ilustrasi hiasan:
Oleh : Zubair Qamar,
As-Sunnah Foundation of America
Pengantar
Gerakan paling semu para ekstremis Sunni sekarang ini adalah Wahabisme (yang juga dikenal sebagai Salafisme). Mungkin banyak orang berpikir bahwa teror Wahabi merupakan fenomena baru yang hanya mentargetkan non-Muslim saja, banyak orang akan terkejut jika mengetahui kalau kelompok muslim Sunni ortodoks adalah target pembantaian pertama yang disembelih oleh mereka di Saudi beberapa ratusan tahun yang lalu. Untuk mengetahui secara detail tragedi mengerikan itu seseorang hanya cukup membaca evolusi sejarah Arab Saudi - tragedi di mana ribuan muslim Sunni dan Syiah tewas di tangan militan Wahabi.
Interpretasi ekstremis Wahabi, meskipun sebelumnya terbatas pada sekelompok kecil orang di Arabia, telah bertahan sampai hari ini di bawah perlindungan, dukungan keuangan, dan pengawasan dari organ-organ agama negara Saudi. Ini telah mengubah Wahabisme - dan terkait kelompok Salafi yang mendapat inspirasi dan dukungan dari mereka- menjadi ancaman global yang harus diperhitungkan oleh masyarakat dunia. Bagi seorang Wahabi-Salafi, semua orang yang berbeda dengan mereka, termasuk Muslim Sunni, Muslim Syiah, Kristen, dan Yahudi adalah orang-orang yang menjadi sasaran pengkafiran mereka.
Apakah mayoritas Sunni mendukung Wahabisme? Apakah Sunni dan Wahabi satu dan sama?
Apa Yang Dimaksud Dengan Wahabi?
Karena Wahabi mengklaim dirinya sebagai "Sunni yang benar," adalah sulit bagi orang-orang yang terbiasa dengan Wahabisme untuk membedakannya dari Islam Sunni ortodoks. Jika Wahabi ditanya apakah dia Sunni, dia akan selalu menjawab secara afirmatif. Ketika ditanya apakah mereka Wahabi, mereka akan menjawab dengan tegas "tidak" karena mereka menganggap panggilan tersebut sebagai penghinaan terhadap apa yang mereka percaya dan lakukan dalam sebuah gerakan: "Kemurnian ibadah dan penghormatan hanya kepada Allah saja. Para pembawa Islam otentik dari zaman Nabi saw sampai sekarang "Memanggil mereka dengan panggilan Wahabi untuk menyiratkan bahwa mereka belajar dari ide-ide seorang pria bernama Muhammad bin Abdul Wahhab, bukan dari Al-Qur'an dan Sunnah - dua besar sumber Islam-. Terlepas dari apa yang mereka pikirkan, mereka tidak mengikuti sumber-sumber Islam yang otentik, tetapi mengikuti interpretasi yang salah dari pendiri gerakan Wahabi yang muncul di tahun 1700. Sunni dan kelompok lain penentang Wahabi telah melabeli mereka dengan sebutan Wahabi untuk membedakannya dari kaum Sunni ortodoks.
Wahabi Sebagai Salafi : Kalimat Semantik yang Menipu
Wahabi sendiri telah membedakan dirinya dari Sunni ortodoks dengan label Salafi, yang mengacu pada kata salaf – Satu periode di mana kaum muslim awal tinggal pada 300 tahun pertama setelah Hijrah, atau pada periode hijrah Nabi Muhammad Saw dari Mekah ke Madinah pada tahun 622, periode para sahabat, periode mereka yang mengikuti para sahabat (disebut Tabi'in), dan periode mereka yang mengikuti para Tabiin (Taba al-Tabi'in) yang hidup pada periode Salaf sebagai periode terbaik yang menggambarkan bagaimana kehidupan muslim yang seharusnya, sebagaimana Nabi Muhammad saw telah memuji kaum muslimin masa itu sebagai generasi umat Islam terbaik. Oleh karena itu, setiap muslim sejak zaman Nabi Muhammad Saw telah menjadinya sebagai perode ideal dimana mereka dituntut mematuhi dan mengikuti jejak para penganut salaf. Ini berarti bahwa ketika seorang Wahabi menyebut dirinya Salafi, dia mengaku dirinya sebagai pengikut sejati Islam yang murni. Ini, bagaimanapun jauh dari kebenaran.
Muslim Sunni Ortodoks percaya bahwa mereka adalah pembawa Islam yang sebenarnya murni karena ada kesenjangan waktu antara periode mulia salaf dan abad-abad berikutnya, posisi otentik kum Muslimin awal diaku oleh para ulama dan menjadi acuan untuk generasi kemudian, prosesnya dilakukan melalui cara pelestarian yang teliti, sistematis, dan metodologis. Ini merupakan rantai pengetahuan yang tidak terputus dari zaman salaf sampai sekarang telah dilestarikan secara otentik oleh Sunni ortodoks. Oleh karena itu Sunni Ortodoks adalah kelompok sunni yang memiliki akar kepada salaf, dan sekarang mereka diwakili oleh empat mazhab hukum Islam yang otentik: Madzhab Hanafi, Syafi'i, Maliki, dan Hanbali.
Kaum Wahabi, dengan menyebut diri mereka sebagai Salafi, tidak hanya mengklaim dirinya mengikuti jejak kaum Muslim awal, tetapi juga menggunakan semantik ini untuk pembodohan dan sebagai daya tarik bagi kaum muslimin yang kurang informasi tentang Wahabism. Wahabi berkata, "Anda harus mengikuti umat Islam Salaf." (Ini sebuah proposisi yang tidak diragukan lagi kebenarannya). Kemudian semantik Wahabi berikutnya: "Karena itu Anda harus menjadi Salafi dan jangan pernah menjadi yang lainnya. Ketika Anda mengikuti jalan lain berarti Anda mengikuti jalan yang berbeda dari umat Islam Salaf". Dengan semantik yang menipu seperti itu, umat Islam yang kurang informasi percaya bahwa Wahabi (yang mengaku Salafi ) benar-benar mewakili interpretasi murni kaum muslimin Salaf awal. Setelah itu semua, kata Salafi terdengar seperti salaf, sehingga harus benar-benar menjadi wakil dari itu. Lebih jauh dari itu, bagi yang kurang informasi hal itu lebih dari sekedar semantik dan kepercayaan sebagaimana seorang Salafi percaya. Kebenaran yang diakui secara resmi adalah bahwa pemahaman Salafi (Wahabi) berbeda dan bertentangan dengan pemahaman dan posisi kaum muslimin saleh yang hidup di zaman Salaf- juga dengan mayoritas umat Islam Sunni yang pernah hidup.
Berbagai Macam Wahabi-Salafi
Kelompok Wahabi-Salafi percaya bahwa kelompo muslim Sunni telah salah langkah selama 1.000 tahun terakhir dan mereka bertujuan untuk membawa kembali umat Islam keluar dari keadaan jahilliyyah (seperti kondisi pra Islam, penj) yang telah ada sejak zaman para Salaf. Bahkan mayoritas Muslim Sunni ortodoks yang kuat hari ini memerintah sebuah kerajaan yang membentang jauh ke setiap sudut dunia mereka tetap masih jauh dari tradisi Salafi karena dasar-dasar seperti sistem politik yang mereka anut didasarkan pada sebuah inovasi tercela (bid'ah) dan kekufiran.
Bagi kelompok Salafi, kehadiran dan kekuasaan Sunni ortodoksi, dalam semua manifestasinya seperti yang digambarkan sepanjang sejarah Islam, sama tidak murninya sebagai bukti meningkatnya hegemoni Eropa dalam semua manifestasinya sejak runtuhnya Kekaisaran Muslim Ottoman. Bagi kelompok Salafi yang menjadi minoritas di dunia ini, dunia adalah tempat tinggal penuh dengan penghujatan, diperintah dan dikuasai oleh orang-orang kafir yang perlu mereka reformasi melalui kedua cara baik kekerasan dan non-kekerasan untuk menciptakan sistem dunia yang murni Islam.
Wahabi - Salafi datang dalam berbagai strategi, beberapa diantaranya denga wajah lebih ekstrim daripada yang lain. Keragaman mereka ini disebabkan karena perbedaan dalam pendekatan untuk membawa umat Islam kembali ke keadaan Islam murni (keyakinan diperkuat) berdasarkan contoh dari para pendahulu yang saleh (salafush shalih, penj). Harus ditekankan bahwa meskipun semua Wahabi disebut Salafi, tidak semua Salafi murni Wahabi. " Muslim Salafi " termasuk orang-orang seperti Sayyid Qutb yang ingin membasmi kebodohan (kejahiliyahan) dan membawa umat Islam kembali ke keadaan kemurnian - yang mengingatkan kemurnian kesucian umat Islam yang hidup pada periode Salaf. Namun, semua Muslim Salafi, apakah mereka Wahabi atau Qutbi sama-sama mengagumi secara berlebihan model peran Muhammad bin Abdul Wahhab dan Ahmad Ibn Taimiyyah, dimana kelompok garis keras dan kaum revolusioner saat ini telah terilhami olehnya. Oleh karena itu, meskipun tidak semua Salafi Wahabi, mereka benar-benar sangat mengagumi model tokoh yang sama, model yang telah ditolak dan dikutuk oleh para ulama Sunni ortodoks untuk representasi mereka tidak autentik tentang Islam murni. Hal ini juga dapat dikatakan bahwa semua Wahabi menganggap dirinya sebagai Salafi dan lebih memilih untuk dipanggil dengan nama ini (dibandingkan panggilan Wahabi), meskipun masih ada perbedaan diantara kelompok Salafi.
Meskipun ada perbedaan pendekatan di antara Salafi, mereka tetap bersekutu dalam upaya untuk membuat visi Salafi menjadi kenyataan, yang satu dengan cara lembut dan yang satunya dengan kekerasan.
Contoh dari hal ini adalah Salafi Deobandis yang berorientasi dan beraliansi dengan Wahabi. Aliansi antara Ikhwanul Muslimin (dan berbagai faksi dan cabang di dalamnya) dan Wahabi di Arab Saudi diperkuat selama tahun 1950 dan 1960-an dalam perjuangan Ikhwanul Muslimin menentang rezim Nasserist Mesir. Saudi telah memberikan perlindungan bagi beberapa pemimpin Persaudaraan (Ikhwanul Muslimin) dan juga memberikan bantuan kepada mereka di negara-negara Arab lainnya. Aliansi Wahabi-Salafi ini diperkuat sebagai respon terhadap meningkatnya ancaman dari kelompok Syiah ketika Ayatollah Ruhollah Khomeini dari Iran menggulingkan Shah, sekutu AS pada tahun 1979.
Terakhir, aliansi terwujud dengan sendirinya dalam perjuangan suci (jihad) menentang agresi ateis/komunis Soviet di Afghanistan. Kelompok Salafi dari semua kalangan bekerja sama sebagai "Sunni yang benar" untuk melawan ancaman Syiah-Komunis. Mereka menggunakan da'wah dengan cara membunuh untuk membuat ideologi Salafi mereka menang. Memang, Salafi telah menggunakan dakwah dengan cara revolusioner untuk mengekspresikan pesan mereka dengan menggunakan dua pendekatan politik dan non-politis. Jadi yang disebut "Sunni teroris" saat ini adalag gerakan teror yang dilakukan oleh Salafi radikal yang ingin mengganti pemerintah "kafir" dengan pemerintahan "ulama" yang mengikuti interpretasi dan ideologi fanatik mereka. Cara pandang mereka pun tersebar ke seluruh pelosok dunia, termasuk Bosnia, Albania, Indonesia, Filipina, Uzbekistan, Inggris, Malaysia, Afrika Selatan, Libanon, Afghanistan, dan Pakistan. Kelompok Salafi telah menunjukkan malapetaka dalam beberapa dekade terakhir.
Wahabi Sebagai Neo-Khawarij
Kaum Wahabi sangat terkenal berupaya menghidupkan kembali cara-cara Khawarij. Khawarij adalah mereka yang berasal dari masa kekhalifahan Utsman dan Ali, di antara para sahabat yang paling dekat dengan Nabi Muhammad Saw. Mereka adalah kelompok fanatik paling awal yang memisahkan diri dari komunitas Muslim. Mereka muncul sebagai oposisi terhadap Ali – Menantu Nabi Muhammad saw - karena kesediaan beliau berdamai dengan Muawiyah, Gubernur Damaskus pada waktu itu terkait permasalahan kekhalifahan. Kaum Khawarij, yang berarti "mereka yang keluar," adalah sebutan yang mereka sandang karena penghujatannya kepada Ali dan Mu'awiyah -mereka dan para pengikutnya- mengatakan bahwa Al Qur'an, dan bukan mereka, memiliki otoritas tertinggi dalam hal ini. Ibn al-Jawzi, seorang ulama Sunni ortodoks dalam bukunya Talbis Iblis di bawah judul "Sebuah Perhatian dari Delusi Iblis pada Khawarij," mengatakan bahwa Dhul-Khuwaysira al-Tamimi adalah Khawarij pertama dalam Islam dan bahwa adalah kesalahan yang merasa puas dengan pandangannya sendiri; setelah ia berhenti ia akan menyadari bahwa tidak ada percontoham yang lebih tinggi selain dari Rasulullah Saw". Selain itu, seorang ulama Sunni ortodoks, Imam Abdul Qahir al-Baghdadi membahas pemberontakan Khawarij dan pembantaian berdarah mereka terhadap puluhan ribu kaum muslimin dalam salah satu bukunya. Dia secara eksplisit menyebutkan Azariqa, salah satu gerakan Khawarij yang paling mengerikan yang dipimpin oleh Nafi 'Ibn al-Azraq dari suku Bani Hanifah, suku yang sama di mana seorang pelaku bid'ah, Musailamah al-Kadzdzab (Musailamah Sang Pembohong) yang mengklaim kenabian. Mereka sama-sama seperti Khawarij, jika Khawarij melemparkan tuduhan penghujatan kepada Ali dan Mu'awiyah, kelompok Wahabi melemparkan tuduhan dan penghujatan kepada kelompok Sunni dan Syiah.
Al-Sa`ud dan Muhammad Ibn 'Abdul Wahhab - Pendiri Wahabisme
Dinamai Wahabi karena disesuaikan dengan nama pendirinya, Muhammad Ibn 'Abdul-Wahhab (1703-1792), berbasis di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Arab Saudi. Tanpa orang ini, al-Sa`ud, salah satu klan yang banyak tersebar di jazirah Arab tidak akan memiliki inspirasi, akal, dan tekad untuk mengkonsolidasikan kekuatan yang mereka lakukan dan imbalan "jihad" terhadap orang-orang yang mereka anggap sebagai "musyrik", yaitu orang-orang yang menghubungkan kemitraan dalam beribadah kepada Allah Yang Mahakuasa. Bagaimana keintim hubungan al-Sa`ud dengan Muhammad bin Abdul Wahhab? Robert Lacey secara fasih menggambarkan hubungan ini:
Al Sa`ud sebelumnya adalah sebuah klan kecil seperti kebanyakan klain lainnya di Najd sebagai penduduk kota dan petani, hidup merasa cukup nyaman dari hasil perdagangan dan mungkin sedikit peternakan kuda. Sampai [Muhammad bin Abdul Wahhab] datang, mereka menggabungkan suku-suku padang pasir untuk menyerang ke wilayah luar ketika mereka merasa kuat. Mereka tidak mungkin membangun jalan kekaisaran dan tidak mungkin dunia yang lebih luas akan pernah mendengar mereka tanpa beraliansi dengan Sang Guru.
Al-Sa`ud yang berasal dari desa ad-Diriyah, yang terletak di Najd, di bagian timur Saudi terletak di dekat Riyadh modern, ibu kota Saudi. Leluhur dari Sau'd Ibnu Muhammad, yang tidak terlalu banyak diketahui, menetap di daerah agrikulturis dan secara bertahap jumlah mereka terus bertambah dari waktu ke waktu ke dalam klan al-Sa`ud.
Muhammad bin Abdul Wahhab, dibesarkan di Uyainah, sebuah oasis di selatan Najd dari suku Bani Tamim. Dia berasal dari keluarga religius dan meninggalkan Uyainah dalam mengejar pengetahuan Islam. Dia melakukan perjalanan ke Mekah, Madinah, Irak, dan Iran untuk memperoleh pengetahuan dari guru yang berbeda-beda. Ketika ia kembali ke tanah airnya di Uyainah, ia berkhotbah tentang apa yang dia yakini sebagai Islam yang murni, yang pada kenyataannya apa yang diyakininya itu adalah serangan kejam terhadap kelompok muslim Sunni tradisional.
Seorang ulama Sunni ortodoks, Jamil Effendi al-Zahawi mengatakan bahwa guru Ibnu `Abdul-Wahhab, termasuk dua guru dimana ia pernah belajar dengannya di Madinah adalah Syaikh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan Syaikh Muhammad Hayat al-Sindi, keduanya menyadari kalau Wahabi anti terhadap keyakinan Sunni dan keduanya memperingatkan umat Islam darinya. Gurunya, termasuk dua syeikh tersebut pernah berkata: "Allah mungkin membiarannya sesat, bahkan ia akan menyesatkan banyak orang”.
Selain itu, ayahnya sendiri Ibnu Abdul Wahhab telah memperingatkan umat Islam darinya, seperti yang dilakukan saudara kandungnya, Sulaiman Ibn Abdul-Wahhab, seorang ulama Sunni ortodoks yang menyangkal dia dalam sebuah buku berjudul al-Sawa'iq al-Ilahiyya fi al-Radd `ala al-Wahabiyya [Bantahan terhadap Wahabi"]. Pemikiran-pemikiran Ibnu Abdul Wahhab telah banyak disangkal oleh para ulama Sunni ortodoks. Mungkin buku yang paling terkenal hasil karyanya adalah Kitab at-Tauhid (Kitab Keesaan Tuhan) yang beredar luas di kalangan Wahabi di seluruh dunia, termasuk di Amerika Serikat. Bukunya populer di kalangan mereka sendiri, meskipun para ulama Sunni ortodoks mengatakan bahwa di dalamnya tidak ada yang ilmiah, baik dari segi isi dan maupun gaya penyampaiannya.
Ibnu Taimiyyah : Role Model Pendiri Wahabi
Perlu memberikan gambaran tentang seorang pria bernama Ahmed Ibn Taimiyyah (1263-1328) yang hidup beberapa ratus tahun sebelum Muhammad ibn 'Abdul-Wahhab. Pendiri Wahabi yang mengaguminya sebagai model dan menganut ajarannya. Siapa sebenarnya Ibnu Taimiyyah dan apa pendapat ulama-ulama Sunni ortodoks tentangnya? Para ulama memiliki pendapat yang beragam tentangnya tergantung pada penafsirannya terhadap berbagai isu. Ia dianggap menyimpang dari Islam Sunni terutama pada isu-isu tertentu terkait keyakinan (`aqidah) dan ibadah (`ibadah) membuatnya menjadi tokoh yang sangat kontroversial di kalangan masyarakat Muslim.
Ibn Taimiyyah telah berhasil mencitrakan dirinya sebagai pembawa Islam sesungguhnya dari tradisi umat Islam saleh awal (salafush shalih), terutama di kalangan kaum reformis revolusioner, sementara mayoritas Sunni ortodoks telah menuduhnya melakukan bid'ah tercela, beberapa diantara mereka menuduhnya kufur (kafir).
Karena itu sepatutnya kita bertanya mengapa Ibnu Taimiyyah telah menerima penentangan begitu banyak dari ulama-ulama Sunni terkemuka dimana mereka dikenal dengan asketisme, kualitas dan kesalehannya. Beberapa sikap anti-Sunni Ibnu Taimiyyah dan posisinya yang kontroversial meliputi:
Klaimnya bahwa Asma Allah (nama-nama Allah) adalah "literal", sehingga ia menghubungkan Allah dengan atribut-atribut tertentu sehingga menjadi sebuah anthropomorphist;
Klaimnya bahwa segala ciptaan (makhluk) ada secara kekal di sisi Allah;
Sikap kerasnya menentang konsensus ilmiah pada masalah perceraian;
Penentangannya terhadap praktek tawassul di kalangan Sunni ortodoks (memohon sesuatu kepada Allah dengan menggunakan perantara (wasilah) individu saleh tertentu);
Ia mengatakan bahwa memulai perjalanan untuk mengunjungi itu Nabi Muhammad Saw menyebabkan tidak diperbolehkannya menjamak shalat;
Ia mengatakan bahwa penyiksaan terhadap penghuni neraka akan berhenti dan tidak berlangsung selamanya;
Ia mengatakan bahwa Allah memiliki batas (hadd) yang hanya Dia yang Tahu;
Ia mengatakan bahwa Allah secara harfiah duduk di Tahta (al-Kursi) dan telah meninggalkan ruang bagi Nabi Muhammad Saw untuk duduk di samping-Nya;
Ia mengatakan bahwa menyentuh makam Nabi Muhammad Saw adalah politeisme (syirik);
Pernyataannya bahwa membuat permohonan di makam Nabi Muhammad Saw untuk memohon kondisi lebih baik dari Allah merupakan praktek bid`ah tercela;
Pernyataannya bahwa Allah turun dan membandingkan "keturunan" Allah dengan nya, saat ia turun dari mimbar saat memberikan khotbah (khutbah) kepada kaum muslimin;
Ia mengklasifikasikan kesatuan dalam menyembah Allah (tauhid) menjadi dua bagian: Tauhid al-rububiyya dan Tauhid al-uluhiyya, yang tidak pernah dilakukan oleh para penganut saleh salaf.
Meskipun Ibnu Taimiyyah itu tidak ortodoks, ia adalah seorang pseudo-Sunni yang dijauhi masyarakat di Suriah dan Mesir karena adanya konsensus ulama Sunni ortodoks atas penyimpangan yang dilakukan juga atas ajaran-ajarannya yang tetap beredar secara sembunyi-sembunyi. Seorang ulama Sunni ortodoks mengatakan:
Memang, ketika seorang pedagang kaya dari Jeddah mensponsori secara finansial [Keyakinan] Ibn Taimiyyah pada awal abad ini dengan membiayai pencetakan Ibnu Taimiyyah di Mesir berjudul Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyya dan karya lainnya, Mufti Mesir Muhammad Bakhit al-Muti'i, memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru tentang validitas antropomorfisme, ia menulis: "Itu adalah fitnah (Perselisihan) yang sudah terlupakan; semoga Allah mengutuk orang yang kembali menghidupkannya".
Penting untuk ditekankan bahwa meskipun posisi Ibnu Taimiyyah dan Wahabi banyak identik, mereka tetap bertentangan satu sama lain di beberapa posisi. Sementara Ibnu Taimiyah menerima Sufisme (Tasawwuf) sebagai ilmu yang sah dari Islam (karena semua Muslim Sunni ortodoks mengakuinya), Wahabi menolak dna menganggapnya sebagai sebuah inovasi buruk terhadap agama (bidah). Sementara Ibnu Taimiyah menerima legitimasi memperingati maulid Nabi Muhammad Saw –sebagaimana diterima keabsahannya oleh Muslim Sunni ortodoks - Wahabi menolak dan mengkategorikannya sebagai inovasi (bidah) yang wajib ditolak.
Ibnu Taimiyyah adalah sebuah inspirasi bagi kelompok-kelompok Islam yang menyerukan revolusi. Kepel mengatakan, "Ibnu Taimiyah (1268-1323) – adalah referensi utama bagi gerakan Islam Sunni –Pemikirannya banyak dikutip untuk membenarkan pembunuhan terhadap Sadat pada tahun 1981 dan bahkan mengutuk kepemimpinan Saudi dan menyerukan penggulingan kekuasaan pada pertengahan 1990 ".
Sivan mengatakan bahwa hanya enam bulan sebelum Sadat dibunuh, mingguan Mayo memilih Ibnu Taimiyah sebagai "Tokoh paling berpengaruh dan merugikan bagi pemuda-pemuda Mesir." Sivan lebih lanjut mengatakan bahwa Mayo menyimpulkan bahwa "asosiasi Muslim banyak berkembang di universitas [Mesir], di mana pandangan Ibn Taymiyyah mendominasi dan telah melahirkan berbagai kelompok teroris." Memang, sebuah buku berjudul The Absent Precept, yang ditulis oleh `Abd al-Salam Faraj –seorang rohaniawan dan pemimpin atas pembunuh Sadat yang diadili dan dieksekusi oleh pemerintah Mesir - sangat mengacu pada pemikiran Ibnu Taimiyah dan beberapa tulisan murid-muridnya. Tiga dari empat pembunuh Sadat rela membaca sendiri karya-karya Ibnu Taimiyah.
Ibnu Taimiyyah juga tercatat menjadi favorit bagi ekstremis Salafi lainnya, termasuk Syed Quthb Ikhwanul muslimin. Salah seorang murid Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, apa pun pemikirannya sering dikutip oleh kelompok Salafi.
Ibnu Taimiyyah Ber"Fatwa" Jihad Terhadap Umat Islam
Hal yang juga terkenal tentang Ibnu Taimiyyah adalah bahwa ia tinggal di masa pergolakan ketika Mongol telah menaklukkan Bagdad dan menaklukkan Kekaisaran Abassid pada tahun 1258. Pada tahun 1303, ia diperintahkan oleh Sultan Mamluk untuk memberikan fatwa (Dekrit keagamaan) untuk legalisasi jihad melawan Mongol. Melancarkan perang suci terhadap Mongol untuk tujuan menghilangkan ancaman terhadap kekuasaan Mamluk adalah hal yang mudah. Pemimpin Mongol Khan Mahmoud Ghazan telah masuk Islam pada tahun 1295. Meskipun ia adalah Muslim yang tidak mematuhi praktek hukum Islam, dan juga mendukung hukum Mongol Yasa, ia dianggap murtad oleh dekrit Ibnu Taimiyyah. Menurut Ibnu Taimiyyah, Hukum Islam tidak hanya ditolak oleh Mongol karena kurangnya kepatuhan terhadap Islam, ia mendukung praktek hukum "kafir" (hukum Mongol) Yasa sehingga ia menjadi target pemusuhan. Jihad pun dilakukan dan ancaman Mongol ke wilayah Suriah berhasil mereka hentikan. Wahabi dan Salafi lainnya memvonis Mahmoud Ghazan sebagai kafir (Kafir). Muslim Sunni Ortodoks, bagaimanapun telah memuji Mahmoud Ghazan sebagai seorang Muslim. Syaikh Muhammad Hisham Kabbani menulis:
Bahkan, Ghazan Khan sangat percaya terhadap Islam. Al-Dhahabi menceritakan bahwa ia menjadi seorang Muslim di tangan para syekh sufi Sadr al-Din Abu al-Majami 'Ibrahim al-Juwaini (d.720), salah satu syeikh Dhahabi sendiri mengatakan selama pemerintahannya ia memiliki masjid besar yang dibangun di Tabriz di samping dua belas sekolah Islam (madrasah), membangun banyak hostel (khaniqa), benteng (Ribat), sebuah sekolah untuk ilmu sekuler, dan observatorium. Ia memasok Mekah dan Madinah dengan berbagai macam hadiah. Dia mengikuti salah satu madzhab dari Ahl al-Sunnah [yang merupakan Sunni ortodoks] dan menghormati para ulama. Dalam catatan negara Dia adalah keturunan Nabi disebutkan dihadapan pangeran dan putri raja, dan dia memperkenalkan sorban sebagai tutup kepala di pengadilan.
Muhammad bin Abdul Wahhab kemudian mengikuti jejak Ibnu Taimiyyah dan melakukan ribuan pembantaian terhadap umat Islam di Saudi.
Para Ulama Sunni Ortodoks Telah Mencap Ibn Taymiyah Sebagai Pseudo-Sunni
Ulama Sunni Ortodoks yang membantah Ibnu Taimiyyah dipenjara oleh fatwa (Dekrit keagamaan) yang ditandatangani oleh empat hakim Sunni ortodoks pada tahun 726 AH untuk memvonis posisi penentangnya sebagai telah menyimpang dan tidak ortodoks. Perhatikan bahwa empat hakim tersebut masing-masing mewakili empat madzhab fiqih/hukum Islam Muslim Sunni hari ini. Hal ini menggambarkan bahwa Ibn Taimiyyah tidak mengikuti ajaran-ajaran otentik dari Islam Sunni ortodoks yang diwakili oleh empat madzhab fiqih/ yurisprudensi Sunni. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa ada "konspirasi" terhadap Ibnu Taimiyah untuk menyebutnya sebagai Wahabi dan lainnya sebagai Salafi . Nama-nama empat hakim tersebut adalah: Qadhi [Hakim] Muhammad bin Ibrahim Ibnu Jama'ah, Abu-Syafi'i, Qadhi [Hakim] Muhammad Ibn al-Hariri, Al-`Ansari, al-Hanafi, Qadhi [Hakim] Muhammad bin Abi Bakr, al-Maliki, dan Qadhi [Hakim] Ahmad Ibnu 'Umar, al-Maqdisi, al-Hanbali.
Beberapa ulama Sunni ortodoks yang membantah Ibnu Taimiyah dan menyatakan bahwa ia bertentangan dengan posisi Islam Sunni ortodoks adalah: Taqiyy-ud-Din as-Subkiyy, Faqih Muhammad Ibnu 'Umar Ibnu Makkiyy, Hafiz Salah-ud-Din al-' Ala'i, Qadhi, mufassir Badr -ud-Din Ibn Jama'ah, Syaikh Ahmad Ibn Yahya al-Kilabi al-Halabi, Hafiz Ibnu Daqiq al-'Id, Qadhi Kamal-ud-Din az-Zamalkani, Qadhi Safi-ud-Din al-Hindi, seorang Faqih (ahli fiqh) dan Muhaddits (ahli hadis) `Ali bin Muhammad al-Baji asy-Syafi'i, sejarawan Al-Fakhr Ibn al-Mu `allim al-Qurashi, Hafiz Dhahabi, mufassir Abu Hayyan al-'Andalusi, dan seorang Faqih Ibnu Batutah.
Najd- Sebuah Tempat Yang Tidak Begitu Suci
Najd, di Arab Saudi adalah tempat di mana pendiri Wahabisme berasal. Sebagian besar lahannya tandus dan kering yang dihuni oleh suku Badui tempat hewan-hewan merumput. Persediaan air cukup jarang, dan di sebuah wilayah yang memiliki iklim ekstrim panas pada musim panas dan ekstrim dingin dan musim dingin Najd bukanlah tempat yang nyaman untuk tempat tinggal. Najd terkenal memiliki reputasi buruk di komunitas Sunni ortodoks sebagai tempat berasalnya berbagai fitah, jauh sebelum Muhammad Ibn 'Abdul-Wahhab datang. Seorang ulama Sunni ortodoks asal Irak, Jamal Effendi al-Zahawi mengatakan:
Seorang penulis terkenal membuat catatan titik kesamaan antara awal Ibn 'Abdul-Wahhab dan para nabi-nabi palsu di masa-masa awal Islam seperti Musailama al-Kadzdzab (Musailima sang pembohong), Al-Aswad al-Anasi, Tulaiha al-Asadi dan lain-lain.
Fenari mengatakan bahwa meskipun Najd adalah wilayah paling dekat dengan kota suci Mekah dan Madinah, itu hanya sedikit disinggung oleh Nabi Muhammad Saw dalam hadisnya. Dia mengangkat titik lain yang menarik bahwa sementara suku-suku Arab banyak dipuji oleh Nabi Muhammad Saw, Bani Tamim, suku paling terkenal di wilayah bagian tengah Saudi di mana Muhammad Ibn 'Abdul Wahhab berasal- hanya mendapat satu kali pujian. Selain itu, hadis-hadis shahih lain mengatatkan "kritik secara eksplisit " jauh lebih banyak terhadap Bani Tamim. Ibn al-Jawzi, seorang ulama Sunni ortodoks telah mendokumentasikan evolusi gerakan Khawarij dan menggambarkan bagaimana suku dari Bani Tamim memainkan peran utama di dalamnya. Imam Abdul Qahir juga menyatakan bahwa Bani Tamim -dan suku-suku di bagian Arab Tengah secara umum- memiliki keterlibatan cukup erat dalam pemberontakan Khawarij melawan kaum muslimin, kontribusi besar mereka cukup kontras dengan kontribusi minimal dari anggota suku Madinah dan Yaman. Hal ini berikut nama seorang pria dari Bani Tamim, Abu Bilal Mirdas, yang meskipun ia menjadi pemuja tanpa henti, ternyata ia orang Khawarij yang paling barbar dan fanatik. "Dia dikenal sebagai orang pertama yang mengatakan tahkim -penghakiman hanyalah dari Allah sendiri' - di saat perang Shiffin, yang kemudian menjadi slogan dakwah Khawarij." Hal ini mengingatkan pada apa yang dikatakan Wahabi hari ini -bahwa mereka benar-benar tidak mengikuti apa pun kecuali Al-Qur'an dan Sunnah- meskipun itu hanyalah tumpukan kata-kata tanpa makna yang tidak koheren. Najda bin Amir yang berasal dari suku Bani Hanifah adalah Khawarij, dan wanita yang paling terkenal di antara kaum Khawarij adalah seorang wanita suku Tamim bernama Qutam binti `Alqamah. Hal ini menarik untuk dilihat bahwa semua jenis kefanatikan berasal dari wilayah di mana Muhammad bin Abdul Wahhab berasal.
Kelompok Wahabi Adalah Pelaku Serangan Terhadap Kuburan Dan Pembantaian Masyarakat Muslim di Riyadh Dan Karbala
Dengan semangat ganas dalam slogan memperjuangkan misi "ilahi", yang ditujukan untuk mengakhiri apa yang mereka anggap sebagai sampah kotor politeistik. Tentara Wahabi Saudi yang dipimpin oleh Muhammad bin Sa`ud pertama-tama mereka hancurkan kuburan dan beberapa situs di dalam kota Najdi dan beberapa desa yang digunakan untuk apa yang mereka dianggap sebagai "praktek musyrik". Gerakan Wahabi itu mengarahkan pendukungnya berunjuk rasa di belakang perjuangan mereka, meningkatkan jumlah tentara mereka, dan sukses mempersatukan sebagian besar rakyat Najd di bawah bendera Wahabisme pada tahun 1765.
Serangan dan "jihad" kelompok Wahabi tidak berhenti setelah kematian Muhammad Ibn Sa`ud pada tahun 1765, tapi terus dengan tidak ada hentinya dan dengan kekuatan barbar di bawah kepemimpinan anaknya, Abdul Aziz mereka merebut kota Riyadh pada tahun 1773. Muhammad bin Abdul Wahhab meninggal pada tahun sebelumnya tetapi meninggalkan empat putra yang terus menyebarkan Wahabisme dan memperkuat aliansi Wahabi dengan keluarga Al-Sa`ud. Kemudian, pada tahun 1801, tentara Wahabi bergerak ke wilayah Karbala dengan kekuatan 10.000 orang dan 6.000 unta. Setelah mencapai kota Karbala, mereka tanpa ampun dan tanpa pandang bulu menyerang penghuninya selama delapan jam dan berhasil membantai sekitar 5.000 orang. Selain itu, mereka menghancurkan Masjid Imam Hussein hingga rusak parah, menjarah isi kota dan meninggalkan kota dengan merampas harta kekayaan sebanyak muatan 200 unta. Bencana ini telah melahirkan kebencian dan murka luar biasa kelompok Islam Syiah dan Sunni kepada kelompok Wahabi dengan terus mengutuk mereka sampai hari ini. Muslim Syiah menganggap Imam Hussein, cucu Nabi Muhammad saw sebagai salah seorang tokoh paling suci dan makamnya salah satu situs paling suci di muka bumi. Setiap tahun, ribuan Muslim Syi'ah berkumpul di lokasi itu untuk memperingati kematian Imam Hussein a.s. bahkan bagi saya sebagai seorang Sunni yang taat kunjungan ke Karbala membuat saya dipenuhi kekaguman dan kekuatan spiritual. Kemurkaan muslim Syiah tentu saja tidak berarti bagi banyak kaum Wahabi. Syiah bersama dengan kaum Sunni telah diberi label sebagai kelompok "terkutuk" karena melakukan tawassul dan tabarruk. Apakah praktek-praktek ini? Apakah mereka bagian dari Islam Sunni atau tidak?
Tawassul dan Tabarruk
Nuh Keller, seorang ulama ortodoks Sunni ortodoks, mendefinisikan tawassul sebagai "memohon kepada Allah melalui sebuah perantara, baik orang itu masih hidup maupun sudah mati, atau melalui nama-nama atau atribut Allah Swt ". Saya teringat melakukan tawassul pada tahun 1989 di makam Imam Abu Hanifah, seorang ulama Islam yang mulia dan terkenal yang ijtihadnya diikuti mayoritas Muslim Sunni. Meskipun pada waktu itu saya tidak mempelajari banyak tentang Islam dan praktik tawassul, saya telah diberitahu oleh umat Islam terpercaya bahwa menggunakan orang saleh sebagai perantara ketika meminta kepada Allah Swt untuk suatu kebutuhhan adalah kesempatan berkah yang tidak boleh saya lewatkan. Saya juga mengunjungi makam ulama dan tokoh besar sufi, Abdul Qadir Jilani dan melakukan tawassul di sana. Contoh tawassul yang diucapkan di sana adalah: "Ya Allah, saya meminta kepada-Mu untuk kesembuhkan penyakitku dengan berkat status mulia Imam Abu Hanifah di sisi-Mu."
Ketika melakukan tawassul, meminta kepada Allah melalui sebuah perantara Allah bukan berarti meminta kepada perantara tersebut. Perantara hanyalah sarana untuk meminta sesuatu kepada Allah. Meskipun bagi seorang muslim tidak menjadi sebuah keharusan untuk menggunakan perantara seorang individu saleh ketika meminta Allah, namun itu dianjurkan karena itu adalah pernah dilakukan Nabi Muhammad saw, para sahabat ra, dan para ulama besar Islam ra. Hal ini tidak hanya kepada nabi dan orang suci (di kuburan mereka) yang digunakan sebagai sarana/wasilah untuk meminta kepada Allah, seorang muslim juga dapat meminta kepada Allah dengan bertabarruk melalui peninggalan milik orang-orang saleh, dan bahkan dapat menggunakan tulisan ayat-ayat pada Al-Qur'an milik mereka sebagai sarana untuk meminta perlindungan kepada Allah Swt dari kejahatan. Ini bukan berarti benda atau tulisan tersebut yang memberikan perlindungan, tapi Allah lah yang memberinya.
Wahabi Menolak Satu Jenis Tawassul Yang Diterima Oleh Muslim Sunni Ortodoks
Meskipun Sunni, Syiah, dan Wahabi percaya bahwa tawassul menggunakan nama atau atribut Tuhan merupakan perbuatan baik, atau memohon syafaat kepada seseorang yang masih hidup adalah diperbolehkan, Wahabi menuduh Sunni (dan Syiah) (Menghubungkan mitra dalam beribadah kepada Allah) ketika melakukan tawassul melalui perantara orang yang masih hidup atau sudah mati. Artinya, bagi Wahabi bertawassul melalui perantara orang yang telah meninggal dan dikuburkan tidaklah diperbolehkan. Hal ini penting untuk diketahui karena inilah alasan utama mengapa Muhammad Ibn 'Abdul-Wahhab dan Al-Sa`ud bekerja sama dalam melakukan pembantaian kepada umat Islam di Jazirah Arab. Kaum muslimin telah melakukan tawassul selama lebih dari 1.000 tahun, namun Wahhab percaya itu merupakan perbuatan buruk yang harus dibasmi oleh pedang. Apa yang dilakukan Wahabi dalam kenyataannya mereka telah membantai Muslim Sunni ortodoks, meskipun bodohnya mereka percaya bahwa mereka berjuang melawan komunitas jahat yang tidak layak untuk hidup. Sebenarnya Wahabi tidak mengikuti jejak orang-orang saleh Salaf, namun jejak Ibnu Taimiyah yang beberapa ratus tahun sebelum mereka mengecam dan mengatakan bahwa tawassul sebagai perbuatan dosa. Sekarang Wahabi melarang umat Islam melakukan tawassul melalui perantara Nabi Muhammad Saw, dan telah memberlakukan aturan ketat di sekitar kubur beliau di Madinah, Arab Saudi. Karena alasan inilah Wahabi melarang kaum muslimin mengunjungi makam orang-oang muslim yang saleh, dan telah menghancurkan tanda di atas kuburan mereka untuk mencegah kaum muslimin mengetahui di titik-titik mana saja orang-orang suci telah dimakamkan. Namun, menarik untuk dicatat bagaimana sifat munafik kelompok Wahabi ketika mereka telah menolak menghancurkan makam Ibnu Taimiyyah di Damaskus, Suriah untuk proyek pembuatan jalan. Entah bagaimana bagi mereka ini bukan "politeisme", tetapi ini adalah "politeisme" bagi mayoritas umat Islam.
Kesalahan Wahabi Memahami Tawassul: Menyamakan Media Tawasul Dengan Allah
Wahabi salah menuduh Sunni ortodoks melakukan politeisme ketika mereka meminta sesuatu kepada Allah menggunakan sebuah perantara/wasilah, apakah perantara tersebut adalah seorang manusia yang saleh yang sudah mati, bertabarruk dengan objek tertentu, atau mencari perlindungan dari Allah dengan menggunakan jimat yang ditulis dari ayat-ayat Al-Qur'an (ruqya). Kelompok Wahabi percaya bahwa meminta sesuatu kepada Allah melalui sebuah sarana/media adalah sama dengan menyembah sarana itu sendiri. Artinya, bagi orang yang melakukan tawassul melalui seorang saleh di kuburnya berarti ia meminta kepada orang saleh itu dan bukan kepada Allah. Orang yang melakukan tabarruk (mencari berkah, penj) melalui benda-benda peninggalan Nabi Muhammad saw untuk meminta berkat -dan bukan Tuhan-, dan orang yang memakai ruqya untuk memohon perlindungan -dan bukan Tuhan-. Ketika seorang muslim mengunjungi makam Nabi Muhammad Saw dan meminta kepada Sang Nabi (saw), "Wahai Nabi," wahai Rasulullah, Wahabi menuduh orang seperti ini telah menyembah Nabi saw. Mereka tidak mau menerima pemahaman bahwa Nabi sendiri adalah sarana untuk meminta kepada Allah Swt. Orang seperti ini menurut Wahabi telah keluar dari agama Islam. Singkatnya, Wahabi percaya bahwa orang tersebut menyembah makhluk bersama Allah, dan karenanya itu disebut politeisme -menyertakan mitra dalam beribadah kepada Allah-.
Mantan mufti Arab Saudi -sekarang almarhum-, Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz telah membela Ibn Abdul-Wahhab yang menuduh kemusyrikan sudah sedemikian memuncak di kalangan umat Islam dan menyerukan "jihad" kepada umat Islam yang menurutnya telah tersesat karena "menyembah" sesuatu selain Allah. Ia berkata:
Orang-orang Najd hidup dalam kondisi yang jauh dari ciri-ciri kehidupan orang beriman. Politeisme telah muncul dan menyebar luas di sana. Orang menyembah kubah, pohon, batu, gua-gua atau orang yang mengaku sebagai Auliya (wali) meskipun mereka mungkin seorang gila dan bodoh.
Ada beberapa hal penting perlu dilakukan untuk bangkit demi Allah dan mendukung Agama-Nya. Situasi di Makkah dan Madinah serta Yaman ternyata sama saja dimana orang-orang membangun kubah di atas kuburan, memanggil orang-orang suci untuk memohon bantuan, berbagai bentuk kemusyrikan telah mendominansi ketiga wilayah itu. Namun demikian di Najd keyakinan terhadap politeisme dan praktiknya sudah jauh lebih intens.
Di Najd orang–orang menyembah berbagai macam objek sembahan mulai dari gua-gua, kuburan dan pohon juga kepada orang-orang gila dan berobsesi yang disebut orang suci.
Ketika Sheikh [Ibn Abdul-Wahhab] melihat bahwa kemusyrikan telah mendominasi banyak orang dan tidak ada orang yang menunjukkan penolakan juga tidak ada yang siap untuk memanggil mereka kembali kepada Allah Saw, ia memutuskan untuk berjuang sendiri dan bersabar di lapangan. Dia tahu tidak ada jihad (perang suci) yang bisa dicapai tanpa kesabaran dan penderitaan.
Sunni Ortodoks, bagaimanapun tidak pernah mengaku telah menyembah sarana (dalam bertawassul, penj), hanya Allah yang mereka sembah tidak yang lain. Namun Wahabi tidak mentolerir alasan ini dan mereka tetap membantai ribuan kaum muslimin yang mereka lihat sebagai pelaku "musyrik" di Saudi. Kenyataan sebenarnya, Muslim Sunni adalah orang-orang yang mengikuti Islam dalam kemurniannya seperti yang diajarkan oleh para pendahulu yang saleh yang hidup pada periode Salaf.
Wahabi Menghubungkan Tempat Dan Arah Kepada Allah
Sementara menuduh kaum Muslim lain sebagai musyrik, Wahabi sendiri telah membedakan dirinya dari umat Islam lainnya dalam pemahaman mereka tentang keyakinan (aqidah). Karena Wahabi bukan ortodoks mereka memahami atribut-atribut Allah secara harfiah, mereka percaya bahwa Allah memiliki atribut seperti atribut manusia, dan untuk menyembunyikan antropomorfismenya mereka mengatakan bahwa mereka tidak tahu bagaimana Allah memiliki atribut tersebut. Sebagai contoh, Bilal Philips, penulis Wahabi mengatakan:
Dia tidak memiliki tubuh jasmani dan Dia juga tidak berbentuk. Dia memiliki bentuk yang cocok dengan keagungan-Nya [tulisan miring dari saya], yang tidak ada seorangpun mampu melihat atau memahaminya, dan yang hanya akan terlihat oleh manusia di surga (dengan tingkat keterbatasan manusia yang terbatas).
Membahas setiap bagian dari pernyataannya akan menjelaskan bagaimana keyakinan Wahabi sebenarnya. Bilal Philips mengatakan bahwa "Allah memiliki bentuk..." artinya mereka meyakini bahwa Allah pasti memiliki form (bentuk). Sekalipun Ia tidak menentukan bagaimana bentuk yang dimaksud, dengan mengatakan: "Dia [Allah] tidak memiliki tubuh jasmani ..." yang berarti bahwa Allah memiliki bentuk yang tidak seperti bentuk-bentuk ciptaan-Nya, dan kemudian berkata, " Ia memiliki bentuk yang cocok dengan keagungan-Nya ..." Masalah dengan pernyataan seperti itu untuk seorang Muslim adalah bahwa mereka mengekspresikan antropomorfisme secara terang-terangan. Apa yang dilakukan Bilal Philips di sini adalah pernyataan bodoh menisbatkan "bentuk" kepada Allah. Oleh karena itu, Bilal Philips percaya bahwa Allah memiliki beberapa jenis bentuk, atau tubuh non-jasmani. Dan tidak ada seorang ulama Sunni ortodoks pun yang pernah mengatakan hal seperti itu.
Imam Ahmad Ibn Hanbal, salah seorang imam mujtahid Sunni terbesar yang pernah hidup, membantah pernyataan antropomorfik seperti itu lebih dari seribu tahun sebelum Bilal Philips lahir. Seorang ulama besar Sunni Ash`ari, Imam al-Baihaqi, dalam bukunya “Manaqib Ahmad” berdaarkan sebuah riwayat shahih bahwa Imam Ahmad mengatakan:
Seseorang melakukan perbuatan kafir jika dia mengatakan Allah memiliki tubuh, bahkan sekalipun ia mengatakan: “Allah memiliki tubuh tapi tubuh-Nya tidak seperti tubuh-tubuh lainnya”, ia adalah kafir.
Imam Ahmad melanjutkan:
Kata tersebut diambil baik secara bahasa maupun istilah (Islam). “Tubuh” menurut ahli bahasa berarti suatu hal yang memiliki panjang, lebar, ketebalan, bentuk, struktur, dan komponen. Sementara menurut perspektif syariah masih belum ada. Oleh karena itu, tidak valid dan tidak dapat digunakan.
Imam Ahmed adalah salah seorang saleh yang hidup pada periode para salaf yang dipuji oleh Nabi Muhammad Saw. Bagaimana Bilal Philips berani mengklaim bahwa Wahabi mewakili pandangan para salaf saleh? Dia tidak hanya bertentangan dengan mereka namun dibantah keras oleh mereka. Para pendahulu yang saleh telah membantah orang seperti Bilal Philips di zaman mereka dahulu.
Antropomorfisme terang-terangan juga diilustrasikan oleh juru bicara Wahabi, Ibnu Baz dalam karya besar Imam Abu Ja'afar at-Tahawi disebut "aqidah at-Tahawiyyah", suatu karya yang telah dipuji oleh kaum Sunni ortodoks sebagai perwakilan model Sunni ortodoks. Ibn Baz -sekarang almarhum- adalah seorang mufti besar Arab Saudi.
Pasal 38 dari karya Imam Tahawi ini:
Dia (Allah) berada di luar batas yang dapat ditempatkan pada-Nya, atau dibatasi, atau memiliki bagian atau anggota badan. Juga Dia tidak dikandung oleh enam arah sebagaimana dikandung oleh semua entitas yang ada (diciptakan).
Ibnu Baz, dalam catatan kaki berkomentar:
Allah berada di atas batas yang kita tahu tetapi memiliki batas yang hanya Dia yang tahu.
Dalam catatan kaki lain, ia berkata:
Hudud (batas), penulis [mengacu pada pernyataan Imam Tahawi] berarti pengertiannya [batas] seperti yang dipahami oleh orang-orang karena tidak ada seorang pun kecuali Allah SWT yang tahu batas-Nya.
Ibnu Baz mencoba menipu untuk mewakili Imam Sunni yang mulia al-Tahawi sebagai sebuah anthropomorphist dengan menempatkan interpretasi sendiri antropomorfik tentang kata-kata Imam Tahawi dalam mulutnya. Harus ditekankan bahwa tidak satu ulama Sunni ortodoks pun yang memahami pernyataan Imam Tahawi sebagaimana diahami oleh Ibnu Baz.
Ibnu Baz juga menunjukkan antropomorfisme dalam sebuah komentar terhadap seorang ulama besar Sunni Ibnu Hajar al-'Asqalani. Ibnu Baz mengatakan:
Adapun Ahlulssunnah -ini adalah para sahabat dan mereka yang mengikuti keutamaan para sahabat- mereka menegaskan arah untuk Allah, dan itulah arah yang dimaksud, percaya bahwa Allah Swt berada di atas Arasy.
Ulama Wahabi lain –juga sudah meninggal-, Muhammad Saleh Al-Utsaimin, terang-terangan mengungkapkan keyakinan antropomorfismenya. Dia mengatakan:
Pengertian Allah di atas takhta itu berarti bahwa Dia duduk 'secara pribadi' pada Arasy-Nya.
Ulama besar Sunni Hanbali, Ibn al-Jawzi, ratusan tahun lalu telah membantah anthropomorphists yang mengatakan bahwa Allah berdiri pada Tahta secara pribadi (bi dhatihi). Ia berkata:
Siapapun yang mengatakan: Dia berdiri pada Tahta 'secara pribadi' (bi dhatihi), ia telah menyalahartikan maksud ayat tersebut dengan persepsi sensorik. Orang seperti itu tidak boleh mengabaikan bahwa prinsip yang dibentuk oleh pikiran dimana dengannya kita telah mengenal Allah. Jika Anda berkata: Kami membaca hadis dan diam, tidak ada yang mengkritik Anda, melainkan hanya mengajak mereka menerima pengertian eksternal Anda yang mengerikan. Oleh karena itu madzhab ini tidak membawa orang kepada kehidupan para Salaf saleh – dimana Imam Ahmad [Ibn Hanbal] - tidak termasuk di dalamnya. Anda telah mengidentikkan madhab ini [atau madzhab yurisprudensi/fiqh] sehingga tidak lagi berkata 'Hambali' kecuali dalam arti 'anthropomorphist'.
Sulaiman Ibn Abdulllah Ibn Muhammad Ibn Abd al-Wahhab, cucu pendiri gerakan Wahabi, mengatakan:
Setiap orang yang percaya atau mengatakan bahwaAllah secara pribadi (bi dhatihi) ada di setiap tempat, atau di satu tempat berarti dia adalah kafir (kafir). Ini adalah wajib untuk menyatakan bahwa Allah adalah berbeda dari ciptaan-Nya, berdiri di atas Arsy-Nya tanpa modalitas atau rupa atau exemplarity apapun. Allah telah ada sebelum ada (tempat) itu Ia adakan, maka Dia menciptakan tempat dan Dia suci dari kebutuhan/kebergantungan pada tempat, sebagaimana Dia sebelum menciptakan tempat.
Sama seperti Bilal Philips menegaskan bentuk untuk Allah dalam pikirannya, dan Ibnu Baz menegaskan batas kepada Allah dalam pikirannya, al-Utsaimin menegaskan bahwa Allah secara harfiah duduk 'secara pribadi' di atas Arsy-pikirannya. Semua dari mereka telah setia mengikuti jejak Ibnu Taimiyah dan Muhammad ibn 'Abdul-Wahhab - dua lengkungan-bidat yang berperan dalam menyebabkan kesengsaraan (fitnah) dan interpretasi ortodoks mereka dari sumber-sumber Islam.
Anthropomorphists Wahabi mengatakan: Allah adalah arah, Allah memiliki batas, Allah secara harfiah di atas Arasy, dan bahwa Allah duduk 'secara pribadi' (bi dhatihi) di Arsy. Seorang Muslim memahami bahwa kenyataannya Arasy berada dalam arah tertentu dan tempat tertentu. Dengan memahami Allah berada di atas Arsy secara harfiah sebagaimana dipahami Wahabi, mereka yang menghubungkan Allah dengan atribut yang diciptakan-Nya, sebagai hasil atau kesimpulan itu menyiratkan bahwa bagian dari penciptaan adalah kekal dengan Allah. Ini bertentangan dengan apa yang telah dikatakan Al-Qur'an dan juga hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhari. Ia mengatakan: Allah ada secara abadi dan tidak ada (yang abadi, penj) selain-Nya].
Sunni Ortodoksi telah membersihkan Allah dari segala arah dan tempat. Untuk seorang Sunni, Allah selalu ada tanpa perlu tempat dan Dia tidak mengambil tempat untuk diri-Nya setelah Ia membuatnya. Seorang ulama Sunni Ortodoks mengatakan persis apa yang dipahami oleh Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya (ra). Imam Abu Hanifah, para Imam mujtahid besar yang tinggal dalam jangka waktu salaf berkata: "Allah tidak memiliki batas ...", titik. Dan inilah yang mewakili Sunni ortodoksi.
Ulama Sunni Ortodoks Menentang Wahabisme
Saya mengakhiri artikel ini dengan sebuah daftar ulama Sunni ortodoks yang membantah Wahabisme dan memperingatkan umat Islam dari racunnya. Daftar nama para ulama, bersama dengan nama buku-buku mereka dan informasi terkait, yang dikutip dari seorang ulama Sunni ortodoks, Muhammad Hisham Kabbani :
Al-Ahsa'i Al-Misri, Ahmad (1753-1826): naskah tidak diterbitkan karena ada tekanan dari sekte Wahabi. Anaknya Syaikh Muhammad bin Ahmad ibn 'Abd al-Latif al-Ahsa'i juga menulis buku menyangkal mereka.
Al-Ahsa'i, Al-Sayyid `Abd al-Rahman: menulis enam puluh tujuh bait puisi yang dimulai dengan bait: Badat fitnatun kal layli qad ghattatil aafaaqa # wa sha `` di fa kadat tublighul gharba wasy syaraqa [Sebuah kebingungan muncul seperti malam yang menutupi langit # Dan menjadi luas mencapai hampir seluruh dunia]
Al-`Amrawi,` Abd al-Hayy, dan `Abd al-Hakim Murad (Universitas Qarawiyyin, Maroko): Al-tahdhir min al-ightirar bi ma ja'a fi kitab al-hiwar [" Peringatan jangan Menjadi Tertipu Dengan isi Kitab (oleh Ibnu Mani) Debat dengan al-Maliki (serangan terhadap Ibn` Alawi al-Maliki oleh seorang penulis Wahabi) "] (Fes: Qarawiyyin, 1984).
`Ata 'Allah al-Makki: Al-Sarim al-hindi fil` unuq al-najdi ["Pedang-Pedang India untuk Leher Najdi "].
Al-Azhari, `Abd Rabbih bin Sulaiman al-Shafi` i (Penulis al-Ushul Syarh Jami 'li Ahadis al-Rasul, sebuah buku dasar Ushul al-Fiqh: Fayd al-Wahhab fi Bayan Ahl al-Haqq wa man dalla `an al-sawab, 4 jilid [" Curahan anugrah Allah dalam Membedakan Muslim sejati Dari Mereka yang menyimpang dari kebenaran "].
Al-`Azzami,` Allamah al-Syaikh Salamah (wafat 1379H): Al-Barahin al-Sati `at.
Al-Barakat al-Shafi `i al-Ahmadi al-Makki,` Abd al-Wahhab bin Ahmad: naskah tidak diterbitkan karena ada penentangan dari sekte Wahabi.
al-Bulaqi, Mustafa al-Masri menulis sanggahan untuk puisi San `a'i dimana ia puisi terakhir telah memuji Ibnu` Abd al-Wahhab. Hal ini dalam Samnudi "Sa`adat al-Darayn " terdiri dari 126 bait yang dimulai dengan: Bi hamdi wali al-hamdi la al-dhammi astabdi # Wa bil Haqqi la bil khalqi lil Haqqi astahdi [Dengan kemuliaan Pemilik kemuliaan, tidak ada kehinaan, apakah saya lakukan # Dan demi Allah, tidak melalui makhluk, apakah saya mencari bimbingan kepada Allah
Al-Buti, Dr Muhammad Sa `id Ramadhan (Universitas Damaskus): Al-Salafiyyatu marhalatun zamaniyyatun mubarakatun la madhhabun Islami ["Salafiyah adalah periode sejarah yang diberkati bukan madzhab hukum Islam"] (Damaskus: Dar al-fikr , 1988); Al-lamadhhabiyya akhtaru tawaran `Atin tuhaddidu al-syariah al-Islamiyyah [" tidak ada madhhab yang paling berbahaya dan mengancam saat ini terhadap hukum Islam "] (Damaskus: Maktabat al-Farabi, nd).
Al-Dahesh ibn 'Abd Allah, Dr (Universitas Arab Maroko), ed. Munazara `ilmiyya bayna` Ali bin Muhammad al-Sharif wa al-Imam Ahmad bin Idris fi al-Radd `ala Wahabiyyat Najd ["Debat Ilmiah Antara Sharif Ali bin Muhammad dan Ahmad bin Idris Terhadap Wahabi Najd "].
Dahlan, al-Sayyid Ahmad ibn Zayni (w. 1304/1886). Mufti Mekah dan Syekh al-Islam (otoritas keagamaan tertinggi di wilayah hukum Ottoman) untuk wilayah Hijaz: al-Durar al-Saniyyah fi al-Radd ala al-Wahabiyyah ["Mutiara Murni Menjawab Wahabi"] pub. Mesir 1319 & 1347 H; Fitnat al-Wahabiyyah ["Fitnah Kelompok Wahabi"]; al-Balad al-Khulasat Kalam fi bayan Umara 'al-Haram ["Uraian Banding Mengenai Para pemimpin al-Haram"], sebuah sejarah fitnah kelompok Wahabi di Najd dan Hijaz.
al-Dajwi, Hamd Allah: al-Basa'ir li Munkiri al-tawassul ka amthal Muhd. Ibnu Abdul Wahhab ["Berbagai Bukti Terhadap Mereka yang menolak Tawassul Seperti Muhammad Ibnu Abdul Wahhab"].
Syaikh al-Islam Dawud bin Sulaiman al-Baghdadi al-Hanafi (1815-1881 M): al-minha al-Wahbiyya fi Radd al-Wahabiyya ["Keringanan Mengenai bantahan terhadap Wahabi"]; Ashadd al-Jihad fi Ibtal Da`wa al-Ijtihad ["Jihad dengan banyak kekerasan Membuktikan Kepalsuan Mereka yang secara salah mengklaim Ijtihad "].
Al-Falani al-Maghribi, al-Muhaddith Shalih: menulis sebuah buku besar menyusun jawaban para ulama dari Empat Madzhab kepada Muhammad ibn 'Abd al-Wahhab.
al-Habibi, Muhammad `Ashiq al-Rahman:` Adhab Allah al-Mujdi li Junun al-Munkir al-Najdi ["Hukuman Mengerikan Allah untuk kelompok Majdi (Wahabi, penj) dari Najd"].
Al-Haddad, al-Sayyid al-'Alawi bin Ahmad bin Hasan bin Al-Qutb. Sayyidi `Abd Allah ibn 'Alawi al-Haddad Al-Shafi`i: al-Sayf al-batir li `unq al-munkir` ala al-akabir ["Pedang Tajam untuk Leher para penyerang ulama besar"]. Naskah dengan ketebaan sekitar 100 folio ini tidak diterbitkan; al-zalam Misbah al-anam wa jala 'fi Radd shubah al-tawaran `i al-najdi al-Lati adalla biha al-' awamm ["Lentera bagi Manusia dan Penerangan Kegelapan Mengenai sanggahan terhadap Kesalahan dari pemikiran-pemikirna baru Najd (Wahabi, penj) dimana dia telah menyesatkan Rakyat biasa "]. Diterbitkan 1325H.
Al-Hamami al-Misri, Syekh Mustafa: Ghawth al-'ibad bi bayan al-Rashad ["Penolong Para Hamba Allah dengan Penegasan hukum"].
Al-Hilmi al-Qadiri al-Sakandari, Syekh Ibrahim: Jalal al-haqq fi Kashf ahwal al-khalq ashrar ["Keagungan Al-Haq (Allah,penj) dalam menyingkap berbagai rahasia makhluk] (pub. 1355H).
Al-Husayni, 'Amili, Muhsin (1865-1952). Kashf al-irtiyab fi atba `Muhammad ibn 'Abd al-Wahhab ["Menghilangkan Keraguan para Pengikut Muhammad Ibn' Abd al-Wahhab "] [Yaman]:. Maktabat al-Yaman al-Kubra, 198?.
Al-Kabbani, Muhammad Hisyam, Ensiklopedia Ajaran Islam, vol. 1-7, As-Sunnah Foundation of America, 1998.
_____, Islamic Beliefs and Doctrine According to Ahl as-Sunna - A Repudiation of "Salafi" Innovations (Islam Doktrin dan Keyakinan Menurut Ahl as-Sunnah – Sebuah Penolakan Terhadap Inovasi kelompok "Salafi"), ASFA, 1996.
_____, Innovation and True Belief: the Celebration of Mawlid According to the Qur'an and Sunna and the Scholars of Islam, (Inovasi dan Kepercayaan Yang Benar: Perayaan Maulid Menurut Al-Qur'an dan Sunnah dan Cendekiawan Islam,) ASFA, 1995.
_____, Salafi Movement Unveiled (Gerakan Salafi Dibongkar), ASFA, 1997.
Ibn `Abd al-Latif al-Shafi`i, `Abd Allah: Tajrid Sayf al-jihad `ala mudda`i al-ijtihad [" Gambar pedang jihad sesungguhnya melawan penuntut ijtihad palsu "].
Keluarga Ibnu `Abd al-Razzaq al-Hanbali dalam Zubara dan Bahrayn memiliki kedua naskah dicetak oleh para ulama dari Empat Madzhab dari Mekah, Madinah, Al-Ahsa', al-Basrah, Baghdad, Aleppo, Yaman dan daerah Islam lainnya.
Ibn `Abd al-Wahhab al-Najdi,` Allamah al-Syaikh Sulaiman, kakak Muhammad ibn 'Abd al-Wahhab: al-Sawa'iq al-Ilahiyya fi al-Radd' ala al-Wahabiyya ["Kilat-Kilat Ilahi dalam menjawab kelompok Wahabi "]. Ed. Ibrahim Muhammad al-Batawi. Kairo: Dar al-insan, 1987. dicetak ulang oleh Waqf Ikhlas, Istanbul: hakikat Kitabevi, 1994. Prefaces oleh Syaikh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi al-Shafi `i dan Syaikh Muhammad Hayyan al-Sindi (Syaikh Muhammad bin` Abd al-Wahhab) yang menyatakan bahwa Ibn `Abd al-Wahhab adalah" dall mudill "("Sesat dan Menyesatkan ").
Ibnu Abidin al-Hanafi, al-Sayyid Muhammad Amin: Radd al-Muhtar `ala al-Durr al-mukhtar, Vol. 3, Kitab al-Iman, Bab al-bughat ["Jawaban untuk yang Bingung: Sebuah Komentar terhadap buku " al-Durr al-mukhtar", Kitab Iman, bab tentang Pemberontak]. Kairo: Dar al-Tiba `ah al-Misriyya, 1272 H.
Ibnu al-Hanbali Afaliq, Muhammad bin `Abdul Rahman: Tahakkum al-muqallidin bi man idda`a tajdid al-din [Kesewenang-wenangan/pengendalian kekuasa para pengikut orang yang mengklaim sebagai Pembaharuan Agama]. Sebuah buku yang sangat komprehensif menyangkal ajaran sesat Wahabi dan berbagai pertanyaan yang sebagian besarnya tidak dapat dijawab oleh Ibnu Abdul Wahhab dan para pengikutnya.
Ibnu Dawud al-Hanbali, 'Afif al-Din `Abd Allah: as-Sawa`iq wa al-ru`ud [" terjadilah kilat dan guntur "], buku yang sangat penting terdiri dari 20 bab. Menurut Mufti Yaman Syaikh al-'Alawi ibn Ahmad al-Haddad, "Buku ini telah mendapatkan persetujuan dari` ulama Basrah, Baghdad, Aleppo, dan Ahsa' [semenanjung Arab]. Diringkas oleh Muhammad bin Bashir kadi Ra al-Khayma di Oman. "
Ibnu Ghalbun al-Libi juga menulis sanggahan dalam empat puluh bait puisi al-San`ani di mana pada bagian terakhir telah memuji Ibnu` Abd al-Wahhab. Dalam `Sa Samnudi dimulai sebagai berikut:
Salami `ala ahlil isabati wal-Rushdi # Wa laysa `ala najdi wa pria Halla fi najdi
[Salam saya kepada para pengikut kebenaran dan petunjuk # dan bukan pada orang-orang Najd (Wahabi, penj) maupun orang yang menetap di Najd]
Ibnu `Ulyawi Khalifa al-Azhari: Hadhihi` aqidatu al-salaf wa al-khalaf fi Dhat Allahi ta `ala wa` sifatihi wa alihi wa al-Jawab al-Shahih li ma waqa`a fihi al-khilaf min al-furu` bayna al-da` li al-Salafiyah wa atba` al-madzhab al-Arba`ah al-Islamiyyah ["Ini adalah doktrin aqidah Salaf dan Khalaf tentang Dzat Alalh Swt dan sifat-Nya, dna Jawaban yang benar terhadap perselisihan yang ada terkait permasalahan Furu`uddin (cabang-cabang Agama) untuk para pengikut salafi dan para pengikut Empat Madzhab Hukum Islam "] (Damaskus: Matba` di Zaid bin Tsabit, 1398/1977.
Kawthari al-Hanafi, Muhammad Zahid. Maqalat al-Kawthari. (Kairo: al-Maktabah al-Azhariyah li al-Turats, 1994).
Al-Kawwash al-Tunisi, `Allamah Al-Syaikh Shalih: Sanggahannya terhadap sekte Wahabi terkandung dalam buku Samnudi berjudul:" Sa`adat al-darayn fi al-Radd` ala al-firqatayn. "
Khazbek, Syaikh Hasan Al-Maqalat al-Wafiyyat fi al-Radd `ala al-Wahabiyyah [" Risalah Lengkap Bantahan terhadap Kelompok Wahabi "].
Makhluf, Muhammad Hasanayn: Risalat fi hukmi al-tawassul bil-anbiya wal-awliya ["risalah tentang Hukum bertawassul kepada para nabi dan para wali"].
Al-Maliki al-Husayni, Al-Muhaddith Muhammad al-Hasan ibn 'Alawi: Mafahimu Yajibu an Tusahhah ["Berbagai Pemahaman yang perlu diluruskan"] 4th ed. (Dubai: Hashr bin Muhammad Dalmuk, 1986); Muhammad al-Insanu al-Kamil ["Muhammad, Manusia Sempurna "] 3rd ed. (Jeddah: Dar al-Shuruq, 1404/1984).
Al-Mashrifi al-Maliki al-Jaza'iri: Izhar al-'uquq mimman mana`a al-tawassul bil nabi wa al-wali al-saduq ["Sebuah Paparan dari orang-orang yang Melarang bertawassul kepada Nabi dan wali].
Al-Mirghani al-Ta'ifi, `Allamah` Abd Allah ibn Ibrahim (w. 1793): Tahrid al-aghbiya 'ala al-Istighatha bil-anbiya' wal-awliya ["Sebuah Provokasi Terhadap Tawassul kepada para nabi dan para wali"] (Kairo: al-Halabi, 1939).
Mu'in al-Haqq al-Dehlawi (w. 1289): Saif al-Jabbar al-maslul `ala a`da 'al-Abrar ["Pedang Maha Kuasa Yang diperintukkan untuk Musuh orang-orang baik"].
Al-Muwaysi al-Yamani, `Abdullah Ibn 'Isa: Naskah tidak diterbitkan karena ada penentangan dari sekte Wahabi.
Al-Nabhany al-Shafi`i, al-kadi al-Muhaddith Yusuf bin Isma`il (1850-1932): Shawahid al-Haqq fi al-istighatha bi sayyid al-Khalq (s) ["Bukti-Bukti Kebenaran dalam mencari Syafaat dari Nabi Saw"].
Al-Qabbani al-Basri al-Shafi`i, Allamah Ahmad ibn 'Ali: Sebuah risalah denagnketebalan sekitar 10 bab.
Al-Qadumi al-Nabulusi al-Hanbali: `Abdullah: Rihlat [" Journey "].
Al-Qazwini, Muhammad Hasan, (w. 1825). Al-Barahin al-jaliyyah fi `raf tashkikat al-Wahabiyah ["Bukti0Bukti Yang Jelas tentang Kekeliruan Wahabi "]. Ed. Muhammad Munir al-Husayni al-Milani. 1st ed. Beirut: Mu'assasat al-Wafa ', 1987.
Al-Qudsi: al-Suyuf al-Siqal fi A`naq al-ankara `ala al-awliya ba`d al-intiqal ["Sebuah Pedang di leher orang-orang yang Tidak menerima/Mengakui Kedudukan Para Wali setelah mereka Meninggal Dunia "] .
Al-Rifa `i, Yusuf al-Sayyid Hasyim, Presiden the World Union of Islamic Propagation and Information: `Adillat Ahl al-Sunnah wa al-Jama`at aw al-Radd al-muhkam al-mani` ala munkarat wa shubuhat Ibnu Mani `fi tahajjumihi` ala al-sayyid Muhammad `Alawi al-Maliki al-Makki ["Berbagai Bukti Ahlus Sunnah Waljama`ah sebagai sebuah Penolakan kuat dan Tegas dari Ibnu Mani atas penyimpangan Muhammad `Alawi al-Maliki al-Makki"] (Kuwait: Dar al-siyasah, 1984).
Al-Samnudi al-Mansuri, al-'Allamah al-Syaikh Ibrahim: Sa`adat al-darayn fi al-Radd `ala al-firqatayn al-Wahabiyya wa muqallidat al-zahiriyyah ["Sa`adat al-darayn: Sebuah Bantahan terhadap dua sekte Wahabi dan Pengikut Zahiri "].
Al-Saqqaf al-Shafi `i, Hasan ibn 'Ali, Intitute Riset Islam di Amman, Yordania: al-Ighatha bi al-adillat istighatha wa al-Radd al-Mubin `ala munkiri al-tawassul ["Argumen memohon Syafaat dan bantahan yang Jelas bagi Mereka yang Menolak Tawassul"]; Ilqam al Hajar li al-mutatawil` ala al-Asha `ira min al-Bashar ["Rajam (Pelemparan Batu, penj) bagi Mereka yang menentang Ash'aris "]; Qamus al-Albani shata'im wa al-Alfaz al-munkara al-Lati yatluquha fi al-haqq ulama wa fudalai'ha wa ghayrihim ... ["Encyclopedia al-Albani tentang Orang yang Mengingkari Hak dan Berbagai Keutamaan para Ulama dan Selainnya ..."] Amman: Dar al-Imam al-Nawawi, 1993.
Al-Sawi al-Misri: Hashiyat `ala al-Jalalayn [" Komentar terhadap Tafsir Jalalain"].
Saif al-Din Ahmed bin Muhammad Al-Albani: Sebuah Eksposisi Kesalahannya tentang berbagai Isu Penting Lainnya, ed 2. (Jakarta: sn, 1994).
Al-Shatti al-Athari al-Hanbali, al-Sayyid Mustafa bin Ahmad bin Hasan, Mufti Suriah: al-Nuqul al-shar'iyyah fi al-Radd 'ala al-Wahabiyya ["Berbagai Bukti Hukum Dalam Menjawab Wahabi" ].
Al-Subki, al-hafiz Taqi al-Din (w. 756/1355): Al-Durra al-mudiyya fi al-Radd `ala Ibn Taimiyah, ed. Muhammad Zahid al-Kawthari ["Sebuah Penolakan terhadap Ibnu Taimiyah"]; Al-rasa'il al-subkiyya fi al-Radd `ala Ibn Taimiyah wa tilmidhihi Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, ed. Kamal al-Hut ["Sebuah Risalah Sebagai Bantahan Terhadap Ibnu Taimiyah dan Muridnya Ibnu Qayyim al-Jawziyyah"] (Beirut: `Alam al-Kutub, 1983); Al-Sayf al-saqil fi al-Radd` ala Ibn Zafil ["Pedang Mengilap Sebagi Jawaban/Bantahan terhadap Ibnu Zafil (Ibnu Qayyim al-Jawziyyah)" Kairo: Matba `di al-Sa` ADA, 1937; al-siqam Shifa 'fi ziyarat khair al-anam ["Penyembuhan Orang Sakit Dengan Mengunjungi Rasulullah Saw, Makhluk Terbaik"].
Sunbul al-Hanafi al-Ta'ifi, Allamah Tahir: Sima al-Intisar lil awliya 'al-Abrar ["Menanti Kemenangan Para Wali Allah Yang Bijak"].
Al-Tabataba'i al-Basri, al-Sayyid: juga menulis balasan untuk puisi San`a'i yang dikutip dalam al-Darayn. Setelah membacanya, San`a'i membalik posisinya dan berkata:". Saya telah bertobat dari apa yang saya katakan tentang Najdi "
Al-Tamimi al-Maliki, `Allamah Isma`il (wafat 1248), Syaikh al-Islam di Tunis: menulis sanggahan terhadap sebuah risalah Ibn `Abd al-Wahhab.
Al-Wazzani, al-Syaikh al-Mahdi, Mufti Maroko: Menulis sebuah sanggahan terhadap larangan bertawasul oleh Muhammad `Abduh.
al-Zahawi al-Baghdadi, Effendi Jamil Sidqi (w. 1355/1936): Al-Fajr al-Shadiq fi al-Radd 'ala al-tawassul munkiri wa al-khawariq ["Fajar Sejati dalam Membuktikan Mereka yang tolak syafaat dan Karamah para wali "]. 1323/1905 di Mesir.
Al-Zamzami al-Shafi`i, Muhammad Saleh, Imam di Maqam Ibrahim di Mekkah, menulis buku dalam 20 bab sebagai bantahan yang merujuk kepada pandangan al-Sayyid al-Haddad.
Ahmad, Qeyamuddin. Gerakan Wahabi di India. 2 rev. ed. Baru Delhi: Manohar, 1994.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar