DAFTAR ISI
PrakataPerlunya Al-Qur'an dan Bulan Ramadhan
Perumpamaan Pertama : Orang-orang munafik
Perumpamaan kedua : Gambaran lain kaum munafikin
Perumpamaan Ketiga : Orang-Orang Kafir
Perumpamaan Keempat : Infak
Perumpamaan Kelima : Infak yang Disertai Kata-Kata dan Caci Maki
Perumpamaan Keenam : Infak yang Sesuai
Perumpamaan Ketujuh : Akibat Sebuah Berbuatan
Perumpamaan kedelapan : Makanan Riba
Perumpamaan Kesembilan : Penciptaan Isa bin Maryam yang Mencengangkan
Perumpamaan Kesepuluh : Infak Orang-Orang Kafir
Perumpamaan Kesebelas : Kufur dan Imam
Perumpamaan Keduabelas : Melapangkan Dada
Perumpamaan Ketigabelas : Mabda` dan Ma`ad
Perumpamaan Keempatbelas : Negri Yang Baik
Perumpamaan Kelimabelas : Ulama Yang Menyimpang
Perumpamaan keenambelas : Masjid Dharar
Perumpamaan Ketujuhbelas : Dunia yang Sementara
Perumpamaan kedelapanbelas : Orang Kafir dan Orang Mukmin
Perumpamaan Kesembilanbelas : Mereka yang Berdo`a Kepada Selain Allah
Perumpamaan Keduapuluh : Hak dan Batil
Perumpamaan Keduapuluh Satu : Ketaqwaan Memperkenankan Masuk Surga
Perumpamaan Keduapuluh Dua : Amal-Amal Orang Kafir
Perumpamaan Keduapuluh Tiga dan Keduapuluh Empat : Kalimat Yang Baik dan Kalimat Yang Buruk
Perumpamaan keduapuluh Lima : Allah Memiliki Perumpamaan yang Maha Tinggi
Perumpamaan Keduapuluh Enam : Hamba Berhala dan Hamba Allah
Perumpamaan Keduapuluh Tujuh : Mukmin dan Musyrik
Perumpamaan Keduapuluh Delapan : Para Pemula Pemeluk Islam
Perumpamaan Keduapuluh Sembilan: Kufur Nikmat
Catatan Kaki:
Prakata
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Tuhan Pengatur alam semesta. Shalawat dan salam sejahtera semoga senantiasa tercurah kepada seluruh nabi dan utusan-Nya, terutama nabi terakhir yang paling mulia. Dan juga kepada keluarganya yang suci, maksum dan manusai pilihan-Nya.
Rasulullah Saw, di dalam "khutbah Sya'baniyah" nya yang terkenal, menilai bahwa bulan Ramadhan merupakan bulan ampunan dan keberkahan 1 . Bulan itu adalah bulan rahmat, karena seluruh amal perbuatan rutinitas manusia, seperti tidur dan bernafas mendapat ganjaran pahala ibadah, terlebih lagi ibadah itu sendiri.
Bulan itu adalah bulan ampunan dan pemberian maaf. Karena pada bulan itu, lautan kasih sayang Ilahi dan pemberian maaf-Nya melimpah ruah. Pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, sementara setan-setan dibelenggu dengan rantai. Setiap malam -sebagaimana tersebut di dalam riwayat- Allah mengampuni tujuh puluh ribu orang, dan pada malam qadar Dia mengampuni sejumlah orang-orang yang diampuni selama satu bulan kecuali orang-orang yang menyimpan kemarahan dan mengadakan permusuhan terhadap saudara-saudara seagama mereka. Dosa-dosa mereka tidak akan diampuni sebelum mereka berdamai.2
Bulan itu adalah bulan penuh keberkahan. Karena pada bulan itu berbagai macam kenikmatan, karunia, baik yang berupa maknawiyah maupun Ilahiyah, diturunkan. Pada bulan itu rahmat Ilahi turun dengan deras kepada manusia. Nikmat yang paling besar adalah turunnya Al-Qur'an al-Karim yang merupakan hidangan langit yang paling besar. Sungguh beruntung orang-orang yang dapat meneguk air jernih pengetahuan darinya, sempat merenung dan bertadabbur atasnya, mengambil permata-permata dari lautan ajarannya, kebun indah hikmahnya dan nasihat-nasihatnya yang semerbak.
Sebagian Negeri Islam, khususnya Negeri Islam Iran, mengharumkan dirinya pada bulan ini dengan tabligh dan menyebarkan ma'arif Ilahiyah. Karena kaum muslimin -dengan memasuki bulan jamuan Ilahi ini- menyambut para muballigh dan para pecinta ma'arif Ilahiyah dengan senang hati. Oleh karena itu, kita saksikan pengkajian-pengkajian Al-Qur'an, bacaan, tafsir dan penjelasan ma'arifnya dan hukum-hukum syari'at serta bertawassul kepada Ahlulbait As bertebaran di setiap gang dan jalan raya.
Kajian ilmiah yang dilakukan oleh seorang marja besar; ayatullah al-Uzhma Makarim Syirazi yang membahas tafsir Al-Qur'an turut pula menyemarakkan bulan mulia tersebut. Dengan ceramah-ceramahnya, beliau menyirami para pecinta Al-Qur'an dengan air jernih ma'arif Al-Qur'an al-Karim.
Tema tafsir dalam ceramah-ceramah Ayatullah Makarim Syirazi yang disampaikan pada tahun 1418 dan 1419 H itu adalah "Perumpamaan dalam Al-Qur'an". Meskipun nampaknya tema tersebut sederhana, namun ia merupakan kajian Al-Qur'an yang paling penting dan rumit. Menyadari kokohnya tema pengkajian tersebut, indahnya penjelasan yang disampaikan oleh mufassir yang mulia ini dan padatnya pembahasan-pembahasan yang terkandung di dalam ceramah-ceramahnya, maka dengan segera saya mengumpulkan, menyusun dan mengaturnya serta menerbitkannya setelah mohon izin terlebih dahulu dari beliau. Jadi buku yang kini ada di hadapan anda adalah kumpulan ceramah-ceramah beliau yang telah disusun dan ditata dengan rapih untuk dihidangkan kepada para pecinta ma'arif Ilahiyah dan Qur'aniyah.
Beberapa Poin yang Perlu diperhatikan :
1. Barangkali ada pembaca yang menduga bahwa ayat-ayat "Perumpamaan-perumpamaan Al-Qur'an" ini telah dijelaskan dengan luas di dalam tafsir "Al-Amtsal". Ya, betul. Tetapi dengan mengkaji buku ini akan kita ketahui bahwa Ustazd yang mulia di dalam ceramah-ceramahnya itu telah sampai kepada hakikat-hakikat yang baru, indah dan sangat bermanfaat yang belum pernah beliau singgung di dalam tafsir "Al-Amtsal". Meskipun kitab itu memiliki berbagai kelebihan dan keistimewaan, namun kita tetap perlu mengkaji pembahasan yang disusun di dalam buku ini.
2. Ustadz Ayatullah al-Uzhma Makarim Syirazi pernah berkata bahwa ada sebagian orang yang memprotesnya ketika beliau mulai menulis tafsir "Al-Amtsal". Orang itu mengatakan bahwa kehadiran kitab tafsir "Majmaul Bayan" sudah mencukupi sehingga tidak perlu lagi menulis kitab tafsir yang baru. Setelah masa berlalu, barulah terungkap bahwa kaum muslimin memerlukan penulisan kitab tafsir yang baru seperti tafsir "Al-Mizan" dan "Al-Amtsal", dan perlunya mereka mengetahui hal-hal baru yang bersumber dari wahyu Ilahi. Hal itu sesuai dengan hadis mulia Rasulullah Saw: "Para ulama tidak akan puas darinya, tidak akan usang dengan seringnya dirujuk dan tidak akan habis keajaibannya"3. Dan para mufassir di setiap masa dituntut untuk mengembangkan kemampuannya, yaitu dengan cara memanfaatkan berbagai ilmu pengetahuan dan penemuan-penemuan baru mereka, sebagaimana dikatakan: "Betapa banyaknya yang ditinggalkan orang-orang terdahulu untuk generasi yang akan datang".
3. Kami mengakui terdapat kejanggalan dalam menyusun dan menata kitab ini, oleh karena itu, kami mengharapkan partisipasi para pembaca yang mulia dengan mengajukan saran-saran dan kritikan yang membangun.
Wahai Tuhan kami, hidupkan dan matikanlah kami bersama Al-Qur'an, dan giringlah kami bersamanya. Amin Ya Rabbal Alamin. Wahai Tuhan kami, terimalah amal kami ini. Sesungguhnya Engkau Mahamendengar dan mengetahui.
Hauzah Ilmiah
Abul Qasim Aliyan Nezadi
18-12-1376Sy = 11-12
Hari kelahiran Imam Ali bin Musa al-Ridha As.
Perlunya Al-Qur'an dan Bulan Ramadhan
Bulan Ramadhan yang merupakan bulan diturunkannya Al-Qur'an, memiliki hubungan kuat dengan Al-Qur'an. Untuk menjelaskan hubungan ini, kami perlu mengkaji sebagian ayat-ayat Al-Qur'an mulia secara global. Al-Qur'an menjelaskan pada surat Al-Baqarah ayat 183 tentang kewajiban puasa. Mengingat pentingnya masalah itu, maka dikemukakanlah persoalan-persoalan.?Puasa secara menyeluruh pada kaum yang lain. Allah Swt berfirman: "Diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian". Kemudian Al-Qur'an menilai takwa dan pendidikan ruhani sebagai hasil berpuasa. Kemudian ada tiga golongan manusia yang dikecualikan oleh Allah dari kewajiban berpuasa, sebagaimana terdapat pada ayat 184 dalam surat tersebut. Adapun golongan yang terakhir diwajibkan membayar kafarah sebanyak 750 gram gandum atau makanan lainnya. Pengecualian lainnya yang menafikan kewajiban puasa adalah para wanita (yang lemah fisiknya) yang baru saja mencapai usia baligh, karena mereka belum mencapai usia sepuluh tahun. Sesungguhnya baligh adalah salah satu syarat diwajibkannya berpuasa. Syarat lainnya adalah mampu melakukannya. Dengan demikian hilanglah problem para wanita tersebut. Karena puasa tidak diwajibkan atas para wanita yang baru baligh ketika mereka tidak mampu melakukannya karena lemahnya fisik dan kecilnya usia mereka.
Kemudian pada ayat 185 dalam surat tersebut, Al-Qur'an memberikan pengumuman bahwa bulan Ramadhan adalah bulan puasa. Al-Qur'an menjelaskan pentingnya bulan tersebut karena ia merupakan bulan diturunkannya Al-Qur'an. Allah Swt berfirman: "Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan menjelaskan petunjuk dan furqan (pembeda antara yang hak dan batil)".
Dari penjelasan ayat tersebut dapat dipahami bahwa turunnya Al-Qur'an pada malam Qadar ke dalam hati Rasulullah Saw tersebut merupakan kelebihan dan keistimewaan bulan mulia ini.
Hubungan bulan Ramadhan dengan Al-Qur'an
Bulan Ramadhan adalah bulan ibadah, pendidikan, meninggalkan maksiat dan melakukan ketaatan. Untuk melakukan tugas penting ini, kita memerlukan pengajaran sekaligus pendidikan. Al-Qur'an memberikan pelajaran kepada manusia sementara puasa mendidiknya. Karena manusia tidak akan sampai kepada kesempurnaan kecuali dengan dua hal tersebut. Pada hakikatnya Al-Qur'an -tanpa diwajibkannya puasa- merupakan pengajaran yang tidak lengkap karena tidak disertai pendidikan. Sementara puasa tanpa Al-Qur'an, merupakan pendidikan yang kehilangan pengetahuan dan ma'rifah. Oleh karena itu setiap muslim diwajibkan berpuasa dan menghidupkan bulan Ramadhan ini agar mendapat pendidikan. Dan dengan merasa dekat dan akrab dengan Al-Qur'an mereka akan mendapatkan petunjuk. Hal itu karena Al-Qur'an merupakan petunjuk, penjelas dan pembeda. Kitab Al-Qur'an ini diturunkan pada bulan Ramadhan, sebagaiman pula ia mewajibkan kaum muslimin untuk berpuasa pada bulan mulia ini. Karenanya kedua bentuk hidayah tersebut perlu diperhatikan.Tema Pembahasan
Membaca Al-Qur'an mengandung keutamaan yang sangat besar dan tak terhingga banyaknya, khususnya pada bulan Ramadhan yang penuh berkah. Keutamaan tersebut dapat diperoleh apabila bacaan tersebut disertai dengan tadabbur dan tafakkur yang dapat membersihkan jiwa dan menyediakan lahan untuk mengamalkannya. Dengan dasar itulah, pada bulan Ramadhan tahun ini 4 , kami mengadakan pengkajian tafsir Al-Qur'an. Tema yang kami pilih adalah "Perumpamaan-perumpamaan Al-Qur'an" sebagai langkah baru dalam tafsir dan agar semua kalangan dapat mengambil manfaatnya.Mengapa Al-Qur'an membawakan perumpamaan-perumpamaan?
Lebih dari lima puluh perumpamaan dapat kita temukan di dalam Al-Qur'an 5 . Di dalam surat Al-Baqarah yang merupakan surat kedua, paling tidak terdapat sepuluh buah perumpamaan. Sebenarnya apa hikmah yang terkandung pada perumpamaan-perumpamaan tersebut sehingga Al-Qur'an menyebutkannya begitu banyak? Jawabnya adalah: Sesungguhnya matsal (perumpamaan) ialah menyerupakan realitas-realitas logis dengan hal-hal yang bersifat inderawi dan dapat disentuh. Dari satu sisi, banyak sekali terdapat hal-hal yang bersifat logis yang tidak dipahami oleh kebanyakan manusia. Dan dari sisi lain, manusia lebih akrab dengan hal-hal yang dapat diindera dan dapat disentuh. Oleh karena itu, terdapat pribahasa bahwa "akal pikiran masyarakat awam terdapat pada matanya", artinya bahwa pemahaman manusia terhadap hal-hal yang dapat dilihat dan disentuh itu lebih mudah bagi mereka. Dari sinilah Al-Qur'an memaparkan sebagian pahaman-pahaman akli yang tinggi melalui kulit berbagai perumpamaan agar manusia dapat memahaminya dengan mudah. Atas dsar itu, maka filsafat perumpamaan-perumpamaan Al-Qur'an ialah menurunkan persoalan-persoaaln yang mendalam dan tinggi kepada peringkat yang sesuai dengan ufuk pemikiran manusia.Matsal-matsal praktis dan ucapan
Poin berikut ini perlu diperhatikan, yaitu bahwa sebagian perumpamaan itu berupa amal perbuatan dan dijelaskan melalui sikap. Sebagian lainnya berupa lafzhi yang dijelaskan melalui lisan dan ucapan.Sesungguhnya perumpamaan-perumpamaan Al-Qur'an termasuk jenis yang kedua. Tetapi dapat kita saksikan sebagian matsal yang terdapat pada sirah Rasul Saw dan para Imam suci As berupa matsal-matsal praktis. Tentu, hal itu mempunyai pengaruh yang besar 6 . Berikut ini kami bawakan dua contoh.
1. Ketika Dosa-dosa Kecil Bertumpuk
Suatu ketika Rasulullah Saw turun di daerah yang tandus dan kering, beliau berkata kepada para sahabatnya: "Kumpulkanlah kayu-kayu" (tujuan beliau itu, bukan ingin membakarnya). Mereka berkata: "Ya Rasulallah, kita berada di daerah yang tandus yang tidak terdapat kayu-kayu".Beliau berkata: "Hendaklah setiap orang mengambil sekedar kemampuannya". Beberapa saat kemudian mereka membawa kayu-kayu iyu dan menumpuknya di hadapan beliau. Rasulullah Saw bersabda: "Beginilah dosa-dosa bertumpuk", kemudian melanjutkan sabdanya: "Hendaklah kalian jangan sampai meremehkan dosa-dosa kecil, karena segala sesuatu itu dituntut. Ketahuilah, bahwa yang menuntutnya mencatat segala apa yang mereka kerjakan. Dan segala sesuatu kami catat di dalam kitab yang nyata" 7 .Sesungguhnya dosa-dosa kecil itu bagaikan kayu bakar, ia bertumpuk sedikit-sedikit hingga akhirnya mencapai setinggi gunung api. Sesungguhnya bahaya dosa-dosa kecil itu akibat sikap tidak peduli terhadapnya sebagaimana yang diingatkan oleh Rasul Saw dalam matsal praktisnya.
2. Gambaran Panasnya Neraka Jahanam
Ketika Imam Ali As menjabat sebagai khalifah muslimin dan baitul mal berada pada kekuasaaanya. Beliau mempunyai saudara yang bernama Aqil yang telah berkeluarga dan mempunyai beberapa orang anak. Uang yang dia terima dari baitul mal tidak mencukupi untuk biaya hidupnya. Pada suatu hari ia minta kepada Imam Ali As bagian dari baitul mal yang lebih banyak lagi. Untuk menunjukkan buruknya permintaannya tersebut dan azab akibat tidak adil, beliau As mengambil sepotong besi yang telah dipanaskan. Besi panas tersebut beliau arahkan ke tangan Aqil. Dengan serentak Aqil berteriak, karena ia menduga bahwa Imam Ali akan melukainya dengan besi panas tersebut. Ketika itu Imam Ali As berkata kepada Aqil:"Saudaraku, jika dengan api yang tidak seberapa ini saja kamu tidak sanggup menanggungnya, bagaimana mungkin kamu menyeretku ke api neraka jahanam yang tidak mungkin dapat dibandingkan panasnya dengan api dunia ini? 8 Apabila kamu tidak mampu melihat panasnya api dunia ini, bagaimana mungkin kamu mengajakku kepada kemurkaan Allah demi menyenangkan hati hamba-Nya yang pada akhirnya terjerumus ke dalam api jahanam? Apabila panasnya api yang sedikit ini saja kamu tidak kuat, mengapa kamu bisa menarikku untuk menjauhi ketaatan kepada Allah, hak dan kedilan yang pada akhirnya berujung ke neraka jahanam?Perumpamaan-perumpamaan seperti ini sangat memudahkan dalam memahami dan mencerna berbagai pengetahuan. Dan matsal seperti ini memiliki pengaruh yang jauh melebihi nasihat dan wejangan. Matsal tersebut tidak hanya khusus berlaku buat Aqil saja dan pada masa itu saja. Bahkan matsal tersebut berlaku untuk semua manusia dan pada setiap masa dan zaman. Untuk tujuan itulah Al-Qur'an menggunakan berbagai perumpamaan.
Tujuan Matsal di dalam Al-Qur'an
Tujuan
adanya perumpamaan-perumpamaan telah dijelaskan di dalam sebagian
ayat-ayat Al-Qur'an. Berikut ini kami bawakan tiga contoh:
1. Di dalam surat Ibrahim ayat: 25 -setelah kata "al-Kalimah al-Thayyibah" diserupakan dengan "al-Syajarah al-Thayyibah", pembahasannya akan datang- Allah Swt berfirman pada bagian akhir ayat tersebut:"…dan Allah menjadikan perumpamaan-perumpamaan tersebut bagi manusia agar mereka mendapat peringatan". Berdasarkan hal ini maka memberikan peringatan termasuk tujuan dibawakannya berbagai perumpamaan dalam Al-Qur'an.
2. Di dalam surat Al-Hasyr ayat: 21 -setelah Allah Swt menyerupakan sebagian hati dengan gunung dan kemungkinan adanya pengaruh pada gunung itu lebih banyak daripada kemungkinan adanya pengaruh pada hati manusia- Allah berfirman pada bagian akhir ayat tersebut:"…perumpamaan-perumpamaan tersebut Kami jadikan buat manusia agar mereka berpikir". Atas dasar ini maka berpikir itu termasuk tujuan dibawakannya berbagai perumpamaan di dalam Al-Qur'an.
3. Di dalam surat Al-Ankabut ayat: 40-43 -setelah Allah Swt menyerupakan orang yang menjadikan para pemimpin mereka dari musuh-musuh Allah dengan laba-laba yang membuat rumahnya sangat lemah- Allah berfirman pada bagian akhir ayat tersebut:"…dan berbagai perumpamaan tersebut Kami jadikan bagi manusia, tetapi tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu". Berdasarkan penjelasan ayat ini bahwa pemahaman para ulama itu termasuk tujuan dibawakannya berbagai perumpamaan di dalam Al-Qur'an. Dari uraian di atas dapat kita simpulkan terdapat tiga peringkat pengaruh berbagai perumpamaan terhadap hati manusia, yaitu:
Pertama: Peringkat pemberian peringatan, yaitu peringkat lewatnya hakikat khitab Ilahi di dalam benak manusia.
Kedua: Peringkat tafakur (berpikir), yaitu peringkat anjuran untuk berpikir terhadap subjek matsal dan hikmahnya.
Ketiga: Peringkat memahami, yaitu peringkat seruan memahami dan mencerna berbagai hakikat. 9
Perlunya Khitab Matsal
Sesungguhnya manusia pada sebagian besar persoalan yang mereka hadapi menganggap sesuatu yang besar sebagai dalil bahwa itu penting dan menganggap sesuatu yang kecil sebagai dalil bahwa hal itu kurang penting. Tetapi sebenarnya tidak demikian. Yang penting adalah khitab yang dikandung oleh sesuatu tersebut keterangan yang dikehendaki oleh si mutakalim. Demikian pula yang terdapat didalam Al-Qur'an al-karim bahwa yang penting adalah khitab yang ditujukan dan diarahkannya melalui matsal-matsal, dan bukan besar atau kecilnya suatu matsal.
Allah Swt berfirman di dalam surat Al-Baqarah ayat: 26: "Sesungguhnya Allah tidak segan-segan untuk membuat perumpamaan sebuah nyamuk atau yang lebih rendah darinya. Adapun orang-orang yang beriman mereka mengetahui bahwa hal itu hak dari Tuhan mereka. Adapun orang-orang kafir mereka berkata: 'Apakah yang dikehendaki oleh Allah dengan perumpamaan ini? Dengan perumpamaan tersebut Dia menyesatkan orang banyak dan memberi petunjuk orang banyak'. Dan tidak ada yang disesatkan allah dengan perumpamaan tersebut, kecuali orang-orang yang fasik".
Merenungkan Ayat-ayat Al-Qur'an
Merenungkan ayat-ayat Al-Qur'an akan mengantarkan kita kepada poin-poin berikut ini:
1. Sesungguhnya Allah Swt menjadikan tujuan adanya berbagai perumpamaan untuk memberikan hidayah kepada manusia.
2. Pentingnya perumpamaan dan kandungannya melebihi pentingnya kandungan lahiriah dan segala yang maujud di dalam perumpamaan tersebut.
3. Sesungguhnya seluruh makhluk, meskipun sekecil nyamuk, akan mengungkap keagungan Allah Swt.
Syarah dan Tafsir
Sebelum kami mulai menafsirkan ayat dan untuk mempersiapkan konsentrasi agar dapat memahami lebih dalam lagi, sekilas akan kami sebutkan sya'ni nuzul ayat tersebut.
Sesungguhnya rewel dan mencari-cari berbagai alasan termasuk cirri-ciri orang munafik. Orang munafik senantiasa mencari-cari alasan, menunda-nunda dan rewel dengan berbagai alasan yang batil dalam setiap masalah. Mereka tidak peduli dengan arahan-arahan yang ditujukan kepada mereka. Karena mereka mamandang kepada masalah dengan sikap menentang dan beramal atas dasar pandangan ini. Contohnya ialah seperti seseorang atau beberapa orang membangun satu pusat pengkajian Islam yang terdiri dari masjid, perpustakaan, mushalla, rumah sakit dan rumah untuk para jompo dan lain sebagainya. Pada kondisi seperti ini si munafik akan berkata begini: "Apakah dibenarkan membangun pusat Islam sebesar dan semegah ini dan dengan biaya yang besar di kota ini, sementara masih banyak orang fakir miskin dan orang-orang yang lapar? Bukankah lebih baik jika dana yang besar itu digunakan untuk mengenyangkan dan menyelamatkan nyawa para fakir miskin? Alangkah baiknya jika dana tersebut digunakan untuk mengawinkan para pemuda yang masih bujang? Bukankah lebih utama lagi jika dana sebesar itu digunakan untuk membiayai orang-orang sakit dari orang-orang miskin? Bukankah lebih baik jika dana tersebut digunakan untuk tujuan mengajarkan dan mendidik para pemuda?
Sesungguhnya orang ini atau orang-orang yang baik seperti ini, kalau saja mereka keluarkan uangnya itu untuk memberi makan fakir miskin, membantu para pemuda, mengobati orang-orang yang sakit, dan lain sebagainya, maka si munafik tersebut akan beralasan dengan alasan-alasan lainnya seperti: Islam apakah ini? Muslimin macam apakah mereka ini? Kami tidak mendapatkan sebuah masjid pun di kota ini. Sementara Anda telah menyisihkan uang untuk hal-hal yang tidak ada manfaatnya. Anda telah menyia-nyiakan Islam dengan perbuatan Anda seperti ini. Belajarlah dari orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka membangun dan mendirikan sinagog-sinagog dan gereja-gereja yang megah dan indah yang menarik perhatian orang-orang. Belajarlah dari orang-orang Hindu, mereka membangun dan mendirikan vihara-vihara besar dan megah untuk patung-patung dan berhala-berhala mereka yang bisu.
Pendek kata, bahwa tujuan orang munafik adalah menentang, menyalahi dan menebarkan bibit-bibit keraguan dan pertikaian, dan menyakiti orang lain. Dengan memperhatikan mukadimah trsebut, kami akan menjelaskan ayat berikut ini.
Ketika turun sebagian perumpaman Al-Qur'an, mulailah orang-orang munafik merasa ragu, melakukan kritikan dan berkata: "Perumpamaan macam apakah yang dibawakan AL-Qur'an ini? Karena Allah Swt -dengan keagungan dan kemuliaan-Nya- tidak layak membawakan perumpamaan yang lemah seperi nyamuk 10 dan laba-laba, atau perumpamaan yang berupa benda mati seperti guruh dan kilat. 11 Tujuan mereka melontarkan ucapan semacam itu adalah untuk menyebarkan keraguan bahwa Al-Qur'an bersumber dari Allah Swt, dan bahwa Al-Qur'an itu bukan wahyu Ilahi.
Sudah pasti, apabila Alalh Swt tidak menurunkan ayat-ayat dan perumpaman semacam ini, atau Dia menurunkan kalimat-kalimat dan ungkapan yang rumit, pasti orang-orang munafik akan beralaan dengan lainnya dan mengatakan: "Mana mungkin ucapan semacam ini merupaka Kalam Ilahi, sementara kita tidak dapat memahaminya sama sekali? Atau mereka akan berkata: "Mengapa Allah tiak menurunkan persoalan-persoaaln dan berbagai hakikat dengan bahaa yang mudah dipahami oleh semua orang? Sebagaimana hal ini terjadi pada nabi Syuaib As dan dikisahkan di dalam surat Hud ayat: 91, Allah Swt berfirman:
"Mereka berkata :"Wahai Syu'aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang engkau katakana itu, sedang kenyataannya kami memandang engkau seorang yang lemah di antara kami. Kalau tidak karena keluargamu, tentu kami telah merajam engkau, sedang engkau pun bukan seorang yang berpengaruh di lingkungan kami."
Dari penjelasan ayat tersebut dapat dipahami bahwa berpegang kepada berbagai alasan sebagai logika mereka. Dari satu sisi mereka berkata: "Kami tidak banyak mengerti tentang apa yang engkau katakana itu". Artinya : Kami tidak paham apa yang engkau ucapkan. Sementara dari sisi lain mereka berkata: "Kalau saja tidak karena keluargamu, temtu kami telah merajammu". Artinya: Kalau bukan karena sukumu, pasti kami telah membunuhmu. Syu'aib As menjawab: "Wahai kaumku, apakah keluargaku lebih terhormat menurut pandanganmu daripada Allah?" 12
Mengingat bahwa orang-orang munafik yang membangkang itu membuat keragu-raguan dan berhujjah (beralaan) atas perumpaman tersebut dengan benda-benda mati atau sesuatu yang lemah, maka surat Al-Baqarah ayat: 26 menjawab dan mematahkan hujjah mereka. Allah Swt berfirman: "Sesungguhnya Allah tidak segan untuk membuat perumpamaan seekor nyamuk atau yang lebih kecil dari itu…"
Sesungguhnya kefasihan suatu perkataan terkadang menuntut perumpamaan dengan sesuatu yang besar dan terkadang pula dengan sesuatu yang kecil. Jika perumpamaan itu ditujukan untuk menjelaskan sesuaut yang agung, maka ia diserupakan dengan sesuatu yang besar. Dan jika ditujukan untuk menjelaskan kecil dan lemahnya sesuatu, maka ia diserupakan dengan benda atau binatang yang kecil dan lemah. Atas dasar itu, maka sesungguhnya perumpamaan sesuatu yang besar tidak selamanya menunjukkan atas ketinggian dan fasihnya suatu perkataan. Dengan demikian, tidak ada problem alal qaran ketika mengumpamakan dengan sesuatu yang sesuai dengan subjek matsal dan tujuannya, meskipun kecil atau besar.
Sesungguhnya orang-orang mukmin dan saleh, ketika mereka mengetahui hakikat dan kandungan perumpamaan tersebut, mereka tahu bahwa hal itu adalah hak dan datang dari Tuhan mereka dan mereka tidak mengingkarinya. Tetapi bagi orang-orang munafik dan kafir, karena fanatic dan pembangkangan mereka, mereka berkata: "Apa sebenarnya yang dikehendaki Allah dengan perumpamaan ini, Dengan perumpamaan terebut banyak orang yang dibiarkannya sesat, dan dengan itu banyhak pula orang yang diberi hidayah."
Kekeliruan kaum munafik
Sesungguhnya kekeliruan besar orang-orang munafik tidak pedulinya atau tidak ada perhatian mereka kepada balaghah dan kefasihan Al-Qur'an yang merupakan salah satu bentuk i'jaz Al-Qur'an al-Karim dan Rasulullah Saw.13
Kefasihan dan balaghah merupakan bagian dari ilmu-ilmju ke-Islaman yang dipelajari di hauzah-hauzah Ilmiah. Suatu uangkapan itu disebut fashih, apabila ia dijelaskah dengan kata-kata yang indah. Dan apabila ia memiliki makna yang tinggi dan dalam, maka ia disebut baligh. Atas daar itulah, fashahah dan balaghah -yang merupakan bagian dari I'jaz Al-Qur'an- diartikan sebagai keindahan lahiriah yng mengandung ungkapan yang tinggi.
Jelas, bahwa Al-Qur'an al-Karim itu fasih dan baligh. Artinya bahwa lahiriahnya indah, memiliki gaya tarik untuk didengar dan diperhatikan dan kandungan maknanya mulia dan tinggi.
Sesungguhnya Al-Qur'an telah mencapai puncak balagah dan kafasihan, sehingga musuh-musuh Islam menamakannya sebagai sihir. Hal itu karena Al-Qur'an membuat pendengarnya pasrah dan tunduk kepadanya. Hal itu sebenarnya merupakan klaim dan pengakuan mereka terhadap gaya tarik Al-Qur'an yang luar biasa yang keluar dari kewajaran secara umum, sehingga banyak manusia yang beriman karena mendengarkan ayat-ayat Al-Qur'an.
Gaya tarik Al-Qur'an dan menyelamatkan muslimin
Banyak orang-orang Islam pada masa permulaan Islam yang pergi hijrah ke Habasyah akibat tekanan yang semakin kuat yang dilakukan oleh kaum musyrikin Makkah. Ketika mereka disambut dan diterima dengan baik oleh raja Habasyah, kaum musyrikin segera mengirimkan beberapa orang delegasinya untuk menjumpai Najasyi (raja Habasyah) dengan membawa hadiah yang melimpah agar orang-orang Islam itu dikembalikan ke Makkah. Pada awalnya delegasi-delegasi itu sangat berambisi untuk mendekati raja Habasyah. Sesampainya mereka dihadapan raja, mereka berkata: "Wahai raja, sekelompok orang-orang bodoh dari kalangan kami ini telah berlindung (mohon suaka politik) di negaramu. Mereka mengangkat agamanya dan tidak mau mengikuti agamamu. Mereka membawa agama baru yang mereka buat, kami dan juga kamu tidak mengenalnya. Kami telah mengutus kepadamu para pembesar kaum mereka, yaitu ayah-ayah, paman dan suku mereka, agar engkau mengembalikan orang-orang ini kepada mereka. Karena mereka lebih berhak untuk memantaunya, dan lebih mengetahui bagaimana membuat mereka jera dan melakukan sangsi.
Dari semua sisi, pertemuan tersebut menguntungkan orang-orang kafir, karena mereka telah menyiapkan berbagai mukadimah agar dapat mengambil sikap yang menguntungkan mereka. Tetapi berkat kebaikan dan kemuliaan Najasyi, dia meminta kepada kaum muslimin untuk menjelaskan sikap mereka. Mulailah Ja'far bin Abi Thalib Ra angkat bicara dengan memperkenalkan Islam, Rasulullah Saw dan Al-Qur'an. Najasyi minta agar ia membacakan sebagian ayat-ayat Al-Qur'an.
Memperhatikan situasi dan kondisi, waktu, tempat dan orang-orang yang hadir pada waktu itu memeluk agama masehi, maka Ja'far membacakan ayat-ayat Al-Qur'an yang menjelaskan tentang kelahiran Isa As. Seketika itu, pertemuan yang tadinya dan sejak awal menguntungkan orang-orang kafir dan membahayakan orang-orang Islam, berbalik menjadikan kaum muslimin beruntung. Mendengar ayat-ayat Al-Qur'an tersebut, mulailah Najasyi dan pemuka-pemuka agamanya meneteskan air matanya. Kefasihan Al-Qur'an, balagah dan gaya tariknya, sedemikian kuatnya mempengaruhi Najasyi sehingga ia menolak dan mengembalikan hadiah-hadiah orang-orang kafir yang diberikan kepadanya. Sementara itu, ja'far dan kaum muslimin diizinkan untuk tinggal di Habasyah sampai kapan saja yang mereka inginkan.14
Contoh lain pengaruh Al-Qur'an
Contoh lainnya dari pengaruh kefasihan Al-Qur'an dan balagahnya adalah: Kisah As'ad bin Zurarah. Kabilah As'ad sudah semenjak lama selalu berseteru dengan kabilah lainnya. Pada suatu hari As'ad pergi dari Madinah menuju ke kota Makkah untuk menziarahi Ka'bah dan patung-patung yang berada di sekitarnya. Di tengah jalan ia berjumpa dengan seorang musyrikin. Orang itu memperingatkannya agar tidak mendengarkan ucapan seorang penyihir yang duduk dekat Hijir Ismail. Mulailah As'ad sibuk melakukan tawaf. Ketika ia memandang wajah Rasulullah Saw yang bercahaya, sejenak ia berpikir. Akhirnya ia memutuskan untuk mendengarkan dan memperhatikan apa yang diucapkan oleh Rasulullah Saw, dan ia siap mengkritiknya manakala ia dapat ucapan beliau itu tidak logis.15 Ketika ia mendekati Rasul dan mendengarkan beberapa ayat Al-Qur'an, ia merasa tertarik hingga mohon kepda beliau Saw agar membacakan ayat-ayat yang lainnya. Rasul pun membacakannya, kemudian ia menyatakan ke-Islamannya. As'ad menceritakan ikhtilaf yang terjadi antara kabilah-kabiblah di Madinah dan mengundang Rasul agar datang ke Madinah untuk menyelesaikan pertikaian tersebut. 16
Khithab-khithab ayat
Nyamuk bukan hewan yang hina
Banyak para mufasir terkenal, di antaranya adalah al-Marhum al-thabarsi. Di dalam kitab tafsirnya yang berharga; Majma'ul Bayan, beliau menukil sebuah hadis dari Imam As-Shadiq As. Beliau As bersabda -sehubungan dengan perumpamaan Al-Qur'an- :"Allah Swt menjadikan perumpamaan seekor nyamuk, karena nyamuk dengan bentuknya yang kecil itu, telah Allah ciptakan di dalamnya seluruh apa yang dia ciptakan di dalam gajah dengan bentuknya yang besr dan dua anggota tambahan lainnya. Dengan hal itu, Allah Swt ingin memberi peringatan kepda orang-orang beriman mengenai keindahan dan kaajaiban ciptaan-Nya. 17
Sesungguhnya Allah Swt dengan perumpamaan tersebut pada hakikatnya ingin menjelaskan keunikan ciptaan-Nya. Dan berpikir mengenai lemahnya hewan tersebut secara lahiriah -yang telah Allah ciptakan mirip dengan hewan darat yang paling besar- dapat menuntun manusia kepada keagungan penciptanya.
Penjelasan
Di dalam badan nyamuk yang lemah itu terdapat anggota badan gajah yang bentuknya besar. Terdapat di dalamnya alat pencernaan, belalai yang unik yang memiliki lubang yang dalam, anggota untuk bergerak dan alat kelamin dan lain sebagainya. Bahkan nyamuk memiliki dua buah tanduk yang mirip dengan antenna. Gunanya untuk berkomunikasi di antara mereka dan dengan lingkungan di sekitarnya. Hali ini tidak terdapt pada gajah.
2. Dua hijab besar: melimpahnya kenikmatan dan kebiasan atasnya
Ada dua perkara yang membuat manusia lalai dari nikmat-nikmat Allah yang besar dan tidak peduli untuk memikirkan keunikan dan keindahan ciptaan-Nya.
Pertama: Hijab melimpahnya nikmat
Sesungguhnya melimpahnya kenikmatan dapat membuat manusia meremehkan, tidak menganggap dan tidak berpikir tentangnya. Sebagai contoh misalnya: Seekor nyamuk jika langka di alam ini, lalu jatuh ke tangan para ilmuan, pasti mereka akan menilai bahwa nyamuk itu memiliki nilai yang tinggi. Kemudian mereka pasti akan mengadakan penelitian dan penyelidikan tentangnya.
Kedua: Hijab kebiasan
Mata manusia -misalnya- termasuk tanda-tanda ciptaan Allah yang besar. Hanya saja kita tidak memikirkan dan tidak memperhatikan penciptaannya. Demikian halnya dengan telinga. Telinga merupakan penerima suarua yang kokoh, unik dan menakjubkan. Karena kita telah terbiasa mendengar dengannya, maka kita tidak mengetahui kadar dan nilainya yang tinggi. Padahal jika kita amati secara teliti, bukan hanya dua anggota tersebut, bahkan setiap sesuatu yang ada di alam dunia ini, kita dapati menakjubkan dan penuh dnegan keajaiban yang dapat menyingkap berbagai rahasia penciptaan, keagungan dan ketahuhidan.
3.Petunjuk dan kesesatan dalam Al-Qur'an
Pada bagian akhir ayat tersebut, Allah Swt menjawab uapan orang-orang munafik yang mengatakan: "Apa sebenarnya yang Allah kehendaki dengan mengadakan perumpamaan seperti ini? Sementara banyak orang yang tersesat dan banyak pula yang mendapat pentujuk?". Allah Swt menjawab mereka: "Dengan perumpamaan tersebut Allah tidak menyesatkan, kecuali orang-orang yang fasik". Pada ayat ini dan ayat-ayat yang serupa dengannya 18, kesesatan dinisbahkan kepada Allah Swt sebagaimana petunjuk -pada ayat-ayat lainnya- dinisbahkan juga kepada-Nya. 19
Jika petunjuk dan kesesatan dari Allah Swt dan kita ini terpaksa atasnya dan tidak memilii kehendak sama sekali, tetapi mengapa Allah Swt memberi ganjaran pahala kepada orang-orang yang mendapat petunjuk dan menyiksa orang-orng yangsesat meskipun mereka itu terpaksa?
Terdapat banyak pandangan dalam menafsirkan ayat tersebut dan yang sesrupa dengannya. Sebagian ulama berkata: "Maksud dari "menyesatkan" ialah: "menguji". Artinya Allah Swt ingin menguji manusia melalui perumpaman-perumpamaan tersebut." 20
Ulama lain berkata: "Maksud dari petunjuk dan kesesatan ialah menyiapkan mukadimah-mukadimah keduanya dan bukan menyiapkan keduanya. Sedang keputusan akhir kembali kepada kehendak manusia itu sendiri. Seakan-akan Allah Swt mencabut keberhasilan dari orang-orang yang membangkang. Dengan demikian maksud dari kesesatan adalah: mencabut keberhasilan (taufik). 21
Sebab adanya ikhtilaf di antara mufassirin adalah karena rumit dan sulitnya mengartikan dua kosa kata (Al-Dhalal dan al-Hidayah). Oleh karena itu, kita harus menjelaskan kedua kosa kata tersebut, kemudian berusaha memecahkan problema ikhtilaf dalam menafsirkan kata terseut.
Arti hidayah
Perhatikan contoh ini baik-baik. Sesungguhnya tetes-tetes air hujan yang lembut dan bersih sera dapat memberikan kehidupan turun di atas seluruh permukaan bumi. Sebagaimana juga matahari memancarkan dinarnya ke atas bola bumi dan memberikan cahaya penerangan dan energi. Hujan dan matahari merupakan rahmat Allah Swt. Tetapi hasil pertanian yang diperoleh dari tanah berkat kedua nikmat hujan dan sinar matahari ini berbeda-beda. Di tanah yang kering tumbuh pohon-pohon berduri. Sementara di tanah yang subur tumbuh bunga-bunga dan berbagai tumbuhan yang bermanfaat. Apakah sebab perbedaan tersebut karena air hujan dan sinar matahari, ataukah karena tanahnya yang kering?
Tidak diragukan lagi, bahwa sumber perbedan tersebut adalah tanah. Sekiranya bibit-bibit pohon bunga ditebarkan di tempat bibit-bibit pohon berduri pada tanah tersebut, pasti tanah itu akan berganti menjadi sebidang kebun bunga. Atas dasar itulah, jika dikatakan bahwa air hujan turun kepada kita dengan membawa pohon-pohon berduri, hal itu tidak berarti bahwa hujan merupakan penyebabnya. Tetapi karena tanah itulah yang tidak subur.
Sesungguhnya masalah hidayah dan kesesatan berlaku seperti itu. Karena curahan rahmat Ilahi itu turun kepada hati seluruh umat manusia dengan perantara Rasul Saw. Dan mereka semua telah mendengarkan wahyu Al-Qur'an. Orang-orang yang sebelumnya telah menyiapkan lahan hatinya, pasti akan mendapat hidayah. Adapun mereka yang tidak menyirami hatinya dengan pancaran iman dan tidak menyiapkan diri mereka, pasti akan tersesat.
Sesungguhnya ayat-ayat Al-Qur'an mendukung klaim tersebut.
Ayat yang kedua dari surat Al-Baqarah berbunyi: "Itulah kitab Al-Qur'an yang tidak terdapat keraguan sedikit pun di dalamnya". Artinya bahwa hidayah itu akan dilimpahkan kepda orang-orang yang menyingkirkan tirai fanatic dan pembangkangan dari hati mereka, dan mereka memiliki kesadaran penuh.
Pada ayat yang sedang dibahas di sini (Surat Al-Baqarah ayat: 26) Allah Swt berfirman: "Tidak disesatkan melainkan orang-orang yangfasik". Artinya mereka itu rang-orang yang fasik dan lahan hati mereka gersang. Oleh karena itu mereka disesatkan Allah. Kemudian tumbuhlah di dalam hati mereka -dengan turunnya hujan rahmat dan iman- duri-duri kekufuran.
Di dalam surat Ar-Rum ayat: 10 Allah Swt berfirman:" Kemudian kesudahan bagi orang-orang yang berbuat kejahatan adalah azab yang buruk, karena mereka mendustakan ayat-ayat Allah". Artinya bahwa mendustakan ayat-ayat Allah Swt dan kesesatan merupakan hasil dan akibat perbuatan orang-orang yang zalim terhadap diri mereka sendiri. 22 Atas dasar itu, maka hidayah dan kesesatan sebagai akibat dari perbuatan manusia. Karena Allah Swt -Yang Mahabijak secara mutlak- telah menetapkan ketentuan-ketentuan-Nya atas hamba-hamba-Nya sesuai dengan kebijakan-Nya. Apabila aku melangkahkan kaki untuk meraih rahmat Ilahi, maka aku pasti akan memperoleh hidayah-Nya. Tetapi jika aku menapakkan kakiku pada jalan selain hak, maka aku akan menjadi mishdaq bagi ayat yang berbunyi: "Sesungguhnya Allah menyesatkan orang yang dikehedaki-Nya dan memberi hidayah kepada siapa yang kembali kepada-Nya". Maka akhir perjalananku adalah kesesatan.
Berdasarkan penjelasan ayat tersebut dapat dipahami bahwa hidayah itu bukan tanpa usaha. Bahkan seseorang itu akan mendapatkan curahan hidayah jika ia melangkahkan kakinya menuju jalan hak dan kembali kepada Allah Swt. Sementara orang-orang yang memusuhi Allah Swt, maka akhir perjalanannya hanyalah kesesatan.
Pendek kata, tidak ada keterpaksan kepada keduanya. Karena hidayah dan kesesatan merupakan hasil dan akibat amal perbuatan manusia itu sendiri.
Kesesatan merupaka racun yang dapat membunuh seseorang. Oleh karena itu, jika seseorang berani meneggak racun itu dengan kehendaknya sendiri, maka janganlah menyalahkan orang lain.
Sebenarnya ayat-ayat hidayah dan kesesatan, tidak serumit yang dibayangkan. Karena ayat-ayat itu ditafsirkan oleh ayat-ayat lainnya di dalam Al-Qur'an.
Akhirnya taklif dan tugas seorang muslim adalah beramal dan berusaha sebatas kemampuannya untuk menyiapkan lahan hati agar dapat menerima hujan rahmat Ilahi. Dan mohon kepada Allah Swt bantuan dan ampunan atas segala kesalahan yang dikerjakannya.
Perumpamaan Pertama
Orang-orang munafik
Perumpamaan pertama subjek pembahasan kita terdapat pada surat Al-Baqarah ayat: 17 dan 18. Ayat itu berbunyi:
"Perumpamaan mereka seperti orang-orang yang menyalakan api, setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah melenyapkan cahaya (yang menyinari) mereka dan membiarkan mereka tidak dapat melihat dalam kegelapan. Mereka tuli, bisu dan buta. Sehingga mereka tidak dapat kembali".
Gambaran pembahasan
Ayat ini berbicara tentang orang-orang munafik yang menggunakan tabir nifak. Tetapi akhirnya tabir nifak tersebut terkoyak. Dan kesudahan orang-orang munafik itu adalah kehinaan.
Di sini orang munafik diserupakan dengan manusia yang tersesat sendirian di padang pasir. Dia berusaha menemukan jalan untuk menyelamatkan dirinya dengan menyalakan api. Tetapi usahanya itu tidak berguna, sehingga ia tetap dalam kebingungan.
Syarah dan tafsir
Terdapat dua penafsiran atas ayat tersebut.
Penafsiran pertama: Perumpamaan orang-orang munafik seperti orang-orang yang tersesat di padang sahara yang gelap dan menakutkan. Asumsikanlah bahwa seorang musafir tertinggal sendirian dari robongannya di tengah-tengah padang pasir yang gelap. Dia tidak memiliki lampu, cahaya dan penunjuk jalan. Dia juga tidak tahu jalan dan tidak memiliki bushlah. Dari satu sisi dia merasa khwatir terhadap para penyamun dan binatang-binatang buas. Dari sisi lain iapun merasa khawatir akan mati akibat lapar dan dahaga. Kondisi ini mendorongnya untuk berpikir serius untuk mencari jalan dan berusaha semaksimal mungkin untuk dapat selamat dari bahaya yang dihadapinya. Setelah melakukan berbagai usaha, dia menemukan kayu bakar. Disulutlah kayu tersebut kemudian ia bawa untuk menerangi jalannya. Tetapi angin yang kencang memadamkan cahaya kayu tersebut. Kemudian ia segera mencari kayu lainnya agar dapat meneranginya, tetapi usahanya itu sia-sia, bahkan malah menambah jauh penyimpangan dan ketersesatannya dari jalan.
Sesungguhnya orang-orang munafik seperti musafir ini telah tersesat jalan. Mereka berada dalam kegelapan dalam hidup yang penuh cahaya ini. Mereka tertinggal dari kafilah kemanusiaan dan iman, dan tidak menemukan penunjuk jalan. Karena Allah Swt telah memadamkan cahaya hidayah dari hati mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan.
Orang-orang munafik mempunyai dua wajah. Wajah lahir mereka muslim, tetapi bagian dalamnya kafir. Bagian lahirnya benar, tetapi batinnya dusta. Bagian lahirnya ikhlas, tetapi batinnya ria. Bagian lahirnya jujur, tetapi batinnya pengkhianat. Bagian lahirnya bersahabat, tetapi batinnya memusuhi. Mereka sengaja membuat lahiriahnya tipuan yang menerangi. Mereka sengaja menampakkan ke-Islaman-nya agar dapat mengambil keuntungan dari kejayaan Islam. Hewan sembelihan mereka halal, kehormatan mereka terpelihara, harta benda mereka terjaga dan dapat menikah dengan kaum muslimin. Mereka dapat menikmati materi duniawi yangsedikit yang mereka peroleh berkat cahaya api yang mereka sulut. Hanya saja cahaya tersebut menjadi padam setelah kematian mereka (Allah mamadamkan cahaya yang menerangi mereka). Ketika itu Allah Swt membiarkan mereka dalam kegelapan alam kubur, alam barzakh dan pada hari kiamat. Pada saat itulah mereka mengerti bahwa ke-Islaman lahiriah mereka dan keimanan mereka yang ria tidak ada gunanya sama sekali.
Kesimpulannya ialah bahwa dalam ayat atau perumpamaan tersebut terdapat tasybih (penyerupaan). Orang-orang munafik adalah mereka yang diserupakan, sedangkan musafir yang kebingungan di padang sahara adalah yang diserupakan dengannya (al-musyabbah bihi). Sedangkan titik keserupaannya (wajhu at-tasybih) adalah kebingungan dan kesesatan serta usaha lahiriahnya itu tidak membuahkan hasil apa-apa.
Penafsiran kedua: Sehubungan dengan penafsiran pertama, perlu kami ingatkan bahwa cahaya lahiriah dari api dan kegelapan yang mengikuti cahaya tersebut, tidak hanya khusus pada hari kiamat maknawi saja. Tetapi terdapat akibat-akibatnya pula di dunia ini.
Orang munafik tidak akan pernah dapat menyembunyikan kemunafikannya. Karena pada akhirnya akan terbongkar juga. Dan hal ini terjadi ketika ia melihat dirinya atau maslahatnya terancam dalam bahaya dan kehancuran. Fainnahu yafshah 'an khuldihi al-Qadzara...
Tidakkah kita melihat dengan mata kepala kita pada masa-masa terjadinya revolusi Islam dan pada masa kebangkitan yang terjadi sebelumnya? Betapa banyak orang-orang munafik yang tersingkap -dengan berlalunya masa- isi hati mereka yang busuk, dan terbuka tabir nifak dari dalam hati mereka. Akhirnya mereka dipermalukan di dunia ini. Semoga Allah Swt menjaga kita dari keburukan diri kita. Atas dasar ini maka sesungguhnya kata: "Allah telah memadamkan cahaya mereka" tidak hanya khusus pada hari akhirat dan kiamat saja. Bahkan hal itupun akan terjadi di dunia ini.
Khitab ayat
1. Pembagian orang-orang munafik
Orang munafik, tidak hanya bersifat individu. Bahkan bisa jadi bersifat kelompok, organisasi, partai bahkan dalam bentuk pemerintahan dan negara tertentu. Telah kita saksikan terungkapnya sebagain negara yang menggunakan kedok Islam secara lahiriah. Mereka juga ikut menghadiri seminar-seminar dan konfrensi Islam. Hal itu terjadi karena mereka menjalin hubungan dengan musuh islam terbesar, yaitu Israel perampas. Tersebarnya perjanjian yang menghancurkan antara mereka dengan Israel dan apa yang tersembunyi dan yang nampak. Cahaya klaim-klaim mereka menjadi padam dan terungkaplah wajah nifak dan riya' mereka. Ya, itulah akibat kemuanfikan mereka. "Ambillah pelajaran dan ibrat darinya wahai orang-orang yang berakal".
2. Gambaran nifak
Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahsan secara global yang telah lalu adalah adanya gambaran nifak yang bermacam-maca, yaitu sebagai berikut:
a. Nifak dalam akidah, ialah: Seperti seseorang yang mengaku dengan ucapannya bahwa dia seorang muslim. Tetapi dia tidak dianggap seorang muslim. Atau ia menampakkan keimanannya. Tetapi ia tidak dianggap termasuk orang-orang mukmin.
b. Nifak dalam perkataan, yaitu: Seseorang yang berkata-kata sesuatu, tetapi ia sendiri tidak meyakininya. Atas dasar ini, maka pendusta itu munafik. Karena perkataannya tidak sesuai dengan isi hatinya.
c. Nifak dalam perbuatan, yaitu: Seseorang yang amal perbuatannya berbeda dan bertentangan dengan isi hati batinnya. Misalnya seperti seseorang yang berpura-pura melakukan shalat atau bersikap jujur. Tetapi sebenarnya ia tidak ingin melakukan shalt dan pengkhianat.
3. Tanda-tanda nifak
Rasulullah Saw pernah bersabda dalam sebuah riwayat tentang tanda-tanda seorang munafik: "Ada tiga perkara yang merupakan sifat-siafat orang munafik, meskipun ia melakukan shalat dan berpuasa dan meyakini bahwa dirinya itu muslim, yaitu: jika diberi amanat, ia berkhianat, jia berbidara, ia berdusta dan jika berjanji, ia mengingkarinya".
Pertama: Khianat.
Pengkhianat adalah munafik, karena ia berpura-pura jujur, tetapi sebenarnya ia pengkhianat. Oleh karena itu, kita tidak mungkin menyerahkan urusan baitul mal. Terkadang sebagian orang itu jujur ketika menghadapi harta yang yang jumlah sedikit. Tetapi jati dirinya sebagai pengkhianat terungkap ketika menerima amanat berupa harta yang banyak.
Kedua: Dusta.
Pendusta itu munafik. Hal itu karena ia menyembunyikan berbagai rencana busuknya di dalam hatinya dan menentang kenyataan dan realita melalui ucapan-ucapannya, meskipun ia rajin shalat, membaca doa, dzikir dan lain sebagainya.
Ketiga: Mengingkari janji.
Orang yang mengingkari janjinya itu muanfik. Karena menepati janji itu merupakan hal yang penting dari sisi akhlak dan hukum fikih. Bahkan terkadang -menepati janji itu- menjadi wajib hukumnya. 23
Kesimpulannya bahwa setiap sesuatu yang memiliki dua wajah adalah termasuk nifak.
4. Sejarah orang-orang munafik
Masyarakat tidak pernah kosong dari orang-orang muanfik. Bahkan bisa dikatakan bahwa sifat nifak itu muncul sejak adanya kehidupan manusia di muka bumi ini. Jadi permusuhan orang-orang munafik terhadap masyarakat terungkap sejak masa itu. Orang-orang munafik merupakan musuh masyarakat yang paling berbahaya. Karena mereka mengenakan pakaian pershabatan, tetapi menyimpan permusuhan.
Sesungguhnya muqara'tul a'da (menyingkirkan permusuhan) merupakan salah satu sifat masyarakat. Dan hal pelaku hal itu tidak terdapt dalam diri si munafik.
Karena munafik senantiasa menampakkan dirinya sebagai kawan. Oleh karena itu ia merupakan musuh bebuyutan. Karenanya, ungkapan-ungkapan Al-Qur'an mengenai orang-orang munafik sangat keras sekali.
Orang-orang munafik dalam Al-Qur'an
Al-Qur'an mengungkap tentang orang-orang munafik -sebagaimana telah kami singgung di atas- dengan ungkapan-ungkapan yang keras. Berikut ini kami sampaikan sebagian ayat tentangnya:
a. Allah Swt berfirman dalam surat Al-Munafiqun ayat 4: "Mereka adalah musuhmu, maka berhati-hatilah".
Al-Qur'an -melalui ayat-ayatnya yang mulia- menegaskan tentang musuh-musuh kaum muslimin.24 Tetapi tidak menggunakan metode seperti ini tentang msusuh-musuh lainnya. Sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, susunan kalimat tersebut menunjukkan bahwa orang-orang munafik merupakan musuh sejati manusia.
b. Selanjutnya Allah Swt berfirman: "Allah memerangi mereka dimana saja mereka berada", yakni mereka menyimpang dari jalan yang benar. Khitab yang keras ini jarang terjadi, dan Al-Qur'an tidak menggunakannya pada kasus lainnya. 25
c. Allah Swt berfirman dalam surat An-Nisa ayat 145 :"Sesungguhnya orang-orang munafik berada di neraka yang paling dasar. Dan engkau tidak mendapatkan penolong buat mereka". Atas dasar itu, maka sudah seharusnya untuk menjauhi berkawan dengan musuh-musuh Allah yang termasuk tanda-tanda nifak.
Kata "Ad-Durj" dan "Ad-Darajah" memiliki makna yang sama. Begitu pula dengan kata "Dark" dan "Darak". Hanya saja kedua kata pertama digunakan sebagai anak tangga untuk naik ke atas. Sementara kedua kata yang kedua digunakan sebagai anak tangga untuk turun ke bawah. Kedua kata ini (Dark dan Darak) digunakan dalam Al-Qur'an. 26
Sesungguhnya "Ad-Darkul Asfal" ialah jurang neraka jahanam atau tempat yang paling bawah di jahanam. Sudah jelas bahwa siksaan di tempat tersebut lebih dahsyat. Dari sini dapat disimpulkan bahwa Allah Swt telah menyiapkan siksa yang paling pedih untuk orang-orang munafik. Hal ini menunjukkan betapa penting dan sensitifnya masalah nifak dan bahaya orang-orang munafik dalam seluruh perjajian, baik dahulu maupun pada zaman sekarang.
Bahaya munafikin dalam pandangan Rasulullah Saw
Al-Marhum As-syaikh Abbas Al-Qummi Ra menukil hadis dari Rasulullah Saw di dalam kitabnya yang berharga (Safinatul Bihar) pada kata (nafaqa).
Beliau bersbda: "Aku tidak merasa khaatir atas umatku, baik yang mukmin mupun yang musyrik. Seorang mukmin Akan dijaga oleh Allah karena keimanannya. Adapun seorang musyrik akan di jebloskan ke neraka oleh Allah karena kemusyrikannya. Tetapi aku khawatir atas kalian setiap munafik yang pandai berbicara, ia berbicara apa yang kalian ketahui, tetapi melakukan apa yang kalian ingkari". 27
Berdasarkan riwayat tersebut, Rsulullah Saw merasa cemas terhadap masyarakat Islam dari bahaya orang-orang munafik. Kecemasan beliau tersebut tidak hanya terbatas pada masa itu dan di Hijaz saja, tetapi kecemasan beliau itu meliputi sepanjang masa dan negeri-negeri Islam, bahkan juga termassuk negara islam Iran.
5. Pemakaian kata "An-Nar" dalam Al-Qur'an
Terdapat dua kesimpulan yang dapat diambil dari pemakaian kata "An-Nar" dan bukan "An-Nur" dalam Al-qur'an.
Pertama: Asap dan debu merupakan konsekuensi api. Seorang munafik membahayakan orang lain dengan sesuatu yang timbul dari api tersebut yang ia nyalakan dendiri. Yaitu berupa bahaya yang akibatnya adalah perpecahan dan kedengkian yang menimpa umat manusia. Sedangkan orang mukmin memanfaatkan An-Nur (cahaya) yang murni dan menerangi imannya.
Kedua: Meskipun orang-orang munafik menampakkan lahiriah mereka dengan cahaya iman, tetapi hakikat mereka adalah api. Dan kalaupun mereka menyandang keimanan, maka iaman mereka lemah sekali dan dalam tempo yang sejenak. 28
6. Cahaya dan kegelapan
Allah Swt berfirman: "Dan Allah membiarkan mereka dalam kegelapan, dan mereka tidak dapat melihat". Kata "Zhulumat" (kegelapan) digunakan sebanyak 23 kali dalam Al-Qur'an. Dan tidak pernah digunakan dalam bentuk mufrad (singular), tetapi semuanya dalam bentuk jamak (plural). Adapun kata "An-Nur" digunakan sebanyak 43 kali dalam Al-Qur'an dan dalam bentuk mufrad (singular) bukan jamak. Gerangan apakah khitab ini?
Rahasianya adalah bahwa Al-Qur'an ingin menjelaskan bahwa cahaya itu satu meskipun ragamnya banyak, yaitu cahaya Allah (Allah adalah cahaya langit dan bumi).29 Cahaya iman, cahaya ilmu, cahaya yakin, cahayan persatuan dan kebersamaan, itu semua kembali kepada satu cahaya, yaitu cahaya Allah, bukan cahaya selain-Nya. Oleh akrena itu, Al-Qur'an tidak menggunakan kata "An-Nur" dalam bentuk jamak.
Adapun nifak, kufur, ikhtilaf dan perpecahan, bukan merupakan satu kegelapan, melainkan kegelapan yang bermacam-macam. Ada kegelapan bodoh, kegelapan kufur, kegelapan bakhil, kegelapan hasad, kegelapan tidak merasa takut kepasa Allah, kegelapan hawa nafsu, kegelapan bisikan seta dan lain sebagainya. Pendek kata bahwa kegelapan itu bermacam-macam, bukan satu saja. Oleh karena itu ia digunakan dalam bentuk jamak.
7. Tiga sifat munafik
Sesungguhnya orang-orang munafik -sesuai dengan ayat tersebut- memiliki tiga sifat:
Pertama: Shummun. Kata ini merupakan bentuk jamak dari kata Ashamm, artinya adalah tuli.
Kedua: Bukmun. Kata ini merupakan bentuk jamak dari kata Abkam, artinya adalah bisu. Maksud dari ayat tersebut ialah bahwa mereka tidak dapat mendengar dan tidak mampu berbicara. Orang yang tuli tidak mampu berbicara meskipun indera ucapannya normal. Karena manusia tiak mungkin dapat berkata-kata satu kalimat pun yang tidak dapat ia dengar dan tidak ia pelajari. Oleh karena itu Al-Qur'an mengungkapkannya dengan sifat ashamm sebelum sifat Abkam. Maksudnya adalah bahwa pada akhirnya orang-orang minafik itu tuli dan bisu selamanya.
Ketiga: 'Umyun. Kata ini merupakan bentuk jamak dari kata A'ma, artinya ialah buta. Dengan demikian orang-orang munafik itu tuli, bisu dan buta. Artinya mereka tidak memiliki telinga untuk mendengar, tidak memiliki lidah untuk berbicara dan tidak memiliki mata untuk melihat. Dalam kondisi seperti itu, bagaimana mungkin mereka dapat mengetahui jalan yang benar? Bagaimana mungkin mereka menmgetahui penyimpangan dan kesalahan mereka?
Sesungguhnya ketiga indera tersebut merupakan sarana bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan. Telinga sebagai alat untuk belajar, lidah sebagai alat untuk memindahkan berbagai ilmu pengetahuan dari satu generasi kepada generasi berikutnya dan mata sebagai alat untuk mengungkap berbagai ilmu pengetahuan dan fenomena-fenomena baru.
Orang yang kehilangan tiga indera tersebut, pasti ia tidak akan dapat keluar dari jalan yang menyimpang, sebagaimana pula ia tidak mungkin dapat kembali kepada jalan yang benar. Tetapi ada sebuah pertanyaan yang perlu dilontarkan di sini, yaitu: Kita saksikan bahwa orang-orang munafik dapat menggunakan ketiga indera tersebut, lalu kenapa Al-Qur'an menafikan hal itu? Jawabnya adalah: Sesungguhnya Al-Qur'an memiliki mantik (logika) tertentu. Artinya bahwa Al-Qur'an memandang segala sesuatu itu berdasarkan sisi atsar dan pengaruhnya.
Karenanya, ada dan tidaknya sesuatu itu tergantung kepada ada dan tidaknya atsar tersebut. Atas dasar ini, maka orang-orang yang dapat menggunakan nikmat pandangan matanya tetapi mereka tidak menggunakannya untuk menyaksikan ayat-ayat Allah dan tidak mengambil i'tibar (pelajaran) dari pemandangan dunia, mereka itu pada hakikatnya -menurut pandangan Al-Qur'an- buta.
Mereka yang dapat menggunakan nikmat pendengaran,tetapi tidak mereka gunakan untuk mendengarkan kalam Allah dan jeritan orang-orang yang teraniaya dan tertindas, maka pada hakikatnya mereka itu tuli menurut logika Al-Qur'an. Dan mereka yang dapat menggunakan nikmat lisannya, tetapi mereka tidak menyibukkan dirinya dengan dzikir kepada Allah, amar makruf dan mencegah kemungkaran serta menuntun orang-orangf yang bodoh, maka pada hakikatnya mereka itu bisu menurut rasio Al-Qur'an.
Berdasarkan logika ini, maka -pada tataran yang lebih luas- sebagian manusia yang masih hidup dianggap mati. Dan sebaliknya sebagian manusia yang sudah mati dianggap hidup. Sebagai contohnya adalah bahwa Al-Qur'an mensifati syuhada (orang-orang yang mati) di jalan hak sebagai manusia hidup meskipun secara lahiriah mereka telah mati. Allah Swt berfirman:
"Dan janganlah kalian mengira orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu sebagai orang-orang mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dan mendapat rizki". 30
Sesungguhnya syuhada' itu dalam pandangan Al-Qur'an hidup. Karena mereka memberikan pengaruh sebagaimana orang yang masih hidup. Mereka menghidupkan Islam dan mengenang mereka dapat mendorong perbuatan makruf dan kebajikan. Allah Swt berfirman paa ayat yang lainnya:
"Dia tidak lain kecuali merupakan peringatan dan Qur'an yang nyata agar dia memberikan peringatan orang yang masih hidup. Dan azab itu hak bagi orang-orang yang kafir". 31
Sesungguhnya orang-orang yang masih hidup menurut pandangan Al-Qur'an sesuai dengan ayat ini ada dua golongan. Golongan pertama: Orang-orang mukmin yang dalam hidupnya mengamalkan Al-Qur'an. Kedua: Orang-orang non mukmin. Mereka adalah mayat-mayat yang hidup di masyarakat. Dan sesungguhnya orang-orang yang tidak memiliki pendengaran yang taat sebagai orang-orang mati menurut pandangan Al-Qur'an.
Kesimpulannya bahwa orang-orang munafik meskipiun mereka memiliki pendengaran, penglihatan dan lisan, tetapi mereka kehilangan manfaat panca indera tersebut. Oleh karena itu mereka dianggap sebagai orang-orang yang tuli, bisu dan buta menurut pandangan al-Qur'an. Oleh karena itu mereka tidak dapat kembali kepada jalan yang hak. Karena mereka kehilangan sarana pengetahuan. Keadaan mereka tak ubahnya seperti orang-orang yang memiliki sifat-sifat tuli, bisu dan buta yang jatuh terjerembab. Dan kita tidak mungkin dapat menlong mereka. Karena mereka tiak memiliki lisan untuk menjawab, tiodak memiliki telinga untuk mendengar peringatan kita dan tidak memiliki mata untuk dapat melihat tanda-tanda bahaya sebelum jatuh terjerembab.
8. Sumber kemunafikan
Sumber nifak itu ada tiga:
Pertama: Tidak mampu berhadapan langsung.
Sesungguhnya musuh-musuh Islam, ketika tidak mampu memgadakan perlawanan secara langsung, mereka menggunakan pakaian nifak (kemunafikan) untuk meneruskan permusuhan dan perlawanannya. Musuh-musuh Rasul Saw saat itu menampakkan permusuhan terhadapnya. Tetapi mereka menampakkannya dengan kepatuhan dan ketundukan ketika Rasul dapat mengalahkan mereka. Dan mereka melanjutkan permusuhannya terhadap Islam dengan menyembunyhikan kekafirannya. Abu Sufyan dan semisalnya tetap dalam kesesatan nifaknya hingga akhir hayatnya.32 Oleh karena itu dikatakan bahwa nifak (kemunafikan) itu mulai tumbuh di Madinah. Karena Islam ketika di Makkah masih lemah dan tidak seorang musuh Islam pun yang merasa takut.
Oleh karena itu mereka tidak memrlukan untuk menampakkan ke-islaman dan menyembunyikan kekafiran. Tetapi kami meyakini bahwa nifak itu sudah mulai muncul sejak di Makkah, meskipun motivasi nifak di Makkah bukan rasa takut. Melainkan motivasinya ketika itu adalah perhitungan sebagian orang bahwa islam di masa mendatang akan mengalami kajayaan. Hal inilah yang menjanjikan dan menjamin mereka masa depan yang baik.
Kita dapat menyaksikan cara nifak ini pada setiap masa dan revolusi, diantaranya ketika terjadi revolusi Islam di Iran. Sebagian orang-orang munafik adalah musuh-musuh Islam yang mengalami kekalahan dalam peperangan menentangan revolusi dan mereka tidak mampu untuk mengadakan perlawanan secara terbuka dan terang-terangan.
Kedua: Mental yang lemah
Orang-orang yang lemah jiwanya, penakut dan tidak mempunyai keberanian untuk memprotes dan berkata-kata dalam menentang lawan-lawannya senantiasa berusaha menggunakan nifak sebagai jalan hidupnya. Mereka tidak berani berhadapan langsung, tetapi menampakkan persetujuannya dengan semua orang.
Orang munafik senantiasa menampakkan ke-Islamannya ketika berada di kalangan muslimin, berpura-pura menyembah api ketika berada di kalangan para penyembah api dan berpura-pura sebgai ateis ketika berada di lingkungan orang-orang ateisme. Hal itu karena lemahnya mentelnya, sehingga ia tiak berani menampakkan akidahnya yang sebenarnya. 33
Ketiga: Cinta dunia
Sesungguhnya kemunafikan internasional pada masa sekarang ini disebabkan karena cinta dunia. Sesungguhnya sebab terjadinya nifak dan bermuka dua dalam bermuamalah dan adanya berbagai undangan untuk menghormati hak-hak manusia yang dilakukan oleh negara-negara super power dan berbagai hal dan diamnya beberapa negara pada hal-hal lainnya, meskipun telah terjadi berbagai kejahatan terhadap manusia adalah karena cinta dunia. Negara-negara tersebut menggunakan cara-cara itu ketika kepentingannya terancam dan menggunakan kebebasan tersebut untuk melawan negara-negara lainnya yang mencoba menghalangai kepentingannya. Tetapi negara-negara itu menutup mata ketika kejahatan itu dilakukan oleh negara sahabatnya yang tidak mengganggu kepentingannya, sekalipun kejahatan itu dilakkukansecara terus terang dan tidak ada keraguan sedikitpun.
Al-Qur'an al-Karim telah menjelaskan contoh yang jelas dan menyakitkan tentang usaha sekolompok munafikin tersebut di dalam ayat 75-77 pada surat At-Taubah.
"Dan di antara mereka ada orang yang telah berjanji kepada Allah, "Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian dari karunia-Nya kepada kami, niscaya kami akan bersedekah dan niscaya kami termasuk orang-orang yang saleh". Ketika Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka menjadi kikir dan beraling, dan selalu menentang kebenaran. Maka Allah menanamkan kemunafikan di dalam hati merekasampai pada waktu mereka menemui-Nya, karena mereka telah mengingkari janji yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu berdusta".
Ayat-ayat ini turun berkenaan dengan Tsa'labah bin Hathib salah seorang golongan anshar. Dia pernah berkata kepada nabi Saw: "Berdoalah kepada Allah agar Dia melimpahkan harta kepadaku". Rasul Saw bersabda kepadanya: "Wahai Tsa'labah, harta yang sedikit tapi engkau dapat mensyukurinya, lebih baik daripada harta yang banyak tetapi engkau tidak mampu mensyukurinya.34 Bukankah kehidupan Rasul merupakan contoh yang baik buatmu? Demi jiwaku di tangan-Nya, sekiranya aku menginginkan gunung itu menjadi emas dan perak buatku, maka aku dapat melakukannya". Pada suatu hari Tsa'labah datang kembali menjumpai rasul Saw, dia berkata: "Ya Rasulallah, berdoalah kepada Allah agar Dia memberikan harta keapdaku. Demi Zat yang telah mengutus engkau dengan kebenaran, jika Dia memberikan harta kepadaku, niscaya aku akan memenuhi hak-hak orang-orang yang berhak". Kemudian nabi Saw berdoa: "Ya Allah berikanlah Tsa'labah rizki". Kemudian ia membeli seekor kambing, kambing itu dengan cepat berkembangbiak seperti ulat sehingga kota menjadi sempit baginya. Lalu ia pergi menjauhi kota dan mencari sebuah lembah. Kambing-kambing itu semakin banyak berkemebang biak sehingga ia harus pergi menjauhi kota dan meninggalkan shalat jum'at dan jama'ah. Ketika itu Rasul Saw mengutus seseorang untuk minta sedekah darinya, tetapi ia menolaknya dengan kikirnya ia berkata: "apa ini kalau bukan pajak.35 Rasulullah Saw bersabda: "Sungguh celaka Tsa'labah, sungguh celaka Tsa'labah". Kemudian turunlah ayat tersebut.36
Al-Qur'an al-karim menjelaskan bahwa kemunafikan Tsa'labah disebabkan karena kekikiran, cintanya keapda dunia dan mengingkari janjinya. Yang menakjubkan adalah bahwa ayat mulia tersebut menganggap kemunafikan tsa'labah itu berlangsung terus hingga hari kiamat dan sifat nifak itu tidak keluar dari dalam hati mereka hingga hari perjumpamaan mereka dengan Allah Swt. Ya Allah jadikanlah akibat danakhir urusan kami berupa kebaikan.
Apabila kita menginginkan agar tidak terjangkiti penyakit yang amat membahayakan ini, maka kita harus menjauhkan dan menghindari sebab-sebab kemunafikan. Khususnya kita sekarang ini berada pada malam-malam bulan Ramadhan yang penuh berkah. Hendaknya kita banyak mengambil keberkahan malam-malam ini pada waktu sahur, yaitu dengan melakukan shalat malam sekalipun dengan singkat dan tanpa melakukan semua yang disunatkan. Hendaknya kitra sujud, bersandar dan berlindung kepada Allah dari perbuatan nifak dan berbagai dosa dan akhlak-akhlak yang buruk.
Orang-orang munafik
Perumpamaan pertama subjek pembahasan kita terdapat pada surat Al-Baqarah ayat: 17 dan 18. Ayat itu berbunyi:
"Perumpamaan mereka seperti orang-orang yang menyalakan api, setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah melenyapkan cahaya (yang menyinari) mereka dan membiarkan mereka tidak dapat melihat dalam kegelapan. Mereka tuli, bisu dan buta. Sehingga mereka tidak dapat kembali".
Gambaran pembahasan
Ayat ini berbicara tentang orang-orang munafik yang menggunakan tabir nifak. Tetapi akhirnya tabir nifak tersebut terkoyak. Dan kesudahan orang-orang munafik itu adalah kehinaan.
Di sini orang munafik diserupakan dengan manusia yang tersesat sendirian di padang pasir. Dia berusaha menemukan jalan untuk menyelamatkan dirinya dengan menyalakan api. Tetapi usahanya itu tidak berguna, sehingga ia tetap dalam kebingungan.
Syarah dan tafsir
Terdapat dua penafsiran atas ayat tersebut.
Penafsiran pertama: Perumpamaan orang-orang munafik seperti orang-orang yang tersesat di padang sahara yang gelap dan menakutkan. Asumsikanlah bahwa seorang musafir tertinggal sendirian dari robongannya di tengah-tengah padang pasir yang gelap. Dia tidak memiliki lampu, cahaya dan penunjuk jalan. Dia juga tidak tahu jalan dan tidak memiliki bushlah. Dari satu sisi dia merasa khwatir terhadap para penyamun dan binatang-binatang buas. Dari sisi lain iapun merasa khawatir akan mati akibat lapar dan dahaga. Kondisi ini mendorongnya untuk berpikir serius untuk mencari jalan dan berusaha semaksimal mungkin untuk dapat selamat dari bahaya yang dihadapinya. Setelah melakukan berbagai usaha, dia menemukan kayu bakar. Disulutlah kayu tersebut kemudian ia bawa untuk menerangi jalannya. Tetapi angin yang kencang memadamkan cahaya kayu tersebut. Kemudian ia segera mencari kayu lainnya agar dapat meneranginya, tetapi usahanya itu sia-sia, bahkan malah menambah jauh penyimpangan dan ketersesatannya dari jalan.
Sesungguhnya orang-orang munafik seperti musafir ini telah tersesat jalan. Mereka berada dalam kegelapan dalam hidup yang penuh cahaya ini. Mereka tertinggal dari kafilah kemanusiaan dan iman, dan tidak menemukan penunjuk jalan. Karena Allah Swt telah memadamkan cahaya hidayah dari hati mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan.
Orang-orang munafik mempunyai dua wajah. Wajah lahir mereka muslim, tetapi bagian dalamnya kafir. Bagian lahirnya benar, tetapi batinnya dusta. Bagian lahirnya ikhlas, tetapi batinnya ria. Bagian lahirnya jujur, tetapi batinnya pengkhianat. Bagian lahirnya bersahabat, tetapi batinnya memusuhi. Mereka sengaja membuat lahiriahnya tipuan yang menerangi. Mereka sengaja menampakkan ke-Islaman-nya agar dapat mengambil keuntungan dari kejayaan Islam. Hewan sembelihan mereka halal, kehormatan mereka terpelihara, harta benda mereka terjaga dan dapat menikah dengan kaum muslimin. Mereka dapat menikmati materi duniawi yangsedikit yang mereka peroleh berkat cahaya api yang mereka sulut. Hanya saja cahaya tersebut menjadi padam setelah kematian mereka (Allah mamadamkan cahaya yang menerangi mereka). Ketika itu Allah Swt membiarkan mereka dalam kegelapan alam kubur, alam barzakh dan pada hari kiamat. Pada saat itulah mereka mengerti bahwa ke-Islaman lahiriah mereka dan keimanan mereka yang ria tidak ada gunanya sama sekali.
Kesimpulannya ialah bahwa dalam ayat atau perumpamaan tersebut terdapat tasybih (penyerupaan). Orang-orang munafik adalah mereka yang diserupakan, sedangkan musafir yang kebingungan di padang sahara adalah yang diserupakan dengannya (al-musyabbah bihi). Sedangkan titik keserupaannya (wajhu at-tasybih) adalah kebingungan dan kesesatan serta usaha lahiriahnya itu tidak membuahkan hasil apa-apa.
Penafsiran kedua: Sehubungan dengan penafsiran pertama, perlu kami ingatkan bahwa cahaya lahiriah dari api dan kegelapan yang mengikuti cahaya tersebut, tidak hanya khusus pada hari kiamat maknawi saja. Tetapi terdapat akibat-akibatnya pula di dunia ini.
Orang munafik tidak akan pernah dapat menyembunyikan kemunafikannya. Karena pada akhirnya akan terbongkar juga. Dan hal ini terjadi ketika ia melihat dirinya atau maslahatnya terancam dalam bahaya dan kehancuran. Fainnahu yafshah 'an khuldihi al-Qadzara...
Tidakkah kita melihat dengan mata kepala kita pada masa-masa terjadinya revolusi Islam dan pada masa kebangkitan yang terjadi sebelumnya? Betapa banyak orang-orang munafik yang tersingkap -dengan berlalunya masa- isi hati mereka yang busuk, dan terbuka tabir nifak dari dalam hati mereka. Akhirnya mereka dipermalukan di dunia ini. Semoga Allah Swt menjaga kita dari keburukan diri kita. Atas dasar ini maka sesungguhnya kata: "Allah telah memadamkan cahaya mereka" tidak hanya khusus pada hari akhirat dan kiamat saja. Bahkan hal itupun akan terjadi di dunia ini.
Khitab ayat
1. Pembagian orang-orang munafik
Orang munafik, tidak hanya bersifat individu. Bahkan bisa jadi bersifat kelompok, organisasi, partai bahkan dalam bentuk pemerintahan dan negara tertentu. Telah kita saksikan terungkapnya sebagain negara yang menggunakan kedok Islam secara lahiriah. Mereka juga ikut menghadiri seminar-seminar dan konfrensi Islam. Hal itu terjadi karena mereka menjalin hubungan dengan musuh islam terbesar, yaitu Israel perampas. Tersebarnya perjanjian yang menghancurkan antara mereka dengan Israel dan apa yang tersembunyi dan yang nampak. Cahaya klaim-klaim mereka menjadi padam dan terungkaplah wajah nifak dan riya' mereka. Ya, itulah akibat kemuanfikan mereka. "Ambillah pelajaran dan ibrat darinya wahai orang-orang yang berakal".
2. Gambaran nifak
Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahsan secara global yang telah lalu adalah adanya gambaran nifak yang bermacam-maca, yaitu sebagai berikut:
a. Nifak dalam akidah, ialah: Seperti seseorang yang mengaku dengan ucapannya bahwa dia seorang muslim. Tetapi dia tidak dianggap seorang muslim. Atau ia menampakkan keimanannya. Tetapi ia tidak dianggap termasuk orang-orang mukmin.
b. Nifak dalam perkataan, yaitu: Seseorang yang berkata-kata sesuatu, tetapi ia sendiri tidak meyakininya. Atas dasar ini, maka pendusta itu munafik. Karena perkataannya tidak sesuai dengan isi hatinya.
c. Nifak dalam perbuatan, yaitu: Seseorang yang amal perbuatannya berbeda dan bertentangan dengan isi hati batinnya. Misalnya seperti seseorang yang berpura-pura melakukan shalat atau bersikap jujur. Tetapi sebenarnya ia tidak ingin melakukan shalt dan pengkhianat.
3. Tanda-tanda nifak
Rasulullah Saw pernah bersabda dalam sebuah riwayat tentang tanda-tanda seorang munafik: "Ada tiga perkara yang merupakan sifat-siafat orang munafik, meskipun ia melakukan shalat dan berpuasa dan meyakini bahwa dirinya itu muslim, yaitu: jika diberi amanat, ia berkhianat, jia berbidara, ia berdusta dan jika berjanji, ia mengingkarinya".
Pertama: Khianat.
Pengkhianat adalah munafik, karena ia berpura-pura jujur, tetapi sebenarnya ia pengkhianat. Oleh karena itu, kita tidak mungkin menyerahkan urusan baitul mal. Terkadang sebagian orang itu jujur ketika menghadapi harta yang yang jumlah sedikit. Tetapi jati dirinya sebagai pengkhianat terungkap ketika menerima amanat berupa harta yang banyak.
Kedua: Dusta.
Pendusta itu munafik. Hal itu karena ia menyembunyikan berbagai rencana busuknya di dalam hatinya dan menentang kenyataan dan realita melalui ucapan-ucapannya, meskipun ia rajin shalat, membaca doa, dzikir dan lain sebagainya.
Ketiga: Mengingkari janji.
Orang yang mengingkari janjinya itu muanfik. Karena menepati janji itu merupakan hal yang penting dari sisi akhlak dan hukum fikih. Bahkan terkadang -menepati janji itu- menjadi wajib hukumnya. 23
Kesimpulannya bahwa setiap sesuatu yang memiliki dua wajah adalah termasuk nifak.
4. Sejarah orang-orang munafik
Masyarakat tidak pernah kosong dari orang-orang muanfik. Bahkan bisa dikatakan bahwa sifat nifak itu muncul sejak adanya kehidupan manusia di muka bumi ini. Jadi permusuhan orang-orang munafik terhadap masyarakat terungkap sejak masa itu. Orang-orang munafik merupakan musuh masyarakat yang paling berbahaya. Karena mereka mengenakan pakaian pershabatan, tetapi menyimpan permusuhan.
Sesungguhnya muqara'tul a'da (menyingkirkan permusuhan) merupakan salah satu sifat masyarakat. Dan hal pelaku hal itu tidak terdapt dalam diri si munafik.
Karena munafik senantiasa menampakkan dirinya sebagai kawan. Oleh karena itu ia merupakan musuh bebuyutan. Karenanya, ungkapan-ungkapan Al-Qur'an mengenai orang-orang munafik sangat keras sekali.
Orang-orang munafik dalam Al-Qur'an
Al-Qur'an mengungkap tentang orang-orang munafik -sebagaimana telah kami singgung di atas- dengan ungkapan-ungkapan yang keras. Berikut ini kami sampaikan sebagian ayat tentangnya:
a. Allah Swt berfirman dalam surat Al-Munafiqun ayat 4: "Mereka adalah musuhmu, maka berhati-hatilah".
Al-Qur'an -melalui ayat-ayatnya yang mulia- menegaskan tentang musuh-musuh kaum muslimin.24 Tetapi tidak menggunakan metode seperti ini tentang msusuh-musuh lainnya. Sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, susunan kalimat tersebut menunjukkan bahwa orang-orang munafik merupakan musuh sejati manusia.
b. Selanjutnya Allah Swt berfirman: "Allah memerangi mereka dimana saja mereka berada", yakni mereka menyimpang dari jalan yang benar. Khitab yang keras ini jarang terjadi, dan Al-Qur'an tidak menggunakannya pada kasus lainnya. 25
c. Allah Swt berfirman dalam surat An-Nisa ayat 145 :"Sesungguhnya orang-orang munafik berada di neraka yang paling dasar. Dan engkau tidak mendapatkan penolong buat mereka". Atas dasar itu, maka sudah seharusnya untuk menjauhi berkawan dengan musuh-musuh Allah yang termasuk tanda-tanda nifak.
Kata "Ad-Durj" dan "Ad-Darajah" memiliki makna yang sama. Begitu pula dengan kata "Dark" dan "Darak". Hanya saja kedua kata pertama digunakan sebagai anak tangga untuk naik ke atas. Sementara kedua kata yang kedua digunakan sebagai anak tangga untuk turun ke bawah. Kedua kata ini (Dark dan Darak) digunakan dalam Al-Qur'an. 26
Sesungguhnya "Ad-Darkul Asfal" ialah jurang neraka jahanam atau tempat yang paling bawah di jahanam. Sudah jelas bahwa siksaan di tempat tersebut lebih dahsyat. Dari sini dapat disimpulkan bahwa Allah Swt telah menyiapkan siksa yang paling pedih untuk orang-orang munafik. Hal ini menunjukkan betapa penting dan sensitifnya masalah nifak dan bahaya orang-orang munafik dalam seluruh perjajian, baik dahulu maupun pada zaman sekarang.
Bahaya munafikin dalam pandangan Rasulullah Saw
Al-Marhum As-syaikh Abbas Al-Qummi Ra menukil hadis dari Rasulullah Saw di dalam kitabnya yang berharga (Safinatul Bihar) pada kata (nafaqa).
Beliau bersbda: "Aku tidak merasa khaatir atas umatku, baik yang mukmin mupun yang musyrik. Seorang mukmin Akan dijaga oleh Allah karena keimanannya. Adapun seorang musyrik akan di jebloskan ke neraka oleh Allah karena kemusyrikannya. Tetapi aku khawatir atas kalian setiap munafik yang pandai berbicara, ia berbicara apa yang kalian ketahui, tetapi melakukan apa yang kalian ingkari". 27
Berdasarkan riwayat tersebut, Rsulullah Saw merasa cemas terhadap masyarakat Islam dari bahaya orang-orang munafik. Kecemasan beliau tersebut tidak hanya terbatas pada masa itu dan di Hijaz saja, tetapi kecemasan beliau itu meliputi sepanjang masa dan negeri-negeri Islam, bahkan juga termassuk negara islam Iran.
5. Pemakaian kata "An-Nar" dalam Al-Qur'an
Terdapat dua kesimpulan yang dapat diambil dari pemakaian kata "An-Nar" dan bukan "An-Nur" dalam Al-qur'an.
Pertama: Asap dan debu merupakan konsekuensi api. Seorang munafik membahayakan orang lain dengan sesuatu yang timbul dari api tersebut yang ia nyalakan dendiri. Yaitu berupa bahaya yang akibatnya adalah perpecahan dan kedengkian yang menimpa umat manusia. Sedangkan orang mukmin memanfaatkan An-Nur (cahaya) yang murni dan menerangi imannya.
Kedua: Meskipun orang-orang munafik menampakkan lahiriah mereka dengan cahaya iman, tetapi hakikat mereka adalah api. Dan kalaupun mereka menyandang keimanan, maka iaman mereka lemah sekali dan dalam tempo yang sejenak. 28
6. Cahaya dan kegelapan
Allah Swt berfirman: "Dan Allah membiarkan mereka dalam kegelapan, dan mereka tidak dapat melihat". Kata "Zhulumat" (kegelapan) digunakan sebanyak 23 kali dalam Al-Qur'an. Dan tidak pernah digunakan dalam bentuk mufrad (singular), tetapi semuanya dalam bentuk jamak (plural). Adapun kata "An-Nur" digunakan sebanyak 43 kali dalam Al-Qur'an dan dalam bentuk mufrad (singular) bukan jamak. Gerangan apakah khitab ini?
Rahasianya adalah bahwa Al-Qur'an ingin menjelaskan bahwa cahaya itu satu meskipun ragamnya banyak, yaitu cahaya Allah (Allah adalah cahaya langit dan bumi).29 Cahaya iman, cahaya ilmu, cahaya yakin, cahayan persatuan dan kebersamaan, itu semua kembali kepada satu cahaya, yaitu cahaya Allah, bukan cahaya selain-Nya. Oleh akrena itu, Al-Qur'an tidak menggunakan kata "An-Nur" dalam bentuk jamak.
Adapun nifak, kufur, ikhtilaf dan perpecahan, bukan merupakan satu kegelapan, melainkan kegelapan yang bermacam-macam. Ada kegelapan bodoh, kegelapan kufur, kegelapan bakhil, kegelapan hasad, kegelapan tidak merasa takut kepasa Allah, kegelapan hawa nafsu, kegelapan bisikan seta dan lain sebagainya. Pendek kata bahwa kegelapan itu bermacam-macam, bukan satu saja. Oleh karena itu ia digunakan dalam bentuk jamak.
7. Tiga sifat munafik
Sesungguhnya orang-orang munafik -sesuai dengan ayat tersebut- memiliki tiga sifat:
Pertama: Shummun. Kata ini merupakan bentuk jamak dari kata Ashamm, artinya adalah tuli.
Kedua: Bukmun. Kata ini merupakan bentuk jamak dari kata Abkam, artinya adalah bisu. Maksud dari ayat tersebut ialah bahwa mereka tidak dapat mendengar dan tidak mampu berbicara. Orang yang tuli tidak mampu berbicara meskipun indera ucapannya normal. Karena manusia tiak mungkin dapat berkata-kata satu kalimat pun yang tidak dapat ia dengar dan tidak ia pelajari. Oleh karena itu Al-Qur'an mengungkapkannya dengan sifat ashamm sebelum sifat Abkam. Maksudnya adalah bahwa pada akhirnya orang-orang minafik itu tuli dan bisu selamanya.
Ketiga: 'Umyun. Kata ini merupakan bentuk jamak dari kata A'ma, artinya ialah buta. Dengan demikian orang-orang munafik itu tuli, bisu dan buta. Artinya mereka tidak memiliki telinga untuk mendengar, tidak memiliki lidah untuk berbicara dan tidak memiliki mata untuk melihat. Dalam kondisi seperti itu, bagaimana mungkin mereka dapat mengetahui jalan yang benar? Bagaimana mungkin mereka menmgetahui penyimpangan dan kesalahan mereka?
Sesungguhnya ketiga indera tersebut merupakan sarana bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan. Telinga sebagai alat untuk belajar, lidah sebagai alat untuk memindahkan berbagai ilmu pengetahuan dari satu generasi kepada generasi berikutnya dan mata sebagai alat untuk mengungkap berbagai ilmu pengetahuan dan fenomena-fenomena baru.
Orang yang kehilangan tiga indera tersebut, pasti ia tidak akan dapat keluar dari jalan yang menyimpang, sebagaimana pula ia tidak mungkin dapat kembali kepada jalan yang benar. Tetapi ada sebuah pertanyaan yang perlu dilontarkan di sini, yaitu: Kita saksikan bahwa orang-orang munafik dapat menggunakan ketiga indera tersebut, lalu kenapa Al-Qur'an menafikan hal itu? Jawabnya adalah: Sesungguhnya Al-Qur'an memiliki mantik (logika) tertentu. Artinya bahwa Al-Qur'an memandang segala sesuatu itu berdasarkan sisi atsar dan pengaruhnya.
Karenanya, ada dan tidaknya sesuatu itu tergantung kepada ada dan tidaknya atsar tersebut. Atas dasar ini, maka orang-orang yang dapat menggunakan nikmat pandangan matanya tetapi mereka tidak menggunakannya untuk menyaksikan ayat-ayat Allah dan tidak mengambil i'tibar (pelajaran) dari pemandangan dunia, mereka itu pada hakikatnya -menurut pandangan Al-Qur'an- buta.
Mereka yang dapat menggunakan nikmat pendengaran,tetapi tidak mereka gunakan untuk mendengarkan kalam Allah dan jeritan orang-orang yang teraniaya dan tertindas, maka pada hakikatnya mereka itu tuli menurut logika Al-Qur'an. Dan mereka yang dapat menggunakan nikmat lisannya, tetapi mereka tidak menyibukkan dirinya dengan dzikir kepada Allah, amar makruf dan mencegah kemungkaran serta menuntun orang-orangf yang bodoh, maka pada hakikatnya mereka itu bisu menurut rasio Al-Qur'an.
Berdasarkan logika ini, maka -pada tataran yang lebih luas- sebagian manusia yang masih hidup dianggap mati. Dan sebaliknya sebagian manusia yang sudah mati dianggap hidup. Sebagai contohnya adalah bahwa Al-Qur'an mensifati syuhada (orang-orang yang mati) di jalan hak sebagai manusia hidup meskipun secara lahiriah mereka telah mati. Allah Swt berfirman:
"Dan janganlah kalian mengira orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu sebagai orang-orang mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dan mendapat rizki". 30
Sesungguhnya syuhada' itu dalam pandangan Al-Qur'an hidup. Karena mereka memberikan pengaruh sebagaimana orang yang masih hidup. Mereka menghidupkan Islam dan mengenang mereka dapat mendorong perbuatan makruf dan kebajikan. Allah Swt berfirman paa ayat yang lainnya:
"Dia tidak lain kecuali merupakan peringatan dan Qur'an yang nyata agar dia memberikan peringatan orang yang masih hidup. Dan azab itu hak bagi orang-orang yang kafir". 31
Sesungguhnya orang-orang yang masih hidup menurut pandangan Al-Qur'an sesuai dengan ayat ini ada dua golongan. Golongan pertama: Orang-orang mukmin yang dalam hidupnya mengamalkan Al-Qur'an. Kedua: Orang-orang non mukmin. Mereka adalah mayat-mayat yang hidup di masyarakat. Dan sesungguhnya orang-orang yang tidak memiliki pendengaran yang taat sebagai orang-orang mati menurut pandangan Al-Qur'an.
Kesimpulannya bahwa orang-orang munafik meskipiun mereka memiliki pendengaran, penglihatan dan lisan, tetapi mereka kehilangan manfaat panca indera tersebut. Oleh karena itu mereka dianggap sebagai orang-orang yang tuli, bisu dan buta menurut pandangan al-Qur'an. Oleh karena itu mereka tidak dapat kembali kepada jalan yang hak. Karena mereka kehilangan sarana pengetahuan. Keadaan mereka tak ubahnya seperti orang-orang yang memiliki sifat-sifat tuli, bisu dan buta yang jatuh terjerembab. Dan kita tidak mungkin dapat menlong mereka. Karena mereka tiak memiliki lisan untuk menjawab, tiodak memiliki telinga untuk mendengar peringatan kita dan tidak memiliki mata untuk dapat melihat tanda-tanda bahaya sebelum jatuh terjerembab.
8. Sumber kemunafikan
Sumber nifak itu ada tiga:
Pertama: Tidak mampu berhadapan langsung.
Sesungguhnya musuh-musuh Islam, ketika tidak mampu memgadakan perlawanan secara langsung, mereka menggunakan pakaian nifak (kemunafikan) untuk meneruskan permusuhan dan perlawanannya. Musuh-musuh Rasul Saw saat itu menampakkan permusuhan terhadapnya. Tetapi mereka menampakkannya dengan kepatuhan dan ketundukan ketika Rasul dapat mengalahkan mereka. Dan mereka melanjutkan permusuhannya terhadap Islam dengan menyembunyhikan kekafirannya. Abu Sufyan dan semisalnya tetap dalam kesesatan nifaknya hingga akhir hayatnya.32 Oleh karena itu dikatakan bahwa nifak (kemunafikan) itu mulai tumbuh di Madinah. Karena Islam ketika di Makkah masih lemah dan tidak seorang musuh Islam pun yang merasa takut.
Oleh karena itu mereka tidak memrlukan untuk menampakkan ke-islaman dan menyembunyikan kekafiran. Tetapi kami meyakini bahwa nifak itu sudah mulai muncul sejak di Makkah, meskipun motivasi nifak di Makkah bukan rasa takut. Melainkan motivasinya ketika itu adalah perhitungan sebagian orang bahwa islam di masa mendatang akan mengalami kajayaan. Hal inilah yang menjanjikan dan menjamin mereka masa depan yang baik.
Kita dapat menyaksikan cara nifak ini pada setiap masa dan revolusi, diantaranya ketika terjadi revolusi Islam di Iran. Sebagian orang-orang munafik adalah musuh-musuh Islam yang mengalami kekalahan dalam peperangan menentangan revolusi dan mereka tidak mampu untuk mengadakan perlawanan secara terbuka dan terang-terangan.
Kedua: Mental yang lemah
Orang-orang yang lemah jiwanya, penakut dan tidak mempunyai keberanian untuk memprotes dan berkata-kata dalam menentang lawan-lawannya senantiasa berusaha menggunakan nifak sebagai jalan hidupnya. Mereka tidak berani berhadapan langsung, tetapi menampakkan persetujuannya dengan semua orang.
Orang munafik senantiasa menampakkan ke-Islamannya ketika berada di kalangan muslimin, berpura-pura menyembah api ketika berada di kalangan para penyembah api dan berpura-pura sebgai ateis ketika berada di lingkungan orang-orang ateisme. Hal itu karena lemahnya mentelnya, sehingga ia tiak berani menampakkan akidahnya yang sebenarnya. 33
Ketiga: Cinta dunia
Sesungguhnya kemunafikan internasional pada masa sekarang ini disebabkan karena cinta dunia. Sesungguhnya sebab terjadinya nifak dan bermuka dua dalam bermuamalah dan adanya berbagai undangan untuk menghormati hak-hak manusia yang dilakukan oleh negara-negara super power dan berbagai hal dan diamnya beberapa negara pada hal-hal lainnya, meskipun telah terjadi berbagai kejahatan terhadap manusia adalah karena cinta dunia. Negara-negara tersebut menggunakan cara-cara itu ketika kepentingannya terancam dan menggunakan kebebasan tersebut untuk melawan negara-negara lainnya yang mencoba menghalangai kepentingannya. Tetapi negara-negara itu menutup mata ketika kejahatan itu dilakukan oleh negara sahabatnya yang tidak mengganggu kepentingannya, sekalipun kejahatan itu dilakkukansecara terus terang dan tidak ada keraguan sedikitpun.
Al-Qur'an al-Karim telah menjelaskan contoh yang jelas dan menyakitkan tentang usaha sekolompok munafikin tersebut di dalam ayat 75-77 pada surat At-Taubah.
"Dan di antara mereka ada orang yang telah berjanji kepada Allah, "Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian dari karunia-Nya kepada kami, niscaya kami akan bersedekah dan niscaya kami termasuk orang-orang yang saleh". Ketika Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka menjadi kikir dan beraling, dan selalu menentang kebenaran. Maka Allah menanamkan kemunafikan di dalam hati merekasampai pada waktu mereka menemui-Nya, karena mereka telah mengingkari janji yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu berdusta".
Ayat-ayat ini turun berkenaan dengan Tsa'labah bin Hathib salah seorang golongan anshar. Dia pernah berkata kepada nabi Saw: "Berdoalah kepada Allah agar Dia melimpahkan harta kepadaku". Rasul Saw bersabda kepadanya: "Wahai Tsa'labah, harta yang sedikit tapi engkau dapat mensyukurinya, lebih baik daripada harta yang banyak tetapi engkau tidak mampu mensyukurinya.34 Bukankah kehidupan Rasul merupakan contoh yang baik buatmu? Demi jiwaku di tangan-Nya, sekiranya aku menginginkan gunung itu menjadi emas dan perak buatku, maka aku dapat melakukannya". Pada suatu hari Tsa'labah datang kembali menjumpai rasul Saw, dia berkata: "Ya Rasulallah, berdoalah kepada Allah agar Dia memberikan harta keapdaku. Demi Zat yang telah mengutus engkau dengan kebenaran, jika Dia memberikan harta kepadaku, niscaya aku akan memenuhi hak-hak orang-orang yang berhak". Kemudian nabi Saw berdoa: "Ya Allah berikanlah Tsa'labah rizki". Kemudian ia membeli seekor kambing, kambing itu dengan cepat berkembangbiak seperti ulat sehingga kota menjadi sempit baginya. Lalu ia pergi menjauhi kota dan mencari sebuah lembah. Kambing-kambing itu semakin banyak berkemebang biak sehingga ia harus pergi menjauhi kota dan meninggalkan shalat jum'at dan jama'ah. Ketika itu Rasul Saw mengutus seseorang untuk minta sedekah darinya, tetapi ia menolaknya dengan kikirnya ia berkata: "apa ini kalau bukan pajak.35 Rasulullah Saw bersabda: "Sungguh celaka Tsa'labah, sungguh celaka Tsa'labah". Kemudian turunlah ayat tersebut.36
Al-Qur'an al-karim menjelaskan bahwa kemunafikan Tsa'labah disebabkan karena kekikiran, cintanya keapda dunia dan mengingkari janjinya. Yang menakjubkan adalah bahwa ayat mulia tersebut menganggap kemunafikan tsa'labah itu berlangsung terus hingga hari kiamat dan sifat nifak itu tidak keluar dari dalam hati mereka hingga hari perjumpamaan mereka dengan Allah Swt. Ya Allah jadikanlah akibat danakhir urusan kami berupa kebaikan.
Apabila kita menginginkan agar tidak terjangkiti penyakit yang amat membahayakan ini, maka kita harus menjauhkan dan menghindari sebab-sebab kemunafikan. Khususnya kita sekarang ini berada pada malam-malam bulan Ramadhan yang penuh berkah. Hendaknya kita banyak mengambil keberkahan malam-malam ini pada waktu sahur, yaitu dengan melakukan shalat malam sekalipun dengan singkat dan tanpa melakukan semua yang disunatkan. Hendaknya kitra sujud, bersandar dan berlindung kepada Allah dari perbuatan nifak dan berbagai dosa dan akhlak-akhlak yang buruk.
Perumpamaan kedua
Gambaran lain kaum munafikin
Allah Swt berfirman pada dua ayat 19 dan 20 dalam surat Al-Baqarah:
"Atau seperti orang yang ditimpa hujan lebat dari langit yang disertai kegelapan, petir dan kilat. Mereka menyumbat telinga dengan jari-jarinya untuk menghindarisuara petir karena takut mati. Dan Allah meliputi orang-orang kafir. Hampir saja kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari, mereka berjalan dibawah sinar itu, dan apabila gelap menerpa mereka, mereka berhenti. Dan sekiranya Allah menghendaki, niscara Dia hilangkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sungguh Allah Mahakuasa atas segala sesuatu".
Ragam perumpamaan Al-Qur'an
Di dalam Al-Quran terdapat berbagai macam perumpamaan. Allah Swt menggunakan perumpamaan yang berragam itu untuk menjelaskan berbagai persoalan penting yang memiliki pengaruh besar dalam mendidik manusia demi kebahagiaannya. Terkadang Allah mendatangkan perumpamaan berupa benda-benda mati, sebagaimana pada ayat 17 dalam surat ar-Ra'd :
"Aallah telah menurunkan air hujan dari langit, maka mengalirlah air itu di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari logam yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada pula buihnya yangf seperti buih arus tersebut. Demikianlah Allah membuat perumpamaan tentang yangbenar dan yang batil".
Untuk menjelaskan esensi hak dan batil, Al-Qur'an menggunakan hujan sebagai perumpamaan. Ketika air hujan itu turun dari langit, ia mengucur dalam keadaan bersih. Kemudian ketika mengalir di permukaan bumi, air itu menjadi kotor karena lumpur dan berbagai kotoran yang terdapat di atas tanah. Terkadang kotoran tersebut berubah menjadi buih. Ketika air hujan itu mengalir sampai ke lembah-lembah, maka buihnya hilang sedikit demi sedikit dan kembali menjadi bersih. Hak dan batil seperti air tersebut. Sementara buih-buih yang kotor diperumpamakan sebagai kebatilan dan air suci yang mengalir sebagai hak dan kebenaran.
Terkadang Al-Qur'an mendatangkan perumpamaan berupa tumbuh-tumbuhan, sebagaimana terdapat pada ayat 24 pada surat Ibrahim :
"Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang kuat, akarnya kuat dan cahanya menjulang ke langit".
Sesungguhnya contoh yang paling jelas bagi kalimat yang baik adalah kalimat "La Ilaha Illallah". Kalimat ini Allah umpamakan sebagai pohon yang baik dan senantiasa subur.
Pada tempat lainnya Al-Qur'an membawakan perumpamaan berupa hewan-hewan. Contohnya adalah pada ayat 26 pada surat Al-Baqarah:
"Sesungguhnya Allah tidak meraa malu untuk membuat sebuah perumpamaan sesuatu berupa seekor nyamuk atau yang lebih rendah lagi".
Di sini Allah Swt membawakan perumpamaan dengan seekor hewan yang kecil. Sebagaimana pula Dia membawakan perumpamaan tersebut pada ayat 41 dalam surat al-Ankabut.
Terkadang Al-Qur'an membawakan perumpamaandengan manusia sebagaimana pada ayat 171 surat Al-Baqarah. Allah swt berfirman:
"Dan perumpamaan orang-orang kafir adalah seperti seorang pengembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka itu tuli, bisu dan buta. Oleh karena itu mereka tidak mengerti"
Allah Swt menyamakan Rasul Saw dalam ayat ini denganseorang pengembala. Sementara orang-orang kafir Allah samakandengan binatang-binatang yang digembala oleh pengembala.
Sesungguhnya sebab utama beragamnya perumpamaan-perumpamaan Al-Qur'an adalah untuk menyederhanakan pemahaman dan mendalamnya bagi mukhatab (audiens) pda masa awal Islam, yaitu orang-orang Arab yang ummi (tidak mampu baca tulis) pada masa jahiliyah. Demikian juga kaum muslimin, kecuali sekelompok kecil. Mereka tidak dapat memahami ayat-ayat itudengan baik.
Wama Kana Bil Imkani Tafhimuhum..... hal 38
Gambaran lain kaum munafikin
Allah Swt berfirman pada dua ayat 19 dan 20 dalam surat Al-Baqarah:
"Atau seperti orang yang ditimpa hujan lebat dari langit yang disertai kegelapan, petir dan kilat. Mereka menyumbat telinga dengan jari-jarinya untuk menghindarisuara petir karena takut mati. Dan Allah meliputi orang-orang kafir. Hampir saja kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari, mereka berjalan dibawah sinar itu, dan apabila gelap menerpa mereka, mereka berhenti. Dan sekiranya Allah menghendaki, niscara Dia hilangkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sungguh Allah Mahakuasa atas segala sesuatu".
Ragam perumpamaan Al-Qur'an
Di dalam Al-Quran terdapat berbagai macam perumpamaan. Allah Swt menggunakan perumpamaan yang berragam itu untuk menjelaskan berbagai persoalan penting yang memiliki pengaruh besar dalam mendidik manusia demi kebahagiaannya. Terkadang Allah mendatangkan perumpamaan berupa benda-benda mati, sebagaimana pada ayat 17 dalam surat ar-Ra'd :
"Aallah telah menurunkan air hujan dari langit, maka mengalirlah air itu di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari logam yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada pula buihnya yangf seperti buih arus tersebut. Demikianlah Allah membuat perumpamaan tentang yangbenar dan yang batil".
Untuk menjelaskan esensi hak dan batil, Al-Qur'an menggunakan hujan sebagai perumpamaan. Ketika air hujan itu turun dari langit, ia mengucur dalam keadaan bersih. Kemudian ketika mengalir di permukaan bumi, air itu menjadi kotor karena lumpur dan berbagai kotoran yang terdapat di atas tanah. Terkadang kotoran tersebut berubah menjadi buih. Ketika air hujan itu mengalir sampai ke lembah-lembah, maka buihnya hilang sedikit demi sedikit dan kembali menjadi bersih. Hak dan batil seperti air tersebut. Sementara buih-buih yang kotor diperumpamakan sebagai kebatilan dan air suci yang mengalir sebagai hak dan kebenaran.
Terkadang Al-Qur'an mendatangkan perumpamaan berupa tumbuh-tumbuhan, sebagaimana terdapat pada ayat 24 pada surat Ibrahim :
"Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang kuat, akarnya kuat dan cahanya menjulang ke langit".
Sesungguhnya contoh yang paling jelas bagi kalimat yang baik adalah kalimat "La Ilaha Illallah". Kalimat ini Allah umpamakan sebagai pohon yang baik dan senantiasa subur.
Pada tempat lainnya Al-Qur'an membawakan perumpamaan berupa hewan-hewan. Contohnya adalah pada ayat 26 pada surat Al-Baqarah:
"Sesungguhnya Allah tidak meraa malu untuk membuat sebuah perumpamaan sesuatu berupa seekor nyamuk atau yang lebih rendah lagi".
Di sini Allah Swt membawakan perumpamaan dengan seekor hewan yang kecil. Sebagaimana pula Dia membawakan perumpamaan tersebut pada ayat 41 dalam surat al-Ankabut.
Terkadang Al-Qur'an membawakan perumpamaandengan manusia sebagaimana pada ayat 171 surat Al-Baqarah. Allah swt berfirman:
"Dan perumpamaan orang-orang kafir adalah seperti seorang pengembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka itu tuli, bisu dan buta. Oleh karena itu mereka tidak mengerti"
Allah Swt menyamakan Rasul Saw dalam ayat ini denganseorang pengembala. Sementara orang-orang kafir Allah samakandengan binatang-binatang yang digembala oleh pengembala.
Sesungguhnya sebab utama beragamnya perumpamaan-perumpamaan Al-Qur'an adalah untuk menyederhanakan pemahaman dan mendalamnya bagi mukhatab (audiens) pda masa awal Islam, yaitu orang-orang Arab yang ummi (tidak mampu baca tulis) pada masa jahiliyah. Demikian juga kaum muslimin, kecuali sekelompok kecil. Mereka tidak dapat memahami ayat-ayat itudengan baik.
Wama Kana Bil Imkani Tafhimuhum..... hal 38
Perumpamaan Ketiga:
Orang-Orang Kafir
Allah SWT berfirman: "Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti" .37
Rintangan terbesar dihadapan dakwar para nabi adalah taklid buta.
Taklid kepada nenok moyang dan kepada orang-orang terdahulu adalah terus-menerus menjadi penghalang utama di hadapan dakwah para nabi. Ketika para nabi menyeru umat-umatnya kepada agama dan tauhid, mereka pun menjawabnya dengan perkataan berikut: "Mereka menjawab: "(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya".38
Sebab sebenararnya penolakan mereka terhadap seruan para nabi adalah kebiasaan menyembah berhala-berhala sebagaimana dilakukan nenek-moyang mereka serta taklid buta kepada para pembaharu dan para nabi. Maka penolakan orang-orang kepada Rosulullah Saw ketika menyerunya kepada agama Islam dan menyembah Allah yang Esa, tidaklah lebih sebagai rasa heran terhadap ajakan Rosulullah Saw kepada Islam yang bertolakbelakang dengan tradisi-tradisi yang mereka takdili selama ini. Penolakan mereka hanyalah karena ketaklidan kepada nenek-moyang dari menyembah berhala-berlaha yang mereka buat dengan tangan-tangannya sendiri, dan mereka pun memakannya kembali saat merasakan lapar.
Terkait dengan hal ini, Allah Swt melukiskan perkataan orang-orang kafir sebagai berikut: "Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan" .39
Dalam beberapa buku sejarah tertulis, suatu hari Abu Thalib r.a jatuh sakit dan Muhammad, anak Pamannya sedang tidak di rumah karena sibuk berdakwah.
Lalu datanglah para pemuka suku Quraisy kepada Abu Thalib dengan maksud menjenguknya, lalu mereka berkata: Engkau adalah pemuka dan pembesar kami.
Kami datang kepadamu agar kamu menyatakan sikap antara kami dan keponakanmu, karena ia benar-benar telah menghapus dan menghancurkan mimpi-mimpi kami.
Lalu Abu Thalib memanggil Rosulullah Saw dan berkata: wahai putra saudaraku, mareka, kaummu meminta kepadamu. Beliau Saw berkata: Apa yang mereka minta dariku? Mereka berkata: .Kami mengajakmu pad atuhan-tuhan kami dan kamu mengajak kami pada Tuhan kamu. Maka Rosulullah Saw bersabda: Apakah kalian sanggup memberiku sebuah kalimat yang dimiliki oleh orang-orang Arab dan Azam (non-Arab)? Abu Jahal menanggapinya: Semoga ayahmu ada pada lindungan-Nya, kami akan memberimu dengan sepuluh kali lipat darinya. Beliau Saw bersabda: katakanlah bahwa tiada Tuhan selain Allah. Lalu mereka berdiri dan berkata: Dia telah jadikan tuhan-tuhan itu menjadi Tuhan yang esa.40 Rosulullah Saw telah berusaha maksimal mengajak mereka kepada pengesaan Allah SWT (tauhid).
Syarakh dan tafsir
Dalam teks perumpamaan Qur`an ini, orang-orang kafir disamakan dengan binatang. Dan untuk menjelaskan perumpamaan ini, al-Qur`qan mempertegasnya dengan menjelaskan ketaklidan mereka adalah ketaklidah yang dilakukan secara buta kepada nenek-nenek moyangnya. Allah Azza wa Jalla berfirman dalam surat al-Baqarah: ayat 170: "Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".
Ayat ini seakan-akan ingin mengatakan: wahai orang-orang bodoh, apakah ketaklidan kalian kepada para leluhur kalian padahal mereka tidak menggunakan akalnya sedikitpun adalah taklid karena mengerti dan sengaja? Lalu dalam konteks ini Rosulullah Saw digambarkan seperti seorang pengembala -ketika beliau Saw membacakan ayat-ayat ini kepada orang-orang musyrik- yang memanggil ternak gembalaannya dengan bunyi-bunyi suara tertentu untuk mengarahkan langkah mereka, namun gembala-gembala ini tetap saya tidak mengerti maksud panggilannya kecuali sebagai bunyi-bunyian tertentu saja. Ketika sang pengembala mengeraskan suaranmya maka barulah berpengaruh kepada gembalaan itu, dan kalau tidak maka tidak ada pengaruh apa-apa bagi mereka.
Sesungguhnya perumpamaan orang-orang musyrik adalah seperti hewan-hewan gembalaan ini yang tidak mau mengerti makna-makna dan pengertian agung yang dibacakan kepada mereka. Bahkan mereka tidak dapat memahami seruan itu kecuali hanya sebagai suara-suara dan musik yang kamu mainkan saja.
Karena itu, mereka tetap saja berlalu dengan ketaklidaan butanya kepada nenek-nenek moyangnya.
Sasaran-sasaran ayat tersebut
Pertama, sesungguhnya ayat tersebut adalah jawaban yang tepat untuk pertanyaan berikut; Apabila benar Qur`an itu adalah wahyu Tuhan, maka tentu ia dapat membekas dan berpengaruh pada hati orang-orang dan meninggalkan efek di dalamnya. Lalu kenapa kita tidak menyaksikan efek ini kepada orang-orang musyrik. Hati-hati mereka tetap saya membeku dan tidak pernah tersadarkan hingga akhir usianya?
Sebuah efek akan terjadi terhadap sesuatu apapun jika terdapat dua faktor;
1. Kemampuan pemberi efek, dan
2. Kemampuan atau kesanggupan penerima efek
Dan tidak diragukan lagi bahwa al-Qur`an adalah pemberi efek yang berkemampuan memberikan sebuah efek dan pengaruh, hanya saja orang-orang kafir itu tidak memiliki kesanggupan menerima dan menangkap ajaran-ajaran al-Qur`an. Sama seperti potensi air hujan yang dapat menumbuhkan tanaman, namun apabila ia jatuh pada sebuah batu maka kita pun tidak dapat berharap akan tumbuh tumbuh-tumbuhan darinya. Demikian itu karena batu memang tidak memiliki kesanggupan ditumbuhi biji tumbuh-tumbuhan. Demikian juga halnya dengan kondisi orang-orang kafir. Sesungguhnya firman Allah Azza wa Jalla bagaikan curahan air hujan dan sementara hati orang-orang kafir itu seperti batu keras yang tidak dapat bergeming ketika terkenai tetesan-tetesan lembut al-Qur`an.
Namun sekeras apapun sebuah batu, percikan-percikan air hujan lama-kelaman akan juga memberikan bekas kepadanya. Sekalipun hati orang-orang kafir itu telah membatu dimana fotensi menerima sebuah efek di dalamnya telah mengkristal, maka firman Allah akan bermanfaat dan dapat meninggalkan bekasnya.
Dari sini jelas bahwa kemampuan pemberi efek saja masih belum cukup, namun dituntut juga kesanggupan penerima efek pada sisi penerima, dan orang-orang kafir itu tidak memiliki kemampuan menerima efek tersebut.
Kedua, kesuksesan upaya orang-orang mendapatkan ajaran-ajaran al-Qur`an akan sesuai dengan standar kemampuan mereka menerima ajaran-ajaran tersebut.
Al-Qur`an adalah laksana sebuah taman dimana setiap orang dapat menikmatinya dengan standar kemampuan yang dimilikinya. Atau ia laksana air yang berasal dari air terjun, maka tidaklah setiap orang dapat meminumnya sebagai air kehidupan dan dapat menghilangkan rasa hausnya. Perbedaan kemampuan masing-masing orang akan menentukan seberapa besar kemampuan mereka menimum air dairnya.
Sesungguhnya orang-orang kafir tidak memiliki wadah atau tempat untuk menampung air sumber tersebut. Mereka pun tidak memiliki kemampuan menangkap curahan rahmat dan anugrah ilahi. Demikian itu disebabkan oleh ketaklidan buta mereka kepada para leluhurnya sehingga menghalangi mereka dari memperoleh curahan pengetahuan ilahiyah.
Dengan gambaran lain, ketaklidan mereka kepada agama nenek moyangnya menjadi sebuah penghalang kuat sampainya pengetahuan kepada mereka.
Sekalipun mereka memiliki penglihatan, pendengaran dan lisan, mereka tetap buta, tuli dan tidak sanggup memahami sesuatu.
Ayat tersebut juga dapat ditafsirkan dengan tafsiran lain, yaitu; Wahai orang-orang musyrik, kalian berlutut (ruku) kepada berhala-berhala, menyembahnya dan memohon kepadanya. Sesungguhnya ia tidaklah bisa mendengar kebutuhan-kebutuhan kalian dan tidak pula dapat melihat aktivitas-aktivitas kalian. Ia pun tidak dapat berbicara dan berkata-kata kepada kalian. Ia buta, bisu dan tuli seperti binatang. Wahai orang-orang, kamu telah memecahkan sendiri kepribadianmu dengan beribadah dan tunduk kepada berhala-berhala yang diam ini.
Sesungguhnya dhamir hum pada kalimat "fahum" dan dhamir yang ada pada kalimat "lâ ya`qilûn" keduanya ditunjukkan untuk orang-orang yang berakal. Karena itu, tafsiran yang pertama jauh lebih bisa diterima oleh akal.
Al-hasil, sasaran sesungguhnya ayat tersebut adalah penolakan terhadap taklid buta kepada para leluhur dan nenek moyang.
Taklid dalam al-Qur`an
Banyak sekali ayat al-Qur`an yang berbicara tentang taklid. Di antaranya adalah ayat-ayat yang mengecam praktek taklid dan menganggapnya sebagai kemunduran. Salah satu dari ayat tersebut adalah ayat ke 170 dari surat al-Baqarah.41
Namun sejumlah ayat lain tidak hanya mengecam prkatek taklid saja, bahkan sebaliknya, menganjurkan orang-orang untuk melakukannya seperti firman Allah Swt pada surat al-Anbiya ayat 7; "Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu
kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui".
Dengan melihat pertentangan sekilas diantara dua contoh ayat tadi, lalu apa yang menjadi tugas seorang mukmin? Apakah taklid merupakan praktek yang baik atau terlarang dan diharamkan? Apakah memungkinkan seorang mukmin bertaklid kepada seorang berilmu (ahlul `ilm)?
Macam-macam taklid
Untuk lebih memperjelas penjelasan tema taklid ini, alangkah baiknya jika kita mengkaji dahulu berbagai macam bentuk taklid.
Pertama, taklid seorang jâhil (bodoh) kepada seorang jahil lainnya. Contoh taklid seperti ini adalah taklidnya orang-oranag kafir dan musyrik yang jahil kepada nenek moyang mereka yang juga jahil. Taklid seperti ini adalah terlarang dan tidak dapat dibenarkan berdasarkan pertimbangan syari`at dan akal sehat.
Kedua, taklid seorang berilmu (`âlim) kepada seorang berilmu lainnya. Seorang `âlim adalah orang yang memiliki pandangan dan pengetahuan sehingga ia tidak dapat dibenarkan bertaklid kepada seorang `âlim lainnya. Demikian itu, karena seorang `âlim bertugas untuk berfikir, mengeluarkan pandangan-pandangan dan mengambil manfaat dari ilmunya sendiri. Karena alasan inilah di dalam ilmu fiqh disebutkan seorang mujtahid haram bertaklid kepada mujtahid lainnya.
Ketiga, Taklid seorang `âlim kepada seorang jâhil. Yaitu seorang pemikir meninggalkan hasil pemikiran dan pandangan-pandangannya untuk kemudian mencari pandangan orang-orang awam guna melakukan menyesuaian dengan mereka. Amat di sayangkan di zaman sekarang taklid semacam ini banyak sekali terjadi.
Contoh yang paling mencolok adalah sistem demokrasi di Barat. Dengan alasan demokrasi, para pemikir dan ilmuan harus rela mencampakkan hasil pemikiran dan risetnya, lalu melakukan penyesuaian dengan pandangan umum masyarakat. Apabila terdapat pertentangan pandangan antara para ahli dan suara mayoritas masyarakat, maka para ahli harus meninggalkan pemikiran dan hasil-hasil risetnya, dan kemudian mengambil suara masyoritas masyarakat.
Keempat, taklid seorang bodoh kepada seorang `âlim (berilmu). Seseorang yang tidak memiliki pengetahuan tentang suatu bidang permasalahan hendaknya ia bertanya kepada seorang `âlim atau seorang spesialis dibidangnya. Orang yang sakit haruslah merujuk kepada seorang dokter. Seseorang yang hendak membangun rumah hendaknya merujuk kepada seorang insinyur. Seorang petani yang hendak menggali sumur haruslah merujuk kepada seorang insinyur yang khusus membidangi bidang ini. Orang-orang akan merujuk kepada seorang marja dalam permasalahan-permasalahan agamanya, dan lain sebagainya.
Kesimpulannya disini ialah bahwa seorang jahil hendaknya bertaklid kepada seorang `âlim. Yakni ia harus merujuk kepada orang-orang yang spesialis dan ahli dibidangnya. Jenis taklid seperti ini banyak terjadi dalam banyak dimensi kehidupan kita, dan sudah menjadi sesuatu yang lumrah terjadi.
Dari pembahasan tadi dapat disimpulkan bahwa tiga jensi taklid pertama adalah jenis taklid yang dilarang, dan ayat-ayat yang kandunganya mengecam praktek taklid adalah dimaksudkan untuk ketiga jensi taklid ini. Adapun jenis taklid yang keempat tidak hanya diperbolehkan bahkan ia justru terpuji, dan ayat-ayat yang menganjurkan agar orang-orang melakuklan taklid adalah berkaitan dengan jenis taklid yang keempat ini.42
Namun di sini kita juga harus memperhatikan spesialisasi dan keilmuan seseorang pada bidang tertentu sebagai satu-satunya alasan seseorang diperkenankan melakukan transper pengetahuannya kepada orang lain pada bidang keilmuan tertentu, dan tidak ada alasan lain selain itu. Akan tetapi patut disayangkan apa yang terjadi belakangan ini, kita menyaksikan beberapa orang memberikan berbagai komentar pada berbagai bidang keilmuan berbeda dan tidak spesifik sesuai dengan spesialisasinya. Ia menyampaikan pandangannya terkait dengan masalah hijab, kishash, warisan, permasalahan dan ijtihad kaum wanita, diyat (denda), dan lain sebagainya, sementara ia tidak memiliki kapasitas kemampuan yang mumpuni di bidang-bidang tersebut. Patut kiranya ditanyakan, apakah mereka mengijinkan diri mereka sendiri tidak merujuk kepada seorang dokter ketika mereka jatuh sakit? Apakah mereka akan melakukan praktek oprasi sendiri ketika ditimpa penyakit-penyakit keras? Jawabannya tentu saja tidak. Lalu kenapa pula mereka memperkenankan diri-dirinya ikut berkomentar pada permasalahan-permasalahan agama (syar`iyyah) dengan tanpa didukung pengetahuan yang mumpuni di bidang fiqh dan bidang-bidang agama lainnya?
Orang-Orang Kafir
Allah SWT berfirman: "Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti" .37
Rintangan terbesar dihadapan dakwar para nabi adalah taklid buta.
Taklid kepada nenok moyang dan kepada orang-orang terdahulu adalah terus-menerus menjadi penghalang utama di hadapan dakwah para nabi. Ketika para nabi menyeru umat-umatnya kepada agama dan tauhid, mereka pun menjawabnya dengan perkataan berikut: "Mereka menjawab: "(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya".38
Sebab sebenararnya penolakan mereka terhadap seruan para nabi adalah kebiasaan menyembah berhala-berhala sebagaimana dilakukan nenek-moyang mereka serta taklid buta kepada para pembaharu dan para nabi. Maka penolakan orang-orang kepada Rosulullah Saw ketika menyerunya kepada agama Islam dan menyembah Allah yang Esa, tidaklah lebih sebagai rasa heran terhadap ajakan Rosulullah Saw kepada Islam yang bertolakbelakang dengan tradisi-tradisi yang mereka takdili selama ini. Penolakan mereka hanyalah karena ketaklidan kepada nenek-moyang dari menyembah berhala-berlaha yang mereka buat dengan tangan-tangannya sendiri, dan mereka pun memakannya kembali saat merasakan lapar.
Terkait dengan hal ini, Allah Swt melukiskan perkataan orang-orang kafir sebagai berikut: "Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan" .39
Dalam beberapa buku sejarah tertulis, suatu hari Abu Thalib r.a jatuh sakit dan Muhammad, anak Pamannya sedang tidak di rumah karena sibuk berdakwah.
Lalu datanglah para pemuka suku Quraisy kepada Abu Thalib dengan maksud menjenguknya, lalu mereka berkata: Engkau adalah pemuka dan pembesar kami.
Kami datang kepadamu agar kamu menyatakan sikap antara kami dan keponakanmu, karena ia benar-benar telah menghapus dan menghancurkan mimpi-mimpi kami.
Lalu Abu Thalib memanggil Rosulullah Saw dan berkata: wahai putra saudaraku, mareka, kaummu meminta kepadamu. Beliau Saw berkata: Apa yang mereka minta dariku? Mereka berkata: .Kami mengajakmu pad atuhan-tuhan kami dan kamu mengajak kami pada Tuhan kamu. Maka Rosulullah Saw bersabda: Apakah kalian sanggup memberiku sebuah kalimat yang dimiliki oleh orang-orang Arab dan Azam (non-Arab)? Abu Jahal menanggapinya: Semoga ayahmu ada pada lindungan-Nya, kami akan memberimu dengan sepuluh kali lipat darinya. Beliau Saw bersabda: katakanlah bahwa tiada Tuhan selain Allah. Lalu mereka berdiri dan berkata: Dia telah jadikan tuhan-tuhan itu menjadi Tuhan yang esa.40 Rosulullah Saw telah berusaha maksimal mengajak mereka kepada pengesaan Allah SWT (tauhid).
Syarakh dan tafsir
Dalam teks perumpamaan Qur`an ini, orang-orang kafir disamakan dengan binatang. Dan untuk menjelaskan perumpamaan ini, al-Qur`qan mempertegasnya dengan menjelaskan ketaklidan mereka adalah ketaklidah yang dilakukan secara buta kepada nenek-nenek moyangnya. Allah Azza wa Jalla berfirman dalam surat al-Baqarah: ayat 170: "Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".
Ayat ini seakan-akan ingin mengatakan: wahai orang-orang bodoh, apakah ketaklidan kalian kepada para leluhur kalian padahal mereka tidak menggunakan akalnya sedikitpun adalah taklid karena mengerti dan sengaja? Lalu dalam konteks ini Rosulullah Saw digambarkan seperti seorang pengembala -ketika beliau Saw membacakan ayat-ayat ini kepada orang-orang musyrik- yang memanggil ternak gembalaannya dengan bunyi-bunyi suara tertentu untuk mengarahkan langkah mereka, namun gembala-gembala ini tetap saya tidak mengerti maksud panggilannya kecuali sebagai bunyi-bunyian tertentu saja. Ketika sang pengembala mengeraskan suaranmya maka barulah berpengaruh kepada gembalaan itu, dan kalau tidak maka tidak ada pengaruh apa-apa bagi mereka.
Sesungguhnya perumpamaan orang-orang musyrik adalah seperti hewan-hewan gembalaan ini yang tidak mau mengerti makna-makna dan pengertian agung yang dibacakan kepada mereka. Bahkan mereka tidak dapat memahami seruan itu kecuali hanya sebagai suara-suara dan musik yang kamu mainkan saja.
Karena itu, mereka tetap saja berlalu dengan ketaklidaan butanya kepada nenek-nenek moyangnya.
Sasaran-sasaran ayat tersebut
Pertama, sesungguhnya ayat tersebut adalah jawaban yang tepat untuk pertanyaan berikut; Apabila benar Qur`an itu adalah wahyu Tuhan, maka tentu ia dapat membekas dan berpengaruh pada hati orang-orang dan meninggalkan efek di dalamnya. Lalu kenapa kita tidak menyaksikan efek ini kepada orang-orang musyrik. Hati-hati mereka tetap saya membeku dan tidak pernah tersadarkan hingga akhir usianya?
Sebuah efek akan terjadi terhadap sesuatu apapun jika terdapat dua faktor;
1. Kemampuan pemberi efek, dan
2. Kemampuan atau kesanggupan penerima efek
Dan tidak diragukan lagi bahwa al-Qur`an adalah pemberi efek yang berkemampuan memberikan sebuah efek dan pengaruh, hanya saja orang-orang kafir itu tidak memiliki kesanggupan menerima dan menangkap ajaran-ajaran al-Qur`an. Sama seperti potensi air hujan yang dapat menumbuhkan tanaman, namun apabila ia jatuh pada sebuah batu maka kita pun tidak dapat berharap akan tumbuh tumbuh-tumbuhan darinya. Demikian itu karena batu memang tidak memiliki kesanggupan ditumbuhi biji tumbuh-tumbuhan. Demikian juga halnya dengan kondisi orang-orang kafir. Sesungguhnya firman Allah Azza wa Jalla bagaikan curahan air hujan dan sementara hati orang-orang kafir itu seperti batu keras yang tidak dapat bergeming ketika terkenai tetesan-tetesan lembut al-Qur`an.
Namun sekeras apapun sebuah batu, percikan-percikan air hujan lama-kelaman akan juga memberikan bekas kepadanya. Sekalipun hati orang-orang kafir itu telah membatu dimana fotensi menerima sebuah efek di dalamnya telah mengkristal, maka firman Allah akan bermanfaat dan dapat meninggalkan bekasnya.
Dari sini jelas bahwa kemampuan pemberi efek saja masih belum cukup, namun dituntut juga kesanggupan penerima efek pada sisi penerima, dan orang-orang kafir itu tidak memiliki kemampuan menerima efek tersebut.
Kedua, kesuksesan upaya orang-orang mendapatkan ajaran-ajaran al-Qur`an akan sesuai dengan standar kemampuan mereka menerima ajaran-ajaran tersebut.
Al-Qur`an adalah laksana sebuah taman dimana setiap orang dapat menikmatinya dengan standar kemampuan yang dimilikinya. Atau ia laksana air yang berasal dari air terjun, maka tidaklah setiap orang dapat meminumnya sebagai air kehidupan dan dapat menghilangkan rasa hausnya. Perbedaan kemampuan masing-masing orang akan menentukan seberapa besar kemampuan mereka menimum air dairnya.
Sesungguhnya orang-orang kafir tidak memiliki wadah atau tempat untuk menampung air sumber tersebut. Mereka pun tidak memiliki kemampuan menangkap curahan rahmat dan anugrah ilahi. Demikian itu disebabkan oleh ketaklidan buta mereka kepada para leluhurnya sehingga menghalangi mereka dari memperoleh curahan pengetahuan ilahiyah.
Dengan gambaran lain, ketaklidan mereka kepada agama nenek moyangnya menjadi sebuah penghalang kuat sampainya pengetahuan kepada mereka.
Sekalipun mereka memiliki penglihatan, pendengaran dan lisan, mereka tetap buta, tuli dan tidak sanggup memahami sesuatu.
Ayat tersebut juga dapat ditafsirkan dengan tafsiran lain, yaitu; Wahai orang-orang musyrik, kalian berlutut (ruku) kepada berhala-berhala, menyembahnya dan memohon kepadanya. Sesungguhnya ia tidaklah bisa mendengar kebutuhan-kebutuhan kalian dan tidak pula dapat melihat aktivitas-aktivitas kalian. Ia pun tidak dapat berbicara dan berkata-kata kepada kalian. Ia buta, bisu dan tuli seperti binatang. Wahai orang-orang, kamu telah memecahkan sendiri kepribadianmu dengan beribadah dan tunduk kepada berhala-berhala yang diam ini.
Sesungguhnya dhamir hum pada kalimat "fahum" dan dhamir yang ada pada kalimat "lâ ya`qilûn" keduanya ditunjukkan untuk orang-orang yang berakal. Karena itu, tafsiran yang pertama jauh lebih bisa diterima oleh akal.
Al-hasil, sasaran sesungguhnya ayat tersebut adalah penolakan terhadap taklid buta kepada para leluhur dan nenek moyang.
Taklid dalam al-Qur`an
Banyak sekali ayat al-Qur`an yang berbicara tentang taklid. Di antaranya adalah ayat-ayat yang mengecam praktek taklid dan menganggapnya sebagai kemunduran. Salah satu dari ayat tersebut adalah ayat ke 170 dari surat al-Baqarah.41
Namun sejumlah ayat lain tidak hanya mengecam prkatek taklid saja, bahkan sebaliknya, menganjurkan orang-orang untuk melakukannya seperti firman Allah Swt pada surat al-Anbiya ayat 7; "Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu
kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui".
Dengan melihat pertentangan sekilas diantara dua contoh ayat tadi, lalu apa yang menjadi tugas seorang mukmin? Apakah taklid merupakan praktek yang baik atau terlarang dan diharamkan? Apakah memungkinkan seorang mukmin bertaklid kepada seorang berilmu (ahlul `ilm)?
Macam-macam taklid
Untuk lebih memperjelas penjelasan tema taklid ini, alangkah baiknya jika kita mengkaji dahulu berbagai macam bentuk taklid.
Pertama, taklid seorang jâhil (bodoh) kepada seorang jahil lainnya. Contoh taklid seperti ini adalah taklidnya orang-oranag kafir dan musyrik yang jahil kepada nenek moyang mereka yang juga jahil. Taklid seperti ini adalah terlarang dan tidak dapat dibenarkan berdasarkan pertimbangan syari`at dan akal sehat.
Kedua, taklid seorang berilmu (`âlim) kepada seorang berilmu lainnya. Seorang `âlim adalah orang yang memiliki pandangan dan pengetahuan sehingga ia tidak dapat dibenarkan bertaklid kepada seorang `âlim lainnya. Demikian itu, karena seorang `âlim bertugas untuk berfikir, mengeluarkan pandangan-pandangan dan mengambil manfaat dari ilmunya sendiri. Karena alasan inilah di dalam ilmu fiqh disebutkan seorang mujtahid haram bertaklid kepada mujtahid lainnya.
Ketiga, Taklid seorang `âlim kepada seorang jâhil. Yaitu seorang pemikir meninggalkan hasil pemikiran dan pandangan-pandangannya untuk kemudian mencari pandangan orang-orang awam guna melakukan menyesuaian dengan mereka. Amat di sayangkan di zaman sekarang taklid semacam ini banyak sekali terjadi.
Contoh yang paling mencolok adalah sistem demokrasi di Barat. Dengan alasan demokrasi, para pemikir dan ilmuan harus rela mencampakkan hasil pemikiran dan risetnya, lalu melakukan penyesuaian dengan pandangan umum masyarakat. Apabila terdapat pertentangan pandangan antara para ahli dan suara mayoritas masyarakat, maka para ahli harus meninggalkan pemikiran dan hasil-hasil risetnya, dan kemudian mengambil suara masyoritas masyarakat.
Keempat, taklid seorang bodoh kepada seorang `âlim (berilmu). Seseorang yang tidak memiliki pengetahuan tentang suatu bidang permasalahan hendaknya ia bertanya kepada seorang `âlim atau seorang spesialis dibidangnya. Orang yang sakit haruslah merujuk kepada seorang dokter. Seseorang yang hendak membangun rumah hendaknya merujuk kepada seorang insinyur. Seorang petani yang hendak menggali sumur haruslah merujuk kepada seorang insinyur yang khusus membidangi bidang ini. Orang-orang akan merujuk kepada seorang marja dalam permasalahan-permasalahan agamanya, dan lain sebagainya.
Kesimpulannya disini ialah bahwa seorang jahil hendaknya bertaklid kepada seorang `âlim. Yakni ia harus merujuk kepada orang-orang yang spesialis dan ahli dibidangnya. Jenis taklid seperti ini banyak terjadi dalam banyak dimensi kehidupan kita, dan sudah menjadi sesuatu yang lumrah terjadi.
Dari pembahasan tadi dapat disimpulkan bahwa tiga jensi taklid pertama adalah jenis taklid yang dilarang, dan ayat-ayat yang kandunganya mengecam praktek taklid adalah dimaksudkan untuk ketiga jensi taklid ini. Adapun jenis taklid yang keempat tidak hanya diperbolehkan bahkan ia justru terpuji, dan ayat-ayat yang menganjurkan agar orang-orang melakuklan taklid adalah berkaitan dengan jenis taklid yang keempat ini.42
Namun di sini kita juga harus memperhatikan spesialisasi dan keilmuan seseorang pada bidang tertentu sebagai satu-satunya alasan seseorang diperkenankan melakukan transper pengetahuannya kepada orang lain pada bidang keilmuan tertentu, dan tidak ada alasan lain selain itu. Akan tetapi patut disayangkan apa yang terjadi belakangan ini, kita menyaksikan beberapa orang memberikan berbagai komentar pada berbagai bidang keilmuan berbeda dan tidak spesifik sesuai dengan spesialisasinya. Ia menyampaikan pandangannya terkait dengan masalah hijab, kishash, warisan, permasalahan dan ijtihad kaum wanita, diyat (denda), dan lain sebagainya, sementara ia tidak memiliki kapasitas kemampuan yang mumpuni di bidang-bidang tersebut. Patut kiranya ditanyakan, apakah mereka mengijinkan diri mereka sendiri tidak merujuk kepada seorang dokter ketika mereka jatuh sakit? Apakah mereka akan melakukan praktek oprasi sendiri ketika ditimpa penyakit-penyakit keras? Jawabannya tentu saja tidak. Lalu kenapa pula mereka memperkenankan diri-dirinya ikut berkomentar pada permasalahan-permasalahan agama (syar`iyyah) dengan tanpa didukung pengetahuan yang mumpuni di bidang fiqh dan bidang-bidang agama lainnya?
Perumpamaan Keempat:
Infak
Allah SWT berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 261 sebagai berikut: "Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui".
Pembahasan
Ayat tersebut berbicara tentang infak yang dikeluarkan di jalan Allah dengan sebuah perumpamaan agung. Kefaqiran adalah masalah yang benar-benar problematik, dan umat manusia sepanjang sejarahnya tidak pernah terlepas dari problem krusial ini dengan berbagai macam derivasi bentuknya. Problem kefakiran ini sebenarnya berumber dari tidak adanya keadilan dalam pemerataan kekayaan, dan ini menjadi pemicu terbaginya umat manusi kepada kelompok kaya dan miskin.
Sejarah menyaksikan bahwa di sana terdapat sejumlah orang kaya seperti Karun yang memiliki kekayaan melimpah luar biasa, dimana kunci-kunci tempat penyimpanan kekayannya saja perlu dipandu oleh sejumlah orang-orang perkasa.43 Di sisi lain terdapat sejumlah orang yang membutuhkan sesuap nasi (roti) dan menanggung baban ini sepanjang malam harin. Problem seperti ini benar-benar terjadi di masa kita sekarang ini.
Sebagai contoh kami akan sebutkan bahwa sejumlah catatan statistik menyebutkan bahwa 80% kekayaan bumi hanya dapat dinikmati oleh sekitar 20% orang saja. Artinya apabila jumlah umat manusia di muka bumi ini sekitar lima milyar jiwa, maka 80% tidak dapat menikmati kekayaan bumi, dan sisa 20% lainnya bisa menikmati dan terbagi pada empat milyar orang saja.
Dengan gambaran lain, apabila penduduk negara-negara industri berkisar satu milyar jiwa, maka sejumlah satu milyar jiwa ini menjadi pemiliki empat perlima kekayaan bumi, dan seperlima lainnya terbagi kepada milyaran sisa penduduk lainnya. Dan yang mengherankan disini ialah semakin bertambanya jurang perbedaan dari hari ke hari antara orang kaya dan dan orang miskin.
Cara mengentaskan kefakiran
Untuk mengatasi problem krusial ini, semenjak dahulu para ulama telah mengajukan cara pengentasannya. Selama ini umat manusia telah mencoba dua cara untuk mengatasi problem ini; Pertama, orang-orang sosialis dan komunis yang meyakini bahwa problem kefairan berhasil kita temukan akar penyebabnya dari kepemilikan pribadi. Maka apabila kita berhasil menyingkirkan akar penyebabnya, kita pun akan berhasil mengatasinya.
Para penganut pandangan ini telah mencoba menerapkan teorinya semenjak tujuh puluh tahun silam. Dalam pelaksanaannya, jutaan orang telah menjadi korban. Mereka telah menggunakan banyak bakteri untuk membunuh, melakukan pemaksaan berat, dan memberikan janji-janji palsu kepada orang-orang.
Mereka dijanjikan akan mendapatkan kehidupan menyenangkan dan surga dunia. Bahka mereka mengatakan bahwa surga para nabi adalah kesuksesan mereka dalam bekerja. Hanya saja setelah uji coba ini telah berlangsung, mereka mengetahui kegagalannya dan kemudian konsep mereka pun menjadi usang. Sebuah sistem dimana mereka telah memaksa orang-orang tunduk di bawah pemerintahannya.
Kedua, negara-negara kapitalis mengambil langkah-lang lain dalam mengentaskan problem kefakiran ini. Untuk mengatasinya, mereka banyak membentuk berbagai yayasan dan organisasi. Seperti Organisasi Palang Merah, Dana Moneter Internasional (IMF), Bang Dunia, organnisasi bantuan pangan dan yasasan-yayasan penyalur bantuan ekonomi dan pangan lainnya kepada negara-negara fakir. Untuk tujuan ini mereka telah mengalokasikan sejumlah anggaran, namun semuanya itu -setidaknya- masih menyisakan dua poin kelemahan; Pertama, pelaksanaannya masih minim dan terbatas sehingga tidak sesuai dengan jumlah penduduk di negara-negara fakir, sehingga tidak mengherankan jika standar angka kefakiran di negara-negara tersebut tidak banyak mengalami perubahan.
Kedua, pemberian bantuan-bantuan tersebut selalu disertai dengan pesan-pesan politik yang apabila negara-negara tersebut menyanggupi pesan-pesannya maka bantuan tersebut akan mereka berikan, dan jika tidak maka bantuan pun tidak akan diberikan. Dan terkadang sejumlah pejabat negara-negara miskin ini mengetahui motip-motip politik di balik bantuan-bantuan ini.44 Dengan demikian upaya sistem kedua pun masih juga belum berhasil mengatasi kefakiran dunia.
Solusi Islam
Solusi terakhir pengentasan kefakiran adalah solusi yang telah ditawarkan Islam. Upaya yang ditawarkan Islam dapat mengatasi celah kefakiran dan meminimalisir jurang pemisah antara kelompok kaya dan miskin.
Solusi ini telah diterapkan pada masa Rosulullah saw, dan itu merupakan keberhasilan pertama dalam sejarah umat manusia saat itu. Keberhasilan itu berupa terciptanya masyarakat yang tidak terbagi-bagi kepada kelas-kelas sosial, atau sebuah masyarakat dengan bentuk perbedaan kelas sosial yang sangat mencolok.
Andaikan kita sekarang dapat menerapkan pesan-pesan dan perintah ilahi dalam masyarakat kita ini, bahkan dalam masyarakat dunia secara keseluruhan, tentunya distribusi kekayaan dapat merata secara adil dan dapat meminimalisir jurang pemisah antara kaya dan fakir di masyarakat dunia ini.
Infak sebagai media pengentasan kemiskinan
Infak merupakan salah satu diantara pesan dan perintah-perintah ilahiah yang agung yang kini menjadi tema pembahasan kita. Sesungguhnya al-Qur`an banyak sekali menekankan infak hingga ia menjadi tema utama kandungan sejumlah ayat. Adapun jumlah seluruh ayat yang berisikan tema infak setidaknya ada tujuh puluh ayat. Jumlah ini menjadi lebih banyak lagi jika kita masukkan ke dalamnya ayat-ayat lain yang secara tidak langsung juga berbicara tentang tema infak.
Allah Swt memerintahkan dalam al-Qur`an agar seseorang menginfakkan bagian yang menjadi hak-Nya dalam kehidupan duniawi ini. Ayat ke 19 pada surat Adz-Dzariyat dengan sangat indah memerintahkan hal ini; "Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian". Berdasarkan pesan ayat ini, sesunggunya di dalam harta orang-orang kaya terdapat hak bagi para fakir dan miskin.
Untuk membuat orang-orang lebih semangat dalam mengeluwarkan infaknya, al-Qur`an melalui beberapa ayatnya mendorongnya dengan gambaran cukup indah;
1. Allah Swt berfirman dalam ayat ke 96 pada surat an-Nahl: "Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan".
Ini sungguh sebuah penggambaran yang luar biasa indah. Gambaran tersebut mengandung makna-makna besar maupun kecil. Ia menjelaskan bahwa apabila seseorang membelanjakan hartanya berjuta-juta, maka berjuta-juta harta yang dikeluwarkannya akan sirna, sementara sedikit saja dari hartanya yang dibelanjakan sebagi infak di jalan Allah Swt, ia akan tetap berada di dalam "bank" Allah yang gaib yang tidak akan pernah sirna. Yang terakhir ini adalah kebiasaan terbalik diantara kebiasaan kebanyakan orang.
2. Terdapat dalam surat an-Naml ayat ke 89 Allah Swt berfirman: "Barangsiapa yang membawa kebaikan, maka ia memperoleh (balasan) yang lebih baik daripadanya, sedang mereka itu adalah orang-orang yang aman tenteram dari kejutan yang dahsyat pada hari itu".
Ayat lain yang berkandungan sama terdapat pada surat al-Qashash ayat 84. Berdasarkan ayat ini, sesungguhnya shadaqah dan infak tidak akan sirna begitu saja, bahkan Allah akan memberikan untuk keduanya sebagai ganti sesuatu yang lebih baik darinya.
3. Allah Swt berfirman dalam surat al-An`am ayat 160 mengangkat nilai sebuah infak; "Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya".
Ayat tersebut berbicara tentang kebaikan secara umum, dan mengingat infak juga termasuk perbuatan baik yang mulia, maka infak pun akan mendapatkan pahala dan balasan sepuluh kali lipat darinya, sebagaimana dijelaskan ayat tersebut.
Adapun ayat 261 dari surat al-Baqarah yang menjadi tema pembahasan di sini telah memposisikan infak pada derajat setinggi mungkin. Infak diumpamakan seperti tangkai-tangkai pohon yang mengandung biji-bijian yang banyak, dan setiap biji-bijian tersebut akan menumbuhkan tumbuhan-tumbuhan yang bayak. Itu artinya bahwa balasan dan pahala infak akan berlipat dan berlipat terus-menerus. Dan untuk menjawab keraguan sebahagian orang tentang kemungkinan dari mana sumber berlipatnya pahala infak, ayat tersebut menjawabnya bahwa sumbernya dari pembendaharaan kekayaan Allah yang besar. Kekayaan yang jauh lebih luas dan besar dari apa yang dapat dibayangkan.
Sasaran-sasaran ayat tersebut
1. Maksud dari kalimat "fîsabilillah" (di jalan Allah) pada ayat tersebut
Istilah fîsabilillah telah dipakai lebih dari 45 kali dalam al-Qur`an. Istilah "`an sabilillah" telah dipakai 25 kali. Pemakaian kata fîsabilillah biasanya dimaksudkan untuk tema-tema ayat tentang jihad. Pada surat Ali Imran ayat ke 169 misalnya, kaliamt fîsabilillah menjelasan ketinggian posisi para syuhada; "Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki". Kalimat fîsabilillah pada ayat ini dimaksudkan untuk jihad, sebagaimana juga ia dimaksudkan untuk hal yang sama pada ayat-ayat lainnya.
Haya saja, pada beberap ayat lain, seperti pada surat Shad ayat 26, kalimat fîsabilillah memiliki makna yang berbeda dengan diatas; "Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah".
Ayat ini melarang Nabi Dawud a.s mengikuti hawa nafsu dalam memutuskan perkara dan menganjurkannya untuk memutuskan perkara pada jalan Allah (fîsabilillah). Yakni memberikan putusan yang adil yang dengannya seorang yang berhak dapat memperoleh haknya.
Atas dasar ini, maka tidaklah dapat dibenarkan pandangan sekelompok orang bahwa maksud dari " fîsabilillah" ialah berinfak untuk jihad saja. Demikian itu karena kalimat tersebut dimaksud sebagai fîsabilillah secara mutlak, baik dalam jihad bersenjata, jihad dalam budaya, jihad dalam memberi kemakmuran penduduk, membangun perpustakaan, memberi bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan, membangun rumah sakit-rumah sakit dan klinik, membangun kantor bank simpan-pinjam, dan lain-lain.
Tentu saja, mengutamakan pertolongan kepada hal-hal yang lebih mendesak dan darurat adalah penting, sebagaimana menggagas bidang ini akan pula menarik orang lain melakukan hal yang serupa dengan cakupan yang lebih luas lagi. Berikut ini akan kami sebutkan dua contoh gagasan tersebut:
Pertama, kantor yang bergerak memberikan bantuan kepada para penghuni penjara yang miskin.
Mayoritas orang-orang yang terpenjara adalah penopang ekonomi keluwarga, dan selama masa tahanan dalam penjara, terutama mereka yang memiliki masa tahanan cukup lama, keluwarga yang ditinggalinya pasti menemui masalah sangat besar. Di satu sisi mereka dililit oleh problem ekonomi (kemiskinan), dan disisi lain mereka dirundung problem-probem sosial dan etika. Karena itu, apabila kita tidak memperhatikan kondisi yang dialami keluwarga orang-orang terpenjara dan kita tidak berhasil menemukan jalan keluwarnya, maka terpenjaranya seorang kepala keluwarga akan melahirkan narapidana-narapidanan dan kriminal lain. Sayangnya hal ini belum mendapatkan perhatian dari masyarakat dan sedikit sekali kita temukan ada orang yang berfikri tentangnya.
Apabila kita bergerak melakukan sebuah aktivitas sosial seperti mendirikan lembaga simpan pinjam, maka gerakan kita ini benar-benar akan banyak membantu problem-problem tersebut, terutama bantuan kepada keluwarga yang ditinggal kepala keluwarganya karena dipenjara, dan kepada para narapidana itu sendiri. Dengan langkah ini berarti kita menyelamatkan masyarakat dari berbagai tindak kekerasan dan kriminal yang memungkinkan dilakukan oleh mereka.
Apabila seseorang dipenjara karena hutang yang dimilikinya, maka lembaga batuan pinjaman ini memberikan bantuan pinjaman sehingga dapat membebaskannya. Dan setelah ia memdapatkan pekerjaan yang layak, ia dapat mengembalikan kembali pinjamannya kepada lembaga ini. Dengan langkah ini berarti kita telah membantu menyelesaikan problemnya dan problem keluwarganya, serta menyelamatkan mereka dari masalah-masalah sosial dan etika yang senantiasa siap menjerumuskannya.
Kedua, lembaga koprasi bantuan untuk orang-orang sakit.
Terdapat banyak sekali orang yang memberikan bantuan kepada orang-orang sakit. Sebagian mereka ada yang membutuhkan perawatan lebih dari sekali dalam seminggu. Selama ini mereka memberikan pertolongan kepada para pengidap sakit keras. Mayoritas dari mereka siap membatu memberi pengobatan jika diberikan kuliah baru. Hanya saja kebanyakan mereka tidak sanggup membayar biyaya perkuliahan baru tersebut. Dalam kondisi seperti ini apabila koprasi bantuan tersebut memberikan bantuan kepada para relawan untuk melanjutkan kuliahnya, berarti koprasi tersebut telah melakukan upaya keras membebaskan dan memberikan pertolongan kepada mereka dari penyakit-penyakit yang dideritanya, dan juga akan akan mengeluwarkan keluwarga-keluwarga mereka dari kondisi kebingungan dan genting.
Sangat memungkinkan dibangun sejumlah lembaga koprasi serupa yang akan memberikan manfaat lebih luas pada langkah dan bidang-bidang lain. Dan demikian itu semua dimaksudkan untuk meminimalisir problem-problem ekonomi dan sosial masyarakat.
2. Maksud dari kalimat "habbah" (biji-bijian) pada ayat tersebut
Banyak sekali pembahasan yang dilakukanpara mufassir seputar makna habbah yang dimaksud dalam ayat tersebut. Dikatakan; maknanya adalah bahwa Allah Swt akan melipatgandakan pahala orang-orang yang dikehendakinya hingga mencapai tujuh ratus kali lipat.45
Perumpamaan seperti ini tidak ada dalam kenyataan aktualnya (luar), namun ini tidak berarti negatif. Perumpamaan seperti ini banyak sekali terjadi dalam perumpamaan atau pribahasa-pribahasa lain, baik dalam bahasa Farsi, Arab atau lainnya. seperti malapetaka dalam bentuk binatang yang dalam kenyataannya tidak biasa digunakan dalam berbagai perubahaan.
Akan tetapi, mengingat perumpamana tersebut berasal dari Allah Swt yang maha bijaksana dan maha Mengetahui, maka Ia pasti akan memiliki wujud aktualnya. Untuk itu, sejumlah ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan "habbah" (biji) pada perumpamaan ayat tersebut adalah biji tanaman sejenis gandum (Dukhn), namun bukan biji gandum, karena biji Dukhn bercabang hingga menghasilkan tujuh ratus biji. Namun belakangan ini perkebunan-perkebunan di kota Bosyahraya (sebuah kota di bagian selatan Iran) satu biji Dukhan dapat menghasilkan empat ribu biji. Karena itu di sini kami mentafsirkan kata "habbah" tersebut dengan biji gandum sekalipun kita dapat menunjukkan tafsiran dalam bentul aktualnya.
3. Maksud dari kalimat "Yudhâfu" (dilipat gandakan) pada ayat tersebut
Apa maksud dari kalimat "Yudhâafu liman yasyâ" (akan dilipat gandakan kepada orang yang Ia kehendaki) berarti bahwa Allah akan memberikan kepada pelaku kebaikan dan orang yang berinfak sesuai kehendak-Nya dengan tanpa ada hitungan yang baku. Ia bisa saja memberikan si A dua kali lipat balasan, sementara si B diberi tiga kali lipat? Atau pelipatan tersebut memiliki standar yang jelas dan baku?
Sesungguhnya hikmah Allah Swt dalam memberikan pahala akan berlaku dengan tanpa hitungan, melainkan secara sewenang-wenang sesuai kehendak-Nya, bahkan hal itu berkaitan dengan perbedaan tingkat keikhlasan, bagaimana proses menginfakkannya, bagaimana benda yang diinfakkan, dan bagaimana orang yang memberi dan yang diberi nya. Artinya bahwa pahala seseorang yang memberi infak secara ikhlas murni karena Allah semata akan berpeda pahalanya dengan pemberi infak lain yang tidak memiliki tingkat keikhlasaan yang sama. Pahala seseorang yang memberi infak secara sembunyi-sembunyi (sir) dengan tanpa cercaan dan kata-kata kasar akan berbeda dengan pemberi infak lain yang berinfak secara terang-terangan. Keduanya berada pada dua martabat berbeda dan bukan pada satu martabat yang sama.
Seorang muslim yang hanya memiliki sebuah roti lalu ia menginfakkan roti tersebut akan berbeda pahalanya dengan orang lain yang menginfakkan roti yang sama namun ia memiliki sepuluh buah roti. Demikian juga seseorang yang membatu sebuah keluwarga miskin yang belum mengungkapkan kebutuhannya kepada orang lain akan berbeda dari seseorang yang memberi bantuan kepada keluwarga yang sebelumnya sudah memohon bantuan darinya.
Saya akan sebutkan sejumlah contoh infak dalam al-Qur`an
Terkait dengan pemberian infak, terdapat nama surat dalam al-Qur`an dengan nama "ad-Dahr", atau "al-Insan", atau "al-Abrar" yang ditunjukkan kepada seseorang yang berinfak secara tulus. Surat-surat ini menggambarkan kenikmatan surga yang terindah kepada para pemberi infak.
Baik para mufassir `am (umum) maupun khas (khusus) semuanya telah meriwayatkan bahwa surat tersebut diturunkan kepada dua orang Imam, al-Hasan dan al-Husain a.s ketika keduanya jatuh sakit. Lalu Imam Ali a.s bernadzar melakukan puasa selama tiga hari untuk kesembuhan kedua putranya. Sayyidah Fathimah a.s pun dan juga pembantunya, Fadhdha ikut serta dalam nadzar ini. Setelah sembuh, mereka semua berpuasa. Pada hari pertama puasa mereka, Fathiman telah mempersiapkan lima potong roti gandum, dan ketika tiba satnya berbuka seorang faqir tiba-tiba datang mengetuk fintu sambil memohon makanan. Maka mereka semua memberikan roti-roti tersebut kepadanya sehingga mereka harus berbuka puasa hanya dengan air putih saja. Pada hari yang kedua, datang kepada mereka seorang anak yatim. Dan pada hari ketiga, datang kepada mereka seorang tawanan perang. Mereka pun memberikan makanan buka puasanya kepada orang itu sebagaimana pada hari pertama. Maka pada hari keempat, turunlah sebuah ayat terkait dengan hak dan keutamaan mereka .46
Ayat tersebut berisikan pujian dan anjuran berinfak, serta janji kenikmataan besar di surga. Ayat ini juga menegaskan bahwa keluwarga mulia tersebut mendapatkan pahala yang besar karena telah menginfakkan lima belas potong roti.
Pada ayat ke 9 dan ke 10 dari surat Ad-Dahr, Allah Swt berfirman; "Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya Kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan".
Contoh-contoh lain yang belum sempat kami sebutkan adalah contoh yang terkait dengan para makmusim a.s, padahal hakikatnya kisah mereka adalah sumber-sumber ajaran yang harus kita jalankan sebagai kaum muslimin untuk menuju kepada sebuah masyarakat islami yang bersih dari kesenjangan kelas ekonomi sosial.
Kita pun dapat menarik kesimpulan dari riwayat dan hadis-hadis yang ada bahwa terhapusnya kefakiran adalah diantara karakteristik khusus sebuah masyarakat Islam yang ideal.
Artinya, jika pada suatu hari nanti kita sampai pada sebuah tatanan masyarakat dengan standar perekonomian cukup tinggi dan dengan tingkat pertumbuhan cukup baik, dimana kekayaan terdistribusikan secara adil dan merata kepada masyarakat Islam di seluruh negara-negara Islam, maka berarti kita telah sampai -dari sisi standar ekonomi- pada sebuah karakter masyarakat muslim ideal.
Keyakinan ini bukanlah sebuah syair, slogan, atau perkataan sentimental dan emosional belaka. Bahkan ia merupakan kandungan riwayat yang dikutif dari Imam ash-Shadiq a.s; Muhamamd bin Muslim meriwayatkan dari sahabat-sahabat Ash-Shadiq a.s, dari beliau a.s, ia berkata: Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menetapkan bagi para faqir dari harta orang-orang kaya yang Allah limpahkan kepada mereka. Andaikan diketahui bahwa semuanya itu tidak akan menambah kekayaan mereka, tentu mereka tidak akan mau mengeluwarkannya dari sisi karena kewajiban dari Allah Azza wa Jallan maun mereka mengeluwarkan kepada orang yang dinilai haknya terhalangi, dan bukan dari apa yang telah Allah wajibkan untuk mereka. Andaikan orang-orang menunaikan hak-haknya, niscaya mereka akan hidup dengan baik .47
Sebuah masyarakat yang di dalamnya terdapat orang-orang fakir, kemiskinan tersebut hendaknya tidak hanya membebani orang-orang miskin saja, melainkan juga menjadi beban bagi seluruh masyarakat tersebut. Sesungguhnya kefakiran adalah sebab diantara berbagai sebab dosa, diantaranya adalah; pencurian, praktek-praktek menjual harga diri, dan lain sebagainya.
Terdapat riwayat lain dari Imam ash-Shadiq a.s; "Seandainya orang-orang menunaikan zakat harta-hartanya, maka tidak akan ada lagi tersisa seorang muslim yang faqir yang membutuhkan kecuali ia berkecukupan dengan (zakat) yang telah Allah wajibkan. Maka tidaklah ada orang-orang yang faqir, membutuhkan, kelaparan, tidak berpakaian kecuali karena dosa orang-orang kaya" .48
Berdasarkan riwayat ini, sesungguhnya kewajiban-kewajiban agama seperti khumus dan zakat dapat menyelesaikan kebutuhan orang-orang yang membutuhkan. Apabila kewajiban-kewajiban ini dilaksanakan secara penuh, maka problem krusial ini akan diangkat dari akar-akarnya secara sempurna.
Di sini timbul sebuah pertanyaan, apa fungsi infak dan bantuan yang sunah sifatnya jika kebutuhan orang-orang fakir sudah dapat teratasi oleh infak-infak yang wajib? Dan berdasarkan ini, lalu apa fungsi ayat 261 pada surat al-Baqarah yang kandungannya terkait dengan hal ini?
Kita dapat menjawab pertanyaan ini dengan dua cara; Pertama, orang-orang kaya dan berharta terkadang melupakan kewajiban agama mereka dan tidak menunaikan kewajiban zakatnya. Sebagaimana kondisi ini terjadi pada masa kita sekarang, dimana orang-orang yang dan berduit tidak mau menunaikan kewajiban zakatnya. Dalam kondisi seperti ini tibalah saatnya peran shadaqah dan infak-infak yang sunnah untuk mengisi kekosongan yang ada karena orang-orang kaya tidak menunaikan sadaqah-saadaqah wajibannya.
Atas dasar ini, orang-orang mukmin wajib mengambil alih peranan orang-orang kaya yang durhaka dan menanggung hasil ulah-ulah kemaksiatannya karena tidak lagi mau menunaikan kewajiban-kewajiban sadaqahnya.
Kedua, sesungguhnya zakat dan sadaqah-sadaqah wajib lain yang diwajibkan kepada orang-orang kaya dapat menjawab kebutuhan mendesak orang-orang faqir jika mereka menunaikannya, sementara infak berfungsi mengantarkan orang-orang faqir pada standar kehidupan yang lebih layak dan pantas.
Kesimpulannya, apabila kita melihat tingkat kefakiran dan jenisnya dalam sebuah masyarakat telah berkurang, maka kita dapat menyimpulkan berdasarkan standar minimal yang kita miliki bahwa ia adalah wajah masyarakat Islami yang dicita-citakan.
4. Analisa terhadap perumpamaan dalam ayat infak tersebut.
Para mufassir memiliki dua pandangan terkait perumpamaan yang terdapat dalam ayat 261 surat al-Baqarah. Sebagian berpandangan bahwa itu adalah harta yang diinfakkan dimana ia diserupakan dengan biji-bijian yang berkah yang dihasilkan darinya tujuh ratus biji lainnya.
Sebagain lainnya berpandangan bahwa perumpamana itu dimaksudkan kepada pemberi infak dimana ia akan tumbuh dan menjadi lebih sempurna kepada derajat yang sangat tinggi. Namun mayoritas mufassir lebih cendrung kepada tafsiran pertama bahwa ia dimaksudkan terhadap harta yang diinfakkan, dan mereka berkesimpulan adanya satu kalimat yang dibuang disini, sehingga redaksi kalimatnya menjadi; "(mitslu amwaalil ladziina yunfiquuna...) seperti harta-harta mereka yang menginfakkan....".
Kami meyakini bahwa ayat tersebut tidak perlu ditambahkan redaksinya, dan berdasarkan redaksi tekstualnya berati bahwa yang dimaksud dengan yang diperumpamakan adalah manusia pemberi infak yang kepribadianya meningkat, menjadi sempurna, dan tumbuh tujuh ratus kali lipat. Dan bukti keyakinan ini didukung oleh sejumlah riwayat dan ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa manusia laksana tumbuhan yang tumbuh dan berkembang menjadi sempurna;
Pertama, adalah firman Allah Swt dalam surat Nuh ayat 17 dan 18; "Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya, kemudian Dia mengembalikan kamu ke dalam tanah dan mengeluarkan kamu (daripadanya pada hari kiamat) dengan sebenar-benarnya". Dalam ayat ini manusia diumpamakan seperti tumbuhan yang tumbuh, berkembang dan menjadi sempurna, lalu mengering (mati), kemudian hidup kembali untuk kali berikutnya, kemudian mati lagi, hidup lagi dan demikian seterusnya.
Kedua, adalah firman Allah Azza wa Jalla dalam surat Ali Imran ayat 37; "Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab".
Dalam ayat ini sejumlah komponen tumbuhan dipakai sebagai isyarat kepada pendidikan Maryam oleh Zakariyyah. Sebagai buktinya ialah pendidikan seseorang diumpamakan seperti tumbuhnya pepohonan setelah dilakukan perawatan.
Ketiga, terdapat sebuah hadis yang diriwayatkan dari Rosulullah Saw: "Hati-hatilah kalian dengan sayur-sayuran hijau di tempat sampah", (sebuah peribahasa yang artinya; seorang wanita berwajah cantik namun hatinya busuk, penej). Dikatakan: apa yang dimaksud dengan "seorang wanita berwajah cantik sementara hatinya busuk" itu? Beliau Saw bersabda: Perempuan-perempuan yang tumbuh ditempat yang tidak baik".49 Dalam hadis ini seseorang diperumpamakan seperti tumbuhan yang tumbuh di tempat yang kotor/salah.
Dari sisi lain, hadis ini mengandung sebuah sasaran yang jelas dan pesan yang penting kepada seorang pemuda yang hendak membangun sebuah rumah tangga. Dalam hadis ini Rosulullah Saw berwasiat kepada seorang mukmin agar tidak menjadikan kecantikan wajah sebagai standar satu-satunya dalam memilih calon istri, namun sebagai tambahan harus juga melihat kepada kondisi keluwarganya. Yakni lingkungan dimana ia tumbuh. Demikian itu, karena kecantikan memang bernilai, namun ia hanya berlaku pada saat-saat pertama yang singkat saja dibanding dengan perjalanan seluruh rentang waktu sebuah rumah tangga.
Adapun nilai-nilai fundamental dan penting dalam kehidupan rumah tangga ialah pendidikan, budaya, cara berfikir, nilai-nilai yang ada dalam sebuah rumah yang kemudian akan muncul peranannya pada tahap-tahap kehidupan seseorang berikutnya. Yang bagus adalah jika perjalanan hidup yang baik dan etika yang bagus yang meliputi sebuah keluwarga suci tidak berubah menjadi neraka jahannam yang sulit dipikulnya.
Sebagaimana telah kita saksikan dalam ayat-ayat dan riwayat tadi, seseorang benar-benar mirip seperti tumbuhan yang tumbuh dan berkembang. Dan dengan alasan ini maka dapat disimpulakn bahwa yang dimaksud dengan yang diserupakan dalam ayat tersebut adalah manusia itu sendiri, sehingga pengertian ayat ini dapat disimpulkan sebagai berikut; Wahai mansuia, engkau bagaikan tumbuh-tumbuhan, dan infak bagaikan air yang dipakai untuk menyiraminya sehingga ia dapat tumbuh dan berkembang. Dengan gambaran lain, sesungguhnya infak dapat menghidupkan sifat-sifat mulia pada diri seseorang, seperti kedermawanan, rasa peduli, keberanian, keadilan, kejujuran, dan lain sebagainya.
Pada mulanya sifat-sifat ini hanyalah sebuah potensi atau sebuah amal yang insidental. Namun apabila ia dilakukan secara berulang-ulang ia akan menjadi sebuah kebiasaan. Kemudian jika terus berlangsung secara kontinyu akan berubah menjadi karakter, dan pada akhirnya akan berubah menjadi subuah malakah (naluri) dan bagian tidak terpisahkan dari keberadaan seseorang.
Berdasarkan hal ini, maka infak sebelum menjadi sebuah keuntungan material, ia memiliki keuntungan-keuntungan non-material. Yaitu setiap kali infak dilakungan dengan lebih ikhlas, ketika ia dilakukan dengan lebih jelas dan lebih dekat, maka setiap kali itu pula keuntungan-keuntungannya menjadi lebih besar dan lebih luas. Kita semua tentu pernah mencoba memberikan infak kepada seorang miskin sebelum ia menjelaskan jumlah kebutuhannya berapa kepada kita, maka pada saat itu kita menemukan sebuah kelezatan non-materil yang kita rasakan dengan segenap keberadaan kita. Semua itu telah memberikan efek ketenangan batin dan secara khusus memberikan ketentraman spiritual.
Itulah pertumbuhan dan perkembangan yang dimaksudkan oleh ayat tersebut. Sesungguhnya Allah Yang Maha Bijaksana berkuasa membuat semua orang menjadi kaya dan menghilangkan seluruh akar kemiskinan dari masyarakat. Namun Ia Swt berkehendak agar terjadi pertumbuhan dinamis antara orang-orang faqir dan kaya. Orang -orang mukmin akan berusaha menunaikannya sehingga mereka dapat melihat efek perbuatan-perbuatan baiknya dan berkah infak-infaknya di dunia ini. Mereka juga dapat merasakan efek-efek ini hingga sampai kepada derajat yang tinggi, kemuliaan dan kelezatan maknawi. Atas dasar ini, maka kita tidak perlu mengungkit-ngungkit infak dan orang yang diberinya kepada Allah, dan Allah akan ridha kepada kita atas amal yang agung ini. Semoga Allah merestui kita.
Dari sejumlah perjelasan tadi, kami dapat secara terbuka mentafsirkan ayat 161 dari surat al-Baqarah dengan tanpa perlu merubah redaksinya. Demikian itu tidaklah berarti kami menolak keritikan terhadap penafsiran kami, bahkan kami menganggap bahwa kedua penafsiran tersebut dapat diterima. Artinya kami dapat menyimpulkan bahwa ayat tersebut mengatakan bahwa harta yang diinfakkan dapat berkembang menjadi sempurna, dan demikian pula orang yang menginfakkannya akan tumbuh dan berkembang dalam bentuk perolehan kebaikan yang dikhususkan untuknya.
Pertumbuhan harta yang diinfakkan dalam sabda Rosulullah Saw
Terkait dengan pertumbuhan harta yang diinfakkan, terdapat sabda Rosulullah Saw yang sangat indah yang akan kami kutifkan di sini. "Tidaklah seseorang bershadaqah dengan shadaqah yang baik -dan Allah hanya akan menerima shadaqah yang baik- kecuali Allah yang maha kasih akan menjadikannya berada di samping kanan-Nya. Dan apabila ia berupa kurma, maka ia akan dijadikan berada dalam genggaman-Nya sehingga membentuk sebuah gunung yang besar".50
Dalam hadis ini kita menemukan sejumlah poin yang layak kita simak. Pertama, hadis tersebut menjelaskan bahwa Allah akan menempatkan shadaqah berada di samping kanan-Nya. Hal ini memancing sebuah pertanyaan, apakah Allah memiliki jisim dan anggota badan?
Jawabanya jelas bahwa Allah Swt tidaklah memiliki jism atau tubuh, dan kalimat "menempatkannnya berada disamping kanan-Nya" dimaksudkan sebagai kiasan terhadap kekuasaan dan kesempurnaan-Nya, karena dalam kebiasaan manusia, bagian kanan merupakan simbol yang paling kuat. Untuk itu kita dapat memahami kiasan tersebut bahwa Allah akan mengambil shadaqah dengan kesempurnaan kekuasaan-Nya disertai sebuah penghormatan.
Kedua, sesungguhnya poin terpenting yang menjadi perhatian Islam adalah bagaimana kwalitas dan faktor apa yang melatarbelakangi sebuah amal, dan bukan pada kuantitas dan bentuk lahirnya. Karerna itu, memberi kurma yang halal kepada seorang miskin dengan tanpa disertai cemoohan dan kata-kata menyakitkan adalah jauh lebih utama disisi Allah dibanding memberi kurma yang banyak yang tidak halal atau disertai perkataan mencemooh dan menyakitkan penerimanya.
Ketiga, dengan merujuk kepada hadis diatas, sesungguhnya sebuah harta yang diinfakkan akan tumbuh berlipat menjadi tujuh ratus buah atau bahkan lebih dari itu. Dan atas dasar ini pula dapat disimpulkan bahwa sebuah harta yang ada pada sisi Allah Swt akan terus tumbuh dan kembali kepada pemiliknya hingga hari kiamat, sehingga menjadi sebab penyelamat baginya dari api jahannam.
Infak dalam gambaran al-Qur`an yang indah
Untuk menjelaskan pentingnya berinfak dalam Islam dan nilai pentingnya di dalam al-Qur`an, terdapat sejumlah ungkapan dan keterangan dalam al-Qur`an yang terkait dengannya, dan itu merupakan bahan cukup penting untuk meneliti dan mengkajinya. Namun di sini kami hanya akan menunjukkan sebagian contohnya saja;
Pertama, terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 245 sebagaimana berikut; "Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan".
Ungkapan "pinjaman yang baik" atau qardan hasana terhadap infak merupakan ungkapan yang sangat brilian dan cerdas. Bagaimana mungkin Allah Swt yang Maha Kuasa dan Maha Memiliki segala sesuatu akan meminjam sesuatu kepada seorang manusia yang faqir dan butuh kepada Tuhannya dalam setiap langkah dan gerakannya, bahkan pada saat menarik dan melepas nafasnya? Dan dan apalagi diharamkan pinjaman berbungan (riba) dalam Islam. Penggambaran infak dengan " pinjaman yang baik" tidak lain dimaksudkan sebagai ungkapan betapa penting nilai sebuah infak dan dorongan kepada para hamba untuk melakukannya secara ikhlas.
Membahas poin yang satu ini cukup penting, karena pinjaman riba kembali kepada prilaku para hamba, sementara pinjaman yang baik kembali kepada Tuhan para hamba. Yakni bahwa seseorang yang memberi pinjaman kepada Allah, maka Allah akan mengembalikan pinjamannya dengan berlipat-lipat ganda. Poin pentingnya di sini ialah ungkapan bahwa tangan seorang fakir -berdasarkan riwayat-riwayat dan ayat tersebut- adalah tangan Allah dan rumhanya adalah rumah Allah. Dan pada hakikatnya, apa yang diberikan kepada tangan seorang fakir adalah diberikan kepada tangan Allah.
Untuk itu riwayat-riwayat tersebut memesankan kepada kita akan meletakkan tangan-tangan kita pada tingkat lebih rendah dari tangan seorang fakir ketika memberikan shadaqah kepadanya, sehingga ia dapat mengambilnya dari tangan-tangan kita. Demikian itu juga karena tangannya adalah tangan Allah dan kekuasaan-Nya yang sempurna, dan tangan itulah yang menyebabkan shadaqah seseorang akan diterima. Maka berhari-hatilah dari menghardik dan menghina seorang faqir.
Ungkapan yang sama juga banyak terulang dalam al-Qur`an, seperti pada surat al-Hadid ayat ke 11; "Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak".
Kedua, terdapat dalam surat Ali Imran ayat ke 92; "Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya".
Juga terapat dalam surat al-Baqarah ayat ke 268 sebagaimana berikut: "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".
Yakni agar kita tidak menginfakkan sesuatu kecuali yang baik, dan jangan berinfak dengan sesuatu yang tidak ada lagi manfaatnya, atau dengan sesuatu yang membahayakan seperti pakaian tidak layak pakai dan buah-buahan serta makanan yang sudah membusuk, atau barang-barang buruk lain yang serupa dengannya. Ayat tersebut bahkan beranjak lebih jauh dari itu, dengan perintah menginfakkan sesuatu yang paling dicintai seseorang dan sesuatu yang layak untuk diberikan kepada tangan Allah, sementara selain itu tidaklah pantas diberikan kepada-Nya. Berinfak dengan makanan hendaklah dilakukan dengan makanan yang paling disukai pemberi dan keluwarganya, dan infak baju hendaknya dilakukan dengan memberikan jenis baju yang disukai olehnya dan oleh keluwarganya.
Sesungguhnya standar nilai yang berlaku dalam Islam menjelaskan bahwa ketentuan Islam memberi penilain terhadap sebuah amal berdasarkan kualitasnya dan bukan kuantitasnya. Karena itu, Allah Swt melipatgandakan kebaikan pada sebuah kurma tertentu dengan seribu kali lipat, sementara hal yang sama tidak berlaku pada kurma lain karena dihasilkan dari proses yang tidak halal atau dilakukan karena ria dan niatan buruk semisalnya. Disini kami akan tuliskan sebuah cerita dari Rosulullah Saw yang akan menyingkap berbagai sisi sebuah infak.
Rosulullah Saw menyiapkan peralatan untuk salah satu peperangannya dan kaum muslimn menyumbangkan sesuatu untuk persiapan perang ini. Maka datanglah seseorang dan mensadaqahkan sesuatu dengan jumlah yang banyak. Lalu mereka berkata: munafik. Perkataan ini muncul dari orang-orang munafik yang tidak seorang pun akan percaya dengan ucapannya. Kemudian datanglah Abu `Aqil yang tidak memiliki sesuatu untuk disadaqahkan. Namun pada malam harinya ia mekasakan diri ikut serta dalam kegiatan masyarakat ini dengan memberikan setengah sha` gandum. Lalu orang-orang munafik berkata: Allah tidak butuh dengan ukuran sodakah seperti ini. Maka turunlah ayat ke 79 dari surat at-Taubah sebagai berikut:
"(Orang-orang munafik) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih".51
Infak
Allah SWT berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 261 sebagai berikut: "Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui".
Pembahasan
Ayat tersebut berbicara tentang infak yang dikeluarkan di jalan Allah dengan sebuah perumpamaan agung. Kefaqiran adalah masalah yang benar-benar problematik, dan umat manusia sepanjang sejarahnya tidak pernah terlepas dari problem krusial ini dengan berbagai macam derivasi bentuknya. Problem kefakiran ini sebenarnya berumber dari tidak adanya keadilan dalam pemerataan kekayaan, dan ini menjadi pemicu terbaginya umat manusi kepada kelompok kaya dan miskin.
Sejarah menyaksikan bahwa di sana terdapat sejumlah orang kaya seperti Karun yang memiliki kekayaan melimpah luar biasa, dimana kunci-kunci tempat penyimpanan kekayannya saja perlu dipandu oleh sejumlah orang-orang perkasa.43 Di sisi lain terdapat sejumlah orang yang membutuhkan sesuap nasi (roti) dan menanggung baban ini sepanjang malam harin. Problem seperti ini benar-benar terjadi di masa kita sekarang ini.
Sebagai contoh kami akan sebutkan bahwa sejumlah catatan statistik menyebutkan bahwa 80% kekayaan bumi hanya dapat dinikmati oleh sekitar 20% orang saja. Artinya apabila jumlah umat manusia di muka bumi ini sekitar lima milyar jiwa, maka 80% tidak dapat menikmati kekayaan bumi, dan sisa 20% lainnya bisa menikmati dan terbagi pada empat milyar orang saja.
Dengan gambaran lain, apabila penduduk negara-negara industri berkisar satu milyar jiwa, maka sejumlah satu milyar jiwa ini menjadi pemiliki empat perlima kekayaan bumi, dan seperlima lainnya terbagi kepada milyaran sisa penduduk lainnya. Dan yang mengherankan disini ialah semakin bertambanya jurang perbedaan dari hari ke hari antara orang kaya dan dan orang miskin.
Cara mengentaskan kefakiran
Untuk mengatasi problem krusial ini, semenjak dahulu para ulama telah mengajukan cara pengentasannya. Selama ini umat manusia telah mencoba dua cara untuk mengatasi problem ini; Pertama, orang-orang sosialis dan komunis yang meyakini bahwa problem kefairan berhasil kita temukan akar penyebabnya dari kepemilikan pribadi. Maka apabila kita berhasil menyingkirkan akar penyebabnya, kita pun akan berhasil mengatasinya.
Para penganut pandangan ini telah mencoba menerapkan teorinya semenjak tujuh puluh tahun silam. Dalam pelaksanaannya, jutaan orang telah menjadi korban. Mereka telah menggunakan banyak bakteri untuk membunuh, melakukan pemaksaan berat, dan memberikan janji-janji palsu kepada orang-orang.
Mereka dijanjikan akan mendapatkan kehidupan menyenangkan dan surga dunia. Bahka mereka mengatakan bahwa surga para nabi adalah kesuksesan mereka dalam bekerja. Hanya saja setelah uji coba ini telah berlangsung, mereka mengetahui kegagalannya dan kemudian konsep mereka pun menjadi usang. Sebuah sistem dimana mereka telah memaksa orang-orang tunduk di bawah pemerintahannya.
Kedua, negara-negara kapitalis mengambil langkah-lang lain dalam mengentaskan problem kefakiran ini. Untuk mengatasinya, mereka banyak membentuk berbagai yayasan dan organisasi. Seperti Organisasi Palang Merah, Dana Moneter Internasional (IMF), Bang Dunia, organnisasi bantuan pangan dan yasasan-yayasan penyalur bantuan ekonomi dan pangan lainnya kepada negara-negara fakir. Untuk tujuan ini mereka telah mengalokasikan sejumlah anggaran, namun semuanya itu -setidaknya- masih menyisakan dua poin kelemahan; Pertama, pelaksanaannya masih minim dan terbatas sehingga tidak sesuai dengan jumlah penduduk di negara-negara fakir, sehingga tidak mengherankan jika standar angka kefakiran di negara-negara tersebut tidak banyak mengalami perubahan.
Kedua, pemberian bantuan-bantuan tersebut selalu disertai dengan pesan-pesan politik yang apabila negara-negara tersebut menyanggupi pesan-pesannya maka bantuan tersebut akan mereka berikan, dan jika tidak maka bantuan pun tidak akan diberikan. Dan terkadang sejumlah pejabat negara-negara miskin ini mengetahui motip-motip politik di balik bantuan-bantuan ini.44 Dengan demikian upaya sistem kedua pun masih juga belum berhasil mengatasi kefakiran dunia.
Solusi Islam
Solusi terakhir pengentasan kefakiran adalah solusi yang telah ditawarkan Islam. Upaya yang ditawarkan Islam dapat mengatasi celah kefakiran dan meminimalisir jurang pemisah antara kelompok kaya dan miskin.
Solusi ini telah diterapkan pada masa Rosulullah saw, dan itu merupakan keberhasilan pertama dalam sejarah umat manusia saat itu. Keberhasilan itu berupa terciptanya masyarakat yang tidak terbagi-bagi kepada kelas-kelas sosial, atau sebuah masyarakat dengan bentuk perbedaan kelas sosial yang sangat mencolok.
Andaikan kita sekarang dapat menerapkan pesan-pesan dan perintah ilahi dalam masyarakat kita ini, bahkan dalam masyarakat dunia secara keseluruhan, tentunya distribusi kekayaan dapat merata secara adil dan dapat meminimalisir jurang pemisah antara kaya dan fakir di masyarakat dunia ini.
Infak sebagai media pengentasan kemiskinan
Infak merupakan salah satu diantara pesan dan perintah-perintah ilahiah yang agung yang kini menjadi tema pembahasan kita. Sesungguhnya al-Qur`an banyak sekali menekankan infak hingga ia menjadi tema utama kandungan sejumlah ayat. Adapun jumlah seluruh ayat yang berisikan tema infak setidaknya ada tujuh puluh ayat. Jumlah ini menjadi lebih banyak lagi jika kita masukkan ke dalamnya ayat-ayat lain yang secara tidak langsung juga berbicara tentang tema infak.
Allah Swt memerintahkan dalam al-Qur`an agar seseorang menginfakkan bagian yang menjadi hak-Nya dalam kehidupan duniawi ini. Ayat ke 19 pada surat Adz-Dzariyat dengan sangat indah memerintahkan hal ini; "Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian". Berdasarkan pesan ayat ini, sesunggunya di dalam harta orang-orang kaya terdapat hak bagi para fakir dan miskin.
Untuk membuat orang-orang lebih semangat dalam mengeluwarkan infaknya, al-Qur`an melalui beberapa ayatnya mendorongnya dengan gambaran cukup indah;
1. Allah Swt berfirman dalam ayat ke 96 pada surat an-Nahl: "Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan".
Ini sungguh sebuah penggambaran yang luar biasa indah. Gambaran tersebut mengandung makna-makna besar maupun kecil. Ia menjelaskan bahwa apabila seseorang membelanjakan hartanya berjuta-juta, maka berjuta-juta harta yang dikeluwarkannya akan sirna, sementara sedikit saja dari hartanya yang dibelanjakan sebagi infak di jalan Allah Swt, ia akan tetap berada di dalam "bank" Allah yang gaib yang tidak akan pernah sirna. Yang terakhir ini adalah kebiasaan terbalik diantara kebiasaan kebanyakan orang.
2. Terdapat dalam surat an-Naml ayat ke 89 Allah Swt berfirman: "Barangsiapa yang membawa kebaikan, maka ia memperoleh (balasan) yang lebih baik daripadanya, sedang mereka itu adalah orang-orang yang aman tenteram dari kejutan yang dahsyat pada hari itu".
Ayat lain yang berkandungan sama terdapat pada surat al-Qashash ayat 84. Berdasarkan ayat ini, sesungguhnya shadaqah dan infak tidak akan sirna begitu saja, bahkan Allah akan memberikan untuk keduanya sebagai ganti sesuatu yang lebih baik darinya.
3. Allah Swt berfirman dalam surat al-An`am ayat 160 mengangkat nilai sebuah infak; "Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya".
Ayat tersebut berbicara tentang kebaikan secara umum, dan mengingat infak juga termasuk perbuatan baik yang mulia, maka infak pun akan mendapatkan pahala dan balasan sepuluh kali lipat darinya, sebagaimana dijelaskan ayat tersebut.
Adapun ayat 261 dari surat al-Baqarah yang menjadi tema pembahasan di sini telah memposisikan infak pada derajat setinggi mungkin. Infak diumpamakan seperti tangkai-tangkai pohon yang mengandung biji-bijian yang banyak, dan setiap biji-bijian tersebut akan menumbuhkan tumbuhan-tumbuhan yang bayak. Itu artinya bahwa balasan dan pahala infak akan berlipat dan berlipat terus-menerus. Dan untuk menjawab keraguan sebahagian orang tentang kemungkinan dari mana sumber berlipatnya pahala infak, ayat tersebut menjawabnya bahwa sumbernya dari pembendaharaan kekayaan Allah yang besar. Kekayaan yang jauh lebih luas dan besar dari apa yang dapat dibayangkan.
Sasaran-sasaran ayat tersebut
1. Maksud dari kalimat "fîsabilillah" (di jalan Allah) pada ayat tersebut
Istilah fîsabilillah telah dipakai lebih dari 45 kali dalam al-Qur`an. Istilah "`an sabilillah" telah dipakai 25 kali. Pemakaian kata fîsabilillah biasanya dimaksudkan untuk tema-tema ayat tentang jihad. Pada surat Ali Imran ayat ke 169 misalnya, kaliamt fîsabilillah menjelasan ketinggian posisi para syuhada; "Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki". Kalimat fîsabilillah pada ayat ini dimaksudkan untuk jihad, sebagaimana juga ia dimaksudkan untuk hal yang sama pada ayat-ayat lainnya.
Haya saja, pada beberap ayat lain, seperti pada surat Shad ayat 26, kalimat fîsabilillah memiliki makna yang berbeda dengan diatas; "Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah".
Ayat ini melarang Nabi Dawud a.s mengikuti hawa nafsu dalam memutuskan perkara dan menganjurkannya untuk memutuskan perkara pada jalan Allah (fîsabilillah). Yakni memberikan putusan yang adil yang dengannya seorang yang berhak dapat memperoleh haknya.
Atas dasar ini, maka tidaklah dapat dibenarkan pandangan sekelompok orang bahwa maksud dari " fîsabilillah" ialah berinfak untuk jihad saja. Demikian itu karena kalimat tersebut dimaksud sebagai fîsabilillah secara mutlak, baik dalam jihad bersenjata, jihad dalam budaya, jihad dalam memberi kemakmuran penduduk, membangun perpustakaan, memberi bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan, membangun rumah sakit-rumah sakit dan klinik, membangun kantor bank simpan-pinjam, dan lain-lain.
Tentu saja, mengutamakan pertolongan kepada hal-hal yang lebih mendesak dan darurat adalah penting, sebagaimana menggagas bidang ini akan pula menarik orang lain melakukan hal yang serupa dengan cakupan yang lebih luas lagi. Berikut ini akan kami sebutkan dua contoh gagasan tersebut:
Pertama, kantor yang bergerak memberikan bantuan kepada para penghuni penjara yang miskin.
Mayoritas orang-orang yang terpenjara adalah penopang ekonomi keluwarga, dan selama masa tahanan dalam penjara, terutama mereka yang memiliki masa tahanan cukup lama, keluwarga yang ditinggalinya pasti menemui masalah sangat besar. Di satu sisi mereka dililit oleh problem ekonomi (kemiskinan), dan disisi lain mereka dirundung problem-probem sosial dan etika. Karena itu, apabila kita tidak memperhatikan kondisi yang dialami keluwarga orang-orang terpenjara dan kita tidak berhasil menemukan jalan keluwarnya, maka terpenjaranya seorang kepala keluwarga akan melahirkan narapidana-narapidanan dan kriminal lain. Sayangnya hal ini belum mendapatkan perhatian dari masyarakat dan sedikit sekali kita temukan ada orang yang berfikri tentangnya.
Apabila kita bergerak melakukan sebuah aktivitas sosial seperti mendirikan lembaga simpan pinjam, maka gerakan kita ini benar-benar akan banyak membantu problem-problem tersebut, terutama bantuan kepada keluwarga yang ditinggal kepala keluwarganya karena dipenjara, dan kepada para narapidana itu sendiri. Dengan langkah ini berarti kita menyelamatkan masyarakat dari berbagai tindak kekerasan dan kriminal yang memungkinkan dilakukan oleh mereka.
Apabila seseorang dipenjara karena hutang yang dimilikinya, maka lembaga batuan pinjaman ini memberikan bantuan pinjaman sehingga dapat membebaskannya. Dan setelah ia memdapatkan pekerjaan yang layak, ia dapat mengembalikan kembali pinjamannya kepada lembaga ini. Dengan langkah ini berarti kita telah membantu menyelesaikan problemnya dan problem keluwarganya, serta menyelamatkan mereka dari masalah-masalah sosial dan etika yang senantiasa siap menjerumuskannya.
Kedua, lembaga koprasi bantuan untuk orang-orang sakit.
Terdapat banyak sekali orang yang memberikan bantuan kepada orang-orang sakit. Sebagian mereka ada yang membutuhkan perawatan lebih dari sekali dalam seminggu. Selama ini mereka memberikan pertolongan kepada para pengidap sakit keras. Mayoritas dari mereka siap membatu memberi pengobatan jika diberikan kuliah baru. Hanya saja kebanyakan mereka tidak sanggup membayar biyaya perkuliahan baru tersebut. Dalam kondisi seperti ini apabila koprasi bantuan tersebut memberikan bantuan kepada para relawan untuk melanjutkan kuliahnya, berarti koprasi tersebut telah melakukan upaya keras membebaskan dan memberikan pertolongan kepada mereka dari penyakit-penyakit yang dideritanya, dan juga akan akan mengeluwarkan keluwarga-keluwarga mereka dari kondisi kebingungan dan genting.
Sangat memungkinkan dibangun sejumlah lembaga koprasi serupa yang akan memberikan manfaat lebih luas pada langkah dan bidang-bidang lain. Dan demikian itu semua dimaksudkan untuk meminimalisir problem-problem ekonomi dan sosial masyarakat.
2. Maksud dari kalimat "habbah" (biji-bijian) pada ayat tersebut
Banyak sekali pembahasan yang dilakukanpara mufassir seputar makna habbah yang dimaksud dalam ayat tersebut. Dikatakan; maknanya adalah bahwa Allah Swt akan melipatgandakan pahala orang-orang yang dikehendakinya hingga mencapai tujuh ratus kali lipat.45
Perumpamaan seperti ini tidak ada dalam kenyataan aktualnya (luar), namun ini tidak berarti negatif. Perumpamaan seperti ini banyak sekali terjadi dalam perumpamaan atau pribahasa-pribahasa lain, baik dalam bahasa Farsi, Arab atau lainnya. seperti malapetaka dalam bentuk binatang yang dalam kenyataannya tidak biasa digunakan dalam berbagai perubahaan.
Akan tetapi, mengingat perumpamana tersebut berasal dari Allah Swt yang maha bijaksana dan maha Mengetahui, maka Ia pasti akan memiliki wujud aktualnya. Untuk itu, sejumlah ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan "habbah" (biji) pada perumpamaan ayat tersebut adalah biji tanaman sejenis gandum (Dukhn), namun bukan biji gandum, karena biji Dukhn bercabang hingga menghasilkan tujuh ratus biji. Namun belakangan ini perkebunan-perkebunan di kota Bosyahraya (sebuah kota di bagian selatan Iran) satu biji Dukhan dapat menghasilkan empat ribu biji. Karena itu di sini kami mentafsirkan kata "habbah" tersebut dengan biji gandum sekalipun kita dapat menunjukkan tafsiran dalam bentul aktualnya.
3. Maksud dari kalimat "Yudhâfu" (dilipat gandakan) pada ayat tersebut
Apa maksud dari kalimat "Yudhâafu liman yasyâ" (akan dilipat gandakan kepada orang yang Ia kehendaki) berarti bahwa Allah akan memberikan kepada pelaku kebaikan dan orang yang berinfak sesuai kehendak-Nya dengan tanpa ada hitungan yang baku. Ia bisa saja memberikan si A dua kali lipat balasan, sementara si B diberi tiga kali lipat? Atau pelipatan tersebut memiliki standar yang jelas dan baku?
Sesungguhnya hikmah Allah Swt dalam memberikan pahala akan berlaku dengan tanpa hitungan, melainkan secara sewenang-wenang sesuai kehendak-Nya, bahkan hal itu berkaitan dengan perbedaan tingkat keikhlasan, bagaimana proses menginfakkannya, bagaimana benda yang diinfakkan, dan bagaimana orang yang memberi dan yang diberi nya. Artinya bahwa pahala seseorang yang memberi infak secara ikhlas murni karena Allah semata akan berpeda pahalanya dengan pemberi infak lain yang tidak memiliki tingkat keikhlasaan yang sama. Pahala seseorang yang memberi infak secara sembunyi-sembunyi (sir) dengan tanpa cercaan dan kata-kata kasar akan berbeda dengan pemberi infak lain yang berinfak secara terang-terangan. Keduanya berada pada dua martabat berbeda dan bukan pada satu martabat yang sama.
Seorang muslim yang hanya memiliki sebuah roti lalu ia menginfakkan roti tersebut akan berbeda pahalanya dengan orang lain yang menginfakkan roti yang sama namun ia memiliki sepuluh buah roti. Demikian juga seseorang yang membatu sebuah keluwarga miskin yang belum mengungkapkan kebutuhannya kepada orang lain akan berbeda dari seseorang yang memberi bantuan kepada keluwarga yang sebelumnya sudah memohon bantuan darinya.
Saya akan sebutkan sejumlah contoh infak dalam al-Qur`an
Terkait dengan pemberian infak, terdapat nama surat dalam al-Qur`an dengan nama "ad-Dahr", atau "al-Insan", atau "al-Abrar" yang ditunjukkan kepada seseorang yang berinfak secara tulus. Surat-surat ini menggambarkan kenikmatan surga yang terindah kepada para pemberi infak.
Baik para mufassir `am (umum) maupun khas (khusus) semuanya telah meriwayatkan bahwa surat tersebut diturunkan kepada dua orang Imam, al-Hasan dan al-Husain a.s ketika keduanya jatuh sakit. Lalu Imam Ali a.s bernadzar melakukan puasa selama tiga hari untuk kesembuhan kedua putranya. Sayyidah Fathimah a.s pun dan juga pembantunya, Fadhdha ikut serta dalam nadzar ini. Setelah sembuh, mereka semua berpuasa. Pada hari pertama puasa mereka, Fathiman telah mempersiapkan lima potong roti gandum, dan ketika tiba satnya berbuka seorang faqir tiba-tiba datang mengetuk fintu sambil memohon makanan. Maka mereka semua memberikan roti-roti tersebut kepadanya sehingga mereka harus berbuka puasa hanya dengan air putih saja. Pada hari yang kedua, datang kepada mereka seorang anak yatim. Dan pada hari ketiga, datang kepada mereka seorang tawanan perang. Mereka pun memberikan makanan buka puasanya kepada orang itu sebagaimana pada hari pertama. Maka pada hari keempat, turunlah sebuah ayat terkait dengan hak dan keutamaan mereka .46
Ayat tersebut berisikan pujian dan anjuran berinfak, serta janji kenikmataan besar di surga. Ayat ini juga menegaskan bahwa keluwarga mulia tersebut mendapatkan pahala yang besar karena telah menginfakkan lima belas potong roti.
Pada ayat ke 9 dan ke 10 dari surat Ad-Dahr, Allah Swt berfirman; "Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya Kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan".
Contoh-contoh lain yang belum sempat kami sebutkan adalah contoh yang terkait dengan para makmusim a.s, padahal hakikatnya kisah mereka adalah sumber-sumber ajaran yang harus kita jalankan sebagai kaum muslimin untuk menuju kepada sebuah masyarakat islami yang bersih dari kesenjangan kelas ekonomi sosial.
Kita pun dapat menarik kesimpulan dari riwayat dan hadis-hadis yang ada bahwa terhapusnya kefakiran adalah diantara karakteristik khusus sebuah masyarakat Islam yang ideal.
Artinya, jika pada suatu hari nanti kita sampai pada sebuah tatanan masyarakat dengan standar perekonomian cukup tinggi dan dengan tingkat pertumbuhan cukup baik, dimana kekayaan terdistribusikan secara adil dan merata kepada masyarakat Islam di seluruh negara-negara Islam, maka berarti kita telah sampai -dari sisi standar ekonomi- pada sebuah karakter masyarakat muslim ideal.
Keyakinan ini bukanlah sebuah syair, slogan, atau perkataan sentimental dan emosional belaka. Bahkan ia merupakan kandungan riwayat yang dikutif dari Imam ash-Shadiq a.s; Muhamamd bin Muslim meriwayatkan dari sahabat-sahabat Ash-Shadiq a.s, dari beliau a.s, ia berkata: Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menetapkan bagi para faqir dari harta orang-orang kaya yang Allah limpahkan kepada mereka. Andaikan diketahui bahwa semuanya itu tidak akan menambah kekayaan mereka, tentu mereka tidak akan mau mengeluwarkannya dari sisi karena kewajiban dari Allah Azza wa Jallan maun mereka mengeluwarkan kepada orang yang dinilai haknya terhalangi, dan bukan dari apa yang telah Allah wajibkan untuk mereka. Andaikan orang-orang menunaikan hak-haknya, niscaya mereka akan hidup dengan baik .47
Sebuah masyarakat yang di dalamnya terdapat orang-orang fakir, kemiskinan tersebut hendaknya tidak hanya membebani orang-orang miskin saja, melainkan juga menjadi beban bagi seluruh masyarakat tersebut. Sesungguhnya kefakiran adalah sebab diantara berbagai sebab dosa, diantaranya adalah; pencurian, praktek-praktek menjual harga diri, dan lain sebagainya.
Terdapat riwayat lain dari Imam ash-Shadiq a.s; "Seandainya orang-orang menunaikan zakat harta-hartanya, maka tidak akan ada lagi tersisa seorang muslim yang faqir yang membutuhkan kecuali ia berkecukupan dengan (zakat) yang telah Allah wajibkan. Maka tidaklah ada orang-orang yang faqir, membutuhkan, kelaparan, tidak berpakaian kecuali karena dosa orang-orang kaya" .48
Berdasarkan riwayat ini, sesungguhnya kewajiban-kewajiban agama seperti khumus dan zakat dapat menyelesaikan kebutuhan orang-orang yang membutuhkan. Apabila kewajiban-kewajiban ini dilaksanakan secara penuh, maka problem krusial ini akan diangkat dari akar-akarnya secara sempurna.
Di sini timbul sebuah pertanyaan, apa fungsi infak dan bantuan yang sunah sifatnya jika kebutuhan orang-orang fakir sudah dapat teratasi oleh infak-infak yang wajib? Dan berdasarkan ini, lalu apa fungsi ayat 261 pada surat al-Baqarah yang kandungannya terkait dengan hal ini?
Kita dapat menjawab pertanyaan ini dengan dua cara; Pertama, orang-orang kaya dan berharta terkadang melupakan kewajiban agama mereka dan tidak menunaikan kewajiban zakatnya. Sebagaimana kondisi ini terjadi pada masa kita sekarang, dimana orang-orang yang dan berduit tidak mau menunaikan kewajiban zakatnya. Dalam kondisi seperti ini tibalah saatnya peran shadaqah dan infak-infak yang sunnah untuk mengisi kekosongan yang ada karena orang-orang kaya tidak menunaikan sadaqah-saadaqah wajibannya.
Atas dasar ini, orang-orang mukmin wajib mengambil alih peranan orang-orang kaya yang durhaka dan menanggung hasil ulah-ulah kemaksiatannya karena tidak lagi mau menunaikan kewajiban-kewajiban sadaqahnya.
Kedua, sesungguhnya zakat dan sadaqah-sadaqah wajib lain yang diwajibkan kepada orang-orang kaya dapat menjawab kebutuhan mendesak orang-orang faqir jika mereka menunaikannya, sementara infak berfungsi mengantarkan orang-orang faqir pada standar kehidupan yang lebih layak dan pantas.
Kesimpulannya, apabila kita melihat tingkat kefakiran dan jenisnya dalam sebuah masyarakat telah berkurang, maka kita dapat menyimpulkan berdasarkan standar minimal yang kita miliki bahwa ia adalah wajah masyarakat Islami yang dicita-citakan.
4. Analisa terhadap perumpamaan dalam ayat infak tersebut.
Para mufassir memiliki dua pandangan terkait perumpamaan yang terdapat dalam ayat 261 surat al-Baqarah. Sebagian berpandangan bahwa itu adalah harta yang diinfakkan dimana ia diserupakan dengan biji-bijian yang berkah yang dihasilkan darinya tujuh ratus biji lainnya.
Sebagain lainnya berpandangan bahwa perumpamana itu dimaksudkan kepada pemberi infak dimana ia akan tumbuh dan menjadi lebih sempurna kepada derajat yang sangat tinggi. Namun mayoritas mufassir lebih cendrung kepada tafsiran pertama bahwa ia dimaksudkan terhadap harta yang diinfakkan, dan mereka berkesimpulan adanya satu kalimat yang dibuang disini, sehingga redaksi kalimatnya menjadi; "(mitslu amwaalil ladziina yunfiquuna...) seperti harta-harta mereka yang menginfakkan....".
Kami meyakini bahwa ayat tersebut tidak perlu ditambahkan redaksinya, dan berdasarkan redaksi tekstualnya berati bahwa yang dimaksud dengan yang diperumpamakan adalah manusia pemberi infak yang kepribadianya meningkat, menjadi sempurna, dan tumbuh tujuh ratus kali lipat. Dan bukti keyakinan ini didukung oleh sejumlah riwayat dan ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa manusia laksana tumbuhan yang tumbuh dan berkembang menjadi sempurna;
Pertama, adalah firman Allah Swt dalam surat Nuh ayat 17 dan 18; "Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya, kemudian Dia mengembalikan kamu ke dalam tanah dan mengeluarkan kamu (daripadanya pada hari kiamat) dengan sebenar-benarnya". Dalam ayat ini manusia diumpamakan seperti tumbuhan yang tumbuh, berkembang dan menjadi sempurna, lalu mengering (mati), kemudian hidup kembali untuk kali berikutnya, kemudian mati lagi, hidup lagi dan demikian seterusnya.
Kedua, adalah firman Allah Azza wa Jalla dalam surat Ali Imran ayat 37; "Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab".
Dalam ayat ini sejumlah komponen tumbuhan dipakai sebagai isyarat kepada pendidikan Maryam oleh Zakariyyah. Sebagai buktinya ialah pendidikan seseorang diumpamakan seperti tumbuhnya pepohonan setelah dilakukan perawatan.
Ketiga, terdapat sebuah hadis yang diriwayatkan dari Rosulullah Saw: "Hati-hatilah kalian dengan sayur-sayuran hijau di tempat sampah", (sebuah peribahasa yang artinya; seorang wanita berwajah cantik namun hatinya busuk, penej). Dikatakan: apa yang dimaksud dengan "seorang wanita berwajah cantik sementara hatinya busuk" itu? Beliau Saw bersabda: Perempuan-perempuan yang tumbuh ditempat yang tidak baik".49 Dalam hadis ini seseorang diperumpamakan seperti tumbuhan yang tumbuh di tempat yang kotor/salah.
Dari sisi lain, hadis ini mengandung sebuah sasaran yang jelas dan pesan yang penting kepada seorang pemuda yang hendak membangun sebuah rumah tangga. Dalam hadis ini Rosulullah Saw berwasiat kepada seorang mukmin agar tidak menjadikan kecantikan wajah sebagai standar satu-satunya dalam memilih calon istri, namun sebagai tambahan harus juga melihat kepada kondisi keluwarganya. Yakni lingkungan dimana ia tumbuh. Demikian itu, karena kecantikan memang bernilai, namun ia hanya berlaku pada saat-saat pertama yang singkat saja dibanding dengan perjalanan seluruh rentang waktu sebuah rumah tangga.
Adapun nilai-nilai fundamental dan penting dalam kehidupan rumah tangga ialah pendidikan, budaya, cara berfikir, nilai-nilai yang ada dalam sebuah rumah yang kemudian akan muncul peranannya pada tahap-tahap kehidupan seseorang berikutnya. Yang bagus adalah jika perjalanan hidup yang baik dan etika yang bagus yang meliputi sebuah keluwarga suci tidak berubah menjadi neraka jahannam yang sulit dipikulnya.
Sebagaimana telah kita saksikan dalam ayat-ayat dan riwayat tadi, seseorang benar-benar mirip seperti tumbuhan yang tumbuh dan berkembang. Dan dengan alasan ini maka dapat disimpulakn bahwa yang dimaksud dengan yang diserupakan dalam ayat tersebut adalah manusia itu sendiri, sehingga pengertian ayat ini dapat disimpulkan sebagai berikut; Wahai mansuia, engkau bagaikan tumbuh-tumbuhan, dan infak bagaikan air yang dipakai untuk menyiraminya sehingga ia dapat tumbuh dan berkembang. Dengan gambaran lain, sesungguhnya infak dapat menghidupkan sifat-sifat mulia pada diri seseorang, seperti kedermawanan, rasa peduli, keberanian, keadilan, kejujuran, dan lain sebagainya.
Pada mulanya sifat-sifat ini hanyalah sebuah potensi atau sebuah amal yang insidental. Namun apabila ia dilakukan secara berulang-ulang ia akan menjadi sebuah kebiasaan. Kemudian jika terus berlangsung secara kontinyu akan berubah menjadi karakter, dan pada akhirnya akan berubah menjadi subuah malakah (naluri) dan bagian tidak terpisahkan dari keberadaan seseorang.
Berdasarkan hal ini, maka infak sebelum menjadi sebuah keuntungan material, ia memiliki keuntungan-keuntungan non-material. Yaitu setiap kali infak dilakungan dengan lebih ikhlas, ketika ia dilakukan dengan lebih jelas dan lebih dekat, maka setiap kali itu pula keuntungan-keuntungannya menjadi lebih besar dan lebih luas. Kita semua tentu pernah mencoba memberikan infak kepada seorang miskin sebelum ia menjelaskan jumlah kebutuhannya berapa kepada kita, maka pada saat itu kita menemukan sebuah kelezatan non-materil yang kita rasakan dengan segenap keberadaan kita. Semua itu telah memberikan efek ketenangan batin dan secara khusus memberikan ketentraman spiritual.
Itulah pertumbuhan dan perkembangan yang dimaksudkan oleh ayat tersebut. Sesungguhnya Allah Yang Maha Bijaksana berkuasa membuat semua orang menjadi kaya dan menghilangkan seluruh akar kemiskinan dari masyarakat. Namun Ia Swt berkehendak agar terjadi pertumbuhan dinamis antara orang-orang faqir dan kaya. Orang -orang mukmin akan berusaha menunaikannya sehingga mereka dapat melihat efek perbuatan-perbuatan baiknya dan berkah infak-infaknya di dunia ini. Mereka juga dapat merasakan efek-efek ini hingga sampai kepada derajat yang tinggi, kemuliaan dan kelezatan maknawi. Atas dasar ini, maka kita tidak perlu mengungkit-ngungkit infak dan orang yang diberinya kepada Allah, dan Allah akan ridha kepada kita atas amal yang agung ini. Semoga Allah merestui kita.
Dari sejumlah perjelasan tadi, kami dapat secara terbuka mentafsirkan ayat 161 dari surat al-Baqarah dengan tanpa perlu merubah redaksinya. Demikian itu tidaklah berarti kami menolak keritikan terhadap penafsiran kami, bahkan kami menganggap bahwa kedua penafsiran tersebut dapat diterima. Artinya kami dapat menyimpulkan bahwa ayat tersebut mengatakan bahwa harta yang diinfakkan dapat berkembang menjadi sempurna, dan demikian pula orang yang menginfakkannya akan tumbuh dan berkembang dalam bentuk perolehan kebaikan yang dikhususkan untuknya.
Pertumbuhan harta yang diinfakkan dalam sabda Rosulullah Saw
Terkait dengan pertumbuhan harta yang diinfakkan, terdapat sabda Rosulullah Saw yang sangat indah yang akan kami kutifkan di sini. "Tidaklah seseorang bershadaqah dengan shadaqah yang baik -dan Allah hanya akan menerima shadaqah yang baik- kecuali Allah yang maha kasih akan menjadikannya berada di samping kanan-Nya. Dan apabila ia berupa kurma, maka ia akan dijadikan berada dalam genggaman-Nya sehingga membentuk sebuah gunung yang besar".50
Dalam hadis ini kita menemukan sejumlah poin yang layak kita simak. Pertama, hadis tersebut menjelaskan bahwa Allah akan menempatkan shadaqah berada di samping kanan-Nya. Hal ini memancing sebuah pertanyaan, apakah Allah memiliki jisim dan anggota badan?
Jawabanya jelas bahwa Allah Swt tidaklah memiliki jism atau tubuh, dan kalimat "menempatkannnya berada disamping kanan-Nya" dimaksudkan sebagai kiasan terhadap kekuasaan dan kesempurnaan-Nya, karena dalam kebiasaan manusia, bagian kanan merupakan simbol yang paling kuat. Untuk itu kita dapat memahami kiasan tersebut bahwa Allah akan mengambil shadaqah dengan kesempurnaan kekuasaan-Nya disertai sebuah penghormatan.
Kedua, sesungguhnya poin terpenting yang menjadi perhatian Islam adalah bagaimana kwalitas dan faktor apa yang melatarbelakangi sebuah amal, dan bukan pada kuantitas dan bentuk lahirnya. Karerna itu, memberi kurma yang halal kepada seorang miskin dengan tanpa disertai cemoohan dan kata-kata menyakitkan adalah jauh lebih utama disisi Allah dibanding memberi kurma yang banyak yang tidak halal atau disertai perkataan mencemooh dan menyakitkan penerimanya.
Ketiga, dengan merujuk kepada hadis diatas, sesungguhnya sebuah harta yang diinfakkan akan tumbuh berlipat menjadi tujuh ratus buah atau bahkan lebih dari itu. Dan atas dasar ini pula dapat disimpulkan bahwa sebuah harta yang ada pada sisi Allah Swt akan terus tumbuh dan kembali kepada pemiliknya hingga hari kiamat, sehingga menjadi sebab penyelamat baginya dari api jahannam.
Infak dalam gambaran al-Qur`an yang indah
Untuk menjelaskan pentingnya berinfak dalam Islam dan nilai pentingnya di dalam al-Qur`an, terdapat sejumlah ungkapan dan keterangan dalam al-Qur`an yang terkait dengannya, dan itu merupakan bahan cukup penting untuk meneliti dan mengkajinya. Namun di sini kami hanya akan menunjukkan sebagian contohnya saja;
Pertama, terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 245 sebagaimana berikut; "Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan".
Ungkapan "pinjaman yang baik" atau qardan hasana terhadap infak merupakan ungkapan yang sangat brilian dan cerdas. Bagaimana mungkin Allah Swt yang Maha Kuasa dan Maha Memiliki segala sesuatu akan meminjam sesuatu kepada seorang manusia yang faqir dan butuh kepada Tuhannya dalam setiap langkah dan gerakannya, bahkan pada saat menarik dan melepas nafasnya? Dan dan apalagi diharamkan pinjaman berbungan (riba) dalam Islam. Penggambaran infak dengan " pinjaman yang baik" tidak lain dimaksudkan sebagai ungkapan betapa penting nilai sebuah infak dan dorongan kepada para hamba untuk melakukannya secara ikhlas.
Membahas poin yang satu ini cukup penting, karena pinjaman riba kembali kepada prilaku para hamba, sementara pinjaman yang baik kembali kepada Tuhan para hamba. Yakni bahwa seseorang yang memberi pinjaman kepada Allah, maka Allah akan mengembalikan pinjamannya dengan berlipat-lipat ganda. Poin pentingnya di sini ialah ungkapan bahwa tangan seorang fakir -berdasarkan riwayat-riwayat dan ayat tersebut- adalah tangan Allah dan rumhanya adalah rumah Allah. Dan pada hakikatnya, apa yang diberikan kepada tangan seorang fakir adalah diberikan kepada tangan Allah.
Untuk itu riwayat-riwayat tersebut memesankan kepada kita akan meletakkan tangan-tangan kita pada tingkat lebih rendah dari tangan seorang fakir ketika memberikan shadaqah kepadanya, sehingga ia dapat mengambilnya dari tangan-tangan kita. Demikian itu juga karena tangannya adalah tangan Allah dan kekuasaan-Nya yang sempurna, dan tangan itulah yang menyebabkan shadaqah seseorang akan diterima. Maka berhari-hatilah dari menghardik dan menghina seorang faqir.
Ungkapan yang sama juga banyak terulang dalam al-Qur`an, seperti pada surat al-Hadid ayat ke 11; "Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak".
Kedua, terdapat dalam surat Ali Imran ayat ke 92; "Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya".
Juga terapat dalam surat al-Baqarah ayat ke 268 sebagaimana berikut: "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".
Yakni agar kita tidak menginfakkan sesuatu kecuali yang baik, dan jangan berinfak dengan sesuatu yang tidak ada lagi manfaatnya, atau dengan sesuatu yang membahayakan seperti pakaian tidak layak pakai dan buah-buahan serta makanan yang sudah membusuk, atau barang-barang buruk lain yang serupa dengannya. Ayat tersebut bahkan beranjak lebih jauh dari itu, dengan perintah menginfakkan sesuatu yang paling dicintai seseorang dan sesuatu yang layak untuk diberikan kepada tangan Allah, sementara selain itu tidaklah pantas diberikan kepada-Nya. Berinfak dengan makanan hendaklah dilakukan dengan makanan yang paling disukai pemberi dan keluwarganya, dan infak baju hendaknya dilakukan dengan memberikan jenis baju yang disukai olehnya dan oleh keluwarganya.
Sesungguhnya standar nilai yang berlaku dalam Islam menjelaskan bahwa ketentuan Islam memberi penilain terhadap sebuah amal berdasarkan kualitasnya dan bukan kuantitasnya. Karena itu, Allah Swt melipatgandakan kebaikan pada sebuah kurma tertentu dengan seribu kali lipat, sementara hal yang sama tidak berlaku pada kurma lain karena dihasilkan dari proses yang tidak halal atau dilakukan karena ria dan niatan buruk semisalnya. Disini kami akan tuliskan sebuah cerita dari Rosulullah Saw yang akan menyingkap berbagai sisi sebuah infak.
Rosulullah Saw menyiapkan peralatan untuk salah satu peperangannya dan kaum muslimn menyumbangkan sesuatu untuk persiapan perang ini. Maka datanglah seseorang dan mensadaqahkan sesuatu dengan jumlah yang banyak. Lalu mereka berkata: munafik. Perkataan ini muncul dari orang-orang munafik yang tidak seorang pun akan percaya dengan ucapannya. Kemudian datanglah Abu `Aqil yang tidak memiliki sesuatu untuk disadaqahkan. Namun pada malam harinya ia mekasakan diri ikut serta dalam kegiatan masyarakat ini dengan memberikan setengah sha` gandum. Lalu orang-orang munafik berkata: Allah tidak butuh dengan ukuran sodakah seperti ini. Maka turunlah ayat ke 79 dari surat at-Taubah sebagai berikut:
"(Orang-orang munafik) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih".51
Perumpamaan Kelima:
Infak yang Disertai Kata-Kata dan Caci Maki
Allah Swt berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 264 sebagai berikut: "Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan sipenerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir".
Perumpamaan ke lima dan ke enam terlah berbicara tentang infak, namun tetap tidak terjadi pengulangan penjelasan di dalamnya. Perumpamaan kelima berbicara tentang keutamaan dan nilai berinfak, sementara perumpamaan keenam berbicara tentang infak dari sisi negatifnya dimana seorang mukmin tidak boleh membatalkan shadaqah-sadaqah dan infaknya dengan caci maka dan menyakiti orang yang menerima shadaqahnya.
Syarah dan tafsir ayat
Ayat tersebut dibulai dengan seruan kepada kaum mukminin. Artinya bahwa seruan tersebut hanya khusus ditunjukkan kepada orang-orang mukmin saja. Syarat pertama adalah iman, maka barang siapa beramal tidak berdasarkan keimanan berarti bukan seorang mukmin.
Penjelasan "janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan sipenerima)", berarti ada dua hal yang dapat membatalkan pahala shadaqah; pertama dengan menyebut-nyebut pemberian, dan kedua dengan menyakiti perasaan orang yang diberi. Demikian itu karena ia telah diindikasikan bahwa ada sebagin orang yang bersadaqah kepada orang lain, namun shadaqahnya disertai menyakiti penerimanya hingga akhir umurnya. Seperti perkataannya; andaikan tidak ada aku, kamu pasti sengsara karena kamu tidak memiliki apa-apa lagi. Atau perkataan; ambilah uang recehan ini dan setelah itu janganlah kamu tampakkan lagi wajahmu kepadaku. Tidak hanya sekedar menyebut-nyebut dan mengata-ngatai saja yang menyebabkan pahala sadaqah menjadi batal, namun membuat seorang faqir tidak lagi berani mengemukakan kebutuhan dan problemnya juga termasuk tindakan yang tidak benar dan tercela.
Dalam sebuah riwayat disebutkan: "Janganlah kalian putuskan pengaduan seorang peminta-minta. Maka kalau tidak, orang-orang miskin itu akan menyembunyikan kebutuhannya".52
Di sini kiranya tidak ada salahnya jika kita jelaskan kata "al-manna" (menyebut-nyebut) terlebih dahulu. Ia berasal dari kata "manna" yang biasa dipakai untuk menunjukan pengertian sebagaimana ada dalam ayat tersebut, karena pelakunya (al-mân) memberikan beban berat yang dirasakan oleh orang yang diberinya.
Dari sisi lain, bahwa pemberian seseorang kepada orang lain ia biasa disebut al-man, dan itu terbagi kepada dua macam; Pertama secara praktis, yakni secara praktis seseorang memberikan bantuan kepada orang lain, dan ini jelas mulia. Kedua teoritis, yakni seseorang hanya sebatas bicara akan membantu orang lain dan tidak ada aktinya sama sekali. Itu artinya ia tidak membantu. Bentuk kedua ini telah dipakai dalam al-Qur`an al-Karim sebanyak sepuluh kali.
Di antara ayatyang didalamnya menggunakan bentuk kedua ini adalah ayat ke 17 dari surat al-Hujurat; "( يَمُنُّونَ) Mereka merasa telah memberi ni`mat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: (لَا تَمُنُّوا) "Janganlah kamu merasa telah memberi ni`mat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah Dialah yang melimpahkan ni`mat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar".
Al-mannu yang pertama pada ayat tersebut adalah al-mannu teoritis, karena orang-orang Arab tidak memberikan kenikmatan apapun kepada nabi. Orang yang sakit ketika datang kepada seorang dokter dan meminta obat darinya. Lalu dokter pun menuliskan daftar obat untuknya dan ia sembuh karena meminum obat tersebut. Maka apakah ini berarti pemberian orang yang sakit kepada seorang dokter? Adapun al-Mannu yang kedua adalah al-mannu praktis, karena Allah telah memberi mereka nikmat Islam. Ia telah menganugrahi mereka dengan Islam.
Atas dasar ini, al-mannu yang bersumber dari Allah berupa anugrah dan pemberian adalah al-mannu praktis. Sementara al-mannu yang bersumber dari seorang manusia bisa bersipat teoritis dan juga bisa bersifat praktis. Al-mannu pertama pada ayat tersebut adalah al-mannu secara lisan dan dan secara teoritis.
Kemudian ayat tersebut menggambarkan mereka sebagai sebongkah batu. Ayat tersebut mengatakan: ".... seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir".
Maka seseorang yang berinfak dengan disertai menyebut-nyebut pemberiannya dan mengata-ngatai penerimanya (seperti seorang kafir yang ria), infaknya tidak akan diterima disisi Allah, karena keimanan merupakan syarat dikabulkannya sebuah amal. Dua perumpamaan ini (yakni orang yang berinfak yang menyebut-nyebut pemberiannya dan mengata-ngatai penerimanya disatu sisi, serta seorang kafir yang ria disisi lain) digamabarkan seperti batu licin. Yakni sebongkah batu yang diatasnya terdapat tanah sehingga dapat ditanami tanaman. Namun jika ia terkena guyuran air hujan, maka keasliannya sebagai batu akan tersingkap dan tidak lagi layak ditanami. Maka mereka menemukan dirinya "tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan". Seluruh hasil kerja mereka musnah bagaikan debu, karena perbuatannya tidak disertai ilmu dan pengetahuan, namun berdasarkan penglihatan dangkal hanya pada sisi luar sesuatu saja, dan tidak melihat sisi dalamnya.
Hujan adalah sebuah anugrah yang dapat mengairi ladang-ladang pertanian dan menumbuhkan bibit biji-bijian, namun ia juga dapat saja menghancurkan pertanian. Maka demikian pula halnya dengan ayat-ayat Allah yang akan bermanfaat bagi orang-orang saleh dan beriman dengan mendapatkan berkah darinya, namun ia juga dapat menyesatkan bagi orang-orang kafir dan orang-orang munafik.
Sesungguhnya kesulitan dan ongkos menggarap pertanian yang dilakukan dengan keikhlasan dan pertanian yang dilakukan dengan ria adalah sama, namun yang dihasilkan keduanya berbeda. Yang satu akan menghasilkan tujuh ratus kali lebih banyak, sementara yang satunya lagi tidak menghasilkan apa-apa, bahkan pelakunya akan kehilangan setiap kekayaan yang dimilikinya.
Sasaran-sasaran ayat
1. Sasaran atau khithab al-Qur`an kebanyakan menggunakan redaksi umum "wahai orang-orang", "wahai Bani Adam", "wahai manusia", dan "wahai orang-orang yang beriman". Semuanya ini dimaksudkan untuk seluruh umat manusia apapun kebangsaan dan kesukuannya. Karena itu tidak pernah kita temukan sasaran (khithab-khithab) al-Qur`an menggunakan ungkapan "wahai orang-orang Arab" atau "wahai orang-orang Quraisy", atau ungkapan lain yang serupa dengannya.
Khithab-khitab ini mengandung poin cukup bagus, yaitu keuniversalan agama Islam. Artinya bahwa Islam bukanlah agama ekslusif yang dikhususkan hanya untuk kelompok, negara, kabilah atau organisasi tertentu, melainkan ia dimaksudkan untuk semua umat manusia dimana pun mereka berada.
2. Sesungguhnya sikap ria dan keinginan menunjukkan amal adalah perbuatan yang tidak ada dasarnya sama sekali. Orang yang ria (ingin dilihat) dan yang sukan menunjukkan amalnya dikatakan sebagai perbuatan tercela, karena setiap waktu dan kesempatan yang ada lama-kelamaan akan mengungkap bentuk aslinya, sebagaimana hujan lebat pada ayat 264 dalam surat al-Baqarah tadi yang telah menyingkap hakikat batu berpasir yang sebenarnya.
3. Sesungguhnya orang-orang yang berinfak dengan disertai kata-kata dan caci-maki bagaikan sebuah batu dan hati mereka keras sekeras batu. Pelajaran yang dapat diambil disini ialah bahwa air hujan yang lembut dapat menyingkap kerasnya hati dan kerasnya karakter mereka. Air hujan turun untuk menyirami bibit tumbuhan hingga ia tumbuh. Namun dalam kasusu ini ia berperan menghancurkan biji itu sendiri. Air hujan pada ayat ilahiyah ini akan menembus pada hati orang ria dan akan mencuci benih-benih keriaan di dalamnya serta menyingkap kekerasan sebuah hati sehingga akan tersingkap hakikat pelakunya.
4. Sesungguhnya orang-orang ria dan munafik suka menyebut-nyebut (manna) pemberiannya. Mereka akan mendapatkan hasil dari seluruh amal perbuatannya. Perbuatannya seperti seorang petani yang menanam biji tumbuhan di tanah licin. Maka ia akan kehilangan peranannya sebagaimana abu yang tertiup berterbaangan, dan pada akhirnya ia tidak akan mendapatkan apapun dari perbuatannya. Demikian pula orang yang berinfak dengan ria, ia tidak akan mendapatkan pahala apapun, bahkan ia kehilangan harta yang diinfakkannya.
5. Berdasarkan cara berfikir filosofis para guru dan berdasarkan keyakinan banyak orang, kekayaan merupakan sesuatu yang berharga dan kekayaan dinilai sebagai kebanggaan. Adapun menerut pandangan Islam -dengan tetap memperhatikan peran penting kekayaan dalam kehidupan di dunia- nilai-nilai seperti keimanan, kesyahidan, mengutamakan orang lain, dan lain-lain jauh lebih berharga dari kekayaan. Dan diantara sejumlah nilai agung yang diyakini oleh Islam adalah nilai menghormati kemanusiaan, menjaga kemuliaan dan kehormatan seorang mukmin.
Atas dasar ini, apakah diperkenankan menghitung nilai amal seseorang yang memberi bantuan kepada seorang miskin dihadapan orang-orang, baik dalam bentuk sadaqah atau infak? Dan apakah bisa dibenarkan seseorang mengharap balasan dari Allah Swt?
Sangat disayangan bahwa nilai yang berlaku bagi madzhad-madzhab materialis adalah harta, dan standar ril yang berlaku adalah dolar. Dolar dapat berbuat membenarkan apa saja, termasuk berbagai tindakan kriminal yang dilakukan orang-orang.
Diantara tindak kriminal tersebut adalah praktek jual-beli manusia, terutama banyi-banyi yang masih kecil. Sementara mereka membeli bayi-bayi kecil dari negara-negara miskin, terutama dari belahan dunia bagian Timur dengan harga cukup murah, lalu mereka menjualnya kembali ke negara-negara Barat yang biasa mendengungkan selogan HAM dengan harga yang jauh lebih mahal. Anak-anak kecil itu dilepas bagian-bagian anggota badannya dan kemudian diterapkan pada tubuh-tubuh sekelompok milyader di negara-negara Barat, sebagaimana juga telah dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan seks dan bisnis.
Dan diantara sejumlah langkah negara-negara Barat yang ditelorkan oleh dolar-dolar mereka adalah sistem demokrasi yang membentuk landasan asasi untuk penuntutan HAM. Upaya merumuskan HAM ini telah sempurna dilakukan oleh mereka dengan dolar-dolar miliknya. Diantaranya adalah penghapusan suara masyarakat Al-Jajair yang terdzalimi dan memutuskan bantuan dengan sederet langkah sewenang-wenang dan pembantaian-pembantaian masal. Namun anehnya para penyeru HAM di Al-Jajair berlaku buta, bisu dan tuli. Mereka tidak mendengar pembantaian-pembataian tersebut, tidak mau peduli suara-suara mereka, dan lain sebagainya.
Pada hakikatnya itu adalah efek dari nilai dolar, dan itu karena kejadian-kejadian ini menguntungkan kepentingan-kepentingan mereka, bahkan mereka sendiri baik secara langsung atau tidak menjalani langkah-langkah tersebut untuk menjaga kepentingan-kepentingannya.
Hal ini tidaklah hanya terjadi di Al-Jajair saja, bahkan ia berlangsung di seluruh penjuru dunia. Pemerintahan manapun di dunia yang mau menjaga kepentingan-kepentingan mereka dan tidak mengeluarkan kebijakan kecuali menambah keuntungan-keuntungan mereka akan dianggap sebagai pemerintahan yang baik. Mereka pun akan melakukan pengawasan setiap pandangan masyarakat. Adapun pemerintahan yang tidak berpihak pada kepentingan-kepentingan mereka dan membahayakan aset-aset kekayaannya, maka pemerintahan tersebut dianggap sebagai pemerintahan yang tidak manusiawi dan melanggar HAM, sekalipun pemerintahan tersebut menjungjung slogan-slogan mulia kemanusiaan dan menjalankan sistem politik yang maju.
Hal demikian berbeda dengan pandangan Islam, sistem yang berlaku harus dibangun berdasarkan landasar imam, kesempuraan, kemuliaan, keutamaan, keagungan dan martaban kemanusiaan yang tinggi.
Sejarah para Imam a.s dalam berinfak dan berderma
Sejarah bagaimana para imam berderma merupakah hikayat yang mengajarkan berbagai ajaran dan pelajaran. Allamah al-Majlisi mengutif sebuah kisah indah dalam tulisannya mengenang sejarah Imam al-Hasan al-Mujtaba a.s sebagai berikut yang penuh dengan nasehat dan pelajaran.
Al-Hasan dan al-Husein a.s keluar bersama Abdullah bin Ja`far (suami Zainab a.s) menuju Hijaj dan mereka kehabisan perbekalan. Mereka pun kelaparan dan kehausan. Lalu mereka lewat kepada seorang nenek tua renda di dalam kemahnya, lalu mereka berkata: Apakah ada air minum? Ia menjawab: Ya. Lalu mereka tinggal dengannya, dan tidak terdapat minuman kecuali seekor kambing betina di dalam celah kemah. Lalu ia berkata: Peras dan minumlah susunya. Mereka pun melakukannya dan berkata: Apakah punya makanan? Ia berkata: Tidak ada kecuali kambing ini, silahkan salah seorang dari kalian menyembelihnya sehingga aku dapat menyuguhkannya dan kalian dapat makan. Lalu salah seorang dari mereka menyembelih dan mengulitinya. Lalu nenek tua itu menyuguhkannya sehingga mereka pun dapat makan, lalu mereka bangkit hingga merasa kenyang. Ketika berangkat, mereka berkata kepadanya: Kami lari dari kaum Quraiys dan menginginkan suasana seperti ini. Apabila kami telah kembali dengan selamat, datanglah kepada kami maka kami akan memberimu hadiah. Lalu mereka pun pergi meninggalkannya.
Lalu nenek tua itu menemui suaminya dan menceritakan kedatangan mereka dan penyembelikan kambing. Maka ia marah dan berkata kepadanya: Sialan, kamu telah menyembelih kambingku untuk orang-orang yang tidak kamu kenal, dan kamu katakan bahwa mereka adalah pelarian dari Quraisy.
Kemudian pada suatu hari ia memiliki kepentingan untuk memasuki kota Madinah. Keduanya masuk Madinah dengan menaiki keledai dan melewati sejumlah penduduk Madinah. Al-Hasan berada di pintu sambil berdiri dan mengenali perempuan tua itu, namun ia tidak mengingatnya. Lalu al-Hasan mengutus pembantunya untuk menemuinya dan berkata: Wahai umat Allah, tidakkah engkau mengenaliku? Ia menjawab: Tidak. Beliau berkata: Saya adalah tamu Anda pada hari anu. Lalu ia berkat: Oh demi ayah dan ibuku. Lalu Al-Hasan membelikan untuknya sebagai sadaqah berupa seribu kambing, memberinya uang seribu Dinar dan mengantarkannya bersama seorang pembantu kepada saudaranya al-Husein a.s, lalu beliau berkata: Berapa saudaraku al-Hasan telah memberimu? Ia menjawab: seribu kambing dan seribu Dinar. Lalu beliau pun memberinya sadaqah sejumlah yang sama. Lalu al-Husein mengantarkan bersama pembantunya kepada Abdullah bin Ja`far a.s, dan ia berkata: Berapa al-Hasan dan al-Husein a.s telah memberimu? Dua ribu kambing dan dua ribu Dirham. Lalu Abdullah memberinya lagi dengan dua ribu kambing dan uang dua ribu Dirham .53
Sadaqah dapat mencegah bencana dan kematian .54
Telah saya katakan sebelumnya bahwa sadaqah akan memberi manfaat kepada pemberinya sebelum pihak yang diberi mendapatkan manfaatnya. Kita juga telah membaca penjelasan-penjelasan sebelumnya manfaat terkait dengan sadaqah berupa sifat-sifat kesempurnaan, selain balasan dan pahala non material. Di sini kami katakan bahwa sadaqah pun dapat mencegah bencana dan malapetaka, sebagaimana dikatakan sebuah riwayat berikut ini;
Seorang Yahudi bertemu Rosulullah Saw dan berkata: assâmu `alaik (kecelakaan atasmu) 55 . Maka Rosulullah Saw menjawab: "dan juga untmu". Lalu beliau Saw bersabda: "sesungguhnya orang Yahudi ini akan digigit dan dibunuh ular hitam yang ada di gendongannya". Orang Yahudi tersebut pergi sambil mengumpulkan sejumlah kayu bakar yang kemudian dibawa digendongannya dengan tanpa banyak perhatian terhadapnya. Maka berkatalah Rosulullah Saw kepadanya: letakkan -kayu-kayu- itu. Lalu dia meletakkannya dan ternyata seekor ular hitam sedang melingkar di dalam tumpukan kayu tersebut dan siap menggigit. Beliau bersabda kepadanya: Wahai Yahudi, apa yang telah kamu lakukan hari ini? Ia menjawab: Saya tidak melakukan apapun kecuali membawa kayu bakar ini. Namun aku memiliki dua kueh kaak, yang satu aku makan sendiri dan yang satu lagi aku sadaqahkan kepada seorang miskin. Maka bersabdalah Rosulullah Saw: Dengan sadaqah tersebut Allah menggagalkan bencana darinya". Lalu beliau melanjutkan: "Sesungguhnya sadaqah dapat mencegah kematian buruk dari seseorang". 56
Perumpamaan Keenam:
Infak yang Sesuai
Allah Sang Pemberi Rizki berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 265 sebagai berikut: "Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat".
Perumpamaan pada ayat ini hampir sama dengan perumpamaan sebelumnya terkait dengan infak, hanya saja perumpamaan kali ini berbicara sisi positif sebuah infak dengan berbagai pelajaran indah di dalamnya yang berbeda dengan pelajaran-pelajaran infak sebelumnya yang berhubungan dengan manni dan ada (menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti penerima bantuan). Pembicaraan kali ini berkisar tentang infak dan keikhlasan.
Syarah dan tafsir ayat
Allah Swt berfirman dalam ayat ini bahwa perumpamaan orang-orang yang berinfak secara ikhlas, tanpa ria, dan tanpa menyakiti perasaan penerimanya seperti sebuah kebun di dataran tinggi, memiliki tanah subur dan dicurahi air hujan, sementara cahaya matahari menyinarinya dari berbagai sisi. Karena itu hasil panennya melimpah dan berlipat ganda. Maka perumpamaan orang yang berinfak sama seperti kebun tersebut, dimana infaknya seperti penghasilan panen kebun subur yang melimpah dan berlipat ganda.
Adapun motif-motif mereka berinfak sebagaimana disebutkan ayat tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, karena mencari keridhaan Allah. Hal ini menuunjukkan kepada sebuah hadis terkenal dari Imam Ali a.s :"Tidaklah aku menyembahMu karena aku takut api neraka". Padahal sekedar membayangkan apinya saja sudah menakutkan, lagi dengan kenyataan sebenarnya. "bukan pula karena mengharap surgaMu", padahal kenikmatannya sungguh besar dan luar biasa sekali yang tidak mungkin dapat dibayangkan oleh pemikiran seorang manusia 57. "Melainkan aku mendapatkanmu Dzat yang layak untuk disembah, maka aku menyembah-Mu". Artinya bahwa kelayakan Allah untuk disembah lah yang telah mendorong Imam Ali a.s menyembah-Nya, bukan karena takut neraka atau karena mengharap surga.
Ibadah jenis pertama adalah ibadah seorang budak, karena seorang budak bergerak melakukan berbagai perintah karena takut pada tuannya. Yang kedua adalah bentuk ibadah seorang pedagang, karena ibadah disini dimaksudkan untuk mengharapkan suatu keuntungan dan balasan. Sementara bentuk terakhir adalah ibadah seorang merdeka, karena ketaatan kepada tuannya bukan karena rasa takut dan bukan pula karena mengharap sesuatu, melainkan murni hanya untuk Allah semata.58
Ayat tersebut dimaksudkan untuk jenis ibadah yang terakhir ini. Yakni infak yang diberikan semata-mata hanya karena Allah dan mengharap ridha-Nya.
Kedua, motif kedua bagi seorang pemberi infak dalam ayat tersebut ialah sampai kepada berbagai kesempurnaan psikologis dan kesempurnaa spiritual, dimana ayat tersebut mengatakan; "Tatsbiitan lianfusihim (dan untuk keteguhan jiwa-jiwa mereka)". Menurut catatan Al-Râgib, kata Tatsbît mengandung arti taqwiyah (penguatan) dan tahkim (ketetapan). Tentu kata tatsbit dalam sebuah do`a "Allahumma tsabbit aqdâmana", tidaklah berarti menguatkan kaki-kami kami, melainkan menguatkan dan menetapkan langkah kaki-kaki kami.
1. Dalam perumpamaan ini, pemberi infak diumpamakan seperti surga dan kebun yang berada di dataran tinggi. Tanah di dataran tinggi biasanya memiliki kelebihan-kelebihan sebagai berikut;
a. Cahaya matahari merupakan unsur-unsur penting bagi pertumbuhan tanaman, dan dataran tinggi akan mendapatkan cahaya matahari langsung dari berbagai arah, karena tidak ada lagi penghalang padanya.
b. Udara di daerah dataran tinggi biasanya cukup segar karena masih banyak pepohonan dan tumbuh-tumbuhan.
c. Dataran tinggi aman dari ancaman banjir, sementara perkebunan-perkebunan yang berada di lembah-lembah atau dataran rendah rentan terkena bahaya banjir.
d. Keindahan dan kecantikan kebun yang ada di daerah dataran tinggi jeuh lebih indahn dan lebih cantik di banding kebun-kebun yang ada di dataran rendah.
Atas dasar ini, orang-orang yang berinfak seperti kebun-kebun yang langsung mendapatkan cahaya hidayah lebih besar dari selain mereka. Ini yang pertama.
Kedua, mereka akan mendapatkan pemberian dan anugrah Allah Swt yang murni dengan bentuk yang paling utama.
Ketiga, Mereka akan sedikit ditimpa bencana dan kematian buruk (karena kecelakaan).
Keempat, Ia akan lebih dicintai orang-orang dan akan mendapatkan nilai-nilai non-material yang besar.
Problem satu-satunya kebun-kebun ini adalah ia jauh dari aliran-aliran sungai, karena itu Allah turunkan air hujan lebih banyak sehingga cukup untuk kebutuhan tumbuh-tumbuhan.
2. Ayat tersebut menjelaskan bahwa wâbil (air hujan yang deras) menjadi kiasan terhadap derajat infak. Dengan pengertian bahwa air hujan yang deras akan mengairi kebun secara merata sempurna sehingga menghasilkan buah-buahan yang banyak. Adapun air hujan yang sedikit tidak dapat mengairinya dengan sempurna sehingga buah-buahan yang dihasilkan menjadi kurang bagus.
Disinilah perbedaan nilai infak dijalan Allah, antara penginfak yang masih membutuhkan harta yang diinfakkannya dan penginfak yang sudah tidak lagi membutuhkannya, sekalipun kedua-duanya ditujukan untuk mendapatkan keridhaan Allah.
Sebagaimana juga terdapat perbedaan antara infak kepada orang-ornag yang benar-benar membutuhkan pertolongan dengan orang-orang yang tidak begitu mendesak kebutuhkannya.
Akhir ayat tersebut mengatakan: "Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat". Ini adalah bukti nyata atas apa yang telah kami kemukakan pada paragraf tadi dimana kandungan ujung ayat ini menjelaskan bahwa Allah Swt maha mengetahui dan maha melihat apakah pengifak itu menginfakkan hartanya dalam kondisi ia masih membutuhan harta tersebut atau tidak, atau apakah ia menginfakkannya kepada orang yang berhak (mustahik) atau tidak.
3. Obyek infak pada ayat 262, 263, dan 265 dari surat al-Baqarah ialah infak kekayaan dan harta. Ayat-ayat tersebut berbicara tentang infak dalam bentuk kekayaan, seperti harta, baju, makanan, peralatan, buku-buku, kertas, dan lain sebagainya. Namun ayat ke tiga dari surat al-Baqarah berbicara tentang infak yang lebih umum mencakup kenikmatan apapun yang dapat diberikan. Sejumlah ayat-ayat al-Qur`an telah mengkategorikan berinfak sebagai salah satu karakter orang-orang mukmin, seperti "Dan mereka menginfakkan diantara anugrah yang telah Kami berikan kepada mereka".59
Berdasarkan ayat ini dapat disimpulkan bahwa obyek infak adalah umum mencakup seluruh nikmat dan rizki Allah, seperti nikmat-nikmat berikut ini;
a. Ilmu. Para ulama hendaknya mensadaqahkan ilmunya, yaitu dengan cara mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Dan kalau tidak, maka ia akan dinyatakan sebagai orang-orang hina dihadapan mahkamah keadilan ilahi. Sebuah riwayat dari Imam ash-Shâdiq a.s, ia berkata: "Zakat ilmu adalah menyebarkannya".
b. Kemampuan berdiplomasi adalah rizki yang Allah anugrahkan, maka sebaiknya orang yang memiliki kemampuan tersebut menginfakkan kemampuannya.
Apabila menemukan perselisihan antara suami-istri, antara kedua tetangga, antara dua rekanan, antara saudara, antara keluwarga dekat, dan lain-lain sebaiknya kemampuan berkata-kata atau berdiplomasi digunakan untuk mendamaikan mereka.
c. Nasib lebih beruntung dan posisi terhormat di tengah masyarakat adalah nikmat ilahiah lain yang harus diinfaki. Maka tidaklah ada seorang yang terzalimi terus berada dalam kekangan seorang dzalim, sementara ada orang yang berkemampuan memberikan pertolongan bagi orang yang terdzalimi ini dengan menggunakan posisi dan pengaruh sosialnya dari cengkraman kesewenang-wenangan orang dzalim. Maka janganlah enggan untuk itu, bahkan harus membantunya dengan rasa kerinduan.
d. Anak-anak. Ia merupakan anugrah Allah yang paling besar, maka ia harus diinfakkan di jalan Allah Swt kapan pun ia dibutuhkan, sebagaimana telah terjadi pada masyarakat Iran dalam gerakan revolusi Islam yang telah rela mengorbankan anak-anaknya, dan tidak kikir atas hal itu.
e. Kemampuan berfiki. Itulah diantara anugrah paling besar yang Allah berikan kepada manusia, maka ia pun harus diinfaki dan digunakan dalam berbagai musyawarah untuk membantu orang lain menemukan solusi sebagai konsultan yang baik dan saleh.
Cara berinfak dan menolong orang lain
Terdapat banyak cara dalam berinfak, dan cara atau jalan yang biasa dikenal dikalangan orang-orang adalah infak harta berupa uang atau lainnya kepada orang-orang yang membutuhkan. Cara seperti ini adalah baik, namun terdapat cara lain yang jauh lebih baik dan lebih banyak efeknya dibanding cara pertama, yaitu dengan membentuk yayasan atau organisasi khusus yang bergerak memberikan bantuan dan infak secara terorganisir.
Yayasan-yayasan amal seperti ini telah banyak dibentuk dengan standar pelayanan cukup baik di sejumlah lembaga Iran. Yayasan-yayasan tersebut berusaha menggalang berbagai macam bantuan dari satu sisi, dan dari sisi lain ia bergerak mendistribusikannya kembali kepada mereka yang membutuhkan sebagai bantuan dengan menggunakan berbagai macam cara. Bantuan tersebut seperti pengadaaan berbagai perangkat rumah yang murah dari beberapa yayasan, pabrik dan perusahaan.
Lembaga-lembaga ini bahkan telah bergerak mengurusi program sekolah anak-anak dengan mendistribusikan infak-infak mereka melalui program ini, hingga sebagian anak-anak dapat melanjutkan sekolah ke jengjang yang lebih tinggi, menengah atas hingga lulus universitas.
Sebagian yayasan tersebut bergerak dibidang cultural, selain dalam bentuk bantuan finansial. Diantaranya membentuk program-program pembelajaran dan pengajaran cultural untuk berbagai lapisan umur.
Hendaklah orang-orang muslim sekarang lebih perhatian terhadap bentuk infak terorganisir seperti ini. Dan sekalipun pemerintah sudah bergerak dalam bidang ini, namun mengingat jumlah orang fakir yang membutuhkan bantuan sekarang cukup banyak, maka kondisi ini menuntut keberadaan yayasan-yayasan amal yang bisa bergerak lebih luas.
Yayasan-yayasan pemberi bantuan kepada para narapidana dan orang-orang sakit adalah bentuk lain yang juga sangat baik, seperti telah di jelaskan pada pembahasan sebelumnya.
Berfikir kreatif menciptakan sistem baru pemberian bantuan untuk lembaga-lembaga ini akan memberikan hasil yang lebih maksimal, karena bantuan benar-benar dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Sebelumnya telah disebutkan bahwa sadaqah sebagaimana disabdakan Rosulullah Saw dapat mencegah dari kematian buruk (karena kecelakaan). Di sini terdapat hadis lain dari Rosulullah Saw, beliau bersabda: "Sesungguhnya Allah Yang tiada tuhan selain-Nya adalah Yang mencegah penyakit, kebakaran, tenggelam, jatuh, kehancuran, gila dan tujuh puluh keburukan lain dengan sadaqah".
Tentu saja sabda Rosulullah bukanlah omong kosong, melainkan sesuai dengan kenyataan, dan inilah efek hakiki sebuah saqadah. Apabila sunnah hasanah ini dapat dijalankan, pasti banyak problem-problem sosial dan pribadi kita yang terselesaikan.
Empat kekhususan dalam perumpamaan ke tujuh
Pertama, dataran tinggi. Kedua, pohon-pohon dalam kebun. Ketiga, hujan yang lebat. Keempat, buah-buahan yang banyak. Ini semua dari satu sisi adalah perumpamaan, namun dari sisi lain ia menggambarkan anggota dan sifat-sifat manusia atau nikmat ilahi yang dinikmati manusia.
Berikut ini penjelasan-penjelasan empat perumpamaan barusan yang ada dalam salah satu buku tafsir. Ruh dan hati seseorang biasa diserupakan dengan tanah yang tinggi yang di dalamnya terdapat perkebunan. Adapun amal-amal saleh seseorang biasa diumpamakan dengan infak dan bantuan di jalan Allah, rahmat Allah, hidayah takwiniyah dan tasyri`iyyah-Nya biasa diumpamakan seperti air hujan yang lebat yang mengguyur pepohonan dan tumbuhan hingga tumbuh berkembang. Sementara dampak-dampak psikologis dan kecendrungan-kecendrungan spiritual serta akhlak yang ada berupa kedermawanan, suka memberi bantuan, tawadhu, berendah diri, dan mencintai orang lain diumpamakan seperti buhan-buahan kebun yang berkah.
Tujuan dari perumpamaan ini -sebagaiaman juga tujuan perumpamaan-perumpamaan lainnya- ialah kesempurnaan eksistensi seseorang dan sampainya ia pada derajat kedekatan kepada Allah. Dengan kata lain, menjadikan seseorang hanya sebagai hamba Allah, dan itulah tujuan penciptaan manusia dan penciptaan seluruh keberadaan.60 Dan itu gambaran lain dari sampainya seseorang kepada posisi mulia dalam ayat berikut ini:
"Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku".61
Alangkah baiknya kebahagiaan yang dicapai seseorang
Di antara kesimpulan yang dapat diambil dari perumpamaan ini adalah bahwa di sana terdapat surga (premi surga yang dijanjikan di akhirat) di dunia. Yaitu surga di hati seorang mukmin yang dipenuhi dengan berbagai pohon dan tumbuh-tumbuhan. Yakni dengan berbagai sifat dan keutamaan akhlaki pada ruh seseorang dan kebersihannya dari kotoran. Seseorang tidaklah mungkin menggapai surga ini dan tidak mungkin dapat merasakannya kecuali seluruh amal-amalnya dilakukan murni hanya untuk Allah semata yang tidak ada sekecil apapun bentuk riba di dalamnya dan juga hanya untuk mengharap ridha-Nya.
Inilah tema yang dimaksudkan oleh kalimat terakhir ayat tersebut: "Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat". Sesungguhnya Allah akan melihat amal, melihat niatannya, dan apa pun yang terbersit dalam niat dari tujuan-tujuan lain selain Allah.
Tema syirik dalam beramal yang diistilahkan dengan ria telah banyak dibicarakan dalam berbagat ayat dan hadis dengan jumlah cukup banyak. Rosulullah Saw bersabda dalam sebuah hadisnya: "Sesungguhnya syirik jauh lebih tersembunyi dari suara semut yang merayap di sebuah batu hitam di tengah kegelapgulitaan malam hari".62 Seseorang yang sudah melewati masa beribadah puluhan tahun akan merasakan keikhlasan dan ketidak ikhlasannya dalam beribadah.
Celakalah seseorang yang terlambat mengetahui ketidakikhlasannya. Allah Swt berfirman: "agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan".63
Kita akan akhiri penjelasan syikirk ini dengan menyebutkan kisah ayatullah al-`udhma, marja dunia Islam, Sayyed Burujurdi -semoga ridha Allah Swt ditetapkan atasnya-. Suatu hari Sayyed Burujurdi pergi ke sebuah desa di pinggiran kota Qum untuk keperluan istirahat. Selama beberapa hari disana, ia membentangkan sebuah sejadah bersama orang-orang yang menemaninya. Mereka menyaksikan saat itu bahwa Sayyed Burujurdi tenggelam lama dalam berfikir. Lalu mereka bertanya tentang sebab semua itu, dan beliau menjawab: Saya berfikir apakah ada padaku sebuah amal yang benar-benar murni karena Allah dan benar-benar dimaksudkan karena mengharap ridah-Nya, tanpa ada tujuan selainnya atau tidak ada?
Mereka berkata kepadanya: Wahai tuan kami, alhamdulillah Anda telah banyak berkhidmat kepada hauzah ilmiyyah dan kepada kaum muslimin 64, maka tidak ada alasan lagi untuk ragu. Lalu beliau menggeleng-gelengkan kepalanya dan membacakan sebuah hadis: "Ikhlaslah beramal, karena sesungguhnya an-nâqid (yang membedakan) itu melihat".65
An-nâqid berarti seseorang yang dapat membedakan antara tuli yang asli dan tuli yang palsu. Sebuah kepalsuan akan dapat diketahui orang-orang secara umum jika bentunya cukup besar. Namun jika bentuknya kecil dan samar, ia tidak dapat diketahui kecuali oleh seorang An-nâqid. Berdasarkan riwayat ini, Allah adalah An-nâqid terhadap niatan-niatan seseorang sehingga kuasa membedakan antara niatan yang tulus dan niatan yang palsu. Ia Maha Melihat dan Maha
Menyaksikan sekali pun terhadap kepalsuan dan ketidakmurniaan yang paling kecil.
Untuk itu, hendaknya kita berusaha agar tidak ada kepalsuan sedikit pun dari niatan-niatan dalam amal-amal, ucapan dan pemikiran kita sehingga dengannya kita dapat bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Swt.
Etika berinfak
Pada tema ini kita akan mengkaji sejumlah etika dan landasan berinfak.
1. Berinfak dari sesuatu yang dicintai
Apabila seseorang menginfakkan kelebihan makanan dan pakaian bekas yang dimilikinya maka itu baik dan tidak ada masalah, sekali pun masuk dalam kategori derajat infak paling rendah. Maka untuk mencapai derajat infak yang paling tinggi, ia harus menginfakkan sesuatu yang ia cintai, sebagaimana firman-nya Swt:
"Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya" .66
Diriwayatkan, Sayyidah az-Zahra a.s ketika berangkat ke rumah suaminya untuk pernikahan. Di perjalanan ia bertemu seorang pemohon yang meminta bantuan darinya. Maka beliau tanggalkan baju pengantinnya untuknya, sementara beliau sendiri hanya memakai baju bekas .67 Tidaklah akan pernah ada sepanjang sejarah orang yang dapat menandingi keikhlasan sebagaimana keikhlasan Az-Zahra a.s, sementara saat itu ia seorang gadis yang masih cukup belia. Namun ia rela menginfakkan baju pengantinnya dan merasa cukup dengan pakaian bekas saja lain yang dimilikinya. Ia adalah referesentatif ayat mulia di atas.
Kita mungkin dapat memahami nilai infak dari riwayat yang bersumber dari para maksumum a.s. Imam Ali a.s telah menginfakkan cincinnya dalam posisi ruku, dan untuk kasus ini sebuah ayat al-Qur`an ayat ke 55 dari surat al-Maidah diturunkan.68
Imam Ali a.s diriwayatkan telah membeli dua buah gamis, dan memerintahkan pembantunya untuk melilih dan mengambil salah satunya.69
Dalam sebuah riwayat, Imam ash-Shadiq a.s pernah berkata: "Tidaklah ada sesuatu yang malaikat dikuasakan untuknya selain sadaqah. Karena sesungguhnya ia berada di tangan Allah Swt".70
Kini, apakah layak dan pantas jika seseorang menginfakkan harta yang memang sudah tidak disukai dan akan sampai langsung kepada Allah?
2. Berinfak dengan tujuan mendidik
Etika terpenting ketika berinfak dan menolong adalah berusaha menjaga kehormatan dan kepribadian penerima infak. Allah Swt berfirman dalam al-Qur`an:
"Perkataan yang baik dan pemberian ma`af lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan sipenerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun".
Apabila seorang peminta datang kepadamu meminta sesuatu dan kamu tidak punya apa-apa, maka kamu harus katakan kepadanya; maaf, saya tidak bisa membantumu. Yakni kamu wajib menanggapinya dengan penghormata, dan itu jauh lebih baik dari memberi disertai hardikan dan kata-kata menyakitkan, seperti kamu katakan kepadanya: Semoga setelah ini saya tidak lagi melihatmu. Atau; Ambil ini supaya saya terhindar dari sialmu.
Ajaran etika berinfak yang mulian ini bersumber dari para maksum a.s dengan bentuknya yang sangat jelas. Telah diriwayatkan tentang Imam as-Sajjad a.s:
Apabila seseorang memberi seorang peminta, maka ciumlah tangannya. Lalu beliau ditanya, kenapa harus melakukan demikian? Beliau a.s menjawab: karena sadaqah tersebut sudah berada pada tangan Allah sebelum berada di tangan seorang hamba".71 Berapakah perbedaan antara infak yang murni dan diserta penghormatan dengan infak yang dilakukan dengan ria dan penghinaan?
3. Bersegera dalam berinfak
Tidaklah perlu, was-was dan berfikir lama ketika ingin bersadaqah sebagai upanya mendekatkan diri kepada Allah, karena syetan pada saat itu akan berusaha keras mencegah seseorang dari bersadaqah. Allah Swt berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 268; "Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui".
Sesungguhnya syetan berusaha membisiki seseorang dengan berbagai macam cara. Ia akan mengatakan misalnya; coba kamu fikirkan bagaimana masa depan anak-anakmu, bagaimana hari-hari tuamu nanti. Simpanlah harta-hartamu untuk masa tuamu. Inilah upaya syetan menggagalkan infak seseorang, padahal Allah Swt telah menjanjikan pengampunan dan mengganti kembali harta yang diinfakkan.
Di tengah-tengah manusia syetan sudah diketahui akan menempel terus pada tangan seseorang ketika ia hendak menginfakkan hartanya, sehingga ia membatalkan niat infaknya. Inilah penjelasan lain ayat tersebut.
Seperti diketahui bahwa Al-Qur`an belum pernah menggunakan kata fakr kecuali dalam ayat ini yang dinisbatkan kepada syetan. Siapakah yang memberimu rizki ketika kamu masih janin saat berada dalam tiga kegelapan? Allah lah Sang pemberi rizki, Ia juga akan menjami rizkimu dan rizki anak-anakmu ketika kamu sudah tua dan lemah.
Di sana terdapat perkataan indah seorang pembesar; Saya tidak berbuat sesuatu untuk masa depan anak-anakku, karena kalau mereka termasuk kekasih (wali) Allah, maka Allah tidak akan mungkin menelantarkan seorang walinya sendirian. Dan apabila ia termasuk musuh Allah, maka apa lagi yang bisa saya lakukan.
4. Sadaqah tersembunyi dan terang-terangan
Kesimpulan yang dapat diambil dari berbagai riwayat adalah bahwa sadaqah merupakan amal yang lebih utama disampaikan secara rahasia, hanya saja dalam sejumlah kondisi sadaqah justru perlu dinyatakan dan dipublikasikan untuk umum, karena alasan-alasan tertentu.72 Hal ini telah dijelaskan oleh al-Qur`an dalam surat al-Baqarah ayat 271:
"Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan".
5. Mengutamakan orang-orang miskin yang menutupi kemiskinannya
Al-Qur`an al-Karim menggambarkan orang-orang miskin yang menutup-nutupi kemiskinannya sebagai orang yang benar-benar membutuhkan bantuan sehingga mereka layak diutamakan menerima sadaqah dan bantuan. Pesan ini disinggung dalam surat al-Baqarah ayat 273: "(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui".
Orang-orang miskin yang memiliki harga diri tinggi dan orang-orang sepertinya adalah lebih pantas dan lebih berhak menerima sadaqah dan bantuan. Lebih lagi pada bulan Ramadhan sebagai bulan berkah dimana alam-amal biasa saja akan dihitung sebagai ibadah, dan apalagi disertai dengan nilai ketaatan. Ketaatan akan bernilai tinggi sebagaimana sadaqah, sesuai dengan falsafah puasa, merasakan penderitaan orang-orang yang membutuhkan solusi dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.73
Infak yang Sesuai
Allah Sang Pemberi Rizki berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 265 sebagai berikut: "Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat".
Perumpamaan pada ayat ini hampir sama dengan perumpamaan sebelumnya terkait dengan infak, hanya saja perumpamaan kali ini berbicara sisi positif sebuah infak dengan berbagai pelajaran indah di dalamnya yang berbeda dengan pelajaran-pelajaran infak sebelumnya yang berhubungan dengan manni dan ada (menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti penerima bantuan). Pembicaraan kali ini berkisar tentang infak dan keikhlasan.
Syarah dan tafsir ayat
Allah Swt berfirman dalam ayat ini bahwa perumpamaan orang-orang yang berinfak secara ikhlas, tanpa ria, dan tanpa menyakiti perasaan penerimanya seperti sebuah kebun di dataran tinggi, memiliki tanah subur dan dicurahi air hujan, sementara cahaya matahari menyinarinya dari berbagai sisi. Karena itu hasil panennya melimpah dan berlipat ganda. Maka perumpamaan orang yang berinfak sama seperti kebun tersebut, dimana infaknya seperti penghasilan panen kebun subur yang melimpah dan berlipat ganda.
Adapun motif-motif mereka berinfak sebagaimana disebutkan ayat tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, karena mencari keridhaan Allah. Hal ini menuunjukkan kepada sebuah hadis terkenal dari Imam Ali a.s :"Tidaklah aku menyembahMu karena aku takut api neraka". Padahal sekedar membayangkan apinya saja sudah menakutkan, lagi dengan kenyataan sebenarnya. "bukan pula karena mengharap surgaMu", padahal kenikmatannya sungguh besar dan luar biasa sekali yang tidak mungkin dapat dibayangkan oleh pemikiran seorang manusia 57. "Melainkan aku mendapatkanmu Dzat yang layak untuk disembah, maka aku menyembah-Mu". Artinya bahwa kelayakan Allah untuk disembah lah yang telah mendorong Imam Ali a.s menyembah-Nya, bukan karena takut neraka atau karena mengharap surga.
Ibadah jenis pertama adalah ibadah seorang budak, karena seorang budak bergerak melakukan berbagai perintah karena takut pada tuannya. Yang kedua adalah bentuk ibadah seorang pedagang, karena ibadah disini dimaksudkan untuk mengharapkan suatu keuntungan dan balasan. Sementara bentuk terakhir adalah ibadah seorang merdeka, karena ketaatan kepada tuannya bukan karena rasa takut dan bukan pula karena mengharap sesuatu, melainkan murni hanya untuk Allah semata.58
Ayat tersebut dimaksudkan untuk jenis ibadah yang terakhir ini. Yakni infak yang diberikan semata-mata hanya karena Allah dan mengharap ridha-Nya.
Kedua, motif kedua bagi seorang pemberi infak dalam ayat tersebut ialah sampai kepada berbagai kesempurnaan psikologis dan kesempurnaa spiritual, dimana ayat tersebut mengatakan; "Tatsbiitan lianfusihim (dan untuk keteguhan jiwa-jiwa mereka)". Menurut catatan Al-Râgib, kata Tatsbît mengandung arti taqwiyah (penguatan) dan tahkim (ketetapan). Tentu kata tatsbit dalam sebuah do`a "Allahumma tsabbit aqdâmana", tidaklah berarti menguatkan kaki-kami kami, melainkan menguatkan dan menetapkan langkah kaki-kaki kami.
1. Dalam perumpamaan ini, pemberi infak diumpamakan seperti surga dan kebun yang berada di dataran tinggi. Tanah di dataran tinggi biasanya memiliki kelebihan-kelebihan sebagai berikut;
a. Cahaya matahari merupakan unsur-unsur penting bagi pertumbuhan tanaman, dan dataran tinggi akan mendapatkan cahaya matahari langsung dari berbagai arah, karena tidak ada lagi penghalang padanya.
b. Udara di daerah dataran tinggi biasanya cukup segar karena masih banyak pepohonan dan tumbuh-tumbuhan.
c. Dataran tinggi aman dari ancaman banjir, sementara perkebunan-perkebunan yang berada di lembah-lembah atau dataran rendah rentan terkena bahaya banjir.
d. Keindahan dan kecantikan kebun yang ada di daerah dataran tinggi jeuh lebih indahn dan lebih cantik di banding kebun-kebun yang ada di dataran rendah.
Atas dasar ini, orang-orang yang berinfak seperti kebun-kebun yang langsung mendapatkan cahaya hidayah lebih besar dari selain mereka. Ini yang pertama.
Kedua, mereka akan mendapatkan pemberian dan anugrah Allah Swt yang murni dengan bentuk yang paling utama.
Ketiga, Mereka akan sedikit ditimpa bencana dan kematian buruk (karena kecelakaan).
Keempat, Ia akan lebih dicintai orang-orang dan akan mendapatkan nilai-nilai non-material yang besar.
Problem satu-satunya kebun-kebun ini adalah ia jauh dari aliran-aliran sungai, karena itu Allah turunkan air hujan lebih banyak sehingga cukup untuk kebutuhan tumbuh-tumbuhan.
2. Ayat tersebut menjelaskan bahwa wâbil (air hujan yang deras) menjadi kiasan terhadap derajat infak. Dengan pengertian bahwa air hujan yang deras akan mengairi kebun secara merata sempurna sehingga menghasilkan buah-buahan yang banyak. Adapun air hujan yang sedikit tidak dapat mengairinya dengan sempurna sehingga buah-buahan yang dihasilkan menjadi kurang bagus.
Disinilah perbedaan nilai infak dijalan Allah, antara penginfak yang masih membutuhkan harta yang diinfakkannya dan penginfak yang sudah tidak lagi membutuhkannya, sekalipun kedua-duanya ditujukan untuk mendapatkan keridhaan Allah.
Sebagaimana juga terdapat perbedaan antara infak kepada orang-ornag yang benar-benar membutuhkan pertolongan dengan orang-orang yang tidak begitu mendesak kebutuhkannya.
Akhir ayat tersebut mengatakan: "Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat". Ini adalah bukti nyata atas apa yang telah kami kemukakan pada paragraf tadi dimana kandungan ujung ayat ini menjelaskan bahwa Allah Swt maha mengetahui dan maha melihat apakah pengifak itu menginfakkan hartanya dalam kondisi ia masih membutuhan harta tersebut atau tidak, atau apakah ia menginfakkannya kepada orang yang berhak (mustahik) atau tidak.
3. Obyek infak pada ayat 262, 263, dan 265 dari surat al-Baqarah ialah infak kekayaan dan harta. Ayat-ayat tersebut berbicara tentang infak dalam bentuk kekayaan, seperti harta, baju, makanan, peralatan, buku-buku, kertas, dan lain sebagainya. Namun ayat ke tiga dari surat al-Baqarah berbicara tentang infak yang lebih umum mencakup kenikmatan apapun yang dapat diberikan. Sejumlah ayat-ayat al-Qur`an telah mengkategorikan berinfak sebagai salah satu karakter orang-orang mukmin, seperti "Dan mereka menginfakkan diantara anugrah yang telah Kami berikan kepada mereka".59
Berdasarkan ayat ini dapat disimpulkan bahwa obyek infak adalah umum mencakup seluruh nikmat dan rizki Allah, seperti nikmat-nikmat berikut ini;
a. Ilmu. Para ulama hendaknya mensadaqahkan ilmunya, yaitu dengan cara mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Dan kalau tidak, maka ia akan dinyatakan sebagai orang-orang hina dihadapan mahkamah keadilan ilahi. Sebuah riwayat dari Imam ash-Shâdiq a.s, ia berkata: "Zakat ilmu adalah menyebarkannya".
b. Kemampuan berdiplomasi adalah rizki yang Allah anugrahkan, maka sebaiknya orang yang memiliki kemampuan tersebut menginfakkan kemampuannya.
Apabila menemukan perselisihan antara suami-istri, antara kedua tetangga, antara dua rekanan, antara saudara, antara keluwarga dekat, dan lain-lain sebaiknya kemampuan berkata-kata atau berdiplomasi digunakan untuk mendamaikan mereka.
c. Nasib lebih beruntung dan posisi terhormat di tengah masyarakat adalah nikmat ilahiah lain yang harus diinfaki. Maka tidaklah ada seorang yang terzalimi terus berada dalam kekangan seorang dzalim, sementara ada orang yang berkemampuan memberikan pertolongan bagi orang yang terdzalimi ini dengan menggunakan posisi dan pengaruh sosialnya dari cengkraman kesewenang-wenangan orang dzalim. Maka janganlah enggan untuk itu, bahkan harus membantunya dengan rasa kerinduan.
d. Anak-anak. Ia merupakan anugrah Allah yang paling besar, maka ia harus diinfakkan di jalan Allah Swt kapan pun ia dibutuhkan, sebagaimana telah terjadi pada masyarakat Iran dalam gerakan revolusi Islam yang telah rela mengorbankan anak-anaknya, dan tidak kikir atas hal itu.
e. Kemampuan berfiki. Itulah diantara anugrah paling besar yang Allah berikan kepada manusia, maka ia pun harus diinfaki dan digunakan dalam berbagai musyawarah untuk membantu orang lain menemukan solusi sebagai konsultan yang baik dan saleh.
Cara berinfak dan menolong orang lain
Terdapat banyak cara dalam berinfak, dan cara atau jalan yang biasa dikenal dikalangan orang-orang adalah infak harta berupa uang atau lainnya kepada orang-orang yang membutuhkan. Cara seperti ini adalah baik, namun terdapat cara lain yang jauh lebih baik dan lebih banyak efeknya dibanding cara pertama, yaitu dengan membentuk yayasan atau organisasi khusus yang bergerak memberikan bantuan dan infak secara terorganisir.
Yayasan-yayasan amal seperti ini telah banyak dibentuk dengan standar pelayanan cukup baik di sejumlah lembaga Iran. Yayasan-yayasan tersebut berusaha menggalang berbagai macam bantuan dari satu sisi, dan dari sisi lain ia bergerak mendistribusikannya kembali kepada mereka yang membutuhkan sebagai bantuan dengan menggunakan berbagai macam cara. Bantuan tersebut seperti pengadaaan berbagai perangkat rumah yang murah dari beberapa yayasan, pabrik dan perusahaan.
Lembaga-lembaga ini bahkan telah bergerak mengurusi program sekolah anak-anak dengan mendistribusikan infak-infak mereka melalui program ini, hingga sebagian anak-anak dapat melanjutkan sekolah ke jengjang yang lebih tinggi, menengah atas hingga lulus universitas.
Sebagian yayasan tersebut bergerak dibidang cultural, selain dalam bentuk bantuan finansial. Diantaranya membentuk program-program pembelajaran dan pengajaran cultural untuk berbagai lapisan umur.
Hendaklah orang-orang muslim sekarang lebih perhatian terhadap bentuk infak terorganisir seperti ini. Dan sekalipun pemerintah sudah bergerak dalam bidang ini, namun mengingat jumlah orang fakir yang membutuhkan bantuan sekarang cukup banyak, maka kondisi ini menuntut keberadaan yayasan-yayasan amal yang bisa bergerak lebih luas.
Yayasan-yayasan pemberi bantuan kepada para narapidana dan orang-orang sakit adalah bentuk lain yang juga sangat baik, seperti telah di jelaskan pada pembahasan sebelumnya.
Berfikir kreatif menciptakan sistem baru pemberian bantuan untuk lembaga-lembaga ini akan memberikan hasil yang lebih maksimal, karena bantuan benar-benar dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Sebelumnya telah disebutkan bahwa sadaqah sebagaimana disabdakan Rosulullah Saw dapat mencegah dari kematian buruk (karena kecelakaan). Di sini terdapat hadis lain dari Rosulullah Saw, beliau bersabda: "Sesungguhnya Allah Yang tiada tuhan selain-Nya adalah Yang mencegah penyakit, kebakaran, tenggelam, jatuh, kehancuran, gila dan tujuh puluh keburukan lain dengan sadaqah".
Tentu saja sabda Rosulullah bukanlah omong kosong, melainkan sesuai dengan kenyataan, dan inilah efek hakiki sebuah saqadah. Apabila sunnah hasanah ini dapat dijalankan, pasti banyak problem-problem sosial dan pribadi kita yang terselesaikan.
Empat kekhususan dalam perumpamaan ke tujuh
Pertama, dataran tinggi. Kedua, pohon-pohon dalam kebun. Ketiga, hujan yang lebat. Keempat, buah-buahan yang banyak. Ini semua dari satu sisi adalah perumpamaan, namun dari sisi lain ia menggambarkan anggota dan sifat-sifat manusia atau nikmat ilahi yang dinikmati manusia.
Berikut ini penjelasan-penjelasan empat perumpamaan barusan yang ada dalam salah satu buku tafsir. Ruh dan hati seseorang biasa diserupakan dengan tanah yang tinggi yang di dalamnya terdapat perkebunan. Adapun amal-amal saleh seseorang biasa diumpamakan dengan infak dan bantuan di jalan Allah, rahmat Allah, hidayah takwiniyah dan tasyri`iyyah-Nya biasa diumpamakan seperti air hujan yang lebat yang mengguyur pepohonan dan tumbuhan hingga tumbuh berkembang. Sementara dampak-dampak psikologis dan kecendrungan-kecendrungan spiritual serta akhlak yang ada berupa kedermawanan, suka memberi bantuan, tawadhu, berendah diri, dan mencintai orang lain diumpamakan seperti buhan-buahan kebun yang berkah.
Tujuan dari perumpamaan ini -sebagaiaman juga tujuan perumpamaan-perumpamaan lainnya- ialah kesempurnaan eksistensi seseorang dan sampainya ia pada derajat kedekatan kepada Allah. Dengan kata lain, menjadikan seseorang hanya sebagai hamba Allah, dan itulah tujuan penciptaan manusia dan penciptaan seluruh keberadaan.60 Dan itu gambaran lain dari sampainya seseorang kepada posisi mulia dalam ayat berikut ini:
"Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku".61
Alangkah baiknya kebahagiaan yang dicapai seseorang
Di antara kesimpulan yang dapat diambil dari perumpamaan ini adalah bahwa di sana terdapat surga (premi surga yang dijanjikan di akhirat) di dunia. Yaitu surga di hati seorang mukmin yang dipenuhi dengan berbagai pohon dan tumbuh-tumbuhan. Yakni dengan berbagai sifat dan keutamaan akhlaki pada ruh seseorang dan kebersihannya dari kotoran. Seseorang tidaklah mungkin menggapai surga ini dan tidak mungkin dapat merasakannya kecuali seluruh amal-amalnya dilakukan murni hanya untuk Allah semata yang tidak ada sekecil apapun bentuk riba di dalamnya dan juga hanya untuk mengharap ridha-Nya.
Inilah tema yang dimaksudkan oleh kalimat terakhir ayat tersebut: "Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat". Sesungguhnya Allah akan melihat amal, melihat niatannya, dan apa pun yang terbersit dalam niat dari tujuan-tujuan lain selain Allah.
Tema syirik dalam beramal yang diistilahkan dengan ria telah banyak dibicarakan dalam berbagat ayat dan hadis dengan jumlah cukup banyak. Rosulullah Saw bersabda dalam sebuah hadisnya: "Sesungguhnya syirik jauh lebih tersembunyi dari suara semut yang merayap di sebuah batu hitam di tengah kegelapgulitaan malam hari".62 Seseorang yang sudah melewati masa beribadah puluhan tahun akan merasakan keikhlasan dan ketidak ikhlasannya dalam beribadah.
Celakalah seseorang yang terlambat mengetahui ketidakikhlasannya. Allah Swt berfirman: "agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan".63
Kita akan akhiri penjelasan syikirk ini dengan menyebutkan kisah ayatullah al-`udhma, marja dunia Islam, Sayyed Burujurdi -semoga ridha Allah Swt ditetapkan atasnya-. Suatu hari Sayyed Burujurdi pergi ke sebuah desa di pinggiran kota Qum untuk keperluan istirahat. Selama beberapa hari disana, ia membentangkan sebuah sejadah bersama orang-orang yang menemaninya. Mereka menyaksikan saat itu bahwa Sayyed Burujurdi tenggelam lama dalam berfikir. Lalu mereka bertanya tentang sebab semua itu, dan beliau menjawab: Saya berfikir apakah ada padaku sebuah amal yang benar-benar murni karena Allah dan benar-benar dimaksudkan karena mengharap ridah-Nya, tanpa ada tujuan selainnya atau tidak ada?
Mereka berkata kepadanya: Wahai tuan kami, alhamdulillah Anda telah banyak berkhidmat kepada hauzah ilmiyyah dan kepada kaum muslimin 64, maka tidak ada alasan lagi untuk ragu. Lalu beliau menggeleng-gelengkan kepalanya dan membacakan sebuah hadis: "Ikhlaslah beramal, karena sesungguhnya an-nâqid (yang membedakan) itu melihat".65
An-nâqid berarti seseorang yang dapat membedakan antara tuli yang asli dan tuli yang palsu. Sebuah kepalsuan akan dapat diketahui orang-orang secara umum jika bentunya cukup besar. Namun jika bentuknya kecil dan samar, ia tidak dapat diketahui kecuali oleh seorang An-nâqid. Berdasarkan riwayat ini, Allah adalah An-nâqid terhadap niatan-niatan seseorang sehingga kuasa membedakan antara niatan yang tulus dan niatan yang palsu. Ia Maha Melihat dan Maha
Menyaksikan sekali pun terhadap kepalsuan dan ketidakmurniaan yang paling kecil.
Untuk itu, hendaknya kita berusaha agar tidak ada kepalsuan sedikit pun dari niatan-niatan dalam amal-amal, ucapan dan pemikiran kita sehingga dengannya kita dapat bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Swt.
Etika berinfak
Pada tema ini kita akan mengkaji sejumlah etika dan landasan berinfak.
1. Berinfak dari sesuatu yang dicintai
Apabila seseorang menginfakkan kelebihan makanan dan pakaian bekas yang dimilikinya maka itu baik dan tidak ada masalah, sekali pun masuk dalam kategori derajat infak paling rendah. Maka untuk mencapai derajat infak yang paling tinggi, ia harus menginfakkan sesuatu yang ia cintai, sebagaimana firman-nya Swt:
"Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya" .66
Diriwayatkan, Sayyidah az-Zahra a.s ketika berangkat ke rumah suaminya untuk pernikahan. Di perjalanan ia bertemu seorang pemohon yang meminta bantuan darinya. Maka beliau tanggalkan baju pengantinnya untuknya, sementara beliau sendiri hanya memakai baju bekas .67 Tidaklah akan pernah ada sepanjang sejarah orang yang dapat menandingi keikhlasan sebagaimana keikhlasan Az-Zahra a.s, sementara saat itu ia seorang gadis yang masih cukup belia. Namun ia rela menginfakkan baju pengantinnya dan merasa cukup dengan pakaian bekas saja lain yang dimilikinya. Ia adalah referesentatif ayat mulia di atas.
Kita mungkin dapat memahami nilai infak dari riwayat yang bersumber dari para maksumum a.s. Imam Ali a.s telah menginfakkan cincinnya dalam posisi ruku, dan untuk kasus ini sebuah ayat al-Qur`an ayat ke 55 dari surat al-Maidah diturunkan.68
Imam Ali a.s diriwayatkan telah membeli dua buah gamis, dan memerintahkan pembantunya untuk melilih dan mengambil salah satunya.69
Dalam sebuah riwayat, Imam ash-Shadiq a.s pernah berkata: "Tidaklah ada sesuatu yang malaikat dikuasakan untuknya selain sadaqah. Karena sesungguhnya ia berada di tangan Allah Swt".70
Kini, apakah layak dan pantas jika seseorang menginfakkan harta yang memang sudah tidak disukai dan akan sampai langsung kepada Allah?
2. Berinfak dengan tujuan mendidik
Etika terpenting ketika berinfak dan menolong adalah berusaha menjaga kehormatan dan kepribadian penerima infak. Allah Swt berfirman dalam al-Qur`an:
"Perkataan yang baik dan pemberian ma`af lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan sipenerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun".
Apabila seorang peminta datang kepadamu meminta sesuatu dan kamu tidak punya apa-apa, maka kamu harus katakan kepadanya; maaf, saya tidak bisa membantumu. Yakni kamu wajib menanggapinya dengan penghormata, dan itu jauh lebih baik dari memberi disertai hardikan dan kata-kata menyakitkan, seperti kamu katakan kepadanya: Semoga setelah ini saya tidak lagi melihatmu. Atau; Ambil ini supaya saya terhindar dari sialmu.
Ajaran etika berinfak yang mulian ini bersumber dari para maksum a.s dengan bentuknya yang sangat jelas. Telah diriwayatkan tentang Imam as-Sajjad a.s:
Apabila seseorang memberi seorang peminta, maka ciumlah tangannya. Lalu beliau ditanya, kenapa harus melakukan demikian? Beliau a.s menjawab: karena sadaqah tersebut sudah berada pada tangan Allah sebelum berada di tangan seorang hamba".71 Berapakah perbedaan antara infak yang murni dan diserta penghormatan dengan infak yang dilakukan dengan ria dan penghinaan?
3. Bersegera dalam berinfak
Tidaklah perlu, was-was dan berfikir lama ketika ingin bersadaqah sebagai upanya mendekatkan diri kepada Allah, karena syetan pada saat itu akan berusaha keras mencegah seseorang dari bersadaqah. Allah Swt berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 268; "Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui".
Sesungguhnya syetan berusaha membisiki seseorang dengan berbagai macam cara. Ia akan mengatakan misalnya; coba kamu fikirkan bagaimana masa depan anak-anakmu, bagaimana hari-hari tuamu nanti. Simpanlah harta-hartamu untuk masa tuamu. Inilah upaya syetan menggagalkan infak seseorang, padahal Allah Swt telah menjanjikan pengampunan dan mengganti kembali harta yang diinfakkan.
Di tengah-tengah manusia syetan sudah diketahui akan menempel terus pada tangan seseorang ketika ia hendak menginfakkan hartanya, sehingga ia membatalkan niat infaknya. Inilah penjelasan lain ayat tersebut.
Seperti diketahui bahwa Al-Qur`an belum pernah menggunakan kata fakr kecuali dalam ayat ini yang dinisbatkan kepada syetan. Siapakah yang memberimu rizki ketika kamu masih janin saat berada dalam tiga kegelapan? Allah lah Sang pemberi rizki, Ia juga akan menjami rizkimu dan rizki anak-anakmu ketika kamu sudah tua dan lemah.
Di sana terdapat perkataan indah seorang pembesar; Saya tidak berbuat sesuatu untuk masa depan anak-anakku, karena kalau mereka termasuk kekasih (wali) Allah, maka Allah tidak akan mungkin menelantarkan seorang walinya sendirian. Dan apabila ia termasuk musuh Allah, maka apa lagi yang bisa saya lakukan.
4. Sadaqah tersembunyi dan terang-terangan
Kesimpulan yang dapat diambil dari berbagai riwayat adalah bahwa sadaqah merupakan amal yang lebih utama disampaikan secara rahasia, hanya saja dalam sejumlah kondisi sadaqah justru perlu dinyatakan dan dipublikasikan untuk umum, karena alasan-alasan tertentu.72 Hal ini telah dijelaskan oleh al-Qur`an dalam surat al-Baqarah ayat 271:
"Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan".
5. Mengutamakan orang-orang miskin yang menutupi kemiskinannya
Al-Qur`an al-Karim menggambarkan orang-orang miskin yang menutup-nutupi kemiskinannya sebagai orang yang benar-benar membutuhkan bantuan sehingga mereka layak diutamakan menerima sadaqah dan bantuan. Pesan ini disinggung dalam surat al-Baqarah ayat 273: "(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui".
Orang-orang miskin yang memiliki harga diri tinggi dan orang-orang sepertinya adalah lebih pantas dan lebih berhak menerima sadaqah dan bantuan. Lebih lagi pada bulan Ramadhan sebagai bulan berkah dimana alam-amal biasa saja akan dihitung sebagai ibadah, dan apalagi disertai dengan nilai ketaatan. Ketaatan akan bernilai tinggi sebagaimana sadaqah, sesuai dengan falsafah puasa, merasakan penderitaan orang-orang yang membutuhkan solusi dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.73
Perumpamaan Ketujuh:
Akibat Sebuah Berbuatan
Allah Swt berfiman terkait sebuah perumpamaan dalam al-Qur`an pada surat al-Baqarah ayat 266 sebagai berikut: "Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya".
Gambaran penjelasan
Bagaimana mungkin salah seorang dari kalian mengharapkan ditimpa bencana di masa ketika ia sudah berumur senja, padahal sebelumnya ia memiliki sebuah kebun yang diipenuhi kurma dan pohon-pohon lain yang berbuah, dan juga terdapat sungai-sungai. Ia memiliki anak-anak dan keturunan yang lemah, sementara dalam kondisi lemah seperti ini kebunya diserang badai topan besera api yang melalap kebun dan apapun yang ada di dalamnya. Ia pun kini di usia senjanya menjadi seorang yang lemah dan hina.
Syarah dan tafsir
Terdapat banyak sekali tafsiran para mufassir terkait dengan ayat ini. Sebagin mufassir meyakini bahwa perumpamaan ini menjelaskan akibat seseorang yang membakar hasil-hasil infaknya dan melalapnya dengan api ria, maka seluruh ibadah dan amal-amal salehnya akan sirna sia-sia.
Ada sekelompk orang yang telah banyak beramal dari haji, shalat, puasa, jihad membangun masjid, mendirikan rumah sakit, dan membantu anka-anak yatim selama kurun waktu cukup lama, hanya saja kemudian ia membakarnya sehingga seluruh amalnya hilang dan sementara bekas-bekasnya bertaburan ditiup angin. Demikian itu dimaksudkan agar ia berkaca dan mengintrospeksi diri.74
Sekelompok mufassir berpandangan bahwa perumpamaan tersebut tidaklah hanya dikhususkan untuk ria, melainkan mencakup semua bentuk dosa. Ayat tersebut mengingatkan kaum muslimin agar menjaga amal-amal serta ibadahnya dari dosa-dosa yang dapat menghilangkan dan membakarnya.
Berdasarkan ayat ini, apabila seseorang tidak mengontrol amal-amalnya, maka ia akan mengalami nasib seperti nasib masa tuan orang ini, dimana ia telah hidup sengsara bersama keluwarga dan anak-anaknya. Ia telah menjadikan masa depan anak-anaknya masa depan yang suram.75
Dengan kata lain; wahai manusia, jagalah selalu amal-amal dan ibadahmu dengan cara yang baik, dan fikirkanlah akibat-akibat perbuatanmu. Sesungguhnya menjaga sebuah amal jauh lebih sulit daripada melakukan amal itu sendiri.
Rosulullah Saw bersabda: Barang siapa membaca tiada tuhan selain Allah (lâ ilâha illallah), maka Allah menanamkan untuknya sebuah pohon di sorga". Artinya bahwa setiap kali seseorang mengucapkan kaimat ini, akan ditanamkan untuknya sebuah pohon di surga.
Yang dapat disimpulkan dari hadis ini adalah bahwa surga dan juga neraka dibangun berdasarkan amal-amal kita. Artinya bahwa ia belum dibangun sebelumnya.
Rosulullah Saw bersabda: "Barang siapa mengucapkan maha Suci Allah (subhânallah), maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah pohon di surga.
Barang siapa mengucapkan segala puji bagi Allah (Alhamdulillah), maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah pohon di surga. Barang siapa mengucapkan tiada tuhan selain Allah (lâ ilâha illallah), maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah pohon di surga. Dan barang siapa mengucapkan Allah Maha Besar (Allahu Akbar), maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah pohon di surga".
Seorang laki-laki dari Quraisy pernah berkaat kepada Rosulullah Saw: Wahai Rosulullah, berarti kita punya banyak pohon di surga? Beliau menjawab: Benar, namun hati-hati jangan sampai kalian mengirimkan api kepadanya lalu kalian membakarnya. Itulah maksud firman Allah Azza wa Jalla: "Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan sipenerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian".76
Dalam hadis lain, Rosulullah Saw berabda: "para ulama seluruhnya celaka kecuali mereka yang mengamalkan ilmunya. Setiap mereka yang mengamalkan ilmunya akan celaka kecuali mereka yang ikhlas melakuaknnya, dan orang-orang ikhlas pun masih juga berbahaya (belum aman posisinya, penej).77
Dalam hadis ini terdapat peringatan lain kepada manusia agar tidak menghilangkan amal-amalnya yang murni (ikhlas) yang lalu dengan dosa-dosa yang akan datang.
Firman-Nya; "Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur", adalah isyarat hanya kepada buah anggur dan kurma saja, todak yang lainnya, karena keduanya adaklah buah-buahan makanan pokok paling penting bagi manusia.
Firman-Nya; "mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan," adalah kebun yang di dalamnya terapat sebuah kanal atau kolam sehingga dapat dialiri air darinya. H..109...
Firman-Nya; "kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil (lemah-lemah)", artinya bahwa pemilik kebun ini sudah berumur tua. Sementara keturunan yang lemah berarti keturunannya tidak mungkin bisa membantunya mengurusi urusan perkebunan, bahkan anak-anaknya yang masih kecil ini senantiasa merepotkan dan membenaninya. Namun kebun tersebut sudah tiga lagi membutuhkan perawatan cukup berat dan terus-menerus sehingga mereka dapat mengambil manfaat dari buah-buahannya.
Firman-Nya; "Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah". Artinya, disaat kakek tua itu sedang sangat membutuhkan jasa kebun ini, tiba-tiba kebunnmya diterpa badai hingga kebakaran seluruhnya dan berubah menjadi abu, lalu abu-abunya terbang dibawa angin hingga tidak tersisa apapun darinya.
Badai merupakan kondisi yang dihasilkan oleh pertemuan dua jenis angin dari dua arah yang berlawanan. Ketika berada di suatu tempat, ia akan menghancurkan apapun yang ada di situ dengan kekuatan dahsyat. Terkadang ia menyapu air laut dan mengangkat ikan-ikat di dalamnya dan menjatuhkannya di tempat lain sehingga sebagian orang menganggap ia turun dari langit. Terkadang juga orang terbawa olehnya dan kemudian dijatuhkan di tempat lain.
Pertanyaan, bagaimana api bisa muncul bersamaan dengan badai? Terdapat banyak sekali analisa sebagai jawaban atasnya;
a. Sebagian analis meyakini bahwa badai sebenarnya tidak mengandung api. Api tersebut dihasilkan dari halilintar, dan halilintar lah yang membakar kebun terebut, lalu datanglah badai mengangkat debu-debu kebakaran kebun dan memindahkannya ke tempat lain.
b. Badai terkadang bertemu dengan api yang menyala, lalu ia menyeretnya hingga sampai ke kebun tersebut, membakar dan merubahnya menjadi debu-debu.
c. Badai ini bukanlah badai yang biasa dikenal. Ia adalah badai yang biasa disebut "sumum" atau angin panas yang kebanyakan muncul di wilayah Saudi, dan orang-orang yang berada di jalurnya biasa bercadar dan bertiarap hingga badai itu lepas dari mereka. Dan ketika badai ini melewati kebun tersebut, ia membakar dan menghancurkannya.
Firman-Nya; "Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya". Tujuan Allah memberikan perumpamaan ini adalah agar mereka berfikir dan menggunakan akalnya. Ayat ini mengingatkan agar seseorang menitipkan dirinya kepada kekuasaan (tangan) Allah dan menyadari bahwa seluruh amal, ibadah dan ketaatan yang dilakukannya masih sedikit di sisi Allah Swt. Sementara kenikmatan, kebaikan dan keberuntungan yang datang dari Allah Swt kepadanya tidaklah sebanding dengan ibadan dan amalnya.
Sayangnya, manusia yang lemah ini terkadang tidak berpikir dengan baik dan menipu dirinya sendiri dengan rakaat-rakaat shalat dan puasa yang dilakukannya sekian lama, dan karenanya ia menganggap dirinya sebagai penghuni surga, atau bahkan meyakini bahwa surga memang wajib diperuntukkan untuknya.
Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang dirahmati, dan jangan jadikan kami termasuk orang-orang yang diharamkan dari rahmatMu.
Keburukan adalah akibat dari perbuatan seseorang
Dimasa al-Bahlawi, ada seorang pelajar hauzah yang sangat beragama, bertaqwa, dan seing kali mengontrol amal-amalnya. Ia penah marah, cemberut dan menjauhi saudaranya karena tidak membayar khumus dan zakat. Pada suatu hari, pelajar ini jatuh sakit cukup serius. Lalu ia dibawa saudaranya kerumahnya untuk dirawat. Di tengah-tengah ia dirawat di rumah saudaranya, datanglah seorang ustadz untuk menjenguknya. Ketika ustadz itu hendak duduk, ia berkata kepadanya: janganlah duduk di atas sadah itu, karena ia hasil gashab (rampasan hak orang lain, penej). Namun zaman kemudian merubah pelajar ini sehingga bebeda jauh dari sebelumnya, bahkan kini ia tidak pernah lepas dari makanan-makanan memabukkan.
Imam Ali a.s berkata dalam khutbah singkatnya yang berisikan efek-efek takabbur dan sombong:78 "Ambilah pelajaran dari apa yang dilakukan Allah terhadap iblis. Ia telah menihilkan amal-amal perbuatannya yang agung dalam waktu lama karena kesombongan sejenak, walau pun Iblis telah menyembah Allah enam ribu tahun lamanya, apakah tahun menurut perhitunagn dunia ini atau dunia yang akan datang, tidak diketahui". Sesungguhnya takabbur telah menghancurkan amal-amalnya dan menjerumsukan ke titik akhir yang tidak terpuji.
Atas dasar ini, untuk selamanya janganlah seseorang membanggakan ibadan dan amal-amalnya, bahkan hendaknya ia senantiasa memohon rahmat dan ampunan Allah Swt. Ya Allah jadikanlah akhir urusan kami dengan kebaikan.
Sasaran ayat; Penghapusan Amal dan Penebusan Dosa (ihbâth wat takfîr)
Diantara pembahasan penting dalam teologi (ilmu kalam) adalah pembahasan ihbâth wat takfîr yang telah disinggung sejumlah ayat al-Qur`an.
Sesungguhnya ihbâth adalah gambaran tentang amal dan dosa-dosa, yang jika melakukannya maka kebaikan-kebaikan dan ibadah seseorang akan sirna.
Sementara takfîr adalah gambaran tentang amal-amal yang yang jika dilakukan, maka dosa-dosa akan sirna dan terhapuskan. Sebagai contoh, kesombongan syetan dan rasa hasudnya menjadi sebab amal-amal yang telah ia kerjakan selama enam ribu tahun gugur. Sementara taubat al-Hur bin Yazid ar-Rayâhî pada perinstiwa al-Husein telah menjadi penghapus (takfîr) dosa-dosa yang telah ia lakukan.
Sesungguhnya taubat dapat memupas api-api dosa, karena itu kaum muslimin hendaknya selalu bertaubat dan kembali kepada Allah dengan do`a dan munajat serta tawassul kepada para imam maksum a.s.
Berdasarkan ayat tersebut, sesungguhnya doa-doa pada malam sepertiga dari bulan Ramadhan berkaitan dengan masalah ihbat dan takfir. Kita membaca dalam do`a malam al-Qadar misal; "Andaikan aku termasuk orang-orang...h.111". Bagain awal do`a tersebut berkaitan dengan masalah ihbât dan bagian keduanya berkaitan dengan maslah takfîr.
Argumentasi ihbâth wat takfîr
Sekalipun sejumlah ulama Islam tidak meyakini adanya ihbâth wat takfîr dan menganggap antara keduanya tidak dapat saling memeri efek apapun. Amal baik tidak akan berpengaruh terhadap amal-amal buruk, dan sebaliknya amal-amal buruk tidak akan berpengaruh terhadap amal-amal baik. Namun al-Qur`an menjelaskan ihbâth wat takfîr dalam sejumlah ayat-ayatnya. Sebagai contoh akan saya sebutkan sebagiannya;
a. Allah Swt berfirman dalam surat Hud ayat 114 sebagai berikut: "Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.".
b. Dalam surat al-Maidah ayat 5, al-Qur`an al-Majid menjelaskan: "Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi".79
Atas dasar ini, prinsip ihbâth wat takfîr sebenarnya telah dibahas dalam ayat-ayat al-Qur`an. Hanya saja di dalamnya tidak terlalu jelas dosa-dosa apa saja yang dapat mengihbat kebaikan, dan amal-amal baik apa saja yang dapat mengtakfir dosa-dosa. Semuanya itu kami simpulkan dari berbagai riwayat yang ada.
Yang harus kita lakukan adalah menjaga amal-amal baik kita karena khawatir amal perbuatan buruk yang akan menggugurkan (mengihbat) amala-amalan bernilai besar tersebut. Maka apabila kita melakukan dosa, mohonlah kepada Allah dengan tangisan dan ratapan sehingga mengalir lautan ampunan menghapus dosa-dosa tersebut. Apabila pribadi seperti Imam Ali a.s saja bersujud dan berkata dalam sujdunya dengan penuh ketundukan: Oh alangkah sedikitnya bekalku, alangkah panjangnya perjalananku, alangkah jauhnya perjalananku….".80 lalu bagaimana pula dengan kita, saya dan Anda?
Perumpamaan kedelapan:
Makanan Riba
Allah Swt berfirman dalam surat al-Baqarah ayat ke 275 sebagai berikut: "Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya".
Obyek pembahasan
Sesungguhnya pemakan riba berdasarkan ayat ini ketika mereka memasuki Mahsyar pada hari kiamat seperti orang-orang mabuk dan gila atau orang-orang ketakutan. Mereka tidak dapat mengontrol dirinya dan tidak dapat menjaga keseimbangannya sehingga terus menerus jatuh bangun. Kondisi ini memancing perhatian para penghuni Mahsyar sehingga dapat mengenali bahwa mereka adalah para pemakan riba.
Hubungan ayat tersebut dengan ayat sebelumnya.
Ayat-ayat sebelumnya berbicara tentang sadaqah dan infka di jalan Allah, dan ayat ini pun masih berkaitan dalam beberapa hal dengan sadaqah. Demikain itu karena sadaqah terdiri dari dua macam:
1. Sadaqah yang tidak kembali, yaitu infak dan bantuan kepada mereka yang membutuhkan
2. Sadaqah yang kembali, yaitu hutang atau pinjaman baik (qardan hasana).
Hutang yang tidak diserta dengan bunga disebut qardan hasana, dan apabila disertai bunga maka ia adalah riba dan haram hukumnya. Dalam sejumlah riwayat disebutkan bahwa pahala memberi sadaqah dan bantuan yang perlu dikembalikan akan mendapatkan pahala sepuluh kali lipat, sementara pinjaman atau bantuan yang perlu dikembalikan pahalanya delapan belas kali lipat .81
Dari Rosulullah Saw, beliau bersabda: "Saya melihat sebuah tulisan di pintu surga "Sadaqah memiliki sepuluh pahala dan pinjaman (qardh) delapan belas pahala". Lalu saya berkata: wahai Jibril, kenapa demikian padahal orang yang bersadaqah tidak mengharap dikembalikan dan sementara orang yang meminjamkan mengharap dikembalikan? Ia menjawab; Ya. Demikian itu karena tidak setiap sadaqah diterima oleh mereka yang benar-benar membutuhkannya, sementara orang yang meminjam tidaklah mungkin kecuali karena benar-benar membutuhkannya. Sadaqah terkadang tidak sampai kepada mustahik (yang berhak) nya, sehingga pinjaman jauh lebih utama dari sadaqah". Sebabnya cukup jelas, orang-orang yang menghutang adalah mereka yang benar-benar membutuhkan. Ia membutuhkan tapi tetap memiliki harga diri sehingga tidak mau meminta-minta..
Atas dasar ini, ada dua hal yang penting dari sebuah pinjaman; pertama, ia dapat mengangkat kebutuhan orang-orang yang membutuhkan. Kedua, tetap menjaga kehormatan dan harga diri peminjamnya.
Dan berdasarkan atas ayat "Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya)" 82, maka karena pinjaman mengandung dua kebaikan, ia pun mengandung dua puluh kebaikan sekaligus. Namun, karena pada waktu tertentu ia harus dikembalikan, maka kebaikannya berkurang menjadi delapan belas.
Syarah dan tafsir
Firman-Nya: "Orang-orang yang makan (mengambil) riba", yakni bahwa para pemakan harta riba akan mendapatkan bencana di hari Mahsyar nanti, mereka berjalan seperti jalan orang gila atau bingung.
Firman-Nya: "Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba", artinya bahwa bencana yang mereka dapatkan di alam Mahsyar sana adalah karena makanan riba yang mereka makan, lalu menjustifikasi perbuatannya itu dengan berkata; sesungguhnya jual beli sama seperti riba. Ia halal sebagaimana halalnya jual beli.
Firman-Nya: "padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba". Perdagangan dan jula beli adalah dihalalkan karena di dalamnya terkandung kemaslahatan, berbeda dengan riba yang di dalamnya terkandung berbagai bencana yang dapat menghancurkan kemaslahatan. Dalam jual beli terkadang mengalami keuntungan dan terkadang kerugian, sementara kondisinya dalam riba tidaklah demikian. Pemakan riba selalu mendapatkan keuntungan dan tidak pernah mengalami kerugian apapun, sementara kerugian tersebut selalu ditanggung pihak peminjam sehingga ia mendapatkan harta dengan tanpa cape.
Makanan riba adalah penyebab kesenjangan kelas sosial dalam sebuah masyarakat, karena kenyataannya apabila riba merajalera di sebuah masyarakat, maka dalam waktu singkat kekayaan dan harta benda mereka akan terkumpul di pihak pemakan riba sehingga hidup dalam kondisi paling buruk.
Firman-Nya: "Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah". Sejak permulaan peringatan-Nya, Allah Swt menjelaskan bahwa rahmat dan ampunan-Nya mencakup mereka yang pernah melakukan riba sebelum turun ayat ini, maka tidak ada kekhawatiran dan ketakutan atas mereka dari tidak mendapatkannya.
Orang-orang yang memiliki harta pada orang lain, harus membersihkan harta-harta miliknya dari riba. Maka semenjak hari ini mereka tidak lagi memiliki harta benda riba kecuali bentuk modalnya saja, dan karena itu mereka berhak mendapatkan lebih banyak dari itu.
Firman-Nya: "Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya". Allah Swt mengancam dengan ayat ini bahwa mereka yang kembali lagi memperaktekan riba setelah turun ayat ini, yang dalam riwayat lain disebutkan sebagai perbuatan keji dan melampoi batas.83 Sesungguhnya jahannam menanti mereka dan mereka akan kekal di dalamnya.
Pertanyaan; bukankah kekekalan dalam neraka dikhusukan untuk orang-orang kafir, lalu apa maksud kekekalan para pemakan riba di dalamnya?
Jawabannya: Dari tafsir-tafsir yang telah kami kemukakan nampak jelas bahwa para pemakan riba akan mati dalam keadaan tidak umunm disebabkan perbuatan buruknya ini. Dan tentu orang-orang non-mukmin akan kekal di dalam jahannam .84
Sasaran-sasaran ayat tersebut:
Siksa memakan harta riba terjadi di dunia dan di akhirat.
Terdapat sejumlah perdebatan dikalangan para mufassir apakah penyerupaan para pemakan riba dalam ayat tersebut berlaku di penghujung kehidupan dunia, atau merupakan siksa dan balasan di akhiran nanti?
Dengan bantuan beberapa riwayat, di sana menunjukkan ada dua jenis pase akhir pada kedua alam tersebut. Dalam tafsir "Nûruts Tsaqalain" dikutif sebuah diwayat dari Imam ash-Shadiq a.s, beliau berkata: "Pemakan riba tidaklah akan keluar dari dunia sehingga ia ditimpa sesuatu yang menyakitkan"85 . Maksud sesuatu yang menyakitkan di sini adalah kegilaan.
Dalam riwayat lain yang berbicara tentang peristiwa Mi`raj 86, Rosulullah Saw bersabda: "Ketika Ia mengisrakan aku ke langit, saya melihat suau kaum. Salah seorang dari mereka ingin berdiri namun tidak kuasa untuk itu karena perutnya yang besar. Saya bertanya: Siapakah mereka wahai Jibril? Jibril menjawab: Mereka adalah orang-orang yang memakan riba".87
Penisbatan gila kepada syetan.
Kenapa dalam ayat tersebut kegilaan dinsibatkan kepada syetan? Dari redaksi tekstual ayatnya dapat disimpulkan bahwa syetan adalah penyebab kegilaan seseorang. Namun pembahasan ilmiyah tidak seperti itu, melainkan ada sebab-sebab lain selainnya yang tidak ada hubungannya dengan syetan. Di sini terdapat sejumlah tafsiran para mufassir terkait dengan ayat tersebut, dan sebagai contoh saya akan sebutkan sebagiannya di sini;
a. Al-Qur`an berbicara kepada manusia sesuai dengan keyakinan-keyakinannya. Orang-orang Arab pada masa itu meyakini bahwa kegilaan datang dari syetan, atau syetan telah merasuki tubuh seseorang sehingga ia gila. Karena itulah penjelasan ayat tersebut adalah kinayah (makna samaran) tentang kegilaan.
b. Kalimat tersebut dimaksudkan untuk makna hakikinya dan bukan makna kiasannya. Penisbatan gila kepada syetan adalah karena Allah Swt menjadikan balasan kepada para pendosa karena pengaruh syetan atas mereka. Pengaruh syetan inilah yang menyebabkan mereka stres dan gila.
Kesamaan antara siksa dan tindak keriminal.
Beberapa mufassir meyakini bahwa siksa yang dialamatkan al-Qur`an untuk sebuah dosa tidaklah sesuai dengan dosa tersebut, namun siksa yang ditetapkan untuk para pemakan riba dan siksa kegilaan terhadap sesuatu memiliki kesamaan dan keterkaitan erat. Para pemakan riba dengan perbuatan-perbuatan buruknya telah melakukan pengendalian ekonomi dan menjauhkan masyarakat dari keadilan sehingga tidak ada pemerataan ekonomi dalam masyarakat.
Demikian juga dirinya sendiri akan mendapatkan bencana dari perbuatannya ini di masa-masa akhir hayatnya.
Dalam sebuah riwayat dari Imam al-Baqur a.s, ia berkata: "satu kedzalima di dunia adalah setara kedzaliman-kedzaliman di akhirat".88
Falsafah pengharaman riba
Sebagaimana riba dapat menimbulkan berbagai macam kerusakan, maka pengharamnya secara otomatis akan mengarah pada falsafah-falsafahnya. Berikut kami sebutkan sebagiannya;
a. Sesungguhnya kedzaliman yang ditunjukkan pada ayat 279 dari surat al-Baqrah adalah falsafah pengharaman riba.
b. Falsafah lain pengharaman riba adalah menetapkan sunnah Rosulullah Saw (pinjaman tanpa bunga) di tengah-tengah masyarakat, sebagaimana banyak disebutklan dalam berbagai riwayat. Sebuah riwayat dari Sahamah, dari Imam ash-Shadiq a.s dimana beliau ditanya: Saya lihat Allah Swt telah menyebutkan riba berulang-ulang pada lebih dari satu ayat? Beliau a.s berkata: Apakah kamu tahu kenapa demikian? Saya berkata: Tidak. Beliau a.s berkata: Agar orang-orang tidak berlaku pura-pura pada sesuatu yang sudah terkenal" .89
Artinya bahwa jika riba menjangkit dan merajalela, maka orang-orang akan meninggalkan sunah memberi pinjaman tanpa bunga (qardh). Karena itu riba diharmakan dalam syari`at Islam.
Hubungan antara etika dan ekonomi dalam Islam
Sangatlah jauh perbandingan antara ekonomi Islam dan ekonomi materialis. Perbedaan paling mencolok antara keduanya adalah bahwa ekonomi Islami merupakan konposisi dari akhlak dan prinsip-prinsip kemanusiaan, sementara ekonomi materialis tidak mengandung nilai etika melainkan hanya sentimental emosional aja. Bahkan kepentingan material dianggap sebagai prinsip utama sistem ekonomi ini. Atas dasar ini, segala sesuatunya berbeda dan bertentangan antara keduanya, dimana ekonomi materialis hanya berjuang untuk kepentingan materi. Produksi narkotika dan obat-obat sejensinya -yang dikategorikan bertentangan dengan perinsip kemanusiaan- menjadi hal yang tidak begitu serius diperhatikan di sejumlah negara, termasuk di negara-negara yang melakukan gerakan anti narkoba dengan mengadakan berbagai seminar yang terkait dengannya dari saat ke saat juga tidak lepas dari peredaran obat-obatan terlarang ini.
Sesungguhnya para seponsor dan pendukung sistem ekonomi materialis tidak banyak memperhatikan kerusakan generasi pemuda, kemerosotan nilai-nilai moral serta kehancurkan berbagai prinsif sosial, dan mereka hanya mementingkan kemaslahatannya saja.
Peraktek jual beli manusia dan anak-anak sekalipun ditentang oleh semua prinsip kemanusiaan itu dianggap boleh oleh para pendukung HAM palsu, dan mereka mengetahuinya dengan bentuk yang tidak terang-terangan.
Siapakah yang memasok senjata-senjata pemusnah masal, bom-bom kimia dan makrobilogi, rudal-rudal jarak jauh, bom-bom cluster, dan jenis bom-bom lain semisalnya yang ditujukan untuk menggoyang kedaulatan republik Islam Iran? Kenapa para seponsor HAM diam dan tidak mau angkat berbicara? Padahal sebelumnya mereka mengangkat selogan pengecaman terhadap serangan Irak ke Kuwait dan menyimpulkan perlunya diadakan pelucutan senjata.
Sesungguhnya rahasia sikap dualisme mereka sangat jelas. Negara-negara sombong itu pada suatu hari berkepentingan mempersenjatai Irak dengan persenjataan-persenjataan tercanggih dan mendorongnya untuk berperang. Kepentingan-kepentingan ini juga yang pada suatu hari nanti mendorong pelucutan senjata Irak untuk mensukseskan kepentingan-kepentingan mereka yang lainnya. Yang dominan dalam semua itu adalah kepentingan-kepentingan material, sementara prinsip-perinsip kemanusiaan terkalahkan olehnya.
Prinsip yang berlaku dalam sistem ekonomi Islami adalah akhlak, dan prkatek-praktek ekonomi yang dimaksudkan untuk mendapatkan kepentingan materi haruslah tunduk dibawah prinsip-iprinsip akhlak. Karena itu, Islam mengharamkan kegiatan-kegiatan ekonomi yang memunculkan kerusakan. Sebagai contoh, Islam melarang mendirikan tempat-tempat maksiat, mengharamkan jual-beli minuman keras dan judi, atau mendirikan lembaga ekonomi riba, dan lain sebagainya. Demikian itu karena ia akan menjadi sumber berbagai kehancuran. Sesuatu yang tidak berkesesuaian dengan akhlak Islam.
Sesungguhnya nilai-nilai etika
Makanan Riba
Allah Swt berfirman dalam surat al-Baqarah ayat ke 275 sebagai berikut: "Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya".
Obyek pembahasan
Sesungguhnya pemakan riba berdasarkan ayat ini ketika mereka memasuki Mahsyar pada hari kiamat seperti orang-orang mabuk dan gila atau orang-orang ketakutan. Mereka tidak dapat mengontrol dirinya dan tidak dapat menjaga keseimbangannya sehingga terus menerus jatuh bangun. Kondisi ini memancing perhatian para penghuni Mahsyar sehingga dapat mengenali bahwa mereka adalah para pemakan riba.
Hubungan ayat tersebut dengan ayat sebelumnya.
Ayat-ayat sebelumnya berbicara tentang sadaqah dan infka di jalan Allah, dan ayat ini pun masih berkaitan dalam beberapa hal dengan sadaqah. Demikain itu karena sadaqah terdiri dari dua macam:
1. Sadaqah yang tidak kembali, yaitu infak dan bantuan kepada mereka yang membutuhkan
2. Sadaqah yang kembali, yaitu hutang atau pinjaman baik (qardan hasana).
Hutang yang tidak diserta dengan bunga disebut qardan hasana, dan apabila disertai bunga maka ia adalah riba dan haram hukumnya. Dalam sejumlah riwayat disebutkan bahwa pahala memberi sadaqah dan bantuan yang perlu dikembalikan akan mendapatkan pahala sepuluh kali lipat, sementara pinjaman atau bantuan yang perlu dikembalikan pahalanya delapan belas kali lipat .81
Dari Rosulullah Saw, beliau bersabda: "Saya melihat sebuah tulisan di pintu surga "Sadaqah memiliki sepuluh pahala dan pinjaman (qardh) delapan belas pahala". Lalu saya berkata: wahai Jibril, kenapa demikian padahal orang yang bersadaqah tidak mengharap dikembalikan dan sementara orang yang meminjamkan mengharap dikembalikan? Ia menjawab; Ya. Demikian itu karena tidak setiap sadaqah diterima oleh mereka yang benar-benar membutuhkannya, sementara orang yang meminjam tidaklah mungkin kecuali karena benar-benar membutuhkannya. Sadaqah terkadang tidak sampai kepada mustahik (yang berhak) nya, sehingga pinjaman jauh lebih utama dari sadaqah". Sebabnya cukup jelas, orang-orang yang menghutang adalah mereka yang benar-benar membutuhkan. Ia membutuhkan tapi tetap memiliki harga diri sehingga tidak mau meminta-minta..
Atas dasar ini, ada dua hal yang penting dari sebuah pinjaman; pertama, ia dapat mengangkat kebutuhan orang-orang yang membutuhkan. Kedua, tetap menjaga kehormatan dan harga diri peminjamnya.
Dan berdasarkan atas ayat "Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya)" 82, maka karena pinjaman mengandung dua kebaikan, ia pun mengandung dua puluh kebaikan sekaligus. Namun, karena pada waktu tertentu ia harus dikembalikan, maka kebaikannya berkurang menjadi delapan belas.
Syarah dan tafsir
Firman-Nya: "Orang-orang yang makan (mengambil) riba", yakni bahwa para pemakan harta riba akan mendapatkan bencana di hari Mahsyar nanti, mereka berjalan seperti jalan orang gila atau bingung.
Firman-Nya: "Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba", artinya bahwa bencana yang mereka dapatkan di alam Mahsyar sana adalah karena makanan riba yang mereka makan, lalu menjustifikasi perbuatannya itu dengan berkata; sesungguhnya jual beli sama seperti riba. Ia halal sebagaimana halalnya jual beli.
Firman-Nya: "padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba". Perdagangan dan jula beli adalah dihalalkan karena di dalamnya terkandung kemaslahatan, berbeda dengan riba yang di dalamnya terkandung berbagai bencana yang dapat menghancurkan kemaslahatan. Dalam jual beli terkadang mengalami keuntungan dan terkadang kerugian, sementara kondisinya dalam riba tidaklah demikian. Pemakan riba selalu mendapatkan keuntungan dan tidak pernah mengalami kerugian apapun, sementara kerugian tersebut selalu ditanggung pihak peminjam sehingga ia mendapatkan harta dengan tanpa cape.
Makanan riba adalah penyebab kesenjangan kelas sosial dalam sebuah masyarakat, karena kenyataannya apabila riba merajalera di sebuah masyarakat, maka dalam waktu singkat kekayaan dan harta benda mereka akan terkumpul di pihak pemakan riba sehingga hidup dalam kondisi paling buruk.
Firman-Nya: "Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah". Sejak permulaan peringatan-Nya, Allah Swt menjelaskan bahwa rahmat dan ampunan-Nya mencakup mereka yang pernah melakukan riba sebelum turun ayat ini, maka tidak ada kekhawatiran dan ketakutan atas mereka dari tidak mendapatkannya.
Orang-orang yang memiliki harta pada orang lain, harus membersihkan harta-harta miliknya dari riba. Maka semenjak hari ini mereka tidak lagi memiliki harta benda riba kecuali bentuk modalnya saja, dan karena itu mereka berhak mendapatkan lebih banyak dari itu.
Firman-Nya: "Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya". Allah Swt mengancam dengan ayat ini bahwa mereka yang kembali lagi memperaktekan riba setelah turun ayat ini, yang dalam riwayat lain disebutkan sebagai perbuatan keji dan melampoi batas.83 Sesungguhnya jahannam menanti mereka dan mereka akan kekal di dalamnya.
Pertanyaan; bukankah kekekalan dalam neraka dikhusukan untuk orang-orang kafir, lalu apa maksud kekekalan para pemakan riba di dalamnya?
Jawabannya: Dari tafsir-tafsir yang telah kami kemukakan nampak jelas bahwa para pemakan riba akan mati dalam keadaan tidak umunm disebabkan perbuatan buruknya ini. Dan tentu orang-orang non-mukmin akan kekal di dalam jahannam .84
Sasaran-sasaran ayat tersebut:
Siksa memakan harta riba terjadi di dunia dan di akhirat.
Terdapat sejumlah perdebatan dikalangan para mufassir apakah penyerupaan para pemakan riba dalam ayat tersebut berlaku di penghujung kehidupan dunia, atau merupakan siksa dan balasan di akhiran nanti?
Dengan bantuan beberapa riwayat, di sana menunjukkan ada dua jenis pase akhir pada kedua alam tersebut. Dalam tafsir "Nûruts Tsaqalain" dikutif sebuah diwayat dari Imam ash-Shadiq a.s, beliau berkata: "Pemakan riba tidaklah akan keluar dari dunia sehingga ia ditimpa sesuatu yang menyakitkan"85 . Maksud sesuatu yang menyakitkan di sini adalah kegilaan.
Dalam riwayat lain yang berbicara tentang peristiwa Mi`raj 86, Rosulullah Saw bersabda: "Ketika Ia mengisrakan aku ke langit, saya melihat suau kaum. Salah seorang dari mereka ingin berdiri namun tidak kuasa untuk itu karena perutnya yang besar. Saya bertanya: Siapakah mereka wahai Jibril? Jibril menjawab: Mereka adalah orang-orang yang memakan riba".87
Penisbatan gila kepada syetan.
Kenapa dalam ayat tersebut kegilaan dinsibatkan kepada syetan? Dari redaksi tekstual ayatnya dapat disimpulkan bahwa syetan adalah penyebab kegilaan seseorang. Namun pembahasan ilmiyah tidak seperti itu, melainkan ada sebab-sebab lain selainnya yang tidak ada hubungannya dengan syetan. Di sini terdapat sejumlah tafsiran para mufassir terkait dengan ayat tersebut, dan sebagai contoh saya akan sebutkan sebagiannya di sini;
a. Al-Qur`an berbicara kepada manusia sesuai dengan keyakinan-keyakinannya. Orang-orang Arab pada masa itu meyakini bahwa kegilaan datang dari syetan, atau syetan telah merasuki tubuh seseorang sehingga ia gila. Karena itulah penjelasan ayat tersebut adalah kinayah (makna samaran) tentang kegilaan.
b. Kalimat tersebut dimaksudkan untuk makna hakikinya dan bukan makna kiasannya. Penisbatan gila kepada syetan adalah karena Allah Swt menjadikan balasan kepada para pendosa karena pengaruh syetan atas mereka. Pengaruh syetan inilah yang menyebabkan mereka stres dan gila.
Kesamaan antara siksa dan tindak keriminal.
Beberapa mufassir meyakini bahwa siksa yang dialamatkan al-Qur`an untuk sebuah dosa tidaklah sesuai dengan dosa tersebut, namun siksa yang ditetapkan untuk para pemakan riba dan siksa kegilaan terhadap sesuatu memiliki kesamaan dan keterkaitan erat. Para pemakan riba dengan perbuatan-perbuatan buruknya telah melakukan pengendalian ekonomi dan menjauhkan masyarakat dari keadilan sehingga tidak ada pemerataan ekonomi dalam masyarakat.
Demikian juga dirinya sendiri akan mendapatkan bencana dari perbuatannya ini di masa-masa akhir hayatnya.
Dalam sebuah riwayat dari Imam al-Baqur a.s, ia berkata: "satu kedzalima di dunia adalah setara kedzaliman-kedzaliman di akhirat".88
Falsafah pengharaman riba
Sebagaimana riba dapat menimbulkan berbagai macam kerusakan, maka pengharamnya secara otomatis akan mengarah pada falsafah-falsafahnya. Berikut kami sebutkan sebagiannya;
a. Sesungguhnya kedzaliman yang ditunjukkan pada ayat 279 dari surat al-Baqrah adalah falsafah pengharaman riba.
b. Falsafah lain pengharaman riba adalah menetapkan sunnah Rosulullah Saw (pinjaman tanpa bunga) di tengah-tengah masyarakat, sebagaimana banyak disebutklan dalam berbagai riwayat. Sebuah riwayat dari Sahamah, dari Imam ash-Shadiq a.s dimana beliau ditanya: Saya lihat Allah Swt telah menyebutkan riba berulang-ulang pada lebih dari satu ayat? Beliau a.s berkata: Apakah kamu tahu kenapa demikian? Saya berkata: Tidak. Beliau a.s berkata: Agar orang-orang tidak berlaku pura-pura pada sesuatu yang sudah terkenal" .89
Artinya bahwa jika riba menjangkit dan merajalela, maka orang-orang akan meninggalkan sunah memberi pinjaman tanpa bunga (qardh). Karena itu riba diharmakan dalam syari`at Islam.
Hubungan antara etika dan ekonomi dalam Islam
Sangatlah jauh perbandingan antara ekonomi Islam dan ekonomi materialis. Perbedaan paling mencolok antara keduanya adalah bahwa ekonomi Islami merupakan konposisi dari akhlak dan prinsip-prinsip kemanusiaan, sementara ekonomi materialis tidak mengandung nilai etika melainkan hanya sentimental emosional aja. Bahkan kepentingan material dianggap sebagai prinsip utama sistem ekonomi ini. Atas dasar ini, segala sesuatunya berbeda dan bertentangan antara keduanya, dimana ekonomi materialis hanya berjuang untuk kepentingan materi. Produksi narkotika dan obat-obat sejensinya -yang dikategorikan bertentangan dengan perinsip kemanusiaan- menjadi hal yang tidak begitu serius diperhatikan di sejumlah negara, termasuk di negara-negara yang melakukan gerakan anti narkoba dengan mengadakan berbagai seminar yang terkait dengannya dari saat ke saat juga tidak lepas dari peredaran obat-obatan terlarang ini.
Sesungguhnya para seponsor dan pendukung sistem ekonomi materialis tidak banyak memperhatikan kerusakan generasi pemuda, kemerosotan nilai-nilai moral serta kehancurkan berbagai prinsif sosial, dan mereka hanya mementingkan kemaslahatannya saja.
Peraktek jual beli manusia dan anak-anak sekalipun ditentang oleh semua prinsip kemanusiaan itu dianggap boleh oleh para pendukung HAM palsu, dan mereka mengetahuinya dengan bentuk yang tidak terang-terangan.
Siapakah yang memasok senjata-senjata pemusnah masal, bom-bom kimia dan makrobilogi, rudal-rudal jarak jauh, bom-bom cluster, dan jenis bom-bom lain semisalnya yang ditujukan untuk menggoyang kedaulatan republik Islam Iran? Kenapa para seponsor HAM diam dan tidak mau angkat berbicara? Padahal sebelumnya mereka mengangkat selogan pengecaman terhadap serangan Irak ke Kuwait dan menyimpulkan perlunya diadakan pelucutan senjata.
Sesungguhnya rahasia sikap dualisme mereka sangat jelas. Negara-negara sombong itu pada suatu hari berkepentingan mempersenjatai Irak dengan persenjataan-persenjataan tercanggih dan mendorongnya untuk berperang. Kepentingan-kepentingan ini juga yang pada suatu hari nanti mendorong pelucutan senjata Irak untuk mensukseskan kepentingan-kepentingan mereka yang lainnya. Yang dominan dalam semua itu adalah kepentingan-kepentingan material, sementara prinsip-perinsip kemanusiaan terkalahkan olehnya.
Prinsip yang berlaku dalam sistem ekonomi Islami adalah akhlak, dan prkatek-praktek ekonomi yang dimaksudkan untuk mendapatkan kepentingan materi haruslah tunduk dibawah prinsip-iprinsip akhlak. Karena itu, Islam mengharamkan kegiatan-kegiatan ekonomi yang memunculkan kerusakan. Sebagai contoh, Islam melarang mendirikan tempat-tempat maksiat, mengharamkan jual-beli minuman keras dan judi, atau mendirikan lembaga ekonomi riba, dan lain sebagainya. Demikian itu karena ia akan menjadi sumber berbagai kehancuran. Sesuatu yang tidak berkesesuaian dengan akhlak Islam.
Sesungguhnya nilai-nilai etika
12
khlak yang menjadi mengendali ekonomi Islam memiliki sejumlah prinsif, dan berikut ini kami tuliskan sebagainnya;
a. Diantara prinsif yang dipakai dalam ekonomi Islam adalah sasaran ayat berikut: "mereka tidak mendzalimi dan tidak terdzalimi"90 . Artinya bahwa kegiatan-kegiatan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak memunculkan kedzaliman bagi kedua belah pihak; pembeli dan penjual.
b. Berorientasi manfaat dan mencegah bahaya secara umum. Mengerjakan aktivitas-aktivitas tertentu yang dibutuhkan masyarakat adalah sebuah kewajiban. Apabila sebuah masyarakat membutuhkan tenaga-tenanga pengajar, maka anggota masyarakat yang dinilai mampu wajib mengambil alih tugas ini.
Pada sisi lain, praktek-peraktek ekonomi yang dapat merusak masyarakat dikategorikan sebagai peraktek haram dalam Islam, sekali pun di dalamnya terkandung kemaslahatan dan keuntungan-keuntungan pribadi. Seperti penjualan minuman keras dan kegiatan-kegiatan lain terkait dengannya adalah haram dan terlarang. Karena itu, dalam beberapa riwayat disebutkan penanaman pohon anggur dengan tujuan membuat minuman keras, atau menyirami, memanen, membawa buahnya dan lain-lain juga dihukumi haram.91
Akan disebutkan di sini bahwa prinsif-prinsif akhlak tidakalah hanya terbatas pada hal-hal wajib dan haram saja, bahkan juga mencakup pada hal-hal sunnah dan makruh. Karena itu praktek peraktek beli barang di luar pasar, yakni menunggu kiriman barang dagangan di luar kota dan langsung membelinya sebelum pemiliknya tahu betul berapa harga penjualan sebenarnya di pasar kota tujuan.
Para ulama fiqh mengkategorikan praktek ini sebagai haram, namun sebagain laninnya mengkategorikannya makruh 92, sebagaimana praktek menjual kain kapan juga dimakruhkan karena penjulnya secara tidak lagsung mengharapkan kematian orang-orang sehingga dikhawatirkan akan mengeraskan hatinya.
c. Mengalokasikan modal kepada orang lain, dan prinsip ini diambil dari pesan ayat ke 77 surat al-Qashash. Allah Swt berfirman: "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan".
Berdasarkan ayat ini, sesungguhnya modal akan dianggap bernilai jika dipergunakan untuk kepentingan akhirat. Dengan kata lain, harta yang dipergunakan untuk mendukung kepentingan duniawi dan kepentingan ukhrawi. Dan pada akhir ayat tersebut disebutkan bahwa nilai-nilai akhlaki adalah pengendali sistem ekonomi Islam, sementara sistem ekonomi materialis tidak memiliki nilai-nilai ini. Para penganut madzhab materialis ini akan mengorbankan apa saja untuk kepentingan materialnya.
Sebuah model dalam nilai-nilai etika
Imam Ali a.s mewasiatkan pada masa pemerintahannya kepada Malik al-Asytar93 terkait kelas-kelas sosial masyarakat dari kelompok militer, jaksa, ulama, pedagang, petani, para mentri, pegawai pemerintahan, dan lain-lain. Hanya saja ketika beliau sampai kepada kelompok marjinal masyarakat, beliau menggunakan berbagai ungkapan dalam menjelaskan hak-hak mereka yang belum pernah beliau ungkapkan pada hak-hak selainnya. Beliau a.s berkata:
"Ingatlah Allah dan ingatlah Allah selalu dalam perlakuanmu terhadap rakyatmu yang berada ditingkat terbawah, terutama mereka yang lemah tak berdaya, kaum fakir-miskin dan meraka yang dipaksa oleh kebutuhan , orang-orang sengsara dan penderita cacat. Termasuk dalam kelompok ini, mereka yang meminta-minta dan yang selalu mengharapkan pemberian .94
Ingatlah Allah dan ingatlah selalu orang-orang seperti ini dari kekayaan yang dititipkan kepadamu. Berilah mereka bagian dari Baytul Mal serta bagian dari rampasan perang (ganimah) dan hasil tanah dari seluruh penjuru negri Islam 95. Mereka semua, yang dekat mau pun yang jauh, telah ditetapkan untuknya bagiannya dan diperhatikan kepentingannya.
Jangan-jangan sekali kamu disibukkan dengan kemewahan sehingga kamu melalaikan mereka. Janganlah beranggapan bahwa kamu tidak akan dituntut akibat melalaikan yang remeh semata-mata disebabkan kamu telah menyempurnakan berbagai urusan yang besar lagi penting 96. Curahkanlah perhatianmu kepada mereka dan jangan sekali-kali kamu palingkan wajahmu dari mereka 97. Teliti juga urusan-urusan mereka yang tidak dapat mencapaimu disebabkan kehinaan mereka dimata orang banyak. Tugaskanlah beberapa orang kepercayaanmu 98 -yang bersahaja dan tawdhu- untuk meneliti keadaan orang-orang tersebut".
Benar-benr luar biasa pesan-pesan ini, ia benar-benar hadis yang sangat indah. Ia bagaikan matahari yang senantiasa menyinari sekalipun telah berlalu lebih dari seribu tahun dari usia pembuatnya, dan setiap hari cahayanya semakin bertambah dan bertambah. Alangkah baiknya pembuat hadis ini, ia sangat baik dan sangat luar biasa. Sebuah hadis yang sangat pantas ditulis para penguasa dengan tinta emas sehingga menjadi panduan terhadap aktivitas-aktivitasnya.
Yang menakjubkan di sini adalah model etika ideal seseorang baik sebagai pribadi atau sebagai penguasa. Ia mewasiatkan kebaikan kepada orang-orang terutama para mustadhafin dan orang-orang terisolir. Negarawan-negarawan Barat kini memerankan kekuatan dan bentuk lain pemerintahan dimana mereka membiarkan ribuan orang terbunuh demi terpenuhinya kepentingan-kepentingan material mereka. Coba perhatikan paradok-paradok tersebut.
Pertanyaan, nilai-nilai etika terkadang bersebrangan dengan pertumbuhan ekonomi. Lalu bagaimana mungkin dapat diraih secara bersama antara nilai-nilai etik dan standar pertumbuhan ekonomi yang diinginkan?
Jawabannya; Sesunggunya sistem kita adalah sistem elastis/pleksibel menurut perbandingan yang ada. Yang terpenting bagi kami adalah menjaga nilai-nilai etik. Kami berpandangan bahwa menjaga nilai-nilai etik dan pertumbuhan ekonomi tidaklah bersebrangan dan apalagi menjerumuskan kepada keterbelakangan ekonomi. Bahkan sistem ekonomi yang tidak berbasis nilai-nilai etik yang kini menguasai dunia yang justru akan mengantarkan pada kesengsaraan yang tidak mungkin lagi dielakkan.
Apakah sistem ekonomi pleksibel seperti ini adalah sebab dasar terjadinya perang dunia kedua? Sebuah peperangan yang melanda sejumlah negara yang telah menimbulkan berbagai kerugian berat yang melanda kehidupan tiga puluh juta jiwa. Inilah sebagian yang ditinggalkan perang ini yang masih ada dalam ingatan kita.
Apakah ekonomi terbelakang -menurut standar para pendukung madzhab materialis- jauh lebih utama atau ekonomi yang maju? Perlu diketahui bahwa dunia tidak akan maju dan tidak akan berkembang kecuali jika berada di bawah sistem ekonomi yang pleksibel.
Ali a.s dan hidayat malam hari.
Setelah Imam Ali a.s menceritakan kisah saudaranya, Aqil ketika ia meminta sesuatu darinya dari baitul mal, beliau berkata tentang seseorang yang ingin ia bimbing untuk mendapatkan haknya;
"".
Apakah sekarang alam aman dengan adanya para pembesar (zu`ama) yang berkorban dengan karomahnnya.....Oh kenapa tedapat perbedaan-perbedaan? Setiap muslim hendaknya mempelajari dan memahami nilai-nilai etika, serta mengatur masalah-masalah perekonomian dengan tetap menjaga nilai-nilai tersebut pada saat besamaan.
Tema-tema bahasan ayat tersebut
1. Pada masa lalu pemakan riba hanya terbatas pada mereka yang meminjami orang-orang dan dikembalikan lagi (dibayar) setelah masa tertentu dengan diserta sejumah bunga. Namun masalahnya berbeda dengan zaman kita sekarang. Para pemakan riba jauh lebih banyak dari sebelumnya, aren dan jangkauanya jauh lebih luas mencakup semua orang dan seluruh negara. Perbuatan buruk ini benar-benar telah banyak diperaktekkan saat-saat sekarang.
Di antara negara-negara yang mengizinkan praktek riba di negaranya adalah sejumlah negara miskin dengan menerima berbagai pinjaman. Negara-negara ini membelanjakan setiap pemasukan dan pendapatan-pendapatan negaranya untuk menyelesaikan penyakit yang ekstrim ini. Untuk itu kita perlu melihat kesenjangan yang ada antara negara-negara miskin dan kaya dari hari ke hari semakin bertambah dna bertambah lebar, dan kalau hal ini terus menerus demikian, maka negara-negara miskin ini akan sulit keluar dari kebangkrutannya. Sebagai contoh terkait dengan riba yang kami bahas ialah keiris ekonomi di negara-negara Asia Barat, semuanya disebabkan oleh pemberlakuan sistem riba.
Sesungguhnya jeratan penyakit riba global ini telah mendominasi kita semenjak perang melanda Iran, dengan memberikan harta dan hutang sebagai tanda "kedermawatan" mereka. Sekalipun mereka telah mencoreng kita dengan hutang-hutang ini, namun alhamdulillah mereka segera bertanggungjawab dengan bahaya racun mematikan ini. Mereka menghentikan kebijakan berhutang dan membayarnya sedikit demi sedikit untuk melepaskan negara kita dari jeratan ini.
Selain bentuk riba tadi, terdapat bentuk riba lain sekarang yang jauh lebuh buruk dan busuk dari sebelumnya, yaitu meminjamkan kembali modal orang-orang.
Apabila sebelumnya mereka melakukan praktek riba dengan meminjamkan harta-harta pribadinya, sekarang bank-bank -dimana aset-asetnya adalah miliki orang-orang- melakukan prkatek buruk ini tentu saja akan menimbuklan bencana yang jauh lebih besar dan lebih buruk.
2. Apakah mungkin dilakukan aktivitas perbankan tanpa riba
Sejumlah pengamat meyakini bahwa zaman contemporer kita sekarang mengharuskan diberlakukannya sistem perekonomian berbunga, sistem ekonomi yang di dalamnya tidak mungkin ada akrtivitas apapun tanpa bunga. Pengharuan pemberlakuan sistem bunga dalam kegiatan-kegiatan perbankan akan mengarah pada kehancuran perbankan, dan pada akhirnya akan berakibat pada kebangkrutan perekonomian itu sendiri. Dengan kata lain, bersikap ria sungguh identik dengan ekonomi dalam keidentikan yang tidak mungkin dipisahkan.
Inilah bentuk pemikiran yang dikemukakan para pemikir Barat, dengan alasan kebutuhan negara-negara kaya kepada juru bicara di negara-negara miskin. Demikian itu karena jenis pemikiran ini berkesesuaian dengan kepentingan-kepentingan mereka.
Sesungguhnya kalau bank-bank Islami menerapkan ketentuan-ketentuan yang benar di negara kita sekalipun orang-orang mengkritik kandungan-kandungan ketentuan ini dan prontal menanggapinya, benar-benr akan menyelesaikan riba dan para pemiliki modal pasti memperoleh manfaatnya yang lebih jelas, demikian juga bank-bank bersangkutan akan mendapatkan manfaatnya, dan percepatan pertumbuhan ekonomi akan segera bangkit.
Di antara akad-akad Islami yang terkait dengan ketentuan-ketentuan perbankkan adalah akad mudharabah. Ia tidak hanya khusus terkait dengan perdagan 99 saja, bahkan mencakup berbagai jensi investasi dalam industri, pertanian, kedokteran, bisnis jasa, dan lain sebagainya.
Dengan asas mudharabah seseorang dapat menyimpan modalanya di bank, dan pihak bank akan menentukan standar keuntungan sesuai dengan dasar akad (perjanjian) yang ada. Tentunya keuntungan tersebut diambil dari keuntungan yang diperoleh dan bukan dari modal. Pihak pembeli dapat mengajukan kepada pihak bank untuk bernegosiasi atas sahamnya terkait keuntungan jelas yang akan ia dapatkan dalam setiap bulan. Namun keuntungan tersebut dihitung setelah akad selesai. Kemudian pihak bank mengajukan surat kuasa mutlak untuk menginvestasikan harta tersebut pada bidang apa saja yang ia inginkan, dan pihak bank tentunya harus berbuat sesuai dengan perjanjian tersebut.
Dengan sistem seperti ini, problem riba akan terselesaikan, sementara pihak pemilik modal dan bank tetap mendapatkan keuntungan, sementara faktor pendongkrak ekonomi tetap tidaklah akan stagnan, bahkan akan terus mengikuti perdagangan.
Perlu juga diperhatikan bahwa praktek tersebut harus dilakukan berdasarkan perjanjian-perjanjian (akad) syari. Membiarkannya hanya tertulis di atas kertas tanpa diperaktekkan tidaklah akan merubah sesuatu dari realita sesungguhnya, dan problem riba akan tetap ada tanpa ada solusi.
Penghapusan bunga dari perktek-peraktek perbankan adalah mungkin dilakukan, karena riba telah beredar pada permulaan Islam dan kemudian diharamkan setelah kemunculannya, karena nyatanya sistem riba tidak dapat menyelesaikan problem-problem perekonomian.
3. Hukum simpan dan pinjam
Apakah diperkenankan orang-orang menitipkan harta-hartanya ke bank dan mengambil bunganya? Dan bagaiman hukum meminjam uang di bank dimana pihak bank akan menentukan sejumlah bunga tidak tentu?
Sebaiknya sebelum menjawab dua pertanyaan tersebut, kami akan menyampaikan mukaddimah yang di dalamnya terkandung falsafah simpan pinjam.
Banyak sekali orang memiliki harta kekayaan, baik melalui proses pewarisan, kerja, atau jalan apapun lainnya. Namun terkadang pemilik modal tidak dapat menjalankan modal-modal ini dalam bidang ekonomi. Di sisi lain ada sekelompok orang yang memiliki bakat dan keahlian manajerial berbisnis cukup baik dalam menjalankan modal namun terbentur masalah modal, seperti para lulusan berbagai universitas.
Di sini sebuah bank dapan berperan aktif mempertemukan antara modal dan kemampuan berbisnis. Ia dapat mengambil modal dari pemiliknya dan diserahkan kepada mereka yang berkemampuan menjalankannya untuk dikelola dan dituntut mengembalikan kembali modal-modal tersebut. Dalam hal ini pihak bank akan memperoleh sebagian dari keuntungan yang ada.
Dari sisi lain pihak bank pun dapat menarik kembali modal-modal yang tidak dapat berkembang untuk diikutsertakan dalam investasinya, dan kemudian mengembalikan sejumlah keuntungannya kepada pihak pemilik modal.
Jawabanya, apabila persekutuan ini berjalan secara sempurna berdasarkan perjanjian-perjanjian Islami (syari`), maka tidaklah bermasalah dalam menjalaninya.
Dan agar hal ini dapat terrealisasi, kami akan pesankan beberapa hal berikut ini;
1. Pelajaran hukum dan perjanjian-perjanjian syari yang berkaitan dengan masalah-masalah perbankan bagi para pelaku bisnis perbankan dan mengharuskan mereka menjalani ketentuan-ketentuan ini.
2. Para ulama dan pihak-pihak tertentu yang terkait dengan hukum-hukum Islam hendaknya memberikan penjelasan hukum yang secara khusus berkaitan dengan perbankan dan mensosialisaiskannya kepada masyarakat dengan bahasa sesederhana mungkin, serta menjelaskan bahaya-bahaya riba dan bagaimana seharusnya sikap Islam terhadapnya.
3. Sudah selayaknya pihak bank mempertimbangkan antara keuntungan pihak pemodal dan pihak peminjam, dan bunga pihak peminjam tidak harus lebih besar dari keuntungan bunga pihak pemodal, sebagaimana dijelaskan bahwa memberi pinjaman tanpa bunga (qaradh) adalah sunnah yang baik (sunnah hasanah).
4. Ayat-ayat lain yang terkait dengan riba
Untuk lebih menyempurnakan pembahasan ini, di sini kami akan tunjukkan tiga ayat lain yang berbicara tentang riba dan hukum-hukumnya;
a. Allah Swt befirman dalam surat al-Baqarah ayat ke 278 sebagi berikut: "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman". Permulaan ayat ini ditunjukkan kepada orang-orang mukmin, sementara dipenghujugnya terdapat persyaratan keimanan. Artinya harus ada kebaikan di awal dan di akhir. Riba tidaklah sesuai dengan keimanan, dan pemakan riba bukanlah seorang beriman.
Sebab nuzul ayat tersebut
Sejumlah orang kaya kaum muslimin menuntut sejumlah bungan kepada orang-orang yang meminjam modal darinya. Di antara mereka adalah al-Abbas bin Abdul Muthalib dan Khalid bin Walid. Ketika ayat pengharaman riba turun, sebigan orang bertanya-tanya tentang nasib harta-harta mereka dan bunga-bunganya. Maka turunlah ayat yang menjelaskan hukum bahwa modal-modal mereka tetap harus dikembalikan dengan tanpa bunga dan riba. Rosulullah Saw telah bersabda ketika turun ayat pengharaman riba ini: "Ingatlah bahwa semua riba dari riba jahiliyyah adalah fakta, dan riba pertama yang musnahkan adalah riba al-Abbas bin Abdul Muthalib" 100 . Ini menjelskan bahwa Islam tidak melihat nilai hubungan terkait dengan hukum-hukum dan ketentuan.
b. Allah Swt berfirman masih dalam surat al-Baqarah ayat ke 279 sebagai berikut: "Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya".101
Harus diperhatikan disini bahwa permulaan ayat tersebut menjelaskan pernyataan perang dari Allah dan rosul-Nya dan bukan dari pemakan riba, karena kata "fa`dzanû" di situ berarti fa`lamû (ketahuilah). Namun apabila kata tersebut dibaca faâdzanû -sebagaimana dibaca sebagian orang, dan bacaan itu tidak lah terkenal- berarti pernyataan perang tersebut datang dari para pelaku riba.
c. Firman Allah dalam ayat berikutnya (270) dari surat al-Baqarah; "Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui".
Yakni para pemilik modal harus memberikan kesempatan menunda pembayaran kepada para peminjam dan tidak segera meminta kembali harta-hartanya. Seandainya kondisi mereka sudah tidak mungkin lagi bisa mengembalikan, maka sebaiknya pihak pemodal menganggap hartanya sebagai sadaqah yang diberikan kepada mustahiknya (yang berhak menerimanya).
Dari kumpulan ayat ayat di atas dapat disimpulkan bahwa riba di sisi Allah adalah dosa paling besar dan berbahaya. Al-Qur`an telah menggunakan sejumlah penjelaskan keras yang tidak pernah dipakai dalam menjelaskan dosa-dosa lainnya.
a. Diantara prinsif yang dipakai dalam ekonomi Islam adalah sasaran ayat berikut: "mereka tidak mendzalimi dan tidak terdzalimi"90 . Artinya bahwa kegiatan-kegiatan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak memunculkan kedzaliman bagi kedua belah pihak; pembeli dan penjual.
b. Berorientasi manfaat dan mencegah bahaya secara umum. Mengerjakan aktivitas-aktivitas tertentu yang dibutuhkan masyarakat adalah sebuah kewajiban. Apabila sebuah masyarakat membutuhkan tenaga-tenanga pengajar, maka anggota masyarakat yang dinilai mampu wajib mengambil alih tugas ini.
Pada sisi lain, praktek-peraktek ekonomi yang dapat merusak masyarakat dikategorikan sebagai peraktek haram dalam Islam, sekali pun di dalamnya terkandung kemaslahatan dan keuntungan-keuntungan pribadi. Seperti penjualan minuman keras dan kegiatan-kegiatan lain terkait dengannya adalah haram dan terlarang. Karena itu, dalam beberapa riwayat disebutkan penanaman pohon anggur dengan tujuan membuat minuman keras, atau menyirami, memanen, membawa buahnya dan lain-lain juga dihukumi haram.91
Akan disebutkan di sini bahwa prinsif-prinsif akhlak tidakalah hanya terbatas pada hal-hal wajib dan haram saja, bahkan juga mencakup pada hal-hal sunnah dan makruh. Karena itu praktek peraktek beli barang di luar pasar, yakni menunggu kiriman barang dagangan di luar kota dan langsung membelinya sebelum pemiliknya tahu betul berapa harga penjualan sebenarnya di pasar kota tujuan.
Para ulama fiqh mengkategorikan praktek ini sebagai haram, namun sebagain laninnya mengkategorikannya makruh 92, sebagaimana praktek menjual kain kapan juga dimakruhkan karena penjulnya secara tidak lagsung mengharapkan kematian orang-orang sehingga dikhawatirkan akan mengeraskan hatinya.
c. Mengalokasikan modal kepada orang lain, dan prinsip ini diambil dari pesan ayat ke 77 surat al-Qashash. Allah Swt berfirman: "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan".
Berdasarkan ayat ini, sesungguhnya modal akan dianggap bernilai jika dipergunakan untuk kepentingan akhirat. Dengan kata lain, harta yang dipergunakan untuk mendukung kepentingan duniawi dan kepentingan ukhrawi. Dan pada akhir ayat tersebut disebutkan bahwa nilai-nilai akhlaki adalah pengendali sistem ekonomi Islam, sementara sistem ekonomi materialis tidak memiliki nilai-nilai ini. Para penganut madzhab materialis ini akan mengorbankan apa saja untuk kepentingan materialnya.
Sebuah model dalam nilai-nilai etika
Imam Ali a.s mewasiatkan pada masa pemerintahannya kepada Malik al-Asytar93 terkait kelas-kelas sosial masyarakat dari kelompok militer, jaksa, ulama, pedagang, petani, para mentri, pegawai pemerintahan, dan lain-lain. Hanya saja ketika beliau sampai kepada kelompok marjinal masyarakat, beliau menggunakan berbagai ungkapan dalam menjelaskan hak-hak mereka yang belum pernah beliau ungkapkan pada hak-hak selainnya. Beliau a.s berkata:
"Ingatlah Allah dan ingatlah Allah selalu dalam perlakuanmu terhadap rakyatmu yang berada ditingkat terbawah, terutama mereka yang lemah tak berdaya, kaum fakir-miskin dan meraka yang dipaksa oleh kebutuhan , orang-orang sengsara dan penderita cacat. Termasuk dalam kelompok ini, mereka yang meminta-minta dan yang selalu mengharapkan pemberian .94
Ingatlah Allah dan ingatlah selalu orang-orang seperti ini dari kekayaan yang dititipkan kepadamu. Berilah mereka bagian dari Baytul Mal serta bagian dari rampasan perang (ganimah) dan hasil tanah dari seluruh penjuru negri Islam 95. Mereka semua, yang dekat mau pun yang jauh, telah ditetapkan untuknya bagiannya dan diperhatikan kepentingannya.
Jangan-jangan sekali kamu disibukkan dengan kemewahan sehingga kamu melalaikan mereka. Janganlah beranggapan bahwa kamu tidak akan dituntut akibat melalaikan yang remeh semata-mata disebabkan kamu telah menyempurnakan berbagai urusan yang besar lagi penting 96. Curahkanlah perhatianmu kepada mereka dan jangan sekali-kali kamu palingkan wajahmu dari mereka 97. Teliti juga urusan-urusan mereka yang tidak dapat mencapaimu disebabkan kehinaan mereka dimata orang banyak. Tugaskanlah beberapa orang kepercayaanmu 98 -yang bersahaja dan tawdhu- untuk meneliti keadaan orang-orang tersebut".
Benar-benr luar biasa pesan-pesan ini, ia benar-benar hadis yang sangat indah. Ia bagaikan matahari yang senantiasa menyinari sekalipun telah berlalu lebih dari seribu tahun dari usia pembuatnya, dan setiap hari cahayanya semakin bertambah dan bertambah. Alangkah baiknya pembuat hadis ini, ia sangat baik dan sangat luar biasa. Sebuah hadis yang sangat pantas ditulis para penguasa dengan tinta emas sehingga menjadi panduan terhadap aktivitas-aktivitasnya.
Yang menakjubkan di sini adalah model etika ideal seseorang baik sebagai pribadi atau sebagai penguasa. Ia mewasiatkan kebaikan kepada orang-orang terutama para mustadhafin dan orang-orang terisolir. Negarawan-negarawan Barat kini memerankan kekuatan dan bentuk lain pemerintahan dimana mereka membiarkan ribuan orang terbunuh demi terpenuhinya kepentingan-kepentingan material mereka. Coba perhatikan paradok-paradok tersebut.
Pertanyaan, nilai-nilai etika terkadang bersebrangan dengan pertumbuhan ekonomi. Lalu bagaimana mungkin dapat diraih secara bersama antara nilai-nilai etik dan standar pertumbuhan ekonomi yang diinginkan?
Jawabannya; Sesunggunya sistem kita adalah sistem elastis/pleksibel menurut perbandingan yang ada. Yang terpenting bagi kami adalah menjaga nilai-nilai etik. Kami berpandangan bahwa menjaga nilai-nilai etik dan pertumbuhan ekonomi tidaklah bersebrangan dan apalagi menjerumuskan kepada keterbelakangan ekonomi. Bahkan sistem ekonomi yang tidak berbasis nilai-nilai etik yang kini menguasai dunia yang justru akan mengantarkan pada kesengsaraan yang tidak mungkin lagi dielakkan.
Apakah sistem ekonomi pleksibel seperti ini adalah sebab dasar terjadinya perang dunia kedua? Sebuah peperangan yang melanda sejumlah negara yang telah menimbulkan berbagai kerugian berat yang melanda kehidupan tiga puluh juta jiwa. Inilah sebagian yang ditinggalkan perang ini yang masih ada dalam ingatan kita.
Apakah ekonomi terbelakang -menurut standar para pendukung madzhab materialis- jauh lebih utama atau ekonomi yang maju? Perlu diketahui bahwa dunia tidak akan maju dan tidak akan berkembang kecuali jika berada di bawah sistem ekonomi yang pleksibel.
Ali a.s dan hidayat malam hari.
Setelah Imam Ali a.s menceritakan kisah saudaranya, Aqil ketika ia meminta sesuatu darinya dari baitul mal, beliau berkata tentang seseorang yang ingin ia bimbing untuk mendapatkan haknya;
"".
Apakah sekarang alam aman dengan adanya para pembesar (zu`ama) yang berkorban dengan karomahnnya.....Oh kenapa tedapat perbedaan-perbedaan? Setiap muslim hendaknya mempelajari dan memahami nilai-nilai etika, serta mengatur masalah-masalah perekonomian dengan tetap menjaga nilai-nilai tersebut pada saat besamaan.
Tema-tema bahasan ayat tersebut
1. Pada masa lalu pemakan riba hanya terbatas pada mereka yang meminjami orang-orang dan dikembalikan lagi (dibayar) setelah masa tertentu dengan diserta sejumah bunga. Namun masalahnya berbeda dengan zaman kita sekarang. Para pemakan riba jauh lebih banyak dari sebelumnya, aren dan jangkauanya jauh lebih luas mencakup semua orang dan seluruh negara. Perbuatan buruk ini benar-benar telah banyak diperaktekkan saat-saat sekarang.
Di antara negara-negara yang mengizinkan praktek riba di negaranya adalah sejumlah negara miskin dengan menerima berbagai pinjaman. Negara-negara ini membelanjakan setiap pemasukan dan pendapatan-pendapatan negaranya untuk menyelesaikan penyakit yang ekstrim ini. Untuk itu kita perlu melihat kesenjangan yang ada antara negara-negara miskin dan kaya dari hari ke hari semakin bertambah dna bertambah lebar, dan kalau hal ini terus menerus demikian, maka negara-negara miskin ini akan sulit keluar dari kebangkrutannya. Sebagai contoh terkait dengan riba yang kami bahas ialah keiris ekonomi di negara-negara Asia Barat, semuanya disebabkan oleh pemberlakuan sistem riba.
Sesungguhnya jeratan penyakit riba global ini telah mendominasi kita semenjak perang melanda Iran, dengan memberikan harta dan hutang sebagai tanda "kedermawatan" mereka. Sekalipun mereka telah mencoreng kita dengan hutang-hutang ini, namun alhamdulillah mereka segera bertanggungjawab dengan bahaya racun mematikan ini. Mereka menghentikan kebijakan berhutang dan membayarnya sedikit demi sedikit untuk melepaskan negara kita dari jeratan ini.
Selain bentuk riba tadi, terdapat bentuk riba lain sekarang yang jauh lebuh buruk dan busuk dari sebelumnya, yaitu meminjamkan kembali modal orang-orang.
Apabila sebelumnya mereka melakukan praktek riba dengan meminjamkan harta-harta pribadinya, sekarang bank-bank -dimana aset-asetnya adalah miliki orang-orang- melakukan prkatek buruk ini tentu saja akan menimbuklan bencana yang jauh lebih besar dan lebih buruk.
2. Apakah mungkin dilakukan aktivitas perbankan tanpa riba
Sejumlah pengamat meyakini bahwa zaman contemporer kita sekarang mengharuskan diberlakukannya sistem perekonomian berbunga, sistem ekonomi yang di dalamnya tidak mungkin ada akrtivitas apapun tanpa bunga. Pengharuan pemberlakuan sistem bunga dalam kegiatan-kegiatan perbankan akan mengarah pada kehancuran perbankan, dan pada akhirnya akan berakibat pada kebangkrutan perekonomian itu sendiri. Dengan kata lain, bersikap ria sungguh identik dengan ekonomi dalam keidentikan yang tidak mungkin dipisahkan.
Inilah bentuk pemikiran yang dikemukakan para pemikir Barat, dengan alasan kebutuhan negara-negara kaya kepada juru bicara di negara-negara miskin. Demikian itu karena jenis pemikiran ini berkesesuaian dengan kepentingan-kepentingan mereka.
Sesungguhnya kalau bank-bank Islami menerapkan ketentuan-ketentuan yang benar di negara kita sekalipun orang-orang mengkritik kandungan-kandungan ketentuan ini dan prontal menanggapinya, benar-benr akan menyelesaikan riba dan para pemiliki modal pasti memperoleh manfaatnya yang lebih jelas, demikian juga bank-bank bersangkutan akan mendapatkan manfaatnya, dan percepatan pertumbuhan ekonomi akan segera bangkit.
Di antara akad-akad Islami yang terkait dengan ketentuan-ketentuan perbankkan adalah akad mudharabah. Ia tidak hanya khusus terkait dengan perdagan 99 saja, bahkan mencakup berbagai jensi investasi dalam industri, pertanian, kedokteran, bisnis jasa, dan lain sebagainya.
Dengan asas mudharabah seseorang dapat menyimpan modalanya di bank, dan pihak bank akan menentukan standar keuntungan sesuai dengan dasar akad (perjanjian) yang ada. Tentunya keuntungan tersebut diambil dari keuntungan yang diperoleh dan bukan dari modal. Pihak pembeli dapat mengajukan kepada pihak bank untuk bernegosiasi atas sahamnya terkait keuntungan jelas yang akan ia dapatkan dalam setiap bulan. Namun keuntungan tersebut dihitung setelah akad selesai. Kemudian pihak bank mengajukan surat kuasa mutlak untuk menginvestasikan harta tersebut pada bidang apa saja yang ia inginkan, dan pihak bank tentunya harus berbuat sesuai dengan perjanjian tersebut.
Dengan sistem seperti ini, problem riba akan terselesaikan, sementara pihak pemilik modal dan bank tetap mendapatkan keuntungan, sementara faktor pendongkrak ekonomi tetap tidaklah akan stagnan, bahkan akan terus mengikuti perdagangan.
Perlu juga diperhatikan bahwa praktek tersebut harus dilakukan berdasarkan perjanjian-perjanjian (akad) syari. Membiarkannya hanya tertulis di atas kertas tanpa diperaktekkan tidaklah akan merubah sesuatu dari realita sesungguhnya, dan problem riba akan tetap ada tanpa ada solusi.
Penghapusan bunga dari perktek-peraktek perbankan adalah mungkin dilakukan, karena riba telah beredar pada permulaan Islam dan kemudian diharamkan setelah kemunculannya, karena nyatanya sistem riba tidak dapat menyelesaikan problem-problem perekonomian.
3. Hukum simpan dan pinjam
Apakah diperkenankan orang-orang menitipkan harta-hartanya ke bank dan mengambil bunganya? Dan bagaiman hukum meminjam uang di bank dimana pihak bank akan menentukan sejumlah bunga tidak tentu?
Sebaiknya sebelum menjawab dua pertanyaan tersebut, kami akan menyampaikan mukaddimah yang di dalamnya terkandung falsafah simpan pinjam.
Banyak sekali orang memiliki harta kekayaan, baik melalui proses pewarisan, kerja, atau jalan apapun lainnya. Namun terkadang pemilik modal tidak dapat menjalankan modal-modal ini dalam bidang ekonomi. Di sisi lain ada sekelompok orang yang memiliki bakat dan keahlian manajerial berbisnis cukup baik dalam menjalankan modal namun terbentur masalah modal, seperti para lulusan berbagai universitas.
Di sini sebuah bank dapan berperan aktif mempertemukan antara modal dan kemampuan berbisnis. Ia dapat mengambil modal dari pemiliknya dan diserahkan kepada mereka yang berkemampuan menjalankannya untuk dikelola dan dituntut mengembalikan kembali modal-modal tersebut. Dalam hal ini pihak bank akan memperoleh sebagian dari keuntungan yang ada.
Dari sisi lain pihak bank pun dapat menarik kembali modal-modal yang tidak dapat berkembang untuk diikutsertakan dalam investasinya, dan kemudian mengembalikan sejumlah keuntungannya kepada pihak pemilik modal.
Jawabanya, apabila persekutuan ini berjalan secara sempurna berdasarkan perjanjian-perjanjian Islami (syari`), maka tidaklah bermasalah dalam menjalaninya.
Dan agar hal ini dapat terrealisasi, kami akan pesankan beberapa hal berikut ini;
1. Pelajaran hukum dan perjanjian-perjanjian syari yang berkaitan dengan masalah-masalah perbankan bagi para pelaku bisnis perbankan dan mengharuskan mereka menjalani ketentuan-ketentuan ini.
2. Para ulama dan pihak-pihak tertentu yang terkait dengan hukum-hukum Islam hendaknya memberikan penjelasan hukum yang secara khusus berkaitan dengan perbankan dan mensosialisaiskannya kepada masyarakat dengan bahasa sesederhana mungkin, serta menjelaskan bahaya-bahaya riba dan bagaimana seharusnya sikap Islam terhadapnya.
3. Sudah selayaknya pihak bank mempertimbangkan antara keuntungan pihak pemodal dan pihak peminjam, dan bunga pihak peminjam tidak harus lebih besar dari keuntungan bunga pihak pemodal, sebagaimana dijelaskan bahwa memberi pinjaman tanpa bunga (qaradh) adalah sunnah yang baik (sunnah hasanah).
4. Ayat-ayat lain yang terkait dengan riba
Untuk lebih menyempurnakan pembahasan ini, di sini kami akan tunjukkan tiga ayat lain yang berbicara tentang riba dan hukum-hukumnya;
a. Allah Swt befirman dalam surat al-Baqarah ayat ke 278 sebagi berikut: "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman". Permulaan ayat ini ditunjukkan kepada orang-orang mukmin, sementara dipenghujugnya terdapat persyaratan keimanan. Artinya harus ada kebaikan di awal dan di akhir. Riba tidaklah sesuai dengan keimanan, dan pemakan riba bukanlah seorang beriman.
Sebab nuzul ayat tersebut
Sejumlah orang kaya kaum muslimin menuntut sejumlah bungan kepada orang-orang yang meminjam modal darinya. Di antara mereka adalah al-Abbas bin Abdul Muthalib dan Khalid bin Walid. Ketika ayat pengharaman riba turun, sebigan orang bertanya-tanya tentang nasib harta-harta mereka dan bunga-bunganya. Maka turunlah ayat yang menjelaskan hukum bahwa modal-modal mereka tetap harus dikembalikan dengan tanpa bunga dan riba. Rosulullah Saw telah bersabda ketika turun ayat pengharaman riba ini: "Ingatlah bahwa semua riba dari riba jahiliyyah adalah fakta, dan riba pertama yang musnahkan adalah riba al-Abbas bin Abdul Muthalib" 100 . Ini menjelskan bahwa Islam tidak melihat nilai hubungan terkait dengan hukum-hukum dan ketentuan.
b. Allah Swt berfirman masih dalam surat al-Baqarah ayat ke 279 sebagai berikut: "Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya".101
Harus diperhatikan disini bahwa permulaan ayat tersebut menjelaskan pernyataan perang dari Allah dan rosul-Nya dan bukan dari pemakan riba, karena kata "fa`dzanû" di situ berarti fa`lamû (ketahuilah). Namun apabila kata tersebut dibaca faâdzanû -sebagaimana dibaca sebagian orang, dan bacaan itu tidak lah terkenal- berarti pernyataan perang tersebut datang dari para pelaku riba.
c. Firman Allah dalam ayat berikutnya (270) dari surat al-Baqarah; "Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui".
Yakni para pemilik modal harus memberikan kesempatan menunda pembayaran kepada para peminjam dan tidak segera meminta kembali harta-hartanya. Seandainya kondisi mereka sudah tidak mungkin lagi bisa mengembalikan, maka sebaiknya pihak pemodal menganggap hartanya sebagai sadaqah yang diberikan kepada mustahiknya (yang berhak menerimanya).
Dari kumpulan ayat ayat di atas dapat disimpulkan bahwa riba di sisi Allah adalah dosa paling besar dan berbahaya. Al-Qur`an telah menggunakan sejumlah penjelaskan keras yang tidak pernah dipakai dalam menjelaskan dosa-dosa lainnya.
Perumpamaan Kesembilan:
Penciptaan Isa bin Maryam yang Mencengangkan
Allah Swt berfirman dalam surat Ali Imran ayat ke 59 sebagai berikut; "Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), maka jadilah dia".
Syarah dan Tafsir
Dalam ayat ini Allah Swt berfirman bahwa penciptaan Isa a.s serupa dengan penciptaan Adam a.s. Allah telah menciptakannya dari tanah tanpa keberadaan seorang ayah dan ibu, melainkan hanya dengan firman Allah Azza wa Jalla kepadanya; "kun" (jadilah).
Pada ayat ke 45 dalam surat Ali Imran, al-Qur`an al-Karim berbicara tentang Isa bin Maryam a.s dan menjelaskan pase-pase kehidupannya yang unik dari sisi proses kelahiran, pendidikan, pertumbuhan, pengutusannya sebagai rosul, risalahnya, karomahnya, mukjizatnya dan kenaikannya ke langit. Melalui ayat ini al-Qur`an berusaha mengangkat kerancuan seputarnya.
Pertanyaan, bagaimana mungkin seseorang dilahirkan hanya dari keberadaan seorang ibu dan tanpa ayah? Atau bagaimana mungkin seseorang dilahirkan tanpa proses pertemuan sel telur dan sperma? Apakah ayat tersebut bermaksud menjawab kerancuan ini dimana ia mengatakan; Bukankah Kami telah menciptakan Adam tanpa seorang ayah? Yakni ayat tersebut seakan-akan ingin mengatakan bahwa penciptaan Adam yang jauh lebi sulit dari penciptaan Isa, karena penciptaan Isa masih melalui keberadaan seorang ibu, sementara penciptaan Adam tanpa keberadaan keduanya; ibu dan ayah. Karena itu, penciptaan Adam jauh lebih sulit dari penciptaan Isa a.s.
Penciptaan seperti ini tidaklah sulit bagi Allah Swt. Sesungguhnya Allah Swt apabila berfirman; jadilah, maka sesuatu pun akan menjadi (kun fayakûn) 102 . Tidaklah beda bagi Allah antara penciptaan yang besar dan yang kecil, antara yang sulit dan yang mudah.
Sesungguhnya Allah Swt apabila berkehendak menciptakan sebuah alam seperti alam kita ini sekarang dengan segala bintang dan benda-benda lainnya, sebagaimana ditunjukan hasil-hasi riset ilmiah tentang keagungan dan kebesaran alam ini, maka Ia pun bisa menciptakannya.
Apabila seseorang dalam shalatnya membayangkan sedang berada di hadapan Sang Pencipta yang memiliki kekuasaan dan keagungan seperti ini, dan merasakan bahwa ia benar-benar berbicara kepada setiap wujud, dipastikan shalatnya dan kondisinya saat shalat akan jauh berbeda dan lebih sempurna.
Kekuasaan Allah dalam ungkapan Amirul mukminin a.s
Dalam khutbahnya ke 185 dalam Nahjul Balaghah, Imam Ali a.s berbicara tentang kekuasaan Allah dengan penjelaskan dan ungakapan sangat indah sebagaimana akan kita lihat di sini; "h.130". Lalu beliau menjelaskan bagaimana penciptaan semut dan kerumitan kompoisisi makhluk kecil ini.
Di antara penghalang yang menghalangi seseorang mengetahui keajaiban penciptaan adalah penghalang kebiasaan, karena sebuah kebiasan dapat melupakan seseorang dari keagungan sesuatu. Semut misalnya, karena jumlahnya sangat banyak keberadaannya pun menajdi biasa dan kita pun melihatnya hanya biasa-biasa saja. Sesuatu yang membuat seseorang lupa akan keagungan penciptaannya, padahal jika dibandingkan dengan ciptaan-ciptaan atau kreasi paling penting manusia akan jelaslah bagaimana keagungannya.
Sesungguhnya penciptaan pesawat terbang adalah penciptaan yang sangat bergantung kepada berbagai keahlian. Di udara ia membawa terbang orang dan barang-barang. Dalam awaknya terdapat sejumlah komponen persis seperti sebuah kota kecil.
Pesawat ini -yang ditemukan melalui peran sebuah keahlian teknik dan kreasi manusia- jika dibandingkan dengan seekor semut -yang merupakan wujud kekuasaan Allah Azza wa Jalla paling kecil- tentu keagungan semut akan jauh lebih besar dari keagungan sebuah pesawat terbang. Demikian itu, karena seekor semut sekalipun bentuknya kecil dan kurus ia mengandung segala sesuatu. Padanya terdapat sejumlah anggota badan, seperti penglihatan, pendengaran, kaki, tangan, alat pengunyah, alat reproduksi, pengetahuan kearsitekan membangun rumah, menyediakan dan menyimpan makanan dengan sempurna dan tidak rusak, dan anggota tubuh lainnya. Bagaimana menurutmu wujud kecil ini memiliki semua anggota-anggota badan ini?
Adapun sebuah pesawat, ia tetap saja tidak memiliki sejumlah kompenen seabagimana dimiliki semut. Ia tidak memiliki alat reproduksi dan beberapa komponen lainnya, bahkan ia tidak dapat bergerak dengan sendirinya. Untuk bergerak saja, pesawat membutuhan bantuan para teknisi dan insinyur.
Memang manusia akan mendapatkan petunjuk dan akan takjub dari penciptaan manusia tanpa ayah, jika ia memikirkan dan merenungkan penciptaan Allah. Ia harus bersujud kepada Tuhan yang Maha Kuasa ini, sebagaimana ia harus menyampaikan shalawat dan salam kepada manusia sempurna, Imam Ali a.s karena telah berhasil mensifati kekuasaan yang tak terbatas ini dengan bentuk yang cukup indah dan mengagumkan.
Penciptaan manusia
Di sana terdapat dua pandangan pokok tentang penciptaan manusia; Pertama, tanawwu`ul anwâ` (variasi spesies). Para pendukung pandangan ini meyakini bahwa manusia merupakan ciptaan indevenden sebagaimana penciptaan hewan-hewan lainnya. Pandangan ini biasa disebut tsubûtul anwâ` (ketetapan spesies-spesies).
Kedua, evolusi spesies-spesies (tabaddulul anwâ). Sebuah pandangan yang populer di kalangan para ilmuan alam yang mengatakan bahwa penciptaan dimulai dengan keberadaan sel-sel yang mengapung di lautan. Sel ini tumbuh secara bertahap sehingga berevolusi menjadi ikan. Lalu ikan-ikan ini bertambah banyak dan sebagiannya pindah ke daratan diterpa ombak laut. Selanjutnya ia berevolusi secara bertahap menjadi hewan darat yang salah satunya adalah monyet.
Berikutnya sejumlah moyet berevolusi secara sempurna menjadi manusia.
Apakah para pendukung teori evolusi ini mempunyai argumentasi kuat atas pandangannya?
Tidak, mereka tidak memiliki argumentasi kuat karena pandangannya merujuk kepada jutaan tahun lalu, hingga ke suatu zaman yang di sana manusia sama sekali tidak ada, ke suatu zaman yang tidak bisa dideteksi secara akurat, dan kita tidak memiliki bukti-bukti dan peninggalan masa-masa tersebut?
Perbedaan antara asumsi dan hukum
Sejumlah permasalahan yang dicoba diangkat, dan memungkinkan untuk diuji dan dipaparkan melalui metode eksperimen ilmiah hingga berubah menjadi sebuah hukum ketika ia terbukti kebenarannya, seperti asumsi bahwa kesepatan cahaya adalah 300.000 kilometer per detik. Adapun kaidah-kaidah yang tidak dapat dipaparkan melalui metode eksperimen, ia dapat ditetapkan dengan akal melalui kaidah dan pembuktikan-pembuktiaan rasional, maka itu disebut hipotesa (fardhiyyah).
Atas dasar ini, teori evolusi (tabaddulul anwâ) terkategori sebagai hipotesa dan bukan hukum, dan diantara karakteristik sebuah hipotesa adalah dapat mengalami perubahan, pergantian dan bahkan pengguguran. Misalnya sebuah hipotesa mengatakan bahwa manusia empat puluh ribu tahun yang lalu berbeda dengan manusia sekarang. Para ahli kepurbakalaan menemukan rahasia-rahasia yang berkaitan dengan dua juta tahun sebelum masa kita sekarang menyingkap kemiripan orang pada masa itu dengan orang pada masa sekarang. Dengan ini, maka gugurlah hipotesa di atas.
Pandangan al-Qur`an dalam penciptaan manusia
Sesungguhnya teori variasi spesies (tanawwu`ul anwâ) ia juga dapat disimpulkan dari al-Qur`an. Qur`an nampak mendukung teori ini. Adapun teori evolusi (tabaddulul anwâ) tidaklah mungkin mengangapnya sebagai sebuah hukum tetap. Al-hasil, mana pun yang benar, pertama atau yang kedua, tafsir al-Qur`an tetap tidak akan berubah.
Sekalipun ternyata teori evolusi yang benar, maka kita tetap akan katakan; sesungguhnya Yang dapat menciptakan wujud bakteri juga kuasa menciptakan Isa a.s tanpa perlu pada keberadaan seorang ayah dan ibu. Hal ini sejalan dengan pandangan para sarjanan alam yang menyatakan bahwa keberadaaan-keberadaaan (al-Maujudât) dapat berkembang biak tanpa perlu kepada proses pertemuan (perkawinan). Hewan-hewan pun dapat berkembang biak dengan cara membelah dua tanpa perlu keberadaan jantan. Dan kalau alam saja memungkinkan untuk itu, maka kelahiran Isa a.s bukanlah satu-satunya kasus yang menakjubkan, bahkan ada wujud lain yang jauh lebih menakjubkan darinya.
Perumpamaan Kesepuluh:
Infak Orang-Orang Kafir
Allah Swt berfirman dalam surat Ali Imran ayat ke 117 sebagai berikut: "Perumpamaan harta yang mereka nafkahkan di dalam kehidupan dunia ini, adalah seperti perumpamaan angin yang mengandung hawa yang sangat dingin, yang menimpa tanaman kaum yang menganiaya diri sendiri, lalu angin itu merusaknya. Allah tidak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri".
Pengantara pembahasan
Dalam ayat ini al-Qur`an mengumpamakan infak orang-orang dengan pertanian seorang kafir di sebua tanah yang subur sehingga benih-benih dapat tumbuh. Hanya saja kedatangan angin dingin dan kering telah mengeringkan apa yang ditanam orang kafir di kebun ini.
Syarah dan tafsir
Firman-Nya Swt; "Perumpamaan harta yang mereka nafkahkan di dalam kehidupan dunia ini,". Sejumlah mufassir meyakini bahwa kata niyyah (niat) atau dâfi` (motif) yang tersembunyi dalam ayat ini adalah kata yang akan menjelaskan maksud ayat. Dengan kata tersembunyi ini maka pengertian ayat tersebut menjadi sebagai berikut; Sesungguhnya niat serta motifasi berinfak seperti perumpamaan angin yang mengandung hawa yang sangat dingin, yang menimpa tanaman orang-orang. Sebagaimana angin ini menghancurkan tanaman, demikian juga niat benar-benar dapat menghancurkan fahala infak.
Firman-Nya Swt; "adalah seperti perumpamaan angin yang mengandung hawa yang sangat dingin (shir), yang menimpa tanaman kaum yang menganiaya diri sendiri, lalu angin itu merusaknyai". Kata "shir" dalam bahasa Arab berarti angin kencang yang sangat dingin, atau angin yang bersuara sangat keras.103
Al-hasil, maksud dari ayat ini adalah angin sangat kencang yang membakar, terkadang ia dapat membakar sejumlah hutan besar.
Disebabakan kebakaran ini -sebagaimana kita dengar dari para peneliti- adalah geludug dan petir. Terkadang ia menimbulkan angin ribut (torpedo) sangat kencang yang mengangkat pepohonan yang kuat sehingga memunculkan titik-titik api dan kemudian terjadilah kebakaran. Atas dasar ini, perumpamana infak orang-orang kafir seperti lahan pertanian yang diterpa angin kencang disertai api.
Firman-Nya Swt; "Allah tidak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri". Apa yang menimpa amal-amal mereka bukanlah kedzaliman Allah, bahkan semua itu disebabkan oleh niatan-niatan buruk dan ketidak jujuran mereka.
Bertani ditempat yang diketahui biasa dilewati angin kencang dan dingin, apabila angin tersebut muncul maka bisa dipastikan ia akan dihancurkan olehnya. Demikian juga kedzaliman yang mereka munculkan sendiri dan kemudian efeknya kembali mengenai diri mereka sendiri.
Sasaran-sasaran ayat tersebut;
1. Maksud infak dalam ayat tersebut
Yakni jenis infak apakah yang diperumpamakan dalam ayat tersebut dengan angin rebut? Ada beberapa kemungkinan di sana, dan kami akan sebutkan tiga kemungkinan di antaranya;
a. Yang dimaksud di situ adalah infak yang tidak dikeluarkan di jalan Allah, sebagaimana infak yang dikeluwarkan oleh Ibn Sufyan, orang-orang kafir dan munafik -dalam hatinya mereka belum menjadi Islam dan tetap menjadi kafir hingga akhir umurnya- untuk mengagungkan berhala-berhala dan untuk merongrong Islam.
Al-Qur`an al-Karim mengatakan bahwa infak untuk tujuan ini seperti tanah yang dipersiapkan untuk bertani, sementara motif mereka berinfak -yaitu syirik dan menyembah berhala- seperti angin ribut yang akan menghancurkan lahan pertanian mereka.
b. Yang dimakduk di sana adalah infak yang berasal dari kaum muslimin yang ria dalam membangun mesjid-mesjid, husainiyah, rumah sakit, klinik, jembatan, jalan, dan lain-lain. Semuanya itu terkategori infak-infak yang dilakukan bukan pada jalan Allah. Ia muncul dengan motivasi mendapatkan keridhaan orang-orang guna mendapatkan manfaat yang jauh lebih besar ke depan. Infak-infak mereka seperti tanah subur, dan niatan mereka yang tidak ikhlas dalam berinfak seperti angin sangat kencang.
c. Yang dimaksud dengannya adalah infak yang disertai menyebut-nyebut pemberian dan kata-kata yang menyakitkan penerimanya. Secara lahir ia terlihat infak, namun sebenarnya ia upaya mencoreng dan menghancurkan kehormatan orang lain. Infak seperti itu bagaikan tanah pertanian, sementara kata-kata menyakitkan dan menyebut-nyebut pemberian bagaikan angin sangat kencang yang akan membatalkan pahala infak tersebut. Sebagaimana ia mengalami kerugian duniawi, berupa hartanya yang hilang, ia pun akan mendapatkan dosa dan siksa.
2. Infak dari seorang kufur nikmat
Dari ayat tersebut dan juga ayat-ayat lainnya dapat disimpulkan bahwa Allah Swt benar-benar akan menyiksa orang-orang yang mengkufuri nikmat dan berlaku melampoi batas. Allah akan menjadikan nikmat-nikmat tersebut sebagai wasilah untuk mengadzab mereka dan menggantinya dengan bencana (yakni kematian dalam hidup itu sendiri).
Sebagai contoh, Allah telah membinasakan kaum nabi Nuh melalui hujan dan angin topan, padahal hujan memberikan kehidupan bagi orang yang diberinya. Hujan pada hakikatnya adalah anugrah terbesar Allah Swt kepada kaum ini.
Apabila hujan tidak kunjung turun, maka segala sesuatu di muka bumi ini akan hancur. Karena itu hujan merupakan nikmat, hanya saja ia berubah menjadi bencana bagi kaum nabi Nuh ini.
Surat as-Saba menceritakan kisah kaum Saba. Sebuah kisah yang benar-benar nyata terjadi saat itu. Negri saba adalah negri subur yang terletak di jalur sungai curaha hujan. Mereka membangun mendungan tanah untuk menampung curah hujan yang melimpah itu dan menggunakannya saat dibutuhkan. Mereka mengaliri ladang-ladangnya dari aliran bendungan ini sehingga lahan-lahan mereka berubah menjadi perkebunan dan petanian yang banyak ditumbuhi jenis pohon dan sayur-sayuran. Dan Allah tidaklah mengharapkan apapun dari kaum beruntung ini kecuali bersyukur kepada Tuhannya atas nikmat-nikmat yang ada, sebagaimana ditunjukkan al-Qur`an dalam surat Saba ayat ke 15;
"Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun".
Namun karena manusia biasa lupa dengan ketika ia tenggelam dalam nikmat-nikmat-Nya, demikian pula kaum Saba, mereka lupa kepada Allah Swt dan bahkan berlaku sombong, melampoi batas serta mengkufuri nikmat. Demikianlah sifat manusia yang lupa segala sesuatu ketika ia berada pada kejayaan hidup.
Al-Qur`an melukiskan adzab yang ditimpakan kepada mereka sebagai berikut; "Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr", (QS. Saba: 16).
Benar, kufur nikmatlah yang telah merubah anugrah bendungan tanah itu menjadi bencana. Sebenarnya telah ada peringatan-peringatan akan muncul bencana tersebut. Allah mewahyukan kepada tikus-tikus untuk melobangi bendungan sehingga air keluar dari celah-celah lubang sedikit demi sedikit hingga lubang-lubang itu membesar dan menghancurkan bendungan. Air bendungan pun tumpah membanjiri kebun dan ladang-ladang mereka sehingga berubah menjadi tanah gundul.
Kesimpulan perubahan nikmat menjadi bencana ini ialah agar menjadi pelajaran bagi generasi manusia setelahnya sehingga mereka tidak berlaku melampoi batas di hadapan Allah Swt.
Contoh lain ialah adzab Allah yang diturunkan kepada kaum nabi Syueb melalui suara teriakan memekik (shaihah), sebagaimana disebutkan dalam surat Hud ayat ke 94, atau petir. Siksa tersebut terdiri dari dua jenis, pertama ia membakar setiap apapun yang dikenainya, dan kedua suara-suaranya menghancurkan pendengaran.
Disebutkan di sini bahwa petir tersebut adalah nikmat bagi mereka, karena ia menyebabkan gumpalan-gumpalan air hujan turun. Sebuah nikmat yang telah memberikan seluruh kehidupan di planet bumi ini.
Sebagaimana disebutkan dalam surat Hud ayat ke 16 bahwa bencana tersebut diundang oleh sikap melampoi batas dan kekufuran mereka atas nikmat-nikmat Allah Swt. Sikap tersebut telah merubah bumi yang menjadi tepat tinggal mereka yang nyaman menjadi wasilah bencana yang menyiksa mereka.
Sesungguhnya gempa bumi telah merusak kota-kota mereka dan Allah kemudian menurunkan hujan batu yang lebat kepada mereka sehingga tidak tersisa apapun dari mereka.
Sebelumnya telah kami sebutkan bahwa angin pada dasarnya merupakan nikmat besar Allah Swt kepada para petani, karena proses perkawinan tumbuhan tidak akan berjalan sempurna jika ia tidak ada. Demikian juga udara apabila ia tidak mengalami siklus (pergantian), maka oksigen di dalamnya akan menghancurkan, dan pada akhirnya tumbuh-tumbuhan tersebut akan gagal berubah.
3. Falsafah bencana-bencana alam
Sejak dahulu bencana alam dibincangkan dalam salah satu bahasan keadilan ilahi. Seandainya Allah memang Maha Adil, lalu apa falsafah bencana-bencana dan kejadian menyakitkan; penyakit, banjir, topan, gemba bumi, hujan deras, kilat, dan lain-lain? Apakah peristiwa-peristiwa menyakitkan dan menghancurkan manusia ini serasi dengan keadilan Allah?
Al-Qur`an telah memberikan jawaban terhadap kerancuan ini dalam beberapa ayatnya, dan sebagai contoh kami akan sebutkan sebagiannya;
1. Bencana-bencana tersebut bertujuan untuk mengingatkan dan menyadarkan manusia dari kelalaiannya. Alalh Swt berfirman dalam surat ar-Rum ayat ke 41 sebagai berikut; "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)".
Berdasarkan ayat ini, bencana-bencana tersebut dikategorikan sebagai wujud kelembutan Allah kepada orang-orang lalai. Bencana tersebut menyadarkan orang-orang lalai dari kelalaiannya sehingga mereka akan kembali kepada Allah. Sebagaimana bencana penyakit di masa kita sekarang adalah karena berbagai kerusakan mereka lakukan. Tujuannya ialah agar dengan bencana ini mereka kembali dan sadar. Atau seperti bencana yang menimpa masyarakat dunia sekarang dengan peperangan, kerusakan dan dekadensi moral yang menghancurkan kebudayaan manusia sehingga berbagai penyakit merajalela di tengah-tengah mereka, seperti memakan riba. Bencana-bencana ini membantu mereka agar sadar dari kelalaiannya dan kembali kepada jalan yang benar.
Dengan demikian, bencana-bencana tersebut pada hakekatnya adalah anugrah Allah Swt. Dan untuk lebih memperjelas lagi falsafah ini, coba perhatikan contoh berikut ini;
Di sejumlah jalan kita menemukan beberapa rintangan "polisi tidur" yang sengaja dibuat. Apabila kita bertanya kenapa dipasang rintangan? Jawabannya, karena jalanan tanpa hambatan sering membuat seorang sopir lalai yang dapat mengancam hidupnya dan hidup orang lain. Dan agar ia tetap sadar dan tidak lalai, maka dianggap perlu memasang rintangan "polisi tidur ini" sehingga seorang sopir senantiasa terjaga.
Sesungguhnya kehidupan seseorang apabila lepas dari rintangan-rintangan, ia akan mengarah kepada kelalaian, kelupaan dan pada akhirnya kejatuhannya pada jurang kesengsaraan. Keberadaan rintangan-rintangan ini menyebabkannya tetap terjaga dan selamat dari keterpurukan.
2. Falsafah lain yang dapat disimpulkan dari ayat tersebut adalah bahwa bencana-bencana tersebut dihasilkan oleh perbuatan manusia itu sendiri. Artinya bahwa manusia lah yang mendzalimi dirinya sendiri, dan Allah tidak mendzalimi siapapun.
Sebagai contoh kedua orang tua yang tidak perhatian terhadap kebaikan atau keburukan pendidikan anaknya, tidak mengarahkannya kepada pendidikan agama, tidak membimbing dan membiasakan anak-anaknya ke tempat-tempat seperti masjdi atau husainiyah, maka hasilnya mereka menjadi seorang anak durhaka dan terlibat pemakaian NARKOBA. Efek dari kesalahan itu tidakhanya kembali kepada kedua orang tuanya, bahkan kepada masyarakat secara luas.
Perhatikanlah siapa yang pertama kali menebar penyakit dan kedzaliman ini? Tiada lain adalah kedua orang tua tersebut.
Untuk direnungkan.
Baru-baru ini seseorang datang ke kantor kami untuk menunaikan kewajiban-kewajiban pada hartanya. Lalu para pengurus melayani kebutuhannya dan kemudian ia pun kembali.
Pada kesempatan berikutnya ia datang lagi diserta seorang kawannya. Ia datang dengan membawa sejumlah problem dan kesulitan sambil menangis. Aku bertanya kenapa ia menangis? Ia menjawab; anak-anakku terus menuntut ingin mengambil kekayaanku selurunya yang telah aku kumpulkan sepanjang umurku.
Mereka telah mengusirku dari rumah, dan kini saya tidur setiap malam di tempat-tempat umum. Lalu ia melirik kepada sahabatnya dan berkata: sungguh jalan yang telah ditempuh sahabatku ini adalah jalan yang benar. Semenjak awal ia berusaha mendidik anak-anaknya, mengajari mereka pendidikan agama dan membiasakannya semenjak kecil datang ke masjid dan husainiyah-husainiyah. Kini anak-anaknya bagaikan tongkat di tangan kedua orang tuanya, mereka menghormati dan menunaikan kewajiban mereka kepada kedua orang tuanya. Sementara aku sudah salah sejak awal. Aku kirimkan mereka ke luar negri untuk belajar tanpa membekali mereka dengan pendidikan agama. Kini mereka telah kembali kepada kami, namun kami menemukan mereka tidak berfikir kecuali memikirkan kepentingan-kepentingan materilanya saja. Mereka hanya memikirkan harta saja. "Allah tidak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri".104
Sesungguhnya rahmat dan kelembutan Allah kepada hamba-hamba-Nya seperti air hujan yang menyirami bumi. Sebagian tanah itu ditumbuhi tumbuhan dan bunga-bunga, dan sebagan lainnya ditumbuhi semak belukar. Problemnya bukanlah pada air hujan itu, melainkan pada bumi yang menerimanya. Demikian juga masalahnya bukanlah ada pada cahaya-cahaya hidayah Allah, melainkan ada pada hati-hati manusia itu sendiri. Atas dasar ini, falsafah bencana lainnya ialah ia kembali kepada perbuatan-perbuatan atau sikap kita sendiri. Tentu masih banyak falsafah-falsafah lainnya yang tidak bisa dibincangkan semaunya disini.
Perumpamaan Kesebelas:
Kufur dan Imam
Allah menggambarkan perumpamaan keimanan dan kekufuran ini dalam surat al-An`am ayat ke 122, sebagi berikut; "Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan".
Pengantar pembahasan
Dalam ayat tersebut terdapat dua perumpamaan tentang kufur dan iman. Al-Qur`an mengumpamakan keimanan pada perumpamaan pertama sebagai kehidupan, sementara kekufuran sebagai kematian. Pada perumpamaan kedua iman diperumpamakan seperti cahaya, sementara kekufuran seperti kegelapan.
Sebab nuzul (turun) ayat tersebut
Ada dua sebab turun ayat tersebut;
1. Ayat tersebut turun berkaitan dengan Hamzah, paman Nabi Saw dan Abu Jahal, musuhnya. Hamzah saat itu masih belum masuk Islam, pelan-pelan ia pun mempelajari agama baru ini dengan bentuk yang lebih baik. Dalam pangguan Islam ia bersikap diam dalam menerima dakwah. Sementara Abu Jahal selalu menyakini Rosulullah Saw dengan berbagai bentuknya. Ia meletakkan jebakan-jebakan untuk mencelakakan beliau.
Pada suatu hari ketika Hamza telah pergi berburu, dan pada saat yang sama Abu Jahal telah menyakiti Nabi Saw dengan sangat keji. Lalu sampailah berita ulah Abu jahal itu kepada Hamzah setelah ia kembali dari berburu. Ia langsung mendatangi Abu Jahal dan memukul hidungnya sehingga mimisan. Sekalipun Abu Jahal memiliki banyak penolong, hanya saja ia tetap takut kepada Hamzah sehingga ia tidak berani memberikan reaksi apapun. Pada saat inilah Hamzah menyatakan keislamannya.
Ayat tersebut turun berkaitan dengan peristiwa ini. Ia seakan-akan ingin mengatakan bahwa Hamzah hidup ketika ia masuk Islam, sehingga hatinya bersinar. Berbeda dengan Abu Jahal yang berada dalam bencana (kematian) dengan berbagai kegelapan. Kefanatikan dan keras kepalanya membuat ia tidak bisa keluar dari kegelapan-kegelapan tersebut. Orang-orang kafir meyakini akan kesahihan amal-amal mereka, padahal dalam setiap harinya mereka semakin terperosok ke dalaam kesulitan dan kekufuran.105
2. Pandangan lain ia turun kepada Ammar bin Yasir dan Abu Jahal. Ammar adalah seorang pemuda pemberani dan termasuk orang-orang yang pertama memeluk Islam sehingga hatinya disinari keimanan. Ia adalah seorang penolong Rosulullah Saw, dan setelah wafat beliau Saw, ia pun menjadi pembantu Amirul Mukminin a.s hingga ia syahid dalam perang Shiffin.106
Apakah itu kehidupan?
Agar kita bisa memahami lebih dalam perumpamaan pertama, kita harus terlebih dahulu memahami pengertian hidup. Sekalipun jejak-jejak kehidupan ditemukan dimana-mana, dan sekalipun kita dapat membedakan antara kehidupan dan kematian, namun kenyataannya memahami pengertian dan hakikat hidup adalah sesuatu yang sulit. Hingga kini belum ada orang yang bisa memberikan defenisi menyeluruh terhadap hakekat kehidupan.
Sejumlah ulama meyakini ketidakmungkinan memisahkan kehidupan dari kematian. Meskipun manusia berhasil menciptakan alat canggih seperti komputer dan lain-lain, mereka tetap tidak bisa membuat wujud hidup dari wujud mati.
Al-Qur`an telah menjelaskan semenjak 1400 tahun yang lalu bahwa manusia adalah lemah, seperti firman-Nya dalam surat al-Haj ayat ke 73; "Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah".
Di antara prinsif-prinsif eksperimental yang pasti ialah bahwa kehidupan tidaklah mungkin diciptkaan dari kematian. Orang-orang awam menyangka bahwa kelembaban udara dapat menciptakan sejumlah wujud hidup, dan ini anggapan yang salah, sebagaimana tidak mungkin membayangkan apel dengan sendirinya menciptakan ulat yang ada di dalamnya. Ia akan mengada ketika ada telor ulat di dalamnya. Tidaklah ada hewah yang mencitakan tumbuhan dan tidak ada tumbuhann yang menciptakan hewan.
Pertanyaan, pada saat bumi terlepas dari matahari, saat itu tidak terdapat kehidupan di atas muka bumi ini, namun setelahnya wujud hidup muncul. Tidakkah itu bukti bahwa wujud-wujud hidup tercipta dari wujud-wujud materi (mati)?
Jawab, memang benar di sana ada masa tertentu wujud-wujdud material menciptakan wujud hidup, namun kondisi ini tidak pernah terjadi secara kenyataan, sebagaimana juga manusia tidak mungkin dapat membayangkan kejadiannya.
Atas dasar ini, kehidupan benar-benar fenomena paling menakjubkan di alam keberadaan, dan yang paling menakjubkan lagi dari itu adalah Pencipta kehidupan itu sendiri. Sekalipun jutaan ilmuan telah melakukan pengkajian dan penelitian, tidak seorang pun berhasil mengungkap rahasia ini dan mengetahu rahasia penciptaan. Karena itu, kehidupan merupakan bukti terpenting di antar bukti-bukti keberadaan Allah.
Macam-macam kehidupan
Kehidupan sebenarnya terbagi kepada tiga macam;
1. Kehidupan tumbuhan yang ditandai dengan tiga hal; pertumbuhan, suplai makanan, dan perkembangan biak.
2. Kehidupan hewan, yaitu ditandai dengan dua hal; gerak dan rasa.
3. Kehidupan manusia, yang ditandai dengan seluruh tanda-tanda dalam kehidupan hewan dan tumbuhan di atas, dengan disertai karakter khusus lainnya; ilmu, pengetahuan, iman, akhlak, cinta, dan kehendak. Apabila ia kehilangan tiga karakter khusus terakhir, maka ia akan berubah menjadi kehidupan hewan. Karena itulah al-Qur`an al-Karim menyebut orang-orang non- muslim sebagai mati, karena ia melihat kepada hidupan mereka dari sisi agama Islam.
Maksud "hidup" dalam ayat tersebut
Tidak diragukan lagi bahwa yang dimaksud kehidupan pada ayat tersebut adalah kehidupan manusia. Artinya bahwa Hamzah, Amamr atau yang lain mereka dikatakan hidup jika menjadi Islam. Di dalaamnya nampak tanda-tanda kehidupan manusia; ilmu, pengetahuam, akhlak, keimanan, cinta dan kehendak. Karena itu, Hamzah, Amamr dan para syuhada adalah perumpamaan orang-orang hidup, sementara Abu Jahal merupakan perumpamaan orang mati.
Kenapa orang-orang Jahiliyah dianggap mati
Hal ini telah dibahas Amirulmukminin Ali.a s dalam khutbahnya no. 26 dalam Nahjul Balaghah, ia berkata: "Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad Saw sebagai pemberi peringatan kepada seluruh alam, penjaga atas apa yang diturunkan....". lalu beliau menyebutkan sepuluh kebiasaaan orang Arba jahiliyah;
1. "Kalian wahai orang-orang Arab berada pada agama yang salah". Menyembah berhala-berhala sungguh merupakan tahayul/khurafat yang paling buruk. Bagaimana mungki seseorang memahat sebuah patung lalu ia sujud, ruku, bermunajat dan memohon kepadanya berbagai permohonan? Yang paling bodoh dari itu semua adalah mengorbankan anaknya untuk patung-patung ini, dan ketika mereka lapar, mereka pun memakan patungnya yang terbuat dari kurma.
2. "berada pada rumah yang paling buruk". Mereka berada di sebuah rumah yang tidak ada keamanan di dalamnya. Api peperangan senantiasa menyala. Mereka saling berperang, bermusuhan, dan menanamkan kebencian kepada anak-anaknya. Kematian adalah akhir seseorang yang tidak dapat membalas musuhnya, dan mereka mewariskan penuntutan balas kepada anak-anaknya.
3 dan 4. "Kalian ,,,,antara batu yang keras dan kehidupan yang tuli". Yakni mereka adalah orang-orang fakir yang hidup diantara bebatuan kasar dan keras serta kehidupan berbahaya yang tidak berbelas kasihan. "Langit menjadi atap kalian dan bumi menjadi lantainya".
5. "Kalian meminum air yang keruh". Yakni mereka tidak meminum air jernih, bahkan senantiasa meminum air yang kotor.
6. " Kalian memakan makanan yang kasar". Yakni makanan kalian tidaklah enak, bahkan seadanya dan hambar.
7. "Kalian menumpahkan darah-darha kalian". Mereka saat itu dikuasai oleh keadaan kacau dan cheos.
8. "Kalian memutuskan hubungan kekeluwargaan". Mereka tidak menyayangi anak-anaknya sendiri, dan apalagi anak-anak orang lain. Mengubur anak perempuan adalah diantara kebiasaan mereka.
9. "Kalian jaga patung-patung pada kalian". Yakni patung-paung tersebut mereka jaga untuk dihormati, dipuja, disembah, dan lain-lain.
10. "Sementara dosa-dosa kalian pelihara". Yakni mereka telah tenggelam dalam lautan dosa dan maksiat.
Dari perkataan Imam di atas dapat disimpulkan bahwa kefakiran menjadi pengendali, baik dalam pengrrtian agama, budaya, politik, ekonomi, keamanan dan lain-lain. Maka dalam kondisi kematian total seperti ini Allah mengutus seorang rosul dengan membawa ilmu dan pengetahuan.
Orang-orang Arab jahiliyah selanjutnya dapat bersentuhan dengan ilmu dan pengetahun dalam naungan Islam, dan tidak seberapa lama mereka dapat menguasai dunia pengetahuan hingga menyebar ke Eropa untuk melakukan transper ilmu pengetahuan. Sekitar empat atau lima abad, orang-orang muslim berhasil memperkenalkan dunia Eropa kepada pengetahuan (sains). Namun meskipun orang-orang Islam pernah menguasai sains dunia, kondisi mereka kini kembali terbelakang dalam industri dan teknologi. Kini mereka memohon kepada dunia Eropa untuk mengutus para ahli dan ilmuan mereka, padahal ini dapat berpengaruh buruk pada etika, agama dan sosial.
Para ulama sekarang hendaknya memperkenalkan para pemuda dengan masa lalu mereka yang cemerlang, dan memberitahu generasi ini dengan ilmu pengetahuan, reset dan penemuan-penemuan ilmiah yang dipelajari Eropa dari kaum muslimin sebelum mereka bangkit. Dengan membekali para pemuda seperti itu di universiats dan pusat-pusat studi ilmiah, mereka dapat didorong menuju aktivitas dan efektivitas yang lebih besar.
Efek dan fungsi cahaya
Keimana dalam perumpamaan di atas disamakan dengan cahaya, dan kekafiran diumpamakan seperti kegelapan. Dan untuk lebih memperjelas keagungan cahaya tersebut, alangkah baiknya jika kita tunjukkan efek-efek material dan kegunaannnya (barokahnya) di sini.
Cahaya merupakan wujud paling halus dan paling cepat di antara wujud-wujud material. Kecepatannya dalam perdetik mencapai 300.000 kilometer. Dengan kata lain, dalam satu detik ia dapat mengelilingi bumi sebanyak tujuh kali putaran plus setengah, karena garis katulistiwa bumi ialah 40 ribu kilometer. Maka apabila kita bagi 300.000 dengan 40.000, hasilnya adalah 7,5 (tujuh setengah).
Keberkahan (kebahagiaan) dunia materi secara keseluruhan adalah karena cahaya. Dengan perantaranyanya kuman-kuman berbahaya dapat dibunuh dan dapat menyembuhkan beberapa penyakit. Dengan peranannya udara menghangat, berkatnya bumi mendapatkan penyinaran, dan berkatnya pula air hujan turun ke bumi.
Keimanan dan keislaman adalah sinar sebagaimana cahaya. Sekalipun hamzah dan Amamr meninggal dunia sebelum Islam, sebagaimana kondisi orang-orang Arab jahiliyah saat itu, kemudian mereka bercahaya setelah keimanannya, sera menghidupkan keberadaan dan hati-hati mereka. Dengan cahaya inilah mereka telah menempuh hakikat dan jalan yang benar. Dan tetntu saja secara alami pemiliki cahaya akan berbeda dengan yang tidak memilikinya.
Cahaya al-Furqan
Ayat ke 29 berikut dari surat al-Anfal adalah diantara ayat-ayat berkandungan sama yang memilik makna cukup dalam yang diturunkan terkait masalah ini. "Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan. Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar".
Secara bahasa, al-furqan berarti sesuatu yang dengnya hak dibedakan dari yang batil. Ayat tersebut ingin menjelaskan bahwa apabila seseorang bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan menempatkan cahaya dalam hatinya sehingga dengan cahaya itu ia dapat memilah kebenaran dari kebatilan. Untuk tujuan ini, diantara orang-orang awam biasa terdapat sekelompk orang yang membawa cahaya ini dan mengajarkan realitas sesuatu, mengingat sebuah kenyataan dipiputi dengan berbagai tabir dan penutup sehingga orang-orang awam itu dapat mengetahui asal dan tujuannya.
Para pembawa cahaya ini tidaklah berada dalam jeratan syetan dan tidak juga menjadi perpanjangan tangannya. Demikian itu karena cahaya al-furqan membukakan sesuatu yang tertutupi kepada mereka dan menunjukinya kepada jalan yang benar. Untuk itu Rosulullah Saw bersabda; "seorang mukmin melihat dengan cahaya Allah". 107
Taqwa adalah buah puasa dan Fur`an adalah buah taqwa
Bulan Ramadhan adalah bulan ketakwaan dan cahaya. Ketakwaan diperoleh hingga batas paling maksimal dengan berpuasa yang di dalamnya tumbuh biji ketakwaan (agar kalian bertaqwa). Taqwa merupakan buah dan hasil puasa, dan berdasarkan keterangan ayat al-Qur`an tersebut bahwa al-Furqan adalah buah dari ketaqwaan.
Maka alangkah tepat jika pada malam-malam Ramadhan yang berkah ini, dan terutama pada saat waktu sahurnya untuk kita mengangkat tangan ke langit menunjukakn rasa takut dan berendah diri, sambil memohon ketaqwaan dan al-furqan kepada Allah (semoga amin ya Allah)
Amal-amal buruk akan nampak baik di mata orang-orang kafir
Allah Swt berfiman pada penghujung ayat tersebut: "Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan". Demikian itu karena cinta diri, hawa nafsu dan ego serta kesombongan membuat seseorang lalai akan amal-amal buruknya dan kemudian ia dihiasi oleh amal-amal buruknya sehingga ia nampak seperti baik dan indah.
Perumpamaan Keduabelas:
Melapangkan Dada
Allah Swt berfirman dalam surat al-An`am, ayat 125 sebagai berikut; "Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman".
Pengantar pembahasan
Ayat-ayat tersebut berada dalam ruang menjelaskan wilayah ruhaniah kepada seseorang agar mau menerima kebenaran (hak), dan kesimpulan ayat ini menunjukkan bahwa kedudukan orang-orang itu berbeda. Sebagain mereka dengan sendirinya menjumpai dan menyambut Islam dengan lapang dada dan kemudian memeluknya. Demikian itu terjadi karena kebersihan ruhani dan kebercahayaaan hatinya, maka Allah pun melapangkan dadanya. Berbeda dengan mereka, ada sekelompok orang yang tidak terpengaruh dengan al-Qur`an sekalipun seuruhnya dibacakan kepadanya, demikian itu karena ia telah kehilangan ruang tempat menerima kebenarana, maka Allah jadikan dada-dadanya sempit dan sesak.
Syarah dan tafsir
Allah Swt berfirman; "Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam". Istilah lain dari melapangkan dada ialah meluaskannya, dimana ia menjadi mudah menerima hakikat dan kebenaran.
Allah Swt berfirman: "Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit". Istilah lain dari kesempitan dada ialah dicabut kemampuan dan potensi dari hatinya sehingga fikirannya menjadi tidak stabil.
Allah Swt berfirman; "seolah-olah ia sedang mendaki langit". Yakni kesempitan dada membuat seseorang sampai kepada posisi tertentu seakan ia terbang ke langit tanpa sebuah perantara (alat), dan terbang tanpa alat seperti ini adalah mustahil bagi seorang manusia. Demikian pula mereka yang memikul kesempitan dan kegelapan tidak akan dapat sampai. Sesungguhnya Allah telah menempatkan kegelapan dan kekufuran ini pada hati-hati orang non-mukmin.
Sasaran-sasaran ayat tersebut
1. Hidayah dan kesesatan ada pada tangan Allah
Pengertian yang sesuai dengan makna lahir ayat tersebut ialah bahwa hidayah dan kesesatan berada ditangan Allah, dan ini pasti berarti jabr (deterministik). Dalam ayat ini kekafiran dan keislaman merupakan dua hal yang non-ikhtiari, dan menerima kesimpulan ini -berdasarkan keyakinan akidah kita- bertentangan dengan keadilan Allah. Untuk itu kami perlu memberikan mukaddimah untuk menjelaskan masalah ini.
Di antara kelompok Islam -yang tidak brsumber pada konsep wilayah dan imamah- ada sekelompk umat Islam yang mengakui konsep jabr. Mereka meyakini bahwa manusia tidak memiliki pilihan (ikhtiyar). Keyakinan madzhab ini -yang bertentangan dengan madzhab Syi`ah- berarti sama dengan mengingkari ushuluddin yang lima.
Landasan pertama yang diabaikan madzhab ini adalah landasan keadilan ilahi. Seseorang apabila amal-amalnya deterministik (majbur), maka memberi pahala orang mukmin dan memberi siksa kepada orang kafir bukanlah bagian dari keadilan ilahi. Karena kekafiran seorang kafir bukanlah atas pilihannya dan kemukminan seorang mukmin pun bukan karena pilihannya. Untuk itu orang yang meyakini konsep jabr tidak mengakui keadilan ilahi.
Tauhid adalah konsep kedua yang bertentangan dengan keyakinan jabr, demikian itu karena Allah apabila ia tidak adil maka ia tidak layak untuk mentatur dan mengendalikan alam yang luas ini yang berjalan berdasarkan sistem keadilan, keseimbangan dan kebijaksanaan.
Dari sini, maka pengutusan para rosul dan nabi tidak memiliki arti sama sekali. Para nabi itu tidak memiliki kekuasaan memberi hidayah kepada orang-orang yang sudah tertulis sebagai kafir, karena mereka tidak memiliki pilihan (ihtiar). Demikian pula para nabi tidak punya peran apapun terhadap keimanan orang-orang mukmin, karena mereka sudah tertulis tidak menyimpang. Dengan kata lain, yang pertama adalah mustahil dan yang kedua sia-sia, dan keduanya dari kacamata filosofis tidaklah mungkin terjadi.
Imamah -yang menjadi misi lanjutan dari kenabian- menjadi gugur dengan keyakinan jabr tersebut. Landasar lain yang juga digugurkan oleh jabr konsep ma`ad, karena konsep ma`ad dibangun diatas landasan ikhtiyar. Apabila semua orang tidak memiliki ikhtiyar dan deterministik (majbur), maka konsep balasan surga dan neraka, kiamat dan ma`ad seluruhnya menjadi konsep-konsep yang tidak bermakna.
Kesimpulannya kita tidak mungkin menjadi Islam dengan keyakinan jabr, sebagaiamna juga kita tidak mungkin menerima ushuluddin dengan keyakinan tersebut. Untuk itu syi`ah harus bersyukur kepada Allah tidak berpemahaman jabr yang kelam itu -berkat bimbingan para imam maksum a.s-, sebagaimana Ia tidak meninggalkannya begitu saja dalam kebingungan di sebuah sahara, bahkan Allah menunjukkan jalan tengah diantara dua jalan ekstrim kepada syi`ah. Dan Itulah jalan yang benar dan lurus.
Yang ditunjukkan oleh ayat tersebut ialah bahwa langkah pertama untuk hidayah, sementara kesesatan dilakukan oleh manusia itu sendiri. Apabila langkah ini menuju kepada hidayah, maka ia akan mendapatkan hidayah rabbaiyah. Namun apabila langkah ini menuju kepada kesesatan, maka ia akan sampai kepada kesesatan rabbaiyah. Seperti Salman al-Farisi ia pergi dari Iran dan bergerak menuju sumber hidayah. Dalam perjalannya ia menemukan berbagai rintangan sehingga sempat mengalami dijadikan budak. Namun karena langkah pertamanya adalah langkah menuju hidayah, maka Allah memberikan kepadanya hidayah, melapangkan dadanya dan mendapatkan apa yang ia harapkan.
Adapun Abi Jahal dan Abu Lahab meskipun keduanya berada di samping sumber hidayah, hanya saja langkah pertamanya adalah memushi dan membencinya. Yakni ia telah memilih jalan kesesatan dan menjadi pengikut syetan, menutup kedua mata dan kedua telinganya untuk menolak seruannya. Karena itu keduanya mendapatkan kesesatan dan kesempitan dada.
Atas dasar ini pula, hidayah dan kesesatan sebenarnya hasil dari pilihan langkah seseorang, dan ayat tersebut sebagaimana juga ayat-ayat lainnya tidaklah bertentangan dengan ikhtiyar seseorang.
2. Kemukjizatan al-Qur`an dalam ayat tersebut
Meskipun para mufassir menganggap bahwa kalimat "seolah-olah ia sedang mendaki langit" adalah kalimat kiasan dan bukan dalam pengertian yang sebenarnya, karena kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan manusia sudah berhasil menembusnya. Bisa saja diberikan tafsiran lain terhadap ayat ini yang akan menyingkap keilmiahan mukjizat al-Qur`an al-Karim.108
Bola bumi berkisar diatas 30 kilo meter dikelilingi gumpalan gas oksigen, yang dimanfaatkan oleh mujud-mujud hidup. Mereka memanfaatkannya dari ketentaun yang ada hingga ketinggian kilometer tertentu, dan pada ketinggian lebih tingggi dari ketentuan itu akan sulit mendapatkannya. Seperti mansuai ketika ia berada diketinggian lebih dari ketentaun normal, ia akan sesak dan kesulitan bernafas.
Karena itu para pendaki gunung akan kesulitan bernafas ketika berada pada gunung yang tinggi. Yaitu ketika mencapai ketinggian tertentu dimana oksigen sulit dihirup yang terkadang beberapa saat setelahnya menyebabkan pingsan dan bahkan kematian.
Karena sebab yang sama, pesawat-pesawat dipersiapkan dengan persediaan-persediaan oksigen di dalamnya ketika ia terbang diketinggian tertentu. Setelah mencapai ketinggian tersebut para penumpang diperintahkan mengenakan masker khusus yang akan mensuplai mereka oksigen yang telah dipersiapkan.
Apabila mereka kesulitan menggunakannya maka pesawat tersebut harus menurunkan ketinggian terbangnya pada ketinggian tertentu untuk menjaga keselamatan para penumpang.
Pada saat ayat tersbeut diturunkan, belum ada penemuan ilmiah seperti ini, namun al-Qur`an pada masa itu (1400 tahun yang lalu) telah menyinggung masalah ilmiah ini dengan mengatakan tidak dapat menghirup udara pada ketinggian udara tertentu, lalu al-Qur`qan mengumpamakan orang-orang sesat seperti mereka yang ingin bernafas di ketingggian udara.
3. Melapangkan dada
Ketika nabi Musa a.s mendapatkan misi kenabiannya, beliau memohon kepada Allah beberapa hal, diantaranya adalah melapangkan dada, seperti dikutif dalam firman-Nya Swt; "Berkata Musa: "Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku". Sementara Nabi Saw mendapatkan anugrah agung ini tanpa memohon terlebih dahulu kepada-Nya. Allah Swt berfirman: "Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?".
Pengertian "melapangkan dada".
Dada tersebut tidaklah berarti dada badan, melainkan ruh dan fikr. Karena itu, melapangkan dada berarti pemikiran yang terbuka dan ruh yang tercerahkan, berupa kesabaran dan ketenangan fikr dan spiritual sehingga tidak berguncang di hadapan bentangan berbagai kejadian atau yang lebih besar dari itu. Karena itu, pelapangan dada merupakan salah satu tangga naik terpenting menuju Allah Swt.
Rosulullah Saw dan tetangga Yahudi
Rosulullah Saw memiliki seorang tetangga Yahudi. Ia seriang melempari kotoran dan sampah-sampah kepada nabi ketiak beliau melewati rumahnya, dan perbautan ini ia lakukan kepadnya setiap hari. Pada suatu hari Rosulullah Saw melewati rumahnya dan beliau Saw tidak menemukan fenomena keseharian Yahudi itu, lalu Rosulullah Saw bertanya kepada sahabatnya. Lalu mereka menjawab bahwa ia sedang sakit. Maka berangkatlah Rosulullah Saw ke untuk menjenguk rumahnya. Beliau ketuk pintu dan istrinya bertanya kepada beliau dari balik pintu ada apa gerangan. Lalu beliau menjawab bahwa tujuannya ingin menjenguk, dan ia pun kemudian membukakan pintu untuknya. Lalu terlontarlah ucapan salam dan penghormatan beliau kepada Yahudi itu, padahal ia setiap hari selalu menyakiti belum.
Ketika ia menyaksikan perlakuan ini dari Rosulullah Saw, ia pun langsung bertanya, apakah akhlak sepetti ini adalah bagain dari agama yang kamu serukan? Beliau Saw menjawab; ya.
Kita pun menemukan contoh-contoh lain perilaku seperti dalam sejarah Nabi Saw, para imam dan para ulama Islam.
Sebagai contoh, seseorang berasal dari kota Siraz menulis sebuah surat kepada seorang ulama di kota itu. Dalam surat itu ia mengusirnya dan meminta pergi dari kota itu. Lalu ulama tersebut memandangi orang itu, lalu berkata; kamu telah menulis surat yang ditujukan kepadaku, nampaknya kamu sedang mengalami problem materi. Maka ambilah uang ini supaya problemmu segera selesai.
Ia pun nampak senang dan berkata kepada dirinya; untung saja ia belum membaca suratku. Seorang muslim hendaknya saling tolong-menolong dengan Rosulullah Saw, melapangkan dan meluaskan dadanya. Ia hendaknya bersabar menghadapi permasalahan dan bersyukur atas nikmat-nikmat terhadap segala peroblem yang ia hadapi, sekalipun itu kecil. Ia pun harus berusaha untuk tetap bangkit.
Ya Allah dengan keberkahan bulan (Ramadhan) ini, lapangkanlah dada-dada kami dan buatlah kami tabah menerima sesuatu yang tidak sanggup kami tarima.
Melapangkan Dada
Allah Swt berfirman dalam surat al-An`am, ayat 125 sebagai berikut; "Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman".
Pengantar pembahasan
Ayat-ayat tersebut berada dalam ruang menjelaskan wilayah ruhaniah kepada seseorang agar mau menerima kebenaran (hak), dan kesimpulan ayat ini menunjukkan bahwa kedudukan orang-orang itu berbeda. Sebagain mereka dengan sendirinya menjumpai dan menyambut Islam dengan lapang dada dan kemudian memeluknya. Demikian itu terjadi karena kebersihan ruhani dan kebercahayaaan hatinya, maka Allah pun melapangkan dadanya. Berbeda dengan mereka, ada sekelompok orang yang tidak terpengaruh dengan al-Qur`an sekalipun seuruhnya dibacakan kepadanya, demikian itu karena ia telah kehilangan ruang tempat menerima kebenarana, maka Allah jadikan dada-dadanya sempit dan sesak.
Syarah dan tafsir
Allah Swt berfirman; "Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam". Istilah lain dari melapangkan dada ialah meluaskannya, dimana ia menjadi mudah menerima hakikat dan kebenaran.
Allah Swt berfirman: "Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit". Istilah lain dari kesempitan dada ialah dicabut kemampuan dan potensi dari hatinya sehingga fikirannya menjadi tidak stabil.
Allah Swt berfirman; "seolah-olah ia sedang mendaki langit". Yakni kesempitan dada membuat seseorang sampai kepada posisi tertentu seakan ia terbang ke langit tanpa sebuah perantara (alat), dan terbang tanpa alat seperti ini adalah mustahil bagi seorang manusia. Demikian pula mereka yang memikul kesempitan dan kegelapan tidak akan dapat sampai. Sesungguhnya Allah telah menempatkan kegelapan dan kekufuran ini pada hati-hati orang non-mukmin.
Sasaran-sasaran ayat tersebut
1. Hidayah dan kesesatan ada pada tangan Allah
Pengertian yang sesuai dengan makna lahir ayat tersebut ialah bahwa hidayah dan kesesatan berada ditangan Allah, dan ini pasti berarti jabr (deterministik). Dalam ayat ini kekafiran dan keislaman merupakan dua hal yang non-ikhtiari, dan menerima kesimpulan ini -berdasarkan keyakinan akidah kita- bertentangan dengan keadilan Allah. Untuk itu kami perlu memberikan mukaddimah untuk menjelaskan masalah ini.
Di antara kelompok Islam -yang tidak brsumber pada konsep wilayah dan imamah- ada sekelompk umat Islam yang mengakui konsep jabr. Mereka meyakini bahwa manusia tidak memiliki pilihan (ikhtiyar). Keyakinan madzhab ini -yang bertentangan dengan madzhab Syi`ah- berarti sama dengan mengingkari ushuluddin yang lima.
Landasan pertama yang diabaikan madzhab ini adalah landasan keadilan ilahi. Seseorang apabila amal-amalnya deterministik (majbur), maka memberi pahala orang mukmin dan memberi siksa kepada orang kafir bukanlah bagian dari keadilan ilahi. Karena kekafiran seorang kafir bukanlah atas pilihannya dan kemukminan seorang mukmin pun bukan karena pilihannya. Untuk itu orang yang meyakini konsep jabr tidak mengakui keadilan ilahi.
Tauhid adalah konsep kedua yang bertentangan dengan keyakinan jabr, demikian itu karena Allah apabila ia tidak adil maka ia tidak layak untuk mentatur dan mengendalikan alam yang luas ini yang berjalan berdasarkan sistem keadilan, keseimbangan dan kebijaksanaan.
Dari sini, maka pengutusan para rosul dan nabi tidak memiliki arti sama sekali. Para nabi itu tidak memiliki kekuasaan memberi hidayah kepada orang-orang yang sudah tertulis sebagai kafir, karena mereka tidak memiliki pilihan (ihtiar). Demikian pula para nabi tidak punya peran apapun terhadap keimanan orang-orang mukmin, karena mereka sudah tertulis tidak menyimpang. Dengan kata lain, yang pertama adalah mustahil dan yang kedua sia-sia, dan keduanya dari kacamata filosofis tidaklah mungkin terjadi.
Imamah -yang menjadi misi lanjutan dari kenabian- menjadi gugur dengan keyakinan jabr tersebut. Landasar lain yang juga digugurkan oleh jabr konsep ma`ad, karena konsep ma`ad dibangun diatas landasan ikhtiyar. Apabila semua orang tidak memiliki ikhtiyar dan deterministik (majbur), maka konsep balasan surga dan neraka, kiamat dan ma`ad seluruhnya menjadi konsep-konsep yang tidak bermakna.
Kesimpulannya kita tidak mungkin menjadi Islam dengan keyakinan jabr, sebagaiamna juga kita tidak mungkin menerima ushuluddin dengan keyakinan tersebut. Untuk itu syi`ah harus bersyukur kepada Allah tidak berpemahaman jabr yang kelam itu -berkat bimbingan para imam maksum a.s-, sebagaimana Ia tidak meninggalkannya begitu saja dalam kebingungan di sebuah sahara, bahkan Allah menunjukkan jalan tengah diantara dua jalan ekstrim kepada syi`ah. Dan Itulah jalan yang benar dan lurus.
Yang ditunjukkan oleh ayat tersebut ialah bahwa langkah pertama untuk hidayah, sementara kesesatan dilakukan oleh manusia itu sendiri. Apabila langkah ini menuju kepada hidayah, maka ia akan mendapatkan hidayah rabbaiyah. Namun apabila langkah ini menuju kepada kesesatan, maka ia akan sampai kepada kesesatan rabbaiyah. Seperti Salman al-Farisi ia pergi dari Iran dan bergerak menuju sumber hidayah. Dalam perjalannya ia menemukan berbagai rintangan sehingga sempat mengalami dijadikan budak. Namun karena langkah pertamanya adalah langkah menuju hidayah, maka Allah memberikan kepadanya hidayah, melapangkan dadanya dan mendapatkan apa yang ia harapkan.
Adapun Abi Jahal dan Abu Lahab meskipun keduanya berada di samping sumber hidayah, hanya saja langkah pertamanya adalah memushi dan membencinya. Yakni ia telah memilih jalan kesesatan dan menjadi pengikut syetan, menutup kedua mata dan kedua telinganya untuk menolak seruannya. Karena itu keduanya mendapatkan kesesatan dan kesempitan dada.
Atas dasar ini pula, hidayah dan kesesatan sebenarnya hasil dari pilihan langkah seseorang, dan ayat tersebut sebagaimana juga ayat-ayat lainnya tidaklah bertentangan dengan ikhtiyar seseorang.
2. Kemukjizatan al-Qur`an dalam ayat tersebut
Meskipun para mufassir menganggap bahwa kalimat "seolah-olah ia sedang mendaki langit" adalah kalimat kiasan dan bukan dalam pengertian yang sebenarnya, karena kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan manusia sudah berhasil menembusnya. Bisa saja diberikan tafsiran lain terhadap ayat ini yang akan menyingkap keilmiahan mukjizat al-Qur`an al-Karim.108
Bola bumi berkisar diatas 30 kilo meter dikelilingi gumpalan gas oksigen, yang dimanfaatkan oleh mujud-mujud hidup. Mereka memanfaatkannya dari ketentaun yang ada hingga ketinggian kilometer tertentu, dan pada ketinggian lebih tingggi dari ketentuan itu akan sulit mendapatkannya. Seperti mansuai ketika ia berada diketinggian lebih dari ketentaun normal, ia akan sesak dan kesulitan bernafas.
Karena itu para pendaki gunung akan kesulitan bernafas ketika berada pada gunung yang tinggi. Yaitu ketika mencapai ketinggian tertentu dimana oksigen sulit dihirup yang terkadang beberapa saat setelahnya menyebabkan pingsan dan bahkan kematian.
Karena sebab yang sama, pesawat-pesawat dipersiapkan dengan persediaan-persediaan oksigen di dalamnya ketika ia terbang diketinggian tertentu. Setelah mencapai ketinggian tersebut para penumpang diperintahkan mengenakan masker khusus yang akan mensuplai mereka oksigen yang telah dipersiapkan.
Apabila mereka kesulitan menggunakannya maka pesawat tersebut harus menurunkan ketinggian terbangnya pada ketinggian tertentu untuk menjaga keselamatan para penumpang.
Pada saat ayat tersbeut diturunkan, belum ada penemuan ilmiah seperti ini, namun al-Qur`an pada masa itu (1400 tahun yang lalu) telah menyinggung masalah ilmiah ini dengan mengatakan tidak dapat menghirup udara pada ketinggian udara tertentu, lalu al-Qur`qan mengumpamakan orang-orang sesat seperti mereka yang ingin bernafas di ketingggian udara.
3. Melapangkan dada
Ketika nabi Musa a.s mendapatkan misi kenabiannya, beliau memohon kepada Allah beberapa hal, diantaranya adalah melapangkan dada, seperti dikutif dalam firman-Nya Swt; "Berkata Musa: "Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku". Sementara Nabi Saw mendapatkan anugrah agung ini tanpa memohon terlebih dahulu kepada-Nya. Allah Swt berfirman: "Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?".
Pengertian "melapangkan dada".
Dada tersebut tidaklah berarti dada badan, melainkan ruh dan fikr. Karena itu, melapangkan dada berarti pemikiran yang terbuka dan ruh yang tercerahkan, berupa kesabaran dan ketenangan fikr dan spiritual sehingga tidak berguncang di hadapan bentangan berbagai kejadian atau yang lebih besar dari itu. Karena itu, pelapangan dada merupakan salah satu tangga naik terpenting menuju Allah Swt.
Rosulullah Saw dan tetangga Yahudi
Rosulullah Saw memiliki seorang tetangga Yahudi. Ia seriang melempari kotoran dan sampah-sampah kepada nabi ketiak beliau melewati rumahnya, dan perbautan ini ia lakukan kepadnya setiap hari. Pada suatu hari Rosulullah Saw melewati rumahnya dan beliau Saw tidak menemukan fenomena keseharian Yahudi itu, lalu Rosulullah Saw bertanya kepada sahabatnya. Lalu mereka menjawab bahwa ia sedang sakit. Maka berangkatlah Rosulullah Saw ke untuk menjenguk rumahnya. Beliau ketuk pintu dan istrinya bertanya kepada beliau dari balik pintu ada apa gerangan. Lalu beliau menjawab bahwa tujuannya ingin menjenguk, dan ia pun kemudian membukakan pintu untuknya. Lalu terlontarlah ucapan salam dan penghormatan beliau kepada Yahudi itu, padahal ia setiap hari selalu menyakiti belum.
Ketika ia menyaksikan perlakuan ini dari Rosulullah Saw, ia pun langsung bertanya, apakah akhlak sepetti ini adalah bagain dari agama yang kamu serukan? Beliau Saw menjawab; ya.
Kita pun menemukan contoh-contoh lain perilaku seperti dalam sejarah Nabi Saw, para imam dan para ulama Islam.
Sebagai contoh, seseorang berasal dari kota Siraz menulis sebuah surat kepada seorang ulama di kota itu. Dalam surat itu ia mengusirnya dan meminta pergi dari kota itu. Lalu ulama tersebut memandangi orang itu, lalu berkata; kamu telah menulis surat yang ditujukan kepadaku, nampaknya kamu sedang mengalami problem materi. Maka ambilah uang ini supaya problemmu segera selesai.
Ia pun nampak senang dan berkata kepada dirinya; untung saja ia belum membaca suratku. Seorang muslim hendaknya saling tolong-menolong dengan Rosulullah Saw, melapangkan dan meluaskan dadanya. Ia hendaknya bersabar menghadapi permasalahan dan bersyukur atas nikmat-nikmat terhadap segala peroblem yang ia hadapi, sekalipun itu kecil. Ia pun harus berusaha untuk tetap bangkit.
Ya Allah dengan keberkahan bulan (Ramadhan) ini, lapangkanlah dada-dada kami dan buatlah kami tabah menerima sesuatu yang tidak sanggup kami tarima.
Perumpamaan Ketigabelas:
Mabda` dan Ma`ad
Allah Swt berfirman dalam surat al-A`raf ayat ke 57 sebaagi berikut; "Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran".
Pengantara pembahasan
Ayat ini menjelaskan kepada kita dua obyek pembahasan, bagian awal berbicara tentang tauhid dan pengenalan terhadap Sang Pencipta, serta pembuktian kuat atas mabda (asal atau permulaan penciptaan). Bagian akhir berbicara tentang alam akhirat dan ma`ad (akhir penciptaan).
Pentingnya mabda dan ma`ad.
Mabda dan ma`ad merupakan bagian dari permasalahan sangat penting yang dikemukakan al-Qur`an dalam bentuk cukup luas, dimana sekitar dua ribu ayat (yakni sepertiga al-Qur`an) berbicara tentang maad, dan juga banyak ayat al-Qur`an lain berbicara tentang tema mabda. Fenomena ini menunjukkan sedemikian penting mabda dan ma`ad.
Permasalahan-permasalahan yang diungkap al-Qur`an ialah masalah keadilan ilahi, surga dan neraka, buku amal, penjelmaan amal, maad, kenikmatan surga, dan lain sebagainya. Rahasia pentingnya ma`ad cukup jelas, dimana seorang manusia tidak bisa berada pada jalan kebahagiaan dan tidak mungkin melangkah pada jalan ini kecuali bersandar kepada dua landasan dasar penting; Pertama, mabda dan tauhdi. Kedua, ma`ad dan kembalinya seseorang kepada Allah.
Keyakinan seseorang kepada Allah Swt akan mengajarinya bahwa Ia benar-benar menyertainya pada setiap waktu dan tempat. "dan Ia berada bersama kalian dimana saja kalian berada"109. Adapun keyakinan kepada ma`ad akan mengajari seseorang bahwa tidak ada sesuatu yang tersembunyi bagi Allah Swt. Ia Maha Tahu terhadap segala perbuatan seseorang. "Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati"110. Dan "Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati".111
Sebagaimana terdapat dalam ayat-ayat al-Qur`an bahwa manusia pada hari kiamat akan diadili dalam mahkamah ilahi. Sebuah mahkamah yang hakimnya tidak mungkin dapat disuap dan kesaksian para saksi pun tidak mungkin terbantahkan. Diantara ayat tersebut ialah ayat; "Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula"112. Sebagaimana juga terdapat pada ayat lainnya: "Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: "Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun". Maka seseorang akan dipintai pertanggungjawaban atas setiap amal perbuatannya sekecil apapun.
Perhatian kepada dua landasan tadi akan membuat seseorang beranggapan bahwa Allah melihat atas segala amalnya. Sebuah keyakinan yang akan memimbing ia hingga tidak melakukan perbuatan maksiat, dan lengah sesaat dari keyakinan ini akan memberi syetan kesempatan menyesatkannya. Demikian itu seperti terdapat dalam ayat berikut ini; "Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al Quran), kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya".
Ma`ad jasmani dan ma`ad ruhani
Dalam pandangan al-Quran, ma`ad terdiri dari dua macam; jasmani dan ruhani. Yakni fisik manusia akan dibangkitkan pada hari kiamat, dan demikian juga ruhnya akan ikut dibangkitkan. Dengan kata lain, ruh seseorang akan dimintai pertanggungjawab atas nikmat-nikmat Allah, demikian juga halnya pada badan. Demikian itu adalah bagian dari tuntutan keadilan ilahi. Karena seseorang melakukan kebaikan dan keburukan dengan ruh dan tubuhnya, maka pada hari kiamat keduanya harus sama-sama mendapatkan setiap pahala dan siksa dari amal-amal duniawi yang dilakukannya.
Di antara keheranann dan keberatan para pengingkar ma`ad yang ada dalam Islam ialah kebangkitan secara fisik, bukan secara ruhani, karena akal mayoritas orang akan meyakini apa yang telah ia lihat oleh matanya dan tidak akan membenarkan apa yang belum dilihatnya. Berdasarkan ini, maka para pengingkar ma`ad biasa bertanya; bagaimana mungkin seseorang akan dikembalikan setelah kematiannya, setelah berubah menjadi tanah sehingga bisa mendapatkan siksa di hari kiamat? Maka Allah Swt menjawab keraguan mereka ini pada dua ayat; 7-8 dalam surat Saba, Ia berfirman;
"Dan orang-orang kafir berkata (kepada teman-temannya). "Maukah kamu kami tunjukkan kepadamu seorang laki-laki yang memberitakan kepadamu bahwa apabila badanmu telah hancur sehancur-hancurnya, sesungguhnya kamu benar-benar (akan dibangkitkan kembali) dalam ciptaan yang baru? Apakah dia mengada-adakan kebohongan terhadap Allah ataukah ada padanya penyakit gila?" (Tidak), tetapi orang-orang yang tidak beriman kepada negeri akhirat berada dalam siksaan dan kesesatan yang jauh" .113
Dalam menjelaskan ma`ad jismani dan ruhani, al-Qur`an telah menggunakan beberapa perumpamaan, dan di sini ada tiga perumpamaan terkait dengannya;
1. Diumpamakan dengan tumbuh-tumbuhan, dan kehidupan setelah kematian diumpamakan dengan tumbuhnya kembali tumbuh-tumbuhan setelah kematiannya.
2. Diumpamakan dengan pase-pase perkembangan janin manusia, dimana kehidupannya dimulai dari air seperma yang kecil dan kemudian setiap hari tumbuh dan tumbuh terus, dan setiap pase perkembangannya dikategorikan sebagai kehidupan baru baginya.
3. Diumpamakan dengan tidur kaum Ashhabul Kahfi, tidur mereka benar-benar seperti kematian dan bangun mereka dari tisurnya diumpamakan seperti hidup baru setelah kematian beberapa tahun.
Bagaimana mungkin sesorang kembali bangun dengan selamat setelah tertidur selama lebih dari tiga ratus tahun tanpa makan dan minum?
Sebagaimana dikemukakan ayat diatas, ashabul kahfi tertidur selama ratusan tahun, dan selama masa ini mereka tidak mendapatkan makanan dan minuman sedikit pun, namun mereka tetap bangun dengan sehat. Padahal manusia biasa tidak akan sanggup bertahan hidup lebih dari dua atau tiga hari tanpa makan dan minum.
Diantara keajaiban penciptaan manusia ialah jantungnya. Ia akan berdetak hingga seratus ribu kali dalam sehari. Apabila kita hitung umur normal manusia tujuh puluh tahun, maka total detakan jantungnya mencapai 250 juta kali. Suatu hikmah Allah yang menakjubkan.
Hati seseorang cukup untuk bisa mengenal Allah dan menetapkan keagungan Sang Pencipta hingga bersikap rendah diri kepada-Nya. Jika anggota tubuh ashabul kahfi bisa bertahan hidup karena makanan yang dikonsumsi sebelum tidurnya dan untuk jangka waktu jutaan hari, maka hati mereka tidak berdetak lebih dari satu kali dalam sehari. Atas dasar ini, tidur ashhabul kahfi benar-benar seperti kematian yang Allah hidupkan kembali setelah lebih dari tiga ratus tahun. Apabila Allah Swt kuasa menghidupkan kembali manusia setelah tertidur jutaan hari, lalu bagaimana tidak mungkin Ia dapat menghidupkan kembali orang yang sudah mati? Untuk itu Allah menegaskan pada penghujung ayat ashabul kahfi dengan ungkapan sebagai berikut; "agar manusia itu mengetahui, bahwa janji Allah itu benar" .114
Syarah dan tafsir
Allah Swt befirman; "Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan);". yakni Allah mengirim berita gembira berupa turunnya air hujan, karena langit dapat menurunkan hujan melalui perantara tiupan angin.
Allah Swt berfirman; "hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu". Yakni angin akan terus bergerak hingga dapat menyeret awan menjadi bergumpal dan mengandung air di dalamnya 115. Sesungguhnya Allah Swt mengutus angin agar awan-awan berkumpul dan menjadi hujan di sebuah negri dan kawasan yang mati hingga tanah-tanahnya bisa hidup kembali.
Alalh Swt berfirman; "maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran". Yakni Allah benar-benar menghidupkan yang mati pada hari kiamat sebagaimana Ia telah menghidupkan pohon-pohon dan tanah yang mati. Pada penghujung ayat tersebut Allah meminta manusia agar ingat dan memberi wejangan kepada orang-orang dengan falsafah perumpamana tersebut.
Berbagai macam anugrah; air, udara dan tanah
Kami telah katakan sebelumnya bahwa kondisi biasa (adat) menjadi penghalang pengetahuan manusia. Ketika seseorang terbiasa dengan sesuatu, ia tidak akan memikirkan esensi, corak dan bentuk sesuatu tersebut. Ini merupakan hijab cukup besar bagi manusia. Dari sini, tumbuh beraneka macam tumbuhan dan berbuahnya beraneka macam pohon adalah bagian dari keajaiban-keajaiban alam. Semuanya merupakan penampakan kekuasaan Allah Swt dimana dari tanah, air dan udara yang sama tumbuh buah-buahan dan bunga dengan berbagai macam warna, serta beraneka ragam makanan. Ini semua mengajari manusia agar tidak heran dengan dihidupkannya kembali manusia pada hari kiamat.
Dari tanah yang sama ini telah diciptakan berbagai macam manusia; orang-orang shaleh, para nabi, imam, dan syuhada. Di antara mereka ada yang durhaka dan dzalim seperti Fir`aun, Namrud, Mu`awiyah, Saddam, dan lain-lain. Mereka semua diciptakan dari tanah yang sama. Melalui penyaksiaannya terhadap fenomena-fenomena tersebut, seseorang akan meilihat gambaran-gambaran ma`ad yang terjadi berulang-ulang pada setiap hari. Sesungguhnya langit akan menurunkan air hujan pada hari kiamat yang dengannya seluruh orang mati akan hidup kembali 116.
Hukum universal yang dapat disimpulkan dari ayat tersebut ialah bahwa konsep kematian dan hidup pada semua makhluk hidup adalah sama. Sebagaimana ada kematian pada tumbuhan, demikian juga ia ada pada manusia.
Pertanyaan; di dunia tumbuhan, tumbuhan dapat hidup kembali dengan cara menanam kembali benihnya, sementara di dunia manusia tidaklah demikian. Ketika manusia berubah menjadi tanah, bagaimana mungkin ia dapat dihiupkan kembali dari tanah?
Jawab; hidup untuk kedua kalinya pada tumbuhan bukanlah hanya melalui penanaman bibi saja, bahkan mati dan hidupnya serupa dengan hidup dan mati manusia. Pada musim gugur daun-daun pepohonan menguning dan berguguran. Selang beberapa waktu ia pun berubah menjadi tanah, dihisap oleh akar-akar tumbuhan, kemudian tumbuh kembali dengan daun baru seperti biasa terjadi di musim semi. Dengan ini daun yang sudah mati berganti menjadi daun baru, padahal sebelumnya ia benar-benar secara sempurna telah mati dan berubah menjadi tanah. Demikian juga manusia akan hidup kembali setelah kematiannya.
Atas dasar ini seseorang hendaknya melihat ma`ad dengan sendirinya dalam setiap tahun, Namun ia lalai bahwa Allah Maha Kuasa untuk menghidupkan kembali tumbuhan setelah kematiannya, sebagaimana Juga Ia Kuasa menghidupkan manusia dari kematiannya.
Pengaruh ma`ad
Keyakinan tehadap ma`ad akan mengajari seseorang agar bersikap tunduk dan menerima kebenaran, tidak berbuat dzalim, dan tidak berkhianat. Hal ini seperti kita lihat dalam satu ungkapan indah dari Amirulmukminin Ali a.s, pada khutbah ke 224 dalam Nahjul Balaghah yang ditujukan kepada saudaranya, Aqil;
"Demi Allah.. tidur diatas duri pohon Sa`dan lebih aku sukai daripada aku harus bertemu Allah dan Rosul-Nya pada hari kiamat dalam keadaan mendzalim sebagian hamba-Nya".
Yakni tidur di atas duri-duri pohon Sa`dan atau berjalan di atas terik dan panas siang hari lebih Ali cintai daripada bertemu Allah dan Rosal-Nya pada hari kiamat dalam kondisi mendzalimi beberapa hamba-Nya.
Apakah mungkin kedzaliman muncul dari seorang manusia seperti beliau yang mengenal dan meyakini betul mabda dan ma`ad? Apakah mungkin muncul ketidakadilan dari seorang hakim seperti dia? Apakah mungkin ada padanya sedikit kesalahan dari pancaindranya?
Jawabnya tentu tidak. Manusia seperti ini yang meyakini hari kiamat dan ma`ad akan membesar-besarkan dosa sekalipun itu dosa kecil. Beliau sama sekali tidak mungkin melakukannya. Dari khutbah ini dapat diambil dua pelajaran dari saudaranaya, Aqil dan seorang munafik, Asy`ats bin Qais. Pengaruh keyakinan kepada ma`ad sangat jelas dan gamblang dalam dua kisah tersebut.
Perumpamaan Keempatbelas:
Negri Yang Baik
Allah Swt berfirman dalam surat al-`Araf ayat ke 58 sebagai berikut; "Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur".
Pengantar pembahasan
Ayat ini adalah kelanjutan langsung dari ayat pada perumpamaan keempatbelas, dan ini pada hakikatnya kelanjutan dari pembahasan Ma`ad dan menjawab sejumlah pertanyaan yang ada pada benak sebagian orang.
Isyarat kepada perumpamaan sebelumnya
Pada perumpamaan keempatbelas, pada ayat ke 57 dari surat al-A`raf, al-Qur`an memberikan penjelasan indah bukti atas mabda dan tauhid, sebagaimana juga berargumentasi terhadap ma`ad dan alam akhirat.
Sesungguhnya gerakan angin, berkumpulnya awan berat, turunnya hujan, hidup kembali tanah yang sudah mati, buah-buahan dan bunga bermunculan, dan tumbunya berbagai macam tumbuhan dan pohon semuanya secara pasti menunjukkan atas tauhid. Itulah dalil yang andai tidak ada dalil lain selainnya, niscaya itu pun sudah mencukupi untuk menetapkan tauhid.
Tidak diragukan lagi bahwa bekas-bekas kematian nampak di sebuah kebun, semuanya berkat kedatangan musim dingin pohon-pohon berubah menjadi gandul dari ruh, dan selang beberapa waktu, yakni setelah datang musim semi kehidupan baru mulai muncul di kebun tersebut. Pohon-pohon kembali menghijau, bunga-bunga kembali mekar, dan berbagai tumbuhan mulai kembali tumbuh, dan pepohona nmulai kembali berbuah dengan berbagai macam warna yang dapat memberi kelembutan kepada ruh seseorang.
Alam yang menakjubkan ini merupakan argumen kuat terhadap keberadaan Allah Yang Maha Kuasa secara mutlak. Apabila seseorang hanya memikirkan daun yang hijau saja, niscaya ini cukup untuk mengenal kebenaran.
Sebuah daun -sebagaimana dikatakan para ilmuan tumbuhan- apabila daun terlepas dari pohonnya maka akan melalui tujuh tahap perkembangan. Setiap tahapnya menunjukkan struktur dan fungsi tersendiri. Apabila kita analisa sedikit maka kita akan menemukan langkah-langkah besar pada duan yang indah ini, seakan-akan ia seperti saluran pipa air di sebuah kota yang akan menyalurkan air dan makanan ke seluruh bagiannya yang berbeda-beda. Siapakah yang telah menciptakn langkah-langkah indah dan cantik ini? Tentu Dia adalah Sang Pencipta Yang Maha Bijaksana yang telah mendesain jaringan agung dan teliti ini. Sebuah daun dan jaringan di dalamnya dapat dikategorikan sebagai sebuah buku pengetahuan untuk mengenal Sang Pencipta bagi mereka yang mencari ilmu dan pengetahuan.
Dengan demikian, permulaan ayat ke 57 surat al-A`raf tersebut menunjukkan pada tauhid, sementara bagian akhirnya "Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran" menunjuk dan menjelaskan masalah ma`ad.
Syarah dan Tafsir
Sebagaimana telah kami katakan sebelumnya, ayat tersebut merupakan jawaban terhadap pertanyaan tersembunyi yang mungkin akan terlintas pada benak orang yang kembali memperhatikan ayat sebelumnya. Pertanyaan tersebut; apabila air, udara dan tanahnya sama dan satu, maka kenapa tumbuh bunga-bungan dan tumbuhan di sebagian bidang tanah saja, sementara bagian tanah lainnya ditumbuhi ilalang dan pohon-pohon berduri? Apabila curahan rahmat ilahi itu turun ke setiap hari manusia dalam kadar yang sama, maka kenapa sebagian hati manusia menjadi seperti negri yang subur yang mendapatkan hidayah dan indah, sementara sebagian lain menjadi seperti negri gersang sehingga tersesat dan tidak mendapatkan hidayah?
Ayat tersebut merupakan jawaban terhadap pertanyaan di atas, dimana ia mengatakan: "Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah". Sesungguhnya tanah yang bersih dan tidak tercemar atas seizin Allah Swt akan cocok dan sesuai untuk ditumbuhi tumbuh-tumbuhan yang bagus. Demikian juga hati yang dipersiapkan dan bersih akan tumbuh di dalamnya buah yang manis dari keikhlasan dan kebersihan, dan itu semua berkat wahyu dari Allah Swt.
Ia Swt berfirman; "dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana". Adapun tanah yang tidak cocok tidak akan ditumbuhi kecuali tumbuhan buruk (an-nakd). An-nakd artinya seseorang yang kikir. Tanah-tanah yang tidak bagus hanya akan ditumbuhi tumbuh-tumbuhan yang tidak bermanfaat. Sebagaimana seorang kikir tidak akan memberi manfaat kepada orang lain, demikian pula tanah-tanah tidak subur tidak akan mengeluarkan sesuatu yang bermanfaat dan tidak akan ada seorang pun yang dapat mengambil manfaat darinya.
Ia Swt berfirman; "Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur". Yakni Kami menjelaskan tanda-tanda kepada orang-orang dengan berbagai pelajaran dan contoh sederhana agar mereka mudah mengambil manfaat darinya dan bersyukur kepada Tuhan-Nya atas nikmat-nikmat tersebut. Atas dasar ini, tidaklah ada problem pada curhaan rahmat ilahi dan tidak pula pada wahyu langit, karena keduanya turun kepada semua hati dalam bentuk dan ukuran yang sama. Dan apabila terdapat kekurangan atau pengurangan, maka itu berasal dari hati itu sendiri. Sesungguhnya sebagian tanah ada yang tidak siap dan tidak cocok ditumbuhi tumbuh-tumbuhan sehingga hanya tumbuh di sana ilalang dan pohon-pohon berduri saja. Demikian juga sebagian mati manusia ada yang tidak siap menerima hidayah dan menganggap dirinya tidak butuh kepada wahyu ilahi.
Untuk siapakah perumpamaan ini?
Terdapat pembahasan di antara para mufassir untuk siapa perumpamaan tersebut ditunjukkan. Mayoritas mereka berpendapat bahwa ayat tersebut ditunjukkan untuk orang-orang kafir dan mukmin. Yakni di sini wahyu diumpamakan seperti air hujan, dengan pengertian ia turun kepada semua hati manusia, namun tidak semuanya bisa mendapat manfaatnya kecuali kecuali sebagiannya saja yang menjadi referentatif negara yang subur (baladun thayyib), yakni hati yang bersih. Buah tanah-tanah suci ini adalah akhlak yang baik, iman, takwa, kerinduan kepada para wali Allah, ikhlas dalam beramal, perbuatan yang sesuai dengan tuntutan, dan lain sebagainya. Lawan dari mereka adalah orang-orang kafir yang hati-hatinya serupa seperti tanah-tanah tercemar yang tidak akan mendapatkan manfaat apapun dari air hujan.
Sasaran ayat
1. Kesanggupan pemberi dan penerima sama-sama penting
Ayat tersebut dan juga ayat -ayat lainnya ditujukan untuk sasaran penting, yaitu untuk sampai kepada kesempurnaan ada dua hal penting yang harus terpenuhi secara bersamaan; kesanggupan pemberi (qâbiliyyatul fâ`ila) dan kesiapan penerima (qâbiliyyatul qâbil).
Untuk sampai pada sebuah kesempurnaan, dua hal tadi harus terpenuhi secara bersamaan sebagaimana harus terpenuhi pada tanah. Atas dasar ini, kemampuan atau potensi pemberi (qâbiliyyatul fâ`il) yakni air hujan tidaklah cukup, melainkan juga harus ada kesiapan atau potensi menerima penerimanya (qâbiliyyatul qâbil) yakni kesediaan tanah tersebut menerima hujan. Sekalipun air hujan jatuh selama seratus tahun ke sebuah tanah yang tidak subur, selamanya ia tidak akan ditumbuhi satu pun tumbuhan dan bunga.
Sebagaimana Rosulullah Saw telah menyeru Salman, Abu Dar dan kaum muslimn lainnya kepada Islam, demikian pula beliau Saw pun telah menyeru Abu Jahal dan Abu Lahab serta orang-orang kafir lainnya. kebersihatan hati Salman telah menumbuhkan keimanan, sementara ia tidak tumbuh pada hati Abu Jahal atau Abu Lahab kecuali kebencian dan sifat kikir saja.
2. Qur`an dan wahyu berfungi menyesatkan orang-orang kafir
Sesungguhnya ayat-ayat al-Qur`an tidaklah selamanya menjadi hidayah, bahkan ia pun telah berfungsi menyesatkan orang-orang kafir yang ladangnya tidak baik. Setiap kali mereka mendengar ayat-ayat al-Qur`an maka mereka pun semakin bertambah kesesatannya.
Hal ini telah dijelaskan al-Quran sendiri seperti dalam surat at-Taubah ayat 124-125; "Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: "Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya) surat ini?" Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, disamping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir".
Pertanyaan; bagaimana mungkin ayat-ayat al-Qur`an, pemberi cahaya itu dapat berperan menyesatkan sebagian orang?
Jawabanya; Al-Qur`an seumpama lampu tempel yang apabila ada di tangan para ulama ia akan digunakan untuk ilmu, penelitian, penggalian dan kemajuan. Namuan jika ia berada di tangan seorang pencuri, ia akan dipergunakan untuk mencuri sesuatu yang berharga.
Permasalahannya di sini tidaklah ada pada lampu itu sendiri, melainkan ada pada kesanggupan menerimanya. Demikian juga halnya air hujan dimana perannya akan berfungsi sesuai jensi tanahnya. Apabila tanahnya bagus maka akan tumbuh bunga dan tumbuh-tumbuhan yang baik, dan apabila tanahnya tidak baik makan akan tumbuh pohon-pohon duri dan ilalang.
"maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, disamping kekafirannya (yang telah ada)". Ayat ini menunjukkan bahwa ketika ayat turun, maka mereka semakin bertingkah menentang, memusuhi dan melawan. Karena itu jangan heran jika kami katakan bahwa ayat-ayat al-Qur`an telah menyebabkan banyak orang tersesat.
Tiga kelompok manusia
Untuk menjelaskan topik ini (yang muncul karena perbedaan potensi manusia), kita akan awali dengan perkataan Amirulmukminin a.s yang di dalamnya beliau berbicara kepada Kumail bin Ziyad setelah beliau memanggilnya ke kuburan. Ketika keduanya sampai di sebuah sahara, Imam berkata kepadanya: "Wahai Kumai bin Ziyad, sesungguhnya hati-hati ini adalah bejana, dan hati yang terbaik adalah hati yang benar-benar dapat menampung isinya".
Sebagai contoh kita katakan; sesungguhnya orang-orang berbeda-berda dalam memanfaatkan air hujan. Diantara mereka ada yang mengambilnya seukuran danau karena ia memiliki tempat penampungan luas, sementara yang lain hanya dapat mengambil satu gelas kecil saja karena memang tidak bisa lagi mendapatkan lebih banyak dari itu. Ada juga sekelompok orang yang sama sekali tidak dapat mengambilnya, karena ia telah menutup dan membalikkan bejana hatinya. Contoh ini menjelaskan bahwa kesalahan bukanlah ada pada Allah, melainkan ada pada wadah yang disipakan untuk menerima air hujan. Lalu Imam Ali a.s berbicara kepada Kumail; "Jagalah dariku apa yang akan aku katakan kepadamu bahwa orang itu terdiri dari tiga macam; seorang alim rabbani (berilmu), orang yang belajar (muta`allim) untuk menuju kesuksesannya, dan dugu yang tidak berharga". Artinya bahwa manusia terbagi kepada tiga kelompok;
1. Kelompok pertama adalah para ulama/sarjana yang menelusuri jalan hakikat dan kebenaran, dan mau membimbing serta mendidik orang-orang.
2. Kelompok kedua adalah mereka yang tidak mempunyai ilmu namun mau belajar kepada orang alim sehingga menjadi tahu dan mengerti.
3. Kelompk ketiga adalah orang-orang dugu yang tidak mengerti dan tidak mau berusaha belajar atau bertanya kepada orang-orang mengerti untuk membimbingnya menuju jalan yang benar.
Selanjutnya Imam Ali juga menjelaskan kelompk ketiga ini dengan tiga ciri;
a. Mengikuti setiap teriakan. Yakni mengikuti berbagai macam pandangan orang lain tanpa pengetahuan dan filter.
b. Mengikuti setiap arah angin bertiup kemanapun. Mereka seperti angin yang akan kepincut dan ikut begitu saja pada berbagai macam ajakan. Perumpamaan mereka seperti orang-orang yang berperang di bawah bendera Rosulullah Saw di zamannya, lalu setelah wafat beliau mereka berperang di bawah bendera Mu`awiyah. Bahkan seandainya mereka berumur panjang mereka akan juga berperang di bawah bendera Yazid bin Mu`awiyah. Demikian itu karena ia bergerak sesuai arah mata angin.
c. Tidak bernaung di bawah cahaya ilmu. Mereka adalah orang-orang lemah yang terhalang dari ilmu.
d. Mereka tidak berlindung kepada tiang yang kuat. Yakni mereka tidak hanya kehilangan ilmu saja, bahkan tidak bersandar pada sandaran yang dipegang oleh mahkamah .117
Kelompok ketiga adalah orang-orang yang memiliki bejanan kecil, orang-orang yang berbahaya. Mereka adalah perwujudan ayat "dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana", sementara kelompok kedua dan ketiga adalah perwujudan dari ayat "Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah".
Apakah kemampuan bersifat pilihan (ikhtiyari) atau ketentuan (jabariyah)?
Apakah kemampuan menerima penerima (qâbiliyyatul Fâ`il) yang merupakan syarat dari sebuah kesempurnaan bersifat ikhtiyari atau jabr? Atau dengan perkataan lain, Apakah Allah memberi sebagian orang kemampuan lebih dan memberi yang lain dengan kemampuan sedikit? Sesungguhnya kemampuan menerima adalah ikhtiyari dan bukan jabr. Demikian itu karena pandangan jabr berarti tidak adanya dosa bagi seseorang berbuat sesuatu seperti ria, dan karena itu jabr ia tidak berhak mendapatkan siska, sebagaimana tidak ada fungsinya dalam pengutusan para nabi.
Dari sini kami berpandangan bahwa setiap kali seseorang berusaha untuk mencari ketakwaan dan makrifat ilahiyah lebih besar, ia dapat mempersiapkan hatinya lebih banyak untuk menerima wahyu ilahi dan ayat-ayat al-Qur`an.
Sesungguhnya al-Qur`an menegaskan bentuk seseorang sebagai makhluk dalam bentuk dan gambar paling utama. Allah Swt perfirman; "sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya"118 . Dan bersandar pada ayat ini, sesungguhnya manusia tidak diciptakan dalam potensi penciptaan yang berbeda-beda. Hidayah dan kesesatan benar-benar bergantung kepada manusia itu sendiri, sekalipun syetan tidak pernah diciptakan sebagai penyesat. Karena itu, ia berada dalam barisan para malaikat yang telah menyembah Allah selama enam ribu tahun.119
Memang benar bahwa manusia satu dan yang lainnya berbeda-beda, namun itu tidak berarti sebagian mereka diciptakan sebagai baik dan yang lainnya buruk, melainkan sebagian mereka tercipta dengan baik dan sebagian lain tercipta dengan lebih baik. Untuk itu Rosulullah Saw telah bersabda; "Manusia adalah tambang sebagaimana tambang emas dan perak".120
Kesimpulannya ialah manusia tidak pernah tercipta secara buruk, kemampuan menerima adalah ikhtiyari dan bukan jabr. Sesungguhnya hujan turun jernih, namun ia menjadi kotor ketika turun pada tanah yang kotor, dan tetap bersih jernih ketika jatuh pada tanah yang bersih dan tetap pada kesucian dan fitrahnya.
Sesungguhnya lingkungan yang tidak baik, buku-buku menyesatkan, pemahaman-pemahaman yang merusak, sahabat-sahabat yang tidak baik, dan keluarga yang tidak sehat semuanya bagaikan tanah yang tercemar. Hati seseorang yang suci dan fitri menjadi tercemari.
Wahai para pemuda yang baik, sesungguhnya Allah telah menciptakan kalian bagaikan tetesan air hujan yang bersih jernih. Maka berusahalah untuk menjaga kebersihan, dan hindarilah bergaul dengan teman yang tidak baik, karena teman seperti ini benar-benar akan merubah masa depan.
Dalam kaca mata Islam, yang dimaksud dengan maksiat tidaklah hanya terbatas pada melakukan maksiatnya saja, bahkan turut hadir di sebuah majlis dosa -yang di dalamnya perbuatan dosa dilakukan- juga dikategorikan haram dan maksiat. Artinya, jika seseorang menghadiri majlis yang digunakan untuk bermaksiat kepada Allah, maka kehadirannya di tempat tersebut juga dikategorikan sebagai maksiat, sekali pun ia tidak ikut melakukannya. Demikian itu karena sebuah lingkungan yang tercemar sedikit demi sedikit akan juga mencemari. Sekalipun saat itu ia tidak melakukannya, maka dosa tersebut sedikit-demi sedikit akan tertanam dan mendekat di masa depan. Sesungguhnya obat-obat terlarang atau narkoba akan menular sedikit demi sedikit dengan cara seperti ini.
Atas dasar ini, haruslah berusaha untuk menjaga kebersihan batin dan mempersiapkan wilayah hati untuk bisa menerima limpahan rahmat ilahi sebanyak mungkin.
Negri Yang Baik
Allah Swt berfirman dalam surat al-`Araf ayat ke 58 sebagai berikut; "Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur".
Pengantar pembahasan
Ayat ini adalah kelanjutan langsung dari ayat pada perumpamaan keempatbelas, dan ini pada hakikatnya kelanjutan dari pembahasan Ma`ad dan menjawab sejumlah pertanyaan yang ada pada benak sebagian orang.
Isyarat kepada perumpamaan sebelumnya
Pada perumpamaan keempatbelas, pada ayat ke 57 dari surat al-A`raf, al-Qur`an memberikan penjelasan indah bukti atas mabda dan tauhid, sebagaimana juga berargumentasi terhadap ma`ad dan alam akhirat.
Sesungguhnya gerakan angin, berkumpulnya awan berat, turunnya hujan, hidup kembali tanah yang sudah mati, buah-buahan dan bunga bermunculan, dan tumbunya berbagai macam tumbuhan dan pohon semuanya secara pasti menunjukkan atas tauhid. Itulah dalil yang andai tidak ada dalil lain selainnya, niscaya itu pun sudah mencukupi untuk menetapkan tauhid.
Tidak diragukan lagi bahwa bekas-bekas kematian nampak di sebuah kebun, semuanya berkat kedatangan musim dingin pohon-pohon berubah menjadi gandul dari ruh, dan selang beberapa waktu, yakni setelah datang musim semi kehidupan baru mulai muncul di kebun tersebut. Pohon-pohon kembali menghijau, bunga-bunga kembali mekar, dan berbagai tumbuhan mulai kembali tumbuh, dan pepohona nmulai kembali berbuah dengan berbagai macam warna yang dapat memberi kelembutan kepada ruh seseorang.
Alam yang menakjubkan ini merupakan argumen kuat terhadap keberadaan Allah Yang Maha Kuasa secara mutlak. Apabila seseorang hanya memikirkan daun yang hijau saja, niscaya ini cukup untuk mengenal kebenaran.
Sebuah daun -sebagaimana dikatakan para ilmuan tumbuhan- apabila daun terlepas dari pohonnya maka akan melalui tujuh tahap perkembangan. Setiap tahapnya menunjukkan struktur dan fungsi tersendiri. Apabila kita analisa sedikit maka kita akan menemukan langkah-langkah besar pada duan yang indah ini, seakan-akan ia seperti saluran pipa air di sebuah kota yang akan menyalurkan air dan makanan ke seluruh bagiannya yang berbeda-beda. Siapakah yang telah menciptakn langkah-langkah indah dan cantik ini? Tentu Dia adalah Sang Pencipta Yang Maha Bijaksana yang telah mendesain jaringan agung dan teliti ini. Sebuah daun dan jaringan di dalamnya dapat dikategorikan sebagai sebuah buku pengetahuan untuk mengenal Sang Pencipta bagi mereka yang mencari ilmu dan pengetahuan.
Dengan demikian, permulaan ayat ke 57 surat al-A`raf tersebut menunjukkan pada tauhid, sementara bagian akhirnya "Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran" menunjuk dan menjelaskan masalah ma`ad.
Syarah dan Tafsir
Sebagaimana telah kami katakan sebelumnya, ayat tersebut merupakan jawaban terhadap pertanyaan tersembunyi yang mungkin akan terlintas pada benak orang yang kembali memperhatikan ayat sebelumnya. Pertanyaan tersebut; apabila air, udara dan tanahnya sama dan satu, maka kenapa tumbuh bunga-bungan dan tumbuhan di sebagian bidang tanah saja, sementara bagian tanah lainnya ditumbuhi ilalang dan pohon-pohon berduri? Apabila curahan rahmat ilahi itu turun ke setiap hari manusia dalam kadar yang sama, maka kenapa sebagian hati manusia menjadi seperti negri yang subur yang mendapatkan hidayah dan indah, sementara sebagian lain menjadi seperti negri gersang sehingga tersesat dan tidak mendapatkan hidayah?
Ayat tersebut merupakan jawaban terhadap pertanyaan di atas, dimana ia mengatakan: "Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah". Sesungguhnya tanah yang bersih dan tidak tercemar atas seizin Allah Swt akan cocok dan sesuai untuk ditumbuhi tumbuh-tumbuhan yang bagus. Demikian juga hati yang dipersiapkan dan bersih akan tumbuh di dalamnya buah yang manis dari keikhlasan dan kebersihan, dan itu semua berkat wahyu dari Allah Swt.
Ia Swt berfirman; "dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana". Adapun tanah yang tidak cocok tidak akan ditumbuhi kecuali tumbuhan buruk (an-nakd). An-nakd artinya seseorang yang kikir. Tanah-tanah yang tidak bagus hanya akan ditumbuhi tumbuh-tumbuhan yang tidak bermanfaat. Sebagaimana seorang kikir tidak akan memberi manfaat kepada orang lain, demikian pula tanah-tanah tidak subur tidak akan mengeluarkan sesuatu yang bermanfaat dan tidak akan ada seorang pun yang dapat mengambil manfaat darinya.
Ia Swt berfirman; "Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur". Yakni Kami menjelaskan tanda-tanda kepada orang-orang dengan berbagai pelajaran dan contoh sederhana agar mereka mudah mengambil manfaat darinya dan bersyukur kepada Tuhan-Nya atas nikmat-nikmat tersebut. Atas dasar ini, tidaklah ada problem pada curhaan rahmat ilahi dan tidak pula pada wahyu langit, karena keduanya turun kepada semua hati dalam bentuk dan ukuran yang sama. Dan apabila terdapat kekurangan atau pengurangan, maka itu berasal dari hati itu sendiri. Sesungguhnya sebagian tanah ada yang tidak siap dan tidak cocok ditumbuhi tumbuh-tumbuhan sehingga hanya tumbuh di sana ilalang dan pohon-pohon berduri saja. Demikian juga sebagian mati manusia ada yang tidak siap menerima hidayah dan menganggap dirinya tidak butuh kepada wahyu ilahi.
Untuk siapakah perumpamaan ini?
Terdapat pembahasan di antara para mufassir untuk siapa perumpamaan tersebut ditunjukkan. Mayoritas mereka berpendapat bahwa ayat tersebut ditunjukkan untuk orang-orang kafir dan mukmin. Yakni di sini wahyu diumpamakan seperti air hujan, dengan pengertian ia turun kepada semua hati manusia, namun tidak semuanya bisa mendapat manfaatnya kecuali kecuali sebagiannya saja yang menjadi referentatif negara yang subur (baladun thayyib), yakni hati yang bersih. Buah tanah-tanah suci ini adalah akhlak yang baik, iman, takwa, kerinduan kepada para wali Allah, ikhlas dalam beramal, perbuatan yang sesuai dengan tuntutan, dan lain sebagainya. Lawan dari mereka adalah orang-orang kafir yang hati-hatinya serupa seperti tanah-tanah tercemar yang tidak akan mendapatkan manfaat apapun dari air hujan.
Sasaran ayat
1. Kesanggupan pemberi dan penerima sama-sama penting
Ayat tersebut dan juga ayat -ayat lainnya ditujukan untuk sasaran penting, yaitu untuk sampai kepada kesempurnaan ada dua hal penting yang harus terpenuhi secara bersamaan; kesanggupan pemberi (qâbiliyyatul fâ`ila) dan kesiapan penerima (qâbiliyyatul qâbil).
Untuk sampai pada sebuah kesempurnaan, dua hal tadi harus terpenuhi secara bersamaan sebagaimana harus terpenuhi pada tanah. Atas dasar ini, kemampuan atau potensi pemberi (qâbiliyyatul fâ`il) yakni air hujan tidaklah cukup, melainkan juga harus ada kesiapan atau potensi menerima penerimanya (qâbiliyyatul qâbil) yakni kesediaan tanah tersebut menerima hujan. Sekalipun air hujan jatuh selama seratus tahun ke sebuah tanah yang tidak subur, selamanya ia tidak akan ditumbuhi satu pun tumbuhan dan bunga.
Sebagaimana Rosulullah Saw telah menyeru Salman, Abu Dar dan kaum muslimn lainnya kepada Islam, demikian pula beliau Saw pun telah menyeru Abu Jahal dan Abu Lahab serta orang-orang kafir lainnya. kebersihatan hati Salman telah menumbuhkan keimanan, sementara ia tidak tumbuh pada hati Abu Jahal atau Abu Lahab kecuali kebencian dan sifat kikir saja.
2. Qur`an dan wahyu berfungi menyesatkan orang-orang kafir
Sesungguhnya ayat-ayat al-Qur`an tidaklah selamanya menjadi hidayah, bahkan ia pun telah berfungsi menyesatkan orang-orang kafir yang ladangnya tidak baik. Setiap kali mereka mendengar ayat-ayat al-Qur`an maka mereka pun semakin bertambah kesesatannya.
Hal ini telah dijelaskan al-Quran sendiri seperti dalam surat at-Taubah ayat 124-125; "Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: "Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya) surat ini?" Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, disamping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir".
Pertanyaan; bagaimana mungkin ayat-ayat al-Qur`an, pemberi cahaya itu dapat berperan menyesatkan sebagian orang?
Jawabanya; Al-Qur`an seumpama lampu tempel yang apabila ada di tangan para ulama ia akan digunakan untuk ilmu, penelitian, penggalian dan kemajuan. Namuan jika ia berada di tangan seorang pencuri, ia akan dipergunakan untuk mencuri sesuatu yang berharga.
Permasalahannya di sini tidaklah ada pada lampu itu sendiri, melainkan ada pada kesanggupan menerimanya. Demikian juga halnya air hujan dimana perannya akan berfungsi sesuai jensi tanahnya. Apabila tanahnya bagus maka akan tumbuh bunga dan tumbuh-tumbuhan yang baik, dan apabila tanahnya tidak baik makan akan tumbuh pohon-pohon duri dan ilalang.
"maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, disamping kekafirannya (yang telah ada)". Ayat ini menunjukkan bahwa ketika ayat turun, maka mereka semakin bertingkah menentang, memusuhi dan melawan. Karena itu jangan heran jika kami katakan bahwa ayat-ayat al-Qur`an telah menyebabkan banyak orang tersesat.
Tiga kelompok manusia
Untuk menjelaskan topik ini (yang muncul karena perbedaan potensi manusia), kita akan awali dengan perkataan Amirulmukminin a.s yang di dalamnya beliau berbicara kepada Kumail bin Ziyad setelah beliau memanggilnya ke kuburan. Ketika keduanya sampai di sebuah sahara, Imam berkata kepadanya: "Wahai Kumai bin Ziyad, sesungguhnya hati-hati ini adalah bejana, dan hati yang terbaik adalah hati yang benar-benar dapat menampung isinya".
Sebagai contoh kita katakan; sesungguhnya orang-orang berbeda-berda dalam memanfaatkan air hujan. Diantara mereka ada yang mengambilnya seukuran danau karena ia memiliki tempat penampungan luas, sementara yang lain hanya dapat mengambil satu gelas kecil saja karena memang tidak bisa lagi mendapatkan lebih banyak dari itu. Ada juga sekelompok orang yang sama sekali tidak dapat mengambilnya, karena ia telah menutup dan membalikkan bejana hatinya. Contoh ini menjelaskan bahwa kesalahan bukanlah ada pada Allah, melainkan ada pada wadah yang disipakan untuk menerima air hujan. Lalu Imam Ali a.s berbicara kepada Kumail; "Jagalah dariku apa yang akan aku katakan kepadamu bahwa orang itu terdiri dari tiga macam; seorang alim rabbani (berilmu), orang yang belajar (muta`allim) untuk menuju kesuksesannya, dan dugu yang tidak berharga". Artinya bahwa manusia terbagi kepada tiga kelompok;
1. Kelompok pertama adalah para ulama/sarjana yang menelusuri jalan hakikat dan kebenaran, dan mau membimbing serta mendidik orang-orang.
2. Kelompok kedua adalah mereka yang tidak mempunyai ilmu namun mau belajar kepada orang alim sehingga menjadi tahu dan mengerti.
3. Kelompk ketiga adalah orang-orang dugu yang tidak mengerti dan tidak mau berusaha belajar atau bertanya kepada orang-orang mengerti untuk membimbingnya menuju jalan yang benar.
Selanjutnya Imam Ali juga menjelaskan kelompk ketiga ini dengan tiga ciri;
a. Mengikuti setiap teriakan. Yakni mengikuti berbagai macam pandangan orang lain tanpa pengetahuan dan filter.
b. Mengikuti setiap arah angin bertiup kemanapun. Mereka seperti angin yang akan kepincut dan ikut begitu saja pada berbagai macam ajakan. Perumpamaan mereka seperti orang-orang yang berperang di bawah bendera Rosulullah Saw di zamannya, lalu setelah wafat beliau mereka berperang di bawah bendera Mu`awiyah. Bahkan seandainya mereka berumur panjang mereka akan juga berperang di bawah bendera Yazid bin Mu`awiyah. Demikian itu karena ia bergerak sesuai arah mata angin.
c. Tidak bernaung di bawah cahaya ilmu. Mereka adalah orang-orang lemah yang terhalang dari ilmu.
d. Mereka tidak berlindung kepada tiang yang kuat. Yakni mereka tidak hanya kehilangan ilmu saja, bahkan tidak bersandar pada sandaran yang dipegang oleh mahkamah .117
Kelompok ketiga adalah orang-orang yang memiliki bejanan kecil, orang-orang yang berbahaya. Mereka adalah perwujudan ayat "dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana", sementara kelompok kedua dan ketiga adalah perwujudan dari ayat "Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah".
Apakah kemampuan bersifat pilihan (ikhtiyari) atau ketentuan (jabariyah)?
Apakah kemampuan menerima penerima (qâbiliyyatul Fâ`il) yang merupakan syarat dari sebuah kesempurnaan bersifat ikhtiyari atau jabr? Atau dengan perkataan lain, Apakah Allah memberi sebagian orang kemampuan lebih dan memberi yang lain dengan kemampuan sedikit? Sesungguhnya kemampuan menerima adalah ikhtiyari dan bukan jabr. Demikian itu karena pandangan jabr berarti tidak adanya dosa bagi seseorang berbuat sesuatu seperti ria, dan karena itu jabr ia tidak berhak mendapatkan siska, sebagaimana tidak ada fungsinya dalam pengutusan para nabi.
Dari sini kami berpandangan bahwa setiap kali seseorang berusaha untuk mencari ketakwaan dan makrifat ilahiyah lebih besar, ia dapat mempersiapkan hatinya lebih banyak untuk menerima wahyu ilahi dan ayat-ayat al-Qur`an.
Sesungguhnya al-Qur`an menegaskan bentuk seseorang sebagai makhluk dalam bentuk dan gambar paling utama. Allah Swt perfirman; "sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya"118 . Dan bersandar pada ayat ini, sesungguhnya manusia tidak diciptakan dalam potensi penciptaan yang berbeda-beda. Hidayah dan kesesatan benar-benar bergantung kepada manusia itu sendiri, sekalipun syetan tidak pernah diciptakan sebagai penyesat. Karena itu, ia berada dalam barisan para malaikat yang telah menyembah Allah selama enam ribu tahun.119
Memang benar bahwa manusia satu dan yang lainnya berbeda-beda, namun itu tidak berarti sebagian mereka diciptakan sebagai baik dan yang lainnya buruk, melainkan sebagian mereka tercipta dengan baik dan sebagian lain tercipta dengan lebih baik. Untuk itu Rosulullah Saw telah bersabda; "Manusia adalah tambang sebagaimana tambang emas dan perak".120
Kesimpulannya ialah manusia tidak pernah tercipta secara buruk, kemampuan menerima adalah ikhtiyari dan bukan jabr. Sesungguhnya hujan turun jernih, namun ia menjadi kotor ketika turun pada tanah yang kotor, dan tetap bersih jernih ketika jatuh pada tanah yang bersih dan tetap pada kesucian dan fitrahnya.
Sesungguhnya lingkungan yang tidak baik, buku-buku menyesatkan, pemahaman-pemahaman yang merusak, sahabat-sahabat yang tidak baik, dan keluarga yang tidak sehat semuanya bagaikan tanah yang tercemar. Hati seseorang yang suci dan fitri menjadi tercemari.
Wahai para pemuda yang baik, sesungguhnya Allah telah menciptakan kalian bagaikan tetesan air hujan yang bersih jernih. Maka berusahalah untuk menjaga kebersihan, dan hindarilah bergaul dengan teman yang tidak baik, karena teman seperti ini benar-benar akan merubah masa depan.
Dalam kaca mata Islam, yang dimaksud dengan maksiat tidaklah hanya terbatas pada melakukan maksiatnya saja, bahkan turut hadir di sebuah majlis dosa -yang di dalamnya perbuatan dosa dilakukan- juga dikategorikan haram dan maksiat. Artinya, jika seseorang menghadiri majlis yang digunakan untuk bermaksiat kepada Allah, maka kehadirannya di tempat tersebut juga dikategorikan sebagai maksiat, sekali pun ia tidak ikut melakukannya. Demikian itu karena sebuah lingkungan yang tercemar sedikit demi sedikit akan juga mencemari. Sekalipun saat itu ia tidak melakukannya, maka dosa tersebut sedikit-demi sedikit akan tertanam dan mendekat di masa depan. Sesungguhnya obat-obat terlarang atau narkoba akan menular sedikit demi sedikit dengan cara seperti ini.
Atas dasar ini, haruslah berusaha untuk menjaga kebersihan batin dan mempersiapkan wilayah hati untuk bisa menerima limpahan rahmat ilahi sebanyak mungkin.
Perumpamaan Kelimabelas:
Ulama Yang Menyimpang
Alalh Swt berfirman dalam surat al-A`raf ayat ke 175, 176 dan 177 terkait perumpamaan keenam belas ini. Allah Swt berfiman; "Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim".
Pengantar pembahasan
Tema pembahasan pada ketiga ayat di atas ialah tentang seorang alim yang berada di jalan yang benar dan lurus sehingga melalui jalan ini ia sampai kepada posisi yang tinggi, hanya saja sedikit demi sedikit ia terperosok dan tergelincir kembali ke bawah. Maka Allah umpamakan orang alim ini seperti anjing supaya orang lain dapat mengambil pelajaran darinya.
Sebab turun ayat tersebut
Di sana terdapat pembahasan dan perdebatan di antara para mufassir tentang siapa orang alim yang dibicarakan dalam ayat tersebut. Mayoritas mereka meyakini bahwa ia adalah Bal`am bin Baura, salah seorang ulama Bani Israil. Melalui ibadah-ibadahnya ia telah mencapai posisi tinggi hingga mencapai standar predikat nama Allah yang agung dan do`anya pun pasti dikabulkan. Ketika Musa a.s diutus sebagai nabi, ia terjangkiti rasa sombong ini. Diutusnya nabi Musa membuat Bal`am hasud kepadanya. Rasa hasudnya semakin bertambah dari hari ke hari sehingga memakan kebaikan-kebaikannya sedikit demi sedikit.
Rasa hasudnya dari satu sisi dan kecintaannya pada dunia telah membuatnya mencari perlindungan kepada Fir`aun dan mendatangi istananya untuk menjadi pendukungnya. Maka hilanglah seluruh kebanggaan-kebanggaannya karena efek keburukannya, dan al-Qur`an mengungkap kembali orang alim ini agar orang-orang dapat mengambil pelajaran darinya.
Sebagian mufassir lain meyakini bahwa yang dimaksud dengannya ialah Umayyah bin ash-Shalat, seorang penyair terkenal pada masa jahiliyah. Pada awalnya ia masuk Islam, namun kemudian ia berbalik dan menyimpang karena hasud kepada posisi kenabian Rosulullah Saw.
Sejumlah mufassir lain lagi meyakini bahwa yang dimaksud dengannya ialah Abu Amir an-Nashrânî, seorang pendeta nasrani yang telah masuk Islam dan bergaung dengan orang-orang munafik. Kemudian ia pergi ke Roma untuk beraliansi dengan penguasanya, lalu kembali ke Madinah untuk mempropokasi orang-orang munafik dan membangun masjid "Dharar" yang terkenal itu.
Di antara ketiga pendapat ini, yang pertama adalah yang paling akurat, sementara dua lainnya terlalu jauh dari redaksi ayatnya; "Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami..., yang menunjukkan hubungan dengan kisah-kisah umat terdahulu .121
Syarah dan tafsir
Firman-Nya Swt; "Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab)". Allah Swt meminta kepada Rosulullah Saw agar menceritakan kisah orang alim tersebut kepada para sahabatnya.
Maksud dari ayat-ayat tersebut ialah wejangan dan hukum-hukum taurat. Sesungguhnya orang alim tersebut mengerti hukum-hukum Taurat dan wejangannya, dan juga mengamalkannya. Sebagian mufassir meyakini bahwa maksud ayat tersebut merujuk kepada nama agung. Untuk itu, Bal`am bin Baura dikabukan do`a-do`anya, dan ia seseorang yang memiliki posisi terhormat dan agung di masyarakat.
Firman-Nya; "kemudian dia melepaskan diri (insalakha) dari pada ayat-ayat itu, lalu syaitan menjadikan dia mengikutinya (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat". Kata "salakh" berarti melepas kulit binatang. Karena itu ia dipakai untuk seseorang yang sedang menguliti kulit domba. Namun kata "lalu dia diikuti" di sini mengandung dua makna; Pertama, tabi`a dan lahiqa (mengikuti dan membuntuti). Yakni syetan menjadikan orang alim tersebut sebagai pengikutnya.
Kedua, kata kerja tersebut dipakai dalam makna biasanya, sekalipun ia berbentuk kata sulatsi mujarrad (kata kerja yang terdiri dari tiga khuruf, penej) sehingga maknanya menjadi bahwa syetan mengikuti orang alim tersebut. Dengan kata lain, bahwa ia lebih dahulu tersesat sebelum disesatkan oleh syetan.
Perumpamaannya seperi seseorang yang melakukan perbuatan buruk sekali dengan cara terbaru dan ia selalu melaknat syetan atas perbuatannya ini, lalu munculah syetan kepadanya dan berkata; laknat itu atasmu, bukan atasku, karena menyesatkan memang sudah keahlianku. Saya tidak tahu sebelumnya tipe maksiatmu ini, bahkan engkaulah yang mengajariku cara seperti ini.
Atas dasar ini, ayat tersebut berarti bahwa Bal`am bin Baura lepas dari ayat-ayat Allah, maka ayat-ayat tersebut kemudian melepaskannya. Sekalipun ia menguasai seluruhnya, namun ia melepaskannya dan mengikuti syetan atau syetan mengikutinya. Itulah akibat kesesatan dan keburukan sehingga ia termasuk orang-orang yang sesat dan malang.
Firman-Nya; "Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu". Yakni seandainya Kami berkehendak menjadikan ia tetap berada pada jalan yang benar, maka tentu Kami bisa untuk itu, namun Kami tidak melakukannya agar ia berbuat sesuai dengan pilihan dan kehendaknya sendiri, karena dalam Islam yang berlaku adalah ikhtiyar (pilihan) dan bukan jabr. Allah Swt berfirman; "Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir" .122
Allah kuasa menjadikan seluruh amal dari haji, puasa, dan shalat bagian dari tabiat-tabiat seseorang sebagaimana ia menjadikan makan dan minum. Namun Ia tidak mau melakukannya, bahkan menciptakan manusia bebas dan punya pilihan sehingga di sana terjadi proses hidayah, penyempurnaan, berkembang, ujian, pahala, siksa dan lain-lain sehingga ajaran-ajaran ini tidak kehilangan maknanya.
Adapun di penghujungnya, ayat tersebut berarti; Kami tinggalkan Bal`am bin Baura pada dirinya sendiri, namun orang alim yang menyimpang ini -yang lebih dahulu dan menjadi penyampai kuat bagi Musa a.s- mengikuti hawa nafsu dan keinginan tak pernah henti karena cinta dunia, hasud kepada Musa a.s, dan kepincut dengan janji-janji Fira`aun. Itu semua adalah efek dari terusir dari hamparan rabbani. Atas dasar ini, dua hal sesungguhnya yang menjadi sebab kejatuhan Bal`am bin Baura, yaitu; Pertama, kecintaan kepada dunia dan kecendrungan kepada Fira`un. Kedua, mengikuti hawa nafsu dan syetan.
Allah Swt berfirman; "maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga)". Anjing biasanya terkenal memiliki peran besar dimana manusia mendapatkan manfaat darinya. Karena itu, dalam fiqh Islam memeliharanya diperkenankan. Hanya saja di samping kebaikannya itu, anjing terkadang gila dan selalu lahap. Inilah penyakit anjing-anjing. Penyakit yang menjadikannya selalu menjulurkan lidah dan bersuara memekik, mengeluwarkan racun bakteri yang apabila mengenai manusia, ia akan mati, atau ia terkena penyakit anjing gila. Dalam kondisi seperti ini anjing sudah tidak lagi memiliki guna, dan karena itu tidak diperkenankan lagi memeliharanya karena dapat membahayangan jiwa orang lain.
Tanda-tanda penyakit ini pada anjing ialah ia selalu menjulurkan mulut dan menggerak-gerakkan lidahnya. Demikain itu agar berkurang rasa panas yang ia rasakan di dalam badannya. Gerakan lidahnya serupa dengan kipas angin yang berfungsi memasukkan udara ke dalam tubuh sehingga menjadi dingin. Di antara tanda lainnya ialah selalu kehausan. Alhasil, anjing seperti ini sangat berbahaya.
Al-Qur`an dengan perumpamaan cukup indah menyerupakan orang alim yang menyimpang ini dengan anjing yang tidak lagi memiliki nilai guna dan bahkan sangat berbahaya. Kecintaan kepada dunia, mengikuti hawa nafsu dan perasaan tidak pernah puas telah menggelincirkan orang alim tersebut hingga kehilangan pandangan dan penglihatan batinnya sehingga tidak lagi dapat membedakan antara kawan dan musuhnya.
Allah Swt berfirman; "Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir"123 . Yakni ini benar-benar seperti sebuah komunitas masyarakat yang mendustakan ayat-ayat Allah Swt, maka ceritakanlah wahai nabi kepada orang-orang, khususnya Yahudi dan Nashrani kisah-kisah ini agar mereka dapat mengambil pelajaran darinya, juga agar mereka mengetahui apabila berani mendustakan ayat-ayat Allah, maka nasib akhir mereka akan sama seperti nasib akhir Bal`am bin Baura.
Sasaran ayat.
Bahaya ulama pembangkan
Bal`am bin Baura telah jatuh dari posisi mulia karena kecintaannya kepada dunia dan keikutsertaannya kepada syetan. Kejatuhannya diumpamakan oleh al-Qur`an dengan anjing liar yang tidak peduli siapapun hingga yang nampak seperti gila. Kecintaan kepada dunia dan keikutsertaan kepada syetan telah menjadikan seorang alim yang telah mendapatkan nama terhormat menjadi gila. Kegilaannya nampak dalam bentuk selalu haus dunia dan tidak pernah terpuaskan selamanya. Orang alim seperti ini membawa bahaya besar, dan diantaranya adalah sebagai berikut;
a. Orang alim seperti ini benar-benar akan menjadi pembantu kedzaliman, sebagaimana penjilat-penjilat para penguasa yang berkhidmat kepada para pelaku kedzaliman di antara raja-raja dan penguasa. Yang jelas bahaya orang alim seperti ini tidak lebih sedikit dari bahaya kedzaliman itu sendiri.
Para penguasa masa lalu berkeinginan menerapkan aturan khusus, maka ia meminta kepada para ulama negrinya untung mengharmonikan kehendak Pembuat Syari`at (Allah Swt, penj) dan syari`at versi kepentingannya. Maka seorang alim menjawabnya; sesungguhnya kehendak Sang Pembuat Syari`at adalah luas, dan urusannya bergantung kepada keputusan penguasa. Artinya ia dapat memberi jalan keluar atau justifikasi terhadap setiap keinginan penguasa. Memang benar ulama seperti ini memungkinkan untuk menjustifikasi kezaliman para penguasa.
Mereka adalah orang-orang yang menancapkan tonggak kezaliman. Mereka akan menepis setiap orang yang berusaha tidak setuju dengan kedzaliman. Ulama-ulama seperti mereka leluasa pada masa pemerintahan bani Umayyah membohongkan hadis-hadis Rosulullah Saw dan para imam a.s. Mereka pun menjilat beberapa penguasa dzalim dari keturunan al-Ababs dan Bani Umayyah.
b. Ulama-ulama seperti ini benar-benar dapat menghancurkan pondasi-pondasi aqidah manusia. Sesungguhnya orang-orang awam apabila menyaksikan seorang alim yang tidak mengamalkan ilmunya, maka keyakinan keagamaannya akan goncang. Bahkan mereka dapat saja menjadi ragu terhadap surga dan neraka, hari kiamat dan hisab. Mereka akan berkata kepada dirinya masing-masing; andaikan memang benar di sana ada hari kiamat, maka orang-orang alim itu tentu beramal untuk bekal hari itu. Atas dasar itu, apabila para penguasa mendzalimi orang-orang atas dunia mereka, maka para ulama yang menyimpang itu mendzalimi orang-orang atas akhiratnya.
c. Seorang alim yang menyimpang akan menjerumuskan orang-orang melakukan dosa. Negara-negara yang bersebrangan dengan Islam telah mendirikan pada abad-abad terakhir -untuk merongrong Islam- sekelompok penyesat. Untuk memperkuat kelompok boneka ini, mereka mendidik seorang alim gadungan yang dapat mengarang buku yang berisikan propokasi perpecahan. Ia pun menggunakan sejumlah ayat-ayat al-Qur`an untuk tujuan perpecahan ini. Buku tersebut adalah buku menyesatkan karena dipersiapkan untuk memperbanyak perpecahan sebagai pengabdian kepada Negara-negara pendirinya.
Dari sini, para pengajar ajaran-ajaran agama hendaknya memberitahu bahwa sebab penyimpangan ini adalah karena tidakadanya keikhlasan. Sejumlah pelajar tidak belajar hanya untuk Allah, melainkan untuk tujuan-tujuan duniawi, seperti hawa nafsu dan kecintaan pada dunia. Dengan tujuan-tujuan inilah akhiratnya dihancurkan dan dirubah menjadi neraka Jahim.
Sekalipun seseorang telah mencapai sebuah posisi tinggi, maka hendaknya dia jangan terlebih dahulu merasa aman dari bisikan syetan. Perasaan cukup aman ini adalah awal dari keterjerumusan dan penyimpangan. Ia hendaknya selalu berada antara harap dan takut. Takut dari hawa nafsu, merasakan tidak puas dan bisikan-bisikan syetan, disamping berharap terhadap rahmat dan kelembutan Allah Swt. Dia Yang Paling Kasih di antara para pengasih.
Ulama dalam pandangan Imam Hasan al-`Askari
Sang faqih Syeh Anshari -semoga Allah meridhainya- mengutip dalam bukunya "Farâidul Ushûl" sebuah hadis indah sebagai tafsir agung dari Imam al-`Askari a.s; terhadap firma-Nya Swt "Di antara mereka adalah orang-orang buta aksara yang tidak mengerti al-Kitab…".
Seseorang bertanya kepada ash-Shadiq a.s; Apabila mereka itu dari Yahudi dan Nashrani yang tidak mengenal al-Kitab kecuali dari apa yang mereka dengar saja, dan para pemuka agama mereka tidak memiliki jalan selainnya. Lalu bagaimana ketaklidan mereka kepada para ulamanya dikecam. Apakah orang-orang awam Yahudi sama seperti orang-orang awam kita yang mentaklidi ulama-ulama mereka? Apabila taklid kepada para ulamanya tidak diperkenankan kepada orang-orang awam mereka, maka demikian juga tidak diperkenankan kepada awam-awam kita.
Beliau a.s berkata: Di antara orang-orang alam dan ulama kami dan di antara orang-orang awam Yahudi dna Nashrani dengan ulamanya terdapat perbedaan dari satu sisi dan kesamaan di sisi lain. Sisi kesamaannya ialah bahwa Allah Swt mencela orang-orang awam kita bertaklid kepada ulama-ulama mereka, sebagaimana juga Ia mencela awam-awam Yahudi dan Nashrani mentaklidi ulama-ulama mereka. Adapun dari sisi perpecahan mereka tidaklah sama.
Ia bertanya; Jelaskan kepadaku wahai putra Rosulullah!
Beliau berkata: Sesungguhnya awam-awam Yahudi telah mengetahui kebohongan ulama-ulamanya dengan jelas, mereka memakan harta haram, berbuat dzalim, merubah hukum, dan lain-lain. Karena itu, Allah mengecam mereka atas ketaklidannya kepada orang yang mereka ketahui tidak layak untuk ditaklidi pandangan-pandangannya, tidak boleh membenarkannya dan tidak boleh beramal dengan ajaran yang sampai kepada mereka dari orang-orang yang tidak mereka saksikan. Mereka pun harus mengoreksi diri mereka tentang Rosulullah Saw.
Demikian pula awam-awam umat kami. Apabila mereka mengetahui kefasikan secara jelas dan kefanatikan yang sangat dari para fuqahanya, maka barang siapa di antara mereka tetap mentaklidi fuqaha seperti itu, berarti mereka seperti awam-awam Yahudi yang telah Allah Swt kecam karena mentaklidi kefasikan para fuqahanya. Maka barang siapa mendapatkan di antara para fuqaha orang yang paling menjaga dirinya, menjaga agamanya, menentang hawa nafsunya, dan taat terhadap perintah Gusti-nya, maka hendaklah bagi orang-orang awam mentaklidinya. Demikian itu berarti hanya kepada sebagian fuqaha syi`ah saja, bukan semuanya.
Adapun mereka yang melakukan perbuatan buruk dan terbiasa bohong kepada kita, maka mereka sesat atau menyesatkan, dan mereka jauh lebih berbahaya kepada kelompok awam syi`ah kami dari tentara Yazid -laknat Allah atasnya- yang telah memerangi al-Husein bin Ali a.s .124
Pertanyaan, kenapa para ulama yang menyimpang jauh lebih buruk dari tentara-tentara Yazid?
Jawabnya, tentara Yazid menyatakan secara terang-terangan permusuhannya, sementara para ulama busuk (su) seperti serigala berbulu domba yang menghancurkan agama atas nama agama. Dan jelas bahaya mereka jauh lebih besar dari bahaya orang yang jelas-jelas menyatakan permusuhannya.
Adapun yang dibanggakan oleh orang-orang Syi`ah ialah mereka pada masa silam telah menjadi pengikut para ulama dan marja yang padanya terkumpul sayarat-syarat kemuliaan seperti dicirikan para Imam a.s. Mereka pun selalu ada di bawah bimbingan dan kelembutan kasih mereka.
Tentu tidak diragukan lagi bahwa bertaklid kepada seorang ulama zuhud dan bijak tidak hanya tidak tercela saja, bahkan itu wajib sebagaimana diperkuat oleh ayat-ayat al-Qur`an dan riwayat Ahlul Bayt a.s.
Perumpamaan keenambelas:
Masjid Dharar
Allah Swt berfirman dalam surat at-Taubah ayat ke 107-109 sebagai berikut; "Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka Sesungguhnya bersumpah: "Kami tidak menghendaki selain kebaikan." Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguh- nya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih. Maka apakah orang-orang yang mendirikan mesjidnya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan-(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam. Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang- orang yang zalim".
Pengantar pembahasan
Tiga ayat al-Qur`an tersebut adalah perumpamaan ketujuhbelas kita yang berbicara tentang mesjid Dhirâr yang didirikan oleh musuh-musuh agama untuk meredam laju agama baru, Islam. Masjid tersebut mereka jadikan sebagai tameng, jalan dan barikade untuk menghadapi agama dengan agama.
Sebab turun ayat
Mayoritas mufassir telah menunjukkan sebab turun ayat tersebut 125, dan diantaranya disini kami akan sebutkan;
Bani Amr bin `Auf membangun majsid Quba, dan mengutus seseorang kepada Rosulullah Saw untuk mengundang datang kepada mereka. Maka datanglah Rosulullah Saw kepada mereka dan shalat di masjid tersebut. Hal ini membuat orang-orang munafik hasud kepada Bani Ganam bin Auf, mereka berkata; Kami membangun masjid, kami shalat di dalamnya dan kami tidak mengundang jamaah Muhamamd. Mereka konon berjumlah dua belas orang atau lima belas orang. Diantara mereka adalah Tsa`labah bin Hâthib, Mu`attab bin Qusyair, Nabtal bin al-Hârits. Mereka membangun satu masjid di samping masjid Quba.
Ketika mereka selesai membangunnya, mereka datang kepada Rosulullah Saw yang sedang bersiap-siap bergi ke perkang Tabuk, lalu berkata; Wahai Rosulullah Saw, kami telah selesai membangun sebuah masjid karena memang kami membutuhkannya pada saat hujan dan pada malam-malam hari yang gelap. Kami berharap sekali agar Engkau berkenan shalat di sana untuk kami dan berdo`a memohon keberkahan. Lalu Rosulullah Saw bersabda: "Kami benar-benar hampir berangkat pergi, setelah kambali nanti insyaallah akan mendatangi dan shalat di sana untuk kalian". Dan setelah Rosulullah pergi, turunlah ayat terkait dengan masjid tersebut.
Syarah dan tafsir
Allah Swt berfirman; "Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu".
Memang benar malaikat Jibril a.s telah turun kepada Rosulullah Saw mencegahnya shalat di masjid tersebut. Walau pun secara lahir tempatr tersebut adalah tempat ibadah, namun sebenarnya ia tidak lebih sebagai tempat pemyembahan berhala-berhala dan pusat komando menentang kaum muslimin. Ayat tersebut menjelaskan empat tujuan pembanguan masjid tersebut, yaitu;
1. Dhirâran (untuk menimbulkan kemudharatan). Yakni para pendiri masjid ini bertujuan membuat madharat bagi kaum muslimin dengan menjadikannya sebagai benteng untuk memusuhi Islam.
2. Kufran (untuk kekafiran). Tujuan lain mereka membangun masjid tersebut ialah untuk memperkuat pondasi-pondasi kekafiran. Masjid tersebut berfungsi sebagai central kekafiran dan syirik.
3. "untuk memecah belah antara orang-orang mukmin". Tujuan lainnya dan ini yang sangat berbahaya diantara tujuan-tujuan tersebut ialah menciptakan perpecahan diantara kaum muslimin dan menghancurkan tonggak persatuan yang mereka miliki. Perselisihan-perselisihan diantara mereka adalah hal paling berbahaya terhadap situasi dan kondisi Islam yang heterogen dibanding bahaya-bahaya lain. Inilah sumber segala perselisihan.
4. "serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu". Yakni mendirikan pusat bagai para musuh di jantung wilayah Islam sendiri. Orang-orang yang menjadi musuh-musuh Allah dan Rosul-Nya semenjak dahulu.
Abu Amir an-Nashrani, musuh Islam
Dari "Majma`ul bayân"; Ia telah menjadi seorang rahim pada masa jahiliyah. Ketika Nabi Saw dating ke Madinah, ia hasud kepadanya, kemudian membentuk berbagai madzhab dan melarikan diri ke Thaif setelah peristiwa pembebasan (futuh) kota Mekah. Ketika penduduki Thaif masuk Islam, ia pindah ke Syam, pergi menuju Roma dan menjadi Nashrani. Dialah yang menjadi salah seorang pemicu perang Uhud.
Rosulullah Saw telah menggelari Abu Amr dengan "seorang fasik". Dialah yang telah menganjurkan orang-orang munafik agar mempersiapkan dan membangun sebuah masjid. Ia berjanji akan datang ke Kaisar dan meminta bantuan sejumlah tentara dan akan mengeluwarkan Muhamamd dari Madinah. Karenanya
Orang-orang munafik sangat menunggu-nunggunya, namun ia keburu meninggal sebelum sampai ke raja- Romawi.126
Setelah peristiwa ini, orang-orang munafik meminta kepada Rosulullah Saw untuk meresmikan masjid mereka, namun Jibril a.s keburu turun dan mencegahnya dengan redaksi seperti ini; "Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya". Dan Rosulullah Saw pun tidak pernah bersembahyang di sana selamanya.
Allah Swt berfirman; "Sesungguh- nya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya".
Artinya bahwa masjid Dhirar bukanlah tempat yang tepat untuk beribadah kepada Allah yang Esa. Sebuah masjid yang layak dijadikan tempat ibadah memiliki ciri-ciri sebagi berikut;
1. Mesjid tersebut hendaklah dibangun di atas landasan iman dan taqwa. Ayat ini juga mengajarkan kita agar pendirian pusat-pusat agama seperti husainiyah, sekolah agama, pusat ekonomi, politik, budaya, dan devartemen-devartemen dibangun di atas landasan iman dan taqwa. Keduanya merupakan ruh dalam amal.
2. Mereka yang hadir hendaklah orang-orang yang taqwa dan bersih. Demikian itu karena orang-orang yang shalat di dalam masjid dianggap sebagai orang-orang yang mengharumkan masjid.
Kedua ciri ini terdapat pada masjid Quba. Masjid itu telah didirikan diatas landasan iman dan taqwa, sebagaimana orang-orang yang shalat di dalamnya juga orang-orang yang beriman. Sebaliknya, masjid Dhirar tidaklah dibangun di atas asas taqwa dan iman, dan orang-orang yang menghadirinya pun bukan orang-orang yang beriman.
Perintah Pembakaran masjid Dhirar
Rosulullah Saw tidak hanya membatalkan pembukaan masjid tersebut dan shalat di dalamnya, bahkan beliau telah perintahkan membakarnya. Kemudian dua dingdingnya dibakar dan kemudian dipersiapkan menjadi tempat pembuangan sampah.
Allah Swt berfirman; "Maka apakah orang-orang yang mendirikan mesjidnya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan-(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh". Syafâu (tepi jurang) berti ujung segala sesuatu. Karenanya, kata ini juga biasa dipakai untuk menunjukkan suatu pemahaman terdekat.
"jurf" (tepi jurang) berarti "janb" (dekat). Maka tepi sesuatu adalah ujung-ujung yang mendampinginya, karena itu kata jurf digunakan untuk menunjukkan tepi atau bibir sungai. Kata "hâr" digunakan untuk sesuatu yang jatuh/runtuh. Terkadang ujung sungai menjadi kering sehingga seakan berbentuk tepian (rawa). Seseorang yang tidak mengetahuinya akan berjalan di tepian ini sehingga terperosok ke dalamnya dan tenggelam.
Allah Swt menyamakan pembangunan masjid Dhirar seperti tepian sungai (rawa, penej). Tepian sungai tidaklah seperti air sungai. Air sungai terkadang tidak membahayakan seseorang sehingga menemui kematiannya atau bahaya yang pasti jika ia bisa berenang. Namun tepian sungai adalah neraka itu sendiri, dan apabila seseorang terperosok ke dalamnya maka itulah kehancuran totalnya yang tidak mungkin bisa selamat.
Apakah seorang manusia berakal akan berminat mendirikan bangunan di sebuah tanah yang labil seperti tepian sungai ini dan menantang bahaya yang ada di dalamnya?
Memang benar, sebuah mesjid yang didirikan diatas asas ketakwaan dan ridha Allah, maka bangunan tersebut akan menjadi kuat sekali, yang tidak akan mengantarkan seseorang kecuali kepada keselamatan. Adapun masjid yang didirikan di atas asas kekafiran dan kemusyrikan akan mengandung bahaya cukup besar dan akan mengantarkan seseornag kepada keterpurukan, sebagaimana dijelaskan ayat tersebut, jatuh kepada neraka Jahannam.
Adakah perumpamana lain yang lebih indah dan lebih jelas terhadap sumber-sumber syirik dan kemunafikan selain perumpamaan yang diberikan ayat-ayat al-Qur`an al-karim?
Sasaran ayat tersebut
1. Yang dapat disimpulkan dari ayat tersebut ialah pentingnya orang-orang muslim mengontrol amal-amalnya, sesungguhnya musuh-musuh agama telah memerangi agama dengan agama dan selogan-selogannya itu sendiri. Karena itulah ketika kita membaca kembali sejarah Islam, kita akan menemukan berbagai perpecahan dan kelompok yang telah dirintis oleh musuh untuk menghancurkan Islam yang murni.
Di antara madzhab-madzhab yang ada ialah madzhab Bahai yang sesat yang sekarang ini nampak jelas di semua tempat motif pendirian kelompok ini dan siapa orang-orang yang merintis dan mendirkannya. 127
2. Orang-orang muslim hendaknya cerdas sehingga tidak terpengaruh oleh tampilan-tampilan lahir sesuatu. Terhadap sebuah fitnah, orang-orang muslim hendaknya mencari tahu para pelaku dan otak intelektual di belakangnya serta mereka yang berusaha mencari manfaat darinya. Demikian itu adalah kekhawatiran terhadap tipuan orang-orang yang berniat menghancurkan negara mereka melalui penjajahan, atau menyesatkan kaum muslimin dengan atas nama pembebasan mereka, atau menghancurkan agama dengan agama itu sendiri.128
Masjid Dharar
Allah Swt berfirman dalam surat at-Taubah ayat ke 107-109 sebagai berikut; "Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka Sesungguhnya bersumpah: "Kami tidak menghendaki selain kebaikan." Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguh- nya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih. Maka apakah orang-orang yang mendirikan mesjidnya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan-(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam. Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang- orang yang zalim".
Pengantar pembahasan
Tiga ayat al-Qur`an tersebut adalah perumpamaan ketujuhbelas kita yang berbicara tentang mesjid Dhirâr yang didirikan oleh musuh-musuh agama untuk meredam laju agama baru, Islam. Masjid tersebut mereka jadikan sebagai tameng, jalan dan barikade untuk menghadapi agama dengan agama.
Sebab turun ayat
Mayoritas mufassir telah menunjukkan sebab turun ayat tersebut 125, dan diantaranya disini kami akan sebutkan;
Bani Amr bin `Auf membangun majsid Quba, dan mengutus seseorang kepada Rosulullah Saw untuk mengundang datang kepada mereka. Maka datanglah Rosulullah Saw kepada mereka dan shalat di masjid tersebut. Hal ini membuat orang-orang munafik hasud kepada Bani Ganam bin Auf, mereka berkata; Kami membangun masjid, kami shalat di dalamnya dan kami tidak mengundang jamaah Muhamamd. Mereka konon berjumlah dua belas orang atau lima belas orang. Diantara mereka adalah Tsa`labah bin Hâthib, Mu`attab bin Qusyair, Nabtal bin al-Hârits. Mereka membangun satu masjid di samping masjid Quba.
Ketika mereka selesai membangunnya, mereka datang kepada Rosulullah Saw yang sedang bersiap-siap bergi ke perkang Tabuk, lalu berkata; Wahai Rosulullah Saw, kami telah selesai membangun sebuah masjid karena memang kami membutuhkannya pada saat hujan dan pada malam-malam hari yang gelap. Kami berharap sekali agar Engkau berkenan shalat di sana untuk kami dan berdo`a memohon keberkahan. Lalu Rosulullah Saw bersabda: "Kami benar-benar hampir berangkat pergi, setelah kambali nanti insyaallah akan mendatangi dan shalat di sana untuk kalian". Dan setelah Rosulullah pergi, turunlah ayat terkait dengan masjid tersebut.
Syarah dan tafsir
Allah Swt berfirman; "Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu".
Memang benar malaikat Jibril a.s telah turun kepada Rosulullah Saw mencegahnya shalat di masjid tersebut. Walau pun secara lahir tempatr tersebut adalah tempat ibadah, namun sebenarnya ia tidak lebih sebagai tempat pemyembahan berhala-berhala dan pusat komando menentang kaum muslimin. Ayat tersebut menjelaskan empat tujuan pembanguan masjid tersebut, yaitu;
1. Dhirâran (untuk menimbulkan kemudharatan). Yakni para pendiri masjid ini bertujuan membuat madharat bagi kaum muslimin dengan menjadikannya sebagai benteng untuk memusuhi Islam.
2. Kufran (untuk kekafiran). Tujuan lain mereka membangun masjid tersebut ialah untuk memperkuat pondasi-pondasi kekafiran. Masjid tersebut berfungsi sebagai central kekafiran dan syirik.
3. "untuk memecah belah antara orang-orang mukmin". Tujuan lainnya dan ini yang sangat berbahaya diantara tujuan-tujuan tersebut ialah menciptakan perpecahan diantara kaum muslimin dan menghancurkan tonggak persatuan yang mereka miliki. Perselisihan-perselisihan diantara mereka adalah hal paling berbahaya terhadap situasi dan kondisi Islam yang heterogen dibanding bahaya-bahaya lain. Inilah sumber segala perselisihan.
4. "serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu". Yakni mendirikan pusat bagai para musuh di jantung wilayah Islam sendiri. Orang-orang yang menjadi musuh-musuh Allah dan Rosul-Nya semenjak dahulu.
Abu Amir an-Nashrani, musuh Islam
Dari "Majma`ul bayân"; Ia telah menjadi seorang rahim pada masa jahiliyah. Ketika Nabi Saw dating ke Madinah, ia hasud kepadanya, kemudian membentuk berbagai madzhab dan melarikan diri ke Thaif setelah peristiwa pembebasan (futuh) kota Mekah. Ketika penduduki Thaif masuk Islam, ia pindah ke Syam, pergi menuju Roma dan menjadi Nashrani. Dialah yang menjadi salah seorang pemicu perang Uhud.
Rosulullah Saw telah menggelari Abu Amr dengan "seorang fasik". Dialah yang telah menganjurkan orang-orang munafik agar mempersiapkan dan membangun sebuah masjid. Ia berjanji akan datang ke Kaisar dan meminta bantuan sejumlah tentara dan akan mengeluwarkan Muhamamd dari Madinah. Karenanya
Orang-orang munafik sangat menunggu-nunggunya, namun ia keburu meninggal sebelum sampai ke raja- Romawi.126
Setelah peristiwa ini, orang-orang munafik meminta kepada Rosulullah Saw untuk meresmikan masjid mereka, namun Jibril a.s keburu turun dan mencegahnya dengan redaksi seperti ini; "Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya". Dan Rosulullah Saw pun tidak pernah bersembahyang di sana selamanya.
Allah Swt berfirman; "Sesungguh- nya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya".
Artinya bahwa masjid Dhirar bukanlah tempat yang tepat untuk beribadah kepada Allah yang Esa. Sebuah masjid yang layak dijadikan tempat ibadah memiliki ciri-ciri sebagi berikut;
1. Mesjid tersebut hendaklah dibangun di atas landasan iman dan taqwa. Ayat ini juga mengajarkan kita agar pendirian pusat-pusat agama seperti husainiyah, sekolah agama, pusat ekonomi, politik, budaya, dan devartemen-devartemen dibangun di atas landasan iman dan taqwa. Keduanya merupakan ruh dalam amal.
2. Mereka yang hadir hendaklah orang-orang yang taqwa dan bersih. Demikian itu karena orang-orang yang shalat di dalam masjid dianggap sebagai orang-orang yang mengharumkan masjid.
Kedua ciri ini terdapat pada masjid Quba. Masjid itu telah didirikan diatas landasan iman dan taqwa, sebagaimana orang-orang yang shalat di dalamnya juga orang-orang yang beriman. Sebaliknya, masjid Dhirar tidaklah dibangun di atas asas taqwa dan iman, dan orang-orang yang menghadirinya pun bukan orang-orang yang beriman.
Perintah Pembakaran masjid Dhirar
Rosulullah Saw tidak hanya membatalkan pembukaan masjid tersebut dan shalat di dalamnya, bahkan beliau telah perintahkan membakarnya. Kemudian dua dingdingnya dibakar dan kemudian dipersiapkan menjadi tempat pembuangan sampah.
Allah Swt berfirman; "Maka apakah orang-orang yang mendirikan mesjidnya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan-(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh". Syafâu (tepi jurang) berti ujung segala sesuatu. Karenanya, kata ini juga biasa dipakai untuk menunjukkan suatu pemahaman terdekat.
"jurf" (tepi jurang) berarti "janb" (dekat). Maka tepi sesuatu adalah ujung-ujung yang mendampinginya, karena itu kata jurf digunakan untuk menunjukkan tepi atau bibir sungai. Kata "hâr" digunakan untuk sesuatu yang jatuh/runtuh. Terkadang ujung sungai menjadi kering sehingga seakan berbentuk tepian (rawa). Seseorang yang tidak mengetahuinya akan berjalan di tepian ini sehingga terperosok ke dalamnya dan tenggelam.
Allah Swt menyamakan pembangunan masjid Dhirar seperti tepian sungai (rawa, penej). Tepian sungai tidaklah seperti air sungai. Air sungai terkadang tidak membahayakan seseorang sehingga menemui kematiannya atau bahaya yang pasti jika ia bisa berenang. Namun tepian sungai adalah neraka itu sendiri, dan apabila seseorang terperosok ke dalamnya maka itulah kehancuran totalnya yang tidak mungkin bisa selamat.
Apakah seorang manusia berakal akan berminat mendirikan bangunan di sebuah tanah yang labil seperti tepian sungai ini dan menantang bahaya yang ada di dalamnya?
Memang benar, sebuah mesjid yang didirikan diatas asas ketakwaan dan ridha Allah, maka bangunan tersebut akan menjadi kuat sekali, yang tidak akan mengantarkan seseorang kecuali kepada keselamatan. Adapun masjid yang didirikan di atas asas kekafiran dan kemusyrikan akan mengandung bahaya cukup besar dan akan mengantarkan seseornag kepada keterpurukan, sebagaimana dijelaskan ayat tersebut, jatuh kepada neraka Jahannam.
Adakah perumpamana lain yang lebih indah dan lebih jelas terhadap sumber-sumber syirik dan kemunafikan selain perumpamaan yang diberikan ayat-ayat al-Qur`an al-karim?
Sasaran ayat tersebut
1. Yang dapat disimpulkan dari ayat tersebut ialah pentingnya orang-orang muslim mengontrol amal-amalnya, sesungguhnya musuh-musuh agama telah memerangi agama dengan agama dan selogan-selogannya itu sendiri. Karena itulah ketika kita membaca kembali sejarah Islam, kita akan menemukan berbagai perpecahan dan kelompok yang telah dirintis oleh musuh untuk menghancurkan Islam yang murni.
Di antara madzhab-madzhab yang ada ialah madzhab Bahai yang sesat yang sekarang ini nampak jelas di semua tempat motif pendirian kelompok ini dan siapa orang-orang yang merintis dan mendirkannya. 127
2. Orang-orang muslim hendaknya cerdas sehingga tidak terpengaruh oleh tampilan-tampilan lahir sesuatu. Terhadap sebuah fitnah, orang-orang muslim hendaknya mencari tahu para pelaku dan otak intelektual di belakangnya serta mereka yang berusaha mencari manfaat darinya. Demikian itu adalah kekhawatiran terhadap tipuan orang-orang yang berniat menghancurkan negara mereka melalui penjajahan, atau menyesatkan kaum muslimin dengan atas nama pembebasan mereka, atau menghancurkan agama dengan agama itu sendiri.128
Perumpamaan Ketujuhbelas:
Dunia yang Sementara
Allah Swt berfirman dalam surat Yunus ayat ke 24 sebgai berikut; "Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-permliknya mengira bahwa mereka pasti menguasasinya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berfikir".
Pengantar
Ayat tersebut berbicara tentang perumpamana kehidupan dunia yang sementara. Upaya mengingatkannya karena dikhawatirkan seseorang akan tertipu dengan tampilan lahirnya yang menyesatkan dan dari bergantung kepadanya. Seseorang sebenarnya telah kehilangan segala sesuatu ketika ia mendewakan dan berkorban untuk meraihnya. Pada penghujung ayat tersebut Allah Swt menyeru manusia untuk berfikir mencari dan menemukan jalan keluar untuk dirinya.
Syarah dan Tafsir
Allah Swt berfirman; "Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu", istilah "kehidupan dunia" telah dipergunakan hampir tujuh puluh kali dalam al-Qur`an. Dunia di sini memiliki dua pengertian sebagaimana berikut;
a. Ia berarti yang dekat. Dunia merupakan bentuk muannas dari adna (rendah). Karena itu, kehidupan dunia adalah kiasan paling dekat untuk kehidupan akhirat yang secara relatif ia jauh.
b. Yang dimaksud dengannya adalah sâfilah; yang kotor, hina dan rendah. Karena itu kata danî (rendah) diberikan kepada seseorang yang terperosok dan rendah. Artinya bahwa kehidupan dunia adalah kehidupan yang rendah dan tidak memiliki nilai yang sempurna. Itulah kehidupan dunia sebagai lawan dari kehidupan akhirat yang tinggi dan penuh nilai-nilai agung.
Demikian ini sesuai dengan kesimpulan dari beberapa ayat al-Qur`an, seperti ayat berikut ini; "Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui"129 . Kehidupan yang sesungguhnya hanyalah kehidupan akhirat saja, adapun kehidupan dunia hanyalah kehidupan semu dan hanya sekedar nama saja, padahal sebenarnya ia adalah kematian bertahap.
Al-hasil, sesungguhnya kehidupan dunia adalah kehidupan yang tidak bernilai, atau ia sebenarnya bukanlah kehidupan secara penuh. Ia "adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi". Yakni kehidupan sementara seperti air hujan yang turun ke bumi dengan tetesan rintik-rintik, dan dengan turunnya ke bumi tumbulah tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan berbagai macam buah.
Adapun tumbuh-tumbuhan terbagi menjadi tiga macam;
1. Tumbuh-tumbuhan yang menyediakan makakan seperti buah-buahan, sayur-sayuran, dan biji-bijian bagi manusia "di antara yang dimakan manusia".
2. Tumbuh-tumbuhan yang menyediakan makanan bagi binatang "di antara yang dimakan manusia dan binatang ternak". Pada keduanya terjadi persamaan pada makanan tertentu seperti pohon yang dimanfaatkan buahnya oleh manusia dan daun-daunnya oleh binatang. Ada juga yang khusus untuk binatang saja seperti alaf (makanan khusus binatang).
3. Ketiga adalah tumbuh-tumbuhan dan pohon yang menjadi penghias alam seperti bunga-bunga "Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-permliknya mengira bahwa mereka pasti menguasasinya".
Yakni pada saat hujan turun, pohon-pohon berbuah dan tiba saatnya memanen, lalu terjadilah sebuah peristiwa yang menghancurkan semua usaha manusia selama ini sehingga tidak mendapatkan hasil tanamannya. Inilah sisi menyakitkan yang berkaitan dengan dunia.
Allah Swt berfirman; "tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami (amranâ) di waktu malam atau siang". Memang benar ketika seseorang melihat dunia berpihak kepadanya, menampakkan wajahnya yang menggiurkan dan elok, ia menyimpulkan bahwa segala sesuatu berjalan sesuai harapannya. Pada saat seperti ini tiba-tiba datang ketentuan Allah berupa adzab di siang dan malam hari untuk menghancurkan seluruh harapan dan angan-angan tadi, di mana dunia tidak hadir sebagaiman yang diharapkan.
Kata "amranâ" pada ayat tersebut mengajak kita untuk perhatian dan merenungkan lebih serius dimana ia mengandung berbagai sumber dan bukti, mencakup segala bentuk adzab dari Allah Swt. Di sini akan kami coba sebutkan diantar bukti-bukti tersebut;
1. Sekelompok binatang yang nampaknya lemah seperti belalang diperintahkan untuk menghancurkan lahan pertanian secara total sehingga tidak tersisa apapun darinya karena telah dimakan dan dihancurkan seluruhnya, sebagaimana terjadi dari waktu kewaktu di sejumlah negara.
2. Adzab ini terkadang juga terjadi dalam bentuk cuaca panas melalui angin yang diperintah menghancurkan sebagai adzab ilahi. Yaitu ketika ia bergerak maka yang dilewatinya akan keracunan dan mengering. Dan ketika ia melewati sebuah lahan pertanian, ia akan menghancurkan hingga berubah menjadi debu yang menghilang tertiup angin.
3. Adzab ilahi lain yang lebih berbahaya lagi dari angin panas ialah petir atau kilat yang menghancurkan segala sesuatu seperti gunung-gunung, pohon, binatang dan manusia. Atau wujud-wujud lain yang akan kita bicarakan pada pembahasan-pembahasan berikutnya.
Di sana ada poin penting yang terkandung dalam istilah ayat "siang dan malam". Artinya bahwa manusia tidak mempunyai pilihan lain selain tunduk dan menerima terhadap adzab ilahi, tidak ada beda antara siang dan malam hari. Tidak bisa dilukiskan bahwa seseorang pada malam hari saja akan terperdaya oleh adzab, karena pada malam hari ia tidak bisa berbuat apa-apa. Padahal adzab akan tetap menghancurkan manusia kapan pun datangnya, baik datang pada siang maupun malam hari.
Allah Swt berfirman: "lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin". Yakni ketika adzab terjadi menghacurkan kekayaan-kekayaan manusia dan lahan-lahan pertaniannya. Ia seakan-akan lahan pertanian yang belum digarap, bahkan berubah menjadi kepulan-kepulan debu.
Allah Swt berfirman; "Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berfikir". Artinya bahwa tujuan-tujuan perumpamaan ini tidak dapat dimengerti kecuali oleh orang-orang yang mau berfikir. Kedalaman ayat-ayat ilahi ini pun tidak dapat dipahami kecuali dengan berfikir dan merenung, dimana tidak ada ibadah lain yang paling tinggi dari selainnya.130
Falsafah perumpamaan
Untuk menyingkap falsafah perumpamaan tersebut, di sini kami akan tunjukkan tiga karakteristik kehidupan dunia;
1. Kehidupan dunia adalah sementara, tidak tetap dan tidak ada keabadian di dalamnya.
2. Kehidupan dunia adalah berlubang. Luarnya nampak menggiurkan hati, sementara dalamnya kosong tidak berisi. Secara jelas ia telah mengkristal dalam kehidupan sebagian orang dimana kehidupan mereka menarik kita dari jauh, membuat kita menyesalkan kehidupan kita dan kita meratapi kehidupan mereka.
Namun ketika kita mendekatkan kehidupan kita -kami banyak bersyukur kepada Allah- kepada mereka yang tidak sama seperti kehidupannya dari sisi banyaknya bencana.
3. Kehidupan dunia menipu manusia.
Sebuah hadis dari Rosulullah Saw menjelaskan ketiga karakteristik ini, beliau bersabda: "Dunia adalah menipu, membahayakan dan musnah".131
Dari sini kita dapat memahami falsafah perumpamana tersebut, yang tanpanya kita akan kesulitan memahami hakekat kehidupan dunia. Melalui merumpamaan tersebut seseorang dapat memahami lebih baik hakekat dan esensi dunia. Karena itu, Allah menjelaskannya melalui perumpamaan tersebut.
Tafsir ayat
Pada ayat tersebut manusia dan kehidupan dunianya diumpamakan seperti air hujan. Dengan perumpamaan itu al-Qur`an menunjukkan potensi dan kemampuannya yang tinggi. Apabila kemampuan ini dapat diaktualkan maka akan melahirkan berbagai macam penemuan, ciptaan dan ivovasi, menggunakan potensi-potensinya dalam kehidupan yang lebih baik dalam berbagai macam bidang dan aktivitas, memaksimalkannya sebanyak mungkin untuk menggapai tujuan-tujuan khusus. Hanya saja sebuah kejadian tiba-tiba terjadi menghancurkan seluruh harapan dan apapun yang ia miliki dalam hidupnya. Bahkan mereka sampai pada titik sekan-akan belum pernah berbuat apa-apa terhadap kehidupannya, belum pernah berbuat untuk jaminan masa depannya.
Kejadian-kejaidan ini merupakan azab ilahi. Ia telah mengkristal dalam internal badan manusia dan ia pun tunduk kepadanya. Sebagai contoh, kebekuan darah seseorang yang menjalar pada pembulu-pembulu darah hingga sampai ke jantung akan menyebabkan kematian jeringan-jaringan di dalamnya. Atau jika ia sampai pada otak, ia juga akan menyebabkan kematian syaraf-syaraf di dalamnya. Semuanya itu menyebabkan kelumpuhan sebagian anggota tubuh, atau bahkan mematikannya.
Yang paling sederhana dari itu ialah Allah Swt memerintahkan sel di antara sel-sel dalam tubuh manusia untuk berkembang biak dengan bentuk yang tidak diketahui. Dengan proses penambahan menakjubkan satu sel bisa berkembang menjadi dua sel, dua sel menjadi empat, empat menjadi delapan, delapan menjadi enam belas, dan demikian seterusnya yang berubah terus secara sekejap hingga batasan tidak tentu yang menyebar di seluruh tubuh sedikit demi sedikit sehingga membuat seseorang lumpuh. "lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin". Ia nampak seakan-akan telah mati semenjak beberapa tahunan, dan seluruh angan-angannya telah musnah semenjak saat itu.
Adzab lahi pun terkadang berupa kejadian diluar kendali manusia, seperti gempa bumi, angin topan, tabrakan meteor, badai dan lain sebgainya. Inilah perumpamaan di antara berbagai pristiwa yang kita saksikan sepanjang usia kita yang mengingatkan kita berhati-hati agar dunai tidak menipu kita dan agar kita tidak bergantung kepadanya, dan apalagi melakukan berbagai tindak kriminal untuk menggapai tujuan-tujuan duniawi yang sesaat.
Sudah selayaknya apabila kita merenungkan kembali lebih serius ayat mulia ini berserta perumpamaan-perumpamaannya dan kita jadikan sebagai lentera dalam menempuh perjalanan.
Sasaran-sasaran ayat
1. Ma`rifatullah
Sesungguhnya Allah dengan mengumpamakan kehidupan dengan tetesan-tetesan air hujan telah mengajarkan kita pelajaran-pelajaran makrifat (pengetahuan). Ia menanamkan keimanan kepada-Nya pada hati-hati kita. Ayat tersebut mengajarkan kepada kita sesungguhnya Allah dengan pelantara air yang jernih ini, air yang tidak berwarna dapat menciptakan berbagai macam warna berbeda.
Sesungguhnya bumi disirami dengan air yang sama (disirami dengan air yang sama 132), namun buah-buahan dan pohon tumbuh berbeda-beda. Dari air ini muculah buah-buahan yang paling manis, biasa-biasa, yang sangat pahit, serta bunga-bunga yang paling cantik dan lain sebgainya. Ini semua muncul dari air yang sama dan tanah yang sama. Sesungguhnya kekuasaan Allah sungguh sangat menakjibkan, namun sayangnya karena sudah terbiasa, kebiasaan itu mencegah dan menghalangi kita memikirkan kitab Allah yang berbicara ini.
2. Semua yang ada di alam adalah tercipta berdasarkan sebuah sistem tertentu
Sesungguhnya Allah Swt telah menjadikan air hujan sebagai sebab keberkahan dan perkembangan manusia. Ia dengan sendirinya apabila bertambah dari volume biasanya akan menyebabkan petaka dan bencana, dan apabila ia berkurang dari biasanya, ia akan menyebabkan kemarau dan kekeringan.
Hal ini merupakan pelajaran lain bagi manusia agar ia berlaku seimbang dan adil dalam berbagai dimensi hidupnya, dan menjauh dari sikap berlebihan.
Seseorang hendaknya tidak berlebihan (ekstrim) dalam permusuhan dan pertentangan. Untuk itu Islam mengajaran etika dalam berperang, sebuah ajaran berupa perintah-perintah lembut dan indah yang mencegah kaum muslimin berlaku berlebihan dalam permusuhan. Karena itu, seorang muslim adalah orang yang seluruh kehidupannya tersusun, tertata dan terperogram.
3. Perubahan nikmat menjadi bencana
Terkadang sesuatu yang pada mulaya memberikan kehidupan baik bagi seseorang (nikmat) berubah menjadi bencana dan kematian baginya, dan demikian itu atas perintah Allah Swt. Sesungguhnya air memberi seseorang kehidupan di dunia ini, namun terkadang ia berubah menjadi banjir yang menghanyutkan dan mematikan.
4. Air yang mengalir adalah air yang sehat, bersih dan enak
Adapun air yang diam, mengendap dan tercemar tidak akan layak diminum. Dalam kondisi seperti ini, air tidah hanya tidak memberikan kehidupan saja, bahkan menjadi penyebab pencemaran itu sendiri. Harta dan berbagai kekayaan pada dasarnya dihasilkan dari air, maka berarti air bisa menumbuhkan perkembangan perekonomian suatu negri apabila ia mengalir dan dimanfaatkan oleh orang-orang. Namun bila ia diam, terkonsentrasi dan mengendap di satu tempat, maka ia dapat menyebabkan kelesuan perekonomian suatu negri.
5. Tumbuhan beracun yang indah
Sejumlah tumbuh-tumbuhan nampak indah dan cantik seperti terlihat pada beberapa macam bunga, namun sebenarnya ia beracun dan membunuh. Untuk ini kita jangan sampai terpesona dengan tampilan luar sesuatu sekalipun itu indah, bahkan kita harus berfikir dan memperhatikan apa yang ada di dalamnya guna menyingkap hakekat sebenarnya, lalu menjatuhkan pilihan yang sesuai.
Penghujung ayat tersebut merupakan nasehat untuk bertafakkur, pujian kepada para ilmuan (ulama) dan para pemikir. Rosulullah Saw bersabda; gunakan kebahagiaan (hadhdh) mata-mata kalian dalam ibadah. Mereka bertanya; apa kebahagiaannya dalam beribadah wahai Rosulullah Saw? Beliau menjawab; memandangi mushhaf, memikirkan kandungannya dan mengambil pelajaran atas keajaiban-keajaibannya. 133
Maka fikirkanlah ayat-ayat al-Qur`an agar kalian tidak tertinpa bencana seperti bencana yang menimpa orang-orang seperti Namrud, Fir`aun dan Abu Lahab, sebagaimana juga kalian harus memikirkan sisi lain seperti kisah Sulaiman, Musa, Dawud dan lain-lain. Renungkan dan fikrikanlah keajabian-keajaiban ayat-ayat al-Qur`an.
Jangan kalian hanya mencukupkan diri dengan membacanya saja meskipun ini ada pahala dan balasannya, terutama pada bulan Ramadhan yang berkah, melainkan juga merenungkan dan memikirkannya.
Dunia yang Sementara
Allah Swt berfirman dalam surat Yunus ayat ke 24 sebgai berikut; "Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-permliknya mengira bahwa mereka pasti menguasasinya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berfikir".
Pengantar
Ayat tersebut berbicara tentang perumpamana kehidupan dunia yang sementara. Upaya mengingatkannya karena dikhawatirkan seseorang akan tertipu dengan tampilan lahirnya yang menyesatkan dan dari bergantung kepadanya. Seseorang sebenarnya telah kehilangan segala sesuatu ketika ia mendewakan dan berkorban untuk meraihnya. Pada penghujung ayat tersebut Allah Swt menyeru manusia untuk berfikir mencari dan menemukan jalan keluar untuk dirinya.
Syarah dan Tafsir
Allah Swt berfirman; "Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu", istilah "kehidupan dunia" telah dipergunakan hampir tujuh puluh kali dalam al-Qur`an. Dunia di sini memiliki dua pengertian sebagaimana berikut;
a. Ia berarti yang dekat. Dunia merupakan bentuk muannas dari adna (rendah). Karena itu, kehidupan dunia adalah kiasan paling dekat untuk kehidupan akhirat yang secara relatif ia jauh.
b. Yang dimaksud dengannya adalah sâfilah; yang kotor, hina dan rendah. Karena itu kata danî (rendah) diberikan kepada seseorang yang terperosok dan rendah. Artinya bahwa kehidupan dunia adalah kehidupan yang rendah dan tidak memiliki nilai yang sempurna. Itulah kehidupan dunia sebagai lawan dari kehidupan akhirat yang tinggi dan penuh nilai-nilai agung.
Demikian ini sesuai dengan kesimpulan dari beberapa ayat al-Qur`an, seperti ayat berikut ini; "Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui"129 . Kehidupan yang sesungguhnya hanyalah kehidupan akhirat saja, adapun kehidupan dunia hanyalah kehidupan semu dan hanya sekedar nama saja, padahal sebenarnya ia adalah kematian bertahap.
Al-hasil, sesungguhnya kehidupan dunia adalah kehidupan yang tidak bernilai, atau ia sebenarnya bukanlah kehidupan secara penuh. Ia "adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi". Yakni kehidupan sementara seperti air hujan yang turun ke bumi dengan tetesan rintik-rintik, dan dengan turunnya ke bumi tumbulah tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan berbagai macam buah.
Adapun tumbuh-tumbuhan terbagi menjadi tiga macam;
1. Tumbuh-tumbuhan yang menyediakan makakan seperti buah-buahan, sayur-sayuran, dan biji-bijian bagi manusia "di antara yang dimakan manusia".
2. Tumbuh-tumbuhan yang menyediakan makanan bagi binatang "di antara yang dimakan manusia dan binatang ternak". Pada keduanya terjadi persamaan pada makanan tertentu seperti pohon yang dimanfaatkan buahnya oleh manusia dan daun-daunnya oleh binatang. Ada juga yang khusus untuk binatang saja seperti alaf (makanan khusus binatang).
3. Ketiga adalah tumbuh-tumbuhan dan pohon yang menjadi penghias alam seperti bunga-bunga "Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-permliknya mengira bahwa mereka pasti menguasasinya".
Yakni pada saat hujan turun, pohon-pohon berbuah dan tiba saatnya memanen, lalu terjadilah sebuah peristiwa yang menghancurkan semua usaha manusia selama ini sehingga tidak mendapatkan hasil tanamannya. Inilah sisi menyakitkan yang berkaitan dengan dunia.
Allah Swt berfirman; "tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami (amranâ) di waktu malam atau siang". Memang benar ketika seseorang melihat dunia berpihak kepadanya, menampakkan wajahnya yang menggiurkan dan elok, ia menyimpulkan bahwa segala sesuatu berjalan sesuai harapannya. Pada saat seperti ini tiba-tiba datang ketentuan Allah berupa adzab di siang dan malam hari untuk menghancurkan seluruh harapan dan angan-angan tadi, di mana dunia tidak hadir sebagaiman yang diharapkan.
Kata "amranâ" pada ayat tersebut mengajak kita untuk perhatian dan merenungkan lebih serius dimana ia mengandung berbagai sumber dan bukti, mencakup segala bentuk adzab dari Allah Swt. Di sini akan kami coba sebutkan diantar bukti-bukti tersebut;
1. Sekelompok binatang yang nampaknya lemah seperti belalang diperintahkan untuk menghancurkan lahan pertanian secara total sehingga tidak tersisa apapun darinya karena telah dimakan dan dihancurkan seluruhnya, sebagaimana terjadi dari waktu kewaktu di sejumlah negara.
2. Adzab ini terkadang juga terjadi dalam bentuk cuaca panas melalui angin yang diperintah menghancurkan sebagai adzab ilahi. Yaitu ketika ia bergerak maka yang dilewatinya akan keracunan dan mengering. Dan ketika ia melewati sebuah lahan pertanian, ia akan menghancurkan hingga berubah menjadi debu yang menghilang tertiup angin.
3. Adzab ilahi lain yang lebih berbahaya lagi dari angin panas ialah petir atau kilat yang menghancurkan segala sesuatu seperti gunung-gunung, pohon, binatang dan manusia. Atau wujud-wujud lain yang akan kita bicarakan pada pembahasan-pembahasan berikutnya.
Di sana ada poin penting yang terkandung dalam istilah ayat "siang dan malam". Artinya bahwa manusia tidak mempunyai pilihan lain selain tunduk dan menerima terhadap adzab ilahi, tidak ada beda antara siang dan malam hari. Tidak bisa dilukiskan bahwa seseorang pada malam hari saja akan terperdaya oleh adzab, karena pada malam hari ia tidak bisa berbuat apa-apa. Padahal adzab akan tetap menghancurkan manusia kapan pun datangnya, baik datang pada siang maupun malam hari.
Allah Swt berfirman: "lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin". Yakni ketika adzab terjadi menghacurkan kekayaan-kekayaan manusia dan lahan-lahan pertaniannya. Ia seakan-akan lahan pertanian yang belum digarap, bahkan berubah menjadi kepulan-kepulan debu.
Allah Swt berfirman; "Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berfikir". Artinya bahwa tujuan-tujuan perumpamaan ini tidak dapat dimengerti kecuali oleh orang-orang yang mau berfikir. Kedalaman ayat-ayat ilahi ini pun tidak dapat dipahami kecuali dengan berfikir dan merenung, dimana tidak ada ibadah lain yang paling tinggi dari selainnya.130
Falsafah perumpamaan
Untuk menyingkap falsafah perumpamaan tersebut, di sini kami akan tunjukkan tiga karakteristik kehidupan dunia;
1. Kehidupan dunia adalah sementara, tidak tetap dan tidak ada keabadian di dalamnya.
2. Kehidupan dunia adalah berlubang. Luarnya nampak menggiurkan hati, sementara dalamnya kosong tidak berisi. Secara jelas ia telah mengkristal dalam kehidupan sebagian orang dimana kehidupan mereka menarik kita dari jauh, membuat kita menyesalkan kehidupan kita dan kita meratapi kehidupan mereka.
Namun ketika kita mendekatkan kehidupan kita -kami banyak bersyukur kepada Allah- kepada mereka yang tidak sama seperti kehidupannya dari sisi banyaknya bencana.
3. Kehidupan dunia menipu manusia.
Sebuah hadis dari Rosulullah Saw menjelaskan ketiga karakteristik ini, beliau bersabda: "Dunia adalah menipu, membahayakan dan musnah".131
Dari sini kita dapat memahami falsafah perumpamana tersebut, yang tanpanya kita akan kesulitan memahami hakekat kehidupan dunia. Melalui merumpamaan tersebut seseorang dapat memahami lebih baik hakekat dan esensi dunia. Karena itu, Allah menjelaskannya melalui perumpamaan tersebut.
Tafsir ayat
Pada ayat tersebut manusia dan kehidupan dunianya diumpamakan seperti air hujan. Dengan perumpamaan itu al-Qur`an menunjukkan potensi dan kemampuannya yang tinggi. Apabila kemampuan ini dapat diaktualkan maka akan melahirkan berbagai macam penemuan, ciptaan dan ivovasi, menggunakan potensi-potensinya dalam kehidupan yang lebih baik dalam berbagai macam bidang dan aktivitas, memaksimalkannya sebanyak mungkin untuk menggapai tujuan-tujuan khusus. Hanya saja sebuah kejadian tiba-tiba terjadi menghancurkan seluruh harapan dan apapun yang ia miliki dalam hidupnya. Bahkan mereka sampai pada titik sekan-akan belum pernah berbuat apa-apa terhadap kehidupannya, belum pernah berbuat untuk jaminan masa depannya.
Kejadian-kejaidan ini merupakan azab ilahi. Ia telah mengkristal dalam internal badan manusia dan ia pun tunduk kepadanya. Sebagai contoh, kebekuan darah seseorang yang menjalar pada pembulu-pembulu darah hingga sampai ke jantung akan menyebabkan kematian jeringan-jaringan di dalamnya. Atau jika ia sampai pada otak, ia juga akan menyebabkan kematian syaraf-syaraf di dalamnya. Semuanya itu menyebabkan kelumpuhan sebagian anggota tubuh, atau bahkan mematikannya.
Yang paling sederhana dari itu ialah Allah Swt memerintahkan sel di antara sel-sel dalam tubuh manusia untuk berkembang biak dengan bentuk yang tidak diketahui. Dengan proses penambahan menakjubkan satu sel bisa berkembang menjadi dua sel, dua sel menjadi empat, empat menjadi delapan, delapan menjadi enam belas, dan demikian seterusnya yang berubah terus secara sekejap hingga batasan tidak tentu yang menyebar di seluruh tubuh sedikit demi sedikit sehingga membuat seseorang lumpuh. "lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin". Ia nampak seakan-akan telah mati semenjak beberapa tahunan, dan seluruh angan-angannya telah musnah semenjak saat itu.
Adzab lahi pun terkadang berupa kejadian diluar kendali manusia, seperti gempa bumi, angin topan, tabrakan meteor, badai dan lain sebgainya. Inilah perumpamaan di antara berbagai pristiwa yang kita saksikan sepanjang usia kita yang mengingatkan kita berhati-hati agar dunai tidak menipu kita dan agar kita tidak bergantung kepadanya, dan apalagi melakukan berbagai tindak kriminal untuk menggapai tujuan-tujuan duniawi yang sesaat.
Sudah selayaknya apabila kita merenungkan kembali lebih serius ayat mulia ini berserta perumpamaan-perumpamaannya dan kita jadikan sebagai lentera dalam menempuh perjalanan.
Sasaran-sasaran ayat
1. Ma`rifatullah
Sesungguhnya Allah dengan mengumpamakan kehidupan dengan tetesan-tetesan air hujan telah mengajarkan kita pelajaran-pelajaran makrifat (pengetahuan). Ia menanamkan keimanan kepada-Nya pada hati-hati kita. Ayat tersebut mengajarkan kepada kita sesungguhnya Allah dengan pelantara air yang jernih ini, air yang tidak berwarna dapat menciptakan berbagai macam warna berbeda.
Sesungguhnya bumi disirami dengan air yang sama (disirami dengan air yang sama 132), namun buah-buahan dan pohon tumbuh berbeda-beda. Dari air ini muculah buah-buahan yang paling manis, biasa-biasa, yang sangat pahit, serta bunga-bunga yang paling cantik dan lain sebgainya. Ini semua muncul dari air yang sama dan tanah yang sama. Sesungguhnya kekuasaan Allah sungguh sangat menakjibkan, namun sayangnya karena sudah terbiasa, kebiasaan itu mencegah dan menghalangi kita memikirkan kitab Allah yang berbicara ini.
2. Semua yang ada di alam adalah tercipta berdasarkan sebuah sistem tertentu
Sesungguhnya Allah Swt telah menjadikan air hujan sebagai sebab keberkahan dan perkembangan manusia. Ia dengan sendirinya apabila bertambah dari volume biasanya akan menyebabkan petaka dan bencana, dan apabila ia berkurang dari biasanya, ia akan menyebabkan kemarau dan kekeringan.
Hal ini merupakan pelajaran lain bagi manusia agar ia berlaku seimbang dan adil dalam berbagai dimensi hidupnya, dan menjauh dari sikap berlebihan.
Seseorang hendaknya tidak berlebihan (ekstrim) dalam permusuhan dan pertentangan. Untuk itu Islam mengajaran etika dalam berperang, sebuah ajaran berupa perintah-perintah lembut dan indah yang mencegah kaum muslimin berlaku berlebihan dalam permusuhan. Karena itu, seorang muslim adalah orang yang seluruh kehidupannya tersusun, tertata dan terperogram.
3. Perubahan nikmat menjadi bencana
Terkadang sesuatu yang pada mulaya memberikan kehidupan baik bagi seseorang (nikmat) berubah menjadi bencana dan kematian baginya, dan demikian itu atas perintah Allah Swt. Sesungguhnya air memberi seseorang kehidupan di dunia ini, namun terkadang ia berubah menjadi banjir yang menghanyutkan dan mematikan.
4. Air yang mengalir adalah air yang sehat, bersih dan enak
Adapun air yang diam, mengendap dan tercemar tidak akan layak diminum. Dalam kondisi seperti ini, air tidah hanya tidak memberikan kehidupan saja, bahkan menjadi penyebab pencemaran itu sendiri. Harta dan berbagai kekayaan pada dasarnya dihasilkan dari air, maka berarti air bisa menumbuhkan perkembangan perekonomian suatu negri apabila ia mengalir dan dimanfaatkan oleh orang-orang. Namun bila ia diam, terkonsentrasi dan mengendap di satu tempat, maka ia dapat menyebabkan kelesuan perekonomian suatu negri.
5. Tumbuhan beracun yang indah
Sejumlah tumbuh-tumbuhan nampak indah dan cantik seperti terlihat pada beberapa macam bunga, namun sebenarnya ia beracun dan membunuh. Untuk ini kita jangan sampai terpesona dengan tampilan luar sesuatu sekalipun itu indah, bahkan kita harus berfikir dan memperhatikan apa yang ada di dalamnya guna menyingkap hakekat sebenarnya, lalu menjatuhkan pilihan yang sesuai.
Penghujung ayat tersebut merupakan nasehat untuk bertafakkur, pujian kepada para ilmuan (ulama) dan para pemikir. Rosulullah Saw bersabda; gunakan kebahagiaan (hadhdh) mata-mata kalian dalam ibadah. Mereka bertanya; apa kebahagiaannya dalam beribadah wahai Rosulullah Saw? Beliau menjawab; memandangi mushhaf, memikirkan kandungannya dan mengambil pelajaran atas keajaiban-keajaibannya. 133
Maka fikirkanlah ayat-ayat al-Qur`an agar kalian tidak tertinpa bencana seperti bencana yang menimpa orang-orang seperti Namrud, Fir`aun dan Abu Lahab, sebagaimana juga kalian harus memikirkan sisi lain seperti kisah Sulaiman, Musa, Dawud dan lain-lain. Renungkan dan fikrikanlah keajabian-keajaiban ayat-ayat al-Qur`an.
Jangan kalian hanya mencukupkan diri dengan membacanya saja meskipun ini ada pahala dan balasannya, terutama pada bulan Ramadhan yang berkah, melainkan juga merenungkan dan memikirkannya.
Perumpamaan kedelapanbelas:
Orang Kafir dan Orang Mukmin
Allah Swt berfirman dalam surat Hud ayat ke 24 sebagai berikut; "Perbandingan kedua golongan itu (orang-orang kafir dan orang-orang mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan dapat mendengar. Adakah kedua golongan itu sama keadaan dan sifatnya? Maka tidakkah kamu mengambil pelajaran (daripada perbandingan itu)?".
Pengantar
Allah Swt membandingkan dalam perumpamana ini antara orang-orang kafir dan orang-orang mukmin. Salah satunya diumpamakan dengan buta dan tuli, dan yang lainnya dengan mendengar dan melihat. Demikian itu, karena iman dan taqwa memberi efek pendengaran dan penghilatan, sementara kekafiram, fanatisme, dan keras kepala akan menghalangi fung?s kedua anugrah ilahi ini.
Melihat kembali ayat-ayat sebelumnya
Ayat-ayat sebelumnya menjelaskan kondisi-kondisi orang mukmin dan kafir, karena itu kita harus melihat sekilas agar tafsir dan penjelasan ayat tersebut menjadi lebih jelas.
Perjalanan orang-orang kafir
Ayat ke 19 dari surat Hud menjelaskan kondisi orang-orang kafir sebagai berikut; "(yaitu) orang-orang yang menghalangi (manusia) dari jalan Allah dan menghendaki (supaya) jalan itu bengkok. Dan mereka itulah orang-orang yang tidak percaya akan adanya hari akhirat". Ayat ini menjelaskan tiga kondisi atau karakter orang kafir, yaitu;
1. Orang-orang kafir merintangi jalan Allah dan berusaha agar orang lain tidak masuk ke jalan ini.
2. Orang-orang kafir berharap dapat membengkokkan jalan kebenaran, atau ia berkeinginan menampakkan jalan kebenaran sebagai jalan bengkok, padahal jalan Allah-berdasarkan surat al-Hamd- adalah jalan yang lurus, tidak bengkok, tidak berlebihan, bahkan ia jalan yang datar dan seimbang.
3. Orang-orang kafir mengingkari ma`ad dan kehidupan setelah kematian. Hal ini nampak menjadi sebab utama kemunduran mereka. Demikian itu karena ketika mereka mengingkari ma`ad, mereka akan berusaha menunjukkan kebenaran sebagai bengkok (kesesatan) dan berusaha menghalangi orang lain sampai ke jalan ini.
Kemudian Allah Swt dalam ayat ke 22 dari surat yang sama berfirman: "Pasti mereka itu di akhirat menjadi orang-orang yang paling merugi". Yakni orang-orang kafir yang menghalangi orang lain sampai kepada jalan kebenaran dan menunjukkan jalan itu seakan-akan jalan yang bengkok, dan pada akhirnya mengingkari ma`ad, di akhirat nanti mereka adalah orang-orang yang paling merugi diantara semua orang yang merugi.
Perjalanan orang-orang mukmin
Ayat ke 23 dari surat Hud menganjurkan untuk mempelajari kelompok kedua (orang-orang mukmin). Allah Swt berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh dan merendahkan diri kepada Tuhan mereka, mereka itu adalah penghuni-penghuni syurga; mereka kekal di dalamnya". Ayat ini menjelaskan tiga karakter orang-orang mukmin sebagai berikut:
1 dan 2, beriman dan beramal shaleh. Dua karakter ini selalu disebutkan secara bersamaan dalam banyak ayat al-Qur`an, keduanya memang harus selalu bersamaan dan tidak mungkin dapat dipisah-pisahkan 134. Untuk itu seruan imam kepada orang-orang yang tidak mengamalkannya merupakan seruan hampa, dan pada hakekatnya mereka tidaklah beriman. Di sisi lain, orang-orang yang mengamalkan sendiri amal kebaikan tanpa seruan adalah orang-ornag beriman yang hakiki. Demikian itu karena mereka semua -sebagaimana kami jelaskan sebelumnya- bagaikan daun-daun dari satu pohon yang sama.
3. Karakter ketiga yang disandang orang-orang mukmin ialah akhbât yang berarti sebuah padang sahara yang luas. Kemudian dirumuskan terhadap beberapa karakter khusus manusia, dan kami di sini kami akan kemukakan tiga diantaranya;
a. Ia dipergunakan pada manusia yang memiliki ruh kerendahan hati, sebagaimana sahara yang luas terbentang bersikap rendah hati di hadapan air dan lapang dana menerimanya dan mengalirkannya ke seluruh titik sahara. Demikian juga ruh manusia yang tawadhu (rendah hati), maka ia akan mudah menerima kebenaran.
b. Kata makhbat (akhbât) sebagaimana ia diberlakukan untuk manusia yang tawadhu, ia pun diberikan kepada orang yang menyerahkan dirinya kepada Allah Swt. Yakni sebagaimana tanah yang membentang berlapang dada menerima hujan, demikian juga ruh seorang mukmin berlapang dada menerima kebenaran.
c. Kata ini diberlakukan pula kepada orang yang merasa tenang (thumaninah) dengan Allah Swt. Pada umumnya manusia ketika berjalan di padang sahara, ia akan berjalan dengan tenang tanpa rasa takut atau khawatir. Berbeda kalau ia berjalan di gunung-gunung dan lembah, langkahnya akan diserta kekhawatiran dan ketakutan. Seorang mukmin yang melangkah pada jalan penyembahan kepada Allah, maka langkahnya akan disertai ketenangan.
Atas dasar ini, orang-orang mukmin yang menyandang karakter-karakter keimanan, amal shaleh dan kerendahan hati, mereka adalah penghuni surga yang akan kekal menikmati berbagai kenikmatan di dalamnya.
Syarah dan tafsir
Allah Swt berfirman: "Perbandingan kedua golongan itu (orang-orang kafir dan orang-orang mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan dapat mendengar". Setelah Allah Swt menjelaskan kartakteristik-karakteristik kedua kelompok pada ayat-ayat sebelumnya, di sini ayat tersebut menjelaskan karakter masing-masing dari keduanya. Dikatakan bahwa orang kafir itu seperti orang buta dan tuli, dan orang mukmin seperti orang melihat dan mendengar.
Allah Swt berfirman; "Adakah kedua golongan itu sama keadaan dan sifatnya?". Sebuah pertanyaan yang bersifat penyangkalan. Keduanya tidak akan pernah sama, orang melihat jelas bukan orang buta, orang tuli jelas bukan orang mendengar. Demikian juga orang kafir bukanlah dan tidak akan pernah sama dengan orang mukmin. Tujuan utama ayat ini ialah perenungan dan pembandingan antara keduanya.
Agar bisa lebih memperdalam dan menyerap efek-efek keimanan kepada Allah dan kekuasan takberhingga Tuhan semesat alam, kita akan melakukan pengkajian nilai penting dan peran mata dan telinga dalam tubuh seseorang.
Mata merupakan ayat-ayat Allah pangling agung
Tidaklah diragukan lagi kalau mata merupakan tanda-tanda Allah Swt paling agung, bahkan bisa dikatakan termasuk tanda-tanda Allah paling menakjubkan yang dianugrahkan untuk membantu kita. Mata merupakan sebuah struktur yang sangat kompleks sekali, dan yang paling menakjubkan darinya, ia merupakan struktur yang terbentuk dari berbagai komponen sangat sederhana. Ia terbentuk oleh sejumlah otot dan lemak serta cairan-cairan sederhana. Hal ini cukup kiranya membantu menyingkap kekuasaan Allah Swt. Ia Maha Kuasa menciptakan struktur dan media sangat komplek dari bahan-bahan sangat sederhana.
Mata memiliki empat tingkatan istimewa dan terprinci. Masing-masing darinya berperan indevenden secara sempurna yang semuanya telah tersusun secara sangat lembut. Demikian juga Allah Swt telah menjadikan pada setiap tingkatan ini tugas-tugas khusus yang akan dijalaninya.
Tidaklah mungkin ditemukan di dunia kamera ada sebuah kamera poto otomatis seperti dilakukan oleh mata. Dalam oprasionalnya ia bekerja tanpa membutuhkan pengontrol. Secara otomais ia mengatur dirinya sendiri untuk mengambil gambar jarak jauh atau dekat dalam tempo waktu yang sesingkat mungkin, sementara untuk mengambil gambar pada jarak jauh kamera poto membutuhkan waktu pengaturan yang relatif cukup lama. Apabila kita ingin mengambil gambar sensitif atau ngjelimet, mungkin kita akan membutuhkan waktu satu jam untuk pengaturannya.
Demikian juga terkait dengan pengaturan cahaya. Apabila kita -misalnya-berada di tempat-tempat terang, lalu listrik dimatikan sehingga berubah menjadi gelap, maka pupil mata akan melebar dengan sendirinya agar penglihatannya bisa menyingkap dan menjangkau sasarannya. Dalam mata pun terdapat sejumlah otot yang mampu bergerak ke enam arah; ke kanan, kiri, belakang, depan, atas, dan bawah.
Di antara keajaiban lain pada mata ialah cairan yang disebut air mata. Air mata merupakan makanan bagi mata, sebagimana juga berperan mencuci dan membercihkannya dari segala macam kotoran yang menempelinya. Masih termasuk keistimewaan mata ialah ia mengatur sendiri problem-problem dan kekurangan yang dihadapinya.
Apakah di sana ada cipaan dari berbagai ciptaan manusia yang memiliki segala keistimewaan ini? Kita akan berpendapat dan menyimpulkan bahwa cukuplah dengan mata ini untuk menetapkan kalau di sana ada Sang Pencipta. Bagaimana mungkin bisa dibenarkan bahwa alam yang serba kekurangan ini dapat mencipta produk agung seperti ini?
Telinga adalah ayat Allah lainnya
Meskipun struktur telinga tidak dapat dikiaskan kepada struktur mata pada derajat yang sama dari sisi kondisi dan kerumitannya, hanya saja ia sama-sama menjelaskan kekuasaan Allah Swt. Sesungguhnya telinga tersusun dari bagian luar, dalam dan tengah. Masing-masing bagian tersebut berada pada posisi tersendiri dan menjalani tugas-tugasnya sendiri secara khusus dan indevenden. Di sana terdapat satu tulang yang cara kerjanya sama seperti raket atau bet. Di sana sebgaimana pada raket terdapat gendrang telinga yang akan bergetar dengan pukulan-pukulan suara. Selanjutnya getaran-getaran ini akan ditransfer ke ke otak melalui perantara sejumlah urat saraf, dan di sana ia ditafsirkan maknanya. Yang menakjubkan juga di sini, telingan dapat menentukan arah sebuah suara.
Sesungguhnya mata dan telinga merupakan dua anugrah ilahi yang Allah berikan kepada kita. Keduanya sangat menakjubkan dengan kemampuannya mencatat berbagai macam informasi dan data. Masing-masing dari keduanya dari sisi ilmu kedokteran memiliki berbagai keistimewaan, bahkan pada mata sendiri terkandung berbagai macam keistimewaan.
Mata dan telinga merupakan media penting pengetahuan
Di antara media terpenting memperoleh pengetahuan (makrifat) adalah mata dan telinga. Ketika manusia lahir, ia kosong dari pengetahuan apa pun. "Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur". Seseorang baru bisa memperoleh pengetahuan ketika alat pendengaran dan penglihatan mulai berfungsi.
Pengetahuan-pengetahuan experimental diperoleh manusia memalui media indra penglihatan. Setelah melihat dengan matanya seseorang dapat memperoleh berbagai macam kesimpulan pengetahuan. Penglihatannya inilah yang mengantarkannya kepada berbagai informasi ke dalam otaknya. Adapun ilmu-ilmu tekstual (naqli) -terutama ilmu-ilmu yang berasal dari wahyu Allah-, ia sampai kepada manusia melalui media pendengaran (telinga). Secara pasti ilmu-ilmu rasional pada dasarnya bergantung pada ilmu-ilmu indrawi (empirik). Yakni apapun yang tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah dilihat oleh mata, akal pun tidak mungkin bisa menangkapnya. Demikian itu karena asas-asas pengetahuan rasional adalah hasil dari proses penurunan dan generalisasi hasil-hasil pengindraaan. Untuk itu, apabila di sana ada seorang manusia dewasa yang tuli dan buta -ia pun menjadi bisu- standar pemahamannya akan terlihat pada standar pemahaman anak usia lima tahun, termasuk akan diketahui jika ia memiliki standar kecerdasan seperti kecerdasan Ibn Sina. Demikianlah manusia jika kehilangan fungsi keduanya pada usia ini, berarti ia kehilangan dua pondasi dasar di antara perangkat-perangkat pengetahuan rasional; penglihatan dan pendengaran.
Seorang kafir kehilangan perangkat-perangkat pengetahuan
Berdasarkan ayat tersebut, seorang kafir adalah orang yang tuli dan buta. Artinya ia tidak memiliki perangkat pengetahuan, atau perangkat-perangkat ini hilang darinya sehingga ia tidak dapat mengetahui apapun dari cahaya keimanan. Adapun seorang mukmin -dengan cahaya keimanannya- dapat menggunakan indera pendengaran dan penglihatan secara maksimal sebagai media mendapatkan pengetahuan.
Kenapa seorang kafir buta dan tuli
Sesungguhnya karakter yang dipakai dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa kebutaan dan ketulian disebabkan oleh kekufuran seseorang yang membuatnya kehilangan keduanya. Allah Swt berfirman; "Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat" .135
Sesungguhnya sikap keras kepala dan tidak mau tunduk kepada Allah Swt serta sufat-sifat rendahan lainnya menyebabkan hilangnya kemampuan orang-orang kafir memahami kebenaran.
Imam as-Sajjad a.s berkata dalam do`a irfani Abu Hamzah Ats-Tsamâlî; "Sesungguhnya kamu tidak akan terhalang dari Penciptamu kecuali oleh amal-amalmu".
Atas dasar do`a ini, sesungguhnya amalan-amalan buruk seseorang adalah penghalang yang akan menghalainya dari Allah. Dalam redaksi lain kata amal diganti dengan harapan-haraman (âmâl) sehingga berarti bahwa harapan-harapan akan menghalangi seseorang dari berbagai hakikat dan pengetahuan-pengetahuan ilahiyah.
Ketika keimanan nampak pada seseorang, maka berbagai penghalang seperti kesombongan, ego, dan kebodohan akan hilang sehingga setelah itu segala sesuatu akan nampak jelas baginya. Demikian itu seperti digegaskan oleh firman-Nya Swt dalam surat al-Baqarah ayat ke 257: "Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya".
Bagaimana cara menghilangkan hijab?
Bagaimana kita dapat memiliki mata dan telinga qur`ai? Bagaiamna kita dapat memiliki mata yang dapat melihat sebuah hakikat? Berdasarkan pesan ayat tersebut, hijab-hijab akan hilang jika kita menghilangkan dari diri kita hijab kebodohan, panatisme, dan keras kepala sehingga kita dapat melihat apa yang dilihat para wali Allah.
Kita harus menjadi orang mukmin
Sebelumnya kami telah sebutkan tanda-tanda orang mukmin dalam berbagai riwayat Ahlul Bayt a.s. dan untuk lebih memperjelas lagi kami di sini akan sebutkan dua contoh;
1. Rosulullah Saw bersabda: "Tidaklah beriman seorang hamba sehingga ia mencintai orang lain sebagimana ia mencintai dirinya".136
2. Dalam riwayat lain disebutkan Imam Ash-Shadiq a.s berkata: "Sesungguhnya diantara hakikat iman ialah kamu mengikuti kebenaran....." .137
Berdasarkan riwayat ini, sesungguhnya hakikat dan kejujuran adalah tanda diantara tanda-tanda seorang mukmin. Ia harus berlaku dalam berbagi sisi kehidupan, termasuk para peraktisi politik di sebuah negara. Mereka harus menjalani berbagai aktivitasnya dalam berpartai dan berkoalisi politik berdasarkan hakikat, kejujuran dan menjauhi bohong. Apabila mereka sampai pada sebuah tahap dimana mereka lebih memilih yang tidak baik dari yang baik didalamnya.
Demikian itu karena mereka tidak memahami hakikat iman, dan adapun klaim mereka terhadap keimanan adalah kebohongan belaka, tidak lebih.
Ya Allah, berilah seruluruh kaum muslimin keimanan yang sempurna.
Perumpamaan Kesembilanbelas:
Mereka yang Berdo`a Kepada Selain Allah
Allah Swt berfirman dalam surat ar-Ra`d ayat ke 14: "Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar. Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan doa (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka".
Pengantar;
Ayat tersebut menjelaskan masalah do`a dan tawasul. Ia berusaha menjelaskan kepada orang-orang kepada siapa ia harus membentangkan tangannya saat berdo`a dan saat bertawassul. Kemudian ayat tersebut mengumpamakan orang-orang yang membentangkan tangannya dan memohon kebutuhan-kebutuhannya kepada selain Sang Pencipta dengan orang yang membentangkan tangannya ke dalam air agar sampai air tersebut ke dalam mulutnya.
Pertanyaan;
Sebelum mulai masuk pada syarah dan tafsir ayat tersebut, terlebih dahulu harus bertanya tentang sebab kenapa tidak melirik kembali sejumlah ayat perumpamaan lain yang sama-sama termuat dalam surat ar-Ra`d, seperti ayat ke 32 dari surat al-Maidah yang menggambarkan membunuh satu orang bagaikan membunuh manusia seluruhnya, dan membiarkan hidup satu orang bagaikan membiarkan hidup manusia seluruhnya. Di dalamnya terdapat jenis perumpamaan tertentu, maka kenapa tidak ada dalam pembahasan.
Jawaban;
Di dalam al-Qur`an terdapat banyak sekali perumpamaan (matsal) dan persamaan (tasybih), namun di sini kita membahas perumpamaan-perumpamaan Qur`ani saja, dan tidak persamaannya.
Persamaan (tasybih) adalah menglihat atau mengamati sesuatu dengan sesuatu yang lain, seperti dikatakan; Hasan seperti singa. Perkataan ini adalah tasybih dan bukan matsal. Adapun perumpamaan (matsal) ialah personifikasian dan penjelasan suatu kisah, kelompok, kasus, atau tema rasional yang tidak mudah dipahami manusia. Sebagaimana ketika Allah Swt hendak menjelaskan kebenaran dan keburukan (hak dan batil) yang keduanya bukan permasalahan indrawi.
Allah Swt mengumpamakannya dengan air hujan, banjir dan buih yang semuanya terkait dengan air. Kebenaran diumpamakan seperti air dan dan kabatilan seperti buih, mengingat buih sekalipun ia nampak, muncul dan meningggi, namun ia tetap kosong dan dengan segera akan menghilang. Dengan penjelaskan ini kita dapat membedakan masing di antara keduanya; matsal dan tasybih.
Kilat dan awan lebat
Untuk bisa menyingkap lebih baik perumpamana tersebut, kita terlebih dahulu harus menjelaskan secara ringkas ayat 12 dan 13 dari surat ar-Ra`d. Pada ayat ke 12 dari surat ar-Ra`d Allah Swt berfirman sebagai berikut; "Dia-lah Tuhan yang memperlihatkan kilat kepadamu untuk menimbulkan ketakutan dan harapan, dan Dia mengadakan awan mendung".
Kilat merupakan bukti diantara tanda-tanda keagungan Allah Swt. Ia menanamkan harapan pada diri seseorang, sebagaimana juga ia menanamkan rasa takut dan khawatir. Kilat memberi kabar gembira kepada orang-orang akan turunnya anugrah ilahi, hujan. Demikian itu karena kilat dan halilintar menjadi sebab turun hujan yang lebat.
Bagaimana proses kilat menyebabkan turun hujan
Pertemuan awan-awan yang membawa arus-arus listrik yang saling bertumburkan menimbulkan hawa panas hingga lima belas ribu derajat. Derajat panas seperti ini mampu menggerakkan awan yang mengelilinginya, dan dengan itu maka tekanann udara menjadi ringan dan terjadilah proses turun hujan. Di sisi lain kilat mengkristal berbentuk petir sehingga dapat membakar hutan, perkampungan, orang, binatang, dan lahan-lahan pertanian. Sisi inilah yang menyebabkan ketakutan orang-orang.
Allah Swt berfirman: "dan Dia mengadakan awan mendung". Banyak orang menggambarkan bahwa awan tidak bertolakbelakang dan berjalan secara serempak, padahal sebenarnya tidaklah demikian. Satu dengan yang lain awan sering kali berjalan bersebrangan.
Dengan terjadinya benturan antara awan, ia terbagi menjadi beban yang berat dan ringan. Beban yang berat berada di udara yang paling dekat ke bumi, sementara beban yang ringat mengapung diketinggian langit yang jauh dari bumi. Karena kandungan air dan kelembaban pada beban yang berat, ia bergerak mendekat ke bumi dan tidak bisa lagi naik meninggi ke udara yang lebih jauh.
Kilat merupakan bukti keagungan Allah.
Allah Swt berfirman dalam surat ar-Ra`d ayat ke 13 sebagai berikut; "Dan guruh itu bertasbih dengan memuji Allah, (demikian pula) para malaikat karena takut kepada-Nya, dan Allah melepaskan halilintar, lalu menimpakannya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan mereka berbantah-bantahan tentang Allah, dan Dia-lah Tuhan Yang Maha keras siksa-Nya".
Ayat tersebut menjelaskan dua tema, pertama adalah guruh, dan kedua halilintar. Dan karena guruh telah kita singgung dalam pembicaraan sebelumnya, di sini kita hanya akan bicara tentang halilintar saja.
Sebelumnya telah kami katakan bahwa benturan awan yang mengandung aliran listrik yang berbeda melahirkan percikan cahaya dan suara. Cahayanya di sebut kilat dan suaranya disebut guruh. Keduanya; cahaya dan suara terjadi pada satu masa yang sama, namun mengingat kecepatan cahaya berkali-kali jauh lebih cepat dari suara, maka cahaya nampak datang lebih dahulu dan kemudian suara.
Meskipun fenomena terjadinya guruh (geludug) nampak sederhanya, ia dikategorikan sebagai tanda diantara tanda-tanda kekuasaan Allah yang terbesar, yang memiliki efek secara global kepada kehidupan seluruh keberadaan. Para sarjana terkait dengan ini telah menyebutkan beberapa efek geluduh dan kilat, dan diantaranya akan kami sebutkan di sini;
1. Derasnya hujan adalah manfaat pertama dari guruh dan kilat. Sebuah manfaat yang berlaku global bagi seluruh keberadaan (maujûdât), baik manusia, binatang, tumbuhan, maupun benda.
2. Guruh dan kilat berfungsi membunuh wabah tanaman. Demikian itu karena hawa panas yang dihasilkan dari dua fenomena ini menyebabkan oksigenasi air (pensenyawaan dengan zat asam, penej). Yakni melahirkan air beroksigen yang tersusun dari dua molekul oksigen, satu molekulnya berubah bersama dua molekul hidrogen. Di antara manfaat air ini ialah sebagai bahan pensuci dan dapat membunuh wabah-wabah berbahaya. Air seperti ini tersedia di berbagai apotik dan dipergunakan untuk tujuan membersihkan. Maka setiak kali volume guruh dan kilat bertambah, maka bertambah pula jumlah kematian wabah-wabah ini.
Manfaat lain dari guruh dan kilat ialah memproduksi berbagai macam zat pupuk bagi tumbuhan. Dua fenomena ini dalam setiap tahunnya telah memproduksi puluhan milyar pupuk berkwalitas, yang baik dan bermanfaat pada semua tumbuh-tumbuhan.
Proses produksi pupuk alami ini bahwa hawa panas yang berasal dari guruh dan kilat menyebabkan air bercampur dengan molekul-molekul karbon sehingga darinya dihasilkan oksigen karbon, dan ketika oksigen ini turun ke bumi dan bercampur dengan tanah, ia menghasilkan pupuk yang bagus dan bermanfaat besar.
Memang benar sekali, guruh dan kulat benar-benar sebuah tanda-tanda diantara tanda keagungan Allah Swt, dan yang paling menakjubkan ialah Allah menyingkapkan rahasia ini pada saat ia belum terpikirkan oleh pikiran manusia.
Dan berdasarkan ayat tersbeut, gurun pun memuji dan bertasbih kepada Allah Swt. Tasbih di sini berarti pensucian Allah dari aib dan kekurangan apapun. Bukankah terbunuhnya wabah-wabah penyakit oleh keduanaya merupakan bukti pensucian kepada Allah dari segala aib dan kekurangan? Bukankah hal ini meruapkan bentuk tasbih tertentu kepada Allah Swt?
Sesungguhnya guruh memuji Allah Swt atas sifat, keagungan dan keindahaannya. Bukankah memberi makakan (pupuk) kepada tumbuh-tumbuhan merupakan sejenis pujian dan sanjungan kepada Allah pada alam materi dan tumbuhan?
Tidak diragukan lagi kalau ayat 12 dan 13 dari surat ar-Ra`d ini menjelaskan poin ini dan mengkategorikannya sebagai bentuk keagungan Sang Pencipta.
Kesimpulannya bahwa kedua ayat menunjukkan beberapa diantara ayat ilahiyah yang penting, yaitu guruh, kilat, hujan dan petir.
Syarah dan tafsir
Allah Swt berfirman; "Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar". Para mufassir berbeda pandangan tentang maksud kalimat ini. Sebagian mereka berbendapat bahwa ia berarti tauhid, dan tauhid adalah khusus bagi Allah Swt. Sebagian yang lain meyakini bahwa ia berarti al-Qur`an al-Majid. Yakni ia dimaksudkan untuk kitab ilahi ini (Qur`an).
Namun mayoritas mufassir berpendapat bahwa ia berarti do`a. Yakni ketika seseorang ingin agar do`anya dikabulkan, maka ia harus berdo`a kepada Allah secara tulus. Tidak ada selain Allah yang dapat menyelesaikan segala permasalahannya, dan Dialah satu-satunya yang kuasa untuk itu.
Sebagai bukti atas pandangan ketiga ini, ialah penghujung atas tersebut yang akan kita sebutkan. Penghujung ayat tersebut mengatakan; "Dan doa (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka".
Sebab kesia-siaan do`a orang-orang kafir ialah karena mereka berdo`a kepada seseorang yang tidak kuasa menjawabnya, bahkan untuk menjawab kebuthan dirinya sendiri. Ia tidak bisa memberi manfaat apa pun kepada dirinya, dan apalagi kepada orang lain selainnya.
Allah Swt berfirman: "Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya". Bagian inilah yang menjadi bukti kunci untuk perumpamaan kedua puluh di atas.
Sesungguhnya mereka yang berdo`a kepada selain Allah dan bermaksud menyembah dan berperantara kepada berhala-berhala agar menyelesaikan permasalahan-permasalahan mereka, maka sampai kapan pun tentu permasalahan mereka tidak akan terselesaikan. Perumpamaan orang seperti ini bagaikan orang yang membentangkan tangannya untuk mengambil air dan meminumnya, maka dengan cara seperti ini ia tidak selamanya tidak akan pernah bisa meminumnya.
Terdapat perbedaan pandangan para mufassir terkait tafsiran kalimat "seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya". Di sini akan kami sebutkan beberapa pandangan mereka sebagaimana berikut;
1. Maksudnya ialah seseorang yang kehausan dan ingin menghilangkan rasa hausnya, lalu dia bermaksud pergi ke sebuah sumur tanpa tambang dan tanpa ember, sementara dasar sumur itu sangat dalam. Lalu orang ini membentangkan tangannya ke subur, namun tangan itu tidak bisa sampai kecuali hanya kurang dari satu meter saja. Orang seperti ini tentu tidak akan pernah bisa mencapai tujuannya dan tidak akan bisa menghilangkan rasa hausnya.
2. Maksud darinya ialah seseorang yang berdiri di bibir sebuah sumur dan menunjuk (memebri isyarat) ke sebuah air dengan harapa air akan naik sendiri dan ia bisa minum darinya. Tentu saja air tidak bisa sampai kepadanya dengan hanya isyarat saja, melainkan dibutuhkan sebuah alat untuk menaikkannya. Memang benar do`a orang-orang kafir kepada berhala-berhala itu adalah sebuah kesia-siaan, sebagaikan kondisi orang seperti ini.
3. Orang yang membentangkan kedua tangan dan tidak menikuknya sehingga ia tidak dapat menciduk air dengan keduanya. Orang ini akan pergi menuju bibir pantai dan menjulurkan tangannya, seperti kondisi orang yang membuka dan membentangkan tangan. Hal ini tidak akan pernah mendatangkan air, ia tetap akan jauh dari sumber air dan tetap dalam kehausan.
Kami melihat bahwa tafsiran yang pertama jauh lebih baik dari kedua tafsiran lainnya, meskipun ketiganya bisa jadi sama-sama benar dan menjelaskan satu penjelasan tersendiri, karena penggunaan satu kata dapat berfungsi untuk beberapa makna .138
Berdasarkan paparan kami di atas dalam upaya menyelesaikan berbagai permasalahan, hendaknya kita tidak mengetuk pintu lain selain pintu Allah Swt, bahkan kita perlu sejak semula bermaksud mengetuk pintu-Nya. Dialah Sang Pencipta, Pemberi rizki, Menghidupkan dan Mematikan. Dengan kuasanya Ia dapat menyelesaikan segala permasalahan, sementara selain-Nya tidak berarti apa-apa dalam kuasa-Nya. Demikian itu karena tidak ada satu wujud pun kecuali ia butuh kepada Allah Yang Maha Kaya. Segala sesuatu butuh kepada-Nya. Segala sesuatu adalah lemah, sementara Ia adalah kuasa. Segala sesuatu adalah lemah, sementara ia adalah kuat dan kuasa secara mutlak. Karena itu, tidak hanya beribadah kepada berhala saja yang tidak bisa dibenarkan, bahkan segala kebergantungan kepada selain-Nya.
Sasaran-sasaran ayat
1. Apakah bertawassul kepada orang-orang maksum adalah syirik
Dengan kata lain, apakah do`a dan tawasul-tawsul kepada para Imam tecakup dalam maksud ayat tersebut, Allah Swt melarang dan memerintahkan untuk menjauhinya? Kami akan menjawab bahwa menghadap kepada orang-orang agung seperti mereka tidaklah berarti kita memohon kepada mereka secara langsung untuk menyelesaikan berbagai permasalahan, melainkan kita memohon agar mereka memberikan syafaatnya di sisi Allah dan memohonkan agar Allah Yang Maha Kuasa secara mutlak memberikan jalan keluwarnya. Demikian itu karena kita meyakini bahwa jika mereka dapat berbuat sesuatu, maka itu atas seizin-Nya, tidak lebih. Adapun orang-orang wahabi yang mengalamatkan kesyirikan dan kekufuran kepada kami atas perbuatan tadi, ini adalah sebuah kesalahan. Mereka sungguh tidak mengerti arti hakiki kemusyrikan dan kekufuran, sebagaiamana juga mereka tidak mengerti tawasul yang ada pada syi`ah.
Dalam perjalananku ke Makkah dan Madinah pada tahun 1419 dengan tujuan menunaikan umrah, saya ikut shalat jum`at pada bulan Sya`ban tanggal 22 di masjid al-Haram. Aku pun mendengarkan apa yang dikatakan oleh khatib. Yang aneh di sini, ia membaca teks pidato yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Ia persis tidak bisa menambah atau menguranginya walau satu kalimat pun, dan aku pun jadi teringat nuansa kebebasan yang dinikmati para khatib di beberap kota di Iran dan tempat-tempat lain. Al-hasil di tenagh-tengah khutbahnya ia menyerang orang-orang yang bertawassul di kuburan-kuburan suci dengan syirik dan kufur. Tentu kami tidak diam bergitu saja, kami menulis sebuah pernyataan yang dialamatkan kepada pemuka Saudi atas tuduhan-tuduhan khatib ini.
Mereka yang bertawassul dan berdo`a tidaklah menganggap para wali Allah sekutu bagi Allah, bahkan mereka adalah penyampai syafaat-Nya. Dengan kata lain, keyakinan kami ialah pembuktiaan terhadap ayat 110 dari surat a-Maidah yang berbicara tentang nabi kita Al-Masih a.s. Allah Swt berfirman: "Ingatlah), ketika Allah mengatakan: "Hai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku menguatkan kamu dengan ruhul qudus. Kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan sesudah dewasa; dan (ingatlah) di waktu Aku mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat dan Injil, dan (ingatlah pula) diwaktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan ijin-Ku, kemudian kamu meniup kepadanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan (ingatlah) di waktu kamu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu Aku menghalangi Bani Israil (dari keinginan mereka membunuh kamu) di kala kamu mengemukakan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir diantara mereka berkata: "Ini tidak lain melainkan sihir yang nyata". Dalam ayat ini, menciptakan, menghidupkan dan memberi kesembuhan dinisbatkan kepada al-Masih a.s, namun semuanya berjalan atas seizin Allah Swt .139
Inilah pandangan kelompok syi`ah sebagaimana disebutkan ayat di atas. Orang-orang syi`ah meyakini bahwa sosok-sosok agung dan para wali Allah bisa berbuat banyak sesuatu atas seizin Allah yang sulit dilakukan orang secara umum. Mereka pun dapat memberi syafaat kepada hamba-hamba Allah untuk menyelesaikan masalah-masalah mereka. Atas dasar ini do`a dan tawasul orang-orang syi`ah tidak termasuk syirik atau kufur.
Bersamaan dengan seluruh penjelasan tadi, maka kami berpandangan bahwa orang yang mengatakan syirik dan kufur kepada syi`ah karena do`a dan tawasulnya, berarti ia pun telah mengalamatkan syirik dan kufur kepada al-Masih a.s.
Dari pembahasan ini pun kita dapat menyimpulkan bahwa mukjizat terkadang tidak hanya dihasilkan dengan do`a seorang nabi dan dengan pengabulan Allah secara langsung, terkadang juga terjadi secara langsung dari seorang nabi atau wali atas seizin Allah Swt, seperti mukjizat pembelahan bulan yang dilakukan Rosululullah Saw 140. Hal ini tidaklah termasuk fenomena asing.
2. Berbagai macam bentuk penyembahan berhala
Penyembahan berhala memiliki sejarah panjang dan bentuk yang beragam. Terkadang dalam bentuk berhala yang dibuat oleh manusia dari batu, kayu hingga makanan, lalu kepadanya seseorang bersujud dan beribadah.
Pada suatu masa, orang-orang musyrik memilih wujud-wujud bendawi yang mereka jadikan berhala sembahan. Sebagian mereka memilih matahari sebagai sembahanya, dan sebagian lain memilih bintang-bintang dan bulan 141, bahkan sebagian lainnya memilih menyembah sungai dan danau-danau penting, seperti sungai Nil dan danau Sâwat di Iran. Danau Sâwat pernah mengalami kering/surut dan api sembahan di Persia padam saat kelahiran Rosulullah Saw 142, karena keduanya menjadi salah satu tempat penyembahan orang-orang.
Di beberapa pelosok dunia sebagian orang ada yang menyembah pohon, terutama pohon cemara yang semenjak lama sudah dikenal sebagi tempat ibadah sekelompok masyarakat. Dari sini beberapa mufassir meyakini bahwa ashâbul aikah adalah mereka yang menyembah pohon cemara. Mereka adalah sumber khurafat atau tahayul pada tiga belas abad pertama kalender syamsiyyah.
Pada masa tertentu ada orang-orang yang menjadikan binatang sebagai tuhannya, sayangnya bentuk ibadah seperti ini masih ada di beberapa wilayah India.
Sebagian lainnya ada yang mentuhankan beberapa sosok manusia, sebagaimana terjadi pada Fir`aun dimana sebagian orang menyembahnya sebagai tuhan.
Dalam hal ini Al-Qur`an telah mengutifkan perkataan Fir`aun sendiri sebagai berikut; "Dan berkata Fir'aun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta". Ada juga sekelompok ornagyang telah mentuhankan para malaikat.
Seorang sejarahwan mengatakan bahwa segala sesuatu di alam mini pernah dijadikan sebagai tuhan. Ia disembah pada masa tertentu yang tidak kita ketahui, dan pada masa-masa lain ia tidak lagi dituhankan.
Alhasil, penyembahan berhala-berhala ialah berpaling kepada selain Allah Swt dan lalai dari Tuhan semesta alam. Salah seorang ulama pernah mengatakan bahwa apapun yang dapat memalingkanmu dari Allah adalah berhalamu. Dari sini, harta kekayaan, anak-anak, perempuan, teman, jabatan dan apapun yang melalaikan kita dari Allah dikategorikan sebagai berhala.
Al-Qur`an telah menghapus penyembahan atas segala sesuatu selain Allah dan menyatakan ketidaklayakan beribadah kepada selain-Nya. Sesungguhnya semua makhluk adalah fakir dan butuh serta bergantung pada pemberiaan-Nya pada setiap saat dan tempat, pada masa awal penciptaan hingga sepanjang masa hidup.
Perumpamaan kebutuhan seseorang kepada Allah seperti kebutuhan lampu kepada sumber listrik. Dan sebagaimana lampu membutuhkan sumber listrik setiap saat, demikian juga seorang manusia selalu membutuhkan curahan rahmat Allah pada setiap saatnya sepanjang ia hidup.
Dengan kata lain, pada setiap saat dari umurnya ia selau dicpta dari baru. Allah Swt berfirman: "Setiap waktu Dia dalam kesibukan "143. Akan lebih jelas lagi bila hal itu kita tafsirkan dengan konsep gerak substansial (harakah jauhariyah).144
Do`a dalam pandangan al-Qur`an dan riwayat
Sesungguhnya do`a merupakan masalah penting sekali yang secara luas dan gamblang telah dipaparkan dalam al-Qur`an dan riwayat para maksum a.s. Dalam tema ini terdapat banyak sekali bahasan dan pertanyaan yang diantaranya akan kami ulas di sini;
1. Apa falsafah sebua do`a? Kalau memang kita berhak mendapatkan jawaban atas berbagai kebutuhan, maka Allah yang Maha mengetahui dengan yang lahir dan yang batin akan menjawab kebutuhan-kebutuhan tersebut tanpa perlu kita berdo`a kepada-Nya. Dan kalau memang kita sudah diponis tidak akan mendapatkan jawaban, maka Allah pun tidak akan pernah menjawab kebutuhan-kebutuhan itu, baik kita berdo`a atau tidak. Di sini do`a tidak berperan sama sekali.
Dengan kata lain, andaikan memang kita berhak mendapatkan kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka dengan sendirinya Allah akan memberikannya kepada kita tanpa perlu lagi berdo`a, dan kalau tidak maka Ia pun tidak akan memberinya sekali pun kita berdo`a. lalu apa falsafah do`a dan apa pula peranannya?
2. Apa yang menjadi syarat dikabulkannya sebuah do`a? Apa yang harus kita lakukan sehingga do`a kita dikabulkan Alah Swt?
3. Apa saja yang dapat menghalangi terkabulkannya do`a? Kenapa beberap ado`a tidak memperoleh jawaban, padahal telah dilakukan beberapa kali?
4. Do`a apa yang paling buruk?
Doa merupakan ibadah paling utama
Dapat disimpulkan dari beberapa ayat dan riwayat bahwa keberadaan do`a tidakalah hanya dihitung sebagai ibadah saja, bahkan ia dihitung sebagai ibadah yang paling utama. Uutuk ini akan kami sebutkan tiga ayat al-Qur`an dan enam riwayat dari para maksum a.s yang terkait dengannya;
1. Allah Swt berfirman dalam surat Gâfir (al-Mukmin) ayat ke 60 sebagai berikut; "Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan
Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina".
Pada bagian awal ayat ini mengusung tema do`a, dan pada bagian akhir mengusung tema ibadah.
Kenapa al-Qur`an menggambarkan do`a sebagai ibadah? Sebagian ulama berpendapat bahwa ibadah pada makna dasarnya adalah do`a itu sendiri, karena itulah beberapa riwayat menggambarkan do`a sebagai inti ibadah. 145
2. Allah Swt berfirman dalam surat al-Furqan ayat terakhir ayat ke 77 sebagai berikut: "Katakanlah (kepada orang-orang musyrik): "Tuhanku tidak mengindahkan kamu, melainkan kalau ada ibadatmu. (Tetapi bagaimana kamu beribadat kepada-Nya), padahal kamu sungguh telah mendustakan-Nya? karena itu kelak (azab) pasti (menimpamu)".
Gambaran ini "Tuhanku tidak mengindahkan kamu" yang berarti tidak akan ada perhatian Tuhan kepada kalian jika kalian tidak berdo`a, tidak pernah dipakai dalam term ibadah-ibadah lain seperti haji, puasa dan jihad serta lain-lainnya. Ia hanya dipakai untuk do`a saja. Ini berarti secara mutlak bahwa yang menjadikan Allah perhatian dan peduli terhadap kalian adalah do`a. Maka perhatikanlah ibdadah ini dan nilai ketinggiannya.
3. Allah Swt berfirman dalam surat al-Baqarah ayat ke 186 setelah berbicara tentang hukum-hukum dan keutamaan bulan Ramadhan yang berkah; "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran".
Tidaklah diragukan bahwa gambaran ayat berikut "Dan Kami lebihdekat kepada kalian dari urat nadi (kamu sendiri) 146" menunjukkan kedekatan Sang Pencipta kepada makhluk. Inilah gambaran paling indah terkait tema kita ini.
Atas dasar ini semua, kita akan ditunjukkan oleh ayat-ayat tersebut bahwa do`a dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang amat penting, dimana peranannya sebagai ibadah yang akan menjadikan Tuhan perhatian kepada seseorang, dan peranannya sebagai wasilah seorang hamba mendekatkan diri (bertaqarrub) kepada Kekasihnya.
Do`a dalam riwayat
Telah saya katakan sebelumnya, banyak sekali riwayat yang menyajikan permasalahan-permasalahan do`a, dan disini kami akan sebutkan enam darinya sebagai berikut;
1. Rosulullah Saw bersabda; "Do`a adalah senjata seorang mukmin, tiang agama, dan cahaya langit dan bumi" .147
Memang benar, do`a adalah ibadah yang mudah, namun berdasarkan sabda Rosulullah tadi ia memiliki posisi tinggi di sisi Allah Swt, dan sayangnya orang-orang lalai dari itu karena kemudahan dan kesederhanaannya.
2. Amirulmukminin a.s berkata: "do`a adalah pintu rahmat dan cahaya dalam kegelapan"148. Do`a adalah pelita di dunia dan di akhirat.
3. Pada riwaat lain Rosulullah Saw bersabda: "Seluruh amal kebaikan adalah setengah dari ibadah, dan setengahnya lagi adalah do`a" 149.
4. Imam ash-Shadiq a.s berkata: "Perbanayklah berdoa, karen aberdo`a merupakan pintu setiap rahmat dan keberhasilan dalam setiap kebutuhan. Tidaklah dapat digapai sesuatu yang ada disisi Allah kecuali dengan do`a, dan tidaklah sebuah pintu lebih sering diketuk kecuali akan lebih sering pula ia dibukakan untuk pengetuknya" 150.
Untuk itu, janganlah seseorang berputus asa dan berhenti berdo`a ketika do`anya belum dikabulkan, karena Allah ingin membersihkan hatinya, mengajar dan mendidiknya melalui melalui do`a tersebut.
5. Imam Ash-Shadiq a.s pernah mensifati do`a dengan bentuk seperti ini: "Sebaik-baiknya ibadah adalah do`a" 151.
6. Imam Ali bin Musa ar-Ridha a.s berkata: "Hendaklah kalian berpegang pada senjata para nabi. Dikatakan: Apakah senjata para nabi itu? Beliau menjawab: do`a" 152.
Dari ayat-ayat dan riwayat di atas dapat disimpulkan bahwa do`a dalam Islam memiliki posisi agung dan mendapatkan perhatian cukup besar.
Rahasia do`a dalam Islam
Kenapa dalam agama Islam do`a mendapatan perhatian sedemikian besar, dimana ia dikategorikan sebagai ibadah paling utama, senjata seorang mukmin, tiang agama, cahaya langit dan bumi, kunci rahmat, pelita hidayah, setengah dari keseluruhan ibadah, rahasia pertolongan dan senjata para nabi, dan sebab posisi seorang menjadi mulia di sisi Allah?
Apabila kita mengkaji dan meneliti lebih dalam hidayah ilahi ini maka kita pun akan menemukan kelayakan posisi do`a untuk itu semua. Sesungguhnya do`a meninggalkan bekas cukup besar bagi seseorang, dan bekas paling penting darinya adalah pendidikan. Do`a benar-benar menjadi sarana pendidikan dan pensucian seseorang?
Pendidikan dan pengajaran yang atasnya pengutusan para nabi telah dibangun, keduanya dikategorikan sebagai tujuan terpenting kenabian 153. Tidak diragukan lagi bahwa pengajaran merupakan mukaddimah untuk pendidikan, karena itu pendidikan merupakan tujuan terakhir dari kenabian.
Hubungan antara do`a dan pendidikan
Do`a memiliki efek pendidikan cukup besar, dan di sini kami akan menunjukkan sebagian dari efek tersebut:
1. Efek pendidikan pertama dari do`a adalah memasukkan cahaya harapan ke dalam hati seseorang. Seseorang yang sedang dalam keadaan frustrasi berada pada sejumlah kesengsaraan (maut). Orang yang sakit akan menjadi baik ketika muncul cahaya harapan akan kesembuhan pada hatinya, namun ia tidak akan membaik ketika sudah kehilangan harapan akan kesembuhan, sebagaimana sebab utama kemenangan para pejuang di medan perang adalah karena adanya harapan kemenangan dan cita-cita tinggi. Adapun tentara yang sudah kehilangan harapan dan cita-cita mulianya maka ia akan kalah dalam pertempuran, sekalipun ia telah dipersiapkan dan dibekali berbagai persenjataan modern.
Doa dapat memupuk harapan pada hati seseorang
Orang-orang yang terbiasa berdo`a dan bertawakal kepada Allah -sekalipun memiliki banyak permasalahan, tekanan musuh, dan fakir dari harta benda- ketika mereka bermunajat dan menghadap kepada Allah, dimana hati mereka berbinar-binar dengan cahaya harapan, mereka optimis pada masa depan dan sekan-akan diberikan kehidupan baru. Demikian itu karena mereka membentangkan tangan-tangannya memohon bantuan kepada Dzat dimana problem sangat besar nampak kecil pada-Nya. Mereka membentangkan tanganya kepada Allah Swt yang tidak pernah mengenal kesulitan, dan bahkan hanya ada kemudahan pada-Nya. Demikian itu karena sulit berarti sesuatu yang ada diatas kekuasaan, sementara mudah adalah sesuatu yang ada dibawah kekuasaan. Apakah di sana ada sesuatu di atas kekuasaan Allah?
Atas dasar ini, maka tidak ada istilah sulit atau mudah bagi Allah. Apabila Ia menghendaki sesuatu, maka ia berkata kepada sesuatu itu "jadilah" (kun) dan menjadilah sesuatu tersebut dalam kekejap, sekalipun jika Ia menghendaki menciptakan jutaan matahari seperti matahari bumi.
Sesungguhnya seseorang apabila berdo`a dan bermunajat kepada Dzat yang memiliki kekuasan seperti ini, bersujud, khusyu`, menangis, dan menyampaikan problem-problemnya kepada-Nya, maka tidak diragukan lagi cahaya harapan akan terpupuk dalam hati orang seperti ini.
2. Efek kedua dari do`a adalah memupuk cahaya ketaqwaan pada seseorang yang itu merupakan sebab kedekatan seseorang kepada Tuhan-nya 154. Ketaqwaan merupakan modal kesuksesan (keselamatan) seseorang pada hari kiamat 155, dan dia pula yang memperbolehkan seseorang memasuki surga.156
Sebuah do`a akan menghidupkan permata mulia nan mahal ini dalam hati seseorang. Ketika seseorang bermunajat kepada Allah, bertawassul kepada-Nya, dan berdo`a dengan nama-nama-Nya yang baik (al-asmâ al-husna) dan sifat-sifat-Nya yang agung dan indah, maka penyebutan sifat-sifat ini akan memberikan efek mendorong seseorang menuju Allah. Ia akan merasa bahwa apabila saya menghendaki jawaban atas do`an saya, saya harus bertaubat dan kembali kepada Allah Swt.
Do`a akan mendorong seseorang bertaubat, dan taubat akan mendorong seseorang untuk melihat kembali (muhasabah) kehidupannya, dan pada akhirnya gerakan ini akan berujung pada masuknya cahaya ketaqwaan kepada kehidupan seseorang.
Terdapat ungkapan dalam sebuah hadis: "Barang siapa senatiasa dalam berdo`a, maka ia akan dikabulkan -do`anya- ketika ia ditimpa bencana. Para malaikat akan berkata: suara yang tidak asing lagi yang tidak terhijab dari langit. Dan barang siapa yang malas berdo`a maka ia tidak akan diterima do`anya ketika ia ditimpa bencana, dan para malaikan berkata: suara tersebut tidak kami kenal" .157
Imam Ali a.s berkata dalam khutbahnya yang sangat penting dalam Nahjul Balaghah ketika beliau mensifati orang-orang bertaqwa: "Diri-diri merekabiasa saja ke berada dalam bencana sebagimana mereka pun biasa ketika berada dalam kesenangan" 158.
Karena inilah munajat Fir`aun dan pernyataan tauhidnya tidak lagi berarti, sebagaimana terdapat dalam sebuah hadis: ".....Jibril berkata....ketika Fir`aun tengegla, demi Allah ia berkata: Saya beriman bahwa tiada Tuhan kecuali Tuhan yang diimani oleh Bani Israil, lalu aku ambil lumpur dan aku tutupkan kemulutnya......." 159.
3.Yang ketiga dari efek pendidikan do`a adalah memperkuat cahaya makrifat.
Sesungguhnya seseorang ketika menghadap kepada Allah, ia akan mulai dengan pemikiran bahwa Allah Maha Kuasa dan Maha Mengetahui atas apa yang tersembunyi dari kita. Dan diantara do`a yang bisa dibaca dalam Shahifah Sajjadiyah, Munajat Sya`baniyyah, atau Shabah, Kumail dan Nudbah semuanya mengandung pelajaran-pelajaran irfani. Atas dasar ini do`a dapat menanamkan cahaya ketakwaan dan makrifat pada hati seseorang.
Pertanyaan, Kami membaca dalam do`a bulan Rajab -yang disunnahkan membacanya pada setiap kali selesai shalat- ungkapan seperti ini "Wahai Yang memberi orang yang meminta kepada-Nya, wahai Yang memberi orang yang tidak meminta dan tidak mengenali-Nya".
Atas dasar ungkapan ini, Allah akan memberi siapa pun baik yang meminta maupun yang tidak meminta kepada-Nya, baik ia mengenal-Nya atau pun tidak. Maka jika demikian lalu apa manfaat berdo`a kepada-Nya?
Jawabannya, anugrah dan barakah Allah terdiri dari berbagai macam bentuk dan jenis. Diantaranya Allah membangikan kepada seluruh manusia, seperti air hujan. Seluruh orang baik mukmin atau pun kafir, seorang arfi atau pun bukan akan sama-sama mendapat manfaatnya.
Jenis barokah lain hanya diberikan kepada orang-orang arif di antara orang-orang mukmin, dan tidak mencakup selainnya. Dan sebagian lainnya hanya diberikan kepada para dai saja, tidak lepada yang lainnya.
Dalam sebuah hadis disebutkan: "Janganlah berkata bahwa sebuah urusan kosong dari-Nya. Sesungguhnya bagi Allah ada sebuah posisi yang tidak akan dicapai kecuali dengan diminta"160 .
Atas dasar ini, hanya jenis anugrah pertama saja yang mencakup semua orang, sementara yang kedua dan ketiga hanya diperuntukkan bagi orang beriman dan bedo`a (memohon) saja.
Syarat-syarat terkabulkannya sebuah do`a
Kenapa sebagian do`a-do`a kita tidak dikabulkan? Kenapa janji Allah akan mengabulkan do`a tidak terwujud? Apakah sebabnya berasal dari sisi Allah -naudzubillah- atau berasal dari para pendo`a itu sendiri?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sering dilontarkan para sahabat dan orang-orang muslim pada zaman para Imam maksum a.s, seperti tertulis dalam berbagai riwayat hadis dari mereka dan para Imam pun memberikan jawabannya.
Riwayat-riwayat tadi dan juga riwayat-riwayat lainnya muncul terkait dengan pertanyaan-pertanyaan ini, sekalipun tidak terkandungn pertanyaan di dalamnya.
Semuanya menyingkap bahwa di sana terdapat sejumlah persyaratan terkabulkannya sebuah do`a yang harus dipenuhi oleh para pendo`a, sebagaimana juga mereka harus menghilangkan hal-hal yang dapat menghalangi terkabulkannya sebuah do`a.
Atas dasar ini, apabila seseorang berdo`a tanpa mengindahkan syarat-syarat dan penghalang tersebut dan do`anya tidak dikabulkan, maka ia harus introspeksi dirinya sendiri. Perumpamaan orang seperti ini bagaikan orang yang sakit pergi ke dokter untukberobat, lalu dokter menuliskan resep untuknya berupa meminum obat dua kali dalam sehari. Setelah ia menerima obat, mengkonsumsinya dan ternyata tidak kunjung sembuh ia kembali ke dokter dan berkata dengan gugup: Dikter macam apa kamu, obat apa yang sudah kamu resepkan untukku? Aku tidak kunjung juga sembuh. Lalu dokter bertanya balik: Apakah kamu mengkonsumsi obat tersebut dua kali dalam sehari? Ia menjawab: tidak, saya meminumnya tiga kali dalam sehari.
Kali lain ia bertanya; Apakah kamu memakai .h.213..pokok/utama selama beberapa jam pada setiap minggu? Ia menjawab: Dalam sehari saya mengkonsumsi satu kapsul. Ia bertanya lagi: saya sudah perintahkan anda beristirahat selama empat hari, apakah kamu istirahat selama empat hari atau tidak? Ia menjawab:
Apakah ini memungkinkan sekalipun kami harus melewati rawat inaf dengan makanan dan biyaya mahal? Pada hari itu juga aku langsung kembali bekerja.
Dokter pun menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata kepadanya: Tidak ada kesalahan pada resep yang aku tuliskan untukmu, kesalahannya ada pada dirimu yang tidak mau mengikuti anjuranku. Kesalahan yang membuatmu tetap dalam keadaan sakit. Karenanya salahkanlah dirimu sendiri.
Demikian juga halnya ketika para insinyur pertanian memberikan bibit tanaman kepada para petani dan memerintahkan mereka menanam, menaburkan dan merawatnya secara khusus dan menyiraminya pada waktu-waktu tertentu. Namun petani tidak mau mengikuti saran-sarannya sehingga hasilnya gagal panen. Yang bersalah di sini ialah petani itu sendiri, bukan siapa pun.
Sahabatku yang sedang berpuasa, saudara-saudara dan saudariku, do`a-do`a kita benar-benar seperi bibit biji-bijian tersebut yang tidak hanya cukup dengan ditebarkan di tanah saja. Ia pun membutuhkan penyiraman, penjagaan dan perawatan khusus, serta menggunakan obat-obatan agar terhindar dari berbagai hama.
Apa yang telah dipaparkan riwayat-riwayat tadi adalah keharusan terpenuhinya berbagai syarat, situasi, kondisi dan tidak adanya berbagai penghalang terkabulkannya sebuah do`a. Sayannya kita berharap dikabulkan tanpa memenuhi syarat dan menghilangakn penghalangnya, dan tentu ini tidak masuk akal.
Berikut ini kami akan paparkan beberapa diantara syarat terkabulkannya sebuah do`a:
1. Tidak adanya pengenalan terhadap Allah (makrifatullah) adalah sebab terpenting terhalangnya sebuah do`a.
Dengan kata lain, sesungguhnya makrifatullah adalah diantara syarat pendasar bahkan terpenting untuk terkabulkannya sebuah do`a. Dan apakah mungkin kita memohon kepada orang yang tidak kita kenali dan ketahui?
Sebuah riwayat dari Imam ash-Shadiq a.s; Beberapa orang mengadu tentang sebab tidak dikabulkan do`anya. Maka Imam menjawab: Karena kalian berdo`a kepada dzat yang tidak kalian kenali".
Maka sebagaimana telah kami sebutkan barusan, sesungguhnya do`a harus dilontarkan dengan cahaya makrifatullah dalam hati seseorang, karena makrifatullah merupakan asas terkabulkannya sebuah do`a. Artinya bahwa keduanya; do`a dan makrifatullah saling berkaitan.
Allah Swt berfirman dalam al-Qur`an: "Sesungguhnya shalat mencegah dari keburukan dna kemunkaran"161. Artinya bahwa jamaah orang shalat tidak akan terkotori dengan dosa, dan demikian pula masing-masing individunya, karena shalat itu sendiri adalah jaminan dan penjaga dari berbagai dosa.
Dengan memperhatikan pesan ayat tersebut, kita bertanya kenapa sejumlah orang-orang yang shalat tetap melakukan dosa? Apakah kesalahannya -naudzubillah- bersumber dari ayat itu sendiri atau dari diri mereka sendiri? Orang yang shalat jika tidak mengenal kepada siapa ia shalat dna bersujud, maka shalatnya tidak akan menjaganya dari perbuatan dosa dan tidak menghalanginya dari maksiat. Sesungguhnya makrifatulah adalah intan berlian yang berharga yang menjadi syarat berbagai ibadah, termasuk juga syarat dalam berziarah. Demikian itu karena pahala dan efek ziarah dikhususkan kepada mereka yang ziarahnya disertai makrifatullah 162.
Atas dasar ini pula, syarat pertama terkabulkannya sebuah do`a adalah mengenali sifat-sifat keagungan Allah, perbuatan dan nama-nama-Nya yang baik (al-Asmâ al-Husnâ). Karena itu setiap orang harus memaksimalkan makrifatnya ini sesuai tingkat maksimal kemampuannya masing-masing.
2. Niat yang benar dan hati yang bersih
Syarat kedua terkabulkannya sebuah do`a adalah niat yang benar dan suci serta hati yang ikhlas, dan bersih dari riya. Dalam hal ini Imam Ash-Shadiq a.s bersabda: "Sesungguhnya seorang hamba apabila ia berdo`a kepada Allah Swt dengan niatan dan hati yang ikhlas, maka Allah akan mengabulkan setelah ia memenuhi dan menunaikan janji Allah Azza wa Jalla ".163
Sesungguhnya amal dengan niat memenuhi dan menunaikan janji Allah -yang merupakan upaya membershakn hati dan mengikhlaskan niat- adalah syarat terkabulkannya sebauh do`a. Kiranya perlu diperhatikan bagaimana cara do`a memberi pendidikan kepada seseorang. Kita sering mengetuk pintu Allah untuk mengajukan kebutuhan dan menyelesaikan berbagai permasalkahan, namun kita perlu ketahui bahwa pengabulan-Nya tidaklah mungkin terjadi kecuali dnegan keikhlasan dan kebersihan hati. Untuk itu kita diharuskan berusaha mensucikan dan membersihkan diri.
3. Makanan yang halal merupakan syarat penting dan sulit bagi terkabulnya do`a
Rosulullah Saw bersabda dalam sebuah riwayat sangat indah sebagai berikut: "Bersihkanlah usahamu maka do`amu akan diijabah. Bila seseorang memakan makanan haram maka do`anya tidak akan diterima selama empat puluh hari" 164.
Beberapa orang memiliki harta kekayaan yang bercampur dengan harta dan usaha yang haram riba dan mendhalimi hak orang lain serta tidak menunaikan kewajiban agama terkait dengan harta, namun demikian ia tetap mengharap Allah mengabulkan do`anya.
Kesimpulan yang dapat diambil dari sabda berharga Rosulullah Saw di atas ialah bahwa do`a merupakan faktor penting dalam pendidikan seseorang yang mengajarinya menjaga makanan yang halal dan haram.
Secara jujur kami ingin katakan bahwa menjaga makanan halal dan haram memiliki peranan penting dalam kehidupan seseorang. Apabila seseorang mementingkan sisi ini dari kehidupannya, niscaya tidak akan ada lagi dokumen-dokumen kriminal di berbagai lembaga kehakimah.
Andaikan masyarakat kita menjaga yang halal dan yang haram, maka kemiskinan tidak akan lagi menghimpit kita. Sayangnya sebagian orang lupa akan hal penting ini dan membiarkan bebas berbuat apa saja. Mereka berkata: dimana halal dan haram? Tidak ada lagi istilah halal dan haram yang harus kita jaga.
Salah seorang diantara mereka yang berprinsip pada justifikasi berkata bahwa pada kenyatananya ia adalah omong kosong. Satu-satunya barang yang halal di dunia ini hanyalah air hujan yang dapat anda manfaatkan hanya pada tengah hari saja, karena hanya inilah yang dapat kita yakini bersih dari unsur perampasan (gashab). Ketika air gujan turun, bentangkan tanganmu dan bukalah mulutmu untuk meminumnya. Inilah satu0satunya yang dapat diterima sebagai halal.
Sesungguhnya orang seperti ini benar-benar telah membohongi dirinya sendiri. Allah Swt berfirman: "Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar ".165
Dengan kata lain, mereka menipu diri mereka sendiri, karena pembahasan kita tentang halal- dan haram yang nampak. Mereka berbicara tentang halal-dan haram yang sebenarnya, sementara kita diperintahkan berbicara tentangnya sebatas yang nampak saja, bukan yang sebenarnya.
Bukankah para Imam maksum kita a.s juga memberi makanan dan minuman-minumannya dari pasar-pasar kaum muslimin, dan pada saat yang sama mereka berpegangan pada yang nampak (dhahir), tidak melakukan investigasi kecuali pada kondisi-kondisi tertentu yang sesuai. Misalnya mereka tetap memanfaatkan roti dan daging yang belum dinunaikan kewajiban zakatnya?
Kita pun tentunya harus demikian, kita harus mengkalkulasi ukuran dan mengeluarkan kewajiban tahunan membayar zakat, karena banyak diantara pada pedangan yang tidak menunaikan kewajiban membayar zakat -zakat harta mereka, sementara kita menggunakan barang produksi dan jualan mereka. Ini sangat kita sayangkan memang, karena ia berarti bencana bagi kita.
Sekalipun kita terbatas karena tidak adanya pengetahuan sebenarnya tentang mana yang halal dan yang haram, namun cukuplah berkesimpulan dengan tampilan yang ada. Demikian itu karena membayar zakat adalah kebaikan yang berfungsi membersihkan hati dan mendatangkan kesucian ruhani.
Kesimpulannya bahwa makanan yang halal tidak akan berefek pada do`a saja, bahkan terhadap seluruh peribadatan seseorang, dari shalat, puasa, haji, ziarah-ziarah wajib dan sunnah, dan lain sebagainya. Pada sisi lain, makanan yang haram benar-benar dapat menghalangi terkabulkannya sebuah do`a, bahkan ia dapat berefek negatif terhadap prilaku, pemikiran dan ibadah serta ziarah-ziarah seseorang. Ia menyebabkan seseorang malas memabca al-Qur`an dan melaksanakan shalat, dan pada akhirnya membuat seseorang tidak lagi dapat merasakan kelezatan ibadah-ibadah ini.
4. Kehadiran hati.
Syarat keempat dikabulkanya sebuah do`a ialah ialah kehadiran hati. Cukup jelas bahwa ini merupakan syarat mendasar dan penting, sebagaimana diungkap dalam sebuah riwayat: "Nabi Saw ditanya tentang nama Allah yang paling agung? Beliau menjawab: semau nama dari nama-nama Allah adalah agung, maka bersihkanlah hatimu dari selain-Nya dan mintalah kepada-Nya dengan nama manapun juga kamu suka" .166
Dari sini jelas bahwa tidak ada lapad khusu untuk nama-Nya yang paling agung -sebagaimana digambarkan beberapa orang- untuk dipakai dan dipanjatkan terhadap seluruh permasalahan. Yang harus ialah menghadirkan kondisi khusus pada batin seseorang, yaitu pensucian hati .167
Ketika hati menjadi tempat pusat bagi berhala-berhala, baik berhala harta, kedudukan, popularitas, istri, anak-anak dan lain-lain, maka ketika sebuah do`a dipanjatkan, dia keluar dari hati tempat peribadatan berhala-berhala ini. Dan jelas do`a seperti ini tidak akan pernah dikabulkan.
Langkah pertama untuk terkabulkannya do`a ialah meriru jejak perbuatan nabi Ibrahim a.s dan Ali a.s dalam menghancurkan berhala-berhala. Maka dengan itu hati akan menjadi suci. Pada saat itu hati hanya dikhususkan murni untuk Sang Maha Esa Swt, lalu berdo`alah kepada-Nya dengan nama manapun juga, maka hasilnya tidak lain melainkan pengabulan do`a.Dengan memperhatikan keempat persyaratan tadi, kami berpandangan, apakah kita telah memenuhi keempat persyaratan ini? Apakah makanan-makanan kita halal? Apakah hati-hati kita sudha bersih dari selain-Nya? Apakah yang mendorong kita berdoa adalah kejernihan dan keikhlasan dalam niat? Apakh kita sudah mengenal Allah?
Apabila kita tidak memiliki syarat-syarat ini, maka hendaknya kita berusaha untuk memenuhinya, terutama di bulan Ramadhan yang berkah. Bulan rahmat dan kelembutan ilahi. Itulah bulan dimana hati seseornag dipersiapkan betul untuk berbagai macam urusan, sebagaimana juga kesempatan yang tepat untuk berdo`a.
Pengabulan sebagian do`a bukan berarti pasti sesuai kebutuan seseorang
Meskipun kita terus berdo`a dan berharap ia diterima, namun perlu juga diperhatikan bahwa pengabuan beberapa do`a tidaklah selamanya sesuai dengan kemaslahatan seseorang, sekalipun ia melihat kemaslahatan dan kebahagiaannya ada di dalamnya. Namun Allah melihatnya tidak demikian, kecelakaan justru terjadi jika do`anya dikabulkan, karenanya Allah tidak mengabulkan do`anya.
Sebelumnya saya telah katakan pada kisah Tsalabah al-Anshâri bahwa apa yang ia pinta dan harapkan dari Allah tidak sesuai dengan kemaslahatannya, namun ia tetap ngotot memintanya hingga Allah pun mengabulkannya. Hasilnya ia kehilangan iman, terjerumus dalam kesesatan dan melanggar beberapa ketentuan ilahi. Kisah ini mengandung pelajaran besar dan berharga bagi semua orang.
Sebagai contoh, ada seorang pemuda berkali-kali memohon dalam do`a-do`anya serta bertawassul setelah lamarannya ditolak oleh seorang perempuan. Ia berharap agar perempuan itu berubah sikap, tertarik dan mau kepadanya, namun do`anya tidak kunjung dikabulkan. Setelah sekian lama dan peremuan itu sudah hilang dari ingatannya, ia pun menemukan kebaikannya ada pada ketidakterkabulan do`anya. Ia mengetahuibahwa perempuan tersebut terlahir sebagai anak haram.
Atas dasar ini, janganlah kita bersedih karena do`a kita tidak dikabulkan, bisa jadi apa yang kita pinta tidak sesuai dengan kemaslahatan kita sendiri. Hal ini didukung oleh sejumlah riwayat dari para Imam maksum a.s bahwa Allah akan memberikan permohonan seorang hamba di akhirat yang belum Ia berikan di dunia 168.
Dua pertanyaan penting terkait dengan do`a
Pertama, kita menemukan dalam diwayat yang berasal dari para Imam a.s do`a-do`a yang selamanya tidak dikabulkan, sebagaimana pula do`a-do`a yang dipanjatkan pada bulan Ramadhan yang berisikan seperti: "Ya Allah penuhilah hutang orang yang berhutang", padahal kita tahu bahwa do`a tersebut tidak akan terkabulkan. Selama dunia ini masih ada, maka selama itu pula hutang pasti ada. Kehidupan tanpa hutang adalah khayalan, tidak lebih. Lalu apa fungsi do`a-do`a seperti ini?
Jawabannya; Sesungguhnya ada dua jenis hutang. Pertama hutang yang biasa terjadi antara pedagang dan pelanggannya, dimana pelanggan tidak langsung membayar harganya, atau mereka membayar setelah menjualnya, atau juga para karyawan dan pekerja meminjam uang kepada bosnya untuk kemudian dibayar secara berkala (cicilan) sesuai kemampuannya dalam setiap bulan.
Jenis lainnya ialah hutang yang selalu ada pada seseorang, dimana ia terpaksa meminjam dan ia tahu kalau ia tidak mampu membayarnya. Nampak bahwa yang dimaksud Imam di sini ialah jenis hutang kedua ini, bukan yang pertama.
Jenis hutang yang kedua tidaklah berarti pengabulan do`a memungkinkan baginya, namun karena Islam memerintahkan untuk itu, maka do`a harus selaras dengan usaha-usaha yang ada. Demikian itu karena dalam masyarakat Islam yang sempurna -yakni masyarakat shahibul `ashr waz Zaman al-Mahdi a.s- yang tidak akan ada lagi orang kelaparan ata fakir satu pun. Untuk itulah kita baca dalam do`a: Ya Allah kenyangkanlah setiap orang yang lapar. Ya Allah berilah pakaian setiap orang yang telanjang (tidak punya pakaian). Ya Allah kayakanlah orang yang fakir".
Sebagai bukti pendukung kesimpulan ini ialah sebuah riwayat dari Imam ash-Shadiq a.s; "Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mewajibkan orang-orang fakir mendapatkan seukuran kebutuhkan mereka pada harta orang-orang kaya, walau pun Ia tahu itu tidak dapat mencukupi kebutuhan mereka" 169.
Pesan yang terkandung pada riwayat tersebut dan juga riwayat-riwayat sebelumnya menjelaskan bahwa apabila orang-orang menunaikan kewajibannya terkait harta, maka tidak akan ada lagi orang kelaparan, telanjang dan fakir dalam sebuah masyarakat. Semua ini terjadi karena ketidaktaatan orang-orang kaya yang tidak mau memberikan hak-hak orang fakir.
Masyarakat Shabibuz zaman al-Mahdi a.s tidak akan mengenal ada seorang fakir, kelaparan dan berhutang. Karena itu do`a supaya segala permasalahan ini segera selesai akan dikabulkan.
Pertanyaan kedua, Di antara amal-amal yang berlaku dan dianjurkan pada malam lailatul qadr ialah meletakkan al-Qur`an di atas kepala, mengingat al-Qur`an berfungsi seperti seorang dokter "Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian" 170. Namun kita tahu ia baru akan memberi kesembuhan setelah pesan-pesannya diamalkan.
Lalu apa manfaat meletakkan al-Qur`an di kepala pada malam tersebut?
Jawaban; Al-Qur`an sendiri selalu memiliki dua sisi. Satu sisi ialah sebagai penyembuh, dan al-Qur`an pun juga kalam Allah di sisi lain. Satu sisi ia adalah kata-kata suci, karena itu orang-orang Islam meyakini keharusan berwudhu ketika hendak menyentuhnya, dan di sisi lain kandunagnnya disucikan sehingga al-Qur`an disebut sebgai tsaql akbar (pusaka besar) dan Ahlul Bayt a.s sebagai tsaqak ashgar (pusaka kecil). Karena itu, mengkiaskan dokter/penyembuh saja kepada al-Qur`an tidak dapat dibernarkan.
Tentunya, perbuatan peletakkan al-Qur`an di atas kepala ini didorong oleh keperluan khusus. Tradisi ini mengajarkan kepada kita laranagn meletakkan al-Qur`an di bawah tangan dan kaki. Adapun kandungannya mengajari kita bahwa al-Qur`an adalah panduang segala aktivitas kita, keharusan melaksanakan hukum-hukumnya dengan bentuk sempurna, dan tidak melupakannya.
Perumpamaan Keduapuluh:
Hak dan Batil
Di antara perumpamana al-Qur`an yang terindah adalah perumpamaan hak dan batil. Allah Swt berfirman menjelaskan perumpaman ini secara mendalam pada surat Ar-Ra`d ayat ke 17 sebagai berikut: "Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan".
Pengantar pembahasan
Tema pembicaraan dalam perumpamaan ini ialah tentang hak dan batil, menyakut defenisi, ruang lingku, bidang dan tanda-tanda serta eferk-efek keduanya. Di penghujung bahasan akan diurai petrarungan antar keduanya dalam rentang panjang sejarah.
Syarah dan tafsir
Allah Swt berfirman: "Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya,". Hasil dari hujan turun ke atas gunung dan kemudian dari gunung itu mengalir ke bawahnya membuat air berkumpul di lembah-lembah sesuai kadarnya masing-masing hingga alirannya membentuk sungai-sungai kecil, dan dari pertemuan antara semuanya terbentuklah sungai yang lebih besar. Ketika air semakin banyak hingga melampoi bantalan sungai, ia akan berubah menjadi banjir dan merusak.
Allah Swt berfirman: "maka arus itu membawa buih yang mengambang". Sungai besar ini dengan ombak yang dihasilkannya akan mendobrak setiap kayu atau rintangan apapun yang menghalanginya. Dari kondisi ini muncullah buih pada air. Buih ini menyerupai deterjen atau bahan pembersih yang berkumpul dan nampak mengendap di tepian sungai, sementara sungainya sendiri tetap terus mengalir dibawah buih tersebut.
Allah Swt berfirman: "Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu". Buih yang sombong ini tidaklah melekat dengan air, bahkan menghasilkan metal-metal logal ketika meleleh dan larut, seperti besi, tembaga, dan lain sebagainya.
Yang patut diperhatikan di sini ialah ungkapan "Dan dari apa (logam) yang mereka lebur". Secara tekstual ia menunjukkan bahwa api diarahkan dari atas terhadap logam-logam ini, padahal sebelumnya api dihidupkan dari bawah terhadap logam-logam tersebut. Memang sekarang proses pengapiannya bisa dilakukan dari bawah dan dari atas, sehingga ini menjadi bukti bahwa semenjak itu pun al-Qur`an sudah menunjukkannya.
Allah Swt berfirman: "Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil". Yakni Allah menggunakan perumpamaan ini untuk menjelaskan perbedaan antara hak dan batil yang berlangsung terus menerus sepanjang sejarah. Allah mengumpamakan kebenaran dengan air dan kebatilan dengan buih.
Allah Swt berfirman: "Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya". Karena buih berada di atas air dan tidak menempel kepadanya, ia akan menghilang begitu saja seakan tidak berarti apa-apa. Air banjirlah yang menyebabkan buih ini muncul. Air yang saling bertabrakan akan sampai ke tepian dan menjadi diam tidak bergerak, lalu ia akan menghilang dan merembes ke dalam air sehingga tidak ada lagi yang tersisa kecuali tinggal airnya saja. Demikian itu menunjukkan bahwa umur kebatilah hanyalah sebentar dan akan berujung pada kehancuran.
Allah Swt befirman: "adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi". Yang akan tersisa dan bermanfaat bagi manusia hanyalah air yang jernih dan logam yang murni saja. Air yang ada dan menggenang dapat dimanfaatkan untuk minum, sementara air yang masih tersimpan di dalam perut bumi akan menjadi tabungan di masa depan. Ia baru dapat dipergunakan setelah keluar sebagai mata air atau setelah dilakukan pengeboran.
Allah Swt berfirman: "Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan". Yakni Allah menjelaskan semua ini kepada orang-orang melalui sebuah perumpamaan agar dapat dipahami dengan lebih baik.
Sasaran ayat
Ayat tersebut telah mengungkapkan secara ringkas beberapa permasalahan pelik sekali terkait dengan hak dan batil. Sekarang kami akan jelaskan secara lebh terperinci pemasalahan tersebut ;
1. Berdasarkan ayat tadi, hak adalah berbagai hakikat dan realita, sementara batil adalah khayalan dan lamunan yang tidka berdasar.
Sesungguhnya air adalah sesuatu yang riil dan hakiki. Tampakan luarnya sesuai dengan tampakan batinnya, yang berarti juga ia memiliki peranan yang ril dan hakiki. Adapun buih tampakan luarnya menipu dan tidak sama dengan batinnya, sebagaimana sebuah mimpi atau khayalan.
Pada dua ayat dari surat al-A`raf, ayat ke 117-118 al-Qur`an menjelaskan kisah Musa a.s dan sihir sebagaimana berikut: "Dan Kami wahyukan kepada Musa: "Lemparkanlah tongkatmu!." Maka sekonyong-konyong tongkat itu menelan apa yang mereka sulapkan. Karena itu nyatalah yang benar dan batallah yang selalu mereka kerjakan". Sesungguhnya kebenaran adalah mukzijat nabi Musa a.s, sementara kebatilan adalah sihir para penyihir. Mukzijat adalah riil dan nyata, karena tongkat Musa benar-benar berubah menjadi ular dan bukan hanya sekedar pertunjukan sulapan. Adapun ular-ular para penyihir adalah murni sebuah pertunjukan sulap, dan bukan kejadian sebenarnya. Ia adalah tipuan sebagaiamna dikemukakan al-Qur`an.
Para penyihir telah mempersiapkan tambang dan tongkat yang dicat dengan air raksa, lalu mereka letakkan di tempat tertentu, sementara orang-orang, Fir`aun dan para penyihir duduk menyaksikan apa yang akan terjadi. Ketika cahaya matahari mulai menyinari tambang-tambang ini, maka meninggilah derajat panas pada air raksa sehingga membuat tambang-tambang tersebut bergerak-gerak dan bersinggungan satu dengan yang lainnya. kondisi ini membuat tambang-tambang seakan menjadi ular, namun pada kenyataannya ia hanyalah khayalan saja, tidak lebih.
2. Tanda-tanda kebenaran dan kebatilan
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa tanda kebenaran ialah bermanfaat bagi manusia, sementara tanda kebalikan memberi madarat atau bahaya kepada orang. Air bermanfaat dan memiliki fungsi jelas, sementara buih hanya mencelakakan dan tidak bermanfaat. Demikian itu karena buih tidak dapat menghilangkan rasa haus, menyirami lahan pertanian, dan tidak memberikan kekuatan apapun. Di antara tanda lainnya ialah kebenaran bersifat tawadhu dan rendah hati, sementara kebatilan dengan kesombongan. Kebenaran adalah air yang berada di bawah buih, sementara buih berada di atas dan sombong.
Tanda ketiga ialah kebatilah bersifat riuh dan bising, sementara kebenaran bersifat tenang dan tentram. Air bersifat diam dan tenang, sementara buih bersifat bising dan riuh. Maka tidaklah mungkin bisa hidup dengan keriuhan dan kebisingan.
3. Ukuran atau kapasitas kebenaran dan kebatilan
Sesungguhnya kapasitas ekbaikan dan keburukan ialah seluas kapasitas konsep-konsep kehidupan. Kebaikan dan keburukan tidak dapat dibatasi pada hanya satu sisi kehidupan saja, keduaya akan ada dan mencakup setiap urusan; politik, budaya, jurnalistik, dan lain-lain. Dengan kata lain, keduanya tercakup dalam seluruh dimensi kehidupan. Kesimpulan ini diambil dari al-Qur`an dan terutama dari ayat perumpamana dimaksud. Sebagimana buih tidak hanya terkait dengan air, demikian pula kebatilan tercakup dalam apapun.
4. Efek dari benturan antara kebenaran dan kebatilan
Dalam benturan antar keduanya, keebnarna akan tetap dan sementarakebatilan akan sirna dan tengeglam. Hanya saja kemenangan kebenaran bergantung pada dua bentuk, temporar dan abadi. Apabila para penolong kebenaran terus memperjuangkannya dan tidak melakukan penyimpangan, maka mereka akan menjadi pemenang pada berbagai masa yang berbeda selama mereka consisten dan tidak menyimpang. Adapun kemenangan abadi baru akan diperoleh dengan kemunculan Shahibuz Zaman al-Mahdi a.s (semoga Allah mempercepat kemunculannya). Pada saat kemunculannya wajah dunia akan berubah dan akan dipimpin oleh pemerintahan universal yang benar.
Ayat tersebut adalah diantara ayat-ayat yang terkait dengan al-Hujjah bin al-Hasan al-`Askari a.s, dimana air dalam perumpamaan tersebut ditafsirkan dengan keberadaan al-hujjah, dan buih dengan kedzaliman, penjajahan dan kehancuran yang akan menghilang seperti buih pada suatu saat nanti.
5. Benturan abadi antara kebenaran dan kebatilan
Sebagaimana kami sebutkan tadi, benturan antara kebenarna dan kebatilan telah dimulai sejak awal penciptaan, dan setiap masa akan diisi oleh kedua fenomena ini. Keduanya akan tetap ada sepanjang sejarah kedepan hingga dunia ini berakhir. Setiap ada nabi pasti ada syetan 171 . Pada Adam a.s ada Iblis, dan pada nabi-nabi lain ada syetan yang lain, seperti diungkapkan oleh ayat berikut ini:
"Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan".
Dari ayat mulia ini dapat disimpulkan bahwa syetan tidaklah selamanya berbentuk sesuatu yang tersembunyi, bahkan terkadang berasal dari manusia itu sendiri. Karena itulah redaksi ayat tersebut mendahulukan manusia atas jin.
Atas dasar itu, benturan antara kebenaran dan kebatilan akan terus berlanjut ing? berdirinya pemerintahan kebenaran dan berhasil membentangkan kekuasaannya ke seluruh penjuru dunia, sehingga terrealisasilah ungkapan ayat berikut ini: "Dan katakanlah: "Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.172" Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap" pada saat kemunculan al-Mahdi (semoga Allah mempercepat kemunculannya).
6. Proses penyebaran kebatilan
Bagaimana kebatilan berkembang dan menyebar luas? Apakah Allah yang telah menciptakan maujud-maujud kebatilan, padahal Ia h?dala kebenaran, bahkan kebenarna yang paling nampak dan paling tinggi?
Keberadaan kebatilan sebenarnya hanya keberadaan nisbi (relatif). Ia hanyalah imajinasi dan khayalan yang mengenakan baju kebenaran, seperti buih yang penampilannya menipu dan bohong.
Yang baik di sini ialah, pelaku kebatilan ketika ia melakukan pembatalan terhadap dirinya, demikian itu karena berkat kebenaran. Sesungguhnya para pembohong adalah orang-orang yang meyakini kebohongan sebagai profesinya. Apabila mereka belum berpindah…yang bernilai dan mengandung pelajaran, mereka tidak akan berhenti pada pekerjaan batinya ini. Demikian pula para pembohong apabila mereka tidak berpegangan dengan kebenaran dan tidak menampakkan kejujuran, maka tidak akan ada seorang pun yang membenarkannya. Demikian juga bila seorang munafik tidak mengenakan pakaian orang shaleh, apabila seorang musuh tidak mengenakan identitas seorang teman, dan buih apabila tidak nampak seperti air. Artinya bahwa kebatilan selalu bersentuhan dengan kebenaran sehingga sebenarnya tidak terjadi benturan diantara keduanya. Ketahuilah bahwa kerberadaan kebatilan adalah nisbi dan keberadaannya murni bergantung lepada kebenaran. Adapun kebenaran adalah keberadaan yang hakiki yang menjadi sumber keberuntungan, manfaat dan berkah bagi banyak orang.
Hak dan batil menurut pandangan ayat dan riwayat
Sesungguhnya pembahasan terpenting dalam kehidupan seseorang adalah permasalahan kebenaran dan kebatilan. Ia mendapatkan perhatian khusus pada seluruh manusia dengan segala perbedaan latar belakang pandangan. Untuk itu sangatlah relevan jika ia dibahas dalam perspektif al-Qur`an dan hadis.
Al-Qur`an telah banyak berbicara tentang kebenarna dan kebatilan, dan telah mengulang kata hak (kebenaran) sebanyak 244 kali, sementara kata bâthil terulang sebanyak 26 kali saja. hal ini menyimpulkan bahwa al-Qur`an sendiri berperan sebagai perwujudan kebenaran.
Apakah perwujudan kebenaran?
Al-Qir`an al-KArim telah menunjukkan berbagai perwujudan kebenaran yang sebagainnay di sini akan kami sebutkan:
1. Perwujudan kebenaran yangtertinggi h?dala Allah Swt sendiri. Pada hakikatnya Dia h?dala kumpulan dari segala perwujudan kebenaran. Ia adalah inti dan wujud hakiki kebenaran. Karena itu Allah Swt menjelaskannya dalam al-Qur`an, surat al-An`am ayat ke 62 sebagai berikut: "Kemudian mereka (hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah bahwa segala hukum (pada hari itu) kepunyaanNya. Dan Dialah Pembuat Perhitungan yang paling cepat". Atas dasar ayat ini, Allah adalah kebenarna yang tiada bandingnya.
2. Contoh lain dari kebenaran dalam al-Qur`an adalah penciptaan langit dan bumi, atau alam secara keseluruhan. Demikian itu seperti disebutkan dalam surat al-Jâtsiyah, ayat ke 22: "Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar dan agar dibalasi tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya, dan mereka tidak akan dirugikan".
3. Perwujudan kebenaran yang ketiga dalam al-Qur`an ialah al-Qur`an itu sendiri. Demikain itu seperti dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat ke 48 sebagai berikut: "Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya".
4. Perwujudan lainnya ialah agama Islam sebagai agama yang berfungsi menjelaskan. Untuk itu Allah Swt berfirman dalam surat al-Fath ayat ke 28: "Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci"173 .
Kesimpulannya, semua keberadaan adalah sumber kebaikan dan kebahagiaan bagi manusia dan dikategorikan sebagai kebenaran. Untuk itu Allah adalah kebenaran mutlak , karena Ia adalah sumber segala keberkahan dan kebahagiaan, sebagaimana juga langit, bumi, al-Qur`an al-Majid, agama Islam dan tauhid disebut sebagai kebenaran karena semuanya berperan sebagai sumber hidayah dan keberkahan.
Segala sesuatu yang menjadi sumber derita adalah kebatilan, seperti Syetan, berhala-berhala dan beribadah kepada keduanya, riya, unjuk diri, munafik, dan lain sebagainya.
Slogan kebatilan dan negara kebenaran
Yang dapat disimpulkan dari berbagai riwayat ialah kebatilan akan juga memiliki peran, peredaran, slogan dan juga syi`ar, hanya saja ia tidak berumur panjang atau temporal saja. "kebatilan memiliki slogan dan kebaikan pun juga memilikinya"174 . Negara adalah tetap dna kekal, sementara slogan adalah kemunafikan dan tipuan yang bersifat temporal.
Jadilah selamanya bersama kebenaran
Berdasarkan penjelasan riwayat-riwayat dalam Islam, setiap orang muslim hendaklah ada bersama kebenaran dan hakikat. Apabila anda ingin mempersenjatai dengan senjata membela diri di hadapan musuh, maka hendaklah anda berpegangan pada pedang kebenaran yang tajam, sebagaimaan dikatakan Imam Ali a.s : "Kebenaran adalah pedang yang tajam"175 .
Apabila anda ingin masuk dalam kelompok orang sukses dalam posisi beramal, dan ornag yang berkemampuan berdebat dna berargumen dalam kalam (teologi), maka hendaklah anda bergerak pada kebenaran, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ali a.s: "Kebenaran adalah kesuksesan bagi setiap pelaku amal dan hujjah bagi setiap pembicara"176 .
Apabila anda menghendaki orang lain menerima pembicaraan anda, apabila anda ingn mendapatkan apresiasi dari orang lain, maka katakanlah kebenaran dan konsistenlah dengannya. Apabila anda hendak berkendaraan hingga sampai pada tujuanmu, maka berkendaraanlah bersama kebenaran. Imam Ali a.s berkata: Ingatlah, sesungguhnya kebenaran adalah binatang kendaraan yang hina yang dinaiki .228....177
Kebenaran itu pahit dan kebatilan itu manis
Kebenaran selalu disertai dengan berbagai problem, karena ia pahit sifatnya, sementara kebatilan bersifat Manis. Namun pahitnya kebenaran seperti pahitnya obat yang di dalamnya terkandung obat, sementara manisnya kebatilan seperti manisnya racun yang membunuh. Untuk itu Rosululah Saw bersabda: "kebenaran itu berat dan pahit, sementara kebatilan ringan dan manis. Tidak sedikit menuruti syahwat sesaat menimbulkan penyesalan yang panjang"178.
Memang benar, kebenarna itu berat dan pahit, karena keberadaannya tidak selamanya serasi dengan keinginan seseorang, bahkan bertentangan dengannya. keberadaannya terkadang bertentangan dengan ego dan kemauan syahwat kemanusiaan. Keberadaannya pun terkadang memunculkan kecaman dan celaan orang lain serta berbagai peoblem serius yang berat dipikul seseorang. Adapun kebatilan ringat dan manis sifatnya, maun ia bagaikan racun yang membunuh.
Karena itu, ia menimbulkan penyesalan yang akan menemani pelakunya hingga akhir hidupnya. Sebagaimana ketika seseorang melakukan sebuah dosa, ia tidak tenggelam langsung pada masa yang panjang, namun akibatnya terpenjara selama hidup. Artinya, sesaat dalam dosa berari seumru hidup dalam penjara.
Kebatilan selalu berbaju dengan baju kebenaran
Yang penting di catat di sini adalah bahwa kebatilan tidak akan pernah tambil dengan baju hakikinya, karena jika ia menjelaskan identitas sesungguhnya, ia akan kehilangan kemampuan menipunya. Ia tampil dengan identitas kebenaran sehingga bisa menipu banyak orang.
Terkait dengan ini, Imam Ali a.s berkata dalam khutbahnya no. 50 dalam Nahjul Balaghah: "".
Yakni, karena kebatilan tidak punya pelanggan yang pasti, maka ia mengelabuhi para pengikutnya dengan kebenaran sehingga tampil seakan-akan ia kebenaran. Pada saat itu datanglah peran syetan untuk memberi pesan lepada para wali dan sahabat-sahabatnya.
Untuk itu, kita jangan sampai tertipu dengan tampilan lahir sesuatu. Apabila kita hendak membeli sebuah buku, misalnya, maka janganlah kita tertipu dengan sampulnya yang indah, atau iklannya yang membuai dan temanya yang mombastis, karena pelaku kebatilan akan menggunakan cara-cara ini untuk menanamkan racun-racun dan keburukannya. Hal ini sendiri benar jika dinisbatkan kepada film-film, sandiwara, koran, majalah, para pengajar, ustadz, partai, dan lain-lain sebagainya.
Sesungguhnya orang yang pandai dan cerdas akan dapat membedakan kebatilan dari kebenaran. Karena itu, ketika Alalh memberi mereka al-Furqân (diantara nama al-Qur`an yang berarti pembeda, penej) berfungsi sebagai anugrah untuk menambah ketaqwaan mereka.
Ali sebagai manipestasi kebenaran
Terdapat banyak sekali catatan terkait dengan keutamaan-keutamaan dan kepribadian Imam Ali a.s yang termaut dalam berbagai kitab Sunnah dan Syi`ah. Di antara hadis yang disepakai oleh kedua madzhab adalah hadis yang berbunyi Ali bersama kebenaran dan kebenaran bersama Ali atas lisannya. Kebenaran beredar dimana saja Ali beredar. Ini adalah hadis yang diriwayatkan dari Rosulullah Saw.
Hadis ini merupakan standar popular untuk membedakan kebenaran dari kebatilan. Untuk itu, beberapa riwayat menyimpulkan bahwa orang-orang muslim yang masuk dalam naungan Islam saat itu adalah orang-orang muslim sendiri dan orang-orang munafik, serta mereka yang menampakkan diri dengan keislamannya sebagai orang muslim, karenanya sulit dibedakan. Untuk itu, cara membedakan mereka adalah dengan kecintaannya kepada Ali. Orang-orang muslim adalah mereka yang cinta kepada Ali dan para pengikutnya, sementara orang-orang munafik adalah mereka yang menimpan dendam dan permusuhan kepadanya 179.
Orang-orang syi`ah sering berbesar kepala karena memiliki seorang pemimpin agung…229.
Di antara bukti pernyatan ini ialah kisah Qunbur, Budak Ali al-Wafî dan kaki tanagnnya dalam pemerintahannya. Budak ini diperintahkan untuk melakukan hukuman pecut kepada seorang pelanggar, hanya saja ia melakukan kesalahan dalam pelaksanaannya tiga kali pecutan lebih banyak dari standar seharusnya, maka sang pemimpin ini memerintahkan Qumbur agar bersiap dipecut balik oleh yang bersangkutan 180.
Perumpamaan Keduapuluh Satu:
Ketaqwaan Memperkenankan Masuk Surga
Allah Swt berfirman dalam surat ar-Ra`d ayat ke 35 sebagai berikut: "Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang takwa ialah (seperti taman); mengalir sungai-sungai di dalamnya; buahnya tak henti-henti sedang naungannya (demikian pula). Itulah tempat kesudahan bagi orang-orang yang bertakwa, sedang tempat kesudahan bagi orang-orang kafir ialah neraka".
Pengantara
Ayat ini dengan segala kejelasan redaksinya terkategori sebagai ayat-ayat perumpamaan paling pelik. Ia menetapkan perumpamaan surga yang menjadi tempat orang-orang bertaqwa dengan tiga kenikmatan di dalamnya.
Syarah dan tafsir
Perumamana yang digunakkan dalam ayat tersebut nampak sebagai perumpamaan sederhana, namun sebenarnya -sebagaimana telah saya katakana sebelumnya- termasuk perumpamaan dalam al-Qur`an yang paling pelik.
Para mufassir meyakini bahwa terdapat kalimat yang dibuang dalam ayat tersebut. Yaitu kalimat yang diletakkan di awal ayat sehingga ayat berposisi sebagai khabar dari mubtada yang dibuang, atau bisa juga dikatakan bahwa ayat tersebut berposisi sebagai mubtada dengan khabarnya yang dibuang. Kami sendiri meyakini bahwa khabar ayat tersebut telah dibuang. Untuk menjelaskan alasannya, kami akan sampaikan sebuah muqaddimah sebagai berikut:
Empat pase perkembangan sebelum masa kelahiran.
Sesungguhnya manusia pasti melewati empat tahap perkembanagn sebelum ia sempurna menjadi manusia. Pase pertama, manusia merupakan tanah yang ditumbuhi oleh tumbuhan dan pohon. Lalu tanah ini berubah menjadi salah satu bagian dari bagian tumbuhan, tumbuhan ini dimakan hewan sehingga menjadi bagian dari tubuh hewan tersebut, lalu danging hewan dimakan manusia, sehingga ia menjadi bagian dari badan manusia.
Empat pase perkembangan ini bisa dijelaskan dengan bentuk lain bahwa manusia pada suatu masa adalah wujud tanah (pase pertama). Secara alami manusia tidak mungkin bisa memakan tanah secara langsung, melainkan terlebih dahulu harus berubah menjadi unsur tumbuhan atau hewan (pase kedua). Pada pase ketiga, tumbuhan atau hewan berubah bentuk menjadi sperma manusia.
Seorang janin pada pertumbuhan pertamanya tumbuh bagaikan pertumbuhan tumbuhan, karena ia tidak memiliki gerak dan pengindraan. Ia hanya tumbuh saja.
Setelah empat bulan pertama, baru ia bisa bergerak dan mengindra. Pada saatinilah ia memasuki pase perkembangan yang ke empat, ia akan terus menjadi hingga janin dimasuki ruh. Keempat pase perkembangan ini sungguh memiliki banyak sekali keajaiban, terutama pada pase janin.
Keajaiban-keajaiban alam janin
Para sarjana sekarang telah bisa menunjukkan bentuk kehidupan janin. Mereka akan meletakkan film selama setengah jam untuk memfoto seluruh perkembangan janin. Film ini bagaikana sebuah hadiah menakjubkan yang dipersembahkan kepada umat manusia pada era kontemporer sekarang ini.
Bagiaman Allah kuasa menciptakan keajaiban-keajaiban ini semua? Saya bermaksud mengingatkan anda-anda semua dengan dua contoh keajaiban berikut ini:
1. Sperma manusia bermula dari satu sel, kemudian ia membelah menjadi dua sel, selanjutnya masing-masing darinya membelah diri kembali sehingga jumlahnya menjadi empat, dan demikian seterusnya terjadi pembelahan diri. Pembelahan sel ini terus menerus terjadi sehingga membentuk sel-sel secara sempurna, dan kemudian menjadi terkelompokkan pada beberapa kelompok sel.sebagiannya membentuk kepala mansuia, sebagiannya membentuk mata, tangan, kaki dan lain sebagainya.
Seluruh sel ini adalah sama dan serupa, namun bagaimana sebagiannya membentuk tangan dan sebagian lainnya membentuk kaki? Siapakah yang memerintahkan sel-sel ini sehingga membentuk satu anggota badan, padahal memiliki kesamaan wujud? Bagaimana sel-sel ini mendapatkan inspirasi? Siapakah yang mengilhami kemampuan ini? Tidak ada seorang pun yang bisa menjelaskan semua rahasia ini.
2.Sesungguhnya janin di dalam perut ibunya hidup bergerak di sebuah kantong khusus yang dipenuhi dengan cairan tebal. Dengan kantong ini sang janin tidak langsung berhubungan dengan tubuh ibunya, sebagaimana ibu juga tidak langsung mengandung janin. Bagaimana menurut anda jika kantong khusu tersebut tidak ada, apa yang terjadi?
Bagaimana janin bisa menjaga dirinya sendiri dan bisa terus bertahan hidup mengingat kelembutan dan kehalusannya, juga dari kondisi khusus dimana ia tumbuh terhadap ibunya, atau perbedaan jadwal tidurantara sang ibu dan janinnya.
Allah Yang Maha Alim berjanji memberikan perlindungan dan kondisi khusus kepada janin serupa dengan kondisi seseorang ketika kehilangan daya tariknya, dimana ia tidak lagi memberi efek dengan ditekan ketika bertentangan dengannya. Karen inilah ketika banyi terlahir ia merasakan keseimbangan, sebagai sesuatu yang mendorongnya berteriak dan menangis.
Kantong khusus tersebut adalah sebaik-baiknya tempat bagi sang janin. Ia akan melindunginya dari berbagai bahaya dari segala arah, selain juga dapat memberikan suhu panas yang dibutuhkan. Terkadang sang ibu mengalami kondisi panas dan dingin yang sangat, namun kondisi ini tidak akan bersentuhan secara langsung dengan sang janin. Bahkan panas dan dingin akan dikembalikan kepada tubuh janin setelah sebelumnya dinetralisasi sehingga sesuai dengan drajat panas dan dingin yang dibutuhkan.
Atas dasar ini, Allah Swt berfirman dalam surat Az-Zumar ayat ke enam sebagai berikut: "Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan Yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan selain Dia; maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?".
Empat pase kesempurnaan manusia
Untuk mencapai pada kesempurnaannya, seseorang harus melalui empat pase atau alam sebagai berikut: 1) alam rahim ibu, 2) alam dunia, 3) alam barzakh, dan 4) alam kiyamat. Yang menakjubkan di sini ialah seseorang pasti melewati setiap alam tersebut, namun ia tidak mengetahu secara pasti apa yang diliputi dan dikandung alam berikutnya. Seorang anak yang ada dalam kandungan ibunya tidak dapat memahami atau membayangkan konsepi-konsepsi dunia kecuali setelah ia memiliki akal dan kecerdasan seperti kecerdasan dan pemahaman Ali Ibn Sina.
Sekalipun ia dapat saling berhubungan bersama ibunya dalam kandungan untuk menejlaskan kepadanya apa itu bulan, matahari, siang, malam, pepohonan, bunga-bunga, dan tumbuhan. Sekalipun yang ibu berusaha memahamkannya dengan metode paling baik, ia tetap tidak akan memahami apa pun. Demikian juga kita terkait dengan alam barzah sama seperti anak kecil dalam kandungan yang tidak memahami kehidupan dunia. Kita hanya mendengar nama barzahknya saja. Namun apa dan bagaimana kehidupan di sana? Apa arti dari bahwa para syuhada tetap hidup di alam sana? Bagaimana mereka diberi rizki di sana? Bagaimana Allah memberi nikmat atau mengadzab ruh di alam sana?
Kita tidak tahu semua jawaban ini. Sebagian wali Allah berhasil sampai ke alam barzakh dan bertanya kepada pengkhuninya tentang alamt tersebut. Lalu mereka menjawab, kami tidak mungkin bisa mensifati dan menjelaskan alam barzakh dengan sifat-sifat, kata-kata dan konsepsi duniawi ini yang kalian pahami di dunia. Perumpamaan konsep alam barzah dan konsepsi alam dunia seperti saringan atau filter dan air. Apakah air akan berhenti pada sebuah saringan?
Demikian juga pemahaman penduduk barzakh terhadapn konsep alam kiamat. Sebagaimana kita tidak dapat memahami alam barzakh, demikian juga mereka tidak dapat mengetahui nikmat-nikmat surga, sebagaimana merekia juga tidak dapat mengetahui jenis-jenis siksa neraka.
Atas dasar ini, al-Qur`an menjelaskan dalam surat As-Sajdah ayat ke 17 sebagai berikut: "Tak seorangpun (nafsun) mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan". Apabila kita ambil kata "nafsun" secara mutlak, kata tersebut juga akan mencakup para nabi dan imam a.s. artinya bahwa mereka pun tidak mengetahui kenikmatan surga yang dijanjikan kepada orang-orang mukmin.
Sebuah hadis qudsi menjelaskan; "Aku berjanji kepada hamba-hambaKu yang shalih kenikmatan yang tidak pernah didilihat oleh mata, tidak pernah didnegar oleh telinga dan tidakpernah terlintas pada benak manusia" .181
Artinya bahwa nikjmat-nikmat tersebut adalah nikmat yang tidak pernah terlihat baik pada kondisi mimpi atau kondisi sadar, dan tidak juga pada alam imajinasi atau konsep. Demikian itu karena alam kiamat tidak akan bisa ditembus.
Atas dasar ini, satu sisi ditegaskan bahwa konsep-konsep alam kiamat tidak mungkin bisa dipaparkan dna dipahami, dan pada sisi lain kenikmatan-keniikmatan durgawi pun harus dijelaskan dalam bentuk yang dapat memicu orang-orang untuk beramal baik dan menjauh dari amal-amal buruk.
Dari sini terlihat jelas akan kemustahilan menerangkan dan menjelaskan kondisi-kondisi alam sana dengan konsepsi-konsepsi duniawi. Untuk itu dalam memahaminya kita hendaknya menggunakan konsepsi-konsepi duniawi yang paling mendekati saja dengan konsepsi alam sana, sehingga dihasilkan sebuah gambaran mendekati kondisi nyata nikmat dan adzab-adzab ukhrawi.
Sebagai perumpamaan atas hal itu, ketika dikatakan bahwa di surga terdapat pepohonan. Maka tidkalah mungkin menganalogikan kedua jenis pohon di kedua alam tersebut. Dan terkait dengan tafsir ayat ke 54 dari surat ar-Rahman "Dan buah-buahan di kedua syurga itu dapat (dipetik) dari dekat". Maka dikatakan bahwa pohon-pohon surga tidaklah jauh sehingga mudah untuk disentuh. Dan pada tafsiran ayat ke 48 dari surat yang sama "kedua surga itu mempunyai pohon-pohonan dan buah-buahan", dikatakan bahwa satu tangkai memiliki berbagai macam buah berbeda, sehingga tidak diketahui bahwa buah-buahan di di sana juga buah dari jensi yang sama dengan buah di sini.
Atau ketika penduduk surga hendak menikmati nyanyian dan musik, mereka tinggal mengambil ranting pepohonan dan secara otomatis akan keluwar suara musik dan nyanyian.
Atas dasar ini, maka kita dapat memahai adanya keserupaan antara pohon-pohon di dunia dan di akhirat, namun kita tidak menyadari dan tidak merasakannya, dari musik, nyanyain dan buah-buahan.
Penjelasan
Dengan berpegangan pada mukaddimah tadi, maka ayat tersebut merubakan bagian dari sejumlah ayat yang bermakna menolak segala bentuk penyerupaan pada surga, menjelaskan atau pelukiskan tempat orang-orang bertaqwa tersebut. Dari sini berarti bahwa khabar ayat tersebut memang dibuang. Yakni bahwa ayat dengan bentuk seperti ini "Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang takwa ialah (seperti taman); mengalir sungai-sungai di dalamnya; buahnya tak henti-henti...." berarti di dalam surga terdapat dua taman yang tdiak sama dengan taman di dunia, karena pertama, sumber-sumber air di dalamnya bersiaf spontan dan otomatis. Terdapat mata air didekat setiap pohon sehingga tidka dibutuhkan suplai air dari luar. Kedua, buah-buahan surga bersifat permanen dan berlaki pad asetiap musim. Ketiga, naunagn pepohonan di sanah juga bersifat permanen dan kekal. Artinya bahwa daun-daun pepohonan surga tidak pernah berjatuhan selamanya.
Target-target penting ayat tersebut
Di antara yang dapat disimpulkan dari ayat tersebut ialah ketakwaan adalah ukuran baju ilahi di akhirat. Tema taqwa telah banyak memunculkan banyak tulisan.
Dan untuk menyingkap lebih banyak kandungan ini, yang menjadi kunci diperbolehkannya seseorang masuk surga, bekalnya di akhirat dan standar nilai, kami akan menunjukkan dua buah riwayat di sini.
1. Dalam sebuah hadis singkat namun pada saat bersmaan memiliki kandungan makan cukup dalam, Rosulullah Saw bersabda: "Kesempurnaan ketaqwaan ialah engkau harus belajar dari apa yang tidak kamu ketahui, dan beramallah dengan apa yang kamu ketahui" 182.
Berdasarkan riwayat ini, ketidaktahuan tidaklah dikategorikan sebagai udzur (alas an), bahkan seseorang harus tetap mempelajari apa yang tidak diketahuinya sehingga bisa beramal dengan ilmu. Demikian juga dicela mereka yang membenrkan amalan-amalan mereka padahal mereka bodoh, lalau dikatakan kepada mereka: "Kenapa kalian tidak belajar? ".183
2. Imam Ali a.s berkata dalam sebauh hadis singkat: "Barang siapa memiliki (bukan dimiliki, penej) syahwatnya, maka dialah orang bertaqwa" 184.
Sesungguhnya seseorang dengan ketaqwaannya dapat memiliki marah dan syahwatnya, cinta popularitas dan keduduk, keinginan menyerang, dan lain sebagainya. Ia akan dapat mengendalikan semuanya.
Dua riwayat ini memberikan sebuah defenisi indah, mencakup dan memberi pemahaman terhadap arti taqwa. Karenanya perlu sekali melakukan kajian mendalam terhadap kedua riwayat agung ini, terutama pada bulan Ramadhan yang berkah, mengingat taqwa adalah kunci masuk surga dan bekal di hari akhirat nanti.
Perumpamaan Keduapuluh Dua :
Amal-Amal Orang Kafir
Dalam surat Ibrahim, ayat ke 18 al-Qur`an al-Karim menyebutkan sebagai berikut: "Perumpamaan orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh".
Pengantar
Ayat tersebut menyajikan penjelasan tentang amal-amal baik orang kafir, dan berusaha mempercantik bahwa amal-amal mereka tidak diterima disebabkan oleh kekufurannya. Dari sini kemungkinan penghitungan amal-amal mereka dengan mengabaikan kekafirannya adalah sesuatu yang tidak dapat diterima.
Hubungan ayat tersebut dengan ayat sebelumnya
Ayat sebelumnya menjelaskan orang yang diistilahkan sebagai "semua orang yang berlaku sewenang-wenang lagi keras kepala"185 adalah orang malang yang putus asa dari kelembutan-kelembutan dan rahmat Allah, dan sesungguhnya neraka jahannam akan mencermati secara seksama orang-orang seperti ini, dan akan menuangkan air busuh yang tersebar baunya. Di sini mulcul sebuah pertanyaan; Apakah amal-amal baik orang kafir tidak akan diperhitungkan?
Umum diketahui bahwa berbagai amal baik telah dilakukan oleh orang-orang malang. Seperti Fir`aun, dikatakan ia memiliki dapur umum yang memasok makanan ke rumah-rumah di seluruh wilayah kota. Semua orang dari ornag-ornag miski, orang sakit, ibu hamil, dan lain sebagainya telah mendapatkan manfaat berupa makanan dari dapur ini.
Juga berbagai kebaikan penting telah datang dari para penguasa dzalim. Di sana pun banyak tersebar majid-masjid bersejarah dan mewah yang dibangun oleh orang-orang dzalim. Tangga atau pintu suci para Imam maksum a.s dan juga selainnya banyak dibangun dan didirikan serta diperbesar oleh orang-orang dzalim. Sebagai contoh adalah masjid al-Haram dan masjid an-Nabawi yang dibangun oleh penguasa dzalim keluwarga Saud. Demikian juga berbagai rumah sakit penting, universitas-universitas mewah, klinik, sekolah dan lain sebagainya telah dibangun oleh dan atas perintah orang-orang dzalim seperti mereka.
Namun bagaimana menurut Anda, apakah semua amal-amal baik ini akan memberi manfaat bagi para pelakunya yang dzalim di akhirat nanti? Tidakkah kelembutan-kelembutan Allah dan rahmat-Nya dengan amal-amal yang banyak ini akan menutupi mereka?
Sesungguhnya ayat perumpamana tadi yang penjelasan dan tafsirnya akan kami sajikan nanti adalah jawaban terhadap pertanyaan ini yang terlintas pada benak orang yang membaca ayat-ayat sebelumnya.
Syarah dan tafsir
Allah Swt berfirman: "Perumpamaan orang-orang yang kafir kepada Tuhannya". Sesungguhnya perumpamaan-prumpamaan al-Qur`an terbagi pada dua bagian. Bagian pertama adalah diperuntukkan terhadap amal-amal manusia, dan ayat ini termasuk bagian darinya yang menyajikan kajian terhadap amal-amal orang kafir.
Bagian kedua adalah perumpamaan-perumpamana yang diperuntukkan untuk manusia bersangkutan, dimana person-person tertentu diumpamakan seperti sesuatu sebagaimana terlihat dalam perumpamaan ayat ke 261 dalam surat al-Baqarah, yang mengumpamakan orang berinfak seperti biji gandum yang menghasilkan tujuh ratus biji lainnya.
Al-hasil, ayat mulia tersebut menyajikan orang-orang yang kafir kepada Tuhannya. Yang perlu dicermati pada ayat tersebut ialah menggunakan kata tunggal rob (Tuhan) sebagai pengganti kata tunggal Allah. Seakan ia ingin menunjukkan pada efek-efek ketuhanan pada setiap tempat dan rahmat serta berkat-berkat-Nya pada semua orang pada setiap saatnya. Ayat tersebut ingin mengatakan bahwa; Engkau mendafatkan manfaat dari nikmat-nikmat Allah yang itu saja sudah cukup seabagi alasan keharusan anda bersyukur kepada Allah pada setiap hari dan sepanjang hayat. Manusia selamanya harus bersyukur terhadap nikmat-nikmat-Nya.
Allah Swt berfirman: "amalan-amalan mereka adalah seperti abu". Ayat ini menyerupakan amal-amal baik orang kafir dengan abu atau debu. Ayat tersebut tidak menunjukkan amal-amal buruk mereka, karena memang sudah jelas tidak menarik untuk dibahas dan dijaki.
Manfaat abu
Di sini kami akan menunjukkan beberapa manfaat dan fungsi abu, sebagaimana berikut:
1. Apabila abu bercampur dengan tanah, maka ia akan menghasilkan pupuk yang sangat bermanfaat. Karena itu anda terkadang melihat para petani membakar sisa-sisa tanamannya setelah panen di kebun agar berubah menjadi pupuk yang bagus.
2. Abu juga berfungsi membersihkan benda-benda kotor, menghilangkan karatnya dan membuatnya mengkilap.pada zaman dahulu tukang patri (solder) biasa menggunakan debu untuk mengkilapkan baja agar bisa dijadikan alat cermin yang bening.
3. Manfaat lain dari abu adalah menjaga api dan panasnya, dimana ketika kita taburkan tanah ke api, maka ia akan padam. Namun jika kita lemparkan abu atasnya, maka ia tidak akan mati kecuali setelah beberapa saat.
Allah Swt berfirman: "yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia)".
Jelas sekali sekarang ini apabila angin topan datang, ia akan mengambil apapun yang ringan dan kecil. Dan setiap kali demikian segala sesuatu yang sulit dikumpulkan menjadi lebih kecil. Adapun abu akan sulit dikumpulkan, karena bagaian-bagian yang membentuk abu sedemikian kecil, sementara warnanya sesuai dengan warna tempat dimana ia jatuh. Apabila seluruh penduduk kota berkumpul, mereka tidak akan dapat sedikitpun mengumpulkan kembali abu yang telah beterbangan.
Sesungguhnya badai kekupuran akan berfungsi menghancurkan terhadap amal-amal orang kafir sebagaimana badai alami memporak-porandakan abu, dimana tidak ada lagi sesuatu yang tersisa dari amal-amal baik orang kafir.
Allah Swt berfirman: "Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh". Penyimpangan mereka dari jalan yang lurus sebagaimana penyimpangan dan tersesat jauh dari jalan sehingga sulit untuk kembali ke jalan yang benar.
Sasaran-sasaran ayat
1. Iman merupakan syarat sahnya sebuah amal
Tonggak amal-amal baik adalah keimanan. Apabila sebuah amal baik tidak disertai keimana, maka ia akan kehilangan nilainnya.
Para ahli fiqh senantiasa menyebutkan iman sebagai syarat diterima sebuah ibadah, dan bahkan syarat sahnya sebvuah ibadah. Artinya bahwa shalat, puasa, haji, ingfak, memberi bantuan kepada mereka yang membutuhkan, dan lain-lainnya tidak akan lagi bernilai apabila tidak serasi dengan iman.
Pembahasan sama juga muncul dalam tema wilayah (kepemimpinan). Sebagian kaum muslimin meyakini bahwa berwilayah adalah syarat diterimanya amal.
Artinya -berdasarkan pandangan kelompok syi`ah- amal-amal tertebut tetap dikategorikan sebagai amal baik, hanya saja Allah tidak akan menerimanya jika tidak disertai dengan keyakinan terhadap wilayah. Sebagian mereka bahkan ada yang meyakini bahwa wilayah merupakan syarat sah dan diterimanya sebuah amal.
Artinya hukum taklif tidak akan gugur dari seseorang yang tidak meyakini wilayah.
Terkait pembahasan ini, banyak sekali riwayat dalam referensi-referensi syi`ah, dan sebagai contoh salah satunya akan kami sebutkan di sini;
Imam al-Baqir a.s berkata: "Apabila seseorang beribadah di malam hari (qiyâmullail, penej), puasa di siang harinya, menginfakkan seluruh hartanya, dan hajji sepanjangumurnya, namun ia tidak mengenal wilayah wali Allah...., maka selamanya Allah tidak berhak memberikan pahala kepadanya" 186.
Ayat tersebut berbicara tentang keimanan kepada Allah dan menyatakan bahwa orang yang tidak memiliki iman tidak akan mendapatkan pahala, sekalipun ia telah melakukan amal yang paling baik. Pembahasan ini juga telah disinggung pada ayat-ayat lainnya, seperti ayat-ayat berikut ini:
a. Terdapat dalam surat al-Baqarah ayat ke 264 yang sempat juga dibahas pada pembahasan sebelumnya, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir".
b. Dalam surat an-Nur ayat ke 39 sebagai berikut: "Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya".
c. Dalam surat al-Furqan ayat ke 23 sebagai berikut: "Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan". Ayat ini dan juga ayat-ayat lainnya belum memberikan nilai apapun terhadap amal yang tidak disertai iman.
d. Dalam surat at-Taubah ayat ke 54 sebagai berikut: "Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan RasulNya dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan".
Ayat ini pun menggambarkan bahwa imam merupakan syarat dikabulkannya sebuah amal. Ayat ini dan ayat-ayat lainnya serta beberapa riwayat mengkategorikan iman sebagai syarat sah dan sempurnanya sebuah amal. Sebagaimana juga ayat dan riwayat-riwayat tersebut menggambarkan berwilayah dengan posisi yang sama dengan keimanan kepada Allah.
Kenapa iman dan wilayah menjadi syarat kesahihan sebuah amal?
Dengan kata lain, kenapa Allah Swt tidak membuka amal-amal baik dan buruk orang kafir dengan penghitungan yang tersendiri. Yakni menghitung amal-amal buruk orang kafir dengan timbangan yang sama ketika menghitung amal-amal baiknya?
Jawaban: Jawabanya telah ada juga dalam beberapa ayat dan riwayat hadis yang mengkategorikan iman dan wilayah sebagai dua syarat kesahan sebuah amal.
Terdapat sebuah riwayat dari Imam a.s: "dan tidak mengenal; wilayah wali Allah, lalu ia berwilayah kepadanya dan seluruh amalannya menjadi indikasi kepadanya". Artinya bahwa amal-amal shaleh bersyarat dan memiliki pengantar sesuai petunjuk imam maksum itu sendiri. Apabila belum sesuai secara sempurna dengan petunjuk-petunjukknya, maka berarti ia bersumber dari hawa nafsu dan ketidaksadaran yang dilakukan bukan pada tempatnya.
Ketika orang-orang non-mukmin melakukan amal shaleh seperti orang-orang sakit yang mengobati diri mereka dengan obat-obatan tertentu tanpa resep dari dokter. Proses pengobatan seperti ini justru akan mendatangkan bahaya lebih besar yang terkadang menyebabkan kematian.
Sesungguhnya Rosulullah Saw dan para imam a.s adalah dokter-dokter ruhani. Ketika seseorang hendak mengobati sakitnya, maka hendaknya ia berbuat sebagaimana anjuran mereka, bukan anjuran selainnya.
Dari sini Imam Ali a.s membagi manusia kepada tiga bagian -dalam ucapan indahnya yang ditujukan kepada Kumai bin Ziad-: 1) para ulama rabbani yang selalu ditemuakn berjalan pada jalan hidayah dan jalan yang lurus.
2) Mereka yang senantiasa belajar dan selalu berusaha mencari manfaaf dari ilmu para ulama dan guru sehinga sampai pada jalan hidayah dan keselamatan.
Dua tipe kelompok manusia ini bagaikan matahari dan bulan dimana salah satunya menjadi sumber cahaya dan penerangan. Sementara yang satu sekali pun bukan sumber cahaya, ia mendapatkan cahaya dari orang lain sebagai lentera sehingga bisa berjalan dengan lentera tersebut di kegelapan malam.
3) Kelompok ketiga ialah mereka yang bukan termasuk kelompok ustad dan juga buka mereka yang mau belajar kepada para ustadz dan berada pada jalan keilmuan. Mereka bukan sumber cahaya dan dan tidak pula mau mendapatkan cahaya dari orang lain. Mereka orang-orang awam yang bodoh dan picik, yang mengikuti semua suara -yang benar maupun yang salah- bergoyang bersama setiap angin yang menembus, tidak berjalan dengan cahaya ilmuya dan tidak melindungi dirinya dengan berpegangan pada perlindungan yang kuat.
Sesungguhnya orang-orang yang menjauh dari langkah dakwah para Imam maksum a.s dan menolak berwilayah, padahal mereka akan ditunjukkan kepada amal-amal yang baik, mereka termasuk bagian dari kelompok ke tiga di atas. Seluruh kehidupan mereka adalah bengkok dan kesasar. Kondisi mereka seperti pohon yang bergoyang-goyang sesuai arah mata angin menghembus.
Atas dasar ini, falsafat pensyaratan keimana dan wilayah ialah petunjuk agar agal-amal mengarah kepada jalan yang lurus, dan kondisinya seperti seorang sakit yang sedang menjalani pengobatan seornag dokter spesialis.
2. Motif-motif spiritual orang-orang non mukmin
Sasaran kedua ayat tersebut ialah bahwa orang-orang non mukmin tidak memiliki motif-motif spiritual atau maknawi, melainkan kebanyakannya hanyalah motif-motif material semata. Sebagai contoh dri itu semua ialah sumbangan-sumbangan kemanusiaan yang dilakukan oleh sepertiga manusia di berbagai wilayah. Demikian itu diperuntukkan semata untuk pengkhidmatan manusia dan akhlaki yang sampai kepada mereka yang membutuhkan. Namun pada saat yang sama praktek-praktek kemanusiaan ini banyak dipergunakan untuk memata-matai demi kepentingan negara-negara besar.
Tujuan-tujuan bantuan ini terkadang dimaksudkan menjaga kehidupan kelompok tertindas guna mengeksploitasi mereka lebih besar dan lebih besar lagi, sebagaimana dilakukan oleh para tuan dan pedagang budak. Mereka memberi mereka makanan sekedar untuk menjaga agar mereka tidak mati. Pemberian makanan yang sama sekali tidak dapat mengenyangkan mereka. Karenanya kita melihat bahwa tujuan sebenarnya sebagian bantuan-bantuan kemanusiaan tersebut adalah tujuan materi, bukan kemanusiaan.
Hal ini telah sebagaimana ditunjukkan dalam surat at-Taubah ayat ke 45 -yang syarahnya telah kami paparkan-. Allah Swt berfirman: "Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan RasulNya dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan".
Dari itu, Imam Ali a.s telah berpesan kepada Malik al-Asytar sebagai kontrak perjanjian untuknya agar memilih waktu paling baik untuk shalatnya 187, karena kalau engkau menyempurnakan hubungamu dengan PenciptaMu, maka Allah akan memperkuat hubunganmu dengan seluruh makhluk-Nya.
Atas dasar ayat tersebut, sesungguhnya infak-infak orang munafik dan non mukmin, serta bantuan material mereka tidak akan muncul dari niatan tulus, melainkan dari ketidak senangan dan keebncian.
Tidaklah ada nilainnya apa yang mereka infakkan sekalipun mereka mengeluarkan harta kekayaannya lebih banyak dan lebih baik lagi. Demikian itu karena tidak adanya keimanan kepada Allah dan ketidak mauan berwilayah, sebagiamna amalan-amalan mereka tidak mungkin muncul dari niatan yang baik. Sebagai contoh, apabila seornag mukmin ingin membangun sebuah sekolah, maka ia memilih sebuah lokasi biasa yang pas sehingga jauh dari keributan, sebagaimaan juga mereka tidak akan pelit mengucurkan kekayaan-kekayaannya untuk tujuan ini. Adapun seorang non muslim atau munafik karena tujuannya adalah ria dan unjuk diri, ia akan memilih lokasi pembangunan yang mencolok dari pandangan umum dan di kawasan yang tidak membutuhkan keberadaan sebuah sekolah. Ia tidak memikirkan fungsi bangunannya, tujuannya hanyalah kemegahannya saja.
Perbuatan-perbuatan non muslim kebanyakan berasal dari hawa nafsu dan kegilaan semata, dan untuk tujuan mencari posisi serta popularitas, yang tidak ada keterkaitannya dengan niatan ikhlas. Karenanya, kita meyakini bahwa orang-orang non muslim tidaklah mungkin bisa menyandnag akhlak yang baik.
Ihbâth (Pehapusan amal) dalam al-Qur`an
Sebagaimana iman dan wilayah menjadi syarat pada permulaan amal, dan tidak ana nilainya sebuah amal tanpanya, demikian juga kekontinyuaan dan kelanjutannya. Kedua syarat ini hendaknya selalu ada hingga akhir hayat, ketika berpindah dari alam ini ke alam akhirat.
Atas dasar ini, kalau ada seseorang datang dengan membawa beberapa amal baik, namun pada saaat-saat terakhir usianya ia melepas keimanannya, maka selamanya amal-amal baik dia di dunia tidak akan berarti apa-apa di akhirat nanti.
Inilah di antara conton ihbâth yang telah dipaparkan al-Qur`an dengan sangat jelas, paling tidak ada enam belas ayat berbicara tentangnya, dan dua diantaranya akan kami paparkan di sini:
1. Terdapat dalam surat al-An`âm ayat ke 88 sebagai berikut: "Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan". Ayat ini menjelaskan bahwa syirik adalah salah satu faktor yang dapat memusnahkan (ihbâth) amal-amal baik.
2. Juga dalam surat Az-Zumar ayat ke 65 sebagai berikut: "Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi".
Sekalipun ayat tersebut dimaksudkan kepada Rosulullah Saw, namun jelas bahwa beliau merupkan pusat tauhid dan kesucian, dan tidak pernah ada satu saat pun terlibat dalam kemusyrikan. Karenanya menruut kami, ayat tersebut dimaksudkan sebagai peringatan kepada orang lain dan bukan kepada beliau Saw.
Ikhbâth (pengguguran) di alam raya.
Apakah adil jika amal-amal yang banyak bisa digugurkan dengan sebuah dosa tertentu? Atau dengan kata lain, apakah prakterk pengguguran tersebut sesuai dengan aturan hukum-hukum alam?
Jawabannya adalah, sebenarnya proses ihbâth juga dapat disaksikan di alam raya ini. Ia juga terdapat di alam tasyrî` (perundang-undangan) dan aturan-aturan agama, sebagaimana juga terdapat dalam ritinitas kita sehari-hari.
Siang malam lahan-lahan pertanian digarap dan petani mencurahkan segenap usahanya untuk menjaga kebun yang luas dan penuh dengan berbagai macam buah-buahan. Hanya saja ia menyalakan api dipinggirannya dan untuk beberapa saat ia lalai dan tidak menjaganya, dan ternyata api telah melalap seluruh kebun sehingga menghabiskan seluruh usaha kerasnya uang telah ia curahkan untuk kebun ini.
Seseorang yang lurus sepanjang umurnya telah melakukan segala kebaikan dan langkah yang benar, karena sebab tertentu ia mengkonsumsi obat-obat terlarang (NARKOBA) sehingga badannya menjadi sangat kurus, sakit-sakitan, lemah tidak ada daya dan kekuatan, dan kehilangan kegembiraan dan kesenangan. Atas dasar ini, sesungguhnya api telah menghanguskan (ihbâth) lahan-lahan pertanian dan tidak berhasil memanennya, dan NARKOBA tersebut telah menghanguskan kebaikan dan kelurusannya.
Mungkin kita bisa memberikan contoh yang ketiga. Sebuah bendungan raksasa telah dibangun dengan melibatkan para pekerja dan insinyur selama beberapa tahun terus menerus. Setelah dipenuhi air dan dipergunakan untuk tujuan-tujuan tertentu, datanglah sebuah banjir besar, sementara para petugasnya lupa tidak membukan pintu pembuangan air untuk mengurangi tekanan air tehadap bendungan tersebut. Sebuah tindakan cerobah yang telah menyebabkan hancurnya bendungan dan usaha selama bertahun-tahun lamanya.
Atas dasar ini, ihbâth tidaklah hanya terbatas pada permasalahan-permasalahan agama dan akidah, melainkan juga terjadi dalam kebiasaan dan aktivitas-aktivitas keseharian seseorang, ia pun tidak bertentanagn dnegan konsep keadilan ilahi. Jelas diketahui bahw penyebab ihbâth ini ialah perbuatan manusia itu sendiri. Dirinya sendirilahyang telahmenyebabkan kebunnya habis terbakar, hilangnya kekuatan tubuh karena telah mengkonsumsi obat-obatan terlarang, dan hancurnya bendungan.
Karena itu, orang-orang muslim hendanya tidak hanya berfikir melakukan kebaikan-kebaikan saja, melainkan juga harus berfikir bagaimana cara menjaganya.
Sesungguhnya menjaga amal-amal baik tersebut akan jauh lebih sulit daripada saat mendatangkannya. Terkadang seseorang membakar kebun kehidupannya dengan sesuatu yang sepele saja, sebagaimana tergambarkan dalam surat al-Baqarah ayat ke 264. ayat dalam surat al-Baqarah ini menjelaskan bagimana menyebut-nyebut pemberian dan mencaci maki orang yang diberi akan menghilangkan (mengihbâth) infak-infak dan sadaqahnya.
Ketika ada seseorang yang merawat serta mendidik seorang yatim semenjak hingga tumbuh dewsa, ia sekolahkan dari SD hingga universitas, lalu ia mengawinkannya. Namun pada suatu hari di muka publik ia katakan kepada halayak tentang anak yatim ini: sebelumnya ia tidak lebih dari seorang anak yatim.
Akulah yang telah mengangkatmu, menyekolahkanmu hingga ke universitas dan memberimu segalanya sehingga menjadi seperti ini. Bersandar pada ayat al-Baqarah tersebut, orang ini telah mengihbâth seluruh alamnya yang telah ia lakukan sepanjang hidupnya.
Dengan kesimpulan dari beberapa ayat al-Qur`an, kaum muslimin tidak berhak menunjukkan perangai buruk terhadap Rosulullah Saw, atau meninggikan suara mereka di atas suaranya. Dan kalau mereka tetap demikian, maka gugurlah seluruh amal mereka. Allah Swt berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari" 188.
Demikian rasa hasud atau iri dengki juga termasuk di antara faktor yang dapat mengihbâth amal. Dalaam beberapa riwayat Rosulullah Saw bersabda:
"Hati-hatilah kalian dengan hasud, sesungguhnya ia memakan kebaikan-kebaikan sebagaimana api melahap kayu bakar" 189.
Terakhir, sesungguhnya iman dan wilayah adalah dua syarat kesahan amal, dan ketiadaan keduanya akan menyebabkan gugurnya sebuah amal, baik di lakukan di awal atau di akhir usia sesorang.
Perumpamaan Keduapuluh Tiga dan Keduapuluh Empat:
Kalimat Yang Baik dan Kalimat Yang Buruk
Allah Swt berfirman dalam surat Ibrahim ayat ke 24, 25 dan 26 sebagai berikut: "Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun".
Pengantar pembahasan
Ketiga ayat ini merupakan di antara ayat terindah dan terbaik dalam menyajikan perumpamaan Qur`an. Ayat-ayat itu benar-benar ayat perumpamaan yang indah dan sempurna terhadap kalimat yang baik (kalimah thayyibah) di satu sisi, dan kalibat yang buruk (kalimah khabîtsah) di sisi lain. Di dalamnya Allah mendeskripsikan manfaat dan efek-efek pendidikan untuk masing-masing dari keduanya.
Keterkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya
Membicarakan dua perumpamaan kalibat ini tidaklah bisa lepas dari tema pembicaraan pada ayat-ayat sebelumnya, yang menisbatkan kalimat yang baik kepada Allah dan kalimat yang buruk kepada syetan. Ayat-ayuat tersebut juga mengandung pelajarna dna pemahaman yang tinggi. Berikut ini bunyi surat Ibrahim ayat ke 22:
"Dan berkatalah syaitan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan: "Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan akupun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamupun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu." Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih".
Perlu kiranya diperhatikan bahwa pengutipan dua kalimat pada ayat tersebut. Salah satunya adalah untuk Allah, yaitu janji yang benar (hak) yang akan akan dipenuhi oleh Allah Swt. Inilah perwujudan kalimat yang baik. Kedua adalah untuk syetan, yaitu janji palsu yang tidak akan pernah dipenuhi oleh syetan. Inilah perwujudan dari kalimat yang buruk.
Berdasarkan pesan ayat tersebut, sesungguhnya mengabulkan ajakan syatan adalah ikhtiyari sifatnya, dan bukan pemaksaan (jabr). Maka setiap orang yang ikut kepada syetan, ia ikuti dengan sekehendaknya. Karenanya pada hari kiamat syetan akan mengejek manusia, karena manusia benar-benar mengetahui keburukan tabiat syetan, namun ia tetap saja mau mengikutinya.
Tidakkah manusia tahu trik tipu daya syetan kepada ayahnya Adam a.s? Tipu muslihatnyalah yang telah menyebabkan Adam dikeluarkan dari surga 190 . Tidakkah manusia mendnegar sumpah syetan untuk menggangu dan menggelincirkannya dari jalan yang lurus, yang datang melalui samping kanan dan kiri, depan dan belakangnya?191 Lalu kenapa manusia dengan segala pengetahuannya yang jelas masih juga masih mau ditipu daya syetan dan meninggalkan firman Allah yang benar?
Syarah dan Tafsir
Allah Swt berfirman: "Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit". Sesungguhnya pohon yang dijadikan Allah sebagai perumpamaan di sini memiliki lima keistimewaan, yaitu:
1. Thayyibah (baik). Keistimewaan pertama ia adalah pohon yang baik, yakni pohon yang bersih dan memiliki wangi yang disukai. Ada beebrapa pohon yang keseluruhan bagiannya dapat dimanfaatkan; daun, ranting, buah, akar dan getah-getahnya, pemandangannya indah dan wanginya menyenangkan. Namun ada juga beberpaa pohon yang sebaliknya, tidak enak dipandang, wanginya tidak enak, akarnya bau busuk, dan buahnya pun pahit.
Pohon yang dijadikan perumpamaan oleh Allah Swt adalah pohon yang berguna, baik dan indah.
2. Akarnya menacap. Keistimewaa kedua pohon perumpamana ini adalah akarnya yang kuat menancap ke bumi. Di antara fenomena kekuasaan Allah Swt, Ia telah menjadikan kesesuaian/keseimbangan antara batang-batang pohon dan akar-akarnya. Setiapkali batangnya semakin besar dan banyak, maka akar-akarnya pun semakin kuat, banyak dan dalam. Demikian itu untuk menjaga cabang-cabangnya dari terpaan angin-angin topan dan banjir.
3. Cabangnya menjulangke langit. Keistimewaan ketiga ialah pertumbuhannya menaik dan menjulang menuju langit. Telah diketahui bahwa fungsi akar ialah mengantarkan bahan bakaan ke cabang-cabang dan daun pohon, namun apa fungsi batang pohon yang tinggi sekali dan menjulang ke langit?
Di sini kami akan tunjukkan fungsi dan manfaat batang pohon yang menjulang ke langit;
a. Bagian batang pohon yang lebih menjulang ke langit akan sanggup bernafas lebih baik dari batang-batang lainnya. sebagaiaman diketahui bahwa daun-daun pepohonan selalu bernafas, dan yang menakjubkan di sini ialah kebuthan bernafas manusia kebalikan dari kebutuhan bernafas manusia. Ketika pohon bernafas, ia akan menghirup karbon dioksida dan melepaskan oksigen, sementara manusia akan menghirup oksigen dan melepaskan karbon dioksida.
Falsafah perbedaan cara bernafas ialah apabila pepohonan bernafas dengan menghirup gas-gas yang dibutuhkan manusia, maka bumi ini dalam jangka waktu cukup singkat akan menjadi tempat yang tidak layak lagi di huni sebagai tempat hidup, karena sedikit demi sedikit oksigen akan habis, dan tidak akan ada lagi yang tersisa di udara kecuali karbon dioksida. Jensi gas yang dapat membunuh manusia.
Untuk itu, kita hendaklah menanam pepohonan di berbagai kota, terutama kota-kota besar untuk menjernihkan udara dari gas-gas beracun yang muncul dari pencemaran-pencemaran kenalpon dan asap-asap pabrik, disamping pohon-pohon tersebut akan mensuplai kebutuhan ogsigen untuk kita. Sesungguhnya rahmat Allah datang dengan udara yang bersih dan akan hilang dengan udara yang tercemari polusi.
b. Batang-batang yang menjulang tinggi dapat mengambil manfaat cahya matahari dengan lebih baik. Cahaya matahir memberi efek besar terhadap proses pertukaran oksigen dan karbon dioksida pada pohon. Karenanya udara taman jauh lebih baik di siang hari di banding pada malam hari yang pengap.
c. Batang pohon yang menjulang ke atas pastri lebih aman dari terpaan debu dan pencemaran-pencemaran yang dilakukan manusia di permukaan bumi.
Pelajaran penting untuk diketahui
Di antara pelajaran-pelajaran ilahi yang kita coba gali di sini ialah bahwa bumi menarik air yang permukaannnya meninggi dan menyerapnya ke tingkat paling rendah, yakni hingga ke kerak bumi. Inilah sebuah ketentuan umum. Namun yang menakjubkan di sini ialah pepohonan menyerap air yang ada disekitarnya tanpa perlu menelusurinya hingga bagian paling dalam perut bumi untuk dirubah menjadi lobang air. Pepohonan dengan feran mengantarkan air ke batang-batang dan daun, ia bergerak berlawanan dengan daya gravitasi bumi, dan cara kerjanya seperti cara kerja pompa air besar yang membentang dan tersebar di hutan lebat dengan kandungan air yang banyak, tanpa suara dan bergerak melawan daya gravitasi bumi. Dan apakah selain Allah kuasa melakukan demikian?
Akhirnya kami ingin katakan, keistimewaan ketiga pohon yang baik ialah memiliki cabang-cabang yang menjulang ke atas hingga sanggup mengghirup udara yang jernih dan jauh dari permukaan bumi, sebagaimana juga ia dapat menyerap cahaya matahari dengan lebih baik dibanding batang-batang lainnya. Ia dapat terlindungi dari menghirup udara berpolusi dari udara bumi.
4.Dengan seizin Tuhannya. Keistimewaan terakhir pohon yang baik ialah buah-buahnya dapat dipanen pada setiap musim, hanya saja ia akan tumbuh dan bekerja sesuai dengan aturan-aturan hukum alam dan tidak mungkin menyimpang darinya. Ia akan tunduk pada hukum-hukum alam yang telah Allah Swt jadikan. Hal ini bahkan tidak hanya khusus pada pohon saja, melainkan semua yang ada di alam tunduk dan patuh kepada-Nya. Allah Swt berfirman: "padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi" 192.
Allah Swt berfirman: "Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk". Pohon buruk ini dicirikan dengan dua hal;
1. "yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi". Artinya ia memiliki akar yang tidak tertancap di bumi dengan kuat. Akar-akar pohon yang buruk mengangkat dari bumi sehingga tidak dapat menjaga pohon dari serangan angin topan dan banjir. Ia adalah akar yang tercerabut.
2. "tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun". Yakni tidak memiliki sanggahan kuat sehingga mudah goyah diterpa angin sekecil apapun. Pohon tersebut tidak berbuah yang bermanfaat dan tidak pula memiliki wangi yang enak. Ia tidak dapat dijadikan tempat bernaung, dan tidak dapat dimanfaatkan kecuali sebagai kayu bakar saja.
Apa itu kalimat yang baik?
Di sana terdapat pembahasan diantara kalangan para mufassir tentang makna kalimat yang baik, dan di sini kami hanya akan menunjukkan sebagian darinya saja;
1. Sekelompok mufassir meyakini bahwa arti kalimat yang baik di sana adalah kalimat "lâ ilâha illallah" (Tiada Tuhan selain Allah)193 . Kalimat tauhid ini seperti pohon baik yang akarnya menancap kuat ke bumi dan cabang-cabangnya menjulang tinggi ke langit, yang pada hakikatnya ia adalah pohon kebahagiaan seseorang. Pohon ini yang merupakan hakikat tauhid akan menghidupkan hati seseorang dan akan menghancurkan segala macam bentuk berhala di dalamnya.
Dengannya seseorang akan dijauhkan dari bersujud kepada berhala harta, menyogok, riba, mencuri dan melanggar. Ia tidak akan pernah berbohong dengan ribuan kebohongan untuk mempertahankan posisinya, tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan kriminal untuk mempertahankan hartan duniaya. Demikian itu karena semua perbuatan-perbuatan ini terkategorikan sebagai syirik sehingga akan dipanggil di akhirat sebagai munafik atau fajir (cabul).194
Sesungguhnya tauhid jika ia hidup dan tertanam dalam hati seseorang, ia pasti mengalahkan dan menghancurkan hawa nafsu dan dorongan keinginan tak terpuaskan yang menjadi sebab utama segala macam penyimpangan.
Dalam hal ini terdapat sebuah riwayat indah: "tuhan sembahan yang paling dibenci Allah di muka bumi adalah hawa nafsu" 195 . Sesungguhnya pohon tauhid yang baik itu jika ditanam dalam hati seseorang, ia pasti menghancurkan segala bentuk berhala di sekitarnya.
2. Sebagian mufassir lain meyakini bahwa maksud dari kalimat yang baik ialah sorang mukmin. Di dalam al-Qur`an memang kalimat yang baik (kalimah thayyibah) telah diperuntukkan untuk berbagai hal, dan seorang mukmin (al-mukmin) juga termasuk diantara kalam ilahi. Demikain juga matahari, bulan, bintang-bintang, langit dan bumi seluruhnya adalah kalimat-kalimat Allah. Ia adalah kitab takwini Allah Swt, sebagimana juga istilah kalimat ini dipakai untuk menunjukkan al-Masih a.s .196
Sesungguhnya pohon keberadaan seorang mukmin ialah dari sisi pohon yang baik yang dapat berbuah di semua musim, dan buahnya adalah keberanian, kedermawana, kasih sayang, kecintaan, kebaikan, iman, dan lain sebagainya 197.
3. Sejumlah mufassir lain telah mentafsirkan kalimat yang baik tersebut dengan para imam a.s.
Sesungguhnya para imam a.s benar-benar menyerupai pohon yang baik yang dahan-dahannya dipenuhi dengan buah. Setiap orang yang mempelajari sejarah perjalanan dan hidup mereka, berusaha mendekati dan menziarahi pemakaman-pemakaman, atau mencermati ceramah dan perkataan-perkataannya, atau membentangkan tangan untuk meminta pertolongannya, maka tidaklah akan tersisa…252. 198
4. Para ulama adalah tafsiran lain para mufassir terhadap kalimat yang baik. Demikian itu karena orang-orang mendapatkan manfaat dari buah keberadaan mereka.
5. Tafsiran kelima kalimat yang baik adalah pemikiran yang jernih. Sesungguhnya pemikiran-pemikiran yang jernih dan bersih menyerupai pohon yang baik yang dapat tumbuh sepanjang sejarah.
6. Tafsiran kelima untuk kalimat yang baik ialah perkataan yang baik. Sesungguhnya sebuah ucapan yang baik akan tumbuh, kekal dan masyarakat dapat mengambil manfaat darinya .199
Di sana terdapat sebuah riwayat terkenal dari Nabi Saw yang tertulis dalam kitab Irsyâd ad-Dailamî dimana di dalamnya berliau bersabda: "Tidaklah seorang muslim memberikan hadiah kepada saudara muslimnya yang lebih baik daripada hadiah kalimat hikmah (bijak). Dengan itu Allah Swt akan menambahkan kepadanya petunjuk dan memalingkannya dari ketergelinciran" 200.
Dalam kisah nabi Isa dan Khidhr a.s disebutkan ketika keduanya sampai ke kota Anthoqiyah dan menemukan prilaku buruk penduduk kota itu. Mereka keluwar dari kota dan di sana ditemukan sebuah dingding yang roboh, maka Khidr memerintahkan untuk memperbaikinya kembali. Perintah tersebut sangat mengejutkan bagi Musa sehingga saat itu Khidr berkaat kepadanya: Sesungguhnya dibawah dingding tersebut ada hara karun untuk dua anak yatim. Ayahnya seorang yang sangat baik sekali dan berharap agar keduanya pun kelak menjadi sepertinya.
Dalam beberapa riwaya disebutkan bahwa harta tersebut bukanlah berupa emas dan perak, melainkan sekumpulan hukum yang sang ayah tinggalkan untuk keduanya 201 , sebagaimana jika dinisbatkan kepada perkataan berharga dari Amirul mukminin a.s yang pasti lebih mahal dari sebuah harta karun. Peninggalannya dapat berguna bagi setiap masa dna setiap generasi.
Kalimat yang baik dari Imam al-Hasan al-Mujtaba
Sesungguhnya Junadah bin Abu Sufyan, diantara salah seorang sahabat Imam al-Husein a.s yang mukhlis. Ia meminta kepada Imam agar memberi sesuatu di akhir-akhir masa hidupnya, sementara Imam sedang dalam kesehatan yang kurang memungkinkan untuk melakukannya, namun ia dapat memberikan bekal kepada orang mukhlis ini dengan beberapa nasihat indah dan kandunagn yang dalam. Diantaranya adalah sebagai berikut:
"Kalau anda mengiginkan kemuliaan dengan tanpa klan (nama keluwarga besar, penej) dan pengaruh dnegan tanpa kekuasaan, maka keluwarlah dari kehinaan bermaksiat kepada Allah kepada kemuliaan mentaati-Nya Azza wa Jalla" 202. Ini memang sangat benar sekali, kemuliaan dan kekuasaan ada pada ketaatan kepada Allah dan beribadah kepada-Nya. "Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah"203 .
Perumpamaan keduapuluh Lima:
Allah Memiliki Perumpamaan yang Maha Tinggi
Allah Swt berfirman dalam surat an-Nahl ayat ke 60 sebagai berikut: "Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk; dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi; dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".
Pengantar;
Sebagaiman telah saya sebutkan sebelumnya, tujuan perumpamana dalam al-Qur`an adalah untuk menjelaskan secara lebih kongkrit empirik berbagai permsalahan rasional teologis sehingga dapat dipahami oleh semua kalangan, karena al-Qur`an memang diperuntukkan untuk semua kalangan manusia. Ia berdialog dengan para ilmuan berilian, sebagaimana juga berdialog dengan orang yang paling rendah pemahamannya diantara mereka.
Terdapat perdebatan di antara para mufassir apakah ayat tersebut di atas termasuk ayat perumpamaan atau tidak? Sebanya adalah karena ada dua tafsiran terhadap ayat tersebut. Salah satunya menyebutkan bahwa ia merupakan ayat perumpamaan, dan yang lainnya menyatakan bukan perumpamaan. Dan untuk menjelaskannya kami akan paparkan di sini kedua penafsiran tersebut:
Tafsiran Pertama;
Sesuai dengan tafsiran pertama, kata matsal (perumpamaan) dalam ayat tersebut muncul dengan pengertian sifat. Yakni orang-orang yang dhalim, berbohong, membunuh, KKN, dan lain sebagainya itu bisa dipastikan mereka tidak meyakini hari kiamat, karena kalau meyakininya, mereka tidak mungkin melakukan dosa-dosa ini. Allah Swt berfirman dalam surat al-Muthaffifin ayat ke 4 sebagai berikut: "Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan".
Berdasarkan kesimpulan ayat tersebut, sesungguhnya sebab orang-orang curang berlaku curang ialah tidak adanya keyakinan dan keimanan pada mereka akan hari kiamat.
Memang benar, orang-orang non-mukmin memikul sifat-sifat yang jelek dan buruk. Dari sini, seseorang hendaknya berjalan menempuh seluruh langkah dalam naungan jalan/system yang dapat membimbing perjalananya. Dan kalau tidak, maka banyak diantara mereka orang-orang yang melakukan dosa untuk mencari harta dan kekayaan, sekalipun itu sia-sia, hina dan sepele.
"dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi", karena Ia Maha Kuasa yang tidak mungkin ada keterpaksaan, sebagaimana Ia juga Maha Bijaksana dan Maha memiliki jalan yang lurus.
Sesungguhnya merek ayang memiliki kekuasaan secara lahir banyak yang tidak bijaksanaan dan tidak menggunakan kekuasaannya secara benar.
Kekuasaan sebenarnya memiliki efek yang sangat banyak, diantaranya adalah lalai dari kebijaksanan, aturan dan perencanaan. Namun Allah Swt yang Maha Kuasa -yang memiliki kuasa dan kekuasaan paling tinggi- adalah secara mutlak Dzat Yang Maha Bijaksana.
Atas dasar tafsiran ini semua, ayat tersebut tidak diaktegorikan sebagai ayat perumpamaan.
Tafsir kedua
Menurut tafsiran kedua ini, kata matsal (perumpamaan) pada ayat tersebut disini tetap terjaga dalam makna literalnya. Sesunggunya mereka yang tidak berimana kepada hari kiamat dan ma`ad baik dalam aksi maupun dalam keyakinannya, mereka memiliki perumpamana buruk sebagaimana perumpamaan-perumpamaan lain yang disebutkan dalam al-Qur`an al-Karim.
Sesungguhnya perumpamaan yang disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat ke 18 yang terkait dengan orang-orang munafik adalah diantara sejumlah perumpamaan buruk yang dialamatkan kepada mereka yang tidak meyakini ma`ad. Di sini Allah Swt berfirman: "Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat" 204.
Diantara contoh perumpamaan dalam hal ini ialah perumpamaan yang disebutkan dalam surat al-A`raf ayat ke 176. di dalamnya Allah Swt menyerupakan orang-orang musyrik di dini dengan anjing yang sakit yang selalu menjulur-julurkan lidahnya yang tidak lagi membedakan mana kawan dan mana lawan.
"dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi", artinya bahwa Allah Swt memiliki perumpamaan-perumpamaan yang tidak ada pada selain-Nya, karenanya Allahlah yang memiliki perumpamaan yang paling tinggi, dan perumpamaan-perumpamaan lain di sisi-Nya adalah kurang. Demikian itu karena perumpamaan-perumpamana kita diambil dari alam maujud-maujud yang mumkin sifatnya sehingga seluruh hasilnya pun kurang dan terbatas, dan tidak mungkin bisa dibayangkan yang tidak terbatas dengan keterbatasan.
Ayat berikutnya; "Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui" 205, dimaksudkan untuk penjelasan ini.
Meskipun demikian, ketika kita hendak menjelaskan perumpamaan Allah Swt, maka ayat ke 35 dalam surat an-Nur jauh lebih pas. Di sana Alalh Swt diumpamakan dengan cahaya, karena tidak ada maujud yang memiliki manfaat, berkah, kelembutan, dan kecepatan lebih banyak dari cahaya. Maka sesunggunya bagi Allah lah perumpamaan yang paling tinggi dan mulia.
Pertanyaan, terkadang terlintas dalam benak pertanyaan; kalau Allah menciptakan segala sesuatu, lalu siapa yang menciptakan Allah?
Jawabnya, memang benar Allah menciptakan segala sesuatu, namun tidak ada sesuatu apapun yang telah menciptakan Allah. Demikian itu adalah karena Allah adalah maujdud yang azali dan abadi. Artinya Ia maujud selamanya; lalu, sednag dan akan datang. Ia selamanya tidak akan pernah mengaami diciptakan sehingga memunculkan sang pencipta baginya. Untuk penjelasan lebih lanjut hal ini, kami mengharap perhatian kalian pada perumpamana berikut yang di dalamnya terdapat penjelasan terhadap permasalahan-permasalahan rasonal;
Sesungguhnya batu bara yang merupakan sampah-sampah hutan yang ada pada masa lalu sebagai akibat dari kekuatan sinar matahari. Dmikian juga minyak bumi yang kini menjadi sumber energi terbesar di dunia juga akibat dari energi matahari. Karenanya bisa dikatakan bahwa minya bumi adalah sisa-sisa atau buangan kotoran hewan pada masa-masa dahulu yang terpendam sehingga berubah setelah beberapa abad menjadi materi minyak ini. Secara alami memang binatag-binatng memakan makanan dari tumbuh-tumbuhan yang mengambil manfaat untuk tumbuh dari sinar matahari. Andaikan tidak ada sinar matahari, tentu tidak akan ada tumbuh-tumbuhan.
Sesungguhnya mesin-mesin energi yang mewah untuk menghasilka energi menggantungkan energinya kepada matahari dengan proses sebagai berikut; matahari menyinri lautan sehingga air lautan menguap dan lalu air tersebut berubah menjadi awan. Awan tersbeut sedikit demi sedikit jatuh kebumi dalam bentuk tetesan air hujan yang penuh berkah. Selanjutya air hujan ini membentuk sungai-sungai yang sanggup menggerakkan alat-alat pembangkit dan akhirnya lahirlah energi listrik.
Adapun energi matahari adalah otomatis, bukanlah berasal dari luar dirinya, bahkan matahari itu sendiri lah yang memberikan energi dan tidak membuthkan kepada selainnya.
Namun meskipun demikian, karena ia adalah makhluk, ia tetap membutuhkan kepada Dzat yang telah memberinya energi tersebut. Perumpamaan matahari ini mungkin dapat membantu menjelaskan keazalian dan keabadian Allah, dan bahwa Dia Maha kaya (tidak membutuhkan) kepada pencipta diri-Nya atau pihak lain yang memberinya wujud dan kekuasan.
Kesimpulannya tafsiran kedua ini ialah bahwa ayat tersebut termasuk bagian dari ayat-ayat perumpamaan.
Keterkaitan ayat tersebut dengan ayat sebelumnya.
Ayat-ayat sebelumnya (ayat ke 57, 58, 59) berbicara tentang keiasaan-kebiasaan dan keyakinan yang buruk pada masyarakat Arab jahiliyah yang di antaranya adalah membunuh anak perempuan.
Ayat ke 58 dan 59 berbunyi sebagai berikut: "Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah, Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu".
Dari kedua ayat tersebut bisa disimpulkan bahwa masyarakat Arab merasa bersedih jika dikaruniai anak perempuan. Sebuah sikap yang dipertanyakan semua orang apa sebabnya mereka bersikap demikian.
Kenapa masyarakat Arab Jahiliyah menguburkan anak-anak perempuannya
Berbagai kajian telah menjelaskan ada dua sebab kenapa mereka bersikap demikian:
1.Mereka mengira bahwa anak lakil-laki dilahirkan untuk membrikan harta dan kekayaan, sementaar anak-anak perempuan diduga justru untuk menghabiskan kekayaan. Pada saat itu par awanita tidak terlibat sama sekali dalam aktivitas perekonomian, sementara laki-laki terlibat dalam berbagai macam aktivitas ekonomi atau bisa terlibat dalam aksi mencuri, merampok dan lain sebagainya. Karenanya mereka berpandangan bahwa hak hidup hanyalah untuk laki-laki, sementara perempuan tidak memiliki hak sama sekali untuk hidup di dunia.
2.Panatisme buta. Konon telah terjadi pertempuran diantaar dua kabilah Arab. Kabilah pemenang telah menawan para peria dan wanita serta anak-anak perempuan dari kabilah yang dikalahkan, dan selama masa penawanan para wanita dari kabilah yang kalah dikawini oleh kablah pemenang. Setelah beberapa lama tercapailah perdamaian dan pengembalian kembali tawanan. Namun para wanita yang ditelah dikawini kelompok pemenang ditolak kembali oleh kabilahnya sendiri. Sebuah tragedi yang amat membebani para wanita saat itu. Salah seorang dari kabilah yang kalah bahkan telah bersumpah akan membunuh anak perempuannya yang lahir agar tidak terjadi lagi peristiwa memalukan seperti ini 206.
Penyakit gila ini sedikit demi sedikit menular kepada yang lain untukmelakukan dosa besar ini sebagai slogan-slogan suci seperti upaya membela kehormatan atau menjaga semangat, fanatisme kelompok dan lain sebagainya.
Pada zaman kita sekarang pun banyak dikenal berbagai prilaku kriminal dilakukan untuk slogan-slogan suci. Di antara slogan tersebut yang paling terkenal adalah Hak Asasi Manusia. Dengan slogan HAM ini telah banyak hak-hak umat manusi yang dirampas dari pemiliknya, sebagaiamna juga mereka telah menawan manusia atas nama kebebasan, atau juga melakukan berbagai tindak kriminal dan dosa atas nama modern. Tindakan-tindakan kriminal yang belum pernah dilakukan oleh manusia kapanpun.
Al-hasil, sesungguhnya masyarakat Arab jahiliyah telah saling mewariskan tradisi ini, hingga kemudian datang Islam dan menghapuskan tradisi sangat bejad ini serta menganjurkan untuk memberika penghargaan besar kepada para wanita.
Di sisi lain, orang-orang Arab yang yang beranggapan bahwa keberadaan anak perempuan sebagai sumber kesialan, mereka meyakini bahwa para malaikat Allah berkelamin wanita dan menyembahnya untuk mengharap ridha Allah Swt.
Untuk itu terdapat firman Alalh Swt dalam surat an-Nahl ayat ke 57 sebagi berikut: "Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan[831]. Maha Suci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak-anak laki-laki)".
Dalam ayat tersebut Allah Swt menghimbau orang-orang Arab dan berfirman kepada mereka dengan logika yang mereka yakini. Allah bertanya kepada mereka, jika kalian memang benar meyakini para malaikat sebagai anak-anak perempuan Allah, lalu kenapa ketika Allah menganugrahi kalian anak perempaun kalian membunuhnya?
Pemikiran jahiliyah semacam ini masih tetap saja menjangkiti sebagian otak-otak mereka, sehingga ketika mereka melukiskan para malaikat, mereka melukisnya dengan bentuk anak perempuan.
Anak perempuan sebagai bunga mawar terindah.
Sangat disayangkan bahwa pemikiran salah jahiliyah ini tetap saja menjangit pada sebagian orang dan tidak mau menerima kesetaraan gender antara laki-laki dan wanita dan berperasana senang ketika dianugrahi anak perempuan.
Terdapat banyak sekali riwayat dalm sumber-sumber Islam yang menolak pemikirna jahiliyah ini. Di sini sebaagi contoh akan kami paparkan sebagian darinya, dengan harapan kami agar penyakit buruk ini menghilang dari peredaran umat manusia.
1. Nabi diberi kabar gembira dengan kelahilan anak perempuan, lalu beliau memandnagi wajah-wajar para sahabatnya dan menemukan rasa keenggana pada wajah-wajah mereka. Maka bersabdalah beliau Saw: "Ada apa dengan kalain? Biarlah rizkinya diserahkan kepada Allah Azza wa Jalla"207 .
2. Allah Swt berfirman dalam sebuah ayat: "Dan adapun anak muda itu, maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya)" .208
Sesungguhnya Allah memberi rizki berupa anak perempuan kepada pasangan suami istri sebagai bunga mawar terindah. Anak perempuan tidaklah hanya bisa menyebabkan malu pada kedua orang tuanya, bahkan pula sebaliknya, ia dapat memberikan kehormatan kepada keduanya, mengingat tujuh puluh nabi pun lahir dari seorang wanita 209. Apakah ini berarti anak perempuan buruk dan anak laki-laki baik dan menguntungkan?
Berdasarkan ayat perumpamaan tadi, sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan kepada hari kiamat, mereka adalah perumpamaan yang terburuk, perkataan mereka rendah, dan mereka meyakini bahwa Allah memiliki anak-anak perempuan, padahal dia tidaklah demikian, Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.
Dua pertimbangan yang dibutuhkan seseorang kepada anaknya
Pertama, Sesungguhnya umur seseorang adalah terbatas dan ia membutuhkan anak-anak untuk menjaga generasinya.
Kedua, Seseornag tidak sanggup menjaga keperkasaan hingga usia senjanya, bahkan di usia senja ini ia akan mulai menemukan berbagai kelemahan. Pada saat seperti ini ia membutuhkan seseorang yang akan menjaga dan melindunginya.
Adapun Allah Azza wa Jalla adalah azali dan abadi, dan tidak ada istilah maut pada-Nya, sebagaimana Ia pun secara mutlak Maha Kuat yang tidak akan pernah membunuhkan seorang anak, baik laki-laki maupun perempuan.
Sebagai tambahan saja, kepemilikan anak terkait dengan badan, dan jelas bahwa Ia bukanlah sebuah badan. "Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka katakan dengan ketinggian yang sebesar-besarnya"210 .
Perumpamaan Keduapuluh Enam:
Hamba Berhala dan Hamba Allah
Allah Swt berfirman dalam surat an-Nahl ayat ke 75 terkait dengan perumpamaan ke duapuluh tujuh ini sebagaimaan berikut: "Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang Kami beri rezki yang baik dari Kami, lalu dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan, adakah mereka itu sama? Segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui".
Pengantar
Ayat tersebut berbicara para penyembah berhala dan orang-orang yang beriman. Allah Swt menyerupkan para penyembah berhala di sini dnegan seorang hamba yang dimiliki dan tidak memiliki apapun, sebagaiaman mereka juga tidak memiliki kebebasan dalam mengambil keputusan. Adapun orang-orang beriman, Allah sebagai penjamin rizki mereka, sebagaimana juga mereka berbagi rizki kepada yang lain denga infak, baik terang-terangan maupun secara rahasia.
Keterkaitan ayat tersebut dengan ayat sebelumnya
Ayat tersebut berbicara tentang ibadah kepada berhala-berhala dan sebab-sebab sesornag meneymbah wujud-wujud yang tidadak mungkin bisa membantu menyelesaikan problem apapun diantara berbagai problemnya, padahal ia memiliki akal dan dituntut untuk berbuat sesuatu atas sebuah tujuan.
Dari sini, Allah Swt berfirman masih dalam surat yang sama pada ayat ke 73: "Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberikan rezki kepada mereka sedikitpun dari langit dan bumi, dan tidak berkuasa (sedikit juapun)".
Motif-motif beribadah
Ibadah sebenarnya dilatarbelakangi oleh berbagai motif, dan di antara motif beribadah kepada Allah adalah bersyukur terhadap berbagai nikmat-Nya.
Sesungguhnya seseorang ketika melihat dan memperhatikan dirinya dan sekitarnya, ia akan melihat dirinya diliputi berbagai macam kenikmatan, dari mata, telinga, tangan, kaki, fikiran, langit, bumi, matahari, udara, pepohonan, hutan dan lain sebagainya. Untuk itu secara naluriyah ia terpanggil untuk mensyukuri nikmat-nikmat ini.
Apakah mungkin dapat bersyukur kepada pemberi nikmat tanpa mengenalinya? Dari sini dapat dikatakan bahwa bersyukur disini menjadi sebab mengenal Allah Swt.
Terkadang yang disembah (al-ma`bud) tidak memiliki efek apapun terhadap kehidupan seseorang, ia tidak memiliki manfaat apapun di dalamnya, dan penyembahnya tidak mengalami peningkatan dengan suatu kebaikan apapun, bahkan yang disembah itu tidak dapat melindungi dirinya sendiri, melainkan justru membutuhkan bantuan pihak lain. Maujud seperti ini sungguh tidak layak untuk disembah, dna tidak diragukan lagi akal sehat seseorang akan menolak bentuk penyembahan kepada maujud seperti ini.
Tentunya, penyembahan kepada berhala-berhala tidaklah mereka maksudkan bahwa berhala- tersebut adalah pencipta semua makhluk, bahkan sebagaimana diturukan dalam a-Qur`an, kalau mereka ditanya siapa pencipta langit dan bumi, tentu mereka menjawab; Allah yang telah menciptkannya 211, bukan berhala-berhala yang lemah itu. Ini menjelaskan bahwa mereka sebenarnya tidak melakukan kemusyrikan dalam penciptaan, sebagaimana mereka pun meyakini Allah Swt sebagai satu-satunya Pemberi rizki 212.
Mereka meyakini bahwa berhala-berhala tersebut dapat melakukan penyelesaian permasalahan mereka secara langsung baik independen atau sebagai pemberi syafaat dari Allah. Untuk itu Allah Swt berfirman dalam surat az-Zumar ayat ke 3 sebagai berikut: "Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya." Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya.
Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar".
Tentu saja perkataan orang-orang musyrikin ini salah dan tidak ada keebnaran sama sekali. Bagaimana mungkin berhala-berhalaitu dapat menyelesaikan berbagai permasalahan mereka, sementara mereka sendiri tidak kuasa menyelesaikan permasalahan-permasalahannya sendiri.
Dalam terks al-Qur`an disebutkan bahwa nabi Ibrahim a.s ketika menghancurkan berhala-berhala (dalam kisahnya yang sangat indah dan terkenal itu): "Ibrahim berkata: Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kamu? Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu tidak memahami?" 213.
Orang yang berakal tentu tidak akan tunduk dan ruku di hadapan berhala-berhala seperti ini. Ayat perumpamaan tersebut adalah di antara ayat yang melarang seseorang menyembah berhala.
Syarah dan Tafsir
Ayat tersebut berusaha membedaka antara seorang mukmin (hamba Allah) dan seorang musyrik (hamba berhala). Seorang musyrik diserupakan dengan budak yang tidak memiliki kehendak, bahkan kehendaknya mengikuti tuannya. Sebagaiamana ia tidak memiliki sesuatu apapun dari harta benda, ia pun tidak memiliki kuasa mengambil keputusan sendiri. Bahkan beberapa pemilik (tuan) memperbolehkan diri mereka membunuh hambanya dalam keadaan marah atau sumpek.
Mereka meyakini bahwa sang tuan memiliki hak untuk menggunakan harta benda miliknya dengan sesuka hatinya. Kondisi orang-orang musyrik persis dengan kondisi hamba sahaya ini yang kehilangan kehendak dan pilihannya.
Adapun seorang mukmin yang bertauhid adalah seseorang yang merdeka yang telah Allah beri rizki berupa kelezatan dan kenikmatan, dan bahkan bisa membagi kenikmatannya kepada orang lain denagn berinfak, baik diberikan secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi.
Nah apakah kedua kelompok ini sama? Tentu dan tentu sangat berbeda. Sesungguhnya kebodohan orang-orang musyriklah yang mendorongnya melakukan perbuatan ini.
Sasaran-sasaran ayat
1. Perbudakan dalam Islam
Apakah perbudakan dalam Islam sesuatu yang diperkeannkan? Kenapa Islam tidak langsung memerdekakan perbudakan pada saat kemunculannya? Dan kenapa penghapusan perbudakan ini belum terjadi secara sempurna? Kenapa dalam ilmu fiqh terdapat hukum khusus terkait dengan hamba sahaya? Kenapa ada perbedaan hak antara seorang hamba sahhaya dan seorang merdeka? Pertanyaan lain, apakah maslaah perbudakan sesuai dengan Islam sebagai agama fitrah?
Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini dapat kita temukan dalm buku tersendiri dengan judul "Islam dan Pembebasan Perbudakan" (Islâm watahrîrul `abîd 214), demikian juga dapat ditemukan dalam beberapa tempat pada tafsir al-Amtsal. Dan di sini kami secara ringkas akan mencoba memberikan jawabannya.
Pembebasan perbudakan adalah diantara tujuan penting kedatangan agama Islam, dan hal ini sedikit demi sedikit sesuai perkembangan zaman berhasil direalisasikan. Namun perlu diperhatikan di sini fenomena perbuatan buruk tertentu apabila telah mengakardaging di sebuah masyarakat akan susah diselesaikan dalam waktu yang singkat, bahkan diperlukan langkah-langkah permulaan khusus untuk bisa mencabut hingga ke akar-akarnya dari masyarakat.
Pada kondisi selain ini, berbagai benturan pelik akan dialami oleh masyarakat tersebut dan para penegak misi ini dalam memperbaiki sistem hidup mereka.
Kalau Rosulullah Saw sejak permulaan kenabiannya langsung menerapkan misi pembebasan budak ini, dan orang-orang muslim melakukan pembebasan para budak mereka (mereka yang tidak memiliki modal) dengan mengeluwarkan mereka dari rumah-rumahnya, niscaya hal itu akan menunculkan berbagai permasalahan dan keresahan sosial seperti pencurian, perzinahan dan homseksual. Pada akhirnya mereka akan menghancurkan pondasi sosial yang ada. Karenanya, memerdekakan mereka secara dini tidak dapat dilakukan.
Dari sini Islam meletakkan sebuah sistem khusus yang diterapkan secara bertahap terhadap misi pembebasan perbudakan dan membimbing mereka kepada sebauh masyarakat merdeka, tanpa menimbulkan gejolak sosial yang tidak diinginkan.
Pada permulaannya Islam melakukan pemutusan celah-celah perbudakan di masa depan sehinga setelahnya manusia tidak lagi diperbudak. Yang tersisa kemudian hanyalah satu jalan, yaitu perbudakan melalui peperangan saja. Yaitu dalam bentuk penawanan musuh, sementara Islam dijadikan sebagai penggantinya. Islam memberi kewenangan atau hak kepada kaum muslimin dalam membebaskan para tawanan perang atau menggantikan mereka dengan fidyah (pajak). Di sisi lain Islam menekankan anjuran memebaskan budak dengan janji balasan pahala yang besar 215 sehingga membuat kaum muslimin berani membebaskan budak-budak mereka. Dalam beberapa riwaayt disebutkan bahwa Ali a.s telah membebaskan budak dengan harta miliknya sebanyak seribu orang 216.
Demikian juga terdapat sebuah riwayat menjelaskan bahwa Imam al-Hasan a.s telah membebaskan seorang budak perempuan. Beliau berkata kepadanya: "Kamu merdeka karena Allah". Salah seorang sahabatnya merasa keheranan dengan perbuatan beliau, dan lalu beliau berkata kepadanya: "-demikianlah- Allah Swt telah mendidik kami" 217.
Dengan tetap konsisten pada prinsip pembebasan perbudakan secara mutlak, Islam mewajibkan pembebasan budak sebagai kifarat terhadap berbagai macam dosa.
Ketika seseorang berbuka puasa secara sengaja di bulan Ramadhan, selain mengqadhanya ia diwajibkan membayar kafarah, dan salah satu pilihan kafarah yang ada ialah membebaskan budak. Demikian juga terkait dengan pelanggaran sumpah, janji atau nadzar, salah satu pilihan kafarah yang ada adalah membebaskan budak.
Dengan sistem mendalam seperti ini, Islam berhasil merealisasikan pembebasan perbudakan secara bertahap, ratusan tahun sebelum dunia menyatakan deklarasi anti perbudakan.
Perkembangan bentuk perbudakan
Al-Qur`an al-Majid menggambarkan orang-orang beriman sebagai orang medeka dan orang-orang musyrik sebagai seorang budak. Dari sini kita bisa memahami bahwa bentuk perbudakan tidaklah hanya sebatas yang kita kenal dalam pengertian populiernya, melainkan di sana terdapat berbagai macam bentuk perbudakan. Yaitu perbudakan hawa nafsu dan syahwat, harta kekayaan, kedudukan, popularitas, dan berbagai macam perkembangan perbudakan lainnya.
Ibn Abbas pernah berkata: "Sesungguhnya dirham dan dinar pertama yang ada di bumi telah dilihat oleh Iblis. Setelah ia memeriksa keduanya, lalu ia letakkan di kedua matanya dan kemduian di simpan di dadanya. Ia bertriak dan kemudian menyimpannya kembali di dadanya, lalu berkata: Kalian berdua adalah buah mataku dan buah hatiku. Saya tidak peduli kalau keturunan Adam tidak mau menyembah berhala namun mencitai kalian berdua. Cukup bagiku anak-anak Adam mencintai kalian" 218.
Artinya bahwa berhala harta kekayaan dan dunia jauh lebih berbahaya dari bentuk berhala-berhala yang ada.
Dunia sekarnag yang mendeklarasikan anti perbudakan, pada hakikatnya hanyalah merubah bentuk perbudakan saja, dan tidak berhasil menghilangkannya secara semurna.
Ketika sekelompok besar geng kriminal dibebaskan karena berbagai tindak kriminal yang dilakukan, mereka secara terus terang berkata: Sesungguhnya berbagai tindak kriminal ini akan merampas kemaslahatan kita. Seandainya di sana tidak ada lagi peperanga, pertumpahan darah, pembunuhan, perselisihan dan perpecahan, maka peredaran senjata akan berhenti.
Bukankah ini termasuk sejenis kesyirikan dan penyembahan terhadap berhala-berhala? Bukankah mereka termasuk para tawanan dan budak harta-harta mereka sendiri? Terdapat sejumlah orang yang selalu berusah membangun citra untuk kemuliaan mereka dari gemerlap dan indahnya dunia. Mereka adalah para budak yang sebenarnya.
Yusuf a.s seorang merdeka
Di antara yang dapat disimpulan dari al-Qur`an al-Majid ialah bahwa Zulaikha (seorang istri raja Mesir) bukanlah satu-satunya orang yang terperangkap dalam kecendrungan syahwat syetan, bahkan banyak diantara istri para pemuka Mesir mengerti kecendrungan Zulaihha ingin melakukan perbuatan bejat bersama
Yusuf. Karena itu, nabi Yusuf a.s berkata: "Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku" 219.
Di sana terdapat berbagai kemungkinan terhadap kandungan perkataan yang dipakai untuk memberi semangat kepada Yusuf a.s Kandungan perkataan tersebut bisa berarti begini: "Wahai Yusuf, kamu seorang pemuda dan Zulaikha seorang wanita cantik, lalu kenapa kamu menolak keinginannya?". Atau bisa juga berati: "Kalau pun kamu tidak tertarik dengan kecantikan dan kebaikan Zulaikha, paling tidak coba kamu fikirkan kedudukan dan kekayaannya. Melaluinya kamu berarti telah mengangkat posisimu". Juga bisa berarti: "Kalau kamu bukan termasuk orang yang suka pada kedudukan, kecantkan wanita, dan kekayaan, takutlah pada ancaman dan fitnah dari Zulaikha kepadamu".
Sementara Yusuf yang seorang merdeka telah melawan semua bisikan syetan ini yang telah dikenakan pakaian indah dan menarik. Beliau lebih mengutamakan menjadi hamba Allah daripada menjadi hamba yang lain. "Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku".
Wahai Tuhanku, sesungguhnya wanita yang teracuni fikirannya ini mengajakku untuk mengikuti kencedrungan dan hawa nafsu. Saya ingin dan cinta kemerdekaan, sekalipun itu harus didapatkan di dalam penjara dan jeruji besi. Penjara lebih aku sukai daripada menjadi tawanan hawa nafsu ammarah. Oh wahai Tuhaku yang Maha Agung.
Tuduhan ini sungguh sangatlah besar dan saya sendiri tidak sanggup menerimanya, maka janganlah tinggalkan aku tanpa perlindungan dariMu, dan janganlah buat diriku kelelahan sekejappun.
Allah benar-benar telah menolong Yusuf yang merdeka itu dan membuatnya hidup merdeka yang cukup membanggakan dirinya di dalam penjara raja. Sesungguhnya ini semua adalah pengantar terhadap kekuasaan dan pemerintahannya kelak, serta pembuktian kebersihan dan kesuciannya.
Andaikan Yusuf a.s tidak memilih penjara, tentu tidak akan ada kesempatan baginya mentakwil mimpi. Takwil mimpi inilah yang mengantarkannya kelak bebas dari segala macam tuduhan ketika ia mendekati dan menjabat kekuasaan.
Ya Tuhanku, sesungguhnya kami adalah tawanan-tawanan hawa nafus tertentu, namun kami ingin agar terbebas dari belenggu penawanan ini. Maka bebaskanlah kami dari hal itu.
Ali a.s, seorang manusia merdeka
Di antara penafsiran-penafsiran yang ada terhadap kata mukmin dalam ayat perumpamaan adalah Imam Ali bin Abi Thalib a.s 220. memang benar sekali beliau a.s merdeka dari perbudakan hawa nafsu, keinginan gilaan, dan harta kekayaan. Beliau senantiasa menginfakkan setiap harta miliknya di jalan Allah, sekalipun pada saat shalat.
Beliau mendapatkan kembali haknya dalam pemerintahan setelah beberapa tahun ia terdzalimi dan diam menahan diri di rumah. Setelah ia beliau menjadi seorang pemimpin dan penguasa, sementara saat itu telah terjadi penyelewengan distribusi baitul mal dan dinfakkan kepada orang yang disenangi saja. Kisah beliau bersama saudaranya Aqil adalah bukti dan saksi terbaik untuk ini. Kisah ini akan kami sajikan berdasakan penuturan saudaranya, dimana Imam Ali a.s berkata:
"Aku miskin dan ditimpa kebutuhan yang sangat. Aku pin meminta kepadanya dan ia sifanya belum hilang (sebuah ungkapan berupa kinayah kepada kebakhilan Imam)....h.267..bagaimana dengan kamu dan aku jika kita berjalan di jalan-jalan Jahannam? Kemudian membaca: "Ketika belenggu dan rantai dipasang di leher mereka, seraya mereka diseret" 221. Lalu berkata: (Tidaklah ada lagi hakmu padaku yang telah Allah wajbikan untukmu kecuali apa yang kamu lihat), maka pergilah kepada keluargamu" 222.
Aqil pun berdiri untuk keluar setelah melihat kebekuan dan tiadanya kesiapan pada sang pemimpin ini untuk bersiap adil walau sebentar saja.
Apakah kita tahu sepanjang sejarah seorang pemimpin yang berkuasa memperlakukan saudaranya dengan perlakukan seperti ini dernagn tetap konsisten menjaga keadilan?
Ya Tuhaku, restuilah beramal sebagaimana para pemimpin merdeka beramal.
Perumpamaan Keduapuluh Tujuh:
Mukmin dan Musyrik
Allah Swt berfirman membandingkan antara orang musyrik dan mukmin dalam surat an-Nahl ayatke 76 sebagai berikut: " Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikanpun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang lurus?".
Pengantar
Ayat tersebut membandingkan antara seorang mukmin dan musyrik. Al-Qur`an telah membandingkan keduanya dengan perumpamaan indah dan mendalam sehingga tidak mungkon lagi bisa menolak perbedaan-perbedaan antara keduanya, terutama kalau kita perhatika secara baik sifat-sifat orang musyrik yang dikemuakkan ayat dalam tersebut. Perbadingan yang ada ini mengharuskan kita berkesimpulan bahwa tidak mungkin lagi dipertemukan antara keduanya karena perbedaan-perbedana sifat yang sangat amat mencolok.
Syarah dan Tafsir
Allah Swt berfirman: "Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki". Dalam perumpamaan ini Allah membandingkan dua kepribadian. Yang pertama adalah seorang musyrik dengan menyandang lima sifat berikut ini:
1. "seorang bisu (abkam)". Yakni ia seorang bisu (ahras). Abkam adalah kata lain dari abras. Adapun perbedaan antara kedua kata ini adalah abkam adalah bisu yang dialami seseorang semenjak lahir, sementara ahras adalah bisu yang terjadi bukan sejak lahir, melainkan terjadi di kemudian hari.
Sejumlah ahli bahasa menambahkan bahwa abkam adalah kondisi bisu yang terjadi semenjak lahir, sebab rasionalnya ialah karena kelemahan dalam penalaran sehingga yang bersangkutan memahami sesuatu secara sebaliknya (salah). Karenanya abkam adalah sama dengan seorang yang memiliki otak lemah dan bloon.
2. "tidak dapat berbuat sesuatupun" kekhususan kedua manusia musyrik ini ialah ia tidak bisa berbuatan sesuatu apapun. Ia lebah secara jasmani dan ruhani.
3. "dan dia menjadi beban atas penanggungnya". Yang ketiga adalah ia menjadi beban dan bergantung kepada orang lain. Artinya ia selalu menjadi beban bagi penanggungnya.
Secara umum orang-orang mengambil seorang budak untuk membantu menyelesaikan pekerjaannya, hanya saja budak yang satu ini tidak bisa mengejakan sesuatu apapun walau pun untuk sekedar khidmat. Ia bahkan menimbulkan bencana sehingga keberadaannya hanya menjadi beban saja bagi tuannya.
4. Dari ungkapan sebelumnya kita dapat menyimpulkan bahwa kepribadian orang ini adalah pribadi budak dan bukan seorang merdeka. Dengan kata lain ia menjadi milik orang lain dan tidak memiliki dirinya sendiri, dan tidak juga memiliki kehendak sendiri.
5. "ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu". Karakter lain adalah ia tidak miliki sikap yang jelas terhadap tanggungjawab apapun yang diberikan kepadanya, dan ia mengaku sakit setiap kali diutus untuk melaklukan sesuatu.
Atas dasar ini, seorang musyrik adalah seseorang dengan kepribadian sebagai bertikut;
1. Budak yang tidak memiliki kehendak
2. Bisu semenjak lahir
3. Tidak dapat mengejakan tugas apapun
4. Menjadi beban bagi tuannya
5. Ia gagal dalam segala perbuatannya.
Allah Swt berfirman: "Samakah orang itu dengan orang yang …". Artinya apakah sama orang yang memiliki lima kepribadian seperti ini dengan kepribadian orang yang akan datang penjelaskannya?
Manusia lainnya adalah seorang mukmin yang akan kami jelaskan karakter ia memiliki dua keutamaan yang ideal dan bagus;
1. "menyuruh berbuat keadilan". Karakter pertama adalah ia suka menyuruh kepada keadilan. Artinya dia seorang yang adil dan konsisten menegakkan keadilan. Perbuatan adilnya menyingkap kepribadiannya sebagai pemimpin dan menejer.
2. "dan dia berada pula di atas jalan yang lurus". Orang ini disamping keadilan dan kekonsistenannya pada keadilan, ia pun memiliki karakter lain, yaitu berjalan di jalan yang lurus.
Terdapat sekelompok masyarakat yang seanntiasa menuntut keadilan, namun usaha-usaha mereka belum mucul dan berlum berjalan di jalan yang benar sehingga banyak yang berujung pada kedzliman dan kesewenang-wenangan. Kami menemukan kelompok komunis yang benar-benar menuntut kedilan, namun mereka menempuh jalan yang salah dalam merealisasikan keadilan tersebut. Upaya mereka pun berakhir pada berbagai macam tindak kriminal yang baru mereka sadari setelah berjalan tujuh puluh tahun pemerintahannya.
Dengan demikian, perumpamaan seornag mukmin adalah perumpamaan seorang yang adil dan penegak keadilan yang ditempuh melalui jalan yang benar.
Adapun perimpamaan seorang kafir adalah seperti orang bisu yang tidak memiliki kehendak, kemerdekaan, dan lain-lain. Dan bersamaan dengan sejumlah perbedan ini, apakah sama antara orang musyrik dan orang mukmin? Tidak diragukan lagi kalau semua orang sepakat dengan perbedaan yang ada antara keduanya.
Sasaran-sasaran ayat
Syirik dan penyembahan berhala pada abad ke dua puluh
Sebagian orang mungkin mengira kalau kemusyrikan dan penyembahan berhala telah berlalu dan tidak ada lagi wujudnya sekarang, namun kenyataannya tidaklah demikian. Di Zaman sekarang pun banyak orang-orang musyrik dan penyembah berhala, karena kesyirikan terdiri dari berbagai macam dan jenis. Dari sini al-Qur`an mengatakan: "Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)" 223.
Memang benar, banyak diantara mereka yang mengaku beriman kami temukan di dalam keyakinan mereka secuil kesyirikan yang menjangkiti hari-hati mereka.
Kalau dikatakan kepada orang yang menumpuk harta dan menyediakan kekayaan yang banyak untuk dirinya. Kekayaan ini sebenarnya bukanlah untukmu, maka berilah orang-orang yang membutuhkan sebagaimana ditegaskan ayat al-Qur`an: "Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya" 224.
Ia tentu akan menjawab: saya punya anak-anak laki dan perempuan, mereka sudha mendapatkan jodoh dan sudah diterima di universitas. Bisnis mereka pun banyak dan bermacam-macam. Seorang muslim seperti ini pada hakikatnya adalah musyrik, karena ia tidak pernah merasa puas dengan rizki yang Allah Swt berikan kepadanya. Pentauhidannya kepada pemberi rizki sangatlah kurang, padahal Allah kuasa untuk menjaga anak-anak kecil di rahim-rahim ibunya. Ia kuasa untuk menjaga mereka di dunia hingga akhir usianya.
Sesungguhnya mereka yang suka memamerkan diri, yang sukan menampakkan diri beribadah kepada Allah di hadapan orang-orang untuk memperoleh kehormatan dan popularitas di tengah-tengah mereka, pada hakikatnya telah berlaku syirik dengan perikakunya ini. Demikian itu sebagaiman dijelaskan ayat al-Qur`an, surat Ali Imran ayat ke 26 bahwa kemuliaan dan kehinaan ada pada tangan Allah Swt, bukan berada pada tangan-tangan mereka yang butuh kepada Tuhannya. Ayat tersebut berbunyi: "Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu".
Sesungguhnya orang musyrik adalah orang yang selalu lemah, gagal dan sendirian. Adapun seorang mukmin yang mentauhidkan Allah Swt, memerintah pada keadilan dan berjalan di jalan yang benar, maka Allah Swt akan selalu bersamanya.
Untuk itu Allah Swt berfirman dalam surat Ghâfir ayat ke 51 sebagai berikut: "Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat)".
Sebagaimana juga Ia Swt berfirman dalam surat Fhushilat ayat ke 30 sebagai berikut: "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu".
Berdsarkan ayat ini, sesungguhnya Allah Swt akan menolong orang-orang mukmin dengan mengirimkan para malaikat kepada mereka.
Atas dasar ini, sesungguhnya syirik (yang menjadi sumber berbagai kerusakan) tetap ada di duni kita sekarang dengan berbagai macam dan bentuknya, dan bagi orang-orang mukmin hendaklah menjauh dairnya.
Diantara ayat-ayat yang ditafsirkan terkait dengan Imam Ali a.s ialah ayat perumpamaan ini. Berasarkan riwawat yang bersumber dari Ahlul Bayt a.s bahwa yang dimaksud dengan "orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang lurus" adalah Imam Ali dan para imam makshum a.s.
Tentunya ini tidaklah berarti ayat ini hanya mencakup mereka saja dan tidak kepada yang lainnya. Riwayat tersebut bermaksud mengatakan bahwa Ali dan para Imam a.s adalah sosok paling menonjol manifestasi ayat ini 225. Memang benar kalau Imam Ali adalah sosok ideal orang merdeka, tidak hanya khusus kepada orang-orang mukmin, melainkan juga kepada seluruh orang merdeka di dunia ini.
Dari sini, seorang penulis kristen bernama Maikhâîl Na`îmah mengatakan bahwa Ali tidak hanya khusus untuk kaum muslimin saja, bahkan kami orang-orang nasrani pun mencintainya.
Benar sekali sebagaimana ia katakan, seandainya Imam Ali s.s hanya khusus untuk kaum muslimin saja, maka seorang penulis keristen George Jordak tidak akan pernah menulis sebuah buku tentang Ali yang berjudul "Suara Keadilan kemanusiaan" (Shautul `Adâlah al-Insâniyyah) dimana di dalamnya ia bercengkrama dengan asyik dan penuh kerinduan bersama Ali. Ia merindukan keadilannya, pemikriannya, penanya, perjalanannya, akhlaknya, dan ketaqwaannya. Inilah orang yang berkata tentang Ali a.s: Wahai dunia, seandainya kamu memaksimalkan seluruh kekuatanmu pasti akan ada padamu sososok manusia seperti Ali pada setiap abad, namun sayangnya dunia tidak sanggup untuk itu.
Terdapat banyak sekali riwayat tentang bagaimana keadilannya, hanya saja sebagian darinya karena sangat populer tidak mendapatkan perhatian lebih dan mendalam.
Banyak sekali khutbah-khutbah dan suratnya dalam Nahjul Balaghah berbicara tentang keadilannya. Diantaranya adalah kisah populer bersama saudaranya Aqil yang telah kita bicarakan beberapa kali pada pembahasan sebelumnya. Sebuah kisah yang selamanya tidak akan ada bandingannya dalam sejarah.
Dalam khutbah yang sama yang masih terkait dengan Aqil, terdapat kisah beliau bersama seornag munafik Asy`ats bin Qaish yang telah menyebabkan munculnya berbagai perselisihan, provokasi dan teror pada masa pemerintahan Ali a.s. munafik ini selalu bermusuhan bersma muslim di manapun. Kisahnya mengandung dokumentasi keteladanan dalam keadilan Ali. Pada suatu malam Asy`ats hendak menyogok Ali a.s dengan menghadiahkan makanan manisan kepadanya, dan jawaban Ali adalah penolakan dan celaan. Status pemberian tersebut baik sebagai suap, shadaqah atau zakat, dan semuanya bagi beliau haram. Sogokan adalah haram bagi semua pemimpin, sementara zakat dan sadaqah adalah haram untuk seluruh keluwarga Rosulullah Saw 226.
Asy`ats yang munafik itu bermaksud menciptakan sebuah sikap terhadap bentuk kebenaran walau dengan cara salah, dimana ia berkata: Ini hanyalah sebuah hadiah yang tidak masuk dalam tiga kategori yang haram barusan, dan setiap muslim dianjurkan memberi hadian, adapun menolaknya tidaklah dibenarkan 227.
Maka beliau menanggapinya: "Apakah dengan agama Allah kamu akan menipuku? Apakah kamu bertindak serampangan atau memamng kamu punya surga, atau kamu sedang mengigau? Demi Allah walaupun kamu memberiku tujuh lapis bumi dengan yang ada dibawahnya agar aku bermaksiat kepada Allah sekecil semut pun aku akan tolak. Sesungguhnya dunia kalian bagiku lebih rapuh (mudah) daripada selembar daun di mulut belalang yang sedang digigitnya"
Memang benar, dunia dimana berbagai tindak keburukan dijalani untuk mencari sebagian kecil dari hiasannya adalah lebih rapuh daripada daun yang sedang dikuyang di mulut belalang.
Bagi kita orang-orang syi`ah hendaknya mengajari diri kita sendiri dan mengintrospeksi diri sehingga bisa tahu sudha sejauh mana kita menyandang keadilan Ali? Seberapa besar kadar pemahaman kita terhadap ajaran keadilan Ali? Apakah Anda melihat langkah kami adalah langkah yang sudah sempurna untuk keadilan? Atau jangan-jangan saya hanyalah seorang syi`ah pada tarap lisan dan kata-kata saja, bukan perbuatan? Tidak diragukan lagi kalau kita memang mencari kebahagiaan dan kesuksesan, maka janganlah melenceng dari jalan Ali, sebagaimana kita harus selalu mencintai dan merindukannya, karena sebuah usaha akan sia-sia belaka jika tidak diserta kecintaan.
Perumpamaan Keduapuluh Delapan:
Para Pemula Pemeluk Islam
Allah Swt berfirman dalam surat an-Nahl ayat ke 92 sebaagi berikut: "Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu".
Pengantar
Pada mulanya orang-orang Islam adalah kelompok minoritas, sementara orang-orang musyrik adalah mayoritas. Sepertiga dari kelompok minoritas tersebut adalah para pemuda. Orang-orang yang merindukan dan beriman kepada Rosulullah Saw. Mereka menghadapi berbagai mancam tekanan dari kabilah-kabilah, teman dan dari masyarakat musyrikin secara umum 228.
Sebagian mereka seperti Abu Dar, Bilal dan Ammar melawan semua tekanan tersebut. Mereka tetap pada akidahnya, berkorban deminya, dan meninggal sebagai orang-orang muslim. Namun sebagian lainnya ada yang tidak tahan menghadapi tekanan-tekanan yang selalu mengitari mereka, dan ini adalah mayoritas dari kaum mukminin sat itu. Mereka bahkan keluar (murtad) setelah menjalani pase-pase Islam dna iman yang sulit. Nah ayat di atas memaparkan kondisi keimanan yang tidak stabil dari sepertiga kaum muslimin tadi.
Syarah dan tafsir
Allah Swt berfirman: "Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali".
Allah berbicara kepada para pemula kaum muslimin yang memikul beban Islam dan iman yang berat. Mereka menjalani berbagai macam rintangan pada pase ini dan mereka tetap cendrung pada Islam sebagai agama langit yang terbaik. Allah Swt memperingatkan mereka agar tidak menjadi seperti seorang perempuan dungu yang mengurai kembali benang jahitannya sesudah memikul beban dan lelah dalam memintalnya. Maka perumpamaan mereka yang murtad dari Islam dan iman kepada syirik seperti orang-orang bodoh dan dungu itu.
Para ulama berbeda pendapat tentang nama perempuan dungu ini. Sebagiannya berkata namanya adalah Râithah. Sebagian lagi berkata nama adalah Rabathah, dan sebagian lainya lagi berkata namanya adalah Râbithah. Tapi yang terpenting adalah ia seorang perempuan yang hidup pada masa Jahiliyah.
Dan karena kebodohan dan kedunguannya yang sangat, orang-orang menyebutnya dengan panggilan hamaqâu (orang yang sangat dungu).
Aktivitas yang selalu dilakukan perempuan dungu ini adalah pada setiap pagi hari ia memintal wal dan menyuruh tetangga-tetangganya memintal wal. Lalu pada sore harinya ia memerintah kembali para tetangga itu untuk mengurai hasil pintalannya. Perbuatan seperti ini selalu ia ulang-ulang pada setiap hari.
Al-Qur`an mengingatkan para muslim pemula agar tidak berbuat dengan keislaman dan keimanannya sebagaimana dilakukan perempuan dungu ini terhadap hasil pintalannya.
Allah Swt berfirman: "kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu". Artinya, janganlah kalian menjadikan sumpah kalian itu sebagai alasan untuk berlaku khianat dan kerusakan, dan janganlah kalian mempermainkan baiat kalian kepada Allah Swt.
Allah Swt berfirman: "disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain". Artinya janganlah kalian menjadikan keminoritasan kalian dan kemayoritasan kelompok musyrikin sebagai alasan untuk membatalkan baiat kalian kepada Allah dan Rosul-Nya. Sesungguhnya jumlah besar dan kecil komunitas bukanlah apa-apa kecuali hanya rasionalisasi dan justifikasi saja.
Allah Swt berfirman: "Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu". Artinya bahwa jumlah komunitas yang hanya sedikit adalah ujian bagi kalian, dan yang harus kamu lakukan adalah berusaha terus untuk menuju sukses.
Allah Swt berfirman: "Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu". Tidaklah diragukan lagi bahwa Allah Swt akan menjelaskan kepada semua umat pada hari kiamat apa yang menjadi perselisihan di antara umat manusia. Pada saat itu orang-orang kafir dan musyrik akan menyesal karena ketidakberimanannya.
Perumpamaan ini sangatlah indah, mendalam dan menarik sekali. Ia mengingatkan kaum muslimin agar tidak mengurai kembali tali keimanannya setelah melewati berbagai tekakan dan kesulitan, dan kala lain juga ketakutan terjatuh lagi pada kesyirikan.
Sasaran-sasaran ayat
1. Kalau wal tidak dipintal maka tidak ada manfaatnya dan tidak pula bisa dijadikan sesuatu apapun. Namun setelah dipintal dengan baik dan teliti, maka ia dapat dijadikan baju atau sajadah, dan apabila tenunannya tabal, ia dapat dibuat menjadi tambang dan bahkan bisa dibuat menjadi kemah padang pasir.
Sesungguhnya masyarakat yang terpesah-pesah bagaikan wal terurai yang tidak bisa berfungsi apapun. Adapun jika ia dipintal dan disatukan, ia dapat memberikan berbagai manfaat dan berkah.
2. Sesungguhnya wal pada kondisi biasa adalah lemah, rapuh dan dapat terbang oleh terpaan angin sekalipun hanya dengan angin spoy-spoy, dan sama sekali tidak mampun untuk melawan terpaannya. Sementara telah dipintal dan disatukan dengan kuat maka kita dapat menjadikannya menjadi berbagai macam komoditas, bahkan bisa juga dijadikan layar kapal yang mampu menggerakkan kapal-kapal yang besar.
3. Satu-satunya cara untuk menguatkan wal ini adalah dengan menyatukan dan menggabungkannya menjadi satu kesatuan. Memang benar kesatuan dan pengaturan pintalan-pintalan ini, kesalingberhubungannya, menyatukan keceraiberaian di antara semua benang-benangnya, maka ia akan menjadi sumber segala macam manfaat. Hal ini mengajarkan kepada manusia bahwa pada dirinya terkandung banyak sekali potensi yang dapat digali dan diaktualkan. Berbagai potensi yang jika disusun dan dipintal secara baik, maka akan membuahkan hasil baru, seperti kehendak, kesatuan misi, iman dan tawakal kepada Allah Swt.
Dari sini al-Qur`an berkata kepada kaum muslimin bahwa mereka telah dirajut dengan iman, maka janganlah mencerai-beraikan kembali rajutan-rajutan iman ini.
Terdapat dalam khutbah Zainab a.s, ketika telah sampai di pintu-pintu masuk Kufah, beliau berceramah kepada orang-orang di sana: "Sesungguhnya perumpamaan kalian adalah seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembal" 229.
Kenyataannya memang demikian. Mereka telah membaiat Ali dan setelahnya mereka telah membaiat utusan al-Husein, muslim bin Aqil. Hal ini berarti mereka telah memperkuat pintalannya, namun kemudian mereka mengurainnya kembali. Artinya bahwa undangan mereka kepada al-Husein a.s dan pernyataan mereka untuk memberikan dukungan kepadanya hanyalah kebohongan saja, dan kini mereka menangis dan menyatakan bela sungkawa kepadanya.
Orang yang memahami dan memiliki rasa sastra yang tinggi terhadap sastra Arab ketika membaca khutbah Zainab a.s ini, ia akan menemukan nilai sastra yang tinggi dalam khutbah ini. Kami meyakini bahwa Zainab a.s dengan perbuatannya ini ia telah mengguncang arsy pemerintahan Syam, dan inilah awal mula keruntuhan pemerintahan Bani Umayyah dan awal mula muncul gerakan-gerakan revolusi yang terjadi saat itu.
Pentingnya menempati janji
Terdapat banyak sekali riwayat yang menekankan pentingnya menempati janji. Di sini kami hanya akan sebutkan tiga saja sebaagi contoh:
1. Dalam sebuah hadis pendek dari Rosulullah Saw, beliau bersabda: "Tidak ada agama bagi orang yang tidak menempati janji" . Hadis penting ini berarti orang yang tidak konsisten dengan janjinya sama dengan orang yang tidak beragama. Orang yang berjanji hari ini dan melangkar janjinya pada besok hari adalah orang yang tidak beragama. Seseorang yang melanggar janjinya di hadapan makhluk Allah akan juga melanggar janjinya di hadapan Allah Swt.
2. Imam Ali a.s berkata kepada Malik Al-Asytar. 230
"Dan bila kamu telah mengingat perjanjian dengan musuhmu atau mengikrarkan sesuatu atas dirimu, lingkungilah janjimu itu dengan keikhlasan dan peliharalah ikrarmu itu dengan amanah. Jadikanlah dirimu sndiri sebagai jaminan atas janji yang telah engkau berikan. Sebab, tidak ada sesuatu yang telah diwajibkan oleh Allah dan lebih patut dipegang teguh oleh manusia -betapapun beraneka aliran yang mereka percayai dan sedemikian berbeda kecendrungan hati mereka- lebih daripada memenuhi janji amanah".
Dunia sekarang dituntut menempati janji-janjinya dan banyak negara berusaha untuk konsisten dengan janji-janjinya. Demikian juga manusia pada masa jahiliyah dan masa penyembahan berhala-berhala juga selalu menempati janjinya. Menempati janji merupakan tradisi yang tidak hanya khusus pada kaum muslimin melalui al-Qur`an, bahkan ia berlaku secara umum. Yang harus bagi kaum muslimin adalah menempati janji-janjinya kepada Allah dan kepada makhluk-makhluk-Nya.
3. Imam al-Baqir a.s berkata dalam sebuah hadisnya yang indah: "Tiga hal yang tidak Allah Azza wa Jalla berikan keringanan (rukhshah) di dalamnya kepada seseorang; menunaikan amanah kepada orang baik dan fajir (buruk), memenuhi janji kepada orang baik dan buruk, dan berbakti kepada kedua orang tua, baik keduanya baik atau buruk "231.
Berdasarkan apa yang kita baca dalam al-Qur`an dan riwayat-riwayat hadis, sesungguhnya menempati janji berperan disetiap pelaksanakan perbuatan kita. Apabila seseorang hendak diterima do`a dan permohonan-permohonannya oleh Allah Swt, maka terlebh dahulu ia harus menempati janji-janjinya kepada Allah Swt.
Perumpamaan Keduapuluh Sembilan:
Kufur Nikmat
Allah Swt berfirman dalam surat an-Nahl ayat ke 212 dan 213 sebagai berikut: "Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka seorang rasul dari mereka sendiri, tetapi mereka mendustakannya; karena itu mereka dimusnahkan azab dan mereka adalah orang-orang yang zalim".
Pengantar
Dua ayat di atas berusaha menjelaskan tempat kembali orang-orang yang tidak bersyukur kepada nikmat-nikmat Allah, bahkan mereka mengkufurinya. Karenanya Allah akan menimpakan siksa yang berat kepada mereka.
Syarah dan tafsir
Allah Swt berfirman: "Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan". Al-Qur`an al-Majid menyerupakan orang-orang kafir menginkari nikmat-nikmat Allah dengan sebuah kampung 232 berpenduduk dengan kekayan matertial dan imaterial yang melimpah. Kampung ini dicirikan dengan empat karakter berikut ini:
1. "(dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman". Ciri pertama kampung ini adalah sebuah kampung yang aman. Rasa aman merupakan nikmat ilahi paling penting. Karenanya ia didahulukan penyebutannya dari nikmat-nikmat lainnya.
Sebenarnya, apabila suatu tempat sudah kehilangan keamanannya, maka ia akan juga kehilangan sistem ekonomi yang baik. Demikian juga ia akan kehilangan kenyamaan belajar-mengajar, serta pengembangkan keahlian dan kegiatan industri, pelaksanaan ibadah, dan pengusungan slogan-slogan agama menjadi tidak kondusip lagi. Artinya sebuah kegiatan tidak akan bisa berjalan maksimal tanpa terciptanya keamanan.
Masyarakat Iran tentu tidak akan lupa ketika menghadapi berbagai problem di tengah-tengah perjuangan suci membela tanah air 233, termasuk kesulitan dalam pelaksanana ibadah. Sebagian orang di tengah-tengah shalatnya mendengar suara sirine peringatan sehingga membuat orang yang sedang shalat khawatir dan tidak tenang. Mereka merasakan ketidaksempurnaan pelaksanaan shalatnya. Karena itu, kondisi aman merupakan kenikmatan sangat besar yang berpengaruh terhadap cara pelaksanaan ibadah.
Ketika telapak kaki Ibrahim al-Khalil a.s menapak di tanah Makkah yang tandus dan membangun baitullah al-haram, beliau a.s berdo`a untuk penduduk Makkah kelak dengan sebuah do`a yang dikutif olrh Allah Swt dalam al-Qur`an surat al-Baqarah ayat ke 126 sebagai berikut:
"Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali".
Pada ayat ini kita membaca bahwa do`a pertama yang dipanjatkan nabi Ibrahim a.s untuk penduduk kota ini adalah keamanan.
Sesungguhnya dalam agama Islam yang suci akibat dari mereka yang melalaikan keamanan negara dan masyarakatnya adalah penderitaan yang berat.
Karenanya peperangan-peperangan selalu menimbulkan berbagai akibat dahsyat hingga batas maksimal.
Sesungguhnya rampok-rampk bersenjata -baik dengan senjata api atau bukan- tetap dikategorikan sebagai pengganggu keamanan (penyerang) dan akan menimbulkan akibat yang dahsyat. Demikian juga orang-orang yang melalaikan keamanan wilayahnya yang luas dikategorikan sebagai para perusak di muka bumi, dan balasan bagi mereka adalah kehancuran.
2. "lagi tenteram". Sebelumnya kota tersebut telah dicirikan dengan keamanannya, namun keamanannnya tidaklah tetap dan permenen, kemudian ciri berikutnya adalah memiliki keamanan yang tetap dan permanen. Tentram atau mutmainnah yang disebutkan ayat ini menunjukkan pada keamanan yang bersifat tetap dan permanen.
3. "rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat". Sebagaimana telah disebutkan tadi bahwa keamanan harus mencakup semua bidang, termasuk diantaranya adalah bidang ekonomi yang sehat dan kuat. Negara yang aman dari gangguan ini memberikan rizki kepada penduduknya dari segala arah dan tempat. Ia menyediakan berbagai lahan pekerjaan yang banyak dan bermacam-macam.
4. "Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka seorang rasul dari mereka sendiri". Yakni Allah Swt benar-benar disamping memberikan kenikmatan-kenikmatan material (keamanan dan ketentraman), juga memberikan kenikmatan-kenikmatan imaterial (maknawi) berupa pengutusan seorang nabi maksum (terjaga dari dosa) dan seorang bijaksana dari kalangan mereka sendiri sehingga pengrtahuan dan pendidikan mereka menjadi sempurna.
Penduduk kota ini menikmati empat jenis kenikmatan ini dan hidup dalam kemewahan, hanya saja mereka tidak mau bersyukur kepada Allah Swt atas nikmat-nikmat-Nya ini.
Allah Swt berfirman: "tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan".
Penduduk negri ini telah berlaku kufur dengan tidak mensyukuri nikmat-nikmat Allah, dan nikmat-nikmat tersebutlah yang telah menyebabkan mereka berlaku sombong, congkak dan egois, setelah berlaku dzalim dan tidak mensyukuri nikmat-nikmat tersebut secara benar. Dan adapun akibat dari sikapnya itu adalah turunya adzam ilahi kepada mereka. Sebagai efeknya, Allah Swt memberi mereka makanan yang pahit, kelaparan dan mencabut kondisi aman dari mereka.
Setiap saat mereka dihantui aksi para pencuri dan perampok, kondisi perekonomian yang tidak menentu serta kehidupan melarat akibat dari hilangnya keamanan negri mereka.
Pertanyaan: ungkapan "adzâqahâ (Allah merasakan kepada mereka)" tidaklah sesuai dengan ungkapan libâas (pakaian), yang tepat adalah ungkapan albasahâ (-Allah- memakaikannya -kepada mereka-)?
Jawab: Di sana terdapat dua poin penting terkait penggunaan kata adzâqa bersama libâs. Berikut kami paparkan kedua poin tersebut:
a. Libas (pakaian) mencakup badan seluruh, demikain juga adzab ilahi akan mencakup seluruh perkampungan tersebut.
b. Terkait ungkapan adzâqahâ, maka harus diperhatikan bahwa pengindraan dan penyingkapan seseorang kepada sesuatu dilakukan melalui beberapa tahapan;
Seseorang memahami atau menangkap sesuatu melalui alat indra pendengaran, sebagaimana ketika ia mendengar suara api, ia akan memahami adanya sebuah kebakaran.
Terkadang seseorang melihat api dan langsung mendapatkannya melalui pengindraaan mata. Alat pengindraan ini berposisi jauh lebih tinggi dari alat indra sebelumnya.
Terkadang ada orang yang menyentuh api sehingga mengetahui betul keberadaannya. Pengindraan seperti ini jauh lebih tinggi posisinya dibandung dua cara pengindraaan sebelumnya.
Terkadang juga seseorang memahami sesuatu melalui olah rasa (dzauq), dan ini jauh lebih sempurna lagi dari pengetahuan melalui ketiga indra di atas. Tujuan penggunaan kata adâqa (dzauq) pada ayat tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan kedahsyatan kemampuan mereka memahami dan merasakan adzab ilahi dan makanan yang pahit tadi.
Allah Swt berfirman: "disebabkan apa yang selalu mereka perbuat". Artinya perbuatan penduduk kampung tersebut telah menyebabkan turunnya adzab ilahi. Mereka benar-benar telah memancing datangnya adzab yang efeknya akan dipikul mereka sendiri.
Sebagai contoh, apabila sebuah aturan sudah tidak lagi berfungsi di sebuah masyarakat terentu, orang-orang kayanya tidak lagi memberikan hak-kak fakir dan miskin, maka keseimbangan ekonomi akan hilang dari masyarakat ini dan efeknya akan kembali kepada kelompok kaya itu sendiri. Penyebabnya adalah semata karena keengganan mereka memberikan bantuan dan berinfak kepada fakir dan miskin.
Karenanya, dalam sebuah riwayat disebutkan: "Apabila orang-orang kaya kikir dengan kewajibannya, maka orang-orang fakir akan menjual akhiratnya dengan dunianya" 234.
Artinya bahwa kefakiran telah menyebabkan maraknya tindak pencurian, dan akhirnya berkembang pada hilangnya keamanan di sebuah masyarakat. Demikian ini seperti disebutkan dalam sebuah riwayat: "jagalah harta-harta kalian dengan sadaqah" 235.
Artinya, cara menjaga harta bukanah dengan membangga-banggakannya, melainkan dengan mensadaqahkan sebagiannya sehingga api kefakiran tidak sampai menyalakan dan membakar keamanan masyarakat, yang pada ujungnya mengancam harta-harta mereka.
Sasaran ayat tersebut
1. Adzab dan malapetaka disebabkan oleh perbuatan-perbuatan kita
Di antara yang dapat disimpulkan dari ayat-ayat al-Qur`an dan terutama dari kedua ayat di atas ialah bahwa problem-problem kita dan malapetaka yang kita pikul sebenarnya hasil dari perbuatan-perbuatan kita juga, dan sesungguhnya Allah tidak akan mendzalimi seorang pun.
Apabila mayoritas para pemuda di sebuah masyarakat tidak merasakan kehidup yang layak, bahkan terancam tidak bisa melakukan pernikahan, sementara di satu sisi ada sekelompok orang yang hidup dengan bergelimpangan fasilitas hidup mewah, memberi berbagai fasilitas wah bernilai milyaran rupiah serta biyaya pernikahan besar kepada anak-anaknya, maka akan berkembanglah segala keburukan, tindak kriminal dan ketidakamanan. Maka bukankah penyebab segala kebrutalan dan keburukan ini adalah individu-indibidu masyarakat itu sendiri? Siapa yang ikut bermain kalau bukan dari mereka juga.
Dari sini al-Qur`an al-karim menyebutkan dalam surat ar-Rum ayat ke 41 sebagai berikut: "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)".
Memang benar, sesungguhnya sumber segala bencana dan permasalahan adalah manusia itu sendiri. Seorang ayah yang kerjanya hanya memikirkan bagaimana mengumpulkan harta serta membangga-banggakannya, lupa pada pendidikan anak-anak dan keluwarganya, jika pada pada masa berikunya ia menemukan berbagai permasalahan amoral dan malapetaka dari anak-anaknya yang telah menjadi korban NARKOBA, maka janganlah mempersalahkan siapapun kecuali dirinya sendiri, karena dialah sendiri penyebab semua problem ini.
Ketika kita pada tahun 1342 HSY melakukan menangkapan sejumlah politikus dan agamawan dan kemudian dikirimkan ke tempat tahanan di Tehran, selama beberapa hari kita mendengar suara-suara menakutkan. Saya membayangkan bahwa itu akibat dari tekanan yang dilakukan para sipir penjara kepada mereka, namun kemudian saya tahu bahwa sumbernya adalah teriakan-teriakan para pecandu NARKOBA yang ketagihan dan sudah saatnya mengkonsumsi obat-obat terlarang tersebut. Namun karena di dalam penjara mereka tidak bisa lagi mendapatkannya, mereka merasakan kesakitan yang sangat. Tidak diragukan lagi bahwa kondisi ini adalah akibat dari ulah perbuatan mereka sendiri.
Efek-efek dari ulah mereka tidaklah hanya sampai pada batasan ini saja, bahkan ia telah lebih luas dari itu. Pemakai NARKOBA ini kemudian menjual NARKOBAnya kepada pihak lain dengan ukuran sederhana sehingga menyebar lebih luas.
Para musuh telah menempuh berbagai macam cara untuk menjerumsukan para pemuda kita ke dalam sebuah perangkap jahat, dan NARKOAB adalah salah satu dari jalan yang mereka tempuh. Mereka mengetahu bahwa seorang pemuda yang telah mengkonsumsi dan kecanduan obat-obatan narkotika ini akan kehilangan kehendaknya sehingga bisa diarahkan kemana saja mereka mau.
2. Bentuk nyata kampung tersebut
Yang dapat disimpulakn dari ayat tersebut ialah bahwa kampung yang memiliki empat karakter tersebut benar-benar ada wujud nyatanya, karenanya telah terajdi diskusi di kalangan para mufassir dalam menjawab apa nama kampung tersebut.
Terdapat beberapa kemungkinan apa nama kampung tersebut, dan di sini kami hanya akan menyebutkan sebagai contoh dua saja di antaranya;
1. Beberapa mufassir meyakini bahwa kampung yang dimaksud adalah kota Makkah 236 . Makkah diyakini sebagai perwujudan dari kampung yang aman tentram itu. Sebagaimana dalam kenyataannya kota ini dianugrahi berbagai macam kenikmatan, meskipun beberapa kenikmatan tidak ada di sana, namun sebagian yang tidak ada itu masih bisa didatangkan dari wilayah dan negara-negara lain yang memilikinya. Karenanya, ia benar-benar memiliki segala macam kenikmatan.
Ketika Rosulullah Saw berhijrah dari Makkah menuju Madinah, Makkah pada saat itu dilanda kekeringan selama tujuh tahun. Malapetaka ini diakibatkan oleh kekufuran penduduknya terhadap nikmat yang diberikan Rosulullah Saw kepada mereka. Kekeringan tersebut telah mendorong Rosulullah Saw mengirimkan bantuan bahan makanan kepada mereka dari kota Madinah. Kekeringan ini pun telah menyebabkan hilangnya rasa aman di dalamnya.
Memang benar, kufur terhadap nikmat akan diikuti oleh adzab ilahi, dan ini merupakan sunnah ilahiyah yang benar-benar terjadi di setiap tempat dan zaman. Setiap kali kekufurna terhadap nikmati terulang di suatu tempat, maka adzab ilahi pun akan terulang di tempat tersebut.
2. Sebagian mufassir lain meyakini bahwa yang dimaksud kota tersebut adalah kota Saba 237, sebagaimana disebutkan dalam surat Saba. Negara Saba adalah negara yang amat makmur. Di sana terdapat sebuah bendungan bernama Ma`rab, dan dengan keberadaan bendungan ini negri Saba berubah menjadi negri yang gemah ripah loh jinawi, dimana kenikmatan berupa makanan dan perhiasan melimpah ruah hingga melebihi kebutuhan penduduknya. Cuku dengan berjalan di jalan-jalannya dan meletakkan wadah di kepala, maka setelah beberapa saat dengan sendirinya wadah tersebut akan dipenuhi beraneka macam buah-buahan di pinggiran jaran.
Sesungguhnya kota ini telah memperoleh berbagai kenikmatan, kenyamanan dan ketentraman, namun sayang penduduknya lebih memilih mengkufuri nikmat-nikmat ini. Maka Allah Swt mewahyukan kepada tikus-tikus untuk menghancurkan kota ini. Tikus-tikus ini menggerogoti bendungan Ma`rab hingga sedikit demi sedikit bendungan ini pun jebol pada malam hari. Airnya membanjiri seluruh wilayah kota dan menghancurkan jalan-jalan, kebun, pepohonan, rumah dan apapun di dalamnya. Kehancurannya mencapai titik paling parah hingga memaksa penduduknya hijrah ke tempat lain, dan kota tersebut kini tidak lagi bisa dihuni.
Masa kita sekarang ini secara nyata telah merasakan buah pengkufuran nikmat. Sebelum perang dunia ke dua, Eropa merupakan negara yang tenggelam dalam berbagai macam kenikmatan. Kota-kotanya makmur dan memiliki kemajuan budaya dan tekonologi luar biasa hebat. Ia memiliki jensi kenikmatan apapun.
Namun karena kekufurannya terhadap nikmat, mereka dilanda perang terbuka yang menelan korban jiwa hampir tigapuluh juta jiwa, dan tigapuluh juta lainnya terluka. Efek dari perang tersebut adalah kehancuran sebagian besar wilayah Eropa.
Atas dasar ini, ayat-ayat tersebut merupakan peringatan kepada kita agar tidak mengkufuri nikmat-nikmat Allah, baik materil maupun imateril. Kita betul-betul harus mensyukurinya. Sampai hal. 285.
Kufur Nikmat
Allah Swt berfirman dalam surat an-Nahl ayat ke 212 dan 213 sebagai berikut: "Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka seorang rasul dari mereka sendiri, tetapi mereka mendustakannya; karena itu mereka dimusnahkan azab dan mereka adalah orang-orang yang zalim".
Pengantar
Dua ayat di atas berusaha menjelaskan tempat kembali orang-orang yang tidak bersyukur kepada nikmat-nikmat Allah, bahkan mereka mengkufurinya. Karenanya Allah akan menimpakan siksa yang berat kepada mereka.
Syarah dan tafsir
Allah Swt berfirman: "Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan". Al-Qur`an al-Majid menyerupakan orang-orang kafir menginkari nikmat-nikmat Allah dengan sebuah kampung 232 berpenduduk dengan kekayan matertial dan imaterial yang melimpah. Kampung ini dicirikan dengan empat karakter berikut ini:
1. "(dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman". Ciri pertama kampung ini adalah sebuah kampung yang aman. Rasa aman merupakan nikmat ilahi paling penting. Karenanya ia didahulukan penyebutannya dari nikmat-nikmat lainnya.
Sebenarnya, apabila suatu tempat sudah kehilangan keamanannya, maka ia akan juga kehilangan sistem ekonomi yang baik. Demikian juga ia akan kehilangan kenyamaan belajar-mengajar, serta pengembangkan keahlian dan kegiatan industri, pelaksanaan ibadah, dan pengusungan slogan-slogan agama menjadi tidak kondusip lagi. Artinya sebuah kegiatan tidak akan bisa berjalan maksimal tanpa terciptanya keamanan.
Masyarakat Iran tentu tidak akan lupa ketika menghadapi berbagai problem di tengah-tengah perjuangan suci membela tanah air 233, termasuk kesulitan dalam pelaksanana ibadah. Sebagian orang di tengah-tengah shalatnya mendengar suara sirine peringatan sehingga membuat orang yang sedang shalat khawatir dan tidak tenang. Mereka merasakan ketidaksempurnaan pelaksanaan shalatnya. Karena itu, kondisi aman merupakan kenikmatan sangat besar yang berpengaruh terhadap cara pelaksanaan ibadah.
Ketika telapak kaki Ibrahim al-Khalil a.s menapak di tanah Makkah yang tandus dan membangun baitullah al-haram, beliau a.s berdo`a untuk penduduk Makkah kelak dengan sebuah do`a yang dikutif olrh Allah Swt dalam al-Qur`an surat al-Baqarah ayat ke 126 sebagai berikut:
"Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali".
Pada ayat ini kita membaca bahwa do`a pertama yang dipanjatkan nabi Ibrahim a.s untuk penduduk kota ini adalah keamanan.
Sesungguhnya dalam agama Islam yang suci akibat dari mereka yang melalaikan keamanan negara dan masyarakatnya adalah penderitaan yang berat.
Karenanya peperangan-peperangan selalu menimbulkan berbagai akibat dahsyat hingga batas maksimal.
Sesungguhnya rampok-rampk bersenjata -baik dengan senjata api atau bukan- tetap dikategorikan sebagai pengganggu keamanan (penyerang) dan akan menimbulkan akibat yang dahsyat. Demikian juga orang-orang yang melalaikan keamanan wilayahnya yang luas dikategorikan sebagai para perusak di muka bumi, dan balasan bagi mereka adalah kehancuran.
2. "lagi tenteram". Sebelumnya kota tersebut telah dicirikan dengan keamanannya, namun keamanannnya tidaklah tetap dan permenen, kemudian ciri berikutnya adalah memiliki keamanan yang tetap dan permanen. Tentram atau mutmainnah yang disebutkan ayat ini menunjukkan pada keamanan yang bersifat tetap dan permanen.
3. "rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat". Sebagaimana telah disebutkan tadi bahwa keamanan harus mencakup semua bidang, termasuk diantaranya adalah bidang ekonomi yang sehat dan kuat. Negara yang aman dari gangguan ini memberikan rizki kepada penduduknya dari segala arah dan tempat. Ia menyediakan berbagai lahan pekerjaan yang banyak dan bermacam-macam.
4. "Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka seorang rasul dari mereka sendiri". Yakni Allah Swt benar-benar disamping memberikan kenikmatan-kenikmatan material (keamanan dan ketentraman), juga memberikan kenikmatan-kenikmatan imaterial (maknawi) berupa pengutusan seorang nabi maksum (terjaga dari dosa) dan seorang bijaksana dari kalangan mereka sendiri sehingga pengrtahuan dan pendidikan mereka menjadi sempurna.
Penduduk kota ini menikmati empat jenis kenikmatan ini dan hidup dalam kemewahan, hanya saja mereka tidak mau bersyukur kepada Allah Swt atas nikmat-nikmat-Nya ini.
Allah Swt berfirman: "tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan".
Penduduk negri ini telah berlaku kufur dengan tidak mensyukuri nikmat-nikmat Allah, dan nikmat-nikmat tersebutlah yang telah menyebabkan mereka berlaku sombong, congkak dan egois, setelah berlaku dzalim dan tidak mensyukuri nikmat-nikmat tersebut secara benar. Dan adapun akibat dari sikapnya itu adalah turunya adzam ilahi kepada mereka. Sebagai efeknya, Allah Swt memberi mereka makanan yang pahit, kelaparan dan mencabut kondisi aman dari mereka.
Setiap saat mereka dihantui aksi para pencuri dan perampok, kondisi perekonomian yang tidak menentu serta kehidupan melarat akibat dari hilangnya keamanan negri mereka.
Pertanyaan: ungkapan "adzâqahâ (Allah merasakan kepada mereka)" tidaklah sesuai dengan ungkapan libâas (pakaian), yang tepat adalah ungkapan albasahâ (-Allah- memakaikannya -kepada mereka-)?
Jawab: Di sana terdapat dua poin penting terkait penggunaan kata adzâqa bersama libâs. Berikut kami paparkan kedua poin tersebut:
a. Libas (pakaian) mencakup badan seluruh, demikain juga adzab ilahi akan mencakup seluruh perkampungan tersebut.
b. Terkait ungkapan adzâqahâ, maka harus diperhatikan bahwa pengindraan dan penyingkapan seseorang kepada sesuatu dilakukan melalui beberapa tahapan;
Seseorang memahami atau menangkap sesuatu melalui alat indra pendengaran, sebagaimana ketika ia mendengar suara api, ia akan memahami adanya sebuah kebakaran.
Terkadang seseorang melihat api dan langsung mendapatkannya melalui pengindraaan mata. Alat pengindraan ini berposisi jauh lebih tinggi dari alat indra sebelumnya.
Terkadang ada orang yang menyentuh api sehingga mengetahui betul keberadaannya. Pengindraan seperti ini jauh lebih tinggi posisinya dibandung dua cara pengindraaan sebelumnya.
Terkadang juga seseorang memahami sesuatu melalui olah rasa (dzauq), dan ini jauh lebih sempurna lagi dari pengetahuan melalui ketiga indra di atas. Tujuan penggunaan kata adâqa (dzauq) pada ayat tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan kedahsyatan kemampuan mereka memahami dan merasakan adzab ilahi dan makanan yang pahit tadi.
Allah Swt berfirman: "disebabkan apa yang selalu mereka perbuat". Artinya perbuatan penduduk kampung tersebut telah menyebabkan turunnya adzab ilahi. Mereka benar-benar telah memancing datangnya adzab yang efeknya akan dipikul mereka sendiri.
Sebagai contoh, apabila sebuah aturan sudah tidak lagi berfungsi di sebuah masyarakat terentu, orang-orang kayanya tidak lagi memberikan hak-kak fakir dan miskin, maka keseimbangan ekonomi akan hilang dari masyarakat ini dan efeknya akan kembali kepada kelompok kaya itu sendiri. Penyebabnya adalah semata karena keengganan mereka memberikan bantuan dan berinfak kepada fakir dan miskin.
Karenanya, dalam sebuah riwayat disebutkan: "Apabila orang-orang kaya kikir dengan kewajibannya, maka orang-orang fakir akan menjual akhiratnya dengan dunianya" 234.
Artinya bahwa kefakiran telah menyebabkan maraknya tindak pencurian, dan akhirnya berkembang pada hilangnya keamanan di sebuah masyarakat. Demikian ini seperti disebutkan dalam sebuah riwayat: "jagalah harta-harta kalian dengan sadaqah" 235.
Artinya, cara menjaga harta bukanah dengan membangga-banggakannya, melainkan dengan mensadaqahkan sebagiannya sehingga api kefakiran tidak sampai menyalakan dan membakar keamanan masyarakat, yang pada ujungnya mengancam harta-harta mereka.
Sasaran ayat tersebut
1. Adzab dan malapetaka disebabkan oleh perbuatan-perbuatan kita
Di antara yang dapat disimpulkan dari ayat-ayat al-Qur`an dan terutama dari kedua ayat di atas ialah bahwa problem-problem kita dan malapetaka yang kita pikul sebenarnya hasil dari perbuatan-perbuatan kita juga, dan sesungguhnya Allah tidak akan mendzalimi seorang pun.
Apabila mayoritas para pemuda di sebuah masyarakat tidak merasakan kehidup yang layak, bahkan terancam tidak bisa melakukan pernikahan, sementara di satu sisi ada sekelompok orang yang hidup dengan bergelimpangan fasilitas hidup mewah, memberi berbagai fasilitas wah bernilai milyaran rupiah serta biyaya pernikahan besar kepada anak-anaknya, maka akan berkembanglah segala keburukan, tindak kriminal dan ketidakamanan. Maka bukankah penyebab segala kebrutalan dan keburukan ini adalah individu-indibidu masyarakat itu sendiri? Siapa yang ikut bermain kalau bukan dari mereka juga.
Dari sini al-Qur`an al-karim menyebutkan dalam surat ar-Rum ayat ke 41 sebagai berikut: "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)".
Memang benar, sesungguhnya sumber segala bencana dan permasalahan adalah manusia itu sendiri. Seorang ayah yang kerjanya hanya memikirkan bagaimana mengumpulkan harta serta membangga-banggakannya, lupa pada pendidikan anak-anak dan keluwarganya, jika pada pada masa berikunya ia menemukan berbagai permasalahan amoral dan malapetaka dari anak-anaknya yang telah menjadi korban NARKOBA, maka janganlah mempersalahkan siapapun kecuali dirinya sendiri, karena dialah sendiri penyebab semua problem ini.
Ketika kita pada tahun 1342 HSY melakukan menangkapan sejumlah politikus dan agamawan dan kemudian dikirimkan ke tempat tahanan di Tehran, selama beberapa hari kita mendengar suara-suara menakutkan. Saya membayangkan bahwa itu akibat dari tekanan yang dilakukan para sipir penjara kepada mereka, namun kemudian saya tahu bahwa sumbernya adalah teriakan-teriakan para pecandu NARKOBA yang ketagihan dan sudah saatnya mengkonsumsi obat-obat terlarang tersebut. Namun karena di dalam penjara mereka tidak bisa lagi mendapatkannya, mereka merasakan kesakitan yang sangat. Tidak diragukan lagi bahwa kondisi ini adalah akibat dari ulah perbuatan mereka sendiri.
Efek-efek dari ulah mereka tidaklah hanya sampai pada batasan ini saja, bahkan ia telah lebih luas dari itu. Pemakai NARKOBA ini kemudian menjual NARKOBAnya kepada pihak lain dengan ukuran sederhana sehingga menyebar lebih luas.
Para musuh telah menempuh berbagai macam cara untuk menjerumsukan para pemuda kita ke dalam sebuah perangkap jahat, dan NARKOAB adalah salah satu dari jalan yang mereka tempuh. Mereka mengetahu bahwa seorang pemuda yang telah mengkonsumsi dan kecanduan obat-obatan narkotika ini akan kehilangan kehendaknya sehingga bisa diarahkan kemana saja mereka mau.
2. Bentuk nyata kampung tersebut
Yang dapat disimpulakn dari ayat tersebut ialah bahwa kampung yang memiliki empat karakter tersebut benar-benar ada wujud nyatanya, karenanya telah terajdi diskusi di kalangan para mufassir dalam menjawab apa nama kampung tersebut.
Terdapat beberapa kemungkinan apa nama kampung tersebut, dan di sini kami hanya akan menyebutkan sebagai contoh dua saja di antaranya;
1. Beberapa mufassir meyakini bahwa kampung yang dimaksud adalah kota Makkah 236 . Makkah diyakini sebagai perwujudan dari kampung yang aman tentram itu. Sebagaimana dalam kenyataannya kota ini dianugrahi berbagai macam kenikmatan, meskipun beberapa kenikmatan tidak ada di sana, namun sebagian yang tidak ada itu masih bisa didatangkan dari wilayah dan negara-negara lain yang memilikinya. Karenanya, ia benar-benar memiliki segala macam kenikmatan.
Ketika Rosulullah Saw berhijrah dari Makkah menuju Madinah, Makkah pada saat itu dilanda kekeringan selama tujuh tahun. Malapetaka ini diakibatkan oleh kekufuran penduduknya terhadap nikmat yang diberikan Rosulullah Saw kepada mereka. Kekeringan tersebut telah mendorong Rosulullah Saw mengirimkan bantuan bahan makanan kepada mereka dari kota Madinah. Kekeringan ini pun telah menyebabkan hilangnya rasa aman di dalamnya.
Memang benar, kufur terhadap nikmat akan diikuti oleh adzab ilahi, dan ini merupakan sunnah ilahiyah yang benar-benar terjadi di setiap tempat dan zaman. Setiap kali kekufurna terhadap nikmati terulang di suatu tempat, maka adzab ilahi pun akan terulang di tempat tersebut.
2. Sebagian mufassir lain meyakini bahwa yang dimaksud kota tersebut adalah kota Saba 237, sebagaimana disebutkan dalam surat Saba. Negara Saba adalah negara yang amat makmur. Di sana terdapat sebuah bendungan bernama Ma`rab, dan dengan keberadaan bendungan ini negri Saba berubah menjadi negri yang gemah ripah loh jinawi, dimana kenikmatan berupa makanan dan perhiasan melimpah ruah hingga melebihi kebutuhan penduduknya. Cuku dengan berjalan di jalan-jalannya dan meletakkan wadah di kepala, maka setelah beberapa saat dengan sendirinya wadah tersebut akan dipenuhi beraneka macam buah-buahan di pinggiran jaran.
Sesungguhnya kota ini telah memperoleh berbagai kenikmatan, kenyamanan dan ketentraman, namun sayang penduduknya lebih memilih mengkufuri nikmat-nikmat ini. Maka Allah Swt mewahyukan kepada tikus-tikus untuk menghancurkan kota ini. Tikus-tikus ini menggerogoti bendungan Ma`rab hingga sedikit demi sedikit bendungan ini pun jebol pada malam hari. Airnya membanjiri seluruh wilayah kota dan menghancurkan jalan-jalan, kebun, pepohonan, rumah dan apapun di dalamnya. Kehancurannya mencapai titik paling parah hingga memaksa penduduknya hijrah ke tempat lain, dan kota tersebut kini tidak lagi bisa dihuni.
Masa kita sekarang ini secara nyata telah merasakan buah pengkufuran nikmat. Sebelum perang dunia ke dua, Eropa merupakan negara yang tenggelam dalam berbagai macam kenikmatan. Kota-kotanya makmur dan memiliki kemajuan budaya dan tekonologi luar biasa hebat. Ia memiliki jensi kenikmatan apapun.
Namun karena kekufurannya terhadap nikmat, mereka dilanda perang terbuka yang menelan korban jiwa hampir tigapuluh juta jiwa, dan tigapuluh juta lainnya terluka. Efek dari perang tersebut adalah kehancuran sebagian besar wilayah Eropa.
Atas dasar ini, ayat-ayat tersebut merupakan peringatan kepada kita agar tidak mengkufuri nikmat-nikmat Allah, baik materil maupun imateril. Kita betul-betul harus mensyukurinya. Sampai hal. 285.
Catatan Kaki:
1 . Wasa'ilu al-Syi'ah jilid 7, bab Ahkam Syahri Ramadhan, bab 18, riwayat ke 20.
2 . Wasa'ilu al-Syi'ah jilid 7, bab Ahkam Syahri Ramadhan, bab 18 riwayat ke 21.
3 . Majma'ul Bayan 1 : 61.
4 . Bulan Ramadhan tahun 1418 H.
5 . Sebagian kitab "Amtsalu Al-Qur'an" menghitungnya sampai seratus tiga puluh perumpamaan. Tetapi nampaknya hal ini tidak benar. Karena pribahasa bukanlah termasuk perumpamaan. Misalnya ayat yang terdapat pada surat Al-An'am: 164 (Dan tidaklah dosa orang lain itu mengenai orang lain) dan pada surat An-Najm: 39 (Tidaklah manusia melainkan apa yang telah ia lakukkan), hal itu merupakan pribahaa dan bukan perumpamaan, karena tidak terdapat penyerupaan di dalamnya.
6 . Mengenai natsal-matsal lafzhi dari Rasulullah Saw dan para Imam suci Asdi dalam kita Mizanul Hikmah pada riwayat 18106 sampai 18236.
7 . Mizanul Hikmah, bab 1372,hadis 6593.
8 . Nahjul Balaghah, khutbah ke 224.
9 . Dapat pula kita tambahkan dua kemungkinan lainnya; Pertama: Membagi perumpaman-perumpamaan tersebut sesuai dengan hasilnya, sebagiannya sebagai peringatan, sebagain yang lain menjdikan kita berpikir dan sebagain lagi memahami dan menguasainya. Kedua: membagi perumpamaan-perumpamaan tersebut sesuai denga mukhatabnya. Mukhatab terbagi tiga bagian, dan masing dari tiga bagian tersebut khusus untukbagian dua mukhatab.
10 . Surat al-Haj ayat 73; "Wahai manusia, telah dijadikan perumpamaan, maka dengarkanlah. Sesungguhnya orang-orang yang memanggil selain Allah itu tidak dapat membuat seekor lalat pun sekalipun mereka berkumpul dan saling membantu. Apabila lalat itu mencabut sesuatu dari mereka, mereka tidak dapat menyelamatkannya. Betapa lemahnya orang yang meminta dan yang diminta."
11 . Penjelasannya akan datang pada matsal pertama dan kedua.
12 . Surat Hud, ayat: 92-93.
13 . Al-Qur'an banyak sekali memilii bentuk-bentuk mu'jizat, diantaranya ialah: Balaghah, dan kefasihan. Adapun bentuk-bentuk i'jaz lainnya ialah: 1. I'jaz Al-Qur'an dari sisi pengetahun modern dan penemuan ilmiah. 2I'jaz Al-Qur'an dari sisi sejarah. 3. I'jaz Al-Qur'an dari sisi pembuatan undang-undang. 4. I'jaz Al-Qur'an dari sisi pemberian kabar gaib. 5. I'jaz Al-Qur'an dari sisi ma'arif Ilahiyah. 6. I'jaz Al-Qur'an dari sisi tidak terdapat kontradiksi dan ikhtilaf. Perinciannya dapat Anda lihat pada kitab : Nafahat Al-Qur'an jilid 8 hal. 93.
14 . Lihat Sirah Ibnu Hisyam jilid 1 hal. 334-335.
15 . Logika tersebut didukung oleh ayat ini: "Berilah kabar gembira ham-hamba-Ku yang mendengarkan ucapan dan mengikutinya yang terbaik. Mereka itulah yang mendapat petunjuk dari Allah dan mereka itulah orang-orang yang berakal. Surat Al-Zumar ayat: 17-18.
16 . Lihat kisah ini selengkapnya di kitab A'lamul Wara' hal. 35.
17 . Majma'ul Bayan dibawah ayat tersebut.
18 . Seperti pada ayat 88 dan 143 surat An-Nisa', ayat 187 dan 186 surat Al-A'raf, ayat 23 dan 26 surat Az-Zumar dan ayat 46 surat As-Syura, dll.
19 . Seperti pada ayat 142, 213 dan 272 surat Al-baqarah, ayat 16 surat Al-Maidah, ayat 25 dan 35 surat Yunus, dll.
20 . Lihat tafsir Majma'ul bayan jilid 1 hal. 68
21 . Lihat tafsir Al-Amtsal jilid 1 hal. 123 - 124.
22 . Berdasarkan surat Ghafir ayat: 34, israf (berlebih-lebihan) merupakan sebab terjadinya kesesatan. Dan berdasarkan surat tersebut pada ayat 74, kufur merupakan sebab kesesatan.
23 . Mizanul Hikmah, bab 3931, hadis 20577. Dalam bab tersebut terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan tanda-tanda orang munafik.
24 . Al-Qur'an menganggap bahwa setan, orang-orang kafir, para durjana dan orang-orang munafik merupaka musuh-musuh manusia. Untuk lebih jelasnya, silahkan rujuk kitab Al-Mu'jamu al-Mufahras lil-Qur'an pada kata 'Aduw.
25 . Al-Qur'an menggunakan khitab seperti ini berkenaan tentang Yahudi, yaitu pada ayat 30 surat At-Taubah. Perlu diketahui bahwa Yahudi juga terkena penyakit nifak.
26 . Kata "Ad-Dark" digunakan dalam ayat tersebut. Sedangkan kata "Ad-Darak" digunakan dalam surat Thaha ayat 77 ketika menjelaskan Musa As dan orang-orang Israel yang melewati sungai Nil untuk memberitahukan bahwa perjalanan mereka berakhir di pinggiran sungai tersebut.
27 . Nahjul Balagah, risalah 27 dan Mizanul Hikmah bab 3934.
28 . Lebih detail, rujuklah Tafsir Al-Amtsal 1: 96-100.
29 . Surat An-Nur: 35.
30 . Surat Ali Imran ayat: 169
31 . Surat Yasin ayat: 69-70.
32 . Sesungguhnya RAsulullah Saw mengetahui keadaan mereka. Tetapi mengingat melawan merereka secara terang-terangan akan mengakibatkan hal yang tidak baik, maka beliau tidak melakukannya. Beliau pernah bersabda: "Sekiranya aku tidak khawatir dikatakan bahwa Muhgammad Saw meminta bantuan bantuan kepada satu kaum, tetapi setelah menang terhadap musuhnya beliau membunuhnya, maka pasti aku akan membunuh kaum yang banyak". Lihat kitab Wasa'ilu as-Syi'ah jilid 18, bab haddul murtad, bab 5, hadis 3.
33 . Imam Ali As dalam sebuah hadis mengisyaratkan adanya sumber ini: "Kemunafikan seseorang itu timbul dari kehinaan yang terdapat ddi dalam jiwanya". Mizanul Hikmah, bab 9392, hadis 20258.
34 . Maksud beliau Saw merasa cukup dengan hidup sederhana dan qana'ah.
35 . Banyak orang-orang yang tidak membayar khumus dengan alasan bermaam-macam seperti: "kami memperoleh harta ini dengan mencucurkan keringat, mengapa kami harus memberikannya kepada orang lain?"
36 . Tafsir al-Amtsal jilid 7: 124-125.
37 QS. AL-Baqarah: 171.
38 QS. Luqman: 31. ayat-ayat lain yang senada dengan ini adalah diantaranya; Al-A`raf: 28, Yunus: 77, Al-Anbiya: 2, Asy-Syu`ara: 84, dan Az-Zukhruf: 22-23.
39 QS. Shad: 5
40 Majma`ul Bayân, 8, hal. 343, Cet. Mu`assasah al-Ilmi, Beirut.
41 Demikian juga sejumlah ayat pada ayat ke 136, 138 dari surat Asy-Syu`ara, ayat 104 dari surat al-Maidah, ayat 28 dari surat al-A`raf, ayat 21 dari surat Luqman, dan ayat ke 23 dari surat Az-Zukhruf.
42 Untuk mendapatkan tampahan penjelasan lebih lanjut dalam hal ini, silahgkan merujuk kepada "Nafakhâtul Qur`an", juz 1, hal. 340 dan seterusnya.
43 Kisah Karun ini terdapat dalam al-Qur`an al-Majid dalam surat al-Qashash ayat 76 dan ayat-ayat setelahnya. Diantaranya adalah; "Sesungguhnya Karun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: "Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri".
44 Sebagaimana kita saksikan dalam perang Bosnia.
45 Al-Mizan, juz 2, hal. 387. cet. Jâmi`ah al-Mudarrisin fil Hauzah al-Ilmiyyah, Qum-Iran.
46 At-Tibyân, juz 9, hal. 211.
47 "Wasâilusy Syi`ah", juz 6, bab-bab kewajiban menunaikan Zakat, bab ke 1 hadi ke 2. juga terdapat dalam kitab "Man lâ Yahdhuruhul Faqîkh", juz 2, bab-bab
Zakat, pad abab ke 1 (sebab kewajiban zakat) hadis ke 4. demikian juga terdapat pada kitab "Al-Kâfi", juz 3, kitab Az-Zakat, bab. Kewajibab berzakat, hadis ke 1.
48 Ibid, "Wasâilusy Syi`ah", riwayat ke enam.
49 Wasâilusy Syî`ah, juz 41, bab-bab mukaddimah nikah, bab ke 7, hadis ke 7
50 Shahih Muslim, juz 2, hal. 702. Redaksi lain dengan kandungan yang sama juga terdapat dalam riwayat Ahlul Bayt a.s dalam kitab "Wasâilusy Syi`ah", juz 6, bab-bab shadaqah, bab 7, hadis ke 5-8.
51 Coba lihat tafsir al-Amtsal, juz 6, hal. 130-133.
52 Wasâilusy Syi`ah, juz 6, bab-bab sadaqah, bab ke 22, hadis ke 3.
53 Bihârul Anwâr, juz 43, hal. 348.
54 Maksudnya adalah kematian yang disebabkan oleh kecelakaan.
55 Ini salah satu bentk salam yang dikenal dikalangan kaum muslimin, dan ini cukup disesalkan. Perbuatan mereka ini muncul dari kebodohannya dengan pengertian salam ini yang merupakan jenis pelaknatan.
56 Wasâilusy Syi`ah, juz 6, bab-bab shadaqah, bab ke 9, hadis ke 3. kami pun menemukan sejumlah riwayat lain dengan kandungan yang sama dengannya.
57 Untuk lebih jelasnya, silahkan merujuk ke tafsir "Nafahâtul Qur`an", juz 6, hal. 189 dan halamn-halaman setelahnya.
58 Bihârul Anwâr, juz 67, hal. 186.
59 Ayat yang senada dengan ini terdapat dalam surat ar-Ra`d ayat 22, An-Nisa ayat 39, Fathir ayat 29, dan ayat-ayat lainnya.
60 Allah Swt berfirman dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56 sebagai berikut: "Tidaklah Aku ciptakan manusia dan jin kecuali untuk menyembah (Nya)".
61 QS. Al-Fajr: 27-30.
62 Mîzânul Hikmah, bab ke 1994, hadis ke 9316.
63 QS. Al-Mukminun: 100.
64 Memang benar, banyak sekali pengkhidmatan Sayyed Burujurdi. Dikatakan karena berkat beliaulah telah berdiri hauzah ilmiyyah Syi`ah. Ia telah membangun masjid hingga mencapai seribu masjid, membangun kembali bangunan-bangunan agama, serta mencetak kembali buku-buku klasik
65 Bihârul Anwar, juz 13, hal. 432.
66 QS. Ali Imran: 92.
67 Riwayat ini dikutif secara bebas berdasarkan kandungannya, dan tidak dari redaksi aslinya. Diambil dari Ahqâqul Haq, juz 10, hal. 401. dan dari kita
"Madhharu Wilâyat", hal. 269.
68 Kisahnya secara lengkap termuat dalam jiid ke 4, hal. 45-6.
69 Bîhârul Anwâr, juz 4, hal. 324. Cet. Bairut.
70 Wasâilusy Syî`ah, juz 6, hal. 303.
71 Wasâilusy Syi`ah, juz 6, hal. 303.
72 Mempublikasikan sebuah sadaqah akan lebih utama jika dilakukan untuk mendorong orang lain berani berinfak dan untuk menghidupkan sunah Islami bersadaqah. Demikian ini jika semua orang muslim bersadaqah secara sembunyi, maka terkadang ia akan mengundang perasangak buruk tidak memberi sadaqah. Dan sadaqah terang-terangan sangat bermanfat untuk kepentingan meninggikan syi`ar-syi`ar agama.
73 Wasâilusy Syî`ah, juz 6, bab ke 1, hadis ke 1,3,4 dan 5.
74 Lihat al-amtsal (buku ini) juz 2, hal. 216-217.
75 Lihat "Majma`ul Bayân", juz 2, hal. 379.
76 Bihârul Anwâr, juz 9. jal. 168.
77 Mîzânul Hikmah, bab. 1032, hadis ke 4768..
78 Nahjul Balaghah, khutbah ke 191.
79. Terdapatayat-ayat lain dalam al-Qur`an yang berbicara tentang ihbâth wat takfîr. Untuk lebih lanjut, silahkan merujuk kepada tafsir al-Amtsal, juz 2, hal. 67-96, dan secara terpecah-pecah terdapat juga dalam juz-juz yang lain dalam kitab tafsir yang sama. Diantaranya dalam surat Hud, al-Hujurat, dna lain-lain.
80. Nahjul Balaghah, kalimat-kalimat pendek, kalimat ke 77.
81. Mustadrak al-Wasâil, juz 13, hal. 395. bab-bab hutang dan pinjaman, bab ke 6, hadis ke 3.
82. QS. Al-An`am: 160.
83. Riba diumpamakan seperti zina dalam banyak sekali riwayat. Untuk lebih jelasnya, silahakn merujuk pada "Wasâilusy Syi`ah", juz 12, bab-bab riba, bab pertama, riwayat 1, 5, 6, 18, 19, 21, dan 22.
84. Atau bisa saja yang dimaksud di kekal sini adalah masa yang cukup panjang, bukan kekal sebagaimana dipahami umumnya.
85. Nûruts Tsaqalain, juz 1, hal. 291.
86. Mi`raj nabi Saw adalah diantara keyakinan kaum muslim. Diyakini bahwa Rosulullah Saw telah bermi`raj (naik) ke langit beberapa kali. Untuk lebih jelasnya, lihat tafsir al-Amtsal, juz 8, hal. 343-354. diantara pembahasan di dalamnya adalah bahwa Surga dan Neraka yang Rosulullah Saw saksikan dalam mi`rajnya adalah surga dan neraka di alam Barjakh.
87. Wasâilusy Syi`ah, juz 12, bab-baba riba, bab pertama, hadis ke 16.
88 Mîânul Hikmah, bab 2448, hadis ke 11108, di situ juga terdapat riwayat-riwayat lain yang kandungan redaksinya sama dengannya.
89 Wasâilusy Syi`ah, juz 12, bab-bab rba, hadis ke 3, riwayat ke 4, 9, 10, dan 11. semuanya menunjukkan pada kandungan yang sama.
90 QS.
91 Wasâilusy Syi`ah, juz 21, bab-bab aktivitas terkait dengan khamr, bab ke 55, hadis ke 3,4 dan 5.
92 Syarhul Lum`ah, juz 1, hal. 331.
93 Surat ke 53 dari Nahjul Balaghah dalam syarakh Shubhîsh Shâlih. Disebutkan bahwa surat ini adalah surat perjanjian terpanjang. Didalamanya terkandung pesan-pesan Imam Ali a.s yang tidak hanya dikhususkan kepada Malik saja, melainkan kepada seluruh penguasa pada masa dan tempat manapun. Surat tersebut selalu memberikan ispirasi dan perhatian.
94 Yang benar-benar fakir
95 Yang membutuhkan pertolongan namun tidak mau meminta-minta.
96 Keuntungan-keuntungan negara.
97 Yakni kamu harus tetap perhatian tehadap urusan-urusan mereka.
98 Yangki perilaku sombong dan angkuh.
99 Yakni mencari orang-orang kepercayaanmu yang memang betul-betul memiliki perhatian kepada urusan mereka.
100 Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Sebagainnya hanya mengkhususkan untuk prdagangan saja, dan sebagain lain mengeneralkan untuk seruruh jenis kegiatan ekonom.
101 Majma`ul Bayân, juz 2, hal. 392.
102 Ayat ini menjelaskan bahwa para pelaku bisnis riba tidak akan mengindahkan peringatan-peringatan apapun, karena itu hukum Islam harus memaksanya.
103 Kandungan serupa ayat ini banyak terulang-ulang di sejumlah ayat-ayat al-Qur`an lainnya.
104 Shir juga berati dhajjah (gaduh, ribut, berisik). Ia juga berarti kais, yaitu kantong atau karung yang menutupi sebuah celah/lobang dengan kencang. Karena itu, dengan dua kata padanannya ini ia berarti sebuah angin kencang diserai suara sangat keras.
105 Makna senada banyak ditemukan pada ayat-ayat lain seperti ayat ke 57 dari surat al-Baqarah, ayat ke 117 dari surat Ali Imran, ayat ke 9, 16, 162, 177 dari surat al-A`raf, dan ayat ke 70 dari surat at-Taubah, serta ayat ke 44 dari surat Yunus.
106 Lihat tafsir Al-Amtsal, juz 4, hal. 401-403.
107 Ammar terbunuh oleh agresi tentara Mu`awiyah, demikian seperti Sabda Rosulullah Saw kepadanya; Engkau akan dibutuh oleh sekekelompok durjana".
108 Bihârul Anwâr, juz 64, hal. 75.
109 Kemukjizatan al-Qur`an terdiri dari berbagai macam, diantaranya adalah kemukjizatan ilmiah. Untuk lebihjelas silahkan merujuk kepada tafsir Nafahât, al-Qur`an, juz 8, hal. 121-167.
120 Qs. Al-Hadid ayat 4, dan masih dalam kandungan yang sama juga terdapat dalam surat al-Mujadalah ayat ke 7
121 QS. Ghâfir: 19
122 QS. Ali Imran: 119.
123 QS. Al-Zalzalah: 7-8
124 Untuk lebih jelasnya silahkan merujuk kepad abuku tafsir Nafhâtul Qur`an, hal. 272.
125 QS. Al-Kahfi; 21.
126 AL-Qur`an al-Karim telah menyingkap rahasia ilmiah hujan ini sebelum seribu empat ratsu tahun yang lalu
127 Bihârul Anwâr, juz 6, hal. 329, hadis ke 13. Juga juz 8, hal 39.
128 Nahjul Balaghah, kalimat-kalimat pendek, kalimat ke 147.
129 QS. At-Tin; 4.
130 Mîzânul Hikmah, bab ke 2005, hadis ke 9365.
131 Bihârul Anwâr, juz 58, hal. 65.
132 Tidak diragukan lagi bahwa ayat tersebut dimaksudkan untuk siapa saja yang memiliki kriteria-kriteria yang disebutkan di dalamnya. Untuk lebih jelasnya silahkan merujuk ke kitab tafsir Al-Amtsal, juz 5, pembahasan akhir ayat 175.
133 QS. Al-Insan: 3.
134 Bentuk teks ayat tersebut menu8njukkan pada kisah-kisah masa silam, bukan masa Nabi Saw. Karena itu ayat tersebut ditunjukkan untuk kisah Bal`am bin Baura dan bukan untul selainnya.
135 Farâidul Ushûl, juz 58 dalam edisi satu jilid.
136 Lihat tafsir "Al-Mîzân", juz 9, hal; 391. juga tafsir "Majma`ul Bayân", juz 5, hal. 72.
137 Tafsir "Al-Amtsal", juz 6, hal. 201.
138 Untuk lebh jelasnya, silahkan merujuk pada dua buku berbahasa Farsi; Irmigôn Isti`môr dan Bôy Sakhnôn Badr
139 Mîzânul Hikmah, bab ke 291, hadis ke 1449
140 QS. Al-`Ankabût: 64.
141 Termuat dalam Mîzân al-Hikmah, bab ke 3253, hadis ke 15920. "Tidak ada ibadah -yang ;ebih baik- dari tafakkur pada ciptaan Alalh Azza wa Jalla".
142 Bihârul Anwar, juz 7, hal. 911.
143 QS. Ar-Ra`d: 11.
144 Al-Mahjatul Baidhâ, juz 2, hal. 231. juga Tafsir al-Burhân, juz 1, hal. 331, hadis ke 11.
145 Ia disebutkan secara bersamaan pada hampir tujuh puluh ayat dalam al-Qur`an.
146 QS. Al-Baqarah: 7
147 Mîzânul Hikmâh, 1: 193.
148 Bihârul Anwâr, juz 67, hal. 106.
149 Untuk lebih jelasnya silahkan merujuk kepada Anwâr al-Ushûl, juz 1, hal. 145.
150 Demikian ini dijelaskan dalam surat Ali Imran ayat ke 49.
151 Anda dapat mendapatkan penjelasan mukjizat ini dalam kitab al-Mi`raj -Saqqul Qamar- al-Ibadah fil Qadhbain".
152 Fenomena ini disebutkan dalam al-Qur`a, pada surat al-An`am ayat ke 76-78.
153 Banyak sekali mukjizat yang terjadi terkait dengan kelahiran Rosulullah Saw, diantaranya ialah api sembahan di Perisa mati dan air sungai Sâwat mengalami kering.
154 QS. Ar-Rahman: 29.
155 Untuk lebih jelasnya silahkan merujuk ke tafsir Al-Amtsal, juz 17, hal. 373-4.
156 Mîzânul Hikmâh, bab ke 1189, hadis ke 5519.
157 QS. Qaf; 16
158 Al-Kâfî, juz 2, hal. 468.
159 Bihârul Anwâr, juz 90, hal. 30.
160 Mîzânul Hikmah, bab ke 1189, hadis ke 5533.
161 Ibid, bab ke 1169, hadis ke 5585.
162 Ibid, bab ke 1189, hadis ke 5516 dan 5532.
163 Al-Kâfi, juz ke 2, hal. 468.
164 QS. Al-Jum`ah ayat ke 2
165 Sebagaimana kandungan ayat ke 13 dalam surat al-Hujurât ".......Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal".
166 Sebagaimana terkandungan dalam surat al-Baqarah ayat ake 197; "Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal".
167 Sebagaimana terkandung dalam surat Maryam ayat ke 63; "Itulah syurga yang akan Kami wariskan kepada hamba-hamba Kami yang selalu bertakwa".
168 Mîzânul Hikmah, bab ke 1194, hadis ke 5563.
169 Nahjul Balaghah, khutbah ke 193.
170 Tafsir "Majma`ul Bayân", penghujung ayat ke 92 dari surat Yunus
171 Mîzânul Hikmah, bab ke 1189, hadis ke 5529.
172 QS. Al-`Ankabût: 45.
173 Kami juga menemukan riwayat-riwayat senada dengan ini dalam Wasâilusy Syi`ah, juz 10 Abwâbul Majâr, bab ke 82.
174 Makârim Akhlak, juz 2, hal. 874.
175 Ibid, hal 20..
176 QS. Al-Baqarah: 9.
177 Bihârul Anwar, juz 90, hal. 322.
178 Untuk lebih jelasnya, silahkan merujuk pada tafsir Al-Amtsal pada tema nama-nama paling agung (al-asmâ al-A`dhâm).
179 Lihatlah Mîzân al-Hikmah, bab ke 1209.
180 Wasâil Syîah, abawâb az zakât, bab ke 1, hadis ke 2, 3, 6, dan 9.
181 QS. Al-Isra: 82.
182 Terdapat dua pengertian Syetan di sini. Pertama, berasal dari kata syathana yang berarti ba`d (jauh), karena itu kalimat bi`run syathûr berarti sumur yang jauh atau dalam. Maka berdasarkan arti ini syetan ditafsirkan sebagai wujud yang jauh dari rahmat Allah Swt. Kedua, ia berasal dari kata syâth yang berarti ihtaraqa (membakar) atau halaka (menghancurkan). Dari sini, syetan ditafsirkan sebagai wujud yang membakar dan menghancurkan dia sendiri dan para pengikutnya.
182 QS. Al-Isrâ: 81.
183 QS. Ash-Shaff: 9.
184 Gurarul Hikam, 68 - 71. cetakan Markaz al-Bahts Lil`ulm al-Islami
185 Mîzânul Hikmah, bab ke 885, hadis ke 4082.
186 Ibid, hadis ke 4084
187 Ibid, bab 888, hadis ke 4100.
188 Ibid
189 Hadis serupa termuat juga dalam Mîzân al-Hikmah, bab ke 3922, hadis ke 20292.
190 Wasâil Syî`ah, juz 81, muqaddimât al-Hudûd, bab ke 3, hadis ke 3.
191 Mîzânul Hikmah, bab ke 546, hadis ke 2529.
192 Mîzânul Hikmah, bab ke 4173, hadis ke 22179.
193 Bihârul Anwâr, juz 2, hal. 29
194 Mîzânul Hikmah, bab ke 4173, hadis ke 22174.
195 QS. Ibrahim: 15.
196 Wasâil asy-Syî`ah, juz 1, hal. 91.
197 Nahjul Balaghah, khutbah ke 53.
198 QS. Al-Hujurât: 2.
199 Mîzânul Hikmah, bab ke 85, hadis ke 1394. sebagaimana juga terdapat pada hadis ke 3938 dengan kandungan yang sama.
200 Kandungan ayat ke 36, surat Al-Baqarah.
201 Sebagaiamana kandungan ayat ke 16 dan 17, surat al-A`râf.
202 Ali Imran, 83.
203 Majma` al-Bayân, juz 6, hal 312.
204 Mîzânul Hikmah, bab1409, hadis ke 6784.
205 Al-Mahjah al-Baidhâ, juz 8, hal. 6784.
206 Qs. Ali Imran: 39.
207 Lihatlah Ath-Thibyân, juz 6, hal. 292.
208 Tafsir al-Amtsal, juz 7, hal. 440-447.
209 Terdapat juga tafsiran-tafsiran lain terhadap kalimat yang baik tersebut dalam tafsiran al-Amtsal dan al-Mîzân, pada tafsir penghujung ayat tersebut
210 Mîzânul Hikmah, bab 4011, hadis ke 21208.
211 Majma` al-Bayân, juz 6, hal. 488.
212 Musnad al-Imam al-Mujtaba a.s; 556.
213 QS An-Nisa 139.
214 Syarah dan penjelasan tafsir perumpamaan ini telah disampaikan pada pembahasan-pembahasan awal kitab ini.
215 QS. An-Nahl: 74.
216 Lihat Tafsir al-Amtsal, juz 4, hal 197 - 204.
217 Wasâil Syî`ah, juz 15, hal. 102.
218 QS. Al-Kahfi; 80-81.
219 Lihatlah Nûruts Tsaqalaîn, juz 3, hal. 286-287. Dikutif dari tafsir al-Amtsal, juz 9, hal. 295.
220 QS. Al-Irâ, 43
221 Kandungan makna ini terdapat dalam beberapa ayat, diantaranya adalah pada surat al-`Ankabut ayat ke 16, Luqman ayat ke 25, az-Zumar ayat ke 38, dan Az-Zukhruf ayat ke 9 dan 87.
222 Diantara sejumlah ayat yang kandungannya senada dengan maksud ini ialah ayat ke 24 dalam surat as-Saba.
223 QS. Al-Anbiyâ: 66-67.
224 Ditulis dalam edisi bahasa Farsi dan bahasa Arab.
225 Silahkan merujuk ke kitab Wasâilusy Syî`ah, juz 61, bab-baba perbudakan, bab. Pertama.
226 Bihârul Anwâr, juz 14, hal. 43.
227 Musnad al-Imam al-Mujtaba a.s, juz 2, hal. 702.
228 Bihârul Anwâr, juz 7, hal. 137.
229 QS. Yusuf: 33.
230 Manhajush Sh?diqîn, juz 5, hal. 212.
231 QS. Al-Mukmin: 40.
232 Bihârul Anwâr, 42: 118.
233 QS. Yusuf: 106.
234 QS. Al-Hadid: 7.
235 Silahkan merujuk pada kitab tafsir Majma` al-Bayân, juz 6, hal, 437. di sana disebutkan bahwa yang dimaksud dengannya adalah Hamzah dan Utsman bin Math`ûn
236 Seperti diketahui bahwa sadaqah wajib, yaitu zakat fitrah dna harta adalah harap bagi para sayyid (katururnan Rosulullah Saw, penej), adapun sadaqah yang bukan wajib tidak diharamkan bagi mereka.
Terdapat berbagai riwayat yang membenarkan menerima hadiah walaupun sedikit. Lihatlah Mîzân al-Hikmah, bab ke 4009.
Kita sekarang hidup dalam berbagai kenikmatan hidup, dimana kita dilahirkan dari kedua orang tua muslim dan dalam msyarakat yang juga muslim. Karenanya kita harus bersyukur pertama kepada Allah Swt, dan kedua kepada kedua orang tua. Kita alhamdulillah tidak mengalami hal yang sama seperti dialami sepertiga kelompok masyarakat di atas.
Diambil dari kitab al-Hasan dan al-Husein, karya `Allamah Sayyid Muhsin Amin Amuli
Mîzânul Hikmah, bab 2964, hadis ke 14124.
Meskipun perjanjian ini sudah berlangsung seribu tahun silam, namun kita tetap masih menemukan kelayakannya sekarang
Ushûlul Kâfî, kitab Iman dan Kufur, bab berbakti kepada kedua orang tua, hadis ke 15.
Istilah qaryah (kampung) dalam al-Qur`an tidkalah berarti sama dengan kota sekarang. Secara umum ia berarti sebuah kaweasan yang berpenduduk, baik berbentuk kota besar maupun kota kecil. Istilah qaryah ini dimaksudkan sebagai ibu kota Mesir pada masa nabi Yusuf a.s.
Perang ini meletus dipicu oleh agresi partai ba`ats di Iraq yang terjadi pacsa revolusi pad atahun 1980 dan berakhir pad atahun 1988.
Bihârul Anwar, juz 47, hal. 741. dan Nahjul Balaghah, pada Kalimat_Kalimat Ringkas", kalimat ke 364.
Ibid, Nahjul Balaghah, kalimat ke 146.
Lihatlah Tafsir Majma` al-Bayân, juz 6, hal. 39. dan At-Tibyân, juz 6, hal. 432.
237. Lihat tafsir al-Amtsal, juz 8, hal. 311-312.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar