Pengertian Ulil Amri dalam Al-Qur’an
“Wahai Orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, dan taatlah kepada Rasul dan Ulil Amri di kalangan kamu" (An-Nisa;59).
Kajian Al-Qur'an
Setelah Allah menyerukan beribadah kepada Zat Yang
Maha Esa dan tiada sekutu bagiNya, menyebarkan ihsan kepada seluruh
peringkat orang-orang yang beriman, dan menghinakan orang-orang yang
mencela jalan yang terpuji ini atau yang benar-benar menyimpang dariNya,
maka Dia memerintahkan orang-orang yang beriman kembali kepada suatu
dasar, yang darinya membuahkan cabang-cabangnya, dengannya masyarakat
Islam menjadikan dasar hukum, yaitu mengajak dan mencintai persatuan dan
kesatuan antara mereka, dan menghilangkan setiap perselisihan dengan
cara kembali kepada Allah dan RasulNya.
Tidaklah patut untuk meragukan bahwa firman Allah
SWT,"Taatilah Allah dan taatilah Rasul", merupakan suatu kalimat untuk
memgembalikannya kepada Allah dan Rasulnya ketika terjadi perselisihan
kerana perkara ini merupakan asas dari seluruh syariat dan hukum Ilahi.
Sebagaimana Allah SWT menegaskan dalam firmanNya:
"Maka jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu perkara maka hendaklah kamu mengembalikannya kepada Allah dan RasulNya".
Kemudian perhatikan firman Allah SWT seperti berikut:
"Apakah kamu tidak perhatikan orang-orang yang
mengaku.."(An-Nisa:60).
Dalam Surah an-Nisa: 64, Allah SWT berfirman:
"Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul kecuali untuk ditaati dengan izin Allah".
Dalam Surah an-Nisa: 65, Allah SWT berfirman:
"Maka demi Tuhanmu tidaklah beriman sehingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan".
Dua Segi Ketaatan Kepada Rasulullah SAW
Tidak perlu diragukan bahwa mentaati Allah SWT itu
adalah mentaati ilmu-ilmu dan syariatNya yang wahyukan melalui RasulNya.
Sedangkan Rasulullah SAWA mempunyai dua segi:
Pertama:
Syariat (selain al-Qur'an ) yang diwahyukan Tuhan kepadanya, yaitu
penjelasan yang beliau terangkan kepada manusia tentang perincian makna
Ijmali (keseluruhan) yang terkandung dalam al-Qur'an, dan sesuatu yang
berkaitan dengannya, sebagaimana firman Allah SWT,
"Dan Kami turunkan kepadamu az-Zikr agar kamu memperjelas kepada manusia tentang apa yang telah diturunkan kepada mereka"(an-Nahl:44).
Kedua:
Ketetapan yang beliau pandang benar yaitu ketetapan yang berkaitan
dengan pemerintahan dan keadilan. Sebagaimana Allah SWT menyatakan dalam firmanNya,"
Supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang diwahyukan kepadamu" (an-Nisa:105).
Ini adalah ketetapan yang menjadi dasar hukum
undang-undang keadilan di antara manusia, dan Rasulullah SAWA
menjadikannya dasar hukum dalam perkara-perkara yang diinginkan. Allah
SWT memerintahkan bermusyawarah dalam mengambil suatu pendapat. Allah
SWT berfirman,
"Dan bermusyawarahlah dengan mereka di dalam perkara
itu, kemudian kamu membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah"
(Ali Imran:159).
Dan perkara ini diperintahkan bermusyawarah dengan mereka dan menyatukan keinginan yang kukuh.
Setelah anda mengetahui hal ini, maka anda akan
mengetahui bahwa taat kepada Rasul mempunyai makna tertentu, dan taat
kepada Allah juga mempunyai mempunyai makna tertentu. Taat kepada
Rasulullah pada hakikatnya taat kepada Allah karena Allah yang
menetapkan syariat wajibnya ketaatan kepada RasulNya. Karena itu manusia
wajib mentaati Rasulullah SAW yakni seluruh penjelasannya tentang wahyu
dan ketetapan yang beliau tetapkan.
Allah Maha Mengetahui maksud pengulangan perintah ketaatan dalam firmanNya,
"Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul".
Para mufassir tidak menyebutkan bahwa pengulangan
perintah ketaatan adalah taukid (penguat) dan seandainya maksud daripada
taukid itu dapat dicapai tanpa adanya pengulangan kata itu seperti
seandainya dikatakan,
"Taatlah kepada Allah, dan taatlah kepada Rasul".
Telah menunjukkannya dan lebih mendekatinya, karena
mentaati Rasulullah pada hakikatnya mentaati Allah, dan dua ketaatan
ini pada hakikatnya satu. Jika demikian, maka sia-sialah setiap
pengulangan yang menunjukkan taukid.
Perlu diketahui bahwa Ulil Amri itu tidak menerima
wahyu. Mereka hanya mempunyai ketetapan dan pendapat. Ketetapan dan
pendapat mereka itu wajib ditaati jika sejalan dengan ketetapan dan
sabda Rasulullah SAW. Justeru itu ketika Allah menyebutkan keharusan
pengembalian dan kepatuhan, Dia tidak menyebutkan mereka tetapi
dikhususkan kepada Allah dan RasulNya sebagaimana Allah SWT berfirman,
"Maka jika kamu berbantah-bantah tentang sesuatu maka
kembalikanlah kepada Allah dan RasulNya, jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari akhir"(an-Nisa:59).
Ayat ini menunjukkan bahwa perintah kembali di sini
ditujukan kepada orang-orang yang beriman sebagaimana ditegaskan pada
awal ayat,"Wahai orang-orang yang beriman". Dan tidak perlu diragukan
bahwa perselisihan itu adalah perselisihan di antara mereka.
Perselisihan itu tidak boleh terjadi antara orang-orang yang beriman
dengan Ulil Amri disebabkan mereka wajib ditaati. Jadi, yang dimaksudkan
perselisihan dalam ayat itu adalah perselisihan yang terjadi di antara
mereka orang-orang yang beriman bukan dengan Ulil Amri tetapi
perselisihan di antara orang-orang yang beriman tentang pemahaman
terhadap hukum Allah, yang hal ini ditunjukkan dengan oleh qarinah
(hubungan) ayat-ayat berikutnya yang mencela orang yang kembali kepada
thagut, tidak kepada hukum Allah dan RasulNya. Ia adalah hukum yang
mewajibkan mengembalikan setiap perselisihan tentang hukum agama yang
dijelaskan dan ditetapkan di dalam al-Qur'an dan Sunnah. Al-Qur'an dan
Sunnah merupakan dua hujjah yang qat'i bagi orang yang memiliki
pemahaman hukum yang luas dari keduanya. Ketetapan Ulil Amrilah yang
sesuai dengan hukum al-Qur'an dan Sunnah dan sebagai hujah yang qat'i
karena ayat itu menetapkan kewajiban mentaati mereka tanpa syarat dan
batas, yang semuanya itu hakikatnya kembali al-Qur'an dan Sunnah.
Dari sini jelaslah bahwa Ulil Amri itu bukan mereka
yang membuat hukum baru dan menghapus hukum yang sudah kukuh dan kekal
di dalam al-Qur'an dan Sunnah. Jika tidak demikian, maka tidaklah wajib
mengembalikan sumber-sumber perselisihan kepada al-Qur'an dan Sunnah
atau mengembalikan kepada Allah dan RasulNya, sebagaimana makna yang
ditunjukkan oleh firman Allah SWT,"Dan tidaklah patut bagi mukmin dan
mukminah, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan sesuatu ketetapan
akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.
Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya,
maka sesungguhnya dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata"
(al-Ahzab:36).
Perintah Ketaatan Mutlak
Dengan demikian maka ketetapan Allah adalah
ketetapan syariat dan RasulNya baik dalam masalah ini mahupun masalah
yang lebih umum. Maka karena itulah mereka harus menghadapkan
pandangannya kepada masalah kelangsungan wilayah atau kepimpinan, dan
menggali rahasia hukum Allah dan RasulNya tentang masalah ini dan
masalah-masalah yang lain.
Dengan demikian, tidak ada pilihan lain bagi mereka Ulil Amri tentang
ketetapan-ketetapannya kecuali apa yang ada pada
Allah dan RasulNya yakni hukum yang ada dalam al-Qur'an dan Sunnah.
Allah tidak menyebutkan mereka ketika menyebutkan pengembalian,
sebagaimana dalam firmanNya,
"Sekiranya kamu berbantah-bantah tentang sesuatu, maka kembalilah kepada Allah dan Rasul".
Ini menunjukkan satu ketaatan kepada Allah dan satu ketaatan kepada Rasulullah dan Ulil Amri, karena itu Allah SWT berfirman,
"Taatlah kamu kepada Allah, dan taatlah kamu kepada Rasul dan Ulil Amri di kalangan kamu".
Tidak perlu diragukan bahawa perintah ketaatan dalam firmanNya,
"Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul"
Merupakan ketaatan yang mutlak tanpa disyaratkan
dengan suatu syarat, dan dibatasi oleh suatu batasan. Ini menunjukkan
bahwa Rasulullah tidak memerintahkan dan melarang sesuatu yang
bertentangan dengan hukum Allah, jika tidak demikian, maka kewajiban
taat kepadanya bertentangan dengan Allah SWT, dan hal ini tidak akan
sempurna kecuali dengan kemaksuman Rasulullah SAW.
Demikian juga kemaksuman itu harus dimiliki oleh
Ulil Amri di samping kekuatan ismah yang ada pada diri Rasulullah ketika
memaparkan hujah-hujah aqli dan naqli. Orang yang ragu menyatakan ayat
ini tidak menunjukkan adanya kemaksuman karena ia mengatakan bahawa Ulil
Amri tidak wajib maksum dan ayat ini tidak menunjukkan pada makna itu.
Pandangan seperti itu menjelaskan bahawa ayat ini
menetapkan suatu hukum untuk kemaslahatan ummat dan keterpeliharaan
masyarakat Islam dari perselisihan dan perpecahan sesama ummat Islam
sehingga kepimpinan itu ditetapkan oleh ummat dan masyarakat kemudian
dipilihlah salah seorang dari mereka untuk meneruskan kewujudan Islam
dan ia wajib dipatuhi. Sementara mereka tahu bahwa pemimpinnya mungkin
bermaksiat dan mungkin salah dalam menetapkan hukum tetapi jika ia telah
diketahui jelas menentang undang-undang maka ia tidak boleh ditaati dan
harus dinasihati atas kesalahannya. Jika tidak jelas kesalahannya,
tetap dilangsungkan ketetapan hukumnya. Jika kesalahannya ternyata
jelas, maka tidak perlu diperhatikan kesalahannya demi kemaslahatan
persatuan masyarakat dan keterpeliharaan pemerintahan dari perpecahan.
Pendapat tadi menyatakan inilah kenyataan kedudukan
Ulil Amri dalam ayat ini yang wajib ditaati. Allah mewajibkan
orang-orang beriman mentaati mereka. Jika mereka menyalahi al-Qur'an dan
Sunnah, maka mereka tidak boleh ditaati dan tidak boleh dilaksanakan
keputusan mereka karena Rasulullah SAW bersabda:
"Tidak boleh mentaati makhluk dalam bermaksiat kepada Pencipta".
Makna ini diriwayatkan oleh dua golongan dan dengan
makna ini terbatasi kemutlakan ayat itu. Jika kesalahan dan pelanggaran
itu diketahui, maka harus dikembalikan kepada kebenaran yaitu hukum
al-Qur'an dan Sunnah. Jika kesalahan itu tidak jelas, maka hukumnya
tetap dilangsungkan seperti tidak ada kesalahan, dan tidak ada masalah
dengan kewajiban menerima dan mentaati hukum yang berbeda dengan hukum
qat'i dalam bentuk ini, karena kemaslahatan terpeliharanya persatuan
ummat, kejayaan dan keharmonisan dapat memperbaiki perbedaan ini. Dan
hal seperti ini dapat merujuk kepada keadah usul fiqh tentang hujah
cara-cara lahiriah.
Demi kukuhnya kedudukan hukum dalam kenyataan dan
jika dalam kenyataannya perbedaan ini mengarah kepada kerusakan yang
lazim, maka dapat diperbaiki dengan cara kemaslahatan.
Pandangan Yang Membataskan Ketaatan Mutlak
Jika berdasarkan pendapat tadi maka mentaati Ulil
Amri itu wajib walaupun mereka tidak maksum, memungkinkan berbuat
kesalahan dan dosa. Maka jika mereka berbuat dosa maka mereka tidak
boleh ditaati. Jika mereka berbuat kesalahan maka mereka harus kembali
kepada al-Qur'an dan Sunnah jika dalam hal itu mereka ketahui, dan jika
kesalahannya tidak diketahui maka ketetapan hukumnya tetap berlaku.
Tidak ada larangan melaksanakan apa yang berbeda dengan hukum Allah
dalam hakikat bukan dalam lahiriah, demi kemaslahatan Islam dan ummatnya
dan keterpeliharaannya kesatuan Islam.
Jika anda berfikir tentang keterangan yang telah
kami paparkan tadi, maka anda akan mengetahui betapa lemahnya dasar
keraguan ini karena hal ini dapat mendekatkannya dan mendorong kita
membatasi kemutlakan ayat itu dengan suatu kefasikan lalu menyebutkan
sabda Rasulullah SAW,"
"Tidak boleh mentaati makhluk dalam bermaksiat kepada Pencipta".
Selanjutnya untuk menerapkan makna ini, maka menyebutkan ayat-ayat al-Qur'an seperti
"Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan perbuatan yang keji" (al-A'raf:28).
Dan juga ayat-ayat lain yang senada maknanya.
Dan demikian juga, bahkan kenyataannya membuat
ketetapan seperti hujah lahiriah tadi, seperti kewajiban mentaati
pemimpin-pemimpin perang yang diangkat oleh Rasulullah SAW, demikian
juga pemimpin-pemimpin yang dilantik untuk memimpin negeri seperti
Makkah dan Yaman, atau mereka yang diangksebagai pengganti di Madinah
ketika Nabi SAW pergi ke medan perang, dan seperti pendapat seorang
mujtahid dan muqalidnya. Namun demikian, hal ini tidak dapat membatasi
ayat itu. Maka suatu masalah yang benar adalah suatu perkara, adapun
masalah yang ditetapkan berdasarkan lahiriah al-Qur'an adalah perkara
lain.
Dengan demikian maka ayat itu menunjukkan kewajiban
mentaati Ulil Amri tanpa ada batasan yang membatasinya dan suatu syarat
yang mensyaratinya. Tidak ada satu pun ayat-ayat al-Qur'an yang
membatasi ayat ini dalam "madlulnya" sehingga makna firman Allah SWT:
"Dan taatlah kepada Rasul dan Ulil Amri di kalangan kamu",
tidak dapat kita fahami, misalnya:"Taatlah kamu kepada Ulil Amri kamu
selagi mereka tidak memerintahkan kemaksiatan atau selagi kesalahan
mereka belum diketahui. Jika mereka memerintahkan kemaksiatan maka
kalian tidak boleh mentaatinya, dan jika kalian telah mengetahui
kesalahan mereka maka hendaklah kalian mengembalikan hal itu kepada
al-Qur'an dan Sunnah". Semua itu bukan makna firman Allah SWT:""Dan taatlah kepada Rasul dan Ulil Amri di kalangan kamu".
Sehubungan dengan masalah ketaatan yang berbeda
dengan ketaatan yang diwajibkan dala masalah Imamah, Allah menjelaskan
batasan ketaatan dengan sejelas-jelasnya dalam firmanNya:
"Dan Kami mewajibkan manusia berbuat kebaikan kepada
kedua orang tua. Dan jika keduanya memaksamu untuk menyekutukan Aku
dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuan tentang hal itu, maka
janganlah kamu mentaati keduanya"(al-Ankabut:8).
Sedangkan dalam ayat yang mengandungi asas agama
(an-Nisa:59), yang hal ini merupakan dasar dari seluruh kebahagian
manusia di sana tidak ada satu pun batasan yang membatasinya sedangkan
ayat ini menggabungkan antara Rasulullah dan Ulil Amri, dan menyebutkan
untuk keduanya dalam satu perintah ketaatan. Perhatikan firman Allah
SWT,"Dan taatilah kepada Rasul dan Ulil Amri di kalangan kamu".
Dan Rasul tidak boleh memerintahkan kemaksiatan
atau salah dalam menetapkan hukum. Jika hal ini dibolehkan bagi Ulil
Amri, maka tiada lain kecuali menyebutkan batasan yang ditujukan kepada
mereka. Sementar tidak ada satu pun dalil yang dapat membatasi ayat
mutlak tanpa satu pun batasan, sedangkan kewajiban ismah bagi Ulil Amri
sama dengan Rasulullah SAW tanpa perbedaan.
Pengertian Ulil Amri
Kemudian yang dimaksudkan dengan kata "Amr" dalam
"Ulil Amri" adalah suatu perkara yang merujuk kepada agama orang-orang
yang beriman yang menjadi objek perintah ini, atau dunia mereka
sebagaimana ditegaskan oleh firman Allah SWT,
"Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu"(Ali Imran:159),
Dan firman Allah SWT dalam memuji orang-orang yang bertaqwa,
"Sedang urusan mereka disyurakan di antara mereka"(asy-Syura:38).
Dan walaupun dibolehkan memberikan makna "Amr" lawan daripada larangan, tetapi makna ini jauh dari yang dimaksudkan.
Kata "Ulil Amri" dibatasi oleh kata "minkum" dan
ada zharf yang jika dilahirkan adalah,"Ulil Amri ka baina kum" (Ulil
Amri di kalangan kamu) dan ini sama halnya dengan firman Allah SWT:
"Dialah yang mengutus kepada kaum yang ummi seorang Rasul di kalangan
mereka"(al-Jumu'ah:2).
Dan firman Allah SWT:
"Rasul-Rasul di kalangan kamu yang menceritakan kepada kamu ayat-ayatKu"(al-A'raf:35).
Kritik Terhadap Pandangan Ar-Razi dan Tafsir Al-Manar Tentang Pengertian Ulil Amri
Dengan dasar ini tertolaklah apa yang telah
dipaparkan oleh sebagian mufassir bahawa pembatasan "Ulil Amri" dengan
kata (minkum) menunjukkan seorang dari mereka yakni manusia biasa
seperti kita, dan mereka dari kita, sedang kita adalah orang-orang yang
beriman yang tidak mempunyai keistimewaan ismah Ilahiyyah.
Kemudian bahawa "Ulil Amri" adalah Isim Jamak yang
menunjukkan banyak dan menghimpun mereka yang kemudian mereka dinamakan
Ulil Amri. Hal ini tidak ada keraguan, tetapi yang diragukan adalah
dasar pandangan yang menyatakan bahwa mereka adalah satu kesatuan
pemimpin perkara, yang masing-masing mereka menyandang kewajiban
ditaati, sehingga wajibnya ketaatan kepada mereka dinisbahkan kepada
kata itu dan menggunakannya seperti kita mengatakan:
"Laksanakanlah kewajiban-kewajibanmu, dan taatilah pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar bangsamu".
Yang mengherankan lagi pendapat ar-Razi bahwa makna
ini mengharuskan kandungan makna jamak terhadap mufrad. Pendapat ini
bertentangan dengan lahiriah kata itu. Ar-Razi lupa bahwa makna ini
sudah umum digunakan dalam bahasa. Penggunaan seperti ini banyak
terdapat dalam al-Qur'an seperti firman Allah SWT,
"Maka janganlah taat kepada orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah)"(al-Qalam:8).
"Maka jangan taati orang-orang yang kafir"(al-Furqan:52).
"Sesungguhnya kami telah taati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami" (al-Ahzab:67).
"Dan janganlah kamu mentaai perintah orang-orang yang melampaui batas"(as-Syuara:151).
"Peliharalah solat-solatmu"(al-Baqarah:238).
Dan firman Allah SWT,"Dan berendah dirilah kamu kepada orang-orang yang beriman" (al-Hijr:88).
Dan ayat-ayat yang lain dalam bentuk yang
bermacam-macam, kalimat positif, kalimat negatif, kalimat berita dan
kalimat perintah dan larangan.
Adapun yang bertentangan "kandungan makna jamak
terhadap mufrad" dengan lahiriah kata itu" adalah penggunaan kata jamak
tetapi yang dimaksudkan satu dari kesatuan itu, bukan dari segi
ketetapan suatu hukum terhadap jamak, yakni berlakunya hukum-hukum
sesuai dengan jumlah kesatuan itu. Seperti kita mengatakan:"Muliakan
ulama negerimu, yakni muliakan orang alim ini dan muliakan orang alim
itu".
Tidak jelas pula pendapat yang mengatakan bahwa
yang dimaksudkan seperti Ulil Amri - mereka yang mempunyai kaitan dengan
ketaatan yang diwajibkan - seluruh lembaga tertentu masing-masing
kakitangannya termasuk Ulil Amri, yakni orang yang mempunyai pengaruh di
kalangan manusia dan urusan mereka, seperti para panglima perang,
ulama, para pemimpin negara dan tokoh-tokoh bangsa. Bahkan Tafsir
al-Manar menyatakan bahawa Ulil Amri itu adalah Ahlul Halli wal Aqdi
iaitu orang-orang yang mendapat kepercayaan ummat. Mereka itu boleh
terdiri dari ulama, panglima perang, dan para pemimpin kemaslahatan umum
seperti pemimpin perdagangan, perindustrian, pertanian.
Termasuk juga
para pemimpin buruh, partai, para pemimpin redaksi akhbar yang Islami
dan para pelopor kemerdekaan. Inikah yang dimaksudkan dengan Ulil Amri?
Apakah Ulil Amri itu Ahlul Halli wal Aqdi? Apakah mereka itu para
pemimpin lembaga-lembaga sosial umum? Pengertian seperti ini bererti
telah menutupi kandungan makna ayat yang sempurna dengan pengertian yang
tidak jelas.
Ayat ini menunjukkan - sebagaimana yang anda
ketahui - adanya ismah Ulil Amri tetapi para mufassir yang mempunyai
pendapat seperti tadi memaksakan diri untuk menerima makna ini.
Apakah yang mempunyai sifat ismah adalah para
pemimpin lembaga-lembaga itu, kemudian masing-masing mereka itu maksum,
sehingga keseluruhan mereka itu maksum? Jika demikian semua mereka itu
maksum. Tetapi yang jelas belum pernah terjadi di tengah-tengah atau
kalangan ummat ini, di suatu zaman, para Ahlul Halli wal Aqdi berkumpul,
yang semua mereka itu maksum dalam mengatur seluruh urusan ummat.
Sedangkan di sisi lain mustahil Allah SWT memerintahkan sesuatu tanpa
mempunyai misdaq di luar, atau mustahil ismah ini - sifat yang hakiki
dimiliki oleh lembaga-lembaga yang kakitangannya bukan orang-orang yang
maksum. Bahkan mereka ini sangat memungkinkan berbuat kemusyrikan dan
kemaksiatan sebagaimana yang terjadi pada manusia umumnya. Maka,
pendapatnya memungkinkan salah dan mengajak kepada kesesatan serta
kemaksiatan. Berbedakah hal ini dengan pendapat lembaga tadi karena
ismahnya? Hal ini mustahil, bagaimana mungkin menyifatkan subjek
i'tibari dengan sifat yang hakiki, yakni menyifatkan lembaga sosial
dengan ismah.
Atau ismah lembaga ini bukan sifat
kakitangan-kakitangannya dan bukan sifat lembaga itu sendiri, tetapi
hakikatnya Allah memelihara lembaga ini dari memerintahkan kemasiatan
atau berpendapat dengan pendapat yang salah, sebagaimana bahwa berita
yang mutawatir itu terpelihara dari kedustaan. Sehubungan dengan hal
ini, ismah itu bukan sifat dari masing-masing pembawa berita itu dan
bukan pula sifat lembaga sosial tetapi hakikatnya bahwa pada umumnya hal
ini terhindar dari kedustaan. Dengan pengertian lain Allah SWT
memelihara berita yang keadaannya seperti ini, dari kesalahan dan
kedustaan,
sehingga pendapat Ulil Amri terhindar dari kesalahan walaupun kakitangannya
dan lembaga itu tidak memiliki sifat ismah tetapi berita itu sebagai berita
yang mutawatir terpelihara dari kedustaan dan kesalahan.
Apakah pengertian seperti ini yang dimaksudkan
ismah dalam Ulil Amri? Ayat ini tidak menunjukkan bahawa pendapat mereka
yang paling banyak dokongan adalah tidak salah. Tetapi yang benar
adalah yang sesuai dengan al-Qur'an dan Sunnah. Dialah yang telah
mendapat pemeliharaan Allah SWT untuk ummatnya. Telah diriwayatkan dari
Nabi SAW bahwa beliau bersabda:
"Ummatku tidak akan bersepakat atas kesalahan".
Jika riwayat ini sahih walaupun terasingnya sumber, maka ia menafikan
kesepakatan ummat atas kesalahan, dan tidak
menafikan kesepakatan Ahllul Halli wal Aqdi yang di antara mereka berada
di atas kesalahan. Ummat mempunyai makna tersendiri dan Ahlul Halli wal
Aqdi mempunyai makna lain. Dan tidak ada dalil untuk menghendaki makna
kedua dari kalimat yang pertama. Demikian juga riwayat ini tidak
menafikan kesalahan dari kesepakatan ummat tetapi ia menafikan
kesepakatan atas kesalahan. Dua pengertian ini berbeda.
Makna riwayat ini menunjukkan bahwa kesalahan dalam
suatu masalah tidak berarti kesalahan ummat tetapi di kalangan mereka
itu harus ada orang yang selalu berdiri di atas kebenaran sama ada
keseluruhan mereka atau sebagiannya walaupun yang maksum satu orang.
Maka pengertian inilah yang sesuai dengan makna ayat-ayat al-Qur'an dan
riwayat-riwayat Hadith yang menyatakan bahwa agama Islam, agama yang hak
tidak akan musnah dari bumi ini bahkan ia kekal sampai Hari Qiamat.
Allah SWT berfirman:
"Jika orang-orang (Quraisy) mengingkari Kami akan
menyerahkannya kepada kaum yang sekali kali tidak akan
mengingkarinya"(al-An'am:89)
"Dan (Ibrahim) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya" (az-Zukhruf:28).
"Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan az-Zikr dan sesungguhya Kami benar-benar memeliharanya"(al-Hijr:9).
"Dan sesungguhnya al-Qur'an adalah kitab yang mulia,
yang tidak datang kepadanya kebatilan baik dari depan (ketika
menerimanya) maupun dari belakang (ketika
menyampaikannya)"(Fusilat:41-42).
Hal seperti ini tidak hanya terjadi pada ummat
Muhammad, bahkan riwayat-riwayat yang sahih menunjukkan adanya
perselisihan ummat, yaitu riwayat-riwayat yang bersumber dari banyak
jalur dari Nabi SAW, yang menunjukkan bahwa orang-orang Yahudi terpecah
kepada 71 golongan, dan Nasrani menjadi 72 golongan, dan ummat Islam
menjadi 73 golongan, semuanya itu binasa kecuali satu. Riwayat ini telah
kami kutip dalam kajian riwayat tentang ayat 103, Surah Ali Imran.
Sehubungan dengan hal ini, kami tidak akan
membicarakan tentang matan yang telah terasingkan dari sumber
perbicaraan, walaupun sanadnya sahih tetapi di sini kami akan
membicarakan tentang makna ismah Ahlul Halli Wal Aqdi ummat ini, jika
makna inilah yang dimaksudkan dengan firman Allah SWT:"Ulil Amri minkum"
.
Faktor apakah yang mengharuskan adanya ismah Ahlul
Halli wal Aqdi ummat Islam, dalam memaparkan pendapatnya? Kelompok
manusia ini yang dijadikan sebagai Ahlul Halli wal Aqdi dalam
urusan-urusan ummat yang tidak hanya dikhususkan pada ummat Islam,
bahkan seluruh ummat, yang besar dan kecil, suku-suku dan
kelompok-kelompok manusia yang terhitung jumlahnya. Mereka mempunyai
kedudukan di tengah-tengah kekuatan dan pengaruh dalam urusan-urusan
umum. Jika anda mengkaji sejarah dalam peristiwa-peristiwa ummat dan
generasinya pada masa lampau dan masa kita sekarang, nescaya anda
menemui banyak sumber di mana Ahlul Halli wal Aqdi bersepakat dalam
perkara-perkara yang penting, berdasarkan pendapat yang mereka anggap
benar, kemudian mereka merealiasikan dalam perbuatan, sementara pendapat
itu mungkin salah dan mungkin benar.
Walaupun kesalahan yang berada pada pendapat-pendapat individu lebih banyak dari pendapat-pendapat kesepakatan, tetapi pada dasarnya pendapat-pendapat kesepakatan tidak berarti tidak menerima kesalahan. Inilah sejarah dan realita, yang telah terbukti dalam banyak sumber dan kisah.
Walaupun kesalahan yang berada pada pendapat-pendapat individu lebih banyak dari pendapat-pendapat kesepakatan, tetapi pada dasarnya pendapat-pendapat kesepakatan tidak berarti tidak menerima kesalahan. Inilah sejarah dan realita, yang telah terbukti dalam banyak sumber dan kisah.
Maka, jika pendapat kesepakatan dari Ahlul Halli wal Aqdi dalam Islam terpelihara dari kesalahan, hal ini bukan karena faktor-faktor yang biasa tetapi karena adanya faktor-faktor mukjizat yang luar biasa, yang hal ini merupakan pancaran cahaya karamah yang dikhususkan untuk meluruskan ummat ini dan memelihara mereka dari setiap keburukan yang menimpa jama'ah dan persatuan mereka. Dan berakhir dengan adanya sebab Ilahiyyah yang luar biasa ini, mereka membaca al-Qur'an , hidup dengan kehidupan al-Qur'an sehingga kehidupan ummat ini sesuai dengan kehidupan yang dikehendaki oleh al-Qur'an. Maka secara pasti al-Qur'an menjelaskan hukum-hukumnya dan keluasan kandungannya.
Dengan al-Qur'an, Allah memberikan kurnia sebagaimana kurnia yang diberikan melalui al-Qur'an dan Muhammad SAW. Dan Allah menjelaskan kelompok manusia ini dan kedudukannya di tengah-tengah masyarakat sebagaimana Dia menjelaskan hal itu bagi Nabi SAW. Dengan al-Qur'an Nabi SAW berwasiat kepada ummatnya terutama kepada sahabat-sahabatnya yang mulia. Mereka adalah orang-orang yang sesudahnya menjadi Ahlul Halli wal Aqdi dan mereka mengurus kepimpinan perkara-perkara ummat. Dan diperjelas, apakah kelompok manusia ini dinamakan Ulil Amri, apakah hakikatnya dan apakah berbentuk satu lembaga untuk mengatur seluruh ummat Islam dan urusan umum mereka? Atau seluruh urusan ummat Islam harus mendapat kesepakatan keseluruhan Ulil Amri, kemudian mengatur seluruh jiwa, tujuan dan harta mereka? Suatu hal yang menjadi keharusan bagi ummat Islam.
Mengapa Mereka Merahasiakan Hakikat Imamah?
Hal ini adalah masalah yang sangat penting, yang
harus diperhatikan oleh seluruh ummat Islam terutama para sahabat Nabi
SAW untuk ditanyakan kemudian dibahaskan. Sementara mereka telah
menanyakan masalah-masalah penting lainnya seperti masalah bulan sabit,
infaq, dan harta rampasan, sebagaimana termaktub dalam firman Allah:
"Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit"(al-Baqarah:189).
"Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka infaqkan"(al-Baqarah:215).
"Mereka bertanya kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan"(al-Anfal:1).
Maka mengapa mereka tidak bertanya tentang masalah
Imamah? Atau mereka sudah menanyakannya kemudian dianggapnya bukan
masalah penting hingga masalah ini disembunyikan kepada kita? Maka
berlakulah pada mayoritas ummat Islam, masalah penting ini didasarkan
pada hawa nafsunya.
Mereka menganggap dalam masalah ini tidak
berdasarkan hawa nafsu, tetapi kenyataannya mereka menetapkan masalah
ini berdasarkan dalil yang tidak jelas, sehingga hakikat masalah penting
ini ditinggalkan dan dilupakan.
Suatu hal yang harus dijadikan alasan dan bukti
tentang masalah ini adalah terjadinya bermacam-macam perselisihan dan
fitnah yang terjadi setelah Rasulullah SAWA wafat, yang peristiwa ini
terjadi dari masa ke masa. Mengapa kenyataan-kenyataan ini dan
pengaruhnya, tidak terdapat dalam hujjah-hujjah dan pandangan-pandangan
mereka. Mereka menghiasi dan memperindahkan kenyataan ini tidak
sedikitpun tampak dalam tulisan-tulisan dan kitab-kitab mereka?
Kenyataani ini tidak ternyata di kalangan mufassir terdahulu yakni para
sahabat dan tabi'in, kemudian sebagian mufassir kebelakangannya merujuk
kepadanya seperti ar-Razi dan sebagian sesudahnya.
Sehingga az-Razi menyatakan: Pendapat ini
bertentangan dengan ijmak (persepakatan) karena sehubungan dengan makna
Ulil Amri tidak lebih dari empat pendapat: Khulafa ar-Rasyidin, para
panglima perang, ulama, dan para Imam maksum. Adapun pendapat yang
kelima terkeluar dari ijmak. Kemudian ar-Razi memberikan jawaban bahwa
pada hakikatnya pendapat ini merujuk kepada pendapat yang ketika
(ulama), sehingga mengacaukan apa yang telah menjadi kemaslahatan. Maka
semua ini menunjukkan bahwa perkara ini tidak sesuai dengan pendapat
ini, dan tidak dapat difahami bahwa perkara ini adalah pemberian dan anugerah yang mulia yakni mukjizat dan karamah Islam
yang luar biasa bagi Ahlul Halli wal Aqdi ummat Islam.
Atau dengan kata lain: Bahwa ismah tidak disebabkan
oleh faktor yang luar biasa, tetapi Islam membina pendidikan umum atas
dasar prinsip-prinsip yang mendasar yang menghasilkan buah ini. Ahlul
Halli wal Aqdi ummat Islam tidak akan salah apa yang mereka sepakati,
dan pendapat mereka tidak akan melahirkan kesalahan.
Pandangan yang tidak jelas ini batil, ia telah
menolak kaedah yang umum yaitu"Pecapaian keseluruhan adalah Pencapaian
seluruh bagian-bagiannya". Jika masing-masing kakitangan boleh berbuat
kesalahan, maka keseluruhannya boleh berbuat kesalahan. Kemudian kembali
kepada masalah Ulil Amri dalam pengertian ini. Jika mereka ini adalah
orang-orang yang selalu benar dan memiliki ismah dengan faktor tadi,
maka kemanakah harus dilarikan kebatilan dan kerusakan - pengaruh mereka
- yang memenuhi dunia Islam?
Majlis Ahlul Halli Wal Aqdi Setelah Nabi SAW Wafat
Setelah Rasulullah SAW wafat, tidak sedikit majlis,
tempat Ahlul Halli wal Aqdi berkumpul, yang sengaja mereka ciptakan
untuk membenarkan pendapat-pendapat mereka. Kemudian mereka tidak
menambah kecuali kesesatan, tidak menambah kebahagiaan kecuali
kesengsaraan. Dan setelah Rasulullah SAW wafat, mereka tidak mengadakan
majlis-majlis keagamaan kecuali mengarah kepada penguasa yang zalim dan
memecah belah. Para peneliti yang kritis hendaklah mengkaji fitnah yang
bertebaran setelah Rasulullah SAW wafat. Peristiwa demi peristiwa yang
diikuti oleh pertumpahan darah, tujuan-tujuan yang kotor, harta-harta
yang terampas dan ketentuan-kententuan hukum yang sia-sia dan
terlupakan! Kemudian kaji perkembangan, dasar dan akar-akarnya! Apakah
faktor-faktor penyebabnya tidak berakar kepada pendapat Ahlul Halli wal
Aqdi ummat, kemudian mereka meletakkannya di atas pundak-pundak manusia?
Kenyataan inikah yang diyakini oleh orang yang
mempercayai untuk dijadikan dasar pembinaan agama, yakni pendapat Ahlul
Halli wal Aqdi. Wajarkah mereka ini yang dimaksudkan Ulil Amri yang
maksum?
Dengan demikian, maka tidaklah berdasar pendapat
yang mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan Ulil Amri adalah Ahlul
Halli wal Aqdi. Di mana mereka ini boleh melakukan kesalahan dan boleh
juga benar seperti manusia yang lain, bukan kelompok manusia yang
memiliki keutamaan dan pengetahuan yang luas tentang perkara-perkara itu
sebagai pendidik dan pembimbing yang kesalahanya sangat sedikit.
Kemudian dalam perkara itu mereka (Ahlul Halli wal Aqdi) wajib ditaati
dan bertolak-ansur terhadap kesalahannya demi kemaslahatan umum walaupun
mereka menetapkan hukum yang merubah hukum al-Qur'an dan Sunnah. Mereka
mengkategorikan ketetapannya sesuai dengan kemaslahatan ummat dengan
menafsirkan hukum-hukum agama tidak sesuai dengan penafsiran sebelumnya
atau merubah hukum yang disesuaikan dengan kemaslahatan zaman, keadaan
ummat atau tuntutan dunia sekarang.
Lalu mereka mengatakan ketetapan inilah yang diridhai oleh agama karena hanya menginginkan kebahagiaan dan kejayaan masyarakat dalam percaturan sosial sebagaimana hal ini nampak dan terjadi pada roda pemerintahan-pemerintahan awal Islam. Hal ini tidak menghalangi hukum-hukum yang berlaku pada zaman Nabi SAW dan tidak menetapkan hukum sebagaimana perjalanan hidup dan Sunnah-Sunnahnya kecuali karena alasan-alasan itu. Sebab hukum sebelumnya mempersempitkan hak-hak ummat, sementara kemaslahatan keadaan ummat menuntut adanya hukum yang baru yang sesuai dengan zaman dan keadaan mereka atau menetapkan suatu ketetapan yang baru sesuai dengan cita-cita mereka demi kebahagiaan hidup mereka. Sebagian dari para pengkaji menjelaskan bahawa khalifah harus berbuat sesuatu yang berbeda dengan agama yang asal demi memelihara kemaslahatan ummat.
Lalu mereka mengatakan ketetapan inilah yang diridhai oleh agama karena hanya menginginkan kebahagiaan dan kejayaan masyarakat dalam percaturan sosial sebagaimana hal ini nampak dan terjadi pada roda pemerintahan-pemerintahan awal Islam. Hal ini tidak menghalangi hukum-hukum yang berlaku pada zaman Nabi SAW dan tidak menetapkan hukum sebagaimana perjalanan hidup dan Sunnah-Sunnahnya kecuali karena alasan-alasan itu. Sebab hukum sebelumnya mempersempitkan hak-hak ummat, sementara kemaslahatan keadaan ummat menuntut adanya hukum yang baru yang sesuai dengan zaman dan keadaan mereka atau menetapkan suatu ketetapan yang baru sesuai dengan cita-cita mereka demi kebahagiaan hidup mereka. Sebagian dari para pengkaji menjelaskan bahawa khalifah harus berbuat sesuatu yang berbeda dengan agama yang asal demi memelihara kemaslahatan ummat.
Berdasarkan pendapat ini, maka keadaan agama Islam
adalah keadaan seluruh masyarakat yang memiliki kelebihan kebudayaan
kebendaan yang di dalamnya terdapat suatu kelompok manusia yang dipilih
untuk menetapkan hukum dan undang-undang masyarakat sesuai dengan
tuntutan keadaan dan zaman menurut pandangan dan kacamata mereka.
Pendapat ini - sebagaimana - anda lihat - adalah pendapat orang yang memandang agama adalah ketentuan sosial yang
melebur dalam acuan agama. Dalam konsepnya tampak agama sebagai mahkum
(yang kena hukum) oleh hukum yang ditetapkan berdasarkan
ketentuan-ketentuan masyarakat manusia, yang semuanya ini berkembang
dalam perkembangan-perkembangan kesempurnaan yang bertahap, dan sama
halnya dengan orang yang mengatakan bahawa agama tidak cocok kecuali
pada kehidupan manusia yang hidup pada zaman Nubuwwah dan zaman yang
dekat dengannya.
Tuntutan ini adalah bahagian dari tuntutan-tuntutan
masyarakat manusia, yang tidak layak di bahas hari ini kecuali
sebagaimana para ahli geologi membahas tentang kekayaan bumi yang
diperolehi dari bawah lapisan bumi.
Orang yang berpendapat seperti pendapat ini tidak
termasuk ke dalam pembicaraan kita tentang ayat:"Taatlah kepada Allah,
dan taatilah kepada Rasul, dan Ulil Amri di kalangan kamu".
Hal ini karena berbicara masalah ini menjadi suatu
dasar yang mempengaruhi seluruh dasar dan ketentuan agama iaitu
usuluddin, akhlak, dan syariat walaupun hal ini harus menguraikan
peristiwa yang terjadi di kalangan para sahabat sejak Nabi SAW sakit
hingga wafatnya. Perselisihan-perselisihan yang disebabkan mereka,
penyimpangan-penyimpangan para khalifah terhadap sebagian hukum dan
sirah Nabi SAW, kemudian pada zaman Muawiyah dan penerusnya, kemudian
para penguasa Abbasiyyah dan penguasa-penguasa berikutnya. Semua ini
adalah perkara yang meragukan yang menghasilkan suatu kesimpulan yang
meragukan.
Yang mengherankan adalah pendapat sebagian
pengarang kitab yang menyatakan bahwa ayat:" Taatlah kepada Allah, dan
taatilah kepada Rasul, dan Ulil Amri di kalangan kamu", tidak menunjukkan sedikitpun perbedaan pendapat para mufassir:
Pertama:
Karena kewajiban mentaati Ulil Amri pada dasarnya
tidak menunjukkan adanya keutamaan dan keistimewaan mereka terhadap yang
lain, tidak ubahnya seperti kita wajib mentaati penguasa-penguasa yang
sombong dan zalim dalam keadaan terpaksa karena takut akan kejahatan
mereka. Dengan demikian mereka tidak akan lebih utama dari kita di sisi
Allah SWT.
Kedua:
Karena hukum yang tersebut dalam ayat ini tidak
berbeda dengan seluruh hukum yang penerapannya tergantung pada
tercapainya subjek-subjeknya, seperti kewajiban berinfaq kepada
orang-orang faqir dan larangan menolong orang-orang yang zalim. Maka
kita tidak wajib untuk mendapatkan orang faqir atau orang yang zalim
sehingga kita tidak menolongnya.
Dua alasan ini jelas sekali batil, karena orang
yang berpendapat demikian telah menetapkan dan memahami bahawa yang
dimaksudkan Ulil Amri dalam ayat ini sebagai penguasa-penguasa dan
raja-raja, sehingga tampaklah kebatilan dalam pemahaman yang tidak jelas
ini.
Alasan yang pertama tadi, telah melalaikan bahwa
al-Qur'an penuh dengan larangan mentaati orang-orang yang zalim, yang
berfoya-foya dan orang-orang yang kafir. Sangatlah mustahil Allah
memerintahkan mentaati mereka, apatah lagi menyamakan ketaatan kepada
mereka itu dengan ketaatan kepada Allah dan RasulNya, walaupun ketaatan
terhadap mereka itu adalah taqiyah, yang hal ini diajarkan dan dizinkan
sebagaimana firman Allah SWT:
"Kecuali karena menjaga diri terhadap mereka (orang-orang kafir) dengan sebaik-baiknya" [illa an-tattaqu min-hum tuqatan](Ali Imran:28).
"Kecuali karena menjaga diri terhadap mereka (orang-orang kafir) dengan sebaik-baiknya" [illa an-tattaqu min-hum tuqatan](Ali Imran:28).
Tidak ada perintah mentaati mereka itu secara
terang-terangan walaupun setiap yang menakutkan itu harus menjadi
sesuatu yang sangat buruk dan berbahaya.
Adapun alasan yang kedua tadi didasarkan pada
alasan yang pertama tentang makna ayat ini. Andainya kewajiban mentaati
mereka itu karena kedudukan mereka dalam agama, maka mereka itu harus
maksum sebagaimana yang telah dijelaskan secara terperinci tadi.
Mustahil Allah memerintahkan suatu ketaatan kepada seseorang yang bukan
misdaq (sandaran) ayat ini, atau orang yang dijadikan misdaq kesepakatan
dari suatu ayat yang mengandung dasar-dasar kemaslahatan agama, dan
mengatur masyarakat Islam tanpa berdasarkan hukum secara mendasar.
Bukankah anda menyadari bahwa kebutuhan kepada Ulil Amri tidak ubahnya
seperti keperluan kepada Rasulullah yaitu keperluan akan kepimpinan
urusan-urusan ummat Islam,yang hal ini telah kami jelaskan tentang ayat
muhkamah dan mutasyabihah.
Ulil Amri Adalah Para Imam Ahlul Bayt AS
Kita kembali pada perbicaraan awal dalam ayat:
"Dan Ulil Amri di kalangan kamu".
Telah jelas bagi anda apa yang telah kami paparkan
bahawa makna yang terkandung dalam firman Allah SWT," Dan Ulil Amri di
kalangan kamu", bukan kelompok Ahlul Halli wal Aqdi, yakni lembaga
sosial, dalam pengertian apa saja yang hendak kita tafsirkan. Tiada lain
yang dimaksudkan dengan Ulil Amri adalah suatu kesatuan orang-orang
yang maksum, yang seluruh ucapan mereka wajib ditaati. Maka karena itu,
untuk mengetahui siapa mereka ini sebenarnya memerlukan ketetapan dari
firman Allah SWT atau sabda NabiNya. Ternyata menurut riwayat-riwayat
yang berjalur dari para Imam Ahlul Bayt AS bahwa Ulil Amri itu adalah
mereka.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa Ulil Amri
adalah khulafah ar-rasyidin, para panglima perang atau ulama yang
pendapatnya diikuti. Semua ini tertolak dengan suatu dasar:
Pertama:
Ayat ini menunjukkan adanya ismah pada diri mereka
sementara mereka (selain Ahlul Bayt AS) jelas tidak memiliki ismah. Maka
karena itu selayaknya sebagian ummat ini menyakini bahawa Wilayah ini
(Ulil Amri) adalah hak Imam Ali AS.
Kedua:
Masing-masing pendapat yang tiga tadi adalah pendapat yang tidak mempunyai dalil yang menunjukkan ke atasnya.
Adapun dasar yang menyatakan bahawa Ulil Amri adalah para Imam Ahlul Bayt as yang maksum adalah:
Pertama:
Ulil Amri telah ditetapkan secara jelas oleh Allah
dan RasulNya. Walaupun dua orang memperselisihkan masalah ini setelah
Rasulullah SAWA wafat.
Dan hal ini telah ditetapkan dalam al-Qur'an dan
Sunnah seperti ayat Wilayah, ayat Tathir dan lainnya, yang perinciannya
akan kami jelaskan, dan seperti Hadith Safinah, yang maksudnya:
"Perumpamaan Ahlul Baytku adalah seperti Bahtera
Nabi Nuh barang siapa yang menaikinya ia akan selamat, dan barang siapa
yang tertinggal ia akan tenggelam".
Dan Hadith Tsaqalain yang artinya:
"Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kamu dua perkara berat (tsaqalain) yaitu Kitabullah dan Itrahku, Ahlul Baytku, jika kamu berpegang teguh dengan keduanya, kamu tidak akan sesat selama-lamanya".
Hal ini telah kami bahas dalam kajian muhkam dan
mutasyabih dalam jilid 3, kitab ini. Dan seperti Hadith-Hadith Ulil Amri
yang diriwayatkan dari jalur Syi'ah dan Ahlul Sunnah, yang hal ini akan
kami bahas dalam kajian riwayat berikut.
Kedua:
Taat kepada mereka disyaratkan mengenal mereka
karena ketaatan tanpa mengenal mereka bererti membebankan tugas yang
tidak mampu. Jika ketaatan itu disyaratkan, maka ayat itu menolak bentuk
ketaatan tanpa pengenalan karena perintah ayat ini bersifat mutlak.
Dalam hal ini: Jika ketaatan di sini disyaratkan
adanya pengenalan secara mutlak, maka permasalahannya berpindah kepada
yang dipermasalahkan yakni perbedaan antara pengenalan terhadap Ahlul
Halli wal Aqdi dan pengenalan terhadap para Imam maksum. Pengenalan
terhadap Ahlul Halli wal Aqdi sebagai misdaq ayat ini berdasarkan
penjelasan Allah dan RasulNya. Dan tidak ada perbedaan syarat yang
ditiadakan oleh ayat ini.
Jika pengenalan itu digolongkan sebagai syarat,
tetapi bukan dari sudut pandang syarat-syarat. Sungguh pengenalan itu
mengacu kepada demi tercapainya dan sampainya suatu taklif (beban
kewajipan) karena tidak ada taklif tanpa adanya pengenalan terhadap
permasalahannya dan hal-hal yang berhubungan dengannya. Dan pengenalan
itu tidak merujuk kepada taklif dan mukallaf (orang yang
dipertanggungjawabkan). Seandainya pengenalan ini termasuk ke dalam
seluruh syarat-syarat, seperti kemampuan dala haji, dan menemukan air dalam waduk misalnya, niscaya
selamanya tidak akan didapati taklif yang mutlak. Ketika itulah tidak
akan ada maknanya suatu taklif sama ada kepada mukallaf yang sudah
mengetahui atau yang belum mengetahui.
Ketiga:
Pada zaman kita ini, kita tidak mampu sampai kepada
Imam maksum dan belajar ilmu dan agama darinya. Maka hal ini bukan
bererti Allah melepaskan dari ummat ini kewajiban mentaati Imam maksum
karena tidak ada jalan untuk itu.
Dalam hal ini: Permasalahannya disandarkan kepada
diri ummat itu sendiri, akibat perbuatan kejinya dan khianatnya bukan
disandarkan kepada Allah dan RasulNya. Taklif ini tidak akan pupus
karena sebagaimana jika ummat membunuh NabiNya kemudian mereka beralasan
tidak dapat taat kepadanya. karena masalah ini dialihkan, maka hari ini
kita tidak mampu menjadi ummat yang bersatu dalam Islam akibat adanya
usaha-usaha yang dianggap benar oleh Ahlul Halli wal Aqdi ummat ini.
Keempat:
Allah SWT telah berfirman:
"Jika kamu berbantah-bantah tentang sesuatu maka kembalilah kepada Allah dan RasulNya."
Seandainya yang dimaksudkan Ulil Amri adalah Imam maksum, maka harus dikatakan:
"Jika kamu berbantah-bantah tentang sesuatu maka kembalilah kepada Imam".
Dalam hal ini: Jawaban pernyataan seperti itu telah dijelaskan tadi, yang
dimaksudkan kembali kepada Imam adalah mengacu kepada Rasulullah SAW.
Kelima:
Mereka yang berpendapat bahawa faedah mengikuti
Imam maksum untuk menyelamatkan ummat dari kegelapan perselisihan dan
bahaya pertikaian serta perpecahan, sementara lahiriah ayat ini
menjelaskan hukum perselisihan dengan adanya Ulil Amri, dan ketaatan
ummat kepada mereka seperti berselisihnya Ulil Amri dalam menetapkan
hukum sebahagian peristiwa dan kenyataan. Sedangkan perbedaan pendapat
dan perselisihan dengan adanya Imam maksum tidak boleh menurut mereka
yang berpendapat demikian karena Imam maksum menurut mereka seperti
Rasulullah SAW. Dengan adanya kenyataan ini, maka mereka tidak ada
gunanya.
Di dalam hal ini: Jawaban terhadap pernyataan
seperti ini telah kami paparkan juga. Perselisihan yang dimaksudkan
dalam ayat ini adalah perselisihan yang terjadi di kalangan orang-orang
yang beriman tentang hukum-hukum al-Qur'an dan Sunnah, bukan hukum-hukum
Wilayah atau kepimpinan yang bersumber dari Imam dalam realiti-realiti
dan peristiwa-peristiwa.
Di bagian hadapan tadi telah diperjelaskan bahwa
tidak ada suatu hukum kecuali milik Allah dan RasulNya. Jika di antara
orang-orang yang beriman terjadi perselisihan dalam memahami hukum
al-Qur'an dan Sunnah, maka mereka harus beristinbat (menarik kesimpulan
hukum) dari keduanya. Jika mereka belum juga mampu memecahkannya, maka
mereka harus bertanya kepada Imam maksum sebab pemahamannya maksum. Hal
ini tidak ubahnya seperti mereka yang hidup pada zaman Rasulullah SAW.
Mereka memahami apa yang dapat di fahami atau bertanya kepada Rasulullah
SAW. Mereka bertanya kepada Rasulullah tentang apa yang tidak mungkin
mereka memahaminya berdasarkan istinbatnya.
Dengan demikian, maka hukum mentaati Ulil Amri sama
dengan hukum mentaati Rasulullah sebagaimana ditunjukkan oleh ayat ini.
Adapun hukum berselisih yang disebutkan di dalam ayat ini sama dengan
pada zaman Rasulullah sebagaimana ditunjukkan oleh ayat-ayat berikutnya,
dan setelah beliau wafat sebagaimana ditunjukkan oleh perintah multak
dalam ayat ini. Maka kembali kepada Allah dan RasulNya dalam ayat ini
dikhususkan dengan gambaran perselisihan orang-orang yang beriman
sebagaimana ditunjukkan oleh firman Allah SWT:"kalian berbantah-bantah"(tana za'tum).
Ia tidak berfirman:"Maka jika Ulil Amri berbantah-bantah(fa-in tana za'a Ulil Amri)",
dan tidak berfirman:"maka jika mereka berbantah-bantah(fa-in tana za'au)", kembali kepada Allah dan RasulNya.
Ketika Rasul masih ada, maka bertanya kepada
Rasulullah tentang hukum suatu masalah atau beristinbath dari al-Qur'an
dan Sunnah bagi orang-orang yang mampu. Dan setelab beliau wafat
bertanya kepada Imam tentangnya atau beristinbath, sebagaimana telah
dijelaskan.
Dengan demikian firman Allah SWT:
"Maka apabila kamu berbantah-bantah tentang sesuatu
perkara(fa-in tana za'tum fi-shai)", tidak seperti dugaan orang yang
menimbulkan masalah.
Maka dari apa yang telah dipaparkan jelas bahwa
yang dimaksudkan dengan Ulil Amri dalam ayat tersebut adalah Imam-Imam
ummat, sifat ismah bagi salah seorang dari mereka dan kewajipan
mentaatinya seperti hukum yang berlaku pada diri Rasulullah SAW. Dalam
hal ini tidak dinafikan keumuman pengertian dan maksud kata "Ulil Amri"
dari segi bahasa.
Maka kata ini dari sudut pandangan bahasa mempunyai
suatu pengertian. Sedangkan misdaq yang dikehendaki dan sesuai adalah
suatu hal lain, yang hal ini tidak ubahnya seperti pengertian "Rasul"
bermakna umum dan universal, tapi misdaq yang dikehendaki adalah
Muhammad SAW.
Firman Allah SWT:"Wahai orang-orang yang beriman, taatilah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul",
merupakan kelanjutan batasan dari apa yang dimaksudkan oleh ayat sebelumnya, maka firman Allah SWT:"Taatilah kepada Allah (Ati'ullah)", mewajibkan taat kepada Allah dan RasulNya.
Ketaatan ini merupakan masalah keagamaan yang dapat menjamin hilangnya
setiap perselisihan yang akan terjadi, dan hilangnya setiap keperluan
merujuk kepada selain Allah dan RasulNya. Sehingga ayat ini mempunyai
maksud: "Taatlah kepada Allah.dan janganlah taat kepada taghut". Inilah
yang
kami maksudkan tadi.
Perintah ini ditujukan kepada orang-orang yang
beriman, sehingga memperjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan
perselisihan dalam ayat ini adalah perselisihan di antara mereka, bukan
perselisihan mereka dengan Ulil Amri, dan bukan pula perselisihan di
antara Ulil Amri, karena:
Pertama:
Perselisihan antara mereka dengan Ulil Amri tidak sesuai dengan kewajiban mereka mentaati Ulil Amri.
Kedua:
Perselisihan di antara Ulil Amri tidak sesuai
dengan adanya kewajiban mereka untuk ditaati, yang jika terjadi, mereka
akan menuju kepada kebatilan. Di sisi lain, perintah dalam ayat ini
ditujukan kepada orang-orang yang beriman:"Maka jika kamu berbantah-bantah tentang sesuatu kembalilah"(Fa-in tana za'tum fi-syai' fa-raduhuà"),
walau kata "syai" (sesuatu) bersifat umum terhadap setiap hukum dan
perkara dari Allah, RasulNya dan Ulil Amri tetapi setelah kata itu Allah
berfirman:"Maka kembalilah kepada Allah dan Rasul"(fa-raduhu illa Allah wa-ar-Rasul).
Hal ini menunjukkan perselisihan itu bukan
perselisihan terhadap perintah-perintah Ulil Amri, seperti perintah
perang, perdamaian atau lainnya. Jika demikian, kewajipan kembali kepada
Allah dan RasulNya tidak mempunyai makna dalam masalah-masalah ini
dimana Ulil Amri wajib ditaati.
Dengan demikian, maka ayat ini menunjukkan
kewajiban merujuk kepada hukum-hukum agama itu sendiri, yang tidak
seorang pun berhak menetapkannya berlaku atau mansukhnya kecuali Allah
dan RasulNya.
Dan ayat ini memperjelaskan bahwa tidak seorang pun
dari Ulil Amri dan selain mereka diperbolehkan membelokkan hukum yang
telah ditetapkan oleh Allah dan RasulNya. Firman Allah SWT:"Jika kamu beriman kepada Allah"(in-kuntum tu'minuna-billah),
mempertegaskan hukum ini dan memberi isyarat bahwa orang yang
menyalahinya tiada lain karena adanya krisis keimanan dalam dirinya.
Hukum ini sangat berkaitan dengan keimanan.
Orang yang menyalahi hukum ini menunjukkan bahawa
ia pura-pura beriman kepada Allah dan RasulNya, tetapi sebenarnya
batinnya kufur. Hal seperti ini menunjukkan kemunafikan sebagaimana yang
dinyatakan oleh ayat berikutnya:
"Yang demikian itu yang paling baik dan sebaik-baik akibat (bagimu)".
Yakni, kembali ketika terjadi perselisihan atau
mentaati Allah, RasulNya, dan Ulil Amri. Sedangkan "takwil" adalah
kemaslahatan dalam realita yang ditumbuhkan oleh hukum kemudian
disempurnakan dalam perbuatan. Kajian secara terperinci tentang makna
"takwil" telah kami bentangkan dalam Jilid 3 kitab ini, yakni tentang
Surah Ali Imran, ayat 7.
Kajian Riwayat
Di dalam Tafsir al-Burhan, dari Ibnu Babuwayh, yang
bersanad dari Jabir bin Abdullah al-Ansari, ia mengatakan: Ketika Allah
menurunkan kepada NabiNya ayat:"
Aku bertanya: Wahai Rasulullah, kami telah
mengetahui Allah dan RasulNya tetapi siapakah Ulil Amri yang Allah
kaitkan ketaatan kepada mereka dengan ketaatan kepadamu? Nabi menjawab:
"Wahai Jabir, mereka itu adalah para penggantiku
dan Imam ummat Islam sesudahku: Pertama Ali bin Abi Talib, kemudian
al-Hasan, kemudian al-Husayn, kemudian Ali bin al-Husayn, kemudian
Muhammad bin Ali yang terkenal dalam Taurat dengan gelaran al-Baqir.
Wahai Jabir kamu akan menemuinya dan jika kamu menemuinya sampaikan
salamku kepadanya, kemudian as-Sadiq Ja'far bin Muhammad, kemudian Musa
bin Ja'far, kemudian Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin Ali, kemudian
Ali bin Muhammad, kemudian al-Hasan bin Ali, kemudian dua nama Muhammad
dan dua gelaran Hujjatullah di bumiNya dan Baqiyatullah bagi
hamba-hambaNya, Ibnu Hasan, dialah yang Allah bukakan sebutan namanya di
bumi bahagian Barat dan Timur, dialah yang ghaib dari para pengikutnya
dan kekasihnya, yang keghaibannya menggoncangkan keimanan kecuali bagi
orang-orang yang Allah kukuhkan keimanan dalam hatinya.
Selanjutnya Jabir berkata: Aku bertanya kepada
Rasulullah, wahai Rasulullah, apakah keghaibannya memberikan manfaat
kepada para pengikutnya? Rasulullah menjawab:
"Demi Zat yang mengutusku dengan Nubuwwah, sungguh
mereka mendapatkan cahaya sinarnya, dan memperolehi manfaat dengan
wilayahnya dalam keghaibannya seperti manusia mendapat manfaat dari
matahari walaupun ia ditutupi awan. Wahai Jabir, ia tersembunyi oleh
rahasia Allah dan terpelihara oleh ilmuNya, maka Allah menyembunyikan
kecuali dari Ahlinya".
Penulis mengatakan: Dalam makna yang sama juga
diriwayatkan oleh Nu'mani dengan sanad dari Salim bin Qais al-Hilali,
dari Ali AS dan diriwayatkan juga oleh Ali bin Ibrahim dengan sanad dari
Salim, dari Ali AS. Dalam hal ini juga banyak riwayat-riwayat dari
kalangan Syi'ah dan Ahlul Sunnah yang di dalamnya menyebutkan keimamahan
mereka, dan nama-nama mereka. Siapa yang ingin membuktikan silakan
membaca kitab "Yanabi al-Mawaddah", kitab "Ghayatul Maram" oleh Bahrani
dan kitab lainnya.
Dalam tafsir al-Ayyasyi dari Jabir al-Ju'fi, ia berkata: Aku bertanya Abu Ja'far AS tentang ayat ini:
Ia menjawab: "Mereka adalah para Wasi".
Penulis mengatakan: Dalam riwayat yang sama, Tafsir al-Ayyasyi menyebutkan:"Ali bin Abi Talib dan para Wasi sesudahnya".
Dan dari Ibnu Syahrasyub, Hasan bin Saleh bertanya
kepada as-Sadiq AS tentang hal itu, ia menjawab: "Para Imam dari Ahlul
Bayt Rasulullah SAW".
Penulis mengatakan: Dalam hal yang sama as-Sadiq AS
meriwayatkan dari Abu Basir, dari Al-Baqir AS, ia mengatakan: "Para
Imam dari keturunan Ali dan Fatimah hingga Hari Qiamat".
Dalam al-Kafi dengan sanad dari Abu Masruq dari Abu
Abdillah AS, ia berkata kepadanya: Kami berbincang dengan para ahli
kalam, maka kami hujahkan mereka dengan firman Allah SWT:"Taatilah kepada Allah dan taatilah kepada Rasul dan Ulil Amri di kalangan kamu",
kemudian mereka berkata: Ayat ini turun untuk orang-orang beriman. Kemudian kami berhujah dengan mereka dengan firman Allah SWT:
Kemudian mereka mengatakan: Ayat ini turun untuk
keluarga orang-orang Islam. Kami tidak dapat menjelaskan apa yang mereka
sebutkan kecuali engkau menjelaskannya, maka Abu Abdillah AS berkata
kepadaku: "Jika demikian ajaklah mereka bermubahalah, aku bertanya:
Bagaimana caranya?
Ia menjawab: Ucapkan janji baik pada dirimu tiga
kali dan kepadanya, kemudian berpuasalah, sucikan dirimu dan keluarlah
kamu berserta dia ke gunung, kemudian berjabat tangan kanan dengannya,
dan ucapkanlah doa secara bergantian, dan mulailah dari dirimu: Ya
Allah, Tuhan langit yang tujuh dan Tuhan bumi yang tujuh, Zat Yang Maha
Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Zat Yang Maha Rahman dan Rahim,
jika Abu Masruq menentang kebenaran dan mengada-adakan kebatilan maka
turunkan kepadanya siksa yang pedih dari langit; kemudian ajaklah dia
mengucapkan: Dan jika menentang kebenaran dan mengada-adakan kebatilan,
maka turunkan kepadanya siksa yang pedih dari langit".
Kemudian Imam berkata kepadaku:"Sungguh kamu tidak
akan lama lagi melihat hal itu padanya, maka demi Allah, tidak aku
temukan suatu peristiwa yang membuatku menjawab dengannya".
Dalam tafsir Al-Ayyasyi dari Abdullah bin Ajlan
dari Abu Ja'far AS tentang firman Allah SWT:"Taatlah kepada Allah dan
taatilah kepada Rasul dan Ulil Amri di kalangan kamu". Ia berkata:Ayat
ini turun untuk Ali dan para Imam, yang Allah jadikan mereka ini sebagai
penerus para Nabi, dan mereka ini tidak menghalalkan sesuatu dan tidak
mengharamkan.
Penulis mengatakan: Selain keterangan yang terdapat
dalam riwayat ini, kami telah menjelaskan di akhir kajian ayat bahawa
ayat ini menunjukkan tidak ada hukum yang disyariatkan kecuali hak Allah
dan RasulNya.
Dalam kitab al-Kafi dengan sanad dari Barid bin Muawiyah, ia mengatakan: Abu Ja'far AS membacakan kalimat:
"Taatlah kamu kepada Allah, dan taatlah kepada
Rasul, dan Ulil Amri di kalangan kamu, maka jika kamu takut
berbantah-bantah tentang sesuatu perkara, maka kembalikanlah kepada
Allah dan kepada Rasul dan Ulil Amri di kalangan kamu".
Ia berkata: Bagaimana mungkin diperintahkan
mentaati mereka dan diizinkan berselisih dengan mereka. Tiada hal itu
dikatakan oleh orang-orang yang keluar dari agamanya, yang kepada mereka
itu diserukan: Taatlah kamu kepada Allah dan RasulNya.
Penulis mengatakan: Riwayat ini menunjukkan bahwa
apa yang dibacakan oleh Abu Ja'far AS adalah sebagai penjelasan terhadap
ayat ini dan maksudnya. Keterangan dan penjelasan penggunaan dalil
dalam masalah ini telah kami paparkan di atas. Dan yang dimaksudkan
bukanlah bacaan sebagaimana tampak dari perkataannya: "Abu Ja'far AS
membaca".
Hal ini ditunjukkan oleh adanya perbedaan kata yang
ada pada riwayat-riwayat sebagaimana yang terdapat di dalam Tafsir
al-Qummi dengan sanad dari Hafiz dari Abu Abdillah AS ia berkata: Ayat
ini telah diturunkan, lalu ia mengatakan:
"Maka jika kamu berbantah-bantah tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan RasulNya dan Ulil Amri di kalangan kamu".
Riwayat dalam Tafsir Al-Ayyasyi dari Barid bin
Muawiyah dari Abu Ja'far AS (yaitu riwayat al-Kafi tadi) dan dalam
al-Hadith: Kemudian ia berkata kepada manusia: "Wahai orang-orang yang
beriman, maka ia menghimpun orang-orang yang beriman hingga Hari Qiamat.
Taatlah kamu kepada Allah, dan taatlah kepada RasulNya dan kepada Ulil
Amri dari kalian, khususnya kepada kami", jika kamu takut berselisih
tentang sesuatu perkara, maka kembalikanlah kalian kepada Allah,
RasulNya dan kepada Ulil Amri kalian.
Demikianlah maksud ayat itu turun. Maka bagaimana
mungkin Allah memerintahkan mentaati Ulil Amri dan diizinkan berselisih
dengan mereka. Sementara diperintahkan kepada orang-orang yang
beriman:Taatilah kamu kepada Allah, dan taatilah kamu kepada RasulNya
dan Ulil Amri kamu".
Dalam tafsir Al-Ayyasyi: Dalam riwayat Abu Basir
dari Abu Ja'far AS, ia berkata: Ayat ini turun untuk Ali bin Abi Talib
AS. Lalu aku berkata kepadanya: Sungguh manusia berkata kepada kami:
Mengapa Allah tidak menyebutkan nama Ali dan keluarganya di dalam
KitabNya? Abu Ja'far AS berkata: Katakan kepada mereka: Sungguh Allah
menurunkan perintah solat kepada RasulNya, dan ia tidak menyebutkan tiga
dan tidak juga empat, maka Rasulullah SAW yang menafsirkannya.
Demikian juga perintah haji, Ia tidak menurunkan
perintah tawaf satu minggu, kemudian Rasulullah SAW menafsirkannya
kepada mereka. Demikian juga Allah menurunkan ayat:Taatilah kamu kepada Allah, dan taatilah kamu kepada RasulNya dan Ulil Amri kamu",
turun untuk Ali, Hasan, dan Husain AS. Untuk Ali beliau bersabda:
"Barang siapa menjadikan aku sebagai mawlanya (pemimpin) maka Ali
mawlanya juga".
Dan Rasulullah SAW bersabda:"Aku wasiatkan kepada
kamu dengan Kitabullah dan Ahlul Baytku, sungguh aku memohon kepada
Allah agar tidak memisahkan antara keduanya sehingga keduanya kembali
kepadaku di Haudh, maka Allah mengabulkan hal itu kepadaku".
Lalu beliau bersabda:"Maka janganlah kamu mengajari
mereka karena sesungguhnya mereka lebih alim dari kamu, dan
sesungguhnya mereka itu tidak akan mengeluarkan kamu dari pintu petunjuk
dan tidak akan memasukkan kamu ke dalam pintu kesesatan".
Dan seandainya Rasulullah SAW mendiamkan dan tidak
menjelaskan tentang Ahlul Baytnya niscaya keluarga Abbas, keluarga Aqil
dan keluarga si polan akan mengadakan-adakan. Bahkan Allah menyatakan
dalam KitabNya:"Sesungguhnya Allah hendak
mengeluarkan dari kamu kekotoran (dosa-dosa) wahai Ahlul Bayt dan
mensucikan kamu sebersih-bersihnya" (Al-Ahzab:33).
Maka takwil ayat ini adalah Ali, Fatimah, Hasan dan
Husayn AS, kemudian Rasulullah SAW memegang tangan Ali, Fatimah, Hasan
dan Husayn AS dan memasukkan mereka di bawah al-Kisa (selimut) di rumah
Ummu Salamah, lalu Nabi SAW bersabda:"Ya Allah sesungguhnya setiap Nabi
mempunya tsaqal dan keluarga, maka mereka ini tsaqalku dan keluargaku".
Lalu Ummu Salamah berkata: Tidakkah aku termasuk
keluargamu? Nabi menjawab:"Kamu adalah dalam kebaikan tetapi mereka
adalah tsaqalku dan keluargaku".
Penulis berkata:Dengan riwayat yang sama al-Kafi
meriwayatkan riwayat yang bersanad dari Abu Basir, dari Abu Ja'far AS
dan dari Yasir berbeda dalam perkataan.
Dalam Tafsir Al-Burhan dari Ibnu Syahrasyub dari
Tafsir Mujahid menyatakan: Ayat ini turun untuk Amirul Mukminin, ketika
ia dilantik sebagai pengganti Rasulullah di Madinah, ia berkata: Wahai
Rasulullah apakah engkau mengangkatku sebagai khalifah untuk wanita dan
anak-anak? Rasulullah menjawab:"Wahai Amirul Mukminin apakah engkau
tidak ridha dariku seperti kedudukan Harun di sisi Musa? Ketika ia
berkata kepada Rasulullah SAW :
Apakah engkau mengangkatku sebagai khalifah untuk kaumku dan kemaslahatan mereka? Maka Allah berfirman:"Ulil Amri kalian".
Ia mengatakan: Ali bin Abi Talib diangkat oleh
Allah sebagai pemimpin perkara ummat setelah Nabi Muhammad SAW dan
ketika ia diangkat sebagai khalifahnya oleh Rasulullah SAW di Madinah,
maka Allah memerintahkan hamba-hambaNya mentaatinya dan melarang
berselisih dengannya.
Dalam kitab yang sama darinya, dari Ibanah
al-Falaki menyatakan: Sesungguhnya ayat ini turun ketika Abu Buraidah
mengadu tentang Ali AS.
Dalam al-Abaqat dari Kitab Yanabi al-Mawaddah oleh
Syaikh Sulaiman al-Balkhi dari Manaqib dari Salim bin Qais al-Hilali
dari Ali dalam suatu Hadith, ia berkata: "Yang paling dekat bagi seorang
hamba pada kesesatan adalah tidak mengenal Hujjatullah Tabaraka Wa
Ta'ala, sedangkan Ia menjadikannya sebagai bukti bagi hamba-hambaNya,
yaitu orang yang Allah telah memerintahkan hamba-hambaNya mentaatinya
dan mewajibkan Wilayahnya.
Salim mengatakan: Aku berkata: Wahai Amirul
Mukminin, jelaskan kepadaku tentang mereka, ia berkata: Mereka adalah
orang-orang yang Allah kaitkan dengan dirinya dan NabiNya, kemudian ia
berkata: Wahai orang-orang yang beriman taatilah kamu kepada Allah dan
taatlah kepada Rasul dan kepada Ulil Amri kalian, kemudian aku berkata
kepadanya: Allah menjadikan pengorbananmu lebih jelas bagiku, maka ia
berkata:
Mereka adalah orang-orang yang Rasulullah SAW sabdakan di berbagai tempat dan khutbahnya pada suatu hari di mana Allah memeliharanya:
"Sungguh aku tinggalkan kepada kamu dua perkara berat, jika kamu berpegang teguh dengan kedua-duanya, kamu tidak akan sesat sesudahku, Kitabullah dan Itrahku, Ahlul Baytku, sesungguhnya Allah Yang Maha Lembut dan Maha Mengetahui telah menjanjikan kepadaku bahawa keduanya tidak akan berpisah sehingga keduanya kembali kepadaku di Haudh seperti dua seruan - antara dua zat yang berkumpul berenang menuju kepadanya - dan aku tidak mengatakan: Seperti dua seruan yang berenang dan yang ada di tengah lalu berkumpul menuju kepadanya - maka berpegang teguhlah kamu dengan keduanya dan janganlah kamu mendahului mereka sehingga kamu menjadi sesat.
Mereka adalah orang-orang yang Rasulullah SAW sabdakan di berbagai tempat dan khutbahnya pada suatu hari di mana Allah memeliharanya:
"Sungguh aku tinggalkan kepada kamu dua perkara berat, jika kamu berpegang teguh dengan kedua-duanya, kamu tidak akan sesat sesudahku, Kitabullah dan Itrahku, Ahlul Baytku, sesungguhnya Allah Yang Maha Lembut dan Maha Mengetahui telah menjanjikan kepadaku bahawa keduanya tidak akan berpisah sehingga keduanya kembali kepadaku di Haudh seperti dua seruan - antara dua zat yang berkumpul berenang menuju kepadanya - dan aku tidak mengatakan: Seperti dua seruan yang berenang dan yang ada di tengah lalu berkumpul menuju kepadanya - maka berpegang teguhlah kamu dengan keduanya dan janganlah kamu mendahului mereka sehingga kamu menjadi sesat.
Penulis mengatakan: Banyak sekali riwayat dari para
Imam Ahlul Bayt yang mempunyai makna seperti tadi. Kami hanya mengutip
sebagian riwayat sesuai dengan jalan yang kami kehendaki, tetapi bagi
sesiapa saja yang ingin mengetahui keseluruhan riwayat itu, silakan baca
"Jawa'mi Al-Hadith".
Adapun riwayat yang diriwayatkan dari para mufassir
terdahulu ada tiga kata: khulafa ar-rasyidin, para panglima perang, dan
ulama. Ada riwayat tentang yang ketiga (ulama) adalah orang-orang yang
banyak tertawa, bahwa mereka itu adalah para sahabat Nabi SAW, lalu kata
itu manqul darinya: Mereka itu adalah para sahabat Nabi SAW, para da'i
dan perawi. Dan tampaknya mengaitkan kata itu dengan ilmu, sehingga kata
itu ditafsiri dengan "ulama".
Perlu diketahui juga bahwa pengutipan riwayat
tentang Asbabul Nuzul ayat-ayat ini, banyak terdapat masalah dan kisah
yang bermacam-macam. Tetapi, jika kita kaji dengan cermat dan teliti,
maka tidak perlu diragukan lagi bahwa hal itu menunjukkan adanya
penyeragaman pandangan para perawi. karena itulah kami tidak mengutipnya
sebab tidak ada guna menukilnya.
Tetapi jika anda ingin membuktikannya silakan baca kitab Ad-Dur al-Mantsur, Tafsir al-Tabari, dan sejenisnya.
Daftar Isi
Mengupas Ayat-ayat Kepimpinan 1
Oleh 1
Sayyid Muhammad Husayn Tabatabai 1
Pengertian Ulil Amri dalam Al-Qur’an 2
Kajian Al-Qur'an 3
Perintah Ketaatan Mutlak 8
Pandangan Yang Membataskan Ketaatan Mutlak 11
Pengertian Ulil Amri 14
Kritik Terhadap Pandangan Ar-Razi dan Tafsir Al-Manar Tentang Pengertian Ulil Amri 15
Mengapa Mereka Merahasiakan Hakikat Imamah? 23
Majlis Ahlul Halli Wal Aqdi Setelah Nabi SAW Wafat 26
Ulil Amri Adalah Para Imam Ahlul Bayt AS 31
Kajian Riwayat 40
Tidak ada komentar:
Posting Komentar