SJI'AH RASIONALISME DALAM ISLAM
Oleh : PROF. DR. H. ABOEBAKAR ATJEH
PENGARANG
H. Aboebakar Atjeh lahir di Kutaradja (Atjeh) pada 28 April 1909.
Sesudah menamatkan pendidikannja pada beberapa
sekolah menengah, ia bekerdja pada pemerintah dalam urusan agama, masa
Belanda, Djepang dan Rep. Indonesia.
Disamping sekolah ia beladjar agama dipesantren dan
di Mekkah, pernah ke Mesir dan beberapa kali keluar negeri, diantaranja
dalam urusan mentjetak Qur'an di Djepang.
Sekarang ia mendjadi dosen dalam filsafat dan
agama. Diantara karangannja ialah Sedjarah Qur'an, Sedjarah Ka'bah,
Sedjarah Mesdjid, Pengantar Sedjarah Sufi dan Tasauwuf,, dan Pengantar
Ilmu Tarekat.
Dalam rangka ilmu Perbandingan Mazhab, ia mengarang
"Sji'ah. rationalisme dalam Islam", satunja kitab jang lengkap dalam
bahasa Indonesia mengenai mazhab Sji'ah.
M O T O :
Lebih indah lebih merdu,
Dari suara kuda patjuan,
Dari gemertjing pedang serdadu,
Bertetak tak tentu lawan dan kawan.
Dari semua keindahan jang ada,
Jang dapat membuat mataku terkedip,
Tak ada jang indah dari pada Mentjintai Ali bin Abi Thalib.
Djikalau dadaku mereka buka,
Pasti terdapat dua baris,
Tak ada penulis, tak ada pereka.
Terukir sendiri terguris.
Pertama adil, kedua tauhid.
Tertulis disebelah dadaku,
Jang lain mentjintai Ahlil Bait,
Tergambar disebelah terpaku.
(Asj-Sjafi'i.)
Kepada guru guruku dao ganarasi muda tilam kupersembahkan risalah ketiti Ini.
SAMBUTAN J.M. MENTERI PTIP
Didalam rangka melengkapi kepustakaan buku-buku
tentang berbagai agama sebagai salahsatu langkah penjempurnaan
pendidikan agama di Perguruan-perguruan Tinggi, saja sambut dengan
gembira disertai penghargaan setinggi-tingginja, diterbitkannja kitab
"SJI'AH, RASIONALISME DALAM ISLAM"
jang ditulis oleh sdr. H. Aboebakar Atjeh.
Mengingat betapa mutlaknja pendidikan agama dalam rangka nation dan
character-building.
Dept. PTIP senantiasa berusaha menjempurnakan
pendidikan agama di Perguruan-perguruan Tinggi, baik negeri maupun
swasta. Didalam melaksanakan usaha ini, salahsatu kesukaran jang
dihadapi, terutama oleh para pengadjar pendidikan agama, adalah
kurangnja buku-buku jang tersedia, jang dapat didjadikan bahan untuk
kuliah-kuliahnja.
Oleh karena itu, setiap usaha untuk melengkapi kepustakaan buku-buku pendidikan agama, merupakan bantuan jang sangat berharga.
Semoga para tjendekiawan alim ulama berbagai agama
mengintensifkan usaha-usaha penulisan buku-buku untuk penjemp-rman
pendidikan agama jang vitaal itu.
Djakarta. 29 Desember 1965.
Menteri
Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan
( DR. SJARIF THAJEB )
Brig. Djen. T.N.I.
KATA SAMBUTAN DARI PROF. DR. HAZAIRIN S.H.
Saudaraku H. Aboebakar Atjeh jang kutjintai,
Kembali saudara mengagumkan saja kali ini, dengan
karangan saudara mengenai Sji'ah. Saja telah batja naschah saudara itu,
walaupun, berhubung dengan kesibukan saja, barulah sepintas lalu. Karja
saudara ini sangat penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan Islam
ditanah air kita ini,
Mudah'an Allah S.W.T. memandjangkan usia saudara,
sehingga saudara berkesempatan meneruskan karangan2 saudara sebagaimana
sekarang telah saudara rantjangakan. Demi Allah melihat hasil2 usaha
saudara sampai dewasa ini dalam mengabdi kepada ilmu pengetahuan, telah
lebih dari sepatutnja djika kepada saudara dihadiahkan gelar Doctor
dalam Islamologi, bukan hanja dalam rti penghormatan pribadi sadja,
tetapi sungguh dalam arti berdjasa bagi penjiaran ilmu pengetahuan.
Karja saudara mengenai Sji'ah sangat penting bagi
bangsa kita, istimewa bagi mereka jang tidak berkesanggupan untuk
membatja langsung kitab1 jang berbahasa Arab, ja malahan mereka jang
tahu bahasa Arab belum tentu berkesempatan memasuki bidang ilmu jang
saudara djeladjahi mi.
Pengetahuan tentang Sji'ah memang bukan hanja
penting untuk memperoleh pandangan jang menjeluruh mengenai Islam,
istimewa bagi bangsa kita jang menganut mazhab Sjafi'i jang sangat rapat
perhubungannja dengan Sji'ah, tetapi mengenal Sji'ah itu ada pula
pertaliannja jang langsung dgn. sedjarah perkembangan agama Islam di
Indonesia sendiri. Sebab bukankah Pasei merupakan keradjaan Islam
pertama di Indonesia jg. didirikan oleh kaum Fathimijah dan beberapa
lama beraff.lias i dengan Keradjaan Mesir Fathimijah. Dari Pasei
mendjalar adjaran Sji'ah keseluruh Atjeh, Atjeh kemudian menguasai
daerah jang tjukup luas di Sumatra dan Malaya, sehingga mengakibatkan
keradjaan Minangkabau berpindah agama dari ke-Hindu2an mendjadi Islam
aliran Sji'ah lebih kurang 3 abad lamanja. Dengan pengalahan Padri (Imam
Bondjol es.) jang berafiliasi dengan gerakan Hanbali Su'udi (Wahabi)
barulah tumbang Sji'ah dialam Minang kabau dan dengan hantjurnja pula
gerakan Hanbali Su'udi di Sumatra itu barulah mazhab Sjafi'i menguasai
Sumatra. Tentang hal itu telah keluar sebuah karangan jang sangat
menarik perhatian, dari tangan M.D. Perlindungan berdjudul ,.Tuanku Rao"
(penerbit Tandjung Pengharapan, pertjetakan Fasco, Djakarta, 1965).
Mudah2an karangan saudara baik jang telah
mendahului, baik jang sekarang ini, maupun jang akan datang mengambil
tempat dalam perpustakaan2 universitas2 kita dan mendapat perhatian,
bukan sadja dari tunas muda bangsa kita, tetapi djuga dari golongan tua,
terutama mereka jang hanja mempunjai ilmu Islam setjara jang sepihak
sadja.
KATA SAMBUTAN KOL. DRS. HADJI BAHRUM RANGKUTI, KA PUSROH ALRI, DJAKARTA
Saudaraku Hadji Aboebakar jang mulia.
Dengan bukumu jang baru ini, "Sji'ah, Rasionalisme
dalam Islam," anda telah menjumbangkan suatu karya jang amat bernilai
bagi chazanah perpustakaan Islam. Tidaklah ber-lebih2an djika
kulukiskan, bahwa karanganmu ini membukakan mata Indonesia, teristimewa
para sardjana, alim dan ulama Islam kepada salah suatu aspek daripada
Islam, jang selama ini agak suram tjahajanja dibumi dan langit tjita2
Indonesia.
Oleh sebab betapa mungkin kita dapat memahami rona
rinarwan Islami dihidang kesenian, kesusasteraan dan kebudajaan umumnja,
tanpa mengetahui tjita dan tjita2 Sji'ah sebagai disiarkan oleh tokoh2
Islam di Atjeh, meluas kewilajah jang lebih lebar : Minangkabau, Djawa
dan daerah' lainnja. Bagaimana dapat kita memahami se-dalam2nja latar
belakang Sji'ah, sebagaimana berkembang di Minangkabau dan jang kemudian
menimbulkan Gerakan Islam Putih, ditj'ptakan oleh Datuk Nan Rentjeh,
ber-sama2 dengan Imam Bondjol, Tuanku Rao alias Pongki Na Ngolngolan dan
para perwira didikan Kamang. Ja, bahkan pada hemat saja seluruh
sedjarah Nas'onal Indonesia tidak mungkin kita wudjudkan kembali dengan
luas mendalam, tanpa memperhatikan ''mplikasi tjita dan tjita2 Sji'ah di
Indonesia berabad2 lamania. Malahan ruang2 gelap dalam sedjarah
Sumatra, Djawa dan Malaya hanjalah mungkin kita tierahkan kembali dengan
menjiasati peranan historis para pendukung tj'ta Sji'ah di Indonesia
beberapa abad jang lalu. Demikian djuga mengenai berbagai matjam
sandiwara rakjat, seperti Djula Djuli Bintang Tiga, dimana diharapkan
kedatangan seorang Pemimpin Islam jang akan membebaskan kembali ummat
Islam daripada tiengkeraman malapetaka dan musibat, hanjalah dapat
dipahami djika diketahui bahwa dalam tjita2 Sji'ah diharapkan datangnja
seorang Imam Mahdi jang akan mendjajakan ummat Islam kembali.
Maka unsur2 seni, kesusasteraan dan kebudajaan
sebagai jang di-idam2kan oleh Sji'ah, dengan wadjar saudara telah kupas
seluas2nja dalam bukumu ini, disamping me.ieliti sebab2 muntjulnja paham
rasionalisme dalam Islam ini.
Saja mengharapkan karya selandjutnja dari karangan
saudara ini, misalnja integrasi tjita2 madzhab Sjafi'i dan Sji'i
dihidang kebudajaan dan bagaimana masalahnja dalam sedjarah, demikian
djuga timpa-menimpanja tjita Sji'ah dan Sjafi'i di Minangkabau dan di
Djawa Tengah, jang mengakibatkan lintasan sedjarah jang amat gemilang.
Djika mungkin djuga ikut sertanja pengintegrasian madzhab dan tjita2
Hanafi, sebagai telah dimasjhurkan oleh Laksamana Hadji Cheng Ho di
Mandailing dan Semarang. Dalam hal inilah unik sekali pantjaran Islam di
Indonesia, oleh sebab berbagai madzhab dan aliran ke-Islaman beroleh
paduan jang baru dibumi Indonesia. Saja ingin mengachiri kata sambutan
saja ini dengan sebuah sjair pendek :
Saudara hadji Aboebakar
djadilah kau penaka tjahaja berpendar
membina malam jang baru dan merah fadjar
mengadjak ummat Islam Indonesia
mendekatkan kita sekitar Chatulistiwa
ditaburi oleh malaikat dengan kembang kesturi
Allahu Akbar ………….!
Djakarta" 15 Desamber 1965
(kol drs Had.1l Bahrum Ranpkuti)
KA lait.A.L» Nrp 2/Pt.
PENDAHULUAN
Tudjuan saja menulis kitab ini ialah untuk
memperkenalkan kepada masjarakat Indonesia, jang sedikit sekali
mengetahui tentang mazhab Sji'ah. Mereka hanja mengetahui tentang mazhab
ini dari keterangan-keterangan orang Barat, jang disisipkan dalam
kitab-kitab mengenai Islam, terutama dalam encyclopedy, merupakan uraian
jang tidak lengkap. Oleh karena itu banjak sekali timbul salah faham
dalam kalangan umat Islam Indonesia, jang mengkafirkan semua golongan
Sji'ah dan apa jang bernama Sji'ah. Hal ini tentu tidak benar, karena
disamping terdapat dalam mazhab Sji'ah itu aliran-aliran jang dianggap
oleh Ahlus Sunnah wal Djama'ah tersesat, seperti aliran Saba'ijah,
Chawaridj, dll., jang oleh Sji'ah sendiri djuga dianggap menjeleweng,
terdapat aliran-aliran dalam Sji'ah jang tidak dapat begitu sadja kita
kafirkan, karena mereka djuga orang Islam dan mempunjai pokok-pokok
kejakinan agama (usuluddin), jang sama dengan kita, seperti aliran
Isna'asjar Imamijah, Zaidijah, jang merupakan sebahagian besar daripada
penduduk Irak dan Persi, Jaman, Pakistan, India, dan daerah-daerah lain,
tidak kurang daripada 30% daripada djumlah orang Islam jang sekarang
ditaksir 900 djuta banjaknja.
Dalam saja melakukan penjelidikan tentang sji'ah
ini, saja menempuh djalan Sjaltut, Sjeichul Azhar, jang telah wafat dan
jang pernah mengundjungi negeri kita, jaitu mempeladjari mazhab Sji'ah
ini daripada kitab-kitab mereka sendiri, dari sumber-sumber pokok jang
mereka jakini. Kemudian saja bandingkan dengan pendapat-pendapat jang
terdapat dalam kitab-kitab Ahlus Sunnah wal Djama'ah, kitab-kitab
sedjarah dan karangan-karangan gubahan pengarang Barat dan Timur. Memang
banjak terdapat djuga pengarang-pengarang Sji'ah jang kadang-kadang
sentimen, terutama terhadap kekedjaman jang dilakukan Bani Umajjah dan
Bani Abbas, tetapi djuga sumber-sumber Ahlus Sunnah wal Djama'ah, bukan
tidak dipengaruhi oleh sentimen-sentimen, karena diantara kitab-kitab
jang lama itu kebanjakan ditulis dalam masa pemerintahan Bani Umajjah
dan Bani Abbas oleh ulama-ulama jang memegang djabatan pemerintah atau
oleh pengarang-pengarang jang tentu terbatas dalam mengeluarkan tjara
berpikir menurut pendapat jang sebenarnja.
Ketjaman-ketjaman dan tuduhan terhadap Sji ah, baik
oleh pengarang-pengarang barat, maupun oleh pengarang-pengarang dari
golongan jang menamakan dirinja Ahli Salaf, bahkan uraianuraian jang
terdapat dalam kitab-kitab Ahlus Sunnah, mengenai persoalan-persoalan
jang aneh, seperti hadis jang menjuruh memuliakan keturunan Nabi
Muhammad, nikah mut'ah, kawin bersenang2 atau kawin dalam waktu jang
terbatas, Sji'ah mempunjai Quran tersendiri, Sji'ah banjak mentjiptakan
hadis palsu, Sji'ah mengafirkan dan membentji Sahabat Nabi, Sji'ah
mengaku Ali bin Abi Thalib sebagai seorang Nabi, dll., membangkitkan
keinginan saja mempeladjari golongan ini dengan mazhab-mazhab nja. untuk
mengetahui sampai dimana kebenaran tuduhan itu, terutama dalam rangka
niat saja menulisi perbandingan mazhab, jang terdiri dari tiga karangan
mengenai Ahlus Sunnah, Salaf dan Sji'ah.
Dalam mempeladjari Sji'ah saja menempuh djalan
sebagaimana jang pernah ditempuh oleh Sjajltut, jaichul Azhar, bekas
pemuka „Darut Taqrib bajnal Mazahibil Islamijah", suatu organisasi Islam
di Mesir, jang bertudjuan mempersatukan kembali mazhab-mazhab Islam,
jang sekarang bersaingan satu sama lain. „Damit Taqrib bainal Muzahibil
Islamilah", itu pernah diketuai oleh Sjeich Sjaltut dan ulama-ulama
Azhar kaliber besar, serta menerbitkan suatu madjalah ilmijah, bernama
„Risalatul Islam" jang sudah bertahun-tahun lamanja berisi kupasan2 dari
segala bidang. Kerdjasama itu kemudian membuahkan hasil demikian
hebatnja, sehingga sekarang ini dalam universitas Al-Azhar diwadjibkan
mempeladjari fiqh Sji'ah Dja'farijah, dan Sjaltut sendiri sebagai
Sjeichul Azhar dimasa hidupnja mengeluarkan fatwa bahwa tiap orang Islam
dibolehkan beribadat menurut mazhab Sji'ah Isna 'Asjar Imamijah, karena
hampir tidak berbeda dengan ilmu fiqh Ahli Sunnah wal Djama'ah.
Seorang tokoh ulama Sji'ah terbesar pada masa ini,
Muhammad bin Muhammad Mahdi Al-Chalishi Al-Kazimi, dalam muqaddimah
kitab "Ar-Rihlah al-Muqaddasah" (New York, 1961), karangan Ahmad Kamal,
berkata, bahwa orang mempertengkarkan antara Sji'ah dan Sunnah, sedang
kitab Ahmad Kamal ini memperlihatkan persesuaiannja, dan memperlihatkan,
bahwa perbedaan antara mazhab Sjafi'i dan Sji'ah lebih dekat daripada
antara mazhab Sjafi'i dan Hanafi.
Kitab saja ini merupakan sebuah daripada tiga
serangkai dalam rangka sumbangan saja kepada masjarakat Islam Indonesia,
jang saja namakan „Perbandingan Mazhab", terdiri dari kitab Mazhab
Salaf, kitab Mazhab Ahlus Sunnah wal Djama'ah dan kitab ini, jang saja
beri bernama Sji'ah Ali serta mazhab-mazhabnja.
Sji'ah tidak ta'assub mazhab, penganut Sji'ah dapat
menerima mazhab Sjafi'i. Djuga dalam prinsip tidak anti penganut mazhab
lain. Hal ini ternjata dari utjapan Sajjidina Ali bin Abi Thalib
seperti tersebut dibawah ini :
Artinja : Adapun ketjintaan Nabi Muhammad adalah
orang jang mentha'ati Allah, meskipun djauh hubungan dagingnja. Dan
musuh Muhammad ialah orang jang mendurhakai Allah, meskipun dekat
hubungan keluarganja (Nahdjul Balaghah).
Tidak lain maksud saja supaja karangan ini mendjadi
amal kebadjikan jang dapat diterima oleh Tuhan dan dihargakan oleh
bangsa saja Indonesia. Kepada semua mereka jang telah memberikan
bantuannja kepada saja, dibidang tenaga, pikiran dan ilmiah, saja
utjapkan terima kasih, terutama Sdr. Asad dan Ahmad Shahab, pengurus
Lembaga Penjelidikan Islam dengan perpustakaannja, Sdr. Dhija Shahab
dll. dengan do'a, moga2 amal saudara2 itu dibalas Tuhan dengan balasan
jang berlipat ganda.
Djakarta, tangga! 28 Desember 1965.
Pengarang : H. Abodbakar Atjeh
I. SEDJARAH KEDJADIAN DAN PERKEMBANGAN
1. ISLAM DAN MUSLIM
Islam adalah agama Allah, jang disampaikan dengan
perantaraan Nabi Muhammad kepada seluruh umat manusia. Perkataan Islam
terambil dari aslama jang berarti menjerah diri kepada
peraturan-peraturan Allah, satu-satunja zat jang wadjib disembah dan
ditaati.
Muslim jai'tu penganut agama Islam, orang, jang
tunduk kepada pokok-pokok, usul dan tjabangntjabang , furu', kejakilnan
Islam. Adapun jang dinamakan pokok- Islam itu jaitu. mengenai tauhid,
nubuwah, dan ma'ad. Barangsiapa jarig ragu dan bimbang tentang
pokok-pokok Islam fni, menentang atau menjia-njiakan. bukanlah ia
seorang .muslim, sebaliknja seorang muslim pertjaja sungguhsuragguih
dengan kejakiinan jang tidak ragu-ragu akan ketiga pokok Islam itu,
dengan tidak memperhatikan, apakah imainnija itu didasarkan ikepada
pikiran dan 'kesungguhan, nazar- dan idjtihad, atau berdasarkan ikutan
dan kebiasaan, taqlid dan adawi, asal sadja kesemua kejakiinan itu tidak
bertentangan dengan kebenaran dan tudjuan jang sebenarnja dari Islam.
Adapun pikiran, bahwa 'mentjari alasan dan
mempergunakan akal dalam 'aqfclah, dan tidak boleh bertaqlid. itu hanja
sekedar menundjukkan, bahwa sesuatu taqlid tidak diterima, djikalau
tidak sesuai dengan hakikat jang sebenarnja. tidaklah ragu-ragu jang
demikian itu dapat dibenarkan didalam Islam, karena djika tidak muslim.
Al-Anshari menerangkan dalam kitabnja. Al-Fara'id, bahwa pendirian umum
jang terbanjak dalam Islam mengatakan, bahwa taqlid jang berdasarkan
djazam dan berdasarkan adjaran jang sebenarnja dalam Islam dibolehkan.
Mengenai usul agama jang diwadjibkan bagi semua orang Islam adalah sbb.
I. Mengenai tauhid, tjukuplah kalau seseorang
beriman, bahwa Allah Ta'ala itu satu. berkuasa, berilmu dan berhikmah
T.fctak diwadjibkan dalam tingkat pertama ini mengetahui setjara
perintjian, bahwa Tuhan bersifat zatijah dan bersifat salabijah,
sebagaimana trdak diwadjibkan seseorang mengetahui dengan mendalam 'ain
zat Tuhan atau lainnja.
II. Mengenai nubuwah, tjukup djika seseorang muslim
menge tahui. dan beriman, bahwa Muhammad itu pesuruh Allah, benar
segala beritanja dalam menjampaikan segala hukum, terpelihara daripada
segala kedustaan. Adapun apa jang atjapkali djuga terdapat, bahwa
Rasulullah itu mentjeriterakan djuga tentang sesuatu sifat chusus
mengenai pribadinja, bahwa dia manusia biasa dan sebagainja, tidaklah
diwadjibkan mempertjajainja. Sebaliknja, bahwa ia pesuruh Allah dan
adjaran jang disampaikannja itu merupakan hukum-hukum agama jang datang
dari Tuhan, wadjib dipertjajai dan dilaksanakan sebagai ibadat.
Selandjutnja membenarkan tjeritera, bahwa Nabi
selalu mendengar dan melihat meskipun dalam tidur atau dalam waktu
terdjaga, dapat melihat apa jang terdjadi dibelakangnja sebagaimana ia
dapat melihat apa jang terdjadi didepannja, bahwa ia mengetahui semua
bahasa-bahasa, semua itu memang termasuk tasdiq terhadap kebenaran Nabi,
tetapi tidak termasuk kedalam kewadjiban pokok agama dan mazhab.
III. Mengenai ma'ad diterangkan, bahwa seorang
muslim wadjib i'tikad dan pertjaja. dulu bahwa tiap2 manusia jang sudah
sampai umur akan dihisab oleh Tuhan sesudah ia mati tentang âpa jang
dilakukannja pada waktu hidupnja, bahwa tiap manusia akan menghadapi
balasan perbuatannja. djika baik akan dibalas dengan baik, djika buruk
akan dibalas dgn buruk pula. Adapun persoalanpersoalan mengenai
bagaimana Tuhan menghisab hambanja, bagaimana Tuhan menjediakan pahala
bagi manusia jang berbuat baik, bagaimana Tuhan menjiksa orang-orang
jang berbuat djahat, termasuk kedalam persoalan-persoalan agama jang
bebas, jang tidak ditentukan tjorak kewadfibannja.
Oleh karena itu pokok-pokok adjaran Islam itu dapat
dikembalikan kepada tiga perkara tersebut, pertama tauhid, pengakuan
men-esakan Tuhan, kedua nubuwah, mengaku Nabi Muhammad mendjadi Rasul
Tuhan, dan 'ketiga ma'ad, pertjaja kepada hari pembalasan jang
disediakan Tuhan bagi manusia. Barang siapa jang menentang salah satu
daripadanja, atau tidak mengetahui akan ketiga pokok-pokok adjaran itu,
tidaklah lajak ia dinamakan muslim, baik menurut mazhab Ahli Sunnah,
maupun menurut salah satu mazhab lain jang terdapat didalam Islam.
Selain itu ada djuga pokok-pokok agama jg memang
termasuk djuga unsur-unsur jang wadjib diketahui, jang biasanja hampir
semua mazhab dalam Islam tidak bertentangan satu sama lain dengan
perbedaan jang menjolok, seperti wadjib sembahjang, wadjib puasa, wadjib
hadji, wadjib zakat, terlarang kawin dengan ibu atau saudara, dan
lain-lain masaalah. Tidak ada perselisihan terdapat antara satu sama
lain jang pokok, tetapi hanja dalam perintjiannja, jang didjamin
kemerdekaannja oleh Islam, jang satu agak berlainan daripada jang lain.
Sebabnja, menentang salah satu hukum daripada hukum-hukum itu sama
artinja dengan menentang nubuwah, menentang pengakuan kebenaran dari
Muhammad, serta mendustakan apa jang sudah ditetapkan didalam Islam.
Dengan ringkas dapat kita simpulkan, bahwa
perbedaan antara usul dan furu' dalam Islam itu ialah, bahwa jang
pertama, barangsiapa jang, tidak mendjalankan usul Islam itu ia keluar
daii Islam, baik ia tidak mendjalankannja karena tidak mengerti atau
karena sebab jang lain; kedua barangsia jang tidak mendjalankan furu2
jang wadjib dalam Islam, seperti dalam sembahjang da zakat, meskipnu
diakui dalam hatinja berasal' dari Nabi. maka ia tetap orang Muslim,
tetapi Muslim jang berbuat dosa besar dan fasik.
Batja kitab "Ma'asj Sji'ah", karangan M. Djawad Mughnijah.
2. ALIRAN DALAM ISLAM
Umat Islam dalam masa Nabi Muhammad bersatu bulat
dalam segala-galanja. Tidak ada terdapat mazhab dan aliran ketika itu.
Nabi Muhammad merupakan kesatuan sumber dalam ilmu dan amal, dalam
perintah dan ketha'atan, suri teladan untuk seluruh kehidupan. Sumber
itu ialah imengenal agama dan mempeladjari wahju Tuhan jang
disampaikannja, jang tidak ada sesuatupun dapat mengatasinja dalam
kebenaran. Djika terdjadi sesuatu perbantahan dan perbedaan faham,
utjapan Nabi adalah hakim jang memutuskan, jang harus ditha'ati, dan
tidak ada pendapat lain dari pada itu. Dalam Qur'an diperintahkan djclas
: "Apabila kamu berbeda faham tentang sesuatu persoalan, kembalikan
keputusannja kepada Allah dan Rasul" (Qur'an, An-Nisa, 58). Tidak ada
terdapat ketika itu dua matja.m fikiran jang bertentangan, melainkan
dikembalikan untuk mendapat keputusannja kepada Allah dan Rasul dalam
masa Nabi Muhammad itu masih hidup dan dapat ditjapai oleh umatnja.
Sesudah Nabi Muhammad wafat, umat Islam tetap
bersatu dalam kejakinan dan perkataannja, bahwa Tuhan Allah itu satu,
bahwa Muhammad itu Rasul Allah, bahwa Qur'an itu datang dari pada Allah,
bahwa hari kebangkitan itu benar, bahwa hisab itu benar, dan sorga dan
neraka pun benar ada dan akan terdjadi, sebagaimana tidak terdapat
perselisihan faham diantara mereka tentang sesuatu hukum agama jg sudah
ditetapkan dan diperintahkan mendjalankannja oleh Rasulullah, seperti
sembahjang. zakat, hadji, puasa dll. perintah agama jang diwadjibkan
dengan djelas.
Mereka hanja berselisih faham dan tentang pandangan
dan idjtihad, baik mengenai usul pokok agama dan kejakinan. maupun
mengenai urusan hukum fiqh dan tasjri', tetapi tidak mengenai
pokok-pokok dasar Islam, jang dapat mengeluarkan salah seorang jang
berbeda faham itu dari agamanja. Mereka tidak berselisih tentang ada dan
satu Tuhan, tetapi berselisih tentang sifatnja, apakah sifat itu
merupakan zat Tuhan atau tidak. Mereka tidak berselisih tentang Nabi
Muhammad benar Rasul Tuhan, tetapi berbeda faham tentang terpelihara
dosanja sebelum atau sesudah dbangkitkan atau sebelum dan sesudah
dibangkitkan. Mereka tidak berselisih bahwa Qur'an itu wahju Tuhan,
tetapi berbeda faham, apakah ia qadim atau hadits. Mereka tidak
berselisih tentang pokok kejakinan mengenai kebangkitan manusia pada
hari kemudian tetapi berbeda fikiran, apakah jang dibangkitkan itu tubuh
djasmaninja atau tubuh rohaninja. Mereka tidak berselisih tentang
sembahjang itu wadjib, tetapi kadang-kadang berbeda faham dalam
menentukan hukum mengenai ibahagian-bahagiannja, apakah masuk rukun
sembahjang jang wadjib dikerdjakan atau tidak. Mengenai perintjian
inilah mereka berbeda faham, dan oleh karena itu terdapat dalam kalangan
umat Islam beberapa aliran agama mengenai perintjian itu jang
berbeda-beda.
Sesudah wafat Nabi, umat Islam itu berbeda-beda
fahamnja mengenai beberapa pokok agama jang kembali kepada iman dan
kejakinan dalam hatinja, sebagaimana mereka berbeda faham dalam
'beberapa masalah perintjian atau furu' dan tasjri' dalam menetapkan
sesuatu hukum jang belum djelas dalam agama mengenai amal seseorang,
apakah wadjib, haram atau djaiz. Lalu terbahagilah umat Islam itu dalam
beberapa aliran, seperti golongan Asj'ari dan golongan Mu'tazilah, jang,
mempunjai pandangan jang berbeda-beda mengenai 'aqidah dan usul agama,
jang merupakan iman dan i tiqad orang Islam, meskipun mereka tidak
berbeda dalam masalah furu' dan tasjri' mengenai amal perbuatan.
Sementara itu ahli-ahli hukum fiqh, seperti Hanafi, Maliki, Sjafj'j dan
Hanbali, berbeda-beda fahamnja dalam menetapkan hukum furu', meskipun
mereka sepakat mengambil pokok-pokok usul mazhab Asj'ari untuk dasar
kejakinan mereka.
Demikianlah keadaannja dengan ulama-ulama Sji'ah,
jang kadang-kadang sepaham mengenai usul agama, tetapi berselisih
pendapat dalam mas'alah hukum fiqh. Kesepakatan dalam usul-usul pokok
kejakinan agama, tidak memestikan sepakat dalam hukum fiqh dan furu',
serta sebaliknja. Demikian pendirian seorang ulama Sji'ah terkemuka
Muhammad Djawad Mughnijah dalam kitabnja "Asj-Sji'ah wal Hakimun"
(Beirut. 1962) jang kita djadikan bahan pembitjaraan dalam bahagian ini.
Aliran dalam Islam itu banjak, sebagai jang pernah
digambarkan oleh Nabi semasa hidupnja dalam sebuah Hadis, dikatakan umat
Islam akan berpetjah sampai tudjuh puluh tiga firqah, demikian katanja :
"Jahudi akan berpetjah atas tudjuh puluh satu aliran, Nasrani akan
berpetjah atas tudjuh puluh dua aliran, sedang umatku akan terbagi-bagi
dalam tudjuh puluh tiga aliran" (Al-Hadis). Apa jang disabdakan Nabi itu
mungkin terdjadi, sudah atau akan terdjadi, tetapi dalam sedjarah Islam
dapat kita golongkan mazhabimazhab jang banjak itu atas empat aliran
besar jarig pokok, jang akan kita perkatakan disini dengan menjebut
dasar-dasar penditiannja jang utama.
Pertama Sji'ah. Sji'ah ini berbeda pendapatnja
dengan aliran lain diantaranja dalam pendirian, bahwa penundjukan imam
sesudah wafat Nabi ditentukan oleh Nabi sendiri dengan nash.
Nabi tidak boleh melupakan nash ini terhadap
pengangkatan chalifahnja, sehingga menjerahkan pekerdjaan pengangkatan
itu setjara bebas kepada umatnja dan ehalajak ramai. Selandjutnja Sji'ah
berpendirian bahwa seseorang imam jang diangkat itu harus ma'sum atau
terpelihara dari pada dosa besar atau dosa ketjil, dan bahwa Nabi
Muhammad dengan nash meninggalkan wasiatnja untuk mengangkat Ali bin Abi
Thalib mendjadi chalifahnja, bukan otang lain. dan bahwa Ali bin Abi
Thalib adalah seorang sahabatnja jang pertama dan utama.
Kedua Chawaridj. Pokok-pokok pendirian aliran ini
diantara lain dapat kita katakan, bahwa chalifah orang Islam tidak mesti
seorang jang berasal dari suku Quraisj, bahkan tidak mesti dari seorang
Arab. Semua manusia sama. Seorang mu'min jang mengerdjakan dosa adalah
kafir. Kesalahan dalam berfikir dan beridjtihad adalah dosa apabila
terdapat bertentangan dengan fikiran mereka, oleh karena itu 'mereka
mengkafirkan Ali karena menerima tahkim, meskipun tahkim damai antara
Mu'awijah dan Ali tidak dikemukakan setjara merdeka. Mazhab Azraqijah
dari aliran ini berkejakinan, bahwa tiap orang Islam jang menjalahi
pendiriannja, dihukum musjrik. tetap dalam api neraka, wadjib dibunuh
dan diperangi.
Ketiga Mu'tazilah, jang mempunjai lima pendirian :
1. AtTauhid, kejakinan bahwa Allah itu satu dalam zatnja dan sifatnja, dan sifat Allah itu adalah zat Allah sendiri.
2. Al-'Adl, bahwa Tuhan itu adil. jaitu bahwa
manusia itu diberi kemauan merdeka untuk bertindak dan tidak digerakkan
oleh kodrat dan iradat Tuhan sadja.
3. Al-Manzilah bajnal Manzllatain, memberikan
kedudukan diantara dua kedudukan mu'min dan kafir. Orang Islam jang
mengerdjakan dosa besar akan ditempatkan pada suatu tempat antara orang
mu'min dan kafir. Ia bukan orang imu'min karena tidak menjempurnakan
sifat kebadjikan, dan bukan pula orang kafir karena sudah mengutjapkan
dua kalimat sjahadat. Ia tetap abadi dalam neraka, karena diachirat itu
tjuma ada satu sorga dan satu neraka, tetapi diringankan azabnja dan
masih disebut orang Islam.
4. Al-Wa'ad wal wa'id. Dimaksudkan dengan istilah
ini bahwa djika Allah mendjandjikan pahala atas sesuatu kebadjikan,
mesti dikerdjakannja, dan apabila ia mendjandjikan siksaaan atas sesuatu
kedjahatan. maka djandjinja itu pun wadjib ditepati, tidak berhak Tuhan
memberi ampunan atas djandji jang sudah ditetapkan.
5. Amar ma'ruf nahi rrtunkar. Pekerdjaan ini wadjib
berdasarkan akal manusia, bukan berdasarkan kepada perintah Allah dan
Rasulnja.
Keempat Al-Asj'ari, jang menentang
pendirian-pendirian Mu'tazilah jang lima itu. Aliran ini berkata, bahwa
sifat Allah itu bukan zatnja, tetapi sesuatu tambahan atas zatnja. Tiap
manusia berbuat atas kehendak Tuhan, tidak mempunjai kemauan jang bebas.
Allah tidak wadjib memenuhi djandji atas kebadjikan dan atas
kedjahatan, dengan memberi pahala kepada jang berbuat baik dan menjiksa
jang berbuat djahat. Balasan jang berlainan dengan djandji ini boleh
dilakukan Tuhan, karena tidak ada sesuatupun jang mewadjibkan dia
menetapi djandji itu. Selandjutnja aliran ini berpendapat, bahwa orang
jang berbuat dosa besar tidak diletakkan pada tempat diantara orang
mu'min dan orang kafir, dan bahwa ia tidak abadi dalam neraka. Mereka
berpendapat, bahwa amar ma'ruf dan nahi munkar itu diwadjibkan karena
Qur'an dan Sunnah bukan karena penetapan akal manusia.
Demikianlah empat aliran besar, dan dari aliran ini
lahirlah mazhab-mazhab jang banjak itu. jang berbeda satu sama lain
dalam pendirian mengenai usul dan furu'.
Aliran Sji'ah sedjalan dengan Mu'tazilah mengenai
tauhid dan keadilan, dan mcnjalahinja dalam tiga pendirian jang lain.
Orangorang Sji'ah sepaham dengan Asji'ari dalam masa'alah dosa besar dan
dosa ketjil, amar ma'ruf dan nahi munkar. Mereka berbeda dengan
Mu'tazilah dan Asji'ari dalam persoalan wa'ad dan wa'id karena mereka
berkejakinan bahwa Allah selalu menepati djandji bagi mereka jang
berbuat kebadjikan, dan tidak wadjib mendjalankan djandjinja kepada
hambanja jang berbuat djahat, baginja terserah kurnia mengampuninja.
Tidak berhak diputuskan dengan hukum akal, bahwa Tuhan menjalani
djandjinja akan memberi pahala kepada hambanja jang berbuat baik.
3. PERKATAAN SJIAH
Perkataan Sji'ah itu sudah dikenal dan dipergunakan
orang dalam masa Nabi, bahkan terdapat beberapa kali dalam Qur'an, jang
berarti golongan, kalangan atau pengikutan sesuatu paham jang tertentu.
Dalam kamus, perkataan Sji'ah itu atjapkali
diartikan orang pengikut, pembantu, firqah, terutama pengikut dan
pentjinta Ali bin Abi Thalib serta Ahlil Bait Rasulullah. Dalam Kamus
Tad,ul Arus. perkataan Sji'ah itu diartikan suatu golongan jg mempunjai
kejakinan paham Sji'ah, dalam bantu membantu antara satu sama lain,
begitu djuga dalam kamus besar Lisanul Arab. Dalam Azhari diterangkan
bahwa arti Sji'ah itu ialah pengikut satu aliran, jang mentjintai
keturunan Nabi Muhammad dan mentaati pemimpinpemimpin jang diangkat
daripada keluarganja dan keturunannja.
Dalam Qur'an tersebut : "Ini dari Sji'ahnja dan itu
dari musuhnja". (Qur'an). Dalam ajat jang lain disebut : ,.Diantara
Sji'ahnja ada jang berpihak kepada Ibrahim" (Qur'an). Begitu djuga
tersebut dalam Qur'an : ..Bahwa Fir'aun itu meninggikan, dirinja diatas
muka bumi, dan mendjadikan keluarganja djadi Sji'ahnja atau pengikutnja"
(Qur'an). Djadi dapat kita simpulkan, bahwa Sji'ah itu tidak lebih dan
tidak kurang artinja daripada mazhab, sebagaimana kata ini digunakan
untuk mazhab Sjarf'i, Hanafi, begitu djuga perkataan Sji'ah Ali tidak
lain artinja daripada mazhab Ali dan keturunannja.
Dalam masa Nabi penggunaan kata Sji'ah dalam
pengertian berpihak atau memilih golongan Ali sudah terdapat, baik
sebelum maupun sesudah wafat Nabi, sebagaimana jang diterangkan oleh
An-Nubachti, pengarang dalam abad hidjrah ke IV, dalam kitabnja Al-Firaq
wal Maqalat. Ia menerangkan, bahwa seluruh golongan jang terdapat dalam
Islam tidak keluar dari empat aliran paham, jaitu Sji'ah, Mu'tazilah,
Murdji'ah dan Chawaridj. Sji'ah itu ialah suatu golongan aliran paham,
jang berpegang pada Ali bin Abi Thalib, baik dalam masa Nabi, maupun
sesudah wafat Nabi, dikenal dengan ketaatannja dalam keputusan dan
keimanannja, seperti jang diperbuat oleh Miqdad bin Aswad, Salman
Farisi, Abu Zar, Djundub bin Djanadah al-Ghaffari, Ammar bin Jassar. dan
orang-orang jang bersimpati kepada kepribadian Ali bin Thalib.
Orang-orang inilah jang mula-mula menggunakan nama Sji'ah, sebagaimana
dimasa jang silam orang menggunakan kata Sji'ah itu bagi pengikut Nabi
Ibrahim, Musa, Isa dan Nabi-Nabi lain.
Dalam kitab Az-Zinah, karangan Abu Hatim Sahi bin
Muhammad Sadjastani (mgl. 205 H), sebagaimana djug a dalam kitab Kasjfuz
Zunun, djuz III, tersebut uraian tentang perkataan Sji'ah itu seperti
berikut. Lafad Sji'ah dalam masa Rasulullah digunakan untuk menamakan
empat orang sahabat Nabi jaitu Salman al-Farisi, Abu Zar al-Ghaffari,
Miqdad bin Aswad al-Kindi dan Ammar bin Jassar. Kemudian sesudah
pembunuhan atas diri Usman dan pemberontakan Mu'awijah serta pengikutnja
menghadapi Ali bin Abi Thalib. begitu djuga sesudah dikemukakan
penagihan darah Usman maka banjaklah orang-orang Islam memilih
golongan-golongannja, dan dikala itu pengikut-pengikut paham jang
membenarkan Usman dinamakan Usmanijah. dan sebahagian pula jang berpihak
kepada Ali bin Abi Tha'ib dinamakan Alawijah. meskipun perkataan Sji'ah
itu masih terpakai sampai masa pemerintahan Bani Umajjah. Tetapi dalam
masa pemerintahan Bani Abbas atau jang dinamakan Abbsasijah, pemakaian
nama Alawijah dan Usmanijah dihapuskan, lalu timbul dua nama baru bagi
golongan-golongan Islam itu, jaitu nama Sji'ah dan nama Sunnah, dengan
pengertian sampai sekarang masih digunakan untuk mereka jang mentjintai
Ali dan mereka jang mentjintai Usman, ketjuali untuk golongan Chawaridj.
Menurut Firhrasat Ibn Nadim, perkataan Sji'ah utk.
pengikut Ali itu mulai dipakai sedjak perang Djamal, tetapi keterangan
Ibn Nadim ini banjak disangkal orang, jang benar ialah sudah digunakan
sedjak zaman Nabi.
Dalam sebuah kitab jang bernama Ghajatul Ichtisar
fi Achbaril Bujutil Alawiijah al-Mahfuzah minal Ghu'bbar, karangan Ibn
Hamzah al-Hussaini, ketua Madjlis Sjar'i di Halb, jang ditjetak di Mesir
pada pertjetakan pemerintah Bulaq, ada disebut sedjarah .perkataan
Sji'ah itu sebagai berikut : Tiap golongan jg. mengikuti paham seseorang
pemimpinnja dinamakan Sji'ah. dan Sji'ah itu berarti mengikuti, dan
membantu imam itu dalam segala perintah dan i'tikadnja. Tatkala
pemerintahan dipegang oleh Bani Umajjah. banjaklah orang Islam jang
tidak menjukai siasatnja. satu persatu lari dari Bani Umajjah itu kepada
Bani Hasjim. lalu mengikat dirinja dalam suatu persaudaraan, dalam
bantu membantu dan dalam taat-mentaati imamnja. sedjak itu mereka
menamakan dirinja Sij'ah Muhammad, art.nja golongan Muhammad. Ketika itu
tidak terdapat antara Bani Ali dan Bani Abbas perbedaan paham dan
perbedaan mazhab. Tetapi tatkala Bani Abbas berkuasa dan melaku kan
beberapa banjak kesalahan seperti jang pernah dilakukan oleh Bani
Umajjah, terdjadilah perselisihan paham antara Bani Ali dan Bani Abbas
itu. sedjak itu berdirilah golongan chusus jg. dinamakan Sji'ah, sangat
tjondong kepada Bani Ali, mereka menganggap bahwa Bani Ali itu lebih
berhak, lebih utama dan lebih adil daripada golongan jang lain itu. Maka
oleh karena itu golongan Sji'ah itu mendjadikan imam-imamnja dari
keturunan Ali, lalu menamakan mazhabnja itu A'immah al-Imamijah, sampai
kepada Al-Mahdi Muhammad bin Hasan, tidak mau berimam kepada Bani Abbas.
Sji'i adalah petjahan dari kata Sji'ah, jang
berarti penganut Sji'ah dan Tasjaijju, artinja menganut paham
sebagaimana jang terdapat dalam Sji'ah jang telah berbentuk mazhab
tertentu itu. Semua keterangan ini selain daripada jg. sudah kita
paparkan diatas dapat dibatja orang kembali dalam Lisanul Arab, sebuah
encyclopaedi Arab jang lengkap, dalam kitab Basjarat Sji'ah, karangan
Al-Mazandrani, tertulis 1155 H. dalam Madjma'ul Bajan, dan lain-lain
kitab, seperti karangan Sajuthi.
4. SEBAB-SEBAB DAN MASA KELAHIRAN
Muhammad Djawad Mughnijah menjangkal pendapat
penulis Barat jàng mengatakan bahwa sebab-sebab jang melahirkan Sji'ah
itu ialah politik jang ditudjukan untuk menguasai pemerintahan bagi Ali
bin Abi Thalib sesudah wafat Nabi Muhammad. Pandangan jang demikian itu
tidak benar, karena sebab-sebab mengemukakan Ali bin Abi Thalib sebagai
chalifah pertama tidak berdasarkan se-mata2 atas hasrat dan perdjuangan
politik, tetapi jang pertama dan utama berdasarkan kepada nash Nabi
Muhammad jg. mengutamakan Ali sbg. penggantinja sesudah ia wafat. Nash
ini ada jang merupakan perbuatan, dan ada jang merupakan perkataan Nabi
Muhammad sebelum wafat.
Dalam perbuatan Nabi memilih Ali mendjadi
saudaranja, sekali di Mekkah dan sekali lagi sesudah pindah ke Madinah.
Nabi mendidik dan mengadjar Ali dari ketjil dalam adjaran Islam, dan
pernah mengangkatnja mendjadi pembantunja untuk mengadjarkan agama Islam
itu dalam kalangan keluarganja jang sutji. Ali mendampingi Rasulullah
sedjak ketjil sampai mati dalam segala urusan-urusan penting, sedjak
dari urusan da'wah, urusan rumah tangga ' sampai kepada urusan
peperangan jang besar-besar dan berbahaja, Nabi pernah menjerahkan
pandji-pandji peperangan dan tugas-tugas jang utama dalam peperangan,
seperti tugas memerangi Umar bin Wudd dan Marhab, mengurus orang-orang
Nasrani Nadjrau dll. Nabi Muhammad memungut Ali mendjadi menantunya,
mendjadi suami Fathimah, jang ditjintainja. Nabi mentjintai kedua anak
Ali. Hasan dan Husain, jang dinamakan dua keharumannja, dan jang
wadjahnja lebih banjak mirip kepada Nabi daripada kepada Ali,
sebagaimana jang pernah diutjapkan oleh chalifah Abu Bakar. Djadi korban
Ali kepada Nabi Muhammad tidak sedikit, dibandingkan dengan
sahabat-sahabat jang lain. Dihari-hari jang sangt sukar di Mekkah, Ali
adalah temannja jang setia, Ali pernah menggantikan Nabi ditempat tidur
tatkala ia dikepung oleh orang Quraisj jang mendengar Nabi mau hidjrah
ke Madinah. Sesudah kemenangan Islam tertjapai. tugas-tugas jang berat
itu dilandjutkan, misalnja tugas membasmi berhala-berhala kepunjaan
beberapa kabilah Arab jang kuat dalam perlawanannja. Banjak lagi jang
lain lain sikap dan perbuatan Nabi terhadap Ali, sebagaimana jang
disebut orang dalam sedjarab hidup pahlawan Islam ini.
Dalam perkataannja tidak terhitung banjak Nabi
mengutjapkan perkataan-perkataan jang menundjukkan tjinta, kepertjajaan
dan kedudukan Ali sebagai wazirnja dan chalifahnja. Dalam Qur'an Tuhan
memerintahkan kepada Nabi untuk memberi pengadjaran kepada keluarganja
jang terdekat, dan dalam suatu pertemuan makan minum jang
diselenggarakan dua kali atas ongkos Ali dan ajahnja. Nabi -mengatakan
kepada semua keluarganja terhadap Ali : "Ini pewarisku, wazirku,
wasiatku dan chalifahku untukmu sesudah aku mati, dengarlah perkataannja
ta'atilah segala perintah" nja". Dalam sebuah hadis jang lain Nabi
berkata : "Barangsiapa jang mengambil aku mendjadi pemimpinnja. maka
Ali-lah pemimpinnja itu". Diantara dua hadis ini banjak sekali
hadis-hadis jang lain jang menundjukkan kepada keangkatan Ali disamping
Nabi. Misalnja hadis jang berbunji. diutjapkan kepada Ali sendiri :
"Engkau terhadap aku adalah sebagai kedudukan Harun terhadap Musa", dan
hadis : "Ali beserta haq dan haq bersama Ali". Terhadap umum tjukup
diperingatkan kepada hadis jg biasa dinamakan "Hadis Saqalain". dimana
Nabi mengutjapkan menurut riwajat Sji'ah : "Kutinggalkan kepadamu dua
perkara jang berat, pertama Qur'an dan kedua keturunanku dan Ahli
rumahku", sebuah hadis jang djuga dibenarkan oleh perawi-perawi Ahli
Sunnah.
Keterangan-keterangan mengenai wasiat Nabi terhadap
Ali dibitjarakan oleh hampir semua kitab-kitab Sji'ah, diantaranja
dalam kitab A'janusj Sji'ah", karangan Al-Amin. dalam kitab
"Al-Muradja'at", karangan Sjarfuddin dan dalam kitab "DailailusShidiq"
karangan Al-Muzaffar. Tidak ada seorangpun diantara ulama Ahli Sunnah
jang meragu-ragui akan kebenaran hadis2 itu, diutjapkan oleh Nabi
sebagai wasiat kepada Ali. banjak diantara mereka jang menta'wilkan
hadis-hadis itu dengan tjinta dan ichlas Nabi kepada Ali. bukan dengan
hukum penetapan dan keangkatan mendjadi chalifah.
Orang Sji'ah menta'wilkan hadis-hadis itu, bahwa
Nabi telah menentukan wilajah dan chalifahnja kepada Ali, tidak kepada
orang lain, sebagaimana jang telah diutjapkan dalam Hadis: „Tidak ada
pedang lain ketjuali Zulfiqar dan tidak ada pemuda ketjuali Ali",
diriwajatkan oleh Thabari dalam kitab sedjarahnja. III : 17, dan oleh
Ibn Asir dalam kitabnja, III : 74, begitu djuga hadis : „Ali beserta haq
dan haq bersamaan Ali," sebagaimana diriwajatkan oleh Ibn Abui Hadid.
Tarmizi dan Hakim.
Keterangan-keterangan Nabi ini dipegang oleh Sji'ah
tidak dengan menggunakan ta'wil, tidak karena dhan, ta'assub atau
taqlid, dan oleh karena itu sebab-sebab terdjadinja Sji'ah adalah
berdasarkan kejakinan agama, bukan karena politik atau hawa nafsu.
Mengenai hadis-hadis wasiat ini kami persilahkan
membatja keterangan jang lebih landjut dalam kitab jang sudah disebutkan
diatas. dan djuga dalam kitab "Isbahil Washiah lil Imam Ali bin Ali
Thalib" (Nedjef, 1955 , karangan Al-Mas'udi, pengarang kitab sedjarah
jang terkenal "Murudjuz Zahab", jang meninggal tahun 346 H.
Abu Zahrah menerangkan tentang masa lahir Sji'ah
dalam kitabnja "Al-Mazahibul Islamijah". Dan berkata, bahwa Sji'ah itu
adalah suatu mazhab politik Islam jang paling tua, lahir pada achir masa
pemerintahan Usman, tumbuh dan bertambah tersebar dalam masa
pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Selandjutnja ia menerangKan, bahwa
mazhab Sji'ah itu lahir pada waktu peperangan Djamal. Djuga ia
menerangkan, bahwa Sji'ah itu lahir bersamaan dengan lahirnja golongan
Chawaridj. Thaha Husain dalam kitabnja "Ali wa Banuhu", menerangkan,
bahwa mazhab Sji'ah ini adalah sebuah mazhab siasat jang teratur
dibelakang Ali dan anak-anaknja, lahir dalam masa pemerintahan Hasan bin
Ali.
Tetapi orang-orang Sji'ah, diantaranja Muhammad
Djawad Mughnijah jang kita sudah sebutkan diatas, berpendapat bahwa
sedjarah Iahirnja Sji'ah bersamaan dgn. lahir Nash Nabi mengenai
keangkatan Ali mendjadi chalifah. Sahabat-Sahabat Nabi jang terbaik
sudah melihat bahwa Ali adalah tangan kanan Nabi Muhammad. Jang
berpendapat demikian itu diantara lain ialah Ibn Abui Hadid. Ammar bin
Jasir, Miqdad bin Aswad, Abu Zar, Salman Farisi, Djabir bin Abdullah,
Ubaj bin Ka'ab, Huzaifab ak Jamani, Buraidah, Abu Ajjub al-Anshari,
Sahal bin Hanif, Usman bin Hanif, Abui Haisam bin Tahan Abu Thufail, dan
semua Bani Hasjim.
Dalam kitab „Tarichusj-Sji'ah, karangan Muhammad
Hussain al-Muzaffar tersebut, bahwa Muhammad Kurd Ali dalam kitabnja
mengenai Sjam memperkatakan segolongan sahabat-sahabat besar jang telah
mengakui perwalian Ali dalam masa Rasulullah, seperti Salman Farisi.
jang berkata : "Kami membuat bai'at kepada Rasulullah untuk menasihatkan
orang Islam dalam agamanja dan kami mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai
imam dan wali Nabi". Sa'id akChudri pernah berkata : „Orang Islam
diperintahkan lima perkara, jang dikerdjakan tjuma empat dan
ditinggalkan satu perkara". Tatkala ditanjakan kepadanja tentang empat
perkara jang dikerdjakan. ia menundjukkan pertama shalat, kedua zakat,
ketiga puasa dan keempat hadji. Tatkala ditanja lagi kepadanja, apakah
jang seperkara lagi jang ditinggalkan oleh orang Islam. Sa'id mendjawab :
„Mendjadikan Ali bin Abi Thalib wali Nabi". Orang berkata kepadanja,
apakah itu mendjadi sesuatu jg fardhu. Djawabnja : „Betul, jang demikian
itu mendjadi sesuatu jang wadjib".
Adapun keterangan, bahwa jang mengadakan Sji'ah itu
ialah Abdullah bin Saba', pikiran ini berdasarkan faham semata-mata.
Sedikit sekali orang mengetahui tentang Abdullah bin Saba' dan
mazhabnja. Dalam kalangan Sji'ah Abdullah bin Saba' tidak dikenal, dan
orang-orang Sji'ah menjatakan berlepas tangan tentang utjapannja dan
amalnja (Muhammad Djawad Muqhnijah Asi-Sii'ah wal Hakimun, (hal. 2).
Pendapat tentang Abdullah bin Saba' ini berasal
dari pengarang Barat. Dalam salah satu bahagian lain akan kita singgung
kembali mengenai persoalan ini.
5. WASIAT NABI KEPADA ALI
Salah satu perbedaan paham jang besar antara Sji'ah
dan Ali Sunnah ialah, bahwa Ahli Sunnah tidak mau mengaku ada nash
mengenai wasiat Nabi Muhammad tentang pengangkatan Ali bin Abi Thalib
mendjadi chalifahnja sesudah ia wafat. Sudah kita terangkan, bahwa
meskipun seseorang Islam mau mejakini chalifah atau Imamah Ali atau
tidak, ia tidak keluar dari agama Islam, karena persoalan ini merupakan
persoalan mazhab. Tetapi oleh karena kejakinan imamah ini merupakan
dasar perdjuangan pokok daripada gerakan Sji'ah, ada baiknja djika kita
ketahui alasan-alasan agamanja mengenai persoalan itu dan perlainan
alasan dari gerakan Ahli Sunnah. jang selalu menentang adanja nash, jang
mewadjibkan Ali bin Abi Thalib diangkat sebagai chalifah jang pertama
sesudah wafat Nabi.
Ahli Sunnah wal Djama'ah menolak adanja wasiat Nabi
mengenai Ali, berdasarkan diantara lain kepada sebuah hadis, jang
diriwajatkan oleh Buchari dalam Sahihnja daripada Al-Aswad. Kata
Al-Aswad bahwa Aisjah pada suatu hari ditanjakan orang tentang wasiat
Nabi kepada Ali, lalu ia mendjawab dengan keheranan : „Siapa jang
mengatakannja ? Pada waktu Nabi akan wafat, ia bersandar kepada dadaku
dan ia meminta air untuk membersihkan mukanja, lalu ia wafat. Bagaimana
ia meninggalkan wasiat kepada Ali ?"
Hadis ini dikeluarkan Buchari dalam kitab wasiat,
hal 83. djuz jang ke-II dari kitab Sahihnja. djuga disinggungnja dalam
bab Nabi Sakit dan wafat hal 64 djuz ke III dari kitab jang sama
sebagaimana Muslim mengemukakannja dalam djuz ke II. hal 14 dari kitab
Sahihnja. Hadis jang sematjam ini banjak diriwajatkan Buchari dari
bermatjam sumber dan dengan bermatjam lafadh. Dalam kitab Hadis Muslim
dikemukakan sebuah hadis dari Aisjah. jang berkata : „Rasulullah tidak
meninggalkan satu dinar atau satu dirham, atau seekor kambing atau
seekor kuda, serta tidak mewasiatkan sesuatu".
Dalam dua kitab Sahih Buchari dan Muslim dimuat
sebuah hadis berasal dari Thalhah bin Masraf. katanja : „Saja tanjakan
kepada Abdullah bin Abi Aufa, apakah Nabi pernah meninggalkan wasiat ?".
Katanja : „Tidak". Lalu kataku : „Bagaimana ia menulis wasiat kepada
manusia, kemudian ia meninggalkannja ?". Djawabnja : „Ia berwasiat
dengan kitab Allah". Dengan alasan-alasan ini Ahli Sunnah wal Djama'ah
menolak ' adanja wasiat Nabi, jang menjuruh mengangkat Ali sebagai
chalifah sesudah wafatnja.
Tetapi orang Sji'ah mempunjai alasan-alasan jang
tjukup kuat pula untuk menundjukkan nash-nash mengenai wasiat itu dan
mempertahankan pendiriannja, bahwa Nabi Muhammad memang sudah
berkali-kali mewasiatkan agar Ali bin Abi Thalib mendjadi chalifah, jang
akan meneruskan urusan agama Islam. Wasiat itu katanja tidak dapat
disangkal lagi. sesudah Nabi mewariskan kepadanja ilmu dan chidmat
(Al-Musawi. Al-Muradja'at, no 66, hal 234), sesudah Nabi memerintahkan
Ali dikala mati memandiKannja. mengafaninja serta menguburkannya (Ibn
Sa'ad dj. II, bg. 2 hal, 61, dan djuga hadis-hadis lain, sesudah Nabi
meneruskan penjiaran agamanja, melaksanakan djandjinja dan
tjita-tjitanja (Hadis Thabrani, Abu Ju'la, Ibn Mardawaih. Dailumi dll
sesudah Nabi menerangkan kepada umatnja. apa jang akan mereka
pertengkarkan dan menjuruh Ali menjelesaikannja (Dailumi Abu Zar,
Dailumi bin Anas, lih. Kanzul Ummal, VI : 156), sesudah dijelaskan bahwa
Ali saudaranja (Hadis Ummu Sulaim dim Masnad imam Ahmad V : 31. ajah
anaknja Abu Ju'la (sesudah dinjatakan djadi wazirnja (Ahmad, Nasa'i.
Hakim. Zahabi dll), sesudah dinjatakan pemenangnja (Hakim, Mustadrak II :
472), sesudah dinjatakan mendjadi walinja dan orang jang diwasiatkan
(Ibn Abbas), sesudah disebutkan Ali djadi pintu gudang ilmunja (Thabrani
Ibn Abbas. Hakim-Djabir). sesudah digelarkan kampung hikmahnja
(Tarmizi, Ibn Djarir), sesudah Ali dinjatakan mendjadi pintu
perlindungan umat (Darquthnrlbn Abbas), sesudah dinjatakan mendjadi
ketjintaanja, sesudah dinjatakan mendjadi penghulu orang Islam, Imam
Aulia Allah, sesudah ditempatkan seperti tempat Nabi Harun dan Musa,
sesudah diterangkan semisal kepala dan badan dengan dia, dan sesudah
dinjatakan Ali itu dipilih Tuhan untuk dunia ini dsb. Orang Sji'ah
menganggap semua hadis-hadis itu merupakan wasiat atau penundjukan Ali
sebagai gantinja. Mazhab Empat menolaknja, hanjalah karena dianggap
tidak sesuai dengan sesudah kedjadian keangkatan tiga chalifah sebelum
Ali dan keputusan Sji'ah diambil lama sesudah kedjadian itu.
Orang Sji'ah menerangkan, bahwa pendapat Ibn Abi
Aufa. bahwa Nabi ada meninggalkan wasiatnja berupa Kitabullah benar
adanja. tetapi sebagaimana disebutkan dalam hadis "Saqalain", kitab itu
ditinggalkan bersama-sama dengan „'Itrah". keluarganja. jang terpenting
Ali bin Abi Thalib.
Djuga orang Sji'ah tidak menjangkal. bahwa Sitti
Aisjah adalah salah seorang isteri Nabi jang afdhal. tetapi bukan jang
utama dan pertama, karena banjak hadis (diantaranja dari Aisjah sendiri)
menerangkan, bahwa Nabi pernah berkata : "Wanita utama ialah Chadidjah
binti Chuwailid. Fatihimah binti Muhammad, Asjah binti Mazahim dan
Marjam binti Imran, semuanja wanita utama ini isi sorga" (Buchari).
Selain daripada itu tatkala Safijah binti Hujaj menangis karena diedjek
Aisjah dan Hafsah, Nabi menjuruh mengatakan kepada kedua isterinja jang
lain itu, bahwa ia lebih baik daripada mereka, karena ajahnja Harun,
pamannja Musa dan suaminja Muhammad (Tarmizi).
Dengan tidak mengurangi kelebihan Aisjah sebagai
ibu orang mu'min dan isteri Nabi jang disajanginja, orang Sji'ah
menundjukkan beberapa perkara, dimana Aisjah kelihatan agak tidak sangat
keistimewaannja Ali dalam utjapannja. Salah satu sikapnja jang dapat
menggambarkan suasana ini ialah tindakannja dalam peperangan Djamal
Besar, dimana Aisjah dengan tenteranja menghadapi pasukan Ali bin Abi
Thalib. sebagaimana jang diterangkan oleh Ibn Djarir dan Ibn Asir dalam
kitab2 sedjarahnja. Selain daripada itu, pada waktu ia menerangkan kisah
Rasulullah sakit dan digotong dua orang kiri-kanannja, ia hanja
menjebut jang menggotong itu seorang bernama Abbas bin Abdul Muttal'b
sedang jang lain disebut sadja seorang laki-laki, padahal ia kenal
namanja. menurut Ibn Abbas, Aisjah tahu bahwa orang itu adalah Ali bin
Abi Thalib.
Lain tjontoh lagi tentang sikap Aisjah ini terhadap
Ali ialah, bahwa ia lebih banjak berbitjara tentang Ammar daripada Ali,
taikala kedua-duanja datang kepada Aisjah (Masnad Imam Ahmad VI : 113).
Pada waktu itu Aisjah tidak mau berbitjara tentang Ali dan ia
menerangkan, apa jang harus dikerdjakan oleh Ammar.
Penjembunjian jang sematjam ini dari Aisjah tentu
digerakkan oleh rasa kurang senang terhadap Ali. dan oleh karena itu
orang sji'ah menganggap, bahwa banjak hal-hal jang tidak disampaikan
oleh Aisjah mengenai Ali. Nas2 mereka mengenai wasiat dianggap iebih
kuat daripada beberapa hadis umum jang diriwajatkan oleh Aisjah.
Saja peringatkan disini akan suatu perkara antara
Sitti Aisjah dan Ali, dikala Aisjah mendapat tuduhan dari kaum munafik
Madinah, karena ketinggalan kafilah dalam sesuatu peperangan, perkara
jang dikenal dalam sedjarah Islam dengan Hadis Ifki. Dikala itu Ali
mengeluarkan pendapatnja kepada Nabi, jang rupanja menjinggung perasaan
Sitti Aisjah. Kemudian ada pula perkara tanah jang oleh Sitti Fathimah
dianggap berhak menerimanja sebagai pusaka, tetapi oleh Abu Bakar, jang
ketika itu mendjadi chalifah diputuskan, bahwa Nabi tidak meninggalkan
harta pusaka kepadanja. Rupanja kedjadian-kedjadian ketjil ini djuga
mempengaruhi sikap sebagian golongan Sji'ah terhadap mereka jg menduduki
singgasana sesudah wafat Nabi. dengan-akibat'jang berlarut-larut.
Kembali kepada wasiat Nabi kepada Ali, Sji'ah
berpendapat, bahwa hadis-hadis jang digunakan oleh Ahli Sunnah, sebagai
jang kita sebutkan diatas, tidak tjukup sah dan kuatnja untuk menolak
sekian banjak berita utjapan Rasulullah, jang telah membajangkan Ali
sebagai chalifahnja. Hadis-Hadis Aisjah itu menundjukkan keadaan umum,
bahwa Rasulullah tidak meninggalkan 'harta benda, emas dan perak, karena
kita ketahui tak 'ada penghargaannja kepada kekajaan duniawi, tetapi
ada wasiat2 jang lebih penting, jaitu mengenai penjelenggaraan agamanja,
jang ditinggalkannja berupa „Kitabullah dan keluarganja jang sutji.
jang tidak dapat dipisahkan sampai hari kiamat."
Rasulullah telah mewasiatkan kepada Ali pada
permulaan da'wah Islam sebelum lahir, sebelum kuat Islam itu di Mekkah..
dengan perintah Tuhan : "Berikanlah peladjaran kepada keluargamu jang
dekat" (Qur'an). dan tidak putus-putusnja wasiat ini diulang-ulang dalam
berbagai bentuk dan bermatjam utjapan. Imam Abdul Husain Sjarfuddin
al-Musawi dalam kitabnja "Al-Munadjat" (Nedjef 1963), dalam Mab'has ke
II, Muradja'at 20. hal. 144, membitjarakan pandjang lebar ajat-ajat
Qur'an dan hadis-hadis jang bersangkut-paut dengan Chilafah Imamah ini,
tidak kita ulang lagi disini, tetapi tjukup kita mempersilahkan pembatja
mempeladjarinja disana.
Ada sebuah kedjadian jang penting pang dikemukakan
oleh golongan Sji'ah jang menarik perhatian kita dalam pemberian alasan
wasiat ini, jaitu kedjadian dikala Nabi akan wafat, sebagaimana jang
dikemukakan oleh Buchari (II : 18), Muslim dlm. Sahih, Ahmad bin Hanbal
dlm Masnad, dan hampir semua ahli hadis. Tatkala itu Nabi berkata :
"Berikan daku kertas, aku akan menuliskan bagimu sesuatu wasiat jang
dapat mentjegahkan kamu dari kesesatan !" Nabi tidak djadi melakukannja,
tetapi jang mendjadi pertanjaan, apa wasiat jang akan ditinggalkan
Nabi. Setengah sahabat menerangkan, bahwa wasiat jang akan ditulis itu
terdiri dari tiga perkara, pertama bahwa Nabi akan mendjadikan Ali
sebagai wali atau penggantinja. kedua bahwa semua orang musjrik harus
dikeluarkan dari tanah semenandjung Arab, dan ketiga bahwa utusan-utusan
jang datang hendaklah diperlakukan, sebagaimana jang sudah pernah
dilakukan.
Tetapi keadaan politik dan perimbangan kekuatan
ketika itu tidak mengizinkan, wasiat jang pertama itu diumumkan. Sji'ah
menuduh, bahwa banjak sahabat jang melupakannja. Buchari berkata pada
penutup hadis wafat Rasulullah itu, bhw. ia berwasiat tiga perkara,
jaitu mengeluarkan orang musjrik dari djazirah Arab, menerima utusan
sebagaimana jang diterima, kemudian ia berkata, bahwa ia lupa wasiat
jang ketiga. Demikian djuga pengakuan Muslim dan pengakuan semua
pengarang Sunnan dan Masnad (lih. Al-Muradja'at hal. 255).
Banjak pengarang Sji'ah djuga menolak pengakuan
Sitti Aisjah, bahwa Nabi Muhammad meninggal dalam pangkuannja,
sebagaimana jang diakui dalam hadis-hadisnja. Menurut pengarang Sji'ah,
Nabi Muhammad itu wafat dan melepaskan nafas jang penghabisan dalam
pangkuan saiudaranja dan penggantinja (wali), jaitu Ali 'bin Abi Thalib.
Jang demikian itu menurut ketetapan ulama-ulama hadis Sji'ah jang
mutawatir dan kitab-kitab Sahihnja jang mu'tamad. meskipun Ahli Sunnah
berpendapat lain daripada itu (Al-Muradja'at, hal. 255-256).
6. KEIMANAN PADA SJI'AH
Mazhab Sjia'h mewadjibkan kejakinan berpegang
kepada imam, jang selalu harus ada ditengah-tengah masjarakat Islam,
sebagaimana jang pernah terdjadi dalam masa Rasulullah, bahwa semua
orang Islam berimam kepadanja. Imam itu harus merupakan pemimpin dalam
urusan dunia dan urusan agama, seolah-olah ia pengganti Nabi dalam
kekuasaan dan kesempurnaannja, ia menguruskan peradilan, mengepalai
masjarakat. memimpin ketenteraan, mengimami salat, mengurus keuangan
negara, menjelenggarakan kepentingan negara, jang semua perkara-perkara
itu diatur dengan peraturan-peraturan jang chusus jang disiarkan dan
dijalankan oleh pembantu-pembantunja. Semua ini terdjadi pada diri Nabi
dalam masa hidupnja.
Dan oleh karena itu mazhab Sji'ah, terutama Imamijah, tidak mau meninggalkan kesempurnaan itu.
Mengenai masaalah pengangkatan imam sesudah wafat Nabi bagi masjarakat Islam seluruhnja, ada bermatjam-matjam pendapat orang.
Orang Sji'ah berkata, kewadjiman itu dikembalikan kepada Allah, ialah jang akan mengkat seseorang imam bagi 'manusia.
Ahli Sunnah berpendapat, kewadjiban itu tidak dapat
dikembalikan kepada Tuhan, tetapi kewadjiban itu tetap terletak diatas
pundak manusia.
Orang-orang Chawaridj mengatakan, bahwa mengangkat
imam itu tidak perlu sama sekali, tidak merupakan suatu kewadjiban jang
dikembalikan kepada Tuhan, dan tidak pula merupakan suatu kewadjiban
jang dipikulkan kepada manusia.
Seorang ulama Ahli Sunnah, Ala'uddin Ali bin
Muhammad Al-Qarasi (mgl. 879 H), berkata dalam kitabnja bernama "Sjarh
at-Tadjrid" mengenai sedjarah perkembangan kewadjiban pengangkatan imam
sebagai berikut. Dalam menetapkan kewadjiban pengangkatan imam itu, Ahli
Sunnah menetapkan dalilnja atas ldjma' sahabat Nabi, sehingga mereka
itu menganggap pengangkatan penggantian Nabi itu. jang dinamakan imam
atau chalifah itu suatu kewadjiban jang penting. Mereka mengadakan
penetapan ini dikala Rasulullah hendak dikuburkan, dan meneruskan adat
itu pada tiap-tiap kematian seorang imam. Sebagaimana diriwajatkan,
bahwa tatkala Nabi wafat, Abu Bakar lalu berchutbah : "Wahai manusia !
Barangsiapa menjembah Muhammad, Muhammad itu sudah mati, tetapi
barangsiapa menjembah Tuhan Muhammad, Tuhan Muhammad itu tidak akan
mati-mati, oleh karena itu mesti kita selesaikan pekerdjaan ini,
keluarkanlah pendapat dan pandanganmu, moga-moga Tuhan memberi rahmat
kepadamu !"
Maka sesudah utjapan Abu Bakar ini, dari segala
aliran datanglah mereka mengemukakan pengetahuannja. jang membenarkan
pendapat Abu Bakar, bahwa harus ada penjelesaian tentang imam itu, dan
tidak ada seorangpun jang mengatakan tidak wadjib pengangkatan imam
penggantian Nabi itu.
Chawaridj mendasarkan pendiriannja tidak wadjib
mengangKat imam, atas kejakinan, bhw. pengangkatan itu akan menimbulkan
fitnah dan peperangan, karena tiap-tiap suku dan golongan akan
mengemukakan tjalon sendiri, dengan demikian tidaklah akan didapati
persesuaian pendapat diantara golongan-golongan itu. Dengan alasan
demikian Chawaridj menganggap lebih baik menutup pintu pengangkatan itu.
Tetapi djika didapati kata persesuaian mengenai sjarat-sjarat
kesempurnaan imam dan persetudjuan pengangkatannja, barulah mereka
membolehkan 'mengangkat imam itu.
Alasan-alasan Sji'ah Imamijah didasarkan kepada
kanjataan, bahwa pengangkatan imam itu diserahkan kepada Tuhan Jang Maha
Kuasa dan Maha Esa. Ada tiga sebab mereka berbuat demikian. Pertama
penentuan itu tidak terdjadi dengan ichtiar manusia, tetapi atas
kemurahan Tuhan dan belas kasihannja terhadap hambanja, karena imam
itulah jang mendekatkan manusia itu mentaati Tuhannja, dengan memberikan
penerangan dan pertundjuk, dan dialah jang mendjauhkan pengikutnja
daripada ma'siat, melarang mereka dan mempertakutinja mengerdjakan
Kedjahatan-kedjahatan dengan segala akibatnja. Dan oleh karena itu
penundjukan ini sebenarnja wadjib daripada Tuhan sendiri.
Pendirian Sji'ah jang demikian itu didjelaskan pula
oleh Ah Ardabli (mgl. 993 H), seorang ulama Sji'ah Imamijah terbesar,
menerangkan, bahwa alasan kemurahan Tuhan ini. jang dipakai oleh
Imamijah itu tepat, karena dialah jang setepat-tepatnja memilih imam
itu, mendjadikannja. memberikan kekuasaan dan ilmu kepadanja. dengan
taufik Tuhan ia dapat memilih njash jang didjalankan atas namanja. semua
ini terdjadi dengan iradah Tuhan, jang menentukan perkara-perkara dan
kewadjiban. ada jang diperuntukkan buat imam dan ada jang diperutukkan
buat rakjat. jang mentaati imam itu.
Kedua, bahwa Allah dan Rasulnja telah menjatakan
semua hukum-hukumnja, jg. ketjil dan jg. besar, tidak ada pekerdjaan dan
perkataan seseorang manusiapun. jang terluput dimasukkan kedalam
lingkaran hikmah hukum-hukumnja itu. Maka oleh karena itu, bagaimana
mungkin manusia mengangkat seorang imamnja dengan meninggalkan kekuasaan
Tuhan itu baik jang berkenaan dengan urusan keduniaan, maupun jang
bersangkutan dengan kehidupan achiratnja.
Ketiga maka oleh karena itu Sji'ah membuat
perbandingan dengan diri Nabi Muhammad sendiri, jang tidak seorang
djuapun mengangkatnja ketjuali dengan nubuwah, jang hanja berada dalam
tangan Tuhan sendiri, baru diketahui oleh Nabi pada waktu diangkatnja
mendjadi Rasul, ia sendiri tidak berdaja upaja.
Oleh karena itu orang Sji'ah menjimpulkan. bahwa
ichtiar memilih imam itu dikembalikan sadja kepada Allah, tidak ada jang
dapat mengetahui rahasia imam itu, melainkan Allah, hanja Allah jang
dapat melihat kesanggupannja.
Meskipun demikian orang-orang Sji'ah menetapkan
sifat-sifat imam sebagai sjarat, diantara lain, hendaklah ia ma'sum,
karena tudjuan daripada keimaman itu ialah memberi pertundjuk kepada
manusia atas djalan jang benar dan melarang mereka berbuat jang salah.
Oleh karena itu kalau ia sendiri dibolehkan berbuat salah dalam hukum,
bagaimana dapat membersihkan sesuatu dengan kekotoran.
Lain daripada itu seorang imam harus lebih mulia
dan utama dalam mata rakjatnja melebihi rakjatnja dalam ilmu pengetahuan
dan achlak, karena djika dalam hal ini dia tidak lebih afdhal, tentu
ada orang lain jang melebihinja, atau jang menjamainja sehingga tidak
lajak ia mendjadi orang utama bersamaan dengan mengutamakan murid
daripada guru, jang tentu ditjela oleh agama. Lalu orang Sji'ah
mendasarkan pendapatnja kepada firman Tuhan, ajat 35 surat Junus, jang
berbunji : "Katakanlah, bahwa Allah jang menundjuki kepada kebenaran.
Manakah jang lebih patut diikut, jg. menundjuki kepada kebenarankah atau
jang tidak dapat pertundjuk melainkan djika ditundjuki ? Mengapa kamu
ini ? Bagaimanakah kamu ? mendjatuhkan hukum ?".
Ada satu persoalan mengenai keimanan Sji'ah ini, jaitu persoalan sesudah Nabi, mengapa Ali ?.
Sesudah Sji'ah menetapkan nash kewadjiban imam
daripada Allah, mereka berkata, bahwa menurut hukum imam sesudah Nabi
wadjib djatuh kepada Ali bin Thalib, karena dua alasan, menurut alasan
Qur'an dan menurut alasan Snnah.
Pertama, sebagai alasan dari Qur'an, diketemukan
dlm ajat 58 dari surat al-Ma'idah jg kalau diterdjemahkan berbunji
sebagai berikut : ,,Adapun imam kamu itu Allah dan Rasulnja, kemudian
mereka jang beriman, jang mendirikan sembahjang. membajar zakat dan
mereka itu sedang ruku". Ajat ini turun dengan disepakati oleh semua
ahli tafsir mengenai Ali bin Abi Thalib, jang konon ketika itu sedang
ruku, sebagai mendjawab pertanjaan orang, siapa pang harus ditaati.
Kedua, sebagai alasan dari Sunnah orang-orang
Sji'ah mengemukakan sebuah hadis, dimana Rasulullah sedang berbitjara
dengan Ali bin Abi Thalib, jang berbunji demikian : „Engkau terhadapku
seperti Harun dan Musa. Barangsiapa jang ingin mentjari wali (imam),
maka Ali-lah jang akan djadi walinja Engkau saudaraku, engkau tempat
wasiatku, dan engkau akan djadi chalifahku dikemudian hari ", dan banjak
lagi hadis hadis jang lain.
Begitulah selandjutnja, orang Sji'ah mempergunakan
hadis-hadis, jang menundjukkan ketjintaan Nabi kepada Hasan dan Husain
serta keturunannja Ali jang lain, untuk alasan mereka memilih imam dari
Ahlil Bait dan keturunan Nabi dari perkawinan Ali' dengan Fatimah itu.
7. ITIKAD SJI'AH IMAMIJAH
Sji'ah Imamijah adalah penganut mazhab Dja'farijah,
mejakini, bahwa mereka orang Islam ahli tauhid, pertjaja bahwa Tuhan
Allah Satu tunggal dan Muhammad Nabi dan Rasulnja, dan pertjaja djuga
semua apa jang disampaikan' oleh Rasul Tuhan itu. Mereka pertjaja bahwa
agama Islam harus dilaksanakan dengan mengutjapkan dua kalimat sjahadat
dan mendjalankan semua hukum sjara', diantara lain mengenai hukum waris,
hukum nikah. Mereka pertjaja, bahwa iman itu lebih tinggi tingkatnja
daripada Islam, sesuai dengan djawaban jang pernah dberikan oleh Nabi
Muhammad atas pertanjaan seorang Arab, jang datang kepadanja
menerangkan, bahwa ia telah beriman, tetapi Nabi Muhammad menjuruh dia
mengatakan, bahwa ia sudah masuk Islam, karena iman itu adalah kejakinan
jang meresap kedalam hati, tidak terlihat keluar (Qur'an).
Mengenai pokok2 agama, usuluddin, mereka
menerangkan, harus diketahui dengan dalil jang kuat, ilmu jang benar dan
kejakinan jang teguh, tidak tjukup dengan taqlid. dan dhan (was2 dan
ragu-ragu).
Mengenai sifat-sifat Tuhan, mereka berkejakinan,
bahwa Tuhan itu bersifat dengan segala sifat kesempurnaan, bersih
daripada segala sifat-sifat kekurangan, karena jang bersifat kekurangan
itu adalah sesuatu jang baharu, hadis, sedang Tuhan bersifat qadim dan
abadi, berkuasa setjara bebas, mengetahui, hidup, berkehendak,
berbitjara dan benar. Dialah jg. mentjiptakan, jang memberi rezeki
kepada machluknja, Tuhanlah jang menghidupkan dan mematikan segala
machluk. Orang-orang Sji'ah pertjaja, bahwa Tuhan itu adil, jang berbuat
baik diberinja pahala, dan jang berbuat dosa disiksanja. Manusia
berbuat sesuatu tidak terpaksa, tetapi dengan ichtiarnja sendiri, dan
atas ichiarnja inilah Tuhan mengambil tindakan jang bidjaksana. memberi
pahala atau menjiksanja.
Wadjib bagi Allah mengirimkan Rasul-Rasul kepada
hambanja manusia untuk mengadjarkan matjam-matjam hukum dan peraturan,
untuk menerangkan jang halal dan jang haram, untuk memerintahkan berbuat
adil dan bersikap lemah lembut sesama manusia. Tuhan menurunkan
perintah-perintah itu kepada Rasulnja dengan perantaraan Mala'ikat atau
setjara langsung, dan bahwa Nabi-Nabi itu terpelihara daripada dosa
besar dan ketjil, memupunjai sifat-sifat jang baik, jang dapat mendjadi
tjontoh dan suri teladan bagi umatnja.
Sji'ah Imamijah pertjaja, bahwa Muhammad itu adalah
penutup daripada segala Nabi, tidak ada lagi Nabi sesudahnja, dan tidak
ada jang memperserikatkannja dalam kenabiannja, ia Nabi jang lebih
afdhal dari Nabi-Nabi jang lain, wadjib beriman kepadanja dan
membenarkan apa jang disampaikannja daripada Tuhannja. Segala utjapan
dan perbuatan Nabi merupakan hudjdjah atau dasar hukum, wadjib ditaati
dan dipatuhi, tidak diutjapkannja sesuatu dari hawa nafsunja. melainkan
dalam bentuk wahju Tuhan, hukum-hukum jang disampaikannja bukanlah dari
hasil pikiran atau idjtihadnja sendiri, tetapi dari sjari'at Tuhan
semata-mata.
Nabi Muhammad adalah orang jang mula-mula beriman
kepada Tuhan, semua isterinja orang-orang jang beriman, jang sesudah
wafatnja haram dikawini oleh orang lain. Sjari'atnja menghapuskan semua
sjariat Nabi-Nabi terdahulu, dan berlaku sampai hari kiamat.
Dalam pendiriannja terhadap persoalan Imamah dan
Chilafah, Imamijah berkejakinan wadjib adanja kepertjajaan kepada
imam-imam itu. karena mereka merupakan pemimpin umum dalam segala urusan
agama dan dunia, sesudah wafat Nabi, mereka menganggap, bahwa imam-imam
itu dapat mendjalankan dan mengawasi sjari'at jang ditinggalkan Nabi,
mereka merupakan mursjid jang harus ditjontoh dan diteladani. Oleh
karena itu maka hendaklah imam itu merupakan seorang .pemimpin jang taat
kepada Tuhan, seorang jang terdjauh daripada perbuatan fasad dan
munkar, bukan seorang jang mengikuti djalan hawa nafsunja sendiri, imam
itu harus ma'sum daripada dosa besar dan dosa ketjil.
Jang berhak mendjadi imam sesudah wafat Nabi ialah
anak pamannja, Ali bin Thalib, jang telah diwasiatkan dan ditundjuk oleh
Nabi Muhammad sendiri, kemudian anaknja Hasan bin Ali, kemudian
saudaranja. Husain bin Ali, kemudian anknja. Ali Zainul Abidin kemudian
anaknja Muhammad al-Baqir, kemudian anaknja Dja'far as-Shcadiq, kemudian
anaknja Musa al-Kazim, kemudian anaknja Ali ar-Ridha kemudian anaknja
Muhammad al Djawad, kemudian anaknja Ali al-Hadi, kemudian anaknja Hasan
al-Askari, kemudian anaknja Muhammad bin Hasan al-Mahdi, semuanja
berlaku dengan wasiat.
Orang jang menolak kenabian Nabi Muhammad 'dengan
mengatakan bahwa ada Nabi lagi sesudah wafatnja atau ada jang
memperserikatkannja dalam kenabian, orang itu keluar dari agama Islam
dan tidak berhak menamakan dirinja muslim. Tetapi seorang jang
mengingkari keimaman dua belas keturunan jang disebut tadi. tidak keluar
dari Islam menurut orang-orang Sji'ah karena jang demikian itu bukan
suatu kewadjiban agama, tetapi hanja suatu kewadjiban mazhab sadja.
Sji'ah Isna'asjar Imamijah pertjaja, bahwa ada hari
kemudian sesudah hidup manusia sekarang ini, ada soal Munkar wa Nakir
dalam kubur, ada azab kubur, ada sirath, ada mizan atu timbangan dosa
dan pahala, ada hisab, jaitu perhitungan salah dan benar, ada pengakuan
anggota badan tentang perbuatan djahat dan baik, ada pembahagian surat
mengenai amal buruk dan baik, ada pengumpulan manusia dipadang mahsjar,
ada sorga dan neraka sebagai tempat balasan, tidak ada lagi umur tua,
sakit dan mati diachirat, apa jang diingini oleh orang jang berbuat baik
sampai, ada ampunan Tuhan, ada sjafa'at Nabi Muhamad dan lain-lain
urusan hari kemudian.
Mereka pertjaja djuga dalam garis besar ada Luh
Mahfud, ada Qalam, ada Arasj, ada Kursi, tetapi menurut penafsiran
mereka sendiri, jang kadang-kadang sedikit berlainan dengan pendirian
Asj'ari atau Ahli Sunnah wal Djama'ah atau dengan penafsiran
aliran-aliran Islam jang lain.
Sebagaimana kita lihat, itikad Sji'ah Imamijah sama
dengan itikad Ahli Sunnah wal Djama'ah, bahkan sama mengenai persoalan
chalifah sesudah wafat Nabi, jang semua mazhab mengatakan berdasarkan
idjtihad, ketjuali mereka memilih chalifah itu dari keturunan Nabi
Muhammad, karena tidak ada keturunan dari lakilaki, maka dipilihnja dari
keturunan Ali bin Abi Thalib, jang sudah diakui saudara, pengganti dan
menantunja Nabi, sehingga mereka terus-menerus berimam kepada keturunan
Ali bin Abi Thalib itu, dan lantaran itu mereka dinamakan Sji'ah Ali
atau dengan ringkas Sji'ah.
Pernah seorang ulama besar Sji'ah, Imam Abdul
Husain Sjarfuddin al"Musawi, ditanjai apa sebab-sebab Sji'ah tidak mau
mengikuti salah sebuah mazhab djamhur Islam, dalam usuluddin mazhab
Al-Asji'ari dan dalam masaalah furu' (fiqh) salah satu daripada Mazhab
Empat, Hanafi, Sjafi'i, Maliki atau Hanbali. AlMusawi mendjawab dalam
kitabnja jang terkenal "Al-Muradja'a" (Nedjef, 1963), dengan
alasan-alasan Qur'an "dan Hadis jang menurut pendapat saja tidak dapat
dibantah oleh seorang ulama Sunni-pun dalam masanja, bahwa ibadat
golongan Sji'ah dalam usul tidak berpegang kepada Asji'ari dan dalam
furu' tidak berpegang kepada salah satu 'Mazhab Empat, bukanlah karena
menjendiri dalam golongan atau ta'assub mazhab, dan bukan pula karena
ada keraguan tentang kebenaran idjtihad daripada imam-imam besar itu,
bukan karena tidak adilnja, tidak ada amanahnja, tidak mendalam ilmunja
dan sebagainja, terdjauh semuanja daripada persangkaannja-persangkaan
jang djahat itu. Tetapi katanja orang-orang Sji'ah dikala ada
perselisihan paham antara imam-imam mazhab itu, sesuai dengan adjaran
Qur'an dan pertundjuk Muhammad, berpegang kepada perdjalanan atau mazhab
Nabi Muhammad sendiri dan keluarga rumahnja, sumber tempat kedatangan
risalah, sumber tempat kundjungan malaikat, tempat turun wahju Tuhan
kepadanja. Maka baik dalam furu', maupun dalam aqa'id baik dalam usul
fiqh maupun dalam kaidah-kaidahnja, baik dalam mengenal sunnah maupun
dalam mendalami isi Kitab Allah, dalam ilmu achlak dan adab. dalam tjara
menggunakan dasar dan alasan hukum, semua orang-orang Sji'ah kembali
kepada sumber pokok itu, dan beribadat dengan sunnah Nabi dan
keluarganja (hal. 40 Murtadja'at no. 4).
Kemudian Al-Musawi ini membahas alasan-alasan,
mengapa Sji'ah harus berbuat demikian, diantara lain dikemukakannja,
bahwa idjtihad, amanah, keadilan dan kebesaran, tidaklah teruntuk bagi
imam2 Sunni sadja. tetapi djuga, sebagaimana jang ditundjuk Kan oleh
Nabi sendiri djuga terdapat dari kalangan keluarganja. Djika orang
menuduh bahwa Sji'ah menjeleweng daripada adjaran Salf as-Salih, karena
tidak mengikuti imam-imam itu al-Musawj mengatakan, bahwa selain
daripada tingkat sahabat, sudah tidak ada lagi orang mentjontoh djedjak
Salf as-Salih, dan inilah pula sebabnja maka Sji'ah ingin menghidupkan
kembali adjaran itu agar dekat kepada pengertian pesan Rasulullah, bahwa
,,sebaik-baik umatku adalah dlm tiga kurun sesudah wafatku" (hadis)
.Apakah dasar adjaran itu terikat kepada masa sadja atau tjara bertindak
dalam menjelesaikan persoalan Islam ?
Al-Musawi menerangkan nama2 ulama jang hidup dalam
tiga kurun ini jang tidak berpegang kepada adjaran Salaf. Asj'ari
dilahirkan tahun 270 H dan mati kira2 tahun 330 H. Ibn Hanbal dilahirkan
tahun 164 H, dan mati tahun 241 H. Sjafi'i lahir tahun 150 H. mati
tahun 204 H., Malik lahir th. 95 H. dan mati tahun 179 H. Abu Hanifah
lahir tahun 80 H. dan mati tahun 150 H. Adakah mereka bersatu dalam
pendirian mengenai furu' dan mendekai Salaf ? Oleh karena itu Sji'ah
mengambil mazhab imam-imam Ahlil Bait, sedang ummat Islam jang. lain
beramal dengan mazhab Sahabat dan Tabi'in. Al-Musawi bertanja :
"Darimanakah alasan jang mewadjibkan ummat Islam bermazhab kepada mazhab
mereka, dan tidak memperkenankan orang bermazhab kepada Ahlil Bait.
Sedang mazhab Ahlil Bait ini djuga berpegang kepada Kitab Allah, kepada
Sunnah Nabinja, kepada keluarga-keluarganja jang diwasiatkan harus
ditaati, jang merupakan sampan jang dapat menjelamatkan ummat,
pemimpinnja, orang jang dapat dipertjajainja dan pintu ilmu
pengetahuannya" (hal. 42).
Perbedaan-perbedaan antara satu mazhab dengan
mazhab lain dari Ahlus Sunnah wal Djama'ah dalam masaalah furu' tidak
kurang banjaknja, disaksikan oleh ribuan kitab-kitab, bahkan
kadang-kadang lebih banjak daripada perbedaan jang ada pada mazhab
Sji'ah dengan salah satu daripada Mazhab Empat itu. Missal nja dengan
Sjafi'i. Mengapa orang ingin memaksakan kepada ummat Islam hanja Empat
Mazhab itu sadja dan tidak Lima Mazhab, jaitu ditambah dengan mazhab
Ahlil Bait, mazhab jang dianut oleh keluarga Nabi sendiri dan jang
mereka landjutkan sekarang ini. Demikian tanja Al-Musawi dalam kitabnja
jang kita sebutkan namanja diatas ini. Baginja jang dimaksudkan dengan
Ahlil Bait, semua imam dari mazhab manapun djuga, jang sesuai amal
ibadahnja dengan Rasulullah dan keluarganja. Ulama-ulama, jang tidak
sempit hatinja membenarkan pendirian ini, diantaranja lbn Hadjar, jang
pernah menerangkan, bahwa mazhab Ahlil Bait itu adalah mazhab jang
dipimpin oleh ulama-uamanja jang piawai dan aman, jang dapat memberikan
pertundjuk sebagai bintang dilangit, jang apabila sewaktu-waktu ummat
sesat dan meraba-raba, bintang-bintang itulah jang akan mendjadi
pertundjuknja (Al-Muradja'at hal. 53).
II NABI MUHAMMAD DAN ALI
1.ALI BIN ABI THALIB
Ali bin Abi Thalib adalah anak paman Nabi, jang
mengurus dan membela Nabi sedjak ketjil sampai ia diangkat mendjadi
Rasul dari pada penghinaan dan serangan Quraisj, bernama Abu Thalib anak
Abdul Muttalib. Ibunja bernama Fathimah binti Asad bin Hasjim, wanita
Bani Hasjim jang mula-mula masuk Islam.
Ali termasuk salah seorang dari rombongan sepuluh
sahabat, jang sedjak masih hidup sudah didjamin Nabi masuk sorga. Oleh
Nabi Muhammad, Ali didjadikan saudara angkatnja. Nabi mengawinkan Ali
dengan anaknja jang bernama Fathimah Zahra, djuga salah seorang wanita
terdahulu masuk Islam, anak Nabi jang ditjintainja dari perkawinan
dengan Sitti Chadidjah. Baik Ali maupun Sitti Chadiidjah, kedua-duanja
merupakan modal perdjuangan dan kemenangan Nabi dalam menegakkan agama
Islam. Nabi pernah berkata : "Islam berdiri karena pedang Ali dan harta
Chadidjah" (Hasjim Ma'ruf Al-Hasani, Tarkhul Fiqbil Dja'fari, t. tp. dan
t. th., hal. 63).
Ali bin Abi Thalib seorang jang banjak ilmunja,
baik mengenai rahasia ketuhanan (alim Rabbani), maupun mengenai segala
persoalan Islam dan umum. Bagaimana alimnja diterangkan dalam sebuah
hadis Nabi jang berbunji : "Aku kota ilmu pengetahuan dan Ali pintunja."
Tatkala hadis ini didengar oleh golongan Chawaridj, mereka mendjadi
dengki dan tjemburu, terhadap Ali. Bermufakatlah sepuluh orang alimnja
masing-masing hendak beranjakan satu persoalan mengenai ilmu, untuk
mengudji apakah Ali betul-betul alim seperti jang dikatakan Nabi.
I. bertanja : Manakah jang lebih utama, ilmu atau harta?
Ali : Ilmu lebih utama daripada harta karena ilmu itu pusaka Nabi-Nabi, sedang harta, pusaka Karun, Sjaddad dan Firaun.
II. bertanja : Manakah jang lebih utama ilmu atau harta?
Ali : Ilmu, karena ilmu memelihara engkau, sedangkan harta, engkaulah jang harus memeliharanja.
III. bertanja : Manakah jang lebih utama ilmu atau harta?
Ali : Ilmu, karena harta menjebabkan banjak musuh, ilmu menjebabkan banjak teman sahabat.
IV. bertanja : Manakah jang lebih utama, ilmu atau harta ?
Ali : Ilmu, karena harta makin dikeluarkan makin kurang, sedang ilmu makin dikeluarkan makin bertambah.
V. bertanja : Manakah jang lebih utama, ilmu atau harta ?
Ali : Ilmu, karena orang punja harta kadang-kadang
dapat dipanggil dengan nama kikir dan chizit. Sedang orang jang punja
ilmu selalu dipanggil dengan nama megah dan mulia.
VI. bertanja : Manakah jang lebih utama, ilmu atau harta ?
Ali : Ilmu, karena harta banjak pentjurinja dan ilmu tidak ada pentjurinja.
VII. bertanja : Manakah jang lebih utama, ilmu atau harta ?
Ali : Ilmu, karena orang jang punja harta dihisab
pada hari kiamat, sedang orang jang punja ilmu diberi sjafa'at pada hari
kiamat.
VIII. bertanja : Manakah jang lebih utama, ilmu atau harta ?
Ali : Ilmu, karena harta bisa habis karena lama masanja, sedang ilmu tidak bisa habis meskipun tidak ditambah.
IX. bertanja : Manakah jang lebih utama, ilmu atau harta ?
Ali : Ilmu, karena ilmu membuat hati jang punja terang benderang, sedangkan harta membuat kasar hati jang punja.
X. Manakah jang lebih utama ilmu, atau harta ?
Ali : Ilmu, sebab orang jang mempunjai ilmu
termasuk ubudijah. jang diberi pahala oleh Tuhan, sedangkan orang
mempunjai harta termasuk rubudijah.
Demikianlah kita batja tjeriteranja dalam "Mawa'iz
al-Usfurijah" jang menerangkan selandjutnja, bahwa orang-orang jang
bertanja pada Ali itu jang achirnja mengakui akan luasnja ilmu
pengetahuan Ali dan bidjaksananja dalam memberikan djawaban atas
satu-satu pertanjaan.
Ali terkenal salah seorang sahabat Nabi jang paling
berani dan gagah perkasa dalam peperangan. Hampir pada seluruh
peperangan dalam masa Nabi dihadiri oleh Ali bin Abi Thalib dengan
pedangnja jang terkenal, bernama Zulfikar. Ia terkenal pula sebagai
seorang pahlawan jang diserahi tugas membawa pandji-pandji Nabi.
Dalam dunia tasawwuf dan tarekat Ali terkenal
sebagai waliullah, jang selalu dipudji-pudji oleh orang-orang Sufi,
karena mutiara hikmahnja jang pelik-pelik.
Dalam hal berpidato dan sastera Ali terkenal
sebagai salah seorang sasterawan jang lantjar dan sangat petah lidahnja.
Pidato-pidatonja ditjatat dan dikumpul orang mendjadi buku jang
berdjilid-djilid diantaranja bernama "Nahdjul Baliaghah".
Disamping memangku djabatan Chalifah, jang diakui
sah, baik oleh Sji'ah maupun oleh Ahli Sunnah wal Djama'ah, Ali adalah
seorang jang termasuk kedalam golongan penulis wahju, jang disampaikan
oleh Nabi kepada umatnja, salah seorang pengumpul Al-Qur'an dan penuils
tafsirnja. Ali djuga adalah salah seorang chalifah jang pertama dari
Bani Hasjim.
Menurut penetapan Ibn Abbas, Anas bin Malik, Zaid
bin Arqam, Salman Al-Farisi dan lain-lain sahabat jang banjak, bahwa
dialah orang jang mula-mula masuk Islam dan beriman pada Nabi.
Mengenai Ali banjak sekali ditulis orang riwajat
hidupnja, jang ditindjau dari bermatjam-matjam segi hidup. Banjak
hadishadis jang menerangkan keutamaan Ali melebihi sahabat jang
lain-lain. Semua sahabat Nabi, besar dan ketjil segan kepadanja, dan
tidak mau memutuskan perkara-perkara besar sebelum berunding dengannja.
Ibn Taimijah mengatakan, bahwa tidak dapat
disamakan sirna sekali Mu'awijah dengan Ali dalam haknja mendjadi
chalifah. Mu'awijah tidak berhak mendjadi chalifah, karena dia tidak
dapat menjamai Ali dalam ilmu pengetahuannja, dalam persoalan agamanja
dan dalam keberaniannja, begitu djuga. dalam kelebihan-kelebihan jang
lain dan keutamaannja jang hanja sama dengan keutamaan
saudara-saudaranja Abu Bakar, Umar dan Usman. Tidak ada ketinggalan
daripada teman-teman Nabi bermusjawarat sesudah Usman selain Ali. Ada
Sa'ad (bin Abi Waqqash ?) tetapi Sa'ad telah melepaskan kesediaannja
mendjadi chalifah, sehingga seluruh kesempatan ini kembali kepada Ali
dan Usman, dan sesudah Usman terbunuh, bulat segala pikiran umum
mengenai kedudukan chalifah hanja untuk Ali.
Mu'awijah jang menganggap dirinja chalifah
sebenarnja belum diakui orang, dan diberikan sumpah setia tatkala ia
memerangi Ali, dan Ali-pun tidak memerangi dia karena kedudukan
Mu'awijah sebagai chalifah karena ia tidak berhak mendjadi chalifah itu.
Peperangan dimulai krena kezaliman, bukan karena rebutan chalifah,
karena seluruh kesatuan pendapat, hanjalah Ali jang diakui sebagai
chalifah sesudah Usman.
Demikian kita batja dalam kitab "Lawa'ihul Anwar",
karangan As-Safarini al-Hanbali. Dalam kitab itu kita batja lebih Lndjut
pendapat Ibn Taimijah, bahwa ia menolak segala fitnah dan
sangka-menjangka ada perselisihan antara Ali dan Usman, ia menuduh dusta
pendapat orang jang mengatakan, bahwa Ali memerintah membunuh Usman bin
Affan, jang sekali-kali tidak masuk dalam akal jang waras. Ali
bersumpah, bahwa ia tidak membunuh Usman dan tidak rela atas pembunuhan
itu, dan sumpah Ali itu dalam sedjarah hidupnja benar dan tidak
diperselisihkan orang. Ibn Taimijah menerangkan bahwa ada -dua golongan
manusia, golongan jang mentjintai Ali dan golongan jang membentjinja.
Golongan jang mentjintainja mengandung niat menentang Usman dan
berpendapat bahwa Usman berhak dibunuh. Golongan jang membentjinja
menentang Ali dan menuduhnja, bahwa ia sekurang-kurangnja membantu atas
pembunuhan Usman dan tidak mentjegah pertumpahan darah. Perbedaan paham
ini lalu menimbulkan dua golongan, dalam Islam, jaitu golongan Usmanijah
dan golongan Sji'ah. Bagaimanapun djuga perbedaan pahamnja, kedua
golongan ini berpendirian, bhwa Mu'awijah bukan saingan Ali untuk
mendjadi chalifah Nabi sesudah wafat Usman.
Ibn Taimijah melandjutkan tjeriteranja, bahwa
sesudah pembunuhan Usman, segera pada keesokan harinja dilakukan sumpah
setia serempak terhadap Ali. Orang datang berdujun-dujun kepadanja dan
berkata : "Bentangkan tanganmu, kami akan bersumpah setia kepadamu !"
Begitu besar tjinta umat Islam ketika itu kepada Ali. Tetapi Ali masih
menampik desakan massa itu dengan utjapannja : "Penetapan ini bukan
urusanmu. Hanja Ahli Badarlah jang berhak menetapkan aku mendjadi
chalifah atau tidak mendjadi chalifah." Semua Ahli Badar ketika itu
mendatangi Ali dan berkata : "Kami tidak melihat seorangpun selain
engkau jang berhak mendjadi chalifah. Bentangkan tanganmu dan kami akan
memberikan sumpah setia kami kepadamu !" Maka berlakulah sumpah setia
jang sah terhadap keangkatan Ali mendjadi chalifah (hal. 11:326).
Disini terdjadilah pokok permusuhan. Marwan dan anaknja lari dari orang banjak itu untuk membuat onar.
Sesudah Ali diangkat mendjadi chalifah, barulah ia
berasa berhak memeriksa perkara-pembunuhan atas diri Usman, melalui
isterinja dan orang-orang jang dianggap mendjadi saksi atau melihat dan
mengetahui kedjadian itu. Ia memukul anaknja Hasan, mengetjam Muhammad
bin Thalhah karena dianggapnja kurang rapi mendjalankan tugas dalam
mendjaga keselamatan diri Usman. Ada orang mengatakan bahwa Thalhah dan
Zubair tjuma melakukan sumpah setia karena terpaksa, kemudian mereka
pergi ke Mekkah mengadjak Aisjah pergi ke Basrah menuntut bela atas
darah Usman. Maka terdjadilah peperangan Djamal dalam bulan Djumadil
Achir tahun 36 H. Dalam peperangan ini tidak kurang terbunuh manusia
dari tiga belas ribu djiwa banjaknja. Mu'awijah dan
tentara-tentaranjapun keluar dari Sjam menuntut bela kematian Usman
kepada Ali. Tjeritera tentang perbedaan dan perselisihan ini akan kita
bahas dalam bahagian tersendiri setjara terperintji.
Orang membitjarakan dalam hukum tentang keutamaan
sahabat, mana jang lajak mendjadi chalifah lebih dahulu sesudah wafat
Nabi. Ahli Sunnah wal Djama'ah, jang terdiri dari golongan Asarijah,
Asj'arijah dan Maturidijah, menetapkan tertib chaliffah sebagai berikut :
Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Semua ulama sepaham dan sependirian,
bahwa jang berhak mendjadi chalifah sesudah Nabi ialah Abu Bakar sebagai
chlifah I dan Umar sebagai chaliffah ke II. Dibelakang itu terdapat
perselisihan paham. Ahmad dan Imam Sjafi'i, begitu djuga pendapat jang
masjhur dari Imam Malik, jang terutama sesudah Abu Bakar dan Umar ialah
Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Ulama-ulama Kufi, diantaranja
Sufjan As-Sauri, mengutamakan Ali lebih dahulu daripada Usman. Ada ulama
jang memutuskan, tidak boleh membitjarakan, mana jang lebih utama
daripada Usman dan Ali.
Ditjeriterakan orang, bahwa Abu Abdullah al-Mazari
pernah menerangkan, bahwa pada suatu hari Malik ditanjai orang manakah
orang-orang jang utama sesudah Nabi. Ia mendjawab Abu Bakar, sesudah itu
Umar, kemudian ia diam. Lalu orang katakan, bahwa Imam Malik ragu dan
minta kepastian antara Ali dan Usman. Dengan terpaksa Imam Malik
mengatakan : "Saja belum pernah mendapati seorang sahabat jang
membeda-bedakan keutamaan antara Usman dan Ali.
Susunan keutamaan sebagai jang disebut diatas tentu
dilihat dari sudut hukum, tapi djika dilihat dari sudut kekeluargaan
dan nasab, tidak ada seorangpun jang berani mengatakan, bahwa keutamaan
Ali tidak melebihi daripada segala sahabat jang ada. Abu Bakar sendiri
jang menurut kebulatan pikiran umum seorang sahabat Nabi jang utama
sekali, masih mengakui Ali lebih afdhal dari dia.
Ditjeriterakan orang, bahwa Nabi pada suatu hari
mengemukakan pengadjaran kepada sahabat-sahabatnja. Karena pengadjaran
itu sangat penting semua orang ber-desak2 duduk dekat Nabi, agar dapat
mendengar dengan baik. Ali datang kemudian, den oleh karena tidak ada
tempat lagi dekat Nabi ia terpaksa berdiri djauh. Tidak ada seorangpun
jang mau mengalah memberikan tempat duduk dekat Nabi kepadanja. Abu
Bakar melihat Ali dalam keadaan demikian, lalu segera ia bangun dan
memberikan tempat duduknja jang dekat kepada Nabi kepada Ali. Nabi, jang
dengan matanja jang tadjam melihat keadaan Abu Bakar menghormati Ali,
lalu berkata : "Tidak mengerti akan keutamaan, melainkan orang jang
utama djuga."
Ulama-ulama Sji'ah melihat Ali bin Abi Thalib
sebagai sahabat Nabi jang paling utama, dan menetapkannja dengan nash
Nabi berhak mendjadi chalifah sesudah Nabi. Mughnijah menerangkan, bahwa
sedjarah Sji'ah adalah sedjarah keterangan Nabi, bahwa jang berhak
mendjadi chalifah sesudah wafatnja ialah Ali bin Abi Thalib. Dan banjak
sekali sahabat-sahabat besar jang melihat keutamaannja dan
kechalifahannja itu mutlak. Ibn Abil Hadid menjebut diantara
sahabat-sahabat besar itu ialah Ammar bin Jasar, Miqdad bin Aswad, Abu
Zarr, Salman al-Farisi, Djabii bin Abdullah, Ubay bin Ka'ab, Huzaifah
al-Jamani, Buraidah, Abu Ajjub al-Anshari. Sahal bin Hanief, Usman bin
Hanief, Abui Haisam bin Taihan, Abu Thufai, dan semua Bani Hasjim,
semuanja mengatakan bahwa keutamaan mutlak bagi Ali dan chalifah
pertamapun baginja.
Ditjeriterakan bahwa Salman al-Farisi pernah
menerangkan: "Kami bersumpah kepada Rasulullah untuk memberi nasihat
kepada kaum muslimin dan mengimami Ali bin Abi Thalib serta
menganggapnja wali. Abu Sa'id al-Chudri pernah berkata : "Manusia
diperintahkan Tuhan mengerdjakan lima perkara, tetapi jang
dikerdjakannja hanja empat, sedang jang satu perkara lagi ditinggalkan."
Tatkala orang menanjakan kepadanja, apa empat perkara jang dikerdjakan
orang itu, ia mendjawab : "sembahjang, zakat, puasa dan hadji". Tatkala
ditanjakan orang apakah jang satu perkara jang tidak dikerdjkan, ia
mendjawab : "Mengaku pimpinan kepada Ali bin Abi Thalib". Tatkala orang
bertanja kepadanja, apakah itu diwadjibkan dalam Islam, ia mendjawab :
"Memang itu diwadjibkan, sebagaimana diwadjibkan shalat, zakat, puasa
dan hadji".
Sahabat-sahabat jang sependapat dengan itu dapat
kita sebutkan misalnja Abu Zar al-Ghiffari. Ammar Jasir, Huzaifah
alJamani, Abu Ajjub al-Anshari, Chalid bin Sa'id dan Qais bin
Ubbadah.......
Ada orang berpendapat, bahwa Sji'ah itu lahir pada
hari peperangan Djamal, ada jang mengatakan, bahwa ia lahir pada hari
timbulnja golongan Chawaridj. Thaha Hussain dalam kitabnja "Ali wa
Banuhu", mengatakan bahwa Sji'ah itu tersusun sebagai Suatu partai
politik jang teratur untuk mempertahankan Ali dan anak-anaknja, terdjadi
dalam masa Hasan bin Ali.
Mughnijah dalam kitabnja "Asj-Sji'ah wal Hakimyn"
(Beirut, 1962) menerangkan, bahwa pendapat jang mengatakan, bahwa Sji'ah
itu didirikan oleh Abdullah bin Saba', adalah tidak benar, dan utjapan
ini dikeluarkan oleh mereka jang tidak memahami Sji'ah serta sedjarahnja
(hal. 18).
2. NABI MUHAMMAD DAN ALI
Orang-orang Sji'ah mengemukakan hadis-hadis jang
dapat mendjelaskan persaudaraan djiwa antara Nabi Muhammad dan Ali bin
Abi Thalib. Dan sampai dimana pula Ali dapat mewarisi sifat-sifat Nabi
jang ditjintai. Dapat pula kami menarik kesimpulan, bahwa Nabi meratakan
djalan chalifah bagi Ali dalam batas-batas dan sjarat-sjarat jang
ditetpkan dalam Islam. Nabi bersabda:
"Memandang muka Ali adalah suatu ibadat"[1]
, dan djuga sabda Nabi :
"Siapa jang mengganggu Ali, maka berarti ia mengganggu aku."
Al-Jaqubi dalam sedjarahnja bahagian ke II
mengatakan bahwa Nabi sewaktu kembali dari menunaikan ibadah hadjinja
jang penghabisan pada suatu malam, menudju ke Medinah. Sesampainja
ditelaga Chum, pada tanggal 18 Zulhidjdjah, dimana Nabi berpidato seraja
memegang tangan Ali. Diantaranja beliau bersabda :
"Siapa jang mengaku bahwa aku sebagai walinja, maka
Ali inilah Walinja. Hai Allah, sokonglah seseorang jang menjokongnja
dan musuhilah seseorang jang memusuhinja"[2]
.
Dikatakan dalam Tafsir Fachru ar-Razi bahwa setelah itu Umar bin Chattab mengatakan pada Ali sebagai berikut :
"Aku memberi selamat kepadamu. Karena engkau sekarang telah mendjadi wali bagi tiap-tiap Mu'min."
Hadis ini disebut oleh ahli sedjarah jang banjak
dan disebut pula oleh ulama-ulama seperti Turmudzi, Nasaie dan Ahmad bin
Hanbal dan diriwajatkan oleh 16 sahabat Nabi. Djuga disebutsebut oleh
ahli-ahli sedjarah dan sastera sebagai Hasan bin Tsabit, Abu Taman
al-Thaie dan Al-Kumait al-Asa'di.
Dalam kitab Al-Aal karangan Ibnu Chalweh mengisahkan bahwa Nabi pernah mengatakan kepada Ali :
"Mentjintaimu itu adalah iman, dan membentjimu itu
sifat munafik, dan pertama-tama orang jang masuk sorga ialah jang
mentjintaimu, dan jang pertama-tama masuk neraka ialah jang
membentjimu."
Dan semua ahli hadis bersatu paham dan sepakat untuk menjalakan bahwa Nabi sering mengulang-ngulangi utjapan :
"Inilah saudaraku....... "
Dalam hadis jang diriwajatkan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda dihadapan sahabat-sahabatnja :
"Djika kamu ingin melihat pengetahuan Nabi Adam,
kesusahan pikiran Nuh, sifat-sifat Ibrahim, ibadat doanja Musa, umur Isa
dan suluh ilmunja Muhammad, lihatlah kepada jang datang ini."
Maka sekalian sahabat-sahabatnja mengangkat
kepalanja untuk melihat jang datang itu maka nampaklah ia Imam Ali. Pada
suatu ketika, datanglah seorang sahabatnja untuk menjampaikan sebuah
pengaduan kepada Nabi tentang Ali.
Maka mendengar ini Nabi bersabda :
"Apakah jang kamu ingini dari Ali ? (diutjapkannja
tiga kali). "Dia sebahagian daripadaku. Dan dia wali bagi tiap-tiap
mu'min, sesudahku."
Inilah sebahagian dari utjapan-utjapan Nabi, dari
utjapanutjapan ini dapat dimengerti bahwa Nabi merasai suatu matjam
persaudaraan jang sangat istimewa dengan Ali. Dan bahwa Ali merasakan
persaudaraan ini djuga. Selain daripada itu Nabi hendak menarik
perhatian orang-orang kepada sifat-sifat kemanusiaan agung jang nampak
bersinar pada pribadi Ali dan menundjukkan bahwa hanja ia sendiri jang
dapat menjempurnakan sjarat-sjarat seruannja djika Nabi sudah wafat. Ali
dilahirkan dalam Ka'bah, kiblat jang mendjadi kerinduan umat Islam.
Mula-mula jang dilihatnja ialah Muhammad dan Chadidjah sedang
bersembahjang, waktu ia ditanjakan bagaimana ia memeluk agama Islam
tanpa izin ajahnja, ia mendjawab :
"Apa perlunja aku bermusjawarah untuk mengabdi pada Tuhan !"
Selang beberapa lama. Islam hanja berkembang
dirumah Muhammad sadja. Jakni berkisar pada Muhammad, isterinja
Chadidjah, Ali dan Zaid bin Haritsah. Tatkala Nabi mengundang
sanak-keluarganja pada suatu djamuan dirumahnja. Nabi mulai menerangkan
tentang Islam. Maka Abu Lahab memutuskan pembitjaraannja dan menjuruh
hadirin jang lain supaja meninggalkan djamuan makan itu. Pada keesokan
harinja Nabi mengadakan pula djamuan makan, setelah selesai bersantap
maka berkatalah Nabi:
"Saja rasa tak ada seorang jang membawa kepada
sesuatu jang lebih mulia daripada jang kubawa sekarang. Maka siapakah
daripada kamu jang mendampingiku untuk ini ?"
Semua mereka marah dan akan meninggalkan rumah itu. Tetapi Ali jang pada waktu itu masih belum baligh, bangkit lalu berkata :
Hai, Rasulullah, aku menjokongmu. Aku akan
memerangi siapapun jang memerangimu," maka disambut oleh hadirin dengan
tertawaan sambil melihat-lihat Abu Thalib dan anaknja itu. Selandjutnja
mereka meninggalkan tempat itu sambil mengedjek-edjek.
Pada tiap-tiap peperangan jang dikepalai Nabi,
bendera selalu ditangan Ali, ia mengerahkan kepandaian naik kudanja
hanja semata-mata untuk Nabi dan untuk memenangkan risalahnja dalam
medan keperwiraan. Dan musuh-musuhnja mengakui kepahlawanannya. Pada
peperangan Chandaq ia tetap sebagai gunung raksasa, dimana
berdebar-debar hati kawan-kawannja hingga musuh dapat dikalahkan.
Ali pada peperangan Chaibar telah dapat mengalahkan
musuhnja — sesudah Nabi mengepung kota Chaibar beberapa saat tetapi
penduduk Chaibar berteguh membela kotanja sekuat-kuatnja, karena djika
kota ini dikuasai Muhammad tentu tak mungkin lagi bangsa Jahudi
mengadakan gerakan-gerakan rahasianja untuk membunuh Nabi. Dan
pedagang-pedagang mereka akan musnah. Berturut-turut Abu Bakar dan Umar
bin Chattab mengadakan serangan-serangan terhadap kota itu, tetapi
serangan-serangan itu gagal sama sekali. Setelah itu Nabi menjerahkan
tentara pada Ali jang menjerang kota Chaibar, mentjabut pintu gerbangnja
jang besar itu dan kemudian didjadikan sebagai tameng. Hingga dengan
demikian kota Chaibar ini djatuh ketangan tentara Islam. Disini ada
terdapat suatu keanehan. Karena sedjarah mengenal pahlawan-pahlawan jang
gugur dalam perdjuangan untuk menegakkan suatu îdiologi, walaupun
mereka memilih perdamaian djika mungkin dan dapat serta ingin
mendjelmakannja keadaan normal, jang sudah barang tentu mereka tiada
ingin menempuh peperangan.
Sedjarah mengenal pahlawan-pahlawan jang gugur
dalam menuntut tudjuan-tudjuan jang mulia. Tetapi kepahlawanan dan
keagungan itu tidak berupa suatu perbuatan dalam djangka jang lama, jang
dapat membajangkan betapa gambar-gambar dari maut dan kesedihan jang
mengintainja. Karena terdjadinja itu terbatas kala semangat
berkobar-kobar dan kadang-kadang dibawah perlindungan kawan-kawan dan
pengawasan mereka. Tetapi Ali berlainan lagi, ia berdjuang untuk
menegakkan idiologi. jaitu idiologi Muhammad — untuk kebenaran dan
persaudaraan, dengan perdjuangan jang tak ada bandingannja alam
sedjarah. Karena perdjuangan itu merupakan persatuan dua buah tubuh
manusia. Dua pribadi besar.
Sewaktu manusia ini hendak meninggalkan kota
Makkah, mereka selalu berkejakinan bahwa tentara Quraisj akan
menjusulnja, oleh karena Muhammad mendjalani djalanan jang tidak pernah
dilalui orang biasa, apalagi pada waktu-waktu jang tiada
tersangka-sangka pula. Pada suatu malam Muhammad bersiapsiap untuk
meninggalkan Mekkah. Kaum Quraisj menjediakan orang dan pemuda-pemuda
jang kuat-kuat untuk membunuhnya. Mereka mengepung rumahnja sepandjang
malam supaja Nabi tidak berkesempatan untuk melarikan diri. Tetapi pada
malam itu pula Muhammad meminta supaja Ali tidur ditempat tidur Nabi
dengan memakai selimut hidjaunja. Dan Ali untuk sementara tetap taat
untuk menjampaikan amanat-amanat kepada orang-orang jang menjimpan
sesuatu pada Nabi. Perintah itu dilaksanakan oleh Ali dengan gembira dan
bersenang hati,, seperti biasanja pada tiap-tiap pembelaannja.
Pemuda-pemuda Quraisj mengepung rumah Nabi. Dan menunggu-nunggu seraja
melihat-lihat dari lobang pintu. Pada malam jang agak larut mereka
melihat seseorang sedang rebah ditempat tidur Nabi, orang ini ialah Ali.
Tetapi mereka menjangka bahwa jang sedang tidur itu ialah Muhammad.
Nabi sudah berada dirumah Abu Bakar — akan keluar
menudju gua Tsaur. Kedua mereka disusul oleh pasukan berkuda Quraisj,
tetapi tiada pernah menemukannja. Ini suatu pengorbanan jang akan
didjalankan oleh Ali — ia tidur ditempat tidur seseorang jang akan
dibunuh. Ia insaf dan mengetahui, bahwa maut sedang mengintai dihadapan
matanja. Tetapi betapapun ia akan menjambutnja dengan gembira untuk
menjelamatkan saudara sepupunja Muhammad.
Pertalian batin antara Muhammad dan Ali berlangsung
dengan teguhnja. Mereka berdua bahu-membahu untuk mentjapai
tjita-tjitanja. Tali kebatinan ini — jang memang sudah dimulai pada masa
Abu Thalib dan masa perhubungan Ali dengan Muhammad, semendjak mereka
bertiga berdiam dalam sebuah rumah. Rumah inilah jang dapat menjaksikan
keunggulan Muhammad. jang dalam pada itu reaksinja nampak pada pembelaan
Abu Thalib, dan pada pikiran jang besar, serta perasaan mendalam.
3. MENGAPA ALI DITJINTAI SJI'AH
Abdul Halim Mahmud dalam bukunja "At-Tafkirul
Falsafi fil Islam" (Mesir, 1955) menerangkan, bahwa ketaatan Sji'ah
kepada Ali tidaklah bertentangan dengan adjaran Islam umum, jang
mewadjibkan taat kepada Allah, taat kepada Rasulnja dan taat kepada Ulil
Amri, sehingga golongan Sji'ah ini memasukkan sebagai salah satu
kejakinannja, bahwa mentaati imam itu adalah salah satu rukun jang wadjb
dalam Islam.
Sebab-sebab terdjadinja kejakinan Sji'ah ini sudah
berlaku sedjak zaman Rasulullah. Perdjalanan hidup Rasulullah baik
sebelum maupun sesudah mendjadi Nabi tidak terlepas daripada kepribadian
Ali bin Abi Thalib. Ketika mentjeriterakan asal kedjadian Sji'ah, Abdul
Halim Mahmud menerangkan, bahwa orang tidak boleh lupa hubungan
kekeluargaan antara Muhammad dengan Abi Thalib, bahkan dengan Abdul
Muttalib. Kita batja sedjarah, apa jang diperbuat oleh Abdul Muttalib
terhadap Muhammad, apa jang diperbuat oleh Abi Thalib terhadap kehidupan
dan pembelaan atas diri Muhamad, bagaimana memelihara Muhammad itu
lebih daripada anaknja sendiri Ali, ketika ia mengawinkannja dengan
Chadidjah, beban kekeluargaan ini hampir-hampir tidak terpikul olehnja.
Achirnja Muhammad, sesudah berumah tangga dan berpenghidupan, segera
meringankan beban itu dengan mengambil Ali, jang diakui adiknja, dan
Abbas mengambil tanggung djawab tentang Dja'far.
Tatkala Nabi diangkat mendjadi Rasul, Ali masih
berumur dua belas tahun, dan Nabi melihat bahwa Ali belum pernah dahinja
kotor karena sudjud kepada berhala, karena berbuat sesuatu kemaksiatan,
sebagaimana jang terdjadi dengan anak-anak Quraisj jang lain. Ali
memeluk agama Islam setjara jang sangat murni dan bersih.
Mundur madju Ali sebelum memasuki Islam,
semalam-malaman ia berpikir, sehingga tidak dapat memedjamkan matanja.
Achirnja ia memutuskan dan menerangkan kepada Nabi memeluk agama Islam,
dengan tidak bermusjawarat lebih dahulu dengan ajahnja. Katanja :
"Memang Tuhan sudah mentakdirkan tidak berunding lebih dahulu, karena
tidak ada keperluan bermusjawarat dalam beribadat kepada Tuhan." Ibn
Hisjam mentjeritakan, tatkala Rasulullah keluar ke Sji'ab Mekkah mau
sembahjang, Ali bin Abi Thalib mengikutinja dengan diam-diam. dengan
tidak setahu ajahnja, paman-pamannja dan seluruh keluarganja, lalu
sembahjang berdua dengan Nabi Muhammad. Sesudah selesai dan istirahat
sebentar, kembali pulang berdua-dua (Sirah, hal. 263).
Tatkala turun ajat jang berbunji : "Berilah chabar
pertakut kepada keluargamu jang terdekat," Nabi Muhammad mengundang
keluarganja makan dirumahnja dan berbitjara dihadapan mereka itu,
mengadjak menerima adjaran Tuhan. Abu Lahab memutuskan pembitjaran Nabi,
dan mengadjak pengikutnja meninggalkan pertemuan itu. Nabi Muhammad
mengadakan lagi esok harinja undangan makan. Sesudah habis makan, Nabi
berkata : Tidak ada kuketahui orang-orang jang lebih baik daripada kamu
ditanah Arab, jang datang pada hari ini. Moga-moga ketabahanmu itu
membawa kebadjikan dunia achirat. Sesungguhnja Tuhanku telah
memerintahkan kepadaku untuk mengadjak kamu sekaliannja kepada
adjarannja. Siapakah diantara kamu jang akan membantuku (Juwasiruni) aku
dalam meneruskan pekerdjaan ini? Sunji senjap, tidak ada sahutan, tidak
ada djawaban jang dapat menampungnja. Semua mereka itu membalik
kebelakang, meninggalkan pertemuan itu. Tetapi Ali lalu bangun tegak
berdiri berkata dengan lantang : "Aku ja Rasulullah jang akan
membantumu. Aku sedia memerangi siapa jang akan memerangimu !" Bani
Hasjim jang hadir itu semuanja tertawa terbahak-bahak, pandangan mereka
itu berpindah dari Abu Thalib kepada anaknja jang masih ketjil. Kemudian
mereka itupun meninggalkan tempat itu sambil mengedjek (Dr. Haikal,
Hajat Muhammad, hal. 140).
Siapa jang menolong djiwa Nabi pada waktu hidjrah
ke Madinah ? Rasulullah menjuruh Ali pada malam hidjrah itu tidur diatas
tempat tidurnja, dan berselimut dengan selimutnja burdah hadrahmi jang
hidjau, dan menjuruh dia tinggal beberapa waktu di Mekkah ?
Di Madinah Nabi mempersaudarakan sahabat-sahabatnja
Muhadjirin dengan Anshar, agar tidak tjanggung dan merasa asing, agar
bersatu dalam kekeluargaan sebagai saudara kandung sebiran tulang,
tjinta mentjintai, setia dan kasih sajang. Maka terdjadilah persaudaraan
jang belum pernah dikenal sedjarah manusia, ikatan kekeluargaan jang
lebih daripada saudara kandung. Nabi mengambil tangan Ali bin Abi Thalib
dan berkata kepada umum : "Ini saudaraku !" Maka mendjadilah pula
persaudaraan antara Rasulullah dan Ali bin Abi Thalib (Ibn Hisjam,
Sirah, hal 18).
Memang bukan ikatan lahir sadja jang memperkokohkan
hubungan antara Rasulullah dengan Ali, tetapi djuga ikatan bathin jang
tidak bisa dipetjah tjeraikan antara satu sama lain. Rasulullah mendidik
Ali itu sedjak ketjil, dan Ali itu hidup dirumahnja sebagai salah
seorang anaknja. Ali adalah orang laki-laki jang mula-mula masuk Islam,
saudaranja, menantunja jang dikawinkan dengan anaknja Fathimah jang
sangat ditjintainja. Ali seorang jang perkasa dan berani, seorang
pembela Rasulullah jang tidak ada taranja, seorang jang ichlas, seorang
jang takwa, seorang zahid jang tidak usah diperpandjangkan lagi
tjeritanja. Tiap mata orang Islam, baik dahulu dan sekarang, baik ia
pernah mendjadi sahabat Nabi atau hanja mengenal kehidupan Nabi dalam
sedjarah hidupnja mengakui jang demikian itu.
Inilah jang menjebabkan Dr. Thaha Husain berkata
dengan segala kebenaran : "Djikalau ada orang Islam sesudah wafat Nabi
mengatakan, bahwa Ali itu adalah orang jang terdekat kepadanja, seorang
asuhannja, seorang chalifah dalam bentuk adjaran jang dituangnja,
seorang saudaranja jang ditjap demikian, seorang menantunja, seorang
bapak pengikutnja, seorang petugas jang kebanjakan kali membawa
pandji-pandjinja, seorang kepala rumah tangganja, seorang jang dipanggil
Rasulullah dalam Hadisnja bahwa ia mengambil tempat kedudukan kepadanja
sebagai Harun terhadap Musa, djikalau orang-orang Islam itu berkata
terang-terangan jang demikian itu semua dan memilih Ali sebagai chalifah
jang tepat sesudah Nabi Muhammad, mereka jang berkata itu tidak memutar
balikkan apa jang terdjadi" (Usman, hal. 152).
Demikian kata Dr. Thaha Husain, bukan dalam
mempertahankan pendirian Sji'ah, tetapi dalam mendjelaskan kebenaran
jang terkandung dalam kejakinannja, apa sebab orang-orang Sji'ah itu
mentjintai Ali demikian rupa, sehingga ketjintaan itu termasuk kedalam
adjarannja. Kata Dr. Abdul Halim Mahmud, bahwa jang demikian itu tidak
mengherankan, karena semua sahabat Nabi melihat bahwa Ali bin Abi Thalib
lebih mulia dari Abu Bakar, Umar dan lain-lain. Jang berpendapat
demikian itu diantara lain ialah Ammar, Salman Farisi, Djabir bin
Abdullah, Abbas dan anaknja, Ubaj bin Ka'ab, Hanifah dan lain-lain. Ini
dapat dibatja orang dengan djelas dalam kitab Fadjarul Islam pada hal.
327. Ketjintaan ini berubah mendjadi fanatik, tatkala orang jang
merupakan mutiara dalam mata Rasulullah dan sahabat-sahabat terkemuka
itu dibunuh oleh Ibn Muldjam setjara kedji, dan anak tjutjunja ditjela
dan dihinakan setjara kotor.
Memang pergeseran ini sudah terasa djuga oleh Ali
sendiri pada waktu perundingan memutuskan memilih Abu Bakar mendjadi
chalifah ganti Nabi. Sudah kelihatan ketika itu bahwa Ali merasa dirinja
lebih berhak. Kedjadian ini ditjeriterakan dalam sebuah hadis jang
diriwajatkan oleh Buchari dari Jahja bin Budiair dari Aisjah, jang
menerangkan bahwa Fathimah anak Nabi mengirimkan seorang utusannja
kepada Abu Bakar untuk memintakan bahagiannja dari peninggalan
Rasulullah di Madinah dan di Fadak, begitu djuga ketinggalan pembajaran
chumus daripada rampasan chaibar. Abu Bakar mendjawab, bahwa Rasulullah
pernah berkata : "Kami Nabi2 tidak waris-mewarisi, apa jang kami pernah
berkata: "Kami Nabi2 tidak waris-mewarisi, apa jg. kami tinggalkan
adalah sedekah". Dan oleh karena itu Abu Bakar menetapkan : "Demi Tuhan,
aku tidak berani mengubah sesuatu daripada kedudukannja sedekah
Rasulullah itu, begitu keadaannja dizamannja, begitu pula aku laksanakan
sekarang ini. Abu Bakar tidak memberikan apa-apa kepada Fathimah,
sehingga kedjadian itu menimbulkan rasa sedih hati Fathimah terhadap Abu
Bakar jang tidak habis-habis. Ia meninggalkan Abu Bakar tidak
berbitjara dengan dia lagi sampai ia mati. Enam bulan Fathimah hidup
sesudah wafat Nabi, kemudian ia meninggal dunia. Ia dikuburkan oleh
suaminja Ali dengan tidak memberi tahukan kepada Abu Bakar. Kelihatan
kepada orang- perobahan air muka Ali tatkala ia menjembahjangkan
isterinja. Kemudian menghendaki bi'at terhadap keangkatan Abu Bakar,
tetapi Ali tidak mau melakukannja. Kita tidak tahu. apakah jang
terdjadi, djika Abu Bakar tidak mendatangi Ali dan berkata : "Kami akui
kemuliaanmu, kami melihat apa jang diberikan Tuhan kepadamu, kami tidak
iri hati melihat kebadjikan jang pernah dikaruniakan Allah kepadamu,
tetapi engkau bersifat keras kepada kami, kami termasuk keluarga
Rasulullah jang menerima nasib sematjam ini." Abu Bakar mengeluarkan air
matanja tatkala mendengar utjapan jang sedih itu, seraja berkata :
"Demi Allah, sesungguhnja keluarga Rasulullah itu lebih aku tjintai
daripada keluargaku sendiri. Adapun perasaan jang tumbuh antaramu dengan
daku mengenai harta benda itu, tidaklah merusakkan kebadjikan. Aku
tidak akan meninggalkan mengerdjakan suatu perkara jang kulihat
dikerdjakan oleh Rasulullah sendiri." Maka kata Ali kepada Abu Bakar,
bahwa ia akan menangguhkan bi'atnja. Setelah Abu Bakar sembahjang lohor,
ia lalu naik kemimbar menghadapi umum, menerangkan keadaan Ali jang
mengundurkan bai'at, dan meminta kepada umum mengundurkan diri. Kemudian
ia mengutjapkan istighfar. Tatkala itu Ali bangkit dan mengutjapkan
bi'at sumpah setia, sehingga naiklah kembali kebesaran dan kekuasaan Abu
Bakar itu. Keterangan Ali, bahwa ia tidak menghilangkan kebesaran Abu
Bakar. Dan tidak iri hati terhadap kelebihan jang dikurniakan Allah
kepadanja, tetapi Ali melihat untuk dirinja memang telah mendjadi nasib
sebagai keluarga Nabi, membuat orang2 Islam jang hadir ketika itu
bergembira sangat, sambil berkata : "Kebenaran disampingmu, dan orang
muslimin menjusun diri kepada Ali, sehingga kembalilah Ammar Ma'ruf
sebagai biasa."
Demikian ini hadis Buchari tersebut. Bagaimanapun
disembunjikan, kelihatan ada apa-apa antara Ali dan Abu bakar pada waktu
menetapkan chalifah jang pertama sesudah wafat Nabi. Sebagai orang
Sunnah dapat kita memahami, bagaimana kesulitan Abu Bakar ketika itu tak
ubah sebagai menating minjak penuh, dari satu sudut ia ingin melakukan
kebidjaksanaan menerima dirinja diangkat dan disetudjui oleh orang
Anshar dan Muhadjirin, cari lain sudut ia mengakui kehormatan ada pada
keluarga Nabi, dan dari lain sudut pula sukar memenuhi permintaan
Fathimah dan Ali mengenai harta pusaka, karena ia hendak mendjalankan
sepandjang wasiat Nabi. Tetapi orang-orang Sji'ah lebih dahulu melihat
hal-hal jang merusakkan perasaan keluarga Nabi jang terdekat, dan oleh
karena itu sebagai manusia barang pasti ia berpihak kepada Ali.
Dengan demikian Ali memberikan sumpah setianja
kepada Abu Bakar sebagai seorang mu'min jang ichlas, jang imannja benar,
jang ketaatannja dalam segala urusan Islam dapat diudji. Dengan menekan
perasaan ia mendjalankan hidupnja sebagai jang terdapat pada
pembawaannja, ia tetap zahid, ia tetap takwa, ia tetap mempergunakan
pikiran sebagai seorang jang melimpah-limpah ilmunja, ia tetap hidup
wara', tulus ichlas dalam mendjalankan agamanja. Ali tetap menundjukkan
tjontoh jang tinggi dalam mentjapai keridhaan Allah lebih daripada
kepentingan dirinja.
Masa berdjalan terus. Abu Bakar wafat, pimpinan
berpindah dan chalifah beralih kepada Umar. Dan Umar mendjalankan
tugasnja dengan segala kekuatan jang ada padanja untuk mentjapai
keridhaan Tuhan. Ali tetap sebagaimana nasibnja dalam masa Abu Bakar,
tetapi ia tetap pula memantjarkan sinarnja jang gemilang serta
memberikan tjontoh jang utama.
Tidak ada jang lebih lajak diserahi chalifah
sesudah Umar melainkan Ali. Suasana menantikan kedjadian ini, karena ia
termasuk ahli kerabat Nabi, karena ia termasuk orang-orang jang
mula-mula masuk Islam, karena kedudukan Ali dalam mata kaum muslimin,
dan kalau dilihat pertjobaan-pertjobaan atas dirinja dalam menempuh
djihad fi sabilillah, kalau dilihat perdjalanan hidupnja jang belum
pernah menjimpang, kesungguhan dalam melakukan agama, keistimewaannja
dalam memegang kitab dan sunnah, ketetapan hatinja dalam menghadapi
segala kesukaran. Dalam segala keadaan ia terkemuka, dalam segala
suasana ia melebihi orang lain. Tetapi meskipun demikian banjaklah suara
untuknja, dipilih orang djuga Abu Bakar, karena dianggap lebih tinggi
kedudukannja pada Nabi karena dianggap dialah salah satu sahabat setia
dalam gua Hira', dan karena dialah jang diperintahkan Nabi mengimami
salat untuk kaum muslimin beberapa saat sebelum Nabi wafat. Meskipun ia
dikemukakan lebih dari Umar, Umar djuga jang diangkat djadi chalifah,
karena ia dianggap lebih tjakap dan karena wasiat jang ditinggalkan Abu
Bakar untuk memilih Umar itu.
Djika sekiranja Ali dipilih dan diangkat ketika
itu, pasti orang tidak mendapat kesukaran, karena Umar sendiri telah
menjatakan kepentingan tersebut, dan karena kedudukan pribadi Ali
sendiri dalam mata umat membenarkannja. Apalagi djika ditjindjau dari
sudut tjinta suku dan asabijah Arab umum, tjinta suku-suku Quraisj, jang
melebihkan kedudukannja daripada Abdurrachman bin Auf. Ali lebih dapat
diterima oleh Quraisj, Ali lebih dapat diterima oleh Mudhar, Ali lebih
dapat diterima oleh Rabi'ah, Ali lebih dapat diterima oleh suku-suku
Jaman, karena ada hubungan keluarga dengan bermatjam-matjam kabilah itu.
Djika Ali menduduki singgasana chalifah sebelum ada terdjadi
perpetjahan, pasti ia akan merupakan seorang tokoh jang dapat
memperdekatkan rasa dari suku2 Arab jang djauh itu, pasti Ali dapat
mengumpulkan semua suku-suku itu untuk mentaatinja dan membawa suku2 itu
kepada kedjajaan. Tetapi sebagaimana kata Umar ada sebab2nja orang
tidak memilih dia mendjadi chalifah : pertama ketakutan Quraisj, bahwa
kechalifahan itu akan tetap dimonopoli oleh Bani Hasjim, djika dimulai
dengan salah seorang dari tokoh Bani Hasjim itu. Padahal kenjataan
menundjukkan, bahwa jang demikian itu tidak akan terdjadi, sebagaimana
Umar, Alipun akan mengikuti djedjak Nabi, jang tidak akan mendjadikan
chalifah itu pangkat warisan.
Dan dengan alasan-alasan itu Ali tidak djadi
dipilih mendjadi chalifah, jang diangkat orang lain lagi, jaitu Usman
bin Affan Ali tetap dalam keadaannja, dalam keadaan murni, dalam keadaan
menekan diri mengikuti petundjuk dan memberi tjontoh utama.
Suasana makin sehari-makin mendjadi katjau.
Perasaan suku-suku bangsa Arab timbul meluap-luap, jang achirnja
berkesudahan dengan suatu pembunuhan kedjam atas diri Usman. Barulah
orang sadar mentjari suatu tokoh jang dapat mengatasinja, barulah orang
melihat kembali kepada kedudukan Ali dan pengaruhnja. Memang Ali
diangkat mendjadi chalifah, dan meskipun tidak diangkat mendjadi
chalifah, akan terdjadi dengan sendirinja karena suasana, tetapi
kekatjauan sudah memuntjak.
Meskipun sebagai chalifah, Ali tidak berubah
pembawaannja. Sebagaimana ia hidup sebelum kemenangan-kemenangan Islam,
begitu djuga ia hidup sesudah kemenangan-kemenangan itu. Ia hidup
demikian sederhananja, hingga mendekati hidup kemiskinan dan djelata.
Tidak ada keluasaan, tidak ada kemakmuran dalam rumah tangganja. Apa
jang diperoleh dari usahanja di Janbu'.
itulah jang merupakan satu-satu penghidupannja,
tidak berlebih dan tidak bertambah. Tatkala ia mati, ia tidak
meninggalkan ribuan, djika dibanding dengan orang lain jang meninggalkan
harta pusakanja lipat sepuluh, lipat seratus dan lipat miliunan. Orang
besar ini dikala wafatnja hanja meninggalkan untuk keluarganja
sebagaimana keterangan Hasan anaknja dalam chotbah, hanja tudjuh ratus
dirham, jang disediakan untuk membeli seorang budak jang akan
dimerdekakannja.
Memang Ali terkenal sederhana, bahkan ia terkenal
dengan hidup sufi, pada waktu ia memangku djabatan chalifah dalam waktu
jang singkat itu, semua mata dapat melihat bahwa ia diantara chalifah
Islam jang memakai badju kasar dan bertambal, jang mengepit kendi dan
berdjalan dipasar, jang mengadjar dan mendidik keluarganja seperti
pernah dilakukan oleh Umar bin Chattab. Keadaan itu semua menundjukkan
kepada Umar kebenaran firasatnja, tatkala ia berkata : "Djika orang
mengangkat sigundul djambang, tentu kedjajaan akan berkembang" (Usman,
Thaha Husain, hal 154).
Sungguh tak dapat dipungkiri, bahwa Ali adalah
tjontoh jang murni dalam agama dan achlak, orang baru melihat kemudian
sesudah ia diangkat mendjadi chalifah sesudah wafat Usman, dikala
keadaan sudah katjau, peraturan-peraturan sudah banjak dilanggar.
Ali disuruh menghadapi suasana jang genting itu.
Dan memang Ali meskipun sudah terlambat, ingin membawa manusia itu
kedjalan achirat, karena suasana ketika itu penuh dengan keduniaan jang
merusakkan, ia ingin membawa manusia itu kembali kepada Tuhan, meskipun
kehidupan mereka telah sangat dikuasai oleh harta benda. Masa
pemerintahannja dalam arti jang sedapat-dapatnja penuh dengan sabar dan
merendah diri, menentang hawa nafsu sjahwat, kegemaran kemabukan dunia.
Tetapi sajang pada achir pemerintahannja ia djatuh tersungkur dalam
tangan Abdurrahman bin Muldjam. Ketika itu menanglah kembali bahwa nafsu
sjahwat kegemaran dunia itu bersama dengan kemenangan Mu'awijah. Dunia
menang untuknja, tetapi achirat menang untuk Ali, sebagai orang jang
asjik dan ditjintai Tuhan. Kemenangan ini belum pernah didapat Ali dalam
masa hidupnja, barulah tatkala ia kembali kepada Tuhannja dapat beroleh
kekajaan dan kemakmuran jang tidak terbatas. Sampai disaat ia dibunuh,
sampai disaat ia melepaskan darah dan djiwanja jang sutji murni, ia
tetap berbuat amal salih. ia tetap sutji, ia tetap bersih, ia tetap
hendak mendekati Tuhan, apa jang lebih baik daripada itu baginja.
Kehidupan inilah jang membuat Sji'ah mentjintai
Ali, sebagaimana Salman Farisi mentjintai sanak keluarganja Rasulullah.
Kelemah-lembutan dan penderitaan Ali menjebabkan tjinta jang tidak
terbatas, dan kekedjaman jang dilakukan orang terhadap dirinja
menimbulkan golongan-golongan, seperti golongan Sji'ah dalam
bermatjam-matjam bentuknja; jang masih dapat menahan dirinja dalam
batas-batas ke-Islaman hanja mentjintainja sebagai seorang sahabat dan
keluarga Nabi jang istimewa, jang tidak dapat menahan perasaannja jang
meluap-luap mengangggapnja berdjiwa sutji. Maka timbullah didalam Sji'ah
itu golongan-golongan itu, seperti Sji'ah Imamijah, Sji'ah Zaidijah,
Sji'ah Ismailijah, Sji'ah Churabiah, Sji'ah Kisanijah dll.
Maka dalam menentukan pendirian golongan-golongan
itu perlulah bagi kita pengetahuan jang luas tentang Sji'ah itu, untuk
mengetahui mana golongannja jang benar, jang dekat dengan Ahli Sunnah,
dan mana golongan2 jang salah, jang tidak dapat diterima i'tikadnja oleh
adjaran iman dan Islam jang kita anut. Pada pendapat saja setelah
mempeladjari beberapa buku Sji'ah, baik jang dikarang oleh alim ulamanja
sendiri maupun jang disusun oleh pengarang-pengarang diluar aliran ini,
tidak dapat begitu sadja kita mengkafirkannja seluruh aliran Sji'ah,
sebagaimana jang pernah dilakukan oleh Tgk. Abdussalam Meraksa dalam
bukunja "Firqah-firqah Islam", jang pernah ditjetak dengan huruf Arab
dan disiarkan setjara luas di Atjeh.
4. ALI DAN ANAK-ANAKNJA
Dua buah kedjadian dipeperangan di Shiffin ini
patut mendapat perhatian. Jang pertama ialah dimana Mu'awijah untuk
pertama kali dapat menguasai lembah Furat, dimana kemudian dia dengan
sombongnja melarang lawannja untuk mengambil setitik airpun dari sungai
itu. Namun setelah Ali dapat menguasai sungai itu kembali, dia
membolehkan, malah mengandjurkan untuk mengmbil air disungai itu bagi
lawan-lawannja.
Kemudian Ali mendaki sebuah bukit untuk memanggil
Mu'awijah supaja dia tampil kemuka untuk bertanding. Maka Amr al-As
menegur Mu'awijah dengan utjapan : panggilan itu adalah adil ! Tetapi
Mu'awijah mendjawab : Tamaklah kau pada kekuasaan, maksudnja ialah,
djika aku bertanding, pasti aku terbunuh, dan engkau akan menggantikan
kedudukanku. Seterusnja Amr tampil sendiri kehadapan Ali. Ali dapat
mengalahkan Amr. Untuk melindungi dirinja dari pedang Ali, Amr membuka
auratnja, Ali memalingkan mukanja dan meninggalkan Amr, karena dia tidak
mau melihat aurat lawannja, aurat jang mendjadi perisai bagi dirinja.
Ali mendapat kritikan jang hebat, mengapa djustru
dia membolehkan musuhnja untuk mengambilkan air, sesudah mereka diusir
dari lembah sungai itu. Dan mengapa pula dia meninggalkan Aamr ?.
Sepintas lalu kritikan-kritikan itu memang dapat
dimengerti. Tetapi betapapun harus pula diingat bahwa Ali adalah seorang
jang memiliki sifat kemanusiaan achlak jang ulung dan djiwa jang besar
sekali. Sifat ini ada padanja disembarang waktu. Baik dia dimasa damai
ataupun dimasa perang.
Sebagai sebuah tjermin daripada ketjerdikan hatinja dia pernah berkata, bahwa :
"Sebaik-baiknja orang jang memberikan ampun, ialah jang lebih berkuasa dalam memberikan hukuman."
Demikianlah adanja. bahwa mereka jang tidak
menjetudjui perundingan di Shiffin dan mengantjam akan berontak, telah
meninggalkan Ali dan mereka menudju kepedusunan Harura. Mereka inilah
jang mendjadi asal mula kaum Charidji.
Ali kemudian mengandjurkan pada mereka agar sudi
bertukar pikiran. Dari hati kehati ! Siapa jang salah harus mengakui
kesalahannja. Dan sudah barang tentu harus mengikuti jang benar.
Mereka memang mengirimkan utusan. Utusan itu ialah
Abdullah bin al-Kawa. Setelah bertukar pikiran dengan Ali, dia setjara
djudjur kemudian, mengakui kesalahan kaum Charidji. Tetapi apa boleh
buat pengakuan dari utusan ini kemudian ternjata tiada dapat diterima
oleh kaum Charidji dan malah begitu djauh berani mengkafirkan Ali. Dalam
pada itu, memang mereka mengakui kepandaian, ketjerdasan serta
kelintjahan Ali.
Kembali Ali memperlihatkan kegiatannja jang telah
terkenal untuk menghindarkan pertumpahan darah dengan mentjoba
mengadakan permusjawaratan. Namun untuk kesekian kalinja pula dia
menghadapi kegagalan lagi. Achirnja Ali terpaksa pula menghunus
pedangnja, karena dari sehari-kesehari golongan ini menampakkan
gedjala-gedjala jang sangat merugikan masjarakat banjak, krena mereka
tiada segan-segan melakukan pembegalan, pembunuhan dan penggarongan
dimana-mana. Kaum Charadji pun mengadakan perlawanan dan serangan jang
tiada boleh dikatakan enteng pula. Perang telah petjah. Tetapi sangat
singkat kedjadiannja. Dimana achirnja kemenangan diperoleh Ali dengan
sangat gampangnja. Kaum Charidji mati terbunuh. Dari sekian banjak
djumlah gerombolan mereka, hanja empat ratus orang jang tertawan atau
luka-luka, kemudian dirawat dengan baik sekali oleh Ali.
Setelah peristiwa ini selesai, maka Ali mulai
mempersiapkan tentaranja untuk memerangi Mu'awijah. Tetapi apa hendak
dikata, Al-Asj'ath bin Quis menentang, dan malah mengandjurkan sebagian
tentara supaja meninggalkan Ali. Alasan jang dikemukakan ialah bahwa
tentara perlu diberikan istirahat dahulu untuk sementara waktu. Keadaan
ini sangat menguntungkan Mu'awijah jang pada hakikatnja sudah sangat
terdjepit oleh tumpasan malapetaka Shiffin jang menimpa diri dan
pengikut-pengikutnja. Dia dapat mempergunakan waktu terluang ini untuk
kembali ke Sjam dan menjusun kembali balatentaranja jang telah mendjadi
porak-poranda.
Sedjak itu terdjadilah peristiwa-peristiwa jang
tiada menguntungkan dan tiada diinginkan oleh Ali. Malah lebih djauh,
dengan diam-diam terbentuklah gerakan bawah tanah oleh kaum Charidji
jang akan membunuh Ali. Ali kemudian terbunuh oleh Abdurrachman bin
Muldjam.
Kedjadian tentang peristiwa pembunuhan terhadap
Ali, terdjadi di mesdjid Kota Kufah. Lukanja teramat berat oleh tusukan
pedang beratjun. Pada saat itu djuga pembunuhnja dapat tertangkap
hidup-hidup. Tetapi Ali dalam pada itu berpesan, berikanlah kepadanja
makanan dan tempat tidur dalam tawanannja.
Salah seorang tabib jang didatangkan memberikan
pertolongan tentang nasib Ali, mengatakan bahwa luka itu sudah tiada
dapat disembuhkan lagi. Perihal ini djangan terus terang
diberitahukannja kepada Ali.
Mendengar ini, Ali tiada membajangkan rasa gentar
sedikitr pun nampak diwadjahnja, hanja dia berpesan kepada kedua orang
puteranja, jakni Hasan dan Husain, bahwa kematiannja ini djangan sampai
terdjadi kegaduhan dan huru hara. Dia berkata :
"Djika engkau mengampuninja, maka itu sebenarnja lebih mendekati takwa !"
Sebenarnja pesanan dan amanat Ali kepada kedua
orang putera dan para pengikutnja sangat pandjangnja. Dibawah ini lagi
kami kutipkan seketjak dari padanja, bahwa :
"Djagalah tetanggamu baik-baik. Berikan zakat atas
harta bendamu. Kasihlah zakat itu kepada fakir dan miskin. Hiduplah
engkau bersama-sama mereka. Berkatalah baik kepada sesama manusia,
sebagaimana diperintahkan Allah kepadamu. Djanganlah bosan dan
meninggalkan kelakuan jang baik, dan mengandjurkan orang berbuat baik.
Rendahkan hatimu dan suka tolong-menolong sesama manusia. Djagalah,
djangan sampai engkau mendjadi terpetjah-belah. Dan djangan sekali
bermusuh-musuhan."
Ali menderita luka parah — teramat parahnja — pada hari Djum'at pagi. Dan beliau wafat pada malam Ahad, 21 Ramadhan 40 H.
Nasab imam dua belas
Nabi Muhamad [W 11 H] --- (1) Fatimah binti Rasul+
Ali [W 40H] ----- (2) Hasan [w 50 H] {penganutnja jaitu kaum Idrisi di
Afrika Utara dan Sjarif dari Marokko} (3) Husein [w 61 H] ----- (4) Ali
Zainal Abidin [ w 94 H] ----- Zaid [w 122 H ] {penganutnja jaitu kaum
Zaidi di Jaman dan Parsi Utara} dan (5) Muhamad Al-Baqir [ w 113 H]
----- (6) Dja’far Ash-Shadiq [w 148 H ] ------ Ismail {pengikutnja
chalifah-chalifah Fathimijah} dan (7) Musa Al-Kazim [w 183 H ] ----- (8)
Ali Ar-Ridha [ w 202 H ] ----- (9) Muhamad Al-Djawad [ w 220 H ] -----
(10) Ali Al-Hadi [ w 254 H ] ----- (11) Hasan Al- Askari [ w 260 H ]
----- (12) Muhamad Al-Muntazar [ lenyap 260 H ] {Pengikut dua belas imam
ini dinamai Imamijah atau Isna Asjarijah.}
Ismail {pengikutnja chalifah-chalifah Fathimijah}
----- Al-Mustansir [ chalifah ke-VIII dari dinasti Fathimijah, w. 147 H ]
----- Al-Musta’li [chaifah ke-IX dari dinasti Fathimijah, w. 495 H ] {
Pengikutnja disebut Musta'li atau Isma'ilijah Barat di Jaman, Siria dan
India. }
Ismail {pengikutnja chalifah-chalifah Fathimijah}
----- Al-Mustansir [ chalifah ke-VIII dari dinasti Fathimijah, w. 147 H ]
----- Nizar { Pengikutnja disebut Nazari atau Ismaili Timur di
Pakistan, India, Rusia Selatan dll. }
Aliran Ismaili ini dinamakan djuga Sab'ijah, penjaja kepada tudjuh imam,.
5. ALI DAN DA'WAH ISLAM
Bahan untuk bahagian ini saja petik dari karangan
seorang jang netral dalam aliran Islam, jang tidak memihak kesana dan
kemari, bahkan seorang Kristen jang tjinta Arab, jaitu Djirdji Zaidan,
dalam kitabnja "Tarichut Tamaddunil Islami" (Mesir, 1935), djuz ke I.
Djirdji Zaidan mentjenterakan tanpa tedeng aling-aling, bahwa
perselisihan antara Bani Hasjim dengan Umaijah sudah terdjadi djauh
sebelum lahir Islam, dikala membicarakan, siapa jang mengurus Ka'bah dan
berkuasa dikota Mekkah. Sesudah Qusaj, jang mendirikan Mekkah dan
memakmurkannja, berkuasa dalam kota itu, ia meninggalkan anaknja Abdu
Manaf. Abdu Manaf ini meninggalkan dua orang anak, jang sangat berlainan
sifat dan tabiatnja, pertama Hasjim, seorang jang salih, kedua Abdu
Sjams, jang mempunjai sifat keduniaan. Tatkala Abdu Manaf ini meninggal,
ia menjerahkan urusan ka'bah itu kepada kedua anaknja. Tetapi anak Abdu
Sjams, jang bernama Umaijjah, jaitu neneknja Bani Umaijah tidak
menjenangi kekuasaan itu diberikan kepada pamannja, dan akan memutuskan
perhubungan dengan Hasjim. Rapat kekeluargaan memutuskan bahwa hal jang
demikian itu tidak diperkenankan. Hasjim pun tidak ingin meninggalkan
anak saudaranja. ketjuali dengan menjediakan lima puluh ekor unta dan
meninggalkan Mekkah dua puluh tahun. Umaijah menjetudjui keputusan ini
dan mendjadikan hakim seorang dari suku Chuzai't, jang akan
menjelesaikan perkara itu. Hakim ini memutuskan, bahwa kemenangan djatuh
kepada Hasjim, jang lalu menjembelih unta itu semuanja dan memberi
makan seluruh penduduk Mekkah.
Dengan demikian Umaijah, jang sangat tersinggung
perasaannja meninggalkan Mekkah selama 20 tahun dan pergi melenjapkan
dirinja ke Sjam. Inilah permusuhan jang pertama terdjadi antara Hasjim
dan Umaijiih, jang kemudian diteruskan turun-temurun sampai kepada masa
Islam dan masa sesudah Islam zaman Nabi dan Chalifah Abu Bakar dan Umar.
Maka tetaplah jang mendjadi penguasa dalam urusan ka'bah ialah Hasjim,
sesudah wafatnja kekuasaan itu djatuh kedalam tangan Abdul Muttalib,
nenek Nabi Muhammad saw.(20).
Quraisj tetap dalam agamanja menjembah berhala,
jang ditaburkan disekitar ka'bah sampai Nabi Muhammad berumur 40 th.
jaitu diangkat mendjadi Nabi dalam th. 609 M., dan mengadakan da' wah
untuk membasmi penjembahan berhala dan mengembalikan orang Arab itu
kepada tauhid. Sebagaimana diketahui, bahwa sesudah mati neneknja Abdul
Muttalib, ia dipelihara oleh Abu Thalib, jang lebih mentjintainja
daripada anaknja sendiri, sampai ia dikawinkan dengan Chadidjah anak
Chuwailid, jang membuat kedudukannja mendjadi lebih mulia dalam kalangan
orang Quraisj.
Maka turunlah wahju jang pertama jang mengandung
perintah membatja dan menjuruh meninggalkan penjembahan berhala. Djirdji
Zaidan mentjeritakan, bagaimana kesukaran Nabi Muhammad dalam
menghadapi golongan Quraisj mengenai penjiaran adjaran tauhid itu.
Tiga tahun lamanja ia mengalami kesukaran itu dalam
dirinja dan achirnja ia djaja dalam memperoleh pengikut-pengikut dari
orang2 besar Quraisj. Jang pertama sekali iman kepadanja ialah Ali bin
Abi Thalib, kemenakannja dan jang sudah diakui mendjadi siudaranja
seperdjuagan dan sehidup semati dengan dia. Ali telah masuk Islam sedjak
ia masih anak2. Kemudian menjusul Abu Bakar, salah seorang jang
disegani Quraisj, kemudian Abu Ubaidah bin Djarrah serta lain-lain.
Djirdji Zaidan menerangkan, bahwa Nabi Muhammad
ingin mengadakan penjiaran Islam terang-terangan. Dimulainja dalam
kalangan keluarganja sendiri. Pada suatu hari, ia perintahkan Ali
menjediakan makanan dan djamuan dan memanggil keluarganja untuk
berkumpul, diantaranja paman2nja, anak2nja, semuanja tidak kurang dari
40 orang. Pertemuan itu diadakan dirumah Abu Thalib. dan sudah selesai
makan Nabi Muhammad berbitjara dengan kata2 jang lemah lembut, menjuruh
meninggalkan penjembahan berhala dan menjembah Allah Jang Maha Esa.
Pamannja Abu Lahab meninggalkan pertemuan itu, dan sedjak itu ia
mengadakan pertentangan dan perpetjah belah menghadapi Muhammad.
Djirdji Zaidan menerangkan, bahwa kemauan N.
Muhammad tidak lemah karena pemboikotan itu. Ia mengadakan perdjamuan
jang kedua, dimana ia djelaskan kembali maksudnja jg baik untuk mentjari
persatuan dalam kalangan Quraisj dan mengadjak orang2 Quraisj itu
meninggalkan penjembahan berhala. Ia berkata : ,,Aku belum pernah
mengetahui, bahwa ada orang Arab jang datang menasihatkan bangsanja
lebih baik daripada adjaran jg. aku bawa ini untukmu, jang baik untuk
dunia dan untuk achiratmu. Tuhan memerintahkan daku untuk menjampaikan
adjaran itu kepadamu. Aku ingin tahu, siapa jang akan ingin membantu aku
dalam persoalan ini, sehingga ia mendjadi saudaraku, mendjadi ahli
warisku chalifahku di-tengah2 kamu ?" Semua jang hadir diam, dan tidak
berbitjara sepatah kata apun. Maka bangunlah Ali anak pamannja seraja
berkata : "Aku ini, wahai Nabi Allah, akulah jang sanggup mendjadi
penggantimu, untuk menjampaikan amanat ini kepada mereka".
Nabi lalu memeluk lehernja dan berkata : "Inilah
saudaraku, inilah ahli warisku dan inilah chalifahku untukmu, dengarlah
apa jang diutjapkannja, taatilah apa jang diperintahkannja !"
Maka bangunlah orang2 Quraisj itu, terutama dari
keturunan Bani Umaijah, dan berkata sambil mengedjek serta tersenjum
kepada Abu Thalib : "Dengar wahai Abu Thalib ! Dia telah menjuruh engkau
mengikut dan taat kepada anakmu sendiri !" (28)
Dalam sedjarah kebudajaan Islam tersebut karangan
Djirdji Zaidan kita batja selandjutnja apa jang biasa kita ketahui dari
sedjarah Nabi Muhammad, bahwa orang Quraisj mendjadi sangat marah
kepadanja dan akan membunuhnja karena ia mengedjek agama dan Tuhan2
nenek mojangnja. Dalam bahagian jang lain Djirdji Zaidan melandjutkan
pembitjaraan tentang pertentangan antara Bani Umaijah dan Bani Abbas
dalam menghantjurkan keturunan Ali atau Bani Hasjim jang akan
melandjutkan adjaran Nabi Muhammad membawa manusia kepada adjaran agama
Islam jang sebenarnja.
DJALAN TJERITERA ABDULLAH BIN SABA'
OLEH SAIF BIN UMAR AT-TAMIMI (m. 170 H)
DJALAN TJERITERA ABDULLAH BIN SABA' OLEH SAIF BIN UMAR AT-TAMIMI (m. 170 H)
(1) AT-THABARI, IBN DJARIR (310) ----- Orientalis
Barat ------ Encycl. des Islam ----- Nicholson & Van Vloten -----
Donaldson.
(2) AT-THABARI, IBN DJARIR (310) ----- Ibn Chaldun
(808) & Ibn Kathir (774) ----- [Mir Chwand (903) ----- Ghijathuddin
(940) ] & [Farid Wadjdi & Ahmad Amin & Hasan Ibrahim ].
(3) AT-THABARI, IBN DJARIR (310) ----- Ibn Athir
(630) ----- Abul Fida' (730) ----- [Ibn Abi Bakar (741)] & [Rasjid
Ridha (1356)].
(4) Ibn Abi Bakar (741) ----- Sa'id Al-Afg.
(5) IBN ASAK (570) ----- Ibn Badran (1346) ----- Sa'id Al-Afg.
III. KETURUNAN ALI
1. HASAN TJUTJU NABI
Hasan bin Ali bin Abi Thalib adalah salah seorang
dari pada dua tjutju Nabi jaitu Hasan dan Husain, anak Fathimah, jang
sangat ditjintainja. Dalam kalangan Sji'ah ia lebih terkenal dengan Imam
Al-Hasan, dilahirkan di Madinah pada pertengahan bulan Ramadhan tahun
ke III H. dan wafat pada tahun ke XIX H. Pada waktu lahirnja Nabi
mengutjapkan azan pada telinga kanannja dan sesudah selesai lalu berdiri
pada telinga kiri dan memberikan namanja Hasan. Pada hari jang ketudjuh
Nabi memotong dua ekor kibas sebagai akikah, mentjukur rambutnja dan
melepoh kepalanja dengan harum-haruman, kemudian memberi sedekah dengan
emas seberat rambutnja.
Sampai umur tudjuh tahun ia dipelihara oleh
neneknja Nabi Muhammad sendiri. Nabi tidak sanggup berpisah dengan
Hasan, maupun dengan saudaranja Husain, sebagaimana tidak dapat
dipisahkan antara tjahaja matahari dengan matahari sendiri, tidak pernah
ditinggalkannja baik malam ataupun siang pada waktu ia sembahjang atau
sedang melakukan ibadat dihadapan Tuhan, bahkan kadang-kadang pada waktu
ia menerima wahju, jang disampaikan Djibra'il, Hasan pernah
mendengarnja dan pernah mengapalkan dan menjampaikan pada ibunja
Fathimah, jang pernah mentjeriterakan hal itu pada suaminja Ali.
Bahkan Hasan pernah menaiki kuduk Nabi ketika ia
sedang sudjud dalam sembahjang, ,sehingga terpaksa memandjangkan
sudjudnja dan kemudian menurunkan anak itu perlahan-lahan dan dengan
lemah-lembut.
Pada suatu kali datang pula Hasan kepada Nabi
sedang ruku' dalam sembahjang. Nabi terpaksa membuka dua belah kakinja
untuk memberi kesempatan tjutjunja keluar masuk diantara tjelah pahanja.
Orang berkata kepada Nabi : "Ja Rasulullah, engkau perbuat sesuatu jang
belum pernah dikerdjakan orang." "Djawabnja : "Karena ia
wangi-wangianku !"
Pada suatu hari Nabi mendjulang Hasan diatas bahu
kanannja dan Husain diatas bahu kirinja. Ia bertemu dengan Abu Bakar,
jang berkata kepada kedua anak itu : "Tunggangan jang paling nikmat jang
kamu tunggangi, wahai anak2". Nabi mendjawab: "Djuga penunggangnja
merupakan nikmat jang sangat mesra, karena kedua-duanja merupakan
harum-haruman didunia."
Lebih dan satu kali Nabi berkata kepada Hasan: "Baik tubuhmu maupun prilakumu serupa dengan tubuhku dan prilakuku."
Baik menurut paham ahli Sunnah atau Sji'ah, Hasan
dan Husain adalah pemuda ahli sorga." Nabi berkata : "Aku mentjintai
keduanja, tjintailah kedua anak ini wahai manusia. Barang siapa
mentjintai keduanja, ia sebenarnja mentjintai daku, barangsiapa
membentji keduanja, ia sebenarnja membentji daku. Orang jang mula-mula
masuk sorga ialah aku, Fathimah, Hasan dan Husain. Kedua tjutjuku ini
Hasan dan Husain imam dikala berdiri dan duduk."
Imam Ahmad meriwajatkan dari Mu'awijah, bahwa satu
hari Rasulullah pernah mengulum bibir dan lidah Hasan dan oleh karena
itu Tuhan tidak akan mengazab lidah dan bibir jang pernah dikulum oleh
Nabi, demikianlah banjak hadis-hadis jang kita dapati dalam kitab2
Masnad Imam Ahmad, Zacha'irul U'qbah Al-Hanah, karangan Ibn Battah,
Hiljatul Aulia, karangan Ibn Nu'aina, Al-Asabah, Sahih Buchari, Muslim,
Al-Aqdul Farid, Murudjuz Zahab, dll.
Ahmad bin Abdullah At-Thabari menerangkan dalam
Zacha'irul 'Uqbah, bahwa Hasan mempunjai bibir jang- merah, kedua
matanja hitam laksana bertjelak, pipinja laksana pauh dilajang, bulu
dadanja jang halus, lebat djanggutnja, rambut andamnja mentjapai
kupingnja, tinggi tulang pelipisnja, lebar bahunja, awak badannja jang
sedang, tidak pandjang dan tidak pendek, memptunjai wadjah jang sangat
tjantik, rambut jang berombak, bentuk badan jang sangat indah, tidak ada
seorang jang menjerupai Nabi selain daripadanja.
Dalam sahih Buchari masih dapat kita batja, bahwa
Chalifah Abu Bakar mendekati Hasan jang sedang bermain dengan anak2
lain, lalu memanggil dan memanggulnja, seraja berkata : "Demi Allah
rupamu lebih mirip kepada Nabi daripada kepada Ali." Ia tersenjum.
Hasan adalah seorang jang sangat kuat ibadatnja
dalam masa dan zamannja. Apabila ia mengambil air sembahjang, muka dia
mendjadi putjat. Dan apabila ia sampai kedalam mesdjid ia berkata :
"Wahai ahli perbaikan, telah datang kepadamu seorang djahat, hilangkan
segala kedjahatan apa jang engkau ketahui daripadaku dan gantikan ia
dengan sifat-sifat jang indah, kelimpahan daripadamu, o Tuhan jang Maha
Pemurah !" Dan apabila ia teringat akan mati, akan kubur atau ia
mentjeriterakan hari kebangkitan dan Sirath, ia menangis tersedu-sedu.
Ia pernah naik hadji dua puluh lima kali setjara berdjalan kaki.
Ditjeriterakan orang bahwa Hasan sangat pemurah. Ia
pernah memberikan uang sedekah kepada seoranq peminta-minta seba njak
lima puluh ribu dirham, dan lima ratus dinar, jang kebetulan ada
ditangannja. Pernah datang seorang Arab meminta-minta, ia perintahkan
memberikannja, semua apa jang ada dalam lemarinja. Dihitung, tidak
kurang dari seratus lima puluh ribu dirham.
Kehebatan Hasan ini membuat Mu'awijah djadi takut.
Mu'awijah pernah berkata : "Tiap-tiap aku melihat Hasan selalu timbul
ketakutan dalam diriku tentang kehidupannja, dan aku merasa terhina."
Marwan bin Hakam berkata : "Kemurahan tangan Hasan seimbang dengan
sebuah gunung."
Lebih aneh, bahwa Hasan tidak bersifat tekebur, ia
berdjalan dan bergaul dengan orang-orang miskin, ia pernah turun dari
kenderaannja dan makan bersama-sama dengan rakjat djembel jang kemudian
diadjak kerumahnja untuk makan bersama-sama. Ia berkata : "Tuhan tidak
menjukai orang jang tekebur."
Meskipun demikian pembawaan berani ada padanja. Ia
pernah menegur Abu Bakar jang sedang berchotbah berdiri atas tangga
mimbar neneknja.
Tatkala Mu'awijah menerima sumpah kesetiaan
daripada pengikutnja atas keangkatannja mendjadi chalifah dan merembet
nama Ali dan Hasan, jang ketika itu Husain ingin berdiri mendjawab, tapi
Hasan menjuruh Husain duduk dan ia sendiri mendjawab : "Wahai penjebut
nama Ali. Ini'ah aku Hasan, ajahku Ali, engkau Mu'awijah dan bapakmu
tukang tjatut, ibuku Fathimah, sedang makmu Hindun, nenekku Chadidjah,
sedangkan nenekmu jang mati terbunuh. Kakekku Rasulullah, sedang kakekmu
Harab. moga-moga Tuhan mela'nati tukang pidato jang djelek, keturunan
jang buruk, orang terkemuka jang. djahat dan orangorang terdahulu
bersifat kufur dan munafik."
Orang-orang jang hadir menjambut dengan seruan
amien. Orang-orang Sji'ah jang mendengar kembali utjapan ini menjebut :
"Amien, ja Rabbal 'alamien".
Tidak ada djawab jang lebih tepat atas sikap
Mu'awijah. Sesudah keradjaan diserahkan kepadanja, dalam pidatonja masih
hendak mentjatji keturunan jang lelah menjerahkan keradjaan itu untuk
perdamaian. Demikian kata Abui Faradj Al-Asfahani dalam kitabnja
"Muqatilut Thalibin".
Memang Hasan membawa sifat petah lidah dalam
berbitjara. agaknja sebahagian pusaka dari kakeknja Rasulullah jang
paling pasih bahasa Arabnja, dan sebahagian pusaka dari ajahnja Ali
sebagai penjair Islam jang terkenal. Sedjak umur tudjuh tahun ia lantjar
menghafal firman Allah dan melatih lidahnja dengan sadjak-sadjak
kalimat dan susunan bahasa Quraisj.
Mengapa ia memilih damai daripada berperang terus
dengan Mu'awijah, jang mengakibatkan ia sampai hantjur sebagai Sjuhada ?
Mengenai pertanjaan ini, bermatjam2 djawaban orang. Jang terbanjak,
berpendapat bahwa sebagian besar daripada orang2 jang telah bersumpah
setia kepadanja, berchianat, karena tertarik kepada djandji-djandji dan
kekajaan serta kedudukan jang akan diberikan oleh Mu'awijah. Selain
daripada itu adalah pribadi Hasan sendiri jang suka damai dan jang suka
baik sangka kepada orang lain, termasuk Mu'awijah, jang diharapkan akan
djudjur menepati djandji perdamaian jang ditanda tanganinja.
Hasan tidak menjangka-njangka sedjak semula, bahwa
djandji itu akan dichianati oleh Mu'awijah dan dia sendiri akan dibunuh
dengan ratjun.
Kitab-kitab Salaf menjebut nama-nama Sahabat dengan
penuh kehormatan dan tjinta, begitu djuga terhadap Ahlil Bait, dan
melarang membeda-bedakan Sahabat-Sahabat itu antara satu sama lain.
Dengan idjma' mereka menetapkan urutan Chulafa'urRasjidin, Abu Bakar,
Umar, Usman dan Ali, jang berhak sebagai chalifah sesudah wafat Nabi.
Tetapi djuga kitab-kitab Salaf mengakui Imam Hasan sebagai chalifah dan
termasuk dalam rangkaian chalifah jang pernah disebut Nabi dalam
hadisnja, diantaranja jang diriwajatkan oleh Safinah, bunjinja : "Zaman
chalifah itu tiga puluh tahun, kemudian tidak ada lagi chalifah, jang
ada hanjalah radja-radja jang berkelahi satu sama lain." Batja kitab
"Lawa'ihul Anwar" (Mesir, 1323 H. II: 339-341), karangan As-Safarini
Al-Hanbali. Dalam kitab itu dikemukakan sebuah hadis, jang diriwajatkan
oleh Bazzar dari Abu Ubaidah bin Djarrah, bahwa Nabi pernah berkata :
"Permulaan agama ini kenabian dan rahmat lalu disambung dengan chalifah
dan rahmat, dan sesudah itu datanglah masa keradjaan dan paksaan." dan
pengarang kitab itu memberi komentar bahwa dengan :ini dapat ditetapkan
dengan nash, bahwa masa empat orang chalifah merupakan rahmat dan masa
pemerintahan Sajjidina Hasan jang lamanja enam bulan sehari. Dan
kemudian itu orang tidak berhak lagi memakai gelaran chalifah
Rasulullah.
2. PERDJANDJIAN HASAN - MU'AWIJAH
Sesudah Ali bin Abi Thalib sjahid, dibunuh oleh
Abdurrahman bin Muldjam, dan Mu'awijah serta Ibn As terlepas daripada
rentjana pembunuhan itu, Hasan bin Ali diangkat mendjadi chalifah. dan
diakui tidak sadja oleh golongan Sji'ah Ali, tetapi djuga oleh Sunnah
wal Djama'ah, sebagai chalifah jang diakui oleh Nabi dalam hadisnja
dalam masa tiga puluh tahun (lih. As-Safarini Al-Hanbal, "Lawa'ihul
Anwar"" (Mesir, 1323. 11:339).
Tetapi Imam Hasan tidak dapat mendjalankan
pemerintahan dengan baik, karena dari satu pihak banjak
pengikut-pengikutnja jang telah bersumpah setia kepadanja, berbalik
tertarik kepada kekajaan dan kedudukan jang baik, jang didjandjikan
Mu'awijah. Dari lain pihak Mu'awijah dengan golongan2nja terus
mengintai-ngintai dan membunuh menghantjurkan siapa sadja jang dianggap
musuh, termasuk sahabat dan Tabi'in jang hanja karena simpati dan tidak
mau menentang Sji'ah Ali dan memaki-makinja.
Dalam pada itu sebahagian dari Sji'ah, jang telah
"keluar", meninggalkan induk "alirannja," karena tidak dapat menjetudjui
Ali berdamai dengan Mu'awijah dengan bertahkim kepada Quran, merupakan
djuga musuh jang berbahaja jang selalu mengintai-intai untuk membunuh
dan menghantjurkan, siapa sadja jang tidak setudju dengan pendiriannja
dinamakan kafir Islam, dan termasuk orang Mu'min jang mengerdjakan dosa
besar, jang tempatnja dalam neraka. Golongan ini ialah Chawaridj.
Memang Hasan tak dapat disangkal mendapat
kepertjajaan dan ketjintaan dari rakjat umum karena salihnja, djudjur,
pemurah dan baik hati, tetapi apa artinja rakjat umum jang tidak
bersendjata itu, sesudah amir-amirnja sebagian besar telah menjebelah
kepada Mu'awijah. Memang betul sebahagian besar dari pada ulama-ulama,
sahabat dan tabi'in menjebelah pada Imam Hasan, tetapi merekapun tidak
dapat berbuat apa-apa, bahkan dibentji oleh radja-radja dan amir-amir,
karena fatwa-fatwa dan adjaran-adjarannja selalu menentang hidup
keduniaan jang kadang-kadang banjak menjinggung kebidjaksaan radja-radja
dan hidup amir-amir itu diluar Islam.
Desakan fakta-fakta diatas itu, menjebabkan Hasan
meninggalkan singgasana kechlifahannja dan mengadakan perdamaian dengan
Mu'awijah untuk sementara waktu.
Sebagai jang dikatakan Ibn Chaldun,
bermatjam-matjam pendapat ahli sedjarah tentang permintaan damai ini.
Ada jang mengatakan, bahwa jang mula-mula meminta damai ialah Hasan,
jang mengirimkan Amar bin Salmah Al-Arhabi kepada Mu'awijah (Ibn
Chaldun), ada jang mengatakan, bahwa Hasan menulis surat kepada
Mu'awijah tentang itu (Ibn Abil Hadid).
Tetapi Ibn Al-Djauzi menerangkan, bahwa jang
memulai minta damai itu ialah Mu'awijah jang mengirim seorang utusannja
dengan diam-diam kepada Hasan meminta diadakan damai dengan segera
(Tizkarul Chawas, hal. 206, Ahmad Affandi, Fadha'ilis Sababah, hal.
157).
Sepandjang jang dapat diselidiki, jang terachir
inilah jang benar, jaitu Mu'awijah jang mendesak segera diadakan
perdamaian, karena takut orang-orang Irak, jang sangat mentjintai
keturunan Ali akan segera berontak dan melawan. Alasan jang lain jang,
membenarkan keterangan ini ialah bahwa dalam pidato Hasan jang
diutjapkan di Mada'in, tersebut "Bukankah Mu'awijah meminta kepada kami
untuk menjerahkan urusan chalifah ini" (Baqir Sjarif Al-Qurasji,
"Haj&tu Al-H&ssui bin Ali", Nedjef, 1956, II: 186).
Sebagaimana orang berselisih tentang siapa jang
meminta damai lebih dahulu, begitu djuga banjak perselisihan paham
mengenai masa kedjadian perdamaian. Diriwajatkan orang, bahwa tatkala
Imam Hasan menjetudjui perdamaian, ia mengirimkan dua orang kepada
Mu'awijah jaitu Amar bin Salmah Al-Hamdani dan Muhammad bfn Asj'as
Al-Kindi, untuk menegaskan apa jang harus dilakukan.
Mu'awijah menjerahkan djawaban kepadanja, jang
berbunji : "Dengan nama Allah jang pengasih lagi penjanjang. Surat ini
untuk Hasan bin Ali dari Mu'awijah bin Abu Sufjan. Aku berdamai dengan
engkau bahwa urusan pemerintahan ini sesudah aku, akan kukembalikan
kepadamu, diperbuat dengan djandji Allah dan Rasulnja Muhammad.
Sangatlah tidak benar orang menqambil sesutu dari seorang hambanja jang
sudah didjandjikan Tuhan, aku tidak akan membentji lagi engkau dan
mengetjammu. Aku berkewadjiban memberikan kepadamu saban tahun seribu
dirham dari Baital Mal, dan bagimu tetap memiliki tjukai daerah Basa dan
daerah sekitarnja, janq kamu boleh ataur sesukanja" (Baqir Sjarif
AlrQurasji, II : 186-187).
Surat pendjandjian ini disaksikan oleh Abdullah bin
Amir, Amar bin Salmah Al-Kindi, Abdurrahman bin Samrah dan Muhammad bin
Asj'as Al-Kindi, termaktub pada bulan Rabi'ul Achir, tahun 41 H.
Lain daripada itu Mu'awijah mendjandjikan,
sebagaimana djuga dalam surat dan dengan lisan, bahwa ia mendjadikan
Hasan putera mahkota, djaminan hidup dengan keluarganja dengan djumlah
tersebut dan menguasai dua daerah di Persi untuk diperintah sesukanja.
Saja tidak perpandjang kalam tentang hal ini, jang
soalnja berbelit-belit, dimana banjak sekali debat mendebat dan surat
menjurat, dan dimana kelihatan, bahwa Mu'awijah dengan djandji
perdamaian ini memang berniat melakukan politik jang litjik untuk
menjingkirkan Hasan dengan keturunannja daripada seluruh pemerintahan
dan daerah jang sudah dikuasainja.
Perletakan sendjata tidak dihiraukan, pembunuhan
diteruskan dan tjatji maki terhadap keluarga Ali tidak
terhenti-hentinja. Lain daripada itu ada jang lebih menjakitkan hati
Hasan, jaitu pemerintahan Mu'awijah merupakan keduniaan, penuh dengan
pekerdjaan-pekerdjaan jang bertentangan dengan agama Islam, tidak sesuai
dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasulnja, penuh dengan kezaliman dan
sewenang-wenang, sama dengan pemerintahan masa djahiliah sebelum datang
Islam, bersifat kapitalistis, feodalistis dan imperialistis jang memeras
bangsa-bangsa jang bukan Arab.
Hasan terpaksa membuat perdjandjian lagi dengan
Mu'awijah untuk menjelamatkan kepentingan Islam. Bunji perdjandjian jang
penting ini adalah sebagai berikut :
"Dengan nama Allah jang pengasih dan lagi
penjaiang. Inilah perdjandjian jang sudah disetudjui bersama oleh Hasan
bin Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awijah bin Abu Sufjan. Kedua-duanja
berdjandji akan menjelamatkan pemerintahan orang Islam, berbuat dan
bertindak sepandjanq Kitab Allah dan Sunnah Rasulnja. serta djedjak
chalifah-chalifah janq saleh. Mu'awijah bin Abu Sufjan berdjandji
sesudahnja tidak akan memberikan pemerintahan ini kepada orang lain,
ketjuali kepada orang jang ditundjukkan oleh sebuah musjawarah kaum
muslimin.
"Kedua-duanja berdjandji akan memberikan keamanan
kepada semua warganegara jang diam diatas bumi Allah, di Sjam, Irak,
Hidiaz dan Jaman, Mu'awijah berdjandji akan memberi keamanan kepada
semua Sahabat Ali dan Sji'ahnja, baik mengenai keamanan dirinja, harta
bendanja, wanita-wanitanja dan anak penaknja. Jang demikian itu
didjandjikan Mu'awijah bin Abu Sufjan dengan nama Allah.
"Mu'awijah berdjandji dengan nama Allah untuk tidak
mengantjam dan membentji Hasan bin Ali, tidak pula saudaranja, dan
tidak pula mengetjam dan membentji salah seorang daripada Ahli Bait
Rasulullah s.a.w., tidak setjara diam-diam dan tidak setjara
terang-terangan, dan tidak pula membiarkan orang lain berbuat demikian.
,,Perdjandjian ini disaksikan oleh (nama-nama orang
janq menjaksikan. diantara lain janq sudah kita sebut di atas, dan
ditutup dengan ajat Qur'an dan tjukuplah Tuhan Allah mendjadi saksi
dalam perdjandjian ini).
Perdjandjian ini dipetik dari kitab Ibn Sibagh,
"Al-Fusul alMSuhimmah, hal. 145. 170, Kasjful Ghummah, hal. 170,
Al-Bihar, X: 115, Fadha'ilus Sahabah, hal. 157 dan As-Sawa'iq
Al-Muhriqah, hal. 71.
Perdjandjian ini penting sekali, karena ia berisi,
bahwa penjerahan pemerintahan kepada Mu'awijah itu dengan sjarat, bahwa
ia memerintah sepandjang Kitab Allah, Sunnah Nabinja dan perdjalanan
chalifah-chalifah jang salih, bahwa Mu'awijah sesudahnja tidak boleh
menjerahkan pemerintahan ini kepada orang lain selain kepada Hasan,
djika terdjadi sesuatu, maka pemerintahan itu hanja boleh diserahkan
kepada Hussain, bahwa harus terdjamin keamanan umum bagi semua manusia
dari segala warna kulit, bahwa Mu'awijah tidak boleh mengusik-usik
daerah Irak dan penduduknja, bahwa ia tidak boleh memakai gelar „Amirul
Mu'minin," bahwa ia tidak boleh mengubah peradilan agama mendjadi
peradilan duniawi, bahwa Mu'awijah dan orang-orangnja harus meninggalkan
memaki-maki Ali bin Abi Thalib dan keluarganja, tidak menjebut tentang
mereka melainkan jang baikbaik sadja, mendjamin hak-hak penduduk
sebagaimana mestinja, bahwa Mu'awijah mendjamin keamanan bagi Sji'ah
Ali, dan tidak menjatakan kebentjian terhadap mereka, tidak membalas
dendam kepada anak-anak jang ajahnja mati melawan Mu'awijah dalam perang
Djamal dan memberikan djaminan hidup kepada mereka, bahwa tjukai dalam
daerah Abdjard, suatu daerah jang luas di Persia dekat Ahwaz, jang
pernah dibuka oleh orang Islam diatur setjara Islam dan tidak boleh
diganggu gugat, bahwa ia melepaskan harta benda jang ada dalam Baital
Mal di Kufah diatur setjara mestinja dan dibajar hutang-hutang serta
pada tiap tahun diserahkan kepada Hasan seratus ribu dinar untuk
mengurus hal itu. Dan selandjutnja Mu'awijah tidak boleh menanam
kebentjian untuk Hasan bin Ali, tidak pula untuk saudaranja Husain dan
untuk semua Ahli Bait Rasulullah, baik setjara diam-diam maupun setjara
terang-terangan serta tidak boleh menanam ketakutan dalam kalangan umat
manusia jang diperintahnja.
Dimana perdjandjian ini diperbuat, ahli sedjarah
tidak bersamaan pendapatnja, ada jang mengatakan ditengah-tengah tentara
jang sedang bertempur antara Irak dan Sjam. lain mengatakan terdjadi di
Baital Maqdis (Tarich al-Chamis, II : 323; Encyc. Hustani, VIII : 38)
bahkan ada jang mengatakan terdjadi di Azrah, suatu tempat dekat Sjam
(Tazkiraful Chawas, hal. 206).
Perdjandjian ini, sebagaimana jang diduga oleh
banjak orang, tidak ditepati oleh Mu'awijah. Begitu kekuasaan djatuh
kedalam tangannja, menurut Ibn Abui Hadid, begitu berlaku dalam tahun
itu djuga kezaliman, jang dilakukan terhadap orang Islam bekas mereka
jang pernah pro Ali atau menentang Mu'awijah. Tidak seorang Islam jang
tidak takut akan djiwanja, jang tidak ngeri akan pertumpahan darahnja
akan ditjulik, dan tak ada tempat minta tolong. Keselamatan umum tidak
terdapat. Baital Mal Kufah diganggu, beramal dengan Kitab Allah dan
Rasul dilanggar, kedudukan putera mahkota tidak diindahkan, keamanan
umum tidak terdapat, larangan memakai gelar "Amirul Mu'minin" tidak
diindahkan, hakim-hakim tidak adil dan berbuat semenamena,
mentjutji-maki keluarga Ali diteruskan dimana-mana, keamanan umum bagi
Sji'ah Ali tidak diperdulikan, tjukai daerah Abdjard diambil, sehingga
Baital Mal didaerah itu tidak dapat digunakan untuk kemaslahatan umum.
untuk da'wah, untuk mendirikan agama, untuk memperbaiki keadaan
masjarakat, untuk menggadji tentara, zakat dan sedekah tidak dapat
dilakukan dengan sempurna.
Keadaan ini menimbulkan pertjektjokan antara Hasan
dan saudaranja Husain. Husain tidak setudju memperbuat perdjandjian
dengan Mu'awijah. Ia berkata : "Moga-moga engkau diberi petundjuk oleh
Tuhan. Engkau membenarkan perkataan Mu'awijah, dan mendustakan utjapan
ajahmu". Hasan menjabarkannja dan berkata : "Aku lebih tahu dengan
urusan ini daripada engkau" (Assaddul Ghabah dll).
Ketjaman Husain ini menjebabkan Hasan mentjari
pendapatpendapat orang-orang besar jang mendampinginja, tetapi hampir
semuanja menjalankan Hasan membuat perdjandjian dengan Mu'awijah itu,
dan hampir semunja setudju dengan Husain, bahwa perkara itu harus
diselesaikan dengan pedang terhunus. Abdullah bin Dja'far jang diminta
pikirannja oleh Hasan, menjetudjui pendapat Hasan tetapi banjak djuga
orang lain jang mendampingi pendapat Husain. apalagi setelah melihat,
bahwa orang-orang Mu'awijah meneruskan tjutji-maki Sji'ah Ali
dimana-mana, terutama diatas mimbar-mimbar Djum'at, Qais bin Sa'ad, jang
terkenal dengan pahlawan besi, berkata : "Tidak, demi Tuhan, tidak
engkau mendapati daku dengan Mu'awijah melainkan diantara kilat pedang
dan tjelah-tjelah tembakan. Semua orang-orang besar anti Mu'awijah dan
mengetjamnja dengan kata-kata jang pedas, serta tidak mau melepaskan
pengakuan, bahwa Imam Hasan masih chalifah umat Islam, diantaranjja.
Hadjar bin Adi, Adi bin Hatim. Musajjab bin Nudjbah. Malik bin Dhamrah,
Basjir Al-Hamdani Sulaiman bin Sharat, 'beberapa banjak pemuka-pemuka
Sji'ah. sahabat-sahabat dan tabi'in-tabi'in. Seluruh Irak menjala perang
tjutji-maki dan ketjam-mengetjam petjah. dan Husain seakan-akan
didorong oleh orang banjak untuk madju kedepan menjerbu kedalam medan
perang menghadapi Mu'awijah.
Imam Husain jang baik hati dan manusia jang paling sabar seakan-akan tidak berdaja dan tidak dapat berbuat apa-apa lagi.
Tjeritera pertempuran ini akan kita uraikan dalam
satu bahagian chusus, karena perdjuangan Husain dan sjahidnja merupakan
kedjadian jang sutji bagi orang-orang Sji'ah.
3. BANI UMAJJAH DAN HUKUM AGAMA.
Kita ketahui bahwa kehidupan Bani Umajjah dalam
masa djahilijah adalah hidup keduniaan. Agamanja hanja terdiri dari pada
penjembahan berhala disekitar Ka'bah, jang hanja didatangi apabila ada
sesuatu kesusahan dan kesukaran. Pembasmian penjembahan berhala ini oleh
Bani Umajjah dilakukan oleh Nabi Muhammad dengan adjaran Islam.
Kemenangan jang djatuh dalam tangan Nabi dalam usahanja mengembalikan
manusia kepada penjembahan Tuhan jang maha esa, kepada pergaulan manusia
jang tidak bertingkat dan berderadjat, baik dalam masa Nabi, maupun Abu
Bakar dan Umar, membuat Bani Umajjah putus asa dan tidak ada djalan
untuk bergerak kembali menentang Bani Hasjim.
Pembunuhan atas diri Usman bin Affan membuka pintu
bagi Bani Umajjah, untuk merebut kembali kekuasaannja dan membalas
dendam kepada Bani Hasjim dengan menjerang Ali bin Abi Thalib dan
keturunannja jang ingin meneruskan pemerintahan dan adjaran setjara
Islam itu.
Permusuhan Bani Umajjah terhadap Alawijah dianggap
oleh orang Sji'ah tidak lain daripada permusuhan jang ditudjukan kepada
Nabi dengan memakai bungkusan jang lain bentuknja. Kitab-kitab Sji'ah
diantara lain "Hajafti Hasan bin Ali" (Nedjef, 1955), karangan Baqir
Sjarif Al-Quraisj, menerangkan usaha-usaha Bani Umajjah, dimulai dengan
Mu'awijah, mengubah hukum-hukum agama Islam, jang sudah ditetapkan,
sesuka-su'kanja dan memberi sifat duniawi kepada tjorak pemerintahannja.
Ia membentji Rasulullah, menukarkan namanja dalam
azan, pada permulaan amarahnja, ia tidak sembahjang Djum'at empat puluh
kali (An Nasa'ih Al-Kafijah, hal. 97), melebih-lebihi batas hukum Islam,
misalnja pada suatu kali menjuruh memotong sedjumlah besar tangan
manusia dengan tidak mengadakan pemeriksaan lebih dahulu setjara
bidjaksana dan memberi ampunan (AI-Bidajah wan Nihajah, VIII: 136),
Islam mentjegah riba. sedang Muawijah membolehkan riba. Atta bin Jassar
mentjeriterakan, bahwa Mu'awijah mendjual bedjana mas jang lebih banjak
timbangannja, sedang Abu Darda memperingati akan hadis Rasulullah jang
mentjegah menukarkan barang jang serupa lebih-melebihi (An-Nasa'ih, hal.
94).
Sebagaimana kita ketahui bahwa diperintahkan azan
untuk sembahjang lima waktu jang wadjib dan sembahjang djum'at tidak
pada sembahjang sunat atau sembahjang dua hari raja. Tegas Rasulullah
mengatakan, bahwa untuk dua hari raja tidak ada azan dan qamat (Sja'rani
Kasjful Ghummah, 1:123), dan peraturan ini diteruskan oleh semua
chalifah sesudah wafat Nabi (Sunan Abu Dawtod, 1:79). Tetapi Mu'awijah
mengubah tjara azan dan qamat ini pada hari raja jang diperintahkan
melakukannja, dan dengan demikian menjalani Sunnah Rasul dan Sahabat
(Siarah Ibn Abil Hadid, 1: 470).
Kemudian sebagaimana kita ketahui, bahwa Islam
memerintahkan chotbah hari raja sesudah selesai sembahjang, Nabi
mengerdjakan demikian dan sahabatnjapun mengerdjakan demikian (Sunan Abu
Dawud I: 178), tetapi Mu'awijah mengerdjakan sebaliknja, ia berchotbah
lebih dahulu dan sembahjang hari raja kemudian (Abui Hadid II : 470).
Sedang Islam mewadjibkan zakat atas modal jang
berkeuntungan, Mu'awijah memungut zakat atas pemberian orang (Taricb
AlJa'kubi 11:207).
Kita ketahui bahwa wadjib meninggalkan
harum-haruman pada waktu ihram hadji, tetapi Mu'awijah menjalah'nja dan
mamfatwakan memakai harum-haruman dalam ihram pada waktu hadji
(An-Nasa'ih, hal. 100). Dalam Islam diharamkan memakai bedjana perak dan
emas, tetapi Mu'awijah memerintahkan perabot makan diperbuat dari emas
dan perak. Tatkala orang memperingatkan kepada hadis Nabi jang
mengharamkan semua itu, ia mendjawab : ,,Aku tidak melihat haram"
(An-Nasa'ih, hal 101).
Menurut adjaran Islam tidak diperkenankan laki-
memakai pakaian sutera, ketjuali pada waktu peperangan, sedang Mu'awijah
saban saat memakai pakaian sutera, dikala damai (Tariert Al-Ja'kubi,
11:27).
Lain daripada itu ada jang dianggap Sji'ah lebih
kedji lagi. jaitu Mu'awijah mendjual agama dipasar, digadjinja untuk itu
Ahnaf bin Qais, Djarijah bin Quddamah dan Djun bin Qatadah. tatkala
Hatat bin Jazid tidak mau diupahi seribu dinar, Mu'awijah menambah upah
itu dan berkata dengan bangga: „Aku telah membeli dari mereka agamanja
untuk kepentingan daku sendiri" (AlKamil III:180).
Pernah anak Mu'awijah menjuruh membunuh Abdurrahman
bin Hasan bin Sabit Al-Anshari Al-Chazradji, jang lahir dalam masa Nabi
dan penjair terkenal, disuruh bunuh oleh anaknja, karena dalam sjairnja
ia menjinggung nama saudaranja perempuan jang belum dapat dipahami
betul2 sadjak jang mendalam itu. Untung Mu'awijah menolak dendam dan
keangkuhan keluarga ini, sehingga Abdurrahman jang oleh Ibn Hajjan
disebut seorang Tabi'in jang sangat djudjur, terlepas dari pada hukuman.
Ia meninggal dalam tahun 104 H.
Demikian beberapa tjontoh tentang pelanggaran
Mu'awijah terhadap hukum Islam, jang didalam kitab2 Sji'ah dibeberkan
pandjang lebar fakta2, disisip dengan ajat8 Qur'an jang telah
menggambarkan pelanggaran2 itu. Sji'ah menjebutkan ajat Qur'an disamping
idjtihad2 jang menjeleweng daripada pokok8 agama, misalnja :
,,Orang2 jang menggemari dusta, adalah orang2 jang
tidak pertjaja ajat2 Allah dan mereka itu adalah pendusta2" (Surat
Anhal), ajat 105).
Memang Bani Umajjah banjak sekali mengadakan hadis2
dusta untuk mendjelaskan buruk keturunan Ali, sebaliknja menjuruh
mengumpulkan hadis2 tentang keutamaan Usman. Dalam sebuah surat siaran
kepada semua pembesar2 dalam keradjaannja, berbunji demikian : „Tjari
daripada orang2 jang mentjintai Usman uraian2 jang mentjeriterakan
keutamaan atau kelebihannja, hormati orang2 jang demikian itu dan
kirimkan kepadaku utjapan2 jang dikemukakannja dengan menjebutkan
riwajat hidup orang2 itu".
Surat ini disusul lagi : „Banjak tjeritera' sudah
tersiar tentang Usman dalam banjak kota dan bandar, apabila engkau
mendengarnja, hubungkanlah dengan riwajat Abu Bakar dan Umar, karena
kelebihan keduanja lebih kutjintai, untuk menolak hudjdjah Ahli Bait,
jang kebanjakan mendjelek2-kan Usman" (Bagir Sjarif AlQuraisji, Ha jat u
Hasan bin Ali, 11:143—145.
Maka dengan demikian lahirlah kegiatan dari pihak
Sji'ah mentjari hadis2 mengenai keutamaan Ali bin Abi Thalib, dan dari
pihak Mu'awijah mengumpulkan hadis2 mengenai kelebihan Usman, masing2
untuk didjadikan peluru dalam peperangan jang hebat antara keturunan
Bani Hasjim dan Bani Umajjah itu.
4. HASAN DAN MU'AWIJAH
Apapun matjamnja kitab Sji'ah, baik dalam bidang
agama, bidang sedjarah atau ilmu pengetahuan, pasti berisi didalamnja
ketjaman2 terhadap Bani Umajjah, jang dianggapnja sangat kedjam dalam
utjapan dan perbuatannja terhadap keturunan Ali dan Sji'ahnja dan jang
dianggap menentang Nabi Muhammad dan adjarannja. Dan hal ini dapat kita
pahami, karena permusuhan antara Bani Hasjim dan Bani Umajjah sudah
terdjadi sebelum Islam, dalam masa kebangkitan Islam dan
sambung-menjambung sesudah Islam.
Meskipun dari satu mojang, sifat2 Bani Hasjim itu
berbeda sekali dengan sifat2 Bani Umajjah. Sedjarah Islam telah
memperlihatkan perbedaan sifat2 ini. Sifat2 Nabi Muhammad menurun kepada
anak tjutjunja melalui Fathimah dan Ali, dan sifat2 Abu Sufjan menurun
kepada Mu'awijah, Utbah dengan segala keturunannja, meskipun sesudah
berubah kejakinannja mendjadi Islam, dari satu pihak, lebih menerangkan
hidupnja kepada achirat, dari lain pihak kelihatan dalam hidupnja
keduniaan.
Dendam Abu Sufjan jang tidak dapat ditudjukan
kepada Nabi Muhammad dimasa hidupnja, karena kekalahannja jang total,
dilepaskan oleh anak tjutjunja dengan sepuas'nja kepada keturunan Ali
bin Abi Thalib dan Sji'ahnja. Menurut orang Sji'ah, Abu Sufjan masuk
Islam hanja karena terpaksa untuk menjelamatkan dirinja dari
kehantjuran, tetapi ia masih mendendam dalam hatinja. Hal ini ternjata
sesudah wafat Nabi, dikala Abu Sufjan mendatangi kubur Hamzah dan
berkata : „Bangkitlah engkau dan lihat bahwa kekuatan sudah kembali
kedalam tangan kami." Pertama kali ia menggunakan kelemahan Usman bin
Affan, salah seorang Bani Umaijah jang mendjadi sahabat besar dan
menantu Nabi, untuk memasukkan anak2nja kedalam susunan pemerintahan,
diantaranja Mu'awijah.
Nabi tahu akan kelakuan Abu Sufjan ini, djika
tidak, Nabi tidak akan mela'nat atau mengutuknja pada suatu hari,
tatkala Abu Sufjan duduk diatas unta merah menuntun unta jang diatasnja
duduk Mu'awijah dan Utbah. Nabi berkata : „Ja Tuhanku ! Laknatilah orang
jang mengenderai dan jang menuntun !"
Rupanja utjapan kutukan ini diingat oleh Mu'awijah,
dan ia menanti datangnja kesempatan untuk melepaskan dendamu ia dikala
berkuasa. Maka dimakinja Ali, jang menurut orang Sji'ah tidak lain
dikehendakinja melainkan Nabi Muhammad sendiri. Sedang Nabi tahu akan
hal itu dimasa hidupnja dan pernah berkata : „Barang-siapa memaki Ali,
ia sebenarnja memaki daku, dan barangsiapa memaki daku, ia sebenarnja
memaki Allah (Hakim, Al-Mustadrak).
Memang benar sebagaimana dikatakan Sji'ah (Ibn Abil
Hadid, Mughnijjah) bahwa sedjak berkuasa Mu'awijah menghamburkan
tjatji-makian terhadap Ali dengan keturunannja. Di Kufah Mu'awijah naik
diatas mimbar dan dalam chotbahnja itu dikatakannja bahwa sjarat2
perdjandjian jang sudah diperbuat dengan Hasan tidak berlaku lagi dan
sudah diindjak2nja, meskipun sjarat2 itu sudah ditanda tanganinja.
Pengakuannja dalam perdjandjian itu, bahwa Mu'awijah akan beramal
sepandjang Kitabullah dan Sunnah Nabinja, bahwa ia tidak berbuat sesuatu
djandji baru dengan seseorang lain ketjuali dalam musjawarah dengan
orang Islam, bahwa ia mendjamin keamanan tiap penduduk keradjaannja
daripada pertumpahan darah, kehormatan dan harta benda, dan bahwa ia
meninggalkan memaki-maki Ali bin Abi Thalib, semua perdjandjian itu
dilanggarnja dan dinjatakan pelanggaran itu dalam chotbah Djum'at di
Kufah.
Mu'wijah tidak sadja sendiri memaki Ali, tetapi
memerintahkan semua pegawai'-nja dan chatib2 Djum'at diseluruh
keradjaannja, mala'nati Ali diatas mimbar dan memutuskan semua
perhubungan dengan anak tjutjunja (Ibn Abil Hadid, Dala'ilus Sidiq III,
15). Bertahun lamanja orang menggunakan tjara ini dalam ibadah, sehingga
orang melupakan firman Tuhan jang berbunji :
„Allah menghendaki membersihkan segala ketjemaran ahli rumahmu dan mengurniai kesutjian jang sebenar2nja kepadamu" (Al-Qur'an).
Berbeda sekali dengan sifat Rasulullah jang tidak
ingin membalas dendam kepada Abu Sufjan. Kita ketahui dari sedjarah,
bahwa Abu Sufjan dan isterinja Hindun sangat kedjam menghadapinja dalam
politik dan peperangan, tetapi kedua'nja diampuni pada hari Fath Mekkah
dan rumah Abu Sufjan sama dengan Masdjidil Haram dinjatakan sebagai
tempat jang aman bagi semua orang jang merasa dirinja bersalah. Dalam
pada itu keturunan Abu Sufian berbuat sebaliknja kepada anak tjutju
Nabi.
Tatkala Hasan bin Ali pada suatu hari masuk kerumah
Mu'awijah dimana terdapat Amr bin Ash, Walid bin Uqbah, Uqbah bin Abi
Sufjan, Mughirah bin Sju'bah, bukan sadja ia tidak menghormati, tetapi
mengetjam dan memberi 'aib kepada tjutju Nabi jang sangat ditjintai itu.
Dikala itu Hasan tidak dapat menguasai dirinja.
Maka iapun mengeluarkan utjapan jang tadiam jang kemudian mendjadi bahan
peledak memetjahkan perkelahian turun-temurun dan ber-tahun" Saja tidak
ingin menterdjemahkan seluruh pidato ini. tetapi tidak dapat saja
elakkan beberapa kalimat janq berisi kebenaran dan jang menggambarkan
sikap orang2 besar Bani Umajjah ketika itu.
Hasan berkata kepada Mu'awijah : ,,Wahai Mu'awijah!
Tidak ada artinja ketjaman dan edjekan mereka, tetapi ketjamanmu lebih
lagi kedji terhadap kami, jang merupakan permusuhan dengan Muhammad dan
keluarganja. Moga' Tuhan memberi petundjuk kepadamu. Ketahuilah bahwa
mereka jang mengetjam itu pernah sembahjang kearah dua kiblat, sedang
engkau ketika itu menentang, engkau melihat sembahjang itu suatu
kesesatan dan menjembah Lata dan Uzza itu suatu kebadjikan ! Engkau
mengetahui, bahwa mereka jang mengedjek daku pernah bersumpah dua kali,
jaitu bai'at Fatah dan bai'at Ridhwan, sedang engkau ketika itu masih
kafir. Tahukah engkau, bahwa ajahku jang engkau maki itu adalah orang
jang mula2 iman, sedang engkau hai, Mu'awijah, dan ajahmu adalah
mu'allaf, jang menjembunjikan kekufuran dan melahirkan ke-islamannja.
Kemudian apakah tidak engkau tahu bahwa ajahku jang
engkau tjela itu adalah pemegang pandji2 Rasulullah dalam perang Badar,
sedang pandji' orang musjrik ditanganmu dan ditangan ajahmu ? Siapa
jang membawa pandji2 Nabi dalam perang Uhud, dalam perang Ahzab dan
dalam perang Chaibar ?"
Hasan melandjutkan : „Tidakkah engkau ketahui,
bahwa Rasulullah pernah mela'nati ajahmu Abu Sufjan tudjuh kali, pertama
pada waktu ia keluar dari Mekkah ke Thaif membawa seruan Islam, sedang
ajahmu mendustainja, kedua pada hari Badar, ketiga pada hari Uhud,
dikala Abu Sufjan meneriakkan sandjungan kepada Hubal, dan Nabi
mela'nati Hubal itu, keempat pada hari Ahzab, kelima pada hari
Hudaibijah, keenam pada hari Aqbah dan ketudjuh pada hari Rasulullah
melihat ajahmu mengendarai unta merah. Memang sudah njata permusuhanmu
terhadap Nabi Muhammad dan keluarganja" (As-Sji'ah wal Hakimun, hal.
72—73).
Letusan kata2 ini mengakibatkan peperangan kutuk
mengutuk jang berlarut-larut. Dendam dari dua belah pihak bertambah
mendalam, dendam antara keluarga dengan keluarga, antara Bani Hasjim dan
Sji'ahnja dengan Bani Umajah, jang gemarja sampai sekarang ini masih
terdapat dalam lisan dan tulisan dari kedua pihak.
Ditjeriterakan orang, bahwa pada suatu hari
Mu'awijah mendatangi orang2 Quraisj. Semua orang berdiri menghormatinja,
ketjuali Ibn Abbas. Mu'awijah berkata : „Usman dibunuh setjara zalim".
Ibn Abbas mendjawab : Umar bin Chattab dibunuh setjara zalim". Mu'awijah
berkata : "Umar dibunuh oleh seorang kafir". Ibn Abbas bertanja :
„Siapa jang membunuh Usman ?" Djawab Mu'awijah : „Dibunuh oleh orang
Islam." Kata Ibn Abbas : „Itu lebih tjelaka lagi, karena kedua2nja
mendjadi kafir."
Mu'awijah menulis surat kesegala sudut keradiaannja
untuk membeikot Sji'ah Ali dan membantu serta mentjintai Sji'ah Usman.
Pernah Mu'awijah menerangkan dalam sebuah surat kepada gubernurnja,
menjuruh mengumpulkan riwajat2 keutamaan sahabat2 dan mengemukakan
tentang riwajat Abu Turab (Ali bin Abi Thalib) dengan tjorak mengurangi
nilainja.
Djuga usaha2 mendjatuhkan Ali ini tidak hanja
tinggal dalam utjapan tetapi dilaksanakan dalam hukuman jang berat,
kepada mereka2 jang dianggap bersekutu dengan keluarga Ali. Kita ambil
sebagai tjontoh Hadjar bin Adi, salah seorang sahabat Rasulullah,
sahabat Ali dan Hasan, seorang zahid dan ahli ibadat, seorang pahlawan
jang gagah perkasa, jang pernah menundjukkan keberaniannja dalam perang
mendjatuhkan Sjam dan Qadisijah. turut dalam perang Djamal, Sjiffin dan
Nahrawan. Kemudian ia berbaik dengan Mu'awijah dan mendjadi seorang
pegawainja jang ta'at. Hanja satu perkara ia tidak ingin
mengerdjakannja, jaitu memaki Ali diatas mimbar, hal ini ketahuan, lalu
diputuskan sebagai dosa besar dan dia dengan teman2nja dibunuh.
Shifi bin Fusail diperintahkan memaki Ali, tetapi
tidak ingin mengerdjakannja. Oleh karena itu ia disuruh pukul sampai
djatuh ter-sungkur2 kebumi, kemudian ditanjakan kepadanja : „Apa katamu
tentang Ali ?" Djawabnja, bahwa ia tidak akan mengatakan lain, ketjuali
apa jang sudah diketahui tentang keutamaannja. Shifi mendjadi korban
kekedjaman Zijad. Dr. Taha Husain menulis dalam kitabnja „Ali wa Banuh",
bahwa Shifi itu adalah anggota golongan Hadjar, jang terdiri dari
orang2 Islam jang saleh dan banjak membantu Nabi dalam menjiarkan agama
Islam. Banjak anggota golongan ini jang dibunuh.
Banjak lagi korban2' jang lain jang disiksa dan
dibunuh atas perintah Mu'awijah oleh Zijad atau algodjo2nja, hanja
karena tidak mau mentjertja Ali didepan umum atau dianggap simpati
dengan keturunan Ali. Hal ini kita bitjarakan dalam suatu bahagian
chusus.
5. JAZID BIN MU'AWIJAH DAN MU'AWIJAH BIN JAZID
Kekedjaman Mu'awijah sampai kepada anaknja, Jazid
bin Mu'awijah, dalam sikapnja terhadap Sji'ah. Sedjarah Jazid harus
ditulis dengan air mata darah, karena dalam masa pemerintahannja jang
hanja berlaku tiga tahun delapan bulan, tidak sedikit pertumpahan darah
dan air mata jang dilakukannja untuk melandjutkan pembalasan dendam
terhadap keturunan Ali, jang sudah dimulai oleh ajahnja Mu'awijah.
Kekedjaman Jazid dalam membunuh Husain, menjembelih
anak-anak dan pembantu-pembantunja, begitu djuga memberi aib kepada
wanita-wanitanja, ditambah dalam tahun kedua dengan memperkosa kota
Madinah jang sutji serta membunuh ribuan penduduknja, tidak kurang dari
tudjuh ratus orang dari Muhadjirin dan Anshar serta sahabat-sahabat
besar Nabi, dengan kekedjian sebagai penutup pada tahun jang ketiga dari
pemerintahannja, jaitu menembak Ka'bah dengan meriam, untuk
menghancurkan rumah sutji itu.
Kitab-kitab Sji'ah mentjeriterakan
kedjadian-kedjadian ini dengan ngeri dan penuh rasa dendam. Diantara
pengarang ada jang berkata, bahwa djika Mu'awijah dimasa-masa itu masih
hidup dan melihat apa jang diperbuat oleh Jazid, nistjaja ia akan
berkata : "Engkau sama dengan daku dan aku sama dengan dikau, sama-sama
dari anak Hindun, jang pernah mengunjah hati Hamzah!" (Mughnijah dalam
Asj-Sji'ah wal Hakimun, hal. 88).
Memang djika kita perhatikan djalan sedjarah dan
tjeritera-tjeritera jang terdjadi disekitar zaman pemerintahan Mu'awijah
dan Jazid, tak dapat tidak djantung kita berdebar-debar melihat
permusuhan jang sangat kedjam diperbuat Mu'awijah dan anaknja terhadap
keturunan Bani Hasjim. Meskipun kita bukan orang Arab, tidak termasuk
kesana dan tidak termasuk kemari, hati kita diketok oleh perasaan Islam,
lalu mengukur kedjadian-kedjadian itu tidak selajaknja terdjadi
demikian rupa diantara sesama pemeluk Islam.
Sesudah kedjadian jang ngeri dan menjeramkan bulu
roma di Karbala, di Madinah dan di Mekkah, diangkatlah Ubaidillah bin
Zijad penguasa di Kufah. Kekedjaman Ubaidillah ini disaksikan pula oleh
sedjarah, tidak kalah dengan kekedjaman ajahnja Zijad dalam membasmi
sisa-sisa Sji'ah Ali, memendjarakannja, mentjuliknja, membunuhnja,
menjulanja, memotong tangan dan kakinja, kekedjaman-kekedjaman jang
sebenarnja tidak diperkenankan dalam adjaran hukum peperangan Islam.
Kesalahan-kesalahan jang didjadikan sebab adalah persoalan jang
ketjil-ketjil, misalnja masih memudji-mudji Ali bin Abi Thalib,
mengetjam Ibn Zijad atau salah seorng pegawai Bani Umaijjah. kesalahan
ini sudah tjukup untuk mendjatuhkan hukuman berat kepada penduduk Kufah,
diantaranja terdapat sahabat Nabi atau Tabiin.
Masih diingat orang kalimat-kalimat jang ditulis
Jazid kepada penglimanja Umar bin Sa'ad jang berbunji : "Kepung Husain
dan sahabat-sahabatnja, bunuh mereka dan robek-robek tubuhnja biar
mereka rasai.
Djika Husain sudah terbunuh, indjak-indjak dada dan
punggungnja dengan tapak kaki kuda. Aku tidak melihat tidak lajak
perbuatan sematjam itu bagi pembalasan. Djika engkau langgar perintahku
engkau akan menerima balasan, atau serahkan pekerdjaan ini kepada Sjamar
bin Zil Djaus, jang akan melakukannja."
Hal ini tersebut dalam kitab "Al-Madjalisul Husainijah".
Kengerian ini mulai reda dalam masa pemerintahan
anak Jazid, jang bernama Mu'awijah II atau Mu'awijah bin Jazid, tetapi
belum habis sama sekali.
Menurut Abui Mahasin dalam kitabnja "An-Nudjumul
Zahirah" (1929, 1: 164), Mu'awijah bin Jazid dalam chotbah pertama mulai
menggunakan nama Ali bin Abi Thalib dengan kehormatan dan mengakui
kesalahan-kesalahan orang tuanja. Dengan air mata bertjutjuran ia
mengaku do'a orang tuanja mengadakan pembunuhan jang kedjam atas
keluarga Rasulullah, menghalalkan jang haram dan merusakkan Ka'bah,
serta ia berdjandji, tidak akan mengikuti lagi djedjak itu (lih.
Asj-Sji'ah wtal Hakimun, hal. 90).
Demikianlah kita lihat perang saudara jang hebat
ini, jang mula-mula tidak mengenal lagi prikemanusiaan, lama-kelamaan
berangsur reda, tetapi gema dendam masih sampai sekarang berombak dalam
kitab-kitab Sji'ah.
6. HUSAIN DAN KARBALA.
Orang bertanja kepada ketua Mahkamah Sjar'ijah
Agung Dja'farijah di Beirut, Sjeih Muhammad Djawad Mughnijah, jang pada
waktu ini merupakan tokoh penting dalam mazhab Sji'ah mengapa perajaan
Karbala itu dichususkan untuk memperingati Imam Husain sadja, mengapa
tidak neneknja Muhammad atau ajahnja Ali, apakah Husain itu lebih
penting daripada neneknja dan ajahnja itu.
Dalam djawaban Sjeih Muhammad Djawad Mughnijah,
jang dimuat pandjang lebar dalam madjalah „Risalah Al-Islam" tahun 1959,
Djuli, dengan kepala „Sjiah dan Hari Asjura", didjelaskan duduk
perkaranja jang sebenarnja menurut paham Sji'ah. Orang2 Sjiah tidak
melebihi seorang djuapun lebih daripada Rasulullah. Mereka menganggap
Nabi Muhammad itu dalam Islam se-baik2 machluk Tuhan dengan tidak ada
ketjualinja. Sesudah Nabi Muhammad tidak ada jang lebih mulia daripada
Ali bin Abi Thalib. Ali bin Abi Thalib itu pernah membanggakan dirinja
dengan berkata : „Aku adalah seorang tukang tambal sepatu Rasulullah"
Dan ia berkata : „Apa bila peperangan sudah selesai, maka kegembiraan
jang sebesar-besarnja bagi kami ialah bergaul dengan Rasulullah". Memang
Sji'ah Imamijah menganggap bahwa Muhammad itu tidak ada jang
menjainginja dalam keagungan, malaikat tidak, rasul2 lainpun tidak,
bahwa Ali bin Abi Thalib hanjalah chalifah jang berhak sesudah ia wafat,
bahwa Ali bin Abi Thalib adalah keluarganja dan sahabatnja jang
terbaik. Adapun penghormatan Husain pada tiap2 tahun selama sepuluh hari
berturut-turut di Karbala, jang terkenal dengan Asjura, tidak lain
maksudnja ialah untuk mempertahankan dan mengabadikan pendirian itu
serta melaksanakannja dalam bentuk tindakan jang kelihatan.
Hal ini akan lebih djelas, djika diketahui rahasia2 jang dikandung peringatan tersebut, sebagai berikut.
1: Sebagaimana diketahui Rasulullah kawin tatkala
dia berumur 25 tahun dan wafat pada waktu berumur 63 tahun. Setahun
Rasulullah tidak beristeri setelah wafatnja Chadidjah. Kemudian ia kawin
dan banjak istrinja, sehingga ia pernah mengalami perkawinan dengan
sembilan isteri dalam suatu masa hidup. Masa perkawinan itu tidak kurang
dari 37 tahun. Dari perkawinan dengan Chadidjah ia beroleh dua orang
anak laki2, jang tjantik dan sutji, seorang bernama Qasim dan seorang
bernama Abdullah, ke-dua2nja mati diwaktu masih ketjil. Dari perkawinan
dengan Chadidjah itu djuga dia beroleh-empat anak -perempuan,--masing2
bernama Zainab, Ummu Kalsum, Ruqajjah dan Fatimah. Semuanja masuk Islam,
semuanja kawin dan semuanja wafat dikala hiddupnja, ketjuali hanja
tinggal seorang mainan mata dan kenangan kepada keluarganja jang sudah
tidak ada jaitu Fatimah. Memang Rasulullah dikurniai lagi seorang anak
laki" dari isterinja jang bernama Marijah Qubtijah jang diberi nama
Ibrahim, anaknja inipun diwaktu ketjil diambil Tuhan, ia meninggalkan
ajahnja dalam keadaan sepi dan sunji itu, dalam keadaan ia
mentju-tjurkan air mata karena sedihnja, berpulang kerahmatullah dalam
umur hanja setahun sepuluh bulan dan delapan hari. Tidak ada lagi
tunasnja, tidak ada lagi keturunannja, jang dapat menghiburkan dia dalam
keluarga, jang menjambungnja dalam keturunan, ketjuali dengan Fatimah
dan dua orang anaknja jang diperolehnja dari perkawinan dengan Ali jaitu
Hassan dan Husain. Merekalah jang merupakan keluarganja, merekalah jang
merupakan harapan dan kemenangan, mainan mata dan hiasan rumah
tangganja.
Fatimah, Ali, Hasan dan Husain itulah satu2 empat
tunggal keturunan Nabi, satu2nja ketenangan dan kebanggaan kaum muslimin
sesudah wafat Nabi. Jang lain tidak ada, tidak ada keluarganja dan
tidak ada keturunan jang ditinggalkan dalam bentuk rumah tangganja jang
sebenarnja. Tetapi Fatimah wafat pula, hanja sesudah 72 hari ajahnja
kembali kepada Tuhan. Tinggallah rumah tangga Nabi jang gelap gulita
itu, djika tidak diterangi oleh tiga sumber tjahaja dan sumber hiasan,
jaitu Ali, Hasan dan Husain. Kemudian Ali dibunuh orang pula, dan hanja
tinggal dua „Ketjantikan", dua Hasanah. Ketjintaan kaum Muslimin
berkumpul pada kedua anak ini, dahulu mereka dapat menumpahkan tjinta
dan ichlas kepada Nabinja jang mulia, sekarang tak ada lagi salurannja
ketjuali kepada tjutjunja itu, kepada kedua tjutjunja, jang hanja
merupakan keturunan dan jang hanja merupakan Ahli Baitnja.
Tidak berapa lama kemudian Hasan pergi pula menemui
Tuhannja, sehingga dari Ahli Baitnja hanja tinggal satu2nja jaitu
Husain. Seluruh bentuk rumah Rasulullah kembali kepada kepribadiannja.
Satu'nja tempat melihat Nabi ialah Husain, satu2nja jang dapat merupakan
kenang2an kepada keluarganja ialah Husain, hanja Husain jang dapat
menampung seluruh ketjintaan kaum Muslimin karena dialah satu2nja jang
mewakili Ahli Bait Nabi, jang mewakili Nabi, jang mewakili Ali, jang
mewakili Hasan dan jang nrewakili dirinja sendiri. Tjinta akan tidak
dapat terpentjar kepada jang lain. sebagaimana seluruh kenangan2 kepada
keluarga Nabi akan berpusat kepadanja ....
Tjobalah kenangkan djika saudara mempunjai lima
orang anak jang sama ditjintai kemudian mati satu persatu sehingga
tinggal seorang sadja. Akan tak dapat tidak tjinta kepada jang seorang
itu berlipat ganda, karena kepadanja berkumpul seluruh tjinta kepada
jang sudah tidak ada itu.
Djika kita mengerti jang demikian itu, barulah,
kita paham akan utjapan Zainab. jang meratapi saudaranja Husain,
dikeluarkan pada hari jang kesepuluh dalam bulan Muharram : „Pada hari
ini wafat nenekku Rasulullah, pada hari ini pula mati ibuku Fatimah,
pada hari ini ajabku Ali dibunuh dan pada hari ini saudaraku Hasan
diratjuni". Dengan pengertian diatas itu djuga baru dapat kita memahami
apa jang pernah diutjapkan Husain, beberapa saat sebelum djiwanja
ditjabut musuh katanja kepada tentara Jazid : „Demi Tuhan tidak ada lagi
ditimur dan dibaratpun putera anak perempuan lagi ketjuali aku jang
berdiri didepanmu, tidak pula ada keturunannja didepan orang selain kamu
semua."
Pintu rumah Rasulullahpun tertutuplah dengan
pembunuhan atas diri Husain, tidak ada lagi tinggal dari keluarganja
barang seorangpun, sedang ia itu merupakan perlambang bagi rumah Nabi
seluruhnja dan kenang'an hidupnja kepada semua umat Islam.
2. Matinja keturunan Nabi ini tak dapat tidak
merupakan suatu kedjahatan besar jang tidak ada taranja. Hari itu tidak
dapat diartikan hari peperangan dan hari pembunuhan jang biasa, hari itu
adalah hari pertumpahan darah dan hari pembasmian seluruh keluarga Nabi
besar dan ketjil. Dari seluruh pendjuru diadakan serangan, dari seluruh
pendjuru dihadapkan dendam jang dipuaskan sepuas-puasnja kepada
keluarga Nabi. Mereka diboikot makan dan minum berhari2 dengan tidak ada
rasa belas kasihan kepada manusia. Tatkala keluarga Nabi itu sudah
dilumpuhkan, karena mereka laki2 dan perempuan lebih mengutamakan mati
kelaparan dan dahaga daripada menjerah diri kepada musuh jang kotor,
diserbulah dari segala djurusan dengan pelepasan panah, pelemparan
beling dan batu, ditetak dan ditjentjang dengan pedang dan ditikam
ditusuk dengan tombak sepuasanja dengan kedjamnja. Tatkala semua sudah
djatuh kepalanja lalu dipenggal, badannja disuruh indjak2 dengan kaki
kuda, diseret kesana dan kemari sebagai mainan. Kekedjaman ini belum
memuaskan tentara Jazid, sebelum anak2 ketjil jang mendjerit2 karena
kematian ibunja diindjak2 perutnja, sebelum mereka dengan tempik sorak
kegembiraan melemparkan api jang me-njala2 ke-tengah2 perempuan jang
panik dan tidak berdaja itu.
Kita tidak mengetahui, apakah pekerdjaan ini
dianggap baik oleh orang jang mentjintai Nabinja, dapat disetudjui oleh
orang jang membesarkan Nabinja serta keluarganja itu. Apakah hal itu
tidak menegakkan buluroma menghadapi kedjadian itu dengan penuh
ketakutan. Kedjadian jang berlumuran darah ini tak akan dapat dilupakan
selama hajat dikandung badan.
Tatkala Jazid membasmi pemberontakan Husain itu
dengan menggunakan pedang terhunus, ada seorang utusan Kaesar Masehi
datang kepadanja dan berkata : „Ditempat kami masih terdapat seorang
tukang mengurus keledai Isa, jang sampai sekarang kami biarkan dia hidup
bahagia. Dari seluruh sudut bumi orang datang ziarah kepadanja, pergi
melepaskan nazar dan mengantarkan hadiah. Kami menghormati tukang
keledai itu sebagaimana kamu menghormati kitab sutjimu. Sekarang
nampaklah padaku bahwa kamu itu berada diatas djalan jang salah".
Mughnijah mengatakan moga2 Tuhan mendjadikan kedjadian di Karbala ini
suatu kedjadian jang tersebar dalam sedjarah, suatu kedjadian jang
abadi, jang pernah dikenal oleh kitab2 tarich dibumi, karena kedjadian
itu memang merupakan kedjahatan jang sangat menghinakan dan menjakitkan
diantara kedjahatan jang pernah berlaku diatas muka bumi ini.
Husain dalam kalangan Sji'ah dan orang2 arif jang
bidjaksana, jang mengetahui sedjarah dan maksud tjutju Rasulullah
tidaklah merupakan suatu nama orang sadja. Husain merupakan bagi mereka
simbul dan perlambang jang lebih dalam, simbul kepahlawanan, kemanusiaan
dan kesempurnaan tjita2, suluh dan penerangan bagi agama dan sjari'at,
tjontoh perlawanan dan pengorbanan dalam menegakkan kebenaran dan
keadilan. Dalam pada itu adalah Jazid bagi golongan Sjji'ah tidak lain
daripada suatu perlambang kedjahatan, perbudakan dan pendjadjahan,
tjontoh jang kedji dan rendah, tjontoh kerusakan budi jang tidak ada
taranja dari satu pihak kedjahatan, kerendahan budi, kehantjuran
kehormatan, pertumpahan darah manusia, kesombongan dan keangkuhan,
perampasan hak dan pelanggaran hukum, semua itu adalah nama Jazid dan
perbuatannja. Sebaliknja ketenangan, keichlasan, keagungan dan
keutamaan, ketinggian budi, inilah nama Husain dan prinsip hidupnja.
Seorang penjair Sji'ah memudji Husain dalam gubahannja dan mengatakan,
bahwa tiap tempat itu Karbala dan tiap zaman itu Asjura untuk kenang'an
kepada Husain.
Maka oleh karena itu orang2 Sji'ah menganggap,
bahwa menghidupkan kepahlawanan Husain serta mengabadikan djihad nja dan
prinsip hidupnja sama dengan menghidupkan kebenaran, kebadjikan dan
kemerdekaan, pengorbanan dirinja, keluarganja dan sahabat'nja terhadap
kezaliman Jazid dan teman2nja adalah wadjar.
Anak Muawijah itu hendak menghantjjurkan Ahli Bait
Nabi dan memadami tjahaja Tuhan serta menggunakan Kalimatul Ulja untuk
menaburkan kedjahatan dan kezaliman dan dia menjangka bahwa dia akan
menang serta hendak menjudahi tampuk kemenangannja itu dengan membunuh
"Husain, ketahuilah bahwa kemenangannja itu gagal dan hantjur. Disamping
kehantjuran Bani Umajjah, timbul peringatan Karbala dan peringatan
Husain jang berdjalan sampai hari kebangkitan. Demikian pendirian
Sji'ah.
Hal ini sudah diperingatkan Zainab kepada Jazid
tatkala ia berpidato menerangkan : „Hai Jazid, engkau menjangka bahwa
engkau dengan memangkas diri kami akan menguasai bumi Tuhan jang luas
dan langit Tuhan jang membumbung keangkasa dan dengan menghinakan kami
sebagai engkau menghinakan tawanan2, bahwa kami akan dihinakan Tuhan dan
engkau akan dimuljakannja ? Tidak, tjamkanlah. Tuhan tidak akan
mengubak ketjuali dagingmu. Meskipun pidatomu ber-api2, aku tidak merasa
ketjil menjerahkan diri kepada kekuasaanmu, engkau tidak akan dapat
membesarkan perkosaan, engkau tidak dapat merampas kami. Kemegahanmu
boleh engkau perbesarkan, kekajaanmu boleh engkau timbun2 dan perlawanan
boleh engkau perbesar dan engkau perkuat, tetapi demi Tuhan engkau
tidak dapat menghilangkan semangat jang ada pada kami, engkau tidak
dapat menghilangkan djiwa kami, engkau tidak dapat merendahkan kami dari
pada kedudukan kami. Pendapatmu hanja merupakan chajal, zaman
kekuasaanmu hanja merupakan bilangan hari dan kesatuanmu hanja merupakan
kekuatan sementara."
Utjjapan Zainab ini segera terbukti. Jazid dan
chalifahnja djatuh satu persatu. Dinasti Umajjah tidak ada setengah abad
sesudah pembunuhan Husain hantjur lebur. Orang2 Islam melaknatkan
Jazid, dan berkumpul memperingati Imam Husain pada hari pembunuhannja
dan hari kelahirannja pada tiap2 tahun. Mesir bangkit memukul rebananja
pada hari lahir Imam dan hari wafat Imam Husain dan hari lahir
saudaranja sebagai pahlawan2 Karbala. Bukanlah hanja orang2 Sji'ah sadja
jang merajakan peringatan Husain itu, tetapi semua orang Islam, baik
Adjam atau Arab, pada tiap sempat dan tempat. Kadang2 berlainan
tjaranja, tapi tudjuan dan maksudnja satu dan bersamaan.
Mughnijah mentjeritakan, bahwa ia pernah membatja
dalam madjalah „Al-Ghadi", jang terbit di Mesir, Pebruari tahun 1959,
sebuah karangan jang berkepala „Maulid Sajjidah (Zainab dan hari-hari
besar umat Arab".
7. BANI MARWAN DAN IBN ZUBAIR
Dengan hantjurnja Jazid hantjur pulalah keturunan
Bani Sufjan dan berpindah pemerintahan Bani Umajjah kedalam tangan Bani
Marwan, jang dimulai dengan Marwan bin Hakam, jang pemerintahannja
berumur hanja sembilan bulan. Sementara ia sibuk menjelesaikan
peperangannja, dari satu pihak melawan sisasisa Bani Sufjan, dari lain
pihak menentang perlawanan Ibn Zubair, diteruskannja sikap Mu'awijah dan
Jazid memusuhi Ali dan pengikutnja dengan setjara tjutji maki diatas
mimbar dan menjuruh algodjonja menghukum ulama-ulama Sji'ah, seperti
Sulaiman bin Sjarad Al-Chuza'i, Hasib bin Nudjban Al-Chuzari, Abdullah
Al-Azdi d.U. pengikutnja jang tidak kurang dari lima ribu orang
terbunuh.
Sebagaimana ajahnja, begitu djuga anaknja Abdul
Malik jang memerintah Sjam tidak sedikit membasmi orang-orang Sji'ah dan
menggunakan Ubaidillah bin Zijad melawan dan merantai pengikut-pengikut
Ali itu, kebanjakan sampai mati.
Begitu Abdul Malik diangkat mendjadi radja, ia
segera menulis surat kepada Al-Hadjdjadj : "Pelihara darah Bani Abdul
Muttalib, kalau perlu lindungi, karena kulihat, bahwa keturunan Abu
Sufjan dikala mereka menelan habis, mereka sendiri mendjadi susut
kehabisan." Demikian amanat Abdul Malik hanja mentjegah pertumpahan
darah Bani Abdul Muttalib, karena ketakutan tertumbang singgasananja,
sedang darah keturunan Ali halal ditumpahkan.
Sementara Abdul Malik membunuh orang-orang jang
sudah menjerah, atas perintah Ibn Zubair, Mas'ab membunuh golongan jang
dinamakan muchtarin, tidak kurang tudjuh ribu orang, termasuk perempuan
dan anak-anak ketjil. Wanita-wanita pahlawan ini sampai kepada saat
terachir menjalakan kesetiaannja kepada Ali bin Abi Thalib. Keberanian
orang-orang Sji'ah dikagumi. Muhammad bin Hanifah berani menaiki mimbar
dan menolak keluar Ibn Zubair jang sedang mentjatji maki keluarga
Rasulullah, dan meneruskan chotbahnja dengan mentjatji maki Ibn Zubair,
dan achirnja mendjadi korban pula. Abdul Malik menggunakan Al-Hadjdjadj
sebagai pelaksana dendamnja jang kedjam. Tidak ada seorang Sji'ah jang
aman dalam tangannja, meskipun sudah menjerah, dan hukumannja diluar
prikemanusiaan, seperti potong lidah, potong tangan dan kaki dan disula
hidup-hidup. Qambar, pelajan Saidina Ali disembelihnja seperti
menjembelih kambing dan Kumail bin Zijad, seorang Sji'ah jang saleh dan
sudah terlalu tua, dikedjar diuber-uber achirnja dibunuh. Sa'id bin
Zubair seorang Tabi'in jang zahid, ahli ibadat, ahli Ilmu tafsir, murid
Imam Zainul Abidin, ditangkap oleh Qusri dan dikirimkan kepada
Al-Hadjdjadj, jang dihukum bunuh, hanja karena menerangkan bahwa
Abubakar dan Umar masuk sorga sebagai chalifah. Ibn Asir menerangkan,
bahwa Sa'id bin Zubair dikala kepalanja putus dari badannja, masih
kedengaran mulutnja mengutjapkan sjahadat. Pada malam hari Al-Hadjdjadj
bermimpi, bahwa Sa'id bertanja kepadanja : "Apa salahku engkau bunuh,
wahai musuh Allah ?"
Al-Hadjdjadj djuga merusakkan kehormatan
wanita-wanita bangsawan. Ia pernah memaksakan dengan pedangnja gadis
Asma anak kepala suku Bani Fazarah dan gadis Sa'id bin Qais AlHamdani,
radja Al-Jamanijah, dengan Abdullah bin Hani, seorang pesuruhnja jang
biasa, seorang jang berlaku buruk dan djelek mukanja. Baik Al-Mas'udi,
maupun Ibn Asir mengetjam Al-Hadjdjadj habis-habisan atas kekedjamannja
dan durhakanja.
Apa jang diperbuatnja atas Ibn Zubair di Mekkah,
semua orang dapat membatja dalam sedjarah Islam. Dan kekedjamannja itu
dilakukan disekitar Masdjidil Haram dan disaksikan oleh Ka'bah, ditanah
Haram, dimana menurut adjaran Islam seekor semutpun tidak boleh dibunuh.
Sesudah selesai dengan Ibn Zubair, ia meneruskan
kekedjamannja ke Madinah dan menghabiskan sisa-sisa Sahabat dan Anshar
Nabi, diantaranja Djabir bin Abdullah Al-Anshari dan Sanal bin Sa'ad
(Thabari).
Menurut Ibn Mas'ud dalam kitabnja "Murudjuz Zahab"
(1948 III: 175) selama Al-Hadjdjadj mendjadi panglima perang dua puluh
lima tahun ia telah membunuh rakjat biasa sebanjak dua puluh ribu orang,
tidak termasuk kedalam djumlah ini orang-orang jang terbunuh dalam
peperangan dan pemberontakan dimana-mana. Tatkala Al-Hadjdjadj mati,
masih didapati orang lima puluh ribu tawanan perempuan, jang diantara
mereka enam belas ribu telandjang bulat. Kebiasaan Al-Hadjdjadj menawan
laki2 dan perempuan dalam sebuah pendjara, jang terbuka musim panas dan
dingin dan tidak ketahuan makan dan minumnja.
Mughnijah menerangkan : "Ini adalah tjontoh-tjontoh
ketjil daripada kezaliman Al-Hadjdjadj, jang disebut-sebut oleh ahli
sedjarah dalam kitab-kitabnja. Apa jang aku batja dan aku dengar tentang
Al-Hadjdjadj ini, memperbuat aku memperbandingkannja dengan Nero, jang
pernah menjuruh membakar kota Roma, kemudian ia duduk terbahak-bahak,
melihat kepada lidah-lidah api jang menjala-njala membakar
wanita-wanita, orang-orng tua dan anak2 jang putus asa lari
kesana-kemari. Al-Hadjdjadj adalah musuh Allah dan prikemanusiaan pada
umumnja dan musuh Nabi Muhammad serta keturunannja pada chususnja.
Hari-hari pemerintahannja adalah hari-hari jang merupakan azab jang
tersukar bagi golongan Sji'ah, dalam masa pemerintahan Mu'awijah dan
Jazid, ketjuali hari-hari ketenangan dibelakangnja. Bagaimana tidak,
karena Al-Hadjdjadj lebih suka menamakan Ali itu zindiq dan kafir
daripada menamakannja Sahabat. Hanja karena keturunan Ali ini sadja
Sji'ah dianggap orang djahat dan berhak dihukum berat (Asj-Sji'ah wal
Hakimun, 1962, hal. 98—99).
Meskipun agak tenang mengenai permusuhan, sikap
Walid bin Abdul Malik mentjemaskan, karena ketika itu jang diangkat
mendjadi gubernur di Mekkah ialah Chalid bin Abdullah Al-Qusri, jang
masih mempermainkan nama chalifah diatas mimbar. Chalid menjuruh membawa
air sungai Eufrat ke Mekkah untuk menilai dengan air zam-zam. Diantara
edjekan-edjekannja ialah, bahwa ia memudji-mudji chalifah Walid dari
Bani Marwan dan mengatakan, bahwa djika perlu akan dipindahkannja Ka'bah
ke Sjam, atas perintahnja, dan bahwa chalifahnja itu mulia pada Allah
daripada Nabi-Nabinja.
Chalid Al-Qusri ini adalah seorang kafir zindiq,
ibunja adalah seorang Nasrani, ia memasukkan banjak adjaran-adjaran
Nasrani kedalam Islam. Tatkala ia mendjadi gubernur di Kufah, ia
mendirikan sebuah geredja untuk ibunja didepan mesdjid (Terich
Datotafctl Artobijàh, hal. 319).
8. UMAR BIN ABDUL AZIZ DAN SJI'AH,
Diantara kekedjaman Bani Umajjah terhadap Sji'ah
ialah apa jang dinamakan mala'nat atau mengutuk Ali diatas mimbar dan
dalam chotbah-chotbah Djum'at jang mula pertama dimulai oleh Mu'awijah
bin Abi Sufjan sendiri, kemudian diikuti oleh Jazid, Marwan, Abdul Malik
dan Walid, jang lalu merupakan instruksi umum diseluruh keradjaan Bani
Umajjah. Segala isi dada dan dendam kepada Ali bin Abi Thalib
ditjurahkan dalam segala matjam susunan kalimat jang kedji. Walid pernah
menjebut nama Ali dengan menjusulkan dibelakangnja kutukan
"la'natullah", "anak pentjuri", sehingga orang mendjadi heran, apakah
utjapan jang demikian itu lajak ditudjukan kepada kemenakan dan menantu
Nabi serta seorang sahabat besar daripada chulafaur rasjidin (M. Djawad
Mughnijjah, Asj-Sji'ah wal Hakimun, Beirut 1962, hal. 105).
Mughnijjah mentjeriterakan djuga, bahwa Chalid bin
Abdullah al-Qusri, salah seorang ulama besar Bani Umajjah djuga pernah
melantjarkan kata-kata jang kedji kepada Ali di Mesdjid Mekkah sebagai
do'a dalam chotbahnja : "Ja Tuhanku, la'natilah Ali bin Abi Thalib anak
Abdul Muttalib anak Hasjim, menantu Nabi, ajah Hasan dan Husain !" Semua
orang jang hadir meneteskan air mata dan menekan perasaan ketika
mendengar kata2 jang tidak lajak dalam chotbah itu, karena orang tahu!
bahwa membeda-bedakan sahabat Nabi, apalagi mentjatji-makinja didalam
chotbah Djum'at, tidak lajak diutjapkan oleh mulut seorang Islam.
Chotbah ini membuat Ubaidillah Assahmi menjerang dengan sjair-sjairnja jang berirama sbb. :
Tuhan mela'nat pengutuk Ali,
Pentjatji maki anak tjutjunja,
Sedangkan neneknja tali-temali,
Hubungan bapak serta pamannja.
Demikian kelakuan bangsawan,
Kotor hati serta mulutnja,
Mentjintai burung terbang diawan,
Tetapi mendendam keluarga nabinja.
Indah budimu wahai djundjungan,
Serta keturunan semuanja,
Selalu mengeluarkan kata sandjungan.
Mengutjapkan salam tanja menanja.
(Dala'ilus Shidiq, karangan Ibn Abil Hadid djuz III, hal. 476, djuz I. hal. 366).
Kazaliman Bani Umajjah itu, meskipun digunakan
sebagai topeng politik, berachir pada masa pemerintahan Umar bin Abdul
Aziz, jang melarang menggunakan chotbah Djum'at untuk serang-menjerang.
Sebaliknja dialah jang mula-mula memperdekatkan kembali antara Bani
Umajjah dan Sji'ah serta menghapuskan suasana permusuhan antara dua
keturunan jang sebenarnja satu mojang dan seasal.
Perubahan sikap Umar bin Abdul Aziz bukan tidak ada
latar belakangnja. Sedjak ia mendjadi gubernur di Madinah, ia sudah
menundjukkan pembawaan bentji kepada kezaliman dan atjapkali mengeluh
tentang kekedjaman Al-Hadjdjadj.
Tetapi saja berpendapat, bahwa bukan pembawaannja
sadja jang mempengaruhi sifatnja, tetapi djuga pendidikannja. Meskipun
ia seorang pangeran keturunan Bani Umajjah jang. hidup dalam istana,
dimasa ketjil ia menerima pendidikan dari seorang ulama jang baik,
tjutju dari Ibn Mas'ud, sahabat Nabi jang terkenal itu.
Umar -bin Abdul Aziz mentjeriterakan pengalamannja dengan gurunja itu sbb. :
"Aku beladjar membatja Qur'an pada anak Utbah bin
Mas'ud. Pada suatu hari sedang aku bermain-main dengan anak-anak lain
dan sedang sibuk, kami mengutuk Ali, ia lalu dekat aku dengan muka jang
masam tidak menegur, terus masuk kedalam mesdjid. Melihat sikapnja jang
kurang senang itu, aku tinggalkan anak-anak sepermainan segera aku
datanginja untuk menerima peladjaran. Tatkala ia melihat aku, ia terus
berdiri sembahjang, dan diperpndjangkannja sembahjang itu seolah-olah ia
hendak menghindarkan pertemuannja dengan aku, sehingga akupun merasakan
sesuatu dalam hatiku. Kutunggu sampai ia selesai sembahjang. Dan
sesudah ia selesai, ia menghadapi daku dengan mukanja jang murung. Aku
bertanja kepadanja mengapa ia bersikap demikian menghadapi daku. Ia
mendjawab : "Karena engkau mela'nati Ali, bukankah demikian ?" Sahutku :
"Ja, benar". Maka iapun berkata : "Apakah engkau mengetahui bahwa Allah
pernah marah kepada pengikut perang Badar dan peserta Sumpah Ridwan,
sesudah Tuhan mengurniai mereka keridhaannja ?" Kataku: "Apakah Ali
seorang dari pedjuang Badar ?" Djawabnja : "Tjis. semua kemenangan Badar
atas usahanja !"
Lalu aku berkata : "Wahai tuan guru, aku tidak akan
ulangi lagi." Ia bertanja kepadaku : "Apakah engkau berdjandji dengan
nama Allah bahwa engkau tidak mengulanginja kutuk terhadap Ali ?" Aku
mendjawab, bahwa aku berdjandji dan sedjak itu aku tidak pernah lagi
mela'nati Abi bin Abi Thalib."
Latar belakang jang lain adalah sbb. : Umar bin
Abdul Aziz mentjeriterakan, bahwa ia pernah hadir, tatkala ajahnja
berchotbah di Madinah pada hari Djum'at. Ia lihat ajahnja mengatjau
dalam chotbahnja dengan menjerang dan mengutuk Ali, jang membuat ia
heran. Pada suatu hari ia berkata kepada bapaknja : "Ajah, engkau
seorang chatib jang paling baik dan paling fasih, tjuma djika engkau
sudah mulai mengutuk orang dalam chotbahmu, mungkin djauh nilaimu dalam
mata orang." Ajahnja berasa bahwa anaknja melihat jang demikian itu,
lalu udjarnja : "Hai anakku djika penduduk Sjam dan orang2 lain
mengetahui tentang keutamaan Ali, sebagaimana jang kita ketahui, pasti
seorangpun tidak ada jang mengikuti kita, semuanja akan meninggalkan
kita dan menjebelah kepihak tjutju Ali." Umar menerangkan, bahwa
keterangan bapaknja itu termasuk dalam hati ketjilnja, sebagaimana telah
melekat kepadanja utjapan gurunja pada waktu ia masih ketjil. Katanja :
"Aku lalu berdjandji dengan Tuhan, akan mengubah keadaan ini, djika
pada suatu masa aku dianugerhi Tuhan memegang kendali pemerintahan"
(Mughnijjah, Asj-Sji'ah wal Hakimun, hal. 106).
Umar menepati djandjinja dan melenjapkan penggunaan
kutuk dan serangan terhadap Ali dalam chotbah. Ditempat orang
mengutjapkan kutuk dan ketjaman, diperintahkan membatja ajat Qur'an,
jang berbunji : "Tuhan Allah menjuruh berbuat adil dan menjuruh berbuat
kebadjikan dan menjuruh mentjintai sanak kerabat dan menjuruh mentjegah
perbuatan jang kedji dan, munkar serta segala kedjahatan. Tuhan Allah
memperingatkan hal itu kepadamu, semoga engkau mengingatnja" (Qur'an).
Perintah ini disiarkan keseluruh keradjaan Bani
Umajjah dan semua mesdjid menerima dengan rasa sjukur, sehingqa umat
manusia memudji-mudji sikap Umar Ibn Abdul Aziz atas kebidjaksanaannja
(Ibn Asir, Hawadis Sanah 69).
Memang dalam sedjarah Islam dua Umar jang terpudji.
Umar ibn Chattab, Chalifah jang kedua dan Umar bin Abdul Aziz. dari
Bani Umajjah, kedua-duanja adalah pentjipta daripada keradjaan Islam
jang adil, dimana rakjat hidup makmur dan damai.
Pernah kita mendengar tjeritera bahwa Umar bin
Abdul Aziz memerintahkan sekretarisnja untuk membagi-baai zakat kepada
oran2 miskin dalam pemerintahannja. Sebulan lamanja sekretaris itu
keliling, tetapi tidak ada seorangpun jang merasa berhak menerima zakat
itu dengan alasan : "Kami sudah mendjadi kaja karena keadilan Umar bin
Abdul Aziz".
Sikap Umar jang bidjaksana itu tak dapat tidak
didorong dan dipupuk oleh gurunja Ibn Utbah bin Mas'ud, seorang jang
teguh imannja dan mendalam tjintanja kepada Allah dan Rasulnja serta
ahli rumahnja. Beberapa waktu ketjintaan ini disembunjikan, karena
berbahaja djika dilahirkannja tetapi dimana ada kesempatan dimasukkannja
adjaran jang baik itu kepada Umar bin Abdul Aziz, jang menurut
penglihatannja mempunjai pembawaan kearah damai. Usaha ini tidak
sia-sia, dan Umar bin Abdul Aziz mendjadi seorang besar dalam sedjarah
Islam. Keutamaan Umar kembali kepada gurunja jang merahasiakan niat
baiknja dari detik-kedetik, dan menelan air mata dari tetes-ketetes
tatkala mendengar tjutji maki terhadap Ali.
Tetapi sajang rahasia ini kemudian terbuka, dan
dengan tuduhan, bahwa ia kaki tangan Sji'ah, ia dihukum bunuh dan
dikubur kan hidup-hidup.
9. BANI ABBAS DAN SJI'AH.
Sebenarnja Bani Abbas lebih dekat kepada Sji'ah
daripada Bani Umajjah, Tetapi kekuasaan dan keduniaan jang djatuh
ketangannja membuat mereka tamak, ditambah pula oleh fitnah2 jang
dimasukkan oleh manteri-manteri dan pembesar-pembesarnja. Mereka
mendjadi hasad dan mendendami golongan Sji'ah, terutama dalam masa Abul
Abbas As-Safah (749—754 M.) dalam masa Abu Dja'far Al-Mansur (754—775
M.), dimana kaum Sji'ah di Hedjaz mulai memberontak menentang kekuasaan
Abbassijah. Pada masa Musa Al-Hadi (785—786 M.) terdjadi lagi
pemberontakan kaum Alawijjin di Hedjaz, dibawah pimpinan Husain bin Ali
bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Oleh penduduk Madinah Husain diangkat
mendjadi chalifah. Tetapi Husain dengan para pengikutnja dapat
dikalahkan oleh tentara Abbasijjah di Wadi Fuch, antara kota Madinah dan
Mekkah.
Dikala-kala Bani Abbas dalam pemerintahannja
mendekati Sji'ah, seperti jang terdjadi dalam masa Abu Muslim
Al-Churasani dan Harun-Ar-Rasjid (786—809 M.), tenteranja mendjadi kuat
dan dengan mudah dapat menentang sisa-sisa kekuatan Bani Umajjah. Dengan
demikian kita lihat kerdjasama ini pernah ditjoba setjara resmi oleh
Al-Ma'mun, terutama untuk menarik hati Parsi jang kebanjakannja
bermazhab Sji'ah, tetapi dalam djalan sedjarah selandjutnja selalu kita
dapati hasad dan dengki terhadap golongan Sji'ah itu.
Saja tjari-tjari sebabnja. Kitab-kitab sedjarah
hanja menerangkan, bahwa sebab-sebabnja itu ialah karena orang Sji'ah
lebih mengutamakan agama dan kehidupan achirat, sedang Bani Abbas
kebanjakannja mengutamakan kehidupan duniawi dan tamak dalam
memperluaskan daerah pemerintahan Arabnja.
Tetapi apakah tidak ada sebab jang lain, jang
mendjadi pokok dendam jang lebih mendalam. Apakah pokok dendam ini tidak
dimulai dari masa, ketika dalam salah satu peperangan Abbas tertawan
dan diikat pada sebatang tiang, dimana Ali bin Abi Thalib lalu dan
mengedjeknja sebagai seorang musjrik penjembah berhala, meskipun Abbas
mengemukakan djasa-djasanja dalam memperbaiki Ka'bah. Kedua bukankah
hasad ini ditimbulkan karena orang-orang jang merupakan imam Sji'ah Ali
itu adalah orang-orang jang sangat ditjintai oleh Sahabat-Sahabat dan
Tabi'in, serta umat banjak, sehingga kehormatan jang diberikan kepada
imam-imam keturunan Ali ini djauh melebihi kehormatan rakjat terhadap
chalifah-chalifah Abbasijjah.
Satu diantara tjontoh jang banjak ialah kedjadian
dalam masa Chalifah Ma'mum (809—833 M.), dimana Imam Ali ArRidha
demikian besar kedudukannja dalam mata rakjat, sehingga mentjemaskan
chalifah dan seluruh pembesarnja. Mughnijah mentjeriterakan dalam
kitabnja "Asj-Sji'ah wal Hakimun" (Beirut, 1962, hal. 166) tentang imam
Ali bin Musa bin Dja'far, jang disebut Imam Ridha, sebagai berikut :
"Imam Ali bin Musa bin Dja'far adalah manusia jang
sebaikbaiknja dalam masanja, seorang jang mempunjai kedudukan tinggi dan
terhormat dalam agama dan dalam pandangan manusia ketika itu. Ahli-ahli
sedjarah menerangkan, bahwa Imam Ridha apabila ia melalui djalan raja
berbondong-bondong manusia, rakjat dan jang berpangkat, mengikutinja. Ia
diikuti oleh ulama-ulama dan ahli fiqh dengan kenderaan dan tunggangan,
untuk menanjakan betmatjam-matjam masalah, jang melimpah-limpah dari
ilmunja. Orang-orang mengudjinja dan memudji keturunannja. Pernah ia
melalui djalan besar di Naisabur, untuk mengimami sembahjang Hari Raja.
Ditempat ia berdjalan itu penuh sesak manusia, segala djalan dan lorong
padat, begitu djuga tingkattingkat rumah dan atap penuh dengan laki-laki
perempuan dan anak-anak. Tatkala ia melihat kelangit dan mengutjapkan
takbir, seakan-akan djawaban takbirnja oleh lautan manusia itu
menggontjangkan gedung-gedung langit dan bumi disekitarnja. Ketjintaan
manusia kepadanja tidak dapat ditahan-tahan, jang membuat pengaruhnja
begitu besar dalam kalangan umat, sehingga pengaruh jang demikian itu
tidak pernah ditjapai oleh seorang radja Abbasijahpun, meskipun jang
terbesar dalam sedjarahnja seperti Harunur Rasjid. Kepergiannja
kesembahjang hari raja pada waktu itu disaksikan oleh Al-Fadhal bin
Sahal, pembesar dari Chalifah Ma'mun, jang menjampaikan berita itu
kepada madjikannja dengan penuh takdjub, sambil menjatakan pendapatnja
dengan segera, bahwa, djika Imam Ridha pada hari itu dibiarkan mengimami
shalat untuk lautan manusia jang sekian banjaknja, pasti akan
menimbulkan fitnah sebagai akibatnja. Ia minta agar Chalifah Ma'mum
segera melarang Imam Ridha meneruskan perdjalanannja dan memerintahkan
balik kembali." (hal. 166).
Maka pulanglah orang besar ini dengan ta'at kepada
perintah radja meninggalkan sembahjangnja, sedang rakjat disekitarnja
mengikutinja dengan teriak dan tjutjuran air mata.
Bagaimanakah tidak mendjadikan hasad bagi
radja-radja Abbasijah ketjintaan orang banjak jang meluap-luap kepada
keturunan Ali, dan hasad ini lama-kelamaan berubah mendjadi haqad,
dendam chasumat dan iri hati, jang lalu disalurkan dalam
tindakan-tindakannja untuk menghantjurkan keluarga Ahlil Bait ini.
Sedang sebaliknja segala tantangan itu selalu didjawab dengan lunak
lembut, sopan santun penuh dengan sabar dan ta'at, sesuai dengan
achlak-achlak terpudji, jang terdapat pada golongan ini.
Oleh karena Ma'mun tahu, bahwa pengaruh umum ada
sama Imam Ridha, pernah ia menanjakan Imam ini pada suatu hari dengn
kasar, dan pertjakapan itu kita salinkan dibawah ini.
Ma'mun : Aku ingin turun dari singgasana chalifah, dan kedudukan kehormatan ini kuserahkan kepadamu.
Ridha : Djika singgasana Chalifah itu hakmu, dan
engkau menganggap dirimu tjakap untuk itu, lebih baik djangan engkau
tinggalkan dan djangan engkau serahkan kepada orang lain.
Ma'mun : Mesti engkau terima penjerahan ini.
Ridha : Aku lebih bangga dan merasa beruntung dalam
ibadah, dan dengan zuhud dalam dunia aku ingin terlepas dari pada
kedjahatan duniawi, terbebas daripada segala jang diharamkan Tuhan, dan
dengan tawadhu' aku mengharapkan tingkat jang lebih mulia pada sisi
Allah.
Ma'mun : Djika engkau tidak mau menerima kedudukan chalifah ini, aku mengharap engkau terima kedudukan putera mahkota.
Ridha : Sekali-kali aku tidak akan memilih tawaran itu.
Ma'mum dengan menjindir : Sebenarnja engkau bermaksud dengan zuhudmu kedudukan duniawi dalam mata umum.
Ridha : Demi Allah aku tak pernah berdusta sedjak
aku dilahirkan Tuhan, dan belum pernah aku zuhud didunia untuk
kepentingan dunia. Aku tidak mengerti maksudmu.
Ma'mun : Apa jang kau maksudkan ?
Ridha : Barangkali engkau maksudkan, agar manusia
berkata, bahwa Ali bin Musa ar-Ridha, tidak zuhud jang sebenarnja tetapi
aku berlaku pura-pura zuhud didunia. Apakah engkau tidak melihat hal
jang demikian itu, djika kesempatan mendjadi putera mahkota ini aku
terima ? Maka Ma'munpun marah dan berkata dengan kedjam: Demi Allah !
Djika engkau tidak mau menerima tawaranku ini, aku akan tebaskan
lehermu.
Ridha : Allah telah melarang kepadaku untuk
meletakkan tanganku turut dalam kebinasaan. Djika engkau telah mempunjai
niat demikian, teruskan niatmu, aku terima dengan pendirian, aku tidak
menjuruh, aku tidak melarang, aku tidak bertindak dan aku tidak mengubah
sesuatu.
Siapa jang menjangka, bahwa pertjakapan ini
merupakan pantjingan pertentangan, jang mengakibatkan pembunuhan atas
diri Imam Ridha, dengan menggunakan ratjun. Segala apa jang dapat
dilakukan, telah dikerdjakan oleh imam ini sedjak pemerintahan Rasjid,
ajahnja Ma'mun jang tidak kurang melakukan kekedjaman kepada Imam Ridha
itu. Sajid Al-Amin dalam kitab "A'jan.usj Sji'ah" (1:60),
mentjeriterakan, bahwa sesudah wafat Imam Al-Kazim, Rasjid mengirimkan
suatu kekuatan tentara ke Madinah dengan perintah menghantjurkan seluruh
perkampungan keturunan Abu Thalib dan merampasi semua harta benda
wanitanja, meskipun sepotong kain dibadannja. Konon dikatakan, bahwa
tentara itu sampai kekampung Imam Ridha, jang mengetahui kedatangannja
dan mengumpulkan semua wanita-wanita itu dalam sebuah rumah, sedang ia
sendiri berdiri didepan pintu rumah itu. Kepala tentara itu berkata :
"Berikan kami masuk akan mengambil semua barang wanita itu." Imam tidak
memberikan ia masuk, tetapi ia sendiri pergi mengambil semua harta benda
dan pakaian jang ada pada diri wanita-wanita itu, jang diangkutnja
untuk diserahkan kepada Rasjid.
Konon Ma'mun membawa perobahan, ia mengantjam
kepada tentara itu akan membunuhnja atas perbuatan jang kedjam. Imam
Ridha jang kebetulan hadir ketika itu meminta ampun untuk keselamatan
kepala tentara itu.
Kelakuan-kelakuan jang seperti ini membuat rakjat dalam masa Bani Abbas lebih mentjintai keturunan Ali.
Selain daripada itu ulama-ulama hampir semuanja
berpihak kepada imam itu, jang terdiri daripada orang-orang alim dan
zahid, sebaliknja daripada keadaan radja-radja dan pangeran-pangeran
Bani Abbas, jang terdiri daripada orang-orang jang kurang pengetahuannja
tentang agama dan banjak diantaranja jang tidak mendjalankan agama itu
dalam kehidupan sehari-hari. Mereka memusuhi ulama-ulama besar jang
hidup ketika itu, hanja karena fatwa-fatwanja jang sesuai dengan hukum
Islam, kelihatan seakan-akan membela pendirian Sji'ah. Kita lihat,
bagaimana ulama-ulama beroleh kedudukan selama mereka ta'at kepada
pemerintahan Abbasijah dan bagaimana siksaan atau hukuman jang
didjatuhkan kepada mereka jang tidak mau kerdjasama dengan Bani Abbas
itu, seperti Malik, Abu Hanifah, Sufjan as-Sauri, Ahmad bin Hanbal dll.,
jang semuanja berguru kepada ulama-ulama keturunan Ali bin Abi Thalib,
seperti Imam Dja'far AshShadiq.
Saja sangka, bahwa dendam Bani Abbas kepada Sji'ah
itu lebih banjak terletak dalam iri hati terhadap pengaruh jang besar
dan ilmu pengetahuan jang melimpah-limpah, jang diperoleh imam-imam
merupakan ketjintaan rakjat umum kepadanja, sehingga djika dibandingkan
dengan pengaruh dan kekuasaan jang ditjapai oleh Bani Abbas jang
memerintah itu, tidak ada artinja sama sekali. Dalam pandangan rakjat
radja-radja Bani Abbas itu hanja orang-orang jang tamak kepada kekuasaan
duniawi dan kepada harta benda serta kekajaan, jang dikumpulkan dari
bangsa-bangsa jang ditaklukkannja dengan pertumpahan darah, baik
bangsa-bangsa Arab. maupun bangsa-bangsa Parsi atau bangsa Adjam jang
lain.
Dendam chasumat dari radja-radja Bani Abbas ini
terhadap kepada imam-imam dan orang-orangnja akan kita bitjarakan dalam
perintjian berikut ini.
IV. SJI'AH IMAMIJAH
1. SJI'AH IMAMIJAH
Salah satu daripada mazhab Sji'ah jang terdekat
kepada mazhab Sunnah ialah mazhab Sji'ah Imamijah atau Dja'farijah.
Perbedaannja diantara lain terletak dalam kewadjiban beriman dan imam
itu harus ma'sum, jaitu terpelihara dari segala perbuatan ma'siat,
ketiga jang terachir dan terpenting ialah kewadjiban memegang kepada
nash, jaitu Qur'an dan Hadis sebagai sumber hukum, dan kemudian
menggunakan akal untuk beridjtihad, jang menurut kejakinan mereka tidak
pernah tertutup pintunja sampai sekarang.
Sam'ani mentjeriterakan, bahwa Imamijah itu
merupakan suatu golongan Sji'ah dan kuat, mereka dinamakan demikian
karena mereka itu menumpahkan iman atau kepertjajaan jang
sepenuhpenuhnja kepada Ali bin Abi Thalib dan anak-anaknja, begitu djuga
mereka mempunjai i'tikad jang teguh bahwa manusia itu tidak boleh tidak
harus mempunjai imam atau menantikan seorang imam, jang akan lahir pada
achir masa, membawa keadilan jang penuh untuk dunia ini. Pengarang
Sji'ah jang terkenal, Sajjid Muhsin Al-Amin, dalam kitabnja A'janusj
Sji'ah (Beirut, 1960 M.) menerangkan bahwa Imamijah atau Isna 'Asjarijah
tidaklah sebagaimana jang dituduh orang demikian fanatiknja kepada
Ahlil Bait, sehingga mereka memasukkan kejakinan itu kedalam pekerdjaan
ubudijah, tetapi kejakinan itu hanja merupakan suatu tjitatjita
mazhabnja, jang tidak termasuk bertentangan dengan usul Islam, jang
tiga, jaitu tauhid, nubuwah dan ma'ad, hanja merupakan adjaran furu'
dalam mazhabnja, jang kebebasannja tidak menolak prinsip ke-Islaman.
Mazhab Imamijah ini menurut Al-Amin masih terbagi
pula dalam beberapa aliran lain, jang tidak sama pendiriannja antara
satu sama lain. Imamijah itu umumnja dapat dibagi atas Isna' 'Asjarijah,
jang sedjarahnja dan perkembangan adjaran kejakinannja terbanjak akan
kita bitjarakan dalam risalah ini, tetapi dapat kita simpulkan bahwa
mereka mejakini kesutjian dua belas orang imam, jaitu Ali bin Abi
Thalib, Hasan anak Ali bin Abi Thalib, Husain anak Ali bin Abi Thalib,
Ali bin Husain atau Zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir, Dja'far Shadiq,
Musa al-Kazim, Ali Ridha, Muhammad al-Djawad, Ali al-Hadi, Hasan
al-Askari dan Muhammad bin Hasan al-Mahdi, semuanja anak tjutju dan
tjitjit dari Ali bin Abi Thalib.
Àliran Kisanijah, (jang kini sudah tidak ada lagi)
jang mendjatuhkan pilihan imam Muhammad bin Hanafiah, semua mereka itu
sahabat2nja, jang digelarkan djuga Kisan. Diantara aliran itu ialah
Zaidijah, jang memilih imamnja Zaid bin Ali bin Husain, dengan alasan
dialah jang terberani dan selalu keluar dengan pedang, dan dialah anak
dari Ali dengan Fathimah, satu2 imam jang alim dan berani. Maqrizi
menambahkan sebab2 pemilihan Zaidijah djatuh kepadanja ialah karena Zaid
itu mempunjai enam perkara pada dirinja, jaitu ilmu, zuhud. berani,
kebadjikan, berbuat baik dan tidak ada kedjahatan.
Aliran jang lain ialah aliran Ismailijah, jang
mendjatuhkan pilihan imamnja kepada Ismail anak Dja'far Shadiq, sesudah
bapaknja, golongan ini kebanjakan terdapat di India, sangat banjak
amalnja, diantaranja membuat asrama-srama bagi orang miskin, orang
mengerdjakan hadji dan orang jang datang ziarah dari djauh-djauh. Mereka
itu berlainan dengan aliran, jang dinamakan Ismailijah Bathinijah,
pengikut Aga Khan.
Aliran jang lain lagi dinamakan Fathahijah, jang
mendjatuhkan pilihan imamnja kepada Abdullah al-Al-Fath, anak Imam
Djafar Shadiq jang menurut mereka berhak mendjadi imam sesudah bapaknja.
Ada aliran djuga jang bernama Waqifah, jang ingin melihat pemilihan
imam hanja djatuh kepada Ali al-Kazim. Adapun aliran Nawusijah menurut
Sjahrastani dalam bukunja Al-Milal wal Nihal, adalah suatu golongan jang
berkejakinan, bahwa pemilihan imam hanja tertentu bagi Dja'far bin
Muhammad Shadiq, dan kata Nawusijah berasal dari nama desa Nawusa.
Penganut-penganut aliran ini berkejakinan, bahwa Shadiq itu belum mati
dan tidak akan mati, ia akan lahir kembali dibumi ini dan akan mengatur
masjarakat, dan dialah jang berhak digelarkan Al-Mahdi.
Semua aliran-aliran itu sudah tidak ada lagi,
aliran-aliran jang tinggal sekarang ini dari Sji'ah Imamijah itu
hanjalah aliran Isna 'Asjarijah, jang terbanjak djumlahnja, aliran
Zaidijah dan aliran Ismailijah Bathinijah dari Aga Khan.
Dalam mazhab Isna'asjarijah ada dua perkara jang terpenting kita ketahui, jang bagi mazhab ini merupakan pokok kejakinannja.
Pertama mengenai usul atau kejakinan dasar, jaitu
kejakinan harus mempunjai imam, imamah, sehingga tiap penganut aliran
Sji'ah ini diwadjibkan mengakui kedua belas orang jang tersebut diatas.
Dengan demikian, barangsiapa meninggalkan kejakinan terhadap kedua belas
imam itu, baik sesudah mengetahui atau tidak, disengadja atau tidak
disengadja, meskipun ia iman kepada tiga pokok adjaran atau usul Islam,
jaitu tauhid, nubuwwah dan ma'ad, menurut mazhab ini, ia bukan orang
Sji'ah, hanja orang Islam biasa. Djadi kejakinan kepada imam itu
menentukan, apa seorang oleh aliran ini dianggap seorang muslim biasa
atau muslim Sji'ah, Orang Sji'ah aliran ini mendasarkan kewadjiban ini
kepada sebuah hadis Nabi, jang berbunji : "Ahli Bait-ku adalah sebagai
kapal, barangsiapa menumpang kapal itu ia akan djaja tetapi barangsiapa
jang tidak ikut ia akan tenggelam."
Kedua pokok jang terpenting bagi aliran ini, ,jang
mengenai furu' atau tjabang Islam, ialah tidak menjeleweng dan ta'assub,
wadjib ada saksi pada waktu mendjatuhkan talak, dan terbuka bab
idjtihad, dan lain-lain masaalah jang tidak terdapat pada aliran Islam
jang lain. Mengenai persoalan ini ditetapkan, bahwa barangsiapa jang
menentang hukum furu' itu dengan mengetahui sungguh-sungguh adanja hukum
itu dalam mazhab Sjij'ah, maka ia keluar dari Sji'ah.
Dengan keterangan diatas ini djelaslah, bahwa
Sji'ah Isna 'Asjarijh ini tidak pernah menolak hukum-hukum jang tersebut
dalam kitab-kitab hadis, jang sahih, dan tidak pernah menolak
kitab-kitab fiqh jang dikarang oleh ulama-ulama Islam jang lain,
ketjuali beberapa masaalah jang tersebut diatas. Tidak ada sebuah
kitabpun, jang dijakini kebenarannja oleh Imamijah itu benar dari awal
sampai keachirnja ketjuali Qur'an dan tidak ada hadis jang chusus jang
dijakini benarnja oleh orang Sji'ah aliran ini ketjuali jang termuat
dalam kumpulan kitab-kitab hadis biasa. Tentu sadja tiap pribadi Sji'ah
jang memenuhi sjarat2 idjtihad merdeka memilih ajat-ajat Qur'an dan
hadis-hadis itu untuk menetapkan sesuatu hukum, karena pintu idjtihad
itu tidak pernah tertutup menurut prinsip alirannja.
Dengan terbukanja pintu idjtihad ini baginja,
terdjadilah hukum-hukum fiqh sebagaimana jang terdjadi dengan
mazhab-mazhab jang lain, seperti Hanafi,, Sjafi'i, Maliki, Hanbali; dan
sebagainja, dan lahirlah pula kitab-kitab fiqh, baik jang ringkas maupun
jang pandjang lebar, lengkap dengan bahagian ibadat dan mu'amalat, dan
persoalan-persoalan jang lain.
Dengan demikian kita bertemu dalam aliran Sji'ah
Imamijah ini kitab-kitab pokok jang dikarang oleh Muhammad al-Kulaini.
Muhammad as-Sadiq dan Muhammad at-Thusi, seperti kitab AlIstibsar, Man
la jahdhuruhul Faqih, Al-Hafi, dan At-Tahzàb, jang bagi mereka merupakan
kitab-kitab Sahih seperti dalam golongan Sunnah.
Seorang ulama besar Sji'ah Dja'far Kasjiful Ghitha'
(mgl. 1228 H), dalam kitabnja, bernama Kasjful Ghitha', hal. 40,
berkata tentang kitab-kitab ini sebagai berikut : "Ketiga Muhammad itu
bukan kepalang bersungguh-sungguh mengumpulkan ilmu tentang riwajatnja
antara hadis itu, tetapi masih ragu-meragui tentang riwatnja antara satu
sama lain..........Pada permulaan keempat kitab itu mereka terang tidak
mengatjuhkan ketjurigaan, jang mendjadi pokok baginja mentjari hadis
jang dapat didjadikan hudjdjah antaranja dengan Tuhan atau sekedar ang
dapat ditegaskan dengan ilmu bukan dengan sangkaan belaka, karena
penegasan jang lahir tidak membuahkan ilmu pada pendapat kami, ilmu
mereka jang demikian itu tidak menggagalkan pengetahuan kami."
Djika ahli pengetahuan sebagai mereka keempat itu
demikian pendapatnja mengenai dalil pengambilan sanad hadis,
bagaimanakah mengenai diri mereka jang sama sekali tidak pertjaja kepada
Sji'ah.
Apabila seorang penulis ingin berpegang kepada
pokok dan tjabang hukum (usul dan furu') sesuatu mazhab, hendaklah ia
mengetahui sungguh-sungguh tiap kata, tiap istilah dan tjara ulama
mazhab itu menetapkan usul atau furu' hukum, kemudian memperbandingkan
kejakinan mazhab itu dengan tidak ada rasa sentimen dengan pendapat
mazhab lain. Pada ketika itu barulah djelas kepadanja, bahwa usul hukum
mazhab Sji'ah Imamijah itu tidak hanjak didasarkan kepada perkataan rawi
ini dan rawi itu sadja, setjara dungu dan setjara sentimen, tetapi
melalui djalan-djalan jang sah dan sudah ditentukan.
Sebagai tjontoh kita kemukakan, bagaimana seorang
Sji'ah mengupas sesuatu hukum Islam, misalnja mengenai ta'rif agama
Islam sendiri, Sjech Dja'far tersebut pada hal. 398 dari kitabnja jang
sudah kita perkenalkan, berkata : "Diperoleh hakikat Islam itu dengan
mengutjapkan "Asjhadu an lailaha illallah, Muhammadun Rasulullah" atau
dengan utjapan jang sama maksudnja dalam bahasa apapun djuga dan dengan
susunan pengakuan jang demikian itu, ia telah dianggap masuk Islam,
dengan tidak usah ditanja tentang keadaan sifat Tuhan, baik mengenai
Subutijah maupun mengenai Salbijah, dan tidak diminta dalil-dalil tauhid
atau alasan-alasan kenabian" (lihat djuga Risalatul Aqaid
AlDja'farijah).
Mengenal iman didjelaskannja, bahwa iman itu
"membenarkan dengan hati dan lidah bersama-sama, tidak tjukup dengan
salah satu daripada keduanja", (Muhammad Djawad Mughnijah, Ma'asj Sji'ah
Imamijah, Beirut, 1956).
Seperkara jang atjapkali sukar dipahami mengenai
kejakinan aliran ini ialah tentang pengertian Ismah. Biasa disebut orang
ismah itu berarti terpelihara daripada semua dosa, dan orang jang
demikian itu dinamakan ma'sum. Orang bertanja, apakah bisa manusia itu
selain dari Nabi, ma'sum ?
Orang Sji'ah aliran ini mempunjai beberapa
penqertian jang chusus mengenai perkataan ismah itu. jang djika diikuti
dengan seksama, akan ternjata, bahwa kwalifikasi ini dapat diterima
akal.
Ada ulama Sji'ah jang mengartikan ma'sum itu
artinja mengerdjakan taat dengan tidak ada kemampuannja mengerdjakan
ma'siat, sehingga ia terpaksa mengerdjakan perbuatan jang baik dan
meninggalkan jang buruk. Ada ulama Sji'ah jang menerangkan, bahwa ma'sum
itu ialah suatu naluri jang mentjegah seseorang membuat sesuatu
kema'siatan, seperti pembawaan keberanian mentjegah seseorang lain dari
perkelahian, naluri kemurahan tangan mentjegah seseorang dari memberi
hadiah. Nasiruddin at-Thusi dalam kitabnja "At-Tadjrid, hal 228
mengatakan: "Ma'sum itu artinja berkuasa berbuat ma'siat, karena djika
tidak berkuasa jang demikian itu, maka seseorang tidak dipudji dikala ia
meninggalkan ma'siat itu, dan tidak diberi pahala, karena djika memang
dia tak berkuasa, maka ia sudah keluar daripada sesuatu hukum taklif".
Nasiruddin at-Thusi adalah seorang ulama besar dalam mazhab Imamijah,
djuga seorang ahli filsafat jang terkemuka, (mgl. 672 H).
Sjeich Al-Mufid, salah seorang ulama Imamijah jang
lain, (mgl. 413 H, dalam kitabnja "Sjarh Aqaid as-Sudduq", menerangkan
tentang ismah itu sebagai berikut : "Ismah itu tidak dapat mentjegah
kekuasaan mengerdjakan jang buruk, tidak pula dapat mendorong
mengerdjakan jang baik, dan oleh karena itu ma'na ismah dalam aliran
Imamijah ialah, bahwa orang jang ma'sum itu berbuat jang wadjib dengan
ada kebenarannja meninggalkannja, meninggalkan jang haram dengan ada
kekuasaannja melakukannja, dengan demikian orang jang ma'sum itu tidak
meninggalkan jang wadjib dan tidak memperbuat jang diharamkan."
Pengarang Tafsir Mudjma'ul Bajan, dalam mengulas
ajat 68, surat Al-An'am, menerangkan : "Imamijah itu tidak dibolehkan
lupa atau lengah terhadap kepada pengikut-pengikutnja dalam menjampaikan
perintah Allah ta'ala, adapun selain daripada itu, artinja selain dari
perintah Tuhan, mereka diperkenankan lupa atau terlengah, selama tidak
menjeleweng daripada akal jang benar. Bagaimana tidak diperkenankn jang
demikian itu kepadanja? Karena semua orang tidak dianggap berdosa karena
ketiduran atau pitam, meskipun ini adalah merupakan permulaan lupa.
Maka inilah jang membuat orang-orang menuduh jang bukan-bukan terhadap
kepada sjarat jang ditentukan bagi imam Sji'ah. jaitu ma'sum". Tafsir
tersebut memang sebuah tafsir Qur'an jang terbesar dan jang terhebat,
jang pernah sampai ketangan saja. Saja sebagai pemeluk mazhab Sunnah
kagum melihatnja. Pengarangnja ialah At-Tabrasi, salah seorang ulama
Sji'ah Imamijah jang terbesar, (mgl. 548).
2. IMAM DJA'FAR SHADIQ
I
Asad Haidar menulis tentang Imam Dja'far As-Shadiq
dan mazhab empat dalam enam djilid kitab besar, diterbitkan di Nedjef
dalam th. 1956, jang saja anggap sebuah kitab jang sangat penting tidak
sadja untuk penganut-penganut mazhab Sji'ah, tetapi djuga untuk
penganut-penganut mazhab Ahlus Sunnah wal Djama'ah, terutama
penganut-penganut mazhab Hanafi, Sjafi'i, Maliki dan Hanbali, karena
kitab tersebut meriwajatkan sedjarah tumbuhnja mazhab-mazhab Fiqh dalam
Islam dan imam-imam mazhab itu, jang hampir semuanja langsung atau tidak
langsung adalah murid-murid daripada Dja'far bin Muhammad As-Shadiq,
anak Ali, anak Husain, anak Ali bin Abi Thalib.
Sebelum kitab ini keluar orang hanja mengenal Imam
AsShadiq anak Muhammad Al-Baqir, guru Abu Hanifah, orang hanja kenal dia
sebagai Imam Mazhab Ahlil Bait, jang dalam masa perkembangan ilmu fiqh
dan ilmu pengetahuan umum turut diketjam atau dilenjapkan namanja untuk
kepentingan suasana politik anti Ali dan keluarganja dalam masa Bani
Umajjah dan dalam masa Bani Abbas. Ulama-ulama pemerintah, qadhi-qadhi
radja dalam kedua masa pemerintahan itu untuk kepentingan kedudukannja
sengadja memperketjil nama Dja'far Shadiq, dan ulama-ulama jang bebas,
meskipun tidak menghilangkan nama orang besar ini tetapi tidak
membesar-besarkan dan memudji-mudjinja, karena tentu takut dituduh
"supersip", bersimpati dengan golongan Sji'ah jang dimusuhi, sebagaimana
pernah terdjadi dengan Muhammad bin Idris As-Sjafi'i, jang pernah
ditarik kehadapan pengadilan Abbasijah karena dalam penetapan hukumnja
lebih mengutamakan hadis jang diriwajatkan oleh Ahlil Bait dan pernah
beladjar di Jaman pada beberapa ulama Sji'ah.
Hanja Abu Hanifah dan Malik bin Anas jang
kedua-duanja murid Imam Dja'far berani menjebut dan memudji gurunja
disana-sini dalam kitabnja. Begitu djuga Imam Ahmad ibn Hanbal jang
berani mempertahankan kemurnian Ahlil Bait, dan mengeluarkan
pendapatnja, bahwa Hasan bin Ali termasuk dalam golongan jang
diperkenankan memakai gelar "chalifah" sebagai jang tersebut dalam
sebuah hadis Nabi (Bazzar Abu Ubaidah ibn Djarrah, Lawa'ihul Anwar,
karangan As-Safarini al-Hanbali 11:939) dan karena pengakuannja jang
kuat bahwa Qur'an bukan machluk. Baik Ahmad bin Hanbal baik Abu Hanifah,
kedua-duanja termasuk ulama jang ditjurigai oleh radja-radja Bani
Abbas, dipukul dan dipendjarakan. Maka dengan demikian hilang lenjaplah
kebenaran dan kehormatan, djika ia berasal dari Ali bin Abi Thalib.
Sampai Ibn Chaldun, seorang ahli sedjarah jang
paling berani mengemukakan pendapatnja, untuk keselamatannja sendiri dan
kitab-kitabnja, terpaksa mengetjam mazhab Ahlil Bait dan menuduhnja
berbuat bid'ah, karena Sanjak mengemukakan hadis-hadis, jang berlainan
atau tidak sesuai dengan pendapat umum ulama-ulama Bani Umajjah dan Bani
Abbas itu.
Ketjaman-ketjaman ini membuat Asad Haidar
membanting tulang dan mengadakan penjelidikan bertahun-tahun setjara
mendalam untuk mengarang sedjarah hidup dan perdjuangan Imam Dja'far
As-Shadiq, sehingga lahirlah djilid besar kitab "Al-Imam As-Shadiq wal
Mazahibil Arba'ah" (Nedjef, 1956), jang terletak didepan saja sekarang
ini sebagai kitab pindjaman dari Asad Shahab, pengurus Lembaga
Penjelidikan Islam, jang saja gunakan sebagai salah satu sumber untuk
menulis tentang Dja'far Shadiq dan mazhab jang dinamakan sekarang ini
mazhab Dja'farijah, jang merupakan suatu mazhab fiqh jang resmi diakui
dan anut oleh semua aliran Sji'ah dan fiqh. Mazhab ini sekarang
diadjarkan dalam Universitas Al-Azhar di Mesir. Tentu sadja saja tidak
akan membahas berdalam-dalam masalah ini berhubung dengan lembaran jang
dapat disediakan oleh risalah ketjil untuk perkenalan ini.
Kita baru dapat memahami kehidupan Imam Dja'far
Shadiq. djika kita ketahui kekatjauan jang terdjadi sekitar masa
lahirnja Pembunuhan atas diri Chalifah Usman didjadikan alasan oleh Bani
Umajjah untuk bertengkar dengan Ali chususnja dan Bani Hasjim umumnja,
untuk merebut kekuasaan dalam pemerintahan. Usman bin Affan bin Ash bin
Umajjah bin Abdusj Sjams, adalah orang jang terkemuka dari Bani Umajjah,
masuk Islam dan dipungut mantu oleh Nabi, mendjadi chalifah ketiga
sesudah wafatnja. Kebidjaksanaan sahabat2 menundjukkan keadilan, bahwa
Usman dari Bani Umajjah mendjadi chalifah lebih dahulu dari Ali bin Abi
Thalib, jang berasal dari Bani Hasjim. Sebenarnja suasana politik ketika
itu sudah baik. Tetapi dengan takdir Tuhan Usman dibunuh, dan
pembunuhan ini dituduhkan oleh Bani Umajjah kepada Ali, jang tidak
mungkin masuk diakal turut melakukan kedjahatan atau membiarkan berlaku
kedjahatan itu atas diri sahabatnja Usman.
Usman mendjadi chalifah tahun 23 H., dibunuh pagi Djum'at tanggal 18 Zulhidjdjah tahun 35 dalam masa umurnja 63 tahun.
Pembunuhan ini menjebabkan kekatjauan tidak sadja
dalam urusan politik, tetapi merembet-rembet kepada permusuhan antara
Bani Umajjah (Mu'awijah dan keturunannja) dengan Bani Hasjim (Ali dan
keturunannja). Pemerintahan Mu'awijah disambung oleh Jazid, pemerintahan
Jazid disambung lagi oleh anaknja, sampai generasi Bani Sufjan hantjur
sama sekali, diganti oleh Bani Marwan.
Marwan tidak lama mendjadi radja, ia mati tahun 65
H., dibunuh oleh Ibn Chalid bin Jazid. Kematiannja diganti oleh Abdul
Malik bin Marwan. Pergantian semua radja2 itu tidak ada membawa
perbaikan dalam urusan agama Islam dan dalam hubungan antara Bani
Umajjah dan Bani Hasjim. Kekatjauan terus menerus, kehidupan agama
rusak, ibadat dan mu'amalat katjau, hukum fiqh jang harus didjalankan
untuk mengatur umat Islam belum ada, fatwa sahabat-sahabat jang sudah
bertjerai-berai sukar didapat dan kadang-kadang bertentangan antara satu
sama lain dan sebagainja.
Dalam masa pemerinahan Abdul Malik bin Marwan
inilah lahir Imam Dja'far Shadiq. Ia lahir pada malam Djum'at, bulan
Radjab, tahun 80 H., dikala umat Islam mengalami kekatjauan dalam hukum
dan pemerintahan, dikala pemerintah dan pembesar-pembesarnja melakukan
kezaliman dengan sewenang-wenang, tidak ada djiwa terdjamin, tidak ada
kemerdekaan berpikir dan berbitjara dihormati, siapa jang kuat menang
dan siapa jang kalah hantjur. Keadaan umat Islam pada waktu itu
dibandingkan dengan masa Rasulullah dan sahabat-sahabatnja, seperti
siang dengan malam, sedang daerah Islam jang luas dengan umatnja jang
banjak menanti-nanti hukum Islam jang terkenal adil dan lengkap itu
dalam segala bidang.
Imam Dia'far Shadiq lahir sebagai suatu bantuan
Tuhan kepada umat Islam janq bingung itu. Ia dididik oleh ajahnja
Al-Baqir dan kakeknja Zainal Abidin, dua belas tahun lamanja merasakan
asuhan kakeknja Ali bin Husain. Dari orang-orang besar inilah beroleh
pengadjaran dan pendidikan, terutama dalam pembentukan djiwanja. Tidak
dapat disangkal bahwa kakeknja Zainal Abidin adalah anggota Bani Hasjim
jang utama dan tokoh terpenting dari Ahlil Bait, seorang jang sangat
alim. war'a. dan sangat dipertjaia perkataannja dan mempunjai achlak dan
budi pekerti jang bersih.
Sesudah mati kakeknja ini ia dididk oleh ajahnja
Al-Bagir. seoranq jang luas pengetahuannya dan salih jang oleh orang
Sji'ah dianggap salah seorang Imam Dua Belas. Sembilan belas tahun ia
bergaul dengan ajah dan kakeknja.
Ia hidup ketika itu dalam bersembunji dengan
ketakutan, tetapi dengan segala kegiatan dikumpulkan ilmu-ilmu dari
ajah, kakek dan mojangnja dan disiarkannja kepada umum dalam masa
perpetjahan, kezaliman, zindiq dan ilhad itu. Jang paling menderita
kezaliman ketika itu ialah keluarga rumah tangga Rasulullah, keturunan
Ali dan pembantu-pembantunja, dan oleh karena itu mereka djarang
kelihatan dalam mesdjid-mesdjid, karena chotbah-chotbah Djum'at itu
isinja tidak lain dari ketjaman dan tjatji-maki terhadap mereka. Dja'far
Shadiq hidup setjara sederhana, tetapi orang tahu dan umat Islam
setjara diam-diam berdujun-dujun datang kepadanja untuk mengambil
ilmunja dan mengakuinja sebagai Imam. Diantara peralihan pemerintahan
Bani Umajjah dan Bani Abbas, orang menaksir muridnja tidak kurang dari
empat ribu orang. Rumahnja merupakan perguruan tinggi untuk ulama-ulama
besar dalam ilmu hadis, tafsir, filsafat dan lain-lain ilmu pengetahuan,
ulama-ulama jang kemudian memimpin mazhab-mazhab dan
perguruan-perguruan jang ternama dalam Islam. Murid-murid itu jang
merupakan rawi-rawi hadis jang terpenting, berasal dari bermatjam-matiam
kabilah, seperti Bani Asad, Muchariq, Sulaim, Ghathafan, Ghiffar,
Al-Azdi, Chuza'ah; Chaz'am; Machzum; Bani Dhabbah, Quraisj. Banil Haris
dan Banil Hasan.
Semua mereka itu mengambil hadis dan ilmu daripada
Imam Dja'far, dan kemudian mendjadi guru-guru besar, dan imam-imam
mazhab jang terpenting, seperti Jahja ibn Sa'id al-Anshari, Ibn
Djuraidj, Malik bin Anas, As-Sauri, Ibn Ujajnah, Abu Hanifah, Sju'bah,
Abu Ajjub As-Sadjastani dan lain-lain, jang kemudian mendapat kehormatan
dan keutamaan dalam Islam karena beroleh ilmu daripada Imam Dja'far
As-Shadiq (Asad Haidar. 1:9-30).
2. IMAM DJA'FAR-SHADIQ
II
Penting kita bitjarakan agak pandjang mengenai
tokoh AsShadiq ini karena ia merupakan tokoh terpenting dalam dunia
Sji'ah dalam bidang fiqh jang mendjadi pokok-pokok ibadat dan mu'amalat
mereka. Nama jang sebenarnja ialah Abu Abdillah Dja'far bin Muhammad
Ash-Shadiq. Ajahnja Muhammad AlBaqir, anak Ali Zainal Abidin, anak
Husain, anak Ali bin Abi Thalib. Menurut Ar-Rafi'i ia lahir tahun 80 H.
di Madinah, meninggal dalam usia 65 tahun pada tahun 148 di Madinah dan
dikuburkan di Baqi'. Ada jang mengatakan, diantaranja Abul Fatah
al-Arabi dan Ahmad bin Hadjar al-Hatami, bahwa ia dilahirkan dalam tahun
83 H. Ia anak terbesar dari Imam Muhammad al-Baqir dan pada waktu
ketjil ia beladjar pada ajahnja itu dalam segala ilmu pengetahuan dan
achlak. Pengaruh kemurnian dan kehalusan budi pekerti ajahnja Zainal
Abidin berbekas sangat kepada dirinja, terutama dalam zuhud, taqwa dan
qina'ah. Dinamakan Ash-Shadiq karena ia sangat djudjur dan bersikap
benar dalam segala keadaan.
Ibunja bernama Farwah anak Al-Qasim, anak Muhammad,
anak Chalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Djumlah anaknja tudjuh orang laki2
dan tiga perempuan. Oleh golongan Sji'ah Isna-Asjarijah ia dianggap
Imam, jang keenam. Al-Muqaddasi menerangkan, bahwa ia termasuk Tabi'in
terbesar dan tinggi kedudukannja da'am ilmu pengetahuan. Diantara
muridnja ialah Abu Hanifah, Malik bin Anas dan Djabir ibn Hajjan. Djabir
bin Hajjan adalah muridnja jang mula-mula menulis sedjarah hidup dan
perdjuangannja sebanjak seribu halaman, bernama "Rasa'il al-Imam Dja'far
ash-Shadiq".
Diantara orang-orang jang mengakui keistimewaannja
ialah Malik bin Anas, jang berkata : ,.Apabila aku melihat terasa
kepadaku bahwa aku melihat kepada Dja'far bin Muhammad terasa kepadaku
bahwa ia dari keturunan Nabinabi". (Tahzib II: 104: Abu Hanifah berkata :
"Djikalau tidak ada dua tahun, pasti Nukman binasa", dengan maksud
bahwa djika Abu Hanifah tidak beladjar pada Dja'far selama dua tahun,
pasti ia tidak akan berhsil dalam menuntut ilmu agama Islam (At-Tuhfah
Isna Asjarijah VIII :t-l). Ar-Rifa'i menerang kan bahwa Ash-Shadiq ahli
dalam ilmu Kimia, ilmu Angka dan kitab ketika atau fal. lbnal Wardi
menegaskan dalam kitab tarichnja, bahwa Dja'far pernah digelarkan orang
jang sabar, orang jang terutama dan orang jang sutji. Berita ini
diperolehnja dari Abu Hanifah, Ibn Djuraidj, Sju'bah, kedua Sufjan,
Malik dll.
Demikian masjhurnja Imam Shadiq ini dalam masa
hidupnja, sehingga Al-Mansur, Chalfah Abbasijah kedua, selalu
mengundangnja dengan hormat keistana, memuliakannja, menanjakan
pikiran-pikirannja, nasihatnja dan beberapa pertundjuknja. Abu Muslim
al-Churasani, pentjipta keradjaan Abbasijjah, pernah menawarkan
kedudukan chalifah kepada Imam Dja'far, tetapi ditampiknja (Qamusul
A'lam, karangan Sami, III: 1821, terdj. bah. Turki).
Selandjutnja Zaid bin Ali menerangkan, bahwa Imam
Dja'far banjak meninggalkan tulisannja jang dapat membersihkan ibadat
Sji'ah, ia orang jang terpilih dalam kebadjikan dan ahli hadis dalam
golongannja. Ad-Dawaniqi menerangkan, bahwa ia tiap mengundjungi Imam
Dja'far selalu menemuinja dalam tiga hal, dalam sembahjang, dalam puasa
atau dalam membatja Qur'an dan bahwa dia seorang jang alim, ahli ibadat
dan wara', sementara Ibn al-Muqaddam tatkala ia mentjeriterakan keadaan
Imam Dja'far mendjelaskan bahwa Imam tersebut adalah seorang jang sangat
ahli dalam hukum fiqh. Katanja, bahwa Abu Hanifah pernah pada suatu
hari mengemukakan empat puluh persoalan fiqh, jang didjawabnja dengan
lantjar, kemudian ia berkata : "Engkau berkata begini, ahli Madinah
berkata begitu dan kami berkata sebagai pendirian jang kami kemukakan
ini. Barangkali ada orang jang mengikut kami, ada orang jang mengikut
mereka atau orang jang menjalani kita semuanja". Abu Hanifah mendjawab :
"Bukankah orang jang dianggap alim ialah jang banjak mengetahui tentang
perselisihan (ichtilaf) diantara manusia.
Menurut kitab "Al-Milal wan Nihal" (1: 272 , Ibn
Abil Audja' mentjeriterakan, bahwa Imam Ash-Shadiq adalah seorang jang
banjak ilmunja, sempurna adabnja dalam kebidjaksanaan, zuhud dan wara',
terdjauh dari sjahwat, pernah tinggal di Medinah mengadjar golongannja
Sji'ah, pernah masuk ke Irak dalam masa berkobar perselisihan paham
tentang persoalan Imamah, sedang Abul Fatah As-Sjaharastani menambah
keterangan, bahwa Imam Ash-Shadiq memang seorang jang ahli tentang
hadis, banjak diriwajatkan daripadanja oleh Jahja bin Sa'id, Ibn
Djuraih, Malik bin Anas, Ibn Ujajnah, Abu Ajjub as-Sadjastani dll.
Al-Qarmani, seorang ahli sedjarah menerangkan, bahwa Imam Dja'far adalah
merupakan seorang pangeran dari Ahlil Bait, banjak ilmunja, terutama
pribadinja dan ahli dalam hukum, sedang Ibn Hibban mejakini bahwa
keterangan-keterangan Imam Dja'far tinggi kebenarannja, djarang terdapat
tjontoh jang seperti itu (Tahzib, 11:104).
Pandjang sekali Abu Hatim bertjeritera tentang Imam
Dja'far, diantaranja bahwa ia seorang ulama jang terkemuka dari Ahlil
Bait banjak ilmunja, ahli ibadat, ahli wirid jang ma'sur, zahid, banjak
ta'wil jang indah-indah tentang arti Qur'an, menghabiskan waktunja untuk
mengerdjakan ta'at, orang-orang akan mendjadi zahid djika mendengar
utjapan-utjapannja, akan beroleh sorga dengan pertundjuknja, ia
keturunan Nabi, jang mendjadi ikutan bagi banjak imam-imam dan
orang-orang alim, seperti Jahja bin Sa'id al-Anshari, Ibn Djuraih, Malik
dan Anas, As-Sauri, Ibn Ujajnah, Ajjub as-Sadjastani dll., semuanja
disebutkan dalam kitab "Mathalibus Su'ul," II : 55, sedangkan Abu Mu'ain
berpendapat, bahwa Imam Djaa'far tidak suka pudjian dan kedudukan. Abul
Mudhaffar mentjeriterakan, bahwa ia di Kufah pernah mendapat? sembilan
ratus ulama-ulama jang semuanja sering menjampaikan hadis jang
diriwajatkan dari Dja'far (Al-Madjalis, karangan Sajjid Amin, V: 209).
Diantara orang lain jang mengeluarkan pudjian saja sebutkan Ibn Djauzi,
Al-Wisja', Al-Bisthami, Al-Djahiz, Ibn Hadjar al-Asqalani, Ibn Zuhrah,
Abdul Mahasin, Az-Zarkali As-Salami, As-Suwaidi, Ad-Dawardi, Sajjid Mir
Ali, Ibn Sjaraf, Al-Chafadji, Az-Zahabi, Az-Zurqani, Ibn Chalkan,
Al-Jafi'i Asj-Sjabrawi, Al-Djazari, Al-Chudhari, Dr. Ahmad Amin, Faridj
Wadjdi Bathras al-Bustani, dll, jang semuanja memudji pribadi Imam
Ash-Shadiq, jang ditindjau dari segala sudut (Batja "Al-Imam Ash-Shadiq
wal Mazahibul Arba'ah, karangan Asad Haidar, Nedjef, 1956, 1:41—57).
3. DJA'FARIJAH.
Mazhab ini didirikan oleh Imam Dja'far Sadiq,
seorang Ta'biin tokoh besar, ahli Hadis dan mudjtahid mutlak, menurut
Kulajni antara 83 — 148 H. sebagai jang sudah kita tjeriterakan. Ibunja
bernama Farwah anak Al-Qasim anak tjutju dari Abu Bakar As-Siddiq,
Chalifah I ses. Nabi. Konon itu sebabnja maka Dja'far memakai nama
dibelakangnja Sadiq, dan tidak pernah menjerang tiga Chalifah sebelum
Ali bin Abi Thalib. Bahkan pernah ia berkata, sepandjang jang
diriwajatkan Sajuti : „Aku berlepas tangan dari orang-orang jang
mengatakan sesuatu sesudah Nabi tentang Abu-Bakar dan Umar ketjuali jang
baik (Sajiuti Tarichul Chulafa). Konon pula itulah sebabnja, maka ia
tidak pernah diganggu oleh chalifah Umajjah, seperti Hisjam, Walid,
Ibrahim dan Marwan dan oleh Chalifah Abbasijah, seperti AsSafah dan
Al-Mansur.
Baik Sji'ah maupun Ahli Sunnah menghormati Dja'far
Sadiq. Orang Sji'ah mempunjai banjak tjerita mengenai keistimewaan
Dja'far Sadiq, Kulajni mentjeritakan, bahwa konon Chalifah AlMansur
pernah memerintahkan membakar rumahnja di Madinah, tetapi Imam Dja'far
memadami api itu hanja dengan menendang dan berkata, bahwa ia anak
tjutju Ibrahim Chalilullah, jang tidak dimakan api. Ibn Chalkan
mentjeriterakan, bahwa Al-Mansur pernah memerintahkan Imam Dja'far
pindah dari Madinah ke Irak dengan teman-temannja. Ia tidak sudi pindah
dan ingin tinggal bersama keluarganja, karena ia mendengar melalui ajah
dan neneknja Rasulullah berkata, bahwa barang siapa keluar mentjari
rezeki, Tuhan akan mengurniai rezekinja, tetapi barang siapa tinggal
tetap pada keluarganja, Tuhan akan memandjangkan umurnja. Dengan
demikian Al-Mansur tidak djadi mengusir dia ke Irak.
Memang Imam Dja'far Sadiq seorang jang mulia hati,
tjerdas, alim dan salih, dan ditjintai orang. Ia mengadjar dan menerima
tamu dalam suatu kebun jang indah dekat rumahnja di Madinah. Banjak
orang2 alim dari bermatjam2 mazhab datang mengundjungi pengadjian itu,
jang merupakan seakan-akan sekolah Socrates. Memang Imam Dja'far
dikagumi oleh murid-muridnja, terutama dalam ilmu fiqh dan ilmu kalam.
Diantara muridnja terdapat Abu Hanifah dan Malik bin Anas, jang turut
mengambil ilmu fiqh dari padanja, begitu djuga Wasil bin Atha, kepala
kaum Mu'tazilah dan Djabir bin Hajjan, ahli kimia jang masjhur. Ada
orang jang mengatakan bahwa Abu Hanifah tidak pernah beladjar padanja,
hanja pernah bersoal djawab dalam beberapa persoalan mengenai pemakaian
kijas dan akal dalam masalah fiqh. Bagaimanapun djuga hubungan Imam
Dja'far dengan Abu Hanifah sangat rapat, terutama dalam masa Abu Hanifah
mengadjar di Kufah dan Imam Dja'far di Madinah kelihatan benar
persesuaian pendapat, sedang masa itu adalah masa jang terlalu sukar.
Ronaldson dalam karangannja mengenai kejakinan
Sji'ah mengatakan, bahwa djika tidak karena tiga buah pendapat Imam
Dja'far jang berlainan dengan Abu Hanifah, Abu Hanifah sudah menerima
seluruh adjaran Imam Dja'far itu. Tiga buah pendapat jang berlainan itu
ialah: Imam Dja'far berpendapat, bahwa kebaikan itu berasal dari Tuhan,
sedang kedjahatan berasal dari perbuatan manusia sendiri, Abu Hanifah
berpendirian bahwa segala jang baik dan jang djahat itu berasal dari
Tuhan. Kedua Dja'far berkata, bahwa setan itu dibakar dalam api neraka
pada hari kiamat. Abu Hanifah berpendapat, bahwa api tidak dapat
membakar api, dan setan itu ditjiptakan Tuhan daripada api. Ketiga Imam
Dja'far mengatakan, bahwa melihat Tuhan didunia dan achirat mustahil.
Abu Hanifah berpendirian, bahwa tiap jang maudjud mungkin melihat Tuhan
djikalau tidak didunia, ia akan melihat nanti diachirat. Konon
perdebatan ini didengar oleh penganut-penganut adjaran Imam Dja'far jang
fanatik, jang lalu melempari kepala Abu Hanifah dengan sepotong batu
tembok. Tatkala orang itu ditanjai mengapa, ia mendjawab, bahwa ia tidak
berbuat kedjahatan itu, dan kedjahatan itu datang dari Tuhan dan bukan
dari manusia dan bukan dari ichtiar, bahwa ia tidak dapat menjakitkan
Abu Hanifah dengan tanah tembok itu. karena Abu Hanifah terbuat daripada
tanah, dan ia minta Abu Hanifah memperlihatkan kesaktian, pada kepala,
kalau benar ia dapat melihat Tuhan didunia dan diachirat.
Dalam pada itu banjak pengikut-pengikut Imam
Dja'far jang sedang pada Abu Hanifah, karena ia turut mengetjam Al-
Mansur dan chalifah-chalifah jang lain daripada Bani Atbas dan Bani
Umajjah. Katanja bahwa mereka betul mendirikan mesdjid, dan oleh karena
itu mereka fasik tidak lajak mendjadi imam. Konon utjapan ini terdengar
oleh Al-Mansur. jang menjuruh menangkap Abu Hanifah dan memasukkannja
kedalam pendjara sampai mati. Hal ini sesuai dengan firman Tuhan kepada
Ibrahim : "Aku akan mendjadikan dikau Imam bagi manusia." Kata Nabi
Ibrahim : ..Apakah anak tjutjuku djuga ? Firman Tuhan : "Djandjiku itu
tidak akan meliputi orang2 jang zalim" (Al-Baqarh, 124). Lalu
pengarang-pengarang Sji'ah, seperti Madjlisi senang terhadap Baidhawi,
Zamachsjari dan Abu Hanifah karena sepaham dengan mereka dalam
menafsirkan ajat itu.
Golongan Dja'far Sadiq ini biasa dinamai Imamijah
Ishna Asjarijah, jaitu suatu golongan Sji'ah jang mengaku, bahwa imam
mereka jang sah terdiri dari 12 orang, sebagaimana jang sudah kita
sebutkan dalam pembitjaraan mengenai golongan Sji'ah ini.
Prof. T.M. Hasbi Ash Shiddieqj dalam kitabnja
„Hukum Islam" (Djakarta, 1962 banjak menulis tentang Sji'ah, dan berkata
tentang Dja'far Sadiq sbb. : "Orang-orang Sji'ah jang menobatkan dia
mendjadi imam, tiada memperoleh kepuasan hati dari padanja, karena ia
tidak menghendaki dan tidak menjukai dirinja dinobatkan itu. Ia ini
adalah seorang ulama jang sangat berbakti kepada Allah. Ia tidak suka
diperbudak-budakan kaum Sji'ah. Lantaran demikian, ia dapat mengarungi
samudera hidupnja dengan aman dan tenang, tidak mendjadi kebentjian
chalifah2 jang menguasai negeri. Dan jang perlu ditegaskan, bahwa ia ini
pemuka dan pentasis fiqh Sji'ah jang kemudian petjah kepada beberapa
mazhab."
Tentng fiqh dan hukumnja, Hasbi menerangkan sbb. :
Fiqh Sji'ah walaupun berdasarkan Al-Qur'an dan As Sunnah djuga, namun
melaini fiqh djumhur dari beberapa djurusan.
a. Fiqh mereka berdasar kepada tafsir jang sesuai
dengan pokok pendirian mereka. Mereka tidak menerima tafsir orang lain,
dan tidak menerima Hadits jang diriwajatkan oleh selain Imam ikutannja.
b. Fiqh mereka berdasarkan Hadiets, Qaedah, atau
Furu' jang mereka terima dari imam-imamnja. Mereka tidak menerima segala
rupa qaedah jang dipergunakan oleh djumhur Ahli Sunnah.
c. Fiqh mereka tidak mempergunakan Idjma' dan tidak
mempergunakan qijas. Mereka menolak idjma', adalah karena lazim dari
pengikut-pengikut idjma', mengikuti faham lawan, jaitu Sahabat, Tabi'in
dan Tabi'it tabi'ien. Mereka tidak menerima qijas sekali-sekali, karena
qijas itu fikiran. Agama diambil dari Allah dan Rasulnja, serta dari
imam-imam jang mereka ikuti sahadja.
d. Fiqh mereka tidak memberi pusaka kepada
perempuan kalau jang dipusakai itu tanah dan 'kebun. Perempuan itu hanja
mempusakai bendaé jang dapat dipindah-pindah sahadja.
Lebih landjut diterangkan, bahwa : Terkadang-kadang apabila disebut golongan Sji'ah, maka jang dikehendaki, Imamijah.
Imamijah ini berkembang di Iran dan Irak, Madzhab
mereka dalam soal fiqh, lebih dekat kepada mazhab Asj Sjafi'i walaupun
mereka dalam beberapa masalah menjalahi Ahlus Sunnah jang empat.
Mereka serupa dengan Zaidijah, berpegang dalam soal
Fiqh kepada Al-Qur'an dan kepada Hadiest-Hadiest jang diriwajatkan oleh
imam-imam mereka dan oleh orang-orang jang semazhab dengan mereka.
Mereka berpendapat, bahwa Babul Idjitihad masih terbuka; dan mereka
menolak qijas selama masih ada beserta mereka imam-imam mereka jang
mengetahui hukum-hukum sjari'at.
Demikian tersebut dalam kitab „Hukum Islam.",
karangan Prof. T.M. Hasbi Ash Shiddieqj, hal. 43 — 44. Memang dalam
masalah usul dan ibadah hampir tidak berbeda antara Sji'ah Dja'farijah
dan Ahli Sunnah, disana sini berbeda tentang furu' agama dan mu'amalat.
Hal ini dapat kita lihat dalam sebuah kitab karangan Muhammad Djawwad
Mughnijah, jang bernama, Al-Fiqh Ala Mazahibil Chamsah (Berirut, 1960)
suatu kitab mengenai perbandingan lima mazhab, jaitu mazhab Dja'fari,
Hanafi, Maliki, Sjafi'i dan Hambali, jang perbedaannja antara satu sama
lain sedikit sekali.
Oleh karena itu Ahmad Hasan Al-Baquri, pernah djadi
menteri urusan wakaf dalam salah satu kabinet pemerintah Mesir, berkata
dalam pendahuluan kitab fiqh Sji'ah, ,,A1-Muchtasar an-Nafi'," jang
pendahuluan kitab fiqh Sji'ah, ,,A1-Muchtasar Islam pada Universitas
Al-Azhar, bahwa (golongan Sunnah dan Sji'ah itu) kedua-duanja berpokok
kepada Islam dan kepada iman dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasul,
kedua-duanja bersama benar dalam pokok-pokok umum mengenai agama kita.
Djika ada perlainan pendapat dalam furu' fiqh dan penetapan hukum-hukum,
hal ini terdapat pada semua mazhab kaum muslimin, dan hal ini adalah
hal jang biasa bagi tiap-tiap mudjtahid, jang dalam idjtihadnja beroleh
pahala baik salah atau benar. (Al-Hilli (mgl. 676 H) Al-Muchtasar
An-Nafi' fil fiqhil Imamijah, Mesir, 1376 H.
Mahmassani menerangkan bahwa Imam Dja'far Saddiq
itu masjhur dalam kalangan Sji'ah Imamijah itu, jang menganggapnja
sebagai mudjtahid besar, jang dikagumi karena kedjudjurannja, karena
kemuliaannja dan karena ilmu pengetahuannja. Oleh karena itu mazhab
Imamijah itu atjap kali dinamakan mazhab Dja'fariah, meskipun asalnja
nama mazhab ini hanja mengenai mazhab ilmu fiqh.
Imam Dja'far tidak hanja terkenal dalam masalah2
fiqh, ilmu kalam, ilmu kimia dll. tetapi djuga dalam ilmu tasawwuf,
banjak hadis-hadis jang diriwajatkannja mengenai ilmu-ilmu itu, misalnja
mengenai teori Nur Muhammad, ia mendengar dari ajahnja, bahwa Ali bin
Abi Thalib pernah menerangkan : „Allah mendjadikan Nur Muhammad sebelum
ia mendjadikan Adam, Nuh, Ibrahim, Ismail, dll. Dan Tuhan mendjadikan
bersama nur itu dua belas Hidjab, Hidjab Qudrah, Hidjab Uzmah, Hidjab
Mumah, Hidjab Rahmah, Hidjab Sa'adah, Hidjab Karamah, Hidjab Manzilah,
Hidjab Hidajah, Hidjab Nubuwah, Hidjab Rafa'ah, Hidjab Haibah, dan
Hidjab Sjafa'ah, kemudian Muhammad itu dipendjarakan dalam Hidjab selama
7 ribu tahun dan membatja : „Maha Sutji Tuhan jang kaja, tidak pernah
miskin", kemudian diselubungi dengan Hidjab Manzilah selama 6 ribu tahun
serta diperintahkan membatja „Maha Sutji Tuhan jang Tinggi dan Agung",
kemudian dipendjarakan pula dalam Hidjab Hidajah selama 5 ribu tahun
serta diperintahkan membatja : „Maha Sutji Tuhan jang mempunjai Arasj
jang agung," kemudian diselubungi lagi dengan Hidjab Raf'ah selama 4
ribu tahun serta diperintahkan membatja : „Maha Sutji Tuhan jang dapat
mengubah dan tidak berubah", kemudian dimasukkan djuga kedalam Hidjab
Mawrah selama tiga ribu tahun serta diperintahkan membatja : „Maha Sutji
Tuhan jang mempunjai malak dan malakut" dan kemudian diselubungi lagi
dalam Hidjab Haibah selama 2 ribu tahun serta diperintahkan membatja :
„Maha Sutji Allah dengan segala pudjiannja."
Kemudian barulah Tuhan menjatakan nama Muhammad itu
diatas luh, dan luh itu bertjahja selama empat ribu tahun, kemudian
ditaruh diatas Arasj (langit jang ke sembilan) dan tetap disana selama 7
ribu tahun, kemudian barulah Tuhan meletakkannja dalam sulbi Adam, jang
berpindah kemudian kedalam sulbi Nuh dan nabi-nabi jang lain
turun-temurun hingga sampai kepada sulbi Abdul Muthalib dan dari sana ke
sulbi Abdullah ajah Nabi Muhammad.
Selandjutnja tjerita ini menerangkan, bahwa tatkala
Tuhan itu mengirimkan ruh Muhamad kemudian melengkapkannja dengan luar
keramat, jaitu mengenakan badju Ridha, memberikan sandang selendang
Haibah, memberikan tjelana Ma'rifah, memberikan tali pingang Mahabbah,
memberikan terompah Chauf, kemudian menjerahkan kepadanja tongkat
Manzilah, lalu Tuhan berkata : „Hai Muhammad, pergi menemui manusia dan
perintahkan kepadanja: "Utjapkan : tidak ada Tuhan melainkan Allah!
Tjerita ini pandjang dan disulam dengan bermatjam-matjam kindahan
mengenai badju dan lain-lain jang diperbuat dari pada jakut dan lukluk
dan mardjan, sampai kemudian kepada melukiskan badju nabi dalam
pengertian Sufi, suatu tjerita jang digambarkan setjara luas oleh
Donaldson dalam kitabnja „Aqidah Sji'ah" (Mesir 1933. hal. 146 — 149).
Saja dapati tjerita Nur Muhammad ini dengan
keterangan jang lebih luas dan riwajatnja jang lebih teratur dalam kitab
Sji'ah jang paling penting, bernama Isbatul Wasjjah Lil Imam Ali bin
Abi Thalib", karangan Al-Mas'udi, pengarang „Murudjuz Zahab" (mgl. 346
H) jang berisi riwajat-riwajat dan petundjuk bagi golongan Sji'ah
mengenai Imam Ali dan Imamimam jang lain. Kitab ini ditjap dan ditjetak
di Nedjef, kota sutji Sji'ah, dalam tahun 1374 H atau 1955 M, dengan
tjetakan jang keempat. Bagi mereka jang akan mempeladjari djiwa berpikir
dan kehidupan Sji'ah kitab ketjil ini sangat penting artinja.
V. MAZHAB AHLIL BAIT
1. ALIRAN DALAM ISLAM
Ketjuali ulama-ulama dan ahli-ahli hadis djarang di
Indonesia orang mengetahui, bahwa ada mazhab jang dinamakan Mazhab
Ahlil Bait. Hanja dalam ilmu kalam dan filsafat Islam ada terdapat
keterangan-keterangan jang menguraikan sedjarah tumbuhnja aliran-aliran
paham jang bersimpang siur sesudah wafat Nabi dan sesudah pemerintahan
Chalifah Abu Bakar dan Umar. Adanja aliran-aliran ini, sebahagian
lahirnja dalam masa Bani Umajjah dan sebahagian berkembang biak dalam
masa kemerdekaan berpikir pemerintahan Bani Abbas, menjebabkan orang
Islam katjau balau dalam memegang dan mendjalankan hukum agamanja.
Diantara aliran-aliran jang banjak itu dapat kita sebutkan tiga golongan besar, jaitu Mu'tazilah, Chawaridj dan Sji'ah.
Dalam garis-garis besar Mu'tazilah itu mempunjai lima pokok pendirian terpenting :
1. At-Tauhid, artinja bahwa Allah itu satu dengan zatnja dan sifatnja, dan bahwa sifatnja itu adalah zat Allah itu sendiri.
2. Al-'Adal, bahwa Allah itu adil, tidak mungkin
Allah itu menggerakkan manusia mengerdjakan jang djahat, hanja baik-baik
sadja. Oleh karena itu manusia itu mempunjai ichtiar sendiri dalam
perbuatannja. tidak bergantung kepada kodrat dan iradat Tuhan sadja.
3. Manzilah bainal Manzilatain, menetapkan suatu
tempat bagi orang-orang jang berbuat dosa besar diantara tempat orang
mu'min dan tempat orang kafir, ia bukan orang mu'min karena tidak
menjempurnakan kebadjikan, ia bukan orang kafir karena sudah
mengutjapkan dua kalimah sjahadat, tetapi djuga diazab dalam neraka
untuk selama-lamanja.
4. Al-Wa'ad wal Wa'id, artinja bahwa Allah, apabila
berdjandji dengan pahala untuk kebadjikan. ditepatinja. dan apabila ia
mendjandjikan siksaan untuk kedjahatanpun mesti ditepatinja, tidak
berhak memberi ampunan.
5. Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar, menjuruh berbuat
baik dan melarang berbuat djahat bagi Mu'tazilah wadjib karena akal,
bukan karena nash Quran dan hadis.
Chawaridj mempunjai pokok-pokok pendirian jang
terpenting, diantara lain bahwa Chalifah sesudah Nabi tidak mesti dari
orang Quraisj, djuga tidak mesti dari orang Arab, semua manusia dalam
pandangan Tuhan sama, jang berbuat dosa besar djadi kafir, salah dalam
berpikir dan beridjtihad mendjadi dosa besar, djika menjebabkan
petjah-belah, oleh karena itu mereka mengkafirkan Ali bin Abi Thalib
karena menerima usul Mu'awijah bertahkim kepada Qur'an. Diantara aliran
ini terdapat Azragijah, jang lebih keras pendiriannja, bahwa tiap orang
Islam jang bersalahan pendiriannja dengan Chawaridj djadi musjrik, abadi
dalam neraka, wadjib diperangi dan dibunuh.
Sji'ah mempunjai pendirian diantara lain, bahwa Ali
bin Abi Thalib telah ditundjukkan Nabi dengan nash untuk mendjadi
chalifahnja sesudah ia wafat, bahwa tiap orang jang mendjadi imam wadjib
ma'sum, artinja terpelihara dari pada dosa besar dan dosa ketjil, bahwa
Ali bin Abi Thalib ialah sahabat Nabi jang paling afdhal dan utama
sesudah Nabi Muhammad sendiri.
Daripada tiga golongan ini lahirlah
bermatjam-matjam aliran, seperti Djabbarijah, Qadarijah, dll., dan
aliran-aliran itu meskipun berselisih satu sama lain dalam perkara
aqidah atau kejakinan, tetapi tidak membawa akibat kepada penetapan
hukum fiqh.
Maka lahirlah aliran Asj'arijah, jang menentang
Mu'tazilah dalam lima pokok pendirian. Asj'arijah, jang dikepalai oleh
Imam Asj'ari, berkata, bahwa' sifat Allah itu bukan zatnja, tetapi
tambahan atas zat, bahwa manusia berbuat menurut qadha dan qadar Tuhan,
tetapi djuga menurut ichtiarnja, bahwa Allah bebas dalam melaksanakan
djandji untuk kebadjikan dengan pahala dan untuk kedjahatan dengan dosa,
Allah dapat mënjiksa orang jang berbuat baik dan dapat memberi ampunan
kepada orang jang berbuat djahat, bahwa orang jang berbuat dosa besar
tidak diletakkan pada suatu kedudukan antara orang mukmin dan kafir,
tetapi djika ia orang jang beriman akan dikeluarkan dari neraka,
manakala siksaannja sudah habis, bahwa perkara amar ma'ruf dan nahi
mungkar diwadjibkan karena nash daripada wahju Tuhan dan sunnah
rasulnja, bukan karena ukuran akal manusia.
Sji'ah sepaham dengan Mu'tazilah dalam dua masalah,
jaitu masalah tauhid dan keadilan Tuhan, tetapi menjalahinja dalam tiga
pendirian jang lain, jang mengikuti paham Asj'arijah dalam
pendiriannja. Dalam persoalan chalifah Sji'ah mengikuti hadis Nabi jang
mengutamakan Ali, dengan utjapannja : "Ini penggantiku, wazirku, orang
jang aku beri wasiat dan chalifahku untukmu sesudah daku." Dan
hadis-hadis lain jang sama pengertiannja dengan itu, banjak diriwajatkan
oleh ulama-ulama Sji'ah. Lihat misalnja kitab "Asj-Sji'ah wal Hakümin"
(Beirut, 1962). karangan Muhammad Djawad Mughnijah.
Dalam persoalan lain Sji'ah berselisih paham
mengenai "assaqalain", peninggalan Rasulullah kepada umat Islam dua
perkara jang berat, jang tersebut dalam hadisnja terachir, dan jang
disuruh pegang teguh-teguh kepada umat Islam sesudah ia wafat, apakah
dua jang berat itu, Qur'an dan Sunnah atau Qur'an dan Keturunannja ?
Sji'ah mengemukakan hadis-hadis, jang menerangkan perkara tersebut
dibelakang ini, oleh karena itu mengutamakan keluarga Nabi termasuk
kejakinan jang disuruh pegang olehnja sebagai dua perkara jang berat.
Asad Haidar dalam kitabnja jang besar dan
terpenting bagi penganut mazhab Sji'ah, bernama „Imam As-Shadiq wal
Mazahibil Arba'ah" mengupas persoalan "as-saqalain" ini setjara pandjang
lebar, dan menekankan lebih banjak disamping berpegang kepada
Kitabullah dan Sunnah Rasul, ialah berpegang kepada fatwa-fatwa keluarga
atau Ahlil Bait Rasulullah, terutama dalam masa kekatjauan mengenai
persoalan-persoalan Islam. Zaid bin Arqam jang menjampaikan isi chotbah
Nabi, menerangkan bahwa Nabi pernah berkata : "Aku meninggalkan kepadamu
dua jang berat, Kitabullah jang didalamnja ada petundjuk dan tjahaja,
ambil kitab itu dan pegang teguh-teguh". Kemudian setelah ia
mengandjurkan kitab Allah itu dan kegemaran mempeladjarinja ia berkata :
"Dan Ahli Baitku, aku peringatkan kamu kepada Allah tentang keluarga
rumahku" (Sahih Muslim, VII : 122). Hadis sematjam ini djuga disebut
oleh Tarmizi dalam kitabnja, dj. II hal. 308.
Imam Ahmad bin Hanbal dalam Masnadnja, djuz II,
hal. 14, menjebutkan djuga sebuah hadis jang diriwajatkan oleh Zaid bin
Arqam, jang menerangkan bahwa Rasulullah pernah berkata : "Aku
meninggalkan kepadamu dua perkara jang berat, selama engkau berpegang
kepadanja, engkau tidak sesat sesudah aku. seperkara lebih besar
daripada jang lain, jaitu Kitabullah, jang merupakan tali dari langit
kebumi, dan kedua keturunanku. Ahli Bait-ku, keduaduanja tidak bertjerai
satu sama lain, hingga didjadikan untukku sebuah telaga. Awasilah
djangan kamu memperselisihkan keduanja."
Abu Sa'id al-Chudri menerapjcan djuga hadis jang
sematjam itu bunjinja, sampai mengulang beberapa kali. Dan Chatib
al-Bagdadi dalam kitabnja d j. VIII, hal. 443 menerangkan sebuah hadis
dari Huzaifah bin Usaid, bahwa Rasulullah s.a.w. pernah mengutjapkan
hadis sematjam itu djuga, begitu djuga Hakim dari hadis Zaid bin Arqam
dalam Al-Mustadrak (IV: 109), sedang Sajuthi meriwajatkan hadis itu dari
tiga djalan, dari Zaid bin Arqam, Zaid ibn Sabit dan Abu Sa'id
al-Chudri. Selain daripada itu didapat djuga hadis sematjam itu
diriwajatkan oleh Muhammad bin Jusuf Asj-Sjafi'i dalam kitabnja
"Kifajatut Thalib", diriwajatkan djuga oleh At-Thabari dalam kitab
"Az-Zacha'ir", oleh Ibn Had jar dalam kitab "As-Sawa'iq al-Muhriqah",
hal. 136 dari bermatjam-matjam rawi, oleh As-Sjabrawi, oleh Al-'Adawi,
oleh Al-Alusi, oleh Ibn Kasir dalam tafsirnja (111:486) dll. uama dalam
kitabnja masing-masing.
An-Naqsjabandi dalam kitabnja "Al-'Aqdul Wahid"
sesudah memudji-mudji Ahlil Bait (hal. 78) sebagai bintang agama Islam,
sumber sjara' dan tiang Islam dan sahabat-sahabat Nabi, menjebut kembali
hadis itu dengan penuh hormat.
Asj-Sjafi'i-pun mengatakan, bahwa umat Islam
diandjurkan mentjintai keluarga Nabi dengan mewadjibkan salawat dan
salam kepada keluarganja itu dalam tasjahhud achir pada tiap-tiap
sembahjang, dan ia menjanjikan sebuah sadjak, jang kalau saja
terdjemahkan bebas dalam bahasa Indonesia sebagai berikut :
Oh Ahli Bait Rasulullah,
Mentjintai kamu diwadjibkan,
Didjadikan fardhu oleh Allah,
Didalam Qur'an diturunkan.
Tjukup mendjadi ukuran besarmu,
Dengan hukum ibadat jang ada,
Siapa tidak salawat atasmu,
Sembahjangnja bathal, dianggap tiada.
Pernah muntjul sebuah karangan dalam madjallah
"Al-Muslim", jang terbit di Mesir tahun 1271 H., jang berturut-turut
mengupas kedudukan Ahlil Bait ini dalam agama, dan memberi keterangan
pandjang lebar tentang hadis jang kita bitjarakan diatas itu. Penafsiran
"as-saqalain" ini begitu luas sampai masuk kedalam kamus-kamus dengan
hadis jang mengandung kitab Allah dan keluarga Nabi, misalnja dalam
At-Tadj oleh Muhibuddin, Lisanul Arab oleh Ibn Abi Manzur, An-Nihajah
oleh Ibn Asir, dll. keterangan, jang memberi bukti kepada orang Sji'ah,
bahwa jang dimaksudkan dengan "as-saqalain" ialah Kitabullah dan
keluarga Nabi atu Ahlil Bait.
Oleh krena itu mereka merasa ketjewa terhadap
Buchari sebagai imam Hadis terbesar tidak memasukkan hadis ini kedalam
kitab sahihnja, dan banjak menghilangkan hadis-hadis Ahlil Bait jang
tidak disebut dalam karangannja. Banjak orang Sji'ah mengetjam Imam
Buchari ini dalam kitab-kitabnja untuk menundjukkan sikapnja jang berat
sebelah, dan mengemukakan "sunnati" lebih banjak daripada "itrati",
tetapi saja menjangka, bahwa Imam Buchari karena itu tidak untuk
memperketjilkan arti Ahlil Bait, tetapi sebab alasan-alasan jang lain.
Kita ketahui ulama-ulama jang banjak memudji-mudji keturunan Ali dalam
masa Abbasijah segera ditjap pro Alawijjin, ditahan dan dihukum. Oleh
karena itu banjak ulama-ulama dan pengarang-pengarang dalam masa itu
untuk keselamatan dirinja dan karangannja, menghindatkan hal-hal jang
dapat membawa kepada tuduhan sematjam itu.
2. AHLIL HADIS DAN AHLIR RAJI
Sudah kita katakan dalam bahagian pertama dari
pokok persoalan ini, bahwa timbulnja aliran-aliran jang banjak
menjebabkan djuga kekatjauan dalam peraturan hukum Islam, jang dinamakan
hukum fiqh Islam, karena bermatjam-matjam penafsiran, mengenai
ajat-ajat Qur'an dan berbagai bentuk hadis, dirajah dan riwajahnja,
sehingga mempengaruhi sumber-sumber pokok penetapan hukum itu.
Dengan demikian lahirlah dua aliran besar dalam
kalangan ulama Islam, jaitu golongan jang berpegang kepada Sunnah jang
dinamakan AhluI Hadis, terutama dalam daerah jang banjak terdapat
sahabat-sahabat Nabi jang masih hidup, seperti Madinah dan Mekkah dan
golongan janq banjak menggunakan pikiran dan qijas, jang dinamakan Ahlur
Ra'ji, jang banjak terdapat di Irak dan daerah-daerah jang tidak banjak
terdapat sahabat-sahabat Nabi, jang dapat mentjeriterakan keadaan hukum
dalam masa Rasulullah.
Mengenai dirajah dan riwajah hadis itu djuga
menghadapi kesukaran, karena banjak riwajat jang tidak dapat dipertjaja,
karena sudah dipengaruhi oleh politik dan perkembangan aliranaliran
paham itu.
Kemudian perbedaan riwajat dan penafsiran mengenai
hadis "as-saqalain", jang sepihak menerangkan peninggalan dua jang berat
oleh Rasulullah itu ialah Qur'an dan Sunnah, pihak jang lain mengatakan
Qur'an dan Ahlil Bait Rasulullah. Perbedaan ini mengakibatkan dua
golongan dalam penetapan hukum fiqh, pertama bernama Mazhab Ahlus Sunnah
wal Djama'ah, kedua bernama Mazhab Ahlil Bait.
Dengan sendirinja Sji'ah Ali, memilih dan
mengutamakan Mazhab Ahlil Bait dalam memegang hukum-hukum ibadat dan
mu'amalatnja, karena mereka lebih banjak bergaul dengan ulama-ulama
anggota keluarga Nabi dan lebih mempertjajainja dalam dirajah dan
riwajah, terlepas daripada pengaruh pemerintahan Bani Umajiah dan Bani
Abbas.
Kota Madinah, jang untuk sementara waktu tidak
diganggugugat oleh pemerintahan itu, merupakan tempat berfatwa mengenai
dasar-dasar tasjri' Islam, karena kota Nabi itu banjak didiami oleh
sahabat-sahabat Nabi. Ahlil Baitnja dan Tabi'in jang baik.
Sedjak permulaan pemerintahan Bani Umajjah, sudah
memperhatikan kota ini dengan penuh ketjemasan, karena ia merupakan
perkampungan sekolah tinggi Islam, dan oleh karena itu ia membudjuk
banjak ulama-ulama dengan kekajaan dan djandjidjandji untuk membantunja
dalam pentjiptaan kodifikasi hukum-hukum Islam dan dengan demikian djuga
ia membendung meluasnja pengaruh golongan Ali bin Abi Thalib.
Dalam masa Bani Abbas terdjadi kemadjuan penuntutan
ilmu pengetahuan jang luas, ,dan sudah mendjadi kebiasaan, bahwa ilmu
pengetahuan itu berkembang dalam pimpinan dan pengawasan pemerintah,
sehingga radja-radja Bani Abbas itu beroleh kedudukan dalam mata rakjat
dan menganggap mereka imam, apalagi mereka berasal dari keturunan
keluarga Nabi dari pihak pamannja. Tjuma sajang kedudukan ini achirnja
membawa mereka menjeleweng memadjukan ilmu-ilmu pengetahuan dunia sadja
atjapkali melupakan achirat, mempermain-mainkan Sunnah Nabi dan hukum
agama Tuhan. Pengadjaran dan pendidikan agama mendjadi tersia-sia.
Maka bangunlah Ahlil Bait dan ulama-ulama lain
bekerdja keras menjiarkan ilmu Islam ditengah-tengah kemadjuan
pengetahuan duniawi itu menjelamatkan umat jang sedang menggunakan
kemerdekaan berpikir jang luas. Adjaran mereka disambut oleh rakjat.
Dja'far As-Shadiq adalah orang jang pertama melihat kepentingan ini dan
memimpin kemadjuan ilmu pengetahuan itu dalam batas-batas kejakinan
Islam jang benar. Dibukanja sebuah sekolah besar, jang dikundjungi oleh
umat Islam dari seluruh pendjuru daerah, hingga djumlah muridnja tidak
kurang dari empat ribu orang, sebagaimana sudah kita sebutkan diatas.
Kemadjuan ini pada mula pertama tidak begitu
memusingkan Bani Abbas, tetapi sesudah mereka mempunjai kekuasaan,
timbullah tjuriganja, kalau-kalau pengadjaran agama berpengaruh untuk
melemahkan kedudukannja. Mereka tidak ahli dalam persoalan agama, hanja
memerintah dengan kekuasaan dan mengumpulkan harta benda dari
rakjat-rakjat jang telah dikalahkannja. Djiwa dan iman rakjat tertumpah
kepada ulama-ulama, jang mengadjarkan mereka Islam dengan keadilan
hukum-hukumnja.
Mulailah Bani Abbas mengambil tindakan terhadap
mereka jang merupakan pengikut Ahlil Bait dan ulama-ulama serta rakjat
umum jang merupakan pengikutnja. Meskipun mereka mengambil tindakan
kekerasan, tetapi penduduk kota Madinah tetap taat, karena mereka sudah
melakukan sumpah setia kepada keluarga Ali, bukan keluarga Bani Abbas.
Untuk sementara mereka dapat memerintah bangsa
Persi, tetapi tidak dapat mengambil hati mereka, jang telah terlekat
tjintanja kepada Alawijjin, meskipun bukan orang Arab. Konon dimulailah
siasat melakukan sewenang-wenang, sampai membunuh orang-orang di Persi
sendiri jang menggunakan bahasa Arab.
Kekedjaman ini dilakukan turun-temurun. Sesudah
As-Safah datang Al-Mansur, jang terkenal dengan tangan besi dan orang
jang haus kepada pertumpahan darah. Maka dipetjah-belahkan ulama itu
dalam dua golongan, golongan fiqh di Irak jang menggunakan qijas, jang
dibantunja, dan golongan ulama-ulama di Madinah, jang lebih mengutamakan
hadis dan memeliharanja, terdiri daripada ulama-ulama Sahabat jang baik
dan dipertjajai.
Hadis sedikit di Irak. Oleh karena itu dalam
penetapan hukum agama mereka memakai dasar pikiran dan qijas, dimulai
oleh Hummad, jang menuruti Ibrahim An-Nacha'i (mgl. 95 H.), dan dari
Hummad diperkembangkan oleh Abu Hanifah (mgl. 150 H). Bahkan demikian
beraninja, sehingga kadang-kadang lebih mau mereka menggunakan qijas
daripada mengambil hadis uhad, sehingga sikap mereka itu mendjadi
edjekan oleh ulama-ulama ahli hadis.
Ulama-ulama ahli hadis tidak mau menggunakan
pikiran dan qijas dalam hal sematjam itu, artinja djika mereka masih
menemui hadis, meskipun sifatnja uhad, karena takut mengadakan sesuatu
hukum agama hanja berdasarkan kepada pikiran manusia. Diantara pemuka
ulama-ulama sematjam ini ialah Imam Zaid bin Ali (mgl. 122 H), Imam
Dja'far bin Muhammad As-Shadiq, Imam Malik (mgl. 179 H) dan Amir
Asj-Sju'bi (mgl. 105 H) seorang ahli hadis terkenal di Kufah dalam
masanja. Lalu terdjadi edjek mengedjek dan serang menjerang antara Ahli
Qijas atau ra'ji di Irak dan Ahli Hadis di Madinah. Dengan sendirinja
pemerintah Abbasijah jang bersifat keduniaan membantu golongan Ahli
Ra'ji pada hari-hari pertama dan menekan kepada Ahli Hadis, jang
kemudian bernama Ahli Sunnah wal Djama'ah.
Kedalam golongan Ahli Sunnah wal Djama'ah ini
termasuk Mazhab Sjafi'i jang dikepalai oleh Muhammad bin Idris, jang
banjak mempeladjari hadis dari Malik dan sahabat-sahabatnja, Mazhab
Hanbali, jang didirikan oleh Ahmad bin Hanbal (mgl. 241 H.) jang banjak
mempeladjari hadis dari Imam Sjafi'i (mgl. 204 H). Mazhab Maliki, jang
terdiri dari pengikut-pengikut Imam Malik (mgl. 179 H). Semua dinamakan
Ahli Hadis, karena mereka berusaha mentjari hadis dan dasar Sunnah Nabi
untuk menetapkan hukum-hukum jang didasarkan atas nash, lebih dahulu
daripada menggunakan qijas. Sjafi'i mengatakan : "Apabila engkau
mendapati sebuah penetapan mazhab jang didasarkan atas hadis jang lebih
sah daripada penetapanku, ketahuilah bahwa mazhabku jang sebenarnja
adalah jang berdasarkan hadis jang lebih sah itu".
Banjak orang jang mendjadi pengikut Sjafi'i,
diantaranja Ismail bin Janja Al-Mazani, Kabi' bin Sulaiman al-Djizi,
Harmalah bin Jahja, Abu Jakub al-Buwaithi, ibn Shaibah, lbn Abdul Hakam
al-Mishri, Abu Saur, dll.
Kemudian masuk kedalam ikatan Ahlus Sunnah ini Abu
Hanifah an-Nu'man bin Sabit (mgl. 150 H), jang meskipun seorang tokoh
Ahli Qijas, tetapi keterangan .akal itu digunakan untuk menguatkan.
Pengikut-pengikutnja ialah Muhammad bin Hasan asj-Sjaibani, Abu Jusuf
al-Qadhi, Zafar bin Huzaidi, Hasan bin Zijad al-Lu'lu'i, Abu Muthi
al-Balchi, Basjar al-Muraisi, dll. jang semuanja mengaku bahwa Sjari'at
itu disudahi dengan akal, dalam penetapan hukum mereka tidak melampaui
batas nash, mereka gemar mengemukakan alasan dan tudjuan hukum, dan
bersedia mengembalikan hadis-hadis jang berbeda satu sama lain kepada
dasar-dasar pokok agama Islam.
Anggota Ahlus Sunnah ini bertambah luas dengan mazhab-mazhab sebagai berikut :
Mazhab Sufjan as-Sauri (mgl. 161 H).
Mazhab Sufjan bin Ujainah (mgl. 198 H).
Mazhab Hasan al-Basri (mgl. 110 H).
Mazhab Al-Auza'i (mgl. 157 H).
Mazhab Muhammad bin Djarir (mgl. 310 H).
Mazhab Umar bin Abdul Aziz (mgl. 101 H).
Mazhab Al-A'masj (mgl. 147 H).
Mazhab Asj-Sju'bi (mgl. 105 H).
Mazhab Ishak (mgl. 238 H).
Mazhab Al-Lais (mgl. 920 H).
Mazhab Abu Saur (mgl. 240 H).
Mazhab Daud az-Zahiri (mgl. 270 H).
Ada orang memasukkan lagi kedalamnja Mazhab
A'isjah, Mazhab Ibn Umar, Mazhab Ibn Mas'ud, Mazhab Ibrahim an Nacha'i,
dan lain-lain Imam Mazhab ketjil-ketjil, jang uraiannja semuanja tidak
saja bitjarakan disini pandjang lebar, tetapi saja tangguhkan untuk
mengisi karangan saja jang lain, jang saja namakan Ahlus Sunnah wal
Djama'ah, dalam rangka serie gubahan saja Perbandingan mazhab dalam
Islam, disamping kitab Sji'ah Ali dan Perdjuangan Salaf.
Dengan demikian dapat kita lihat, bahwa ulama-ulama
fiqh sesudah berpetjah belah karena politik dan perlainan tjra
berpikir, dari ulama-ulama Madinah, Irak dan Kufah, kemudian kembali
bersatu kedalam ikatan Ahli Sunnah wal Djam'ah, jang sebagaimana kita
lihat sedjarahnja tumbuh daripada Mazhab Ahlil Bait.
3. AHLUS SUNNAH DAN SJI'AH
Atjapkali kita mendengar pertanjaan : apa perbedaan mazhab Ahlus Sunnah wal Djama'ah dengan mazhab Ahlil Bait ?
Dalam pengertian hukum fiqh kedua mazhab ini hampir
tidak berbeda. Kedua-duanja bersumber pokok pada Qur'an dan Hadis, Kita
sudah melihat dalam sedjarah pendidikan dan pengadjaran, imam-imam
mazhab Ahlus Sunnah jang terpenting adalah murid-murid daripada
ulama-ulama Ahlil Bait. Jang tertarik kepada hadis "as-saqalain" jang
menerangkan "Kitabullah wa Sunnati" menamakan ikatan ini Ahlus Sunnah,
jang tertarik kepada hadis jang menerangkan "as-saqalain" itu ialah
"Kitabullah wa Itrati, Ahli Baiti," meneruskan nama ikatan ini dengan
Ahlil Bait, terutama Sji'ah Ali bin Abi Thalib.
Orang-orang Sji'ah menggunakan istilah ini, karena
istilah itu telah terdapat dalam sebuah ajat Qur'an, jang berbunji :
"Allah sesungguhnja menghendaki menghilangkan ketjemaranmu Ahli Bait,
dan membersihkan kamu dengan sebersih-bersihnja" (Qur'an XXX: 33). Lalu
digunakan perkataan Ahlil Bait, jang pernah dihadapkan Tuhan kepada Nabi
Muhammad dalam firmannja, untuk nama mazhab jang mereka anut dan
amalkan.
Orang Sji'ah menganggap, bahwa mazhab Ahlil Bait
itu adalah mazhab jang tertua dan jang tergiat memperdjuangkan Islam,
sedjak agama ini lahir, dengan berpedoman kepada Qur'an dan Sunnah
Nabinja. Nabi sedjak keangkatannja bersungguhsungguh menanamkan
bibit-bibit ke-Islaman itu kepada keluarganja dan kepada semua orang
Islam jang mengamalkan tjara beribadat sematjam itu dalam masa
sahabatnja.
Usaha ini diteruskan djuga oleh keturunannja,
terutama Iman Ash-Shadiq, sebagai jang sudah kita djelaskan. Dalam
keadaan susah dan senang ia meneruskan menanam bibit-bibit hukum Tuhan
ini, sebagaimana ditanamkan oleh kakeknja kedalam djiwanja, bagaimanapun
pertentangan jang dihadapi dari Bani Umajjah dan Bani Abbas, dan
tantangan dari pengadjaran-pengadjaran dan tjara berpikir jang sesat.
Maka lahirlah beribu-ribu muridnja jang menjiarkan adjaran-adjarannja
itu dan mendirikan mazhab-mazhabnja pula.
Mazhab Ahhil Bait atau dalam fiqh dinamakan djuga
Mazhab Al-Dja'fariah, tidak sama sedjarah pertumbuhannja dan
perdjuangannja dengan mazhab-mazhab Islam jang lain, la mempunjai
dasar-dasar dan kekeluargaan jang kuat, sehingga ia dengan bantuan Tuhan
djaja dalam perdjuangannja. Sementara mazhab-mazhab jang lain mengalami
pasang surut penganutnja, mazhab Ahlil Bait ini berdjalan terus setiap
masa dan zaman sampai tersiar keseluruh negara Islam diatas muka bumi
ini.
Pemerintah Bani Umajjah menentang perkembangannja
dengan tiga sebab; Pertama, sifat permusuhannja terhadap keluarga Nabi
jang tidak kundjung padam,, turun-temurun dari ajah kepada anak dan
tjutjunja. Agama Islam, jang telah mendjadi anutan tidak dapat mengubah
dendam Bani Umajjah itu terhadap keluarga Nabi, Kedua, perkembangan
mazhab Ahlil Bait jang begitu pesat, merupakan pukulan terhadap
hukum-hukum peradilan dan merupakan pertentangan antara siasat Ahlil
Bait dengan siasat Bani Umajjah. Ketiga, Bani Umajjah tahu betul akan
pengaruh Ahlil Bait dan tjinta rakjat kepadanja, sehingga tidak
merupakan perbandingan lagi dalam persoalan chalifah antara Bani Umajjah
dan Ahlil Bait, bukan dari Bani Umajjah.
Dalam dua perkara terachir sama sikap Bani Abbas
dengan Bani Umajjah, hanja Bani Abbas berbeda dalam perkara permusuhan
terhadap keluarga Nabi. Pada hari-hari jang pertama mereka tidak
memusuhi Ahlil Bait, karena senenek dan masih berkeluarga, tetapi
tatkala mereka melihat, bahwa seluruh ummat Islam datang menjokong Ahlil
Bait itu, merekapun mendjadi chawair dan kemudian mengambil sikap jang
sama seperti Bani Umajjah.
Dengan demikian Ahlil Bait dan penganut-penganutnja
menderita kesukaran. Meskipun begitu penjiaran mazhab ini tidak dapat
dibendung. Adjarannja tersiar terus sampai keibu negeri keradjaan Bani
Umajjah. Jang mula-mula menjiarkan mazhab ini di Sjam ialah sahabat
besar Abu Zar al-Ghiffari. Sebagai orang jang djudjur dan tjinta kepada
rakjat djelata, ia menjampaikan dengan terus-terang adjaran" Islam jang
bersifat sosiali dan demokrasi. Dengan tidak segan-segan ia mengetjam
sikap Mu'awijah, jang bersifat feodal dan tidak sesuai dengan adjaran
sosial dalam Islam. Demikian berbahajanja adjaran-adjaran Abu Zar ini,
Jang membuka mata rakjat untuk melihat pemerintahan Islam jang
sebenarnja, sehingga Mu'awijah meminta tolong kepada Chalifah Usman bin
Affan jang ketika itu memegang tampuk pemerintahan Islam di Madinah,
untuk mengeluarkan sosialis Abu Zar ini. Abu Zar diperintahkan berangkat
ke Rabzah dan mati disana.
Hadjar bin Adi, seorang sahabat Nabi jang ichlas,
mengemukakan adjaran ini di Kufah dan dalam pengadjiannja di Pusat
Kemadjuan Islam itu, ia mengetjam kemungkaran-kemungkaran jang
dikerdjakan oleh pemerintah Bani Umajjah, membuktikan bahwa mereka telah
meninggalkan adjaran Islam jang sebenarnja, memprotes tjutji maki
terhadap Ali dan keluarganja diatas mimbar Djum'at dan membuktikan bahwa
Ali bin Abi Thalib itu adalah pahlawan Islam jang terbesar, penjiar
agama jang ulung orang dan keluarga jang terdekat kepada Rasulullah.
Utjapan-utjapan itu menjebabkan Hadjar menemui nasib dan adjalnja.
Sedjarah mentjeriterakan, bahwa Hadjar bin Adi adalah seorang pembela
Ali jang sangat berani, ia pernah hadir dalam perang Shiffin, Nahrawan,
dengan dua belas orang temannja jang gagah perkasa, dan berdjasa djuga
untuk Mu'awijjah dalam mengamankan keadaan di Maradj Uzara. Sebagai
pembalasan djasa, kemudian ia dengan teman-temannja dihukum ditempat itu
smpai mati.
Saja tidak ingin turut mengetjam kekedjaman Bani
Umajjah terhadap kepada penjiar-penjiar mazhab ini jang berlaku terus
terang dalam mengemukakan adjaran Islam sebenarnja. Kitab-kitab Sji'ah
memuat tjeritera-tjeritera pandjang lebar jang menjeramkan bulu roma.
Jang perlu saja kemukakan, bahwa mazhab Ahlil Bait ini meskipun dalam
keadaan demikian penjiarannja berdjalan terus, sebagai terusnja Imam
As-Shadiq mentjetak murid dan kadernja jang ribuan banjaknja dengan
ribuan pula karangan-karangannja tersiar dan mengalir sebagai air bah
ketiap podjok bumi.
Memang disana-sini kita mendengar ketjaman terhadap
mazhab Ahlil-Bait, jang menggunakan hadis-hadis tersendiri dan berbuat
banjak bid'ah, misalnja oleh pengarang sedjarah jang terkenal Ibn
Chaldun (Muqaddimah, hal. 274), tetapi atjapkali orang lupa, bahwa
dibelakang tuduhan-tuduhan itu terdapat politik propaganda Bani Umajjah
atau Bani Abbas, jang membentji mazhab ini, karena ia teruntuk chusus
bagi Sji'ah Ali bin Abi Thalib. Untuk kemaslahatan dan keselamatan diri
serta karangan-karangannja, banjak penjusun-penjusun kitab dalam segala
bidang, meninggalkan kemegahan bagi Sji'ah, meskipun pada batinnja
kadang-kadang mereka membenarkannja.
Mengenai djawaban ilmijah atas ketjaman Ibn
Chaldun, batjalah kitab "Al-Imam as-Shadiq wal Mazahibil Arba'ah",
karangan Asad Haidar, diantara lain djilid kesatu, hal. 216—218.
4. SEDJARAH MAZHAB AHLIL BAIT
Sebenarnja bukan tidak beralasan, baik Bani Umajjah
maupun Bani Abbas, menuduh Sji'ah Ali senantiasa kalah menggerakkan
pemberontakan rakjat terhadap pemerintahan mereka. Djiwa pengadjaran
Islam dalam daerahnja banjak dititik beratkan kepada kehidupan duniawi,
melalui djalan kasar atau djalan halus terhadap ulama-ulamanja, sedang
adjaran Islam menurut mazhab Ahlil Bait lebih banjak ditekankan kepada
kehidupan dunia dan achirat.
Djiwa pengadjaran Imam As-Shadiq diantara lain
adalah kemerdekaan roh, jang sangat dihargakan tinggi oleh Islam, dan
dengan demikian pengikut-pengikutnja selalu berdaja upaja melepaskan
kemerdekaan djiwanja itu daripada belenggu kekuasaan jang dianggap zalim
ketika itu. Sedjak berdirinja mazhab ini terikat dengan dua peninggalan
Nabi jang kuat "as-saqalain" jaitu Kitabullah dan Itrah Rasulnja,
Qur'an dan keluarga Nabi, jang berpadu keduanja, tidak bertjerai dalam
penunaian kewadjibannja untuk memberi pertundjuk dan hidajat kepada
umat. Qur'an mentjegah memberi bantuan kepada orang jang berbuat zalim
dan mempertjajainja. Dalam sebuah firman Tuhan berseru : "Djangan kamu
lekatkan kepertjajaanmu kepada mereka jang berbuat zalim, karena pasti
kamu akan masuk neraka. Tidak ada lain pemimpinmu ketjuali Allah, jang
lain tidak akan dapat menolongmu" (Qur'an. surat Hud, ajat 113).
Adjaran seperti dalam masa Nabi ini sudah tidak
sesuai lagi dengan masa Bani Umajjah dan Bani Abbas jang tamak kekajaan
dan bertindak setjara kekerasan. Mereka menganggap adjaranadjaran Imam
as-Shadiq itu ditudjukan kepadanja.
Dengan penuh keberanian Imam mendjalankan terus
adjaran sematjam ini. Pengikut-pengikutnja diadjar meresapkan rasa adil,
jang merupakan pokok terpenting daripada dasar-dasar penetapan hukum
Islam. Murid-muridnja hanja mematuhi peraturan-peraturan jang tidak
melampaui batas Tuhan, jaitu Qur'an dan mentaati imam-imam jang adil
serta memelihara agama, imam-imam jang ingin damai, bermutu tinggi dalam
achlak dan budi pekerti.
Sebagai akibatnja rakjat tidak mau mentjari
penjelesaian dalam urusannja kepada hakim-hakim pemerintah jang dianggap
zalim itu, mendjauhkan dirinja dari ulama-ulama jang ditunggangi oleh
pemerintah (Abu Na'im, Hiljatul Aulia, 111:194). Dengan demikian
Chalifah Mansur As-Saffah dan Hadjdjadj bin Jusuf lalu mengambil
tindakan, dan gugurlah ulama-ulama hadis dan fiqh dalam mempertahankan
agamanja itu.
Imam As-Shadiq menghendaki, agar disamping
pemerintah dunia, terdapat pimpinan agama, jang betul-betul mendjalankan
kebidjaksanaannja menurut hukum Tuhan, berdasarkan kepada da'wah jang
benar kebadjikan, keadilan, persamaan uchuwah Islamijah umum, peradaban
jang baik dan kebudajaan jang benar, membasmi hawa nafsu, membasmi
bid'ah dan kesesatan, jang semuanja itu dapat diperoleh hanja dari
keturunan sutji, pemimpin-pemimpin mazhab ini. Karena merekalah jang
sanggup memimpin umat kepada agamanja, membawanja kepada kebahagiaan,
kepada tudjuan-tudjuan jang mulia dan tinggi, kepada tjontoh-tjontoh
jang tinggi.
Mazhab Ahlil Bait ini adalah mazhab jang terdahulu
lahir dalam sedjarahnja, karena sebenarnja bukan Imam As-Shadiq jang
meletakkan batu pertama dan menaburkan benihnja, tetapi ialah Rasulullah
sendiri. Nabilah jang meletakkan sumber-sumber dan
peraturan-peraturannja dengan utjapannja menjuruh berpegang kepada
Qur'an dan keluarganja, agar umat djangan tersesat (Hadis).
Mazhab ini terlahir dalam masa Nabi dan Imam jang
pertama ialah Ali bin Abi Thalib, Imam jang paling tinggi nilainja dan
paling banjak ilmunja. Ia merupakan diri Nabi Muhammad, mengikutinja
dalam segala waktu, menampung ilmu langsung dasung daripadanja,
memperoleh tasjri'amali sahabatnja dikampung dan dalam perdjalanan, ia
duduk djika Nabi duduk, ia bekerdja djika Nabi bekerdja. Rasulullah
adalah guru langsung dari Ali, pendidik dan pengasuhnja.
Penjair Mutanabbi menggambarkan keindahan pewarisan ilmu itu kepada Ali sebagai berikut :
Kuletakkan sandjunganku kepada pewaris.
Pewaris Nabi, wasiat Rasul.
Karena ia nur tjahaja berbaris.
Sambung menjambung, susul menjusul.
Sesuatu jang tetap terus-menerus.
Pasti achirnja berdiri sendiri.
Busah lenjap karena arus.
Laksana sifat matahari.
Tatkala Ali wafat, gerakan ilmijah dan pimpinan
mazhab ini dipimpin oleh puteranja, Imam Hasan, tjutju Rasulullah dan
mainan hatinja. Dialah tempat rakjat mengembalikan urusannja dan segala
persengketaan. Tetapi urusan mazhab itu tidak berdjalan dengan lantjar,
karena tekanan beberapa kedjadian dan saling sengketa dengan Mu'awijah.
Ketjurangan-ketjurangan Mu'awijah terhadap keluarga Ali dan
kekedjaman-kekedjamannja jang banjak menumpahkan darah, menghambat
kemadjuan perkembangan hukum. Kita ketahui bahwa perdjandjian antara
Hasan dan Mu'awijah untuk menjelamatkan perkembangan hukum dan adjaran
Islam, jang sebenarnja, tidak ditepati oleh Mu'awijah.
Masa Imam Husain jang menggantikan saudaranja,
lebih katjau lagi. Tidak sadja peperangan-peperangan sudah terbuka,
tetapi kekuasaan jang telah ditjapai oleh Mu'awijah digunakannja dengan
sengadja untuk merusakkan kedudukan hukum kaum muslimin. Urusan
peradilan diserahkan kepada anaknja Jazid, seorang fasik dalam berbuat
dosa dan kufur jang tidak ada taranja. Kemudian ia mendjadi chalifah
buat orang Islam, mendjadi imam jang duduk diatas singgasana
kechalifahan Islam.
Siapa Jazid ? Dalam "As-Sa'r al-Anwal fil Islam",
karangan Muhammad Abdul Baqi (hal. 79) kita batja, bahwa ia seorang
fasik jang durhaka, ia membolehkan meminum-minuman keras, membolehkan
berzina, memperkenankan njanji-njanjian dalam madjelis-madjelis
kehormatan, mendjadikan adat kebiasaan meminum anggur dalam
sidang-sidang pengadilan, memberikan rantai dan kalung andjing dan
monjet mainannja dengan emas, sedang ratusan orang Islam disekeliling
tempat itu mati kelaparan.
Lalu mendiadilah kedudukan hukum Islam ketika itu
sangat buruk. Imam Husain tidak dapat berdiam diri, ia terpaksa bangkit
membela kebenaran, melakukan amar-ma'ruf nahi munkar. hingga terpaksa ia
mengobarkan djiwanja dengan tjara jang sangat menjedihkan sebagai
pahlawan Islam.
Urusan peradilan Islam dan pimpinan mazhab
berpindah kepada anaknja Imam Ali bin Husain, jang bergelar Zainal
Abidin, seorang jang sangat wara' dan takwa dalam masanja, tetapi djuga
seorang alim dalam segala bidang ilmu Islam. Dengan tjara diam-diam ia
meneruskan usaha ajahnja, janq meskipun suasana ketika itu sangat buruk,
melahirkan banjak ulama-ulama ahli hukum dan ahli hadis.
Masa anaknja Imam Al-Bagir, memimpin mazhab Ahlil
Bait ini. suasana politik sudah agak berubah, pemerintah Bani Umaijah
sudah mulai lemah, diserang kanan kiri dan dibentji oleh rakjat karena
sifat feodalnia. Pengadjaran-pengadjaran Ahlil Bait digiatkan kembali
dimana-mana. ulama-ulamanja memantjar pergi menjiarkan adjaran
Kitabullah dan Sunnah Nabi di Madinah dan dalam Masdjidil Haram,
terutama ruang jang terkuat dengan nama "Ruang Ibn Mahil."
Kemadjuan jang sangat pesat ditjapai dalam masa
Imam As« Shftdiq, Ditiap negeri sudah ada orang alim jang mengadjäf
mazhab ini. Madrasah Imam As-Shadiq di Madinah merupakan sebuah
universitas jang besar, jang dikundjungi oleh mahasiswa dari seluruh
podjok bumi Islam. Banjak jang mengirimkan utusanutusannja.
Sedjarah pendidikannja menerangkan, bahwa ia
seorang mudjtahid besar. Tidak ada pertanjaan jang tidak didjawabnja,
dan djawabannja itu mendjadi sumber hukum pula bagi muridmuridnja.
Terkenal sebuah utjapannja : "Tanjakanlah kepadaku, sebelum aku mati,
tidak akan ada seorangpun dapat memberikan kepadamu pendjelasan seperti
jang engkau dengar daripadaku" (Tarkiracul Huffaz, II : 157). Mengapa
tidak demikian, karena dialah pewaris ilmu kakeknja jang masjhur itu.
Mengenai Ali bin Abi Thalib, Nabi berkata : "Aku ini gudang ilmu dan Ali
pintunja" (hadis).
Maka oleh karena itu sebuah hadis jang diriwajatkan
oleh Imam As-Shadiq dari ajahnja Al-Baqir, dari ajahnja Zainal Abidin,
dari Husain bin Ali dan dari Nabi, dianggap sanad jang paling baik dan
paling kuat. Riwajat sematjam ini dinamakan "silsilah zahabijah", urutan
keemasan demikian tersebut dalam kitab "Ma'rifah Ulumjul Hadis",
karangan Hakim An-Naisaburi, hal. 55.
Djelaslah kepada kita mengapa ulama-ulama
mengutamakan mazhab ini dalam sesuatu penetapan hukum. Tidak lain
sebabnja melainkan karena salurannja sangat bersih.
Pemerintah melihat bahajanja orang banjak lari
mentjan hukum kepada Imam As-Shadiq, dan tidak mau mendatangi
hakim-hakim dan pengadilan resmi. Lalu diambil siasat, menjuruh ulamanja
mengeluarkan fatwa, bahwa pintu idjtihad hukum Islam sudah tertutup.
Mazhab Ahlil Bait, jang kemudian terkenal dengan
Mazhab Al-Dja'fari, tidak mau mentaati siasat pemerintah ini, pertama
karena rakjat tidak mau mematuhinja, kedua karena menjebabkan orang
Islam mendjadi beku, tidak mau berpikir dan menggunakan akal,
satu-satunja anugerah Tuhan jang sangat mulia kepada manusia. Sebagai
akibat keputusan ini, pemerintah menganggap mazhab itu menentang
kebidjaksanaannja dan menghukum orangorang jang tidak taat itu.
Dengan alasan ini pemerintah menganggap mazhab
Ahlil Bait musuhnja, lalu dinjatakan sebagai suatu golongan jang diang
gap keluar dari Islam karena salah i'tikadnja, padahal ulama-ulama Ahlil
Bait tidak mau mentaatinja karena hakim-hakimnja itu zalim, dan umat
Islam diperintahkan meninggalkan orang-orang jang zalim itu dan
radjanja.
Sebagaimana terdjadi dalam salah satu permusuhan,
pemerintahan Bani Abbas lalu mentjari-tjari dan membuat-buat alasan
untuk memburuk-burukkan mazhab ini dan Sji'ah Ali jang memeluknja.
Mereka menggunakan uang untuk menggadji muballig-hmuballigh jang
menjampaikan ketjaman-ketjaman mereka dalam mesdjid-mesdjid, menggunakan
ahli-ahli pidato jang ulung didjalan-djalan, mengumpulkan ulama-ulama
untuk mengeluarkan fatwa jang sesuai dengan hawa nafsu mereka untuk
menjerang Sji'ah sebagai musuh negara dan sebagai musuh Islam.
Mereka menjiarkan berita bohong, bahwa Sji'ah
mengkafirkan semua sahabat Nabi, bahwa mereka tidak bermal menurut
Qur'an dll. Dengan demikian diratjuni pikiran rakjat dan digerakkan
untuk membasmi golongan jang disebut salah itu. Batjalah kitab "Imam
As-Shadiq wal Mazhahibil Arba'ah", karangan Asad Haidar, terutama djilid
ketiga, hal. 21—23.
Dengan demikian pula tuduhan-tuduhan jang
bukan-bukan kepada Sji'ah ini berlarut-larut dari generasi kegenerasi,
dari ulama keulama dari kitab kekitab, sebagaimana jang akan kita
singgung djuga dimana ada kesempatan.
5. TJINTA AHLIL BAIT
Tjinta kepada Nabi dan keluarganja lahir sudah
sedjak hari2 pertama dalam sedjarah Islam, baik oleh Qur'an oleh Hadis
maupun oleh achlak dan tingkah laku Nabi dan karena pergaulan jang mesra
dengan Rasulullah. Hubungan ketjintaan ini dikuatkan oleh rasa senasib
dan seperdjuangan dalam membela Islam. Adjaran-adjaran Nabi
menghilangkan asabijah, rasa kebanggaan suku dan keturunan, sudah
berganti dengan persaudaraan jang kokoh dan meresap sepandjang adjaran
iman dan tauhid.
Sahabat-sahabat Nabi merasa lebih bangga disebut
muslim daripada sebutan nama sukunja. Semua mereka mentjintai Nabi
sebagai pemimpin dan Ahlil Bait sebagai pengasuh, sehingga isteri-isteri
Nabi digelarkan "ibu orang-orang jang beriman."
Tidak ada seorang Islam jang dapat menundjukkan tjintanja kepada Nabi dan keluarganja lebih dari Chalifah Abu Bakar.
Tjinta Umar bin Chattab djuga memberi bekas jang
dalam kepada semua orang Islam. Ia pernah memberi tundjangan kepada
tiap-tiap anak pedjuang Badr dua ribu dinar dalam setahun, tetapi kepada
Hasan dan Husain masing-masing diberikan lima ribu dinar setahun. Dalam
kitab sedjarah ditjeriterakan, bahwa Husain bin Ali pernah bertjeritera
sbb. : "Aku datangi Umar dimasa kanak-kanak, sedang ia berchutbah
diatas mimbar. Aku naik keatas mimbar mesdjid itu dan berkata : "Turun
engkau dari mimbar ajahku dan pergi berchutbah diatas mimbar ajahmu."
Umar mendjawab : "Ajahku tidak mempunjai mimbar", seraja didudukkannja
aku disampingnja bermain-main dengan tongkatku. Tatkala aku turun ia
membawa daku kerumahnja dan bertanja : "Siapa mengadjarkan engkau
berbuat jang demikian itu ?. Djawabku : "Demi Allah tidak ada seorangpun
jang mengadjar daku !".
Keadaan bertukar sesudah pemerintahan dari Chulafa'
urRasjidin kepada Bani Umajjah, jang memang sedjak sebelum Islam
menentang Nabi dan keluarganja, begitu djuga sesudah pemerintahan
berpindah kedalam tangan Bani Abbas, jang meskipun satu nenek mengambil
tindakan jang sama terhadap keturunan Nabi dalam penangkapan dan
pembunuhan. Tetapi rakjat Islam jang banjak tidaklah sepaham dengan
politik radja-radjanja dalam membentji anak tjutju dan keturunan
Nabinja. Mereka tetap mentjintai keluarga Nabinja jang dianggap bersih.
Bukan sadja orang Islam umum, sampai kepada rakjat
jang dikerahkan untuk memerangi Husain di Karbala, tidak berubah
pendiriannja terhadap keluarga Nabi, mereka hanja melakukan kewadjiban
karena takut sadja kepada Jazid dan Ibn Zijad dan kepada mereka jang
zalim terhadap Husain, sedang tjinta dan kasih sajang kepada anak tjutju
Nabi masih melekat dihatinja. Demikian kata seorang pengarang ternama
Farazdaq, jang mentjeriterakan, bahwa sampai kepada pegawai-pegawai dan
pembesar radja-radja itu dalam hatinja masih pertjaja dan mempunjai
belas kasihan terhadap anak-anak Fathimah Zuhra. Farazdaq menerangkan
hal ini dengan menjebut nama-nama jang tidak terhitung banjaknja.
Beberapa banjak amir-amir jang memerintah di
Churasan sebelum Ma'mun menaruh ketjintaan kepada Ahlil Bait, sampai
Sulaiman bin Abdullah bin Thahie berhasil dalam usahanja meratjuni hati
mereka, sehingga dapat digerakkan memerangi Hasan bin Zaid di
Thabristan.
Ditjeriterakan orang bahwa ada seseorang dari Raiji
menjebelah Sji'ah Ali, sedang ia seorang kaja raja. Serta hal ini
diketahui oleh kepala negara ditempat itu, dalam kedudukan pegawai radja
Bani Abbas, merampas harta bendanja semuanja. Temannja menerangkan
kepadanja, bahwa kepala negara itu sebenarnja menjebelah kepada Sji'ah
Ali djuga, tetapi dirahasiakannya. Ia menjuruh pergi kepadanja dan
mentjeriterakan keadaan jang sebenar-benarnja, tentu ia akan berubah
sikapnja.
Oleh karena orang itu ketakutan, ia tidak berani
melakukan jang demikian itu. Ia pergi kepada Imam Musa bin Dja'far dan
mengeluh kepadanja. Imam ini memberikan seputjuk surat kepadanja jang
berbunji : "Dengan nama Allah jang Pengasih dan Penjajang. Ketahuilah,
bahwa Allah mempunjai Arasj, tidak ada jang berlindung dibawahnja
ketjuali orang-orang jang berbuat baik kepada saudaranja, orang jang
menghilangkan kesukaran orang lain atau mendjadikan orang lain itu
gembira."
Orang itu mentjeriterakan bahwa ia pada malam itu
djuga menemui kepala negara dan meminta izin masuk kerumahnja. Sikap
kepala negara itu berubah terhadapnja seperti siang dengan malam,
tatkala ia mengatakan bahwa ia utusan dari Imam Musa Al-Kazim. Kepala
negara lalu memeluk dia dan mentjiumnja. menjuruh ia duduk pada tempat
jang terhormat, dan kemudian datang menghadapinja. Tatkala surat itu
diberikan kepadanja, ia mentjium surat itu dan membatjanja sambil
berdiri dengan hormat. Kemudian dikeluarkan uangnja dan pakaiannja,
diberikan orang itu dinar demi dinar, dirham demi dirham, pakaian
sepotong demi sepotong.
Kepala negara lalu bertanja : "Wahai saudara, adakah pekerdjaanku ini menggembirakan engkau ?" Djawab orang itu :
"Ai, demi Allah perbuatanmu itu lebih dari pada menggembirakan".
Lalu orang itu membawa harta benda tersebut kepada
Imam Musa, dan mentjeriterakan segala sesuatu kepadanja. Imam Musa
dengan muka jang berseri-seri mengutjap sjahadat, seraja berkata :
"Tuhan memberi kemudahan kepadanja dibawah Arasnja, dan Nabi Muhammadpun
akan memberi kegembiraan kepadanja dalam kubur !"
Ada seorang ulama besar jang diperintahkan
Al-Mutawakkil dalam masanja mengadjarkan anaknja, Al-Mu'taz, perkara
agama dan adab. Ulama ini bernama Ibnal Sakit, seorang besar Sji'ah jang
menjembunjikan alirannja, untuk menghindarkan diri daripada Chalifah
Al-Mutawakkil jang terkenal ini, didjerumuskan kedalam kerdjasama dengan
tjara paksaan dan didjadikan alat pemerintahannja untuk memusuhi Ali
serta anak tjutjunja.
Pada suatu hari Al-Mutawakkil bertanja kepada ulama
itu : "Mana jang lebih engkau tjintai, kedua anakku Al-Mu'taz dan
Al-Mu'ajjad inikah atau Hasan dan Husain ?" Ulama itu tidak menjangka,
bahwa kepadanja dihadapkan pertanjaan jang mengukur tjinta hatinja. Lalu
ia menerangkan dengan keberanian dan terus terang : "Demi Allah,
Qambar, budak pelajan Ali bin Abi Thalib, lebih baik daripada engkau dan
kedua anak engkau !"
Al-Mutawakkil memerintahkan memotong lidahnja, sehingga ulama besar Ibnal Sakit itu mati ketika iku djuga.
Beberapa tjontoh daripada sekian banjak manusia
jang menjembunjikan tjintanja kepada Ahlil Bait, dan menderita dengan
penuh kesabaran untuk melindungi tjinta itu berabad-abad lamanja dalam
masa Bani Abbas. Memang demikianlah sikap orang-orang jang besar
djiwanja, ia berdjuang terus, meskipun bahaja didepannja.
Tjontoh-tjontoh sematjam ini kita dapati dalam masa Fir'aun dan dalam
masa Musa.
Demikian kita lihat dalam perdjalanan Imam mazhab
fiqh, jang karena ia mengambil ilmu dari ulama-ulama Ahlil Bait dan
mentjintainja, menderita nasib jang sama dalam masa Bani Umajjah dan
Bani Abbas. Ahmad Mughnijah menceriterakan dalam kitabnja "Imam Musa
al-Kazim wa Ali Ar-Ridba" (Beirut, t. thi) nasibnja beberapa orang ulama
jang mentjintai Ahlil Bait. Ia menjebut nama Abu Hanifah, jang sangat
mentjintai Ahlil Bait, mengeluarkan banjak harta bendanja untuk
pertolonaan. berfatwa tentang wadjib menolong Zaid bin Ali, mengirimkan
harta benda kepadanya, dan berani djuga herfatwa harus membantu Ibrahim
bin Abdullah al-Husain dalam memeranqi Chalifah Al-Mansur. Sebagai
akibatnja Abu Hanifah dihukum tjambuk, diazab, dan achirnja diratjuni
oleh Al-Mansur sampai mati. Semua azab itu hanja karena mentjintai
keturunan Imam Ali dan membentji musuh-musuhnja. Setengah ahli sedjarah
mentjeriterakan, bahwa Abu Hanifah ini dipukul dan diazab karena ia
menolak diangkat mendjadi hakim. Ini adalah suatu uraian jang tidak
dapat diterima akal, karena kedudukan mendjadi hakim adalah kehormatan,
sedang memukul dan memendjarakannja adalah penghinaan. Oleh karena itu
jang lebih tepat dan dekat kepada kebenaran ialah, bahwa Abu Hanifah
menolak mendjadi qadhi untuk tetap merdeka diam dan tidak mentjela atau
menghinakan Ahlil Bait. Penolakan inilah jang membuat Al-Mansur marah
dan menghukum dia, karena siasat terachir daripadanja ialah mentjapkan
Abu Hanifah sebagai pengikut Ali dan Sji'ahnja.
Imam Malik pernah mengandjurkan rakjat untuk
meninggalkan Chalifah Al-Mansur dan berontak terhadapnja. Ia 'berfatwa,
bahwa sumpah setia rakjat kepadanja batal karena mereka melakukan bai'at
itu bukan karena sukarela tetapi karena dipaksa. Imam Malik dipukul
dengan tjambuk sebagaimana Abu Hanifah. Baik Imam Malik maupun Abu
Hanifah diketahui orang, bahwa kedua-duanja adalah murid Imam Dja'far
as-Shadiq, salah seorang keturunan Ali.
Ketjintaan Imam Sjafi'i kepada Ahlil Bait umum
dikenal orang. Ia mabuk didalam ketjintaan ini demikian rupa, sehingga
atjapkali ia dinamakan Rafdhi, diantara lain karena beberapa gubahan
sadjaknja, jang saja terdjemahkan merdeka sbb. :
Wahai Ahlil Bait Rasulullah.
Mentjintai kamu diwadjibkan Tuhan.
Tingkatmu agung sudah djelaslah.
Dalam Qur'an terdapat bahan.
Siapa meninggalkan salawat untukmu, Sembahjang tidak sah, begitu hukumnja,
Tinggi kedudukan, tinggi deradjatmu,
Merupakan kurnia Allah semuanja.
Lain gubahan berbunji :
Djika Ali serta Fathimah,
Dipudji orang dengan sandjungan,
Pasti ada orang amarah.
Menamakan Rafdhi dalam kenangan.
Lalu kutanjai orang berbudi.
Jang kuat imannja kepada Allah,
Mentjintai Fathimah bukan Rafdhi,
Sebaliknja mentjintai Rasulullah.
Salawat Tuhan tidak terhingga.
Kepada Ahlil Bait serta salam.
La'nat Tuhan turun tangga,
Kepada djahilijah masa jang silam.
Sjair-sjair 'Imam Sjafi'i jang seperti ini isinja,
banjak sekali, mempertahankan kehormatan Ahlil Bait dan menjerang mereka
jang menganggap perbuatan itu sebagai suatu perbuatan golongan Rafdhi
atau Rawafid, suatu golongan jang membentji kepada sahabat2 Nabi jang
lain, menganggap mereka tidak berhak mendjadi chalifah sebelum Ali serta
mengetjamnja sebagai perampas hak, sedang membeda-bedakan ketjintaan
antara sahabat-sahabat Nabi itu, haram hukumnja dalam Islam. Imam
Sjafi'i berpendapat bahwa mentjintai keluarga Nabi tidak usah diartikan
membentji, apalagi mendendam kepada sahabat-sahabat Nabi jang lain. Oleh
karena itu ia bersjair demikian :
Kata mereka aku Rafdhijah.
Sungguh bukan, sungguh bukan.
Bagaimana mnolak i'tikad dinijah.
Djika amar tidak dikerdjakan.
Aku hanja mengikuti perintah.
Apa disampaikan oleh Nabiku.
Amar kudjundjung, nahi kutjegah.
Kutjintai imam menundjuki daku.
Pernah ditanja Imam Sjafi'i tentang Ali bin Abi
Thalib dalam masa pantjaroba itu. Ia lalu mendjawab : "Aku tidak akan
berbitjara tentang seorang tokoh, jang oleh teman-temannja dirahasiakan
sedjarah hidupnja, dan oleh musuh-musuhnja disimpan karena amarah, Apa
inikah sebahnja, maka petjintanja dengan setjara diam-diam memenuhi
Timur dan Barat ?"
Mengenai Imam Ahmad ibn Hanbal tjukup disebut,
bahwa Masnadnja penuh dengan uraian-uraian mengenai keutamaan Ali.
Ditjeriterakan orang bahwa ia pernah mengarang sebuah kitab besar
mengenai keutamaan Ahlil Bait, dan naskah ini sampai sekarang masih
tersimpan dalam perpustakaan Masjhad Imam Ali di Nedjef. Ditjeriterakan
djuqa, bahwa Imam Ahmad pernah mendjadi murid Imam Musa al-Kazim.
Serjadah menerangkan, bahwa tidak ada suatu
keluarga atau mazhab jang begitu banjak ditjintai orang seperti Ahlil
Bait, ditjintai oleh orang hidup sampai kepada orang mati. Banjak
ulama-ulama menulis kitab-kitab tentang kedudukan dan kebesarannja,
tidak terhitung banjak penjair jang membuat gubahan-gubahan jang indah,
pudjian dan sandjungan jg. mesra dan terasa, banjak ahli-ahli pidato
jang mengeluarkan keutamaan dan ketjintaannja ditengah orang ramai dan
diatas mimbar, dan berdujun-dujun manusia setiap tahun menziarahi
kuburan-kuburannja, ribuan bahkan ribu-ribuan.
Tidak ada seorang muslim, baik di Barat maupun di
Timur tidak, jang melakukan shalat kepada Tuhan ketjuali menjebut
Muhammad dan keluarganja dalam salawat dan salamnja. Empat buah nama
tidak terpisah dari hati seorang muslim, Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan
dan Husain. Nama2 ini memasuki segala matjam utjapan hanja untuk beroleh
berkat dan ketjintaan Ahlil Bait, baik ia diutjapkan oleh orang kuat,
orang da'if, kulit putih atau kulit hitam, semuanja mengetuk djantung
mereka terhadap Ahlil Bait.
Kejintaan ini meluap-luap tiap masa dan tempat
bahkan terdapat dalam kalangan mereka jang memusuhinja seperti Bani
Umajjah, jaitu Umar bin Abdul Aziz, jang menukarkan tjutji maki dalam
chutbah Djum'at terhadap Ahlil Bait dengan ajat Qur'an jang menjuruh
berbuat adil dan baik sesama keluarga dan sesama manusia.
Kita akan perpendek uraian ini hanja dengan
menjebut nama nama orang jang sadar dalam mengakui keutamaan Ahlil Bait
itu, seperti Abui Faradj al-Asfahani dalam kumpulan sjair-sjairnja jang
terkenal seluruh dunia, jaitu kitab "Al-Aghani", jang puluhan djilid
itu. Ia memudji Ahlil Bait, sedang ia seorang dari Bani Umajjah. Kita
tidak sebutkan nama penjair Abdullah Abu Adi jang terkenal dengan nama
Al-Ubali, kita tidak sebutkan Mu'awijah bin Jazid bin Mu'awijah, jang
menumpahkan air mata diatas mimbar karena kesalahan ajah dan kakeknja
terhadap keluarga Ali, kita tidak sebutkan Umar bin Hamaq, seorang
sahabat besar jang dibunuh oleh Mu'awijah karena mentjintai Ahlil Bait,
kita sengadja singkirkan Hadjar bin Adi jang mengorbankan dirinja dengan
sahabat-sahabatnja, bahkan kita singkirkan semua nama sekian ribu
manusia, laki-laki perempuan dan anak-anak, jang mendjadi korban pedang
Al-Hadjdjadj, hanja karena mereka tidak dapat melepaskan tjinta hatinja
kepada keluarga Rasul Allah.
VI. QURAN DAN HADIS
1. MASA-MASA PENGUMPULAN QURAN
Ada tiga kali diusahakan orang menuliskan Al-Qur'an.
Pertama
mengumpulkan ajat2, baik dikala turunnja dan disampaikan Nabi, maupun
dari mereka jang telah mentjacat atau menghafal wahju itu, dan
pengumpulan ini, jang terdjadi sedjak masa Nabi masih hidup, merupakan
kepingan batu, tulang belulang dan pelepah korma kering. Penulisan itu
diperlihatkan kepada Nabi sebelum disimpan dalam bungkusan mashaf,
sebagaimana hafalan-hafalan sahabat itu djuga didengar dan diawasi oleh
Nabi. Disamping orang-orang Anshar jang giat menjalin Al-Qur'an itu
mendjadikan suhufnja, seperti Ubaj bin Ka'ab, Mu'az bin Djabal, Zaid bin
Sabit, dan Abu Zaid, kita dapati djuga menurut Abu Daud, Muhammad bin
Ka'ab Al-Qarthi, Abu Darda', Ubbadah ibn Samit, Abu Ajjub, dan menurut
Baihaqi djuga Sa'ad bin Ubaid, Madjma' bin Djari', terdapat banjak
sekali sahabat-sahabat jang menghafal Qur'an atau wahju-whju itu sedjak
hidup Rasulullah, seperti Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, Thalhah; Sa'ad;
Ibn Mas'ud; Huzaifah; Salim; Abu Hurairah, Abdullah bin Sa'id, Abdullah
bin Umar bin Chattab, Abdullah bin Umar bin 'As, Abdullah bin Abbas,
Sitti Aisjah, Hafsah, Ummu Salmah, dar dari Anshar seperti Ubbadah bin
Samit, Mu'az Abu Halimah, Madjma' bin Djari', Fudhalah bin Ubaid dan
Muslimah bin Muchlid, serta banjak jang lain. Abu Daud menjebut
nama-nama Tamim nd-Dari dan Uqbah bin Amir, agar tidak dilupakan.
Bagaimana rapinja Nabi mengawasi batjaan mereka
ternjata dari sebuah tjeritera dari Ummu Warqah anak Abdullah bin Haris,
jang menerangkan, bahwa Rasulullah sering mendatanginja dan mendengar
batjaannja, Nabi memudjinja dengan nama sjahidah dan mengangkat wanita
itu mendjadi imam dalam sukunja.
Kedua
, pengumpulan Qur'an dalam masa Abu Bakar dan Umar jang disalin kembali
keatas loh atau keatas barang2 jang' lebih baik didjadikan tempat
menulis wahju itu. Pengumpulan jang kedua ini, jang terdjadi karena
perang Jamamah menentang Musailamah, jang banjak membuat ajat-ajat
Qur'an palsu, untuk untuk merusakkan wahju Tuhan jang sebenarnja berlaku
dalam tahun pertama pemerintahan Chalifah Abu Bakar. Perang Jamamah ini
banjak mengorbankan sahabat-sahabat jang hafal Qur'an, dan oleh karena
itu Umar ibn Chattab mengusulkan kepada Abu Bakar, agar dimulai menulis
dan mengumpulkan Al-Qur'an dalam sebuah mashaf, jang terdiri daripada
potongan kulit binatang jang sudah disamak. Zaid ibn Sabit
mentjeriterakan, bahwa Abu Bakar mengirimkan seorang sahabat kepadanja,
untuk mengumpulkan ajat-ajat Qur'an atau menjalinnja dari
hafalan-hafalan sahabat jang terdapat belum mati itu (Buchari). Maka
terdjadilah pengumpulan ini, meskipun masih banjak diantara ajat-ajat
Qur'an itu jang diutjapkan dalam salah satu daripada tudjuh dialek atau
logat.
Pengumpulan jang ketiga berlaku dalam masa Usman
bin Affan. Jang perlu kita tjeriterakan dalam masa pengumpulan ini ialah
usaha Usman mempersatukan batjaan-batjaan atau logat itu dalam qiraah.
Dalam ketiga masa pengumpulan ini Ali bin Abi
Thalib memberikan sumbangannja jang besar, terutama untuk mentjegah
kepalsuan, jang mungkin diselundupkan orang kedalam wahju Tuhan itu. Ia
hanja menerima wahju-wahju untuk ditulis, djika dibenarkan oleh dua
orang saksi, dan dalam perbedaan bahasa ia mengandjurkan mengambil
bahasa Quraisj.
Usman meminta mashaf jang ada pada Hafsah, anak
Umar bin Chattab, dan memerintahkan Zaid bin Sabit, Abdullah bin Zubair
dan Sa'id bin 'As serta Abdurrahman bin Haris bin Hisjam menjalin mashaf
itu. Usman berkata kepada tiga orang Quraisj itu, bahwa apabila mereka
berselisih tentang bahasa dengan Zaid bin Sabit, ambil bahasa Quraisj,
karena Qur'an itu diturunkan dalam bahasa mereka (Az-Zandjani, hal. 44).
Ada jang mengatakan, bahwa sebelum Usman memulai
menuliskan Qur'an, dikumpulkan dua belas orang sahabat dari orang
Quraisj dan Anshar untuk menegaskan kebenarannja. (Abu DaudIbn Sirin).
Ali bin Muhammad At-Thaus dalam kitabnja "Sa'dus
Su'ud", berdasarkan keterangan Abu Dja'far ibn Mansur dan Muhammad bin
Marwan, berkata, bahwa pengumpulan Qur'an dalam masa Abu Bakar oleh Zaid
bin Sabit gagal, karena banjak dikeritik oleh Ubaj, Ibn Mas'ud dan
Salim, dan kemudian terpaksalah Usman mengadakan usaha mengumpulkan
ajat2 Qur'an lebih hati2 dan seksama, dibawah pengawasan Ali bin Abi
Thalib (Az-Zandjani, hal 45). Maka pengumpulan Qur'an dengan pengawasan
Ali bin Abi Thalib inilah jang berhasil, karena pengumpulan itu, tidak
sadja disetudjui oleh Ubaj, Abdullah bin Mas'ud dan Salim Maula Abu
Huzaifah, tetapi djuga oleh sahabat2 jang lain. Mashaf Usman inilah jang
kita namakan Qur'an umat Islam sekarang ini, jang tidak sadja
wahjua-nja benar seperti jang disampaikan Nabi, tetapi bahasanja dan
bunji utjapannja sesuai dengan aslinja. Usman membuat beberapa buah
diantara mashaf ini, sebuah untuk dirinja, sebuah untuk umum di Madinah,
sebuah untuk Mekkah, sebuah untuk Kufah, sebuah untuk Basrah dan sebuah
untuk Sjam. ibn FaziuHah al-Umri pernah melihat mashaf Usman ini pada
pertengahan abad ke-VIII H. dalam mesdjid Damsjiq (batja Maslikul Absar,
1: 195, t j. Mesir), dan banjak orang menjangka, bahwa naschah mashaf
ini pernah disimpan dalam perpustakanan di Liningrad, jang kemudian
dipindahkan kesalah satu perpustakaan di Inggeris (Az-Zandjani, 46).
Pengarang sedjarah Qur'an jang terkenal Abu
Abdullah AzZandjani ini dalam kitabnja "Tarichul Qur'an", hal 46,
menerangkan bahwa ia pernah melihat dalam bulan Zulhidjdjah, tahun 1353
H. dalam perpustakaan, jang bernama "Darul Kutub Al-Alawijah", di Nedjef
sebuah mashaf dengan chat Kufi, dan tertulis pada achir nja "Ditulis
oleh Ali bin Thalib dalam tahun 40 Hidjrah".
Al-Amadi At-Tughlabi, seorang ulama fiqh dan ilmu
kalam, mgl. 617 H., menerangkan dalam kitabnja "AJ-AfkUrul Akbar", bahwa
mashaf2 jang masjhur dalam zaman sahabat itu dibatjakan kepada Nabi dan
diperlihatkan kepadanja, Usman bin Affan adalah orang jang terachir
memperlihatkan mashafnja kepada Nabi. Ibn Sirin mendengar Ubaidah
As-Salmani berkata, bahwa batjaan jang diperdengarkan kepada Nabi
mengenai Qur'an pada saat2 hampir wafatnja, adalah batjaan jang sampai
sekarang dipergunakan orang.
Djika ada pembitjaraan mengenai "Qur'an Ali" (jang
sebenar nja mashaf Ali), jang berbeda dengan mashaf2 Ubaj bin Ka'ab
(mgl. 20 H), Abdullah bin Mas'ud (mgl. 32 H), mashaf Abdullah bin Abbas
(mgl. 68 H) dan mashaf Abu Abdullah Dja'far bin Muhammad As-Shadiq,
adalah perbedaan mengenai susunan bahagian Qur'an, jang dinamakan
"Surat", bukan perbedaan mengenai ajar2 dan dialeknja, jang sesudah Ali
dengan aktip turut menjusun mashaf itu dalam masa Usman sudah tidak
berbeda lagi. Djika ada per kataan jang menjebut "Qur'an Sji'ah", jang
dimaksudkan ialah mashaf asli Ali bin Abi Thalib atau mashaf asli imam
Dja'far Shadiq, jang sekarang tidak ada lagi sudah mendjadi mashaf Usman
dengan idjma' sahabat2 Nabi ketika itu. Orang2 Sji'ah memakai Qur'an
Usman itu sebagaimana kita memakainja.
Djadi tuduhan, bahwa Ali mempunjai Qur'an jang
berlainan ajat2-nja dari pada wahju jang diturunkan Tuhan kepada
Muhammad, dengan disaksikan oleh Sahabat, dan bahwa Qur'an itu, sesudah
ditambah atau dikurangi, digunakan chusus oleh golongan Sji'ah, tidak
benar sama sekali adanja. Tuduhan ini ditolak oleh sedjarah dan oleh
ulama2 Sji'ah sendiri, diantara lain oleh Abul Qas'm Al-Chuli, pengarang
tafsir Sji'ah Imamijah jang terkenal "Al-Bajan fi Tafsiril Qur'an''
(Nedjef, 1957). Dalam djuz jang pertama, pada halaman 171 dan
berikutnja, dikupas pandjang lebar, bahwa Ali bin Abi Thalib tidak
mempunjai mashaf jang berlainan ajata-nja dari mashaf2 Sahabat lain,
ketjuali berlainan susunan Suratnja. Mashaf Àli jang dipusakai dari
Nabi, penuh diberi tjatatan2 mengenai tanzil, .masa dan sebab turun
ajat, mengenai ta'wil, pengertian dan maksud jang pelik, jang berasal
dari keterangan Nabi sendiri, selandjutnja mengenai ajat2 nasich dan
mansuch, ajat2 ahkam dan mutasjabihah (Tafsir As-Shafi, muk. VI : 11),
mengenai halal dan haram, mengenai had atau hukum sampai kepada tetek
bengek (Muk. Tafsir Al-Burhan hal 27), ditolak semua oleh AlChuli
tuduhan jang tidak benar itu (172-175).
Al-Chuli mengatakan sebagai chulasah, bahwa
penambahan dalam mashaf Ali bukan ajat2 Qur'an, jang disuruh sampaikan
oleh Nabi kepada ummatnja, dan bahwa tuduhan sematjam ini adalah tidak
berdasarkan kepada dalil jang benar, karena dengan idjma dalam masa
Usman sudah dihilangkan semua penjelewengan atau tahrif.
Lain halnja dengan tertib Surat atau pembahagian
Qur'an atas Surat atau bab, jang sebagaimana kita sudah katakan diatas
memang ada perlainannja antara satu mashaf dengan mashaf lain Sahabat.
Sebelum ada idjma' Sahabat dan koreksi-mengoreksi, begitu djuga sebelum
ada keputusan terachir pada pengumpulan penghabisan oleh Usman bin
Affan, jang Ali djuga turut aktif didalamnja, memang susunan tertib
Surat agak menjolok dan berlainlainan. Ali membahagi mashafnja atas
tudjuh golongan Surat, karena disesuaikan dengan keterangan Nabi dan
ajat Qur'an sendiri, bahwa Qur'an itu diturunkan dalam "sab'a masani",
jang dalam memahaminja perkataan ini ber-beda2 pendapat. Ada jang
mengatakan, bahwa artinja itu tudjuh huruf, ada jang mengartikan tudjuh
matjam batjaan, ada jang mengatakan dalam tudjuan matjam dialek atau
logat suku Arab, ada jang mengartikan dalam tudjuh matjam tudjuan, dan
ada jang mengatakan dalam tudjuh Surat jang pandjang atau tudjuh surat
jang berisi pokok kejakinan Islam.
Oleh karena itu Ali bin Abi Thalib membahagi surat2
dalam mashafnja kepada tudjuh penggolongan, sedang Usman lebih
mengutamakan pembahagian surat itu dalam bentuk didahulukan surat2
pandjang, ketjuali Fatihah, jang memang merupakan pendahuluan dari
Qur'an, kemudian ber-angsur2 disusul dengan surat2 jang makin lama makin
pendek sampai kepada achir Qur'an. Pembahagian Qur'an dalam tiga puluh
djuz mungkin diperbuat dengan menghitung huruf dan mungkin pula untuk
memudahkan membatja annja dalam tiga puluh hari, tiap2 djuz dibagi dua,
nisfu namanja, tiap2 nisfu dibahagi empat, rubu' namanja, dan tiap2
rubu' dibagi dua pula, sumun namanja, semuanja untuk memudahkan mereka
jang mengambil batjaan Qur'an itu sebagai wirid pagi dan petang, dan
djuga untuk memudahkan mereka jang mempeladjarinja atau jang
menghafalnja.
Ali bin Abi Thalib rupanja lebih mendasarkan
pembahagiannja kedalam tudjuh djuz, jang kedalam tiap2 djuz dimuat
surat2 menurut terdahulu dan terkemudian turunnja. Sebagaimana sahabat
lain, seperti Ubaj bin Ka'ab, Ibn Mas'ud, Ibn Abbas dan Dja'far bin
Muhammad As-Shadiq, pembahagian Ali ini didasarkan atas idjtihad
sendiri, karena Nabi tidak menentukan tertib surat itu, hanja ada ia
menentukan ajat2 dalam masing2 surat, baik jang turun di Mekkah atau
jang turun di Madinah.
Pembahagian Ibn Abbas dan Imam Dja'far hampir sama
dengan pembahagian mashaf Ali, karena Ibn Abbas itu menurut Ibn Thaus
adalah murid dari Ali bin Abi Thalib. Ibn Abbas adalah seorang jang
sedjak ketjilnja sudah dipastikan Nabi mendjadi seorang ahli Qur'an dan
ahli tafsir, jang sangat boleh dipertjajai.
Sudah kita djelaskan, bahwa mashaf Ali termasuk
mashaf jang tertua, karena sudah terkumpulkan dalam masa hidup Nabi,
meski pun belum sempurna. Mungkin mashaf inilah jang terdapat pada Imam
Dja'far, jang pernah dilihat oleh pengarang sedjarah Qur'an Az-Zandjani
pada Abu Ja'la Hamzah al-Husaini dgn. chat tangan Ali sendiri, jg.
kemudian mendjadi hak waris Banu Hasan, dan jg. tertib suratnja dimuat
kembali dlm. kitab Az-Zandjani tsb., jang dalam naschah jang ditjetak di
Leipzig dari th. 1871-1872 kelupaan menjebut tertib suratnja. Tetapi
untunglah Ja'kubi (mgl. 278 H.), dalam kitab sedjarahnja, jang disiarkan
oleh Houtsma, djuz ke I, halaman 152-154 (tj. Brill di Leiden),
menjebutnja kembali, sehingga kita dapat memperbandingnja.
Pada pemulaannja mashaf Ali tidak memuat surat
fatihah, tetapi mashaf Ubaj memuatnja, jang agaknja kemudian oleh idjma'
sahabat dalam masa Usman lalu ditetapkan memang ada disampaikan Nabi
surat Fatihah itu,.lalu dimuat dalam Qur'an atau mashaf Usman sebagai
surat pertama, dan Ali menjetudjuinja.
Demikianlah beberapa tjatatan sedjarah sebelum
mashaf Usman ditetapkan, dan sebagaimana jang kita katakan, sesudah
mahaf ini, jang sampai saat ini terpakai oleh semua orang Islam dan
aliran Islam sebagai Kitabullah, ditetapkan dengan idjma' sahabat2 besar
dan qurra'2 jang diakui, baik Ali maupun Imam Dja'far, maupun Sji'ah
umumnja, menganggap mashaf Usman itu satu2nja mashaf jang mu'tamad dan
sah, serta digunakan oleh mereka sampai sekarang ini.
Tentang masa dan tempat turun ajat dan surat, di
Mekkah atau di Madinah, tidak banjak terdapat perselisihan paham
diantara sahabat2 Nabi, karena banjak jang mengetahuinja. Nöldeke banjak
menulis tentang hal ini.
Ibn Isjtah dan Ibn Ali Sjaibah, jang pernah
mendengar dari Ibn Sirin dan Ubaidah As-Salmani, menerangkan, bahwa
mashaf Usman itu ditulis dengan batjaan sebagaimana jang didengar dari
mulut Nabi, dan batjaan atau qiraat itu adalah sesuai dengan batjaan
atau qiraat jang digunakan orang sekarang ini (Az-Zandjani, 17).
Perbedaan jang ketjil, jang biasa terkenal dengan
"qiraat todjuh", tidak penting dibitjarakan, dan tidak mengubahkan arti
serta pengertian. Qiraat Nafi' dan murid2nja Qalun dan Waras, begitu
djuga Ibn Kasir, Qumbul, Abu Umar, Dauri, Saudi, Ibn Amir; Hisjam, Ibn
Zakwan, Abu Bakar Sju'bah, Hafas, Hamzah, Chalaf; Chulad, Kasai' dan
Abui Haris al-Laisi, hanja berbeda satu sama lain tentang pandjang
pendek batjaan, hubungan kalimat dengan kalimat, bunji beberapa huruf
hidup dan mati, dan sama sekali tidak mengubahkan batjaan atau tahrif.
2. ALI DAN QUR'AN
Salah satu propaganda anti Sji'ah jang berhasil
dalam zaman kekatjauan aliran Islam, dan jang gemanja djuga sampai
sekarang masih terdengar, bahkan djuga di Indonesia dalam kalangan jang
tidak kenal sedjarah Islam, ialah bahwa Sji'ah mempunjai Qur'an
tersendiri jang berbeda isinja dengan Qur'an jang dipakai oleh orang
Islam umum. Dengan demikian dinjatakan, bahwa Qur'an jang didjadikan
sumber hukum oleh orang-orang Sji'ah itu adalah palsu.
Bukan maksud saja dengan uraian ini membela
golongan Sji'ah dalam segala alirannja, tetapi sebagai penulis sedjarah
ingin menerangkan duduk perkara jang sebenarnja. Pendjelasan ini
terutama bagi Indonesia saja angap perlu, karena penggunaan kata Qur'an
dan Mashaf di Indonesia ditjampur adukkan orang. Qur'an adalah kumpulan
wahju Tuhan, sedang mashaf adalah kumpulan tulisan mengenai wahju Tuhan
dalam bentuk lembaran kertas.
Sebenarnja segala sesuatu mengenai Qur'an, baik
sedjarah turunnja wahju, sedjarah pengumpulannja dan penjusunan Qur'an
dan penulisan mashaf, penterdjemahan serta penafsirannja, sudah saja
bitjarakan dalam sebuah kitab chusus mengenai persoalan ini, jang saja
namakan "Sedjarah Al-Qur'an," tjetakan terachir di Djakarta 1953, tetapi
belum saja tindjau dari sudut pendirian golongan Sji'ah.
Bahwa Ali bin Abi Thalib mempunjai bahagian dan
'kedudukan penting dalam penjusunan Al-Qur'an bukanlah suatu persoalan
jang mesti dipertengkarkan, baik ulama-ulama Sji'ah, ulam ulama Ahlus
Sunnah, maupun ulama2 aliran lain dalam Islam, semuanja mengakui, bahwa
Ali-lah jang mengetahui paling lengkap tentang turunnja wahju-wahju
Tuhan kepada Nabi Muhammad, karena dialah jang mengikuti Nabi sedjak
permulaan keangkatannja mendjadi Rasul dan selalu berdampingan dengan
Rasulullah sebagai keluarga terdekat dalam segala keadaan. Disamping itu
ia termasuk penulis-penulis wahju, jang ditundjuk oleh Nabi untuk
mentjatat tiap-tiap ada wahju turun, baik siang ataupun malam hari.
Sahabat-sahabat dalam masa Nabi banjak jang sudah
tahu menulis, dan kesenian menulis ini oleh Rasulullah sangat
diperkembangkan. Bangsa Arab jang sudah tinggi kebudajaannja sebelum
Islam, sudah menggunakan huruf Hiri, suatu kota kebudajaan jang letaknja
kira-kira tiga mil dari Kufah, dekat Nedjef sekarang ini, dan oleh
karena itu dinamakan djuga huruf Kufi, begitu djuga huruf Anbari, suatu
kota dekat sungai Eufrat, tiga puluh mil sebelah barat Baghdad, semuanja
berasal dari kemadjuan kebudajaan Arab Kindah. Dari sebuah riwajat dari
Ibn Abbas diterangkan asal-usul huruf ini masuk ketanah Hedjaz dari
Jaman (Kindah), bahkan sedjarah pemakaian huruf ini sampai kepada
Thari', kepada Chafladjan, penulis wahju jang diturunkan kepada Nabi
Hud.
Abu Abdullah az-Zandjani menerangkan, bahwa chat
ini dimasukkan oleh Nabi Muhammad ke Madinah melalui orang-orang Jahudi,
jang mengadjarkan anak-anak Islam menulis. Ada sepuluh orang diantara
kaum muslimin jang ahli dalam huruf ini diantaranja Sa'id bin Zararah,
Munzir bin Umar, Ubaj bin Wahab, Zaid bin Sabit, Rafi' bin Malik dan Aus
bin Chuli, jang kemudian ditambah dengan tawanan Badr, jang
mengadjarkan huruf-huruf ini kepada anak-anak Islam.
Bahwa wahju-wahju jang turun kepada Nabi ditulis
dan ditjatat orang merupakan mashaf simpanannja masing-masing, tidaklah
mengherankan, karena ada empat puluh tiga orang jang ditugaskan menulis
wahju itu dengan chat Nasach, diantaranja jang termasjhur ialah Chalifah
Empat Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, selandjutnja Abu Sufjan dengan
dua anaknja Mu'awijah dan Jazid, Sa'id ibn Ash dan anaknja Aban dan
Chalid, Zaid bin Sabit, Zubair bin 'Awam, Thalhah bin Ubaidillah, Sa'ad
bin Abi Waqqas, Amir bin Fahirah, Abdullah ibn Arqam, Abdullah bin
Rawahah, Abdullah bin Sa'ad bin Abi Sarah, Ubaj bin Ka'ab, Sabit ibn
Qais, Hanzalah ibn Rabi', Sjurahbil bin Hasanah, Ula bin Hadrami, Chalid
ibn Walid, Amr ibn Ash, Mughirah bin Sju'bah, Mu'aiqib bin Abi Fathimah
Ad-Dausi, Huzaifah ibn Jaman, Huwaithib bin Abdul 'Uzza AI-Amiri, baik
dalam masa Nabi maupun sesudah wafatnja.
Meskipun demikian jang tetap mengikuti Nabi dan
jang dipertjajanja adalah tjatatan dua orang, jaitu Zaid bin Sabit dan
Ali bin Abi Thalib. Demikian kata Az-Zandjani, dan menambahkan, bahwa
banjak riwajat-riwajat menerangkan, kedua orang itulah jang dengan
sungguh-sungguh menghadapi penulisan dan pengumpulan wahju itu. Buchari
meriwajatkan dari Barra, bahwa tatkala turun wahju "tidak sama orang
mu'min jang diam dengan mereka jang menderita kemelaratan dan jang
berdjihad diatas djalan Allah" (Surat An-Nisa), Nabi dengan segera
berkata: "Panggil Zaid datang kepadaku, membawa luh, tinta dan tulang
belikat unta", dan sesudah Zaid datang, ia berkata: "Tulislah
selengkapnja ajat ini" (Zandjani, hal. 20).
Dalam sebuah tjeritera, Umar diperingatkan orang
bahwa adiknja Fathimah telah masuk Islam. Umar marah dan pulang
kerumahnja, didapatinja pada adiknja itu wahju tertulis diatas perkamen
sedang dibatjanja. Hal ini terdjadi dikala Umar belum masuk Islam, dan
karena membatja wahju jang tertulis itu, ia lalu masuk Islam.
Semua itu menundjukkan, bahwa Rasulullah
menghendaki Qur'an itu ditulis dan penulisan itu sudah dimulai dalam
masa hidupnja dan dengan petundjuk serta pengawasannja.
Dalam masa Rasulullah Qur'an itu ditulis diatas
tulang-belulang, kepingan batu, potongan daun atau kain, atjapkali djuga
diatas kain sutera atau kulit kering dan diatas tulang belikat unta.
Sudah mendjadi kebiasaan bangsa Arab menulis tjatatan demikian dan
menamakannja "suhuf", bungkusannja dinamakan "mashaf". Sahabat-sahabat
penting mempunjai mashaf itu setjara lengkap atau tidak. Djuga untuk
Nabi diperbuat mashaf itu dan disimpan dirumahnja. Muhammad ibn Ishak
menerangkan dalam "Fihrist"nja, bahwa Qur'an jang ditulis dihadapan
Rasulullah itu adalah diatas batu, tulang dan belikat unta. Buchari
menerangkan, bahwa Zaid bin Sabit pernah mengatakan : "Kutjahari Qur'an
itu dan kukumpulkannja dari batu, tulang dan dari hafalan orang."
Al-'Isjasji, seorang ahli Tafsir Imamijah,
menerangkan dalam Tafsirnja, bahwa Ali bin Abi Thalib pernah berkata :
"Rasulullah mewasiatkan kepadaku, bahwa sesudah kukuburkan dia aku tidak
keluar dari rumahku hingga aku menjusun Kitab Allah itu, jang tertulis
pada pelepah korma dan pada tulang belikat unta". Sebuah riwajat dari
Ali bin Ibrahim bin Hasjim Al-Qummi, seorang ahli Hadis Imamijah jang
termasjhur, menerangkan, bahwa Abu Bakar Al-Hadhrami pernah mendengar
Abu Abdillah Dja'far bin Muhammad bertjeritera, bahwa Nabi ada berpesan
kepada Alim bin Abi Thalib; "Hai, Ali ! Qur'an itu ada dibelakang tempat
tidurku dalam suhuf, sutera dan kertas. Ambil dan susunlah baik-baik,
djangan engkau hilangkan sebagaimana Jahudi menghilangkan Taurat". Ali
memungut Qur'an itu dan mengumpulkannja dalam satu bungkusan kain kuning
kemudian ditjapnja.
Al-Haris Al-Muhasibi menerangkan, bahwa
mengumpulkan Qur'an itu bukanlah suatu perbuatan bid'ah tetapi terdjadi
atas perintah Nabi, dan djuga meletakkan ajat-ajat pada tempatnja atas
petundjuk Nabi sendiri.
Meskipun jang menulis wahju banjak dalam zaman
Nabi. tetapi jang mengumpulkannja hingga lengkap merupakan mashaf tidak
berapa orang. Jang dianqaap pengumpul janq agak lenqkap oleh Muhammad
bin Ishak ialah Ali bin Abi Thalib. Sa'ad bin UHud bin Nu'man Al-Ausi,
wafat dalam perang Qadisiiah tahun 15 H., Abu Djarda Uwaimir bin Zaid,
beroleh langsung dari Nabi.
wafat tahun 32 H., Mu'az bin Djabal bin Aus, jang
dinamakan Nabi imam ulama, wafat tahun 18 H., Abu Zaid Sabit ibn Zaid
bin Nu'man, Ubaj bin Ka'ab bin Qais, seorang jang sangat dipudji Nabi
Nabi batjaannja, mgl. di Madinah tahun 22 H., Ubaid bin Mu'awijiab., dan
Zaid bin Sabit, penulis wahju Rasulullah dan djuru bahasanja, mngl.
tahun 45 H. Zaid bin Sabit adalah seorang jang sangat ditjintai oleh
Nabi dan dihormati oleh Ahlil Baitnja.
Demikian bunji satu riwajat tentang mereka jang
mengumpulkan Qur'an dalam masa Nabi, jang kurang sempurna disempurnakan
sesudah wafat Nabi. Banjak riwajat lain jang berbeda djumlah dan
namanja, tetapi Al-Chawarizmi berdasarkan keterangan Ali bin Rijah
menerangkan, bahwa jang lengkap mengumpulkan Qur'an dalam masa
Rasulullah ialah Ali bin Abi Thalib dan Ubaj bin Ka'ab.
Riwajat-riwajat menundjukkan, bahwa Ali bin Abi
Thalib adalah orang jang mula-mula menulis Qur'an menurut tertib turun
ajat, mentjatat ajat mansuch terlebih dahulu dari nasich dan memberikan
tjatatan2 lain dalam mashafnja. Hal ini ditjeriteriterakan djuga oleh
Ibn Sirin. Djuga dibenakan oleh Ibn Hadjar, bahwa Ali menjusun Qur'an
menurut tertib turun ajat. beberapa waktu dibelakang wafat Nabi
Muhammad. Dalam kitab Sjarh Al-Kafi Salih Al-Qazw;ni dari Ibn Qais
A!-Hilali menerangkan, bahwa Ali bin Abi Thalib sesudah wafat Nabi tidak
keluar dari rumahnja karena menjusun Qur'an dan mengumpulkannja sampai
selesai semuanja. Kemudian ia menulis tjatatan ajat-ajat nasich dan
mansuch. ajat-ajat muhkamah dan mutasiabih. Kata Imam Muhammad bin
Muhammad bin Nu'man, salah seorang ulama Sji'ah terbesar, dalam kitabnja
"Al-Irsjad". bahwa Ali dalam mashafnja mendahulukan ajat-ajat mansuch
dari ajat-ajat nasich. dan menulis ta'wil ajat-ajat serta tafsirnja
dengan terperintji.
Sjahrastani dalam mukaddimah Tafsirnja menerangkan.
bahwa semua sahabat sepakat ilmu Qur'an itu chusus buat Ahlil Bait.
Beberapa sahabat bertanja kepada Ali bin Abi Thalib. apakah ilmu
pengetahuan Our'an hanja dichususkan kepada Ahlil Bait. Ali mendjawab,
bahwa ilmu tentanq Qur'an, masa dan sebab-sebab turunnja, begitu djuqa
ta'wilnja, chusus buat Ahlil Bait. karena merekalah orang-orang jang
terdekat dengan Nabi Muhammad (Az-Zandjani, Tarichul Qur'an, Cairo.
1935. hal. 26).
3. AHLI TAFSIR SJI'AH
Baik orang Sji'ah maupun orang Ahli Sunnah
menganggap Ali bin Abi Thalib adalah ahli tafsir Qur'an jang pertama
dalam sedjarah Islam, karena ia masih mendapati Nabi jang selalu memberi
petundjuk dalam pengertian dan ta'rif daripada wahju-wahju Tuhan jang
mengatasi paham manusia biasa. Sudah kita katakan, bahwa Ali tidak sadja
berdjasa mengawasi pengumpulan ajat-ajat Qur'an, tetapi djuga mempunjai
pengetahuan tentang sedjarah turunnja ajat dan surat, tentang ajat
hukum dan mutasjabih, ajat nasich dan mansuch, bahkan ada riwajat jang
mengatakan, bahwa ia mempunjai enam puluh matjam ilmu Qur'an, dan
sebagaimana jang sudah kita katakan, mashafnja penuh dengan dengan
tjatatan2, seperti masih dapat dilihat beberapa lembar dari padanja
dalam perpustakaan di Nedjef.
Seperti sudah kita terangkan bahwa Ali bin Abi
Thalib adalah salah seorang sahabat jang paling banjak meriwajatkan
tentang Qur'an, sedang Ibn Abbas iang mendjadi murid Ali, pernah
bertjeritera, bahwa Ali bin Abi Thalib adalah orang jang sangat tahu
tentang ilmu lahir dan ilmu ghaib dari Al-Qur'an jang mulia. Sedjarah
hidup Ali tidak kita ulang lagi disini.
Salah seorang dari Ahli Tafsir Sji'ah adalah Ubaj
bin Ka'ab dari golongan Anshar. Sajuti menghitungnja dalam karangannja
jang terkenal "Al-Itqan" termasuk djumlah sepuluh orang ahli tafsir dari
sahabat kurun pertama, dan Nabi sangat mentjintainja. Ia meninggal
tahun 30 H.
Abdullah bin Abbas adalah anak paman Nabi, jang
sedjak ketjil sudah diramalkan oleh Nabi mendjadi seorang ahli ilmu
Qur'an, dan djuga jang oleh Sajuthi dimasukkan sahabat sepuluh kurun
pertama, jang hafal dan ahli Qur'an. Ada orang mengatakan bahwa ia orang
jang ahli tentang tafsir daripada Tabi'in Mekkah. Tafsirnja sampai
sekarang masih didapat orang dan terkenal dengan "Tafsir Ibn Abbas", ia
meninggal tahun 68 H. Orang2 Sji'ah menganggap tafsir itu mu'tamad dan
banjak digunakan untuk menguatkan pendirian2nja.
Dari golongan Tabi'in sesudah itu kita sebutkan
nama nama Maisam bin Jahja at-Tamanar (mgL 60 H.), seorang chatib Sji'ah
jang terkenal di Kuffah dan seorang ahli ilmu Kalam : Said bin Zubair
(mgl. 94 H.) jang pernah menjusun sebuah tafsir Qur'an dan banjak
dipetik orang pendapatnja. Abu Saleh Miran dari Basrah (mgl. sesudah
abad pertama hidjrah), murid Ibn Abbas, Thaus Al-Jamani (mgl. 106 H.)
djuga murid Ibn Abbas, jang oleh Ibn Tajmijah, Ibn Quthaibah dall sangat
dipudji ketjerdasannja dan dimasukkan kedalam golongan sahabat Ali.
Kemudian dapat kita sebutkan sebagai ahli-ahli jang
ulung ialah Imam Muhammad al-Baqir (mgl. 114 H.). Ibn Nadim banjak
menjebutkan nama-nama kitabnja mengenai tafsir dan ilmu-ilmu Qur'an jang
lain. Abdul Djarud, seorang Sji'ah jang terkenal banjak meriwajatkan
sesuatu dari Al-Baqir mengenai Qur'an. Tidak kurang pentingnja kita
sebutkan nama Djabar bin Jazid AlDju'fi, jang menulis djuga sebuah
tafsir dan ia meninggal tahun 127 H. Suda Al-Kabir, nama jang sebenarnja
Isma'il bin Abdurrahman, djuga mempunjai sebuah tafsir jang oleh banjak
orang didjadikan sumber keterangan mengenai ilmu Qur'an. Untuk djangan
keliru kita bedakan antara Suda As-Saghir bukan seorang Sji'ah dan Suda
Al-Kabir adalah seorang ahli tafsir Sji'ah jang terkenal (mgl. 127 H).
Saja tidak ingin menjebutkan semua ahli tafsir
Sji'ah itu disini dengan perintjian sedjarah hidupnja, karena terlalu
banjak. Dari penjelidikan saja dan dibenarkan oleh beberapa keterangan
ahli sedjarah Islam, ternjata orang-orang Sji'ah banjak terkenal sebagai
ulama dalam segala bidang, dan giat mengarang dalam bermatjam-matjam
ilmu sedjak hari-hari pertama atau kurun pertama.
Terutama dalam ilmu Qur'an jang pada waktu itu
merupakan persoalan jang sangat penting, banjak terdapat
pengarang-pengarang Sji'ah jang terkemuka. Sedangkan selandjutnja
sebagai ahli tafsir kita sebutkan Abu Hamzah As-Samali, Tabi'in dan
meninggal 150 H., Abu Djunadah As-Saluli (mgl. pada pertengahan abad ke
II H.), Abu Ali Al-Hariri (mgl. idem), Abu Ali bin Faddal, Abu Thalib
bin Shalat (mgl. achir abad ke II), Muhammad bin Chalid Al-Barqi (mgl.
idem), Hisjam bin Muhammad As-Said Al-Kalbi (mgl. 206 H.), Al-Waqidi
(mgl. 207 H), Junus bin Abdurrahman Ali Yathin, Hasan bin Mahbub
As-Sarfad (mgl. 224 H.), Abu Usman Al-Mazani (mgl. 248 H), Muhammad bin
Mas'ud Al-Ajasji, Farrad bin Ibrahim, Ali bin Mahzïar Al-Ahwazi, Husain
bin Said Al-Ahwazi, Hasan bin Ahwazi, Hasan bin Chalid Al-Barqi, Ibrahim
As-Saqafi (mgl. 283 H), Ahmad bin Asadi, hampir semua keluarga Al-Qummi
mengarang tafsir, Al-Djaludi, As-Suli, Al-Diurdjani, Al-Musawi, Ibn
Nu'man, At-Thusi, AtTabrasi, Ar-Rawandi (mgl. 573 H), Al-Fatral
Asi-Siirazi (mgl. 948 H), As-Sabzawari (mgl. 910 H), Azäwari,
Al-Masjadi, AlHamdani, Al-Bahrani (mgl. 1107 H), Djawad bin Hasan
Al-Balaghi (mgl. 1302 H), dll, masing-masing mengarang tafsir Qur'an
jang ditindjau dari segala sudut ilmu. Ada jang lutju, kadang-kadang
orang Salaf jang menamakan diri anti Sji'ah, menggunakan tafsir Sji'ah
dengan tidak mengetahui pengarangnja.
Sebagaimana dalam ilmu tafsir, kita dapati
pengarang-pengarang Sji'ah jang ulung dalam ilmu Qur'an jang lain,
misalnja dalam ajât-ajat hukum chusus mengenai mazhab Sji'ah seperti
pengarang Al-Kalbi, (mgl. 146 H), Ar-Rawandi (mgl. 573 H), As-Sajuri
(mgl. 792 H), Al-Ardabli (mgl. 993 H), Al-Kazimi (mgl. abad ke II H),
Astrabadi (mgl. 1026 H), Al-Djazuiri (mgl. 1151 H), dll. jang kitabnja
sekarang dipakai diseluruh dunia.
Djuga dalam ilmu Qur'an lain terkenal ulama-ulama
Sji'ah, misalnja mengenai ajat-ajat Mutasjabih, seperti Hamzah bin Habib
(mgl. 156 H), meskipun menurut Sajuthi orang jang mula-mula mengarang
dalam ilmu ini ialah Al-Kasa'i (mgl. 182 H), keduaduanja adalah djuga
Ahli Qira'at Tudjuh. Kemudian terkenal namanja Muhammad bin Ahmad
AI-Wazir (mgl. 433 H), Ibn Sjahras-sjaub al-Mazandra (mgl. 588 H) dll.
Dalam Gharibul Qur'an adalah Aban Ibn Tughlab (mgl.
141 H). Ada orang mengatakan Abu Ubaidah (bukan Sji'h), tetapi Abu
Ubaidah meninggal tahun 200 H, kemudian dari masa Ibn Tughlab.
Selandjutnja jang mengarang dalam bidang ini ialah Muftadhal Salmah, Ibn
Darid (mgl. 321 H),Abui Hasan al-Adawi Asj-Sjamsjathi (mgl. permul.
abad ke IV), semuanja ulama Sji'ah.
Karangan-karangan mengenai Asbabun Nuzul
dihari-hari pertama djuga diperbuat oleh golongan Sji'ah, seperti Ibn
Abbas (mgl. 67 H), Muhammad bin Chalid al-Barqi (mgl. achir abad ke II
H), Ibrahim bin MuhammUd As-Sakaji (mgl. 283 H), Abdul Aziz bin Jahja
al-Djaludi (mgl. 330 H), Ibnul Hidjam dalam abad jang ke IV, djuga
semuanja ulama Sji'ah.
Selandjutnja mengenai nasich dan mansuch djuga jang
mula2 dan banjak mengarang orang-orang Sji'ah, seperti Abdurrahman
al-Asam (abad ke II), Ad-Darimi (abad ke II), Ibnal Kadri (mgl. 146 H)
atau anaknja Hisjam (mgl. 206 H). Ibnal Fadhal mempunjai kitab nasich
dan mansuch, sebagaimana Al-Qummi, baik Ahmad bin Muhammad maupun Ali
bin Ibrahim, selandjutnja pengarang Sji'ah jang ternama djuga didalam
bidang ini ialah AlDjaludi (mgl. 330 H), dan Suduq bin Babuwaih al-Qummi
(mgl. 381 H).
Dalam ilmu Madjazul Qur'an jang memulainja ialah
ulama Sji'ah, seperti Ibn al-Mustanir (mgl. 206 H), pendeknja dalam
segala bidang ilmu Qur'an, seperti ilmu mengenai pembahagian Qur'an,
ilmu mengenai ajat Qur'an, ilmu mengenai maksud Qur'an jang aneka warna
dengan asal-usulnja, ilmu mengenai perhentian membatja dan menjambung
ajat Qur'an.
ilmu mengenai wakaf, ilmu mengenai i'rab, ilmu
mengenai sedjarah titik dan baris, ilmu mengenai fadilat membatja Qur'an
(ada jang mengatakan Ubai bin Ka'ab jang meninggal 30 H), ada jang
mengatakan Muhammad Idris AsjSjafi'i (mgl. 204 H), ilmu bermatjam-matjam
qira'at, ilmu tadjwid, dan ilmu-ilmu lain mengenai kitab sutji, jang
terbanjak ditulis oleh ulama-ulama Sji'ah dan mereka djuga jang
memulainja. Mengenai nama-nama kitabnja saja tidak sebutkan disini,
karena sangat banjaknja. Saja hanja mempersilahkan saudara membatjanja
dalam kitab "A'janusj Sji'ah", djuz I, bahagian ke 2, halaman 53—74
(Beirut, 1960).
4. HADIS DAN DJA'FAR SADIQ
Dalam uraian-uraian jang telah sudah, telah kita
djjelaskan, bahwa kedudukan Imam Dja'far As-Shadiq mengenai pendidikan
ulama-ulama Ahlul Hadis dan Ahlur Ra'ji atau Ahlul Qijas, jang lama
kelamaan merupakan imam-imam mazhab jang terpenting, seperti Malik bin
Anas dan Abu Hanifah dll. Mazhab-mazhab itu ada jang menggabungkan
dirinja dalam ikatan Ahlus Sunnah, ada jang dalam ikatan mazhab Ahlul
Bait, karena dalam hukum fiqh ingin melandjutkan tjara berpikir Imam
Dja'far As-Shadiq, jang mereka namakan Figh Al-Dja'fari, dengan
mengutamakan hadis-hadis riwajat Ahlul Bait atau perawi-perawi dari
ulama-ulama Sji'ah sendiri.
Dalam salah satu bahagian kita sudah djelaskan,
bahwa tidak kurang dari empat ratus orang muridnja jang mengarang
kitab-kitab fiqh menurut djalan ini. Usul fiqh untuk mazhab AlDja'fari
ini, jang terkenal dengan pokok persoalan empat ratus, dikumpulkan dalam
empat buah kitab besar, jang masing-masing bernama Al-Kafi,
Al-Istibsar, At-Tahzib dan Ma La Jahdhuruhul Faqih. Inilah kitab-kitab
hadis jang terbesar dan mendjadi pokok bagi ulama-ulama Sji'ah jang
terkenal dengan Kitab Empat sebagaimana terkenal dengan Kitab Enam dalam
pengumpulan hadis bagi penganut Ahlus Sunnah.
Imam Dja'far As-Shadiq sangat bidjaksana sekali
dalam mentjiptakan ulama-ulamanja, jang kemudian disiarkan keseluruh
negara Islam untuk membasmi kejakinan-kejakinan jang salah, memerangi
sifat ilhad dan zindiq, berdebat tentang aqidah jang tidak benar,
mengalahkan firqah-firqah jang menjeleweng dari adjaran Islam dalam masa
pantjaroba dan zaman kekatjauan politik dan agama itu. Ulama-ulamanja
terdapat di Irak, Churasan, Hamas, Sjam, Hadramaut, dll., terutama di
Kufah dan Madinah dimana bibit kejakinan Sji'ah ini sudah tertanam dan
tumbuh dengan suburnja.
Imam Dja'far mempersiapkan ulama-ulama muridnja
menurut pembawaannja masing-masing dan menurut kebutuhan daerah, jang
mengirimkan utusan kepadanja. Oleh karena pengetahuannja sangat luas
dalam segala bidang, mudah baginja melakukan hal jang demikian itu.
Ulama-ulamanja ada jang diuntukkan mengadjar, ada jang diuntukkan buat
berdebat dsb.
Aban ibn Tughlab dichususkan pendidikannja untuk
ilmu fiqih, dan diperintahkan duduk dalam mesdjid memberi fatwa kepada
orang bânjak dalam hukum fiqh, Hanaran bin A'jun ditugaskan mendjawab
masalah-masalah jang bertali dengan ilmu Qur'an, Zararah bin A'jun untuk
berdebat dalam fiqh, Mu'min at-Thaq dalam masalah ilmu kalam, Thajjar
dalam perkara amal ketaatan, Hisjam bin Hakam dalam berdebat mengenai
immamah dan i'tikad Sji'ah dsb. Maka mengalirlah orang-orang itu
ketiap-tiap kota untuk menghadapi manusia dan berda'wah menurut mazhab
Ahlil Bait.
Tidak tjukup tempat untuk menjebutkan nama
ulama-ulama itu satu persatu, serta sedjarah perdjuangannja. Meskipun
demikian beberapa tokoh terpenting akan kita bitjarakan dibawah ini.
Aban bin Tughlab bin Ribah, jang digelarkan Abu
Sa'id alBakri al-Djariri (mgl. 141 H), adalah ulama jang sangat
terhormat dalam kalangan Sji'ah. Ia pernah beladjar pada Imam Zainal
Abidin, Al—Baqir dan As-Shadiq. Ia mempunjai madjlis pengadjaran chusus
dalam mesdjid. Ia ulama fiqh Imamijah jang terkenal menurut pendapat
Jaqut, meriwajatkan banjak hadis dari Ali bin Husain, Abu Dja'far dan
Abu Abdullah, fasih bahasa Arab, banjak mengetahui tentang pengertian
Al-Qur'an, menurut Ahmad ibn Hanbal boleh dipertjajai benar utjapannja,
seorang jang tinggi adabnja, hadis riwajatnja banjak diambil oleh
Muslim, Tarmizi, Abu Daud, An-Nasa'i dan Ibn Madjah.
Diantara gurunja djuga ialah Al-Hakam bin Utaibah
al-Kindi (mgl. 115 H), salah seorang perawi dalam Kitab Enam hadis Ahlus
Sunnah, Fudhail bin Umar al-Fuqaimi (mgl. 110 H), jang hadisnja banjak
dipetik oleh Muslim, dan Abu Ishaq Umar bin Abdullah al-Hamdani (mgl.
127 H), salah seorang ulama Tabi'in dan perawi hadis dalam Kitab Enam.
Banjak muridnja tersiar dimana-mana dan mendjadi
ulama-ulama besar, seperti Musa bin 'Uqbah al-Asadi (mgl. 141 H), salah
seorang jang riwajat hadisnja banjak dimuat dalam Kitab Enam, Sju'bah
bin al-Hadjdjadj, Hammad bin Zaid al-Azadi, seorang ahli hadis jang
terkenal (mgl. 197 H), mendapat pudjian dari Ibn Mahdi dan Imam Ahmad
tentang kedjudjurannja, Sufjan bin 'Ujajnah, jang riwajat hidupnja sudah
dimuat dimana-mana. Muhammad bin Chazim at-Tamimi (mgl. 195 H), djuga
banjak digunakan orang riwajat hadis-hadisnja, termuat dalam Kitab Enam,
oleh Ahmad Ibn Hanbal, oleh Ishak bin Rahuwaih, Ibn Madani dan Ibn
Mu'in, terutama hadis-hadisnia jang d:hafalnja dari Al-A'masj, dan
Abdullah ibn Mubarak al-Hanzali (mgl. 181 H), seorang ulama besar jang
sangat dipertjajai, pernah menjelidiki hadis dan menulisnja dari empat
ribu ulama.
Semua ulama-ulama hadis ini dipudji oleh Ibn Hadjar dan Al-Chazradji dalam kitab-kitabnja jang terkenal.
Àban bin Tughlab menghafal tidak kurang dari tiga
ribu hadis dari Imam As-Shadiq, ahli dalam fiqh Al-Dja'fari atau mazhab
Ahlil Bait, termasuk tokoh Sji'ah jang terpenting. Atas pertanjaan Abu
Balad, Aban menerangkan, apa arti Sji'ah padanja. Katanja: "Sji'ah itu
ialah golongan manusia jang memegang kepada utjapan Ali, apabila tentang
sesuatu masalah dari Nabi dipertengkarkan orang, dan memegang kepada
utjapan Dja'far bin Muhammad, apabila orang sudah mempertengkarkan
utjapan dan sikap Ali" (Asad Haidar, 111:57).
Diantara kitab-kitabnja ialah Gharibul Qur'an,
mengenai Kitabul Fadha'il, Kitab Ma'anil Qur'an, Kitabul Qira'at, dan
Kitabul Usul mengenai riwajat mazhab Sji'ah, dan banjak lagi jang
lain-lain, sebagaimana jang disebut dalam Fihrasat, karangan At-Thusi.
Diantara ulama jang terbesar djuga, kita sebutkan
Aban bin Usman al-Lu'lu'i (mgl. 200 H), berasal dari Kufah, pernah
tinggal lama di Basrah, banjak hadis-hadisnja mengenai sjair, keturunan
dan hari-hari penting bangsa Arab, berguru pada Abu Abdullah, Abui
Hasan, Musa bin Dja'far dll. Diantara kitabnja, jang disebutkan orang
disana-sini ialah Al-Mabda', Al-Mab'as, AlMaghazi, AI-Wafah, As-Saqiftih
dan Ar-Ridah (batj. Mu'djamui Udaba' 1 : 108—109, Lisanul Mizan I : 24,
Fihrasat At-Tusi, hal. 18, dll.). Banjak sekali murid-muridnja jang
menjiarkan pahamnja kesana-sini, tidak kita sebutkan disini seorang demi
seorang.
Ulama-ulama Sji'ah jang lain dalam fiqh diantaranja
Barid bin Mu'awijah al-'Adjali (mgl. 150 H), sahabat Al-Baqir dan
As-Shadiq, ahli hadis dan fiqh, mempunjai kedudukan istimewa dalam
mazhab Ahlil Bait, termasuk golongan enam orang jang sangat ahli dalam
hukum fiqh, jaitu Zararah bin A'jun, Ma'ruf bin Charbuz, Barid
Al-Adjali, Abu Basir al-Asadi, Fudhil bin Jassar dan Muhammad bin Muslim
At-Tha'ifi. la banjak meriwajatkan hadis dari Imam Baqir dan Imam
As-Shadiq, jang sangat memudji-mudji dia. Barid adalah salah seorang
penulis jang terkenal dalam masa Imam As-Shadiq. Kemudian kita sebutkan
pula Djamil bin Darradj an-Nacha'i, termasuk sahabat Imam As-Shadiq dan
anaknja Abu Hasan Musa, banjak mengarang dan meriwajatkan hadis-hadis,
begitu djuga Djamil bin Salih al-Aasadi, ditjintai oleh Imam As-Shadiq
dan anaknja Musa.
Lain dari pada itu djuga kita sebutkan Hammad bin
Usman (mgl. 190 H) dan Hammad bin Isa al-Djuhni, kedua-duanja sahabat
Imam As-Shadiq dan Imam Al-Kazim dan kedua-duanja ahli fiqh dan hadis
Ahlil Bait.
Tidak kurang pentingnja kita sebut Hubaib bin.
Sabit al-Kiahili, berasal dari Kufah (mgl. 122 H), salah seorang
daripada Tabi'in dan perawi Kitab hadis Enam, banjak meriwajatkan hadis
dari Zainal Abidin, Imam Al-Baqir dan anaknja As-Shadiq, begitu djuga
tidak kurang pentingnja kita peringatkan Hamzäh bin Thajjar, salah
seorang ulama fiqh Sji'ah dan tokohnja dalam ilmu kalam, memperdebatkan
persoalan-persoalan jang menguntungkan mazhab Ahlil Bait, banjak sekali
murid-muridnja tersiar dimanamana.
Meskipun demikian jang lebih penting lagi kita
bitjarakan disini adalah dua tokoh ulama Sji'ah jang terbesar, jang
dalam banjak persoalan mendjadi djiwa perkembangan paham mazhab
Al-Dja'fari dalam segala bidang, jaitu Mu'min Thèq dan Hisjiam bin
Hakam.
Mu'min Thaq adalah Muhammad bin Ali bin Nu'man
alBadjali, berasal dari Kufah, sahabat kental dari Imam Dja'far dan
pentjintanja. Mu'min Thaq adalah gelarannja jang berarti mu'min jang
serba sanggup, demikian kesanggupannja dalam segala ilmu, sehingga ia
dapat mengalahkan Imam Abu Hanifah dalam banjak persoalan, dan sehingga
Abu Hanifah ini menamakannja Sjaithan Thaq, setan jang kesanggupannja
luar biasa. Ulama-ulama Chawaridj oleh Mu'min Thaq ini dikalahkan
semuanja, tidak ada seorangpun diantara mereka jang berdebat dengannja
dapat bertahan.
Hisjam pernah menemui Zaid ibn Zainal Abidin, Ali
bin Husain Zainal Abidin. Ilmunja banjak sekali, terutama sangat alim
dalam ilmu fiqh, ilmu kalam, hadis dan gubahan sadjak. Ia sangat pandai
dalam berdebat dan menggunakan kata-kata, tadjam pandangan dan
pikirannja dalam menindjau persoalan agama. Sambil berniaga ia
mengundjungi banjak kota-kota Islam dan menjiarkan mazhab Ahlil Bait.
Sebagai tjontoh kita sebutkan perdebatan antaranja dan Abu Hanifah.
Abu Hanifah : Apa hukum nikah mut'ah padamu ? Mu'min Thaq : Halal.
Abu Hanifah : Apakkah boleh anakmu dan saudara-saudaramu berikah mut'ah dengan orang lain ?
Mu'min Thaq : Jang demikian adalah sesuatu jang dihalalkan Tuhan, apa boleh buat. Tetapi, sobat bagaimana hukum bier padamu ?
Abu Hanifah : Halal.
Mu'min Thaq : Apakah engkau akan girang , djika anakmu dan saudaramu mendjadi pemabuk bier ?
Mu'min Thaq menulis kitab berisi perdebatan
antaranja dengan Abu Hanifah. Meskipun isi buku itu merupakan senda
gurau dan penggeli hati, tetapi berisi hukum-hukum fiqh dan tjara
berfikir antara seorang ulama Ahlur Ra'ji dengan ulama Ahlil Bait. Ibn
Nadim menjebut bahwa dia adalah ulama kurun keempat, karena ia meninggal
dalam tahun 385 H.
Diantara kitab-kitab jang dikarangnja ialah
mengenai persoalan Imamah, Ma'rifat, penolakan terhadap Mu'tazilh
mengenai Imam Mafdhul, mengenai kehidupan Thalhah, Zubair dan Aisjah,
mengenai penetapan wasiat, sebuah kitab jang bergelar "Kerdjakan dan
Djangan Kerdjakan."
Sebagaimana sudah kita katakan bahwa ia termasuk
orang jang sangat ditjintai oleh Imam As-Shadiq, jang pernah berkata :
"Ada empat orang manusia jang kutjintai hidup dan matinja, jaitu Barid
bin Mu'awijah al-Adjali, Zararah bin A'jun, Muhammad bin Muslim dan Abu
Dja'far al-Ahwal."
Gelaran senda gurau Sjaithan Thaq oleh Abu Haniffah
kepada Muhammad Al-Badjali oleh musuh-musuhnja disiar-siarkan setjara
sebaliknja sehingga musuh-musuh Sji'ah memakai nama-nama itu untuk
membuktikan kesesatannja.
Belum dapat kita tutup karangan ini sebelum kita
sebutkan Hisjäm bin Hakam, al-Kindi (mgl. 197 H), lahir di Kufah,
beberapa waktu berdagang di Bagdad, kemudian ditinggalkannja usahanja
dan pergi beladjar kepada Imam As-Shadiq sampai mendjadi seorang alim
dan sahabat Imam Musa Al-Kazim.
Hisjam adalah seorang jang banjak sekali
pengetahuannja tentang mazhab-mazhab dalam Islam, sangat luas ilmunja
dalam filsafat, seorang ahli ilmu kalam Sji'ah jang ulung, seorang jang
petah lidahnja dalam mempertahankan persoalan imamah bagi Sji'ah.
Zarkali mengatakan, bahwa Hisjam bin Hakam adalah seorang ahli hukum
fiqh, ahli i'mu kalam dan manthik. Dr Ahmad Amin mengatakan bahwa Hisjam
bin Hakam adalah tokoh ilmu kalam Sji'ah terbesar, murid dari Dja'far
Shadiq, seorang jang tidak dapat dipatahkan alasannja, sehingga Imam
Shadiq pernah memudji kepribadiannja : "Hai Hisjam, engkau selalu
dikuatkan pendapatmu dengan roh sutji." Imam Ridha mengatakan :
"Moga-moga Allah memberi rahmat kepada Hisjam, karena ia adalah seorang
hamba jang salih." Harun arRasjid memudji Hisjam demikian : "Lidah
Hisjam lebih dapat menghantjurkan djiwa manusia daripada seribu pedang."
Tatkala ia mendekati Imam Shadiq, orang besar ini
segera melihat bahwa Hisjam seorang jang tjerdas otaknja, seorang ichlas
dan seorang jang beriman, oleh karena itu lalu dididiknja Hisjam sampai
mendjadi seorang besar dalam ilmu pengetahuan menurut mazhabnja,
seorang tokoh filsafat, seorang jang bersih aqidahnja, jang dapat
mempertahankan mazhab Ahlil Bait daripada serangan-serangan
aliran-aliran Islam lain jang memusuhi nja, jaitu aliran-aliran jang
sudah banjak dipengaruhi oleh filsafat Junani.
Hisjam ahli dalam ilmu fiqh, hadis dan tafsir dan
banjak meriwajatkan hadis-hadis dalam segala bidang hukum. Didalam
kitab-kitab hadis dan fiqh banjak disebutkan riwajatnja, diantara lain
oleh As-Sirfi, Al-Adjali, Al-Jaqthain dll. Ia banjak sekali mengarang
kitab-kitab dalam segala bidang ilmu, diantara lain, sebagaimana jang
disebutkan oleh Ibn Nadim, mengenai imamah, mengenai falsafat, mengenai
penolakan terhadap orang-orang zindiq, penolakan-penolakan terhadap
musuh Sji'ah, mengenai Djabarijah dan Qadarijah dll. jang tinggi nilai
dan mutunja.
Jang lebih aneh tentang dirinja ialah bahwa ia
dapat membawa dirinja diterima oleh Harun ar-Rasjid dan oleh golongan
Sji'ah. Untuk mengetahui, betapa hati-hati ia mengeluarkan
pendapat-pendapatnja agar orang-orang mengerti tetapi tidak tersinggung
perasaannja, kita sebut suatu pertjakapan antara Harun ar-Rasjid dengan
Hisjam sebagai dibawah ini :
Harun ar-Rasjid : Hai Hisjam, tahukah engkau bahwa Ali pernah mengadukan Abbas kepada Abu Bakar ?
Hisjam : Sungguh ada.
Harun ar-Rasjid : Mana jang zalim terhadap sahabatnja, Ali-kah atau Abbas ?
(Hisjam sadar akan dirinja, bahwa persoalan ini
untuk memantjing sikapnja. Djika ia mengatakan Abbas jang zalim, ia
dianggap menghinakan Rasjid, djika ia mengatakan Ali jang zalim, ia
merusakkan kejakinannja sebagai orang Sji'ah. Kemudian Hisjam berpikir
dan mengeluarkan pendapatnja).
Hisjam : Kedua-duanja tidak zalim.
Harun ar-Rasjid : Djika tidak ada jang zalim, bagaimana masuk di'akal, kedua-duanja datang mengadu pada Abu Bakar ?
Hisjam : Boleh sadja daulat tuanku. Dua orang
malaikat pernah mengadu nasibnja kepada Nabi Daud, sedang tak ada
seorang diantaranja jang zalim, tetapi kedua-duanja ingin hendak
memperingatkan suatu kedjadian. Demikian pula Abbas dan Ali datang
kepada Abu Bakar, datang hendak memperingatkan suatu kedjadian, sedang
kedua-duanja tidak ada jang zalim.
Djawaban ini rupanja sangat mendapat penerimaan
pada Chalifah Harun ar-Rasjid, dan oleh karena itu ia termasuk orang
jang disenanginja, meskipun dalam batinnja ia tetap mentjintai Ali dan
keturunannja.
Demikian beberapa patah kata tentang keistimewaan
Hisjam sebagai ulama terbesar dan tokoh terpenting dalam Mazhab Ahlil
Bait. Ia ditjintai oleh ulama-ulama dari aneka mazhab dan aliran, baik
oleh musuh maupun oleh kawannja. Tuduhan-tuduhan Djahiz, dan dibelakang
ini Dr. Ahmad Amin, bahwa Hisjam bin Hakam adalah penganut aliran Rafdhi
dan membentji semua sahabat Nabi, oleh golongan Sji'ah tidak dapat
diterima. Jang djelas adalah, bahwa Hisjam mentjintai Ahlil Bait dan
menjiarkan ketjintaan ini dalam adjaran-adjarannja.
5. SERATUS PERAWI SJI'AH DALAM KITAB ENAM
Kekeruhan politik tidak membawa perpetjahan dalam
ilmu pengetahuan mengenai Islam. Inilah suatu rahmat Tuhan jang
dianugerahkan kepada kaum muslimin. Bagaimanapun umat Islam berselisih
dan berbeda paham, bahkan kadang-kadang berpetjah belah sampai
menumpahkan darah, pada suatu masa ia bersatu djuga,
pertjaja-mempertjajai dalam menghadapi persoalan ilmiah mengenai
agamanja. Jang demikian itu disebabkan karena umat Islam tidak pernah
berselisih paham tentang pokok-pokok kejakinan agamanja, jang dinamakan
Usuluddin, mengenai tauhid, nubuwwah dan ma'ad, ketuhanan, kenabian dan
kejakinan kepada hari kemudian.
Keadaan inilah jang mengherankan Barat Kristen
tidak habis-habisnja. Bukan suatu rahasia lagi, bahwa Eropah bergiat
memetjah belahkan umat Islam dari dalam dengan menjokong gerakan
Ahmadijah Qadijan, Amerika dengan gerakan Baha'i, tetapi gerakan-gerakan
jang memetjah-belahkan umat Islam kedalam tauhid inipun kadang-kadang
berdjabat salam pula dengan saudara-saudaranja seagama dan melepaskan
politik orang Barat itu.
Sudah kita bentangkan bahwa antara Ahli Sunnah dan
Sji'ah dalam masalah furu' (idjiihad) berbeda hebat sekali, tetapi dalam
ilmu pengetahuan Islam dan dalam membela kemurnian Qur'an dan Sunnah
atjapkali mereka tolong-menolong dan bantu-membantu. Sebagai tjontoh
kita sebutkan dibawah ini nama seratus orang Sji'ah, terdapa dalam
kitab-kitab pokok pengetahuan hadis, karangan ualma-ulama Ahli Sunnah
jang disamping membenarkan panutan Sji'ahnja, mempertjajai perawi-perawi
hadis itu, sehingga hadis-hadis jang diriwajatkannja dimasukkannja
kedalam kitab-kitab Sahih dan Sunnannja, iang dikenal dalam
kesusasteraan hadis dengan nama Kutubus Sittah atau Kitab Enam.
Keterangan ini saja petik dari uraian Imam Abdul
Husain Sjarfuddin al-Musawi, tatkala ia ditanja ditengah-tengah
pertemuan alim ulama di Mesir dalam tahun 1330 H. oleh Siaichul Azhar
Salim al-Bisjri, mengenai sanad Sji'ah dalam dirajah dan riwajah hadis.
Uraian itu demikian mengagumkan ulama-ulama Ahli Sunnah di Mesir,
sehingga kemudian diterbitkan dalam kitab "Al-Muradia'at" (Nedjef.
1963), sebagai Al-Muradja'ah no. 16 (hal. 78—130), keringkasannja saja
tuturkan sebagai dibawah ini.
Diantara orang-orang jang disebutkan seratus orang
itu ter dapat nama Aban bin Tüghlab (mgl. 141 H), jang oleh Az-Zahab:
dalam kitabnja Al-Mizan disebut seorang Sji'ah berasal dari Kufah,
tetapi disebut djuga seorang jang djudjur, dan kedjudjuran ini
dibenarkan oleh Ahmad bin Hanbal, Ibn Mu'in, Abu Hatim, sedang
hadis-hadis riwajatnja didjadikan hudjdjah atau dasar alasan agama oleh
Muslim dan pengarang Sunan, jaitu Abu Daud, Tarmizi, Nasa'i dan Ibn
Madjah. Banjak hadis-hadis riwajatnja tersebut dalam Sahih Muslim dan
Sunan Empat, diriwajatkan oleh Hakam, A'masj, Fudhail bin Umar, Sufjan
bin Ujajnah, Sju'bah, Idris al-Audi dll.
Setjara perintjian seperti ini Al-Musawi
mengemukakan nama tokoh Sji'ah Ibrahim bin Jazid, jang oleh pengarang
Kitab Enam sebagai perawi hadis jang sangat dipertjajai, Ahmad bin
Mufadhal, jang meskipun seorang ulama Sji'ah, hadis-hadis riwajatnja
banjak terdapat dalam Sunan Abu Daud dan Nasa'i, Isma'il bin Aban jang
oleh Buchari dianggap gurunja, oleh Tarmizi banjak dipetik
hadis-hadisnja, dianggap sah meskipun tidak dengan riwajat perantaraan
orang lain, mgl. 286 H.
Isma'il bin Chalifah al-Mula'i dinamakan Az-Zahabi
seorang Sji'ah pemarah, jang pernah mengkafirkan Sajjidina Usman, tetapi
hadisnja diriwajatkan oleh Tarmizi dlm. Sunannja, dan Ahmad dalam kitab
hadisnja. Ibn Mu'in menjebut dia djudjur, demikian djuga Abu Zar'ah dan
Al-Fallas. Hadisnja jang banjak terdapat dalam Sahih Tarmizi berasal
dari Hakam bin Utaibah dan Athijah, diantara orang jang meriwajatkan
hadisnja ialah Al-Badjari.
Nama-nama lain misalnja Isma'il bin Zakaria
al-Chalqani, Isma'il bin Ubbad, seorang jang sangat terkenal dalam masa
pemerintahan Ibn Buwaih, seorang pengarang jang terkenal, jang konon
mempunjai kitab perpustakaan sebanjak beban 400 unta, Isma'il bin Abi
Karimah, jang terkenal dengan nama Suda (mgl. 245 H), Talid bin
Sulaiman, Sabit bini Dinar (mgl. 150 H). Saubar bin Abi Fachitah, Djabir
bin Jazid (mql. 127 H) Dlarir bin Abdul Hamid Ad-Dhabbi (mgl. 187 H),
Dja'far bin Zijad (mgl. 167 H), Dja'far bin Sulaiman Ad-Dhaba'i (mql.
178 H). Djami' bin Amirah, salah seorang Tabi'in, Haris bin Hasirah,
Haris bin Abdullah al-H&mkiani (mgl. 65 H), sahabat Ali bin Abi
Thalib, Hubaib bin Abi Sabit al-Kahili, seorang tabi'in (mgl. 119 H).
Hasan bin Haj al-Hamdani (mgl. 169 H), Hakam bin, Uthaibah, jang
dipudji-pudji oleh Buchari dan Muslim (mgl. 115 H), Hummad bin Isa
al-Djnhni, Hamran bin A'jun, Chalid bin Muchallad. Daud bin Abi Auf,
Sabit bin Haris (mql. 124 H), Zaid bin al-Hubabv Salim bin Abui Dfu'di
(mal. 98 H), Salim bin Abi Hafsah al-Adiali (mgl. 137 H), Sa'ad bin
Tharif al-Askaf. Said bin Asjwla', Sa'id bfln Chaisam al-Hilali, Salman
bin Fadhal, Salmah bin Kuhail, Sulaiman bin Sarad, Sulaim bin Tharhan
(mgl. 143 H), Sulaiman bin Qaram, Sulaiman bin Uchran. Sjuraik bin
Abdullah bin Sju'bah (mgl. 198 H), Sju'bah bin Hdjdjadj (mgl. 160 H).
Sa'sa'ah bin Sauban, Tha'us bin Qisam, Salim bin Amar, Amir bin Wa'ilah,
Ubbad bin Ja'kub, Abdullah bîn Daud (mgl. 212 H), Abdullah bin Sjäddad,
Abdullah bin Umar (mgl. 237 H), Abdullah bin Luhai'ah (mgl. 274 H).
Selandjutnja kita bertemu dengan sahabat Imam
Dja'far, Abdurrahman bin Saleh al-Azadi (mgl. 235 H), Abdur Razzag bin
Humam (m. 211 H), Abdul Malik bin A'jan, Ubaidillah bin Musa Al-Abbasl
(m. 213 H), Usman bin Umair, 'Adi bin Sabit Athijah bin Sa'ad, Al-'Ula
bin Salih, 'Alqamah bin Qais (m. 62 H), Ah' bin Al-Dju'di (m. 203 H), AU
bin Badinah, Ali bin Jazid At-Tajmi (m. 131 H), Ali bin Salih (m. 151
H), Ali bin Ghurab (m. 184 H), Ali bin Qadim (m. 213 H), Ali ibnal
Munzir (m. 256 H), Ali bin Hasjim Al-Chazzaz (m. 181 H), Ammar bin
Zuraiq, Ammar bin Mu'awijah (m. 133 H), Umar bin Abdullah Asabi'i (m.
138 H) dan 'Auf bin Abi Djamilah (m. 146 H).
Termasuk perawi-perawi Sji'ah jang terbesar djuga
ialah Al-Fadhal bin Dakkin, Fudhail bin Mazruq (m. 158 H), Fathar bin
Chalifah (m. 153 H), Malik bin Ismail An-Nahdi (m. 195 H), Muhammad bin
Abdullah Ad-Dhabi At-Thahani (m. 145 H). Muhammad bin Ubaidillah bin Abi
Rafi', Muhammad bin Fudhail bin Ghazwan (m. 194 H), Muhammad bin Muslim
bin Tba'ifi (m. 127 H), Muhammad bin Musa Al-Fithri, Mu'awijah bin
Ammar Ad-Duhni (m. 175 H), Ma'ruf bin CKarbuz (m. 200 H), terkenal
dengan nama Ma'ruf Al-Karachi dan muridnia bernama Sirri As-Saqathi,
kedua-duanja tokoh terkenal dalam Tasawwuf, Mansur ibn Mu'iamar (m. 132
H), Al-Munhal bin Ammar, seorang tabi'in, Musa bin Qais Al-Hadhrami (m.
dim. masa pemerintahan Al-Mansur). Nafi', bin Haris Al-Hamdani, Nuh
Qais, Harun bin Sa'ad Al-Adiali, Hasüm bin Barid. Habirah bin Barin,
Hisjam bin Züad, Hisialm bin Ammar (m. 245 H), Hisiam bin Hasjim bin
Bazir (m. di Baghdad 283 H). Waki' bin Diarrah (m. 197 H). T&hja bin
Diazzar AI-Arni, Jahia bin Sa'id Al-Qattam (m. 198 H), Jazid bin Abi
Zijad (m. 136 H) dan Abu Abdullah Al-Djadali.
Semua tokoh-tokoh ulama jang kita sebutkan diatas
termasuk golongan Salaf, dilihat wafatnja sebelum tahun 300 H.,
merupakan perawi-perawi Hadis jang terpenting dari golongan Sji'ah, jang
bagaimanapun politiknja dan sympathi-anti-pathinja terhadap
pengangkatan Chalifh Empat, diangqap djudjur terpertjaja. boleh
dipertjaiai dalam riwajah dan dirajah Hadis, dan oleh karena itu banjak
Hadis-Hadis riwajatnja terdapat dan didjadikan huddjah dalam Sahih dan
Sunan dari Ahli Sunnah wa Djama'ah.
Oleh Ahli Sunnah wal Djama'ah, jang prinsipnja
berbeda dengan Sji'ah, sanad-sanad ulama jang tersebut diatas dianggap
sah dan digunakan untuk menetapkan sesuatu hukum furu' fiqh (istinbath),
sebagaimana djuga orang-orang Sji'ah tidak berkeberatan memakai
Hadis-Hadis jang isnadnja berasal dari golongan Ahli Sunnah wal
Djama'ah.
6. TARICH TASJRI' SJI'AH
I
Banjak orang menjangka, bahwa Sji'ah menetapkan
hukum-hukum fiqh dari sumber-sumber jang berlainan daripada Ahlus Sunnah
wal Djama'ah. Baik Ahlus Sunnah wal Djama'ah maupun Sji'ah menganggap
sebagai sumber-sumber hukum Islam jang terutama dan pertama ialah
Kitabullah dan Sunnatur Rasul, jaitu Qur'an dan Hadis dalam utjapan
sehari-hari. Idjma' dan qijas djuga digunakan oleh kedua golongan Islam
ini, tetapi dalam bermatjam-matjam istilah. Ada jang menganggap bahwa
idjma' jang dapat didjadikan dasar hukum itu ialah idjma' Sahabat, ada
jang menganggap djuga idjma' alim ulama dibelakang sahabat itu dalam
masa jang tidak habis-habis, sebagaimana tidak habis-habisnja timbul
dalam masjarakat Islam persoalan-persoalan hukum, jang harus diputuskan.
Mengenai qijas djuga digunakan oleh mazhab-mazhab fiqh dalam
bermatjam-matjam istilah, ada jang menggunakan perkataan qijas
(memutuskan sesuatu hukum dengan memperbandingkan kedjadian), ada jang
menggunakan perkataan akal, tentu sesudah diudji dan tidak terdapat
dalam dua pokok pertama, ada jang menggunakan istilah ra'ji, ada jang
menggunakan istihsan, memilih jang terbaik untuk umat, ada jang
menggunakan istilah maslahatul mursalah. Pendeknja, djika kita
ringkaskan, bahwa tidak ada golongan dalam Islam dalam menetapkan
sesuatu hukum agama jang keluar daripada empat pokok, jaitu Qur'an,
Hadis, Idjma' dan Qijas.
Orang Sji'ah meringkaskan pokok-pokok dasar hukum
agama dengan istilah Nash dan Idjtihad, nash terdiri daripada Qur-an dan
Hadis (sebenarnja lebih tepat dikatakan sunnah, karena sunnah itu
terdiri daripada hadis, perbuatan, penetapan Rasulullah dan asar,
keterangan atau perbuatan sahabat), dan idjtihad terdiri dari idjma' dan
qijas, kedua-duanja dipimpin oleh imam jang ma'shum, artinja imam jang
tidak kelihatan mengerdjakan dosa besar dan ketjil atau jang dinamakan
fasiq, mengabai-abaikan kehidupan agama.
Mengapa Qur'an dan Sunnah diterima oleh semua
golongan Islam sebagai pokok pangkal hukum ? Dalam kitab "Falsafatut
Tasjri' fil Islam" (Beirut, 1952), karangan Dr. Subhi Mahmassani, dapat
kita batja, bahwa dalam masa pertama selama hidup Nabi dan menjampaikan
wahjunja (610—632 M), hanja Qur'anlah satu-satunja sumber hukum dan
hidup umat Islam. Bahkan Nabi pernah melarang Sahabat-Sahabatnja
mentjatat keterangannja selain wahju Tuhan. Qur'an meletakkan
dasar-dasar agama dan dasar-dasar penetapan hukum (fasjri') Islam, ia
mengandung pokok-pokok iman dan ibadat, pokok-pokok da'wah Islam,
peraturan hidup berkeluarga, peraturan mu'amalat, hidup bergaul dalam
masjarakat, dan hukum-hukum pidana dan perdata umumnja. Tentu sadja
dalam garis-garis besar, dan garis-garis besar jang disampaikan oleh
Qur'an itu ialah :
1. Peraturan bermusjawarat dalam hukum, wadjib
hakim menggunakan dan mendahulukan kepentingan umum dan nash Qur'an jang
sutji itu.
2. Perintah berbuat adil, berbuat baik kepada
manusia, menyamaratakan kedudukan manusia dalam hukum, dan menanam
persaudaraan jang berdasarkan prikemanusiaan.
3. Menolak peperangan jang bersifat permusuhan, dan
memerintahkan peperangan jang bersifat pertahanan, mengandjurkan
manusia untuk berdamai.
4. Memperbaiki kedudukan wanita dan orang jang tidak mempunjai apa-apa atau tertindas dalam hukum.
5. Menghormati hak milik perseorangan, mewadjibkan
menepati djandji dan perdjandjian antara negara dengan negara, mentjegah
ketjurangan dalam segala bidang hidup, dan
6. Mengadakan perbedaan antara hak Tuhan, jaitu
kepentingan umum dan hak manusia, jaitu kepentingan pribadi dan
perseorangan dalam persoalan pidana dan perdata.
Demikian keringkasan isi Qur'an jang didjadikan
sebagai sumber hukum pertama dalam Islam, diterima oleh semua mazhab
jang ada dalam Islam.
Dalam masa kedua, masa sahabat, dikala Islam sudah
meluas kesegala pendjuru dunia dan persoalan-persoalan hidup sudah
bertambah banjak serta bertjorak aneka warna, chalifah-chalifah mulai
menggunakan idjma' dan qijas tatkala hukum itu tidak bertemu dalam nash.
Sunnah Nabi dikumpulkan dan hadis-hadisnja dibukukan dan digunakan
sebagai pokok hukum jang kedua sesudah Qur'an. Apabila sesuatu hukum
tidak tersua dalam Qur'an dan Sunnah, maka sahabat-sahabat lalu
berkumpul bermusjawarat memutuskan sesuatu hukum, atau memperbandingkan
hukum jang akan diputuskan itu dengan kedjadian-kedjadian jang sudah
pernah diputuskan dalam masa Rasulullah. Maka fatwa-fatwa dan
pendirian-pendirian Chalifah Empat jang utama, jaitu Abu Bakar, Umar,
Usman dan Ali djuga mendjadi pokok-pokok dasar untuk memutuskan sesuatu
hukum dalam Islam.
Dalam masa sahabat dan tabi'in, sahabat-sahabat
Nabi mulai bertjerai-berai untuk melakukan tugasnja masing-masing
dinegara-negra baru jang termasuk kedalam pemerintahan Islam. Jang
terutama diantara mereka misalnja Abdullah bin Abbas di Mekkah, Zaid bin
Sabit dan Abdullah bin Umar di Madinah, Abdullah ibn Ma'sud di Kufah,
dan Abdullah bin Umar bin Ash di Mesir.
Dalam masa ini timbullah pertikaian paham antara
Ahli Sunnah wal Djama'ah dan Sji'ah. Jang pertama berpendirian, bahwa
susunan chalifah sesudah wafat Nabi ialah Abu Bakar, kemudian Umar,
kemudian Usman dan kemudian Ali bin Abi Thalib. Sji'ah berpendapat bahwa
jang lebih berhak mendjadi chalifah lebih dahulu daripada tiga pertama
disebutkan tadi sesudah wafat Nabi, ialah Ali bin Abi Thalib. Dalam masa
itu terdengarlah istilah menamakan suatu golongan mazhab dengan nama
Sji'ah Ali, atau diringkaskan dengan Sji'ah sadja.
Perpetjahan ini tidak hanja membawa perbedaan paham
politik, tetapi djuga paham dalam menetapkan dasar-dasar hukum fiqh.
Diantara lain jang menjolok ialah bahwa mazhab Sji'ah ini dalam memilih
hadis, mengutamakan riwajat-riwajat dari golongan jang dinamakan Ahlil
Bait, Mereka menganggap Ahlil Bait inilah jang lebih dekat kepada Nabi
dan lebih mengetahui tentang segala utjapan, penetapan dan perbuatannja.
Kita ketahui, bahwa Ali bin Abi Thalib termasuk
salah seorang penulis wahju dan oleh karena ia selalu berdampingan
dengan Nabi, lebih banjak mengetahui penafsiran-penafsiran dari pada
wahju itu, dan lebih banjak mempunjai ilmu tentang sunnah Nabi. Nabi
sendiri pernah mengatakan, bahwa "aku ini gudang ilmu dan Ali adalah
pintunja" (Al-Mawa'iz al-Usfurijah, hal. 4).
Hasjim Ma'ruf Al-Hasani dalam kitabnja "Tarichul
Fiqhil Dja'fari" menerangkan, bahwa sesudah kedjadian perpetjahan dan
lahirnja perbedaan paham diantara mazhab-mazhab Islam, Sji'ah takut
orang menjiar-njiarkan hadis palsu untuk mempertahankan pendiriannja
masing-masing. Kedjadian ini sudah pernah berlaku dalam masa sahabat,
Ali pernah menjuruh bersumpah seorang jang menjampaikan hadis dari Nabi,
Umar pernah memukul orang jang membuat hadis dusta, dan Abu Hurairah
pernah diselidiki hadisnja, meskipun ia seorang sahabat jang sangat
dipertjajai. Oleh karena itu terdjadilah kesukaran dalam memilih hadis
dan tjeritera ini, dan dalam melaksanakan serta menetapkan dasar hukum
jang empat tersebut diatas, jaitu Kitab, Sunnah, Qijas dan Idjma'.
Bahwa idjma' dapat diterima sebagai dasar hukum, Al-Hasani menerangkan, hal ini berdasarkan utjapan Nabi kepada Ali :
"Apabila engkau menghadapi sesuatu perkara, jang
tidak ada keputusannja dalam Qur'an dan Sunnah, kumpulkanlah orang-orang
alim, dan suruhlah mereka bermusjawarat, dan djangan kamu memutuskan
perkara dengan pikiran seorang sadja" (hal. 114). Tentang idjma' dan
qijas ini banjak sekali dipertengkarkan orang, sebagai tersebut didalam
kitab "Tarichut Tasjri'," karangan Al-Chudhari. Ada jang menganggap
idjma' itu, idjma' sahabat menurut pendapat bersama, sebagaimana
terdjadi dengan idjma' dalam kalangan Anshar. Pendapat seorang sahabat
bukan idjma'.
Menurut kitab-kitab Sji'ah ketjemasan inilah jang
menjebabkan Ali bin Abi Thalib, sesudah wafat Nabi segera membukukan
hadis dan fiqh. Ali-lah jang mula-mula setjara lengkap mengumpulkan
Qur'an dan memberikan tafsir-tafsir jang mendalam, terutama dalam
menerangkan ajat-ajat mustasjabihah. Ia menulis Qur'an itu setjara
lengkap diatas kepingan-kepingan papan jang teratur, jang tidak pernah
dikerdjakan oleh sahabat lain selengkap dia kerdjakan. Ibn Sjahrasjub
berkata dalam kitab "A'jdnusj Sji'ah", karangan Al-Amin, djilid ke I,
bahwa orang jang mula-mula mengarang dalam Islam ialah Amirul Mu'minin
Ali bin Abi Thalib, dialah jang mula-mula mengumpulkan kitab Qur'an. Ibn
Nadim menerangkan dari bermatjam-matjam „riwajat, bahwa sesudan wafat
Nabi, Ali berhari-hari tinggal dirumah dan mengumpulkan Qur'an mendjadi
sebuah mashaf, daripada ajat-ajat jang dihafalnja, dan Qur'an itu
tersimpan pada keluarga Dja'far (Fihrasat Ibn Nadim). Sajuthi
menerangkan dalam Al-Itqan, bahwa Ibn Hadjar pernah menerangkan, Ali
mengumpulkan Quran menurut tertib turunnja wahju, beberapa waktu sesudah
wafat Nabi (Abu Daud). Demikian pula tjeritera Muhammad bin Sirin,
Sjirazi, Abu Jusuf Ja'kub, dll ulama.
Dalam sebuah tjeritera Abi Rafi' diterangkan bahwa
Nabi dikala sakit jang membawa maut pernah memanggil Ali dan berkata :
"Hai Ali, inilah kitabullah, ambil untukmu". Maka Ali mengumpulkan
wahju-wahju itu dalam sebuah bungkusan dan dibawa kerumahnja. Tatkala
Rasulullah wafat Ali memilih dan menjusun wahju-wahju itu menurut tertib
turunnja, dan ialah orang jang sangat mengetahui tentang Qur'an dan
tafsirnja.
Berkata Al-'Allamah Sjarfuddin, bahwa Ali
mengumpulkan Qur'an menurut tertib turunnja wahju, memberi tanda-tanda
jang umum dan jang chusus, pengertian jang mutlak dan jang terbatas,
menafsirkan ajat-ajat jang muhkamah dan mutasjabihah, menerangkan
ajat-ajat jang nasich dan mansuch, begitu djuga mentjatat sebab-sebab
turunnja wahju dan ajat Qur'an itu. Dalam tjatatan itu dimuat tidak
kurang dari enam puluh matjam ilmu Qur'an (Al-Muradja'at, karangan
Sajjid Abdul Husain Sjarfuddin). Lihat djuga "Tarichul Fiqhil Dja'fari",
karangan Hasjim Ma'ruf AI-Hasani, hal. 116—117.
Oleh karena itu orang-orang Sji'ah dalam mentjari
tafsir ajat Qur'an, lebih dahulu ia mentjari dan memegang kepada
tafsirnja sendiri, jaitu tafsir jang berasal daripada Ali bin Abi
Thalib.
Menurut hadis-hadis jang berasal daripada Ahlus
Sunnah. Qur'an itu baru dikumpulkan dalam sebuah mashaf pada tahun jang
ke 25 sesudah hidjrah Nabi ke Madinah. Sedang Sji'ah menetapkan daripada
hadis-hadis jang berasal dari Ahlil Bait dan dujga dari Ahli Sunnah,
bahwa Qur'an itu sudah dikumpulkan oleh Ali lebih dahulu dalam sebuah
mashaf, lebih dari lima belas tahun daripada tahun tersebut diatas.
6. TARICH TASJRI' SJI'AH
II
Memang benar pada masa hidup Nabi dianggap
terlarang menulis hadis Nabi dan keterangan-keterangan lain jang
diutjapkan Nabi selain wahju Tuhan jang ditjatat orang diatas tulang
belulang, kulit kambing, pelepah korma dll. Nabi sendiri melarang :
"Djangan kamu menulis sesuatu daripadaku ketjuali Qur'an, barangsiapa
jang menulis sesuatu daripadaku selainnja, hendaklah dihapusnja" (hadis
sahih).
Tetapi banjak sahabat menganggap, bahwa larangan
ini hanja sekedar menghindarkan orang mentjampur adukkan antara wahju
Tuhan dengan utjapan Rasulullah pribadi, jang dianggap nanti dibelakang
hari dapat menimbulkan silang sengketa jang merugikan Qur'an sebagai
kitab tuntunan pokok. Tetapi sedjak Rasulullah masih hidup sudah terasa
mentjatat hadis-hadisnja, pertama karena banjak lafadh-lafadh Qur'an
jang menghendaki pendjelasan lebih landjut, kedua sebab-sebabnja turun
wahju Tuhan itu, kapan dan dimana, karena apa dan bagaimana
pengertiannja.
Oleh karena itu banjak djuga jang mentjatat
kedjadian jang penting-penting, meskipun dalam masa Nabi masih hidup dan
dalam masa pendapat umum sahabat menganggup terlarang. Nabi sendiri
pernah memerintahkan seorang Jaman menulis chotbahnja pada hari Fatah
Makkah (Buchari dalam Sahihnja, pada kitab Ilmu). Ditjeriterakan orang
bahwa Abdullah bin Umar bin Ash mempunjai beberapa lembar tjatatan, jang
dinamakan "Ash-Shadigah", jang diakuinja semua jang ditulisnja dalam
kitab itu adalah apa jang didengar telinganja sendiri daripada
Rasulullah. Buchari djuga mentjeriterakan dalam kitab Sahihnja, bahwa
Rasulullah sesudah hidjrah ke Madinah pernah memerintahkan menulis
sebuah tjatatan mengenai hukum zakat, kewadjibannja dan takarannja.
Risalah dua lembar ini tersimpan kemudian dalam rumah chalifah Abu Bakar
dan Abu Bakar bin Umar bin Hazm, demian tjeritera Dr. Muhammad Jusuf
dalam kitabnja "Tarichul Fiqhil Islami", haL 173, Dr. Muhammad Jusuf ini
menguatkan pendapat Sajjid Salman An-Nawawi, seorang ulama besar Hindi,
dalam mentjeriterakan pembukuan hadis pada masa Rasulullah dan pada
masa sesudahnja. Dr. ini membagi penulisan hadis itu dalam tiga masa,
pertama jang dikerdjakan oleh hanja beberapa orang jang mempunjai ilmu
pengetahuan, kedua jang dikerdjakan oleh pengarang-pengarang dalam
kota-kota besar Islam, sebagaimana jang didengar dari ulama-ulama
sahabat jang terdapat disana, dan ketiga jang dikumpulkan sebagai ilmu
agama Islam dari semua kota-kota itu dan didjadikan kitab-kitab besar,
jang sampai sekarang ada dalam masa kita (Risalah al-Muhammadijah, hal.
60).
Masa jang pertama sampai tahun 100 H., masa jang
kedua sampai tahun 150 H. dan masa jang ketiga dari tahun 150 sampai
abad jang ke III H. Pembukuan jang pertama dimulai sedjak wafat Nabi dan
diachiri pada penghabisan masa sahabat. Sebagaimana jang diterangkan
kedua pengarang jang tersebut diatas, dalam masa ini belum ada pembukuan
hadis-hadis mengenai hukum, pembukuan hadis-hadis mengenai hukum ini,
sebagaimana jang dikatakan oleh Al-Chudhari, terdjadi dari tahun 100
sampai 150 H. (Tarichut Tasjri'il Islami, hal. 147).
Sampai dalam masa Tabi'in belum ada orang jang
berani menulis hadis dalam sebuah kitab sebagai tuntunan Islam jang
kedua. Barulah pada tahun 200 H. Umar bin Abdul Aziz menulis surat
kepada gubernurnja di Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Umar bin Hazm,
untuk mengumpulkan hadis-hadis Rasulullah, dan utjapan-utjapan
keluarganja, ditulis mendjadi sebuah buku, karena ia takut akan hilang
dengan banjaknja meninggal ulama-ulama dan lenjap ilmu pengetahuan jang
ada padanja. Maka diantara mereka jang menjusun kitab hadis ini dalam
masa itu terkenal Muhammad ibn Muslim bin Sjihab az-Zuhri (Al-Chudhari).
Sudah kita sebutkan bahwa usaha menuliskan kitab
hadis ini sudah dimulai dalam zaman sahabat, jang merupakan tjatatan Ibn
Ash. Dr. Muhammad Jusuf menerangkan, bahwa Chalifah jang ke IV, Imam
Ali bin Abi Thalib, jang pada waktu itu ditangannja sudah terdapat
sebuah tjatatan mengenai beberapa hukum-hukum Islam. Buchari
menerangkan, bahwa Abu Djuhfah pernah bertanja kepada Ali : „Apakah ada
kitab padamu ?" Ali mendjawab : dengan segera : "Tidak ada, ketjuali
Kitabullah, atau paham jang diberikan padaku atau apa jang kutuliskan
dalam tjatatan "AsSahifah". Ibn Abbas mentjeriterakan bahwa Ali
mempunjai sebuah kitab mengenai urusan hukum.
Memang Ali-pun pada mula pertama enggan menuliskan
dan mengumpulkan hadis-hadis, tetapi kemudian terasa sangat perlu,
terutama untuk membedakan hadis-hadis jang benar datang dari pada
Rasulullah dan hadis-hadis jang dibuat-buat orang. Mulailah orang
mentjatat sesudah Ali memberikan tjontoh.
Baik dari keterangan-keterangan Sji'ah atau dari
keteranganketerangan Ahli Sunnah, dapat ditetapkan bahwa beberapa saha
bat dari golongan Àhlil Bait pada masa pertama sudah mentjatat
perkara-perkara mengenai fiqih. bahkan banjak riwajat menerangkan, bahwa
Ali sudah menulis sematjam kitab fiqh dengan chatnja sendiri, jang
didiktekan oleh Rasulullah. Demikian pendapat orang Sji ah dan
pemuka'nja. Dalam dua buah kitab Sji'ah terpenting, pertama "A'janusj
Sji'ah", karangan Sajjid Muhsin alAmin, terutama djilid pertama, dan
kitab "Al-Muradja'at", karangan Sajjid Abdul Husain Sjarfuddin, terdapat
banjak keteranganketerangan dan riwajat jang mengatakan, bahwa Ali bin
Abi Thalib pada hari-hari pertama sudah mempunjai karangan-karangan,
diantaranja sebuah kitab jang pandjangnja konon tudjuh hasta, ditulis
dengan petundjuk-petundjuk dari Rasulullah, diatas kulit riq, mungkin
perkamen, jang biasa digunakan orang pengganti kertas pada waktu itu.
Dalam kitab ini terkumpul segala matjam bab fiqih, hadis-hadis jang
diriwajatkan oleh Ahlil bait, sekali dinamakan "kitab", sekali dinamakan
"djami'ah", Banjak orang-orang jang dapat dipertjajai pernah melihat
kitab ini ada pada Imam Al-baqir dan pada Imam As-Shadiq, diantaranja
Suwaid bin Ajjub, Abi Bashir dll., sebagaimana pernah ditjeriterakan
oleh seorang pengarang Muhammad bin Hasan As-Shaifar dalam kitabnja
"Basha'irud Ltaradjat". Suwaid mengatakan, bahwa ia pada suatu hari
datang kepada Abu Dja'far bertanjakan sesuatu, maka diperlihatkannja
kitab Al-Djami'ah itu. Abu Nashar djuga pernah datang kepada Abu
Dja'far, ia memperlihatkan beberapa lembar jang tertulis diatasnja
hukum-hukum halal dan haram serta hukum-hukum fara'id. Ia berkata,
tatkala ditanjakan, apa ini. Abu Dja'far mendjawab : "Ini adalah
beberapa lembar dari AlDjami'ah, jang diisi atas petundjuk Rasulullah.
Dalam sebuah tjeritera jang sangat pandjang riwajatnja sampai kepada Abu
Marjam, Abu Dja'far pernah berkata : "Kami menjimpan Al-Djadalamnja
sampai kepada perkara ars/ul chadasj (tetek bengek mi'ah, jang
pandjangnja tudjuh puluh hasta, semu hukum ada dipen.), diisi atas
petundjuk Rasulullah oleh Ali dengan chatnja sendiri." Tjeritera ini
kita dengarkan lagi dari Abu Ubaidah dan dari Imam As-Shadiq, dan pada
achirnja dari Abu Bashir jang menerangkan : "Aku masuk kerumah Abu
Abdullah as-Shadiq. Ia berkata kepadaku : "Hai Abu Muhammad kami
mempunjai AlDjami'ah, apakah engkau tahu, apa itu Al-Djami'ah ? Al-
Djami'ah itu sebuah karangan, jang pandjangnja tudjuh puluh ukuran hasta
Nabi, diisi dengan petundjuk Nabi oleh Ali dengan chatnja, dan Ali
membenarkan hal jang demikian itu dengan sumpah, didalamnja terdapat
semua perkara mengenai hukum Islam halal dan haram dan terdapat segala
jang dibutuhkan manusia sampai kepada perkara tetek bengek". Imam Shadiq
mengulangi keterangan ini beberapa kali dihadapan manusia banjak dan
mengatakan, bahwa apa jang diperlukan manusia mengenai hukum terdapat
didalam kitab itu jang dibutuhkannja sampai kepada hari kiamat.
Abu Dja'far at-Thusi mendengar dari Abu Ajjub dan
Abu Abdullah bahwa Ali djuga mempunjai kitab mengenai hukum warisan,
Tjeritera ini dibenarkan oleh Al-Kulaini dalam sebuah hadis jang benar
berasal dari Imam As-Shadiq. Imam Al-Baqir mengenal chat Ali bin Abi
Thalib dan membenarkan kitab-kitab jang ditulis oleh Ali mengenai
bermatjam-matjam hukum, diantara lain sebuah kitab jang berisi hukum
peradilan, kewadjiban ibadat dan hadis-hadis, begitu djuga mengenai
pembahagian harta pusaka.
Buchari membenarkan bahwa Ali pernah menulis sebuah
kitab mengenai Qadhi dan hukum peradilan jang chusus, dan bahwa kitab
itu beberapa lama disimpan oleh Abdullah ibn Abbas.
Dalam kitab "A'janusj Sji'ah" kita batja nama-nama
karangan Ali bin Abi Thalib, diantara lain jang disebut kitab
"Al-Dja'far". Ibn Chaldun pernah menjebut kitab ini dalam Muqaddimahnja,
dan djuga ditabini pernah dibitjarakan dalam risalah "Kasjfur-Zumin"
dan "Miftahus Sa'adah", karangan Ahmad ibn Mustafa, begitu djuga kitab
ini pernah dipudji oleh Al-Ma'arri dalam sadjak-sadjaknja jang indah,
karena isinja dan susunan kalimatnja.
Baik hadis-hadis jang berasal dari orang-orang
Sji'ah atau dari Ahli Sunnah atau jang tersebut dalam kitab "Madjma'ul
Bahrain" mengakui bahwa kitab Al-Dja'far dan Al-Djami'ah ditulis Ali
dengan chatnja atas petundjuk Rasulullah. Kitab Al-Djami'ah tertulis
diatas perkamen dan Al-Dja'far terbungkus dalam sebuah bungkusan kulit
besar. Didalam kedua-duanja terdapat pokok2 hukum mengenai halal dan
haram jang lengkap sekali.
Lain daripada itu Sjarfuddin menerangkan dalam
karangannja, bahwa Ali bin Abi Thalib pernah menulis sebuah kitab
mengenai dijat, hukum pidana, kitab ini djuga pernah dibitjarakan oleh
Buchari dan Muslim dalam pengumpulan hadisnja. Lain dari pada itu
Ibrahim At-Tamimi mendengar ajahnja bertjeritera, bahwa Ali pernah
mempunjai kitab jang berisi ilmu pengetahuan mengenai penjakit, luka dan
segala sesuatu jang bertali dengan unta. Ahmad ibn Hanbal
mentjeriterakan kitab ini dalam Masnadnja, daripada sebuah hadis jang
diriwajatkan oleh Thariq ibn Shihab.
Jang tersebut diatas ini hanjalah beberapa tjontoh
daripada usaha Ali bin Abi Thalib dalam mengumpulkan hadis dan menjusun
fiqh pada hari-hari pertama sebagai pokok-pokok hukum Islam dan
pendjelasannja. Al-Hasani menerangkan, bahwa jang demikian itu memang
sudah selajaknja, karena Ali adalah sahabat jang terpintar daripada
Rasulullah dalam bidang tasjri' Islam, maka disusunlah hadis-hadis dan
ditetapkanlah hukum-hukum serta disiarkan ilmu-ilmu itu kepada umat
islam, terutama tatkala dia memegang djabatan chalifah, sementara
sahabat-sahabat dan tabi'in lain masih mempunjai anggapan tidak boleh
menuliskan dan membukukan hadis-hadis itu. Ali mengikut Nabi sedjak ia
mula-mula menerima wahju, dan oleh karena itu seluruhnja ia ketahui
sampai kepada perintjian persoalan-persoalan dalam Islam.
Ali bin Abi Thalib telah melihat lebih dahulu,
bahwa sahabatsahabat dan tabi'in akan bertikaian paham dalam
meriwajatkan hadis dan meletakkan hukum-hukum seperti jang dikatakan
Sujuthi, bahwa sahabat-sahabat dan tabi'in dalam masa Salaf bersalahan
paham antara satu sama lain, seorang menjenangi ini, sedang jang lain
membentji itu. Tetapi Ali dan anaknja Hasan mengikat semua hadis-hadis
dan hukum-hukum itu dalam tulisan, agar tjutjunja tidak bertikai-tikaian
lagi mengenai persoalan.
Dalam penjusunan hadis, Ali meletakkan
kepertjajaannja kepada sahabat2 jang dianggap benar oleh semua orang
Islam, oleh karena itu banjak ia mengambil riwajat dari Salman, Ammar,
Abu Zar, Abdullah bin Abbas dll., kemudian disusunnja dan dibukukannja
dengan menjebutkan nama-nama orang-orang jang mentjintai Sji'ah Ali itu.
Sumber ini diperluas pada kemudian hari. Abu Rafi'
mengarang kitab Sunan, hukum, peradilan, jang mengandung semua perkara
mengenai sembahjang, puasa, hadji; zakat dan hukum pidana dan perdata.
Begitu djuga anaknja, Ali bin Abi Rafi', seorang tabi'in dan pemuka
Sji'ah, sahabat dan penulis Ali bin Abi Thalib, mengarang sebuah kitab
dalam semua fan fiqh. wudhu', sembahjang, dan segala bab ibadat jang
lain.
Ubaidillah mengarang sebuah kitab sedjarah, karena
ia hadir bersama-sama Ali dalam peperangan Shiffin, jang pernah
dibitjarakan oleh Ibn Hadjar dalam kitab "Ishabah".
Abu Dja'far At-Thusi, An-Nadjasji, Ibn Sjahrasjaub
dll. mengupas dalam kitabnja masing-masing ulama-ulama Sji'ah jang
menulis kitab fioh dalam masa Islam pertama, dan menerangkan, bahwa
Salman Farisi pernah menulis sebuah kitab sedjarah mengenai
Katholiek-Romawi, Abu Zar pernah mengarang sebuah kitab jang
dinamakannja "Al-Chutbah", jang didalamnja diberi banjak
keterangan-keterangan agama sesudah wafat Nabi. Al-Asbagh bin Nabatah
menulis dua buah kitab, satu bernama "Maqtal Husain", sebuah lagi
bernama "Kitab Adjaib Ahkam Amiril Mu'minin". Sulaim bin Qais mengarang
kitab tentang "Imamah", berisi hadis-hadis mengenai persoalan ini dari
Ali dan dari sahabat-sahabat besar. Misam At-Tammar mengarana sebuah
penqumpulan hadis, jang kemudian dibitjarakan oleh At-Thusi, Al-Kasjsji
dan At-Thabari dalam kitabnja masing-masino. Muhammad bin Qais
Al-Badjari, sahabat kental Ali bin Abi Thalib menqarang sebuah kitab,
jang berisi riwajat-riwajat daripada Ali. Tatkala kitab ini, menurut
At-Thusi, diperlihakan oleh Muhammad bin Qais al-Badjari kepada Abu
Dja'far al-Baqir, Al-Baqir berkata : "Ini adalah perkataan Amirul
Mu'minin Ali bin Abi Thalib."
Sesudah zaman itu berturut-turutlah sampai sekarang
ulamaulama Sji'ah mengarang kitab-kitab fiqh dalam segala bentuk dan
persoalan, bahkan tidak kalah banjaknja dan besarnja dengan
karangan-karangan ulama-ulama Ahli Salaf (penganut Hanbali) dan Ahli
Sunnah wal Djama'ah. Ulama-ulama Sji'ah lebih suka dalam memetapkan
sesuatu hukum menggunakan hadis-hadis jang berasal dari Ahlil Bait,
tetapi Ahli Sunnah wal Djama'ah tidak kurang jang berbuat demikian jang
menganggap hadis-hadis jang diriwajatkan oleh Ahlil Bait lebih
didahulukan daripada hadis-hadis riwajat sahabat-sahabat lain, misalnja
Imam Malik bin Anas dan Imam Muhammad bin Idris Asj-Sjafi'i.
VII. IDJTIHAD DAN TAQLID
I. IDJTIHAD DAN TAQLID
I
Sebelum kita bitjarakan persoalan idjtihad dan
taqlid dalam mazhab Sji'ah, baik kita djelaskan duduknja persoalan ini
dalam pengertian umum Islam. Idjtihad umumnja diartikan berusaha
bersungguh-sungguh mengetahui duduknja sesatu perkara dan berfikir
menetapkan suatu hukum dari sumber pokok fiqh Islam. Kebalikannja
dinamakan taqlid jaitu menuruti pikiran seorang ulama dengan tidak
mengetahui alasan sumbernja, atau sebagai jang ditetapkan oleh Amadi,
jaitu beramal dengan utjapan seorang ulama dengan tidak memakai alasan
jang diwadjibkan mengetahuinja.
Oleh karena hukum Islam itu adalah sjari'at
ketuhanan, jang berdasarkan kepada pokok-pokok hukum jang sudah
ditentukan, seperti Qur'an, Sunnah, jang hanja diterima untuk diamalkan,
atau seperti idjma', qijas dan istihsan, jang kemudian dipikirkan
sebagai dasar tambahan, adalah idjtihad itu suatu djalan untuk
menetapkan hukum-hukum jang berkembang dalam masjarakat pergaulan
manusia. Idjtihad merupakan usaha jang 'berfaedah sekali dalam sedjarah
perkembangan hukum Islam. Orang jang melakukan idjtihad, mudjtahid,
menetapkan sesuatu hukum dengan nas Qur'an dan Hadis, apabila ia
berhasil memperolehnja, tetapi djuga menetapkan dengan pikirannja,
ra'ji, apabila ia tidak mendapati nas itu. Kadang-kadang ia
memperbandingkan sesuatu perkara dengan perkara jang sudah terdjadi,
qijas, memilih suatu hukum jang lebih baik dan lebih tjotjok dengan masa
dan tempat. istihsan, atau mendasarkan pertimbangannya kepada sesuatu
kemaslahatan, muslahatul mursalah.
Semua djalan-djalan jang ditempuh ini tidak sama,
dan dengan demikian hasilnjapun berlain-lainan, sehingga terdjadilah
perbedaan pendapat dalam idjtihad, dan perbedaan mazhab-mazhab, terutama
dalam zaman keemasan Abbasijah, dalam zaman mana sebagai jang kjta
kenal lahirlah empat kuh mazhab Ahli Sunnah, jang besar sekali
kemadjuannja dalam ilmu fiqh dan ilmu usul.
Perselisihan paham dan kemerdekaan berpikir serta
debat-mendebat sangat menguntungkan peradaban fiqh. Tetapi sajang
kemadjuan ini berachir tatkala Bagdad diserbu oleh Hulagu Khan dalam
pertengahan abad ke VII H. atau abad ke XIII M., suatu penjerbuan jang
kedjam dan merusak binasakan hampir seluruh kebudajaan Islam jang
dibentuk berabad-abad. Mungkin untuk menutup kesempatan Hulagu Khan
menggunakan ulama-ulama Islam memberi fatwa-fatwa jang merugikan Islam,
mungkin djuga karena alasan lain, ulama-ulama Sunnah menjatakan pintu
idjtihad itu tertutup pada waktu itu dan menganggap tjukup beramal
dengan peraturan-peraturan jang telah ditetapkan oleh empat mazhab
besar, jaitu Hanafi, Maliki dn Hanbali, dalam urusan ibadat dan
mu'amalat.
Banjak orang menjajangkan, bahwa dengan tertutup
pintu idjtihad itu, tertutup pula kemerdekaan berfikir dalam kalangan
orang Islam, sehingga umat Islam itu mendjadi beku dalam segala segi
kehidupannja.
Dr. Sobhi Mahmassani termasuk salah seorang jang
menjalakan keketjewaannja tentang kebekuan itu. Hal ini didjelaskan
pandjang lebar dalam kitabnja "Falsafatul Tasjri' fil Islam" (Beirut
1952). Ia berpendapat, bahwa keadaan inilah jang menjebabkan timbulnja
banjak taqlid, banjak bid'ah jang berdasarkan atas kebodohan dan sjak
wasangka dan tersiarlah churafat bikin-bikinan dari zaman kezaman, jang
membuat Islam itu mendjadi mundur. Banjak orang-orang Islam jang
bertaqlid kepada perkaraperkara agama dalam ibadat, jang sesudah
diselidiki tidak ada hubungan sama sekali dengan fiqh.
Keadaan ini lebih merugikan, karena ahli ketimuran
dari Barat, jang menjelidiki Islam pada waktu jang achir, menetapkan
bahwa Islam itu dengan sjari'at-sjari'atnja sudah mundur dan tidak dapat
lagi mengikuti zaman peradaban baru sekarang ini.
Kita ketahui, demikian Mahmassani lebih landjut,
bahwa dalam abad ke XIX lahirlah gerakan-gerakan dalam beberapa tempat,
jang berichtiar hendak memperbaiki kembali tjara berpikir dalam
kehidupan Islam itu. Maka lahirlah jang dinamakan Mazhab Salaf, dan
lahir pula taqlid buta itu dan mempropagandakan untuk tidak berpegang
kepada salah satu mazhab tertentu, begitu djuga ia menjeru umat Islam
untuk mempersatukan mazhab-mazhabnja dan kembali kepada pokok hukum
sjari'at serta semangatnja jang sebenarnja, agar umat Islam madju dalam
peradabannja.
Dapat kita terangkan disini, bahwa menurut pendapat
umum dalam dunia Islam tidaklah idjtihad itu dibolehkan bagi sembarang
orang, tetapi seorang mudjtahid jang ingin menetapkan sesuatu hukum,
istinbath, atau menetapkan dalil2 bagi sesuatu kedjadian, istidlal,
harus merapunjai beberapa sjarat, jaitu tjerdas, berakal, adil, bersifat
dengan sifat-sifat dan achlak jang baik, alim dalam hukum dengan
mengetahui alasan-alasan sjara', mengetahui benar tentang bahasa (Arab),
ahli dalam tafsir Qur'an.
mengetahui sebab-sebab turunnja ajat Qur'an,
mengetahui sedjarah perawi-perawi, baik dan buruk sifat mereka dan
djalan hadis, mengetahui ajat-ajat jang nasich dan mansuch, sebagaimana
jang pernah dibitjarakan oleh Asj-Sjathibi dalam kitabnja
"Al-Muwaraqai", IV: 106.
Sjarat-sjarat jang dikemukakan itu terutama bagi
orang jang dinamakan mudjtahid mutlak, jang ingin beridjtihad dalam
seluruh masalah fiqh, tidak diwadjibkan bagi mudjtahid matjam lain.
Mudjtahid jang hendak menetapkan sesuatu hukum mengenai sebuah masalah
agama, tjukup baginja sebagai sjarat alim dalam pokok-pokok hukum fiqh
jang empat itu dan mengetahui sungguhsungguh akan perkara jang
dihadapinja.
Mudjtahid mutlak atau jang dinamakan djuga
mudjtahid dalam hukum sjara', adalah orang jang istimewa keahliannja
dalam sesuatu mazhab atau djalan tertentu, seperti imam-imam mazhab
empat Abu Hanifah, Malik Sjafi'i dan Ahmad ibn Hanbal, atau seperti
imam-imama mazhab lain, seperti Auza'i, Daud Dhahiri, Thabari, Imam
Dja'far As-Shadiq, dll.
Mudjtahid mazhab adalah mudjtahid jang tidak
mentjiptakan suatu mazhab sendiri, tetapi ia dalam mazhabnja menjalani
imam jang diikutinja dalam idjtihadnja mengenai beberapa perkara pokok
atau tjabang hukum Islam. Sebagai tjontoh kita sebutkan Abu Jusuf dan
Muhammad bin Hasan dalam mazhab Hanafi, dan Mazani dalam mazhab Sjafi'i,
jang keputusan-keputusan idjtihadnja tidak selalu sedjalan dengan tjara
berpikir imam-imamnja.
Mudjtahid fatwa ialah seorang jang beridjtihad
dalam sesuatu masalah, jang tidak merupakan atau mengenai pokok-pokok
umum bagi sesuatu mazhab. Misalnja Thahawi dan Sarchasi dalam mazhab
Hanafi, Imam Ghazali dalam mazhab Sjafi'i, mereka atjapkali beridjtihad
dan menetapkan hukum sesuatu masalah jang tidak menjalani pokok-pokok
asal daripada mazhab jang dianutnja.
Mudjtahid muqajjîd dikatakan orang jang mengikatkan
sesuatu penetapan hukum dengan tjara berpikir Salaf dan mengikuti
idjtihad mereka, kemudian menjatakan hukum ini untuk diamalkan. Dengan
sendirinja mudjtahid ini keluar daripada tjara berpikir mazhab jang ada,
dan oleh karena itu mereka dimasukkan kedalam golongan jang dinamakan
Ashab Tachridj, dan mereka sanggup mengatasi pendapat-pendapat
mazhab-mazhab jang sudah diakui kekuasaannja, mengistimewakan
paham-paham salaf, mendjelaskan perbedaan riwajat jang kuat dan jang
dhaif, riwajat jang umum dan riwajat jang djarang tersua, dan dengan
demikian mentjiptakan suatu hukum baru dalam sesuatu persoalan. Sebagai
tjontoh kita sebutkan Al-Karachi dan Al-Quduri dalam mazhab Hanafi, jang
dalam pendirian sesuatu masalah ia berpisah sama sekali dengan imam
mazhabnja. lalu berpegang kepada tjara-tjara berpikir orang Salaf.
I. IDJTIHAD DAN TAQLID
II
Daم am Qur'an, Sunnah dan Idjma' sahabat, begitu
djuga pendapat imam mazhab empat, terdapat banjak keterangan-keterangan,
jang menundjukkan bahwa idjtihad itu untuk orang-orang jang memenuhi
sjarat mudjtahid wadjib hukumnja, dan tak boleh ditinggalkan. Demikian
pendapat umum dalam dunia Islam.
Jang didjadikan alasan untuk mewadjibkan itu
diantara lain ialah ajat Qur'an. jang bunjinja : "Gunakanlah pikiranmu,
wahai orang jang mempunjai akal" (Al-Hasjar, 59), dan aat Qur'an jang
berbunji : "Djika engkau berbantahan dalam sesuatu perkara,
kembalikanlah perkara itu kepada Allah dan Rasulnja" (AnNisa', 59).
Dalam Sunnah terdapat keterangan jang lebih njata. diantara lain sabda
Nabi : "Beridjtihadlah kamu, segala sesuatu jang didjadikan Tuhan mudah
adanja" (Amadi, Al-Ahkam, III : 170), sabdanja : "Apabila seorang hakim
hendak mendjatuhkan suatu hukum dan ia beridjtihad, kemudian ternjata
hukumnja itu benar, maka ia beroleh dua pahala, dan apabila ternjata
bahwa hukumnja itu salah, maka ia mendapat suatu pahala"
(BuchariMuslim). Dan banjak lagi hadis-hadis jang lain, jang menjuruh
menuntut ilmu, jang menerangkan, bahwa ulama itu amanat Rasul, pelita
bumi, pengganti nabi-nabi atau ahli waris nabi-nabi, jang semuanja
mengandjurkan berfikir, mentjari ilmu dan beridjtihad.
Chalifah Abu Bakar pernah melakukan idjtihad
mengenai perkara warisan kalalah dan Chalifah Umar bin Chattab pun
banjak kali beridjtihad, sambil berkata : "Umar tidak tahu, apakah ia
mentjapai kebenaran atau tidak, tetapi ia tidak mau meninggalkan
idjtihad" (Amdi dan Imam Al-Ghazali).
Menurut Ibn Qajjim Abu Hanifah dan Abu Jusuf pernah
berkata : "Tidak diperkenankan bagi seseorang berkata menggunakan
perkataan kami. hingga ia tahu dari sumber mana kami berkata itu." Mu'in
bin Isa pernah mendengar Imam Malik berkata : 'Aku ini hanja seorang
manusia, dapat berbuat salah dan dan dapat djuga berbuat jang benar.
Lihatlah kepada pendapatku. djika ia sesuai dengan Kitab dan Sunnah,
gunakanlah pendapat itu, tetapi djika tidak sesuai dengan Kitab dan
Sunnah tinggalkanlah pendapat itu." Imam Sjafi'i pernah berkata :
"Meskipun aku sudah mengatakan pikiranku, tetapi djika engkau dapati
Nabi berkata berlainan dengan kataku itu, maka jang benar adalah utjapan
Nabi, dan djanganlah engkau bertaqlid kepadaku. Apabila ada sebuah
Hadis jang menjalani perkataanku dan Hadis itu shah, ikutilah Hadis :tu,
ketahuilah, bahwa itulah mazhab ku." Djuga Imam Ahmad bin Hambal,
seorang Imam jang terkenal kuat memegang Sunnah dan sedapat mungkin
menghindarkan dirinja dari menggunakan pikiran, berkata kepada muridnja :
"Djangan kamu bertaqlid kepadaku, djangan kepada Malik, djangan kepada
Sjafi'i dan djangan pula kepada Sauri, ambillah sesuatu dari sumber
tempat mereka menqambil pikiran itu."
Dari semua uraian diatas ternjata, bahwa taqlid
buta, taqlidul a'ma dalam agama dilarang, dan bahwa beridjtihad itu
wadjib hukumnja bagi orang alim jang berkuasa. Uraian itu menundjukkan
djuga, bahwa seorng mudjtahid mungkin mengalami sa'ah dan benar. Mereka
berfikir setjara merdeka. Berlainan dengan pendapat Mu'tazilah, jang
berkata bahwa tiap-tiap mudjtahid jang menggunakan akalnja pasti benar,
dengan demikian aliran ini seakan-akan memaksa seseorang manusia apa
jang tidak sanggup diperbuatnja. Tentu hal ini tidak diperkenankan pada
siara', dengan alasan firman Tuhan dalam Qur'an : "Tuhan Allah tidak
memberatkan seseorang melainkan sekuasanja" (AlBaqarah, 286).
Disamping wadjib beridjtihad dan haram taqlid ada
satu perkara jang harus diperhatikan, jaitu bahwa seorang mudjtahid atau
qadi tidak terikat kepada keputusn idjihadnja dimasa jang telah lampau,
apabila keputusan ternjata kurang benar. Dalam hal ini Umar ibn Chattab
pernah memperingatkan dalam suratnja kepada Abu Musa Al-Asj'ari sbb. :
"Tidak ada sesuatu jang dapat mentjegahkan engkau memeriksa kembali
keputusan idjtihadmu dalam sesuatu hukum. Mudah-mudahan engkau beroleh
petundjuk dan engkau pulang kepada jang hak. karena hak itu asli
(qadim), tidak dapat dibathalkan oleh sesuatu, dan kembali kepada jang
hak lebih baik dari pada berpegang kepada jang bathil" (Mawardi,
Al-Ahkamus Sulthanijah, dll.).
Mengenai taqlid pendapat umum mengatakan, bahwa
menuruti pendapat orang lain dengan tidak mengetahui hudjdjah jang
diwadjibkan. tidak diperkenankan bagi orang jang berkuasa beridjtihad.
Taqlid hanja dibolehkan kepada orang jang tidak sanggup beridjtihad,
jaitu orang awam. orang jang belum mengetahui apa-apa, murid jang belum
dapat beridjtihad. Bagi mereka berlaku hukum : fatwa untuk orang djahil
sama kekuatannja dengan idjtihad bagi mudjtahid, atau fatwa mudjtahid
untuk orang awam sama dengan dalil sjara' bagi orang mudjtahid. Demikian
tersebut dalam kitab Al-Djami' dan Al-Muwafaqat.
Pendapat ini masuk diakal, karena hidup
bermasjarakat sosia dan ekonomi sekarang ini sibuk dengan urusan-urusan
tersendiri, sehingga tidak setiap orang dapat membuat dirinja ahli dalam
hukum fiqh dan usul. Orang jang sematjam itu dibolehkan mengikuti
perkataan mudjtahid, sesuai dengan firman Tuhan dalam Qur'an : "Tanjaiah
kepada orang alim djika kamu sendiri tidak mengetahui !" (An-Nahal,
43).
Demikianlah perkembangan tjara berfikir dalam dunia
ulama Ahli Sunnah. Sekarang mari kita tindjau pendirian golongan
Sji'ah, jang sebagaimana dapat dilihat hampir tidak berbeda dengan itu,
ketjuali mengenai idjtihad, jang oleh Sji'ah dianggap tetap terbuka
selama-lamanja. Pendirian inipun sesuai dengan pendirian sebahagian
ulama Ahlus Sunnah.
Tentang mengubah sesuatu idjtihad, sebagaimana
pendapat Umar bin Chattab, tidak sadja terdjadi dalam golongan Sji'ah,
tetapi djuga dalam golongan Ahli Sunnah. Ingat akan mazhab Sjafi'i, jang
mempunjai dua aliran berfikir, jang biasa dikenal dengan Qaul Qadim
masa Baghdad, dan Qaul Djadid masa Mesir.
Dr. Mahmassani mengatakan, bahwa kemerdekaan
idjtihad dalam mazhab Sji'ah Isna Asjar Imamijah lebih luas dari Ahli
Sunnah. Pada mereka pintu idjtihad itu selamanja terbuka sampai zaman
sekarang ini. Mereka melekatkan penghargaannja kepada idjtihad lebih
tinggi dari Idjma' dan Qijas. Imam pada mereka berkedudukan sebagai
kepala mudjtahid, sajjidul mudjtahidin, tempat mereka memperoleh ilmu
pengetahuan agama. Imam itu dianggap ma'sum dari pada segala kesalahan;
berlainan sekali dengan kedudukan seorang chalifah dalam kalangan Ahli
Sunnah (Falsafat dst., hal. 141).
Tentu sadja Imam itu boleh beridjtihad dalam
hukum-hukum furu' dan bukan dalam sesuatu jang bertentangan dengan
Qur'an dan Sunnah.
Menurut Sji'ah tiap-tiap orang Islam jang mukallaf
diwadjibkan mengerdjakan segala hukum Islam jang dipikulkan kepadanja
dengan jakin, dan jakin itu menurut mereka diperoleh melalui salah stftu
djalan idjtihad, taqlid dan ihtijath. Pengertian ketiga matjam djalan
ini didjelas-kan dalam kiab-kitab Sji'ah sebagai berikut.
Idjtihad jaitu menetapkan hukum sjara' dengan
pendapatnja jang sudah ditetapkan. Taqlid jaitu berpegang kepada fatwa
seorang mudjtahid dalam mengerdjakan segala amal ibadat. Ihtijath jaitu
beramal dengan suatu tjara jang jakin dari kebiasaan jang belum
diketahui sungguh-sungguh duduk perkara jang sebenarnja.
Bagi orang-orang Sji'ah beridjtihad itu wadjib
kifajah dan apabila ada segolongan manusia mengerdjakan pekerdjaan ini,
terbebaslah manusia jang lain dari pada kewadjiban itu, tetapi apabila
tidak ada jang sanggup melakukan idjtihad itu, maka seluruh masjarakat
Islam berdosa kepada Tuhan. Orang jang sanggup melakukan idjtihad
dinamakan mudjtahid. Mudjtahid itu ada dua matjam, pertama mudjtahid
mutlak dan kedua mudjtahid muttadjiz. Jang dinamakan mudjtahid mutlak
ialah orang Islam jang sanggup menetapkan hukum mengenai seluruh
persoalan fiqh, sedang mudjtahid muttadjiz ialah orang jang berkuasa
menetapkan sesuatu hukum sjara' dalam beberapa hukum furu' fiqih.
Seorang mudjtahid mutlak diwadjibkan beramal dengan hasil idjtihadnja.
Ia boleh djuga beramal setjara ihtijath. Mudjtahid muttadjiz djuga
diwadjibkan beramal dengan hasil idjtihadnja djika ia mungkin dalam
mentjiptakan hukum furu'. Tetapi djika ia tidak mungkin, maka ia dihukum
bukan mudjtahid, dan boleh ia memilih salah satu djalan antara taqlid
dan beramal dengan ihtijath.
Mengenai taqlid diterangkan, bahwa taqlid itu ialah
menuruti tjara berfikir seseorang mudjtahid karena tidak sanggup
beridjtihad sendiri. Amal seorang awam jang tidak didasarkan kepada
taqlid atau ihtijath dianggap bathal. Orang, jang bertaqlid dinamakan
muqallid dan terbahagi atas dua bahagian, pertama awam sematamata, jaitu
seseorang jang tidak mengenal sama sekali hukum sjara'. Kedua muqallid
berilmu, jaitu seseorang jang mempunjai ilmu tentang Islam dalam
garis-garis besarnja, tetapi tidak sanggup menetapkan sesuatu hukum
dengan idjtihad.
Dalam bertaqlid disjaratkan dua perkara sebagai
berikut : pertama amalnja sesuai dengan fatwa mudjtahid jang diikutinja
dalam bertaqlid, kedua benar kasad ibadatnja untuk berbakti kepada Tuhan
dengan setjara jang diputuskan mudjtahid itu.
Seorang muqallid dapat mentjapai fatwa mudjtahid
jang diikutinja dengan salah satu dari pada tiga djalan : pertama ia
mendengar langsung hukum sesuatu masalah pada mudjtahid itu sendiri,
kedua bahwa ada dua orang jang adil dan dapat dipertjajai menjampaikan
fatwa mudjtahid itu kepadanja, boleh djuga hanja oleh seorang sadja ang
dipertjajainja sungguh-sungguh dan dapat menteramkan kejakinannja,
ketiga ia membatja sebaran tertulis, dimana diuraikan fatwa mudjtahid
itu dan keputusan itu hendaknja dapat menenteramkan djiwanja tentang
sahnja dan benarnja penetapan hukum tersebut.
Apabila seorang mudjtahid mati, sedang muqallid
tidak mengetahuinja melainkan sesudah beberapa waktu kemudian, amal
muqallid jang sesuai dengan mudjtahid jang wafat itu sah dalam
taqlidnja. Bahkan dihukum sah dalam beberapa perkara jang berlainan,
asal iang berlainan itu mengenai persoalan-persoalan jng dapat diampuni
dalam agama karena uzur, seperti antara satu kali atau tiga kali
mengutjapkan tasbih, jang fatwanja berbeda antara mudjtahid pertama jang
sudah mati dengan mudjtahid jang dibelakangnja. jang berlaku fatwanja
dalam masa itu. Djadi berlainan djumlah kali tasbih karena berlainan
fatwa mudjtahid tidak merusakkan sahnja sembahjang seorang muqallid
dalam mazhab Sji'ah.
Seorang muqallid harus bertaqlid kepada mudjtahid
jang lebih alim dari jang lain. Djika ia mendengar utjapan dua jang
berlainan dari dua orang mudjtahid, dan orang tundjukkan kepadanja,
bahwa mudjtahid jang seorang itu lebih alim dari jang lain, maka
muqallid itu harus mengikuti mudjtahid jang alim itu. Seorang anak boleh
bertaqlid, dan apabila mudjtahid jang diikutinja, itu mati sebelum
sampai umurnja, anak itu boleh bertaqlid terus kepadanja dengan tidak
usah memilih mudjtahid jang lebih alim.
Orang-orang jang dibolehkan bertaqlid kepadanja,
harus mempunjai sjarat-sjarat tertentu, seperti bahwa ia sudah baligh,
berakal, seorang laki-laki, seorang jang teguh imannja (dalam hal ini
dimaksudkan Sji'ah penganut-penganut mazhab isna Asjarijah), adil.
bersih keturunannja. ahli agama, mempunjai kekuatan ihtijath dan masih
hidup. Tidak dibolehkan bertaqlid pada umumnja kepada mudjtahid jang
sudah mati, meskipun diketahui bahwa ia pada waktu hidupnja adalah
seorang mudjtahid jang lebih adil dari jang lain.
Dalam memilih mudjtahid jang lebih alim ditentukan
dua buah sjarat. Djika ada seorang mudjtahid mengadjarkan perselisihan
pendapat dalam fatwanja, baik setjara garis besar atau setjara
perintjian. seorang muqallid wadjib memilih mudjtahid jang lebih alim.
Djika seorang mudjtahid dalam memberikan fatwa
tidak mengadjarkan perselisihan faham sama sekali, kepadanja dibolehkan
taqlid dengan tidak usah mentjahari orang lain jang lebih alim. Djika
seorang muqallid memerlukan sebuah fatwa, ia boleh memilih seorang
mudjtahid jang sanggup memberikan fatwa itu kepadanja, meskipun ada
disampingnja mudjtahid lain jang lebih alim.
Ihtijath artinja boleh mengerdjakan, boleh
meninggalkan dan boleh mengulang sesuatu amal jang tidak diketahui
tjaranja tetapi dijakini dapat melepaskannja dari suatu perintah agama.
Jang masuk bahagian pertama ialah hukum-hukum jang diragu-ragui antara
wadjib dan tidak haram, mazhab Sji'ah dalam keadaan jang demikian
memerintahkan mengerdjakannja. Mengenai matjam kedua, djika diragu-ragui
antara perintah dan tidak wadjib, ihtijath dalam hal ini menghendaki
agar pekerdjaan jang demikian itu ditinggalkan dan djangan dikerdjakan.
Dalam perkara jang ketiga misalnja mengenai suatu hukum jang
diragu-ragui wadjibnja mengenai dua matjam ibadat, seperti pertanjaan,
apakah sem bahjang jang dilakukannja harus lengkap atau dipendekkan
dalam bentuk qasar, maka ihtijath dalam keadaan begini diulang dua kali,
sekali setjara qasar dan sekali setjara tamam atau lengkap.
Mungkin terdjadi seorang awam tidak pernah dapat
membedakan tjara ihtijath sematjam itu, misalnja karena ahli fiqh
berbeda paham mengenai harus berwudhu' atau mandi dengan air musta'mal
dalam menghilangkan hadas besar. Ihtijath dalam keadaan seperti ini
ialah meninggalkan seluruh matjam itu. Djika orang awam itu mempunjai
air jang tidak musta'mal, maka boleh dilakukannja ihtijath, jaitu
berwudhu' atau mandi dengan air itu. Boleh djuga ia tajammum djika ia
mungkin melakukan pekerdjaan ini.
Demikianlah beberapa tjontoh jang kita ambil dari
kitab Sji'ah sendiri, jaitu kitab "Al-Masa'il al-Muntachabah" (Nedjef,
1382 H), karangan seorang ulama Sji'ah terkenal Sajjid Abui Qasim
Al-Chu'i.
2. SJIAH DAN ILMU PENGETAHUAN
Dalam segala bidang ilmu pengetahuan terdapat
orang-orang Sji'ah sebagai pudjangga-pudjangga jang terkemuka. Dalam
bidang ilmu mantik dan logika, dalam bidang ilmu filsafat, dalam bidang
ilmu djiwa dan pendidikan, dalam bidang ilmu pasti dan segala
pengetahuan jang bertali dengan perhitungan, kita dapati
karangan-karangan penting, jang kadang berdjilid-djilid tebalnja sebagai
buah tangan pudjangga-pudjangga Sji'ah. Bahkan dalam beberapa bidang
ilmu tidak sadja mereka sebagai tokoh-tokoh penting dan pengarang,
tetapi pentjipta, pembentuk dan peletak dasar-dasar dalam bahasa Arab,
jang dengan demikian memperkaja perpustakaan, jang berfaedah sekali
untuk kemadjuan Islam dalam menghadapi dunia luar.
Kita membangga-banggakan Farabi sebagai ahli
filsafat Islam jang pertama, jang disebut orang meletakkan dasar-dasar
kejakinan Islam dalam filsafat dan jang disandjung-sandjungkan orang
sebagai mahaguru kedua, sesudah Aristoteles. Farabi jang besar ini tidak
lain dari Abu Nassar Muhammad bin Ahmad AlFarabi. seorang penganut
aliran Sjiah.
Siapa Ibn Maskawaih, jang mengarang ilmu mantik,
ilmu achlak dan ilmu filsafat, serta karangan-karangan jang lain jang
banjak dipeladjari oleh Al-Ghazali ? Tidak lain dari seorang Sji'ah.
Dengan demikian kita dapati tokoh-tokoh Sji'ah ini dalam ilmu pasti,
seperti Qudamah bin Dja'far, jang meletakkan djuga dasardasar ilmu
berhitung dan ilmu jang mempergunakan angka-angka pelik. Ibn Sina,
seorang Sji'ah Ismailijah, jang terkenal dalam ilmu filsafat Islam
sebagai mahaguru ketiga, dan dalam ilmu ketabiban. ilmu djiwa, dan ilmu
hukum Islam dan perbandingan hukum Islam, seperti kitabnja Bidajatu)
Mudjtahid, iang belum dapat diganti orang karena padat dan lengkap
sampai sekarang ini.
Djika kita mentjari dalam bidang sedjarah dan ilmu
perkembancian aoama-agama tak dapat tidak kita akan bertemu dengan
kitab-kitab jang terpenting, buah tangan Nasiruddin Muhammad At-Thusi.
Demikianlah dapat kita sebutkan sebagai tokoh-tokoh
terkemuka dari Sii'ah itu. Hasan bin Daud Al-Hilli, ahli dalam mantia.
Hasan bin Jusuf. Al-Hilli, ahli pengetahuan alam dan tasawuf, Muhammad
Ar-Razi dalam logika, ahli dalam hukum Islam. Dialaluddin Ad-Duwani,
tokoh jang terkemuka dalam pengupasan mantik, Daud bin Umar Al-An Ahaki,
ahli filsafat dan ilmu djiwa, Bahruddin Al-Amilli, ahli ilmu pasti,
ilmu falak, ilmu berhitung, sebagaimana masjhur djuga kemudian seorang
muridnja Sjaich Djawad Al-Kazimi. Semuanja meninggalkan
karangan-karangannja jang penting.
Pada achirnja dapat kita sebutkan sebagai
pudjangga-pudjangga Sji'ah adalah Ni'matullah Al-Djazai'ri Sadrudin
Asj-Sjirazi, Mulahaddi As-Sibzawari, Sjaich Hadi Al-Bagdadi, Anibathi,
Isaghudji, dan lain-lain, semuanja adalah djago-djago dan
pengarangpengarang Sji'ah dalam mantik, filsafat, ilmu djiwa, ilmu
pasti, ilmu hukum dan ilmu alam.
Terutama dalam ilmu bintang dan ilmu falak sangat
banjak terdapat pengarang-pengarang Sji'ah Imamijah seperti An-Nubachti,
Al-Barqi, Al-Masudi, Al-Djakedi, Asj-Sjamsjathi, An-Nadjasi; dan banjak
sekali djika kita sebut seorang-seorang. Ibn Thaus mengarang chusus
sebuah kitab jang menjebutkan berpuluh dan beratus orang ulama Sji'ah
sebagai ahli ilmu bintang.
Bahkan dalam ilmu-ilmu jang ketjil-ketjilpun kita
dapati pengarang-pengarang terkemuka, jang djarang diketahui orang,
bahwa mereka itu penganut Sji'ah seperti jang dikemukakan namanja dalam
kitab Fahrasat Ibn Nadim dalam bidang ilmu ta'bir mimpi, diantaranja
Al-Barqi, An-Nadjasi, Al-Ijasi, Al-Kulaini dan lain-lain.
Lebih penting dari itu kita ingin mengemukakan
beberapa nama dalam bidang ilmu kedokteran, jang telah dimulai oleh
salah seorang Imam dua belas, jaitu Imam Ali bin Musa Ar-Ridha.
Selandjutnja Ibn Fudhal, Al-Qummi, dengan sebuah kitab besar mengenai
ilmu kedokteran. Selandjutnja Al-Tha'i, Al-Barqi, AlIjasi, Ibn Sina,
jang sudah kita sebutkan diatas An-Nafisi, AlAsbahani tabib An-Nadjadi
dan keluarganja, Al-Miraz, Karmana Sjahi, jang mengarang kitab penjakit
anak-anak, sudah diterdjemahkan beberapa kali dalam bahasa Perantjis.
Mengenai ilmu bahasa dan sastra Arab,
pudjangga-pudjangga Sji'ah telah mentjapai puntjaknja. Darah Ali bin Abi
Thalib. jang tidak dapat disangkal adalah seorang pudjangga dan penjair
kebanggaan Islam, jang nada iramanja masih tersimpan sampai sekarang
dalam beberapa djilid kitab Nahdjul Balaghah, mengalir kepada
penganut-penganut Sji'ah. Orang jang mula2 meletakkan ilmu Nahu adalah
Abui Aswad Ad-Du'ali, salah seorang tabi'in iang terpenting, adalah
seorang jang memihak kepada Ali bin Abi Thalib. dan jang banjak
'mengambil ilmu sadjak dan Sjair Arab dari chalifah keempat ini.
Pengakuan, bahwa jang mula-mula menjusun ilmu Nahu itu Abdulrahman bin
Harmuz atau Nasar bin Asim, sebagaimana tertjatat dalam kitab Ibn Nadim,
tidak benar semua orang itu mengambil dari Abui Aswad Ad-Du'ali.
Jang mula-mula menjiarkan ilmu Nahu di Basrah dan
Kufah pun ulama Sji'ah. Di Basrah terdapat Chalil bim Ahmad Al-Farahidi
seorang jang ahli tentang ilmu alat itu, ia mendjadi guru dari
Sibawaihi, seorang pudjangga dalam ilmu Nahu jang tak ada bandingannja.
Dalam pada itu di Kufah terdapat Abu Dja'far Muhammad bin Hasan
Ar-Ru'asi, anak paman Muaz bin Salim bin Abi Sarah, termasuk keluarga
ahli bait Nabi. Sedang pudjangga jang kedua di Kufah disebut Al-Kasa'i,
jang ahli dalam ilmu ke-Araban, berguru kepada Ar-Ru'asi. Dalam ilmu
saraf djuga kehormatan kembali kepada Sji'ah. Bukankah peletak batu
pertama dalam ilmu ini Al-Harra'?. Meskipun kehormatan ini diberikan
kepada Al-Mazani dan As-Sajuti, atau kepada jang lain, seperti Ibn
Duraid, Ibn Chaluwaihi, An-Nadjah, Al-Alwi, AlHuseini, Al-Asrabadi,
Al-Amili, semuanja adalah pengarangpengarang Sji'ah.
Demikianlah kita batja, bahwa jang mula-mula
memperbuat dan menjusun ilmu balaghah ialah Al-Marzabani Al-Churasani di
Baghdad, djuga ulama Sji'ah, jang kemudian disusul oleh AlDjurdjani
dalam ilmu ma'ani dan bajan, sebagaimana djuga peletak batu pertama
untuk ilmu badi', jaitu penjair Ibrahim bin Ali bin Harmah. Saja tidak
ingin menjebutkan semua nama-nama penjair jang terkemuka sedjak zaman
Nabi, sebagaimana telah) didaftarkan oleh Sajjid Muhsin Al-Amin, dalam
bukunja "A'jamisj Sji'ah" Beirut, 1960, jang memakan berpuluh-puluh
halaman kitabnja, sampai kepada Hamzah paman Nabi, karena kita jang
bukan Sji'ahpun menganggap semua mereka adalah penjair-penjair jang
ulung dalam Islam. Siapa jang tidak mau mengaku penjair Ali bin Abi
Thalib, Fatimah Zuhra', Fadhal bin Abbas, Rabi'ah bin Haris, Abbas bin
Abdul Muthalib, Hasan bin Ali, Husein bin Ali, Abdullah bin Abi Sufjan,
Abdullah bin Abbas, Ummu Hakim, Al-Dju'di Abui Haisam, Qais bin Sa'ad
bin Ubbadah, dan sebagainja, semuanja adalah penjair-penjair jang ulung
pada hari-hari pertama Islam, bukan hanja kepunjaan Sji'ah, tapi
kepunjaan Islam umumnja.
Lebih penting saja akui, bahwa ulama-ulama Sji'ah
dan pudjangganja memang telah djflja dalam menjusun ilmu dan kitabkitab
Hadis tersendiri, ilmu dan kitab-kitab fiqh tersendiri, ilmu dan
kitab-kitab tafsir tersendiri, kitab-kitab besar dan penting, jang tidak
kalah mutunja dengan karangan-karangan Ahli Sunnah. Tetapi persoalan
ini tidak saja masukkan kedalam pasal ini, tetapi saja bitjarakan pada
waktu memperkatakan Sji'ah dan Tafsir, Sji'ah dan Hadis, Sji'ah dan
Fiqh.
3. SJI'AH DAN RATIONALISME
Dalam bahagian ini akan. kita singgung suatu sifat
Sji'ah jang penting, jaitu penggunaan akal atau rationalisme dalam
menetapkan sesuatu hukum. Dalam hal ini kadang-kadang mereka sedjalan
tjara berfikir dengan Mazhab Az-Zahiri atau Mu'tazilah.
Sementara Ahli Sunnah berpegang kepada empat pokok
hukum, adillatul ahkam atau usul fiqh, jaitu Qur'an, Sunnah, Idjma' dan
Qijas, Sji'ah hanja mengakui Qur'an dan Sunnah sebagai pokok hukum Islam
jang tidak dapat diganggu gugat lagi. Mereka mengakui, bahwa Qur'an
sudah lengkap segala-galanja dan Sunnah menambah menjempurnakannja,
sehingga kedua-duanja merupakan sumber Islam dalam masa Nabi jang harus
dilaksanakan oleh semua orang Islam. Orang-orang Islam berpedoman kepada
kedua sumber ini, baik dalam ibadat maupun dalam perkara jang lain.
Nabi mengirimkan ketempat-tempat jang baharu menganut Islam orang-orang
jang akan mengadjarkan hukum sebagaimana jang tersebut dalam Qur'an,
ditambah dgn. ilmu jang mereka ketahui dari utjapan dan fatwa Nabi.
Atjapkali djuga Nabi mengirimkan surat-surat jang berisi sebahagian dari
pada hukum Islam kenegara-negara, daerah-daerah dan penduduk-penduk
suatu tempat, radja-radja. penguasa dan orang-orang jang tertentu. Ia
pernah mengirimkan surat ke Jaman dan Hamdan mengenai hukum zakat,
sedekah dan beberapa hal mengenai nikah dan perkawinan (Al-Husaini,
„Tarich Fiqh Al-Dja'fari". hal. 181-182).
Sesudah wafat Nabi terdjadi banjak perkara jang
tidak tersua dalam masa hidupnja. terutama karena bertambah luasnja
daerah Islam. Kebutuhan kepada hukum bertambah besar, dan oleh karena
orang Islam tidak sanggup mengeluarkan hukum itu dari Qur'an dan Sunnah,
mereka lari kepada dua sumber lain. jaitu Idjma' dan Qijas. Ibn Chaldun
menerangkan dalam "Muqaddimah"nja, bahwa Idima' dan Qijas ini sudah
terdapat dalam masa Sahabat.
Tjara menghasilkan Idjma' ini ialah, bahwa Chalifah
bermusjawarat dengan sebahagian orang Islam mengenai sesuatu masalah
hukum, mereka menjatakan pikirannja, dan kemudian chalifah menetapkan
sesuatu fatwa, janq dinamakan Idjma'. Lih. "Tarich Tasjri' al-Islami",
karangan Chudhari, hal. 115. Disana disebut, bahwa kadang-kadang
orang-orang jang berkumpul itu dalam mengambil keputusan Idjma' tidak
meniebut nas dari Qur'an dan Hadis. Dalam sebuah surat Umar ibn Chattab
kepada Qadi Sjuraih tersebut susuatu mengenai Idjma' sebagai pokok hukum
sesudah Qur'an dan Sunnah. Amir Asj-Sju'bi mentjeriterakan, bahwa Umar
mengirim surat kepada Qadi itu, jang bunjinja : "Apabila engkau
menghadapi sesuatu perkara, hukumlah dengan Qur'an, tetapi djika tidak
terdapat sesuatu dalam Qur'an, djuga tidak dalam Sunnah Nabi dan tidak
ada pembijaraan seseorang mengenai itu, djika engkau suka, gunakanlah
pikiranmu sendiri."
Idjma' jang disebut oleh Chudhari dan Ibn Chaldun
itu sudah menimbulkan pembitjaraan jang hebat antara Malik dan
pengikutnja dengan Al-Lais bin Sa'ad, ahli fiqh Mesir, dan pengikutnja.
Malik berpendapat, bahwa Idjma' jang didjadikan pokok hukum itu ialah
Idjma' orang Madinah, sedang pihak jang lain berpendirian boleh djuga
idjma' orang lain Madinah, asal tidak bertentangan dengan ajat Qur'an,
diantaranja Surat An-Nisa' IH dan Surat Al-Baqarah 143. Mereka jang
berpegang kepada Idjma' sebagai pokok hukum, mendasarkan djuga
pendiriannja kepada utjapan Nabi jang diriwajatkan oleh Ibn Mas'ud,
bunjinja : "Ada tiga perkara jang tidak dapat membelenggu hati umat
Islam, jaitu ichlas amalnja bagi Allah, memberi nasihat kepada semua
orang Islam, dan selalu hidup dalam djama'ah." Begitu djuga kepada
utjapan Umar bin Chattab dikala ia berchutbah : "Mereka jang berhasrat
sorga, selalu bersatu padu dalam djama'ah, sjetan dekat kepada
perseorangan dan djauh kepada orang jang ingin tetap bersama
teman-temannja." Ahli Sunnah mendasarkan pendiriannja kepada Hadis:
"Ummatku tidak akan seia sekata dalam kesesatan, dan tangan Tuhan
bersama djama'ah."
Berdasarkan kepada alasan ini Malik menetapkan,
bahwa Idjma' jang wadjib diturut ialah Idjma' Ahli Madinah, karena
Madinah itu adalah tempat Hidjrah Nabi, tempat turun wahju, tempat Islam
sudah kokoh dan merupakan negara, dimana garis2 Sjari'at sudah mendjadi
satu, dimana berkumpul sahabat2 Muhadjirin dan Ansar dalam masa jang
lama, jang mengetahui sebab-sebab turun wahju dan mengamalkannja.
Penduduk Madinah itu terdiri dari orang-orang jang mengenal
sungguh-sungguh akan Nabi dan akan tjara ia mendjatuhkan hukum agama,
dan dengan demikian mereka ahli dalam agama dan pokok-pokoknja.
Sedjarah pokok hukum jang keempat jaitu Qijas atau
jang atjapkali dinamakan djuga Ra'ji, adalah sebagai berikut. Menurut
Chudhari jang mula-mula menggunakannja ialah Umar bin Chattab.
Sahabat-sahabat jang menghadapi perkara jang tak ada penyelesaian dalam
Qur'an dan Sunnah, achirnja lari kepada Qijas. Diantara keterangannja,
bahwa Umar pernah menulis surat "kepada Abu Musa Al-Asj'ari : "Peladjari
perkara-perkara dan tjontoh- tjontoh, kemudian qijaskan atau
perbandingkan perkara itu antara satu sama lain". Barangkali hal inilah
jang menjebabkan Ibn Chaldun berkata, bahwa Idjma' dan Qijas sudah
terdapat dalam masa Sahabat, dan kemudian pokok hukum fiqh itu mendjadi
empat, jaitu Qur'an, Sunnah, Idjma' dan Qijas.
Dr. Muhammad Jusuf dalam kitabnja "Tarichul Fiqhil
Islami" (hal. 242) mengemukakan pendapat Imam Abu Bakar AsSarchasi,
bahwa mazhab Sahabat, kemudian diikuti oleh Tabi'in, membolehkan Qijas
untuk beroleh penetapan hukum Sjara'. Bahkan Dr. Muhammad Jusuf tsb.
berpendapat lebih tjondong, bahwa Nabi Muhammad sendiri-lah jang
mula-mula meletakkan dasar Qijas, jaitu tatkala ia mengirimkan Mu'az
memimpin peradilan di Jaman. Konon Nabi bertanja : "Bagaimana
pendapatmu, djika kepadamu dihadapkan perselisihan antara dua orang ?"
Djawab Mu'az : "Aku akan mengadilinja menurut Kitab Allah." Nabi
bertanja pula : "Djika tidak terdapat dalam Kitab Allah ?" Djawab Mu'az :
"Aku tjahari dalam Sunnah." Nabi kemudian bertanja lagi : "Djika tidak
ada dalam Sunnah ?" Kata Mu'az : "Aku beridjtihad dengan pikiranku."
Nabi menepuk dada Mu'az dengan tangannja, seraja mengutjapkan : "Segala
pudji bagi Tuhan, jang telah membuat sepakat antara Rasul dan pesuruhnja
sebagaimana jang disukai oleh Rasul itu."
Ibn Qajjim menerangkan dalam kitabnja 'Tlamul
Muwaqqi'in", bahwa Muharriz Al-Mudladji sudah menggunakan Qijas dalam
masa Nabi dan menghukumkan dengan djalan Qijas, bahwa Usamah benar anak
Zaid bin Harisah. Djuga diterangkan, bahwa dalam Qur'an banjak terdapat
hukum jang dihadapkan kepada laki-laki, tetapi dapat diqijaskan untuk
perempuan, misalnja mengenai tuduhan zina terhadap djanda dsb. Begitu
djuga, djika Qur'an tidak membolehkan utjapan "oh !" kepada orang tua,
apalagi "tjis" atau „bedebah", djika darah babi sadja tidak dibolehkan,
apalagi gemuknja dan dagingnja, dsb.
Bagaimanakah pendirian Sji'ah terhadap Idjma' dan
Qijas jang diterima oleh Ahli Sunnah sebagai dua pokok hukum sesudah
Qur'an dan Sunnah itu ?
Sji'ah sepakat menerima Qur'an dan Sunnah sebagai
pokok dasar hukum-hukum agama atau fiqh. Dari zaman Nabi sampai sekarang
ini Qur'an itu diterima sebagai sumber pertama untuk penetapan hukum,
karena peraturan-peraturan jang ada dalam Qur'an itu dianggap sudah
lengkap mengenai ibadat, mu'amalat, perorangan, pidana dan perdata jang
tidak kurang dari lima ratus ajat, semuanja dapat mengisi hukum fiqh.
Al-Djazairi dan Al-Miqdadi telah menielidiki hal ini dan mengarana
sebuah buku bernama "Kanaul Irfan fi Fiqhil Qur'an" dan "Qala'idid
Durar". Dan oleh karena itu djuga Tuhan berkata dalam Surat Àn-Nahal
ajat 44 : "Kami turunkan kepadamu Qur'an ini, agar engkau terangkan
kepada manusia apa jang diperintahkan kepada mereka dan agar mereka
berpikir."
Sunnah bagi orang-orang Sji'ah adalah penjempurnaan
bagi Qur'an, merupakan satu sumber, jang tidak boleh diragu-ragui lagi
akan kebenarannja, ia hampir tidak berbeda dengan Qur'an, karena Tuhan
mengakui, bahwa Nabi Muhammad "tidak menuturkan sesuatu karena hawa
nafsunja, ketjuali firman jang diwahjukan Tuhan kepadanja" (Qur'an).
Sji'ah menganggap Sunnah itu sebagai pokok dasar hukum jang kedua, jang
diwadjibkan kepada tiap orang Islam mengamalkannja, sebagaimana
diperintahkan oleh Tuhan dalam Qur'an : "Apa jang disampaikan oleh Rasul
laksanakan, dan apa jang dilarangnja djauhi" (Qur'an, Alr Hasfcir, 7).
Kedua pokok ini dikerdjakan dalam masa sahabat dan
sesudahnja. Oleh karena itu Sji'ah pun kembali kepada kedua pokok dasar
ini. Meskipun orang lain menambah dasar agama itu dengan Ra'ji dan
Idjma', Istihsan dsb. karena mereka mengharuskannja, Sji'ah tetap
berpegang hanja kepada dua pokok jang asal ini, serta menggunakan akal
dalam menggali hukum-hukumnja. Dengan demikian terdapatlah sedikit
perbedaan mengenai masalah Sji'ah, seperti kawin mut'ah, menjapu atau
mengusap kaki dengan air, mengenai tatak tiga jang diutjapkan sekaligus
dll.
Adapun Idjma', baik jang didasarkan kepada pendapat
beberapa orang Sahabat, sebagaimana jang dikatakan Chudhari, atau jang
dibatasi oleh Malik kepada Ahli Madinah sadja, karena katanja satu2
tempat turun wahju dan satu' tempat banjak Sahabat-sahabat bergaul
dengan Nabi serta memahami rahasia-rahasia wahju itu, maupun jang
membolehkan idjma' itu digunakan oleh semua orang Islam lain Ahli
Madinah, sebagaimana dikemukakan oleh Al-Lais bin Sa'ad, seorang ahli
fiqh Mesir, semua idjma' matjam itu tidak dapat diterima oleh orang
Sji'ah. Pendapat-pendapat Ahli fiqh jang diambil dengan idjma' sematjam
itu tidak mendjadi dasar hukum bagi orang Islam, karena semuanja
berdasarkan kepada persangkaan atau dhan semata-mata. sedang dhan itu
tidak dapat menjinggjung kebenaran (Qur'an). Mereka menganggap idjma'
jang seperti itu hanja sebagai suatu pendapat jang tidak mengikat dengan
wadjib.
Orang-orang Sji'ah mengakui, bahwa ahli-ahli fiqh
dan ahliahli hadis mereka dalam masa Sahabat dan Tabi'-tabi'in menjebut
perkataan idjma'. tetapi idjma' jang dimaksudkan itu ialah idjma' jang
disepakati oleh semua ulama atas sesuatu hukum, dan Imam Ali turut
bersama mereka. Idjma' jang seperti itu tidak lain sifatnja melainkan
suatu pendjelasan daripada kedua sumber hukum pertama, jaitu Qur'an dam
Sunnah. Sedjalk hari-hari pertama golongan Sji'ah tidak mau berpegang
selalu kepada Qur'aa dan Sunnah itu dalam menetapkan sesuatu hukum
agama, karena agama itu adalah peraturan Tuhan, oleh karena itu tidak
boleh ditambah dengan peraturan jang ditetapkan oleh manusia, jang harus
dipisahkan daripada peraturan Tuhan itu.
Mengenai Qijas, jang oleh Ahli Sunnah dibenarkan
sebagai sumber hukum agama jang keempat, jang dikatakan pernah terdjadi
dalam masa Sahabat, jang diberi sifat dengan memperbandingkan suatu
perkara dengan perkara jana sudah terdapat hukumnja dalam masa Nabi dan
Sahabat itu, oleh orang Sji'ah tidak dapat diterima dan dianggap suatu
bid'ah dalam agama. Mereka tidak mau beramal dengan hukum jang
berdasarkan qijas. Diantara alasan-alasannja mereka kemukakan sebuah
utjapan dari Ali bin Abi Thalib, jang berkata : "Djikalau diperkenankan
menggunakan qijas, maka dalam perkara air sembahjang lebih dipentingkan
menjapu kaki dalam chuf daripada diluarnja." Pernah Imam Dja'far Shadiq
berkata kepada Abu Hanifah: "Takutilah Tuhanmu daripada engkau
menggunakan qijas dengan pikiranmu. Pada hari kemudian kita akan
berhadapan dengan Tuhan. Aku berkata "telah bersabda Rasulullah", sedang
engkau berkata "begini pikiranku dan begini qijasku." Tjobalah pikir,
hai Abu Hanifah, apa jang akan diperbuat Allah terhadap kita ?"
Orang Sji'ah mempunjai alasan, tidak mempergunakan
qijas sebagai sumber hukum agama, karena sjari' jang membuat agama
hanjalah Allah sendiri, sedang sjari' dalam hukum qijas adalah manusia.
Mereka menolak kebenaran keterangan-keterangan jang dikemukakan diatas,
bahwa qijas itu sudah ada dalam masa Nabi dan diperkenankan
menggunakannja. Penetapan Nabi kpd. Mu'az bukanlah alasan adanja qijas,
tetapi alasan harus menggunakan akal dalam mendjelaskan Kitab dan
Sunnah, karena menggunakan akal itu diwadjibkan kepada qadi, mufti, jang
akan menjelesaikan perkara-perkara, dan akan mendjelaskan kepada orang
banjak persoalan halal dan haram. Orang Sji'alh tidak dapat menerima
qijas itu pernah terdjadi dalam masa Sahabat dan merupakan suatu pikiran
umum jang sudah disetudjui oleh semuanja. Selain daripada utjapan Ali
bin Abi Thalib, Sji'ah mengemukakan utjapan Ibn Mas'ud, jang menolak
qijas demikian : "Djika kamu gunakan qijjas itu dalam agamamu, nistjaja
kamu akan menghalalkan banjak daripada apa jang diharamkan Allah, dan
mengharamkan banjak daripada apa jang dihalalkan Allah bagimu". Djuga
mereka kemukakan utjapan Sju'bi jang berbunji demikian : "Apabila engkau
ditanjai tentang sesuatu masalah, maka djanganlah engkau pergunakan
qijas dengan memperbandingbandingkan persoalan, karena engkau akan
menghalalkan banjak jang haram dan mengharamkan banjak jang halal,
sedang engkau akan binasa, djika engkau meninggalkan perdjalanan Nabi
dan Sahabat, lalu menggunakan ukuran qijas atau perbandingan dalam
agama".
Jang menolak Idjma' ini bukan sadja Sji'ah, tetapi
djuga Mu'tazilah dan Ibrahim an-Nizam menolak mengamalkannja,
sebagaimana djuga Daud bin Ali al-Asfahani, jang terkenal dengan nama
Az-Zahiri (mgl. 370 H), Dja'far bin Harb, Dja'far bin Misjah, Muhammad
bin Abdullah al-Askafi, dll. semuanja mengemukakan alasan tidak
membolehkan beramal dengan idjma' dan qijas sematjam itu.
Keterangan-keterangan mengenai sikap Sji'ah
terhadap Idjma' dan Qijas ini, saja abil dari kitab "Tarichul Fiqhil
Djb'rari" (hal. 181 — 192), karangan Hasjim Ma'ruf al-Husaini. Saja
persilahkan pembatja melihat kesana lebih djauh.
4. HUKUM SJARA' DAN PENGUASA
Sudah kita terangkan, bahwa fiqh Islam itu
mengandung dua unsur peraturan, jaitu peraturan agama dan peraturan
hukum tata tertib keamanan. Pembuat hukum atau Sjari' pertama ialah
Allah S.W.T., jang menetapkan peraturan ini dalam Qur'an dan melalui
Sunnah dari pada Nabi Muhammad S.A.W. Oleh karena itu
peraturan-peraturan itu dapat dianggap peraturan ketuhanan, jang berbeda
dasar dan sifatnja dari peraturan-peraturan Barat dan
peraturan-peraturan jang diperbuat oleh manusia.
Meskipun demikian sedjarah hukum Islam
menundjukkan, bahwa chalifah atau penguasa bukan tidak turut dalam
mentjiptakan peraturan-peraturan untuk masjarakat Islam. Mereka
diberikan kemerdekaan 'beridjtihad tiap-tiap ada kebutuhan akan
bertindak dalam menjelesaikan sesuatu kemaslahatan umum bagi
masjarakatnja. Keistimewaan mengadakan hukum kesempurnaan ini dan
kewadjiban jang dipikulkan kepada rakjat untuk mendjalankannja
didasarkan atas dan berpedoman kepada Qur'an, Sunnah dan Idjma'.
Dalam Qur'an tersebut : "Tha'atlah kepada Allah,
tha'atlah kepada Rasul dan orang-orang jang diserahi urusan dari padamu"
(Surat An-Nisa' IV: 59). Dan jang dimaksudkan dengan orang-orang jang
diserahi urusan itu ialah chalifah dan sulthan atau penguasa-penguasa
negeri.
Dalam Sunnah terdapat Hadis-Hadis jang sahih,
diantaranja berbunji : "Barang siapa tha'at kepadaku (Nabi Muhammad),
sebenarnja ia tha'at kepada Allah. Barang siapa menentang kepadaku
(ma'sijat), maka sebenarnja ia menentang kepada Allah. Barang siapa
tha'at kepada pemerintah atau penguasa, sebenarnja ia tha'at kepadaku,
barang siapa menentang pemerintah, sebenarnja ia menentang daku. Semua
perintah harus kamu dengar dan tha'ati, meskipun dikeluarkan untukmu
oleh seorang budak Habsji jang kepalanja hitam sekalipun. Barang siapa
jang bentji kepada pemerintahnja, ia harus sabar, karena tidak
seorangpun meninggalkan pemerintah, meskipun sedjengkal, djika mati,
nistjaja ia mati seperti orang djahilijah. Bukankah dapat seseorang jang
diperintahkan sesuatu ma'siat terhadap Allah dapat ia membentji ma'siat
itu dengan tidak usah melepaskan tangan mentha'atinja ?" (Bûcha'
ri-Muslim).
Demikian djuga sesuai dengan Idjma' Sahabat, karena
Sahabat-Sahabat Nabi hampir semuanja beridjtihad, jang hasilnja me
rupakan sebahagian dari pada pokok hukum agama.
Dr. Sobhi Mahmassani dalam kitabnja "The Philosophy
of Jurisprudence in Islam" (Beirut, 1952), menganggap perlu kemerdekaan
Idjtihad ini diberikan kepada penguasa, karena mereka membutuhkan alat
dalam mendjalankan peraturan-peraturan Sjara' dari persoalan-persoalan
baru jang hidup dalam masjarakat. Djuga Idjtihad ini dapat digunakan
sebagai siasat agama oleh penguasa, imam, wali negeri, guna mendjaga
kemaslahatan umum, mengurus kepentingan manusia dalam persoalan
mu'amalat dalam urusan sitaan, pendidikan bagi orang-orang jang
mengerdjakan kedjahatan sesuai dengan berat ringannja dosa mereka
disesuaikan dengan berat ringannja hukuman siksa, buangan dan hukuman
mati.
Maka kita lihat tjontoh-tjontoh dari zaman Sahabat
dalam keberanian mengubahkan tafsir nas jang sudah tetap, apabila mereka
menghadapi sesuatu perkara jang mengenai siasat sjari'at atau
kemaslahatan umum. Dalam perkara-perkara sematjam itu selalu mereka
menggunakan kebidjaksanaan jang sedjalan dengan masa dan zaman dalam
mentafsirkan ajat-ajat Qur'an dan Sunnah. Tjontoh-tjontoh ini banjak
kita dapati dalam masa pemerintahan Umar bin Chattab, misalnja dalam
mentjatuhkan hukum had hagian mu'allaf, jang penerimanja sudah
bertahun-tahun belum masuk Islam, dalam membuang orang berzina keluar
negeri karena salah seorang dari padanja tidak tersua untuk didengar
keterangannja, dll. Semuanja dilakukan Umar berdasarkan nas Qur'an dan
Hadis jang sama, tetapi dengan tafsir dan idjtihad jang sesuai dengan
keperluan masa.
Ada sesuatu persoalan jang sukar bagi seorang
Chalifah untuk berlaku adil dalam mendjatuhkan hukuman sjari'at ini,
jaitu djika ia terlalu fanatik menganut mazhab tertentu atau idjtihad
tertentu dalam mengadili sesuatu perkara. Sedjarah Islam banjak
mengemukakan hakim-hakim atau qadi radja-radja jang demikian, jang
akibatnja bukan mentjapai keadilan tetapi bahkan menimbulkan
kezaliman-kezaliman jang sangat menjedihkan.
Chalifah-chalifah Bani Umajjah dan Bani Abbas
menjerang semua mazhab lain jang bertentangan dengan pendiriannja dan
siasatnja. Abu Dja'far Al-Mansur dan Harun Ar-Rasjid hampir memaksa
seluruh warga negaranja menganut mazhab Malik, djikalau Imam ini tidak
menolak keangkatannja.
Keadaan jang sematjam ini pada zaman itu telah
mendjadi turutan jang ditjontoh diteladani oleh keradjaan-keradjaan
Islam pada waktu itu. Keradjaan Fathimijah mengambil Ismailijah sebagai
madzhab Imamijah mengambil Dja'fatrijah atau Sjafi'i, Jaman mengambil
mazhab Zaidijah, Ajjubijah mengambil Sjafi'i, Wabhahabi mengambil
Hanbali. Ustmanijah atau Turki mengambil Hanafi sebagai mazhab.
Pemilihan mazhab tertentu dalam ibadat dan
mu'amalat tentu baik, djika tidak dilakukan setjara paksaan oleh
penguasa dalam hukum perdata dan pidana kepada anggota masjarakatnja.
Maka oleh karena itu konon Sji'ah membuka dua
kesempatan dalam mentjahari keadilan ini : Pertama membuka pintu
idjtihad seluas-luasnja dan kedua membuat suatu peraturan dalam
pengangkatan imam, bahwa ia hendaklah bersifat ma'sum, termasuk tidak
melakukan sesuatu jang tidak adil.
Dalam anggapan Sji'ah Idjma' itu ialah kesepakatan
jang bulat atas perkataan imam jang ma'sum, bukan hanja kesepakatan
beberapa ulama atas suatu ma'alah jang tertentu. Idjma' Sahabat dianggap
terikat dan wad jib ditha'ati, apabila semua Sahabat sepaham mengenai
keputusan sesuatu persoalan. Djika masih ada Sahabat jang berlainan
fahamnja mengenai keputusan itu, maka kesepakatan atau idjma' tersebut
tidak dianggap terikat, meskipun jang membuat idjma' itu Sahabat Nabi.
Dalam kitab-kitab Sji'ah kita dapati keterangannja,
bahwa orang tidak terikat kepada idjihad seorang imam jang sudah mati,
boleh diturutnja dan boleh tidak. Kemerdekaan memilih dan berfikir ada
padanja, meskipun ia merupakan penganut mazhab Sji'ah jang dipimpin oleh
Imam itu. Demikian kita batja dalam kitab "AI-Masa'ik! Mun«achablah"
(Nedjef, 1382 H), karangan Abui Qasim AI-Chu'i, jang barangkali akan
kita bitjarakan lagi dalam salah satu bahagian tersendiri.
Rupanja Sji'ah sangat tertarik kepada tjara-tjara
Ali bin Thalib mengambil kebidjaksanaannja dalam memutuskan sesuatu
hukum. Kita kemukakan beberapa tjontoh sebagai berikut.
Pernah dihadapkan kepada Umar bin Chattab seorang
perempuan jang sudah melakukan zina. Sesuai dengan hukum jang berlaku
Umar menjuruh meradjamnja. Tatkala Ali tahu akan keadaan perempuan itu,
bahwa ia gila, lalu disuruhnja membebaskannya dari pada hukum radjam,
seraja berkata kepada Chalifah Umar : "Perempuan ini gila dan Rasulullah
berkata : Telah diangkat qalam dari tiga golongan manusia (artinja
tidak termasuk hitungan), jaitu orang tidur sampai ia terdjaga kembali,
kanakkanak sampai ia bermimpi dan orang gila sampai ia sadar akan
dirinja."
Tjontoh jang lain ialah bahwa pernah dibawa kedepan
Chalifah Abu Bakar seorang laki-laki jang sudah minum arak. Chalifah
Abu Bakar mendjatuhkan hukuman had. Tetapi orang itu mengaku, bahwa ia
belum mengetahui haramnja minuman itu. karena ia hidup dalam keluarga
jang menghalalkannja. Abu Bakar bingung, bagaimana menghukumnja. Perkara
itu diserahkannja kepada Ali. Ali memeriksanja, apa ada diantara orang
Muhadjirin dan Anshar jang pernah membatjakan, kepada peminum itu ajat
Qur'an tentang haramnja chamar. Tatkala temjata, bahwa peminum itu
menurut Muhadjirin dan Anshar belum pernah mendengar ajat Qur'an jang
mengharamkan chamar, peminum itu lalu dibebaskan dari hukuman.
Tjontoh-tjontoh kebidjaksanaan Ali, jang selalu
menggunakan fikirannja dalam menetapkan sesuatu hukum, banjak sekali,
dapat dibatja kembali dalam kitab "Tarichol Fiqhil Dja'fari", karangan
Al-Husaini, terutama bab mengenai fiqh Islam sesudah wafat Nabi, halaman
152—181.
VIII. AHLUS SUNNAH DAN SJI'AH
1. MURID-MURID DJA'FAR SHADIQ JANG TERPENTING
I
Abdul Abbas bin 'Uqbah mengarang sebuah kitab
sedjarah hidup rawi-rawi hadis, jang berasal daripada murid-murid
Dja'far Shadiq, dan menjebut didalamnja, bahwa murid-murid jang
terpenting itu tidak kurang dari empat ribu orang. Sjech Al-Mufid
menerangkan dalam kitabnja "Al-Irsjad", bahwa pengarang-pengarang hadis
pernah mengumpulkan rawi-rawi Imam As-Shadiq, jang telah dipertjajai
dari bermatjam tjorak dan ragam, djumlah mereka empat ribu orang
banjaknja. Djumlah empat ribu ini dari murid jang tetap dan penting,
tidak dapat disangkal lagi, berita ini dibenarkan oleh
pengarang-pengarang jang terkenal dalam kitabnja masing-masing, seperti
Muhammad bin Ah al-Fattal, Ali bin Abdul Hamid an-Nabli, At-Thabrisi,
Ibn Sjarasjaub, AlMuhaqqiq, Asj-Sjahid, jang menerangkan djuga bahwa
Dja'far Shadiq pernah mendjawab empat ratus masalah agama dalam sebuah
karangan jang disiarkan kepada empat ribu orang, tersebar diseluruh
Irak, Sjam dan Hidjaz. Selandjutnja Sjech Husain ajah Allamah al-Bahbani
jang mentjeriterakan, bahwa Imam As-Shadiq disamping mengadjar sebagai
seorang guru besar jang dihormati, djuga mengarang karangan-karangan
jang dikagumi oleh ulamaulama dan ahli fiqh jang terkemuka ketika itu.
Imam As-Shadiq dianggap besar sekali djasanja dalam
menanam pokok-pokok agama jang sah dan melenjapkan i'tikad—i'tikad jang
salah jang timbul dalam masa kekatjauan tjara berpikir umat Islam
ketika itu.
Kehebatan dan kehormatan jang diperoleh Imam
As-Shadiq. ketjintaan umat dan pengaruhnja dalam kalangan rakjat,
menjebabkan Bani Abbas takut akan kedudukannja dalam pemerintahan. Maka
lalu ditutupnja perguruan Imam Dja'far Shadiq, untuk menghambat manusia
jang mengalir sebagai bandjir kekota Madinah, untuk beroleh ilmu jang
disiarkannja.
Tuhan lebih berkuasa, dan kakeknja Rasulullah
menghendaki sebaliknja. Pintu rumah perguruan dapat ditutup dengan
kekuatan perintah radja, tetapi murid-muridnja bertebaran kesana-sini
laksana peluru jang sudah dilepaskan, untuk meneruskan perdjuangan
gurunja dan menumbuhkan bibit-bibit jang telah ditanam disemaikan dalam
djiwanja.
Maka lahirlah ditengah-tengah masjarakat Malik bin
Anas al-Asbahi, Imam dari mazhab Maliki, jang melahirkan pula rawirawi
daripadanja, seperti Zuhri, Jahja Al-Ausari, Ibn Djuraih, Sju'bah,
As-Sauri, Ibn Ujajnah, Qattan dll. Malik adalah murid daripada Imam
Dja'far, dan diantara utjapan-utjapan jang pernah dikeluarkan terhadap
gurunja : "Tidak pernah mata melihat, tidak pernah telinga mendengar dan
tidak pernah hati tertekuk oleh seseorang jang lebih afdhal dan utama
dari pada Dja'far bin Muhammad, baik mengenai ibadahnja maupun luas
ilmunja."
Abu Hanifiah jang dilahirkan tahun 80 H. dan
meninggal tahun 150 H., djuga seorang murid jang ditjintai, kemudian
mendjadi Imam mazhab Hanafi. Banjak sekali orang mengambil riwajat
daripadanja, dan dia sendiri mengambil banjak ilmu dari As-Shadiqi Ia
berkata : "Djika tidak dua tahun bersama Imam Dja'far, akan binasalah
Nu'man. Aku belum pernah melihat seseorang jang lebih ahli dalam ilmu
fiqh dari pada Dja'far bin Muhammad".
Sufjan bin Sa'id bin Masi^uq as-Sauri, berasal dari
Kufah mempunjai mazhab tersendiri, diantara pengikutnja Muhammad bin
Adjlan, Auza'i, Hummad bin Salmah, Jahja bin Sa'id alQattan, Fudhail bin
Ijadh. Ia banjak sekali mengambil dari AsShadiq, ilmu-ilmu, terutama
mengenai adab, achlak dan peladjaran-peladjaran lain.
Sufjan bin Ujajnah bin Abi Imran, meninggal tahun
198 H. Banjak orang meriwajatkan dari padanja, seperti A'masj, Asani,
Humam, Jahja bin Sa'id, Asj-Sjafi'i dan Ibn Madini. Asj-Sjafi'i berkata :
"Djikalau tidak ada Malik dan Sufjan. akan lenjaplah ilmu di Hedjaz".
Sufjan adalah salah seorang Imam mazhab.
Sju'bah bin Al-Hadjdjadj, dilahirkan tahun 80 H.,
meninggal tahun 160 H. Diantara pengikutnja jang terkenal ialah Ajjub
dan Ibn Mubarak.
Fudhil bin Ijadh at-Tamimi, meninggal tahun 187 H.
Al-Djazari mengatakan, bahwa ia adalah seorang imam Sunnah jang baik.
Nasa'i, Buchari, Tarmizi, Muslim dll. banjak mengambil hadis
daripadanja.
Hatim bin Isima'il, meninggal tahun 180 H., berasal
dari Kufah adalah tempat Buchari, Muslim dan Tarmizi mengambil
hadisnja, jang dipeladjarinja dari As-Shadiq.
Hafas bin Ghijas al-Kafi, banjak pengikutnja,
diantara lain Ahmad, Ishaq, Abu Nu'aim, Jahja bin Mu'in dll. ulama
besar, pernah mendjadi kadhi di Bagdad dan Kufah, penghafal hadis jang
banjak, janq pernah ditulis sadja daripadanja lebih dari empat ribu
buah.
Zuhair bin Muhammad at-Tamini, jang bergelar Abul
Munzir, berasal dari Churasan, meninggal tahun 162 H., menerima banjak
ilmu dari Imam As-Shadiq, dan oleh karena itu banjak jang meriwajatkan
kembali daripadanja, diantaranja Abu Daud at-Thijallisi, Ruh bin
Ubbadah, Abu Amir al-Aqli, Abdurrahman bin Mahdi, Al-Walid bin Muslim,
Jahja bin Bukair, Abu Asim, membenarkan kedjudjurannja Ahmad, Jahja dan
Usman AdDar'mi.
Jahja bin Sa'id bin Faruch al-Qattan,, ahli hadis
dari Basrah, lahir tahun 120 H. dan meninggal tahun 198 H. Diantara
pengikutnja Ibn Mahdi, Affan, Masad, Ahmad, Ishaq, dan Ibn Mu'in.
Ismail bin Dja'far bin Abi Kasir al-Anshari,
meninggal di Bagdad tahun 180 H. dengan pengikutnja Muhammad bin
Djahdham, Jahja bin Jahja as-Saburi, Abu Rabi' az-Zahrani, Al- Hazali
dll. Ia berasal dari Madinah dan pergi ke Bagdad, tinggal disana sampai
mati. Buchari dan Muslim banjak meriwajatkan hadisnja.
Ibrahim bin Muhammad al-Aslani, jang terkenal
dengan nama Ahlu Ishaq al-Madani, tahun 91 H. banjak mempelajari hadis
dari Imam As-Shadiq. Ia pernah mengarang sebuah kitab jang diberi
berbab-bab tentang hukum halal dan haram, pernah ditjeriterakan oleh
At-Thusi. Diantara jang meriwajatkan hadis jang dikumpulnja ialah
Ibrahim bin Thahman, As-Sauri, Ibn Djuraih, Asi-Sjafi'i, Abu Nu'aim
dll., ia terhitung salah seorang guru Imam Siafi'i, jang banjak
disebut-sebut dalam kitabnja. orang Salaf banjak mengetjamnja, karena ia
suka meriwajatkan hadis-hadis Ahlil Bait.
Ad-Dhahhak An-Nabil dari Basrah, lahir tahun 122 H.
dan meninggal tahi'n 214 H„ salah seorang murid Imam As-Shadiq janq
terkenal. Diantara jang meriwaiatkan hadis-hadisnja ialah Buchari. Ahmad
bin Hanbal, Ibnal Madini, Ishak 'bn Rawahaih. Ia dipudji oleh Tbn
Sja'bah.
Muhammad bin Falih al-Madani, meninqqal tahun 177
H. Diantara jang meriwajatkan hadisnja Buchari. An-Nasa'i. Ibn Madiah
Ibn Shalat. jang meninggal tahun 194 H., As-Sjafi'i, Ahmad bin Hanbal
dll. Ia datang ke Bagdad pada hari-hari pemerintahan Al-Mansur. terkenal
sebugai seorang jang sangat pemurah dalam memadjukan ilmu hadis.
Usman bin Fargad, janq terkenal dengan nama Abu
Mu'az, berasal dari Basrah. Banyak hadisnja dibitjarakan dalam kitab
Buchari, Tarmizi dan Abu Haiban.
Abdul Azid bin Umar As-Zuhri. meninggal tahun 197 H. Banjak hadis riwajatnja terdapat dalam kitab Tarmizi.
Abdullah bin Dakkim berasal dari Kufah. ahli hadis,
terutama mengenai Adak. dan Zaid bin Atha ibn Sa'id Mas'ab bin Salam
at-Tamimi, djuga murid-murid Imam As-Shadiq.
Lain dari pada itu diantara murid Imam As-Shadiq
ialah Bassam as-Shirfi Basjir bin Ma'mun dari ChuraSan. Al-Haris bin
Umair dari Basrah, Al-Mufaddal bin Salih al-Sadi, Ajjub as-Sadjastani
dan Abdul Malik bin Djunaih al-Qursji, semuanja muridmurid Imam Dja'far
jang masjhur dan banjak pengikutnja. Ditjeriterakan orang, bahwa Abdul
Malik bin Djuraih termasuk orang jang mula-mula mengarang kitab dalam
Islam, dilahirkan tahun 80 H. dan meninggal tanuh 149 H.
Semua orang-orang besar jang tersebut diatas adalah
pengikut-pengikut aliran Imam Dja'far, tetapi kemudian berdiri
sendirisendiri, ada jang memimpin mazhab tersendiri, ada jang merupakan
ulama hadis jang bebas, tidak termasuk golongan Sji'ah.
Murid-murid Imam Dja'far jang termasuk golongan Sji'ah akan kita bitjarakan dalam bahagian berikut.
1. MURID-MURID DJA'FAR SHADIQ JANG TERPENTING
II
Diantara ulama-ulama besar, bekas murid Imam.
Dja'far jang termasuk golongan Sji'ah dan menganut paham aliran ini,
kita sebutkan sebagai berikut.
Aban bin Tughlab, jang biasanja digelarkan Abu
Sa'ad, berasal dari Kufah, banjak meriwajatkan hadis dari Zainal Abidin,
Al-Baqir, As-Shadiq, semua imam-imam besar Sji'ah. Aban meninggal pada
masa Imam As-Shadiq.
Dalam kitab Fihrasat tersebut bahwa Aban bin
Tughlab anak Rijah, digelarkan Abu Sa'ad al-Bakri al-Hariri, teman-teman
Djarir bin Ubbad, adalah seorang jang sangat dipertjajai dan
berkedudukan terhormat. Ia pernah menemui Abu Muhammad Ali bin Husain
dan Abu Dja'far al-Baqir dan banjak meriwajatkan hadis dari kedua
anggota Ahlil Bait ini, Al-Baqir pernah menjuruh dia pada suatu kali
duduk mengadjar dalam mesdjid Madinah, seraja berkata : "Aku mentjintai
engkau demikian rupa, sehingga manusia melihatmu sebagai tjontoh jang
baik dari Sji'ahku."
Aban sangat alim dalam segala bidang ilmu, dan Ibn
Nadim mengatakan dalam kitab "Fihrasat'nja, bahwa ia mempunjai karangan
mengenai ma'na dan tafsir Qur'an, mempunjai kitab mengenai qira'at
tudjuh, dan mempunjai kitab mengenai pokok-pokok kejakinan mazhab
Sji'ah.
Ahmad ibn Hanbal, Ibn Mu'in, Abu Daud, semuanja
menganggap dia djudiur dalam menjampaikan riwajat-riwajat hadis, sedang
Muslim. Abu Daud, Tarmizi dan Ibn Madjah banjak mengutip riwajatnja itu
untuk kitab-kitabnja.
Aban bin Usman bin Ahmar nl-Badi'ari, berasal dari
Kufah, pernah tinggal di Basrah, banjak beroleh peladjaran hadis dari
Abu Abdullah as-Shad q dan Abu! Hasan Musa, kedua-duanja imam dari
mazhab Sji'ah. Riwajat-riwajatnja banjak disampaikan oleh Ibn Musanna
dan Abu Abdullah bin Salam. Ia baniak mengarang kitab-kitab, diantaranja
bernama kitab "Al-Mubtadi", AlBa'as," Al-Mlaqhazi" dan "Al-Wafa." Ibn
Hibban memasukkannja kedalam golongan Siqqat, artinja oranq-orang jang
dipertjaja dalam meriwajatkan hadis.
Aban bin Usman adalah salah seorang enam Sahabat
kental dari Imam Abu Abdullah, jang berusaha mengumpulkan hukum-hukum
mengenai ahli waris jang berhak menerima pusaka dan menetapkan setjara
hukum fiqh. Sahabat-sahabat jang enam orang itu ialah Djamil bin
Darradj, Abdullah bin Muskan, Abdullah bm Bukair, Hummad bin Isa, Hummad
bin Usman dan Aban bin Usman, jang baru kita bitjarakan.
Bukair bin A'jun asj-Sjaibani, saudara dari
Zararah, murid Al-Bakir dan As-Shadiq, meninggal dalam masa As-Shadiq.
Tatkala Imam ini mendengar chabar kematiannja, ia berkata : "Demi Allah,
Tuhan menempatkan dia kiranja berdekatan dengan Rasulullah dan Amirul
Mu'minin Ali bin Abi Thalib", dan pernah ia menjebut, bahwa Bukair itu
dapat dipertjajai.
Djamil bin Darradj bin Abdullah an-Nacha'i, banjak
beroleh peladjaran hadis dari Imam As-Shadiq dan Imam Al-Kazim,
meninggal pada masa Imam Ar-Ridha, termasuk sahabat enam jang
mengumpulkan hadis-hadis Ahlil Bait.
Hummd bin Usman bin Zijadar-Rawasi, berasal dari
Kufah, banjak meriwajatkan hadis dari Imam Shadiq, Al-Kazim dan
ArRidha,. iapun termasuk sahabat enam orang jang terpenting, meninggal
tahun 190 H.
Al-Haris bin Al-Mugirah an-Nashri, ulama ini djuga
banjak meriwajatkan hadis dari Imam Al-Baqir, As-Shadiq dan Al-Kazim,
mempunjai kedudukan jang disegani dalam bidang dirajah dan riwajah.
Diantara ulama Sji'ah jang terpenting ialah Hisjam
Ibnul Hakam al-Kindi, berasal dari Bagdad, dari tawanan Bani Sjaiban,
digelarkan djuga Abul Hakam, seorang ulama Sji'ah jang luar biasa
alimnja. ahli tidak sadja dalam ilmu agama, tetapi djuga dalam filsafat.
Ibn Nadim mengatakan, bahwa ia sahabat kental Imam Dja'far as-Shadiq,
seorang jang ahli dalam ilmu kalam Sji'ah pernah mengupas tentang
persoalan imamah dengan kupasan jang luar biasa, banjak membersihkan
mazhab Sji'ah daripada pandangan-pandangan jang salah. Mu'awijah
menerangkan, bahwa Hisjam turut dalam perang Badar, ia meninggal dalam
masa fitnah Barmaki, tetapi ada jang mengatakan dalam masa pemerintahan
chalifah Ma'mun. Diantara karangannja ialah jang termasjhur "Kitabul
Imamah", "Kitabud Dilalal" dll.. jang lebih dari pada dua puluh
karangan-karangan penting.
Didepan saja terletak sebuah kitab, jang ditulis
oleh Abdullah Ni'mah, bernama "Hisjam Ibnal Hakam'" (t. tp.. 1959 M),
berisi sedjarah hidupnja sebagai professor dalam abad ke II Hidjrah
dalam ilmu kalam dan manthik. Kupasan-kupasannja dan pandangan
-pandangannja jang tadiam mengenal kedua ilmu ini mengagumkan, sehingga
sajapun berpendapat, bahwa ia adalah seorang terpeladjar jang luas
sekali ilmunja.
Hisjam mendapat penghargaan tinggi dalam pandangan
golongan Sji'ah. Imam As-Shadiq pernah berkata tentang pribadinja :
"Engkau selalu diilhamkan Tuhan dalam membantu golongan kami dengan
lidahmu." Ia pernah djuga berkata : "Orang ini pembantu kita dengan
hatinja, lidahnja dan tangannja, mempertahankan hak-hak kita dan membela
golongan kita daripada musuh-musuh kita." Benar pada mula pertama ia
mendjadi sahabat Djaham bin Safwan, kemudian ia taubat dan kembali
kepada kejakinan Sji'ah jang benar.
Al-Kulaini. seorang Imam Hadis jang terpenting
dalam mazhab Sji'ah, memudji Hisjam Ibnal Hakam tentang banjak ilmunja
mengenai dirajah dan rawajah hadis-hadis Rasulullah jang sahih, dan
tentang kuat serta teguh pegangannja kepada kitab dan sunnah.
Diantara sahabat Imam As-Shadiq jang selalu
mengiringinja dan banjak mengetahui perdjalanannja, ialah Al-Ma'la bin
Chanis, seorang jang luar biasa mentjintai keluarga Nabi, jang
menjebabkan ia diazab dan dibunuh oleh Amir Daud bin Ali dan disita
semua harta bendanja, tatkala Amir ini memerintah Madinah, dan
mengetahui bahwa Al-Ma'la sangat ditjnitai oleh Imam AsShadiq. Saja
hindarkan memasukkan kedalam kitab ini tjeritera jang sangat pandjang,
diantara lain termuat dalam karangan Asad Haidar, "Imam As-Shadiq" jang
ditjeriterakan oleh orang-orang Sji'ah tentang kekedjaman jang dilakukan
orang atas diri orang alim dan salih ini.
Demikianlah kita sebutkan beberapa tjontoh daripada
tokoh-tokoh ulama Sji'ah, jang berasal daripada murid-murid Imam
AsShadiq, jang kemudian mendjadi rawi-rawi hadis jang terkemuka dalam
golongan Sji'ah. Murid-muridnja jang lain, seperti Abdul Malik bin
A'jun, Zararah dan anaknja, Ali bin Jaqthin, Ammar Ad-Duhni, Umar bin
Hanzalah, Fudhail bin Jassar, Abu Basir, Mu'min Atthaq, Muhammad bin
Muslim, Mu'awijah bin Ammar, Mufadhdhal ibn Umar, Hisjam bin Salim d.U.
tidak kita perpandjangkan sedjarahnja dalam kitab jang terbatas
halamannja ini. Bagi mereka jang ingin mengadakan penjelidikan lebih
djauh, kita persilahkan membatja riwajat-riwajat ulama-ulama Sji'ah
dalam segala bidang dengan sedjarah hidupnja pandjang lebar dalam serie
kitab-kitab pahlawan Sji'ah, jang dinamakan "A'janusj Sji'ah", jang
terbit dalam djilid jang besar-besar terus menerus sampai sekarang ini.
2. MAZHAB EMPAT THP SJI'AH
Banjak orang menjangka bahwa imam-imam mazhab Ahli
Sunnah wal Djama'ah menentang Sji'ah. Persangkaan ini saja rasa tidak
benar. Bagaimana imam-imam mazhab itu bentji kepada Sji'ah, sedang
kebanjakan mereka adalah murid-murid daripada ulama-ulama Sji'ah jang
terkemuka seperti Imam Dja'far Shadiq, imam mazhab Sji'ah jang dinamakan
Dja'farijah, Imam Musa alKazim, jang pernah mengadjar Ahmad ibn Hanbal,
jang kemudian mendirikan mazhab Hanbali. Imam Dja'far Shadiq adalah
guru dari Imam Malik bin Anas, jang kemudian mendirikan mazhab Maliki,
dan guru Abu Hanifah, jang kemudian mendirikan mazhab Hanafi.
Imam Abu Hanifah sangat mentjintai Ahlil Bait,
banjak mengeluarkan harta bendanja untuk membantu mereka dalam
kesengsaraan dan kemiskinan sebagai pemboikotan dari pembesar-pemsar
Abbasijah. Ia pernah mengeluarkan fatwa untuk menolong Zaid bin Ali, dan
menghamburkan wang disana-sini untuk penjelesaian soal ini. Begitu
djuga dia pernah mengeluarkan fatwa membolehkan keluar dengan Ibrahim
bin Abdullah al-Husain, untuk memerangi Al-Mansur.
Rahasia ini kemudian terbuka dan Abu Hanifah
dihukum tjambuk, diazab dalam tutupan dan pada achirnja Al-Mansur
memerintahkan dia meminum ratjun sampai mati.
Semua tindakannja itu adalah oleh karena mentjintai
keturunan Ali bin Abi Thalib dan turut memarahi serta membentji
orang-orang jang dimarahinja dan dibentjinja. Ahli-ahli sedjarah
mentjeriterakan bahwa Abu Hanifah pernah dipukul dan diazab, karena
chalifah Abbasijah, jang memerlukan tenaganja dan ingin mengangkat dia
mendjadi' kadhi, menganggap dia menentang, tidak mau menerima keangkatan
itu. Keterangan ini tidak benar dan tidak masuk akal, karena keangkatan
mendjadi kadhi itu adalah kehormatan jang sesuai dengan pembawaan Abu
Hanifah dalam keahlian hukum, sedang mentjambuk dan menghukumnja adalah
penghinaan kepada orang besar ini. Jang benar ialah bahwa Abu Hanifah
tidak mau menerima keangkatan mendjadi' kadhi itu, karena ia ingin diam
dalam memberikan hukum-hukum jang sesuai dengan sentimen radja-radja
Abbasijah terhadap Sji'ah Ali. dan oleh karena ia tidak mau menghinakan
Ahlil Bait, ia ditangkap dan dihukum.
Bukan hanja Abu Hanifah segan sadja membantu radja
Abbasijah dalam membuat-buat hukum menghina Sji'ah, agaknja ia lebih
segan lagi membuat hukum jang berlainan dengan adjaran gurunja, jaitu
Dja'far Shadiq, jang pernah dipudji-pudjinja dengan utjapan : "Djikalau
tidak ada Ash-Shadiq, akan binasalah Ni'man. Aku belum pernah melihat
seorang jang lebih ahli dalam fiqh dari pada Dja'far bin Muhammad (Asad
Haidar, Imam Ash-Shadiq wal Mazalribul Arba'ah, Nedjef, 1956, 1:90). Abu
Hanifah lahir ta hun 80 H. dan meninggal 150 H.
Sebagaimana Abu Hanifah, begitu djuga Imam-imam
jang lain djarang jang dapat membantu Chalifah Abbasijah dalam mengetjam
dan menganiaja Sji'ah Ali. Kita lihat misalnja Imam Malik, jang
menjiarkan pidato disana-sini mengetjam kebidjaksanaan AlMansur, dan
mengandjurkan kepada rakjat untuk meninggalkannja. Pada suatu kali ia
pernah mengeluarkan fatwanja, bahwa sumpah setia jang pernah diberikan
rakjat kepada Al-Mansur bathal dan melanggar hukum sjara', karena mereka
membuat bai'at untuk radja-radja jang dibentjinja, sedang bai'at harus
dilakukan karena ketjintaan. Malikpun diseret kedalam pendjara dan
ditjambuk seperti mentjambuk dan menghukum Abu Hanifah. Malik dan Anas
lahir di Madinah pada tahun 93 H. dan meninggal 179 H.
Muhammad bin Idris Asj-Sjafi'i terkenal tjinta
kepada Ahlil Bait, dan tidak bisa lain djalan, karena nenek-neneknja
masih ada hubungan dengan nenek-nenek Nabi. Dari mulut Sjafi'i orang
banjak mendengar kata-kata tjinta kepada keluarga Ali ini, demikian
banjaknja sehingga ia dituduh Rafidhi, artinja orang jang tidak menjukai
sahabat lain mendiadi chalifah sesudah wafat Nabi. Tuduhan ini tentu
tidak benar, karena Sjafi'i termasuk Ahli Sunnah wal Djama'ah, jang
mengaku kebenaran pengangkatan dan tertibnja chalifah sesudah Nabi dari
Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali.
Atas tuduhan ini Sjafi'i merasa sangat tergontjang
perasaannja, sehingga ia banjak sekali membuat sjair-sjair untuk menolak
ketjaman itu, diantaranja saja terdjemahkan dari kitab "Imaman al-Kazim
wa Ali Ridha", Beirut, t. th., hal. 8, sbb. :
Wahai Ahlil Bait Rasulullah.
Tjinta kepadamu diwadjibkan Allah.
Didalam Qur'an Kalamullah.
Kewadjiban tertulis, tak ada helah.
Keluargamu begiku tinggi nilainja.
Ditinggikan Allah serta Rasulnja.
Djika tak ada salawat dan salamnja.
Sembahjang tidak sah begitu hukumnja.
Mengapa orang mengatakan daku Rafdhi,
Sedangkan aku ingin berbudi,
Membela agama dan i'tikadi,
Engkaulah jang salah sedjadi-djadi.
Tatkala pada suatu kali ia diseret kedepan
pengadilan, dan ditanja untuk memantjing, apa katanja tentang Ali, ia
mendjawab: "Aku idak akan berbitjara tentang seseorang jang begitu indah
dirahasiakan orang sedjarah hidupnja, tetapi diketjam dan ditjela oleh
musuhnja."
Sjafi'i meninggal tahun 204 H. Sjafi'i dan Hanbali
adalah murid daripada Malik bin Anas, sedang Malik bin Anas adalah salah
seorang murid daripada Dja'far Shadiq. Sjafi'i lebih mengutamakan hadis
jang dirawajatkan oleh Ali bin Abi Thalib dan umumnja jang berasa] dari
Ahlil Bait, sehingga Jahja bin Mu'in menuduhnja Rafdhi sebagaimana jang
kita sebutkan diatas
Kitab Masnad Imam Ahmad ibn Hanbal penuh dengan
hadis hadis jang meriwajatkan keutamaan Ali bin Abi Thalib. Orang
mentjeriterakan, bahwa ia pernah mengarang sebuah kitab besar, berisi
fadhilat-fadhilat dan keutamaan Ahlil Bait, sebuah naschab lama diantara
kitab itu sampai sekarang masih tersimpan dalam perpustakaan
Masjhahadul Imam di Nedjef. Imam Ahmad pernah beladjar sama Musa
al-Kazim, salah seorang imam besar dalam kalangan Sji'ah.
Sepandjang sedjarah Islam kita dapati orang-orang
jang mentjintai Ahlil Bait, baik jang masih hidup maupun jang sudah
meninggal, dan ulama-ulama besar banjak mengarang manaqibmanaqibnja dan
kemuliannja, mengarang sjair-sjair, kasidah-kasidah jang penuh pudjian
dan sandjungan, begitu djuga chatib-chatib diatas mimbar tidak kurang
menjebut-njebut Ahlil Bait itu dengan penuh kehormatan. Nama Muhammad,
Ali, Fathimah, Hasan dan Husain adalah nama-nama jang mewakili Ahlil
Bait itu. Dalam masa Abbasijah semua orang alim dan semua rakjat djelata
mentjintai dan berpihak kepada Ahlil Bait, lebih banjak daripada
mendekati Bani Umaijah dan Abbasijah, jang hanja dikerdjakan karena
ketakutan atau untuk mentjapai sesuatu keuntungan.
Ahmad ibn Hanbal mengutamakan Ali lebih daripada
sahabat2 jang lain. Giliran memikat perasaan dalam masa Abbasijah sampai
djuga kepadanja, ia ditanja orang tentang sahabat-sahabat jang utama,
ia hanja mendjawab Abu Bakar, Umar dan Usman. Orang bertanja lagi
tentang Ali jang disangka orang dilupakan menjebutnja. Ahmad ibn Hanbal
mendjawab : "Engkau bertanja tentang sahabat Nabi, sedang Ali adalah
diri Nabi sendiri" (Asad Haidar 1:231).
Ahmad bin Hanbal meninggal 241 H.
Ulama-ulama mazhab jang lain, meskipun sebahagian
tidak hidup adjarannja lagi sekarang diatas muka bumi ini, hanja
tersimpan pendapat-pendapatnja dalam kitab-kitab besar ilmu fiqih, ialah
Sufjan bin Sa'id As-Sauri, berasal dari Kufah, lama ia beladjar pada
Imam Dja far Shadiq, dan banjak mengambil hadis-hadis dari padanja
mengenai adab, achlalk dan peladjaran-peladjaran ibadat. Begitu djuga
Sufjan bin 'Ujainah (mgl. 198 H), adalah mur.d Imam Dja far Shadiq, jang
beladjar pula padanja banjak sekali ulama-ulama lain. Imam Sjafi'i
pernah berkata : "Djikalau tidak ada Malik dan Sufjan, akan lenjaplah
ilmu-ilmu jang adai terdapat di Hedjaz."
Lain daripada itu banjak sekali murid-murid Imam
Sji ah Dja'far Ash-Shadiq, seperti Sju'bah bin Hadjdjadj (80—160 H.),
jang oleh Sjafi'i disebutkan seorang jang sangat ahli tentang hadis di
Bagdad, Fudhail bin Ijadh (mgl. 187 H.), Hatim bin Ismai'l (mgl. 180 H),
Haf as bin Ghijas, jang pernah menghafal tiga ribu atau empat ribu
hadis, Zuhair bin Muhammad At-Tamimi, jang digelarkan djuga Abui Munir
(mgl. 162 H.), Jahja bin Sa'id ( 120— 198 H.), Isma'il bin Dja'far (mgl.
180 H.) Ibrahim bin Muhammad, jang digelarkan Abu Isha al-Madani, jang
meninggal tahun 91 H., pernah mengumumpulkan hadis dari Dja'far mendjadi
sebuah buku jang digelarkan "Halal dan Haram", Dhahhak ( 122—214 H.),
Muhammad bin Falih (mgl. 177 H.), Usman bin Farqad, Abdul Aziz bin Umar
Az-Zuhri (mgl. 197 H.), Abdullah bin Dakki, Zaid bin Atha, Mas'ab bin
Salam, Bassam bin Abdullah As-Sirfi, Basjir bin Maimun, Al-Haris bin
Umair, Al-Mufadhdhal bin Sa.lih al-Asadi, Ajjub As-Sadjastani, Abdul
Malik bn Djuraih al-Qurasji (80—149 H.), dll. Semua murid-murid Dja'far
Shadiq jang kemudian merupakan guru-guru imam mazhab, imam hadis dan
imam tafsir, sebagai jang pernah djuga kita singgung dalam fasal lain.
Dengan ringkas dapat dikatakan, bahwa
mazhab-maz-hab kemudian adalah lahir daripada mazhab Ahlil Bait jang
ditjiptakan oleh Dja'far Shad;q, Imam fiqh jang terbesar dalam kalangan
sjiah. Demikian kita batja dalam Asad Haidar "Al-Imam ashadiq wal
Mazahib Arba'ah" (Nedjef, 1956. I-VI).
Bagaimana tidak, karena Qur'an menjuruh berlunak
lembut terhadap Ahli Bait dan menjuruh menjanjanginja. Dan mazhab Ahlul
Bait adalah mazhab, sebagaimana dikatakan dalam Qur'an dari orang-orang
jang sudah dibersihkan kekotorannja dan disutjikan sesutji-sutjinja,
termasuk mazhab jang pertama dalam sedjarah Islam, dikala orang
menggunakan kata-kata "Mazhab", untuk membeda-bedakan tjara berpikir
dalam ilmu hukum. Orang-orang dari Ahlil Bait ini lebih kenal akan
kehidupan Nabi. baik dalam rumah tangga, dalam mesdjid maupun dalam
masjarakat manusia jang mendjadi pengikutnya.
Mazhab ini mula-mula tersiar dikota Bani Umaijah
dikala mereka mulai memerintah, dan kemudian tersiar keman-mana. Orang
jang mula-mula menjiarkan mazhab ini di Sjam jaitu seorang sahabat Nabi
jang besar dan dibjintainja, Abu Zarr alGhiffari, jang tidak
henti-hentinja dia menjiarkan adjaran Islam ditempat itu dan mengeritik
Mu'awijah, jang dalam tjara pemerintahannja dan tjara hidupnja
dilihatnja telah menjimpang dari adjaran Nabi. Oleh karena itu
orang-orang tidak senang, mulailah menanam bibit-bibit kebentjian
terhadap kepada mazhab Ahlil Bait itu.
Lebih pandjang dan luas tentang Imam Dja'far dan mazhabnja akan kita bitjarakan dalam bahagian lain.
3. PERSOALAN CHILAFIJAH
I
Meskipun sama-sama, bersumber kepada Qur'an dan
Sunnah, dalam beberapa pandangan hukum Sji'ah berbeda dari Ahlus Sunnah.
Sebagaimana antara mazhab3 dalam ikatan Ahlus Sunnah sendiri kita
dapati perbedaan paham itu. Kesukaran memahami arti ajat-ajat Qur'an,
persoalan-persoalan hidup jang selalu tumbuh dalam berbagai bentuk
menurut tempat, masa dan tjara berpikir manusia, begitu djuga berlainan
penangkapan apa jang didengar daripada hadis-hadis Rasulullah,
menjebabkan lahir perbedaan paham itu.
Dalam masa hidup Nabi, perselisihan paham dapat
diselesaikan dengan membawa perselisihan itu kehadapan Nabi dan bertanja
kepadanja, dgn. demikian pintu Sunnah atau hadis itu selalu terbuka.
Tetapi sesudah Rasulullah wafat, dua sumber hukum agama, jang penting
ini tertutup, sahabat hanja dapat tanja menanjai satu sama lain dan
dengan demikian lahirlah dua sumber hukum lagi dalam Islam jaitu Idjma'
dan Qijas, dalam masa sahabat itu. Kedua sumber hukum ini lahirnja dalam
mada chalifah Abu Bakar dan Umar dan dengan demikian lahir pula apa
jang dinamakan fatwa, jang menetapkan suatu hukum baru dalam Islam.
Tjara berpikir sematjam ini dilandjutkan sampai
kepada masa Tabi'in, Tabi'-Tabi'in dan oleh imam-imam Mazhab Empat jang
terkenal sampai sekarang ini.
Konon Sji'ah tidak mau mengikuti tjara sematjam
itu. Katanja bahwa Ali bin Abi Thalib dan ahli-ahli fiqh Sji'ah dalam
masa sahabat tidak mau mendasarkan penetapan sesuatu hukum Islam,
ketjuali mengembalikannja kepada dua sumber pokok asli jaitu Qur'an dan
Sunnah. Ali berbeda pendiriannja dengan Abu Bakar dan Umar, jang berani
beridjtihad untuk melahirkan sesuatu tindakan hukum, meskipun berlainan
dengan nash jang terdapat dalam Qur'an dan Sunnah, Umar berani menolak
pemberian zakat kepada mu'allaf, meskipun hak ini sudah ditetapkan dalam
ajat Qur'an, surat An-Nur, ajat 61, dan berani melarang nikah mutah
dalam masa pemerintahannia, sedang nikah ini dalam masa Nabi
diperkenankan, dan Abu Bakar tidak berani melarangnja.
Chalid Muhammad Chalid dalam kitabnja
"Ad-Dimuqrathijah", hal. 151, menerangkan, bahwa Umar bin Chattab
berani1 meninggalkan nash Qur'an dan Sunnah, djika la melihat perlu
menetapkan setjara lain karena ada kemuslahatan umum. Idjtihad sematjam
ini ditakuti oleh Sji'ah, karena pada achirnja maslahatul mursalah dan
istihsan, kepentingan umum dan memilih jang baik pada akal, mendjadi
djuga sumber penetapan hukum Islam, jang dapat membawa keluar sesuatu
hukum dari agama, seperti jang terdapat pada masa Bani Umaijah dan Ban;
Abbas.
Dalam masa Tabi'in djuga ulama-ulama fiqh Sji'ah
tidak mau melepaskan dua sumber pokok Qur'an dan Sunnah untuk mengetahui
sesuatu hukum Islam. Sesudah wafat Ali, mereka mengikuti djedjak
anak-anak keturunannja, jang setia memegang tjara berpikir dari orang
tuanja. Mereka dinamakan Imam, dipilih dari orang jang terpelihara
hidupnja, ma'sum dari dosa. Merekalah jang berhak melakukan idjtihad dan
menggunakan akal, djika tidak ada lagi sama sekali terdapat alasan
dalam Qur'an dan Sunnah.
Maka dengan berbeda tjara berpikir jang demikian
itu terdapatlah perbedaan ketjil-ketjil, jang dinamakan hukum furu',
antara Sji'ah dan Ahlus Sunnah, baik dalam ibadat, maupun dalam
muamalat.
Mari kita tindjau perbedaan ini dari beberapa tjontoh tersebut dibawah.
1. Sji'ah Imamijah hanja menganggap wadjib
mengfusap (masah) dua kaki dengan wudhu' sebagai ganti mentjutjinja pada
mazhab lain. Perbedaan paham ini sudah lahir sedjak masa shahabat. Ali
dn Ibn Abbas menetapkan tjra berwudhu' demikian. Ibn Abbas menerangkan,
bahwa Rasulullah hanja mengusap kakinja dengan air wudhu,' bukan
membasuh. Qur'an surat Ma'idah pun menerangkan jang demikian itu. Sji'ah
berpegang kepada keputusan ini, meskipun mazhab lain memerintahkan
membasuh kedua kaki dengan air dikala berwudhu'.
2. Sji'ah Imamijah membolehkan nikah mut'ah jang
dinamakan djuga nikah jang terbatas waktunja, jang disetudjui oleh bakal
suami dan isteri. Perbedaan paham mengenai nikah inipun sudah terdjadi
sedjak zaman sahabat. Semua orang Islam mengaku, bahwa nikah ini pernah
dibolehkan Nabi, tjuma berselisih paham tentang ada atau tidak ada
larangan sesudah itu oleh Nabi.
Ada riwajat dari Jahja, dari Malik, dari Ibn
Sjihab, dari Abdullah dan Hasan, dari ajahnja Ali, jang menerangkan,
bahwa Rasulullah melarang nikah mut'ah pada hari Chaibar (Muwaththa Imam
Malik, hal. 74). Tetapi banjak djuga sahabat-sahabat jang
membolehkannja, diantaranja Abdullah bin Mas'ud, Ubaj bin Ka'ab, Suda,
Abdullah bin Abbas, Ali bin Abi Thalib dan beberapa banjak ulama
Tabi'in.
Tatkala Abu Nasrah bertanja kepada Ibn Abbas
tentang nikah mut'ah, Ibn Abbas menerangkan, bahwa nikah itu dibolehkan
dengan berdasarkan Qur'an, surat An-Nisa', jang berbunji :
"Djika kamu bermut'ah dengan wanita sampai kepada
batas tertentu (ila adjalin masamma), hajarkan upahnja. Orang ragukan,
apa ada pembatasan waktu dalam ajat ini, tetapi Ibn Abbas menerangkan
ada. Ubaj bin Ka'ab, Ibn Mas'ud, Sa'id bin Zubair dll. membatja djuga
ajat Qur'an sematjam itu dan oleh karena itu sependirian dengan Ibn
Abbas. Lain daripada itu Hakam bin Lljajnah menerangkan, bahwa Ali bin
Abi Thalib pernah berkata: "Djikalau tidak ada Umar melarang nikah
mut'ah, tidak ada orang berzina lagi ketjuali orang jang sangat djahat
(TaricHul Fïqhiil Dja'fari, hal. 175).
Oleh karena sesuai dengan Qur'an dan sesuai dengan pendirian Ali, orang-orang Sji'ah membolehkan nikah mut'ah.
3. Diantara pendirian Sji'ah ialah bahwa seorang
wanita baik gadis atau djanda boleh menyuruh mengawinkan dirinja, dengan
tidak usah izin walinja. Jang demikian itu pernah difatwakan oleh Ibn
Abbas, dan Zubair bin Mut'im jang menerangkan, bahwa Nabi ada mengatakan
: "Wanita dewasa berhak atas dirinja dan gadis harus meminta izin"
(Muwaththa Imam Malik hal. 62).
Lain daripada itu Qur'an mengatakan : "Apabila
wanita itu sampai umurnja, tidak mengapa kamu biarkan mereka memilih
sesuatu untuk dirinja."
Sjiah memutuskan, bahwa wanita dewasa boleh kawin
denqan tidak izin wali, dan jang baik bagi gadis jang belum dewasa
meminta izin walinja.
Hampir semua mazhab Ahlus Sunnah memutuskan, bahwa
nikah tidak memakai wali tidak sah, atau mereka membagi wanita dalam
golongan dewasa dan tidak dewasa, buruk atau tiantik.
4. Sjiah menetapkan. bahwa talak janq diutjapkan
sekaligus tiga kali. hanja djatuh satu. Mazhab lain ada jang menjatakan,
bahwa talak demikian djatuh ketiga-tiganja.
Sji'ah melihat perselisihan ini. sebelum memutuskan
hukumnja. Abdullah Ibn Abbas berfatwa, diatuh satu talak, dan
mengatakan. bahwa hal ini terdjadi pada masa Rasulullah dan Abu Bakar.
hanja umarlah yang menghukumkan djatuh tiga talak (Tarich Tasiri'
Islami, kar. Al-Chudhari). Ikrimah mentjeriterakan bahwa Rukkabah anak
jazid mentalak isterinja tiga talak sekaligus pada suatu tempat. Sesudah
menjesal ia bertanja kepada Nabi menerangkan bahwa talaknja djatuh
satu.
Mazhab jang bukan Sji'ah menghukumkan djatuh tiga
talak. demikian djuqa menurut fatwa Abu Hanifah dan Malik meskipun
kedua2nja mengharamkan talak sematjam itu dan mengatakan bertentannnn
dengan Sunnah Nabi.
5. Sji'ah menganggap sesuatu djandji atau utjapan
tidak berlaku, duka diperbuat karena terpaksa. Djika seseorana
mengatakan kepada isterinja : "Djika engkau pergi kepasar, nistjaja
engkau tertalak", atau pernjataan sematjam itu, seperti, bahwa ia serupa
ibunja, bahwa hambanja merdeka, dan bahwa semua harta bendanja menjadi
sedekah. Djika diperbuat jang demikian itu oleh isterinja, orang Sji'ah
menganggap tidak djatuh talak, tidak termasuk zihar dan tidak mendjadi
sedekah semua hartanja. Orang Sji'ah berpegang kepada sabda Nabi :
"Dibebaskan umatku dari pada salah dan lupa, karena terpaksa dan
diperkosa atau karena tidak tahu" (Hadis). "Quj'anpun menjebut : "Tidak
berdosa kamu djika terpaksa mengerdjakan salah." (Al-Intisar, kar.
Mufid).
Orang Sji'ah dalam penetapan hukum berpegang kepada Qur'an dan Sunnah itu, meskipun mazhab lain menghukum sebaliknja.
3. PERSOALAN CHILAFIJAH
II
Demikian kita lihat pendirian Sji'ah dalam beberapa
persoalan munakahat. Mari kita tindjau pula pendirian mereka dalam
perkara ibadat. Ambil misalnja sembahjang sebagai tjontoh, maka kita
lihat perbedaan seperti berikut.
Bahwa sembahjang jang wadjib bagi umat Islam umum,
wadjib pula bagi Sji'ah dapat kita pahami, karena tentang kewadjiban
pokok tidak berbeda, sama-sama berpegang kepada Qur'an dan Sunnah Nabi.
Sembahjang Djum'at wadjib. Orang Sji'ahpun meigatakan demikian. Tetapi
apabila wadjibnja? Orang Sji'ah mendjawab, selama pemerintah adil, dan
djika pemerintah tidak adil, orang Islam boleh memilih, mengadakan
Djum'at atau mengerdjakan sembahjang zuhur sendiri-sendiri.
Mengenai bilangan Sji'ah Imamijah menetapkan lima
orang selain imam, sedang Maliki menetapkan dua belas orang selain imam,
dan Sjafi'i sama dengan Hanbali menetapkan empat puluh orang bersama
imam.
Semua mazhab sepakat mengatakan bahwa dua chotbah
merupakan sjarat sah Djum'at, dilakukan sebelum waktu atau sesudah masuk
waktu. Perbedaan paham terletak dalam persoalan, apakah wadjib berdiri
dikala berchotbah. Sji'ah sepaham dengan Sjafi'i dan Maliki mengatakan
wadjib, sedang Hanafi dm Hanbali tidak mewadjibkan berdiri.
Sji'ah Imamijah mewadjibkan dalam chotbah hamdateh,
selawal kepada Nabi dan keluarga, nasihat untuk orang janq hadir,
membatja sesuatu dari ajat Qur'àn, dengan menambah istighfar dan doa
untuk orang mu'min pria dan wanita dalam chotbah kedua dan mentjeraikan
antara dua chotbah dengan dudjuk spdilenak.
Kita lihat perbedaan paham antara mazhab-mazhab
dalam persoalan-persoalan ketjil, tetapi Sji'ah menjelidiki hal ini
melalui hadis-hadis Ahlil Bait.
Sji'ah Imamijah menganggap bahwa qasrus shalat,
mendjadikan dua raka'at daripada sembahjang jang empat raka'at. dalam
pcrdjalanan adalah suatu hrkum agama janq perlu dipatuhi. Penetapan
hukum ini berdasarkan firman Tuhan : "Apabila kamu beperqian diatas
bumi, tidak mengapa, djika kamu memendekkan shalat, apalagi djika
ditakuti fitnah mereka ianq kafir karena orang-orang kafir itu musuhmu
jang njata" (Qur'an). Semua mazhab menganggap demikian.
Perbedaan paham hanja terletak dalam djangka djauh
dan djarak tempat jang membolehkan memendekkan shalat itu. Sementara
mazhab Hanafi menetapkan djarak djauh itu sebanjak dua puluh empat
farsach djalan kaki, mazhab Sji'ah menetapkan dalapan farsach djalan
kaki. Asal pertikaian ini terletak dalam memahami hadis mengenai djarak
djauh ini. Sji'ah sebagaimana mazhab Islam jang lain, mendjalankan
ibadat sematjam ini karena perintahnja dalam ajat Qur'an tersebut dan
karena rasa takut, jang banjak dichuwatiri dipadang pasir. Imam Al-Baqir
menguatkan pendirian ini.
Ajat tersebut digunakan djuga buat shalat chauf, jang tjara melakukannja sama dengan mazhab jang lain.
Dalam mentafsirkan ajat ini Sji'ah melakukan shalat
chauf untuk sembahjang empat raka'at dengan dua raka'at berganti-ganti,
djuga dalam shalat safar, tiap satu raka'at berganti-ganti, sama dengan
mazhab Djabir dan Mudjahid.
Mengenai mandi djunub, mazhab Sji'ah mendasarkan
hukumnja kepada ajat Qur'an: "Djika kamu berdjunub bersihkanlah dirimu",
(Qi'r'an). Dan kebersihan ini hanja dapat ditjapai dengan air, ketjuali
djika sakit, dalam perdjalanan atau menjentuh wanita, barulah dilakukan
tajammum untuk gantinja, jaitu dengan tanah jang bersih.
Disini terdjadi bermatjam-matjam perbedaan paham
untuk mereka jang dibolehkan tajammum, ada jang membolehkan buat orang
jarg sehat dan tidak berpergian, djika tidak ada air, ada jang tidak
membolehkan untuk oranq jang demikian itu, karena dalam ajat Qur'an
hanja diwadjibkan taiammum buat orang sakit dan berpergian dan tidak ada
air, ada jang melihat wadjib, djika tidak ada air sadja. baik bagi
orang sakit, sehat, berperqian atau tidak berperqian. Dalam menetapkan
hukum itu, mazhab Sii'ah ada tang sedjalan dengan Ahlus Sunnah ada jang
tidak. Bagi mereka pokok jang terpenting, ditjari dahulu dalilnja dalam
Qur'an, dalam Sunnah atau dari imam-imamnja.
Begitu djuga mengenai kiblat. Si'ah sependapat
dengan Ahlus Sunnah hanja diarahkan kepada Ka'bah di Mekkah. Kiblat ke
Baital Maqdis sudah dibatalkan dan diganti dengan ajat Qur'an, jang
menjuruh menghadapkan muka dalam sembahyang kearah Ka'bah dalam segala
keadaan. Adapun ajat Qur'an janq menjebutkan, bahwa seluruh timur dan
barat itu kepunjaan Allah dan kemana dihadapkan muka disitu terdapat
wadjah Tuhan (Qur'an), ajat itu hanja digunakan untuk sembahjang sunat
dan dalam keadaan berpergian jang tidak diketahui arah kiblatnja,
sebagaimana janq diriwajatkan oleh Abu Dia'far al-Baqir dan Abu Abdullah
as-Shadiq dalam tafsir Mudjma'ul Bajan. dj. ke 1: 228.
Demikianlah beberapa tjontoh perbedaan paham dalam
furu' antara Sji'ah dan mazhab-mazhab jang lain. Perbedaan ini kita
dapati dalam persoalan puasa, hadji, zakat dll. ibadat, mu'amalat,
djihad, djinajat, hukum warisan dll, jang timbul karena perbedaan
memahami ajat-ajat Qur'an dan Hadis-Hadis dari bermatjam riwajat. Selain
daripada persoalan Imamah, jang mendjadi kejakinan golongan Sji'ah,
saja tidak melihat ada perbedaan besar antara mazhab ini dengan mazhab
Ahlus Sunnah. Gema permusuhan antara Sji'ah Ahli dan Bani Umajjah serta
Bani Abbas adalah persoalan politik, bukan persoalan ibadat dan
mu'amalat, dan bukan pula persoalan i'tikad jang sependapat bagi semua
aliran dalam golongan Sji'ah.
4. ASJ-SJAFI'I DAN SJI'AH
Orang menanjakan, apakah Sjafi'i itu Sji'ah ?
Pertanjaan ini mudah sekali timbul, pertama menurut
pendapat jang sah, karena Muhammad Idris Asj-Sjafi'i berasal dari suku
Quraisj dan ibunja dari suku Ardijah, terdapat di Jaman. Al-Huraifisj
dalam karangannja "Ar-Raudhul Fa'ig" (Mesir, tth.) menerangkan, bahwa
Muhammad bin Idris anak Al-Abbas, anak Usman anak Sjafi', jang
bersambungan sampai kepada Abdi Manaf, dan dengan demikian berhubungan
sampai kepada Nabi Muhammad.
Ada orang mengatakan, bahwa Sjafi', salah seorang
nenek Muhammad bin Idris dipakai mendjadi nama suku, adalah budak atau
maula dari Abu Lahab, tetapi Ahmad Amin menerangkan dalam karyanja
"Dhuhal Islam", 11:218, bahwa keterangan ini tidak dibenarkan oleh
ulama-ulama ansab bangsa Arab, dan utjapan itu hanja dikemukakan sebagai
asabijah mazhab jang membentj;i Sjafi'i.
Alasan jang lain jang menimbulkan pertanjaan itu
ialah karena Asj-Sjafi'i murid atau banjak mengambil hadis-hadis
daripada Malik bin Anas, jang pernah beladjar pada Imam Dja'far
as-Shadiq, seorang tokoh Sji'ah jang terkemuka dalam ilmu fiqh, dan
banjak meriwajatkan hadis-hadis dari Ahlil Bait, diantaranja ia
mengistimewakan hadis jang berasal dari Ali bin Abi Thalib.
Jang sangat menjolok, bahwa ilmu fiqh Asj-Sjafi'i
sangat berdekatan dengan ilmu fiqh Ahli Sunnah, sehingga dalam banjak
hal kelihatan, bahwa perbedaan antara Sji'ah dan Sunnah lebih sedikit
daripada perbedaan antara Sjafi'ijah dan Abu Hanifah, karena jang
terachir ini, meskiyun langsung mendjadi murid daripada Dja'far Shadiq,
tetapi telah banjak dipengaruhi oleh paham-paham Mu'tazi'ah. Tentang
perbandingan ini batja kata Pendahuluan dari Al-Kazimi, jang ditulis
dalam tahun 1372 pada permulaan kitab "Ar-Rihlah al-Muq,addasah" (New
York, 1961), karangan Al-Hadi Ahmad Kamal, mengenai hukum-hukum,
perdjalanan dan do'a-do'a hadji.
Djadi Malik bin Anas adalah seorang murid Dja'far
Shadiq. Sjafi'i banjak menqambil peladjaran daripadanja, sebagaimana
Ahmad ibn Hanbal banjak mengambil dasar-dasar hukum dari Sjafi'i. Oleh
karena Sjafi'i tidak mengambil hadis ketjuali daripada Ali bin Abi
Thalib maka banjak sekali orang menuduhnja terutama dalam masa
pemerintahan Abbasijah, bahwa ia menjebelah kepada Sji'ah, dan Sjafi'i
merasa bangga atas ketjaman itu. Dalam sebuah sja'ir ia mengatakan :
"Aku Sji'ah dalam agama,
Asalku dari kota Mekkah,
Kampungku Askalan bernama,
Kelahiranku baik dan megah.
Mazhabku baik, aliranku indah.
Memuntjak naik keangkasa,
Tidak sukar tetapi mudah.
Mengatas alam manusia.
Sja'ir diatas ini termuat dalam kitab "Managib
Asj-Sjafi'i", karangan Al-Fachrur Razi, hal. 51, dimuat kembali dalam
kitab "Al-Imam As-Shadiq wal Mazahibil Arba'ah, dj. I hal. 231.
Tatkala ia diuduh Rafdhi oleh Jahja bin Mu'in
dengan alasan, bahwa Sjafi'i banjak mengambil hadis dari Ali bin Abi
Thalib, Sjafi'i bersja'ir pula menentang tuduhan itu dalam beberapa
baris sja'ir, jang terachir ia berkata :
"Djika aku dituduh Rafdhi,
Karena mentjintai keluarga Muhammad,
Qur'an dan Sunnah mendjadi saksi,
Rela mendjadi Rafdi selamat" (hal. jang sama).
Ketjaman jang lain. jang menuduh Sjafi'i mewakili
Ahlil Bait, djuga berasal dari Ibn Mu'in, jang membuat Al-Mazani pada
suatu hari bertanja kepada Sjafi'i : "Engkau mewakili Ahlil Bait ?"
Ketika itu Sjafi'i bersja'ir :
"Telah lama kusembunjikan,
Kini kudjawab pertanjaanmu,
Jang bertanja seakan-akan,
Orang adjam ialah kamu.
Kusembunjikan ketjintaanku.
Dalam bentuk putih bersih.
Agar supaja ia sedjahtera.
Selamat dari tjela selisih ".
Sja'ir inipun termuat dalam kitab "Manaqib As-Sjafi'i" karangan Ar-Razi, hal. 50.
Banjak sekali ketjaman-ketjaman terhadap Sjafi'i,
sebahagian besar berasal dari Jahja bin Mu'in, seorang Perawi hadis yang
terkenal, jang meninggal di Bagdad th. 233 H., dan jang terkenal dengan
nama Ibn 'Aum al-Ghadhafani. Karena telitinja dalam hadis ia pernah
mendapat pudjian dari Ahmad bin Hanbal. Tetapi tuduhannja, bahwa
Asj-Sjafi'i banjak menggunakan hadis-hadis jang dha'if dan jang berasal
dari orang-orang jang berbuat bid'ah, tidak dapat dibenarkan oleh banjak
orang. Imam Sjafi'i memang menggunakan banjak hadis Ahlil Bait tetapi
ia sendiri selalu berkata : "Djika kamu dapati, bahwa ada hadis jang
menjalahi mazhabku, ketahuilah bahwa mazhabku iang sebenarnja ialah
hadis jang sahih itu." Imam Sjafi'i adalah seorang ulama jang salih,
zahid, ahli dan hati-hati sekali dalam memilih hadis-hadis jang akan
didjadikan dasar penetapan hukumnja. Tatkala perselisihan paham terdjadi
antara ulama-ulama Irak, jang mengutamakan ra'ji dan qijas dalam
penetapan hukum karena kekurangan bahan hadis, dengan Ahli Hadis, jang
terdiri daripada ulama-ulama Madinah, ditempat banjak terdapat
sahabatsahabat iang menghafal hadis, maka Siafi'i menjusun dirinja
kepada rombongan ulama-ulama Ahli Hadis itu, terutama gurunja Malik bin
Anas dan teman-temannja ,terutama dari mereka seperti Imam Zaid bin Ali
(mgl. 122 H). Imam Dja'far bin Muhammad As-Shadiq, Imam Malik (mgl. 179
H.) dan Amir Asi-Sju'bi (mgl. 105 H.), semua orang-orang jang sedikit
menggunakan qijas dan ra'ji dalam penetapan hukumnja. Sjafi'i banjak
menggunakan pikiran-pikiran jang berasal dari orang-orang itu, jang
dianggap lebih terdahulu dan lebih mengetahui daripadanja.
Tatkala Sjafi'i pindah dari daerah bekas pengaruh
Mu'tazilah itu ke Mesir, bekas daerah Sji'ah Fthimijah, sikapnja lebih
djelas dalam mengambil banjak paham-paham Malik bin Anas jang lebih
berat kepada Sunnah daripada kepada pikiran dan qijas. Maka banjaklah ia
beroleh pengikutnja, diantaranja Isma'il bin Jahja AlMazani, Rabi' bin
Sulaiman Al-Djizi, Harmalah ibn Jahja, Abu Ja'kub Al-Buaithi, Ibn Sibah,
Ibn Abdel Hikam Al-Misri, Abu Saur, dll.
Di Mesirlah mazhabnja lekas berkembang, sehingga
termasuk mazhab jang banjak dianut orang, salah satu mazhab jang
berkuasa dari empat mazhab Ahli Sunnah.
Sudah kita katakan mazhab Sjafi'i adalah mazhab
jang menengah antara aliran menggunakan sunnah dan aliran jang
menggunakan pikiran dalam menetapkan hukum. Kita sudah sebutkan bahwa
Sjafi'i pernah mempeladjari aliran Malik dan pernah djuga mempeladjari
tjara Abu Hanifah berpikir. Maka dalam 'kehidupan sehar'-hari dapat kita
pisahkan pada mula pertama dua aliran dan tjara berpikir, pertama tjara
Irak, tedekat kepada paham Abu Hanifah, disebut "Qaul Qadim" dan kedua
tjara Malik berpikir, jang sangat berpegang kepada hadis sadja. dan
dengan pengalaman daripada kedua gelombang pikiran ini kemudian di Mesir
ia mentjiptakan suatu perdekatan tjara berpikir, jang dinamakan "Qaul
Djadid". Di Irak ia dibantu oleh Az-Za'farani, Al-Karabasi, Abu Saur,
Ibn Hanbal, Al-Baghawi, dan di Mesir ia dibantu oleh AlBuwaithi,
Al-Mazani, Rabi' al-Muradi. Di Irak ia berdjuang dalam kemiskinan dan
kesukaran, kemudian ia berangkat ke Mesir untuk mengubah nasibnja, agar
kehidupannja lebih baik dan perdjuangannja lebih sempurna. Di Irak orang
menggunakan pikiran, di Mesir terdapat lapangan iman jang lebih luas.
Oleh karena itu tatkala ia hendak berangkat ke Mesir ia bertanja dalam Sja'irnja :
Diriku hendak melajang ke Mesir,
Dari bumi miskin dan fakir,
Aku tak tahu hatiku berdesir,
Djajakah aku atau tersingkir.
Djajakah aku ataukah kalah,
Tak ada bagiku suatu gambaran,
Menang dengan pertolongan Allah,
Atau miskin masuk kuburan.
Demikian Imam Sjafi'i bersja'ir, tatkala ia hendak
melangkahkan kakinja ke Mesir. Sja'ir Arab ini berasal dari temannja
Az-Za'farani, jang mendjawab bahwa kedua-duanja jang tersebut dalam
sja'ir itu ditjapai oleh Muhmmad bin Idris Asj-Sjafi'i, baik kekajaan
jang menghilangkan kemiskinannja, maupun kedjajaan jang membuat penganut
mazhabnja ratusan kali lipat ganda dari pada jang terdapat didaerah
Mu'tazilah itu.
Untuk mentjegah perselisihan paham dan menjalurkan
kepada kesatuan dasar hukum, Sjafi'i segera menulis "Usul Figh", jang
mengatur tjara menetapkan sesuatu hukum fiqh menurut sumbersumbernja,
sehingga dengan buku ini nama Asj-Sjaff'i mendjadi harum sekali diantara
nama-nama Mudjtahid dan Ahli Mazhab ketika itu. Orang memperbandingkan
djasanja dengan usaha Aristoteles dalam mentjiptakan Ilmu Manthik, atau
dengan Chalil bin Ahmad dalam karya Ilmu 'Arudh. Meskipun ada orang
sebutkan usul fiqh pernah dikarang oleh Muhammad bin Hasan dari mazhab
Hanafi, tetapi karya ini tidak tersiar luas dan tidak beroleh nama jang
populer seperti Usul Fiqh karangan Asj-Sjafi'i, jang termuat djuga
garis-garis besarnja dalam kitab Al-Umm.
Barangkali baik saja sebutkan beberapa perbandingan
jang menundjukkan kedekatan antara fiqh Dja'farijah dan fiqh
Sjafi'ijah, sebagaimana jang termuat dalam kitab Umm-nja. Saja tidak
dapati banjak perbedaan, djika ada, adalah ketjil sekali tidak es
sensiel dan tidak penting, demikian ketjilnja, sehingga bagi orang jang
belum berkenalan dengan mazhab Dja'fari mungkin menjangkanja fiqh
Sjafi'i. Batjalah kitab-kitab Muchtasar Nafi', kitab fiqh jang dipakai
di Universitas Al-Azhar sekarang ini dan bandingkan dengan kitab-kitab
Sjafi'i, akan didapati hampir tak ada perbedaannja dalam masalah usul
dan furu'. Saja dapati demikian baik pada waktu memperbandingkan antara
mazhab Sjafi'i, Hanafi, Maliki dan Hanbali dalam kitab Al-Fiqh Ala
Mazahibil Arba'ah, baik pada waktu membatja kitab Al-Fiqh Alal Mazahibil
Chamsah, karangan Moh. Djawad Mughnijah jang berisi perbandingan antara
fiqh Al-Dja'fari, Hanafi, Maliki, Sjafi'i dan Hanbali.
Sebagai misal kita sebutkan tajammum pada waktu ada
air sebelum masuk waktu sembahjang, semua imam mazhab itu mengatakan
batal sembahjangnja. Kita ambil lagi sebagai tjontoh Fatihah dalam
sembahjang pada tiap-tiap raka'at. Hanafi mengatakan, bahwa Fatihah
wadjib pada dua raka'at sembahjang pertama. Sjafi'i mengatakan, wadjib
pada tiap-tiap raka'at sembahjang awal dan achir. Maliki mengatakan
djuga demikian. Hanbali pun mengatakan demikian. Imamijah mengatakan
bahwa wadjib pada dua raka'at pertama sadja. Djadi hampir semua sama
pendapatnja bahwa dalam dua raka'at pertama pada tiap-tiap sembahjang
Fatihah itu wadjib, tjujma berbeda pada dua raka'at jang kedua, ada jang
mewadjibkan dan ada jang tidak. Demikianlah selandjutnja tidak saja
perpandjangkan pembitjaraan ini, tjukup dengan mempersilakan membatja
kitab tersebut diatas untuk perbandingan.
Dalam pada itu banjak sekali hal-hal jang
bersamaan, misalnja tentang rukun iman dan rukun Islam, tentang
pengertian buruk baik, tentang mentjinai semua sahabat Nabi, ketjuali
memberi keutamaan lebih banjak kepada Ali bin Abi Thalib sebagai
keluarga Rasulullah terdekat, tentang tjara beridjtihad dalam hukum
furu', ketjuali Sji'ah membuka pintu idjtihad itu sepandjang waktu.
Persamaan dalam ibadat dan mu'amalat dan lain-lain sebagaimana terdapat
pada mazhab jang lain, demikian banjak keseuaiannja, sehingga pada waktu
jang terachir ini fiqh Sji'ah itu djuga didjadikan mata peladjaran pada
universitas Al-Azhar di Mesir dimana didirikan djuga suatu badan untuk
mempedekatkan semua mazhab dalam Islam jang bernama Darut Taqrib bajnal
mazahibil Islamilah, jang dipimpin oleh ulama-ulama besar, diantaranja
Al-Baquri, Moh. Taqijuddin al-Qummi dan Sjaltut dan jang sudah
bertahun-tahun mengeluarkan madjallah Risalatul Islam dimana tiap mazhab
boleh mengupas masalahnja masing-masing setjara ilmiah dengan tudjuan
mendekatkan dan menanam persatuan dan saling pengertian baik, bukan
melahirkan pertentangan.
Ahmad Amin dalam "Dhuhal Islam" (Mesir 1952 M.),
III: 219, berkata, bahwa riwajat jang mentjeriterakan Imam Sjafi'i itu
pernah menganut Sji'ah bermatjam-matjam. Ada jang mengatakan ketika ia
di Jaman, ada jang mengatakan sesudah ia kembali ke Hedjaz. Ibn Abdul
Bar mentjeriterakan, bahwa ia memang mendekati Sji'ah dan tjondong
kepada bersumpah setia kepada golongan Alawijjin ketika itu di Hedjaz.
Ibn Hadjar mentjeriterakan beberapa riwajat jang berlain-lainan, tetapi
semuanja membenarkan bahwa Sjafi'i bersimpati dengan Sji'ah ketika ia di
Jaman. Pernah perkara ini dikemukakan kepada pengadilan Harun ArRasjid,
tetapi Sultan ini kemudian membebaskan tuduhan terhadap Sjafi'i itu
(Ibn Abdul Bar, Al-Intiqa', hal. 95). Jang demikian itu terdjadi dalam
tahun 184, sedang umur Sjafi'i adalah 34 tahun. Sjafi'i berangkat ke
Bagdad tahun 195 dan tinggal disana 2 tahun, kemudian kembali ke Mekkah,
kemudian pergi lagi ke Bagdad tahun 197 dan tinggal sebulan disana.
Barulah kemudian dalam tahun 199 H. ia berangkat ke Mesir, sebagaimana
jang sudah kita tjeriterakan diatas dalam th. 199, dan ia meninggal
disana pada tahun 204 H. (11:220).
5. SJALTUT DAN SJI'AH
Kita sudah sebutkan disana-sini, bahwa sedjak
tahun-tahun jang silam sudah berdiri di Mesir suatu badan "Darut Taqrib
bajnal Mazahibil Islamijah", dimana duduk tokoh-tokoh ulama besar dari
golongan Ahlus Sunnah wal Djama'ah dan Sji'ah, seperti Sjeich Mahmud
Sjaltut, dekan Universitas Al-Azhar, dokter Al~Bahy dan Al-Qummi dll.
suatu badan jang mengadakan pembahasan mengenai persesuaian dan
pertentangan mazhab-mazhab Islam, agar dapat dipersatukan guna
melenjapkan perpetjahan jang sampai sekarang terdjadi diantara kaum
Muslimin. Madjallahnja "Risalatul Islam" memuat tidak sadja
karangan-karangan jang mendalam tentang prinsip-prinsip berbagai mazhab,
tetapi djuga keputusan-keputusan sidang mengenai pembahasan-pembahasan
kearah persatuan itu. Hasilnja sangat baik diantaranj3 tidak berapa lama
sesudah badan inj berdiri di-universitas Azhar sudah diwadjibkan
sebagai mata peladjaran mempeladjari ilmu fiqh Sji'ah Dja'farijah, jang
sebelumnja belum pernah diusahakan.
Dalam usaha ini tidak dapat dilupakan djasa seorang
Sjeichul Azhar Mahmud Sjaltut, jang sedjak tahun 1947 mendjadi anggota
dari badan Darut Taqrib itu. Begitu djuga gurunja Sjeich Abdulmadjid
Salim. Ia mentjari hubungan rapat dengan ulama-ulama Nedjef, Karbala,
Iran dan Djabal Amil, dengan tulisan-tulisan jang berharga dan
pikiran-pikiran persahabatan, guna mempeladjari lebih dalam fiqh
Dja'fari dan mengadjarkannja di Al-Azhar.
Hasil daripada penjelidikan itu jang sangat
menggemparkan dunia Islam sampai sekarang ini, ialah fatwanja jang
membolehkan beribadat (jadjuzut ta'abbud) dengan mazhab Dja'fari, suatu
keputusan jang belum pernah diberikan dan diutjapkan oleh ulamaulama
empat mazhab Hanafi, Sjafi'i, Maliki dan Hanbali. Batja lebih landjut
suatu uraian jang pandjang lebar dalam madjallah "Al-Irfan", suatu
madialah resmi gerakan Sji'ah, djuz ke VII, djild. 51. Ramadhan 1383 H.,
hal. 735 dst.
Sepandjang sedjarah djarang orang-orang dari Ahli
Sunnah menjelid'ki mazhab Sji'ah ini dari sumbernja, dari kitab-kitab
jang ditulis oleh anak-anak Sji'ah sendiri dan melihat serta
mempeladjari dalam -pergaulan dengan mereka. Ketjaman-ketjaman terhadap
Sji'ah jang terdapat dalam kitab-kitab pengarang Ahli Sunnah kebanjakan
berasal dari ungkapan-ungkapan mereka sendiri iang sambung-menjambung
dikupas dan dibitjarakan. djarang jang mau mempeladjari benar tidaknja
sesuatu tuduhan dari kitab-kitab jang ditulis oleh ulama-ulama Sji'ah
sendiri dan mentjotjokkan keterangan-keterangan itu dengan Qur'an dan
Sunnah Rasul.
Berlainan sekali dengan sikap Mahmud Sjaltut, jang
mendasarkan fatwanja betul-betul dari pengenalannja jang benar dan
kejakinannja jang sudah dibuktikan, ditambah dengan keichlasannja
sebagai seorang pemimpin Islam jang ingin mempersatukan kembali umat
jang sudah petjah-belah itu hanja karena perbedaan perbedaan mazhab
ibadat.
Fatwa Sjeich Mahmud Sjaltut itu dikeluarkan atas
pertanjaan jang dikemukakan kepadanja, bahwa orang Islam untuk
melantjarkan ibadat dan mu'amalatnja setjara jang sah harus bertaqlid
kepada salah satu mazhab empat jang masjhur, tidak termasuk mazhab
Sji'ah Imamijah dan Sji'ah Zaidijah. Orang bertanja, apakah pada
pendapatnja benar dalam masalah taqlid itu disingkirkan mazhab Sji'ah
Imamijah Isna 'Asjarijah. Maka lalu didjawabnja : "Bahwa Islam tidak
mewadjibkan kepada penganutnja untuk mengikuti salah satu mazhab jang
tertentu. Tetapi dapat kami katakan, bahwa seorang Muslim jang baik
berhak beraqlid kepada pokok-pokok pendirian sesuatu mazhab dari
mazhab-mazhab jang diakui sah oleh umum, dan jang
penetapan-hukum-hukumnja telah tertjantum dengan tegas dalam
kitab-kitabnja. Orang Islam jang bertaqlid kepada mazhab sematjam itu
berhak pula berpindah dari satu mazhab kepada mazhab lain jang diakui
sahnja, tidak ada kesukaran jang diwadjibkan kepadanja berpegang teguh
kepada satu mazhab sadja. Kemudian kami berfatwa, bahwa mazhab
Dja'farijah, jang terkenal sebagai salah satu mazhab Sji'ah Imamijah
Isna'asjarijah adalah mazhab jang diperbolehkan beribadat dengan mazhab
itu pada siara', sebagaimana dengan mazhabmazhab jang lain daripada Ahli
Sunnah. Maka hendaklah semua orang Islam mengetahui sungguh-sungguh
pendirian ini, dan melepaskan dirinja daripada ashabijah berpegang
dengan tidak ada hak kepada sesuatu mazhab jang tertentu. Agama Tuhan
Allah tidaklah disjari'atkan mendjalankannja dengan mengikuti mazhab
atau menentukan sesuatu mazhab. Semua mudjtahid diterima pada s'isi
Alih, mereka jang tidak ahli dalam mengambil sesuatu kepuasan atau
beridjtihad (an-nazar wal iditihad) diperbolehkan bertaeilid kenada
mudjtahid-mudjtahid itu dan beramal dengan hukumhukum fiqh iang
ditetapkannja. meskinun ada perbedaan-perbedaan jang didjumpainja
menqenai ibadat dan mu'amalat" (hal. 736).
Fatwa ini diserahkan dengan resmi oleh Sjeich
Mahmud Sjaltut kepada Ustad Muhammad Taqjul Qummi, sekretaris umum dari
Darut Taqrib bainal Mazahibil Islamijah, dengan perintah agar fatwa
membolehkan beribadat dengan mazhab Sji'ah Imamijah ini disiarkan
setjara luas.
Dengan demikian selesailah persoalan hukum fiqh
antara Ahli Sunnah wal Djama'ah dengan Sji'ah Imamijah dalam abad ke XX
ini, diselesaikan oleh seorang Sjeichul Azhar kaliber besar Mahmud
Sjaltut.
Siapa Mahmud Sjaltut ?
Abdulhalim Az-Zain, jang menjambut keputusan ini
dengan segala kegembiraan dalam salah satu madjallah di Nedjef
menerangkan bahwa Mahmud Sjaltut adalah seorang alim jang luas ilmu
agamanja dan ilmu umum, seorang jang selalu berdaja upaja untuk
mendamaikan kaum Muslimin, seorang mudjahid besar, jang banjak
berbitjara dan menulis tentang agama dan kebudajaan Islam. Ia seorang
ahli pikir jang dikagumi oleh kaum Muslimin dalam abad jang ke XX ini,
mengenai fatwa-fatwanja dalam bidang sjari'at dan hukum fiqh, dalam
bidang da'wah, dalam bidang pendidikan dan kebudajaan, mengenai
pikiran-pikiran umum dan suasana dunia, seorang jang selalu diminta
pikirannja dalam urusan-urusan penting. Selain daripada seorang ulama
jang alim dalam persoalan agama, Mahmud Sjaltut adalah seorang Ahli
Falsafat hidup, jang mengetahui segala seluk-beluk agama-agama didunia
dan peraturan-peraturan hidup dari umat manusia. Banjak sekali
karangan-karangannja jang mendalam tersiar dalam madjallah-madjallah
seluruh dunia, terutama dalam bidang kerohanian dan pendidikan.
Karena ilmunja, pengalaman dan perkembangan
tjita-tjitanja jang indah-indah, ia diangkat oleh Dewan Ulma-Ulama besar
AlAzhar mengepalai Universitas Al-Azhar dalam tahun 1958. Dalam
pimpinannja Al-Azhar mengalami beberapa pembaharuan, diantaranja
memperdaam falsafat kehidupan manusia jang baharu, jang mempengaruhi
bidang kebendaan dan kehidupan duniawi, memperdalam ilmu-ilmu sedjarah
dan kejakinan bangsa-bangsa Islam, mengadakan perobahan baru dengan
menghilangkan beberapa perkara jang tidak berguna dari daftar
pengadjaran jang lama, memasukkan ilmu-ilmu baru guna mempersiapan
pemimpinpemimpin Islam jang tjakap menghadapi suasana sekarang ini,
memasukkan dan memperluas hukum-hukum fiqh dalam semua mazhab Islam dan
perbandingan agama, menjesuaikan pendidikan Al-Azhar dgn. gerakan
kemerdekaan pembebasan diri oleh Asia-Afrika, menanam rasa kesatuan
dalam dunia Islam dengan mempermudah hubungan dan pergaulan antara
negara-negara dan bangsa Islam, dan jang terbesar djuga diantara
usahanja ialah mentjiptakan dan memupuk suatu badan untuk mempersatukan
mazhab-mazhab Islam dengan nama Darut Tagrib bainal Mazahlbil Islamijah,
dengan sebagai buahnja memasukkan pengadjaran hukum fiqh Dja'fari ke
Azhar dan memperbolehkan beribadat dengan mazhab Sji'ah Imamijah, Isna
Asjarijah.
Berhubung dengan kundjungannja ke Indonesia
beberapa tahun jang lalu, madjallah Islam "Gema Islam" menjiarkan
beberapa karangan mengenai orang besar ini, diantara lain M. Idris
AlMasri B.A. jang mengemukakan "Wawantjara" antara wartawan2 Al-Masa'
dan Asj-Sja'ab dengan Sjeich Mahmud Sjaltut semasa hidupnja, dimana
kelihatan kemauan besar dari Sjeichul Azhar ini untuk mempersiapkan
pemimpin-pemimpin Islam baru dengan segala ilmu pengetahuan jang
diperlukannja sekarang ini, guna dilepaskan keseluruh negara-negara
Islam. Diantara wartawan-wartawan asing jang pernah berwawantjara dengan
Mahmud Sjaltut ialah wartawan Bulgaria Vladimir Nopcharov beserta
delegasi dari Departemen Penerangannja, wartawan-wartawan dari Tiongkok
jang pernah berkundjung ke Mesir atas undangan Pemerintah R.P.A. sebagai
tamu negara, diketuai oleh Mr. Chiang Juan dan pengikut-pengikutnja
a.l. Kaotin Wa Chow Mao, Law Liang, Bin Biao d.U., dan wartawan-wartawan
dari surat kabar Alpopulo dari Italia, Dr. Delioka Angelo.
Dari wartawan Al-Masa' dan Asj-Sja'ab, jang
berwawantjara dengan Mahmud Sjaltut itu dapat kita ketahui beberapa
keinginannja dalam memperbaiki sistem pengadjaran pada Al-Azhar. Pertama
Sjaltut berhasrat sekali memperkembang hubungan antara umat Islam
seluruh dunia dan menjebarkan kebudajaan Islam kepada mereka. Oleh
karena itu ia akan mendidik murid-murid pada Azhar itu tidak hanja
sekedar mentjari idjazah tetapi mendjadi pemimpin-pemimpin jang dapat
berbitjara lantjar dalam segala bahasa, mendjadi sardjana-sardjana dalam
ilmu fiqh dan usulnja, serta memberikan peladjaran chusus tentang
keadaan agama dalam negeri-negeri jang akan dikundjunginja. Sjaltut
berpendapat, bahwa beridjtihad bagi orang Islam harus dilakukan
sungguh-sungguh, agar orang dapat merasakan nikmat jang dibawa oleh
agama Islam, dan dengan demikian perlu melihat kembali isi-isi daripada
fiqh Islam jang lama, untuk diselaraskan dengan kehidupan umat Islam
sekarang ini.
Dari wawantjara ini dapat djuga kita ketahui, bahwa
sebagai sumber pokok pesan Islam ialah Qur'an dan Sunnah, jang harus
dipeladjari dan diamalkan. Selandjutnja ia berkata sebagai tudjuan
i'sahanja dalam memimpin Al-Azhar ia akan bekerdja : Pertama,
menghasilkan leader-leader jang ungguh dalam ilmu loghat dan
tjabang-tjabangnja dan sardjana-srdjana penjelidik, pengidjtihad janq
sehat, ahli penemuan baru janq berguna, dan karena itu kami tidak ingin
menghasilkan lulusan Al-Azhar dengan ditekankan kepadanja supaja
meninggalkan pendapat-pendapat dan mazhab-mazhab jang lalu. tapi
keharusan kami berusaha dan pertiaia bahwa kebutuhan sekarang kepada
ilmu fiqh, loghat dan aka'id-dmiiah berlainan dengan kebutuhan untuk
besok hari. Dan kurnia Allah tidaklah terbatas hanja pada orang-orang
terdahulu sadja. Kedua, menghasilkan ahli da'wah, ahli penasihat jang
kuat teguh dalam bidang ilmu, pengertian dan seluk-beluk beragama, jang
tak akan dilengahkan oieh perniagaan dan perdagangan dari melantjarkan
da wah (seruan) kepada djalan Allah. Dari sini djelaslah bagi kita
peranan kewadjiban orang-orang lulusan AlAzhar itu, dimana dia bukanlah
sekedar ustadz kelas dan djurusan, sebenarnja dia adalah ustadz ilmu dan
research, mahaguru da'wah dan irsjad. Dengan begitu rumah sekolahnja
adalah rakjat seluruhnja, dan Alam-lslami sekaliannja, dan mahasiswanja
adalah umat Muslim diseluruh pelosok bumi, disegala lapisan, disegala
djenis bangsa, disegala dialek dan bahasa, dan disegala benua. Inilah
dia apa jang dipantjangkan atasnja mahligai Al-Azhar dalam
kebangkitannja jang berkat bagi Republik Persatuan Arab. Dari sini
teranglah bahwa pesanku ini adalah perealisasian segala tjita ini,
supaja Al-Azhar memenuhi kepentingannja jang mulia thd. tanah air bangsa
Arab dan umat Islami. Inilah arah tudjuanku dan inilah djalan. Saja dan
seluruh kaum muslimin diseluruh pelosok dunia berharap kehadirat Allah
dalam merealisasikan „amanat" ini diatas bantuan Pemuda Mu'minin jang
kuat Presiden Djamal, jang telah menghidupkan segala jang mati daripada
umat ini, jang telah mendjadikan disetiap pelosok gerakan kebangkitan,
kita berharap kehadirat Allah semoga dikekalkannja bagi beliau taufik
dalam berchidmat kepada Loghat, Agama dan Nasional kita atas bantuan dan
bimbingan beliau terhadap Al-Azhar" („Gema Islam" hal. 20 No. 50,
1964).
Dari isi dua buah kitabnja jang sampai ditangan
saja, dihadiahkan sendiri olehnja tatkala ia mengundjungi Mesdjid
Al-Azhar Kebajoran Djakarta, pertama "Tafsir Al-Qur'anul Karim" (Cairo,
1960), kedua "Min Taudjihatil Islam" (Cairo, 1959), dapat saja tarik
kesimpulan, bahwa Mahmud Sjaltut itu dapat kita masukkan kedalam
golongan penganut Mazhab Salaf, karena ia hendak mengembalikan adjaran
Islam kepada Qur'an dan Sunnah sebagaimana jang dianut dalam tiga qurun
pertama permulaan Islam, kedua ia berpendirian sampai sekarang terbuka
pintu idjtihad bagi ulama-ulama untuk menetapkan sesuatu hukum jang
dianggap perlu dengan mengatasi semua aliran mazhab jang ada dalam
Islam. Dalam memberikan tafsir Al-Qur'an ia mengatasi pahampaham jang
sudah ada, tetapi keterangannja sedapat mungkin diambil dari ajat-ajat
Qur'an sendiri dan hadis-hadis jang baik dengan meninggalkan ta'wil jang
berlarut2, dan apabila ia tidak mendapati keterangan dari kedua sumber
itu, ia menterdjemahkan sesuatu daripada ajat Qur'an menurut lafadhnja
dengan menggunakan ilmunja jang luas dalam pengetahuan bahasa dan
kesusasteraan Arab.
Dr. Muhammad Albahi, Direktur Umum Bahagian Perada
ban Kebudajaan Islam pada Universitas Azhar, jang memberikan kata
pendanuluan dalam kitab Tafsirnja, menerangkan bahwa pandangan Sjaltut
terhadap penafsiran Al-Qur an memang istimewa berbeda daripada tafsir'
jang lain, baik karangan ahli-ahli tafsir jang telah lampau seperti
At-fhabari (251—310 H), Tafsir Zamachsjari (mgl. 538), Qurthubi (mgl.
671), Baidhawi (mgl. 791) dan Al-Alusi (mgl. 1271), maupun dengan
tafsir-tafsir jang baru jang tidak terhitung djumlahnja. Keistimewaan
itu terletak, pertama dalam menjaring pendapat-pendapat ahli tafsir
lama, dan diambilnja jang terdekat kepada maksud-maksud ajat sutji,
kedua menghilangkan penafsiran-penafsiran ajat jang bersifat asabijah
mazhab, jang dapat mendekatkan paham kepada maksud semula daripada ajat
Qur'an. Dengan alasan ini Dr. Albahi lebih suka menamakan karya Sjaltut
ini dengan penampungan kesukaran dari semua tafsir Qur'an atau tafsir
dari segala tafsir. Lebih penting lagi dalam tafsir Sjaltut ini ia
mengemukakan uraian-uraian jang meluas tentang ajat-ajat jang perlu bagi
perdjuangan umat Islam sekarang ini.
Tafsir ini sudah diterbitkan sedjak tahun 1949
dalam Madjallah "Risalatul Islam", organ dari Darut Taqrib bainal
Mazahibil Islamijah, jang didirikan di Mesir, djuga atas minatnja,
sedjak tahun 1947.
Persoalan-persoalan jang dikemukakan dalam
kitabiija Min Taudjihatil Islam, jang djuga diterbitkan di Mesir,
melangkupi hampir seluruh keperluan hidup umat Islam. Dalam Bab "Manusia
dan Agama" dibitjarakan dengan mendalam kebutuhan manusia kepada agama,
persoalan buruk dan baik, beragama dengan agama jang sebenarnja,
keadaan kaum Muslimin, uraian aqidah. ibadah. ilmu dan harta dalam
Islam, uraian tentang masjarakat L.'am, dan persoalan-persoalan da'wah
untuk umat Islam sekarang ini. Dalam bidang masjarakat disinggungnja
persoalan zakat, persoalan tasawuf, persoalan akal dan ilmu dalam Islam,
persoalan roh dalam pendidikan, persoalan bantuan kepada anak jatim,
persoalan kesehatan, persoalan perdagangan dll., sedang dalam urusan
wanita ia kemukakan hukum-hukum menurut Al-Qur'an, keadaan wanita dalam
masa Nabi, perdjuangan wanita dan kedudukan itu terhadap pendidikan.
Tidak kurang pentingnja ia membitjarakan persoalan-persoalan mengenai
djihad dan peperangan dalam Islam, persoalan-persoalan mengenai achlak
dan budi pekerti, persoalanpersoalan mengenai ibadat dan bid'ah-bid'ah
jang dimasukkan orang kedalamnja dan achirnja djuga ia singgung
perbidangan hukum dalam Islam dan negara-negara Islam.
Kitab jang tebal ini rupanja terutama ditjiptakan
untuk memberikan bahan-bahan da'wah dalam Islam, bahan-bahan untuk
mempertahankan kemurnian adjaran Islam dan kepentingannja dalam
menjelesaikan kesukaran hidup pada zaman modern ini.
Dari segala karangan itu Sjaltut memberikan pandangannja setjara luas dan setjara rationalistis.
Meskipun demikian, dari segala djasanja, saja
anggap jang terbesar ialah ichtiarnja memperdekatkan aliran Sji'ah
dengan Ahlus Sunnah wal Djama'ah dalam suatu badan kerdja sama "Darat
Taqrib bajnlal Mazahibil Islamijah" jang membuahkan masuknja fiqh
Dja'farijah kedalam mata peladjaran jang diwadjibkan pada Universitas
"Al-Azhar" dan mengeluarkan fatwa jang membolehkan beribadat (jaauzut
ta'abbud) dengan fiqh Sji'ah itu, sehingga dengan demikian menghilangkan
silang sengketa jang telah berabad-abad adanja antara Sji'ah dan Ahlus
Sunnah wal Djama'ah.
IX. PENUTUP
Demikianlah saja tjatat beberapa hal mengenai
sedjarah Sji'ah umumnja dan Sji'ah Isna Asjar Imamijah chususnja. Adapun
mazhab-mazhab Sji'ah jang lain, baik jang dekat dengan Ahlus Sunnah wal
Djama'ah, seperti Zaidijah, maupun jang berbeda djauh, seperti
Isma'ilijah, Saba'ijah dll., akan saja bitjarakan dalam djilid sambungan
risalah ini, begitu djuga akan saja bahas disana persoalan-persoalan
jang chusus dihadapkan kepada Sji'ah, seperti hak waris, kawin mut'ah,
dll.
Mudah-mudahan diberi Tuhan kelandjutan usia saja
dan kesempatan dalam mengupas segala sesuatu mengenai aliran Sji'ah ini,
untuk kita ketahui sebagai ilmu pengetahuan mengenai ummat dalam suatu
lingkungan ikatan Islam jang luas.
BAHAN BATJAAN
AL-QUR'ANUL KARIM
Tafsir Qur'an jang terkenal. Sji'ah.
Tafsir Qur'an jang terkenal. Ahlus Sunnah. Terdjemah Qur'an bah. Indonesia, Inggeris dan Belanda.
AL-HADISUSJ SJARIF
Kutubus Sitteh Ahlus Sunnah.
Kutubul Arba'ah Sji'ah.
M. Dj. Mughnijah, Asj-Sji'ah wal Hakimun, Beirut, 1962.
Sajjid Muhsin Al-Amin, A'janusj Sji'ah, Beirut, 1960.
Ab. Husein Sjarfuddin Al-Musawi, Al-Muradja'at, Nedjef, 1963.
Ibn Abil Hadid. Dala'ilus Shidq, Uli. Al-Mas'udi, Isbatul Washijah lil Imam AU dsb. Nedjef, 1955.
Abu Zahrah, Al-Mazahibul Islamijah.
Dr. Thaha Husain, Ali wa Banuhu.
M. Hs. Al-Muzaffar, Tarichusj Sji'ah.
H.M. Al-Hasani, Tarkhul Fiqh Al-Dja'fari, (t.tp. dan t. th.).
Ali bin Abi Thalib, Nahdjul Balaghah dan Sjarahnja.
As-Safarini Al-Hanbali, Lawa'ihul Anwar, Mesir 1323 H. I-II.
A.H. Mahmud, "At-Tafktóul Falsafah Hl Islam, Mesir, 1955.
Dr. Tha Husain, "Fadjarru! Islam".
Dr. Thaha Husain, Usman bin Affan.
Tgk. Abdussalam Meura'sa, Firqah-firqah Islam, Kutaradja, t. th.
Djurdji Zaidan, Tarich Tamaddunil Islami (Mesir, 1935).
Abu Nu'aim, Hiljatul Aulija'. Dj.-I-X.
Abul Faradj Al-Asfahani, Maqatilut Thalibin.
Ibnal Djauzi, Tizkarul Chawas.
Ahmad Affandi, Fadha'ilus Shahabah.
Baqir Sjarif Al-Qurasji, Hajatu Al-Hasan bin Ai. Nedjef, 1956.
Ibn Sibagh, Al-Fuaul al-Muhimmah.
Abul Mahasin, An-Nudjumul Zahirah, 1929.
Madjallah "Risalah Al-Islam", diantaranja th. 1959.
Ibn Mas'ud, Murudjuz Zahab, 1948.
M. Dj. Mughnijah, Ma'asj Sji'ah Imamijah, Beritu, 1956.
Asad Haidar, Al-Imam Aa-Shadiq wal Mazahibil Arba'ah. I-V Nedjef, 1956.
Prof. T.M. Hasbi As-Shiddieqy, Hukum Islam, Djakarta, 1962.
An-Naqsjabandj, Al-'Aqdul Wahid. Abdul Baqi, As-Sa'r wal Anwal fil Islam.
Ahmad Mughnijah, Imam Musa Al-Kazim vea AU Ar-Ridha, Beirut, t. th.
Ali bin Muhammad At-Thaus, Sa'dus Su'ud.
Abu Abdillah Az-Zandjani, Tarichul Quran. Cairo, 1935.
Abu Qasim Al-Chuli, Al-Bajan fi Tafsiril Qur'an Nedjef, 1957.
H. Aboebakar Atjeh, Sedjarah Qur'an. Djakarta, 1953.
Sujuthi, Al-Itqan,.
Abdullah b'n Abas, Tafsir Ihn Abbas.
Dr. Subhi Mahmassani, Falsafatut Tasjri' fil Islaim. Beirut, 1952
Al-Chudhari, Tarich Tasjri'il Islami. Mesir.
Mawardi Al-Ahkamus Sulthanijah.
Asj-Sjathibi, Al-Muwafaqat.
Sajjid Abul Qasim Al-Chu'i, Al-Masa'il al-Muntachabat. Nedjef, 1382 H.
Abdullah Ni'mah, Hisjam ibnal Hakam. (t. tp„ 1959).
Fachrur Razi, Manaqib Asj-Sjafi'i. Ahmad Kamal, Ar-Rihlah al-Muqaddasah. New York, 1961.
Ahmad Amin, Dhuhal Islam (Mesir, 1952).
Al-Huraifisj, Ar-Raudhul Fa'iq (Mesir, t. th.).
Madjallah "Al-Irfan", (Nedjef, 1383 H., VII: 51).
Perhatian. Banjak kitab-kitab lain jang saja sebut langsung dibelakang keterangan. Untuk semua itu saja utjapkan terima kasih.
Daftar Isi
SJI'AH 1
RASIONALISME DALAM ISLAM 1
Oleh 1
H. ABOEBAKAR ATJEH 1
PENGARANG 2
M O T O : 3
SAMBUTAN J.M. MENTERI PTIP 4
KATA SAMBUTAN DARI PROF. DR. HAZAIRIN S.H 6
KATA SAMBUTAN KOL. DRS. HADJI BAHRUM RANGKUTI, KA PUSROH ALRI, DJAKARTA 8
PENDAHULUAN 11
I. SEDJARAH KEDJADIAN DAN PERKEMBANGAN 15
1. ISLAM DAN MUSLIM 16
2. ALIRAN DALAM ISLAM 20
3. PERKATAAN SJIAH 26
4. SEBAB-SEBAB DAN MASA KELAHIRAN 30
5. WASIAT NABI KEPADA ALI 35
6. KEIMANAN PADA SJI'AH 42
7. ITIKAD SJI'AH IMAMIJAH 48
II NABI MUHAMMAD DAN ALI 55
1.ALI BIN ABI THALIB 56
2. NABI MUHAMMAD DAN ALI 66
3. MENGAPA ALI DITJINTAI SJI'AH 72
4. ALI DAN ANAK-ANAKNJA 84
Nasab imam dua belas 88
5. ALI DAN DA'WAH ISLAM 89
DJALAN TJERITERA ABDULLAH BIN SABA' 93
OLEH SAIF BIN UMAR AT-TAMIMI (m. 170 H) 93
III. KETURUNAN ALI 94
1. HASAN TJUTJU NABI 95
2. PERDJANDJIAN HASAN - MU'AWIJAH 101
3. BANI UMAJJAH DAN HUKUM AGAMA 110
5. JAZID BIN MU'AWIJAH DAN MU'AWIJAH BIN JAZID 121
6. HUSAIN DAN KARBALA 124
7. BANI MARWAN DAN IBN ZUBAIR 132
8. UMAR BIN ABDUL AZIZ DAN SJI'AH, 136
9. BANI ABBAS DAN SJI'AH 142
IV. SJI'AH IMAMIJAH 149
1. SJI'AH IMAMIJAH 150
2. IMAM DJA'FAR SHADIQ 158
I 158
2. IMAM DJA'FAR-SHADIQ 164
II 164
3. DJA'FARIJAH 168
V. MAZHAB AHLIL BAIT 176
1. ALIRAN DALAM ISLAM 177
2. AHLIL HADIS DAN AHLIR RAJI 184
3. AHLUS SUNNAH DAN SJI'AH 191
5. TJINTA AHLIL BAIT 203
VI. QURAN DAN HADIS 212
1. MASA-MASA PENGUMPULAN QURAN 213
2. ALI DAN QUR'AN 222
3. AHLI TAFSIR SJI'AH 228
4. HADIS DAN DJA'FAR SADIQ 233
5. SERATUS PERAWI SJI'AH DALAM KITAB ENAM 243
6. TARICH TASJRI' SJI'AH 248
I 248
6. TARICH TASJRI' SJI'AH 255
II 255
VII. IDJTIHAD DAN TAQLID 264
I. IDJTIHAD DAN TAQLID 265
I 265
I. IDJTIHAD DAN TAQLID 270
II 270
2. SJIAH DAN ILMU PENGETAHUAN 279
3. SJI'AH DAN RATIONALISME 284
4. HUKUM SJARA' DAN PENGUASA 293
VIII. AHLUS SUNNAH DAN SJI'AH 299
1. MURID-MURID DJA'FAR SHADIQ JANG TERPENTING 300
I 300
1. MURID-MURID DJA'FAR SHADIQ JANG TERPENTING 306
II 306
2. MAZHAB EMPAT THP SJI'AH 311
3. PERSOALAN CHILAFIJAH 318
I 318
3. PERSOALAN CHILAFIJAH 324
II 324
5. SJALTUT DAN SJI'AH 337
IX. PENUTUP 347
BAHAN BATJAAN 348
AL-QUR'ANUL KARIM 348
AL-HADISUSJ SJARIF 348
----------------------------------
[1]
Thabari dari Ibnu Mas'ud.
[2]
Diriwajatkan oleh Sa'ad bin Abi Waqas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar