Minggu, 02 Desember 2018

Syi'ah Ahlul Bayt




ilustrasi hiasan:

Pengarang :

Dengan Nama Allah Yang Maha
Pengasih Maha Penyayang

 

Allah Swt. berfirman:
“Sesungguhnya Allah hanyalah hendak membersihkan noda dari kalian, Ahlul Bait, dan menyucikan kalian sesuci-sucinya”. (Al-Ahzab:33)

Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya telah aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka berharga; Kitab Allah dan Itrah; Ahlul Baitku. Selama berpegang pada keduanya, kalian tidak akan tersesat selama-lamanya. Dan keduanya tidak akan terpisah sampai menjumpaiku di telaga (kelak pada Hari Kiamat)”.
(H.R. Sahih Muslim; Jil. 7:122, Sunan Ad-Darimi; Jil. 2:432, Musnad Ahmad; Jil. 3:14, 17, 26;
Jil. 4:371; Jil. 5:182, 189. Mustadrak Al-Hakim; Jil. 3:109, 147, 533, dan kitab-kitab induk hadis yang lain).


Prakata Penerbit

 

Berbeda pendapat merupakan fitrah manusia. Sebagai Sang Pencipta, Allah swt. menghendaki fitrah itu tetap berjalan dalam koridor keimanan yang benar. Oleh karena itu, adanya sebuah tolok ukur yang menjadi rujukan semua pihak adalah satu keniscayaan yang tidak dapat dielakkan lagi. Allah swt. telah menurunkan kitab pedoman dengan kebenaran yang akan menjadi penengah bagi umat manusia dalam berbagai hal yang diperselisihkan (QS.2:213).

Tanpa kenyataan di atas, kehidupan yang sehat tidak akan dapat berlangsung. Ini adalah ketentuan yang telah ditegaskan oleh al-Qur’an di atas Tauhid yang absolut. Lalu, penyimpangan, mitos dan kebohongan terus menerus dilakukan oleh anak cucu Adam, hingga akhirnya mereka mulai menjauh dari asas yang kuat ini. Dari sini jelas, bahwa manusia tidak akan sanggup menjadi penengah antara kebenaran dan kebatilan selagi mereka masih menjadi abdi hawa nafsu dan budak kesesatan. Al-Qur’an telah datang, namun hawa nafsu masih saja mencabik-cabik manusia dari berbagai arah. Ambisi, maksiat, keresahan dan kesesatan telah jauh menyeret manusia dari menerima hukum dan arahan al-Qur’an dan memalingkan mereka dari merujuk kebenaran yang telah jelas.

Menurut al-Qur’an, maksiat adalah perbuatan yang telah menggiring manusia kepada perselisihan, kecongkakan dan ketidak-acuhan (Ibid). Di samping itu, kebodohan turut pun memperparah keadaaan buruk ini. Hanya saja, bukankah telah dipesankan bahwa seorang jahil hendaknya bertanya kepada orang yang tahu, sebagaimana Allah swt. berfirman:

“Maka bertanyalah kalian kepada orang-orang yang tahu jika kalian tidak mengetahui.” (QS.21:7, 16:43). Oleh karena itu, tindakan menerjang yang dilakukan oleh seorang yang bodoh terhadap asas yang diterima akal dan diterapkan oleh para akil ini adalah pelanggaran terhadap kaidah dan jalan paling jelas dalam rangka menutup celah perselisihan.

Islam adalah agama abadi yang terangkum dalam teks-teks al-Qur’an dan sunnah Rasulullah; sosok yang tak pernah mengucapkan satu kata pun dari mulutnya kecuali wahyu Tuhan semata. Allah swt. dan Rasul-Nya telah mengetahui bahwa umatnya akan berselisih pendapat setelah kepergian beliau, sebagaimana hal tersebut telah terjadi saat beliau masih hidup dan berada di tengah-tengah mereka.

Atas dasar ini, al-Qur’an telah menurunkan pedoman kepada umat yang dapat dipegang selepas kepergian Rasulullah; pelita yang dapat menuntun manusia sehingga menapaki jejak yang pernah ditinggalkan oleh beliau, dan dapat membantu mereka dalam rangka memahami dan menafsirkan arahan-arahannya. Pelita itu tak lain adalah Ahlul Bait a.s. Merekalah pribadi-pribadi yang telah disucikan dari segala kotoran dan noda, manusia-manusia yang kepada kakek mereka al-Qur’an diturunkan. Mereka menerima langsung ajaran ilahi dari beliau dan memahaminya dengan penuh kesadaran dan amanah. Dan mereka telah dianugerahi hal-hal yang tidak diberikan kepada siapa pun.

Sebagaimana Rasulullah saw. telah menegaskan kepemimpinan mereka secara global dalam hadis Tsaqalain yang sangat masyhur, mereka telah berupaya semaksimal mungkin menjaga syariat Islam dan al-Qur’an dari pemahaman dan interpretasi yang keliru. Mereka juga tekun menjelaskan konsep-konsep agung agama. Maka itu, mereka aktif sebagai rujukan umat Islam.

Ahlul Bait a.s. telah menepis segala kerancuan, menyambut pertanyaan, meredam berbagai provokasi dengan penuh ketabahan dan kemurahan hati. Riwayat dan kebajikan mereka adalah bukti atas sikap dan perlakuan mereka yang luar biasa agung terhadap para penanya dan tukang dongeng, sebagaimana sejarah juga menunjukkan ketajaman dan kedalaman jawaban-jawaban mereka sebagai bukti lain atas kepemimpinan unggul mereka di bidang intelektualitas.

Sebagai pusaka yang tersimpan utuh dalam madrasah mereka dan hingga sekarang tetap terpelihara dengan baik, khazanah Ahlul Bait a.s. merupakan universitas lengkap yang meliputi berbagai cabang ilmu-ilmu Islam, yang telah mampu mendidik jiwa-jiwa yang siap menggali pengetahuan dari khazanah itu dan mengetengahkannya kepada umat dan ulama-ulama besar Islam, dan tampil sebagai pembawa risalah Ahlul Bait a.s. yang mampu menjawab secara argumentatif segala keraguan dan persoalan yang dilontarkan oleh berbagai mazhab dan aliran pemikiran, baik dari dalam maupun dari luar Islam.

Berangkat dari tugas-tugas mulia yang diemban, Lembaga Internasional Ahlul Bait (Majma Jahani Ahlul Bait) berusaha mempertahankan kemuliaan risalah dan hakikatnya dari serangan berbagai golongan dan aliran yang memusuhi Islam; dengan cara mengikuti jejak Ahlul Bait a.s. dan penerus mereka yang senantiasa berusaha menjawab berbagai tantangan dan tuntutan, serta berdiri tegak di garis depan perlawanan sepanjang masa.

Khazanah yang terpelihara di dalam kitab-kitab ulama Ahlul Bait a.s. itu tidak ada tandingannya, karena kitab-kitab tersebut disusun di atas landasan logika dan argumentasi yang kokoh, bebas dari sentuhan hawa nafsu dan fanatisme buta. Kepada kalangan ulama dan pakar, Mereka pun mengetengahkan karya-karya ilmiah yang dapat diterima oleh akal dan fitrah yang bersih.

Berbekal kekayaan pengalaman, Lembaga Internasional Ahlul Bait berupaya mengajukan metode baru kepada para pencari kebenaran melalui berbagai tulisan dan karya ilmiah yang disusun oleh para penulis kontemporer yang komit pada khazanah Ahlul Bait a.s., dan oleh para penulis yang telah mendapatkan karunia Ilahi untuk mengikuti ajaran mulia tersebut. Di samping itu, Lembaga ini berupaya meneliti dan menyebarkan berbagai tulisan bermanfaat dan karya ulama Syi'ah terdahulu, agar kekayaan ilmiah ini menjadi mata air bagi pencari kebenaran yang mengalir ke segenap penjuru dunia, di era kemajuan intelektual yang telah mencapai kematangannya, sementara interaksi antar-individu semakin terjalin demikian cepatnya, hingga terbuka pintu hatinya dalam menerima kebenaran tersebut melalui madrasah Ahlul Bait a.s.

Akhirnya, kami mengharap kepada para pembaca yang mulia; kiranya sudi menyampaikan berbagai pandangan, gagasan dan kritik konstruktif demi berkembangan lembaga ini di masa-masa mendatang. Kami juga mengajak kepada berbagai lembaga ilmiah, ulama, penulis dan penerjemah  untuk bekerja sama dengan kami dalam upaya menyebarluaskan ajaran dan khazanah Islam yang murni. 

Semoga Allah swt. berkenan menerima usaha sederhana ini, melimpahkan taufik-Nya, serta senantiasa menjaga Khalifah- Nya, Imam Mahdi afs. di muka bumi ini.

Kami ucapkan terima kasih banyak dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Syeikh Muhammad Husein Falah Zadeh yang telah berupaya menulis buku ini, dan kepada Sdr. Nasir Dimyati yang telah bekerja keras menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, juga kepada semua pihak yang telah berpartisipasi di dalam penerbitannya.[]



Divisi Kebudayaan Lembaga Internasional Ahlul Bait






Mukadimah





SIAPAKAH SYI’AH AHLULBAIT AS.?


Syi’ah berasal dari kata tasyayyu’ yang bersinonim dengan kata Arab lainnya seperti; intima’, musyaya’ah, mutaba’ah dan wala’; yang masing-masing berarti keberpihakan, dukungan, ikut dan tunduk atau cinta. Kata syi’ah juga disinyalir dalam Al-Qur’an demikian:

﴿ وَ إ م ن مِن شِيعَتِهِ لََبرَاهيمَ ﴾ ﴿ إذ جَاءَ رَبمهُ بِقَلبٍ سَلِيمٍ ﴾

“Dan sesungguhnya Ibrahim tergolong pengikutnya (Nuh), karena dia menghadap Tuhannya dengan hati yang murni” (As-Shaffat: 83-84).

Allah swt. menyatakan bahwa Nabi Ibrahim as. adalah syi’ah Nabi Nuh as. yang sebenar-benarnya; dia mengikuti jejak dan petunjuk Nuh as. dalam dakwah kepada tauhid dan keadilan.

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa secara historis, kata tasyayyu’ atau wala’ di sini berarti mendukung dan mengikuti Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib as. dan imam-imam suci setelahnya yang juga dari keturunannya. Mereka adalah Ahlulbait atau keluarga Rasulullah saw. yang dimaksudkan oleh dua ayat, yaitu ayat Tathhir dan ayat Mawaddah.[1]

Dalam sejarah Islam, kata tasyayyu’ secara umum berarti dukungan atau kesetiaan pada Ahlulbait Rasulullah saw. dan ajaran mereka. Dari sini dapat dimengerti dua makna pengikutan tersebut. Makna pertama adalah dukungan politis dalam konteks kepemimpinan politik. Dan makna kedua yaitu pengikutan kultural dan intelektual; atau fikih. Dua makna inilah yang kemudian menjadi identitas atau kriteria paling menonjol Syi’ah (pengikut) Ahlul-bait as. dan membedakan mereka dari Muslimin lainnya.

Uraian dua makna ini dapat disimak sebagai berikut:


1. Kepemimpinan Politis Ahlulbait as.

Rasulullah saw. telah melantik Ali bin Abi Thalib as. sebagai imam atau pemimpin Muslimin ketika pulang dari haji Wada’, yaitu haji perpisahan sekaligus terakhir beliau, tepatnya di sebuah tempat bernama Ghadir Khum, sebelum persimpangan jalan yang memisahkan para musafir dari berbagai kota dan negeri. Beliau memerintahkan orang yang telah mendahului untuk kembali dan menanti mereka yang masih di belakang sampai lokasi. Hingga berkumpullah halayak yang begitu besar dan ramai. Peristiwa ini tepatnya terjadi pada siang hari yang panas sekali, dan menurut catatan sejarah, mereka tidak pernah mengalami hari yang lebih panas daripada hari itu.

Dalam situasi demikian, Rasulullah saw. memerintahkan sahabat untuk mempersiapkan pohon-pohon besar.
Mereka menyapu tanah dan menyiraminya kemudian berteduh di bawah naungan pakaian yang dibentangkan.
Beliau memimpin shalat Dzuhur, setelah itu berpidato di hadapan halayak sahabat dan mengingatkan mereka akan kematian yang semakin dekat. Kemudian beliau mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib as. sehingga putih ketiak Ali as. terlihat oleh hadirin seraya bersabda: “Wahai umat manusia!
Bukankah aku lebih berhak atas kalian daripada diri kalian sendiri?

“Ya”, jawab mereka.

Rasulullah saw. melanjutkan:
“Barang siapa yang aku sebagai pemimpinnya (dan lebih berhak pada dirinya dari pada diri dia sendiri) maka Ali adalah pemimpinnya. Ya Allah! Dukunglah orang yang mendukungnya, musuhilah orang yang memusuhinya, tolonglah orang yang menolongnya, dan terlantarkanlah orang yang mengkhianatinya!”
Sebelum peristiwa agung itu, Allah swt. telah memerintahkan Rasulullah saw. agar menyampaikan wahyu Ilahi ini kepada umat:

﴿ يََ أيُّ هَا المرسُولُ بَ ل غ مَا اُنزِلَ اِلَيكَ مِن رَب كَ وَ اِن لََ تَفعَل فَمَ ا بَ لمغتَ
رِسَالَتَهُ وَ اللهُ يَعصِمُكَ مِنَ النماسِ ﴾

“Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang telah diturunkan ke atasmu dari Tuhanmu, dan seandainya kamu tidak melakukannya niscaya kamu tidak menyampaikan risalahmu sama sekali, dan sesungguhnya Allahlah yang menjagamu dari manusia”. (QS. Al-Maidah: 67)

Allah swt. memerintahkan Rasul-Nya agar menyampaikan pesan suksesi dan khilafah setelah beliau kepada umatnya.
Redaksi ayat di atas ini sangat kuat dan keras; kita tidak menemukan nada firman Allah swt. kepada beliau sedemikian ini di tempat lain dari al-Qur’an, yaitu: “Apabila kamu tidak melakukannya niscaya kamu tidak menyampaikan risalahmu sama sekali”.

Lalu ayat ini dilanjutkan dengan kalimat penenang yang memberikan jaminan kepada Rasulullah saw. Karena pada waktu itu, beliau khawatir terhadap situasi dan firman itu sendiri Beliau merasa tidak tenang akan reaksi masyarakat dalam menyikapi risalah yang akan beliau sampaikan ini, maka Allah swt. berfirman: “… dan sesungguhnya Allahlah yang menjagamu dari umat manusia”.

Ketika Rasulullah saw. telah menyampaikan perkara kepemimpinan dan suksesi itu kepada umatnya secara sempurna, turunlah ayat ikmal:

  ﴿أليَومَ أكمَلتُ لَكُم دِينَكُم وَ أتََمتُ عَلَيكُم نِعمَتِِ وَ رَضِيتُ لَكُمُ الاِسلََمَ
دِينًا﴾

“Hari ini telah Kusempurnakan bagi kalian agama kalian, dan telah Kulengkapi nikmat-Ku pada kalian, dan telah Kurelakan Islam sebagai agama untuk kalian”. (QS. Al- Maidah: 3)

Riwayat peristiwa besar ini tercatat dalam sejarah secara mutawatir[2] di semua tingkatan (generasi) dan sanad perawi, mulai dari zaman sahabat sampai detik ini.

Dari generasi pertama, lebih dari seratus sahabat nabi yang meriwayatkannya, adapun dari generasi kedua, lebih dari delapan puluh empat tabi’in yang meriwayatkan peristiwa ini, jumlah ini terus meningkat sejalan dengan luasnya generasi perawi berikutnya. Syaikh Abdul Husain Amini telah menghitung perawi-perawi itu pada jilid pertama dari karya spektakulernya yang bernama Al-Ghadir. Usaha ini disempurnakan oleh sahabat karib saya; Sayid Abdul Aziz Thabathaba’i setelah menjumpai sejumlah nama-nama sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in serta menambahkan beberapa referensi yang lain.

Dari sekian jalur yang disebutkan untuk hadis Ghadir, terdapat beberapa jalur yang sahih bahkan di puncak kesahihan; sehingga tidak ada alasan dan cela sedikitpun untuk meragukannya, sebagaimana telah disinyalir oleh para penghafal al-Qur’an, ahli hadis, para mufassir, ahli sejarah dan sejumlah besar pakar lainnya yang tidak bisa dimuat di sini. Di antara mereka adalah: at-Tirmidzi dalam as-Sahih, Ibn Majah dalam as-Sunan, Admad bin Hanbal  dalam al-Musnad, Nasa’i dalam al-Khasa’is, al-Hakim dalam al-Mustadrak, al-Muttaqi dalam Kanzul Ummal, al-Manawi dalam Faidlul Qodir, al-Haytsami dalam Majmauz Zawaid, Muhib at-Thabari dalam ar-Riyadlun Nadliroh, al-Khatib al- Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, Ibnu al-Asakir dalam Tarikhu Dimisyq, Ibnu Atsir al-Jazri dalam Usudul Ghabah, ath-Thahawi dalam Musykilul Atsar, Abu Na’im dalam Hilyatul Awliya’, Ibnu Hajar dalam as-Showa’iq al-Muhriqoh, Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fathul Bari dan nama-nama lain yang tidak mungkin disebutkan semuanya dalam pengantar ringkas ini.

Ibnu Hajar mencatat sejumlah nama sahabat yang meriwayatkan Hadis Ghadir dalam kitabnya berjudul Tah-dzib at- Tahdzib, kemudian menulis demikian:
“Ibnu Jarir at-Thabarimengumpulkan hadis muwalat (kepemimpinan) dalam karyanya yang mencakup berapa kali lipat lebih banyak dari yang saya catat. Dia juga membenarkan hadis ini dan menyatakannya sebagai hadis sahih…”.
Ibnu Hajar melanjutkan:
“Dan setelah memperhatikan pengumpulan jalur Abul Abbas bin Uqdah, dia meriwayatkannya dari tujuh puluh sahabat bahkan lebih”.[3]

Ibnu Hajar berkata dalam karyanya yang bernama Fathul Bari sebagai berikut:
“Adapun hadis “man kuntu maulahu fa hadza Aliyun maulauhu” (barang siapa aku adalah pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya) telah diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan an-Nasa’i. Hadis ini diriwayatkan dari jalur yang sangat banyak, dan Ibnu Uqdah mengumpulkannya dalam kitab tersendiri. Mayoritas sanad dari hadis ini adalah sahih atau hasan”.[4]

Oleh karena itu, dari sisi sanad, hadis Ghadir tidak bisa disanggah dan diragukan lagi. Begitu pula dari sisi makna lantaran arahan-arahan yang menyertainya. Maka, begitu jelasnya kandungan hadis ini sehingga tidak meninggalkan peluang sedikitpun untuk diragukan.

Bahwa tidak mungkin Rasulullah saw. mengumpulkan sahabat sebanyak itu di siang hari yang menyengat, di persimpangan jalan, dan memerintahkan orang yang telah lewat untuk kembali dan menunggu mereka yang belum sampai kecuali untuk suatu kepentingan yang luar biasa yang menentukan nasib umat manusia sepanjang masa.
Sebelum mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib as. dan menyatakan pelantikannya;
“man kuntu maulahu fa hadza aliyun maulahu”, mula-mula Rasulullah saw. menegaskan satu permasalahan dengan bertanya pada hadirin: 
“Bukankah aku lebih berhak atas diri kalian daripada diri kalian sendiri?” Mereka menjawab positif pertanyaan itu sebagai penegasan atas kepemimpinan dan otoritas Rasulullah saw. atas seluruh umat Islam. Baru saat itulah beliau melanjutkan pesan intinya:
“Barangsiapa aku adalah pemimpinnya (yang berhak atas dirinya daripada atas dirinya sendiri) maka Ali adalah pemimpinnya”.

Seketika itu juga para sahabat besar Rasul saw. menemui Ali bin Abi Thalib as. untuk mengucapkan selamat atas suksesi dan pelantikan ini, termasuk di antara mereka Abu Bakar dan Umar bin Khaththab.

Sebenarnya, sebagian dari sikap dan hadis ini, termasuk beberapa arahan, kemutawatiran dan kesaksian serta penjelasan yang ada, sudah lebih dari cukup untuk menerangkan suksesi dan kepemimpinan setelah Rasulullah saw., dan bahwasanya beliau menyampaikan sabda-sabda itu tidak lain untuk melantik Ali bin Abi Thalib as. sebagai imam dan pemimpin umat Islam sepeninggal beliau. Semua ini akan berjalan normal seandainya situasi politik tidak menjadi kendala yang akan mengaburkan makna hadis Ghadir di benak masyarakat, dan setelah diketahui dari sisi sanad bahwa semua pintu keraguan tertutup rapat bagi mereka.
Bertolak dari hadis ini juga hadis-hadis lain yang sharih dan sahih,[5] Syi’ah Ahlulbait as. meyakini bahwa kepemimpinan politis setelah Rasulullah saw. adalah hak dan atau tugas Ali bin Abi Thalib as. dan imam-imam setelahnya dari keturunannya.



2. Ahlulbait Sebagai Rujukan Hukum dan Peradaban

Makna kedua dari dua makna utama pengikutan ini merupakan ciri khas yang membedakan Syi’ah Ahlulbait as. dari komunitas Muslim yang lain.

Ketika masih hidup, Rasulullah saw. sudah menentukan Ahlulbait as. sebagai rujukan Muslimin sepeninggal beliau, tempat bertanya tentang hukum syiariat, dan sumber penyelesaian segala perkara, jalan yang mengarahkan mereka kepada hidayah dan menjaga mereka dari kesesatan. Ahlulbait as. adalah rujukan kedua yang ditentukan oleh beliau setelah al-Qur’an.

Rasulullah saw. memposisikan Ahlulbait as. sebagai pasangan al-Qur’an, tepatnya dalam sabda beliau yang dikenal dengan hadis Tsaqalain (dua pusaka). Hadis ini populer sekali di kalangan ahli hadis dan dinyatakan sahih; baik menurut Syi’ah maupun Ahli Sunnah. Bahkan hadis ini diriwayatkan secara mutawatir dari Rasulullah saw. Hal itu karena perhatian beliau yang sangat besar akan penyebaran hadis ini ke generasi Muslim berikutnya.

Termasuk ahli hadis yang meriwayatkan hadis ini ialah Muslim bin Hajjaj dalam Shahih-nya di bab keutamaan Ali bin Abi Thalib as. Dia meriwayatkannya dari Zaid bin Arqam berkata:
“Suatu hari, Rasulullah saw. berdiri di tengah kita, di lembah bernama Khum yang terletak di antara Mekkah dan Madinah. Setelah ber-hamdalah, memanjatkan puja dan puji kehadirat Allah swt., beliau memberikan nasihat dan peringatan, kemudian bersabda:

‘Amma ba’du, wahai umat manusia! Sesungguhnya aku adalah manusia yang tak lama lagi akan dijemput oleh utusan Tuhanku, aku pun akan memenuhi panggilan-Nya.
Sesungguhnya telah aku tinggalkan dua pusaka besar untuk kalian, pusaka pertama adalah kitab Allah swt. yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya, maka raihlah kitab Allah swt. dan peganglah seteguh-teguhnya!’
“Beliau melanjutkan pesan tentang al-Qur’an dan memberi motivasi untuk merujuknya, kemudian bersabda:
‘Pusaka kedua adalah Ahlulbaitku. Kuingatkan kalian akan Ahlulbaitku, kuingatkan kalian akan Ahlulbaitku, dan kuingatkan kalian akan Ahlulbaitku!’”[6]

Juga at-Tirmidzi dalam Shahih-nya meriwayatkan hadis Ghadir dari Zaid bin Arqam yang berkata: “Rasulullah saw. Bersabda:

‘Sungguh telah aku tinggalkan pada kalian dua pusaka yang apabila berpegang teguh padanya, kalian tidak akan sesat sepeninggalku; pusaka pertama lebih agung dari yang kedua, yaitu kitab Allah swt. (al-Qur’an), tali yang memanjang dari langit sampai ke bumi, adapun pusaka keduaku adalah keluargaku; Ahlulbaitku. Kedua pusaka ini tidak akan berpisah sampai menjumpaiku di telaga kelak. Maka perhatikanlah bagaimana kalian akan memperlakukan dua pusaka ini setelahku!’”[7]

At-Tirmidzi juga meriwayatkan hadis ini dari Jabir bin Abdillah berkata:
“Aku melihat Rasulullah saw. di hari Arafah ketika beliau berada di atas unta paling tinggi seraya berceramah dan aku menyimak: ‘Wahai umat manusia! Telah aku tinggalkan pada kalian pusaka yang apabila kalian pegang, niscaya kalian tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah (al-Qur’an) dan keluargaku; Ahlulbaitku’”.[8] Hakim Naisyaburi dalam Mustadrak ash-Shahihain meriwayatkan hadis ini dari Zaid bin Arqam dengan berbagai sanadnya.[9]

Ahmad bin Hanbal di beberapa tempat dari Musnadnya pun meriwayatkan hadis ini dari Abi Said al-Khudri,[10] Zaid bin Arqam,[11] dan lewat dua jalur dari Zaid bin Tsabit.[12] Sebenarnya hadis ini memiliki jalur periwayatan yang sangat banyak dengan sanad yang sahih sehingga terhitung sebagai hadis mustafidh..[13] Tampak begitu besar nilai hadis ini dengan berbagai penukilan ahli hadis besar seperti Muslim dan at-Tirmidzi dalam kitab Sahih mereka.

Allamah Mir Hamid Husein al-Lakhnuwi mengumpulkan jalur-jalur hadis ini secara terperinci sehingga menjadi buku yang berjilid besar. Dalam buku lain, dia juga membahas arti hadis ini secara teliti. Belakangan ini, dua jilid bukunya dicetak satu dalam sepuluh jilid. Semoga Allah swt. memberi rahmat pada Sayid Mir Hamid Husein dan menerima kontribusi ilmiahnya yang besar dan berharga.
Alhasil, dalam hadis ini disebutkan:

1. Rasulullah saw. mendampingkan Ahlulbait as. di sisi al-Qur’an.
2. Beliau menerangkan dua pusaka ini secara bersamaan (dan tidak secara terpisah atau sendiri sendiri) untuk menjaga manusia dari kesesatan.
3. Beliau memerintahkan umatnya agar berpegang teguh pada dua pusaka itu. Beliau juga memberikan penekanan terhadap hal itu.
4. Beliau memberitakan bahwa kedua pusaka itu (al- Qur’an dan Ahlulbait as.) tidak akan terpisah sampai mereka menjumpai beliau di telaga yang disebutkan.

Maka dua hal itu secara bersamaan menjadi rujukanumat setelah Rasulullah saw. dalam semua perkara yang berkaitan dengan agama, seperti dalam prinsipprinsipnya, hukum-hukumnya, pokok-pokok dan cabang-cabangnya.

Haytsami dalam kitab ash-Shawa’iq al-Muhriqoh menuliskan:
“Ada arahan yang bisa ditangkap dari hadis-hadis yang menganjurkan umat Muhammad saw. agar berpegang teguh pada Ahlulbait as., yaitu kesinambungan Ahlulbait as. yang dapat dipegang sampai Hari Kiamat, sebagaimana al- Qur’an yang senantiasa ada dan terjaga sampai hari yang sama. Oleh karena itu, mereka adalah keamanan bagi bumi.

Dan bukti lain atas arahan ini adalah hadis yang berbunyi:
“Di setiap generasi umatku terdapat orang adil dari Ahlulbaitku”.[14] &[15]
Inilah uraian yang sangat ringkas tentang beberapa poin penting yang merupakan kriteria Syi’ah Ahlulbait as. sekaligus sebagai ciri-ciri pembeda antara mereka dari komunitas Muslim lainnya.
Sampai di sini, kami rasa sudah saatnya memasuki pembahasan utama kita, karena buku ini tidak terfokus pada pembahasan tentang identitas ideologis Syi’ah Ahlulbait as.
Hanya saja kita berbicara tentang dua poin penting di atas secara singkat sebagai mukadimah untuk mengantarkan kita ke empat poin besar berikutnya seputar wilayah dan pengikutan kepada Ahlulbait as..

Poin-poin itu adalah sebagai berikut:
o Nilai wilayah dan kesetiaan kepada Ahlulbait as.
o Syarat-syarat umum dalam kesetiaan dan keberpihakan pada Ahlulbait as.
o Unsur-unsur yang membentuk wilayah dan kesetiaan pada Ahlulbait as.
o Tingkatan dan raihan kesetiaan dan keberpihakan pada  ajaran Ahlulbait as.
Selanjutnya kita akan membahas satu per satu dari empat poin di atas, insya-Allah ta’ala.[]





NILAI WILAYAH KEPADA AHLULBAIT AS.

Wilayah kepada Ahlulbait dalam Al-Qur’an dan Hadis

Berikut ini akan kami bawakan teks-teks literal Islam yang menjelaskan nilai pendukung dan pengikut Ahlulbait as.:


Syi’ah Ali as. Sebagai Pemenang

Pada kesempatan menafsirkan firman Allah swt.:

﴿ اِ م ن المذِينَ آمَنُوا وَ عَمِلُوا ال م صالَِْاتِ اُولئِكَ هُم خَيرُ البََِيمةِ ﴾

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal perbuatan-perbuatan yang baik adalah manusiamanusia terbaik” (Al-Bayyinah: 7).

As-Suyuthi dalam ad-Durul Mantsur membawakan sebuah riwayat dari Ibnu Asakir meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah Ansari berkata:
“Suatu hari, kami bersama Rasulullah saw., tiba-tiba Ali as. datang, maka beliau bersabda: “Demi Allah Yang jiwaku berada di tangan-Nya, Sesungguhnya dia—Ali—dan Syi’ahnya adalah pemenang dan orang beruntung di Hari Kiamat”. Kemudian turunlah ayat di atas.
Maka, sejak itu setiap saat Ali as. datang, sahabat Nabi mengucapkan:
“Manusia terbaik telah datang”. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Allamah Abdurrauf al-Manawi dalam kitab Kunuzul Haqaiq (hal. 82) dengan redaksi

 شيعة علي
هم الفائزون

(Syi’ah Ali adalah para pemenang), kemudian berkata:
“Ad-Dailami juga meriwayatkan hadis ini”.
Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawa’id bab Manaqib ketika sampai pada manaqib Ali bin Abi Thalib as. (9/131) meriwayatkan sebuah hadis dari Ali bin Abi Thalib as. berkata:
“Kekasihku Rasulullah saw. bersabda: ‘Wahai Ali! Sesungguhnya kamu akan menghadap Allah swt. bersama Syi’ah (pengikutmu) dalam keadaan rela dan diridhoi, sementara musuhmu akan menghadap-Nya dalam keadaan marah dan dimurkai’”. Hadis ini juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Awsath.

Ibnu Hajar al-Haytsami dalam ash-Shawa’iq al-Muhriqoh (hal. 96) meriwayatkan dari ad-Dailami yang berkata: “Rasulullah saw. bersabda:
‘Wahai Ali! Sesungguhnya Allah swt. memberi ampunan padamu, keturunanmu, anak cucumu, keluarga-mu, Syi’ahmu dan pecinta Syi’ahmu, maka bergembiralah!’”[16] Ayyub as-Sajestani meriwayatkan dari Abu Qulabah berkata: “Ummu Salamah ra. mengatakan: ‘Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Pengikut Ali as. adalah para pemenang di Hari Kiamat’”.[17]


Ali dan Syi’ahnya sebagai Manusia Terbaik

Ibnu Jarir ath-Thabari dalam tafsirnya meriwayatkan dari Abul Jarud dari Muhammad bin Ali saat menafsirkan firman Allah swt.:
﴿ اُولئِكَ هُمُ خَيرُ البََِيمةِ ﴾َ

“Sungguh Mereka adalah sebaik-baiknya makhluk.”
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Maksud ayat ini adalah kamu, wahai Ali!, dan Syi’ahmu”.[18] As-Suyuthi dalam Durul Mantsur meriwayatkan hadis dari Jabir bin Abdillah al-Anshari yang menurut dia diriwayatkan juga oleh Ibnu Adiy dan Ibnu Asakir secara marfu’.[19]
Hadis itu berbunyi:

علي خير البَية ,

bahwa Ali adalah sebaik-baik manusia. As-Suyuthi juga berkata:
“Ibnu Adiy meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang berkata: ‘Ketika turun ayat:

﴿ اِ م ن المذِينَ آمَنُوا وَ عَمِلُوا ال م صالَِْاتِ اُولئِكَ هُم خَيرُ البََِيمةِ ﴾

‘Rasulullah saw. bersabda kepada Ali as.:
“Pada hari Kiamat, kamu dan Syi’ahmu adalah orang-orang yang bahagia dan diridhai’”.[20]

As-Suyuthi juga mengatakan bahwa Ibnu Mardiwaih meriwayatkan hadis dari Ali bin Abi Thalib as. berkata:
“Rasulullah saw. bersabda padaku:
‘Tidakkah kau mendengar firman Allah azza wa jalla yang berbunyi:

﴿ اِ م ن المذِينَ آمَنُوا وَ عَمِلُوا ال م صالَِْاتِ اُولئِكَ هُم خَيرُ البََِيمةِ ﴾

‘Maksud dari firman ini adalah kamu dan Syi’ahmu, tempat yang dijanjikan untukku dan untukmu adalah telaga, ketika umat-umat berdatangan untuk hisab, kalian akan dipanggil dan didudukkan secara mulia’”.

Ibnu Hajar dalam as-Shawa’iq al-Muhriqoh berkata seputar ayat kesebelas surah Bayyinah: “Jamaluddin az-Zarandi meriwayatkan dari Ibnu Abbas berkata:
‘Tatkala ayat ini turun, Rasulullah saw. bersabda pada Ali:
“Maksud dari ayat ini adalah kamu, wahai Ali, dan Syi’ahmu yang bahagia dan diridhai di Hari Kiamat nanti, sedangkan musuhmu datang dalam keadaan marah dan dimurkai’”.[21] Hadis ini juga dicatat Syablanji dalam Nurul Abshar[22] .


Kedudukan Wilayah Ahlulbait as. dalam Islam

Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini meriwayatkan dari Abu Hamzah Tsumali dari Abu Ja’far Muhammad Al-Baqir as. berkata:
“Islam dibangun di atas lima perkara: shalat, zakat, puasa, haji dan wilayah, dan—di Hari Pembalasan—seseorang tidak akan dipanggil karena sesuatu yang lebih penting daripada panggilan karena wilayah”.[23]

Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini meriwayatkan dari Ajlan Abu Shaleh berkata:
“Aku berkata pada Abu Abdillah Ja’far Ash-Shadiq as.:
‘Beritahulah aku akan batas-batas iman!’
Maka beliau berkata:
“Kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah (syahadah), percaya dan mengakui apa yang datang dari Allah (swt.), shalat lima waktu, puasa bulan Ramadhan, haji di rumah Tuhan, berpihak pada wali kita dan melawan musuh kita serta masuk bersama orang-orang yang tulus (shodiqin)”.[24]

Al-Kulaini juga meriwayatkan melalui jalur sanad yang sampai ke Zurarah bin A’yun dari Abu Ja’far Muhammad Al-Baqir as. berkata:
“Islam terbangun di atas lima perkara: shalat, zakat, puasa, haji dan wilayah”.[25]


Siapakah Rafidhah?

Seorang sahabat bercerita pada Imam Ja’far Ash-Shadiq as. tentang Ammar Duhuni yang hadir suatu hari di pengadilan hakim Kufah, Ibnu Abi Laila, untuk memberikan kesaksian. Hakim memintanya agar bangkit:
“Pergilah wahai Ammar, karena kita telah mengenal siapa dirimu, kesaksianmu tidak bisa diterima karena kamu seorang Rafidhah”. Ammar pun segera bangkit hendak meninggalkan majelis dalam keadaan urat-urat leher dan di sekitar pundaknya bergetar kuat seraya tenggelam dalam isak tangis.

Ibnu Abi Laila berkata padanya:
“Kamu orang alim dan ahli hadis, jika kamu kesal karena dituduh sebagai Rafidhah lalu kamu menghindar dari tuduhan itu, tentu kamu termasuk saudara-saudara kita”.

Ammar menjawab:
“Wahai Ibnu Abi Laila, aku tidak seperti yang kau bayangkan. Aku menangisimu dan menangisi diriku. Aku menangisi diriku karena kamu telah menisbatkanku pada kedudukan mulia yang tidak pantas bagiku ketika kamu menganggapku sebagai rafidhi (orang Rafidhah). Celakalah dirimu! Sesungguhnya Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata:
‘Sesungguhnya orang pertama yang diberi nama Rafidhah adalah para penyihir yang beriman kepada Nabi Musa as. dan mengikutinya seketika menyaksikan mukjizatnya, mereka menolak perintah Fir’aun dan pasrah terhadap apa saja yang akan menimpa diri mereka, maka Fir’aun menamakan mereka Rafidhah karena menolak agamanya. Oleh karena itu, rafidhi adalah setiap orang yang menolak segala apa yang dilarang oleh Allah swt. Dan melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya. Coba katakan padaku, siapa orang seperti ini sekarang? ‘

“Dan aku menangisi diriku karena aku takut Allah swt. Yang Tahu akan apa yang terlintas di hatiku pada saat aku senang menerima nama yang mulia ini, niscaya Dia akan mencercaku dan berkata: 
‘Wahai Ammar! Apakah kamu orang yang menolak kebatilan dan taat sepenuhnya sebagaimana apa yang dia katakan?’ Maka itu, kalaupun aku masih dipersilahkan untuk menempati derajat tertentu, sebetulnya aku adalah orang yang gagal dan tidak pantas untuk itu. Dan kalau aku tergolong orang yang Dia cela dan dijerumuskan ke dalam siksa, niscaya hal itu menambah dahsyatnya siksa, kecuali apabila para Imam menutupi kekurangan itu dengan syafaat mereka.

“Adapun kenapa aku menangisimu, karena besarnya kebohongan yang kau katakan saat menyebutku dengan selain namaku yang sebenarnya, juga karena simpati atau sayangku padamu akan siksa Allah swt. ke atas orang yang menggunakan nama yang termulia bagiku. Dan jika kamu anggap itu sebagai nama yang paling rendah, bagaimana kamu bisa tahan akan siksa Tuhan atas ucapanmu itu?”
Maka Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata:

“Andaikan Ammar memiliki dosa yang lebih besar dari semua langit dan bumi, niscaya akan terhapus oleh kata-katanya ini, dan niscaya catatan kebaikannya akan bertambah di sisi Allah swt. sampai setiap kesan baik dari pahala yang dia peroleh lebih besar dari dunia seribu kali lipat”.[26]


Pecinta yang bukan Syi’ah

Seorang berkata pada Imam Musa bin Ja’far as.:
“Suatu saat kami berjalan bersama seorang lelaki di pasar yang sedang berserapah: ‘Aku adalah Syi’ah tulus Muhammad dan keluarga Muhammad’. Dia berteriak di atas kain jualannya:
‘Siapa yang ingin tambah?’

“Maka Imam Musa as. berkata:
‘Orang yang sadar akan nilai dirinya tidak akan bodoh dan kehilangan diri, tahukah kalian siapakah orang seperti ini? (menunjuk lelaki di atas tadi). Dialah adalah orang yang menyatakan dirinya seperti Salman, Abu Dzar, Miqdad dan Ammar, pada saat yang sama dia mengurangi hak orang lain dalam berjual beli, dia menyembunyikan cacat barang jualannya dari pembeli, dia menjual barang dengan harga tertentu tapi menawarkannya dengan harga yang jauh lebih tinggi kepada pendatang asing, dia meminta dan memaksa pendatang asing itu untuk membayar lebih mahal, dan jika pendatang asing itu telah pergi, dia katakan pada warga setempat bahwa aku tidak menjual pada kalian dengan harga yang aku tawarkan kepada pendatang asing tadi.

“Apakah orang semacam ini sama dengan Salman, Abu Dzar, Miqdad, dan Ammar?! Maha Suci Allah! Tentu dia tidak bisa disamakan dengan para sahabat besar Nabi ini.
Namun demikian dia tidak dilarang untuk menyatakan bahwa dirinya adalah pecinta Muhammad saw. dan keluarganya serta termasuk pendukung para pengikut mereka dan melawan musuh-musuh mereka’”.[27]


Orang-orang Mukmin sebagai Pelita Penghuni Surga Selaksa

Langit yang Terang karena Bintang 

Diriwayatkan dari Amirul Mukminin as. berkata:
“Sesungguhnya penduduk surga melihat Syi’ah kami sebagaimana orang-orang melihat bintang di langit”.[28]
Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata:
“Sesungguhnya cahaya seorang mukmin bersinar bagi penduduk langit sebagaimana bintang bersinar bagi penduduk bumi”.[29]
Imam Musa bin Ja’far as. bercerita:
“Suatu saat, sebagian orang-orang khusus Imam Ja’far Ash-Shadiq as. duduk di hadapan beliau di malam purnama yang terang benderang sehingga membuat orang terjaga, mereka berkata:
‘Wahai putera Rasulullah saw.! Betapa indahnya permukaan langit dan cahaya bintang-bintang itu!’

“Maka Imam Ash-Shadiq as. menanggapi:
‘Kalian berkata demikian sementara empat malaikat pengatur alam, yaitu Jibril, Mika’il, Israfil dan malaikat maut mengawasi penduduk bumi, mereka melihat kalian dan saudarasaudara kalian di segala penjuru bumi bersinar dan cahaya kalian sampai ke langit. Bagi mereka, bahkan cahaya kalian lebih indah daripada cahaya bintang, dan sungguh mereka mengatakan seperti yang telah kalian katakan: ‘Alangkah indahnya cahaya orang-orang beriman!’”[30]


Melihat dengan Cahaya Allah swt.

Abu Najran meriwayatkan bahwa saya mendengar Abul Hasan as. berkata:
“Barangsiapa memusuhi Syi’ah kami, dia telah memusuhi kami, dan barang siapa mendukung mereka, dia telah mendukung kami, karena mereka adalah dari kami; mereka diciptakan dari tanah kami. Maka barangsiapa yang mencintai mereka, dia dari kita, dan barangsiapa yang membenci mereka maka dia bukan dari kita. Syi’ah kami melihat dengan cahaya Allah, bergelimang dalam rahmat- Nya dan menjadi pemenang bersama kemuliaan-Nya.
Sungguh tak seorang pun dari Syi’ah kami yang bersedih melainkan kami juga berduka cita karena dirinya, dan tidak seorang pun dari Syi’ah kami yang bergembira kecuali kami juga berbahagia karena dirinya”.[31]


Kedudukan Syi’ah di Sisi Ahlulbait as.

Ahlulbait as. Mencintai Syi’ah Mereka Sebagaimana Syi’ah (pengikut Ahlulbait as.) mencintai Ahlulbait as., begitu juga sebaliknya Ahlulbait as. sangat mencintai Syi’ah dan pendukung mereka. Bahkan mereka as. mencintai aroma dan arwah Syi’ah. Ahlulbait as. senang melihat dan menziarahi mereka, Ahlulbait as. merindukan mereka seperti dua pasang kekasih yang saling merindukan. Hal ini wajar, karena cinta adalah hubungan imbal balik.
Cinta yang sejati tidak akan ada pada satu pihak melainkan di pihak lain juga terdapat cinta yang sepadan.

Ishaq bin Ammar meriwayatkan dari Ali bin Abdul Aziz berkata:
“Saya mendengar Abu Abdillah as. berkata: ‘Demi Allah! Aku sungguh mencintai aroma kalian, arwah kalian, penampilan kalian, dan menziarahi kalian. Dan sesungguhnya aku berada di atas agama Allah dan agama malaikat- Nya, maka bantulah dengan hidup warak (karakter menghindari dosa). Di Madinah aku seperti sya’ir, aku berbolak balik sampai aku melihat salah satu dari kalian dan menjadi tenang dengan penglihatan ini”.[32]

“Seperti sya’ir”; maksud dari sya’ir atau sya’roh di sini adalah uban putih yang jarang dan sedikit sekali di tengah lebatnya rambut hitam. Oleh karena itu, ia akan senang dan merasa tenang apabila melihat ada pendukung yang menyerupainya.
Abdullah bin Walid berkata: “Aku mendengar Abu Abdillah (Imam Ja’far) as. berkata saat kita berkumpul: “Demi Allah! Sesungguhnya aku mencintai pemandangan kalian dan merindukan komunikasi bersama kalian”[33] .
Nasr bin Muzahim meriwayatkan dari Muhammad bin Imran bin Abdillah dari ayahnya dari Imam Ja’far bin Muhammad as. berkata:
“Suatu saat ayahku masuk masjid, ternyata di sana ada sekelompok orang dari Syi’ah kami.
Beliau pun mendekati mereka seraya mengucapkan salam lalu berkata:

“Demi Allah! Aku mencintai bau dan arwah kalian, dan sesungguhnya aku di atas agama Allah swt. Jarak antara kalian dengan detik-detik yang sangat membahagiakan sehingga membuat orang lain iri pada kalian tidak lebih jauh dari sampainya ruh ke sini (beliau menunjuk dengan tangannya ke arah tenggorokan, artinya saat kematian), maka bantulah aku dengan hidup warak dan usaha keras! Barangsiapa dari kalian mengikuti seorang imam, hendaknya dia beramal bersamanya. Kalian adalah pasukan Allah, kalian adalah pendukung Allah, dan kalianlah pembela Allah”.[34]
Muhammad bin Imran meriwayatkan dari ayahnya dari Abu Abdillah as. berkata:
“Suatu hari aku bersama ayahku keluar menuju masjid, ternyata di sana ada sekelompok dari sahabat ayahku, tepatnya di antara kuburan dan mimbar.
Beliau menghampiri mereka, bersalam lalu berkata:
“Demi Allah! Aku mencintai aroma dan ruh kalian, maka bantulah aku untuk hal itu dengan hidup warak dan usaha keras!”[35]
Barang kali kalimat di atas ini menimbulkan beberapa pertanyaan di benak seseorang:

Kalimat pertama, “Sesungguhnya aku mencintai aroma dan ruh kalian”.

Kalimat kedua, “Bantulah aku dengan hidup warak dan usaha keras!”

Maksud dari kalimat imam yang pertama adalah ungkapan mengenai puncak tertinggi dari kecintaan dan kerinduan sampai seakan-akan Ahlulbait as. menghirup aroma pintu surga dari Syi’ah mereka”. Justru saya tidak menemukan kalimat yang lebih eksperesif dan lebih fasih dari ini untuk mengungkapkan klimaks cinta dan kerinduan.

Adapun maksud dari kalimat imam yang kedua adalah cara menentukan standar cinta tersebut, karena cinta ini berbeda dengan cinta biasa pada umumnya antarmanusia biasa. Cinta ini merupakan perpanjangan (perluasan) dari cinta Allah, dan cinta demi Allah adalah kualitas terkuat dari makna cinta. Tentunya, cinta ini tunduk pada standarstandar yang berbasis pada dalam ketaatan dan pengabdian, warak dan takwa. Cinta ini terus mengembang sejalan dengan peningkatan tingkat warak dan takwa seseorang. Oleh karena itu, Imam as. meminta Syi’ahnya agar membelanya dalam kecintaan dengan hidup warak, takwa, ketaatan dan pengabdian pada Allah swt.

Sesungguhnya merekalah Syi’ah Ahlulbait as., dan Ahlulbait as. tahu persis seberapa tulus cinta Syi’ah pada mereka. Ahlulbait as. ingin sekali menimpal balik cinta Syi’ah mereka dengan cinta yang sepadan bahkan lebih dalam.
Maka itu, Ahlulbait as. meminta Syi’ah mereka untuk mempersiapkan diri sehingga layak menerima cinta Ahlulbait as. tersebut. Persiapan ini akan terpenuhi dengan warak, takwa, ketaatan dan pengabdian pada Allah swt.
Saat itulah cinta Ahlulbait as. pada Syi’ah mereka merupakan kepanjangan dan perluasan dari cinta demi Allah swt.

Perumpamaan Ahlulbait as. dalam cinta tak ubahnya orang tua yang mencintai anaknya, dan seyogyanya si anak menjaga statusnya sebagai orang yang layak mendapatkan cinta orang tua dengan budi pekerti yang mulia, dan dia tidak melakukan perbuatan seperti durhaka yang menyebabkan mereka berdua mencabut cinta itu dari hatinya.
Musuh Syi’ah adalah Musuh Ahlulbait dan Cinta Syi’ah adalah Cinta Ahlulbait

Cinta dan benci adalah dua perkara yang berelasi secara imbal balik. Maka dari itu, tidak ada cinta bagi satu pihak pada pihak yang lain kecuali pihak kedua ini memiliki cinta yang seimbang dengan cinta yang dimiliki pihak pertama itu.

Begitu pula pembelaan dan perlawanan adalah dua perkara yang juga bersifat imbal balik. Yakni, sebagaimana kita menentang musuh Ahlulbait as. dan membenci mereka serta mendukung pecinta Ahlulbait as. dan mencintai mereka, begitupula Ahlulbait as. menentang orang yang memusuhi Syi’ah mereka dan membela orang yang mencintai Syi’ah mereka.

Diriwayatkan dari Ibnu Abi Najran: “Aku mendengar Abul Hasan as. selalu berkata:
“Barangsiapa memusuhi Syi’ah kami maka telah memusuhi kami, dan barangsiapa mendukung mereka maka dia telah mendukung kami, karena Syi’ah kami adalah dari kami; mereka diciptakan dari tanah kami. Barangsiapa mencintai mereka maka dia juga dari kami, dan barangsiapa membenci mereka maka dia bukanlah dari kami. Syi’ah kami melihat dengan cahaya Allah swt., mereka bergelimang dalam rahmat-Nya dan menjadi pemenang dengan kemuliaan-Nya”.[36]

Diriwayatkan pula[37] bahwa Abul Hasan as. berkata:
“Barang siapa memusuhi Syi’ah kami maka dia telah memusuhi kami, dan barang siapa yang mendukung mereka maka dia telah mendukung kami, karena mereka dari kami, mereka diciptakan dari tanah kami. Barang siapa mencintai mereka berarti dia dari kami, dan barang siapa membenci mereka berarti dia bukan dari kami. Syi’ah kami melihat dengan cahaya Allah swt., mereka bergelimang dalam rahmat Allah dan menjadi pemenang dengan kemuliaan-Nya.

“Tak seorang pun dari Syi’ah kami yang sakit melainkan kami juga sakit karena dia, tak ada seorang pun dari Syi’ah kita yang bersedih melainkan kami juga berduka karena dia, tak ada seorang pun dari Syi’ah kami yang gembira melainkan kami pun bergembira karena dia, dan tak ada seorang pun dari Syi’ah kami yang meninggal dunia di manapun dia berada, di timur bumi maupun di barat, dan dia masih berhutang kepada orang lain melainkan hutangnya menjadi tanggungan kami, dan jika dia meninggalkan kekayaan maka kekayaan itu untuk para pewarisnya.

“Syi’ah kami adalah orang-orang yang menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, menunaikan ibadah haji, berpuasa di bulan Ramadhan, membela Ahlulbait as. dan menentang musuh-musuh mereka. Syi’ah kami adalah mereka yang kuat iman, takwa, dan warak.

“Barang siapa menolak mereka berarti menolak Allah swt., dan barang siapa memfitnah mereka dia telah memfitnah Allah swt., karena mereka adalah hamba-hamba Allah yang sebenarnya, mereka adalah wali-wali Allah yang sejujurnya. Demi Allah! Tiap-tiap mereka memberi syafaat kepada sekian penduduk suku Rabi’ah dan Madhar (baca: banyak sekali), maka Allah menerima mereka sebagai pem beri syafaat karena kedudukan mereka yang mulia di sisi- Nya”.


Imbal Balik Hak-hak antara Ahlulbait as. dan Syi’ah

Ahlulbait as. dan Syi’ah tidak hanya berimbal balik untuk membela mereka dan pecinta mereka. Selain dalam kebencian dan penentangan terhadap musuh, di antara Ahlulbait as. dan Syi’ah juga terdapat imbal balik dalam hak. Yakni, sebagaimana Ahlulbait as. menanggung hak-hak yang harus mereka penuhi untuk Syi’ah seperti memberi petunjuk dan jalan yang benar menuju Allah swt., penhajaran hudud atau undang-undang Allah, ibadah kepada Allah… Begitu pula Syi’ah menanggung hak-hak yang harus mereka penuhi untuk Ahlulbait as.

Abu Qatadah meriwayatkan dari Abu Abdillah Imam Ja’far as. berkata:
“Hak-hak Syi’ah kami yang harus kami penuhi lebih wajib dari hak-hak kami yang harus mereka penuhi”.

“Seseorang bertanya kepada Imam Ja’far as.:
‘Bagaimana demikian itu terjadi, wahai putera Rasulullah saw.?’
Beliau menjawab:
‘Ya, karena mereka menimpa kita sementara kita tidak menimpa mereka’”.[38] []



SYARAT-SYARAT SYI’AH AHLULBAIT AS.

Syarat Umum Syi’ah Ahlulbait as.

Nilai yang kita perbincangkan seputar kepengikutan kepada Ahlulbait as. dan penerimaan wilayah mereka tidak lepas dari syarat-syarat umum. Wilayah dan dukungan itu tidak membuahkan hasil kecuali dengan terealisasinya syaratsyarat tersebut. Termasuk di antaranya adalah pengetahuan tentang hukum agama atau fikih, ibadah, takwa, warak, pertalian dan komunikasi bersama orang-orang mukmin pada khususnya dan semua orang muslim pada umumnya, disiplin, adab, budi pekerti dan pergaulan yang baik dengan masyarakat, amanat, dan jujur dalam bertutur.
Tanpa semua itu, kepengikutan seseorang kepada Ahlulbait as. bukanlah syi’ah dan wilayah yang sebenarnya, karena syi’ah yang sejati adalah kepengikutan yang nyata dan tulus bersama mereka as.
Berikut ini beberapa poin penting dari ajaran Ahlulbait as. berkaitan dengan Syi’ah atau pengikut mereka:

Jadilah Hiasan, bukan Coreng

Imam-imam suci Ahlulbait as. memerintahkan Syi’ah agar menjadi perhiasan bagi mereka dan bukan sebaliknya;
menjadi noda dan coreng bagi mereka, karena jika mereka (Syi’ah) berbuat dengan akhlak Islam dan beradab sesuai kesantunan Islam niscaya masyarakat akan menyanjung Ahlul-bait as. seraya berkata: “Betapa indahnya Ahlulbait as. mendidik dan menyucikan Syi’ah mereka”. Ini tentu berbeda jika masyarakat menjumpai keburukan mereka dalam pergaulan dan perilaku, juga tidak menegakkan hukum Allah swt. serta halal dan haram-Nya, niscaya masyarakat akan mencemooh Ahlulbait as. karena kelakuan buruk mereka tersebut. 
Sulaiman bin Mihran menceritakan:
“Suatu hari aku menemui Imam Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq as. yang kebetulan pada saat itu ada beberapa orang dari pengikut beliau di situ, beliau memanggil: ‘Wahai sekalian Syi’ah! Jadilah kalian hiasan bagi kami dan jangan menjadi coreng bagi kami, bertuturlah yang sopan dengan masyarakat, jagalah lidah kalian, hindarilah campur tangan dan tutur kata yang buruk”.
Diriwayatkan dari Abu Abdillah Ja’far Ash-Shadiq as. berkata:
“Wahai orang-orang Syi’ah! Sesungguhnya kalian dikaitkan kepada kami, maka jadilah hiasan bagi kami dan jangan jadi noda untuk kami…”.[39]
Diriwayatkan pula dari beliau berkata:
“Sesungguhnya Allah merahmati hamba-Nya yang menyebabkan kami tercinta di tengah masyarakat, dan tidak menjadikan kami dibenci mereka. Demi Allah, andaikan hamba-hamba Allah itu meriwayatkan keindahan tutur kata kami, niscaya mereka lebih mulia dan terhormat, dan tidak akan ada seorangpun yang dapat menyanggah mereka”.[40]
Beliau juga berkata:
“Allah swt. merahmati orang yang menyebabkan kami tercinta di tengah masyarakat dan tidak menjadikan kami dibenci mereka. Sungguh demi Allah! Andaikan hamba-hamba Allah itu (Syi’ah) meriwayatkan keindahan bicara kami, niscaya mereka lebih mulia dan terhormat, serta tidak akan ada seorangpun yang mampu menyanggah mereka. Namun sayang! Sebagian dari mereka mendengar satu kata dan menambahkan puluhan kata (saat menukilnya)”.[41]
Dalam riwayat lain beliau berkata:
“Wahai Abdul A’la!
Sampaikan salamku kepada mereka (Syi’ah) wa rahmatullah dan katakan kepada mereka:
‘Allah swt. merahmati orang yang memikat cinta masyarakat pada dirinya juga pada kami dengan cara menampilkan sesuatu yang makruf pada mereka, dan menghindarkan sesuatu yang munkar dari mereka’”.[42]
Diriwayatkan juga bahwa Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata:
“Wahai orang-orang Syi’ah, jadilah hiasan bagi kami dan jangan menjadi noda untuk kami, berbicaralah santun kepada masyarakat, jagalah lidah kalian, dan hindarilah campur tangan dalam urusan orang lain dan perkataan yang buruk”[43]


Ahulbait as. Memberi Syafaat di Sisi Allah swt. dan

Senantiasa Bergantung kepada-Nya

Sesungguhnya Ahlulbait as. tidak butuh kepada selain Allah swt., tetapi mereka senantiasa bergantung sepenuhnya kepada-Nya. Mereka memberi syafaat dengan izin Allah dan tidak akan pernah memberi syafaat pada siapapun tanpa seizin-Nya.

Maka barang siapa yang ingin merasa cukup dan tidak butuh ketaatan kepada Allah, ibadah kepada-Nya, takwa dan warak serta hanya bermodalkan cinta dan wilayah Ahlulbait as., maka ketahuilah dia telah menapaki jalan selain Ahlulbait as. dan mengikuti mazhab selain mereka.

Dan dengan demikian, dia tidak akan memetik buah yang diharapkan dari kecintaannya pada Ahlulbait as.

Amr bin Sa’id bin Bilal berkata:
“Suatu saat aku menemui Abu Ja’far Muhammad Baqir as. Di sekitar beliau tampak ada sekelompok orang. Kepada mereka Imam berkata:

‘Ambillah jalan tengah! Orang yang berlebihan akan kembali pada kalian dan orang yang akan datang akan bergabung bersama kalian. Ketahuliah wahai Syi’ah dan pengikut keluarga Muhammad saw.! Tidak ada kekerabatan antara kami dengan Allah swt., diri kami juga tidak menjadi hujah di hadapan Allah, dan kedekatan pada Allah tidak akan bisa diraih kecuali dengan ketaatan pada-Nya. Maka barang siapa yang taat pada Allah, maka wilayah dan cintanya pada kami akan bermanfaat baginya, dan barangsiapa yang menentang maka cintanya tak lagi berarti sama sekali’.

“Kemudian beliau mengalihkan perhatian kepada kami seraya berkata:
‘Jangan memperdaya dan jangan berdusta atau membuat-buat’”.[44]

Maka itu, barang siapa yang menghendaki Ahlulbait as. dan ingin mengikuti ajaran mereka serta berwilayah kepada mereka, maka dia harus sadar bahwa Ahlulbait as. tidak memiliki keuntungan maupun bahaya, baik pada diri mereka sendiri maupun untuk orang lain, kecuali dengan izin Allah swt. dan kehendak-Nya. Mereka hanyalah hambahamba ciptaan Allah yang dekat pada-Nya.

Sudah barang tentu, orang yang menghendaki Ahlulbait as. dan berharap kedekatan diri pada Allah dan syafaat di sisinya melalui cinta pada mereka, maka seyogyanya dia bertakwa kepada Allah dan menempuh jalan orang-orang saleh.

Diriwayatkan bahwa Imam Ali as. berkata:
“Bertakwalah pada Allah, janganlah kalian terperdaya oleh orang lain, janganlah kalian termakan dusta orang lain. Ketahuilah bahwa agamaku adalah agama yang satu, agama (Nabi) Adam yang diridhai Allah swt.; aku hanyalah hamba ciptaan- Nya, dan aku tidak memiliki jaminan atau bahaya pada diriku sendiri kecuali apa yang dikehendaki Allah, dan aku tidak berkehendak kecuali apa yang Allah kehendaki”.[45]

Warak dan Takwa

Kita tidak menemukan wasiat Ahlulbait as. kepada Syi’ah mereka yang lebih banyak dari wasiat mereka tentang takwa dan warak dalam kehidupan. Syi’ah Ahlulbait as. adalah orang yang mengikuti dan menyertai mereka dalam hal takwa dan warak. Merekalah orang yang lebih bertakwa dan warak serta lebih dekat atau mirip pada Ahlulbait as., bukankah inti tasyayyu’ adalah kepengikutan dan peneladanan.

Maka orang yang ingin mengikuti dan meneladani Ahlulbait as. tidak akan menemukan jalan selain ketaatan kepada Allah, warak dan takwa kepada-Nya.

Abu Shabah al-Kanani meriwayatkan:
“Aku katakan kepada Abu Abdillah Ja’far Ash-Shadiq as.:
‘Di Kufah, kita dicemooh karena nama kalian (Ahlulbait). Mereka memanggil kita dengan sebutan Ja’fariyah’. Maka beliau marah seraya berkata:
“Sesungguhnya sahabat Ja’far di antara kalian tidaklah banyak, karena sahabat Ja’far adalah orang yang waraknya sangat kuat dan hanya beramal untuk Penciptanya; Allah swt. ‘”.[46]

Amr bin Yahya bin Bisam berkata aku mendengar Abu Abdillah Ja’far Ash-Shadiq as. berkata demikian:
“Sesungguhnya orang yang benar-benar warak adalah keluarga Muhammad saw. dan Syi’ah mereka”.[47]

Diriwayatkan pula dari Imam Ja’far Ash-Shadiq:
“Syi’ah kami adalah warak dan pekerja, mereka adalah orang-orang yang percaya dan terpercaya, ahli zuhud dan ibadah, senantiasa menunaikan lima puluh satu rakaat shalat sehari semalam, orang-orang yang terjaga di malam hari dan berpuasa di siang hari. Mereka menunaikan ibadah haji ke Baitul Haram … dan menjaga diri dari segala yang haram”.[48]

Beliau juga berkata:
“Demi Allah, Syi’ah Ali as. tidak lain adalah orang yang suci perut dan kemaluannya, orang yang beramal hanya untuk Penciptanya, dan mengharapkan pahala-Nya serta takut akan siksa-Nya”.[49]

Dalam riwayat yang lain beliau berkata:
“Wahai Syi’ah keluarga Muhammad saw.! Sesungguhnya bukanlah dari kami orang yang tidak menguasai dirinya pada saat marah, tidak berkata sopan pada orang yang berbicara dengannya, tidak menjaga persahabatannya dengan orang yang bersamanya, dan tidak memegang janji perdamaian dengan orang yang mengajaknya berdamai”.[50]

Diriwayatkan pula bahwa beliau berkata:
“Bukan dari Syi’ah kami orang yang berada di kota atau sebuah daerah dan dia memiliki ribuan harta sementara di sana terdapat orang yang lebih warak dari dia”.[51]

Kalib bin Muawiyah al-Asadi berkata saya mendengar Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata:
“Demi Allah! Sesungguhnya kalian berada di atas agama Allah dan agama malaikat-Nya, maka bantulah kami dengan warak dan usaha yang sungguh-sungguh!”[52]

Perawi yang sama juga melaporkan:
“Aku mendengar Imam Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq as. berkata:
‘Demi Allah, sesungguhnya kalian di atas agama Allah dan malaikatNya, maka bantulah kami dalam hal itu dengan warak dan usaha keras. Perhatikanlah shalat malam dan ibadah kalian, perhatikanlah warak kalian!’”[53]

Penulis buku Bashairu Darajat meriwayatkan dari Murazim berkata:
“Suatu hari aku memasuki kota Madinah, aku melihat seorang wanita di rumah yang aku tempati saat itu, aku begitu tertarik padanya tapi dia menolak untuk menikah denganku”.

Murazim melanjutkan:
“Maka aku mendatangi wanita itu di petang hari. Kuketuk pintu kamarnya, ternyata dia sendiri yang membukakan pintu. Segera dia letakkan tanganku di atas dadanya dan dia bersegera sampai aku masuk. Pagi harinya aku datang pada Abul Hasan as, maka dia berkata:
‘Wahai Murazim! Bukanlah dari Syi’ah kami orang yang sendirian namun tidak menjaga hatinya’”.[54]

Dalam sebuah riwayat disebutkan, ada seorang berkata kepada Rasulullah saw.:
“Wahai Rasulullah, si fulan melihat kehormatan (keluarga) tetangganya, dan apabila dia berkesempatan untuk melakukan perbuatan haram, niscaya dia tidak akan menjaga diri dari hal itu”. Mendengar itu, Rasulullah saw. marah. Lalu orang itu menambahkan:

“Meski begitu, dia termasuk orang yang meyakini dirinya berwi layah kepadamu, mendukung Ali dan menentang musuhmusuh kalian”. Maka Rasulullah saw. bersabda: “Jangan katakan dia dari Syi’ah kami! Sungguh dia telah berdusta. Syi’ah kami adalah orang yang mengikuti perilaku kami, dan apa yang kamu katakan tadi tentang perbuatan orang itu tidak termasuk dari perilaku kami”.[55]

Seorang berkata pada Imam Hasan bin Ali as.:
“Aku adalah salah satu dari Syi’ah kalian”. Maka Imam Hasan bin Ali as. berkata padanya:
“Wahai hamba Allah! Jika kamu mengikuti kami dan mentaati perintah dan larangan kami, berarti kamu benar, dan jika ternyata kamu bertentangan dengan itu, maka janganlah menambah dosamu dengan pengakuanmu akan derajat mulia yang bukan milikmu. Jangan katakan pada kami bahwa aku adalah Syi’ah kalian, tapi katakanlah bahwa aku adalah salah satu pecinta dan pendukung kalian serta musuh lawan kalian”.[56]

Seorang lagi berkata pada Imam Husain as.:
“Wahai putra Rasul, aku adalah Syi’ahmu”. Husain as. berkata:
“Sesungguhnya Syi’ah kami adalah orang yang hatinya bersih dari pengkhianatan dan kedengkian yang terselubung”.

Disebutkan dalam kitab Abul Qasim bin Qoulawaih, riwayat dari Muhammad bin Umar bin Handzalah berkata:

“Abu Abdillah as. berkata:
“Bukan dari Syi’ah kami orang yang mengucapkan dengan lidahnya—bahwa aku adalah Syi’ah Ahlulbait as.—tetapi tingkah laku dan sikapnya bertentangan dengan adab dan perilaku kami. Syi’ah kami adalah orang yang menyerupai kami dengan mulut dan hatinya, mengikuti adab kami serta meneladani amal perbuatan kami, mereka adalah Syi’ah kami yang sebenarnya”.[57]


Ibadah

Abul Miqdam meriwayatkan bahwa Abu Ja’far Imam Muhammad Baqir as. berkata padanya:
“Wahai Abul Miqdam, sesungguhnya Syi’ah Ali as. adalah orang-orang yang pucat, kurus kerontang, lemas, bibirnya kering, perutnya langsing, warnanya berubah-ubah, wajahnya kuning. Apabila malam telah menyelimuti mereka, mereka jadikan bumi sebagai tempat tidur dan mengalasinya dengan dahi. Mereka adalah orang yang banyak sujud, bercucuran air mata, banyak berdoa, dan meratap. Mereka bersedih di saat orang-orang bergembira”.[58]

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa di suatu malam yang terang dan cerah, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. keluar dari masjid menuju gurun sahara. Dari belakang, sekelompok orang mengikuti jejak beliau. Beliau berhenti menghadap mereka dan bertanya:
“Siapa kalian?”
Mereka menjawab: “Kami adalah Syi’ahmu, wahai Amirul Mukminin!”
Maka beliau meneliti dengan cermat wajah-wajah mereka lalu berkata:
 “Lalu kenapa saya tidak melihat tandatanda Syi’ah pada kalian?”.
Mereka balik bertanya:
“Apa tanda orang Syi’ah, wahai Amirul Mukminin?”.

Beliau pun menjawab:
“Wajah mereka kuning pucat karena terjaga di malam hari, mata mereka buram karena menangis, punggung mereka bongkok karena berdiri shalat, perut mereka kosong karena puasa, bibir mereka kering karena berdoa, dan pada mereka terdapat debu-debu orang yang khusyuk”.[59]

Abu Nashir meriwayatkan dari Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata:
“Syi’ah kami adalah ahli warak dan usaha keras, orang-orang yang setia dan terpercaya, ahli zuhud dan ibadah, pelaku lima puluh satu rakaat shalat dalam sehari semalam, berjaga di malam hari untuk melaksanakan shalat tahajud, berpuasa di siang hari, mengeluarkan zakat dari harta mereka, menunaikan haji ke Baitul Haram, dan menghindari semua yang haram”.[60]

Syaikh Shaduq dalam Shifatus Syi’ah meriwayatkan dari Muhammad bin Shaleh, dari Abul Abbas ad-Dainuri, dari Muhammad bin al-Hanafiah berkata:
“Ketika Amirul Mukminin as. datang ke Basrah setelah perang Jamal, Ahnaf bin Qais ingin mengundang dan menjamu beliau. Dia mengutus seseorang kepada beliau dan sahabatnya. Amirul Mukminin as. datang memenuhi undangan dan berkata:
“Wahai Ahnaf, panggillah sahabat-sahabatku!”
Maka masuklah sekelompok orang dalam keadaan tunduk seperti geriba yang telah usang. Segera Ahnaf bin Qais berkata keheranan:
“Wahai Amirul Mukminin, apa yang telah menimpa mereka sampai seperti ini? Apakah karena kurang makan? Atau karena dahsyatnya peperangan?”

Maka Amirul Mukminin as. berkata padanya:
“Tidak wahai Ahnaf! Sesungguhnya Allah swt. meperlakukan[61] kelompok orang yang beramal ibadah di dunia terhina seperti orang yang sedang menyergap Hari Kiamat sebelum mereka menyaksikannya secara langsung, maka mereka memaksa diri sekuat tenaga. Mereka adalah orang-orang yang jika diingatkan Hari Pengajuan di hadapan Allah swt. membayangkan keluarnya buku amal mereka yang menampilkan dosa-dosa mereka pada juru-juru kesaksian, dengan begitu diri mereka menjadi luluh, hati mereka terbang melesat dengan sayap-sayap keresahan, dan akal mereka meninggalkan diri mereka menuju Allah dalam keadaan mendidih.

“Mereka menangis seperti orang yang tersesat di malam yang gelap, mereka risau karena takut akan apa yang telah direncanakan pada diri mereka. Karena itu, mereka berjalan dengan tubuh lunglai, hati yang sedih, wajah yang muram, bibir yang kering dan perut yang kosong. Kalian saksikan mereka seperti orang mabuk, terpaku di malam yang mengerikan, tunduk seakan geriba yang telah usang. Mereka ikhlaskan hanya demi Allah swt. seluruh perbuatan mereka, baik yang rahasia maupun yang terang-terangan. Hati mereka tidak pernah merasa aman karena takut pada Allah.
Apabila kau lihat mereka di tengah malam, di saat mata telah tidur lelap, keadaan telah sunyi, gerakan telah diam dan tenang, namun Hari Kiamat beserta janji-janjinya sungguh menghantui dan menahan mereka dari tidur, seperti janji dalam al-Qur’an:

﴿ أفَأمِنَ أهلُ القُ رَی أن يََتِيَهُم بََسُنَا بَ يَاتًَ وَ هُم نَائِمُونَ ﴾ 

“Apakah penduduk daerah merasa aman dari siksa yang akan menyergap mereka di malam hari saat mereka tidur lelap”.[62]
“Mereka terjaga di waktu malam dengan penuh rasa takut, mereka bangkit untuk menunaikan shalat sambil meratap dan menangis, kadang kala mereka bertasbih dan menangis dengan suara keras di mihrab-mihrab, berbaris (shalat dan beribadah) di malam yang gelap gulita sambil mecucurkan air mata.
“Wahai Ahnaf! Jika kamu melihat mereka di waktu malam, mereka berada dalam keadaan tubuh berdiri tegak dengan punggung membongkok, membaca ayat-ayat al- Qur’an dalam shalat, tangis dan ratapan, serta nafas panjang mereka semakin meningkat. Apabila mereka menarik napas panjang, seakan api telah menjilat sampai ke tenggorokan mereka. Dan mereka menangis seakan-akan rantai sedang membelenggu leher mereka.

“Di waktu siang, kamu akan melihat mereka berjalan di muka bumi dengan tenang dan merendah, bertutur manis dengan masyarakat “dan sewaktu orang-orang bodoh mencemoh mereka, mereka mengucapkan salam, dan sewaktu menemui kesiasiaan mereka melewatinya dengan mulia”[63] , menahan setiap langkah dari prasangka. Mereka membungkam mulut dari perbincangan tentang kehormatan keluarga orang. Mereka penuhi telinga mereka untuk diselami para penyelam, mereka hiasi mata dengan mencegah pandangan dari maksiat, mereka terobos darussalam (istana keselamatan); barangsiapa memasukinya niscaya akan terjaga dari keraguan dan bebas dari kesedihan”.[64]

Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata:
“Suatu hari Ali bin Husain as. duduk di rumahnya. Tibatiba seseorang mengetuk pintu, maka beliau menyuruh pembantunya seraya berkata: ‘Lihatlah siapa gerangan di depan pintu’. Dia berkata:
“Sekelompok dari Syi’ahmu”. Mendengar itu, beliau bergegas bangkit sehingga nyaris terjatuh. Ketika pintu terbuka dan beliau memandang mereka yang datang, beliau berbalik seraya berkata: ‘Lalu mana tanda-tanda Syi’ah di wajah-wajah itu? Mana pengaruh ibadah pada diri mereka? Mana tanda sujud itu?

Sesungguhnya Syi’ah kami dikenal dengan ibadah dan tampang mereka yang kusut. Ibadah telah melukai hidung mereka (berarti sangat banyak beribadah), dahi dan anggota sujud lainnya tebal dan tertutup, perut yang kosong, bibir yang kering, wajah mereka berkobar karena ibadah, begadang malam dan usaha keras di waktu siang yang panas membuat tubuh mereka jadi usang. Mereka adalah orangorang yang bertasbih di saat orang lain diam, yang melakukan ibadah shalat di saat orang lain tidur. Mereka adalah orang-orang yang sedih di saat orang lain gembira’”.[65]

Nauf bin Abdillah al-Bakkali meriwayatkan bahwa Imam Ali as. berkata padanya:
“Wahai Nauf, kami—Ahlulbait— diciptakan dari tanah yang terbaik, dan Syi’ah kami diciptakan dari tanah itu. Maka ketika Hari Kiamat datang, mereka akan disatukan bersama kami”.

Nauf melanjutkan dengan sebuah permintaan:
“Jelaskan sifat-sifat Syi’ahmu kepadaku, wahai Amirul Mukminin!”
Seketika itu pula Imam Ali as. menangis karena teringat Syi’ahnya seraya berkata:
“Wahai Nauf, demi Allah Syi’ahku adalah orang-orang yang murah hati, ulama yang mengenal Allah dan agamanya, yang bertindak di jalan ketaatan dan perintah-Nya, orang yang memperoleh hidayah dengan cinta-Nya. 
Mereka kurus lantaran ibadah, warna mereka hitam kemerah-merahan karena zuhud, wajah mereka pucat karena tahajud, mata mereka cekung dan samar karena tangis, bibir mereka kering karena zikir, perut mereka kosong karena lapar. Ketuhanan dan kesalehan tampak pada wajah-wajah mereka di samping kerahiban yang turut menandai. Mereka adalah lentera-lentera yang menerangi segala kegelapan, kembang setiap kabilah, perbuatan buruk mereka terhindar dari masyarakat, hati mereka sedih, jiwa mereka suci, kebutuhan mereka sederhana,

diri mereka selalu dalam kesulitan karena diri mereka sendiri, akan tetapi masyarakat senantiasa tenang dengan keberadaan mereka. Mereka adalah manusia-manusia pandai yang berakal, tulus dan mulia. Di kala hadir mereka tak dikenal, di kala absen orang-orang tak merasa kehilangan.
Mereka adalah Syi’ahku yang terbaik dan saudaraku yang termulia. Ah…sungguh aku sangat merindukan mereka”.[66]


Rahib di Waktu Malam dan Tuan di Waktu Siang

Nauf bercerita suatu malam dia pernah tidur bersama Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. di loteng rumahnya, beliau bangkit untuk shalat malam dan melihat ke arah bintang-bintang seperti orang yang bingung kemudian bertanya: “Hai Nauf, apakah kamu sedang tidur atau terjaga?”

Nauf menjawab bahwa dirinya terjaga. Maka beliau melanjutkan perkataanya wahai Nauf:
“Tahukah siapakah Syi’ahku? Syi’ahku adalah orang-orang yang berbibir kering dan memiliki perut kosong. Mereka ditandai dengan kerahiban dan kesalehan atau ketuhanan di wajah mereka, rahib di waktu malam dan tuan di saat siang. Ketika malam telah tiba, mereka melingkarkan kain di pinggang mereka dan kembali ke posisi tubuh yang tegak. Mereka bariskan kaki, mereka tapakkan dahi. Mereka cucurkan air mata di pipi, berdoa dengan sepenuh hati kepada Allah agar diselamatkan dari siksa. Adapun di siang hari, mereka begitu bermurah hati, alim, baik dan bertakwa”.[67]

Kalimat “rahib di waktu malam dan tuan di waktu siang” adalah ungkapan lembut yang ingin menyampaikan kondisi yang betul-betul stabil dalam tingkah laku mereka di malam dan siang hari. Mereka adalah penguasa negeri malam saat gelap datang. Kita akan menyaksikan mereka dalam keadaan rukuk dan sujud, khusyuk di hadapan Allah swt. dan berdoa kepada-Nya agar dibebaskan dari neraka.
Tatkala siang menjelang, mereka tampil bak pahlawan di semua medan. Mereka sungguh cendekiawan yang santun dan saleh, melawan tantangan, sabar dan tangguh.
Tanda seorang hamba adalah ketika sahar mengapit, mereka sibuk khusyuk di hadapan Allah
Dan ketika waktu dhuha terbit, pedang-pedang tajam melihat mereka laksana manusia merdeka
Mereka adalah perwujudan dari zikir di waktu malam dan takwa di waktu siang. Di sinilah inti keseimbangan antara malam dan siang dalam kehidupan Syi’ah Ahlulbait as.



Pelaku Lima Puluh Satu Rakaat Shalat di Siang dan Malam

Diriwiayatkan dari Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata:
“Syi’ah kami adalah orang-orang yang warak dan bersungguh-sungguh, setia dan terpercaya, zahid dan abid, pelaku lima puluh satu rakaat shalat di setiap hari dan malam, orang yang berpuasa di waktu siang, mengeluarkan zakat dari harta-harta mereka, menunaikan ibadah haji di baitul haram, dan menghindari segala hal yang haram”.[68] 
Imam Muhammad Baqir as. berkata:
“Syi’ah kami tidak lain adalah orang-orang yang bertakwa kepada Allah dan taat pada-Nya, tidak lain mereka dikenal dengan rendah diri, khusyuk, menjaga amanat dan banyak berzikir kepada Allah serta …”.[69]

Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata:
“Syi’ah kami adalah orang-orang yang kurus kering dan lesu, apabila malam menyelimuti mereka, mereka menyambutnya dengan kesedihan”.[70]

Abu Hamzah Tsumali meriwayatkan dari Yahya bin Ummu Thawil yang menceritakan kisah Nauf al-Bakkali berkata: “Suatu saat aku hendak menjumpai Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib as. untuk suatu keperluan. Untuk itu, aku mengajak Jundub bin Zuhair, Rabi’ bin Khaitsam dan keponakannya yang bernama Hammam bin Ubadah bin Khaitsam. Kita bertiga menghadap beliau dan ternyata kita mendapatkan beliau keluar menuju masjid, dan secara bersamaan kita semua sampai di suatu tempat dan menyaksikan sekelompok orang gendut yang banyut dalam perbincangan panjang lebar sambil mengunyah buahbuahan.
Sebagian dari mereka meledek sebagian yang lain.
Namun ketika Amirul Mukminin as. tiba, mereka bergegas bangkit dan mengucapkan salam, beliau pun menjawab salam seraya bertanya:
‘Siapakah mereka?’ Dijawab oleh sebagian orang:
‘Mereka dari Syi’ahmu, wahai Amirul Mukminin as.’. Beliau berkata santun dan melanjutkan:
‘Tapi kenapa aku tidak melihat tanda-tanda Syi’ah pada diri mereka, begitu pula tidak tampak hiasan kekasih-kekasih kami Ahlulbait as.? Memestinya mereka malu!’
Nauf melanjutkan:
“Jundub dan Rabi’ membuka mulut dan menimpali perkataan Imam Ali tersebut:
‘Apakah tanda dan sifat Syi’ah Ahlulbait, wahai Amirul Mukminin?’ Beliau agak keberatan untuk menjawab pertanyaan ini seraya berkata singkat: ‘Bertakwalah kepada Allah, wahai dua pria dan berbuatlah baik! Sesungguhnya Allah bersama orangorang yang bertakwa dan mereka yang berbuat baik’.

﴿ وا اَم حَسِبَ المذِينَ اجتَََحُوا ال م سي ئَاتِ أن نََعَلَهُم كَالمذِينَ آمَنُوا وَ عَمِلُ
ال م صالَِْاتِ سَوَاءً مَحيَاهُم وَ مَََاتُ هُم سَاءَ مَا يََكُمُونَ ﴾

“Apakah kalian sangka orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan buruk akan kami jadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan beramal saleh, baik kehidupan maupun kematian mereka, sungguh buruk apa yang mereka putuskan”.[71]

“Kemudian Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. meletakkan tangannya di pundak Hammam bin Ubadah seraya berkata:

“Perhatikanlah, siapa yang bertanya tentang Syi’ah Ahlulbait as. yang telah dijauhkan oleh Allah swt. dari noda dan menyucikan mereka sebagaimana disinyalir dalam al- Qur’an bersama Nabi-Nya. Mereka (Syi’ah Ahlulbait as.) adalah orang yang mengenal Allah swt., pelaksana perintah Allah, pemilik keutamaan dan anugerah Tuhan. Ucapan meraka benar, pakaian mereka hemat dan sederhana, jalan mereka rendah diri. Mereka patuh pada Allah swt. dan mentaati-Nya, tunduk dengan menyembah-Nya.
“Mereka berjalan dalam keadaan menutup mata dari semua yang dilarang oleh Allah atas mereka, mengendalikan indra pendengar di atas kesadaran akan agama mereka, kondisi sebagian dari mereka yang tertimpa bencana seperti orang yang berlimpah kemakmuran. Mereka rela atas ketentuan Allah, andai bukan karena ajal yang telah ditetapkan Allah atas mereka, niscaya arwah mereka tidak akan menetap dalam tubuh walau hanya sekejap mata, karena mereka betul-betul rindu untuk bertemu Allah swt. dan meraih pahala dari-Nya serta karena takut akan siksa-Nya.
“Sang Pencipta begitu agung dalam diri mereka. Selain
Dia, semua kecil di mata mereka. Hubungan mereka dengan surga seperti orang yang melihatnya secara langsung. Di saat berada di dalamnya, mereka bersandar pada bantalbantal.
Dan hubungan mereka dengan neraka seperti orang yang memasukinya di saat-saat mereka tersiksa di dalamnya.

Hati mereka sedih, orang lain terjamin dari perbuatan buruk mereka, tubuh mereka ramping, kebutuhan mereka ringan, jiwa mereka suci dan bakti mereka terhadap Islam sungguh besar. Mereka bersabar hanya untuk beberapa hari yang tidak banyak, setelah itu menemui kebahagiaan yang panjang sebagai perniagaan untung yang telah dimudahkan oleh Tuhan Yang Mulia untuk mereka. Mereka adalah orang yang sopan dan pandai. Dunia menghendaki mereka namun mereka sendiri tidak menginginkannya, dunia menuntut mereka namun mereka kalahkan dunia.

“Adapun di waktu malam, kaki mereka berbaris, membaca ayat-ayat al-Qur’an begitu indah dan tartil, menasihati diri mereka sendiri dengan perumpamaan-perumpamaan yang diutarakan al-Qur’an, mengobati penyakit mereka dengan obat yang ditawarkan al-Qur’an. Kadang kala di waktu malam, mereka tapakkan dahi, telapak tangan, lutut dan ujung jari kaki mereka. Air mata mengalir deras di permukaan pipi mereka. Mereka mengagungkan Allah Yang Maha Perkasa dan Besar. Mereka berdoa sepenuh hati pada- Nya agar diselamatkan dari siksa api neraka.

“Itulah mereka di waktu malam. Adapun di waktu siang maka mereka adalah orang yang murah hati, cendekiawan, baik dan bertakw. Ketakutan mereka pada Allah swt. telah menguruslemahkan diri mereka. Mereka seperti anak-anak panah, setiap orang yang memandang mereka menyangka mereka sakit padahal mereka tidaklah demikian, atau mengira mereka tidak normal, padahal mereka hanya terlihat seperti itu karena keagungan Tuhan yang mereka saksikan.
Kerajaan-Nya yang telah menguasai mereka adalah perkara agung yang membuat hati mereka luluh dan menjadikan akal mereka lumpuh di hadapan-Nya.

“Ketika mereka kembali tegak seperti semula, segera mereka menuju Allah dengan amalan yang suci. Mereka tidak pernah rela atas perbuatan yang sedikit demi Dia, dan tidak menuntut pahala yang berlimpah atas perbuatan yang banyak.

“Mereka senantiasa menuduh diri mereka sendiri dan takut akan apa yang mereka lakukan. Apabila seseorang dari mereka dipuji, niscaya dia akan takut atas apa yang mereka katakan berupa pujian seraya berkata: ‘Aku lebih tahu diriku sendiri daripada orang lain, dan Tuhanku Maha Tahu dariku. Ya Allah, janganlah Engkau panggil dan siksa aku karena apa yang mereka katakan, jadikanlah yang terbaik dari apa yang mereka sangka, ampunilah dosadosaku yang tidak mereka ketahui. Sesungguhnya Engkau Maha Tahu hal-hal yang gaib dan Maha Penutup segala aib’.
“Itulah mereka. Salah satu tanda mereka adalah kamu melihatnya kokoh dalam agama, waspada dalam kelembutan, mukmin dalam keyakinan, serakah akan ilmu, mengerti dalam ketelitian fikih, pandai dalam kemurahan hati, hemat dalam kekayaan, indah dalam kefakiran, sabar dalam kesulitan, khusyuk dalam ibadah, memberi dalam hak yang semestinya milik dia, bersahabat dalam perniagaan, mencari nafkah dalam perkara yang halal, bergairah dalam hidayah, menjaga diri dalam syahwat dan berbakti dalam istiqomah.

“Dia tidak terperdaya oleh apa yang tidak diketahuinya, tidak melupakan perhitungan apa yang dilakukannya, senantiasa menganggap dirinya lambat dalam beramal, dan acap malu bahkan atas amal saleh yang telah dia lakukan.
“Mereka memulai pagi hari dengan kesibukan berzikir, memasuki sore hari dengan kegelisahan bersyukur, dan tidur dalam keadaan waspada dan takut akan kantuk kelalaian, kemudian kembali bangun pagi dengan bahagia atas anugerah dan rahmat yang diberikan Allah.
“Ketika merasa sulit dan berat terhadap apa yang tidak disenanginya, mereka tidak akan pernah memenuhi permintaannya atas apa yang dikehendaki. Keinginan mereka berpusat pada hal-hal yang kekal, dan kezuhudan mereka seputar hal-hal yang fana dan hilang.

“Mereka dampingkan amal dan ilmu, jodohkan ilmu dan kemurahan hati. Ketekunan mereka langgeng, kemalasan mereka jauh, angan-angan mereka pendek, ketergilinciran mereka langka, ajal mereka senantiasa dinantikan, hati mereka khusyuk mengingat Tuhan, diri mereka rela dan puas, kebodohan mereka membujang, agama mereka terjaga, penyakit mereka mati, amarah mereka terpendam, budi pekerti mereka jernih, tetangga merekea aman dari ulahnya, urusan mereka mudah, kesombongan mereka tak tersisa, kesabaran mereka jelas, zikir mereka banyak, tidak beramal baik secara riya’ atau karena pujian orang lain, juga tidak meninggalkan amal baik itu hanya karena malu.
Kebaikan mereka selalu diharapkan dan keburukan mereka selalu teredam.

“Apabila berada di antara orang-orang yang lalai, mereka akan ditulis di kelompok orang-orang yang ingat, dan apabila berada di tengah orang-orang yang ingat, mereka tidak akan ditulis di kelompok mereka yang lalai. Mereka memaafkan orang yang telah berlaku zalim terhadap mereka, santun kepada orang yang enggan memberi mereka, dan menyambung hubungan silaturahmi dengan orang yang memutusnya.

“Amal makruf mereka santun, tutur kata mereka jujur, perilaku mereka mulia, kebaikan mereka terdepan, keburukan mereka terbelakang, tipu daya mereka terjauhkan. Mereka tegar di tengah bencana, sabar di tengah kesulitan, bersyukur di tengah kemudahan, tidak berbuat semenamena terhadap orang yang dibenci, tidak menyakiti orang yang dicintai, tidak mengaku apa yang bukan miliknya dan tidak menolak hak orang lain terhadap dirinya. Mereka mengakui hak tertentu sebelum dihadirkan saksi untuk itu, mereka tidak menyia-nyiakan apa yang harus dijaga dan tidak bermain-main dengan nama panggilan atau sebutan.
“Mereka tidak bertindak sewenang-wenang terhadap orang lain, tidak dikuasai oleh iri dan dengki, tidak membahayakan tetangga dan tidak mengutuk musibah yang menimpa.
Mereka menjalankan amanat secara baik, bertindak penuh taat, bergegas pada kebajikan dan lambat pada keburukan. Mereka mengajak yang makruf sekaligus melakukannya, mereka melarang yang munkar sekaligus menghindarinya, mereka tidak memasuki perkara secara bodoh dan tidak keluar dari kebenaran karena lemah.
“Apabila diam, sungguh mereka tidak gelisah akan keadaan diam itu, begitu pula saat berbicara, mereka tidak gundah akan kata-kata yang telah diucapkan. Dan jika mereka tertawa, tidak terbahak-bahak.

“Mereka adalah orang yang qana’ah atau rela atas takdirnya, tidak dikendalikan oleh amarah, tidak dikuasai oleh hawa nafsu, tidak didominasi oleh kikir. Mereka bergaul dengan masyarakat atas dasar pengetahuan dan berpisah dari mereka atas dasar kedamaian. Mereka berbicara untuk mendapatkan manfaat, bertanya agar faham. Mereka susah atas diri mereka sendiri sementara orang lain nyaman dengan keberadaan mereka. Mereka menjamin orang lain dari diri mereka, dan mereka susahkan diri sendiri untuk meraih akhirat yang utama.

“Mereka bersabar apabila diperlakukan mazlum oleh orang lain sampai Allah menjadi penolong dan pembalas dendamnya. Mereka meneladani orang-orang mulia sebelum mereka, dan teladan bagi orang-orang setelah mereka.
“Mereka adalah pekerja-pekerja Allah, kendaraan titah dan ketaatan-Nya, lentera bumi dan makhluk-Nya. Mereka adalah Syi’ah dan kekasih kami, mereka dari kami dan bersama kami. Oh …Bbetapa kami merindukan mereka!”
Tiba-tiba Hammam bin Ubadah berteriak histeris sampai terjatuh pingsan. Orang-orang pun menggerak-gerakkan tubuhnya, namun begitu cepat ia meninggalkan dunia fana.
Semoga Allah merahmatinya!

Melihat demikian, Rabi’ menangis bercucuran air mata seraya berkata:
“Andaikan aku lebih cepat memintamu untuk menasihatiku, wahai Amirul Mukminin, daripada keponakanku! Andai aku menghendakinya lebih dulu dan aku berada di posisi dia!”

Maka Amirul Mukminin as. berkata:
“Beginilah apa yang dilakukan oleh nasihat yang sempurna dan fasih terhadap penerimanya. Sungguh demi Allah, sejak awal aku sudah mengkhawatirkan hal ini”.

Maka seorang menimpali perkataan beliau:
“Lalu bagaimana (nasihat itu) dengan dirimu sendiri wahai Amirul Mukminin (kenapa tidak berpengaruh seperti itu pada beliau)?”

Beliau menjawab:
“Celakalah dirimu, sesungguhnya setiap orang memiliki ajalnya sendiri dan dia tidak akan melampaui ajalnya itu. Masing-masing menghadapi sebab tertentu yang tidak akan dia lewati. Maka diamlah dan jangan ulangi lagi kata-kata seperti itu, karena sesungguh nya setan telah menghembuskan kata-kata itu keluar dari lidahmu”.

Perawi berkata:
“Kemudian Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. melakukan shalat pada sore itu lalu menghadiri jenazah Hammam, dan kami menyertai beliau”.[72]


Silaturahmi dan Simpati di antara Mereka


Syarat berikutnya adalah saling menyambung dan memperkuat silaturahmi, simpati dan kasih sayang serta saling menolong antarsesama. Semakin mereka kuat dalam hal tersebut di atas, pertolongan Allah pada mereka semakin besar dan niscaya Dia menjamin keamanan dari musuh, menlindungi dan membantu mereka. Kekuasaan Allah di atas dan bersama tangan atau kekuasaan mereka, karena tangan mereka telah berjabatan dan terpadu.

Suatu hari Sudair as-Sairufi menemui Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as. Di sana, dia menjumpai sekelompok sahabat beliau yang mengelilinginya. Beliau berkata:
“Wahai Sudair, Syi’ah kami senantiasa terlindung dan aman. Betapa indahnya pemandangan diri mereka dan hubungan mereka dengan Sang Pencipta! Mereka menumpahkan ketulusan pada para imam, berbakti pada saudarasaudara mereka, condong kepada yang lemah dan bersedekah pada yang membutuhkan.
“Sesungguhnya kami tidak memerintahkan kezaliman, kami memerintahkan mereka agar hidup warak dan menghindari dosa. Warak dan warak! Penawar duka sungguh penawar duka bagi saudara-saudara mereka, karena kekasih-kekasih Allah selalu tertindas sejak Dia menciptakan Adam”.[73]

Diriwayatkan dari Muhammad bin Ajlan, dia berkata:
“Suatu saat, aku bersama Abu Abdillah Ja’far Ash-Shadiq as., tiba-tiba datang seseorang masuk seraya mengucapkan salam.
Kepadanya Imam bertanya:
‘Bagaimana keadaan saudara- saudara yang kamu tinggalkan di sana?’
Orang itu menyempurnakan pujiannya untuk mereka, mengindahkan dan mengungkapkan sanjungan.
Imam Ja’far as. kembali bertanya:
‘Bagaimana kunjungan orang kaya mereka kepada orang yang miskin?’ ‘Jarang’, jawab orang itu. Imam as. bertanya lagi:
‘Bagaimana silaturahmi orang kaya mereka dengan orang-orang miskin dari keluarga mereka sendiri?’
Dia menjawab:
‘Anda menanyakan akhlak yang tidak ada di antara kami’.
Maka Imam as. menukas:
‘Lalu bagaimana mereka menganggap diri mereka sebagai Syi’ah’.[74]

Imam Hasan Askari as. berkata:
“Syi’ah Ali bin Abi Thalib as. adalah orang-orang yang di jalan Allah tidak peduli apakah kematian akan menghampiri mereka atau mereka menghampiri kematian itu sendiri. Syi’ah Ali bin Abi Thalib as. adalah mereka yang mendahulukan saudarasaudara mereka di atas diri sendiri pada saat mereka sendiri sangat membutuhkan. Mereka adalah orang-orang yang tidak dilihat oleh Allah swt. saat Dia melarang mereka, tidak kehilangan saat Dia memerintahkan mereka. Syi’ah Ali bin Abi Thalib as. adalah orang yang meneladani Ali as. dalam hal memuliakan saudara-saudara mukmin mereka”.[75]

Diriwayatkan dari Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata:
“Salinglah berhubungan, salinglah berbakti dan jadilah kalian saudara-saudara yang baik sebagaimana Allah swt. perintahkan kepada kalian”.[76]

Beliau juga berkata: “Bertakwalah kepada Allah, dan jadilah kalian saudara-saudara yang saleh, saling mencintai karena Allah, saling bersilaturahmi dan mengasihi”.[77]

Ala’ bin Fudlail meriwayatkan dari Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata:
“Abu Ja’far Imam Muhammad Baqir as. selalu berkata demikian:
‘Agungkan dan wibawakanlah sahabat-sahabatmu! Janganlah sebagian dari kalian menyerang sebagian yang lain, jangan saling mengancam, jangan saling berdengki. Hati-hatilah kalian dari kikir dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang tulus’”.[78]

Abu Ismail meriwayatkan bahwa dia pernah berkata pada Abu Ja’far Imam Muhammad Baqir as.: “Ada banyak orang Syi’ah di antara kita”. 
Maka beliau berkata:
“Apakah yang kaya dari mereka menganyayangi yang faqir miskin?
Apakah yang baik dari mereka memaafkan yang bersalah dan saling melipur lara?” 
Kukatakan pada beliau: “Tidak”.
Maka beliau berkata:
“Mereka bukanlah Syi’ah, karena Syi’ah adalah orang yang melakukan perbuatan ini”.[79]



Imbal Balik Hak-hak di antara Syi’ah

Tsiqotul Islam al-Kulaini meriwayatkan dari Abul Ma’mun al-Haritsi berkata:
“Aku katakan pada Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as.:
‘Apakah hak seorang mukmin kepada mukmin yang lain?’
Beliau menjawab:
‘Termasuk hak seorang mukmin kepada mukmin yang lain adalah memupuk cinta di dada kepadanya, menolong dia dalam harta, menggantikan dia sebagai penanggung jawab atas keluarganya, membelanya melawan orang yang menzaliminya. Apabila ada bagian dari Muslimin untuknya sedangkan dia dalam keadaan absen, maka dia mengambilkan bagiannya. Jika dia meninggal, mukmin lain menziarahi makamnya. 

Dan hendaknya seorang mukmin tidak menzalimi mukmin yang lain, tidak menipunya, tidak mengkhianatinya, tidak menghinakannya, tidak membohonginya, tidak berkata kasar dan kotor kepadanya. Apabila dia mengeluarkan kata-kata itu kepadanya, niscaya hubungan wilayah di antara mereka tidak ada lagi. Apabila dia berkata padanya ‘kamu adalah musuhku’. maka salah satu dari mereka telah kafir, dan apabila dia menuduhnya maka meleburlah iman dalam hatinya sebagaimana garam melebur dalam air”.[80]

Al-Kulaini juga meriwayatkan dari Aban bin Thalib berkata:
“Suatu saat aku berthawaf bersama Imam Ja’far as. Tiba-tiba datang seorang teman menghampiriku dan mengajakku pergi bersamanya untuk keperluan tertentu. Dia menunjukku tapi aku enggan untuk meninggalkan Imam Ja’far as. dan pergi bersamanya. Maka ketika kita sedang bertawaf dia terus mengisyaratkanku, sampai akhirnya Abu Abdillah juga melihatnya, segera beliau berkata padaku:
‘Wahai Aban, apakah dia menginginkanmu dengan isyarat itu?’
Kujawab iya.
Beliau bertanya lagi:
‘Siapakah dia?’
Kukatakan:
‘Salah seorang sahabatku’.
Maka beliau berkata:
‘Kalau begitu, datangilah dia!’
Kukatakan pada beliau:
‘Lalu apakah aku putus thawafku ini?’ 
Beliau menjawab:
‘Iya’.
Kembali kubertanya:
‘Walaupun thawaf wajib?’
Beliau menjawab:
‘Iya’. Aban berkata:
‘Akhirnya, aku pun pergi bersama sahabatku itu’.
“Setelah itu aku menemui Imam Ja’far as. dan bertanya:
‘Beritahu aku akan hak seorang mukmin kepada mukmin yang lain?’ 
Maka beliau berkata:
“Wahai Aban, janganlah kamu menolaknya!” 
Kukatakan padanya:
“Baiklah, semoga aku menjadi tebusan untukmu!” 
Beliau berkata lagi:
“Wahai Aban, janganlah kamu menolaknya”.
Kuulang:
“Baiklah, semoga aku menjadi tebusan dan korban untukmu!”, dan belum sempat aku berbicara lagi beliau kembali berkata:
“Wahai Aban, hendaknya kamu bagi separuh dari hartamu untuk dia”. Kemudian beliau melihat reaksi pada diriku seraya melanjutkan perkataannya: “Wahai Aban, bukankah kamu tahu bahwa Allah swt. menyinggung orang-orang yang berkorban mendahulukan orang lain daripada diri mereka sendiri?”[81] Kukatakan: “Baiklah, semoga aku menjadi tebusan dan korban untukmu!” Maka beliau berkata: “Adapun jika kamu membagi separuh hartamu untuk dia, kamu masih belum mengutamakan dia di atas dirimu sendiri karena kamu dan dia masih sama; kamu baru terhitung telah mendahulukan dia atas dirimu sendiri jika kamu berikan separuhnya lagi padanya”.[82]

Pernah Imam Ali Ridha as. ditanya:
“Apakah hak seorang mukmin kepada mukmin yang lain?”.
Beliau menjawab:
“Termasuk hak mukmin kepada mukmin yang lain adalah merengkuh cinta di dada kepadanya, menolongnya dengan harta, membelanya melawan orang yang berlaku zalim terhadap dirinya. Dan apabila ada pembagian untuk Muslimin di saat saudaranya absen, hendaknya dia mengambilkan jatah itu untuknya, jika wafat dia menziarahi kuburnya. Hendaknya dia tidak berbuat zalim padanya, tidak memperdayanya, tidak mengkhianatinya, tidak menghinakannya, tidak mengumpatnya di belakang, tidak membohonginya, dan tidak berkata kasar atau kotor kepadanya.

Jika dia mengeluarkan kata-kata itu kepadanya, niscaya hubungan wilayah di antara mereka gugur, dan apabila dia mengatakan padanya kamu adalah musuhku, maka salah satu dari mereka telah kafir, dan jika dia menuduhnya maka iman dalam hatinya telah melebur sebagaimana garam melebur dalam air.

“Barangsiapa yang memberi makan orang mukmin, baginya lebih utama dari membebaskan budak. Barangsiapa yang memberi minum orang mukmin, Allah memberinya minuman dari rahiqun makhtum (anggur surga yang murni). Barangsiapa yang memberi pakaian orang mukmin dan menyelamatkannya dari ketelanjangan, Allah akan memakaikannya sutera sundus dan harir surgawi. 

Barangsiapa memberi hutang kepada orang mukmin dengan niat tulus demi Allah swt., maka Allah akan menghitungnya sederajat dengan sedekah sampai dia membayarnya. Barangsiapa yang menyelesaikan salah satu kesulitan orang mukmin di dunia, Allah akan menyelesaikan salah satu kesulitannya di akhirat. Barangsiapa memenuhi kebutuhan orang mukmin, baginya lebih utama dari puasa-puasa dan i’tikafnya di Masjidil Haram. Sungguh posisi seorang mukmin seperti betis dan tulang punggung pada tubuh”.

Suatu saat Abu Ja’far Imam Muhammad Baqir as. pergi menghadap Ka’bah seraya berkata:
“Puja dan puji ke hadirat Allah yang telah memuliakanmu, menghormatkanmu, mengagungkanmu, dan menjadikanmu tempat pertemuan umat manusia yang aman, tapi demi Allah kehormatan orang mukmin jauh lebih agung dari kehormatanmu”.

Pernah seorang baduwi Arab menghampiri beliau dan mengucapkan salam, lalu saat akan berpisah dia berkata kepada beliau: 
“Wasiatilah aku!”

Maka beliau berkata:
“Aku berwasiat kepadamu dengan takwa kepada Allah dan bakti pada saudara mukminmu. Maka cintailah untuknya apa yang kamu cintai untuk dirimu. Apabila dia memintamu berilah, jika dia mencegah diri darimu maka berlapanglah padanya, janganlah kamu membosankannya maka dia tidak akan mebosankanmu. Jadilah kamu lengan dan pembela dia, apabila dia mendapatimu dalam keadaan tidak senang jangan berpisah darinya sampai dia keluarkan dengki dan iri dari hatinya. Jika dia tidak ada di tempat, jagalah dia dalam ketiadaannya. Jika dia hadir, maka lindungilah dia, bantulah dia, kunjungi dan muliakanlah dia serta berbelas kasih kepadanya, karena sesungguhnya dia adalah darimu dan kamu dari dirinya. Hendaknya kamu rela membatalkan puasa dan berbuka karena ingin menyenangkan saudara mukminmu, karena memasukkan kebahagiaan ke dalam hati seorang mukmin lebih utama dari puasa dan lebih besar pahalanya”.[83]

Ada juga riwayat tentang hak-hak antara saudara dengan saudaranya yang lain. Dari Ibrahim bin Umar al- Yamani meriwayatkan dari Abu Abdillah Imam Ja’far Ash- Shadiq as. berkata:
“Janganlah dia kenyang saat saudaranya lapar, janganlah dia lega saat saudaranya kehausan, janganlah dia berpakaian saat saudaranya telanjang. Apabila kamu membutuhkan sesuatu maka pintalah dia, jika dia memintamu maka berilah dia. Jangan bosan berbuat baik padanya dan hendaknya dia juga demikian padamu. Jadilah kamu tulang punggungnya karena dia pun tulang punggung bagimu. Apabila dia absen jagalah dia dalam ketiadaannya, jika dia hadir maka kunjungilah dia, besarkan dan muliakan dia, karena sesungguhnya dia darimu dan kamu dari dia. Apabila dia mencela maka jangan berpisah darinya sampai dia keluarkan dengki dan dendamnya dari hatinya.

Jika dia mendapatkan kebaikan maka pujilah Allah, jika dia ditimpa bencana maka bantulah dia, dan jika dia terperdaya maka tolonglah dia. Apabila salah seorang berkata kasar atau kotor pada saudaranya maka tidak ada lagi hubungan wilayah antara mereka berdua, dan jika dia berkata ‘kamu adalah musuhku’ maka salah satu dari mereka berdua telah kafir, dan jika dia menuduhnya maka iman di hatinya telah larut sebagaimana garam larut dalam air”.[84]

Mu’alla bin Khunais meriwayatkan:
“Aku katakan pada Abu Abdillah Ja’far Ash-Shadiq as.:
‘Apakah hak seorang mukmin kepada mukmin yang lain?’ 

Beliau menjawab:
‘Ada tujuh hak dan kewajiban, tak satu pun dari hal-hak itu kecuali juga wajib bagi dirinya. Apabila dia melanggarnya maka dia telah keluar dari wilayah Allah dan meninggalkan ketaatan pada-Nya serta tidak akan mendapatkan apa-apa di sisi-Nya’. Kukatakan kepadanya: ‘Semoga aku jadi tebusanmu! Katakanlah kepadaku tujuh hak dan kewajiban itu?’ 
Beliau berkata:
‘Wahai Mua’lla, Sungguh aku sayang padamu, aku khawatir kamu menghilangkan dan tidak menjaganya, aku khawatir kamu tahu tapi tidak mengamalkannya’.
Aku katakan:
‘Tiada kekuatan kecuali milik Allah’.
Beliau melanjutkan:
‘Hak paling ringan dari semua itu adalah hendaknya kamu mencintai untuk dia apa yang kamu cintai untuk dirimu sendiri, dan kamu benci bagi dia apa yang kamu benci bagi dirimu sendiri.
“Hak kedua, hendaknya kamu berusaha memenuhi kebutuhannya, memuaskan keridhoannya dan tidak menentang ucapannya.
“Hak ketiga, hendaknya kamu menyambungnya dengan jiwa dan hartamu, tangan dan kakimu serta lidahmu.
“Hak keempat, hendaknya kamu menjadi mata, petunjuk dan cermin bagi dirinya.
“Hak kelima, hendaknya kamu tidak kenyang di saat dia lapar, tidak berpakaian di saat dia telanjang, tidak lega di saat dia kehausan.
“Hak keenam, apabila kamu memiliki perempuan dan pelayan, sementara saudaramu tidak memiliki baik perempuan sebagai istri maupun pelayan, maka kirimlah pelayanmu untuk mencucikan bajunya, menyediakan makanannya dan merapikan ranjangnya, semua itu ditetapkan antara kamu dan dia.

“Hak ketujuh, hendaknya kamu bebaskan sumpahnya, kamu balas undangannya, kamu hadiri jenazahnya, kamu jenguk di kala dia sakit, kamu kerahkan tubuhmu untuk memenuhi kebutuhannya. Jangan biarkan dia kekurangan sehingga memintamu, tetapi bergegaslah terlebih dahulu untuk memenuhi kebutuhannya sebelum dia meminta.

Apabila ini dilakukan, sungguh kamu telah menyambungkan wilayahmu dengan wilayahnya, dan sungguh kamu telah menyambungkan wilayahnya dengan wilayah Allah”.[85]

Diriwayatkan dari Amirul Mukminin as. berkata:
“Seorang mukmin ketika mengetahui saudara mukmin yang lain membutuhkan tidak akan membiarkannya sampai terpaksa meminta kepadanya. Saling berkunjunglah kalian, saling mengasihilah kalian, saling berimbal baliklah kalian!
Janganlah kalian menjadi orang munafik yang menguraikan apa yang pada hakikatnya tidak dia lakukan”[86] .

Muhammad bin Muslim meriwayatkan:
“Ada seorang Baduwi mendatangiku, lalu kami bersama-sama menemui Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as. Ketika hendak berpisah, orang Baduwi itu berkata:
“Wasiatilah aku!” Abu Abdillah berkata: “Aku berwasiat kepadamu agar bertakwa kepada Allah swt. dan berbakti pada saudara muslimmu, cintailah untuknya apa yang kamu cintai untuk dirimu sendiri, bencilah untuknya apa yang kamu benci untuk dirimu sendiri. Apabila dia memintamu berilah, Jika dia tidak sudi memberimu tetaplah lapang untuk memberinya! Janganlah kamu bosan untuk berbuat santun kepadanya, karena sesungguhnya dia tidak akan bosan berbuat baik kepadamu.

Jadilah tangan pembela baginya, karena sesung-guhnya dia adalah lengan pembela bagimu. Apabila dia mendapatkan darimu sesuatu yang tidak berkenan, maka janganlah berpisah darinya sampai kekecewaannya hilang dari hatinya, jika dia absen jagalah dia dalam ketiadaannya, jika dia hadir bantulah, tolonglah dan kunjungilah dia! Bersikaplah lemah lembut kepadanya dan muliakanlah dia, karena sungguh dia dari kamu dan kamu dari dia”.[87]
Jabir meriwayatkan dari Abu Ja’far Imam Muhammad Baqir as. berkata: 
“Hendaknya orang kuat dari kalian membela orang yang lemah, orang yang kaya dari kalian berbelas kasih kepada orang yang faqir, hendaknya setiap orang dari kalian menasihati saudaranya sebagaimana menasihati diri sendiri, simpanlah rahasia-rahasia kami, dan jangan kalian bebankan masyarakat pada leher kami”.[88]


Kehormatan, Cinta, Nasihat dan Belas Kasih

Imam Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq as. berkata: “Tidak ada sesuatu yang lebih utama bagi hamba Allah daripada menjalankan hak seorang mukmin”.
Beliau juga berkata: “Sesungguhnya Allah swt. memiliki beberapa hal yang harus dijaga: kehormatan kitab Allah, kehormatan Rasulullah, kehormatan Baitul Maqdis dan kehormatan orang Mukmin”.[89]
Abdul Mukmin Anshari meriwayatkan:
“Aku menemui Abul Hasan Imam Musa Kadzim as dan saat itu Abdullah bin Muhammad Ju’fi bersamanya. Maka aku ter-senyum padanya. Abul Hasan berkata: “Apakah kamu mencintainya?”.
Kujawab:
“Iya, dan aku mencintai dia tidak lain karena kalian, Ahlulbait.” Maka beliau berkata:
“Dia adalah saudaramu, sesungguhnya orang mukmin adalah saudara mukmin yang lain seibu dan seayah”.[90]

Dalam Nawadirnya Rawandi disebutkan: “Dengan sanad Rawandi dari Imam Musa bin Ja’far as., dari ayahayahnya as. berkata: 
‘Rasulullah saw. bersabda: “Seorang Mukmin adalah cermin bagi saudara mukmin yang lain; dia menasihatinya ketika absen, dan dia jauhkan apa yang dibencinya ketika hadir serta melapangkan tempat duduk baginya”.
Dalam kitab al-Mukmin karya Abu Said al-Husain al- Ahwazi disebutkan dengan sanadnya dari Abu Abdillah as. berkata: 
“Tidak, demi Allah, sampai kapanpun seorang mukmin tidak akan menjadi mukmin sejati sampai dia seumpama satu tubuh dengannya, apabila satu otot darinya terpukul maka otot-otot yang lain pun terganggu”.[91]


Toleransi di antara Syi’ah

Disinyalir dalam tafsir Imam Hasan Askari as.:
“Tak seorang pun lelaki atau perempuan yang berwilayah pada Muhammad saw. dan keluarganya serta memusuhi lawan-lawan mereka kecuali dia telah mengambil benteng yang kokoh dan perisai yang kuat dari siksa Allah, dan tak seorang pun lelaki atau perempuan yang ramah tamah terhadap hamba Allah dengan sebaik-baik pergaulan dan tidak terjerumus dalam kebatilan serta tidak keluar dari kebenaran karena pergaulan tersebut melainkan Allah swt. telah menjadikan nafasnya sebagai tasbih, membersihkan dan mengembangkan amalnya, memberinya anugerah karena kesabarannya dalam menyimpan rahasia kami dan menahan amarah dari apa yang didengarnya dari musuh-musuh kami, serta menjadikan bajunya seperti baju orang yang berlumuran darah di jalan Allah swt.

“Dan tidak ada seorang pun yang menerima hak-hak saudara atas dirinya kemudian memenuhi hak-hak itu sekuat tenaga, dan memberi saudara-saudaranya apa yang dia bisa, merestui dengan memaafkan mereka serta meninggalkan penyelidikan yang merugikan mereka sehingga tidak ada satu kesalahan pun dari mereka yang tidak dia ampuni, melainkan Allah swt. akan berkata padanya di Hari Kiamat: 
‘Wahai hamba-Ku, kamu telah memenuhi hak-hak saudaramu dan kamu tidak mencari-cari kesalahan mereka yang merupakan hakmu atas mereka, maka Aku lebih derma, mulia dan layak untuk berupa kemurahan dan kemuliaan serta kedermawanan yang kamu lakukan. Maka hari ini Aku akan penuhi hak yang telah Kujanjikan padamu dan Aku Kutambahkan anugerah-Ku yang luas kepadamu, dan Aku tidak akan menyelidiki kekuranganmu padaKu di sebagian hak-hak-Ku’.
“Beliau (Imam Hasan Askari as.) berkata:
“Maka Allah menggabungkan orang itu bersama Nabi Muhammad saw. dan keluarga serta sahabatnya, dan menjadikannya dari Syi’ah yang terbaik”.[92]


Tidak Mengganggu Para Setia Kami dan Tidak Saling Melukai

Diriwayatkan dari Imam Hasan bin Ali as., beliau berkata:
“Sesungguhnya taqiyah adalah sesuatu yang dengannya Allah memperbaiki umat. Pelaku taqiyah mendapatkan pa hala yang setimpal dengan pahala amal mereka, sedangkan meninggalkan taqiyah adalah perbuatan yang menghancurkan umat, peninggal taqiyah seperti sekutu musuh dalam menghancurkan mereka. Sesungguhnya seseorang yang mengenal hak-hak saudara akan membuatnya tercinta di sisi Allah Yang Maha Pengasih, dan akan mengagungkan kedekatannya di sisi Allah Maha Raja lagi Maha Penguasa. Dan apabila seseorang meninggalkan tugas untuk memenuhi hak-hak tersebut, Allah Yang Mahakasih akan murka padanya dan merendahkan kedudukannya di sisi-Nya, Zat Yang Maha Mulia lagi Maha Pengasih”.[93]

Abduladzim Husaini meriwayatkan dari Abul Hasan Imam Ridho as. berkata:
“Wahai Abdul Adzim, sampaikan salam pada wali-waliku dan katakan pada mereka, janganlah kalian membuka jalan bagi setan terhadap diri mereka sendiri, perintahkan mereka untuk berbicara jujur dan melaksanakan amanat dengan setia, perintahkan mereka untuk diam dan menghindari perdebatan dalam hal-hal yang tidak penting. Hendaknya mereka saling peduli satu sama yang lain dan saling mengunjungi, karena sesungguhnya itu adalah kedekatan padaku. Jangan menyibukkan diri dengan memecah belah, karena sesungguhnya aku bersumpah pada diriku, barangsiapa yang melakukan hal itu dan membuat marah salah seorang dari pengikutku, aku akan berdoa kepada Allah agar menyiksa dia di dunia sepedih-pedihnya dan semoga di akhirat kelak tergolong orang yang merugi.

“Beritahu mereka bahwa Allah mengampuni orang yang berbuat baik dari mereka, dan memaafkan mereka yang bersalah! Perhatikanlah bahwa siapa saja yang mengganggu salah seorang pengikutku atau berniat jahat padanya, maka Allah tidak akan mengampuninya sampai dia berbalik dari perbuatan dan niat jahat tersebut, dan akan lebih baik baginya jika dia berpaling, namun jika tidak, hakikat iman akan tercabut dari hatinya, dia telah keluar dari wilayahku, dan tidak akan mendapatkan bagian apa pun dari wilayah kami, Ahlulbait, dan aku berlindung kepada Allah dari hal itu”.[94]

Diriwayatkan dalam kitab Qodlo’ul Huquq bahwa Ali bin Abi Thalib as. berkata dalam surat wasiatnya kepada Rifa’ah bin Syidad al-Bajli yang pada waktu itu bertugas sebagai hakim di Ahwaz: “Lemah lembutlah kepada orang mukmin selama kamu mampu, karena sesung-guhnya punggung dia adalah lindungan Allah, jiwanya mulia di sisi Allah, orang yang berbakti padanya akan mendapatkan pahala Allah, orang yang berbuat dzalim padanya adalah musuh Allah, maka janganlah kamu menjadi musuhnya!”
Rasulullah saw. bersabda:
“Janganlah orang mukmin membiarkan saudaranya terpaksa meminta padanya ketika mengetahui dia punya keperluan”.[95]


Mukmin bagi Mukmin yang Lain Seperti Satu Tubuh 

Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata:
“Bagi segala sesuatu terdapat hal yang membuatnya tenang, dan sesungguhnya orang mukmin akan tenang dengan saudara mukminnya sebagaimana burung merasa tenang dengan sejenisnya”.[96]

Abu Ja’far Imam Muhammad Baqir as. berkata:
“Orangorang mukmin dalam bakti, kasih sayang dan lemah lembut lakasana satu tubuh, apabila satu bagiannya mengaduh seluruh anggota tubuh yang lain juga terpanggil, terjaga dan demam”.[97]

Mu’alla bin Khunais meriwayatkan dari Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Cintailah untuk saudara muslimmu apa yang kamu cintai untuk dirimu sendiri, apabila kamu butuh mintalah kepadanya, dan apabila dia memintamu maka berilah dia! Janganlah kamu bosan untuk berbuat baik padanya dan hendaknya dia juga tidak bosan padamu dalam kebaikan, jadilah punggung baginya karena sesungguhnya dia adalah punggung bagimu, jagalah dia dalam ketiadaannya, dan apabila dia hadir kunjungilah dia. Agungkan dan muliakanlah dia, karena sesungguhnya dia adalah darimu dan kamu adalah dari dia. Apabila dia mencelamu jangan berpisah darinya sampai kesal itu keluar dari hatinya, jika dia memperoleh kebaikan pujilah Allah swt., dan jika dia tertimpa bencana santunilah dia, tanggunglah dia dan tolonglah”.[98]


Bersilaturahmi dan Bergaul Baik dengan Seluruh Muslimin

Ahlulbait as. betul-betul memperhatikan masalah ini. Ahlulbait tidak rela bila Syi’ah mereka mengisolir diri dari lingkungan umum umat Islam yang luas. Mereka adalah bagian yang tak terpisahkan dari umat ini, adapun perbedaan dalam pokok, cabang, golongan dan wilayah jangan sampai menyebabkan keterpisahan dari masyarakat muslim yang lain … Karena umat ini, dengan segala kecenderungan dan mazhab di dalamnya, adalah umat yang satu.

﴿ اِ م ن هذِهِ اُممتُكُم اُممةً وَاحِدَةً وَ أنَا رَبُّكُم فَاعبُدُونَ ﴾

“Sesungguhnya umat kalian ini adalah satu umat dan Aku adalah Tuhan kalian maka sembahlah Aku”[99] .

Mereka merupakan kekuatan besar di muka bumi yang menghadapi tantangan-tantangan besar, dan sesungguhnya tantangan-tantangan itu tidak bisa dihadapi dan dituntaskan begitu saja kecuali hanya umat yang satu ini mampu menghadapinya dengan satu sikap dalam satu barisan. Sejarah mencatat bagaimana para imam Ahlulbait as. senantiasa hidup bersama masyarakat muslim yang lain.

Dengan berbagai mazhab dan kecenderungan masingmasing, masyarakat berkumpul bersama di seputar imam as. dan belajar dari Ahlulbait as. Jika kita hitung ulama yang belajar pada Imam Muhammad Baqir dan Imam Ja’far Ash- Shadiq as., kita akan mendapatkan mereka dalam jumlah yang sangat besar. Majelis dan pertemuan mereka penuh dengan ulama muslim dan perawi hadis nabi serta alim ulama dengan berbagai bidang dari berbagai negeri Hal ini diketahui dengan jelas oleh siapa saja yang melakukan telaah atas sejarah dan hadis imam-imam Ahlulbait as.

Selain itu, fakta ini menunjukkan keterbukaan dan pergaulan religius yang bebas dari segala kecenderungan dan aliran-aliran Islam manakala Ahlulbait as. senantiasa menjelaskan garis pemikiran yang benar kepada kaum Muslimin, khususnya kepada Syi’ah, serta memperinci pokok dan cabang pemikiran tersebut secara teliti.

Hadis Ahlulbait as. penuh dengan anjuran yang terangterang mengajak pada sikap terbuka dengan Muslimin dan pergaulan positif, silaturahmi, kasih sayang dan gotong royong bersama mereka. Berikut ini beberapa contoh hadis Ahlulbait as. tentang ajakan tersebut:

Muhammad bin Ya’qub Kulaini dengan silsilah sanad yang sahih dalam kitab al-Kafi meriwayatkan hadis dari Abu Usamah Zaid as-Syahham berkata, bahwa Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Sampaikanlah salam kepada siapa saja dari mereka yang kamu pandang patuh padaku dan mendengarkan kata-kataku, wasiatkanlah pada mereka takwa kepada Allah swt., warak dalam beragama, usaha keras demi Allah, jujur dalam berbicara, menjalankan amanat, lama dalam sujud dan baik dalam bertetangga, karena Nabi saw. datang dengan membawa ajaran-ajaran tersebut.

Laksanakanlah amanat kalian secara penuh untuk orang yang mempercayakanmu agar menjaganya, baik dia orang yang saleh maupun orang yang jahat, karena Nabi saw. senantiasa menganjurkan masyarakat agar menyelesaikan kontrak yang telah disepakati bersama.

“Jagalah silaturahmimu dengan keluarga, hadirilah jenazah mereka, jenguklah mereka yang sakit, penuhilah hakhak mereka, karena orang yang warak dalam beragama, jujur dalam bertutur kata, setia dalam amanat dan berbudi pekerti kepada masyarakat, niscaya orang lain akan menyebutnya sebagai Ja’fari (pengikut Imam Ja’far Ash-Shadiq as.), dengan begitu dia telah menggembirakanku dan membuat hatiku senang. Mereka akan mengatakan, inilah kader Ja’far as. Demi Allah, ayahku bercerita kepadaku bahwa pernah ada seorang Syi’ah (pengikut Ali as.) yang hidup di sebuah suku dan dia menjadi kebanggaannya, karena dia orang yang paling terpercaya, orang yang paling menjaga hak-hak orang lain, orang yang paling jujur dalam bertutur, dan kepadanyalah masyarakat mempercayakan wasiat dan amanat mereka, apabila kamu bertanya pada suku itu niscaya mereka akan menjawab: 
‘Siapakah orang sepertinya! Sungguh dia paling terpercaya dalam menjaga amanat dan paling jujur dalam bertutur’”.[100]

Demikian juga diriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Muawiyah bin Wahab berkata: “Kukatakan pada Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as.:
‘Bagaimana seyogyanya kita berbuat dengan kaum kita sendiri, dan antara kita dengan teman pergaulan di masyarakat umum?’
Beliau menjawab:
‘Tunaikanlah amanat kalian kepada mereka, berilah kesaksian untuk dan terhadap mereka, tengoklah mereka yang sakit dan hadirilah jenazah mereka!”[101]

Begitu juga diriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Muawiyah bin Wahab berkata: “Kukatakan pada Imam Ja’far Ash-Shadiq as.: 
‘Bagaimana seyogyanya kita berbuat dengan suku kita serta teman bergaul di masyarakat sedangkan mereka yang tidak sepaham dengan kita?’ 
Beliau menjawab:
“Lihatlah imam-imam yang kalian ikuti dan berbuatlah seperti yang mereka perbuat. Demi Allah, mereka menjenguk orang yang sakit di tengah masyarakat, menghadiri jenazah mereka, memberikan kesaksian untuk dan terhadap mereka serta menepati amanat mereka”.[102]

Kulaini dalam al-Kafi menukil sebuah riwayat dengan sanad yang sahih dari Habib Hanafi berkata: “Aku mendengar Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata:
‘Hendaknya kalian warak dan aktif, hadirilah jenazah masyarakat, jenguklah orang sakit, hadirlah bersama dalam masjid-masjid mereka, cintailah untuk mereka apa yang kalian cintai untuk diri kalian sendiri. Tidakkah malu bila tetangga seorang dari kalian menjaga haknya sementara dia tidak memperhatikan hak tetangga tersebut!’”[103]

Riwayat lain dengan sanad yang sahih juga dari Murazim yang melaporkan bahwa Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Hendaknya kalian shalat di masjidmasjid, bertetangga yang baik dengan masyarakat, memberikan kesaksian, dan menghadiri jenazah. Semua itu ke wajiban kalian terhadap masyarakat umum, karena setiap orang membutuhkan masyarakat sepanjang hidupnya, dan sesungguhnya sebagian dari masyarakat adalah untuk sebagian yang lain”.[104]

Adil dan Seimbang

Salah satu kriteria Syi’ah Ahlulbait as. adalah adil dalam segala hal, seimbang, dan selalu menjaga keseimbangan dalam pemikiran, pemahaman dan obyektifitas. Seorang Syi’ah akan menghindari sikap yang ekstrim, berkurangan dan berlebihan, kelemahan emosional dan reaktivitas.

Umar bin Said bin Hilal berkata: “Jadilah kelompok menengah, orang yang kelewatan akan kembali pada kalian dan orang yang belum sampai akan bergabung bersama kalian. Ketahuilah wahai Syi’ah keluarga Muhammad saw., tidak ada hubungan kekeluargaan antara kami dan Allah swt., tidak ada hujjah pada kami atas Allah,karena sesungguhnya kedekatan pada Allah tidak akan diperoleh kecuali dengan ketaatan pada-Nya, maka barang siapa yang patuh pada-Nya niscaya wilayah kami akan bermanfaat baginya, dan barang siapa yang bermaksiat padanya niscaya wilayah kami tidak akan bermanfaat baginya”.
Perawi berkata: “Kemudian beliau mengalihkan perhatiannya padaku seraya berkata: “Jangan terperdaya, jangan pula berpecah belah!”[105]

Kedisiplinan Sosial-Politik

Sepanjang sejarah, Syi’ah Ahlulbait as. telah melewati masamasa politik yang sangat menekan, khususnya di era dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Situasi yang betul-betul krisis ini menuntut kedisiplinan yang ketat dalam urusan politik dan keamanan, serta mengharuskan mereka untuk menerapkan arahan-arahan politis. Imam-imam Ahlulbait as. juga selalu menganjurkan mereka untuk komit dan disiplin.

Andai saja Ahlulbait as. tidak memberikan arahanarahan tersebut, dan andai saja pengikut Ahlulbait as. tidak komit pada arahan-arahan itu, tentu dinasti Umayyah dan Abbasiyah telah mengubur habis mazhab Ahlulbait as. sehingga warisan budaya, pemikiran dan tata hukum mazhab yang besar ini tidak tersisa lagi sekarang ini.

Maka itu taqiyah merupakan salah satu yang terutama dari sekian arahan mereka, sebagaimana juga menyimpan rahasia, bersembunyi, menahan diri dari obrolan yang tidak terarah, diam, dan terlihat lengah. Semua ini adalah arahanarahan penting dari ajaran Ahlulbait as. untuk melindungi kelestarian madrasah Syi’ah.

Kerugian yang ditanggung oleh mazhab Ahlulbait dan Syi’ah mereka tidaklah kecil, lantaran sebagian kelompok dari mereka tidak mengindahkan arahan-arahan tersebut di atas. Berikut ini kami ingin menyebutkan beberapa contoh dari arahan Ahlulbait as. untuk Syi’ah mereka dalam rangka menjaga kedisiplinan politik.

Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata:
“Ujilah Syi’ah kami di waktu shalat; bagaimana mereka menjaga waktu-waktunya?
Dan bagaimana mereka menjaga rahasia kami dari musuh-musuh kita?”.[106]

Sulaiman bin Mihran meriwayatkan: “Ketika aku menemui Imam Ja’far Ash-Shadiq as., ada beberapa orang Syi’ah bersama beliau, dan beliau berkata: 
‘Wahai orang-orang Syi’ah, jadilah kalian hiasan bagi kami dan janganlah men jadi noda atas kami, jagalah lidah kalian, katuplah mulut kalian dari turut campur dan ingin tahu urusan orang lain!”[107]

Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Ingin sekali kutebus dua karakter dalam Syi’ah kami, Ahlulbait as. dengan daging tanganku. Kedua karakter itu adalah cepat bereaksi,dan lemahnya penyimpanan rahasia”.

Beliau juga berkata: “Ada sebuah kelompok yang menganggapku sebagai imam mereka. Demi Allah, aku bukanlah imam mereka, setiap kali aku menutupi sesuatu mereka membongkarnya, aku katakan demikian dan demikian tapi mereka mengatakan bukan begitu tetapi demikian dan demikian”.[108]
Imam Muhammad Baqir as. berkata:
“Wahai Muyassar,maukah kamu ku beri tahu siapa Syi’ah kami?” 
Dia menjawab:
“Tentu, semoga diriku menjadi tebusan jiwamu!”
Beliau melanjutkan: “Mereka adalah benteng-benteng yang kokoh, perbatasan yang aman, pemurah hati yang teguh.
Mereka tidak menyingkap rahasia dan menyebarkannya dan bukan orang kasar yang mencari perhatian orang lain.
Merekalah rahib di malam hari dan tuan di siang hari”[109] .

Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Bertakwalah kepada Allah dan lindungilah agamamu dengan taqiyah!”[110]

Beliau juga berkata: “Demi Allah, Dia tidak disembah dengan sesuatu yang lebih dicintai-Nya daripada khib’”.
“Apakah khib’ itu”, tanyaku. Beliau menjawab: “Taqiyah”.[111]

Diriwayatkan dari Imam Ali Zainul Abidin berkata:
“Ingin sekali kutebus dua sifat kaum Syi’ah kami dengan sebagian daging hastaku. Dua karakter itu adalah cepat bereaksi dan lemah dalam menyembunyikan rahasia”.[112]

Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Masyarakat dianjurkan untuk menjaga dua karakter namun mereka mengacuhkannya sehingga mereka tidak memperoleh apa pun.
Dua karakter itu adalah sabar dan menjaga rahasia”.[113]

Salman meriwayatkan dari Khalid berkata: “Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: ‘Wahai Sulaiman, sesungguhnya kalian berada di atas agama. Maka barangsiapa yang menjaga rahasia niscaya Allah akan memuliakan dia, dan barang siapa yang menyingkapkannya, Allah akan menghinakannya”.[114]

Imam Muhammad Baqir as. berkata: “Demi Allah, sahabat tercintaku adalah dia yang lebih amanat, lebih fakih dan pandai dalam agama, dan lebih menjaga atau menyimpan pembicaraan kami”.[115]

Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Cukup kalian katakan apa yang kami katakan dan diam terhadap apa yang kami diamkan”.

Beliau juga berkata: “Kami tidak membunuh orang yang mengungkapkan rahasia pembicaraan kami secara salah, melainkan kami membunuhnya secara sengaja”.[116] Kalimat ini sungguh mengherankan; setiap orang yang membacanya akan berhenti di hadapannya.

Mereka yang menyebarluaskan rahasia pengikut Ahlulbait as. di tengah masyarakat luas dan menebar di basisbasis kezaliman dinasti Abbasiyah sama seperti orang yang secara sengaja menyodorkan Syi’ah dan pengikut Ahlulbait as. kepada mereka untuk diburu dan dikejar oleh penguasa zalim.

Boleh jadi hal itu sugguh-sungguh tidak berangkat dari niat yang jahat. Terkadang mereka lakukan demikian atas dasar cinta dan suka berbicara kepada semua orang tentang Ahlulbait as. dengan harapan: masyarakat menyambut baik kedatangan Ahlulbait as., menerima ajaran mereka, menyebarluaskan mazhab mereka. Semua itu hanya didasari oleh cinta serta kasih sayang.

Namun demikian, menyingkapkan rahasia komunitasi Syi’ah Ahlulbait as. dan basis-basis kekuatan mereka secara tidak bertanggung jawab senantiasa membuat penguasa memburu kelompok-kelompok kecil Syi’ah dalam rangka menghancurkan dan memberhangus mereka. Karena itu, Ahlulbait as. sering mengkhawatirkan penyebaran rahasia dan pendirian lemah dalam menjaga rahasia yang ada pada diri sahabat dan Syi’ah mereka. Padahal, Ahlulbait as. sudah berulang kali menekankan pentingnya menjaga rahasia dan menahan diri dari ingin tahu atau terlibat dalam urusan orang lain.[]



ELEMEN-ELEMEN WILAYAH KEPADA AHLULBAIT AS.


Pembicaraan kita selanjutnya akan berkisar tentang elemenelemen keberwilayahan (berpegang teguh) pada Ahlulbait as. Kita usahakan untuk lebih sering menarik unsur-unsur itu dari teks-teks doa ziarah Ahlulbait as. itu sendiri. Karena teks-teks yang diriwayatkan dari mereka as. ini kaya akan muatan pemikiran dan konsep tentang wilayah atau kepengikutan terhadap Ahlulbait as. dan baro’ah atau penolakan musuh-musuh mereka. Dengan merenungkan teks-teks doa ziarah itu, kita akan dapat menarik sebuah pandangan yang menyempurna dari wilayah dan baro’ah tersebut.

Namun pada bagian ini kita tidak ingin mempelajarinya secara luas. Tulisan ringkas ini tidak cukup ruang untuk mempelajarinya secara detail dan mengajukan konsep yang terperinci tentang dua hal di atas. Kita hanya mengisyaratkan beberapa elemen wilayah atau kepengikutan terhadap Ahlulabait as. yang dimengerti dari teks doa ziarah dan hadis Ahlulbait yang lain.

Kesadaran Berwilayah

Elemen pertama wilayah kepada Ahlulbait as. ialah kesadaran, dan nilai pengikutan seseorang terhadap mereka dihitung sesuai kadar pengetahuan dan kesadarannya akan wilayah itu sendiri. Maka itu, orang yang lebih sadar akan konsep wilayah tentu lebih kokoh dalam berwilayah kepada Ahlulbait as.

Disinyalir dalam doa ziarah Jami’ah: “Aku bersaksi kepada Allah dan bersaksi kepada kalian (Ahlulbait as.) bahwasanya aku beriman pada kalian dan pada apa yang kalian imani, aku ingkar terhadap musuh kalian dan terhadap apa yang kalian ingkari, aku sadar akan kedudukan dan urusan kalian, begitu juga mawas akan kesesatan mereka yang menentang kalian, aku beriman pada rahasia dan kejelasan kalian, beriman pada kehadiran dan kegaiban kalian”.

Kami bersaksi pada Allah dan pada Ahlulbait as. atas pengetahuan dan kesadaran ini, karena kami yakin penuh dan beriman akan hal itu, serta sama sekali tidak ada keraguan terhadapnya.
Wilayah dalam penggalan kalimat di atas tersusun dari dua sisi:
Pertama, sisi positif, yaitu: “beriman pada kalian dan pada apa yang kalian imani”.
Kedua, sisi negatif, yaitu: “ingkar terhadap musuh kalian dan terhadap apa yang kalian ingkari”. Ingkar berarti penolakan.
Oleh karena itu, maksud dari kalimat di atas adalah aku menolak musuh kalian dan menolak apa yang kalian tolak.
Nilai wilayah terbentuk dari dua sisi positif dan negatif tersebut secara bersamaan; penerimaan sekaligus penolakan.

Penerimaan semata—tanpa penolakan—tidak menentukan banyak tugas bagi seseorang selama tidak dibarengi dengan penolakan terhadap lawannya.

Oleh karena itu, penerimaan dan penolakan harus sekaligus serta dilandasi oleh pengetahuan dan kesadaran, bukan sekedar ikut-ikutan seperti sebagian orang yang mengikuti sebagian lainnya, melainkan “sadar akan kedudukan kalian Ahlulbait dan mawas terhadap kesesatan mereka yang menentang kalian”.
Penerimaan di sini adalah penerimaan penuh yang mencakup tiga poin di bawah ini sebagaimana juga termuat dalam penggalan doa ziarah di atas itu:
Pertama, penerimaan mutlak; “iman pada apa yang rahasia dan tersembunyi dari kalian”.
Kedua, penolakan mutlak; “menolak musuh kalian serta apa yang kalian tolak”.
Ketiga, penerimaan dan penolakan ini akan lengkap apabila didasari oleh pengetahuan dan kesadaran; 
“sadar akan kedudukan kalian dan mawas terhadap kesesatan mereka yang menentang kalian”.

Pengakuan

Wilayah dan kepengikutan pada Ahlulbait as. tidak bisa dipisahkan dari pengakuan. Tidak ada sesuatu yang lebih merusak daripada ragu dan bimbang terhadap wilayah, dan Allah swt. sama sekali tidak meninggalkan kesamaran di dalamnya. Sungguh Allah telah mengaitkan wilayah dengan tauhid, menetapkan wilayah sebagai poros gerakan, baik individu maupun sosial, dan mengarahkan umat manusia kepada wilayah setelah menyeru mereka kepada pengesaan- Nya. Dia berfirman:

﴿ اِمنََّا وَلِيُّكُمُ الله وَ رَسُولُهُ وَ المذِينَ آمَنُوا﴾ ...

“Sesungguhnya wali dan pemimpin kalian adalah Allah
dan Rasul-Nya serta mereka yang beriman yang…”[117]

Dia juga berfirman:

﴿ اَطِيعُوا اللهَ وَ اَطِ يعُوا المرسُولَ وَ اُولِِ الأمرِ مِنكُم ﴾

“Taatilah Allah dan Rasul-Nya serta ulul amr (pemimpin)
dari kalian”[118]

Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bahwa jalan menuju wilayah mesti jelas, sehingga umat manusia berwilayah atas dasar bukti yang kuat. Singkatnya, wilayah tidak terpisahkan dari pengakuan, dan pengakuan tidak terpisahkan dari keyakinan dan keyakinan tidak terpisahkan dari bukti.

Ziarah Jami’ah memperlihatkan kedudukan Ahlulbait as. sebagai berikut: “Beruntunglah orang yang berwilayah pada kalian, binasalah orang yang memusuhi kalian, sengsaralah orang yang mengingkari kalian, tersesatlah orang yang berpisah dari kalian, menanglah orang yang berpegang teguh pada kalian, amanlah orang yang berlindung pada kalian, selamatlah orang yang membenarkan kalian, dan berpetunjuklah orang yang memegang erat kalian”.

Ikatan Organik

Untuk berbicara tentang elemen-elemen yang membentuk wilayah kepada Ahlulbait as., terlebih dahulu kita harus menerangkan arti harfiah wala’ sebagaimana mestinya dalam literatur kontemporer. Hal itu penting sekali dan tidak mudah. Literatur sosial kontemporer kita sekarang tidak sanggup menjangkau arti kata ini,. Maka dari itu, kita tidak menemukan hubungan erat antar manusia selain wala’ dalam dua dimensi sekaligus, yaitu hubungan secara vertikal dan secara horisontal dalam kepemimpinan politik, hukum, peradaban, ketaatan, pengikutan dan … Hubungan wilayah adalah hubungan khas di tengah umat manusia secara vertikal dan horisontal:

Wilayah secara vertikal adalah hubungan antara umat dengan Allah swt., Rasulullah dan wali amr atau pemimpin Islam. Hubungan ini akan mengejewantah dalam ketaatan, cinta, pembelaan, nasihat, pengikutan dan … Semua itu berarti apabila kita memandang wilayah vertikal ini dari bawah ke atas. Allah berfirman:

“Taatilah Allah dan taatilah Raslulullah dan wali amr kalian”.

Sementara, jika kita mengamati wilayah vertikal ini dari atas ke bawah. yang tampak adalah kekuasaan, pemerintahan dan perlindungan. Allah swt. berfirman:
“Sesungguhnya wali dan pemimpin kalian adalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman yang mendirikan shalat dan memberi zakat saat mereka rukuk”.[119]

Inilah arti singkat dari wilayah vertikal yang dipandang dari dua arah atas dan bawah. Yang dimaksud dari arah ke atas adalah hubungan umat dengan pemimpin-pemimpinnya.

Sedangkan maksud dari arah ke bawah adalah hubungan para pemimpin Islam dengan umatnya. Dengan demikian, hubungan wilayah di satu sisi adalah kepemimpinan, dan di sisi lain adalah kepatuhan.

Adapun wilayah secara horisontal adalah hubungan yang mengikat manusia antara satu sama yang lain dalam kehidupan sosial mereka. Al-Qur’an mengungkapkan hal ini dalam kalimat yang singkat, padat dan teliti:

﴿ اِمنََّا المؤُمِنُونَ اِخوَة ﴾

“Sesungguhnya orang-orang beriman adalah saudara”.[120]

Imam Hasan Askari as. menerangkan ayat ini kepada penduduk kota Abah dan Qom dalam sebuah kalimat yang juga singkat: 
“Seorang mukmin adalah saudara seibu dan seayah orang mukmin yang lain”.[121]

Ini merupakan jalinan istimewa yang tidak kita dapatkan padanannya di tengah umat, agama dan syariat yang lain.

Diriwayatkan dari Rasulullah saw. bersabda: “Orangorang  mukmin adalah saudara yang berdarah sama. Mereka adalah tangan bagi yang lain, yang-di-atas berusaha untuk menanggung mereka yang-di-bawahnya”[122] .

Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata:
“Mukmin adalah saudara mukmin lainnya. Mereka seperti satu tubuh; apabila salah satu anggotanya mengadu, maka dia akan merasakan derita itu pada seluruh anggota tubuhnya yang lain”[123] .

Beliau mewasiatkan orang-orang berimana seraya berkata:
“Hendaknya kalian saling bersilaturrahmi, saling berbakti dan saling menyayangi, jadilah kalian saudara yang rukun sebagaimana Allah swt. perintahkan pada kalian”[124] .

Inilah penjelasan tentang wilayah secara horisontal. Dan berulang kali disebutkan bahwa kita tidak menemukan ikatan sosial di tengah kehidupan manusia yang lebih kuat dan kokoh dari pada ikatan wilayah.

Uraian di atas menjelaskan bahwa ikatan wilayah merupakan ikatan organik pada satu bangunan keluarga yang kokoh bertautan seperti benteng yang kuat, sebagaimana disinyalir al-Qur’an dengan ibarat bunyanun marshush. Dan hubungan antara individu-individunya seperti hubungan yang terjalin antarorgan tubuh. Dan tentunya, hubungan ini jauh lebih kuat daripada hubungan antaranggota keluarga biasa.

Dengan demikian, wilayah adalah struktur yang khas dalam sebuah hubungan umat manusia yang merupakan ikatan organik bagi seseorang dengan sebuah keluarga atau anggota dengan satu tubuh.
Pilar-pilar wilayah secara horisontal adalah gotong royong, silaturahmi, nasihat, kebajikan, persaudaraan, kemurahan, kasih sayang, bantuan, solidaritas, penyempurnaan dan … 
Adapun pilar-pilar wilayah secara vertikal adalah ketaatan, kepatuhan, kepasrahan, cinta, pembelaan, pengikutan, komitmen, peneladanan, keakraban, cinta pada mereka dan pada wali-wali mereka, benci dan perlawanan terhadap musuh-musuh mereka, dan lain sebagainya.

Tersisa satu poin yang penting untuk disampaikan di akhir pembahasan tentang ikatan organik ini, bahwa wilayah atau pengikutan kepada Ahlulbait as. dan baro’ah atau pelepasan diri dan perlawanan terhadap musuh-musuh mereka bukan merupakan kasus sejarah yang sama sekali terputus hubungan dari kehidupan politik dan peradaban kita sekarang. Jelas wilayah yang dilukiskan oleh Imam Ja’far Ash-Shadiq as.—begitu besar dalam ucapannya:

“Di Hari Kiamat nanti, tidak ada panggilan yang lebih penting daripada panggilan mengenai wilayah”, tidak mungkin sebatas kepercayaan yang sama sekali terputus dari realitas dan gerakan politik yang kita jalani sekarang.

Wilayah adalah ketaatan, cinta, keanggotaan, perlawanan terhadap musuh, damai, perang, dan penentuan sikap sosial politik kontemporer di bawah naungan pemimpin penerus yang sah. Maka selama wilayah dan baro’ah tersebut tidak berbasis pada kepercayaan akan sebuah gerakan, tindakan, sikap politik damai atau perang yang menjadi ketentuan wilayah lanjutan atau pengganti yang sah untuk masa sekarang niscaya wilayah dan baro’ah tersebut tidak memiliki nilai yang besar seperti apa yang kita simak dalam teks-teks riwayat dari Ahlulbait as.

Berikut ini kita akan membicarakan elemen-elemen lain wilayah secara ringkas yang kita tarik dari teks doa ziarah Ahlulbait as., karena sungguh doa-doa yang diriwayatkan dari mereka penuh dengan konsep dan elemen wilayah.

Baro’ah

Wajah lain dari wilayah adalah baro’ah itu sendiri. Wilayah dan baro’ah merupakan dua wajah dari satu permasalahan yaitu keterikatan dan keanggotaan pada Ahlulbait as. Bedanya baro’ah adalah wajah dan dimensi yang lebih berat dalam keanggotaan tersebut. Wilayah tanpa baro’ah adalah wilayah yang kurang dan buta.

Ada seorang lelaki mendatangi Amirul Mukminin Ali as. seraya berkata kepada beliau: “Sungguh aku mencintaimu juga mencintai musuh-musuhmu”. (Inilah yang kami maksud dari wilayah yang kurang dan buta).

Amirul Mukminin Ali as. menukas: “Namun sampai ini kamu masih juling dan bermata satu (pandangan orang bermata satu adalah pandangan yang setengah dan kurang).
Berikutnya, tidak ada kecuali dua pilihan bagimu yaitu buta (maka di samping kehilangan wilayah dia juga kehilangan baro’ah) atau melihat (yakni berwilayah kepada Ahlulbait as. sekaligus menentang musuh-musuh mereka)”.

Dalam ziarah Jami’ah disebutkan: “Aku bersaksi kepada Allah dan bersaksi kepada kalian (Ahlulbait as.), sesungguhnya aku beriman pada kalian dan pada apa yang kalian imani, aku menolak musuh kalian dan apa yang kalian kafirkan. Aku sadar akan perkara dan kedudukan kalian dan mawas akan kesesatan mereka yag menentang kalian.

Aku berwilayah dan mendukung kalian serta wali-wali kalian, aku benci dan melawan musuh-musuh kalian”.

Ziarah Asyura terhitung sebagai ziarah yang paling banyak menyatakan penolakan dan perlawanan terhadap musuh-musuh Allah swt., seperti penggalan berikut ini:

“Semoga Allah melaknat umat yang membunuh kalian (Ahlulbait as.), semoga Allah mengutuk orang-orang yang membuka jalan bagi mereka dengan cara pengerahan massa untuk memerangi kalian, aku berlindung dari mereka di bawah naungan Allah dan kalian, sungguh aku berlindung dari mereka, dari pengikut dan wali-wali mereka serta siapa saja yang ikut bersama mereka”.

Teks di atas menyatakan baro’ah bukan hanya terhadap musuh-musuh Allah, melainkan juga penolakan terhadap sekutu dan pengikut musuh-musuh Allah serta siapa saja yang setuju dengan perbuatan mereka. Maka sebagaimana kita mendekatkan diri pada Allah melalui wilayah, pengikutan dan cinta terhadap wali-wali Allah, kita juga mendekatkan diri pada-Nya dan pada wali-Nya melalui perlawanan terhadap musuh-musuh Allah beserta pengikut mereka.

Disebutkan juga dalam ziarah Asyura sebagai berikut:

“Sesungguhnya aku mendekatkan diri pada Allah dan pada Rasul-Nya … dengan berwilayah pada kalian, juga dengan penolakan terhadap mereka yang memerangi kalian, menabuh genderang pertempuran melawan kalian, dan dengan penolakan terhadap siapa saja yang menyediakan basis perlawanan serta menyusun barisan penentang kalian”.

Ikatan Imbal Balik Tauhid dalam Kerangka Wilayah

Pada hakikatnya, wilayah masuk kategori tauhid, sebagaimana berulang kali kita ingatkan sebelum ini. Dan sebetulnya, nilai wilayah dalam Islam mengalir turun dari tauhid dan merupakan perpanjangan dari pengesaan Tuhan itu sendiri. Oleh karena itu, tiada wilayah bagi selain Allah kecuali dengan seijin dan perintah-Nya. Allah berfirman:

﴿ اَللهُ وَلُِِّ المذِينَ آمَنُوا ﴾

“Allah adalah wali orang-orang yang beriman”.[125]

Adapun wilayah Rasulullah saw. dan para imam atau wali amr adalah wajib di bawah wilayah Allah dan atas dasar perintah-Nya. Maka, barang siapa yang berwilayah pada Allah dalam artian hanya Dia pemimpin jagat raya, maka dia juga harus menerima wilayah Rasulullah saw. dan para imam as. setelahnya. Tidak bisa dipisahkan atara wilayah Rasulullah saw. dengan wilayah Allah, begitu pula tidak mungkin dipisahkan antara wilayah Ahlulbait as. dan wilayah Rasulullah saw. Allah berfirman:

﴿ إمنََّا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَ رَسُولُهُ وَ المذِينَ آمَنُوا المذِينَ يُقِيمُونَ ال م صلََةَ وَ يُؤتُونَ المزكَاةَ
وَ هُم رَاكِعُونَ ﴾
[126]

“Sesungguhnya wali kalian adalah Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman yang menegakkan shalat dan memberi zakat ketika rukuk”.

Hadis-hadis yang mengatakan ayat ini turun mengenai Ali bin Abi Thalib as. mencapai tingkat mustafidh.[127] Hadis-hadis itu menegas bahwa yang dimaksud oleh al-Qur’an sebagai orang yang menegakkan shalat dan memberi zakat dalam keadaan rukuk adalah Ali bin Abi Thalib as.
Dalam ayat itu Allah menegaskan wilayah adalah milik Dia dan Rasul-Nya serta orang beriman yang menegakkan shalat dan memberi zakat dalam keadaan rukuk. Mereka adalah wali amr ‘imam segenap Muslimin’.

Hanya saja, wilayah Rasulullah saw. dan Ahlulbaitnya hanyalah sebagai lanjutan dari wilayah Allah swt. dan tidak sejajar, sebagaimana ketaatan kepada Rasulullah dan para wali amr setelahnya merupakan kelanjutan dari ketaatan kepada Allah.
Inilah wilayah dan ketaatan. Hal yang sama juga berlaku dalam cinta. Diriwayatkan dari Rasulullah saw. bersabda:
“Cintailah Allah yang telah memberi nikmat pada kalian, cintailah aku karena cinta Allah dan cintailah Ahlulbaitku karena cinta padaku”[128] .

Rasulullah saw. juga bersabda: “Cintailah Allah yang telah memberi nikmat pada kalian, dan cintailah aku karena kalian mencintai Allah, dan cintailah Ahlulbaitku karena kalian mencintaiku”[129].

Jadi, barang siapa yang berwilayah pada Allah maka dia juga harus berwilayah pada Rasulullah dan keluarganya.
Dan barang siapa yang mentaati Allah maka dia juga harus mentaati mereka. Dan barang siapa yang mencintai Allah maka dia juga harus mencintai mereka.

Ini salah satu sisi keseimbangan tauhid.
Adapun sisi lainnya menyatakan adalah barang siapa yang berwilayah kepada mereka berarti dia berwilayah kepada Allah, dan barang siapa mentaati mereka maka dia mentaati Allah, dan barang siapa yang mencintai mereka maka dia mencintai Allah Dengan demikian sempurnalah keseimbangan tauhid tersebut dalam jalinan wilayah dari dua belah pihak.
Coba renungkan teks-teks berikut ini yang menunjukkan kedua sisi keseimbangan tauhid tersebut:
Dalam ziarah Jami’ah disebutkan:
“Barang siapa yang berwilayah kepada kalian maka dia telah berwilayah kepada Allah, dan barang siapa yang memusuhi kalian maka dia telah memusuhi Allah”.
Disebutkan juga di dalamnya: “Barangsiapa yang mentaati kalian maka dia telah mentaati Allah dan barangsiapa yang membangkang pada kalian maka dia telah bermaksiat pada Allah”.
Disebutkan pula di sana: “Barang siapa yang mencintai kalian maka dia telah mencintai Allah, dan barang siapa membenci kalian maka dia telah membenci Allah”. Dan kita semua seyogyanya mendekatkan diri pada Allah swt. melalui wilayah dan dukungan kita terhadap Rasulullah serta Ahlulbaitnya serta menolak musuh-musuh mereka.
Disebutkan dalam ziarah Asyura sebagai berikut:
“Sesungguhnya aku mendekatkan diri kepada Allah dengan berwilayah kepadamu (wahai Imam Husain as.), begitu pula dengan menentang orang-orang yang membunuhmu dan menyulut api peperangan melawanmu”.

Dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa mentaatiku, dia telah mentaati Allah, dan barang siapa bermaksiat padaku, dia telah bermaksiat pada Allah, dan barang siapa bermaksiat pada Ali dia telah bermaksiat padaku”.[130]

Ibnu Abbas meriwayatkan sebuah kejadian; ketika itu Rasulullah saw. melihat Ali as. seraya bersabda: “Wahai Ali, aku adalah tuan di dunia dan di akhirat, kekasihmu adalah kekasihku, dan kekasihku adalah kekasih Allah, musuhmu adalah musuhku dan musuhku adalah musuh Allah”.[131]

Satu poin yang amat penting dari konsep wilayah dan baro’ah dalam Islam terletak pada kecermatan kita akan ikatan tauhid yang berbasis pada wilayah Allah dan wilayah wali amr (Ahlulbait as). Kita harus mengerti keseimbangan tauhid yang membaur-utuh antara dua wilayah ini. Dan wilayah hakiki dalam Islam harus tumbuh sebagai konsekuensi dari wilayah Allah, dan selain itu hanyalah wilayah yang batil. Begitu pula ketaatan dan cinta yang sebenarnya, menurut Islam, harus digenggam sebagai konsekuensi dari ketaatan dan cinta pada Allah. Maka selain itu sama sekali tidak berarti menurut tolok ukur dan timbangan Allah swt.

Atas dasar ini, Ahlulbait as. adalah rambu-rambu petunjuk menuju Allah. Mereka adalah pemimpin sesuai dengan perintah-Nya. Mereka memasrahkan segala urusan kepada Allah dan orang yang memberi hidayah menuju Allah swt. Ini dari satu sisi. Adapun di sisi lain, orang yang menghendaki Allah, jalan, keridhaan, hukum dan batas-batas- Nya, dia harus menapaki jalan mereka dan menyerap ajaran mereka.
Untuk lebih jelasnya, marilah kita perhatikan dua sisi keseimbangan tauhid ini dalam teks-teks berikut:

Disebutkan dalam ziarah Jami’ah:
“Kepada Allah kalian mengajak, kepada-Nya kalian menunjukkan, kepada-Nya kalian beriman, untuk Dia kamu pasrahkan, sesuai perintah-Nya kalian beramal, kepada jalan-Nya kalian arahkan, dan dengan firman-Nya kalian menghakimi”.
Berikut ini dua sisi permasalahan dalam satu kalimat singkat yang disinyalir juga oleh ziarah Jami’ah: 

“Barang siapa menghendaki Allah, dia harus memulainya dengan kalian, dan barang siapa yang mengesakan-Nya dia harus menerima dari kalian, dan barang siapa yang menuju-Nya maka dia harus memperhatikan kalian”.
Saya tekankan untuk kesekian kalinya bahwa kita tidak akan bisa mengerti wilayah kecuali dari sudut pandang tauhid, dan bahwa wilayah Ahlulbait as. adalah kelanjutan dari wilayah Allah swt.. Bentuk apapun dari pemahaman wilayah, ketaatan dan cinta pada Ahlulbait as. yang tidak bersaambung dengan wilayah Allah, maka itu bertentangan dengan ucapan dan ajaran Ahlulbait itu sendiri.

Salam dan Nasihat

Dua aspek berikutnya dari wilayah adalah salam dan nasihat dalam kaitannya dengan wali amr atau para imam.
Salam adalah sisi negatif dari hubungan ini, sedangkan nasihat adalah sisi positif jalinan bersama pemimpin Islam.
Berikut ini penjelasannya:

Salam

Arti salam kepada wali amr ‘para imam as.’ yaitu hendaknya kita tidak membiarkan mereka sendiri dalam kesulitan dan bahaya, hendaknya kita tidak melawan, tidak berontak atau berdurhaka kepada mereka, tidak mengusir mereka, tidak menentang mereka dalam urusan apa pun, tidak memihak pada yang lain dalam mengambil keputusan, tidak menghinakan mereka, tidak mengharapkan keburukan menimpa mereka, tidak merusak kehormatan mereka baik saat hadir ataupun gaib, tidak berbuat makar dan tipu daya terhadap mereka, tidak berjalan bersama musuh-musuh mereka, tidak memperdaya mereka, tidak merekayasa mereka, tidak melangkahi mereka, tidak menelantarkan mereka, tidak menyerahkan mereka kepada musuh, tidak menzalimi mereka, tidak berkedok di hadapan mereka dan lain sebagainya. Itu aspek peniadaan dari hubungan dan pergaulan dengan Ahlulbait as. sebagai wali amr dan pemimpin Islam.

Salam kepada wali amr as. memanjang dari salam dalam hubungan kita dengan Allah swt. Dan seperti halnya elemen lain, salam juga masuk dalam kategori tauhid, karena salam kepada wali-wali amr as. adalah juga salam kepada Allah, dan sungguh Allah telah memerintahkan kita untuk menyikapi-Nya dengan salam dan damai serta hendaknya kita tidak masuk ke lingkungan musuh-Nya atau orang yang memihak kepada selain-Nya. Allah swt. berfirman:

﴿يََ أيُّ هَا المذِينَ آمَنُوا ادخُلُوا فِِ ال سلمِ كَافمةً وَ لَا تَ تمبِعُوا خُطُوَاتِ ال م شيطَان﴾

“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah dalam kedamaian dan Islam secara utuh, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan”.[132]

Silm ‘salam’ yang dianjurkan oleh Allah dalam ayat di atas adalah salam itu sendiri dalam hubungan kita dengan-Nya.
Dan lawan dari salam dalam berhubungan dengan Allah adalah memerangi, memihak pada yang lain dan menentang-Nya. Allah berfirman:

﴿ فَإن لََ تَفعَلُوا ف أذَنُوا بَِِربٍ مِنَ اللهِ وَ رَسُولِهِ ﴾ََ

“Apabila kalian tidak melakukannya, maka ijinkan peperangan Allah dan Rasul-Nya”.[133]

﴿ اِمنََّا جَزَاءُ المذِينَ يََُارِبُونَ اللهَ وَ رَسُولَهُ وَيَسعَونَ فِِ الاَرضِ فَسَادًا أن
يُقتَلُوا ...﴾َ

“Sesungguhnya balasan orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan berusaha menebarkan kerusakan di muka bumi ialah dibunuh dan diperangi …”.[134]

﴿ وَ ذلِكَ بَِنم هُم شَاقُّوا اللهَ وَ رَسُولَهُ وَ مَن يُشَاقِقِ اللهَ وَ رَسُولَهُ فَإ م ن اللهَ شَدِيدُ
العِقَاب ﴾

“Hal itu karena mereka telah memihak pada selain Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa memihak pada yang lain dan menentang Allah dan Rasul-Nya, maka Allah sungguh keras dalam siksa-Nya”.[135]

﴿ اَلََ تَعلَمُوا أنمهُ مَن يََُادِدِ اللهَ وَ رَسُولَهُ فَإ م ن لَهُ نَا رَ جَهَنممَ خَالِدًا فِيهَا ذلِكَ هُوَ
الخِزيُ العَظِيمُ ﴾

“Tidakkah kalian tahu bahwa orang yang menentang keras Allah dan Rasul-Nya akan masuk neraka jahanam selama-lamanya dan itu kehinaan yang sangat besar”.[136]

Maksud dari kata muhadadah dalam ayat ini adalah sikap seseorang yang berpihak pada selain garis dan batas yang ditentukan Allah swt.

Demikian arti salam kita kepada Allah swt. Adapun salam antara kita dan pemimpin-pemimpin Islam atau wali amr as. adalah kepanjangan dari salam kita kepada Allah dan bagian dari prinsip tauhid.

Secara umum, semua elemen wilayah kepada Ahlulbait as. sebagai pemimpin Islam berpijak pada asas tauhid; pengesaan Allah dan menolak wujud sesuatu yang independen dari ijin dan perintah Allah swt.
Salam kepada wali amr atau pemimpin Islam (yaitu Rasulullah dan Ahlulbaitnya), sebagaimana termuat dalam teks-teks ziarah, bukan dari kategori sapa dan pesan, tetapi dari kategori sikap, pergaulan dan hubungan.

Kedalaman arti dari salam kepada mereka yaitu hendaknya kita tidak mengusik mereka dengan tingkah laku yang buruk, karena sesungguhnya mereka hadir dalam tindakan kita sebagaimana ditegaskan oleh surah al-Qadr dan hadis.
Oleh karena itu, perilaku buruk, maksiat dan dosa pengikut Rasulullah saw. dan Ahlulbait as. akan mengganggu mereka sebagaimana mengganggu dua malaikat pencatat amal.
Sebaliknya, perbuatan saleh akan menyenangkan mereka.
Kiranya cukup sampai di sini saja perbincangan kita seputar salam kepada wali amr dan tidak perlu diperpanjang lebih dari ini.
Ziarah-ziarah para iamam maksum penuh dengan salam dan pengulangan salam kepada mereka, seperti dalam ziarah Jami’ah Kedua yang tidak begitu populer, yaitu ziarah Jami’ah yang diriwayatkan oleh Syaikh Shaduq dari Imam Ali Ridha as. dalam kitab Man La Yahdluruhul Faqih, terdapat sekelompok salam kepada mereka. Berikut ini kami akan menyebutkan sebagian salam-salam itu sebagai bukti:
“Salam kepada wali-wali Allah dan pilihan-pilihan-Nya,salam kepada orang-orang terpercaya Allah dan kekasihkekasih-Nya, salam kepada penolong-penolong Allah dan para khalifah-Nya (khalifah artinya pemimpin yang dilantik Allah untuk mengatur urusan umat manusia, bukan khalifah yang dicatat dalam sejarah pasca wafat Rasul), salam kepada ruang-ruang makrifat Allah, salam kepada rumahrumah zikir Allah, salam kepada pemenang perintah Allah dan larangan-Nya, salam kepada penuntun-penuntun yang mengajak kepada Allah, salam kepada mereka yang bersemayam dalam keridhaan Allah, salam kepada mereka yang ikhlas dalam ketaatan Allah, salam kepada petunjukpetunjuk Allah, salam kepada mereka yang barang siapa berwilayah kepada mereka niscaya Allah berwilayah kepadanya dan mencintainya, salam kepada mereka yang barang siapa memusuhi mereka Allah akan memusuhinya, salam kepada mereka yang barang siapa yakin pada mereka niscaya telah yakin pada Allah, salam kepada mereka yang barang siapa bodoh akan mereka ia telah bodoh akan Allah, salam kepada mereka yang barang siapa berpegang teguh pada mereka dia telah berpegang teguh pada Allah, dan salam kepada mereka yang barang siapa menyempal dari mereka dia telah menyempal dari Allah”.


Nasihat

Nasihat adalah aspek positif dari hubungan manusia dengan wali amr ‘pemimpin Islam’ as. Nasihat pada mereka juga masuk kategori tauhid, dan merupakan kepanjangan dari nasihat untuk Allah dan Rasul-Nya. Nasihat adalah salah satu dari tiga perkara politik yang diumumkan oleh Rasulullah di masjid Khif, di Mina, kepada mayoritas Muslimin yang hadir di tahun Haji Wada’ atau Haji Perpisahan.
Syaikh Shaduq meriwayatkan dalam kitab Khisal dari Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Rasulullah saw. Berpidato pada Haji Wada’ di Mina tepatnya di masjid Khif.
Beliau memuja dan memuji Allah kemudian bersabda:
‘Semoga Allah menyegarkan dan peduli pada hamba-Nya yang mendengar sabdaku kemudian menyadarinya, lalu menyampaikan sabdaku ini pada orang yang belum mendengarnya.

Dan betapa banyak pembawa ilmu agama atau fiqih yang tidak alim dan faqih, dan betapa banyak pembawa ilmu agama kepada orang yang lebih alim dan faqih daripada dirinya. Ada tiga perkara yang tidak akan menimbulkan dengki pada hati seorang Muslim: pertama, ikhlas dalam beramal hanya demi Allah. Kedua, nasihat terhadap pemimpin-pemimpin Muslimin. Ketiga, komitmen terhadap masyarakat Islam. Sesungguhnya dakwah dan doa mereka mencakup masyarakat Muslim yang lain. Dan orang-orang Muslim adalah saudara yang berdarah sama, orang yang unggul berupaya untuk menanggung orang yang di bawahnya, dan mereka adalah tangan bagi yang lain’”.[137]

Nasihat untuk wali amr dan pemimpin Muslimin as. yaitu seorang Muslim harus menjadi pembela dan mata bagi mereka mengajukan aspirasi dan konsultasi yang tulus kepada mereka, melindungi mereka, memaparkan problem, kegelisahan dan penderitaan Muslimin pada mereka, dan inilah sisi positif yang dimaksudkan.

Figur Keteladanan

Salah satu elemen wilayah kepada Ahlulbait as. adalah peneladanan pada mereka. Allah swt. telah menjadikan Nabi Ibrahim as. sampai Rasulullah saw. sebagai teladan yang unggul bagi umat manusia. Mereka harus mengikuti figur-figur teladan tersebut dan mengukur diri dengan keutamaan mereka. Allah berfirman:

﴿ قَد كَانَت لَكُم اُسوَةٌ حَسَنَةٌ فِِ اِبرَاهِيمَ وَ المذِينَ مَعَه ﴾

“Sungguh terdapat teladan yang baik bagi kalian pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya”.[138]

﴿ لَقَد كَانَ لَكُم فِِ رَسُولِ اللهِ اُسوَةٌ حَسَنَة ﴾

“Sungguh, sungguh dan sungguh terdapat teladan yang baik bagi kalian pada diri Rasulullah”.[139]

Adapun setelah Rasulullah saw., teladan baik yang harus kita panuti dalam hidup ini adalah Ahlulbait sebagai pengganti beliau, baik dalam hubungan kita bersama keluarga maupun hubungan kita dengan diri kita sendiri.
Tentunya, awal dari semua hubungan ini adalah hubungan kita dengan Allah swt.

Peneladanan bukan pelajaran. Di samping sebagai guru kita, Ahlulbait as. juga teladan kita. Mereka adalah guru yang kita serap anjuran dan ajaran mereka, teladan yang kita tapaki bekas-bekas langkah mereka, kita jalani jalur mereka, kita ikuti aliran mereka dalam kehidupan, dan kita hidup sebagaimana mereka hidup serta bergaul bersama masyarakat dan keluarga sebagaimana mereka bergaul.

Imam-imam Ahlulbait as. adalah maksum atau suci dari dosa dan kesalahan. Artinya, mereka adalah model yang sempurna bagi kemanusiaan. Allah telah menjadikan mereka sebagai tolok ukur dan timbangan yang harus kita gunakan untuk mengukur diri kita dengan mereka. Maka, apa yang sesuai dengan mereka dalam praktek, ucapan, diam, gerak perilak serta sikap kita adalah kebenaran. Dan sebaliknya, segala hal yang bertentangan dengan mereka adalah kesalahan, entah itu karena berlebihan atau kekurangan.
Hakikat ini juga termuat dalam ziarah Jami’ah:
“Orang yang tertinggal dari kalian adalah celaka, dan orang yang melampaui kalian adalah binasa, sedangkan orang yang bersama kalian adalah ikut bergabung”.

Marilah kita membaca sejarah dan tradisi Ahlulbait as. untuk menyesuaikan perilaku kita dengan mereka. Amirul Mukminin as. sering berkata: “Sadarlah bahwa kalian tidak akan mampu untuk itu, tapi bantulah aku dengan warak dan kesungguhan”.

Ziarah Jami’ah menyifati Ahlulbait as. dengan matsal a’la atau model tertinggi, yaitu standar yang benar bagi umat manusia untuk mengukur dirinya dengan mereka sebisa mungkin untuk berjalan bersama mereka.

Ahlulbait as. mewarisi hal-hal berharga dari Nabi Ibrahim dan Rasulullah saw., seperti akhlak, penyembahan, ikhlas, ketaatan dan takwa. Dengan demikian, orang yang ingin mendapatkan petunjuk para nabi dan mengikuti jalan mereka, dia bisa mendapatkannya dengan mengikuti petunjuk Ahlulbait as. dan meneladani mereka. Ziarah Jami’ah membawakan sebuah doa yang berbunyi: “Semoga Allah menggolongkanku bersama orang yang mengikuti jejak mereka, menempuh jalur mereka, dan mengambil petunjuk hidayah mereka”.

Sedih dan Gembira

Sedih dan gembira adalah kondisi kejiwaan dalam berwilayah dan merupakan tanda-tanda cinta. Orang yang mencintai seseorang secara alami akan sedih karena kesedihan kekasihnya, dan gembira karena kegembiraannya. Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Syi’ah kami adalah dari kami, apa-apa yang menyakitkan kami akan menyakitkan mereka dan apa-apa yang menggembirakan kami juga akan menggembirakan mereka”.[140]

Ada sebuah riwayat sahih dari Rayyan bin Syabib, paman Mu’tasim Abbasi dari ibunya; dia meriwayatkan dariImam Ali Ar-Ridha as. yang berkata: 
“Wahai putera Syabib, apabila kamu ingin bersama kami pada derajat-derajat tertinggi di surga maka bersedihlah karena kesedihan kami, dan bergembiralah karena kegembiraan kami, dan hendaknya kamu berwilayah kepada kami dan mencintai kami, karena sesungguhnya seseorang mencintai batu sekalipun, niscaya Allah akan mengumpulkannya bersama batu itu di Hari Kiamat nanti”.[141]

Masma’ meriwayatkan: “Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata kepadaku: ‘Wahai Masma’ kamu adalah orang Irak, apakah kamu mendatangi kuburan Husain bin Ali?’ Aku menjawab: “Tidak, aku dikenal dari kota Basrah dan di tengah kita ada orang-orang yang menuruti keinginan khalifah sekarang, musuh-musuh kita banyak dari berbagai kabilah; mulai dari mereka yang mencaci maki keluarga Nabi sampai yang lain. Aku tidak aman dari mereka yang kapan saja melaporkan keadaanku ini pada putera Sulaiman sehingga mereka pun mengejarku”.
“Maka beliau berkata kepadaku: “Apakah kamu ingat apa yang telah diperbuat terhadap Husain bin Ali?”
“Iya”, jawabku pendek.
Beliau berkata lagi: “Apakah kamu sedih?”
Aku menjawab: “Demi Allah iya, aku menangis karenanya sehingga keluargaku melihat bekas tangisan itu pada diriku sampai-sampai aku meninggalkan makan sehingga tanpak kelesuan pada wajahku”.
“Imam as. berkata: ‘Semoga Allah merahmati tetesan air matamu! Sungguh kamu dari orang-orang yang gelisah karena kami, gembira karena kami gembira, sedih karena kami sedih, takut karena kami takut, aman karena kami aman. Sungguh kamu akan menyaksikan kehadiran ayahayahku untukmu, mereka mewasiatkan pada malaikat maut untukmu, dan apa yang mereka kabarkan baik kepadamu akan menjadi cendra matamu sebelum mati, malaikat maut akan lebih lembut dan sayang padamu daripada seorang ibu yang sayang pada anaknya’”.[142]

Aban bin Taghlib meriwayatkan dari Imam Ja’far Ash-Shadiq as.: “Nafas orang yang sedih karena ketertindasan kami adalah tasbih, kegelisahan karena kami adalah ibadah, dan menjaga rahasia kami adalah jihad fi sabilillah”.[143]

Kita adalah bagian dari keluarga ini; kita beranggota bersama mereka dalam keyakinan, asas-asas agama, cinta, kebencian, wilayah dan baro’ah. Tanda kecintaan dan wilayah itu adalah kesedihan kita atas kesedihan mereka dan kegembiraan kita atas kegembiraan mereka.

Hanya pertanyaan yang muncul di sini: kenapa kita menampakkan kesedihan dan kegembiraan kita serta mengeluarkannya dari kondisi subjektif menjadi slogan dan syiar yang kita tunjukkan di ruang sosial di hadapan kawan dan lawan? Dan kenapa hadis-hadis Ahlulbait menekankan agar kita menampakkan kesedihan dan tangisan itu, khususnya dalam menangisi kesyahidan Imam Husain as.?
Bakar bin Muhammad Azdi meriwayatkan:
“Berkata
Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as. kepada Fudlail:
“Apakah kalian duduk (membuat majlis) dan membicarakan?”
Dia menjawab: “Iya, semoga aku menjadi tebusan untukmu!”
Beliau berkata: “Sungguh aku mencintai majlis-majlis itu. Maka hidupkanlah urusan kami, dan semoga Allah merahmati orang yang menghidupkan urusan kami!”[144]

Motif penampakkan dan penyi’aran itu dalam rangka menyatakan identitas iman kita; yaitu keanggotaan kita dalam peradaban, politik dan kultur Ahlulbait as. Penampakkan seperti inilah yang telah mampu menjaga kita sepanjang abad, dan melindungi kita dari gelombang peradaban serta politik zalim musuh-musuh sampai detik ini.

Kebersamaan dan Keikutsertaan

Mungkin kata kebersamaan merupakan ungkapan terindah tentang keanggotaan dalam mazhab Ahlulbait as. Kebersamaan dalam suka dan duka, kesulitan dan kemudahan, kedamaian dan peperangan. Kata-kata ini juga dimuat oleh ziarah Jami’ah dengan alunan syahdu yang menggairahkan seakan lirik-lirik dari lagu wilayah:

مَعَكُ ن م مَعَكُ ن م لَا مَعَ عَدُ وِكُ ن م

“Bersama kalian, bersama kalian tidak bersama musuh kalian”.

Di doa ziarah yang lain disebutkan:

لَا مَعَ غَنيرِكُ ن م

“Tidaklah bersama selain kalian”.
Kalimat ini lebih luas daripada kalimat pertama itu, yakni
“Tidak bersama musuh kalian”.

Kesertaan Kultural

Kesertaan dan pengikutan adalah konsep yang luas dalam berwilayah; mencakup ikut serta dalam perang dan damai, ikut serta dalam cinta dan benci, ikut serta dalam pemikiran, budaya, makrifat dan hukum.

Kita bebas mengambil pengetahuan dari mana saja kita temukan, baik dari timur maupun dari barat. Akan tetapi, tidak dibenarkan kita mengambil peradaban dan makrifat kecuali dari sumber wahyu. Nah, Ahlulbait as. menyerap jernihnya makrifat dan peradaban dari sumber wahyu tersebut. Mereka adalah rumah kenabian, wadah kerasulan, tempat kunjung malaikat, alamat turunnya wahyu dan penyimpan ilmu sebagaimana disebutkan juga dalam ziarah Jami’ah.

Berbeda antara pengetahuan dan peradaban. Pengetahuan tidak memiliki hasil yang secara langsung berhubungan dengan perilaku manusia, kepercayaan atau akidah, metode berpikir, cara beribadah, relasi, pergaulan, gerakan, aksi sosial, aktivitas politik dan komunikasi serta hal-hal lain yang berkaitan. Adapun peradaban dan budaya memiliki hasil yang secara langsung berhubungan dengan perilaku manusia, intelektualitas, gaya hidup dan pergaulan, ibadah, dan gambarannya tentang Allah, jagat raya serta manusia … dan seterusnya.
Ilmu pengetahuan banyak sekali seperti kedokteran, bisnis, ekonomi, akuntansi, matematika, teknik arsitektur, elektronika, ilmu atom, bedah, kedokteran, fisiologi, mekanik, fisika dan lain sebagainya. Manusia bebas mengambil pengetahuan dari sumber ilmu manapun yang dia dapatkan.
Bahkan dari orang kafir sekalipun, dia bebas mempelajari ilmu pengetahuan, karena ilmu adalah senjata dan kekuatan. Dan seyogyanya orang mukmin menerima senjata dan kekuatan itu dari musuh mereka juga.

Adapun peradaban adalah seperti etika, irfan, filsafat, akidah, fikih atau hukum, doa, pendidikan, pembersihan, tradisi pergaulan, gaya hidup sosial, perjalanan spiritual, adab dan lain sebagainya.

Peradaban tidak seperti pengatahuan. Seyogyanya kita tidak mengambil peradaban dan makrifat kecuali dari sumber wahyu. Hal itu karena peradaban memiliki pengaruh yang secara langsung berhubungan dengan perilaku manusia, pemahamannya, jalan hidupnya, pengalaman spiritualnya, hubungannya dengan Allah swt, hubungannya dengan masyarakat, hubunganya dengan diri sendiri dan dengan alam. Peradaban menjaga ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang tidak disertai peradaban dan budaya yang saleh serta terarah akan berubah fungsi menjadi alat dekonstruksi dan perusak. Sedangkan peradaban yang dewasa dan berhidayah akan menjaga ilmu pengetahuan dan menjadikannya sebagai sarana efektif bagi umat manusia.

Al-Qur’an adalah kitab peradaban bagi kehidupan manusia. Allah swt. menurunkannya untuk mengarahkan pikiran manusia dan perilakunya. Al-Qur’an bukan buku ilmu pengetahuan, kendatipun ulama mendapatkan banyak ilmu di sana seperti astronomi, ilmu bintang, ilmu tumbuhtumbuhan, ilmu binatang, kedokteran, fisiologi dan lain sebagainya. Namun, tetap saja al-Qur’an adalah kitab peradaban dan hidayah. Salah bila kita menerimanya sebagai buku ilmu pengetahuan yang diturunkan oleh Allah swt. untuk mengajarkan ilmu fisika, kimia dan ilmu tumbuhtumbuhan pada manusia. Tidak lain, al-Qur’an adalah kitab peradaban dan budaya yang diturunkan oleh Allah untuk membina manusia bagaimana hidup, bagaimana mengenal Tuhan, alam dan manusia, dan bagaimana menilai sesuatu, tradisi dan pemikiran. Allah swt. berfirman:

﴿ شَهرُ رَمَضَانَ المذِي اُنزِلَ فِيهِ القُرآنَ هُدًی لِلنماسِ وَ بَ ي نَاتٍ مِنَ الهدَُی وَ
الفُرقَانَ ﴾

“Bulan Ramadhan yang padanya al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi umat manusia, dan bukti-bukti dari hidayah dan pemisah antara yang baik dan buruk”.[145]

﴿ وَ اذكُرُوا نِعمَةَ اللهِ عَلَيكُم وَ مَا اُنزِلَ عَلَيكُم مِنَ الكِتَابِ وَ الِْكمَةِ
يَعِظُكُم بِهِ ﴾

“Dan ingatlah kalian pada nikmat Allah terhadap kalian, dan apa yang telah diturunkan pada kalian berupa kitab dan hikmah yang menasihati kalian denganya”.[146]

﴿ هذَا بَ يَانٌ لِلنماسِ وَ هُدًی وَ مَوعِظَةً لِلمُتمقِيَْ ﴾

“Ini adalah keterangan bagi umat manusia dan petunjuk serta nasihat bagi orang-orang yang bertakwa”.[147]

﴿ يََ أيُّ هَا النماسُ قَد جَاءكَُم بُرهَانٌ مِن رَب كُم وَ أنزَلنَا إلَيكُم نُورًا مُبينًا ﴾ 

“Wahai umat manusia sungguh telah datang pada kalian bukti dari Tuhan kalian, dan telah kami turunkan pada kalian cahaya yang menerangi”.[148]

﴿ وَ لَقَد جِئنَاهُم بِكِتَابٍ فَ م صلنَاهُ عَلَی عِلمٍ هُدًی وَ رَحمَةً لِقَومٍ يُؤمِنُ ونَ ﴾ “Dan sungguh telah kami datangkan pada

mereka kitab yang telah kami perinci atas dasar ilmu sebagai hidayah dan rahmat bagi kaum yang beriman”.[149]

﴿ هذَا بَصَائِرُ مِن رَب كُم وَ هُدًی وَ رَحمَةٌ لِقَومٍ يُؤمِنُونَ ﴾ََ

“Ini adalah saksi-saksi dari Tuhan kalian, dan hidayah serta rahmat bagi kaum yang beriman”.[150]

Oleh karena itu, al-Qur’an adalah kitab peradaban, cahaya kehidupan manusia, saksi kebajikan bagi manusia, petunjuk dan nasihat. Kendatipun dibenarkan bagi kita untuk mengambil ilmu pengetahuan dari sumber mana saja, dan dari tangan siapa pun walau dari tangan musuh kita sendiri.

Akan tetapi tidak dibenarkan bagi kita untuk mengambil peradaban dan budaya kecuali dari media yang suci. Allah menyampaikannya kepada kita dari sumber wahyu, karena sesungguhnya kemungkinan salah dan penyimpangan dalam peradaban adalah malapetaka yang besar, bukan seperti ilmu pengetahuan.

Rasulullah saw. adalah sumber maksum atau suci yang kepadanya wahyu diturunkan. Beliau menyampaikannya kepada kita, dan wahyu itu terputus setelah wafatnya. Akan tetapi, beliau mengangkat khalifah dari Ahlulbaitnya untuk kita; mereka adalah padanan-padanan al-Qur’an. Mereka telah mengambil peradaban dan makrifat dari Rasulullah saw., mereka telah mewarisi makrifat, budaya, batas-batas ketentuan Allah, halal dan haram, tradisi dan adab, akhlak, pokok agama dan cabangnya dari Rasulullah saw. Beliau melantik mereka sebagai tempat umat merujuk setelah ketiadaannya dalam segala urusan tersebut di atas. Beliau juga mengumumkan mereka sebagai padanan al-Qur’an dari generasi demi generasi sampai akhirnya Allah swt. mewariskan bumi dan seisinya pada mereka. Kandungan ini terdapat dalam hadis yang sahih, baik menurut Ahli Sunnah maupun Syi’ah, yaitu hadis yang dikenal dengan nama hadis Tsaqalain (dua pusaka). Di sana Rasulullah saw. memerintahkan umat Islam untuk kembali pada al-Qur’an dan Ahlulbaitnya setelah kepergian beliau sampai Hari Kiamat.
Beliau menetapkan bahwa berpegang teguh pada dua pusaka itu menjamin manusia keamanan dari kesesatan dan penyimpangan:[151]

إ نّ تََرِكٌ فِيكُمُ الثمقَلَيِْ كِتَابَ اللهِ وَ عِتََتِِ أهلَ بَيتِِ وَ انم هُمَا لَن يَفتََِقَا حَتمی
يَرِدَا عَلَ م ي الَْوضََ ما إن تَََ م سكتُم بِِِمَا لَن تَضِلُّوا بَعدِي

“Sesungguhnya aku tinggalkan dua pusaka pada kalian, yaitu kitab Allah dan keluargaku, Ahlulbaitku, dan sesungguhnya dua pusaka itu tidak akan berpisah sampai keduanya menjumpaiku di telaga. Selama berpegang teguh pada keduanya, kalian tidak akan pernah tersesat setelahku”.

Hadis ini diriwayatkan dengan redaksi-redaksi yang mirip antara satu dengan yang lain dalam referensi-referensi yang ada. Dan dari perbedaan literal hadis ini, kita pahami bahwa Rasulullah saw. telah mengulangnya beberapa kali di berbagai tempat dan kesempatan, salah satunya di Ghadir Khum (lembah Khum) seperti yang disinyalir oleh Shahih Muslim menurut riwayat Zaid bin Arqam.
Rasulullah saw. juga bersabda:

م َثَلُ أهلِ بَيتِِ مَثَلُ سَفِينَةِ نُوحٍ مَن رَكِبَهَا نَََا وَ مَن تَََلمفَ عَنهَا غَرِقَ

“Perumpamaan Ahlulbaitku adalah bahtera Nabi Nuh, barang siapa yang menaikinya akan selamat dan barang siapa tertinggal darinya akan tenggelam”.[152]
Beliau juga bersabda:

أهلُ بَيتِِ أمَانٌ لِاُممتِِ مِنَ الَختِلََفِ

“Keluargaku adalah jaminan bagi umatku dari perselisihan”.[153] Begitu pula hadis-hadis lain yang secara jelas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. senantiasa mewasiatkan umat Islam setelahnya agar kembali pada Ahlulbaitnya dan mengambil ajaran-ajaran agama, makrifat, batas-batas ketentuan Allah, sunnah nabi, halal dan haram dari mereka as. Fairuz Abadi mengumpulkan hadis-hadis ini dalam kitabnya yang berharga Fadlail Khamsah min Shihah Sittah (keutamaankeutaman lima manusia dari enam kitab Shihah). Karena itu, kita tidak perlu lagi membahasnya panjang lebar.
Dari uraian di atas, jelas sudah bahwa Ahlulbait as. adalah ‘wadah kerasulan, tempat kunjung malaikat, alamat turunnya wahyu, khazanah ilmu Illahi, lentera kegelapan, panji ketakwaan, pemimpin hidayah, pewaris para nabi, bukti-bukti Allah terhadap penghuni dunia”, sebagaimana pula termuat dalam ziarah Jami’ah.
Disebutkan juga di sana bahwa mereka adalah “tempattempat makrifat pada Allah, tambang-tambang hikmah Allah, pemikul kitab Allah, mereka adalah bukti, shirat, cahaya dan burhan Allah”.

Maka, orang yang berpisah dari mereka pasti masuk jalur kesesatan, cepat ataupun lambat, karena shirat Allah tidak lebih dari satu dan tidak beragam. Orang yang menapaki jalan mereka menuju Allah akan memperoleh hidayah, dan orang yang beralih dari mereka dalam suluk tidak akan pernah mencapai apa yang Dia kehendaki. Sungguh Rasulullah telah berulang kali mengumumkan hal ini di berbagai tempat dan kesempatan. Yang kita sebutkan di sini hanya satu contoh dari semua itu, yaitu hadis Tsaqalain ‘dua pusaka’; “Yang apabila kalian berpegang teguh pada dua pusaka itu niscaya kalian tidak akan sesat setelahku”.

Tidak seperti yang mereka katakan. Masalah ini tidaklah termasuk dalam medan ijtihad sehingga sebagian orang terarah secara benar dan sebagian yang lain tersesat, kemudian Allah memberi dua pahala pada mereka yang benar dan memberi satu pahala pada yang salah.

Maka dari itu, tidak dibenarkan bagi seseorang untuk berijtihad di saat ada teks yang jelas, dan sungguh Rasulullah saw. telah bersabda secara nash (teks harfiah yang jelas, tegas, tidak ambigu atau berkemungkinan lebih dari satu arti)[154] agar umat manusia merujuk Ahlulbaitnya dalam segala perkara yang mereka perselisihkan setelah beliau.

Dalam ziarah Jami’ah disebutkan bahwa: “Yang benci kalian adalah pembangkang, yang bersama kalian adalah gabung, orang yang lalai akan hak kalian adalah binasa, dan kebenaran bersama kalian, di dalam kalian, dari kalian, dan untuk kalian. Kalianlah tambang kebenaran dan keputusan akhir ada pada kalian, ayat-ayat Allah di sisi kalian, cahaya dan burhan Allah ber-sama kalian”.

Siapa saja yang hendak menuju Allah dan menginginkan jalan, hidayah dan sabil-Nya, ia harus mengambil semua itu dari Ahlulbait as. dan mengikuti jalan mereka, karena Ahlulbait as. tidak mengajak selain kepada Allah, dan tidak menunjukkan kecuali kepada-Nya.
Disebutkan dalam ziarah Jami’ah:
“Kepada Allah kalian mengajak, kepada-Nya kalian tunjukkan, untuk-Nya kalian pasrahkan, sesuai perintah-Nya kalian bertindak, ke jalan-Nya kalian arahkan, dan atas dasar firman-Nya kalian menghakimi. Sungguh bahagia orang yang berwilayah pada kalian, dan celakalah orang yang memusuhi kalian, merugilah orang yang mengingkari kalian, tersesatlah orang yang berpisah dari kalian, menanglah orang yang berpegang teguh pada kalian, amanlah orang yang berlindung pada kalian, selamatlah orang yang membenarkan kalian dan terarahlah orang yang memegang erat kalian”.

Ketaatan

Inti sari wilayah adalah ketaatan dan kepasrahan. Ketaatan akan bernilai positif apabila dilakukan pada tempatnya, dan sebaliknya akan bernilai negatif apabila bukan pada tempatnya.
Begitu pula maksiat atau pembangkangan dan penolakan bernilai positif apabila terhadap tiran, dan bernilai negatif apabila terhadap Allah, Rasulullah dan Ahlulbaitnya sebagai pemimpin urusan Muslimin.

Ayat ketujuh belas dari surah Az-Zumar mengumpulkan dua masalah di atas dalam satu firman sebagai berikut:

﴿ وَ المذِينَ اجتَنَبُوا الطماغُوتَ أن يَعبُدُوهَا وَ أنَابُوا إلَی اللهِ لهَمُُ البُشرَی﴾

“Orang-orang yang menghindari pengabdian dari penguasa zalim dan kembali kepada Allah maka bagi mereka berita gembira”.
Dalam surah an-Nahl disebutkan:

﴿ أنِ اعبُدُوا اللهَ وَ اجتَنِبُوا الطماغُوتَ ﴾

“Dan hendaknya kalian menyembah Allah dan menghindari penguasa zalim”.[155]

Taat dan ibadah, penolakan dan penghindaran adalah satu hal, Allah telah memerintahkan kita untuk taat kepada-Nya, kepada Rasul-Nya, dan kepada wali amr (imam maksum) setelah Rasul-Nya:

﴿ أطِيعُوا اللهَ وَ أطِيعُوا المرسُولَ وَ اُولِِ الأمرِ مِنكُم ﴾

“Taatlah pada Allah dan taatlah pada Rasulullah serta ulul amr (pemimpin-pemimpin Islam) dari kalian”.
Dia juga memerintahkan kita agar menolak orang-orang zalim dan melawan mereka.

﴿ يُرِيدُونَ أن يَ تَحَاكَمُوا إلَی الطماغُوتِ وَ قَد اُمِرُوا أن يكفُرُوا بِه ﴾

“Mereka ingin mempercayakan pemerintahan kepada pemimpin zalim padahal mereka diperintahkan untuk mengingkarinya”.[156]

Ahlulbait as. adalah para wali amr tersebut setelah Rasulullah saw. yang harus dipatuhi dan pasrah terhadap apa yang mereka tuntut. Mereka adalah “pemimpin-pemimpin hamba Allah dan pilar negara”, dan mereka adalah “buktibukti Allah atas penghuni dunia”.

Tauhid dalam Ketaatan

Kita memiliki iman tertentu. Tidak ada iman yang lebih tinggi dari itu, yaitu bahwa ketaatan hanya untuk Allah semata, dan sama sekali tidak ada ketaatan untuk selain Allah kecuali dengan seijin dan perintah Dia, dan sesungguhnya ketaatan kepada Rasulullah dan keluarganya adalah termasuk ketaatan kepada Allah swt.

مَن أطَاعَكُم فَ قَد أطَاعَ اللهَ وَ مَن عَصَاكُم فَ قَد عَصَی الله

“Barangsiapa yang taat pada kalian sungguh dia taat pada Allah dan barang siapa membangkang pada kalian sungguh dia membangkang pada Allah”.[157]

Pasrah

Salah satu bukti ketaatan adalah pasrah, yaitu kondisi kepatuhan yang seutuhnya tanpa perlawanan dan penolakan sedikitpun. Dan salah satu kepasrahan yang paling menonjol adalah kepasrahan hati: “Dalam hal itu aku pasrah pada kalian, kuserahkan hatiku sepenuhnya untuk kalian dan kuikutkan pendapatku pada kalian”.[158]

Damai dengan Siapa yang Damai dengan Kalian dan Perang dengan Siapa yang Memerangi Kalian

Damai dan perang juga merupakan dua wajah wilayah dan baro’ah. Wilayah bukan hanya damai dengan para wali amr dan pemimpin Islam, melainkan ada dua kelanjutan yang sulit yaitu damai dengan mereka dan dengan siapa saja yang damai dengan mereka. Bahkan ini tidak cukup hanya dengan mereka saja, tetapi juga perang melawan siapa saja yang memerangi mereka as.
Pengertian yang dalam akan wilayah dan baro’ah ini, “silmun li man salamakum wa harbun li man harabakum”, akan mengatur peta politik masyarakat dalam sistem yang baru menuju kawasan damai dan kawasan perang. Dan bila saja diteliti lebih cermat, kata harb berarti pemisahan diri dari sesuatu, bukan pertempuran, tentu beda antara pemisahan atau penghindaran diri dari sesuatu dengan pertempuran.

Sesungguhnya hubungan sosial kita tidak tersistem sesuai dengan maslahat material dan politik, melainkan atas dasar wilayah dan baro’ah. Maka dari itu, ada kalanya kita memutuskan hubungan dari kerabat atau tetangga sendiri, sementara kita mempererat hubungan kita dengan orang-orang yang jauh secara ruang dan waktu.
Dalam ziarah Asyura disebutkan bahwa:

إ نّ سِلمٌ لِمَن سَالَمَكُم وَ حَربٌ لِمَن حَارَبَكُم وَ وَلٌِِّ لِمَن وَالَاكُم وَ عَدُوٌّ لِمَن
عَادَاكُم

“Sesungguhnya aku damai dengan siapa saja yang damai pada kalian, aku putus dari siapa saja yang memutuskan hubungan dengan kalian (perang), aku mendukung dan mencintai siapa yang mendukung kalian, dan aku musuh bagi siapa saja yang memusuhi kalian”.

Ada sebuah hadis musnad[159] dari Ammar yang meriwayatkan Rasulullah saw. bersabda tentang Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as.: 
“Sesungguhnya dia dariku dan aku darinya … melawan dia berarti melawanku, damai dan pasrah padanya berarti pasrah padaku, dan pasrah padaku berarti pasrah pada Allah”.

Tirmidzi dalam Shahihnya meriwayatkan dari Zaid bin Arqam bahwa Rasulullah saw. bersabda tentang Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as., Siti Fatimah, Imam Hasan dan Imam Husain sebagai berikut: “Aku lawan mereka yang menentang kalian, dan damai dengan mereka yang damai dengan kalian”.[160]

Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah dalam Sunan,
Rasulullah bersabda:
“Aku damai dengan siapa saja yang damai dengan kalian dan lawan bagi siapa saja yang melawan kalian”.[161]
Hadis ini diriwayatkan juga oleh Hakim dalam Mustadrak[162]

Begitu pula Ibnu Atsir Jazri dalam Usud ul-Ghabah,[163] Muttaqi dalam Kanzul Ummal,[164] Suyuthi dalam Durul Mantsur ketika menafsirkan ayat Tathhir dari surah al-Ahzab, juga Haitsami dalam Majma’ Zawa’id..[165]

Inilah arti tauhid dalam perlawanan dan damai. Maka perlawanan terhadap Ahlulbait as. dan damai dengan mereka berarti perlawanan terhadap Rasulullah saw. dan damai dengan beliau. Dan, perlawanan terhadap beliau dan damai adalah perlawanan terhadap Allah dan pasrah pada-Nya, begitulah seterusnya unsur-unsur wilayah dan baro’ah yang merupakan kategori pengesaan Tuhan.

Pembelaan dan Penuntutan

Masalah wilayah adalah masalah yang berat. Ia adalah sikap damai disertai perlawanan baik dalam kemudahan maupun dalam kesulitan. Andaikan masalah wilayah terbatas hanya pada kedamaian dan kemudahan niscaya ia sebagai perkara yang ringan. Akan tetapi, salah satu tuntutan wilayah yang berat ini adalah pertolongan dan penuntutan hak. Wilayah tidak akan berarti tanpa pembelaan sebagaimana Allah swt. berfirman:

﴿ وَ المذُينَ آوَوا وَ نَصَرُوا اُولئِكَ بَعضُهُم أولِيَاءُ بَعضٍ ﴾

“Orang-orang yang kembali dan membela; sebagian adalah wali bagi sebagian yang lain”.[166]

Wilayah yang benar juga tidak terlepas dari penuntutan balas. Wilayah yang tidak menugaskan pemiliknya untuk bertempur, melawan, memutus hubungan, usaha dan menghadapi bahaya bukanlah wilayah yang sebenarnya, dan wilayah seperti itu tidak lebih hanya sebuah gambar saja. Kita berharap dan meminta pada Allah dalam ziarah Asyura agar Dia memberi kesempatan kepada kita akan penuntutan balas darah-darah suci yang tumpah secara terzalimi di padang Karbala:

فَاسألُ اللهَ ال ذي أكرَمَ مَقَامَكَ وَ أكرَمَنِِ بِكَ أن يَرزُقَنِِ طَلَبَ ثََرِكَ مَعَ إمَامٍ
مَنصُورٍ مِن أهلِ بَيتِ مُحَممدٍ صَلمی اللهُ عَلَيهِ وَ آلِه

“Maka aku memohon pada Allah Yang telah memuliakan kedudukanmu dan memuliakanku karena dirimu agar Dia memberiku rejeki menuntut balas darahmu bersama imam yang tertolong dari Ahlulbait Rasululullah saw.”
Disebutkan juga di sana yang artinya:

“Dan aku memohon Dia agar menyampaikanku pada kedudukan yang termulia (maqom mahmud) bagi kalian di sisi Allah, dan semoga Dia memberiku rejeki menuntut balas darah kalian bersama imam pembawa hidayah yang akan menang dan berbicara secara benar dari Ahlulbait as.”.

Dan di ziarah Jami’ah kita mengikrarkan secara jelas akan kesiapan kita yang seutuhnya dalam membela: “Dan pembelaanku terhadap kalian sudah siap”.

Cinta dan Kasih Sayang

Unsur wilayah terhadap Ahlulbait yang berikutnya adalah cinta dan kasih sayang. Turun satu firman Allah mengenai masalah ini yang dimuat oleh al-Qur’an dan senantiasa dibaca oleh orang, yaitu:

﴿ قُل لَا أسألُكُم عَلَيهِ أجرًا إملا الموََمدةَ فِِ القُربَی ﴾

“Katakanlah—wahai Muhammad—aku tidak meminta kalian upah kecuali cinta kasih terhadap kerabatku”.[167]

Maksud dari kerabat Rasulullah adalah Ahlulbait beliau, dan tidak ada perselisihan pendapat dalam hal ini.

Inilah cinta kasih yang wajib yang diisyaratkan oleh teks ziarah Jami’ah: “Dan bagi kalian cinta kasih yang wajib dan kedudukan-kedudukan yang sangat tinggi”. Taat dan cinta merupakan ruh wilayah itu sendiri. Pernah suatu saat Imam Ja’far Ash-Shadiq as. ditanya tentang cinta; apakah cinta termasuk agama? Beliau menjawab: “Tiada lain agama adalah cinta, dan andaikan seseorang mencintai batu niscaya Allah akan mengumpulkannya bersama batu itu di Hari Kiamat nanti”.

Telah disebutkan berulang kali sebelum ini, cinta juga masuk dalam kategori tauhid. Barang siapa mencintai Allah dia harus mencintai Rasulullah dan Ahlulbaitnya. Demikian juga sebaliknya, orang yang mencintai Rasulullah saw. dan Ahlulbaitnya, maka dia mencintai Allah swt.

Rasulullah saw. bersabda tentang bagian pertama di atas: “Cintailah aku karena cinta Allah, dan cintailah Ahlulbaitku karenca cinta aku”.[168] Dan mengenai bagian kedua cinta beliau menyebutkan: “Barang siapa mencintai kalian sungguh dia telah mencintai Allah, dan barang siapa yang membenci kalian sungguh dia telah membenci Allah”.[169]

Begitu pula, orang yang mencintai Allah tentu mencintai orang-orang mukmin karena cinta mereka pada Allah, dan orang yang mencintai orang-orang beriman pasti mencintai Allah. Sudah barang tentu, seyogyanya kecintaan kepada Allah berada pada tingkat yang tertinggi dan terkuat dalam diri manusia. Dan hendaknya cinta kepada Allah mendominasi kehidupan manusia sehingga dia tidak lagi mencintai yang lain; hanya di jalan Allah.
Tentang bagian pertama di atas Allah berfirman sebagai berikut:

﴿ قُل إن كَانَ آبَاؤُكُم وَ أبنَاؤُكُم... أحَ م ب إلَيكُم مِن اللهِ وَ رَسُولِهِ وَ جِهَادٍ فِِ
سَبِيلِهِ فَ تَََبمصُوا حَتمی يََتَِِ اللهُ بَِمرِهِ وَ اللهُ لَا يَهدِي القَومَ الفَاسِقِيَْ ﴾

“Katakanlah –wahai Muhammad- apabila orang-orang tua dan anak-anak kalian serta… lebih kalian cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya serta jihad di jalan-Nya maka nantikanlah sampai Allah mendatangkan perkara-Nya, dan Allah tidak memberi petunjuk pada kaum yang fasiq”.[170]

Adapun cinta sadar yang berkembang dari cinta pada Allah adalah cinta yang kita perbincangkan tentang cinta kepada Ahlulbait as.. Cinta ini bukanlah cinta biasa yang dangkal sebagaimana dirasakan manusia dalam kehidupan mereka pada umumnya. Cinta sadar kepada Ahlulbait as. adalah cinta yang berawal dari cinta Allah swt.
Cinta sadar ini memiliki beberapa kriteria yang menonjol sebagai berikut:
Kriteria pertama: cinta sadar tidak terpisah dari baro’ah dan perlawanan. Semua cinta bersisipan dengan permusuhan dan kebencian, rela dengan amarah, wilayah dengan baro’ah dan penentangan. Adapun cinta tanpa permusuhan dan kebencian hanyalah cinta sederhana yang dangkal.
Ada seorang lelaki menemui Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. dan berkata:
“Aku mencintaimu dan mencintai musuh-musuhmu”. Maka beliau berkata padanya: 
“Adapun sekarang kamu juling dan bermata satu (kamu melihat dengan pandangan yang kurang), kamu antara dua pilihan; buta atau melihat”.
Disebutkan juga dalam ziarah: “Aku berwilayah pada kalian dan pada wali-wali kalian, dan aku benci pada musuh kalian serta melawannya”.
Kriteria kedua: cinta sadar memiliki perpanjangan dan perluasan di tengah masyarakat sebagaimana dia adalah kelanjutan dari cinta Allah, karena sesungguhnya cinta pada Allah meluas pada mereka dan juga pada kekasih mereka;
“berwilayah pada kalian dan pada wali atau kekasih kalian”.
Tidak mungkin manusia mencintai seseorang di jalan Allah tapi tidak mencintai orang yang dicintai-Nya.
Kriteria ketiga: cinta sadar akan berevolusi menjadi sikap praktis di medan peperangan dan perdamaian; “aku damai dengan siapa saja yang damai bersama kalian, dan aku melawan siapa saja yang melawan kalian”.
Kriteria keempat: cinta pada Allah dan benci di jalan Allah menggariskan peta politik yang sempurna dalam hubungan sosial, baik konstruktif atau destruktif, damai atau permusuhan, penyambungan atau pemutusan hubungan di tengah masyarakat yang luas secara terperinci.

Pembenaran dan Pembatilan

Wilayah kepada Ahlulbait as. mengharuskan kita untuk melindungi kehormatan budaya dan khazanah ilmu mereka.
Oleh karena itu, kita harus membenarkan apa yang mereka benarkan dan menyalahkan apa yang mereka salahkan.
Area peradaban dan pemikiran dalam sejarah Ahlulbait as. merupakan sasaran utama bagi serangan yang dilancarkan musuh-musuh mereka. Dan para faqih Ahlulbait as. dan ulama mazhab ini bertanggung jawab menjaga ajaran, budaya, sistem hukum dan khazanah mereka demi Islam.
Pembenaran dan pembatilan dalam kerangka ini akan terealisasi dalam bentuk jihad, perlawanan, damai dan peperangan, sebagaimana dilukiskan juga oleh ziarah Jami’ah: “Aku damai dengan siapa saja yang damai dengan kalian, aku lawan siapa saja yang melawan kalian, aku pembenar apa yang kalian benarkan dan aku penyalah apa yang kalian batilkan”.

Pusaka dan Penantian

Wilayah dan berwilayah senantiasa berlangsung sepanjang sejarah sampai masa depan. Jaman tidak akan pernah mengalami kekosongan dari wilayah sejak awal sejarah manusia, yaitu Nabi Adam dan Nabi Nuh as. sampai penghujung sejarah nanti di saat Imam Mahdi af, putera Nabi, muncul kembali dan memenuhi muka bumi dengan keadilan serta mewarisi bumi dengan mengambilnya dari tangan orang-orang yang zalim. Semua itu adalah realisasi dari janji Allah swt. sebagaimana dimuat dalam Taurat dan Injil.

﴿وَ لَقَد كَتَب نَا فِِ المزبُورِ مِن بَعدِ ال ذِكرِ أ م ن الأرضَ يَرِثُ هَا عِبَادِيَ ال م صالُِْونَ ﴾

“Telah Kami tetapkan dalam Zabur setelah kami tetapkan juga dalam Taurat, bahwa bumi akan diwarisi oleh hamba-hambaku yang saleh”.[171]

Kata dzikr dalam ayat itu ialah Taurat. Ini janji Allah dalam Taurat, Zabur dan al-Qur’an, bahwa Ahlulbait as. mewarisi para nabi dan orang-orang saleh sepanjang sejarah. Mereka mewarisi shalat, puasa, zakat, haji dan dakwah kepada Allah. Ziarah Warits kepada Imam Husain as. mengutarakan dengan baik kepewarisan ilmu, peradaban, budaya, jihad dan risalah untuk beliau dari para nabi as. Ziarah ini memaparkan konsep peradaban dan khazanah yang dalam:

“Salam bagimu—Imam Husain—wahai pewaris Adam, pilihan Allah. Salam bagimu wahai pewaris Nuh, nabi Allah. Salam bagimu wahai pewaris Ibrahim, kekasih Allah.
Salam bagimu wahai pewaris Musa, kalimullah. Salam bagimu wahai pewaris Isa, ruh Allah…!”

Pewarisan ini terus berdenyut di sepanjang nadi sejarah semenjak Nabi Adam dan Nuh as. sampai Rasulullah saw. dan Ali bin Abi Thalib as. Sedangkan Imam Husain as. di padang Karbala, di Hari Asyura, telah mengejewantahkan semua warisan dan pusaka tersebut; warisan khazanah, kultur, peradaban dan jihad yang tegar.

Maka dari itu, seperti yang kita amati di atas, wilayah memiliki gugusan historis yang tertanam sangat dalam di lubuk sejarah. Ahlulbait as. adalah orang yang mewarisi perjalanan panjang dan saleh ini dari para nabi. Sementara kita mewarisi sejarah ini dari Ahlulbait as.

Kita mewarisi shalat, puasa, haji, zakat, amar makruf dan nahi munkar, jihad, dakwah pada Allah, zikir, ikhlas, dan seluruh nilai-nilai tauhid yang lain. Dengan demikian kita tidak menjadi seperti orang yang difirmankan Allah:

﴿ فَخَلَفَ مِن بَعدِهِم خَلفٌ اَضَاعُوا ال م صلََةَ ﴾

“Maka datang generasi berikutnya setelah mereka yang menghilangkan shalat”.[172]

Melainkan kita senantiasa menjaga dan mendirikan shalat dan mengajak orang lain kepadanya, sebagaimana ulamaulama dulu kita menjaganya sebelum kita, dan semoga kita tergolong orang yang menerima firman Allah swt. ini:

﴿ وَأمُر أهلَكَ بِال م صلََةِ وَ اصطَبَِ عَلَيهَا ﴾

“Dan perintahkan keluargamu untuk shalat dan sabarlah untuk itu”.[173]

Maka itu, kita akan senantiasa menjaga warisan Ilahi yang agung ini dan yang telah kita warisi dari salaf kita yang saleh, dari generasi ke generasi, baik di dalam diri kita sendiri maupun di tengah keluarga dan masyarakat. Inilah perjalanan wilayah sepanjang sejarah dan ini adalah warisan kita dari sejarah masa lalu.

Di samping itu, wilayah juga memiliki perjalanan ke masa depan menusuk sampai ke era mendatang, di saat kita menantikan munculnya Imam Mahdi as. dan menunggu kelapangan serta kemenangannya yang besar. Yaitu sebuah revolusi universal sebagaimana diberitakan oleh Allah kepada kita dalam al-Qur’an juga dalam Taurat serta Zabur:

﴿وَ لَقَد كَتَبنَا فِِ المزبُورِ مِن بَعدِ ال ذِكرِ أ م ن الأرضَ يَرِثُها عِبَادِيَ ال م صالُِْونَ ﴾

“Telah Kami tetapkan dalam Zabur setelah kami tetapkan juga dalam Taurat, bahwa bumi akan diwarisi oleh hamba-hambaku yang saleh”.

Penantian tidak berarti pasif seperti orang yang menunggu gerhana bulan atau matahari, akan tetapi aktif dan positif sebagaimana yang tampak dari teks-teks yang menjelaskan konsep penantian tersebut; yaitu penyiapan secara politis, kultur dan aktif di bumi ini demi mempersiapkan tanah air dan masyarakat untuk kehadiran Imam Mahdi af. sebagai pemimpin revolusi universal yang besar.

Berdasarkan arti positif, penantian ialah amar makruf dan nahi munkar, menyeru kepada Allah, berjihad melawan orang-orang dzalim, mengangkat kalimat Allah, menegakkan shalat, nilai-nilai Ilahi di bumi dan hal-hal lain yang berperan dalam persiapan revolusi universal yang besar.

Ziarah Jami’ah juga mengisyaratkan aspek masa depan dari wilayah ini:
“Aku menanti pemerintahan dan negara kalian”,
“Sampai akhirnya Allah menghidupkan agama-Nya dengan kalian, mengembalikan kalian di hari-hari-Nya, memenangkan kalian demi keadilan-Nya, dan memudahkan kalian di muka bumi-Nya”. Kalimat terakhir ini mengacu pada bagian pertama surah al-Qashash:

﴿وَ نُرِيدُ أن نََُّ م ن عَلَی المذِينَ استُضعِفُوا فِِ الأرضِ وَ نََعَلَهُم أئِممةً وَ نََعَلَهُمُ
الوَارِثِيَْ ﴾﴿ وَ نََُّ كِنَ لهَمُ فِِ الأرضِ ...﴾

“Dan kami hendak memberi anugerah pada mereka yang tertindas di bumi dan kami jadikan mereka sebagai pemimpin serta kami jadikan mereka pewaris, dan kami mudahkan bagi mereka di muka bumi…”.[174]

Penantian ini mengkristal secara praktis dalam gerakan, kesungguhan, kesabaran, ketegaran, penghancuran, pembangunan, upaya ke arah penegakan agama Allah di muka bumi, dan persiapan untuk berdirinya daulat Ilahi di atas bumi. Caranya ialah mengajak kepada Allah, memerintahkan yang makruf dan mencegah yang munkar, memerangi kebatilan dan kemunkaran serta berjuang melawan pemerintahan dan pemimpin yang kafir.

Berikut ini nada syahdu dari ratapan kaum mukmin

karena berpisah dari imam dan menanti kedatangannya:
Di manakah baqiyyatullah yang tidak akan pernah kosong dari keluarga pemberi hidayah
Di manakah dia yang dipersiapkan untuk menumpas pangkal kedzaliman?
Di manakah dia yang dinanti untuk meluruskan yang simpang?
Di manakah dia yang diharapkan untuk memusnahkan kezaliman dan kejahatan?
Di manakah dia yang disimpan untuk menghidupkan kewajiban dan sunnah?
Di manakah dia yang dipilih untuk mengembalikan agama dan syariat?
Di manakah dia yang didambakan untuk menghidupkan kitab dan batas-batasnya?
Di manakah dia sang penghidup ajaran-ajaran agama dan penganutnya?
Di mana dia penghantam kekuatan manusia-manusia jahat?
Di manakah dia sang penghancur kesyirikan dan kemunafikan?
Di manakah dia sang pemusnah kaum fasik, durjana dan tiran?
Di manakah dia sang pemutus jaring kebohongan dan fitnah?
Di manakah dia sang pemusnah kaum penerjang, sang pencabut akar para perusak, sesat dan kafir?
Di manakah dia yang memuliakan para wali dan menghinakan semua lawan?
Di manakah dia sang penghimpun kata takwa?
Di manakah dia sang gerbang Allah yang harus dimasuki?
Di manakah dia sang pemilik hari kejayaan dan pengibar bendera hidayah?
Di manakah dia sang penyusun damai dan rela?
Di manakah dia sang penuntut balas para nabi dan anak-anak mereka?
Di manakah dia sang penuntut darah Husain yang terbunuh di Karbala?
Di manakah dia yang dibantu melawan para pembangkang dan penebar fitnah?
Di manakah orang terdesak yang dikabulkan jika berdoa?
Di manakah dia sang putera Nabi Mustafa, putera Ali Murtadha, putera Khadijah yang mulia, putera Fathimah yang agung?”[175]
Penantian adalah gabungan antara ratapan syahdu dan praktek yang serius dalam amar makruf dan nahi munkar serta jihad melawan orang-orang zalim demi mempersiapkan bumi untuk kemunculan, kelapangan dan kebangkitan Imam Mahdi af.

Ratapan syahdu dalam hati orang mukmin akan berubah menjadi tindakan, gerakan, usaha keras, revolusi, kebangkitan, kesabaran, keteguhan, perlawanan, ketabahan, perjuangan, dakwah, penghancuran dan pembangunan.
Semua itu untuk mempersiapkan bumi untuk kemunculan Imam Mahdi af. dan kebangkitannya dalam rangka mendirikan kedaulatan Ilahi yang universal sebagaimana dijanjikan oleh Allah dalam al-Qur’an: “wa laqod katabna fiz zaburi min ba’diz dzikri”.
Sudah barang tentu, kebangkitan Imam Mahdi af. akan berlangsung pasca generasi yang melapangkan bumi untuk kemunculan dan kebangkitan tersebut. Hal ini dipertegas oleh teks-teks Islam yang mutawatir. Generasi itulah yang mempersiapkan bumi sehingga Imam Mahdi af. muncul.

Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa penantian adalah gerak mempercepat persiapan tersebut dengan caracara: amar makruf, nahi munkar, jihad, gerakan dan amal.

Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, wilayah adalah pusaka sekaligus juga penantian. Pusaka, karena wilayahlah yang menarik kita ke perjalanan para nabi dan orang-orang saleh sepanjang sejarah silam. Dan penantian, karena wilayahlah mengajak kita menuju harapan cerah yang akan dibuka lebar oleh Allah di hadapan kita di masa yang akan datang. Namun begitu, harapan itu harus selalu dibarengi dengan usaha keras, jihad dan amal sehingga dengan ijin Allah menjadi kenyataan, tidak sekedar menanti dan menunggu tanda-tanda kemunculan Imam Mahdi af.

Ziarah

Elemen dan pengaruh lain dari wilayah adalah ziarah. Yang dimaksud dengan ziarah di sini adalah kondisi yang sudah jelas saat kita menjalin hubungan dengan Ahlulbait as. Kita komitmen pada mereka, mengajak orang lain agar mengikuti mereka. Ziarah dalam ruang lingkup wilayah memuat budaya, tradisi, dan teks-teks yang selalu kita baca dan kaya akan pemikiran serta konsep peradaban tentang wilayah yang mendalam dan luas dalam kehidupan manusia.
Tujuan dari ziarah adalah solidarisasi organik dan kultural melalui pembinaan yang terarah sepanjang sejarah.

Dan kita adalah bagian dari perjalanan yang sarat dengan nilai-nilai tauhid ini; penuh ikhlas, takwa, shalat, jihad, zakat, amar makruf, zikir, syukur, sabar, kekuatan dan…
Kita adalah bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan penuh berkah ini, yang berawal dari Ahlulbait as. dan bersambung sampai ke gerakan para nabi; mulai dari Nabi Adam sampai Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan nabi-nabi yang lain … Ya, inilah bagian dari gugusan panjang, bagian dari pergulatan sejarah antara Islam dan Jahiliyah, antara tauhid dan syirik pada setiap fase perjalanan, dan bagian dari pohon mulia yang akarnya terhujam di lubuk sejarah yang paling dalam.
Kita adalah dahan-dahan pohon itu, dan sepantasnya kita menjaga keanggotaan kita dalam pohon tersebut:

﴿ ألََ تَ رَ كَيفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلًَ كَلِمَةً طَي بَةً كَشَجَرَةٍ طَي بَةٍ أصلُهَا ثََبِتٌ وَ
فَرعُهَا فِِ ال م سمَاءِ ﴾

“Tidakkah kamu lihat bagaimana Allah membawakan perumpamaan kalimat yang indah dengan pohon mulia yang pokoknya kokoh dan cabangnya di langit”.[176]

Kita harus memperdalam komitmen kita pada keanggotaan pohon tersebut dalam intuisi, hati dan akal kita. Sejauh komitmen organik dengan syajarah thayyibah dan Keluarga penuh berkah ini menguat dan mendalam, sejauh itu pula kita akan bertambah kesabaran dan kesolidan kita melawan tantangan yang bertubi-tubi, dan kita akan bertambah teguh dalam menjalani lintas yang berduri dan melampaui krisis yang kita hadapi sepanjang jalan.

Dan ziarah merupakan bagian dari faktor utama dalam upaya penguatan tersebut. Ziarah menciptakan atmosfir emosional yang kental sehingga keanggotaan kita bersama Keluarga penuh berkah ini dalam peradaban, pergerakan dan perjalanan yang mulia menjadi lebih kuat.

Teks-teks yang datang dari Ahlulbait untuk berziarah kepada Rasulullah saw., Imam Ali bin Abi Thalib as., Fatimah Az-Zahra, Imam Hasan, Imam Husain dan Imamimamyang lain serta para nabi, wali Allah dan orang-orang mukmin yang saleh, penuh dengan kekayaan peradaban dan budaya yang jelas, memuat konsep-konsep penguatan jalan yang lurus, keanggotaan dalam Keluarga yang penuh berkah, dan penegasan atas perlawanan terhadap musuhmusuh mereka, terhadap siapa saja yang anti mereka serta yang menyulut api permusuhan terhadap mereka.
Sebelumnya, saya telah menulis kajian seputar ziarah di pasal akhir dari buku yang berjudul ad-Du’a ‘Inda Ahlilbait as. (doa menurut Ahlulbait as.), dan saya cukupkan sampai di sini sekilas tentang ziarah. Adapun perinciannya, pembaca bisa merujuk buku tersebut.[]



TINGKATAN DAN RAIHAN WILAYAH KEPADA AHLULBAIT AS.



Di pasal ini kita akan berbicara tentang poin terakhir dari rangkaian pembahasan sebelumnya, yaitu tangga wilayah dan raihannya. Wilayah dan baro’ah adalah dua tangga pendakian manusia menuju Allah swt. Dengannya manusia dapat naik peringkat dekat di sisi Allah serta meraih keridhaan-Nya.

Kedekatan dan keridhaan Allah tidak mungkin tercapai kecuali dengan dua tangga dan sarana tersebut. Di bawah ini marilah kita perhatikan beberapa hadis dari Ahlulbait as. berkaitan dengan tangga wilayah dan baro’ah.

Kehidupan Rasulullah dan Keluarganya di Dunia dan Akhirat

Abdullah bin Walid meriwayatkan bahwa:
“Suatu hari kami menemui Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as.. Pada masa itu Marwan berada di puncak kekuasaan. Beliau berkata pada kami: 

'Kalian datang dari mana?'

"'Kami dari warga Kufah', jawab kami singkat.

"Beliau berkata: 'Tidak ada negeri yang lebih banyak pecinta Ahlulbaitnya daripada Kufah, khususnya kelompok ini. Sesungguhnya Allah telah menuntun kalian kepada hal yang tidak diketahui oleh masyarakat umum. Oleh karena itu, kalian mencintai dan mengikuti kami di saat mereka memusuhi, kalian membenarkan kami di saat mereka menentang, dan di saat mereka mendustakan kami, justru kalian dihidupkan oleh Allah sebagaimana hidup kami dan dimatikan oleh Allah sebagaimana mati kami. Maka aku bersaksi atas nama ayahku bahwa dia senantiasa berkata:
'Jarak antara kalian dengan saat kebahagiaan yang membuat orang lain iri terhadap kalian tidak lebih dari sampainya ruh ke sini (beliau menunjuk ke tenggorokan dengan tangannya; artinya saat kematian). Sungguh Allah swt. berfirman dalam kitab-Nya:

﴿ وَ لَقَد أرسَل نَا رُسُلًَ مِن قَبلِكَ وَ جَعَلنَا لهَمُ أزوَاجًا وَ ذُ ريمة ﴾

“Dan sungguh telah kami utus para rasul sebelum kamu serta kami berikan pada mereka istri dan keturunan”.[177]
"'Dan kami adalah keturunan Rasulullah saw'".[178]

Dalam ziarah Asyura disebutkan:

وَ أحيِنَا مَحيَا مُحَممدٍ وَ آلِ مُحَممد وَ أمِتنَا مَََاتَ مُحَممدٍ وَ آلِ مُحَممد

“Ya Allah! Hidupkanlah kami sebagaimana kehidupan Nabi Muhammad dan keluarganya, matikanlah kami sebagaimana kematian Nabi Muhammad dan keluarganya”.

Allah Menebarkan Kemuliaan pada Mereka

Rasulullah saw. bersabda: “Allah swt. berfirman kepada Syi’ahku (pengikutku) dan Syi’ah Ahlulbaitku (pengikut keluargaku) di Hari Kiamat kelak: ‘Kemarilah wahai hambahamba-Ku, akan Kutebarkan kemuliaan pada kalian, karena kalian sungguh telah teraniaya di dunia’”.[179]

Mereka Berpegang Teguh pada Kami, Ahlulbait as., dan Kami Berpegang Teguh pada Rasulullah saw.

Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata bahwa ayahnya; Imam Muhammad Baqir as. sering berkata:

اِ ن شيعتَنا آخِذُون بِجزَتِنا و نحنُ آخذون بِجزةِ نبي نا ونبيُنا آخذون بِجزةِ الله

“Sesungguhnya Syi’ah kita berpegang teguh pada kita dan kita berpegang teguh pada Nabi, dan Nabi berpegang teguh pada Allah”.[180]

Allamah Majlisi mengatakan: akhodztu bihujzatir rohman sama dengan I’tashomtu, yakni aku berpegang teguh pada- Nya.[181]

Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata:
“Tatkala Hari Kiamat datang, Rasulullah berpegang teguh pada Allah, Amirul Mukminin Ali berpegang teguh pada Rasulullah, kami berpegang teguh pada Ali, dan Syi’ah kami berpegang teguh pada kami. Maka ke manapun kalian melihat, niscaya Rasulullah mendatangkan kami”[182]

Imam Ali bin Husain Zainul Abidin as. berkata:
“Orang yang paling berhak untuk warak dan berupaya keras meraih cinta dan keridhaan Allah adalah para wasi dan pengikut mereka. Tidakkah kalian rela ketika tiba-tiba sesuatu yang sangat menakutkan datang dari langit, lalu setiap kaum berlindung ke tempat-tempat aman mereka, adapun kalian berlindung pada kami, dan kami berlindung pada Rasulullah.
Sungguh Rasulullah berpegang teguh pada Allah, dan kami berpegang teguh padanya dan Syi’ah kami berpegang teguh pada kami”.


Rejeki Allah pada Mereka di Akhirat

Jabir bin Abdillah Ansari berkata:
“Suatu hari aku bersama Rasulullah saw., tiba-tiba Ali bin Abi Thalib as. mengampiri.
Lalu beliau bersabda:
'Apakah kamu tidak ingin berita gembira dariku wahai Abul Hasan (Ali)?'
Ali pun berkata:
'Tentu wahai Rasulullah!'
Beliau bersabda:
'Jibril membawa berita untukku dari Allah, bahwa Dia telah memberikan sembilan keistimewaan kepada Syi’ahmu dan orang-orang yang mencintaimu: kelembutan saat mati, kesenangan saat terasing, cahaya saat kegelapan, aman saat ketakutan, bagian yang banyak saat timbangan, melintasi shirot (dengan selamat), masuk surga sebelum semua orang, dan cahaya mereka bersinar menyelimuti dari depan dan samping”.[183]

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. berkata:
“Di Hari Kiamat nanti, orang yang berwilayah pada kami akan bangkit dari kuburnya dalam keadaan wajah bersinar, aurat tertutup, aman dari segala hal yang menakutkan, lapang dari semua kesulitan, mudah dalam segala urusan, orangorang pada ketakutan tapi mereka tidak takut, orang-orang pada bersedih tapi mereka tidak bersedih”.[184]

Ibnu Abbas berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah saw. tentang firman Allah yang berbunyi:

﴿ وََ ال م سابِقُونَ ال م سابِقُونَ ﴾َ﴿ اَُولئِكَ المقَُمربُونَ ﴾َ﴿ فَِِ جَنماتِ النمعِيم ﴾َََ

“Dan orang-orang yang mendahului, orang-orang yang mendahului, mereka adalah orang-orang yang terdekat, di dalam surga-surga Na’im”.[185]

"Lalu beliau bersabda: 'Jibril as. berkata; mereka adalah Ali dan Syi’ahnya. Merekalah orang-orang yang mendahului masuk surga dan terdekat di sisi Allah dengan kemuliaan yang Dia berikan kepada mereka'”.[186]



Bersama dan Dari Kami

Imam Ali Ridha as. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Aku dan dia, maksud beliau adalah Ali, seperti dua ini (beliau menggabungkan dua jarinya) dan Syi’ah kami akan bersama kami, dan orang yang membantu orang zalim juga bersama kami”.[187]

Umar bin Yazid berkata: "Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Wahai Ibnu Yazid, demi Allah kamu termasuk dari kami Ahlulbait”. Kukatakan pada beliau: “Semoga aku menjadi tebusan untukmu! Benarkah aku dari keluarga Muhammad (saw.)?”. Beliau menjawab: “Iya, demi Allah kamu dari diri mereka sendiri. Tidakkah kamu membaca firman Allah swt. yang berbunyi:

﴿ اِ م ن اَولَی النماسِ بِِبرَاهِيمَ لَلمذِينَ اتم بَعُوهُ وَ هذَا النم ب الاُ ميُّ ﴾َ

“Sesungguhnya orang yang paling berhak dengan Ibrahim adalah mereka yang mengikutinya dan Nabi ini”.[188]

Dan tidakkah kamu membaca firman-Nya:
﴿ فَمَن تَبِعَنِِ فَإ نمهُ مِ نِ ﴾

“Dan barangsiapa yang mengikutiku maka dia adalah dariku”.[189]

Diriwayatkan juga dari Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata:
“Syi’ah kami adalah bagian dari kami. Apa yang mengganggu mereka juga mengganggu kami, dan apa yang menyenangkan mereka juga menyenangkan kami. Karena itu, apabila seorang dari mereka menghendaki kami, maka hendaknya dia menuju ke arah mereka, karena merekalah yang mengantarkannya sampai kepada kami”.[190]

Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata:
“Siapa yang mendukung keluarga Muhammad dan mendahulukan mereka dari semua orang sebagaimana Allah mendahulukan mereka bersama kerabat Rasulullah saw., maka dia termasuk keluarga Muhammad karena kedudukannya di sisi keluarga Muhammad. Kedudukan itu diperoleh karena dia mendukung dan mencintai serta mengikuti mereka, begitulah Allah menentukan dalam firman-Nya:

﴿ وَ مَن يَ تَوَملهمُ مِنكُم فَإنمهُ مِنهُم ﴾

“Dan siapa dari kalian yang mencintai dan mendukung mereka maka dia termasuk golongan mereka”.[191]
“Begitu pula tutur Nabi Ibrahim yang disinyalir al-Qur’an:

﴿ فَمَن تَبِعَنِِ فَإنمهُ مِ نِ ﴾

“Dan orang yang mengikutiku sungguh dia dariku”.[192]

Menang dan Bahagia

Jabir bin Yazid meriwayatkan dari Imam Muhammad Baqir as., dari Ummu Salamah istri Rasulullah saw. berkata:
“Aku mendengar Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya Ali dan Syi’ahnya adalah orang-orang yang menang”.[193]


Bersama Syuhada’ karena Wilayah dan Baro’ah

Dalam sebuah hadis shahih, Rayyan bin Syubaib, paman Mu’tashim, berkata:
“Di hari pertama Bulan Muharram, aku menemui Abul Hasan Imam Ali Ridha as. Setelah perbincangan panjang beliau berkata kepadaku: 
“Wahai Ibnu Syubaib, jika kamu menangis karena sesuatu, tangisilah karena Husain bin Ali bin Abi Thalib as.. Karena sesungguhnya dia disembelih seperti domba dan (delapan belas) pria dari keluarga beliau yang tidak ada padanannya di muka bumi ini telah dibunuh bersamanya.
“Wahai Ibnu Syubaib, jika kamu ingin tinggal bersama Rasulullah saw. di kamar-kamar surga, maka laknatlah orang yang memerangi dan membunuh Husain as.
“Wahai Ibnu Syubaib, jika kamu ingin mendapatkan pahala seperti pahala orang yang syahid bersama Husain as., maka katakanlah setiap kali mengingatnya:

يََ لَيتَنِِ كُنتُ مَعَهُم فَأفُوزَ فَوزًا عَظِيمًا

“Sekiranya aku bersama mereka sehingga aku pun mendapatkan kemenangan yang agung!"
“Wahai Ibnu Syubaib, jika kamu ingin bersama kami di derajat-derajat tinggi surga, maka bersedihlah karena kesedihan kami, bergembiralah karena kegembiraan kami, dan berwilayalah kepada kami. Karena seorang yang mencintai batu pun niscaya dikumpulkan oleh Allah bersama batu itu di Hari Kiamat”.[194]
Hadis di atas ini shahih dan, tentunya, mengejutkan setiap pembacanya dan membuatnya tertegun. Kalau bukan karena keshahihan silsilah sanad hadis ini, niscaya kita akan mengategorikannya sebagai suatu yang dilebih-lebihkan seperti yang kita dapatkan dalam hadis-hadis mursal dan dha’if.[195]

Coba bacalah kembali kalimat yang menarik dari hadis di atas, “Wahai Ibnu Syubaib, jika kamu ingin mendapatkan pahala seperti pahala orang yang syahid bersama Husain as., maka katakanlah setiap kali mengingatnya:

يََ لَيتَنِِ كُنتُ مَعَهُم فَأفُوزَ فَوزًا عَظِيمًا

“Seandainya aku bersama mereka sehingga aku pun mendapatkan kemenangan yang agung”.

Apabila harapan seperti ini tulus dan sungguh-sungguh, dan jika benar kerelaan terhadap tindakan Imam Husain as. beserta sahabatnya dan murka atas kejahatan Bani Umayyah beserta pengikut mereka adalah tulus dan nyata, maka orang yang berharap, rela dan murka tersebut akan terhitung sebagai orang yang berwilayah dan mencintai Imam Husain as., dan mendapatkan pahala sebagaimana sahabat beliau yang syahid bersamanya. Dengan begitu, niat dan kesadaran berevolusi menjadi tindakan demi Allah swt. Yakni; niat digabungkan dengan tindakan demi Allah.

Tentunya, apabila niat itu benar-benar jujur maka ini merupakan revolusi yang sangat menakjubkan. Hubungan antara niat dan tindakan dan revolusi niat menjadi tindakan dalam hal pahala dan balasan. Ini adalah hukum dan satu sistem sebagaimana terdapat juga perubahan materi menjadi energi dalam ilmu Fisika. Ini merupakan kaidah yang aneh dalam segi positif dan negatif, dalam pahala dan siksa dalam arti yang sesungguhnya.

Sebagaimana niat beramal saleh akan menggabungkan pemiliknya dengan pahala amal orang saleh, niat berbuat zalim atau rela akan kezaliman juga akan menggabungkan pemiliknya dengan siksa orang yang zalim.
Muhamad bin Arqath berkata: “Aku menjumpai Imam
Ja’far Ash-Shadiq as. di Madinah”.
Beliau berkata:
“Apakah kamu singgah di Kufah?”
Kujawab: “Iya”.
Kemudian beliau bertanya lagi: “Berarti kamu melihat orang-orang yang memerangi Husain as.?”
Kukatakan padanya:
“Semoga diriku menjadi tebusan untukmu, aku tidak melihat seorang pun dari mereka”.
Beliau menimpali jawabanku: “Itu berarti kamu tidak melihat pembunuh—atau orang yang memerangi—kecuali hanya orang yang secara langsung membunuh atau mendukung pembunuhan itu? Bukankah kamu dengar firman Allah swt. yang berbunyi:

﴿ قَد جَائَكُم رُسُلٌ مِن قَبلِي بِالبَي نَاتِ وَ بِالمذِي قُلتُم فَلِمَ قَ تَلتُمُوهُم إن كُنتُم
صَادِقِيَْ ﴾

“Telah datang pada kalian utusan-utusan Tuhan sebelumku dengan membawa bukti-bukti dan dengan apa yang kalian katakan, lalu kenapa kalian bunuh mereka jika memang kalian benar”.
“Siapa utusan Allah (rasul) yang telah dibunuh oleh orangorang yang dihadapi Rasulullah saw., sementara tidak ada satu utusan pun di masa antara Nabi Isa as. dan Rasulullah saw.? Sesungguhnya mereka adalah orang yang rela atas pembunuhan rasul-rasul Tuhan tersebut. Oleh karena itu, mereka disebut sebagai orang yang zalim dan pembunuh”.
Ayat yang diisyaratkan oleh Imam Ja’far Ash-Shadiq as. adalah ayat 82 dan 83 dari surah Al-Imran, lengkapnya adalah sebagai berikut:

اَلمذِينَ قَالُوا إ م ن اللهَ عَهِدَ إلَينَا أملا نُؤمِنَ بِرَسُولٍ حَتمی يََتينَا بِقُربَانٍ تََكُلُهُ
النمارُ قُل قَد جَائَكُم رُسُلٌِ من قَبلِي بِالبَي نَاتِ وَ بِالمذِي قُلتُم فَلِمَ قَ تَلتُمُوهُم إن
كُنتُم صَادِقِيَْ ﴾

“Orang-orang yang berkata sesungguhnya Allah telah mengambil janji dari kita untuk tidak beriman pada seorang utusanpun sampai dia bawakan—mukjizat—korban yang disambar api [semacam petir], katakanlah— kepada mereka wahai Muhammad—telah datang kepada kalian utusan-utusan Tuhan sebelumku dengan membawa bukti-bukti dan dengan apa yang kalian katakan, lalu kenapa kalian bunuh mereka jika memang kalian benar”.

Sudah pasti maksud yang dituju oleh firman Allah “lalu kenapa kalian bunuh mereka jika memang kalian benar” adalah orang Yahudi yang hidup pada zaman Rasulullah saw. Juga sudah pasti, mereka tidak membunuh seorang nabi pun. Ada jarak enam abad antara mereka dengan orang yang membunuh serta memerangi utusan Allah. Kendatipun begitu al-Qur’an tetap menisbatkan pembunuhan itu kepada mereka secara harfiah, bukan secara metaforis seperti ayat “fas’alul qoryah”.

Tidak ada satu pun alasan atau penafsiran yang dapat membenarkan penisbatan ini kecuali apabila kita mengerti dan menerima kaidah umum berupa kesamaan niat, rela dan murka dengan perbuatan yang diniatkan, direstui atau dimurkai.

Niat dan harapan yang benar, rela dan murka yang benar, semua itu bernilai penuh seperti amal yang diniatkan, diharapkan, diridhoi dan dimurkai. Penisbatan amal pada orang yang meniatkan, mengharapkan, dan merestuinya secara sungguh-sungguh adalah benar, sebagaimana disinyalir oleh al-Qur’an.

Syarif Radhi meriwayatkan dalam Nahjul Balaghah:
“Setelah Allah swt. memenangkan Amirul Mukminin as. terhadap pasukan musuh di Perang Jamal, sebagian sahabatnya berkata kepada beliau:
‘Sungguh aku menginginkan saudaraku juga turut hadir menyaksikan kemenangan yang diberikan Allah kepadamu atas musuh-musuhmu’.
Beliau berkata:
‘Apakah hati saudaramu bersama kita?’
Dia menjawab:
‘Iya’.
Maka beliau berkata:
‘Berarti dia bersama kita, sungguh telah hadir di tengah pasukan kita suatu kaum yang masih berada di tulang rusuk pria dan rahim wanita, zaman akan menjadi baik dengan keberadaan mereka dan iman akan menguat karena mereka’”.

Ini adalah hukum Allah yang mengumpulkan kita bersama amal orang yang saleh, dan menggabungkan kita bersama mereka dalam pahala. Oleh karena itu, kita akan dipertemukan bersama para nabi, wali Allah, dan orang yang beramal saleh apabila kita betul-betul meniatkan, merestui, mencintai, dan mengharapkan amal perbuatan mereka.

Sebaliknya juga demikian, yakni barang siapa yang merestui, meniatkan, dan membela perbuatan orang-orang zalim, kedurjanaan mereka, kesewanangan dan kerusakan mereka, niscaya akan dikumpulkan oleh Allah bersama mereka, dan Allah akan menyiksanya, meskipun dia tidak hadir di sana.

Dalam riwayat tentang Imam Mahdi af. disebutkan, ketika muncul nanti, beliau akan membunuh orang-orang yang memerangi Imam Husain as., mendata dan membinasakan mereka. Itu artinya beliau memburu orang yang sehati dengan siapa yang membunuh dan memerangi Imam Husain as. Imam Mahdi af. akan membinasakan mereka lantaran telah memerangi Imam Husain, sehingga bumi ini suci dari kebusukan dan kezaliman mereka.

Ziarah Warits; ziarah yang populer untuk Imam Husain as., menjelaskan ketetapan dan tugas ini secara teliti dan cermat; melaknat pembunuh Imam Husain as., melaknat orang yang menzaliminya dan mengutuk orang yang merestui pembunuhan atau peperangan itu.
Perhatikanlah teks ziarah berikut ini:

“Semoga Allah melaknat umat yang memerangi kalian, semoga Allah melaknat umat yang menzalimi kalian, dan semoga Allah melaknat umat yang mendengar hal itu dan merestui”.
Kelompok pertama, mereka yang secara langsung merupakan pelaku kriminal pembunuhan.
Kelompok kedua, mereka yang membela, mendukung dan membekali kelompok pertama.
Kelompok ketiga, mereka yang merestui perbuatan tersebut.
Kelompok ini paling banyak bertebaran sampai dataran yang sangat luas secara historis dan geografis.

Saya tertarik sekali untuk menutup topik ini dengan sebuah riwayat dari Athiyyah al-Aufi yang meriwayatkan dari sahabat besar Rasulullah saw., yaitu Jabir bin Abdillah Anshari tatkala menzirahi kuburan Imam Husain as. pasca tragedi Karbala. Berikut ini teks hadis tersebut:

Dalam kitab Bisyaratul Musthafa dinukil dari Athiyah Aufi berkata: “Aku keluar bersama Jabir bin Abdillah Al- Anshari untuk ziarah ke makam putra Ali bin Abi Thalib as.; Imam Husain as. pasca kebangkiran Asyura. Ketika kami sampai ke Karbala, Jabir mendekati sungai Furat. Di sana ia mandi lalu mengenakan kain dan pakaian. Setelah itu ia membuka bungkusan yang di dalamnya terdapat rumput alang-alang lalu ia taburkan di sekujur tubuhnya. Ia tidak menginjakkan satu langkah pun kecuali dengan zikir pada Allah sampai mendekati makam Imam Husain as.”. Athiyyah melanjutkan: “Jabir memegangku untuk bersandar, aku pun memegangnya sampai dia bungkuk di atas kuburan dan pingsan. Aku percikkan air padanya sampai dia siuman dari pingsan sambil berkata: "Ya Husain’, tiga kali. Kemudian dia berkata: 'Duhai kekasih yang tidak menjawab kekasihnya'.

"Jabir berkata lagi: 'Ada apa dengan dirimu, sungguh urat-urat leher di atas belikatmu telah disembelih secara keji, antara tubuh dan kepalamu dipisahkan wahai putra penghulu para nabi dan putera penghulu para mukmin, putra sekutu takwa, anak keturunan hidayah, anggota kelima dari pemilik Kisa’[196], putra penghulu para imam, dan putra Fatimah penghulu para wanita, bagaimana mungkin engkau tidak seperti itu ketika telapak tangan penghulu para rasul yang memberimu makan, dan engkau terdidik di pangkuan orang-orang yang bertakwa, disusui dengan air iman, dan disapih bersama Islam. Maka sungguh engkau mulia saat hidup dan mulia pula saat mati. Hanya saja hatihati orang mukmin yang tidak mulia untuk berpisah darimu, dan tidak ragu dalam pilihan terbaik untukmu, salam dan restu Allah semoga senantiasa tercurahkan padamu.
“Engkau telah menjalani apa yang telah dilalui oleh saudaramu, Yahya bin Zakaria.

“Kemudian Jabir mengelilingkan pandangannya ke sekitar kuburan seraya berkata: ‘Salam padamu wahai arwah yang melebur bersama Husain dan menderumkan kendaraan- Nya. Aku bersaksi bahwa kalian telah mendirikan shalat, menunaikan zakat, memerintahkan yang makruf dan mencegah yang munkar, berjuang melawan orang kafir dan menyembah Allah sampai datang yakin. Demi Allah Yang telah mengutus Muhammad secara benar sebagai nabi, sungguh aku ikut serta bersama kalian dalam hal yang kalian masuki’.
“Kukatakan pada Jabir: “Bagaimana mungkin di saat kita tidak menelusuri lembah, mendaki gunung akan melancarkan satu pukulan pedang sedangkan mereka telah terpisahkan tubuh dari kepala, anak-anak mereka jadi yatim dan istri-istri mereka jadi janda?!”

“Maka Jabir menjawab: ‘Wahai Athiyyah, aku dengar kekasihku Rasulullah saw. bersabda: ‘Barangsiapa mencintai sebuah kaum niscaya dia akan dikumpulkan bersama kaum itu, dan barangsiapa mencintai perbuatan sebuah kaum maka dia akan diikutsertakan bersama perbuatan mereka’. Demi Allah yang telah mengutus Muhammad sebagai nabi secara benar, sesungguhnya niatku dan niat sahabat-sahabatku sesuai dan bersama dengan niat Imam Husain as. dan sahabatnya.
Bawalah aku ke pemukiman kota Kufah’.

“Ketika kami sampai di pertengahan jalan, Jabir berkata:
‘Wahai Athiyyah, apakah kamu ingin aku mewasiatkan sesuatu padamu? Karena, firasatku mengatakan setelah perjalanan ini aku tidak lagi bertemu denganmu! Cintailah apa yang dicintai keluarga Muhammad saw., dan bencilah apa yang dibenci oleh keluarga Muhammad saw.. Karena sesungguhnya apabila satu langkah tergelincir karena dosa, akan diangkat karena cinta pada mereka. Sesungguhnya pecinta mereka akan kembali ke surga dan pembenci mereka ke neraka”.[197] []




Apendiks

SIAPAKAH AHLULBAIT AS.?


Di akhir pembahasan ini, tepat kiranya kita angkat kembali pertanyaan yang sempat muncul di sela-sela pembahasan sebelumnya, seperti dalam mukadimah, yaitu siapakah Ahlulbait as. yang mewarisi imamah atau kepemimpinan politik, ideologi, hukum dan peradaban dari Rasulullah saw. sampai Hari Kiamat?

Saya katakan, sebetulnya masalah ini terlalu jelas sehingga tidak ada alasan lagi bagi seseorang untuk ragu di sana. Karena tidak mungkin Rasulullah saw. menyerahkan kepemimpinan umat Islam ke dalam urusan halal, haram, pokok-pokok agama dan cabangnya sepanjang zaman sampai Hari Kiamat nanti kepada umat yang tak terbatas. Maka dari itu, sudah menjadi kelaziman bahwa umat itu harus terbatas, jelas dan populer.

Sepanjang sejarah Islam, kita tidak melihat sekelompok manusia dari keluarga Rasulullah saw. yang secara jelas dan tegas menyatakan kepemimpinannya kepada umat Islam selain dua belas imam yang masyhur dari Ahlulbait as. Dua belas imam ini yang diyakini oleh pengikut Syi’ah. Ilmu, perjuangan, pemahaman, dan literatur warisan mereka telah sampai pada kita dalam ratusan jilid kitab yang diwariskan oleh ulama mazhab Ahlulbait as. dari generasi ke generasi.
Mereka yakin bahwa imam dua belas itulah pewaris Rasulullah saw. dalam kepemimpinan politik dan hukum.
Merekalah manusia-manusia suci setelah beliau.



Hadis-hadis Dua Belas Imam setelah Rasul saw.

Terdapat hadis dari Rasulullah saw. yang diriwayatkan secara sahih dengan berbagai jalur yang tidak bisa diragukan lagi bahwa keimaman atau kepemimpinan hidayah yang bijak berada pada dua belas imam setelah Rasulullah saw., dan mereka semua dari Quraisy. Riwayat-riwayat ini sahih juga diakui kebenarannya oleh Muhammad bin Ismail Bukhari dalam Shahih[198] , Muslim bin Hajjaj Nisyaburi dalam Shahih[199] , Tirmidzi dalam Shahih[200] , Hakim dalam Mustadrak[201] ,

Ahmad bin Hanbal di berbagai tempat dalam Musnad[202] dan penghafal-penghafal hadis nabi yang lain.

Di samping itu, kita tidak menemukan di dalam sejarah Islam dua belas amir atau imam yang adil secara berturut-turut,

“Perkara ini tidak akan berakhir sebelum bilangan mereka sempurna”,
“Dan agama senantiasa tegak sampai dua belas imam ini ada”,
“Bilangan mereka seperti bilangan naqib atau pemimpin bani Israel” dan ibarat lainnya yang disinyalir oleh riwayatriwayat yang shahih…

Saya katakan bahwa kita tidak melihat dua belas imam atau amir yang adil dalam sejarah Islam dengan kriteria yang jelas selain imam-imam Ahlulbait as. yang berjumlah dua belas dan sudah dikenal serta diyakini oleh Syi’ah Ahlulbait as. Apabila ini kita tolak, maka hadis Rasulullah saw. ini tidaklah benar dan tidak berfakta, dan tak seorang pun yang masih shalat ke arah Ka'bah akan mengatakan Rasulullah saw. berkata salah dan dusta.



Ayat Thathhir (Penyucian)

Bukti lain atas apa yang telah kami sebutkan sebelumnya adalah ayat penyucian (tathhir) sebagaimana terdapat dalam surah al-Ahzab:

﴿ اِمنََّا يُرِيدُ اللهُ لِيُذهِبَ عَنكُمُ ال رِجسَ أهلَ البَيتِ وَ يُطَ هرَكُم تَطهِيرًا ﴾

“Sesungguhnya Allah hanya hendak menyingkirkan noda dari kalian, Ahlulbait, dan menyucikan kalian sesucisucinya”.[203]

Muslimin sepakat bahwa ketika ayat penyucian ini turun, Rasulullah saw. hanya memasukkan Ali bin Abi Thalib as., Fathimah Zahra sa., Hasan as. dan Husain as. ke dalam selimut.[204]

Banyak sekali hadis-hadis yang diriwayatkan secara shahih dari Rasulullah saw. yang mengatakan bahwa beliau mendefinisikan Ahlulbait as. pada saat itu hanya pada mereka berlima. Beliau bersabda saat firman penyucian ini turun:
“Ya Allah, mereka adalah Ahlulbaitku—beliau menunjuk pada Ali bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan dan Husain as.—maka hilangkan noda dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya”.

Segera Ummu Salamah menimpali dengan sebuah pertanyaan:

“Apakah aku bersama mereka wahai Nabi Allah?”.
Beliau menjawab:
“Kamu tetaplah pada tempatmu, sesungguhnya kamu di atas kebaikan”.[205]

Hadis-hadis yang membatasi Ahlulbait ini hanya pada lima manusia suci tersebut banyak sekali, dan banyak juga dari riwayat-riwayat itu yang sahih. Namun, bukan tempatnya di sini untuk mendiskusikannya. Hadis-hadis itu diriwayatkan oleh Tirmidzi, Thahawi, Ibn Atsir Jazri, Hakim Nisyaburi dalam Mustadrak, dan Suyuthi dalam Durul Mantsur meriwayatkannya dari berbagai jalur. Hadis-hadis itu adalah sahih, jelas dan secara tegas menentukan bahwa Ahlulbait tersebut adalah manusia-manusia yang beliau kumpulkan di bawah kisa'.

Pada waktu itu, selama enam bulan, Rasulullah saw. setiap kali keluar rumah untuk shalat subuh dan melewati pintu rumah Fatimah Zahra sa. berhenti di depan pintu itu seraya bersabda: “Shalat wahai Ahlulbait, innama yuridullohu liyudzhba ankumur rijsa ahlalbaiti wa yutohhirokum tathhiro”.[206]

Suyuthi ketika menafsirkan ayat
“Wa’mur ahlaka bis sholati” dalam Durul Mantsur, meriwayatkan hadis dari Abu Sa’id Khudri yang berkata: “Ketika ayat “Innama yuridullohu liyudzhiba ankumur rijsa ahlalbaiti wa yutohhirokum tathhiro” turun, delapan bulan Rasulullah saw. selalu datang ke pintu rumah Ali bin Abi Thalib as. menjelang waktu shalat Subuh seraya bersabda:
“Perhatian! Kini tibalah waktu shalat, semoga Allah merahmati kalian innama yuridullohu liyudzhiba ankumur rijsa ahlalbaiti wa yutohhirokum tathhiro.[207]

Semua itu berlangsung di hadapan sahabat-sahabat Rasulullah saw. Dengan cara ini, beliau hendak menentukan maksud dari Ahlulbait dalam ayat tersebut yang Allah swt. telah membersihkan mereka dari segala noda dan menyucikan mereka sesuci-sucinya. Dan ketika sudah jelas bahwa mereka berempat (Ali, Fatimah, Hasan dan Husain) termasuk Ahlulbait as. yang dibersihkan dari noda dan disucikan sesuci-sesucinya, maka melalui mereka juga kita dapat mengetahui ihwal Ahlulbait as. yang melanjutkan serta meluaskan imamah dan kepemimpinan hukum sampai akhir zaman. Mereka berlima adalah yang orang-orang dinyatakan oleh al-Qur’an sebagai manusia-manusia suci. Itu berarti mereka tidak akan berkata kecuali kebena-ran dan kenyataan. Keimaman atau kepemimpinan hukum dan peradaban akan bersambung dengan adanya mereka secara berantai dan beurutan, sebagaimana diwasiatkan oleh imam sebelumnya sampai berujung pada imam pertama, yaitu Ali bin Abi Thalib as.
Dengan demikian, tampak jelas siapa imam dua belas yang dimaksudkan oleh hadis Rasulullah saw. tersebut.[]



Daftar Isi :

SYI’AH 1AHLULBAIT AS 1

MUHAMAD MAHDI AL-ASHIFI1

Prakata Penerbit3

Mukadimah 10

SIAPAKAH SYI’AH AHLULBAIT AS.? 101.

 Kepemimpinan Politis Ahlulbait as 122.

 Ahlulbait Sebagai Rujukan Hukum dan Peradaban 19

NILAI WILAYAH KEPADA 26

AHLULBAIT AS 26

Wilayah kepada Ahlulbait dalam Al-Qur’an dan Hadis 26

Syi’ah Ali as. Sebagai Pemenang 26

Ali dan Syi’ahnya sebagai Manusia Terbaik 28

Kedudukan Wilayah Ahlulbait as. dalam Islam 30

Siapakah Rafidhah? 31

Pecinta yang bukan Syi’ah 33

Orang-orang Mukmin sebagai Pelita Penghuni Surga Selaksa  35

Melihat dengan Cahaya Allah swt 36

Kedudukan Syi’ah di Sisi Ahlulbait as 37

Imbal Balik Hak-hak antara Ahlulbait as. dan Syi’ah 44

SYARAT-SYARAT SYI’AH 46AHLULBAIT AS 46

Syarat Umum Syi’ah Ahlulbait as 46

Jadilah Hiasan, bukan Coreng 46

Ahulbait as. Memberi Syafaat di Sisi Allah swt. dan 49

Senantiasa Bergantung kepada-Nya 49

Warak dan Takwa 51

Ibadah 56

Rahib di Waktu Malam dan Tuan di Waktu Siang 64

Pelaku Lima Puluh Satu Rakaat Shalat di Siang dan Malam   66

Silaturahmi dan Simpati di antara Mereka 77

Imbal Balik Hak-hak di antara Syi’ah 80

Kehormatan, Cinta, Nasihat dan Belas Kasih 91

Toleransi di antara Syi’ah 92

Tidak Mengganggu Para Setia Kami dan Tidak Saling Melukai94

Bersilaturahmi dan Bergaul Baik dengan Seluruh Muslimin  98

Adil dan Seimbang 103

Kedisiplinan Sosial-Politik 104

ELEMEN-ELEMEN WILAYAH   110

KEPADA AHLULBAIT AS 110

Kesadaran Berwilayah 110

Pengakuan 113

Ikatan Organik 114

Baro’ah 119

Ikatan Imbal Balik Tauhid dalam Kerangka Wilayah 122

Salam dan Nasihat128

Salam 129

Nasihat134

Figur Keteladanan 135

Sedih dan Gembira 138

Kebersamaan dan Keikutsertaan 141

Kesertaan Kultural142

Ketaatan 152

Tauhid dalam Ketaatan 154

Pasrah 154

Damai dengan Siapa yang Damai dengan Kalian dan Perang dengan Siapa yang Memerangi Kalian 155

Pembelaan dan Penuntutan 158

Cinta dan Kasih Sayang 159

Pembenaran dan Pembatilan 164

Pusaka dan Penantian 164

Ziarah 172

TINGKATAN DAN RAIHAN 176

WILAYAH KEPADA AHLULBAIT AS 176

Kehidupan Rasulullah dan Keluarganya di Dunia dan Akhirat176

Allah Menebarkan Kemuliaan pada Mereka 178

Mereka Berpegang Teguh pada Kami, Ahlulbait as., dan Kami Berpegang Teguh pada Rasulullah saw 178

Rejeki Allah pada Mereka di Akhirat179

Bersama dan Dari Kami181

Menang dan Bahagia 183

Bersama Syuhada’ karena Wilayah dan Baro’ah 183

Apendiks 195

SIAPAKAH AHLULBAIT AS.? 195

Hadis-hadis Dua Belas Imam setelah Rasul saw 196

Ayat Thathhir (Penyucian)197
















































































Catatan

[1]Ayat Tathhir adalah ayat yang menjelaskan kesucian mereka dari dosa dan kesalahan, yaitu ayat yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah hanyalah hendak membersihkan noda dari kalian, Ahlul-bait, dan menyucikan kalian sesuci-sucinya” (QS. Al-Ahzab: 33).
Adapun ayat Mawaddah adalah ayat yang menerangkan bahwa balasan atas jerih payah tabligh Rasulullah saw. dari umatnya ialah mencintai Ahlulbait atau keluarga beliau, yaitu ayat yang berbunyi:
“Katakanlah (wahai Muhammad) aku tidak meminta balasan dari kalian atas jasaku kecuali kecintaan pada kerabatku (Ahlulbait)” (QS. Asy-Syura: 23).
Mungkin Anda bertanya, kenapa beliau meminta balasan atas jerih payah yang ditugaskan oleh Allah swt. sedangkan Nabi Nuh as. sama sekali tidak mengharapkan balasan kecuali hanya dari Allah swt.?
Jawaban singkatnya, permintaan balasan itu merupakan puncak belas kasih Rasulullah saw. kepada umatnya; karena balasan yang diminta beliau tidak lain adalah untungan yang kembali kepada mereka; bukan kepada beliau sendiri. Yakni, beliau tidak hanya menyampaikan materi tabligh dan misi Ilahi, tapi juga membuka peluang bagi kita untuk senantiasa mendapatkan anugerah Tuhan sebanyak mungkin. Misal yang bisa mendekatkan masalah ini adalah dokter sukarelawan yang menginginkan pasiennya selalu sehat, hanya saja satu-satunya jalan yang menjamin kesehatan pasien tadi adalah—misalnya—jalan kaki di ruang terbuka selama satu jam, sementara pasien tidak akan pernah mengerti pentingnya jalan kaki tersebut. Dan berangkat dari perhatian dan kasih sayangnya, dokter meminta upah dari pasien yang tak mampu itu, pasien pun pasrah karena tidak memiliki uang sehingga dia mengatakan,
“Apa saja yang dokter minta dari yang saya pasti akan saya kabulkan semampunya”. Maka dokter memintanya berjanji jalan kaki sehari sekali satu jam di ruang terbuka, sementara pasien mengabulkan permintaan itu secara tidak sadar bahwa upah itu hanya demi keselamatan dia sendiri dan sama sekali bukan keuntungan untuk dokter.
[2]Hadis mutawatir yaitu hadis yang jumlah perawinya dalam setiap tingkatan mencapai batas yang—biasanya—mustahil mereka semua akan bersepakat untuk dusta.
[3]Tahdzibut Tahdzib: 7/339, tarjumatu Ali bin Abi Thalib (riwayat hidup Ali bin Abi Thalib).
[4]Fathul Bari: 8/76 bab ke9 berjudul Manaqibu Ali bin Abi Thalib
[5]Sarih yaitu jelas dan tegas makna. Adapun sahih—dalam terminologi Ahli Sunnah—yaitu hadis yang diriwayatkan oleh perawi-perawi yang adil, cermat dalam mencatat dan bersambung sampai kepada Rasulullah saw. Dan Syi’ah menambahkan satu sarat lagi, yaitu perawi harus bermazhab Syi’ah.
[6]Shahih Muslim; kitab fadhoil al-Shahabah, bab fadhoil Ali bin Abi Thalib.
[7]Sunan Tirmidzi: 2/308, Kitabul Manaqib, Manaqibu Ahli An-Nabi, hadis 3788.
[8]Sunan Tirmidzi: 2/308.
[9]Mustadrakus Sahihain: 3/109,148.
[10]Musnad Ahmad: 3/17.
[11]Ibid: 4:371.
[12]Ibid: 5/181.
[13]Hadis mustafidh yaitu hadis yang tingkat periwayatannya di bawah hadis mutawatir dan di atas hadis-hadis wahid yang hanya diriwayatkan oleh satu perawi. Dengan kata lain, mustafidh ialah hadis yang jumlah perawinya banyak di setiap tingkatan. Umumnya, ahli hadis mengatakan harus ada minimal tiga perawi di setiap tingkatan dan generasi.
[14]As-Saw.a’iq al-Muhriqah: 151, cetakan Mesir tahun 1965.
[15]Mungkin setelah membaca pengantar ini pembaca bertanya: siapakah Ahlul-bait yang dimaksudkan itu? Pada dasarnya, penanya meminta spesifikasi yang lebih rinci tentang identitas mereka. Untuk menjawab pertanyaan ini, kami lampirkan jawaban itu di bagian akhir (apendiks) dari buku ini, agar pembaca tidak kehilangan rangkaian logis dari subjek utama.
[16]Fadhoilul Khomsah minas Shihahis Sittah: 2/117-118.
[17]Bisyarotul Musthofa: 197.
[18]Tafsir Thabari: 30/171, tafsir surah al-Bayyinah.
[19]Marfu' ialah hadis yang dinisbatkan kepada manusia suci (Rasulullah dan imam setelahnya) dan bukan yang dinisbatkan pada sahabat atau tabi’in. Istilah kedua dari marfu' adalah hadis yang di tengah atau akhir silsilah sanadnya ada satu perawi atau lebih yang terbuang, dan secara terang-terangan menggunakan kata rafa'ahu.
[20]Ad-Durul Mantsur, tafsir surah al-Bayyinah.
[21]As-Shawaiq al-Muhriqoh: 96.
[22]Nurul Abshar: 7/70, 110. Hadis-hadis ini dinukil dari Fadhoilul Khomsah minas Shihahis Sittah: Fairuz Abadi: 1/327-329, cet. Al-Majma’ Al-‘Alami li Ahlil Bait as.
[23]Biharul Anwar: 68/329 dinukil dari Usul Kafi: 2/18.
[24]Ibid: 68/329 dinukil dari Usul Kafi: 2/18.
[25]Ibid: 2/332 dari Usul Kafi: 2/21.
[26]Ibid: 68/156-157.
[27]Biharul Anwar: 68/156-157.
[28]Ibid: 68/18 diriwayatkan juga dari Khishal, karya Syaikh Shaduq: 167.
[29]Ibid: 74/243, diriwayatkan juga dari Ushul Kafi: 2/170.
[30]Ibid: 68/243, diriwayatkan juga dari ‘Uyunu Akhbarir Ridha: 2/2.
[31]Ibid: 68/167 hadis 25, diriwayatkan juga dari Shifatus Syi’ah: 163.
[32]Al-Mahasin: 163, Biharul Anwar: 68/28.
[33]Biharul Anwar: 68/29.
[34]Ibid: 68/43-44, Bisyarotul Musthofa: 16.
[35]Ibid: 68/65 hadis 118.
[36]Ibid: 68/168.
[37]Ibid: 68/168 dinukil dari Shifatus Syi’ah: hal. 163.
[38]Ibid: 68/24, diriwayatkan dari Amali Syaikh Thusi: 1/363.
[39]Misykatul Anwar, hal. 67
[40]Ibid, hal. 180.
[41]Raudlatul Kafi, hal. 293.
[42]Biharul Anwar, Jil. 2/77.
[43]Ibid, Jil. 71/310.
[44]Ibid: Jil. 68/178.
[45]Ibid: Jil. 68/89 dinukil dari al-Mahasin; al-Barqi: 148.
[46]Ibid: Jil. 68/166.
[47]Bisyarotul Musthofa: hal. 171
[48]Biharul Anwar: Jil. 68/167.
[49]Ibid: Jil. 68/168.
[50]Ibid: Jil. 78/266.
[51]Ibid: Jil. 68/164.
[52]Ibid: Jil. 68/78
[53]Bisyarotul Musthofa: hal. 55 & 174; Biharul Anwar: Jil. 68/87.
[54]Biharul Anwar: Jil. 68/153 dinukil dari Bashairud Darajat: hal. 247.
[55]Ibid: Jil. 68/155.
[56]Ibid: Jil. 68/156.
[57]Ibid: Jil. 68/164, hadis 13.
[58]Al-Khishol: Jil. 2/58; Biharul Anwar: Jil. 68/149-150.
[59]Biharul Anwar: Jil. 68/150-151; al-Amali: Syaikh Thusi; Jil. 1/219.
[60]Ibid: Jil. 68/167; Shifatus Syi’ah: hal. 162-164.
[61]Di naskah lain, “memberi pahala atau mencintai”. Ini karena perbedaan kata-kata Arab yang agak mirip: ajaba, atsaba, ahabba.
[62]QS. al-A'raf: 97.
[63]QS. Al-Furqan: 63.72.
[64]Biharul Anwar: Jil. 68/170-171; dinukil dari Sifatus Syi’ah: hal. 183.
[65]Ibid: Jil. 68/169, hadis 30.
[66]Ibid: Jil. 68/177, dinukil dari al-Amali: Syaikh Thusi; Jil. 2/188.
[67]Ibid: Jil. 68/191.
[68]Ibid: Jil. 68/167.
[69]Tuhaful Uqul: hal. 251.
[70]Ibid: Jil. 68/186.
[71]QS. Al-Jatsiyah: 21.
[72]Ibid: Jil. 68/192-195, diriwayatkan pula oleh Syarif Radhi dengan sedi-kit perbedaan.
[73]Al-Mahasin: hal. 158, Biharul Anwar: Jil. 68/153-154.
[74]Biharul Anwar: Jil. 68/168.
[75]Mizanul Hikmah: Jil. 5/231.
[76]Ushul Kafi: Jil. 2/175.
[77]Ibid: Jil. 2/120.
[78]Ibid: Jil. 2/173.
[79]Biharul Anwar: Jil. 74/154.
[80]Ushul Kafi: Jil. 2/171, Biharul Anwar: Jil. 74/248.
[81]Kalimat beliau mengacu pada ayat 9 dari surah al-Hasyr.
[82]Ushul Kafi: Jil. 2/171, Biharul Anwar: Jil. 74/249.
[83]Biharul Anwar: Jil. 74/233.
[84]Ibid: Jil. 74/234.
[85]Al-Khishal: Jil. 2/6.
[86]Ibid: Jil. 2/157.
[87]Al-Amali: Syaikh Thusi; Jil. 1/95.
[88]Ibid: Jil. 1/236.
[89]Biharul Anwar: Jil. 74/232.
[90]Ibid
[91]Ibid: Jil. 74/233.
[92]Tafsir Imam Hasan al-Askari: hal. 16, Biharul Anwar: Jil. 74/238.
[93]Jamiul Akhbar: hal. 110, Biharul Anwar: Jil. 74/230.
[94]Al-Ikhtishash: hal. 227, Biharul Anwar: Jil. 74/230.
[95]Ibid: hal. 227.
[96]Biharul Anwar: Jil. 74/234.
[97]Ibid: Jil. 74/234.
[98]Ibid.
[99]QS. Anbiya' 92.
[100]Wasail Syi’ah: Jil. 8/398, kitabul hajj, adab ahkamil isyroti, bab pertama, hadis pertama.
[101]Ibid: Jil. 8/398.
[102]Ibid: Jil. 8/398.
[103]Ibid
[104]Ibid.
[105]Biharul Anwar: Jil. 68/178; dinukil dari Misykatul Anwar: hal. 60.
[106]Ibid: Jil. 68/149.
[107]Ibid: Jil. 68/151.
[108]Ibid: Jil. 2/80.
[109]Ibid: Jil. 68/180.
[110]Al-Amali: Syaikh Mufid: hal. 59.
[111]Usul Kafi: Jil. 2/218.
[112]Ibid: Jil. 2/221; Biharul Anwar: Jil. 75/72, al-Khishal: Shaikh Shaduq: hal. 44.
[113]Al-Kafi: Jil. 2/222.
[114]Ibid: Jil. 2/226.
[115]Biharul Anwar: Jil. 75/76.
[116]Ibid: Jil.2/74.
[117]QS. Maidah: 55.
[118]QS. Al-Nisa': 59.
[119]Al-Thabari dalam tafsirnya meriwayatkan dari dua sanad bahwa ayat ini turun pada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as: Jil. 6/186. Fakhruddin Razi dalam Tafsir Kabir: Jil. 12/26. Suyuthi dalam tafsir Durul Mantsur: Jil. 3/104. Wahidi dalam Asbabun Nuzul: hal. 137, dan lain-lain. Penulis buku Fadhoil Khamsah: Jil. 2/13, menghumpun riwayat-riwayat yang berkaitan dengan masalah ini.
[120]QS. Hujurat 10.
[121]Biharul Anwar: 50/317.
[122]Amali karya Syaikh Mufid: 110.
[123]Biharul Anwar: 74/268.
[124]Ushul Kafi: 2/175.
[125]QS. Al-Ma’idah 55.
[126]Ayat ini turun berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib as., sebagaimana dicatat Fakhruddin Razi dalam tafsirnya tepat di bawah ayat ini. Diriwayatkan pula dalam Nurul Abshar; Syablanji, hal. 170, Al-Kasyyaf; Zamakhsyari, Tafsir Al-Baidhawi, tafsir Abu Sa’ud dari berbagai jalur, Durul Mantsur: As-Suyuthi dari berbagai jalur, Asbabun Nuzul; Al-Wahidi, hal. 148, Kanzul Ummal; Al-Muttaqi, Jil. 6/319 dan 7/305, Majma’; Haitsami, Jil. 7/17, Dakhoirul ‘Uqba; Muhib Ath-Thabari, Jil. 8/102, dan Fadlail al- Khamsah Min Sihah Sittah; Al-Fairuz Abadi: Jil. 2/18-24.
[127]Tentang hadis mustafidh, silakan merujuk hal. 24 dari buku ini!
[128]Shahih Tirmidzi: Jil. 13/261, Tarikh Baghdad: Jil. 4/160. Syaikh Amini meriwayatkan hadis ini dari keduanya dalam kitabnya yang berharga yaitu Siratuna wa Sunnatuna.
[129]Shahih Tirmidzi, kitab al-manaqib, babu manaqib Ahlilbait as. Dalam al- Mustadrak: Jil. 3/149, al-Hakim menegaskan kesahihan hadis ini.
[130]Dalam Mustadrak Shahihain: Jil. 3/121-128, hadis ini diriwayatkan oleh al-Hakim sebagai hadis shahih. Juga diriwayatkan oleh Muhib Thabari dalam Riyadlun Nadlirah: Jil. 2/167. Rujuk Fadlail Khamsah; Firuz Abadi: Jil. 2/118.
[131]Dalam Mustadrak Shahihain: Jil. 3/127, hadis ini dikuatkan oleh al- Hakim, baik dengan syarat Bukhari maupun dengan syarat Muslim. Juga diriwayatkan oleh Khatib dalam Tarikh Baghdad: Jil. 3/40 dengan lima jalur dari Ibn Abbas. Di dalam riwayatnya termaktub: “Barang siapa mencintaimu maka dia mencintaiku, dan cinta kepadaku adalah cinta kepada Allah”. Ini juga dibawakan oleh Muhib dalam Riyadl Nadlirah: Jil. 2/166. Fairuz Abadi dalam Fadlail Khamsah: Jil. 2/244, menyebutkan beberapa jalur hadis ini.
[132]QS. al-Baqarah: 208.
[133]QS. al-Baqarah: 279.
[134]QS. al-Ma’idah: 33.
[135]QS. al-Anfal: 13.
[136]QS. at-Taubah: 63.
[137]Biharul Anwar: Jil. 27/68.
[138]QS. Al-Mumtahanah: 4.
[139]QS. Al-Ahzab: 21.
[140]Al-Amali: Syaikh Thusi: Jil. 1/305.
[141]Al-Amali: Syaikh Shaduq: hal. 79, majlis ke-27.
[142]Kamil Ziarat: 101.
[143]Amali Syaikh Mufid: 200, Biharul Anwar: 44/278.
[144]Biharul Anwar: 44/282.
[145]QS. Al-Baqarah: 185.
[146]QS. Al-Baqarah: 231.
[147]QS. Al-Imran: 138.
[148]QS. Al-Nisa': 174.
[149]QS. Al-A’raf: 52 .
[150]
[151]Hadis ini diriwayatkan Muslim dalam Shahih-nya pada bab fadlail sahabah, Tirmidzi dalam Shahih: Jil. 2/308, Ahmad bin Hanbal dalam Musnad pada beberapa tempat, Darami dalam Sunan: Jil. 2/431 dengan mberbagai sanad, al-Hakim an-Nisyaburi dalam Mustadrak dengan berbagai sanad dan meyakininya sebagai hadis yang shahih baik menurut syarat Bukhari maupun menurut syarat Muslim: Jil. 3/109, Baihaqi dalam Sunan: Jil. 2/148 dan Jil. 7/30, diriwayatkan pula oleh Ibn Hajar dalam Shawa’iq: hal. 89, dan meyakininya sebagai hadis shahih, Ibn Atsir Jazri dalam Usudul Ghabah: Jil. 2/12, dll. Kita tidak perlu lagi memperpanjang data-data seputar sanad hadis ini ataupun penshahihannya, karena masalah ini jauh lebih utama dari itu semua, sudah cukup sebetulnya dengan apa yang dibawakan oleh Muslim dan Tirmidzi dalam Sahih mereka.
[152]Hadis ini diriwayatkan al-Hakim sebagai hadis shahih menurut syarat Muslim dalam Mustadrak: Jil. 2/343, al-Muttaqi dalam Kanzul Ummal: Jil. 6/216, Haitsami dalam Majma’: Jil. 9/18, Abu Na’im dalam Hilyatul Awliya’: Jil. 4/306, Khatib dalam Tarikh Baghdad: Jil. 12/19, Shuyuthi dalam Durul Mantsur tentang ayat dari surah al-Baqarah, “wa idza qulnad khulu hadzihil qoryata fa kulu minha haytsu syi’tum”, ath-Thabari dalam Dzakhair Uqba, al-Manawi dalam Kasyful Haqa’iq: hal. 132, Ibn Hajar dalam Shawa’iq, dan Sayid Fairuz Abadi menyebutkan sanad-sanadnya dalam Fadlail Khamsah: Jil. 2/67-71.
[153]Hadis ini diriwayatkan Mustadrak: Jil. 3/149 sebagai hadis shahih, Ibn Hajar dalam Shawa’iq: hal. 111, Haitsami dalam Majma’: Jil. 9/174, al-  Manawi dalam Faidlul Qadir: Jil. 6/297, al-Muttaqi dalam Kanzul Ummal: Jil. 7/217 dan referensi-referensi lain. Fairuz Abadi menyebutkan sebagian  jalur-jalur riwayat ini dalam Fadlail Khamsah: Jil. 2/71-73.
[154]Nash ialah maksud sebuah teks yang sebegitu jelasnya sehingga tidak memungkinkan maksud yang lain. Dan dzohir yaitu maksud sebuah teks yang tidak sejelas nash dan masih memungkinkan maksud yang lain, walaupun kemungkinan itu kecil.
[155]QS. Al-Nahl: 36.
[156]QS. Al-Nisa’: 60.
[157]Ziarah Jami’ah.
[158]Ibid.
[159]Musnad ialah hadis yang silsilah sanad dan perawinya di setiap tingkatan bersambung sampai ke Rasulullah saw.
[160]Shahih Tirmidzi, kitabul manaqib, bab ke16, mengenai keutamaan Fatimah binti Muhammad saw.: Jil. 2/319, cet. 1292 H.
[161]Sunan karya Ibn Majah, muaqoddimah, bab 11, hal. 145.
[162]Mustadrak Shahihain karya Hakim Nisyaburi: Jil. 13/149, kitab ma’rifatis shaha-bah “mubghilu Ahlilbaiti yadkhulun naro wa law shoma wa sholla” (pembenci Ahlulbait as akan masuk neraka meskipun dia berpuasa dan shalat).
[163]Usudul Ghabah: Jil. 5/523.
[164]Kanzul Ummal: Jil. 6/216.
[165]Majma’ Zawa’id: Jil. 9/169, dinukil dalam kitab Fadlail Khmasah, Firuz Abadi: Jil. 1/396-399.
[166]QS. Al-Anfal: 74.
[167]Asy-Syura’: 23. Untuk mengetahui sumber-umber yang menerangkan bahwa ayat ini turun mengenai Ahlulbait as., silakan merujuk Dala’il Shaduq: Jil. 2/120-126 cet. Cairo. Ghadir: Jil. 2/306-310 dan Jil. 3/171 cet. Teheran.
[168]Shahih Tirmidzi: 13/261.
[169] Kalimat ini disebutkan dua kali dalam Ziarah Jami’ah.
[170]QS. At-Taubah: 24.
[171]QS. Al-Anbiya’: 105.
[172]QS. Maryam: 59.
[173]QS. Taha: 132.
[174]QS. Al-Qashas: 5-6.
[175]Petikan dari doa Nudbah.
[176]QS. Ibrahim: 24.
[177]QS. ar-Ra'd: 38.
[178]Biharul Anwar: Jil. 65/20-21, hadis 34.
[179]Ibid: Jil. 65/19 hadis ke-2, diriwayatkan juga dalam Uyunu Akhbarir Ridha: Jil. 2/60, dengan sedikit perbedaan redaksi.
[180]Biharul Anwar: Jil. 65/30 hadis ke-60, dinukil dari Al-Mahasin: hal. 183
[181]Ibid: Jil. 65/30.
[182]Ibid: Jil. 68/30 hadis ke-61, dinukil dari Al-Mahasin: hal. 183
[183]Ibid: Jil. 68/11.
[184]Ibid: Jil. 68/15, hadis ke-17.
[185]QS. Al-Waqi'ah: 10-12.
[186]Biharul Anwar: Jil. 68/20, hadis ke-33.
[187]Ibid: Jil. 68/19, Uyunul Akhbari Ridha: Jil. 2/58, Al-Amali: Syaikh Thusi: Jil. 1/70.
[188]QS. Ali Imran: 68
[189]QS. Ibrahim: 36.
[190]Biharul Anwar: Jil. 68/19, Uyun Akhbar Ridha: Jil. 2/58, Al-Amali: Syaikh Thusi: Jil. 1/70.
[191]QS. Al-Maidah: 51.
[192]Biharul Anwar: Jil. 68/35, hadis ke72, dinukil dari Tafsir Ayasyi: Jil. 2/32.
[193]Irsyad, dan telah ditegaskan sebelumnya bahwa kita bawakan hadis ini juga dari Shuyuthi dalam Durul Mantsur dan dari yang lain, juga banyak sekali riwayat yang memiliki kandungan serupa dengan hadis ini.
[194]Al-Amali; Syaikh Shaduq: hal. 79, majlis ke-27.
[195]Mursal ialah hadis yang mengalami kekosongan atau pemotongan silsilah sanad perawi, baik semuanya maupun sebagiannya. Adapun Hadis dhaif yaitu hadis yang lemah.
[196]
[197]Bisyaratul Musthafa: 74, cet. Haidariah, 1383 HS.
[198]Shahih Bukhari, kitabul ahkam.
[199]Shahih Muslim, kitabul imarah: Jil. 12/201-204 cetakan 1972 dengan
syarahnya Nawawi.
[200]Shahih Tirmidzi: 7/35 kitabul fitan.
[201]Mustadrak Shahihain: 4/501.
[202]Musnad Ahmad: 5/86,92,106.
[203]QS. al-Ahzab: 33.
[204]Shahih Muslim, kitabu fadlail shahabah, bab fadlail Hasan wa Husain. Mustadrak Shahihain: Jil. 3/147. Sunan Baihaqi: Jil. 2/149 dan referensireferensi lainnya.
[205]Shahih Tirmidzi: Jil. 2/209.
[206]Shahih Tirmidzi: Jil. 2/209.
[207]Tafsir Durul Mantsur, di bawah penjelasan ayat 132 dari surah Thaha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

50 Pelajaran Akhlak Untuk Kehidupan

ilustrasi hiasan : akhlak-akhlak terpuji ada pada para nabi dan imam ma'sum, bila berkuasa mereka tidak menindas, memaafkan...