-
- ilustrasi hiasan :
INSTITUSI MARJA'IYYAH DALAM MASA OKULTASI
Pengarang : A. Kamil
Dalam pembahasan teologi Islam telah ditetapkan bahwa manusia adalah makhluk teleologik. Sosok makhluk yang memiliki tujuan hidup. Aksioma ini bukan sekedar klaim dan pepesan kosong yang bisa disuarakan oleh setiap orang . Manusia dalam perjalanan hidupnya memiliki tujuan dan sasaran untuk mencapai kesempurnaan. Aksioma “pada segala sesuatu terdapat tujuan” tidak terkecuali bagi manusia. Bahkan melebihi segala sesuatu, manusia memiliki tujuan dan sasaran transedental dan divine dimana dengan segala upaya ia lakukan untuk mengatarkan dirinya kepada tujuan ini. Tuhan menciptakannya juga untuk mereleasisaikan tujuan ini. Oleh karena itu, Tuhan setelah menciptakan manusia, Tuhan menurunkan al-Qur’an lalu mengutus para nabi dan rasul kemudian sepeninggal keduanya, mekanisme Ilahi ini tetap berketerusan dengan perantara para imam semuanya untuk mengawal manusia mencapai tujuan ini. Semenjak menciptakan Adam, Tuhan telah menunjukkan jalan kepada manusia untuk melintasi jalan kesempurnaan dan meraup kebahagiaan insaniah dengan memilih para nabi untuk menuaikan tujuan mulia ini. Dalam mengutus para nabi, nabi demi nabi diutus menyeru manusia kepada Tuhan sang Pemilik Sejati Kesempurnaan dengan pengajaran dan pensucian.
Para nabi datang kepada manusia untuk memperkenalkan manusia hak dan kewajibannya di samping itu mengajak manusia untuk memperelok dan mensucikan jiwanya untuk mentransendental. Al-Qur’an dalam kaitannya dengan tugas dan tujuan diutusnya para nabi menegaskan, “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul dari golongan mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka kitab (Al-Qur’an) dan hikmah, meskipun mereka sebelum itu benar-benar terjerumus dalam jurang kesesatan yang nyata.” (Qs. Al-Jumuah [62]:2)
Nikmat dan anugerah Ilahi berupa pengutusan para nabi dan pemimpin samawi pada setiap masa sehingga ajaran-ajaran Ilahi secara berkesinambungan sampai kepada manusia. Imam Ridha As dalam menjelaskan eksistensi pengutusan para nabi dan derajat pengajaran mereka bersabda, “Tiada pilihan lain kecuali rasul Tuhan di antara mereka yang menjadi media antara Dia dan manusia dan mentransformasi titah dan larangan, serta norma kepada mereka.[1] Imam ‘Ali As terkait pengutusan secara berkesinambungan para nabi ini bersabda, “Tuhanku! Sesungguhnya merupakan sesuatu yang benar bahwa para hujjat harus ada di bumi, hujjat-demi-hujjat atas makhluk-Mu, menuntun mereka kepada agama-Mu, mengajarkan mereka ilmu-Mu, sehingga para pengikut-Mu tidak berberai.”[2]
Dan pada masa ghaibah kubra, ulama dan para juris mengambil tongkat estafet ini. Tentang peran seorang juris, Imam Khomeini pernah berkata bahwa sebagaimana peran nabi dan imam mampu mengawal dan melesakkan manusia ke arah kesempurnaan, juris juga memiliki peran yang sama.
Periode Akhir Kenabian
Nikmat dan anugerah terbesar yang diberikan Allah Swt kepada manusia pada umumnya, kaum musliminn pada khususnya dan lebih khusus kepada mazhab Syiah adalah anugerah keberadaan Nabi Saw dan para Imam Maksum As. Pada masa hayat Nabi Saw kaum Muslimin dapat langsung merujuk kepada mereka mengukapkan persoalan yang mereka hadapi, baik persoalan teologis, etika, sosial dan fiqih. Mereka langsung dapat menyeruput manfaat atas keberadaan Rasulullah Saw di tengah-tengah mereka. Pasca Rasulullah Saw, periode imamah dimulai dengan pengangkatan Imam ‘Ali As sebagai khalifah, washi, dan wali Rasulullah Saw atas kaum Muslimin. Dan setelah Imam ‘Ali, sebelas Imam Maksum As sebagai pelanjut risalah dan nubuwah dalam bingkai imamah yang merupakan keharusan dan keniscayaan dalam mazhab Syiah. Rasulullah Saw dalam menetapkan keberadaan mereka dan peran mereka sebagai media rujukan dalam masalah agama, sosial dan politik mencitrakan mereka sebagai pendamping Al-Qur’an yang berposisi “Tibyanan likulli syai” (penjelas segala sesuatu) dalam sebuah hadis yang diterima validitasnya dari kedua mazhab, Syiah dan Sunni, “Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka yang berharga; Kitab Allah dan Itrah; Ahlul Baitku. Selama berpegang pada keduanya, kalian tak akan tersesat selama-lamanya. Dan keduanya tidak akan terpisah hingga menjumpaiku di telaga Kautsar, di Hari Kiamat kelak”.[3]
Periode Imamah
Gerakan ini terus berlanjut dan berketerusan hingga masa akhir kenabian. Setelah masa kenabian berakhir, periode imamah dimulai. Nabi Saw menyampaikan segala yang diturunkan oleh Allah Swt kepadanya dan menunaikan tugas kenabian yang diembannya. Seiring dengan dekatnya akhir usia Nabi Saw, Allah Swt menyempurnakan agama dan nikmat yang diberikan kepada Nabi Saw (umat) disudahi dengan imamah serta memberikan titah penting kepadanya. Allah Swt memilih Muhammad Saw sebagai nabi pamungkas dan Islam sebagai agama terakhir. Supaya agama ini tetap terjaga dan senantiasa hidup hari Kiamat, Allah Swt menurunkan dustur dan titah penting berupa wahyu kepada Rasulullah Saw untuk menyempurnakan agama, “Hai rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhan-mu. Dan jika kamu tidak mengerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Qs. Al-Maidah [5]:67)
Kesempurnaan penyampaian agama dan penyempurnaannya dengan mengangkat imam dan pemandu umat, sedemikian sehingga pengamalan agama tetap dalam pengamatan dan kendali. Agama Tuhan tidak dibiarkan tanpa pemimpin dan Qur’an Natiq yang berfungsi menafsirkan al-Qur’an sebagaimana tugas fungsional yang diperankan oleh Nabi Saw.
Rasulullah Saw dalam Idul Ghadir memperkenalkan ‘Ali bin Abi Thalib sebagai penafsir al-Qur’an dan bersabda: “Dan sekali-kali tiada seorang pun yang mampu menafsirkan al-Qur’an bagi kalian (kaum Muslimin) kecuali orang yang kini tangannya kuraih dan kuangkat di hadapan kalian.” (Al-Ghadir, jil. 1, hal. 215)
Iya. Ketika agama sempurna dengan penentuan wali dan imam kaum Muslimin, ayat Ilahi turun: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu menjadi agama bagimu.” (Qs. Al-Maidah [5]:3)
Kaidah wilayah (baca: imamah) merupakan sebuah kaidah yang tetap dan tradisi dawam di kalangan para nabi sebagaimana yang disinggung dalam ayat iblâgh dan sejarah juga merekamnya dengan baik. Nabi Saw menjalankan tradisi para nabi ini dengan baik bahkan sempurna. Kaidah wilayah memiliki derajat dan kedudukan yang tinggi dalam Islam, lantaran dengan wafatnya Nabi Saw wahyu (pensyariatan) telah terputus dan selepasnya tiada lagi nabi yang akan diutus kepada manusia. Dalam masa imamah ini, yang menjadi kewajiban kaum Muslimin adalah menaati Imam ‘Ali dan para Imam Maksum setelahnya.
Imam Maksum As pada masa imamah mereka menjalani masa-masa sulit dan pelik dalam menjaga agama ini dari penyimpangan. Mereka bertungkus lumus, jiwa dan raga mengawal agama ini tetap terpelihara dan sejarah mencatat kiprah dan performa mereka dengan baik.
Periode Marjaiyyah dan Deputi Umum
Imam Maksum As untuk menjaga agama dan menyebarluaskan agama dengan media tabligh, mereka mengembleng sekelompok orang yang memiliki keutamaan dan potensi, di antaranya adalah murid-murid yang tak-berbilang Imam Baqir As dan Imam Shadiq As yang kemudian mendakwahkan agama ke seantero semesta. Ulama dan para juris Ahlulbait dengan pelbagai tekanan dan ancaman menjaga agama ini serta memelihara agama ini dari cengkraman distorsi.
Sedemikian berperan para murid imam, sehingga Imam Shadiq As bersabda: “Sekiranya kalau bukan Zurarah dan orang-orang semisalnya maka aku akan berprasangka bahwa hadis-hadis ayahku akan sirna.”
Kita saksikan bagaimana Imam Shadiq As memuji ulama dan juris yang menjalankan tugas menjaga agama. Masa kehadiran para Imam selama 260 tahun dan masa ghaiba (okultasi) Imam Keduabelas tiba. Periode ulama bermula dan periode ini merupakan periode yang termasuk dalam proyek para nabi dan imam yang telah mereka persiapkan sebelumnya. Seperti Anda ketahui bahwa empat deputi (nuwab al-arba’ah) Imam Zaman Ajf pada ghaiba sughra (okultasi minor) semuanya adalah ulama dan para juris. Merekalah yang ditunjuk secara resmi oleh Imam Pamungkas sebagai deputi umum dalam masalah agama.
Ishaq bin Ya’qub mengemukakan beberapa persoalan kepada Imam Zaman melalui surat yang disampaikan oleh Muhammad bin Utsman ‘Amri (deputi khusus kedua imam). Di antara masalah tersebut adalah umat dalam menghadapi masalah-masalah aktual, cukup pelik dan kontemporer masanya di masa ghaibah kubra (okultasi mayor), kepada siapa harus merujuk? Imam Mahdi Ajf dalam menjawab pertanyaan ini bersabda: “Adapun yang engkau tanyakan ihwalnya, semoga Allah membimbing dan mengokohkanmu....hingga beliau bersabda: “Adapun tentang persoalan-persoalan yang terjadi (di masamu) maka hendaklah kalian merujuk kepada perawi hadis kami karena mereka adalah hujjah dan deputiku untuk kalian dan aku adalah hujjah Allah.”[4]
Dalam kitab al-Hayat disebutan bahwa peran ulama dan para juris di masa ghaibah kubra ini adalah peran seorang imam dalam artian umum. Atau dengan ungkapan lain, alim yang memiliki syarat lengkap dengan satu perantara (imam) adalah hujjah Tuhan atas manusia.[5] Hal ini juga ditegaskan dalam hadis yang dinukil dari Imam Ridha As yang bersabda: “Kedudukan para juris pada masa ini sebagaimana kedudukan para nabi pada masa Bani Israil.”[6]
Peran Ulama pada masa Okultasi
Ulama dan juris yang jadikan sebagai deputi umum oleh Imam Pamungkas pada masa ghaiba kubra adalah ulama, juris dan marja’ yang memiliki selaksa kriteria (faqih jami’us asy-syaraith) yang menjadi penjaga Islam dan pewaris risalah nubuwwah dan imamah serta segala yang bertautan dengan Islam.
Barangkali di sini ada baiknya kita menyinggung peran dan kiprah ulama dan juris melalui lisan Imam Ja’far Shadiq As yang bersabda: “Sesungguhnya ulama merupakan pewaris para nabi, dan bahwa para nabi tidak mewariskan Dirham dan Dinar. Mereka mewarisi hadis-hadis dari hadis dari para nabi. Dan barangsiapa yang mengambil sesuatu dari mereka maka sesungguhnya telah memperoleh keuntungan yang besar. Maka perhatikanlah ilmu kalian darimana kalian mengambilnya lantaran dalam mazhab Ahlulbait di setiap masa terdapat ulama yang menjaga agama dari penyimpangan, usaha ahli batil dan takwil orang-orang jahil.”[7]
Juga dari hadis yang dinukil dari Imam Shadiq As, beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah Swt tidak membiarkan bumi tanpa seorang alim di dalamnya yang mengetahui kelebihan dan kekurangan dari agama Allah. Apabila kaum Mukmin menambahnya, mereka akan menolaknya. Jika terdapat kekurangan maka mereka akan menyempurnakannya. Kalau bukan para ulama maka kaum Muslimin akan terjerumus dalam kesalahan dalam urusan mereka.[8]
Dalam kitab al-Kafi, disebutkan cukup keras yang menyeru kepada para ulama untuk berkiprah aktif di tengah umat tatkala bid’ah bermunculan. Tentu saja konsekuensi logis dari perkembangan zaman, upaya dan pendekatan dilakukan dalam mencari solusi atas persoalan kekinian. Kalau ulama tidak berperan aktif dan konstruktif, maka inovasi-inovasi (bid’ah) akan banyak dimunculkan oleh orang-orang jahil. Dalam kitab tersebut, Nabi Saw bersabda: “Apabila bid’ah-bid’ah bermunculan di tengah umatku maka hendaklah para ulama menujukkan ilmunya, dan barangsiapa tidak berbuat demikian maka semoga Allah melaknatnya.”[9]
Keharusan Mengikuti Marja’
Dengan memperhatikan poin-poin di atas kini giliran masalah keharusan mengikuti marja. Mengapa kita harus bermarja’ dalam agama. Atau bahasa teknisnya mengapa kita harus bertaklid kepada marja? Bukankah taklid dalam agama tidak dibenarkan? Mengapa setiap orang tidak langsung saja merujuk kepada sumber aslinya? Lalu kalau memang harus mengikuti marja’ lalu marja’ yang mana yang harus kita ikuti? Apakah ada kriteria dan barometer terhadap masalah ini?
Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan asumtif ini kita harus berkata bahwa sebagaimana hukumnya wajib mentaati Allah, Rasul-Nya dan para Imam Maksum maka demikian juga berlaku bagi para marja’. Kewajiban ini merupakan kewajiban yang dihukumi secara universal oleh akal-sehat sebelum ditetapkan oleh syariat. Akal sehat atau teknisnya akal praktis menghukumi keharusan merujuk seorang pandir kepada seorang pandai. Hal ini berlaku secara universal.
Dalam bahasa professionalisme, seorang ahli dan ekspert dalam suatu hal tentu layak dan wajib oleh akal sehat untuk merujuk kepadanya. Misalnya seorang dokter, dengan kecakapan ilmu yang dimilikinya menjadi rujukan seorang pasien tatkala terjangkiti sebuah penyakit. Perbuatan yang dilakukan pasien merupakan titah dan perintah akal sehatnya. Dokter dengan kepakaran dalam bidang kedokteran dan penguasaan ilmu anatomi, farmakologi, patologi, dan fisiologi yang kemudian dari keempat nara-sumber ini mengeluarkan resep sama posisinya dengan seorang marja’ yang menginferensi (istinbâth) sumber-sumber seperti al-Qur’an, Sunnah, Akal dan Ijma dalam proses pengeluaran hukum.
Terlebih dari riwayat yang disampaikan di atas tentang keharusan merujuk kepada perawi (baca: juris) hadis-hadis Ahlulbait redaksi r-a-j-a’-a disebutkan secara tegas (sharih) yang menandaskan kepada perintah dan perintah menunjukkan adanya kewajiban.
Menanggapi pertanyaan berikutnya ihwal apakah perbuatan taklid itu tidak dibenarkan? Saya harus menjawab bahwa dalam hal ini terjadi sinkret istilah taklid dalam bidang teologi dan taklid dalam bidang jurisprudensi. Iya tentu taklid dalam bidang teologi (ushuluddin) tidak dibenarkan sama sekali. Namun taklid dalam masalah cabang (furu’) seperti masalah fiqih adalah diwajibkan kalaulah orang yang bertaklid itu belum mencapai tingkatan juris atau minimal tingkatan muhtath (tingkatan medium antara marja’ taqlid dan muqallid).
Mengapa setiap orang tidak dapat on-the-spot, merujuk kepada sumber-sumber aslinya. Bukankah akal praktis juga menghukumi demikian? Bahwa kalau ingin mendapatkan sesuatu maka ambillah dari sumbernya. Kaidah benar. Namun apakah setiap orang mampu melakukan hal tersebut? Apakah setiap orang mampu menjadi dokter atas dirinya masing-masing? Tentu saja tidak. Munculnya bid’ah dan pada tingkatan tertentu chaos dalam bidang agama karena setiap orang merasa pandai dan cendekia. Coba kita saksikan pada fulan mazhab, karena penafian peran sentral dan kudus ulama dalam bidang agama, setiap orang muncul dengan pendapatnya masing-masing.
Parameter Marja’
Para Imam Maksum yang merupakan cerminan sempurna Sang Mahaparipurna, Allah Swt, dengan kebijaksanaan dan hikmahnya, juga telah menetapakn parameter dan kriteria kepada siapa orang harus merujuk dalam masalah agama. Dari Imam Hasan Askari As dinukil hadis ihwal perlunya orang awam merujuk kepada para juris dan syarat-syarat para juris yang dapat dirujuk oleh orang awam dan bertaklid kepadanya, “Barangsiapa dari kalangan fuqaha, memeliharan dirinya, menjaga agamanya, melawan hawa-nafsunya, mengikuti titah Tuhannya, maka wajib bagi orang awam untuk bertaklid kepadanya.”[10]
Parameter yang diberikan oleh Imam Maksum ini adalah paremeter yang bersifat umum. Parameter pertama adalah parameter keilmuan (‘ilmi) dan kepakaran dalam bidang agama...”barangsiapa dari kalangan fuqaha..” (man kana minal fuqaha). Parameter kedua adalah parameter praktik (‘amali) dan akhlak fuqaha..”memelihara dirinya, menjaga agamanya, menentang hawa nafsunya..” (shainan linafishi, hafizhan lidinihi, mukhalifan ‘ala hawau)
Memang harus demikianlah adanya fuqaha yang mengemban tugas sebagai pewaris para nabi dan imam, pelanjut risalah kenabian dan imamah. Tentu tidak setiap orang dapat mengemban tugas mulia dan berat ini. Bukan tempatnya di sini mengurai secara jeluk parameter dan kriteria ini. Penulis alihkan pada ruang dan waktu yang lain. Insya Allah.
Institusi Marjaiyyah
Marja’ derivatnya dari kata r-a-j-a-‘a. Marja secara leksikal bermakna tempat merujuk dan kembali. Marja’ merupakan adverb of place (isim makan). Ghalibnya dalam istilah fiqih, faqih yang telah mencapai derajat marja taqlid adalah faqih yang telah mencapai derajat ijtihad mutlak. Dalam lisan urf komunitas Syiah, marja adalah mujtahid yang ranah studinya pelajaran advanced fiqih dan masyarakat umum bertaklid kepadanya. Ia harus seorang mujtahid mutlak dan dalam pandangan masyarakat lebih pandai (a’lam) dalam proses inferensi hukum fiqih. Oleh karena itu, dalam definisi teknis urf, terdapat perbedaan antara marja dan mujtahid.[11]
Marja’ dalam komunitas Syiah bermakna lebih umum, pengganti Imam As, yang mengisi tempat kosong imam, sehingga sekali-kali masyarakat pada setiap sisi maknawi, pemikiran, politik, sosial, menjalani hal ini dengan pemimpin.[12]
Marjaiyyah merupakan sebuah institusi yang penting dan bertaut dengan kehidupan kaum muslimin. Marjaiyyah merupakan sebuah akuntabilitas yang diemban oleh ulama rabbani. Marjaiyyah merupakan tempat benderang yang memberikan sandaran cerlang bagi kaum Muslimin. Eksistensi marja merupakan jawaban atas perkembangan dinamis dan progressifnya zaman dan masa. Marjaiyyah merupakan pranata penggerak Islam dan penyelaras prinsip (ushul) dan kaidah-kaidah universal syariat dengan kebutuhan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di suatu masa. Marjaiyyah merupakan problem-solver, atas selaksa persoalan kekinian yang acap kali hadir dalam kehidupan umat.
Mengeluarkan fatwa dan hukum baik dalam skala personal maupun sosial merupakan salah satu tugas utama institusi marjaiyyah. Namun ranah tugas mereka tidak terbatas pada persoalan ini. Melainkan sangat menjuntai dan lebar. Marja’ taqlid adalah pemilik risalah fiqih bukan risalah kenabian. Ia adalah pakar dan expert dalam mekanisme kodifikasi hukum Islam. Dengan kata lain, marjaiyyah merupakan kelanjutan dan penerus risalah nabawi dan imamah dan pengusung risalah fiqih di masa ghaiba, pemimpin dan pengurus umat.
Pranata dan institusi sedemikian tentu saja memerlukan barometer dan teraju untuk mengemban tugas besar ini. Di samping memiliki akal sehat dan pemahaman benar, ia harus bersikap yang patut, cerdas dan penuh visi, prawira dan penuh vitalitas, mengenal zamannya, memiliki konsep manajerial, untuk menegakkan pemerintahan adil, menunaikan hak-hak kaum musthad’afin dan mengajarkan ajaran luhur Islam dan tarbiyah kepada umat. Manager dan perencana (mudir wa mudabbir).
Imam Khomeini Ra dalam hal ini berkata tentang syarat-syarat seorang juris Jami’ asy-Syarait:
“Mujtahid adalah seorang yang mengenal dan menguasai masalah-masalah yang berkembang pada zamannya. Seorang mujtahid adalah seorang yang cerdas, berwawasan, dan mudir dan mudabbir. Ia harus mampu menuntun komunitas besar Islam dan bahkan non-Islam. Di samping harus memiliki ketulusan, takwa dan zuhud.”[13]
Adagium al-Islam shahihu likulli az-zaman menemukan keselarasannya dengan keberadaan institusi dinamik dan progressif agama ini. Islam dan tantangan zaman terjawab dengan keberadaan pranata religius ini. Syahid Muthahhari yang menukil dari Iqbal tentang semangat ijtihad yang dipraktikan oleh para juris berkata "ijtihad merupakan kekuatan penggerak Islam."[14] Redaksi yang lain yang dinukil oleh Syahid Muthahari dari Ibnu Sina dalam kitab Syifa yang menegaskan bahwa "pelbagai kebutuhan yang diperlukan oleh umat manusia tidak terbatas. Asas Islam (baca ushuluddin) bersifat tetap dan tidak berubah. Dan tidak hanya tidak berubah namun ia merupakan realitas-realitas yang harus menjadi dasar dan asas bagi kehidupan umat manusia. Namun yang bertalian dengan cabang (furu'uddin), tidak demikian. Hal-hal yang berkenaan dengan masalah cabang agama tidak berujung. Menurut Ibnu Sina, atas alasan inilah ijtihad merupakan sebuah perkara yang mesti dan harus ada di setiap zaman.[15]
Oleh karena itu, marjaiyyah yang merupakan institusi ijtihad yang terlembagakan sebagai penjaga agama dan pengawal umat harus ada.
Bagaimana Memilih Marja'
Setelah menetapkan keharusan adanya marja (juris mutlak) di setiap zaman, maka sebagai penutup dari tulisan ringan ini, dan jawaban atas pertanyaan asumtif di atas tentang metode yang digunakan dalam memilih seorang marja'? Apakah ustadz-ustadz pop yang banyak berseliweran di TV/Radio dapat dipilih sebagai seorang marja'? Apakah dalam memilih syaratnya harus lebih pandai (a'lam) dalam proses inferensi hukum fiqih?
Menjawab pertanyaan ini, saya mengajak Anda untuk sama-sama merujuk kepada Imam Khomeini Ra yang merupakan juris mutlak di zamannya dengan produk pemerintahan Islam Iran sebagai karya ijtihadnya dalam kitab fiqihnya, Tahrir al-Wasilah dalam bab Ijtihad wa Taqlid pada proses penentuan dan pemilihan marja' dan kelebihpandaiannya menjelaskan sebagai berikut:
"Yustbitul Ijtihad bil Ikhtibar, was Syi'a'il mufid lil'Ilm wa Bisyahadatil 'Adlain, min Ahli Khibra, wa Kadza al-A'lamiyah…"[16] (Ijtihad ditetapkan melalui pengujian, dan popularitas yang menghasilkan keyakinan, dan kesaksian dua orang adil dari kalangan mujtahid, dan demikian juga kepandaiannya...)
Dalam penjelasan Imam Khomeini ini disebutkan tiga metode dalam memilih marja:
1. Al-Ikhtibâr artinya menguji dan mengetes seorang marja sehingga kita dapat mengetahui bahwa apakah ia memang benar-benar seorang marja' atau tidak? Dan tentu saja masalah ini hanya mampu dilakukan oleh ahli dalam bidang ini. Barangkali pada poin ini, petunjuk dari Imam 'Ali As dapat kita gunakan sebagai penyokong klaim ini, "Tidak dikenal kepandaian seorang pandai kecuali oleh orang-orang pandai."[17]
2. Asy-Syi'ai al-Mufid lil'Ilm (popularitas yang mendatangkan keyakinan) artinya marja yang menjadi perhatian sedemikian terkenal dan populer di kalangan ahli dan pakar fiqih dalam masalah ijtihad dan kelebihpandaian sehingga mukallaf atau muqallid yakin terhadap masalah ini.
3. Syahadatu al-Adlain min Ahli Khibra, (kesaksian dua orang adil yang ahli dan pakar dalam bidang fiqih)
Asas poin kedua dan ketiga adalah bahwa Anda mempercayakan dan mengandalkan pendapat dan kesaksian para ahli dan pakar, minimal dua orang, dalam bidang ini. Dimana keduanya juga merupakan mujtahid tapi belum mencapai tingkatan mujtahid mutlak atau derajat marjaiyyah. Hampir mayoritas fuqaha kiwari senada dengan Imam Khomeini dalam masalah penentuan marja taqlid ini, walau dengan redaksi yang berbeda.
Tentang a'lamiyah (kelebihpandaian) ini juga merupakan sebuah pilihan natural dan logis. Betapa tidak dalam kehidupan keseharian kita juga sering berhadapan dengan pilihan-pilihan, dan di antara pilihan itu kita memilih yang lebih baik. Sebagai perumpaan seorang yang didera dengan penyakit jantung dan tidak memiliki sebarang informasi pun tentang kedokteran. Tentu ia akan bertanya kepada mahasiswa kedokteran, para dokter, apoteker, atau orang-orang yang memiliki informasi dalam bidang ini tentang siapa yang paling ahli dalam bidang jantung. Dalam bidang apa pun, tentu Anda akan mencari yang lebih ahli dan pakar dalam bidangnya. Wallahu 'Alim…
Catatan
[1]. Allamah Majlisi, Bihârul Anwâr, jil. 11, hal. 40
[2]. Idem,
[3]. Hadis ini dinukil secara mutawatir dalam termaktub dalm kitab-kitab standar Ahlusunnah, Sahih Muslim : jilid 7, hal 122. Sunan Ad-Darimi, jilid 2, hal 432. Musnad Ahmad, jilid 3, hal 14, 17, 26 dan jilid 4, hal 371 serta jilid 5, hal 182 dan 189. Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, hal 109, 147 dan 533.
[4] . Syaikh Hurr al-Amili, Wasâil asy-Syiah, jil. 27, hal. 140
[5]. Muhammad Ridha Hakimi, Muhammad Hakimi, Ali Hakimi, Al-Hayât, jil. 2, hal. 565
[6]. Idem, hal. 557.
[7]. Allamah al-Majlisi, Bihârul Anwâr, jil. 2, hal. 92
[8]. Allamah Majlisi, Bihârul Anwâr, jil. 23, hal. 26
[9]. Syaikh Kulaini, al-Kâfi, jil. 2, hal. 168
[10]. Allamah Majlisi, Biharul Anwar, jil. 2, hal. 88
[11]. Husain Ali Ahmadi Jusyqani, Muqayaseh Syuun wa Syarait Rahbari wa Marja’iyyat, hal. 120
[12]. Salim al-Hasani, al-Ma’alim al-Jadidah lil Marjaiyyahti Syi’ah, hal. 94
[13]. Imam Khomeini, Shahifeh-ye Nur, jil. 8, hal. 219
[14]. Syahid Muthahhari, Islam wa Muqtadhayat-e Zaman, hal. 233
[15] . Idem.
[16]. Imam Khomeini, Tahrir a-l-Wasilah, jil. 1, hal. 6, masalah 16
[17]. Ibnu Abil Hadid, Syarah Nahjul Balagah, jil. 20, hadis 196.
ilustrasi hiasan:
Latar Sejarah Ijtihad dalam Madrasah Syiah
Dalam agama Islam, ijtihad merupakan salah satu tema penting dan memiliki latar belakang historis. Ibnu Sina dalam kitab Syifa menegaskan bahwa “Pelbagai kebutuhan yang diperlukan oleh umat manusia tidak terbatas. Asas Islam (baca: ushuluddin) bersifat tetap dan tidak berubah. Dan tidak hanya tidak berubah namun ia merupakan realitas-realitas yang harus menjadi dasar dan asas bagi kehidupan umat manusia. Namun yang bertalian dengan cabang (furu’uddin), tidak demikian. Hal-hal yang berkenaan dengan masalah cabang agama tidak berujung. Menurut Ibnu Sina, atas alasan inilah ijtihad merupakan sebuah perkara yang mesti dan harus ada di setiap zaman. Ijtihad, menyitir Iqbal, adalah kekuatan penggerak Islam. Dengan ijtihad roda kendaraan Islam akan senantiasa bergulir. Persoalan-persoalan kekinian yang dihadapi oleh umat manusia dapat ditelusuri jawabannya dari produk-produk ijtihad yang dihasilkan oleh para juris.
Dengan bermodalkan al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan Akal, para mujtahid senantiasa berupaya untuk memecahkan pelbagai persoalan yang dihadapi umat manusia pada setiap masanya. Pada masa Rasulullah Saw, orang-orang memiliki jalur dan akses kepada Rasulullah dan menyelesaikan persoalan mereka. Demikian juga pada masa para Imam Maksum As. Pada masa hidup para Imam Maksum, sebagian orang yang memiliki potensi dan kapasitas intelektual yang memadai, menimba pengetahuan dan kaidah-kaidah umum sedemikian sehingga misalnya Imam Shadiq As bersabda, ‘alaina ilqâu al-ushûl wa ‘alaikum al-tafri’ (Tugas kami mengajarkan kaidah-kaidah pokok dan bagi kalian mencabangkannya).
Berangkat dari sabda Imam Shadiq As, para sahabat dan murid-murid imam meramifikasi pelbagai kaidah umum yang mereka gali dari madrasah Imam Shadiq As untuk menjawab persoalan-persolan umat di masanya. Demikian seterusnya, hingga masa kiwari sekarang ini. Ratusan kaidah rasional ushul dan fikih telah lahir dan mengalami ramifikasi bertitik tolak dari sabda Imam Shadiq As ini. Bukan tempatnya di sini untuk membicarakan kaidah apa saja yang telah lahir tersebut. Stressing tulisan ini pada latar sejarah ijtihad secara selintasan yang membentang semenjak masa Rasulullah hingga masa para Imam Maksum As. Adapun persoalan ijtihad pasca Imam Maksum As, khususnya pada masa ghaibat kubra hingga terbentuknya secara institusional marja taklid, insya Allah, menyusul segera.
Ijtihad pada Masa Nabi Saw
Dalam perspektif Syiah, ijtihad mulai berkembang pada masa para Imam Maksum As di kalangan para sahabat mereka. Semangat dan praktik ijtihad tersebut telah memunculkan banyak perubahan dan kemajuan dalam Syiah. Syiah menerima ijtihad yang bermakna inferensi (istinbath) hukum-hukum syariat dari nash-nash, lahiriyah al-Qur’an dan Sunnah. Jenis ijtihad semacam ini telah menyebar semenjak masa Imam Maksum As di kalangan para sahabat para imam. Bahkan pada masa Rasulullah Saw sendiri ijtiihad telah dipraktikan oleh sebagian sahabat Rasulullah Saw. Misalnya Rasulullah Saw mengutus sebagian sahabat seperti Mush’ab bin Umair dan Muadz bin Jabal untuk pergi ke daerah-daerah sekitar melakukan dakwah dan mengajarkan hukum-hukum agama. Rasulullah Saw bersabda, “Hindarilah mengeluarkan fatwa tanpa ilmu yang dapat mengundang laknat para malaikat (ke atas kalian).”[1]
Juga terdapat sebuah hadis yang popular diriwayatkan di kalangan Ahlusunah yang diriwayatkan dari Muadz bin Jabal. Hadis ini terkadang dijadikan sandaran justifikasi penetapan hukum dengan menggunakan pendapat sendiri (ijtihad bi al-ra’y). Hadis ini diriwayatkan dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal dan Sunan al Darimi. Redaksi hadis tersebut adalah sebagai berikut, "Sesungguhnya Rasulullah Saw mengutus Muadz ke Yaman, beliau bersabda, " Bagaimana Anda nanti memberikan keputusan? "
"Aku memberi keputusan dengan kitabullah.”
"Bagaimana kalau tidak ada dalam kitabullah?"
"Maka dengan sunnah Rasulullah Saw"
"Bagaimana kalau tidak ada dalam sunnah Rasulullah Saw?"
"Aku berusaha dengan pendapatku dan aku tidak akan menyerah."
Lalu Rasulullah Saw menepuk dadanya dan bersabda, "Segala puji bagi Allah yang telah membimbing utusan Rasulullah."
Sejarawan dan ahli hadis Syiah, menukil dari Ibnu Hazm, memandang hadis di atas sebagai hadis majhul. Di sini kita tidak akan membahasnya secara jeluk. Stressingnya pada sejarah ijtihad yang dilakukan sebagian sahabat pada masa Rasulullah Saw.
Ijtihad pada Masa Para Imam Maksum
Sekarang tiba gilirannya latar sejarah ijtihad pada masa para Imam Maksum As. Saya tidak habis pikir atas dasar apa, penulis Dari Literatur Syiah ke Marjaiyyah, menulis bahwa ijtihad telah usai pasca masa Imam Shadiq As. Sementara kaidah universal yang diajarkan olehnya tetap dilanjutkan oleh murid-muridnya dan dikawal oleh para imam pasca Imam Shadiq As.
Sebagaimana yang dibeberkan di atas mengindikasikan bahwa memberikan fatwa dari mufti dan juris (fakih) dan konsekuensinya taklid dan mengikuti fatwa tersebut dari sisi masyarakat juga telah mengemuka pada masa Rasulullah Saw. Merujuk kepada fakih pasca wafatnya Rasulullah Saw terus berlanjut sebagaimana sebelumnya hingga mencapai zaman keemasannya dan bersemi pada masa Imam Baqir As dan Imam Shadiq As.
Tidak terbilang juris yang digembleng dan dididik pada madrasah dua imam besar ini.[2] Mereka menyebar di kota-kota dengan maksud menghidupkan dan mengjarkan hukum-hukum agama. Banyak masyarakat yang dahaga akan pengetahuan-pengetahuan dan hukum-hukum Ilahi yang bermukim di tempat yang jauh dari para Imam Maksum mendatangi murid-murid dua imam besar itu dan bertanya tentang masalah-masalah yang dihadapi kepada mereka. Dengan perantara murid-murid ini masyarakat melepaskan dahaganya dari samudera ilmu para Imam Maksum As yang tidak terbatas. Inilah yang disebut seabgai taklid dan dilakukan oleh masyarakat ketika itu. Berikut ini beberapa contoh dari praktik taklid dan ijtihad yang dilakukan masyarakat pada masa para Imam Maksum As:
1. Imam Baqir As bersabda kepada Aban bin Taghlab: “Duduklah di masjid Madinah dan berikanlah fatwa untuk masyarakat. Karena aku suka orang-orang sepertimu di kalangan Syiahku.”[3]
2. Muadz bin Muslim, salah seorang sahabat Imam Shadiq As, tanpa mendapatkan izin dari imam memberikan fatwa di masjid Jami’. Tatkala berita ini sampai kepada Imam Shadiq As, beliau memotivasi dan menyokongnya."[4]
3. Syu’aib ‘Aqrqauqi berkata, “Saya berkata kepada Imam Shadiq As: “Terkadang kami ingin bertanya dan memecahkan masalah agama yang kami hadapi (dan kami tidak memiliki akses kepada Anda karena kejauhan atau [Anda] berada dalam kondisi taqiyyah..) Katakanlah kepada siapa kami harus merujuk dan menerima ucapannya? Imam Shadiq As menjawab, “’Alaikum bil Asadi ya’ni Aba Bashir” (Engkau dapat merujuk kepada Abu Bashir).[5]
4. Hasan bin Ali Yaqtin berkata, “Aku berkata kepada Imam Ridha As, “Saya tidak dapat bertanya kepada Anda (secara langsung) ketika berhadapan dengan setiap persoalan agama yang saya hadapi. Apakah Yunus bin Abdurrahman itu orang tsiqah (dapat dipercaya) dan jujur dan saya dapat menerima jawaban terhadap masalah-masalah agama yang saya hadapi? Imam Ridha As bersabda, “Iya.”[6]
5. Imam Mahdi Ajf dalam tauqi’-nya (surat yang ditandatangi) yang terkenal itu menulis kepada Ishaq bin Ya’qub, sebagai sebuah kaidah umum, seperti ini: “Dalam pelbagai peristiwa yang terjadi maka merujuklah kepada para perawi hadis kami (para juris) mereka adalah hujjahku bagi kalian dan aku adalah hujjah Tuhan bagi mereka.”[7]
Ijtihad dan Taklid
Berdasarkan tauqi’ Imam Mahdi ini dan beberapa riwayat lainnya menguatkan masalah merujuk kepada juris (fakih) pada masa ghaibat kubra dan memunculkan dua terma “ijtihad” dan “taklid.” Ihwal dua terma teknis ini secara ringkas dapat disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ijtihad adalah usaha yang sungguh-sunguh yang dilakukan para juris untuk menginferensi hukum-hukum syariat dari sumber-sumbernya. Adapun taklid secara teknis, meminjam definisi Imam Khomeini dalam Tahrir Wasilah, bab taklid, bermakna beramal mengikut fatwa mujtahid (marja).” Sebagaimana sejarah ijtihad bermula itu sejarah taklid juga sama nasibnya. Artinya ketika ada ijtihad maka konsekuensi logisnya ada orang yang membutuhkan produk ijtihad tersebut yang dalam bahasa teknis fikihnya disebut sebagai taklid. Mungkin pada lain kesempatan kita akan menguliti dua makna teknis ini berikut sejarah marjaiyyah dan institusi marjaiyyah dalam Syiah.
Para juris dan mujtahid jâmi’ al-syarâit (memiliki pelbagai persyaratan) memikul tanggung jawab untuk menjawab dan mengeluarkan fatwa bagi setiap persoalan kekinian yang dihadapi masyarakat dan mengisi kekosongan serta memberikan solusi atas persoalan tiadanya akses langsung masyarakat kepada para Imam Maksum As. Persoalan ini hingga kini terus berlanjut dan demikian seterusnya. Sebagaimana Syaikh Thusi berkata, “Aku mendapatkan Syiah Imamiyah semenjak masa Imam Ali As hingga kini (abad kelima Hijriah) senantiasa mendatangi para juris mereka dan bertanya tentang hukum-hukum dan ibadah kepada mereka. Para fukaha tersebut memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut dan dengan fatwa para fukaha menunjukkan jalan kepada mereka.”[8]
Demikianlah, ijtihad memiliki bentangan sejarah yang panjang semenjak dulu pada masa Imam Maksum As hingga kini di pelbagai Hauzah Ilmiah Syiah. Sebelum itu, masyarakat bertanya langsung kepada para Imam Maksum As terkait dengan pelbagai persoalan yang mereka hadapi. Para Imam Maksum As dalam menjelaskan hukum-hukum syariat kepada masyarakat menjelankan fungsinya sebagai imam. Demikian juga menjelaskan kaidah-kaidah umum dan menjawab pertanyaan-pertanyaan para sahabat dan mengajarkan ihwal bagaimana melakukan istinbath hukum-hukum khusus dari kaidah umum kepada mereka.[9]
Taklid kepada Para Maksum
Mungkin terlontar pertanyaan bahwa mujtahid sebelum mencapai derajat mujtahid mereka bertaklid kepada siapa? Jawabnya adalah bahwa para mujtahid sebelum menggondol derajat ijtihad mereka bertaklid kepada para Imam Maksum As. Pada masa-masa setelah itu, orang-orang yang telah belajar dan memiliki potensi itu memberikan jawaban kepada masyarakat atas masalah-masalah syariat dengan memanfaatkan ucapan-ucapan dan riwayat-riwayat para Imam Maksum As.
Demikianlah model permulaan ijtihad yang kemudian mengalami perkembangan dan kemajuan. Dan pada sebuah tingkatan pada masa ghaibat, ulama dengan memanfaatkan riwayat yang melimpah dan menerapkan kaidah-kaidah yang mereka pelajari dari para Imam Maksum dalam berhadapan dengan hukum-hukum syariat. Karena seluruh masalah yang dibutuhkan telah terrefleksi dalam riwayat-riwayat para maksum. Pada tingkatan selanjutnya, seiring dengan kemajuan ilmu dan luasnya kebutuhan-kebutuhan yang belum dijelaskan dalam riwayat dan para mujtahid memberdayakan masalah-masalh tersebut dari hal-hal umum dan bersifat mutlak dari ayat-ayat dan riwayat-riwayat. Secara perlahan perkembangan ijtihad hari-demi-hari semakin pelik. Dewasa ini ruang lingkup ijtihad sangat luas dan menjuntai sedemikian sehingga menuntut kecapakan dan ilmu yang lebih luas para juris untuk memberikan jawaban atas setiap persoalan kekinian yang dihadapi masyarakat. []
Catatan
[2]. Sejarawan menulis Imam Shadiq memiliki empat ribu murid yang datang dari pelbagai penjuru negeri untuk menimba ilmu dari Imam Shadiq As. Silahkan lihat, Haidar Asad, al-Imâm al-Shâdiq wa Madzâhib al-Arba’ah, jil. 1, hal. 69.
[3]. Wasâil al-Syiah, jil. 17, bab 11.
«اجلس ف? مسجد المد?نة و افت الناس فان? احب ان ار? ف? ش?عت? مثلک»
[4]. Wasâil al-Syiah, jil. 27, hal. 148.
[5]. Wasâil al-Syiah, jil. 27, hal. 142.
«ربما احتجنا ان نسأل عن الش? فمن نسأل»
[6]. Ibid.
«لا اکاد اصل ال?ک اسألک عن کل ما احتاج ال?ه من معالم د?ن?. اف?ونس بن عبد الرحمان ثقة آخذ منه ما احتاج ال?ه من معالم د?ن? فقال نعم»
[7]. Ibid.
«... و اما الحوادث الواقعة فارجعوا ف?ها ال? رواة حد?ثنا فانهم حجت? عل?کم و انا حجة الله عل?هم»
[8]. Syaikh Thusi, al-Iddat fi Ushûl al-Fiqh, hal. 731. Pursesy-ha wa Pasukha-ye Danesyjuyan, hal-hal. 42,43, 44.
[9]. Misalnya lihat, Syaikh Thusi, al-Istibshâr, jil. 1, hal. 77-78.
Mengapa Imam Mahdi harus Gaib?
Mengapa Imam Zaman tidak dilahirkan saja ketika ia harus muncul?
Pertanyaan ini mungkin dapat dijawab dengan menjelaskan filsafat kegaiban, masalah penantian (intizhâr), pengaruh dan keberkahan yang dapat diraup atas keberadaan Imam Zaman Ajf pada masa kegaiban. Disebutkan bahwa falsafah kegaiban Imam Zaman Ajf tujuannya adalah supaya tiada satu pun baiat yang menggelayut di pundak Imam Zaman atau supaya Imam terhindar dari bahaya pembunuhan. Jelas bahwa hikmah-hikmah seperti ini tidak menuntut sehingga Imam Zaman harus lahir sebelum kemunculannya.
Namun terdapat hikmah-hikmah lainnya yang dapat menjelaskan bahwa Imam Zaman Ajf itu hidup hingga sekarang dan manfaat dan pengaruh seperti ini tidak akan tampak sekiranya Imam Zaman itu tidak hidup atau belum lahir:
A. Salah satu tujuan kemunculan Imam Zaman adalah untuk mengubah dunia dan, menciptakan tatanan peradaban baru berdasarkan nilai-nilai ilahi. Hal ini tidak akan tercapai kecuali bahwa masyarakat dunia telah melihat dan merasakan pelbagai ragam pemerintahan dan peradaban. Mereka menyaksikan langsung pelbagai kegagalan pemerintahan dan peradaban tersebut dalam merealisasikan seluruh cita dan asa umat manusia sehingga mereka menantikan terbentuknya pemerintahan Imam Mahdi Ajf. Dengan demikian, tersedia ruang dan waktu sehingga umat manusia siap untuk menerima kemunculan pemerintahan Imam Mahdi Ajf.
B. Kegaiban Imam Zaman Ajf adalah media ujian bagi para hamba Tuhan. Apa yang menjelaskan kemestian kegaiban (ghaibah) adalah keharusan hidupnya imam yang hidup dan ghaib sehingga menjadi media untuk mengimplementasikan sunnah Ilahi yaitu ujian bagi para hamba Tuhan.
C. Di samping redaksi kegaiban Imam Zaman juga terdapat redaksi penantian (intizhâr). Intizhâr di samping menyebabkan pembangunan jiwa seseorang juga berguna bagi masyarakat. Dan dua persoalan ini kendati seseorang tidak meyakini imam yang hidup juga dapat dijelaskan. Akan tetapi pengaruh keyakinan terhadap imam yang hidup, yang sewaktu-waktu dapat muncul, semakin berlipat ganda dalam menghasilkan dua manfaat personal dan sosial-kemasyarakatan ini.
Manfaat dan Keberkahan Kehadiran Imam Zaman pada Masa Kegaiban
Pada sebagian riwayat, Imam Zaman Ajf pada masa kegaiban dicitrakan laksana surya di balik awan dan di antara manfaat surya ini adalah sebagai berikut.
1. Hidupnya panglima di tengah medan perang akan menimbulkan gelora semangat dan harapan kepada para serdadu. Karena itu hidupnya Imam Zaman adalah menumbuhkan harapan dan semangat bagi orang beriman.
2. Pengawasan imam yang hidup yang mencermati seluruh perbuatan para pengikutnya akan menumbuhkan faedah tarbiyah dan edukasi khusus bagi setiap orang dan akan membuat mereka menjalankan agenda pembinaan diri (self-construction).
3. Dalam silsilah para imam maksum dan washi, Imam Mahdi Ajf adalah pamungkas rangkaian imam maksum dan washi Ilahi. Para imam maksum dan washi Ilahi merupakan pemilik khazanah dan gudang ilmu-ilmu Ilahi. Mereka adalah penjaga rahasia-rahasia dan dalil-dalil agama Islam. Baik mereka lahir atau gaib, nampak atau tersembunyi. Dengan demikian, mereka meminggirkan peran orang-orang dungu dan jahil, dan mengeliminasi pelbagai bid'ah yang dimunculkan dalam agama Ilahi serta menjaga konsep-konsep perennial Islam dalam tetap bentuk aslinya. "Agama pamungkas" seiring dengan berakhir dan terputusnya wahyu menjadi sempurna dan memasuki arena kehidupan manusia secara menjuntai. Tugas besar Ilahi ini akan dapat terealisasi dengan kehadiran Imam Zaman Ajf.
4. Sebagian orang memiliki kemampuan untuk melesak terbang melintasi awan dan secara langsung memanfaatkan sinar surya (Imam Mahdi Ajf) dan secara perlahan dalam pancaran surya ini mereka membangun dan membina dirinya.
5. Kita meyakini bahwa Imam Zaman Ajf memiliki otoritas dan wilayah atas batin dan seluruh perbuatan kita. Dan, sejatinya, petunjuk (kebahagiaan dan penderitaan) berada di bawah kekuasaannya. Menyampaikan manusia kepada petunjuk (hidâyah) tersebut merupakan salah satu tugas Imam Maksum (Imam Mahdi Ajf) dan hal ini hanya dapat tercapai apabila Imam Zaman itu hidup.
6. Insan kamil (manusia sempurna) merupakan tujuan penciptaan semesta. Apabila suatu hari tidak terdapat manusia sempurna di muka bumi maka bumi beserta segala isinya akan binasa. Dan siapakah yang dapat mengklaim dirinya sebagai manusia sempurna selain Imam Maksum as?
7. Untuk merajut hubungan antara alam wahdat dzati dan katsrat mahdh, diperlukan sebuah penjalin berupa penampakan (mazhar) yang memiliki hubungan di samping dengan alam wahdat dzati juga dengan alam katsrat; yang menghimpun antara Hak dan khalq (ciptaan); antara Khaliq dan makhluk. Imam maksum merupakan tempat curahan (majra) emanasi (faydh) Ilahi di muka bumi. Demikianlah imam maksum (hujjah) yang harus ada dan hidup di muka bumi pada setiap zaman.
Pertanyaan ini mungkin, dari satu sisi, dapat dijawab dengan menjelaskan filsafat kegaiban, masalah penantian (intizhâr), pengaruh dan keberkahan yang dapat diraup atas wujud Imam Zaman Ajf pada masa kegaiban. Dan, dari sisi lainnya, dengan membahas persoalan bahwa apakah kehadiran Imam Zaman Ajf pada masa kegaiban memberikan banyak keberkahan dan manfaat?
Akan tetapi, sebelum kita membahas tentang falsafah, hikmah, dan manfaat penantian (intizhâr), kita harus mengingatkan bahwa sebab kegaiban merupakan rahasia dan misteri yang tidak kita ketahui. [1] Namun dengan bantuan riwayat dan akal, kita dapat memperoleh sebagian hikmah dan falsafah kegaiban dan penantian. Falsafah kegaiban dan penantian dapat dibagi menjadi dua bagian:
1. Yang berhubungan dengan Imam Mahdi Ajf
2. Yang berhubungan dengan masalah lain
Bagian pertama, yang berhubungan dengan Imam Mahdi Ajf:
A. Disebutkan dalam riwayat bahwa Imam Mahdi gaib supaya tidak ada baiat yang menggelayut di pundaknya. [2]
B. Terkadang falsafah kegaiban Imam Mahdi dalam riwayat disebutkan supaya beliau selamat dari bahaya pembunuhan. [3]
A. Kemunculan Imam Mahdi nantinya adalah untuk mengubah dunia dan memperbaiki segala sesuatunya. Mencerabut akar peradaban yang berpijak di atas pemaksaan dan kepalsuan. Kemunculan Imam Mahdi kelak adalah untuk membangun sebuah tatanan peradaban baru. Hal ini mustahil dapat dilakukan kecuali manusia telah mengalami dan melihat dengan mata kepala sendiri ragam pemerintahan dan peradaban. Dengan menyaksikan langsung pelbagai kegagalan pemerintahan dan peradaban tersebut dalam merealisasikan seluruh cita dan asa umat manusia, mereka menantikan terbentuknya pemerintahan Imam Mahdi Ajf. Dengan demikian tersedia ruang dan waktu bagi manusia sehingga mereka telah siap menerima kemunculan pemerintahan Imam Mahdi Ajf.
Bagian kedua, yang berhubungan dengan masalah lain:
A. Ujian bagi para hamba Tuhan merupakan masalah yang dijelaskan sebagai falsafah dan hikmah kegaiban.
Imam Musa bin Ja'far as bersabda, "Tatkala putra kelima Imam Ketujuh (Imam Mahdi Ajf) gaib, jagalah agama kalian. Jangan biarkan ada orang lain yang mengeluarkan kalian dari agama. Wahai putraku! Shahib al-Amr (gelar lain Imam Mahdi Ajf) mau tak mau akan gaib sedemikian sehingga sebagian orang beriman akan murtad. Allah Swt akan menguji para hambanya dengan perantara kegaiban ini." [4]
B. Penantian Imam Mahdi Ajf merupakan faktor untuk membangun dan membina diri.
Penantian (intizhâr) merupakan masalah yang menemui maknanya dalam pembahasan kegaiban. Apabila Imam Mahdi tidak gaib, maka penantian tidak ada artinya. Penantian akan datangnya pemerintahan hak sejatinya terangkai dari dua unsur, penafian (nafi) dan penetapan (itsbât), yaitu, merasa muak dengan kondisi yang ada dan kerinduan serta harapan terhadap kondisi yang lebih baik. Apabila dua sisi ini kokoh bersemayam pada diri dan jiwa manusia, maka hal ini akan menjadi sumber dua manfaat antara lain: Pertama, meninggalkan segala jenis korporasi dan koordinasi dengan pelbagai unsur kezaliman dan kerusakan (fasad). Kedua, menarik berbagai persiapan material dan spiritual untuk membentuk satu pemerintahan universal. Keduanya merupakan faktor penggerak dan pembangun manusia. Atas dasar itu, penantian Imam Zaman dipandang sebagai ibadah." [5] Para penanti laksana orang-orang yang berdiri di bawah panji Imam Mahdi Ajf. [6]
Penantian merupakan revolusi yang tidak memberikan tempat bagi para pendosa dan kaum tiran. Hal ini meniscayakan bahwa para penanti sedemikian membangun jiwanya sehingga tidak tergolong dalam barisan pendosa dan kaum tiran. Apabila masalah ini ditambahkan dengan riwayat yang menjelaskan bahwa pada masa kegaiban, Imam Zaman Ajf secara berketerusan mengawasi dan memonitor kondisi para pengikutnya dan setiap minggunya melakukan pengawasan pada kondisi para pengikutnya. [7] Dari sini dapat disimpulkan bahwa pengaruh edukasi keyakinan kepada imam yang hidup dan hal ini tidak bermakna bagi imam yang baru akan lahir di masa datang dan membentuk pemerintahan tunggal semesta.
C. Penantian di samping membuat orang membina diri dan jiwanya juga akan membangun masyarakat. Penantian berfaidah secara personal juga bermanfaat secara sosial. Karena itu, program yang kita nantikan bukanlah pribadi, karena itu penanti sejati juga tetap berusaha untuk memperbaiki orang lain.
D. Penanti sejati tidak hanya tidak berputus asa dengan menyebarnya kejahatan, melainkan ia melihat dirinya sampai pada tujuan, karena itu ia tidak akan larut dan tenggelam dengan menyebarnya kejahatan. [8]
Kendati tiadanya putus asa dan tidak leburnya pada kejahatan dengan asumsi lahirnya Imam Zaman Ajf pada masa yang ditentukan dapat digambarkan, namun jelas bahwa dengan asumsi hidupnya beliau dan seterusnya dua pengaruh ini semakin luas dan semakin berketerusan.
Keberkahan Adanya Imam Mahdi Ajf pada Masa Kegaiban
1. Berseminya harapan: Keyakinan kepada imam yang hidup yang diharapkan sewaktu-waktu dapat muncul adalah sebagaimana hidupnya seorang panglima di medan perang yang menjadi penyebab munculnya harapan kemenangan di antara prajurit.
2. Manfaat tarbiyah dan pembinaan diri. Sebagaimana yang telah dijelaskan, dengan memerhatikan pengawasan yang dilakukan oleh Imam Zaman Ajf pada setiap minggunya terkait dengan seluruh perbuatan, tentu hal ini akan menyisakan pengaruh khusus pada diri setiap orang. Karena sebagian ayat seperti, Dan beramallah, maka Allah Swt akan menyaksikan perbuatanmu, dan Rasul-Nya dan orang-orang beriman (QS Al-Taubah [9]:106) dan banyak riwayat yang berkisah tentang penunjukan seluruh perbuatan baik orang-orang saleh dan para pendosa (di hadapan para maksum). Hal ini tentu akan meniscayakan adanya perhitungan (muhâsabah) dan pengawasan (murâqabah) atas seluruh perbuatannya. Orang-orang beriman yang menanti, memandang diri dan seluruh amal perbuatannya hadir di hadapan sosok mulia ini. Mukmin penanti tentu akan merasa takut jangan sampai membuat sosok mulia ini kecewa dan bersedih hati atas perbuatan yang dilakukannya atau tidak mendapat perhatian khusus beliau. Dengan demikian, ia akan menjaga seluruh amal dan perbuatannya. Ia akan berupaya keras untuk lebih mendekat dan menarik perhatian Imam Zaman dengan mempersiapkan dan membina dirinya semaksimal mungkin. [9]
3. Menjaga ajaran Ilahi: Amirul Mukminin Ali as, dalam sabdanya yang penuh cahaya dan ringkas, menegaskan keharusan adanya para pemimpin Ilahi pada setiap masa dan zaman: "Iya.. Sekali-kali bumi tidak akan pernah kosong dari orang-orang yang memelihara hujah Allah, baik secara terbuka dan terkenal ataupun, laten dan tersembunyi, agar hujah dan bukti-bukti Allah tidak disangkal." [10]
Dengan berlalunya waktu dan bercampurnya seluruh kecenderungan, pemikiran pribadi seseorang pada masalah-masalah keagamaan, bermunculannya bid'ah dan terulurnya tangan-tangan para perusak terhadap konsep-konsep keagaman, hilanglah sebagian keutamaan dan pelbagai perubahan yang diinginkan justru terbukti merugikan.
Air segar wahyu telah diturunkan dari langit, dengan melintasi pelbagai pikiran, secara perlahan menjadi kelam dan gelap. Nilai petunjuk yang ditawarkannya telah sirna. Cahaya benderang wahyu ini, dengan melintasi kaca-kaca kegelapan pikiran, semakin kehilangan warna. Pendeknya, sedemikian orang-orang dungu dan jahil, dan bid'ah yang muncul dalam agama Ilahi sehingga untuk mengenal bentuk aslinya setiap orang akan berhadapan dengan selaksa kesulitan.
Dengan kondisi sedemikian, apakah tidak urgen, di kalangan Muslimin muncul seseorang yang menghidupkan konsep-konsep perennial Islam dalam bentuk aslinya dan menjaganya untuk masa depan umat manusia? Namun apakah wahyu samawi kembali akan turun kepada seseorang? Tentu saja tidak! Gerbang wahyu telah tertutup selama seiring berakhirnya silsilah kenabian (khâtamiyyah). Maka itu, bagaimana ajaran orisinal Islam tetap terjaga dalam bentuk aslinya dan mencegah pelbagai penyimpangan, perubahan dan khurafat serta memelihara ajaran samawi ini bagi generasi-generasi mendatang. Apakah masalah ini tidak dapat diselesaikan kecuali dengan media seorang Imam Maksum, baik secara terbuka dan terkenal, atau tersembunyi dan laten? (Agar hujah dan bukti-bukti Allah tidak disangkal). [11]
4. Pembinaan satu kelompok elit: Imam Zaman Ajf pada masa kegaiban adalah laksana surya di balik awan. [12] Keberadaan surya di balik awan tidak bermakna bahwa makhluk hidup tidak mendapatkan manfaat darinya. Atau sang surya tidak memberikan manfaat. Di antara keberkahan Imam Zaman pada masa kegaiban adalah bahwa sekelompok orang dapat melesak ke atas awan secara langsung mengambil manfaat dari sinar surya dan secara perlahan di bawah pancaran langsung surya ini ia membina dan membangun dirinya.
5. Penetrasi ruhani (pengajaran takwini melalui wilâyah takwini). Imam Zaman Ajf adalah sosok yang tiada bandingannya sehingga membuat orang-orang akan siap sedia di mana pun mereka berada, mereka tersedot pengaruh magnet khusus energi kuat dan pribadinya yang serba meliputi. Melalui jalan ini, Imam Mahdi Ajf dapat dengan langsung membina jiwa-jiwa mereka, meski jiwa-jiwa tersebut tidak begitu mengetahui perkara ini.
Imam Ajf dari sudut pandang batin memiliki wilâyah (otoritas) atas seluruh perbuatan manusia dan apa yang terkait dengan batin dan hakikat petunjuk (hati-hati dan seluruh perbuatan) adalah tersingkap bagi Imam Ajf. Karena itu, baik dan buruk hadir di sisinya. Jalan kebahagiaan dan penderitaan berada di bawah kekuasannnya. Karena itu, maqam imamah senantiasa disertai bimbingan (hidâyah). Dan bimbingan ini tidak bermakna sekedar menunjukkan jalan melainkan menyampaikan pada tujuan (ishâl ilal mathlûb). Karena menunjukkan jalan, menyampaikan pada tujuan, menyeru manusia kepada Tuhan merupakan pekerjaan seluruh nabi dan orang beriman. [13]
6. Tujuan penciptaan: Tujuan penciptaan laksana taman yang rimbun dan asri yang manusia merupakan pepohonan di taman ini. Mereka yang berada pada lintasan kesempurnaan adalah pepohonan dan cabang-cabang yang lebat dan dedaunan dari taman ini. Tujuan menyiram taman ini adalah supaya pepohonan menghasilkan buah bukan ilalang liar "Inna al-ardha yaritsuha 'ibadiya al-shalihun." (Sesungguhnya hamba-hamba-Ku yang saleh (akan) mewarisi bumi ini, (QS Al-Anbiya [21]:105) Apabila suatu hari, seluruh pepohanan menjadi kering dan orang-orang saleh dicerabut dari muka bumi, maka tidak tersisa lagi alasan untuk menyiram dan memberikan emanasi terhadap taman ini. Dan imam maksum, karena merupakan manusia sempurna, adalah simbol kelompok orang-orang saleh dan tujuan utama penciptaan. Karena itu mereka yang menjadi objek wicara hadis, "laulaka lama khalaqtu al-aflak" (Sekiranya kalau bukan karena kalian [Ahlulbait] maka sekali-kali aku tidak akan menciptakan semesta). [14] Atau dijelaskan, "Lau baqiyat al-ardhu bighair al-imam lasakhat." (Sekiranya bumi tersisa tanpa imam maka ia akan hancur." [15] Atau, "Biyumnihi razaq al-wara wa biwujudihi tsabatat al-ardhu wa al-sama." [16] Artinya, dengan perantara keberkahan wujud Hujjah Ilahi sehingga manusia memperoleh rezeki dan lantaran keberadaannya sehingga bumi dan langit tetap tegak."
7. Media emanasi: Dalam ranah ilmu irfan disebutkan bahwa Allah Swt (al-Haqq) berada pada tataran wahdat (Kesatuan) dalam makam penampakan-penampakan zati. Dan pada penampakan-penampakan katsrat, Dia menampilkan entifikasi-entifikasi (ta'ayyunât) khusus. Akan tetapi, wahdat tersebut tanpa katsrat dan katsrat tanpa wahdat hakiki. Karena itu keduanya memerlukan tajalli (penjelmaan) ketiga yang dapat menampilkan maqam yang menghimpun di antara keduanya (jamak) dan menampilkannya secara rinci. Tajalli ketiga tersebut adalah terminal antara alam rububiyah dan ubudiyyah; penghimpun antara Hak dan khalq (ciptaan). Dari satu sisi, berkenaan dengan alam natural (alam katsrat) dan dari sisi lain bertautan dengan alam wahdat (kesatuan), yaitu menjadi sebuah media di antara dua alam ini. Manusia sempurna (insan kamil) yang objek nyatanya adalah para imam maksum as, memiliki dua hubungan ini. Dan, atas dasar ini, mereka adalah media emanasi (faydh) bagi kita (katsrat mahdh) dan manifestasi rububiyah Tuhan. Dan apabila disebutkan bahwa: "Bihim yarzuqunaklah 'ibadahu wa bihim yunzilu al-qatra min al-sama wa bihim tukhriju barakat al-ardh." (Melalui perantara mereka Allah Swt menganugerahi rezeki kepada para hamba-Nya, dan menurunkan tetesan hujan dari langit serta mengeluarkan segala keberkahan bumi" [17], maka ucapan ini bukan merupakan pepesan kosong semata dan ucapan hiperbola. Dengan memerhatikan maqam ini, Imam Shadiq as bersabda, "Nahnu al-Asma al-husna" [18], kami adalah seluruh nama indah Tuhan. Dengan demikian, berlangsungnya mekanisme penciptaan dan penganugerahan emanasi (faydh) kepada selain Tuhan, petunjuk, tarbiyah dan pembinaan diri manusia dan seterusnya hanya dapat ditelusuri pada sosok imam yang hidup dan segenap makhluk mendapatkan manfaat dari keberadaannya serta melepaskan dahaga seluruh makhluk. [IQuest]
Catatan Kaki:
[1] Bihâr al-Anwâr, jil. 52, hal. 91.
[2] Bihâr al-Anwâr, jil. 51, hal. 152.
[3] Itsbât al-Hidâyah, jil. 6, hal. 437. Silahkan lihat, Dâdgastari-ye Jahân, hal. 146-149.
[4] Bihâr al-Anwâr, jil. 51, hal. 113.
[5] Bihâr al-Anwâr, jil. 52, hal. 122.
[6] Silahkan lihat, Hukûmat-e Jahâni Mahdi Ajf, Makarim Syirazi, hal. 99-101.
[7]Tafsir Burhan, terkait dengan ayat 105, surah al-Taubah; al-Qiyadat fi al-Islam, Rei yahri, hal-hal. 84-85.
[8] Silahkan lihat, Hukumat-e Jahani Mahdi Ajf, hal. 101-113
[9] Silahkan lihat kitab-kitab tafsir terkait ayat 106 surah al-Taubah; Al-Mizan, jil. 9, hal. 85; Tafsir Burhan, jil. 2, hal. 158; Ushûl al-Kâfî, jil. 1, hal. 219-220.
[10] Nahj al-Balaghah, Kalimat Hikmah, 147; Mizân al-Hikmah, jil. 1, hal. 167. Silahkan lihat juga, Ushûl Kâfî, jil. 1, hal. 178-180.
[11] Dari khotbah 146 Nahj al-Balâghah dapat disimpulkan bahwa Imam Zaman ajf akan berusaha membela Islam. Silahkan lihat, Hukumat-e Jahani Mahdi, ajf, Makarim Syirazi, hal. 226-229.
[12] Bihâr al-Anwâr, cetakan lama, jil. 13, hal. 129.
[13] Al-Mizân, jil. 1, hal. 275-276; Syiah dar Islâm (Shite in Islam), hal. 256, bagian keenam ihwal Makrifat Imam. Untuk telaah lebih jauh terkait pengaruh wilayah takwini dalam memandu dan memberikan petunjuk kepada manusia silahkan lihat, kitab al-Qiyâdah fii al-Islâm, Rey Syahri, hal. 74-78. Dengan menyebutkan sebuah riwayat dari kitab Ushûl Kâfî, jil. 1, hadis pertama, hal. 194, penulis berkata, "Surya di samping pendaran cahaya materialnya berpengaruh dalam menyempurnakan materi demikian juga surya maknawi (spiritual). Al-Qiyâdah fii al-Islâm, hal. 80.
[14] Hukûmat-e Jahâni Mahdi, hal. 268-269.
[15] Al-Kâfî, jil. 1, hal. 179; Mizân al-Hikmah, jil. 1, hal. 168.
[16] Hukumat-e Jahani Mahdi, hal. 268-269.
[17] Bihâr al-Anwâr, jil. 23, hal. 19.
[18] Nur al-Tsaqalaîn, jil. 2, hal. 103; Ushûl al-Kâfî, Kitab Tauhid, hadis 4.
ilustrasi hiasan:
Mengapa Kita Menanti Imam Mahdi?
Apakah dasar-dasar filsafat penantian Imam Mahdi (Mahdawiyah)?
Dasar-dasar falsafah mahdawiyah (penantian Imam Mahdi) dapat dilihat dari dua sisi; dari sisi illat gha’i (sebab akhir) dan dari sisi illat fa’ili (sebab pelaku). Yakni, dari satu sisi tujuan adanya penciptaan dan kemustahilan menafikan tujuan keharusan adanya kehadiran insan sempurna. Dan manusia sempurna itu merupakan matarantai illat gha’i (sebab akhir) penciptaan alam semesta ini. Dari sisi lain jika dilihat dari sudut illat fa’ili (sebab pelaku) harus dikatakan bahwa sinkhiyyah (kesesuaian) antara illat dan ma’lul (sebab dan akibat) meniscayakan bahwa illat pertama alam semesta mesti satu dari semua sisinya, artinya tidak ada sisi katsrat (keragaman) padanya. Dan juga ma’lul-ma’lul alam yang bersifat mutakatsirah (banyak dan beragam) menuntut adanya sisi wahdat (kesatuan, kesesuaian), artinya dari satu sisi mereka (ma’lul-ma’lul) tersebut memiliki hubungan erat dengan wahdatul kul (kesatuan universal) dan dari sisi lain memiliki kesesuaian dan keserasian dengan alam katsrat (alam ciptaan). Dan hal ini hanya bisa terealisasi pada alam nafs (alam ruh, malakut), yaitu nafs dan ruh manusia sempurna yang dapat menerima alam katsrat (alam semesta). Dan manusia sempurna adalah Nabi Muhammad Saw dan para Imam suci Ahlulbait As.
Dasar-dasar filsafat penantian Imam Mahdi (Mahdiisme) dapat dikaji dalam dua sisi: Sisi pertama adalah sisi sebab tujuan dan sisi kedua adalah sisi sebab pelaku.
1. Manusia sempurna dan kedudukannya pada matarantai sebab-sebab tujuan
Hikmah, sebab akhir dan tujuan Tuhan dalam menciptakan alam semesta ini adalah manusia sempurna. Tujuan ini terjelma dan terealisasi dalam wujud empat belas manusia suci As. Oleh karena itu dia (insan kamil) merupakan penguasa dan khalifah Tuhan di atas muka bumi ini. Dengan tujuan ini, para filosof Islam meneliti sebuah permasalahan tentang wali sempurna dan kehadiran khalifah Allah Swt di atas bumi ini yang mereka kaji berasaskan dasar-dasar dan dalil-dalil rasional.
Filosof ternama; Abu Ali Sina dalam kitabnya “Al-Syifâ” -dalam sebuah pasal- telah membahas sebuah tema yang berkaitan dengan masalah imam dan khalifah. Pada pasal tersebut beliau juga membahas tentang kedudukan, derajat spiritual, moralitas dan amal perbuatan seorang manusia sempurna. Dia berkata:[1] “Barang siapa yang berhasil menyandang sifat-sifat kenabian, maka dia menjadi “tuhan pengatur manusia,” menjabat sebagai penguasa dan menjadi khalifah Allah di muka bumi.[2]
Dalam filsafat Iluminasi (Isyraq), telah dibahas permasalahan imam, khalifah dan pemimpin masyarakat, demikian juga masalah ghaibah. Syihabuddin Sahruwardi, filosof mazhab Iluminasi (Syaikh Isyraq), dalam bukunya “Hikmatul Isyrâq” mengutarakan pembahasan imam, pemimpin umat dan pembagiannya serta tokoh pemimpin umat. Sesuai dengan kaidah-kaidah dan dasar-dasar filsafat iluminasinya ia menjelaskan syarat-syarat seseorang yang dapat menjadi ketua, pemimpin dan pembina masyarakat. Mengenai hal ini ia berkata: “Dunia tidak akan pernah kosong dari hikmah (ilmu yang sempurna) dan dari keberadaan seseorang yang memiliki hikmah, hujjah-hujjah dan penjelasan-penjelasan. Orang semacam ini adalah khalifah Allah di muka bumi, dan akan tetap seperti itu selama langit masih tetap kokoh. Oleh karena itu, pada setiap masa terdapat seseorang yang sampai kepada tingkatan dimana Tuhan menjadikannya sebagai contoh sempurna dalam ilmu dan amal perbuatan. Kepemimpinan masyarakat berada di tangannya dan dia adalah khalifah Tuhan di bumi dan bumi tidak akan pernah kosong dari orang-orang semacam ini. Ketika kami katakan bahwa kepemimpinan umat berada di tangannya, maksudnya adalah bukan berarti pemerintahan Ilahi itu nampak secara lahir. Akan tetapi pada suatu masa seorang pemimpin yang menyandang sifat-sifat Ilahi itu berhasil membentuk sebuah pemerintahan, dapat berkuasa dengan jelas dan dapat menembus ke segenap lapisan umat. Dan pada masa lainnya ia hidup secara rahasia dan tidak nampak dalam pandangan manusia (gaibah). Masyarakat menyebut imam tersebut dengan panggilan “Qutbu Zamân” (poros zaman) “Wali Asr” (pemimpin masa). Kepemimpinan umat berada di tangannya, walaupun belum nampak tanda-tanda itu padanya. Yang pasti jika pemimpin ini muncul dan berada pada puncak kepemimpinan, maka seluruh penjuru dunia akan menjadi terang bercahaya.[3]
Allamah Thabathaba’i dalam Risâlah Wilâyah menulis: "Wilayah adalah sebuah derajat kesempurnaan sejati yang paling akhir bagi manusia. Wilayah merupakan tujuan akhir pen-syariatan ajaran hak Ilahi. "[4]
Beliau dalam kitab tafsir al-Mizân menuturkan: "Wilâyah, walaupun telah disebutkan mempunyai banyak arti, namun artinya yang asli adalah tersingkapnya tabir yang menghalangi antara dua hal, sehingga sesuatu yang bukan dari keduanya itu tidak lagi tersisa." [5]
Para filosof Ikhwan As-shafa juga -dalam filsafat mereka- menaruh perhatian serius terhadap masalah Mahdisme. Dan mereka juga meyakini prihal “Ghaibah dan Dzuhur” Imam Mahdi Ajf. Mereka meyakini bahwa Imam Mahdi akan menguasai dunia dan memenuhi dunia dengan keadilan setelah dipenuhi dengan kezaliman dan kejahatan.
Imam Mahdi As memiliki dua masa kepemimpinan: masa kasyf (zhuhur, nampak) dan masa satr (gaib, tersembunyi). Pada masa kasyf, kekuasaan beliau akan nampak jelas di tengah-tengah umat. Dan pada masa satr, beliau berkuasa di balik tabir yang tidak nampak secara langsung bagi umat. Hal itu terjadi bukan karena beliau takut. Hanya para wakil beliaulah yang mengetahui tempat kediaman beliau. Dan setiap kali mereka mempunyai urusan dengannya, mereka pergi untuk menjumpainya. Karena jika tidak demikian, maka dunia ini akan kosong dari seorang hujjah (khalifah) Allah Swt. Sementara Allah Swt tidak pernah membiarkan umat ini hidup tanpa seorang hujjah dan imam pilihan-Nya. Para imam maksum As adalah sebagai tali penghubung yang tidak pernah terputus antara makhluk dan Khalik. Mereka laksana paku-paku bumi dan para khalifatullah yang sejati baik pada masa kasyf maupun pada masa satr. Siapa saja yang mati dan tidak mengenal imam zamannya, maka dia dianggap mati seperti orang-orang Jahiliyah.[6]
Sebagian ulama Islam berkata: “Sesungguhnya tujuan penciptaan manusia adalah untuk mencapai kesempurnaan. Kesempurnaan yaitu berhubungan dengan wujud paling paripurna, dan wujud paripurna hanyalah Allah Swt semata. Sudah pasti bahwa tujuan ini dapat terealisasi pada sebagian manusia. Karena jika tidak, maka hal ini akan menafikan tujuan utama penciptaan yang melazimkan kelemahan dan kebodohan Tuhan Yang Maha Haq, dan hal itu sesuatu yang mustahil. Sebagian manusia yang telah mencapai puncak kesempurnaan itu adalah 14 manusia suci.[7] Yakni berdasarkan illat akhir dari tujuan penciptaan alam ini adalah manusia sempurna tersebut.
2. Manusia Sempurna dan kedudukannya pada matarantai illat pelaku
Dari sisi sebab pelaku (illat fâ’iliyah) dapat dikatakan bahwa: sinkhiyyah (keserasian) antara sebab dan akibat itu menuntut terwujudnya sisi wahdat (kesatuan) di antara sebab pertama (Pencipta alam semesta yang Esa dari seluruh sisi-Nya dan sama sekali tidak terdapat sisi katsrat pada-Nya) dan akibat-akibat alam yang mempunyai sisi katsrat. Yakni -dari satu sisi- hubungan itu terjadi dengan wahdatulkull (esa secara mutlak) dan dari sisi lainnya harus sesuai dengan alam katsrat. Dan hal ini hanya dapat terwujud pada alam malakut (alam ruh). Ruh suatu wujud itu memiliki dua sisi; pada sisi dzatnya ia berasal dari alam materi, dan pada maqam kesempurnaannya ia berasal dari alam malakut. Akan tetapi tidak setiap ruh itu dapat mencapai maqam kesempurnaan. Hanyalah manusia sempurna (yang mampu menembus ke seluruh alam katsrat) yang dapat mencapainya. Mereka adalah Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As.[8]
Dengan demikian, jika tidak ada ruh (nafs) Nabi Saw, maka sisi kesatuan alam tidak akan terjadi dan ketika itu, sisi katsrat pun tidak mungkin terwujud.
Almarhum Sayyid Haidar Amuli dalam bukunya; Jâmi al-Asrâr berkata:[9]
“Pandangan Allah adalah manusia sempurna dimana Allah Swt memandang alam semesta ini dengan pandangannya sebagaimana Dia berfirman, Laulaka (Sekiranya bukan karenamu). Yakni seorang manusia sempurna pada maqam kesempurnaannya telah mencapai maqam washl (puncak kesempurnaan insani). Dan Tuhan mengatur alam semesta ini dengan perantara sebab-sebab tertentu, yaitu melalui manusia sempurna (insan kamil).[10]
Pada tempat lainnya beliau berkata bahwa kaidah filsafat, "al-wâhid lâ yashdûr 'anhu illa al-wâhid atau illa min al-wâhid." [11]
Kaidah ini merupakan kaidah filsafat yang gamblang dan merupakan bagian dari kaidah sinkhiyyah (keserasian) antara illat (sebab) dan ma’lul (akibat). Hal ini dapat dipahami bahwa di antara kita dan Tuhan harus ada perantara dalam urusan ciptaan, anugerah, kesempurnaan, terpenuhinya hajat, dan sebagainya. Para filosof menyebut sarana-sarana tersebut dengan istilah “uqul al-muqaddasah” (akal-akal suci). Kelompok filosof Masysyai’ (Peripatik) meyakini bahwa jumlah uqul itu ada sepuluh. Sementara kelompok Isyraq (Iluminasi) meyakini -tanpa argumen- bahwa mereka itu sangat banyak jumlahnya dan bahkan tidak terbatas.[12]
Dengan uraian itu, maka ungkapan beberapa kalimat petikan dari doa ziarah Jâmi’ah Kabirah di bawah ini akan menjadi jelas maksudnya.
"Dengan perantara kalian Allah membuka (memulai) dunia ini dan dengan perantara kalian Dia menutup (menuntaskan) ciptaan-Nya dan dengan perantara kalian Allah menurunkan hujan dan dengan perantara kalian Dia menahan langit untuk tidak jatuh ke bumi kecuali dengan izin-Nya dan dengan perantara kalian Dia menghapus kesedihan, mengangkat kesengsaraan dan pada diri kalian terdapat rahasia-rahasia penurunan para rasul dan para malaikat." [13]
Di akhir pembahasan ini kami tutup dengan sebuah ungkapan suci dari Imam Khomeini Ra: “Tujuan penciptaan manusia adalah alam ghaib secara mutlak, sebagaimana tercantum di dalam hadis qudsi:
“Wahai anak Adam segala sesuatu itu Aku ciptakan karenamu, dan engkau aku ciptakan hanya untuk-Ku.”
Dan firman Allah dalam Al-Qur’an yang mulia yang ditujukan kepada Nabi Musa bin Imran As, “Dan Aku telah memilihmu untuk diri-Ku” (Qs. Thaha [20]:41)
Juga firman-Nya: “Dan Aku telah memilihmu” (Qs. Thaha [20]:13)
Oleh karena itu manusia diciptakan “liajliLlah" (hanya untuk Allah semata). Dan dari sekian banyak makhluk ia adalah pilihan-Nya. Tujuan perjalanannya adalah sampai pada pintu Allah, fana dalam dzat-Nya dan menetap pada kefanaan Allah Swt (baqa ba'da fana). Dan akhirnya adalah kepada Allah, dari Allah, dalam Allah dan dengan Allah sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an: “Sesungguhnya kepada Kami-lah mereka kembali.” (Qs. Al-Ghasyiah [88]:2)
Sementara makhluk-makhluk lainnya kembali kepada Yang Haq melalui manusia suci. Bahkan tempat kembali mereka kepada manusia suci. Hal itu sebagaimana tersebut di dalam doa ziarah Jâmiah, bahwa, “Dan kembalinya seluruh makhluk itu kepadamu dan penghisaban mereka kepada kalian”. Dan selaras dengan apa telah disinggung di atas, "bikum fatahaLlah wa bikum yakhtim, (Dengan perantara kalian Allah membuka [memulai] dunia ini dan dengan perantara kalian Dia menuntaskan ciptaannya).
Ketika dikatakan di dalam Al-Qur’an bahwa: “Sesungguhnya kepada kamilah mereka kembali dan kemudian sesungguhnya kewajiban kamilah menghisab mereka” (Qs. Al-Ghasiyah [88]:25-26) dan dalam doa ziarah Jamiah dikatakan, “Dan kembalinya mereka kepada kalian dan penghisaban mereka pada kalian” pada hakikatnya menegaskan sebuah rahasia dari rahasia-rahasia tauhid. Demikian juga mengisyaratkan bahwa kembali kepada manusia sempurna adalah sama dengan kembali kepada Allah Swt. Karena manusia sempurna itu telah mencapai kefanaan mutlak dan tetap (baqa’) dengan tetapnya Allah Swt. Ta’ayyun (entifikasi), inniyat (keakuan) dan ananiyah (ego) tidak mendapat tempat dalam diri insan kamil. Mereka sebagai asmâ al-husna Allah dan ismul a’zhâm-Nya. Dan makna ini telah banyak diisyaratkan di dalam Al-Qur’an dan hadis-hadis mulia.[14][]
Daftar pustaka untuk kajian lebih jeluk:
1. Syifâ, Ilahiyat, makalah 10, (tentang Khalifah dan Imam)
2. Qabasât, cetakan baru, hal. 397.
3. Hikmate Isyrâq, jilid 2, hal. 11-12.
4. Syarhe Hikmate Isyrâq, hal. 23-24.
5. Târikhe Falsafeh dar Jahâne Islâmi, hal. 207-208.
6. Hakimi, Muhammad Ridho, Khursyide Magrib, hal. 152-158.
[1] Al-Syifâ, hal. 455, pasal 5
[2] Dalam kitab Syarah Manzhumah ungkapan redaksi Abu Ali (Sina) tertulis semacam demikian:
: "و رؤوس هذه الفضائل عفّة و حكمة و شجاعة و مجموعها العدالة و هي خارجة عن الفضيلة النظرية. و من اجتمعت له معها الحكمة النظرية فقد سعد و من فاز مع ذلك بالخواص النبوية كاد أن يصير ربّا إنسانيّا و كاد أن تحلّ عبادته بعد اللّه تعالى و أن تفوّض إليه أمور عباد اللّه و هو سلطان العالم الأرضي و خليفة اللّه فيه"؛
"Dan puncak keutamaan-keutamaan ini adalah kesederhanaan, hikmah dan keberanian dan kemajemukan dari semuanya ini adalah keadilan dan keadilan adalah di luar dari pada keutamaan teoritis dan barang siapa yang di dalam dirinya terkumpul hikmah teoritis (nazhari) maka termasuk orang-orang yang beruntung dan siapa saja yang beruntung mensifati dirinya dengan sifat kenabian dia dapat menjadikan dirinya sebagai tuhan kemanusiaan (memiliki andil dalam pembentukan gambaran-gambaran) dan ... hampir saja menempatkan dirinya untuk disembah setelah Allah Swt dan akan diserahkan padanya urusan-urusan hamba-hamba-Nya yaitu secara alami dan legalitas agamis memiliki wewenang terhadap mereka dan dia sebagai penguasa di atas muka bumi dan khalifah Allah di atasnya." Syarah Al-Manzhumah, jil. 4, hal 313.
[3]. Hikmah Isyrâq, dari tulisan dan karangan Syeikh Isyraq, jil. 2, hal. 11-12; Syarah Hikmah Isyraq, hal. 23-24.
[4] Al-Syiah, kumpulan diskusi-diskusi dengan Henry Corbin, hal. 185-186.
[5] Al-Mizân, jil. 10, hal. 89.
[6] Hena Al fakhuri, Khalil Al-Jar, terjemah, Aiti, Abdul Muhammad, Târikh Falsafah dar Jahane Islâmi, hal. 207-208.
[7] Muhammad Ali Gerami, ihwal hadis لولا فاطمه (Sekiranya kalau bukan Fatimah), hal. 17.
[8] Ibid, hal. 22.
[9] .Jâmiul Asrâr, hal. 381.
[10] Gerami, Muhammad Ali, mengenai hadits لولا فاطمه, hal. 23.
[11] Dari yang satu tidak keluar darinya kecuali satu , atau kecuali dari yang satu.
[12] Gerami, Muhammad Ali, mengenai hadits لولا فاطمه, hal. 66-70.
[13] بِكُمْ فَتَحَ اللَّهُ وَ بِكُمْ يَخْتِمُ [اللَّهُ] وَ بِكُمْ يُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَ بِكُمْ يُمْسِكُ السَّمَاءَ أَنْ تَقَعَ عَلَى الْأَرْضِ إِلا بِإِذْنِهِ وَ بِكُمْ يُنَفِّسُالْهَمَّ وَ يَكْشِفُ الضُّرَّ وَ عِنْدَكُمْ مَا نَزَلَتْ بِهِ رُسُلُهُ وَ هَبَطَتْ بِهِ مَلائِكَتُه Mafatihul Jinan, hal. 549.
[14] A^dab al-Shalat, Imam Khomaini, Hal. 263.
ilustrasi hiasan:
Faktor-faktor kemunculan Imam Zaman Ajf
Sumber : islamquest.com
Faktor-faktor yang menjadi sebab kemunculan adalah beberapa hal yang disebut sebagai terciptanya ruang bagi kemunculan Imam Zaman Ajf dan termasuk di antara sebab-sebab kemunculan Imam Zaman Ajf.
Dalam hal ini harus dikatakan bahwa meski faktor utama kemunculan Imam Zaman Ajf adalah irâdah Ilahi (kehendak Ilahi), namun apa yang dapat dilakukan oleh manusia sebagai ruang bagi kemunculan Imam Zaman Ajf adalah menghilangkan pelbagai hal yang menyebabkan ghaibnya Imam Zaman Ajf dan menciptakan kesiapan pada dirinya.
Kesiapan ini juga dengan menunaikan tugas-tugas dan taklif-taklif yang diemban khususnya taklif-taklif pada masa ghaibat seperti menanti tibanya kelapangan, doa, sabar, melakukan konstruksi diri, mematangkan pikiran dan sosial kemasyarakatan. Akan tetapi kesiapan-kesiapan ini harus sesuai dengan penerimaan pemerintahan semesta; artinya bersifat global dan menyeluruh serta pemikiran umum harus siap sedia untuk menyokong dan mendukung kemunculannya.
Segala sesuatu memiliki peran dalam proses kemunculan Imam Zaman Ajf dan segala sesuatu yang menjadi sebab kemunculan Imam Zaman Ajf digolongkan sebagai faktor-faktor kemunculan Imam Zaman Ajf. Dalam hal ini harus dikatakan bahwa meski faktor utama kemunculan Imam Zaman Ajf adalah irâdah Ilahi (kehendak Ilahi), namun apa yang dapat dilakukan oleh manusia sebagai penciptaan ruang dan persiapan bagi kemunculan Imam Zaman Ajf adalah menghilangkan pelbagai hal yang menyebabkan ghaibnya Imam Zaman Ajf dan menciptakan kesiapan pada dirinya; karena setiap revolusi dan gerakan yang muncul untuk meraih tujuan tertentu akan memperoleh kemenangan tatkala segala sesuatunya dari berbagai sisi telah siap sedia, selain itu maka revolusi akan menuai kegagalan dan kekalahan.
Kebangkitan Imam Zaman Ajf juga tidak terkecuali dalam hal ini dan hanya dapat meraih kemenangan tatkala syarat-syaratnya terpenuhi.[1]
Karena itu kesiapan masyarakat merupakan salah satu sebab dan faktor bagi kemunculan Imam Zaman Ajf; artinya masyarakat secara umum yang menghendaki kemunculan Imam Zaman Ajf dan terdapat pemikiran umum yang mengglobal yang menyokong dan mendukung kemunculan Imam Zaman Ajf.
Adapun penjelasan terkait dengan apa yang disebutkan dalam riwayat ihwal faktor-faktor ghaibat, sebagian di antaranya tidak berada dalam ikhtiar kita dan tidak dapat berubah seperti:
Baiat seseorang tidak berada di pundak Imam Zaman Ajf.[2]
Penjagaan beliau dari bahaya pembunuhan.[3]
Ujian Ilahi.[4]
Sebab-sebab misterius. Sebagaimana sebagian riwayat menjelaskan poin ini bahwa para Imam Maksum As mengetahui sebab utama ghaibat, namun mereka tidak memiliki tugas untuk menjelaskannya. Karena itu, mereka menjelaskannya secara umum dan global terkait dengan hikmah-hikmah Ilahi atas ghaibatnya Imam Zaman Ajf. Dalil atas klaim ini adalah riwayat Abdullah bin Fadhl Hasyimi dari Imam Shadiq As dimana Imam Shadiq As bersabda kepadanya, “Akan ada ghaibat bagi Shâhib al-Amr yang tiada cara selain itu. Setiap orang yang batil akan meragukannya.” Saya berkata kepadanya, “Semoga jiwaku menjadi tebusanmu. Tapi kenapa harus ghaibat?” Imam Shadiq As bersabda, “Untuk sebuah hal yang kami tidak memiliki izin untuk mengungkapnya bagimu.” “Apa yang menjadi hikmat atas ghaibatnya?” Tanyaku penasaran. Beliau menjawab, “Hikmah ghaibatnya adalah sama dengan hikmah ghaibat-nya hujjah Allah sebelumnya. Hikmahnya tidak akan terungkap kecuali setelah kemunculannya sebagaimana hikmah melobangi perahu, terbunuhnya anak dan tegaknya dinding oleh Nabi Khidir bagi Nabi Musa As belum lagi terungkap kecuali keduanya berpisah satu sama lain. [5]
Jelas bahwa faktor-faktor ini tidak berada di dalam kewenangan manusia sehingga mereka mampu merubahnya.
Namun sebagian lainnya faktor ghaibat dapat dirubah sebagaimana pada sebagian tauqi’ât (surat yang dibubuhi tanda tangan Imam Mahdi Ajf) juga menyinggung masalah ini dimana disebutkan tidak setianya masyarakat dan dosa-dosa mereka yang telah membuat Imam Zaman Ajf itu ghaib.
“Sekiranya Allah Swt menganugerahkan taufik kesetiaan pada janji kepada Syiah kami maka perjumpaan dengan kami tidak akan diakhirkan dan mereka akan meraih kebahagian perjumpaan dengan kami disertai makrifat yang layak. Tiada yang menahan kami dari Syiah kami kecuali amalan-amalan mereka yang tidak layak dan tercela yang sampai kepada kami.”[6]
Kandungan tauqi’ ini adalah terkait dengan tidak loyalnya orang-orang Syiah terhadap ikrar dan janji mereka dengan Imam Zaman Ajf yang menyebabkan masa ghaibatnya semakin lama dan kemunculannya diakhirkan. Karena itu loyalitas orang-orang Syiah terhadap janji mereka (terhadap Imam Zaman) dapat menjadi salah satu faktor segeranya kemunculan Imam Zaman Ajf.
Di samping itu, harap diperhatikan bahwa orang-orang pada masa ghaibat, di samping taklif-taklif yang bersifat umum, khususnya terkait dengan masalah ghaibat, mereka memikul tugas-tugas di pundak, dengan menjalankan tugas-tugas tersebut, di samping memperoleh ganjaran dan pahala, mereka juga akan menarik beberapa langkah bagi kemunculan Imam Zaman Ajf yang akan kami sebutkan sebagian di antaranya sebagai berikut:
Sabar
Dalam sebuah riwayat Imam Ridha As bersabda, “Alangkah baiknya kesabaran dan penantian bagi kemunculan Imam Mahdi Ajf. Apakah kalian tidak mendengar firman Allah Swt, “Dan tunggulah azab (Tuhan), sesungguhnya aku pun menunggu bersama kamu.” (Hud [12]:93) dan firman-Nya, “Katakanlah, “Maka tunggulah, sesungguhnya aku pun termasuk orang-orang yang menunggu bersama kamu.” (Qs. Yunus [10]:102) Sesungguhnya kelapangan akan datang setelah putus harapan dan orang-orang yang datang sebelum kalian lebih sabar dari kalian.”[7]
Ungkapan “hendaknya kalian bersabar” disebutkan secara lugas dan menyatakan bahwa tugas orang-orang Syiah pada masa ghaibat adalah bersabar atas keterpisahan ini. Akan tetapi jelas bahwa sabar bermakna berkukuh pada keyakinan dan tindakan serta menjalankan khittah dan maktab Imam Mahdi Ajf.
Penantian
Meski riwayat di atas juga menjelaskan tugas penantian dengan baik. Namun terkait dengan penantian harus dikatakan bahwa Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As meminta kita untuk berteguh dalam masalah ini. Dalam sebuah riwayat dari Rasulullah Saw kita membaca, “Sebaik-baik amalan umatku adalah penantian Faraj (datangnya kelapangan).” [8] Ali As dalam menjawab sebuah pertanyaan yang diajukan kepadanya, “Amalan apakah yang paling baik di sisi Allah?” Imam Ali As bersabda, “Penantian Faraj.” [9] Imam Shadiq As bersabda, “Kondisi yang paling dekat seorang hamba kepada Tuhan dan hal yang paling diridhai di sisi Allah Swt adalah tatkala mereka mengikuti hujjah Allah Swt yang tersembunyi bagi mereka dan tidak mengetahui tempatnya maka pada masa itu, pagi dan petang, maka hendaknya mereka menantikan kedatangnnya.” [10] Jelas dan gamblang bahwa penantian terdiri dari dua bagian: Penantian takwini dan penantian tasyri’i.
Sehubungan dengan penantian takwini, penantian lebih condong bersifat negatif dan lemah. Adapun penantian tasyri’i, bersifat progressif disertai dengan ilmu dan amal.
Tuturan Imam Sajjad As dapat dijadikan bukti atas klaim ini. Beliau bersabda, “Para penantii kemunculannya (Imam Mahdi Ajf) adalah orang-orang terbaik pada setiap zaman; karena Allah Swt menganugerahkan akal, pemahaman dan pengenalan dimana ghaibat di sisi mereka laksana penyaksian (musyahâdah). Mereka pada masa itu laksana para pejuang yang menghunus pedang di samping Rasulullah Saw. Mereka adalah Syiah sejati dan penyeru ke agama Allah baik secara sembunyi-sembunyi atau pun terang-terangan. [11]
Para penanti sejati pada dimensi teoritis, sedemikian memiliki makrifat sehingga ghaibat baginya laksana penyaksian; artinya ia sama sekali tidak ragu dan sangsi dalam mengenal Imam Zamannya. Dan dari dimensi praktisnya, ia senantiasa menyibukkan diri, terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, dengan urusan dakwah dan tabligh tentang Imam Zaman Ajf.
Apabila penanti negatif dan passif melipat tangan serta dengan dalih bahwa tiada yang dapat kita lakukan dan tidak berbuat apa-apa untuk menyambut kemunculan Imam Zaman maka penanti positif dan aktif, siang dan malam, berusaha menambah ilmu dan makrifatnya, menyiapkan dirinya untuk menyambut kedatangan Imam Mahdi Ajf, serta berusaha untuk mendudukan dirinya pada barisan para penanti sejati.
Intinya dalam penantian positif terpendam iman kepada yang ghaib, kecendrungan kepada keadilan, kebencian terhadap kezaliman, pengakuan terhadap kebenaran dan seruan terhadap kebaikan dan perbaikan.
Doa
Pada sebagian riwayat disebutkan bahwa tugas paling utama para penanti pada masa ghaibat adalah doa. Di antara riwayat tersebut adalah tauqi’ Ishak bin Yakub yang menerima riwayat ini melalui perantara Muhammad bin Usman dimana Imam Mahdi Ajf bersabda, “Banyak-banyaklah berdoa supaya kelapangan (kemunculan Imam Mahdi Ajf) disegerakan, karena itu adalah kelapangan bagi kalian.”[12]
Inqitha':
Dalam sebuah riwayat kita membaca Imam Shadiq As bersabda, “Sesungguhnya urusan ini (kemunculan Mahdi) tidak akan terpenuhi kecuali setelah putus asa.”[13]
Dalam riwayat lainnya, Imam Ridha As bersabda, “Sesungguhya kemunculan Imam Mahdi Ajf akan datang setelah keputusasaan dan orang-orang sebelum kalian lebih sabar daripada kalian.”[14]
Hal ini bermakna bahwa selama manusia menaruh harapan pada kekuatan-kekuatan non-Ilahi, dahaga akan keadilan Mahdawi tidak ada dalam dirinya serta tidak mencari dan tidak menghendaki Imam Mahdi.
Boleh jadi atas dasar itu, salah satu tanda permulaan revolusi Imam Zaman Ajf adalah merajalelanya kezaliman dan angkara murka di muka bumi. Hal ini dapat ditetapkan dengan dua jalan:
Rasulullah Saw memandang merajalelanya kezaliman dan angkara murka sebagai tanda permulaan revolusi dan dalam sebuah hadis yang dikutip dari para ahli hadis Islam, Rasulullah Saw bersabda, “Bumi akan diisi dengan keadilan dan persamaan, setelah dipenuhi dengan kezaliman dan kesewenang-wenangan.”[15]
Tekanan dan cekikan kapan saja telah melebih batasnya akan menjadi penyebab ledakan. Ledakan-ledakan sosial seperti ledakan-ledakan mesin yang akan meletup pada tingkatan tertentu.
Pada hakikatnya tersebarnya kerusakan yang dilakukan oleh kaum durjana akan semakin mendekatkan revolusi dan sebagai hasilnya akan menyirami benih-benih revolusi untuk tumbuh berkembang, sehingga tatkala krisis sampai pada puncaknya maka meletuslah revolusi. Namun, harap diperhatikan bahwa semata-mata tersebarnya kerusakan tidak mencukupi, melainkan pengetahuan yang matang juga diperlukan dalam hal ini.
Maksud tingginya level pengetahuan masyarakat adalah bahwa manusia sampai pada level memahami bahwa kezaliman dan kerusakan menjadikan hidupnya sebagai neraka yang tidak cocok dengan makam kemanusiaannya. Setelah itu, dengan menilai syarat-syarat dan kondisi-kondisi yang ada, kejahatan kekuatan thagut, ia menyiapkan benih revolusi di tanah yang sudah siap dan melalui pelbagai cara ia menyirami tanah tersebut. Jelas bahwa sepanjang mayoritas masyarakat tidak menyadari hal ini dan manusia tidak mengetahui nilai-nilainya serta tidak menimbang segala yang dimilikinya dan oleh musuhnya, maka revolusi buta akan meletus yang tentu saja tidak dapat menjamin kemaslahatan umat manusia secara keseluruhan.
Dengan ungkapan yang lebih jelas, untuk merealisasi sebuah revolusi, tersebarnya kejahatan dan adanya seorang pemimpin yang pas, tidak mencukupi. Bahkan selain itu, kesiapan mental dan pikiran juga diperlukan sehingga masyarakat pada waktu yang tepat dapat mempersembahkan tuntutan revolusi yaitu kerelaan berkorban dan kerelaan untuk syahid dalam mencapai tujuan revolusi. Selain itu, sikap lemah, pasif dan malas, puas dengan kondisi yang ada, akan mendominasi spirit masyarakat dan pemikiran revolusi tidak akan ditemukan dalam benak mereka dan dengan berpegang pada logika “Musa dengan agamanya, Isa dengan agamanya,” atau “setiap orang harus mengeluarkan karpetnya sendiri-sendiri dari air” atau “Untuk apa aku peduli dengan urusan orang lain” dan semisalnya. Ia menilai kondisi sekarang senantiasa dengan tuntutan mencari kesenangan, dan lebih mengutamakan hidup sejahtera ketimbang harus bangkit, mengusung revolusi, menahan penderitaan penjara dan siksa, pembunuhan dan eksekusi.[16]
Di samping itu, untuk mewujudkan kebangkitan dan revolusi Imam Mahdi Ajf diperlukan seorang serdadu yang siap sedia dan kekuatan memukul produktif yang berdiri di belakang Imam Mahdi Ajf dan mematuhi komandonya. Dengan demikian, ia harus menggemleng orang-orang yang siap berkorban dalam bara api kezaliman, kejahatan, kerusakan dan diskriminasi, sehingga ia menjadi pembawa pesan keadilan. Kelompok ini harus dibekali dengan kekuatan iman dan takwa, siap berkorban harta, raga dan jiwa untuk mencapai tujuan ini.
Ringkasnya, tersebarnya kerusakan dan kezaliman, apabila berujung pada inzhilâm yaitu menerima kezaliman dan kejahatan, maka tidak akan tersedia ruang bagi kebangkitan melawan kondisi seperti ini. Bahkan hanya dapat berguna tatkala pendahuluan-pendahuluan perlawanan telah dilakukan terlebih dahulu dalam rangka menegakkan keadilan dan kebaikan. Jelas bahwa pendahuluan ini sama sekali tidak akan terlaksana kecuali masyarakat tahu bahwa kezaliman itu adalah hal yang buruk dan harus dibasmi, dan sebagai bandingannya, ia juga harus tahu simbol-simbol kesalehan dan ketakwaan personal dan sosial, dan hanya dengan pengenalan ia mengajak masyarakat kepada kebaikan dan ketakwaan.
Terdapat banyak hadis yang menyebutkan bahwa sekelompok orang pada masa-masa yang berbeda-beda dengan gerakan-gerakan reformis di tengah masyarakat akan menjadi pendahuluan-pendahuluan kemunculan Imam Zaman Ajf. Hadis-hadis ini telah dikumpulkan pada sebagian buku.[17]
Di sini kami ingin menyebutkan salah satu hadis ini. Penulis buku Kasyf al-Ghummah mengutip dari Rasulullah Saw yang bersabda, “Orang-orang akan keluar dari Timur dan menyiapkan pendahuluan bagi kemunculan Imam Mahdi Ajf.”[18]
Takwa dan Jauh dari Dosa
Pada sebagian hadis Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As menjelaskan tentang tugas-tugas para penanti, kesemuanya bercerita tentang takwa, wara, ifaf, shalah, sided, jauh dari dosa dan dekat pada Allah Swt. Sebagai contoh, Imam Shadiq As bersabda, “Barang siapa yang ingin merasakan kebahagiaan menjadi salah seorang sahabat Imam Qaim Ajf, maka selagi dalam masa penantian ia harus menjadi penanti aktif dan beramal dengan wara dan budi pekerti yang luhur. Apabila orang seperti ini meninggal dunia sebelum kemunculan Imam Zaman Ajf maka ganjaran yang akan ia peroleh sama dengan orang yang mendapatkan Imam Zaman Ajf pada masa kemunculannya. Karena itu, berusahalah untuk berbuat kebaikan dan menjadi seorang penanti yang baik. Semoga penantian ini menjadi saat-saat terindah bagimu dan engkau diliputi rahmat.”[19]
Ulama terdahulu kita, terkait dengan tugas-tugas dan taklif-taklif para penanti pada masa ghaibat, menulis buku-buku atau pasal-pasal dari buku-buku. Seperti buku Najm al-Tsaqib karya Haji Mirza Husain Nuri (wafat 1327 H), dua buku “Mikyal al-Makârim” dan “Wazhife Mardum dar Zaman Ghaibat Imam Zaman Ajf (Tugas-tugas Masyarakat Pada Masa Ghaibat Imam Zaman Ajf) karya Mirza Muhammad Taqi Musawi Isfahani (w 1348 H)
Dalam buku-buku ini dan yang semisal dengannya yang disinggung hanyalah berdasarkan riwayat-riwayat para Imam Maksum terkait dengan faktor-faktor kemunculan dan tugas-tugas para penanti. Akan tetapi dari sudut pandang rasional juga dapat dikatakan bahwa pembentukan pemerintahan semesta dengan segala kebesaran dan keagungannya, bersifat seketika meski ia merupakan sebuah hal yang mustahil, namun kita tidak memiliki dalil rasional atau referensial standar terkait dengan hal ini. Kendati boleh jadi kemunculan itu sendiri disebabkan tiadanya tauqit (tidak dijelaskannya waktu) terjadi dalam waktu serentak dan seketika, namun tentu saja tidak akan terjadi tanpa adanya persiapan pendahuluan.
Syahid Muthahari menulis, “Sebagian ulama Syiah yang menaruh prasangka baik terhadap sebagian pemerintahan Syiah kontemporer, memberikan kemungkinan bahwa sebuah pemerintahan hak akan berdiri hingga revolusi Imam Mahdi Ajf Yang Dijanjikan.[20]
Hal ini menjelaskan bahwa ulama Syiah meyakini pemerintahan pendahuluan dan hal ini merupakan suatu hal yang wajar; karena tatkala manusia menantikan seorang tamu istimewa, maka ia akan berusaha menyiapkan ruang dan persiapan pendahuluan untuk menyambut sang tamu istimewa. Bagaimana mungkin seorang penanti, menantikan seseorang yang disebabkan penegakan keadilan, pelaksanaan hukum-hukum Ilahi dan mencegah pelbagai kemugkaran akan dihukum dan merasakan sabetan pedangnya?”
Ayatullah Makarim Syirazi terkait dengan persiapan-persiapan yang harus dilakukan untuk terbentuknya pemerintahan semesta, menulis, “supaya dunia menerima pemerintahan seperti itu maka diperlukan beberapa persiapan sebagai berikut:
Kesiapan pikiran dan budaya; artinya level pemikiran masyarakat dunia sedemikian tinggi sehingga ia tahu misalnya masalah ras atau “beragam letak geografis dunia” bukanlah masalah penting bagi hidup umat manusia dan perbedaan bahasa, warna kulit, negeri, tidak dapat memisahkan manusia antara satu dengan yang lainnya.
Kesiapan sosial; orang-orang sedunia harus lelah dan muak dengan kezaliman, kejahatan dan pelbagai pemerintahan yang ada di dunia, ia merasakan kegetiran dan kepahitan kehidupan material dan mono dimensional dan bahkan telah berputus asa terhadap masa depan yang dapat memecahkan persoalan-persoalan kekinian.
Kesiapan teknologi dan komunikasi; berbeda dengan anggapan sebagian orang bahwa sampaina pada tingkat kesempurnaan sosial dan sampainya pada dunia yang sarat dengan perdamaian dan keadilan, hanya dapat tercapai dengan musnahnya teknologi modern. Adanya industri-industri maju bukan hanya tidak menggangu sebuah pemerintahan berkeadilan semesta, namun juga tanpanya mustahil dapat sampai pada tujuan seperti ini.[21]
Kesiapan individu: Pemerintahan semesta sebelum segala sesuatunya memerlukan unsur-unsur yang siap dan dengan nilai kemanusiaan sehingga dapat memikul beban berat seperti reformasi agung dan luas seperti ini.
Hal ini pada level pertama diperlukan peningkatan level pemikiran, pengetahuan, kesiapan mental dan pikiran untuk melaksanakan agenda agung ini. Para penanti sejati tentu saja tidak hanya dapat menjadi penonton untuk mengimplementasikan agenda-agenda tersebut.[22]
Catatan:
[1]. Ibrahim Amini, Dâd Gustari Jahân, hal. 294, Zamine Sâzi Zhuhur Hadhrat Wali Ashr As, Muhammad Fakir Maibadi.
[2]. Silahkan lihat, Lutfhullah Shafi Gulpaigani, Muntakahab al-Âtsâr, hal. 334.
[3]. Silahkan lihat, Bihâr al-Anwâr, jil. 52, hal. 97.
[4]. Ibid, hal. 98.
[5]. Silahkan lihat, Bihâr al-Anwâr, jil. 52, hal. 91 dan 113.
«ان لصاحب الامر غيبة لا بد منها، يرتاب فيها كل مبطل، فقلت له: و لم جعلت فداك؟ قال لامر لم يؤذن لنا فى كشفه لكم، قلت: فما وجه الحكمة فى غيبة؟ فقال: وجه الحكمة فى غيبة وجه الحكمة غيبات من تقدمه من حجج اللّه تعالى ذكره، ان وجه الحكمة فى ذلك لا ينكشف الا بعد ظهوره، كما لا ينكشف وجه الحكمة لمّا أتاه الخضر( عليهالسلام ) من خرق السفينة، و قتل الغلام و اقامة الجدار، لموسى (عليهالسلام) الا وقت افتراقها».
[6]. Silahkan lihat, Bihâr al-Anwâr, jil. 53, hal. 177 dan Ilzam al-Nashib, jil. 2, hal. 467.
«و لو ان اشياعنا وفقهم اللّه على اجتماع من القلوب فى الوفاء بالعهد عليهم، لما تأخر عنهم اليمن بلقائنا و لتعجلت لهم السعادة بمشاهدتنا، على حق المعرفة و صدقها منهم بنا فما يحبسنا عنهم الا ما يتصل بنا مما نكرهه و لا نؤثره منهم».
[7]. Bihâr al-Anwâr, jil. 52, hal. 129.
«ما احسن الصبر و انتظار الفرج، اما سمعت قول الله تعالى «فارتقبوا انى معكم رقيب» و قوله عزوجل: «فانتظروا انى معكم من المنتظرين، فعليكم بالصبر، فانه انما يجيىء الفرج على اليأس و قد كان الذين من قبلكم اصبر منكم».
[8]. Ibid, hal. 122.
«افضل اعمال امتى انتظار الفرج»
[9]. Ibid.
«اى الاعمال احب الى اللّه عزوجل؟» فقال: «انتظار الفرج».
[10]. Bihâr al-Anwâr, jil. 52, hal. 95.
«اقرب ما يكون العبد الى اللّه عزوجل و ارضى ما يكون عنه اذا افتقدوا حجة اللّه فلم يظهر لهم و حجب عنهم فلم يعلموا بمكانه... فعندها فليتوقعوا الفرج صباحا و مساءً»
[11]. Bihâr al-Anwâr, jil. 52, hal. 122.
«المنتظرون لظهوره افضل اهل كل زمان، لان اللّه تعالى ذكره، اعطاهم من العقول و الافهام و المعرفة ما صارت به الغيبة عند هم بمنزلة المشاهدة، و جعلهم فى ذلك الزمان بمنزلة المجاهدين بين يدى رسول اللّه صلىاللهعليهوآله بالسيف، اولئك المخصلون حقا، و شيعتنا صدقا، و الدعاة الى دين اللّه سرا و جهرا »
[12]. Al-Ihtijâj, jil. 2, hal. 471.
«و اكثروا الدعاء بتعجيل الفرج، فان ذلك فرجكم»
[13]. Bihâr al-Anwâr, jil. 52, hal. 111.
«ان هذا الامر لايأتيكم الا بعد اياس...”
[14]. Silahkan lihat, Bihâr al-Anwâr, jil. 52, hal. 129 dan 110.
«فانه انما يجيىء الفرج على اليأس و قد كان الذين من قبلكم اصبر منكم»
[15]. Al-Ihtijâj, jil. 1, hal. 69.
«يملا الارض قسطاً و عدلا كما مُلئت ظُلما وجورا».
[16]. Harap diperhatikan bahwa beberapa lama kerusakan akan melanda dunia. Kerusakan yang dilakukan negara-negara adidaya terjadi di pelbagai belahan dunia khususnya Afrika dan Asia sampai pada level yang paling parah. Semenjak hari Barat berpikir ingin menguasai Timur, setiap harinya di pelbagai belahan dunia tingkat kezaliman yang diderita semakin meningkat dan jutaaan orang yang tertawan. Hanya dengan mengkaji negara-negara jajahan di Afrika dan Asia Selatan menjadi dokumen yang paling jelas dan terang atas persoalan ini.
[17]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Kamil Sulaiman, Ruzegâr Rahâi, terjemahan Persia oleh Ali Akbar Mahdi Pur, jil. 2, hal. 1034-1062.
[18]. Kasyf al-Ghummah fi Ma’rifat al-Aimmah, jil. 3, hal. 267. Mu’jam Ahadits al-Imam al-Mahdi, Muassasah al-Ma’arif al-Islamiyah, 1411 H, jil. 1, hal. 387.
[19].. Bihâr al-Anwâr, jil. 52, hal. 140 sesuai nukilan dari Ghaibat al-Nu’mani.
«من سره ان يكون من اصحاب القائم فلينتظر وليعمل بالورع و محاسن الاخلاق و هو منتظر. فان مات وقام القائم بعده، كان له من الأجر مثل أجر من أدركه. فجدوا وانتظروا هنيئاً لكم ايتها العصابة المرحومة».
[20]. Silahkan lihat, Murtadha Muthahhari, Qiyâm wa Inqilâb Mahdi, hal. 68.
[21]. Makarim Syirazi, Hukumat Jahâni Mahdi Alaihi al-Salâm, hal. 80-83
[22]. Ibid, hal. 100.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar