Kata-kata hiasan :
Pengarang : Sayid Ishaq Husaini Khushari
Masa kita ini adalah masa runtuhnya batasan dan
kacaunya fikiran. Pemikiran-pemikiran moderen bergemuruh saling tarik
ulur dan bertentangan atara satu dan sama lain hingga seluruhnya
menghadapi sanggahan dan dihadapi pula dengan keraguan serta kepincangan
fikiran. Fenomena inilah yang melahirkan diskusi-diskusi penting secara
seputar pemikiran dunia sebagaimana yang dapat kita saksikan. Adapun
kita yang beridiri di atas puncak pemikiran agama dan budaya yang paling
kokoh ini, sungguh memerlukan renungan yang lebih dalam untuk menyelami
memori sejarah kita guna menyingkap sisi-sisi tersembunyi tradisi dan
titik-titik kelahiran setiap pergerakan masa kini lalu menyaksikannya
dengan penuh kejelasan. Melewati jalan penuh tikungan yang ada di
hadapan kita tidaklah mudah. Tak ayal hanya peran para cendikia yang
faham seluk beluk dimensi manusia yang akan melahirkan norma-norma muda
dan membukakan jendela-jendela menuju pandangan yang benar.
Kita tak sepatutnya selalu diam sebagai penonton
gencarnya arus gerakan dunia dan menganggap diri kita sebagai penggalan
terpisah jauh dari gejolak ombak besar ini. Betapa banyak
pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan di benak para pemuda kita yang
bagaikan duri menusuk jiwa; yang satu-satunya jalan untuk
menyingkirkannya adalah mengkaji dan meneliti titik permasalahan dengan
segenap upaya. Tak ada orang yang menatap mentari namun tak yakin bahwa
ufuk itu terang dan luas. Kita sedang berdiri di puncak cadas kokoh yang
tak pernah tergoyahkan sekalipun oleh amarah topan-topan dahsyat. Hari
ini berbagai usaha tulus namun pintar telah dikerahkan oleh para pemikir
dan cendikiawan kita; usaha yang menawarkan jalan keluar terbaru dan
terbaik untuk masa kini. Mereka lah yang membukakan pintu wawasan kita
lebih dari sebelumnya dan selalu begitu seterusnya.
Kanun e Andishe e Javan, adalah tunas muda yang
terus berusaha gigih mengabdi dan bekerja memenuhi kekosongan-kekosongan
serta mengencangkan kekenduran dalam setiap serat dan benang pemikiran.
Usaha yang lebih kami tekankan adalah kajian dan penelitian mendalam
seputar wacana umum dan pengetahuan dalam berbagai bidang.
Buku ini merupakan sebuah karya yang mejadikan
sudut pandang Al Qur’an sebagai acuan dalam membicarakan masalah-masalah
seputar tekanan mental dan cara-cara mengatasinya. Kami patut
berterimakasih kepada Hujjatul Islam Sayid Ishaq Husaini Kuhsari atas
karya emasnya. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi pecinta makrifat
dan intelektual.
Pendahuluan
Segala puji bagi Tuhan semesta alam, shalawat serta
salam bagi junjungan kita Rasulullah saw. beserta keluarga mulianya dan
semoga Allah selalu menjauhkan rahmat-Nya dari para musuh mereka hingga
tibanya hari yang dijanjikan.
Keberadaan Al Qur’an sebagai kitab langit yang
kekal dan mukjizat serta pembukti kebenaran nabi Muhammad saw. yang
menjadikannya sebagai pegangan dan rujukan Muslimin serta para pencari
kebenaran di setiap masa. Keantikannya membangkitkan selera para mufasir
dalam menggoreskan penanya, meniti setiap kalimat dan ayatnya,
menjabarkan keindahan dan keagungannya, baik dari sisi sastra, falsafah,
irfan dan keilmiahannya. Dengan berkembangnya ilmu moderen, khususnya
dalam bidang humaniora, keajaiban Al Qur’an semakin terasa dan
terciptalah tema-tema penelitian baru mengenainya.
Sejak lama para pecinta dan bahkan para ahli
psikologi, karena ketertarikan khusus yang mereka miliki, melirik Al
Qur’an dan tertarik padanya hingga mereka sampai mampu membuka satu
persatu pintu makrifat Ilahi dan menemukan hikmah-hikmah agung di
dalamnya; mereka menemukan banyak hal baru dalam Al Qur’an yang dapat
memecahkan permasalahan-permasalahan psikologi dan juga menjadi penawar
bagi penderitaan-penderitaan turunan manusia. Inilah yang dikemukakan
buku yang ada di hadapan anda; mengenalkan cara-cara yang bersumber dari
Al Qura’an dalam mengatasi dan menyembuhkan derita-derita kejiwaan
(tekanan jiwa). Semoga karya kecil ini mendapatkan keridhaan Ilahi dan
dapat membantu para pecinta Al Qur’an untuk memahami kalam-Nya lebih
dalam lagi.
1. Ganguan jiwa, sobat karib manusia
Depresi dan tekanan jiwa adalah gangguan yang
seringkali dihadapi dan diderita oleh kebanyakan orang. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan di Eropa dan Amerika Serikat, 26/9 persen kaum
adam dan 12/5 persen kaum hawa mengalami tekanan jiwa dalam hidupnya;
juga kira-kira 3 persen masyarakat kedua benua tersebut pernah mengalami
ketakutan yang berlebihan. Para pakar Badan Kesehatan Dunia (WHO)
menyatakan bahwa ada sekitar tiga ratus juta orang di dunia ini, yakni
enam persen masyarakat dunia, sedang menderita penyakit jiwa dengan
berbagai tingkatannya. Telah terbukti bahwa 15 hingga 25 persen pasien
yang berkonsultasi positif menderita penyakit jiwa atau mengalami
masalah psikis yang serius; 25 persen dari mereka selain mengidap
gangguan kejiwaan juga mengalami gangguan fisik. Jadi sekitar 40 hingga
50 persen dari mereka memiliki gangguan jiwa yang serius. Stres dan
depresi adalah gangguan yang paling sering ditemui. Hal ini menuntut
Badan Kesehatan Dunia membentuk departemen khusus yang disebut dengan
Pelayanan Kesehatan Jiwa. Pada tahun 1961 tercipta gerakan besar para
dokter psikologi sosial di Amerika yang sering disebut dengan Revolusi
Besar Ketiga.[1]
Di Iran juga telah dilakukan riset dan terbukti
bahwa 45 hingga 50 persen pasien yang datang ke dokter positif menderita
gangguan jiwa.[2]
Menurut Badan Kesehatan Dunia, dari segi tingkatan
penyakit jiwa, negara-negara seperti Inggris, Finlandia, Skotlandia dan
Irlandia berada di posisi teratas. Di Amerika sekitar tiga persen budget
negara dialokasikan untuk menangani gangguan kejiwaan.[3]
12 persen cuti pengobatan dikarenakan penyakit-penyakit gangguan organ
jantung koroner dan dalam setahun 5 juta pak obat penenang dan 160.000
ton aspirin dikonsumsi.[4]
Laporan tahun 1986 Kementrian Kesehatan dan Pengobatan Inggris
menunjukkan bahwa sekitar 22/8 juta hari energi kerja dihabiskan hanya
untuk menangani maslaah-masalah gangguan kejiwaan. Para pakar kesehatan
menyatakan bahwa kurang lebih 80 persen penyakit yang diderita oleh
manusia di zaman ini dimulai dengan tekanan mental.
Pada tahun 1969, Aiyken menyingkap adanya gangguan
mental pada 71 persen para pilot angkatan udara. Di tahun 1980, Alkow
dan Borowski menekankan bahwa para pilot militer yang hidup jauh dari
fenomena kehidupan emosional paling kerap berada dalam ancaman
kecelakaan. Riset membuktikan bahwa 45 persen kecelakaan udara
disebabkan oleh kesalahan para pilot dikarenakan beberapa faktor
seperti: kelelahan, lingkungan kerja, kerja berlebihan dan problem
kekeluargaan.[5]
Penelitian para dokter gigi di Amerika pada tahun
1970 – 1980 membuktikan bahwa para dokter yang mengalami depresi
beresiko terkena penyakit jantung, pernafasan dan bahkan bunuh diri.
Faktor-faktor tersebut lah yang membuat mereka mudah terserang berbagai
penyakit membahayakan. Juga berdasarkan penelitian ini, lingkungan kerja
para perawat rumah sakit yang penat (seperti selalu berhubungan dengan
darah, air seni, muntah, dan lainnya) dan penuh dengan suasana kesedihan
serta penderitaan, berhadapan dengan kondisi-kondisi yang tak terduga
berhubungan para pasien, merupakan salah satu sebab utama mereka
mengalami stres dan depresi.[6]
Penelitian Stora (1985) menunjukkan bahwa 46 persen
para manajer perusahaan di Perancis menderita gangguan kejiwaan karena
sering berhadapan dengan pesaing mereka. 43/15 persen di antara mereka
mengkonsumsi minuman-minuman beralkohol guna meredakan depresi yang
dialami; 17/4 persen mengandalkan obat tidur; dan 14/5 persen menjadikan
obat penenang sebagai jalan keluarnya.
Dengan demikian, tekanan mental dapat dijuluki
dengan sobat karib manusia di era moderen ini. Setiap hari semakin
menambah jumlah kerugian bagi manusia baik dari sisi ekonomi, sosial dan
individu.[7]
Oleh karenanya pembahasan mengenai masalah ini (tekanan mental), apa
lagi menurut kacamata Al Qur’an yang merupakan resep terampuh bagi
jutaan umat Islam, tak kalah pentingnya dengan pembahasan-pembahasan
lainnya.
2. Pemula Bahasan
Agama Islam dalam sepanjang abad telah menarik
lebih dari jutaan manusia pada dirinya. Mereka berasal dari berbagai
bangsa dan seluruh penjuru dunia. Islam merubah pola hidup mereka dan
menanamkan tujuan termulia untuk mereka tempuh. Islam menegaskan
aturan-aturannya baik untuk kehidupan bermasyarakat ataupun individu
mereka. Tak diragukan, sebuah agama yang berkriteria seperti ini pasti
memiliki prinsip-prinsip psikologi yang khas; dan semua itu tercermin
dalam wujud keberadaan para tokoh besar Muslim yang terkenal di berbagai
bidang keilmuan dan ditulisnya bermacam-macam kitab seputar kajian
Ilmun Nafs (Ilmu Jiwa), akhlak dan irfan. Pada masa itu (masa awal
penyebaran Islam—pent.) bangsa Eropa menganggap orang gila adalah orang
yang terasuki arwah jahat, dan untuk mengusirnya mereka menyiksa tubuh
orang gila tersebut dengan berbagai siksaan. Namun para tabib Muslim
menyebut orang gila sebagai orang sakit; karena mereka bersandar pada
apa yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dari Rasulullah saw. Anas
meriwayatkan:
Pada suatu hari, lewat seorang lelaki di depan
Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Salah satu sahabat berkata: “Lelaki
ini adalah orang gila.” Namun Rasulullah saw. menyanggahnya: “Dia bukan
orang gila, dia hanya orang sakit. Orang gila adalah orang yang terus
menerus berbuat dosa.”[8]
Para tabib Muslim mulanya belajar dari ajaran
Abuqrat dan Jalinus, namun pada abad kedua dan ketiga Hijriyah, setelah
diterjemahkannya buku-buku, mereka mendahului keunggulan ilmu kedokteran
Yunani. Semenjak itu ilmuan Muslim mepersembahkan karya-karya
berharganya untuk Islam, karya-karya yang tetap dibanggakan hingga abad
ke-17 Masehi yang mana menjadi bahan ajaran di universitas-universitas
Eropa. Berikut ini adalan beberapa diantara karya-karya tersebut:
Ali ibn Rabban Tabari (192 – 247 H.)
Ilmuan muslim ternama yang pernah menulis Firdausul
Hikmah dalam tujuh jilid dan 36 bab. Ia menerangkan berbagai
permasalahan-permasalahan penting dunia kedokteran dalam tulisannya itu.
Abu Bakar Muhammad ibn Zakariya Razi (113 – 251 H.)
Tibbun Nufus atau dalam bahasa parsinya Teb e
Ruhani karya Razi, dikenal sebagai buku kedokteran terkuno dalam bidang
psikologi (psikiatri). Razi berpendapat bahwa jiwa dan raga ada
keterikatan yang amat erat; oleh karenanya setiap tabib jasmani harus
menjadi tabib ruhani pula bagi pasiennya. Ia terkenal di zamannya dengan
metode terapinya dalam menyembuhkan rheumatism yang diderita Amir
Manshur Samani dengan cara mengosongkan gejolak emosi dan amarah.[9]
Ali ibn Abbas Majusi Ahvazi (318 – 384 H.)
Kitab Kamilus Shina’ati Thibbiyah dan kitab Al
Mulki adalah karya Ibnu Abbas. Pada makalah kelima kitab keduanya, ia
berbicara tentang penyakit jiwa secara terperinci. Ibnu Abbas adalah
penganut Zoroaster, namun ia hidup dan tumbuh di lingkungan dan budaya
Islam.
Abu Bakar Rabi’ ibn Ahmad Akhwaini Bukhari (wafat pada 373 H.)
Ia adalah penulis Hidayatul Muta’allimin fil Thibb.
Sebagaimana yang disebutkan dalam Char Maqale e Aruzhi, Bukhari
terkenal kemampuan terapinya dalam penyembuhan Malikholia dan karena itu
ia dijuluki sebagai “tabibnya orang-orang gila”. Dalam beberapa fasal
bukunya ia khusus berbicara tentang penyakit-penyakit jiwa.
Abu Ali Sina / Ibnu Sina (370 – 427 H.)
Ibnu Sina telah menulis 16 judul kitab kedokteran.
Makalah pertama kitab Syifa miliknya dikhususkan untuk pembahasan
kejiwaan. Beberapa karyanya yang lain diantaranya ialah:
1. Kitab Daf’ul Ghammi wal Hammi;
2. Kitab Al Huzn wa Asbabuhu;
3. Kitab An Nabdh;
4. Kitab Al Qanun fil Thibb.
Bu Ali (sebutan lain bagi Ibnu Sina) juga menyadari
efek penyakit terhadap kejiwaan dan begitupula efek kejiwaan terhadap
penyakit, oleh karena itu ia khusus berbicara tentang emosi pada
sebagian pasal dalam kitabnya An Nabdh dan dalam kitab Al Qanun pada bab
cinta/ketertarikan ia berbicara khusus seputar penyakit-penyakit jiwa.
Sayid Isma’il Jarjani (351 – 434 H.)
Zakhire e Khwarazmshahi dan Al Aghradhul Thibbiyah
yang merupakan ikhtisar Zakhire, merupakan karya besar Jarjani. Kitab
Zakhire adalah kitap terlengkap pada milenium akhir.
Khajah Nashiruddin Thusi (597 – 672 H.)
Khajah Nashir dalam kitabnya yang berjudul Akhlak
Nashiri, dalam pembahasan Hikmat Ilmi, berbicara seputar
permasalahan-permasalahan psikologi.
Antara agama dan ilmu kejiwaan
Mengenai bagaimana hubungan antara agama dan psikologi, di sini kita
bisa membagi aliran pemikiran yang ada menjadi tiga kelompok:
1. Kelompok tradisional sederhana; kelompok ini
memiliki keyakinan tertentu akan ke-mistis-an suatu benda dan mereka
meyakini khurafat, sihir dan semacamnya.
2. Kelompok atau aliran yang bersandar pada
prinsip-prinsip falsafi, seperti Buda dan Kofusius; mereka melihat
kesehatan seorang manusia melalui sudut pandang penyucian jiwa,
kesesuaian diri dalam ikatan kehidupan sosial dan penerimaan derita.
3. Kelompok bertiga yang bertauhid, meyakini hari
pembalasan dan kenabian, khususnya agama Islam; mereka berkeyakinan
bahwa kesehatan jiwa dan raga seorang manusia bergantung pada tiga hal
mendasar di bawah ini:
a. Pandangan dunia yang logis dan jelas;
b. Kekhilafahan Ilahi adalah predikat manusia;
c. Kembali kepada Tuhan dan membenahi prilaku;
d. Menentang khurafat batil;
e. Menentang keputus-asaan dan nihilisme.
Oleh karena itu aliran-aliran bertauhid, terutama
Islam, dikenal dengan perhatiaannya terhadap penanganan masalah-masalah
kejiwaan umat manusia serta memberikan solusi terbaik untuk ketenangan
ruhani.[10]
Kenyataan ini pun juga diakui oleh pakar-pakar psikologi seperti:
1. William James, bapak ilmu psikologi berkata:
“Jika kita ingin menyimpulkan ajaran-ajaran agama
di dunia ini, tidak ada satu kalimat kesimpulan yang lebih baik dari:
“Tak ada satu pun di dunia ini yang tidak berguna dan sia-sia; meskipun
dunia dan seluruh isinya seakan berbicara sebaliknya.”
Hidup di bawah naungan agama memiliki dua kriteria
menonjol: penuh dengan aktifitas serta kesibukan, dan kegembiraan serta
ketenangan jiwa. Agama lah yang menentang khurafat dan kesia-siaan.
Agama lah yang memerangi ketidak-relaan terhadap takdir dan suratan.
Memang sebagian dari agama-agama menganggap alam dunia sebagai medan
kesengsaraan, tapi ajaran ini bertujuan pada pensucian jiwa yang
berujung pada suatu keajaiban: harapan dan kebahagiaan.”[11]
2. Carl Jung berkata:
“Dari setiap pasien yang pernah saya hadapi, tidak
ada satupun di antara mereka yang problem utamanya bukan karena
mengabaikan pandangan religius terhadap dunia (pandangan dunia
religius—pent.). Dengan penuh kemantapan dapat dikatakan bahwa mereka
sakit karena mereka tidak memiliki apa yang ditawarkan oleh agama-agama
kepada para penganutnya. Nyatanya tidak ada satupun di antara mereka
yang mendapatkan kesembuhan sebelum berlutut di hadapan agama.[12]
Seseorang yang memiliki pandangan religius terhadap
dunia memiliki satu permata berharga; yakni sesuatu yang merupakan
sumber keindahan dan kebahagiaan hidup baginya; ia memandang manusia dan
kehidupan ini dengan pandangan terbaik. Orang seperti inilah yang dapat
meresakan iman dan ketentraman. Lalu bagaimanakah mereka menganggap
kehidupan beragama sebagai kehidupan yang hina, mengingkari efektifitas
agama dalam kehidupan dan menyebut keimanan sebagai khayalan?”[13]
3. Abraham Maslow berkata:
“Menganut agama atau berkeyakinan bahwa dunia dan
penghuninya adalah satu keutuhan yang bermakna, teratur dan memuaskan,
tak diragukan memiliki kaitan dengan motifasi untuk berkehidupan aman
dan tentram. Di antara agama-agama, sebagaimana yang diutarakan Carl
Jung, agama-agama timur lebih menonjolkan kesempurnaan budayanya
daripada agama yang lain. Agama banyak memenuhi kebutuhan manusia dan
mengisi kekosongan-kekosongan yang dirasakan wujudnya. Agama dapat
memberikan jawaban dari soal-soal yang diutarakan; ia memperjelas
permasalahan, memberikan arahan dan menghadiahkan ketenangan, kekuatan
serta harapan bagi manusia.”[14]
4. Bergson berkata:
“Untuk menghadapi hantaman-hantaman penuh bahaya dalam kehidupan ini, kita memerlukan sandaran ruhani.”[15]
3. Al Qur'an, Kitab Kesembuhan
Keberadaan Rasulullah saw. sebagai nabi terakhir
menuntut kekekalan Al Qur’an sebagai mukjizatnya agar dapat menjawab
segala problematika penting yang dihadapi umat manusia di setiap zaman
dan di mana saja serta memberikan pemahaman yang benar akan esensi
manusia dan kehidupan sosialnya. Atas dasar ini Al Qur’an Karim tidak
membatasiri risalahnya untuk masa dan tempat tertentu.
Dengan penuh berani Al Qur’an menantang siapapun
untuk menyainginya; yang merupakan bukti diturunkannya dari sang Ilahi.
Al Qur’an adalah kitab suci yang meskipun seluruh umat manusia
bekerjasama untuk menciptakan satu surah pun, niscaya mereka tak akan
berhasil.
Pada lain sisi, Al Qur’an adalah sebuah kitab
langit yang aman dari sentuhan tangan-tangan jahil pemalsu; karena Allah
swt. sendiri yang menjaganya. Lebih dari itu, sirah Rasulullah saw. dan
tradisi para sahabat serta tabi’in dalam menghafal, membaca, menulis
dan mengumpulkan Al Qur’an merupakan bukti tambahan keterjagaannya dari
tahrif.
Al Qur’an adalah bukti Ilahi dan mukjizat kekal
Rasulullah saw. yang dipandang semua umat Islam sepanjang sejarah
sebagai kitab kehidupan, hidayah dan aturan yang harus diikuti; mereka
juga bertadabbur akan ayat-ayatnya dari berbagai macam sisi. Meski jarak
kita semakin jauh dengan masa diturunkannya kitab suci ini, namun
semakin saja bertambah keagungan dan kedalaman batinnya; semakin
bertambah hari semakin bertambah banyak kajian-kajian dan penelitian
yang dilakukan terhadapnya, khususnya berkaitan dengan bidang humaniora.
Allah swt. Menyebut Al Qur’an sebagai kesembuhan:
“Dan kami menurunkan dalam Al Qur’an, yang merupakan kesembuhan bagi hati dan rahmat bagi penghuni alam semesta.”[16]
Digunakannya kata syifa (kesembuhan) menunjukkan
bahwa manusia selain mengalami derita-derita jasmani, mereka juga dapat
mengalami derita ruhani, dan Al Qur’an adalah penyembuhnya. Penjelasan
tentang keberadaan Al Qur’an sebagai kesembuhan dapat diberikan melalui
dua poin di bawah ini:
Lingkup penyembuhan Al Qur’an
Al Qur’an adalah obat dan kesembuhan bagi bermacam
sifat yang tak normatif namun tidak dianggap non normatif dalam khasanah
ilmu psikologi. Dengan penjelasan lain, mungkin saja dari segi
psikologis seseorang dianggap normal, namun ternyata dalam kamus Al
Qur’an ia termasuk orang yang sakit; penyakit jiwa yang tak nampak di
alam ini namun efeknya akan dirasakan di alam lain; karena alam dunia
adalah ladang untuk akherat, dan keterikatan antara alam dunia dan
akherat bagaikan keterikatan alam janin dengan alam dunia. Dalam tafsir
Ayasyi, Mas’adah bin Shadaqah meriwayatkan dari Imam Shadiq as.:
“Mempelajari Al Qur’an adalah cara untuk mendapatkan kesembuhan ruhani.”[17]
Rasulullah saw. juga pernah bersabda:
“Al Qur’an adalah hidangan Tuhan; sesuai dengan kemampuan kalian, nikmatilah hidangan ini.”[18]
Al Qur’an merupakan hidangan yang tak seorang pun
bangkit dari hidangan itu dengan tangan kosong. Sekejap saja seseorang
menatap tulisannya, ia sudah mendapatkan keuntungan besar; karena
disebutkan bahwa menatap mushaf adalah ibadah.[19]
Apalagi jika kita membacanya, dan lebih lagi jika kita memahami artinya;
keuntungan yang kita dapat lebih banyak lagi. Imam Ali as.
memerintahkan kita untuk membaca Al Qur’an; yang dengan membacanya
derajat kita akan dinaikkan:
“Bacalah, dan naiklah (ke derajat yang lebih tinggi).”[20]
Imam Ali as. juga pernah menerangkan seperti apakah kesembuhan yang ditawarkan Al Qur’an; ia berkata:
“Nabi Muhammad saw. adalah seorang tabib berjalan;
dimanapun ia berada ia akan mengobati luka umatnya. Ia selalu
mempersiapkan alat-alat pengobatannya dan membawanya bersamanya sehingga
saat ia memerlukannya, ia dapat menggunakannya. Ia selalu mencari
setiap orang yang menderita, hamba yang lupa dan kebingungan, untuk
mengobati hati yang buta, telinga yang tak mendengar dan mulut yang tak
berbicara.”[21]
Rasulullah saw. pernah berkata kepada seorang tabib:
“Sesungguhnya Allah swt. adalah tabib (yang
hakiki). Sedangkan engkau, bersikaplah yang baik terhadap orang yang
sakit (pasien).”[22]
Ketentraman dan ketenangan jiwa dalam Al Qur’an
Al Qur’an sangat mementingkan ketentraman serta
ketenangan jiwa dan sering kali menyebut hal itu di antara ayat-ayatnya.
Ada baikknya jika kita memberikan beberapa contoh di bawah ini:
1. Rumah pertama yang dibangun di muka bumi untuk
ibadah adalah Ka’bah dan setiap orang yang datang ke rumah itu pasti
akan mendapatkan ketenangan.[23]
Karena Allah swt. memang menjadikannya sebagai tempat perlindungan dan tempat yang aman.[24]
Pembangun rumah itu pun, nabi Ibrahim as.[25]
, memohon kepada Allah swt. untuk menjadikan Makkah sebagai kota yang penuh berkah dan ketentraman.[26]
Ibadah Haji yang dilakukan setiap tahun juga merrupakan simbol
ketentraman dan persatuan umat Islam. Tidak hanya manusia saja yang
merasakan ketentraman di sana, hewan-hewan pun juga merasakannya.
2. Dalam salah satu ayatnya, Al Qur’an menyebutkan
“ketentraman” setelah disebutkannya nikmat kenyang yang diberikan kepada
manusia.[27]
Disebutkan pula bahwa salah satu nikmat yang paling besar di masa kedatangan Imam Mahdi as. nanti adalah ketentraman.[28]
3. Rasulullah menyebut ketentraman, ketenangan,[29]
kegembiraan dan keceriaan sebagai ciri-ciri para penghuni surga.[30]
4. Al Qur’an menjelaskan bahwa jika manusia ingin
mendapatkan ketenangan dan ketentraman, hendaknya ia bersandar dan
bertawakal kepada Tuhan.[31]
Dalam buku ini, agar kita dapat benar-benar
mendapatkan pemahaman lebih dalam akan Al Qur’an, setelah kita meneliti
sumber-sumber tekanan jiwa, setiap ayat Al Qur’an akan diteliti dan
dikaji sebanyak empat kali, lalu sesuai dengan sumber-sumber tafsir kia
akan memilih ayat-ayat yang kejelasannya lebih dari yang lain.
Susunan buku ini
Buku ini disusun berdasarkan urutan tanda-tanda,
sebab-sebab dan penyembuhan tekanan jiwa. Pada bab pertama kita akan
menjelaskan tanda-tanda tekanan jiwa; pada bab kedua dan ketiga kita
akan membahas sebab-sebab terwujudnya tekanan jiwa, dan pada bab keempat
kita khusus membahas cara-cara penyembuhannya. Demikian susunan buku
ini:
Bab 1: Mengenal Pertanda Tekanan Jiwa
Bab 2: Antara Kebutuhan dan Tekanan Jiwa
Bab 3: Faktor-Faktor Tekanan Jiwa
Bab 4: Cara-Cara Menghadapi Tekanan Jiwa
BAb 1 : Mengenal Pertanda Tekanan Jiwa
Sekilas Sejarah
Sejak dahulu kala, manusia berhadapan dengan berbagai penyakit karena faktor-faktor lingkungan hidupnya. Namun pada permulaan abad ini banyak bermunculan berbagai pendapat mengenai relasi antara faktor-faktor lingkungan dengan penyakit.
Saat Freud mendirikan aliran psikoanalisis-nya,
sebagian psikoanalis banyak yang menerima dasar pemikiran tentang
penyakit psikosomatik[32]
dan secara resmi American Psychiatric Association (APA)[33]
yang meletakkan istilah psychosomatic atau psychophysiologic Disease.
Pada tahun 1913, karl Jasper dalam bukunya General Psychopathology,
mengutarakan pendapat tentang keterikatan antara reaksi dan aksiden;
menurutnya reaksi adalah respon emosional atas aksiden. Kira-kira pada
masa itu juga Adolf Myer mengutarakan sebuah gagasannya tentang adanya
relasi erat antara reaktor lingkungan dengan penyakit. Alexander,
pimpinan Institut Psykoanalis Chicago, setelah menerima “tujuh penyakit
psikosomatik” berkata:
“Menganalisa keadaan jantung seorang pasien, meski
sedetil apapun, jika tanpa penyelidikan psikologikal terhadap pasien
tersebut, sama sekali tak berarti.”[34]
Maraknya isu tentang stres serta perkembangan
makanya ini yang membuat doktor Hans Selye terdorong melakukan
penelitian-penelitiannya mengenai stres. Ia mengemukakan teori GAS
(General Adaptation Syndrome), yaitu teori tentang reaksi tubuh manusia
terhadap stres; bahwa stres selalu menimbulkan reaksi yang sama, tapi
berbeda tahapnya (sesuai dengan stressor yang dihadapi dan personalitas
individu) lalu organisme menyesuaikan dirinya dengan keadaan baru.
Penyesuaian diri ini merupakan unsur penting dalam kehidupan yang
bertujuan utama untuk menjaga keseimbangan dasar. Ia pada tahun 1950
memperluas arti stres dengan menjelaskan adanya tiga fase stres: fase
kecemasan[35]
, perlawanan[36]
dan tahap keletihan[37]
.
Walter Cannon, seorang ahli fisiologi Amerika, pada
tahun 1932 mengembangkan konsep homeostasis dan melakukan analisa
sistematik tentang fenomena penyesuaian diri yang mana sangat penting
sekali bagi keberlangsungan hidup; membuka sesi pembahasan baru mengenai
stres. Pada tahun 1934, seorang ilmuan Perancis yang bernama Reilly
menyebut proses-proses reaksi non spesifik dengan sebutan “Sindrom
Stimulasi” yang mana memiliki kemiripan dengan penjelasan Selye
sebelumnya.
Sejak tahun 1900, Wolf telah melakukan banyak
penelitian seputar stres yang muncul karena peristiwa-peristiwa
environmental. Penelitiannya membuat ia berpandangan bahwa
peristiwa-peristiwa pendorong stres, jika diterima oleh seseorang yang
menganggapnya seperti itu, akan menimbulkan reaksi-reaksi pertahanan
fisiologis; yang mana jika reaksi-reaksi tersebut tidak muncul secara
berlebihan, atau tidak muncul secara teratur, akan menyebabkan
gangguan-gangguan fisiologis.
Wolf dan Hincle pada tahun 1957 dan 1958 melakukan
pengamatan terhadap peran perubahan budaya serta perkembangan sosial dan
menarik kesimpulan bahwa perubahan-perubahan penting dapat membahayakan
keselamatan individu; dengan dua syarat, sebagaimana yang mereka
jelaskan:
1. Dampak berat perubahan terhadap seseorang
2. Kesiapan seseorang dalam menghadapi penyakit tertentu
Menurut pandangan mereka, berdampaknya suatu
peristiwa tidak dapat ditentukan hanya dengan melihat peristiwa itu
saja, kondisi fisiologis dan psikis seseorang juga berperan penting.[38]
Para peneliti seperti Paykel (1974) berpendapat
bahwa unsur penting dalam peristiwa-peristiwa kehidupan adalah datang
(seperti kelahiran, pernikahan, dan semacamnya) dan pergi (seperti
kematian, perceraian, dan seterusnya).[39]
Sara San (1980) berpandangan bahwa reaksi seseoang
terhadap tekanan jiwa seharusnya dinilai dari dua segi situasi dan
potensi orang tersebut dalam menghadapinya. Menurutnya reaksi terbaik
dalam menghadapi tekanan jiwa adalah menyelesaikannya, bukan memberontak
dan menumpahkan emosi.[40]
George (1980) berkeyakinan bahwa reaksi seseorang
terhadap tekanan jiwa ditentukan dengan apa yang ia miliki saat
menghadapinya. Diantaranya yang terpenting seperti kondisi keuangan,
tingkat pendidikan, tingkat kesehatan psikis, kriteria-kriteria pribadi
seperti keahlian, usia, jenis kelamin dan lain sebagainya. Lebih dari
itu, kondisi kekeluargaan seperti harmonisnya rumah tangga, keakuran,
hubungan yang baik, keahlian dalam menyelesaikan masalah dan
perlindungan sosial juga memiliki pengaruh bagi tekanan jiwa.
Waller Stein dan Kelly (1980) menjelaskan bahwa
seorang anak kecil, karena ketergantungannya kepada orang tua dan
lingkungannya yang hanya terbatas pada rumah, tidak dapat memahami sebab
terjadinya suatu peristiwa buruk dan dampak-dampak yang mungkin
ditimbulkannya. Namun dengan bertambahnya usia, seseorang akan
mendapatkan potensi serta kemampuannya dalam menilai kejadian sekitar
juga bertambah; yang mana semua itu berkaitan dengan (sikap dalam
menghadapi) tekanan jiwa.[41]
J. Bronson berkata:
“Pola hidup para penderita penyakit psikosomatik di
dunia ini terkekang pada gambaran-gambaran kosong khayalan dan
ketidaksadaran. Mereka benar-benar bermasalah dalam memahami bahwa
kehidupan ini berakar pada masa lalu yang jendelanya mengarah pada masa
depan.”[42]
Piaget meneliti dampak gambaran kosong
khayalan-khayalan terhadap diri manusia. Ia pernah berkata mengenai pola
pikir anak-anak kecil:
“Ketika anak-anak kecil bermain bersama, yang
sebagian berperan sebagai polisi dan sebagian lain sebagai pencuri,
mereka benar-benar hanyut dalam khayalan itu; sebagian dari mereka
benar-benar yakin bahwa dirinya adalah polisi dan sebagian lainnya
adalah pencuri.”
Hetherington dan rekan-rekannya (1982) setelah
melakukan berbagai riset sampai pada kesimpulan bahwa semakin tinggi
mutu kepribadian seseorang, semakin kecil kemungkinan ia mengalami
tekanan jiwa. Semakin seseorang mampu mengendalikan dirinya,
berpandangan luas dan bersabar, semakin ia mampu menangani tekanan
jiwanya; ia akan lebih “bisa” berhadapan dengan berbagai macam masalah.[43]
Doyle dan kerabatnya (1988) setelah meneliti
fenomena berubah-ubahnya peristiwa kehidupan entah yang baik maupun
buruk, sampai pada kesimpulan bahwa efek negatif dari terjadinya
peristiwa-peristiwa buruk atau menyedihkan bagi seseorang tidak dapat
dipungkiri, namun tidak ada kesepakatan pendapat tentang adanya pengaruh
tetap (tidak mudah sirna) pada peristiwa-peristiwa baik.[44]
Apa itu tekanan Jiwa?
Istilah tekanan jiwa atau stres[45]
berasal dari kata latin (stpingene) yang berarti merangku, menekan dan
membuka lebar; yakni prilaku-prilaku yang bersamaan dengan
perasaan-perasaan yang saling bertentangan; sebagai contoh ketika ada
seseorang dirangkul dengan erat dan ia merasa sesak. Oleh karena itu,
istilah-istilah lain stres juga berasal dari kata ini.[46]
Makna asli kata ini, paling tidak, berkaitan pada abad ke-15. Berdasarkan yang tercatat dalam kamus bahasa Inggris Oxford, pada waktu itu kata tersebut digunakan atas makna “desakan” dan “tekanan fisik”. Pada tahun 1704, kata tekanan tersebut digunakan pada makna “kesusahan” dan “kemalangan”.[47] Pada abad 18, makna stres mengalami perubahan dan dimaksudkan untuk menjelaskan perubahan bentuk suatu logam dalam alat peleburan. Pada tahun 1910, William Osler menulis sebuah artikel tentang suatu penyakit khusus yang diderita kebanyakan orang Yahudi pada waktu itu dan menjelaskan bahwa penyakit tersebut disebabkan oleh pola hidup mereka yang keras dan tak menentu. Pada tahun 1936, profesor Hans Selye menerbitkan karangan pertamanya seputar sindrom stres. Ia pada tahun 1940 hingga 1950 terus menerus mengutarakan berbagai persepsinya tentang tekanan jiwa; dan pada tahun 1980 ia menjelaskan stres seperti ini:
“Seorang pedangang, menganggap pekerjaannya begitu menjengkelkan; petugas kontrol penerbangan mengeluh karena pekerjaannya membawa masalah dalam konsentrasi; para ahli biokimia juga demikian; begitu juga dengan para olahragawan. Kenyataan ini tidak hanya terbatas pada satu atau dua kasus saja; kebanyakan aktifitas manusia selalu dianggap seperti itu. Semoa orang menganggap pekerjaan yang ia lakukan adalah pekerjaan yang membawa stres dan mereka berkeyakinan bahwa diri mereka sedang hidup di era stres. Mereka lupa bahwa rasa takut yang dirasakan oleh manusia penghuni goa akan hewan buas yang mungkin memakannya di saat tidur, mati karena kelaparan, kedinginan atau kelelahan, sama besarnya dengan rasa takut kita di saat ini akan meletusnya perang dunia, kehancuran ekonomi, meledaknya populasi manusia, dan lain sebagainya.”[48]
Stres tidak memiliki satu definisi yang diterima oleh semua kalangan. Oleh karena itu di sini akan disebutkan beberapa definisi yang diutarakan:
1. Brown & Campbell:
“Stres atau tekanan jiwa adalah sesuatu yang bersifat eksternal lalu ditimpakan kepada seseorang dan melahirkan beberapa gangguan fisik maupun psikis.”
Jadi menurut mereka stres merupakan faktor eksternal.
2. Selye:
“Tekanan jiwa merupakan interaksi dan penyesuaian diri yang dilakukan tubuh karena faktor tekanan hidup atau interaksi antara suatu daya dan pertahanan melawan daya tersebut; yakni satu kumpulan tekanan dan perlawanan (reaksi akan tekanan).”
Menurut definisi ini, stres adalah sebuah proses respon. Dengan penjelasan lain, stres akan muncul dikarenakan terjadinya suatu peristiwa tertentu. Selye menyebut keterkaitan (antara terjadinya suatu peristiwa dan tekanan jiwa) tersebut sebagai upaya penyesuaian diri dan pada saat itulah tiga fase stres akan ditentukan. Fase fase tersebut akan dilewati saat organisme sedang berhadapan dengan faktor stres.
Fase pertama, fase kecemasan (the stage of alarm/alarm reaction): ketika suatu organisme secara tiba-tiba berada pada keadaan yang merugikannya dan secara kualitas maupun kuantitas tidak memiliki kesesuaian dengannya, dalam dirinya akan muncul reaksi kecemasan; yang mana Selye menyebutkan dua sub-fase bagi fase kecemasan tersebut:
Pertama, keadaan tak diinginkan yang dikarenakan reaksi mendadak terhadap stressor, memiliki ciri-ciri sebagaimana dapat dilihat pada organisme yang memiliki kelemahan sistim syaraf, seperti detakan jantung yang berdebar-debar. Keadaan ini mungkin berlangsung beberapa menit atau berketerusan hingga 24 jam. Jika keadaan tersebut tidak berujung pada kematian, organisme akan memasuki sub-fase kedua.
Kedua, keadaan dimana suatu organisme untuk kedua kalinya mengalami tekanan seperti sebelumnya lalu secara otomatis perangkat pertahanan dirnya menjadi aktif. Reaksi badan terhadap tekanan tersebut diperumpamakan seperti sistim keamanan anti pencuri dalam bank-bank; yang mana sistim keamanan tersebut akan bereaksi saat ada orang yang tak diinginkan, bahkan hewan atau benda matipun, masuk kedalam area tertentu. Oleh karena itu sistim syaraf menjadi peka dan menunjukkan hiper-reaksi terhadap faktor-faktor eksternal, bagaimanapun dan seperti apapun, yang berusaha masuk; lalu tubuh terdorong masuk dalam suatu keadaan siap bertahan.[49]
Seringkali dua keadaan di atas terwujud secara bercampuran dan jika faktor-faktor yang mewujudkan fase kecemasan tersebut tetap berdatangan, maka organisme akan memasuki fase perlawanan.
Makna asli kata ini, paling tidak, berkaitan pada abad ke-15. Berdasarkan yang tercatat dalam kamus bahasa Inggris Oxford, pada waktu itu kata tersebut digunakan atas makna “desakan” dan “tekanan fisik”. Pada tahun 1704, kata tekanan tersebut digunakan pada makna “kesusahan” dan “kemalangan”.[47] Pada abad 18, makna stres mengalami perubahan dan dimaksudkan untuk menjelaskan perubahan bentuk suatu logam dalam alat peleburan. Pada tahun 1910, William Osler menulis sebuah artikel tentang suatu penyakit khusus yang diderita kebanyakan orang Yahudi pada waktu itu dan menjelaskan bahwa penyakit tersebut disebabkan oleh pola hidup mereka yang keras dan tak menentu. Pada tahun 1936, profesor Hans Selye menerbitkan karangan pertamanya seputar sindrom stres. Ia pada tahun 1940 hingga 1950 terus menerus mengutarakan berbagai persepsinya tentang tekanan jiwa; dan pada tahun 1980 ia menjelaskan stres seperti ini:
“Seorang pedangang, menganggap pekerjaannya begitu menjengkelkan; petugas kontrol penerbangan mengeluh karena pekerjaannya membawa masalah dalam konsentrasi; para ahli biokimia juga demikian; begitu juga dengan para olahragawan. Kenyataan ini tidak hanya terbatas pada satu atau dua kasus saja; kebanyakan aktifitas manusia selalu dianggap seperti itu. Semoa orang menganggap pekerjaan yang ia lakukan adalah pekerjaan yang membawa stres dan mereka berkeyakinan bahwa diri mereka sedang hidup di era stres. Mereka lupa bahwa rasa takut yang dirasakan oleh manusia penghuni goa akan hewan buas yang mungkin memakannya di saat tidur, mati karena kelaparan, kedinginan atau kelelahan, sama besarnya dengan rasa takut kita di saat ini akan meletusnya perang dunia, kehancuran ekonomi, meledaknya populasi manusia, dan lain sebagainya.”[48]
Stres tidak memiliki satu definisi yang diterima oleh semua kalangan. Oleh karena itu di sini akan disebutkan beberapa definisi yang diutarakan:
1. Brown & Campbell:
“Stres atau tekanan jiwa adalah sesuatu yang bersifat eksternal lalu ditimpakan kepada seseorang dan melahirkan beberapa gangguan fisik maupun psikis.”
Jadi menurut mereka stres merupakan faktor eksternal.
2. Selye:
“Tekanan jiwa merupakan interaksi dan penyesuaian diri yang dilakukan tubuh karena faktor tekanan hidup atau interaksi antara suatu daya dan pertahanan melawan daya tersebut; yakni satu kumpulan tekanan dan perlawanan (reaksi akan tekanan).”
Menurut definisi ini, stres adalah sebuah proses respon. Dengan penjelasan lain, stres akan muncul dikarenakan terjadinya suatu peristiwa tertentu. Selye menyebut keterkaitan (antara terjadinya suatu peristiwa dan tekanan jiwa) tersebut sebagai upaya penyesuaian diri dan pada saat itulah tiga fase stres akan ditentukan. Fase fase tersebut akan dilewati saat organisme sedang berhadapan dengan faktor stres.
Fase pertama, fase kecemasan (the stage of alarm/alarm reaction): ketika suatu organisme secara tiba-tiba berada pada keadaan yang merugikannya dan secara kualitas maupun kuantitas tidak memiliki kesesuaian dengannya, dalam dirinya akan muncul reaksi kecemasan; yang mana Selye menyebutkan dua sub-fase bagi fase kecemasan tersebut:
Pertama, keadaan tak diinginkan yang dikarenakan reaksi mendadak terhadap stressor, memiliki ciri-ciri sebagaimana dapat dilihat pada organisme yang memiliki kelemahan sistim syaraf, seperti detakan jantung yang berdebar-debar. Keadaan ini mungkin berlangsung beberapa menit atau berketerusan hingga 24 jam. Jika keadaan tersebut tidak berujung pada kematian, organisme akan memasuki sub-fase kedua.
Kedua, keadaan dimana suatu organisme untuk kedua kalinya mengalami tekanan seperti sebelumnya lalu secara otomatis perangkat pertahanan dirnya menjadi aktif. Reaksi badan terhadap tekanan tersebut diperumpamakan seperti sistim keamanan anti pencuri dalam bank-bank; yang mana sistim keamanan tersebut akan bereaksi saat ada orang yang tak diinginkan, bahkan hewan atau benda matipun, masuk kedalam area tertentu. Oleh karena itu sistim syaraf menjadi peka dan menunjukkan hiper-reaksi terhadap faktor-faktor eksternal, bagaimanapun dan seperti apapun, yang berusaha masuk; lalu tubuh terdorong masuk dalam suatu keadaan siap bertahan.[49]
Seringkali dua keadaan di atas terwujud secara bercampuran dan jika faktor-faktor yang mewujudkan fase kecemasan tersebut tetap berdatangan, maka organisme akan memasuki fase perlawanan.
Fase kedua, fase perlawanan (the stage of
resistance). Pada fase ini, yang mana merupakan fase kesesuaian diri
yang ditunjukkan oleh tubuh, adalah fase kebertahanan tubuh dalam
menghadapi tekanan dan faktor-faktornya. Secara lahiriah tubuh dalam
fase ini terlihat seperti keadaan normal, padahal sesungguhnya ia sedang
menghabiskan tenaga untuk pertahanannya. Ketika organisme terus menerus
berada dalam keadaan ini, maka energi yang dimiliki tubuh akan habis
dan organisme memasuki fase berikutnya, fase keletihan.
Fase ketiga, fase keletihan (the stage of
exhaustion). Fase ini akan dimasuki begitu organisme mengakhiri fase
perlawanan. Pada fase ini organisme kehilangan kekuatannya untuk
menghadapi tekanan. Kemudian muncul reaksi-reaksi fisiologis yang mirip
dengan reaksi yang nampak pada fase kecemasan, atau mungkin lebih dari
itu; namun tubuh lebih cenderung untuk jatuh lemah daripada menunjukkan
pertahanannya. Pada hakikatnya disinilah tubuh mulai mengalami
gangguan-gangguan fisiologis akibat tekanan psikis.[50]
Jika demikian, tekanan jiwa akan sangat membahayakan jika datang berketerusan dan dalam jangka waktu yang singkat.[51]
3. Alexander, pimpinan Institut Psikologi Chicago berkata:
“Tekanan jiwa adalah ketidak-seimbangan antara
pengetahuan seseorang terhadap keharusan-keharusan lingkungan sekitarnya
dan pengetahuan terhadap potensi yang ia miliki dalam menjawab
keharusan-keharusan tersebut.”
Definisi di atas menitik-beratkan pemahaman
seseorang terhadap realita kondisi lingkungannya dan tekanan jiwa
bergantung pada unsur-unsur luas yang saling berkaitan antara satu
dengan sama lain seperti faktor dan respon, personaliti individu, sudut
pandang, penyesuaian diri dan lain sebagainya. Dengan demikian, tekanan
jiwa akan terjadi pada diri seseorang saat tidak terjadi keseimbangan
antara kemampuan diri menghadapi situasi dan situasi (faktor lingkungan)
itu sendiri. Definisi ini lebih memandang tekanan jiwa dari sisi
intern-extern ketimbang sisi biologis. Oleh karenanya tekanan jiwa
diakui muncul karena faktor eksternal.
Mengukur Tekanan Jiwa
Untuk mengukur tekanan jiwa, seringkali faktor yang menjadi bahan penyelidikan, yang mana itu tidak benar. Mungkin saja seseorang biasa-biasa saja dalam menghadapi sebuah peristiwa, namun tidak begitu dengan orang lainnya. Oleh karena itu cara yang paling baik dalam mengukur tekanan jiwa adalah memeriksa perubahan-perubahan yang nampak pada badan, karena pada dasarnya tekanan jiwa sama seperti virus atau bakteri yang menyebabkan perubahan pada tubuh. Misalnya saat bakteri memasuki tubuh, sistim pertahan tubuh akan menciptakan antibody agar badan mendapatkan kekebalan.[52]Tanda-tanda Tekanan Jiwa
Tanda-tanda yang menunjukkan tekanan jiwa tidak
terhitung jumlahnya dan itupun berbeda-beda antara satu orang dengan
orang lainnya. Tapi kita dapat menyebutkan beberapa diantaranya. Tubuh
bukanlah alat untuk mengukur tekanan jiwa; tapi nyatanya tubuh bagaikan
cermin yang menggambarkan tekanan dalam jiwa. Tanda-tanda fisiologis
tekanan jiwa diantaranya seperti kejang otot yang sering dirasakan saat
meluruskan tenggorokan, bersin-bersin, mulut yang kering, rasa nyeri,
gangguan pencernaan, badan terasa tergores-gores, merasa ada yang
bengkak, duduk terbungkuk, kaki yang terseret-seret saat berjalan,
berdiri yang tak tegap, dan lain sebagainya. Prilaku dan perasaan juga
menjadi indikator penting tekanan jiwa.
Beberapa pertanda tekanan jiwa yang dapat dilihat dari prilaku dan perasaan seseorang seperti:
1. Bermasalah dalam berfikir benar dan logis serta tidak mampu melihat berbagai sisi dari suatu permasalahan.
2. Tidak fleksibel dalam berpandangan dan berpemikiran.
3. Agresif tidak pada tempatnya dan mudah tersinggung.
4. Suka menyendiri dan menjauh dari kerabat.
5. Berlebihan dalam menghisap rokok, makan dan minum.
6. Cenderung berjalang dengan cepat, dalam berbicara, dan bahkan dalam bernafas.
7. Tidak mampu menjaga ketenangan diri sendiri.
8. Berprilaku kacau; misalnya seseorang yang
biasanya rapi dan bersih, karena mengalami tekanan jiwa menjadi jorok
dan tidak teratur.
9. Suka bingung dan berfikir berkali-kali mengenai sesuatu.
10. Keadaan-keadaan aneh seperti tiba-tiba marah atau gembira, tertekan atau beraktifitas melampaui batas.
Pertanda-pertanda di atas sama seperti indikasi-indikasi fisiologis dalam mengukur tekanan jiwa.
Salah satu kemiripan antara tekanan fisik dan
tekanan psikis adalah, dari segi fisikal, seseorang cenderung lesu dan
menderita disertai dengan munculnya berbagai penyakit serius dan dari
segi kejiwaan ia disertai dengan perasaan lemah dan lelah.[53]
Efek Baik dan Buruk Tekanan Jiwa
A. Efek Baik : Tekanan, Kelaziman Hidup
Kehidupan manusia selalu diisi dengan
peristiwa-peristiwa manis dan pahit. Aktifitas yang berkepanjangan,
suara bising, polusi udara, bahaya-bahaya yang hampir menimpa, keributan
dalam rumah tangga, adalah bagian dari faktor-faktor tekanan jiwa yang
tidak ada cara untuk menghindar darinya. Ibaratnya tekanan-tekanan itu
adalah kelaziman dari hidup yang tak mungkin dicegah datangnya; dan
kalaupun bisa, hanya akan melelahkan diri sendiri serta membawakan
kejenuan. Dengan berpandangan lebar, kita bisa menganggap
tekanan-tekanan dalam hidup sebagai pemberian Ilahi. Yang terpenting
bagi kita adalah memahami esensi tekanan dan bagaimana ia memberikan
dampaknya.
Manusia merasakan ketenangan saat segala sesuatu
dalam hidupnya selalu teratur, dapat diprediksi, dan tidak berubah-ubah.
Saat terjadi perubahan-perubahan baik positif maupun negatif,
pergantian jalur dan harapan juga terjadi dan pilihan baru penting
adanya. Pada kondisi seperti ini, prioritas seseorang dalam mengatur
kembali keinginan-keinginan dan pilihan-pilihan serta usahanya untuk
menyesuaikan diri dengan tekanan jiwa, akan mewujudkan kesiapan diri
seseorang tersebut dalam menghadapi bahaya.[54]
Berdasarkan firman Tuhan dalam Al Qur’an, manusia memang diciptakan dalam kesengsaraan.[55]
Perjalanannya menuju Tuhan pun juga penuh kesengsaraan.[56]
Allah swt. menguji manusia dengan baik dan buruk,[57]
rasa takut dan rasa lapar, kekurangan harta benda dan jiwa, juga keringnya ladang-ladang.[58]
Dalam Al Qur’an Allah swt. menceritakan ujian-ujian yang Ia berikan
kepada manusia dalam kisah-kisah para nabi dan wali-wali Allah, juga
dalam permisalan-permisalan dan kisah umat-umat terdahulu. Sebagian dari
alasan dari diturunkannya cobaan-cobaan ini adalah:
1. Menyelamatkan manusia dari kelalaian agar kembali kepada Tuhan
2. menciptakan sifat sabar dan bertahan dalam diri orang yang beriman dan mewujudkan penyakit batin bagi orang munafik
3. Menggariskan hikmah dan keadilan Ilahi
4. Menumbuhkan jiwa manusia
Sebagian para peneliti ilmu psikoterapi,
masalah-masalah emosional merupakan salah satu bentuk mekanisme
psikoterapi. Mekanisme ini memungkinkan seorang pasien untuk menyadari
bahwa bukan hanya dirinya saja yang sedang mengalami kesusahan, orang
lain pun juga seperti dirinya.[59]
Dalam Al Qur’an disebutkan firman Allah swt. kepada Rasulullah saw. mengenai kesusahan dan kemudahan:
“Karena sesungguhnya setelah kesusahan itu terdapat kemudahan. Dan sesungguhnya setelah kesusahan itu terdapat kemudahan.”[60]
Diulangnya kata-kata dalam ayat di atas, juga
keberadaan huruf fa’ pada awal ayat menunjukkan bahwa kesusahan dan
kemudahan selalu bersama-sama. Ayat tersebut menjelaskan bahwa saat kita
mengalami kesusahan, pasti ada kemudahan setelahnya, dan ini adalah
hukum yang berlaku untuk semua manusia; jadi bukan hanya engkau saja.
Jika demikian, setelah melewati kesusahan tersebut, langkahkanlah kakimu
kepada kesusahan berikutnya, kemudian bersimpuhlah kepada Tuhanmu.
Yakni melangkah menuju keharibaan Ilahi tanpa disertai rintangan dan
kesusahan tidaklah mungkin.[61]
B. Efek-efek Buruk Tekanan Jiwa
Efek dan pengaruh tekanan jiwa pada tubuh
berbeda-beda sesuai dengan perbedaan sistim fisiologi. Efek-efek yang
paling penting tekanan jiwa terhadap sistim-sistim fisiologi adalah
sebagai berikut:
Pengaruhnya pada sistim urat syaraf.
Sakit kepala yang sangat dan disertai rasa pusing,
migrain, sakit kepala sebelah yang juga dirasakan pada kening, getaran
pada tangan, kaki dan kelopak mata, gagap (susah berbicara) khususnya
dalam keadaan marah, cederung tergesa-gesa, gemetarnya beberapa anggota
tubuh, lemahnya tubuh secara keseluruhan, lumpuhnya tangan, kaki atau
separuh badan, lesu serta lemasnya tangan dan kaki.
Pengaruhnya pada sistim pernafasan
Sinosit dan asma (sesak nafas).
Pengaruhnya pada sistim aliran darah
Mengerasnya pembuluh darah, gangguan jantung
kronis, bertambahnya tekanan darah, jantung begitu cepat berdetak dan
otot-ototnya melemah.
Pengaruhnya pada sistim pencernaan
Bengkak dan gangguan pada lidah, spasm (bengkak)
pada kerongkongan, naiknya asam lambung dan maag, gangguan pada usus
duabelas jari, pembengkakan pada usus dan disertai oleh pendarahan,
muntah-muntah dan berkurangnya nafsu makan.
Efek-efek di atas pada sendirinya akan menimbulkan beberapa macam penyakit seperti berikut:
A. Gangguan metabolisme
Goiter (penyakit yang disebabkan oleh membengkaknya
kelenjar tiroid), diabetes, kegemukan dan kekurusan yang berlebihan,
impotensi, batu ginjal dan gangguan-gangguan pertahanan tubuh (kelemahan
tubuh dalam menciptakan antibody).
B. Gangguan kulit
Gangguan jiwa dapat menyebabkan berbagai gangguan
kesehatan kulit, seperti timbulnya jerawat, penyakit urtikaria,
noda-noda putih pada kulit, dan masih banyak lagi.[62]
Stres dan depresi memiliki keterikatan yang sangat
erat. Depresi merupakan dampak yang ditimbulkan oleh tekanan jiwa/stres
dan tanda-tandanya dapat dilihat, seperti bergetar dan lain sebagainya.[63]
Bab 2 : Antara Kebutuhan dan Tekanan Jiwa
Pentingnya Membahas Kebutuhan Manusia
Menurut para ahli psikologi, salah satu kebutuhan yang paling penting bagi manusia adalah merasakan keamanan. Rasa butuh akan keamanan memiliki ikatan yang sangat erat dengan tekanan jiwa; tidak diraihnya rasa aman akan berakibat pada tekanan jiwa dan depresi. Terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar manusia secara memuaskan juga berkaitan erat dengan kesehatan mental; tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar, terutama jika derajat kebutuhan tersebut begitu tinggi, akan menimbulkan tekanan jiwa dan sikap-sikap abnormal pada seseorang, misalnya dalam kegiatan belajar, berinteraksi, memahami dan lain sebagainya. Atas dasar ini, untuk memahami faktor-faktor tekanan jiwa, para pakar psikologi terlebih dahulu mengkaji motif-motifnya dan mereka begitu mementingkannya hingga berjilid-jilid buku khusus mereka tulis untuk membahas masalah ini.---------------------------
Tingkatan kebutuhan manusia
Kebanyakan motivasi dapat dikategorikan secara meluas berdasarkan keterkaitannya antara satu dengan sama lain. Di antara metode-metode pengkatageorian yang ada, ada dua metode yang paling populer. Metode pertama mengkategorikan kebutuhan-kebutuhan dan motivasi berdasarkan tingkat prioritas. Kebutuhan-kebutuhan tingkat pertama seperti rasa haus dan lapar, yang mana mereka berkaitan dengan kebutuhan biologis manusia. Adapun kebutuhan-kebutuhan tingkat kedua adalah kebutuhan-kebutuhan yang tidak berkaitan langsung dengan biologis manusia. Henry Murray, seorang psikolok masyhur, adalah peneliti pertama yang berbicara tentang kebutuhan manusia untuk berkembang dan mendefinisikan kebutuhan sebagai kemampuan diri untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi, menembus rintangan-rintangan yang menghadang serta meningkatkan potensi dan kemampuan diri. Murray mengkategorikan kebutuhan-kebutuhan manusia menjadi dua kategori, yang pertama dua belas macam kebutuhan biologis, dan yang kedua adalah dua puluh enam kebutuhan psikis manusia.Dalam metode kedua, kebutuhan-kebutuhan juga dikategorikan menjadi dua macam: kebutuhan untuk mendapatkan dan kebutuhan untuk menghindari. Kebutuhan macam pertama adalah kebutuhan yang sifatnya positif, seperti rasa lapar; adapau kebutuhan macam kedua bersifat negatif, seperti rasa sakit. Abraham Maslow mengutarakan satu gagasan yang menarik dalam mengkategorikan kebutuhan-kebutuhan manusia. Menurutnya, kebutuhan-kebutuhan manusia dapat dikategorikan atas dasar tingkatannya (teorinya yang dikenal dengan piramida kebutuhan Maslow—pent.) Ketika kebutuhan-kebutuhan tingkat pertama manusia terpenuhi (kebutuhan biologis), maka kebutuhan-kebutuhan lainnya yang berada di tingkata lebih tinggi akan bermunculan. Urutannya adalah dari bawah ke atas. Tingkatan-tingkatan kebutuhan tersebut adalah:
1. Kebutuhan-kebutuhan fisiologis
2. Kebutuhan akan rasa aman
3. Kebutuhan akan hubungan, cinta dan kasih saying
4. Kebutuhan akan kemuliaan
5. Kebutuhan akan aktualisasi diri
Sering kalinya kita tidak mencapai tingkatan tertinggi kebutuhan, yakni masih ada kebutuhan-kebutuhan yang belum terpenuhi.[64]
Definisi kebutuhan dan motivasi
Kita tidak bisa membahas secara terperinci mengenai perbedaan antara kebutuhan dan motivasi, tapi untuk mendapatkan gambaran secara global perlu disebutkan bahwa kebutuhan adalah sekumpulan variabel (yang berubah-ubah) internal dan eksternal yang keberadaannya menimbulkan reaksi tertentu dalam prilaku. Adapun motivasi merupakan kecenderungan khusus, tidak berubah-ubah dan tidak bergantung pada sikon tertentu.Bagi para psikolog, ada perbedaan mendasar antara motivasi dan pendorong. Menurut mereka motivasi sifatnya dapat diperoleh, namun pendorong tidak. Namun dalam buku ini, keduanya berarti sama dan untuk mendapatkan keterangan mengenai perbedaan antara keduanya dan juga efek-efeknya, silahkan merujuk sumber-sumber yang lebih kompleks.
Berbagai macam kebutuhan
1. Kebutuhan dan dorongan keseimbangan hidup (fisiologis)
Makhluk hidup memiliki dorongan untuk selalu menjaga keseimbangan hidupnya. Dorongan inilah yang menjadi alasan keberlangsungan hidup setiap organisme.Menyebutkan daftar panjang kebutuhan-kebutuhan biologis makhluk dalam buku ini sangatlah tidak memungkinkan dan tidak ada gunanya. Di bawah ini akan disebutkan beberapa kebutuhan mendasar organisme yang mana semua pakar psikologi bersependapat tentangnya[65] :
A. Kebutuhan terhadap makanan
Lapar merupakan alasan terpenting mengapa makhluk hidup terdorong
mencari makanan. Agar dapat terus hidup, makhluk hidup perlu makan dan
dari makanan itulah energi untuk tubuh diproduksi. Oleh karena itu, rasa
lapar dapat kita sebut sebagai dorongan mendasar yang dirasakan makhluk
hidup dalam keberlangsungan hidupnya. Rasa lapar merupakan hal penting
dalam keseimbangan hidup organisme. Saat keadaan fisioloigis organisme
melenceng dari titik seimbang kebutuhan pangan, ia akan terdorong untuk
mencari manan agar titik keseimbangan tersebut tercapai kembali.[66]
B. Kebutuhan terhadap minuman
Apa yang dijelaskan mengenai rasa lapar juga
berlaku bagi rasa haus. Rasa haus biasanya muncul dikarenakan dua sebab:
berkurangnya zat cair dalam sel tubuh dan juga berkurangnya volume
darah. Dengan sendirinya, untuk menjaga keseimbangan hidup, tubuh kita
akan memperingatkan kita kapan kita memerlukan air dan kapan tidak.[67]
Kebutuhan-kebutuhan fisiologis atau tingkat awal ini juga pernah disinggung dalam salah satu ucapan nabi Ibrahim as.:
“Ialah Tuhan yang ketika aku lapar Ia memberiku
makanan, ketika aku haus Ia memberiku minuman dan ketika aku sakit Ia
memberiku kesembuhan.”[68]
Dalam ayat di atas semua kebutuhan fisiologis manusia telah disebutkan.
Lapar dan haus (melepaskan diri dari lapar dan
haus—pent.) adalah dua kebutuhan mendasar manusia. Saat Allah swt.
Menempatkan nabi Adam as. dan Hawa as. di sorga, Ia berfirman kepada
keduanya mengenai makanan dan minuman (yang merupakan nikmat pertama
dari nikmat-nikmat lainnya) yang ada di dalamnya:
“Kalian tidak akan kelaparan di dalamnya, tidak
akan kekurangan pakaian. Kalian juga tidak akan kehausan dan tidak akan
tersiksa karena sengatan terik matahari.”[69]
Al Qur’an menyebut nikmat makanan dan minuman sejajar dengan nikmat keamanan:
“Ia yang telah mengenyangkan kalian dari rasa lapar dan mengamankan kalian dari rasa takut.”[70]
Dalam pandangan Islam, saat Allah swt. Ingin
menguji hamba-hambanya, Ia menuji mereka dengan kurangnya keamanan,
makanan dan minuman[71]
dan orang-orang yang beriman seharusnya memanfaatkan dan bersyukur jika nikmat-nikmat itu diberikan:
“Katakan, siapakah yang telah mengharamkan
perhiasan-perhiasan yang dikaruniakan oleh Allah untuk hamba-hambanya
dan juga riziki-rizki yang nikmat?”[72]
Pengkategorian kebutuhan berdasarkan tingkatannya juga dapat ditemukan dalam riwayat:
“Ya Allah, berkahilah roti (makanan) yang telah kau
berikan kepada kami ini, karena jika tidak ada itu maka kami tidak bisa
shalat dan berpuasa, dan tidak juga mampu menunaikan
kewajiban-kewajiban kami.”[73]
Dalam riwayat di atas digambarkan bahwa kebutuhan
terhadap makanan, jika tidak terpenuhi terlebih dahulu, maka kita tidak
bisa memenuhi kebutuhan lain di atas itu, yaitu kebutuhan beribadah dan
mendekatkan diri kepada Allah swt. Riwayat tersebut begitu jelas
maksudnya dan kita tidak membutuhkan penafsiran tertentu untuk
memahaminya. Dalam riwayat yang lainnya, Rasulullah saw. menyebut
kefakiran sebagai perangsang kekufuran.[74]
Islam selain memperhatikan kebutuhan manusia
terhadap makanan, juga tak lupa memberikan aturan dalam pemenuhan
kebutuhan tersebut, seperti:
1. makanan yang haram akan membawakan dampak buruk bagi fikiran dan akidah seseorang.[75]
2. Kedua, Islam menekankan kita untuk makan dan
minum sesuai kebutuhan. Bahkan dalam riwayat disarankan agar kita
beranjak dari makanan sebelum kita kehilangan selera karena kekenyangan.[76]
3. Kita tidak boleh berlebihan dan membuang-buang makanan.[77]
4. Islam mengharamkan segala makanan yang membahayakan bagi tubuh kita.[78]
5. Kita musti memperhatikan kebersihan dan cara yang sehat dalam menyantap makanan.[79]
6. Ditekankannya beberapa makanan yang sehat dan menyehatkan, seperti halnya madu.[80]
C. Kebutuhan seksual
Hasrat seksual juga merupakan kebutuhan mendasar
makhluk hidup dan menciptakan berbagai prilaku-prilaku tertentu pada
setiap orang. Sebagian pakar psikologi menganggap dorongan seksual
sebagai satu dari dua faktor insting hidup dan mati bagi manusia, dan
menganggap sejarah yang tercipta selama ini adalah hasil dari dorongan
seksual. Teori Freud adalah bukti keberlebihannya dalam menilai
kebutuhan seksual. Namun kebutuhan seksual jika kita pandang sebagai
hasrat ketertarikan makhluk hidup kepada keindahan, maka penilaian kita
akan berbeda.
Para maksumin menyebut hasrat seksual sebagai penjaga keberlangsungan hidup. Imam Shadiq as. berkata kepada Mufadhal:
“Berkobarnya api gairah seksual mendorong manusia
untuk melakukan hubungan seks, yang mana dengan demikian spesis manusia
akan terus terjaga. Jika seandainya tidak ada gairah seksual yang
seperti ini pada manusia, dan manusia hanya melakukan seks hanya saat
menginginkan anak saja, maka tidak akan ada lagi yang namanya gairah
seks dan spesis manusia akan berada di ambang kepunahan; karena tidak
semua orang ingin memiliki keturunan.”
Al Qur’an mengibaratkan perempuan sebagai ladang
menjelaskan bahwa keterjagaan spesis manusia bertumpu pada pernikahan.
Al Qur’an memberikan dua macam pengaturan mengenai gairah seksual:
Pertama, Islam menjadikan pernikahan sebagai
penyaluran gairah seksual dan menyebutnya sebagai penyempurna agama.
Imam Shadiq as. menukil ucapan Rasulullah saw.:
“Barang siapa telah menikah, maka separuh agamanya telah terjaga. Maka sehendaknya ia berusaha menjaga separuh lainnya.”
Beliau juga bersabda:
“Pernikahan adalah sunahku, maka barang siapa menghindar dari sunahku ia bukanlah termasuk dariku.”
Al Qur’an menjelaskan tentang keberadaan istri sebagai penenang jiwa:
“Dan Allah menciptakan istri-istri dari jenis kalian agar kalian merasakan ketentraman di samping mereka.”[81]
Ketenangan yang dihasilkan oleh pasangan suami
istri karena mereka berdua saling menyempurnakan dan berdasarkan
ketertarikan alamiah mereka berdua, seseorang tidak akan sempurna tanpa
pasangannya. Ketenangan yang dihasilkan pernikahan lebih dari sekedar
ketenangan individu saja, tapi juga lebih dari itu. Jika kita lihat,
kebanyakan para penjahat dalam suatu masyarakat adalah orang-orang yang
tidak memiliki banyak tanggung jawab; mereka mudah berbuat onar dan
kejahatan. Tingkat bunuh diri di antara mereka juga lebih tinggi. Namun
orang-orang yang telah menikah, mereka memiliki tanggung jawab, mereka
tidak hidup untuk diri mereka sendiri namun ada yang mendampingi, susah
dan senang bersama pasangannya, mereka lebih cenderung kepada kebaikan.
Yang menakjubkan adalah, Tuhan tidak hanya menciptakan dorongan untuk
berpasangan pada manusia saja, bahkan juga pada hewan-hewan.[82]
Pada hakikatnya, cinta dan kasih sayang adalah tali pengikat umat
manusia. Tanpa adanya cinta dan kasih sayang semua orang akan beralih
pada dirinya masing-masing dan tidak akan terwujud komunitas sosial yang
saling bekerjasama. Al Qur’an juga memberikan penjelasan lain tentang
lelaki dan perempuan; Al Qur’an mengibaratkan mereka berdua sebagai
pakaian satu sama lain:
“Mereka (para istri) adalah pakaian bagi kalian (para suami) dan kalian juga pakaian bagi mereka.”[83]
Pakaian tidak hanya sebagai hiasan dan menjaga
tubuh dari panas dan dingin, namun pakaian juga menutupi aib-aib tubuh.
Istri-istri bagaikan pakaian karena mereka dapat memadamkan gairah suami
mereka dan juga menutupi aib-aibnya. Betapa banyak orang yang melakukan
berbagai tindak kejahatan karena gairah seksualnya tidak tersalurkan.
Pernikahan memberikan keamanan pada manusia dari keburukan syahwat yang
tak terkendali[84]
dan segala kelaziman dari keburukan itu.
Kedua, Islam melarang penyaluran gairah seksual
secara berlebihan. Selain Al Qur’an menekankan pernikahan, Al Qur’an
juga menambahkan bahwa segala penyaluran gairah seksual di luar jalan
pernikahan diharamkan. Berbeda dengan psikologi meterialisme, Islam
melarang pergaulan bebas, bercanda dan bercampurnya lelaki dan perempuan
secara berlebihan, dan pada beberapa keadaan Islam menyebutnya makruh
atau bahkan haram. Islam bertentangan dengan rangsangan-rangsangan
syahwat di luar lingkaran pernikahan dan menyebut pergaulan dengan
wanita yang bukan muhrim sebagai sebab kematian dan kerasnya hati.[85]
Al Qur’an menyebut para lelaki yang terlena mendengarkan suara perempuan
yang bukan muhrimnya sebagai orang-orang yang berpenyakit jiwa. Oleh
karena itu Al Qur’an memerintahkan para wanita untuk tidak melembutkan
suaranya saat berbicara agar tidak mendapatkan reaksi-reaksi buruk dari
orang-orang yang sakit jiwanya itu:
“Maka janganlah kalian melembutkan suara kalian di
saat berbicara, (jika tidak) maka orang-orang yang berpenyakit di
hatinya akan menjadi tamak. Berbicarah (dengan nada bicara) yang baik.”[86]
Penyaluran gairah seksual, ketika telah melampaui
batasnya dan tetap diteruskan, adalah satu bentuk kegilaan yang disebut
kegilaan seksual.[87]
Islam dalam menjinakkan gairah seksual
memerintahkan para lelaki dan perempuan untuk saling menutupi diri
masing-masing. Pada suatu hari Rasulullah saw. memerintahkan istrinya,
Ummu Salamah dan Maimunah untuk menutupi dirinya di hadapan anak lelaki
buta putra Ummu Maktum seraya berkata:
“Meskipun anak itu tidak melihat kalian, tapi kalian dapat melihatnya.”[88]
Perintah bagi lelaki dan perempuan untuk saling
menjaga dirinya dan tidak berduaan di kesepian serta makruhnya berjalan
kaki bersama perempuan yang tidak muhrim merupakan upaya agama ini untuk
menjinakkan gairah seksual manusia. Sayidah Fathimah Az Zahra berkata:
“Sebaik-baiknya perempuan adalah mereka yang tidak melihat para lelaki dan juga tidak dilihat oleh mereka.”[89]
Fantasi seksual
Fantasi seksual menurut para psikolog adalah salah
satu bentuk penyakit jiwa. Seseorang yang berfantasi seksual berusaha
menyalurkan gairah seksualnya dengan cara berkhayal. Islam melarang kita
untuk berfikir berbuat dosa; dan bahkan saat bersenggama dengan istri
sendiri pun Islam melarang kita untuk berkhayal seakan sedang
bersenggama dengan orang lain. Mengenai hal ini para Imam maksum as.
Berkata:
“Orang-orang yang seperti itu bagaikan orang yang
memenuhi rumahnya yang penuh hiasan dengan asap. Meskipun asap mengepul
itu tidak akan membakar rumah, namun merusak keindahannya.”[90]
D. Kebutuhan untuk menjadi ayah dan ibu
Dalam kebanyakan hewan, pengaruh insting untuk
menjadi ayah dan ibu (memelihara anak-anak) dalam prilakunya, terkadang
lebih kuat daripada insting mencari makan, minum dan seks. Sebagai
contoh telah terbukti dalam beberapa penelitian bahwa saat seekor tikus
berusaha menjaga anak-anaknya, ia lebih tegar menghadapi kesusahan
daripada saat ia ingin mencari makanan.[91]
Insting keayahan dan keibuan pada awal mula
kelahiran anak bersifat searah, namun setelah anak tumbuh besasr,
insting tersebut menjadi bersifat dua arah.
Rasa cinta ini merupakan rahmat Allah swt. yang
luar biasa. Dengan melihat lemahnya manusia setelah terlahir di dunia,
rasa cinta tersebut yang membuatnya selalu terjaga dan dilindungi oleh
orang tua. Meski tidak diragukan para orang tua akan merasakan kasih
sayang anak-anaknya saat mereka berada di hari tua sebagai balas jasa
mereka.
Mengenai alasan adanya insting ini, beberapa diantaranya dijelaskan oleh Al Qur’an:
Pertama, manusia merasa kesepian saat tidak memiliki buah hati.
Kedua, manusia cenderung ingin memiliki pewaris dan penerus hidup mereka.
Dalam Al Qur’an disebutkan kisah nabi Zakariya as. dan Yahya as. seperti ini:
“Dan Zakariya berdoa kepada Tuhannya: “Ya Tuhanku, janganlah Kau biarkan aku sendiri, sungguh Engkau sebaik-baiknya pewaris.”[92]
Di ayat-ayat yang lainnya kita membaca bahwa saat
nabi Zakariya as. menyendiri di tempat ibadahnya, ia berdoa kepada
Tuhannya: “Tuhanku, tulang-tulangku telah rapuh dan lemah, rambut putih
telah memenuhi kepalaku. Tuhanku, doaku tak pernah tak Kau kabulkan.
Sepeninggalku aku takut akan keluargaku, sedangkan istriku mandul.
Karuniakanlah pewaris kepadaku sehingga ia akan mewarisiku dan mewarisi
keluarga Ya’qub.”[93]
Ucapan nabi Zakariya as. “Jangan biarkan aku
sendiri” menunjukkan bahwa ia merasa kesepian di akhir hidupnya dan ia
menyebut Tuhannya sebagai sebaik pewaris, yakni zat yang maha hidup dan
menghidupkan. Dalam ayat-ayat berikutnya perasaan nabi Zakariya as.
semakin jelas tergambar dan disebutkan: “Aku takut akan keluargaku, aku
tidak yakin mereka dapat meneruskan jalanku. Dari sisi lain istriku
tidak dapat mengandung. Maka berikanlah jalan bagiku untuk memiliki
pewaris.”[94]
Ketiga, mencari buah tutur. Al Qur’an menjelaskan
bahwa salah satu dorongan manusia untuk memiliki anak adalah karena
mereka ingin memiliki buah tutur bagi diri mereka. Al Qur’an
menceritakan kisah nabi Ibrahim as. saat sang nabi berdoa: “Dan berilah
buah tutur bagiku untuk (orang-orang) yang datang sesudahku.”[95]
Pada ayat lainnya, setelah kelahiran nabi Ya’qub
as. dan Ishaq as. disebutkan: “Kami telah menjadikan buah tutur yang
baik serta mulia.”[96]
Nabi Ibrahim as. begitu sugguh-sungguh memohon
anugerah dari Tuhan untuk mendapatkan keturunan agar umat setelahnya
tidak mampu menghapus namanya, yang mana ia adalah suri tauladan bagi
seluruh umat manusia.
Masih seputar masalah ini juga, karena Rasulullah
saw. dihina dan disebut oleh ‘Ash bin Wail sebagai orang yang tidak
berketurunan, lalu setelah itu diturunkan surah Al Kautsar kepada
beliau. Karena Rasulullah saw. tidak memiliki anak lelaki, saat itu
mereka mengira begitu Rasulullah saw. wafat nanti, namanya akan sirna
begitu saja.[97]
Keempat, untuk mendapatkan pelita hati. Di manapun
Al Qur’an berbicara tentang buah hati, selalu digunakan kata-kata
semacam “pemberian”, “kabar gembira”, dan lain sebagainya. Hal ini
menunjukkan bahwa anak merupakan hadiah dari Tuhan. Al Qur’an
menceritakan bahwa para hamba-hamba istimewa-Nya (Ibadurrahman) saat
menginginkan buah hati mereka menyebutnya sebagai pelita hati:
“Dan mereka yang berkata, “Tuhan kami, berikanlah
kepada kami keturunan dari istri-istri kami sebagai pelita hati dan
jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang beriman.”[98]
Qurrata A’yun, yang secara leksikal berarti “caha
mata” atau “terangnya mata”, yang kami maksud dengan pelita hati. Ayat
di atas menggambarkan kepada kita betapa orang-orang yang tidak memiliki
anak soleh tidak dapat merasakan nikmat kehidupan yang sebenarnya.
Banyak sekali contoh-contoh lain yang disebutkan Al
Qur’an mengenai insting keayahan dan keibuan ini. Beberapa contoh yang
paling jelas di antaranya adalah kisah nabi Nuh as. dan anaknya, nabi
Musa as. dan ibunya, nabi Ibrahim as., Isma’il as., Ya’qub as dan nabi
Yusuf as. yang mana kisah-kisah mereka tercantum pada surah-surah
seperti Hud, Qashash, Shaffat, dan surah Yusuf. Namun meski demikian, di
samping itu semua Allah swt. juga menjelaskan satu perkara yang lebih
penting dalam ayat ke-24 surah At Taubah:
“Katakanlah, jika seandainya ayah-ayah, anak-anak,
saudara-saudara, istri-istri, kerabat-kerabat kalian… lebih kalian
cintai daripada Allah swt., Rasulnya saw., dan berjihad di jalan-Nya,
maka tunggulah hari dimana Allah swt. datang dengan hukumannya. Allah
tidak akan memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.”
Ayat ini bukan berarti manusia harus mengabaikan
emosi dan perasaannya. Maksud ayat ini adalah, di saat kita berada di
persimpangan jalan antara perasaan terhadap sesama dan kecintaan
terhadap Tuhan swt., kita tidak boleh memprioritaskan perasaan terhadap
sesama (jika seandainya perasaan itu akan menghalangi cinta kita kepada
Tuhan).[99]
2. Kebutuhan akan keamanan
Makna kebutuhan manusia akan kemanan adalah, karena
manusia mencintai dirinya, ingin hidupnya berkelanjutan, secara alamiah
ia begitu peka terhadap segala hal yang bertentangan dengan kenyamanan
dan keberlangsungan hidupnya. Beberapa contoh prilaku manusia yang
bersumber dari dorongan ini adalah:
A. Membenci rasa sakit dan selalu menghindar dari bahaya
Salah satu hal yang begitu menonjol dalam kehidupan
adalah derita dan rasa sakit. Keberadaan insting inilah yang membuat
tubuh manusia selalu terjaga. Rasa sakit merupakan suatu peringatan yang
menunjukkan bahwa badan sedang berada dalam kondisi yang buruk. Banyak
penyakit yang merupakan pertanda bahaya, dan jika penyakit-penyakit
tertentu itu muncul, maka secepatnya harus merujuk ke dokter. Namun
sebagian kalangan menyangkal pengertian ini dengan dalih banyaknya orang
yang dengan mudah melakukan aksi bunuh diri. Namun sangkalan mereka
tidak benar, karena pada dasarnya aksi bunuh diri terkadang disebabkan
rasa putus asa akan pemenuhan kebutuhan dan bunuh diri menjadi salah
satu bentuk rasa butuh terhadap kehidupan. Masalah ini juga berlaku pada
aksi-aksi serangan bunuh diri yang dilakukan oleh pejuang-pejuang. Aksi
tersebut tidak bertentangan dengan naluri manusia yang cenderung
memilih kehidupan, namun dikarenakan alasan lain di balik kesyahidan,
yaitu digapainya kebahagiaan abadi.[100]
Dalam buku-buku terpercaya di bidang psikologi
sering ditemukan istilah-istilah seperti “obat iman” atau “psikoterapi
keagamaan”. Hal ini membuktikan diterimanya konsep relasi antara iman
dan kesehatan jiwa. Islam menuntun kita untuk menyikapi penyakit dengan
sikap-sikap yang mulia. Di antara ajaran-ajaran itu adalah:
1. Berfikiran positif
Islam sangat mementingkan terjaganya kesehatan dan
keselamatan serta menyebutnya sebagai kewajiban. Dalam riwayat
disebutkan bahwa pada suatu hari Imam Ali as. yang disaksikan oleh kedua
anak maksumnya, Imam Hasan as. dan Imam Husain as., pergi berobat ke
tabib non-Muslim. Fakta ini membuktikan betapa pentingnya kesehatan.
Islam juga menekankan kita untuk selalu berfikiran positif dan tidak
terlalu merisaukan penyakit agar beban derita yang dirasakan tidak
terlalu berat. Islam memberikan berbagai ajaran mulianya agar kita dapat
berfikiran positif saat tertimpa penyakit:
Islam menekankan kita untuk memperkuat keyakinan
bahwa kekuatan Allah swt. sama sekali tidak terbatas dan berada di atas
hukum kausalitas alam semesta.
Penyakit yang dirita adalah peruntuh dosa-dosa,
sebab diberikannya pahala oleh Allah swt dan bentuk perhatian khusus
terhadap seorang hamba.[101]
Disebutkan bahwa pahala seorang mukmin yang sakit dan tidak bisa tidur semalaman lebih dari pahala ibadah selama setahun.[102]
Disebutkan pula bahwa doa orang-orang beriman yang sakit bagaikan doa-doa para malaikat yang mudah dijiabahi.[103]
Islam menganggap Allah swt. sebagai sang tabib yang
sebenarnya, adapun tabib dan dokter adalah perantara-Nya. Ajaran ini
terbukti dapat menciptakan ketenangan jiwa dalam diri seorang pasien.
Seorang pasien yang berfikiran sedemikian rupa akan kehilangan rasa
khawatir yang berlebihan. Inilah yang pernah diucapkan oleh nabi Ibrahim
as.: “Jikalau aku sakit, Ia-lah yang menyembuhkanku.”[104]
2. Meningkatkan spiritualitas
Sholat dan berdoa merupakan jalan terbaik dalam
meningkatkan spiritualitas. Dalam keadaan shalat dan berdoa, seorang
yang beriman akan menikmati kekuatan nirbatas Allah swt. dan lupa akan
sakit yang didertianya. Oleh karena itulah saat Imam Ali as. melakukan
shalat dan anak panah dicabut dari tubuhnya ia tidak merasakan sakit.
Satu lagi jalan yang terbaik adalah melakukan upacara peribadatan secara
bersama-sama.
3. Menghindari obat-obatan
Salah satu metode menarik yang juga diajarkan Islam
adalah membiarkan penyakit dan menghindar dari obat-obatan. Pada metode
ini kita diajarkan untuk bersahabat dengan penyakit yang kita derita.
Karena mengkonsumsi obat-obatan bagaikan menyayat diri sendiri dengan
pisau bermata dua; karena obat selain menghilangkan penyakit, ia juga
memberikan efek-efek tertentu pada sel-sel tubuh. Para Imam Maksum as.
berkata:
“Tidak ada satupun obat yang tidak akan menimbulkan penyakit lainnya.”[105]
4. Perhatian sosial
Pada penyakit-penyakit kronis, perlindungan sosial terhadap penderita dankeluarganya sangatlah penting. Oleh karena itu Islam sangat menekankan kita untuk menengok orang yang sakit dan menyebutnya sebagai hak-hak Muslimin.[106] Rasulullah saw. selalu bergegas untuk menjenguk sahabat-sahabatnya yang sakit meskipun jarak yang harus ditempuh begitu jauh.[107] Banyak adab-adab menjenguk yang diajarkan, seperti berniat ikhlas, memberikan harapan-harapan positif kepada penderita, dan juga membawakan sesuatu sebagai pemberian. Dengan jengukan sesama, penderita akan:
Merasa mulia dan tidak diabaikan oleh masyarakat sekitarnya.
Haus kasih sayang yang ia rasa akan terpenuhi yang mana hal itu akan memberikan ketenangan jiwa padanya.
Saat dapat melihat sanak saudara dan kerabat ia akan merasakan kenyamanan.
B. Mencari keamanan dan kestabilan
Abraham Maslow berkata:
“Saat kebutuhan-kebutuhan fisiologis manusia terpenuhi, maka di sana
akan terdapat kebutuhan-kebutuhan yang berkisar pada masalah keamanan
jiwa manusia. Ciri-ciri terpenuhinya kebutuhan akan keamanan ini
seperti: merasa aman, stabil, bebas dari rasa takut dan kekhawatiran,
keteraturan, keterbasan, merasa memiliki posisi yang menyenangkan, dan…”[108]
Jadi, berdasarkan yang ia katakan, ciri-ciri ketidakamanan adalah:
1. Merasa terusir
2. Merasa kesepian
3. Merasa ketakutan
4. Kegoncangan dan perasaan berada dalam bahaya
5. Berpandangan negatif kepada banyak orang
6. Tidak percaya diri
7. Pesimis terhadap diri sendiri
8. Cenderung tidak puas akan diri dan lingkungannya
9. Merasa tertekan, tidak semangat dan kelelahan
10. Cenderung mencari-cari aib dan kesalahan
11. Merasa malu dan putus asa
12. Gangguan dalam sistim perasa, suka mencari kedudukan
13. Dorongan yang berlebihan untuk mendapat keamanan
14. Hanya memikirkan diri sendiri (egois)
Ciri-ciri yang pertama sampai ketiga adalah ciri-ciri utama. Sedangkan yang lainnya adalah ciri-ciri sampingan.
Dalam doa Makarimul Akhlak, Imam Sajjad as. memberikan isyarah-isyarahnya mengenai kesehatan jiwa:
“Ya Allah, haturkanlah shalawat kepada Muhammad dan
keluarganya. Rubahlah kebencian musuh-musuhku terhadapku menjadi
kecintaan. Rubahlah hasud para penyeleweng menjadi persahabatan.
Rubahlah prasangka buruk orang-orang yang soleh menjadi prasangka baik
dan kepercayaan. Rubahlah permusuhan kerabat-kerabat menjadi kecintaan.
Rubahlah maksiat dan keburukan mereka menjadi kebaikan dan amal saleh.
Rubahlah sifat suka menghina mereka menjadi sifat suka menolong.
Jadikanlah kecintaan berpura-pura orang yang munafik menjadi kecintaan
yang sebenarnya. Rubahlah sifat-sifat buruk para penebar syubhat menjadi
sifat baik. Dan rubahlah rasa takut menjadi rasa aman.[109]
Tidak hanya dalam doa di atas saja beliau
mengisyarahkan rasa butuh manusia terhadap keamanan. Pada kelanjutan doa
di atas disebutkan:
“Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Rasulullah.
Berikanlah kekuatan kepadaku untuk menghadapi orang-orang yang
menzalimiku. Berilah kelancaran berbicara padaku untuk menghadapi
orang-orang yang suka mendebatku. Berilah kemenangan padaku saat ada
yang memusuhiku. Berilah pertolongan padaku dalam menghadapi tipu daya
dan musliha musuh-musuhku. Berilah kekuatan untuk melawan orang-orang
yang zalim. Berilah kekuatan untuk menghadapi orang-orang yang iri
padaku. Berikanlah keamanan kepadaku saat musuh-musuhku menakutiku. Juga
berilah daku taufik untuk mengikuti orang-orang yang memberikan
petunjuk kepadaku dan mengarahkanku pada jalan yang benar.”[110]
Jika kita lihat, kebanyakan apa yang diucapkan
beliau dalam doanya di atas berhubungan dengan butuhnya seorang manusia
akan keamanan.
Namun perlu diingatkan di sini bahwa pandangan
Islam mengenai kebutuhan akan keamanan berbeda dengan pandangan kaum
materialisme. Menurut mereka tercapainya keamanan adalah tujuan, tetapi
menurut Islam tercapainya keamanan adalah perantara yang dapat
mengantarkan manusia kepada tujuan yang lebih tinggi, yaitu menjadi
khalifah Allah swt. di muka bumi; karena tanpa mendapatkan keamanan,
manusia tidak akan mampu menjalankan tugas-tugas penghambaannya. Garis
kesimpulan dari perbedaan keduanya juga dapat dijelaskan seperti ini:
Ketika seorang materialis tidak dapat meraih keamanan, baginya itu
berarti sama dengan kehilangan keseimbangan mental dan punahnya makna
hidup, karena baginya hidup hanya terbatas pada dunia ini saja. Namun
bagi orang yang beriman tidaklah seperti itu. Segala kesusahan dan
tekanan-tekanan yang dialami di dunia ini akan digantikan dengan balasan
dan pahala-pahala ukhrawi, dan kehidupan di dunia hanya sekedar
jembatan untuk sampai pada kehidupan kekal abadi di akherat. Oleh karena
itu kita dapat melihat bahwa orang-orang yang hanya bertujuan untuk
hidup di dunia ini saja, mereka akan menghalalkan segala cara untuk
meraih cita-citanya. Para Imam Maksum as. berkata mengenai hal ini:
“Kecintaan terhadap dunia adalah pangkal setiap kesalahan.”[111]
C. Aturan dan keteraturan
Setiap saat keteraturan sosial dalam sebuah
masyarakat terancam, mungkin pada waktu itu juga kebutuhan akan keamanan
menjadi sangat urgent. Pada saat itulah rasa takut akan kehancuran
membuat manusia benar-benar haus akan keamanan. Menurut para peneliti,
pada kondisi aturan dan keteraturan, masyarakat akan mudah menerima
diktatorisme atau pemerintahan militer; dan itu adalah biasa. Pernyataan
ini berlaku bagi semua manusia, bahkan manusia-manusia yang sehat.[112]
Pada dasarnya, faktor kebutuhan manusia akan
anturan dan keteraturan yang sebenarnya adalah kebermasyarakatan
manusia. Ketidakberaturan dalam masyarakat akan menimbulkan keributan
dan berbagai gangguan yang mana itu semua akan merusak ketentraman dan
keamanan. Aturan memang membatasi kebebasan manusia, dan Tuhan serta
naluri manusia itu sendiri yang menuntut keberadaannya. Sesungguhnya
penyalahan aturan sampai kapanpun tidak memberikan keuntungan pada
masyarakat.[113]
Menurut ajaran Islam, keteraturan adalah salah satu
dari prinsip-prinsip kesehatan jiwa. Imam Ali as. dalam sebuah
wasiatnya berkata:
“Aku mewasiatkan kepada kalian akan ketaqwaan dan keteraturan dalam urusan-urusan kalian.”[114]
Al Qur’an begitu banyak berbicara mengenai keberaturan dan peraturan:
“Kami telah mengutus utusan-utusan Kami dengan
dalil yang jelas. Kami menurunkan kitab-kitab langit bersama mereka dan
timbangan (pengukur kebenaran dan kebatilan) agar umat manusia
mendirikan keadilan. Dan Kami telah menurunkan besi yang mana padanya
terdapat kekuatan yang sangat dan bermanfaat bagi manusia.”[115]
Maksud timbangan dalam ayat di atas adalah
aturan-aturan Tuhan yang merupakan tolak ukur nilai-nilai kebaikan dan
keburukan. Adapun “besi” merupakan tanda jaminan dijalankannya aturan.
Allah swt. juga berfirman:
“Dan Ia menurunkan kitab langit bersama mereka agar
mereka (para utusan) menghukumi (memberikan solusi) dalam apa-apa yang
mereka berikhtilaf mengenainya.”[116]
Mengenai masalah keteraturan dan aturan, Islam memberikan ajaran-ajarannya yang diantaranya adalah:
1. Memperhatikan kebutuhan-kebutuhan manusia secara keseluruhan.
2. Menganjurkan kita menghindar dari
perkara-perkara yang tak penting. Imam Ali as. di sini berkata: “Orang
yang menyibukkan dirinya dengan perkara-perkara yang tidak penting akan
tercegah untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang penting.”[117]
3. Memperhatikan segi hubungan antara manusia dengan Tuhan.
4. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan penting dalam kehidupan.
5. Menyalurkan kesenangan dan kegembiraan di jalan-jalan yang legal.[118]
6. Sedang-sedang saja dan tidak berlebihan.[119]
7. Terselesaikannya semua urusan-urusan yang perlu (yang mudah tidak gugur karena yang susah).[120]
3. Kebutuhan akan cinta dan ikatan (bergabung dan diterima)
Abraham Maslow berkata:
“Setelah kebutuhan fisiologi dan keamanan telah
terpenuhi, muncullah rasa butuh akan cinta dan kasih sayang. Pada
kondisi ini, manusia akan merasakan haus hubungan emosional dengan
sesamanya dan lupa bahwa dahulu kala saat ia belum memenuhi kebutuhan
fisiologinya, misalnya saat lapar, pernah menertawakan dan meremehkan
rasa butuh akan cinta. Namun kini ia tertekan karena merasa kesepian,
asing, tidak punya teman. Cinta dan kasih sayang di sini bukan bermakna
gairah seksual, meskipun ada pengaruhnya pada kebutuhan seksual. Dari
sisi lain, kebutuhan akan cinta juga meliputi “mencintai” dan
“dicintai”.[121]
Banyak sekali bukti yang menunjukkan adanya
hubungan antara depresi dengan relasi sosial. Karena saat berada di
tengah-tengah sesama seorang manusia akan mendapatkan kesempatan untuk
memperhatikan masalah-masalah orang lain. Dalam kondisi kebersamaan
seorang manusia akan membandingkan dirinya dengan orang lain sehingga ia
dapat mengambil kesimpulan seberapa harus merasakan ketakutan.[122]
Dalam ajaran Islam, dikenal bahwa dasar agama adalah kecintaan. Imam Muhammad Baqir as. berkata:
“Apakah agama adalah sesuatu selain cinta?”[123]
“Agama adalah kecintaan, dan kecintaan adalah agama.”[124]
Poin penting yang juga ditekankan dalam ayat-ayat
dan riwayat adalah, pentingnya ikatan antara bergabung dan diterima.
Cinta tidak bersifat searah, karena orang yang mencintai adalah orang
yang melakukan apa yang diinginkan orang yang dicinta; lalu karena
itulah orang yang dicintai tersebut mencintainya. Pada dasarnya cinta
akan membuat seorang manusia bergerak menuju yang dicintai dan melakukan
apapun yang diinginkan kecintaannya. Semakin tinggi cinta seseorang,
maka semakin tinggi pula kadar jerih payah dan usaha yang dilakukannya
untuk orang yang dicintai; khususnya jika motifasinya adalah
kesempurnaan mahbub (yang dicintai).
Imam Baqir as. berkata:
“Manusia (cenderung) bersama orang yang ia cintai.”[125]
Dalam Al Qur’an disebutkan firman Allah kepada orang-orang yang mengaku mencintai Tuhan seperti ini:
“Jika kalian memang mencintai Allah, maka bergegaslah untuk menaati-Nya. Jika demikian maka Tuhan juga akan mencintai kalian.”[126]
Imam Shadiq as. berkata:
“Ujilah hatimu, jika ia mencintaimu, kamu pasti akan mencintainya juga.”[127]
Ayat-ayat seperti “Ia mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya”[128]
dan “Allah ridha akan mereka dan mereka juga ridha akan Allah.”[129]
membukitkan adanya sifat dua arah dalam cinta kepada Allah swt. Al
Qur’an juga memerintahkan orang-orang yang beriman untuk mencintai Ahlul
Bait as.:
“Katakanlah bahwa aku tidak meminta upah apapun dari kalian selain kecintaan terhadap keluargaku.”[130]
Sebaik-baiknya contoh tentang tekanan jiwa karena
keterasingan dalam Al Qur’an, adalah kisah saudara-saudara nabi Yusuf
as. Ketika mereka merasa ayahnya lebih menyukai nabi Yusuf as. dan
saudaranya Benyamin,[131]
mereka berencana untuk membunuh Yusuf as. saudara mereka sendiri. Dengan
demikian mereka menjadi perusak ketentraman keluarga Ya’qub as. Cinta
dapat diibaratkan sebagai perekat yang kuat yang membuat umat manusia
saling terikat antara satu sama lain. Tanpa adanya cinta masyarakat akan
berpecah belah dan hanya mementingkan dirinya masing-masing. Namun
dengan cinta semuanya saling berpegangan tangan dan bekerja sama.[132]
Dalam Al Qur’an Allah swt memberikan berita
gembira-Nya kepada orang-orang yang beriman seperti ini: “Mereka yang
memiliki iman dan melakukan amal saleh, Allah akan menciptakan kecintaan
di hati setiap orang kepada mereka.”[133]
Disebutkan juga nabi Ibrahim as. memohon kepada Allah swt. agar setiap orang mencintai anak-anaknya:
“Ya Tuhan, jadikanlah hati-hati setiap orang cinta dan cenderung pada mereka (anak-anakku).”[134]
Ketika nabi Musa as. mendengar putri-putri Syu’aib
as. berkata bahwa ayah mereka telah tua dan tidak memiliki siapa-siapa,
hatinya luluh dan terarik untuk berbuat baik pada mereka, ia memberi
minuma kepada kambing-kambing mereka.[135]
Al Qur’an memberikan contoh yang paling mulia akan cinta: “Saat Ahlul
Bait sedang dalam keadaan puasa dan merasakan lapar, mereka memberikan
makanan buka puasanya kepada anak yatim, orang miskin dan hamba yang
tertawan.”[136]
Meskipun diri mereka juga dalam keadaan butuh, seperti Anshar, mereka mendahulukan Muhajirin atas dirinya.[137]
Sunah para utusan Allah swt. dan wali-wali-Nya adalah saling mencintai dan berbagi hati kepada sesama.
“Dan aku menginginkan kebaikan untuk kalian.”[138]
Alferd Adore menyebut perasaan pada sesama sebagai “cara pandang saudara besar” dan berkata:
“Umat manusia, selain memiliki amarah dan
kebencian, mereka juga memiliki perasaan saling berdukacita yang dalam
dan berbagi kepada sesamanya. Oleh karena itu mereka memiliki
kecenerungan khas terhadap sesama seakan setiap orang dari meraka adalah
satu anggota badan bagi satu tubuh yang disebut masyarakat.”[139]
Islam bertujuan untuk memberikan kebaikan dalam
kehidupan bermasyarakat manusia dengan prinsip kecintaan dan pemenuhan
kebutuhan; yang mana itu sendiri merupakan tanda legalitas hubungan
sosial. Prinsip kecintaan dan pemenuhan kebutuhan ini benar-benar
bertentangan dengan permusuhan dan iri dengki. Islam menganggap
persahabatan dan kebersamaan dengan cara menunjukkan kecintaan sebagai
jalan pemenuhan kebutuhan tersebut. Menyatakan kesukaan adalah deklarasi
cinta. Seseorang berkata pada Imam Shadiq as. bahwa ia mencintai
sahabatnya. Lalu beliau berkata kepadanya:
“Maka nyatakanlah rasa cintamu itu, karena itu akan membuat cintamu lebih dalam dan tertanam kuat.”[140]
Dalam riwayat lain disebutkan:
“Tidak ada kebaikan pada orang yang tidak mencintai seseorang dan tidak dicintai.”[141]
Imam Ali as. juga berkata:
“Hati setiap lelaki begitu liar, barang siapa dapat menjinakkannya, maka ia akan menjadi sahabatnya.”[142]
Riwayat di atas menunjukkan kepada kita bagaimana
cara menarik kecintaan seseorang. Islam mengajarkan kita untuk
berlomba-lomba mengucapkan salam dan menunjukkan kecintaan sebagai bukti
bahwa Islam sangat mementingkan kecintaan terhadap sesama. Al Qur’an
menyebutkan bahwa salah satu sifat Rasulullah saw. yang dikenal adalah
pecinta umat dan penyeru kebaikan bagi mereka.[143]
Mengenai beliau Al Qur’an bercerita:
“Kerepotan-kerepotan yang kalian berikan kepadanya begitu berat tapi ia bersikeras untuk memberi petunjuk kepada kalian.”[144]
Dalam ayat lainnya juga disebutkan:
“Seakan-akan engkau (wahai Rasulullah) seperti orang yang dicabut nyawanya saat mereka tidak mau beriman.”[145]
Salah satu perkara yang penting dalam suatu
masyarakat adalah keseimbangan emosional. Setiap orang membutuhkan kasih
sayang dan perasaan sesamanya. Karena itulah Islam juga sangat
menekankan silaturrahmi. Dalam kumpulan kalimat-kalimat pendeknya Imam
Ali as. berkata: “Kehilangan kawan-kawan yang dicintai adalah
keterasingan.”[146]
Namun perlu diingatkan juga bahwa motivasi di balik cinta dan
persahabatan orang yang beriman adalah keridhaan Ilahi. Mereka membenci
dan mencintai karen kecintaan terhadap Tuhan mereka.
4. Kebutuhan akan kehormatan dan kemuliaan
Abraham Maslow berkata bahwa semua manusia, kecuali
orang-orang yang sakit jiwa, memiliki kecenderungan untuk menghormati
diri sendiri dan juga sesamanya. Kita dapat mengkaji masalah ini dalam
dua kategori terpisah:
1. Kecenderungan untuk memiliki kekuatan, keberhasilan dan kecukupan
2. Kepemimpinan dan kecenderungan untuk mendapatkan pengakuan (penghormatan orang lain terhadap individu)
Tergapainya kehormatan dan kemuliaan akan
menciptakan rasa percaya diri dan sebaliknya, orang yang tidak merasa
memiliki kemuliaan akan mewujudkan perasaan hina dan lemah.[147]
Berdasarkan fakta ini, kebanyakan dari prilaku-prilaku buruk besumber dari tidak dimilikinya kemuliaan dan kehormatan.
Freud berkata:
“Gangguan-gengguan kejiwaan harus dianalisa pada rasa percaya diri.”[148]
Penghormatan dan kemuliaan yang paling mendalam dan
sehat adalah penghormatan hak oleh orang lain terhadap seseorang, bukan
kemasyhuran lahiriah dan pujian-pujian bohong.
Dalam pembahasan ini, poin terpenting yang harus
kita perjelas adalah perbedaan pandangan Islam dan pandangan
materialisme terhadapnya; karena seorang materialis berusaha mendapatkan
kecintaan dan kekuatan juga penghormatan dari orang lain karena
dorongannya untuk menjadi lebih dari yang lainnya (bersaing dengan
sesamanya), namun seorang mukmin mencari kepribadian yang sesuai dengan
risalah Ilahi, karena dalam pandangan Islam kemuliaan adalah miliki
Tuhan, utusan-Nya, dan orang-orang yang beriman. Dalam salah satu doa
Imam Zainal Abidin as. disebutkan: “Tuhanku, berikanlah kemuliaan padaku
dan jauhkan rasa sombong dariku.”[149]
Islam melarang kita untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kemuliaan dan kehormatan
diri sendiri. Para Imam kita, meskipun mereka sesungguhnya mengenakan
pakaian-pakaian yang kasar, (saat bertemu banyak orang) mereka
melapisinya dengan pakaian yang bagus.[150]
Imam Ali as., dalam rangka membungkam mulut orang-orang kafir, secara terang-terangan membantu orang-orang miskin.[151]
Imam Ridha as. selalu menghias dirinya saat bertemu
banyak orang dan mengenakan pakaian yang indah. Namun saat berada di
rumah sendiri ia mengenakan pakaian yang kasar.[152]
Para Imam maksum memerintahkan umatnya untuk tidak
melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kemuliaan dirinya
di tengah-tengah masyarakat, karena: “Orang yang beriman adalah orang
yang mulia.”
Dengan penjelasan lain, seorang Muslim harus
menjaga image ke-Musliman nya, dan ini juga termasuk risalah beragama.
Imam Ali Zainal Abidin as. berkata dalam Sahifah-nya:
“Ya Tuhan, saat dalam keadaan yang darurat,
jadikanlah aku senantiasa berpegang teguh pada-Mu, dan saat aku
membutuhkan aku senantiasa meminta kepada-Mu, dan saat aku lemah aku
senantiasa bersandar pada-Mu, dan di saat yang membahayakan aku
senantiasa meminta pertolongan dari-Mu, dan jangan Kau biarkan aku
memohon kepada selain-Mu.”[153]
Dalam Al Qur’an kehormatan dan kemuliaan sangat
ditekankan sekali, karena manusia adalah makhluk terbaik di alam
semesta. Allah swt. berfirman:
“Dan Kami telah memuliakan keturunan Adam.”[154]
Karl memberikan penjelasan bahwa manusia lebih
berumur lama dan lebih giat berusaha daripada hewan-hewan lainnya, yang
mana dengan kekuatan berfikirnya lah manusia membangun peradaban seperti
yang dilihat sekarang ini.[155]
Imam Ali as. berwasiat kepada Imam Hasan as.:
“Kamu harus bijaksana dan tidak menjatuhkan dirimu
dalam kehinaan, meskipun kaupikir dengan kehinaan itu engkau akan
mendapatkan apa yang kau inginkan. Karena aku yakin tidak ada yang bisa
kau dapat sesuatu jika kau membayarnya dengan kemuliaan diri. Janganlah
menjadi budak dan pengabdi orang lain, karena Allah swt. telah
menciptakanmu sebagai orang yang merdeka.”[156]
Karena kemuliaan dan kehormatan diri inilah Al
Qur’an menyebut penciptaan manusia sebagai sebaik-baiknya penciptaan:
“Maka maha suci Allah, pencipta yang paling baik.”[157]
Oleh karena itu sikap kita perlu diperhatikan agar kemuliaan senantiasa terjaga:
“Saat ada pekerjaan-pekerjaan yang tidak penting, mereka melaluinya (tidak mengerjakannya).”[158]
“Saat orang-orang bodoh berbicara buruk kepada mereka, mereka tidak mempedulikannya.”[159]
Tentang pentingnya kemulian, cukup kita saksikan
bahwa Islam melarang kita untuk menjadi hamba selain Tuhan. Hanya Allah
swt. yang layak disembah dan sujud di hadapan-Nya. Tidak ada yang
memiliki hak disembah kecuali Allah swt, karena syiar Islam adalah
“Tiada Tuhan selain Allah swt.” Orang yang menginginkan kehormatan dan
kemuliaan harus tahu bahwa itu semua adalah milik-Nya.
“Jika (kalian) mengnginkan kemuliaan, sesungguhnya kemuliaan semuanya adalah milik Allah.”[160]
5. Kebutuhan akan pengetahuan (ilmu, pemahaman dan pembuktian)
Abraham Maslow memaparkan masalah kebutuhan manusia
terhadap pengetahuan dalam pembahasan aktualisasi diri dengan sudut
pandang yang lebih luas. Ia berkata:
“Pada tingkatan yang paling tinggi, manusia
membutuhkan ilmu pengetahuan dan makrifat untuk memenuhi rasa
keingintahuannya. Sejarah umat manusia telah memberikan contoh terbaik
untuk kita. Umat manusia di hadapan bahaya-bahaya besar kehidupan,
seperti halnya kematian, selalu mencari dan bertanya-tanya akan hakikat
sebenarnya, mereka tertarik pada fenomena-fenomena misterius yang tak
diketahui, namun di hadapan hal-hal yang sudah diketahui, mereka
menunjukkan reaksi kebosanan. Kebosanan dan rasa benci pada diri sendiri
semacam ini sering didapati pada golongan orang-orang cerdas namun
tidak memiliki aktifitas-aktifitas yang menantang mereka untuk maju.
Kita sering menemukan perempuan-perempuan berpotensi dan cerdas yang
tidak memiliki pekerjaan, lalu lambat laun tanda-tanda kebosanan dan
kebencian terhadap diri ini muncul pada mereka. Dengan penjelasan lain,
kita selalu bosan dengan sesuatu yang sudah kuno. Hal-hal yang
sebelumnya dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan kita, dengan cepat sifat
pemenuhan kebutuhan yang ada padanya sirna. Hal penting yang perlu
diingat di sini adalah memisahkan kebutuhan-kebutuhan pengetahuan dan
kebutuhan-kebutuhan aksi, karena kecenderungan pada pengetahuan pada
dasarnya mencakup kecenderungan aksi.”[161]
Dalam agama Islam diyakini bahwa pahala orang yang mati dalam keadaan menuntut ilmu adalah pahala orang yang mati syahid:
“Jika kematian datang pada seorang penuntut ilmu,
dan ia berada dalam keadaan ini, maka ia mati seperti matinya orang yang
syahid.”[162]
“Seorang yang alim berada pada satu tingkatan lebih
tinggi dari seorang syahid. Seorang syahid berada satu tingkatan lebih
tinggi daripada seorang abid (penyembah). Tingkatan seorang alim jika
dibandingkan dengan tingkatan semua makhluk di alam semesta seperti
tingkatanku jika dibanding dengan yang paling rendah di antara mereka.”[163]
“Di hari kiamat kelak ada tiga kelompok yang dapat memberikan syafaat: para nabi, para ulama dan para syuhada.”[164]
Ayat pertama yang diturunkan kepada Rasulullah saw. adalah ayat yang berkenaan dengan ilmu dan pena.[165]
Setelah berbicara tentang nikmat penciptaan, Allah swt. berbicara tentang ilmu.[166]
Dalam Al Qur’an juga disebutkan bahwa para malaikat bersujud di hadapan
nabi Adam as. setelah Allah swt. mengajarkan asma (nama-nama) kepadanya.[167]
Kedudukan ilmu dalam Islam begitu tingginya sehingga Allah swt. memerintahkan nabi-Nya untuk berkata:
“Tuhanku, tambahkan ilmu padaku.”[168]
Nabi Musa as. Meskipun beliau adalah seorang nabi,
tidak enggan memohon kepada nabi Khidir as. Untuk menjadi muridnya.
Perbincangan kedua nabi dalam Al Qur’an disebutkan seperti ini:
“Apakah aku boleh mengikutimu agar engkau memberiku pengetahuan dari ilmu landunni-mu?”[169]
Kata rusyda dalam ucapan nabi Musa as. menunjukkan
bahwa ilmu pengetahuan merupakan perantara untuk berkembang dan
sempurnanya manusia, bukan tujuan. Nabi Ibrahim as. dengan derajat
kemuliaan yang ia miliki, untuk mendapatkan keyakinan yang lebih kuat,
ia memohon kepada Allah swt. untuk menyaksikan bagaiamana Ia
menghidupkan mahkluk yang telah mati.[170]
Ini menunjukkan bahwa seorang nabi pun, setelah mencapai derajat
kemuliaan tertinggi, ia tetap berusaha mencapai derajat yang lebih
tinggi lagi, yaitu pengetahuan dan ketenangan jiwa yang dihasilkan
olehnya; yakni keyakinan memiliki berbagai tingkatan, dan dalam ayat di
atas nabi Ibrahim as. berusaha untuk mencapai tingkatan tertingginya.
Ketika para nabi mencapai derajat tinggi ilmu
ladunni, mereka melihat ketenangan jiwa mereka ada pada kelanjutan
pemahaman yang lebih tinggi. Pada saat itulah kewajiban manusia, sebagai
makhluk yang tidak mengetahui apa-apa selain sedikit saja, menjadi
jelas.[171]
Contoh yang ditunjukkan dalam Al Qur’an berkenaan dengan rasa
keingintahuan, adalah kisah Dzulqarnain. Setelah semua hal yang
dibutuhkan telah tersedia—“dan Kami telah memberinya segala sesuatu
sebagai wasilah dan perantara”—ia memulai perjalanannya menuju timur dan
barat. Kisah bendungan Ya’juj dan Ma’juj menunjukkan jiwa Dzulqarnain
yang pantang meneyerah dan selalu ingin tahu. Jika seandainya wasilah
dan segala hal yang dibutuhkan oleh Dzulqarnain waktu itu deberikan
kepada orang lain, belum tentu orang tersebut akan bangkit dan melakukan
perjalanan ke barat dan timur seperti yang telah dilakukan oleh
Dzulqarnain.[172]
6. Kebutuhan akan keindahan
Pada sebagian orang dapat ditemukan rasa butuh
terhadap keindahan. Orang-orang seperti ini akan merasakan
ketidaknyamanan saat berada di lingkungan yang penuh keburukan, dan
sebaliknya akan merasa bahagia bila berada di lingkungan yang indah.
Mereka orang-orang yang penuh rasa haus dan rindu, dan itu hanya dapat
dipenuhi dengan keindahan. Keadaan seperti ini kira-kira ada pada setiap
anak kecil yang sehat di setiap bangsa dan sejak zaman batu hingga
nanti.[173]
Menurut pakar psikologi, emosi keindahan adalah
salah satu dari empat aspek jiwa manusia yang mewujudkan berbagai seni.
Islam juga mementingkan hal ini. Dalam Al Qur’an disebutkan:
“Katakanlah, siapa yang telah mengharamkan hiasan-hiasan (yang diberikan
oleh) Tuhan?”[174]
Keindahan dan hiasan yang diberikan oleh Tuhan yang dijelaskan dalam
ayat tersebut memberikan nilai kesucian pada keindahan. Lebih dari itu,
ada anjuran dalam Islam jika seseorang mukmin memasuki masjid, hendaknya
ia bersama dengan hiasan-hiasannya:
“Wahai anak Adam, ambillah hiasan kalian dari setiap masjid.”[175]
Sebagaimana yang dapat kita fahami, dalam ayat di
atas lawan bicara Allah swt. adalah anak cucu Adam, yakni seua manusia.
Jadi dianjurkan bagi setiap orang untuk membawa hiasannya bersamanya
saat melangkahkan kaki di masjid. Imam Mujtaba as. selalu mengenakan
pakaian terbaiknya saat melakukan ibadah shalat. Ketika ia ditanya, ia
menjawab:
“Allah swt. adalah dzat yang maha indah dan Ia
mencintai keindahan. Aku mengenakan pakaian yang indah untuk beribadah
kepada Tuhanku dan Ia yang telah memerintahkan kita untuk membawa
perhiasan kita saat pergi ke masjid.”[176]
Di riwayat lainnya disebutkan:
“Sesungguhnya Allah swt. indah dan Ia mencintai
keindahan. Ia suka melihat tanda-tanda nikmat yang telah Ia berikan pada
hambanya.”[177]
Tuhan yang telah memberikan rasa cinta kepada
keindahan ini. Di saat kita melihat segala sesuatu pada unsur
keindahannya, itu saja sudah termasuk ibadah. Seorang yang beriman saat
menyaksikan keindahan, selain ia menikmatinya, ia juga merasa dekat
dengan Tuhannya. Akan tetapi, menikmati keindahan dan mengambil
perhiasan bagi diri sendiri, ada aturan-aturannya. Beberapa aturan dalam
Islam terkait dengan masalah ini adalah:
A. Tidak menarik perhatian secara berlebihan
Dalam sebuah riwayat kita membaca:
“Sesungguhnya Allah swt. tidak menyukai pakaian kesombongan.”[178]
“Kehinaan seseorang cukup dengan saat ia mengenakan pakaian yang membuatnya sombong (dan menjadi perhatian banyak orang).”[179]
“Sebaik-baiknya pakaian di setiap zaman adalah pakaian zaman itu.”[180]
B. Tidak berlebihan
Kita harus memperhatikan haramnya sikap berlebihan
dalam memanfaatkan nikmat-nikmat Tuhan dan menggunakan
perhiasan-perhiasan. Oleh karena itu kita diharamkan untuk memakai
perhiasan dengan berlebihan apa lagi bertujuan untuk kesombongan dan
bangga diri. Al Qur’an mensifati orang-orang penyembah dunia seperti
ini:
“Apakah kalian membangun simbol-simbol syahwat dan
nafsu di tempat-tempat yang tinggi dan istana-istana yang kokoh;
seakan-akan kalian akan hidup di dalamnya selamanya?!”[181]
7. Aktualisasi diri
Abraham Maslow berkata:
“Seorang musisi akan mendapatkan ketenangan dalam
jiwanya saat ia memainkan alat musiknya. Begitu juga seorang pelukis
akan mendapatkan ketenangan saat ia menggambar. Penyair juga seperti itu
saat ia melantunkan syairnya. Setiap orang harus berupaya menjadi apa
yang ia memang seharusnya. Dorongan dan kebutuhan inilah yang kita sebut
aktualisasi diri. Istilah ini pada awal kalinya digunakan oleh Kurt
Goldstein sebagai sebutan untuk dorongan manusia dalam mewujudkan
potensi-potensinya; yang mana pewujudan potensi tersebut, ada pada diri
setiap manusia, meskipun bersifat potensial. Dorongan seperti ini yang
menciptakan dorongan-dorongan sepert berusaha untuk lebih dari ideal,
menjadi pahlawan, menjadi inovator, pelukis ulung, dan seterusnya. Namun
perlu diingat bahwa pemenuhan kebutuhan ini bergantung pada pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan di tingkatan sebelumnya: kebutuhan fisiologis,
keamanan, cinta dan kasih sayang, serta kemuliaan.”[182]
Dorongan dan kebutuhan terhadap aktualisasi dapat
disaksikan pada orang-orang yang kecenderungannya pada kesempurnaan dan
maksimalisasi prilaku begitu kuat. Ciri-ciri orang yang haus
kesempurnaan adalah:
1. Tidak mencari pekerjaan yang mudah.
2. Mencari pekerjaan yang dapat dibandingkan dengan pekerjaan orang lain.
3. Gigih dalam bekerja.
4. Tingkatan harapan-harapannya tinggi.
5. Mengkontrol pekerjaan dan selalu waspada.
Mengenai aktualisasi dalam pandangan Islam, dapat
dijelaskan seperti ini: umat manusia merupakan tambang emas dan perak,
lalu para nabi datang untuk mengeluarkan emas dan perak itu. Dalam
sebuah riwayat disebutkan:
“Manusia adalah tambang, seperti tambang emas dan perak.”[183]
Dalam Al Qur’an diterangkan bahwa tidak ada makhluk
selain manusia yang derajat tertinggi dan terendahnya begitu
menakjubkan. Derajat tertinggi manusia adalah sebagai makhluk yang mana
para malaikat bersujud di hadapannya,[184]
menjadi khalifah Allah swt. di muka bumi,[185]
para pengemban amanat Ilahi,[186]
dan makhluk yang telah diciptakan dengan bentuk yang terbaik.[187]
Ketika manusia selalu melakukan amal yang saleh, ia akan mencapai derajat makhluk yang tertinggi.[188]
Manusia dapat mencapai suatu tingkatan yang mana ia hanya akan melihat
Tuhan karena begitu dekat dengan-Nya: “Maka jadilah ia dekat sejarak dua
ujung busur panah atau lebih dekat lagi.”[189]
Pada peristiwa mi’raj Rasulullah saw. begitu dekat dengan Allah swt. sampai malaikat Jibril berkata padanya:
“Jika aku naik lebih tinggi lagi, sayap-sayapku akan terbakar.”[190]
Dalam perjalanan maknawi ini, diri manusia tidak dapat ditukar dengan selain surga. Imam Ali as. berkata:
“Harga diri kalian tidak kurang dari surga. Maka janganlah kalian jual diri kalian kecuali untuk mendapatkan surga.”[191]
Dalam pandangan ini, diri manusia merupakan
ringkasan alam semesta, sebuah wujud di hadapan alam semesta yang luas.
Dalam sebuah kitab syair yang dinisbatkan kepada Imam Ali as. terdapat
sebuah syair yang isinya:
“Apakah engkau mengira dirimu sesuatu yang kecil? Padahal dalam dirimu terdapat alam yang luas.”[192]
Adapun derajat terrendah manusia adalah derajat yang lebih hina dari hewan.[193]
Manusia hatinya bisa lebih keras dari kerasnya batu.[194]
Paling rendahnya derajat manusia ini disebut dalam Al Qur’an sebagai Asfalus Safilin,[195]
tingkatan dimana manusia-manusia hina jatuh kedalamnya.[196]
Dalam perjalanan ini, baik perjalan menuju tingkata
tertinggi ataupun tingkatan terhina, manusia bebas berkehendak. Apapun
yang ditanam manusia itulah yang kelak akan ia dapatkan hasilnya. Namun
sejujurnya tidak ada yang dapat didapat oleh manusia selain apa yang
telah diusahakannya. Allah swt. berfirman: “Dan bahwasannya seorang
manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”[197]
Kata sa’y dalam bahasa Arab berarti berjalan dengan cepat dan berusaha.
Al Qur’an menitik beratkan usaha, bukan amal; yakni yang terpenting
adalah usaha, bukan sampai atau tidaknya kepada tujuan; yang menjadi
asas adalah taklif, bukan hasil amal perbuatan. Apa yang dipahami dari
ayat adalah akherat, namun tolak ukur sebenarnya adalah keduanya. Dalam
ayat lainnya disebutkan:
“Katakanlah bahwa tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya (prilaku dan kepribadiannya).”[198]
Kata syakilah pada ayat di atas berakar pada kata
syakl yang berarti menjinakkan hewan. Hubungan antara prilaku dan
malakah (keadaan telah menjadi tetap dan mendarahdaging) seperti
hubungan antara tubuh dan jiwa. Berbagai penelitian telah membuktikan
bahwa di antara keduanya terdapat suatu keterikatan khusus. Syakilah
(keadaan) manusia ada dua macam:
A. Terwarisi dan sudah ada sejak manusia dilahirkan.
B. Tergapai dan didapatkan karena usaha, lalu menetap dan mendarahdaging pada manusia.
Yang menjadi penentu amal perbuatan manusia adalah
malakah-malakah macam kedua, oleh karena itu pahala dan siksa yang
didapat manusia bertumpu pada ikhtiar dan kehendak diri manusia sendiri,
bukan paksaan.[199]
Berdasarkan apa yang telah lalu, aktualisasi diri
dalam tingkatan tertinggi manusia merupakan hal yang terpuji dan itulah
tujuan diutusnya para nabi, karena agama memerintahkan kita untuk
memandang diri kita dengan pandangan positif, kita harus merasakan
kemerdekaan dan kemandirian, tidak boleh memandang diri dengan pandangan
kehinaan, kelemahan dan keraguan.
Namun pembahasan aktualisasi diri harus disertai
dengan prinsip penerimaan keadaan dan penilaian hakiki akan diri sendiri
dan manusia harus selalu berada pada keadaan khauf wa raja (keadaan
takut dan harapan). Karena mungkin saja manusia tidak dapat mengemban
amanat ini lalu dikenal dengan dzalum (amat zalim) dan jahul (amat
bodoh). Dalam doa Makarimul Akhlak, Imam Zainal Abidin as. berkata:
“Tuhanku, janganlah Engkau tinggikan derajatku
diantara manusia kecuali pada saat yang sama Engkau ciptaan rasa hina
bagi diriku sendiri di dalam hati ini.”[200]
Berdasarkan prinsip penerimaan keadaan, manusia
merasa lemah di hadapan kehendak dan keputusan Tuhan. Prinsip ini tidak
bertentangan dengan aktualisasi diri dan pada dasarnya merupakan
penilaian hakiki terhadap diri sendiri; penilaian yang bertumpu pada
tawakal dan harapan pada kekuatan Allah swt. yang tak akan sirna dan
juga usaha, rasa cukup serta kemerdekaan dan akan mengantarkannya kepada
tujuan yang hakiki.
8. Kebutuhan spiritual (penyembahan)
Abraham Maslow berkata:
“Kecenderungan pada agama dan falsafah mendunia
yang membuat seseorang yakin bahwa alam semesta dan umat manusia yang
tinggal di dalamnya adalah sebuah keutuhan yang teratur dan memuaskan,
pada kadar tertentu memiliki hubungan dengan kebutuhan manusia akan
keamanan. Di sini kita menganggap agama dan falsafah sebagai kebutuhan
akan keamanan.”[201]
William James dalam buku Din va Ravan (Agama dan Jiwa) berkata:
“Dalam kebanyakan kitab-kitab suci agama-agama, ada
tiga hal yang begitu dipentingkan: qurban atau mempersembahkan tumbal,
pengakuan dosa atau taubat, dan yang terakhir doa.”[202]
Pemberian tumbal untuk tuhan-tuhan dapat kita saksikan pada agama-agama primitif manusia.
Salah satu sisi kejiwaan manusia yang paling
penting dan dapat dilihat sejak dahulu kala hingga sekarang adalah
penyembahan. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan
bahwa di manapun dan kapanpun ditemukan manusia, di situ juga ada yang
namanya ibadah dan penyembahan, meskipun obyek yang disembah
berbeda-beda satu sama lain. Para nabi datang tidak untuk mengajarkan
penyembahan kepada umat manusia, namun mereka mengajarkan bagaimana cara
menyembah serta menghindarkan manusia dari kesyirikan. Menurut
kebanyakan ulama, umat manusia pada mulanya adalah umat yang bertauhid,
lalu lambat laun menyimpang dan menjadi musyrik. Naluri untuk menyembah,
atau disebut juga naluri beragama, terdapat pada diri setiap manusia.[203]
Enstein setelah mengkategorikan jalan-jalan
religius dan agama menjadi tiga kelompok, menerangkan bahwa kelompok
ketiga adalah “ajaran eksistensi”. Ia berkata:
“Di jalan ini, dalam diri seseorang akan muncul
sedikit percikan spiritualitas di balik perkara-perkara materi yang
dihadapinya. Ia akan menganggap dirinya bagaikan sebuah sangkar yang
memenjarakannya. Ia ingin terbang dari sangkar itu dan menggapai hakikat
alam semesta sebagai satu eksistensi.”[204]
Penelitian seorang psikolog Inggris, Hendri Lang,
yang dilakukan terhadap puluhan ribu orang stres dan pelaku kejahatan
membuktikan bahwa orang-orang yang memiliki keyakinan pada suatu agama,
atau orang-orang yang terikat pada suatu jenis ibadah, memiliki
kepribadian manusiawi yang lebih tinggi dan jika dibandingkan dengan
orang-orang yang tidak beriman dan tak pernah beribadah, mereka lebih
memiliki kemulian.[205]
Para peneliti Pusat Penelitian Psikologi
Universitas Saint Louis dalam buku Faktor-Faktor yang Terlupakan dalam
Kesehatan Jiwa menulis:
“Orang-orang yang paling tidak seminggu sekali pergi ke gereja, lebih sedikit mengalami gangguan kejiwaan.”[206]
Dalam hal ini Syahid Muthahari juga berkata:
“Berdoa dan beribadah adalah tabib untuk jiwa kita;
yakni jika olahraga penting untuk kesehatan kita, jika air bersih
penting untuk disediakan di rumah, begitu juga dengan doa dan ibadah.
Jika seseorang menyisakan beberapa saat dalam sehari untuk berdoa dan
menengadahkan kepalanya kepada Allah swt., betapa hatinya akan menjadi
bersih.”[207]
Manusia secara alaminya ketika menghadapi kesusahan
ia akan bersandar pada kekuatan supranatural. Dalam Al Qur’an
disebutkan bahwa ketika orang-orang telah putus asa pada
pertolongan-pertolongan yang bersifat materi, barulah mereka mengingat
Tuhan dan meminta pertolongan dari-Nya:
“Dan ketika manusia berada dalam tekanan mara
bahaya, saat itu mereka mau berdoa kepada-Ku baik dalam keadaan duduk
atau berdiri.”[208]
Dalam pandangan Al Qur’an, tujuan dari penciptaan manusia dan jin adalah ibadah:
“Dan tidaklah Kami menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah pada-Ku.”[209]
Karena ibadah adalah puncak kesempurnaan manusia
dan kedekatannya dengan sang Pencipta serta bentuk kepasrahan di
hadapan-Nya. Ibadah adalah seorang hamba menyesuaikan dirinya dengan
sifat-sifat jamal dan sifat kamal lalu terbang bermi’raj dengan
perantara shalat.[210]
Imam Ali as. berdoa kepada Allah swt. seperti ini:
“Ya Allah, cukup menjadi kebanggaan bagiku karena aku adalah hamba-Mu dan cukup bagiku merasa mulia karena Engkau-lah Tuhanku.”[211]
Al Qur’an menceritakan kisah pertama kalinya terjadi pembunuhan di muka bumi:
“Saat mereka berdua mempersembahkan korban
(berqurban) lalu diterima salah satu dari mereka dan yang lain tidak
detirima, lalu (orang yang tidak diterima korbannya) berkata “Aku
sungguh akan membunuhmu.”[212]
Dalam ayat di atas diterangkan bahwa penyebab rasa
hasud pada diri Qabil adalah tidak diterimanya persembahan. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa motivasi pertama kali pembunuhan yang
pernah terjadi di dunia ini adalah tidak terpenuhinya kebutuhan
beribadah. Kesalahan utama Qabil saat itu adalah, ia lupa bahwa syarat
diterimanya peribadatan adalah ketaqwaan, bukan ancaman dan tekanan.[213]
Maslow, dalam buku Ofoqhaye Valatar Az Fetrat e
Ensan (Ufuk-Ufuk yang Lebih Tinggi dalam Fitrah Manusia), menjelaskan
sekumpulan kebutuhan-kebutuhan naluriah (fitri) manusia yang tinggi.
Kebutuhan-kebutuhan fitri tersebut akan muncul setelah terpenuhinya
silsilah kebutuhan fisiologis, keamanan, cinta dan kasih sayang, dan
aktualisasi diri. Kebutuhan-kebutuhan yang dimaksud adalah:
1. Kebenaran (kejujuran, hakikat, tiadanya keraguan, keanggunan, keikhlasan)
2. Kebaikan (berbuat baik, ideal, bertindak sepatutnya, selalu menuntut kebaikan)
3. Keindahan (benar, elok, sederhana, kaya, sempurna)
4. Keumuman (persatuan, kesatuan, hubungan timbal balik, tiadanya perpecahan)
5. Hidup (motifasi diri, aksi sempurna, perubahan dalam ketetapan)
6. Kesatuan (kriteria pribadi, kekhususan, tak dapat diperbandingkan)
7. Kesempurnaan (meletakkan segalanya pada tempat yang seharusnya, menjadi sebagaimana yang seharusnya)
8. Sempurna (meyakinkan, tanpa kekurangan)
9. Keadilan (adil, layak, tidak memihak, keteraturan)
10. Kesederhanaan (apa adanya dan tidak membuat-buat)
11. Kekayaan (nilai lebih, pentingnya segala hal)
12. Kemudahan (tak perlu usaha, beriwibawa dan berkualitas)
13. Kesuburan (rekreasi, keceriaan, disibukkan)
14. Rasa Cukup (tidak butuh orang lain, menguasai lingkungan, identitas)[214]
.
Bab 3: Faktor-faktor Tekanan Jiwa
Faktor-Faktor Tekanan Jiwa
Kehidupan manusia selalu diisi dengan peristiwa-peristiwa manis dan pahit. Aktifitas yang berkepanjangan, suara bising, polusi udara, bahaya-bahaya yang hampir menimpa, keributan dalam rumah tangga, pergulatan sosial dan politik, adalah bagian dari faktor-faktor tekanan jiwa. Fase kecemasan dalam stres dapat dimulai dari faktor-faktor eksternal maupun internal, atau gabungan dari keduanya. Faktor-faktor stres mungkin bersumber dari lingkungan, seperti polusi suara, atau dari keadaan sosial, seperti padatnya populasi, atau mungkin juga dari diri sendiri, seperti kenangan-kenangan buruk dan harapan yang tak tepat. Sebagian dari permasalahan-permasalahan pribadi yang dapat menimbulkan stres pada seseorang adalah:1. Kacaunya keseimbangan hayati badan
Istilah “keseimbangan hayati” pada mulanya dipergunakan dalam ilmu fisika, kimia dan fisiologi, lalu lambat laun juga sering dipakai dalam ilmu psikologi dan sosiologi. Setiap makhluk hidup, meski bagian terkecil seperti sel-sel hewan dan tumbuhan, berada pada jalur keseimbangan hayati, dan keseimbangan hayati itulah yang mewujudkan keseimbangan yang baik pada insting kehidupan, pertumbuhan dan kematian.Secara ringkasnya dapat dikatakan bahwa aksi asasi “aku” adalah menjaga keseimbangan antara dua keteraturan hayati manusia: keteraturan fisiologis dan keteraturan psikis, yang mana keduanya menyatu pada kesatuan yang disebut kepribadian. Oleh karena itu, “aku” selalu berada di bawah tekanan dan dorongan naluri, kebutuhan-kebutuhan fisikal, dan desakan-desakan yang timbul dari faktor lingkungan, dan itu semua menyebabkan ketertekanan jiwa.[215]
Pada mulanya, Walter Cannon pada tahun 1932 mencetuskan teori keseimbangan ini dan semenjak itu marak dibahas. Ia menyebut “stabilitas internal” sebagai “keseimbangan hayati”, karena keseimbangan hayati bersifat melawan segala abnormalitas organisme yang disebabkan oleh faktor-faktor eksternal dan internal; dengan penjelasan lain, keseimbangan hayati bertugas untuk memberikan bantuan pada organisme untuk tetap stabil di hadapan tekanan-tekanan. Selye dan rekan-rekannya pernah menjelaskan bagaimana terjadinya kekacauan dalam keseimbangan hayati kemudian reaksi-reaksi psikis muncul akibat kondisi yang menekan.[216] Kondisi-kondisi yang mana keseimbangan hayati akan mengalami kekacauan di dalamnya diantaranya adalah:
A. Kelelahan
Kekacauan keseimbangan hayati yang muncul akibat faktor-faktor ringan seperti kelelahan atau faktor-faktor yang lebih berat seperti stres melahirkan dan penyakit, dapat menimbulkan stres. Banyak dilakukan penelitian biologis untuk mengetahui perbedaan antara kelelahan dan kelemahan. Rasa lelah biasanya tersembunyi di sela-sela aktifitas lalu lambat laun menimbulkan efek-efeknya yang membahayakan. Sebagian orang dalam kondisi tertentu ingin mengerjakan berbagai macam pekerjaan dalam waktu yang singkat. Hasil dari kondisi seperti ini adalah amarah dan emosi.Jalan keluar yang paling mendasar adalah apa yang dijelaskan oleh salah seorang komedian yang bernama Pierlac:
“Jika di hari-hari libur kita tidak bekerja, maka kita tidak akan merasa kelelahan.”[217]
Kelelahan dalam pandangan Al Qur’an
Dalam Al Qur’an, Allah swt. mengisyarahkan ketenangan malam dengan berfirman:“Dialah yang telah menjadikan malam bagi kalian sebagai pakaian yang nyaman dan tidur sebagai penenang.”[218]
Ayat di atas, dan juga ayat-ayat yang serupa,[219] menunjukkan bahwa Allah set. menciptakan malam agar umat manusia dapat beristirahat di dalamnya setelah seharian bekerja keras dan kelelahan. Rasa lelah adalah sebab terbesar yang mendorong manusia untuk beristirahat dan tidur sehingga tubuhnya dapat memperbaharui energi dan kekuatan dan bangun kembali dengan penuh semangat dan kebugaran untuk menjalankan aktifitas keseharian. Pada peristiwa perang Badar, saat ketakutan menyelimuti Muslimin, Allah swt. melenyapkan ketakutan tersebut dengan perantara tidur:
“(Ingatlah) saat Allah menjadikan kalian mengantuk sebagai sesuatu penentraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dari hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kakimu.”[220]
Tentang ketenangan yang didapat di malam hari, Al Qur’an menjelaskan:
“Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku jika Allah menjadikan untukmu siang itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam kepadamu yang kamu beristirahat padanya? Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”[221]
Jadi siang dan malam diciptakan untuk aktifitas dan istirahat. Dalam ajaran kita, kita disarankan untuk tidur sebentar di pertengahan siang (tidur qailulah) dan dilarang tidur di antara terbitnya fajar dan menyingsingnya matahari.[222]
Dalam Islam kita dilarang untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di luar kemampuan tubuh dan jiwa kita, karena tubuh dan jiwa saling terikat dan memberikan dampak satu sama lain. Imam Ali as. berkata:
“Sesungguhnya hati ini dapat bosan sebagaimana tubuh dapat lelah.”[223]
Oleh karena itu para Imam kita menyarankan agar kita hanya melakukan ibadah-ibadah wajib saja jika kita sedang lelah,[224] kita segarkan hati kita dengan ilmu dan hikmah,[225] dan setelah hati kita ceria kembali, barulah kita mengerjakan ibadah-ibadah mustahab (sunah).
Berdasarkan hal ini, Islam tidak mewajibkan puasa kepada orang-orang yang sakit dan lemah fisiknya.[226] Sesuai dengan ajaran Al Qur’an, jika berpuasa dapat membahayakan seseorang, maka orang tersebut tidak boleh berpuasa dan haram hukumnya. Kewajiban jika menyebabkan seseorang tertekan dan kesusahan, maka kewajiban itu akan gugur.[227] Dalam ayat 206 surah Al Baqarah kita membaca:
“Allah tidak memberikan beban (tugas dan kewajiban) kepada hamba-Nya di luar kemampuannya.”
Alasannya jelas sekali, karena tujuan dari tugas dan kewajiban bukanlah membuat manusia menjadi susah dan repot:
“Tuhan menginginkan kemudahan bagi kalian, dan Ia tidak menginginkan kesusahan untuk kalian.”[228]
Oleh karena itu Islam mengharamkan kerahiban, bepergian tanpa tujuan dan diam tanpa maksud tertentu.[229]
Seorang Muslim harus berusaha sedemikian rupa agar ada keseimbangan ruhani dan jasmani dalam aktifitas-aktifitas sehariannya supaya tidak kelelahan. Menurut Imam Ali as., seyogyanya seseorang membagi waktu sehari semalamnya menjadi tiga bagian: bagian pertama khusus untuk beribadah kepada Allah swt., bagian kedua untuk mencari nafkah halal, dan ketiga untuk beristirahat serta menikmati yang halal. Beliau berkata:
“Tidak benar seorang yang berakal kecuali melangkah pada tiga hal: membenahi urusan kehidupan, membenahi urusan akherat, dan menikmati kenikmatan-kenikmatan yang tidak haram.”[230]
Al Qur’an, sebagaimana ia melarang kita untuk shalat dalam keadaan mabuk,[231] ia juga menyebut orang-orang yang shalat dengan penuh kemalasan sebagai orang munafik.[232] Dapat dipastikan terdapat ikatan kuat antara tubuh dan jiwa, serta pikiran dan perbuatan; jika hubungan keduanya tidak selaras, sangat besar kemungkinannya timbul gangguan kejiwaan.
B. Pesimisme dalam kesehatan
Pesimisme adalah fenomena batin yang berkenaan dengan pandangan pribadi seseorang serta kemampuan berprilakunya.[233] Karena pesimisme berbeda dengan penyakit, maka mungkin sekali pesimisme dialami oleh orang yang benar-benar sehat (secara fisik).[234] Di era moderen ini, meskipun dalam dunia kedokteran terjadi perkembangan dan kemajuan yang amat pesat, meskipun umur manusia dapat diperkirakan bisa mencapai 74 tahun yang mana sebelumnya harapan untuk hidup bagi manusia hanya sampai usia 47 tahun, namun rasa percaya diri manusia akan kesehatannya merosot turun. Jika dibandingkan oleh orang-orang yang hidup enam puluh tahun yang lalu, kebanyakan orang di era ini memiliki pesimisme terhadap kesehatan dirinya sendiri. Hal ini padahal pada enam puluh tahun terakhir antibiotik telah dikenali.[235]Ilmu kedokteran telah mengembangkan berbagai jalan penyembuhan bagi kebanyakan besar penyakit, dari penyakit-penyakit yang gawat hingga penyakit yang sederhana, namun meskipun begitu perasan pesimis pada setiap orang kian bertambah tinggi. Mungkin alasannya adalah rendahnya tingkat kemampuan setiap orang untuk melawan penyakit dan tingginya tingkat standard kesehatan, pengetahuan yang lebih banyak akan jenis-jenis penyakit atau panjangnya umur.[236]
Mengira sakit: orang yang menyangka dan menganggap dirinya sakit, meskipun mereka sehat, mereka benar-benar merasakan penyakit itu, namun kebanyakan penyakit-penyakit tersebut bersifat psikis. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa para pasien yang tanpa merasakan sakit pada anggota badan tertentu namun ia menunjukkan tanda-tanda rasa sakitnya, sangat lebih tertekan daripada para pasien yang penyakit-penyakitnya jelas bagi mereka.[237]
Mengenai pesimisme dalam kesehatan ini dapat dikatakan: dalam Islam terdapat satu jalan yang dapat menjauhkan setiap orang dari tekanan-tekanan jiwa, jalan tersebut adalah yakin bahwa apa-apa yang tidak ditakdirkan oleh Allah swt. untuk kita tidak akan pernah sampai kepada kita (kita tidak akan mendapatkannya) dan sehendakna orang-orang beriman bertawakal kepada-Nya.[238] Karena ketika diyakini bahwa selain sebab-sebab materi ada hal-hal ghaib yang dapat menentukan takdir manusia, maka api harapan dalam hati orang-orang yang beriman tetap menyala. Imam Zainul Abidin as. dalam doanya yang terkenal, Doa Abu Hamzah Tsumali, berdoa kepada Tuhannya:
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu akan suatu keyakinan yang benar agar aku mengerti bahwa tidak ada yang akan menimpaku kecuali apa-apa yang telah Engkau takdirkan.”
Dengan keyakinan yang seperti ini, manusia akan mencapai tingkat kesesuaian diri; dalam diri seorang manusia akan muncul rasa pasrah dan kerelaan dan dengan demikian terwujudlah keseimbangan emosional. Orang-orag yang beriman juga mengakui bahwa selain dengan bertawakal dan mengingat Allah swt. hati tidak akan bisa menjadi tenang[239] dan barang siapa melupakan Allah, maka hidupnya akan terasa sempit dan susah.[240]
C. Stres melahirkan[241]
Kelahiran buah hati adalah kenangan besar yang paling membekas di hati setiap wanita; kenangan yang dipenuhi dengan begitu dahsyat tekanan jiwa dan emosi. Pada mulanya seorang wanita merasakan kebahagiaan dan kegembiraan, lalu muncul rasa takut dan kekhawatiran, ketakutan akan apa yang mungkin menimpanya di kemudian hari. Bagi sebagian ibu, terdengarnya tangisan seorang bayi yang lemah begitu menghkawatirkan. Terkadang seorang ibu secara tidak jelas merasa takut dan malu. Stres yang muncul di saat melahirkan ini terkadang sampai membuat sang ibu terdorong untuk membunuh bayinya. Bagi sebagian orang itu, setelah dilaluinya masa-masa pengasingan dan kebingungan yang lama, menjalani masa kehamilan yang disertai rasa takut dan malu.[242] Al Qur’an begini mengisahkan rasa sakit yang diderita oleh Sayidah Maryam as. saat melahirkan putranya:“Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, ia berkata: “Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan.” Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: “Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggurkan buah yang masak kepadamu, maka makan, minum, dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang maha pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini.”[243]
Kesedihan Sayidah Maryam as. lebih dikarenakan tuduhan-tuduhan masyarakat yang tidak berjiwa sehat. Mengenai sebab kesedihan Sayidah Maryam as., Imam Shadiq as. berkata:
“Karena ia (Maryam as.) tidak melihat satu orangpun di antara kaumnya yang memiliki jiwa mulia yang dapat menyelamatkannya dari tuduhan dan fitnah.”[244]
Imam Ali as. menjelaskan bahwa Sayidah Maryam as. memakan buah kurma untuk memulihkan kesehatan tubuhnya:
“Tidak ada makanan yang lebih baik dari kurma untuk dimakan oleh seorang ibu yang sedang mengandung. Karena Allah swt. berfirman kepadanya: “Goyangkanlah pangkal pohon kurma itu ke arahmu…”[245]
Ada pula riwayat dari beliau yang menukil dari perkataan Rasulullah saw. mirip dengan riwayat sebelumnya, begitu pula Allamah Thabathabai dalam Al Mizan menerangkan bahwa di kalangan Ahlu Sunnah juga banyak riwayat serupa dan banyak lagi riwayat-riwayat di kalangan syiah mengenai masalah ini dan silsilah periwayatannya sampai pada Imam Baqir as.
Oleh karena itu, kenyataan stres melahirkan yang dialami Sayidah Maryam as. memang ada, begitu pula tekanan jiwa yang disebabkan tuduhan-tuduhan kaumnya.
D. Penyakit kronis
Penyakit, dari segi parahnya dan lamanya diderita, berada pada urutan pertama di antara faktor-faktor tekanan jiwa.[246] Kecacatan dan tekanan jiwa dapat menyebabkan tekanan jiwa dalam kadar yang tinggi dan bahkan dapat mengalahkan kesabaran orang yang paling sabar sekalipun.Para penderita penyakit kronis tentu berusaha sekuat tenaganya dan menghabiskan waktu dan upaya agar dapat hidup seperti orang sehat biasa. Namun gangguan yang diakibatkan penyakit mereka tak jarang membuat diri mereka tersingkirkan dan terasing dari aktifitas sosial dan hubungannya dengan kerabat-kerabatnya pun juga terganggu, dan bahkan sampai-sampai mereka sama sekali tidak bisa berhubungan dengan orang lain. Dalam kondisi ini, biasanya sebagian dari anggota keluarga semakin dekat dengan penderita dan sebagian yang lain merasa keberadaan penderita adalah sumber kesusahan yang memberatkan bagi keluarga.[247]
Contoh penyakit kronis yang dikisahkan dalam Al Qur’an adalah penyakit yang diderita oleh nabi Ayub as. Dalam buku ini kita akan membahas sepenggal dari kisah tersebut yang sekiranya berhubungan dengan pembahasan kali ini. Oleh karena itu kita hanya akan membahas tekanan-tekanan jiwa yang disebabkan penyakit nabi Ayub as. terhadap dirinya, keluarganya, istri dan kerabatnya serta bagaimana dampaknya bagi hubungan beliau dengan sesamanya. Beliau adalah seorang nabi keturunan nabi Ibrahim as.[248] Kisahnya yang diceritakan dalam Al Qur’an adalah sebagai berikut:
“Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru Tuhan-Nya: “Sesungguhnya aku diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan.” (Allah berfirman): “Hantamkanlah kakimu; inilah air yang sejuh untuk mandi dan untuk minum. Dan Kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran. Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya).”[249]
Imam Ja’far Shadiq as. menjelaskan sebab kesengsaraan nabi Ayyub as. dan berkata:
“Nabi Ayub as. mengalami kesengsaraan seperti itu bukanlah karena ia telah mengkufuri nikmat, bahkan karena ia telah mensyukuri nikmat Allah. Karena sebelumnya syaitan berkata keada Allah swt.: “Engkau melihat Ayyub sebagai hamba yang selalu bersyukur karena Engkau telah memberikan banyak nikmat kepadanya. Jika Engkau mencabut nikmat-nikmat-Mu darinya, maka pasti akan terbukti bahwa ia bukanlah hamba yang bersyukur.” Lalu untuk membuktikan kepada syaitan bahwa nabi Ayub as. benar-benar hamba yang bersyukur, Ia mencabut nikmat-nikmat-Nya. Ia mencabut nikmat anak-anak darinya, dan ia tetap bersyukur. Lalu Ia mencobanya dengan sakit selama bertahun-tahun, sakit parah yang membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya tidur di ranjangnya, namun kesabarannya tak pernah berkurang. Kemudian syaitan dengan bentuk rahib mendatangi rahib-rahib bani Israil dan bersama-sama mereka mendatangi nabi Ayub as. Mereka berkata kepadanya: “Dosa apa yang telah engkau lakukan sehingga engkau mendapat bala seperti ini?” Nabi Ayub as. berkata: “Demi Allah aku tidak berbuat dosa; aku selalu berada dalam keadaan taat kepada-Nya dan saat aku makan selalu ada anak-anak yatim dan orang miskin yang makan bersamaku.” Nabi Ayub as. juga bersabar akan tuduhan-tuduhan. Kemudian Allah swt. mengembalikan nikmat-nikmat-Nya kepadanya dan penyakit-penyakitnya disembuhkan dengan perantara sebuah mata air. Lalu supaya tidak melanggar janjinya dan sekaligus istrinya tidak tersakiti, Allah memeberikan jalan dengan cara mempergunakan seikat rumput dan biji-biji gandum.”
Dari kisah nabi Ayub di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa penyakit kronis terkadang membawakan keterasingan dari masyarakat, terkadang juga cela dan hinaan sesama, dan bahkan kebencian orang yang terdekat sekalipun. Satu-satunya jalan mengatasi penyakit kronis adalah bersabar. Karena betapa penyakit-penyakit berat yang diderita oleh hamba yang beriman merupakan bentuk kasih sayang dan ujian dari Allah swt.[250] Berdasarkan yang diriwatkan dari Imam Shadiq as., para nabi lebih banyak merasakan kesusahan dalam hidup dari pada manusia-manusia biasa, lalu kemudian para pengikutnya juga mendapatkan ujian-ujian yang kadarnya sedikit di bawah para nabi sesuai dengan karakter dan kepribadian mereka.[251] Lebih dari itu, kita pun tahu bahwa kesembuhan hanya dari Allah swt. Oleh karena itu kesabaran perlu ditampakkan, siapa tahu kesembuhan nabi Ayub as. juga akan kita dapatkan nantinya.
2. Peranan sistim kelembagaan
Di era ini, bekerja di sebuah perusahaan, lembaga, organisasi dan lain sebagainya adalah perkara yang begitu penting sekali dan menyangkut dengan kehidupan jutaan orang. Setiap lembaga, diakrenakan esensinya, adalah ancaman kebebasan, kemerdekaan dan identitas setiap pribadi, karena tidak ikut serta dalam proses pemberian keputusan, hilangnya hubungan dengan sesama, berbagai batasan-batasan kelembagaan, kesewena-wenaan kekuasaan, tertutupnya ruang lembaga, sistim control, tiadanya pengertian para pengurus akan hak-hak, dan seterusna sangat berpotensi menyebabkan tekanan jiwa dan stres.[252] Beberapa faktor yang paling penting dalam lembaga dan organisasi dalam menimbulkan tekanan jiwa adalah:A. Suasana bekerja
Lingkungan tempat bekerja, seperti bagaimana dekorasi ruangan, dan juga faktor-faktor fisikal seperti suara yang bising, asap, hawa panas, dan lain sebagainya, dapat menimbulkan stres pada pekerja. Para karyawan yang bekerja sebagai sekuriti atau satpam penjaga, empat kali lebih kerap mengalami tekanan jiwa daripada yang lainnya karena keterasingan mereka dari kelompok lainnya. Kerja berlebihan dan menganggap suatu pekerjaan sebagai pekerjaan yang susah, juga faktor penyebab tekanan jiwa. Buruknya kualitas kerja juga satu lagi faktor stres, yang biasanya dikarenakan pekerjaan yang itu-itu saja dan tidak menarik. Bahaya yang mungkin menimpa nyawa saat bekerja, seperti para polisi, para pemadam kebakaran, para tentara, dan lain sebagainya, juga menimbulkan tekanan kejiwaan. Ketika seseorang tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan kerjanya, maka pasti ia akan mengalami ketegangan, stress, ketidakpuasan, dan penyakit-penyakit fisik.[253]B. Kedudukan dan jabatan kerja
Masalah-masalah psikologi yang timbul dikarenakan jabatan kerja di antaranya adalah:
1. Pertentangan dan ketidak jelasan peran dalam
mengemban tugas: ketidak jelasan peran bagi seseorang dapat terjadi
ketika deskripsi kerjanya tidak menentu, ketika target-target yang harus
dikejar juga tidak pasti. Perkara ini akan berujung pada perasaan
kecewa dan tidak mementingkan atau menghormati diri sendiri.[254]
2. Tingkat tanggung jawab: memiliki kedudukan yang
harus bertanggung jawab atas anak buah secara berlebihan, dapat
menimbulkan tekanan jiwa. Oleh karena itu stres berkaitan dengan tingkat
tanggung jawab dan umur.[255]
3. Tekanan dalam hubungan: tekanan dalam hubungan
ini adalah salah satu bentuk tekanan yang berkenaan dengan bagaimana
seseorang memiliki hubungan pekerjaan dengan rekan-rekannya. Dalam hal
ini, tekanan-tekanan para pemimpin lebih kompleks, karena tidak
seimbangnya antara kekuatan yang dibayangkan dengan kekuatan yang
sebenarnya, kehilangan kedudukan, usaha beraksi namun para karyawan
menolak, adalah termasuk faktor-faktor tekanan jiwa; yang jelas para
karyawan yang lain juga terjerumus ke lubang stress karena factor-faktor
lain seperti persaingan.[256]
C. Naiknya kedudukan
Perpindahan kedudukan dan jabatan sosial dengan
cepat dari tempat semula menuju tempat yang lebih tinggi juga dapat
dikategorikan sebagai factor penting tekanan jiwa.[257]
Berkenaan dengan faktor-faktor tekanan jiwa yang berkaitan dengan
lembaga atau organisasi ini, tidak ditemukan ayat-ayat Al Qur’an yang
tepat; namun mengenai suasana bekerja, kedudukan sosial, masalah-masalah
di atas dapat dibahas dalam satu tema “Tekanan Tanggung Jawab dan
Tugas”. Kita akan membahas pembahasan tersebut pada bagian
“Keyakinan-Keyakinan Agama”.
3. Krisis kekeluargaan
Keluarga sebagai sebuah kesatuan yang mendasar
dalam kehidupan bermasyarakat, adalah faktor utama kestabilan sosial dan
sumber perlindungan emosional terpenting dalam situasi-situasi yang
penuh dengan tekanan jiwa. Ketika krisis kekeluargaan menjadi ganti dari
peran perlindungan tersebut, setiap anggota keluarga dapat dipastikan
akan mengalami tekanan jiwa yang lebih memprihatinkan. Berdasarkan
penelitian, 76 persen para penderita penyakit jantung, adalah korban
krisis kekeluargaan dan dari sepuluh peristiwa tingkat pertama penimbul
tekanan jiwa, ketujuh darinya merupakan hasil dari krisis kekeluargaan,
seperti kematian istri, perceraian, perpisahan antara istri dengan
suami, perdebatan keluarga, gangguan dari orang-orang dekat,
permasalahan seksual, lari dari rumah, dan lain sebagainya.
Permasalahan-permasalahan berat yang muncul dari krisis kekeluargaan ini
memungkinkan seseorang menderita penyakit-penyakit. 75 persen para
penderita kanker, dua tahun sebelum diketahuinya penyakit tersebut,
telah kehilangan salah satu anggota keluarganya.
Berdasarkan statistik, kebanyakan pasangan suami
istri yang telah hidup bersama selama 20 tahun, lalu salah satu di
antara mereka mati, maka 15 bulan kemudian pasangannya tidak keluar dari
dua kemungkinan: juga mati atau menderita penyakit serius.
Berdasarkan penelitian lainnya, keluarga-keluarga
yang salah satu di antara suami atau istri mengalami stres, ada masalah
dalam berbicara dan menjawab, karena orang yang stress tidak mampu
menarik perlindungan emosional prang lain.[258]
Beberapa krisis kekeluargaan yang memiliki pengaruh besar menimbulkan tekanan jiwa adalah:
A. Perceraian
Perceraian, berada di urutan kedua setelah
“kematian istri” di antara urutan faktor-faktor pemicu stress.
Penelitian membuktikan bahwa dalam keluarga jika terdapat tekanan
kejiwaan maka kemungkinan munculnya penyakit bertambah besar dan semakin
krisis itu besar semakin besar pula kemungkinan tersebut. Dalam suatu
pengamatan terbukti bahwa 76 persen korban serangan jantung, sebelum
kejadian, mengalami krisis kekeluargaan dalam hidupnya.[259]
Dalam pandangan Islam, sebagaimana pernikahan adalah indah dan menyenangkan,[260]
perceraian dan perpecahan keluarga adalah keburukan yang paling buruk. Dalam riwayat-riwayat nabawi disebutkan:
“Tidak ada sesuatu yang lebih tercela di mata Allah
swt. dari dirobohkannya sebuah rumah di lingkungan masyarakat Muslim
karena perceraian.”[261]
“Perceraian menggoncangkan singgasana Tuhan.”[262]
“Perceraian adalah sesuatu yang dihalalkan oleh Allah swt. namun Ia juga sangat membencinya.”[263]
Dampak-dampak buruk perceraian yang tidak dapat dihindari diantaranya adalah:
1. Gangguan-gangguan emosional: tak diragukan bahwa
perceraian dan perpecahan keluarga yang sebelumnya hidup bersama-sama
selama bertahun-tahun, membuat perasaan dan hati mereka tersayat, mereka
berpandangan negatif untuk menikah lagi, mereka akan mudah berburuk
sangka pada pasangannya, dan betapa banyak di antara mereka yang enggan
untuk menikah lagi.
2. Permasalahan-permasalahan sosial: jarang sekali
perempuan janda yang mendapatkan keberuntungan untuk menikah lagi dengan
jalan yang baik, apa lagi para duda, lebih parah lagi, apa lagi jika
mereka telah memiliki anak; oleh karena itu mereka pasrah pada keadaan
apa saja, seperti pernikahan yang tidak mereka inginkan, dan hidup
menderita hingga akhir hayat.
3. Permasalahan-permasalahan pada anak-anak: yang
paling menyedihkan diantara segalanya adalah kesusahan yang dialami
anak-anak, karena hidup tanpa ayah atau tanpa ibu kandung adalah derita
jiwa yang sangat berat, tidak ada yang bisa menggantikan kasih sayang
mereka, dan meskipun ada ayah atau ibu kandung yang baik hati, namun
orang-orang seperti itu jarang sekali. Oleh karena itu anak-anak orang
tua yang telah cerai lebih besar mengalami kerugian disbanding yang lain
dan betapa banyak anak-anak yang sedemikian rupa menjadi
pribadi-pribadi berbahaya dan jahat di kalangan masyarakat, menjadi
pendendam, pengacau, yang benci dengan masyarakat.[264]
Begitu seriusnya masalah perceraian, agar tidak
terjadi perceraian, Allah swt. menyerukan perdamaian di antara sepasang
suami istri jika mereka bermasalah.[265]
Kemudian langkah berikutnya jika seandainya terjadi perceraian, Al
Qur’an menekankan tetap terjaganya kehormatan keluarga dan masa ‘iddah
(masa seorang istri yang telah cerai sebelum menikah dengan orang
lain—pent).[266]
Di masa ‘iddah ini para istri tinggal di satu tempat tinggal suaminya
dan ruju’ secara amali mereka adalah cukup. Pada tahapan ketiga, mantan
suami berkewajiban untuk menafkahi perempuan mantan istrinya jika ia
sedang menyusui;[267]
tak diragukan berlalunya masa akan menyelasaikan berbagai perkara. Dan
terakhir, jika terjadi perceraian sampai tiga kali, Islam meberikan
jalan untuk mereka agar dapat bersama kembali dengan perantara sang
muhallil; dan muhallil tidak diizinkan untuk menjadikan para wanita
sebagai kesenangan yang dapat dipermainkan mereka.[268]
B. Kematian istri atau suami
Kematian istri termasuk krisis kekeluargaan yang
berada di tingkatan tertinggi di antara faktor-faktor pemacu stres. Hal
ini dikarenakan kaitannya secara langsung dengan perasaan seorang istri
atau suami. Dari sisi lain, karena suami dan istri adalah pasangan untuk
satu sama lain yang saling memenuhi kebutuhan seksual.[269]
Sorang peneliti yang bernama Loushan menyatakan
bahwa 75 persen para penderita kanker, pada dua tahun sebelum penyakit
tersebut tersingkap, mereka pernah kehilangan salah seorang anggota
keluarganya.
Pentingnya kebersamaan dalam sebuah keluarga akan
sangat terasa sekali setelah berjalan selama bertahun-tahun lamanya lalu
salah satu di antara mereka ada yang mati. Setelah itu, hanya ada dua
kemungkinan bagi pasangan (suami atau istri) yang ditinggal pergi: mati
menyusul, atau menderita penyakit yang serius.[270]
Dalam sejarah Islam, salah satu contoh peristiwa
“ditinggal oleh istri” adalah peristiwa yang terjadi pada Imam Ali as.
saat ditinggal istri tercintanya Sayidah Fathimah Azzahra. Di pusara
istrinya, beliau berkata dalam hati kepada Rasulullah saw.:
“Wahai Rasulullah, kesabaranku telah goyah karena
berpisah dari putri suci dan pilihanmu. Aku kehilangan dayaku… Kesedihan
selalu menyelimutiku dan di malam-malamku daku selalu terjaga.”[271]
Contoh lain peristiwa kepergian istri adalah kisah
Rubab putri Umru’alqais, istri Sayidus Syuhada dan ibu Sayidah Sukainah
dan Ali Ashgar. Ia hadir di Karbala, bersama para tawanan digiring
menuju Syam dan setelah kembali ke Madinah, ia selama satu tahun
berdukacita untuk suaminya dan tidak pernah mau untuk berada di bawah
bayangan yang menghalanginya dari terik matahari, ia tidak menerima
lamaran para pembesar Quraisy, dan akhirnya di akhir tahun itu juga ia
meninggal dunia.[272]
C. Kematian buah hati
Kematian buah hati adalah peristiwa yang amat
sangat menyedihkan dalam hidup, karena orang tua dengan mata kepalanya
melihat karunia terbesar dalam hidupnya pergi meninggalkan mereka.
Kebanyakan orang secara umum menaruh harapan pada anak-anak mereka dan
dengan kepergian mereka harapan-harapan tersebut sirna. Jika yang mati
adalah anak bayi, seorang ibu yang paling merasakan kesendirian. Juga
jika seorang ibu tidak melahirkan bayi yang sehat, begitu merasa
bersalah, berdosa dan sangat berpandangan negatif terhadap dirinya
sendiri.
50 hingga 70 persen keluarga yang anak-anaknya mati
karena terserang kanker, mengalami kehancuran dalam rumah tangga dan
tak jarang yang berakhir pada perceraian. Mungkin alasan mereka bercerai
karena salah satu cara mengungkapkan kesedihan bagi mereka adalah
perceraian. Kebanyakan para lelaki berbeda dengan perempuan; kaum lelaki
lebih cenderung untuk tidak begitu menampakkan kesedihannya, yang
kemudian ditanggapi istri mereka sebagai rasa ketidakpedulian dan sikap
dingin sang ayah terhadap anaknya.[273]
Dalam Al Qur’an, ada kisah butanya nabi Ya’qub as. dikarenakan perpisahan dengan anaknya:
“Ia merintih: “Duhai Yusufku…” Dan matanya memutih
karena kesedihannya yang berkepanjangan. Namun ia tetap sabar dan
memendam amarahnya.”[274]
Yang dapat dipahami dari ayat di atas adalah, pada
waktu itu nabi Ya’qub as. masih belum mengalami kebutaan. Namun lambat
laun karena ia sering menangis ia kehilangan pengelihatannya.[275]
Dalamnya luka yang ditimbulkan dari kematian anak
dapat kita sadari dengan melihat bahwa nabi Ya’qub meskipun tidak
ditinggal mati oleh anaknya ia sampai buta, apa lagi jika anaknya sampai
mati. Karena pada saat itu beliau tidak kehilangan harapan dan
memerintahkan anak-anaknya:
“Wahai putra-putraku, pergilah mencari Yusuf dan saudaranya dan janganlah kalian berputus asa akan rahmat Allah.”[276]
Contoh lainnya adalah kesedihan nabi Adam as. saat putranya yang bernama Habil meninggal.[277]
Begitu juga dengan tangisan kesedihan Rasulullah saw. atas kepergian anaknya yang bernama Ibrahim. Beliau berkata:
“Mata ini menangis dan hati ini terluka. Namun kami
tidak berkata apa-apa yang tidak disukai Allah. Kami sungguh bersedih
karenamu, wahai Ibrahim.”
“Jika bukan karena kami percaya bahwa kematian itu
pasti akan tiba, janji Tuhan itu pasti akan ditepati, dan jika bukan
karena jalan yang pasti, maka kesedihan kami lebih dari ini.”
Abdurrahman bin ‘Auf berkata kepada beliau: “Bukankah engkau melarang kami agar tidak menangis?”
Rasulullah saw. menjawab:
“Apa yang aku larang adalah, bersedih dengan cara
yang bodoh, mencakar-cakar muka, berteriak-teriak; tapi ini adalah
tangisan kasih sayang dan orang yang tidak ada kasih sayang di hatinya
tidak akan disikapi dengan penuh kasih sayang.”[278]
D.Kematian orang tua
Kematian orang tua dapat mempengaruhi kejiwaan dan
pembentukan karakter seseorang. Anak-anak kecil dan remaja, sepeninggal
orang tua mereka, mau tidak mau menghadapi berbagai pengalaman
emosional. Pada tahun ketiga sepeninggal orang tua, mereka cenderung
bersifat agresif dan pada tahun-tahun berikutnya kebergantungan mereka
kepada ibunya bertambah. Mereka mencela diri mereka sendiri karena telah
kehilangan ayah dan ibu dan ketakutan bagaimana menjaga diri sendiri.[279]
Para pakar psikologi klinikal mengingatkan, bahwa dalam kebanyakan
kasus, anak-anak lebih menderita saat ditinggal ibunya mati daripada
ditinggal ayahnya.
Allah swt. berfirman kepada Rasulullah saw.:
“Bukankah Allah swt. mendapatimu dalam keadaan yatim lalu memberimu perlindungan?”[280]
Engkau masih berada di perut saat ayahmu Abdullah
meninggal dunia; engkau waktu itu berusia enam tahun saat ibumu
meninggal; saat itu umurmu delapan tahun dan Abdul Muthalib, kakekmu
meninggal lalu pamanmu Abu Thalib menjadikanmu anak asuhnya lalu
melindungimu dan membesarkanmu. Lalu jika begitu, maka,
“Dan adapaun anak yatim, janganlah engkau hinakan dia.”[281]
Taqhar berasal dari kata qahr yang berarti
mengalahkan beriringan dengan penghinaan. Ayat ini membuktikan bahwa
selain masalah sandang dan pangan, anak-anak yatim harus lebih
diperhatikan perasaan mereka. Seakan-akan Allah swt. berkata kepada
nabi-Nya: “Engkau sendiri adalah orang yatim dan pernah merasakan
susahnya menjadi anak yatim, kini dengan tulus dan sepenuh hati rawatlah
anak-anak yatim dan penuhilah jiwa mereka yang haus kasih sayang dengan
cinta dan kasihmu.
Dalam ayat yang lain, disebutkan kalimat yadu’ul yatim[282]
yang artinya merendahkan dan menghinakan anak yatim, yang merupakan
sifat utama orang-orang yang mengingkari hari pembalasan. Kata yadu’
berasal dari da’ yang berarti menolak dengan sangat dan disertai
kekerasan. Al Qur’an juga melarang kita untuk tidak memuliakan anak-anak
yatim dan menyebutnya sebagai perangai yang buruk lagi tercela.[283]
Tanpa diragukan, penghormatan tidak ditujukan untuk kenyangnya perut,
namun dimaksudkan untuk menggantikan kasih sayang yang telah hilang dari
mereka.
E. Mencukupi keluarga (masalah perekonomian dan penghidupan)
Di era modern ini, di samping pesatnya perkembangan
populasi, tekanan dan kesusahan dalam mencari nafkah untuk penghidupan
juga semakin bertambah. Ketika seorang pemberi nafkah dalam satu
keluarga jatuh sakit, atau ia sedang tidak mampu menjalankan tugasnya
tersebut, akan menghadapi ketidakpedulian anggota keluarga terhadap
dirinya.[284]
Al Qur’an menjelaskan bahwa pada zaman jahiliyah,
salah satu alasan mengapa mereka membunuh anak-anak mereka adalah
permasalahan penghidupan dan nafkah:
“Dan janganlah kalian membunuh anak-anak kalian
karena takut tidak dapat menafkahi mereka. Kami yang akan memberi rizki
kepada mereka dan kepada kalian semua.”[285]
Kata khifata imlaq adalah isyarah halus akan adanya
bisikan syaitan yang membuat manusia takut tidak mampu membesarkan anak
dan akhirnya anak tersebut dibunuh.
Di zaman ini, dengan sangat disayangkan, banyak
orang tua yang takut membesarkan anaknya lalu menggurkan kandungannya
dan membunuh nyawa anak tak berdosa. Yakni zaman jahiliyah tersebut kini
terulang sebagai jahiliyah abad 21, yang jelas dengan makna yang lebih
kompleks lagi.
4. Lingkungan
Kehidupan di era modern ini, meskipun penuh dengan
kemajuan teknologi dan kesejahteraan, di satu sisi juga banyak kerugian
dan kerusakan yang dapat dirasakan. Manusia di zaman ini hidup di tengah
gangguan-gangguan seperti bisingnya suara kendaraan di jalanan, kereta
api, pesawat, gelombang-gelombang radiasi telfon selular, polusi udara,
aturan-aturan yang tidak tepat dan menjengkelkan, dan lain sebagainya.
Faktor-faktor tekanan jiwa yang penting disebutkan di sini adalah:
A. Polusi suara
Suara bising bagi 56 persen warga Perancis
merupakan bencana dan gangguan kelas satu. 25 milyar biaya kedokteran,
15 persen usaha kerja, 11 persen peristiwa kerja, 20 persen kasus rawat
inap di rumah sakit-rumah sakit jiwa, berkenaan dengan “suara”. Di
antara penyakit-penyakit yang bersangkutan dengan dunia kerja, penyakit
yang disebabkan oleh “suara” berada pada urutan kedua dari atas.
Bertambah pesatnya gangguan-gagguan suara baik dari radio, mobil,
pesawat, apa lagi di saat mengejutkan dan secara tiba-tiba, dapat memicu
stres. Suara mempengaruhi kesadaran, konsentrasi, ingatan dan prilaku.[286]
Al Qur’an menjelaskan wasiat Luqman kepada anaknya:
“Rendahkanlah suaramu (dan jangan sekali-kali berteriak) karena suara yang paling buruk adalah suarah keledai.”[287]
Di antara segala macam suara, suara keledai adalah
suara yang paling tidak enak didengar. Kata ankar pada wazan af’al
adalah kata tafdhil dari kata munkar; yakni suara yang secara alamiah
tidak disukai oleh manusia. Suara yang kencang sangat mengganggu dan
menyebalkan. Oleh karena itu suara yang kencang diidentikkan dengan
suara orang-orang yang bodoh. Al Qur’an menyarankan orang-orang yang
beriman:
“Janganlah kalian mengangkat suara-suara kalian di atas suara nabi.”[288]
Imam Ja’far As Shadiq as. menafsirkan ayat di atas
dengan bersin kencang atau berteriak ketika berbicara yang mana semua
itu adalah suara yang paling tidak enak didengar (ankarul aswath).
Dengan demikian ayat di atas tidak hanya menerangkan prilaku jelek,
namun juga mengisyarahkan akan buruknya suara bersin yang dikencangkan
atau berteriak-teriak. Yang jelas ada pengecualian dalam riwayat di
atas, yaitu ketika memanggil seseorang atau membaca Al Qur’an.[289]
B. Polusi udara
Suasana kerja yang tak sehat, penuh dengan asap
rokok, tidak adanya ventilasi yang baik, dapat memicu tekanan jiwa dan
stres dalam bekerja, dan juga menimbulkan kepenatan dan kesesakan.[290]
C. Aturan dan peraturan
Jika aturan-aturan yang harus kita jalankan dalam
hidup ini tidak fleksibel, yang mana jika menjalankan aturan itu mau
tidak mau membuat manusia menjadi susah dan merasa dikekang oleh
peraturan, juga merasa kreatifitas dan potensinya dibatasi oleh aturan,
maka itu akan memicu stress dan membuat orang tersebut cenderung melawan
peraturan.[291]
Reaksi keras dalam melawan aturan menunjukkan bahwa aturan tersebut
susah untuk dijalankan. Salah satu contoh aturan social yang salah
adalah kebiasaan membunuh anak-anak perempuan di zaman jahiliyah sebelum
kedatangan Islam yang mana Al Qur’an menjelaskan:
“Setiap kali mereka mendapatkan kabar bahwa anaknya
adalah perempuan, muka mereka murung dan tidak rela; mereka pergi
menyendiri dari kaumnya dan tidak tahu apakah mereka harus menerima
keberadaan putri mereka disertai rasa hina, atau mengubur putri mereka
hidup-hidup.”[292]
Sekelompok orang di masa itu, begitu mendengar
istrinya akan melahirkan, mereka pergi dari rumahnya. Kemudian jika
terdengar kabar bahwa anak mereka adalah laki-laki, mereka luar biasa
gembira dan kembali ke rumahnya namun jika terdengar kabar bahwa bayinya
adalah perempuan, mereka terpuruk dalam kesedihan.
Ayat-ayat Ilahi tidak menerima aturan-aturan
manusia yang tidak fleksibel dan mengurung manusia pada jeruji kebatilan
yang tak menambahkan apa-apa bagi manusia selain permasalahan itu
sendiri, Al Qur’an menjelaskan tentang Rasulullah saw.:
“Sang nabi datang untuk mencabut aturan-aturan yang
membuat manusia terbelenggu dan terjerat dalam kebatilan (yang
disebabkan oleh kabodohan dan kejahilan manusia itu sendiri).”[293]
Ishr yakni ikatan atau mengikat dan mengurung
sesuatu dengan paksa. Rasulullah saw. datang untuk mencabut ishr
tersebut; yakni beliau datang untuk menghapuskan segala sesuatu yang
menyebabkan manusia terperangkap dan terjerat dalam kebatilan.[294]
Islam, sebagaimana tersucikan dari bid’ah dan
penyelewengan, juga kosong dari aturan-aturan yang mengandung kesusahan.
Islam menghapuskan bid’ah-bid’ah umat Yahudi dan Nasrani.[295]
Dengan dasar ini, kewajiban-kewajiban dalam Islam berdiri berdasarkan
kemampuan manusia (Allah swt. tidak mewajibkan sesuatu yang melebihi
batas kemampuannya).[296]
Islam tidak menyukain segala bentuk kesusahan (dan agama tidak
menjadikan kesusahan atas kalian). Agama Islam sama seperti ajaran suci
pendahulu kita, nabi Ibrahim as.[297]
yang menetapkan aturan sesuai dengan kemampuan. Karena Allah swt.
mengingankan kebaikan dan kenyamanan untuk kalian, bukan kesusahan dan
kepayahan kalian (Ia menginginkan kemudahan untuk kalian dan tidak
menginginkan kesusahan).[298]
Dengan penjelasan yang lebih luas dapat dikatakan bahwa ajaran-ajaran
Islam diciptakan berdasar fitrah manusia oleh karena itu ajaran Islam
itu mudah dan merupakan makanan bagi jiwa dan di saat-saat tertentu jika
menjalankan aturan agama membawakan kesusahan bagi seorang hamba, maka
Islam menggugurkan kewajiban itu dengan sendirinya, seperti tidak
diwajibkannya berpuasa bagi orang yang sakit.[299]
D. Migrasi (perubahan lingkungan dan budaya)
Berpisah dari kampung halaman dan pindah ke
lingkungan dan masyarakat baru yang berbeda budaya, bagi seseorang
merupakan kondisi yang membawakan tekanan jiwa. Seseorang dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya dengan mudah jika ia tinggal
bersama orang-orang yang sebangsa dengannya. Berdasarkan laporan
penelitian sejak tahun 1977 hingga 1982, 51 orang yang kurang lebih
berusia 33 tahun, kehilangan identitas dirinya dan selera budaya, dan
bahkan ada yang meninggal dunia dalam keadaan tidur, karena mengalami
tekanan jiwa yang bersumber dari migrasi dan perpindahan tempat.[300]
Al Quran begitu mementingkan keterikatan seseorang
dengan kampung halamannya (wathan) sampai-sampai menjadikannya sebagai
motivasi untuk berjihad. Islam membenarkan jihad yang salah satu
alasannya adalah terusirnya suatu kaum dari tanah air dan tempat
tinggalnya.[301]
Akan tetapi keterikatan diri pada tempat tinggal
dan tanah air tidak bole membuat seorang Muslim rela dilemahkan dan
dihinakan di dalamnya.[302]
Al Qur’an juga memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman
yang berhijrah meninggalkan tempat tinggalnya demi terjaganya agamanya
dengan balasan duniawi (kemudahan urusan dan keluasan) dan juga ukhrawi.[303]
Dasar dan landasan utama hijrah atau migrasi ke tempat lain, adalah
terjaganya ajaran dan agama. Adapun menjaga diri, membebaskan diri dari
kehinaan dan mencari keluasan, adalah alasan kedua.
Dalam Al Qur’an juga diceritakan tentang berhijrahnya sekelompok pemuda untuk menjaga agamanya dan berlindung di dalam goa.[304]
Sebuah surah diturunkan kepada kita dengan nama Al Kahf khusus bercerita tentang mereka.
5. Politik
Salah satu faktor yang sepanjang sejarah selalu
membuahkan stress bagi umat manusia adalah permasalahan-permasalahan
politik. Haus dan lapar kekuasaan yang dirasakan oleh pemimpin-pemimpin
politik yang tak dapat dikenyangkan sampai-sampai membuat manusia tidak
dapat bernafas dan menjadi sebab merjalelanya kerusakan dan kemunkaran.
Perang urat syaraf dan militer, krisis politik dan perekonomian, adalah
kekacauan yang disebabkan sekelompok orang yang haus kekuasaan. Beberapa
faktor pemacu stres di dunia politik yang dapat kita sebutkan di sini
adalah:
A. Para ahli politik
Lapar dan haus kekuasaan tidak dapat dikenyangkan
dan dipuaskan, dan orang-orang yang melangkahkan kakinya di jalan ini
pasti merasakan tekanan jiwa, ketaktenangan, susah tidur, yang
disebabkan oleh arus politik yang mengiming-imingi kekuasaan sekaligus
menghantui akan kehancuran. Menurut penjelasan Stora, seorang politikus
adalah lahan tumbuh suburnya serangan-serangan stres; malapetaka yang
tidak dapat dihindari oleh siapapun yang berada di medan ini. Salah satu
cara meredakan tekanan jiwa yang dialami oleh politikus adalah mencapai
pos kekuasaan, namun seorang politikus tidak bisa menjadikan haus
kekuasaannya sebagai alasan untuk menggapai kesehatan jiwa.[305]
Secara terpisah-pisah, Al Qur’an menjelaskan kisah
para pemimpin zalim sebagai pemimpin politik yang tidak pernah kenyang
kekuasaan dan memulai kerusakannya di muka bumi dengan menggantung
orang-orang tak berdosa, menciptakan perpecahan di antara umat,
menghinakan Bani Israil, dan lain sebagainya. Mereka membunuh kaum
lelaki dari Bani Israil dan membiarkan kaum perempuan hidup untuk
berkhidmat kepada mereka.[306]
Al Qur’an menukil perkataan Ratu Balqis tentang bagaimana ia memandang para raja di waktu itu:
“Sesungguhnya para raja jika mereka memasuki suatu
kota, mereka berbuat kerusakan di dalamnya dan menjadikan orang-orang
yang dimuliakan di kota itu sebagai orang yang dihinakan.”[307]
Namun perlu diingatkan di sini bahwa tidak
selamanya politik itu keji dan buruk, sebagaimana Ratu Balqis yang
tunduk di hadapan nabi Sulaiman as. dan menyesali masa lalunya.[308]
B. Antara penguasa dan yang rela dikuasai
Salah satu faktor yang menimbulkan stres dan
kesensitifan dalam kehidupan bermasyarakat, adalah perasaan tidak adil
yang disebabkan oleh hubungan antara penguasa dan yang dikuasai.
Memainkan kekuatan dengan sewena-wena adalah salah satu bentuk rasa
cinta diri dan membuat seseorang yang ingin memuja dirinya membebankan
masalah-masalah yang tidak dapat diterima kepada orang lain. Selye
pernah bertanya kepada seorang laksamana diktator: “Apakah anda
mempunyai sakit maag?” Laksamana menjawab: “Tidak, namun aku yang
membuat orang lain menderita sakit maag.”[309]
Memang salah satu penyakit bebuyutan para penguasa adalah memainkan
kekuasaan dengan berlebihan dan sewena-wena dan umat manusia di
sepanjang sejarah selalu mengalami derita karenanya. Al Qur’an menyebut
orang-orang seperti itu dengan sebutan aimmatun nar (para pemimpin
neraka).[310]
Al Qur’an menjelaskan bahwa tujuan utama para penguasa zalim dalam
kekuasaannya adalah mempengaruhi kaum yang dikuasainya agar patuh dan
tunduk di hadapan mereka.[311]
Oleh karena itu, mereka merusak ladang perkebunan, membantai keturunan,[312]
membunuh kaum lelaki dan memperbudak kaum wanita.[313]
Dalam ajaran Islam, sifat haus kekuasaan adalah sifat yang tercela, begitu juga sifat rela dikuasai.[314]
Syi’ar Islam adalah la ilaha illallah (tiada Tuhan selain Allah swt.).
Atas dasar itu, menyembah dan tunduk selain di hadapan Allah swt.—dengan
segala bentuknya—adalah diharamkan dan balasannya adalah hukuman yang
paling berat.[315]
Dalam Islam segala bentuk kesombongan di muka bumi telah diharamkan:
“Dan janganlah kalian berjalan di muka bumi dengan rasa angkuh dan sombong.”[316]
Dalam ayat lainnya kita membaca:
“Janganlah kalian palingkan wajah kalian dari orang lain dengan penuh rasa sombong.”[317]
C. Perang urat syaraf dan tersebarnya isu-isu
Propaganda-propaganda dan tersebarnya film-film
yang berbau propaganda juga termasuk faktor pemacu stres dan tekanan
jiwa. Di masa lalu salah satu cara menyebarkan isu-isu dan menciptakan
ketakutan pada suatu kaum adalah dengan menciptakan perang urat syaraf.
Biasanya hal-hal itu berbau hinaan; sebagai contoh, orang-orang musyrik
menyebut iman terhadap ajaran-ajaran Ilahi sebagai sifat orang yang
bodoh[318]
atau mereka berbicara tentang kemalangan dan ketidak-mujuran yang disebabkan oleh keberadaan para nabi.[319]
Al Qur’an bercerita tentang al murjifun (orang-orang yang menyebarkan berita bohong):
“Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang
munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang
menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami
perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi
tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar. Dalam
keadaan terlakna. Di mana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap dan
dibunuh sehebat-hebatnya. Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas
orang-orang yang telah terdahulu sebelum(mu), dan kamu sekali-kali tidak
akan mendapati perubahan pada sunnah Allah.”[320]
Rajf dari segi bahasa berarti getaran dan rasa takut yang sangat.[321]
Dalam ayat di atas, orang-orang yang disebut murjifun itu diancam dengan
kematian, karena dengan menyebarkan berita-berita bohong mereka telah
menebarkan rasa takut dan kegelisahan dan ketidak amanan di
tengah-tengah masyarakat. Lebih dari itu, membunuh murjifun adalah sunah
Ilahi. Rasulullah saw. dan orang-orang yang beriman mau tidak mau harus
menggunakan cara ini, karena mereka para penebar berita bohong adalah
pelaku perang urat syaraf, yang dikarenakan tersembunyinya para pelaku
dan tersebarnya isu bohong tersebut melalu teman-teman sendiri, sungguh
berdampak sekali dalam menghancurkan pertahanan masyarakat dan
membiarkan mereka beraksi seperti itu sama dengan membiarkan malapetaka
terjadi.[322]
D. Krisis ekonomi dan politik
Pemenuhan kebutuhan hidup dan jaminan akan masa
depan merupakan kebutuhan manusia yang berada di tingkatan pertama.
Tidak diragukan upaya banyak orang dalam mendapatkan pekerjaan di
instansi-instansi pemerintahan dan kesabaran mereka dengan pengasilan
yang sedikit bertujuan agar hidup mereka di hari tua terjamin.[323]
Bagi mereka, krisis politik dan perekonomian yang
dapat mengacaukan keamanan atau kelancaran kerja dan masa depan mereka,
adalah pemicu stres yang luar biasa.
Dalam kisah nabi Musa as. disebutkan bahwa pada
suatu hari beliau berada di kota Tursan dan sedang menunggu suatu
kejadian. Tiba-tiba ia melihat seorang lelaki yang kemarin harinya telah
meminta tolong padanya sedang berteriak dan meminta tolong. Nabi Musa
as. berkata:
“Kamu benar-benar orang yang sesat!”
Ketika ia bersengketa dengan seseorang yang merupakan musuh keduanya, ia berkata:
“Hai Musa, sebagaimana engkau kemarin telah
membunuh seseorang, hari ini engkau ingin membunuhku? Apakah engkau
ingin menjadi orang yang lalim?”
Lalu seseorang datang dari arah yang jauh (di antara orang-orang Fir’aun) bergegas kepada nabi Musa as. dan berkata:
“Wahai Musa, mereka sedang berkumpul membicarakan
rencana mereka untuk membunuhmu. Segera pergi tinggalkan kota ini! Aku
benar-benar menginginkan kebaikan untukmu. Nabi Musa as. dalam keadaan
takut dan setiap saat menunggu terjadinya suatu kejadian, pergi
meninggalkan kota.”[324]
Dalam kisah ini digambarkan secara jelas krisis politik yang mengancam nabi Musa as. saat itu.
Contoh dari krisis ekonomi juga digambarkan di
akhir kisah: nabi Musa as. berada di kota Madyan, sendirian dan tanpa
perlindungan. Ia berlindung di bawah bayangan sebuah pohon dan berdoa
kepada Allah swt.:
“Ya Allah, sungguh aku benar-benar membutuhkan kebaikan yang Engkau turunkan”[325]
Contoh yang lebih jelas lagi yang dapat
menggambarkan krisis perekonomian dan tekanan jiwa yang ditimbulkan
karenanya adalah kisah bepergiannya saudara-saudara nabi Yusuf di musip
paceklik untuk mendapatkan bahan pangan. Dalam Al Qur’an kita membacanya
begini: mereka masuk dan menemui Yusuf seraya berkata:
“Wahai orang yang mulia, kami dan keluarga kami
sedang kesulitan karena musim paceklik ini dan kami membawa beberapa
barang dagangan yang tidak terlalu bernilai. Namun kami berlindung dan
pasrah pada kemuliaan dan kedermawaanmu dan kami mengharap engkau
memenuhi kebutuhan kami. Kasihanilah kami dan berbaik hatilah. Karena
Allah akan memberikan balasan yang baik pada orang-orang yang suka
memberi.”
Dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa
saudara-saudara nabi Yusuf as. saat itu membawa sebuah surat yang
ditulis oleh ayah mereka, nabi Ya’qub as., yang isinya adalah pujian
akan kemuliaan dan keadilan kerjaan Mesir dan aduan akan kesusahan yang
sedang menimpa mereka sekaligus rasa sedih karena kehilangan kedua
anaknya, Yusuf dan Benyamin; oleh karena itu nabi Ya’qub as. memohon
dibebaskannya Benyamin. Dalam surat tersebut nabi Ya’qub as. berkata:
“Kami adalah keluarga yang tidak pernah mencuri atau melakukan hal-hal
yang seperti itu.” Nabi Yusuf as. menangis begitu melihat tulisan tangan
ayahnya. Saudara-saudara Yusuf merasa heran dan berkata dalam hati:
“Jangan-jangan dia adalah Yusuf.” Lalu mereka bertanya: “Apakah engkau
adalah Yusuf?”
Contoh lainnya adalah kebiasaan orang-orang Arab
zaman jahiliyah dalam membunuh anak-anak mereka karena takut akan
kefakiran. Allah swt. berfirman:
“Dan janganlah kalian membunuh anak-anak kalian, Kami yang akan memberi rizki pada mereka dan juga kepada kalian.”[326]
Tekanan jiwa apa yang lebih hebat dari membunuh
buah hati sendiri karena takut akan kefakiran atau menjual anak-anak
sendiri hanya untuk mendapatkan sesuap makanan?
6. Kepribadian
Jenis kepribadian seseorang juga memiliki peranan
dalam stres. Karena setiap orang akan menghadapi tekanan jiwa yang
dialaminya sesuai dengan karakternya masing-masing. Dalam Al Qur’an
disebutkan:
“Katakanlah bahwa tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya (prilaku dan kepribadiannya).”[327]
Kejiwaan seseorang dan kebiasaan-kebiasaan yang
memiliki membuat setiap orang terikat pada suatu koridor yang disebut
syakilah. Imam Ja’far Shadiq as. menafsirkan syakilah sebagai niat
seseorang[328]
yang menggambarkan kejiwaan dan kepribadian orang tersebut. Beberapa
faktor pemacu stres yang berkaitan dengan karakter dan kepribadian
seseorang adalah:
A. Pribadi tipe A dan tipe B
Pada sebagian orang, tipe kepribadian jenis A,
yakni penyakit suka terburu-buru, dapat memacu stres dan tekanan jiwa.
Dua orang ahli jantung yang bernama Friedman dan Rey Rezman, pada tahun
1974, berhasil menjelaskan adanya keterikatan antara tipe kepribadian
seseorang dengan penyakit kejiwaan yang diakibatkan stres. Berdasarkan
penelitian-penelitian mereka, orang-orang berusia 39 hingga 49 tahun
yang memiliki kepribadian tipe A enam kali lipat lebih rentan terserang
penyakit daripada mereka yang memilki pribadi tipe B. Kriteria-kriteria
orang memiliki pribadi tipe A adalah:
1. Merasa waktu yang dimilikinya sangat sedikit:
dengan tergesa-gesa berusaha sekuat tenanga untuk mengerjakan banyak
pekerjaan dalam waktu yang amat singkat.
2. Agresif dan mudah marah: mereka sangat
kompetitif, tidak pernah tenang, dan sangat menikmati
aktifitas-aktifitas yang menyibukkan mereka. Api kemarahan dan emosi
mereka mudah berkobar hanya dikarenakan masalah kecil.
3. Sibuk dengan dua pekerjaan atau lebih dalam satu waktu secara tidak tepat.
4. Mengejar tujuan tanpa perencanaan dan program
yang benar: memutuskan segala sesuatu tidak berdasarkan perhitungan dan
mudah menyatakan batas akhir waktu kerja tanpa melihat situasi dan
kondisi.
Adapun pribadi tipe B, adalah kebalikan dari tipe
A. Mereka selalu tenang dan jarang tergesa-gesa. Memiliki kecenderungan
bersaing yang lebih rendah. Mereka lebih memahami nilai dan harga diri
sendiri, melakukan segala pekerjaannya dengan perhitungan, perencanaan
dan program yang benar.[329]
Akhir-akhirn ini banyak peneliti yang berkeyakinan
bahwa orang yang hanya sekedar memiliki pribadi tipe A tanpa memiliki
faktor-faktor buruk yang lain tidak akan menyebabkan permasalahan
apa-apa.[330]
Al Qur’an memuji orang-orang yang bergegas
melakukan amal baik dengan segera dan menyebut sifat tersebut sebagai
sifat orang-orang yang saleh dan suci.[331]
Dalam agama Islam, persaingan yang sehat adalah sifat mulia dan berharga
dan menyebut as sabiqun (orang-orang yang terdahulu) dari Muhajirin dan
Anshar yang termasuk al awwalun (lebih awal masuk Islam)[332]
dengan sebutan muqarrabin (orang-orang yang dekat).[333]
Persaingan dapat dikatakan sehat ketika syarat-syaratnya terpenuhi, dan
jika tidak, persaingan seperti itu akan membawakan tekanan jiwa dan
stress yang tak dapat dihindari. Sebagian dari syarat-syarat tersebut
adalah:
1. Kesiapan
Buah dapat dipetik jika sudah saatnya. Kalau buah
dipetik sebelum atau setelah waktu yang seharusnya, pasti akan
menghasilkan kerugian. Realita ini harus difahami dan diterapkan pada
segenap aspek kehidupan kita. Rasulullah saw. menerangkan aturan-aturan
Allah kepada umatnya secara bertahap dan beliau selalu memperhatikan
saat-saat yang tepat untuk menjalankan setiap misi dalam risalahnya.
Ahlul Bait as. juga menasehati para pengikutnya untuk selalu
memperhatikan prinsip yang banar dalam mengajarkan ajaran-ajaran agama
kepada anak-anak mereka agar anak-anak tersebut menjadi terbiasa. Imam
Shadiq as. berkata:
“Saat anak-anak kami berusia 7 tahun, kami
memerintahkan mereka untuk berpuasa, namun saat tengah siang tiba,
ketika mereka terlihat kelaparan dan kehausan, kami mempersilahkan
mereka untuk berbuka.”[334]
2. Teratur dan memilih jalan keluar yang terbaik
Untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan
individu maupun bersama, pasti ada jalan keluar dan penyelesaiannya.
Mengenai masalah ini Al Qur’an menyebutkan:
“Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari
belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang
bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya.”[335]
Imam Muhammad Al Baqir as. berkata mengenai penafsiran ayat ini:
“Tidak baik dalam setiap pekerjaan jika kalian masuk pada selain pintunya. Jalan yang benar harus dilewati dalam segala hal.”[336]
Oleh karena itu, dalam setiap permasalahan kita
harus mengambil keputusan dan jalan keluar yang terbaik, bukan
sembarangan, karena kalau tidak yang terjadi hanyala semakin runyamnya
permasalahan. Untuk menemukan jalan yang terbaik dan benar, kita harus
meningkatkan kemahiran dan keahlian.
3. Menghindari sikap terburu-buru
Dalam Al Qur’an disebutkan:
“Dan manusia mendoa untuk kejahatan sebagaimana ia mendoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.”[337]
Manusia cenderung terberu-buru dalam menggapai
segala hal yang dapat menguntungkannya. Tanpa memperhatikan efek samping
dan akibat perbuatan, manusia rela menjerumuskan dirinya di lubang yang
dalam.
Imam Muhammad Al Baqir as. berkata:
“Kebanyakan orang telah dicelakakan oleh sifat
tergesa-gesa mereka. Jika mereka selalu tenang, niscaya mereka tidak
akan celaka.”[338]
Oleh karena itu, terburu-buru bukanlah jalan yang
terbaik untuk mengejar sesuatu, meskipun pelakunya benar-benar faham dan
mengerti apa yang sedang dilakukannya. Adapun orang yang mengejar
tujuannya dengan tenang dan cermat, meskipun nampaknya tak akan
membuatnya berhasil,[339]
niscaya kelak akan sampai juga pada tujuannya. Rasulullah saw. bersabda:
“Perlahan (namun pasti) adalah dari Allah swt., sedang tergesa-gesa adalah dari syaitan.”[340]
“Ketergesa-gesaan akan membawakan penyesalan.”[341]
“Terburu-buru melakukan suatu pekerjaan sebelum tiba saatnya akan membawakan kesedihan.”[342]
Di sini kita dapat menambahkan ucapan suci Imam Ja’far Shadiq as.:
“Bergegas melakukan suatu pekerjaan dengan perlahan adalah keselamatan, adapun terburu-buru adalah penyesalan.”[343]
Al Qur’an telah menceritakan kisah persaingan tak
sehat Habil dan Qabil. Dalam kisah tersebut, Qabil merasa iri dengan
saudaranya karena amal perbuatannya tidak diterima Allah swt., oleh
karenanya ia memusuhi Habil. Qabil yang seharusnya membenahi
kesalahan-kesalahan yang membuat amalnya tidak diterima, justru membunuh
saudaranya sendiri. Sebelum Habil dibunuh, saat ia mendengar ancaman
saudaranya, ia berkata kepada Qabil:
“Sungguh jika kamu menggerakkan tanganmu kepadaku
untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku
kepadamu untuk membunuhmu.”[344]
Dalam peperangan, Imam Ali as. juga memerintahkan para pengikutnya untuk tidak tergesa-gesa:
“Janganlah kalian memulai memerangi dan membunuh kecuali jika mereka yang memulainya terlebih dahulu.”[345]
Contoh lain persaingan yang tidak sehat dalam Al
Qur’an adalah kisah Iblis. Iblis telah beribadah kepada Allah swt.
selama enam ribu tahun dan berada di barisan malaikat. Namun setelah itu
derajatnya diturunkan karena rasa irinya dan ucapan kesombongannya:
“Engkau telah menciptakan aku dari api sedang ia dari tanah.” Iblis
seharusnya menyesali perbuatannya, justru ia semakin menjadi dan meminta
Allah swt. untuk diberi kesempatan hingga akhir hari kiamat untuk
menggoda umat manusia dan melencengkan mereka dari jalan yang benar
sebagai balas dendam.[346]
B. Pribadi yang selalu pesimis
Orang yang selalu berpandangan negatif dan pesimis,
karena ia menganggap kebanyakan orang dan kehidupan ini sebagai sesuatu
yang buruk, segala tekanan hidup yang ia rasakan benar-benar terasa
sangat menyiksa baginya. Saat ia berhadapan dengan kesusahan, ia
berputus asa; “Jika ia ditimpa kesusahan, ia beputus asa.”[347]
Allah swt. berfirman:
“Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah berbuat keterlaluan pada dirinya sendiri agar tidak berputus asa akan rahmat-Ku.”[348]
Orang yang beriman tidak akan pernah berputus asa
akan rahmat dan pertolongan Allah swt. saat mereka sedang ditimpa
musibah dan kesulitan. Bahkan di saat-saat seperti itu iman mereka
menjadi lebih kuat.[349]
Adapun orang-orang yang imannya lemah, hanya karena kehilangan nikmat
yang diberikan oleh Allah swt., mereka berputus asa dan mengkufuri.[350]
Orang-orang kafir dan munafik ketika diuji oleh Allah swt. merasa ketakutan karena kekafiran dan kemunafikan diri mereka,[351]
tanpa terkendali mereka berteriak-teriak dan saling menyalahkan satu
sama lain, seakan-akan mereka tertimpa masalah sebesar gunung-gunung.
“Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka.”[352]
Sedangkan jika seseorang berbaik sangka, maka pasti hatinya akan tenang dan agamanya akan terjaga[353]
serta kesedihannya akan lenyap.[354]
Imam Ali as. berkata:
“Anggaplah apa yang telah dilakukan oleh saudara seimanmu sebagai suatu yang baik kecuali sampai terbukti bahwa itu buruk.”[355]
Beliau menjelaskan alasan mengapa beliau memberikan nasehat seperti ini:
“Orang yang selalu berburuk sangka, tidak akan ada perdamaian dan ketentraman antara dia dan teman-temannya.”[356]
“Barang siapa tidak selalu berbaik sangka, niscaya akan merasa takut pada siapa saja.”[357]
Adapun mengapa orang-orang yang pesimis akan takut pada setiap orang, Imam Ali as. menjelaskan alasannya:
“Orang yang selalu berburuk sangka pada sesamanya,
tidak akan memandang orang lain sebagai orang yang baik, karena pada
hakikatnya ia sedang bercermin dan melihat dirinya sendiri.”[358]
Oleh karena itulah Al Qur’an menyarankan orang-orang yang beriman untuk tidak terlalu banyak mengira dan berprasangka:
“Jauhilah kebanyakan dari sangkaan-sangkaan.”[359]
C. Waswas dan keraguan
Waswas, adalah berperasaan yang macam-macam secara
tidak sadar. Orang-orang yang menderita penyakit ini, mungkin saja
mereka sadar akan penyakit yang sedang diderita,[360]
namun mereka tidak mampu meninggalkan kebiasan buruk tersebut. Mereka
terlalu berlebihan dalam memperhatikan kebersihan diri dan segala
sesuatu di sekitarnya, dan selalu waspada agar tidak ada kotoran yang
menempel pada badan dan pakaian mreka. Orang-orang seperti itu meskipun
kelihatannya berwibawa, tenang, tidak terlalu banyak tingkah, namun pada
kenyataanya tidak begitu; dalam hatinya selalu ada sesuatu yang
mengganjal dan mendesak.[361]
Dalam Al Qur’an disebutkan bahwa was-was berakar pada kekuatan tak terlihat yang disebut syaitan:
“Katakanlah aku berlindung pada Allah, Tuhan
manusia… dari gangguan was-was syaitan Khannas, yang selalu membisikkan
keraguan dan was-was pada hati manusia, dan juga (aku berlindung pada
Allah) dari gangguan jin dan manusia.”[362]
Imam Ali as. berkata tentang Khannas:
“Pekerjaan mereka adalah menyamarkan antara
kebenaran dan kebatilan. Mereka menguasai para wali Allah swt. dengan
cara mengambil sebagian dari kebenaran dan sebagian dari kebatilan.”[363]
Berdasarkan riwayat-riwayat Islami, kita harus
berlindung pada Allah swt. agar tidak menjadi orang yang was-was.
Penyakit ini, jika masih belum parah, dapat dengan mudah diobati,[364]
namun jika telah parah, penyakit itu akan mengganggu ketenangan penderitanya dan menciptakan semacam kegilaan pada dirinya.
Abdullah bin Sinan, mengenai seseorang yang
menderita penyakit ini berkata: “Orang ini sepertinya adalah orang yang
berakal.” Lalu Imam Shadiq as. berkata:
“Akal yang mana? Sedangkan ia selalu menaati syaitan.”[365]
Riwayat di atas menunjukkan bahwa orang-orang yang
menderita penyakit was-was mengalami masalah dalam berfikir dan
pemahaman. Oleh karena itu mereka meninggalkan hukum-hukum syariat dan
membiarkan diri sendiri terjerumus dalam kesusahan.
D. Kebimbangan dan kemunafkan (memiliki dua hati)
Ketika keraguan menimpa orang yang ingin mengambil
keputusan dalam perkara penting hidupnya, seperti pernikahan, pekerjaan,
jurusan kuliah, hal itu dapat membuatnya tertekan dan stres.
Kebimbangan dan keraguan adalah sebab berbagai macam penyakit kejiwaan
dan akarnya adalah perasaan kurang dan sifat suka mengikuti.
Masalah kebimbangan ada kaitannya dengan
kemunafikan (memiliki dua hati) yang mana Al Qur’an memandang masalah
ini dengan dua kedua sudut pandang di atas. Kebimbangan dan kemunafikan
adalah dua fenomena yang memiliki akar berbeda, meskipun keduanya
kebanyakan memiliki perwujudan yang sama dan kita dapat menggunakan
ayat-ayat Qur’an tentang kemunafikan dalam pembahasan ini, karena
kemunafikan, memiliki dua hati dan kebimbangan penyebabnya adalah satu:
tidak sampainya seseorang kepada keyakinan. Al Qur’an menjelaskan
tentang orang-orang munafik:
“Bangunan-bangunan yang mereka dirikan itu
senantiasa menjadi pangkal keraguan dalam hati mereka, kecuali bila hati
meeka telah hancur.”[366]
Tentang orang-orang yang tak mau berperang di perang Badar, Al Qur’an menjelaskan:
“Dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguaannya.”[367]
Manusia yang memiliki dua hati seringkali menipu
Tuhannya dan beribadah dengan niat ingin mendapatkan pujian orang lain
dan berdasarkan kemalasan. Orang yang memiliki dua hati, memiliki
penampilan dan lidah yang baik. Namun setiap saat mereka mendengar suara
apa saja, mereka mengira itu membahayakn diri mereka.[368]
Saat gendering perang dibunyikan, mereka begitu ketakutan seakan mereka
tak mau berada di situ. Sebabnya jelas sekali, mereka tidak memiliki
sandaran ruhani yang jelas dan selalu kehilangan kontrol saat menghadapi
berbagai permasalahan, seakan-akan nyawa mereka sedang dicabut.[369]
Orang-orang munafik selalu membenci orang yang beriman. Ketika mereka
berada bersama orang-orang yang beriman, mereka menampakkan keimanannya,
namun ketika mereka telah berada dalam kesendiriannya, mereka
berlawanan dengan kaum mukminin. Jika orang-orang yang beriman
mendapatkan kebahagiaan, mereka menggerutu di dalam hati dan jika
keburukan menimpa orang-orang yang beriman, mereka bersenang hati.[370]
7. Rasa kehampaan moral
Salah satu kriteria yang dimiliki manusia dan
berbeda dengan hewan-hewan adalah, ketika seorang manusia telah berbuat
salah atau ketinggalan kesempatan berharga, mereka menyesal. Dalam
keadaan seperti ini manusia merasakan penyesalan, dan terkadang justru
membuat mereka hasud, dan terkadang pula mereka merasa pribadi mereka
sedang berada dalam kehancuran. Masalah-maslah ini adalah faktor tekanan
jiwa dan terkadang menjadi faktor perbuatan jahat seperti pembunuhan.
Perasaan tersebut akan muncul di saat-saat seperti:
A. Mengingat hal yang tak menyenangkan (nafsul lawwamah)
Pengalaman pahit yang tersimpan di memori meski
terkesan mudah dilupakan, namun pada hakikatnya terus menerus terpendam
dalam hati. Masa lalu yang telah lenyap, tiba-tiba muncul seketika di
saat ini. Kebanyakan orang mengira banyak sekali hal yang telah ia
lupakan, padahal memori-memori itu bisa datang begitu saja dan bagaikan
angina topan membuat ketenangannya hancur. Para penulis dan penyair
adalah orang-orang pertama yang menyingkap masalah ini. Masa lalu yang
telah tersimpan dalam ingatan bawah sadar, lama kelamaan semakin
menumpuk dan secara tidak disadari akan mengarahkan pola pikir seseorang
ke arah-arah tertentu.
Al Qur’an memberikan berbagai contoh berkenaan
dengan masalah ini. Dalam contoh-contoh tersebut, manusia setelah
menyadari kesalahannya di masa lalu dan padamnya api amarah dan
syahwatnya, menghadapi topan yang dahsyat. Salah satu contoh itu adalah
penyesalan yang dirasakan Qabil yang telah membunuh Habil. Qabil
tiba-tiba menyadari betapa celakanya ia saat melihat tubuh saudaranya
yang tergeletak tak bernyawa lagi; “Maka ia menjadi golongan orang-orang
yang menyesal.”
Kriteria nafsul lawwamah adalah penyesalan pada
manusia. Al Qur’an menggambarkan keadaan tiga orang penyeleweng di
perang Tabuhk seperti ini:
“Bumi yang begitu luasnya bagi mereka seperti menjadi sempit dan mereka marsakan kesesakan pada dirinya.”[371]
Dalam Al Qur’an sering disebutkan
penyesalan-penyesalan umat para nabi-nabi akan keburukan mereka di masa
lampau; sebagai contoh, ada baiknya jika kita merujuk kembali pada kisah
nabi Yusuf as. dan saudara-saudaranya.
B. Perasaan berdosa
Dalam ilmu psikologi, maksud dari merasa berdosa
adalah perasaan sakit karena kesalahan dan dosa yang padahal tidak
pernah dilakukannya. Perasaan seperti ini termasuk penyakit kejiwaan
yang mana Islam juga memberikan perhatian khusus padanya. Namun perlu
disadari bahwa para psikolog berlebihan dalam menafsirkan fenomena ini
dan mereka tidak memisahkan antara perasaan dosa yang positif dengan
yang negatif.
Dalam agama Islam, seorang manusia jika merasakan
dengan hatinya bahwa ia memiliki dosa yang besar dan menyesali semua itu
serta berusaha untuk membayar kesalahan-kesalahannya, maka sifat
seperti itu merupakan sifat yang baik. Rasulullah saw. bersabda:
“Seorang yang beriman merasa dosanya sebesar gunung
yang membebani dadanya, tapi orang yang fasik merasa seakan hanya
seekor nyamuk yang telah lewat dari hadapan wajahnya.”[372]
Dalam Al Qur’an, setelah berkali-kali disebutkan sumpah-sumpah, dijelaskan bahwa:
“Sumpah demi jiwa dan penyempurnaannya
(ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan
dan ketakwaannya.”[373]
Dalam ayat lainnya disebutkan:
“Allah memebrikan petunjuk kepada keburukan dan kebaikan.”[374]
Sebagian ahli tafsir menjelaskan:
“Maksud dari memberikan petunjuk kepada keburukan
dan kebaikan adalah isyarah akan terciptanya pemahaman fitri yang telah
ditanamkan dalam diri manusia yang mana dengan pemahaman itu manusia
mengerti mana yang biak dan mana yang buruk. Oleh karena itu manusia
selalu merasa tidak suka dan dosa akan perbuatan buruk.”[375]
C. Hasud
Sebagian dari penyakit-penyakit kejiwaan-akhlaki
dalam hidup manusia memiliki peranan yang sangat mendasar. Hasud adalah
salah satu dari penyakit-penyakit tersebut. Kita dapat memperhatikan
sifat hasud dalam kisah nabi Ya’qub as. dan kesusahan yang menimpa
keluarganya. Nabi Ya’qub as. dengan perkiraannya mengerti akan rasa
hasud yang dilmiliki saudara-saudara nabi Yusuf as. Oleh karena itu ia
berkata kepada anaknya: “Janganlah kau ceritakan mimpimu ini kepada
saudara-saudaramu.” Diceburkannya nabi Yusuf as. kedalam sumur,
dijualnya beliau dengan harga yang tak seberapa, ditawannya beliau,
tinggalnya beliau di penjara, butanya nabi Ya’qub as., semua itu adalah
dampak rasa hasud. Begitu juga dengan tekanan-tekanan sosial, politik
dan kekeluargaan yang berakar pada rasa hasud. Contoh lain tentang hasud
dalam Al Qur’an adalah rasa hasud yang dimiliki oleh Iblis terhadap
nabi Adam as. lalu diturunnkannya ia dari sorga lalu ia mendapatkan
laknat dari Tuhan hingga hari kiamat.[376]
Oleh karena itu Al Qur’an memerintahkan orang-orang yang beriman untuk
berlindung kepada Allah swt. dari gangguan orang-orang yang hasud.[377]
D. Tuduhan bohong
Salah satu faktor tekanan jiwa adalah tuduhan
bohong yang membuat jiwa manusia lemah karena kepribadian orang yang
dituduh menjadi tercoreng. Orang-orang kafir dan munafik selalu berbuat
seperti ini terhadap para nabi. Al Qur’an memerintahkan sang nabi untuk
bersabar akan ulah orang-orang kafir yang suka menuduh:
“Bersabarlah atas apa yang mereka katakan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.”[378]
Al Qur’an mengingatkan bahwa menuduh para nabi
adalah perbuatan seluruh kaum kafir dan munafik sepanjang sejarah dan
semua para nabi sejak awal telah dituduh sebagai penyihir dan orang
gila.[379]
Kita dapat menyaksikan dampak tuduhan dan tekanan
jiwa yang dirasakan oleh Sayidah Maryam as. saat ia melahirkan
kandungannya. Saat itu ia berkata:
“Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan.”[380]
Memang memhon kematian bukan perbuatan yang benar,
namun di saat-saat tertentu saat suatu peristiwa buruk menimpa manusia,
segala harapan dan tujuan-tujuan mulianya tersapu angin begitu saja.
Sayidah Maryam as. lebih mencintai kesucian dirinya dari pada
kehidupannya dan kehormatan baginya adalah segala-galanya. Oleh karena
itu ia memohon kematian dari Allah swt.[381]
Dengan demikian dalam ayat di atas kita dapat memahami bagaimana dampak tuduhan dan tekanan jiwa yang dihasilkan karenanya.
Ternyat fitnah dan menuduh itu adalah dosa besar yang sulit dimaafkan. Imam Shadiq as. berkata bahwa Allah swt. berfirman:
“Barang siapa menyakiti hamba-Ku yang beriman, berarti ia telah mengajak-Ku berperang dengannya.”[382]
Betapa berat dosa ini sehingga Allah swt. berfirman sedemikian rupa.
8. Rasa kehampaan spiritual
Peradaban manusia saat ini sampai pada suatu titik
dimana selain terlihat kemajuan di bidang tekhnologi namun juga terlihat
semakin tingginya tingkat stres pada penduduknya. Rasa kehampaan
spiritual adalah salah satu faktor penting fenomena ini. Manusia di alam
yang serba luas ini menderita karena tidak memiliki tujuan dan tumpuan.
Di antara bentuk-bentuk rasa kehampaan spiritual ini adalah:
A. Hampanya jati diri
Berdasarkan hasil pooling yang diadakan Syura
Pendidikan Amerika, 68/8 persen penduduk Amerika berpendapat bahwa
menggapai falsafah kehidupan yang bermakna adalah tujuan yang paling
tinggi. Berdasarkan pooling lainnya, sebanyak 78 persen mahasiswa
menyatakan bahwa memahami arti hidup adalah tujuan utama mereka.
Berdasarkan penelitian Universitas Idaho, 51 dari 60 mahasiswa yang
nekat melakukan aksi bunuh diri, alasan mereka adalah karena mereka
menganggap hidup ini tidak memilik arti apa-apa. Padahal di antara ke-51
mahasiswa tersebut ada 48 mahasiswa yang benar-benar sehat secara fisik
dan aktif dalam kegiatan kuliah.[383]
Kehampaan jatidiri berakar pada beberapa masalah:
manusia tidak seperti hewan yang jalan hidupnya ditunjukkan oleh insting
dan nalurinya. Berbeda dengan manusia-manusia yang hidup di masa lalu,
kini maunusia enggan berprilaku sesuai dengan tradisi dan nilai-nilai.
Oleh karena itu, ia tidak tahu apa yang harus ia perbuat, apakah
mengikuti jejak langkah orang lain dan bergabung bersama kumpulan
sesamanya, ataukah harus berjalan sendiri dan hanya melakukan apa-apa
yang diinginkan oleh orang lain saja.[384]
Al Qur’an menerangkan sifat ini kepada kita melalui kisah-kisah dan
tamsil-tamsilnya tentang kaum kafir dalam berbagai ayat dan surah.
Terkadang Al Qur’an mengibaratkan amal orang-orang kafir bagai abu yang
beterbangan ditiup angin kencang, angin yang melenyapkan segala amal
amal baik mereka sampai tidak ada yang tersisa.[385]
Dalam surah An Nur amal perbuatan mereka diibaratkan sebagai
fatamorgana, yang mana orang-orang yang kehausan mengiranya sebagai
lautan air namun saat mereka mendekat ternyata tidak ada apa-apa.[386]
Al Qur’an juga mengibaratkannya sebagai gelapnya kedalaman laut, yang
dipermukaannya terdapat ombak keraguan, kebodohan dan amal buruk yang
berkecamuk, lalu langit di atasnya pun tertutupi oleh awan hitam
kekufuran yang pekat, sehingga saat tangannya dikedepankan, sama sekali
tidak dapat terlihat.[387]
Dalam surah Al Ankabut, tidak menentunya pribadi orang-orang munafik
diibaratkan sebagai sarang laba-laba. Prilaku mereka tidak menghasilkan
apa-apa selain kecelakaan bagi diri mereka sendiri.[388]
Adapun penyelesaian dan jalan terbaik untuk keluar dari masalah ini
adalah kembali pada keyakinan terhadap hari penciptaan dan hari
kebangkitan. Selama problema ini belum terselesaikan, tidak akan ada
yang dapat terlihat oleh mata selain fatamorgana.
Al Qur’an menganggap orang-orang munafik sebagai
orang kafir. Meskipun mereka mengaku beriman, namun kebalikannya yang
ada di hatinya. Karena dasar pemikiran mereka adalah keraguan, sama
seperti dasar pemikiran orang-orang kafir yang kosong akan kebenaran.
Dari segi kejiwaan, orang munafik sama seperti orang kafir, keduanya
tidak memiliki jatidiri yang baik.
B. Merasa sendiri dan terusir
Al Qur’an menyebutkan bahwa salah satu sebab
tekanan jiwa adalah keterusiran. Dampak rasa keterusiran ini nampak
dengan nyata dalam kisah nabi Yusuf as. dan saudara-saudaranya. Alasan
perbuatan keji mereka terhadap nabi Yusuf as. adalah kecintaan ayah
mereka kepadanya.[389]
Jadi, selain rasa iri dengki, mereka juga merasa terusir dari kasih
sayang ayah mereka dan mengira hanya nabi Yusuf as. saja yang dicintai;
oleh karena itu mereka bertekat untuk membunuh saudara sendiri.
Ketika seorang manusia merasa menginginkan seorang
anak, Al Qur’an menjelaskan bahwa keinginan tersebut ada kaitannya
dengan rasa kesendirian dan keterusiran. Sering kali orang yang hidupnya
sederhana dan memiliki rumah yang biasa-biasa saja namun dikaruniai
anak-anak yang sehat tetap merasa bahagia. Namun apabila seseorang tidak
memliki anak sebagaimana yang diinginkannya, meskipun kehidupannya
penuh dengan kecukupan dan kemewahan, mereka merasa ada yang kurang,
bagi mereka itu adalah suatu tekanan jiwa. Oleh karena itu, dalam Al
Qur’an kita membaca bahwa meskipun seorang nabi, jika ia diuji dengan
tidak dikaruniai seorang anak, mereka memohon dengan sangat agar tidak
mati tanpa diberi keturunan dan pewaris.
Nabi Zakariya as. memohon kepada Allah swt. agar ia tidak sendirian:
“Dan Zakariya berdoa kepada Tuhannya: “Ya Tuhanku, janganlah Kau biarkan aku sendiri, sungguh Engkau sebaik-baiknya pewaris.”[390]
Dalam ayat-ayat lainnya, saat Allah swt.
mengaruniai hambanya seorang anak, Ia menyebutnya sebagai berita
gembira, yang mana hal ini menunjukkan bahwa dengan dikaruniai seorang
anak, kesedihan yang dirasakn oleh seorang hamba tercabut dari hatinya.[391]
Contoh lainnya adalah kisah nabi Ibrahim as. dan istrinya, Sarah. Contoh
lain dari rasa keterasingan dan kesendirian adalah kisah kesedihan nabi
Ya’qub as. yang ditinggal oleh anaknya hingga matanya sampai buta
karena banyak menangis.[392]
C. Tiadanya sandaran dan tumpuan (lemahnya iman)
Menurut Al Qur’an, salah satu penyebab tekanan jiwa
adalah tidak dimilikinya sandaran dan tumpuan spiritual, karena saat
seseorang melupakan Tuhannya, hidupnya di dunia pun menjadi sukar
baginya:
“Dan barang siapa enggan mengingat-Ku, maka ia akan mendapatkan kehidupan yang susah.”[393]
Seseorang yang tidak memiliki sandaran jiwa, ia
tidak akan menemukan rasa cukup (qana’ah) yang menjadi makanan bagi
ruhnya, ia juga tidak akan mendapatkan kekuatan ruhani yang dapat
menjaganya dari gejolak nafsu dan syahwatnya, dan ia tidak akan
menemukan harapan yang dapat mengarahkannya ke masa depan yang baik.
Orang yang telah melupakan Tuhannya, harapan-harapannya hanya terbatas
pada dunia saja. Padahal dunia dan seluruh isinya yang materi ini tidak
akan bisa menyirami dahaga yang dirasakan jiwa. Orang seperti ini
selamanya berada dalam kefakiran spiritual dan di dalam hatinya selalu
terbayang hal-hal yang tidak mungkin ia dapatkan. Mereka selalu dalam
buaian angan-angan yang tak tercapai dan kekhawatiran akan sirnanya
kesenangan-kesenangan yang ia miliki. Masyarakat yang hampa akan iman,
setiap orang saling takut akan sesamanya, mereka tidak saling
mempercayai dan segala urusan hanya bertumpu pada keuntungan-keuntungan
pribadi. Al Qur’an berkata tentang orang-orang yang tidak memiliki
sandaran iman dalam hatinya:
“Sesungguhnya Kami telah memasang belenggu di leher
mereka, lalu tangan mereka (diangkat) ke dagu, maka karena itu mereka
tertengadah. Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang
mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka
tidak dapat melihat.”[394]
Orang-orang yang menjadikan kebiasan jahiliahnya
sebagai aturan kehidupan, bagaikan tawanan-tawanan yang dirantai dan
lehernya tergantung serta kepanya tertengadah melihat ke atas sehingga
tidak dapat melihat apa yang ada di samping dan sekitarnya. Dan lebih
dari itu, di hadapan dan belakang mereka terdapat dinding-dinding yang
tinggi. Tidak hanya berada dalam kesusahan saja, bahkan mata mereka
tidak dapat melihat kubangan-kubangan yang ada di jalannya.[395]
Dengan penjelasan lain, mereka tidak mendapatkan hidayah fitri dan juga tidak mendapatkan hidayah nadzari;[396]
mereka tidak mendapatkan kebahagiaan di akherat, dan tidak pula mendapatkan kebahagiaan di dunia;[397]
mereka tidak berhasil dalam sair afaq (perjalanan menuju ke atas) dan juga tidak berhasil dalam sair anfus (perjalanan jiwa).
D. Khurafat dan kepercayaan-kepercayaan batil
Khurafat dan adat istiadat jahiliah juga merupakan
faktor terwujudnya tekanan jiwa bagi manusia. Kebiasan membunuh
anak-anak perempuan di zaman jahiliyah adalah salah satu contoh yang
nyata dan jelas.
Dalam Al Qur’an, begini Allah swt. menggambarkan
wajah orang-orang di zaman itu saat mendengar bayi mereka yang terlahir
adalah perempuan:
“Setiap kali mereka mendapatkan kabar bahwa anaknya
adalah perempuan, muka mereka murung dan tidak rela; mereka pergi
menyendiri dari kaumnya dan tidak tahu apakah mereka harus menerima
keberadaan putri mereka disertai rasa hina, atau mengubur putri mereka
hidup-hidup.”[398]
Ayat di atas menjelaskan bagaimana tekanan jiwa
yang ditimbulkan oleh adat istiadat yang salah di zaman jahiliah.
Orang-orang Arab jahiliah saat itu berada dalam tekanan jiwa dari segala
arah: kefanatikan pada adat jahiliah dalam membunuh anak-anak
perempuan, keinginan memiliki anak,, pertentangan antara kecintaan
seorang ayah dan pembunuhan anak, dan lain sebagainya.
10. Keyakinan-keyakinan agama
Keyakian dan kepercayaan agama memiliki peranan
penting dalam mengurangi tekanan jiwa. Sebagian dari jalan keluar
permasalahan yang ditawarkan oleh kepercayaan dan keyakinan agama
tersebut adalah:
A. Tekanan tanggung jawab dan kewajiban
Berdasarkan ajaran agama, manusia bertanggung jawab atas amal perbuatannya. Imam Ali as. berkata:
“Kalian semua bertanggung jawab dan akan ditanya meski tentang apa yang kalian lakukan terhadap tanah dan hewan-hewan ternak.”[399]
Namun tanggung jawab setiap orang tidaklah sama. Karena ada beberapa tanggung jawab yang berat, seperti risalah kenabian:
“Kami akan menimpakan kepadamu perkataan (tanggung jawab) yang berat.”[400]
Allamah Thabathabai dalam penafsiran ayat ini menjelaskan:
“Perkataan yang berat yang dimaksud dalam ayat itu
adalah perkataan yang susah dimengerti dan diterima oleh manusia, atau
suatu amal dan tugas yang berat untuk dikerjakan. Al Qur’an adalah berat
dalam kedua makna di atas; beratnya Al Qur’an dari segi perkataan
adalah karena ia diturunkan dari sisi Allah yang memiliki dhahir dan
batin yang tidak akan dapat dimengerti kecuali oleh orang-orang yang
tersucikan. Dari segi amal dan tugas, jelas sekali Al Qur’an juga berat.
Betapa banyak derita, kesusahan, hijrah, peperangan dan segala
kesusahan lainnya yang harus ditanggung oleh Rasulullah saw. hanya untuk
menjalankan ayat-ayatnya. Jelas sekali beban seperti ini tidak mungkin
bisa ditanggung oleh orang-orang munafik dan mereka yang hatinya sakit.[401]
Terkadang tanggung jawab yang berat seperti ini tidak dapat ditanggung
oleh seorang manusia dengan sendirinya, seperti risalah nabi Musa as.
yang mana untuk menanggungnya beliau memohon kepada Allah swt. untuk
menjadikan nabi Harun as. sebagai pembantunya.”[402]
Salah satu tanggung jawab dan tugas yang memicu
tekanan jiwa adalah memberikan hidayah kepada umat manusia. Nabi adalah
orang yang bersedia untuk meneguk cawan ujian dan kepedihan cobaan.
Tugas mereka adalah tugas yang tidak dapat diemban orang biasa. Al
Marhum Thabrasi dalam Majma’ul Bayan menukil sebuah riwayat dari Ibnu
Abbas, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Surah Hud adalah surah yang
membuatku menjadi tua (merasa berat) karena di dalamnya ada ayat yang
berbunyi: “Bersabar dan bertahanlah sebagaimana yang telah diperintahkan
kepadamu dan orang-orang yang sabar bersamamu.”[403]
Rasa tersebut berakar pada tidak sabarnya umat Rasulullah saw.
Khusus bagi orang-orang yang spesial bagi Allah
swt., Ia memberikan tugas dan tanggung jawab yang berat. Nabi Ibrahim
as. mencapai kedudukan tertingginya setelah melewati berbagai ujian dan
cobaan. Ujian-ujian tersebut diantaranya adalah: merobohkan berhala,
dibakar di dalam api, meninggalkan istri muda dan anaknya di padang
tandus Makkah serta membawa anaknya, Ismail as. ke tempat penyembelihan.[404]
Contoh lainnya adalah tugas berjihad melawan kaum kafir. Al Qur’an menggambarkan keadaan Muslimin di perang Ahzab:
“Dan ingatlah ketika mereka datang pada kalian dari
arah atas dan dari bawah, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan dan
hati kalian naik menyesak sampai ketenggorokan dan kalian menyangka
terhadap Allah dengan bermacam-macam prasangka. Di situlah diuji
orang-orang mukmin dan digoncangkan hatinya dengan goncangan yang
sangat.”[405]
B. Takut akan kematian
Kematian adalah fenomena pahit yang membawakan tekanan kejiwaan. Tekanan tersebut dikarenakan beberapa hal berikut ini:
1. Kebanyakan kita sejak kecil melihat kematian
sebagai fenomena yang penuh dengan rasa sakit, luka, dan hancurnya
tubuh. Berdasarkan kaidah classical conditioning dalam ilmu psikologi,
mengingat kematian membuat seseorang membayangkan bayangan-bayangan
seperti ini dan membuatnya takut serta gelisah.
2. Kematian menyebabkan perpisahan dari orang-orang
yang dicintai dan luka yang tersayat karena peristiwa ini sangat sulit
diobati. Oleh karena itu kematian sangat dikhawatirkan terjadi.
3. Kita keseringan menganggap kematian sebagai
kesirnaan. Hal ini bertentangan dengan naluri manusia yang terdorong
untuk hidup lama dan abadi. Oleh karena itu tercipta daya tolak dalam
diri manusia akan kematian.[406]
Dalam pandangan Al Qur’an, kematian adalah perkara
alamiah dan umum, namun kematian itu bukanlah kesirnaan. Dalam pandangan
Al Qur’an dan riwayat, kematian adalah kelahiran baru dan perpindahan
alam menuju alam lain.[407]
Imam Sajjad as. menggambarkan kematian seperti ini:
“Kematian bagi orang yang beriman adalah
menanggalkan pakaian yang telah kotor dan mengenakan pakaian baru. Namun
bagi orang kafir kematian adalah menanggalkan pakaian yang mewah untuk
mengenakan pakaian yang kumal dan kotor.”[408]
Di hari Asyura, Imam Husain as. berkata kepada para sahabatnya:
“Kematian hanya sebuah jemkbatan yang akan
menghantarkan kalian dari kesusahan dan penderitaan (menuju taman-taman
indah di sorga).”
Beliau juga menukil perkatan Rasulullah saw.:
“Dunia adalah penjara bagi orang yang beriman dan
sorga bagi orang kafir. Kematian adalah jembatan bagi mereka menuju
taman-taman sorga dan bagi orang kafir adalah jembatan menuju neraka.”[409]
Di hadapan kematian, manusia terbagi menjadi beberapa kelompok:
1. Orang-orang yang lari dan takut
Orang-orang yang mengingkari adanya hari
kebangkitan berada pada kelompok ini. Saat kematian tiba menghampiri
mereka, mata sebagian dari mereka terbuka lebar,[410]
mereka baru menyadari hakikat yang sebenarnya lalu mereka memohon kepada
Tuhan agar mereka dikembalikan ke dunia, barangkali ia dapat
memperbaiki amal perbuatannya, namun permintaanmereka tidak dikabulkan.[411]
2. Orang-orang beriman yang memiliki amal buruk
Mereka adalah orang yang beriman namun mereka
sedikit melakukan amal kebajikan dan tidak mementingkan bekal perjalanan
untuk akherat mereka. Karena amal perbuatan buruk itu, mereka
berhadapan dengan sakaratul maut. Al Qur’an menyebut tekanan jiwa yang
disebabkan oleh rasa takut akan kematian dengan sebutan ghamaratul maut[412]
dan sakaratul maut.[413]
Dalam keadaan ini seorang manusia seperti orang yang sedang mabuk. Imam
Shadiq as. menjelaskan sakaratul maut dalam sebuah riwayat:
“Ikatan antar ruh dan badan yang telah berlangsung
dengan lama membuat manusia luar biasa kesakitan dan menderita saat ruh
tersebut dicabut dari badannya.”[414]
Imam Ali as. juga pernah menggambarkan bagaimana sakaratul maut:
“Sakaratul maut menyerang mereka bersamaan dengan
rasa sayang mereka karena harus meninggalkan segala yang pernah
dimiliki. Anggota tubuh mereka menjadi lemah dan lemas, wajah mereka
pucat. Sedikit demi sedikit kematian merenggut nyawa mereka, mereka
tidak dapat menggerakan lidahnya. Meski ia berada di tengah-tengah
keluarga sendiri, meski matanya melihat, telinganya mendengar, dan
pikiran yang sadar, ia tidak mampu berbicara. Saat itu juga ia merenungi
untuk apa sajakah ia telah menghabiskan umurnya dan bagiamana ia telah
menjalani hari-harinya.”[415]
Al Qur’an menjelaskan keadaan mereka saat malaikat maut sedang mencabut nyawa:
“Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat…”[416]
Dan keluarganya bertanya siapakah yang bisa
menyelamatkan orang sakit ini dari kematian? Sedang ia yakin kematian
akan merenggutnya. Lalu bedempetan betis kiri dan kanannya karena
dahsyatnya sakaratul maut dan kesedihan karena harus berpisa dari dunia.[417]
Ketika ruh telah sampai pada kerongkongan, semua
orang yang ada di sekitarnya gelisah dan ketakutan dan bingung mencari
jalan kesembuhan untuknya. Namun siapa kah yang dapat menyelamatkan
seseorang dari maut? Pada saati itulah harapan untuk hidup menjadi
sirna.
3. Orang-orang yang beriman dan beramal saleh
Mereka menghadapi maut dengan penuh ketenangan (nafs muthmainnah) dan dalam keadaan rela dan diridhai (radhiyatan mardhiya)[418]
menghadap ke hadirat Allah swt. Kematian orang yang beriman dan beramal
saleh begitu indah, pada detik-detik itu para nabi dan imam serta
wali-wali Allah swt. berziarah dan berkumpul di sekitarnya.[419]
Bab 4: Cara-cara menghadapi Tekanan Jiwa
Pendahuluan
Cara-cara menghadapi tekanan jiwa dapt dipraktekkan untuk mencapai dua tujuan utama:1. Mengurangi kemungkinan seseorang terkena tekanan jiwa saat menghadapi masalah-masalah yang berat dan berpotensi memicu stres.
2. Mengatasi dan menangani tekanan jawa saat seseorang sedang mengalaminya.
Untuk menghadapi masalah hidup tidaklah mudah, kita perlu melakukan banyak pembenahan dalam diri kita, baik membenahi cara berfikir, membenahi cara berprilaku dan juga membenahi bagaimana kita berperasaan (menata hati).
Membenahi cara berfikir
Di sini segalanya berhubungan dengan pemahaman pemikiran seseorang terhadap peristiwa atau hubungan antara individu tersebut dengan perisiwa-peristiwa, bagaimana seseorang memaknai hidupnya. Cara-cara menghadapi tekanan jiwa melalui pembenahan pemahaman di antaranya adalah:1. Kembali kepada fitrah
Ketenangan jiwa pada prinsipnya kembali kepada fitrah manusia. Fitrah adalah sesuatu yang alamiah pada diri manusia yang keberadaannya tidak terbatas pada obyek dan masa tertentu saja. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Al Qur’an bahwa penyakit-penyakit jiwa yang dialami oleh hamba-hamba pendosa berakar pada fitrah mereka. Oleh karena itu kembali kepada fitrah adalah cara terbaik menangani dan bahkan mengatasi tekanan jiwa. Dalam pembahasan fitrah penting sekali kita membahas beberapa masalah di bawah ini:A. Peranan fitrah dan syahwat
B. Mengalirnya fitrah
C. Kriteria-kriteria fitrah
D. Fitrah, satu-satunya obat ketenangan jiwa
E. Dampak-dampak melenceng dari fitrah
A. Peranan fitrah dan syahwat
Dalam ajaran Islam, manusia dapat menempuh salah satu di antara dua perjalanan: perjalanan naik ke atas yang disebut dengan as sair al ufuqi, yakni perjalanan yang dipimpin oleh akal dan fitrah (jiwa yang tenang); yang kedua perjalanan menurun kebawah yang disebut as sair an nuzuli, yang dipimpin oleh nafsu dan syahwat (jiwa yang sakit). Dalam diri manusia selalu berkecamuk dua dorongan antara mengikuti fitrah atau mengikuti syahwat. Saat seseorang memilih salah satu di antara keduanya, yang kedua itu tidaklah sirna, namun hanya melemah dan tersembunyi; pada saat-saat tertentu bisa jadi sisi yang terlupakan itu muncul kembali. Keduanya selalu bersifat seperti itu selamanya hingga akhir umur manusia. Tidak diragukan bahwa berat atau ringannya salah satu dari kedua itu dalam timbangan jiwa manusia memberikan dampak-dampak tertentu.Imam Ali as. berkata:
“Allah swt. menciptakan para malaikat dan hanya memberi mereka akal. Lalu Allah swt. menciptakan binatang dan hanya memberi mereka syahwat tanpa memberi akal. Namun Allah swt. menciptakan manusia dengan memberi mereka akal sekaligus syahwat. Maka orang yang akalnya mengalahkan syahwatnya, ia lebih tinggi dari para malaikat dan orang yang syahwatnya mengalahkan akal, ia lebih rendah dari binatang.”[420]
Imam Ali as. membandingkan antara akal dan syahwat. Lalu tentang syahwat beliau berkata:
“Kesalahan-kesalahan yang mana merupakan syahwat, bagaikan kuda yang liar yang membawa penunggangnya kemana-mana dan melemparkannya ke dalam api neraka; dan ketakwaan adalah akal, bagaikan tunggangan yang jinak dan tenang yang membawa penunggangnya masuk ke dalam sorga abadi.”[421]
B. Mengalirnya fitrah
Kata fitrah pada awal mulanya disebutkan dalam Al Qur’an dan orang-orang Arab sebelumnya tidak mengetahui maknanya.[422]
Fitrah sama seperti insting dan naluri, namun berada lebih tinggi
darinya. Lebih dari itu, insting identik dengan perkara-perkara materi,
namun fitrah identik dengan perkara-perkara maknawi dan manusiawi. Al
Qur’an menjelaskan bahwa fitrah mengalir pada diri setiap manusia dan
tetap padanya. Disebutkan: “Allah Tuhan kami yang telah memberikan
nikmat keberadaan (telah menciptakan) kepada semuanya dan memberinya
petunjuk menuju kesempurnaan.”[423]
“Dan Dia yang telah memberikan kadar pada segalanya dan mengarahkannnya.”[424]
“Ia yang telah mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya.”[425]
“Dan mengilhamkan padanya keburukan dan kebaikannya.”[426]
“Ia telah menjelaskan jalan menuju sorga dan neraka dan juga jalan kebenaran serta kebatilan.”[427]
“Ia telah memudahkan jalan petunjuk kepadanya.”[428]
Perlu kita yakini bahwa Allah swt. tidak memaksakan surga dan neraka
bagi manusia, manusia sendiri yang memilih jalan apa yang harus
ditempuh.[429]
Lalu Al Qur’an memerintahkan manusia untuk mengikuti fitrahnya:
“Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama yang suci, yang mana fitrah telah diciptakan berdasarkan itu.”[430]
Islam disebut dengan hanif yang artinya adalah suci dan simbang (saat tubuh bertumpu pada titik di antara dua kaki).[431]
Karena agama ini adalah agama keseimbangan, maka ketika seseorang
bertentangan dengan fitrahnya dan ajaran agamanya berarti ia telah
kehilangan keseimbangan batinnya dan tidak normal.[432]
Menurut Al Qur’an, keluar dari jalur fitrah dan agama suci Ibrahimi ini
adalah suatu bentuk penyakit jiwa yang disebut dengan kebodohan:
“Dan barang siapa enggan akan agama Ibrahim, maka tak lain ia telah membiarkan dirinya sendiri bodoh.”[433]
Dalam Tafsir Al Mizan disebutkan bahwa menolak
agama Ibrahim as. sama seperti kebodohan dan tidak faham akan keuntungan
dan kerugian bagi diri sendiri. Dalam sebuah hadis disebutkan:
“Akal adalah sesuatu yang dengannya Allah swt. disembah dan dengannya pula surga itu digapai.”[434]
C. Kriteria-kriteria fitrah
Fitrah memiliki banyak sekali kriteria yang di antaranya adalah:
1. Bersifat umum
Fitrat bagi seluruh umat manusia sama. Oleh karena
itu kita dapat menciptakan satu hukum global yang berlaku bagi semuanya.
Sebagai contoh, kita harus memperlakukan orang lain dengan sebagaimana
kita suka diperlakukan sedemikian rupa dan tidak boleh sebaliknya.[435]
Rasulullah saw. juga bersabda:
“Bersikaplah kepada sesamamu sebagaimana kamu ingin disikapi seperti itu oleh mereka.”[436]
2. Murni dan jauh dari polesan
Seorang anak kecil, selama ia tidak mempelajari
sifat-sifat buruk seperti berbohong dari lingkungan sekitar dan
keluarganya, mereka akan selalu berkata jujur. Rasulullah saw.
mengibaratkan hati anak-anak kecil seperti ladang yang masih kosong dan
benih apa saja yang ditebar di atasnya pasti akan tumbuh besar.[437]
Dalam riwayat lainnya beliau bersabda:
“Setiap manusia dilahirkan pada fitrah yang suci, lalu orang tuam mereka lah yang menjadikannya pengikut Yahudi atau Masehi.”[438]
3. Neraca kebaikan dan keburukan
Berdasarkan Al Qur’an, seseungguhnya manusia menyadari keadaan dirinya, meskipun ia mengemukakan alasan-alasannya.[439]
Allah swt. telah menjelaskan jalan-jalan menuju surga dan neraka kepadanya.[440]
Ia yang telah mengilhamkan kepadanya kebaikan dan keburukannya.[441]
Ustad Muhammad Taqi Ja’fari menyebut fitrah sebagai neraca kebaikan dan
keburukan, sebuah neraca yang menunjukkan jalan kepada manusia melalui
empat tahapan:
A. Pemahaman akan kebaikan dan keburukan
B. Mewujudkan dorongan untuk berkembang
C. Menyingkap dan memberikan aturan dalam rangka memenuhi dorongan-dorongan untuk berkembang menuju kesempurnaan
D. Menunjukkan jalur menuju perkembangan dan jalur ketergelinciran
Fitrah yang ada di diri manusia dalam menimbang
masalah bekerja dengan dua bentuk: menimbang realita-realita berdasarkan
fitrah yang jelas dan rasional serta mewujudkan reaksi emosional
terhadap prilaku diri sendiri. Jadi fitrah memiliki dua dimensi
emosional dan rasional yang mana keduanya digunakan untuk menimbang
kebaikan dan keburukan.[442]
4. Mencela diri sendiri saat berbuat salah
Karena fitrah bersifat condong kepada kesempurnaan,
maka saat seseorang melenceng dari jalur menuju kesempurnaan dirinya
secara alamiah akan merasakan penyesalan dan cacian terhadap diri
sendiri. Al Qur’an menyebut keadaan fitrah ini dengan sebutan nafsul
lawwamah (jiwa yang mencaci).[443]
Dengan mekanisme pencacian terhadap diri sendiri, fitrah mendorong
manusia untuk kembali kepada jalan yang benar. Dalam keadaan ini muncul
kegelisahan dan tekanan jiwa dan terkadang tingkat keparahannya tinggi
serta mendorong seseorang untuk bunuh diri.[444]
Penyesalan dan taubat nabi Adam as.,[445]
keadaan Qabil setelah membunuh saudaranya,[446]
penyesalan manusia di hari kiamat atas kawan-kawannya yang sesat,[447]
adalah contoh-contoh yang diisyarahkan Al Qur’an dalam menggambarkan nafsul lawwamah.
D. Fitrah, satu-satunya obat ketenangan jiwa
Poin penting yang perlu disinggung dalam masalah
kesehatan jiwa adalah tidak cukupnya dijalankannya satu atau dua ajaran
agama saja dalam mencapai kebahagiaan. Manusia harus menjalankan semua
ajaran Tuhan[448]
agar ia dapat mencapai kebahagiaan abadi. Al Qur’an menyebut seluruh
ajaran-ajaran suci Islam sebagai jembatan yang lurus (shiratul
mustaqim).[449]
Seorang manusia harus memiliki keimanan dan pandangan yang benar agar tidak melenceng dari jalan yang lurus,[450]
karena jalan-jalan yang lain hanyalah jalan kesesatan. Sekumpulan
ajaran-ajaran Al Qur’an adalah dzikrullah (dzikir dan mengingat Allah
swt.). Menjalankan dan memperhatikan semua ajaran itu membuat manusia
berada dalam ketentraman, ketenangan jiwa, pertumbuhan dan kedekatan
kepada Allah swt.[451]
Sebaliknya melenceng dari fitrah adalah kesesakan jiwa.[452]
Al Qur’an menyebutkan bahwa shiratul mustaqim itu adalah jalan Allah
yang lurus dan selain orang-orang yang beriman, beramal saleh, orang
yang saling menasehati akan kebaikan dan kesabaran, adalah orang-orang
yang merugi.[453]
E. Dampak-dampak melenceng dari fitrah
Orang yang melenceng dari fitrah bagaikan seekor
laba-laba yang melilit diri dengan sarangnya sendiri, semakin banyak hal
yang dilakukannya, kebingungan dan kesesatannya semakin jauh pula.[454]
Berjalan di luar jalur fitrah adalah pelencengan yang besar dan membuat
hati menjadi terhijabi, cacat, akal menjadi kalah nafsu memenangi.[455]
Dalam keadaan ini akan timbul berbagai macam penyakit hati yang di antaranya adalah:
1. Hati bagai besi yang berkarat
Imam Shadiq as. berkata:
“Dengan berbuat dosa, muncul satu titik hitam dalam
hatinya yang mulanya putih bersih. Jika ia terus menerus berbuat dosa,
maka titik hitam itu akan semakin banyak hingga seluruh hatinya menjadi
hitam. Dalam keadaan ini hati seperti besi yang berkarat. Oleh karena
itu Allah swt. berfirman: “Sekali-kali tidak, sesungguhnya apa yang
telah mereka lakukan telah menutupi hati mereka.”[456]
2. Hijab yang menutupi hati
Hijab yang menutupi hati membuat manusia tidak dapat melihat hakikat-hakikat.[457]
Mereka adalah orang-orang yang mata kepalanya terbuka namun mata hatinya buta.[458]
3. Rasa takut yang sangat
Rasa takut yang sangat membuat seseorang lari dari
peperangan yang diwajibkan Allah. Meskipun mereka nampaknya adalah orang
yang bersatu dan bicaranya menarik, namun nyatanya mereka
bercerai-berai dan tidak berguna. Al Qur’an berkata tentang orang-orang
yang berpenyakit ini:
“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang
berada dalam kegelapan gulita lalu kilatan petir menyambar dan membuat
mereka begitu takut akan kematian (mereka khawatir petir itu akan
menyambar mereka).”[459]
“Rasa takut telah menguasai hati mereka… Kalian menyangka mereka bersatu, namun nyatanya hati-hati mereka bercerai-berai.”[460]
“Dhahir mereka terhiasi dan indah,
perkataan-perkataan mereka juga menarik, namun kenyataannya mereka
bagaikan kayu kering dan rapuh yang menyangga sebuah dinding.”[461]
2. Memahami permasalahan
Merujuk kepada orang yang ahli dalam memecahkan
suatu permasalahan, adalah upaya yang rasional baik dalam urusan-urusan
materi maupun spiritual. Al Qur’an menyarankan kita untuk merujuk kepada
orang-orang yang pakar dalam segala urusan. Disebutkan bahwa:
“Dan bertanyalah kepada ahlul dzikr (orang yang mempunyai pengetahuan) jika kalian tidak mengetahui.”[462]
Ayat ini mengarahkan semua manusia pada sebuah
prinsip yang rasional. Atas dasar ini, orang yang memiliki masalah
kejiwaan, hendaknya merujuk kepada para ahli jiwa.[463]
Ahlul Bait as. menjelaskan bahwa ahlul dzikr
(orang-orang yang memiliki pengetahuan) adalah Rasulullah saw. dan para
imam. Imam Ja’far Shadiq as. berkata:
“Kami adalah ahlul dzikr dan hendaknya siapa saja bertanya kepada kami.”[464]
Namun yang pasti riwayat tersebut berusaha
menunjukkan obyek yang paling sempurna dari ahlul dzikr dan menerima
riwayat tesebut tidak bertentangan dengan ke-umuman ayat. Oleh karena
itu para faqih dan ahli ilmu ushul untuk menetapkan kewajiban taqlid
menjadikan ayat di atas sebagai dalil dan alasannya. Perlu diingat juga
di sini bahwa yang dimaksud “memahami permasalahan” tidak hanya terbatas
dalam merujuk kepada para ahli, kita juga harus memahami dengan
sendirinya akan lingkungan sekitar yang menjadi lahan munculnya
faktor-faktor stres dan tekanan jiwa. Imam Ali as. begitu mementingkan
pemahaman akan situasi dan kondisi:
“Merubah sistim pemerintahan, adalah merubah (nilai-nilai sosial dan) kondisi.”[465]
“Orang yang berfikiran luas dan tajam adalah orang yang memahami kondisi dan masanya.”[466]
“Orang yang memiliki pemahaman lebih banyak akan zaman, ia tidak akan terheran-heran akan peristiwa yang terjadi di zaman itu.”[467]
Jadi, di antara cara menangani tekanan jiwa adalah
merujuk kepada para ahli, mengenal waktu dengan baik dan dalam, dan
bersikap baik terhadap masyarakat. Karena dalam pandangan psikologi
untuk mencegah terjadinya gangguan-gangguan kejiwaan kita perlu
memperhatikan sistim-sistim prinsip dan cabang-cabangnya.[468]
Yang jelas mengutarakan pertanyaan harus dengan
tujuan agar kita bebas dari kebodohan dan mendapatkan pengetahuan dengan
tulus. Karena pertanyaan-pertanyaan bodoh[469]
seperti yang pernah ditanyakan oleh Bani Israil[470]
hanya akan menciptakan rasa was-was dalam diri manusia dan justru
mempersulit urusan. Oleh karena itu kita dilarang untuk bertanya dengan
pertanyaan-pertanyaan yang bodoh.[471]
3. Nalar keseimbangan (mencari makna)
Nalar keseimbangan, adalah sebuah teori yang
dituarakan oleh Antonovsky pada tahun 1987. Teori itu adalah hasil
penelitiaannya yang dilakukan terhadap para mantan pekerja paksa. Ia
mendapati beberapa orang di antara mereka, meskipun telah mengalami
tekanan dan beban yang berat dalam kesehariannya, namun mereka tetap
sehat secara fisik dan psikis.[472]
Victor Francle juga mengadakan penelitian yang sama dan ia berkata:
“Mengapa sebagian orang dari mereka dapat bertahan
sedangkan kebanyakan yang lainnya tidak? Mereka yang bertahan hidup
adalah orang-orang yang tetap menjaga harapannya untuk tetap hidup di
dalam hati meskipun sesusah apapun hari yang harus mereka jalani. Mereka
semua sama-sama pernah merasakan kelaparan, kegelisahan, siksaan gaik
fisik maupun psikis; namun mereka yang berhasil untuk tetap hidup dapat
keluar dari lingkaran siksa itu dan hidup dengan normal selayaknya orang
biasa. Menurut mereka, apa yang telah membuat mereka bisa bertahan di
hadapan fenomena pembunuhan, pembantaian dan seluruh kejahatan kekejaman
rezim Nazi?”
Kemudian Francle mendapatkan jawabannya yang berdasarkan ucapan Neitzche dan ia menyimpulkan:
“Orang yang memiliki alasan dan harapan, akan kuat menjalani segala keadaan.”[473]
Agama Islam memberikan ajaran-ajaran sucinya kepada
manusia agar memiliki pandangan dunia yang benar. Orang-orang yang
beriman mempercayai akan adanya campur tangan Tuhan dan para
malaikat-Nya dalam pengaturan alam semesta. Mereka menerima keadaan apa
saja yang menimpa diri mereka dengan tulus. Oleh karena itu para nabi
dan orang-orang yang dekat dengan Allah swt. memiliki watak yang tegar
dan tangguh. Al Qur’an menyebutkan tentang mereka:
“Mereka adalah orang-orang yang ketika mendengar
ada yang memberi kabar: “sekelompok musuh sedang berkumpul untuk
menyerang dan memerangi kalian, maka takutlah akan mereka!” Justru iman
mereka semakin bertambah dan berkata: “Cukup bagi kami Allah swt.
sebagai Tuhan kami dan Ia adalah sebaik-baiknya penolong.”
Dan juga mereka yang berkata “Tuhan kami adalah
Allah.”, lalu mereka bertahan dan bersabar, para malaikat Allah akan
membantu mereka. Mereka bukan orang yang takut, dan juga tidak bersedih
akan kesusahan.”[474]
Manusia yang memiliki iman, tidak merasa takut akan kekurangan dan kezaliman.[475]
Para wali Allah swt. sama sekali tidak merasakan takut dan kesedihan dalam hati mereka.[476]
Saat mereka tertimpa musibah, mereka mengucapkan “inna lillahi wa inna
ilaihi rajiun” (sesungguhnya kami dari Allah swt. dan kepada-Nya lah
kami kembali).[477]
Dalam pandangan Islam, Allah swt. akan meberikan ganti dan balasan di
dunia dan akherat. Namun bagi orang-orang materealis, mereka tidak
mempercayai adalnya balasan. Oleh karena itu para pemburu dunia lebih
sering mengalami tekanan jiwa dan keputus asaan dan betapa banyak di
antara mereka yang sampai berani bunuh diri.[478]
Jadi, dalam masalah menentukan tujuan dan mencari
makna, dapat dikatakan bahwa orang yang beriman tidak akan berhadapan
dengan jalan buntu dalam hidupnya, mereka lebih fleksibel dalam setiap
keadaan, karena mereka menganggap kehidupan di alam ini hanya sebatas
pembuka untuk kehidupan di surga yang penuh keridhaan Ilahi.
4. Mencari sandaran jiwa (harapan dan iman)
Bergson pernah menulis: “Untuk menghadapi hantaman-hantaman penuh bahaya dalam kehidupan ini, kita memerlukan sandaran ruhani.”[479]
Maueice Toesca mengungkapkan penyesalannya akan kurangnya penyandaran
jiwa dan penghinaan terhadap etika dan moral, warisan-warisan besar
dunia sepert nabi Muhammad saw., nabi Isa as., dan pemikir-pemikir besar
seperti Plato, Konfusius, dan Budha, serta para filsuf besar setelah
mereka. Ia berkata:
“Aturan-aturan moral dan spiritual yang selama ini
dianggap remeh dan hina, serta dianggap sebagai pola pikir terbelakang,
tabu, tradisi kuno, dan lain sebagainya, padahal pada hakikatnya
merupakan lentera petunjuk yang dapat menerangi jalan utama kehidupan
manusia. Meskipun secara sekilas aturan-aturan itu tampak mengekang dan
berat, namun tujuan-tujuan di balik itu adalah terjaminya kenyamanan dan
keamanan bagi kita sendiri…”[480]
Ketika rasa takut yang dahsyat telah meliputi jiwa
seorang manusia, satu-satunya upaya terbaik yang dapat dilakukan untuk
menghadapinya adalah percaya diri dan iman. Dengan bersandar pada iman
kita dapat melewati detik-detik seberat dan seperti apapun
menakutkannya.
Pada perang dunia kedua, seorang prajurit terpisah
dari kelompoknya. Ia tesesat dalam hutan lebat yang gelap dalam keadaan
sendirian. Setiap ia melangkahkan kakinya, saat itu juga ia merasa ada
musuh yang bersembunyi di balik pepohonan yang siap menghujaninya dengan
tembakan kapan saja. Ia gugup bergetar dan ketakutan sampai ia tidak
mampu berjalan. Namun tak lama kemudian, ia merenungi ketakutannya
hingga ia menyadari untuk apa ia harus takut. Lalu dengan keras ia
berteriak: “Tuhan bersamaku! Aku tidak perlu takut.” Lalu tiba-tiba ia
kehilangan rasa takut tersebut karena berhasil mengalahkannya.”[481]
Ketika kita yakin bahwa ada kekuatan yang maha
besar ada dalam hidup kita (yaitu Tuhan), maka pikiran-pikiran batil
akan lenyap dari benak kita dan begitu juga rasa takut tak lagi
menghantui diri kita. Dalam Al Qur’an disebutkan:
“Orang-orang yang beriman dan tidak menodai iman
mereka dengan kezaliman, mereka adalah orang-orang yang bagi merekalah
keamanan dan mereka termasuk orang-orang yang mendapatkan petunjuk.”[482]
Ayat ini adalah ayat yang paling jelas maknanya
berkenaan dengan ketenangan jiwa. Untuk memahami lebih dalam akan makna
ayat tersebut, kita perlu memperhatikan beberapa poin penting di bawh
ini:
A. Dari segi sastra Arab, dalam ayat di atas
terdapat berbagai penekanan. Jumlah ismiyah yang berbunyi lahumul amnu
(bagi merekalah keamanan) adalah khabar bagi ulaika (mereka) dan
keseluruhan jumlah ismiyah tersebut adalah khabar bagi alladzina amanu;
lalu kata wa hum muhtadun (dan mereka termasuk orang-orang yang
mendapatkan petunjuk) sebagai ‘atf bagi kata lahumul amnu (bagi
merekalah keamanan) menunjukkan kepada kita bahwa keamanan dan petunjuk
tidak akan diberikan kecuali kepada orang-orang yang beriman.
B. Ketenangan dan petunjuk adalah buah hasil dari
keimanan, dengan syarat keimanan itu tidak dinodai dengan kezaliman.
Kata labs memiliki arti “menutupi” dan “menyelubungi”. Ayat di atas
mengisyarahkan kepada kita bahwa kezaliman tidak membinasakan dan
minadakan fitrah, tapi hanya menutupi dan menjadi tabir yang menghalangi
baginya, dan dengan demikian suara-suara fitrah tidak lagi dapat
terdengar.
C. Kata dzulm dalam ayat tersebut berupa nakirah fi
siyaqi nafsi, dan menunjukkan keumuman, namun dengan adanya qarinah
siyaq, maksudnya adalah kezaliman yang memberikan dampak buruk pada
iman. Kezaliman juga memiliki tingkatan-tingkatan sebagaimana iman.
Setiap tingkatan kezaliman adalah lawan dari tingkatan iman. Oleh karena
itu keamanan dan petunjuk juga memiliki tingkatan-tingkatan. Ketika
iman seseorang semakin tinggi, derajat keamanan dan petunjuk baginya
juga semakin tinggi.[483]
Dalam analisa psikologis, tentang iman kita harus
mengingat beberapa hal: orang yang memiliki iman terhadap Tuhan merasa
bahwa segala urusannya berada di bawah pengaturan tangan Tuhan; ia
meyakini Tuhan sebagai pemberi rizki dan dzat yang maha kuat yang
sebenarnya; ia menganggap kesedihan dan kegembiraan adalah ujian yang
diturunkan oleh Tuhan; kesehatan, keselamatan dan taufik untuk mengikuti
petunjuk yang benar bagi orang yang beriman adalah bentuk kasih sayang
Tuhan; dan yang paling menakjubkan di antara semua itu, ia menganggap
Tuhan sebagai pelindung terbesar baginya. Dalam Al Qur’an disebutkan:
“Sesungguhnya shalatku, ketaatanku, hidup dan matiku adalah untuk Allah Tuhan semesta alam.”[484]
“Sesungguhnya Allah lah sang pemberi rizki dan pemilik kekuatan yang dahsyat.”[485]
“Tidak ada satu pun makhluk hidup yang berjalan di muka bumi kecuali Allah-lah yang memberi rizki kepadanya.”[486]
Orang yang beriman meyakini bahwa kematian adalah
hal yang pasti bagi semua orang: “Setiap yang hidup pasti akan merasakan
mati.”[487]
Tak satupun ada yang bisa lari dari kematian[488]
dan panjang atau pendeknya umur seseorang sudah ada dalam catatan Tuhan.[489]
Oleh karena itu tak selayaknya orang yang beriman berputus asa akan rahmat Allah swt. dalam setiap keadaan[490]
dan merasa saat memohon kepada Tuhannya maka doa dan permohonannya akan dikabulkan.[491]
Kesedihan dan kebahagiaan adalah cobaan dari Tuhan:
“Allah adalah dzat yang membuat (hambanya) tertawa dan menangis.”[492]
“Dialah yang memberiku makan dan minu, dan saat aku sakit Ia lah yang menyembuhkan.”[493]
“Sesungguhnya Allah akan membela dan melindungi orang yang beriman.”[494]
Keyakinan-keyakinan seperti ini membuat orang yang
beriman menjadi yakin dan tak kehilangan harapan. Oleh karena itu mereka
selalu bertawakal kepada Allah swt. Karena mereka tahu bahwa:
“Dan barang siapa bertawakal dan berserah kepada Allah, maka cukuplah Allah baginya.”[495]
“Tidakkah Allah itu cukup untuk hamba-Nya?”[496]
Jika orang yang seperti ini dan memiliki iman yang
begini tidak mendapatkan ketenangan, maka tak diragukan lagi bahwa
keimanannya telah ternodai dengan kezaliman. Semakin iman tertutupi debu
kezaliman, dengan kadar itu jugalah ia kehilangan ketenangan dan
petunjuk.
5. Perubahan dalam batin
Salah satu cara menghadapi tekanan jiwa adalah
menciptakan sebuah perubahan besar dalam batin dan jiwa kita dalam
naungan iman dan kembali kepada Allah swt. Perubahan ini membuat seorang
manusia mendapatkan sebuah kekuatan yang tak terbayang dalam dirinya
sehingga dengan kekuatan itu ia mampu melewati segala rintangan dan
kesusahan yang dihadapinya.
Berkenaan dengan pembahasan ini, dalam Al Qur’an
telah disebutkan kisah nabi Musa as. dan para penyihir Fir’aun. Ketika
nabi Musa as. melemparkan tongkatnya ke tanah, tongkat itu berubah
menjadi ular besar yang menelan semua peralatan-peralatan para sihir
Fir’aun, kemudian mereka takjub dan bersujud sambil bersaksi bahwa tiada
Tuhan selain Allah:
“Kami beriman kepada Tuhan semesta alam, Tuhan (nya) Musa dan Harun.”
Kemudian Fir’aun marah melihat itu dan berkata:
“Apakah kalian mengimani Musa tanpa seizinku?
Sesungguhnya Musa adalah guru kalian. Aku akan menghukum kalian,
memotong tangan dan kaki kalian serta menggantung kalian bersama-sama.”
Mereka berkata:
“Kami tidak takut akan kematian, karena setelah
mati kami akan kembali kepada Tuhan dan kami berharap Ia mengampuni
dosa-dosa kami.”[497]
Perubahan dalam hati para penyihir itu membuat
mereka begitu berani bahkan di hadpan ancaman mati Fir’aun. Mereka juga
menjawab ancaman Fir’aun dengan berkata:
“Lakukan apapun yang ingin kau lakukan. Engkau hanya mampu menghukum (seenakmu) di dunia saja.”[498]
Istri Fir’aun dengan melihat mukjizat nabi Musa as.
dan keimanan para penyihir hatinya mulai berubah. Ia mengimani nabi
Musa as. dan bertahan di hadapan ancaman-ancaman Fir’aun. Lalu Fir’aun
memerintahkan anak buahnya untuk memaku tangan dan kaki istrinya sendiri
dan lalu ditindihkan batu besar di atas dadanya di bawah terik sinar
matahari hingga mati.[499]
Istrinya menganggap istana Fir’aun adalah sesuatu yang hina dan memohon
kepada Allah swt. sebuah istana yang benar-benar megah di surga.
6. Prinsip qadha dan qadar serta tidak adanya hal-hal kebetulan
Salah satu cara terbaik yang diajarkan Islam untuk
menghadapi tekanan jiwa adalah keyakinan akan Qadha dan Qadar. Dalam
pandangan ini, segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang bersifat
kebetulan, dan segalanya berada dalam pengaturan Allah swt. Seorang yang
beriman, meskipun ia meyakini bahwa tidak ada jabr (yakni segala
perbuatan yang kita lakukan kita lah yang bertanggung jawab) dalam hidup
ini, tetap berkeyakinan bahwa Allah swt. adalah suber segala gerak dan
efek serta Ia lah pencipta semua maujud.[500]
Dengan pola pikir seperti ini, seorang manusia tidak akan berhadapan
dengan jalan buntu dalam hidupnya, segala musibah yang menimpa adalah
atas kehendak-Nya dan segala perkara telah ditakdirkan-Nya.
Imam Ali as. berkata:
“Segala perkara mengikuti qadha dan qadar. Mati dan
hidup manusia ada dalam pengaturan-Nya. Oleh karena itu, manusia tidak
boleh hanya bersandar pada pemikirannya saja (tanpa mengingat adalanya
qadha dan qadar).”[501]
Oleh karena itu, orang-orang yang beriman selalu mengembalikan segala urusannya kepada kehendak Allah;[502]
ketika mereka mengambil keputusan, mereka bertawakal[503]
lalu berusaha, dan mereka tidak pernah takut akan kegagalan:
“Katakanlah: apakah kalian mengharap dari kami selain dari dua kebaikan (kemenangan atau kesyahidan)?”[504]
Dalam pandangan orang-orang yang beriman, kegagalan
secara materi memiliki banyak hikmah, yang salah satunya mungkin agar
menjadi wasilah dan perantara kesuksesan-kesuksesan lainnya. Rasulullah
saw. bersabda:
“Sungguh menakjubkan, Allah swt. tidak mentakdirkan
kebahagiaan dan kesusahan bagi seorang yang beriman melainkan ada
kebaikan di dalamnya untuknya. Saat Ia menguji hambanya dengan
kesusahan, itu adalah untuk menghapus dosa-dosanya; adapun jika
mencurahkan karunia dan kesenangan, maka itu adalah rahmat dari-Nya.”[505]
7. Prinsip tawakal
Salah satu cara lainnya untuk menghadapi tekanan
jiwa adalah tawakal dan berserah diri kepada Allah swt. Tawakal adalah
sifat yang bersumber dari keyakinan seseorang akan qadha dan qadar Ilahi
serta tauhid af’ali.
Manusia harus memahami bahwa segala daya dan usaha,
serta pengaturan yang ia lakukan dalam hidupnya, berada di bawah kuasa
pengaturan dan sunnah Tuhan, sunnah yang tidak akan pernah berubah.[506]
Tawakal adalah, manusia tidak boleh sombong dengan
pengaturan dan perencanaannya dalam hidup, takdir Allah juga harus harus
diingat keberadaannya, dan ketika usahanya tidak berhasil, janganlah
bergundah hati dan kesal.
“Aku menyerahkan urusanku kepada Allah, sesungguhnya Allah maha melihat hamba-hamba-Nya.”[507]
Namun tawakal tidak boleh disalah artikan menjadi
pasrah tanpa usaha dan membiarkan perkara kita terbengkalai begitu saja.
Karena manusia tidak akan mendapatkan sesuatu tanpa ia berusaha untuk
mendapatkannya.[508]
Dan Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum selama kaum itu sendiri tidak bergegas untuk merubah pola dan prilakunya.[509]
8. Berpandangan positif terhadap kematian
Jika kita tidak ingin terjerumus dalam jeratan
stres dan tekanan jiwa, salah satu caranya adalah memiliki pandangan
positif terhadap kematian. Berdasarkan pandangan Al Qur’an, kematian
adalah perpindahan dari satu alam ke alam yang lain. Oleh karena itu
berpandangan sedemikian rupa akan menciptakan ketentraman di hati saat
mengingat kematian, bukannya rasa takut dan stres. Karena dengan
kematian itulah seseorang akan masuk ke suatu alam yang di dalamnya
dapat merasakan keridhaan Allah, liqa’ (bertemu) dengann-Nya,[510]
merasakan kenikmatan surga dan segala kebahagiaan yang ada.
9. Antara menjalankan tugas dan hasilnya
Dalam agama ini kita diajarkan untuk hanya
berkonsentrasi pada penjalanan tugas, bukan merenung dan memikirkan
hasil-hasil yang bakal didapati. Manusia memiliki tugas dan kewajiban,[511]
dan itu pun seseuai dengan kadar kemampuannya.[512]
Dalam keadaan ini, mungkin salah satu faktor yang memicu stres pada
seseorang adalah tidak tergapainya tujuan dijalankannya tugas.
Kebanyakan orang pun selalu gelisah saat menjalankan tugasnya, apakah ia
akan meraih tujuannya ataukah tidak.
Namun Al Qur’an mengajarkan kita suatu cara agar
kita tidak terjerat dalam masalah ini. Yaitu kita hanya perlu
berkonsentrasi dalam penjalanan tugas, dan saat kita tidak berhasil
meraih tujuan kita, kita tidak boleh kehilangan semangat atau bersedih,
karena kita telah menjalankan tugas kita, berhasil atau tidak, kita
serahkan kepada Tuhan. Oleh karena itu oran yang beriman selalu
merasakan ketenangan di manapun mereka berada dan kapanpun juga, karena
ia telah menajalankan kewajiban dan tugasnya tanpa perlu risau ia akan
berhasil atau tidak.
10. Kembali pada renungan (bertafakur)
Untuk menghadapi dan mengatasi tekanan jiwa, perlu
sesekali kita kembali pada renungan dan bertafakur. Pikirkanlah tiga hal
di bawah ini:
A. Jalan untuk berubah selalu terbuka lebar
B. Kita memegang kendali amal perbuatan dan perilaku diri sendiri
C. Seharusnya kita mengontrol dan memprioritaskan hal-hal yang terpenting, tingkatan demi tingkatan
Para psikolong mengurutkan tahapan-tahapan di atas sebagai berikut:
Tahapan pertama, anda harus bertekat untuk terus
hidup dengan baik. Dengan tekat ini, anda harus menghindar dari segala
hal yang merugikan bagi anda. Karena sepanjang sejarah umat manusia
pernah terjerumus dalam kesusahan-kesusahan yang dihasilkan oleh
peperangan, minuman keras, obat-obatan terlarang dan lain sebagainya.[513]
Tahapan kedua, anda harus mempunyai alasan-alasan positif untuk hidup dan anda harus menerapkannya pada setiap aktifitas anda.
Francle berkata:
“Alasan kita untuk hidup, adalah tujuan yang mendorong kita untuk melakukan usaha; dan itulah sumber motivasi kita.”
Ketika kita punya alasan, maka kita akan tegar menghadapi apa saja.
Tahapan ketiga, anda harus bertekat seperti apakah
anda harus hidup. Tanyalah pada diri sendiri: apakah aku ingin hidup
dengan baik atau tidak? Lalu catatlah langkah-langkah apa saja yang
harus anda perbuat untuk menjalani hidup dengan baik.
Tahapan keempat, berfikirlah positif dan
pertahankan. Seorang yang optimis dalam berfikir, senantiasa menanti
peristiwa positif pula; namun orang yang pesimis selalu murung menanti
datangnya peristiwa negative juga. Orang yang optimis akan berkata bahwa
“gelas itu berisi air setengahnya” namun orang yang pesimis akan
berkata “gelas itu kosong setengahnya”.
Dokter Beck berkata:
“Depresi dan stres adalah hasil dari pola fikir
yang salah. Ketika seseorang berpikiran negatif pada diri sendiri dan
melupakan potensi-potensi serta titik positif lain yang ia miliki, ia
selalu menganggap dirinya sebagai orang yang sengsara dan memandang masa
depan dengan keputus asaan.”
Dalam catatan penelitian Dr. Donald Meichenbaum disebutkan:
“Setiap orang dari kita pasti memiliki satu bentuk
percakapan dengan dirinya sendiri. Orang-orang yang suka berfikiran
negatif saat tertimpa sedikit saja kesusahan adalah orang-orang yang
selalu bercakap dengan diri sendiri secara negatif. Obatnya adalah,
mereka harus belajar bagaimana berpikiran positif dalam menerima
kenyataan-kenyataan hidup.”
Tahapan kelima, kita genggam erat kendali hidup
kita. Kebanyakan orang yang mengalami tekanan jiwa berkata: “Aku tidak
berhasil sampai di garis finish.” Kata-kata ini menunjukkan kelemahannya
dalam menilai kenyataan. Adapun orang-orang yang teguh dan tegar justru
akan berkata: “Aku pasti bisa menyelesaikan semua permasalahanku.”
Perasaan memiliki kontrol dan pengendalian diri di hadapan
kesusahan-kesusahan, adalah sebuah senjata yang sangat ampuh bagi siapa
saja.
Tahapan keenam, berfikiran terbuka untuk belajar.
Orang yang selalu bertahan di hadapan permasalahan, saat berhadapan
dengan tekanan dan kesusahan ia akan berusaha berfikir lebih jernih dan
luas. Mereka tidak terlalu risau dengan bagaimana harus hidup dan tidak
pernah menganggap dirinya selalu benar. Kesalahan-kesalahan bagi mereka
adalah pelajaran yang harus difahami agar tidak terulang kembali dan
pada kesempatan berikutnya harus berusaha lebih keras dari sebelumnya.
Namun ungkapan-ungkapan seperti “manusia tak luput dari kesalahan” tidak
boleh dijadikan alasan untuk menghindar dari tanggung jawab. Kata-kata
seperti itu tujuannya adalah agar kita tidak berhenti begitu saja saat
sekali tergelincir karena kesalahan, bukannya untuk menghindar dari
tanggung jawab.
Tahapan ketujuh, anggaplah perubahan dan
permasalahan sebagai medan pertempuran yang menantang. Orang-orang yang
menganggap perubahan dan permasalahan sebagai tantangan akan mendapatkan
keberanian dalam dirinya, beraksi dengan baik melawan masalah-masalah,
lalu berusaha menyelesaikan semuanya. Saat kita berhadapan dengan
peristiwa yang bagi kita menyakitkan dan mengesalkan, kita harus kembali
ke fikiran kita, jika ternyata yang ada di pikiran kita adalah sesuatu
yang negatif, maka fenomena itu akan benar-benar menjadi penghalang bagi
kita. Namun jika kita berfikiran positif dan menganggapnya sebagai
sebuah kesempatan, lalu kita bertanya pada diri kita sendiri, “bagaimana
aku bisa mengambil manfaat dari kesempatan ini?”, maka yang akan
terjadi adalah sebaliknya. Dengan demikian seseorang yang biasanya jatuh
terpukul dalam menghadapi masalah akan berubah menjadi seorang jawara
yang siap menghadapi dan menyelesaikannya.[514]
Tahapan kedeleapan, membiasakan diri untuk
menciptakan percakapan yang positif dan baik. Dalam mengontrol tekanan
jwia, ada pentingnya kita memahami perbedaan antara percakapan yang baik
yang dapat menyelesaikan masalah dengan percakapan yang buruk yang
hanya akan memperunyam masalah. Percakapan yang tidak baik akan terus
menambah beban derita tekanan jiwa. Namun percakapan yang baik dan
positif akan berujung pada sebuah jalan penyelesaian masalah. Sebagian
orang banyak yag terus menerus menyiksa diri sendiri dengan tidak pernah
berhenti berfikiran negatif. Dalam percakapan yang baik dan positif,
seseorang akan bertanya pada dirinya tentang krisis apakah yang sedang
terjadi, lalu apa jalan keluarnya?[515]
Tahapan kesembilan, terus maju. Hendaknya kita
memahami nilai-nilai dan jati diri kita sendiri. Berusaha mengambil
pelajaran dari segala peristiwa dan pengalaman apapun serta terus
berusaha untuk menjadi yang terbaik.
Tahapan kesepuluh, bertanggung jawab. Terimalah
konsekwensi pemikiran diri anda sendiri dan saat anda mengalami
kegagalan, janganlah menyalahkan orang lain.
Berdasarkan apa yang dijelaskan Al Qur’an, ada beberapa prinsip yang harus digenggam erat dalam rangka bertafakur:
Prinsip pertama, percaya bahwa berjalannya segala
urusan ada di tangan-Nya dan dalam pengaturan alam semesta selalu ada
campur tangan kekuatan ghaib.
Dalam agama Islam, sumber energi dan gerak adalah Allah swt.[516]
Ia adalah pencipta alam semesta dan seluruh penghuninya.[517]
Tidak ada satupun peristiwa yang bersifat kebetulan. Dalam ajaran agama ini, kebaikan dan keburukan,[518]
harta dan anak keturunan,[519]
hidup dan mati,[520]
dan segalanya merupakan bahan ujian Tuhan. Oleh karena itu orang yang
beriman saat tertimpa musibah berkata “inna lillahi wa inna ilaihi
rajiun” (sesungguhnya kami dari Allah dan kepada-Nya kami kembali),[521]
karena di manapun mereka berada, Allah swt. ada bersama mereka,[522]
dan bahkan pada manusia Ia lebih dekat dari urat nadi.[523]
Meskipun manusia tidak dapat melihat Tuhan, namun Tuhan melihat dan menyaksikan manusia:
“Sembahlah Allah seakan engkau melihat-Nya, karena meski kamu tidak bisa melihatnya Ia selalu melihatmu.”[524]
Memang benar manusia memiliki ikhtiar dan kehendak. Namun kekuasaan Tuhan meliputi segala keberadaan.
“Katakanlah bahwa tidak ada yang menimpa kami
kecuali Allah telah mencatatnya untuk kami. Ia adalah Tuhan kami dan
pada Allah orang-orang yang beriman berserah diri.”[525]
Prinsip kedua, yakin bahwa Allah swt. sedang mengawasinya.
Berdasarkan prinsip ini, manusia selalu yakin bahwa
ia sedang berada di hadapan dan di bawah pengawasan Tuhan; oleh
karenanya harus berhati-hati dalam berbuat.
Prinsip ketiga, sabar dalam kesusaan. Saat tertimpa
musibah dan bencana, tidak ada usaha yang lebih baik dilakukan
ketimbang bersabar.
Prinsip keempat, meyakini bahwa usaha yang
dilakukan manusia tidak terjamin keberhasilannya. Prinsip ini membuat
seseorang tidak akan merasakan kesedihan yang mendalam saat tidak
berhasil mencapai tujuan pekerjaannya; karena yang terpenting baginya
adalah mengerjakan tugas, adapun tujuannya tercapai atau tidak, itu
terserah Tuhan.
Prinsip kelima, berserah diri pada Allah swt.
Orang yang bertawakal dan berserah kepada Allah
swt. akan benar-benar merasakan perhatian Tuhan dalam hidupnya; meskipun
ia mengalami kegagalan, ia akan mengambil hikmahnya dan menganggapnya
sebagai kemenangan.[526]
11. Berpandangan positif
Salah satu cara agar kita selalu terhindar dari
gangguan dan tekanan jiwa, kita harus selalu menyikapi segala hal dengan
bijak dan berpandangan positif. Tidak hanya para psikolog saja yang
menekankan masalah ini, Al Qur’an pun juga demikian. Agar kita dapat
berpandangan positif, kita harus menjalankan dua langkah penting
berikut: berpandangan luas terhadap kondisi yang ada, dan berbaik sangka
kepada Allah.
A. Berpandangan luas terhadap kondisi yang ada
Kebanyakan dari tekanan-tekanan jiwa diakibatkan
oleh faktor-faktor seperti penyesalan akan masa lalu, kehilangan
kesempatan, mengalami kekalahan, ketertinggalan, takut akan masa depan,
dan lain sebagainya. Para Imam maksum mengajarkan kita untuk merenung
dan berfikir secara positif terhadap keadaan yang ada. Namun renungan
dan fikiran ini haruslah bersifat melebar dan luas tanpa melupakan
hakikat-hakikat maknawiyah. Dalam dua ayat, Al Qur’an melarang manusia
untuk berpandangan sempit dalam menilai permasalahan serta mengingatkan
akan adanya hal-hal ghaib di balik panggung materi ini. Dalam ayat 22
dan 23 surah Al Hadid kita membaca:
“Tidak ada satupun bencana yang menimpa di bumi dan
(tidak pula) pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis dalam
kitab (Lauh Mahduz) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang
sedemikian itu mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu)
supaya kalian jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kalian
dan supaya kalian, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa
yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak suka orang yang sombong
lagi berbangga diri.”[527]
Al Qur’an menekankan kita agar tidak berpandangan sempit dalam menilai permasalahan. Disebutkan dalam kitab suci tersebut:
“Dan mungkin saja kalian membenci sesuatu yang
padahal itu baik bagi kalian dan mungkin saja kalian menyukai sesuatu
yang padahal itu buruk bagi kalian.”[528]
Dalam fiqih Islam terdapat sebuah kaidah yang
dikenal dengan kaidah maisur yang artinya adalah “memandang keadaan yang
ada”. Berdasarkan kaidah ini, manusia seharusnya memahami dan
menjalankan tugas-tugasnya dan menjauh dari kegelisahan dan ketidak
tenangan. Rasulullah saw bersabda:
“Jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, maka lakukanlah; dan jika aku melarang kalian, maka tinggalkanlah.”
Imam Ali as. juga berkata:
“Suatu kewajiban tidak akan gugur hanya karena
susah dikerjakan (meski susah, kita harus berusaha mengerjakannya,
karena itu adalah kewajiban kita; tak masalah apapun hasilnya).”[529]
Riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa ketika
manusia menghadapi permasalahan dalam hidupnya, ia harus berusaha sekuat
tenaga untuk menyelesaikannya, dan hendaknya ia mengurangi
kegelisahannya dengan cara penyesuaian diri dengan kondisi yang ada.
Pada hakikatnya pesan asli riwayat-riwayat di atas adalah fleksibilitas
manusia dalam menjalani kehidupannya; karena jika demikian, manusia akan
terhindar dari tekanan-tekanan psikis dan stres.[530]
B. Berbaik sangka kepada Tuhan
Menurut pandangan riwayat Islami, orang yang suka
berburuk sangka kepada sesamanya menunjukkan buruknya diri sendiri.
Orang yang buruk, selalu berburuk sangka kepada siapa saja. Imam Ali as.
berkata:
“Orang yang buruk, tidak akan pernah berprasangka
baik kepada siapapun, karena segala yang ia lihat tak lain adalah
cerminan keburukan dirinya sendiri.”[531]
Suka berburuk sangka adalah sebuah penyakit jiwa
yang menjadi sebab berbagai macam penyelewengan dan ketergelinciran
dalam perjalanan spiritual. Dalam sebuah suratnya yang ditulis kepada
Malik Al Asytar, Imam Ali as. berkata:
“Sesungguhnya sifat pelit, pengecut, penakut,
adalah sifat-sifat buruk yang berkumpul pada satu sifat: berburuk sangka
kepada Allah.”[532]
Berbaik sangka, adalah kunci yang sangat penting untuk kesehatan ruhani. Imam Shadiq as.berkata:
“Sesungguhnya Allah akan berbuat sesuai dengan prasangka hamba-Nya, baik ketika hamba berprasangka baik atau buruk.”[533]
Imam Ali as. juga berkata:
“Prasangka baik adalah (sumber) ketenangan hati dan selamatnya agama.”[534]
“Orang yang tidak mau berbaik sangka, ia akan merasa takut kepada semua orang.”[535]
Prasangka baik kepada Allah swt. bergantung pada kadar iman dan harapan seorang hamba terhadap Tuhannya.[536]
Jika kita memperhatikan lebih lanjut, kita akan mendapati bahwa sifat
berprasangka baik kepada Tuhan ini tidak akan ditemukan kecuali dalam
diri orang yang benar-benar tidak menaruh harapan kepada selain Allah
swt.[537]
Saat kegembiraan dan kesenangan dianugerahkan oleh Allah swt. kepadanya,
ia akan bersyukur, dan jika Allah swt. Menimpakan musibah dan cobaan,
ia bersabar.[538]
Dalam doa ‘Arafah Imam Husain as. disebutkan:
“Apa yang dimiliki oleh orang-orang yang kehilangan-Mu? Dan apa yang tidak dimiliki oleh orang-orang yang memiliki-Mu?”[539]
Jadi orang yang selalu berprasangka baik kepada
Allah swt. tidak akan pernah berhadapan dengan jalan buntu apa lagi
terjerumus dalam stres dan tekanan mental; semakin berat musibah dan
cobaan yang ia hadapi, semakin besar pula kesabaran dan ketegarannya.
Membenahi prilaku
Apa yang kita bahas di sini adalah seputar
pembenahan-pembenahan prilaku yang bersifat jasmaniah, yaitu
aktifitas-aktifitas dan latihan yang berhubungan dengan badan yang mana
semua itu berguna bagi ketahanan seseorang dalam menghadapi dan
mengatasi tekanan jiwa atau stres.
1. Olah raga dan latihan fisik
Sebagaimana tidur dan istirahat sangat dibutuhkan
badan untuk menjaga kinerja otak, olah raga pun juga demikian. Olah raga
dan latihan-latihan fisik berguna untuk menurunkan ketegangan urat
syaraf dan juga dapat melenturkan anggota badan. Olah raga dipercaya
berguna untuk menghindarkan pelakunya dari stres, karena kebanyakan
orang yang giat berolah raga cenderung lebih sedikit menyisihkan
waktunya untuk melamun dan mengkhawatirkan sesuatu (yang ujung-ujungnya
membuat stress). Olah raga juga dapat menguatkan urat-urat syaraf saat
berhadapan dengan ketegangan. Orang yang pekerjaan dan aktifitasnya
melibatkan gerak fisik, seperti berjalan kaki dan lain sebagainya, detak
jantung mereka lebih teratur, volume paru-paru mereka lebih besar, dan
mereka lebih sedikit beresiko terserang penyakit.[540]
Imam-imam maksum menyarankan para pengikutnya untuk sering berjalan kaki karena itu berguna bagi kebugaran tubuh mereka.[541]
Rasulullah saw. juga mendukung diadakannya perlombaan-perlombaan
berkuda, tunggang onta, dan juga memanah. Pada peristiwa perang Tabuk,
beliau pernah ikut dalam sebuah perlombaan dengan Usamah bin Zaid.
Orang-orang berkata, “Rasulullah saw. menang!” Lalu beliau sendiri
berkata, “Tidak, Usamah lah yang menang.”[542]
Pada suatu hari beliau pernah berlomba dengan soeorang Arab Baduwi, namun orang Arab Baduwi itu yang memenangkan perlombaan.[543]
Beliau sering kali menyarankan sahabat-sahabatnya untuk sering memanah dan berenang. Beliau bersabda:
“Ajarilah anak-anak kalian memanah dan berenang.”[544]
Berenang dapat meringankan berat badan; dan
aktifitas-aktifitas fisik secara keseluruhan berguna untuk kebugaran dan
keceriaan seseorang.
Mendaki gunung juga baik sekali untuk kesehatan,
meningkatkan rasa percaya diri dan mengembangkan jiwa pemberani pada
seseorang. Cerita kebiasaan Rasulullah saw. menyendiri di Jabal An Nur
(gunung An Nur) begitu dikenal dan juga peristiwa turunnya Al Qur’an di
goa Hira, menunjukkan betapa baiknya kebiasaan ini. Pada dasarnya
kehidupan para nabi seringkali berkaitan dengan gunung-gunung; nabi Adam
as. di gunung Sarandib, nabi Nuh as. di gunung Ararat, nabi Isa as. di
gunung Sa’iyr, nabi Ibrahim as. dan Musa as. di gunung Thur, Sa’iyr dan
Faran, lalu nabi Muhammad saw. di gunung An Nur.[545]
Olah raga memang bukan obat (yang secara langsung
menyembuhkan) orang yang stres, namun kegiatan ini sangat bermanfaat
sekali untuk menciptakan kesiapan pada diri seseorang dalam menghadapi
masalah-masalah pemicu stress.
2. Tidur
Otak adalah alat vital yang berfungsi untuk
mengatur keberlangsungan dan keseimbangan hidup. Agar otak memiliki
kinerja yang baik, kita butuh cukup istirahat. Bagian besar dari
istirahat adalah tidur. Jika seseorang tidak tidur dengan cukup, ia akan
bangun dari tempat tidurnya dengan perasaan marah dan kelelahan; jika
demikian ia akan lebih sulit menyelesaikan permasalahan-permasalahan
dengan baik dan benar. Alasannya adalah karena otak tidak dapat menjaga
keseimbangan kimiawi dalam tubuhnya dengan benar.[546]
Lebih dari sepertiga umur manusia dihabiskan untuk
tidur; namun meskipun demikian sampai saat ini banyak sekali rahasia dan
misteri dalam hal tidur, khususnya mimpi, yang belum bias diungkap. Al
Qur’an menggunakan kata subat untuk menjelaskan bagaimana keadaan tubuh
dan jiwa seseorang saat tidur: yaitu sebagian besar dari tubuh dan jiwa
berhenti beraktifitas. Imam Ali as. berkata:
“Tidur adalah kenyamanan untuk tubuh dan berbicara adalah kenyamanan untuk jiwa.”[547]
Tidur berperan sebagai pemulih kekuatan dan energi
serta melenyapkan lelah pada tubuh. Tidak tidur dalam kurun waktu yang
cukup lama sangat berbahaya bagi kesehatan manusia.
Berdasarkan berbagai penelitian ilmiah, tidur di
malam hari sangat lebih efektif dibanding tidur lainnya; namun jika kita
ingin mendapatkan manfaat dari tidur yang optimal, kita tidak boleh
merasa puas dengan tidur malam saja. Al Qur’an pun juga menyinggung
pentingnya tidur di malam dan siang hari:
“Dan yang termasuk dari tanda-tanda kebesarannya adalah tidurnya kalian di malam dan siang hari.”[548]
Tidur di malam hari, apa lagi jika di awal
permulaan malam, diakui lebih banyak manfaatnya; karena tidur malam
lebih lelap dibanding tidur selain di malam hari. Imam Ali as berkata:
“Para pengikut kami tidur di awal permulaan malam.”[549]
Para Imam umumnya juga menyarankan pengikut-pengikutnya untuk tidur beberapa saat di siang hari, yang dikenal dengan qailulah.[550]
Al Qur’an juga menyebut malam hari sebagai saat yang penuh ketenangan
dan tidur sebagai istirahat dan pemulih kekuatan, kemudian menyebut
siang hari sebagai waktu beraktifitas:
“Dia lah yang menjadikan malam bagi kalian agar
kalian mendapatkan ketenangan di dalamnya dan menjadikan siang untuk
mencari penghidupan.”[551]
“Dan kami jadikan tidur kalian sebagai ketenangan
dan istirahat, Kami juga jadikan malam kalian sebagai pakaian (selimut
untuk beristirahat).”[552]
Tidur sesaat di siang hari atau qailulah sering
sekali dikemukakan dalam teks-teks riwayat. Pada suatu hari ada seorang
Arab Baduwi yang mendatangi Rasulullah saw. dan mengadu padanya karena
ia pelupa. Rasulullah saw. berkata kepadanya, “Apakah kamu pernah
terbiasa tidur sesaat di siang hari?” Ia berkata, “Iya.” Kemudian beliau
bertanya kembali, “Apakah kamu telah meninggalkan kebiasaan tersebut?”
Ia menjawab, “Iya.” Lalu beliau menasehatinya, “Kalau begitu ulangi
kebiasaan yang telah engkau tinggalkan itu.” Orang Arab Baduwi itu
kembali membiasakan diri untuk tidur qailulah di siang hari, lalu
ingatannya pun pulih kembali.[553]
Tidur dapat menghilangkan kegelisahan, rasa takut dan tekanan jiwa.
Dalam Al Qur’an disebutkan tentang rasa takut yang dirasakan oleh
sahabat-sahabat nabi di perang Badar:
“(Ingatlah) saat Allah menjadikan kalian mengantuk
sebagai sesuatu penentraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu
hujan dari langit untuk menyucikan kamu dari hujan itu dan menghilangkan
dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan
memperteguh dengannya telapak kakimu.”[554]
Dalam ayat yang lain disebutkan:
“Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku jika Allah
menjadikan untukmu siang itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah
Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam kepadamu yang kamu
beristirahat padanya? Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”[555]
Namun perlu diingat juga bahwa terlalu banyak tidur
juga tidak baik; salah satunya membuat orang menjadi bingung tanpa
alasan yang jelas.[556]
Lebih dari itu, para imam maksum menasehati pengikut-pengikutnya untuk
menghindari tidur di antara terbitnya fajar dan terbitnya matahari dan
juga tidur di waktu sore hari. Mereka menyebut tidur di pagi hari akan
menyebabkan kesialan dan kemalangan, mencegah diturunkannya rizki dan
menimbulkan penyakit kuning.[557]
Adapun tidur di sore hari dapat menyebabkan kebodohan.[558]
Mereka menyarankan para pengikutnya untuk terjaga di sepertiga akhir
malam, karena itu bermanfaat untuk kesehatan; dan mereka juga
menyarankan untuk beribadah di waktu itu. Imam Shadiq as. berkata:
“Shalat malam dapat mengindahkan wajah dan perangai, membuat jiwa bersih dan menghilangkan kesedihan.”[559]
3. Istirahat dan relaksasi[560]
Memang salah satu di antara cara-cara mengatasi
stres adalah beristirahat dengan cukup. Berdasarkan penelitian,
orang-orang yang setiap harinya beristirahat dengan cukup lebih kecil
kemungkinannya tertimpa penyakit. Dengan demikian istirahat adalah jalan
terbaik menghindar dari stres. Mungkin bagi kebanyakan orang ada
hal-hal yang dapat menjadi penenang, seperti menghisap rokok,
mengkonsumsi obat-obatan, kokain, minuman-minuman beralkohol, teh, kopi,
dan lain sebagainya; padahal sifat penenang yang ada padanya hanya
bersifat sementara dan bahkan dalam jangka waktu yang panjang akan
menimbulkan efek samping yang buruk.[561]
Hal-hal penting yang perlu diperhatikan
1. Memposisikan tubuh dalam keadaan yang nyaman,
seperti duduk di atas kursi yang empuk, berbaring di atas tempat tidur
sambil meletakkan bantal di bawah kedua lutut, dan lain sebagainya.
2. Hindari pakaian-pakaian yang ketat. Tanggalkan
perhiasan-perhiasan (bagi wanita) dan benda-benda supaya tubuh anda
merasa leluasa dan nyaman.
3. Pilih tempat yang tenang untuk beristirahat, tidak bergerak, tidak bising dan tidak berbau yang mengganggu.
4. Tentukan berapa lama anda beristirahat.
Istirahat dan olah raga ringan sebagai pelengkapnya membutuhkan waktu
sekitar 20 hingga 30 menit.
5. Jalani program istirahat anda dengan teratur.
6. Sedikit latihan fisik juga dapat memulihkan tenaga dan kejernihan pikiran anda.
7. Lakukan hal ini: tarik nafas dalam-dalam
kemudian pejamkan mata anda. Tarik nafas melalui hidung, lalu keluarkan
lewat mulut. Setelah diulang-ulang dan berlangsung selama tiga menit,
mulailah menggerakkan tangan anda dan otot-ototnya, lalu setelah itu
lakukan hal yang sama pada kaki anda dan oto-ototnya. Kemudian
putar-putar kepala anda, lalu buka kedua mata anda setelah itu dan
duduklah dengan punggung yang tegak.
8. Jangan lupa untuk melemaskan otot-otot anda secara total.
Pada tahun 1938, Dokter J. Jackson dalam buku yang berjudul Relaksasi Moderen munulis:[562]
“Untuk melemaskan otot-otot, kita dapat meremas dan memijitnya, lalu meregangkannya.”
4. Memperbaiki suasana kerja
Istirahat dan pola makan yang sehat dapat
meningkatkan daya tahan diri terhadap stress dan tekanan jiwa. Namun
kita juga perlu memperhatikan pola kita bekerja dan juga lingkungannya.
Oleh karena itu kita perlu memperhatikan beberapa poin di bawah ini:
1. Prediksi menyangkut waktu: berapa banyak waktu
yang dibutuhkan untuk bekerja? Apakah waktu yang cukup untuk mengerjakan
pekerjaan anda?
2. Memperhatikan prioritas-prioritas tugas: ketika banyak tugas menumpuk, manakah yang harus didahulukan?
3. Memiliki style bekerja yang khas: bagaimana anda
menjalankan pekerjaan anda? Apakah anda termasuk orang yang bersedia
bekerja secara detil, seksama dengan penuh kesasbaran, ataukah orang
yang suka marah-marah saat terpuruk dalam pekerjaan?
4. Perhatikan kualitas: pentingkah kualitas kerja? Pentingkah kepuasan konsumen bagi anda? Bagaimana anda menilainya?
5. Bergulat dengan stres: di saat terserang stres,
seharusnya anda teliti satu per satu apa yang membuat anda sedemikian
tertekan, lalu berusaha menyelesaikannya.
6. Menjaga dan meningkatkan kesehatan: bagi
kebanyakan orang memiliki kesehatan dan cukupnya istirahat adalah bekal
yang paling utama untuk menjalankan aktifitas sehari hari. Oleh karena
itu ketahanan harus terjaga sehingga anda dapat menangani
situasi-situasi pelik yang mungkin akan anda hadapi.
7. Mengenal keadaan-keadaan emosional:
keadaan-keadaan tersebut memiliki pengaruh dalam hidup kita. Jika kita
mengenal mereka dengan baik, kita dapat menghadapi dan menjinakkannya
dengan tepat. Masalahnya kebanyakan orang tidak tahu menahu dan
mengabaikannya.
8. Tak perlu memaki buruknya lingkungan: memaki
buruknya lingkungan memang mudah, namun bagaimanapun juga memang seperti
itulah kenyataannya. Yang terpenting bagi anda adalah memikirkan
bagaimana menyelesaikan masalah-masalah anda dengan benar.
9. Memperhatikan orang-orang di sekitar kita: saat
kita ingin mengejar suatu target dalam kurun waktu tertentu, kita perlu
memperhatikan keadaan orang-orang di sekitar kita secara psikologis
sebelum memutuskan apa yang harus kita lakukan.
Mewujudkan suasana positif di lingkungan kerja
dengan cara memberikan pujian, ungkapan cinta, terimakasih, dan
perlindungan sangat besar manfaatnya untuk berlangsungnya aktifitas
dengan baik. Selain itu kita juga harus berusaha menghindarkan hal-hal
negatif dari lingkungan kerja kita, seperti halnya kritikan-kritikan
tidak sehat, rasa sombong, permusuhan, penghinaan, dan lain sebagainya.
Suasana positif dan penuh cinta dalam lingkungan kerja akan menciptakan
benteng pertahanan yang kokoh di hadapan serangan stress dan tekanan
jiwa. Selain poin-poin yang telah disebutkan di atas, ada beberapa
kaidah tambahan yang juga perlu diperhatikan:
Kaidah 1: tunjukkan reaksi yang menyenangkan dengan
segera. Ketika seseorang telah menyelesaikan pekerjaannya dengan baik,
tunjukkanlah kegembiraan anda karenanya. Yang jelas jika anda memberikan
pujian kepadanya, pujian tersebut harus sesuai dengan kenyataan yang
sebenarnya; pujian yang tidak tepat malah menimbulkan kebingungan dan
perasaan negatif.
Kaidah 2: anda harus detil dalam segala hal. Hindari pujian-pujian yang tidak jelas.
Kaidah 3: berikanlah saran-saran membangun yang
sesuai dengan kenyataan. Pesan-pesan samar dan tak jelas tidak ada
gunanya dan justru memberikan dampak negatif. Katakan poin utama dan
jangan berbelit-belit. Saran-saran yang membangun lebih baik daripada
pujian yang tidak sesuai.
Kaidah 4: berikan dorongan kepada orang lain untuk
mengerjakan tugasnya dengan lebih baik; jika anda tidak menemukan poin
positif dalam kinerja mereka, untuk sementara lebih baik anda diam dan
tidak berkomentar. Jika kualitas kerja mereka menurun, anda harus
berusaha mencari titik permasalahannya dan berikan dorongan kepada
mereka dengan menunjukkan keuntungan-keuntungan.
Kaidah 5: Jika anda ingin mereka memahami anda,
maka anda harus berusaha memahami mereka terlebih dahulu. Kita semua
membutuhkan ikatan yang baik. Tentu kita akan merasa terpojok saat semua
orang menyalahkan kita, dan justru sebaliknya jika mereka mendukung
kita. Selama kita tidak menghargai orang lain, kita tidak boleh
mengharap penghargaan dari mereka. Apapun yang kita sukai untuk diri
sendiri, harus kita sukai untuk orang lain juga; begitu pula dengan
sebaliknya.
Kaidah 6: kita harus mampu menciptakan perasaan
positif dalam diri setiap orang. Kaidah ini begitu penting dan mendasar
sekali; karena jika kita tidak dapat mewujudkan perasaan positif dalam
hati mereka, kita akan berhadapan dengan banyak kesulitan nantinya.[563]
5. Mewujudkan sistim perlindungan[564]
Kehidupan dunia selalu diiringi dengan tekanan dan
perubahan, oleh karena itu sangat dibenarkan jika kita saling mewujudkan
sistim perlindungan yang bertumpu pada kemanusiaan. Jika kita menyadari
bahwa ada orang-orang yang melindungi kita, kita akan lebih kuat
bertahan di hadapan tekanan-tekanan. Leonardo Saim, dalam penelitiannya
menekankan pentingnya perlindungan sosial bagi kesehatan jiwa dan
menyimpulkan: orang-orang yang tidak memiliki komunikasi yang baik
dengan orang lain, jika dibandingkan dengan orang-orang yang memiliiki
pergaulan yang baik, dua sampai tiga kali lebih besar resikonya
mengalami kematian dengan cepat. Tidak hanya manusia, hewan seperti
monyet saat dikurung sendirian dan dihadapkan dengan kesulitan-kesulitan
ia cenderung agresif daripada ia dikandangkan bersama kawan-kawannya.
Dengan demikian ikatan yang kokoh dan perlindungan dalam kelompok adalah
perkara yang sangat penting sekali.
Pernah dilakukan sebuah penelitian terhadap para
mantan tawanan perang Vietnam. Dalam penelitian itu membuktikan betapa
pentingnya komunikasi antar individu. Para tawanan bisa tetap hidup
dalam penjara karena komunikasi yang mereka bangun antara satu sama lain
meskipun hanya dengan bentuk isyarat-isyarat suara dan lirikan mata.
Untuk mewujudkan sistim perlindungan dalam keluarga, harus kita perhatikan beberapa poin penting di bawah ini:[565]
1. Mengenal kemampuan masing-masing anggota sehingga anda dapat mengembankan tugas kepada mereka sesuai dengan kemampuannya.
2. Mewujudkan kebiasaan bermusyawarah dalam menentukan tugas dan peranan masing-masing anggota keluarga.
3. Memikirkan bagaimana seharusnya bersikap secara berperasaan kepada mereka.
4. Beberapa hal penting yang perlu diingat:
A. Perdebatan yang sehat dapat menumbuhkan kedekatan dan penghormatan setelahnya.
B. Saat ada yang merasa tidak puas, kita jadikan
itu sebagai kesempatan untuk mempelajari kelemahan-kelemahan kita di
mata mereka.
C. Perubahan, percekcokan, dan krisis adalah
kesempatan pemicu pertumbuhan pribadi individu. Misalnya saat anak ingin
menikah, orang tua harus lebih bijak menanggapinya (menanggapi
perubahan status seorang anak yang semulanya hanya sekedar anak, kini
akan menjadi seorang suami).
D. Bertanggung jawab penuh atas apa yang kita lakukan, yakni jangan mencerca orang lain jika kesalahan itu bermula dari kita.
E. Kebijakan dalam mengabil keputusan, yang sekiranya kita tidak menjatuhkan martabat dan kehormatan anggota keluarga karenanya.
F. Memberikan semangat dan selalu memberikan
perlindungan. Kita juga perlu lebih sering mendengarkan dan memahami
orang lain serta menunjukkan sikap yang baik kepada mereka; dengan
demikian perlindungan kekeluargaan akan terwujud.[566]
Sistim perlindungan kekeluargaan yang ditekankan Al Qur’an berdasrkan prinsip-prinsip di bawah ini:
Prinsip pertama: mengenal anggota keluarga dan
mengontrol mereka; sebagai contoh, nabi Ya’qub as. pernah menasehati
anakknya dengan berkata:
“Janganlah kau ceritakan mimpimu ini kepada
saudara-saudaramu, (karena jika kau ceritakan kepada mereka) mereka akan
bertipumuslihat terhadapmu…”[567]
Ayat ini menunjukkan bahwa nabi Ya’qub as. faham
dengan baik karakter anak-anaknya sehingga ia menasehati nabi Yusuf as.
seperti itu.
Prinsip kedua: memberikan penghormatan kepada orang
tua sebagai poros tegaknya rumah tangga. Al Qur’an begitu menekankan
penghormatan terhadap orang tua:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada bapak ibu
kamu dengan sebaik-baiknya. Jika salah satu di antara keduanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”[568]
Prinsip ketiga: berusaha konsisten dan menjaga
keberlangsungan sistim perlindungan kekeluargaan selama memungkinkan.
Sebagai contoh, pemaafan nabi Yusuf as. terhadap saudara-saudaranya,[569]
perlindungan nabi Nuh as. untuk dan demi keselamatan anaknya,[570]
doa nab Luth as. untuk keluarganya,[571]
dan doa nabi Ibrahim as. untuk ayahnya kecuali terbukti ia memang benar-benar tidak mau beriman,[572]
istighfar nabi Ya’qub as. untuk anak-anaknya dan nasehatnya kepada
mereka agar tidak masuk ke dalam pintu gerbang kota secara bersamaan,[573]
dan lain sebagainya.
6. Suasana yang nyaman
Di sebagian tempat-tempat tertentu, secara
geografis terletak di kawasan yang berudara sejuk dan nyaman, bercuaca
baik dan juga tentram. Keadaan seperti itu dimanfaatkan sebaik-baiknya
untuk terapi penyembuhan atau dijadikan tempat melepas lelah dan mencari
ketenangan. Tempat-tempat yang nyaman seperti di daerah pegunungan,
pantai, perkebunan dan hutan, kaya akan ion negatif. Dalam pelbagai
macam penelitian telah terbukti bahwa ion negatif berguna bagi makhluk
hidup untuk penyesuaian diri dengan lingkungan dan terhindarnya stres;
adapun ion positif justru sebaliknya. Udara yang terkotori polusi penuh
dengan ion negatif.[574]
Oleh karena itu, wajar saja jika kehidupan di kota yang padat dan lingkungan yang tercemar penuh dengan tekanan jiwa.
Menata hati
Menata hati adalah usaha dalam mengatur perasaan
serta emosi dengan cara mengendalikan diri dari dorongan-dorongannya.
Ada beberapa cara yang dianjurkan agama Islam kepada kita untuk menata
hati. Di antaranya adalah:
1. Melampiaskan emosi
Mkasud dari pelampiasan emosi di sini adalah dengan
cara-cara yang benar, seperti bertaubat, berdoa, munajat, menangis,
berziarah, dan seterusnya. Pelampiasasn emosi dengan benar akan
menyelesaikan masalah, lebih menguatkan hati, dan masih banyak lagi
keuntungannya. Cara-cara yang dapat digunakan dalam usaha ini di
antaranya adalah:
A. Bertaubat
Langkah pertama untuk menggapai kesehatan jiwa
adalah melepaskan beban-beban dosa dengan cara bertaubat. Rasulullah
saw. bersabda: “Apakah kalian ingin aku jelaskan apa saja obat dan apa
saja penyakit?” Mereka menjawab: “Ya, wahai Rasulullah.” Kemudian beliau
menjelaskan: “Penyakit kalian adalah dosa-dosa dan obat untuk kalian
adalah taubat.”[575]
Dalam agama Islam, taubat pada hakikatnya sesuatu
yang rasional, yakni membenahi kesalahan-kesalahan yang telah lalu.
Seringkali tekanan jiwa itu timbul karena rasa benci terhadap diri
sendiri karena telah dilakukannya dosa-dosa. Selama beban dosa tertimbun
di hati dan terus bertambah, kegelisahan juga semakin menjadi. Jalan
keluar dari permasalahan itu adalah taubat; karena Allah swt. menerima
taubat hamba-hamba-Nya[576]
dan orang yang bertaubat bagaikan orang tanpa dosa yang dicintai oleh Tuhannya.
“Orang yang telah bertaubat dari dosa bagaikan orang yang tidak memiliki dosa.”[577]
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat.”[578]
Ketika seseorang menyesali masa lalunya dan
memutuskan untuk bertaubat, kegelisahan dan tekanan jiwa dengan
sendirinya akan berkurang. Itulah rahasi mengapa Allah swt.
memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk bertaubat: “Hendaknya semua orang
yang beriman bertaubat dan kembali menuju Allah, agar mereka mencapai
keselamatan.”[579]
Tolak ukur taubat adalah penyesalan dalam batin,[580]
yakni manusia menyesali perbuatan buruk yang telah ia lakukan. Al Qur’an
memerintahkan kita untuk bertaubat dengan taubat nashuhah.[581]
Berdasarkan riwayat-riwayat, maksud dari taubat nashuhah adalah manusia hendaknya:
1. Tidak kembali lagi kepada dosa-dosanya.[582]
2. Penyesalan hatinya itu diungkapkan dengan lidah dan ditunjukkan dengan tekat.[583]
3. Perilakunya menggambarkan ia benar-benar telah meninggalkan dosa.[584]
B. Menangis dan pembukaan ikatan masalah
Saat tertimpa musibah atau sedang mengalami
penderitaan, tidak jarang orang yang menjadikan momen-momen duka sebagai
kesempatannya untuk meluapkan emosi dan perasaannya. Momen-momen
tersebut seperti halnya peringatan tragedi Imam Husain as., menggiring
jenazah menuju pemakaman dengan mengenakan pakaian-pakaian berwarna
hitam, dan lain sebagainya. Belasungkawa, hadirnya kerabat-kerabat
keluarga di saat seseorang sedang tertimpa musibah, tak diragukan
memiliki peran penting dalam membesarkan hati orang yang tertimpa
musibah tersebut, dan juga dengan demikian ikatan kekeluargaan dan
persahabatan menjadi lebih erat.[585]
Islam tidak hanya menjadikan kesabaran sebagai
solusi, agama ini juga mengajarkan sikap rela terhadap qadha dan qadar,
berserah pada kehendak Ilahi, menangis dan meluapkan emosi, dan lain
sebagainya; karena jika kesedihan yang terukurung dalam hati itu tidak
ditangani, maka akan memberikan dampak yang buruk bagi keselamatan tubuh
dan jiwa. Tangisan pada dasarnya adalah hal biasa namun berguna, dan
Islam pun memberikan pengarahan-pengarahan terhadapnya:
“Ketika kalian bersedih saat tertimpa musibah, ingatlah juga musibah-musibah yang menimpa para Imam dan anak cucu mereka.”
Masalah ini memiliki banyak hikmah yang di antaranya adalah:
1. Menyebabkan terluapnya emosi yang terkurung dalam hati.
2. Membuat seseorang merasa kesedihannya itu tidak seberapa jika dibanding dengan kesedihan yang menimpa para imam mereka.
3. Menciptakan rasa keterikatan hati dan perasaan yang kuat antara seseorang dengan para imamnya.[586]
Al Qur’an menjelaskan bahwa tangisan tidak hanya
dikarenakan tertimpa musibah saja, namun banyak lagi tangisan-tangisan
lainnya, seperti:
1. Tangisan karena takut akan Allah swt; yaitu
menangis dalam keadaan khusyu’ dan tunduk di hadapan-Nya. Dalam Al
Qur’an disebutkan: “Orang-orang yang beriman di hadapan tanda-tanda
kebesaran Ilahi akan khusyu’ hatinya lalu bersujud.”[587]
Dan juga disebutkan: “Mereka bersujud di atas tanah dengan air mata yang
berlinang karena takut kepada-Nya, dan rasas takutnya selalu
bertambah.”[588]
2. Tangisan penyesalan atas diri sendiri karena dosa-dosa yang telah dilakukan.[589]
C. Berduka mengenang Imam Husain as.
Diadakannnya acara-acara peringatan duka mengenang
tragedi-tragedi yang menimpa para imam kita, khususnya Imam Husain as.,
adalah tradisi para imam maksum yang ditekankan kepada kita. Imam Baqir
as. berkata:
“Di hari ‘Asyura adakanlah acara-acara peringatan
dukacita dan hendaknya kalian saling mengingatkan satu sama lain akan
musibah yang menimpa kami di hari ini.”[590]
Tradisi ini turun menurun dijalankan dan kini telah
mengalami perkembangannya, yang mana tradisi hari Asyura telah menjadi
paramida keterjagaan Islam. Imam Khumaini berkata:
“Setiap ajaran yang di dalamnya tidak ada yang
seperti ini, yakni memukul dada, ratapan, dan peringatan-peringatan
seperti ini, tidak akan terjamin kelanggengannya.”[591]
Acara-acara peringatan tragedi yang menimpa Imam
Husain as., yang biasanya diisi dengan pembacaan kronologi, puisi, dan
lain sebagainya,[592]
dengan mengenakan pakaian-pakaian berwarna hitam yang menghanyutkan hati
dalam kesedihan, di satu sisi usaha tersebut dapat menciptakan suasana
yang mendorong kita untuk saling menolong (terutama menolong orang yang
lemah),[593]
di sisi yang lain juga dapat menjadi wadah pelampiasan emosi kita, yakni
seseorang dengan menangisi Imam Husain as., emosinya dapat
terlampiaskan dan terkosongkan.
2. Mengatur keseimbangan hati
Salah satu cara menanggulangi atau menghadapi
tekanan jiwa adalah mengatur keseimbangan emosi dan perasaan dengan cara
mengambil garis tengah di dorongan-dorongan emosional. Kapasitas
kejiwaan seseorang berkaitan langsung dengan bentuk pemikiran dan
kepribadiannya, dan kapasitas pemikiran dan kepribadian akan berpengaruh
pada pola hidupnya. Islam menyebut Muslimin sebagai ummatan wasatha[594]
(umat yang berada di tengah) yang senantiasa mengajak mereka untuk bersikap adil dan seimbang.
Imam Ali as. berkata:
“Kanan dan kiri itu sesat, jalan yang ada di tengah adalah jalan yang benar.”[595]
Berjalan di jalan yang lurus, memperhatikan
keseimbangan (menjauhi sikap berlebihan), dan memperhatikan kadar
kemampuan tubuh dan jiwa dalam melakukan apa saja, adalah masalah yang
penting untuk diperhatikan, sehingga Imam Ali as. menyebut orang yang
tidak memperhatikan kadar dirinya sebagai orang yang bodoh.[596]
Menurut beliau keseimbangan tidak hanya harus diperhatikan dalam hal-hal materi saja:
“Sesungguhnya hati ini terkadang bersemangat dan
terkadang malas. Maka pekerjakanlah hatimu di saat ia bersemangat, dan
jangan paksa ia bekerja saat ia malas, karena akan membuatnya menjadi
keruh.”[597]
Jadi salah satu jalan terbaik untuk menghindarkan
diri dari tekanan jiwa dan stres adalah mengatur hati ini, mensucikannya
seraya berjalan di jalur ketakwaan.[598]
William James berpendapat bahwa kebesaran hati kuncinya ada pada
mengatur perasaan dan berperangai mulia berdasarkan aturan-aturan
keagamaan. Ia berkata:
“Dalam diri orang-orang yang terikat dengan ajaran agama terdapat ketenangan, kewibawaan, kelembutan, cinta dan pengorbanan.”[599]
3. Ketegaran
Beberapa peneliti Barat berkata tentang ketegaran:
“Orang-orang yang tegar menghadapi cobaan, lebih kecil resikonya terserang penyakit-penyakit dan tidak mudah mengalami stres.”
Ketegaran memiliki tiga unsur: bertekat kuat dalam
bekerja, usaha pencarian solusi permasalahan, dan menyambut perubahan
serta menganggapnya sebagai kesempatan untuk berkembang dan lebih maju.[600]
Islam adalah agama yang menegaskan ketegaran dan kesabaran di hadapan masalah-masalah[601]
dan segala hal yang tidak enak, menekankan manusia untuk bersabar dalam
menyelesaikan problema-problema yang merupakan ujian Ilahi;[602]
dengan demikianlah Islam membentuk pribadi-pribadi manusia yang kokoh bagai gunung batu. Imam Shadiq as. berkata:
“Sesunggunya orang yang beriman lebih kuat dari
sepotong besi. Karena besi tetap akan meleleh jika ia dipanaskan, namun
orang yang beriman, meskipun ia mati terbunuh, kemudian hidup lagi,
kemudian mati lagi, imannya tidak akan berubah.”[603]
4. Bersabar dan bertahan
Jika manusia tidak bersabar saat berhadapan dengan
faktor faktor pemicu stres, maka masalah-masalah yang akan dihadapinya
akan menjadi lebih rumit dan betapa masalah kecil menjadi pemrasalahan
yang besar. Berdasarkan prinsip clasical conditioning, jika seseorang
bersabar dalam menghadapi suatu perkara, di kali berikutnya saat ia
menghadapi perkara yang sama ia akan menjadi lebih kuat; dan begitu pula
sebaliknya. Oleh karena itu, kesabaran sangat penting sekali bagi
menurunnya tingkat tekanan jiwa seseorang.[604]
Banyak pakar psikologi yang melakukan penelitian
bahwa Sebagian ahli tahkik psikologi pengotbatan dibawah tema pengumuman
masalah presaaanaan ke keharusan tidak adanya kesendirian orang yang
sakit dalam berhadapan dengan masalah-masalaha persaaananan dan sibuk
menyuembuhkan para pasian secara kelompok atau individu.
Banyak sekali ayat-ayat yang berbicara tentang kesabaran:
“Kami telah menciptakan manusia dalam kesengsaraan.”[605]
“Wahai manusia, sesungguhnya engkau menuju Tuhanmu dan engkau akan bertemu dengan-Nya.”[606]
Umat manusia bagaikan kafilah yang berjalan
berbondong-bondong menuju Tuhannya, dan dalam perjalanan itu mereka
harus berhadapan dengan kesusahan dan kesulitan; inilah tabiat
kehidupan.
Al Qur’an telah menjelaskan bahwa sudah tabiatnya
kehidupan ini penuh dengan kesusahan dan jerih payah yang mana semua itu
adalah ujian Ilahi. Maka tidak ada senjata yang lebih ampuh selain
kesabaran untuk digunakan dalam hidup ini. Dalam pandangan Al Qur’an ada
tiga poin penting tentang kesabaran:
1. Orang-orang yang bersabar atas ujian disebut
sebagai orang yang berhasil. Kabar gembira akan disampaikan oleh
malaikat-malaikat sorga kepada orang-orang yang bersabar dan mengucapkan
“inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”.[607]
2. Kesabaran adala ujian yang dilimpahkan kepada para nabi ulul ‘azmi;[608]
kesabaran adalah syarat mantap dan kokohnya perkara-perkara[609]
dan para nabi yang telah dijadikan sebagai suri tauladan kepada kita itu
tak lain dan tak bukan adalah orang-orang yang selalu bersabar atas
para penentang dan segala kejadian yang menimpa mereka. Mereka adalah
nabi-nabi yang tangguh dengan kesabarannya, seperti nabi Dawud as.,[610]
nabi Ya’qub as.,[611]
nabi Ayub as.,[612]
nabi Ismail as., nabi Idris as., nabi Dzulkifli as.,[613]
nabi Nuh as., nabi Yunus as. dan nabi Zakariya.[614]
3. Al Qur’an menekankan kepada orang-orang yang beriman untuk meminta bantuan dari kesabaran dan shalat,[615]
yang mana dengan kesabaran itulah sekelompok yang jumlahnya sedikit dapat mengalahkan kelompok banyak jumlahnya.[616]
Bekal asli dalam perjalanan batini dan kearifan adalah kesabaran.[617]
Semua itu dapat disimpulkan dalam satu ayat:
“Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sungguh bersama kesulitan itu ada kemudahan.”[618]
5. Perlindungan sosial dan emosional (terhadap keluarga dan sesama)
Salah satu hal yang dapat mengamankan seseorang
dari kerasnya pukulan yang disebabkan oleh peristiwa-peristiwa buruk
dalam kehidupan, adalah adanya perlindungan dari sesamanya, baik kawan,
kerabat dan keluarga. Perlindungan tersebut memiliki tiga bentuk berikut
ini:
1. Perlindungan antar kerabat atau keluarga dalam
bentuk materi, misalnya membantu memberikan pinjaman uang, membelikan
apa yang tidak mampu dibeli sesamanya, mengerjakan apa yang tidak mampu
mereka kerjakan, dan seterusnya.
2. Perlindungan dengan cara membagi membagi
informasi dan bekerja sama agar mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan
serta terhindar dari bahaya dan kerugian sebisa mungkin.
3. Perlindungan dengan memberikan kepercayaan
kepada orang lain serta menunjukkan kelayakannya untuk menjalankan tugas
yang sedang diemban.
Bentuk perlindungan semacam ini sangat penting
sekali untuk mendidik dan mendewasakan seseorang. Jika kita memberikan
perlindungan perasaan kepada saudara kita, ia akan terbantu untuk
mencari dan memiliki pandangan hidup yang benar, menemukan jalan positif
dan dapat menghadapi permasalahan dengan tegar.
Para peneliti membuktikan, berdasarkan hasil
penelitiannya yang dilakukan terhadap para pemudi muda, bahwa
perlindungan orang tua terhadap perasaan anak-anak perempuannya sangat
penting sekali bagi kejiwaan mereka, khususnya bagi mereka yang tertekan
karena tidak mendapatkan suami atau kehilangan suaminya.[619]
Ikatan sosial dengan masyarakat
Islam, menganggap Muslimin yang hidup bersama-sama
sebagai satu keluarga besar. Orang-orang yang lebih banyak usianya
dianggap sebagai orang tua dan yang lebih muda dianggap sebagai
anak-anak.[620]
Dalam kehidupan bermasyarakat, diperlukan bermacam-macam bentuk perlindungan; yang di antaranya adalah:
A. Perlindungan terhadap sesama Muslim
Islam menjadikan pementingan perkara sesama Muslim sebagai tolak ukur ke-Musliman. Nabi Muhammad saw. bersabda:
“Barang siapa bangun dari tidurnya di pagi hari dan
ia tidak memikirkan perkara sesamanya, maka ia bukanlah termasuk dari
orang-orang Muslim.”[621]
Jika setiap Muslim saling memperhatikan sesamanya,
maka tidak ada satu orang pun yang akan merasa kesepian tanpa ada yang
peduli padanya. Demikianlah ajaran suci agama ini.
B. Perlindungan terhadap orang-orang berusia lanjut dan yang tertimpa kesusahan
Di kalangan masyarakat, orang-orang yang sudah
berusia lanjut dan yang mereka yang tertimpa musibah adalah orang-orang
lemah yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Islam sangat menekankan
kepada kita untuk memberikan perlindungan materi dan ruhani kepada
mereka.[622]
Islam memerintahkan pemeluknya untuk membayar khumus,[623]
zakat,[624]
sedekah[625]
dan infak[626]
untuk tujuan ini. Islam menekankan kepada kita semua untuk membantu
mereka baik secara terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi.[627]
Agama Islam menekankan kecintaan terhadap sesama
saudara siman yang mana semakin tinggi kecintaan seseorang kepada
saudaranya semakin tinggi pula lah imannya.[628]
Mengunjungi saudara seiman bagaikan berziarah ke rumah Tuhan nilainya[629]
dan hal itu akan membuahkan ketenangan yang tiada tara.
C. Perlindungan terhadap para tetangga
Imam Ali as. berkata:
“Rasulullah begitu menekankan dan memberikan
nasehat tentang memuliakan tetangga sampai-sampai kami menyangka bahwa
para tetangga juga bakal mendapatkan bagian dari warisan yang akan kami
tinggalkan.”[630]
Dalam ajaran agama ini disebutkan bahwa berbuat baik kepada para tetangga akan menyebabkan melimpahnya rizki.[631]
Adapun siapa saja tetangga kita? Islam menjelaskan bahwa 40 rumah yang berada di sekitar rumah kita adalah tetangga kita.[632]
Dalam ajaran ini, jika seseorang dapat dengan nyenyak tidur dalam
keadaan kenyang namun tetangganya kelaparan, maka ia bukanlah Muslim.[633]
D. Perlindungan kekeluargaan
Ayat-ayat Al Qur’an dan riwayat menekankan kita
untuk bersilaturrahmi. Dalam pandangan para maksumin, silaturrahmai
adalah sebab dipanjangkannya umur dan turunnya berah serta makmurnya
kampung halaman kita. Adapun memotong hubungan kekeluargaan (lawan dari
silaturrahmi) akan menyebabkan pendeknya umur dan siksaan neraka di
akherat.[634]
Jika kita mampu dan memang memungkinkan, Islam
mewajibkan kita untuk memberi nafkah kepada keluarga terdekat, seperti
anak, cucu, kakek dan nenek.[635]
Dari sisi lain, mereka tidak hanya harus diberi perlindungan finansial
saja, namun juga perlindungan dengan segenap maknanya. Jika seandainya
salah satu di antara mereka telah berbuat salah dengan membunuh
seseorang, maka kita harus berusaha membayarkan diyah (denda) kepada
hakim syar’iy.[636]
Silsilah urutan warisan juga berdasarkan silsilah urutan kekeluargaan.[637]
Berdasarkan ajaran islami jika seseorang memberikan sesuatu kepada
ikatan kekeluargaan ini. Dalam ajaran Islam, seseorang yang telah
memberikan sebuah hadiah kepada salah satu di antara mereka ia tidak
berhak untuk mengambilnya kembali.[638]
Hukum-hukum ini menunjukkan betapa ditekankannya perlindungan terhadap
keluarga dan Islam adalah agama yang menjunjung tinggi hak-hak
kekeluargaan.[639]
E. Perlindungan terhadap anak-anak yatim
Anak-anak yatim adalah bagian masyarakat yang perlu
mendapatkan perhatian khusus. Al Qur’an sangat mementingkan
perlindungan terhadap anak-anak yatim dan banyak sekali ayat-ayat yang
menyinggung tentang masalah ini:
“Dan muliakanlah anak-anak yatim.”[640]
“Berprilakulah kepada mereka bagai kalian berprilaku kepada saudara-saudara kalian.”[641]
“Jadikanlah keadilan sebagai kebiasaan kalian dalam berhadapan dengan mereka.”[642]
“Jangan kalian sakiti mereka.”[643]
“Berikanlah sebagian harta kalian kepada mereka.”[644]
“kecuali dengan cara yng paling baik, janganlah kalian mendekat kepada harta mereka sampai mereka besar dan baligh”[645]
“Dan ketika mereka telah mencapai baligh, berikanlah harta mereka secara sempurna.”[646]
Orang-orang yang beriman dilarang memakan harta anak yatim. Allah swt. berfiman:
“Mereka yang memakan harta anak yatim dengan tidak
benar, pada hakikatnya mereka memasukkan api ke dalam perut mereka dan
dengan segera mereka akan dilemparkan ke dalam api jahanam.”[647]
F. Perlindungan kepada para tawanan dan orang-orang terlantar
Dalam Islam kita diperintahkan untuk memberikan
perhatian dan bantuan kepada para tawanan (di zaman dahulu), orang-orang
yang terlantar dan orang yang berhijrah dari tempat lain.[648]
“Maka berilah kepada kerabat yang terdekat akan
haknya, denmikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam
perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari
keridhaan Allah; dan mereka itulah orang-orang beruntung.”[649]
“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat
kalian peroleh sebagai rampasan perang maka sesungguhnya seperlima untuk
Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
ibnusabil, jika kalian beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami
turunkan kepada hamba kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu di hari
bertemunya dua pasukan. Dan Allah maha kuasa atas segala sesuatu.”[650]
G. Perlindungan terhadap orang yang mengalami keterbelakangan mental
Al Qur’an juga memerintahkan orang-orang yang
beriman untuk berbaik hati dan memberikan perlindungan keapada
orang-orang yang mengalami keterbelakangan mental dan gangguan jiwa:
“Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang
yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan
kalian) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka
belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka
kata-kata yang baik.”[651]
6. Menyatukan jiwa dengan sumber kekuatan
Salah satu cara yang harus selalu kita gunakan
untuk menghadapi masalah-masalah dalam mengarungi samudera kehidupan ini
menguatkan sisi spiritual kita, yakni menjalin hubungan yang baik
secara spiritual dengan sumber kekuatan, yaitu Allah swt. Usaha tersebut
dapat dicapai dengan pendekatan diri kepada-Nya dengan cara-cara
berikut ini:
A. Doa dan zikir
Doa adalah meminta pertolongan dari Allah sang
pemilik kekuatan nirbatas. Saat manusia berdoa kepada Tuhannya, ia akan
merasakan ketenangan dan berkobarnya api harapan. Ia juga dapat
merasakan ada kekuatan besar di atasnya karena ia telah menyatukan
hatinya dengan sang pemilik kekuatan yang tak terbatas. Apa lagi jika
seorang manusia berada dalam kondisi penuh bahaya yang sedikit sekali
kemungkinan ia selamat, saat itu juga fitrahnya menyeru agar ia
bersimpuh dan berdoa agar Allah swt. menyelamatkannya.[652]
Adapun kebalikannya, orang yang enggan berdoa dan mengingat Allah swt. akan mendapatkan kehidupan yang penuh kesengsaraan,[653]
karena orang yang beriman dan selalu ingat Tuhan tidak memandang materi
sebagai segala-galanya sehingga jika seandainya ia mengalami kerugian
materi ia harus terkapar kesusahan dan kehilangan kesabaran.
Dalam berdoa, terjadi semacam jalinan batin antara
seorang hamba dengan Tuhan, dan sering kali jalinan ini berbeda-beda
tergantung dengan pelakunya. Di saat seseorang tidak bisa mencurahkan
isi hatinya untuk mengadu meskipun kepada orang yang terdekat sekalipun,
namun di hadapan Tuhan ia bebas mengadukan apa saja. Dengan demikian
derita yang ia rasakan menjadi lebih ringan. Imam Ali as. berkata:
“Wahai yang nama-Nya adalah obat dan dzikir-Nya adalah kesembuhan.”[654]
B. Shalat
Shalat adalah meminta pertolongan kepada Allah swt.
dengan adab-adab tertentu yang ia miliki. Dalam Al Qur’an disebutkan
bahwa orang yang beriman hendaknya mencari pertolongan dari kesabaran
dan shalat.[655]
Banyak sekali penelitian yang telah dilakukan terhadap ritual-ritual
peribadatan dalam berbagai mazhab dan terbukti bahwa ibadah dan doa
memiliki dampak positif dalam diri manusia: dirasakannya ketenangan,
semangat lebih besar untuk hidup, berkurangnya stres, jernihnya fikiran,
sehatnya jiwa, dan seterusnya. Bahkan ibadah-ibadah semacam ini dapat
dikategorikan sebagai obat penenang jiwa yang ampuh.[656]
Shalat dapat menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi seorang hamba karena:
1. Ketika seorang hamba berdiri untuk menjalankan
ibadah shalat, pikiran dan ingatannya akan terpalingkan dari kesusahan
dan tekanan yang sedang dialaminya, hatinya hanya terfokus kepada Tuhan.
Ketika seseorang tidak hanyut dalam perasaan sedih dalam menghadapi
permasalahan, saat itu itu juga beban permasalahan tersebut akan terasa
lebih ringan baginya.
2. Dalam shalat terjadi jalinanan perasaan antara
seorang hamba dengan Tuhannya dan ikatan inilah yang menciptakan
kekuatan dalam hatinya sehingga ia dapat merasakan ketenagan.
3. Shalat memiliki adab-adab yang dapat mengantar jiwa manusia ke alam ketenangan.
4. Memahami dan menghayati setiap dzikir yang
dibaca di dalamnya, khususnya ayat yang berbunyi “Hanya kepada-Mu kami
menyembah dan hanya pada-Mu kami minta pertolongan”, ayat yang
mengilhamkan tekat pada diri kita untuk tidak pernah tunduk dan
menyembah selain Allah swt.[657]
Tingginya ketenangan jiwa seseorang yang menghayati
shalat dan hanyut dalam cinta Ilahi tidak dapat digambarkan dengan
mudah. Pada suatu hari Abu Darda’ bercerita:
“Beberapa saat sebelum fajar menyingsing, aku
melihat Imam Ali as. di tempat ibadahnya tergeletak di atas tanah. Aku
mendekatinya dan menggerakkan tubuhnya, namun aku lihat ia tidak
bergerak sedikitpun. Aku bergegas ke rumahnya dan memberikan kabar ini
kepada istri beliau, Fathimah Az Zahra. Sesampai di rumah putri nabi itu
bertanya, “Siapakah kamu?” Aku menjawab, “Aku adalah Abu Darda’,
pembantumu.” Ia bertanya: “Ada apakah gerangan?” Aku menjawab, “Aku
menemukan imam Ali as. tergeletak meninggal dunia dalam keadaan
beribadah!” Namun mendengar itu Fathimah Az Zahra hanya menanggapi,
“Biarkan saja, memang ia seperti itu saat beribadah karena begitu takut
akan Allah swt.”[658]
Sebuah contoh menarik lainnya adalah dicabutnya
sebatang anak panah dari tubuh Imam Ali as. saat ia berada dalam keadaan
shalat tahajjud. Dalam keadaan itu karena shalatnya yang begitu dalam
dan khusyu’ ia tidak merasakan sakitnya anak panah dicabut dari
tubuhnya.[659]
Elexis Carl mengakui bahwa shalat adalah pembawa
ketenangan dan ketentraman maknawi dan keadaan inilah yang sangat
dibutuhkan oleh orang-orang yang sedang berhadapan dengan tekanan jiwa.
Tak jarang orang-orang mendapatkan kesembuhannya di tempat mereka
beribadah. Sertbut seorang psikolog Inggris sependapat dengan William
James tentang shalat dan ia berkata:
“Dengan sholat kita bisa mencapai segunung kebahagiaan yang mana kita tidak akan bisa mencapainya lagi kecuali dengan cara itu”[660]
C. Bertawasul
Salah satu keyakinan yang dimiliki oleh umat Islam
adalah tawasul. Tawasul adalah salah satu cara seseorang melampiaskan
beban perasaan dalam hatinya. Keyakinan akan tawasul (bahwa para
hamba-hamba yang terdekat dengan Tuhan dapat membantu kita—pent.)
membuat kita merasa yakin bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam
semesta ini adalah kehendak Allah swt. (yakni tauhid af’ali) dan para
wali-wali-Nya adalah perantara-Nya dalam mencurahkan rahmat dan karunia,
di samping itu perkataan mereka juga didengar oleh Tuhan, dan mereka
juga bisa memberikan syafaat dengan izin-Nya.[661]
Oleh karena itu saat kita sedang berada dalam kesusahan, kita disarankan
untuk bertawasul kepada mereka, menjadikan mereka sebagai perantara
turunnya rahmat dari sisi Allah swt. Kenyataan ini telah terbukti,
banyak sekali hamba-hamba Allah swt. yang bersimpuh mengadu kepada
mereka dan mereka pun mendapatkan bantuan dan hajat-hajatnya terpenuhi.
Bertawasul dapat menguatkan kadar tawakal (penyerahan diri kepada Allah
swt.) seseorang. Dengan menjalin hubungan dengan wali-wali Alalh swt.
yang memiliki kedudukan tinggi di sisi-Nya dan juga memiliki pengaruh
dalam pengaturan alam semesta, dapat membuat kita merasa tentram dan
tidak kesepian.[662]
D. Ziarah ke tempat-tempat suci
Ibadah yang dilakukan secara bersama-sama dapat
dipastikan memiliki pengaruh tersendiri dalam mengurangi tekanan jiwa
pada seseorang. Kegiatan seperti ini telah ada jauh sebelum Islam,
bahkan jauh sebelum sejarah dicatat. Mereka bersama-sama berkumpul dan
menciptakan satu rasa dan perasaan, saling dekat satu samalain, saling
membagi kebahagiaan dan mencurahkan kesedihan, yang mana dengan demikian
rasa sakit yang mereka rasakan dengan sendirinya akan berkurang. Salah
satu kegitatan yang seperti itu adalah berziarah bersama-sama. Saat ini
pun kita dapat melihat fenomena ini, orang-orang berkumpul dengan
pakaian rapi, bersih, wangi, beribadah bersama dengan khusyu’ dan
penghayatan. Dengan mengingat esensi yang dimiliki ajaran ini, kesucian
dan keagungannya dapat terlihat dengan jelas.[663]
Dalam agama Islam, terdapat berbagai tempat suci
seperti kota Makkah, Madinah, Atabat, Masyhad, Qom, Goa Hira, Sumur
Zamzam, Mina, Arafah, Shafa, Marwa, dan masih banyak lagi, yang mana
merupakan tempat berziarahnya hamba-hamba Allah; yang sebagian dari itu
adalah wajib, dan sebagian lainnya disunahkan namun penuh penekanan
dalam menjalankannya.
Ziarah adalah mengikat janji, bertumpu pada tauhid
dan menyatukan jiwa dengan kebenaran wahyu. Ziarah adalah baiat dan
sumpah setia kepada para imam, para wali Allah swt. yang terdekat
dengan-Nya.
Dalam agama Islam, khususnya mazhab Syi’ah, ziarah
begitu ditekankan kepada para pemeluknya. Berziarah ibaratnya seseorang
sedang berada di rumah orang yang dicintainya, orang yang memahami sakit
dan deritanya. Di situ ia mengadukan permasalahannya. Di rumah itu ia
merasa tentram karena ia merasa tidak sendiri lagi dan sedang berada di
bawah naungan rahmat dan kekuatan Allah swt. Al Marhum Naraqi menulis:
“Arwah-arwah kudus yang memiliki kekuatan
tersendiri, khususnya arwah para nabi, para imam dan para wali Allah
swt., setelah terbebas dari kurungan jasad ini, terbang menuju alam
tajarrud. Di alam itu mereka berada di ujung ufuk tertinggi yang mana
pengetahuan mereka dapat menjangkau segala hal yang ada di dunia. Apa
yang terjadi di dunia dapat dengan jelas mereka saksikan. Mereka juga
memiliki pengaruh dengan izin Allah atas urusan-urusan dunia. Mereka
menyaksikan orang-orang yang berziarah kepada mereka. Mereka faham
dengan jelas apa yang diinginkan peziarahnya. Kemudian dengan ziarah itu
Allah menghantarkan angin rahmat kepada mereka, memenuhi kebutuhan,
memaafkan dosa dan menjauhkan mereka dari kesusahan. Arwah-arwah suci
itu dengan izin-Nya dapat memberikan syafaat untuk mereka. Inilah
rahasia mengapa ziarah nabi dan para imam begitu ditekankan.”[664]
Selama ini dan sampai kapanpun ziarah terbukti
memiliki efek dalam memberikan pemecahan permasalahan dan perubahan
dalam kehidupan.
Daftar Isi :
Quran dan Tekanan Jiwa. 1
Sayid Ishaq Husaini Khushari 1
pengantaar 2
pendahuluan. 4
1. Gangguan jiwa, sobat karib manusia. 5
2. Pemula bahasan. 7
3. Al Qur’an, kitab kesembuhan. 13
BAb 1 : Mengenal Pertanda Tekanan Jiwa 18
Sekilas sejarah. 18
Apa itu tekanan jiwa?. 23
Mengukur tekanan jiwa. 27
Tanda-tanda tekanan jiwa. 27
Efek baik dan buruk tekanan jiwa. 29
A. Efek baik: tekanan, kelaziman hidup. 29
B. Efek-efek buruk tekanan jiwa. 31
Bab 2 : Antara Kebutuhan dan Tekanan Jiwa 33
Pentingnya membahas kebutuhan manusia. 33
Tingkatan kebutuhan manusia. 33
Definisi kebutuhan dan motivasi 35
1. Kebutuhan dan dorongan keseimbangan hidup (fisiologis) 35
2. Kebutuhan akan keamanan. 46
3. Kebutuhan akan cinta dan ikatan (bergabung dan diterima) 54
4. Kebutuhan akan kehormatan dan kemuliaan. 59
5. Kebutuhan akan pengetahuan (ilmu, pemahaman dan pembuktian) 63
6. Kebutuhan akan keindahan. 66
7. Aktualisasi diri 68
8. Kebutuhan spiritual (penyembahan) 73
Bab 3: Faktor-faktor Tekanan Jiwa 78
Faktor-Faktor Tekanan Jiwa. 78
1. Kacaunya keseimbangan hayati badan. 78
A. Kelelahan. 79
B. Pesimisme dalam kesehatan. 83
C. Stres melahirkan. 85
D. Penyakit kronis. 86
2. Peranan sistim kelembagaan. 90
A. Suasana bekerja. 90
B. Kedudukan dan jabatan kerja. 91
C. Naiknya kedudukan. 92
3. Krisis kekeluargaan. 92
A. Perceraian. 93
B. Kematian istri atau suami 96
C. Kematian buah hati 97
D.Kematian orang tua. 99
E. Mencukupi keluarga (masalah perekonomian dan penghidupan) 100
4. Lingkungan. 101
A. Polusi suara. 102
B. Polusi udara. 103
C. Aturan dan peraturan. 103
D. Migrasi (perubahan lingkungan dan budaya) 105
5. Politik. 106
A. Para ahli politik. 107
B. Antara penguasa dan yang rela dikuasai 108
C. Perang urat syaraf dan tersebarnya isu-isu. 109
D. Krisis ekonomi dan politik. 111
6. Kepribadian. 113
A. Pribadi tipe A dan tipe B.. 114
B. Pribadi yang selalu pesimis. 118
C. Waswas dan keraguan. 120
D. Kebimbangan dan kemunafkan (memiliki dua hati) 122
7. Rasa kehampaan moral 123
A. Mengingat hal yang tak menyenangkan (nafsul lawwamah) 124
C. Hasud. 126
D. Tuduhan bohong. 127
8. Rasa kehampaan spiritual 128
A. Hampanya jati diri 128
B. Merasa sendiri dan terusir 130
C. Tiadanya sandaran dan tumpuan (lemahnya iman) 132
D. Khurafat dan kepercayaan-kepercayaan batil 133
10. Keyakinan-keyakinan agama. 134
A. Tekanan tanggung jawab dan kewajiban. 134
B. Takut akan kematian. 136
Bab 4: Cara-cara menghadapi Tekanan Jiwa 140
Pendahuluan. 140
Membenahi cara berfikir 140
1. Kembali kepada fitrah. 140
2. Memahami permasalahan. 149
3. Nalar keseimbangan (mencari makna) 150
4. Mencari sandaran jiwa (harapan dan iman) 153
5. Perubahan dalam batin. 157
6. Prinsip qadha dan qadar serta tidak adanya hal-hal kebetulan 158
7. Prinsip tawakal 160
8. Berpandangan positif terhadap kematian. 160
9. Antara menjalankan tugas dan hasilnya. 161
10. Kembali pada renungan (bertafakur) 162
11. Berpandangan positif 167
Membenahi prilaku. 170
1. Olah raga dan latihan fisik. 171
2. Tidur 172
3. Istirahat dan relaksasi 176
4. Memperbaiki suasana kerja. 177
5. Mewujudkan sistim perlindungan. 180
6. Suasana yang nyaman. 183
Menata hati 184
1. Melampiaskan emosi 184
2. Mengatur keseimbangan hati 188
3. Ketegaran. 189
4. Bersabar dan bertahan. 190
5. Perlindungan sosial dan emosional (terhadap keluarga dan sesama) 192
6. Menyatukan jiwa dengan sumber kekuatan. 198
[1] Khuda dar Nakhudagah (Tuhan dalam Alam Bawah Sadar), Victor Francle, halaman 333.
[2] Majalah Daru Darman, tahun ke-10, edisi ke-9, 10 Bahman 1371 HM. dan edisi ke 11, 10 Esfand 1371 HM.
[3] Tanidegi ya Esteres (Stres dan Depresi), Stora, halaman 62 – 69.
[4] Feshar e Ravani va Ezterab (Stres dan Depresi), Povel, halaman 21.
[5] Tanidegi ya Esteres (Stres dan Depresi), Stora, halaman 66 – 68.
[6] Ibid, halaman 65 – 66.
[7] Ibid, halaman 25.
[8] Fashlname e Andishe va Raftar, edisi ke 1 – 2, musim gugur 1374 HM, halaman 8 dan 9.
[9] Filsuf e Rey (Seorang Filsuf dari Rey), Mahdi Mohaqiq,.
[10] Moshavere va Ravan Darmani (Konsultasi dan Psikoterapi), Sayid Ahmad Ahmadi, halaman 806.
[11] Din va Ravan (Agama dan Jiwa), William James, halaman 14 dan 15.
[12] Din va Ceshmandazihaye Nov, Legenhausen, halaman 162.
[13] Ravanshenashi va Din (Psikologi dan Agama), Carl Jung, mukadimah.
[14] Anggize va Syakhsiyat (Motifasi dan
Kepribadian), Abraham Maslow, halaman 77; Behdasht e Ravani (Kesehatan
Jiwa), Shamlou, halaman 357 – 359.
[15] Din va Ceshmandazihaye Nov, Legenhausen, halaman 162.
[16] Al Isra’ ayat 82.
[17] Tafsir Al Mizan, Sayid Muhammad Husain Thabathabai, jilid 13, halaman 184, 212 dan 211.
[18] Amali, Sayid Murtadha Syaikh Thusi, majlis 27.
[19] Ushul Al Kafi, Muhammad ibn Ya’qub Kulaini, jilid 2, halaman 449.
[20] Wafi, Mula Muhsin Faiz Kashani, jilid 14, halaman 165.
[21] Nahjul Balaghah, khutbah ke 8.
[22] Mizanul Hikmah, Muhammad Mahdi Reyshahri, jilid 5, halaman 533.
[23] Ali Imran, ayat 95 dan 96.
[24] Al Baqarah, ayat 125: “Dan ingatlah ketika
Kami menjadikan Ka’bah sebagai tempat kembali yang penuh ketentraman
bagi umat manusia.”
[25] Al Baqarah, ayat 127: “…Saat Ibrahim dan Ismail meninggikan dinding-dinding Ka’bah.”
[26] Al Baqarah, ayat 126: “Ya Allah, jadikanlah tempat ini sebagai tempat yang penuh ketentraman.”
[27] Al Quraisy, ayat 106: “Ia yang telah
mengenyangkan kalian dari rasa lapar dan memberikan ketentraman dari
rasa takut serta bahaya.”
[28] An Nur, ayat 55: “Dan Allah akan memberikan
ketentraman dan keamanan kepada orang-orang yang beriman dari bahaya
musuh-musuh mereka secara sempurna.” Allamah Thabathabai dalam Al Mizan,
jilid 15, halaman 169 menjelaskan: “Keamanan dan ketentraman yang
sempurna itu hanya dapat dirasakan di masa pemerintahan Imam Mahdi as.”
[29] Al Fajr, ayat 27: “Wahai jiwa yang tenang…”
[30] Abasa, ayat 38 dan 39: “Wajah-wajah di hari itu cerah ceria, gembira dan bahagia.”
[31] Al Falaq dan An Nas.
[32] Psychosomatic disease
[33] Asosiasi Doktor Jiwa Amerika
[34] Tanidegi ya Estress (Stres dan Depresi), Stora, halaman 27 dan 28.
[35] The alarm reaction
[36] The stage of resistance
[37] The stage of exhaustion
[38] Estress e Daemi (Stres Berkepanjangan), Pierre Lou & Hendri Lou, halaman 11 dan 12.
[39] Tanidegi ya Estress (Stres dan Depresi), Stora, halaman 18.
[40] Ibid, halaman 19.
[41] Ibid, halaman 14 – 32.
[42] Estress e Daemi (Stres Berkepanjangan), Pierre Lou & Hendri Lou, halaman 127.
[43] Tanidegi ya Estress (Stres dan Depresi), Stora, halaman 19 dan 20.
[44] Ibid, halaman 18.
[45] Dalam buku ini akan lebih sering digunakan istilah “tekanan jiwa” daripada yang lainnya.
[46] Tanidegi ya Estress (Stres dan Depresi), Stora, halaman 25.
[47] Feshar e Ravani (Tekanan Jiwa), Martin C., halaman 19.
[48] Tanidegi ya Estress (Stres dan Depresi), Stora, halaman 14 - 25.
[49] Estress e Daemi (Stres Berkepanjangan), Pierre Lou & Hendri Lou, halaman 34 – 37.
[50] Ibid, halaman 25 & 26; Feshar e Ravani (Tekanan Jiwa), Martin C., halaman 19 - 23.
[51] Feshar e Ravani va Ezterab (Stres dan Depresi), Povel, halaman 44.
[52] Feshar e Ravani (Tekanan Jiwa), Martin C., halaman 43 & 49.
[53] Feshar e Ravani (Tekanan Jiwa), Martin C., halaman 43 – 47; Feshar e Ravani (Tekanan Jiwa), Copper, halaman 16.
[54] Feshar e Ravani (Tekanan Jiwa), Martin C., halaman 43 – 49.
[55] Al Balad, ayat 4: “Sungguh Kami telah
menciptakan manusia dalam kesengsaraan.” Raghib Isfahani, Mufradat,
halaman 420: “Allah swt. Menciptakan manusia dalam keadaan tidak dapat
lepas dari kesengsaraan sehingga ia menggapai tempat tertingginya yang
disebut Darul Qarar.”
[56]Al Insyiqaq, ayat 6: “Wahai manusia,
sesungguhnya kalian sedang berjalan menuju Tuhan kalian dengan penuh
kesengsaraan lalu kalian akan bertemu dengan-Nya.”
[57] .Al A’raf, ayat 168: “Dan Kami menguji mereka dengan baik dan buruk.”
[58]. Al Baqarah, ayat 155: “Dan Kami akan
menguji kalian dengan ujian seperti rasa takut dan lapar, kekurangan
harta dan jiwa serta sedikitnya buah-buahan.”
[59]. Ushul e Behdasht e Ravani (Prinsip-Prinsip Kesehatan Jiwa), Sayid Abul Qasim Husaini, halaman 175 dan 176.
[60] Al Insyirah, ayat 6.
[61] Tafsir Al Mizan, Muhammad Husain
Thabathabai, jilid 20, halaman 450; Gami Farasuye Ravanshenashi Eslami,
Husain Muhammad Syarqawi, halaman 122-128; Ushul e Behdasht e
Ravani(Prinsip-Prinsip Kesehatan Jiwa), Sayid Abul Qasim Husaini,
halaman 175 & 176.
[62] Estress e Daemi (Stres Berkepanjangan), Pierre Lou & Hendri Lou, halaman 24 – 51.
[63] Ibid, halaman 107.
[64] Anggize va Syakhsiyat (Motifasi dan Kepribadian), Abraham Maslow, halaman 82 – 84.
[65] Ibid, Abraham Maslow, halaman 70.
[66] Ravan Shenashi Anggizesh va Hayajan,
Muhyiddin Mahdi Benab, halaman 16 dan 17; Murray, Anggizesh va Hayajan,
halaman 44 dan 45.
[67] Ravan Shenashi Anggizesh va Hayajan, Muhyiddin Mahdi Benab, halaman 24.
[68] As Syu’ara, ayat 79 dan 80; Tafsir Al Mizan, Sayid Muhammad Husain Thabathabai, jilid 15, halaman 284.
[69] Thaha, ayat 118 dan 119.
[70] Quraisy, ayat 3 & 4.
[71] Al Baqarah, ayat 155.
[72] Al A’raf, ayat 32.
[73] Wasailus Syiah, Allamah Hurr Amili, jilid 12, halaman 17.
[74] Ibid, jilid 11, halaman 293: “Betapa kefakiran itu dekat dengan kekufuran.”
[75] Ibid, jilid 17, halaman 162.
[76] Ibid.
[77] Al A’raf, ayat 31: “Makan dan minumlah, namun janganlah berlebihan.”
[78] Wasailus Syiah, Allamah Hurr Amili, jilid 17, halaman 162.
[79] Islam va Ravanshenashi, Mahmud Bustani,
halaman 354 – 358; Quran va Ravanshenashi, halaman 38; Ravanshenashi e
Salamat, M. Robin Dimato, jilid 1, halaman 381.
[80] An Nahl, ayat 68 – 69: “Di dalamnya terdapat
kesembuhan dan rahmat. Sesunguhnya pada semua itu terdapat tanda-tanda
(kebesaran Ilahi) bagi orang-orang yang berfikir.”
[81] Ar Ruum, ayat 21.
[82] Tafsir Al Mizan, Sayid Muhammad Husain Thabathabai, jilid 4, halaman 191 dan 332.
[83] Al Baqarah, ayat 187.
[84] Tafsir Al Mizan, Sayid Muhammad Husain Thabathabai, jilid 2, halaman 43 dan 44.
[85] Bihar Al Anwar, Muhammad Baqir Majlisi, jilid 103, halaman 242 dan jilid 73, halaman 349.
[86] Al Ahzab, ayat 32.
[87] Islam va Ravanshenashi, Mahmud Bustani, halaman 232 – 236.
[88] Wasailus Syiah, Allamah Hurr Amili, bab Nikah, jilid 14, halaman 171.
[89] Bihar Al Anwar, Muhammad Baqir Majlisi, jilid 103, halaman 242 dan jilid 43, halaman 84.
[90] Wasailus Syiah, Allamah Hurr Amili, bab Nikah, jilid 14, bab 5, halaman 171.
[91] Ravan Shenashi Anggizesh va Hayajan, Muhyiddin Mahdi Benab, halaman 38 dan 39.
[92] Al Anbiya’, ayat 89.
[93] Maryam as., ayat 3 dan 8.
[94] Maryam as., ayat 5.
[95] As Syu’ara, ayat 84.
[96] Maryam as., ayat 50.
[97] Tafsir Al Mizan, Sayid Muhammad Husain Thabathabai, jilid 20, halaman 270 – 273.
[98] Al Furqan, ayat 74.
[99] Tafsir e Nemune, Nashir Makarim Syirazi, jilid 7, halaman 334.
[100] Ali Imran, ayat 169.
[101] Bihar Al Anwar, Muhammad Baqir Majlisi, jilid 78, halaman 185 dan 184.
[102] Ibid, jilid 78, halaman 186.
[103] Ibid, halaman 219.
[104] As Syu’ara, ayat 80; Bihar Al Anwar, Muhammad Baqir Majlisi, jilid 92, halaman 10, 23, 33 dan 314.
[105] Bihar Al Anwar, Muhammad Baqir Majlisi, jilid 62, halaman 62 – 70.
[106] Ibid, jilid 71, halaman 236.
[107] Ibid, jilid 16, halaman 228.
[108] Behdasht e Ravani (Kesehatan Jiwa), Shamlou, halaman 136 – 146.
[109]Shahifah Sajjadiyah, doa 20, Makarimul Akhlak.
[110] Shahifah Sajjadiyah, doa 20, Makarimul Akhlak.
[111] Bihar Al Anwar, Muhammad Baqir Majlisi, jilid 73, halaman 7.
[112] Anggize va Syakhsiyat (Motifasi dan Kepribadian), Abraham Maslow, halaman 79.
[113] Tafsir Al Mizan, Sayid Muhammad Husain Thabathabai, jilid 11, halaman 107 – 109.
[114] Nahjul Balaghah, surat ke-47.
[115] Al Hadid, ayat 25.
[116] Al Baqarah, ayat 213.
[117] Ghurarul Hikam wa Durarul Kalim, Abdul Wahid Amadi.
[118] Tuhaful Uqul, Ibnu Syu’bah, halaman 11.
[119] Al Baqarah, ayat 143: “Dan begitulah kami menjadikan kalian umat yang di tengah (berada pada keseimbangan).”
[120] Kifayatul Ushul, Akhund e Khurasani, jilid 2, halaman 249.
[121] Anggize va Syakhsiyat (Motifasi dan Kepribadian), Abraham Maslow, halaman 79 - 81.
[122] Anggizesh va Hayajan, Murray, halaman 190 –
196; Ravan Shenashi Anggizesh va Hayajan, Muhyiddin Mahdi Benab,
halaman 49 – 53.
[123] Al Kafi, Muhammad Ya’qub Kulaini, jilid 8, halaman 79.
[124] Tafsir Nur At Tsaqalain, Ali ibn Jum’ah Arusi Huwaizi, jilid 5, halaman 83 dan 84.
[125] Safinatul Bihar, Syaikh Abbas Qumi, jilid 1, halaman 201.
[126] Ali Imran, ayat 31.
[127] Bihar Al Anwar, Muhammad Baqir Majlisi, jilid 74, halaman 182 dan jilid 46, halaman 291.
[128] Al Maidah, ayat 54.
[129] Al Mujadalah, ayat 22.
[130] As Syura, ayat 23.
[131] Yusuf, ayat 8
[132] Tafsir Nemune, Nashir Makarim Syirazi, jilid 16, halaman 392.
[133] Maryam as., ayat 96.
[134] Ibrahim, ayat 37.
[135] Al Qashash, ayat 23 dan 24.
[136] Al Insan, ayat 8.
[137] Al Hasyr, ayat 9.
[138] Al A’raf, ayat 62.
[139] Anggize va Syakhsiyat (Motifasi dan Kepribadian), Abraham Maslow, halaman 31.
[140] Bihar Al Anwar, Muhammad Baqir Majlisi, jilid 74, halaman 181.
[141] Ibid, jilid 75, halaman 265, jilid 74, halaman 393, dan jilid 77, halaman 149.
[142] Nahjul Balaghah, hikmah 50.
[143] Al A’raf, ayat 89: “Dan aku menasehati kalian, namun kalian tidak menyukai para pemberi nasehat.”
[144] At Taubah, ayat 128.
[145] As Syu’ara, ayat 3.
[146] Nahjul Balaghah, kalimat-kalimat pendek, nomor 65.
[147] Anggize va Syakhsiyat (Motifasi dan Kepribadian), Abraham Maslow, halaman 82 dan 83.
[148] Ravanshenashi e Afsordeghi, Bernez, halaman 69.
[149] Shahifah Sajjadiyah, doa ke-20 (Makarimul Akhlak).
[150] Wasailus Syiah, Allamah Hurr Amili, jilid 3, bab 8 (Ahkam Malabis), halaman 351.
[151] Ibid, bab 3, hadis ke 2, jilid 3, halaman 343.
[152] Ibid, bab 29, hadis ke 3, jilid 3, halaman 376.
[153] Shahifah Sajjadiyah, doa ke-20 (Makarimul Akhlak).
[154] Al Isra’, ayat 70.
[155] Ensan Movjudi Nashenakhte (Manusia Makhluk Misterius), Alexis Karl, halaman 73 dan 74.
[156] Nahjul Balaghah, surat ke 31.
[157] Al Mu’minun, ayat 14.
[158] Al Furqan, ayat 72.
[159] Al Furqan, ayat 63.
[160] Al Fathir, ayat 10.
[161] Anggize va Syakhsiyat (Motifasi dan Kepribadian), Abraham Maslow, halaman 85 - 89.
[162] Safinatul Bihar, Syaikh Abbas Qumi, jilid 1, kata Syahada.
[163] Tafsir Majma’ul Bayan, Abu Ali Fadhl bin Hasan Thabrasi, jilid 9, halaman 235.
[164] Ali ibn Jum’ah Arusi Huwaizi, Ruhul Ma’ani, jilid 28, halaman 26.
[165] Al Alaq, ayat 4 dan 5: “Tuhan yang telah
memberi tahu (mengajari) manusia dengan pena. Memberi tahu apa yang
belum diketahui (oleh manusia).”
[166] Ar Rahman, ayat 3 dan 4: “Dia menciptakan manusia. Menjadikannya pandai berbicara.”
[167] Al Baqarah, ayat 31.
[168] Thaha, ayat 114.
[169] Al Kahf, ayat 66.
[170] Al Baqarah, 260: “Agar aku mendapatkan ketenangan dan keyakinan dalam hatiku.”
[171] Al Isra’, ayat 85: “Dan pengetahuan-pengetahuan yang diberikan kepada kalian sungguh sedikit.”
[172] Al Kahf, ayat 83 – 98; Nashir Makarim Syirazi, Tafsir e Nemune, jilid 12, halaman 522 – 523.
[173] Anggize va Syakhsiyat (Motifasi dan Kepribadian), Abraham Maslow, halaman 89.
[174] Al A’raf, ayat 32.
[175] Al A’raf, ayat 31.
[176] Al A’raf, ayat 31.
[177] Wasailus Syiah, Allamah Hurr Amili, jilid 3, Hukum-Hukum Berpakaian, bab 1, hadis ke-8 halaman 341.
[178] Ibid, bab 12, hadis ke-1, halaman 354.
[179] Ibid, jilid 3, bab 12, hadis ke-1, halaman 354.
[180] Ibid.
[181] As Syu’ara, ayat 128 dan 129.
[182] Anggize va Syakhsiyat (Motifasi dan Kepribadian), Abraham Maslow, halaman 82 - 84.
[183] Nahjul Balaghah, khutbah pertama.
[184] Shaad, halaman 71.
[185] Al Baqarah, ayat 30.
[186] Al Ahzab, ayat 72: “Sesungguhnya kami menyerahkan amanat...”
[187] Al Mukminun, ayat 14: “Maka mahasuci Allah
swt. sebaik-baiknya pencipta.”; At Tin, ayat 4: “Kami telah menciptakan
manusia dengan bentuk ciptaan yang terbaik.”
[188] Al Bayyinah, ayat 6: “Mereka adalah sebaik-baiknya makhluk.
[189] An Najm, ayat 9.
[190]Tafsir Al Mizan, Sayid Muhammad Husain Thabathabai, jlid 1, Bahasan Rawi.
[191] Nahjul Balaghah, hikmah 456.
[192] Tafsir e Nemune, Nashir Makarim Syirazi, jilid 18, halaman 237.
[193] Al A’raf, ayat 179.
[194] Al Baqarah, ayat 74.
[195] At Tin, ayat 7.
[196] An Nisa’, ayat 145; Tafsir e Nemune, Nashir Makarim Syirazi, jilid 27, halaman 144.
[197] An Najm, ayat 39.
[198] Al Isra’, ayat 84.
[199] Tafsir Al Mizan, Sayid Muhammad Husain
Thabathabai, jlid 189 – 194; Ensan dar Eslam (Manusia dalam Islam),
Abdullah Jawadi Amuli, halaman 30 – 35.
[200] Shahifah Sajjadiyah, doa ke-20 (Makarimul Akhlak).
[201] Anggize va Syakhsiyat (Motifasi dan Kepribadian), Abraham Maslow, halaman 77.
[202] Din va Ravan (Agama dan Jiwa), William James, halaman 152.
[203] Ehya e Fekr e Din, Murtadha Muthahari, halaman 105.
[204] 4 Ibid.
[205] Ruhul Shalah Fil Islam, Afif Abdul Fattah Tayarah, halaman 9.
[206] Parashtesh e Agahane, Muhammad Reza Rezvan Talab, halaman 24.
[207] Ehya e Fekr e Din, Murtadha Muthahari, halaman 292.
[208] Yunus, ayat 12.
[209] Ad Dzariyat, ayat 56.
[210] I’tiqadat, Muhammad Baqir Majlisi, halaman 29.
[211] Bihar Al Anwar, Muhammad Baqir Majlisi, jilid 77, halaman 400; Khishal, Syaikh Shaduq, jilid 2, halaman 45.
[212] Al Maidah, ayat 27.
[213] Tafsir Al Mizan, Sayid Muhammad Husain Thabathabai, jilid 5, halaman 300.
[214] Abraham Maslow, Anggize va Syakhsiyat (Motifasi dan Kepribadian), halaman 78 – 88.
[215] Tanidegi ya Esteres (Stres dan Depresi), Stora, halaman 94 dan 95.
[216] Feshar e Ravani va Ezterab (Stres dan Depresi), Povel, halaman 22 dan 23.
[217] Estress e Daemi (Stres Berkepanjangan), Pierre Lou & Hendri Lou, halaman 191 – 196.
[218] Al Furqan, ayat 47.
[219] Ar Ruum, ayat 23; Yunus, ayat 67, Ghafir, ayat 61.
[220] Al Anfal, ayat 11.
[221] Al Qashash, ayat 72.
[222] Wasailus Syiah, Allamah Hurr Amili, Kitab Shalat, jilid 3, bab 29 dan 39, halaman 156 – 6 – 174.
[223] Nahjul Balaghah, hikmah 312.
[224] Ibid, hikmah 193.
[225] Ibid, hikmah 197.
[226] Al Baqarah, ayat 185: “Dan barangsiapa sakit, atau dalam keadaan bermusafir, maka bisa berpuasa di lain hari.”
[227] Al Baqarah, ayat 280.
[228] Al Baqarah, ayat 186.
[229] Khishal, Syaikh Shaduq, halaman 132.
[230] Nahjul Balaghah, hikmah 39.
[231] An Nisa’, ayat 43: “Janganlah kalian mendekati shalat sedang kalian dalam keadaan mabuk.”
[232] An Nisa’, ayat 142: “Dan ketika mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas-malasan.”
[233] Ravanshenashi e Salamat, M. Robin Dimato, jilid 1, halaman 191.
[234] Ibid, halaman 193.
[235] Ibid, halaman 194.
[236] Ibid, halaman 227.
[237] Ibid, halaman 223.
[238] At Taubah, ayat 51: “Tidak akan pernah
menimpa kami apa-apa yang tidak ditakdirkan oleh Allah swt. untuk
menimpa kami dan Ia adalah Tuhan kami dan pada Allah-lah hendaknya
orang-orang yang beriman bertawakal.” Al Hadid, ayat 22: “Tidak ada
satupun yang menimpa di muka bumi dan pada diri kalian kecuali
sebelumnya telah dicatatkan.”
[239] Ar Ra’d, ayat 28: “Tidakkah dengan mengingat Allah swt. hati-hati menjadi tenang?”
[240] Thaha, ayat 124: “Dan barang siapa enggan mengingat-Ku, maka ia akan mendapatkan kehidupan yang susah.”
[241] Tanidegi ya Esteres (Stres dan Depresi), Stora, halaman 48 – 50.
[242] Estress e Daemi (Stres Berkepanjangan),
Pierre Lou & Hendri Lou, halaman 179 – 181 dan halaman 207 – 209;
Anggize va Syakhsiyat (Motifasi dan Kepribadian), Abraham Maslow,
halaman 76.
[243] Maryam as., ayat 23 – 26.
[244] Bihar Al Anwar, jilid 14, halaman 226.
[245] Wasailus Syi’ah, jilid 25, halaman 31.
[246] Estress e Daemi (Stres Berkepanjangan), Pierre Lou & Hendri Lou, halaman 160.
[247] Ravanshenashi e Salamat, M. Robin Dimato, jilid 1, halaman 698 - 701.
[248] Al An’am, ayat 84 – 90; An Nisa’, ayat 163.
[249] Shaad, ayat 44.
[250] Tafsir Al Mizan, Sayid Muhammad Husain
Thabathabai, jilid 17, halaman 216 – 308; Tafsir e Nemune, Nashir
Makarim Syirazi, jilid 19, halaman 292 – 305, dan jilid 12, halaman 429 -
481.
[251] Safinatul Bihar, Syaikh Abbas Qumi, jilid
1, halaman 105: “Sesungguhnya orang yang paling kerap mendapatkan
kesengsaraan sebagai ujian adalah para nabi, kemudian orang-orang yang
beriman sesuai dengan derajatnya masing-masing.”
[252] Tanidegi ya Esteres (Stres dan Depresi),
Stora, halaman 35 – 48; Estress e Daemi (Stres Berkepanjangan), Pierre
Lou & Hendri Lou, halaman 197.
[253] Ravanshenashi e Afsordeghi, Bernez, halaman 69; Feshar e Ravani va Ezterab (Stres dan Depresi), Povel, halaman 29 dan 30.
[254] Anggize va Syakhsiyat (Motifasi dan
Kepribadian), Abraham Maslow, halaman 82; Tanidegi ya Esteres (Stres dan
Depresi), Stora, halaman 41 – 43.
[255] Tanidegi ya Esteres (Stres dan Depresi), Stora, halaman 41.
[256] Ibid, halaman 35 – 48; Feshar e Ravani va Ezterab (Stres dan Depresi), Povel, halaman 27 – 35.
[257] Tanidegi ya Esteres (Stres dan Depresi), Stora, halaman 35 - 48.
[258] Feshar e Ravani va Ezterab (Stres dan
Depresi), Povel, halaman 24 – 30; Feshar e Ravani (Tekanan Jiwa), Martin
C., halaman 175 - 195.
[259] Feshar e Ravani (Tekanan Jiwa), Martin C., halaman 176.
[260] Ar Ruum, ayat 21.
[261] Wasailus Syiah, Allamah Hurr Amili, jilid 15, halaman 266, hadis ke-1.
[262] Ibid, halaman 268, hadis ke-7.
[263] Ibid, halaman 267, hadis ke-5.
[264] Tafsir Al Mizan, Sayid Muhammad Husain
Thabathabai, jilid 5, halaman 346; Tafsir e Nemune, Nashir Makarim
Syirazi, jilid 24, halaman 226.
[265] An Nisa’, ayat 35: “Dan jika kamu
khawatirkan ada persengketaan antara keduanya maka kirimlah seorang
hakam (juru pendamai) dari keluarga laki-laki dan hakam dari keluarga
perempuan.”; Tafsir Al Mizan, jilid 5, halaman 346.
[266] Al Baqarah, ayat 228: “Wanita-wanita yang telah dicerai hendaknya menahan diri (menunggu) hingga tiga kali haidh.”
[267] At Thalaq, ayat 6: “Tempatkanlah mereka
(para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan
janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan
jika mereka (istri-istri) yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersaalin, kemudian
jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu maka berikanlah kepada
mereka upahnya.”
[268] Al Baqarah, ayat 229: “Perceraian itu dua
kali…”; Tafsir Al Mizan, Sayid Muhammad Husain Thabathabai, jilid 2,
halaman 124.
[269] Ravanshenashi e Salamat, M. Robin Dimato, jilid 2, halaman 728.
[270] Feshar e Ravani (Tekanan Jiwa), Martin C., halaman 176 dan 177.
[271] Nahjul Balaghah, khutbah 202.
[272] A’yanus Syi’ah, Muhsin Amin, jilid 6,
halaman 499; Al Kamil, Ibn Atsir, jilid 2, halaman 579; Adab At Thaf,
Syabbar, jilid 1, halaman 63.
[273] Ravanshenashi e Salamat, M. Robin Dimato, jilid 2, halaman 730 - 734.
[274] Yusuf, ayat 84.
[275] Tafsir e Nemune, Nashir Makarim Syirazi, jilid 10, halaman 53 dan 54.
[276] Yusuf, ayat 87.
[277] Tafsir Al Mizan, Sayid Muhammad Husain
Thabathabai, jilid 11, halaman 318 dan 319: “Nabi Adam as. menangis atas
kepergian anaknya, Habil, selama empat puluh hari.”
[278] Sunan, Abi Dawud, jilid 1, halaman 57; Sunan, Ibn Majah, jilid 1, halaman 482.
[279] Ravanshenashi e Salamat, M. Robin Dimato, jilid 2halaman 734 - 738
[280] Adh Dhuha, ayat 6.
[281] Adh Dhuha, ayat 9.
[282] Al Ma’un, ayat 2.
[283] Al Fajr, ayat 17.
[284] Feshar e Ravani (Tekanan Jiwa), Martin C., halaman 176 - 178.
[285] Al An’am, ayat 151; Al Isra’, ayat 31.
[286] Estress e Daemi (Stres Berkepanjangan), Pierre Lou & Hendri Lou, halaman 182 – 186.
[287] Luqman, ayat 19.
[288] Al Hujurat, ayat 2.
[289] Tafsir Majma’ul Bayan, Abu Ali Fadhl bin
Hasan Thabrasi, jilid 7, halaman 320: “Beliau berkata bahwa itu adalah
bersin yang dikencangkan suaranya dan orang yang berteriak dalam
berbicara, kecuali jika mengangkat suara dalam memanggil atau membaca Al
Qur’an.”
[290] Estress e Daemi (Stres Berkepanjangan), Pierre Lou & Hendri Lou, halaman 54.
[291] Ibid, halaman 55.
[292] An Nahl, ayat 58.
[293] Al A’raf, ayat 157.
[294] Al Mufradat, Raghib Isfahani, kata ishr dan ghall.
[295] Tafsir Al Mizan, Sayid Muhammad Husain Thabathabai, jilid 8, halaman 280 dan 281.
[296] Al Baqarah, ayat 286.
[297] Al Hajj, ayat 78.
[298] Al Baqarah, ayat 185.
[299] Ibid.
[300] Estress e Daemi (Stres Berkepanjangan), Pierre Lou & Hendri Lou, halaman 213.
[301] Al Baqarah, ayat 246: “Dan bagaimana kami
tidak berjihad di jalan Allah sedang kami telah dikeluarkan dari tanah
air kami dan begitu juga dengan anak-anak kami.”
[302] 4 An Nisa’, ayat 97: “Mereka berkata:
“Waktu itu kami adalah orang-orang yang dilemahkan di tanah kami.”
Sebagian dari mereka berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas dan kalian
bisa berhijrah?”
[303] An Nisa’, ayat 100: “Dan barang siapa
berhijra di jalan Allah, maka ia akan mendapatkan keluasan di tanah
Allah dan kemudahan. Dan barang siapa pergi dari rumahnya untuk
berhijrah menuju Allah dan Rasul-Nya lalu ia mati di jalan itu, maka
pahalanya ada pada Allah.”
[304] Al Kahf, ayat 9 – 26.
[305] Estress e Daemi (Stres Berkepanjangan), Pierre Lou & Hendri Lou,halaman 191 – 196.
[306] Al Qashas, ayat 4: “Sesungguhnya Fir’aun
telah berbuat sewena-wena di muka bumi dan menjadikan penduduknya
berpecah-pecah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak
laki-laki dari mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka.
Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.”
[307] An Naml, ayat 34.
[308] An Naml, ayat 44.
[309] Estress e Daemi (Stres Berkepanjangan), Pierre Lou & Hendri Lou,halaman 142 – 199.
[310] Al Qashash, ayat 41: “Dan kami menjadikan mereka sebagai para pemimpin yang menyeru menuju api neraka.”
[311] Az Zukhruf, ayat 54: “Maka Fir’aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya.”
[312] Al Baqarah, ayat 205.
[313] Al Baqarah, ayat 49; Al Qashash, ayat 4.
[314] Ali Imran, ayat 64.
[315] Al Maidah, ayat 33.
[316] Al Isra’, ayat 37.
[317] Luqman, ayat 18.
[318] Al Baqarah, ayat 13.
[319] Yasin, ayat 18.
[320] Al Ahzab, ayat 60 – 63.
[321] Al Mufradat, Raghib Esfahani, kata rajf.
[322] Tafsir Al Mizan, Sayid Muhammad Husain Thabathabai, jilid 16, halaman 261 dan 262.
[323] Anggize va Syakhsiyat (Motifasi dan Kepribadian), Abraham Maslow, halaman 74 – 78.
[324] Al Qashash, ayat 18 – 22.
[325] Al Qashash, ayat 24.
[326] Al Isra’, ayat 31.
[327] Al Isra’, ayat 84.
[328] Tafsir e Nemune, Nashir Makarim Syirazi, jilid 12, halaman 246.
[329] Feshar e Ravani (Tekanan Jiwa), Martin C., halaman 106 - 216.
[330] Ravanshenashi e Salamat, M. Robin Dimato, jilid 2, halaman 548.
[331] Ali Imran, ayat 114: “Dan mereka bergegas melakukan amal kebaikan.”
[332] At Taubah, ayat 100: “Dan orang-orang
terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang
Muhajirin dan Anshar...”
[333] Al Waqi’ah, ayat 10: “Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk surga).”
[334] Wasailus Syiah, Allamah Hurr Amili, jilid 7, halaman 168.
[335] Al Baqarah, ayat 189.
[336] Tafsir Nur At Tsaqalain, Ali ibn Jum’ah Arusi Huwaizi, jilid 1, halaman 178.
[337]Al Isra’, ayat 11.
[338] Bihar Al Anwar, Muhammad Baqir Majlisi, jilid 71, halaman 340.
[339] Ghurarul Hikam wa Durarul Kalim, Abdul Wahid Amadi, kata ajl.
[340] Bihar Al Anwar, Muhammad Baqir Majlisi, jilid 71, halaman 147 dan 340
[341] Ghurarul Hikam wa Durarul Kalim, Abdul Wahid Amadi.[342] Ibid.
[343] Safinatul Bihar, Syaikh Abbas Qumi, jilid 1, halaman 129.
[344] Al Maidah, ayat 27 - 31.
[345] Wasailus Syiah, Allamah Hurr Amili, jilid 11, halaman 69.
[346] Al A’raf, ayat 11-18; Tafsir e Nemune, Nashir Makarim Syirazi, jilid 6, halaman 98.
[347] Al Isra’, ayat 83.
[348] Az Zumar, ayat 53.
[349] An Nahl, ayat 102.
[350] Huud, ayat 9.
[351] Ali Imran, ayat 151.
[352] Al Munafiqun, ayat 4.
[353] Ghurarul Hikam wa Durarul Kalim, Abdul Wahid Amadi, “Berbaik sangka adalah ketenangan hati dan keselamatan agama.”
[354] Ibid.
[355] Bihar Al Anwar, Muhammad Baqir Majlisi, jilid 75, halaman 196.
[356] Ghurarul Hikam wa Durarul Kalim, Abdul Wahid Amadi, jilid 77, halaman 227.
[357] Ibid.
[358] Ibid.
[359] Al Hujurat, ayat 12.
[360] Gami Be Suye Ravan Shenashi e Eslami (Selangkah Menuju Psikologi Islami), Hasan Muhammad Syarqawi,halaman 182.
[361] Ibid.
[362] Surah An Nas, ayat 1-6.
[363] Ushul Al Kafi, Muhammad ibn Ya’qub Kulaini, jilid 2, halaman 424.
[364] Ibid, halaman 463.
[365] Ibid, jilid 1, halaman 11.
[366] At Taubah, ayat 110.
[367] At Taubah, ayat 45.
[368] Al Munafiqun, ayat 4: “Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka.”
[369] AL Ahzab, ayat 19: “Apabila datang
ketakutan (bahaya), kamu lihat mereka itu memandang kepadamu dengan mata
yang terbalik-balik seperti orang yang pingsan karena akan mati.”
[370] Ali Imran, ayat 119 dan 120: “Dan apabila
mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercapur
benci terhadap kamu.”
[371] At Taubah, ayat 118.
[372] Islam va Ravanshenashi, Mahmud Bustani, halaman 256 – 257.
[373] As Syams, ayat 7 – 8.
[374] Al Balad, ayat 10.
[375] Tafsir e Nemune, Nashir Makarim Syirazi, jilid 27, halaman 47.
[376] Al Isra’, ayat 62 – 65; Al Baqarah, ayat 30 – 32.
[377] Al Falaq, ayat 3.
[378] Al Muzammil, ayat 10.
[379] Ad Dzariyat, ayat 52: “Dan ketika mereka
didatangi oleh para seorang nabi mereka berkata bahwa ia adalah penyihir
atau orang gila.”
[380] Maryam as., ayat 23
[381] Tafsir e Nemune, Nashir Makarim Syirazi, jilid 13, halaman 44.
[382] Ushul Al Kafi, Muhammad ibn Ya’qub Kulaini, jilid 2, halaman 35.
[383] Khuda dar Nakhudagah (Tuhan dalam Alam Bawah Sadar), Victor Francle, halaman 125 - 148.
[384] Ibid, halaman 155.
[385] Ibrahim, ayat 18: “Orang-orang yang kafir
kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup
angin pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat
mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di
dunia).”
[386] An Nur, ayat 39: “Amal usaha mereka bagaikan fatamorgana yang dikira oleh orang-orang yang haus sebagai air.”
[387] An Nur, ayat 40: “Atau seperti gelap gulita
di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak
pula, di atasnya lagi terdapat awan gelap gulita yang bertumpuk-tumpuk,
apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya.”
[388] Al Ankabut, ayat 41.
[389] Yusuf, ayat 8.
[390] Al Anbiya’, ayat 89.
[391] Maryam, 4 – 5.
[392] Yusuf, ayat 84: “Ia merintih: “Duhai
Yusufku…” Dan matanya memutih karena kesedihannya yang berkepanjangan.
Namun ia tetap sabar dan memendam amarahnya.”
[393] Thaha, ayat 124.
[394] Yasin, ayat 8 dan 9.
[395] Tafsir e Nemune, Nashir Makarim Syirazi, jilid 18, halaman 326.
[396] Tafsir Al Kabir, Fakhrur Razi, penjelasan ayat.
[397] Tafsir Al Qurthubi, penjelasasn ayat.
[398] An Nahl, ayat 58.
[399] Nahjul Balaghah, khutbah 166.
[400] Al Muzammil, ayat 5.
[401] Al Insyirah, ayat 1 – 3: “Bukankah Kami
telah memberikan kelapangan pada dadamu? Dan Kami turunkan bebanmu? Yang
telah memberati punggungmu…”
[402] As Syu’ara, ayat 13: “Hatiku telah menyempit dan lisanku menjadi tak jelas, maka utuslah (Jibril) kepada Harun.”
[403] Tafsir Majma’ul Bayan, Abu Ali Fadhl bin Hasan Thabrasi, tafsir ayat 122 surah Hud.
[404] Al Baqarah, ayat 124 – 138; Ibrahim, ayat 37; Shaffat, ayat 102 – 107.
[405] Al Ahzab, ayat 10 – 11.
[406] Islam va Ravanshenashi, Mahmud Bustani, jilid 2, halaman 774.
[407] Tafsir e Nemune, Nashir Makarim Syirazi, jilid 22, halaman 261.
[408] Bihar Al Anwar, Muhammad Baqir Majlisi, jilid 6, halaman 155.
[409] Ma’anil Akhbar, Syaih Shaduq, halaman 289.
[410] Qaaf, ayat 19: “Ya, itulah kematian yang kamu takut sekali dan selalu lari darinya.”
[411] Al Mu’minun, ayat 99 – 100: “Ia berkata,
“Tuhan kembalikanlah aku ke alam dunia sehingga aku bisa melakukan amal
saleh untuk mengganti yang pernah aku tinggalkan.” Tidak, sesungguhnya
ucapan itu hanya sekedar di lidah saja.”
[412] Al An’am, ayat 93.
[413] Qaaf, ayat 19.
[414] Bihar Al Anwar, Muhammad Baqir Majlisi, jilid 6, halaman 158.
[415] Nahjul Balaghah, khutbah 109.
[416] Al Waqi’ah, ayat 83 – 84.
[417] Al Qiyamah, ayat 26 – 29.
[418] Al Fajr, ayat 17 – 30.
[419] Bihar Al Anwar, Muhammad Baqir Majlisi, jilid 6, halaman 173.
[420] Wasailus Syiah, Allamah Hurr Amili, jilid 11, bab 9, hadis ke-2, halaman 164 (jihadun nafs).
[421] Nahjul Balaghah, khutbah 5 dan 16.
[422] Fitrah, Murtadha Muthahari, halaman 29:
“Ibnu Abbas berkata: “Makna fitrah sebelumnya aku tidak mengetahui
hingga pada suatu hari aku melihat dua orang Arab Baduwi yang sedang
berselisih akan sumur. Yang satu berkata ana fatartuha, yakni “aku yang
telah menggali sumur itu”, dan yang satu juga berkata yang sama. Baru
setelah itu aku mengerti arti fitrah.
[423] Thaha, ayat 50.
[424] Al A’la, ayat 3.
[425] Al ‘Alaq, ayat 5.
[426] As Syams, ayat 91.
[427] Al Balad, ayat 10.
[428] Al Balad, ayat 10.
[429] Al Isra’, ayat 20.
[430] Ar Ruum, ayat 30.
[431] Tafsir Al Mizan, Sayid Muhammad Husain Thabathabai, jilid 16, halaman 178.
[432] Ibid, jilid 5, halaman 112.
[433] Al Baqarah, ayat 30.
[434] Tafsir Al Mizan, Sayid Muhammad Husain Thabathabai, jilid 1, halaman 300.
[435] Barresi e Moqademati Oshul e Ravanshenashi e
Eslami, Sayid Abul Qasim Husaini, halaman 347: Bani Israil berkata
kepada nabi Musa as.: “Tauratmu banyak sekali. Pilihlah sesuatu bagi
kami yang memungkinkan untuk kami hafal.” Nabi Musa as. Berkata:
“Berprilakulah kepada orang lain sebagaimana kamu ingin orang lain
berprilaku seperti itu kepada kalian.” Ajaran ini dalam agama Kristen
dikenal dengan ajaran emas.
[436] Tuhaful Uqul, Ibnu Syu’bah, halaman 40.
[437] Nahjul Fashahah, halaman 441.
[438] Tafsir Al Mizan, Sayid Muhammad Husain Thabathabai, jilid 16, halaman 187, menukil dari Bukhari dan Suyuthi.
[439] Al Qiyamah, ayat 14 – 15.
[440] Al Balad, ayat 10.
[441] As Syams, ayat 7 - 8.
[442] Wejdan (fitrah), Muhammad Taqi Ja’fari, halaman 192 – 194.
[443] Al Qiyamah, ayat 2.
[444] Ushul e Behdasht e Ravani (Prinsip-Prinsip Kesehatan Jiwa), Sayid Abul Qasim Husaini, halaman 252 – 256.
[445] Al Baqarah, ayat 35 – 37.
[446] Al Maidah, halaman 30 -31.
[447] Al Furqan, ayat 27 dan 28.
[448] Al Baqarah, ayat 85.
[449] Az Zukhruf, ayat 43.
[450] Ushul Al Kafi, Muhammad ibn Ya’qub Kulaini, jilid 1, halaman 43.
[451] Ar Ra’d, ayat 28: “Tidakkah dengan mengingat Allah maka hati-hati akan menjadi tentram?”
[452] Al An’am, ayat 125 – 126: “Ia menjadikan hatinya sesak dan berat seperti seorang yang sedang berada dalam ketingian.”
[453] Al Ashr, ayat 2 dan 3.
[454] Al Ankabut, ayat 41.
[455] Mafatihul Jinan, Syaikh Abbas Al Qummi, doa Shabah.
[456] Al Muthaffifin, ayat 14; Tafsir Nur At
Tsaqalain, Ali ibn Jum’ah Arusi Huwaizi, jilid 2, halaman 101 - 103 dan
jilid 6, halaman 153.
[457] Al Isra’, ayat 45 – 46: “Dan Kami jadikan
di hati mereka sesuatu yang menutupi hingga mereka tidak bisa memahami
dan juga Kami jadikan penghalang bagi pendengaran mereka.”
[458] Al Baqarah, ayat 18; Al Hajj, ayat 46; Thaha, ayat 124 – 126.
[459] Al Baqarah, ayat 19.
[460] Al Hasyr, ayat 2, 3, dan 14.
[461] Al Munafiqun, ayat 4.
[462] An Nahl, ayat 43; Al Anbiya’, ayat 7.
[463] Tafsir e Nemune, Nashir Makarim Syirazi,
jilid 11, halaman 243 dan jilid 13, halaman 361; Tafsir Al Mizan, Sayid
Muhammad Husain Thabathabai, jilid 12, halaman 257 – 259 dan jilid 14,
halaman 154.
[464] Tafsir Nur At Tsaqalain, Ali ibn Jum’ah Arusi Huwaizi, jilid 3, halaman 55 dan 56.
[465] Bihar Al Anwar, Muhammad Baqir Majlisi, jilid 77, halaman 384.
[466] Ghurarul Hikam wa Durarul Kalim, Abdul Wahid Amadi, jilid 1, halaman 135.
[467] Ibid, jilid 2, halaman 449.
[468] Ushul e Behdasht e Ravani (Prinsip-Prinsip
Kesehatan Jiwa), Sayid Abul Qasim Husaini, halaman 218: dengan melihat
banyaknya teori-teori dan sistim-sistim yang baru, kedalaman
ajaran-ajaran Islam menjadi nampak dan jelas.
[469] Al Maidah, ayat 101
[470] Al Baqarah, ayat 108.
[471] Huud, ayat 46 – 47.
[472] Naqsh e Din dar Behdasht e Ravan, sebuah makalah oleh Mas’ud Azarbaijani, halaman 37.
[473] Ensan dar Jostojuye Mana (Manusia dalam
mencari makna), Victor Francle, halaman 45; Feshar e Ravani va Ezterab
(Stres dan Depresi), Povel, halaman 168 - 176.
[474] Al Fushilat, ayat 30; Al Ahqaf, ayat 13.
[475] Al Jinn, ayat 13.
[476] Yunus, ayat 63.
[477] Al Baqarah, ayat 156.
[478] Islam va Ravanshenashi, Mahmud Bustani, halaman 193.
[479] Din va Ceshmandazihaye Nov, Legenhausen, halaman 162.
[480] Estress e Daemi (Stres Berkepanjangan), Pierre Lou & Hendri Lou, halaman 221 dan 222.
[481] Ruh va Aramesh e Darun (Jiwa dan Ketenangannya), Jerf Morfi, halaman 142 – 145.
[482] Al An’am, ayat 82.
[483] Tafsir Al Mizan, Sayid Muhammad Husain Thabathabai, jilid 7, halaman 199 – 215.
[484] Al An’am, ayat 162.
[485] Ad Dzariyat, ayat 58.
[486] Huud, ayat 6.
[487] An Najm, ayat 43 dan 44.
[488] Al Ahzab, ayat 16; Al Jumu’ah, ayat 5: “Katakanlah: “Tidak berguna bagimu untuk lari.”
[489] Al Fathir, ayat 11: “Tidak ada seorang pun
yang diberi umur panjang atau yang umurnya dikurangi kecuali telah
dicatatkan dalam al kitab.”
[490] Az Zumar, ayat 53: “Janganlah kalian berputus asa akan rahmat Allah.”
[491] Al Anbiya’, ayat 87 – 89: “Maka kami mengabulkan untuknya.”
[492] An Najm, ayat 42.
[493] As Syu’ara, ayat 80.
[494] Al Hajj, ayat 38.
[495] At Thalaq, ayat 3.
[496] Az Zumar, ayat 36.
[497] Al A’raf, ayat 109 – 126; As Syu’ara, ayat 33 – 51.
[498] Thaha, ayat 63 – 76.
[499] At Tahrim, ayat 11; Dur Al Mantsur, Suyuthi, jilid 6, halaman 246.
[500] Al Kahf, ayat 39.
[501] Nahjul Balaghah, hikmah 16.
[502] Al Kahf, ayat 23.
[503] Ali Imran, ayat 159.
[504] At Taubah, ayat 52.
[505] Tuhaful ‘Uqul, Ibnu Syu’bah, halaman 47.
[506] Al Fathir, ayat 43: “Maka kalian tidak akan menemukan perubahan dalam sunnah Allah.”
[507] Al Ghafir, ayat 44.
[508] An Najm, ayat 39.
[509] Ar Ra’d, ayat 11.
[510] Al Fajr, ayat 27.
[511] Ushul e Behdasht e Ravani, Sayid Abul Qasim Husaini, halaman 74.
[512] Al Baqarah, ayat 233.
[513] Feshar e Ravani, Cooper, halaman 227 dan 228.
[514] Feshar e Ravani, Cooper, halaman 250 dan 251.
[515] Ibid, halaman 251 – 253.
[516] Al Kahf, ayat 39.
[517] Al Fathihah, ayat 1.
[518] Al Anbiya’, ayat 5 – 35.
[519] At Taghabun, ayat 15.
[520] Al Mulk, ayat 2.
[521] Al Baqarah, ayat 156.
[522] Al Hadid, ayat 4.
[523] Qaaf, ayat 16.
[524] Bihar Al Anwar, Muhammad Baqir Majlisi, jilid 74, halaman 74; Adabus Shalah, Sayid Ruhullah Musawi Khumaini, halaman 38.
[525] At Taubah, ayat 51.
[526] Ushul e Behdasht e Ravani (Prinsip-Prinsip Kesehatan Jiwa), Sayid Abul Qasim Husaini, halaman 91 – 116.
[527] Al Hadid, ayat 22 – 23.
[528] An Nisa’, ayat 11.
[529] Al Qawaidul Fiqhiyah, Nashir Makarim Syirazi, jilid 3, halaman 169 – 184.
[530] Ushul e Behdasht e Ravani (Prinsip-Prinsip Kesehatan Jiwa), Sayid Abul Qasim Husaini, halaman 195 dan 197.
[531] Ghurarul Hikam wa Durarul Kalim, Abdul Wahid Amadi.
[532] Nahjul Balaghah, surat ke 53.
[533] Tafsir Majma’ul Bayan, Abu Ali Fadhl bin
Hasan Thabrasi, tafsir surah Al Fushilat ayat 23; Ushul Al Kafi,
Muhammad ibn Ya’qub Kulaini, jilid 2, halaman 72.
[534] Ghurarul Hikam wa Durarul Kalim, Abdul Wahid Amadi.
[535] Ibid.
[536] Mustadrakul Wasail, Husain Nuri, jilid 2, halaman 296.
[537] Bihar Al Anwar, Muhammad Baqir Majlisi, jilid 70, halaman 369.
[538] Nahjul Balaghah, khutbah 98.
[539] Mafatihul Jinan, Syaikh Abbas Qummi, doa ‘Arafah Imam Husain as.
[540] Ravanshenashi e Salamat, M. Robin Dimato, jilid 1, halaman 392.
[541] Wasailus Syiah, Allamah Hurr Amili, jilid 13, halaman 349.
[542] Bihar Al Anwar, Muhammad Baqir Majlisi, jilid 103, halaman 191.
[543] Ibid.
[544] Kanzul Ummal fi Sunani wal Af’al, Ala’uddin Ali Muttaqi Hindi, jilid 3, halaman 1523.
[545] Al Baqarah, ayat 185; Mafatihul Jinan, Syaikh Abbas Al Qummi, doa Simat.
[546] Feshar e Ravani va Ezterab (Stres dan Depresi), Povel, halaman 197 - 200.
[547] Mizanul Hikmah, Muhammad Mahdi Reyshahri, jilid 10, halaman 258.
[548] Ar Ruum, ayat 23.
[549] Wasailus Syiah, Allamah Hurr Amili, jilid 5, halaman 274.
[550] Ibid, jilid 10, halaman 271.
[551] Yunus, ayat 67; Ghafir, ayat 61; An Naml, ayat 86; Al Qashash, ayat 73.
[552] Al Furqan, ayat 47.
[553] Wasailus Syiah, Allamah Hurr Amili, bab As Shalah Al Mandubah, jilid 5, halaman 274, hadis pertama.
[554] Al Anfal, ayat 11.
[555] Al Qashash, ayat 72.
[556] Bihar Al Anwar, Muhammad Baqir Majlisi, jilid 78, halaman 369.
[557] Ibid, jilid 78, halaman 280 dan jilid 76, halaman 179 – 180.
[558] Ibid, bab 4.
[559] Wasailus Syiah, Allamah Hurr Amili, jilid 5, halaman 271, bab 39, hadis 11.
[560] Pembahasan tentang relaksasi tidak
ditemukan dalam Al Qur’an. Namun karena para pakar psikologi sangat
mementingkan pembahasan tersebut, kami terdorong untuk menjelaskannya
juga dalam buku ini.
[561] Feshar e Ravani (Tekanan Jiwa), Martin C., halaman 71 - 103.
[562] Feshar e Ravani (Tekanan Jiwa), Martin C., halaman 19.
[563] Feshar e Ravani (Tekanan Jiwa), Martin C., halaman 163 - 173.
[564] Pembahasan keluarga dalam segi krisis
kekeluargaan telah dibahas sebelumnya pada bagian Faktor-Faktor Tekanan
Jiwa. Di sini kita hanya membahas tentang perlindungan kekeluargaan.
[565] Behdasht e Ravani (Kesehatan Jiwa), Shamlou, halaman 194 – 204.
[566] Feshar e Ravani (Tekanan Jiwa), Martin C.,
halaman 175 – 197; Ensan dar Jostojuye Mana (Manusia dalam mencari
makna), Victor Francle, halaman 21.
[567] Yusuf, ayat 5.
[568] Al Isra’, ayat 23.
[569] Yusuf, ayat 92.
[570] Huud, ayat 42 – 46.
[571] As Syu’ara, ayat 169.
[572] AT Taubah, ayat 14
[573] Yusuf, ayat 98.
[574] Estress e Daemi (Stres Berkepanjangan), Pierre Lou & Hendri Lou, halaman 217 – 218.
[575] Gami Farasuye Ravan Shesnashi Eslami, Husain Muhammad Syarqawi, halaman 297.
[576] As Syura, ayat 25.
[577] Bihar Al Anwar, Muhammad Baqir Majlisi, jilid 2, halaman 348.
[578] Al Baqarah, ayat 222.
[579] An Nur, ayat 31.
[580] Bihar Al Anwar, Muhammad Baqir Majlisi, jilid 6, halaman 20.
[581] At Tahrim, ayat 8.
[582] Bihar Al Anwar, Muhammad Baqir Majlisi, jilid 2, halaman 20.
[583] Ibid, jilid 78, halaman 48.
[584] Ibid, jilid 6, halaman 22.
[585] Ravanshenashi e Salamat, M. Robin Dimato, jilid 2, halaman 741 - 742.
[586] Ravanshenashi e Salamat, M. Robin Dimato,
jilid 2, halaman 780 – 781; Bihar Al Anwar, Muhammad Baqir Majlisi,
jilid 93, halaman 266 – 328 dan jilid 44, halaman 279 – 296.
[587] Maryam, ayat 58.
[588] Al Isra’, ayat 109.
[589] Bihar Al Anwar, Muhammad Baqir Majlisi, jilid 93, halaman 233 dan 234.
[590] Kamilus Ziyarat, Ibnu Qulawaih, halaman 175.
[591] Sahife e Nur, Ruhullah Musawi Khumaini, jilid 8, halaman 69 – 70.
[592] Nehzat e Eslami dar Sad Sal e Akhir, Murtadha Muthahari, halaman 89.
[593] Bihar Al Anwar, Muhammad Baqir Majlisi, jilid 79, halaman 113.
[594] Az Saba ta Nima, jilid 1, halaman 322;
Daramadi bar Namayesh dar Iran, Jabir Anashiri, halaman 86; Dairatul
Maarif Tasyayu’, jilid 4; Buletin Honar, edisi kedua, musim dingin 1361,
halaman 33, 37, 106 dan edisi ke 4, musim gugur 1362, halaman 29;
Asrarus Syahadah, Fadhil Darbandi, halaman 61 – 66.
[595] Nahjul Balaghah, khutbah 16, poin ke 7.
[596] Nahjul Balaghah, hikmah 149.
[597] Ibid, hikmah 193.
[598] Ushul e Behdasht e Ravani (Prinsip-Prinsip Kesehatan Jiwa), Sayid Abul Qasim Husaini, halaman 132.
[599] Ibid, halaman 136.
[600] Naqhs e Din dar Behdasht e Ravan (sekumpuan makalah), halaman 29.
[601] Al Baqarah, ayat 155.
[602] Al Insyiqaq, ayat 6.
[603] Bihar Al Anwar, Muhammad Baqir Majlisi, jilid 68, halaman 304.
[604] Ravanshenashi e Salamat, M. Robin Dimato, jilid 2, halaman 762 dan 763.
[605] Al Balad, ayat 4.
[606] Al Insyiqaq, ayat 6.
[607] Al Baqarah, ayat 155 – 156.
[608] Al Ahqaf, ayat 35.
[609] Ali Imran , ayat 186
[610] Al An’am, ayat 3.
[611] Yusuf ayat 83 sampe 18
[612] Shaad ayat 44
[613] Al Anbiya ayat 91 dan 76
[614] Ibid.
[615] Al Baqarah, ayat 45 – 153.
[616] Al Baqarah, ayat 250.
[617] Al Kahf, ayat 67 – 112.
[618] Al Insyirah, ayat 5 – 6.
[619] Ravanshenashi e Salamat, M. Robin Dimato, jilid 2, halaman 590 – 593.
[620] Bihar Al Anwar, jilid 74, hal 9.
[621] Al Kafi, jilid 2, halaman 164.
[622] Al Baqarah, ayat 267.
[623] Al Anfal, ayat 41
[624] Al Baqarah, ayat 177.
[625] Al Baqarah, ayat 273.
[626] Al Baqarah, ayat 274.
[627] Al Baqarah, ayat 271.
[628] Al Kafi, jilid 3, halaman 253 – 293.
[629] Ibid, halaman 254.
[630] Nahjul balaghah, surat ke-47.
[631] Al Kafi, Syaikh Kulaini, jilid 2, halaman 490.
[632] Ibid, halaman 493.
[633] Bihar Al Anwar, jilid 74, hal 387.
[634] An Nisa’, ayat 1.
[635] Tahrirul Wasilah, Sayid Ruhullah Musawi Khumaini, jilid 2, halaman 324 – 319.
[636] 1 Ibid, jilid 2, halaman 599.
[637] Ibid, hal 363
[638] Ibid, hal 58.
[639] Ravanshenashi e Salamat, M. Robin Dimato, jilid 2, halaman 762.
[640] Ad Dhuha, ayat 19.
[641] Al Baqarah, ayat 220.
[642] An Nisa’, ayat 127.
[643] Ad Dhuha, ayat 9.
[644] Al Baqarah, ayat 215.
[645] Al An’am, ayat 152.
[646] An Nisa’, ayat 6.
[647] An Nisa’, ayat 10.
[648] Ad Dahr, ayat 8.
[649] Ar Ruum, ayat 38.
[650] Al Anfal, ayat 41.
[651] An Nisa’, ayat 5.
[652] Yunus, ayat 22: “Dan (apabila) gelombang
dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah
terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan
ketaatan kepada-Nya semata-mata.”
[653] Mafatihul Jinan, doa Kumail
[654] Ibid.
[655] Al Baqarah, ayat 45 dan 153: “Dan carilah
pertolongan (dari Allah) melalui perantara sabar dan shalat.
Sesungguhnya yang seperti itu adalah berat kecuali bagi orang-orang yang
takut pada Tuhannya.”
[656] Naqsh e Din dar Behdasht e Ravan, sekumpulan makalah hal 286.
[657] Ravanshenashi e Salamat, M. Robin Dimato, jilid 2, halaman 761.
[658] Al Amali, Syaikh Thusi, majelis ke-18.
[659] Olguhaye Raftari e Emam Ali, Muhammad Dashti, halaman 342.
[660] Naqsh e Din dar Behdasht e Ravan, sekumpulan makalah halaman 106.
[661] Mafatihul Jinan, doa ziarah Jamiah Kabirah.
[662] Ravanshenashi e Salamat, M. Robin Dimato, jilid 2, halaman 762.
[663] Naqsh e Din dar Behdasht e Ravan, sekumpulan makalah, halaman 128 - 131, menukil dari Will Durant: Sejarah Peradaban.
[664] Jami’us Sa’adat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar