Biografi Rasulullah SAW
Sekitar 571 M, seorang bayi keturunan Quraisy lahir
di Makkah. Hingga saat ini, tidak diketahui secara pasti apa nama yang
diberikan oleh ibunya pada bayi itu. Bangsa Quraisy memberinya julukan
Al-Amin[1]
(yang terpercaya) –sebuah gelar yang cukup terhormat. Sedangkan Al-Qur‟an menyebutnya Muhammad.[2]
Artinya:Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh Telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul[3]
apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)?
barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan
mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada
orang-orang yang bersyukur.
(Q.S. Ali Imron: 144)[4]
Artinya:Muhammad itu
sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi
dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.
(Q.S. Al-Ahzab: 40)[5]
Artinya:Muhammad itu adalah
utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras
terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu
lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya,
tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah
sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil,
yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu
menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di
atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya Karena
Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan
orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang
besar.
(Q.S. Al-Fath: 29)[6]
Artinya:Dan orang-orang mukmin
dan beramal soleh serta beriman kepada apa yang diturunkan kepada
Muhammad dan Itulah yang Haq dari Tuhan mereka, Allah menghapuskan
kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan mereka
.(Q.S. Muhammad: 2)[7]
Dari ayat-ayat yang disebutkan di atas, semua
menyebutnya Muhammad, dan nama Ahmad hanya satu kali disebutkan pada
surat As-Saff ayat 6. Nama yang seterusnya ia sandang adalah Muhammad
(yang terpuji), satu nama yang banyak digunakan oleh anak laki-laki
Islam. Ayah bayi itu adalah Abdullah, meninggal saat ia masih dalam
kandungan. Dan ibunya, Aminah, meninggal ketika ia masih berusia enam
tahun. Karena itu, ia kemudian diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib, dan
setelah kakeknya meninggal, kewajiban itu diserahkan kepada pamannya,
Abu Thalib.[8]
Referensi lain menurut Ahmad Hatta dkk menyebutkan
bahwa Rasulullah lahir hari Senin 12 Rabi‟ul Awal bertepatan dengan 22
April 571 M menurut penelitian ulama terkemuka Muhammad Sulaiman
Al-Manshufuri. Tepat setelah peristiwa penyerbuan pasukan gajah ke
Ka‟bah, usia kandungan Aminah mencapai sembilan bulan. Detik-detik
kelahiran sang buah hati kian mendekat. Aminah mulai merasakan ada yang
bergerak-gerak cepat dalam perutnya. Kemudian, saat Muhammad lahir,
berhala-berhala berjatuhan, istana Kisra terguncang, dan api persembahan
orang Persia padam.[9]
Nama lengkap beliau adalah Muhammad SAW. bin
Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abd Manaf bin Qushay bin
Kilab bin Murrah bin Ka‟ab bin Lu‟ayy bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin
Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Madrikah bin Ilyas bin Mudhar bin
Nizar bin Ibrahim alaihissalam.[10]
Sejumlah penulis besar tentang Sirah dan para pakar
Hadits telah meriwayatkan peristiwa-peristiwa di luar kebiasaan, yang
muncul pada saat kelahiran Nabi yang suci. Peristiwa-peristiwa diluar
daya nalar manusia yang mengarah kepada dimulainya era baru bagi alam
dan kehidupan manusia.
Beliau disusui oleh Tsuwaibah, seorang budak
pamannya, Abu Lahab, selama beberapa hari. Lalu Abdul Muthalib
mencarikan ibu susu dari daerah pedesaan, demi cucunya yang yatim itu,
yang sangat ia cintai melebihi yang lainnya. Mereka mengutamakan daerah
pedesaan karena udara pedesaan masih segar dan bersih, serta sikap
orang-orang desa yang masih murni dan sederhana. Di samping itu bahasa
Desa juga masih murni dan fasih.[11]
Ketika mencapai usia enam tahun beliau dibawa oleh
ibunya dan Ummu Aiman ke Madinah untuk berziarah kemakam paman-pamannya
dari Bani Najjar. Beliau di Madinah selama satu bulan. Dalam perjalanan
pulang, ibunya sakit dan akhirnya meninggal dunia. Aminah wafat di desa
Abwa. Kemudian Nabi diasuh oleh kakeknya yang bernama Abdul Muthalib
sampai berusia 8 tahun.
Setelah kematian kakeknya Nabi diasuh oleh pamannya
yang bernama Abu Thalib sesuai wasiat kakeknya. Abu Thalib adalah orang
yang melindungi Nabi SAW dari kaum musyrikin dan sangat menyayangi
Nabi. Sebelumnya Abu Thalib tergolong orang miskin. Namun berkat
mengasuh Nabi, ia pun menjadi kaya.[12]
Ketika Nabi berusia 12 tahun, Nabi melakukan
perjalanan bersama pamannya (Abu Thalib) menuju ke negeri Syam, tetapi
paman Nabi mengurungkan niatnya, dikarenakan khawatir terhadap orang
Yahudi setelah diperingatkan oleh rahib (pendeta) Buhaira. Ketika Nabi
berusia 25 tahun melakukan pelayaran kedua kalinya ke negeri Syam dengan
membawa dagangan Siti Khadijah bersama pelayan Khadijah yang bernama
Maesarah, untuk berdagang. Dalam melakukan aktivitas jual beli Nabi
menjauhi pertengkaran dan perselisihan, karena tujuan Nabi ke Syam untuk
menjual barang dagangan Khadijah. Nabi kembali dari perjalanan niaga
ini dengan membawa laba yang berlipat ganda, keuntungan besar yang tidak
pernah dibayangkan sebelumnya.[13]
Di antara hikmah dan tarbiyah Allah SWT. adalah
bahwa Rasulullah SAW. tumbuh dalam keadaan Ummi, tidak bisa baca tulis.
Jadi beliau jauh dari tuduhan musuh, atau prasangka dari orang-orang
yang suka mengada-ada. Demikianlah yang diisyaratkan dalam Al-Qur‟an.
Artinya:Dan kamu tidak pernah
membaca sebelumnya (Al Quran) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah)
menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; Andaikata (kamu pernah
membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu).
(Q.S. Al-Ankabut: 48)[14]
Karakteristik Dakwah Rasulullah SAW
Prof. Dr. Abd al-Karim Zaidan, Guru Besar Jurusan
Agama Fakultas Adab Universitas Baghdad, menuturkan bahwa komponen
dakwah (ushul al-dawah) itu ada empat yaitu materi dakwah, da‟i (pelaku
dakwah), madu (obyek dakwah), dan wasail (metode dan saran dakwah).[15]
Dalam pelaksanaan dakwah empat komponen ini tidak
dipisahkan antara yang satu dengan yang lain. Begitu pula apabila kita
berbicara tentang karakteristik dakwah Nabi SAW dalam menyampaikan
dakwah dengan metode-metode dakwah yang beliau tempuh. Sehingga
sementara orang yang mengelompokkan sifat-sifat dakwah Nabi SAW –
seperti yang akan diterangkan nanti – ini ke dalam metode-metode dakwah
beliau.
a. Memberikan peringatan (Al-Indzar)
Al-Indzar adalah penyampaian dakwah dimana isinya
merupakan peringatan terhadap manusia tentang adanya kehidupan akhirat
dengan segala konsekuensinya. Al-Indzar ini sering dibarengi dengan
ancaman hukuman bagi orang-orang yang tidak mengindahkan perintah Allah
dan Rasul-Nya.
Al-Qur‟an banyak menyebut Nabi Muhammad SAW, begitu
pula nabi-nabi sebelumnya, sebagai nadzir atau mundzir, yang berarti
orang yang memberi peringatan. Al-Qur‟an juga menyebutkan mereka sebagai
basyir atau mubasysyir, yaitu orang yang memberikan kabar gembira.
Namun apabila dihitung jumlah kedua sebutan itu, maka sebutan nadzir
atau mundzir ternyata jauh lebih baik dari pada sebutan basyir atau
mubasysyir. nadzir atau mundzir disebutkan tidak kurang dari 59 kali,
sementara basyir atau mubasysyir hanya disebutkan 18 kali.[16]
Al-Indzar dalam dakwah ini umumnya ditunjukkan
kepada orang-orang kafir, atau orang-orang muslim yang masih suka
berbuat maksiat.
b. Menggembirakan (al-Tabasyir)
al-Tabasyir adalah penyampaian dakwah yang berisi
kabar-kabar yang menggembirakan bagi orang-orang yang ikut dakwah.
Seperti dituturkan di depan, Al-Qur‟an juga banyak menyebutkan predikat
basyir atau mubasysyir untuk Nabi Muhammad SAW dan Nabi-Nabi sebelumnya,
hanya saja jumlahnya lebih sedikit dibanding predikat nadzir atau
mundzir. Dan hal ini tampaknya bukan merupakan suatu kebetulan, tetapi
ada isyarat-isyarat di balik itu, antara lain;[17]
1) Bahwa dakwah yang dilakukan oleh Nabi SAW dan para Nabi sebelumnya lebih banyak bercorak indzar dari pada tabsyir.
2) Tipologi orang yang perlu mendapatkan indzar jauh lebih banyak dari pada tipologi orang-orang yang layak mendapatkan tabsyir.
3) Pendekatan dakwah dengan corak indzar ini
ditempuh karena pada dasarnya para manusia itu telah memiliki keimanan
dasar, dimana secara fitrah ia mengakui adanya pencipta alam raya ini,
seperti sudah disinggung didepan, „keimanan dasar‟ ini menurut para
ulama disebut dengan „tauhid rububiyah‟ semua manusia, baik yang mukmin
maupun yang kafir, mengakui hal itu. Bahkan Iblis pun mengakui bahwa ia
diciptakan oleh Allah. Tentang pengakuan orang-orang kafir dan
musyirikin ini Allah berfirman :
mereka: "Siapakah yang
menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: "Allah", Maka bagaimanakah
mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah )?,
(al-Zukhruf: 87).[18]
Sementara tentang pengakuan Iblis Allah berfirmana:
Artinya:Iblis berkata, “saya
lebih baik dari pada Adam, karena Engkau menciptakan saya dari api,
sedangkan Adam Engkau ciptakan dari tanah.
(al-a‟raf: 12)[19]
Namun demikian, sekedar „pengakuan‟ saja belum
cukup untuk membuat manusia menjadi taat kepada Allah, sebab yang
diperintahkan Allah adalah ketaatan mutlak manusia kepada-Nya. Untuk
itulah diperlukan adanya „peringatan‟ (indzar) kepada manusia secara
terus-menerus, agar manusia membuktikan loyalitas kepada-Nya.
Apalagi jika ditambah bahwa manusia memiliki
kecenderungan untuk lalai terhadap kehidupan akhirat, maka sangatlah
wajar bila porsi indzar itu lebih banyak dari pada tabsyir.[20]
c. Kasih sayang dan lemah lembut (al-Rifq wa al-Lin)
Di antara karakteristik dakwah Nabi SAW, beliau
dalam menjalankan dakwah bersikap kasih saying dan lemah lembut. Sikap
beliau ini lakukan terutama apabila beliau menghadapi orang-orang yang
tingkat budayanya masih rendah. Misalnya, ketika ada seorang badui yang
kencing di Masjid, para sahabat bermaksud mengusirnya, tetapi Nabi SAW
justru membiarkannya sampai ia selesai membuang air.
Sesudah itu beliau menyuruh para Sahabat untuk
mengambil air dan menyiramkannya pada tempat yang dikencingi badui tadi.
Kemudian Nabi SAW bersabda, “kalian diutus untuk mempermudah, bukan
untuk mempersulit.”[21]
Membiarkan orang mengencingi lantai Masjid yang
biasa dipakai untuk shalat tampaknya memang sulit untuk dipahami oleh
para Sahabat pada saat itu. Tetapi begitulah sifat Nabi SAW menghadapi
orang yang tingkat budayanya masih rendah.
Sementara sebagian Ulama menganalisis, seandainya
Nabi SAW tidak membiarkan orang badui tadi merampungkan kencingnya,
niscaya ia akan lari karena diusir oleh para sahabat.
Dan ini akan mengakibatkan air kencingnya tercecer
kemana-mana sehingga lebih mengotori Masjid. Atau, ia akan segera
menahan kencingnya, dan ini tentu akan membahayakan kesehatannya.[22]
Namun bagaimanapun seandainya pengusiran itu
terjadi maka secara psychologis orang badui pedesaan yang tepatnya
bernama Dzulkhuwaishirah al-Yamani itu akan merasa terpukul mentalnya
sehingga ia menjadi antipati dengan Nabi SAW berikut seluruh ajarannya.
Sebab boleh jadi ia tidak tahu apabila lantai Masjid yang ada pada waktu
itu masih berupa tanah itu tidak boleh dikencingi.
Dan itu adalah salah satu contoh saja dari
sikap-sikap Nabi SAW yang lemah lembut dalam berdakwah. Selain itu masih
banyak lagi contoh-contoh di mana Nabi SAW bersikap seperti itu. Dan
itulah yang menjadikannya di puji Allah dalam firmanNya :
Artinya:maka disebabkan rahmat
Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhi diri dari
sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian
apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
(Ali Imran: 159)[23]
Dan sebagai salah satu karakteristik dakwah, sikap
kasih sayang dan lemah lembut baik dalam perlakuan maupun tutur kata ini
tidak hanya dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW saja.
Tetapi menjadi prilaku Nabi-Nabi sebelumnya. Bahkan
kepada orang yang mengaku Tuhanpun Allah memerintahkan Nabi Musa dan
Nabi Harun untuk bertutur kata yang lembut. Yaitu dalam firmannya :
Artinya:Pergilah kamu berdua
kepada fir‟aun, karena sesungguhnya ia telah melampaui batas. Maka
berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan tutur kata yang lemah lembut,
mudah-mudahan ia sadar atau takut.
(Thaha, 43-44)[24]
d. Memberikan Kemudahan (al-Taisir)
Agama Islam yang didakwahkan Nabi Muhammad SAW
sarat dengan kemudahan-kemudahan. Banyak aturan-aturan di dalamnya yang
oleh sementara orang dianggap menyulitkan, ternyata tidak demikian.
Orang yang tidak dapat menjalankan shalat dengan
berdiri, ia boleh shalat dengan duduk. Apabila shalat dengan duduk pun
tidak dapat, maka ia dapat shalat dengan berbaring, begitu pula dengan
hal bersuci, apabila ia tidak mendapatkan air, ia boleh bersuci dengan
tayamum.
Begitulah, Islam mengenal adanya dispensasi
(rukhshah), yaitu kemudahan-kemudahan yang diperoleh karena adanya
sebab-sebab tertentu. Bahkan dalam keadaan darurat, babi yang haram
dimakan itu justru wajib dimakan.
Namun demikian Islam melarang pemeluknya untuk
mempermudah dalam menjalankan agamanya. Sementara Nabi Muahammad SAW
dalam menjalankan dakwahnya banyak memberikan petunjuk-petunjuk agar
manusia memperoleh kemudahan-kemudahan.
Sahabat Anas bin Malik yang pernah lama menjadi
pelayan Nabi SAW, menuturkan bahwa Nabi SAW pernah bersabda,
“permudahlah urusan orang-orang yang kalian hadapi dan janganlah
mempersulit mereka. Berikanlah kabar-kabar yang mengembirakan, dan
jangan buat mereka lari meninggalkan kalian.”[25]
e. Tegas dan Keras (al-Syiddah)
Di samping sikap-sikap yang lemah lembut dan tidak
mempersulit, pada saat-saat tertentu Nabi SAW juga Bani Makhzum yang
sangat terpandang dikalangan kaum Quraisy. Tetapi mereka tidak berani
membicarakan hal itu kepada Nabi SAW.
Akhirnya mereka menyuruh Usamah bin Zeid untuk
membicarakan hal itu kepada Nabi Saw, karena Usamah adalah orang
kesayangan beliau. Dan setelah mendengar permintaan Usamah, beliau
berkata, “Apakah kamu hendak membebaskan manusia dari hukuman Allah ?”
Kemudian Nabi berdiri dan mendatangi orang-orang banyak, lalu berkata,
“Wahai sekalian manusia.
Hancurnya orang dahulu hanyalah karena apabila ada
orang besar mencuri, mereka tidak mau menghukumnya. tetapi apabila yang
mencuri itu rakyat kecil, mereka menghukumnya. Demi Allah, apabila
Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti akan kupotong tangannya”. Akhirnya
beliau memotong tangan Fatimah binti al-Aswad wanita pencuri itu.[26]
Itulah salah satu contoh ketegaran Nabi SAW dalam
masalah yang berkaitan dengan hak Allah (kepentingan umat). Sementara
contoh ketegaran beliau dalam masalah dimana salah seorang sahabat
diketahui melanggar larangan beliau, adalah kejadian dimana beliau
melemparkan cincin emas yang dipakai oleh salah seorang sahabatnya. Kata
beliau, “Di antara kalian ada yang sengaja menaruh bara api neraka
ditangannya”.
Dan setelah cincin itu dibuang, ada seorang berkata
kepada pemilik cincin tadi,”Ambil saja cincin itu, anda dapat
memanfaatkannya”. Pemilik cincin tadi menjawab, “Tidak, Demi Allah, saya
tidak akan mengambil barang yang sudah dibuang oleh Rasulullah.”
Tindakan Nabi SAW membuang cincin emas yang dipakai
oleh salah seorang sahabatnya yang kebetulan lelaki itu karena beliau
mengetahui bahwa orang itu sudah tahu bahwa kaum lelaki diharamkan
memakai emas. Karena beliau pernah mengambil kain sutra dan emas,
kemudian mengatakan, “sesungguhnya dua jenis benda ini haram dipakai
oleh orang-orang lelaki dikalangan umatku.”[27]
f. Sarat Tantangan dan Ujian (al-Tahaddiyat)
Dakwah ini tantangannya adalah dua hal yang tidak
dapat dipisahkan. Sejak insan dakwah pertama kali diciptakan, yaitu Nabi
Adam AS, tantangan dakwah yang berupa rayuan Iblis agar beliau
melanggar larangan Allah sudah menyertainya. Dan begitulah, tantangan
dakwah akan selalu ada selagi dakwah itu ada.
Tantangan-tantangan ini terkadang berupa
hambatan-hamabatan dakwah baik internal maupun eksternal yang sering
berbentuk ujian-ujian hidup bagi pelaku dakwah itu sendiri. Dan sebagai
insan-insan dakwah, para Nabi justru yang paling parah menghadapi
ujian-ujian hidup.
Hal ini dituturkan sendiri oleh Nabi SAW ketika
menjawab pertanyaan sahabat Sa’ad bin Abi Waqqash, “Siapakah orang yang
paling pedih ujian hidupnya di dunia ini ?” Beliau menjawab “para Nabi,
kemudian orang-orang tingkatannya mendekati Nabi dan seterusnya.”[28]
Nabi SAW sendiri perjalanan hidupnya penuh dengan
kisah-kisah yang memilukan. Begitu lahir belaiu langsung berpredikat
yatim. Enam tahun kemudian predikat itu ditambah menjadi yatim piatu,
karena ibunya wafat. Beliau kemudian diasuh oleh kakeknya Abdul
Muthalib. Namun baru dua tahun diasuh, kakeknya wafat, kemudian beliau
diasuh pamannya Abu Thalib.[29]
Perjalanan hidup Nabi SAW yang begitu pahit pada
masa kanak-kanak itu tampaknya bukan merupakan suatu kebetulan, tapi
memang sengaja dibuat demikian oleh Allah. Begitu pula setelah beliau
menjadi Nabi, teror orang-orang musyrikin Quraisy terhadap beliau juga
semakin meningkat.
Sampai-sampai ketika beliau sedang shalat di
Masjidil Haram, seorang yang bernama „Uqbah bin Abi Muait‟ meletakkan
kotoran dan usus unta yang masih berlumuran darah tepat dipundak beliau
saat beliau sedang sujud, sehingga beliau tidak dapat bangun. Akhirnya
putri beliau yang bernama Fatimah yang saat itu masih kecil datang dan
mengambil kotoran-kotoran tadi.[30]
Ketika orang-orang Quraisy selalu gagal untuk membunuh beliau, mereka sepakat untuk memberlakukan “embargo ekonomi dan sosial”.
Embargo yang ditulis di atas kertas lebar dan
digantungkan di atas Ka’bah ini berisi bahwa orang-orang Quraisy
dilarang melakukan jual beli, pernikahan, dan memberikan kepada Nabi SAW
dan para pengikutnya, berikut keluarga Hasyim dan keluarga al-Muttalib,
karena dua keluarga ini dituduh melindungi Nabi SAW.
Embargo akan dicabut apabila Muhammad sudah diserahkan kepada orang-orang Quraisy untuk dipenggal lehernya.
Begitulah, embargo bertahan hingga tiga tahun,
sejak tahun ketujuh hingga tahun kesepuluh dari kenabian. Dan karena
tidak dapat membeli makanan dan lain-lain, akhirnya apa yang ada mereka
makan, baik berupa kulit binatang yang sudah kering, daun-daunan, dan
lain-lain.
Dan setelah tiga tahun berlalu Allah menghancurkan
naskah “embargo” itu dengan mengirimkan rayap pemakan kertas. Maka
hancurlah naskah itu seluruhnya kecuali bagian-bagian yang tertulis kata
“Allah” saja.[31]
Masih pada tahun yang sama istri beliau wafat. Dan
enam bulan berikutnya paman beliau yang selama ini mengayominya juga
wafat. Maka orang-orang Quraisy semakin leluasa untuk meneror Nabi SAW
dan para pengikutnya. Sampai anak-anak kecil pun berani melemparkan
lumpur ke kepala Nabi SAW.
Beringasnya orang-orang Quraisy dalam meneror Nabi
SAW pada tahun kesepuluh itu yang disebut sebagai tahun kesedihan (Am
al-Hazan) beliau memutuskan untuk hijrah ke taif, 70 km sebelah timur
Makkah, dimana tinggal warga suku Tsaqif. Beliau mengharapkan agar
penduduk Thaif dapat menerima dakwah beliau.
Sepuluh hari beliau tinggal di Taif, ternyata tidak
seorang pun yang mau mengikuti dakwah beliau. Bahkan sebaliknya, beliau
diperlakukan kasar, diejek, diperolok-olok, dan diusir dari Taif seraya
dilempar batu, sampai kaki beliau berdarah. Sementara Zeid bin
Haritsah, pengawal beliau juga dilempari batu dan kepalanya berlumuran
darah.[32]
Hebatnya, ketika Allah menawarkan kepada Nabi SAW
untuk membinasakan orang-orang musyrikin Makkah, beliau malah
menolaknya, kata beliau “Biarlah. Saya justru mengharapkan mudah-mudahan
di antara anak cucu mereka nanti ada yang beriman dan menyembah Allah.”[33]
Begitulah, ketika beliau masih tinggal di Makkah,
teror demi teror satu per satu menimpa beliau dan para pengikutnya.
Ujian-ujian dan Cobaan-cobaan itu bukan habis ketika beliau hijrah ke
Madinah. Justru hijrah sendiri sudah merupakan ujian yang pahit bagi
beliau.
Betapa tidak, kota suci sekaligus kota kelahiran
yang beliau cintai harus beliau tinggalkan. Dalam perjalan hijrah,
beliau bersama Abu bakar as-Shiddiq harus merangkak menaiki gunung Tsur
yang tinggi dan terjal berbatu. Beliau hendak sembunyi di sebuah gua
demi menghindari kejaran dari orang-orang musyrikin.[34]
Sesudah menetap di Madinah, ujian-ujian hidup
beliau juga tak kunjung reda, bahkan beliau pernah disihir oleh seorang
Yahudi bernama Labid bin al-„Asham. Namun beliau segera sembuh karena
diberitahu oleh malaikat Jibril.
Beliau juga pernah diracuni oleh seorang wanita
Yahudi lewat daging kambing goreng yang dihadiahkan kepada beliau.
Beliau sempat memakan daging tersebut, tetapi tidak ada apa-apa. Ketika
wanita tersebut diketahui mau membunuh Nabi SAW, para sahabat memohon
kepada beliau untuk diizinkan membunuh wanita tersebut. Tetapi beliau
tidak mengizinkannya.[35]
Itulah beberapa contoh tantangan dan ujian hidup
beliau dalam menjalankan tugas dakwah. Dan tampaknya sudah menjadi
kelaziman, bahkan merupakan watak, bahwa dakwah akan selalu berhadapan
dengan tantangan-tantangan, baik tantangan terhadap dakwah itu sendiri,
maupun tantangan terhadap pelaku dakwah. Oleh karena itu, agak aneh
kedengarannya apabila seoarang juru dakwah enggan menghadapi
tantangan-tantangan.
g. Ofensif dan aktif (Hujumi wa Fa‟ali)
Dari segi kebahasaan kata dakwah adalah bentuk
ketiga dari kata da‟a, lengkapnya da‟a-yad‟u-da‟wah. Dalam Al-Qur‟an,
kata dakwah dan kata-kata yang terbentuk dari kata dakwah disebutkan
tidak kurang dari 213 kali.[36]
Sementara artinya berkisar pada tiga kategori sebagai berikut :
1)Menyembah
Seperti dalam ayat Al-Qur‟an 108 Surah Al-An‟am:
Artinya:Dan janganlah kamu
miliki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka
nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas dan tanpa pengetahuan.
(al-An‟am, 108).
2) Berdo‟a, meminta, memohon
Seperti dalam ayat 68 surah Al-Baqarah:
Artinya:Mereka menjawab, “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami, sapi betina apakah itu.
(Al-Baqarah, 68)
3) Mengajak, mengundang, memanggil, menyeru.
Seperti dalam ayat 33 surah Yusuf
Artinya:Yusuf berkata, “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai dari pada memenuhi ajakan mereka kepadaku.”
(Yusuf, 33)
Sebenarnya kategori pertama dapat digabungkan
kedalam kategori kedua, karena pengertian “menyembah” itu pada dasarnya
juga berupa do‟a, permintaan, dan permohonan. Namun ada suatu hal yang
perlu dicatat bahwa ketiga kategori arti itu memiliki persamaan, yaitu
masing-masing pekerjaan itu melibatkan pihak lain sebagai obyek.
Dalam ilmu tata bahasa Arab (al-Nahw wa al-Sharf),
kata kerja seperti ini disebut fi‟il muta‟addi. Sementara kategori yang
paling cocok dengan pengertian dakwah yang dibahas dalam buku ini adalah
kategori arti yang ketiga, yaitu mengajak, meengundang, memanggil dan
menyeru.
Mengajak, mengundang, memanggil, dan menyeru adalah
pekerjaan-pekerjaan yang memiliki karakteristik khusus, yaitu ofensif
dan aktif. Karenanya, dari sini dapat disimpulkan bahwa dakwah adalah
upaya yang bersifat ofensif, karena ia memulai perbuatan lebih dahulu.
Ia tidak bersifat defensive (bertahan) yang hanya berbuat apabila ada
orang lain yang memulai.
Dakwah juga bersifat aktif, karena ia merupakan
upaya persuasive yang berusaha untuk meyakinkan pihak lain agar mau
mengikuti isi dakwah itu. Dakwah tidak bersifat reaktif, yang hanya
melakukan sesuatu apabila mendapat umpan.[37]
Keistimewaan Dakwah Rasulullah SAW
Misi dakwah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW memiliki keistimewaan-keistimewaan khusus (khasha’ish), dimana dalam beberapa hal berbeda dengan misi-misi dakwah para Nabi terdahulu. keistimewaan-keistimewaan ini terdapat dalam materi ajaran yang didakwahkan oleh beliau, yaitu ajaran Islam. oleh karena itu keistimewaan-keistimewaan itu juga merupakan keistimewaan-keistimewaan Islam itu sendiri.
Keistimewaan-keistimewaan dakwah Nabi Muhammad SAW antara lain yaitu:
a. Berasal dari Allah (Rabbaniyah al-Da’wah)
Dakwah yang dibawa Nabi Muhammad SAW bersumber dari
wahyu yang berasal dari Allah, atau dikenal dengan istilah Rabbaniyah
al-Da‟wah. Nabi SAW sendiri yang diberi tugas untuk menyampaikan dakwah
itu juga berdasarkan perintah Allah. Dalam hal ini misi-misi dakwah para
Nabi terdahulu juga sama, yaitu berasal dari Allah.
Materi-materi yang didakwahkan Nabi SAW bukan
teori-teori hasil pemikiran beliau, bukan pula hasil dari revolusi
sosial pada zaman beliau hidup, dan juga bukan hasil renungan falsafi
beliau tentang keadaan sosial yang berkembang pada saat itu tetapi
semuanya rangkuman dari ajaran-ajaran yang bersumber dari wahyu Allah
yang diturunkan kepada beliau, sementara beliau menyampaikannya kepada
manusia atas perintah dari Allah juga.[38]
Oleh karena itu, ajaran-ajaran Islam mempunyai
perbedaan-perbedaan yang mendasar serta prisipil dibanding dengan
ajaran-ajaran positif. Sebab ajaran Islam bersumber dari Allah,
sementara ajaran positif bersumber dari manusia.
Ajaran Islam tidak dapat diubah oleh manusia.
Bahkan Nabi SAW tidak memiliki wewenang untuk mengubah, merevisi,
menambah, mengurangi. Sementara aturan-aturan positif kapan saja dapat
dirubah apabila manusia menghendaki.[39]
Sebagai konsekuensi keistimewaan “Rabbaniyah” ini,
ajaran dakwah Islam memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki
oleh ajaran-ajaran lain, yaitu:[40]
Pertama, ajaran Islam bersifat sempurna, tidak
memiliki kekurangan apapun. Kesempurnaan ini karena ajaran Islam
bersumber dari Allah, sementara Allah memiliki kesempuranaan yang
mutlak, baik dari segi dzat-Nya, sifat-sifat-Nya, maupun titah-Nya.
Dan hal itu berpengaruh terhadap aturan-aturan yang
ditetapkan-Nya, baik berupa hukum, akhlak, dan lain-lain. Sementara
aturan-aturan positif yang dibuat manusia tidak memiliki sifat-sifat
tersebut. Ia cenderung bersifat relative seperti halnya relatifitas
manusia yang membuat aturan-aturan itu.
Kedua, Karena ajaran-ajaran Islam itu bersumber
dari Allah, maka ia memiliki kharisma yang luhur sehingga manusia akan
cenderung dan menghormati dan menataati ajaran-ajaran itu.
Sebelum Nabi Muhammad SAW datang dengan membawa
ajaran Islam, orang-orang arab pada masa jahiliyah sudah terbiasa
minum-minuman keras (khamar). bagi mereka, minum khamar itu tidak
dianggap sebagai perbuatan tercela.
Kemudian ketika Islam datang dan secara graduasi
mengharamkan minuman khamar, maka ketika ayat yang paling akhir
mengharamkan khamar itu diturunkan, mereka serentak meninggalakan khamar
itu seraya ramai-ramai menumpahkannya ke tanah. Pada hal perintah untuk
meninggalkan khamar itu hanya satu kalimat saja, yaitu “maka
tinggalkanlah khamar itu.”
b. Komprehensif (Syumuliyah al-Da‟wah)
Dakwah Islam yang dibawa Nabi SAW mencakup seluruh
aspek kehidupan manusia. Tidak ada suatu gerak dan langkah manusia, baik
secara perseorangan maupun kelompok, yang tidak ada aturannya dalam
Islam. Secara global, aturan-aturan atau hukum-hukum yang ada dalam
ajaran Islam terbagi menjadi tiga:
1) Aturan-aturan yang berkaitan dengan akidah.
Yaitu hal-hal yang wajib diimani oleh seorang
mukalaf (dewasa dan berakal), seperti beriman kepada Allah Subhanahu wa
Ta‟ala, para Malaikat, kitab-kitab suci para Rasul, Hari Kiamat, dan
lain-lain.
2) Aturan-aturan yang berkaitan dengan akhlak.
Yaitu sifat-sifat prilaku terpuji yang harus
dimiliki seseorang, atau sifat-sifat prilaku tidak terpuji yang harus
ditinggalkan seseorang.
3) Aturan-aturan yang berkaitan dengan perbuatan.
Yaitu perbuatan, ucapan, perjanjian dan lain-lain
yang dilakukan seorang mukalaf baik secara pribadi maupun kelompok.
Aturan-aturan yang berkaitan dengan perbuatan ini secara garis besar
terbagi menjadi dua:
1)Ibadah.
Yaitu pengaturan hubungan antara manusia dengan Allah, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan lain-lain.
2)Muamalah.
Yaitu pengaturan hubungan antara manusia dengan sesamanya, baik secara perorangan maupun secara kelompok.
Aturan-aturan yang masuk dalam kategori muamalat
ini antara lain hukum kekeluargaan, hukum perdata, hukum pidana, hukum
acara, hukum tatanegara, hukum antar negara, serta hukum ekonomi dan
keuangan.
Semua aturan-aturan hukum di atas terdapat materi
dakwah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Karenanya, seperti ditegaskan
dimuka, tidak ada gerak dan langkah manusia yang tidak ada aturan
hukumannya dalam Islam yang berkaitan dengan gerak atau perbuatan
manusia itu berkisar pada lima hal, yaitu wajib (harus dikerjakan),
haram (tidak boleh dikerjakan), sunnah (sebaiknya dikerjakan), makruh
(sebaiknya tidak dikerjakan), dan mubah (boleh dikerjakan dan boleh
ditinggalkan); maka gerak dan langkah manusia selalu mempunyai status
hukum-hukum yang lima di atas.[41]
c. Universal („Alamiyah al-Da‟wah)
Berbeda dengan misi-misi dakwah yang dibawa para
Nabi terdahulu, misi dakwah yang dibawa Nabi Muhammad SAW bersifat
universal. Ia tidak mengenal batas-batas waktu, tempat, dan etnis;
melainkan berlaku untuk sepanjang zaman, di semua belahan bumi, dan
semua umat manusia di dunia. Dalam hal ini al-Qur‟an menegaskan:
Dan kami tidak mengutus kamu,
melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita dan
sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
(QS. Saba, 28)
Sementara dakwah para Nabi terdahulu hanyalah untuk
kaumnya sendiri, dan hanya berlaku pada masa itu saja. Misalnya Nabi
Nuh AS, beliau hanya diutus pada kaumnya saja.
Dan sesungguhnya kami telah
mengutus Nuh pada kaumnya, lalu ia berkata, :Hai kaumku, sembah oleh
kamu Allah, (karena) sekali-kali tidak ada tuhan bagimu sekain Dia. Maka
kenapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?
(QS. Al-Mu‟minun, 23)
Begitu pula nabi-nabi yang lain. Nabi Hud AS misalnya, beliau hanya diutus untuk kaum ‟Ad saja,[42]
Nabi Shalih AS diutus untuk kaum Tsamud saja,[43]
Nabi Syu‟aib AS diutus untuk kaum Madyan,[44]
Nabi Musa AS diutus unuk kaum Bani Israil,[45]
Nabi Isa AS juga untuk kaum Bani Israil,[46]
dan lain-lain.
Universalitas ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad
SAW itu memiliki dua dimensi, yaitu universal dalam arti ia berlaku
untuk setiap tempat tanpa mengenal batas-batas etnis, dan universal
dalam arti ia berlaku untuk setiap waktu tanpa adanya pembatasan. Hal
ini membawa konsekuensi bahwa ajaran itu bersifat permanen sampai akhir
masa nanti.
Untuk itu ajaran yang dibawa nabi Muhammad SAW itu
bersifat elastik, akomodatif dan fleksibel, sehingga dalam hal-hal
tertentu ia dapat mengikuti perkembangan zaman dan memenuhi kebutuhan
manusia. Dan karena univertalitasnya itulah ia menjadi penutup bagi
ajaran-ajaran Nabi terdahulu, sementara Nabi SAW yang membawa sejarah
itu menjadi Nabi pamungkas dari semua para Nabi.
Seandainya sesudah nabi Muhammad ada Nabi lagi yang
diutus Allah SWT, maka ajaran yang dibawa oleh beliau tidak akan
memiliki keistimewaan universal. Dan al-Qur‟an sebagai kitab Allah juga
akan memberitahu bahwa kelak akan datang seorang Nabi baru yang harus
diimani oleh orang-orang yang masih hidup pada saat itu, sebagaiman
halnya kitab taurat dan Injil yang memberitahukan akan datangnya Nabi
Muhammad SAW.[47]
d. Mengenal balasan amal (Jazaiyah al-Da‟wah)
Dakwah Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW tidak
sekedar nasihat-nasihat dan bimbingan-bimbingan tentang norma-norma dan
nilai-nilai keluhuran tanpa adanya balasan bagi pelakunya. memang, ia
berisi nasihat-nasihat dan bimbingan-bimbingan, tetapi ia juga sekaligus
mengajarkan adanya balasan, yaitu berupa pahala bagi yang mematuhi
nasihat-nasihat itu, dan siksa bagi yang tidak mematuhinya.
Sistem balasan dalam Islam ini pada dasarnya hanya
berlaku di akhirat, artinya balasan itu hanya akan diterima pelakunya di
akhirat nanti. namun tatanan kehidupan di dunia menghendaki adanya
pencegahan terhadap pelanggaran-pelanggaran, sehingga hak-hak warga
masyarakat akan terlindungi. Tanpa hal itu sistem kehidupan masyarakat
tidak akan stabil. Karena itu disamping adanya balasan di akhirat, Islam
juga mengajarkan adanya balasan di dunia, baik balasan itu bersifat
moral maupun material.[48]
e. Moderat (I‟tidaliyah al-Da‟wah)
Keistimewaan dakwah Islam selanjutnya adalah ia
bersifat moderat. Islam mendorong agar mencapai tingkat kesempurnaan,
tetapi pada saat yang sama ia juga tidak menutup mata terhadap
karakteristik dan realitas manusia. Islam melarang penganutnya untuk
bersifat berlebih-lebihan dalam beragama, namun ia juga melarang sikap
semena-mena sehingga persyaratan minimal pun tidak terpenuhi.[49]
Rasulullah SAW mengatakan “Hindari oleh kalian
sikap yang berlebih-lebihan (ghuluw) dalam beragama karena hancurnya
orang-orang dahulu hanyalah karena sikap mereka yang berlebih-lebihan
dalam beragama.” Menurut Imam Ibnu Taimiyah, larangan bersikap
berlebih-lebihan ini bersifat umum, artunya sikap yang berlebih-lebihan
dalam beragama sehingga melampaui batas-batas kewajaran, baik dalam
masalah akidah, maupun muamalah. Sementara manurut ahli tafsir Imam
al-Syaukani, yang dimaksud dengan orang-orang dahulu dalam Hadits Nabi
SAW itu adalah orang-orang Nasrani dan Yahudi.
Orang-orang Nasrani berlebih-lebihan dalam
menghormati Isa sehingga mereka menganggapnya sebagai Tuhan. Sementara
orang-orang Yahudi juga berlebih-lebihan dalam merendahkan martabat Nabi
Isa AS.[50]
Strukturalisasi Madinah dan Arab
Teritorial Arab Pra Islam
Sejauh ini kita telah menggunakan istilah Arab
untuk menyebut orang-orang yang tinggal di semenanjung Arab tanpa
melihat wilayah geografis mereka. Kita harus membedakan antara
orang-orang Arab selatan dan orang-orang Arab utara, yang termasuk di
dalamnya orang-orang Nejed di Arab tengah.
Pemisahan wilayah itu secara geografis, dipisahkan
oleh gurun yang tanpa tanda untuk wilayah utara dan selatan. Hal ini
terungkap melalui karakter orang-orang yang mendiami masing-masing
wilayah tersebut.[51]
Orang-orang Arab utara kebanyakan merupakan
orang-orang nomad yang tinggal di Hijaz dan Nejed, sedangkan orang Arab
selatan kebanyakan adalah orang perkotaan yang tinggal di Yaman,
Hadramaut dan di sepanjang pesisirnya. Orang Arab utara berbicara dengan
bahasa al-Qur‟an, yaitu bahasa Arab paling unggul.[52]
Karena itu, ketika kita menyebut orang-orang Arab
dan bahasa Arab, maka yang kita maksudkan adalah orang-orang Arab utara
dan bahasa Arab al-Qur‟an.
Sementara orang Arab selatan menggunakan bahasa
Semit kuno. Orang-orang Arab selatan adalah orang yang pertama mencapai
kemajuan dan mengembangkan peradaban mereka sendiri.
Orang Arab utara (termasuk Hijaz dan Nejed) tidak
pernah terlibat dalam percaturan internasional hingga datangnya Islam.
Orang Arab utara baru mengembangkan budaya tulis menjelang masa Nabi
Muhammad SAW. Oleh karena itu, istilah jahiliyah lebih erat hubungannya
dengan orang arab utara yang dipenuhi dengan kisah peperangan, dll.[53]
Semenanjung Arab telah ada pada zaman Yunani. Ptolemeus membagi wilayah Arabia ke dalam tiga wilayah utama.
Pertama, Arabia petra, yaitu bagian barat laut,
memanjang di barat dari perbatasan mesir sampai Busra melalui
semenanjung Sinai. Garis ini menyinggung di bagian barat laut, Tadmur,
Yahudi, dan Palestina.
Kedua, Arabia Deserta, yaitu meliputi seluruh
daerah pedalaman Arabia yang kurang diketahui: daerah ini di timur laut
mempunyai perbatasan dari euffrat dan Mesopotamia dan berakhir di garis
batas laut Arabia Petra.
Ketiga, Arabia felix, yaitu wilayah sisa dari
semenanjung Arabia setelah dikurangi daerah yang dibatasi oleh Laut
Merah di bagian Barat, Teluk Persia di sebelah timur, Lautan Hindia di
sebelah selatan dan di utara oleh Arabia Petra, dan Arabia Deserta.[54]
Penduduk Arab dibagi menjadi dua, yakni Qahtan dan
Adnan. Qahtan semula berdiam di Yaman, namun setelah hancurnya bendungan
Ma‟rib sekitar tahun 120 SM, mereka bermigrasi ke utara dan mendirikan
kerajaan Hirah dan Gassan. Sedangkan Adnan adalah keturunan Ismail ibnu
Ibrahim, yang banyak mendiami Hijaz, Tahama, Nejad, Palmerah, dan
lain-lain yang lebih dikenal sebagai penduduk Arab utara.[55]
Dari segi tempat tinggal, penduduk Arab terbagi
menjadi dua kelompok, yaitu kelompok ahl al-Hadharah (penduduk kota) dan
kelompok ahl al- Badiyah (Penduduk gurun pasir). Karena keadaan
geografi dan kondisi alam sangat memengaruhi pranata sosial, ekonomi,
dan politik bangsa arab, maka adanya perbedaan di antara kalangan Arab
tersebut. Orang gurun pasir kebanyakan tinggal di Arab utara yang buta
huruf dan tidak maju (nomads).[56]
Letak Geografis Kota Madinah
Semenanjung Arab merupakan semenanjung barat daya
Asia, sebuah semenanjung besar dalam peta dunia. Wilayahnya dengan luas
1.745.900 km, dihuni sekitar empat belas juta jiwa. Arab Saudi, dengan
luas daratan sekitar 1.014.900 km (tidak termasuk Al-Rab Al-Khali),
berpenduduk sekitar tujuh juta jiwa.[57]
Dari sisi kondisi cuaca, semenanjung Arab merupakan
salah satu wilayah terkering dan terpanas. meskipun diapit oleh lautan
di sebelah barat dan timur, laut itu terlalu kecil untuk memengaruhi
kondisi cuaca Afro-Asia yang jarang turun hujan.
Lautan dari selatan memang membawa partikel air
hujan, tetapi badai gurun musiman menyapu wilayah tersebut dan hanya
menyisakan sedikit kelembaban di wilayah daratan.
Sebelum kedatangan Islam ke kota Yatsrib,
masyarakatnya telah memiliki agama atau kepercayaan. Agama yang dianut
sebagian besar masyarakat kota ini adalah agama Yahudi dan Nasrani,
selain agama Pagan.[58]
Agama Pagan adalah kepercayaan kepada benda-benda
dan kekuatan-kekuatan alam, seperti matahari, bintang-bintang dan bulan,
dan sebagainya.[59]
Agama Yahudi masuk ke kota Yatsrib berbarengan
dengan masuknya para imigran dari wilayah utara sekitar abad ke-1 dan
ke-2 M. Mereka pindah ke Yatsrib untuk melepaskan diri dari penjajahan
Romawi.[60]
Migrasi pertama diikuti oleh gelombang perpindahan yang besar pada tahun
132-135 M, ketika pemerintahan Romawi menindak keras bangsa Yahudi yang
mencoba melakukan pemberontakan.
Di antara suku-suku bangsa yang menganut agama
Yahudi adalah bani Qainuqa, bani Nadhir, bani Gathafan, bani Quraydlah.
Mereka inilah yang mempertahankan kepercayaan hingga Islam datang.
Bahkan banyak di antara mereka yang bersekutu dengan para penguasa
Quraisy untuk mengusir dan membunuh Nabi Muhammad SAW serta menggagalkan
perjuangan umat Islam.[61]
Sementara penganut agama Nasrani merupakan kelompok
minoritas. Mereka berasal dari kelompok bani Najran. Masyarakat bani
Najran memeluk agama Kristen pada 343 M ketika kelompok misionaris
Kristen dikirim oleh Kaisar Romawi untuk menyebarkan agama Nasrani di
wilayah itu.[62]
Masyarakat Madinah atau Yastrib terdiri dari dua
kelompok besar, yaitu kelompok masyarakat Yahudi dan masyarakat Arab.
Masyarakat Yahudi juga terdiri dari berbagai suku, ada suku besar dan
ada suku kecil. Di antara suku-suku Yahudi yang terbesar adalah bani
Qainuqa, bani Quraydlah, bani Nadhir, dan bani Gathfan, selain itu,
terdapat pula suku-suku kecil, misalnya bani Ikrimah, bani Mahmar, bani
Za‟ura, bani Syazliyah, bani Jusyam, bani Bahdal, bani „Auf, dan bani
Tsa‟labah.
Sementara masyarakat Arab terdiri dari dua suku
besar, yaitu bani „Aus dan bani al-Khazraj, bani Najjar, bani najran dan
lain-lain. Kehidupan mereka sebenarnya tidak begitu rukun dan damai,
karena mereka sering kali bertengkar akibat persoalan-persoalan kecil.
Bahkan suku “Aus dan al-Khazraj hingga menjelang
kelahiran Islam, masih sering bertikai. Biasanya mereka memperebutkan
daerah wilayah kekuasaan, perempuan, harta dan sebagainya. Tetapi
setelah muslim, mereka tidak ada lagi pertikaian, karena sudah di ikat
oleh ikatan persaudaraan, ummatan muslimatan, umat Islam. Dengan begitu,
konsep umat telah menghapus konsep kabilah, yang sebelumnya menjadi
konsep sosial dunia Arab dan lainnya.
Kondisi Madinah Sebelum Kedatangan Rasulullah SAW
Sebelum kedatangan agama Islam, Madinah bernama
Yatsrib. Kota ini merupakan salah-satu kota terbesar di provinsi Hijaz.
Kota ini merupakan kota strategis dalam jalur perdagangan yang
menghubungkan antara kota Yaman di selatan dan Syria di Utara.
Selain itu, Yatsrib merupakan daerah subur di Arab
yang dijadikan sebagai pusat pertanian. Sebagian besar kehidupan
masyarakat kota ini hidup dari bercocok tanam, selain berdagang dan
beternak.
Karena letaknya yang sangat strategis dan berlahan
subur, maka tak heran kalau banyak penduduknya yang berasal bukan dari
wilayah itu. Hampir bisa dipastikan bahwa sebagian besar dari mereka
adalah para pendatang yang bermigrasi dari wilayah utara atau selatan.
Pada umumnya mereka pindah ke wilyah ini karena
persoalan politik, ekonomi atau persoalan-persoalan kehidupan lainnya,
misal bangsa Yahudi dan bangsa Arab Yaman. Kedua bangsa inilah yang
mendominasi kehidupan sosial dan politik.[63]
Dalam catatan sejarah diketahui bahwa kelompok
pertama yang menempati Madinah (Yatsrib) adalah suku Amaliqah. Tidak
lama kemudian, beberapa golongan bangsa Yahudi berhasil menguasai mereka
dan akhirnya menetap di Madinah.
Mereka datang ke kota itu secara bergelombang yang
dimulai pada abad ke-1 dan ke-2 M. Kedatangan mereka ke Madinah
sebenarnya untuk menghindari serangan bangsa Romawi. Di antara bangsa
Yahudi yang bermigrasi dan menetap di Madinah adalah bani Nadhir dan
bani Quraizhah.[64]
Sementara bangsa Arab datang ke Yatsrib karena
negerinya dilanda bencana alam, berupa hancurnya bendungan Ma‟arib yang
dibangun sejak masa Ratu Balqis ketika kerajaan Saba masih berjaya.
Selain persoalan itu, alasan kepindahan bangsa Arab
selatan ini ke Yatsrib kerna persoalan konflik politik yang
berkepanjangan yang melanda negara dan bangsa mereka. Dua suku besar
yang berhasil masuk dan menetap di Yatsrib adalah suku „Aus dan
al-Khajras.
Kedatangan bangsa Arab Yaman ke Yatsrib diperkirakan terjadi pada akhir abad ke-4 M.[65]
Kedatangan mereka secara massal ini ternyata mengalahkan jumlah masyarakat Yahudi yang lebih awal menetap di kota itu.
Pada awalnya, kedua suku bangsa ini, yakni Yahudi
dan Arab dapat hidup secara berdampingan, saling menghormati satu sama
lain. Namun dalam perkembangan selanjutnya, ketika bangsa Arab melebihi
jumlah penduduk bangsa Yahudi, mulai timbul kecurigaan dan saling ancam.
Ketegangan ini berawal dari sikap bangsa Yahudi
melanggar kesepakatan bersama untuk tetap menjaga perdamaian. Melihat
kenyataan itu, akhirnya suku bangsa „Aus dan al-Khazraj meminta bantuan
militer dari saudara mereka, Bani Ghassan, permintaan tersebut di
setujui, bani Ghassan tidak ingin keturunan bangsa mereka dikuasai
bangsa Yahudi.[66]
Kedua suku bangsa Arab, „Aus dan al-Khazraj, semula
juga hidup dalam suasana damai. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya,
terjadi pertikaian di antara suku bangsa Arab ini. Dalam konflik
berkepanjangan, kemenangan sering diperoleh suku bangsa al-Khazraj,
sementara suku bangsa „Aus selalu berada di pihak yang kalah.
Karena itu, suku bangsa „Aus menjalin kerja sama
dengan suku bangsa Quraisy untuk melawan suku bangsa al-Khazraj. Tetapi
usaha itu gagal. Akhirnya suku bangsa „Aus mencari dukungan bani
Quraizhah dan bani Nadhir.[67]
tawanan atau jaminan. Permintaan itu dipenuhi
bangsa Yahudi dengan menyerahkan 40 pemuda sebagai jaminan. Meski sudah
diserahkan, suku bangsa al-Khazraj masih tidak percaya, dan meminta
bangsa Yahudi untuk memilih alternatif, meninggalkan Madinah atau 40
orang pemuda itu akan dibunuh.[68]
Semula bangsa Yahudi menerima alternatif pertama,
meninggalkan Madinah. Namun Ka‟ab bin Asad al-Quraizhi berhasil membujuk
mereka untuk tetap tinggal di Madinah dan membiarkan 40 orang pemuda
dibunuh.
Akhirnya, kabilah al-Khazraj benar-benar membunuh
40 orang pemuda tersebut. Akibatnya, bangsa Yahudi benar-benar marah dan
menyatakan diri bersekutu dengan bangsa „Aus.
Sebagai bukti persekutuan itu, Yahudi membantu „Aus
dalam pertempuran Bu‟ats pertempuran ini dimenangkan oleh bangsa „Aus
dengan memakan banyak korban di pihak al-Khazraj.
Tak lama kemudian kedua kelompok berdamai dan
bersepakat mendirikan pemerintahan bersama untuk menciptakan ketentraman
di Madinah. Kepemimpinan baru ini akan diserahkan kepada Abdullah bin
Ubay bin Salul al-Khazraj.[69]
Ketika mereka tengah mempersiapkan pembentukakan pemerintah tersebut, datanglah
Usaha tersebut diketahui oleh suku bangsa
al-Khazraj. Untuk itu, suku bangsa al-Khazraj mengirim dua utusan kepada
kedua kelompok Yahudi tersebut untuk mencari informasi kejelasan
mengenai kenyataan yang sebenarnya terjadi.
Utusan ini memperoleh jawaban bahwa bani Quraizhah
dan bani Nadhir tidak ingin berperang dengan al-Khazraj. Akan tetapi,
jawaban itu tidak memuaskan suku bangsa al-Khazraj.
Untuk itu, suku bangsa al-Khazraj meminta bangsa
Yahudi Madinah mengirimkan 40 orang pemuda sebagai Muhammad SAW dan para
shahabat ke Madinah. Ternyata mayoritas penduduk Madinah lebih memilih
patuh pada pemerintahan Islam.
Dan sebenarnya, Abdullah bin Ubay bin Salul tidak
setuju dengan sikap politik tersebut. Namun karena mayoritas penduduk
Madinah berpihak pada suku Quraisy dengan menjalin kerja sama secara
rahasia. Bahkan ia meninggalkan medan laga bersama sejumlah pasukannya,
tidak ikut perang Badar bersama pasukan Islam di bawah pimpinan Nabi
SAW.
Ketidaksukaannya atas realitas sosial politik di
Madinah, yang semula ia diberi kepercayaan untuk memimpin pemerintahan
bersama di Madinah, mengalami kegagalan; tampaknya menjadi salah satu
faktor penyebab ketidaksukaannya pada umat Islam dan Nabi Muhammad SAW.
Realitas politik inilah yang menjadi latar belakang
penerimaan atau penolakan masyarakat di Madinah menjelang kedatangan
Islam ke Madinah.[70]
Metode Dakwah Rasulullah SAW di Kota Madinah
Al-Qur‟an al-Karim telah meletakkan dasar-dasar
metode dakwah dalam sebuah ayat yang berbunyi: Berserulah kejalan
Tuhanmu dengan (metode) hikmah, mauidhah hasanah, dan diskusi dengan
cara yang baik. (al-Nahl, 125)[71]
.
Dalam ayat ini dasar metode dakwah adalah: hikmah, mau‟idhah hasanah, dan diskusi dengan cara yang baik.
Menurut Imam al-Syaukani hikmah adalah ucapan-ucapan yang tepat dan benar, atau argumen-argumen yang kuat dan meyakinkan.
Sedangkan mau‟idhah hasanah adalah ucapan yang
berisi nasehat-nasehat yang baik dimana ia dapat bermanfaat bagi orang
yang mendengarkannya. mau‟idhah hasanah adalah argument-argument yang
memuaskan sehingga pihak yang mendengarkan dapat membenarkan apa yang
disampaikan oleh pembawa argument itu.
Sedangkan diskusi dengan cara yang baik adalah berdiskusi dengan cara yang paling baik dari cara-cara berdiskusi yang ada.[72]
Ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa metode dakwah itu hanya dua saja, yaiut hikmah dan mau‟idhah hasanah.
Sedangkan metode diskusi dengan cara yang baik atau
terbaik hanyalah diperlukan untuk menghadapi obyek dakwah yang bersikap
kaku dan keras sehingga ia mungkin membantah, mendebat, dan lain
sebagainya.
Pendapat ini barang kali berangkat dari sebuah
persepsi bahwa dakwah itu bersifat ofensif, karena ia berupa mengajak
atau mengundang pihak lain.
Dan ini hanya relefan apabila pendekatan dakwah
dilakukan dengan menggunakan hikmah dan mau‟idhah hasanah. Sementara
berdiskusi dengan cara yang baik adalah bersifat defensif.[73]
Sayyid Qutb menjelaskan, bahwa dakwah dengan metode hikmah akan terwujud apa bila 3 faktor di bawah ini diperhatikan:[74]
1. Keadaan dan situasi orang-orang yang didakwahi (obyek dakwah).
2. Kadar atau ukuran materi dakwah yang disampaikan
agar mereka tidak merasa keberatan dengan beban materi tersebut.
Misalnya karena mereka belum siap menerima materi tersebut.
3. Metode penyampaian materi dakwah, dengan membuat variasi sedemikian rupa yang sesuai dengan kondisi saat itu.
Sedangkan untuk metode mau‟idhah hasanah perlu diperhatikan faktor-faktor berikut ini:[75]
1. Tutur kata yang lembut sehingga hal itu akan terkesan dihati.
2. Menghindari sikap tegar dan kasar.
3. Tidak menyebut-nyebut kesalahan yang dilakukan
oleh orang-orang yang didakwahi, karena boleh jadi hal itu dilakukan
atas dasar ketidaktahuan atau dengan niat yang baik.
Sementara dalam metode diskusi dengan cara yang baik, perlu diperhatikan hal-hal berikut:[76]
1. Tidak merendahkan pihak lawan, apabila
menjelek-jelekan dan lain sebagainya, sehingga ia merasa yakin bahwa
tujuandiskusi itu bukanlah mencari kemenangan, melainkan menunjukkannya
agar ia sampai pada kebenaran.
2. Tujuan diskusi hanyalah semata-mata menunjukan kebenaran sesuai dengan ajaran Allah, bukan yang lain.
3. Tetap menghormati pihak lawan, sebab jiwa
manusia tetap memiliki harga diri. Ia tidak boleh merasa kalah dalam
diskusi, karena harus diupayakan agar ia tetap merasa dihargai dan
dihormati.
Dalam pada itu, Dr. Syeikh Yusuf al-Qardhawi
menuturkan, bahwa dalam diskusi ada dua metode, yaitu metode yang baik
(hasan) dan metode yang lebih baik (ahsan). Al-Qur‟an menggariskan bahwa
salah satu pendekatan dakwah adalah dengan menggunakan metode diskusi
yang lebih baik (ahsan).
Diskusi dengan metode ahsan ini adalah dengan
menyebutkan segi-segi persamaan antara pihak-pihak yang berdiskusi
kemudian dari situ dibahas masalah-masalah perbedaan kedua belah pihak
sehingga diharapkan mereka akan mencapai segi-segi persamaan pula.[77]
Itulah penafsiran tentang tiga dasar metode dakwah
seperti yang digariskan al-Qur‟an. Sementara Nabi Muhammad SAW telah
menafsirkannya dengan menjabarkan dan mengaplikasikan tiga dasar metode
dakwah tadi dalam metode-metode dakwah beliau yang akan diterangkan
dalam bab selanjutnya.
Selama Nabi SAW menjalankan tugas dakwah, ada beberapa metode dakwah yang beliau lakukan. metode-metode dakwah itu adalah:[78]
a. Metode Personal
b. Metode Pendidikan
c. Metode Penawaran
d. Metode Misi
e. Metode Korespodensi
f. Metode Diskusi
Daftar Isi
METODE DAKWAH NABI MUHAMMAD SAW PERIODE MADINAH1
Dakwah Nabi Muhammad SAW2
Biografi Rasulullah SAW 2
Karakteristik Dakwah Rasulullah SAW 7
a. Memberikan peringatan (Al-Indzar)7
b. Menggembirakan (al-Tabasyir)8
c. Kasih sayang dan lemah lembut (al-Rifq wa al-Lin)10
d. Memberikan Kemudahan (al-Taisir)12
e. Tegas dan Keras (al-Syiddah)13
f. Sarat Tantangan dan Ujian (al-Tahaddiyat)14
g. Ofensif dan aktif (Hujumi wa Fa‟ali)19
Keistimewaan Dakwah Rasulullah SAW 22
a. Berasal dari Allah (Rabbaniyah al-Da’wah)22
b. Komprehensif (Syumuliyah al-Da‟wah)24
c. Universal („Alamiyah al-Da‟wah)26
d. Mengenal balasan amal (Jazaiyah al-Da‟wah)27
e. Moderat (I‟tidaliyah al-Da‟wah)28
Strukturalisasi Madinah dan Arab30
Teritorial Arab Pra Islam 30
Letak Geografis Kota Madinah 32
Kondisi Madinah Sebelum Kedatangan Rasulullah SAW 35
Metode Dakwah Rasulullah SAW di Kota Madinah40
Daftar Isi45
Catatan:
[1]
Abdul Malik Ibnu Hisyam, op.cit, hlm. 125.
[2]
Philip K. Hitti, History of The Arabs, Cet. 3, Penerjemah: R. Cecep
Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi dari judul asli History of the
Arabs ; from the earliest times to the present, Jakarta : Serambi Ilmu,
2012. hlm 139.
[3]
Maksudnya: nabi Muhammad s.a.w. ialah seorang manusia yang diangkat
Allah menjadi rasul. Rasul-rasul sebelumnya Telah wafat. Ada yang wafat
karena terbunuh ada pula yang karena sakit biasa. Karena itu nabi
Muhammad SAW. juga akan wafat seperti halnya rasul-rasul yang terdahulu
itu. Di waktu berkecamuknya perang Uhud tersiarlah berita bahwa nabi
Muhammad SAW mati terbunuh. Berita Ini mengacaukan kaum muslimin,
sehingga ada yang bermaksud meminta perlindungan kepada abu Sufyan
(pemimpin kaum Quraisy). Sementara itu orang-orang munafik mengatakan
bahwa kalau nabi Muhammad itu seorang nabi tentulah dia tidak akan mati
terbunuh. Maka Allah menurunkan ayat ini untuk menenteramkan hati kaum
muslimin dan membantah kata-kata orang-orang munafik itu. (Sahih Bukhari
bab Jihad). Abu bakar r.a. mengemukakan ayat Ini di mana terjadi pula
kegelisahan di kalangan para sahabat di hari wafatnya nabi Muhammad SAW,
untuk menenteramkan Umar Ibnul Khaththab r.a. dan sahabat-sahabat yang
tidak percaya tentang kewafatan nabi itu. (Sahih Bukhari bab ketakwaan
Sahabat).
[4]
Departemen Agama RI, op.cit, hlm. 68.
[5]
Departemen Agama RI, op.cit, hlm. 423.
[6]
Departemen Agama RI, op.cit, hlm. 515.
[7]
Departemen Agama RI, op.cit, hlm. 507.
[8]
Philip K. Hitti, op.cit, hlm 139.
[9]
Ahmad Hatta dkk., op.cit, hlm. 69.
[10]
Abul Hasan Ali Al-Hasan An-Nadwi, op.cit, hlm. 98.
[11]
Ibid., hlm. 99-100.
[12]
Abdurrahman, Badruddin (Syeikh Muhammad Alawi Al-Maliki al-Hasani),
Inner Beauty Rasulullah SAW. Ciputat : GP Press, 2009. hlm. 4.
[13]
Umar Abdul, dkk., Nurul Yaqin (Sejarah Nabi saw), Surabaya : Toko Kitab Ahmad Nabhan, 1999. hlm. 9-10.
[14]
Departemen Agama RI, op.cit, hlm. 402 .
[15]
Abdul Karim Zaidan, Ushulud da‟wah, Baghdad: Maktabah Al-Manar, 1981. hlm. 5.
[16]
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu‟jam Al-Mufahras li Al-Fadhul Qur‟anul Karim, Kairo: Darrul Kutubul Mishriyah, 1945. hlm. 120.
[17]
Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008. hlm. 50.
[18]
Departemen Agama RI, op.cit, hlm. 495.
[19]
Departemen Agama RI, op.cit, hlm. 152.
[20]
Ali Mustafa Yaqub, op.cit., hlm. 51.
[21]
Ibid, hlm. 51.
[22]
Ali Mustafa Yaqub, Loc.cit.
[23]
Departemen Agama RI, op.cit, hlm. 71.
[24]
Departemen Agama RI, op.cit, hlm. 314.
[25]
Al-Imam Abi „Abdillah Muhammad Ibnu Ismail Ibnu Ibrahim Ibnu
Mughirah Ibnu Bardazabah Al-Bukhari Al-Ja‟fiyyi,, Shahih Bukhari, Juz 1,
Beirut-Libanon: Darrul kutub Ilmiyah, 1992. hlm. 24.
[26]
Al-Imam Abi „Abdillah Muhammad Ibnu Ismail Ibnu Ibrahim Ibnu
Mughirah Ibnu Bardazabah Al-Bukhari Al-Ja‟fiyyi, Shahih Bukhari, Juz 3,
Beirut-Libanon: Darrul kutub Ilmiyah, 1992. hlm. 64-65.
[27]
Imam Abi al-Husein Muslim Bin al-Hajjaj al-Qusahiry An-Naisaburi,
Shahih Muslim, Juz 2, Beirut-Lebanon: Darrul Kutub Ilmiyah, 1992. hlm.
239
[28]
Ali Mustafa Yaqub, op.cit. hlm. 63
[29]
Muhammad Sa‟id Ramadhan Al-Buti, op.cit. hlm. 59-60.
[30]
Al-Imam Abi „Abdillah Muhammad Ibnu Ismail Ibnu Ibrahim Ibnu
Mughirah Ibnu Bardazabah Al-Bukhari Al-Ja‟fiyyi, op.cit, hlm. 100-101.
[31]
Muhammad bin Sa‟ad bin Mani‟ al-Hasyimi al-Basri al-Ma‟rufi bi ibni
Sa‟ad, thabaqat al-Khubra, Juz 1, Beirut-Lebanon, Darul Kutub Ilmiyah,
1990. hlm. 209.
[32]
Ali Mustafa Yaqub, op.cit, hlm. 59.
[33]
Al-Imam Abi „Abdillah Muhammad Ibnu Ismail Ibnu Ibrahim Ibnu Mughirah Ibnu Bardazabah Al-Bukhari Al-Ja‟fiyyi, op.cit, hlm. 215.
[34]
Ali Mustafa Yaqub, op.cit, hlm. 60.
[35]
Muhammad bin Sa‟ad bin Mani‟ al-Hasyimi al-Basri al-Ma‟rufi bi ibni
Sa‟ad, thabaqat al-Khubra, Juz 2, Beirut-Lebanon, Darul Kutub Ilmiyah,
1990, hlm. 196.
[36]
Ali Mustafa Yaqub, op.cit, hlm. 60-62.
[37]
Ali Mustafa Yaqub, lok.cit.
[38]
Ali Mustafa Yaqub, lok.cit.
[39]
Ali Mustafa Yaqub, op.cit, hlm. 65.
[40]
Ali Mustafa Yaqub, op.cti, hlm. 65-67.
[41]
Abdul Karim Zaidan, op.cit, hlm. 49-50.
[42]
Lihat Al-Qur‟an Surat Al-A‟raf ayat 65 dan Surat Hud ayat 50.
[43]
Lihat Al-Qur‟an Surat Al-A‟raf ayat 73, Surat Hud ayat 61, Surat An-Naml ayat 45.
[44]
Lihat Al-Qur‟an Surat Al-A‟raf ayat 85 dan Surat Hud ayat 84.
[45]
Lihat Al-Qur‟an Surat Al-Isra‟ ayat 2 dan Surat Al-Zukhruf ayat 12.
[46]
Lihat Al-Qur‟an Surat Ash-Shaff ayat 54-61.
[47]
Abdul Karim Zaidan, op.cit, hlm. 54-61.
[48]
Abdul Karim Zaidan, op.cit, hlm. 66-67.
[49]
Abdul Karim Zaidan, op.cit, hlm. 68-70.
[50]
Imam Abi al-Husein Muslim Bin al-Hajjaj al-Qusahiry An-Naisaburi,
Shahih Muslim, Juz 1, Beirut-Lebanon: Darrul Kutub Ilmiyah, 1992, hlm.
584
[51]
Philip K. Hitti, History of the Arabs, Penerjemah: R. Cecep Lukman
Yasin dan Dedi Slamet Riyadi dari judul History of the Arabs; from the
earliest times to the present, Jakarta : Serambi Ilmu, 2008, hlm. 16.
[52]
Ibid, hlm. 20.
[53]
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007, hlm. 51.
[54]
Sayyid uzaffaruddin Nadvi, Sejarah Geografi Qur‟an, Penerjemah: Jum‟an Basalim, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997. hlm. 58-59.
[55]
Hassan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Penerjemah: Djahdan Human, Yogyakarta: Kota kembang, 1989, hlm. 15.
[56]
Karen Armstrong, Sejarah Muhammad, penerjemah: Ahmad Asnawi, Magelang: Pustaka Horizon, hlm. 76.
[57]
Ahmad Hatta dkk., op.cit, hlm. 14.
[58]
Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfury, Sejarah Hidup Nabi Muhammad: Sirah Nabawiyah, Jakarta: Rabbani Press, 2008, hlm. 243.
[59]
Mahdi Rizqullah Ahmad, Biografi Rasulullah: Studi Analisis Berdasar
Sumber-sumber Autentik, Jakarta: Qisthi Press, 2008, hlm. 88.
[60]
Ibid, hlm. 63.
[61]
Murodi, Dakwah Islam dan Tantangan Masyarakat Quraisy: Kajian
Sejarah Dakwah pada Masa Rasulullah SAW, Jakarta: Kencana, 2013, hlm.
111.
[62]
Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfury, op.cit, hlm. 36-37.
[63]
Murodi, op.cit, hlm. 112.
[64]
Mahdi Rizqullah Ahmad, op.cit, hlm. 63-64.
[65]
Mahdi Rizqullah Ahmad, loc.cit.
[66]
Murodi, op.cit, hlm. 113.
[67]
Mahdi Rizqullah Ahmad, op.cit, hlm. 64.
[68]
Mahdi Rizqullah Ahmad, loc.cit.
[69]
Mahdi Rizqullah Ahmad, op.cit, hlm. 65.
[70]
Murodi, op.cit, hlm. 115.
[71]
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, Jakarta: PT Syaamil Cipta Media, 2005, hlm. 281.
[72]
Ali Mustafa Yaqub, op.cit, hlm. 119.
[73]
Ali Mustafa Yaqub, op.cit, hlm. 120-121.
[74]
Sayyid Qutub, Fi Dzilalil Qur‟an, Beirut: Darrul Syuruq, 1979, hlm. 202.
[75]
Sayyid Qutub, op.cit, hlm. 203.
[76]
Sayyid Qutub, op.cit, hlm. 204-205.
[77]
Ali Mustafa Yaqub, op.cit, hlm. 123.
[78]
Ali Mustafa Yaqub, op.cit, hlm. 124.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar