pembersihan dan penyiksaan, hingga banyak yang dibunuh, ditahan, lalu betapa banyak yang gugur dalam operasi penangkapan. Ini menunjukkan bahwa keyakinan pada kepemimpinan Ahlul Bait a.s. membuat mereka tampak radikal.51 Tiada bujukan dan godaan untuk mengarah ke sana kecuali dirasakan oleh penganutnya sebagai peluang untuk selalu mendekat dan menyatu dengan Allah swt.
e) Para imam yang dipercayai oleh kekuatan basis-basis sosial-politik itu tidak pernah jauh dari jangkauan mereka, tidak juga menjaga jarak dan memilih tempat tertentu seperti kebiasaan para penguasa terhadap rakyatnya. Mereka juga tidak bersembunyi dari khalayak umum kecuali akibat perlakuan penguasa yang memenjarakan dan mengasingkan. Ini dapat diketahui melalui ungkapan para perawi hadis dan ahli hadis yang meriwayatkan dari tiap-tiap sebelas imam, dan dari penukilan surat-menyurat yang terjadi antara para imam dan orang yang sezaman mereka. Sejumlah perjalanan yang dilakukan oleh mereka dari satu sisi, dan wakil-wakil mereka yang diutus ke berbagai negeri dari sisi yang lain, serta ihwal
51 Sesungguhnya keyakinan pada kepemimpinan para Imam telah membuat para pengikutnya untuk selalu bertahan dan bangkit. Ini dapat dipahami secara baik dari perjalanan sejarah yang tidak dapat dipungkiri. Lihat: Maqatil Thalibin, Abul Faraj Isfahani.
44 Karakteristik Konsep Mahdiisme masyarakat Syi’ah yang sudah terbiasa mencari dan menziarahi para imam mereka ke kota Madinah dari sisi ketiga, yaitu ketika rombongan penduduk dari berbagai kawasan datang ke kota suci ini untuk menunaikan manasik haji,52 semua ini meniscayakan adanya kontak yang jelas dan interaksi yang intensif antara para imam dan masyarakat yang tersebar di berbagai penjuru dunia dengan berbagai lapisan, baik ulama maupun awam.
f) Penguasa atau khalifah yang sezaman dengan para imam telah memandang imam dan kepemimpinan spiritual mereka sebagai sumber ancaman besar terhadap eksistensi dan kekuasaan mereka. Oleh karena itu, mereka mengerahkan segala daya dan upaya dalam rangka memberangus kepemimpinan ini. Mereka pun siap memikul berbagai resiko yang muncul karenanya. Dalam kondisi terdesak, terkadang mereka melakukan kekerasan dan kekejian, bahkan siap membayar harga sebesar apapun demi maksud tersebut. Mereka senantiasa menangkap dan mengisolasi para imam,53 kendati umat manusia sudah muak dan tersiksa karenanya.
52 Sering kali para imam memesan hal ini untuk dilakukan olah para pengikut, sebagaimana dapat dijumpai dari riwayat-riwayat.
Lihat Usul Kafi: 1/392, kitab ‘Al-Hujjah’ – bab ‘Sesungguhnya kewajiban seseorang setelah menyelesaikan ibadah hajinya adalah menjumpai imam kemudian menanyakan perkara agama mereka kepadanya, dan mengikrarkan komitmen dan kecintaan mereka terhadapnya’.
53 Lihat sejarah para Imam as dan siksaan yang mereka alami mulai dari pengorbanan, penjara, pembunuhan dan lainnya. 1. al-
Mencermati enam poin di atas ini sebagai fakta sejarah yang tak dapat diragukan, kita akan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa kepemimpinan dini seorang imam adalah fenomena historis; bukan sekedar mitos belaka, karena imam yang tampil di tengah kancah dalam kondisi masih kecil kemudian menyatakan bahwa dirinya seorang pemimpin spiritual dan intelektual kaum muslimin lalu dianut oleh arus yang begitu besar, tentu memiliki kapasitas keilmuan yang kaya dan keunggulan yang luar biasa di bidang-bidang seperti fikih, tafsir dan akidah. Karena, jika tidak demikian, masyarakat tidak akan puas pada kepemimpinannya, padahal sebagaimana telah kami sebutkan, para imam harus berada pada posisi yang memungkinkan basis-basis masyarakat untuk berinteraksi dengan mereka dan mendapatkan perhatian serta pengelolaan individual dan sosial dari mereka.
Pernahkah Anda menjumpai seorang anak kecil yang menyatakan dirinya sebagai imam dan pemegang panji Islam dan ia menjadi pusat kepatuhan khalayak umat yang percaya padanya dan menyerahkan ketenangan dan nasib hidup mereka kepadanya, tanpa memaksa diri mereka untuk berusaha mengenal dan menyingkap ihwal kepribadian anak kecil itu, dan tanpa menyadari hakikat dan nilai kedudukannya?54 Anggaplah mereka tidak tergerak untuk menyelidiki ihwal para imam itu, lantas apakah mungkin masalah ini terus bertahan hari demi hari, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun tanpa Fushul Muhimmah, Ibn Shibag al-Maliki. 2. Maqatil Thaliibn, Abul Faraj Isfahani. 3. al-Irsyad, Syeikh Mufid.
54 Yang dimaksud adalah Imam Mahdi, dan Imam Al-Jawad sebagai contoh kondisi imam-imam sebelum Imam Mahdi.
46 Karakteristik Konsep Mahdiisme tersingkap hakikat yang sesungguhnya, padahal telah terjalin interaksi alamiah yang terus menerus antara imam yang kecil dan masyarakat? Apakah masuk akal ia menjadi benar-benar seorang anak kecil biasa dalam pikiran dan keilmuannya namun ini tidak tampak dalam interaksi dan pengalaman yang sangat panjang itu?
Kita asumsikan bahwa umat manusia yang meyakini kepemimpinan Ahlul Bait a.s. tidak memiliki waktu yang cukup untuk menyingkap fakta yang sebenarnya, lalu kenapa khilafah yang berkuasa tidak berusaha menyingkap hakikat jika memang menguntungkan mereka? Adakah yang lebih menguntungkan penguasa jika imam yang kecil itu adalah kecil pikiran dan kepribadiaannya seperti layaknya anak-anak kecil seusianya? Dan adakah cara yang lebih baik jika saja mereka menyerahkan Imam yang kecil itu kepada para pengikutnya dan selainnya sebagaimana adanya, lalu membuktikan ketaklayakannya sebagai pemegang hak Imamah dan pemimpin spiritual dan pemikiran?
Kalaulah begitu sulit menjelaskan ketakpatutan seorang pemimpin dalam usia empat puluh atau lima puluh tahun karena dia sudah banyak memakan asam garam kehidupan dan mengenal kondisi zamannya, namun tidak sulit rasanya untuk menjelaskan ketaklayakan seorang anak kecil biasa, betapapun kecerdasan yang dimilikinya dengan arti yang telah didefinisikan oleh Syi’ah Imamiyah.55 Oleh karena itu, cara ini lebih mudah
55 Artinya, seorang imam harus menjadi sosok yang paling utama sebagaimana keyakinan Syi’ah imamaiyah. Lihat: Haqqul Yakin fi Ma’rifati Ushuludin, Sayyid Abdullah Syubar, wafat tahun 1242, hal. 1/141,
Bagian Ketiga
daripada cara-cara sulit dan aksi kekerasan yang telah diambil oleh para penguasa saat itu.
Hanya tersisa satu tafsir atas diamnya para penguasa saat itu dalam memainkan kartu ini,56 yaitu keyakinan mereka bahwa kepemimpinan dini adalah sebuah fakta konkret; bukan hal yang dibuat-buat. Demikian ini telah mereka sadari secara praktis setelah mereka mencoba memainkan kartu tersebut yang kemudian berakhir dengan kegagalan. Sejarah telah mengabarkan kepada kita tentang upaya-upaya dan kegagalan-kegagalan mereka ini.57 Pada saat yang sama, sejarah sama sekali tidak melaporkan sebuah gejala yang mengabarkan kepada kita terguncangnya kepemimpinan dini imam, ataupun sebuah kejadian yang di dalamnya imam yang masih kecil itu mengalami kesulitan yang di luar kemampuannya atau yang menggoyahkan kepercayaan manusia kepadanya.
Inilah penafsiran dari yang telah kami nyatakan; bahwa kepemimpinan dini seorang imam adalah fenomena konkret dalam kehidupan Ahlul Bait a.s., bukan sekedar asumsi. Fenomena ini juga memiliki akar sejarah dan keserupaan-keserupaannya dalam pusaka Langit yang terungkap melalui misi-misi dan kepemimpinan ilahiyah.
56 Maksudnya, dalam memperkenalkan dan menguji Imam yang masih dini di depan khalayak dan untuk tujuan penyingkapan fakta yang ada.
57 Makmun adalah orang pertama yang menguji hal ini, dan telah tersingkap bagi kaum khusus akan kedalaman fiqih dan ilmu-ilmu lain yang mereka saksikan dalam pribadi agung Imam Jawad a.s.
Lihat Ash-Shawaiq Al-Muhriqah, Ibnu Hajar : 312.
Cukuplah kita menyebutkan satu keserupaan dari fenomena wujud imam yang dini ini pada kasus Nabi Yahya a.s. Allah swt. berfirman: "
Wahai Yahya ambillah kitab itu dengan kekuatan dan telah Kita berikan kepadanya al-Hukm saat dia masih kecil”.
Tatkala telah terbukti bahwa kepemimpinan imam yang dini adalah fenomena yang nyata dalam kehidupan Ahlul Bait a.s., maka tidak bisa kita terima sanggahan-sanggahan atas kepemimpinan Imam Mahdi dan peralihan kepemimpinan ayahanda kepadanya saat beliau masih kecil.58
Ciri Ketiga: Kegaiban yang Berkonsekuensi Usia Panjang Sepanjang Usia Zaman
Salah satu dari konsekuensi dan ciri konsep Mahdiisme menurut Ahlul Bait a.s. adalah keyakinan akan kegaiban dan ketiadaan Imam Mahdi dari pandangan umat manusia, dan keberlangsungan hal ini sampai waktu yang telah diizinkan oleh Allah swt. Kita akan membuktikan ciri ini dalam dua fase:
Fase Pertama: Pembuktian atas Kemungkinan Usia Panjang hingga Akhir Zaman
58 Kalangan khusus dari Syi’ah telah menyaksikan, berhubungan langsung dan mendapat pengajaran dari beliau, sebagaimana hal ini juga telah berlangsung lewat jalur para empat wakil khusus beliau, lihat Tabshiratul Wali fi Man ra’a Al-Qaim Al-Mahdi a.s., Al-Bahrani, Al-Irsyad, Syeikh Mufid : 345, lihat juga secara lebih detail di buku Difa’ anil Kafi, Sayyid Tsamri Al-Amidi: 1/535 dan halaman selanjutnya.
Sesungguhnya persoalan dari konsep Mahdiisme menurut Ahlul Bait a.s. itu terletak pada konsekuensi konsep ini, yaitu panjangnya umur sepanjang usia zaman. Sebenarnya, persoalan ini telah dijawab secara ekstensif. Hanya di sini, kami akan membawakan jawaban yang diajukan oleh Sayyid Baqir Ash-Shadr. Ia mengatakan:
“Apakah mungkin manusia hidup berabad-abad sebagaimana kita asumsikan pada sosok Sang Pemimpin (Imam Mahdi) yang kita tunggu-tunggu kemunculannya ini dalam rangka mengubah dunia, di mana usia beliau sekarang lebih dari seribu seratus empat puluh tahun, atau sekitar empat belas kali usia manusia biasa yang telah melalui fase-fase kehidupan alami dari masa kecil, kanak-kanak hingga tua renta?
“Kata ‘mungkin’ di sini memiliki tiga arti: mungkin secara praktis, mungkin secara saintis, dan mungkin secara filosofis.
Yang saya maksudkan dari mungkin secara praktis ialah sesuatu yang mungkin bagi kita untuk merealisasikannya dengan sarana yang ada, seperti perjalanan mengarungi samudra, menyelam hingga ke dasar lautan, dan menjejakkan kaki di bulan, ataupun hal-hal lainnya yang memang mungkin terjadi secara praktis, dan telah terjadi hal tersebut dengan berbagai cara.
Maksud dari mungkin secara saintis ialah sesuatu yang tidak dapat direalisasikan secara praktis oleh kita melalui sarana mutakhir yang ada sekarang, namun sains dan ilmu pengetahuan tidak menolak bahwa hal tersebut dapat dilakukan pada suatu kondisi dan dengan sarana tertentu. Misalnya tentang sampainya manusia di planet Venus, tidak ada penelitian yang mengatakan hal itu tidak mungkin dilakukan, bahkan penelitian mutakhir mengindikasikan sebaliknya, kendati untuk sekarang ini hal tersebut tak dapat direalisasikan, karena sampainya manusia ke planet Venus tak jauh beda dengan turunnya manusia ke bulan, bedanya hanya pada cuaca yang tidak terlampau jauh, di mana perjalanan ke Venus amat menyusahkan lantaran jaraknya yang begitu jauh. Oleh karena itu, perjalanan dan sampai di planet Venus adalah sebuah kemungkinan secara saintis, kendati secara praktis hal itu ‘belum’ dapat diwujudkan.59
Begitupula sebaliknya, sampainya manusia ke planet Matahari di jantung langit tidak dapat dilakukan secara ilmiah. Artinya, ilmu pengetahuan tidak pernah bermimpi untuk dapat mewujudkan hal tersebut, karena tidak dapat dibayangkan baik secara ilmiah maupun empiris adanya sebuah pelindung yang mampu melawan derajat panas matahari yang luar biasa besarnya sejauh yang bisa dibayangkan oleh manusia.
Adapun mungkin secara filosofis atau logis ialah tidak adanya argumentasi―berdasarkan kesimpulan akal dari hukum-hukum apriori, yakni hukum-hukum yang mendahului empiris―untuk menolak sesuatu atau untuk memastikan kemustahilannya.
59 Pembicaraan tentang kajian ini adalah sangat ilmiah dan mendetail. Dikatakan sesungguhnya dia adalah sesuatu yang mungkin terjadi secara ilmiah, akan tetapi tidak terealisasi sekarang, dan fakta mengatakan banyak inovasi di dunia luar angkasa dan berputarnya planet-planet di galaksi-galaksi dan lain sebaginya yang baru saja tersingkap di abad 20 ini.
Misalnya, membagi tiga buah jeruk secara sama rata―tanpa dipecah menjadi dua belah―tidak akan mungkin terjadi secara logis, karena akal memahami―tanpa melakukan pengujian empirik―bahwa tiga adalah angka ganjil dan bukan genap, oleh karenanya tidak mungkin terbagi menjadi sama; karena terbaginya tiga menjadi sama berarti ia adalah bilangan genap, maka bilangan tiga pada satu waktu genap sekaligus ganjil, dan ini adalah kontradiksi yang mustahil terjadi menurut akal.
Akan tetapi, masuknya manusia ke dalam api tanpa harus terbakar, sampainya manusia ke bola matahari, tanpa harus terbakar oleh panasnya, bukanlah sesuatu yang mustahil secara logis dan filosofis, karena tidak ada kontradiksi antara asumsi bahwa panasnya matahari tak lebih banyak diserap oleh panasnya badan. Ini berbeda dengan eksperimen yang pernah dicoba, yaitu penyerapan panas dari benda yang lebih panas kepada benda yang lebih rendah suhu panasnya sampai hawa panas keduanya berimbang.
Sampai di sini, dapat disimpulkan bahwa mungkin secara logis itu lebih luas cakupannya dari pada mungkin secara saintis, dan mungkin secara saintis ini lebih luas cakupannya dari mungkin secara praktis.
Dan tanpa diragukan lagi bahwa panjangnya usia manusia beribu-ribu tahun adalah sebuah fenomena yang mungkin terjadi secara logis; karena akal tidak menilainya sebagai sesuatu yang mustahil, juga tidak terdapat kontradiksi dalam pengasumsian fenomena ini; karena kehidupan secara konseptual tidak mengandung arti kematian yang cepat. Maka dalam hal ini, tidak perlu perdebatan.
Sebagaimana tidak diragukan lagi, usia panjang bukanlah sesuatu yang mungkin terjadi secara praktis; serupa sarana ilmiah untuk menyelami dasar laut atau menjejakkan kaki di planet bulan, sebab dengan sarana yang ada sekarang ini dan telah diujicobakan, sains belum mampu memanjangkan usia manusia sampai ratusan tahun. Oleh karena itu, kita melihat mayoritas manusia yang bersikeras untuk mempertahankan hidup dan mencapai kecanggihan produk sains, tidak mendapatkan sepenggal usia hidup kecuali sekadar yang umum mereka alami.
Sedangkan mungkin secara saintis adalah tidak adanya teori ilmiah yang menolak kemungkinan terjadinya usia panjang itu dari sisi teoretis.60 Pada dasarnya, pembahasan ini bertalian model penjelasan fisiologis atas fenomena penuan dan kerentaan manusia.
Yakni, apakah fenomena ini menyingkapkan hukum- hukum alamiah atas pertumbuhan organisme tubuh manusia dan sel-selnya, lalu―setelah sampai titik kematangannya―menjadi aus dan kaku secara bertahap serta semakin berkurang potensinya untuk bekerja aktif, sampai akhirnya berhenti pada masa tertentu, sekalipun kita sisihkan faktor-faktor eksternal? Ataukah pengausan dan pembekuan pada potensi kerja sel-sel tubuh ini akibat dari pengaruh faktor eksternal seperti virus,
60 Memang, tidak ada bukti ilmiah yang menolak teori ini, bahkan para pakar medis sekarang ini sedang berupaya melakukan eksperimen secara intensif untuk memanjangkan usia manusia, puluhan eksperimen telah dilakukan dalam hal ini, dan ini merupakan dalil paling kuat bahwa panjangnya usia seorang anak manusia adalah sesuatu yang mungkin terjadi secara ilmiah. kuman atau racun yang diserap oleh tubuh pada waktu mengonsumsi makanan?
Ini adalah persoalan yang diperkarakan oleh sains dan ilmu pengetahuan itu sendiri, dan secara intensif berusaha untuk memecahkannya. Tentunya, persoalan ini senantiasa melahirkan lebih dari satu teori ilmiah.
Jika kita perhatikan sudut ilmiah yang mengacu pada teori penuaan dan kerentaan usia lanjut sebagai akibat dari pengaruh-pengaruh faktor eksternal, maka bila sel-sel yang membentuk tubuh manusia itu terlindung dari pengaruh-pengaruh tersebut, usia hidup manusia secara teoretis akan memanjang dan melampaui fenomena penuaan hingga sanggup mengatasinya.
Namun, jika kita mengacu pada teori yang cenderung mengandaikan fenomena penuaan sebagai hukum alam atas sel-sel tubuh dan struktur organ yang hidup―yakni bahwa sel-sel itu di dalam dirinya sendiri membawa benih-benih kematiannya yang pasti, mulai dari fase penuaan, kerentaan sampai kematian―maka saya katakan bahwa demikian ini tidak menafikan asumsi akan fleksibilitas pada hukum alami. Sekalipun teori ini benar, hukum alam itu senyatanya adalah hukum yang fleksibel; karena kita menyaksikannya dalam kehidupan kita sehari-hari; dan karena para ilmuwan telah menguji secara ilmiah bahwa manula adalah fenomena fisiologis yang nontemporal; sehingga ia kadang datang pada usia dini, kadang juga datang begitu terlambat dari usia biasa dan tidak muncul kecuali di masa-masa yang begitu lanjut.
Bahkan, ada orang yang sudah lanjut usianya tapi dia masih memiliki organ tubuh yang sangat lentur seperti anak-anak, dan pada dirinya tidak tampak tanda-tanda ketuaan, sebagaimana telah dipalorkan oleh sebagian dokter.61
Bahkan secara ilmiah, para ilmuwan telah berhasil mempelajari fleksibilitas hukum-hukum alami tersebut sehingga mereka mampu memanjangkan usia sebagian hewan seratus kali dari usia wajarnya, yaitu dengan cara merekayasa lingkungan dan faktor-faktor yang memperlambat efektifitas hukum penuaan.
Dengan demikian, dapat dibuktikan secara ilmiah bahwa upaya mempelambat efektifitas hukum ini melalui rekayasa lingkungan, kondisi dan faktor-faktor tertentu adalah sesuatu yang mungkin terjadi secara ilmiah Dan jika sains tidak melakukan ihwal pelambatan ini atas makhluk yang begitu kompleks seperti manusia, hanya karena tingginya tingkat kesulitan pada manusia ketimbang hewan ataupun makhluk hidup lainnya. Ini berarti dari sisi teori dan sesuai perkembangan ilmiah yang telah dilalui, sains sama sekali tidak pernah memustahilkan pemanjangan usia manusia, baik penuaan itu ditafsirkan akibat dari pengaruh faktor-faktor eksternal ataupun kelaziman dari hukum alami atas sel-sel hidup itu sendiri yang akan mengalami kehancuran.
61 Para dokter dan riset-riset medis menandaskan hal ini. Mereka telah melihat kasus yang begitu banyak di bidang ini, dan mungkin hal inilah yang mendorong mereka untuk melakukan eksperimen dan usaha untuk memanjangkan usia biasa manusia. Dan seperti biasanya, mula-mula mereka memeriksa hewan sebagai uji coba awal eksperimen mereka untuk kemudahan dan menghindari resiko-resiko lain yang mencegah eksperimen itu dilakukan terhadap manusia.
Dari uraian-uraian di atas ini, kita dapat menyimpulkan bahwa usia panjang manusia dan kelangsungannya selama beberapa abad adalah hal yang mungkin terjadi secara logis dan secara saintis, akan tetapi hal ini masih belum mungkin terjadi secara praktis, hanya saja arus ilmu pengetahuan sedang bergerak ke arah realisasi kemungkinan ini melalui perjalanan yang amat panjang.
Atas dasar inilah kita menafsirkan usia Imam Mahdi a.s. dan segenap keganjilan serta keberatan yang melingkupinya. Di sini dapat kita perhatikan bahwasanya setelah terbukti secara logis dan ilmiah kemungkinan panjangnya usia ini, dan telah tampak bagaimana ilmu pengetahuan sedang berusaha mengembangkan kemungkinan teoretis menjadi kemungkinan praktis secara bertahap, maka tidak perlu lagi dirasakan ganjil selain bahwa masalah Mahdiisme ini sungguh telah melampaui roda ilmu pengetahuan itu sendiri. Sosok wujudnya telah mengubah kemungkinan teoretis ini menjadi sesuatu yang mungkin diwujudkan secara praktis, jauh sebelum dilakukan oleh ilmu pengetahuan. Dia laksana orang yang telah mendahului ilmu pengetahuan dalam menyingkap obat selaput otak atau obat kanker.
Kemudian jika ada masalah lain, yaitu bagaimana mungkin Islam dapat melampaui gerak roda ilmu pengetahuan? Jawabannya, kasus ini bukanlah satu-satunya kasus yang mampu menampilkan Islam sebagai agama yang telah mendahului kecanggihan ilmu pengetahuan.
Bukankah syariat Islam sebagai sistem yang utuh telah melampaui kemajuan sains dan perkembangan alami pemikiran manusia selama berabad-abad?62
Bukankah Islam telah mengetengahkan ajaran-ajarannya merancang garis-garis besar pelaksanaan hukum; sesuatu yang manusia belum dapat melakukannya dalam menggariskan masa depannya kecuali setelah ratusan tahun?
Tidakkah Islam telah membawa hukum-hukum yang sarat hikmah yang tak dapat disingkap rahasia dan kandungannya oleh manusia kecuali pada akhir-akhir ini?
Tidakkah misi Langit telah menyingkap misteri alam yang tak pernah terlintas dalam benak manusia, kemudian sains datang dan mendukungnya?
Jika kita meyakini hal ini semua, kenapa kita masih tetap saja mempertanyakan Allah swt. sebagai Pemilik misi ini; kenapa mendahulukan panjangnya umur Imam Mahdi a.s. di atas roda kemajuan sains?63 Di sini, saya
62 Pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan oleh Sayyid Shadr ini, bertujuan untuk mengokohkan hakikat yang amat penting; bahwa Rasulullah saat memberitahukan kabar gembira tentang Imam Mahdi a.s. sebagai sebuah kondisi yang tidak lumrah menurut ukuran umum manusia, seakan-akan pada satu sisi beliau mengabarkan isyarat awal atas kemungkinannya secara amaliyah setelah ditetapkan kemungkinannya secara ilmiah, artinya tentang bertahannya usia manusia dari usianya yang biasa. Karena isyarat awal semacam ini adalah peringatan akan sebuah hakikat bahwa hal ini telah dicatat dalam Al-Quran dan hadis yang mulia di banyak tempat dalam masalah alamiah, dan dunia dan kehidupan.
Lihat: Al-Quran dan Ilmu Modern, Dr. Abdul Razaq Naufal.
63 Ini juga indikasi akan mukjizat dan anugerah ilahi yang tidak dapat dipungkiri oleh seorang muslim, di mana kitab-kitab samawi tidak ingin menyinggung kecuali tentang fakta-fakta keutamaan Islam yang bisa kita raba secara langsung, dan mungkin kita akan tambahkan beberapa keutamaan lain yang dapat ditemukan dari dalam teks-teks wahyu.
Di antaranya, riwayat telah memberitahukan kita bahwa Rasulullah telah diberangkatkan di malam hari (Isra’)64 dari Masjidil Haram hingga Masjidil Aqsa. Jika kita ingin memahami perjalanan ini atas dasar hukum-hukum alami, maka perjalanan ini menyingkapkan bagaimana Rasulullah telah memanfaatkan hukum-hukum itu dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh ilmu pengetahuan65 kecuali pada abad terakhir ini. Maka itu, pengalaman ilahiyah ini sendiri―yang telah meluangkan Rasulullah untuk melakukan perjalanan kilat; jauh sebelum sains dapat mewujudkannya―juga telah meluangkan khalifah terakhirnya untuk berusia panjang, jauh sebelum sains membuktikan kemungkinan hal tersebut. menginformasikan hal-hal serupa, terlebih Al-Quran, sebagaimana tentang kasus Nabi Nuh a.s., dan sederet kabar-kabar gaib yang telah disebutkan oleh Al-Quran. Di samping itu, sebagian besar dari kalangan Ahli Sunnah dan kaum sufi dan irfan mempercayai karomah atau apa yang menyerupai mukjizat bagi para wali dan hamba saleh Yang Maha Hak. Lihat: At-tashawuf wa Karamat, Syeikh Muhammad Jawad Mugniyah.
Lihat juga: At-tajul Jami’ li Usul:5/228, kitab ‘Az-Zuhd wa Raqaiq’.
64 Dalam Al-Quran difirmankan:”Maha Suci Dzat yang telah membawa hambanya pada malam hari dari masjid Haram ke masjid Aqsha. (Al-Isra:1)
65 Ini menyinggung pesawat antariksa, dan mengelilingi cakrawala langit dalam waktu yang sangat lama dan jauh dari bumi kita, dan jarak tempuhnya yang tidak kurang dari beberapa jam atau beberapa hari, dan hal ini telah dibuktikan oleh dunia kita pada akhir-akhir abad kedua puluh.
Memang, umur panjang yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada penyelamat umat manusia yang dinanti-nanti ini terkesan aneh dan ganjil sampai saat ini, baik dalam kehidupan manusia atau dalam eksperimen yang telah dilakukan oleh sains.
Akan tetapi, tidakkah era perubahan yang diusung beliau adalah hal yang menakjubkan, di luar jangkauan kemampuan dan kemajuan manusia?
Tidakkah perubahan dunia yang dilakukan beliau berdasarkan keadilan dan kebenaran?
Lalu kenapa jika periode yang luar biasa ini muncul dengan berbagai fenomena yang asing yang tidak lumrah bagi manusia seperti panjang umur yang sedang dirasakan oleh penyelamat umat manusia ini?
Karena keganjilan fenomena semacam ini dan keluarnya dari kebiasaan betapapun santernya hal tersebut tidak akan melampaui kedahsyatan periode perubahan yang akan dibawa dan dijanjikan olehnya. Jika kita menganggap periode sebagai era spektakuler66 secara historis, kendati tidak pernah terjadi periode yang sepadan dengannya di seluruh kehidupan manusia, lalu kenapa kita tidak membolehkan umur panjang bagi beliau yang tidak
66 Ini mengarah pada pembahasan apa yang dijanjikan untuk Imam Mahdi as dari peran dan era perubahan yang amat penting dalam eksistensi umat manusia seluruhnya, sebagaimana bunyi sebuah hadis – yang sahih:”dia akan memenuhi dunia dengan keadilan setelah dipenuhi oleh kezaliman dan kelaliman”.
Peran dan tugas ini telah disepakati oleh ulama Islam, sedang perbedaan terjadi dalam masalah-masalah parsial saja. Atas dasar ini pertanyaan-pertanyaan yang dipertanyakan oleh Sayyid Shadr memiliki pengesahan logis yang amat kokoh. 59 pernah kita lihat tandingannya dalam kehidupan kita yang biasa?
Saya tidak tahu apakah itu sebuah kebetulan hanya dua sosok yang mengevakuasi kebudayaan manusia dari muatan-muatannya yang rusak dan membangunnya kembali dari nol, keduanya diberikan umur yang panjang yang melebihi umur biasa kita berlipat ganda?
Yang pertama : sosok ini telah memerankan perannya di awal-awal sejarah manusia beliau adalah Nabi Nuh a.s., di mana sesuai penegasan Al-Quran67 beliau berada di tengah- tengah kaum selama sembilan ratus lima puluh tahun dan beliau ditakdirkan untuk membangun kembali dunia dari awal setelah peristiwa banjir bandang.
Yang kedua: Sebuah sosok yang akan memerankan perannya di masa depan manusia, beliau adalah Imam Mahdi as, di mana beliau telah berada di tengah-tengah umatnya hingga sekarang lebih dari seribu tahun dan beliau ditakdirkan pada hari yang telah dijanjikan untuk menata kembali dunia dari awal.
Lalu, kenapa kita menerima Nabi Nuh a.s. yang minimalnya beliau hidup selama seribu tahun tetapi kita tidak menerima usia panjang yang dialami oleh Imam Mahdi a.s.?68
67 Di dalam ayat ke-14 surah Ankabut:”maka mereka menetap di tengah-tengah mereka selama seribu tahun kurang 50 tahun atau 950 tahun”.
68 Soal ini tertuju kepada semua orang muslim dan yang percaya terhadap al-Quran dan hadis mulia Nabi saw., para ulama Ahli Sunnah telah meriwayatkan sosok lain selain Nabi Nuh a.s. yang memiliki usia yang tidak sedikit juga, lihat Tahdiz Asma’ wa Lugat, Nawawi,: 1/176, dan tidak benar orang yang menyanggah bahwa
Sampai di sini, kita telah membuktikan bahwa umur panjang itu mungkin terjadi secara saintis dan ilmiah, akan tetapi anggaplah hal ini tidak mungkin diwujudkan secara ilmiah; dan sistem penuaan adalah hukum paten yang tidak bisa dilawan oleh manusia zaman sekarang dan tidak mampu diubah syarat-syaratnya. pada kasus itu –panjangnya usia Nabi Nuh as- telah memiliki nas khusus dan paten serta berkaitan dengan seorang nabi, sedang pada kasus ini kita tidak dapat memastikan karena selain kita tidak memiliki nas pasti hal ini tidak berkaitan dengan seorang Nabi.
Jawab dari soal semacam ini adalah: sesungguhnya tugas antara keduanya sama, yaitu mengubah kezaliman dan kerusakan, dan tugas ini selain dibebankan kepada seorang Nabi juga dipikulkan kepada seorang yang telah dipilih oleh Allah swt. juga, sebagaimana ditegaskan oleh riwayat yang sahih. Rasulullah saw. bersabda:”Andai usia dunia sudah tidak tersisa lagi kecuali tinggal sehari saja maka Allah akan memanjangkan hari tersebut sehingga Dia mengutus seorang laki-laki dari keluargaku yang akan memenuhi dunia dengan keadilan...”
(At-Tajul Jami; lil Usul: 5/343.)
Sedang dari sisi kepastian nas dan teks, maka hadis-hadis tentang Mahdi as telah mencapai batas mutawatir, hal ini jelas menyebabkan kepastian dan pengetahuan, maka tidak ada perbedaan di antara keduanya.
Lihat : At-Tajul Jami’ :5/341 dan 360. telah dinukil bahwa hal ini mutawatir dari Syaukani, dan telah bersepakat para muhaqiq dari kedua ulama Ahli Sunnah dan Ahlul Bait bahwa barangsiapa yang mengingkari Mahdi as sama dengan mengingkari Rasulullah saw., hal ini bukan karena apa-apa tapi karena hal tersebut sudah begitu mutawatir dan termasuk dari hal-hal urgen agama, dan barang siapa yang mengingkari hal dharuriyat seperti ini maka secara mufakat dia adalah kafir.
Lihat : Al-Isya’ah li Isyarati Sa’ah, al-Barjajnji dalam pembahasannya tentang Imam Mahdi as. Dan kita juga telah menukil kemutawatiran pada awal juga.
Lalu, apa arti dari semua itu? Artinya, bahwa pemanjangan umur manusia (Nuh atau Mahdi) selama beberapa abad itu bertentangan dengan hukum-hukum alam yang telah disingkap oleh ilmu pengetahuan melalui eksperimen dan penelitian mutakhir atasnya.
Maka, kondisi semacam ini merupakan mukjizat yang telah menggugurkan suatu hukum alam dalam kondisi tertentu demi menjaga kehidupan seorang sosok yang dengannya misi langit dapat terjaga. Mukjizat ini bukanlah yang pertama, dan satu-satunya, atau sesuatu yang asing dalam keyakinan seorang muslim yang bersumber dari Al-Quran atau hadis. 69
Bukankah hukum penuaan itu tidak lebih kuat dari perpindahan panas dari benda yang sangat panas ke benda yang tidak panas sehingga menjadi seimbang?!
Hukum pernah tidak berlaku guna menjaga kehidupan Nabi Ibrahim a.s., yaitu tatkala satu-satunya cara untuk menjaga kehidupan beliau adalah penahanan hukum ini.
Misalnya, api itu diseru ketika Nabi Ibrahim dilemparkan ke dalam api:
Kami berkata : wahai api dinginlah dan berilah keselamatan kepada Ibrahim.70
Lalu, beliau keluar dari medan api seperti awal kali beliau masuk dalam keadaan segar bugar tanpa mengalami cedera apapun.
69 Artinya hal ini termasuk dalam mukjizat, dan ini telah disinyalir oleh al-Quran dan sunnah yang mulia, mukjizat sebuah hakikat yang selalu menemani dakwah dan klaiman para Nabi saw dari tuhan, hal ini juga tidak dapat dipungkiri dan diragukan oleh seorang muslim, bahkan Non-Muslim juga tidak ketinggalan dalam meyakini adanya sebuah mukjizat.
70 Anbiya’: 69.
Jadi, begitu banyak hukum-hukum alam yang tidak berlaku untuk menjaga sejumlah pribadi dari para nabi dan wakil-wakil tuhan di atas bumi. Bagaimana laut telah dibelahkan untuk Nabi Musa a.s.,71 dan bagaimana Rumman telah diserupakan sehingga penguasa saat itu merasa telah berhasil telah menangkap Nabi Isa a.s.72 padahal sesungguhnya beliau sendiri tidak tertangkap.
Lalu, bagaimana Nabi Muhammad saw. keluar dari rumahnya dalam pengepungan ketat oleh pasukan Quraisy yang telah mengawasi beliau berjam-jam untuk menyerang beliau, namun Allah melindungi beliau dari pandangan mereka dan berjalan di hadapan mereka.73
Semua fakta ini telah menahan fungsi hukum-hukum alam demi menjaga kehidupan seorang pribadi sesuai tuntutan Hikmah Ilahiyah, termasuk hukum penuaan.
Dari kenyataan di atas itu, bisa jadi kita menyatakan sebuah prinsip umum, yaitu bahwa jika setiap penjagaan kehidupan wakil-wakil Tuhan di atas bumi bergantung kepada penahanan hukum-hukum alam dan kelangsungan hidup mereka itu penting demi tugas yang telah dipersiapkan, maka Inayah Ilahiyah akan mengintervensi hukum-hukum tersebut. Begitu sebaliknya, jika tugas Ilahi mereka telah berakhir dan tuntas, mereka akan menemui ajal atau mati syahid sesuai dengan hukum-hukum alam.
71 Allah berfirman:”maka Kita wahyukan kepada Musa untuk memukulkan tongkatnya ke laut, maka terbelahlah, maka setiap belahan seperti gunung yang menjulang tinggi”. Syu’ara: 63.
72 Allah berfirman:”mereka tidak membunuh dan menyalibnya (Isa as) akan tetapi telah diserupakan bagi mereka... Nisa’: 157.
73 Lihat: Sirah Ibnu Hisyam: 2/483, di mana dia menukil kejadian yang telah disepakati ini.
Terkadang prinsip umum di atas dibenturkan dengan pertanyaan berikut ini:
Bagaimana mungkin suatu hukum itu dapat ditahan dan digugurkan?74 Dan bagaimana relasi keniscayaan di antara fenomena-fenomena alam ini dapat terputus?
Tidakkah hal ini bertentangan dengan ilmu pengetahuan yang telah menyingkap hukum-hukum alam dan menyelidiki relasi keniscayaan yang tak terpisahkan berdasarkan metode eksperimen dan induksi?
Jawab : ilmu pengetahuan sendiri telah menjawabnya dengan menarik pendirian dari teori keniscayaan pada hukum-hukum alam. Penjelasannya, hukum-hukum alam itu disingkap oleh sains melalui eksperimen dan penelitian yang sistematis. Dan tatkala kejadian suatu fenomena berlangsung secara berkesinambungan setelah fenomena yang lain, sains merumuskan sebuah hukum alam. Yakni, ketika satu fenomena itu terjadi, akan terjadi fenomena yang lain sebagai efeknya. Hanya saja, ilmu pengetahuan tidak mengasumsikan bahwa relasi keniscayaan di antara dua fenomena itu muncul dari dalam fenomena itu sendiri, karena keniscayaan merupakan kondisi gaib yang tak terindera dan tidak bisa ditetapkan melalui eksperimen ataupun oleh alat-alat
Terkadang dikatakan: sesungguhnya undang-undang sebagai sebuah undang-undang haruslah paten dan tidak mengenal kata libur dan retak, sebagian berpendapat bahwa keretakan ini dapat terjadi akibat undang-undang yang lain, sebagaimana yang terjadi pada undang-undang gravitasi yang selalu menarik segala sesuatu kepada pusatnya, kendati demikian sesungguhnya air itu muncrat akibat proses penyerapan yang terdapat dalam tumbuh-tumbuhan dari akar ke arah atas melalui saluran, hal ini sesuai undang-undang yang lain yaitu (fungsi saluran/rambut). Lihat: Al-Al-Quran Muwhawalah li Fahmi ‘Ashr, Dr. Mustafa Mahmud.
Karakteristik Konsep Mahdiisme riset induktif. Oleh karenanya, logika ilmu modern telah menegaskan bahwa hukum-hukum alam―sebagaimana telah diakui oleh ilmu pengetahuan―tidak berbicara tentang relasi keniscayaan, tetapi tentang kesemasaan (iqtiran) yang berkesinambungan di antara dua fenomena.75 Lalu, jika mukjizat itu datang dan memisahkan satu dari dua fenomena dalam hukum-hukum alam, maka ini tidak berarti perusakan atas relasi keniscayaan di antara dua fenomena tersebut.
Pada dasarnya, mukjizat dalam konsep keagamaan―bila diukur oleh logika ilmu modern―telah menjadi konsep yang lebih luas dari apa yang telah dipahami menurut persepsi klasik tentang relasi sebab-akibat.
Persepsi klasik mengasumsikan bahwa setiap dua fenomena yang menunjukkan kesemasaan (iqtiran) satu dengan yang lainnya, maka relasi di antara keduanya adalah relasi keniscayaan. Relasi keniscayaan menyatakan bahwa terpisahnya salah satu fenomena itu dari yang lainnya adalah mustahil. Namun, menurut logika ilmu modern, relasi ini telah berubah menjadi hukum kesemasaan (iqtiran/conjunction) atau hukum asosiasi umum di antara dua fenomena; tanpa asumsi adanya kondisi keniscayaan (dharurah) yang bersifat nonindriawi.
Dengan demikian, mukjizat merupakan pengecualian dari hukum kesemasaan dan asosiasi; tanpa berbenturan dengan kondisi keniscayaan atau berakhir pada kemustahilan.
Sayyid Shadr telah menjelaskan kajian ini secara panjang lebar dalam bukunya Falsafatuna, lihat: 295 dan 299.
Sedangkan menurut prinsip-prinsip logika induksi, kita sepakat dengan ilmu modern; bahwa induksi tidak membuktikan adanya relasi keniscayaan di antara dua fenomena. Akan tetapi menurut kami, induksi menunjukkan adanya kesamaan penafsiran dalam perumusan hukum kesemasaan atau asosiasi secara terus menerus di antara dua fenomena.
Kesamaan penafsiran ―selain bisa dirumuskan di atas asumsi adanya relasi keniscayaan―juga dapat diterapkan berdasarkan asumsi suatu hikmah (kebijaksaan Ilahiyah) yang menuntut keteraturan alam untuk mewujudkan hubungan fenomena tertentu dengan yang lain secara berkesinambungan. Hikmah ini sendiri terkadang menuntut suatu pengecualian sehingga terjadilah sebuah mukjizat.
Demikianlah secara ilmiah dan logis terbuktikan bahwa umur panjang adalah sesuatu yang mungkin terjadi, dan tidak melazimkan kendala apapun, baik secara ilmiah maupun filosofis. Dan dengan ini, berakhirlah fase pertama dari topik ciri-ciri kegaiban Imam Mahdi a.s.
Fase Kedua: Pembuktian atas Panjangnya Usia Imam Mahdi Secara Praktis
Pada fase ini, pembahasan kita dapat dilakukan melalui dua metode: metode teologis dan metode historis.
Lihat pemaparan dan penjelasan teori ini dalam al-Usus Manthiqiyah lil Istiqra’ di mana beliau telah menyingkap penemuan penting dalam masalah epistemologi secara umum.
Pembahasan ini diambil dari kitab Bahs Haula Mahdi, karya Sayyid Shadr: 65-80, dengan tahqiq dan ta’liq dari Dr. Abdul Jabar Syararah.
1. Metode Teologis
Metode ini dapat dijelaskan ke dalam tiga poin berikut:
A. Ciri ini merupakan konsekuensi logis dari konsep Mahdiisme menurut Ahlul Bait a.s. Maka itu, terbuktinya konsep ini―dengan cara yang telah kita lakukan di atas itu―adalah sebuah kesimpulan argumentatif yang kokoh sekaligus keterangan yang jelas atas kekeliruan konsep dan pendapat yang lain.
Hal ini menuntun kita secara otomatis kepada keyakinan akan kegaiban Imam Kedua Belas a.s.
Dengan demikian, selagi imam itu hanya berjumlah dua belas dan mereka dipilih langsung oleh Allah swt.; sementara manusia tidak memiliki andil apapun dalam memilih mereka, maka kita tidak bisa tidak hanyalah menerima kelangsungan hidup Imam Kedua Belas dan menyertai sejarah umat manusia lalu hadir bersama mereka di episode terakhir dari sejarah tersebut.
Tentunya, seorang manusia yang ditakdirkan untuk tujuan dan kehidupan yang panjang tersebut akan bisa hidup secara hadir langsung bersentuhan; dia menjalani hidupnya secara rahasia dan gaib dari pandangan mata umat manusia, kecuali bila kita mengasumsikan kematiannya dalam jangka waktu yang wajar kemudian dia hidup kembali pada masa kemunculannya kelak.
Namun, asumsi ini melazimkan terputusnya hujjah (wakil Allah) dari sejak masa kematian sampai kemunculannya. Ini jelas bertentangan dengan hadis Tsaqalain yang menegaskan adanya kaitan erat antara kitab Allah dan al-Itrah; Ahlul Bait a.s., dan ketakterpisahan keduanya di setiap masa hingga Hari Kiamat kelak dan kedatangan mereka di telaga. Selain itu, asumsi ini juga melazimkan keyakinan akan kembalinya Imam Mahdi kepada kehidupan setelah wafatnya; suatu keyakinan yang tidak dipercayai oleh seorang muslim pun.
B. Terdapat riwayat-riwayat yang menerangkan Imam Mahdi a.s. sebagai sosok yang gaib. Hal ini telah disebutkan oleh sebagian sumber dari kalangan Ahli Sunnah, seperti dalam Yanabiul Mawaddah dan Faraidus Samthain.
Di dalam kitab Yanabiul Mawaddah: dari kitab Faraidus Samtain, dari Imam Al-Baqir a.s., dari ayahnya, dari kakeknya, dari Imam Ali a.s., beliau berkata: Rasulullah saw. bersabda: ”Al-Mahdi adalah dari keturunanku; dia akan gaib yang jika dia muncul akan memenuhi bumi dengan keadilan dan kemakmuran setelah dipenuhi oleh kezaliman dan kenistaan”.
Di sana juga disebutkan dari Said ibn Jubair dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Rasulullah saw. bersabda:
”Sesungguhnya Ali adalah washi (penerus)-ku, dan dari keturunannya adalah Al-Qaim Al-Mahdi yang ditunggu-tunggu dan akan memenuhi dunia dengan keadilan sebagaimana dipenuhi oleh kezaliman dan kenistaan.
Demi Dzat yang dengan kebenaran telah mengutusku sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan! Yanabi’ul Mewadah: 3/296, bab ketujuh puluh delapan.
Sesungguhnya mereka yang berpegang teguh pada kepemimpinannya itu sedikit sekali”.
Lalu, Jabir ibn Abdillah bangkit dan bertanya: “Wahai Rasulullah! Apakah Al-Qaim dari keturunanmu itu mengalami kegaiban? Beliau menjawab: “Ya, demi Tuhanku, sebagai ujian berat atas kaum mukmin dan kaum kafir”. Kemudian beliau bersabda: “Wahai Jabir! Ini adalah salah satu urusan dan misteri Allah, dan jangan sampai kamu meragukannya! Karena keraguan terhadap urusannya adalah sebuah kekufuran”.
Masih dalam kitab yang sama, disebutkan di sebuah lembaran dari Hasan ibn Khalid berkata: “Ali ibn Musa Ar-Ridha bersabda: “Sesungguhnya keturunanku yang keempat adalah putra penghulu para wanita, dengannya Allah menyucikan bumi-Nya dari segala kezaliman dan kenistaan. Dia adalah orang yang diragukan kelahirannya. Dialah sang pemilik kegaiban. Maka, jika dia muncul, bumi akan bercahaya dengan cahaya Tuhannya”.
Di sana juga disebutkan dari Ahmad ibn Ziyad dari Di’bil Al-Khuza’i dalam ungkapannya saat bertemu dengan Imam Ali Ar-Ridha a.s. dan saat melantunkan bait-bait syiarnya yang sangat memilukan sampai dia berkata: “Sesungguhnya imam setelahku adalah putraku; Muhammad, lalu putranya; Ali, lalu putranya; Hasan, lalu putranya; Al-Hujjah Al-Qoim (Al-Mahdi) yang dinanti-nantikan sepanjang kegaibannya, yang ditaati saat kemunculannya, dan memenuhi dunia dengan keadilan setelah dipenuhi dengan kezaliman dan kenistaan. Adapun, kapan dia akan muncul? Maka itu Sumber yang sebelumnya: 3/297, dan bab yang sama. adalah sebuah kabar tentang Hari Kiamat. Aku telah diberitahukan oleh ayahku dari ayah-ayahnya dari Rasulullah saw. bersabda: ”Mahdi laksana Hari Kiamat; dia tidak akan datang kecuali secara seketika”.
Di sana juga disebutkan dari kitab Gayatul Maram; dari kitab Faraidu Samthain; dari Jabir ibn Abdillah berupa hadis marfu’: “Mahdi adalah dari keturunanku; namanya seperti namaku, julukannya seperti julukanku. Dia orang yang paling mirip dengan diriku dari segi fisik dan budi pekerti. Dia akan mengalami kegaiban dan kebingungan (hairah) yang membingungkan umat. Dia akan datang bak bintang kejora yang akan memenuhi dengan keadilan setelah dipenuhi oleh kezaliman dan kenistaan”.
Di sana juga disebutkan darinya dari kitab Faradus Samthain di halaman yang sama; dari Imam Al-Baqir a.s.; dari ayah-ayah beliau; dari Ali ibn Abi Thalib berupa hadis marfu’ Rasulullah: “Mahdi dari anak cucuku yang akan mengalami kegaiban dan kebingungan yang membuat umat tersesat―hingga beliau bersabda―dan dia akan memenuhi dunia dengan keadilan setelah dipenuhi dengan kezaliman dan kenistaan”.
Di sana juga disebutkan dari kitab Al-Manaqib; dari Abi Ja'far Muhammad Al-Baqir a.s. bersabda: “Rasulullah bersabda: ‘beruntunglah orang-orang yang mengalami masa Al-Qaim dari keluargaku, mengikutinya di masa kegaibannya sebelum kebangkitannya, berwilayah kepada para wakil-wakilnya dan memusuhi musuh-musuhnya. Mereka termasuk sahabatku dan pecintaku Yanabi’ul Mawaddah : 3/310, bab ke-80. Sumber sebelumnya: 3/386, bab ke 94. dan orang-orang yang paling terhormat di antara umatku di hari akhirat kelak”.
Di sana juga disebutkan dari Abi Bashir dari Ja'far ibn Muhammad Ash-Shadiq a.s.; dari kakek-kakek beliau; dari Imam Ali a.s. bersabda: “Rasulullah bersabda:
“Mahdi adalah anak cucuku; namanya seperti namaku, nama panggilan (kunyah)-nya seperti nama panggilanku.
Dia adalah orang yang paling mirip denganku dari segi fisik dan budi pekerti. Dia akan mengalami kegaiban dan kebingungan (hairah) di tengah umat sehingga manusia tersesat dari agama mereka. Pada saat itulah dia akan datang bak bintang, kemudian memenuhi dunia dengan keadilan setelah dipenuhi oleh kezaliman dan kenistaan”.
Mirip dengan kandungan di atas disebutkan dalam riwayat lain, hanya saja beliau bersabda: “Maka, pada saat seperti itulah dia akan datang bak bintang yang datang sebagai pusaka para Nabi”. Demikian penggalan hadis ini.82
Di sana juga disebutkan, (hal. 494) dari Jabir ibn Yazid Ju’fi berkata: “Aku mendengar Jabir ibn Abdillah al-Anshari berkata: ‘Rasulullah bersabda kepadaku:”Wahai
Jabir! para washi (khalifah) dan imam kaum muslim setelahku; yang pertama dari mereka ialah Ali, lalu Hasan, lalu Husain, lalu Ali putra Husain, lalu Muhammad putra Ali yang dikenal dengan Al-Baqir dan engkau akan menjumpainya―Wahai Jabir! Jika engkau bertemu dengannya, sampaikan salamku kepadanya―lalu Ja'far putra Muhammad, lalu Musa putra Ja'far, lalu Ali putra Musa, lalu Muhammad putra Ali, lalu Ali putra Muhammad, lalu Hasan putra Ali, lalu
82 Yanabi’ul Mawaddah: 3/397.
Al-Qaim yang namanya seperti namaku, kunyah-nya seperti kunyah-ku, dia adalah putra Hasan putra Ali.
Dengannya Allah menaklukkan belahan timur dan barat dunia. Dialah orang yang akan gaib dari para penganutnya; kegaiban yang tidak seorang pun akan teguh pada kepemimpinannya kecuali orang yang telah teruji hatinya dalam keimanan”.
C. Jika Mahdi yang telah dijanjikan itu bukan seorang imam yang maksum dan hanyalah seorang lelaki biasa seperti kebanyakan manusia, maka tidak akan ada hubungan kesesuaian antara dia dan kemunculan Isa Al-Masih a.s. sebagai nabi bahkan salah satu Ulul ‘Azmi untuk mendukung Mahdi dan menyeru para kristiani untuk mengakui kenabian Nabi Muhammad saw.
Maka itu, Mahdi yang dijanjikan tersebut seharusnya sosok pemimpin dan imam yang maksum, dan kepemimpinan yang maksum. Namun, lantaran perkara kemaksuman seorang imam itu bukan sebatas klaim seseorang, tetapi butuh kepada pelantikan langsung dari langit dan ketetapan dari lisan Nabi saw. yang menyingkapkannya, maka hal ini tidak pernah berlaku pada selain imam-imam dua belas, sekalipun sebatas klaim lisan apalagi dengan argumen.
Dan telah tercatat secara akurat hari-hari wafat para imam terdahulu, jasad mereka telah dimakamkan di tempat-tempat yang jelas. Hanya Imam Kedua Belas yang belum diketahui kematiannya hingga sekarang. Maka harus ada keyakinan akan keberlangsungan hidup beliau sejak hari kelahiran hingga masa kemunculan beliau di akhir zaman, sehingga layak didukung oleh Isa Al-Masih a.s.
Dalam hal ini, Sayyid Sami Al-Badri mengatakan:
“Sesungguhnya kemunculan Isa Al-Masih membutuhkan kapasitas ilmu dan kepemimpinan dari Imam Mahdi a.s., karena Isa akan bangkit sebagai saksi baginya dan bagi misi yang diemban, diangkat syi’ar dan kitabnya, dan menjadi pengikutnya. Dan Imam Mahdi dalam pandangan Ahli Sunnah tidak akan mampu mengungguli Isa a.s., bahkan dia tidak akan mampu mengungguli segenap kelompok umat Islam. Dia tidak akan mampu mengungguli Isa Al-Masih karena beliau adalah seorang nabi dan rasul Allah yang maksum dan telah didukung oleh mukjizat, dan orang seperti Isa a.s. tidak akan pernah dipimpin oleh manusia yang tidak pernah didukung oleh sebuah mukjizat, kemaksuman dan ilmu yang sempurna. Dia tidak akan mampu mengungguli seluruh umat muslim tanpa dukungan ilahiyah seperti mukjizat, kemaksuman dan ilmu yang sempurna”.
2. Metode Historis
Metode ini dapat diuraikan ke dalam tiga poin berikut:
A. Sebagaimana telah lewat, sejarah telah menyaksikan kelahiran Imam Mahdi a.s. dan tidak pernah menyebut-nyebut kematian beliau. Hal ini menjelaskan keberlangsungan kehidupan beliau. Dan karena kita tidak merasakan wujud suci beliau, dan Syubhat wa Rududi: Halqah keempat: 32. juga tidak dapat memastikan seorang pun dari manusia yang bisa dianggap sebagai Mahdi putra Imam Hasan Askari, maka kita harus meyakini bahwa beliau memiliki kehidupan tersembunyi yang tidak tampak bagi umat manusia.
B. Sesungguhnya sejarah telah menyaksikan penyaksian yang berulang kali akan wujud Imam Mahdi di masa kegaibannya. Ihwal hal ini telah dikarang buku-buku dan kitab seperti: Tabshiratul Wali fi Man Ra’a al-Qaim al-Mahdi karya Sayid Hasyim Al-Bahrani. Syeikh Abi Thalib At-Tajlil At-Tabrizi di dalam kitabnya telah menyebutkan 266 nama yang telah melihat Imam Mahdi a.s. di masa kegaiban singkat beliau, dengan membawakan kisah-kisah sebagian besar dari mereka. Ulama ini mengkhususkan sebuah pasal tersendiri sekaitan dengan orang-orang yang melihat Imam Mahdi di masa kegaiban panjang beliau, dan dia menyebutkan 20 judul kitab yang membawakan kisah dan sejarah tentangnya.
Berikut ini kita akan menyimak sebuah kisah yang dinukil oleh Sayid Shadrudin Ash-Shadr dalam bukunya yang berjudul Al-Mahdi dari Syeikh Abdul Wahab
Sya’rani dalam kitabnya; Thabaqat Al-‘Urafa, tepatnya mengenai riwayat hidup Syeikh Hasan Al-Iraki:
“Aku dan tuanku, Abu Abbas Al-Huraitsi, sering mendatangi Syeikh Al-Araki, hingga pada suatu hari dia berkata: ‘Apakah kamu mengizinkanku untuk menceritakan kisahku kepadamu dari awal hingga sekarang, aku telah menganggapmu seolah temanku dari masa kecil?’
Aku menjawab: ‘Ya, silakan!’
Lantas dia menuturkan: “Aku seorang pemuda dari Damaskus dan bekerja sebagai pengrajin. Pada suatu hari, tepatnya di hari Jumat, kita berkumpul, bermain dan berpesta minuman keras. Namun, tiba-tiba datang peringatan dari Allah swt. kepadaku: “Apakah untuk ini kau diciptakan?”
Segera aku tinggalkan kawan-kawanku. Aku lari dari mereka, mereka pun mengikutiku dari belakang tapi mereka tidak mendapatkanku. Lalu aku memasuki masjid jami’ Bani Umayah. Di sana aku melihat seseorang berpidato di atas mimbar tentang Imam Mahdi a.s. Begitu indah uraiannya sampai aku ingin sekali menemuinya.
Suatu saat, aku tidak pernah bersujud kecuali di dalamnya aku meminta dari Allah untuk mempertemu kanku dengannya.
Dan pada suatu malam usai shalat Maghrib, ketika aku hendak melakukan shalat sunah nafilah, tiba-tiba seseorang di belakangku duduk dan mengelus punggungku seraya berkata: “Allah telah mengabulkan doamu, wahai putraku! Apa kabarmu? Aku adalah Mahdi”.
Aku bertanya: “Sudikah engkau pergi bersamaku ke rumah? Beliau menjawab: Ya, marilah!
Maka beliau pergi bersamaku dan berkata:
“Siapkanlah sebuah tempat khusus untukku!” Segera aku lakukan permintaannya. Akhirnya, beliau menetap di rumahku selama tujuh hari tujuh malam. Al-Mahdi: 149, Shadruddin Shadr.
Syeikh Ali ibn Isa Al-Arbili dalam Kasyful Ghummah berkata: “banyak orang yang menukil kisah-kisah tentang peristiwa luar biasa Imam Mahdi yang penjelasannya sangatlah panjang. Di sini, aku akan menyebutkan dua kisah yang, dari sisi waktu, dekat dengan masa hidupku.
Kisah ini aku dengar dari sekelompok ikhwan yang tepercaya.
Kisah pertama, di kota Hillah antara sungai Furat dan Dijlah, ada seorang laki-laki bernama Ismail ibn Al-Hasan, dia berkata: “Saudara-saudaraku, Ismail telah menceritakan kepadaku bahwa di pahaku yang kiri muncul bisul bernanah sebesar kepalan tangan manusia.
Para dokter tidak mampu mengobatinya. Lalu dia pergi ke Baghdad dan memperlihatkannya kepada dokter-dokter asing, namun mereka menjawab bahwa penyakit itu tidak ada obatnya.
Akhirnya, Ismail pergi ke kota Samarra dan berziarah kepada dua Imam; Imam Ali Al-Hadi a.s. dan Imam Hasan Askari a.s. Dia juga turun dan berdoa di Sirdab dengan khusyuk dan meminta pertolongan kepada Imam Mahdi a.s. Setelah itu, dia kembali ke Dajlah, mandi dan mengenakan pakaiannya.
Tiba-tiba Ismail melihat empat penunggang kuda keluar dari gerbang kota. Dua dari para penunggang itu adalah orang tua yang memegang tombak dan seorang pemuda memegang panji yang berwarna-warni. Orang tua itu berada di sebelah kanan jalan dan dua pemuda berada di sebelah kiri jalan, sedangkan pemuda pemegang panji berada di tengah jalan.
Pemuda pemegang panji itu bertanya kepada Ismail:
“Apakah besok kamu akan kembali kepada keluargamu?”.
Dia menjawab: “Ya”.
Pemuda itu berkata lagi: “Majulah hingga aku dapat melihat apa yang membuatmu kesakitan!”
Segera Ismail maju dan membiarkan tangan pemuda pemegang panji itu memeras bisul dengan tangannya dan mengusapkannya ke pelana kudanya. Selekas itu, orang tua pemegang tombak berkata kepadanya:
“Engkau telah beruntung, wahai Ismail! Ini adalah Imam”. Kemudian mereka pergi.
Ismail pun membuntuti mereka, maka Imam berkata:
“Kembalilah!”
Ismail berkata: “Aku tidak sesekali akan meninggalkanmu.
Imam kembali berkata: “Kamu lebih baik kembali”.
Ismail kembali bersikeras bahwa dirinya tidak akan meninggalkan Imam. Maka orang tua itu berkata: “Wahai Ismail! Apakah kamu tidak malu! Imam telah melarangmu dua kali dan kamu tidak menaatinya”.
Ismail pun berhenti, sementara Imam maju beberapa langkah kemudian menoleh kepadanya dan berkata:
“Wahai Ismail! Kika kamu telah sampai di kota Baghdad, pasti engkau akan dicari oleh Abu Ja'far; Khalifah Al-Muntasir Billah. Lalu, jika kamu bertemu dengannya dan kau diberi sesuatu, maka tolaklah dan jangan kau ambil, dan katakanlah kepada putraku, Ar-Ridha, agar menulis surat untukmu kepada Ali ibn ‘Awadz, karena aku telah berwasiat kepadanya untuk memberikan hal-hal yang kau inginkan”.
Akhirnya, Imam pergi bersama para sahabatnya, sedangkan Ismail tetap berdiri memandang mereka sampai bayangan mereka hilang. Lalu dia duduk di atas tanah beberapa saat sambil merasa terpukul dan sedih serta menangis karena berpisah dengan mereka.
Ismail tiba di kota Samarra dan dikerumuni oleh khalayak ramai. Sebagian berkata: “kami lihat tampaknya wajahmu berubah, gerangan apa yang menimpamu?”
Dia berkata: “Apakah kalian mengenali para penunggang kuda yang barusan keluar dari kota menuju tepi sungai?”
Mereka menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang terhormat dan pemilik kawanan kambing”.
“Tahukah kalian, dia adalah Imam Mahdi dan para sahabatnya; seorang pemuda sebagai pemegang panji adalah Imam yang tangan berkahnya telah menyembuhkan penyakitku”. Demikian tukas Ismail.
Maka mereka bertanya: “Perlihatkanlah kepada kami!
Tak ayal lagi, Ismail pun menyingkapkan pahanya, dan mereka tidak melihat bekas apapun. Segera mereka berebut waktu untuk merobek bajunya demi mendapatkan berkah dan memasukkannya di gudang penyimpanan mereka dan melindunginya dari kerumunan masyarakat.
Kemudian seorang mata-mata dari khalifah mendatangi gudang itu dan bertanya-tanya tentang kabar Ismail, tentang nama keturunan, tanah kelahiran dan keluarnya dari Baghdad pada awal pekan ini. Setelah itu, ia meninggalkan gudang. Ismail menginap di gudang itu dan salat subuh lalu keluar bersama warga kota. Ketika telah jauh dari kota.
Samarra, warga pengantar pun pulang, sementara dia berjalan sendirian. Hingga di sebuah tempat, dia melihat sekelompok orang sedang memadati jembatan kuno; mereka menanyakan nama, nasab dan tempat asal setiap orang yang melewati jembatan tersebut. Tatkala giliran Ismail tiba, mereka memeriksa sampai mengenalinya melalui tanda-tanda tersebut itu. tanpa buang waktu, mereka pun mulai merobek-robek baju dan mengambilnya sebagai berkah.
Sementara itu, mata-mata khalifah mengirimkan surat ke Baghdad dan melaporkan kondisi yang terjadi. Lalu seorang menteri meminta kepada Said Radhiuddin untuk memeriksa kebenaran kabar tersebut. Radhiuddin yang tak lain adalah salah satu teman Ismail dan tuan rumah Ismail sebelum keluar dari Samarra, ketika bersama rombongannya bertemu dengan Ismail, mereka turun dari kuda, Ismail memperlihatkan pahanya dan mereka tidak melihat bekas apapun.
Melihat itu, Radhiuddin tidak sadarkan diri. Lalu dia membawa Ismail dan mempertemukannya dengan menteri seraya menangis dan berkata: “Dia adalah saudaraku dan orang yang paling aku cintai”. Sang menteri bertanya kepadanya tentang kisah yang telah menyebar, maka dia menceritakan apa yang telah terjadi.
Sang menteri pun memanggil para dokter yang pernah melihat penyakit Ismail dan menanyai mereka; kapan mereka melihat penyakitnya. Mereka menjawab, tak lebih dari sepuluh hari yang lalu. Akhirnya, menteri membukakan paha Ismail dan tidak mendapatkan bekas apapun di sana. Para dokter berkata: “Ini adalah pekerjaan Isa Al-Masih”.
Menteri berkata: “Kami mengetahui siapa yang melakukan hal ini”.
Lalu, menteri itu menghadirkan Ismail ke hadapan khalifah yang kemudian menanyakan kisah tersebut. Ismail menceritakan kisah yang dialaminya. Khalifah memberinya hadiah seribu dinar. Ismail berkata: “Aku tidak berani menerima hadiah ini walaupun sepeser”.
Khalifah berkata: “Siapakah gerangan yang engkau takuti?”
Dia menjawab: “Aku takut kepada orang yang telah menyembuhkanku. Dia berkata kepadaku: ‘Jangan engkau ambil sedikit pun dari Abu Ja'far!’. Mendengar itu, Khalifah menangis.
Kemudian Ali ibn Isa berkata: “Aku menceritakan kisah ini kepada kelompokku, dan aku tidak tahu kalau putra Ismail, Syamsuddin, hadir pada saat itu, sehingga dia berkata: “Aku adalah putranya”.
Maka aku berkata: “Apakah kamu melihat luka di paha ayahmu?” “ketika masih kecil, aku pernah melihat luka itu.
Akan tetapi, aku mendengar kisah itu dari ayah, ibu, para kerabat dan tetanggaku. Dan telah aku lihat pahanya setelah kesembuhannya; aku tidak melihat bekas apapun di sana, dan tempat lukanya itu telah ditumbuhi oleh bulu paha”.
Ali ibn Isa juga berkata: “Aku bertanya kepada Sayyid Shofiyuddin Muhammad ibn Muhammad dan Najmuddin Haidar ibn Al-Aisar. Mereka berdua mengabarkanku tentang kebenaran kisah ini, dan mereka telah melihat Ismail pada waktu sakit dan pada waktu kesembuhannya. Putranya juga bercerita kepadaku bahwa ayahnya telah pergi ke kota Samarra setelah kesembuhannya sebanyak empat puluh kali dengan harapan, seandainya saat-saat manis perjumpaan dengan Imam Mahdi itu dapat kembali dan terulang lagi”.
Kisah kedua: “Sayid Baqie ibn ‘Athwah Al-Alawi Al-Hasani telah bercerita kepadaku bahwa ayahnya tidak mengakui wujud suci Imam Mahdi a.s. seraya berkata:
“Jika Imam datang dan menyembuhkanku dari penyakit ini, aku akan membenarkan perkataan mereka”.
Dia mengulang kata-kata tersebut. Sampai ketika kami berkumpul waktu shalat Isya, ayah kami berteriak.
Segera kami mendatanginya, ayah berkata: “Dampingi Imam! Karena dia baru saja keluar dariku”. Kami pun bergegas keluar, namun tak seorang pun kami jumpai.
Maka, kami kembali menemui ayah. Dia berkata:
“Sungguh telah datang seseorang kepadaku dan berkata:
‘Wahai ‘Athwah!’ Aku menjawab: “Ya”. Dia berkata lagi:
'Aku adalah Mahdi. Aku datang untuk menyembuhkan penyakitmu”. Lalu beliau menjulurkan tangannya yang penuh berkah dan sedikit meremas. Selekas itu, beliau pergi laksana seekor kijang”.
Ali ibn Isa berkata: “Aku telah menanyakan kisah ini kepada selain anaknya, dan mereka pun mengakui kebenaran kisah tersebut”.85
Dari sini dapat diketahui bahwa sebagian ulama dari kalangan Ahli Sunnah telah mempercayai―baik secara langsung ataupun tidak―akan hidupnya Imam Mahdi dan keberadaannya hingga sekarang. Sayid Shadrudin Ash-Shadr telah menyebutkan sebagian nama mereka.
Dia mengatakan: “Di antara mereka adalah Syeikh 85 Yanabi’ul Mawaddah: 3/315-317.
Muhyiddin ibn Arabi dalam Futuhat sesuai penukilan Syeikh Abdul Wahhab As-Sya’rani dalam kitab Al-Yawaqit wal Jawahir, sebagaimana telah dinukil secara redaksional dari kitab Is’aaf Ar-Raghibin, bahwa Mahdi putra Hasan Al-Askari itu―atas dasar pernyataan tegasnya―telah ada dan tetap hidup dengan wafatnya Imam Hasan Al-Askari pada tahun 260 H. Ini menunjukkan kehidupan Imam Mahdi, kekekalannya sampai kemunculannya, atau menunjukkan kematiannya untuk kemudian dengan kuasa Allah dihidupkan kembali. Saya tidak menyangka bahwa Syeikh Muhyiddin akan menyepakati kemungkinan terakhir ini.
Di antara mereka adalah Syeikh Abdul Wahhab Asy-Sya’rani dalam bukunya Al-Yawaqit wal Jawahir sebagaimana tertera dalam buku Is’af ar- Raghibin dan mengatakan: “Mahdi ibn Imam Hasan Al-Askari itu lahir pada malam Nisfu Sya’ban (pertengahan Sya’ban) pada tahun 255 H, dan dia hidup kekal hingga bertemu dengan Isa putra Maryam. Demikianlah Syeikh Hasan Al-Iraqi mengabarkanku tentang Imam Mahdi saat aku berjumpa dengannya. Ini juga disepakati oleh tuanku; Ali Al-Khawash.86
Di antara mereka adalah Syeikh Abu Abdillah Muhammad ibn Yusuf ibn Muhammad Al-Kanji dalam kitabnya; Al-Bayan fi Akbar Shohib Az-Zaman, sebagaimana dinukil oleh Is’aaf Ar-Raghibin, dan menyatakan: “Salah satu dalil atas kekekalan hidup Imam Mahdi setelah gaibnya hingga sekarang dan atas keniscayaan kekekalannya ialah kekekalan hidup Isa putra Maryam, Hidzir dan Ilyas sebagai wali-wali Allah, kekekalan s’afu Ragiibn: 157.
hidup si mata satu Dajjal dan Iblis yang terkutuk sebagai musuh-musuh Allah. Keabadian mereka telah tercantum di dalam Al-Quran dan hadis”.87
Di antara mereka adalah Syeikh Arif Fadhil Khajeh Muhammad Barsah dalam kitabnya; Fashl Al-Hithab, sebagaimana terdapat dalam kitab Yanabi’ Al-Mawaddah.
Setelah menyebutkan kelahiran Imam Mahdi Al-Muntadhar, dia mengatakan: “Sesungguhnya Allah telah memberinya hikmah dan kata pemutus sejak masih kanak-kanak, sebagaimana Allah telah menganugerahi Yahya a.s. dan Isa a.s.. Dia juga berkata: “Dan Allah telah memanjangkan usianya sebagaimana Allah memanjangkan usia Hidzir”.
Dan di antara mereka ialah Syeikh Shadruddin Al-Qunawi dalam sebagian wasiatnya kepada para muridnya menjelang wafatnya, sebagaimana terdapat dalam Yanabi’ Al-Mawaddah. Al-Qunawi berkata: “Juallah kitab-kitab kedokteran dan filsafat yang kumiliki, lalu sedekahkanlah uangnya kepada kaum fakir. Dan peliharalah kitab-kitab tafsir, hadis dan tasawuf di perpustakaan. Dan bacalah kalimat tauhid; La ilaha illallah, sebanyak tujuh puluh ribu kali dalam setiap malam, dan sampaikan salamku kepada Mahdi a.s.”
Menurut kami, juga dapat dikatakan bahwa pernyataan Al-Qunawi ini tidak menunjukkan ada dan hidupnya Imam Mahdi, karena bisa jadi beliau mengatakan demikian dengan harapan murid-muridnya.
87 Is’afu Ragiibn: 227.
88 Yanabi’ul Mawaddah: 3/304, bab ke-79.
89 Yanabi’ul Mawaddah: 3/340, bab ke-84. akan mengalami kemunculan Imam. Hanya saja, maksud yang pertama itu lebih tampak.
Di antara mereka ialah Syeikh Sa’duddin Al-Humawi sebagaimana terdapat dalam kitab Yanabi’ Al-Mawaddah dengan menukil dari kitab Syeikh Aziz ibn Muhammad An-Nasafi dalam rangka menjelaskan urutan para wali.
Al-Humawi mengatakan bahwa Allah swt. telah memilih dua belas wali Ahlul Bait a.s. di antara umat ini, dan menjadikan mereka sebagai penganti-pengganti Nabi yang agung. Dia melanjutkan bahwa wali terakhir sekaligus khalifah terakhir Nabi dan penghulu segenap wali adalah Al-Mahdi sang pemilik zaman.
Di antara mereka ialah Syeikh Syahabuddin Al-Hindi yang terkenal dengan gelar “Raja Ulama” dalam bukunya; Hidayatus Suada’. Dalam mengulas masalah dua belas imam, Al-Hindi mengatakan: “Imam yang kesembilan dari cucu Imam Husain a.s. adalah Imam Mahdi. Dia gaib dan memiliki usia yang sangat panjang, sebagaimana di kalangan kaum mukmin terdapat Isa a.s., Ilyas a.s., dan Hidzir a.s., dan di kalangan kaum kafir terdapat Dajjal dan Samiri.
Di antara mereka ialah Syeikh Al-Kamil Syeikh Muhammad yang terkenal dengan Khojeh Barsa dalam catatan pinggirnya atas kitab Faslul Khitab, selain apa yang telah dipaparkan dalam Durarul Musawiyah. Dia berkata: “Dan padanya (Imam Mahdi a.s.) perkara khilafah dan imamah berakhir. Dia adalah imam sejak wafat ayah beliau hingga Hari Kiamat, dan Nabi Isa akan shalat di belakangnya dan akan membenarkannya dan Yanabi’ul Mawaddah: 3/352, bab ke-87 menyeru umat manusia agar mengimani ajarannya yang merupakan agama Nabi Muhammad saw.”.
Dan di antara mereka juga tidak sedikit dari para ulama dan kaum sufi. Dari sekian banyak puisi berbahasa Arab maupun Persia yang tercatat dalam Yanabi’ul Mawaddah dan dalam kitab-kitab kumpulan keutamaan (manaqib) yang lain, tampak begitu jelas keyakinan mereka ihwal hidupnya Imam Mahdi; bahwa beliau hidup dan mendapat rizki. Mereka juga menyebutnya sebagai wali, imam, khalifah dan pengganti Nabi. Bahkan mereka yakin bahwa beliau adalah perantara penciptaan alam semesta.
C. Tentang poin ketiga ini kita akan bertolak dari apa yang telah ditulis oleh Sayyid Muhammad Baqir Ash-Shadr. Dia mengatakan: ”Sesungguhnya kegaiban Imam Mahdi adalah pengalaman yang telah dirasakan oleh umat ini selama 70 tahun, dan itu adalah masa kegaiban singkat (ghaibah shughra’).
Untuk menjelaskan kegaiban ini, diperlukan mukadimah singkat”.
Kegaiban singkat merupakan fase pertama dari kepemimpinan sang pemimpin yang ditunggu-tunggu, yaitu Imam Mahdi a.s. Sejak menjadi imam, beliau telah ditakdirkan untuk berada di balik tabir kegaiban, tersembunyi dari pandangan umat manusia, dan senantiasa jauh dari peristiwa yang terjadi, kendati dekat dengan hati dan akal beliau. Al-Mahdi: 146-148.
Lihat: Al-Gaibah Shugra, Sayyid Muhammad Baqir Ash-Shadr.
Dan dapat dipastikan bahwa jika kegaiban ini terjadi secara tiba-tiba, akan mengguncang basis-basis sosial kepemimpinan di dalam tubuh umat Islam, karena basis-basis umat ini sudah terbiasa berinteraksi dengan wujud seorang pemimpin dalam setiap masa. Mereka merujuk langsung kepada sang imam untuk memecahkan persoalan apa saja yang sedang mereka hadapi.
Jika Imam Mahdi ini gaib dari para pengikutnya secara mendadak dan mereka merasa terputus dari pemimpin spiritual dan intelektual, kegaiban semacam ini akan memunculkan93 perasaan kehilangan dan kekosongan yang mengejutkan dan dahsyat sehingga dapat menghancurkan segenap eksistensi basis sosial dan mengacaukan umat.
Oleh karena itu, perlu persiapan untuk kegaiban Imam mahdi sehingga umat bisa terbiasa dengannya secara bertahap. Persiapan itu adalah kegaiban singkat, di mana beliau tersembunyi dari pandangan umumnya manusia. Hanya saja, beliau selalu melakukan kontak dengan para pengikut setia melalui para wakil (naib) kepercayaan beliau yang berperan sebagai perantara antara sang pemimpin dan umat manusia.
Pada fase kegaiban singkat, telah muncul empat wakil Imam Mahdi a.s. yang diakui kualitas takwa, iman dan kesalehan mereka oleh umat. Mereka adalah:
1. Usman ibn Said Al-‘Amri
Maksudnya adalah kegaiban panjang (ghaibah kubra’).
Lihat : Tabshiratul Wali fi Man Ra’a Al-qaim Al-Mahdi, Sayyid Hasyim Al-Bahrani, Difa’ ‘An Kafi, Sayyid Tsamir Al-‘Amadi:1/568 dan halaman setelahnya. Tanggal wafat wakil pertama kira-kira pada tahun 280 H, wakil kedua pada tahun 305 H, wakil ketiga pada tahun 327 H, dan wakil keempat pada tahun 328 H.
2. Muhammad ibn Usman ibn Said Al-‘Amri
3. Abul Qasim,Al-Husain ibn Ruh
4. Abul Hasan, Ali ibn Muhammad As-Samri
Mereka empat orang pilihan ini95 telah menjalankan tugas sebagai wakil dengan urutan yang telah kita sebutkan tadi. Setiap nama itu menggantikan satu di antara mereka yang meninggal dunia dengan titah dari Imam Mahdi a.s.
Seorang wakil selalu berhubungan dengan manusia dan membawa pertanyaan-pertanyaan mereka dan mengajukannya kepada Imam, lalu kembali kepada mereka dengan membawa jawaban, baik secara lisan maupun tulisan.
Khalayak yang tidak dapat lagi melihat Imam menyampaikan rintihan dan kesedihan mereka dalam surat-menyurat dan hubungan tidak langsung itu. dan dapat diamati bahwa setiap laporan-laporan dan surat-surat yang sampai kepada Imam Mahdi dengan satu gaya penulisan yang khassepanjang pergantian empat wakil
Lihat biografi keempatnya dalam kitab Al-gaibah Ash-Shugra’, karya Sayyid Muhammad Baqir Ash-Shadr, pasal ketiga: hal. 395 dan seterusnya, cet. Dar At-Ta’aruf lil Mathbu’at, Beirut, 1980.
Hal ini kemudian dikenal dengan Tauqi’at, yang memuat jawaban tertulis dan lisan yang dinukil dari Imam Mahdi a.s.
Lihat: Al-Ihtijaj: Thabarsui: 2/523 dan seterusnya.
Sebagaimana ditandaskan oleh para pakar bahasa, baik yang terdahulu maupun yang terakhir. Dari sini kita melihat bahwa banyak pakar bahasa dan pemerhati karya sastra mengetahui dengan hanya membaca teks, baik berupa syair atau yang lain, bahwa teks itu untuk orang tertentu; bukan untuk selainnya.
Karena setiap penulis memiliki pola dan karakter masing-masing dalam penulisannya, yang dapat diketahui dan dibedakan dari tersebut yang telah berlangsung sekitar tujuh puluh tahun.
Samari sebagai wakil terakhir Imam mahdi, telah mengumumkan berakhirnya masa kegaiban singkat Imam dan dimulainya kegaiban panjang (ghaibah kubra’), di mana tidak ada seorang pun yang ditentukan secara langsung sebagai perantara antara Imam sang pemimpin dan umat Syi’ah. Dan peralihan dari kegaiban singkat kekegaiban panjang ini telah mengungkapkan tercapainya tujuan-tujuan kegaiban singkat serta berakhirnya tugas-tugasnya, karena kegaiban singkat telah menjaga Syi’ah dari benturan dan rasa kehilangan seorang Imam karena kegaiban melalui proses yang bertahap.
Kegaiban singkat telah mampu mengadaptasikan para pengikut Syi’ah untuk mengalami kegaiban panjang, dan secara bertahap menyiapkan mereka untuk menerima konsep perwakilan umum (niyabah ‘ammah) kepemimpinan Imam Mahdi.
Dengan demikian, beralihlah perwakilan kepemimpinan itu di antara pribadi-pribadi yang memenuhi kriteria umum yang telah ditetapkan oleh Imam Mahdi a.s. kriteria umum itu adalah kualitas seorang mujtahid yang adil, bertakwa dan menguasai persoalan dunia dan agama, seiring dengan peralihan kegaiban singkat ke kegaiban panjang.
Sekarang, berdasarkan apa yang telah kami paparkan, Anda bisa menentukan sikap sehingga bisa memahami secara jelas bahwa Imam Mahdi adalah sebuah hakikat yang lain, apalagi dalam hal ini kita mendapatkan penguat bahwa semua bentuk tulisan tangan Imam itu berbeda dari yang lain. secara istilah dinamakan Marjaiyah Diniyyah. Tidak luput bahwa di sana juga disebutkan kriteria yang mesti dipenuhi.
Yang dimaksud adalah Naib empat imam as. yang telah dirasakan dan dialami oleh sekelompok umat manusia, dan telah diungkapkan oleh para wakil beliau selama tujuh puluh tahun interaksi mereka dengan umat, dan selama itu pula kesalehan mereka ini tidak pernah dicurigai oleh seorang pun. Apakah Anda bisa membayangkan bahwa sebuah kebohongan dan mitos bisa bertahan selama tujuh puluh tahun yang telah diperankan oleh empat orang tersebut secara bergantian; mereka semua bersepakat atas kebohongan ini dan senantiasa bergaul dengan hal tersebut seakan-akan bagian utama dalam kehidupan dan kesaksian mata mereka, tak terbesit satu gejala dari mereka yang memancing keraguan, tak ada pula hubungan khusus di antara yang menandakan konspirasi di antara ke empat orang tersebut, lalu dengan posisi dan peran itu mereka berusaha merebut kepercayaan umat pada masalah yang diklaim bahwa mereka telah mengalami dan merasakannya secara langsung?!
Sudah lama kita mendengar bahwa busana kebohongan itu sangatlah transparan. Logika kehidupan juga telah membuktikan bahwa berdasarkan kalkulus probabilitas (hisab al-ihtimalat), secara praktis sangat mustahil kebohongan semacam ini dapat bertahan dalam waktu sepanjang ini, dan dalam interaksi sedemikian rupa, lalu mereka akan mendapatkan kepercayaan dari berbagai pihak.
Dan begitulah kita memahami bahwa fenomena kegaiban singkat dapat dinyatakan sebagai eksperimen praktis untuk membuktikan sebuah fakta objektif dan kenyataan serta sikap tunduk kepada Imam sang pemimpin, dan percaya pada kelahiran, kehidupan dan kegaibannya.
, serta pengumuman secara luas tentang kegaiban panjang yang dengannya beliau akan tersembunyi dari kehidupan lahiriyah dan dari semua orang.
Hubungan Imam dengan segenap unsur umatnya berlangsung melalui para wakilnya, atau dengan cara-cara lainnya merupakan sebuah fakta sejarah yang tidak dapat ditolak. Selain argumentasi yang banyak dari orang-orang yang wajib dipercayai, hubungan itu merupakan konsekuensi dari hadis: ”Barang siapa mati dan tidak mengenal imam zamannya, dia akan mati dalam keadaan jahiliah” dan hadis yang lain. Semua ini -yang telah menjadi kesepakatan seluruh kalangan umat Islam- secara pasti telah menolak para peragu terhadap wujud Imam Mahdi a.s. dan keberlangsungan kehidupan beliau yang penuh berkah. Lihat Al-Gaibah Ash-Shugra, Sayyid Baqir Ash-Shadr: 566.
Pernyataan dari Imam Mahdi tentang ketidakmungkinan untuk melihat beliau a.s. secara gamblang setelah terjadinya gaibah panjang. Ini adalah kesepakatan ulama Imamiyah. Lihat diskusi masalah ini dalam: Al-Gaibah Ashhugra , Sayyid Baqir Shadr: 639 dan halaman selanjutnya. Juga lihat pembahasan tentang Imam Mahdi a.s.; hal. 108-111, dengan tahqiq dari Dr. Abdul Jabar Syararah.
Pasal Ketiga
Nilai Teologis Konsep Mahdiisme Menurut Ahlul Bait a.s.
Keyakinan-keyakinan ardhiyah (yang berasal dari diri manusia) ataupun samawiyah (yang bersumber dari Allah swt.) hendaknya memiliki tujuan dan arti manusiawi.
Jika bersifat ardhiyah, keyakinan itu berawal dari kondisi-kondisi manusia dan ungkapan segala pengetahuan dan keinginannya terhadap kehidupan yang lebih mulia.
Namun, jika bersifat samawiyah, keyakinan itu merupakan perwujudan rahmat Allah swt. kepada manusia dan kecintaan-Nya untuk menyampaikan manusia kepada puncak kebahagiaan, dan inilah yang diyakini oleh seorang mukmin seputar akidah Islam, baik yang sudah dijelaskan secara rinci ataupun yang masih tersimpan di balik tabir gaib.
Adakalanya, manusia memperlakukan keyakinan tersebut secara logis dan argumentatif, dan adakalanya memperlakukannya dengan cara empirik atas hasil-hasil yang terwujud dari keyakinan tersebut dan dari efektifitasnya dalam memberikan jawaban atas berbagai persoalan hidup manusia sehari-hari. Kendati suatu keyakinan itu gamblang dari aspek argumentasi, namun kesamaran dari aspek praktis-manusiawi menjadi sebab keraguan, atau minimal telah menjadi titik beku dan kehilangan pengaruhnya pada jiwa seseorang.
Keyakinan-keyakinan Islam juga seperti akidah samawi yang lain; kita tidak dapat memaparkan tujuan manusiawinya secara detail, karena penjelasan detail menuntut suatu konsentrasi khusus pada aspek empirik dari pribadi seseorang, dan ini bertentangan dengan hakikat akidah yang aktif sebagai pencerahan aspek logis dan pemuasan aspek spiritual manusia. Oleh karena itu, sangat wajar bila aqidah memberikan penjelasan pada batas minimum dan kadar umum dari tujuan-tujuan insaninya, seperti firman Allah swt.:
“Dan Aku tidak mengutusmu (wahai Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi sekalian alam.
Akan tetapi pada saat yang sama, akidah menganjurkan manusia mukmin agar menggunakan akal untuk memperoleh kebenaran, hikmah dan tujuan kemanusiaan secara detail di berbagai bidang aqidah dan syariat Islam.
Dan sampai di sini, kita telah mempelajari Mahdiisme dari aspek argumentasi. Juga telah jelas bahwa konsep mazhab Ahlul Bait tentang Mahdiisme secara argumentatif lebih mapan dan lebih sempurna ketimbang konsep empat mazhab Ahli Sunnah.
Kemapanan dan kesempurnaan konsep tersebut di bidang teologis dan dalil ini telah menuntun kita untuk...
102 Anbiya’: 107.
meyakini kesempurnaannya dalam memberikan bakti dan hasil kemanusiaan. Adapun perselisihan yang menyebabkan sebagian besar orang menjadi ragu dan menimbulkan berbagai tanda tanya seputar konsep Mahdiisme versi Ahlul Bait, pada dasarnya berawal dari diri mereka yang tidak memandang konsep ini dari aspek argumentasinya. Mereka malah memberikan perhatian begitu besar pada aspek praktis-kemanusiaannya yang membuat mereka bertanya-tanya: “Manfaat apa yang bisa diperoleh dari keyakinan pada Mahdiisme sebagai konsep yang dipenuhi oleh unsur-unsur misterius dan tidak lumrah seperti kegaiban, usia panjang dan kepemimpinan yang masih dini?”
Dan tatkala mereka tidak menemukan jawaban yang memuaskan sehingga aspek praktis-kemanusiaan konsep ini tampak masih saja samar, kebodohan dan ketakberdayaan mereka dalam memahami konsep telah membuat mereka ingkar terhadapnya dan menuduhnya sebagai pendirian ekstrim dan takhayyul belaka.
Kemudian mereka mencari alternatif selain konsep Mahdiisme yang tidak memiliki unsur-unsur semacam itu dan tidak mengesankan kegaiban yang begitu berat.
Hanya mereka tidak sadar bahwa dengan cara ini, justru mereka telah beralih dari kesempurnaan kepada kekurangan, dan keberatan-keberatan mereka terhadap unsur-unsur itu berarti penolakan terhadap kekayaan esensi konsep Mahdiisme dalam agama Islam. Apalagi dari aspek logika, penentangan mereka dalam perkara aqidah semestinya tunduk pada argumentasi, bukan malah mengendalikan argumentasi itu searah dengan hawa nafsu, dan kepentingan dan pendapat pribadi.
Seandainya mereka memikirkan konsep Ahlul Bait tentang Mahdiisme, mereka akan mendapatkan kesempurnaan yang lebih unggul dari apa yang kita temukan dalam konsep Mahdiisme versi mazhab Khulafa’ (Ahli Sunnah). Tentang hal ini, Sayyid Baqir Ash-Shadr secara indah telah menjelaskan:
“Kita akan memeriksa persoalan kedua, yaitu atas dasar apa keinginan yang besar dari Allah swt. atas manusia ini, sehingga dengannya hukum-hukum alam tidak lagi berlaku seperti panjangnya usia beliau (Imam Mahdi)? Dan kenapa kepemimpinan sekarang ini dikosongkan dan tidak dilimpahkan kepada seseorang yang mempersiapkan masa depan dan mendekatkan tanda-tanda Hari Yang Dijanjikan sehingga beliau muncul ke medan kehidupan dan melakukan perannya sebagai sosok yang dinanti-nantikan?”
“Dengan ungkapan lain, apa fungsi kegaiban yang begitu panjang? Dan alasan apa yang mendasari kejadiannya?” Begitu banyak manusia yang bertanya-tanya tentang persoalan ini, dan mereka tidak mengharapkan jawaban yang misterius dan samar.
“Kita meyakini bahwa para imam dua belas adalah manusia-manusia istimewa104 yang tidak dapat Bahtsun Haula Al-Mahdi: 83-89 disunting oleh Dr. Abdul Jabbar Syararah.
Ini mengacu pada keyakinan Syi’ah sesuai dengan dalil-dalil rasional dan dogmatis, terlebih hadis Tsaqalain yang mutawatir: “Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian dua hal yang jika kalian berpegang teguh pada keduanya, kalian tidak akan tersesat selama-lamanya; yaitu kitab Allah dan keluargaku”. Lihat: Sahih Muslim: 4/1873, dan lihat Shawaiq Muhriqah, Ibnu Hajar: 89, dia berkata: “Dan ketahuilah bahwa hadis tamasuk (berpegang teguh) ini diriwayatkan dari jalur yang banyak yang datang dari dua puluhan lebih sahabat Nabi saw. Begitu juga lanjutan digantikan satu pun dari mereka oleh siapapun. Hanya saja, para peragu menuntut jawaban atas persoalan ini dengan penafsiran sosiologis dan data-data empirik dalam rangka perubahan akbar itu sendiri dan konsekuensi-konsekuensi yang bisa dibayangkan dari Hari Yang Dijanjikan itu.
“Atas dasar ini, maka untuk sementara, kita kesampingkan kriteria dan keistimewaan para imam maksum105 yang kita percayai itu. Dan marilah kita kembali bertanya: “Ihwal perubahan akbar yang akan terjadi di Hari Yang Dijanjikan sekadar apa yang kita pahami dari hukum-hukum kehidupan dan pengalaman-pengalaman kita, apakah kita dapat memastikan usia panjang pemimpin kita yang dijanjikan ini sebagai salah satu faktor kesuksesan perubahan itu? Dan apakah usia panjang itu membuatnya mampu melakukan perubahan dan memimpinnya secara lebih baik?
“Kita dapat menjawab positif atas pertanyaan ini, karena beberapa alasan. Di antaranya, proses perubahan akbar menuntut kondisi kejiwaan luar biasa pada seorang pemimpin yang akan memimpin gerak perubahan sabda beliau: “Bahwa keduanya tidak akan berpisah sehingga menjumpaiku di telaga Surga kelak...”.
Juga sabda beliau saw.:
“Para khalifah setelahku berjumlah 12 orang, mereka semua dari Quraisy”.
Dan semua kandungan semua riwayat ini adalah penjelasan atas uraian di atas. Nabi saw. telah membicarakan ciri-ciri dan tugas-tugas mereka.
Mereka adalah pembawa syariat, perahu penyelamat, pemberi aman bagi umat, dan menjaganya dari kesesatan, sebagaimana telah disinggung oleh hadis Tsaqalian, dan hadis ketakterpisahan mereka dari Al-Quran, keduanya menandaskan kemaksuman mereka, karena sangat tidak logis jika mereka disebut penjaga manusia dari kesesatan dan mereka tidak akan terpisah dari al-Quran lalu mereka sendiri tidak maksum. Lihat: Usulul ‘Ammah lil Fiqh Al-Muqaran, Allamah Muhammad Taqi Al-Hakim, tema Hujjiyah As-Sunnah: hal. 169 dan seterusnya. tersebut, sebuah kondisi jiwa yang penuh dengan kepercayaan akan keunggulan dan perasaan dalam akan kehancuran kekuatan-kekuatan besar yang menjadi sasaran perubahannya dan mengubah peradaban mereka ke dalam dunia yang baru.
“Maka sebesar kepercayaan di dada sang pemimpin terhadap kerapuhan peradaban yang akan dilawannya, dan perasaan yang dalam akan posisi hanya sekadar sebuah titik dari perjalanan panjang peradaban manusia, sang pemimpin itu akan menjadi lebih mampu secara sisi kejiwaan106 untuk melawan mereka, berdiri tabah dan berjuang teguh hingga kemenangan menjelang.
“Telah jelas bahwa kualitas yang diperlukan dari kepercayaan dan perasaan kejiwaan ini seluas skala perubahan itu sendiri dan sebesar kebutuhan untuk menghancurkan peradaban dan eksistensi suatu sistem.
Jika perlawanan terhadap peradaban dan eksistensi itu lebih besar dan lebih keras, maka dibutuhkan perasaan dan mental yang lebih besar dan lebih tahan pula.
“Dan tatkala misi Hari Yang Dijanjikan itu berupa perubahan dunia yang telah dipenuhi oleh kezaliman; yakni perubahan universal dan menyeluruh terhadap setiap nilai peradaban dan basis-basis eksistensinya yang Hendaknya seorang pemimpin historis memiliki kesiapan mental dan kecakapan yang sesuai untuk melaksanakan tugas ini adalah sesuatu yang telah disepakati, dan jika kita merujuk pada al-Quran kita akan mendapatkan bahwa kitab suci ini telah memperbincangkan masalah ini dalam sejarah para Nabi secara jelas sekali khususnya saat berhubungan dengan Nabi Nuh as, di mana hal ini butuh pada perhatian dan kecermatan mungkin hal ini karena adanya keserupaan dan kesamaan di dalam peran dan tugas yang diemban oleh keduanya sebagaimana ditegaskan oleh Sayyid Shadr. Lihat: ‘Ma’a Al-Anbiya’, Afif Abdul Fattah Thabarah. beraneka ragam, sudah barang tentu misi tersebut membutuhkan seorang manusia yang jiwa dan perasaannya melampaui dunia dan segenap isinya, seorang manusia yang bukan dari putra-putra dunia yang tumbuh di dalam peradaban yang hendak dihancurkan dan diubah menjadi peradaban dipenuhi nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Sebab, seorang yang tumbuh di dalam peradaban yang sudah mapan, yang hidup seakar dengan dunia, kekuasaan, nilai-nilai dan pemikirannya, dia akan hidup dalam jiwa yang membawa perasaan takut dan kecil diri di hadapannya, karena dia terlahir tatkala peradaban itu sudah berdiri kuat, dia mulai tumbuh ketika peradaban itu sudah tampil perkasa, dia telah membuka matanya dan melihat dunia, dan dia tidak mendapatkan kecuali aneka corak lapisan-lapisan luarnya.
“Sebaliknya, manusia yang masuk ke medan sejarah telah hidup di dunia sebelum ia melihat peradaban itu.
Dia melihat peradaban-peradaban besar telah menguasai dunia satu demi satu yang kemudian runtuh saling menyusul.107 Dia telah melihat semua itu dengan mata kepala sendiri. Dia tidak membaca semua kenyataan dunia itu dari buku sejarah.
Fakta ini dapat didekatkan dengan apa yang kita saksikan dalam jatuh bangunnya Uni Soviet dan kemajuannya sampai menjadi kutub kedua di dunia. Bersama Amerika, Uni Soviet telah berbagi dunia dan mempengaruhi peradaban dan hegemoni politis. Mereka telah bersama-sama menjelajahi angkasa raya. Lalu, kita menyaksikan kehancuran Uni Soviet begitu cepatnya, namun adakah sesuatu yang tersisa dari peradabannya? Betapa banyak pelajaran yang tersimpan di dalamnya? Dan betapa banyak isyarat-isyarat yang kuat di sana?
“Kemudian dia telah melihat peradaban yang telah ditakdirkan untuk menjadi babak terakhir dari sejarah manusia sebelum tibanya Hari Yang Dijanjikan. Dia sungguh melihatnya semasih berupa benih-benih kecil yang belum lagi tampak.
“Dia telah menyaksikan peradaban itu sedang merembas ke dalam akar-akar umat manusia sambil mencuri-curi kesempatan tumbuh dan berkembang.
“Lalu dia mengalami zaman peradaban itu dalam keadaan bangkit, mulai tumbuh dan merangkak; terkadang jatuh dan terkadang bangun.
“Kemudian ia mengendalikan peradaban itu dalam keadaan berkembang, maju dan secara bertahap mendominasi semua kekuatan dan sumber dunia.
“Sosok manusia seperti ini telah hidup di dalam setiap fase-fase dengan segenap kecerdasan dan kesadaran yang penuh. Dia melihat kekuatan raksasa dunia yang hendak ditentangnya dari sudut perjalanan sejarah yang begitu panjang yang telah dirasakan dan dialaminya secara langsung; bukan dari buku-buku sejarah saja. Dia melihatnya bukan sebagai takdir yang tak bisa diubah. Dia melihatnya tidak seperti John J.Rousseau melihat Kerajaan Prancis.
Dikisahkan, begitu besar kekuatirannya sekedar membayangkan Perancis tanpa raja―kendati ia salah satu pelopor pemikiran dan filosof besar dalam pembangunan politik pada waktu John J. Rousseau (1712-1778) penulis dan filosof Prancis dia dianggap oleh sebagian para pengkritik sebagai corak yang sangat jauh di dalam sastra Prancis dan filsafat kontemporer, buku-buku dan makalahnya telah menjadi cikal bakal revolusi Prancis, karya paling terkenalnya dia adalah ikatan sosial. Lihat: Mausu’ah Al-Maulid, Munir Ba’albaki: 8/169. itu―karena ia tumbuh di dalam lingkungan Kerajaan, dan menghirup hawa dan suasananya sepanjang hidupnya. Adapun sosok manusia yang telah merasuki jantung sejarah; dia memiliki kewibawaan sejarah, kekuatan sejarah, dan perasaan yang memadai bahwa semua sistem dan peradaban di sekelilingnya adalah hasil dari sepenggal sejarah, dan hadir setelah mencukupi beberapa faktor kejadiannya, dan akan muncul sederetan faktor lain muncul yang mempersiapkan kehancurannya.
Maka, tidak tersisa sedikit pun darinya seakan tak pernah terjadi apa-apa kemarin lusa atau sebelumnya.
Sesungguhnya usia sejarah peradaban dan sistem-sistem kekuasaan―betapapun lamanya mereka bertahan, hidup dan berkuasa―tak lebih dari sepenggal usia sejarah yang sangat panjang.
“Apakah Anda membaca surat Al-Kahfi? Apakah Anda telah membaca kisah sejumlah pemuda yang beriman kepada Allah swt., kemudian Dia melipatkan hidayah untuk mereka?
Mereka telah menghadapi sistem syirik yang berkuasa; yang tidak pernah berbelas kasih dan ragu-ragu dalam menghanguskan benih-benih tauhid, sambil memupuk kesyirikan. Jiwa para pemuda tertekan oleh keputusasaan, jendela harapan telah tertutup di depan mata-mata mereka. Akhirnya, mereka berlindung ke gua dan memohon kepada Allah agar memberikan jalan keluar setelah menemui jalan buntu.
Mereka telah merasakan begitu beratnya keadaan tatkala kebatilan senantiasa berkuasa, memimpin dan menghancurkan kebenaran.
Al-Kahfi: 13. lihat tafsir ayat ini dalam Al-Kassyaf, karya Zamakhsyari 1:706, cet. Darul Kitab Al-Arabi, Beirut.
“Tahukah Anda; apa yang diperbuat Allah kepada mereka? Allah menidurkan mereka selama 309 tahun110 di gua tersebut, kemudian membangunkan mereka dari tidurnya lalu menyuruh mereka kembali ke dalam kehidupan umum setelah sistem syirik dan kezaliman yang mengancam jiwa-jiwa mereka itu runtuh dan menjadi seutas sejarah yang tidak lagi menakutkan seorang pun atau menggetarkan orang yang diam. Semua itu terjadi agar pemuda-pemuda mukmin itu menyaksikan kematian sistem kebatilan yang pernah dirasakan oleh mereka begitu perkasa dan akan terus bertahan kuat, dan agar mereka melihat nasib akhir sistem itun dengan mata kepala sendiri, dan kebatilan menjadi kecil dan tak lagi berharga di dalam jiwa mereka.
“Dan jika kesaksian sejarah yang jelas ini telah dialami oleh Ashabul Kahfi dengan segenap kehancuran dan kebesaran jiwa di tengah peristiwa yang unik itu―yang di dalamnya Allah memanjangkan hidup mereka selama 300 tahun―maka pengalaman sejarah ini juga akan dialami oleh sang pemimpin yang dijanjikan berdasarkan umurnya yang panjang yang memberikan kesempatan baginya untuk menyaksikan kekuatan-kekuatan dunia yang tampaknya raksasa namun kecil-kerdil, dan menyaksikan pohon yang tampaknya menjulang tinggi namun sebenarnya masih berupa benih-benih, dan menyaksikan masa-masa kebesaran padahal hanyalah manusia biasa.
Al-Kahfi: 25.
Semuanya itu berperan dalam mendidik dan menyiapkannya secara khusus dan melengkapinya dengan pandangan universal dan tajam, terlebih ketika dia menyaksikan langsung kehancuran mereka yang telah memenuhi dunia dengan kezaliman dan kejahatan. Kesaksian-kesaksian
“Di samping itu, pengalaman yang didapatkan dari menyaksikan peradaban-peradaban yang silih berganti itu dan dari menghadapi langsung perkembangan dan perjalanan mereka, berpengaruh besar dalam penyiapan intelektual dan pengembangan kapasitas kepemimpinan untuk Hari Yang Dijanjikan, karena hal ini telah meletakkannya sebagai manusia yang dijanjikan di hadapan pengalaman-pengalaman orang lain yang penuh dengan sisi-sisi kurang dan lebih, yang sarat dengan aneka kesalahan dan ketepatan. Kesaksian langsung itu juga dapat memberikan kekuatan lebih kepadanya untuk menilai gejala-gejala sosial dengan kesadaran penuh akan sebab musababnya dan kondisi-kondisi sejarah yang menyertainya.
“Kemudian proses perubahan yang dilempangkan untuk sang pemimpin yang ditunggu-tunggu bergerak di atas misi yang sudah ditentukan, yaitu misi Islam.
Tentunya, dalam keadaan ini, proses itu membutuhkan seorang pemimpin yang dekat atau akrab dengan sumber-sumber utama Islam. Kepribadiannya sudah dibina secara sempurna dan secara terpisah dari pengaruh-pengaruh peradaban yang akan ditumbangkan oleh Hari Yang Dijanjikan itu.
“Namun sebaliknya, seorang manusia yang lahir dan tumbuh di bawah naungan peradaban tersebut dan membuka cakrawala pemikirannya dan gelinjang emosinya di dalam pengaruhnya, umumnya dia tidak langsung ini telah menyiapkannya lebih matang untuk melaksanakan tugas merubah dunia, memenuhi dunia dengan keadilan setelah dipenuhi kezaliman.
Demikian ini tanpa kita perhatikan kelayakan subtansial dirinya dan dukungan ilahiyah yang khusus tercurah kepadanya. akan bebas dari imbas, rembasan dan asas-asas peradaban itu, kendati dia menggalang kekuatan untuk mengubahnya.
“Dan sebagai jaminan agar sang pemimpin tidak terpengaruh dengan peradaban yang hendak diubahnya, seyogyanya dia menjadi pribadi telah dibina secara sempurna pada tahap keperadabannya sebelum itu; yaitu peradaban yang lebih dekat dalam semangat universal, dan dari aspek prinsip keyakinan lebih dekat dengan suasana peradaban yang diusahakan oleh Hari Yang Dijanjikan di bawah kepemimpinannya”.
Tidak selayaknya menyangkal Nabi Muhammad saw. bahwa beliau dengan keuniversalan misi perubahannya yang akbar, mengapa hidup di dalam kehidupan Jahiliah, tanpa terpengaruh olehnya, begitu pula para nabi sebelum beliau, karena:
1. Sesungguhnya Nabi saw. telah menghindar dan mengasingkan diri dari peradaban Jahiliah, sebagaimana dicatat oleh sejarah; bahwa beliau lebih memilih menyendiri, sering kali pergi ke gua Hira’ dan beribadah di sana. Begitu juga dengan para nabi a.s. telah suci dari hal-hal yang dilakukan oleh para umatnya. Mereka beruzlah. Allah swt. berfirman:
“Dan saat dia mengucilkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka sembah selain Allah maka Kami anugerahkan kepadanya (Ibrahim) Ishak.” Maryam: 49.
2. Sesungguhnya Nabi saw. utusan yang diberi wahyu, dan ditopang langsung dari langit, berdakwah dengan praktek, dan melangkah setapak demi setapak, sedang Imam tidak menerima wahyu sebagaimana keyakinan mazhab Syi’ah, dan secara tidak langsung menyampaikan masalah-masalah dari Langit.
Memang dia selalu di bawah dukungan ilahiyah, oleh karenanya dia perlu persiapan khusus. Pada saat yang sama, dia yang paling dekat dan lekat dengan kemurnian dan ilmu peradaban Islam melalui kakek-kakeknya.
Dia tahu pengalaman manusia dan kebangkitan peradaban-peradaban, faktor-faktor pembentuk dan lini-lini kekuatannya, dia juga tahu keruntuhan dan faktor-faktornya. Maka itu, Imam akan menggunakan pengalaman, kemampuan dan penguasaannya atas segala urusan. Ini di samping keyakinan kita akan keilmuannya yang dianugerahkan Allah kepadanya, dan kapasitasnya sebagai sosok yang didukung dari Langit.
Kemudian Sayyid Baqir Ash-Shadr mengajukan pertanyaan lain sekaitan dengan aspek praktis-manusiawi dari konsep Mahdiisme, yaitu kenapa sang pemimpin dunia itu tidak juga muncul di selama masa yang panjang ini? Jika dia telah menyiapkan diri untuk tugas sosial, lalu apa yang menghalangi beliau tampil secara umum pada masa-masa kegaiban singkat atau beberapa masa setelahnya, daripada melanjutkannya sampai ke kegaiban panjang, padahal kondisi tugas sosial dan perubahan pada masa-masa itu sangatlah ringan dan tidak sulit, dan hubungan langsung pun antara beliau dan umat melalui managemen kegaiban singkat membuka peluang guna menggalang barisan dan memulai tugasnya dari basis yang kuat, sedangkan kekuatan penguasa ketika itu belum mencapai kekuatan yang diciptakan kemajuan ilmu dan industri? Sayyid Baqir Ash-Shadr menjawab pertanyaan ini demikian:
“Pada dasarnya, segala proyek perubahan sosial yang keberhasilannya bergantung pada kondisi dan syarat-syarat riel di luar tidak akan mencapai titik tujuannya kecuali setelah kondisi dan syarat-syarat itu terpenuhi.
“Ciri khas proses perubahan sosial yang bergulir dari langit ke bumi ialah bahwa proses ini dari sisinya sebagai misi tidak bergantung pada kondisi-kondisi riel,114 karena Bahtsun Haul Al-Mahdi a.s., hal. 89.
Kendati Sayyid Baqir Ash-Shadr menekankan kondisi riel ini, juga peran kematangannya dalam menyukseskan gerakan-gerakan revolusioner—dan ini merupakan persepsi yang amat tajam terhadap pengaruh sebuah faktor sosial—hanya saja dia memaparkan teori baru dalam menganalisis proses perubahan sosial yang dipesankan oleh Langit melalui kitab-kitab sucinya. Maka, dari sisi sebagai misi, proses ini berkaitan misi yang menjadi sumber proses perubahan ini bersifat ketuhanan (rabbani), dan pekerjaan Langit; bukan pekerjaan kondisi-kondisi riel. Akan tetapi, dari sisi pelaksanaan misi, proses ini―dalam segenap keberhasilan atau kegagalannya― bergantung pada kondisi-kondisi riel di luar. Oleh karena itu, Langit menunggu berlalunya lima abad dari zaman Jahiliyah sehingga diturunkanlah misi terakhir yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad saw.; karena kebergantungan pada kondisi riel untuk pelaksanaan misi itu melazimkan keterlambatannya, kendati demikian ini dibutuhkan oleh dunia sejak masa yang amat jauh sebelumnya.
“Di antara kondisi-kondisi riel dan obyektif yang berpengaruh dalam pelaksanaan proses perubahan ialah menciptakan iklim yang memadai, situasi umum dalam rangka gerakan perubahan yang terarah, juga sejumlah unsur-unsur yang diperlukan dalam pergerakan itu melalui liku-liku yang akan dilaluinya secara spesifik.
“Misalnya, ihwal gerakan perubahan yang dipimpin oleh Lenin di Rusia yang berakhir pada kemenangan, proses ini terkait erat dengan faktor-faktor seperti: Perang Dunia Pertama dan melemahnya dinasti di sana. Faktor-faktor inilah yang menciptakan iklim yang sesuai dengan proses perubahannya. Selain itu, proses ini berkaitan dengan faktor-faktor lainnya yang bersifat parsial dan terbatas seperti: keselamatan dan keamanan Lenin dalam dengan hukum-hukum tertentu, namun dari sisi eksekusi misi, proses ini bergantung waktu dan keberhasilannya pada kondisi rielnya di luar.
Yang saya maksudkan dari kondisi-kondisi riel adalah kondisi sosial-politik umat dan realitas kontemporer negara-negara, dan kadar kesanggupan umat dari sisi kapasitas-kapasitas dan kesiapan-kesiapan jiwa mereka.
Nilai Teologis Konsep Mahdiisme perjalanannya dan penyusupannya ke dalam Rusia hingga memimpin revolusi. Sebab, jika terjadi sebuah aksiden yang menghalanginya, mungkin saja revolusi itu akan kehilangan kekuatannya untuk diletuskan pada waktu yang begitu cepat.
“Sudah menjadi hukum cipta Allah yang tidak dapat diganggu-gugat dan diubah-ubah, bahwa proses perubahan ilahiyah ini dari sisi pelaksanaan praktisnya bergantung pada kondisi-kondisi riel dan obyektif; kondisi-kondisi yang akan menciptakan iklim yang memadai, dan keadaan umum yang melempangkan proses perubahan ini. Dari sinilah Islam tidak datang kecuali setelah diutusnya para rasul sepanjang beberapa masa dan kevakuman yang pahit yang berlangsung selama beberapa abad.
“Maka, kendati Allah swt. kuasa untuk memudahkan segala rintangan dan kesulitan di hadapan misi ilahiyah, dan kuasa untuk menciptakan iklim yang memadai dalam bentuk mukjizat, akan tetapi Dia tidak menginginkan untuk memakai cara ini; karena ujian, malapetaka dan penderitaan yang dengannya manusia menjadi sempurna melazimkan upaya perubahan ilahiyah berjalan wajar dan objektif dari sisi pelaksanaannya.
Hal ini juga tidak menutup kemungkinan intervensi Allah untuk menyiapkan beberapa kondisi pendukung, di antaranya: pertolongan dan dukungan gaib yang dianugerahkan Allah kepada para wali-Nya pada saat-saat genting, seperti ketika api Namrud menjadi dingin dan penyelamat bagi Ibrahim a.s., ketika tangan seorang Yahudi yang menghunus pedang hendak membunuh Nabi Muhammad saw. hingga kehilangan tenaganya, ketika topan dahsyat yan g memporak-porandakan kemah-kemah orang-orang kafir dan musyrikin yang mengepung kota Madinah dan menebarkan rasa takut pada jiwa mereka.
Hanya saja semua ini tidak termasuk sebagai faktor-faktor parsial dan memberikan pertolongan pada saat-saat kritis setelah kondisi yang memadai dan iklim yang mendukung proses perubahan secara umum terjadi secara wajar alamiah dan sesuai dengan kondisi-kondisi yang melingkupi realitas di luar.
“Atas dasar ini, kita akan mempelajari sikap Imam Mahdi a.s., dan kita akan mendapati bahwa proses perubahan yang telah dipersiapkan―dari sisi pelaksanaan―sama dengan proses perubahan yang lain; yakni sama-sama bergantung pada kondisi-kondisi riel yang berpengaruh dalam menciptakan iklim secara cukup dan memadai untuk pelaksanaan proses itu.
“Dan telah jelas bahwa Imam Mahdi a.s. tidak menyiapkan dirinya untuk tugas sosial yang terbatas, juga tidak untuk proses perubahan atas sebagian dunia, karena misi yang telah disiapkan Allah swt. untuknya adalah perubahan universal ke seluruh alam, dan mengeluarkan selurah umat manusia dari kezaliman menuju cahaya keadilan.
Dalam pelaksanaannya, proses perubahan akbar ini tidak cukup hanya dengan Tarikh Ath-Thabari: 2/244, peristiwa-peristiwa tahun kelima Hijriah.
Sebagaimana ditegaskan oleh hadis Nabi saw.: “Andaikan dunia tidak tersisa lagi kecuali satu hari saja, maka Allah akan memanjangkan hari tersebut sehingga Dia mengutus seorang laki-laki dariku (atau dari keluargaku) yang akan memenuhi dunia dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi oleh kezaliman dan kenistaan”. Lihat Tajul Jami’ lil Usul: 5/343, Abu Daud dan At-Turmuzi juga meriwayatkannya.
Nilai Teologis Konsep Mahdiisme mengandalkan datangnya misi dan wujud seorang pemimpin yang adil. Karena, jika demikian, syarat-syarat pelaksanaannya sudah terpenuhi sejak masa kenabian sendiri. Jadi, proses ini membutuhkan iklim dunia yang memadai dan situasi umum yang kondusif, yang dapat mewujudkan kondisi-kondisi riel yang diperlukan untuk proses perubahan universal.
“Lalu, dari sisi kemanusiaan, kejemuan dan kejenuhan orang pada peradaban yang ada merupakan satu faktor utama dalam menciptakan iklim yang memadai untuk menyambut misi keadilan yang baru.
Perasaan jemu dan jenuh ini terbentuk dan makin merembas akibat pengalaman-pengalaman peradaban yang beraneka ragam, dan manusia keluar darinya dengan memikul suatu peradaban yang ditumpuki oleh nilai-nilai negatif yang telah dibangun, sampai menyadari akan kebutuhannya pada pertolongan lalu bersama fitrahnya menghadap ke yang gaib dan yang pernah hilang darinya.
“Dari sisi materiel, boleh jadi kondisi kehidupan materi kontemporer itu lebih memadai daripada kondisi kehidupan zaman dahulu seperti di zaman kegaiban singkat Imam Mahdi a.s. untuk merealisasikan misi universal ini. Sebab, di zaman kontemporer, jarak dan tempat bukanlah kendala, belum lagi tersedianya kapasitas yang sangat besar untuk berinteraksi di antara segenap penduduk bumi, dan sarana-sarana yang dibutuhkan untuk mempersiapkan mereka berdasarkan misi yang baru.
“Adapun yang diisyaratkan dalam pertanyaan kita itu, yakni kemajuan pesat angkatan dan peralatan militer―yang akan dihadapi oleh sang pemimpin di Hari Yang Dijanjikan―seiring dengan penangguhan waktu kemunculannya, adalah sebuah fakta. Namun, apa kegunaan dari perkembangan materiel dari sebuah kekuatan yang dilapisi oleh kekalahan mental dari dalam diri, dan kehancuran bangunan spiritual manusia sebagai pemegang kendali semua kekuatan dan peralatan canggih tersebut? Dalam sejarah manusia, betapa banyak kehancuran sebuah peradaban yang kokoh hanya dengan sekali penyerangan; karena memang pada dasarnya dia sudah hancur sebelum diserang, dan telah kehilangan kepercayaan pada keberadaannya dan tidak lagi mengakui eksistensinya yang sekarang ini”.
Demikianlah kita menyimak jawaban yang disampaikan oleh Sayid Shadr.
Di sini, kita juga dapat memaparkan pengaruh praktis-kemanusiaan dari konsep Mahdiisme menurut mazhab Ahlul Bait a.s. dari sisi yang lain, yaitu demikian:
Keyakinan pada Imam Mahdi a.s. yang gaib dari pandangan namun hidup dan berpengaruh di dalam lini-lini kehidupan untuk kepentingan masyarakat mukmin.
Konsep Mahdiisme membawa segenap ciri-ciri khas prinsip Imamah seperti kemaksuman, kesaksian nash dari Nabi, kesempurnaan ilmu dan amal. Maka itu, sejatinya konsep ini dapat menebarkan suasana Imamah
Kita telah menyaksikan di awal era sembilan puluhan misdaq dari apa yang telah disampaikan oleh Sayyid Shadr dengan berlandaskan kepada keilmuannya yang mendalam akan masyarakat, sungguh telah runtuh Uni Soviet salah satu dari dua kutub yang telah mendominasi dunia dengan keruntuhan dan kehancuran yang sangat cepat dan mengherankan semua kalangan dan kesan-kesan spiritualnya yang agung di tengah-tengah masyarakat. Dia dapat memuaskan manusia dengan perasaan yang damai akan hubungan mesra antara Langit dan bumi, dan berlanjutnya pengayoman langit atas bumi.
Konsep Mahdiisme mampu mengubah semua itu menjadi arti-arti yang dapat dialami secara langsung dan lebih aktif di dalam jiwa, setelah dasar-dasarnya ditataran keyakinan berupa arti-arti yang teoretis-rasional, lalu membangun kekuasaan tauhid di medan sosial-politik. Konsep Mahdiisme mampu menjadikannya kekuasaan ini dapat dirasakan secara lebih dekat dan akrab. Sebab Imam Mahdi yang gaib bukanlah seorang manusia biasa, namun dia adalah Imam Kedua Belas yang telah ditentukan oleh Langit untuk menempati posisi kepemimpinan hingga akhir sejarah.
Memang benar Imam Mahdi tidak bergaul dan bersentuhan dengan umat manusia secara fisis, akan tetapi keyakinan terhadapnya adalah hakikat indriawi yang dapat dijangkau oleh perasaan, membuat jiwa berada pada situasi dan interaksi spiritual yang positif bersama garis kepemimpinan ilahiyah yang maksum sebagai perwujudan dari kepemimpinan tauhid di muka bumi.
Interaksi ini semakin menguat ketika konsep Mahdiisme dan wujud Imam Mahdi yang maksum dan gaib itu mengungkapkan realtis dirinya sebagai sebagai ajaran politis yang menonjol sejak perwakilan khusus di zaman kegaiban singkat dan pada awal perwakilan umum bagi para faqih di masa kegaiban panjang. Ajaran ini adalah kepemimpinan sosial-politik yang legal atas masyarakat Islam dan menjaga posisi kepemimpinan yang agung sebagai pengawas yang mengawal perjalanan politik dan sosial umat, serta melindunginya.
Konsep ini laksana sumber yang mengisi kehidupan sosial-politik dengan legalitas syariat Islam tatkala mendapatkannya sejalan dengan hukum Islam.
Dari perkalian keterangan-keterangan di atas ini, tampak jelas arti kesempurnaan yang diajukan oleh konsep Mahdiisme versi Ahlul Bait a.s. sebagai konsekuensi praktis dan berkah kemanusiaan; konsekuensi yang seutuhnya sesuai dengan esensi konsep Mahdiisme. Sebab, Mahdiisme dan Imam Mahdi yang maksum dan gaib adalah motor penggerak dan berpengaruh positif pada realitas kehidupan manusia.
Sedangkan Mahdiisme dalam perspektif Ahli Sunnah tidak berpengaruh pada kenyataan hidup manusia.
Dalam perspektif ini, Mahdiisme tidak lebih dari sekedar pemberitaan futurologis tentang sesuatu yang akan terjadi di masa depan.
Namun dalam perspektif Ahlul Bait, seakan-akan konsep Mahdiisme telah menjamin realisasi apa yang telah dijanjikannya melalui mobilisasi realitas umat manusia dan melakukan interaksi positif dengan mereka.
Dan dengan sendirinya, hal ini merupakan penjelasan terbaik atas muatan positif dari konsep intidzar (menanti kemunculan Imam Mahdi a.s.), karena menanti kemunculan tidak berarti diam dan pasrah, akan tetapi semangat aktif yang besar menuju perubahan kemahdian yang diharapkan.
Dari penjelasan-penjelasan di atas, kita dapat memetik beberapa poin berikut ini :
1. Sesungguhnya agama merupakan ungkapan paling sempurna dari hakikat manusia, dan Islam adalah ungkapan paling sempurna dari sebuah hakikat keagamaan. Lebih lanjutnya, Syi’ah merupakan ungkapan paling utuh dari hakikat keislaman, dan pada akhirnya Mahdiisme dalam konsep Ahlul Bait adalah ungkapan paling sempurna dari pokok masalah Mahdiisme yang disepakati dan diyakini oleh kaum muslimin.
2. Sesungguhnya esensi perbedaan antara Mahdiisme versi Ahlul Bait dan Mahdiisme yang diyakini oleh mayoritas ulama kaum muslimin itu berasal dari masalah Imamah. Maka, Imam Mahdi menurut mazhab Ahlul Bait ialah Imam Kedua Belas. Sedangkan menurut mazhab Ahli Sunnah, dia hanya sekedar pemberitaan ihwal masa depan, tidak lebih.
3. Saat konsep Mahdiisme versi Ahlul Bait diangkat sebagai pembahasan Imam Kedua Belas―dimana tidak ada imam lagi bagi umat manusia setelah beliau―maka konsep Mahdiisme pada madrasah ini memiliki tiga ciri-ciri; kelahiran beliau a.s. yang serba rahasia, kepemimpinan beliau yang masih dini, dan kegaiban beliau yang melazimkan panjangnya usia beliau sepanjang usia masa. Ciri-ciri ini telah terbuktikan dengan terbuktinya dasar kepemimpinan dua belas imam maksum, sebab konsep Mahdiisme merupakan bagian dari dasar kepemimpinan ini. Selain itu juga telah dipaparkan beberapa argumentasi atas masing-masing ciri tersebut.
4. Sesungguhnya tiga ciri di atas tidak hanya dibuktikan melalui argumentasi filosofis, teologis, dan fakta konkret semata sehingga tidak dapat disangkal oleh logika maupun agama, akan tetapi konsep Mahdiisme sendiri juga memberikan arti kesempurnaan dan menjadikannya sebagai sebuah konsep yang penuh nilai teologis dan kandungan manusiawi yang sangat luhur serta efektif dalam tataran sosial, menyempurna dan selaras dengan muatan asas dogmatis dalam kehidupan manusia. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar