ilustrasi hiasan:
Oleh : ALLAMAH SYARAFUDDIN AL MUSAWI
Buku ini sederhana. Mudah dicerna. Suatu kisah perjalanan dan kisah
penemuan. Tetapi bukan penemuan teknologi atau biologi. Penemuan dalam
bidang agama dan mazhab falsafah kehidupan. Karena penemuan ini
berdasarkan pada pikiran yang sehat dan penelitian yang akurat, dimana
dengannya kodrat manusia berbeda dengan makhluk-makhluk yang lain, maka
kupersembahkan buku ini kepada setiap orang yang berpikiran rasional dan
berakal sehat. Yakni mereka yang ingin mencari suatu kebenaran sehingga
dapat membedakannya dengan yang batil; yang menimbang segala sesuatu
yang sampai padanya dengan neraca keadilan; yang hanya akan menerima
kebenaran semata-mata karena dalil dan landasannya yang sepenuhnya bisa
dipertanggungjawabkan; yang mampu membedakan antara jalan pikiran yang
logis dan tidak logis; antara pendapat yang kuat dan pendapat yang
lemah. Firman Allah, "Mereka yang telah mendengar berbagai pendapat lalu
ikut mana yang terbaik darinya, maka mereka adalah orang-orang yang
telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka adalah Ulul Albab." Kepada
mereka semua kupersembahkan buku ini, dengan harapan semoga Allah dapat
membukakan akal pikiran kita, membimbing, menyinari dan menunjukkan pada
kita mana yang baik agar bisa diikuti, dan mana yang batil agar bisa
dihindari. Semoga Allah berkenan menerima kita semua. Innahu Sami'un
Mujib. Sungguh Dia Maha Mendengar dan Maha Menyahuti permohonan
hamba-hamba-Nya. Amin.
Muhammad al-Tijani al-Samawi
DAFTAR ISI
SEJARAH RINGKAS HIDUPKU
HAJI KE BAITULLAH
SUKSES DI MESIR
PERJUMPAAN DIATAS KAPAL
PERTAMA KALI MELAWAT IRAK
ABDULQADIRAL-JAILANI DAN MUSA AL-KAZIM
RAGU-RAGU
BERANGKAT KE NAJAF
PERJUMPAAN DENGAN ULAMA
PERJUMPAAN DENGAN SAYED MUHAMMAD BAQIR AS-SADR
RAGU-RAGU DAN BINGUNG
BERANGKAT KE HIJAZ
MULANYA SUATU KAJIAN
AWAL TELAAH SECARA MENDALAM
PERDAMAIAN HUDAIBIYAH DAN SAHABAT
TRAGEDI HARI KAMIS DAN SAHABAT
SARIYYAH (EXPEDISI) USAMAH DAN SAHABAT
PANDANGAN ALQURAN TENTANG SAHABAT
PANDANGAN RASUL TENTANG SAHABAT
PANDANGAN SAHABAT SATU SAMA LAIN
MULANYA PERUBAHAN
DIALOG DENGAN ORANG ALIM
SEBAB-SEBAB IKUT MAZHAB AHLU BAIT
HADIS-HADIS SEPUTAR ALI MENYIRAT ARTI WAJIB IKUT
HADIS-HADIS SHAHIH YANG MEWAJIBKAN IKUT AHLUL BAIT
MUSIBAH KITA : IJTIHAD VERSUS NAS
MENDAPAT TEMAN DISKUSI
PETUNJUK KEBENARAN
CATATAN-CATATAN
BIBLIOGRAFI
SEJARAH RINGKAS HIDUPKU
MASIH tergambar jelas dalam ingatan ketika ayah mengajakku pergi ke masjid jami' di suatu bulan Ramadhan. Sepuluh tahun usiaku saat itu. Dikenalkannya aku pada jemaah masjid yang kala itu cukup mengagumiku. Berhari-hari guru ngajiku telah mempersiapkanku dengan hafalan-hafalan sejumlah ayat suci AlQuran. Pada saat shalat Teraweh, aku dan anak-anak yang lain ikut berjemaah dua atau tiga malam sampai sang imam membaca separuh AlQuran, yakni surah Maryam.
Ayah sangat menginginkan aku belajar AlQuran, baik di sekolah Tahfiz
AlQuran atau pada saat senggang di rumah dengan dibimbing imam masjid
jami', seorang dari kerabat kami yang hafal AlQuran. Aku telah hafal
AlQuran sejak kecil, maka wajarlah jika guruku ingin sekali menunjukkan
usaha-nya dan kelebihannya ini melaluiku. Diajarkannya padaku
tempat-tempat yang sepatutnya rukuk, dan berulang kali beliau melatihku
agar benar-benar aku dapat menghafalnya.
Dengan berhasil aku
membaca ayat suci di depan jamaah dengan baik, berarti aku lolos uji.
Inilah yang telah lama diharap-harapkan oleh ayah dan guruku itu. Semua
yang hadir mencium dan memujiku dengan ucapan-ucapan yang sarat
kekaguman yang luar biasa. Mereka mengucapkan rasa terima kasih kepada
guru yang mengajarku itu; dan memberi selamat pula pada ayahku. Semua
mengucapkan kata Alhamdulillah atas nikmat Islam dan "berkatnya Syaikh
".
Hari-hari yang kulalui selanjutnya serasa tak dapat kulupakan
begitu saja. Masa kecilku kuisi dengan prestasi yang mengundang
kekaguman orang banyak terhadapku dan kemasyhuran yang bahkan merayap
jauh ke kampung-kampung yang lain. Peristiwa-peristiwa itu meninggalkan
goresan-goresan yang hingga kini masih berbekas dalam hidupku. Setiap
kali aku nyaris khilaf, ada kekuatan yang maha dahsyat yang seakan
mengekangku dan membawaku kembali ke jalan yang benar. Dan setiap kali
kurasakan lemahnya semangat dan tidak bermaknanya kehidupan, kenangan
itulah yang mengangkatku kembali pada semangat yang sangat tinggi, dan
menyalakan api keimanan di dalam kalbuku untuk melalui hidup ini.
Betapa tidak, ayah dan guruku telah membebankan tanggung jawab yang
begitu besar padaku dalam usia yang sangat dini, sedemikian sehingga aku
selalu merasa yang aku adalah orang yang tidak layak untuk menjadi
orang setaraf itu atau paling tidak taraf yang mereka inginkan dariku.
Itulah kenapa aku lalui masa kecilku dan masa remajaku di dalam suasana
istiqamah yang relatif, walaupun kadang-kadang tak luput juga dari
kesalahan dan kesia-siaan yang timbul kebanyakannya dari rasa ingin tahu
dan taklid buta. Karunia Allah mencurah padaku sehingga aku berbeda
dari saudara-saudaraku yang lain dengan sikap tenang dan saleh, tidak
terpeleset dalam dunia maksiat dan dosa-dosa besar.
Tidak
mungkin kuniscayakan peran besar almarhumah ibuku dalam hidup ini.
Beliau yang membukakan mataku dan mengajarkanku surah-surah pendek dalam
AlQuran, juga hukum shalat dan wudhu. Beliau mencurahkan perhatian
yang besar kepadaku, mungkin karena aku adalah anak lelakinya yang
sulung. Di samping beliau juga mempunyai madu yang lebih tua darinya dan
telah mempunyai anak-anak yang hampir seusia dengannya. Sedemikian
tekun beliau asuh dan mendidikku seakan-akan beliau sedang berlomba
dengan madu dan anak-anak suaminya yang lain.
Nama Tijani yang
diberikan oleh ibuku juga mempunyai keistimewaan tersendiri dalam
keluarga as-Samawi. Mengingat mereka adalah pengikut Tijaniah yang
pertama kali sejak salah seorang anak Syaikh Sayyidi Ahmad Tijani yang
datang dari Jazair mengunjungi kota Qafsah dan tinggal di rumah
as-Samawi. Itulah awalnya. Hingga kini, sejumlah besar penduduk kota itu
khususnya kalangan keluarga yang berpendidikan dan kaya-raya mengikuti
Tarekat ini dan menyebarkannya. Kesamaan nama itu membuat aku makin
dicintai dalam Dar Samawi yang dihuni oleh lebih dari dua puluh
keluarga. Begitu juga di luar yang mempunyai hubungan dengan Tarekat
Samawi.
Banyak orang-orang tua yang pada waktu bersembahyang
pada malam-malam Ramadhan waktu itu --seingatku-- mencium kedua tanganku
dan kepalaku sambil mengucapkan tahniah kepada ayahku dan berkata: "Ini
adalah limpahan berkat dari Sayyidina Syaikh Ahmad Tijani."
Perlu diketahui bahwa Tarekat Tijaniah tersebar luas di Maghribi,
Jazair, Tunisia, Libya, Sudan dan Mesir. Dan pengikut-pengikut tarekat
ini agak taassub atau fanatik. Mereka tidak menziarahi kuburan para wali
yang lain. Mereka percaya bahwa semua wali telah belajar dari
masing-masing secara silsilah, kecuali Syaikh Ahmad Tijani. Beliau telah
belajar langsung dari Nabi SAWW walau jaraknya dengan zaman Nabi
dipisahkan oleh tiga belas abad. Mereka mengatakan bahwa Nabi SAWW
pernah mendatangi Syaikh Ahmad Tijani secara yaqazhatan, yakni secara
nyata, bukan melalui mimpi. Mereka juga berkata bahwa sembahyang
sempurna yang dilakukan oleh Syaikh adalah lebih baik dari empat puluh
kali mengkhatamkan AlQuran.
Sebaiknya kucukupkan saja
pembahasan tentang tarekat Tijaniah ini sebelum menjadi bertele-tele.
Karena kita akan menyentuhnya juga Insya Allah pada bab lain dari buku
ini.
Aku tumbuh seperti layaknya anak-anak muda yang lain di
atas kepercayaan ini. Alhamdulillah, karni semua adalah muslim Ahlu
Sunnah Wal Jamaah, yang bermazhab Maliki, dari Imam Malik bin Anas, Imam
Dar al-Hijrah. Namun kami terpisah di dalam berbagai tarekat sufi yang
tumbuh bagai cendawan di Utara Afrika. Di kota Qafsah sendiri, ada
Tijaniah, Qadiriah, Rahmaniah, Salamiah dan 'Isawiah. Setiap tarekat
mempunyai pengikut yang hafal qasidah, zikir dan wirid-wirid yang dibaca
di majlis-majlis tertentu, sembari mengaji AlQuran, seperti saat
khatan, majelis syukuran atau karena nazar. Walaupun tidak luput dari
unsur-unsur negatif, namun tarekat-tarekat seperti ini memainkan peranan
penting dalam menyebarkan syiar-syiar keagamaan dan menghormati para
wali dan orang-orang yang shaleh. o
HAJI KE BAITULLAH
USIAKU delapan belas tahun ketika Gerakan Pramuka Tunisia menunjukku untuk mewakili negara dalam Seminar Pertama Penelitian Arab dan Islam di Mekkah. Turut bersamaku dua orang kepala sekolah, seorang guru di Tunis, wakil dari media lokal, dan seorang staf dari Kementerian Pendidikan. Ketika itu aku adalah peserta yang paling muda, baik dalam usia maupun pengalaman.
Kami sempat mengunjungi Athena tiga hari, kemudian Amman empat hari,
sebelum akhirnya tiba di Mekkah untuk mengikuti seminar dan melaksanakan
ibadah haji dan umrah.
Ketika pertama kali kulangkahkan kakiku
memasuki pelataran Baitullah Al-Haram jantungku berdebar cepat. Tuhan,
bagaimana mungkin kulukiskan dengan kata-kata! Degupan hatiku yang kuat
seolah-olah ingin mendobrak dinding penghalang untuk dapat melihat
sendiri Baitul 'Atiq yang selama ini cuma terkungkung dalam angan-angan.
Air mata mengucur membentuk aliran kecil seakan tak mampu kutahan.
Kesadaranku melayang sampai ke bumbung ka'bah lalu menyahuti seruannya
dari atas sana: "Labbaik Allahumma Labbaik. Inilah aku Tuhan, yang
datang menghadap-Mu".
Seiring kudengar talbiah jemaah haji,
yang meluangkan waktu di sela-sela sisa usia mereka dan datang dengan
persiap-an bekal harta. Maka kupikir itulah bedanya, karena kupikir aku
tidak punya waktu buat berbenah. ietapi aku datang dengan diriku saja.
Lalu kulukis di benakku ketika ayah menangis dan menciumiku begitu
dilihatnya tiket pesawat untuk ke Mekkah. Kuingat jelas di sela isak
tangisnya, "Oh, anakku, Allah bahkan telah mengundangmu dalam usia yang
begini muda. Ingat, kau adalah anak Sayyidi Ahmad Tijani. Pintaku,
doakan ayahmu sesampainya kau di rumah-Nya. Semoga aku diampuni-Nya dan
diberinya rizqi untuk menyusul kau ke sana".
Aku tidak tahu
bagaimana aku harus bersyukur atas karunia-Nya yang tidak diberikannya
pada tiap orang ini. Adakah orang yang berhak menyahuti panggilan ini
lebih dari padaku? Pada ibadah tawafku, shalatku, sa'iku, bahkan ketika
meneguk air zam-zam sekalipun. Atau ketika semua orang mencoba saling
mengalahkan untuk dapat mencapai gua Hira' di gunung Jabal Nur. Tidak
ada yang dapat mengalahkanku kecuali seorang anak muda dari Sudan. Aku
rukuk sujud di sana seakan-akan kucium batu Rasulullah dan kurasakan
nafasnya. Kupahat semua ini dalam ingatanku agar tak kan terlupa
selama-lamanya.
Satu lagi limpahan karunia yang harus kusyukuri
adalah perubahan sikap orang-orang utara yang tadinya sinis terhadapku.
lebih dari itu, setiap delegasi lain bahkan yang tidak aku kenal, serta
merta menyukaiku ketika melihatku dan meminta alamat supaya dapat
berkirim surat. Sekali-sekali dalam beberapa kesempatan, kubawakan
syair-syair dan qasidah-qasidah yang kuhafal di hadapan mereka. Beberapa
penghargaan bahkan kuraih dalam acara kesenian dan lomba-lomba sejenis.
Pada akhir kunjungan, aku berhasil mengumpulkan lebih dari dua puluh
alamat teman-teman dari berbagai bangsa.
Dua puluh hari berlalu
di Saudi tanpa terasa. Petuah berbagai ulama yang kami kunjungi sempat
mengesankanku. Mereka berpegang teguh pada tradisi Wahabi dan alangkah
senangnya kalau kaum Muslimin seluruhnya melakukan hal yang sama. Betapa
besar rasa hormatku pada mereka yang telah dipilih Allah dari sekian
banyak hamba-hambaNya untuk menjaga Baitullah Al-Haram ini. Mereka
bahkan dikaruniainya minyak agar dapat melayani dengan khidmat tamu-tamu
Allah yang datang dan menjamin keselamatan mereka.
Tiba saat
kepulangan ke tanah airku. Aku memakai pakaian ala Saudi lengkap dengan
iqal (yang melilit kepala). Aku sangat terkejut. Ternyata orang telah
ramai berkumpul di stasiun kereta api, dipimpin sendiri oleh Syaikh
Tarekat 'Isawiyah, Syaikh Tijaniah dan Syaikh Qadiriah , lengkap dengan
gendang kebesaran sufi.
Aku diarak mengelilingi jalan-jalan kota,
sembari dikumandangkan seruan takbir dan tahlil. Orang-orang memintaku
berhenti setiap kali kami melalui sebuah masjid. Masyarakat ramai
berdesak-desakan berebut menciumiku, terutama para orang-orang tua, yang
sudah tentu amat merindukan saat-saat dapat bertamu ke rumah Allah dan
berdiri dekat pusara Nabi SAWW. Di kota Qafsah yang kecil ini, aku
adalah orang pertama untuk seusiaku, yang menunaikan ibadah haji.
Itulah hari-hari bahagiaku. Para pemuka daerah berbondong-bondong
berkunjung ke rumah untuk mengucapkan selamat dan memintakan doa.
Kadang-kadang sekedar untuk memintaku membacakan surat Fatihah. Aku
merasa malu juga. Setiap kali para tetamu keluar, ibuku akan masuk
sambil meniupkan asap gahru dan memohon perlindungan dari tipu daya
orang-orang jahat dan setan yang terkutuk.
Ayahku mengadakan
kenduri selama tiga hari berturut-turut demi Yang Mulia Tijaniah. Setiap
hari beliau menyembelih seekor kambing. Orang-orang masih saja hadir
bertanya segala sesuatu, sampai ke persoalan yang kecil sekalipun.
Jawabanku rata-rata berkisar antara rasa kekagumanku terhadap Saudi dan
semangat mereka dalam menyebarkan Islam dan membela kaum muslimin.
Sejak itu aku berhak atas sebutan "Tuan Haji". Dan aku mulai dikenal
oleh khalayak, terutama di kalangan aktifis agama, seperti Jamaah
Ikhwanul Muslimin. Aku pergi ke masjid-masjid dan melarang orang-orang
mencium nisan kuburan atau mengusap kayu-kayunya. Aku berusaha
meyakinkan mereka bahwa itu adalah syirik kepada Allah. Aktifitasku pun
semakin padat. Aku mulai mengajar di beberapa masjid pada hari Jumat
sebelum khutbah. Aku berpindah-pindah dari masjid Abi Ya'qub ke masjid
jami' agung, karena sembahyang Jumat didirikan di kedua mesjid itu pada
waktu yang berlainan. Masjid Abi Ya'qub memulai sembahyang Jumat pada
waktu Zhuhur, sementara masjid jami' pada waktu Asar.
Pengajian-pengajian hari Ahad juga banyak dihadiri oleh para pelajar
tingkat atas, tempat aku mengajar Ilmu Teknik dan Tekhnologi. Mereka
kelihatan sangat suka menghadiri pengajianku. Aku berusaha keras
mengikis ajaran-ajaran yang mengendap di benak mereka lantaran
in-doktrinasi para guru mereka yang atheis, sekuler dan komunis. Mereka
yang tidak punya cukup kesabaran untuk menanti saat-saat tiba pengajian
itu datang ke rumah. Dan aku juga telah membeli beberapa buku agama
sebagai referensi yang menambah pengetahuan supaya aku dapat menjawab
setiap pertanyaan dengan baik.
Bersamaan dengan itu sekali lagi
aku diberi kesempatan oleh Allah untuk memiliki separuh agamaku yang
lain. Hal itu juga yang dicita-citakan ibuku sebelum tiba akhir
hayatnya. Aku menikahi seorang gadis pilihan ibuku yang tak pernah
kukenal sebelumnya. Ibuku bahkan sempat menyaksikan kelahiran anak
pertama dan keduaku. Baru setelah itu ia menghadap panggilan-Nya dengan
tenang, menyusul kepergian ayahku dua tahun sebelumnya, sesudah ia
sempat menunaikan ibadah haji ke tanah suci dan bertaubat kepada Allah,
Taubatan Nasuha.
Revolusi Libya muncul ke permukaan saat kaum
muslimin dan Arab mengalami kekalahan yang memalukan dalam peperangannya
dengan Israel. Anak muda pemimpin revolusi itu muncul dan berbicara
atas nama Islam. Beliau sembahyang dengan ummat di masjid dan menyeru
pada pembebasan al-Quds. Beliau sangat menarik perhatianku dan perhatian
seluruh pemuda-pemuda Arab serta penjuru negara Islam yang lain. Rasa
ingin tahu kami akhirnya mendorong kami untuk mengadakan kunjungan
kebudayaan ke Libya. Bersama dengan empat puluh orang-orang terpelajar,
kami pun berangkat menuju ke sana pada masa-masa awal revolusi itu. Kami
kembali dengan kekaguman yang luar biasa dan rasa optimis terhadap masa
depan yang diharapkan akan dapat membawa kebahagiaan bagi seluruh umat
Islam dan Arab secara keseluruhan.
Sementara itu hubungan
korespondensiku dengan beberapa teman berjalan dengan tanpa hambatan. Di
suatu cuti panjang musim panas, aku berencana ingin mengadakan suatu
perjalanan selama tiga bulan melalui Libya , lalu kemudian ke Mesir.
Dari sana aku akan melalui jalan laut menuju Lebanon, Syria, Jordan dan
Saudi. Di sana aku akan melaksanakan ibadah umrah dan memperbaharui
janji setiaku terhadap faham Wahabiah yang telah banyak kupropagandakan
di kalangan para mahasiswa dan pelajar serta masjid-masjid yang dihadiri
oleh Jamaah Ikhwan Muslimin.
Kemasyhuranku merebak di
negeri-negeri yang kulalui. Seorang musafir kadang-kala berlalu di
tempat kami lalu sembahyang Jumat dan menghadiri kuliahku. Ketika pulang
dia menyebarkan kepada masyarakat sekitarnya, sehingga sampailah ke
telinga Syaikh Ismail al-Hadifi, pemimpin tarekat sufi yang terkenal di
kota Tuzer, ibu negeri al-Juraid dan tempat persemadian Abul Qasim
as-Syabi, seorang penyair yang termasyhur. Syaikh ini mempunyai pengikut
dan penggemar di seluruh pelosok Tunisia; bahkan di luar negeri
sekalipun di kalangan para pekerja di Perancis dan Jerman.
Suatu hari melalui para wakilnya di Qafsah beliau menjemputku untuk
mengunjunginya. Diutusnya sepucuk surat yang panjang untukku dengan
ucapan rasa terima kasih karena jasaku terhadap Islam dan kaum muslimin.
Orang-orang berkata bahwa semua itu tidak akan mendekatkanku pada Allah
sedikit pun jika tidak melalui jalannya Syaikh yang arif itu. Ini
berdasarkan hadis yang sangat masyhur di kalangan mereka: "Barang siapa
yang tidak memiliki Syaikh maka syaikhnya adalah syaitan. Mereka juga
berkata: "Engkau juga seharusnya memiliki Syaikh yang akan menunjukkanmu
pada jalan yang benar; kalau tidak maka separuh ilmumu akan sia-sia..."
Mereka juga berkata bahwa Shohib Zaman, yakni Syaikh Ismail ini, telah
memilihku untuk menjadi Khasal-Khas, yakni kalangan yang paling dekat
dengannya.
Mendengar ini hatiku terasa gembira sekali. Aku
menangis lantaran sangat terharunya pada karunia Allah yang terus
mengangkatku dari makam yang tinggi ke makam yang lebih tinggi lagi dan
dari kedudukan yang baik kepada yang lebih baik. Sebelum ini aku pernah
menjadi pengikut Sayyidi al-Hadi al-Hufyan, seorang syaikh sufi yang
konon mempunyai banyak keramat dan keistimewaan-keistimewaan. Bahkan aku
pernah menjadi sahabatnya yang terdekat. Aku juga pernah mendampingi
Sayyidi Shaleh Bis Saih dan Sayyidi al-Jilani serta berbagai guru
tarekat yang ada. Kutunggu waktu perjumpaan yang dijanjikan itu dengan
penuh kesabaran.
Ketika aku masuk ke rumah Syaikh kujumpai
berbagai wajah sedang menantinya dengan penuh semangat. Murid-muridnya
ramai yang hadir di majlis itu. Di antara mereka ada sejumlah
orang-orang tua yang memakai pakaian serba putih. Setelah acara Tahiyah
(ucapan salam), maka Syaikh Ismail keluar. Semua yang hadir mencium
tangannya dengan penuh sikap hormat. Dan wakilnya yang membawaku ini
menggenggam tanganku sambil mengatakan bahwa inilah Syaikh Ismail. Aku
tidak merasa kagum sama sekali meng-ingat rupanya tidak sehebat apa yang
terbayang di benakku. Wakil dan para pengikutnya telah menceritakan
berbagai macam keramat dan mukjizat Syaikh ini sehingga kehebatan
ketokohannya terukir besar di dalambayanganku. Namun apa yang kulihat
beliau hanyalah seorang syaikh biasa yang tidak mempunyai wibawa dan
keagungan. Si wakil memperkenalkanku kepadanya di tengah-tengah majelis.
Beliau menyambutku dan mempersilahkan aku duduk di samping kanannya.
Setelah makan dan minum, acara dimulai. Kemudian wakil ini memintaku
mengambil perjanjian dan wirid dari Syaikh. Setelah itu maka semua yang
hadir memberi ucapan selamat kepadaku dan memelukku.
Dari
percakapan mereka aku faham bahwa mereka sebenarnya telah sering
mendengar namaku. Sebagian jawaban Syaikh kepada orang-orang yang
bertanya kadang-kadang kusanggah berdasarkan hujah-hujah AlQuran dan
Sunnah. Tetapi sebagian yang hadir rupanya menganggap itu perbuatan cela
dan sikap kurang ajar kepada Syaikh. Kerana biasanya mereka tidak
berbicara jika berada di dalam majelis kecuali seizinnya. Sikap
ketidakpuasan mereka ini dirasakan oleh Syaikh. Dengan cara yang bijak
beliau meredakan perasaan mereka seraya berkata: "Barang siapa yang pada
mulanya bersikap berapi-api maka pada akhirnya akan cemerlang". Majelis
menganggap ini sebagai "isyarat baik" dari Syaikh, dan akan menjadi
jaminan paling besar bagi kecemerlangan akhirku.
Mereka
memberikan ucapan selamat kepadaku. Tetapi Syaikh adalah seorang yang
pandai dan terlatih. Beliau tidak memberiku sedikitpun kesempatan untuk
melanjutkan sanggahan yang "mengejutkan" itu. Diceritakannya hikayat
seorang yang A'rif Billah (baca: wali) ketika duduk bersama sejumlah
alim-ulama. Kepada salah seorang dari ulama ini si wali berkata," Bangun
dan pergilah mandi!" Si alim pergi dan mandi. Kemudian dia datang
semula ke majlis. Sebelum sempat duduk, si wali berkata lagi padanya,
Pergi mandi lagi!". Lalu dia pergi dan mengulangi mandinya dengan cara
yang paling baik, khawatir mandi yang pertama tadi tidak benar. Kemudian
dia datang lagi untuk duduk di majelis, namun Syaikh tetap saja
menyuruhnya pergi dan mandi. Kemudian si alim ini menangis dan berkata,
"Ya Tuan Syaikh, aku telah mandi dengan cara ilmuku dan amalku. Tiada
apa-apa lain dalam diriku melainkan apa yang akan Allah bukakan kelak
melalui kedua tanganmu". Lalu Syaikh ini berkata: "Sekarang duduklah".
Aku tahu bahwa yang dimaksudkan dari cerita ini adalah diriku. Begitu
pula para hadirin. Begitu Syaikh keluar dari majelis mereka mencelaku
dan menyuruhku diam dan wajib hormat bila duduk di hadapannya. Mengingat
Syaikh ini adalah Sohib Zaman (Pemilik Zaman), sikapku ini
dikhawatirkan akan menggugurkan amal-amal baikku saja. Hujjah mereka
adalah firman Allah berikut: "Wahai orang-orang yang beriman, Janganlah
kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi; dan janganlah kamu
berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara)
sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak terhapus
(pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari ". (al-Hujurat: 2)
Aku sadar akan harga diriku. Kuikuti perintah dan nasehat-nasehatnya;
dan lebih didekatkannya lagi aku kepadanya. Aku tinggal bersama
dengannya tiga hari dimana aku juga bertanya berbagai masalah kepadanya
yang sebagiannya sekedar ingin mengujinya. Syaikh tampaknya sadar akan
sikapku ini, lalu berkata bahwa AlQuran memiliki makna zahir dan batin,
hinggah ke tujuh batin. Allah juga telah membukakan untukku peti
rahasia-Nya, dan menunjukkan kepadaku Kursinya yang khas dimana terdapat
salasilah orang-orang yang shaleh dan a'rif secara musnad dan
bersambung kepada Abul Hasan as-Syazali, dan terus kepada sejumlah para
wali sehinggalah sanadnya sampai kepada Imam Ali Karamallah Wajhahu.
Perlu kuceritakan juga bahwa majlis-majlis mereka adalah bersifat
ritualistik atau kerohanian. Mula-mula Syaikh akan membukanya dengan
bacaan beberapa ayat AlQuran yang mudah secara tajwid. Kemudian membaca
qasidah yang diikuti oleh para muridnya yang hafal berbagai madah dan
zikir yang kebanyakannya mencela dunia dan mengajak pada akhirat, makna
zuhud serta wara'. Setelah itu murid yang duduk di sisi kanan Syaikh
akan membacakan ayat-ayat AlQuran yang baru, dan Syaikh serta merta akan
membacakan qasidah yang akan diikuti oleh semua yang hadir. Begitulah
seterusnya secara bergilir walau sekadar satu ayat. Kemudian seperti
seolah-olah tak sadar, mulaiah para hadirin menggoyangkan badannya ke
kanan dan kiri mengikut rentak madah tadi sampailah tuan Syaikh berdiri
dan berdirilah semua yang hadir sehingga membentuk satu lingkaran dengan
Syaikh berada di tengah-tengah. Kemudian mereka menyebutkan
"zikir-dada" : ah.. ah.. ah. ah. ah.. Dan Syaikh keliling di
tengah-tengah mereka dan menghadap setiap satu dari mereka dengan suara
bacaan yang keras sekali. Kemudian sebagian dari mereka melompat-lompat
dalam satu gerakan bak kegilaan sambil mengangkat suara tinggi-tinggi
yang berirama tetapi menakutkan. Setelah keletihan maka majlis tenang
kembali dengan diakhiri qasidah Syaikh. Dan setelah mencium kepala
Syaikh dan bahunya secara bergilir maka semua yang hadir akan duduk
kembali.
Aku telah mengikuti pertemuan mereka beberapa kali
hanya sekedar tanda simpati tanpa diiringi sikap rela hati. Jiwaku
berkecamuk dengan kacaunya keyakinan yang kupegang sementara ini, yakni
coba tidak mensyirikkan Allah seperti bertawassul kepada selain Allah.
Aku jatuh ke bumi sambil menangis tersedu-sedu karena bingung dengan dua
aliran yang sangat kontradiktif ini; aliran sufi yang penuh dengan
acara-acara ritualistik, dimana jiwa manusia akan terasa sesuatu
kezuhudan dan kedekatan pada Allah melalui para wali-Nya yang shaleh dan
hamba-Nya yang a'rif; dan aliran Wahhabiah yang mengajarku bahwa semua
itu adalah syirik pada Allah. Dan Syirik adalah dosa yang tidak
terampuni.
Jika Muhammad Rasulullah SAWW tidak mengizinkan bertawassul maka apalah artinya para wali dan orang-orang shaleh itu?
Walau pun Syaikh telah menempatkanku pada "maqam" yang tinggi --sebagai
wakilnya di Qafsah-- tetapi jiwaku belum merasa puas sama sekali.
Walaupun kadang-kadang aku condong pada tarekat sufi dan sering
menyimpan rasa hormat dan takzim kepada para wali Allah dan orang-orang
shaleh tersebut, namun aku juga tetap berpegang teguh pada firman Allah:
"Jangan kamu menyeru bersama Allah Tuhan lain; tiada Tuhan selain Dia"
(al- Qishos: 88). Jika ada orang berkata bahwa Allah berfirman, "Wahai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan carilah
jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya" (al-Maidah: 35) maka aku akan
jawab seperti apa yang diajarkan kepadaku oleh ulama-ulama Saudi bahwa
al-wasilah yang dimaksudkan adalah amal yang shaleh.
Alhasil
aku hidup waktu itu dengan perasaan yang gelisah dan pemikiran yang
ruwet. Kadang-kadang sebagian murid-murid Syaikh datang ke rumahku dan
mengadakan acara-acara serupa dalam bentuk halaqah-halaqah sampai para
tetanggaku merasa terganggu dengan suara ah.. ah.. kami. Setelah kutahu
itu maka aku minta agar mereka mengadakannya di rumah lain dan aku minta
maaf lantaran ingin keluar negeri selama tiga bulan. Kemudian aku
berpisah dengan keluarga dan kaum kerabatku menuju Tuhanku dengan penuh
rasa tawakkal kepada-Nya tanpa mensyirikkan-Nya sekali-kali.
SUKSES DI MESIR
AKU berada di Tripoli hanya selama masa visa yang mereka berikan kepadaku melalui kedutaan Mesir di Tunisia saja. Di sana aku berjumpa teman-teman yang kemudian banyak membantuku. (Semoga Allah membalas jasa mereka). Dalam perjalanan ke Kairo yang memakan waktu tiga hari tiga malam, aku berjumpa empat orang Mesir yang baru pulang kerja dari Libya. Aku berbincang dengan mereka mengenai segala hal, dan kusitir beberapa ayat-ayat suci. Tampaknya mereka menyukaiku dan masing-masing mengajakku singgah ke rumahnya. Akhirnya kuturuti ajakan salah seorang di antara mereka, yang bernama Ahmad. la sangat gembira dan menyambut hangat kesediaanku (Mudah-mudahan Allah berkenan membalas jasanya).
Selama dua puluh hari aku berada di Kairo, aku sempat mengunjungi rumah
seorang penyanyi terkenal, Farid al-Athrasy, yang menghadap sungai Nil.
Kukenal ia lewat majalah-majalah Mesir yang beredar di Tunisia dan
kukagumi pribadi serta sikap kerendahan hatinya. Sayang, hanya dua puluh
menit kami sempat berbual, karena ia akan berangkat ke Lebanon. Aku
juga sempat mengunjungi kediaman Syaikh Abdul Basit Abdus Somad, qari'
AlQuran yang sangat terkenal itu. la juga termasuk orang-orang yang
kukagumi. Selama tiga hari kami berdiskusi tentang banyak hal bersama
keluarga dan sahabat-sahabatnya. Tampaknya mereka kagum terhadap
semangat, ketegasan, serta keluasan wawasan yang kumiliki. Jika mereka
berbicara tentang seni, aku juga berbicara tentang seni secara panjang
lebar. Apabila mereka berbicara tentang zuhud dan kehidupan sufistik,
kuceritakan tentang Tarekat Tijaniah yang berprestasi tinggi. Jika
mereka berbicara tentang dunia barat, kuceritakan kepada mereka tentang
Paris, London, Belgia, Belanda, Italia, dan Spanyol yang sempat
kukunjungi di masa-masa liburan musim panas yang lalu. Bila mereka
berbicara tentang haji maka kuceritakan bahwa aku juga telah menunaikan
ibadah haji dan kini akan pergi umrah pula. Kuceritakan kepada mereka
tempat-tempat yang tidak mereka ketahui, sekalipun oleh mereka yang
pernah pergi haji sebanyak tujuh kali, seperti Gua Hira', Gua Thur dan
tempat di mana Nabi Ismail disembelih. Bila mereka berbicara tentang
sains dan penemuan-penemuan, kuceritakan juga tentang sains secara
detail dan rinci. Bila mereka berdiskusi tentang politik, aku dapat
patahkan hujah-hujah mereka sambil berkata: "Semoga Allah melimpahkan
rahmat-Nya kepada Nasir Shalahuddin al-Ayyubi yang telah mengharamkan
dirinya dari tersenyum apalagi tertawa. Ketika orang-orang dekatnya
mencela danberkata, "Dahulunya Nabi SAWW senantiasa tampak tersenyum,
maka Ayyubi menjawab: bagaimana kalian inginkan aku tersenyum sementara
masjid al-Aqso masih berada di bawah tangan musuh-musuh Allah. Tidak,
demi Allah, Aku tidak akan senyum sampai aku dapat membe-baskannya atau
mati karenanya."
Beberapa syaikh dari al-Azhar ikut hadir dalam
majlis kami. Mereka sangat kagum dengan segala yang kuhafal seperti
hadis, ayat-ayat suci AlQuran, dan hujjah-hujjah kuat lainnya. Mereka
bertanya dari universitas mana kuperoleh gelar sarjana. Kujawab bahwa
aku adalah sarjana dari Univer-sitas Zaitun, yang telah didirikan
sebelum Universitas al-Azhar. Kukatakan pula bahwa orang-orang Fatimiah
yang mendirikan al-Azhar itu sebenarnya berasal dari kota al-Mahdiah,
Tunisia.
Aku sempat berkenalan dengan sejumlah ulama dari
Universitas al-Azhar. Mereka pinjamkan padaku sejumlah buku. Suatu hari,
ketika aku sedang mengunjungi salah seorang pegawai administrasi
al-Azhar, tiba-tiba datang seorang ahli Dewan Kepemimpinan Revolusi
Mesir dan menjemputnya untuk hadir dalam suatu perhimpunan kaum muslimin
di sebuah perusahaan besi baja Mesir di Kairo, yang rusak akibat Perang
Oktober ketika itu. Beliau tidak mau pergi melainkan aku ikut serta. Di
sana mereka memintaku memberikan ceramah kepada para hadirin. Dan
kulakukan tugas ini dengan mudah lantaran aku telah terbiasa memberikan
ceramah sejenis di masjid-masjid dan markas-markas kebudayaan di
Tunisia.
Yang penting dalam bab ini adalah kisah tentang mulai
membumbungnya perasaanku dan sikap mengagumi diri yang mulai timbul. Aku
berpikir bahwa aku telah menjadi seorang alim yang berpengetahuan
tinggi. Betapa tidak, ulama-ulama al-Azhar sendiri telah mengakui hal
tersebut. Mereka berkata: "Tempatmu sudah selayaknya di al-Azhar ini".
Dan yang lebih membanggakan lagi adalah "izin" Rasulullah yang diberikan
kepadaku untuk melihat peninggalan-peninggalannya, seperti yang
dikatakan oleh pegawai yang mengurus masjid Sayyidina Husain di Kairo.
Pegawai itu hanya mengajakku untuk masuk ke dalam hujrah, ruang yang
tidak dibuka kecuali olehnya sendiri. Dan ketika kami masuk dibukanya
sebuah almari dan dikeluarkannya sehelai baju Nabi SAWW, lalu kucium
baju tersebut. Juga diperlihatkannya padaku sejumlah peninggalan yang
lain. Aku menangis begitu melangkahkan kakiku meninggalkan tempat itu.
Sungguh tidak kusangka perhatian beliau kepadaku. Pegawai itubahkan
tidak minta dariku upah sepeser pun. Dia hanya mengambil sesuatu yang
sangat sedikit setelah kupaksa dan mendesaknya. Diucapkannya selamat
kepadaku sambil berkata bahwa aku adalah orang yang diterima di sisi
Nabi SAWW.
Peristiwa ini begitu mengesankanku, sedemikian
sehingga aku mulai menyangsikan apa yang dikatakan Wahabiah bahwa
selesailah sudah riwayat Nabi SAWW sebagaimana orang-orang lain yang
sudah meninggal. Seandainya seorang syahid di jalan Allah tidak "mati",
bahkart hidup mendapatkan rezeki di sisi Tuhannya, maka betapa pula
penghulu para nabi dan rasul. Keyakinan ini diperkuat oleh
pelajaran-pelajaran tasawwuf yang pernah kudapat dahulu yang memberikan
hak dan kebenaran kepada para wali dan syaikh-syaikh mereka untuk
"campur tangan" di dalam perjalanan alam fana ini. Mereka percaya bahwa
Allah SWT telah memberikan izin kepada mereka, lantaran mereka taat
kepada-Nya dan patuh pada segala perintah-Nya. Lagipula ada sebuah hadis
qudsi yangberkata:" Wahai hamba-Ku, taatlah kepada-Ku niscaya kau akan
menjadi seperti-Ku, mengatakan kepada sesuatu: jadilah, maka ia akan
menjadi." Itulah awal terjadinya konflik-konflik yang hebat dalam
batinku.
Aku akhiri kunjungan ke Mesir dengan mengunjungi
berbagai masjid dan sembahyang di dalamnya. Di antaranya Masjid Malik,
Masjid Abu Hanifah, Masjid Syafi'i dan Masjid Ahmad bin Hanbal. Kemudian
kuziarahi juga pusara Sayyidah Zainab dan Sayyidina Husain. Juga tak
ketinggalan Pondok Tijaniah yang meninggalkan banyak cerita.
PERJUMPAAN DIATAS KAPAL
AKU berangkat ke Iskandariah pada hari yang telah ditentukan agar dapat naik kapal Mesir yang akan menuju Beirut. Waktu itu aku sangat lelah dan pikiranku letih. Aku berbaring dan tertidur barang sejenak. Setelah dua atan tiga jam perjalanan, aku dikejutkan oleh suara orang di sebelahku. "Nampaknya saudara yang satu ini sangat keletihan" katanya. "Ya memang. Saya sangat letih karena perjalanan dari Kairo ke Iskandariah. Semalam saya harus menempuh perjalanan yang melelahkan untuk bisa sampai di pelabuhan sesegera mungkin. Jadi terpaksa tidur sedikit tadi malam." Jawabku.
Dari percakapan kami, aku menduga bahwa ia bukanlah orang Mesir.
Seperti biasa rasa ingintahuku mendorongku untuk mengenalnya lebih jauh.
Kuperkenalkan diriku. Ternyata beliau berasal dari Iraq dan bertugas
sebagai lektor di Universitas Baghdad. Namanya Mun'im. Beliau datang ke
Kairo dalam rangka studi untuk mengambil gelar doktor dari Universitas
al-Azhar.
Perbincangan kami berkisar tentang Mesir, dunia Arab
dan dunia Islam lain. Kami juga berdiskusi tentang kekalahan Arab dan
kemenangan Yahudi serta banyak hal. Antara lain kukatakan bahwa puncak
kekalahan adalah terpecahnya Arab dan kaum muslimin ke berbagai negara,
bangsa dan mazhab. Meskipun jumlah mereka banyak tetapi tidak bernilai
sama sekali di mata musuh-musuh mereka.
Kami juga berbicara
banyak tentang Mesir dan rakyatnya. Kami sependapat tentang puncak
kekalahan mereka. Kutambahkan bahwa aku sebenarnya tidak menyukai
perpecahan yang telah direkayasa para imperialis itu. Mereka cuma
bertujuan ingin dengan mudah menguasai dan mengalahkan kita. Kita masih
membedakan antara Maliki dengan Hanafi. Dan kuceritakan padanya tentang
peristiwa pahit yang kualami ketika sembahyang Asar berjama'ah di masjid
Abu Hanifah, Kairo. Usai shalat tiba-tiba orang yang berdiri di
sampingku dengan nada marah berkata padaku, "Kenapa kau tidak sedekapkan
tanganmu ketika sembahyang tadi?". Kujawab dengan penuh hormat bahwa
Mazhab Maliki meluruskan tangannya saat shalat, dan aku adalah penganut
mazhab Maliki". "Kalau begitu sembahyang saja di Masjid Malik!",
jawabnya jengkel. Lalu aku keluar dari masjid dengan perasaan kesal dan
kecewa.
Tiba-tiba ustadz Iraq ini tersenyum dan berkata
kepadaku bahwa dia bermazhab Syi'ah. Aku terkejut mendengarnya. Lalu
tanpa mau perduli kukatakan kepadanya bahwa jika aku tahu yang dia
adalah seorang Syi'ah aku tidak akan sudi berbicara dengannya. "Kenapa?"
tanyanya. " Kalian bukan orang-orang muslim. Kalian menyembah Ali bin
Abi Thalib. Orang yang paling moderat dari kalian memang menyembah
Allah, namun mereka tidak beriman pada Risalah Nabi Muhammad SAWW.
Mereka mencaci Malaikat Jibril dan berkata bahwa dia telahberbuat salah.
Kalian mengatakan seharusnya wahyu diturunkan kepada Ali, bukan kepada
Muhammad". Dengan tegas kukatakan seperti itu tanpa henti sementara
temanku terus mendengarkan sembari sekali-kali tersenyum.
Dia bertanya padaku: "Apakah Anda seorang guru?" "Ya", jawabku.
"Jika guru yang berpikir seperti ini maka tidak heran kalau orang-orang
awam yang tidak terpelajar juga akan berpikir demikian."
"Apa maksud Anda ?" Tanyaku mengulang.
"Maaf. Dari mana Anda memperoleh propaganda-propaganda bohong seperti ini?"
"Dari buku-buku sejarah dan dari ucapan orang banyak."
"Tinggalkan apa yang dikatakan orang. Tetapi buku sejarah mana yang Anda baca? "
"Buku Fajrul Islam, Dhuhal Islam dan Zhurul Islam karya Ahmad Amin dan sebagainya."
"Kapan Ahmad Amin menjadi wakil Syi'ah? Untuk berlaku adil dan objektif
Anda mesti merujuk kepada sumbernya yang asli." Katanya.
"Mengapa saya harus kaji suatu perkara yang telah dikenal oleh kalangan khusus dan umum?".
"Ahmad Amin sendiri telah berkunjung ke Iraq. Dan aku sempat berjumpa
dengannya di Najaf. Ketika kami menyinggung tulisannya tentang Syi'ah,
beliau meminta maaf sambil berkata, "Aku tidak tahu apa-apa tentang
kalian dan aku tidak pernah berhubungan dengan Syi'ah sebelum ini. Ini
adalah yang pertama kali aku berjumpa dengan orang-orang Syi'ah." Kami
katakan padanya bahwa satu permohonan maaf kadangkala lebih buruk dari
berbuat kesalahan itu sendiri. Bagaimana Anda tidak tahu apa-apa tentang
kami lalu Anda tulis segala sesuatu yang buruk tentang kami.
Kemudian beliau melanjutkan:
"Ya akhi, jika kita menghukumi agama Yahudi dan Nasrani melalui
AlQuran, itu salah, kendatipun ia adalah alasan dan hujjah yang sangat
kuat bagi kita, namun bagi mereka itu adalah tidak sah. Suatu
argumentasi akan menjadi sangat kuat apabila kesalahan mereka kita
buktikan melalui kitab-kitab yang mereka percayai sendiri".
Kata-katanya ini menyentuh hatiku persis seperti hati kering yang
tersiram air sejuk. Diriku tiba-tiba saja berobah dari sikap hasad dan
dengki menjadi rasa ingin tahu. Kuen-dapkan kata-katanya yang bijak dan
hujjahnya yang kuat. Apa salahnya jika aku berendah hati sedikit dan
mendengar kata-katanya.
"Kalau begitu Anda percaya pada kenabian Muhammad?" Tanyaku.
"Sallallahu Alaihi Wa Alihi Wasallam." Sambungnya. "Semua orang Syi'ah
percaya pada kenabian Muhammad. Ya akhi, semestinya Anda teliti sendiri
apa itu Syi'ah sampai tuntas agar tidak menaruh prasangka jelek terhadap
saudara-saudara Anda dari mazhab Syi'ah. Ketahuilah bahwa sebagian dari
prasangka itu adalah dosa. Apabila Anda benar-benar ingin mengetahui
apa itu kebenaran dan mau menyaksikannya dengan mata kepala sendiri saya
bersedia mengajak Anda untuk berkunjung ke Iraq dan berjumpa dengan
para alim ulama serta orang-orang awam mereka. Dari sana kemudian Anda
akan dapat buktikan kebohongan yang telah disebarkan oleh orang-orang
yang hasad, dengki dan berniat buruk pada mereka."
"Memang.
Sudah lama saya ingin berkunjung ke Iraq. Insya Allah suatu hari kelak
saya akan dapat menunaikannya." Jawabku spontan. "Saya ingin melihat
bukti-bukti sejarah Islam yang ditinggalkan oleh Bani Abbasiah, terutama
yang diwariskan oleh Harun ar-Rasyid. Namun sayang, bekal saya sangat
terbatas di samping saya telah berencana akan melakukan umrah. Paspor
saya juga tidak diizinkan masuk wilayah Iraq."
"Ketika saya
berkata bahwa saya bersedia mengantar Anda berkeliling Iraq, saya
bermaksud akan menanggung seluruh ongkos dan biaya Anda sejak dari
Beirut sampai Baghdad, pulang dan pergi. Anda juga akan menginap di
rumah saya sebagai tamu saya. Adapun masalah paspor, biar kita serahkan
pada Allah sajalah untuk mengatasinya. Apabila Allah takdirkan Anda bisa
berkunjung ke Iraq, tanpa paspor sekalipun Anda akan mengunjunginya
juga. Kita akan berusaha memperoleh visa masuk setibanya kita di Beirut
kelak."
Betapa senangnya hatiku mendengar berita gembira ini. Aku berjanji padanya akan memberi jawaban esok, Insya Allah.
Aku keluar dari kamar dan naik ke atas kapal untuk mencari udara segar.
Pikiranku mulai berkecamuk dan melayang-layang di lautan yang tak
bertepi itu. Aku membaca tasbih dan memuji-muji Allah yang telah
menciptakan alam semesta yang mahaluas ini. Kuucapkan rasa syukur
pada-Nya yang telah menghantarku sampai ke tempat ini sambil kumohon
pada-Nya agar melindungiku dari segala kejahatan dan memeliharaku dari
segala kesalahan. Ingatanku juga jauh melayang merekam kembali berbagai
peristiwa yang kualami dan berbagai kebahagiaan yang kulalui sejak masa
kecil hingga hari ini. Aku berharap bisa memperoleh masa depan yang
lebih baik. Aku merasa seakan Allah dan Rasul-Nya telah menganugerahkan
padaku suatu karunia yang sangat istimewa.
Kupandang kembali
Mesir yang masih memperlihatkan sebagian pantainya, sambil mengucapkan
selamat tinggal pada persada yang di dalamnya telah kucium baju
Rasulullah SAWW. Betapa indahnya kenangan itu. Kata-kata orang Syi'ah
tadi juga masih mengiang di telingaku dan sangat menggembirakanku.
Betapa tidak. Cita-cita melawat Iraq sudah sejak kecil ada dalam
benakku. Dan kini nampaknya hampir nyata. Iraq- seperti yang
kubayangkan- adalah tanah air Harun ar-Rasyid dan Makmun, pendiri Dar
al-Hikmah, sebuah institusi yang menampung berbagai pelajar dari barat
pada kurun kegemi-langan peradaban Islam dahulu. Baghdad juga dikenal
sebagai tanah air al-Qutb ar-Rabbani wa Syaikh as-Somadani Sayyidi Abdul
Qadir al-Jailani, yang namanya dikenal di seluruh pelosok dunia dan
tarekat ajarannya ada di semua tempat. Hal ini bagiku adalah sebuah
anugerah baru yang sangat khusus dari Allah untukku.
Lama
akuberkhayal dan berangan-angan sampai sebuah suara menyentakku. Suara
itu mengajak semua penumpang kapal urvtuk menikmati hidangan makan malam
di kantin. Aku pergi ke sana dan-seperti biasa-para penumpang tengah
berdesakan untuk masuk ke ruang kantin. Tiba-tiba orang Syi'ah tadi
memegang bajuku dan dengan perlahan menarikku ke belakang. Katanya:
"Mari wahai saudaraku. Tidak perlu kita ikut berdesak-desakan di sini.
Biarlah kita makan sebentar lagi setelah desakan ini berkurang. Sejak
tadi aku mancarimu. Sudahkan Anda shalat? "Belum" jawabku. " Mari kita
shalat dahulu, baru kemudian kita makan. Saat itu kantin juga sudah
sepi." Katanya.
Sebuah pendapat yang baik. Akhirnya kami pergi
ke tempat yang agak sepi untuk wudhu'. Aku memintanya menjadi imam
sekadar ingin "menguji" bagaimana dia shalat. Kemudian kelak akan
kuulangi shalatku. Seusai kami shalat maghrib, wirid, zikir dan
bacaan-bacaan do'anya yang sangat memikat, akhirnya kuubah niatku yang
tadinya ingin mengulangi shalat. Aku merenung seakan aku tengah
bermakmum dengan salah seorang dari sahabat yang mulia, di mana aku
belajar darinya, dari sifat wara' dan taqwanya. Usai shalat beliau
membaca doa yang panjang yang tidak pernah kudengar di Tunisia maupun di
negeri-negeri yang pernah kukunjungi. Setiap kali kudengar beliau
bershalawat kepada Muhammad dan keluarganya dan memuji-mujinya hatiku
terasa sangat tenteram dan tenang. Kuperhatikan juga bekas-bekas tangis
membekas pada kedua belah matanya. Aku juga mendengar beliau
meridoakanku semoga Allah membukakan mata hatiku dan membimbingku.
Kami pergi ke kantin. Saat itu memang sudah nampak agak kosong. Beliau
tidak mau duduk sebelum aku sendiri yang duduk. Pelayan menghantarkan
kepada kami dua pinggan makanan. Kulihat temanku ini menggantikan
pingganku dengan pinggannya, karena bagian laukku lebih sedikit
dibandingkan dengan bagian dagingnya. Beliau melayaniku seolah-olah aku
adalah tamunya. Diceritakannya kepadaku berbagai riwayat tentang
makanan, minuman dan adab makan yang belum pernah kudengar sebelumnya.
Sungguh aku sangat kagum pada akhlaknya. la tetap menjadi imam dalam
shalat Isya' dan membaca doa-doa yang panjang sehingga membuatku juga
menangis. Aku mohon kepada Allah agar memaafkan prasangkaku padanya,
karena sebagian dari prasangka adalah dosa. Tetapi siapa tahu?
Aku
tidur dan memimpikan Irak serta seribu satu malamnya. Aku terbangun
setelah ia membangunkanku untuk shalat Shubuh. Kami shalat berjemaah dan
setelah itu larut dalam diskusi atas nikmat-nikmat Allah yang
dilimpahkan-Nya kepada kaum muslimin.
Kami tidur kembali.
Ketika bangun kulihat dia tengah duduk di atas ranjangnya sambil
melintir tasbih, berzikir pada Allah SWT. Melihatnya hatiku terasa
tenteram dan jiwa ini terasa tenang. Lalu kumohon ampunan pada Allah.
Pada saat makan siang, kapten kapal mengumumkan bahwa kapal kami sudah
menghampiri pantai Lebanon. Dengan izin Allah kami akan berada di
pelabuhan Beirut dalam waktu dua jam kemudian. Dia menanyakan
keputusanku. Aku jawab bahwa apabila Allah SWT memudahkan urusan visa
masuk, tiada alasan untukku menolak undangannya. Aku juga tak lupa
mengucapkan ribuan terima kasih atas amal baiknya ini.
Kami turun di
Beirut dan bermalam di sana. Hari berikutnya kami berangkat ke Damascus
dan langsung menuju kedutaan Irak. Aku dapat visa masuk dengan sangat
mudah; lebih cepat dari yang kuduga. Begitu keluar, dan mengucapkan
selamat padaku, sambil memuji-muji kebesaran Allah.
PERTAMA KALI MELAWAT IRAK
KAMI berangkat ke Baghdad dari Damaskus dengan sebuah bus milik Syirkah an-Najafal-A'lamiah. Saat itu suhu panas kota Baghdad mencapai empat puluh derajat celsius. Kami memasuki wilayah perumahannya yang indah, di Mantiqah al-l'qal. Setibanya di rumah yang "full-ac", aku rasakan suatu kebahagiaan yang tersendiri. Sejenak setelah istirahat, teman ini keluar dari dalam dengan membawa sehelai baju gamis panjang yang mereka sebut dengan istilah Dasydasyah.
Kemudian dia menghidangkan untukku berbagai jenis buah-buahan dan
makanan. Tidak berapa lama setelah itu anggota keluarganya keluar dan
mengucapkan salam padaku dengan penuh hormat. Ayahnya memelukku
seolah-olah ia telah mengenalku sejak lama. Ibunya berdiri di tepi pintu
dengan memakai a'baah (kain panjang) yang hitam sambil mengucapkan
salam dan ucapan selamat datang lainnya padaku. Atas nama ibunya,
temanku minta maaf karena tidak bisa bersalaman. Menurutnya, bersalaman
antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim adalah haram.
Mendengar itu, aku semakin bertambah heran. Ternyata mereka yang kami
tuduh sebagai orang yang murtad justru lebih menjaga akhlak Islami
dibandingkan kami. Dan selama beberapa hari perjalananku bersamanya,
kulihat dalam banyak hal ia memiliki akhlak yang sangat tinggi dan jiwa
yang bersih. Sikap rendah-dirinya dan sifat wara'nya belum pernah
kujumpai pada orang selainnya. Benar-benar kurasakan seakan aku bukan
orang asing yang sedang bertamu di rumahnya.
Pada malam hari
kami naik ke bagian atas dari atap rumah. Tempat tidur telah
dibentangkan untuk kami di sana. Aku masih terjaga hingga larut malam.
Seperti tak percaya apakah aku dalam keadaan mimpi atau memang
benar-benar sadar. Benarkah aku berada di Baghdad, di sisi makam Syekh
Abdul Qadir al-Jailaini?
Temanku tertawa dan bertanya apa yang
dikatakan orang-orang Tunisia tentang Abdul Qadir al-Jailani?
Kuceritakan padanya sejumlah keramatnya yang sangat masyhur di tempat
kami. Begitu juga tempat-tempat yang menggunakan namanya. Abdul Qadir
Jailani adalah pusat dari suatu pusaran, sebagaimana Muhammad Rasulullah
SAWW adalah penghulu para Nabi, maka Abdul Qadir al-Jailani adalah
penghulu para wali. Telapak kakinya di atas pundak seluruh wali. Beliau
pernah berkata: "Seluruh manusia tawaf di sekitar Ka'bah sebanyak tujuh
kali dan aku tawaf di sekitar Rumah ini dengan kemahku."
Aku
berusaha meyakinkannya bahwa Syaikh Abdul Kadir al-Jailani bisa datang
kepada sejumlah murid dan pecintanya secara nyata, mengobati mereka dan
menolong mereka dari berbagai kesukaran. Ketika aku bercerita tentang
wali ini aku lupa atau berpura-pura lupa pada akidah Wahabiah yang
kuketahui, yang mengatakan bahwa semua itu adalah syirik. Ketika
kusadari bahwa dia tidak begitu tertarik dengan ceritaku, akhirnya aku
berupaya untuk meyakinkan diriku bahwa yang kuceritakan barusan sama
sekali tidak benar; dan kutanyakan bagaimana pendapatnya.
Sambil tertawa ia berkata padaku: "Tidurlah dan istirahatlah dari segala
keletihan yang kau alami. Insya Allah besok kita akan ziarah pusara
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani."
Mendengar ini aku merasa sangat
gembira. Sedemikian rupa sehingga kuharap kalau-kalau waktu fajar akan
segera menyingsing. Tetapi rasa letih yang amat sangat menyebabkan
diriku tertidur sangat pulas sampai matahari terbit dan hilang waktu
Shubuhku. Temanku mengatakan bahwa dia telah berkali-kali coba
membangunkanku. Namun karena terlalu letih, mungkin aku tidak
mendengarnya.o
ABDULQADIRAL-JAILANI DAN MUSA AL-KAZIM
USAI makan pagi kami pergi ke makam Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Darijauh dapat kulihat makam yang sejak lama aku impikan itu. Aku bergegas seolah-olah sangat merindukannya. Dengan penuh semangat aku berjalan masuk ke dalam, tak sabar ingin segera berada dalam pelukannya. Temanku mengikittiku kemana pun aku pergi. Tak lama setelah itu, aku telah berada di antara rombongan para peziarah yang bagaikan jemaah haji Baitullah al-Haram. Ada yang menebarkan segenggam manisan, kemudian direbut oleh penziarah lain. Aku mengikuti kerumunan orang yang memperebutklan manisan itu, dan berhasil mengambil dua buah di antaranya. Satu kumakan sebagai berkat dan satu lagi kusimpan sebavai kenangan.
Kemudian aku shalat dan berdo'a pendek. Kuminum airnya yang kurasakan
seperti air zamzam. Kuminta temanku untuk menunggu sejenak karena aku
akan menulis sejumlah surat ringkas pada teman-temanku di Tunisia di
atas postcard berlatar kubah makam berwarna hijau. Aku hanya ingin
menceritakan betapa baiknya nasib yang telah membawaku sampai ke sini.
Sepulang dari sana kami makan siang di sebuah restoran lokal yang
terletak di tengah-tengah kota Baghdad. Lalu temanku memanggil taksi dan
kudengar ia menyebutkan nama sebuah tempat, Kazimiah. Dalam perjalanan
nampak olehku sekumpulan orang, laki-laki dan perempuan membawa bekal
masing-masing, berjalan berbondong-bondong menuju satu arah. Lagi-lagi,
ini mengingatkanku pada musim haji. Di kejauhan tampak menara dan kubah
keemasan amat mencolok mata. Mungkin itu salah satu mesjid mereka.
Karena, salah satu kebiasaan kaum Syi'ah yang kuketahui adalah menghias
masjid-masjid dengan perak dan emas.
Sungguh berat rasanya melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam. Namun, untuk menghargai niat baik temanku, aku mengikutinya juga.
Kami masuk melalui pintu pertama. Kuperhatikan banyak sekali
orang-orang tua yang mengusap-usap dan menciumi pintu-pintu masuk.
Sampailah mataku terpandang pada sebuah papan yang ditulis dengan huruf
besar "Dilarang Masuk Wanita Yang Tidak Menutup Aurat". Juga terpampang
kata-kata Imam Ali, "Akan datang pada manusia suatu zaman di mana
wanita-wanitanya keluar dengan memakai pakaian yang tipis..." Kami tiba
di makam. Ketika temanku membaca do'a izin-masuk, kulihat ukiran yang
ada dalam pintu itu. Aku sangat kagum akan emas dan ukiran ayat-ayat
AlQuran yang ada di dalamnya.
Kuikuti langkah temanku yang
terus masuk ke dalam dengan penuh rendah hati. Prasangkaku terhadap
Syi'ah tentu tak bisa pupus begitu saja. Terus terang, aku berada dalam
suatu tempat yang tak pernah terbayangkan. Bagian dari makamnya sarat
dengan ukiran dan hiasan. Orang banyak berkerumun mengelilingi kuburan
sambil menangis dan menciumi tiang-tiang dan besi-besinya. Aku melihat
mereka dengan perasaan yang jijik. Aku teringat pada hadis yang
berbunyi, "Allah telah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani lantaran mereka
telah jadikan kuburan para wali mereka sebagai masjid."
Aku
menjauh dari temanku yang langsung saja menangis seketika masuk ke
dalam. Sambil menunggu dia shalat, kubaca sebuah tulisan doa ziarah yang
tergantung di atas makam. Kubaca berulang-ulang, namun tetap tak
kumengerti artinya. Kemudian aku berdiri di sebuah sudut yang agak jauh
lalu membaca al-Fatehah sambil kutujukan pada orang yang berada dalam
kuburan itu. Aku berdoa: "Ya Allah, seadainya penghuni kubur ini
termasuk dalam golongan orang-orang muslimin maka kasihanilah dia. Dan
Kau lebih tahu dariku".
Tak lama kemudian temanku mendekat. Dia
berbisik, "Apabila kau punya hajat mintalah pada Allah di tempat ini.
Kami menamakan tempat ini dengan Bab al-Hawaij ( Pintu Hajat)". Aku
tidak memperdulikan apa yang dikatakannya. (Semoga Allah memaafkanku)
Aku terpaku ketika memandang sebagian orang tua yang memakai sorban
hitam dan putih, dan di dahi mereka ada tanda hitam bekas sujud. Mereka
tampak sangat berwibawa dengan janggut mereka yang terulur rapi dan
berbau wangi semerbak. Pandangan mereka tajam dan menakutkan. Setiap
kali mereka masuk ke tempat itu tiba-tiba mereka menangis tersedu-sedu.
Aku bertanya dalam hati, mungkinkah derai tangis itu adalah tangisan
yang tak jujur? Mungkinkah orang-orang tua itu salah?
Aku
keluar dari sana dengan diliputi rasa bingung dan takjub. Temanku
berjalan mundur ketika keluar meninggalkan makam itu, agar punggungnya
tak membelakangi pusara. Aku bertanyakepadanya:
"Siapa penghuni makam ini ?"
"Imam Musa al-Kazim " jawabnya.
"Siapa itu Imam Musa al-Kazim?"
"Subhanallah. Kalian saudara-saudara kami dari mazhab Ahlu Sunnah Wal
Jamaah telah meninggalkan isi dan berpegang hanya pada kulit."
"Apa maksud Anda? " Tanyaku jengkel.
"Ya akhi!" Katanya coba menenangkanku. "Sejak Anda tiba di Irak, sering
Anda sebut nama Abdul Qadir al-Jailani. Tahukah Anda siapa itu Abdul
Qadir al-Jailani, yang padanya Anda curahkan seluruh perhatian?"
"Beliau adalah zuriat Nabi SAWW. Seandainya ditakdirkan ada Nabi lain
setelah Nabi Muhammad maka Abdul Qadir Jailanilah yang akan menjadi
nabi."
"Ya akhi Samawi. Apakah Anda tahu sejarah Islam?." "Ya" jawabku tanpa ragu-ragu.
Padahal aku tidak tahu sama sekali tentang sejarah Islam. Guru-guru
kami dahulunya melarang kami membaca sejarah. Mereka berkata bahwa
sejarah itu hitam, gelap dan tidak berguna untuk dipelajari. Aku masih
ingat seorang di antara guruku yang mengajar Ilmu Balaghah (sastra).
Waktu itu beliau mengajar kepada kami Khutbah Syiqsyiqiyah dari kitab
Nahjul Balaghah, koleksi khutbah, surat-surat dan pidato Imam Ali. Aku
dan sejumlah murid yang lain merasa agak bingung ketika membacanya.
Kuberanikan diri untuk mempertanyakan kebenaran kata-kata Imam Ali. Guru
itu menjamab: "Ya. Apakah ada orang lain yang sefaseh Imam Ali.
Seandainya buku ini bukan koleksi dari kata-kata Imam Ali Karramallah
Wajhahu, maka ulama-ulama besar seperti Syaikh Muhammad Abduh, Mufti
Besar Mesir misalnya, tidak akan mau men-syarah-kannya. "Kukatakan pada
guruku saat itu, "Imam Ali telah menuduh Abubakar dan Umar merampas hak
khilafahnya." Mendengar ini guruku terbelalak dan marah sekali sampai
mengancam akan mengeluarkanku apabila kuulangi pertanyaan yang serupa.
Katanya, "Kami hanya mengajar ilmu balaghah, bukan ilmu sejarah. Jangan
kita peduli dengan sejarah yang telah dihitamkan lembarannya oleh
berbagai fitnah dan pertumpahan darah sesama kaum muslimin. Sebagaimana
Allah telah sucikan pedang kita dari darah-darah mereka, maka kita
sucikan juga lidah-lidah kita dari mencaci mereka."
Aku tidak
puas dengan alasan guruku seperti itu. Aku masih menaruh rasa "dendam"
pada guruku yang mengajar ilmu balaghah tanpa mengajarkan maknanya yang
jelas. Berkali-kali aku berusaha untuk mengkaji sejarah Islam, namun aku
tidak memiliki rujukan yang memadai. Ulama-ulama kami juga tidak
memberikan perhatian terhadapnya, seolah-olah ilmu sejarah adalah
lembaran hitam yang telah ditutup untuk selama-lamanya.
Ketika
temanku menanyakanku pengetahuanku akan ilmu sejarah aku ingin sekedar
membantahnya dengan mengatakan "Ya". Padahal dalambenakku aku berpikir
bahwa itu semua tidak berguna. Itu adalah sejarah hitam dan gelap. Tiada
lain kecuali fitnah, perang dan berbagai kontradiksi.
Temanku bertanya lagi kepadaku:
"Tahukah Anda kapan Abdul Qadir al-Jailani dilahirkan dan di zaman apa ?"
"Kira-kira pada abad keenam atau ketujuh."
"Berapa lama jaraknya dengan zaman Rasulullah ?"
"Enam abad." Jawabku.
"Jika satu abad ada dua generasi-paling sedikit-berarti antara Abdul
Qadir al-Jailani dengan Rasulullah dipisahkan oleh dua belas keturunan."
"Ya." Jawabku.
"Yang ini adalah Musa bin Ja'far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin
Fatimah az-Zahra', yang nasabnya sampai kepada datuknya Nabi SAWW hanya
lewat empat ayah saja, atau tepatnya beliau dilahirkan pada abad kedua
Hijriah. Mana yang lebih dekat pada Rasulullah, Musa atau Abdul Qadir?"
"Tentu Musa." Jawabku tanpa berpikir lagi. "Tapi, kenapa kami tidak mengenalnya dan tidak pernah mendengar tentang dirinya?"
"Inilah masalah yang harus kita pikirkan. Itulah mengapa saya katakan
tadi bahwa kalian-maaf-meninggalkan isi dan berpegang hanya pada kulit
saja. Maafkan saya mengatakan demikian."
Kami terus berdiskusi
sambilberjalan sampailah kami tiba di suatu halaqah, tempat para
pelajar dan sejumlah ustadz lain asyik berdiskusi dan bertukar pikiran.
Kami duduk di sana. Temanku tampak sedang mencari-cari seseorang.
Mungkin ia punya janji dengan temannya. Kemudian ada seseorang datang
menghampirinya. Usai mengucapkan salam, akhirnya aku tahu bahwa dia
adalah teman semahasiswa dari universitas yang sama. Temanku bertanya
akan seseorang yang dari jawabannya kuketahui bahwa dia adalah seorang
doktor, dan segera akan datang. Kemudian temankuberkata padaku, "Aku
membawamu ke tempat ini karena ingin mengenalkanmu pada seorang doktor
ahli sejarah. Beliau adalah lektor Universitas Baghdad. Tesisnya dahulu
berkenaan dengan sejarah Abdul Qadir al-Jailani. Insya Allah dia akan
bermanfaat besar bagimu, karena saya sendiri bukan pakar dalam bidang
ini ".
Kami minum air sari buah yang sejuk. Tak lama kemudian
Doktor sejarah itu tiba. Temanku mengucapkan salam padanya sambil
berdiri. Diperkenalkannya aku dan dimintanya agar Doktor ini
menceritakan padaku tentang sejarah Abdul Qadir al-Jailani secara
ringkas. Lalu dia sendiri minta izin sebentar karena beberapa kerjaan
penting yang mesti diselesaikannya. Doktor ini pun memesan lagi untukku
segelas minuman dingin lainnya, lalu menanyakan namaku, negeriku dan
profesiku. la juga memintaku bercerita tentang kemasyhuran Abdul Qadir
al-Jailani di Tunisia.
Banyak kuceritakan padanya kisah tentang
Abdul Qadir al-Jailani. Bahkan sebagian orang percaya bahwa Syaikh
Abdul Qadir telah memikul Nabi pada malam peristiwa mi'raj ketika
malaikat Jibril sendiri mundur dan takut terbakar. Kemudian Nabi SAWW
berkata padanya: "Telapak kakiku di atas bahumu dan telapak kakimu di
atas bahu para wali hingga hari kiamat."
Doktor ini langsung
saja tertawa ketika mendengar ceritaku. Entahlah, apakah karena
mendengar cerita itu atau karena sang ustadz Tunisia yang tengah berada
di hadapannya. Usai diskusi ringkas tentang wali-wali dan orang-orang
shaleh beliau berkata bahwa beliau telah meneliti tentang Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani selama tujuh tahun. Beliau telah berkunjung ke Lahore
Pakistan, Turki, Mesir, Inggris dan tempat-tempat lain yang menyimpan
manuskrip tulisan tangan tentang Abdul Qadir al-Jailani. Semua manuskrip
itu dibaca bahkan digambar. Kesemua manuskrip yang ada tidak
membuktikan bahwa Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berasal dari keturunan
Nabi. Ada sebuah syair yang dinisbahkan kepada salah seorang dari
cucunya, yang antara lain berbunyi: "Dan datukku Rasulullah."
Sebagian ulama mengartikan bahwa ucapan itu adalah takwil dari sebuah
hadis Nabi yang bermaksud: "Aku adalah datuk bagi setiap orang yang
bertakwa".
Sejarah yang sahih juga membuktikan bahwa Abdul
Qadir al-Jailani berasal dari Persia, bukan Arab. Beliau dilahirkan di
suatu negeri di Iran yang bernama Gilan, dan kepada negerinya itulah
Syaikh Abdul Qadir dinisbahkan. Kemudian beliau pergi ke Baghdad untuk
belajar dan mengajar di mana akhlak masyarakat saat itu sudah sangat
runtuh. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani adalah seorang yang zahid.
Masyarakat sekitar sangat mencintainya. Setelah wafatnya mereka dirikan
sebuah tarekat yang dinisbahkan pada dirinya yang kemudian populer
dengan nama Qadiriyah. Hal ini juga biasa dilakukan oleh
pengikut-pengikut para sufi lain." Kemudian beliau melanjutkan lagi:
"Sungguh, dari sisi ini keadaan orang-orang Arab memang sangat
mengecewakan."
Tiba-tiba saja rasa ke-Wahabiah-an muncul
kembali dalam diriku. "Kalau begitu Anda telah berpikir seperti
orang-orang Wahhabi." Sahutku. "Mereka berkata seperti Anda bahwa tiada
yang disebut wali dalam Islam."
"Tidak. Aku tidak sependapat
dengan Wahabiah. Yang sangat mengecewakan adalah sikap kaum muslimin
yang sering bernada ekstrem: Di satu sisi ada yang percaya pada semua
khurafat yang tidak bersandarkan pada alasan dan hujjah syara' dan akal,
dan di sisi lain ada juga yang mendustakan hatta mukjizat Nabi kita
Muhammad SAWW dan hadis-hadisnya sekalipun, semata-mata karena tidak
sejalan dengan akidah dan jalan pikiran mereka. Satu terbit dan yang
lain tenggelam. Orang-orang Sufi berkata bahwa Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani-misalnya-bisa berada di Baghdad dan di Tunisia pada masa yang
sama. Beliau bisa mengobati seseorang yang sakit di Tunisia dan juga
menyelamatkan seorang yang tenggelam di dalam sungai Dajlah di Irak
dalam masa yang sama. Sikap seperti ini adalah sikap ekstrem dan
berlebih-lebihan. Sementara Wahabiah-sebagai reaksi pada Sufi- menolak
semua itu bahkan mengatakan bahwa mereka yang bertawasul pada Nabi SAWW
adalah syirik. Sikap seperti ini adalah sebuah sikap jumud. Allah
berfirman dalam kitab-Nya, "Demikianlah Kami jadikan kamu sebagai ummat
yang wasatho (tengah) agar kelak menjadi saksi kepada ummat manusia" (Al
Baqarah: 143)
Kata-kata Doktor ini sangat menusuk kalbuku. Aku
sangat berterima kasih kepadanya dan kutunjukkan juga rasa kepuasanku
pada apa yang diucapkannya. Kemudian beliau membuka tasnya dan
mengeluarkan buku karyanya tentang Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Buku
itu kemudian dihadiahkannya padaku. la mengundangku untuk berkunjung ke
rumahnya. Tapi aku mohon maaf lantaran beberapa hal. Kami terus
berbicara tentang Tunisia dan Afrika Utara sampai temanku datang.
Ketika malam tiba kami pulang ke rumah setelah satu hari penuh ziarah
dan diskusi. Kurasakan badanku sangat letih sehingga aku bisa tidur
lebih awal dari biasanya.
Usai shalat Shubuh keesokan harinya
aku baca kitab yang berkaitan dengan biografi Abdul Qadir al-Jailani ini
sampai setengahnya. Dari tadi temanku telah berulang kali mengajakku
sarapan pagi. Namun kutolak karena penasaran ingin menyelesaikan buku
ini. Sungguh sebuah karya yang sangat memukau dan mengajakku untuk
berpikir kritis. Tapi kemudian ia segera hilang dibawa angin sebelum aku
sempat meninggalkan Irak sekalipun.
RAGU-RAGU
SELAMA tiga hari aku tinggal di rumah temanku. Seringkali kurenungkan setiap ucapan yang kudengar dari mulut mereka. Aku merasa seakan baru menemukan orang-orang asing yang datang dari bulan. Mengapa berita mereka tidak sampai kepada kami melainkan yang buruk-buruk dan dusta saja? Mengapa orang gemar membenci dan dengki pada orang-orang yang belum mereka kenal? Betapa berkbihan fitnah-fitnah yang seringkali kami dengar tentang mereka; bahwa mereka menyembah Ali, menempatkan imam-imam mereka setara dengan Tuhan, mempercayai 'hulul' (inkarnasi) dan menyembah batu. Ketika ayahku pulang haji, beliau bercerita bahwa orang-orang Syi'ah datang ke pusara Nabi kemudian melemparinya dengan koioran dan najis. Karenanya mereka kemudian ditangkap oleh polisi-polisi Suudi dan dihukum mati. Tuduhan-titduhan seperti itu banyak dilemparkan pada mereka yang tak mungkin kuceritakan di sini.
Tidak aneh kalau kemudian itu semua melahirkan rasa benci kaum muslimin
terhadap mereka. Bahkan sewaktu-waktu bisa memerangi mereka. Namun
bagaimana mungkin aku akan percaya pada fitnah-fitnah seumpama itu
sementara mata dan telingaku sendiri menyaksikan sesuatu yang sangat
berbeda dari apa yang mereka katakan. Aku telah tinggal bersama mereka
lebih dari satu minggu. Dan aku tidak melihat atau mendengar dari mereka
kecuali sesuatu yang rasional yang mampu menembus akal-pikiran tanpa
hambatan sedikitpun. Bahkan cara mereka beribadah, sembahyang, berdoa,
akhlak dan sikap hormat mereka kepada para ulama sangat mengagumkanku,
sampai aku sendiri sempat berangan-angan untuk menjadi seperti mereka.
Aku masih bertanya-tanya benarkah mereka membenci Rasulullah SAWW?
Setiap kali aku sebut nama Muhammad untuk menguji mereka, serta merta
mereka akan sebut salawat kepada Muhammad dan keluarganya. Mula-mula
kupikir bahwa mereka mungkin berpura-pura. Tetapi dugaanku meleset
setelah kubuka lembaran-lembaran buku mereka yang kubaca. Di dalamnya
tertulis sikap hormat dan memuliakan Nabi lebih dari apa yang tertulis
dalam kitab-kitab kami sendiri. Mereka mengatakan bahwa Nabi itu maksum
dalam segala hal, baik sebelum beliau diutus sebagai Nabi atau sesudah
diutus. Sementara AhluSunnah Wal Jamaah mengatakan bahwa Nabi maksum
hanya ketika menyampaikan (wahyu) AlQuran saja. Selebihnya beliau adalah
manusia biasa yang juga bersalah. Seringkali kita juga berdalih atas
kesalahannya dengan membenarkan tindakan atau pendapat sebagian sahabat.
Dalam hal ini kita banyak mempunyai contoh.
Namun orang
Syi'ah menolak mengatakan bahwa Nabi yang mulia pernah melakukan
perbuatan yang salah sementara para sahabat semuanya benar. Nah,
bagaimana mungkin aku akan mempercayai propaganda orang yang mengatakan
bahwa orang-orang Syi'ah membenci Nabi SAWW?
Suatu hari dalam
perbincanganku dengan temanku, aku meminta agar beliau menjawab
pertanyaan-pertanyaanku dengan tegas. Aku bertanya, "Benarkah kalian
(orang Syi'ah) meletakkan Ali r.a. setara dengan para nabi? Setiap kali
kalian menyebut nama Ali, kudengar kalian akan mengiringinya dengan
kalimat alaihissalam."
"Ya, memang benar kami mengucapkan
kalimat alaihis-salam setiap kali kami sebut nama Ali atau nama para
imam dari keturunan Nabi SAWW. Hal itu tidak berarti bahwa mereka adalah
para nabi. Mereka adalah anak keturunan Nabi Muhammad dan keluarganya
di mana Allah perintahkan kita untuk mengirimkan salawat padanya. Dengan
demikian maka boleh juga kita ucapkan kepada mereka kalimat
alaihimussolatu wassalam."
"Tidak ya akhi," jawabku. "Kami
hanya mengkhususkan salawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan para nabi
sebelumnya saja. Ali dan anak-anaknya r.a. tidak termasuk dalam
kategori ini."
"Kuharap Anda bisa membaca lebih banyak lagi agar dapat mengetahui hakikat yang sebenarnya."
"Kitab apa yang mesti aku baca. Bukankah Anda mengatakan bahwa
kitab-kitab karya Ahmad Amin tidak merujuk kepada Syi'ah. Demikian juga
kitab-kitab Syi'ah. Bagi kami kitab-kitab Syi'ah tidak mengandung
kekuatan hujjah dan tidak bisa dijadikan sebagai pegangan. Bukankah
kitab-kitab Nasrani mengatakan bahwa Isa pernah menyatakan dirinya:
"Sesungguhnya aku adalah anak Allah". Sementara AlQuran- Kitab yang
paling benar-menuliskan kata-kata Isa bin Maryam: "Aku tidak katakan
kepada mereka kecuali apa yang Kau perintahkan aku bahwa sembahlah Allah
Tuhanku dan Tuhan kalian."
"Baik. Sungguh baik. Apa yang aku
inginkan hanya ini, yakni penggunaan akal dan logika serta berhujjah
dengan AlQuran al-Karim dan Sunnah yang sahih sebagaimana yang
diperintahkan. Seandainya kita berdiskusi dengan orang-orang Yahudi atau
Nasrani, maka hujah kita tentu akan lain lagi bentuknya."
"Di kitab
mana saya bisa dapatkan kebenaran? Setiap pengarang, setiap orang dan
setiap mazhab mengaku dirinya pada jalan yang benar."
"Aku akan
tunjukkan padamu suatu dalil yang sangat nyata dan disepakati oleh kaum
muslimin dari berbagai mazhab. Sayangnya Anda juga tidak
mengetahuinya."
"Tuhanku tambahkan padaku ilmu pengetahuan."
Jawabku singkat. "Apakah Anda pernah baca tafsir ayat berikut:
Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi. Wahai
orang-orang yang beriman bershalawatlah kalian atasnya dan ucapkanlah
salam (al-Ahzab: 56) Para ahli tafsir, Sunnah dan Syi'ah, meriwayatkan
bahwa sejumlah sahabat datang kepada Nabi SAWW dan bertanya, "Ya
Rasulullah, kami tahu bagaimana cara mengucapkan salam kepadamu, tetapi
kami tidak tahu bagaimana cara mengucapkan salawat kepadamu. Kemudian
Rasulullah menjawab, "Katakanlah, ya Allah kirimlah salawat kepada
Muhammad dan Keluarga Muhammad, sebagaimana kau kirimkan salawat kepada
Ibrahim dan keluarga Ibrahim di alam semesta. Sesungguhnya Kau Maha
Terpuji dan Maha Agung." Dan hadis lain, Jangan kalian ucapkan salawat
kepadaku dengan salawat yang terputus. Sahabatbertanya, ya Rasulullah
apa itu salawat yang terputus. Baginda menjawab: kalian mengucapkan
salawat kepada Muhammad, namun setelah itu kalian diam. Sesungguhnya
Allah itu Maha Sempurna dan tidak menerima melain-kan yang sempurna
juga."
Itulah mengapa para sahabat dan generasi berikutnya tahu
bagaimana cara mengucapkan salawatkepada Rasulullah SAWW secara
sempurna. Imam Syafi'i pernah berkata dalam sebuah syairnya:
Wahai keluarga Rasulullah
Mencintai kalian adalah fardu dari Allah di dalam AlQuran yang diturunkan-Nya
Sudah cukup suatu keagungan bagi kalian siapa yang tidak bersalawat kepada kalian maka tiada akan sah sembahyangnya
Kata-kata itu benar-benar mengetuk telingaku dan menembus jauh ke
kedalam hatiku. Kudapati sebuah reaksi yang positif dalam jiwaku. Secara
jujur harus kuakui bahwa aku pernah membaca tulisan serupa itu dalam
sebuah buku. Tetapi aku tidak ingat nama kitab itu secara pasti. Aku
katakan kepadanya bahwa ketika kami mengucapkan salawat kepada Nabi kami
juga mengucapkan salawat kepada keluarganya dan seluruh sahabatnya.
Kami tidak mengkhususkan salam kepada Ali seperti yang dilakukan oleh
orang-orang Syi'ah.
"Apa pendapatmu tentang Bukhari? Apakah beliau orang Syi'ah?" Tanyanya kepadaku.
"Beliau adalah seorang imam yang agung dari kalangan Ahli Sunnah Wal
Jamaah. Kitabnya adalah kitab yang paling sahih sesudah kitab Allah."
Jawabku.
Kemudian beliau berdiri dan mengambil kitab Shahih
al-Bukhari dari perpustakaannya. Dicarinya halaman yang diinginkannya
lalu diberikannya kepadaku untuk kubaca. Isinya: "Diriwayatkan oleh
Fulan bin Fulan dari Ali alaihis-salam." Melihat ini rasanya aku tidak
percaya sama sekali. Aku terkejut bahkan ragu-ragu apakah benar kitab
ini adalah kitab Shahih Bukhari. Berkali-kali kulihat halaman dan nama
buku. Memang itu adalah kitab Shahih Bukhari. Ketika temanku menyadari
keragu-raguanku, ia ambil kitab itu dari tanganku dan dibukanya lagi
halaman yang lain. Isinya: Diriwayatkan oleh Ali bin Husain
alaihimassalam. Waktu itu aku hanya bisa mengucap kalimat Subhanallah.
Kemudian beliau meninggalkanku dan melangkah keluar.
Aku terus
berpikir dan membaca halaman-halaman yang ditunjukkannya padaku
berulangkali. Aku teliti cetakan mana yang menerbitkan kitab ini.
Kudapati ia dicetak oleh Syarikat al-Halabi Dan Anak-anak, di Mesir.
Ya Ilahi. Kenapa mesti kubantah dan bersikap sombong. Dia telah
memberiku suatu hujjah yang nyata dari kitab yang paling shahih di sisi
kami. Bukhari pasti bukan seorang Syi'ah. Beliau adalah salah seorang di
antara imam-imam Ahlu Sunnah dan ahli hadis yang agung. Apakah aku
mesti menyerah pada kebenaran ini, yakni mengatakan alaihissalam ketika
menyebut nama Ali. Namun aku masih merasa takut untuk berpegang pada
hakikat ini. Karena mungkin ada hakikat lain yang belum kuketahui. Yang
pasti, aku telah kalah hujjah di hadapan temanku sebanyak dua kali. Aku
telah mengendurkan kepercayaanku akan kesucian Abdul Qadir al-Jailani
dan aku mene-rima bahwa Musa al-Kazim adalah lebih utama darinya. Aku
juga menerima kenyataan bahwa ucapan alaihissalam adalah benar. Tetapi
aku tidak mau menerima kekalahan yang lain. Aku yang sebelum ini dikenal
di Mesir sebagai orang alim, bahkan ulama-ulama al-Azhar memuji
kehebatanku, tiba-tiba hari ini kudapati diriku kalah dan tak berdaya.
Dari siapa? Dari mereka yang sebelum ini dan sampai sekarang masih
kupercayai sebagai kelompok yang salah. Aku telah terbiasa mendengar
bahwa kalimat Syi'ah identik dengan cacian.
Sungguh ini adalah
sikap sombong dan ego, sikap fanatisme dan angkuh. Ya Allah, bimbinglah
aku. Bantulah aku dalam menerima kebenaran walaupun pahit. Ya Allah,
bukakanlah pandangan mata dan hatiku. Tunjukkanlah aku ke jalan yang
lurus. Jadikanlah aku di antara orang-orang yang mendengar perkataan
lalu mengikuti yang terbaik. Ya Allah, perlihatkanlah kepada kami
kebenaran, lalu karuniakan kepada kami untuk mengikutinya.
Perlihatkanlah juga kepada kami kebatilan, lalu kurniakan kami untuk
menghindarinya.
Sambil membaca-baca doa ini kami kembali pulang
ke rumah. Temanku tersenyum. Katanya, "Semoga Allah membimbing kita dan
semua kaum muslimin. Allah telah berfirman dalam kitab-Nya: "Dan barang
siapa yang berjuang dijalan Kami, niscaya Kami akan tunjukkan kepada
mereka jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama omng-orang yang baik".
(al-Ankabut: 69) Kalimat berjuang di dalam ayat ini bermaksud mengkaji
ilmu yang mungkin akan menghantar pada suatu kebenaran. Dan Allah SWT
pasti akan menyampaikan kepada kebenaran bagi mereka yang mencari
kebenaran.
BERANGKAT KE NAJAF
MALAM itu temanku memberitahu bahwa besok Insya Allah kami akan pergi ke Najaf. "Apa itu Najaf?" Tanyaku. "Satu kota ilmu, tempat kuburan Imam Ali" jawabnya. Aku merasa kaget. Bagaimana mungkin Imam Ali mempunyai kuburan yang terkenal. Bukankah syaikh-syaikh kami mengatakan bahwa Sayyidina Ali tidak diketahui dengan pasti di mana kuburannya?
Kami berangkat dengan kendaraan umum hingga sampai di Kufah. Di sana
kami melawat Jami' al-Kufah, salah satu di antara peninggalan Islam yang
terkenal. Temanku menunjukkan padaku berbagai tempat bersejarah seperti
Jami' Muslim bin Aqil dan Hani' bin Urwah. Diceritakannya kepadaku
secara ringkas bagaimana mereka berdua syahid. Ditunjukkannya juga
kepadaku mihrab tempat syahidnya Imam Ali, dan rumah tempat kediamannya
bersama dua putranya Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain. Di rumah itu
masih ada sumur tempat mereka mengambil air minum dan berwudhu'.
Seketika itu kurasakan jiwa yang penuh nikmat karena menyaksikan betapa
zuhudnya kehidupan Imam dan betapa sederhananya beliau; seorang Amir
al-Mukminin dan khalifah yang keempat.
Tak dapat kulupakan juga
sikap rendah hati dan hormat yang kusaksikan dari penduduk kota Kufah.
Setiap kali kami melewati sebuah kerumunan, mereka akan berdiri sambil
mengucapkan salam pada kami. Nampaknya temanku banyak mengenal mereka.
Salah seorang dari mereka-ketua sebuah akademi di Kufah-mengundang kami
ke rumahnya. Di sana kami berjumpa dengan anak-anaknya dan sempat
bermalam. Aku merasakan seolah-olah berada di tengah keluargaku. Setiap
kali mereka berbicara tentang Ahlu Sunnah Wal Jamaah, mereka akan
menyebutnya dengan kata-kata "Saudara-saudara kita dari mazhab Ahlu
Sunnah". Aku sangat senang dengan ucapan-ucapan itu. Kuajukan kepada
mereka beberapa pertanyaan untuk menguji sejauh mana kejujuran kata-kata
mereka.
Kemudian kami menuju Najaf, sejauh sepuluh kilometer
dari Kufah. Setibanya di sana gambaran-gambaran tentang masjid
al-Kazimiah terukir kembali di benakku. Menara-menara keemasan nampak
mengelilingi kubah yang terbuat dari emas murni. Kami masuk ke Haram
Imam (Ali) setelah membaca izin masuk seperti kebiasaan para penziarah
Syi'ah. Di sini kulihat sesuatu yang lebih hebat dari pernah yang
kulihat di Jami' Musa al-Kazim. Seperti biasa aku membaca surah
al-Fatehah tanpa menaruh keyakinan bahwa orang yang berada di kubur ini
adalah Imam Ali. Aku seakan lebih percaya tentang kesederhanaan rumah
yang dihuni oleh Imam Ali di Kufah. Aku berkata dalam hati, mana mungkin
Imam Ali akan rela dengan kemegahan emas dan perak seperti ini
sementara orang-orang Islam mati kelaparan di belahan dunia lain.
Khususnya setelah aku saksikan sejumlah fakir miskin yang meminta-minta
sedekah di jalan-jalan sekitar wilayah Haram itu. Jiwaku memprotes.
Wahai orang-orang Syi'ah, kalian keliru. Paling tidak akuilah kesalahan
ini. Imam Ali adalah orang yang diutus oleh Rasul untuk menyamaratakan
kuburan, lalu apa artinya kuburan yang dihiasi dengan emas dan perak
ini. Walaupun tidak syirik, paling tidak ia adalah suatu kesalahan besar
yang tidak akan dimaafkan oleh Islam.
Temanku bertanya padaku
sambil mengulurkan sepotong tanah kering apakah aku akan shalat? Kujawab
dengan tegas bahwa kami tidak shalat di sekitar kuburan. " Kalau begitu
tunggu saya sebentar untuk shalat sunnat dua rekaat," Pintanya.
Sambil menunggu aku membaca beberapa tulisan yang tergantung di atas
makam. Dari celah-celah besi perak yang berukir aku saksikan sejumlah
mata uang yang menumpuk: ada Dirham, Riyal, Dinar, Lerah dan sebagainya.
Semua itu diberikan oleh para penziarah sebagai tabarruk (ikut ambil
berkat) dalam kerja-kerja bakti yang berkaitan dengan makam ini. Saking
banyaknya, aku duga bahwa ia telah terkumpul sejak berbulan-bulan yang
lalu. Tetapi temanku berkata bahwa para petugas yang bertanggungjawab
memungutnya setiap malam ba'da shalat Isya'.
Aku keluar dengan
hati yang kesal. Aku berpikir adalah lebih baik apabila berikan padaku
barang sedikit; atau membagi-bagikannya kepada para fakir miskin yang
begitu banyak ada di sekitar. Aku perhatikan bahwa di sekitar makam ada
sekerumunan orang yang tengah shalat, dan sebagian yang lain kusyu'
terbuai mendengar ceramah yang tengah disampai-kan dari atas mimbar. Aku
juga saksikan ada sebagian mereka yang menangis tersedu-sedu dan
sebagian yang lain ada yang memukul-mukul dada. Aku ingin sekali
bertanya pada temanku gerangan apa yang menyebabkan mereka menangis
seperti itu dan memukul-mukul dada. Tiba-tiba sebuah jenazah diusung di
dekat kami. Kusaksikan juga ada sebagian mereka yang mengangkat
kerandanya di tengah-tengah ruangan lalu menurunkannya di sana. Aku
menduga mereka menangis karena jenazah yang baru lalu.
PERJUMPAAN DENGAN ULAMA
TEMANKU mengajakku pergi ke sebuah masjid yang berada di sisi masjid jami'. Di dalamnya terbentang permadani yang indah dan di mihrabnya juga terukir ayat-ayat AlQuran yang sangat menarik. Tiba-tiba mataku tertuju pada kerumunan anak-anak remaja bersorban yang tengak duduk mengelilingi mihrab. Mereka sedang belajar bersama-sama sambil memegang kitab masing-masing. Aku sangat terpesona dengan pemandangan yang indah ini, karena belum pernah kulihat syaikh-syaikh yang begitu muda, yang berumur sekitar tiga belasan sampai enam belasan tahun. Terlebih pakaian yang mereka kenakan itn, benar-benar membuat mereka tampak seperti bulan purnama yang bersinar.
Temanku bertanya tentang Sayed. Mereka menjawab bahwa beliau tengah
shalat berjemaah. Aku tidak tahu siapa Sayed yang dimaksudkan. Aku pikir
beliau pasti seorang ulama. Kemudian aku diberitahu bahwa beliau adalah
Sayed al-Khui, pemimpin Hauzah Ilmiah bagi orang-orang Syi'ah. Gelar
Sayed dalam mazhab Syi'ah diberikan kepada mereka yang datang dari
keturunan Nabi SAWW. Seorang Sayed yang alim atau yang sedang belajar
ilmu-ilmu Islam akan memakai sorban hitam. Sementara ulama-ulama yang
lain akan memakai sorban putih dan dipanggil dengan gelar Syaikh.
Orang-orang Sayed yang tidak alim, biasanya memakai serban
berwarnahijau.
Temanku meminta mereka menemaniku sejenak, dan
dia akan pergi menemui Sayed. Mereka menyambutku dengan penuh hangat
sambil duduk mengelilingiku. Kuperhatikan wajah-wajah mereka dan
kurasakan kebersihan hati mereka. Aku teringat pada sebuah hadis Nabi,
"Manusia dikhirkan dalam keadaan suci. Ibu bapaknyalah yang akan
meyahudikannya, atau mengkristenkannya atau memajusikannya." Lalu
kukatakan juga pada diriku, atau "mensyi'ahkannya."
Mereka
bertanya dari mana aku berasal. "Dari Tunisia." Kujawab. "Apakah di sana
ada Hauzah ILmiah?" Tanya mereka lagi. "Hanya ada universitas dan
sekolah-sekolah biasa." Jawabku. Berbagai pertanyaan dilemparkan padaku,
dan semuanya sungguh sulit kujawab. Apa yang harus kukatakan kepada
anak-anak tak berdosa seperti ini yang menduga bahwa seluruh dunia Islam
semuanya memiliki Hauzah Ilmiah yang mengajar Fiqh, Usul-fiqih,
Usuluddin, Syariah dan Tafsir. Mereka tidak tahu bahwa dunia Islam dan
negara-negara kita sekarang telah maju sangat pesat. Kita telah
menggantikan madrasah-madrasah yang mengajar AlQuran dengan taman
kanak-kanak yang dipimpin oleh pendeta-pendeta Katolik. Apakah harus
kukatakan bahwa mereka masih ketinggalan dibanding kita?
Seorang diantara mereka bertanya: "Mazhab apa yang dianut di Tunisia?"
"Mazhab Maliki" jawabku. Kuperhatikan ada sebagian mereka yang tertawa.
Tetapi aku tak peduli. "Apakah Anda pernah tahu tentang mazhab Ja'fari?"
Tanyanya lagi. "Nama baru apa ini? Tidak, kami tidak tahu selain dari
empat mazhab. Selain empat itu mereka bukan tergolong dari mazhab Islam.
"Jawabku.
Sambil tersenyum, dia berkata lagi: "Maaf,
sebenarnya Mazhab Ja'farilah yang benar-benar Islam. Bukankah Imam Abu
Hanifah berguru kepada Imam Ja'far as-Shodiq? Itulah mengapa Abu Hanifah
berkata: "Kalau bukan kerana dua tahun, maka Nu'man telah celaka." Aku
hanya diam saja. Nama itu baru bagiku, nama yang tidak pernah kudengar
sebelum ini. Namun aku memuji Allah bahwa Imam mereka Ja'far as-Shodiq
tidak pernah menjadi guru kepada Imam Malik."
Kami ikut mazhab
Maliki bukan Hanafi." Aku coba menjawab. "Imam empat mazhab belajar
satu sama lain", sambungnya. "Ahmad bin Hanbal belajar dari Syafi'i;
Syafi'i belajar dari Malik dan Malik belajar dari Abu Hanifah sementara
Abu Hanifah sendiri belajar dari Ja'far as-Shodiq. Dengan demikian maka
mereka semua adalah murid Ja'far as-Shodiq. Beliau juga adalah orang
pertama yang membuka "universitas" Islam di masjid datuknya Rasulullah
SAWW. Lebih dari empat ribu ahli hadist dan ahli fiqih berguru padanya."
Aku sangat terkejut mendengar perkataan anak muda yang bijak ini, yang
hafal dengan apa yang dikatakannya seperti hafalnya anak-anak kami suatu
surah AlQuran. Lebih terkejut lagi ketika dia sebutkan sebagian
buku-buku rujukan sejarah beserta bilangan jilid dan babnya. Dia sangat
lancar berbicara seolah-olah seperti seorang guru di tengah muridnya.
Aku merasa lemah di hadapannya. Aku berharap kalau-kalau temanku segera
datang supaya aku tidak lebih lama berada di antara mereka. Setiap kali
mereka bertanya padaku tentang fiqih atau sejarah, aku tak mampu
menjawabnya. Mereka bertanya lagi, kepada siapa aku bertaklid? "Imam
Malik" jawabku. "Bagaimana Anda mengtaklid seorang yang telah mati, yang
jaraknya antara Anda dan beliau sekitar empat belas abad. Jika Anda
kini ingin bertanya padanya tentang masalah-masalah yang kontemporer,
apakah dia akan menjawab Anda?" Setelah berpikir sejenak, kemudian aku
berkata: "Ja'farmu juga telah mati empatbelas abad yang lalu. Lalu
kepada siapa Anda bertaklid?" "Kami bertaklid pada Sayed al-Khui. Beliau
adalah Imam kami." Jawabnya yang kemudian diikuti oleh teman-temannya
yang lain.
Aku tidak tahu apakah Khui lebih alim ataukah Ja'far
as-Shodiq. Aku berusaha merobah topik permasalahan dengan bertanya
hal-hal lain. Aku menanyakan jumlah penduduk di Najaf, berapa jauh jarak
antara Najaf dan Baghdad, apakah mereka tahu negara-negara selain Irak.
Setiap kali mereka jawab, kuajukan pertanyaan-pertanyaan lain hingga
mereka tidak sempat lagi bertanya dariku. Ya, karena aku tidak mampu
menjawab dan merasa bodoh. Meskipun jauh dalam lubuk hatiku aku mengakui
kebenaran kata-katanya. Segala sanjungan, kemuliaan, dan penghormatan
yang kudapat di Mesir, luluh seketika di sini, terlebih setelah berjumpa
dengan anak-anak ini. Di situ aku memahami makna sebuah syair yang
berkata:
Katakan kepada mereka yang mengaku berfilsafat di dalam ilmu
Hanya sedikit yang kau tahu sementara banyak yang kau tidak tahu.
Sudah barang tentu akal anak-anak muda ini lebih tinggi dari akal
syaikh-syaikh yang kujumpai di al-Azhar; dan bahkan lebih tinggi dari
akal ulama-ulama yang kukenal di Tunisia.
Sayed Khui masuk
disertai serombongan ulama yang semuanya menyandang keagungan dan
kewibawaan. Anak-anak berdiri, dan aku juga ikut berdiri. Mereka
menghadap Sayed dan mencium tangannya dan aku tidak bergeming dari
tempatku. Sayed tidak duduk sampai semua yang hadir duduk terlebih
dahulu. Beliau memulai kata-katanya dengan ucapan Massakum Bil Khoir,
selamat petang, kepada setiap orang yang hadir. Kemudian dijawab dengan
kata-kata yang sama oleh mereka. Beliau juga mengucapkan kata-kata itu
kepadaku dan kujawab dengan jawaban yang sama.
Kulihat temanku
tengah berbisik sesuatu kepada Sayed, lalu mengisyaratkan aku agar
mendekat dan duduk di sisi kanan Sayed. Setelah mengucapkan salam,
temanku berkata kepadaku: "Ceritakan kepada Sayed apa yang kalian dengar
tentang Syi'ah di Tunisia?" Kukatakan padanya, "Ya akhi, buanglah
jauh-jauh segala cerita yang kami dengar tentang Syi'ah dari sana-sini.
Yang penting adalah aku ingin tahu dengan mata kepala sendiri apa yang
dikatakan oleh Syi'ah.
Aku ada beberapa pertanyaan yang kuinginkan
jawabannya secara terus terang." Temanku mengisyaratkanku agar aku
mengatakan secara terus terang kepada Sayed tentang bagaimana pandangan
kami terhadap Syi'ah. Kukatakan bahwa Syi'ah menurut pandangan kami
lebih berbahaya kepada Islam dibandingkan orang-orang Yahudi dan
Nasrani, karena mereka menyembah Allah dan beriman kepada Risalah Nabi
Musa as, sementara Syi'ah-yang kami dengar- menyembah Ali dan
mengkultuskannya. Ada juga di antara mereka yang menyembah Allah, tetapi
menempatkan Ali sejajar dengan Rasulullah SAWW. Kubawakan cerita yang
mengatakan konon Syi'ah percaya bahwa Jibril telah berkhianat ketika
menyampaikan amanah Allah; yang sepatutnya amanah tersebut diberikan
kepada Ali tetapi Jibril memberikannya kepada Muhammad.
Sayed
menunduk sejenak. Kemudian memandangku dan berkata, "Kami menyaksikan
tiada Tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah Rasul Allah; dan
Ali hanyalah seorang hamba Allah." Kemudian beliau menoleh ke arah para
hadirin lalu berkata: "Lihatlah mereka yang tak berdosa ini, betapa
tuduhan-tuduhan yang dusta mengorbankan mereka. Ini tidak begitu aneh.
Karena saya juga pernah mendengar tuduhan-tuduhan yang lebih berat dari
orang-orang lain. Fala Haula Wala Quwwata Illah Billah al-A'li al-A'zim.
Kemudin beliau menoleh ke arahku sambil bertanya:
"Apakah Anda membaca AlQuran?"
"Aku bahkan telah hafal setengahnya ketika aku masih usia kurang dari sepuluh tahun." Jawabku.
"Tahukan Anda bahwa semua mazhab Islam yang beraneka ragam ini telah
sepakat akan AlQuran al-Karim. AlQuran yang ada di sisi kami adalah sama
dengan AlQuran yang ada di sisi kalian."
"Ya, aku tahu." Jawabku.
"Nah, bukankah Anda telah membaca firman Allah, "Muhammad hanyalah
seorang Rasul di mana sebelumnya (telah datang) para rasul (yang lain)."
(Ali Imran: 144) Dan juga firman-Nya, "Muhammad adalah Rasulullah dan
orang-orang yang bersamanya sangat keras terhadap orang-orang kafir."
(al-Fath: 29). Juga HrmanNya: "Muhammad bukanlah ayah salah seorang di
antara laki-laki kalian, namun beliau adalah Rasulullah dan penutup
segala Nabi." (al-Ahzab: 40)
"Ya, aku tahu ayat-ayat tersebut." Jawabku.
"Lalu di mana Ali? Jika AlQuran berkata bahwa Muhammad adalah
Rasulullah, maka dari mana datangnya tuduhan-tuduhan seperti ini?"
Aku diam saja tanpa berniat untuk menjawab sedikit pun. Lalu beliau
menyambung lagi: "Tentang pengkhianatan Jibril, oh... (tuduhan) ini
lebih buruk dari yang pertama itu. Karena ketika Jibril di utus oleh
Allah kepada Muhammad, waktu itu usia Muhammad empat puluh tahun, dan
Ali masih seorang anak kecil yang berumur sekitar enam atau tujuh
tahunan. Bagaimana mungkin Jibril dapat salah dan tidak dapat membedakan
antara Muhammad yang dewasa dan Ali yang masih kecil."
Aku
tetap diam. Lama kurenungkan kata-katanya dan logikanya yang benar-benar
menyentuh pikiranku dan mampu mengikis keragu-raguanku. Dalam benakku
sempat bertanya kenapa kita tidak pernah menganalisanya dengan cara
mantik dan logika seperti ini. Kemudian Sayed al-Khui menyambung
kata-katanya:
"Saya katakan lagi bahwa Syi'ah adalah
satu-satunya mazhab Islam yang mempercayai akan kemaksuman para Nabi dan
Imam. Jika para imam kami maksum (tidak berbuat salah) dari segala
kesalahan, sementara mereka adalah manusia seperti kita, maka malaikat
Jibril, malaikat yang disebut oleh Allah sebagai malaekat yang muqarrab
dan sebagai Ruh al-Amin tentu lebih utama."
"Lalu dari mana datangnya tuduhan-tuduhan seumpama ini?" Tanyaku kemudian.
"Dari musuh-musuh Islam yang ingin memecah-belah kaum muslimin dan
memporak-porandakan mereka. Kaum muslimin itu bersaudara, baik Syi'ah
atau Sunnah. Mereka menyembah Allah yang Maha Esa dan tidak
mensyirikkan-Nya. AlQuran mereka satu, Nabi mereka satu dan kiblat
mereka juga satu. Syi'ah dan Sunnah tidak berselisih apa-apa melainkan
dalam sebagian hukum fiqih saja, sebagaimana hal itu juga ada di antara
mazhab Sunnah sendiri. Fatwa Malik berbeda dan menyalahi fatwa Abu
Hanifah, dan fatwa Abu Hanifah berbeda dengan Syafi'i, dan sebagainya."
"Jadi apa yang dituduhkan kepada kalian adalah dusta semata-mata? "
"Alhamdulillah, Anda adalah seorang yang berakal dan memahami segala
sesuatu. Anda telah melawat negara Syi'ah dan hidup di sekitar mereka.
Apakah Anda pernah melihat atau membuktikan tuduhan-tuduhan seumpama
itu?"
"Tidak sama sekali. Yang aku lihat hanya kebaikan saja.
Alhamdululillah, segala puji bagi Allah yang telah mengenalkan aku
dengan ustadz Mun'im saat kami berada di kapal menuju Lebanon. Dialah
yang membawa saya ke Irak dan memberitahu banyak hal yang selama ini
saya ragukan."
Temanku Mun'im juga tertawa sambil berkata: "Itu
juga berkat pusara Imam Ali ini." Kemudian aku remas tangannya dan
berkata: "Disini saya telah banyak belajar bahkan dari anak-anak muda
itu sekalipun. Saya bercita-cita akan belajar di Hauzah seperti mereka
jika aku diberi kesempatan."
"Ahlan Wa Sahlan." Jawab Sayed
serta merta. "Jika memang Anda ingin belajar dan menuntut ilmu, maka
Hauzah akan menanggung Anda dan kami sepenuhnya akan berkhidmat pada
Anda."
Para hadirin menyambut baik gagasan ini, terutama Mun'im
yang nampak lebih berseri. Kemudian kukatakan bahwa aku telah
berkeluarga dan kini punya dua anak.
"Kami akan jamin semua
keperluan Anda termasuk tempat tinggal, biaya hidup dan segala yang Anda
perlukan. Yang penting Anda belajar saja." Jawab Sayed.
Aku
berfikir sejenak. Rasanya tidak mungkin aku belajar lagi setelah lima
tahun aku mengajar dan mendidik generasi muda. Tidak mudah memang untuk
mengambil keputusan dalam waktu yang begitu singkat. Akhirnya aku
mengucapkan terima kasih pada Sayed al-Khui atas tawarannya itu.
Kukatakan bahwa aku akan memikirkan hal ini sepulangnya dari umrah kelak
Insya Allah. "Aku perlu sejumlah buku referensi", kataku. Kemudian
Sayed berkata pada orang sekitarnya: "Berikan padanya sejumlah buku."
Dan sebagian orang yang ada di sekitar kemudian berdiri lalu membuka
beberapa lemari yang ada. Tidak lama kemudian mereka berikan padaku
buku-buku sebanyak tujuh puluh jilid lebih dan beberapa set buku lain.
Sayed berkata bahwa ini adalah hadiah darinya.
Melihat semua
ini rasanya tidak mungkin aku dapat membawanya, apalagi aku akan pergi
ke Saudi yang biasanya melarang segala jenis kitab masuk ke dalam negeri
mereka, karena khawatir pada berbagai akidah yang berlainan dengan
mazhab mereka. Tetapi aku juga tidak mau kehilangan buku-buku seperti
ini yang tidak pernah kulihat sepanjang hidupku. Kukatakan kepada
temanku dan yang hadir bahwa perjalananku sangat jauh, melalui Damascus,
Yordania baru Saudi.
Dan ketika pulang justeru lebih jauh
lagi. Mengingat aku akan melalui Mesir, Libya hingga Tunisia. Selain
dari beratnya bawaan, kebanyakan negara juga melarang membawa buku.
Sayed kemudian meminta alamatku dan kelak beliau akan mengirimkannya ke
sana. Kuberikan padanya alamatku di Tunisia dan kuucapkan rasa terima
kasih yang tak terhingga. Ketika aku berdiri untuk pulang, beliau juga
berdiri sambil berkata: "Semoga Allah menyelamatkanmu dalam perjalanan.
Jika kelak Anda berdiri di hadapan kuburan datukku Rasulullah, sampaikan
salamku padanya." Yang hadir merasa terharu. Begitujuga aku. Kulihat
air matanya jatuh. Kukatakan pada diriku bahwa tidak mungkin orang
seperti ini akan salah atau berdusta. Sungguh, wibawa, keagungan dan
sikap rendah hatinya mencerminkan bahwa beliau benar-benar keturunan
Nabi. Lalu aku menjabat tangannya dan menciumnya walau dia coba
menolaknya. Semua berdiri dan menyalamiku. Anak-anak muda yang
mendebatku tadi juga mengikutiku dan meminta alamatku untuk berkirim
surat. Dan aku tidak mengabaikan permintaan mereka.
Kami menuju
Kufah memenuhi undangan salah seorang yang hadir di majlis Sayed
al-Khui tadi. Beliau adalah teman Mun'im. Namanya Abu Syubbar. Kami
menginap di rumah-nya. Malam itu kami berdiskusi panjang dengan sejumlah
pemuda aktifis. Di antara mereka terdapat sejumlah murid Sayed Muhammad
Baqir as-Sadr. Mereka menyarankanku untuk berjumpa dengannya, dan
pertemuan itu akan diatur besok. Temanku sangat setuju tetapi sayang dia
tidak dapat hadir lantaran menyelesaikan beberapa urusan penting di
Baghdad yang tak dapat ditinggalkan. Kami sepakat untuk tinggal di rumah
Sayed Abu Syubbar selama tiga atau empat hari sampai Mun'im kembali.
Setelah shalat Shubuh Mun'im pergi ke Baghdad dan kami pergi tidur
setelah satu malam suntuk berdiskusi panjang.
Malam itu aku
banyak sekali belajar dari mereka. Aku kagum terhadap berbagai ilmu yang
mereka pelajari di Hauzah llmiah, Selain dari ilmu-ilmu Islam seperti
Fiqih7 Syariah dan Tauhid mereka juga belajar ilmu-ilmu seperti ekonomi,
sosiologi dan politik. Begitu pula ilmu-ilmu sejarah, sastra, astronomi
dan sebagainya.
PERJUMPAAN DENGAN SAYED MUHAMMAD BAQIR AS-SADR
BERSAMA Abu Syubbar aku pergi ke rumah Sayed Muhammad Baqir as-Sadr. Dalam perjalanan, Abu Syubban memperlakukanku dengan sangat mesra dan bercerita ringkas tentang beberapa ulama yang masyhur dan tentang taklid dsb. Setibanya kami di rumah Sayed Muhammad Baqir as-Sadr, kudapati rumahnya penuh sesak dengan para Thalabah (pelajar Hauzah) yang kebanyakannya para pemuda yang memakai sorban. Sayed berdiri menyambut kedatangan kami. Setelah diperkenalkan, belian menyambutku begitu mesra dan menempatkanku di sisinya. Beliau bertanya tentang Tunisia dan aljazair dan beberapa ulama yang terkenal seperti al-Khidhir Husain, Thahir bin A'syur dan lain sebagainya. Aku merasa gembira sekali dengan obrolannya.
Sayed Baqir Sadr walau memiliki wibawa yang sangat agung di sisi
pengikut-pengikutnya, namun kudapati diriku tidak begitu kaku dengannya
seakan telah kukenal beliau sejak lama sebelum pertemuan itu.
Banyak ilmu yang sempat kutimba dari pertemuan kami pada waktu itu.
Kudengar berbagai pertanyaan diajukan kepada Sayed, lalu kemudian
dijawabnya dengan bijak. Waktu itu aku betul-betul menyaksikan betapa
tingginya nilai mentaklid para ulama yang masih hidup. Karena mereka
akan segera menjawab setiap persoalan yang diajukan kepada mereka dengan
sejelas-jelasnya. Sejak saat itu, aku mulai yakin bahwa Syi'ah adalah
kaum muslimin yang menyembah Allah SWT dan beriman kepada Risalah Nabi
kita Muhammad SAW. Sebelumnya aku masih ragu, dan setan juga menaburkan
rasa waswas bahwa segala apa yang kusaksikan adalah suatu sandiwara
semata-mata. Dan mungkin inilah yang dikatakan oleh mereka sebagai
Taqiyah, yakni menampakkan sesuatu yang tidak mereka percayai. Tetapi
sikap demikian akhirnya segera lenyap dari benakku. Karena-pikirku-tidak
mungkin setiap orang yang kulihat dan kusaksikan dengan bilangan yang
mencapai ratusan semuanya akan bersandiwara. Untuk apa mereka lakukan
itu padaku? Dan siapa aku? Apa yang mereka harus khawatirkan dariku
sehingga mau bertaqiyah di hadapanku? Bukankah di sini ada kitab-kitab
mereka cetakan lama dan baru. Semua mengesakan Allah dan memuji-muji
Rasul-Nya Muhammad SAW. seperti yang kubaca dalam berbagai
mukaddimahnya. Kini aku tengah berada di rumah Sayed Muhammad Baqir
as-Sadr, seorang Marja' (mujtahid yang diikuti fatwanya) Syi'ah yang
sangat terkenal di Irak dan di luar Irak. Dan setiap kali nama Muhammad
disebut, maka semua akan mengangkat suara agak keras membaca salawat:
Allahumma Solli A'la Muhammad Wa Ali Mnhammad.
Waktu shalat
tiba. Kami pergi ke masjid yang terletak di samping rumah. Kami shalat
Zohor dan Asar yang diimami sendiri oleh Sayed Muhammad Baqir Sadr.
Ketika itu terasa dalam diriku seakan aku tengah hidup di sekitar para
sahabat yang mulia. Di antara dua shalat diselingi bacaan doa dengan
suara yang sangat memilukan hati. Sungguh terharunya aku dan terkesan
sangat dalam. Usai baca doa, secara serentak para jama'ah membaca
salawat bermamai-ramai:
Allahumma Solli A'la Muhammad Wa Ali
Muhammad. Isi doa semuanya berupa pujian pada Allah SWT, Muhammad serta
keluarganya yang suci dan baik.
Sayed Sadr tetap duduk di mihrabnya
seusai shalat. Sebagian orang datang menyalaminya lalu mengajukan
berbagai pertanyaan secara perlahan atau kadang-kala dengan suara yang
agak keras. Dan Sayed juga menjawab setiap pertanyaan dengan perlahan
apabila pertanyaannya memang demikian. Dari sana kupahami bahwa
pertanyaan tersebut adalah yang berkaitan dengan masalah-masalah
pribadi. Apa-bila jawaban yang diharapkan telah diperoleh, maka
sipenanya akan mencium tangannya kemudian pergi. Berbahagialah mereka
dengan orang alim yang mulia ini yang ikut membantu menyelesaikan segala
permasalahan mereka dan ikut serta dalam suka dan duka mereka.
Sambutan Sayed yang demikian hangat serta perhatiannya yang begitu
tinggi membuatku seakan berada di tengah keluargaku sendiri. Kurasa
seandainya aku berada bersamanya selama satu bulan saja, niscaya aku
akan menjadi Syi'ah karena melihat akhlaknya yang sangat tinggi, sikap
tawadhu'-nya dan kemurahan hatinya. Setiap kali mataku terpandang pada
matanya kulihat beliau tersenyum dan memulai menyapaku. Beliau juga
menanyakan keadaanku yang mungkin perlu bantuan dan sebagainya. Alhasil,
sambutannya padaku sangat mesra sekali.
Selama empat hari aku
jadi tamunya. Dan selama itu pula aku tidak berpisah dengannya kecuali
saat tidur saja, kendati pun yang datang berziarah atau ulama-ulama yang
berkun-jung padanya cukup banyak. Aku juga berjumpa dengan orang-orang
Saudi di sana. Aku tidak pernah tahu bahwa orang-orang Syi'ah juga ada
di Hijaz. Demikian juga ulama-ulama dari Bahrain, Qatar, Emirat Arab,
Lebanon, Syria, Iran, Afghanistan, Turki dan Afrika. Sayed berbicara
dengan mereka dan membantu hajat-hajat mereka. Semua yang keluar dari
rumahnya menampakkan kegembiraan hati. Aku tidak akan pernah lupa pada
suatu peristiwa yang kusaksikan di hadapan mataku sendiri dimana Sayed
dapat menyelesaikannya sebuah persoalan yang berat dengan begitu bijak.
Kukatakan demikian karena ia menyirat suatu pelajaran yang sangat
penting agar kaum muslimin tahu betapa ruginya mereka lantaran
meninggalkan hukum-hukum Allah.
Ada empat orang datang
menghadap Sayed Muhammad Baqir Sadr. Aku menduga bahwa mereka adalah
penduduk Iraq sendiri, karena logat bahasanya kupahami demikian. Seorang
dari mereka telah memperoleh waris sebuah rumah dari datuknya yang
telah meninggal beberapa tahun sebelumnya. Kemudian rumah tersebut
dijualnya kepada orang kedua yang juga hadir di sana. Setahun setelah
penjualan, datanglah dua orang yang mengaku sebagai pewaris syar'i (sah)
dari si mayit. Keempat-empat mereka duduk di hadapan Sayed, dan
masing-masing mengeluarkan berbagai kertas dan surat bukti. Setelah
Sayed membaca surat-surat tersebut dan berbicara sejenak dengan mereka,
kemudian dia keluarkan fatwanya seadil-adilnya: si pembeli tetap
mempunyai hak atas rumah yang dibelinya; dan si penjual juga harus
memberikan hak waris bagian dua saudara tadi dari hasil jualannya. Usai
Sayed memberi fatwa empat orang ini kemudian berdiri lalu mencium tangan
Sayed dan mereka saling berpelukan tanda damai dan setuju.
Aku
sangat terkejut dan seperti tidak percaya. Kutanyakan kepada Abu
Syubbar apakah kasusnya telah selesai. Ya, jawabnya. Setiap mereka telah
mendapatkan haknya masing-masing. Subhanallah. Semudah ini dan dalam
waktu yang sesingkat ini; hanya beberapa saat saja permasalahan itu
dapat diselesaikan! Kasus seperti ini apabila terjadi di negeri kami,
paling tidak ia akan memakan waktu sepuluh tahun sampai kadang-kadang
sebagian dari mereka telah mati lalu kemudian diteruskan oleh
anak-anaknya. Tambah lagi mereka harus bayar biaya pengadilan, pengacara
dan lain sebagainya yang kebanyakannya tidak kurang dari nilai rumah
itu sendiri. Mula-mula pengadilan umum, kemudian negeri lalu mahkamah
agung sampai akhirnya semua kecewa setelah melalui serangkaian kekusutan
serta biaya yang mahal dan menyogok sana-sini yang tidak sedikit.
Disamping sikap permusuhan dan kebencian yang timbul antar keluarga
akibat dari semua itu.
"Hal seperti itu juga ada di sini;
bahkan lebih dari itu." Kata Abu Syubbar menjawab. "Maksud Anda?"
Tanyaku. "Jika orang mengangkat permasalahan mereka dan mengajukannya
kepada pengadilan negeri maka hasilnya seperti yang Anda ceritakan tadi.
Namun jika mereka mentaklid seorang Marja' agama dan terikat dengan
hukum-hukum Islam maka mereka tidak akan mengangkat permasalahan mereka
kecuali kepadanya saja. Dan si Marja' pada gilirannya akan menyelesaikan
masalah mereka dalam waktu yang sangat singkat seperti yang Anda
saksikan. Apakah ada Hakim yang lebih baik selain daripada Allah bagi
orang-orang yang berakal? Sayed Sadr juga tidak memungut sebarang biaya
dari mereka. Apabila mereka pergi ke instansi pemerintah yang berkaitan
niscaya mereka akan menderita kerugian yang tidak sedikit."
"Subhanallah. Aku masih tidak percaya apa yang kulihat. Kalaulah mata
ini tidak menyaksikannya sendiri mana mungkin aku akan percaya pada
kejadian ini. "
"Begitulah wahai sandaraku. Kasus ini masih
ringan dibandingkan dengan kasus-kasus yang lain yang lebih rumit dan
menyangkut nyawa. Tapi para marja' ini dapat menyelesaikannya dalam
waktu yang relatif singkat."
"Jadi di Irak ini ada dua pemerintahan, pemerintahan negara dan pemerintahan ulama, begitu?" Tanyaku takjub.
"Tidak. Di sini ada pemerintahan negara saja. Namun kaum muslimin dari
mazhab Syi'ah yang bertaklid pada marja' mereka tidak memiliki sebarang
hubungan dengan pemerintahan. Karena ia adalah pemerintahan Ba'ath bukan
pemerintahan Islam. Mereka patuh pada hukum-hukum sipil, pajak, dan
hal-hal pribadi lainnya. Seandainya terjadi suatu kasus antara seorang
muslim yang shaleh dengan seorang muslim lain yang tidak shaleh, maka
pasti ia akan terpaksa mengangkatnya kepada pengadilan negeri. Karena
orang kedua ini tidak setuju dengan ketentuan hukum para ulama. Namun
jika yang berselisih adalah sesama orang-orang mukmin, maka mereka akan
mengembalikannya kepada para marja'. Apa saja yang dihukumkan oleh
marja' tersebut akan diterima oleh semua tanpa ada sebarang keberatan.
Itulah kenapa kasus-kasus tertentu dapat diselesaikan oleh para marja'
dalam waktu satu hari, sementara pengadilan negeri mungkin
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun."
Peristiwa itu
menggetarkan jiwaku hingga kemudian kurasakan suatu kesadaran untuk rela
atas segala hukum Allah SWT. Dari situ aku memahami makna firman Allah
yang bermaksud: "Barang siapa yang tidak menghukumkan dengan apa yang
diturunkan oleh Allah maka mereka adalah orang-orang kafir. Barang siapa
yang tidak menghukumkan dengan apa yang diturunkan oleh Allah maka
mereka adalah orang-orang yang zalim. Dan barang siapa yang tidak
menghukumkan dengan apa yang diturunkan oleh Allah maka mereka adalah
orang-orang fasik " (Al-Maidah: 44,45,47)
Jiwaku juga
memberontak dan memprotes orang-orang zalim yang telah merobah
hukum-hukum Allah SWT yang adil kepada hukum buatan manusia yang zalim.
Bahkan mereka mengejek hukum-hukum Allah dengan cara yang keji. Mereka
katakan bahwa hukum Allah adalah barbarism dan kejam karena menegakkan
hukum hudud yang memotong tangan pencuri dan merajam penzina serta
membunuh si pembunuh. Dari mana datangnya teori-teori yang asing seperti
ini? Sudah pasti ia datang dari barat dan dari musuh-musuh Islam yang
melihat bahwa pelaksanaan hukum-hukum seperti itu berarti tamatnya
kekuasaan mereka secara total. Hal ini tiada lain karena mereka sendiri
adalah para pencuri, pengkhianat, penzina dan pembunuh. Apabila
hukum-hukum Allah dilaksanakan terhadap mereka maka kita sudah aman dari
mereka.
Pada hari-hari yang penuh kenangan itu terjadi
serangkaian diskusi antara aku dan Sayed Sadr. Kuajukan padanya berbagai
pertanyaan, besar atau kecil dari kesimpulan yang kubuat setelah
berbagai diskusi dengan teman-teman, baik yang berkaitan dengan akidah,
sahabat (semoga Allah meredhai mereka) atau kepercayaan mereka akan imam
dua belas, Ali dan anak-anaknya dan lain sebagainya yang tidak sama
dengan akidah kami.
Kutanyakan kepada Sayed Sadr tentang Imam
Ali, kenapa namanya diucapkan dalam azan dengan sebutan Waliullah?
Beliau menjawab: "Amir al-Mukminin Ali as. adalah di antara hamba Allah
yang dipilih oleh-Nya untuk meneruskan tanggung-jawab mengemban Risalah
setelah para nabiNya. Mereka adalah para wasi Nabi. Setiap nabi memilik
wasi, dan wasi Nabi Muhammad SAW adalah Ali bin Abi Thalib. Kami
mengutamakannya atas semua sahabat karena Allah dan Rasul-Nya
mengutamakan-Nya. Dan kami mempunyai dalil akli dan nakli, AlQuran dan
Sunnah dalam hal ini. Dalil-dalil ini tidak dapat diragukan
kebenarannya, lantaran bersifat mutawatir dan sahih dalam jalur sanad
kami, dan hatta dalam jalur sanad Ahlu SunnahWal Jamaah. Para ulama kami
telah menulis berbagai buku tentang hal ini. Ketika pemerintahan Bani
Umaiyah coba menghapuskan kebenaran ini dan memerangi Amir al-Mukminin
Ali dan anak-anaknya serta membunuh mereka bahkan mencaci dan
melaknatnya di atas mimbar-mimbar kaum muslimin serta memaksa mereka
untuk berbuat serupa, melihat ini maka
Syi'ah Ali dan para
pengikutnya, semoga Allah meridhai mereka, tetap mengikrarkan bahwa
beliau adalah Waliullah, karena seorang muslim yang sejati dilarang
mencaci Waliullah. Hal ini dilakukan sebagai bantahan mereka terhadap
penguasa yang zalim saat itu hingga kemuliaan yang sebenarnya dapat
dikembalikan kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukminin saja; dan
biarlah ia wujud sebagai bukti sejarah kepada segenap kaum muslimin yang
datang berikutnya, agar mereka tahu tentang kebenaran Ali dan kebatilan
musuh-musuhnya.
Para fuqaha (ahli fiqih) kami mengatakan bahwa syahadat kepada wilayah Ali
di saat azan adalah sunnat semata-mata, dan dengan niat bahwa ia bukan
bagian dari azan atau iqamah. Apabila seorang muazin menganggap bahwa
itu adalah bagian dari azan dan iqamah maka azannya dianggap tidak sah.
Dan hal-hal sunnat dalam ibadah dan mu'amalat banyak sekali jumlahnya.
Seorang muslim akan diberi ganjaran jika melakukannya dan tidak akan
berdosa apabila meninggalkannya. Sebagai contoh, dalam suatu hadis
disebutkan bahwa usai mungucapkan syahadat kepada Allah dan Muhammad
dalam azan, disunatkan juga bersyahadat (bersaksi) bahwa sorga itu
adalah benar; neraka itu adalah benar; dan Allah akan membangkitkan
manusia dari kuburnya."
Kukatakan bahwa para ulama kami
mengajarkan bahwa Sayyidina Abubakar as-Shiddiq adalah khalifah yang
paling utama, kemudian Sayyidina Umar al-Faruq, Sayyidina Utsman baru
kemudian Sayyidina Ali, semoga Allah meridhai mereka semua.
Sayed diam sejenak. Kemudian berkata: "Mereka boleh berkata apa saja
tetapi jauh sekali untuk bisa membuktikannya secara valid. Di samping ia
bertentangan dengan apa yang tertulis dalam kitab-kitab mereka yang
sahih dan muktabar. Di sana tertulis bahwa manusia yang paling utama
adalah Abubakar, kemudian Utsman. Tidak ada kata-kata Ali sama sekali.
Justru Ali dijadikan sebagai manusia awam semata-mata. Namun para ahli
sejarah juga menyebutnya lantaran menyebut-nyebut para khulafa' rasyidin
saja."
Aku tanyakan juga tentang tanah yang digunakan untuk
sujud, atau yang biasa disebut dengan Turbah Husainiyah. Beliau
menjawab: "Pertama-tama wajib diketahui bahwa kami bukan sujud kepada
tanah, seperti yang disangka oleh mereka yang bencikan Syi'ah, tapi kami
sujud di atas tanah. Sujud hanya untuk Allah semata-mata. Apa yang
terbukti secara dalil bagi kami dan juga di sisi Ahlu Sunnah bahwa yang
utama adalah sujud di atas tanah atau di atas sesuatu yang tumbuh dari
tanah, tapi bukan sejenis dari bahan makanan. Selain dari itu tidak sah
sujud di atasnya. Dahulunya Rasulullah SAW. duduk di atas tanah dan
menjadikan sebungkal tanah sebagai tempat sujudnya. Beliau juga
mengajarkan kepada sahabat-sahabatnya demikian juga sehingga mereka
sujud di atasnya, dan di atas batu-batu kecil. Baginda melarang mereka
sujud di atas ujung bajunya. Hal ini diketahui sangat lumrah sekali di
sisi kami.
Imam Zainal Abidin dan Sayyid as-Sajidin Ali bin
Husain a.s. mengambil tanah dari kuburan ayahnya Abu Abdillah al-Husain
as-Syahid sebagai turbahnya. Ini karena tanahnya bersih dan suci dan
telah disiram oleh darah Sayyidis-syuhada' (penghulu para syahid). Dan
para Syi'ahnya meneruskan kebiasaan ini sehingga ke hari ini. Kami tidak
mengatakan bahwa sujud di atas selainnya bermakna tidak sah. Sujud akan
sah di atas sebarang tanah atau sebarang batu yang suci, sebagaimana ia
juga akan sah sujud di atas tikar atau tempat ambal yang dibuat dari
pelepah kurma dan sejenisnya."
Kutanyakan lagi tentang
peringatan Sayyidina Husain a.s, kenapa Syi'ah menangis dan
memukul-mukul dada sehingga berdarah? Bukankah ini haram di dalam Islam.
Nabi juga telah bersabda: "Bukan dari golongan kami mereka yang
memukul-mukul pipi dan mengoyak-ngoyak baju serta melakukan seperti
perbuatan Jahiliah."
Sayed menjawab : "Hadis itu memang sahih,
tapi ia tidak dapat diterapkan untuk peringatan Abu Abdillah al-Husain.
Mereka yang menyeru pada perjuangan Husain dan mengikut jejaknya,
perbuatan ini bukan sejenis perbuatan Jahiliah. Lalu di dalam mazhab
Syi'ah ada manusia yang beragam, ada yang alim dan ada juga yang jahil.
Kesemua mereka mempunyai rasa emosi. Jika di dalam mengingat kesyahidan
Husain dan apa yang terjadi kepada keluarganya serta para sahabatnya,
-yang dibunuh atau yang ditawan-lalu perasaan emosinya menguasai mereka,
maka mereka akan mendapatkan pahala di sisi Tuhannya. Karena niat
mereka adalah fi sabilillah semata-mata. Dan Allah memberikan ganjaran
kepada hamba-hamba-Nya sekadar niatnya masing-masing. Seminggu yang lalu
saya membaca suatu kenyataan resmi dari pemerintahan Mesir "sempena"
kematian Jamal Abdul Nasir.
Dikatakan bahwa mereka telah
mencatat delapan kasus bunuh diri karena mendengar kematian Jamal Abdul
Nasir. Ada yang menerjunkan diri dari atas bangunan yang bertingkat; ada
yang menerjunkan diri ke bawah rel keretapi dan sebagainya. Adapun
mereka yang terluka jumlahnya cukup banyak. Ini saya sebutkan sebagai
contoh bagaimana emosi manusia kadang-kadang bisa menguasai manusia itu
sendiri. Jika manusia muslim sampai membunuh diri lantaran kematian
Jamal Abdul Nasir, padahal dia mati secara wajar, maka tidak ada hak
bagi kita untuk menghukumi bahwa Ahlu Sunnah adalah salah. Dan tidak ada
hak bagi Ahlu Sunnah juga menghukumi saudara-saudara mereka dari Syi'ah
salah lantaran menangisi Sayyid as-Syuhada' al-Husain. Mereka meratapi
penderitaan Husain sampai sekarang. Rasulullah sendiri pernah menangis
untuk Husain, dan Jibril juga menangis karena tangisnya Rasulullah."
"Kenapa Syi'ah menghiasi kuburan wali-wali mereka dengan emas dan perak sementara ia haram di dalam Islam?" Tanyaku lagi.
"Ini tidak hanya ada di dalam Syi'ah dan juga tidak haram. Lihatlah
masjid-masjid saudara kami dari golongan Ahli Sunnah, di Iraq, Mesir,
Turki atau negara-negara Islam yang lain. Rata-rata dihiasi dengan emas
dan perak. Begitu juga dengan masjid Rasulullah SAWW. di Madinah
al-Munawwarah dan Baitullah al-Haram di Mekah yang setiap tahun
dipakaikan dengan perhiasan emas yang baru dengan perbelanjaan
berjuta-juta. Ini tidak hanya ada pada mazhab Syi'ah saja."
"Ulama-ulama Saudi berkata bahwa mengusap tangan di atas kubur, minta
doa dari orang-orang yang sholeh serta mengambil berkat dari mereka
semua itu adalah syirik kepada Allah. Bagaimana pendapat Anda dalam hal
ini?"
"Jika mengusap tangan di atas kubur dan menyebut
nama-nama penghuninya dengan niat bahwa mereka memberi manfaat atau
mendatangkan madharaat (kerugian), maka tak ragu-ragu lagi ia adalah
syirik. Orang-orang muslim adalah orang yang muwahhid (bertauhid) dan
mengetahui bahwa Allah sajalah yang memberi manfaat atau madharrat.
Mereka menyeru para wali dan imam a.s. semata-mata sebagai wasilah atau
perantara mereka kepada Allah SWT. Ini tidak syirik. Kaum muslimin,
Sunnah dan Syi'ah, sepakat dalam hal ini sejak zaman Rasul sehingga
sekarang. Melainkan Wahabiah atau ulama-ulama Saudi seperti yang Anda
sebutkan. Mereka telah melanggar ijmak kaum muslimin dengan mazhab
mereka yang baru muncul di abad ini. Mereka telah memfitnah kaum
muslimin dengan akidah mereka ini, mengkafirkan mereka dan bahkan
menghalalkan darah mereka. Para jemaah haji Baitullah al-Haram dipukul
lantaran mereka berkata: Assalamu Alaika Ya Rasulullah. Dan tidak
diperkenankan siapapun untuk menyentuh kuburan suci Nabi Muhammad SAWW.
Mereka telah berdiskusi dengan ulama kami beberapa kali, tapi mereka
tetap sombong untuk menerima kebenaran."
"Sayed Syarafuddin,
seorang di antara ulama Syi'ah ketika pergi haji ke Baitullah al-Haram
di zaman raja Abdul Aziz Aal Saud, adalah di antara ulama ke istana raja
untuk merayakan Hari Raya Aidul Adha bersama raja. Ketika tiba
gilirannya untuk bersalaman dengan raja, dihadiahkannya kepada raja
sebuah mushaf AlQuran yang bercover kulit binatang. Raja menerima hadiah
mushaf tersebut lalu diciumnya dan diletakkannya di atas dahi sebagai
tanda penghormatan dan pentakziman. Sayed Syarafuddin kemudian berkata
ketika itu: "Wahai Raja, kenapa Anda mencium kulit dan mengagungkannya.
Bukankah ia hanya berupa kulit kambing, tidak lebih?" "Yang kumaksudkan
adalah pentakziman kepada AlQuran al-Karim yang ada di dalamnya, bukan
kepada kulit ini." jawab Raja. Sayed Syarafuddin berkata: "Anda bijak
hai Raja. Begitulah juga ketika kami mencium pintu-pintu kuburan Nabi
atau dinding-dindingnya. Kami tahu bahwa itu semua adalah besi yang
tidak memberi sembarang menfaat atau mudharrat. Kami bermaksud mencium
orang yang ada di balik besi dan kayu-kayu itu. Kami bermaksud
mentakzim-kan Rasulullah SAWW., sebagaimana Anda bermaksud mentakzimkan
AlQuran dengan mencium kulit kambing yang membungkus AlQuran ini.
Para hadirin mengucapkan takbir sebagai tanda kagum atas Sayed ini.
Mereka berkata: Anda benar, Anda benar. Akhirnya raja terpaksa
mengizinkan para jemaah haji untuk melakukan tabarruk (mengambil berkat)
dari peninggalan-peningalan Nabi SAWW. sehinggalah datang raja
berikutnya. Kemudian ia dilarang kembali.
Perkara yang
sebenarnya bukan karena mereka takut kaum muslimin akan syirik kepada
Allah. Tetapi disana ada motifasi politik untuk menguasai kaum muslimin
dan memperkuat kerajaan mereka. Sejarah adalah sebaik-baik bukti atas
apa yang mereka lakukan terhadap Ummat Muhammad SAWW "
Aku
tanya juga tentang tarikat-tarikat Sufi. Jawabnya singkat, "Ada yang
positif dan ada juga yang negatif. Yang positif seperti membina diri dan
mendidiknya untuk sederhana di dalam hidup dan bersikap zuhud atas
kenikmatan-kenikmatan dunia serta melatih diri untuk berangkat tinggi ke
alam ruh yang suci.
Sementara yang negatif seperti menyendiri
dan lari dari realitas kehidupan, terbatas hanya berzikir kepada Allah
secara lafzi dan sebagainya. Islam seperti yang diketahui mengabsahkan
yang positif dan membuang jauh-jauh yang negatif. Kita layak mengatakan
bahwa semua prinsip Islam adalah positif."
RAGU-RAGU DAN BINGUNG
JAWABAN Sayed Muhammad Eaqir as-Sadr jelas dan meyakinkan. Tetapi apakah mungkin ia akan mempengaruhi orang seumpamaku yang telah menghabiskan umurnya selama dua puluh lima tahun dalam prinsip mengkultuskan para sahabat dan menghormati mereka. Temtama Khulafa' ar-Rasyidin yang diperintahkan oleh Rasul kepada kita untuk berpegang teguh pada sunnah mereka dan berjalan di bawah bimbingan mereka. Di atas semua mereka adalah Sayyidina Abu Bakar as-Shiddiq dan Sayyidina Umar al-Faaruq.
Sejak kedatanganku ke Iraq tidak pernah kudengar nama mereka. Yang
kudengar adalah nama-nama yang kelihatannya asing bagiku serta nama dua
belas imam. Orang-orang syi'ah ini juga mengklaim bahwa Nabi SAWW telah
menunjuk Ali sebagai Khalifah sebelum wafatnya. Bagaimana mungkin aku
bisa percaya bahwa para sahabat yang mulia, manusia yang paling utama
setelah Nabi, sepakat dalam menentang Ali Karamallah wajhahu. Dan sejak
kecil juga kami diajar bahwa para sahabat r.a. sangat menghormati Imam
Ali dan mengetahui haknya. Beliau adalah suaminya Fatimah az-Zahra',
ayahanda Hasan dan Husain dan pintu kotanya ilmu. Begitu juga Sayyidina
Ali. Beliau tahu haknya Abu Bakar as-Siddiq, orang pertama yang masuk
Islam dan menemani Rasul saat beliau berada di gua sebagaimana yang
disebutkan dalam AlQuran. Rasulullah SAWW juga telah menyuruhnya menjadi
imam jamaah ketika baginda sakit. Untuk itu beliau pernah bersabda:
"Seandainya aku harus mengambil Khalil (teman dekatku), maka Abu Bakar yang akan kuambil sebagai khalilku."
Itulah kenapa kaum muslimin memilihnya sebagai khalifah mereka. Imam
Ali juga tahu tentang keutamaan Sayyidina Umar yang dengannya Islam
telah diangkat oleh Allah; dan Rasul telah memberinya gelar sebagai
al-Faruq, yakni yang memisahkan antara hak dan batil. Beliau juga tahu
tentang keutamaan Sayyidina Utsman di mana Malaikat Rahman malu
kepadanya dan yang telah menyediakan Pasukan al-U'srah, serta dinamakan
Rasulullah sebagai Zun Nurain (empunya dua cahaya).
Kenapa
saudara-saudara kami mazhab Syi'ah tidak mengetahui semua itu. Apakah
mungkin mereka berpura-pura tidak tahu lalu menjadikan mereka sebagai
manusia-manusia biasa yang diombang-ambingkan oleh hawa nafsu dan
kerakusan duniawi serta berpaling dari kebenaran. Karena itu maka mereka
kemudian dikatakan sebagai orang yang melanggar perintah nabi setelah
wafatnya. Padahal sebelumnya mereka adalah para sahabat nabi yang
berlomba-lomba dalam mematuhi perintahnya, bahkan ada yang membunuh
anak-anak mereka, ayah-ayah mereka dan keluarga mereka demi kemuliaan
Islam dan kejayaannya. Mereka yang rela membunuh ayah dan anaknya
lantaran patuh pada Allah dan Rasulnya tidak mungkin akan dipengaruhi
oleh dunia yang fana ini, seperti merebut jabatan khalifah, atau
pura-pura jahil apalagi meninggalkan perintah Rasul SAWW.
Karena alasan-alasan itu maka aku tidak percaya pada apa yang dikatakan
oleh Syi'ah walaupun dalam banyak hal aku yakin akan hujah-hujahnya. Aku
bingung dan ragu-ragu. Ragu-ragu lantaran kata-kata ulama Syi'ah sangat
rasional dan logis. Bingung dan tidak percaya lantaran para sahabat ra
dipandang sedemikian rupa sehingga mereka seperti manusia biasa; seperti
diri kita ini. Tiada cahaya risalah menyinari mereka dan tiada pula
bimbingan Muhammad mendidik mereka. Ya Ilahi, bagaimana mungkin terjadi
begini? Mungkinkah para sahabat berada dalam taraf yang dikatakan
orang-orang Syi'ah itu? Yang penting sikap ragu-ragu dan bingung ini
adalah mulanya kelemahan dan pengakuan bahwa di sana ada hal-hal
tersembunyi yang harus dibongkar agar dapat sampai kepada kebenaran.
Temanku Mun'im datang dan kami pergi ke Karbala. Di sana aku ikut serta
dalam sebuah majlis takziah mengenang Sayyidina Husain sebagaimana yang
dihayati oleh orang-orang Syi'ah. Waktu itu aku sadar bahwa Sayyidina
Husain sebenarnya belum mati. Orang-orang begitu ramai dan saling
berdesakan di sekitar pusara Sayyidina Husain. Mereka menangis
terisak-isak yang tak pernah kusaksikan seumpamanya sebelum ini yang
seakan-akan Husain baru saja syahid. Kudengar para penceramah menggugah
emosi dan perasaan para hadirin dengan menceritakan tragedi Karbala
dengan suara yang mengharukan.
Hampir setiap orang yang
mende-ngarnya tidak dapat menahan diri kecuali ikut menangis. Aku
menangis dan terus menangis. Kubiarkan diriku melepaskan deritanya yang
seakan-akan sebelum ini terbelenggu. Kurasakan suatu kelegaan jiwa yang
luar biasa yang tidak pernah kuketahui sebelum ini. Seakan-akan
dahulunya aku berada di barisan musuh-musuh Imam Husain, dan tiba-tiba
sekarang berbalik dan ikut serta para sahabat Husain dan pengikutnya
yang berkorban untuknya.
Waktu itu si penceramah bercerita
tentang al-Hur, salah seorang komandan pasukan musuh yang diperintahkan
untuk memerangi Husain. Namun ketika beliau berdiri di front paling
depan, dia rasakan dirinya bergemetar dahsyat. Ketika ditanya oleh
sebagian temannya, apakah dia takut mati? Hur menjawab, demi Allah
tidak. Tetapi aku kini tengah mempertaruhkan nyawaku antara sorga dan
neraka. Kemudian dia sebat kudanya dengan agak keras dan pergi ke arah
Husain. Katanya, wahai putra Rasulullah, apakah masih ada luang untukku
bertaubat?
Mendengar ini aku tidak dapat menahan diri. Aku
jatuh dan menangis seakan aku tengah melakukan peranan Hur. Aku berkata,
wahai putra Rasulullah, apakah ada jalan bagiku untuk bertaubat?
Maafkan aku wahai putra Rasulullah.
Waktu itu suara si
penceramah sangat mengharukan. Terdengar suara tangisan para hadirin
menguak suasana. Temanku mendengar suara jeritan tangisku. Dia datang
dan memelukku sambil menangis bagaikan seorang ibu yang memeluk anaknya.
Dia menyebutkan kata-kata, ya Husain... ya Husain... secara perlahan.
Saat itu benar-benar mengajarku makna suatu tangisan. Air mataku seakan
mencuci semua kalbuku dan jasadku dari dalam. Waktu itu aku baru paham
maksud hadis Nabi: "Apabila kalian tahu apa yang kuketahui, maka kalian
akan tertawa sejenak dan menangis banyak."
Satu hari penuh aku
hanya berdiam diri. Temanku berusaha menghiburku dan mengucapkan takziah
padaku. Diberinya aku sedikit manisan, tapi rasa minatku untuk makan
hari itu sama sekali hilang. Aku minta temanku menceritakan kepadaku
kisah syahidnya Sayyidina Husain, karena aku tidak tahu sama sekali
tentang tragedi Karbala ini. Apa yang aku tahu adalah cerita orang-orang
tua kami yang mengatakan bahwa orang-orang munafik yang membunuh
Sayyidina Umar, Sayyidina Utsman dan Sayyidina Ali, mereka jugalah yang
membunuh Sayyidina Husain. Selebihnya kami tidak tahu. Bahkan pada hari
Asyura kami menyambutnya dengan suka-ria, karena dianggap sebagai hari
raya Islam. Hari itu zakat-zakat harta dikeluarkan, berbagai makanan
yang lezat dihidangkan dan anak-anak pergi meminta uang dari orang-orang
tua mereka untuk belanja mainan dan manisan.
Memang ada
sebagian adat di sejumlah daerah di mana para penduduknya pada hari itu
menyalakan api, tidak bekerja, tidak kawin dan tidak bersuka ria. Tetapi
hal itu kami katakan sebagai adat semata-mata, tanpa mengetahui makna
yang tersirat di baliknya. Ulama-ulama kami meriwayatkan berbagai hadis
tentang keutamaan hari Asyura serta berbagai berkat dan rahmat yang ada
di dalamnya. Sungguh aneh.
Dari sana kemudian kami ziarah ke
kuburan Abbas, adiknya Husain. Waktu itu aku tidak kenal siapa Abbas.
Temanku menceritakan padaku tentang kegagahan dan kepahlawanannya. Di
sana juga kami berjumpa dengan berbagai ulama yang tidak kuingat betul
siapa nama-nama mereka, melainkan gelarnya saja, seperti Bahrul Ulum,
Sayed al-Hakim, Kasyif al-Ghitho', Ali Yasin, Thabathabai, Fairuz Abadi,
Asad Haidar dan sebagainya.
Secara jujur harus kukatakan bahwa
mereka sebenarnya adalah para ulama yang bertakwa, berwibawa dan
terhormat. Orang-orang Syi'ah sangat menghormati mereka dan membayarkan
khumus (seperlima dari keuntungan niaganya) kepada mereka. Dengan dana
itu mereka menjalankan urusan Hauzah Ilmiah, mendirikan berbagai sekolah
dan percetakan, serta memberi biasiswa kepada para thalabah (pelajar)
yang datang dari berbagai dunia Islam. Mereka benar-benar berdikari dan
tidak bergantung kepada para penguasa, baik yang dekat atau yang jauh;
tidak seperti kondisi ulama-ulama kita yang tidak akan mengeluarkan
sebuah fatwa atau pendapat melainkan terlebih dahulu minta restu para
penguasa yang menjamin kehidupan mereka dan yang dapat menyingkirkan
atau mengangkat mereka.
Sungguh merupakan suatu dunia baru yang
kutemukan; atau ditunjukkan oleh Allah padaku. Kini aku menyukainya dan
dapat menyesuaikan diri dengannya setelah sekian lama aku memusuhinya.
Orang alim ini telah membukakan untukku berbagai pemikiran-pemikiran
yang baru. Beliau juga telah membangkitkan diriku untuk mencintai
pengkajian, penelitian dan belajar sungguh-sungguh sampai harus
kutemukan sebuah kebenaran yang kucari. Apalagi Nabi pernah bersabda:
"Bani Israel telah terpecah kepada tujuh puluh satu golongan, Nasrani
telah berpecah kepada tujuh puluh duagolongan sementara ummatku akan
terpecah kepada tujuh puluh tiga golongan. Semua berada di neraka
kecuali satu." Hadis ini sangat mengusikku untuk mengetahui lebih jauh
tentang suatu kebenaran yang dimaksudkan.
Kita tidak perlu
mengaitkan maksud hadis ini dengan berbagai agama yang mengklaim bahwa
dirinya adalah yang benar sementara yang lain salah. Aku bingung dan
takjub melihat maksud hadis ini. Lebih bingung lagi melihat sikap kaum
muslimin yang sering membaca dan mengulang-ulang hadis ini dalam
ceramah-ceramahnya, namun tetap tidak pernah mau meneliti maksudnya agar
dapat membedakan mana golongan yang hak dari golongan yang batil.
Anehnya setiap golongan menklaim bahwa dia adalah satu-satunya yang
kelak akan selamat, dan yang lain sesat. Dalam urutan hadis itu
tertulis, "Sahabat bertanya, siapa mereka ya Rasuhdlah?" Nabi menjawab:
"Apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya."
Apakah ada
suatu golongan yang tidak berpegang pada Kitab dan Sunnah, atau mengaku
tidak ikut AlQuran dan Sunnah? Seandainya Imam Malik, Abu Hanifah,
Syafi'i atau Ahmad bin Hanbal ditanya, adalah tidak mungkin mereka akan
berkata bahwa mereka tidak berpegang pada AlQuran dan Sunnah yang sahih.
Inibaru sekadar mazhab-mazhab yang ada di dekitar dunia Sunni.
Bagaimana pula dengan golongan Syi'ah? Mazhab ini juga mengklaim bahwa
ia berpegang pada Kitab Allah dan Sunnah yang shahih yang kesemuanya
diriwayatkan oleh Ahlul Bait yang suci. Bak kata pepatah, "Ahlul Bait
lebih tahu akan isi rumahnya ketimbang orang luar." Apakah mungkin
semuanya benar seperti yang diklaim oleh masing-masing. Hal ini rasanya
tidak mungkin sama sekali, karena ia bermaksud sebaliknya. Lain halnya
apabila dinyatakan bahwa hadis tersebut palsu atau dusta. Tetapi ini
tidak mungkin. Sebab hadis itu adalah hadis yang mutawatir, baik menurut
Sunnah atau pun Syi'ah. Apakah mungkin hadis ini tidak mempunyai makna
dan maksud? Jauh sekali Nabi akan berkata sesuatu yang sia-sia tanpa
maksud, karena apa yang dikatakannya adalah wahyu semata-mata; dan
setiap hadisnya mengandung hikmat dan pelajaran. Nah, suka atau tidak,
kita terpaksa harus mengakui bahwa hanya ada satu golongan yang benar
dan lainnya salah. Hadis ini memang menimbulkan kebingungan, tetapi ia
juga melahirkan sikap ingin tahu dan kesungguhan untuk meneliti bagi
mereka yang menginginkan keselamatan.
Karena itu, sikap
ragu-ragu, bingung dan ingin tahu kemudian timbul dalam benakku setelah
perjumpaanku dengan orang-orang Syi'ah. Siapa tahu mungkin mereka
mengatakan sesuatu yangbenar danberkata jujur. Kenapa aku tidak teliti
dan kaji. Islam telah mewajibkanku mengkaji, memperbandingkan dan
meneliti seperti yang disebutkan dalam AlQuran dan Sunnah Nabi. Allah
berfirman: "Siapa yang sungguh-sungguh meniti dijalan Kami maka pasti
Kami tunjukkan padanya jalan-jalan Kami" (Al-Ankabut: 69). Dia juga
berfirman: "Mereka yang mendengar suatu perkataan lalu mengikuti yang
terbaik di antamnya, maka mereka adalah orang-orang yang diberi hidayat
oleh Allah dan mereka adalah orang-orang yang berfikir." (Al-Zumar: 18)
Dengan keputusan dan niat yang jujur ini aku kemudian berjanji pada
diriku dan kepada teman-teman Syi'ahku di Iraq untuk memulai
penelitianku. Aku sangat
terharu ketika berpisah dengan mereka. Aku
telah sangat mencintai mereka dan mereka juga mencintaiku. Aku telah
tinggalkan teman-teman yang mukhlis dan mulia, yang telah mengorbankan
waktu mereka karenaku dan tiada menyimpan sebarang maksud. Tujuan mereka
semata-mata ingin memperoleh keredhaan Allah SWT. Dalam sebuah hadis
disebutkan: "Satu orang yang mendapatkan hidayah Allah di tanganmu
adalah lebih baik bagimu dari apa yang diterbitkan oleh matahari."
Aku meninggalkan Iraq setelah dua puluh hari berada di sekitar makam
para imam Syi'ah. Semua berlalu seperti mimpi indah yang teramat sukar
untuk dilepaskan. Kutinggalkan Iraq dengan perasaan sedih lantaran
waktunya yang sangat singkat; dan karena perpisahan yang mesti dengan
orang-orang yang sangat baik hati dan berpaut cinta kepada Ahlul Bait
Nabi SAWW. Aku pergi menuju Hijaz ingin berkunjung ke Baitullah al-Haram
dan makam Sayyidil Awwalin Wal Akhirin Sallallahu Alaihi Wa Alihi
at-Thayyibin at-Thahirin.
BERANGKAT KE HIJAZ
AKU tiba di Jeddah. Di sana aku berjumpa dengan temanku Bashir yang hangat menyambut kedatanganku. Dibawanya aku ke rumahnya dan dihormatinya aku dengan penuh mesra. Dia luangkan waktunya untuk menemaniku pergi bersiar dan ziarah dengan mobilnya. Kami pergi umrah bersama-sama dan kami lalui waktu-waktu kami dengan amal ibadah dan ketakwaan. Aku mohon maafkarena terlambat sampai lantaran perjalanan ke Iracj sebelum ini. Kuceritakan kepadanya temuan baruku. Dia bersikap terbuka dan ingin tahu. Katanya: "Aku memang pernah mendengar bahwa mereka mempunyai banyak ulama yang agung dan bersandar pada dalil-dalil yang kuat. Tetapi di antara mereka banyakjuga golongan yang sesat. Pada setiap musim haji mereka menciptakan berbagai kemusykilan pada kami." Kutanya kemusykilan seperti apa? "Seperti, shalat di sekitar kuburan, masuk ke pekuburan baqi' beramai-ramai, menangis disana dan membawa potongan batu untuk sujud. Jika mereka pergi ke kuburan Sayyidina Hamzah di Uhud, mereka akan mengadakan acara takziah, memukul-mukul dada dan menangis kuat seakan-akan Hamzah baru saja meninggal hari itu. Karena itulah kenapa kerajaan Saudi melarang mereka masuk ke makam-makam ziarah."
Aku hanya tersenyum. Kukakatakan padanya apakah dengan ini berarti
mereka dihukumkan telah keluar dari Islam? "Ya, ada lagi yang lainnya."
Jawabnya. "Mereka datang ziarah ke kuburan Nabi, tetapi dalam waktu yang
sama mereka berdiri di depan kuburan Abu Bakar dan Umar, kemudian
mencaci dan melaknat mereka. Sebagian mereka bahkan ada yang melempari
kuburan Abu Bakar dan Umar dengan benda-benda najis dan kotoran."
Kata-kata ini mengingatkanku pada cerita ayahku saat beliau baru pulang
dari Haji. Katanya, orang-orang Syi'ah melemparkan najis ke kuburan
Nabi. Ayahku memang tidak pernah menyaksikannya sendiri. Katanya dia
hanya melihat unit keamanan Saudi memukul sebagian jemaah haji dengan
tongkat. Ketika diprotesnya, mereka menjawab bahwa yang dipukul itu
bukan orang-orang Islam. Mereka adalah orang-orang Syi'ah, yang datang
membawa benda-benda najis untuk dilemparkan ke pusara Nabi SAWW. Ayahku
kemudian berkata: "Seketika itu juga kami laknat mereka dan meludahi
muka mereka."
Sekarang ini kudengar dari temanku seorang Saudi
asal Madinah bahwa orang-orang Syi'ah itu berziarah ke kuburan Nabi,
tapi melemparkan benda-benda najis ke pusara Abu Bakar dan Umar. Aku
meragukan kebenaran dua cerita ini. Karena kulihat sendiri ruang kuburan
Nabi dan kuburan Abu Bakar dan Umar semuanya tertutup. Siapa pun tidak
akan dapat mendekat untuk memegang dan mengusap dari pintu atau
jendelanya. Apalagi ingin melemparkan sesuatu ke dalamnya. Di samping
tidak ada celah-celah, ia dijaga sangat ketat oleh polisi-polisi yang
kasar yang silih berganti berdiri di hadapan setiap pintu. Mereka
memegang cambuk dan memukul setiap orang yang mendekat atau yang
berusaha melihat ruang dalam. Kebanyakan polisi adalah orang-orang Saudi
sendiri.
Mereka mengkafirkan Syi'ah agar punya alasan untuk
memukul mereka; dan supaya kaum muslimin tergugah untuk memerangi mereka
atau paling tidak akan diam atas penghinaan terhadap mereka. Kelak
nanti kalau pulang ke negeri masing-masing, mereka akan mengatakan bahwa
Syi'ah adalah mazhab yang membenci Rasulullah SAWW dan melemparkan
benda-benda najis ke kuburannya. Dengan demikian maka mereka telah dapat
melempar dua burung dengan satu batu.
Hal ini serupa dengan
cerita seorang alim yang kupercaya. Katanya: "Ketika kami sedang tawaf
di Baitullah, tiba-tiba seorang anak muda termuntah akibat perutnya yang
mual dan desakan orang ramai. Polisi-polisi yang menjaga Hajarul Aswad
kemudian datang dan memukulnya. Ditariknya anak muda ini dengan cara
yang sangat memilukan. Kemudian ia dituduh sengaja datang ke Ka'bah
dengan membawa benda najis untuk mengotorinya. Setelah "dibuktikan" maka
anak muda ini dihukum mati pada hari itu juga.
Drama-drama
seperti itu mulai mengusik benakku. Aku sejenak merenungkan kata-kata
temanku Saudi ini yang mengkafirkan Syi'ah. Sebabnya tiada lain karena
orang-orang Syi'ah itu menangis, memukul-mukul dada, sujud di atas tanah
dan shalat di sekitar kuburan. Aku bertanya-tanya apakah ini dalilnya
untuk mengkafirkan orang yang bersaksi Tiada Tuhan melainkan Allah dan
Muhammad adalah Hamba-Nya dan Utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan
zakat, puasa bulan Ramadhan, pergi haji ke Baitullah al-Haram dan
melaksanakan amar ma'ruf dan nahi munkar.
Aku tidak ingin
membantah dan berselisih dengannya. Aku hanya berkata: semoga AUah
membimbing kita dan mereka ke jalan yang lurus; dan semoga laknat Allah
ditimpakan kepada musuh-musuh agama yang telah menipu-daya Islam dan
kaum muslimin.
Setiap kali aku bertawaf ketika umrah dan ketika
ziarah ke Makkah al-Mukarramah, yang ada hanya segelintir manusia saja.
Aku shalat dan memohon kepada Allah dengan segala jiwa ragaku agar
dibukanya hatiku dan dibimbingnya aku ke jalan yang benar.
Aku
berdiri di belakang makam Ibrahim a.s. Aku baca ayat berikut: "Dan
berjihadlah kamu padajalan Allah denganjihad yang sebenar-benarnya. Dia
telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak rnenjadikan untuk kamu
dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia
(Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu. Dan
(begitu pula) dalam (AlQumn) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas
dirimu dan snpaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka
dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali
Allah. Dia adalah pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik pelindung dan
sebaik-baik Penolong" (Al-Haj: 78).
Lalu aku mulai bermunajat
dengan Sayyidina Ibrahim atau bapak kita seperti yang disebut oleh
AlQuran. " Wahai bapak kami. Duhai yang menamakan kami sebagai Muslimin.
Lihatlah anak-anakmu yang telah berselisih setelah ketiadaanmu. Mereka
telah menjadi Yahudi, Nasrani dan Muslimin. Dan Yahudi telah berpecah
kepada tujuh puluh satu golongan; Nasrani telah berpecah kepada tujuh
puluh dua golongan, dan kaum muslimin telah berpecah juga kepada tujuh
puluh tiga golongan. Semua mereka tersesat seperti yang diberitakan oleh
puteramu Muhammad dan satu golongan saja yang masih setia di jalanmu.
Apakah ini telah jadi sunnah Allah seperti yang dikatakan oleh
Qadariah, sehingga Dia telah tetapkan kepada semua manusia untuk menjadi
Yahudi, Nasrani, Muslim, ateis atau musyrik. Atau lantaran cinta kepada
dunia dan menjauh dari ajaran-ajaran Allah. Mereka telah lupa kepada
Allah lalu Allah melupakan diri mereka. Akalku tidak berdaya mempercayai
yang qadha dan qadar itu menentukan nasib manusia. Aku condong bahkan
hampir pasti mengatakan bahwa Allah SWT setelah menciptakan kami, Dia
juga membimbing kami dan menunjukkan kami mana yang baik dan mana yang
buruk. Diutus-Nya kepada kami para Rasul-Nya untuk menjelaskan apa yang
kami tidak tahu dan mengajarkan mana yang hak dari yang batil. Tetapi
manusia telah ditipu oleh dunia dan hiasannya.
Karena sikap
ego, sombong, jahil, angkuh, zalim dan melewati batas maka mereka
kemudian berpaling dari kebenaran dan ikut jejak setan. Mereka telah
lari dari ar-Rahman dan masuk ke jalan yang lain. AlQuran telah
mengungkapkan ini dengan ungkapan yang sangat baik dan ringkas,
"Sesungguhnya Allah tidak sekali-kali menzalimi manusia, tetapi manusia
itu sendiri yang menzalimi diri mereka." (Yunus: 44)
Duhai ayah
kami Ibrahim. Orang-orang Yahudi dan Nasrani telah cela karena
menginkari kebenaran setelah datangnya bukti-bukti yang jelas dengan
sikap mereka yang angkuh itu. Lihatlah pula ummat ini yang telah
diselamatkan oleh Allah dengan datangnya puteramu Muhammad, dan telah
dikeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya, dan telah dijadikan
mereka sebagai ummat yang terbaik yartg pernah diciptakan untuk manusia.
Lihatlah mereka juga bertengkar dan berpecah, bahkan saling
mengkafirkan.
Rasulullah telah memperingatkan mereka dan
membatasi mereka dengan sabdanya: "Seorang muslim tidak diperkenankan
meninggalkan saudara muslimnya yang lain lebih dari tiga hari." Kenapa
ummat ini berpecah dan terbagi menjadi negara-negara kecil yang saling
bermusuhan, berperang dan saling mengkafirkan. Bahkan mereka saling
tidak mengenal sehingga mereka berpisah sepanjang hidupnya. Apa yang
telah terjadi pada ummat padahal sebelum ini mereka adalah sebaik-baik
ummat. Dahulu mereka telah kuasai barat dan timur dan menghantarkan
ummat manusia pada kebenaran ilmu pengetahuan, kesadaran dan peradaban.
Tetapi kini mereka telah menjadi ummat yang hina dan tidak penting.
Tanah-tanah mereka dirampas. Rakyat mereka diusir. Masjid al-Aqso mereka
diduduki oleh segelintir orang-orang Zionis tanpa mereka sanggup
membebaskannya.
Kalaulah Engkau mengunjungi negara-negara
mereka, maka yang kau lihat hanyalah kemiskinan, kelaparan, ketandusan,
penyakit-penyakit yang berbahaya, moral-moral yang rusak,
keterbela-kangan pemikiran dan teknologi, penindasan dan kekotoran.
Cukup Engkau bandingkan antara toilet-toilet umum Eropa dengan
toilet-toilet umum di negara-negara kami. Ketika seorang musafir masuk
ke toilet di negara Eropa mereka akan melihatnya bersih dan tidak
berbau.
Sementara jika ia pergi ke negara-negara Islam ia akan
melihatnya kotor dan berbau. Padahal agama Islam kita mengajarkan bahwa
"kebersihan adalah sebagian dari iman dan kekotoran adalah bagian dari
setan." Apakah iman telah berhijrah ke Eropa sementara setan hijrah ke
mari? Kenapa kaum muslimin takut menampakkan akidah mereka hatta di
negara sendiri, dan tidak berani hatta sekadar menunjukkan wajah. Mereka
takut memelihara janggut mereka atau memakai pakaian Islam. Sementara
orang-orang fasik secara terang-terangan meminum arak, berzina dan
memperkosa kehormatan Islam, tanpa seorang muslim mampu menolak mereka
apalagi menyuruh yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Aku dengar
di sebagian negara Islam seperti Mesir dan Morocco, seorang ayah menjual
anak-anak perempuannya melacur semata-mata karena kemiskinan yang sudah
sangat mencekik. Wala Haula Wala Quwwata llla Billah al-A'li al-A'zim.
Ya Ilahi. Kenapa Kau menjauh dari ummat ini dan mening-galkannya jatuh
ke dalam kegelapan. Tidak...tidak. Aku mohon ampunanMu ya Ilahi dan
mohon tubat dariMu. Merekalah yang menjauh dari-Mu dan memilih jalan
setan. Maha Agung Hikmah-Mu dan Maha Tinggi Kekuasaan-Mu. Kau telah
berfirman: "Barang siapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha
Pemurah (AlQuran) Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka
syetan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. (Az-Zukhruf:
36) Kau juga berfirman: "Muhammad itn tidak lain hanyalah seorang rasul.
Sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia
wafat atau dibunuh maka kamu berbalikke belakang (murtad)? Barangsiapa
yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat
kepada Allah sedikitpun. Dan Allah akan memberi balasan kepada
orang-orangyang bersyukur." (Ali Imran: 144)
Tidak syak lagi
bahwa kemunduran, keterbelakangan, kehinaan dan kemiskinan adalah bukti
jelas akan jauhnya mereka dari jalan yang lurus. Dan tidak syak lagi
bahwa kelompok yang sedikit atau kelompok yang satu dari tujuh puluh
tiga kelompok yang ada tidak akan dapat mempengaruhi perjalanan ummat
ini secara keseluruhan. Rasulullah SAWW telah bersabda: "Hendaklah
kalian perintahkan yang ma'ruf dan cegah yang munkar, atau Allah akan
tempatkan orang-orang yang paling jahat menguasai kalian. Saat itu
apabila orang-orang yang terbaik di antam kalian berdoa, kelak Dia tidak
kabulkan permohonan-nya."
Ya Tuhan kami. Kami telah beriman
dengan apa yang Kau turunkan dan kami telah mengikuti Rasul-Mu. Maka
golongkanlah kami bersama orang-orang yang bersaksi.
Ya Tuhan
kami. Jangan Kau palingkan hati-hati kami setelah Kau berikan kami
hidayah. Karuniakan kepada kami dari sisi-Mu rahmat. Sesungguhnya Kau
Maha Pemberi.
Ya Tuhan kami. Kami telah aniaya diri kami,
apabila Kau tidak ampuni kami dan mengasihi kami niscaya kami akan
menjadi orang-orang yang rugi.
Aku berangkat ke Madinah
al-Munawwarah sambil membawa sepucuk surat dari temanku Basyir kepada
salah seorang kerabatnya di sana. Maksudnya agar aku dapat tinggal di
rumahnya saja. Dan Basyir juga telah memberitahunya melalui telefon.
Sesampainya di sana aku disambut dengan hangat dan diajak tinggal di
rumahnya. Segera setelah itu aku pergi ziarah ke kuburan Rasulullah
SAWW. Sebelum pegi aku mandi dan mengenakan pakaianku yang paling baik
dan paling bersih. Tak lupa aku juga pakai wewangian yang harum
semerbak. Waktu itu para pengunjung tidak seramai di musim haji. Karena
itu aku dapat berdiri di hadapan kuburan Nabi SAWW dan kuburan Abu Bakar
dan Umar.
Pada musim haji yang lalu, aku tidak bisa berdiri
karena sesaknya pengunjung yang datang ziarah. Kemudian secara iseng aku
coba ingin menyentuh salah satu dari pintu kuburan Nabi untuk tabarruk
(mengambil berkat). Tiba-tiba seorang penjaga yang berdiri di situ
menghentakku. Di setiap pintu ada seorang penjaga yang berdiri. Ketika
aku berdiri lama untuk berdoa dan menyampaikan salam temanku, para
penjaga di situ menyuruhku pergi. Aku coba meyakinkannya, tapi tidak
berhasil.
Aku kembali ke taman Raudhah. Di sana aku membaca
ayat-ayat AlQuran dengan bacaan yang terbaik. Kuulangi berkali-kali
karena kubayangkan seakan Nabi sedang mendengar bacaanku. Kukatakan
kepada diriku apakah mungkin Nabi mati seperti orang-orang lain yang
mati. Lalu kenapa kita baca salam kepadanya di waktu-waktu shalat kita,
"Assalamu Alaika Ayyuhan Nabiyyu Wa Rahmatullahi Wci Barakatuh ".
Apabila kaum muslimin percaya bahwa Sayyidiria Khidhir as tidak mati dan
menyahut salam setiap orang yang mengucapkan padanya; bahkan apabila
syaikh-syaikh tarekat sufi percaya bahwa syaikh mereka seperti Ahmad
Tijani atau Abdul Qadir Jailani dapat datang kepada mereka secara nyata
atau dalam tidur, lalu kenapa kita meragukan yang Rasulullah SAWW
mempunyai keramat seumpama itu. Padahal baginda Nabi adalah mahkluk
Allah yang paling utama.
Sebenarnya kaum muslimin tidak
meragukan kemampu-an Rasulullah seperti ini kecuali kelompok Wahabiah
yang mulai tidak kusakai itu. Sebab lain, karena mereka juga bersikap
kasar terhadap sesama orang-orang mukmin yang tidak seakidah dengan
mereka.
Suatu hari aku berziarah ke Taman Baqi'. Aku berdiri di
sana membaca Fatihah untuk arwah Ahlul Bait. Di dekatku ada seorang tua
yang sedang menangis.
Dari tangisnya aku tahu bahwa dia adalah
seorang Syi'ah. Kemudian dia menghadap kiblat dan shalat. Tiba-tiba
secepat kilat seorang polisi datang menghampirinya. Polisi ini telah
memperhatikan gerak-gerik orang tua ini dari tadi. Ketika orang tua ini
sujud, dia ditendang dengan keras sekali hingga jatuh tersungkur. Dia
pingsan tak sadarkan diri beberapa saat. Kemudian si polisi ini
memukulnya lagi dan mencaci-maki dengan kata-kata yang keji. Hatiku tak
terharu melihat nasib orang tua ini, khawatir ia akan mati karena derita
yang kejam itu.
Kukatakan pada polisi ini, wahai Polan, haram
bagimu memperlakukan orang tua seperti ini. Kenapa kau pukul dia
padahal dia sedang shalat? Dia menghentakku sambil berkata: "Diam kau
dan jangan ikut campur, biar tidak kuperlakukan seperti itu." Ketika
kulihat wajahnya yang merah karena marah padaku, aku pergi
menghindarinya dengan hati yang sangat kesal lantaran tak dapat menolong
orang yang dizalimi ini. Aku juga sangat kesal kenapa orang-orang Saudi
yang ada di sekitar tidak berani mencegahnya.
Sebagian
penziarah lain juga menyaksikan kejadian itu. Ada yang berkata La Haula
Wala Quwwata llla Billahi al-A'li al-A'zim sebagai tanda kesal. Tapi ada
juga yang mendukung perlakuan seperti itu karena konon dia sembahyang
di sekitar kuburan; dan ini hukumnya haram. Aku tidak dapat menahan
diriku melihat sikap orang tni. Kukatakan padanya, siapa yang berkata
bahwa sembahyang di sekitar kuburan adalah haram? "Rasulullah yang
melarangnya" jawabnya.
"Kalian berdusta atas nama Rasulullah."
Kataku tanpa sadar. Karena khawatir orang-orang yang ada di sekitar
akan menangkapku atau akan memanggil si polisi itu, lalu aku
diperlakukan seperti orang tua itu, akhirnya aku berkata dengan lemah
lembut: "Jika memang Nabi SAWW melarang ini, kenapa jutaan jemaah haji
dan penziarah tidak melaksanakannya dan terus melakukan perbuatan yang
haram. Mereka shalat di sekitar kuburan Nabi dan kuburan Abu Bakar dan
Umar ketika berada di Masjid Nabawi; atau ketika berada di berbagai
masjid kaum muslimin yang lain di belahan dunia ini. Katakanlah bahwa
shalat di sekitar kubur adalah haram, tapi apakah dengan cara kasar
seperti ini kita lalu melarangnya atau dengan cara halus dan lemah
lembut?
Izinkan aku menceritakan kisah seorang Badwi yang
kencing di masjid Nabi di hadapan baginda Nabi dan sahabat-sahabatnya
tanpa segan silu. Ketika sebagian sahabat berdiri menghunuskan pedang
untuk membunuhnya, Nabi melarang mereka. Katanya: "Biarkan dia, dan
jangan perlakukan dia dengan kasar. Siramkan setimba air pada air
kencingnya, karena kalian dibangkitkan untuk mempermudah bukan untuk
mempersulit; untuk membawa berita gembira bukan untuk menimbulkan rasa
enggan." Semua sahabat mematuhi perintahnya. Kemudian Rasulullah
memanggil si Badwi ini dan didudukkannya di sisinya.
Disambutnya dengan mesra dan dikatakan kepadanya dengan lemah lembut
bahwa tempat ini adalah Rumah Allah dan tidak boleh dinajisi. Akhirnya
si Badwi ini masuk Islam. Pada hari-hari berikutnya, dia datang ke
masjid dengan pakaiannya yang paling suci. Benarlah firman Allah kepada
Rasul-Nya: "Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekeliling-mu." ( Ali Imran: 159)
Mendengar ini sebagian yang hadir merasa terkesima. Salah seorang dari
mereka mengajakku ke sebuah sudut dan bertanya siapa aku. Dari Tunisia,
jawabku. Disalaminya aku, kemudian dia berkata: "Ya akhi, demi Allah,
jagalah dirimu dan jangan kau berkata-kata seperti itu lagi di sini. Aku
menasihatimu hanya karena Allah semata-mata."
Sejak itu
bertambahlah kebencianku pada mereka yang mengaku sebagai Khadimul
Haramain, karena perlakuan mereka yang kasar terhadap tamu-tamu Allah.
Di sana tidak ada orang yang berani mengeluarkan pendapatnya atau
meriwayatkan hadis-hadis yang tidak sejalan dengan cara mereka, atau
mempercayai sesuatu yang tidak sama dengan kepercayaan mereka.
Aku kembali ke rumah temanku yang masih belum kukenal namanya. Dia
hidangkan untukku makan malam. Kami duduk bersama saling menyapa.
Sebelum makan, ditanyanya kemana aku pergi hari ini. Kuceritakan padanya
apa yang kusaksikan dari awal hingga akhir. Kukatakan juga padanya: "Ya
akhi, terus terang kukatakan kepadamu bahwa aku mulai merasa muak
dengan Wahhabiah, dan mulai condong kepada Syi'ah." Tiba-tiba saja
mukanya berubah. Katanya kepadaku: "Jangan kau ucapkan kata-kata serupa
itu sekali lagi!" Ditinggalkannya aku sendirian dan tidak kembali sampai
aku tertidur. Pagi berikutnya aku bangun setelah mendengar suara azan
Masjid Nabawi. Kulihat makanan malam tadi masih berada di tempatnya. Aku
sadar bahwa dia tidak kembali malam tadi.
Aku merasa khawatir
kalau-kalau dia adalah seorang agen intel. Aku segera berdiri dan
bergegas meninggalkan rumah. Sepanjang hari itu aku berada di masjid
saja, berziarah dan shalat. Aku hanya keluar untuk wudhu' atau buang
hajat.
Usai shalat Asar aku duduk mendengarkan ceramah yang
sedang diberikan pada sekumpulan jemaah sekitar. Melalui orang yang
hadir akhirnya aku tahu bahwa penceramah adalah seorang Qadhi atau
pemuka kota Madinah. Aku mendengarkan kuliah tafsir AlQuran yang
diajarnya. Usai kuliah, aku menghadapnya dan mengajukan beberapa
pertanyaan. Kataku, "Tuan, dapatkah Anda memberikan penjelasan kepadaku
maksud ayat "Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari
kamu hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya"
(Al-Ahzab: 33). Siapa Ahlul Bait yang dimaksudkan dalam ayat ini?"
"Mereka adalah isteri-isteri Nabi. Sebab ayat ini bermula dengan
menyebut mereka, "Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti
wanita lain..." Jawabnya.
Kukatakan padanya bahwa
"Ularna-ulama Syi'ah berkata bahwa ayat ini adalah khusus untuk Ali,
Fatimah, Hasan dan Husain. Aku juga telah kritik mereka dan kukatakan
bahwa permulaan ayat tersebut adalah kata-kata "Hai isteri-isteri
Nabi..." Mereka menjawab: "Ketika ayat tersebut berkata kepada
isteri-isteri Nabi, dhomir (kata ganti) yang digunakan semuanya Nun
Niswah (menunjuk perempuan). Firman Allah, "Lastunna inittaqoitunna",
"Fala Takhdho'na", "Wa Qulna", " Wa Qirna fi buyutikunna", "Wa la
Tabarrajna", "Wa Aqimnas Sholah WaAtinaz Zakah", "Wa Athi'nallaha Wa
Rasulahu". Ketika bagian ayat itu khusus kepada Ahlul Bait, maka dhomir
ayat itu pun berubah (menunjuk lelaki). Firman-Nya "Li Yuzhiba A'nkum",
"Wa Yutohhirakum".
Sambil mengangkat cermin matanya, dia
pandang wajahku dan berkata: "Hati-hati dari jenis pemikiran yang bahaya
seperti ini. Orang-orang Syi'ah mentakwilkan Kalam Allah mengikut hawa
nafsu mereka. Mereka juga mempunyai berbagai ayat yang berkenaan dengan
Ali dan anak-anaknya yang tidak kita ketahui. Mereka mempunyai AlQuran
tersendiri yang diberi nama dengan Mushaf Fatimah. Kuingatkan engkau
jangan sampai tertipu."
"Jangan khawatir wahai Tuan!" kataku
padanya." Aku senantiasa waspada dan banyak tahu tentang mereka. Aku
hanya ingin mengkaji."
"Anda berasal dari mana?" Tanyanya kepadaku.
"Dari Tunisia".
"Siapa nama Anda?"
"At-Tijani".
Dia tertawa lebar. "Anda tahu siapa itu Ahmad Tijani". Tanyanya.
"Syaikh Tarekat." Jawabku. "Dia adalah boneka Perancis. Perancis dapat
bertapak di Algeria dan Tunisia karena bantuannya. Jika kau pergi ke
Paris, pergilah ke Perpustakaan Nasional dan baca Kamus Perancis pada
bab "A". Di sana kau akan temukan bahwa Perancis telah memberinya medali
kehormatan karena baktinya yang sangat besar kepada mereka." Jiwaku
terasa tersentak mendengar kata-katanya itu. Kemudian kuucapkan rasa
terima kasih dan kami pun berpisah.
Aku berada di Madinah
selama seminggu. Di sana aku telah dapat tunaikan sebanyak empat puluh
shalat (wajib). Aku juga mengunjungi tempat-tempat ziarah. Selama di
sana aku mengamati berbagai hal yang menarik perhatianku. Tapi
perasaanku terhadap Wahhabiah semakin hari semakin kecewa. Aku berangkat
dari Madinah ke Jordan. Di sana aku berjumpa dengan teman-teman yang
kukenal pada waktu musim haji yang lalu, seperti yang kusebutkan di
atas.
Selama tiga hari aku berada di sana. Kulihat rasa benci
mereka pada Syi'ah lebih banyak dari yang kusaksikan di Tunisia. Cerita
dan alasannya satu. Setiap kali kutanya apa dalilnya, mereka berkata
bahwa mereka juga telah mendengarnya dari orang lain. Tidak satupun dari
orang yang kutanya pernah suatu saat berdiskusi dengan orang Syi'ah
sendiri; atau membaca kitab Syi'ah bahkan bertemu dengan mereka.
Dari sana aku pergi ke Syria. Aku berkunjung ke Jami' Umawiyah di
Damascus. Disebelahnya ada makam yang dinisbahkan kepada kepala
Sayyidina Husain. Aku juga sempat berkunjung ke pusara Salahuddin
al-Ayyubi dan Sayyidah Zainab.
Dari Beirut aku pergi ke
Tripoli. Perjalanan laut memakan waktu selama empat hari. Di saat itulah
aku benar-benar bisa istirahat. Kuulangi rekaman perjalananku yang
hampir habis. Akhirnya aku berkesimpulan bahwa aku condong dan menaruh
rasa hormat pada Syi'ah. Dan sebaliknya merasa benci dan muak pada
Wahabiah yang telah kukenal liku-likunya. Aku memuji Allah atas karunia
yang diberikan-Nya padaku sambil berdoa kepada-Nya agar ditunjukkan
jalan yang benar.
Aku kembali ke tanah air dengan penuh
kerinduan kepada keluarga dan teman-temanku. Semuanya kudapati dalam
keadaan baik. Ketika tiba di rumah, aku dikejutkan dengan banyak
bungkusan buku yang telah sampai sebelumku. Aku tahu siapa pengirimnya.
Ketika kubuka buku-buku yang memenuhi ruangan rumah, hatiku semakin
cinta dan menghargai mereka yang tidak mengingkari janjinya itu. Kulihat
buku-buku yang dikirim lebih banyak dari yang dihadiahkannya padaku
waktu itu.
MULANYA SUATU KAJIAN
AKU sangat gembira. Knsusun buku-buku itu di ruangan khas yang kunamakan perpustakaan. Beberapa hari aku istirahat.
Daftar kerja untuk awal tahun pelajaran baru telah kuterima.
Tugasku mengajar tiga hari berturut-turut dan selebihnya aku bebas.
Tugasku mengajar tiga hari berturut-turut dan selebihnya aku bebas.
Aku mulai membaca buku-buku itu. Kubaca buku Aqaid al-Imamiah (Aqidah
Syi'ah Imamiyah), dan Ashlus Syi'ah Wa Ushuluha. Hatiku tenang melihat
akidah dan pemikiran-pemikiran yang dimiliki oleh Syi'ah. Kemudian
kubaca kitab al-Muraja'at ( Dialog Sunnah Syi'ah) oleh Sayed Syarafuddin
al-Musawi. Setelah beberapa lembar kubaca, isinya sangat memikat
sehingga tidak kutinggalkan kecuali betul-betul terdesak. Kadang-kadang
kubawa kitab itu ke sekolah. Kitab itu sangat menarik perhatianku
lantaran sikap ketegasan orang alim Syi'ah itu dan kemampuannya di dalam
menjawab setiap persoalan yang diajukan oleh seorang alim Sunni Syaikh
al-Azhar.
Kitab itu sangat mengenai jiwaku karena ia berbeda
dengan kitab-kitab lain. Biasanya penulis sebuah buku akan menulis apa
saja yang ia kehendaki tanpa ada orang yang menyangkal atau
mengkritiknya. Tetapi kitab ini adalah dialog antara dua alim dari dua
mazhab yang berbeda. Masing-masing membahas secara rinci setiap apa yang
mereka permasalahkan, kecil atau besar, dengan berpegangkan kepada dua
asas semua kaum muslimin, yakni AlQuran dan Sunnah sahih yang
disepakati. Buku itu benar-benar sangat memadai dalam memberikan curahan
ilmu kepadaku sebagai seorang yang tengah mencari suatu kebenaran.
Itulah kenapa buku itu sangat berguna sekali bagiku dan punya jasa besar
yang tak terhingga kepadaku.
Aku sangat heran ketika si
penulis berbicara tentang ketidak-patuhan sebagian sahabat terhadap
perintah-perintah Rasul SAWW. Disebutkan di situ berbagai contoh, antara
lain Tragedi Hari Kamis. Tidak terbayangkan betapa Sayyidina Umar bin
Khattab memprotes perintah Nabi dan mengatakan bahwa Nabi meracau.
Mula-mula terpikir olehku bahwa riwayat itu mesti dari kitab-kitab
Syi'ah. Lebih mengherankan lagi ketika kulihat bahwa orang alim Syi'ah
ini meriwayatkannya dari kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Kukatakan kepada diriku bahwa jika memang kujumpai ini di dalam Shahih
Bukhari maka ia akan menjadi sebuah masalah besar bagiku.
Aku
berangkat ke ibu kota. Di sana aku membeli kitab Shahih Bukhari, Shahih
Muslim, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, Shahih Turmuzi, Muwaththa' Imam
Malik dan kitab-kitab lain yang terkenal. Belum sempat sampai ke rumah,
sepanjang jalan ke Qafsah dengan bis umum, aku buka lembaran-lembaran
Kitab Bukhari. Kucari riwayat Tragedi Hari Kamis, dengan harapan aku
tidak akan menjumpainya di sana. Di luar dugaan kudapati ada di sana dan
kubaca berulang kali. Teksnya sama dengan apa yang ditulis oleh Sayed
Syarafuddin.
Aku berusaha untuk tidak mempercayai bahwa semua
tragedi ini benar-benar terjadi. Karena rasanya tidak mungkin Sayyidina
Umar melakukan perbuatan yang sangat "bahaya" ini terhadap Nabi SAWW.
Tetapi bagaimana aku akan mendustakan riwayat yang ada di dalam kitab
shahih kami sendiri, yakni kitab shahihnya Ahlu SunnahWal Jamaah.
Bukankah kita telah mewajibkan diri kita untuk mempercayai bahwa kitab
itu adalah kitab shahih. Meragukan atau mendustakan, hatta sebagian
darinya, berakibat bahwa kita telah mengabaikannya? Mengingat akibatnya
kita akan mengabaikan seluruh kepercayaan kita.
Seandainya
orang alim Syi'ah itu menukilnya dari kitab mereka maka aku tidak akan
mempercayainya sama sekali. Tetapi ketika beliau nukil dari kitab shahih
Ahlu Sunnah sendiri yang tak ada jalan untuk mencelanya, sementara kita
juga mengatakan bahwa hal itu adalah kitab yang paling shahih setelah
AlQuran, maka perkara tersebut menjadi lain dan menyiratkan suatu
kemestian. Kalau tidak, maka hal itu akan bermakna bahwa kita telah
meragukan terhadap kesahihan kitab ini. Hal itu bermakna bahwa kita
tidak mempunyai sebarang pegangan di dalam melihat hukum-hukum Allah
SWT. Mengingat hukum-hukum yang ada di dalam Kitab Allah datang secara
umum dan tidak terinci. Dan karena jarak kita dengan zaman Risalah
begitu jauh, maka kita telah mewarisi hukum-hukum agama kita melalui
leluhur kita dengan perantara kitab shahih seperti ini. Dengan demikian
maka kita tidak boleh mengabaikan kitab-kitab seperti ini sama sekali.
Aku berjanji kepada diriku ketika mula mengkaji masalah yang panjang
dan rumit ini untuk semata-mata berpegang kepada hadis yang shahih yang
disepakati oleh Sunnah dan Syi'ah. Aku akan mengabaikan setiap hadis
yang hanya dipegang oleh satu mazhab saja dan ditolak oleh yang lain.
Dengan cara yang adil seperti ini, aku akan dapat menjauhi diriku dari
segala jenis pengaruh-pengaruh emosional, sikap fanatik (ta'ashshub)
mazhab atau perselisihan kaum dan bangsa. Dalam waktu yang sama aku akan
memotong jalan keragu-raguan untuk dapat sampai ke puncak keyakinan,
yakni jalan Allah yang lurus.
AWAL TELAAH SECARA MENDALAM
SAHABAT DALAM PANDANGAN SYI'AH DAN SUNNAH
DI ANTARA tema penting yang kuanggap sebagai pokok dari setiap permasalahan yang bisa menghantar pada suatu kebenaran adalah masalah kehidupan para sahabat, sikap mereka dan prinsip-prinsip mereka. Mengingat mereka adalah tiang segala sesuatu. Dari mereka kita mengambil ajaran agama kita. Dan dari merekajuga kita memperoleh sinar untuk mengetahui hukum-hukum Allah SWT. Dahulu para ulama telah meneliti kehidupan mereka secara rinci. Buah karya mereka antara lain Usud al-Ghabah Fi Tamyiz as-Sahabah, Kitab al-Ishobah Fi Ma'rifah as-Sahabah, Kitab Mizan al-I'tidal dan lain sebagainya. Semua berbicara di sekitar biografi para sahabat secara teliti dan kritis. Dan semna juga dari sudut pandang Ahlu SunnahWal Jamaah.
Ada beberapa keberatan lahir di sekitar masalah yang sangat penting
ini. Mayoritas ulama yang membukukan fakta-fakta sejarah tidak sedikit
yang ikut rentak para penguasa, baik Bani Umaiyah atau Bani Abbasiah.
Sementara sikap permusuhan mereka terhadap Ahlul Bait Nabi dan bahkan
terhadap orang-orang yang mengikuti mereka adalah rahasia umum yang
diketahui oleh semua. Karena itu akan tidak adil apabila kita hanya
mengambil pendapat mereka saja dan mengabaikan pendapat para ulama lain
yang mengalami kondisi berbeda. Para ulama ini karena dikenal sebagai
pengikut Ahlul Bait Nabi dan tidak sejalan dengan kehendak para
penguasa, maka mereka sering dikejar-kejar, ditekan dan diburu.
Kemusykilan berikutnya berasal dari kalangan sahabat sendiri. Mereka
telah berselisih ketika Nabi SAWW ingin menuliskan kepada mereka sebuah
wasiat yang akan menjamin mereka dari kesesatan sampai akhir zaman.
Perselisihan mereka telah mengakibatkan ummat Islam tidak memperoleh
karunia ilahi. Bahkan telah menghantar mereka pada kesesatan dimana
mereka terpecah akibat perselisihan itu dan menjadi suatu ummat yang
lemah.
Sebelumnya mereka juga telah berselisih dalam masalah
khilafah atau kepemimpinan, hingga mereka terbagi pada pendukung partai
yang memerintah dan pendukung partai oposan. Akibatnya ummat ini
terkorban dan terciptalah kelompok pengikut Ali yang bernama Syi'ah dan
kelompok pengikut Muawiyah.
Mereka juga pernah berselisih dalam
menafsirkan Kitab Allah dan hadis-hadis Nabi SAWW. Akibatnya terciptalah
berbagai mazhab, golongan, kelompok dan aliran. Dari sana kemudian
tumbuh pula berbagai aliran Ilmu Kalam dan aliran-aliran pemikiran yang
beragam. Juga muncul berbagai aliran filsafat yang bermotifkan
kepentingan politik melulu serta berkaitan rapat dengan cita-cita
kekuasaan.
Seandainya bukan karena sahabat maka kaum muslimin
tidak akan terpecah dan berselisih seperti ini. Setiap perselisihan yang
ada pasti berakar dari mereka. Semua percaya bahwa Tuhannya Satu,
AlQurannya satu, Rasulnya satu dan kiblatnya juga satu. Tiada siapa yang
menginkarinya. Perselisihan dan pertikaian antara sahabat bermula sejak
hari pertama setelah wafatnya Rasul SAWW di Saqifah Bani Sai'dah. Dan
akibatnya sampai hari ini dan sampai suatu hari yang dikehendaki Allah
akan terus berkelanjutan.
Dari serangkaian diskusiku dengan sejumlah ulama Syi'ah, mereka berpendapat bahwa para sahabat terbagi pada tiga golongan.
Pertama, golongan sahabat yangbaik yang telah mengenal Allah dan
Rasul-Nya dengan pengetahuan yang sempurna. Mereka pernah membaiat Rasul
dan bersedia berkorban untuknya; menemaninya dengan jujur dalam ucapan
dan bersikap penuh ikhlas dalam tindakan. Mereka tidak berpaling dari
jalan Rasul sepeninggalnya, bahkan tetap setia dengan janji-janjinya.
Mereka telah memperoleh pujian dari Allah dalam sejumlah ayat-ayatnya.
Rasul juga telah memujinya di dalam berbagai tempat. Mereka disebut oleh
orang-orang Syi'ah dengan penuh hormat dan takzim. Apabila nama mereka
disebut, maka ia disebut dengan mengucapkan kalimat Radhiallah A'nhum .
Kedua, kelompok sahabat yang memeluk Islam dan ikut Rasulullah karena
suatu tujuan: menginginkan sesuatu atau takut pada sesuatu. Mereka
meminta jasa dari Rasul atas keislaman mereka. Kadang-kadang mereka
mengganggunya dan tidak patuh pada perintah atau larangannya. Bahkan
mengutamakan pendapat sendiri di hadapan nas-nas yang jelas, sehingga
Allah turunkan untuk mereka ayat yang mencela atau kadang-kadang yang
mengancam mereka. Dalamberbagai ayat Allah telah mempermalukan mereka;
dan Rasul juga telah memperingatkan mereka dalam berbagai sabdanya.
Kepada sahabat sejenis ini orang-orang Syi'ah memang tidak menghormati
mereka apalagi mengkultuskan.
Ketiga, kelompok munafik yang
"menemani" Rasul karena ingin memperdayakannya. Mereka menampakkan diri
sebagai Muslim sementara hati mereka menyirnpan kekufuran. Mereka
mendekat kepada Islam agar dapat memperdayakan kaum muslimin. Allah
telah turunkan kepada mereka satu surah penuh. Disebutnya mereka dalam
berbagai tempat dan diancamnya mereka dengan siksa api neraka yang
sangat pedih. Rasul juga telah menyebut mereka dan mengancam mereka.
Sebagian sahabat telah diberitahu nama-nama mereka dan tanda-tandanya.
Sunnah dan Syi'ah sepakat untuk melaknat dan menjauhkan diri dari
mereka.
Tambah satu lagi. Ada kelompok sahabat yang sangat
istimewa, lantaran kekerabatan mereka dengan nabi, ketinggian akhlak dan
kemurnian jiwa yang dimiliki dan kekhususan yang telah dikaruniakan
Allah dan Rasul-Nya kepada mereka hingga tiada satu pun orang yang dapat
menyainginya. Mereka adalah golongan Ahlul Bait yang telah dibersihkan
oleh Allah dari segala dosa dan disucikan mereka sesuci-sucinya (33:
33); diwajibkan kepada kaum muslimin untuk bersalawat pada mereka
sebagaimana juga pada Rasul; mereka disertakan sebagai golongan yang
wajib diberikan khumus (8: 41); diwajibkan kepada orang-orang Islam
untuk mencintai mereka sebagai imbalan dari Risalah Muhammad (42: 23);
sebagai ulul amri yang wajib dipatuhi (4: 59); sebagai orang-orang yang
rusukh di dalam ilmu pengetahuan dan arif dalam mentakwil AlQuran serta
membedakan antara yang mutasyabih dengan yang muhkam (3:7); sebagai Ahli
Zikr yang dijadikan oleh Rasul sebagai pendamping AlQuran dan wajib
berpegang teguh kepadanya seperti dalam hadis as-Tsaqalain (lihat Kanzul
Ummal (1: 44); Musnad Ahmad (5: 182); sebagai Bahtera Nabi Nuh sehingga
siapa yang mengikutinya akan selamat dan yang tinggal akan tenggelam
(lihat Mustadrak al-Hakim 3:151; SAWWaiq al-Muhriqah Oleh Ibnu Hajar
hal. 184 dan 234).
Para sahabat mengetahui kedudukan Ahlul
Bait, menghormati bahkan mentakzimkan mereka. Dan Syi'ah ikut jejak
mereka serta mendahulukan mereka atas semua sahabat. Dalam hal ini
kelompok Syi'ah memegang nas-nas yang tak terbantahkan.
Sementara Ahlu Sunnah Wal Jamaah walaupun mereka menghormati,
mengutamakan dan mentakzimkan Ahlul Bait, namun mereka tidak menerima
adanya klasifikasi sahabat seperti ini. Mereka tidak menganggap
orang-orang munafik sebagai bagian dari sahabat. Bagi mereka sahabat
adalah manusia yang paling baik setelah Nabi SAWW. Apabila ada
pembagian, maka pembagiannya di sisi lain, seperti kelompok sahabat
tingkatan as-Sabiqun al-Awwalun, yang mula pertama masuk agama Islam;
kelompok sahabat yang menderita karena agama Islam dst. Empat Khulafa'
Rasyidin adalah pada tingkatan yang pertama, kemudian menyusul enam
sahabat lain yang telah dijamin sorga, seperti yang tertulis dalam
sejumlah riwayat. Itulah kenapa ketika mereka bersalawat kepada Nabi dan
Ahlu Baitnya maka mereka juga akan menyebut nama para sahabat secara
keseluruhan, seperti Wa Ala Alihi Wa Sahbihi Ajmai'n.
Demikianlah
yang kuketahui dari ulama-ulama Ahlu Sunnah Wal Jamaah seperti juga yang
kudengar dari para ulama Syi'ah perihal sahabat ini. Hal ini telah
mendorongku untuk menelaah secara rinci segala sesuatu yang berkaitan
dengan sahabat. Aku berjanji kepada Tuhanku untuk menghindari segala
jenis fanatisme dan sikap emosional agar dapat benar-benar objektif
dalam menilai pendapat kedua mazhab ini. Kemudian mengambil yang terbaik
darinya.
Bahan pertimbangan yang kugunakan dalam hal ini adalah:
1. Kaedah mantik (logika) yang benar. Yakni aku tidak akan berpegang
kecuali pada apa yang telah disepakati olehkedua mazhab ini, dalam
menafsirkan Kitab Allah dan
Sunnah Nabi yang saheh.
2. Akal
sehat. la adalah nikmat Allah yang paling besar pada ummat manusia.
Karenanya maka manusia dimuliakan dan diutamakan di atas segenap makhluk
yang lain. Bukankah
Allah SWT menyeru manusia untuk berpikir ketika
berhujah dengan mereka. FirmanNya "Apakah kalian tidak berfikir",
"Apakah mereka tidak memahami", "Apakah mereka tidak
meneliti", "Apakah mereka tidak melihat" danlain sebagainya.
Prinsip telaahku juga harus Islami. Yakni beriman kepada Allah, para
malaikatNya, para RasulNya, kitab-kitabNya dan bahwa Muhammad adalah
hambaNya dan RasulNya dan hanya Islam sebagai Din yang sah di sisi Allah
SWT. Aku tidak akan merujuk kepada sahabat manapun kendati ia memiliki
kekerabatan yang sangat dekat dengan Nabi; atau memiliki kedudukan yang
tinggi. Aku bukan dari pengikut Bani Umaiyah atau Bani Abbasiah atau
Fatimiah atau Sunnah ataupun Syi'ah. Tapi aku juga tidak menyimpan rasa
permusuhan dengan Abu Bakar, Umar, Utsman atau Ali bahkan Wahsyi
pembunuh Sayyidina Hamzah sekalipun selama dia telah ikut agama Islam.
Bukankah Islam mengampuni segala apa yang telah berlalu di alam
kekufuran dan Rasul juga telah memaafkannya?
Karena aku telah
bertekad untuk mengkaji secara mendalam agar dapat sampai pada suatu
kebenaran; dan karena aku telah mengambil keputusan untuk membebaskan
pikiranku dari segala ikatan maka aku memulai penelitianku berkenaan
dengan sahabat dengan penuh tawakkal dan mengharap berkat dari sisi
Allah SWT.
PERDAMAIAN HUDAIBIYAH DAN SAHABAT
Singkat ceritanya adalah sebagai berikut:
Pada tahun keenam hijriah Rasulullah bersama seribu empat ratus para
sahabatnya keluar dari Madinah dengan tujuan umrah. Diperintahkannya
para sahabat menyarungkan pedangnya masing-masing. Mereka berihram di
Zil Hulaifah dan membawa binatang korban agar orang-orang Quraisy tahu
bahwa mereka datang untuk umrah bukan untuk perang. Karena sifat
angkuhnya, orang-orang Quraisy tidak mau kelak ada penduduk Arab
mendengar bahwa Muhammad telah masuk ke Mekah dan memecahkan benteng
mereka. Diutusnya serombongan delegasi yang diketuai oleh Suhail bin
A'mr bin Abdu Wud al-A'miri agar meminta Nabi kembali ke tempat asalnya.
Tahun depan mereka akan diizinkan untuk umrah selama tiga hari.
Orang-orang Quraisy juga meletakkan syarat yang berat yang kemudian
diterima oleh Nabi berdasarkan kemaslahatan yang dilihatnya dan wahyu
Allah kepadanya.
Namun sebagian sahabat tidak senang dengan
sikap Nabi seperti ini. Mereka menentangnya dengan keras. Umar bin
Khattab datang dan berkata: "Apakah benar bahwa engkau adalah Nabi Allah
yang sesungguhnya?"
"Ya", jawab Nabi.
"Bukankah kita dalam hak dan musuh kita dalam batil?"
"Ya".Sahut Nabi.
"Lalu kenapa kita hinakan agama kita?" Desak Umar.
"Aku adalah Rasulullah. Aku tidak melanggar perintah-Nya dan Dialah penolongku." Jawab Nabi.
"Bukankah engkau mengatakan kepada kami bahwa kita akan mendatangi Rumah Allah dan bertawaf di sana ?"
"Ya. Tetapi apakah aku katakan kepadamu pada tahun ini juga?" Tanya Nabi.
"Tidak".JawabUmar.
"Engkau akan datang ke sana dan tawaf di sekitarnya." Kata Nabi mengakhiri.
Kemudian Umar datang kepada Abu Bakar dan bertanya:
"Wahai Abu Bakar! Benarkah bahwa dia adalah seorang Nabi yang sesungguhnya?"
"Ya" Jawab Abu Bakar.
Kemudian Umar mengajukan pertanyaan serupa kepada Abu Bakar dan dijawab dengan jawaban yang serupa juga.
"Wahai saudara!" Kata Abu Bakar kepada Umar. "Beliau adalah Rasul Allah
yang sesungguhnya. Beliau tidak melang-gar perintah-Nya dan Dialah
Penolongnya. Maka percayalah padanya."
Usai Nabi menulis piagam
perdamaian, beliau berkata kepada sahabat-sahabatnya: "Hendaklah kalian
sembelih binatang-binatang korban yang kalian bawa itu dan cukurlah
rambut kalian." Demi Allah tidak satu sahabatpun berdiri mematuhi
perintah itu sampai Nabi mengucapkannya sebanyak tiga kali. Ketika
dilihatnya mereka tidak mematuhi perintahnya Nabi masuk ke dalam
kemahnya dan keluar kembali tanpa berbicara dengan siapa pun. Beliau
sembelih korbannya dengan tangannya sendiri lalu memanggil tukang
cukurnya kemudian bercukur. Melihat ini para sahabat kemudian
menyembelih juga korban mereka, kemudian saling mencukur sehingga
hampir-hampir mereka saling berbunuhan. (Lihat buku-buku sejarah dan
sirah. Juga lihat Shahih Bukhori dalam Bab as-Syuruthi Jihad 2:122; juga
Shahih Muslim Bab Sulhul Hudaibiyah Jil. 2)
Demikianlah kisah
Perdamaian Hudaibiyah yang disepakati oleh Sunnah dan Syi'ah secara
singkat. Para ahli sejarah dan Sirah seperti Thabari, Ibnul Athir dan
Ibnu Sa'ad menuliskan cerita ini pada buku mereka masing-masing. Begitu
juga Bukhori dan Muslim.
Membaca kisah seperti ini aku sempat
terdiam dan berhenti. Tidak mungkin cerita seumpama ini tidak
menimbul-kan sebarang pertanyaan atas sikap para sahabat terhadap Nabi
mereka seperti itu. Apakah seorang yang berpikir waras akan dapat
menerima ucapan orang yang mengatakan bahwa semua sahabat Nabi r.a.
telah mematuhi seluruh perintah Nabi dan melaksanakannya. Bukti sejarah
ini menafikan kebenaran ucapan seperti itu. Dapatkah seseorang yang
berpikir rasional menilai bahwa sikap seperti itu terhadap Nabi adalah
hal yang kecil, atau dapat diterima atau dimaafkan? Allah berfirman:
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu
keberatan terhadap keputusan yang kamu berikan dan mereka menerima
dengan sepenuhnya. (4: 65)
Dalam peristiwa ini apakah Umar tidak
merasa berat dalam menerima keputusan Nabi SAWW ataukah dia bersikap
ragu-ragu terhadap perintah Nabi, khususnya ketika dia berkata: "apakah
engkau benar-benar Nabi Allah yang sesungguhnya? Bukankah engkau berkata
kepada kami..." dan seterusnya. Apakah Umar juga menerima jawaban Nabi
yang memuaskan itu? Tidak. Dia tidak puas dengan jawaban Nabi lalu pergi
kepada Abu Bakar mengajukan pertanyaan yang serupa. Apakah dia menerima
jawaban Abu Bakar dan nasihatnya agar mematuhi perintah Nabi? Tidak
tahu aku apakah dia terima lantaran jawaban Abu Bakar atau jawaban Nabi!
Kalau tidak kenapa dia berkata terhadap dirinya, "Lalu aku tehh lakukan
beberapa perkara yang ..." Hanya Allah dan RasulNya saja yang tahu apa
yang dilakukan oleh Umar. Dan aku juga tidak tahu sebab keengganan
sahabat-sahabat lain atas perintah nabi setelah itu ketika Nabi berkata:
"Sembelihlah binatang korban kalian dan cukurlah rambut kalian!"
Tidak satupun dari mereka mendengar perintah Nabi ini hingga beliau
terpaksa mengulanginya tiga kali tanpa ada kesan.
Subhanallah!
Aku hampir-hampir tidak percaya apa yang kubaca ini. Apakah sampai tahap
ini para sahabat bersikap terhadap perintah Nabi? Jika cerita ini
diriwayatkan hanya oleh golongan Syi'ah saja, maka aku akan katakanbahwa
ini adalah tuduhan Syi'ah kepada para sahabat yang mulia. Permasalahnya
sedemikian terkenal dan benar hingga semua ahli hadis Ahlu Sunnah Wal
Jamaah meriwayatkannya dalam buku mereka masing-masing. Dan karena aku
telah berjanji untuk menerima apa yang telah disepakati, maka aku tidak
ada pilihan kecuali menerima dan bingung. Apa yang harus kukatakan?
Dengan apa aku harus "maafkan" sikap sejumlah sahabat yang telah hidup
bersama Nabi selama hampir dua puluh tahun, dari awal Bi'thah sampai
periode Perdamaian Hudaibiyah di mana mereka telah saksikan berbagai
mukjizat dan cahaya kenabian. AlQuran juga telah diajarkan kepada mereka
siang dan malam. Bagaimana seharusnya mereka bersikap dan beradab di
hadapan baginda Nabi SAWW, dan bagaimana cara berbicara dengannya. Allah
pernah mengancam untuk menggugurkan amal-amal baik mereka apabila suara
mereka diangkat lebih keras melebihi suara Nabi.
Aku berandai
bahwa Umar bin Khattablah yang mempengaruhi sahabat-sahabat lain untuk
mengabaikan perintah Nabi. Hal ini dapat dilihat lewat pengakuannya
bahwa dia telah melakukan beberapa perkara yang tidak mau disebutnya;
atau sebagian ucapannya yang berkata: "Aku terus berpuasa, bersedekah,
sembahyang dan membebaskan hamba sahaya karena takutkan akan kata-kataku
yang kuncapkan itu... " dan sebagainya seperti yang tercatat dalam
berbagai buku. (lihat As-Sirah al-Halabiyah Bab Sulhul Hudaibiyah 2:
706)
Bukti ini menunjukkan bahwa Umar sendiri sebenarnya
mengetahui implikasi sikapnya seperti itu. Suatu cerita yang aneh dan
ajaib, tetapi benar dan nyata.
TRAGEDI HARI KAMIS DAN SAHABAT
Berikut adalah uraian peristiwa secara ringkas:
Tiga hari menjelang wafatnya Nabi SAWW para sahabat berkumpul di rumah
Rasul SAWW. Nabi yang mulia memerintahkan mereka untuk mengambil kertas
dan dawat agar dituliskan kepada mereka suatu wasiat yang akan
memelihara mereka dari kesesatan. Namun para sahabat berselisih.
Sebagian mereka enggan mematuhinya dan bahkan menuduhnya telah meracau
sampai Nabi marah sekali dan mengusir mereka dari mmahnya tanpa
menuliskan apa-apa.
Perinciannya adalah sebagai berikut:
Ibnu Abbas berkata: "Hari Khamis, oh hari Khamis. Waktu Rasul merintih
kesakitan, beliau berkata, mari kutuliskan untuk kalian suatu pesan agar
kalian kelak tidak akan tersesat. Umar berkata bahwa Nabi sudah terlalu
sakit sementara AlQuran ada di sisi kalian. Cukuplah bagi kita Kitab
Allah. Orang yang berada dalam rumah berselisih dan bertengkar. Ada yang
mengatakan berikan kepada Nabi kertas agar dituliskannya suatu pesan di
mana kalian tidak akan tersesat setelahnya. Ada sebagian lain
berpendapat seperti pendapatnya Umar. Ketika pertengkaran di sisi Nabi
semakin hangat dan riuh Rasul pun lalu berkata, "Pergilah kalian dari
sisiku." Ibnu Abbas berkata: "Tragedi yang paling menyayat hati Nabi
adalah larangan serta pertengkaran mereka di hadapan Rasul yang ingin
menuliskan suatu pesan untuk mereka."1
Peristiwa ini
benar-benar terjadi. Para ulama, ahli hadis dan ahli sejarah Syi'ah dan
Sunnah mencatat riwayat ini dalam buku-buku mereka. Dan ini harus
kuterima lantaran ikrarku dan janji yang telah kubuat. Di sini juga aku
merasa sangat heran atas sikap yang ditunjukkan oleh Umar terhadap
perintah Nabi SAWW. Perintah apa? Sebuah perintah yang akan
menyelamatkan ummat ini dari kesesatan. Tidak syak lagi bahwa wasiat
tersebut menyirat sesuatu yangbaru bagi kaum muslimin dan akan
menghapuskan segala keraguan yang ada dalam diri mereka.
Kita
tinggalkan pendapat Syi'ah yangberkata bahwa Nabi sebenarnya ingin
menuliskan nama Ali sebagai khalifahnya lalu Umar lebih cerdik dan
segera melarangnya. Karena tafsiran mereka seperti ini tidak dapat kita
terima sejak awal. Tetapi apakah kita mempunyai tafsiran lain yang logis
dari peristiwa yang menyakitkan hati ini, sampai Nabi marah dan
mengusir mereka dari kamarnya. Bahkan menyebabkan Ibnu Abbas
sedemikianbanyaknya menangis sehingga membasahi tanah. Beliau menyebut
peristiwa ini sebagai tragedi yang paling besar.
Ahlu Sunnah
juga berkata bahwa Umar melakukan semua itu justru karena dia merasakan
penderitaan Nabi dan tidak ingin membebankannya lebih banyak. Namun
tafsiran seperti ini tidak dapat diterima hatta oleh orang awam, apalagi
orang-orang yang alim. Aku berkali-kali berusaha mencari alasan untuk
memaafkan Umar, tetapi realitas kejadian enggan menerimanya, sekalipun
kalimat "yahjur" (meracau) telah diganti oleh perawi (semoga Allah
melindungi kita) dengan kalimat "ghalabahul waja'" (karena terlalu
sakit). Kita juga masih tidak akan dapat menemukan alasan apologis lain
atas kata-kata Umar, "l'ndakum AlQuran" (di sisi kalian ada AlQuran) dan
"Hasbuna Kitabullah" (cukup bagi kami Kitab Allah). Apakah beliau lebih
arif tentang AlQuran daripada Nabi yang telah menerimanya, atau Nabi
tidak sadar apa yang diucapkannya? (Semoga Allah melindungi kita). Atau
Nabi ingin meniupkan api perpecahan dan pertengkaran dengan perintahnya
ini? (Astaghfirullah).
Kalau memang tafsiran Ahlu Sunnah ini
benar, maka Rasululllah akan tahu niat baik Umar ini dan akan berterima
kasih padanya. Bahkan beliau akan lebih mendekatkannya daripada harus
marah dan berkata, "Keluarlah kalian dari kamarku..."
Aku juga
ingin bertanya kenapa mereka ikut perintah Nabi ketika mereka diusir
keluar dari kamarnya dan tidak berkata bahwa Nabi tengah meracau.
Sungguh mereka telah berhasil dalam rencana mereka dalam menghalangi
Nabi dari menuliskan surat wasiat tersebut. Itulah kenapa tiada sebab
mereka harus terus berada di sana. Bukti bahwa mereka bertengkar di
hadapan Nabi dan terbagi kepada dua golongan adalah kalimat riwayat yang
tertulis "...Ada yang berkata dekatkan kepada Rasulullah apa yang
dimintanya agar dituliskannya untuk kalian pesanan itu; dan ada sebagian
lagi yang berkata seperti kata-katanya Umar, yakni Nabi tengah
meracau."
Peristiwa ini tidak sesederhana seperti yang
dibayangkan, dimana hanya Umar yang terlibat. Seandainya demikian maka
Nabi akan memarahinya dan akan berkata bahwa dirinya tidak mengucapkan
sesuatu mengikut hawa nafsunya; dan beliau tidak meracau di dalam
membimbing ummat ini. Namun masalahnya lebih serius dari itu. Beliau
merasakan bahwa Umar bersama sahabat-sahabatnya telah bersepakat sebelum
itu. Lantaran kesepakatan itu kemudian mereka bertengkar danberselisih
di hadapan Nabi sampai mereka lupa atau pura-pura lupa dengan firman
Allah SWT, " Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan
suaramu lebih dari suara Nabi. Dan janganlah kamu berkata kepadanya
dengan suara yang keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu
terhadap sebagian yang lain, supaya tidak gugur (pahala) amalmu
sedangkan kamu tidakmenyadari" (49: 2).
Dalam peristiwa ini
mereka juga telah melampaui batas "meninggikan suara" dan "berkata
keras". Mereka bahkan telah mengatakan bahwa Nabi telah meracau (semoga
Allah melindungi kita). Lalu bertengkar ramai dan hiruk-pikuk di
hadapannya.
Aku hampir memastikan bahwa kebanyakan yang hadir
berpihak pada Umar. Karena itu maka Rasulullah melihat kemaslahatan
untuk tidak menuliskan isi wasiatnya. Nabi juga tahu bahwa mereka sudah
tidak menghormatinya dan tidak patuh pada perintah Allah atas haknya
sebagai Nabi dimana kaum muslimin dilarang berkata kasar dan keras di
hadapannya. Nah, jika mereka enggan patuh pada perintah Allah apalagi
pada perintah Rasul-Nya SAWW.
Kebijaksanaan Rasul untuk tidak
menuliskan wasiat itu adalah karena (penolakan seperti itu) merupakan
sebuah celaan baginya di masa hidupnya; maka bagaimana pula nantinya
setelah wafatnya. Kelak orang-orang yang mencela-nya akan berkata bahwa
Nabi saat itu sedang meracau. Mungkin juga mereka akan meragukan
sebagian dari hukum yang disyariatkan Nabi pada masa sakitnya itu juga
atas keyakinan mereka bahwa Nabi sedang meracau.
Aku mohon
ampunan Allah dari ucapan seperti ini terhadap Nabi utusan Allah.
Bagaimana aku dapat meyakinkan diriku bahwa Umar bin Khattab tidak
bermaksud sungguh-sungguh ketika mengucapkan itu. Padahal sebagian
sahabat yang hadir menangis dalam kejadian ini hingga air matanya
membasahi tanah dan dikatakan sebagai tragedi Hari Kamis.
Aku
berkesimpulan untuk menolak setiap alasan yang diajukan untuk
menjustifikasi kejadian itu; dan berusaha juga untuk menginkarinya
secara total agar hati ini dapat tenterarrt. Tetapi sayangnya semua
buku-buku shahih telah meriwayat-kannya dan membuktikan kebenarannya.
Aku lebih condong kepada pendapat Syi'ah dalam menafsirkan kejadian
ini, karena tafsirannya rasional dan mempunyai bukti yang kuat. Aku
masih teringat jawaban Sayed Muhammad Baqir Sadr ketika kutanya
bagaimana Sayyidina Umar-dari segenap sahabat-dapat mengerti maksud Nabi
yang ingin menjadikan Ali sebagai khalifahnya seperti yang kalian duga.
Bukankah ini adalah bukti kepandaiannya?
Sayed Sadr menjawab:
"Bukan Umar sendiri yang tahu maksud Rasul. Semua yang hadir juga tahu.
Karena sebelum itu beliau juga pernah berkata kepada mereka,
"Kutinggalan kepada kalian dua peninggalan yang besar (tsaqalain): Kitab
Allah dan itrah Ahlul Baitku. Jika kalian berpegang teguh pada keduanya
maka kalian tidak akan tersesat selama-lamanya". Pada saat sakitnya
Nabi berkata kepada mereka, "Biar kutuliskan kepada kalian suatu pesan
di mana kalian tidak akan tersesat selama-lamanya" Semua yang hadir
termasuk Umar tahu maksud Nabi yang ingin menegaskan secara tertulis apa
yang diucapkannya di Ghadir Khum sebelum itu: yakni berpegang teguh
pada Kitab Allah dan Itroh Ahlu Baitnya. Dan penghulu itroh adalah Ali.
Jadi seakan-akan Nabi ingin berkata, "Berpeganglah kalian kepada AlQuran
dan Ali." Ucapan-ucapan seperti ini pernah dikatakannya juga di
berbagai tempat yang lain seperti yang diungkapkan oleh sejumlah ahli
hadis.
Mayoritas Quraisy tidak suka dengan Ali, karena beliau
adalah yang paling muda, yang pernah menghancurkan pembesar-pembesar
mereka dan membunuh pahlawan-pahlawannya. Tetapi mereka tidak berani
menentang Nabi ke tahap yang pernah terjadi pada Perdamaian Hudaibiyah;
atau ketika Nabi menyembahyangkan jenazah Abdullah bin Ubai, seorang
munafik; dan dalam berbagai kejadian yang telah dicatat oleh sejarah.
Sikap seperti ini, seperti yang Anda lihat dalam penentangan mereka atas
penulisan wasiat di saat-saat akhir hayatnya, menimbulkan keberanian
kepada yang lain untuk menentang dan bertengkar di hadapan baginda Nabi.
Kata-kata "AlQuran sudah ada disisi kalian" atau "cukuplah bagi kita
Kitab Allah", adalah bantahan yang nyata kepada maksud Hadis yang
menyuruh mereka berpegang kepada Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait Nabi.
Seakan maksud bantahan itu begini: "Cukuplah bagi kami Kitab Allah dan
tidak perlu kepada Itrah".
Selain ini tidak ada penafsiran
lain yang dapat diterima, melainkan kalau kita katakan bahwa maksudnya
adalah taat pada Allah tanpa perlu taat pada Rasul. Hal demikian sudah
pasti salah dan tak dapat diterima.
Apabila kubuang jauh-jauh
rasa fanatisme buta dan sikap emosi yang negatif serta dapat berpikir
secara rasional dan objektif maka aku harus terima penafsiran seperti
ini bahwa Umarlah orang pertama yang menolak Sunnah Nabi dengan
kata-katanya, "Cukuplah bagi kita Kitab Allah".
Jika sebagian
penguasa menolak Sunnah Nabi karena alasan "kontradiktif", sebenarnya ia
hanya ikut pengalaman sejarah kehidupan kaum muslimin sebelumnya. Aku
juga tidak mengatakan bahwa Umar adalah satu-satunya orang yang
bertanggungjawab atas tragedi ini sehingga ummat kehilangan bimbingan
yang sepatutnya diterimanya. Untuk lebih adil harus kukatakan bahwa ada
sahabat lain yang bersamanya dan mempunyai pendapat seperti pendapatnya
Umar.
Mereka menyebelahi Umar di dalam sikapnya yang menentang perintah Nabi SAWW.
Aku merasa agak aneh pada mereka yang membaca peristiwa ini kemudian
menganggapnya ringan yang seakan tidak menyirat sebuah implikasi yang
besar. Padahal ia adalah tragedi yang paling besar seperti yang
diungkapkan oleh Ibnu Abbas. Lebih aneh lagi adalah usaha mereka yang
coba menjaga kemuliaan seorang sahabat dan membenarkan perbuatan
salahnya dengan mengorbankan kemuliaan Rasulullah dan prinsip-prinsip
Islam.
Kenapa kita harus lari dari suatu fakta dan berusaha
menguburkannya ketika ia tidak sejalan dengan kehendak kita? Kenapa kita
tidak menerima kenyataan bahwa para sahabat sebenarnya adalah manusia
biasa seperti kita juga. Mereka punya hawa nafsu, kehendak dan keinginan
serta bisa benar dan salah. Bagaimanapun rasa aneh ini akhirnya hilang
ketika kubaca Kitab Allah yang mengisahkan kepada kita kisah-kisah para
Nabi as dan penderitaan yang mereka alami karena sikap ummatnya yang
menentang, kendatipun telah mereka saksikan berbagai mukjizat.
Ya Allah, jangan Kau palingkan hati kami setelah Kau berikan kepada kami
hidayah-Mu. Karuniakan kepada kami dari sisi-Mu rahmat-Mu. Sesungguhnya
Kau Maha Pemberi.
Aku mulai mengerti latar belakang sikap
Syi'ah terhadap Khalifah Kedua yang dikatakan sebagai penanggungjawab
terbesar atas segala tragedi yang terjadi dalam kehidupan kaum muslimin
sejak Tragedi Hari Khamis dimana penulisan wasiat yang kelak akan
menyelamatkan ummat manusia dari kesesatan itu dihalangi. Harus kita
akui bahwa seorang yang berpikir rasional, dimana sebuah kebenaran
diketahuinya bukan lantaran seseorang tokoh, akan mudah memahami sikap
Syi'ah seperti ini. Namun bagi mereka yang tidak tahu kebenaran
melainkan karena tokoh tertentu, maka pembicaraan ini tidak akan
bermanfaat pada mereka.
SARIYYAH (EXPEDISI) USAMAH DAN SAHABAT
Berikut ceritanya secara ringkas:
Dua hari menjelang wafatnya Rasulullah, beliau telah siapkan sebuah
pasukan untuk memerangi Roma. Usamah bin Zaid yang saat itu berusia
delapan belas tahun diangkat sebagai komandan pasukan perang.
Tokoh-tokoh muhajirin dan anshar seperti Abu Bakar, Umar, Abu Ubaidah
dan sahabat-sahabat besar lainnya diperintahkan untuk berada di bawah
pasukan Usamah ini. Sebagian mereka mencela pengangkatan Usamah. Mereka
berkata, bagaimana Nabi bisa menunjuk seorang anak muda yang belum
tumbuh janggut sebagai komandan pasukan kami. Sebelum itu mereka juga
pernah mencela pengangkatan ayahnya oleh Nabi. Sedemikian rupa mereka
protes Nabi sampai beliau marah sekali. Dengan kepalanya yang terikat
karena deman panas yang dideritanya, Nabi keluar dipapah oleh dua orang
dalam keadaan dua kakinya yang terseret-seret menyentuh bumi. Nabi naik
ke atas mimbar, memuji Allah dan bertahmid padaNya.
Sabdanya:
"Wahai muslimin, apa gerangan kata-kata sebagian di antara kalian yang
telah sampai ke telingaku berkenaan dengan pengangkatanku Usamah sebagai
pemimpin. Demi Allah, jika kamu kini mengecam pengangkatannya; sungguh
hal itu sama seperti dahulu kamu telah mengecam pengangkatanku terhadap
ayahnya sebagai pemimpin. Demi Allah, sesungguhnya ia amat layak
memegang jabatan kepemimpinan itu. Begitu juga puteranya-setelah
ia-sungguh amat layak untuk itu."2
Kemudian beliau mendesak
mereka untuk segera berangkat. Katanya: "Siapkan pasukan Usamah.
Lepaskan pasukan Usamah. Berangkatlah Sariyyah Usamah.
Beliau mengulang-ulang ucapannya seperti itu, tapi mereka tetap enggan dan bermalas-malasan di Jurf.
Sikap seperti ini mendorongku untuk bertanya, alangkah beraninya mereka
terhadap Allah dan RasulNya? Kenapa harus durhaka terhadap Nabi SAWW
yang begitu kasih dan sayang pada kaum mukminin? Aku tidak dapat
membayangkan, begitu juga orang lain, taf siran apa yang bisa
membenarkan pelanggaran dan pengabaian seperti ini?
Seperti
biasa, ketika membaca peristiwa-peristiwa yang menyentuh tentang
kemuliaan para sahabat, maka aku berusaha untuk tidak mempercayainya
terlebih dahulu. Namun bagaimana mungkin aku dapat mendustakannya
sementara ahli sejarah dan ahli hadis, Sunnah dan Syi'ah, telah
meriwayatkannya secara ijma'.
Aku telah berjanji pada Tuhanku untuk
bersikap adil dan jujur. Aku tidak boleh bersikap fanatisme pada
mazhabku. Aku harus meletakkan kebenaran semata-mata sebagai ukuran. Dan
memang kebenaran adalah pahit seperti yang dikatakan. Nabi bersabda,
"Katakanlah kebenaran walau untuk dirimu sekali pun; katakanlah
kebenaran walau pahit sekalipun". Dalam hal ini adalah sikap sejumlah
sahabat yang telah mengecam Nabi dalam pengangkatannya Usamah sebagai
pemimpin mereka, sebenarnya telah menunjukkan sikap ketidakpatuhan
mereka pada perintah Allah. Mereka telah mengabaikan nas-nas yang sangat
jelas yang tidak dapat diragukan lagi atau ditakwilkan. Mereka tidak
mempunyai alasan dalam hal ini. Usaha sebagian orang untuk menjaga
kemuliaan sahabat atau salaf as-sholeh dengan mengajukan berbagai alasan
apologis sangatlah rapuh. Seorang yang rasional tidak dapat
menerimanya, melainkan mereka yang tidak memahami makna hadis tersebut,
atau yang tidak berpikir, atau mereka yang fanatisme buta yang tidak
dapat membedakan antara yang wajib dipatuhi dengan yang wajib dihindari.
Aku juga sering merenung kalau-kalau bisa mendapatkan suatu jawaban
yang memuaskan. Tapi sayang semua itu gagal meyakinkanku. Aku baca
alasan-alasan Ahlu Sunnah yang mengatakan bahwa mereka yang menolak
kepemimpinan Usamah sebenarnya adalah karena mereka tokoh-tokoh dan
pemuka-pemuka Qurasiy. Mereka adalah orang yang pertama memeluk Islam
sementara Usamah masih baru dan tidak pernah ikut serta dalam berbagai
peperangan yang menentukan seperti Perang Badar, Perang Hunain dan
Perang Uhud. Usamah juga waktu itu masih terlalu muda. Dan kebiasaannya
jiwa orang-orang tua tidak akan rela berada di bawah perintah anak muda.
Itulah kenapa mereka mengecam Nabi dalam pengangkatannya ini dengan
maksud agar menggantikannya dengan salah seorang tokoh sahabat lain.
Alasan seumpama ini sama sekali tidak bersandar pada dalil akal atau
naql (syariat). Seorang muslim yang membaca AlQuran dan mengetahui
hukum-hukumnya akan menolak alasan ini. Karena Allah berfirman:
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah" (59:7).
Juga firmannya:
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah
dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata" (33:36).
Setelah
adanya nas-nas yang jelas ini alasan apa yang kiranya dapat diterima
oleh orang-orang yang berakal. Apa yang harus kukatakan kepada kaum yang
telah menyebabkan Rasulullah marah sementara mereka tahu bahwa Allah
akan murka lantaran murkanya Rasul-Nya. Mereka telah menuduhnya
"meracau" dan bertengkar di hadapannya, padahal-demi ayah dan
ibuku-baginda tengah sakit sampai mereka diusir dari kamarnya. Tidak
hanya sampai di situ. Yang sepatutnya mereka kembali ke jalan yang benar
dan memohon ampun kepada Allah atas apa yang telah mereka lakukan dan
memohon kepada Rasul agar memintakan ampunan bagi mereka seperti yang
diajarkan oleh AlQuran, namun mereka tetap melakukan protes terhadapnya
tanpa memperdulikan kasih sayang yang diberikannya pada mereka. Mereka
tidak memberikan penghormatan yang sewajarnya kepada baginda Nabi.
Dua hari setelah tuduhan yang mereka lontarkan, mereka kemudian
mengecam pengangkatan Usamah sebagai pemimpin pasukannya sehingga beliau
terpaksa mendesak mereka keluar dengan keadaan yang menyedihkan seperti
yang dikatakan oleh para ahli sejarah. Lantaran terlalu sakit, baginda
tidak dapat berjalan dan terpaksa diapit oleh dua orang. Kemudian beliau
bersumpah kepada Allah bahwa Usamah sebenarnya sangat layak dalam
memimpin. Rasul juga mengatakan bahwa sebelum ini mereka juga pernah
mengecamnya karena mengangkat Zaid bin Harisah sebagai pemimpin pasukan,
agar kita tahu betapa sikap seperti ini telah mereka lakukan jauh hari
sebelum itu. Bukti-bukti ini menunjukkan bahwa mereka sebenarnya bukan
di antara orang-orang yang mudah bisa menerima ketentuan Nabi dan
berserah sepenuhnya kepadanya. Tetapi mereka tergolong di antara
orang-orang yang rela memprotes dan mengkritik walaupun ia bertentangan
dengan hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya.
Bukti atas sikap protes
mereka ini adalah sikap mereka yang enggan pergi walaupun Nabi sendiri
telah memberikan bendera kepemimpinan kepada Usamah dan dengan nada
marah menyuruh mereka segera pergi berangkat. Demi ayah dan ibuku,
mereka tidak juga pergi sampailah beliau wafat dengan hati yang kesal
atas sikap ummatnya yang dikhawatir-kan kelak akan berbalik ke belakang
dan terjerumus ke neraka. Tiada yang akan selamat kecuali sedikit
sekali, bagaikan segelintir binatang ternak seperti yang diumpamakan
oleh Nabi.
Jika kita ingin jujur dalam melihat peristiwa ini
maka kita akan dapati bahwa Khalifah Kedua adalah tokoh yang paling
berperan di sini. Beliau datang menghadap Khalifah Abu Bakar setelah
wafatnya Rasulullah dan memintanya agar menyingkirkan Usamah serta
menggantinya dengan orang lain. Abu Bakar menjawab: "Wahai Ibnu Khattab,
apakah kau suruh aku menyingkirkannya sementara Rasulullah telah
mengangkatnya?"
Di mana Umar dibandingkan dengan Abu Bakar yang
mengetahui kebenaran ini? Ataukah di sana ada rahasia tersendiri yang
tidak diketahui oleh ahli-ahli sejarah. Atau mungkin juga ada pihak lain
yang menyembunyikannya lantaran ingin menjaga "kemuliaan" sahabat,
seperti yang mereka lakukan dalam mengganti kalimat "yahjur" dengan
kalimat "ghalabahul waja'"'.
Aku juga heran dengan sikap para
sahabat yang membangkitkan amarah Nabi pada hari Khamis itu dan
menuduhnya telah meracau serta berkata, "cukup bagi kita Kitab Allah".
Sementara Kitab Allah sendiri berfirman: "Katakanlah jika kalian
mencintai Allah maka ikutilah aku (Muhammad) kelak Allah akan mencintai
kalian" (Ali Imron:31). Seakan-akan mereka lebih tahu akan Kitab Allah
daripada orang yang menerimanya sendiri. Lihatlah hanya setelah dua hari
dari tragedi yang menyayat hati itu dan dua hari sebelum hari
pertemuannya dengan Allah SWT mereka telah membangitkan amarahnya lebih
banyak dengan mengecam pengangkatan Usamah dan tidak mematuhi
perintahnya. Jika dalam tragedi pertama baginda terbaring sakit di atas
tikarnya, tetapi di kali kedua ini baginda terpaksa keluar dengan kepala
yang terikat dan badan yang berbalut selimut sambil berjalan
tertatih-tatih diapit oleh dua orang. Baginda naik ke atas mimbar dan
berkhutbah lengkap. Mula-mula memuji Allah dan mengucapkan Tahmid
atas-Nya agar menunjukkan kepada mereka bahwa dirinya tidaklah meracau.
Kemudian diberitahunya bahwa beliau sadar akan protes dan kecaman
mereka. Diingatkannya mereka dengan suatu peristiwa di mana mereka telah
memprotesnya juga empat tahun yang lalu. Apakah setelah itu mereka
masih menganggap bahwa baginda meracau dan tidak sadar apa yang
diucapkannya?
Maha Suci Engkau ya Allah dan segala puji bagi-Mu.
Bagaimana mereka begitu berani terhadap Rasul-Mu, tidak setuju dan
menentang keras dengan perjanjian damai yang dilakukannya sehingga
beliau sebanyak tiga kali menyuruh mereka berkorban dan mencukur rambur
masing-masing tetapi tiada siapa pun yang mematuhinya. Di waktu lain
mereka tarik bajunya dan melarangnya menyembahyangkan jenazah Abdullah
bin Ubai. Mereka berkata kepada beliau:
"Sesungguhnya Allah
telah melarangmu menyembahyangi jenazah orang-orang munafik".
Seakan-akan mereka mengajarkan apa yang diturunkan Allah kepadanya.
Padahal Allah berfirman dalam kitab-Nya: "Dan Kami turunkan kepadamu
(Muhammad) AlQumn agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka" (16: 44) Dan firman-Nya: "Sesungguhnya
Kami telah menurunkan Kitab kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran
supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepadamu" (4: 105). Dan firman-Nya lagi: "Sebagaimana (Kami
telali menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu
Rasul di antara kamn yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamii dan
mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu AlKitab dan hikmah serta
mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui" (2:151)
Aneh memang terhadap mereka yang meletakkan diri mereka lebih tinggi
dari diri Rasulullah SAWW. Kadang-kadang mereka tidak patuh pada
perintahnya, atau menuduhnya telah meracau, atau bertengkar di
hadapannya tanpa adab, dan pada tempat yang lain mengecam pemilihan
Usamah sebagai pimptnan pasukan mereka sebagaimana yang mereka lakukan
terhadap ayahnya Zaid bin Harisah sebelum itu. Apa yang harus
diragu-ragukan lagi oleh orang yang meneliti secara kritis bahwa Syi'ah
sebenarnya mempunyai alasan yang sangat kuat ketika mempertanyakan sikap
sebagian sahabat seumpama itu. Mereka memang lebih menghormati dan
mencintai Nabi SAWW dan kerabat keluarganya.
Empat atau lima
contoh yang kusebutkan di atas hanya sebagian kecil dari fakta-fakta
yang ada. Ulama-ulama Syi'ah telah merincinya hingga ratusan di mana
para sahabat telah mengabaikan nas-nas yang nyata dan jelas. Mereka
tidak berhujah melainkan dengan riwayat ulama-ulama Ahlu Sunnah sendiri
dalam berbagai kitab shahih yang muktabar.
Ketika kuketahui
sikap sebagian sahabat terhadap Rasulullah SAWW adalah seperti itu, aku
kemudian merasa bingung dan heran. Sebagaimana aku juga heran melihat
sikap ulama-ulama Ahlu Sunnah Wal Jamaah yang menggambarkan kepada kita
bahwa para sahabat senantiasa dalam keadaan benar dan tidak boleh
dikritik. Ini berarti mereka tidak mengizinkan seorang peneliti untuk
sampai kepada suatu kebenaran, dan membiarkan mereka terus tenggelam
dalam suasana pemikiran yang kontradiktif. Aku ingin membawa beberapa
contoh sebagai tambahan, yang kiranya akan dapat memberikan gambaran
yang sebenarnya tentang sahabat. Dan dari sini kita akan memahami sikap
Syi'ah terhadap mereka.
Bukhari telah meriwayatkan dalam
kitabnya Jil. 4 hal. 47 dalam Bab as-Sabru a'lal adza (Sabar Dari
Gangguan) tentang maksud firman Allah, " Sesungguhnya orang-orang yang
sabar akan diberikan ganjaran". Katanya: "Al-A'masy meriwayatkan kepada
kami bahwa beliau pernah mendengar Syaqiq bercerita tentang Abdullah
yang berkata: "Suatu hari Nabi membagikan sesuatu kepada
sahabat-sahabatnya sebagaimana yang biasa beliau lakukan. Seorang dari
Anshar memprotes dan berkata: pembagian ini bukan karena Allah SWT.
Kukatakan padanya bahwa aku akan lapor kepada Nabi (apa yang
dikatakannya). Aku menghampiri Nabi yang ketika itu berada di antara
para sahabatnya. Kuceritakan kepadanya apa yang terjadi. Tiba-tiba
mukanya berubah dan marah sekali sampai aku rasa menyesal karena
memberitahunya. Nabi kemudian berkata: "Nabi Musa as telah diganggu
lebih dari itu, tetapi beliau bersabar."
Bukhari juga
meriwayatkan dari Bab yang sama pada pasal at-Tabassum wa ad-Dhahk (Bab
Tersenyum dan Tertawa). Katanya, Anas bin Malik meriwayatkan: "Suatu
hari aku berjalan bersama Rasulullah yang waktu itu memakai syal Najrani
yang berpinggiran tebal. Datang seorang Badwi yang tiba-tiba saja
menarik dengan kuat syalnya. Anas berkata, aku lihat kulit leher Nabi
lebam akibat tarikan keras yang dilakukan oleh si Badwi ini. Kemudian
dia berkata: "Hai Muhammad, berikan padaku sebagian dari harta Allah
yang ada padamu." Lalu Nabi melihatnya sambil tertawa dan menyuruh
sahabatnya untuk memberinya.
Dalam Bab yang sama, pasal Man Lam
Yuwajih an-Nas Bil Atab Bukhari meriwayatkan bahwa Aisyah pernah
berkata bahwa Nabi pernah melakukan sesuatu dan mengizinkan para
sahabatnya untuk melakukan yang serupa. Tiba-tiba sebagian sahabat
menolak melakukannya. Berita ini sampai ke telinga Nabi lalu baginda
berkhotbah dan memuji-muji Allah. Kemudian baginda berkata: "Kenapa
orang-orang ini menghindari dari melakukan sesuatu yang kulakukan. Demi
Allah aku lebih tahu dari mereka tentang Allah dan lebih takut kepadaNya
di banding mereka."
Orang yang merenungkan contoh riwayat
serupa ini akan merasakan bahwa para sahabat telah meletakkan diri
mereka lebih tinggi dari kedudukan Nabi sendiri; mereka percaya bahwa
Nabi bisa berbuat salah dan merekalah yang benar. Sebagian ahli sejarah
terikut-ikut dalam membenarkan tindakan sahabat walaupun ia bertentangan
dengan perbuatan Nabi; atau kadang-kadang menunjukkan bahwa kedudukan
ilmu dan ketakwaan para sahabat lebih tinggi dibandingkan dengan Nabi,
seperti yang dikatakan konon Nabi keliru dalam menyelesaikan masalah
tawanan perang Badar dan Umar bin Khattablah yang benar. Mereka telah
meriwayatkan berbagai hadis palsu yang konon Nabi SAWW bersabda:
"Seandainya Allah turunkan suatu bencana maka tiada yang akan selamat
melainkan Umar bin Khattab." Seakan-akan mereka ingin berkata "Kalau
Umar tiada maka celakalah Nabi". Semoga Allah melindungi kita dari
kepercayaan yang salah seperti ini.
Demi jiwaku! Mereka yang
mempunyai kepercayaan seperti ini akan jauh dari Islam sejauh dua kutub
barat dan timur. Dia wajib merujuk kembali akalnya atau mengusir setan
dari hatinya. Allah berfirman: "Maka pernahkah kamu melihat orang yang
menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat
berdasarkan ilmu-Nya; dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan
hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang
akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka
mengapa kamu tidak mengambilpelajaran?" (45: 23)
Demi jiwaku!
Mereka yang percaya bahwa Rasulullah SAWW bisa diombang-ambingkan oleh
nafsunya dan lari dari jalan yang benar sehingga pernah membagi sesuatu
bukan semata-mata karena Allah, tetapi karena nafsu dan kepentingannya;
dan mereka yang menghindar dari berbuat sesuatu yang Rasulullah lakukan
lantaran menduga bahwa mereka lebih bertakwa dan lebih arif pada Allah
dibandingkan Rasul-Nya? orang-orang seperti ini memang sangat tidak
layak untuk dihormati oleh kaum muslimin apalagi menempatkan mereka
seperti para malaikat, lalu menghukumkan mereka sebagai makhluk terbaik
setelah Rasulullah, dan kaum muslimin harus ikut mereka dan berjalan di
bawah naungan sunnah mereka hanya semata-mata karena mereka adalah
sahabat Nabi. Hal ini bertentangan dengan sikap Ahlu Sunnah Wal Jamaah
yang menyertakan semua sahabat dalam salawat mereka kepada Nabi dan
keluarganya. Allah Mahatahu akan kedudukan mereka. Karena itu mereka
ditempatkan pada posisi yang layak bagi mereka. Mereka diperintahkan
untuk bersalawat kepada Nabi dan kelurganya yang suci agar mereka tunduk
dan tahu kedudukan Ahlul Bait yang sebenarnya di sisi-Nya. Lalu
bagaimana tiba-tiba kita menempatkan mereka lebih tinggi dari kedudukan
keluarga Nabi atau menyamakan mereka dengan orang-orang yang telah
diutamakan oleh Allah atas alam semesta ini.
Aku berkesimpulan
bahwa Bani Umaiyah dan Bani Abbasiah yang telah memusuhi Ahlul Bait
Nabi, mengejar-ngejar dan membunuh mereka beserta para Syi'ahnya,
mengetahui keutamaan keluarga Nabi dan kedudukan mereka yang tinggi.
Apabila Allah tidak terima sembahyang seseorang melainkan di dalamnya
ada salawat pada Nabi dan keluarga-nya, maka apa alasan permusuhan dan
bersikap lari dari garis Ahlul Bait? Itulah kenapa kita lihat mereka
telah mengiring-kan kalimat sahabat dengan Ahlul Bait semata-mata agar
dapat memberikan gambaran kepada orang banyak bahwa antara sahabat dan
Ahlul Bait sebenarnya adalah sama. Terutama apabila kita ketahui bahwa
"master mind" mereka yang sebenarnya adalah sebagian sahabat itu
sendiri. Mereka telah upah sebagian sahabat lain yang lemah akal dan
karakter atau golongan tabi'in agar meriwayatkan berbagai hadis palsu
tentang keutamaan sahabat, khususnya mereka yang pernah menjabat
kedudukan khilafah, yang merupakan sebagai sebab utama naiknya mereka
(Bani Umaiyah dan Abbasiah) ke puncak kekuasaan. Sejarah adalah
sebaik-baik bukti atas apa yang kukatakan ini.
Lihatlah Umar
bin Khattab yang sangat terkenal dengan pengontrolannya pada semua
gubernurnya, dan akan memecat mereka serta merta lantaran suatu keraguan
yartg dilihatnya. Lihatlah betapa beliau sangat berlemah lembut
terhadap Muawiyah bin Abi Sufyan dan tidak pernah mengontrolnya sama
sekali.
Dahulunya Abubakarlah yang mengangkat Muawiyah sebagai
gubernur kota Syam, lalu kemudian dilanjutkan oleh Umar sepanjang
hayatnya. Beliau juga tidak pernah memprotesnya bahkan menegur atau
mengecamnya sekalipun; walau banyak keluhan yang mengatakanbahwa
Muawiyah memakai emas dan sutera yang telah diharamkan oleh Rasulullah
SAWW kepada kaum lelaki. Umar menjawab mereka dengan kata-kata: "Biarkan
dia. Dia adalah Kisra (Raja) Arab". Dan Muawiyah terus berkuasa selama
dua puluh tahun tanpa ada yang menegur dan memecatnya. Ketika Utsman
berkuasa diberinya lagi wilayah-wilayah lain untuk diurusnya, sehingga
dia dapat menguasai tidak sedikit dari kekayaan negara Islam dan dapat
memobilisasi kekuatan militer menentang kepemimpinan Imam Ali. Kemudian
secara kekerasan dan dengan tangan besi, dia dapat kuasai semua kaum
muslimin, lalu kemudian memaksa mereka memberikanbai'atkepada Yazid,
puteranya yang fasik dan pemabok. Kisah Yazid ini adalah cerita panjang
yang tak dapat kita muatkan dalam buku yang ringkas seperti ini. Apa
yang penting adalah pengetahuan kita akan mentalitas para sahabat yang
duduk di jabatan khilafah dan yang telah menyiapkan secara langsung
berdirinya suatu kerajaan Bani Umaiyah berdasarkan keputusan Quraisy
yang enggan menerima Nubuwah dan Khilafah berada di tangan Bani Hasyim.3
Dinasti Bani Umaiyah mempunyai hak, bahkan kewajiban untuk berterima
kasih pada mereka yang telah menyiapkan berdirinya kerajaannya itu.
Paling tidak sebagai ungkapan rasa terima kasih adalah dengan mengupah
sejumlah perawi yang mau meriwayatkan berbagai "hadis" tentang keutamaan
para leluhur mereka dengan mengangkatnya lebih tinggi dari kedudukan
Ahlul Bait, musuh utama mereka. Jika hadis-hadis keutamaan ini dikaji
berdasarkan hujah-hujah syariah dan akliah, maka keabsahannya akan cepat
diragukan. Melainkan jika ada kelainan dalam mentalitas kita dan tidak
mampu membedakan antara perkara-perkara yang kontradiktif.
Sebagai contoh, kita banyak mendengar tentang keadilan Umar yang
diceritakan oleh berbagai perawi, sehingga dikatakan:" Wahai Umar, kau
telahbersikap sangat adil; karena itu kau dapat tidur". Atau konormya
Umar dikebumikan dalam keadaan berdiri agar keadilan tidak mati
bersamanya. Dan berbagai cerita lain yang menarik tentang keadilannya.
Namun sejarah yang benar mengatakan kepada kita bahwa Umar ketika
membagi-bagikan harta baitul mal pada tahun 20 hijriah, beliau tidak
mengikuti sunnah Nabi. Nabi SAWW telah membagi sama rata antara segenap
kaum muslimin dan tidak mengutamakan satu dari yang lainnya. Begitu juga
Abu Bakar di dalam masa khilafahnya. Tetapi kemudian Umar menciptakan
suatu cara baru, mengutamakan golongan yang sabiqin (muslimin senior)
atas yang lainnya, dan golongan muhajirin Quraisy atas muhajirin selain
Quraisy, golongan muhajirin atas golongan anshar, golongan Arab atas
non-Arab, golongan orang merdeka atas hamba-hamba sahaya;4 mengutamakan
suku Mudhir atas suku Rabi'ah dengan memberikan suku yang pertama tiga
ratus dan suku kedua dua ratus;5 serta mengutamakan suku Aus atas suku
Khazraj.6
Di mana letaknya keadilan dalam sistem kelas seperti
ini wahai orang-orang yang berpikir? Kita telah banyak mendengar tentang
cerita-cerita Umar. Bahkan dikatakan bahwa beliau adalah sahabat yang
paling alim. Konon Allah banyak membenarkan pendapat Umar ketika terjadi
perselisihan antara Nabi dan Umar, dengan menurunkan ayat-ayat yang
mendukung pendapatnya. Namun sejarah yang benar membuktikan kepada kita
bahwa Umar banyak menyalahi ayat-ayat AlQuran hatta setelah turunnya
sekalipun. Ketika seorang sahabat bertanya kepadanya di zaman
khilafahnya: "Ya Amir al-Mukminin, aku kini berjunub tetapi tidak
kujumpai air, bagaimana hukumnya?" Umar menjawab: "Tidak perlu shalat!"
Ammar bin Yasir mengingatkan sang khalifah bahwa kewajibannya adalah
tayammum. Tetapi Umar tidak peduli. Katanya: "Ya Ammar, engkau hanya
bertanggung jawab atas tugas-tugasmu saja."7
Di mana ilmu Umar
tentang ayat tayammum yang diturunkan di dalam AlQuran? Mana ilmu Umar
tentang sunnah Nabi yang mengajarkan kepada mereka bagaimana bertayammum
sebagaimana baginda ajarkan wudhu? Di dalam berbagai peristiwa, Umar
banyak mengakui dirinya tidak alim.
Bahkan-menurutnya-semua
orang lebih alim darinya hatta para wanita sekalipun. Beliau juga
berulang kali mengatakan demikian, "Kalaulah tiada Ali maka Umar telah
celaka". Dan sampai akhir hayatnya beliau tidak tahu hukum Kalalah, yang
sering dihukumkannya di zaman pemerintahannya seperti yang dicatat
dalam sejarah.
Mana ilmunya wahai orang-orang yang berakal?
Kita juga sering rnendengar akan kepahlawanan, keperkasaan dan
keberaniannya sehingga dikatakan bahwa kaum Qurasiy merasa gentar
setelah Islamnya Umar, dan agama Islam sendiri menjadi kuat. Konon Allah
telah muliakan Islam karena Umar bin Khattab, dan Nabi tidak menyatakan
dakwahnya secara terang-terangan melainkan setelah Islamnya Umar. Namun
sejarah yang benar tidak menunjukkan kepada kita keperkasaan dan
kepahlawanan itu. Bahkan sejarah juga tidak pernah menunjukkan kepada
kita ada seorang yang dikenal atau orang biasa sekalipun yang dibunuh
oleh Umar dalam peperangan seperti Badar, Uhud, Khandak dan lain
sebagainya. Bahkan sejarah membuktikan sebaliknya, Umar pernah lari
bersama sahabat-sahabat lain dalam peperangan Uhud dan Hunain. Ketika
Rasulullah mengutusnya untuk membebaskan kota Khaibar, beliau kembali
dalam keadaan kalah. Bahkan di dalam berbagai peperangan sariyyah
(peperangan yang tidak diikut-sertai oleh Nabi) sekalipun, Umar tidak
pernah menjadi komandan pasukannya. Dalam sariyyah Usamah-sariyyah
terakhir-juga beliau hanya ditunjuk sebagai anggota pasukan Usamah bin
Zaid, seorang anak muda berusia belasan tahun. Mana klaim keperkasaan
tersebut wahai orang-orang yang berakal?
Kita juga sering
mendengar tentang ketakwaan Umar bin Khattab serta rasa takutnya yang
amat sangat sehingga menangis karena takutkan Allah SWT. Konon
dikatakanbahwa beliau takut dihisab oleh Allah jika seekor keledai di
Irak sekalipun tersesat lantaran tidak disediakan jalan untuknya. Tetapi
sejarah yang benar mengatakan kepada kita bahwa beliau sesungguhnya
seorang yang keras dan kasar. Beliau tidak berhati-hati dan tidak segan
memukul orang yang bertanya kepadanya tentang suatu ayat Kitab Allah
sehingga melukainya tanpa suatu dosa yang dilakukannya. Bahkan seorang
wanita pernah jatuh dan tergugur kandungannya lantaran melihatnya dengan
penuh ketakutan. Kenapa beliau tidak takut kepada Allah ketika
menghunuskan pedangnya dan mengancam setiap orang yang mengatakan bahwa
Muhammad telah mati. Beliau bersumpah bahwa Muhammad sebenarnya tidak
mati, dia hanya pergi bermunajat kepada Tuhannya seperti yang dilakukan
oleh Musa bin Imran. Umar mengancam akan memukul leher setiap orang yang
mengatakan bahwa Nabi telah mati.8 Kenapa beliau tidak takut kepada
Allah ketika mengancam akan membakar rumah Fatimah jika orang-orang yang
berada di dalamnya tidak mau keluar untuk membai'at (Abu Bakar) .9
Ketika dikatakan padanya bahwa Fatimah ada di dalamnya, dia menjawab,
"Sekalipun dia ada."
Beliau juga "berani" terhadap Kitab Allah
dan Sunnah Rasulnya dengan melakukan berbagai hukum-di masa
pemerintahannya-yang bertentangan dengan nas-nas AlQuran dan Sunnah Nabi
SAWW.10
Nah, dimana letaknya wara' dan ketakwaan setelah
me-nyaksikan serangkaian fakta yang menyedihkan ini wahai hamba-hamba
Allah yang shaleh?
Aku hanya ingin menjadikan sahabat yang agung dan
terkenal ini sebagai contoh semata-mata. Itupun telah kuringkaskan
sedemikian rupa agar tidak panjang dan sederhana. Jika aku ingin
tuliskan secara terperinci maka ia akan memuatkan berjilid-jilid buku.
Seperti yang kukatakan di atas, aku hanya mengetengahkannya sebagai
contoh semata-mata tidak lcbiln
Apa yang kusebutkan di atas,
hanya segelintir kecil dari peristiwa yang terjadi. Tetapi ia telah
memberikan kepada kita suatu pengetahuan yang jelas tentang mentalitas
para sahabat dan sikap para ulama Ahlu Sunnahyang kontradiktif. Mereka
melarang setiap orang untuk mengkritik dan meragukan sahabat, tetapi
dalam masa yang sama mereka riwayatkan dalam berbagai buku mereka
fakta-fakta yang bisa menimbulkan keragu-raguan dan kecaman. Kalaulah
para ulama Ahlu Sunnah Wal Jamaah tidak menyebutkan fakta-fakta yang
jelas yang menyentuh tantang sahabat dan melukai keadilan mereka, maka
mereka akan berjasa dalam menghilangkan segala jenis keraguan dari benak
kita.
Aku teringat akan perjumpaanku dengan salah seorang
ulama dari Najaf al-Asyraf, Asad Haidar, penulis buku Al-Imam as-Shodiq
Wa al-Mazahib al-Arba'ah (Imam Shodiq Dan Empat Mazhab). Waktu itu kami
berbicara tentang Sunnah Syi'ah. Diceritakannya kepadaku tentang ayahnya
yang berjumpa dengan seorang alim dari Tunisia pada waktu musim haji
lima puluh tahun yang lalu. Mereka berdua berdiskusi panjang tentang
keimamahan Amir al-Mukminin Ali bin Abi Thalib. Orang alim Tunisia ini
mendengar ayahku menghitung hadis-hadis yang membuktikan tentang
kepemimpinan Imam Ali as. dan haknya dalam masalah khilafah. Dihitungnya
sehingga empat atau lima dalil. Ketika selesai, ditanyanya apakah ada
dalil selain ini. "Tidak" jawabnya. Kemudian dia berkata:
"Keluarkan tasbihmu dan mulai hitung." Orang alim Tunisia ini
menyebutkan dalil-dalil berkenaan sehingga seratus, yang hatta ayahku
sendiri tidak mengetahuinya." Syaikh Asad meneruskan: "Jika Ahlu Sunnah
membaca kitab-kitab mereka, maka mereka akan berpendapat seperti kami;
dan perselisihan ini telah selesai sejak lama."
Demi jiwaku!
Sesungguhnya ini adalah kebenaran yang tidak dapat dihindari bagi mereka
yang telah membebaskan dirinya dari fanatisme buta dan bagi mereka yang
setia pada dalil yang shahih.
PANDANGAN ALQURAN TENTANG SAHABAT
PERTAMA-TAMA harus kuingatkan bahwa Allah SWT telah memuji di dalam berbagai ayat AlQuran sahabat-sahabat Rasul yang memang benar-benar mencintainya dan mematuhinya tanpa pamrih atau tantangan atau keangkuhan. Mereka hanya menginginkan keredhaan Allah dan Rasul-Nya semata-mata; dan Allah juga redha kepada mereka lantaran takwa mereka kepada-Nya. Ini adalah golongan sahabat yang dinilai tinggi oleh segenap kaum muslimin lantaran sikap dan perilaku mereka yang luhur terhadap Nabi SAWW. Setiap kali mereka disebut, maka kaum muslimin akan mencintai mereka, mengagungkan kedudukan mereka dan mengucapkan kalimat Radhiallahu A'nhum kepada mereka.
Penelitianku bukan di sekitar golongan sahabat jenis ini yang sangat
dihormati dan disanjung tinggi oleh Sunnah dan Syi'ah. Sebagaimana aku
juga tidak akan sentuh kelompok sahabat yang dikenal sebagai munafikin
yang telah dilaknat oleh segenap kaum muslimin, Sunnah dan Syi'ah. Aku
hanya akan meneliti kelompok sahabat yang dipertikaikan oleh kaum
muslimin, dan yang kadang-kadang dicela dan diancam oleh AlQuran.
Sahabat jenis ini seringkali diperingatkan oleh Rasulullah SAWW dalam
berbagai kesempatan, atau Nabi memperingatkan kaum muslimin dari mereka.
Disinilah letak perbedaan antara Sunnah dan Syi'ah dalam menilai
sahabat. Syi'ah meragukan keadilan mereka dan mengkritik ucapan dan
tindak tanduk mereka sementara Ahlu Sunnah Wal Jama'ah menghormati
mereka walau terbukti telah melakukan berbagai pelanggaran.
Penelitianku hanya pada golongan sahabat jenis ini agar aku dapat sampai
pada suatu kebenaran, atau sebagian kebenaran sekalipun. Kunyatakan ini
agar jangan sampai ada orang berkata bahwa aku telah melupakan sejumlah
ayat yang memuji para sahabat Rasulullah SAWW, dan hanya mengungkapkan
ayat-ayat yang bernada celaan saja. Namun dalam penelitianku, aku
menjumpai berbagai ayat yang bernada memuji, tetapi pada masa yang sama
ia juga menyirat suatu celaan dan sebaliknya.
Aku tidak akan
memuatkan di sini semua hasil penelitian-ku selama tiga tahun itu. Aku
hanya akan sebutkan sebagian ayat sebagai contoh agar tulisan ini
menjadi ringkas. Namun bagi mereka yang menginginkan kerincian dan
pendalaman, hendaknya dia menyempatkan waktu untuk meneliti, membuat
perbandingan dan menelaah seperti yang kulakukan, agar kebenaran yang
didapati adalah benar-benar hasil dari titik peluh sendiri seperti yang
dituntut oleh Allah dan juga oleh hati nurani masing-masing. Dengan cara
itu ia akan memperoleh keyakinan yang sangat dalam yang tidak akan
dapat digoyahkan oleh sebarang angin yang bertiup. Sudah pasti bahwa
kebenaran yang didapati lantaran kepuasan diri adalah lebih baik dari
sekadar pengaruh unsur luar yang diterima.
Allah SWT berfirman
ketika memuji Nabi-Nya: "Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang
bingung, lalu Dia memberikan petunjuk" (93 : 7). Yakni, Dia
menunjukkanmu kepada kebenaran ketika kau mencarinya. Allah juga
berfirman: "Dan orang-orang yang berjihad (bersungguh-snngguh) di dalam
(mencari) jalan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan Kami". (29 : 69)
I. AYAT INQILAB
Allah berfirman:
"Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul. Sungguh telah berlalu
sebelumnya beberapa orangrasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu
berbdik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang,
maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; dan
Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur" (3 : 144).
Ayat ini dengan amat jelas menunjukkan bahwa sahabat akan berbalik ke
belakang segera setelah waf atnya sang Nabi; dan hanya sedikit dari
mereka yang masih tetap konsisten seperti yang tersirat di dalam
kandungan ayat tersebut. Hal ini dapat kita pahami dari ungkapan kalimat
"as-Syakirin" (orang-orang bersyukur) yang menunjukkan masih adanya
orang-orang yang tetap dan tidak balik ke belakang. Kelompok as-Syakirin
ini tidak berjumlah banyak. Allah berfirman dalam ayat lain: "Dan
sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima-kasih" (34:13).
Sejumlah hadis Nabi juga mendukung penafiran di atas seperti yang akan
kita sebutkan sebagian. Walaupun dalam ayat ini Allah tidak menyebut
balasan apa yang akan ditimpakan kepada orang-orang yang berbalik dan
hanya memuji serta akan memberi ganjaran pada orang-orang yang
bersyukur, namun sudah sangat jelas bahwa mereka yang berbalik sudah
pasti tidak akan memperoleh sebarang ganjaran. Hal ini akan kita
bincangkan Insya Allah ketika menelaah hadis-hadis Nabi yangberkenaan
dengannya.
Ayat ini juga tidak dapat ditafsirkan untuk
orang-orang seperti Thulaihah, Sujah dan al-Aswad al-A'nsi, dengan
alasan ingin memelihara kemuliaan sahabat. Sebab tiga orang di atas
telah murtad dari Islam dan mengaku sebagai nabi di zaman risalah. Nabi
telah perangi mereka dan mengalahkan mereka. Ayat ini juga tidak dapat
ditafsirkan untuk Malikbin Nuwairah dan para pengikutnya yang enggan
memberikan zakat pada periode Abu Bakar lantaran berbagai alasan, yang
antara lain, karena mereka berhati-hati dan ingin tahu perkara yang
sebenarnya. Mengingat ketika mereka pergi haji bersama Rasulullah di
Hujjah al-Wada' (Haji Terakhir) mereka telah berikan bai'at pada Ali di
Ghadir Khum usai dilantik oleh Nabi sendiri sebagai khalifahnya. Abu
Bakar juga termasuk dalam daftar orang-orang yang pernah memberinya
bai'at. Tiba-tiba mereka terkejut dengan kedatangan seorang utusan sang
khalifah yang memberitahu bahwa Nabi telah meninggal, dan atas nama
khalifah baru, yakni Abu Bakar mereka meminta harta zakat.
Peristiwa ini juga hampir diabaikan oleh sejarah dengan alasan ingin
menjaga kemuliaan sahabat. Padahal Malik dan para pengikutnya juga
adalah orang-orang muslim. Keislaman mereka disaksikan sendiri oleh Umar
dan Abu Bakar serta beberapa sahabat yang lain. Ketika Khalid bin Walid
membunuh Malik bin Nuwairah, Umar memprotesnya. Dan sejarah sendiri
membuktikan bahwa Abu Bakar membayar diyah (ganti rugi) Malik kepada
saudaranya Mutammim dari harta Baitul Mal dan meminta maaf atas tragedi
pembunuhan ini. Padahal dalam Islam sangat jelas bahwa mereka yang
murtad wajib dibunuh, diyahnya tidak boleh diberikan dari Baitul Mal dan
tidak perlu minta maaf.
Maksud ayat inqilab ini adalah para
sahabat yang hidup di zaman nabi dan yang berada di kota Madinah itu
sendiri. Ayat ini menunjukkan akan adanya sejumlah sahabat yang akan
berbalik segera setelah wafatnya Nabi SAWW. Hadis-hadis nabi yang lain
juga menerangkan sejelas-jelasnya tentang hal ini tanpa keraguan
sedikitpun. Kita akan membicarakan hal ini dalam babnya tersendiri Insya
Allah. Sejarah juga sebaik-baik bukti atas inqilab mereka setelah
wafatnya nabi ini. Dan kita akan lihatbetapa sedikitnya yang selamat
ketika kita teliti peristiwa-peristiwa yang terjadi di antara kalangan
para sahabat itu sendiri.
II. AYATJIHAD
Allah SWT berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya
apabila dikatakan kepada kamu: "Berangkatlah (untuk berperang) di jalan
Allah" kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas
dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal
kenikmatan kehidupan di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di
akhirat hanyaiah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang,
niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya
(kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi
kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu." (9 : 38,39) Maha Benar Allah Yang Maha Agung.
Ayat
ini juga amat jelas mengatakan bahwa sahabat merasa berat untuk pergi
berjihad di jalan-Nya. Mereka lebih memilih untuk hidup di dunia walau
mereka tahu nikmatnya hanya sedikit sekali. Sikap mereka seperti ini
dicela oleh Allah dan diancam dengan azab yang pedih. Dan Allah akan
mengganti mereka dengan orang-orang mukmin lain yang jujur. Ancaman
penggantian ini tersurat dalam berbagai ayat AlQuran. Hal ini
menunjukkan bahwa mereka seringkali merasa berat hati ketika diseru pada
jihad di jalan Allah SWT. Di dalam ayat lain Allah berfirman: "Dan jika
kamu berpaling, niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain
dan mereka tidakakan seperti kamu (ini)" (47: 38).
Atau
firman Allah yang lain: "Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di
antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan
mendatangkan suatu kaum yang Allah mendntai mereka dan merekapun
mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin,
yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan
Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.
Itulah karunia Allah diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan
Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui" (5: 54).
Kalau kita ingin rincikan ayat-ayat yang menyirat makna seperti ini dan
mengungkapkan kebenaran adanya pembagian kelas sahabat seperti yang
dikatakan oleh Syi'ah, khususnya mereka seperti yang kita bincangkan
ini, maka tak syak lagi ia akan memerlukan buku tersendiri. AlQuran
telah mengungkapkannya dengan nada yang ringkas dan sangat fasih. Firman
Allah: "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan ummat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung. Dan janganlah kamu
menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang
keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang
mendapat siksa yang berat. Pada hari yang di waktu itu ada muka yang
menjadi putih berseri, dan ada pula yang menjadi hitam muram. Adapun
orang-orang yang menjadi hitam muram mukanya (kepada mereka dika-takan):
"Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab
disebabkan kekafiranmu itu". Adapun orang-orang yang menjadi putih
berseri mukanya, maka mereka berada dalam rahmat Allah (syurga); mereka
kekal di dalamnya" (3: 104,105,106,107). Maha Benar Allah Yang Maha
Tinggi Dan Maha Agung.
Bagi para penelaah dan peneliti, mereka
tahu bahwa ayat ini berbicara dengan para sahabat dan mengingatkan
mereka akan perselisihan dan perpecahan setelah datangnya hujah-hujah
yang jelas. la mengancam mereka dengan azab yang pedih, sekaligus
membagi mereka pada dua golongan. Yang satu akan dibangkitkan kelak
dengan muka yang putih berseri-seri; mereka adalah orang-orang yang
bersyukur dan berhak menerima rahmat Allah SWT. Yang lain akan
dibangkitkan kelak dengan muka yang hitam dan muram. Mereka adalah
orang-orang yang telah murtad setelah mereka beriman. Dan Allah telah
mengancam mereka dengan azab yang pedih.
Jadi jelas bahwa para
sahabat telah berpecah dan berselisih setelah wafatnya Nabi SAWW. Mereka
telah nyalakan api fitnah sehingga mereka saling berperang dan
menumpahkan darah yang mengakibatkan kemunduran kaum muslimin dan
menjadi sasaran musuh-musuhnya. Ayat di atas tidak dapat ditakwilkan
atau dirobah pengertiannya lain dari apa yang bisa dipahami oleh akal.
III. AYATKHUSYU'
Firman Allah: "Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman
untuk menundukkan hati mereka ingat pada Allah dan kepada kebenaran yang
telah turun (kepada mereka). Dan janganlah mereka menjadi seperti
orang-orang yang sebelumnya yang telah diturunkan al-Kitab kepadanya,
kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka
menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang
yangfasik" (57: 16). Maha Benar Allah Yang Maha Tinggi Dan Maha Agung.
Di dalam kitab al-Dur al-Mantsur, karya Jalaluddin as-Suyuthi, tertulis
berikut: "Ketika sahabat-sahabat Nabi datang ke Madinah, mereka
merasakan kenyamanan hidup dibandingkan dengan penderitaan yang mereka
alami sebelurnnya (di Mekkah). Karenanya seakan mereka menjadi lemah dan
malas dibandingkan waktu-waktu yang lalu. Kemudian mereka dihukum
lantaran "perobahan" seumpama itu. Dalam riwayat lain, Nabi SAWW pernah
bersabda bahwa Allah SWT melihat keengganan hati para muhajirin meskipun
telah tujuh belas tahun mereka saksikan turunnya AlQuran. Kemudian
Allah berfirman berikut, "Bukankah telah datang waktunya bagi
orang-orang yang beriman..."
Nah, jika para sahabat-manusia
yang paling baik dalam pandangan Ahlu Sunnah Wal Jama'ah-masih belum
mempunyai hati yang khusyu' dan tunduk ketika mengingat Allah dan kepada
kebenaran yang telah diturunkan sepanjang tujuh belas tahun, sehingga
Allah melihat keengganan mereka dan menegur mereka, serta mengingatkan
mereka dari memiliki hati yang keras yang mungkin bisa membawa kepada
kefasikan, maka kita tidak dapat menyalahkan orang-orang Quraisy yang
baru menerima Islam pada tahun ketujuh Hijriah, usai Fathu Makkah.
Demikianlah sebagian contoh yang dapat kusimpulkan dari Kitab Allah.
Buktinya sangat kuat. Dan ia menunjukkan bahwa tidak semua sahabat
adalah adil seperti yang dikatakan oleh Ahlu Sunnah Wal Jama'ah. Apabila
kita teliti hadis-hadis Nabi, segera kita akan dapati contoh-contoh
lain yang berlipat ganda. Karena aku telah berjanji untuk membuatnya
secara ringkas, maka aku tuliskan sebagian contoh saja; dan biarlah
penelaah-penelaah kritis lain yang meneliti permasalahan ini dengan
lebih dalam.
PANDANGAN RASUL TENTANG SAHABAT
I. HADIS AL-HAUDH
Bersabda Rasulullah SAWW:
"Ketika aku sedang berdiri tiba-tiba datang sekelompok orang yang
kukenal. Lalu keluarlah seorang di antara kami dan berkata, "Mari" .
Kutanya, "Kemana?" Jawabnya, "Ke neraka, demi Allah". "Apa kesalahan
mereka?" Tanyaku. "Mereka telah murtad setelahmu dan berbdik dari
kebenaran, dan kuperhatikan tiada yang tersisa melainkan (sedikit sekali
yang) seperti sekelompok unta yang tersisih", jawabnya.11
Rasulullah SAWW bersabda:
"Aku akan mendahului kalian di telaga haudh. Siapa yang berlalu dariku
dia akan minum dan siapa yang telah minum tidak akan dahaga
selama-lamanya. Kelak ada sekelompok orang yang kukenal dan mereka juga
mengenalku datang kepadaku; kemudian mereka dipisahkan dariku. Aku akan
berkata: sahabatku, sahabatku. Lalu dijawab: engkau tidak tahu apa yang
telah mereka lakukan setelah ketiadaanmu. Dan aku pun berkata: Enyahlah,
enyahlah mereka yang telah berubah setelah ketiadaanku" .
Orang yang merenungkan makna hadis-hadis seperti ini yang diriwayatkan
sendiri oleh ulama Ahlu Sunnah Wal Jamaah dalam berbagai kitab shahih
mereka, tidak akan ragu-ragu lagi untuk mengambil kesimpulan bahwa
kebanyakan sahabat telah berubah bahkan telah berbalik setelah wafatnya
Nabi SAWW; melainkan segelintir kecil saja yang diibaratkan oleh Nabi
seperti sekelompok unta yang tersisih. Hadis ini tidak dapat ditafsirkan
bahwa ia ditujukan untuk golongan orang-orang munafik, mengingat nas
yang berkata: sahabatku, sahabatku. Dan ia juga adalah tafsir atau
realisasi dari ayat-ayat AlQuran yang menyebutkan tentang sikap mereka
yang berbalik sehingga diancam oleh Allah dengan api neraka, seperti
yang telah disentuh di atas.
II. HADIS : BERSAING UNTUK DUNIA
Bersabda Nabi SAWW:
"Aku akan mendahului kalian dan akan menjadi saksi kalian. Demi Allah
aku kini melihat haudhku (telagaku di syurga) dan aku juga telah
diberikan kunci kekayaan bumi (atau kunci bumi). Demi Allah aku tidak
khawatir kalian akan mensyirikkan Allah setelahku, tetapi aku khawatir
kalian akan bersaing untuknya (dunia)".12
Sungguh benar apa
yang disabdakan oleh Rasululah SAWW. Mereka telah bersaing dan
berlomba-lomba untuk dunia ini sehingga pedang-pedang mereka dihunuskan,
berperang dan saling mengkafirkan. Sebagian sahabat yang besar bahkan
telah menimbun emas dan perak. Para ahli sejarah seperti al-Masu'di di
dalam kitabnya Muruj az-Dzahab, Thabari dan lain sebagainya telah
mencantumkan bahwa kekayaan Zubair saja-misalnya-mencapai lima puluh
ribu Dinar, seribu ekor kuda, seribu orang hamba sahaya dan sejumlah
tanah di Bashrah, Kufah, Mesir dan lain sebagainya.13 Thalhah mempunyai
kekayaan pertanian di
Irak yang setiap harinya menghasilkan seribu
Dinar, bahkan konon lebih dari itu. Abdurrahman bin A'uf mempunyai
seratus kuda, seribu onta dan sepuluh ribu kambing. Seperempat dari
seperdelapan hartanya yang dibagi-bagikan kepada para isterinya setelah
wafatnya mencapai delapan puluh empat ribu.14 Ketika Usman bin Affan
meninggal, beliau telah meninggalkan sejumlah seratus lima puluh ribu
Dinar, tidak terhitung binatang ternak dan tanah-tanah subur yang tak
terkira. Emas dan perak yang ditinggalkan oleh Zaid bin Tsabit
sedemikian banyaknya sehingga harus dipecahkan dengan kapak, selain dari
harta dan tanah yang bernilai seratus ribu Dinar.15
Demikian
sebagian contoh yang dapat kita lihat dalam sejarah. Kita tidak
bermaksud membahasnya secara rinci dan cukup sekadar bukti betapa mereka
tergoda oleh kemewahan dunia dan kenikmatannya.
PANDANGAN SAHABAT SATU SAMA LAIN
1. KESAKSIAN MEREKA ATAS PERUBAHAN SUNNAH NABI
Abi Sa'id al-Khudri berkata: "Pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha,
Rasulullah SAWW keluar rumah untuk menunaikan shalat Id. Usai shalat
beliau berdiri menghadap para hadirin yang masih duduk di saf, kemudian
berkhotbah yang penuh dengan nasehat dan perintah." Abu Sa'id
melanjutkan: "Cara seperti ini dilanjutkan oleh para sahabatnya
sampailah suatu hari ketika aku keluar untuk shalat Id (Idul Fitri atau
Idul Adha) bersama Marwan, gubernur kota Madinah.
Sesampainya
di sana Marwan langsung naik ke atas mimbar yang dibuat oleh KAtsir bin
Shalt. Aku tarik bajunya. Tapi dia menolakku. Marwan kemudian memulai
khotbah Idnya sebelum shalat. Kukatakanpadanya: "Demi Allah kalian telah
robah." "Wahai Aba Sa'id" Tukas Marwan, "Telah sirna apa yang kau
ketahui" Kukatakan padanya: "Demi Allah, apa yang kutahu adalah lebih
baik dari apa yang tidak kuketahui." Kemudian Marwan berkata lagi:
"Orang-orang ini tidak akan mau duduk mendengar khotbah kami seusai
shalat. Karena itu kulakukan khotbah sebelumnya."16
Aku coba
teliti gerangan apa yang menyebabkan sahabat seperti ini berani merobah
Sunnah Nabi. Akhirnya kutemukan bahwa Bani Umaiyah-yang mayoritasnya
adalah sahabat Nabi-terutama Muawiyah bin Abu Sufyan yang konon sebagai
Penulis Wahyu, senantiasa memaksa kaum muslimin untuk mencaci dan
melaknat Ali bin Abi Thalib dari atas mimbar-mimbar masjid. Muawiyah
memerintahkan orang-orangnya di setiap negeri untuk menjadikan cacian
dan laknat pada Ali sebagai suatu tradisi yang mesti dinyatakan oleh
para khatib. Ketika sejumlah sahabat protes atas ketetapan ini, Mua
wiyah tidak segan-segan memerintahkan mereka dibunuh atau dibakar.
Muawiyah telah membunuh sejumlah sahabat yang sangat terkenal seperti
Hujur bin U'dai beserta para pengikutnya, dan sebagian lain dikuburkan
hiduphidup. "Kesalahan" mereka (dalam persepsi Muawiyah) semata-mata
karena enggan mengutuk Ali dan bersikap protes atas dekrit Muawiyah.
Abul A'la al-Maududi dalam kitabnya al-Khilafah Wal Muluk (Khilafah Dan
Kerajaan) menukil dari Hasan al-Bashri yang berkata: "Ada empat hal
dalam diri Muawiyah, yang apabila satu saja ada pada dirinya, itu sudah
cukup sebagai alasan untuk mencelakakannya:
1. Dia berkuasa tanpa melakukan sebarang musyawarah sementara sahabat-sahabat lain yang merupakan cahaya kemuliaan masih hidup.
2. Dia melantik puteranya (Yazid) sebagai pemimpin setelahnya, padahal sang putera adalah seorang pemabuk dan pecandu minuman keras dan musikus.
3. Dia menyatakan Ziyad (seorang anak zina) sebagai puteranya, padahal Nabi SAWW bersabda: "Anak adalah milik sang ayah, sementara yang melacur dikenakan sanksi rajam.
4. Dia telah membunuh Hujur dan para pengikutnya. Karena itu maka celakalah dia lantaran (membunuh) Hujur; dan celakalah dia karena Hujur dan para pengikutnya.17
Sebagian sahabat yang mukmin lari dari masjid seusai shalat karena
tidak mau mendengar khotbah yang berakhir pada kutukan terhadap Ali dan
keluarganya. Itulah kenapa Bani Umaiyah merobah Sunnah Nabi ini dengan
mendahulukan khotbah sebelum shalat agar yang hadir terpaksa mendengarny
a.
Nah, sahabat jenis apa yang berani merobah Sunnah Nabinya,
bahkan hukum-hukum Allah sekalipun semata-mata demi meraih cita-citanya
yang rendah dan ekspresi dari rasa dengki yang sudah terukir. Bagaimana
mereka bisa melaknat seseorang yang telah Allah sucikan dari segala dosa
dan nista dan diwajibkan oleh Allah untuk bersalawat kepadanya
sebagaimana kepada Rasul-Nya. Allah juga telah mewajibkan kepada semua
manusia untuk mencintainya hingga Nabi SAWW bersabda: "Mencintai Ali
adalah iman dan membencinya adalah nifak."18
Namun
sahabat-sahabat seperti ini telah merobahnya. Mereka berkata, kami telah
dengar sabda-sabda Nabi tentang Ali, tetapi kami tidak mematuhinya.
Seharusnya mereka bersalawat kepadanya, mencintainya dan taat patuh
kepadanya; namun sebaliknya mereka telah mencaci dan melaknatnya
sepanjang enam puluh tahun, seperti yang dicatat oleh sejarah. Apabila
sahabat-sahabat Musa pernah sepakat mengancam nyawa Harun dan
hampir-hampir membunuhnya, maka sebagian sahabat Muhammad SAWW telah
membunuh "Harun-nya" (yakni Ali) dan mengejar-ngejar anak keturunannya
serta para Syi'ahnya di setiap tempat dan ruang. Mereka telah hapuskan
nama-nama dan bahkan melarang kaum muslimin menggunakan nama mereka.
Tidak sekadar itu, hatta para sahabat besar dan agungpun mereka paksa
untuk melakukan hal yang serupa.
Demi Allah, aku berdiri heran
dan terpaku ketika membaca buku-buku referensi kita yang memuat berbagai
hadis yang mewajibkan cinta pada Nabi dan saudaranya serta anak
pamannya, yakni Ali bin Abi Thalib, dan sejumlah hadis-hadis lain yang
mengutamakan Ali atas para sahabat yang lain. Sehingga Nabi SAWW
bersabda: "Engkau (hai Ali) di sisiku bagaikan kedudukan Harun di sisi
Musa, hanya saja tiada Nabi setelahku.19
Atau sabdanya: "Engkau dariku dan aku darimu".20
Dan sabdanya lagi: "Mencintai Ali adalah iman dan membencinya adalah nifak".21
Sabdanya: "Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah gerbangnya ".22
Dan sabdanya: "Ali adalah wali (pemimpin) setiap mukmin setelahku."23
Dan sabdanya: "Siapa yang menjadikan aku sebagai maulanya (pemimpinnya)
maka Ali adalah maulanya. Ya Allah, bantulah mereka yang mewila'nya dan
musuhilah mereka yang memusuhinya."24
Apabila kita ingin
mencatat semua keutamaan Ali yang disabdakan oleh Nabi SAWW dan yang
diriwayatkan oleh para ulama kita dengan sanadnya yang shahih, maka ia
pasti akan memerlukan suatu buku tersendiri. Bagaimana mungkin sejumlah
sahabat seperti itu pura-pura tidak tahu akan hadis ini, lalu
mencacinya, memusuhinya, melaknatnya dari atas mimbar dan membunuh atau
memerangi mereka?
Aku tidak temukan sebarang alasan dari sikap
dan perlakuan seperti ini melainkan semata-mata karena cinta pada dunia
dan berlomba-lomba mengejarnya; atau karena sifat nifak dan berpaling
dari kebenaran. Aku juga coba melemparkan tanggung jawab ini kepada
sebagian sahabat yang terkenal buruk, atau sebagian dari orang-orang
munafik. Namun sayang sekali, yang kutemukan dari penelitianku itu
adalah sejumlah sahabat yang agung dan masyhur. Orang pertama yang
pernah mengancam akan membakar rumahnya (Ali) beserta para penghuni yang
ada di dalamnya adalah Umar bin Khattab; orang pertama yang
memeranginya adalah Thalhah, Zubair, Ummul Mukminin Aisyah binti Abu
Bakar, Muawiy ah bin Abu Sufyan dan A'mer bin A'sh dan sebagainy a.
Rasa terkejut dan kagetku bertambah dalam dan seakan tidak akan
berakhir. Setiap orang yang berpikir rasional akan segera mendukung
pendapatku ini. Bagaimana ulama-ulama Ahlu Sunnah sepakat mengatakan
bahwa semua sahabat adalah adil sambil mengucapkan "Radhiallahu Anhum",
bahkan mengucapkan salawat untuk mereka tanpa kecuali. Sehingga ada yang
berkata, "Laknatlah Yazid tapi jangan berlebihan". Apa yang dapat kita
bayangkan tentang Yazid yang telah melakukan tragedi yang sangat tragis
ini, yang tidak dapat diterima bahkan oleh akal dan agama. Aku nyatakan
kepada Ahlu Sunnah Wal Jamaah, jika mereka benar-benar mengikut Sunnah
Nabi, agar meninjau hukum AlQuran dan Sunnah Nabi secara cermat dan
seadil-adilnya tentang kefasikan Yazid dan kekufurannya. Rasululah SAWW
telah bersabda: "Siapa yang mencaci Ali maka dia telah mencaciku; dan
siapa yang mencaciku maka dia telah mencaci Allah; dan siapa yang
mencaci Allah maka Aku akan menjatuhkannya ke dalam api neraka."15
Demikian itu adalah sanksi bagi orang yang mencaci Ali. Maka bagaimana
pula apabila ada orang yang melaknatnya dan memeranginya. Mana
alim-ulama kita dari hakikat kebenaran ini? Apakah hati mereka telah
tertutup rapat? Katakanlah, ya Allah, aku mohon lindunganMu dari bisikan
syaitan dan dari kehadirannya.
2. SAHABAT MERUBAH HATTA SEMBAHYANG
Anas bin Malik berkata: "Tiada sesuatu yang kuketahui di zaman nabi
lebih baik dari (hukum) shalat." Kemudian dia bertanya: "Tidakkah kalian
kehilangan sesuatu di dalam shalat?" Az-Zuhri pernah bercerita: "Suatu
hari aku berjumpa dengan Anas bin Malik di Damsyik. Saat itu beliau
sedang menangis. "Apa yang menyebabkan Anda menangis?", tanyaku. "Aku
telah lupa segala yang kuketahui melainkan shalat ini. Itupun telah
kusia-siakan." Jawab Anas.26
Agar jangan sampai terkeliru
dengan mengatakan bahwa para Tabi'inlah yang merobah segala sesuatu
setelah terjadinya sejumlah fitnah, perselisihan dan serta peperangan,
ingin kunyatakan di sini bahwa orang pertama yang merobah Sunnah Rasul
dalam hal shalat adalah khalifah muslimin yang ketiga, yakni Utsman bin
Affan. Begitu juga Ummul Mukminin Aisyah. Bukhari dan Muslim
meriwayatkan dalam kitabnya bahwa Rasulullah SAWW menunaikan shalat di
Mina dua rakaat (qashar). Begitu juga Abu Bakar, Umar dan periode awal
dari kekhalifahan Utsman. Setelah itu Utsman Shalat di sana (Mina)
sebanyak empat rakaat."27
Muslim juga meriwayatkan dalam kitab
Shahihnya bahwa Zuhri berkata: "Suatu hari aku bertanya pada Urwah
kenapa Aisyah shalat empat rakaat dalam perjalanan musafirnya?" "Aisyah
telah melakukan takwil sebagaimana Utsman"28 jawabnya. Umar bin Khattab
juga tidak jarang berijtihad dan bertakwil di hadapan nas-nas Nabi yang
sangat jelas, bahkan di hadapan nas-nas AlQuran, lalu kemudian
menjatuhkan hukuman mengikut pendapatnya. Beliau pernah berkata: "Dua
mut'ah yang dahulunya (halal) dan dilakukan di zaman Nabi, kini aku
melarangnya dan mengenakan hukuman bagi orang yang melaksanakannya,
(bertamattu' dalam haji dan nikah mut'ah pent.) Beliau juga pernah
berkata kepada orang yang junub tetapi tidak memperoleh air untuk mandi,
"Jangan sembahyang". Walaupun ada firman Allah di dalam surah al-Maidah
ayat 6: "... Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan
tanah yang bersih".
Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahihnya
pada Bab Idza Khofa al-Junub A'la Nafsihi (Apabila Orang Junub Takut
Akan Dirinya) berikut: "Kudengar Syaqiq bin Salmah berkata, suatu hari
aku hadir dalam majlis Abdillah dan Abu Musa. Abu Musa bertanya pada
Abdillah bagaimana pendapatmu tentang orang yang junub kemudian tidak
memperoleh air untuk mandi?" Abdillah menjawab, "dia tidak perlu shalat
sampai ia temukan air." Abu Musa bertanya lagi, "bagaimana pendapatmu
tentang jawaban Nabi kepada Ammar dalam masalah yang sama ini?" Abdullah
menjawab, "Umar tidak begitu yakin dengan itu." Abu Musa melanjutkan,
"lalu bagaimana dengan ayat ini, (al-Maidah: 6)?" Abdullah diam tidak
menjawab. Kemudian dia berkata, "apabila kita izinkan mereka (melakukan
tayammum), niscaya mereka akan bertayammum saja dan tidak akan
menggunakan air apabila udaranya dirasakan dingin. " Kukatakan pada
Syaqiqbahwa Abdillah sebenarnya tidak suka lantaran ini semata-mata; dan
Syaqiq pun mengiakan"
3. KESAKSIAN SAHABAT ATAS DIRI MEREKA
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW pernah bersabda
kepada kaum Anshar: "Suatu hari kalian akan menyaksikan sifat tamak yang
dahsyat sepeninggalku. Karena itu bersabarlah sehingga kalian menemui
Allah dan Rasul-Nya di telaga haudh." Anas berkata, "Kami tidak
sabar."30
Ala' bin Musayyab dari ayahnya pernah berkata: "Aku
berjumpa dengan Barra' bin A'zib ra. Kukatakan padanya, "berbahagialah
Anda karena dapat bersahabat dengan Nabi SAWW dan membai'atnya di bawah
pohon (bai'ah tahta syajarah). Barra' menjawab, "wahai putera saudaraku,
engkau tidak tahu apa yang telah kami lakukan sepeninggalnya. "31
Jika sahabat utama yang tergolong di antara as-Sabiqin al-Awwalin dan
pernah membai'at Nabi di bawah pohon, serta Allah rela kepada mereka dan
Maha Tahu apa yang ada dalam hati mereka sehingga diberinya ganjaran
yang besar; apabila sahabat-sahabat ini kemudian bersaksi bahwa dirinya
dan para sahabat yang lain telah melakukan "sesuatu" sepeninggal Nabi,
bukankah pengakuan mereka ini adalah bukti kebenaran yang disabdakan
oleh Nabi SAWW bahwa sebagian dari sahabatnya akan berpaling darinya
sepeninggalnya. Apakah seseorang yang berpikir rasional akan tetap
mengatakan bahwa semua sahabat adalah adil seperti yang diklaim oleh
Ahlu Sunnah Wal Jama'ah. Mereka yang mengklaim seperti itu jelas telah
menyalahi nas dan akal. Karena dengan demikian hilanglah segala kriteria
intelektual yang sepatutnya dijadikan pegangan sebuah penelitian dan
kajian.
4. KESAKSIAN SYAIKHAIN ATAS DIRINYA
Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahihnya pada Bab Manaqib Umar bin
Khattab (Keistimewaan Umar Bin Khattab) sebagai berikut: "Ketika Umar
menderita karena tikaman, beliau merintih kesakitan. Ibnu Abbas datang
menghiburnya sambil berkata, "Ya Amir al-Mukminin, apabila memang sudah
waktunya tiba, bukankah engkau adalah sahabat Rasulullah yang baik.
Ketika kau berpisah dengannya, bukankah dia juga rela padamu. Kemudian
kau telah bersahabat dengan Abu bakar dengan persahabatan yang baik,
lalu kau berpisah dengannya juga dalam keadaan dia rela padamu. Kau juga
bersahabat dengan yang lainnya dengan baik. Jika seandainya kau harus
meninggalkan mereka, maka mereka akan rela padamu." Tidak lama berselang
Umar kemudian menjawab, "Adapun tentang persahabatan dan kerelaan
Rasulullah yang kau sentuh tadi, maka itu adalah anugerah yang Allah
telah berikan padaku. Persahabatan dan kerelaan Abu Bakar yang kau
katakan tadi, itu juga adalah anugerah yang Allah limpahkan padaku.
Namun apa yang kau saksikan dari rasa khawatir pada wajahku adalah
semata-mata karena kamu dan sahabat-sahabatmu. Demi Allah, apabila aku
punya segunung emas maka aku akan korbankan demi dapat terselamat dari
azab Allah sebelum aku datang menjumpai-Nya."32
Sejarah juga mencatat kata-kata Umar berikut:
Oh, alangkah beruntungnya apabila aku hanyalah seekor kambing milik
keluargaku. Digemukkannya aku seperti yang mereka suka kemudian menjadi
lahapan orangyang menyenanginya. Mereka iris sebagian dariku dan
dipanggangnya sebagian yang lain. Kemudian aku dimakan dan dikeluarkan
pula sebagai najis. Oh, kalaulah aku seperti itu dan tidak menjadi
manusia."33
Sejarah juga mencatat kata-kata Abu Bakar berikut:
"Ketika Abu Bakar melihat seekor burung hinggap di suatu pohon, dia
berkata, berbahagialah engkau duhai burung. Engkau makan buah-buahan dan
hinggap di pohon, tanpa ada hisab atau balasan. Aku lebih suka kalau
aku ini adalah sebatang pohon yang tumbuh di tepi jalan, kemudian
datanglah seekor onta lalu memakanku. Kemudian aku dikeluarkan dan tidak
menjadi seorang manusia."34
Di tempat lain beliau juga pernah
berkata: "Oh, kalaulah ibuku tidak pernah melahirkanku. Oh, kalaulah aku
hanya sebiji pasir dari satu batu bata."35
Demikianlah
sebagian kecil dari bukti yang dapat kita contohkan di sini sebagai
renungan semata-mata. Danberikut adalah firman Allah SWT yang memberikan
berita gembira kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin: "Ingatlah
sesungguhnya wali-wali Allah itu tiada kekhawatiran terhadap mereka dan
tiada (pula) mereka bersedih hati; (yaitu) orang-orang yang beriman dan
mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di
dunia dan (kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi
kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan
yang besar" (S: 10: 62, 63, 64). Dan firman Allah dalam surat lain,
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami adalah Allah"
kemudian mereka teguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun
kepada mereka (dengan mengatakan): "Janganlah kamu merasa takut dan
janganlah kamu merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan
(memperoleh) sorga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah
pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya
kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya
apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang" (S. 41: 30, 31,32).
Kenapa
Syaikhain (Abu Bakar dan Umar) berangan-angan untuk tidak jadi manusia,
makhluk yang sangat dimuliakan oleh Allah SWT atas makhluk-makhluknya
yang lain. Apabila seorang mukmin yang biasa yang istiqamah dalam
hidupnya bisa didatangi oleh malaikat dan diberinya kabar gembira dengan
kedudukan di sorga, lalu dia tidak khawatir pada azab Allah dan tidak
bersedih hati dengan masa lalunya di dunia, bahkan baginya berita
gembira di dalam kehidupan di dunia sebelum kehidupan di akhirat, maka
kenapa tokoh-tokoh sahabat yang dikatakan sebagai makhluk terbaik
setelah Rasulullah berangan-angan ingin menjadi najis atau sehelai
rambut atau sebiji pasir? Seandainya para malaikat telah memberinya
berita gembira akanhal sorga, semestinya mereka tidak akan
berangan-angan untuk memiliki segunung emas agar dapat dikorbankan
sebagai tebusan atas azab Allah sebelum berjumpa dengan-Nya. Allah SWT
berfirman:
"Dan kalau setiap diri yang zalim itu mempunyai
segala apa yang ada di bumi ini, tentu dia menebus dirinya dengan itu,
dan mereka menyem-bunyikan penyesalannya ketika mereka telah menyaksikan
azab itu, dan telah diberi keputusan di antara mereka dengan adil
sedang mereka tidak dianiaya" (S. 10: 54).
Allah juga berfirman:
"Dan sekiranya orang-orang yang zalim mempunyai semua apa yang ada di
bumi dan sebanyak itu (pula) besertanya, niscaya mereka menebus dirinya
dengan itu dari siksa yang buruk pada hari kiamat. Dan jelaslah bagi
mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan. Dan
(jelaslah) bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat
dan mereka diliputi oleh pembalasan yang mereka dahulu selalu
memperolok-olokkan" (5.39:47,48).
Aku bercita-cita sepenuh
hatiku agar ayat ini tidak meliputi sahabat-sahabat besar seperti Abu
Bakar as-Siddiq dan Umar al-Faruq. Tetapi aku seringkali terjebak dengan
adanya nas-nas seperti ini. Itulah kenapa aku coba menelaah aspek-aspek
menarik dari hubungan mereka dengan Rasul SAWW. Namun di situ juga aku
dihadapkan dengan sikap mereka yang enggan melaksanakan
perintah-perintah Nabi, terutama pada saat-saat akhir dari umurnya yang
penuh berkat itu, di mana menyebabkan Nabi marah dan mengusir mereka
dari kamarnya. Aku juga dihadapkan dengan suatu fakta akan perilaku
mereka setelah wafatnya Nabi, serta sikap mereka yang menggangu
puterinya Fatimah az-Zahra'. Padahal Nabi SAWW bersabda, "Fatimah adalah
belahan nyawaku, siapa yang menyebabkannya marah maka dia telah
menyebabkan aku marah."36
Fatimah juga pernah berkata kepada
Abu Bakar dan Umar demikian: "Aku minta persaksian dari Allah kepada
kalian berdua, apakah kalian tidak mendengar Rasulullah bersabda,
"Keredhaan Fatimah adalah keredhaanku dan kemarahan Fatimah adalah
kemarahanku. Siapa yang mencintai puteriku Fatimah, maka dia telah
mencintaiku, siapa yang membuat Fatimah rela maka dia telah membuatku
rela, siapa yang membuat Fatimah marah maka dia telah membuatku marah."
"Ya, kami telah mendengarnya dari Rasulullah." Jawab mereka berdua. Lalu
Fatimah berkata lagi, "Sungguh, aku minta persaksian Allah dan para
malaikat-Nya bahwa kalian berdua telah membuatku marah dan tidak rela.
Jika kelak aku berjumpa dengan Rasulullah maka pasti akan kusampaikan
keluhanku ini kepadanya."37
Biarlah riwayat yang menyayat hati
ini kita tinggalkan dahulu. Mungkin Ibnu Qutaibah, seorang ulama Ahlu
Sunnah yang sangat terkemuka dalam berbagai ilmu pengetahuan dan
mempunyai banyak karya seperti Tafsir, Hadis, Bahasa, Nahu dan sejarah,
mungkin beliau juga telah ikut Syi'ah seperti yang pernah dikatakan oleh
seseorang ketika kutunjukkan padanya kitab Tarikh al-Khulafa'. Dan ini
hanya sekadar alasan yang dicari-cari saja oleh ulama kita ketika mereka
harus mengakui fakta-fakta tersebut. Di daerah kami, Thabari dikatakan
telah ikut Syi'ah; Nasai yang telah menulis satu buku khusus tentang
keutamaan Imam Ali juga dikatakan telah ikut Syi'ah; Ibnu Qutaibah juga
Syi'ah; bahkan Taha Husain, ketika menulis buku al-Fitnah al-Kubro
(Fitnah Besar) dan menyebutkan di sana hadis-hadis al-Ghadir serta
mengakui kebenaran-kebenaran yang lain juga dikatakan telah ikut Syi'ah.
Padahal sebenarnya mereka bukan orang Syi'ah. Bahkan ketika mereka
berbicara tentang Syi'ah, yang mereka sebutkan hanyalah keburukannya
semata-mata. Mereka membela para sahabat dengan segala daya upaya
mereka. Tetapi mereka yang menyebut keutamaan-keutamaan Ali bin Abi
Thalib dan mengakui kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh
sahabat tertentu, tiba-tiba kita tuduh mereka sebagai Syi'ah.
Cukup-misalnya-Anda sebutkan di hadapan mereka salawat Nabi yang
diiringi dengan kalimat Wa Alihi atau menyebut alaihissalam untuk Imam
Ali, maka mereka segera akan mengatakan bahwa Anda adalah seorang
Syi'ah.
Suatu hari aku berdiskusi dengan seorang ulama.
Kutanyakan padanya, "apa pendapatmu tentang Bukhari?" "Beliau adalah
imam hadis." Jawabnya. "Kitabnya adalah yang paling benar setelah Kitab
Allah. Hal ini adalah kesepakatan para ulama kita." Kukatakan padanya
bahwa Bukhari adalah seorang Syi'ah. Dia tertawa terbahak-bahak
mengejekku. Katanya, "Tidak mungkin sama sekali Imam Bukhari akan jadi
Syi'ah." Kukatakan lagi padanya bahwa Anda pernah menyatakan siapa saja
yang menyebut kalimat alaihissalam untuk Ali maka dia adalah orang
Syi'ah. Ya, jawabnya. Kemudian kutunjukkan padanya dan pada orang-orang
yang duduk di sekitarnya kitab Shahih Bukhari yang memuat kata-kata
alaihissalam ketika menyebut nama Ali, Husain bin Ali serta nama Fatimah
puteri Nabi.38 Menyaksikan itu orang ini merasa sangat kaget dan
bingung apa yang harus dikatakannya.
Mari kita kembali pada
riwayat Ibnu Qutaibah yang mencatat bahwa Fatimah marah pada Abu Bakar
dan Umar. Apabila aku meragukan kebenaran riwayat ini karena semata-mata
ada dalam kitab Ibnu Qutaibah, maka aku tidak akan dapat mengelak lagi
ketika riwayat yang sama kudapati dalam kitab Shahih Bukhari, sebuah
kitab yang paling "benar" setelah AlQuran. Karena kita telah nyatakan
bahwa kitab Shahih Bukhori adalah kitab yang paling benar, dan kini
Syi'ah berargumentasi dengan kitab tersebut, maka adalah sangat adil dan
fair apabila orang-orang yang rasional menerimanya.
Bukhari
meriwayatkan dalam Bab Manaqib Qarabah Rasulillah (Keistimewaan Kerabat
Nabi) bahwa Rasulullah SAWW bersabda: "Fatimah adalah belahan nyawaku,
siapa yang membuatnya marah maka dia telah membuatku marah." Dalam Bab
Ghazwah Khaibar, dari Aisyah (yangberkata) bahwa Fatimah putri Nabi,
suatu hari mengutus seseorang menghadap Abu Bakar untuk meminta hak
pusakanya yang diwarisi-nya dari ayahandanya. Abu Bakar enggan
memberikannya kepada Fatimah walau sedikit sekalipun. Fatimah sangat
marah kepada Abu Bakar, lalu ditinggalkannya dan tidak diajaknya
berbicara sampai beliau wafat."39
Alhasil, konklusinya satu.
Bukhari menyebutnya secara ringkas, sementara Ibnu Qutaibah mencatatnya
secara lebih rinci: yakni Rasulullah SAWW akan marah lantaran marahnya
Fatimah dan akan rela lantaran kerelaan Fatimah. Dan ketika Fatimah
meninggal, beliau masih dalam keadaan marah dan murka pada Abu Bakar dan
Umar.
Jika Bukhari berkata bahwa "Fatimah meninggal masih
dalam keadaan marah pada Abu Bakar, dan sampai akhir hayatnya tidak
berbicara dengannya", riwayat Bukhari ini sama maknanya dengan riwayat
Ibnu Qutaibah di atas. Kemudian, apabila Fatimah adalah Penghulu Wanita
Alam Semesta seperti yang disebutkan oleh Bukhari dalam Bab al-Istidzan
bagian Man Naja Baina Yadai an-Nas; dan Fatimah adalah satu-satunya
wanita dari ummat ini yang dibersihkan dari segala dosa dan disucikan
sebersih-bersihnya, maka hal itu berarti bahwa sikap marahnya adalah
karena kebenaran semata-mata. Dan dengan alasan inilah kenapa Rasulullah
akan marah karena marahnya Fatimah, dan akan murka lantaran murkanya
Fatimah. Dan karena menyadari konsekwensi inilah kemudian Abu bakar
berkata: "Aku berlindung pada Allah dari murkaNya dan dari murkamu wahai
Fatimah"; dan Abu Bakar menangis tersedu-sedu sampai dadanya sesak.
Fatimah juga berkata kepada Abu Bakar: "Demi Allah, aku akan mohonkan
keburukanmu di dalam setiap doa yang kupanjatkan seusai shalat.
"Kemudian Abu Bakar menangis dan berkata berikut: "Aku tidak perlu pada
bai'at kalian; lepaskan aku dari bai'at kalian."40
Para ahli
sejarah dan ulama-ulama kita tahu bahwa Fatimah as telah mendakwa Abu
Bakar dalam berbagai kasus, seperti kasus harta pusaka dan bagian hak
kerabat Nabi. Tetapi semua dakwaannya ditolak sehinggalah beliau
meninggal dalam keadaan murka. Namun sayang sekali, para ulama kita
hanya membacanya saja dan enggan mendiskusikannya. Alasannya-seperti
biasa-ingin menjaga segala kemuliaan Abu Bakar.
Di antara hal
aneh yang pernah kubaca tentang cerita ini adalah komentar sebagian
penulis yang menukilkan cerita tersebut secara agak rinci, kemudian
berkata: "Jauh sekali kemungkinan Fatimah akan mendakwa sesuatu yang
bukan haknya; dan jauh sekali Abu bakar akan melarang Fatimah dari
haknya." Penulis tersebut menduga bahwa dengan cara ini dia telah dapat
menyelesaikan kemusykilan dan telah memberi jawaban yang memuaskan
kepada para pencari kebenaran. Padahal logika seperti itu nyaris sama
dengan logika yang beralasan: "Jauh sekali AlQuran akan berkata sesuatu
yang bukan haq; atau jauh sekali Bani Israel akan menyembah anak sapi."
Kita sering berjumpa dengan para ulama yang berbicara tentang sesuatu
yang tidak mereka fahami, atau mempercayai sesuatu yang kontradiktif.
Dalam kasus ini-misalnya- Fatimah yang mendakwa sementara Abu Bakar yang
menolak dakwaan. Kita dihadapkan pada dua pilihan, apakah Fatimah yang
berbohong (semoga Allah melindungi kita dari berkata demikian) atau Abu
Bakar yang berlaku zalim kepadanya. Tidak ada kemungkinan ketiga dalam
menilai kasus ini seperti yang diasumsikan oleh ulama-ulama kita.
Apabila andaian dan kemungkinan Fatimah berbohong adalah tertolak,
karena terbukti ayahnya bersabda untuk dirinya, "Fatimah adalah belahan
nyawaku; siapa yang mengganggunya berarti dia telah menggangguku..." dan
orang yang berbohong sudah pasti tidak akan memperoleh rekomendasi Nabi
seperti ini (di samping hadis ini sendiri adalah bukti akan
kemaksumannya dari berkata dusta dan dari segala perbuatan yang munkar,
sebagaimana yang didukung oleh ayat Tathhir (33: 33) yang diturunkan
untuknya, suaminya dan dua puteranya dengan persaksian Aisyah41) jika
hal ini tertolak maka tidak ada jawaban lain bagi orang-orang yang
berpikir rasional kecuali harus mengakui bahwa Fatimah sebenarnya adalah
pihak yang dizalimi. Dan mudah untuk kita duga bahwa sekadar menolak
dakwaan Fatimah seperti itu jauh lebih mudah bagi mereka yang tidak
takut sekalipun untuk membakar rumahnya.42 Itulah kenapa Fatimah as
tidak mengizinkan Abu Bakar dan Umar masuk ke dalam rumahnya; dan ketika
Ali membawa mereka masuk, Fatimah juga memalingkan wajahnya dan tidak
mau melihat merekaberdua.43
Fatimah wafat dan berwasiat agar
dikebumikan secara rahasia di malam hari, supaya tidak satupun dari
mereka yang dimurkainya dapat menghadiri jenazahnya.44 Dan-memang-
sampai kini kita tidak akan dapat menjumpai dimana kuburan puteri Rasul
tersebut. Kenapa alim-ulama kita berdiam diri dari hakikat kebenaran
ini, dan tidak mau mengkajinya bahkan menyebutnya sekalipun. Mereka
menggambarkan kepada kita bahwa para sahabat bagaikan para malaikat yang
tidak bersalah atau berbuat dosa. Jika kita tanyakan pada mereka kenapa
Khalifah Utsman sampai bisa terbunuh, mereka akan segera menjawab bahwa
penduduk Mesirlah-orang-orang kafir-yang telah membunuhnya. Cukup
dengan dua kalimat itu saja. Tetapi ketika aku mulai membaca dan
mengkaji seja-rah, kudapati bahwa tokoh-tokoh penting di sebalik
pembunuhan Utsman adalah para sahabat itu sendiri, terutama Ummul
Mukminin Aisyah yang menyeru pembunuhannya di hadapan publik ramai.
Aisyah berkata, "Bunuhlah si Na'tsal (orang tua yang keras kepala yakni
Utsman) itu. Sungguh dia telah kafir."45 Di sana kita juga dapati
nama-nama seperti Thalhah, Zubair, Muhammad bin Abu Bakar dan
tokoh-tokoh sahabat lain yang terkenal. Mereka telah kepung rumah Utsman
dan memotong suplai air agar ia meletak jawatan. Para ahli sejarah juga
mencatat bahwa mayat Utsman dilarang oleh para sahabat lain dikebumikan
di pekuburan kaum muslimin. Akhirnya beliau dikuburkan di Hash Kaukab
tanpa dimandikan dan tanpa dikafankan. Subhanallah. Bagaimana lalu
dikatakan kepada kita bahwa Utsman dibunuh dalam keadaan dizalimi, dan
yang membunuhnya adalah orang-orang bukan muslim.
Dalam melihat
masalah ini hampir sama dengan masalah antara Fatimah dan Abu Bakar
serta Umar di atas. Apakah Utsman yang dizalimi, sehingga para sahabat
yang terlibat divonis sebagai pembunuh-pembunuh yang jahat, karena telah
membunuh seorang Khalifah muslimin dengan penuh aniaya dan permusuhan,
bahkan kemudian melempar mayatnya dengan batu sampai Utsman dikatakan
konon sebagai orang yang teraniaya pada masa hidupnya dan setelah
matinya. Atau para sahabat itu yang dizalimi karena menyaksikan sejumlah
tindakan Utsman yangbertentangan dengan Islam, kemudian menghalalkan
darahnya, seperti yang terbukti dalam buku-buku sejarah. Tidak ada
kemungkinan ketiga yang dapat kita cari jawabannya, melainkan kalau kita
ingin memalsukan sejarah dan menerima alasan bahwa orang-orang "kafir"
Mesirlah yang membunuhnya.
Dari dua andaian di atas kita
terjebak pada konsekwensi logis akan ketidakjujuran teori yang
mengatakan bahwa semua sahabat adalah adil. Karena apakah Utsman yang
tidak adil sehingga para pembunuhnya yang benar, atau para pembunuhnya,
yang juga para sahabat yang terkemuka. Dengan demikian maka batallah
klaim kita dan benarlah klaim Syi'ah yang mengatakan bahwa hanya
sebagian sahabat sajalah yang adil, bukan semua.
Kita juga bertanya
tentang peperangan Jamal yang diapi-apikan oleh Ummul Mukminin Aisyah
bahkan dipimpin olehnya sendiri. Bagaimana Ummul Mukminin Aisyah keluar
dari rumahnya sementara Allah SWT memertntahkannya untuk tinggal di
rumahnya saja. Firman Allah: "Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan
janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah
yang dahulu..." (33: 33)
Kita juga bertanya, atas hak apa Ummul
Mukminin membolehkan perang menentang khalif ah muslimin yang sah,
yakni Ali bin Abi Thalib? Bukankah beliau adalah wali (pemimpin) bagi
orang-orang mukmin dan mukminah? Seperti biasa, para ulama kita dengan
mudah saja menjawab bahwa Aisyah tidak suka dengan Imam Ali, lantaran
Ali menyarankan kepada Rasul untuk mentalaknya dalam peristiwa Ifik.
Mereka ingin katakan kepada kita bahwa peristiwa ini adalah alasan yang
cukup kuat untuk Aisyah melanggar perintah Tuhannya dan Rasulnya serta
menunggangi seekor onta yang dilarang oleh Rasul dan diperingatkannya
dari gongongan anjing Hauab.46 Aisyah telah menempuh jarak yang cukup
jauh, dari Madinah ke Mekah kemudian Basrah hanya untuk memerangi Amir
al-Mukminin dan para sahabat lain yang membai'atnya. Perang Jamal
tersebut telah mengakibatkan ribuan manusia terkorban seperti yang
dicatat dalam buku sejarah.47 Semua ini adalah karena beliau tidak suka
pada Imam Ali yang pernah menyarankan Nabi untuk menceraikannya dalam
peristiwa Ifik itu. Kenapa Aisyah sampai demikian ekstrem benci pada
Imam Ali?
Para ahli sejarah juga mencatat bahwa Aisyah
mempunyai sikap-sikap permusuhan kepada Imam Ali yang tidak dapat
ditafsirkan. Ketika dalam perjalanan pulang dari Mekah menuju Madinah,
Aisyah mendengar berita pembunuhan Utsman. Berita itu disambutnya dengan
kegembiraan yang luar biasa. Namun ketika beliau tahu bahwa ummat
memberikan bai'atnya pada Ali sebagai Khalifah, Aisyah tiba-tiba marah
dan berang. Katanya: "Aku lebih suka kalaulah langit ini menghimpit bumi
sebelum Ibnu Abi Thalib mengambil alih jabatan khalifah." Beliau juga
berkata: "Kembalikan aku..." dan seterusnya. Dari situlah kemudian api
fitnah dinyalakan untuk menentang Ali yang-seperti kata sejarah-hatta
namanya sekalipun enggan disebut oleh Aisyah.
Apakah Ummul
Mukminin Aisyah tidak pernah mendengar sabda Rasul SAWW: "Cinta kepada
Ali adalah (tanda) iman dan benci kepadanya adalah (tanda) nifak."48
Bahkan sebagian sahabat berkata, "Kami kenal orang-orang munafik karena
sikap benci mereka pada Ali." Apakah Ummul Mukminin tidak mendengar
sabda Nabi SAWW: "Siapa yang menganggap aku sebagai pemimpinnya maka Ali
adalah pemimpinnya." Tidak syak lagi bahwa beliau pernah mendengar
semua itu. Namun beliau tetap tidak suka padanya, tidak mau menyebut
namanya bahkan ketika didengarnya bahwa Ali telah mati, beliau bersujud
syukur karenanya!!!49
Biarlah kita tinggalkan semua ini. Aku
tidak ingin berbicara tentang sejarah Ummul Mukimin Aisyah. Hanya
sekadar ingin meneliti dan mencari tahu akan pelanggaran sejumlah
sahabat akan prinsip-prinsip Islam dan perintah-perintah Nabi SAWW.
Bagiku perang Jamal yang dilancarkan oleh Ummul Mukminin yang telah
disepakati kebenarannya oleh para ahli sejarah ini adalah satu bukti
kuat atas objektifitas kesimpulanku ini.
Mereka juga mencatat
bahwa Aisyah ketika lewat di perairan Hauab, beliau digonggong oleh
anjing-anjingnya. Mendengar gonggongan anjing Hauab seperti itu, segera
beliau ingat akan pesan suaminya Rasulullah yang melarang-nya dari
menunggangi onta tersebut. Beliau sempat menangis dan berkata:
"Kembalikan aku, kembalikan aku..." Tetapi Thalhah dan Zubair kemudian
membawa lima puluh penduduk setempat dan meminta mereka bersumpah bahwa
tempat ini bukanlah wilayah perairan Hauab. Dari sana kemudianbeliau
melanjutkan perjalanannya sampai ke Basrah. Para ahli sejarah berkata
bahwa itulah kesaksian palsu pertama yang terjadi dalam Islam.50
Duhai pembaca yang berpikiran jernih. Tunjukkan kami bagaimana caranya
menyelesaikan kemusykilan ini? Apakah mereka dapat dikatagorikan sebagai
sahabat yang agung yang kita sebut sebagai orang-orang adil, bahkan
sebagai manusia yang paling mulia setelah Rasulullah SAWW? Tapi mereka
tfelah memberikan kesaksian palsu yang digolongkan oleh Rasul sebagai
bagian dari dosa-dosa besar yang bisa membawa ancaman api neraka.
Pertanyaan yang sama masih berulang, siapa yang benar dan siapa yang
salah? Apakah Ali dan orang-orangnya dalam pihak yang zalim dan batil,
ataukah Aisyah dan orang-orangnya beserta Thalhah, Zubair dan
orang-orangnya? Hdak ada lagi andaian ketiga yang bisa memberikan
jawaban. Seorang peneliti yang objektif saya rasa akan condong kepada
pihak Ali yang (disabdakan oleh Nabi) senantiasa bersama kebenaran, dan
berupaya untuk mematikan fitnah yang dinyalakan oleh Ummul Mukminin
Aisyah serta para pengikutnya. Sung-guh fitnah peperangan ini telah
memakan banyak korban dan telah meninggalkan luka yang sangat dalam
sampai hari ini.
Untuk pertanggung-jawaban dan ketenangan hati aku sertakan riwayat-riwayat berikut.
Bukhari telah meriwayatkan dalamkitab Shahihnya pada Bab al-Fitnah,
bagian al-Fitnah Allati Tamuju Kamauj al-Bahri (Fitnah Yang Mengamuk
Seperti Gelombang Samudra) riwayat berikut: "Ketika Thalhah, Zubair dan
Aisyah pergi ke Basrah, Ali mengutus Ammar bin Yasir dan Hasan bin Ali
pergi ke Kufah. Sesampainya di sana, mereka naik ke atas mimbar. Hasan
duduk di atas sementara Ammar berdiri di bawahnya. Kami berkumpul
mengelilingi mereka. Kudengar Ammar berkata: " Aisyah telah pergi ke
Basrah. Demi Allah dia adalah isteri Nabi kalian di dunia dan di
akhirat. Tetapi Allah ingin menguji kalian agar Dia tahu apakah kalian
berada pada pihak Ali atau pada pihak Aisyah?"51
Bukhari juga
meriwayatkan dalam Bab as-Syurut bab Ma Ja`a Fi Buyut Azwaj an-Nabi (Apa
Yang Terjadi Di Rumah Isteri-isteri nabi): "Suatu hari Nabi berdiri
berpidato. Sambil menunjuk ke arah tempat tinggal Aisyah beliau
bersabda: "Disinilah fitnah, disinilah fitnah, disinilah fitnah darimana
munculnya tanduk syaitan." 52
Bukhari juga meriwayatkan
berbagai sikap aneh dan keburukan akhlaknya di hadapan Nabi SAWW sampai
pernah ditampar oleh ayahnya; atau tentang kepura-puraannya di hadapan
Nabi sehingga Allah mengancamnya dengan talak dan akan digantikan dengan
isteri lain yang lebih baik. Ini adalah cerita-cerita lain yang akan
memakan ruangan yang panjang jika dijelaskan.
Setelah ini
semua, aku tertanya-tanya kenapa Aisyah memperoleh penghormatan yang
demikian agung dari pihak Ahlu Sunnah Wal Jama'ah. Apakah karena dia
adalah isteri Nabi, padahal Nabi juga mempunyai banyak isteri lain,
bahkan ada yang lebih utama dari Aisyah sekalipun seperti ucapan Nabi
sendiri.53 Ataukah karena dia adalah puterinya Abu Bakar. Atau mungkin
karena dia telah memainkan peranan besar dalam mengingkari wasiat Nabi
kepada Ali, sehingga ketika disebutkan di hadapannya bahwa Nabi telah
berwasiat untuk Ali, dia berkomentar: "Siapa yang berkata demikian?
Waktu itu (saat wafat Nabi) akulah yang bersama Nabi. Kuletakkan
kepalanya di dadaku, kemudian dia meminta talam. Ketika aku tunduk
tiba-tiba dia mati tanpa kurasakan apa-apa. Bagaimana lalu dikatakan
bahwa Nabi telah berwasiat untuk Ali?"54 Atau karena dia telah perangi
Ali dan anak-anaknya secara total, sampai-sampai jenazah Sayyidina Hasan
putera Ali, penghulu pemuda syurga, dihalanginya untuk bisa dikebumikan
di sisi pusara datuknya Rasulullah SAWW. Katanya: "Jangan masukkan
orang yang tidak kusukai ke rumahku."
Entahlah, apakah dia lupa
atau berpura-pura lupa akan sabda nabi pada Hasan dan saudaranya:
"Hasan dan Husain adalah dua pemuka pemuda sorga"; atau sabdanya yang
lain: "Allah akan mencintai orang yang mencintai keduanya, dan akan
bencipada orang yang membenci keduanya"; atau sabdanya: "Aku akan
memerangi orang yang memerangi kalian (berdua) dan berdamai pada orang
yang berdamai dengan kalian"; atau sabda-sabdanya yang lain. Betapa
tidak, bukankah mereka berdua adalah bunga kuntumnya yang semerbak bagi
ummat iru?
Tidak begitu mengejutkan memang. Jauh hari
sebelumnya beliau pernah mendengar dari Nabi hadis-hadis yang lebih
banyak tentang keistimewaan Ali, tetapi beliau tetap enggan dan bertekad
tetap memeranginya, memisahkan kaum muslimin darinya serta mengingkari
segala keutamaan-keutamaannya. Itulah alasan yang sangat kuat kenapa
Bani Umaiyah sangat mencintai Aisyah ini dan meletakkannya pada
kedudukan yang sangat tinggi tanpa tara. Mereka telah tulis baginya
berbagai keistimewaan dan keutamaan yang memenuhi lembaran buku sehingga
beliau ditokohkan sebagai marja' (pakar rujuk) yang paling besar bagi
Ummat ini, sebab di sisinya tersimpan separuh agama.
Dan
mungkin separuh lain telah mereka jatahkan pada Abu Hurairah yang telah
meriwayatkan untuk mereka segala sesuatu yang mereka inginkan. Dan
lantaran itulah maka Abu Hurairah mereka letakkan sebagai orang
dekatnya, dibertnya kekuasaan sebagai Gubernur kota Madinah dan istana
al-Aqiq serta gelar sebagai "perawi Islam". Dengan demikian maka
mudahlah bagi Bani Umaiyah untuk memiliki satu agama baru yang sempurna,
yang tidak memuat apa-apa dari Kitab Allah dan Sunnah Rasul melainkan
yang sesuai dengan kehendak nafsu mereka dan mendukung kerajaan serta
kekuasaan mereka semata-mata.
Agama seperti ini adalah lebih
layak apabila dikatakan sebagai bahan mainan dan olok-olok saja yang
hanya penuh dengan berbagai khurafat dan kontradiksi. Itulah kenapa
kebenaran yang sejati terkubur sementara yang batil muncul ke permukaan.
Mereka juga memaksa atau mengelabui orang banyak dengan cara keagamaan
mereka ini, sehingga agama Allah yang sejati menjadi semacam tiada nilai
dan rasa takut kepada Muawiyah adalah lebih besar dari takut kepada
Allah.
Ketika kita bertanya pada sebagian ulama kenapa Muawiyah
memerangi Imam Ali yang telah dibai'at oleh Muhajirin dan Anshar,
dimana akibatnya telah memecah kaum muslimin kepada Sunnah dan Syi'ah,
dan telah melukai Islam hingga kini, maka-seperti biasa-mereka akan
segera menjawab dengan begitu mudahnya bahwa Ali dan Muawiyah adalah dua
sahabat Rasul yang agung. Kedua mereka berijtihad: Ali berijtihad dan
benar lalu dia dapat dua pahala, sementara Muawiyah berijtihad dan
salah, lalu dia memper-oleh satu pahala. Dan bukan hak kita untuk
menghukum mereka, baik positif atau negatif. Karena Allah SWT berfirman:
"Itu adalah ummat yang lain; baginya apa yang telah diusahakannya dan
bagimu apa yang sudah kamu usahakan. Dan kamu tidak akan diminta
pertanggung-jawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan" (S. 2:134).
Demikianlah jawaban kita. Seperti yang Anda perhatikan jawaban seperti
ini adalah jawaban yang sangat daif yang tidak dapat diterima oleh akal,
agama ataupun Syara'. Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari pendapat
yang salah dan hawa nafsu yang terjerat. Aku mohon lindunganMu dari
bisikan syaitan dan kehadirannya.
Bagaimana akal sehat dapat
menerima bahwa Muawiyah melakukan ijtihad dan karenanya diberi satu
pahala dalam tindakannya yang memerangi Imam kaum muslimin serta
membunuh orang-orang mukmin dan perbuatan-perbuatan lain yang tidak
terhitung banyaknya. Para ahli sejarah mencatat betapa Muawiyah telah
membunuh para penentangnya dengan caranya tersendiri yang sangat
dikenal: memberi minuman beracun. Muawiyah senantiasa berkata: "Allah
mempunyai bala tentara dari madu".
Bagaimana mereka katakan
bahwa Muawiyah telah berijtihad dan tersalah, padahal dia adalah
pemimpin kelompok yang baghi (kelompok yang memerangi Khalifah muslimin
yang sah). Dalam suatu hadis yang sangat populer yang diriwayatkan oleh
semua ahli hadis, Nabi SAWW bersabda: "Berbahagialah Ammar. Dia akan
dibunuh oleh kelompok yang baghi." Muawiyah beserta
sahabat-sahabatnyalah yang membunuh Ammar.
Bagaimana mereka
katakan bahwa Muawiyah telah berijtihad dalam peristiwa pembunuhan
terhadap Hujur bin A'dy beserta sahabat-sahabatnya, yang kemudian
dikuburkan di tempat sampah pada suatu padang pasir Syam, semata-mata
lantaran mereka tidak mau mencaci Ali bin Abi Thalib. Bagaimana mereka
mengatakannya sebagai seorang sahabat yang adil sementara dia telah
meracuni Hasan Bin Ali, pemuka pemuda sorga.
Bagaimana mereka
menganggapnya bersih padahal dia telah paksa ummat Islam untuk
membai'atnya dan membai'at puteranya Yazid setelahnya, dan menggantikan
sistem syuro dengan dinasti kerajaan.55 Bagaimana mereka mengatakan
bahwa Muawiyah telah berijtihad dan diberi satu pahala, padahal dia
telah paksa kaum muslimin untuk melaknat Ali dan keluarga Nabi SAWW dari
atas mimbar. Dia telah bunuh para sahabat yang enggan melakukan laknat
sampai hal itu menjadi sebuah tradisi yangberkepanjangan. Fala Haula
Wala Quwwata Illa Billah al-A'li al-A'zim.
Persoalan yang sama
juga timbul: mana kelompok yang benar dan naana kelompok yang salah?
Apakah Ali dan Syi'ahnya sebagai orang-orang yang zalim dan dalam pihak
yang salah, atau Muawiyah dan para pengikutnya. Rasul SAWW telah
menjelaskan segala sesuatunya di sana. Dalam dua kemungkinan di atas,
menyatakan bahwa semua sahabat tanpa kecuali adalah adil adalah hal yang
mustahil yang tidak sesuai dengan akal sehat.
Semua yang kami
katakan di atas, sebenarnya adalah bagian kecil dari fakta-fakta sejarah
yang terlalu banyak untuk ditulis dalam buku kecil ini. Apabila kita
ingin muat secara rinci hal-hal di atas maka kita akan memerlukan
berjilid-jilid buku untuk menampungnya. Namun karena buku ini adalah
ringkas, maka dengan sengaja kusajikan sejumlah contoh sebagai pelengkap
semata-mata. Dan Alhamdulillah sekadar itupun sudah cukup merepotkan
orang sekitarku yang telah membekukan pikiranku dengan mitos-mitos palsu
dalam waktu yang cukup lama, dan yang mencegahku dari memahami hadis
serta meneliti sejarah dengan kriteria akal dan syariah yang telah
diajarkan oleh AlQuran dan Sunnah Nabi SAWW.
Aku akan tetap
bertarung dengan jiwaku dan menyisihkan setiap debu-debu fanatisme buta
yang membungkusku. Aku akan tetap berupaya untuk membebaskan segala
belenggu dan rantai yang telah mengikat jiwaku lebih dari dua puluh
tahun. Hatiku berkata pada mereka: oh, alangkah indahnya seandainya
kaumku mengetahui akan ampunan Tuhanku kepadaku dan dijadikan-Nya aku
dari golongan orang-orang yang dimuliakan. Oh, kalaulah kaumku menemukan
dunia yang belum mereka ketahui ini dan membebaskan diri mereka dari
bersikap memusuhinya tanpa sadar ini.
MULANYA PERUBAHAN
SELAMA tiga bulan aku merasa kebingungan dan gelisah, dalam waktu
tidurku sekali pun. Berbagai pikiran dan bayangan berkecamuk dalam
benakku. Jiwaku luluh melihat sikap sebagian sahabat yang terungkap
dalam sejarah yang kuteliti itu. Aku berada dalam sebuah kondisi yang
dilematis. Sebab sepanjang hidupku aku dididik untuk menghormati dan
mengkultuskan para wali Allah serta orang-orang yang sholeh. Apabila ada
orang yang mengkritik mereka maka akan terasa suatu keresahan yang luar
biasa.
Dahulu aku pernah membaca tulisan ad-Dumairi dalam
bukunya Hayat al-Hayawan al-Kubro56 yang berbunyi antara lain: "Pernah
suatu hari ada seseorang mencaci Umar bin Khattab. Perlakuannya ini
dicegah oleh teman-temannya sekafilah. Ketika dia pergi membuang air
kecil, tiba-tiba seekor ular hitam mematuknya dan dia mati seketika.
Teman-temannya menggali lubang untuk menguburnya, tetapi setiap kali
digali, didapati ular yang sama tengah menantinya. Digali lagi kuburan
yang lain, tetap saja ular itu takbergeming dari tempatnya. Begitulah
seterusnya. Akhirnya seorang yang arif di antara mereka ber-kata:
"Kuburkan dia di mana saja. Sebab jika kalian gali seluruh bumi ini maka
kalian akan dapati ular yang sama. Ini adalah azab Allah kepadanya di
dunia sebelum di akhirat lantaran cacian yang dilakukannya terhadap
Sayyidina Umar."
Itulah mengapa aku begitu takut dan gelisah.
Ketika aku masih belajar di Ma'had az-Zaituni aku diajarkan bahwa
khalifah yang paling utama secara absah adalah Sayyidina Abu Bakar
as-Siddiq, kemudian Sayyidina Umar al-Khattab atau al-Faruq, pemisah
antara haq dan batil, kemudian Sayyidina Utsman bin Affan, empunya dua
cahaya yang malaikat Rahman pun malu kepadanya, kemudian Sayyidina Ali,
gerbang kota ilmu. Setelah empat di atas, lalu enam orang lain dari
sepuluh orang yang telah dijamin sorga. Mereka adalah Thalhah, Zubair,
Sa'ad, Sa'id, Abdurrahman dan Aba U'baidah; kemudian baru semua sahabat
yang lain. Dalil yang diajarkan kepada kami adalah ayat AlQuran yang
bermaksud: "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang
lain) dari rasid-rasul-Nya" (S. 2: 285). Dan kepada sahabat juga mesti
dilihat mengikut cara yang serupa tanpa mencelakan mereka sedikitpun.
Berdasarkan ini aku takut terhadap diriku. Aku memohon ampunan dari
Allah berkali-kali. Aku tidak ingin lagi meneruskan penelitian hal-hal
seperti ini, sebab ia menanamkan keraguan dalam diriku tentang sahabat
Rasulullah, dan seterusnya keraguan terhadap agamaku. Namun dalam setiap
diskusiku dengan berbagai ulama selama masa-masa tersebut, aku dapati
bahwa jawaban-jawaban mereka sentiasa kontradiktif dan tidak rasional.
Semula mereka mengingatkan agar aku tidak lagi meneruskan kajian tentang
sahabat. Sebab katanya, nikmat Allah akan terangkat dariku dan mungkin
juga akan mencelakakanku. Dan karena kuatnya bantahan dan penolakan
mereka atas setiap pendapatku, maka aku terdorong lagi untuk meneruskan
kajian dan penelitianku agar dapat sampai kepada suatu kebenaran yang
dicita-citakan.
DIALOG DENGAN ORANG ALIM
KUKATAKAN kepada salah seorang ulama: "Jika Muawiyah telah membunuh orang-orang yang tak berdosa dan memperkosa segala kehormatan, lalu kalian hukumkan bahwa dia telah berijtihad namun salah dan dia mendapat satu pahala; dan jika Yazid telah membunuh anak-anak Rasul serta menghalalkan (pertumpahan darah) di Madinah, lalu kalian hukumkan bahwa dia telah berijtihad dan salah dan dia mendapatkan satu pahala sehingga ada sebagian orang berkata bahwa "Husain terbunuh oleh pedang datuknya" sebagai alasan untuk membenarkan perlakuan Yazid; apabila demikian kenapa pula aku tidak boleh berijtihad di dalam penelitianku tentang para sahabat yang menimbulkan suatu tanda tanya besar dalam diriku. Ini tentu tidak ada artinyajika dibandingkan dengan tindakan Muawiyah dan puteranya Yazid di dalam membunuh keluarga Nabi yang suci. Jika ijtihadku benar maka aku akan mendapatkan dua pahala, dan jika salah aku akan memperoleh satu pahala. Penelitianku tentang sahabat juga bukan karena ingin mencaci, mencerca atau melaknat mereka. Aku hanya ingin sampai kepada suatu kebenaran untuk mengetahui mana golongan yang selamat di antara banyak golongan yang sesat. Ini adalah kewajibanku dan kewajiban setiap Muslim. Allah Maha Tahu apa yang tersembunyi dan yang tersirat di balik dada."
Orang alim ini menjawab :
"Wahai puteraku. Pintu ijitihad telah tertutup sejak lama."
"Siapa yang menutupnya?"
"Imam empat mazhab".
"Alhamdulillah, jika yang menutupnya bukanlah Allah, bukan juga
Rasul-Nya dan bukan Khulafa' Rasyidin (empat khalifah) yang kita disuruh
untuk mengikuti
mereka." Ini berarti bahwa tidak cela apabila aku berijtihad sebagaimana mereka dahulu berijtihad."
"Engkau tidak boleh berijtihad kecuali apabila telah kau kuasai tujuh
belas cabang ilmu pengetahuan. Antara latn ilmu tafsir, lughah, nahu,
sharaf, balaghah, hadis, sejarah dan lain sebagainya."
"Aku
bukan ingin berijtihad untuk menerangkan kepada orang tentang hukum
AlQuran dan Sunnah, atau ingin menjadi imam suatu mazhab di dalam Islam.
Aku hanya ingin tahu siapa yang berada dalam pihak yang benar dan siapa
yang salah, untuk mengetahui apakah Imam Ali dalam pihak yang benar
ataukah Muawiyah, misalnya. Hal ini tentu tidak akan memerlukan tujuh
belas cabang ilmu pengetahuan. Cukup hanya dengan mempelajari kehidupan
dan tingkah laku mereka agar dapat diketahui suatu kebenaran."
"Apa perlunya kau ingin ketahui semua itu. Itu adalah ummat yang lalu.
Baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang telah kamu
usahakan. Dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa
yang telah mereka kerjakan (S. 2:134).
"Bagaimana Anda
membacanya. Apakah La Tus-alun (kamu tidak akan diminta
pertanggunganjawab) atau La Tas-alun (jangan kamu bertanya ...)"
"Tentu La Tus-alun." Jawabnya.
"Alhamdulillah. Kalau ayat tersebut dibaca dengan La Tas-alun maka
artinya kita dilarang untuk membuat suatu penelitian. Namun karena
dibaca dengan La Tus-alun, maka maknanya adalah Allah tidak akan
menghisab kita atas apa yang mereka dahulu lakukan. Dan ini sesuai
dengan firman Allah SWT: "Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang
telah diperbuatnya " (S. 74:38); dan firman Allah yang lain: "Dan bahwa
seorang tidak akan memperoleh selain dari apa yang telah diusahakan-nya"
(S. 53:39). AlQuran juga mendorong kita untuk mempelajari tentang
sejarah ummat-ummat yang lalu agar dijadikan suatu ibrah (nasihat).
Allah telah menceritakan kepada kita tentang Firaun, Haman, Namrud,
Qarun dan para nabi dahulu beserta pengikut-pengikutnya. Semua ini bukan
untuk sekadar hiburan, tetapi untuk mengajarkan kepada kita mana yang
hak dan mana yang batil.
Tentang kata-kata Anda "apa perlunya semua ini", maka memang sangat perlu.
Pertama-tama: agar aku kenal siapa Wali Allah yang sebenarnya sehingga
aku harus me-wila' (setia) mereka; dan siapa musuh Allah yang
sesungguhnya sehingga aku harus memusuhinya. Ini adalah permintaan
AlQuran, bahkan kewajiban yang dipikulkannya kepada kita.
Kedua, untuk mengetahui dengan sungguh-sungguh bagaimana cara menyembah
dan mendekatkan diri pada Allah melalui hukum-hukum yang diwajibkan-Nya
kepada kita seperti yang Dia inginkan; bukan seperti yang "diinginkan"
oleh Malik, atau Abu Hanifah atau mujtahid-mujtahid yang lain. Hal ini
karena kulihat-misalnya-Malik menghukumkan makruh membaca Basmalah di
dalam shalat sementara Abu Hanifah menghukumkan wajib; dan yang lainnya
menghukumkan batal jika shalat tanpa Basmalah. Padahal shalat adalah
tiang agama. Apabila ia diterima maka diterimalah selainnya, dan bila ia
ditolak maka ditolaklah juga yang lain. Aku tidak ingin shalatku
ditolak. Contoh lain, Syi'ah mengatakan bahwa kaki wajib diusap saat
berwudhu' sementara Sunnah mengatakan wajib dicuci. Padahal apabila kita
baca AlQuran jelas ayatnya mengatakan bahwa kaki wajib diusap. Lalu
bagaimana Anda harapkan seorang Muslim yang berpikir rasional akan bisa
menerima pendapat yang satu dan menolak yang lain tanpa suatu penelitian
dan kajian."
"Anda bisa ambil dari setiap mazhab apa yang Anda
rasakan cocok, karena semua adalah mazhab Islam dan semuanya juga
bersumber dari Rasulullah SAWW."
"Aku takut tergolong di antara orang-orang yang difirmankan oleh Allah:
"Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmuNya; dan
Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan
atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk
sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil
pelajaran?" (S. 45:23)
Wahai Tuan yang mulia. Aku tidak percaya
bahwa semua mazhab adalah benar. Bayangkan yang satu menghalalkan dan
yang lain mengharamkan. Tidak mungkin ada sesuatu yang halal dan haram
dalam satu ketika. Rasul tidak pernah berdebat dahulu sebelum
menguraikan suatu hukum yang akan diajarkannya. Karena ia adalah wahyu
dari AlQuran. Allah berfirman: "Kalau kiranya AlQuran itu bukan dari
sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di
dalamnya" (S. 4: 82). Dan karena di antara empat mazhab ini kudapati
banyak pertentangan, maka ia pasti bukan dari sisi Allah, bukan juga
dari sisi Rasul-Nya, mengingat Rasul tidak mungkin bertentangan dengan
AlQuran."
Ketika orang alim ini melihat argumentasiku sangat rasional dan tak dapat ditolak, dia berkata kepadaku :
"Demi Allah. Aku menasihatimu agar jangan sekali-kali meragukan
Khulafa' Rasyidin betapapun keraguan yang kau hadapi. Mereka adalah
empat tiang agama ini. Apabila kau robohkan yang satu, maka akan
runtuhlah bangunan ini."
"Astaghfirullah." Sahutku. "Tuan, jika mereka adalah tiang agama Islam maka di mana Rasulullah SAWW? "
"Rasulullah adalah bangunan itu semua. Beliau adalah Islam secara keseluruhan."
Aku tersenyum mendengar penilaian seperti ini. Kukatakan lagi:
"Astaghfirullah. Wahai tuan yang mulia, tanpa disadari tuan telah
berkata bahwa Rasulullah SAWW tidak akan istiqamah melainkan dengan
empat orang ini. Hal ini berlawanan dengan firman Allah, "Dialah yang
mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar
dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cuknplah Allah sebagai saksi."
(S. 48: 28)
Allah telah mengutus Rasul-Nya Muhammad dengan
risalah dan tidak menyertakan bersamanya seorangpun dari empat orang ini
atau yang lainnya. Dalam hal ini Allah SWT berfirman: "Sebagaimana Kami
telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat
Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-Kitab
dan hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui"
(S. 2:151).
"Itulah apa yang pernah kami pelajari dari
guru-guru kami dahulu. Pada zaman kami tiada siapapun yang boleh atau
pernah mendebat dan membantah para ulama seperti yang dilakukan oleh
generasi sekarang ini. Kini kalian mulai meragukan segala sesuatu dan
membuat keragu-raguan dalam agama. Ini adalah di antara tanda-tanda hari
kiamat. Rasulullah SAWW pernah bersabda: "Hari kiamat tidak akan muncul
melainkan pada zaman makhluk yang paling jahat."
"Wahai Tuan,
kenapa mesti marah. Aku berlindung kepada Allah dari bersikap ragu
terhadap agama atau membuat keragu-raguan di dalamnya. Aku beriman
kepada Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya; beriman pada para
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan para Rasul-Nya. Aku beriman bahwa
Sayyidina Muhammad SAWW adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya. Beliau adalah
Nabi dan Rasul yang paling utama dan penutup seluruh Nabi, dan aku
adalah orang muslim. Bagaimana Anda menuduhku seperti itu?"
"Lebih dari itu sepatutnya kukatakan padamu, sebab kau meragukan
Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar. Sedangkan Nabi SAWW pernah
bersabda: "Jika iman ummatku ditimbang dengan iman Abu Bakar, maka iman
Abu Bakar akan lebih berat." Untuk Sayyidina Umar Nabi pernah bersabda:
"Aku pernah ditunjukkan tentang umatku. Mereka memakai baju panjang
tetapi tidak sampai menutup dada. Aku juga ditunjukkan tentang Umar.
Kulihat dia tengah menyeret-nyeret bajunya. Sahabat bertanya: apa
takwilnya (tafsirnya) ya Rasulullah? Nabi menjawab: agama. Tiba-tiba kau
datang pada abad ke empat belas ini membuat keraguan-raguan tentang
para sahabat, terutama Abu Bakar dan Umar. Tahukah kau bahwa penduduk
Irak adalah penduduk yang kafir, munafik dan berpecah?"
Apa
yang harus kukatakan pada orang yang mengaku dirinya alim ini. Majlis
yang tadinya berjalan dengan cara akrab dan ilmiah kini berubah menjadi
semacam tuduhan dan luapan emosi di hadapan sekumpulan hadirin yang
mengaguminya. Kuperhatikan wajah-wajah mereka merah dan mata-mata mereka
terbelalak menunjukkan sikap protes. Tiada cara lain, aku segera pergi
ke rumah dan mengambil kitab al-Muwattha' karya Imam Malik dan kitab
Shahih al-Bukhari. Kukatakan kepadanya:
" Wahai Tuan yang mulia! Yang menyebabkan aku ragu-ragu terhadap Abu Bakar adalah Rasulullah sendiri."
Lalu kubukakan kitab al-Muwattha' yang memuat suatu riwayat yang
bermaksud, "Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW pernah bersabda
kepada para syuhada' Uhud: "Aku adalah saksi mereka." Abu Bakar
as-Siddiq bertanya: "Ya Rasulullah, bukankah kami adalah saudara-saudara
mereka. Kami juga ikut Islam sebagaimana mereka. Kami juga berjihad
sebagaimana mereka." Rasulullah SAWW menjawab: "Ya betul. Tetapi aku
tidak tahu apa yang akan kalian lakukan setelahku." Mendengar ini Abu
Bakar menangis tersedu-sedu. Kemudian dia berkata: "Memang, kami
melakukan banyak perkara setelah ketiadaanmu."57
Aku bukakan
juga kitab Shahih Bukhari. Riwayat itu berkata: "Suatu hari Umar bin
Khattab datang ke rumah Hafsah. Di sana ada Asma' binti U'mais. Ketika
melihat Asma' Umar bertanya:
"Siapa wanita ini?"
"Saya Asma' binti U'mais."
"Orang Habsyiah itu. Orang laut itu." Gerutu Umar.
"Ya".JawabAsma'.
"Kami lebih dahulu berhijrah." Kata Umar. "Maka itu kami lebih berhak kepada Rasulullah ketimbang kalian."
"Demi Allah, tidak." Jawab Asma'. "Dahulu kalian bersama Nabi.
Diberinya kalian makan-minum dan diajarkannya kalian. Sementara kami
berada di suatu tempat yang jauh dan asing (di Habsyah) semata-mata
karena Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah, aku tidak makan atau minum
kecuali kuingat dahulu Rasulullah. Kami juga menghadapi ancaman dan
gangguan. (Wahai Umar) aku akan mengadu pada Rasulullah dan akan
kuberitahu (apa yang kaukatakan tadi) tanpa aku akan berdusta, menambahi
atau mengurangi."
Ketika Asma' datang kepada Nabi, dia
berkata, "Ya Nabi Allah, Umar berkata begini dan begitu." "Apa yang kau
jawab? " Tanya Nabi.
"Begini dan begitu".
"Dia tidak
berhak atasku lebih dari kalian." Jawab Nabi. "Dia dan teman-temannya
hanya berhijrah sekali saja, sementara kalian, penghuni bahtera, dua
kali berhijrah."
Asma' berkata lagi: "Aku perhatikan Abu Musa
dan kawan-kawan yang dahulunya sekapal (saat berhijrah ke Habsyah) yang
lain mendatangiku dan bertanya padaku tentang sabda Nabi tersebut. Tiada
sesuatu di dunia ini yang sedemikian membahagiakan mereka lebih dari
sabda Nabi untuk mereka ini". 58
Setelah orang alim dan para hadirin
membaca dua hadis ini, tiba-tiba saja wajah mereka berubah. Mereka
saling berpandangan dan menunggu reaksi sang guru yang tak berkutik.
Dengan mengangkat sedikit dua keningnya sebagai tanda heran sang guru
berkata: "Katakanlah, ya Rabbi, tambahkan untukku ilmu pengetahuan."
"Jika Rasulullah SAWW adalah orang pertama yang ragu terhadap Abu Bakar
dan tidak mempersaksikannya lantaran beliau tidak tahu apa yang akan
terjadi sepeninggalnya kelak; dan apabila Rasulullah tidak merestui
keutamaan Umar bin Khattab atas Asma' binti U'mais, bahkan Asma' lebih
diutamakan ketimbang Umar; maka aku mempunyai alasan kuat untuk tidak
mengutamakan siapapun sehingga kebenaran itu tampak dan kuketahui dengan
pasti. Dan jelas sekali bahwa dua hadits ini berlawanan bahkan
menafikan setiap hadis yang mengatakan keutamaan Abu Bakar dari Umar.
Sebab dua hadis ini ditunjang oleh fakta-fakta yang objektif dan
rasional dibandingkan dengan hadis-hadis keutamaan yang diduga itu."
Para hadirin bertanya: "Apa maksud hadis tersebut? "
"Rasulullah SAWW tidak mau menjadi saksi pada Abu Bakar." Jawabku."
Beliau bersabda: "Aku tidak tahu apa yang akan kalian lakukan
sepeninggalku kelak.
"Hadis ini jelas sekali maksudnya. Sebab
AlQuran mengatakan dan sejarah juga membuktikan bahwa mereka telah
melakukan perobahan-perobahan sepeninggal Nabi. Itulah kenapa Abu Bakar
menangis. Abu Bakar telah merubah dan membuat Fatimah az-Zahra' puteri
Nabi marah, seperti yang telah disentuh di atas. Sedemikian dia telah
merobah sehingga beliau menyesal pada akhir hayatnya dan berangan-angan
untuk tidak menjadi manusia.
Hadis yang dikatakan bahwa "Jika
iman ummatku ditimbang dengan iman Abu Bakar maka imam Abu Bakar akan
lebih berat" hadis ini jelas lemah dan tidak masuk akal. Tidak mungkin
seseorang yang telah melewati empat puluh tahun dari usianya dalam
syirik pada Allah dan menyembah berhala akan memiliki iman yang lebih
berat dari iman seluruh ummat Nabi Muhammad SAWW. Sedangkan di antara
ummat ini ada para wali Allah yang sholihin, orang-orang syahid dan para
imam yang telah menghabiskan semua umurnya dalam berjihad di jalan
Allah SWT. Lalu apakah Abu Bakar memang sesuai dengan makna dan maksud
hadis ini? Jika memang hadis ini shahih, maka beliau seharusnya tidak
akan pernah berangan-angan untuk tidak menjadi manusia. Apabila imannya
lebih tinggi dari iman Fatimah Zahra', pemuka wanita alam semesta, maka
puteri Rasul itu tidak akan pernah marah kepadanya, atau berdo'a untuk
keburukannya."
Orang alim ini tidak memberi sebarang komentar.
Sebagian yang hadir menyelah: "Demi Allah, apa yang Anda katakan telah
menimbulkan keragu-raguan dalam diri kami." Tiba-tiba si alim ini
menyentakku: "Apakah seperti ini yang kau inginkan? Kau telah membuat
mereka ragu-ragu di dalam agama mereka." Muncul lagi suara lain yang
mencela dan berkata: "Tidak. Dia benar. Sepanjang hayat kita, kita belum
pernah membaca suatu buku yang sempurna. Kami mengikuti Anda hanya
dengan perasaan yakin tanpa sikap kritis sedikitpun. Jelas bagi kami
bahwa apa yang dibicarakan oleh Haji ini nampaknya benar. Sudah
sewajibnya kita membaca dan mengkaji." Sebagian yang hadir menyetujui
pendapat yang terakhir ini. Dan itu adalah suatu kemenangan bagi suatu
kebenaran. Bukan kemenangan dalam bentuk kekuatan atau paksaan, tetapi
kemenangan dalam bentuk hujjah dan dalil yang rasional. "Katakanlah,
bawalah dalil-dalil kalian jika memang kalian benar-benar sebagai orang
yang jujur."
Aku lanjutkan penelitianku dengan cara yang sangat
cermat sepanjang tiga tahun lagi. Kuulangi segala yang kubaca dari awal
hingga akhir. Kubaca buku al-Muraja'at (Dialog Sunnah Syi'ah) karya
Imam Syarafuddin, dan kuulangi berkali-kali. la telah membuka luas
wawasanku dan menyebabkanku mendapat petunjuk dan hidayah dari Allah SWT
serta cinta kepada Ahlul Bait.
Aku juga membaca kitab
al-Ghadir karya Syaikh al-Amini dan kuulangi hingga tiga kali lantaran
isinya yang sangat padat, tepat dan jelas sekali. Juga kitab Fadak karya
Sayed Muhammad Baqir as-Sadr dan kitab as-Saqifah karya Syaikh Muhammad
Ridha al-Muzaffar. Dari dua buku ini aku temukan berbagai jawaban yang
sangat memuaskan. Juga kubaca kitab an-Nas wal-Ijtihad yang menambah
lagi keyakinanku. Kemudian kitab Abu Hurairah karya Syarafuddin, dan
Syaikh al-Mudhirah karya Syaikh Mahmud Abu Rayyah al-Mishri. Dari sana
baru aku ketahui bahwa sahabat yang melakukan perobahan setelah zaman
Rasulullah ada dua bagian. Pertama, yang merobah hukum dengan kekuasaan
yang dimilikinya; kedua, yang merobah hukum dengan meletakkan berbagai
hadis palsu yang dinisbahkan kepada Rasul SAWW.
Kemudian kubaca
kitab al-lmam as-Shadiq Wal Mazahib al-Arba'ah karya Asad Haidar. Dari
sana kukenal perbedaan antara ilmu mauhub (yang dikaruniakan) dan ilmu
maksub (yang dipelajari). Dari situ juga aku baru tahu perbedaan antara
Hikmah yang Allah berikan kepada orang yang Dia kehendaki, dan sikap
berlagak berilmu dan berijtihad dengan pendapat pribadi yang menjauhkan
ummat ini dari jiwa Islam yang sebenarnya.
Kubaca juga berbagai
buku karya Sayed Ja'far Murtadha al-A'mili, Sayed Murtadha al-Askari,
Sayed al-Khui, Sayed Thabatabai, Syaikh Muhammad Amin Zainuddin, Fairuz
Abadi, karya Ibnu Abil Hadid al-Mu'tazili dalam bukunya Syarh Nahjul
Balaghah, Taha Husain dalam bukunya al-Fitnah al-Kubro. Dari buku
sejarah kubaca kitab Tarikh at-Thabari, Tarikh Ibnul Atsir, Tarikh
al-Masu'di dan Tarikh al-Ya'qubi. Dan banyak lagi buku-buku lain yang
kubaca sehingga aku merasa betul-betul puas bahwa Syi'ah Imamiah ini
adalah yang benar. Dari situ kemudian aku mulai menjadi pengikut mazhab
Syi'ah, dan dengan berkat Allah kuikuti bahtera Ahlul Bait serta
kupegang erat-erat tali wila' mereka. Karena kudapati Alhamdulillah,
merekalah sebagai alternatif dari sebagian sahabat yang terbukti bagiku
telah berbalik, dan tiada yang selamat melainkan sekelompok kecil saja.
Kini aku menggantikan mereka dengan Ahlul Bait Nabi yang telah Allah
bersihkan mereka dari segala dosa dan Dia sucikan mereka dengan
sesuci-sucinya, bahkan diwajibkan kepada seluruh ummat manusia untuk
mencintai mereka.
Syi'ah bukan seperti yang didakwa oleh
sebagian ulama kita sebagai orang-orang Parsi dan Majusi yang
dihancurkan oleh Sayyidina Umar di dalam peperangan al-Qadisiah dahulu.
(Karena itu mereka benci kepada Umar!).
Aku katakan kepada
mereka bahwa Syi'ah Ahlul Bait tidak hanya terbatas pada orang-orang
Parsi saja. Syi'ah juga ada di Irak, Hijaz (Saudi Arabia), Syria dan
Lebanon. Mereka adalah orang-orang Arab. Syi'ah juga ada di Pakistan,
India, Afrika dan Amerika. Mereka bukan dari bangsa Parsi atau bangsa
Arab. Apabila kita batasi Syi'ah hanya pada Iran saja maka alasan kita
akan lebih kuat lagi. Mengingat mereka mempercayai dua belas imam yang
kesemuanya adalah orang-orang Arab dari suku Quraisy, dari keluarga bani
Hasyim keluarga Nabi SAWW. Apabila orang-orang Parsi bersikap fanatik
dan benci pada orang-orang Arab seperti yang diklaim oleh sebagian
orang, maka tentu mereka akan menjadikan Salman al-Farisi sebagai imam
mereka. Sebab beliau berbangsa Parsi dan seorang sahabat yang sangat
agung serta ketokohannya diakui oleh Sunnah dan Syi'ah.
Sementara pengikut Ahlus Sunnah Wal Jamaah, kuperhatikan, kepemimpinan
mereka berakhir pada keturunan Parsi. Mayoritas imam mereka berbangsa
Parsi, seperti Abu Hanifah, Imam Nasa-i, Turmuzi, Bukhari, Muslim, Ibnu
Majah, ar-Razi, Imam al-Ghazali, Ibnu Sina, al-Farabi dan masih banyak
lagi. Jika Syi'ah berasal dari Parsi, lalu mereka benci kepada Umar yang
telah menghancurkan keagungan mereka dahulu, maka bagaimana kita akan
tafsirkan orang-orang Syi'ah Arab atau non-Parsi lain yang menolak Umar?
Itulah contoh suatu dalih tanpa alasan yang kuat. Penolakan Syi'ah
terhadap Umar adalah lantaran peranannya dalam menyingkirkan Imam Ali,
Amir al-Mukminin dan Sayyidil Wasiyyin dari jabatan Khilafah setelah
wafatnya Rasul SAWW. Di samping fitnah dan berbagai malapetaka lain yang
menimpa ummat ini akibatnya. Bagi seorang peneliti yang objektif dan
rasional, memang dia akan mengambil sikap sedemikian jika tabir sejarah
yang menutupinya terungkap, tanpa perlu memiliki rasa permusuhan
sebelumnya.
Yang benar adalah orang-orang Syi'ah baik yang
berbangsa Parsi, Arab atau lainnya, mereka tunduk pada nas-nas AlQuran
dan Hadis Nabawi. Mereka patuh setia dan ikut para imam yang menunjukkan
mereka jalan yang lurus. Mereka tidak rela pada selain para imam,
walaupun sepanjang tujuh abad Bani Umaiyah dan Bani Abbasiah melakukan
politik kotor dan bersikap kejam terhadap mereka hingga setiap pengikut
mereka diburu dan dikejar-kejar. Mereka dibunuh, diusir, dilarang dari
mendapatkan bagian dari Baitul Mal dan dilemparkan berbagai tuduhan yang
menimbulkan rasa marah orang kepada mereka sampai hari ini.
Namun orang-orang Syi'ah tetap kukuh dengan pendirian mereka. Mereka
bersabar dan memegang erat kebenaran yang dipercayainya tanpa
memperdulikan cacian siapa pun. Dan nilai kekukuhan ini memang mereka
nikmati hingga hari ini. Saya menantang siapa saja dari alim ulama kita
yang berani duduk berdiskusi dengan para alim ulama mereka. Saya yakin
usai diskusi mereka akan keluar sebagai orang yang memperoleh bimbingan
Allah SWT.
Ya. Aku kini memang telah mendapatkan alternatif.
Segala puji bagi Allah yang telah membimbingku ke jalan ini. Tanpa
hidayah-Nya maka tidak mungkin aku akan mendapatkan petunjuk-Nya. Segala
puji bagi Allah dan hanya kepada-Nya akubersyukur karena telah
ditunjukkan-Nya padaku golong-an yang selamat yang sejak lama kucari
dengan penuh semangat. Aku tidak ragu-ragu lagi bahwa mereka yang
berpegang kepada Ali dan Ahlul Baitnya berarti telah berpegang pada tali
yang sangat kuat yang tidak akan putus selama-lamanya. Bukti-bukti dari
nas Nabi yang disepakati oleh semua kaum muslimin berjumlah cukup
banyak. Dan akal saja sebenarnya sudah cukup sebagai bukti bagi orang
yang benar-benar bijak dan teliti. Ijma' ummat mengatakan bahwa Ali
adalah sahabat yang paling berilmu dan paling berani. Dua ini saja sudah
cukup sebagai bukti akan keutamaan Ali dibandingkan dengan orang lain
atas jabatan hak khilafah. Allah berfirman: "Nabi mereka mengatakan
kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi
rajamu". Mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami padahal kami
lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun
tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?" Nabi (mereka) berkata:
"Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya
ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa." Allah memberikan pemerintahan
kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya
lagi Maha Mengetahui" (S. 2:247).
Rasulullah SAWW bersabda: "Sesungguhnya Ali dariku dan aku dari Ali. Dia adalah wali (pemimpin) setiap mukmin setelahku."59
Imam Zamakhsyari berkata dalam syairnya:
Telah banyak keraguan dan perselisihan
Semua mengaku berada dalam jalan yang lurus
Kupegang erat-erat dengan Lailaha Illallah
Dan cintaku kepada Ahmad dan Ali
Telah selamat anjing lantaran cinta pada Penghuni Gua
Bagaimana aku akan celaka dengan cinta pada keluarga Nabi.
Alhamdulillah aku kini telah menemukan alternatif. Setelah Rasulullah
aku mengikuti Amir al-Mukminin, pemim-pin orang-orang mukmin, singa
Allah al-Ghalib al-Imam Ali bin Abi Thalib; juga kepada dua pemuka
pemuda syurga, cahaya mata Nabi, al-Imam Abu Muhammad al-Hasan az-Zaki
dan al-Imam Abu Abdillah al-Husain; juga kepada darah dagingnya Baginda
Rasulullah, induk zuriat nubuwah, ibu seluruh imam, seseorang yang
murkanya adalah murka Allah, marahnya adalah marah Allah, pemuka wanita
alam semesta, Sayyidah Fatimah az-Zahra' as.
Kini aku
menggantikan Imam Malik dengan gurunya para Imam dan ummat secara
keseluruhan, yakni Imam Ja'far as-Shodiq. Aku berpegang pada sembilan
imam yang maksum dari zuriat Husain, imam-imamnya kaum muslimin dan
wali-wali Allah as-Sholihin.
Aku juga telah menggantikan
sahabat yang berpaling seperti Muawiyah, A'mar bin A'sh, Mughirah bin
Syu'bah, Abu Hurairah, A'kramah dan Ka'bul Ahbar serta orang-orang yang
sejenisnya dengan para sahabat yang bersyukur kepada Tuhannya dan yang
tidak menginkari janji mereka kepada Nabi. Seperti Ammar bin Yasir,
Salman al-Farisi, Abu Zar al-Ghaffari, Miqdad bin Aswad, Khuzaimah bin
Thabit Zu Syahadatain, Ubai bin Ka'ab dan sejenisnya. Segala puji bagi
Allah atas petunjukNya ini.
Aku juga telah menukar para ulama
tempatku yang telah menjumudkan akal-akal kami dan yang kebanyakan
mengi-kuti para penguasa di setiap zaman dengan ulama-ulama Syi'ah yang
solihin, yang tidak pernah menutup pintu ijtihad, tidak pernah merasa
hina atau meminta kasihan dari pemimpin-pemimpin yang zalim ini.
Ya, aku telah menukar alam pikiranku yang sempit dan percaya pada
berbagai khurafat dan kontradiktif dengan alam pkiran yang cerah,
terbuka, bebas dan percaya pada setiap dalil dan hujjah. Atau dengan
kata lain, aku telah mencuci otakku dari daki-daki kesesatan Bani
Umaiyah yang telah membekas sepanjang tiga puluh tahun, dan kini
mensucikannya dengan akidah orang-orang yang maksum yang Allah bersihkan
mereka dari segala dosa dan mensucikan mereka dengan sesuci-sucinya.
Ya Allah. Hidupkanlah kami di atas agama mereka. Matikanlah kami di
atas sunnah mereka. Bangkitkanlah kami bersama-sama mereka. Karena
Nabi-Mu bersabda, "Seseorang kelak akan dibangkitkan bersama orang yang
dicintainya."
Dengan demikian maka aku kini kembali lagi ke
akar asalku. Ayah dan paman-pamanku dahulu pernah mengatakan kepada kami
bahwa asal mulanya kami adalah dari golongan Sayed-Sayed yang lari dari
Irak lantaran tekanan Bani Abbasiah. Kemudian meminta perlindungan di
Afrika Utara sehingga akhirnya menetap di Tunisia yang sehingga kini
masih meninggalkan bekas-bekas sejarah. Di Afrika Utara sendiri banyak
kalangan yang berstatus Sayed atau dalam istilah mereka al-Asyraf
lantaran tali keturunan dari silsilah Ahlul Bait yang suci. Namun mereka
telah banyak yang tenggelam dalam kesesatan Bani Umaiyah atau Bani
Abbasiah. Tiada tersisa dari mereka suatu kebenaran sedikitpun melainkan
sikap hormat dan penuh takzim yang ditunjukkan orang banyak kepada
mereka saja. Segala puji bagi Allah karena hidayah-Nya ini. Segala puji
bagi Allah karena petunjuk-Nya kepadaku ini dan karena dibukakan-Nya
mataku dan pemahamanku untuk mengetahui suatu kebenaran.
SEBAB-SEBAB IKUT MAZHAB AHLU BAIT
Banyak sebab yang mendorongku untuk ikut mazhab Ahlu Bait (Syi'ah). Dan
tidak mungkin bagiku menyebutnya secara rinci di sini kecuali
sebagiannya saja.
1. Nas Khilafah
Aku
telah berjanji pada diriku ketika memasuki pembahasan ini untuk tidak
berpegang pada sebarang dalil melainkan ia benar-benar dianggap shahih
oleh kedua mazhab, dan mengabaikan setiap dalil yang hanya diriwayatkan
oleh satu mazhab saja. Lalu aku mulai menelaah masalah perselisihan
antara Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib, apakah khilafah (kekhalifahan)
pada dasarnya adalah hak Ali bila dilihat dari sisi nas seperti yang
diklaim oleh mazhab Syi'ah, atau ia ditentukan oleh syura seperti yang
dikatakan oleh mazhab Sunnah.
Seandainya mereka yang menelaah
masalah ini benar-benar tulus untuk mencari sebuah kebenaran, mereka
akan dapati bahwa nas yang mengatakan Ali sebagai khalifah adalah nas
yang tak terbantahkan, seperti sabda Nabi SAWW: "Siapa yang menganggap
aku sebagai maulanya (pemimpinnya) maka inilah Ali sebagai maulanya".
Hadis ini beliau ucapkan sekembalinya beliau dari hajinya yang terakhir
yang dikenal dengan hujjatul-wada'. Usai pengangkatan, berduyun-duyun
orang datang mengucapkan tahniah atau selamat kepada Ali, termasuk Abu
Bakar dan Umar sendiri. Mereka berkata: "Selamat untukmu wahai Putera
Abu Thalib. Kini kau adalah maulaku dan maula setiap orang mukmin,
laki-laki dan perempuan" 60
Hadis ini telah disepakati
keabsahannya oleh Sunnah dan Syi'ah. Referensi yang kusebutkan dalam
telaahku ini adalah referensi yang berasal dari Ahlu Sunnah saja. Itupun
bukan semua. Karena yang semestinya adalah jauh lebih banyak dari apa
yang kusebutkan. Agar dapat memperoleh dalil-dalil yang lebih rinci aku
mengajak para pembaca untuk menelaah kitab Al-Ghadir karya al-Allamah
al-Amini. Buku ini setebal tiga belas jilid. Dan penulisnya telah
mendaftarkan nama para perawi hadis ini dari golongan Ahlu Sunnah cukup
banyak.
Adapun ijma' yang dinyatakan sebagai dasar dipilihnya
Abu Bakar di Saqifah Bani Sa'idah, lalu kemudian ia dibaiat di masjid
adalah pernyataan yang tidak kokoh. Bagaimana hal itu bisa dikatakan
sebagai ijma' sementara sejumlah pemuka sahabat seperti Ali, Abbas dan
anggota Bani Hasyim yang lain tidak ikut serta membaiatnya. Begitu juga
Usamah bin Zaid, Zubair, Salman al-Farisi, Abu Zar al-Ghaffari, Miqdad
bin al-Aswad, Ammar bin Yasir, Huzaifah bin Yaman, Khuzaimah bin Thabit,
Abu Buraidah al-Aslami, Barro' bin Azib, Ubai bin Ka'ab, Sahal bin
Hunaif, Sa'ad bin Ubadah, Qais bin Sa'ad, Abu Ayyub al-Anshori, Jabir
bin Abdullah, Khalid bin Sa'ad dan lain sebagainya.61
Dimana
ijma' yang dikatakan itu wahai hamba-hamba Allah? Seandainya hanya Ali
yang tidak membaiat, itu sudah cukup bukti tercelanya ijma' seumpama
itu. Hal ini karena beliau adalah satu-satunya calon khalifah yang
ditunjuk oleh Rasul SAWW, seandainya kita tolak pengertian secara
eksplisit nas-nas tentang kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.
Adalah fakta bahwa bai'at pada Abu Bakar terjadi tanpa syuro atau
musyawarah. Bai'at itu diambil ketika orang-orang sekitarnya, terutama
ahlul halli wal 'aqdi, sedang bingung dan sibuk dalam mengurus jenazah
Nabi SAWW. Saat itu penduduk kota Madinah sedang berkabung atas wafatnya
Nabi mereka. Kemudian tiba-tiba dipaksa untuk membai'at sang
khalifah.62 Hal ini dapat kita rasakan dari cara mereka mengancam untuk
membakar rumah Fatimah apabila penghuni yang berada di dalamnya enggan
memberikan baiat. Nah, bagaimana dapat kita katakan bahwa pemilihan sang
khalifah tersebut terjadi secara musyawarah dan ijma'?
Umar
sendiri pernah berkata bahwa bai'at yang diambil waktu itu adalah
tergesa-gesa, dan Allah telah memelihara kaum muslimin dari
kejahatannya. Beliau juga berkata bahwa siapa saja yang mengulangi cara
bai'at seperti itu, ia mesti dibunuh, atau-paling tidak-bai'atnya tidak
sah dan tidak diakui.
Imam Ali pernah berkata tentang haknya
ini, yang antara lain: "Demi Allah, Ibnu Abi Qahafah (Abu Bakar) telah
memakainya (hak khilafahku) sedangkan beliau tahu bahwa kedudukanku
dengan khilafah ini bagaikan kedudukan kincir dengan roda" 64 (Nahjul
Balaghah).
Sa'ad bin Ubadah pemuka kaum Anshar yang menyerang
Abu Bakar dan Umar di hari Saqifah danberusaha mati-matian untuk
mencegah mereka dari jabatan khilafah, namun tak mampu karena sakit dan
tak dapat berdiri, pernah berkata setelah kaum Anshar membaia't Abu
Bakar: "Demi Allah, sekali-kali Aku tidak akan membai'at kalian
sampailah kulemparkan anak-anak panahku dan kulumurkan tombakku serta
kupukulkan pedangku dan kuperangi kalian bersama-sama keluarga dan
kaumku. Demi Allah, seandainya manusia dan jin berkumpul untuk membai'at
kalian niscaya aku tetap tidak akan memberikartnya, sampai aku berjumpa
dengan Tuhanku." Sa'ad bin Ubadah tidak shalat sama-sama mereka dan
tidak ikut serta kumpul bersama mereka bahkan tidak mau haji
bersama-sama mereka. Seandainya ada sekelompok orang yang mau memerangi
mereka niscaya ia akan membantunya. Dan seandainya ada orang yang
membaiatnya untuk memerangi mereka niscaya ia akan perangi. Begitulah
sikap Sa'ad terhadap Abu Bakar sampai beliau wafat di Syam pada periode
pemerintahan Umar.65
Apabila bai'at tersebut dilakukan secara
tergesa-gesa dimana Allah telah pelihara kaum muslimin dari
keburukannya, seperti yang disinyalir oleh Umar sendiri, arsitektur
rencana ini dan tahu akibat yang akan diderita oleh kaum muslimin
karenanya; dan apabila khilafah ini merupakan "pakaian" Abu Bakar saja,
(seperti yang diibaratkan oleh Imam Ali karena dia bukan empunya yang
sah); dan apabila bai'at ini diambil secara zalim seperti yang dikatakan
oleh Sa'ad bin Ubadah, pemuka Anshar yang memisahkan diri dari jamaah
karenanya; dan apabila bai'at ini tidak sah secara syareat meng-ingat
sahabat-sahabat yang besar seperti Abbas paman Nabi tidak memberinya,
lalu apa dasar dan alasan keabsahan khilafah Abu Bakar? Jawabnya: tidak
ada alasan yang diberikan oleh kalangan Ahlu Sunnah Wal Jamaah.
Dengan demikian maka benarlah alasan dan hujjah Syi'ah dalam hal ini,
karena nas tentang kekhalifahan Ali nyata ada dalam Ahlu Sunnah sendiri.
Namun mereka telah menakwilkannya karena ingin memelihara "kemuliaan"
sahabat. Tetapi bagi orang yang insaf dan adil, dia tidak akan
memperoleh sebarang alasan kecuali harus menerima kenyataan nas ini;
terutama apabila ia ketahui rangkaian peristiwa yang menyelubungi
sejarah ini.66
2. Perselisihan antara Fatimah dan Abu Bakar
Masalah ini juga telah disepakati kebenarannya oleh dua mazhab, Sunnah
dan Syi'ah. Orang yang insaf dan berakal tidak akan dapat lari kecuali
harus mengatakan bahwa Abu Bakar berada pada posisi yang keliru dalam
perselisihannya dengan Fatimah, dan ia tidak bisa menolak fakta bahwa
Abu Bakar pernah menzalimi Penghulu Alam semesta ini. Mereka yang
menelaah sejarah ini dan mengetahui seluk-beluknya secara rinci akan
tahu pasti bahwa Abu Bakar pernah mengganggu Siti Fatimah Zahra' dan
mendustakannya secara sengaja, agar Fatimah tidak mempunyai alasan untuk
berhujjah dengan nash-nash al-Ghadir dan lainnya akan keabsahan hak
khilaf ah suaminya dan putra-pamannya, yakni Ali bin Abi Thalib. Kami
telah temukan bukti-bukti yang cukup kuat dalam hal ini.
Diantaranya adalah, seperti dikatakan oleh ahli sejarah bahwa Fatimah
Zahra', (semoga Allah melimpahkan padanya kesejahteraan) pernah keluar
mendatangi tempat-tempat pertemuan kaum Anshar dan minta mereka membantu
dan membai'at Ali. Mereka menjawab: "Wahai putri Rasulullah, kami telah
berikan bai'at kami pada orang ini (Abu Bakar). Seandainya suamimu dan
putra pamanmu mendahului Abu Bakar niscaya kami tidak akan berpaling
darinya." Ali berkata:
"Apakah aku harus tinggalkan Nabi di
rumahnya dan tidak kuurus jenazahnya, lalu keluar berdebat tentang
kepemimpinan ini?" Fatimah menyahut, "Abul Hasan telah melakukan apa
yang sepatutnya beliau lakukan, sementara mereka telah melakukan sesuatu
yang hanya Allah sajalah akan menjadi Penghisab dan Penuntutnya."67
Seandainya Abu Bakar memang berniat baik dan keliru maka kata-kata
Fatimah telah cukup untuk menyadarkannya. Tetapi Fatimah masih tetap
marah padanya dan tidak berbicara dengannya sampai beliau wafat. Karena
Abu Bakar telah menolak setiap tuntutan Fatimah dan tidak menerima
kesaksiannya, bahkan kesaksian suaminya sekalipun, akhirnya Fatimah
murka pada Abu Bakar sampai beliau tidak mengizinkannya hadir dalam
pemakaman jenazahnya, seperti yang dia wasiatkan pada suaminya Ali.
Fatimah juga berwasiat agar jasadnya dikuburkan secara rahasia di malam
hari tanpa boleh diketahui oleh mereka yang menentangnya.68 Untuk
pembuktian ini saya sendiri telah berangkat ke Madinah untuk memastikan
kebenaran fakta sejarah ini. Di sana kudapati bahwa pusaranya memang
masih tidak diketahui oleh siapa pun. Sebagian berkata ada di Kamar
Nabi, dan sebagian lain berkata ada di rumahnya yang berhadapan dengan
Kamar Nabi. Ada juga yang berpendapat bahwa pusaranya terletak di Baqi',
di tengah-tengah pusara keluarga Nabi yang lain. Tapi tiada satupun
pendapat yang berani memastikan dimana letaknya.
Alhasil, aku
berkesimpulan bahwa Fatimah Zahra' sebenarnya ingin melaporkan kepada
generasi muslimin berikutnya tentang tragedi yang disaksikannya pada
zamannya, agar mereka bertanya-tanya kenapa Fatimah sampai memohon pada
suaminya agar dikebumikan di malam hari secara sembunyi dan tidak
dihadiri oleh siapa pun. Hal ini juga memungkinkan seorang muslim untuk
sampai pada sebuah kebenaran lewat telaah-telaahnya yang intensif dalam
bidang sejarah.
Aku juga mendapati bahwa penziarah yang ingin
berziarah ke kuburan Utsman bin Affan terpaksa harus menempuh jalan yang
cukup jauh agar bisa sampai ke sudut akhir dari wilayah tanah pekuburan
Jannatul Baqi'. Di sana dia juga akan dapati bahwa kuburan Utsman
berada persis di bawah sebuah dinding, sementara kebanyakan sahabat lain
dikubur-kan di tempat yang berhampiran dengan pintu masuk Baqi'. Hatta
Malik bin Anas, imam mazhab Maliki, seorang tabi'it-tabi'in (generasi
keempat setelah Nabi) juga dikuburkan dekat dengan istri-istri Nabi.
Hal ini bagiku bertambah jelas apa yang dikatakan oleh ahli sejarah
bahwa Utsman dikuburkan di Hasy Kaukab, sebidang tanah milik seorang
Yahudi. Pada mulanya kaum muslimin melarang jasad Utsman dikebumikan di
Baqi'. Ketika Mua'wiyah menjabat sebagai khalifah dia beli tanah milik
si Yahudi, kemudian memasukkannya sebagai bagian dari wilayah Baqi',
agar kuburan Utsman juga termasuk di dalamnya. Mereka yang ziarah ke
Baqi' pasti akan dapat melihat hakekat ini dengan jelas sekali.
Aku semakin heran ketika kuketahui bahwa Fatimah Zahra' as adalah orang
pertama yang menyusul kepergian ayahnya. Antara wafat Rasul dengan
wafat Fatimah hanya dipisahkan selang waktu enam bulan saja. Demikian
pendapat sebagian ahli sejarah. Tapi-anehnya-beliau tidak dikubur-kan di
sisi ayahnya!!
Apabila Fatimah Zahra' berwasiat agar dikebumikan
secara rahasia, dan beliau tidak dikuburkan dekat dengan pusara ayahnya
seperti yang disebutkan di atas, lalu apa pula gerangan yang terjadi
dengan jenazah putranya Hasan yang tidak dikuburkan dekat dengan pusara
datuknya Muhammad SAWW.?
Ummul-mukminin Aisyah melarang jasad
Hasan dikebumikan di sana. Ketika Husain datang untuk mengebumikan
saudaranya Hasan di sisi pusara datuknya, Aisyah datang dengan
menunggangi baghalnya sambil berteriak, "jangan kuburkan di rumahku
orang yang tidak kusukai." Bani Umaiah dan Bani Hasyim nyaris perang.
Tetapi Imam Husain kemu-dian berkata bahwa dia hanya membawa jenazah
saudaranya untuk "tabarruk" pada pusara datuknya, kemudian dikuburkan di
Baqi'. Imam Hasan pernah berpesan agar jangan tertumpah setetes pun
darah karenanya.
Dalam kontek ini Ibnu Abbas mendendangkan syairnya kepada Aisyah:
Kau tunggangi onta
Kau tunggangi baghal
Kalau kau terus hidup
kau akan tunggangi gajah
Sahammu kesembilan dari seperdelapan
tapi telah kau ambil semuanya
Ini adalah contoh dari rangkaian fakta yang sungguh mengherankan.
Bagaimana Aisyah mewarisi semua rumah Nabi sementara istri-istri beliau
berjumlah sembilan, seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Abbas di atas.
Apabila Nabi tidak meninggalkan harta waris seperti yang disaksikan
oleh Abu Bakar-karenanya dia melarangnya dari Fatimah, lalu bagaimana
Aisyah dapat mewarisi pusaka Nabi? Apakah ada dalam AlQuran suatu ayat
yang memberikan hak waris pada istri tapi melarangnya dari anak
perempuan? Ataukah politik yang telah merobah segala sesuatu sehingga
anak perempuan diharamkan dari menerima segala sesuatu dan si istri
diberi segala sesuatu?
Saya akan membawakan suatu kisah yang diceritakan oleh sebagian ahli sejarah. Cerita ini ada kaitannya dengan hak pusaka ini.
Ibnu Abil-Hadid al-Mu'tazili dalambukunya Syarhu Nahjil Balaghah pernah
berkata: "Suatu hari Aisyah dan Hafshah datang kepada Utsman pada
periode pemerintahannya. Mereka minta agar pusaka Nabi tersebut
diberikan kepada mereka. Sambil membetulkan cara duduknya, Utsman
berkata kepada Aisyah:"
Engkau bersama orang yang duduk ini pernah
datang membawa seorang badui yang masih hadas menyaksikan Nabi SAWW
bersabda: "Kami para Nabi tidak meninggalkan harta pusaka." Jika memang
benar bahwa Nabi tidak meninggalkan sebarang warisan, lalu apa yang
kalian minta ini? Dan jika memang Nabi meninggalkan warisan pusaka,
kenapa kalian larang haknya Fatimah? Lalu Aisyah keluar dari rumah
Utsman sambil marah-marah dan berkata: "Bunuh si na'tsal. Sungguh, dia
telah kufur." 71
3 Ali Lebih Utama untuk Diikuti
Di antara sebab yang mendorongku untuk ikut mazhab Syi'ah dan
meninggalkan tradisi para leluhur adalah pertim-bangan akal dan naqal
antara Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar.
Seperti yang
kusebutkan pada halaman-halaman yang lalu bahwa aku sepenuhnya berpegang
pada ijma' yang disepakati oleh Ahlu Sunnah dan Syi'ah. Aku juga telah
menelaah berbagai kitab dari dua mazhab ini. Di sana tidak kutemui
sebuah ijma' atau kesepakatan pendapat yang sempurna melainkan berkenaan
dengan Ali bin Abi Thalib. Sunnah dan Syi'ah telah sepakat tentang
keimamahannya sebagaimana yang dicatatkan dalam nas-nas berbagai kitab
rujukan dua mazhab itu. Semen-tara tentang keimamahan (kepemimpinan) Abu
Bakar hanya dikatakan oleh sekelompok tertentu kaum muslimin saja. Di
atas telah kami sebutkan ucapan Umar tentang pembai'atan terhadap Abu
Bakar.
Demikian juga tentang keutamaan dan keistimewaan Ali bin
Abi Thalib yang diriwayatkan oleh Syi'ah di kitab-kitab mereka. Semua
bersandar pada sanad dan otentisitas yang tak dapat digugat hatta oleh
kitab-kitab Sunnah. Sebagaimana ia juga diriwayatkan melalui berbagai
jalur yang tak dapat diragukan. Banyak sahabat telah meriwayatkan hadis
berkenaan dengan keutamaan Ali ini, sehingga Ahmad bin Hanbal
mengatakan: "Tidak satupun dari sahabat Nabi yang memiliki keutamaan
sebagaimana Ali bin Abi Thalib." 72
Al-Qadhi Ismail dan
an-Nasai serta Abu Ali an-Naisaburi berkata: "Tidak satupun hadis-hadis
keutamaan sahabat yang diriwayatkan dengan isnad-isnad yang hasan
sebagaimana hadis tentang keutamaan Ali" 73
Meskipun Bani
Umaiyah telah memaksa setiap orang yang berada di Barat dan di Timur
untuk mencaci, mengutuk, serta tidak menyebutnyebut tentang keutamaan
Ali, bahkan mela-rang siapa pun untuk menggunakan namanya, bagaimanapun
keutamaan-keutamaannya tetap memancar dan menguak ke permukaan. Imam
Syafei berkata berkenaan dengan ini:
"Aku sungguh takjub akan
seseorang yang karena dengki, musuh-musuhnya telah menyembunyikan
keutamaannya; dan karena takut, para pecintanya tidak berani
menyebut-nyebut namanya. Namun tetap saja keutamaannya tersebar dan
memenuhi lembaran-lembaran buku. "
Berkenaan dengan Abu Bakar
juga telah kutelaah dengan kritis dan teliti dari berbagai kitab dua
mazhab ini. Namun kitab-kitab Sunnah yang menyebut tentang keutamaannya
juga tidak dapat menyaingi keutamaan-keutamaan Imam Ali bin Abi Thalib.
Itupun diriwayatkan oleh putrinya Aisyah yang kita kenal bagaimana
sikapnya terhadap Imam Ali, dimana beliau berusaha keras untuk
menonjolkan ayahnya walau dengan menciptakan hadis-hadis sekalipun; atau
diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, seorang yang terbilang jauh dengan
Imam Ali. Abdullah bin Umar pernah menolak memberikan bai'at pada Imam
Ali setelah semua kaum muslimin sepakat untuk mengangkatnya sebagai
Imam. Dia pernah berkata bah-wa orang yang paling utama setelah Nabi
adalah Abu Bakar kemudian Umar dan kemudian Utsman, lalu tiada seorang
punyang lebih utama dari yang lainnya, semua adalah sama."74 Yakni
Abdullah bin Umar ingin mengatakan bahwa Imam Ali adalah manusia awam
biasa yang tidak memiliki sebarang keutamaan. Aneh memang. Bagaimana
Abdullah bin Umar dapat menyembunyikan dirinya dari fakta-fakta yang
telah dinyatakan oleh para pemuka ummat bahwa tiada suatu hadispun
berkenaan dengan sahabat yang diriwayatkan secara isnad yang hasan
sebagaimana hadis tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib? Apakah Abdullah
bin Umar tidak pernah mendengar satu keutamaan pun tentang diri Ali bin
Abi Thalib? Demi Allah beliau pernah mendengarnya. Tetapi politik, ya
politik, yang telah memutar belitkan segala kebenaran dan menciptakan
berbagai keanehan.
Mereka yang meriwayatkan tentang keutamaan
Abu Bakar antara lain adalah 'Amr bin 'Ash, Abu Hurairah, Urwah dan
Akramah. Sejarah menyingkapkan bahwa mereka adalah lawan-lawan Ali dan
pernah memeranginya. Baik dengan senjata atau menciptakan berbagai
keutamaan untuk musuh-musuh dan lawan-lawannya. Imam Ahmad bin Hanbal
berkata: " Ali banyak mempunyai musuh. Mereka berupaya untuk mencari
sesuatu yang mungkin bisa mencelanya, namun mereka tidak menemukannya.
Kemudian mereka cari seseorang yang pernah memeranginya lalu
diciptakanlah keutamaan-keutamaannya."75 Tapi Allah berfirman: "
Sebenarnya mereka merencanakan tipu-daya yang jahat dengan
sebenar-benarnya. Dan Akupun membuat rencana (pula) dengan
sebenar-benarnya. Karena itu beri tangguhlah orang-orang kafir itu yaitu
beri tangguhhh mereka itu barang sebentar" (86:15,16 17)
Sungguh merupakan mukjizat Allah bahwa keutamaan-keutamaan Ali dapat
terungkap atau mencuat keluar setelah enam abad serangkaian pemerintahan
yang zalim menganiaya dirinya dan kaum kerabatnya. Dinasti Bani Abbas
tidak kurang dari Bani Umaiyah dalam membenci, mendengki dan memperdaya
kaum kerabat Nabi SAWW. sehingga Abu Faras al-Hamdani berkata :
Apa yang dilakukan oleh putra-putra Banu Harb terhadap
mereka
Walau sunguh dahsyat
Tapi tidaklah sedahsyat kezaliman yang kalian lakukan
Berapa banyak pelanggaran terhadap agama yang kalian
lakukan
Dan berapa banyak darah keluarga Rasulullah yang kalian
tumpahkan
Kalian mengaku sebagai pengikutnya
Sementara tangan kalian penuh berlumuran darah anak-anaknya yang suci
Setelah dalil-dalil itu semua dan setelah semua kekaburan menjadi
terang maka biarlah Allah yang menjadi Hujjah Yang Unggul, dan manusia
tidak lagi mempunyai alasan dihadapan-Nya.
Walaupun Abu Bakar
adalah khalifah pertama dan mempunyai kekuasaan seperti yang kita
ketahui; walaupun pemerintahan Umawiyah menyogokkan segala bonus dan
upah kepada setiap orang yang meriwayatkan keutamaan Abu Bakar, Umar dan
Utsman; walaupun riwayat-riwayat keutamaan Abu Bakar diciptakan begitu
banyak dan memenuhi lembaran-lembaran buku; walaupun itu semua dilakukan
namun ia tetap tak dapat menyamai hatta sepersepuluh dari keutamaan
Ali.
Bahkan jika Anda teliti "hadis-hadis" tentang keutamaan
Abu Bakar, Anda akan dapati bahwa ia tidak sejalan dengan apa yang
dicatat oleh sejarah tentang berbagai tindakannya. Bukan saja ia
bertentangan dengan apa yang dikatakan dalam "hadis" itu bahkan juga
bertentangan dengan akal dan syara'. Dan ini telah kami jelaskan ketika
membicarakan hadis yang bermaksud: "Seandainya iman Abu Bakar ditimbang
dengan imannya ummatku maka iman Abu Bakar akan lebih berat". Seandainya
Rasulullah SAWW tahu bahwa iman Abu Bakar sedemikian hebatnya maka
beliau tidak akan meletakkannya di bawah pimpinan komandan pasukan
seperti Usamah bin Zeid; dan beliau juga tidak akan enggan untuk
memberikan kesaksian padanya sebagaimana yang pernah beliau berikan
kepada para syuhada' di Uhud. Nabi pernah berkata kepadanya: "Sungguh
aku tidak tahu apa yang akan kau lakukan sepeninggalku kelak", sampai
Abu Bakar menangis.76 Nabi juga tidak akan mengutus Ali bin Abi Thalib
untuk mengambil surah Baraah yang telah diberikannya kepada Abu Bakar
dan melarangnya membaca-kannya.77 Beliau juga tidak akan berkata pada
hari pemberian panji dalam peperangan Khaibar: "Akan kuberikan panjiku
ini esok kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dan
dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Dia senantiasa akan maju dan tidak
pernah akan berundur sedikitpun. Sungguh Allah telah menguji hatinya
dengan iman. "Kemudian Nabi memberikannya pada Ali dan tidak
memberikannya kepada Abu Bakar."78
Seandainya Allah tahu bahwa iman
Abu Bakar sedemikian tingginya hingga melebihi iman seluruh ummat
Muhammad SAWW maka Allah tidak akan pernah mengancamnya untuk
menggugurkan amal-amalnya ketika beliau mengangkat suaranya lebih dari
suara Nabi.79 Seandainya Ali dan sahabat-sahabatnya tahu bahwa Abu Bakar
memiliki keimanan yang demikian tinggi maka mereka tidak punya alasan
untuk menolak memberikan bai'at kepadanya. Seandainya Fatimah Zahra',
penghulu seluruh wanita, mengetahui ketinggian derajat imannya Abu Bakar
maka dia tidak akan pernah marah kepadanya dan tidak akan enggan
berbicara dengannya atau menjawab salamnya dan berdo'a untuk
kecelakaannya pada akhir setiap sholatnya,80 atau tidak mengizinkannya
(seperti yang diwasiatkannya) hadir dalam pemakaman jenazahnya.
Seandainya Abu Bakar sendiri tahu tentang ketinggian imannya maka beliau
tidak akan mendobrak rumah Fatimah Zahro' walau mereka telah menutupnya
sebagai tanda protes. Abu Bakar juga tidak akan membakar al-Fujaah
al-Salami dan akan menyerahkan kepada Umar atau Abu Ubaidah perkara
khalifah pada hari Saqifah itu.81
Seorang yang mempunyai
derajat iman sedemikian tinggi dan lebih berat dari iman seluruh ummat
yang ada tentu tidak akan pernah menyesal di akhir-akhir hayatnya atas
sikapnya terhadap Fatimah, tindakannya yang membakar al-Fujaah al-Salami
serta kekhalifahan yang dipegangnya. Sebagaimana dia juga tidak akan
pernah berangan-angan untuk tidak menjadi manusia, dan ingin sekadar
menjadi sehelai rambut atau kotoran hewan. Apakah iman orang seperti ini
setaraf dengan iman seluruh ummat Islam bahkan lebih berat?
Jika kita teliti hadis yang bermaksud: "Seandainya aku harus mengambil
seorang sahabat (khalil) maka akan kuambil Abu Bakar sebagai khalilku",
hadis ini serupa dengan hadis sebelumnya. Di mana Abu Bakar pada hari
persaudaraan-terbatas (Muakhoh-sughro) di Mekah sebelum Hijrah; dan pada
hari persaudaraan-besar (Muakhoh-kubro) di Madinah setelah Hijrah.
Dalam dua peristiwa ini, Nabi hanya menjadikan Ali sebagai saudaranya,
sampai beliau berkata: "Engkau adalah saudaraku di Dunia dan di Akherat.
"82 Nabi tidak menoleh kepada Abu Bakar dan enggan mengikat tali
persaudaraan dengannya, baik untuk dunia ataupun akherat.
Saya
tidak bermaksud untuk menjelaskan permasalahan ini dengan lebih panjang.
Saya cukupkan dengan dua contoh di atas yang saya kutip dari sejumlah
referensi Ahlu Sunnah sendiri. Adapun mazhab Syi'ah memang mereka telah
menolak kesahehan hadis ini. Mereka mengatakan-dengan alasan yang sangat
kuat-bahwa ia diciptakan tidak lama setelah wafatnya Abu Bakar.
Jika kita tinggalkan sifat-sifat utama Ali dan meneliti kemungkinan
dosa yang pernah dilakukannya, maka kita tidak akan menemukan satu dosa
pun yang pernah dilakukan Ali bin Abi Thalib yang tercatat dalam buku
dua mazhab ini. Namun dalam masa yang sama kita akan temukan dari
orang-orang lain yang melakukan perbuatan-perbuatan dosa yang tidak
sedikit. Hal ini bisa kita temukan dalam berbagai buku Ahli Sunnah,
seperti buku-buku hadis, buku sirah dan dan sejarah.
Ini berarti
bahwa ijma' dua mazhab ini berimplikasi bahwa hanya Ali sajalah yang
tidak terbukti melakukan sebarang dosa, sebagaimana sejarah juga
menegaskan bahwa bai'at yang pernah diberikan secara benar hanya bai'at
yang diberikan kepada Ali semata-mata. Ali enggan menerima jabatan
khali-fah, namun dipaksa oleh Muhajirin dan Anshar. Beliau juga tidak
memaksa orang yang enggan memberikan bai'at padanya. Sementara bai'at
Abu Bakar dilakukan sangat tergesa-gesa dimana Allah telah pelihara kaum
muslimin dari keburukannya, seperti yang diistilahkan oleh Umar.
Kekuasaan Umar diperoleh berdasarkan penobatan yang diberikan oleh Abu
Bakar kepadanya, sementara pengangkatan Utsman sebagai khalifah terjadi
secara menggelikan. Lihatlah, Umar menominasi enam orang sebagai calon
khalifah dan mewajibkan mereka memilih satu di antaranya. Beliau
berkata, apabila empat orang sepakat dan dua orang yang lain menentang,
bunuh yang dua. Apabila enam orang ini berpecah tiga tiga dan membentuk
dua kelompok, maka pilihlah pendapat kelompok yang di dalamnya ada
Abdurrahman bin A'uf. Apabila waktu telah berakhir sementara mereka
belum sepakat menemukan sang "khalifah" maka bunuh saja mereka semua.
Ceritanya panjang dan aneh sekali.
Alhasil, Abdurrahman bin
A'uf mula-mula memilih Ali dengan syarat beliau memerintah berdasarkan
pada Kitab Allah, Sunnah Nabi dan Sunnah Syaikhain, yakni Sunnah Abu
Bakar dan Umar. Ali menolak syarat ini dan Utsman meneri-manya. Maka
jadilah Utsman sebagai khalifah. Ali keluar dari majlis itu, dan beliau
sejak awal sudah tahu hasil yang akan keluar. Hal ini pernah
diucapkannya dalam khutbahnya yang terkenal dengan nama Khutbah
as-Syiqsyiqiyah.
Setelah Ali, Muawiyah yang 'memegang' jabatan
khalifah. Di tangannya sistem khilafah telah diganti dengan sistem
monarki dan dinasti kekaisaran yang berpindah-tangan dari generasi ke
generasi Banu Umaiyah. Kemudian berpindah pula ke tangan Bani Abbasiah.
Khalifah berikutnya hanya dipilih dengan ketentuan sang khalifah atau
dengan kekuatan pedang atau penggulingan. Sistem bai'at yang paling
benar yang pernah terjadi dalam sejarah Islam, sejak zaman para khulafa'
hingga ke zaman Kamal Ataturk yang telah menghapus sistem kekhalifahan,
hanya bai'ah yang pernah diberikan kepada Amir al-Mukminin
Ali bin Abi Thalib saja. '
HADIS-HADIS SEPUTAR ALI MENYIRAT ARTI WAJIB IKUT
Di antara hadis-hadis yang mengikatku dan mendorongku untuk ikut Imam
Ali adalah hadis yang diriwayatkan dalam berbagai Kitab Saheh Ahlu
Sunnah sendiri. Dalam mazhab Syi'ah mereka juga memiliki hadis-hadis
serupa itu berlipat-ganda. Namun saya-seperti biasa-tidak akan berhujah
dan berpegang kecuali kepada hadis-hadis yang telah disepakati oleh
kedua mazhab. Di antara hadis-hadis tersebut adalah:
1. Hadis berikut:
"Aku kota ilmu dan Ali gerbangnya." 83
Hadis ini saja sebenarnya sudah cukup untuk menentukan siapa teladan
yang mesti diikuti setelah Nabi SAWW. Mengingat orang yang berilmu
adalah lebih utama untuk diikuti dibandingkan dengan orang yang jahil.
Allah berfirman: "Katakanlah apakah sama antara orang yang berilmu
dengan orang yang tidak berilmu." Dan firman-Nya: "Apakah seseorang yang
menunjukkanmu kepada kebenaran lebih utama untuk diikuti ataukah orang
yang tidak membimbingmu kecuali ia perlu dibimbing. Maka bagaimana
kalian membuat keputusan"? Jelas bahwa orang alimlah yang tahu
membimbing sementara orang jahil perlu mendapatkan bimbingan, bahkan ia
perlu bimbingan lebih dari orang lain.
Dalam hal ini sejarah
telah mencatatkan kepada kita bahwa Imam Ali adalah sahabat yang paling
alim tanpa sedikitpun bantahan. Dahulunya para sahabat merujuk Ali dalam
perkara-perkara yang pokok yang tidak dapat mereka selesaikan. Dan kita
tidak pernah menemukan yang Ali pernah merujuk mereka walau satu kali
sekalipun. Dengarlah apa yang dikatakan oleh Abu Bakar: "Semoga Allah
tidak menetapkanku di suatu tempat yang ada masalah kalau Abu Hasan
(Ali) tidak hadir di sana." Umar berkata: "Kalaulah Ali tiada maka
celakalah Umar." 84 Ibnu Abbas berkata: "Apalah ilmuku dan ilmu
sahabat-sahabat Muhammad dibandingkan dengan ilmu Ali. Perbandingannya
bagaikan setetes air dengan tujuh samudera."
Imam Ali sendiri
berkata: "Tanyalah aku sebelum kalian kehilanganku. Demi Allah, tiada
soalan yang kalian hadapkan padaku sampai hari kiamat kecuali aku
beritahu kalian apa jawabannya. Tanyakan kepadaku tentang Kitab Allah.
Demi Allah, tiada suatu ayatpun kecuali aku tahu dimana ia diturunkan;
di waktu malam atau siang, di tempat yang datar atau di pegunungan."85
Sedangkan Abu Bakar ketika ditanya makna Abban dari firman Allah: wa
fakihatan wa abban, beliau berkata: "Langit mana yang dapat
melindungiku, bumi mana yang dapat kujadikan tempat berpijak daripada
berkata sesuatu di dalam Kitab Allah apa yang tidak kuketahui."
Umar bin Khattab pernah berkata: "Semua orang lebih faqih dari Umar,
hatta wanita-wanita." Ketika beliau ditanya tentang suatu ayat dalam
Kitab Allah, beliau marah sekali pada orang yang bertanya itu, lalu
memukulnya dengan cambuk sampai melukainya. Katanya: "Jangan kalian
tanya tentang sesuatu yang jika nampak kepada kalian, maka kalian akan
terasa tidak enak."85 Sebenarnya beliau ditanya tentang makna Kalalah,
tapi tak tahu menjawabnya.
Di dalam tafsirnya, Thabari
meriwayatkan dari Umar yang berkata: "Seandainya aku tahu apa makna
kaldah maka itu lebih kusukai daripada memiliki seperti istana-istana
Syam."
Ibnu Majah dalam Sunannya meriwayatkan dari Umar bin
Khattab yang berkata: "Tiga hal yang apabila Rasulullah SAWW telah
menjelaskannya maka itu lebih kusukai daripada dunia dan seisinya:
al-Kalalah, ar-Riba dan al-Khilafah.
Subhanallah! Mustahil Rasulullah diam dan tidak menjelaskan perkara-perkara itu.
2. Hadis berikut:
"Hai Ali, kedudukanmu di sisiku bagaikan kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tiada Nabi setelahku.
Hadis ini seperti yang dipahami oleh orang-orang yang berakal sehat
menyirat makna keutamaan dan kekhasan amir al-Mukminin Ali di dalam
menyandang kedudukan wazir, washi dan khalifah, sebagaimana Harun yang
menjadi wazir, washi dan khalifahnya Musa ketika beliau berangkat
menemui Tuhannya. la juga menyirat arti bahwa kedudukan Imam Ali adalah
umpama kedudukan Harun as. Kedua mereka memiliki kemiripan, melainkan
kenabian saja seperti yang dikecualikan oleh hadis itu sendiri. la juga
berarti bahwa Imam Ali adalah sahabat yang paling utama dan paling mulia
setelah Nabi SAWW itu sendiri.
3. Hadis berikut:
"Siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya maka Alilah pemimpinnya.
Ya Allah, bantulah mereka yang mewila'nya, dan musuhilah mereka yang
memusuhinya. Jayakanlah mereka yang menjayakannya, dan hinakanlah mereka
yang menghinakannya, liputilah haq bersamanya dimanapun dia berada."
Hadis ini saja sudah cukup untuk menolak dugaan orang yang mengutamakan
Abu Bakar, Umar dan Utsman atas seseorang yang telah dilantik oleh
Rasulullah SAWW sebagai pemimpin kaum mukmin setelahnya. Mereka yang
mentakwilkan kalimat maula dalam hadis ini dengan arti sebagai pecinta
dan pembantu semata-mata karena ingin memalingkan arti yang sebenarnya
dengan alasan ingin memelihara kemuliaan para sahabat. Karena ketika
Nabi SAWW menyampaikan pesannya ini beliau berkhutbah dalam keadaan
matahari panas terik. Katanya: "Bukankah kalian menyaksikan bahwa aku
adalah lebih utama dari orang-orang mukminin atas diri mereka sendiri?"
Mereka menjawab: ya, wahai Rasulullah. Kemudian beliau melanjutkan:
"Siapa yang menjadikan aku sebagai maulanya (pemimpinnya) maka inilah
Ali maulanya..."
Nas ini sangat jelas dalam melantik Ali
sebagai khalifah untuk ummatnya. Orang yang berakal, adil dan insaf tak
dapat menolak pengertian maksud hadis ini lalu menerima takwilan yang
direka oleh sebagian orang demi menjaga kemuliaan sahabat dengan
mengorbankan kemuliaan Rasul SAWW. Karena dengan demikian ia telah
meremehkan dan mencela kebijaksanaan Rasul yang telah menghimpun ribuan
manusia dalam keadaan cuaca yang sangat terik dan panas hanya
semata-mata karena ingin mengatakan bahwa Ali adalah pecinta kaum
mukminin dan pembela mereka. Bagaimana mereka akan menafsirkan ucapan
selamat yang diberikan oleh barisan orang-orang mukminin kepada Ali
setelah pelantikan itu, yang sengaja diciptakan oleh Nabi SAWW?
Pertama-tama yang mengucapkannya adalah para istri Nabi, kemudain Abu
Bakar dan menyusul Umar yang berkata: "Selamat, selamat untukmu wahai
putra Abu Thalib. Kini kau adalah pemimpin orang-orang mukminin,
laki-laki atau perempuan."
Fakta sejarah juga telah menyaksikan
bahwa mereka yang mentakwil adalah orang-orang yang berdusta. Celakalah
apa yang mereka tulis dengan tangan mereka. Firman Allah: "Dan
sesungguhnya sebagian diantara mereka menyembunyikan kebenaran padahal
mereka mengetahui" (al-Baqarah: 146)
4. Hadis berikut:
"Ali dariku dan aku dari Ali. Tiada siapa yang mewakili tugasku kecuali aku sendiri atau Ali "S7
Hadis ini juga dengan jelas menyatakan bahwa Imam Ali adalah
satu-satunya orang yang diberikan kepercayaan oleh Nabi untuk mewakili
tugasnya. Nabi nyatakan ini ketika beliau mengutusnya untuk mengambil
dan membacakan surah al-Baraah yang pada mulanya diserahkan pada Abu
Bakar. Abu Bakar kembali dan menangis. Katanya, "Duhai Rasulullah,
apakah ada ayat turun berkenaan denganku?" Rasulullah menjawab: "Allah
hanya menyuruhku atau Ali saja yang melaksanakan tugas ini."
Hadis ini juga mendukung sabda Nabi yang lain kepada Ali: "Engkau hai
Ali, menjelaskan kepada ummatku apa yang mereka perselisihkan setelah
ketiadaanku."88
Jika tiada orang yang diberikan kepercayaan
oleh Rasulullah kecuali Ali, dan Alilah yang paling layak untuk
menjelaskan kepada ummat ini segala permasalahan yang dihadapi, maka
kenapa orang yang tidak tahu akan makna kalimat abbaa dan kalimat
kalalah mengambil alih haknya? Sungguh ini adalah musibah besar yang
menimpa ummat ini, dan yang menghalanginya dari menjalankan tugas
penting yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Telah cukup hujjah dan
alasan dari Allah, dari RasulNya dan dari Amir al-Mukminin. Mereka yang
ingkar dan tidak patuh kelak harus mengajukan alasan di hadapan Allah
SWT. Allah berfirman:
"Apabila dikatakan kepada mereka: marilah
mengikuti apa yang ditunmkan oleh Allah dan mengikuti Rasul. Mereka
menjawab: cukuplah untukkami apa yang kami dapati bapak-bapak kami
mengerjakannya. Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang
mereka walau pun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan
tidakpula menda-pat petunjuk." (al-Maidah:104)
5. Hadis berikut:
Bersabda Nabi SAWW sambil menunjuk kepada Ali:
"Sesungguhnya ini adalah saudaraku, washiku dan khalifahku setelahku. Maka dengarlah dan taatilah dia."89
Hadis ini juga terbilang di antara hadis-hadis shahih yang dinukil oleh
para ahli sejarah ketika bercerita tentang peristiwa pertama yang
terjadi pada masa periode awal dari era kebangkitan Nabi SAWW. Mereka
menganggap hadis ini sebagai bagian dari mukjizat Nabi SAWW. Namun
politik telah merobah dan memalsukan kebenaran-kebenaran dan
fakta-faktanya. Tidak aneh memang. Karena apa yang pernah terjadi di
zaman kegelapan tersebut kini berulang lagi di zaman sekarang. Lihatlah
Muhammad Husain Haikal. Beliau telah mencatat hadis ini secara sempurna
dalam kitabnya "Riwayat Hidup Muhammad halaman 104, cetakan pertama
tahun 1354 H. Tetapi dalam cetakan kedua dan seterusnya sebagian dari
isi hadis nabawi ini, yakni kalimat "washiku dan khalifahku setelahku"
dihapus dan digunting. Mereka juga telah menghapus dari kitab Tafsir
Thabari jilid 19 halaman 121 bagian dari sabda Nabi berikut "Washiku dan
khalifahku", dan menggantinya dengan kalimat "Inilah saudaraku dan
beginidan begitu..."!! Mereka lalai bahwa Thabari telah menyebutnya
secara sempurna dalam kitab sejarahnya jilid ke 2 pada halaman 319.
Lihatlah betapa mereka telah robah kalimat dari tempatnya yang asal dan
memutar-balikkan fakta-fakta. Mereka ingin memadamkan cahaya Allah
dengan mulut mereka, dan Allah tetap akan menyalakan cahaya-Nya...
Ketika aku masih menelaah dan mengkaji, aku ingin menyaksikan dengan
mataku sendiri segala apa yang telah terjadi. Aku cari buku Riwayat
Hidup Muhammad cetakan pertama. Akhirnya kujumpai juga setelah
mengarungi berbagai liku-liku yang sulit dan melelahkan. Alhamdulillah
atas semua ini. Yang penting aku telah saksikan sendiri perobahan itu.
Aku tambah yakin bahwa tangan-tangan jahat berupaya dengan segala usaha
untuk menghapuskan kebenaran-kebenaran yang memang telah terbukti ada.
Karena mereka menganggap bahwa ini adalah dalil kuatyang akan digunakan
oleh "musuhnya"!
Tetapi bagi seorang peneliti yang adil akan merasa
bertambah yakin ketika menyaksikan perobahan seumpama ini. Tanpa
ragu-ragu dia akanberkata bahwa pihak kedua yang enggan menerima
dalil-dalil tersebut sebenarnya tidak memiliki alasan yang kuat. Mereka
hanya melakukan makar dan tipu muslihat serta memutar balik fakta walau
dengan membayar mahal sekalipun. Mereka telah mengupah penulis-penulis
tertentu dan mengulurkan kepada mereka berbagai kekayaan, gelar dan
ijazah-ijazah perguruan tinggi yang palsu, agar dapat menuliskan segala
sesuatu yang mereka inginkan baik buku atau makalah-makalah tertentu.
Yang penting tulisan itu mencaci Syi'ah dan mengkafirkan mereka, serta
membela dengan segala upaya (walau itu batil) "kemuliaan" sebagian
sahabat yang telah belok dari kebenaran dan yang telah merobah hak
menjadi batil sepeninggal Rasul SAWW. Firman Allah: "Demikian pula
orang-orang yang sebelum mereka telah mengatakan seperti ucapan mereka
itu; hati mereka serupa. Sesungguhnya Kami telah jelaskan tanda-tanda
kekuasaan Kami kepada kaum yang yakin." (al-Baqarah: 118) Maha Benar
Allah Yang Maha Agung.
HADIS-HADIS SHAHIH YANG MEWAJIBKAN IKUT AHLUL BAIT
1. HADIS TSAQALAIN
Bersabda Rasulullah SAWW: "Wahai manusia, telah kutinggalkan kepada
kalian sesuatu yang jika kalian berpegang padanya, maka kalian tidak
akan tersesaf selama-lamanya: Kitab Allah dan itrah ahlu baitku."
Sabdanya lagi: "Utusan Tuhanku tidak lama lagi akan datang, dan aku
segera menyahutinya. Sungguh, kutinggalkan kepada kalian dua peninggalan
yang berat (Tsaqalain): pertama Kitab Allah. Di dalamnya ada petunjuk
dan cahaya. Kedua: ahlu baitku. Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang
ahlu baitku ini, aku ingatkan kalian kepada Allah tentang ahlu baitku
ini."90
Jika kita renungkan makna hadis mulia yang
diriwayatkan oleh buku-buku hadis shohih Ahlu Sunnah wal Jamaah ini,
maka kita dapati bahwa hanya Syi'ah saja yang mengikuti Tsaqalain ini:
Kitab Allah dan keluarga Nabi yang suci. Semen-tara Ahlu Sunnah ikut
kata-kata Umar: "Cukup bagi kita Kitab Allah saja".
Oh, alangkah
bahagianya jika mereka benar-benar ikut Kitab Allah, tanpa
menakwilkannya mengikut hawa nafsu mereka. Jika Umar sendiri tidak paham
apa makna Kalalah, tidak tahu ayat tayammum dan berbagai hukum-hukum
yang lain, maka bagaimana mereka yang datang kemudian lalu mentaklidnya
tanpa berijtihad, atau berijtihad dengan pandangannya semata-mata di
dalam nas-nas Qurani.
Mereka tentu akan menjawabku dengan suatu
hadis yang diriwayatkan di sisi mereka: "Kutinggalkan kepada kalian
Kitab Allah dan Sunnahku" 91
Hadis ini kalaulah shahih dari segi
sanadnya, maka ia menyirat makna hadis Tsaqalain di atas di mana kaum
muslimin diperintahkan untuk merujuk kepada Ahlu Bait yang mengajarkan
sunnah, atau meriwayatkan hadis-hadis yang shahih, mengingat mereka
adalah orang-orang suci dari segala sifat dusta dan Allah telah
mensucikan mereka dengan ayat Tathir-Nya. Tambahan lagi agar mereka
menafsirkan kepada kalian makna-makna ayat dan maksud-maksudnya,
mengingat kitab Allah semata-mata tidak cukup sebagai bimbingan. Betapa
banyak golongan yang sesat berdalil dengan kitab Allah. Sebagaimana juga
sabda Nabi SAWW:" Berapa banyak pembaca AlQuran sementara AlQuran
sendiri melaknatnya." Kitab Allah bersifat diam dan membawa berbagai
kemungkinan tafsiran.
Di dalamnya ada yang mutasyabih dan ada
juga yang muhkamat. Untuk memahaminya mesti merujuk kepada orang-orang
yang rusukh-ikut istilah AlQuran-atau yang sangat dalam ilmunya, dan
ikut bimbingan Ahlu Bait Nabi seperti yang ada di dalam hadis-hadis Nabi
SAWW.
Syi'ah merujukkan segala sesuatunya kepada para imam
yang maksum dari kalangan keluarga Nabi SAWW. Dan mereka tidak
berijtihad melainkan jika memang tidak ada nas berkenaan dengannya.
Sementara kita merujukkan segala sesua-tunya kepada sahabat, baik dalam
tafsir AlQuran atau Sunnah Nabawi. Kita telah tahu sikap-sikap sahabat,
apa yang mereka kerjakan dan ijtihadkan dengan menggunakan pandangan
mereka semata-mata yang bertentangan dengan nas-nas yang jelas.
Jumlahnya ratusan. Dan kita tidak bisa berpegang kepada seumpama itu
setelah kita ketahui apa yang mereka lakukan.
Jika kita
tanyakan para ulama kita sunnah apa yang mereka ikuti mereka akan
menjawab: Sunnah Rasulullah SAWW. Sementara fakta sejarah mengingkari
kenyataan itu. Mereka meriwayatkanbahwa Rasulullah SAWWbersabda:
"Berpeganglah kalian kepada sunnahku dan sunnah para khukfa' Rasyidin
setelahku. Peganglnh ia sedemikian kuat bagaikan kalian menggigitnya
dengan gigi-gigi geraham kalian." Dengan demikian, sunnah yang diikuti
kebanyakannya adalah sunnah para khulafa' Rasyidin, hatta sunnah Rasul
yang mereka katakan itu adalah riwayat dari jalur mereka.
Kita
juga menyaksikan di dalam sejumlah kitab hadis shahih bahwa Rasul pernah
melarang mereka menuliskan sunnahnya agar kelak tidak bercampur dengan
ayat-ayat AlQiiran. Demikianlah apa yang dilakukan oleh Abu Bakar dan
Umar ketika mereka memerintah. Dengan demikian kata-kata "Kutinggalkan
kepada kalian Sunnahku..."92 tidak mempunyai landasan yang kuat lagi.
Contoh-contoh yang saya sebutkan ini-dan yang tidak disebutkan
jumlahnya jauh berlipatganda-sudah cukup untuk menolak keabsahan hadis
ini. Hal ini karena sebagian dari sunnahnya Abu Bakar, Umar dan Utsman
bertentangan dengan sunnahnya Nabi bahkan membatalkannya sama sekali
seperti yang nampak jelas.
Contoh pertama yang bisa kita lihat
adalah insident yang terjadi segera setelah wafatnya Nabi SAWW di mana
Abbubakar memerangi orang-orang yang disebutnya sebagai "penahan" harta
zakat.
Mengingat aku tidak mau berdalil dengan apa yang
dikatakan oleh Syi'ah, maka aku serahkan saja kepada para pembaca yang
ingin mencari kebenaran untuk menelitinya sendiri.
Sebagai
perbandingan, saya catatkan di sini suatu cerita berkenaan dengan
Rasulullah dan Tsa'labah. Suatu hari Tsa'labah memohon kepada Rasulullah
agar mendoakannya biar dia menjadi kaya raya. Dia mendesak Rasulullah
dan berjanji kepada Allah akan bersedekah apabila dia kaya kelak.
Rasulullah mendoakannya dan Allahpun mengayakannya. Karena banyaknya
onta dan kambing ternaknya, kota Madinah yang luas akhirnya terasa
sempitbaginya. Dia pindah dari kota Madinah dan tidak lagi sempat
menghadiri shalat Juma't. Ketika Nabi mengutus para a'milin (pengumpul
zakat) untuk mengambil zakat dari
Tsa'labah, dia menolak untuk
memberinya. Katanya, ini adalah upeti (jizyah) atau sejenisnya. Tetapi
Nabi tidak memeranginya dan tidak juga memerintah-kan orang untuk
memeranginya. Berkenaan dengan ini Allah turunkan ayat berikut: "Dan di
antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah:
"Sesungguhnyajika Allah memberikan sebagian dari kanmia-Nya kepada kami,
pastilah kami akan bersede-kah dan pastilah kami termasuk orang-orang
yang
saleh. Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian
dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu dan berpaling. Dan
mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran)." (S.
at-Taubah: 75-76)
Setelah ayat ini turun, Tsa'labah kemudian
datang sambil menangis. Dia minta kepada Nabi untuk menerima zakatnya
kembali. Tetapi Nabi enggan menerimanya, seperti yang dikatakan oleh
riwayat.
Jika Abu Bakar dan Umar benar-benar mengikuti Sunnah
Rasul, kenapa ia menyalahinya dalam tindakan ini dan menghalalkan darah
kaum muslimin yang tak berdosa semata-mata karena alasan enggan
memberikan zakat. Dari cerita Tsa'labah di atas yartg menginkari
kewajiban zakat dan bahkan menganggapnya sebagai upeti, tidak ada lagi
alasan untuk kita mempertahankan dan menjustifikasi kesalahan yang
dilakukan oleh Abu Bakar atau mentakwilkannya. Nampaknya Abu Bakar dapat
meyakinkan sahabatnya Umar untuk memerangi orang-orang ini, semata-mata
karena khawatir sikap Malik bin Nuwairah dan kaumnya ini akan diketahui
oleh negeri-negeri Islam yang lain, yang kemudian dapat menghidupkan
kembali nas-nas al-Ghadir yang memilih Ali sebagai khalifah. Itulah
kenapa Umar sangat gembira sekali untuk memerangi mereka, karena beliau
sendirilah yang pernah mengancam untuk membunuh atau membakar
orang-orang yang enggan memberikan bai'at di rumah Fatimah.
Peristiwa lain yang terjadi pada periode pertama kekuasaan Abu Bakar
adalah perselisihannya dengan Umar bin Khattab, ketika beliau
menakwilkan nas-nas AlQuran dan hadis-hadis Nabawi. Ringkas ceritanya,
Khalid bin Walid membunuh Malik bin Nuwairah dan meniduri istrinya di
malam itu juga. Umar berkata kepada Khalid: "Wahai musuh Allah, engkau
telah bunuh seorang muslim dan meniduri istrinya. Demi Allah, aku akan
rajam engkau dengan batu."94 Tetapi Abu Bakar membela Khalid dan
berkata: "Biarkanlah wahai Umar. Khalid telah mentakwil kemudian
tersalah. Tutup mulutmu dari Khalid.
Ini adalah musibah dan aib
lain yang telah dilakukan oleh seorang sahabat besar yang sempat
direkam oleh sejarah, sedemikian besar namanya sehingga kita menyebut
namanya dengan penuh hormat dan takzim, seperti Saifullah al-Maslul,
"Pedang Allah Yang Terhunus"!!!
Apa yang harus kukatakan
tentang sahabat yang melakukan tindakan keji seperti ini: membunuh Malik
bin Nuwairah, seorang sahabat agung, pemimpin Bani Tamim dan Bani
Yarbu'; seorang yang dijadikan contoh dalam kemurahan dan keberanian.
Para ahli sejarah telah mencatat bahwa Khalid membunuh Malik dan
sahabat-sahabatnya setelah mereka meletakkan senjata dan
shalatberjamaahbersamanya. Sebelum dibunuh mereka diikat dengan tali.
Bersama mereka hadir juga Laila binti Minhal, istri Malik, seorang
wanita yang sangat terkenal cantik. Khalid sangat terpikat dengan
kecantikannya ini. Malik berkata kepada Khalid: wahai Khalid, bawa kami
kepada Abu Bakar, biar dia yang memutuskan perkara kita ini. Abdullah
bin Umar dan Abu Qatadah al-Anshori mendesak Khalid agar membawa mereka
berjumpa dengan Abu Bakar. Tetapi ditolak. Katanya: Allah tidak akan
mengampuniku jika aku tidak membunuhnya. Kemudian Malik melihat istrinya
Laila dan berkata kepada Khalid: karena dia kemudian engkau membunuhku.
Lalu Khalid menyuruh untuk memancung leher Malik, kemudian menawan
istrinya Laila. Dan pada malam yang sama, Khalid pun menidurinya.95
Biarlah didalam melihat peristiwa yang terkenal ini kita nukilkan
pengakuan Ustadz Haikal dalam kitabnya As-Shiddiq Abu Bakar. Di dalam
bab Pendapat Umar Dan Hujjahnya Dalam Suatu Perkara, Haikal menulis:
"Adapun Umar, beliau adalah model dalam keadilan dan ketegasan. Beliau
melihat bahwa Khalid telah melakukan kezaliman terhadap seorang muslim
dan menikahi istrinya sebelum usai masa iddahnya. Dengan demikian ia
tidak layak duduk sebagai pemimpin tertinggi sebuah pasukan, agar kasus
yang sama tidak berulang dan bisa merusak kehidupan kaum muslimin serta
merusak kedudukan mereka di mata orang-orang Arab." Katanya lagi:
"Khalid tidak boleh dibiarkan tanpa pengajaran atas apa yang
dilakukannya terhadap Laila. Katakanlah Khalid mentakwil pada kasus
Malik ini dan salah (alasan yang tidak dapat diterima oleh Umar) namun
biarlah hukum hudud itu berjalan atas apa yang dilakukannya terhadap
istrinya, Laila. Sebagai "Pedang Allah" dan sebagai pemimpin pasukan
yang menentukan kemenangan, sangat tidak layak melakukan apa yang telah
dia lakukan itu. Kalau tidak maka orang-orang seperti Khalid nantinya
akan menyalahgunakan semua peraturan. Dan ini akan menjadi sebuah contoh
yang sangat buruk bagi kaum muslimin di dalam menghormati Kitab Allah.
Itulah kenapa Umar terus mendesak Abu Bakar sehingga Khalid dipangggil
dan dimarahi."96
Bolehkah kita bertanya kepada Ustaz Haikal dan
para ulama seumpamanya yang berusaha menjaga "kemuliaan" sahabat,
kenapa Abu Bakar tidak melaksanakan hukum hudud terhadap Khalid?
Seandainya Umar-seperti yang dikatakan oleh Haikal-adalah model keadilan
dan ketegasan, kenapa beliau puas dengan sekadar menyingkirkan Khalid
dari kepemimpinan pasukan dan tidak melaksanakan hukum hudud
terhadapnya, agar ia tidak menjadi contoh yang buruk yang akan
dilemparkan kepada kaum muslimin di dalam menghormati Kitab Allah,
seperti yang disebutkannya? Apakah mereka telah menghormati Kitab Allah
dan melaksanakan hudud-hudud-Nya? Tidak sama sekali. Inilah korban
politik dan korban permainan yang licik. la telah menciptakan berbagai
keanehan dan memutar-belitkan berbagai kebenaran. Sebagaimana ia juga
telah membuang nas-nas AlQuran sejauh-jauhnya.
Bolehkah kita
bertanya kepada sebagian ulama kita yang menulis sejumlah kitab tentang
bagaimana Rasulullah SAWW sangat marah pada Usamah yang datang mau
menjamin seorang wanita ningrat yang telah mencuri. Nabi SAWW berkata:
"Celaka engkau (wahai Usamah), apakah engkau akan memberi jaminan dalam
huknm hudud Allah. Demi Allah, seandainya Fatimah mencuri akan kupotong
tangannya. Orang-orang dahulu celaka lantaran mereka diam apabila kaum
ningratnya yang mencuri; apabila golongan lemah yang mencuri maka mereka
terapkan padanya hukum hudud."
Bagaimana mereka bisa diam pada
seseorang yang telah membunuh kaum muslimin yang tak berdosa, kemudian
menikahi istrinya pada malam yang sama sementara dia masih menderita
karena kematian sang suami. Belum puas sampai di sana. Mereka lalu
berusaha mencari alasan untuk membenarkan tindakan Khalid dengan
menciptakan berbagai kebohongan dan keutamaan-keutamaannya, sehingga
menobatkan padanya gelar Pedang Allah Yang Terhunus.
Seorang
teman yang terkenal dengan gelagatnya yang lucu berseloroh suatu hari di
majlisku yang waktu itu tengah membahas keutamaan-keutamaan Khalid bin
Walid. Kukatakan bahwa Khalid bin Walid adalah Pedang Allah Yang
Terhunus. Sahabat itu menjawab: Saifus Syaithan al-Masylul, Dia adalah
Pedang Syaitan Yang Berlumuran (darah). Aku agak tersentak ketika itu.
Namun setelah mengkaji, akhirnya Allah bukakan pandanganku dan
dikenalkannya aku pada mereka yang pernah memegang kekuasaan dan yang
merobah hukum-hukum Allah, meliburkannya serta melampaui batas-batasnya.
Khalid bin Walid juga menyimpan cerita yang terkenal di zaman Nabi
SAWW. Suatu hari Nabi mengutusnya pergi ke Bani Juzaimah agar menyeru
mereka kepada agama Islam dan tidak memeranginya. Kabilah ini tidak
fasih dalam menyebutkan kalimat Aslamna (kami telah masuk Islam). Mereka
menyebutnya Saba'na, Saba'na. Lalu Khalid membunuh dan menawan mereka.
Sebagian tawanan diserahkannya kepada sahabat sepasukannya dan menyuruh
mereka membunuhnya. Tetapi sahabat-sahabat tersebut enggan melakukan
perintah Khalid karena tahu bahwa mereka telah menganut agama Islam.
Ketika kembali dan diceritakan peristiwa itu kepada Nabi, beliau
mengangkat tangannya kepada Allah seraya berdo'a: "ya Allah, aku mohon
perlindungan-Mu dari apa yang telah dilakukan oleh Klialid bin Walid"
(dibacanya dua kali)97 Kemudian Nabi mengutus Ali bin Abi Thalib pergi
ke kabilah Banu Juzaimah tersebut sambil membawa harta untuk membayar
ganti-rugi (diyat) nyawa dan harta yang telah terkorban hatta bejana
jilatan anjing sekalipun. Rasulullah berdiri menghadap kiblat sambil
mengangkat kedua tangannya ke langit sehingga nampak bagian ketiaknya.
Nabi berdo'a: "ya Allah, kumohon perlindungan-Mu dari apa yang telah
dilakukan oleh Khalid bin Walid." Dibacanya hingga tiga kali.98
Bolehkah kita bertanya, mana letak keadilan sahabat yang diasumsikan
itu? Seandainya Khalid bin Walid, seorang yang kita anggap sebagai tokoh
yang agung hingga diberi gelar dengan sebutan Pedang Allah, apakah
Allah akan mengizinkannya menghunuskan pedang untuk menguasai kaum
muslimin, orang-orang yang tak berdosa dan kaum wanita, dan dia bebas
melakukan apa saja? Sungguh suatu hal yang sangat pelik dan
kontradiktif. Allah melarang membunuh satu nyawa dan mencegah perlakuan
munkar, keji dan kezaliman, tetapi Khalid telah menghunuskan pedang
kezalimannya, memperkosa kehormatan kaum muslimin, menghalalkan darah
dan harta mereka serta menawan wanita dan anak-anak mereka. Sungguh
suatu kata-kata yang pelik dan gelar yang aneh apabila kita nisbahkan
pedang Khalid kepada Allah SWT. Maha Suci Engkau hai Tuhan kami. Kau
lebih Mulia dan lebih Tinggi dari itu semua, Maha Suci Engkau, tiada Kau
ciptakan langit-langit dan bumi dan apa yang ada di antaranya dengan
sia-sia. Demikianlah dugaan orang-orang kafir. Dan neraka Waillah tempat
mereka kembali.
Bagaimana Abu Bakar, khalifah muslimin bisa
berdiam diri setelah mendengar tindakan-tindakan kriminal seperti itu.
Bahkan bisa menyuruh Umar bin Khattab menutup mulutnya tentang perkara
Khalid, dan marah kepada Abi Qatadah karena sikapnya yang mencemooh
kelakuan Khalid. Apakah beliau benar-benar yakin bahwa Khalid melakukan
takwil dan tersalah? Dalil apa kelak yang akan bisa dia katakan kepada
orang-orang fasik dan haus darah, atau kepada mereka yang melanggar
hukum apabila mereka juga mengatakan bahwa mereka tersalah takwil?
Secara pribadi saya tidak percaya bahwa Abu Bakar melakukan takwil
terhadap kasus Khalid ini, yang dikatakan oleh Umar bin Khattab sebagai
musuh Allah. Umar berpendapat bahwa Khalid mesti dihukumbunuh karena dia
telah membunuh seorang muslim, atau merajamnya dengan batu karena telah
berzina dengan Laila, istrinya Malik. Namun tidak satupun tuntutan Umar
tersebut terlaksana. Bahkan Khalid keluar sebagai pemenang atas dakwaan
Umar tersebut mengingat Abu Bakar berdiri membelanya, padahal beliau
sangat mengetahui Khalid lebih dari orang lain.
Para ahli
sejarah telah mencatat bahwa Abu Bakar mengutus Khalid-setelah tragedi
yang memalukan itu-ke al-Yamamah di mana dia kembali dengan kemenangan.
Di sana Khalid juga telah meniduri seorang perempuan sama seperti yang
dia lakukan terhadap Laila sebelumnya, sedangkan darah kaum muslimin dan
darah pengikut-pengikut Musailamah belum sempat kering. Abu Bakar marah
sekali kepada Khalid lebih dari saat dia melakukan hal serupa terhadap
Laila.
Tidak diragukan lagi bahwa wanita kedua ini juga
mempunyai suami. Kemudian dibunuh oleh Khalid dan istrinya
diperlakukannya seperti Laila istri Malik. Kalau tidak maka Abu Bakar
tidak akan memarahinya lebih keras dari waktu dia melakukannya terhadap
Laila. Para ahli sejarah mencatat teks surat yang diutus Abu Bakar
kepada Khalid waktu itu: "Demi nyawaku wahai putra ibunya Khalid.
Sungguh engkau tidak melakukan apa-apa melainkan menikahi perempuan
saja, sedangkan di halaman rumahmu darah seribu dua ratus kaum muslimin
masih belum kering."100 Ketika Khalid membaca isi surat tersebut dia
berkata: "Ini pasti ulah si A'asar"; yakni Umar bin Khattab.
Inilah di antara sebab kuat kenapa saya tidak sebegitu memberikan sikap
hormat pada sahabat-sahabat seumpama itu, pengikut-pengikut mereka yang
rela atas perbuatan mereka dan yang membela mereka dengan begitu gigih
hingga berani mentakwilkan nas-nas yang jelas dan menciptakan berbagai
riwayat yang khurafat. Semua ini untuk membenar-kan tindakan-tindakan
Abu Bakar, Umar, Utsman, Khalid bin Walid, Muawiyah, A'mer bin A'sh dan
saudara-saudaranya yang lain.
Ya Allah, kumohon ampunan-Mu dan
aku bertaubat pada-Mu. Ya Allah, aku mohon lindungan-Mu dari segala
perbuatan dan ucapan mereka yang menyalahi hukum-hukum-Mu, menghalalkan
hukum-hukum haram-Mu dan melampaui batas-batas-Mu. Ya Allah, aku mohon
lindungan-Mu dari pengikut-pengikut mereka, Syi'ah-Syi'ah mereka dan
orang-orang yang membantu mereka dengan penuh pengetahuan dan kesadaran.
Ampunilah daku karena dahulunya me-wila' mereka lantaran kejahilanku.
Padahal Rasul-Mu telah bersabda: "Orang jahil tidak akan dimaafkan
karena kejahilannya".
Ya Allah, para leluhur itu telah
menyesatkan kami dan telah mengulurkan tirai yang menutupi kebenaran
pada kami. Mereka telah gambarkan kepada kami para sahabat yang
berpaling dari kebenaran sebagai makhluk yang paling mulia setelah
Nabi-Mu. Dan para leluhur kami juga adalah korban penipuan Bani Umaiyah
dan Bani Abbasiah.
Ya Allah, ampunkanlah mereka dan ampunkanlah
kami. Sungguh Kau Maha Mengetahui segala yang tersembunyi dan apa yang
tersirat di balik dada. Cinta para leluhur dan penghormatan mereka
kepada sahabat-sahabat seumpama itu tidak lain kecuali bertolak dari
sangka-baik bahwa mereka adalah pembela-pembela serta pecinta-pecinta
Rasul-Mu Muhammad SAWW. Dan Kau Maha Tahu duhai Tuhanku akan rasa cinta
mereka dan kami pada itrah keluarga Nabi yang suci, para imam yang telah
Kau bersihkan mereka dari segala nista dan mensucikan mereka
sesuci-sucinya. Terutama Pemuka kaum muslimin, Amir Mukminin, Pemimpin
Ghur al-Muhajjalin dan Imam Para Muttaqin, Sayyidina Ali bin Abi Thalib.
Jadikanlah aku ya Allah di antara Syi'ah-Syi'ahnya dan di antara
orang-orang yang berpegang-teguh pada tali wila' mereka dan yang
berjalan di atas jalan mereka. Jadikanlah aku ya Allah di antara
orang-orang yang bernaung di bawah naung-an mereka, dan di antara
orang-orang yang masuk dari pintu-pintu mereka, senantiasa mencintai
mereka, mengamalkan ucapan dan teladan mereka serta bersyukur atas
kemurahan dan anugerah mereka. Ya Allah, bangkitkanlah aku di dalam
golongan mereka, karena Nabi-Mu SAWW telah bersabda: "Seseorang akan
dibangkitkan bersama orang yang dicintainya."
2. HADIS BAHTERA
Bersabda Nabi SAWW: "Sesungguhnya perumpamaan Ahlu Baitku di sisi
kalian bagaikan bahtera Nabi Nuh di sisi kaumnya. Siapa yang ikut
selamat dan yang tertinggal akan tenggelam." 101
"Dan
sesungguhnya perumpamaan Ahlu Baitku di sisi kalian bagaikan Pintu
Pengampunan bagi Bani Israel. Siapa yang memasukinya maka dia akan
diampuni." 102
Ibnu Hajar telah meriwayatkan hadis ini dalam
kitabnya al-Showaiq al-Muhriqoh. Katanya: "Dasar keserupaan mereka
dengan bahtera (Nabi Nuh) menunjukkan bahwa siapa saja yang mencintai
mereka dan mengagung-agungkan mereka sebagai tanda terima kasih atas
nikmat kemuliaan mereka, serta ikut bimbingan ulama-ulama mereka, akan
selamat dari kegelapan perselisihan. Sementara mereka yang tidak ikut
akan tenggelam di dalam lautan kekufuran nikmat dan akan celaka dibawa
arus kezaliman. Adapun alasan keserupaan mereka dengan pintu pengampunan
adalah Allah SWT telah tentukan bahwa masuk pintu itu - pintu Ariha
atau pintu Bait al-Muqaddis - dengan sikap rendah hati dan mohon ampunan
sebagai sebab pengampunan-Nya (pada Bani Israel). Dan Al-lah juga telah
menentukan bagi ummat ini bahwa cinta pada Ahlu Bait Nabi adalah sebab
terampuninya mereka."
Saya ingtn bertanya pada Ibnu Hajar,
apakah beliau di antara orang-orang yang ikut Bahtera itu dan masuk
Pintu Ampunan serta ikut bimbingan para ulama mereka? Atau beliau
termasuk dalam kategori orang-orang yang mengatakan sesuatu tapi tidak
mengamalkannya bahkan menginkari apa yang dipercayainya. Tidak sedikit
orang yang keliru ketika kutanyakan pada mereka tentang Ahlu Bait.
Mereka sering berkata: "Kamilah orang yang lebih utama terhadap Ahlul
Bait dan Imam Ali ketimbang yang lain. Kami menghormati mereka dan
menjunjung tinggi kedudukan mereka. Tiada siapa pun yang menginkari
keutamaan-keutamaan mereka."
Ya, mereka telah katakan sesuatu
yang tidak sama dengan isi hatinya; atau menghormati dan menjunjung
tinggi Ahlul Bait namun secara praktis tetap ikut dan taklid pada
musuh-musuh mereka atau pada orang-orang yang memusuhi dan menentang
mereka. Seringkali mereka tidak kenal siapa itu Ahlul Bait. Dan jika
kutanyakan, mereka menjawab secara sepontan, Ahlul Bait adalah
istri-istri Nabi yang telah Allah bersihkan mereka dari nestapa dan
disucikan-Nya sesuci-sucinya. Sebagian yang lain berkata: "Semua Ahlu
Sunnah Wal Jamaah adalah pengikut Ahlul Bait." Aku terasa sangat heran.
Bagaimana mungkin? Tanyaku. Mereka menjawab: "Karena Nabi SAWW pernah
bersabda, Ambillah separuh dari agama kalian pada Hunwira' ini, yakni
Aisyah. Nah, kami telah ambil separuh dari agama kami dari Ahlul Bait
Nabi." Katanya.
Dengan cara pandang sepeti ini maka tidak sulit
untuk kita memahami bagaimana mereka menghormati dan menyanjung Ahlul
Bait Nabi. Dan ketika kutanyakan pada mereka siapa itu Imam Dua Belas,
mereka hanya mengenal Ali, Hasan dan Husain saja. Itupun tanpa pengakuan
akan keimamahan (kepemimpinan) Hasan dan Husain. Mereka bahkan
mengagungkan Muawiyah bin Abi Sufyan yang telah meracuni Hasan sampai
syahid sedemikian rupa sampai mereka mengatakan bahwa Mu'awiyah adalah
penulis wahyu. Mereka juga menyanjung A'mr bin A'sh, dan dalam waktu
yang sama juga hormat pada Ali bin Abi Thalib.
Sungguh sikap seperti
ini adalah sikap yang sepenuhnya kontradiktif dan peramuan antara haq
dan batil; suatu upaya untuk menutup-nutupi yang terang dengan
kegelapan. Karena bagaimana mungkin hati seorang mukmin dapat memadukan
antara rasa cinta pada Allah dan juga cinta pada setan. Allah SWT
berfirman:
"Kamu tidak akan dapati suatn kaum yang beriman
kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang
yang menentang Allah dan Rasid-Nya, sekalipun orang-orang itu adalah
bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga
mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah Allah tanamkan keimanan
dalam hati mereka dan menguatkan merekn dengan pertolongan yang dntang
daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam sorga yang mengdir di
bawahnya sungai-sungai, mereka kekcil di dalamnya. Allah ridho terhadap
mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka
itidah golongan Allah. Ketahuilah bahwa sesungguhnya golongan Allah
itulah golongan yang beruntung" (al-Mujadalah: 22)
Firman-Nya lagi:
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuhKu dan
musuhmu sebagai teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka
(berita-berita Mnhammad) karena rasa kasih-sayang. Padahal sesungguhnya
mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu.."
(Al-Mumtahanah: 1)
3. HADITS : SIAPA YANG INGIN HIDUPNYA SEPERTI HIDUPKU
Bersabda Nabi SAWW: "Siapa yang ingin hidup seperti hidupku, mati
seperti matiku, tinggal di sorga A'dn yang telah ditanam oleh Tuhanku
maka jadikanlah Ali sebagai Walinya sepeninggalku dan me-wila' walinya,
serta ikut Ahlul Baitku yang datang setelahku. Mereka adalah itrah
keluargaku, diciptakan dari bagian tanahku dan dilimpahkan kepahaman
serta ilmuku. Maka celakalah orang-orang yang telah mendustakan
keutamaan mereka dari ummatku, dan yang telah memutuskan tali rahimnya
dengan mereka. Kelak Allah tidakakan memberi mereka syafaatku
kepadariya." 303
Hadis ini, seperti yang kita perhatikan,
adalah terbilang di antara sejumlah hadis yang gamblang dan tegas yang
tak dapat ditakwilkan. la tidak memberi hak-pilih dan alternatif lain
kepada seorang muslim, bahkan menafikan dan menyangkal sebarang alasan.
Apabila dia tidak me-wila' Ali (menjadikannya sebagai wali atau
pemimpin) dan tidak ikut itrah kekiarga Nabi maka dia akan diharamkan
dari memperoleh syafaat datuk mereka, yakni Nabi SAWW.
Perlu
kutegaskan di sini bahwa pada tahap pertama penelitianku, aku pernah
meragukan otentisitas dan kebenaran hadis ini. Terasa sangat berat untuk
menerima hadis ini lantaran ia menyirat suatu ancaman kepada mereka
yang berseberangan dengan Ali dan keluarga Nabi. Apalagi hadis ini sulit
untuk ditakwil.
Kemudian aku merasa agak ringan ketika kubaca
pendapat Ibnu Hajar al-'Asqalani dalam kitabnya al-Ishabah. Antara lain
beliau berkata: "Dalam sanad hadis ini ada Yahya bin Ya'la al-Muharibi,
seorang perawi yang lemah." Pendapat Ibnu Hajar ini telah menghilangkan
seba-gian keberatan yang ada pada benakku. Karena-kupikir- Yahya bin
Ya'la al-Muharibilah yang pasti memalsukan hadis ini; dan karenanya maka
ia tidak dapat dipercaya.
Namun Allah SWT tetap ingin
menunjukkan padaku sebuah kebenaran dengan sejelas-jelasnya. Suatu hari
aku terbaca sebuah fouku yang berjudul Munaqasyat Aqaidiyah Fi Maqalat
Ibrahim al-Jabhan.104 Buku ini telah menyingkap kebenaran dengan begitu
jelasnya. Dikutipkan bahwa Yahya bin Ya'la al-Muharibi adalah di antara
perawi-perawi yang tsiqah (yang dipercaya) yang dipegang oleh Bukhori
dan Muslim. Kemudian aku telusuri dan kudapati bahwa Bukhori telah
meriwayatkan hadis riwayat Yahya ini dalam Bab Ghazwah al-Hudaibiyah
jilid III halaman 31. Muslim juga telah meriwayatkan hadis darinya dalam
Bab al-Hudud jilid V halaman 119. Az-Zahabi sendiri-betapapun ketatnya
dia-menganggap Yahya ini sebagai perawi yang dipercaya. Para imam
al-Jarhu wa at-Ta'dil menganggapnya sebagai tsiqah; bahkan Bukhori dan
Muslim sendiri berhujah dengan riwayatnya.
Nah, lalu kenapa
pendustaan, pemutarbalikan fakta, dan tuduhan terhadap orang yang
terbilang tsiqah seperti itu bisa terjadi? Apakah karena dia telah
menyingkap kebenaran tentang wajib ikut Ahlul Bait, lalu Ibnu Hajar di
kemudian hari mengecapnya sebagai seorang perawi yang lemah dan tidak
bisa dipercaya? Namun sayang. Ibnu Hajar seakan lupa bahwa di kemudian
hari ada sejumlah ulama yang pakar dan piawai yang akan menilai setiap
karyanya, kecil atau besar. Mereka akan menyingkapkan segala fanatisme
dan kejahilannya lantaran ikut cahaya nubuwwah dan berjalan di bawah
bimbingan Ahlul Bait as.
Setelah itu aku mulai sadar bahwa ada
sebagian ulama kita yang berupaya sungguh-sungguh untuk menutupi
kebenaran agar setiap masalah yang berkaitan dengan para sahabat dan
khulafa', yang menjadi pemimpin dan teladan mereka tidak terungkap.
Itulah kenapa kadang-kadang mereka menakwilkan hadis-hadis shahih dan
menafsirkannya dengan makna yang tidak tepat; atau mendustakan
hadis-hadis yang tidak sejalan dengan mazhab mereka walau itu tertulis
dalam buku-buku shahih dan diriwayatkan dengan sanad-sanad yang bisa
dipercaya. Mereka juga kadangkala menghapus setengah atau dua pertiga
dari isi hadis lalu menggantinya dengan kalimat begitu dan begini; atau
meragukan para perawi yang tsiqah lantaran ia meriwayatkan hadis-hadis
yang tidak sejalan dengan kehendak mereka; atau mengutip suatu hadis
pada edisi pertama dari buku terbitannya, kemudian menghapusnya pada
cetak-ulang berikutnya tanpa memberi sedikitpun alasan betapapun para
pemerhati mengetahui sebab musababnya.
Semua ini telah
kusaksikan sendiri ketika aku masih melakukan penelitian dalam mencari
sebuah kebenaran. Untuk ini aku mempunyai bukti-bukti yang tidak dapat
dibantah sedikitpun. Aku harap mereka tidak mengulangi lagi usaha yang
sia-sia ini sekadar untuk menjustifikasi tindakan para sahabat yang
telah berpaling itu. Hal ini karena ucapan-ucapan mereka saling
bertentangan dan bahkan tidak sesuai dengan fakta sejarah. Alangkah
indahnya apabila mereka mengikuti kebenaran walau ia pahit sekali pun.
Dengannya mereka akan berbahagia dan juga membahagiakan orang lain. Dan
dengan demikian hal itu akan menjadi sebab persatuan ummat yang telah
bercerai-berai ini.
Sejumlah sahabat generasi pertama juga
pernah tidak jujur dalam meriwayatkan hadis-hadis Nabi SAWW. Mereka
telah menafikan hadis-hadis yang tidak sejalan dengan kehendak nafsu
mereka, terutama apabila ia termasuk dalam kategori hadis-hadis wasiat
yang diwasiatkan oleh Nabi SAWW pada saat-saat menjelang wafatnya.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW berwasiat akan
tiga hal saat menjelang wafatnya: Pertama, keluarkan kaum musyrikin dari
Jazirah Arab. Kedua, berikan hadiah kepada delegasi seperti yang biasa
kulakukan. Kemudian si perawi berkata, aku lupa isi wasiat
yangketiga."105
Apakah akal sehat dapat menerima bahwa para
sahabat yang hadir dan mendengar tiga wasiat Nabi itu tiba-tiba lupa
pada isi wasiat yang ketiga, sementara mereka adalah orang-orang yang
hafal syair-syair panjang seusai mendengarnya sekali saja? Sama sekali
tidak. Politiklah yang memaksa mereka melupakan isi wasiat itu dan
enggan menyebutnya. Hal ini merupakan rantaian musibah lain yang kita
saksikan dari para sahabat seperti itu. Tidak syak lagi bahwa isi wasiat
yang "terlupa" itu adalah wasiat Nabi akan perlantikan Ali sebagai
khalifah dan imam sepeninggalnya. Namun si perawi enggan menyebutkannya.
Orang yang meneliti sejarah dan masalah-masalah seperti ini akan
merasakan bahwa isi wasiat yang diabaikan itu sebe-narnya adalah pesan
Nabi akan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, walau diupayakan untuk
disembunyi. Bukhari dalam kitab Shahihnya Bab al-Washaya, dan Muslim
dalam Bab Al-Wasiyah meriwayatkan bahwa Nabi pernah berwasiat pada Ali
di tengah kehadiran Aisyah.106 Lihatlah betapa Allah pancarkan
cahaya-Nya walau orang-orang yang zalim berusaha untuk menutupinya.
Aku tegaskan lagi bahwa apabila sejumlah sahabat tidak tsiqah dalam
meriwayatkan hadis-hadis wasiat Nabi SAWW, maka tidak terlalu
mengagetkan apabila sejumlah Tabiin dan Tabi'-Tabi'in melakukan hal yang
serupa.
Apabila Ummul Mukminin Aisyah, tidak senang mendengar
nama Ali disebut-sebut, seperti yang laporkan oleh Ibnu Sa'ad dalam
Thabaqatnya, 107 dan Bukhari dalam kitab Shahihnya Bab Nabi Sakit Dan
Wafat; dan apabila Aisyah sujud syukur saat mendengar kematian Ali, lalu
harapan apa yang masih tersisa darinya untuk mau meriwayatkan hadis
wasiat Nabi untuk Ali bin Abi Thalib. Aisyah sangat dikenal oleh
kalangan khusus dan umum akan sikap permusuhan dan kebenciannya pada
Ali, putera-puteranya serta itrah Ahlu Bait Nabi SAWW.
Fa la haula wala quwwata illa billa al-A'li al-A'zim.
MUSIBAH KITA : IJTIHAD VERSUS NAS
DARI telaah dan penelitian, akhirnya dapat kusimpulkan bahwa musibah ummat Islam yang sebenarnya adalah berasal dari "keberanian" sejumlah sahabat yang melakukan ijtihad di hadapan nas-nas yang sangat jelas maknanya. Karena batas-batas hukum Allah terlampaui dan Sunnah-Sunnah Nabi dilanggar, maka para ulama dan imam yang datang setelah mereka mengambil qiyas dari ijtihad para sahabat; dan kadang-kadang menolak nas Nabi-bahkan AlQuran-apabila diasumsikan bertentangan dengan apa yang dilakukan oleh seorang sahabat. Saya tidak bermaksud memprovokasi atau melebih-lebihkan. Telah kita lihat di atas betapa mereka mengingkari nas AlQumn dan nas Nabi tentang tayamum, dan berijtihad meninggalkan shalat semata-mata karena tidak menemukan air. Dan Abdullah bin Umar telah menjustifikasikan ijtihadnya ini dengan cara yang kita sebutkan di atas.
Di antara sahabat awal yang membuka pintu ini sepeninggal Nabi adalah
Khalifah Kedua, dimana dia mengutamakan "ijtihadnya" atas nas-nas yang
tak terbantah, sekalipun bertentangan dengan nas Quran. Misalnya, beliau
telah hentikan saham Muallaf-bagian dari penerima harta zakat-yang
telah Allah wajibkan dalam AlQuran. Katanya: "kami tidak lagi memerlukan
kalian". Contoh ijtihadnya seperti ini tidak sedikit. Pada periode
hayat Rasulullah beliau juga pernah melakukan ijtihadnya, bahkan
menantangnya beberapa kali. Di atas telah kita contohkan pertentangannya
dengan Nabi dalam masalah perdamaian Hudaibiyah, dan bagaimana dia
melarang Nabi menulis wasiat. Kata-katanya, "Cukuplah bagi kita Kitab
Allah" adalah sedikit dari sekian contoh yangbisa kita temukan dalam
buku-buku hadis.
Peristiwa lain yang mungkin akan memberikan
kepada kita gambaran yang jelas tentang pribadi Umar adalah sikapnya
yang berani membantah dan menentang utusan Allah ini dalam sebuah
peristiwa yang populer dengan istilah "berita gembira perihal syurga."
Kala itu Nabi mengutus Abu Hurairah dan berkata padanya: "Siapa saja
yang kau jumpai menyaksikan bahwa Tiada Tuhan Selain Allah dengan penuh
keyakinan, maka berilah berita gembira akan sorga padanya. Abu Hurairah
keluar untuk membawa berita gembira ini. Di jalan beliau berjumpa dengan
Umar. Umar melarangnya, bahkan memukulnya sampai jatuh. Abu Hurairah
kembali menjumpai Rasulullah sambil menangis. Diberitahunya tentang apa
yang dilakukan Umar padanya. Nabi bertanya kepada Umar alasan apa yang
menyebabkan ia memper-lakukan Abu Hurairah sedemikian? Jawab Umar:
Apakah Anda telah mengutusnya untuk memberitahu kabar gembira kepada
setiap orang yang mengatakan Lailaha Illallah dengan penuh keyakinan?
Ya, jawab Nabi. Lalu Umar menjawab: Jangan kau lakukan itu, karena aku
khawatir kelak orang-orang akan bersandar pada Lailaha Illallah saja!!"
Demikian juga putranya, Abdullah bin Umar, yang khawatir orang-orang
akan bersandar pada hukum tayammum semata-mata. Karenanya dia
perintahkan agar meninggalkan shalat saja.
Bukankah lebih baik
seandainya mereka biarkan nah-nas itu seperti apa adanya, dan tidak
merobah nas dengan ijtihad yang dangkal itu, yang menyebabkan
terhapusnya syareah dan terlanggarnya ketentuan-ketentuan Allah serta
terpecahnya ummat ke dalam berbagai mazhab, sekte dan aliran.
Dari rangkaian sikap Umar terhadap Nabi dan sunnahnya seperti itu dengan
mudah dapat dipahami bahwa beliau pada dasarnya tidak sehari pun pernah
percaya bahwa sang Nabi memiliki sifat maksum (tidak berdosa); bahkan
beliau melihat bahwa Nabi adalah manusia biasa yang bisa salah dan
benar.
Dari sinilah kemudian timbul gagasan-mengikut versi
ulama Ahlu Sunnah Wal Jamaah-bahwa Nabi hanya maksum pada saat
menyampaikan wahyu semata-mata. Selainnya beliau sama dengan manusia
biasa yang kadangkala juga melakukan kesalahan. Alasannya karena Umar
pernah mengkoreksi Nabi dalam sejumlah peristiwa.
Apabila Nabi
SAWW-seperti yang diriwayatkan oleh seba-gian orang yang jahil-pernah
menerima tawaran setan di rumahnya, saat ketika beliau tengah berbaring
di sana dan (menonton) sejumlah wanita yang memukul gendang dengan setan
yang tengah menari dan bersuka-ria di sisinya, sampai kemudian Umar
masuk, dan setan lari serta para wanita itu juga menyembunyikan
gendang-gendangnya kemudian Nabi berkata kepada Umar, begitu setan
melihatmu lewat di suatu jalan, dia melarikan diri ke jalan lain;
apabila riwayat-riwayat seperti itu (secara tidak kritis) kita terima,
maka tidak sukar untuk kemudian menyatakan bahwa Umar mempunyai 'hak
pendapat' dalam urusan agama danbahkan juga berhak untuk menentang Nabi
dalam urusan politik, dan hukum syareat sekalipun, seperti contoh di
atas.
Sikap seperti ini kemudian melahirkan sekelompok
sahabat--dipimpin oleh Umar bin Khattab-yang berani melakukan ijtihad di
hadapan nas. Seperti yang kita saksikan di atas, mereka mendukung
pendapat Umar dalam Tragedi Hari Kamis, walau hal itu jelas-jelas
bertentangan dengan nas Nabi SAWW. Dan dari sini juga kita dapat
simpulkan bahwa mereka sebenarnya tidak bisa atau enggan menerima sabda
Nabi pada peristiwa al-Ghadir, ketika Nabi SAWW melantik Ali sebagai
khalifah setelahnya. Dan sikap penolakan seperti ini kemudian
ditunjukkan lagi saat menjelang wafat baginda Nabi SAWW. Selain dari
itu, serangkaian peristiwa seperti perkumpulan di Balairung Saqifah Bani
Saidah atau pemilihan Abu Bakar sebagai Khalifah adalah di antara hasil
dari ijtihad sejenis ini.
Ketika kekuasaan mereka semakin
kokoh dan mayoritas orang telah lupa akan nas-nas Nabi, terutama yang
berkaitan dengan masalah kepemimpinan, kemudian mereka mulai melakukan
ijtihad-ijtihad lain yang mencakup hatta sebagian hukum dalam AlQuran.
Mereka telah abaikan beberapa hukum hudud dan merobah sejumlah hukum
yang lain.
Di antara ijtihad yang bertentangan dengan nas
adalah tragedi Fatimah Az-Zahra', yang dialaminya segera setelah hak
khilafah suaminya dirampas. Kemudian tragedi pembunuhan orang-orang
muslirnin yang konon "enggan" membayar zakat, pengangkatan Umar bin
Khattab sebagai khalifah oleh Abu Bakar berdasarkan ijtihad dengan
pendapatnya sehingga membatalkan konsep syura yang dahulu pernah
dijadikannya sebagai alasan untuk keabsahan khilafahnya.
Kemudian, ketika Umar telah menjabat sebagai khalifah, dihalalkannya apa
yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya108 serta diharamkannya apa
yang dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya.109 Ketika Utsman berkuasa pada
zaman berikutnya, beliau bahkan telah melakukan sesuatu yang jauh lebih
"radikal" dari dua khalifah sebelumnya, sehingga ijtihadnya telah
banyak mempengaruhi kehidupan politik dan agama secara luas. Hal itulah
yang kemudian berakibat munculnya suatu revolusi menentangnya hingga
beliau terbunuh akibat ijtihadnya itu.
Ketika Imam Ali memegang
kekuasaan dan menjabat sebagai khalifah, beliau mendapatkan kesulitan
yang tidak kecil dalam mengembalikan kaum muslimin kepada sunnah Nabi
dan AlQuran. Beliau telah berusaha sungguh-sungguh untuk menghilangkan
segala jenis bid'ah yang telah dimasukkan ke dalam agama. Namun sebagian
sahabat berteriak: sunnah Umar, sunnah Umar..!!
Saya yakin
bahwa orang-orang yang memerangi Imam Ali dan yang menentangnya
mendapati semata-mata karena Ali as berupaya untuk mengembalikan mereka
kepada jalan yang benar dan kepada nas-nas yang shahih, sembari
mematikan segala bid'ah dan ijtihad yang telah dinisbahkan pada agama
sepanjang seperempat abad. Bid'ah-bid'ah tersebut telah sedemikian rupa
mendarah daging dalam diri mayoritas publik terutama mereka yang
mengejar hawa nafsu dan keta-makan dunia; yang telah menyalahgunakan
harta Allah dan memperhambakan hamba-hamba-Nya; yang telah memanipulasi
emas dan perak; dan yang mengharamkan orang-orang lemah dari memperoleh
hak-hak mereka yang telah ditentukan oleh Allah.
Kadang-kala
kita dapati bahwa para mustakbirin di setiap zaman sering cenderung
melakukan "ijtihad", karena dengannya ia punya alasan untuk dapat sampai
pada cita-citanya. Sementara nas-nas yang ada dianggap sebagai unsur
yang akan menghambat cita-cita itu dan bahkan menghalanginya. Ijtihad
juga memperoleh dukungan di setiap masa dan tempat, dari golongan
orang-orang yang lemah sekali pun. Hal ini karena ia mudah dipraktekkan
dan tidak memiliki suatu komitmen yang tegas. Berbeda dengan nas. la
memiliki suatu ketegasan dan keterikatan. Para politikus kadang-kadang
menamakannya dengan istilah hukum teokrasi, yang bermakna hukum Allah,
dan ijtihad-karena menyimpan suatu kebe-basan dan non-komitmen, mungkin
diistilahkan dengan hukum demokrasi, yakni kuasa rakyat.
Mereka
yang berkumpul di saqifah setelah wafatnya Nabi SAWW telah menghapuskan
kekuasaan teokrasi yang telah dibangun oleh Nabi berdasarkan nas-nas
AlQuran, dan menggantikannya dengan kekuasaan demokrasi yang dipilih
oleh "rakyat", untuk memilih pemimpin yang dianggapnya layak untuk
memimpin.
Namun para sahabat waktu itu belum mengenal istilah
demokrasi, karena ia bukan bahasa Arab. Yang mereka ketahui hanyalah
konsep Syura.
Mereka yang enggan menerima keberadaan nas dalam
masalah khilafah saat ini, adalah pendukung-pendukung demokrasi. Mereka
sangat bangga dengan predikat ini. Mereka mengklaim bahwa Islam adalah
agama pertama yang melaksanakan konsep demokrasi. Mereka adalah
pendukung-pendukung ijtihad dan pembaharuan, yang saat ini dekat dengan
konsep-konsep barat. Itulah mengapa hari ini kita mendengar keberpihakan
dunia barat kepada mereka dan menamakan mereka sebagai kaum muslimin
yang modernis dan toleran.
Syi'ah adalah pendukung-pendukung
teokrasi, atau kekuasaan Allah. Mereka menolak ijtihad yang bertentangan
dengan nas yang memisahkan antara kekuasaan Allah dan konsep syuro.
Bagi mereka, syuro tidak ada kaitannya sama sekali dengan nash. Syuro
dan ijtihad bisa dilakukan dalam sejumlah hal yang tidak memuat nas di
dalamnya. Bukankah Anda saksikan bahwa Allah SWT yang telah memilih
Rasul-Nya Muhammad SAWW. Tetapi Dia juga berfirman: "Dan musyawarahilah
mereka dalam urusan itu (3: 159). Adapun berkaitan dengan pemilihan
kepemimpinan yang akan memimpin manusia, Allah berfirman: "Dan Tuhanmu
menciptakan apa Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada
pilihan bagi mereka. (28: 68)
Ketika syi'ah menyatakan bahwa
Ali adalah khalifah setelah Nabi SAWW, hal ini karena mereka berpegang
pada nas. Dan ketika mereka mencela sebagian sahabat, yang dicela adalah
mereka yang telah menggantikan nas-nas dengan ijtihad, lalu mereka
sia-siakan hukum Allah dan Rasul-Nya serta melukai agama Islam yang
sampai sekarang belum terobati.
Itulah kenapa dunia barat dan
para pemikirnya berupaya mendiskreditkan Syi'ah dan menamakannya sebagai
mazhab yang fanatik dan reaksioner. Hal ini karena mereka ingin kembali
kepada AlQuran yang menghukum potong tangan terhadap pencuri, merajam
si penzina dan memerintahkan berjihad di jalan Allah SWT. Bagi dunia
barat semua ini identik dengan barbarism dan kebrutalan.
Dari
telaah dan kajian ini dapat juga kupahami mengapa sebagian ulama Ahlu
Sunnah Wal Jamaah menutup pintu ijtihad sejak kurun kedua Hijriah.
Mungkin karena ijtihad serupa itu telah dan akan mengakibatkan
malapetaka bahkan pertumpahan darah yang tidak sedikit atas ummat ini.
Ijtihad seperti itu telah merobah ummat yang terbaik ini menjadi ummat
yang saling berperang dan saling berselisih.
Adapun Syi'ah.
Mereka masih membuka pintu ijtihad selagi nas-nasnya ada. Tiada siapapun
yangbisa merobahnya. Dan mereka dibantu dengan wujud dua belas imam
yang mewarisi ilmu datuknya, yakni Nabi SAWW. Mereka berkata bahwa semua
permasalahan ada hukumnya di sisi Allah, dan telah dijelaskan oleh Nabi
SAWW.
Kita juga dapat memahami kenapa Ahlu Sunnah Wal Jamaah
yang bertaklid kepada para sahabat yang 'mujtahidin', dan yang melarang
penulisan sunnah Nabi SAWW, akhirnya terpaksa melakukan ijtihad dengan
ra'yu atau qiyas atau istishab atau sad bab dzara-i' dan sebagainya
ketika tidak menjumpai nas-nas nabi.
Dan kita juga dapat
memahami kenapa orang-orang Syi'ah yang duduk di sekitar Ali, seseorang
yang dikatakan sebagai Pintu Kota Ilmu dan pernah berkata, "Tanyakan aku
segala sesuatu, karena Nabi telah mengajarku seribu bab ilmu dan setiap
bab dapat membuka seribu bab yang lain"110 tidak seperti itu.
Orang-orang non-Syi'ah seringberada di seputar lingkaran Muawiyah bin
Abi Sufyan yang memiliki pengetahuan tentang sunnah Nabi dalam kadar
yang sangat sedikit sekali. Pemimpin kelompok yang baghi (zalim) ini
akhirnya menjadi "Amir al-Mukminin" setelah syahadah Imam Ali as.
Kemudian dia mulai campur-adukkan agama Allah dengan pendapatnya lebih
dari orang-orang sebelumnya. Ahlu Sunnah menganggapnya sebagai Penulis
Wahyu, dan di antara ulama yang mujtahid. Bagaimana mereka mengatakan
bahwa itu adalah ijtihad sedangkan dialah yang telah racuni Hasan bin
Ali sampai mati. Padahal, seperti sabda Nabi Hasan adalah pemuka pemuda
sorga. Mungkin para pembela Muawiyah akan segera menampik bahwa itu
adalah di antara ijtihadnya yang tersalah (dan karenanya dapat satu
pahala).
Bagaimana mereka katakan bahwa itu adalah ijtihad,
padahal dia telah ambil bai'at dari ummat secara paksa, baik untuk
dirinya sendiri atau untuk putranya Yazid. Dia juga telah robah prinsip
'syuro' dengan prinsip monarki dan kerajaan. Bagaimana mereka katakan
bahwa itu adalah ijtihadnya bahkan memberinya satu pahala, padahal
dialah yang memerintahkan kaum muslimin untuk melaknat Ali dan keluarga
Nabi yang lain dari atas mimbar sehingga menjadi sebuah tradisi Bani
Umawiyah sepanjang enam puluh tahunan.
Bagaimana mereka
menamakan Muawiyah sebagai Penulis Wahyu, sementara wahyu sendiri turun
kepada Nabi SAWW sepanjang dua puluh tiga tahun dan sebelas tahunnya
Mu'awiyah masih dalam keadaan syirik. Ketika beliau masuk Islam, kita
tidak dapati satu riwayat pun mengatakan bahwa Muawiyah tinggal di
Madinah, sementara Nabi SAWW tidak pernah tinggal di Mekah setelah Fathu
Makkah. Darimana Muawiyah dapat menyandang gelar Penulis Wahyu
tersebut? La Haula Wala Quwwata Illa Billa Al-'Ali Al-'Azim.
Pertanyaan yang terus menggugat adalah, mana kelompok yang benar dan
mana yang batil? Apakah Ali dan Syi'ahnya adalah orang-orang yang zalim
dan batil ataukah Muawiyah dan pengikut-pengikutnya?
Sebenarnya
Rasulullah SAWW telah menjelaskan segala sesuatunya secara sempurna.
Namun sebagian orang yang mengklaim diri mereka sebagai Ahlu Sunnah
telah menafsirkannya secara salah. Sepanjang telaah dan kajianku (dan
pembelaanku dahulunya terhadap Muawiyah) kudapati bahwa mereka
sebenarnya bukan pengikut sunnah, tetapi pengikut Muawiyah dan Bani
Umaiyah; khususnya setelah kukaji secara teliti sikap-sikap mereka yang
membenci Syi'ahnya Ali dan ikut bergembira pada hari Asyuro, atau
membela para sahabat yang pernah mengganggu Rasulullah SAWW dalam masa
hayatnya dan setelah wafatnya. Mereka tetap menjustifikasi kesalahan
para sahabat seperti itu dan terus berupaya untuk membenarkan
tindakan-tindakannya.
Coba Anda renungkan, bagaimana mungkin
Anda mencintai Ali dan Ahlul Bait Nabi sementara dalam masa yang sama
Anda juga mencintai dan rela pada musuh-musuh serta para pembunuhnya?
Bagaimana mungkin Anda mencintai Allah dan Rasul-Nya sementara dalam
waktu yang sama Anda juga membela mereka yang merobah-robah hukum Allah
dan Rasul-Nya serta berijtihad dan menakwilkan dengan pendapatnya segala
apa yang ada dalam hukum-hukum Allah? Bagaimana mungkin Anda bisa
menghormati seseorang yang tidak menghormati Rasulullah, bahkan
menuduhnya dengan kata-kata 'pikun' saat beliau ingin melantik
penggantinya? Bagaimana mungkin Anda mematuhi para pemimpin yang
dilantik oleh Bani Umawiyah atau Bani Abbasiah lalu mening-galkan para
imam yang telah dilantik oleh Rasulullah SAWW lengkap dengan jumlah111
dan nama-nama mereka.112 Bagaimana mungkin Anda mematuhi orang-orang
yang tidak mengenal Nabi dengan baik lalu meninggalkan "Pintu Kota Ilmu"
atau seseorang yang seumpama Harun di sisi Musa?
Siapa yang
pertama kali menciptakan istilah Ahlu Sunnah Wal Jamaah? Saya juga coba
menelitinya dalam sejarah, tetapi tidak kudapati sebuah jawaban yang
memuaskan. Yang ada hanya berupa sebuah kesepakatan untuk menamakan
tahun pengambilalihan kekuasaan oleh Muawiyah sebagai Tahun Jama'ah.
Karena saat itu ummat Islam terbagi kepada dua kelompok: pengikut Ali
dan pengikut Muawiyah. Ketika Imam Ali syahid dan Muawiyah mengambil
alih kekuasaan setelah perdamaian dengan Imam Hasan, maka Muawiyah
dijadikan sebagai "Amir al-Mukminin". Tahun pengangkatan itu dinamakan
sebagai Tahun Jama'ah.
Nah, dengan demikian penamaan Ahlu
Sunnah wal Jama'ah sebenarnya menunjukkan identitas pengikut sunnah
Muawiyah dan sepakat menerimanya sebagai pemimpin bukan pengikut sunnah
Rasulullah SAWW. Para Imam keturunan Nabi dan Ahlul Baitnya lebih tahu
tentang sunnah datuknya ketimbang para bekas-tawanan perang (Fathu
Makkah) itu. Pepatah mengatakan bahwa si tuan rumah lebih tahu akan isi
rumah tangganya ketimbang orang lain dan penduduk Mekah lebih tahu akan
seluk beluk negerinya ketimbang penduduk lain. Namun-sayangnya-kita
telah abaikan dua belas imam yang telah disabdakan oleh Nabi SAWW itu
dan kita ikut para musuh mereka.
Walaupun kita mengakui
keabsahan hadis yang memaparkan dua belas imam sepeninggal Nabi, yang
kesemuanya adalah berketurunan Quraisy namun kita selalu terhenti pada
empat khalifah saja. Hal ini mungkin karena Muawiyah yang telah
menamakan kita sebagai Ahlu Sunnah wal Jamaah bermaksud agar kita
sepakat pada sunnahnya dalam mencaci Ali dan Ahlul Bait Nabi yang telah
dilakukannya sepanjang enam puluh tahunan. Hanya Umar bin Abdul Aziz ra
sajalah yang mampu menghilangkan sunnah yang buruk ini. Sebagian ahli
sejarah mengatakan bahwa sekelompok dari Bani Umawiyah berplot untuk
membunuhnya, walau ia berasal dari kalangan keluarga yang sama. Hal ini
semata-mata karena beliau telah mematikan sunnah mereka, yakni melaknat
Ali bin Abi Thalib .
Wahai sahabat-sahabatku, marilah kita cari
kebenaran di bawah bimbingan Allah SWT. Buanglah jauh-jauh segala jenis
fanatisme buta. Kita adalah korban Bani Abbasiyah, korban sejarah yang
gelap, korban kejumudan berpikir yang dipaksa-kan oleh generasi sebelum
kita. Tidak syak lagi kita juga adalah korban makar perbuatan Muawiyah,
A'mer bin A'sh, Mughi-rah bin Syu'bah dan sejenisnya.
Telitilah
sejarah Islam agar dapat kita temukan kebenaran, dan Allah akan melipat
gandakan pahala-Nya kepada kita. Semoga Allah menyatu-padukan ummat
yang telah bercerai-berai sepeninggal Nabinya ini dan yang telah
terpecah menjadi tujuh puluh tiga kelompok. Marilah kita bersatu-padu di
bawah bendera Lailaha Illallah Muhammadur Rasulullah, dan patuh pada
Ahlul Bait Nabi yang telah diperintahkan oleh Rasulullah untuk diikuti.
Nabi bersabda: "Jangan kalian lewati mereka, kelak kalian akan celaka,
dan jangan ketinggalan dari mereka, karena kelak kalian (juga) akan
celaka, dan jangan ajari mereka karena mereka lebih tahu dari kalian."
113
Apabila kita amalkan wasiat Nabi ini maka Allah pasti akan
angkat murkaNya dari kita, akan menggantikan rasa takut kita dengan
kedamaian, menjadikan kita di bumi-Nya ini sebagai khalifah-khalifah-Nya
serta mendatangkan untuk kita makhluk pilihan-Nya, yakni Imam Mahdi as.
Nabi SAWW pernah berjanji bahwa Mahdi akan datang ke dunia ini membawa
keadilan setelah ia dicemari penuh kezaliman.
MENDAPAT TEMAN DISKUSI
PERUBAHAN itu adalah bermulanya suatu kegembiman jiwa. Mulai kurasakan jiwa yang tenang dan dada yang lapang atas mazhab hak yang kutemukan ini; atau katakanlah agama Islam yang tulen yang tiada keragu-raguan sama sekali. Aku sungguh berbahagia dan bangga atas nikmat, petunjuk dan bimbingan yang Allah limpahkan kepadaku. Dan aku tak dapat berdiam diri atau menyembunyikan apa yang tengah bergolak di dadaku. Kukatakan kepada diriku: aku mesti ungkapkan kebenaran ini kepada orang-orang lain juga. Firman Allah: "Adapun tentang nikmat Tuhanmu maka ucapkanlah." Sementara ini adalah nikmat yang paling agung di dunia dan di akherat. " Orang yang diam atas kebenaran adalah setan yang bisu", dan tiada sesuatu selain dari yang haq melainkan kesesatan semata-mata.
Yang menambah keyakinanku lagi untuk menyebarkan kebenaran ini adalah
kedudukan Ahlu Sunnah Wal Jama'ah yang tak berdosa itu. Mereka mencintai
Rasulullah dan Ahlul Baitnya. Bagi mereka cukup dihilangkan tabir yang
telah ditenun oleh sejarah saja, agar mereka ikut yang haq. Dan ini
berlaku pada diriku sendiri. Allah berfirman: "Begitu jugalah keadaan
kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmatnya atas kamu, maka
telitilah..." (S: an-Nisa': 94)
Suatu hari aku memangggil empat
temanku yang sama-sama mengajar di Akademi. Dua dari mereka mengajar
subjek pendidikan agama, yang satu lagi mengajar subjek Bahasa Arab, dan
yang terakhir guru dalam bidang falsafah Islam. Mereka bukan dari
Qafsah, tetapi dari Tunis, Jammal dan Soseh. Aku ajak mereka untuk
sama-sama mengkaji subjek yang penting ini. Aku beritahu mereka bahwa
aku tidak mampu memahami sebagian makna (nas), dan ragu-ragu dalam
sebagian masalah. Mereka pun menerima tawaranku dan bersedia untuk
datang ke rumah setelah jam kerja.
Aku biarkan mereka membaca
kitab al-Muraja'at (Dialog Sunnah Syi'ah) dimana pengarangnya menulis
berbagai perkara yang aneh dan asing di dalam agama. Tiga dari mereka
telah menghabiskan buku itu, dan yang satu lagi, guru yang mengajar
subjek bahasa arab, telah menarik diri setelah hadir empat atau lima
majlis yang kami adakan itu. Beliau berkata: orang-orang barat kini
telah sampai ke bulan, sementara kalian masih membahas tentang perkara
Khilafiah di dalam Islam.
Setelah satu bulan mengkaji, tiga
dari mereka kemudian ikut mazhab Syi'ah ini. Dan aku telah banyak
membantu mereka untuk dapat sampai pada kebenaran ini dari jalan yang
paling dekat, mengingat kajianku yang bertahun-tahun itu telah memberiku
pengetahuan yang cukup banyak dalam bidang ini.
Aku rasakan
betapa manisnya hidayat Allah. Aku sangat optimis dengan masa depan
mazhab ini. Setiap kali aku ajak teman-teman baik yang dari Qafsah, atau
yang hadir di majlis-majlisku di masjid, atau yang mempunyai hubungan
denganku karena tarekat sufi, sebagian murid-muridku yang sering
menemaniku, alhamdulillah semua mereka menyahuti ajakanku. Sehingga
dalam masa satu tahun saja Alhamdulillah bilangan kami yang mewila'
(ikut) Ahlul Bait cukup banyak. Kami mewila' kepada mereka yang mewila'
Ahlul Bait, dan memusuhi mereka yang memusuhi Ahlul Bait. Kami
bergembira di hari-hari raya mereka, sebagaimana kami juga bersedih di
hari-hari A'syura dan mengadakan majlis-majlis takziyah.
Surat
pertamaku yang membawa berita kesyia'hanku kepada Sayed Al-Khui dan
Sayed Muhammad Baqir As-Sadr adalah suratku dalam rangka hari raya Aidul
Ghadir. Waktu itu untuk pertama kalinya kami merayakan hari itu di
Qafsah. Perkara kesyia'hanku dan aktifitasku mengajak orang ikut mazhab
Syi'ah keluarga Rasul ini telah diketahui oleh kalangan khusus dan umum.
Maka mulailah berbagai tuduhan dan gunjingan dilemparkan kepadaku.
Mereka bilang aku adalah mata-mata Israel yang bekerja menggoyangkan
agama masyarakat; aku mencaci sahabat dan sumber fitnah serta lain
sebagainya.
Di ibu kota Tunisia aku menghubungi dua temanku
Rasyid al-Ghannusyi dan Abdul Fattah Moro. Penentangan mereka terhadapku
sangat keras sekali. Di dalam suatu diskusi kami di rumah Abdul Fattah,
aku berkata bahwa sudah sewajarnya kita sebagai kaum muslimin merujuk
kitab-kitab kita dan mengkaji ulang sejarah kita. Aku contohkan kitab
Shahih Bukhari yang memuat berbagai perkara yang bertentangan dengan
akal dan agama. Tiba-tiba saja emosi mereka melonjak sambil berkata
kepadaku: siapa Anda sehingga boleh mengkeritik Bukhari? Aku berusaha
dengan berbagai upaya untuk meyakinkan mereka supaya dapat membahas
berbagai perkara. Tetapi mereka menolak dan berkata: jika Anda telah
ikut Syi'ah maka jangan Syia'hkan kami. Kami mengemban sesuatu yang
lebih penting dari itu, yakni menentang pemerintahan yang tidak
melaksanakan Islam. Aku bertanya apa faedahnya jika kalian dapat
berkuasa. Mungkin kalian akan melakukan sesuatu yang lebih dari mereka
selagi kalian tidak mengetahui kebenaran Islam ini. Bagaimanapun
pertemuan kami itu berakhir dengan rasa saling jengkel.
Setelah
itu bertambahlah tuduhan dan gunjingan terhadap kami dari pihak
sebagian pengikut Ikhwan Muslimin yang waktu itu belum kenal dengan
Harakah al-Ittijah al-Islami. Mereka sebarkan fitnah mengatakan yang aku
adalah agen pemerintah yang bekerja memporak-porandakan agama kaum
muslimin, sehingga mereka lupa akan perjuangan pokok mereka: menentang
pemerintahan.
Mulailah aku mengasingkan diri dari pemuda-pemuda
yang aktif di Ikhwan Muslimin dan dari syaikh-syaikh yang ikut tarekat
sufi. Dalam masa tertentu akhirnya kami hidup terasing di sekitar
kampung kami dan di sekitar saudara-saudara kami sendiri. Tetapi Allah
SWT akhirnya menggantikan kepada kami orang-orang yang lebih baik dari
mereka. Sebagian pemuda dari berbagai kota datang kepada kami dan
bertanya tentang kebenaran ini. Aku berusaha sebaik mungkin menjawab
pertanyaan mereka sehingga sejumlah mereka dari ibu kota, Qairawan,
Souseh,dan Sayyidi Bu zeid ikut mazhab yang benar ini.
Di dalam
perjalananku ke Irak di suatu musim panas, aku transit ke Eropa. Di
sana aku berjumpa dengan sebagian teman kami di Perancis dan Belanda. Di
sana juga kami diskusi tentang perkara ini sehingga mereka memperoleh
hidayah Allah ini. Alhamdulillah atas semua ini.
Betapa
gembiranya hatiku ketika berjumpa dengan Sayed Muhammad Baqir As-Sadr di
Najaf al-Asyraf. Waktu itu sekumpulan ulama berada di sekelilingnya.
Sayed Sadr memperkenalkanku kepada mereka dan mengatakan bahwa aku
adalah benih Ahlul Bait Nabi di Tunisia. Beliau juga bercerita bahwa
beliau menangis terharu ketika membaca suratku yang membawa berita
tentang perayaan kami akan Aidul Ghadir untuk pertama kalinya; serta
keluhanku akan berbagai derita, tuduhan dan gunjingan yang dilemparkan
kepada kami di Tunisia.
Sayed berkata antara lain: "Hendaknya
Anda tanggung semua derita ini, karena jalan Ahlul Bait sukar dan sulit.
Pernah seorang datang kepada Nabi dan berkata: "Ya Rasulullah aku
mencintaimu" Rasulullah menjawab: "Maka bersiap-siaplah engkau dengan
banyaknya ujian." Katanya lagi: "Aku juga mencintai anak pamanmu Ali."
Rasulullah menjawab: "Maka bersiap-siaplah akan banyaknya musuh."
Katanya lagi: "Aku mencintai Hasan dan Husain." Jawab Nabi: "Maka
bersiap-siaplah akan kefakiran dan banyaknya ujian." Apa yang telah kita
berikan di dalam menyeru jalan kebenaran ini, dibandingkan Abu Abdillah
Husain as yang telah mengorbankan nyawanya, keluarganya dan anak
keturunannya serta sahabat-sahabatnya demi agama Allah. Begitu juga
Syi'ahnya di sepanjang sejarah dan sehingga kini masih terus membayar
dengan harga yang mahal lantaran wila' mereka kepada Ahlul Bait. Maka
sudah semestinya, ya akhi, menanggung sedikit kesusahan dan pengorbanan
di dalam jalan yang hak ini. Kalau seseorang mendapatkan hidayah Allah
lantaran usahamu maka itu lebih baik bagimu dari dunia dan seisinya."
Sayed Sadr juga menasehatiku agar tidak mengisolir diri dan bahkan
lebih mendekat pada saudara-saudaraku Ahlu Sunnah setiap kali mereka
berusaha menjauhiku. Beliau juga menyuruhku agar sembahyang di belakang
mereka sehingga tidak terputus tali hubungan antara sesama, mengingat
mereka adalah orang-orang yang tak berdosa. Mereka adalah korban sejarah
dan propaganda murahan. Dan manusia adalah musuh kejahilan.
Sayed Khui juga menasehatiku hampir sama. Begitu juga Sayed Muhammad Ali
Thabathabai al-Hakim yang senantiasa menyurati kami dengan
nasehat-nasehatnya yang banyak dan membimbing perjalanan saudara-saudara
Syi'ah kami di sana.
Begitulah akhirnya aku seringkali
berziarah ke Najaf al-Asyraf dan mengunjungi ulama-ulama di sana di
dalam berbagai kesempatan. Aku berazam untuk menggunakan masa cuti musim
panasku setiap tahun di "pangkuan" Imam Ali, serta menghadiri
pelajaran-pelajaran Sayed Muhammad Baqir As-Sadr yang sangat bermanfaat
bagiku. Aku juga berniat untuk menziarahi tempat-tempat suci Imam dua
belas. Dan Allah telah sampaikan cita-citaku itu sampai makam Imam Ridha
sekalipun yang terletak di Masyhad, suatu negeri yang berhampiran
dengan perbatasan Rusia dan Iran. Di sana juga aku berkenalan dengan
berbagai ulama yang agung sambil belajar banyak dari mereka.
Sayed Khui, marja' yang kami taklid, juga memberiku izin untuk
menggunakan wang khumus dan zakat yang kami terima, serta menggunakannya
untuk kepentingan Syi'ah-Syi'ah yang ada di sekitar kami seperti
keperluan buku dan sebagainya. Di sana aku juga telah mendirikan suatu
perpustakaan yang mengoleksi berbagai buku referensi dan buku-buku lain
dari kedua mazhab. Nama perpustakaan itu adalah Perpustakaan Ahlul Bait
as. Dan Alhamdulillah telah banyak menyumbangkan faedah untuk masyarakat
yang lebih luas.
Allah juga telah menambah kegembiraan dan
kebahagiaan kami berlipat ganda. Sekitar lima belas tahun yang lalu,
Allah telah takdirkan nama jalan tempat tinggalku sebagai Jalan Imam Ali
Bin Abi Thalib as. Nama jalan ini telah disetujui oleh ketua kampung
Qafsah. Tak lupa kuucapkan rasa terima kasihku pada ketua kampung itu,
seorang yang cukup kuat berpegang pada agama dan memiliki rasa cinta
yang dalam terhadap Imam Ali as. Kuberikan padanya kitab al-Muraja''at
(Dialog Sunnah Syi'ah) yang kemudian dia tunjukkan rasa cintanya dan
sikap hormatnya yang lebih dalam terhadap kami. Semoga Allah membalas
kebaikannya ini dengan setimpal dan mengabulkan apa yang
dicita-citakannya.
Sebagian orang yang menaruh rasa dendam
berusaha merubah nama jalan itu, namun Allah menginginkannya tetap ada
dan kekal. Begitulah sehingga surat-surat yang datang kepada kami dari
segenap penjuru dunia menggunakan nama jalan Imam Ali bin Abi Thalib as,
yang karena namanya maka kota kami yang indah dan nyaman terberkati.
Berpandukan pada nasehat-nasehat para Imam Ahlul Bait as dan
ulama-ulama di Najaf, kami senantiasa mendekat pada saudara-saudara kami
dari berbagai mazhab yang lain. Kami juga ikut sembahyang berjamaah
bersama mereka. Dengan itu maka ketegangan terasa lebih reda, dan kami
juga berhasil meyakinkan sebagian pemuda di sekitar kami tentang akidah,
cara wudhu' dan shalat kami.
PETUNJUK KEBENARAN
Di sebuah desa selatan Tunisia, saat berlangsungnya sebuah kenduri, wanita-wanita yang hadir tengah asyik membicarakan tentang seorang istri dari suami si Fulan. Seorang wanita tua yang hadir sangat terkejut mendengar berita perkawinan dua orang ini. Ketika ditanya kenapa dia terkejut, jawabnya bahwa dua suami istri tersebut sebenarnya pernah menyusu darinya, dan mereka adalah kakak adik dari satu ibu susu.
Berita besar ini dibawa pulang oleh wanita-wanita yang hadir kepada
suami masing-masing. Kaum laki-laki yang ada di sekitar ingin
membuktikan kebenaran berita ini. Akhirnya ayah si perempuan menyaksikan
bahwa anak perempuannya memang pernah menyusu dari ibu susu yang
terkenal ini, sebagaimana ayah si lelaki ini juga menyaksikan tentang
kebenaran kata-kata si ibu tua ini. Akibatnya dua suku ini berperang
dengan tongkat dan kayu. Masing-masing menuduh yang lain sebagai sebab
musibah yang akan menyebabkan turunnya bencana dari Allah. Apalagi
perkawinan itu telah berusia sepuluh tahun dan telah membuahkan tiga
anak.
Mendengar berita ini si istri lari ke rumah ayahnya. Dia
tidak mau makan dan minum. Bahkan dia berusaha bunuh diri lantaran tidak
tahan menerima "bencana" yang sangat besar itu. Bagaimana mungkin dia
dapat melihat kenyataan bahwa suaminya adalah saudaranya sendiri, dan
bahkan kini telah melahirkan anak-anak. Bilangan korban yang luka
berjatuhan di kedua belah pihak, hinggalah seorang tua yang disegani
menghentikan peperangan dan menasehati mereka agar menanyakan para
alim-ulama tentang hukumnya dan mencari jalan keluar.
Mereka
pergi ke kota-kota besar yang berhampiran menanyakan para ulamanya
tentang jalan keluar dari problema ini. Setiap kali mereka bertanya,
jawaban mereka adalah perkawinan tersebut adalah haram dan suami istri
wajib dipisahkan seumur hidup. Mereka juga wajib membayar fidyah dengan
membebaskan hamba sahaya atau puasa dua bulan berturut-turut; dan
fatwa-fatwa sejenisnya.
Mereka juga pergi ke Qafsah dan
menanyakan perkara tersebut kepada para alim ulamanya. Namun jawaban
mereka tetap senada. Mengingat ulama-ulama mazhab Maliki menghukumkan
muhrim pada setiap anak susuan walau sekedar satu tetes sekalipun,
berdasarkan pendapat Imam Malik yang mengkiaskan air susu dengan arak.
Dalam hukum arak dikatakan bahwa "jika banyaknya memabukkkan maka
sedikitnya juga haram". Dengan itu maka menyusui, walau setetes
sekalipun adalah berhukum muhrim.
Seorang yang hadir mencelah
dan menunjukkan rumahku. Katanya: "Tanyakan pada Tijani masalah-masalah
seperti ini karena beliau mengetahu pendapat semua mazhab. Aku saksikan
beliau berhujah dengan ulama-ulama tadi berkali-kali dan dia dapat
mematahkan dalil-dalil mereka."
Ketika kuajak mereka masuk ke
dalam perpustakaanku, dan si suami menceritakan segalanya kepadaku
secara rinci, dia juga berkata berikut: "Tuan, istriku mau bunuh diri
dan anak-anakku tidak terurus. Kami tidak memperoleh jalan keluar dari
kemusykilan ini. Mereka telah memberitahuku alamatmu. Aku sangat yakin
pada Anda karena melihat buku-buku yang begini banyak di perpustakaan
ini yang tidak pernah kulihat sebelum ini. Mudah-mudahan saja Anda dapat
menyelesaikan problemaku ini."
Kemudian kuhidangkan untuknya
secangkir kopi. Aku berpikir sejenak. Kemudian kutanyakan padanya
bilangan susu yang dia hisap dari si ibu tua itu. Beliau menjawab: "Aku
tidak tahu pasti. Tetapi istriku menyusu dari orang tua itu dua kali
atau tiga kali saja. Ayahnya juga menyaksikan bahwa dia hanya dua atau
tiga kali saja membawanya pergi ke tempat wanita tua itu." Lalu kujawab:
"Jika ini benar, maka kalian bukanlah kakak-adik susu dan perkawinan
kalian tetap sah."
Mendengar ini laki-laki tersebut terus menerpaku
dan mencium-cium kepalaku dan tanganku. Katanya: "semoga Allah
membalasmu dengan kebaikan. Anda telah membukakan pintu kedamaian di
hadapanku." Dia terus pergi dan tidak sempat menghabiskan kopinya,
bahkan tidak bertanya lagi rinciannya atau dalilnya dariku. Dia hanya
permisi pulang agar dengan segera dapat menemui istrinya dan membawa
berita gembira untuknya, anak-anaknya serta kaum kerabatnya.
Namun
esoknya dia kembali bersama tujuh orang laki-laki yang lain. Katanya:
"Ini ayahku, dan ini ayah istriku. Yang ketiga itu ketua desa dan
keempat Imam Jum'at dan Jama'ah, kelima Penghulu agama, keenam kepala
suku dan ketujuh kepala sekolah. Semua datang untuk bertanya tentang
masalah menyusui tersebut dan dengan alasan apa Anda menghalalkannva?"
Semua kuajak masuk ke dalam perpustakaan. Sebelumnya aku memang telah
menduga mereka akan mendebatku. Kuhidangkan buat mereka minuman kopi dan
kusambut mereka dengan mesra. Mereka berkata: "Kami datang untuk
bertanya akan fatwamu yang menghalalkan susuan itu sementara Allah telah
mengharamkannya di dalam AlQuran dan telah diharamkan juga oleh
Rasul-Nya, dengan sabdanya: "Telah diharamkan dengan susuan segala apa
yang diharamkan dengan cara nasab." Begitu juga Imam Malik telah
mengharamkannya."
Aku berkata: "Wahai tuan-tuan, kalian-Masya
Allah- berjumlah delapan orang dan aku seorang diri. Jika aku berbicara
dengan kesemua kalian maka aku tidak akan dapat meyakinkan kalian dengan
hujahku, dan diskusi kita nantinya akan bertele-tele. Aku usulkan agar
kalian memilih salah satu di antara kalian sebagai juru bicaranya
sehingga aku bisa berdiskusi dengannya dan yang lainnya menjadi hakim
kami."
Mereka terima usul tersebut dan menyerahkan sepenuhnya
kepada penghulu agama sebagai wakil mengingat beliaulah yang paling alim
dan paling arif di antara mereka. Maka penghulu pun memulai
pertanyaannya mengapa aku menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah,
Rasul-Nya dan para Imam?
Aku jawab: "Aku berlindung kepada
Allah dari berbuat demikian. Allah mengharamkan susuan dengan ayat yang
mujmal (ringkas) dan tidak menjelaskannya secara rinci. Diserahkan-Nya
kepada Rasul cara dan bagaimana rincian hukumnya."
"Tetapi Imam Malik menghukumkan muhrim hatta dari setetes air susu."
"Aku tahu. Namun Imam Malik bukanlah hujah (dalil) bagi semua kaum
muslimin. Kalau tidak, bagaimana kita akan menilai pendapat imam-imam
yang lain?"
"Semoga Allah meridhai mereka. Semua mereka mengambil dari Rasul SAWW."
"Lalu bagaimana nantinya hujahmu di sisi Allah atas taklidmu kepada pendapat Imam Malik yang bertentangan dengan Nas Nabi ini?"
"Subhanallah" katanya sambil merasa heran. "Aku tidak pernah tahu Imam Malik, Imam Dar al-Hijrah, menyalahi nas-nas Nabi."
Yang hadir juga merasa heran dengan ucapanku ini. Mereka sangat
terkejut atas sikapku yang sangat "berani" terhadap Imam Malik yang
tidak pernah dilihatnya sebelum ini dari ulama-ulama yang lain. Kemudian
kukatakan lagi:
"Apakah Imam Malik dulunya dari kalangan sahabat?"
"Bukan." Jawabnya.
"Apakah beliau dari kalangan Tabi'in?"
"Bukan. Bahkan dari kalangan tabi'it-tabi'in, generasi keempat setelah Nabi SAWW."
"Mana yang lebih dekat kepada Rasul, Imam Malik atau Imam Ali bin Abi Thalib?"
"Imam Ali bin Abi Thalib. Beliau adalah satu dari empat Khulafa' Rasyidin."
Salah seorang dari yang hadir berkata: "Sayyidina Ali Karramallahu Wajhahu adalah gerbang kota ilmu."
"Mengapa kalian tinggalkan gerbang kota ilmu dan ikut seorang bukan
sahabat dan bukan tabi'in sekalipun. Bahkan seseorang yang lahir setelah
terjadinya berbagai perselisihan di antara kaum muslimin, dan setelah
kota Madinah Nabi dicemari oleh tentera Yazid dan diperlakukan
sedemikian rupa sehingga sahabat-sahabat yang terbaik terbunuh, para
wanita diperkosa dan sunnah-sunnah Nabi dirobah. Bagaimana seseorang
bisa percaya sepenuhnya kepada imam-imam yang direkomendasi oleh para
penguasa saat itu, yang memberikan fatwanya mengikut persetujuan mereka.
"
Salah seorang dari mereka berkata: "Memang kami pernah dengar bahwa Anda adalah orang Syi'ah yang menyembah Imam Ali."
Serta merta sahabat yang duduk di sampingnya menamparnya dengan agak
kuat, sambil berkata: "Diam. Apakah Anda tidak malu berkata seperti ini
kepada seseorang yang terhormat seperti beliau. Aku banyak kenal ulama,
tetapi aku tidak pernah melihat perpustakaan sebesar ini. Beliau
berbicara dengan pengetahuan yang dalam dan penuh keyakinan."
Aku jawab: "Memang benar saya seorang Syi'ah. Tetapi Syi'ah tidak
menyembah Ali. Mereka ikut Imam Ali sebagai ganti dari ikut Imam Malik.
Karena Ali adalah gerbang kota ilmu seperti yang kalian saksikan."
Penghulu agama berkata: "Apakah Imam Ali menghalalkan perkawinan dua kakak-adik susuan?"
"Tidak. Beliau menghukum-muhrimkannya jika si bayi menyusu sebanyak
lima belas kali dengan kenyang dan berturut-turut atau sehingga
menumbuhkan daging dan tulang ."
Mendengar ini ayah si istri
merasa sangat lega dan berkata: "Alhamdulillah. Anakku hanya menyusu dua
atau tiga kali saja. Fatwa Imam Ali ini adalah jalan keluar bagi kami
dari kemusykilan ini dan rahmat Allah kepada kami setelah puas kami
mencari dan hampir-hampir putus asa. "
Penghulu berkata: "Berikan kami dalilnya agar kami dapat puas hati."
Lalu kuberikan kepada mereka kitab Minhaj as-Sholihin, fatwa Sayed
al-Khui. Dibacanya Bab Hukum Menyusui kepada mereka. Semua mereka sangat
bergembira terutama si suami yang takut kalau-kalau saya tidak
mempunyai dalil yang memuaskan. Mereka memohon agar aku meminjamkan buku
tersebut kepada mereka sehingga ia akan dapat berdalil di kampungnya
kelak. Lalu kuserahkan buku tersebut setelah mereka permisi pulang.
Mereka keluar dari rumahku. Di jalan mereka berjumpa dengan seseorang
yang akhirnya membawa mereka kepada beberapa ulama upahan. Diancamnya
mereka dan dikatakan bahwa aku adalah agen Israel. Kitab Minhaj
as-Sholihin yang kuberikan itu adalah sesat. Penduduk Irak semuanya
kafir dan munafik dan Syi'ah adalah Majusi yang menghalalkan perkawinan
antara kakak-adik. Karena itu tidak heran kalau aku menghalalkan
perkawinan antara dua kakak adik-susu; dan berbagai tuduhan lain yang
tidak berdasar. Sedemikian rupa ancamannya sehingga semua mereka kembali
seperti semula dan tidak percaya akan kebenaran pendapat yang
kuberikan.
Dipaksanya sang suami mengangkat perkara ini ke
mahkamah negeri di Qafsah. Ketua mahkamah meminta mereka pergi ke pusat
dan meminta penyelesaian dari Mufti Besar negara. Maka pergilah orang
yang malang ini ke sana dan menunggu selama satu bulan penuh untuk dapat
menghadap mufti. Diceritakannya masalahnya dari awal hingga akhir.
Mufti bertanya tentang pendapat ulama yang menganggap sah perkawinan
mereka. Katanya tiada siapa pun yang mengatakan demikian kecuali seorang
yang bernama Tijani Samawi. Mufti mencatat namaku dan berkata kepada
orang ini: pulanglah! Aku akan kirimkan sepucuk surat kepada ketua
mahkamah negeri di Qafsah.
Tak lama setelah itu tibalah sepucuk
surat dari mufti besar. Kemudian wakil orang ini memberitahunya bahwa
mufti juga menghukumkan haram perkawinan mereka dan dianggap tidak sah.
Itulah apa yang diceritakan oleh orang yang malang dan lemah ini
kepadaku. Dia meminta maaf karena telah menyebabkanku terganggu. Aku
juga berterima kasih kepadanya atas timbang rasanya yang tinggi. Tetapi
aku heran kenapa mufti besar menganggap perkawinan seumpama itu tidak
sah. Aku minta orang ini mencari lembaran tulisan yang dikirimkan oleh
mufti kepada mahkamah di sini agar supaya bisa kumuat dalam majalah atau
koran lokal. Aku ingin katakan bahwa mufti tidak mengetahui
mazhab-mazhab Islam dan jahil akan perbedaan-perbedaan fiqh mereka di
dalam perkara susu-menyusu ini.
Orang ini berkata bahwa dia tidak dapat melihat fail perkaranya, apalagi untuk mendapatkannya. Akhirnya kami berpisah.
Setelah beberapa hari sepucuk surat panggilan datang kepadaku dari
mahkamah. Mereka memerintahkanku agar datang membawa kitab rujukan dan
dalil atas keabsahan perkawinan "dua kakak-adik susu" ini. Aku datang
dengan membawa berbagai buku rujukan yang telah kuteliti sebelumnya.
Setiap Bab Menyusui kuletakkan tanda agar mudah dapat mengenalnya kelak.
Aku pergi pada waktu dan jam yang ditentukan itu. Sekretaris ketua
menerima kedatanganku dan memintaku masuk ke ruang ketua. Di sana aku
dikejutkan dengan kehadiran ketua mahkamah negeri, ketua mahkamah
kampung dan wakil dari pusat beserta tiga anggotanya yang lain. Semua
mereka mengenakan pakaian kebesaran mahkamah yang seakan-akan tengah
berada dalam suatu perjumpaan resmi. Aku perhatikan juga di sana ada
laki-laki yang malang itu duduk di sisi lain. Aku ucapkan salam kepada
semua. Semua mereka memandangku dengan sikap menghina dan jengkel.
Ketika aku duduk, sang ketua memulai pembicaraannya padaku dengan nada
yang kasar:
"Anda Tijani Samawi?" "Ya."Jawabku.
"Anda yang memberikan fatwa akan sahnya perkawinan ini?"
"Bukan saya. Tetapi imam-imam fiqh dan ulama kaum muslimin yang memberikan fatwa akan sahnya perkawinan tersebut."
"Itulah kenapa kami memanggil Anda. Anda sekarang dalam tuduhan. Jika
Anda tidak dapat membuktikan kebenaran dakwaan Anda maka Anda akan
dihukum penjara. Dan dari sini Anda akan terus di giring ke penjara. "
Aku sadar bahwa aku kini dalam suatu tuduhan. Bukan karena aku
memberikan fatwa tersebut, tetapi ada beberapa ulama jahat (ulama su')
yang mengatakan kepada penguasa bahwa aku adalah penyulut fitnah,
mencaci sahabat dan menyebarkan Syi'ah Ahlul Bait Nabi. Ketua mahkamah
berkata bahwa jika ada dua saksi yang membuktikan kesalahanku maka dia
akan memasukkanku ke dalam penjara.
Di sisi lain, Jama'ah
Ikhwan Muslimin memanipulasi fatwa ini. Mereka sebarkan kepada kalangan
umum dan khusus bahwa aku menghalalkan nikah antara kakak-adik. Dan ini
adalah pendapat Syi'ah! Begitulah dugaan mereka.
Semua ini aku
sadari ketika ketua mahkamah mengancamku dengan penjara. Tiada lain
bagiku waktu itu kecuali menentang dan mempertahankan diri dengan penuh
keberanian. Kukatakan kepada ketua:
"Apakah saya boleh berbicara dengan terus terang dan tanpa takut?"
"Bicaralah. Tetapi Anda tidak mempunyai pembela."
"Pertama-tama, aku tidak mengangkat diriku sebagai mufti." Kataku
perlahan. "Tanyakan pada lelaki, suami wanita yang malang itu yang
kebetulan hadir di sekitar kita. Dialah yang datang ke rumahku dan
bertanya padaku. Sudah tentu aku wajib menjawabnya mengikut apa yang aku
tahu. Aku tanyakan kepadanya berapa kali dia menghisap susu tersebut.
Katanya sang istri hanya pernah menyusu dua atau tiga kali saja dari ibu
yang sama. Lalu kuberitahu padanya hukum Islam yang sebenarnya. Dalam
hal ini aku bukan seorang yang mujtahid dan bukan pula seorang yang
mengada-adakan syareat baru."
"Aneh. Anda sekarang mendakwa yang Anda tahu akan hukum Islam dan kami jahil."
"Astaghfirullah. Aku tidak bermaksud demikian. Semua orang di sini tahu
apa pendapat mazhab Imam Malik dan hanya berhenti pada pendapatnya
saja.
Sementara aku menelitinya dalam berbagai mazhab dan mendapatkan cara penyelesaiannya di sana."
"Dimana Anda dapatkan jalan penyelesaiannya?" Tanya ketua.
"Sebelum itu bisakah saya ajukan satu pertanyaan wahai ketua?"
"Tanyakanlah".
"Apa pendapat Anda tentang mazhab-mazhab Islam yang lain?"
"Semua benar. Semua mereka mengambilnya dari Nabi, dan perselisihan yang ada adalah rahmat."
"Kalau demikian maka kasihanilah orang yang malang ini (sambil menunjuk
ke arah orang tersebut) yang telah dua bulan lebih berpisah dengan
istri dan
anak-anaknya. Padahal di sana ada mazhab Islam lain yang memberinya penyelesaian."
Dengan nada marah ketua itu berkata: "Bawakan dalilnya dan jangan
bertele-tele. Kami telah berikan hak kepadamu untuk membela dirimu, dan
sekarang kau mau membela orang lain."
Kuberikan kepadanya kitab
Minhaj as-Sholihin, fatwa Sayed al-Khui. Kukatakan kepadanya bahwa ini
adalah mazhab Ahlul Bait. Di dalamnya memuat berbagai dalil. Kemudian
beliau memotong kata-kataku: "Jangan libatkan kami dengan mazhab Ahlul
Bait. Kami tidak mengenalnya dan tidak beriman kepadanya."
Aku
memang menduga demikian. Karena itu aku bawa bersamaku beberapa buku
rujukan Ahlu Sunnah Wal Jamaah yang telah kukaji dan kususun sejauh
pengetahuanku. Kuletakkan Sahih Bukhari di bagian pertama. Kemudian
Sahih Muslim. Lalu kitab fatwa Mahmud Syaltut, Bidayah al-Mujtahid Wa
Nihayah al-Muqtasid karangan Ibnu Rusyd, kitab Zad al-Masir Fi I'lmi
at-Tafsir karangan Ibnu al-Jauzi dan beberapa buku rujukan lain dari
kalangan Ahli Sunnah.
Ketika ditolaknya kitab Sayed al-Khui, kutanyakan kepadanya kitab apa yang beliau pegang dan jadikan rujukan.
"Bukhari dan Muslim." Katanya.
Lalu kuambil kitab Sahih Bukhari dan kubukakan halaman yang telah kutandai. "Silahkan baca!" Kataku mempersilahkan.
"Engkaubaca." Mintanya kepadaku.
Lalu kubaca: "Telah diriwayatkan oleh Fulan dari Fulan dan A'isyah
Ummul Mukminin yang berkata: "Rasulullah SAWW wafat dan tidak
menjatuh-muhrimkan (kakak-adik) melainkan setelah lima susuan atau
lebih."
Sang Hakim mengambil buku itu dariku dan membacanya.
Kemudian diberikannya kepada wakil dari pusat yang duduk di sampingnya.
Lalu dibacanya dan diberikannya pula kepada orang yang duduk di sisinya.
Kemudian aku keluarkan pula kitab Sahih Muslim dan kubukakan pula hadis
yang sama. Lalu kitab Fatwa Syaikh al-Azhar Mahmud Syaltut, dimana
beliau telah menjelaskan berbagai perbedaan pendapat para imam fiqh
tentang perkara susu-menyusu ini. Ada sebagian pendapat mengatakan bahwa
ia akan jatuh muhrim setelah lima belas kali susuan; pendapat lain
mengatakan setelah tujuh kali susuan; dan pendapat berikutnya di atas
lima kali susuan. Melainkan Imam Malik yang menyalahi nas dan
menjatuh-muhrimkan walau satu tetes sekali pun. Kemudian Syaltut
berkata: aku condong pada pendapat yang tengah, yakni tujuh kali susuan
atau lebih.
Setelah ketua mahkamah mengetahui semua itu, beliau
berkata: Cukuplah. Kemudian beliau memandang pada suami wanita tersebut
dan berkata: Engkau pergi dan bawa ayah istrimu ke mari untuk
menyaksikan di hadapanku bahwa anaknya menyusu hanya dua atau tiga kali
saja. Kalau betul, maka kau boleh ambil istrimu semula hari ini juga.
Orang yang malang ini pun pergi. Wakil dari pusat dan hadirin yang lain
minta izin keluar meneruskan tugas masing-masing. Ketika majlis itu
agak lengang, sang ketua mendatangiku sambil minta maaf. Katanya:
"Maafkan aku wahai ustaz. Mereka telah membuat aku keliru tentang
dirimu. Mereka berkata akan hal yang aneh-aneh tentang dirimu. Sekarang
aku tahu bahwa mereka hasad dan dengki kepadamu."
Hatiku sangat
gembira melihat perubahan kilat seperti itu. Aku berkata: "Segala puji
bagi Allah yang telah memenangkanku di tanganmu wahai Hakim yang arif ."
"Aku dengar Anda memiliki perpustakaan yang besar. Apakah Anda juga
menyimpan buku Hayat al-Hayawan al-kubro karya ad-Dumairi?' Tanyanya
kepadaku.
"Ya." Jawabku.
"Bisa Anda pinjamkan padaku. Telah dua tahun aku mencari buku itu."
"la adalah milik Anda kapanpun Anda perlukan."
"Apakah Anda punya waktu untuk datang ke kantorku agar kita bisa berdiskusi dan saya bisa belajar darimu." Pintanya.
"Astaghfirullah. Saya yang seharusnya belajar dari Anda. Anda adalah
orang yang lebih tua dan lebih agung dariku. Saya ada waktu luang empat
hari dalam
seminggu. Saya senantiasa hadir untuk menerima undangan Anda."
Akhirnya kami sepakat setiap hari Sabtu untuk dapat duduk bersama,
karena hari itu beliau tidak disibukkan dengan urusan mahkamah. Setelah
beliau memintaku meninggalkan kitab Bukhari dan Muslim serta kitab Fatwa
Syaltut untuk dapat disalinnya semua nas yang ada, beliau sendiri yang
kemudian berdiri dan menghantarku pulang sampai ke pintu keluar sebagai
tanda penghormatan.
Aku keluar dengan hati yang sangat gembira
sambil memuji-muji Allah atas kejayaan ini dimana sebelumnya aku masuk
dalam keadaan takut dan diancam penjara. Kini aku keluar dari mahkamah
sementara sang ketuanya telah menjadi seorang sahabat yang dekat,
menghormatiku dan memintaku menemaninya agar dapat "belajar". Semua ini
adalah berkat Ahlul Bait yang tiada akan rugi orang yang berpegang
kepada mereka, dan akan aman orang yang merujuk kepada mereka.
Suami yang malang tadi menceritakan semua apa yang dilihatnya kepada
penduduk desanya sehingga berita itu tersebar ke seluruh pelosok desa
yang ada di sekitarnya. Dia kini kembali bersama istrinya dan perkara
perkawinannya telah dianggap sah. Orang ramai mulai berkata bahwa aku
lebih alim dari semua, hatta dari mufti besar sekalipun.
Si
suami kemudian datang ke rumahku dengan mobilnya yang besar, ingin
mengajak aku dan keluargaku ke desanya. Dia bilang bahwa semua
keluarganya tengah menunggu kedatanganku. Mereka akan menyembelih tiga
ekor anak onta sebagai tanda syukur. Tetapi aku minta maaf lantaran
tidak dapat hadir karena kesibukanku di Qafsah. Kukatakan kepadanya
bahwa aku akan mengunjungi mereka di waktu lain Insya Allah.
Lalu sang Hakim tadi pun menceritakan kejadian itu kepada
sahabat-sahabatnya hingga tersebarlah cerita itu dan Allah telah menolak
tipu daya orang-orang yang berniat jahat. Sebagian mereka datang
meminta maaf, dan sebagian lain Allah bukakan hatinya untuk menerima
hidayat dan kebenaran sehingga mereka ikut mazhab Ahlul Bait dan menjadi
orang-orang yang ikhlas. Semua ini adalah karunia Allah yang Dia
berikan kepada mereka yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Pemberi
karunia yang agung.
Wa Akhiru Da'wana Anil Hamdulillahi Rabbil A'lamin. Wa
Sollallahu A'la Sayyidina Muhammadin Wa A'la A'lihi at-
Thayyibin Wat Thahirin
CATATAN-CATATAN
1. Shahih Bukhori jil.2 dan 5 Hal. 75; Musnad Ahmad Bin Hanbal jil. 1
hal. 355; jil. 5 hal. 116; Tarikh Thabari jil. 3 hal. 193; Tarikh Ibnu
Atsir Jil. 2 hal. 320.
2. Thabaqat Ibnu Sa'ad jil.2 hal.l90; Tarikh
Ibnu Atsir Jil. 2 hal. 317; Sirah al-Halabiyah jil. 3 hal. 207;Tarikh
Thabari jil. 3 hal 226.
3. Lihat al-khilafah Wal Muluk oleh al-Maududi Dan Yaum al-Islam oleh Ahmad Amin.
4. Sharh Nahjul Balaghah Oleh ibnu Abil Hadid jil. 8 hal. 111.
5. Tarikh Ya'qubi jil. 2 hal. 106.
6. Futuh al-Buldan hal. 437.
7. Shahih Bukhori jil. 1 hal. 52.
8. Tarikh Thabari dan Tarikh Ibnu Atsir.
9. Al-Imamah Wa Siyasah Oleh Ibnu Qutaibah.
10. Lihat An-Nash Wal Ijtihad oleh Syarafuddin al-Musawi.
11. Shahih Bukhori jil. 4 hal. 94-96,156; jil. 3 hal. 32; Shahih Muslim jil. 7 hal. 66.
12. Shahih Bukhori jil. 4 hal. 100-101.
13. Muruj az-Zahab oleh al-Masu'di jil. 2 hal. 341.
14. Ibid.
15. Ibid.
16. Shahih Bukhori jil. 1 hal. 122.
17. Al-Khilafah Wal Muluk Oleh al-Maududi hal. 106.
18. ShahihMuslimjil.2hal.61.
19. Shahih Bukhori jil. 2 hal. 305; Shahih Muslim jil. 2 hal. 366
Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 109.
20. Shahih Bukhori jil. 1 hal. 76; Shahih Turmidzi jil. 5 hal. 300; Shahih Ibnu Majahjil. 1 hal. 44
21. Shahih Muslim jil. 1 hal. 61; Sunan an-Nasai jil. 6 hal. 177; Shahih Turmudzi jil. 8 hal. 306.
22. Shahih Thurmudzi jil. 5 hal. 201; Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 126.
23. Musnad Ahmad Bin Hanbal jil. 5 hal. 25; Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 134.
24. Shahih Muslim jil.2 hal.362; Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 109; Musnad Ahmad Bin Hanbal jil. 4 hal, 281.
25. Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 121; Khasais an-Nasai hal. 24;
Musnad Ahmad Bin Hanbal jil. 6 hal. 33; Manaqib al-Khawarizmi hal. 81;
ar-Riyadh an Nadhirah oleh Thabari jil. 2 hal. 219; Tarikh as-Suyuti
hal. 73.
26. Shahih Bukhori jil.l hal.74
27. Shahih Bukhori jil. 2 hal. 154; Shahih Muslim jil. 1 hal. 260.
28. Shahih Muslim jil. 2 hal.134.
29. Shahih Bukhori jil. 1 hal. 54.
30. Shahih Bukhori jil. 2 hal. 135.
31. Shahih Bukhori jil.3 hal.32.
32. Shahih Bukhori jil. 2 hal. 201.
33. Minhaj as-Sunnah oleh Ibnu Taimiyah jil. 3 hal.131; Hilyat al-Auliya' Oleh Ibnu Nu'aim jil. 1 hal. 52.
34. Tarikh Thabari hal. 41; ar-Riyadh an-Nadhirah jil. 1 hal. 134; Kanzul Ummal hal. 361; Minhaj as-Sunnah jil. 3 hal. 120.
35. Tarikh Thabari hal.41; Riyadh an-Nadhirah jil. 1 hal. 134; KanzulUmmalhal.361 Minhaj as-Sunnah jil. 3 hal. 120
36. Shahih Bukhori jil. 2 hal.206.
37. Al-Imamah was Siyasah jil.l hal. 20; Fadak Oleh Muhammad Baqir Sadr hal. 92.
38. Shahih Bukhori jil.l hal. 127,130; jil. 2 hal. 126,205.
39. Shahih Bukhori jil. 3 hal. 39.
40. Tarikh al-Khulafa' Oleh Ibnu Qutaibah jil. 1 hal. 20.
41. Shahih Muslim jil. 7 hal. 121,130.
42. Tarikh al-Khulafa' jil. 1 hal. 20.
43. Ibid.
44. Shahih Bukhori jil.3 hal.39.
45. Tarikh Thabari jil.4 hal.407; Tarikh Ibnu Atsir jil. 3 hal. 206;
Lisanul Arab jil. 14 hal. 193; Tajal-Arus jil.8 hal.141; Al-I'qdul Farid
jil. 4 hal. 290.
46. Al-Imamah was Siyasah.
47. Lihat Tarikh Thabari, Ibnu Atsir dan Madaini Tentang Tahun 36 H.
48. Shahih Muslim jil. 1 hal. 48.
49. Lihat Tarikh Thabari, Ibnu Atsir dll Tentang Sejarah Tahun 40 H.
50. Lihat Ibid Tahun 36 H.
51. Shahih Bukhori jil.4 hal. 161.
52. Ibid jil. 2 hal. 128
53. Shahih Turmizi, al-Istia'b dan al-Ishobah.
54. Shahih Bukhori Jil.3 hal.68.
55. Lihat al-Khilafah Wal Muluk Dan Yaum al-Islam.
56. Hayat al-Hayawan al-Kubro Oleh ad-Dumairi.
57. Muwatto' Imam Malik jil. 1 hal. 307; Maghazi al-Waqidi hal. 307.
58. Shahih Bukhori jil. 3 hal. 307.
59. ShahihTurmizijil.5hal.296; Khasais an-Nasai hal. 87; Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 110.
60. Musnad Ahmad Bin Hanbal jil. 4 hal. 241; Siyar al-Alamin Oleh Imam
Ghazali hal. 12; Tazkirah al-Khawas Oleh Ibnu al-Jauzi hal. 29;
ar-Riyadh Nadhirah jil. 2 hal. 169; Kanzul Ummal jil. 6 hal. 397;
Al-Bidayah wan Nihayah Oleh Ibnu KAtsir jil. 5 hal. 212; Tarikh Ibnu
Asakir jil. 2 hal. 50; Tafsir ar-Razi jil. 3 hal. 63; Al-Hawi Lil Fatawi
Oleh Suyuthi jil. 1 hal. 112.
61. Tarikh Thabari, Ibnu Atsir, Suyuthi, al-Istia'b dll.
62. Tarikh al-Khulafah Oleh Ibnu Qutaibah jil. 1 hal. 18.
63. Shahih Bukhori jil. 4 hal. 127.
64. Syarh Nahjul Balaghah Oleh Muhammad Abduh jil. 1 hal. 34.
65. Tarikh al-Khulafa' jil. 1 hal. 17.
66. Lihat as-Saqifah Wal Khilafah Abduh Fattah Abdul Maksud dan as-Saqifah Shaikh Muhammad Ridha al-Muzaffar.
67. Tarikhal-Khulafa jil. 1 hal.19; Syarh Nahjul Balaghah Oleh Ibnu Abil Hadid.
68. Shahih Bukhori jil.3 hal.36; Shahih Muslim jil. 2 hal. 72.
69. Mengimbas peperangan Jamal ketika beliau menunggangi onta.
70. Mengimbas ketika beliau menunggangi baghal dalam usaha menghalangi Hasan dari dikuburkan dekat pusara datuknya.
71. Syarh Nahjul Balaghah Ibnu Abil Hadid jil. 16 hal. 220-223.
72. Mustadrak al-Hakim jil.3 hal.107; Manaqib al- Khawaizmi hal. 3, 9;
Tarikh al-Khulafa hal. 168; Sawa'iq al-Muhriqah hal. 72; Tarikh Ibnu
Asakir jil. 3 hal. 63; Syawahid at-Tanzil jil. 1 hal. 10.
73. Riyadh Nadhirah jil. 2 hal. 282; as-Shawa'iq al-Muqhriqah hal. 118,72.
74. Shahih Bukhori jil. 2 hal. 202.
75. Fathul Bari Fi Syarhil Bukhori jil. 7 hal. 83; Tarikh al-Khulafa' hal. 199; as-Shawa'iq al-Muhriqah hal. 125.
76. Muwatto' Imam Malik jil. 1 hal. 307; Maghazi al-Waqidi hal. 310.
77. Shahih Turmizi jil. 4 hal. 339; Musnad Ahmad bin Hanbal jil. 2 hal. 319; Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 51.
78. Shahih Muslim.
79. Shahih Bukhori jil.4 hal. 184.
80. Al-Imamah was-Siyasah jil. 1 hal. 14; Al-Jahiz hal.301; A'lam an-Nisa jil. 3 hal. 12,15.
81. Tarikh al-Khawas hal. 23; Tarikh Ibnu Asakir jil. 1 hal. 107; Tarikh Masu'di jil. 1 hal. 414.
82. Tazkirah al-Khawas hal. 234; Tarikh Ibnu Asakir jil. 1 hal. 107;
Manaqib al-Khawarizmi hal. 7; al-Fushul al-Muhimmah Oleh al-Maliki
hal.21.
83. Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 127; Tarikh Ibnu Katsir jil. 7 hal. 358.
84. Al-Isti'ab jil. 3 hal. 39; Manaqib al-Khawarizmi hal.48; Riyadh Nadhirah jil. 2 hal. 194.
85. Ibid. Jil. 2 hal. 198; Tarikh al-Khulafa` hal. 124; Al-Itqan jil. 2
hal. 319; Fath al-Bari jil. 8 hal. 485; Tahzib at-Tahzib jil. 7 hal.
338.
86. Sunan ad-Darimi jil. 1 hal. 54; Tafsir Ibnu Katsir jil. 4 hal. 232; Ad-Dur al-Mantsur jil. 6 hal. 111.
87. Sunan lbnu Majah jil. 1 hal.44; Khasais Nasai hal. 20; Shahih
Turmizi jil. 5 hal. 300; Jami' Ushul Oleh Ibnu KAtsir jil. 9 hal. 471;
Jami' Shagir Oleh Suyuthi jil. 2 hal. 56 Riyadh; Nadhirah jil. 2 hal.
229.
88. Tarikh Ibnu Asakir jil. 2 hal. 448; Kunuz al-Haqaiq Oleh al-Maulawi hal. 203; Kanzul Ummal jil. 5 hal. 33.
89. TarikhThabari jil.2 hal.319; Tarikh Ibnu Atsir jil. 2 hal. 62
As-Sirah al-Halabiah jil. 1 hal. 311;Syawahid at-Tanzil Oleh
al-Hasakani jil. 1 hal. 371; Kanzul Ummal jil. 15 hal. 15; Tarikh Ibnu
Asakir jil. 1 hal. 85; Tafsir al-Khazin Oleh Alaudin as-Syafei; Hayat
Muhammad Oleh Hasanain Haikal Edisi pertama.
90.
ShahihMuslimjil.5hal.122; Shahih Turmuzi jil. 5 hal. 328; Mustadrak
al-Hakim jil. 3 hal. 148; Musnad Ahmad bin Hanbal jil. 3 hal. 17.
91. Lihat Sunan Nasai, Turmuzi, Ibnu Majah dan Abu Daud.
92. Kata-kata "Sunnahku", tidak diriwayatkan oleh kitab enam (shihah
as-Sittah). Ini hanya ada di dalam al-Muwatto' karangan Imam Malik bin
Anas. Hatta Thabari ketika meriwayatkan hadis ini beliau merujuk kepada
kitab Imam Malik ini.
93. Shahih Muslim jil. 8 hal. 151.
94. TarikhThabari jil.3hal.280; Tarikh al-Fida' jil. 1 hal. 158; Tarikh al-Ya'qubi jil. 2 hal. 110; Al-Isabah jil.3 hal.336.
95. Tarikh al-Fida' jil. hal. 158; Tarikh al-Ya'qubi jil. 2 hal. 110;
Tarikh Ibnu Shihnah jil. 11 hal. 114; Wafayat al-A'yan jil. 6 hal. 14.
96. As-Siddiq Abu Bakar oleh Haikal hal. 151.
97. Shahih Bukhori jil.4 hal.171.
98. Sirah Ibnu Hisham jil.4 hal.53; Thabaqat Ibnu Saad; Usud al-Ghabah jil. 3 hal. 102.
99. As-Siddiq Abu Bakar hal. 151.
100. TarikhThabarijil.3hal.254; Tarikh al-Khamis jil. 3 hal. 343.
101. Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 151; Yanabi' al-Mawaddah hal. 30,370; as-Shawa'iq al-Muhriqah hal. 184,234.
102. Lihat Is'afar-Raghibin danJami' as-Shagir.
103. Mustadrak al-Hakimjil. 3hal. 128; Jami' al-Kabir oleh Thabarani;
Al-Isobah Oleh Ibnu Hajar al-Asqalini; Kanzul Ummal jil. 6 hal. 155;
Al-Manaqib oleh khawarizmi hal. 34; Yanabi al-Mawaddah hal. 149; Haliyah
al-Auliya'jil. 1 hal. 86; Tarikh Ibnu Asakir jil. 2 hal. 95.
104. Manaqasyat Aqaidiyah Fi Maqalat Ibrahim al-Jabhan hal. 29.
105. Shahih Bukhori jil. 7 hal. 121; Shahih Muslim jil. 5 hal. 75.
106. Shahih Bukhori jil. 3 hal. 68; Shahih Muslim jil. 2 hal. 14.
107. Thabaqat Ibnu Saad Bag. 2 hal. 29.
108. Seperti perkara talak tiga. Lihat Shahih Muslim Bab Talak tiga. Juga Lihat Sunan Abi Daud jil. 1 hal. 344
109. Seperti perkara mengenai larangan atas Mut'ah Haji dan Mut'ah
Wanita. Lihat Shahih Muslim Bab Haji dan Bukhori bab Tamattu'
110. Tarikh Ibnu Asakir jil. 2 hal. 484; Maqtal Husain oleh Khawarizmi jil. 1 hal. 38 Al-Ghadir oleh al-Amini jil. 3 hal. 120.
111. Shahih Bukhori jil. 4 hal. 164; Shahih Muslim hal.119.
112. Yanabi al-Mawaddah oleh al-Qunduzi al-Hanafi.
113. Ad-Dur al-Mantsur oleh Suyuthi jil. 2 hal. 60; Usud al-Ghabah jil.
3 hal. 137; as-Shawa'iq al-Muhriqah hal. 148,226; Yanabi' al-Mawaddah
hal. 41,335; Kanzul Ummal jil. 1 hal. 168 Maima az-Zawaid jil. 9 hal.
163.
BIBLIOGRAFI
1. AlQuran al-Karim
2. Tafsir Thabari
3. Ad-Dur al-Mantsur oleh Suyuthi
4. Tafsir al-Mizan oleh Thabatabai
5. Tafsir al-Kabir oleh Fakhrur-Razi
6. Tafsir Ibnu KAtsir
7. Zad al-Masir Fi Ilmit Tafsir oleh Ibnu Jauzi
8. Tafsir al-Qurtubi
9. Syawahid at-Tanzil oleh al-Hasakani
10. Al-Hawi Lil Fatawi oleh Suyuthi
11. Al-Itqan Fi Ulum al-Quran
II. HADIS
1. Shahih Bukhori
2. Shahih Muslim
3. Shahih Turmuzi
4. Shahih Ibnu Majah
5. Mustadrak al-Hakim
6. Musnad Ahmad bin Hanbal
7. Sunan Abi Daud
8. Kanzul Ummal
9. Muwatto' Imam Malik
10. Jami' al-Usul oleh Ibnu Atsir
11. Jami' as-Saghir dan Jami' al-Kabir oleh Suyuthi
12. Minhaj as-Sunnah oleh Ibnu Taimiyah
13. Majma' az-Zawaid oleh al-Haithami
14. Kunuz al-Haqaiq oleh al-Manawi
15. Fath al-Bari Fi Syarh al-Bukhori
III. SEJARAH
1. Tarikh al-Umam wal Muluk oleh Thabari
2. Tarikh al-Khulafa' oleh Suyuthi
3. Tarikh al-Kamil oleh Ibnu Atsir
4. Tarikh al- Dimisyq oleh Ibnu Asakir
5. Tarikh al-Masu'di Muruj az-Zahab
6. Tarikh al-Ya'qubi
7. Tarikh al-Khulafa' oleh Ibnu Qutaibah
8. Tarikh Abul Fida'
9. Tarikh Ibnu Shuhnah
10. Tarikh Baghdad
11. Thabaqat al-Kubra oleh Ibnu Sa'ad
12. Al-Maghazi al-Waqidi
13. Syarh Nahjul Balaghah oleh Ibnu Abil Hadid
IV. SIRAH
1. Sirah Ibnu Hisyam
2. Sirah al-Halabiah
3. Al-Isti'ab
4. Al-Isabah Fi Tamyiz as-Sahabah
5. Usud al-Ghabah Fi Ma'rifat as-Sahabah
6. Hilyah al-Auliya oleh Abu Nuaim
7. Al-Ghadir Fil Kitab Was Sunnah oleh al-Amini
8. At-Ta'rif oleh Ibnu Thaus
9. Al-Fitnah al-Kubro oleh Taha Husain
10. Hayat Muhammad oleh Muhammad Husain Haikal
11. Ar-Riyadh an-Nadhirah oleh Thabari
12. Al-Khilafah Wal Muluk oleh al-Maududi.
V. LAIN-LAIN
1. Is'af ar-Raghibin.
2. Tahzib at-Tahzib.
3. Tazkirah al-Khawas oleh Ibnu Jauzi.
4. Al-Bidayah Wan Nihayah oleh Ibnu Katsir.
5. Sir al-Alamin oleh al-Ghazali.
6. as-Shaa'q al-Muhriqah oleh Ibnu Hajar al-Haithami.
7. Al-Manaqib oleh Khawarizmi.
8. Yanabi al-Mawaddah oleh al-Qunduzi al-Hanafi.
9. An-Nas Wal Ijtihad oleh Syarafuddin al-Musawi.
10. Al-Muraja'at oleh Syarafuddin al-Musawi.
11. As-Shaqifah oleh Syaikh al-Muzaffar.
12. Fadak oleh Sayed Muhammad Baqir as-Sadr.
13. As-Siddiq Abu Bakar oleh Husain Haikal.
14. Munaqasyat Aqidiyah Fi Maqalat Ibrahim al-Jabhan..
15. Lisanul Arab oleh Ibnu Manzur.
16. Syarh Nahjul Balaghah oleh Muhammad Abduh.
17. Abu Hurairah oleh Syarafuddin al-Musawi.
18. As-Saqifah Wal Khalifah oleh Abdul Fattah Abdul Maksud.
19. Syaikh al-Mudhirrah Oleh Muhammad Abu Rayyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar