Sabtu, 15 Desember 2018

Hadis Palsu Dalam Shahih Muslim : Keutamaan Abu Sufyan [Bantahan Untuk Nashibi]



ilustrasi hiasan : "Muhammad The Messenger of God"




Misi Utama Nabi Muhammad Bukan Untuk Mengislamkan Dunia

status ilustrasi : Qurysi Al Idrus | Facebook
ilustrasi hiasan : "Muhammad The Messenger of God"




"Kalau seandainya Tuhanmu menghendaki, tentu berimanlah semua manusia di bumi. Maka apakah engkau (Muhammad) akan memaksa manusia hingga mereka menjadi orang-orang yang beriman semua?"(QS Yunus 10:99).


Banyak yang kaget rupanya ketika disodorkan ayat ini. Misi utama Nabi itu sejatinya bukan untuk menaklukkan dunia dan mengislamkan semua orang.


Misi Nabi itu dijelaskan oleh al-Quran sebagai rahmat untuk semesta alam. "Dan tiadalah Kami (Allah) mengutus engkau (Muhammad), kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta alam"
(QS. Al-anbiya 21/107).



Dan dijelaskan sendiri oleh Nabi dalam satu riwayat Hadis Sahih:


"Sesungguhya aku diutus untuk meyempurnakan akhlak yang mulia." Innama bu’itstu liutammima makarimal akhlaq (HR Bukhari).


Menebar Rahmat dan memperbaiki Akhlak itulah misi utama Nabi, bukan maksa-maksa orang lain masuk Islam atau memaksa mengikuti fatwa dan tafsiran kita sendiri, atau bahkan memaksa orang lain mengikuti pilihan politik kita.


Pemaksaan terhadap orang lain itu bukan rahmat dan bukan pula akhlak yang mulia. La ikraha fi al-din. Tidak ada paksaan dalam beragama.


Tafsir Ibn Katsir menjelaskan: "tidak perlu memaksa mereka. Barangsiapa dibukakan pintu hatinya oleh Allah maka mereka akan memeluk Islam. Barang siapa dikunci hati, pendengaran dan penglihatannya maka mereka tidak akan mendapat manfaat jikalau dipaksa masuk Islam".


Tafsir Fi Zhilalil Qur'an mengonfirmasi bahwa "manusia telah diberi tanggung jawab untuk memilih jalannya sendiri, dan mereka pula lah yang akan bertanggungjawab atas pilihannya tersebut."


Keimanan itu tidak perlu dipaksakan. Dakwah itu mengajak, bukan memaksa. Maka hindari cara-cara yang memaksa. QS al-Nahl 16/125 memberi kita petunjuk metode dakwah yang harus ditempuh:


- Pertama, dengan hikmah,
- Kedua, dengan mauizah (nasehat/pelajaran) yang baik dan
- terakhir kalau harus berdebat, bantahlah dengan argumentasi yang lebih baik.


Tidak perlu pula menjelekkan atau menghina kepercayaan orang lain. Bahkan standar moral yang luar biasa ditegaskan dalam QS al-An'am 6/108:


"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan." Kita dilarang dengan tegas untuk menistakan Tuhan dan sesembahan agama lainnya. Inilah akhlak yang diajarkan al-Qur'an.



Mari kawan ...Kita tunjukkan pada penduduk dunia akan ketinggian ajaran Islam yang menjadi rahmat bagi semesta dan membentuk pribadi-pribadi yang berakhlak mulia. Begitu mereka tahu maka biarkan mereka sendiri yang akan berbondong-bondong masuk Islam.



"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat". (QS al-Nashr 110/1-3)



Dalam salah satu hikmahnya, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as berpesan, "Janganlah memutus hubungan dengan teman, walaupun dia kafir."
(Ghurarul Hikam, 744)



Berdasarkan hikmah tersebut, Imam Ali as menjelaskan bahwa jika kamu memiliki teman yang jauh dari Allah SWT, dan sedang terbelenggu oleh banyak masalah dan banyak dosa, daripada kamu meninggalkan dia sendirian dan menyaksikan dia tenggelam maka selamatkanlah dia dan kembalikan dia (ke jalan Allah SWT), ini yakni teman sejati."
(Hujjatul Islam wal Muslimin Farahzad)



Imam Ali pada satu waktu berkata, "Mereka yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan.."




Allahumma Shalli 'Alaa Muhammad Wa Aali Muhammad Wa 'Ajjil Farajahum






Hadis Palsu Dalam Shahih Muslim : Keutamaan Abu Sufyan [Bantahan Untuk Nashibi]

sumber : secondprince.wordpress.com/




حدثني عباس بن عبدالعظيم العنبري وأحمد بن جعفر المعقري قالا حدثنا النضر ( وهو ابن محمد اليمامي ) حدثنا عكرمة حدثنا أبو زميل حدثني ابن عباس قال كان المسلمون لا ينظرون إلى أبي سفيان ولا يقاعدونه فقال للنبي صلى الله عليه و سلم يا نبي الله ثلاث أعطنيهن قال نعم قال عندي أحسن العرب وأجمله أم حبيبة بنت أبي سفيان أزوجكها قال نعم قال ومعاوية تجعله كاتبا بين يديك قال نعم قال وتؤمرني حتى أقاتل الكفار كما كنت أقاتل المسلمين قال نعم قال أبو زميل ولولا أنه طلب ذلك من النبي صلى الله عليه و سلم ما أعطاه ذلك لأنه لم يكن يسئل شيئا إلا قال نعم



Telah menceritakan kepada kami Abbas bin Abdul ‘Azim Al ‘Anbari dan Ahmad bin Ja’far Al Ma’qiri yang keduanya berkata telah menceritakan kepada kami An Nadhr [dia Ibnu Muhammad Al Yamami] yang berkata telah menceritakan kepada kami Ikrimah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Zumail yang berkata telah menceritakan kepadaku Ibnu Abbas yang berkata “kaum muslimin tidak memandang Abu Sufyan dan tidak pula mereka duduk menyertainya. Kemudian Abu Sufyan berkata kepada Nabi SAW “Wahai Nabi Allah penuhilah tiga permintaanku”. Beliau SAW menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Saya mempunyai seorang putri yang paling baik dan paling cantik di kalangan orang Arab yaitu Ummu Habibah putri Abu Sufyan, aku ingin menikahkannya dengan anda”. Beliau menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Dan agar anda mengangkat Muawiyah sebagai juru tulis anda”. Beliau SAW menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Dan anda mengangkat saya sebagai pemimpin untuk memerangi orang-orang kafir sebagaimana dulu saya memerangi orang-orang islam”. Beliau SAW menjawab “Ya”. Abu Zumail berkata “Seandainya Abu Sufyan tidak menuntut hal tersebut kepada Nabi SAW tentu beliau tidak akan memberinya karena jika Beliau SAW dimintai sesuatu, Beliau SAW tidak akan menjawab selain “ya”. [Shahih Muslim 4/1945 no 2501 ]



Hadis shahih Muslim tersebut pernah dinyatakan oleh palsu oleh Ibnu Hazm yaitu dengan perkataan berikut [sebagaimana dikutip Abdul Ghaniy Al Maqdisiy]




قَالَ أَبُو مُحَمَّدُ بْنُ حَزْمٍ: هَذَا حَدِيثٌ مَوْضُوعٌ لا شَكَّ فِي وَضْعِهِ , وَالآفَةُ فِيهِ مِنْ عِكْرِمَةَ بْنِ عَمَّارٍ , وَلا يَخْتَلِفُ اثْنَانِ مِنْ أَهْلِ الْمَعْرِفَةِ بِالأَخْبَارِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَتَزَوَّجْ أُمَّ حَبِيبَةَ إِلا قَبْلَ الْفَتْحِ بِدَهْرٍ وَهِيَ بِأَرْضِ الْحَبَشَةِ وَقِيلَ: هَذَا لا يَكُونُ خَطَأَ إِمْلَاءٍ، وَلا يَكُونُ إِلا قَصْدًا، فَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الْبَلاءِ




Abu Muhammad bin Hazm berkata Hadits ini maudhu’ [palsu] dan tidak diragukan kepalsuannya. Dan penyebabnya adalah dari ‘Ikrimah bin ‘Ammaar. Para ulama tidak berselisih pendapat tentang kabar bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]tidaklah menikahi Ummu Habiibah kecuali sebelum peristiwa Fathu Makkah, yaitu pada saat ia berada di negeri Habasyah. Dan dikatakan hal ini tidaklah terjadi karena kekeliruan penyalinan dan tidak pula terjadi kecuali karena kesengajaan. Kita berlindung kepada Allah dari balaa’ [Al Mishbaah Fii ‘Uyuun Ash Shihaah 1/49, Abdul Ghaniy Al Maqdisiy]



Sebelumnya silakan lihat tulisan kami sebelumnya tentang perkara ini



Benarkah ada hadis palsu dalam kitab monumental Shahih Muslim?. Bagaimana mungkin hal seperti itu bisa terjadi?. Jangan terlalu risau, silakan cek di kitab Shahih Muslim terbitan manapun hadis keutamaan berikut:




حدثني عباس بن عبدالعظيم العنبري وأحمد بن جعفر المعقري قالا حدثنا النضر ( وهو ابن محمد اليمامي ) حدثنا عكرمة حدثنا أبو زميل حدثني ابن عباس قال كان المسلمون لا ينظرون إلى أبي سفيان ولا يقاعدونه فقال للنبي صلى الله عليه و سلم يا نبي الله ثلاث أعطنيهن قال نعم قال عندي أحسن العرب وأجمله أم حبيبة بنت أبي سفيان أزوجكها قال نعم قال ومعاوية تجعله كاتبا بين يديك قال نعم قال وتؤمرني حتى أقاتل الكفار كما كنت أقاتل المسلمين قال نعم قال أبو زميل ولولا أنه طلب ذلك من النبي صلى الله عليه و سلم ما أعطاه ذلك لأنه لم يكن يسئل شيئا إلا قال نعم




Telah menceritakan kepada kami Abbas bin Abdul ‘Azim Al ‘Anbari dan Ahmad bin Ja’far Al Ma’qiri yang keduanya berkata telah menceritakan kepada kami An Nadhr (dia Ibnu Muhammad Al Yamami) yang berkata telah menceritakan kepada kami Ikrimah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Zumail yang berkata telah menceritakan kepadaku Ibnu Abbas yang berkata “kaum muslimin tidak memandang Abu Sufyan dan tidak pula mereka duduk menyertainya. Kemudian Abu Sufyan berkata kepada Nabi SAW “Wahai Nabi Allah penuhilah tiga permintaanku”. Beliau SAW menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Saya mempunyai seorang putri yang paling baik dan paling cantik di kalangan orang Arab yaitu Ummu Habibah putri Abu Sufyan, aku ingin menikahkannya dengan anda”. Beliau menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Dan agar anda mengangkat Muawiyah sebagai juru tulis anda”. Beliau SAW menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Dan anda mengangkat saya sebagai pemimpin untuk memerangi orang-orang kafir sebagaimana dulu saya memerangi orang-orang islam”. Beliau SAW menjawab “Ya”. Abu Zumail berkata “Seandainya Abu Sufyan tidak menuntut hal tersebut kepada Nabi SAW tentu beliau tidak akan memberinya karena jika Beliau SAW dimintai sesuatu, Beliau SAW tidak akan menjawab selain “ya”. [Shahih Muslim 4/1945 no 2501 Bab Keutamaan Abu Sufyan bin Harb tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi]



Hadis ini dimasukkan Imam Muslim ke dalam kitab Shahih-nya berarti beliau mengakui bahwa hadis ini shahih. Tetapi tidak diragukan lagi kalau hadis ini tidak shahih. Sebaik-baik bukti bahwa hadis ini tidak shahih adalah isi hadis tersebut. Hadis tersebut menyebutkan permintaan Abu Sufyan yang ingin menikahkan putrinya Ummu Habibah kepada Nabi SAW. Padahal disepakati dalam kitab tarikh bahwa Nabi SAW telah menikah dengan Ummu Habibah jauh sebelum Abu Sufyan masuk islam ketika Fathul Makkah. Oleh karena itu terang sekali kemusykilan hadis ini yang menunjukkan kepalsuannya. Pertanyaannya adalah jika hadis tersebut palsu, siapakah yang memalsukannya?.



An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim mengutip perkataan Ibnu Hazm yang menyatakan bahwa hadis ini palsu dan yang bertanggung jawab untuk itu adalah Ikrimah bin Ammar. Kami katakan : kepalsuannya benar tetapi pernyataan bahwa yang bertanggung-jawab adalah Ikrimah bin Ammar layak diberikan catatan. Ikrimah bin Ammar disebutkan dalam kitab biografi perawi hadis adalah perawi yang tsiqat, mereka yang mempermasalahkan Ikrimah hanya mempersoalkan hadis Ikrimah dari Yahya bin Abi Katsir.



Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 7 no 475 menyebutkan bahwa Ikrimah bin Ammar dinyatakan tsiqat oleh sekumpulan ulama diantaranya Ibnu Ma’in, Syu’bah, Ali bin Madini, Al Ajli, Abu Dawud, As Saji, Ali bin Muhammad Al Thanafisi, Ishaq bin Ahmad Al Bukhari, Daruquthni, Ibnu Hibban, Yaqub bin Syaibah, Ibnu Syahin dan Ahmad bin Shalih. Hanya ada sebagian orang yang memperbincangkannya yaitu Ahmad dan Yahya Al Qattan itu pun hanya sebatas hadis Ikrimah dari Yahya bin Abi Katsir yang mudhtharib. Sedangkan hadis di atas bukan riwayat Ikrimah dari Yahya bin Abi Katsir.



Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Bashar Awad Ma’ruf dalam Tahrir At Taqrib no 4672 mengatakan
Ikrimah bin Ammar tsiqat kecuali riwayatnya dari Yahya bin Abi Katsir yang dhaif karena idhthirab, ia dinyatakan tsiqah oleh Ayub As Sakhtiati, Al Ajli, Ali bin Madini, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Ma’in, Ahmad bin Shalih Al Mishri, Abu Dawud, Abu Zar’ah Ad Dimasyq, Ibnu Ammar, Ali bin Muhammad Ath Thanafisi, Ishaq bin Ahmad bin Khalaf Al Bukhari Al Hafiz, Daruquthni dan yang lainnya. Disepakati bahwa riwayatnya dari Yahya bin Abi Katsir mudhtharib dan oleh karena itulah Yahya bin Sa’id Al Qaththan membicarakannya.



An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim juga mengutip Syaikh Abu Amru bin Shalah yang membantah Ibnu Hazm. Ia menolak bahwa Ikrimah bin Ammar memalsu hadis ini, hadis tersebut hanyalah kesalahan atau kekeliruan saja. Kami katakan : tentu saja ini pembelaan yang menarik, tapi siapa yang keliru dan salah itu, apakah Ikrimah bin Ammar? Bukankah ia tsiqah tsabit riwayatnya kecuali riwayatnya dari Yahya bin Abi Katsir. Atau ada yang mau mengatakan namanya juga manusia, perawi bisa saja melakukan kesalahan. Kalau begitu semua perawi hadis tersebut termasuk Imam Muslim bisa saja menjadi yang tertuduh melakukan kekeliruan. Tidak ada alasan untuk mempermasalahkan Ikrimah bin Ammar saja.



Bicara soal pembelaan hadis di atas, ada hal lucu yang harus diperhatikan. Silakan lihat hadis-hadis keutamaan Ahlul Bait, jika hadis tersebut dipermasalahkan oleh ulama. Mereka tidak ragu untuk mengatakan bahwa perawinya harus dicacat karena meriwayatkan hadis tersebut. Mereka tidak begitu berbaik hati untuk mengatakan perawi tersebut hanya keliru saja. Terkadang hanya karena seorang perawi meriwayatkan hadis keutamaan Ahlul Bait yang mereka pandang aneh maka dengan seenaknya mereka menjarh perawi tersebut dengan keras dan tidak ragu menyatakan hadis tersebut palsu. Ataukah kalau hadis tersebut soal keutamaan Ahlul bait maka tidak perlu berbaik hati tetapi kalau hadis tersebut berbicara tentang keutamaan Abu Sufyan dan Muawiyah maka harus berbaik-hati. Itu namanya Inkonsistensi yang menyebalkan (baca : menjijikkan). Nah seharusnya mereka konsisten, hadis Shahih Muslim di atas tentang keutamaan Abu Sufyan isinya sudah jelas palsu.



Maka pertanyaannya, siapa yang memalsukan hadis ini?. Siapa perawi yang harus dicacatkan karena meriwayatkan hadis ini?. Atau hadis ini sebenarnya tidak palsu. Tidak jarang hadis ini dijadikan hujjah oleh para muqallid untuk membuktikan keutamaan Abu Sufyan dan Muawiyah. Imam Muslim bahkan membuat judul bab “Keutamaan Abu Sufyan bin Harb Radiallahu’anhu” dan hanya mengandalkan satu hadis ini saja. Itu artinya Imam Muslim berhujjah dengan hadis ini untuk menyatakan keutamaan Abu Sufyan. Bagaimana mungkin seorang ulama sekaliber Imam Muslim tidak mengetahui fakta sejarah kalau Nabi SAW menikahi Ummu Habibah sebelum Fathul Makkah dimana Abu Sufyan masih kafir?. Sungguh hadis yang membingungkan atau sikap ulamanya yang membingungkan.



Al-Imaam Muslim bin Hajjaaj rahimahullah berkata :



حَدَّثَنِي عَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْعَظِيمِ الْعَنْبَرِيُّ، وَأَحْمَدُ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَعْقِرِيُّ، قَالَا: حَدَّثَنَا النَّضْرُ وَهُوَ ابْنُ مُحَمَّدٍ الْيَمَامِيُّ، حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ، حَدَّثَنَا أَبُو زُمَيْلٍ، حَدَّثَنِي ابْنُ عَبَّاسٍ، قَالَ: " كَانَ الْمُسْلِمُونَ لَا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ وَلَا يُقَاعِدُونَهُ، فَقَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، ثَلَاثٌ أَعْطِنِيهِنَّ، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: عِنْدِي أَحْسَنُ الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ أَبِي سُفْيَانَ أُزَوِّجُكَهَا؟ قَالَ نَعَمْ، قَالَ: وَمُعَاوِيَةُ، تَجْعَلُهُ كَاتِبًا بَيْنَ يَدَيْكَ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: وَتُؤَمِّرُنِي حَتَّى أُقَاتِلَ الْكُفَّارَ كَمَا كُنْتُ أُقَاتِلُ الْمُسْلِمِينَ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ أَبُو زُمَيْلٍ: وَلَوْلَا أَنَّهُ طَلَبَ ذَلِكَ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَعْطَاهُ ذَلِكَ لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يُسْأَلُ شَيْئًا إِلَّا، قَالَ: نَعَمْ "



Telah menceritakan kepadaku ‘Abbaas bin ‘Abdil-‘Adhiim Al-‘Anbariy dan Ahmad bin Ja’far Al-Ma’qiriy, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami An-Nadlr bin Muhammad Al-Yamaamiy : Telah menceritakan kepada kami ‘Ikrimah : Telah menceritakan kepada kami Abuu Zumail : Telah menceritakan kepadaku Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : Kaum muslimin tidak memandang Abu Sufyan dan tidak pula mereka duduk menyertainya. Kemudian Abu Sufyan berkata kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Nabi Allah, penuhilah tiga permintaanku”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Ya”. Abu Sufyan berkata : “Saya mempunyai seorang putri yang paling baik dan paling cantik di kalangan orang Arab yaitu Ummu Habibah putri Abu Sufyan, aku ingin menikahkannya dengan anda”. Beliau menjawab : “Ya”. Abu Sufyan berkata : “Dan agar Anda mengangkat Muawiyah sebagai juru tulis anda”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Ya”. Abu Sufyan berkata : “Dan anda mengangkat saya sebagai pemimpin untuk memerangi orang-orang kafir sebagaimana dulu saya memerangi orang-orang Islam”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Ya”. Abu Zumail berkata : “Seandainya Abu Sufyan tidak menuntut hal tersebut kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentu beliau tidak akan memberinya, karena jika beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dimintai sesuatu, maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak akan menjawab selain ‘ya’”. [Shahih Muslim, 4/1945 no 2501, Bab Keutamaan Abu Sufyan bin Harb tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi].



Ada hal yang menarik dalam bahasan hadits di atas, yaitu perkataan Ibnu Hazm rahimahullah. Saat mengomentari hadits di atas, ia berkata :



هَذَا حَدِيثٌ مَوْضُوعٌ لا شَكَّ فِي وَضْعِهِ , وَالآفَةُ فِيهِ مِنْ عِكْرِمَةَ بْنِ عَمَّارٍ , وَلا يَخْتَلِفُ اثْنَانِ مِنْ أَهْلِ الْمَعْرِفَةِ بِالأَخْبَارِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَتَزَوَّجْ أُمَّ حَبِيبَةَ إِلا قَبْلَ الْفَتْحِ بِدَهْرٍ وَهِيَ بِأَرْضِ الْحَبَشَةِ وَقِيلَ : هَذَا لا يَكُونُ خَطَأَ إِمْلَاءٍ ، وَلا يَكُونُ إِلا قَصْدًا ، فَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الْبَلاءِ



“Hadits ini maudluu’ (palsu), dan tidak lagi diragukan akan kepalsuannya. Dan penyebabnya adalah dari ‘Ikrimah bin ‘Ammaar. Para ulama tidak berselisih pendapat tentang khabar bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menikahi Ummu Habiibah kecuali sebelum peristiwa Fathu Makkah, yaitu pada saat ia berada di negeri habasyah. Dan dikatakan : Hal ini tidaklah terjadi karena kekeliruan penyalinan (penulisan) dan tidak pula terjadi kecuali karena kesengajaan. Kita berlindung kepada Allah dari balaa’ (yang akan menimpa)” [Al-Mishbaah fii ‘Uyuunish-Shihaah – lihat di sini =>http://library.islamweb.net/hadith/display_hbook.php?hflag=1&bk_no=1234&pid=336455 ].



1 الْجُزْءُ مِنْ كِتَابِ الْمِصْبَاحِ فِي عُيُونِ الصِّحَاحِ وَهُوَ الْحَادِي عَشَرَ مِنْ أَقْوَالِ مُسْلِمِ بْنِ الْحَجَّاجِ تَأْلِيفُ عَبْدِ الْغَنِيِّ بْنِ عَبْدِ الْوَاحِدِ بْنِ عَلِيٍّ الْمَقْدِسِيِّ ، غَفَرَ اللَّهُ لَهُ وَلِوَالِدَيْهِ وَنَفَعَهُ بِهِ وَالْمُسْلِمِينَ أَجْمَعِينَ.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ وَلا حَوْلَ وَلا قُوَّةَ إِلا بِاللَّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ اللَّهُمَّ سَهِّلْ



Ini adalah sikap berlebih-lebihannya Ibnu Hazm rahimahullah dalam penilaian hadits dan perawi. Para ulama, dulu dan sekarang, telah banyak memberikan kritikan kepada Ibnu Hazm rahimahullah ini.



Ibnu Hajar Al-‘Asqaalaniy ketika menyebutkan biografi Ibnu Hazm rahimahumallah berkata : “Ia adalah orang yang sangat luas hapalannya. Hanya saja, bersamaan dengan ketisqahan dan hapalannya, ia sangat ofensif dalam perkataan jarh dan ta’diil, serta penjelasan nama-nama perawi, sehingga ia jatuh karenanya dalam banyak kekeliruan yang buruk” [Lisaanul-Miizaan, 4/198 no. 531 – biografi Ibnu Hazm].



Perkataan Ibnu Hazm rahimahullah ini seringkali dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang senang memanfaatkan situasi untuk menjatuhkan kredibilitas hadits dan/atau perawinya, seperti kalangan kuffar orientalis. Juga Syi’ah Raafidlah, karena keduanya memang kakak beradik yang beda warna kulit.



Tentang ‘Ikrimah bin ‘Ammaar rahimahullah, berikut keterangan para ulama tentangnya :



‘Ikrimah bin ‘Ammaar Al-‘Ijliy Abu ‘Ammaar Al-Yamaamiy (عكرمة بن عمار العجلي ، أبو عمار اليمامي). Termasuk thabaqah ke-5, dan wafat tahun 159 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah.



Ahmad bin Hanbal berkata : “Mudltharibul-hadiits dari Yahyaa bin Abi Katsiir”. Ia juga berkata : “Mudltharibul-hadits dari selain Iyaas bin Salamah. Adapun haditsnya yang berasal dari Iyaas bin Salamah shaalih (baik)”. Dalam riwayat lain : “Orang yang paling menguasai hadits Iyaas bin Salamah, yaitu ‘Ikrimah bin ‘Ammaar”. Abu Zur’ah berkata : Aku mendengar Ahmad bin Hanbal melemahkan riwayat Ayyuub bin ‘Utbah dan ‘Ikrimah bin ‘Ammaar dari Yahyaa bin Abi Katsiir, dan ia berkata : ‘’Ikrimah paling tsiqah dari keduanya (yaitu antara ‘Ikrimah dan Ayyuub)”. Dalam riwayat lain dari Al-Fadhl bin Ziyaad, Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa ‘Ikrimah kedudukannya di atas Ayyuub bin ‘Utbah, Muzaazim bin ‘Amru, dan yang lainnya dari penduduk Yamaamah.



Yahyaa bin Ma’in berkata : “Tsiqah”. Di riwayat lain: “Tsabat”. Di lain riwayat : Shaduuq, tidak mengapa dengannya”. Di riwayat lain: “Ia seorang buta huruf (ummiy), namun haafidh”. Di riwayat lain ia mengatakan bahwa ’Ikrimah lebih ia cintai daripada Ayyuub bin ‘Utbah.



‘Aliy bin Al-Madiiniy berkata : “Hadits-hadits ‘Ikrimah bin ‘Ammaar dari Yahyaa bin Abi Katsiir tidaklah seperti itu. Ia diingkari. Adapun Yahyaa bin Sa’iid mendla’ifkan keduanya”. Di lain riwayat : “Yahyaa (bin Sa’iid) melemahkan riwayat penduduk Yamaamah seperti ‘Ikrimah bin ‘Ammaar dan membuangnya”. Di lain riwayat ia (Ibnul-Madiiniy) berkata : “’Ikrimah bin ‘Amaar di sisi shahabat kami seorang yang tsiqah lagi tsabat”.



Ahmad bin ‘Abdilah Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah, telah meriwayatkan darinya An-Nadlr bin Muhammad seribu hadits”. Al-Bukhaariy berkata : “Mudltharib dalam hadits Yahyaa bin Abi Katsiir, dan ia (‘Ikrimah) tidak mempunyai kitab (catatan)”. Al-Aajurriy berkata : “Aku pernah bertanya kepada Abu Daawud tentang ‘Ikrimah in ‘Amaar, maka ia berkata : ‘Tsiqah, dan dalam hadits Yahyaa bin Katsiir idlthiraab (goncang)”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak mengapa dengannya, kecuali haditsnya yang berasal dari Yahyaa bin Abi Katsiir”. Abu Haatim berkata : “Ia seorang yang shaaduq, kadangkala ragu dalam haditsnya, kadangkala pula melakukan tadlis. Sedangkan haditsnya yang berasal dari Yahyaa bin Abi Katsiir sebagiannya terdapat beberapa kekeliruan”.



Zakariyyaa bin Yahyaa As-Saajiy berkata : “’Ikrimah bin ‘Ammaar, shaduuq. Telah meriwayatkan darinya Syu’bah, Ats-tsauriy, dan Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan. Ia telah ditsiqahkan oleh Ibnu Ma’iin dan Ahmad bin Hanbal. Hanya saja, Yahyaa Al-Qaththaan melemahkan hadits-haditsnya yang berasal dari Yahyaa bin Abi Katsiir, dan ia mendahulukan Mulaazim daripada ‘Ikrimah bin ‘Ammaar”.



Muhammad bin ‘Abdillah Al-Muushiliy berkata : “’Ikrimah bin ‘Ammaar tsiqah di sisi mereka. Telah meriwayatkan darinya Ibnu Mahdiy. Dan tidaklah aku mendengar tentangnya kecuali hanya kebaikan”. ‘Aliy bin Muhammad Ath-Thanaafisiy berkata : “Tsiqah”. Shaalih bin Muhammad Al-Asadiy berkata : “Ia sering bertafarrud dalam hadits-hadits yang panjang tanpa ada penyertanya..... Ia seorang yang shaduuq, kecuali dalam haditsnya terdapat sesuatu”. Ishaaq bin Ahmad bin Khalaf Al-Bukhaariy Al-Haafidh berkata : “Tsiqah. Telah meriwayatkan darinya Sufyaan Ats-Tsauriy dan ia menyebutkan tentang keutamaannya. Akan tetapi ia banyak keliru, bertafarrud dalam riwayat Iyyaas tanpa ada penyertanya seorangpun”.



Ibnu Khiraasy berkata : “Shaduuq, dan dalam haditsnya terdapat nakarah”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Mustaqiimul-hadiits, apabila meriwayatkan darinya perawi tsiqah”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat dan berkata : “Dalam riwayatnya dari Yahyaa bin Abi Katsiir idlthiraab. Ia meriwayatkan dari selain jurusan kitabnya”. Ya’quub bin Syaibah berkata : “Tsiqah lagi tsabat”. Ibnu Syaahiin menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat dan berkata : Telah berkata Ahmad bin Shaalih : “Aku katakan bahwa ia seorang yang tsiqah, dan aku berhujjah dengannya dan perkataannya”. Ayyuub pernah ditanya tentangnya, lalu ia berkata : “Seandainya ia bukan seorang yang tsiqah, niscaya aku tidak menulis hadits darinya. Abu Ahmad Al-Haakim berkata : “Haditsnya sangat banyak dari Yahyaa, namun ia tidak tegak dalam periwayatan (darinya)” [selengkapnya lihat : Tahdziibul-Kamaal, 20/256-264 no. 4008, Tahdziibut-Tahdziib, 7/261-263 no. 475, dan Mausu’ah Aqwaal Al-Imaam Ahmad 3/23-25 no. 1843].



Adz-Dzahabiy berkata : “Tsiqah, kecuali riwayatnya dari Yahyaa bin Abi Katsiir, maka mudltharib” [Al-Kaasyif, 2/33 no. 3866].



Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, sering keliru. Dan riwayatnya dari Yahyaa bin Abi Katsiir idlthiraab” [At-Taqriib, hal. 687 no. 4706].



Dengan melihat jarh dan ta’diil para imam di atas, maka ‘Ikrimah ini adalah seorang yang mempunyai beberapa kekeliruan dalam periwayatan sehingga menurunkan kredibilitasnya pada level shaduuq, tidak lebih rendah dari itu. Dan khusus riwayatnya dari Yahyaa bin Abi Katsiir, maka terdapat idlthiraab.



Kita kembali pada pernyataan Ibnu Hazm rahimahullah tentang penghukuman ‘palsu’ hadits di atas.



Definisi hadits palsu adalah :




هُوَ الخَبْرُ الْمَكْذُوبُ الْمَنْسُوبُ إِلى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْتِرَاءً عَلَيْهِ . فَلاَ يَجُوزُ عَزْوُهُ إِلى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ غَيْرِ بِيَانٍ



“Ia adalah khabar dusta yang dinisbatkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sebagai bentuk kebohongan terhadap beliau. Maka tidak diperbolehkan menisbatkannya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tanpa adanya penjelasan” [Al-Fushuul oleh Haafidh Tsanaaullah Az-Zaahidiy hafidhahullah].



Kedustaan dalam definisi di atas, maksudnya kedustaan murni yang dilakukan dengan sengaja (al-mukhtalaq al-mashnuu’) [Al-Muqaddimah oleh Ibnu Shalaah, hal. 130]. Adz-Dzahabiy rahimahullah menjelaskan persyaratan hadits maudluu’, bahwa matannya menyelisihi kaedah-kaedah (yang telah ma’ruf), dan perawinya adalah pendusta (kadzdzaab)” [Syarh Al-Muuqidhah, hal. 60].



Jika demikian, bisakah dibenarkan perkataan Ibnu Hazm – dan orang yang memanfaatkan perkataannya – bahwa ‘Ikrimah bin ‘Ammaar adalah pendusta yang melakukan pemalsuan riwayat ?. Anda dapat lihat perkataan para imam di atas. Banyak ulama yang mengatakan ‘Ikrimah seorang yang tsiqah, yang artinya : menetapkan kejujuran padanya dan tidak melakukan kedustaan secara sengaja (dalam riwayat). Ia dikritik dalam jurusan hapalannya saja.



Jika ada yang mengatakan : kepalsuannya benar tetapi pernyataan bahwa yang bertanggung-jawab adalah Ikrimah bin Ammar layak diberikan catatan. Ikrimah bin Ammar disebutkan dalam kitab biografi perawi hadis adalah perawi yang tsiqat, mereka yang mempermasalahkan Ikrimah hanya mempersoalkan hadis Ikrimah dari Yahya bin Abi Katsir; maka ini adalah pernyataan yang ambigu.



Pura-pura ‘membela’ ‘Ikrimah bin ‘Ammaar tidaklah banyak menolong, karena kemungkinan yang ada dalam perkataan di atas ada dua :



a. Tidak tahu definisi hadits palsu (maudluu’).



b. Pura-pura tidak tahu definisi hadits palsu dengan ‘mendompleng’ perkataan Ibnu Hazm.[1]



Hadits dinyatakan palsu tentu dikembalikan pada syarat-syaratnya yang dikenal dalam ilmu hadits. Dan itu tidak terpenuhi dalam hadits ‘Ikrimah bin ‘Ammaar di atas.



Ibnul-Atsiir rahimahullah berkata :



لا اختلاف بين أهل السير وغيرهم في أن النبي صلى الله عليه وسلم تزوج أم حبيبة وهي بالحبشة إلا ما رواه مسلم بن الحجاج في صحيحه ....... وهو وهم من بعض رواته



“Tidak ada perselisihan di kalangan ahli sejarah dan yang lainnya bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahi Ummu Habiibah saat ia (Ummu Habiibah) di Habasyah, kecuali hadits yang diriwayatkan Muslim bin Al-Hajjaaj dalam Shahiih-nya...... dan itu merupakan kekeliruan sebagian perawinya” [Usudul-Ghaabah, 7/304 no. 7409].



Ibnu Sayyidin-Naas rahimahullah berkata :



وَهَذَا مُخَالِفٌ لِمَا اتَّفَقَ عَلَيْهِ أَرْبَابُ السِّيَرِ وَالْعِلْمِ بِالْخَبَرِ



“Dan hal ini[2] menyelisihi apa yang telah disepakati oleh para ahli sejarah dan ahli riwayat” [‘Uyuunul-Akhbaar – lihat : sini => http://www.islamweb.net/hadith/display_hbook.php?bk_no=1703&pid=276159].




مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ، وَيُدْعَى شَيْبَةَ الْحَمْدِ ، ابْنِ هَاشِمٍ ، وَهُوَ عَمْرو العلى ، ابْنِ عَبْدِ مَنَافٍ ، وَاسْمُهُ الْمُغِيرَةُ بْنُ قُصَيٍّ ، وَيُسَمَّى زَيْدًا ، وَيُدْعَى مُجَمّعًا أَيْضًا.

قَالَ الشَّاعِرُ : أَبُوكُمْ قُصَيٌّ كَانَ يُدْعَى مُجَمَّعًا بِهِ جَمَّعَ اللَّهُ الْقَبَائِلَ مِنْ فِهْرِ ابْنِ كِلابِ بْنِ مُرَّةَ بْنِ كَعْبِ بْنِ لُؤَيِّ بْنِ غَالِبِ بْنِ فِهْرِ بْنِ مَالِكِ بْنِ النَّضْرِ بْنِ كِنَانَةَ بْنِ خُزَيْمَةَ بْنِ مُدْرِكَةَ بْنِ إِلْيَاسَ بْنِ مُضَرَ بْنِ نِزَارِ بْنِ مَعْدِ بْنِ عَدْنَانَ.

هَذَا هُوَ الصَّحِيحُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ فِي نَسَبِهِ ، وَمَا فَوْقَ ذَلِكَ مُخْتَلَفٌ فِيهِ.

وَلا خِلافَ أَنَّ عَدْنَانَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ نَبِيِّ اللَّهِ ابْنِ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلِ اللَّهِ عَلَيْهِمَا السَّلامُ ، وَإِنَّمَا الْخِلافُ فِي عَدَدِ مَنْ بَيْنَ عَدْنَانَ وَإِسْمَاعِيلَ مِنَ الآبَاءِ ، فَمُقِلٌّ وَمُكْثِرٌ ، وَكَذَلِكَ مِنْ إِبْرَاهِيمَ إِلَى آدَمَ عَلَيْهِمَا السَّلامُ ، لا يَعْلَمُ ذَلِكَ عَلَى حَقِيقَتِهِ إِلَّا اللَّهُ.

رُوِّينَا عَنِ ابْنِ سَعْدٍ ، أخبرنا هِشَامٌ ، أَخْبَرَنِي أَبِي أَبُو سَلَمَةَ ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " كَانَ إِذَا انْتَسَبَ لَمْ يُجَاوِزْ مَعْدَ بْنَ عَدْنَانَ بْنِ أُدَدٍ ، ثُمَّ يُمْسِكُ وَيَقُولُ : كَذَبَ النَّسَّابُونَ ".

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : وَقُرُونًا بَيْنَ ذَلِكَ كَثِيرًا سورة الفرقان آية 38 .

وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ : لَوْ شَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَعْلَمَهُ لَعَلِمَهُ.

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا : مَا وَجَدْنَا أَحَدًا يَعْرِفُ مَا وَرَاءَ عَدْنَانَ ، وَلا قَحْطَانَ ، إِلَّا تَخَرُّصًا.

وَقَدْ رُوِيَ نَحْوُ ذَلِكَ ، عَنْ عُمَرَ ، وَعِكْرِمَةَ ، وَغَيْرِ وَاحِدٍ.

وَالَّذِي رَجَّحَهُ بَعْضُ النَّسَّابِينَ فِي نَسَبِ عَدْنَانَ ، أَنَّهُ ابْنُ أُدِّ بْنِ أُدَدِ بْنِ الْيَسَعِ بْنِ الْهُمَيْسِعِ بْنِ سَلامَانَ بْنِ نَبْتِ بْنِ حَمَلَ بْنِ قَيْذَارَ بْنِ الذَّبِيحِ إِسْمَاعِيلَ بْنِ الْخَلِيلِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ تَارِحٍ وَهُوَ آزَرُ بْنُ نَاحُورُ بْنُ سَارُوحَ بْنِ أَرْغُو بْنِ فَالِغِ بْنِ عَابَرَ بْنِ شَالِخِ بْنِ أَرْفَخْشَذَ بْنِ سَامِ بْنِ نُوحِ بْنِ لَمَكَ بْنِ متوشلخَ بْنِ أَخْنُوخَ وَهُوَ إِدْرِيسُ النَّبِيُّ عَلَيْهِ السَّلامُ ابْنُ يَارد بْنِ مهلاييلَ بْنِ قنيان بْنِ أنوشَ بْنِ شِيثَ وَهُوَ هِبَةُ اللَّهِ بْنُ آدَمَ عَلَيْهِمَا أَفْضَلُ الصَّلاةِ وَالسَّلامِ.



Al-‘Alaaiy rahimahullah berkata :



وهو خطأ فاحش، فإن أحدا لم ينسب عكرمة إلى الوضع، وقد وافقه جماعة، واحتج به مسلم كثيرا، ولكنه وهم فيه



“Hal itu[3] adalah kekeliruan yang sangat fatal, karena tidak ada ulama menisbatkan pada ‘Ikrimah memalsukan hadits. Sekelompok ulama telah menyepakatinya, dan Muslim banyak berhujjah dengannya, akan tetapi ia telah keliru (wahm) dalam riwayat tersebut” [lihat : At-Tanbiihaat, hal. 66-67].



Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :



وأما مسلم ففيه ألفاظ عرف أنها غلط........ وفيه أن أبا سفيان سأله التزويج بأم حبيبة، وهذا غلط



“Dan adapun Muslim, maka padanya terdapat beberapa lafadh yang diketahui kekeliruannya..... dan padanya terdapat hadits bahwa Abu Sufyaan meminta Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahi Ummu Habiibah. Ini keliru” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 18/43].



Dan yang lainnya.



Banyak ulama yang mengkritisi hadits Muslim tersebut, khususnya lafadh permintaan pernikahan dengan Ummu Habiibah radliyallaahu ‘anhaa. Ini menunjukkan para ulama Ahlus-Sunnah bersikap ‘adil, meskipun di antara mereka terdapat perbedaan pendapat dalam menyikapi lafadh tersebut – dan itu biasa.



Sebagaimana disebutkan di atas, ada ulama yang mengatakan bahwa perawi telah keliru dalam membawakan sebagian lafadh hadits. Ada yang mengatakan bahwa seharusnya lafadh Ummu Habiibah tersebut adalah ‘Azzah bintu Abi Sufyaan radliyallaahu ‘anhaa. Ada juga ulama yang menempuh jalan takwil untuk menjamak hadits-hadits yang ada. Diantaranya ada yang mentakwil permintaan Abu Sufyaan itu agar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memperbaharui akad nikahnya. Diantaranya ada yang mentakwil permintaan itu adalah untuk melanggengkan pernikahannya (yaitu : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menceraikan Ummu Habiibah). Diantaranya ada yang mentakwil permintaan Abu Sufyaan itu menunjukkan keridlaannya atas pernikahan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut, setelah sebelumnya (ketika masih kafir) tidak meridlai[4]. Dan yang lainnya.



Di sini saya tidak akan membahas lebih jauh tentang konklusi lafadh permintaan Abu Sufyaan agar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menikahi anaknya tersebut. Yang menjadi fokus di sini hanyalah cara pandang kepada hadits saja.



Seandainya lafadh tersebut keliru, maka itu pun tidak mengkonsekuensikan hadits menjadi palsu. Kekeliruan perawi tsiqah adalah sangat mungkin, karena mereka masih dinamakan manusia yang tidak ma’shuum. Tentu saja, kekeliruan itu mesti dibuktikan dengan metode-metode standar yang dikenal di kalangan ulama. Oleh karena itu, dalam ilmu hadits dikenal hadits syaadz, mudltharib, atau mudraj. Hadits-hadits ini merupakan jenis hadits lemah yang (bisa) terjadi pada perawi tsiqah. Bisa terjadi pada sanad ataupun matan hadits/riwayat.



Contoh 1 :



عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَ مَيْمُونَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ



Dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahi Maimuunah dalam keadaan ihram [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1837 & 4259 & 5114, Muslim no. 1410, At-Tirmidziy no. 842-844, Abu Daawud no. 1844, dan yang lainnya].



Perkataan Ibnu ‘Abbaas ini diselisihi oleh Maimuunah sendiri sebagaimana hadits :



عَنْ مَيْمُونَةَ، قَالَتْ: " تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ حَلَالَانِ بِسَرِفَ "



Dari Maimuunah, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahiku, dan kami dalam keadaan halal (selesai ihraam) di Sarif” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1411, Abu Daawud no. 1843, At-Tirmidziy no. 845, Ahmad 6/332 & 333 & 335, Ad-Daarimiy no. 1831, dan yang lainnya; ini adalah lafadh Abu Daawud].



Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu telah keliru dalam membawakan hadits, karena ada bukti kuat bahwa memang ia telah keliru. Tapi apakah lantas bisa seenaknya dikatakan bahwa riwayat Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa di atas palsu (maudluu’) ?. Tentu tidak.



Contoh 2 :



حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ النَّمَرِيُّ، حَدَّثَنَا هَمَّامٌ، حَدَّثَنَا قَتَادَةُ، عَنْ الْحَسَنِ، عَنْ سَمُرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُدَمَّى "



Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin ‘Umar An-Namariy : Telah menceritakan kepada kami Hammaam : Telah menceritakan kepada kami Qataadah, dari Al-Hasan, dari Samurah, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Setiap anak tergadai dengan ‘aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh, dicukur rambut kepalanya, dan kepalanya dilumuri darah (yudammaa)” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2837].




Hammaam adalah seorang yang terpercaya. Namun ia telah menyelisihi beberapa orang dan lebih dlabth darinya dalam penyampaian khabar (periwayatan) dari Qataadah; dimana mereka menggunakan lafadh : yusammaa (diberikan nama) – bukan yudammaa. Mereka adalah : Sa’iid bin Abi ‘Aruubah (ia adalah orang yang paling tsabt periwayatannya di antara ashhaab Qataadah), Abaan bin Yaziid Al-‘Aththaar, Sallaam bin Abi Muthii’, dan Ghailaan bin Jaami’[5] [Irwaaul-Ghaliil oleh Al-Albaaniy 4/387-388 dan Taisiru ‘Uluumil-Hadits oleh ‘Amr bin ‘Abdil-Mun’im hal. 81].



Hadits Hammaam tidak lantas dikatakan palsu, dan Hammaam dituduh memalsukan riwayat.



Selain itu, ketika Hammaam dikatakan telah keliru dalam penyampaian sebagian lafadh riwayat, tidaklah berkonsekuensi membatalkan keseluruhan lafadh riwayat. Yang dikritik hanyalah sebatas lafadh wa yudammaa saja, karena ada qarinah kuat yang menunjukkan kekeliruannya. Riwayat Hammaam ini tetap dipakai dan dijadikan hujjah dengan pengkoreksian pada lafadh wa yudammaa saja.



Sama halnya dengan hadits Muslim yang sedang kita bahas. Para ulama hanyalah mengkritik seputar lafadh permintaan pernikahan dari Abu Sufyaan saja. Seandainya lafadh itu kita hukumi syaadz, maka lafadh yang lain tidak. Tetap dipakai dan dijadikan hujjah. Ini adalah ma’ruf di kalangan ulama hadits.[6]



Tidak ada petunjuk yang mengindikasikan bahwa hadits Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa dalam Shahiih Muslim di atas palsu. Tapi jika memang niatnya ‘membonceng’ perkataan Ibnu Hazm rahimahullah, itu lain perkara.



Hadits tersebut menunjukkan keutamaan Abu Sufyaan radliyallaahu ‘anhu, sebagaimana fiqh dari Muslim bin Al-Hajjaaj dalam judul Baab kitab Shahiih-nya.



Keutamaan lain dari Abu Sufyaan radliyallaahu ‘anhu antara lain terdapat dalam sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam saat Fathu Makkah :



مَنْ دَخَلَ دَارَ أَبِي سُفْيَانَ فَهُوَ آمِنٌ، وَمَنْ أَلْقَى السِّلَاحَ فَهُوَ آمِنٌ، وَمَنْ أَغْلَقَ بَابَهُ فَهُوَ آمِنٌ



“Barangsiapa yang masuk ke rumah Abi Sufyaan, maka ia aman. Barangsiapa yang meletakkan senjatanya, maka ia aman. Dan barangsiapa yang menutup pintunya, maka ia aman” [Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daawud, Ahmad, dan yang lainnya].



Penyebutan secara khusus rumah Abu Sufyaan radliyallaahu ‘anhu merupakan satu keutamaan darinya yang diperhatikan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.



Begitu juga menunjukkan keutamaan Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan radliyallaahu ‘anhu sebagai pencatat wahyu. Apakah mungkin Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam akan menyerahkan amanah pencatatan wahyu yang suci kepada orang yang kafir atau orang yang akan mati kafir – sebagaimana kedengkian Raafidlah kepadanya – sementara di sisi beliau ada ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu yang sebelumnya telah beliau tunjuk sebagai sekretaris beliau ?. Tidakkah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mencukupkan dengan ‘Aliy saja ?. Tidakkah mereka (orang Raafidlah) mau sejenak berpikir ?.



Wallaahul-musta’aan.



Semoga ada manfaatnya.



[abul-jauzaa’ – sardonoharjo, ngaglik, sleman, yogyakarta].





[1] Cara ini sangatlah bermanfaat. Kalaupun toh nanti akan ketahuan sikap ‘kepura-puraannya’ itu, masih ada Ibnu Hazm rahimahullah yang akan menjadi bumper. Ini adalah metode yang lazim dipakai ‘peneliti’ berniat bengkong.

[2] Yaitu tawaran Abu Sufyaan agar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahi Ummu Habiibah, dalam riwayat Muslim.

[3] Yaitu perkataan Ibnu Hazm yang menghukumi palsu dan menisbatkan kepalsuan tersebut pada ‘Ikrimah bin ‘Ammaar rahimahumallah.

[4] Diantara yang mengatakannya adalah Al-Mu’allimiy Al-Yamaaniy rahimahullah dalam Al-Anwaarul-Kaasyifah,

[5] Abu Daawud berkata :



وَهْمٌ مِنْ هَمَّامٍ وَيُدَمَّى، قَالَ أَبُو دَاوُد: خُولِفَ هَمَّامٌ فِي هَذَا الْكَلَامِ وَهُوَ وَهْمٌ مِنْ هَمَّامٍ، وَإِنَّمَا قَالُوا: يُسَمَّى، فَقَالَ هَمَّامٌ: يُدَمَّى،



“Kekeliruan (wahm) berasal dari Hammaam, yaitu lafadh : wa yudammaa. Hammaam telah diselisihi dalam perkataan tersebut, yaitu merupakan kekeliruan dari Hammaam. Mereka (para perawi lain) berkata : ‘yusammaa’ – lalu Hammaam berkata : ‘yudammaa’ [selesai].



[6] Beda halnya dengan keadaan ‘peneliti’ Syi’ah Raafidlah yang sedang kebingungan dalam mencari jalan melemahkan riwayat karena tidak sesuai dengan hawa nafsunya.

Seandainya ada orang Syi’ah ‘mendompleng’ perkataan Ibnu Hazm akan penghukumannya atas kepalsuan riwayat, Anda tentu paham karena lafadh hadits Ibnu ‘Abbaas itu tidaklah menguntungkan posisi ‘aqidah Syi’ah Raafidlah yang penuh umpatan dan caci maki terhadap Abu Sufyaan dan anaknya (Mu’aawiyyah) radliyallaahu ‘anhumaa. Kebetulan ada celah yang dapat dimanfaatkan, maka dipakailah ia.

Bukan hanya sekali. Misal dalam kasus sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :


يَا عَلِيُّ، هَذَانِ سَيِّدَا كُهُولِ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَشَبَابُهَا بَعْدَ النَّبِيِّينَ وَالْمُرْسَلِينَ



“Wahai ‘Aliy, dua orang ini (yaitu Abu Bakr dan ‘Umar) adalah pemimpin bagi orang-orang dewasa penduduk surga dan para pemudanya (wa syabaabuhaa), selain para Nabi dan Rasul”.



Hadits ini diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawaaidul-Musnad 1/80 dan Fadlaailush-Shahaabah no. 141, serta Al-Aajuriiy dalam Asy-Syarii’ah 3/68-69 no. 1376; dari jalan Wahb bin Baqiyyah Al-Waasithiy, dari ‘Umar bin Yuunus Al-Yamaamiy, dari ‘Abdullah bin ‘Umar Al-Yamaamiy, dari Al-Hasan bin Zaid bin Hasan, dari ayahnya, dari, kakeknya, dari ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu secara marfu’ [lihat juga Ithraaful-Musnid oleh Ibnu Hajar, 4/395 no. 6198].



Sanad riwayat ini hasan, seluruh perawinya tsiqah lagi terkenal kecuali Al-Hasan bin Zaid bin Al-Hasan. Ibnu Hajar berkata : “Jujur, kadang salah (shaduuq yahimu). Dan ia seorang yang mempunyai keutamaan” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 236 no. 1252]. Sedangkan ‘Abdullah bin ‘Umar Al-Yamaamiy, ia adalah ‘Abdullah bin Muhammad Al-Yamaamiy, dikenal sebagai Ibnu Ar-Ruumiy, termasuk rijaal Muslim.



[catatan : penghukuman Basyar ‘Awwaad dan Al-Arna’uth dalam Tahriirut-Taqriib no. 1242 yang melemahkan Al-Hasan bin Zaid adalah keliru – dan mendapatkan kritik oleh Dr. Maahir Al-Fahl dalam Kasyful-Iihaam, hal. 349. Al-Hasan bin Zaid ini telah ditsiqahkan oleh Ibnu Sa’d, Al-‘Ijliy, dan Ibnu Hibbaan. Ia juga merupakan syaikh dari Maalik bin Anas dimana telah diketahui bahwa Maalik tidaklah meriwayatkan dari seseorang (syaikh-nya) kecuali ia tsiqah di sisinya. Dan dikecualikan dua orang, yaitu : Ibnu Abil-Mukhtaar dan ‘Aashim bin ‘Ubaidillah. Maalik adalah orang yang paling ‘alim tentang penduduk Madiinah – sedangkan Al-Hasan bin Zaid termasuk dari kalangan mereka. Selain itu, Al-Hasan bin Zaid juga merupakan syaikh dari Ibnu Abi Dzi’b, dimana Ahmad bin Shaalih dan Ibnu Ma’iin mengatakan bahwa syuyuukh Ibnu Abi Dzi’b adalah tsiqaat, kecuali ‘Abdul-Kariim dan Abu Jaabir. Jadi, hadits Al-Hasan ini tidaklah jatuh di bawah derajat hasan – dengan adanya jarh dari Ibnu Ma’iin dan Ibnu ‘Adiy].



‘Peneliti’ Raafidlah ini bingung melemahkan riwayat ini, dan akhirnya berkata :



Nashibi ini maaf tidak memahami dengan baik letak kemungkaran hadis Hasan bin Zaid. Lafaz “dan para pemudanya” adalah lafaz yang mungkar dan bertentangan dengan kabar yang shahih. Asal kemungkaran ini hanya bisa dikembalikan pada Hasan bin Zaid karena ia diperbincangkan dan dikenal meriwayatkan hadis-hadis yang diingkari, Jarh Ibnu Ma’in dan Ibnu Ady sangat sesuai dari sisi ini. Jadi Hasan bin Zaid tertuduh dalam hadis ini dan jelas sekali hadis mungkar ini tidak bisa dijadikan hujjah.



Taruhlah bahwa kita sependapat bahwa lafadh ‘dan para pemudanya’ adalah munkar dan kemunkaran itu disebabkan oleh Al-Hasan bin Zaid – seperti sangkaannya; maka itu tetap tidak menghapuskan eksistensi lafadh yang lainnya. Kemunkaran itu hanyalah terletak disebagian lafadh saja. Apalagi dalam riwayat Al-Aajurriy tidak disebutkan lafadh yang dipermasalahkan.



Membatalkan keseluruhan lafadh merupakan pilihan yang mesti diambil oleh orang Rafidlah tersebut. Jika tidak, sama saja dengan ‘bunuh diri’ dengan adanya pengakuan keutamaan Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu yang diriwayatkan melalui jalan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhum.



So, hadits tentang keutamaan Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa dari jalan Al-Hasan bin Zaid, dari ayahnya, dari kakeknya, dari ‘Aliy di atas adalah hasan lidzaatihi tanpa lafadh : ‘dan para pemudanya’.



Ada beberapa hal yang patut diberikan catatan atas bantahannya. Menurut kami tidak jelas bagian mana dari tulisan kami yang sedang ia bantah



Jika yang ia bantah hanya sekedar perkataan “palsu” yang kami gunakan dan ia tuduh kami tidak tahu definisi hadis palsu dalam ilmu hadis maka kami katakan tidak perlu sok tahu wahai nashibi, silakan anda buka-buka lagi kitab hadis dan kitab Ilal, niscaya anda akan mentertawakan diri anda sendiri.



Nashibi yang dimaksud mengutip definisi hadis palsu dalam ilmu hadis, diantaranya ia mengatakan Adz-Dzahabiy rahimahullah menjelaskan persyaratan hadits maudluu’, bahwa matannya menyelisihi kaedah-kaedah (yang telah ma’ruf), dan perawinya adalah pendusta (kadzdzaab)” [Syarh Al-Muuqidhah, hal. 60].



Kemudian orang sok tahu ini beranggapan bahwa ketika kami menyatakan Ikrimah bin ‘Ammar tsiqat tetapi tetap menyatakan hadis itu palsu maka itu berarti kami tidak mengerti definisi hadis maudhu’. Kami katakan, secara umum definisi hadis palsu memang seperti yang ia kutip tetapi dikenal juga hadis palsu dimana ternyata para perawinya memang tsiqat, seperti yang dikatakan Ibnu Jauzi



وقد يكون الاسناد كله ثقات ويكون الحديث موضوعا أو مقلوبا أو قد جرى فيه تدليس وهذا أصعب الاحوال ولا يعرف ذلك إلا النقاد.



Dan sungguh terdapat dalam sanad [suatu hadis] semua perawinya tsiqat dan ternyata hadis tersebut maudhu’ atau maqlub [terbalik] atau terdapat di dalamnya tadlis dan ini adalah kasus yang berat, tidaklah mengetahuinya kecuali ahli naqd [Al Maudhu’at 1/65]



Dan silakan ia perhatikan bahwa Adz Dzahabiy sendiri pernah menyatakan hal yang serupa dalam komentarnya terhadap salah satu hadis



هذا وإن كان رواته ثقات فهو منكر ليس ببعيد من الوضع



Hadis ini walaupun para perawinya tsiqat tetapi ia mungkar tidak jauh dari maudhu’ [Talkhis Al Mustadrak 3/128]



Telah masyhur juga di kalangan mutaqaddimin seperti Abu Hatim bahwa ia tidak mensyaratkan dalam penghukumannya terhadap hadis sebagai maudhu’ bahwa mutlak dalam sanadnya harus ada pendusta atau pemalsu hadis



وَسألت أبي عَنْ حديث رَوَاهُ بِشْرُ بْنُ الْمُنْذِرِ الرَّمْلِيُّ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ مُسْلِمٍ الطَّائِفِيُّ ، عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : ” الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا ، وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلا الْجَنَّةَ ” . قِيلَ : وَمَا بِرُّهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : ” إِطْعَامُ الطَّعَامِ ، وَطِيبُ الْكَلامِ ” . فَسَمِعْتُ أَبِي يَقُولُ : هَذَا حَدِيثٌ مُنْكَرٌ ، شِبْهُ الْمَوْضُوعِ ، وَبِشْرُ بْنُ الْمُنْذِرِ كَانَ صَدُوقًا



Dan aku pernah bertanya kepada ayahku tentang hadis riwayat Bisyr bin Mundzir Ar Ramliy dari Muhammad bin Muslim Ath Thaa’ifiy dari ‘Amru bin Diinar dari Jaabir bin ‘Abdullah dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang berkata “umrah ke umrah berikutnya adalah penghapus [dosa] diantara keduanya dan haji mabrur tidak ada balasannya kecuali surga”. Dikatakan “apa tanda mabrurnya wahai Rasulullah?”.Beliau berkata “memberi makan dan berbicara yang baik”. Maka aku mendengar ayahku [Abu Hatim] mengatakan “ini hadis mungkar seperti maudhu’ dan Bisyr bin Mundzir seorang yang shaduq” [Al Ilal Ibnu Abi Hatim no 892]



Muhammad bin Muslim dan ‘Amru bin Diinar keduanya dikenal sebagai perawi Muslim.



وَسَمِعْتُ أَبِي وَذَكَرَ حَدِيثًا : رَوَاهُ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّلْتِ ، عَنْ أَبِي خَالِدٍ الأَحْمَرِ ، عَن حُمَيْدٍ ، عَنْ أَنَسٍ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي افْتِتَاحِ الصَّلاةِ : ” سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ ” ، وَأَنَّهُ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ إِلَى حَذْوِ أُذَنَيْهِ ” . فَقَالَ أَبِي : هَذَا حَدِيثٌ كذبٌ لا أَصْلَ لَهُ ، وَمُحَمَّدُ بْنُ الصَّلْتِ لا بَأْسَ بِهِ ، كَتَبْتُ عَنْهُ



Dan aku mendengar ayahku, menyebutkan hadis riwayat Muhammad bin Ash Shalt dari Abu Khalid Al Ahmar dari Humaid dari Anas dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tentang pembuka shalat “subhaanaka allahumma wabihamdika” dan bahwasanya ia mengangkat tangannya sampai sejajar telinganya. Maka Ayahku [Abu Hatim] berkata ini hadis dusta tidak ada asalnya dan Muhammad bin Ash Shalt tidak ada masalah padanya aku telah menulis darinya [Al Ilal Ibnu Abi Hatim no 374]



Muhammad bin Ash Shalt juga dikatakan Abu Hatim tsiqat [Al Jarh Wat Ta’dil 7/289 no 1567]. Sulaiman bin Hayaan Abu Khalid Al Ahmar dikatakan Abu Hatim tsiqat [Al Jarh Wat Ta’dil 4/107 no 477]. Humaid Ath Thawiil dikatakan Abu Hatim tsiqat tidak ada masalah padanya [Al Jarh Wat Ta’dil 3/219 no 961].



Mengapa kami menguatkan kepalsuannya karena hadis Muslim tersebut jelas-jelas bertentangan dengan fakta sejarah. Artinya itu adalah dusta yang diada-adakan terhadap Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Walaupun kami sendiri tidak bisa menentukan siapa yang bertanggung jawab atas kepalsuannya itu tetap tidak menafikan bahwa kabar itu dusta.



Dan kami tidak pula menafikan bahwa sebagian ulama menyatakan bahwa hadis tersebut adalah kekeliruan dari perawinya. Bagi kami, Kabar itu jelas dusta dan menyatakan bahwa itu adalah kesalahan perawinya tidaklah menafikan bahwa kabar tersebut adalah dusta terhadap Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Tidak ada masalah untuk dikatakan bahwa itu dusta dan dusta tersebut berasal dari kesalahan perawinya artinya ia tidak sengaja berdusta. Apakah ada dalam tulisan kami sebelumnya bahwa kami menuduh diantara para perawinya sebagai pemalsu hadis?. Tidak ada, bahkan dalam pembelaan terhadap Ikrimah kami katakan bahwa jika benar keliru maka perawi-perawi Muslim tersebut selain Ikrimah bisa saja tertuduh keliru karena setsiqat apapun seorang perawi, sebagai seorang manusia ia bisa saja keliru.



Dan seandainya pun dikatakan bahwa hadis tersebut dipalsukan oleh salah seorang perawinya. Maka apakah ini kemungkinan yang mustahil?. Tentu saja tidak, apakah seorang yang dikatakan tsiqat tidak bisa dikatakan pendusta dan memalsukan hadis. Lihat saja Asy Syaukaniy ketika ia berkomentar mengenai salah satu hadis



رواه ابن عدي عن ابن مسعود مرفوعاً وهو موضوع ، وفي إسناده عباد بن يعقوب ، وهو رافضي ، آخر كذاب



Diriwayatkan Ibnu Adiy dari Ibnu Mas’ud secara marfu’ dan itu maudhu’ [palsu] di dalam sanadnya ada ‘Abbad bin Ya’quub dan ia rafidhah pendusta [Fawa’id Al Majmu’ah Asy Syaukaniy no 163]



Dalam At Tahdzib disebutkan bahwa Abbad bin Ya’qub dinyatakan tsiqat oleh Abu Hatim dan Ibnu Khuzaimah, serta dinyatakan shaduq oleh Daruquthniy [At Tahdzib Ibnu Hajar juz 5 no 183]. Rasanya tidak mungkin dikatakan ulama hadis seperti Asy Syaukaniy tidak mengetahui pendapat ulama mutaqaddimin tentang ‘Abbad bin Ya’qub.



Perlu diingatkan bahwa kami hanya menunjukkan bahwa kemungkinan-kemungkinan tersebut tidaklah mustahil dan memang kami sendiri tidak menetapkannya karena tidak adanya qarinah yang menguatkan. Dikatakan keliru, maka siapa yang keliru dan jika dipalsukan maka siapa yang memalsukan?.



Jika yang ia bantah terkait dengan status hadis Muslim tersebut bahwa hadis tersebut tetap shahih hanya saja matannya ada yang keliru dan bukan berarti keseluruhan hadisnya ditolak. Maka kami katakan bahwa yang bersangkutan memang tidak mengerti matan hadis tersebut yang merupakan satu kesatuan.



Abu Sufyan menyebutkan tiga permintaan, hal ini dapat dilihat dari lafaz



فقال للنبي صلى الله عليه و سلم يا نبي الله ثلاث أعطنيهن



[Abu Sufyan] berkata kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wassalam] “wahai Nabi Allah penuhilah tiga permintaanku”



Kemudian diketahui dari salah satu permintaan tersebut bahwa hal itu dusta yaitu Abu Sufyan ingin menikahkan anaknya Ummu Habiibah dengan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Jika permintaan ini dikatakan dusta dan merupakan kesalahan dari perawinya maka matan “penuhilah tiga permintaanku”pada dasarnya salah juga. Dengan kata lain ketika Abu Sufyan meminta tiga permintaan tersebut Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] belum menikahi Ummu Habiibah padahal peristiwa ini terjadi setelah Fathul Makkah. Hal ini bertentangan dengan fakta bahwa Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] telah menikahi Ummu Habibah [radiallahu 'anha] sebelum Fathul Makkah. Kalau peristiwa Abu Sufyan meminta tiga permintaan itu saja dikatakan dusta atau tidak benar maka apa gunanya sebagian orang berhujjah dengan dua permintaan yang lain untuk menguatkan keutamaan Abu Sufyan.



Maka dari itu sebagian ulama berusaha menakwilkan maksud permintaan Abu Sufyan soal Ummu Habiibah. Ada yang menakwilkan bahwa maksud Abu Sufyan agar memperbaharui akad pernikahannya, ada yang menakwilkan maksud Abu Sufyan agar Nabi tidak menceraikan Ummu Habiibah, ada yang menakwilkan maksud Abu Sufyan menunjukkan keridhaannya Nabi telah menikahi Ummu Habiibah. Semua takwil ini jauh sekali dari lafaz hadisnya dan tidak perlu diperhatikan karena sekedar omong-kosong yang siapapun bisa berandai-andai. Anda pun bisa menambahkan takwil bathil lainnya seperti Nabi telah menceraikan Ummu Habiibah kemudian Abu Sufyan ingin menikahkan lagi. Takwil seperti itu tidak ada gunanya



Apalagi takwil yang menyatakan bahwa nama tersebut salah sebenarnya bukan Ummu Habiibah binti Abu Sufyan tetapi ‘Azzah binti Abu Sufyan. Takwil ini jelas hanya menunjukkan kebodohan, karena jika memang seperti itu dan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjawab “Ya” menunjukkan kedustaan yang nyata atas nama Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Mengapa? Karena hal itu termasuk perkara yang diharamkan sebagaimana diakui oleh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sendiri.



حدثنا يحيى بن بكير حدثنا الليث عن عقيل عن ابن شهاب أخبرني عروة أن زينب بنت أبي سلمة أخبرته أن أم حبيبة زوج النبي صلى الله عليه وسلم قالت قلت يا رسول الله انكح أختي بنت أبي سفيان قال وتحبين ذلك قلت نعم لست لك بمخلية وأحب من شاركني في الخير أختي فقال إن ذلك لا يحل لي فقلت يا رسول الله فوالله إنا نتحدث أنك تريد أن تنكح درة بنت أبي سلمة فقال بنت أم سلمة فقلت نعم قال فوالله لو لم تكن ربيبتي في حجري ما حلت لي إنها بنت أخي من الرضاعة أرضعتني وأبا سلمة ثويبة فلا تعرضن علي بناتكن ولا أخواتكن



Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair yang berkata telah menceritakan kepada kami Laits dari Aqiil dari Ibnu Syihaab yang berkata telah mengabarkan kepadaku ‘Urwah bahwa Zainab binti Abi Salamah mengabarkan kepadanya bahwa Ummu Habiibah istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata“wahai Rasulullah, nikahilah saudariku putri Abu Sufyan. Beliau berkata “apakah kamu menyukai hal itu?”. [Ummu Habiibah] berkata “benar, aku tidak hanya ingin menjadi istrimu dan aku ingin saudara perempuanku bergabung denganku dalam memperoleh kebaikan”. Nabi [shallallaahu ‘alaihi wasallam] bersabda “Saudara perempuanmu itu tidak halal bagiku” Ummu Habiibah berkata “Kami mendengar khabar bahwa engkau ingin menikahi anak perempuan Abu Salamah?”. Beliau besabda “Anak perempuan Abu Salamah?”. Ummu Habiibah menjawab “Ya”. Beliau bersabda “Seandainya ia bukan anak tiriku yang ada dalam asuhanku, dia tetap tidak halal aku nikahi, karena ia adalah anak perempuan saudara laki-lakiku dari hubungan penyusuan, yaitu aku dan Abu Salamah sama-sama pernah disusui oleh Tsuwaibah. Oleh karena itu, janganlah engkau tawarkan anak perempuanmu atau saudara perempuanmu kepadaku [Shahih Bukhariy no 5101]



Dengan kata lain berdasarkan hadis di atas, ‘Azzah binti Abu Sufyan saudara perempuan Ummu Habiibah tidak halal bagi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Maka bagaimana bisa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjawab “Ya” untuk memenuhi permintaan Abu Sufyan. Penakwilan-penakwilan tersebut bisa dikatakan terlalu lemah untuk dianggap, kualitasnya sama seperti cerita “tetap kambing walaupun bisa terbang”. Sudah jelas-jelas hadis tersebut salah masih dicari-cari pembenarannya.



Kami tidak perlu berbusa-busa mencari pembelaan atas hadis Muslim mengenai keutamaan Abu Sufyan di atas. Hadis tersebut jelas terbukti kedustaannya. Maka silakan saja bagi mereka yang bersikeras melakukan pembelaan karena pembelaan seperti apapun tidak akan berguna menghadapi bukti yang jelas. Dan jika suatu hadis jelas terbukti kedustaannya [kesalahannya] maka tidak ada gunanya mengambil istinbath dari hadis tersebut atau mengamalkan hadis tersebut. Bagaimana seseorang bisa yakin kalau matan yang tersisa dari hadis tersebut juga selamat dari cacat [kedustaan atau kesalahan].



Bukankah perkara ini sama hal-nya dengan seorang perawi yang terbukti berdusta atau membuat hadis palsu kemudian ia meriwayatkan banyak hadis lain. Apakah yang ditolak hanya hadis palsu yang sudah terbukti ia palsukan saja sedangkan hadis-hadis lain yang tidak ada bukti bahwa itu dipalsukan olehnya bisa diterima?. Tentu saja jawabannya tidak. Seorang pendusta atau pemalsu hadis memang bisa saja suatu ketika meriwayatkan hadis yang benar bahkan bisa saja ia hanya memalsukan satu hadis saja seumur hidupnya tetapi bagaimana bisa diyakini kalau hadis-hadis lain tersebut benar jika ia terbukti pernah melakukan kedustaan atau memalsukan riwayat.



Sebelum kami mengakhiri tulisan di atas ada catatan menarik dari nashibi tersebut dimana ia menyinggung hadis Abu Bakar dan Umar Sayyid Kuhul ahli surga yaitu riwayat Hasan bin Zaid bin Hasan yang mengandung matan [wa syabaabuha] “para pemudanya”. Seperti yang pernah kami singgung hadis Hasan bin Zaid bin Hasan yang mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar sebagai Sayyid Kuhul dan Syabab ahli surga adalah mungkar karena terbukti dalam hadis shahih bahwa Sayyid Syabab ahli surga adalah Hasan dan Husain bukan Abu Bakar dan Umar.



Hadis riwayat Hasan bin Zaid bin Hasan ini telah kami tulis dalam pembahasan khusus bahwa kedudukannya dhaif.





Hadis Hasan bin Zaid bin Hasan : Abu Bakar dan Umar Sayyid Kuhul Ahli Surga



Hasan bin Zaid bin Hasan putra Zaid bin Hasan bin Aliy disebutkan dalam kitab hadis bahwa ia termasuk perawi yang meriwayatkan hadis Abu Bakar dan Umar Sayyid Kuhul ahli surga. Hadis riwayatnya disebutkan oleh Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al Ajurriy dan Ibnu Asakir. Pembahasan ini adalah tambahan bagi pembahasan kami sebelumnya dalam tulisan Takhrij Abu Bakar dan Umar Sayyid Kuhul Ahli Surga.



Riwayat Abdullah bin Ahmad bin Hanbal:



حدثنا عبد الله حدثني وهب بن بقية الواسطي ثنا عمرو بن يونس يعنى اليمامي عن عبد الله بن عمر اليمامي عن الحسن بن زيد بن حسن حدثني أبي عن أبيه عن على رضي الله عنه قال كنت عند النبي صلى الله عليه و سلم فأقبل أبو بكر وعمر رضي الله عنهما فقال يا على هذان سيدا كهول أهل الجنة وشبابها بعد النبيين والمرسلين



Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Wahb bin Baqiyah Al Wasithi telah menceritakan kepada kami Umar bin Yunus yakni Al Yamami dari Abdullah bin Umar Al Yamami dari Hasan bin Zaid bin Hasan yang berkata telah menceritakan kepada kami Ayahku dari Ayahnya dari Ali RA yang berkata “aku berada di sisi Nabi SAW kemudian datanglah Abu Bakar RA dan Umar RA maka Nabi SAW bersabda “wahai Ali mereka berdua adalah Sayyid Kuhul dan para pemuda ahli surga setelah para Nabi dan Rasul [Musnad Ahmad 1/80 no 602]



Wahb bin Baqiyah Al Wasithiy dalam sanad di atas adalah seorang yang tsiqat [At Taqrib Ibnu Hajar no 7519]. Riwayat Abdullah bin Ahmad bin Hanbal ini juga disebutkan dalam Fadhail Ash Shahabah no 141 dan Tarikh Ibnu Asakir 30/165-166. Hanya saja dalam Fadhail Ash Shahabah tidak disebutkan nama ‘Abdullah bin Umar Al Yamamiy, tetapi langsung menyebutkan Umar bin Yunus meriwayatkan dari Hasan bin Zaid bin Hasan.



Riwayat Abu Bakar Al Ajurry:



أَنْبَأَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ نَاجِيَةَ قَالَ حَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ بَقِيَّةَ الْوَاسِطِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ يُونُسَ الْيَمَامِيُّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ الْحَسَنِ بْنِ زَيْدِ بْنِ الْحَسَنِ قَالَ جَاءَهُ نَفَرٌ مِنَ الْعِرَاقِ فَقَالُوا يَا أَبَا مُحَمَّدٍ حَدِيثٌ بَلَغَنَا أَنَّكَ تُحَدِّثُهُ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَقَالَ نَعَمْ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَقْبَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ فَقَالَ يَا عَلِيُّ هَذَانِ سَيِّدَا كُهُولِ أَهْلِ الْجَنَّةِ بَعْدَ النَّبِيِّينَ وَالْمُرْسَلِينَ



Telah memberitakan kepada kami Abu Muhammad ‘Abdullah bin Muhammad bin Naajiyah yang berkata telah menceritakan kepada kami Wahb bin Baqiyah Al Waasithiy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Yuunus Al Yamaamiy dari ‘Abdullah bin ‘Umar dari Hasan bin Zaid bin Hasan yang berkata telah datang kepadanya sekelompok orang dari Iraq, mereka berkata “wahai Abu Muhammad, ada hadis yang sampai kepada kami bahwasanya engkau menceritakan hadis dari Aliy bin Abi Thalib [radiallahu ‘anhu] tentang Abu Bakar dan Umar [radiallahu ‘anhuma]. Ia berkata “benar, telah menceritakan kepadaku Ayahku dari Ayahnya dari ‘Aliy bin Abi Thalib [radiallahu ‘anhu] yang berkata aku pernah berada di sisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] kemudian datanglah Abu Bakar dan Umar. Maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “wahai Ali, keduanya adalah Sayyid kuhul ahli surga setelah para Nabi dan Rasul” [Asy Syari’ah Abu Bakar Ajurriy no 1315]



Dalam riwayat Abu Bakar Al Ajurry juga disebutkan bahwa Umar bin Yunus Al Yamamiy meriwayatkan dari Hasan bin Zaid bin Hasan melalui perantara Abdullah bin Umar. Dalam riwayat Al Ajurry hanya disebutkan lafaz Abdullah bin Umar tanpa nisbat Al Yamamiy.



Riwayat Ibnu Asakir:



أَخْبَرَنَا أَبُو الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنُ مُسْلِمٍ الْفَرَضِيُّ أنا أَبُو الْحَسَنِ بْنُ أَبِي الْحَدِيدِ وَأَبُو نَصْرِ بْنُ طَلابٍ قَالا أنا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي الْحَدِيدِ ثنا أَبُو الْحُسَيْنِ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ أَبِي الْحَدِيدِ نا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مَرْزُوقٍ نا عُمَرُ بْنُ يُونُسَ نا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ الْمَدِينِيُّ عَنِ الْحَسَنِ بْنِ زَيْدِ بْنِ الْحَسَنِ أَنَّهُ كَانَ جَالِسًا فِي الْمَسْجِدِ فَجَاءَهُ نَاسٌ مِنْ أَهْلِ الْعِرَاقِ فَسَلَّمُوا ثُمَّ قَالُوا يَا أَبَا مُحَمَّدٍ حَدِيثٌ بَلَغَنَا أَنَّكَ تَذْكُرُهُ عَنْ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ قَال حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِيٍّ أَنَّهُ كَانَ جَالِسًا عِنْدَ رَسُولِ اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَقْبَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ فَقَالَ هَذَانِ سَيِّدَا كُهُولِ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَشَبَابِهَا بَعْدَ النَّبِيِّينَ وَالْمُرْسَلِينَ لا تُخْبِرْهُمَا يَا عَلِي



Telah mengabarkan kepada kami Abu Hasan ‘Aliy bin Muslim Al Faradhiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Hasan bin Abil Hadiid dan Abu Nashr bin Thalaab, keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abil Hadiid yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Husain Muhammad bin ‘Aliy bin Abil Hadiid yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibrahiim bin Marzuuq yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Yuunus yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Umar Al Madiiniy dari Hasan bin Zaid bin Hasan bahwasanya ia sedang duduk di Masjid, kemudian datanglah orang-orang dari penduduk Iraq, mereka mengucapkan salam kemudian berkata “wahai Abu Muhammad, telah sampai kepada kami hadis bahwasanya engkau menyebutkannya tentang Abu Bakar dan Umar?. Ia berkata “telah menceritakan kepadaku ayahku dari Ayahnya dari Aliy bahwa ia sedang duduk di sisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] kemudian datanglah Abu Bakar dan Umar, maka Beliau bersabda “kedua orang ini adalah Sayyid kuhul dan para pemuda ahli surga setelah para Nabi dan Rasul, jangan kabarkan pada mereka berdua wahai Aliy” [Tarikh Ibnu Asakir 30/166]



Abu Hasan ‘Aliy bin Muslim Al Faradhiy, Adz Dzahabiy menyebutnya Syaikh Imam Allamah, Ibnu Asakir berkata “tsiqat tsabit” [As Siyaar 20/31]. Abul Hasan bin Abil Hadiid, disebutkan Adz Dzahabiy bahwa ia tsiqat ma’mun [As Siyaar 18/418]. Abu Nashr bin Thallaab, Adz Dzahabiy menyebutkan bahwa ia Syaikh Imam Tsiqat [As Siyaar 18/375]. Abu Bakar bin Abil Hadiid, ia dinyatakan tsiqat ma’mun oleh Abdul ‘Aziz Al Kattaniy [As Siyaar 17/185]. Abu Hushain Muhammad bin ‘Aliy bin Abi Hadiid dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Yunus [Tarikh Al Mishriyyun no 1247]. Ibrahiim bin Marzuuq, Nasa’i berkata shalih, Ibnu Yunus berkata “tsiqat tsabit” [As Siyaar 12/355].



Ibnu Asakir menyebutkan bahwa perawi yang meriwayatkan dari Hasan bin Zaid bin Hasan adalah ‘Abdullah bin Umar Al Madiiniy. Ibnu Asakir juga menyebutkan riwayat Wahb bin Baqiyah seperti yang disebutkan Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dengan jalan sanad dari Abul Qasim Al Baghawiy dari Wahb bin Baqiyah dengan menyebutkan lafaz ‘Abdullah bin Umar Al Madiiniy.



Dengan mengumpulkan sanad-sanad riwayat Hasan bin Zaid bin Hasan maka diketahui bahwa perawi yang meriwayatkan hadis tersebut darinya adalah Abdullah bin Umar, yang terkadang dinisbatkan dengan Al Yamamiy dan terkadang dinisbatkan dengan Al Madiiniy. Al Husainiy berkata bahwa ia seorang yang majhul:



عبد الله بن عمر اليمامي عن الحسن وعنه عمر بن يونس اليمامي مجهولُّ



‘Abdullah bin Umar Al Yamaamiy meriwayatkan dari Al Hasan dan telah meriwayatkan darinya Umar bin Yunus Al Yamaamiy, ia majhul [Al Ikmal Al Husainiy no 467]



Pentahqiq kitab Musnad Ahmad menyatakan bahwa Abdullah bin ‘Umar yang dimaksud adalah Ibnu Ruumiy yaitu Abdullah bin Muhammad, Abu Muhammad Al Yamaamiy yang juga dikatakan ‘Abdullah bin Umar Al Yamaamiy. Pernyataan ini perlu diteliti kembali, karena Ibnu Ruumiy masyhur di kalangan mutaqaddimin sebagai Abdullah bin Ar Ruumiy, walaupun sebagian mutaakhirin seperti Al Mizziy, Adz Dzahabiy, Ibnu Hajar menukil bahwa ia juga disebut ‘Abdullah bin Umar.



عبد الله بن الرومي أبو محمد اليمامى نزيل بغداد روى عن النضر ابن محمد الجرشى وابي معاويه الضرير وابي اسامة وعمر بن يونس اليمامى ويعقوب بن ابراهيم بن سعد وعبد الرزاق روى عنه ابي وموسى ابن اسحاق الانصاري الخطمى



Abdullah bin Ar Ruumiy Abu Muhammad Al Yamaamiy tinggal di Baghdad meriwayatkan dari Nadhr bin Muhammad Al Harasy, Abu Mu’awiyah Adh Dhariir, Abu Usamah, Umar bin Yunus Al Yamaamiy, Yaqub bin Ibrahim bin Sa’ad dan ‘Abdurrazaaq. Telah meriwayatkan darinya Ayahku, Musa bin Ishaaq Al Anshaariy Al Khaththamiy [Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim 5/208 no 982].



عبد الله بن الرُّومِي أَبُو مُحَمَّد من أهل بَغْدَاد يروي عَن وَكِيع وَأبي عَاصِم حَدَّثنا عَنهُ أَحْمد بن الْحسن بن عبد الْجَبَّار وَغَيره من شُيُوخنَا مَاتَ سنة أَرْبَعِينَ وَمِائَتَيْنِ أَو قبلهَا أَو بعْدهَا بِقَلِيل



‘Abdullah bin Ar Ruumiy Abu Muhammad termasuk penduduk Baghdad, meriwayatkan dari Waki’ dan Abu Ashim. Telah menceritakan kepada kami darinya Ahmad bin Hasan bin ‘Abdul Jabbaar dan selainnya dari guru-guru kami. Wafat pada tahun 240 atau tidak lama sebelum atau sesudahnya [Ats Tsiqat Ibnu Hibban 8/354 no 13841]



Al Bukhari juga menyebutnya dengan nama ‘Abdullah bin Ar Ruumiy dalam Tarikh Ash Shaghiir [Tarikh Ash Shaghiir juz 2 no 1625]. Al Khatib dalam Tarikh Baghdad menyebutkan “Abdullah bin Muhammad, Abu Muhammad Al Yamamiy yang dikenal Ibnu Ruumiy”[Tarikh Baghdad 11/267 no 5139]. Tidak ada diantara mereka yang menyebutkan bahwa ia adalah ‘Abdullah bin Umar.



عبد الله بن محمد ويقال عبد الله بن عمر اليمامي أبو محمد المعروف بابن الرومي نزيل بغداد



‘Abdullah bin Muhammad, dikatakan ‘Abdullah bin ‘Umar Al Yamaamiy Abu Muhammad dikenal dengan Ibnu Ruumiy tinggal di Baghdad [Tahdzib Al Kamal Al Mizziy 16/105 no 3554]



Penyebutan Al Mizziy ini diikuti oleh muridnya Adz Dzahabiy dan kemudian juga diikuti oleh Ibnu Hajar. Tidak ada di kalangan mutaqaddimin yang menyebut Ibnu Ruumiy dengan ‘Abdullah bin ‘Umar.



Abdullah bin Ar Ruumiy adalah Syaikh [guru] Imam Muslim, Abu Ya’la, Ibnu Abi Khaitsamah dan Muhammad bin Ishaaq Ash Shaghaaniy. Tidak ada satupun diantara murid-muridnya yang menyebutnya dengan nama ‘Abdullah bin Umar



Muslim telah meriwayatkan darinya dalam kitab Shahih dan terkadang disebutkan dengan jelas bahwa ia adalah ‘Abdullah bin Muhammad Ar Ruumiy. Muslim menyebutnya ‘Abdullah bin Ar Ruumiy [Shahih Muslim no 135], Abdullah bin Ar Ruumiy Al Yamaamiy [Shahih Muslim no 2362 & 2423], Abdullah bin Muhammad Ar Ruumiy [Shahih Muslim no 1159]



Abdullah bin Ar Ruumiy juga adalah syaikh [guru] Abu Ya’la dan ia menyebutkan dalam Musnad-nya nama gurunya dengan ‘Abdullah bin Ar Ruumiy [Musnad Abu Ya’la no 4894 s/d no 4897].



Begitu pula Ahmad bin Abi Khaitsamah yang merupakan murid Ibnu Ruumiy, ia menyebutkan gurunya dalam kitab Tarikh-nya dengan nama ‘Abdullah bin Ar Ruumiy [Tarikh Ibnu Abi Khaitsamah no 1167 s/d 1169]



Selain Muslim, murid Ibnu Ruumiy yang lain yaitu Muhammad bin Ishaq Ash Shaghaaniy juga menyebutkan nama gurunya dengan lafaz ‘Abdullah bin Muhammad Al Yamaamiy [Syu’aib Al Iman Baihaqiy no 10601].



Pendapat yang rajih disini nama Ibnu Ruumiy adalah ‘Abdullah bin Muhammad Al Yamaamiy seperti yang dinyatakan oleh Al Khatib dan dinyatakan dalam sebagian riwayat oleh murid Ibnu Ruumiy yaitu Muslim dan Ash Shaghaaniy. Sedangkan penyebutan Abdullah bin ‘Umar kepada Ibnu Ruumiy tidak memiliki bukti yang shahih, tidak ditemukan ulama mutaqaddimin dan murid Ibnu Ruumiy yang menyatakan demikian.



Dalam kitab biografi perawi hadis, Ibnu Ruumiy dikenal sebagai murid dari Umar bin Yunus Al Yamaamiy bukan sebagai gurunya. Dan tidak dikenal pula diantara guru Ibnu Ruumiy adalah Hasan bin Zaid bin Hasan. Hasan bin Zaid bin Hasan wafat pada tahun 168 H [Al Kasyf Adz Dzahabiy no 1030]. Sedangkan Abdullah bin Muhammad, Ibnu Ruumiy wafat pada tahun 236 H [Al Kasyf Adz Dzahabiy no 2971]. Jadi diantara wafat keduanya terdapat waktu yang lama yaitu 68 tahun.



Abdullah bin Umar yang meriwayatkan dari Hasan bin Zaid bin Hasan selain dinisbatkan dengan Al Yamaamiy, ia juga dinisbatkan dengan Al Madiiniy. Sedangkan Ibnu Ruumiy walaupun ia dinisbatkan pada Al Yamaamiy ia tidak dinisbatkan dengan Al Madiiniy. Jelas sekali berdasarkan pembahasan di atas maka ‘Abdullah bin ‘Umar Al Yamaamiy yang dimaksud bukan Ibnu Ruumiy melainkan ‘Abdullah bin Umar Al Yamaamiy Al Madiiniy, seorang yang majhul sebagaimana dikatakan Al Husainiy.



‘Amru bin ‘Abdul Mun’im pentahqiq kitab Fadha’il Abu Bakar [Abu Thalib Al Harbiy] dalam takhrij hadis no 34, ia menyebutkan riwayat Hasan bin Zaid bin Hasan yang diriwayatkan Abdullah bin Ahmad dan menyatakan bahwa sanadnya dhaif karena ‘Abdullah bin ‘Umar Al Yamaamiy majhul ‘ain. Pendapat inilah yang benar sesuai dengan pembahasan di atas. Kesimpulan : hadis tersebut dhaif karena majhulnya ‘Abdullah bin Umar Al Yamaamiy Al Madiiniy.



Dan sayangnya kami tidak melihat adanya bantahan yang bernilai dari nashibi tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

50 Pelajaran Akhlak Untuk Kehidupan

ilustrasi hiasan : akhlak-akhlak terpuji ada pada para nabi dan imam ma'sum, bila berkuasa mereka tidak menindas, memaafkan...