Imam 'Ali Ridha alaihis salam
Imam 'Ali Ridha adalah Imam ke-8 di dalam mazhab pencinta keluarga Nabi Saw. Hari ini, cucu Baginda Nabi Saw tersebut dilahirkan. Imam Ridha dilahirkan di Madinah, 11 Dzulqa'idah 148 H. Setelah ayahnya syahid, Imam Ridha menjadi Imam kaum Muslimin dengan kemuliaan akhlaknya, keutamaan ilmunya, dan kesempurnaan kepribadiannya. Beliau menjadi Imam selama 20 tahun, dan syahid pada usia 55 tahun. Pusara Imam di Mashhad, Iran menjadi satu di antara tempat yang paling banyak diziarahi. Setiap tahunnya, lebih dari seratus juta orang datang. Pada hari-hari seperti kelahiran dan syahadah, jumlah peziarah bisa lebih dari 3-5 juta orang per hari.
Pernyataan para ulama tentang Imam Ridha as. Al-Waqidi: "Ali bin Musa al-Ridha mendengar hadits dari ayahnya. Ia sangat terpercaya (dalam hadits) dan ia memberi fatwa di Masjid Rasulullah Saw di saat usianya duapuluh tahunan. Ia generasi kedelapan dari para tabi'in penduduk Madinah." (Tadzkirat al-Khawwash, 315)
Syaikh Kamaluddin bin Thalhah: "Ali bin Musa al-Ridha mewarisi kedua kakeknya (Ali bin Abi Thalib dan Ali bin Husain) dengan keagungan imannya, keluhuran derajatnya, dan ketinggian kedudukannya. Hujjahnya telah tampak, pecintanya banyak, hingga Khalifah al-Ma'mun memberinya tempat yang utama, menjadikannya serikat dalam kekuasaannya, dan menitipkan padanya urusan kekhalifahan. Kemuliaannya cemerlang, perilakunya terpuji, pribadinya Hasyimi yang suci, dan seluruh dirinya adalah cerminan (keturunan) kenabian yang mulia." (Al-Fushul al-Muhimmah, 243).
Imam Ridha as hidup di zaman berkembangnya kebudayaan, peradaban, dan intelektualisme Islam. Pada saat itu, terjemahan buku-buku berbahasa Yunani, Romawi, dan sebagainya mempengaruhi dunia pemikiran Kaum Muslimin, setelah sebelumnya diramaikan dengan pengaruh Nasrani, Yahudi, dan orang-orang yang menisbatkan sosok makhluk pada Tuhan, al-mujassimah.
Di sinilah Imam as memperlihatkan kebenaran bimbingan dan jalan Rasulullah Saw. Imam berdialog dan berdiskusi dengan penganut mazhab dan agama yang berbeda. Kisah-kisah dialog Imam Ridha as berkenaan dengan dalil-dalil terhadap mazhab dan agama yang banyak itu dapat dibaca pada Al-Ihtijaj (Cara-cara berhujjah) dari Syaikh Thabarsi.
Sebagai contoh, satu di antaranya:
Abu Qurrah, seorang ahli hadits, datang menemui Abul Hasan Imam Ridha as dan berkata, "Telah sampai pada kami bahwa Allah Ta'ala membagi (anugerah) melihatNya berbicara denganNya pada dua nabi. Nabi Musa as dapat berbicara denganNya dan Nabi Muhammad Saw dapat melihat Tuhan?"
Imam Ridha as menjawab, "Lalu siapakah yang menyampaikan pada jin dan manusia, bahwa 'Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata (Al-An'aam 103), Ilmu mereka tidak dapat meliputiNya (Tha Haa 110), Tiada sesuatu pun yang serupa dengan Dia (Asy-Syura 11).' Bukankah yang menyampaikan itu Nabi Muhammad Saw?"
"Benar."
"Maka bagaimana mungkin seorang nabi datang pada seluruh makhluk dan mengabarkan pada mereka bahwa ia datang dari sisi Allah Ta'ala yang tak dapat dicapai oleh penglihatan mata, yang ilmu (makhluk) tak dapat meliputiNya, yang tiada sesuatu pun serupa denganNya, kemudian akan berkata, "Aku melihat Tuhan dengan mataku, dan ilmuku meliputiNya, dan Dia dalam perwujudan (rupa) manusia. Tidakkah kamu malu? Para zindiq itu tidak dapat menisbatkan sesuatu tentang Allah dari satu sisi lalu menentangnya dari sisi yang lain."
Abu Qurrah berkata, "Bukankah Dia berfirman, 'Dan sesungguhnya ia telah melihatnya pada waktu yang lain' (Al-Najm 13)?"
Imam Ridha as menjawab, "Sesungguhnya setelah ayat itu ada penjelasan pada apa yang dilihat Nabi Saw. Allah Ta'ala berfirman, 'Hatinya tidak mendustakan apa yang dilihatnya.' (Al-Najm 11),
Tidaklah hati Nabi Saw mendustakan apa yang dilihat kedua matanya, kemudian mengabarkan bahwa 'Sesungguhnya dia telah melihat tanda-tanda kebesaran Tuhannya (Al-Najm 18). Maka tanda kebesaran Tuhan bukanlah Allah. Dan Dia berfirman, "ilmu (mereka) tidak dapat meliputiNya" Kalaulah mata melihat, maka ilmu telah meliputinya, dan jatuhlah makrifat,"
Berkatalah Abu Qurrah, "Engkau dustakan riwayat?" (Red : tentang hadis-hadis melihat Tuhan dalam wujud dsb…)
Imam Ridha as menjawab, "Sekiranya riwayat itu bertentangan dengan Al-Qur'an, aku akan mendustakannya. Dan yang disepakati oleh kaum Muslimin adalah bahwa ilmu tidak dapat meliputiNya, mata tidak dapat melihatNya, dan tak ada yang menyerupaiNya sesuatu apa pun."
Demikian diriwayatkan dalam Al-Ihtijaj dari Allamah Thabarsi juz 2 halaman 184. Karena ilmu dan keluhuran budi pekertinya, Imam menarik banyak pengikut, perindu dan pecintanya. Begitu rupa hingga Khalifah merasa terancam dengan keberadaannya.
Khalifah membuat reka perdaya. Ia menyatakan hendak mengundurkan diri dan menyerahkan kekhalifahan pada Imam Ridha as. Imam menjawab, "Aku berlindung kepada Allah." Lalu Khalifah membalas dengan mengirimkan surat, "Kalau engkau menolak apa yang aku tawarkan, maka engkau harus menjadi wali 'ahd, pelanjut setelahku. " Imam pun menolaknya. Meski untuk itu, Khalifah mengadakan serangkaian acara, pemaksaan terhadap Imam untuk dikenal publik sebagai pelanjut Khalifah Ma'mun. Para petinggi tentara dibariskan. Mata uang khusus diedarkan, dan sebagainya. Imam tetap menolaknya.
Khalifah bahkan mengancamnya. Diskusi seputar itu, juga tentang bagaimana Khalifah menggunakan perumpamaan pemilihan Syura oleh Khalifah Umar dan satu di antaranya adalah Imam Ali bin Abi Thalib as, kakek Imam Ridha as. Khalifah Umar bahkan mengancam akan memukul tengkuk orang yang tidak bersedia mengikutinya. Jawaban Imam as dapat disimak pada kitab semisal Al-Ihtijaj Allamah Thabarsi dan Al-Irsyad dari Syaikh Mufid.
Imam Ridha as menjalani periode Imamah selama 20 tahun.
Hijrah Imam pada berbagai kota menjadikan ajaran-ajaran Islam sejati menyebar ke seluruh negeri. Kecintaan pada keluarga Nabi tumbuh mengakar di setiap tempat yang dilewatinya. Di Nishabur bahkan ada tempat dengan batu bertelaoak kaki yang diyakini sebagai bekas injakan Imam Ridha as. Waktu itu terjadi kekeringan, kemudian Imam menancapkan tongkatnya, mencabutnya, dan keluarlah air yang segar hingga sekarang. Di mata air itu ada bekas injakan Imam yang diziarahi orang hingga sekarang.
Imam Ridha as syahid karena racun yang dicampur pada makanannya. Imam dikebumikan di Sinabad Thus, Khurasan pada 17 bulan Safar 203 H. Ada juga yang meriwayatkannya pada 23 bulan Dzulqa'idah. Imam digelari dengan banyak nama: Abul Hasan, al-Ridha, al- Murtadha, Gharib al-Ghuraba, Mu'in al-Dhu'afa wal Fuqara, Shah Khurasan, Dhamine Ahu dsb. Ibunya adalah Sayyidah Najma Khatun.
Di antara sebagian hadis Imam Ridha as:
Hadis qudsi silsilah dzahabiyyah: kalimatu laa ilaaha illallah hishni, fa man dakhla hishni aamina min 'adzaabi, walakin ma'a syuruuthiha. Wa ana min syuuruuthiha. "Kalimat laa ilaaha illallah adalah penjagaanKu, dan barang siapa masuk ke dalamnya ia selamat dari azabKu. Tetapi ada syaratnya--kata Imam Ridha as--, ''dan aku adalah di antara syaratnya".
Ra'su tha'atillah, al-Shabru war ridha, "Dasar ketaatan pada Allah adalah kesabaran dan keridhoan"
Maa halakam'ru'un 'arafa qadrah, "Tidak akan celaka orang yang mengenal kadar dirinya."
"Orang yang tidak berterima kasih pada ia yang mengantarkan nikmat Tuhan sampai padanya, ia belum bersyukur pada Allah yang agung dan mulia." Uyun Akhbar al-Ridha, 2:24
"Tuhan murka pada orang yang tidak membela rumahnya atau tanah airnya dari penindasan." Ibid, h. 28
"Orang terpercaya tak pernah mengkhianatimu. Tapi orang yang mengkhianatimu adalah ia yang pernah kauanggap terpercaya bagi dirimu." Bihar al-Anwar, 78:335
"Orang yang mengucapkan salam dengan cara yang berbeda pada orang miskin dan orang kaya, kelak akan berjumpa dengan Tuhan dalam keadaan sangat dimurkaiNya."
Wasaa'il al-Syiah 8:442.
Pernyataan para ulama tentang Imam Ridha as. Al-Waqidi: "Ali bin Musa al-Ridha mendengar hadits dari ayahnya. Ia sangat terpercaya (dalam hadits) dan ia memberi fatwa di Masjid Rasulullah Saw di saat usianya duapuluh tahunan. Ia generasi kedelapan dari para tabi'in penduduk Madinah." (Tadzkirat al-Khawwash, 315)
Syaikh Kamaluddin bin Thalhah: "Ali bin Musa al-Ridha mewarisi kedua kakeknya (Ali bin Abi Thalib dan Ali bin Husain) dengan keagungan imannya, keluhuran derajatnya, dan ketinggian kedudukannya. Hujjahnya telah tampak, pecintanya banyak, hingga Khalifah al-Ma'mun memberinya tempat yang utama, menjadikannya serikat dalam kekuasaannya, dan menitipkan padanya urusan kekhalifahan. Kemuliaannya cemerlang, perilakunya terpuji, pribadinya Hasyimi yang suci, dan seluruh dirinya adalah cerminan (keturunan) kenabian yang mulia." (Al-Fushul al-Muhimmah, 243).
Imam Ridha as hidup di zaman berkembangnya kebudayaan, peradaban, dan intelektualisme Islam. Pada saat itu, terjemahan buku-buku berbahasa Yunani, Romawi, dan sebagainya mempengaruhi dunia pemikiran Kaum Muslimin, setelah sebelumnya diramaikan dengan pengaruh Nasrani, Yahudi, dan orang-orang yang menisbatkan sosok makhluk pada Tuhan, al-mujassimah.
Di sinilah Imam as memperlihatkan kebenaran bimbingan dan jalan Rasulullah Saw. Imam berdialog dan berdiskusi dengan penganut mazhab dan agama yang berbeda. Kisah-kisah dialog Imam Ridha as berkenaan dengan dalil-dalil terhadap mazhab dan agama yang banyak itu dapat dibaca pada Al-Ihtijaj (Cara-cara berhujjah) dari Syaikh Thabarsi.
Sebagai contoh, satu di antaranya:
Abu Qurrah, seorang ahli hadits, datang menemui Abul Hasan Imam Ridha as dan berkata, "Telah sampai pada kami bahwa Allah Ta'ala membagi (anugerah) melihatNya berbicara denganNya pada dua nabi. Nabi Musa as dapat berbicara denganNya dan Nabi Muhammad Saw dapat melihat Tuhan?"
Imam Ridha as menjawab, "Lalu siapakah yang menyampaikan pada jin dan manusia, bahwa 'Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata (Al-An'aam 103), Ilmu mereka tidak dapat meliputiNya (Tha Haa 110), Tiada sesuatu pun yang serupa dengan Dia (Asy-Syura 11).' Bukankah yang menyampaikan itu Nabi Muhammad Saw?"
"Benar."
"Maka bagaimana mungkin seorang nabi datang pada seluruh makhluk dan mengabarkan pada mereka bahwa ia datang dari sisi Allah Ta'ala yang tak dapat dicapai oleh penglihatan mata, yang ilmu (makhluk) tak dapat meliputiNya, yang tiada sesuatu pun serupa denganNya, kemudian akan berkata, "Aku melihat Tuhan dengan mataku, dan ilmuku meliputiNya, dan Dia dalam perwujudan (rupa) manusia. Tidakkah kamu malu? Para zindiq itu tidak dapat menisbatkan sesuatu tentang Allah dari satu sisi lalu menentangnya dari sisi yang lain."
Abu Qurrah berkata, "Bukankah Dia berfirman, 'Dan sesungguhnya ia telah melihatnya pada waktu yang lain' (Al-Najm 13)?"
Imam Ridha as menjawab, "Sesungguhnya setelah ayat itu ada penjelasan pada apa yang dilihat Nabi Saw. Allah Ta'ala berfirman, 'Hatinya tidak mendustakan apa yang dilihatnya.' (Al-Najm 11),
Tidaklah hati Nabi Saw mendustakan apa yang dilihat kedua matanya, kemudian mengabarkan bahwa 'Sesungguhnya dia telah melihat tanda-tanda kebesaran Tuhannya (Al-Najm 18). Maka tanda kebesaran Tuhan bukanlah Allah. Dan Dia berfirman, "ilmu (mereka) tidak dapat meliputiNya" Kalaulah mata melihat, maka ilmu telah meliputinya, dan jatuhlah makrifat,"
Berkatalah Abu Qurrah, "Engkau dustakan riwayat?" (Red : tentang hadis-hadis melihat Tuhan dalam wujud dsb…)
Imam Ridha as menjawab, "Sekiranya riwayat itu bertentangan dengan Al-Qur'an, aku akan mendustakannya. Dan yang disepakati oleh kaum Muslimin adalah bahwa ilmu tidak dapat meliputiNya, mata tidak dapat melihatNya, dan tak ada yang menyerupaiNya sesuatu apa pun."
Demikian diriwayatkan dalam Al-Ihtijaj dari Allamah Thabarsi juz 2 halaman 184. Karena ilmu dan keluhuran budi pekertinya, Imam menarik banyak pengikut, perindu dan pecintanya. Begitu rupa hingga Khalifah merasa terancam dengan keberadaannya.
Khalifah membuat reka perdaya. Ia menyatakan hendak mengundurkan diri dan menyerahkan kekhalifahan pada Imam Ridha as. Imam menjawab, "Aku berlindung kepada Allah." Lalu Khalifah membalas dengan mengirimkan surat, "Kalau engkau menolak apa yang aku tawarkan, maka engkau harus menjadi wali 'ahd, pelanjut setelahku. " Imam pun menolaknya. Meski untuk itu, Khalifah mengadakan serangkaian acara, pemaksaan terhadap Imam untuk dikenal publik sebagai pelanjut Khalifah Ma'mun. Para petinggi tentara dibariskan. Mata uang khusus diedarkan, dan sebagainya. Imam tetap menolaknya.
Khalifah bahkan mengancamnya. Diskusi seputar itu, juga tentang bagaimana Khalifah menggunakan perumpamaan pemilihan Syura oleh Khalifah Umar dan satu di antaranya adalah Imam Ali bin Abi Thalib as, kakek Imam Ridha as. Khalifah Umar bahkan mengancam akan memukul tengkuk orang yang tidak bersedia mengikutinya. Jawaban Imam as dapat disimak pada kitab semisal Al-Ihtijaj Allamah Thabarsi dan Al-Irsyad dari Syaikh Mufid.
Imam Ridha as menjalani periode Imamah selama 20 tahun.
Hijrah Imam pada berbagai kota menjadikan ajaran-ajaran Islam sejati menyebar ke seluruh negeri. Kecintaan pada keluarga Nabi tumbuh mengakar di setiap tempat yang dilewatinya. Di Nishabur bahkan ada tempat dengan batu bertelaoak kaki yang diyakini sebagai bekas injakan Imam Ridha as. Waktu itu terjadi kekeringan, kemudian Imam menancapkan tongkatnya, mencabutnya, dan keluarlah air yang segar hingga sekarang. Di mata air itu ada bekas injakan Imam yang diziarahi orang hingga sekarang.
Imam Ridha as syahid karena racun yang dicampur pada makanannya. Imam dikebumikan di Sinabad Thus, Khurasan pada 17 bulan Safar 203 H. Ada juga yang meriwayatkannya pada 23 bulan Dzulqa'idah. Imam digelari dengan banyak nama: Abul Hasan, al-Ridha, al- Murtadha, Gharib al-Ghuraba, Mu'in al-Dhu'afa wal Fuqara, Shah Khurasan, Dhamine Ahu dsb. Ibunya adalah Sayyidah Najma Khatun.
Di antara sebagian hadis Imam Ridha as:
Hadis qudsi silsilah dzahabiyyah: kalimatu laa ilaaha illallah hishni, fa man dakhla hishni aamina min 'adzaabi, walakin ma'a syuruuthiha. Wa ana min syuuruuthiha. "Kalimat laa ilaaha illallah adalah penjagaanKu, dan barang siapa masuk ke dalamnya ia selamat dari azabKu. Tetapi ada syaratnya--kata Imam Ridha as--, ''dan aku adalah di antara syaratnya".
Ra'su tha'atillah, al-Shabru war ridha, "Dasar ketaatan pada Allah adalah kesabaran dan keridhoan"
Maa halakam'ru'un 'arafa qadrah, "Tidak akan celaka orang yang mengenal kadar dirinya."
"Orang yang tidak berterima kasih pada ia yang mengantarkan nikmat Tuhan sampai padanya, ia belum bersyukur pada Allah yang agung dan mulia." Uyun Akhbar al-Ridha, 2:24
"Tuhan murka pada orang yang tidak membela rumahnya atau tanah airnya dari penindasan." Ibid, h. 28
"Orang terpercaya tak pernah mengkhianatimu. Tapi orang yang mengkhianatimu adalah ia yang pernah kauanggap terpercaya bagi dirimu." Bihar al-Anwar, 78:335
"Orang yang mengucapkan salam dengan cara yang berbeda pada orang miskin dan orang kaya, kelak akan berjumpa dengan Tuhan dalam keadaan sangat dimurkaiNya."
Wasaa'il al-Syiah 8:442.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar