”Sekiranya Umar tidak melarang nikah mut’ah niscaya tidak seorang pun berzina melainkan orang yang celaka.” [Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, 10,51 (III, hal 200); al-Tabari, Tafsir, V, hal. 9; al-Suyuti, al-Durr al-Manthur, II, hal 140; Kanz al-Ummal, 8, 294]
Perkataan Ali ini ditujukan untuk membantah tuduhan bahwa dirinya melarang nikah mut’ah dengan memansuhkan QS al-Nisa ayat 24.
PERKARA APA YANG URUSAN HALAL TERUS HARAM TERUS HALAL LAGI TERUS HARAM LAGI SAMPE TUJUH KALI ?
. ﻭﻗﺎﻝ ﻏﻴﺮﻩ ﻣﻤﻦ ﺟﻤﻊ ﻃﺮﻕ ﺍﻻﺣﺎﺩﻳﺚ ﻓﻴﻬﺎ : ﺇﻧﻬﺎ ﺗﻘﺘﻀﻲ ﺍﻟﺘﺤﻠﻴﻞ ﻭﺍﻟﺘﺤﺮﻳﻢ ﺳﺒﻊ ﻣﺮﺍﺕ .
"Lainnya (Ulama) yang telah mengumpulkan jalur periwayatan mengatakan '(Mut'ah) HALAL dan HARAM SAMPAI TUJUH KALI'". (Tafsir Al-Qurthuby, Vol.5,Hal.130) .
Dihalalkan 7 kali, diharamkan 7 kali, yaitu pada Peperangan Khaibar, Hunain, 'Umra al-Qadha', tahun pembukaan Mekah, tahun Autas, Peperangan Tabuk dan semasa Haji Wida'. [al-Jassas, Ahkam al-Qur'an, II, hlm. 183; Muslim, Sahih, I, hlm. 394;Ibn Hajr, Fath al-Bari, IX, hlm. 138; al-Zurqani, Syarh al-Muwatta', hlm. 24]
"Imam Syafi'i berkata :" Aku tidak tahu dalam Islam yang HALAL pada satu kejadian kemudian MENJADI HARAM kemudian MENJADI HALAL Dan kemudian HARAM kecuali, MUT'AH.
Beberapa Ulama mengatakan bahwa hal itu dirubah pada TIGA kejadian. Yang lainnya mengatakan LEBIH'". (Qadhi Thanaullah Panee Patee, Tafsir Mazhari, Hal.572) .
Menurut pihak syiah, hukum nikah mut’ah (kesenangan) itu halal untuk selama-lamanya, tidak pernah status hukumnya dirubah menjadi haram. Namun beberapa waktu kemudian nikah mut’ah ini akhirnya diharamkan ketika Umar bin Khattab menjadi khalifah. Hal tersebut masyhur bukan hanya pada referensi syiah saja, tapi dari referensi sunni pun ada, sehingga hal tersebut sebenarnya harus diakui sebagai perkara khilafiyah oleh pihak sunni sendiri. Ini sejumlah hadisnya: Ibnu Katsir menjelaskan:
“Bukhari mengatakan bahwa Umar telah melarang setiap orang untuk melakukan nikah mut’ah”. [ Tafsir Ibn Katsir, V1, hal 233]
‘Umar adalah orang pertama yang telah mengharamkan nikah mut’ah”. [Jalaluddin al-Suyuthi, Tarikh al-khulafa, hal 137]
مُتْعَتانِ كانَتَا على عَهْدِ رَسُول ِاللهِ أنا أَنْهَى عَنْهُما وَ أُعاقِبُ عليهِما : مُتْعَةُ الحج و متعة النِّسَاءِ.
”Ada dua bentuk mut’ah yang keduanya berlaku di jaman Rasulullah saw, tapi aku melarang keduannya dan menetepkan sanksi atas (yang melaksanakan) keduanya, yaitu haji tamattu’ dan nikah mut’ah.” [Tafsir al-Razi, 10,50; al-Jashshash, Ahkam al-Qur’an, 2,152; al-Qurthubi, Jami’ Ahkam al-Qur’an, 2,270; Ibnu Qayyim, Zaad al-Ma’ad, 1,444; al-Sarakhsi al-Hanafi, al-Mabsuuth, kitab al-Haj, bab al-Qur’an dan ia mensahihkannya; Ibnu Qudamah, al-Mughni, 7,527; Ibnu Hazam, al-Muhalla, 7,107; al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, 8,293- 294; al-Thahawi, Syarh Ma’ani al-Akhbaar, 374; Sunan al-Baihaqi, 7,206]
”Sekiranya Umar tidak melarang nikah mut’ah niscaya tidak seorang pun berzina melainkan orang yang celaka.” [Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, 10,51 (III, hal 200); al-Tabari, Tafsir, V, hal. 9; al-Suyuti, al-Durr al-Manthur, II, hal 140; Kanz al-Ummal, 8, 294] Perkataan Ali ini ditujukan untuk membantah tuduhan bahwa dirinya melarang nikah mut’ah dengan memansuhkan QS al-Nisa ayat 24.
ما كانَتْ المُتْعَةُ إلاَّ رَحْمَةً رَحِمَ اللهُ بِها أُمَّةَ محمد (ص)، لَوْ لاَ نَهْيُهُ (عمر) ما احْتاجَ إلى الزنا إلاَّ شقِي
“Tiada lain mut’ah itu adalah rahmat, dengannya Allah merahmati umat Muhammad SAW, andai bukan karena larangan Umar maka tiada yang berzina kecuali orang yang celaka.” [Ibnu Atsir, Nihayah; al-Jassas, al-Ahkam al-Qur’an, II, hal 179; al-Zamakhshari, al-Fa’iq, I, hal 331; al-Qurtubi, Tafsir, V, hal 130]
Perkataan Ibnu Abbas ini sebagai bukti ketidakbenaran berita atas isu bahwa dirinya telah bertaubat dan mencabut fatwanya tentang halalnya nikah mut’ah.
Jabir bin Abdullah mengatakan:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ تَمَتَّعْنَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتْعَتَيْنِ الْحَجَّ وَالنِّسَاءَ وَقَدْ قَالَ حَمَّادٌ أَيْضًا مُتْعَةَ الْحَجِّ وَمُتْعَةَ النِّسَاءِ فَلَمَّا كَانَ عُمَرُ نَهَانَا عَنْهُمَا فَانْتَهَيْنَا
“Kami pada masa Rasulillah SAW, pernah melakukan dua macam mut'ah, mut'ah haji dan mut'ah wanita. Dan Hammad juga berkata: ‘mut'ah haji dan mut'ah wanita’. Maka sewaktu pemerintahan Umar, beliau melarang keduanya dan kami mematuhinya” [Shahih Muslim, Jilid 8, No. 3249; Ibn Hajar, Fatih al-Bari, IX, hal 41; Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, 8, hal 294; Musnad Ahmad, 1/52, no 369]
قَدِمَ جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ مُعْتَمِرًا فَجِئْنَاهُ فِي مَنْزِلِهِ فَسَأَلَهُ الْقَوْمُ عَنْ أَشْيَاءَ ثُمَّ ذَكَرُوا الْمُتْعَةَ فَقَالَ نَعَمْ اسْتَمْتَعْنَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ
“Jabir bin Abdullah telah mendatangi suatu kunjungan, maka kami menemui dia di tempatnya, dan suatu kaum bertanya kepadanya tentang berbagai macam (persoalan) sampai mereka menyebut (menanyakan) mut’ah, maka dia (Jabir bin Abdullah) berkata: ‘benar, kami melakukan mut’ah pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar’.” [Shahih Muslim No. 2496, 2/1022 no 15 (1405)]
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي أَبُو الزُّبَيْرِ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُا كُنَّا نَسْتَمْتِعُ بِالْقَبْضَةِ مِنْ التَّمْرِ وَالدَّقِيقِ الْأَيَّامَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ حَتَّى نَهَى عَنْهُ عُمَرُ فِي شَأْنِ عَمْرِو بْنِ حُرَيْثٍ
“Diriwayatkan dari Muhammad bin Raafi, dari Abdurrazzaaq, dari Ibnu Juraij, dari Abu al-Zubair yang berkata: Berkata Jabir bin Abdullah: ‘Kami dulu melakukan kawin mut'ah dengan mas kawin segenggam kurma atau tepung (makanan pokok orang Arab adalah roti) di masa Rasulullah saw dan di masa Abu Bakar sampai dilarang oleh Umar (di waktu dia menjadi khalifah) dalam peristiwa Amru bin Huraits.’" [HR Shahih Muslim, No. 2497]
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عِمْرَانَ أَبِى بَكْرٍ حَدَّثَنَا أَبُو رَجَاءٍ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ - رضى الله عنهما - قَالَ أُنْزِلَتْ آيَةُ الْمُتْعَةِ فِى كِتَابِ اللَّهِ فَفَعَلْنَاهَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - ، وَلَمْ يُنْزَلْ قُرْآنٌ يُحَرِّمُهُ ، وَلَمْ يَنْهَ عَنْهَا حَتَّى مَاتَ قَالَ رَجُلٌ بِرَأْيِهِ مَا شَاءَ
“Diriwayatkan kepada kami dari Musaddad, dari Yahya, dari Imraan Abu Bakr dari Abu Rajaa dari Imraan bin Hushain ra dia berkata: ‘Telah diturunkan ayat mut'ah dalam Kitabullah dan kamipun melakukannya di jaman Nabi saw, dan tidak turun satu ayatpun menghapusnya/mengharamkannya, dan tidak pula Nabi saw melarangnya hingga beliau wafat. Tapi kemudian ada satu lelaki yang berkata sesuai kehendaknya (maksudnya Umar yang terang-terangan mengharamkan nikah mut'ah ini.' [HR Shahih Bukhari, No. 4518] jika nikah mut’ah adalah zina, maka Jabir dan para sahabat lainnya telah berbuat zina dan menghalalkan zina. Hal ini adalah jelas pelecehan terhadap martabat para sahabat nabi.
Begitupun Ibnu Juraij (w.150 H) seorang Tabi'in dan imam masjid mekkah yang juga telah meriwayatkan banyak hadits shahih sunni seperti Bukhari, Muslim dan lain-lain, berpendapat bahwa nikah mut'ah adalah mubah (boleh).
Imam Syafi'i dan ad-Dhahabi menegaskan bahwa Ibnu Juraij telah menikah mut'ah sebanyak 90 wanita. [Ibnu Hajar, Tadhib al-Tahdhib, VI, hal 408]
Jadi, karena para sahabat ada yang menghalalkan bahkan mengamalkan nikah mut’ah sepeninggal Rasulullah SAW, maka apakah ini berarti menurut anda mereka telah berani mengamalkan bahkan menghalalkan zina?!
Pikirkanlah dulu.Tidak hanya pada hadis, dalil nikah mut’ah juga terdapat pada al-Qur’an:
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dinikahi bukan untuk berzina. Maka wanita (istri) yang telah kamu nikmati (istamta’tum) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [QS an-Nisa, ayat 24]
Telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa penggalan An-Nisa ayat 24 ini berbicara tentang nikah mut’ah. Misalnya saja:
حدثنا ابن المثنى قال حدثنا محمد بن جعفر قال حدثنا شعبة عن أبي مسلمة عن أبي نضرة قال قرأت هذه الآية على ابن عباس “ فما استمتعتم به منهن ” قال ابن عباس “ إلى أجل مسمى ” قال قلت ما أقرؤها كذلك! قال والله لأنزلها الله كذلك! ثلاث مرات .
“Telah menceritakan kepada kami Ibnu Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Abi Maslamah dari Abi Nadhrah yang berkata: ‘aku membacakan ayat ini kepada Ibnu Abbas ‘maka wanita yang kamu nikmati [istamta’tum]’, Ibnu Abbas berkata: ‘sampai batas waktu tertentu’. Aku berkata: ‘aku tidak membacanya seperti itu’. Ibnu Abbas berkata: ‘demi Allah, Allah telah mewahyukannya seperti itu’ (ia mengulangnya tiga kali).” [Tafsir ath-Thabari, 6/587, tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turqi; al-Hakim, al-Mustadrak, juz 2, no 3192; Ibnu abi Dawud, al-Masahif, no 185. sanadnya shahih]
حدثنا محمد بن المثنى قال حدثنا محمد بن جعفر قال حدثنا شعبة عن الحكم قال سألته عن هذه الآية والمحصنات من النساء إلا ما ملكت أيمانكم إلى هذا الموضع فما استمتعتم به منهن أمنسوخة هي ؟ قال لا قال الحكم وقال علي رضي الله عنه لولا أن عمر رضي الله عنه نهى عن المتعة ما زنى إلا شقي
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari al-Hakam (Syu’bah) berkata: ‘aku bertanya kepadanya tentang ayat: ‘dan [diharamkan juga menikahi] wanita yang bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki’, sampai pada ayat: ‘maka wanita [istri] yang telah kamu nikmati (istimta) diantara mereka’, apakah telah dihapus (mansukh)? (al-Hakam) berkata: ‘tidak’, kemudian al-Hakam berkata dan Ali ra telah berkata: ‘seandainya Umar ra tidak melarang mut’ah maka tidak ada yang berzina kecuali orang yang celaka’” [Tafsir ath-Thabari 6/588]
Ada syubhat bahwa QS an-Nisa ayat 24 di atas tidak tepat jika kata istimtaa’ diartikan sebagai mut’ah, padahal para sahabat sendiri biasanya menggunakan kata istimtaa’ itu untuk menyebutkan nikah mut’ah.
حدثنا عمرو بن علي قال نا يحيى بن سعيد عن إسماعيل عن قيس عن عبد الله قال كنا نغزو مع رسول الله صلى الله عليه وسلم وليس معنا نساء فاستأذنه بعضنا أن يستخصي أو قال لو أذنت لنا لاختصينا فلم يرخص لنا ورخص لنا في الاستمتاع بالثوب “
. Telah menceritakan kepada kami Amru bin Ali yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id dari Ismail dari Qais dari Abdullah yang berkata: ‘kami berperang bersama Rasulullah SAW dan kami tidak membawa wanita maka sebagian kami meminta izin untuk mengebiri atau berkata sekiranya diizinkan kepada kami untuk mengebiri maka Rasulullah SAW tidak mengizinkan kami dan Beliau mengizinkan kami untuk Istimtaa' dengan pakaian.’” [Musnad al-Bazzar 5/294 no 1671 dengan sanad yang shahih]
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا وكيع عن بن أبي خالد عن قيس عن عبد الله قال كنا مع النبي صلى الله عليه و سلم ونحن شباب فقلنا يا رسول الله ألا نستخصي فنهانا ثم رخص لنا في ان ننكح المرأة بالثوب إلى الأجل ثم قرأ عبد الله { لا تحرموا طيبات ما أحل الله لكم } “
Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Waki dari Ibnu Abi Khalid dari Qais dari Abdullah yang berkata: ‘kami bersama Nabi SAW dan kami masih muda, kami berkata: ‘wahai Rasulullah SAW tidakkah kami dikebiri? Beliau melarang kami melakukannya kemudian Beliau memberi keringanan kepada kami untuk menikahi wanita dengan pakaian sampai waktu yang ditentukan. Kemudian Abdullah membaca (Al Maidah ayat 87): ‘janganlah kalian mengharamkan apa yang baik yang telah Allah halalkan kepada kalian’ [Imam Ahmad bin hambal, Musnad Ahmad, juz 1, hal 432, no 4113, Sanadnya shahih dengan syarat Bukhari dan Muslim]
Jadi arti kata istimtaa’ yang digunakan oleh para sahabat adalah menikahi seorang wanita sampai batas waktu yang ditentukan. Tidak hanya pada hadits-hadits di atas saja, melainkan di hadits yang dijadikan hujjah pengharaman mut’ah, kata yang digunakan untuk menyebutkan nikah mut’ah juga dengan lafal istimtaa’.
Persyaratan nikah mut’ah tidak jauh berbeda dengan nikah da’im (permanen), hanya saja yang membedakannya adalah jika di nikah mut’ah terdapat jangka waktu yang telah ditentukan. Jika jangka waktunya telah selesai, mereka dapat memperpanjang waktunya atau langsung berpisah. Setelah berpisahpun dari pihak wanita terdapat masa iddah untuk memastikan adakah kehamilan dan agar kembali ‘suci’, sehingga tidak akan pernah terjangkiti penyakit seperti HIV/AIDS.
Banyak kepalsuan yang dibuat terhadap nikah mut’ah. Maka berhati-hatilah jika menerima informasi dari pihak anti syiah itu.
Perlu diketahui sebagai penyeimbang, jika di syiah ada nikah mut’ah, maka di sunni ada juga yang namanya nikah misyar (wisata). Nikah misyar adalah menikah dengan niat talaq. Disebut demikian karena pria yang melakukan praktek nikah ini tidak ada tujuan pernikahan secara permanen, hanya untuk batas waktu tertentu saja seperti semalam, seminggu, sebulan dan sebagainya. Keinginan mentalaq dalam batas waktu tertentu ini tidak diucapkan secara verbal dalam akad nikah, dalam artian mereka melakukan kesepakatan dahulu sebelum akad, dimana kesepakatan itu nantinya tidak disebut dalam akad nikah.
Nah, inilah bedanya dengan nikah mut’ah, jika nikah mut’ah disebutkan batas waktunya, sedangkan nikah misyar tidak. Nikah misyar ini populer karena dilakukan oleh banyak orang-orang arab kaya yang suka melancong ke manca negara, termasuk di Indonesia.
Dalam prakteknya, nikah misyar ini dilakukan sebagaimana layaknya sebuah pernikahan biasa, hanya saja, sang istri harus merelakan sejumlah haknya untuk tidak dipenuhi oleh sang suami, seperti hak diberi nafkah lahir/harta, makanan, pakaian, rumah kediaman dan lain-lain.
. قَالَ الْقَاضِي وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ مَنْ نَكَحَ نِكَاحًا مُطْلَقًا وَنِيَّته أَلَّا يَمْكُث مَعَهَا إِلَّا مُدَّة نَوَاهَا فَنِكَاحه صَحِيح حَلال ، وَلَيْسَ نِكَاح مُتْعَة ، وَإِنَّمَا نِكَاح الْمُتْعَة مَا وَقَعَ بِالشَّرْطِ الْمَذْكُور ، وَلَكِنْ قَالَ مَالِك : لَيْسَ هَذَا مِنْ أَخْلَاق النَّاس ، وَشَذَّ الْأَوْزَاعِيُّ فَقَالَ : هُوَ نِكَاح مُتْعَة ، وَلَا خَيْر فِيهِ . وَاَللَّه أَعْلَم .
“Al-Qadli berkata: ‘Para ulama telah bersepakat bahwa siapa saja yang melakukan nikah secara mutlaq dengan niatan hanya akan bersamanya dalam waktu terbatas, maka nikahnya sah dan halal. Ini bukan nikah mut’ah. Nikah mut’ah adalah nikah yang dilaksanakan disertai syarat yang disebutkan. Akan tetapi Malik berkata: ‘Ini tidak termasuk akhlaq manusia (generasi salaf)’.
Sedangkan Al-Auza’i mempunyai pendapat yang berbeda, dimana ia berkata: ‘Hal itu adalah nikah mut’ah dan tidak ada kebaikan di dalamnya’. Wallaahu a’lam” [Imam Nawawi, Syarah Muslim, Muasisah Qurthubah, Juz 9, hal 258-259] Ali Syibran al-Malusi berkata: “jika keduanya bersepakat sebelum melaksanakan akad untuk bercerai dalam waktu tertentu dan tidak disebut dalam akad, maka tidak mengapa, tetapi sepatutnya makruh.” [Al-Bakry ad-Dimyathy, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz 3, hal 278] ..
Ulama Ahlusunah tidak mungkin menganggap mut’ah sebagai zina, karena beberapa alasan sebagai berikut:
Nabi Saw pernah menghalalkan nikah mut’ah. Seandainya Nabi benar pernah mengharamkan nikah mut’ah, dan kemudian mut’ah dianggap sebagai zina, maka berarti Nabi Saw dituduh menghalalkan zina.
Ahlusunah dan Syiah bersepakat bahwa nikah pada dasarnya adalah mut’ah karena Alquran menggunakannya sebagai sinonim nikah dan zawaj.
Ahlusunah dan Syiah bersepakat bahwa nikah adalah mut’ah / istimta’ (bersenang-senang atau mencari menikmati) karena pastilah tujuan nikah adalah bersenang-senang. Tak seorang pun menikah untuk menderita.
Ahlusunah dan Syiah bersepakat bahwa nikah / mut’ah pada dasarnya berjangka karena setiap pernikahan pasti berakhir dan ikatannya tidak abadi bila bercerai atau salah satu pasangan wafat. Karena itu, bila cerai atau wafat, salah satu pasangan tidak lagi dianggap sebagai suami atau istri, sehingga diperbolehkan untuk nikah lagi bila telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan. Berdasarkan dalil-dalil yang termaktub dalam kitab-kitab riwayat yang dijadikan sebagai sumber penetapan hukum fikihnya, juga disebutkan dalam kitab-kitab riwayat Ahlusunah, fikih Syiah menetapkan jangka ketiga berdasarkan kesepakatan awal yang disebutkan secara sadar dalam akad.
Ahlusunah dan Syiah bersepakat bahwa mut’ah dengan jangka waktu yang direncanakan bukan zina karena Nabi Saw memperbolehkannya. Hanya saja, Ahlusunah, berpedoman pada sejumlah riwayat yang diandalkannya, menganggap hukum mubah dan halal yang ditetapkan atas mut’ah dengan batas waktu itu telah dicabut. Sedangkan Syiah, karena berpedoman pada riwayat-riwayat yang diyakininya benar berdasarkan mekanisme periwayatan dan penyimpulan hukum atau istinbathnya, menganggap hukum mubah dan halalnya berlaku hingga hari kiamat.
Tentu, meyakini kehalalannya tidak niscaya membenarkan setiap praktik nikah berjangka waktu secara serampangan tanpa memperhatikan dan mematuhi asas kemaslahatan, kepatutan dan asas-asas etika dan konteks yang berbeda-beda sesuai waktu dan tempatnya. Boleh jadi, meski secara fikih menurut Syiah, mut’ah atau nikah berjangka waktu mubah namun praktiknya harus memenuhi sejumlah syarat kemubahannya, yang apabila salah satu syarat kemubahannya tidak terpenuhi, ia bisa bergeser menjadi tidak mubah bahkan bisa dianggap zina. Ini juga berlaku atas nikah non berjangka waktu alias nikah permanen.
Berikut sebagian dari syarat-syarat kemubahan mut’ah yang secara umum disepakati oleh sebagian besar atau bahkan seluruh ulama Syiah:
Sebagaimana ditetapkan dalam nikah tak berjangka waktu, penentu siapa yang menjadi suaminya adalah hak wanita atau calon istri. Artinya, izin atau restu wali tidak secara serta merta menjadikan wali berhak menentukan siapa calon suami atau calon istri.
Sebagaimana ditetapkan dalam nikah tak berjangka waktu, penentuan jumlah dan nilai mahar merupakan hak wanita atau calon istri. Artinya, tuduhan bahwa nikah berjangka waktu ini merendahkan wanita tertolak, karena pihak yang menentukan terlaksana dan tidak terlaksananya adalah wanita atau calon istri. Bila jumlah mahar yang diminta dan ditetapkan wanita tidak dipenuhi oleh calon suami, maka secara niscaya nikah batal atau tidak terlaksana.
Tak dapat dimungkiri bahwa institusi perkawinan mut’ah seringkali disalah-pahami, baik oleh yang tidak dapat menerimanya, maupun oleh yang menerimanya. Khusus terkait dengan kelompok yang menerimanya, juga tak dapat dimungkiri adanya penyelewengan-penyelewengan dan praktik-praktik yang tak dapat dibenarkan. Namun, hal ini tentunya tak serta-merta membatalkan keabsahannya. Karena, sesungguhnya, bukan hanya mut’ah yang terbuka bagi penyelewengan, melainkan juga aturan-aturan syariat lainnya. Bahkan, bukan tidak mungkin institusi perkawinan biasa (permanen, daim) tak jarang diwarnai oleh praktik yang bertentangan dengan syariat.
Tidak seperti dihembuskan oleh sementara orang, nikah mut’ah sama sekali tak sama dengan pelacuran terselubung. Nikah mut’ah memiliki banyak persamaan dengan nikah permanen (da’im).
Status Anak Anak-anak yang lahir dari pasangan perkawinan mut’ah sama sekali tidak ada bedanya dengan anak-anak yang lahir dari pasangan perkawinan permanen.
Mahar adalah juga sebuah prasyarat dalam sebuah perkawinan permanen maupun dalam sebuah perkawinan mut’ah.
Mahram Dalam perkawinan permanen, ibu dan anak perempuan istri, serta ayah dan anak laki-laki suami diharamkan (untuk perkawinan) dan mereka adalah mahram. Dalam perkawinan mut’ah, terkait hubungan di atas, kasusnya sama juga. Dalam kasus istri perkawinan permanen, seorang laki-laki tidak bisa, selama istri masih hidup, menikahi adik atau kakak perempuan istri tersebut. Dalam kasus perkawinan mut’ah, saudara perempuan si istri juga tidak dapat dinikahi pada waktu yang sama oleh laki-laki yang sama.Di samping itu, sebagaimana melamar atau meminang seorang perempuan yang terikat perkawinan permanen adalah haram hukumnya, maka begitu pula dengan melamar atau meminang seorang perempuan yang terikat perkawinan mut’ah; karena berzina dengan seorang perempuan yang terikat perkawinan permanen membuat perempuan ini diharamkan bagi si pezina itu untuk selamanya, maka begitu pula kasusnya dengan seorang perempuan yang terikat perkawinan mut’ah.
Jangka Waktu Salah satu elemen yang membedakan antara perkawinan permanen dan perkawinan mut’ah adalah bahwa dalam perkawinan yang jangka waktunya ditentukan, seorang perempuan dan seorang laki-laki mengambil keputusan bahwa mereka berdua akan menikah untuk jangka waktu yang ditentukan. Dan pada akhir waktu yang sudah ditentukan, jika mereka berdua cenderung untuk memperpanjang waktunya, mereka berdua bisa memperpanjangnya, dan jika mereka tidak mau, mereka bisa berpisah.
Mahar Dalam perkawinan mut’ah, tidak adanya perincian jumlah mahar meniadakan atau membuat tidak sahnya perkawinan. Sedangkan dalam perkawinan permanen, hal ini tidak meniadakan atau membuat tidak sahnya (sebuah perkawinan). Konsekuensinya adalah kewajiban untuk membayar mahar standar (mahr al-mitsl).
Lingkup Kebebasan Dalam perkawinan mut’ah, pasangan perkawinan memiliki kemerdekaan yang lebih besar dalam menetapkan syarat sesuai keinginan mereka. Sebagai contoh, dalam sebuah perkawinan permanen seorang laki-laki bertanggung jawab, entah dia suka atau tidak, untuk menutup biaya-biaya hidup harian, pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan hidup lainnya, seperti pengobatan dan obat. Namun, dalam perkawinan mut’ah, pasangan nikah disatukan lewat akad merdeka yang disepakati bersama. Bisa saja si laki-laki tidak mau, atau tidak sanggup, memikul biaya-biaya ini, atau bahwa si perempuan tidak mau menggunakan uang laki-laki.
Dalam perkawinan permanen, si istri, entah dia suka atau tidak, harus menerima si laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan melaksanakan apa yang dikatakan si laki-laki untuk kepentingan situasi keluarga. Namun dalam perkawinan mut’ah, segala sesuatunya bergantung pada syarat-syarat perjanjian yang dibuat bersama.
Pewarisan Dalam perkawinan permanen, si istri dan si suami, entah mereka suka atau tidak, akan memiliki hak saling mewarisi, sedangkan dalam perkawinan mut’ah, tidak demikian kejadiannya. Dengan demikian, perbedaan riil dan penting antara pernikahan permanen dan perkawinan mut’ah adalah bahwa perkawinan mut’ah, sejauh menyangkut batas dan syarat, adalah “bebas”. Artinya tergantung pilihan dan akad di antara kedua belah pihak, sesuai dengan prinsip kebebasan yang disinggung di atas.
Masa ‘Iddah Periode ‘iddah bagi perempuan dalam perkawinan permanen adalah tiga periode menstruasi, sedangkan dalam perkawinan mut’ah, periode ‘iddahnya adalah dua periode menstruasi atau empat puluh lima hari. (Lihat Tahrîr Al-Wasîlah, Imam Khomeini, Bab Nikah). Berbeda dengan perkawinan permanen, yang ‘iddah juga berfungsi sebagai masa tenggang untuk kepantasan dan penyesuaian psikologis, ‘iddah dalam nikah mut’ah selain berfungsi untuk memastikan bahwa perempuan yang baru selesai melakukan mut’ah, tidak mengalami kehamilan.
(Dikutip dari Buku "Syiah Menurut Syiah" Tim Penulis Ahlulbait Indonesia)
Adakah Ayat Al Qur’an Tentang Nikah Mut’ah?
penulis : secondprince
Adakah Ayat Al Qur’an Tentang Nikah Mut’ah?
Syiah menyatakan kalau nikah mut’ah dihalalkan dan terdapat ayat Al Qur’an yang menyebutkannya yaitu An Nisaa’ ayat 24. Salafy yang suka sekali mengatakan nikah mut’ah sebagai zina berusaha menolak klaim Syiah. Mereka mengatakan ayat tersebut bukan tentang nikah mut’ah.
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Dan [diharamkan juga kamu mengawini] wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki [Allah telah menetapkan hukum itu] sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian [yaitu] mencari istri-istri dengan hartamu untuk dinikahi bukan untuk berzina. Maka wanita [istri] yang telah kamu nikmati [istamta’tum] di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana [An Nisaa’ ayat 24]
Telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa “penggalan” An Nisaa’ ayat 24 ini berbicara tentang nikah mut’ah. Hal ini telah diriwayatkan dari sahabat dan tabiin yang dikenal sebagai salafus salih [menurut salafy sendiri]. Alangkah lucunya kalau sekarang salafy membuang jauh-jauh versi salafus salih hanya karena bertentangan dengan keyakinan mereka [kalau nikah mut’ah adalah zina].
Riwayat Para Shahabat Nabi
حدثنا ابن المثنى قال حدثنا محمد بن جعفر قال حدثنا شعبة عن أبي مسلمة عن أبي نضرة قال قرأت هذه الآية على ابن عباس “ فما استمتعتم به منهن ” قال ابن عباس “ إلى أجل مسمى ” قال قلت ما أقرؤها كذلك! قال والله لأنزلها الله كذلك! ثلاث مرات
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Abi Maslamah dari Abi Nadhrah yang berkata : aku membacakan ayat ini kepada Ibnu Abbas “maka wanita yang kamu nikmati [istamta’tum]”, Ibnu Abbas berkata “sampai batas waktu tertentu”. Aku berkata “aku tidak membacanya seperti itu”. Ibnu Abbas berkata “demi Allah, Allah telah mewahyukannya seperti itu” [ia mengulangnya tiga kali] [Tafsir Ath Thabari 6/587 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy]
Riwayat ini sanadnya shahih. Para perawinya tsiqat atau terpercaya. Riwayat ini juga disebutkan Al Hakim dalam Al Mustadrak juz 2 no 3192 dan Ibnu Abi Dawud dalam Al Masahif no 185 semuanya dengan jalan dari Syu’bah dari Abu Maslamah dari Abu Nadhrah dari Ibnu Abbas.
Muhammad bin Mutsanna adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat. Adz Dzahiliy berkata “hujjah”. Abu Hatim berkata shalih al hadits shaduq”. Abu Arubah berkata “aku belum pernah melihat di Bashrah orang yang lebih tsabit dari Abu Musa [Ibnu Mutsanna] dan Yahya bin Hakim”. An Nasa’i berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Khirasy berkata “Muhammad bin Mutsanna termasuk orang yang tsabit”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Khatib berkata “tsiqat tsabit”. Daruquthni berkata “termasuk orang yang tsiqat”. Amru bin ‘Ali menyatakan tsiqat. Maslamah berkata “tsiqat masyhur termasuk hafizh” [At Tahdzib juz 9 no 698]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit” [At Taqrib 2/129]. Adz Dzahabi berkata tsiqat wara’ [Al Kasyf no 5134]
Muhammad bin Ja’far Al Hudzaliy Abu Abdullah Al Bashriy yang dikenal dengan sebutan Ghundar adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ali bin Madini berkata “ia lebih aku sukai daripada Abdurrahman [Ibnu Mahdi] dalam periwayatan dari Syu’bah”. Abu Hatim berkata dari Muhammad bin Aban Al Balkhiy bahwa Ibnu Mahdi berkata “Ghundar lebih tsabit dariku dalam periwayatan dari Syu’bah”. Abu Hatim, Ibnu Hibban dan Ibnu Sa’ad menyatakan tsiqat. Al Ijli menyatakan ia orang bashrah yang tsiqat dan ia adalah orang yang paling tsabit dalam riwayat dari Syu’bah [At Tahdzib juz 9 no 129]
Syu’bah bin Hajjaj adalah perawi kutubus sittah yang telah disepakati tsiqat. Syu’bah seorang yang tsiqat hafizh mutqin dan Ats Tsawri menyebutnya “amirul mukminin dalam hadis” [At Taqrib 1/418]
Abu Maslamah adalah Sa’id bin Yazid bin Maslamah Al Azdi perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Nasa’i, Ibnu Sa’ad, Al Ijli, Al Bazzar menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 4 no 168]. Ibnu Hajar menyatakan tsiqat [At Taqrib 1/367]
Abu Nadhrah adalah Mundzir bin Malik perawi Bukhari dalam At Ta’liq, Muslim dan Ashabus Sunan. Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah, Nasa’i, Ibnu Sa’ad, Ahmad bin Hanbal menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 10 no 528]. Ibnu Hajar menyatakan tsiqat [At Taqrib 2/213]
حدثنا حميد بن مسعدة قال حدثنا بشر بن المفضل قال حدثنا داود عن أبي نضرة قال سألت ابن عباس عن متعة النساء قال أما تقرأ ” سورة النساء ” ؟ قال قلت بلى! قال فما تقرأ فيها ( فما استمتعتم به منهن إلى أجل مسمى ) ؟ قلت لا! لو قرأتُها هكذا ما سألتك! قال : فإنها كذا
Telah menceritakan kepada kami Humaid bin Mas’adah yang berkata telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Mufadhdhal yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud dari Abi Nadhrah yang berkata : aku bertanya kepada Ibnu Abbas tentang nikah mut’ah. Ibnu Abbas berkata : tidakkah engkau membaca surah An Nisaa’?. Aku berkata “tentu”. Tidakkah kamu membaca “maka wanita yang kamu nikmati [istamta’tum] sampai batas waktu tertentu”?. Aku berkata “tidak, kalau aku membacanya seperti itu maka aku tidak akan bertanya kepadamu!. Ibnu Abbas berkata“sesungguhnya seperti itulah” [Tafsir Ath Thabari 6/587 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy].
Riwayat ini juga shahih sanadnya. Humaid bin Mas’adah termasuk perawi Ashabus Sunan dan Muslim. Abu Hatim berkata “shaduq”. Ibnu Hibban memasukkanya dalam Ats Tsiqat. Nasa’i menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 3 no 83]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 1/246]. Adz Dzahabi berkata “shaduq” [Al Kasyf no 1257]. Bisyr bin Mufadhdhal adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Abu Hatim, Abu Zur’ah, Nasa’i, Ibnu Hibban, Al Ijli, Ibnu Sa’ad dan Al Bazzar menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 1 no 844]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit ahli ibadah” [At Taqrib 1/130]. Dawud bin Abi Hind adalah perawi Bukhari dalam At Ta’liq, Muslim dan Ashabus Sunan. Ahmad bin Hanbal berkata “tsiqat tsiqat”. Ibnu Ma’in, Al Ijli, Ibnu Khirasy, Ibnu Sa’ad, Abu Hatim dan Nasa’i menyatakan tsiqat. [At Tahdzib juz 3 no 388]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat mutqin [At Taqrib 1/283].
حدثنا عبد الله حدثنا نصر بن علي قال أخبرني أبو أحمد عن عيسى بن عمر عن عمرو بن مرة عن سعيد بن جبير ” فما استمتعتم به منهن إلى أجل مسمى ” وقال هذه قراءة أبي بن كعب
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Nashr bin ‘Ali yang berkata telah mengabarkan kepadaku Abu Ahmad dari Isa bin ‘Umar dari ‘Amru bin Murrah dari Sa’id bin Jubair “maka wanita yang kamu nikmati [istamta’tum] sampai batas waktu tertentu” ia berkata “ini adalah bacaan Ubay bin Ka’ab” [Al Masahif Ibnu Abi Dawud no 130]
Riwayat ini shahih para perawinya tsiqat. Abdullah adalah Abdullah bin Sulaiman bin Al Asy’at As Sijistani atau yang dikenal dengan Abu Bakar bin Abi Dawud, ia adalah seorang hafizh yang tsiqat dan mutqin [Irsyad Al Qadhi no 576]. Nashr bin Ali Al Jahdhamiy adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit [At Taqrib 2/243]. Abu Ahmad Az Zubairi adalah Muhammad bin ‘Abdullah bin Zubair perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit hanya saja sering salah dalam hadis dari Ats Tsawriy [At Taqrib 2/95]. Isa bin Umar Al Asdiy adalah perawi Tirmidzi dan Nasa’i yang tsiqat [At Taqrib 1/773]. ‘Amru bin Murrah Abu Abdullah Al Kufiy perawi kutubus sittah yang tsiqat dan ahli ibadah [At Taqrib 1/745]. Sa’id bin Jubair Al Asdiy adalah tabiin perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit faqih [At Taqrib 1/349]
Ibnu Jarir juga meriwayatkan bacaan Ubay bin Ka’ab ini dengan jalan sanad dari Abu Kuraib dari Yahya bin Isa dari Nushair bin Abi Al Asy’at dari Ibnu Habib bin Abi Tsabit dari ayahnya dari Ibnu Abbas. [Tafsir Ath Thabari 6/586 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy]. Para perawinya tsiqat kecuali Yahya bin Isa Ar Ramliy
Yahya bin Isa Ar Ramliy adalah perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah. Ahmad bin Hanbal telah menta’dilnya. Al Ijli menyatakan ia tsiqat tasyayyu’. Abu Muawiyah telah menulis darinya. Nasa’i berkata “tidak kuat”. Ibnu Ma’in berkata dhaif atau tidak ada apa-apanya atau tidak ditulis hadisnya. Maslamah berkata “tidak ada masalah padanya tetapi di dalamnya ada kelemahan”. Ibnu Ady berkata “kebanyakan riwayatnya tidak memiliki mutaba’ah” [At Tahdzib juz 11 no 428]. Ibnu Hajar berkata “jujur sering salah dan tasyayyu’” [At Taqrib 2/311-312]. Adz Dzahabi berkata “shuwailih” [Man Tukullima Fihi Wa Huwa Muwatstsaq no 376]. Ibnu Hibban menyatakan kalau ia jelek hafalannya banyak salah sehingga meriwayatkan dari para perawi tsiqat riwayat bathil tidak berhujjah dengannya [Al Majruhin no 1221]. Kesimpulannya Yahya bin Isa Ar Ramliy adalah perawi yang hadisnya bisa dijadikan syawahid dan mutaba’ah.
Ibnu Jarir juga meriwayatkan bacaan Ubay bin Ka’ab ini dengan jalan sanad dari Ibnu Basyaar dari Abdul A’la dari Sa’id dari Qatadah [Tafsir Ath Thabari 6/588 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy]. Ibnu Basyaar adalah Muhammad bin Basyaar seorang perawi kutubus sittah yang tsiqat [At Taqrib 2/58]. Abdul A’la bin Abdul A’laadalah perawi kutubus sittah yang tsiqat [At Taqrib 1/551]. Sa’id bin Abi Arubah adalah perawi kutubus sittah seorang hafizh yang tsiqat mengalami ikhtilat dan orang yang paling tsabit riwayatnya dari Qatadah [At Taqrib 1/360]. Qatadah As Sadusiy adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit [At Taqrib 2/26].
Secara keseluruhan riwayat-riwayat ini saling menguatkan dan menunjukkan kalau bacaan tersebut shahih dari Ubay bin Ka’ab. Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Abbas membaca bacaan tersebut dengan “Famastamta’tum bihi minhunna ila ajali musamma”. Adapun perkataan Ibnu Jarir yang menafikan bacaan kedua sahabat ini merupakan kecerobohan yang nyata
وأما ما روي عن أبيّ بن كعب وابن عباس من قراءتهما ( فما استمتعتم به منهن إلى أجل مسمى ) ، فقراءة بخلاف ما جاءت به مصاحف المسلمين وغير جائز لأحد أن يلحق في كتاب الله تعالى شيئًا لم يأت به الخبرُ القاطعُ العذرَ عمن لا يجوز خلافه
Adapun apa yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Abbas dari bacaan mereka berdua [Famastamta’ tum bihi min hunna ila ajalin musamma], bacaan ini menyelisihi mushhaf kaum muslimin. Tidak diperbolehkan bagi siapapun untuk menambahkan dalam kitab Allah sesuatu yg tidak datang dari khabar yang qath’i dan tidak diperbolehkan menyelisihinya [Tafsir Ath Thabari 6/589 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy]
Komentar Ibnu Jarir ini jika diperhatikan dengan baik jelas mengandung keanehan. Beliau mengesankan kalau Ibnu Abbas dan Ubay bin Ka’ab memiliki bacaan Al Qur’an yang menyelisihi bacaan kaum muslimin dan mengesankan kalau mereka berdua menambahkan sesuatu dalam Kitab Allah. Jika telah shahih dari Ibnu Abbas dan Ubay bin Ka’ab soal bacaan itu maka tidak ada gunanya menafikan tanpa dalil. Yang harus dilakukan bukannya menolak riwayat tersebut tetapi bagaimana menafsirkannya agar tidak berkesan “menambahkan sesuatu dalam kitab Allah” atau mengesankan “terjadinya tahrif Al Qur’an” versi Ibnu Abbas dan Ubay.
Masalah seperti ini bukan barang baru bagi para ulama, bacaan tentang nikah mut’ah ini bukan satu-satunya bacaan yang diriwayatkan secara shahih oleh sahabat tetapi tidak nampak dalam mushaf kaum muslimin. Sebut saja yang paling populer adalahayat rajam. Telah diriwayatkan oleh sahabat mengenai ayat rajam atau bacaan yang mengandung hukum rajam tetapi tidak nampak dalam mushaf kaum muslimin. Apakah ada ulama yang mengatakan bahwa bacaan itu menyelisihi mushaf kaum muslimin dan mesti ditolak?. Tidak, para ulama menafsirkan kalau bacaan tersebut sudah dinasakh tilawah-nya tetapi matan hukumnya tidak.
Lantas apa susahnya mengatakan hal yang sama untuk bacaan Ibnu Abbas dan Ubay bin Ka’ab di atas. Kita dapat mengatakan kalau bacaan “ila ajalin musamma” telah dinasakh tilawah-nya tetapi matan hukumnya tidak. Buktinya Ibnu Abbas mengakui bahwa ayat ini memang diturunkan oleh Allah SWT dan ia berdalil dengannya ketika ada yang bertanya tentang “nikah mut’ah”.
Syubhat Para Pengingkar
Kemudian ada yang berusaha mementahkan ayat nikah mut’ah ini dengan berbagai hadis yang katanya “mutawatir” tentang haramnya mut’ah. Usaha ini pun termasuk sesuatu yang aneh. Karena pada akhirnya apa yang mereka maksud mutawatir itu saling kontradiktif satu sama lain. Mereka sendiri dengan usaha yang “melelahkan”akhirnya menggeser satu demi satu hadis-hadis tersebut hingga tersisa satu hadis pengharaman mut’ah pada saat Fathul Makkah yang hanya diriwayatkan oleh satu orang sahabat. Jadi apanya yang mutawatir? Dan mereka menutup mata dengan berbagai hadis yang diriwayatkan sahabat dimana mereka membolehkan nikah mut’ah.
Syubhat yang paling lucu adalah pernyataan bahwa An Nisaa’ ayat 24 di atas menggunakan kata istimtaa’ bukannya kata mut’ah dan istimtaa’ menurutnya bukan diartikan mut’ah. Sungguh orang seperti ini patut dikasihani, seharusnya ia membuka dulu berbagai riwayat atau hadis untuk melihat bagaimana Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan para sahabat telah menggunakan kata istimtaa’ untuk menyebutkan nikah mut’ah. Berikut diantaranya
حدثنا عمرو بن علي قال نا يحيى بن سعيد عن إسماعيل عن قيس عن عبد الله قال كنا نغزو مع رسول الله صلى الله عليه وسلم وليس معنا نساء فاستأذنه بعضنا أن يستخصي أو قال لو أذنت لنا لاختصينا فلم يرخص لنا ورخص لنا في الاستمتاع بالثوب
Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin ‘Ali yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id dari Ismail dari Qais dari ‘Abdullah yang berkata “kami berperang bersama Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan kami tidak membawa wanita maka sebagian kami meminta zini untuk mengebiri atau berkata sekiranya diizinkan kepada kami untuk mengebiri maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mengizinkan kami dan Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengizinkan kami untuk Istimtaa’ dengan pakaian [Musnad Al Bazzar 5/294 no 1671 dengan sanad yang shahih]
Apakah maksud dari kata Istimtaa’ dengan pakaian di atas. Apakah maksudnya menikahi wanita secara permanen? Atau maksudnya menikahi wanita secara mut’ah?. Penjelasannya ada dalam hadis berikut.
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا وكيع عن بن أبي خالد عن قيس عن عبد الله قال كنا مع النبي صلى الله عليه و سلم ونحن شباب فقلنا يا رسول الله ألا نستخصي فنهانا ثم رخص لنا في ان ننكح المرأة بالثوب إلى الأجل ثم قرأ عبد الله { لا تحرموا طيبات ما أحل الله لكم }
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Ibnu Abi Khalid dari Qais dari Abdullah yang berkata “kami bersama Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan kami masih muda, kami berkata “wahai Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidakkah kami dikebiri?. Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] melarang kami melakukannya kemudian Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] memberi keringanan kepada kami untuk menikahi wanita dengan pakaian sampai waktu yang ditentukan. Kemudian ‘Abdullah membaca [Al Maidah ayat 87] “janganlah kalian mengharamkan apa yang baik yang telah Allah halalkan kepada kalian” [Musnad Ahmad 1/432 no 4113, Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya shahih dengan syarat Bukhari Muslim]
Maka arti kata Istimtaa’ yang digunakan oleh para sahabat adalah “menikahi seorang wanita sampai batas waktu yang ditentukan”. Tidak hanya di hadis ini, bahkan di hadis-hadis yang dijadikan hujjah pengharaman mut’ah, kata yang digunakan untuk menyebutkan “nikah mut’ah” juga dengan lafal istimtaa’.
Riwayat Para Tabi’in
Tafsir An Nisaa’ ayat 24 sebagai dalil bagi nikah mut’ah bukanlah mutlak milik syi’ah tetapi termasuk pemahaman sahabat [Ibnu ‘Abbas dan Ubay] dan tabiin seperti halnya Mujahid [seorang imam dalam tafsir], As Suddiy dan Al Hakam bin Utaibah.
حدثني محمد بن عمرو قال حدثنا أبو عاصم عن عيسى عن ابن أبي نجيح عن مجاهد فما استمتعتم به منهن قال : يعني نكاح المتعة
Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin ‘Amru yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aashim dari ‘Isa dari Ibnu Abi Najih dari Mujahid “maka wanita [istri] yang kamu nikmati [istimta’] diantara mereka”, ia berkata yaitu Nikah Mut’ah [Tafsir Ath Thabari 6/586 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy].
Riwayat ini sanadnya shahih sampai Mujahid. Muhammad bin ‘Amru bin ‘Abbas Al Bahiliy adalah syaikh [guru] Ibnu Jarir Ath Thabari, dan dia seorang yang tsiqat [Tarikh Baghdad 4/213 no 1411]. Abu ‘Aashim adalah Dhahhak bin Makhlad Asy Syaibani seorang perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit [At Taqrib 1/444]. Isa bin Maimun Al Jurasiy Abu Musa adalah seorang yang tsiqat [At Taqrib 1/776]. Abdullah bin Abi Najih Yasaar Al Makkiy adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat dan dikakatan melakukan tadlis [At Taqrib 1/541] tetapi periwayatannya dari Mujahid juga diriwayatkan oleh Bukhari Muslim. Mujahid bin Jabr Al Makkiy adalah perawi kutubus sittah seorang yang tsiqat dan Imam dalam tafsir dan ilmu [At Taqrib 2/159]
حدثنا محمد بن المثنى قال حدثنا محمد بن جعفر قال حدثنا شعبة عن الحكم قال سألته عن هذه الآية والمحصنات من النساء إلا ما ملكت أيمانكم إلى هذا الموضع فما استمتعتم به منهن أمنسوخة هي ؟ قال لا قال الحكم وقال علي رضي الله عنه لولا أن عمر رضي الله عنه نهى عن المتعة ما زنى إلا شقي
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Al Hakam [Syu’bah] berkata aku bertanya kepadanya tentang ayat “dan [diharamakan juga menikahi] wanita yang bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki” sampai pada ayat “maka wanita [sitri] yang telah kamu nikmati [istimta’] diantara mereka” apakah telah dihapus [mansukh]?. [Al Hakam] berkata “tidak” kemudian Al Hakam berkata dan Ali radiallahu ‘anhu telah berkata seandainya Umar radiallahu ‘anhu tidak melarang mut’ah maka tidak ada yang berzina kecuali orang yang celaka [Tafsir Ath Thabari 6/588 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy].
Riwayat ini sanadnya shahih sampai Al Hakam. Muhammad bin Al Mutsanna adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit [At Taqrib 2/129]. Muhammad bin Ja’far Ghundar adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat shahih kitabnya kecuali pernah keliru [At Taqrib 2/63]. Syu’bah bin Hajjaj adalah perawi kutubus sittah yang telah disepakati tsiqat. Syu’bah seorang yang tsiqat hafizh mutqin dan Ats Tsawri menyebutnya “amirul mukminin dalam hadis” [At Taqrib 1/418]. Al Hakam bin Utaibah seorang perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit faqih dikatakan melakukan tadlis [At Taqrib 1/232]. Riwayat Al Hakam menunjukkan kalau ia sendiri menafsirkan bahwa An Nisaa’ ayat 24 itu berkaitan dengan nikah mut’ah sehingga ketika ditanya apakah ayat tersebut telah dihapus ia menjawab “tidak” dan mengutip perkataan Imam Ali tentang mut’ah.
Kesimpulan
Yang dapat disimpulkan pada pembahasan kali ini adalah memang terdapat ayat Al Qur’an yang menghalalkan nikah mut’ah yaitu An Nisaa’ ayat 24 dan telah diriwayatkan dari sahabat dan tabiin [sebagai salafus salih] bahwa ayat tersebut memang berkenaan dengan nikah mut’ah. Kalau begitu bagaimana dengan hadis-hadis pengharaman mut’ah? Ada yang mengatakan kalau hadis-hadis ini telah menasakh ayat tentang nikah mut’ah tetapi tentu pernyataan ini masih perlu diteliti kembali, insya Allah akan dibahas hadis-hadis tersebut didalam thread khusus. Kami ingatkan kepada pembaca jika ada yang menganggap penulis menghalalkan nikah mut’ah berdasarkan postingan ini maka orang tersebut jelas terburu-buru. Pembahasan tentang dalil nikah mut’ah ini masih akan berlanjut dan sampai saat itu selesai kami harap jangan ada yang mengatasnamakan penulis soal hukum nikah mut’ah.
Catatan : Terkait dengan musibah yang menimpa saudara kita di Jepang mari kita sama-sama berdoa agar mereka diberikan kesabaran dan bisa melewati masa sulit ini dengan baik.
Shahih Ayat Tentang Nikah Mut’ah Dalam Mazhab Syi’ah
penulis : secondprince
Shahih Ayat Tentang Nikah Mut’ah Dalam Mazhab Syi’ah
Tulisan ini dibuat dengan tujuan memaparkan kepada para pembaca yang ingin mengenal mazhab Syi’ah secara objektif. Mengapa Syi’ah menghalalkan nikah mut’ah?. Jawaban mereka adalah Al Qur’an dan hadis Ahlul Bait telah menghalalkannya. Kalau kita tanya ayat Al Qur’an mana yang menyatakan tentang nikah mut’ah maka mereka akan menjawab ayat berikut
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Dan [diharamkan juga bagi kamu menikahi] wanita-wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki [Allah telah menetapkan hukum itu] sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian [yaitu] mencari istri-istri dengan hartamu untuk dinikahi bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana [QS An Nisaa’ : 24]
Sebelumnya dalam salah satu tulisan disini, kami sudah menunjukkan kepada pembaca bahwa terdapat dalil shahih dalam kitab Ahlus Sunnah bahwa An Nisa ayat 24 di atas yaitu lafaz “maka istri-istri yang telah kamu nikmati diantara mereka” merujuk pada nikah mut’ah. Silakan lihat selengkapnya disini.
Menurut kami, agak rancu jika pengikut Syi’ah ketika berdalil dengan ayat Nikah mut’ah di atas mengambil hujjah dengan riwayat shahih Ibnu ‘Abbaas yang ada dalam kitab Ahlus Sunnah. Mengapa kami katakan rancu karena hadis ahlus sunnah tidaklah menjadi pegangan bagi kaum Syi’ah begitupun sebaliknya. Untuk perkara diskusi dengan pengikut Ahlus Sunnah memang sangat baik jika Syi’ah berhujjah dengan hadis Ahlus Sunnah tetapi ketika diminta dalil di sisi mereka soal Ayat Nikah Mut’ah maka hadis Ibnu ‘Abbas di atas tidak bisa dijadikan hujjah
Seharusnya yang mereka lakukan adalah membawakan riwayat ahlul bait dalam mazhab Syi’ah sendiri yang menjelaskan kalau ayat tersebut memang tentang Nikah Mut’ah. Begitu banyaknya dari pengikut Syi’ah yang menukil riwayat Ibnu ‘Abbas sehingga berkesan seolah-olah dalam mazhab Syi’ah tidak ada keterangan tentang itu. Oleh karena itu kami berusaha meneliti secara objektif adakah dalil tentang ayat nikah mut’ah di atas dalam kitab hadis Syi’ah.
عدة من أصحابنا، عن سهل بن زياد، وعلي بن إبراهيم، عن أبيه جميعا، عن ابن أبي نجران، عن عاصم بن حميد، عن أبي بصير قال سألت أبا جعفر (عليه السلام) عن المتعة، فقال نزلت في القرآن فما استمتعتم به منهن فآتوهن أجورهن فريضة فلا جناح عليكم فيما تراضيتم به من بعد الفريضة
Dari sekelompok sahabat kami dari Sahl bin Ziyaad. Dan dari ‘Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya, keduanya [Sahl bin Ziyaad dan Ayahnya Aliy bin Ibrahim] dari ‘Ibnu Abi Najraan dari ‘Aashim bin Humaid dari Abi Bashiir yang berkata aku bertanya kepada Abu Ja’far [‘alaihis salaam] tentang Mut’ah?. Beliau berkata telah turun dalam Al Qur’an “Maka istri-istri yang telah kamu nikmati di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu” [Al Kafiy Al Kulainiy 5/448]
Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar Ilmu Rijal Syi’ah. Berikut keterangan mengenai para perawinya
Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680]
Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222]
‘Abdurrahman bin ‘Abi Najraan Abu Fadhl seorang yang tsiqat tsiqat mu’tamad apa yang ia riwayatkan [Rijal An Najasyiy hal 235 no 622]
‘Aashim bin Humaid Al Hanaath seorang yang tsiqat shaduq [Rijal An Najasyiy hal 301 no 821]
Abu Bashiir adalah Laits bin Bakhtariy Al Muradiy seorang yang tsiqat meriwayatkan dari Abu Ja’far dan Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 476]
علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن ابن أبي عمير، عن علي بن الحسن بن رباط، عن حريز، عن عبد الرحمن بن أبي عبد الله قال سمعت أبا حنيفة يسأل أبا عبد الله (عليه السلام) عن المتعة فقال أي المتعتين تسأل قال سألتك عن متعة الحج فأنبئني عن متعة النساء أحق هي فقال سبحان الله أما قرأت كتاب الله عز وجل؟ فما استمتعتم به منهن فآتوهن أجورهن فريضة فقال أبو حنيفة والله فكأنها آية لم أقرأها قط
Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya dari Ibnu ‘Abi Umair dari Aliy bin Hasan bin Rabaath dari Hariiz dari ‘Abdurrahman bin Abi ‘Abdullah yang berkata aku mendengar Abu Hanifah bertanya kepada Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam] tentang Mut’ah. Maka Beliau berkata “apakah engkau bertanya tentang dua Mut’ah?”. [Abu Haniifah] berkata “aku telah bertanya kepadamu tentang Mut’ah haji maka kabarkanlah kepadaku tentang Nikah Mut’ah apakah itu benar?. Beliau berkata “Maha suci Allah, tidakkah engkau membaca Kitab Allah ‘azza wajalla “Maka istri-istri yang telah kamu nikmati di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban”. Abu Haniifah berkata “demi Allah seolah-olah aku belum pernah membaca ayat tersebut” [Al Kafiy Al Kulainiy 5/449-450]
Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar Ilmu Rijal Syi’ah. Berikut keterangan mengenai para perawinya
Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680]
Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222]
Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218]
Aliy bin Hasan bin Rabaath Abu Hasan Al Kuufiy seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 251 no 659]
Hariiz bin ‘Abdullah As Sijistaniy orang kufah yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 118]
‘Abdurrahman bin Abi ‘Abdullah adalah seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 30 no 62 biografi Ismail bin Hamaam cucu ‘Abdurrahman bin Abi ‘Abdullah]
Kedua riwayat shahih dalam kitab Syi’ah di atas membuktikan bahwa dalam mazhab Syi’ah telah shahih dalil kalau ayat An Nisa 24 tersebut adalah berkenaan dengan Nikah Mut’ah.
Syubhat Atas Dalil
Ada syubhat yang disebarkan oleh para pembenci Syi’ah dimana mereka mengatakan bahwa dalam mazhab Syi’ah orang yang menikah mut’ah tidak disifatkan dengan ihshan atau ia bukan termasuk muhshan padahal ayat di atas jelas menggunakan lafal muhshiniin. Berikut dalil dalam kitab Syi’ah yang dimaksud
علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن ابن أبي عمير، عن هشام، وحفص بن البختري عمن ذكره، عن أبي عبد الله عليه السلام في الرجل يتزوج المتعة أتحصنه؟ قال: لا إنما ذاك على الشئ الدائم عنده
‘Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya dari Ibnu Abi ‘Umair dari Hisyaam dan Hafsh bin Bakhtariy dari orang yang menyebutkannya dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] tentang seorang laki-laki yang nikah mut’ah apakah itu membuatnya ihshan?. Beliau berkata “tidak, sesungguhnya hal itu hanyalah atas sesuatu yang da’im di sisinya” [Al Kafiy Al Kulainiy 7/178]
Riwayat di atas dhaif sesuai standar Ilmu Rijal Syi’ah karena di dalam sanadnya terdapat perawi majhul yang tidak disebutkan siapa dia.
أبو علي الأشعري، عن محمد بن عبد الجبار، عن صفوان، عن إسحاق بن عمار قال: سألت أبا إبراهيم عليه السلام عن رجل إذا هو زنى وعنده السرية والأمة يطأها تحصنها الأمة وتكون عنده؟ فقال: نعم إنما ذلك لان عنده ما يغنيه عن الزنى، قلت: فان كانت عنده أمة زعم أنه لا يطأها فقال: لا يصدق، قلت: فإن كانت عنده امرأة متعة أتحصنه؟ قال لا إنما هو على الشئ الدائم عنده
Abu ‘Aliy Al Asy’ariy dari Muhammad bin ‘Abdul Jabbaar dari Shafwaan dari Ishaaq bin ‘Ammaar yang berkata aku bertanya kepada Abu Ibrahim [‘alaihis salaam] tentang seorang laki-laki yang berzina sedangkan di sisinya terdapat budak wanita yang sudah digaulinya, apakah membuat ihshan, budak wanita yang ada di sisinya?. Beliau berkata “benar, sesungguhnya hal itu karena di sisinya terdapat hal yang mencukupkannya dari zina”. Aku berkata “maka jika di sisinya terdapat budak yang ia mengaku bahwa ia tidak menggaulinya”. Beliau berkata “itu tidak dibenarkan”. Aku berkata “maka jika di sisinya ada istri mut’ah apakah itu membuatnya ihshan”. Beliau berkata “tidak, sesungguhnya itu hanyalah atas sesuatu yang da’im di sisinya” [Al Kafiy Al Kulainiy 7/178]
Riwayat ini sanadny muwatstsaq berdasarkan standar Ilmu Rijal Syi’ah. Para perawinya tsiqat termasuk Ishaq bin ‘Ammaar hanya saja ia bermazhab menyimpang Fathahiy. Berikut keterangan mengenai para perawinya
Abu ‘Aliy Al Asy’ariy adalah Ahmad bin Idris seorang yang tsiqat faqih banyak meriwayatkan hadis dan shahih riwayatnya [Rijal An Najasyiy hal 92 no 228
Muhammad bin ‘Abdul Jabbaar seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 391
Shafwaan bin Yahya Abu Muhammad Al Bajalliy seorang yang tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 197 no 524]
Ishaaq bin ‘Ammaar adalah seorang yang tsiqat tetapi bermazhab Fathahiy [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 54]
Ihshan yang dimaksud dalam riwayat di atas adalah sesuatu yang disifatkan pada seseorang untuk menentukan hukuman yang akan ia peroleh jika ia berzina, kalau disifatkan dengan ihshan maka hukumannya rajam kalau tidak disifatkan dengan ihshan maka hukumannya cambuk. Maka ihshan disini adalah istilah khusus yang memiliki kategori-kategori tertentu yang bisa dilihat dalam berbagai riwayat shahih mazhab Syi’ah.
Terdapat dua pendapat dalam mazhab Syi’ah mengenai apakah status nikah mut’ah itu membuat seseorang disifatkan ihshan atau tidak.
Pertama dan ini yang masyhur dari para ulama Syi’ah adalah menyatakan secara mutlak bahwa nikah mut’ah tidak disifatkan ihshan. Dalilnya berdasarkan riwayat di atas dimana mereka memahami lafaz “da’im di sisinya” dengan makna nikah da’im.
Kedua yaitu ada yang mengatakan bahwa nikah mut’ah juga disifatkan dengan ihshan jika istrinya tersebut menetap bersamanya masih bersamanya sebagai istri dan tidak ada halangan untuk menggaulinya. Dalilnya adalah hadis yang menetapkan kriteria muhshan sebagai orang yang di sisinya terdapat wanita yang mencukupkannya dari zina dan tidak ada halangan untuk menggaulinya. Termasuk hadis di atas menjadi dalil, dimana lafaz “da’im di sisinya” ditafsirkan dengan makna menetap bersamanya.
Dalam tulisan ini kami tidak akan membahas secara lebih rinci pendapat mana yang lebih rajih berdasarkan kaidah ilmu dalam mazhab Syi’ah. Kami akan kembali memfokuskan pada syubhat yang dilontarkan oleh para pembenci Syi’ah.
Syubhat mereka adalah dengan adanya riwayat di atas bahwa nikah mut’ah tidak disifatkan dengan ihshan maka hal ini bertentangan dengan An Nisaa’ ayat 24 yang menyebutkan pernikahan tersebut dengan lafaz muhshiniin. Oleh karena itu An Nisaa’ ayat 24 bukan berbicara tentang Nikah Mut’ah.
Syubhat ini jika dianalisis dengan objektif akan tampak tidak nyambung. Sebenarnya mereka mempertentangkan pikiran mereka sendiri. Mereka hanya melihat kesamaan lafaz tanpa memahami bahwa maksud sebenarnya yang diinginkan oleh setiap lafaz itu berbeda. Lafaz Muhshiniin dalam An Nisaa’ ayat 24 itu bermakna orang yang menjaga diri dengan pernikahan. Artinya setiap muslim yang menikah baik itu dengan nikah da’im atau nikah mut’ah maka ia masuk dalam kategori muhshiniin. Apalagi dalam mazhab Syi’ah telah shahih dalilnya bahwa nikah mut’ah masuk kedalam kategori muhshiniin An Nisaa’ ayat 24 sebagaimana telah ditunjukkan sebelumnya.
Adapun lafaz ihshan dalam riwayat di atas terkait istilah yang berkaitan dengan hukum rajam. Lafaz ini memiliki kriteria atau persyaratan sendiri. Dalam mazhab Syi’ah berdasarkan riwayat-riwayat shahih maka tidak semua yang masuk kategori muhshiniin jika berzina disebut ihshan
Bahkan orang yang tidak menikah tetapi memiliki budak wanita yang bisa digaulinya maka ia masuk dalam kategori ihshan berdasarkan riwayat shahih mazhab Syi’ah di atas, walaupun berdasarkan An Nisaa’ ayat 24 dia belum masuk kategori muhshiniin karena belum menikah. Dan orang yang menikah walaupun dengan nikah da’im [masuk dalam kategori muhshiniin] bisa saja dikatakan bukan ihshan berdasarkan riwayat berikut,
عدة من أصحابنا، عن أحمد بن محمد، عن الحسين بن سعيد، عن فضالة بن أيوب، عن رفاعة، قال: سألت أبا عبد الله عليه السلام عن رجل يزني قبل أن يدخل بأهله أيرجم؟ قال: لا
Dari sekelompok sahabat kami dari Ahmad bin Muhammad dari Husain bin Sa’id dari Fadhalah bin Ayuub dari Rifa’ah yang berkata aku bertanya kepada Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] tentang seseorang yang berzina sebelum ia menyetubuhi istrinya, apakah dirajam?. Beliau berkata “tidak” [Al Kafiy Al Kulainiy 7/179]
Di sisi Al Kulainiy lafaz “sekelompok sahabat kami” dari Ahmad bin Muhammad bin Iisa tidak bermakna majhul sebagaimana yang dinukil An Najasyiy
وقال أبو جعفر الكليني: كل ما كان في كتابي عدة من أصحابنا عن أحمد بن محمد بن عيسى، فهم محمد بن يحيى وعلي بن موسى الكميذاني وداود بن كورة وأحمد بن إدريس وعلي بن إبراهيم بن هاشم
Abu Ja’far Al Kulainiy berkata “setiap apa yang ada dalam kitabku, sekelompok sahabat kami dari Ahmad bin Muhamad bin ‘Iisa maka mereka adalah Muhammad bin Yahya, Aliy bin Muusa Al Kumaydzaaniy, Dawud bin Kawrah, Ahmad bin Idris dan Aliy bin Ibrahim bin Haasyim [Rijal An Najasyiy hal 377-378 no 1026]
Maka dari itu sanad riwayat Al Kafiy di atas kedudukannya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah. Berikut keterangan mengenai para perawinya
Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 353 no 946]. Ahmad bin Idris Al Qummiy seorang yang tsiqat faqiih shahih riwayatnya [Rijal An Najasyiy hal 92 no 228]. Aliy bin Ibrahim bin Haasyimseorang yang tsiqat dalam hadis dan tsabit [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680]
Ahmad bin Muhammad bin Iisa Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 351]
Husain bin Sa’id bin Hammaad seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 355]
Fadhalah bin Ayuub Al Azdiy disebutkan oleh An Najasyiy bahwa ia tsiqat dalam hadis dan lurus dalam agamanya [Rijal An Najasyiy hal 310-311 no 850]
Rifa’ah bin Muusa Al Asdiy meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah, seorang yang tsiqat dalam hadisnya [Rijal An Najasyiy hal 166 no 438]
Kesimpulannya adalah lafaz Muhshiniin dalam An Nisaa’ ayat 24 tersebut bukan berarti bermakna ihshaan yang mengharuskan hukuman rajam. Kalau kita melihat ke dalam fiqih ahlus sunnah maka hal serupa ini juga ada yaitu orang yang masuk dalam kategori muhshiniin dengan dasar pernikahan tetapi tidak ditetapkan ihshan. Imam Syafi’i pernah berkata
وإن أصابها في الدبر لم يحصنها
Dan sesungguhnya menggaulinya [istri] di dubur tidak disifatkan ihshan [Al Umm Asy Syafi’i 8/276]
Yang dimaksudkan oleh Imam Syafi’i adalah seorang laki-laki yang baru menikah dan menggauli istrinya bukan pada kemaluan tetapi pada duburnya kemudian ia berzina maka laki-laki tersebut tidak disifatkan ihshan. Bukankah kondisi ini serupa dengan Nikah Mut’ah yaitu masuk dalam kategori muhshiniin tetapi tidak disifatkan dengan ihshan [berdasarkan pendapat yang masyhur dalam mazhab Syi’ah].
Contoh lain sebenarnya dapat dilihat dalam An Nisaa’ ayat 24 tersebut. Dalam ayat tersebut digunakan lafaz Istimta’ dan lafaz ini dalam banyak hadis shahih bermakna Nikah Mut’ah. Kemudian bagaimana tanggapan dari sebagian ulama ahlus sunnah. Mereka membantah bahwa lafaz istimta’ disana bermakna nikah mut’ah. Menurut mereka lafaz istimta’ bermakna bersenang-senang atau mencari kenikmatan dan ini juga berlaku pada nikah da’im.
Jadi dengan kata lain mereka mengatakan bahwa Istimta’ di ayat tersebut adalah nikah da’im bukan nikah mut’ah dan menurut mereka, hal ini tidak bertentangan dengan hadis-hadis yang menggunakan lafaz istimta’ sebagai nikah mut’ah. Bukankah disini mereka sendiri beranggapan bahwa lafaz yang sama antara Al Qur’an dan Hadis tidak selalu menunjukkan arti yang sama. Jadi sebenarnya para pembenci Syi’ah tersebut ketika menyebarkan syubhat di atas mereka secara tidak sadar malah menentang diri mereka sendiri.
Penutup
Dalam tulisan ini kami tidak sedang menyatakan nikah mut’ah sebagai perkara yang halal secara mutlak sebagaimana yang ada dalam mazhab Syi’ah. Kami hanya menunjukkan kepada para pembaca bahwa dalam mazhab Syi’ah dalil nikah mut’ah tersebut ada dan shahih sesuai dengan standar keilmuan mazhab mereka. Kedudukan pengikut Syi’ah dalam hal ini hanya mengikuti pedoman shahih mereka sama seperti kedudukan pengikut Ahlus sunnah yang mengharamkan nikah mut’ah berdasarkan dalil dalam kitab Ahlus Sunnah.
Shahihkah Hadis Syi’ah : Imam Ali Mengharamkan Mut’ah Di Khaibar?
penulis : secondprince
Shahihkah Hadis Syi’ah : Imam Ali Mengharamkan Mut’ah Di Khaibar?
Halalnya Nikah Mut’ah adalah perkara yang diyakini kebenarannya dalam Mazhab Syi’ah dan hal ini berdasarkan hadis-hadis shahih dari Imam Ahlul Bait di sisi mereka. Tidak menjadi masalah jika kaum sunni tidak menerima hal ini [karena terdapat hadis-hadis Sunni yang mengharamkannya].
Diantara kaum sunni tersebut ternyata terdapat para nashibi yang gemar memfitnah Syi’ah. Nashibi tersebut berkata bahwa dalam kitab Syi’ah Imam Aliy telah mengharamkan mut’ah, benarkah demikian. Tulisan ini berusaha menganalisis benarkah tuduhan para nashibi tersebut bahwa dalam mazhab Syi’ah Imam Aliy telah mengharamkan mut’ah. Inilah hadis yang dimaksud
محمد بن يحيى عن أبي جعفر عن أبي الجوزاء عن الحسين بن علوان عن عمرو بن خالد عن زيد بن علي عن آبائه عن علي عليهم السلام قال حرم رسول الله صلى الله عليه وآله يوم خيبر لحوم الحمر الأهلية ونكاح المتعة
Muhammad bin Yahya dari Abi Ja’far dari Abul Jauzaa’ dari Husain bin ‘Ulwan dari ‘Amru bin Khalid dari Zaid bin Aliy dari Ayah-ayahnya dari Aliy [‘alaihis salaam] yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengharamkan pada hari khaibar daging keledai jinak dan Nikah Mut’ah [Tahdzib Al Ahkam, Syaikh Ath Thuusiy 7/251].
Nashibi tersebut menyatakan bahwa para perawi hadis ini semuanya tsiqat berdasarkan standar ilmu hadis Syi’ah. Pernyataan inilah yang akan diteliti kembali berdasarkan ilmu Rijal Syi’ah. Perawi yang akan dipermasalahkan disini adalah Husain bin ‘Ulwan
Husain bin ‘Ulwan telah ditsiqatkan oleh Sayyid Al Khu’iy dalam Mu’jam Rijal Al Hadits no 3508 dan diikuti oleh Muhammad Al Jawahiriy dalam Al Mufiid
الحسين بن علوان: وثقه النجاشي على ما ذكرناه في ترجمة الحسن بن علوان وإن التوثيق راجع إلى الحسين لا إلى الحسن. على أن في كلام ابن عقدة دلالة على وثاقة الحسين بن علوان
Husain bin ‘Ulwan ditsiqatkan oleh An Najasyiy sebagaimana yang kami sebutkan dalam biografi Hasan bin ‘Ulwan bahwa sesungguhnya tautsiq tersebut kembali kepada Al Husain bukan kepada Al Hasan dan sesungguhnya dalam perkataan Ibnu Uqdah terdapat dalil atas tsiqatnya Husain bin ‘Ulwan [Al Mufid Min Mu’jam Rijal Al Hadiits hal 768]
Memang terjadi perselisihan diantara ulama Syi’ah mengenai tautsiq terhadap Husain bin ‘Ulwan. Perselisihan ini disebabkan oleh perbedaan pemahaman mereka terhadap apa yang dikatakan An Najasyiy dalam biografi Husain bin ‘Ulwan. An Najasyiy berkata
الحسين بن علوان الكلبي مولاهم كوفي عامي، وأخوه الحسن يكنى أبا محمد ثقة، رويا عن أبي عبد الله عليه السلام
Al Husain bin ‘Ulwan Al Kalbiy maula mereka, seorang penduduk Kufah dari kalangan ahlus sunnah dan saudaranya Al Hasan dengan kuniyah Abu Muhammad tsiqat, keduanya meriwayatkan dari Abu Abdullah [‘alaihis salaam] [Rijal An Najasyiy hal 52 no 116]
Sebagian ulama Syi’ah memahami bahwa perkataan tsiqat An Najasyiy itu tertuju pada saudaranya Al Husain bin ‘Ulwan yaitu Al Hasan bin ‘Ulwan seperti yang dinyatakan Syaih Aliy Asy Syahruudiy dalam Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadiits 2/432 no 3681 biografi Hasan bin ‘Ulwan Al Kalbiy. Syaikh Ja’far Syubhaniy dalam Kulliyat Fii Ilm Rijal menegaskan bahwa tautsiq yang disebutkan An Najasyiy itu tertuju pada Hasan bin ‘Ulwan Al Kalbiy [Kulliyat Fii Ilm Rijal hal 65].
Ibnu Dawud Al Hilliy dalam kitab Rijal-nya ia memasukkan Hasan bin ‘Ulwan dalam Juz pertama yang memuat daftar perawi tsiqat dan terpuji menurutnya [Rijal Ibnu Dawud hal Al Hilliy 76 no 443]. Sedangkan untuk Husain bin ‘Ulwan, Ibnu Dawud memasukkan namanya dalam juz kedua yang memuat daftar perawi yang majruh dan majhul, ia berkata
الحسين بن علوان الكلبي، مولاهم ق (جش) كوفي عامي
Al Husain bin ‘Ulwan Al Kalbiy, maula mereka, [kitab Najasyiy] penduduk Kufah dari kalangan ahlus sunnah [Rijal Ibnu Dawud hal 240 no 144]
Dari pernyataan Ibnu Dawud Al Hilliy tersebut didapatkan bahwa Ibnu Dawud memahami perkataan An Najasyiy kalau tautsiq tersebut tertuju pada Hasan bin ‘Ulwan sehingga ia memasukkannya dalam juz pertama kitabnya. Sedangkan Husain bin ‘Ulwaan tidak ada tautsiq terhadapnya dari Najasyiy dan yang lainnya maka Ibnu Dawud memasukkannya dalam juz kedua yang memuat daftar perawi majhul dan dhaif.
Hal yang sama juga disebutkan oleh Allamah Al Hilliy dalam Khulasah Al Aqwaal Fii Ma’rifat Ar Rijal, ia memasukkan Hasan bin ‘Ulwan dalam bagian pertama kitabnya yang memuat perawi tsiqat [Khulasah Al Aqwaal, hal 106] dan memasukkan Husain bin ‘Ulwan dalam kitab Khulasah-nya bagian kedua yang memuat daftar perawi dhaif atau yang ia bertawaqquf terhadapnya [Khulasah Al Aqwaal, hal 338]
Sayyid Al Khu’iy yang diikuti Muhammad Al Jawahiriy memahami lafaz tautsiq Najasyiy tertuju pada Husain bin ‘Ulwan karena disitu adalah biografi Husain bin ‘Ulwan. Pernyataan ini tidak menjadi hujjah, karena kalau diperhatikan secara terperinci metode penulisan An Najasyiy dalam kitab-nya maka didapatkan bahwa An Najasyiy sering mentautsiq seorang perawi dalam biografi perawi lain [misalnya saudara atau ayahnya]. Hal ini juga ditegaskan oleh Syaikh Ja’far Syubhaniy dalam Kulliyat Fii Ilm Rijal hal 64
ثم إن الشيخ النجاشي قد ترجم عدة من الرواة ووثقهم في غير تراجمهم، كما أنه لم يترجم عدة من الرواة مستقلا، ولكن وثقهم في تراجم غيرهم
Kemudian Syaikh An Najasyiy telah menulis biografi sejumlah perawi dan mentsiqatkan mereka dalam biografi selain mereka, sama seperti halnya ia tidak menulis biografi sejumlah perawi secara khusus tetapi ia mentsiqatkan mereka dalam biografi selain mereka [Kulliyat Fii Ilm Rijaal, Syaikh Ja’far Syubhaniy hal 64]
Berikut adalah contoh dimana Najasyiy mentautsiq seorang perawi dalam biografi perawi lain
مندل بن علي العنزي واسمه عمرو، وأخوه حيان، ثقتان، رويا عن أبي عبد الله عليه السلام
Mandal bin Aliy Al ‘Anziy namanya ‘Amru, dan saudaranya adalah Hayyaan, keduanya tsiqat, keduanya meriwayatkan dari Abu Abdullah [‘alaihis salaam] [Rijal An Najasyiy hal 422 no 1131]
Jika dilihat secara zahir lafaz perkataan An Najasyiy dalam biografi Husain bin ‘Ulwan maka diketahui bahwa ia sedang menceritakan tentang keduanya tidak hanya Husain bin ‘Ulwan tetapi juga Hasan bin ‘Ulwan, maka kalau kita penggal secara benar adalah sebagai berikut
الحسين بن علوان الكلبي مولاهم كوفي عامي،
وأخوه الحسن يكنى أبا محمد ثقة،
رويا عن أبي عبد الله عليه السلام
Al Husain bin ‘Ulwan Al Kalbiy maula mereka, penduduk Kufah dari kalangan umum [ahlus sunnah]
Dan saudaranya, Al Hasan dengan kuniyah Abu Muhammad seorang yang tsiqat
Keduanya meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam]
Lafaz rawayaa ‘an yang berarti “keduanya meriwayatkan” menunjukkan bahwa Najasyiy sedang menceritakan keduanya. Sehingga susunan kalimat itu akan lebih teratur kalau dipahami bahwa lafaz “tsiqat” itu terikat pada Hasan bukan pada Husain bin ‘Ulwan. Berbeda hal-nya jika dalam biografi tersebut Najasyiy hanya bercerita tentang Husain bin ‘Ulwan saja maka tidak diragukan lafaz tsiqat itu tertuju pada Husain bin ‘Ulwan. Maka dari itu menurut kami yang rajih adalah lafaz tsiqat Najasyiy itu tertuju pada Hasan bin ‘Ulwan sebagaimana diisyaratkan oleh Allamah Al Hiliy, Ibnu Dawud dan ditegaskan oleh Syaikh Ja’far Syubhaniy dan Syaikh Ali Asy Syahruudiy.
Adapun hujjah Sayyid Al Khu’iy dan Muhammad Al Jawahiriy dengan perkataan Ibnu Uqdah seolah menunjukkan tautsiq pada Husain bin ‘Ulwan maka hujjah ini tertolak. Perkataan Ibnu Uqdah tersebut dinukil oleh Allamah Al Hilliy kemudian Sayyid Al Khu’iy sendiri dalam biografi Hasan bin ‘Ulwan berkomentar sebagai berikut
ووثقه ابن عقدة أيضا، ذكره العلامة في ترجمة الحسين بن علوان في القسم الثاني، ولكن طريقه إلى ابن عقدة مجهول، فلا يمكن الاعتماد عليه
Dan ia telah ditsiqatkan Ibnu Uqdah sebagaimana yang telah disebutkan Allamah dalam biografi Husain bin ‘Ulwan dalam bagian kedua, tetapi jalannya sampai ke Ibnu Uqdah adalah majhul maka tidak mungkin berpegang dengannya [Mu’jam Rijal Al Hadits, Sayyid Al Khu’iy no 2929]
Jadi nampak bahwa Sayyid Al Khu’iy mengalami tanaqudh disini, dalam biografi Hasan bin ‘Ulwan ia melemahkan perkataan Ibnu Uqdah tersebut tetapi dalam biografi Husain bin ‘Ulwan ia malah berhujjah dengannya.
Seandainya pun jika perkataan Ibnu Uqdah tersebut shahih maka pernyataan Sayyid Al Khu’iy bahwa dalam perkataan Ibnu Uqdah terdapat tautsiq terhadap Husain bin ‘Ulwaan adalah keliru.
قال ابن عقدة: ان الحسن كان أوثق من أخيه
Ibnu Uqdah berkata bahwa Hasan ia lebih terpercaya dibanding saudaranya [Khulasah Al Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 338]
Zhahir lafaz Ibnu Uqdah adalah tautsiq terhadap Hasan bin ‘Ulwaan dan menurut Sayyid Al Khu’iy di dalamnya terkandung tautsiq juga terhadap Husain saudaranya. Seolah-olah dari lafaz Ibnu Uqdah tersebut dipahami bahwa Husain dan Hasan keduanya tsiqat tetapi Hasan lebih tsiqat dari Husain. Tentu saja ini hanya sekedar dugaan, kami akan beri contoh dari kalangan mutaqaddimin yaitu An Najasyiy lafaz yang mirip dengan lafaz Ibnu Uqdah di atas
الحسن بن محمد بن جمهور العمي أبو محمد بصري ثقة في نفسه، ينسب إلى بني العم من تميم، يروي عن الضعفاء ويعتمد على المراسيل. ذكره أصحابنا بذلك وقالوا: كان أوثق من أبيه
Hasan bin Muhammad bin Jumhuur Al ‘Ammiy Abu Muhammad penduduk Basrah yang pada dasarnya tsiqat, dinasabkan kepada bani ‘Amm dari Tamim, meriwayatkan dari perawi dhaif dan berpegang dengan riwayat-riwayat mursal, demikianlah disebutkan oleh sahabat kami dan mereka berkata “ia lebih terpercaya dibanding ayahnya” [Rijal An Najasyiy hal 62 no 144].
Kemudian apakah dalam lafaz “ia lebih terpercaya dibanding ayahnya” terdapat isyarat tautsiq terhadap ayahnya. Maka perhatikan perkataan An Najasyiy terhadap Muhammad bin Jumhuur
محمد بن جمهورأبو عبد الله العمي ضعيف في الحديث، فاسد المذهب
Muhammad bin Jumhuur Abu ‘Abdullah Al ‘Ammiy dhaif dalam hadis rusak mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 337 no 901]
Dari sini dapat diambil faedah bahwa lafaz “ia lebih terpercaya dari saudaranya” tidak mesti menunjukkan saudaranya juga tsiqat. Jadi pendalilan tautsiq Husain bin ‘Ulwan dengan berlandaskan hujjah perkataan Ibnu Uqdah bukanlah hujjah yang kuat.
Sejauh ini apa yang dapat kita ambil?. Tautsiq Najasyiy sebenarnya ditujukan untuk Hasan bin ‘Ulwan Al Kalbiy bukan Husain kemudian perkataan Ibnu Uqdah bukan hujjah kuat yang membuktikan tautsiq Husain bin ‘Ulwan. Selain Najasyiy dan Ibnu Uqdah, tidak ada ulama lain yang dapat dijadikan sandaran tautsiq bagi Husain bin ‘Ulwan maka pendapat yang rajih tentang Husain bin ‘Ulwan adalah tidak ada lafaz tautsiq yang jelas padanya. Hal ini telah dinyatakan oleh sebagian ulama Syi’ah muta’akhirin
Sayyid Mustafa Khumaini dalam Al Khalal Fii Shalah hal 108
Abdullah Al Mamaqaniy dalam Nata’ij At Tanqiih 1/41 no 2979
Muhaqqiq Al Ardabiliy dalam Majma’ Al Faidah 11/121
Syahid Ats Tsaniy dalam Al Istiqshaa’ Al I’tibaar 3/274
Sayyid Al Khu’iy dalam Kitab Ath Thaharah 8/161
Nampak bahwa Sayyid Al Khu’iy mengalami tanaqudh mengenai pendapatnya terhadap Husain bin ‘Ulwaan Al Kalbiy, dalam salah satu kitabnya ia menyatakan Husain tsiqat tetapi dalam kitabnya yang lain ia menyatakan Husain tidak ada yang mentautsiq-nya.
Sedikit tambahan mengenai Husain bin ‘Ulwan yaitu telah ditekankan oleh An Najasyiy dan diikuti oleh banyak ulama lainnya bahwa Husain bin ‘Ulwan adalah dari kalangan umum atau ahlus sunnah. Maka bagaimanakah hakikat dirinya dalam pandangan ahlus sunnah?.
Abu Hatim berkata tentang Husain bin ‘Ulwan bahwa ia lemah dhaif matruk al hadits. Ibnu Ma’in berkata “pendusta” [Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim 3/61 no 277]. Ibnu Ghulabiy berkata “tidak tsiqat”. Ali bin Madini mendhaifkannya. Abu Yahya Muhammad bin ‘Abdurrahiim berkata “Husain bin ‘Ulwan meriwayatkan dari Hisyam bin ‘Urwah dan Ibnu ‘Ajlan hadis-hadis maudhu’. Shalih bin Muhammad Al Baghdadiy berkata “pemalsu hadis”. Nasa’i dan Daruquthni berkata “matruk al hadits” [Tarikh Baghdad 8/62 no 4138]. Tentu saja kitab ahlus sunnah tidaklah menjadi pegangan di sisi Syi’ah. Kami disini hanya ingin menunjukkan bahwa Husain bin ‘Ulwan dalam pandangan ulama ahlus sunnah dikenal sebagai pendusta dan pemalsu hadis.
Kesimpulan : hadis Imam Aliy mengharamkan nikah mut’ah di sisi Syi’ah kedudukannya dhaif karena Husain bin ‘Ulwan berdasarkan pendapat yang rajih adalah perawi dari kalangan ahlus sunnah dan di sisi Syi’ah tidak ada lafaz tautsiq yang jelas untuknya.
Ibnu Abbas dan Pengharaman Nikah Mut’ah?
penulis : secondprince
Ibnu Abbas dan Pengharaman Nikah Mut’ah?
Diriwayatkan kalau Ibnu Abbas telah menghalalkan mut’ah dan mengizinkan orang lain untuk melakukan mut’ah. Dan diriwayatkan pula kalau Imam Ali menegur Ibnu Abbas dan menyatakan kalau nikah mut’ah telah diharamkan di Khaibar.
حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ أَنَّهُ سَمِعَ الزُّهْرِيَّ يَقُولُ أَخْبَرَنِي الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ وَأَخُوهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِمَا أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لِابْنِ عَبَّاسٍ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُتْعَةِ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ زَمَنَ خَيْبَرَ
Telah menceritakan kepada kami Malik bin Ismail yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Uyainah yang telah mendengar dari Az Zuhriy yang mengatakan telah mengabarkan kepadaku Hasan bin Muhammad bin ‘Aliy dan saudaranya ‘Abdullah bin Muhammad dari ayah keduanya bahwa Ali radiallahu ‘anhu pernah berkata kepada Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang nikah mut’ah dan makan daging himar jinak di masa Khaibar [Shahih Bukhari 7/12 no 5115]
Atsar ini menunjukkan kalau Imam Ali telah mengingatkan Ibnu Abbas bahwa nikah mut’ah telah diharamkan di Khaibar. Peristiwa ini [jika benar] terjadi di masa Imam Ali masih hidup, anehnya setelah peristiwa ini Ibnu Abbas masih saja menghalalkan mut’ah.
وحدثني حرملة بن يحيى أخبرنا ابن وهب أخبرني يونس قال ابن شهاب أخبرني عروة بن الزبير أن عبدالله ابن الزبير قام بمكة فقال إن ناسا أعمى الله قلوبهم كما أعمى أبصارهم يفتون بالمتعة يعرض برجل فناداه فقال إنك لجلف جاف فلعمري لقد كانت المتعة تفعل على عهد إمام المتقين ( يريد رسول الله صلى الله عليه و سلم ) فقال له ابن الزبير فجرب بنفسك فوالله لئن فعلتها لأرجمنك بأحجارك
Telah menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahya yang berkata telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb yang berkata telah mengabarkan kepadaku Yunus yang berkata Ibnu Syihab telah mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair bahwa Abdullah bin Zubair berdiri [menjadi khatib] di Makkah dan berkata sesungguhnya ada orang yang dibutakan Allah mata hatinya sebagaimana Allah telah membutakan matanya yaitu berfatwa bolehnya nikah mut’ah. Ia menyindir seseorang maka orang tersebut memanggilnya dan berkata “sungguh kamu adalah orang yang kaku dan keras demi umurku mut’ah telah dilakukan di zaman Imam orang-orang yang bertakwa [yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Maka Ibnu Zubair berkata “lakukanlah sendiri, demi Allah jika kamu melakukannya maka aku akan merajammu dengan batu” [Shahih Muslim 2/1023 no 1406]
Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menyatakan bahwa yang berdebat dengan Ibnu Zubair di atas adalah Ibnu Abbas radiallahu ‘anhu [Syarh Shahih Muslim 5/88]. Hadis Shahih Muslim di atas menunjukkan bahwa Ibnu Abbas setelah diberitahu Imam Ali bahwa nikah mut’ah diharamkan di Khaibar, ia tetap saja menghalalkan mut’ah. Perhatikan kembali hadis di atas, Ibnu Zubair menyindir Ibnu Abbas bahwa ia seorang yang buta mata hatinya sebagaimana Allah SWT telah membutakan matanya. Ibnu Abbas memang menjadi buta matanya ketika usianya telah lanjut. Hal ini menunjukkan bahwa jauh setelah Imam Ali mengabarkan kepadanya kalau mut’ah itu diharamkan di Khaibar, Ibnu Abbas tetap menghalalkan mut’ah.
Bukankah ini sesuatu yang aneh. Sahabat sekelas Ibnu Abbas tidak menghiraukan larangan Rasululullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang disampaikan oleh Imam Ali. Ada tiga kemungkinan yang terjadi jika kita mengkonfrontir hadis Imam Ali dan hadis tentang Ibnu Abbas di atas.
Atsar Imam Ali itu tidak benar, dalam arti Imam Ali tidak pernah mengabarkan hal itu kepada Ibnu Abbas sehingga Ibnu Abbas tidak tahu kalau nikah mut’ah itu diharamkan di Khaibar.
Atsar Imam Ali itu benar jadi Ibnu Abbas sudah tahu kalau nikah mut’ah diharamkan di Khaibar tetapi ia tetap saja menghalalkannya. Na’udzubillah
Atsar Imam Ali itu benar tetapi Ibnu Abbas tidak mengakui hadis Imam Ali tersebut. Artinya Ibnu Abbas menganggap Imam Ali tidak dipercaya dalam hadis yang disampaikannya. Na’udzubillah
Ketiga kemungkinan ini benar-benar membuat bingung atau silakan ditampilkan jika ada yang punya kemungkinan lain. Soal atsar Imam Ali itu, memang secara zahir sanadnya shahih tetapi matannya diperselisihkan oleh sebagian ulama [idhthirab]. Ada yang mengatakan kalau mut’ah tidak diharamkan di Khaibar karena pada saat itu di Khaibar hanya terdapat wanita yahudi [ahlul kitab] dimana hukum bolehnya menikahi wanita ahlul kitab ditetapkan setelah peristiwa Khaibar. Seandainya atsar Imam Ali itu shahih dan benar maknanya Nikah Mut’ah haram secara mutlak maka Ibnu Abbas itu memang sudah keterlaluan. Telah sampai larangan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] kepadanya tetapi ia tetap saja menghalalkan nikah mut’ah. Ini namanya menghalalkan sesuatu yang ia sudah tahu kalau itu haram, na’udzubillah. Silakan kepada para pembaca sekalian untuk memberikan masukannya dalam perkara ini.
Note : Kami pribadi punya penjelasan sendiri soal hadis Imam ‘Aliy dan sikap Ibnu ‘Abbaas tersebut, hanya saja itu sebaiknya dibahas di tempat lain.
Ibnu Abbas dan Pengharaman Nikah Mut’ah [Bagian Kedua]
penulis : secondprince
Ibnu Abbas dan Nikah Mut’ah [Bagian Kedua]
Berkaitan dengan tulisan sebelumnya dengan judul yang sama, kami membaca tanggapan seorang salafy yang menurut kami tidak valid. Seperti yang pernah kami kemukakan dalam tulisan tersebut “Ibnu Abbas dan Pengharaman Nikah Mut’ah” kami tidak membahas tentang halal atau tidak-nya mut’ah tetapi membahas sikap Ibnu Abbas yang musykil terkait dengan nikah mut’ah.
Pada intinya terdapat riwayat yang menyatakan Ibnu Abbas telah mendengar teguran Imam Ali bahwa nikah mut’ah diharamkan di Khaibar tetapi anehnya setelah itu Ibnu Abbas tetap saja menghalalkan mut’ah. Maka disini terdapat tiga kemungkinan yang kami katakan sebelumnya
Atsar Imam Ali itu tidak benar, dalam arti Imam Ali tidak pernah mengabarkan hal itu kepada Ibnu Abbas sehingga Ibnu Abbas tidak tahu kalau nikah mut’ah itu diharamkan di Khaibar.
Atsar Imam Ali itu benar jadi Ibnu Abbas sudah tahu kalau nikah mut’ah diharamkan di Khaibar tetapi ia tetap saja menghalalkannya. Na’udzubillah
Atsar Imam Ali itu benar tetapi Ibnu Abbas tidak mengakui hadis Imam Ali tersebut. Artinya Ibnu Abbas menganggap Imam Ali tidak dipercaya dalam hadis yang disampaikannya. Na’udzubillah
Salafy yang kebingungan mencoba menjawab ketiga kemungkinan di atas dengan jawaban yang tidak valid dan seperti biasa tampak seperti dalih yang dicari-cari. Mengenai kemungkinan pertama ia berkata
Hadits ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu adalah benar, karena terbukti shahih. Adalah mengigau perkataan sebagian orang Syi’ah lain yang mengatakan hadits tersebut palsu saat ia merasa kebingungan dengan logika bingung yang disampaikan rekannya di atas.
Kami Jawab : perkataan yang ia maksud hadis Imam Ali benar adalah benar atau shahih dari segi sanadnya. Hadis tersebut secara sanad memang shahih. Tetapi yang jadi fokus dalam kemungkinan ini adalah matannya, matannya itu mengandung kemusykilan karena disini terdapat indikasi kalau Ibnu Abbas menolak hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari Imam Ali. Jika kita berasumsi Ibnu Abbas mustahil mendustakan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka kemungkinannya hadis Imam Ali itu tidak benar atau dengan kata lain hadis Imam Ali menegur Ibnu Abbas itu tidak shahih secara matan, inilah maksud dari kemungkinan ini. Bisa pembaca lihat perkataan salafy “terbukti shahih” hanya menunjukkan ia tidak mengerti kemungkinan yang kami katakan. Seolah-olah menurutnya hadis yang bersanad shahih sudah pasti benar dan tidak mungkin keliru. Padahal jika ia rajin membaca, ia dapat melihat berbagai hadis yang sanadnya shahih ternyata matannya tidak shahih [tergantung qarinah yang menentang matan tersebut].
Mengenai kemungkinan kedua dan ketiga salafy itu memberikan jawaban yang aneh yaitu
Ibnu ‘Abbaas tidak menerima perkataan yang disampaikan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum itu bukanlah karena semata-mata tidak menerima hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Hal itu dikarenakan Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu – bersama sebagian kecil shahabat lainnya – juga mempunyai hadits marfu’ yang bertentangan dengan apa yang disampaikan ‘Aliy bin Abi Thaalib, sehingga itu masih samar baginya.
Kami jawab : Kalau salafy itu ingin mengatakan Ibnu Abbas memiliki hadis marfu’ yang bertentangan dengan apa yang disampaikan Imam Ali, maka bukankah itu berarti baik Ibnu Abbas dan Imam Ali sama-sama berpegang kepada hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Jadi secara simple baik pendapat yang menghalalkan mut’ah dan yang mengharamkan mut’ah itu berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kalau dikatakan Ibnu Abbas berpegang pada hadis marfu’ yang ia miliki dan menolak hadis marfu’ Imam Ali, bukankah ini menunjukkan Ibnu Abbas tidak menganggap Imam Ali bisa dipercaya dalam hadis tersebut, kalau ia menganggap Imam Ali bisa dipercaya soal hadis tersebut maka ia akan menerima bahwa mut’ah telah diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Khaibar.
Perlu diketahui pendapat Ibnu Abbas ini ternyata diikuti oleh sebagian besar sahabat, salah satu dalilnya adalah hadis Jabir dimana ia mengatakan kalau “kami melakukan mut’ah pada masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], Abu Bakar dan Umar”. Lafaz “kami” yang diucapkan Jabir merujuk pada sebagian besar sahabat Nabi [sebagaimana yang dikenal dalam Ulumul hadis].
Jadi penolakan Ibnu ‘Abbaas dikarenakan syubhat. Apalagi sebagian shahabat lain ada yang berpendapat sama dengan Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhum karena ketidaktahuannya tentang pelarangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam atas nikah mut’ah hingga hari kiamat.
Baru beberapa saat yang lalu ia mengatakan kalau Ibnu Abbas memiliki hadis marfu’ dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] anehnya sekarang ia mengatakan Ibnu Abbas mengalami syubhat. Ucapan ini hanya “omong-kosong”, tidak ada satupun pernyataan atau petunjuk Ibnu Abbas mengalami syubhat. Telah ternukil banyak perkataan Ibnu Abbas yang menyatakan dengan tegas akan halalnya mut’ah. Jadi dimana syubhat yang salafy itu katakan. Dan perkataan paling aneh adalah soal “ketidaktahuannya tentang pelarangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam”. Siapa yang ia katakan tidak tahu? Ibnu Abbas kah, bukankah Imam Ali telah menyampaikan hadisnya. Sahabat lain mana yang ia maksud, Apakah Jabir bin Abdullah dan sebagian besar sahabat yang bermut’ah di zaman Abu Bakar dan Umar?. Apakah mereka tidak ikut di Khaibar sehingga mereka tidak tahu hadis tersebut. Bukankah Jabir juga meriwayatkan hadis larangan memakan daging keledai di Khaibar, ini berarti Jabir ikut dalam perang Khaibar tetapi mengapa ia tidak tahu hadis pelarangan mut’ah di Khaibar malah tetap menghalalkan mut’ah?.
Soal hadis larangan mut’ah di Fathul Makkah, apakah Imam Ali tidak ikut dalam Fathul Makkah?. Apakah Imam Ali tidak tahu kalau mut’ah telah dibolehkan saat Fathul Makkah?. Artinya pelarangan di Khaibar itu sudah dihapus oleh kebolehan di Fathul Makkah. Bukankah mengingatkan atau menegur seseorang dengan hadis yang sudah dihapus adalah keliru, Kalau memang Imam Ali mengingatkan Ibnu Abbas maka hadis yang seharusnya disebutkan adalah hadis pengharaman di Fathul Makkah bukan di Khaibar. Apakah Imam Ali tidak bisa memahami hal sederhana seperti itu?. Bukankah Jabir dan sebagian besar sahabat lainnya juga ikut dalam Fathul Makkah, lantas mengapa mereka tidak tahu hadis larangan mut’ah di Fathul Makkah padahal kalau menurut hadis Fathul Makkah, Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkhutbah di hadapan banyak orang [para sahabat] pada saat Fathul Makkah.
Adakah salafy mengerti kemusykilan-kemusykilan ini?. Tidak ada, matanya hanya terbentur pada kata mut’ah haram atau mut’ah dilarang, tanpa ia memikirkan bagaimana kaitannya hadis tersebut dengan hadis lain. Tidak jarang ia berhujjah dengan hadis yang ternyata memiliki pertentangan satu sama lain dan ia mencari takwil untuk mendamaikan pertentangan yang dimaksud [seperti biasa takwil kuno yang turun temurun diwariskan]. Kami akan sedikit menyinggung contoh yang ia sebutkan yaitu soal hadis larangan mut’ah pada tahun Al Fath dan pada tahun Authas. Salafy itu mengatakan Tahun Al Fath dan Tahun Authaas dimana Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah membolehkan mut’ah selama tiga hari adalah tahun yang sama, jadi keduanya bisa dijamak dan tidak ada yang perlu dikontradiktifkan.
Kami jawab : ini adalah takwil kuno yang lemah. Lafaz yang digunakan dalam hadis itu adalah ‘Aama Al Fath dan ‘Aama Authas yang diartikannya Tahun Al Fath dan Tahun Authaas. Maksud Al Fath disana adalah merujuk pada peristiwa Fathul Makkah yang terjadi pada tahun 8 H. Jika seorang sahabat membawakan hadis dengan menggunakan lafaz ‘Aama Al Fath maka itu menunjukkan kalau peristiwa yang dimakud terjadi saat Fathul Makkah, bukannya peristiwa itu bisa terjadi di saat kapan saja pada tahun 8 H. Begitu pula jika sahabat membawakan hadis dengan lafaz ‘Aama Authaasmaka maksud sahabat itu adalah peristiwa itu terjadi saat perang Authaas, memang perang Authaas terjadi pada tahun 8 H tetapi bukan berarti lafaz ‘Aama Authas menunjukkan kalau peristiwa itu terjadi di bulan apa saja pada tahun 8 H. Peristiwa Fathul Makkah dan peristiwa Perang Authaas terjadi pada saat yang berbeda dan tempat yang berbeda meskipun keduanya terjadi pada tahun 8 H. Perang Authaas terjadi setelah Fathul Makkah. Jika salafy mengklaim kalau mut’ah telah diharamkan selama-lamanya di Fathul Makkah maka mengapa pula pada saat perang Authaas Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] membolehkannya selama tiga hari.
Kalau salafy itu ingin mengatakan bahwa lafaz ‘Aama Authas yang diucapkan sahabat adalah perstiwa Fathul Makkah, maka alangkah anehnya sahabat itu menyebut peristiwa saat Fathul Makkah dengan lafaz ‘Aama Authaas padahal saat Fathul Makkah belum terjadi perang Authaas. Perlu diketahui Hadis Imam Ali soal larangan mut’ah di Khaibar juga ada yang menggunakan lafaz ‘Aama Khaibar
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ وَالْحَسَنِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِمَا عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمُتْعَةِ عَامَ خَيْبَرَ وَعَنْ لُحُومِ حُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf yang berkata telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Abdullah dan hasan putra Muhammad bin Ali dari Ayah keduanya dari Ali radiallahu ‘anhu yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melarang mut’ah pada tahun Khaibar dan melarang makan daging keledai [Shahih Bukhari 7/95 no 5523]
Hadis Imam Ali di atas menggunakan lafaz ‘Aama Khaibar untuk menunjukkan kalau peristiwa itu terjadi di Khaibar. Apakah karena perang Khaibar terjadi pada tahun 7 H maka dikatakan kalau peristiwa itu bisa saja terjadi pada bulan mana saja pada tahun 7 H?. Misalnya peristiwa itu terjadi pada bulan lain bukan saat perang Khaibar tetapi tetap pada tahun 7 H, apakah para sahabat akan mengatakan dengan lafaz ‘Aama Khaibar? Hanya orang aneh yang tidak mengerti bahasa arab yang akan mengiyakannya. Nah faktanya begitulah yang ditunjukkan salafy, jika kepepet ia akan berpura-pura tidak mengerti bahasa arab yang penting ia mendapatkan dalih untuk membela pendapatnya. Suatu peristiwa yang ditunjukkan dengan lafaz ‘Aama Khaibar maka peristiwa itu terjadi saat perang Khaibar begitu pula jika lafaz yang digunakan ‘Aama Fath dan ‘Aama Authas berarti peristiwa itu terjadi saat Fathul Makkah dan saat perang Authas. Setting tempatnya berbeda [Fathul Makkah dan Authas], waktunya juga berbeda maka peristiwa yang dimaksud adalah dua peristiwa yang berbeda meskipun keduanya terjadi pada tahun 8 H. Belum lagi ditambah dengan adanya hadis shahih bahwa mut’ah diizinkan saat Haji Wada kemudian diharamkan. Padahal Haji Wada itu terjadi setelah Fathul Makkah dan perang Authas. Banyak sekali kemusykilan yang perlu diselesaikan mengenai hadis-hadis mut’ah.
Perkara seperti ini biasa kita temukan dalam riwayat, baik para shahabat, tabi’iy, atau para ulama setelah mereka dalam perselisihan fiqhiyyah. Misalnya saja bagaimana perselisihan sebagian shahabat tentang masalah batal tidaknya shalat seseorang karena dilewati tiga hal. Perselisihan sebagian shahabat tentang sifat buang air kecilnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (apakah boleh sambil berdiri). Masalah ru’yatullah saat Mi’raj. Dan yang lainnya masih banyak. Jadi, perselisihan ini dikarenakan perbedaan hadits yang sampai kepada mereka dan/atau pemahaman terhadap hadits tersebut. Inilah kekayaan fiqh Ahlus-Sunnah yang tidak dimiliki Syi’ah. Silakan dieksplore dalam kitab-kitab fiqh yang ada. Dan silakan rekan-rekan baca bagaimana penyikapan khilaf di antara shahabat, karena shahabat itu bukanlah pribadi sempurnah yang menguasai semua riwayat lagi ma’shum. Tidak terkecuali Ibnu ‘Abbaas dan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum.
Kami jawab : kalimat demi kalimat yang disampaikan salafy itu tidak berkaitan langsung dengan kasus yang kami tunjukkan dimana Imam Ali menyampaikan hadis langsung kepada Ibnu Abbas. Perkara perselisihan sebagian sahabat memang sering terjadi dan itu disebabkan perbedaan hadis yang sampai kepada mereka. Perhatikan pada kata hadis yang sampai pada mereka. Jika telah sampai hadis shahih dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] walaupun itu dari sahabat lain, para sahabat tetap akan mengambil hadis shahih tersebut dan meninggalkan pendapat mereka. Dan kalau mereka tidak mengetahui suatu hadis shahih kemudian sahabat lain menyampaikan hadis shahih dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka mereka akan menerimanya. Tentu lain ceritanya kalau mau dikatakan sahabat yang dimaksud tidak dipercaya oleh sahabat lain maka ada kemungkinan sahabat yang dimaksud belum bisa menerima keshahihan hadis yang disampaikan sahabat lain tersebut.
Salafy itu sebenarnya tahu kemusykilan sikap Ibnu Abbas sehingga pada akhirnya ia mau menyatakan kalau Ibnu Abbas telah ruju’ dari pandangannya dengan membawakan atsar dari Mustakhraj Abu Awanah
قال يونس قال ابن شهاب وسمعت الربيع بن سبرة يحدث عمر بن عبد العزيز ، وأنا جالس أنه ، قال ما مات ابن عباس حتى رجع عن هذه الفتيا
Telah berkata Yuunus : Telah berkata Ibnu Syihaab : Aku mendengar Ar-Rabii’ bin Sabrah menceritakan kepada ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz dan saat itu aku sedang duduk. Ia (Ibnu Sabrah) berkata : “Tidaklah Ibnu ‘Abbaas meninggal hingga ia rujuk dari fatwanya ini (tentang kebolehan nikah mut’ah)” [Diriwayatkan oleh Abu ‘Awaanah no. 4057].
Kami jawab : Tidak ada masalah sebenarnya dengan hadis riwayat Abu Awanah di atas, hanya saja salafy yang dimaksud melakukan kesalahan dalam menerjemahkannya. Hadis di atas adalah penggalan dari hadis berikut
قال يونس قال ابن شهاب : أخبرني الربيع بن سبرة أن أباه قال : كنت استمتعت في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم من امرأة من بني عامر ببردين أحمرين ، ثم نهانا رسول الله صلى الله عليه وسلم عن المتعة قال يونس : قال ابن شهاب : وسمعت الربيع بن سبرة يحدث عمر بن عبد العزيز وأنا جالس أنه قال : ما مات ابن عباس حتى رجع عن هذه الفتيا
Yunus berkata : Ibnu Syihab berkata : telah mengabarkan kepadaku Rabi’ bin Sabrah bahwa ayahnya berkata “aku melakukan mut’ah di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan wanita dari bani ‘Aamir dengan dua kain merah kemudian Beliau melarang kami melakukan mut’ah. Yunus berkata : Ibnu Syihab berkata : dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis itu [yang dari ayahnya sebelumnya] kepada Umar bin Abdul Aziz dan saat itu aku sedang duduk, ia [Ibnu Syihab] berkata “Tidaklah Ibnu Abbas meninggal hingga ia rujuk dari fatwanya ini” [Mustakhraj Abu Awanah no 4057].
Jadi hadis yang diceritakan Rabi’ bin Sabrah kepada Umar bin Abdul Aziz adalah hadis Rabi’ bin Sabrah dari ayahnya bukan hadis Rabi’ bin Sabrah dari Ibnu Abbas karena tidak dikenal Rabi’ meriwayatkan dari Ibnu Abbas. Perkataan terakhir soal Ibnu Abbas adalah perkataan Az Zuhri [Ibnu Syihab] bukan perkataan Rabi’ bin Sabrah seperti menurut terjemahan salafy itu. Ibnu Hajar berkata
وأخرج البيهقي من طريق الزهري قال ما مات بن عباس حتى رجع عن هذه الفتيا وذكره أبو عوانة في صحيحه أيضا
Dan dikeluarkan Al Baihaqi dari jalan Az Zuhri yang berkata “tidaklah Ibnu Abbas wafat hingga ia rujuk dari fatwanya ini” dan disebutkan pula oleh Abu Awanah dalam Shahihnya [Talkhis Al Habiir 3/158 no 1506]
Jelas seperti yang dikatakan Ibnu Hajar kalau perkataan soal ruju’nya Ibnu Abbas adalah perkataan Ibnu Syihab Az Zuhri bukan perkataan Rabi’ bin Sabrah. Riwayat Abu Awanah ini adalah satu kesatuan dengan riwayat perselisihan Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair dalam Shahih Muslim sebelumnya dengan sanad dari Yunus dari Ibnu Syihab, kemudian Ibnu Syihab Az Zuhri juga membawakan hadis Rabi’ bin Sabrah dan ia [Az Zuhri] memberikan komentar akhir kalau Ibnu Abbas telah menarik fatwanya. Jadi pernyataan ruju’nya Ibnu Abbas adalah pendapat Az Zuhri semata yang tidak shahih sanadnya kepada Ibnu Abbas.
Telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa Ibnu Abbas menghalalkan mut’ah, menegaskan tentang Ayat Al Qur’an yang menghalalkan mut’ah kemudian mengkritik Umar dimana Ibnu Abbas yang menyatakan seandainya mut’ah tidak dilarang Umar maka tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang celaka. Ditambah lagi dengan fakta bahwa beberapa sahabat dan murid Ibnu Abbas seperti Atha’ dan Sa’id bin Jubair juga menghalalkan mut’ah. Jadi kabar ruju’nya Ibnu Abbas dari fatwanya itu kabar yang lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah.
Tambahan
Kami melihat bantahan lanjutan dari salafy tersebut. Sungguh tidak bisa dimengerti orang yang sudah biasa bergelut dalam ilmu hadis masih saja serampangan dalam membantah ketika telah jelas ditunjukkan kekeliruannya. Sekali lagi mari kami perjelas, lihat baik-baik terjemahan salafy itu
Telah berkata Yuunus : Telah berkata Ibnu Syihaab : Aku mendengar Ar-Rabii’ bin Sabrah menceritakan kepada ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz dan saat itu aku sedang duduk. Ia(Ibnu Sabrah) berkata : “Tidaklah Ibnu ‘Abbaas meninggal hingga ia rujuk dari fatwanya ini (tentang kebolehan nikah mut’ah)” [Diriwayatkan oleh Abu ‘Awaanah no. 4057].
Yang kami katakan sebagai kesalahan penerjemahan adalah pada kata yang kami cetak tebal. Ia disana adalah Ibnu Syihab Az Zuhriy. Jadi disini maksudnya Yunus berkata kalau ia [Ibnu Syihab Az Zuhri] berkata “tidaklah Ibnu Abbas meninggal hingga ia rujuk dari fatwanya ini”. Perkataan tentang Ibnu Abbas ini bukanlah hadis yang diceritakan Rabi’ bin Sabrah kepada Umar bin Abdul Aziz dimana Ibnu Syihab saat itu sedang duduk. Yang diceritakan Rabi’ bin Sabrah kepada Umar bin Abdul Aziz adalah hadis Rabi’ dari ayahnya dimana ayahnya pernah melakukan mut’ah kemudian Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melarangnya.
Terdapat bukti yang jelas akan hal ini kalau saja salafy itu menelitinya terlebih dahulu bukannya sibuk membantah orang. Abu Awanah bukan satu-satunya yang meriwayatkan hadis ini. Seperti yang kami katakan sebelumnya hadis Abu Awanah no 4057 adalah gabungan hadis yang awalnya menceritakan perselisihan Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair sebagaimana yang tertera dalam Shahih Muslim. Selain Abu Awanah, hadis tersebut diriwayatkan oleh Muslim dan Baihaqi. Perhatikan ketiga riwayat mereka
Riwayat Abu Awanah
حدثنا أحمد بن عبد الرحمن ، قثنا عمي ، ح وحدثنا محمد بن يحيى ، ثنا هارون بن معروف ، وأبو سعيد الجعفي ، قالا : أنبا ابن وهب ، ح وحدثنا محمد بن عوف ، ثنا أصبغ بن الفرج ، عن عبد الله بن وهب ، قال : أخبرني يونس ، عن ابن شهاب ، قال : حدثني عروة بن الزبير ، أن عبد الله بن الزبير ، قام بمكة ، فقال إن ناسا أعمى الله قلوبهم كما أعمى أبصارهم ، يفتون بالمتعة ، يعرض بابن عباس ، قال محمد بن يحيى : برجل ، وقال غيره : ابن عباس ، فناداه ابن عباس : إنك جلف جاف ، فلعمري لقد كانت المتعة تعمل في عهد إمام المتقين ، يريد رسول الله صلى الله عليه وسلم ، فقال له ابن الزبير : فجرب بنفسك ، فوالله لئن فعلتها لأرجمنك بأحجارك ، قال يونس : قال ابن شهاب : وأخبرني خالد بن المهاجر بن سيف الله أنه بينما هو جالس عند ابن عباس جاءه رجل فاستفتاه في المتعة ، فأمره ابن عباس بها ، فقال له ابن أبي عمرة الأنصاري : مهلا يا ابن عباس قال ابن عباس : أما هي والله لقد فعلت في عهد إمام المتقين ، قال ابن أبي عمرة : يا أبا عباس إنها كانت رخصة في أول الإسلام لمن اضطر إليها ، كالميتة ، والدم ، ولحم الخنزير ، ثم أحكم الله الدين ، ونهى عنها قال يونس : قال ابن شهاب : وأخبرني عبيد الله بن عبد الله أن ابن عباس كان يفتي بها ، ويغمص ذلك عليه أهل العلم فأبى ابن عباس أن ينتقل عن ذلك ، حتى طفق بعض الشعراء يقول : يا صاح هل لك في فتيا ابن عباس ؟ هل لك في ناعم خود مبتلة تكون مثواك حتى يصدر الناس ؟ قال : فازداد أهل العلم لها قذرا ، ولها بغضا حين قيل فيها الأشعار قال يونس : قال ابن شهاب : أخبرني الربيع بن سبرة أن أباه قال : كنت استمتعت في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم من امرأة من بني عامر ببردين أحمرين ، ثم نهانا رسول الله صلى الله عليه وسلم عن المتعة قال يونس : قال ابن شهاب : وسمعت الربيع بن سبرة يحدث عمر بن عبد العزيز وأنا جالس أنه قال : ما مات ابن عباس حتى رجع عن هذه الفتيا
Riwayat Muslim dalam Shahih Muslim 2/1023 no 1406
وحدثني حرملة بن يحيى أخبرنا ابن وهب أخبرني يونس قال ابن شهاب أخبرني عروة بن الزبير أن عبدالله ابن الزبير قام بمكة فقال إن ناسا أعمى الله قلوبهم كما أعمى أبصارهم يفتون بالمتعة يعرض برجل فناداه فقال إنك لجلف جاف فلعمري لقد كانت المتعة تفعل على عهد إمام المتقين ( يريد رسول الله صلى الله عليه و سلم ) فقال له ابن الزبير فجرب بنفسك فوالله لئن فعلتها لأرجمنك بأحجارك
قال ابن شهاب فأخبرني خالد بن المهاجر بن سيف الله أنه بينا هو جالس عند رجل جاءه رجل فاستفتاه في المتعة فأمره بها فقال له ابن أبي عمرة الأنصاري مهلا قال ما هي ؟ والله لقد فعلت في عهد إمام المتقين قال ابن أبي عمرة إنها كانت رخصة في أول الإسلام لمن اضطر إليها كالميتة والدم ولحم الخنزير ثم أحكم الله الدين ونهى عنها
قال ابن شهاب وأخبرني ربيع بن سبرة الجهني أن أباه قال قد كنت استمتعت في عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم امرأة من بني عامر ببردين أحمرين ثم نهانا رسول الله صلى الله عليه و سلم عن المتعة قال ابن شهاب وسمعت ربيع بن سبرة يحدث ذلك عمر بن عبدالعزيز وأنا جالس
Riwayat Baihaqi dalam Sunan Baihaqi 7/205 no 13942
وأخبرنا أبو عبد الله الحافظ أنبأ أبو علي الحسين بن علي الحافظ أنبأ محمد بن الحسن بن قتيبة ثنا حرملة بن يحيى أنبأ بن وهب أخبرني يونس قال قال بن شهاب أخبرني عروة بن الزبير أن عبد الله بن الزبير رضي الله عنهما قام بمكة فقال إن ناسا أعمى الله قلوبهم كما أعمى أبصارهم يفتون بالمتعة ويعرض بالرجل فناداه فقال إنك جلف جاف فلعمري لقد كانت المتعة تفعل في عهد إمام المتقين يريد رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال بن الزبير فجرب بنفسك فوالله لئن فعلتها لأرجمنك بأحجارك قال بن شهاب فأخبرني خالد بن المهاجر بن سيف الله أنه بينما هو جالس عند رجل جاءه رجل فاستفتاه في المتعة فقال له بن أبي عمرة الأنصاري مهلا قال ما هي والله لقد فعلت في عهد إمام المتقين قال بن أبي عمرة إنها كانت رخصة في أول الإسلام لمن يضطر إليها كالميتة والدم ولحم الخنزير ثم أحكم الله الدين ونهى عنها قال بن شهاب وأخبرني الربيع بن سبرة الجهني أن أباه قال قد كنت استمتعت في عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم من امرأة من بني عامر ببردين أحمرين ثم نهانا رسول الله صلى الله عليه و سلم عن المتعة قال بن شهاب وسمعت الربيع بن سبرة يحدث ذلك عمر بن عبد العزيز وأنا جالس
Perhatikan baik-baik, pada lafaz hadis yang kami garis bawahi dan hadis yang kami cetak merah riwayat Abu Awanah terjemahannya adalah sebagai berikut
Yunus berkata : Ibnu Syihab berkata : telah mengabarkan kepadaku Rabi’ bin Sabrah bahwa ayahnya berkata “aku melakukan mut’ah di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan wanita dari bani ‘Aamir dengan dua kain merah kemudian Beliau melarang kami melakukan mut’ah. Yunus berkata : Ibnu Syihab berkata : dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis kepada Umar bin Abdul Aziz dan saat itu aku sedang duduk.
Pada lafaz hadis yang kami garis bawahi dan hadis yang kami cetak merah riwayat Muslim terjemahannya adalah sebagai berikut
Ibnu Syihab berkata : dan telah mengabarkan kepadaku Rabi’ bin Sabrah bahwa ayahnya berkata “aku melakukan mut’ah di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan wanita dari bani ‘Aamir dengan dua kain merah kemudian Beliau melarang kami melakukan mut’ah. Ibnu Syihab berkata : dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis yang demikian [dari ayahnya sebelumnya] kepada Umar bin Abdul Aziz dan saat itu aku sedang duduk
Dan begitu pula pada lafaz hadis yang kami garis bawahi dan hadis yang kami cetak merah riwayat Baihaqi, terjemahannya sebagai berikut
Ibnu Syihab berkata : dan telah mengabarkan kepadaku Rabi’ bin Sabrah bahwa ayahnya berkata “aku melakukan mut’ah di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan wanita dari bani ‘Aamir dengan dua kain merah kemudian Beliau melarang kami melakukan mut’ah. Ibnu Syihab berkata : dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis yang demikian [dari ayahnya sebelumnya] kepada Umar bin Abdul Aziz dan saat itu aku sedang duduk
Dari ketiga riwayat di atas [Abu Awanah, Baihaqi dan Muslim] dapat diketahui kalau sebenarnya hadis yang diceritakan oleh Rabi’ bin Sabrah kepada Umar bin Abdul Aziz dimana saat itu Ibnu Syihab Az Zuhri sedang duduk adalah hadis Rabi’ bin Sabrah dari ayahnya sebelumnya dimana ayahnya pernah melakukan mut’ah kemudian Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melarangnya. Sedangkan tambahan akhir pada riwayat Abu Awanah adalah perkataan Yunus kalau Ibnu Syihab Az Zuhri berkata “tidaklah Ibnu Abbas wafat hingga ia rujuk dari fatwanya ini”. Hal ini bahkan telah jelas dinyatakan oleh Ibnu Hajar kalau itu adalah perkataan Az Zuhri.
Secara keseluruhan Ibnu Syihab Az Zuhri menceritakan hadis perselisihan Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair tentang mut’ah dimana Ibnu Abbas menghalalkannya dan Ibnu Zubair mengharamkannya kemudian Ibnu Syihab Az Zuhri mengutip hadis lain dimana Rabi’ bin Sabrah meriwayatkan dari ayahnya kalau mut’ah telah dilarang Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dimana hadis itu diceritakan Rabi’ bin Sabrah kepada Umar bin Abdul Aziz ketika Ibnu Syihab Az Zuhri duduk bersamanya. Sebagai penutup Ibnu Syihab mengakhiri dengan perkataannya kalau Ibnu Abbas telah rujuk dari fatwanya. Ini semua disampaikan oleh Ibnu Syihab Az Zuhri kepada Yunus bin Yazid. Jadi terjemahan yang tepat untuk lafaz akhir Abu Awanah
قال يونس : قال ابن شهاب : وسمعت الربيع بن سبرة يحدث عمر بن عبد العزيز وأنا جالسأنه قال : ما مات ابن عباس حتى رجع عن هذه الفتيا
Yunus berkata Ibnu Syihab berkata dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis [yaitu riwayat dari ayahnya sebelumnya] kepada Umar bin Abdul Aziz dimana saat itu aku sedang duduk. [Yunus berkata] Ia [Ibnu Syihab Az Zuhri] berkata “tidaklah Ibnu Abbas wafat hingga ia rujuk dari fatwanya ini”.
Dengan merujuk pada riwayat Muslim dan Baihaqi maka perkataan Yunus berkata Ibnu Syihab berkata dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis kepada Umar bin Abdul Aziz dimana saat itu aku sedang duduk adalah terikat dengan perkataan sebelumnya dan hadis yang dimaksud adalah hadis Rabi’ bin Sabrah dari ayahnya tentang larangan mut’ah. Sedangkan lafaz annahu qalaa : tidaklah Ibnu Abbas wafat hingga ia rujuk dari fatwanya tidak terkait dengan hadis Rabi’ bin Sabrah, lafaz ini adalah lafaz Yunus bin Yazid dan hu dalam kata annahu merujuk pada Ibnu Syihab Az Zuhri. Ingat riwayat Muslim dan Baihaqi berhenti pada kata wa ana jalis kalau perkataan tentang Ibnu Abbas adalah hadis Ibnu Sabrah maka bagaimana menjelaskan hadis riwayat Muslim dan Baihaqi yang terpotong pada kata wa ana jalis. Apalagi dalam Talkhis Al Habir Ibnu Hajar telah menyebutkan kalau perkataan tentang Ibnu Abbas itu adalah perkataan Az Zuhri.
Nah bukti-bukti telah ditunjukkan, kalau Salafy itu masih berkeras kepala ya silakan saja. Bukankah salah satu bentuk kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain?. Agak sedikit aneh, biasanya salafy itu memiliki metode mengumpulkan riwayat yang sama dari berbagai sumber baru kemudian menarik kesimpulan walaupun kami juga harus mengakui bahwa ini bukan pertama kalinya salafy itu melakukan kesalahan penerjemahan karena lalai memperhatikan hadis yang sama dari kitab lain. Mungkin pembaca masih ingat dengan diskusi kami dengannya soal hadis Ibnu Zubair yang ia kira sebagai hadis Sa’id bin Al ‘Ash, itu kesalahan penerjemahan karena tidak memperhatikan hadis yang sama dalam kitab-kitab lain.
Bagaimana? Bukankah jelas tidak ada satupun penjelasan salafy itu yang memuaskan. Ia hanya sibuk dengan usahanya mengharamkan mut’ah dengan dalil-dalil yang sudah sangat dikenal [baik yang pro dan yang kontra]. Kalau cuma sibuk membawakan dalil, maka baik yang mengharamkan dan yang menghalalkan sama-sama memiliki dalil. Yang harusnya dibahas panjang lebar adalah bagaimana caranya menyelesaikan kemusykilan yang tampak dari berbagai dalil tersebut kalau cuma mengulang apologi dan dalih kuno yang ternyata masih banyak lubangnya maka apalah gunanya. Apalagi berbasa-basi menyindir kalau hadis Imam Ali itu keliru maka Imam Ali kalah alim dari Ibnu Abbas? Lha apa salafy itu gak berpikir dengan benar, dengan logika salafy itu kalau hadis Imam Ali benar apakah Imam Ali itu juga kalah alim dari Sabrah? karena hadis larangan di Khaibar sudah dihapuskan dengan kebolehan di Fathul Makkah.
Dan sindiran lain salafy itu, seandainya riwayat Imam Ali palsu atau tidak ada. Kira-kira apa sikap yang seharusnya ada pada diri ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu atas pelarangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam nikah mut’ah ?. Menyelisihi atau menyepakati Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?. Kok salafy ini tidak bisa berpikir dengan baik, kenapa ia tidak berpikir kira-kira apa sikap seharusnya ada pada diri Ibnu Abbas radiallahu ‘anhu atas pelarangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang nikah mut’ah?. Menyelisihi atau menyepakati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?. Riwayatnya sudah jelas ada, eh salafy itu malah memakai bahasa sindiran yang seharusnya menyindir dirinya sendiri. Apa ia mampu menjawab sikap Ibnu Abbas? Harusnya bagaimana?. Begitulah akibatnya kalau membantah dahulu berpikir kemudian walhasil bantahannya gak kena malah berbalik menjadi boomerang. Salam Damai
Catatan :
Pandangan kami soal kemusykilan hadis Imam Ali dan Ibnu Abbas akan dibahas dalam postingan khusus sedangkan tulisan di atas hanya menunjukkan kalau bantahan salafy itu tidak valid
Mohon maaf kalau dalam satu bulan ini blog secondprince tidak diupdate. Hal ini disebabkan keterbatasan untuk mengakses blog ini dengan baik. Yah situ pasti tahulah [bagi yang mengerti masalahnya]
Apakah Ibnu Abbas Ruju’ Dari Fatwanya Tentang Mut’ah?
penulis : secondprince
Apakah Ibnu Abbas Ruju’ Dari Fatwanya Tentang Mut’ah?
Jawabannya tidak, tidak ada riwayat shahih yang menunjukkan Ibnu Abbas ruju’ dari fatwanya yang menghalalkan mut’ah. Sebaliknya Ibnu Abbas menyatakan halalnya mut’ah dengan berdalil Al Qur’anul Karim dan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Sampai akhir hayatnya Ibnu Abbas tetap memfatwakan halalnya nikah mut’ah, sehingga masyhur dalam sejarah bahwa murid dan sahabat-sahabat Ibnu Abbas [bahkan setelah Ibnu Abbas wafat] tetap menghalalkan mut’ah seperti Thawus, Mujahid, Sa’id bin Jubair dan Atha’ bin Abi Rabah.
Salafy yang kebingungan dengan sikap Ibnu Abbas ternyata mencatut riwayat [yang ia katakan shahih] kalau Ibnu Abbas telah ruju’ dari pandangannya. Riwayat yang dimaksud sebenarnya telah kami bahas dalam tulisan sebelumnya yaitu Riwayat Abu Awanah
قال يونس قال ابن شهاب : أخبرني الربيع بن سبرة أن أباه قال : كنت استمتعت في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم من امرأة من بني عامر ببردين أحمرين ، ثم نهانا رسول الله صلى الله عليه وسلم عن المتعة قال يونس : قال ابن شهاب : وسمعت الربيع بن سبرة يحدث عمر بن عبد العزيز وأنا جالس أنه قال : ما مات ابن عباس حتى رجع عن هذه الفتيا
Yunus berkata : Ibnu Syihab berkata : telah mengabarkan kepadaku Rabi’ bin Sabrah bahwa ayahnya berkata “aku melakukan mut’ah di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan wanita dari bani ‘Aamir dengan dua kain merah kemudian Beliau melarang kami melakukan mut’ah. Yunus berkata : Ibnu Syihab berkata : dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis itu [yang dari ayahnya sebelumnya] kepada Umar bin Abdul Aziz dan saat itu aku sedang duduk. Ia [Ibnu Syihab] berkata “Tidaklah Ibnu Abbas meninggal hingga ia rujuk dari fatwanya ini” [Mustakhraj Abu Awanah no 4057].
Salafy berhujjah dengan hadis di atas bahwa yang berkata Ibnu Abbas ruju’ dari fatwanya itu adalah Rabi’ bin Sabrah. Sehingga ia menerjemahkan Ia [Ibnu Sabrah] berkata “tidaklah Ibnu Abbas meninggal hingga ia rujuk dari fatwanya”. Kami telah menunjukkan bahwa terjemahan tersebut keliru, yang benar adalah seperti yang kami tuliskan di atas. Tetapi yang namanya salafy tidak peduli apakah benar atau tidak yang penting ia mendapatkan dalih untuk membela keyakinannya. Mungkin Salafy yang aneh bin ajaib itu mengira kalau hadis di atas itu adalah dua riwayat Ibnu Sabrah yang terpisah yaitu
قال يونس قال ابن شهاب : أخبرني الربيع بن سبرة أن أباه قال : كنت استمتعت في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم من امرأة من بني عامر ببردين أحمرين ، ثم نهانا رسول الله صلى الله عليه وسلم عن المتعة
Yunus berkata : Ibnu Syihab berkata : telah mengabarkan kepadaku Rabi’ bin Sabrah bahwa ayahnya berkata “aku melakukan mut’ah di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan wanita dari bani ‘Aamir dengan dua kain merah kemudian Beliau melarang kami melakukan mut’ah
قال يونس : قال ابن شهاب : وسمعت الربيع بن سبرة يحدث عمر بن عبد العزيز وأنا جالس أنه قال : ما مات ابن عباس حتى رجع عن هذه الفتي
Yunus berkata : Ibnu Syihab berkata : dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis kepada Umar bin Abdul Aziz dan saat itu aku sedang duduk. Ia [Ibnu Sabrah] berkata “Tidaklah Ibnu Abbas meninggal hingga ia rujuk dari fatwanya ini
Terjemahan di atas memang tampak benar bagi mereka yang belum meneliti riwayat tersebut. Seperti yang telah kami tunjukkan riwayat tersebut bukannya terpisah seperti itu, melainkan satu riwayat Ibnu Sabrah dari ayahnya soal pelarangan mut’ah. Perhatikan riwayat-riwayat berikut
قال ابن شهاب وأخبرني ربيع بن سبرة الجهني أن أباه قال قد كنت استمتعت في عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم امرأة من بني عامر ببردين أحمرين ثم نهانا رسول الله صلى الله عليه و سلم عن المتعة قال ابن شهاب وسمعت ربيع بن سبرة يحدث ذلك عمر بن عبدالعزيز وأنا جالس
Ibnu Syihab berkata dan mengabarkan kepadaku Rabi’ bin Sabrah Al Juhaniy bahwa ayahnya berkata “aku melakukan mut’ah di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan wanita dari bani ‘Aamir dengan dua kain merah kemudian Beliau melarang kami melakukan mut’ah”. Ibnu Syihab berkata dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis itu kepada Umar bin ‘Abdul Aziz dan saat itu aku sedang duduk [Shahih Muslim 2/1023 no 1406]
قال بن شهاب وأخبرني الربيع بن سبرة الجهني أن أباه قال قد كنت استمتعت في عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم من امرأة من بني عامر ببردين أحمرين ثم نهانا رسول الله صلى الله عليه و سلم عن المتعة قال بن شهاب وسمعت الربيع بن سبرة يحدث ذلك عمر بن عبد العزيز وأنا جالس
Ibnu Syihab berkata dan mengabarkan kepadaku Rabi’ bin Sabrah Al Juhaniy bahwa ayahnya berkata “aku melakukan mut’ah di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan wanita dari bani ‘Aamir dengan dua kain merah kemudian Beliau melarang kami melakukan mut’ah”. Ibnu Syihab berkata dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis itu kepada Umar bin ‘Abdul Aziz dan saat itu aku sedang duduk [Sunan Baihaqi 7/205 no 13942]
قال بن شهاب وأخبرني ربيع بن سبرة الجهني ان أباه قال قد كنت استمتعت في عهد النبي صلى الله عليه و سلم من امرأة من بني عامر ببردين أحمرين ثم نهانا رسول الله صلى الله عليه و سلم عن المتعة قال بن شهاب وسمعت ربيع بن سبرة يحدث ذلك عمر بن عبد العزيز وأنا جالس
Ibnu Syihab berkata dan mengabarkan kepadaku Rabi’ bin Sabrah Al Juhaniy bahwa ayahnya berkata “aku melakukan mut’ah di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan wanita dari bani ‘Aamir dengan dua kain merah kemudian Beliau melarang kami melakukan mut’ah”. Ibnu Syihab berkata dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis itu kepada Umar bin ‘Abdul Aziz dan saat itu aku sedang duduk [Tahdzib Al Kamal biografi Khalid bin Muhajir no 1654]
حدثنا محمد حدثني عيسى بن يونس الرملي ، ثنا أيوب بن سويد ، حدثني ابن شهاب محمد بن مسلم ، أخبرني الربيع بن سبرة الجهني أن أباه قال : كنت استمتعت في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم من امرأة من بني عامر ببردين أحمرين ، ونهانا رسول الله صلى الله عليه وسلم عن المتعة قال : وسمعت الربيع بن سبرة يحدث ذلك عمر بن عبد العزيز وأنا جالس
Telah menceritakan kepada kami Muhammad telah menceritakan kepadaku Isa bin Yunus Ar Ramliy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ayub bin Suwaid yang berkata telah menceritakan kepadaku Ibnu Syihab Muhammad bin Muslim yang berkata telah mengabarkan kepadaku Rabi’ bin Sabrah Al Juhaniy bahwa ayahnya berkata “aku melakukan mut’ah di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan wanita dari bani ‘Aamir dengan dua kain merah kemudian Beliau melarang kami melakukan mut’ah”. [Ibnu Syihab] berkata dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis itu kepada Umar bin ‘Abdul Aziz dan saat itu aku sedang duduk [Musnad Umar bin Abdul Aziz Al Baghandiy no 73]
Hadis-hadis diatas memiliki lafaz yang serupa dengan riwayat Abu Awanah. Jadi riwayat Abu Awanah itu hanya memuat satu riwayat Ibnu Sabrah yaitu riwayat dari ayahnya tentang larangan mut’ah. Maka pembagian yang benar adalah Bagian pertama berupa
قال يونس قال ابن شهاب : أخبرني الربيع بن سبرة أن أباه قال : كنت استمتعت في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم من امرأة من بني عامر ببردين أحمرين ، ثم نهانا رسول الله صلى الله عليه وسلم عن المتعة قال يونس : قال ابن شهاب : وسمعت الربيع بن سبرة يحدث عمر بن عبد العزيز وأنا جالس
Yunus berkata : Ibnu Syihab berkata : telah mengabarkan kepadaku Rabi’ bin Sabrah bahwa ayahnya berkata “aku melakukan mut’ah di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan wanita dari bani ‘Aamir dengan dua kain merah kemudian Beliau melarang kami melakukan mut’ah. Yunus berkata : Ibnu Syihab berkata : dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis itu [yang dari ayahnya sebelumnya] kepada Umar bin Abdul Aziz dan saat itu aku sedang duduk.
Bagian pertama ini sama dengan riwayat Muslim, Baihaqi, Al Mizziy dan Al Baghandiy di atas yang menunjukkan bahwa hadis yang diceritakan oleh Rabi’ bin Sabrah kepada Umar bin ‘Abdul Aziz dimana saat itu Az Zuhri sedang duduk adalah hadis Rabi’ bin Sabrah dari Ayahnya tentang larangan mut’ah bukan tentang Ibnu Abbas. Hanya saja dalam riwayat Abu Awanah, ia tidak menuliskan lafaz “dzalik” yang artinya [itu] atau [demikian] setelah lafaz “yuhadditsu” yang artinya [menceritakan hadis]. Terlepas dari apakah ini kekeliruan Abu Awanah atau bukan, tetapi penghilangan lafaz “dzalik” itu ternyata berakibat fatal. Contoh kesesatan yang ditimbulkan hilangnya lafaz “dzalik” itu ya terlihat dari ulah salafy. Lafaz yang seharusnya berbunyi
وسمعت الربيع بن سبرة يحدث ذلك عمر بن عبد العزيز وأنا جالس
dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis itu kepada Umar bin ‘Abdul Aziz
Dimana dengan lafaz ini maka hadis yang dimaksudkan oleh Ibnu Syihab Az Zuhri diceritakan Rabi’ bin Sabrah kepada Umar bin ‘Abdul Aziz adalah hadis Sabrah sebelumnya tentang larangan mut’ah. Tetapi dengan penghilangan lafaz “dzalik”menjadi
وسمعت الربيع بن سبرة يحدث عمر بن عبد العزيز وأنا جالس
dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis kepada Umar bin Abdul Aziz
Maka salafy yang aneh itu keliru menisbatkan hadis yang dimaksud kepada perkataan setelahnya yaitu tentang ruju’nya Ibnu Abbas padahal yang dimaksud Ibnu Syihab Az Zuhri adalah hadis Rabi’ Bin Sabrah dari ayahnya sebelumnya. Jadi kata [menceritakan hadis] dan kata [menceritakan hadis itu] bisa menimbulkan perbedaan, kata [menceritakan hadis itu] menunjukkan kalau hadis yang dimaksud sudah disebutkan sebelumnya sedangkan lafaz [menceritakan hadis] seolah-olah hadis yang dimaksud belum disebutkan sebelumnya atau baru mau akan disebutkan. Riwayat yang tsabit adalah dengan lafaz “dzalik” sebagaimana yang tampak dalam riwayat Muslim, Baihaqi, Al Mizziy dan Al Baghandiy. Hilangnya lafaz “dzalik” dalam riwayat Abu Awanah bisa karena kekeliruannya atau kekeliruan dari naskah kitab Abu Awanah.
Bagian kedua dari riwayat Abu Awanah adalah terpisah dari bagian sebelumnya dimana disitu terdapat orang yang berkata kalau Ibnu Abbas telah ruju’ dari fatwanya.
أنه قال : ما مات ابن عباس حتى رجع عن هذه الفتيا
Ia [Ibnu Syihab] berkata “Tidaklah Ibnu Abbas meninggal hingga ia rujuk dari fatwanya ini”
Kami menyatakan kalau orang tersebut Ibnu Syihab dan lafaz ini adalah lafaz yang diucapkan oleh Yunus bin Yazid dan dituliskan secara langsung oleh Abu Awanah. Bukti akan hal ini adalah apa yang disebutkan oleh Ibnu Hajar
وأخرج البيهقي من طريق الزهري قال ما مات بن عباس حتى رجع عن هذه الفتيا وذكره أبو عوانة في صحيحه أيضا
Dan dikeluarkan Al Baihaqi dari jalan Az Zuhri yang berkata “tidaklah Ibnu Abbas wafat hingga ia rujuk dari fatwanya ini”, dan disebutkan pula oleh Abu Awanah dalam shahihnya [Talkhis Al Habiir 3/158 no 1506]
Ibnu Hajar sangat jelas menisbatkan perkataan “tidaklah Ibnu Abbas wafat hingga ia rujuk dari fatwanya ini” sebagai perkataan Az Zuhri bukan perkataan Rabi’ bin Sabrah. Salafy yang aneh itu merasa rancu dengan potongan kalimat seperti itu, padahal kalau setiap bagian hadis dituliskan sanadnya dengan lengkap maka tidak akan ada yang rancu. Untuk melihat sanad lengkapnya maka perhatikanlah riwayat lengkap Abu Awanah
حدثنا أحمد بن عبد الرحمن ، قثنا عمي ، ح وحدثنا محمد بن يحيى ، ثنا هارون بن معروف ، وأبو سعيد الجعفي ، قالا : أنبا ابن وهب ، ح وحدثنا محمد بن عوف ، ثنا أصبغ بن الفرج ، عن عبد الله بن وهب ، قال : أخبرني يونس ، عن ابن شهاب ، قال : حدثني عروة بن الزبير ، أن عبد الله بن الزبير ، قام بمكة ، فقال إن ناسا أعمى الله قلوبهم كما أعمى أبصارهم ، يفتون بالمتعة ، يعرض بابن عباس ، قال محمد بن يحيى : برجل ، وقال غيره : ابن عباس ، فناداه ابن عباس : إنك جلف جاف ، فلعمري لقد كانت المتعة تعمل في عهد إمام المتقين ، يريد رسول الله صلى الله عليه وسلم ، فقال له ابن الزبير : فجرب بنفسك ، فوالله لئن فعلتها لأرجمنك بأحجارك ، قال يونس : قال ابن شهاب : وأخبرني خالد بن المهاجر بن سيف الله أنه بينما هو جالس عند ابن عباس جاءه رجل فاستفتاه في المتعة ، فأمره ابن عباس بها ، فقال له ابن أبي عمرة الأنصاري : مهلا يا ابن عباس قال ابن عباس : أما هي والله لقد فعلت في عهد إمام المتقين ، قال ابن أبي عمرة : يا أبا عباس إنها كانت رخصة في أول الإسلام لمن اضطر إليها ، كالميتة ، والدم ، ولحم الخنزير ، ثم أحكم الله الدين ، ونهى عنها قال يونس : قال ابن شهاب : وأخبرني عبيد الله بن عبد الله أن ابن عباس كان يفتي بها ، ويغمص ذلك عليه أهل العلم فأبى ابن عباس أن ينتقل عن ذلك ، حتى طفق بعض الشعراء يقول : يا صاح هل لك في فتيا ابن عباس ؟ هل لك في ناعم خود مبتلة تكون مثواك حتى يصدر الناس ؟ قال : فازداد أهل العلم لها قذرا ، ولها بغضا حين قيل فيها الأشعار قال يونس : قال ابن شهاب : أخبرني الربيع بن سبرة أن أباه قال : كنت استمتعت في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم من امرأة من بني عامر ببردين أحمرين ، ثم نهانا رسول الله صلى الله عليه وسلم عن المتعة قال يونس : قال ابن شهاب : وسمعت الربيع بن سبرة يحدث عمر بن عبد العزيز وأنا جالس أنه قال : ما مات ابن عباس حتى رجع عن هذه الفتيا
Dengan melengkapi sanadnya berdasarkan sanad di bagian awal maka sanad lengkap kedua bagian tersebut adalah
حدثنا أحمد بن عبد الرحمن ، قثنا عمي ، ح وحدثنا محمد بن يحيى ، ثنا هارون بن معروف ، وأبو سعيد الجعفي ، قالا أنبا ابن وهب ، ح وحدثنا محمد بن عوف ، ثنا أصبغ بن الفرج ، عن عبد الله بن وهب قال قال يونس قال ابن شهاب : أخبرني الربيع بن سبرة أن أباه قال : كنت استمتعت في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم من امرأة من بني عامر ببردين أحمرين ، ثم نهانا رسول الله صلى الله عليه وسلم عن المتعة قال يونس : قال ابن شهاب : وسمعت الربيع بن سبرة يحدث عمر بن عبد العزيز وأنا جالس
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Abdurrahman yang berkata telah menceritakan kepada kami pamanku, dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya yang berkata telah menceritakan kepada kami Harun bin Ma’ruf dan Abu Sa’id Al Ja’fiy dimana keduanya berkata telah memberitakan kepada kami Ibnu Wahab. Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Auf yang berkata telah menceritakan kepada kami Ashbagh bin Faraj dari Abdullah bin Wahab yang berkata Yunus berkata : Ibnu Syihab berkata : telah mengabarkan kepadaku Rabi’ bin Sabrah bahwa ayahnya berkata “aku melakukan mut’ah di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan wanita dari bani ‘Aamir dengan dua kain merah kemudian Beliau melarang kami melakukan mut’ah. Yunus berkata : Ibnu Syihab berkata : dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis itu [yang dari ayahnya sebelumnya] kepada Umar bin Abdul Aziz dan saat itu aku sedang duduk.
Sedangkan bagian kedua yang kata salafy rancu itu akan menjadi
حدثنا أحمد بن عبد الرحمن ، قثنا عمي ، ح وحدثنا محمد بن يحيى ، ثنا هارون بن معروف ، وأبو سعيد الجعفي ، قالا أنبا ابن وهب ، ح وحدثنا محمد بن عوف ، ثنا أصبغ بن الفرج ، عن عبد الله بن وهب ، قال : أخبرني يونس ، عن ابن شهاب أنه قال : ما مات ابن عباس حتى رجع عن هذه الفتيا
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Abdurrahman yang berkata telah menceritakan kepada kami pamanku, dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya yang berkata telah menceritakan kepada kami Harun bin Ma’ruf dan Abu Sa’id Al Ja’fiy dimana keduanya berkata telah memberitakan kepada kami Ibnu Wahab. Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Auf yang berkata telah menceritakan kepada kami Ashbagh bin Faraj dari Abdullah bin Wahab yang berkata telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab bahwa ia berkata “tidaklah Ibnu Abbas meninggal hingga ia ruju’ dari fatwanya ini”.
Silakan para pembaca melihat tidak ada yang rancu pada kalimat tersebut jika kalimat tersebut dituliskan dengan sanad yang lengkap. Salafy itu tetap bersikeras bahwa perkataan tentang Ibnu Abbas itu adalah milik Ibnu Sabrah, dan disebabkan tidak bisa membantah soal riwayat Muslim dan Baihaqi maka ia mengatakan kalau perkataan tentang Ibnu Abbas ini adalah ziyadah [tambahan] riwayat Ibnu Sabrah dari ayahnya. Maka dengan jawaban ngawur begini maka hadis lengkap Ibnu Sabrah akan menjadi seperti ini
Rabi’ bin Sabrah berkata bahwa ayahnya berkata “aku melakukan mut’ah di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan wanita dari bani ‘Aamir dengan dua kain merah kemudian Beliau melarang kami melakukan mut’ah dan Rabi’ berkata “tidaklah Ibnu Abbas wafat hingga ia ruju’ dari fatwanya ini”
Agak luar biasa jika salafy itu tidak melihat kerancuan hadis dengan lafaz seperti ini. Rabi’ bin Sabrah menceritakan kalau ayahnya pernah melakukan mut’ah kemudian dilarang Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tiba-tiba dengan lompatan yang mengagumkan Rabi’ bin Sabrah berkata “tidaklah Ibnu Abbas wafat hingga ia ruju’ dari fatwanya ini”. Pertanyaannya kapan Rabi’ bin Sabrah menyebutkan soal fatwa Ibnu Abbas?. Lihat baik-baik, lafaz yang diucapkan oleh Rabi’ bin Sabrah adalah “fatwanya ini”. Lafaz itu menunjukkan kalau sebelumnya Rabi’ bin Sabrah telah menyebutkan fatwa Ibnu Abbas, tapi fatwa apa?. Dimana Ibnu Sabrah menyebutkannya? Bukankah hadis sebelumnya bicara soal ayahnya?. Lafaz seperti ini jelas sangat rancu kalau dikembalikan kepada Rabi’ bin Sabrah.
Lain ceritanya jika lafaz tersebut adalah milik Ibnu Syihab Az Zuhri seperti yang kami tuliskan. Az Zuhri berkata “tidaklah Ibnu Abbas wafat hingga ia ruju’ dari fatwanya ini”maka dimengerti bahwa fatwa yang dimaksud adalah fatwa Ibnu Abbas yang menghalalkan mut’ah dalam hadis yang disebutkan oleh Az Zuhri sebelumnya. Jadi inti dari keseluruhan hadis panjang riwayat Abu Awanah adalah Penceritaan Az Zuhri kepada Yunus bin Yazid dimana Az Zuhri menggabungkan beberapa hadis dan pendapatnya sendiri. Awalnya Az Zuhri membawakan hadis Ibnu Abbas yang menghalalkan mut’ah kemudian Az Zuhri membawakan hadis Rabi’ bin Sabrah dari ayahnya bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melarang mut’ah. Kemudian Az Zuhri menutup ceritanya dengan mengatakan kalau Ibnu Abbas telah ruju’ dari fatwanya. Az Zuhri tidak mendengar dari Ibnu Abbas maka riwayatnya disini dhaif karena inqitha’ [sanadnya terputus].
Kenyataannya adalah Ibnu Abbas tidak pernah ruju’ dari fatwanya sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Katsir [Al Bidayah Wan Nihayah 4/194] dan Ibnu Hajar yang mengutip Ibnu Batal menyebutkan kalau riwayat ruju’nya Ibnu Abbas adalah dhaif [Fath Al Bari 9/173]. Hadis riwayat Az Zuhri soal perselisihan Ibnu Zubair dan Ibnu Abbas adalah bukti yang jelas kalau Ibnu Abbas sampai mendekati akhir hayatnya tetap menghalalkan mut’ah. Peristiwa pertemuan Ibnu Zubair dan Ibnu Abbas dimana Ibnu Zubair menjadi pemimpin di Mekkah dan Ibnu Abbas yang sudah buta tinggal di Mekkah terjadi tahun 66 H [Fath Al Bari 8/327] sedangkan Ibnu Abbas sendiri wafat pada tahun 68 H [ada yang berkata 67 H]. Apalagi ternyata diketahui bahwa para sahabat dan murid Ibnu Abbas setelah wafatnya Ibnu Abbas tetap mengikuti fatwa Ibnu Abbas yang menghalalkan mut’ah. Jadi sangat jauh kemungkinan kalau Ibnu Abbas ruju’ dari fatwanya. Salam Damai
Lampiran : Berikut ini adalah hadis riwayat Abu Awanah dalam kitab yang sudah ditahqiq, kami hanya ingin menunjukkan bahwa pada versi kitab yang ditahqiq hadis Rabi’ bin Sabrah dipisahkan dengan perkataan tentang ruju’nya Ibnu Abbas
Lihat hadis no 4057, perhatikan setiap sanad dengan matan tertentu dibuat secara terpisah. Kalau suatu hadis satu kesatuan dengan sanad dan matannya maka akan ditulis dalam satu bentuk paragraf dimana bagian awal kalimat menjorok kedalam. Perhatikan bagian
قال يونس : قال ابن شهاب : وسمعت الربيع بن سبرة يحدث عمر بن عبد العزيز وأنا جالس
Awal kalimat “qaala Yunus” dibuat menjorok kedalam menandakan sanad baru dan kalau memang matan sanad tersebut adalah perkataan “ruju’nya Ibnu Abbas” maka mengapa itu ditulis secara terpisah. Lafaz
أنه قال : ما مات ابن عباس حتى رجع عن هذه الفتيا
Tidak dituliskan langsung setelah lafaz “wa ana jalis” padahal kalau memang itu satu kalimat matan yang sama maka ya tinggal lanjut saja tetapi kenyataannya lafaz “annahu qaala” dituliskan dibawahnya dengan menjorok kedalam [sejajar dengan lafaz “qaala Yunus”] menunjukkan itu adalah matan yang baru terpisah dari matan sebelumnya.
Benarkah Asma’ Binti Abu Bakar Melakukan Nikah Mut’ah?
penulis : secondprince
Benarkah Asma’ Binti Abu Bakar Melakukan Nikah Mut’ah?
Diantara sahabat wanita yang meyakini kehalalan Nikah Mut’ah adalah Asma’ binti Abu Bakar [radiallahu ‘anha] dan dia adalah Ibu dari Abdullah bin Zubair. Sebagian tabiin pernah datang kepadanya menanyakan tentang Nikah Mut’ah maka ia menjawab “kami melakukannya di masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Berikut pembahasannya
حدثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل و محمد بن صالح بن الوليد النرسي قالا : ثنا أبو حفص عمرو بن علي قال : ثنا أبو داود ثنا شعبة عن مسلم القري قال دخلنا على أسماء بنت أبي بكر فسألناها عن المتعة فقالت : فعلناها على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Shaalih bin Waliid An Nursiy keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Ab Hafsh ‘Amru bin Aliy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abu Dawud yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Muslim Al Qurriy yang berkata “kami menemui Asma’ binti Abu Bakar maka kami tanyakan kepadanya tentang Mut’ah maka ia berkata “kami telah melakukannya di masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]” [Mu’jam Al Kabir Ath Thabraniy 24/103 no 277]
Riwayat di atas sanadnya shahih, para perawinya tsiqat. Berikut keterangan mengenai para perawinya
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal anak seorang imam [Ahmad bin Hanbal] tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/295 no 3205]. Muhammad bin Shaalih bin Waliid tidak ditemukan biografinya
‘Amru bin ‘Aliy Al Fallaas Abu Hafsh seorang yang tsiqat hafizh [Taqrib At Tahdzib 1/424 no 5081]
Abu Dawud adalah Sulaiman bin Dawud Ath Thayaalisiy seorang yang tsiqat hafizh, keliru dalam hadis-hadis [Taqrib At Tahdzib 1/250 no 2550]
Syu’bah bin Hajjaaj seorang yang tsiqat hafizh mutqin, Ats Tsauriy mengatakan bahwa ia amirul mukminin dalam hadis [Taqrib At Tahdzib 1/266 no 2790]
Muslim bin Mikhraaq Al Qurriy seorang yang shaduq [Taqrib At Tahdzib 1/530 no 6643]
‘Amru bin Aliy Al Fallaas dalam riwayatnya dari Abu Dawud Ath Thayalisiy memiliki mutaba’ah yaitu
‘Abdah bin ‘Abdullah Al Khuza’iy sebagaimana disebutkan dalam Mustakhraj Abu Nu’aim 3/341, dengan lafaz mut’ah. ‘Abdah bin ‘Abdullah seorang yang tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/369 no 4272]
Yunus bin Habiib Al Ashbahaaniy sebagaimana disebutkan dalam Mustakhraj Abu Nu’aim 3/341 dan Musnad Abu Dawud Ath Thayalisiy no 1731, dengan lafaz mut’ah an nisaa’. Yunus bin Habiib seorang yang tsiqat [Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim 9/237 no 1000]
Mahmuud bin Ghailan Al Marwaziy sebagaimana disebutkan dalam Sunan Nasa’i 3/326 no 5540 dengan lafaz mut’ah an nisaa’. Mahmuud bin Ghailan seorang yang tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/522 no 6516]
Berikut riwayat Abu Dawud Ath Thayaalisiy yang menyebutkan lafaz bahwa Mut’ah yang dimaksud adalah Nikah Mut’ah
حدثنا يونس قال حدثنا أبو داود قال حدثنا شعبة عن مسلم القري قال دخلنا على أسماء بنت أبي بكر فسألناها عن متعة النساء فقالت فعلناها على عهد النبي صلى الله عليه وسلم
Telah menceritakan kepada kami Yuunus yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Dawuud yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Muslim Al Qurriy yang berkata kami menemui Asmaa’ binti Abi Bakar, maka kami menanyakan kepadanya tentang Nikah Mut’ah maka ia berkata “kami melakukannya di masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] [Musnad Abu Dawud Ath Thayaalisiy no 1731]
Kedudukan hadis tersebut shahih. Mengenai Muslim bin Mikhraaq Al Qurriy, Ahmad bin Hanbal menyatakan tidak ada masalah dengannya. Abu Hatim berkata “syaikh”. Nasa’iy berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Ijliy berkata “tsiqat” [Tahdzib At Tahdzib 10/123 no 251]
Abu Dawud Ath Thayaalisiy memang dinyatakan bahwa ia pernah keliru dalam sebagian hadisnya tetapi ia pada dasarnya seorang yang tsiqat hafizh dan disini termasuk riwayatnya dari Syu’bah dimana Yahya bin Ma’in berkata bahwa Abu Dawud lebih alim dari Ibnu Mahdiy dalam riwayat dari Syu’bah [Tarikh Ibnu Ma’in, riwayat Ad Darimiy 1/64 no 107]. Hanya saja jika ternukil penyelisihan dalam arti ia tafarrud dalam periwayatan dimana menyelisihi para perawi yang lebih tsiqat atau tsabit dari dirinya maka hal ini bisa menjadi illat [cacat] bagi lafaz yang tafarrud tersebut.
حدثنا محمد بن حاتم حدثنا روح بن عبادة حدثنا شعبة عن مسلم القري قال سألت ابن عباس رضي الله عنهما عن متعة الحج فرخص فيها وكان ابن الزبير ينهى عنها فقال هذه أم الزبير تحدث أن رسول الله صلى الله عليه و سلم رخض فيها فادخلوا عليها فاسألوها قال فدخلنا عليها فإذا امرأة ضخمة عمياء فقالت قد رخص رسول الله صلى الله عليه و سلم فيها
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Haatim yang berkata telah menceritakan kepada kami Rauh bin ‘Ubadaah yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Muslim Al Qurriy yang berkata aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbaas [radiallahu ‘anhuma] tentang Mut’ah Haji, maka ia memberikan keringanan untuk melakukannya sedangkan Ibnu Zubair melarangnya. Maka [Ibnu ‘Abbas] berkata “ini Ibu Ibnu Zubair menceritakan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah memberi keringanan tentangnya, masuklah kalian kepadanya dan tanyakan kepadanya”. Maka kamipun masuk menemuinya dan ternyata ia wanita yang gemuk dan buta. Ia berkata “sungguh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah memberikan keringanan tentangnya” [Shahih Muslim 2/909 no 1238]
Hadis Muslim di atas juga disebutkan dalam Musnad Ahmad 6/348 no 26991, Mu’jam Al Kabir Ath Thabraniy 24/77 no 202, Sunan Baihaqiy no 9153, Mustakhraj Abu Nu’aim 3/341, dan Tarikh Ibnu Asakir 5/69 semuanya dengan jalan sanad Rauh bin ‘Ubadah dari Syu’bah dari Muslim Al Qurriy.
Rauh bin ‘Ubadah seorang yang tsiqat fadhl [Taqrib At Tahdzib 1/211 no 1962]. Ternukil juga sebagian ulama yang sedikit membicarakannya seperti Ibnu Mahdiy yang membicarakannya karena kekeliruan dalam sanad hadis. Al Qawaririy yang tidak mau menceritakan hadis dari Rauh. Diriwayatkan dari Abu Hatim yang berkata “tidak dapat berhujjah dengannya”. Nasa’i berkata “tidak kuat” [As Siyaar Adz Dzahabiy 9/409]. Tetapi hal ini tidaklah menjatuhkan kedudukannya. Dalam hal ini kami menukil ulama yang membicarakannya hanya untuk menunjukkan bahwa kedudukan Rauh bin ‘Ubadah tidaklah berbeda dengan kedudukan Abu Dawud Ath Thayaalisiy. Keduanya perawi yang sama-sama tsiqat dan ternukil sedikit kelemahan padanya.
Abu Dawud dalam hadis ini telah berselisih dengan Rauh bin ‘Ubadah. Abu Dawud menegaskan dalam riwayatnya bahwa Mut’ah yang dimaksud adalah Nikah Mut’ah sedangkan Rauh bin ‘Ubadah menegaskan dalam riwayatnya bahwa Mut’ah yang dimaksud adalah Mut’ah Haji. Kemudian Muslim dalam Shahih-nya setelah mengutip hadis Rauh di atas ia menyebutkan hadis berikut,
وحدثناه ابن المثنى حدثنا عبدالرحمن ح وحدثناه ابن بشار حدثنا محمد ( يعني ابن جعفر ) جميعا عن شعبة بهذا الإسناد فأما عبدالرحمن ففي حديثه المتعة ولم يقل متعة الحج وأما ابن جعفر فقال قال شعبة قال مسلم لا أدري متعة الحج أو متعة النساء
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman. Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad yakni Ibnu Ja’far keduanya dari Syu’bah dengan sanad ini. Adapun ‘Abdurrahman dalam hadisnya disebutkan Mut’ah tanpa mengatakan Mut’ah Haji dan adapun Ibnu Ja’far mengatakan Syu’bah berkata Muslim berkata “aku tidak tahu apakah Mut’ah Haji atau Nikah Mut’ah” [Shahih Muslim 2/909 no 1238]
Muhammad bin Ja’far [Ghundaar] adalah perawi yang tsiqat. Ia termasuk perawi yang paling tsabit riwayatnya dari Syu’bah. Ibnu Madini berkata “ia lebih aku sukai dari Abdurrahman bin Mahdiy dalam riwayat Syu’bah”. Ibnu Mahdiy sendiri berkata “Ghundaar lebih tsabit dariku dalam riwayat Syu’bah”. Al Ijliy berkata orang Bashrah yang tsiqat, ia termasuk orang yang paling tsabit dalam hadis Syu’bah” [At Tahdzib juz 9 no 129].
Kedudukan riwayat Muhammad bin Ja’far dari Syu’bah pada dasarnya lebih didahulukan dibanding riwayat Abu Dawud Ath Thayaalisiy dan Rauh bin ‘Ubadah. Dan ternyata riwayat Muhammad bin Ja’far menyebutkan bahwa Muslim Al Qurriy ragu apakah itu Mut’ah Haji atau Nikah Mut’ah. Hal ini sebenarnya termasuk perkara musykil karena bagaimana bisa Muslim Al Qurriy yang menemui Asma’ dan bertanya kepadanya tentang Mut’ah menjadi ragu atau tidak tahu apakah Mut’ah tersebut adalah Mut’ah Haji atau Nikah Mut’ah.
Sebagian para pengingkar demi menolak anggapan Asma’ binti Abu Bakar melakukan nikah mut’ah, maka mereka melemahkan riwayat Abu Dawud dari Syu’bah di atas dengan alasan telah menyelisihi para perawi tsiqat seperti Ibnu Mahdiy, Ghundaar dan Rauh bin ‘Ubadah yang tidak menyebutkan lafaz mut’ah an nisaa’ [nikah mut’ah].
Hujjah ini bathil dan mengandung penyesatan halus karena dengan alasan yang sama riwayat Rauh bin ‘Ubadah [yang menyebutkan Mut’ah Haji] bisa juga dilemahkan karena menyelisihi para perawi tsiqat seperti Ibnu Mahdi, Ghundaar dan Abu Dawud Ath Thayaalisiy yang tidak menyebutkan lafaz mut’ah haji.
Cara berhujjah seperti ini keliru. Riwayat Syu’bah hanya berselisih dengan riwayat Rauh bin ‘Ubadah. Adapun riwayat Ibnu Mahdiy dan Ghundaar yang menyebutkan lafaz Mut’ah saja, tidaklah berselisih secara makna dengan riwayat Syu’bah atau pun Rauh bin ‘Ubadah. Yang manapun yang benar diantara keduanya akan tetap sesuai dengan riwayat Ibnu Mahdiy dan Ghundaar.
Penyelesaian masalah ini tidak bisa hanya mengandalkan riwayat Muslim Al Qurriy saja. Harus ada qarinah lain yang menunjukkan bahwa Mut’ah yang dimaksud Asma’ binti Abu Bakar tersebut apakah nikah Mut’ah atau Mut’ah haji. Terdapat riwayat shahih selain riwayat Muslim Al Qurriy bahwa Mut’ah yang dimaksud adalah Nikah Mut’ah.
حَدَّثَنَا صَالِحُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ قَال حدثنا هُشَيمٌ قَال أَخْبَرَنَا أَبُو بِشْر عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ الزُّبَيْرِ، يَخْطُبُ وَهُوَ يُعَرِّضُ بِابْنِ عَبَّاسٍ، يَعِيبُ عَلَيْهِ قَوْلَهُ فِي الْمُتْعَةِ. فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ يَسْأَلُ أُمَّهُ إِنْ كَانَ صَادِقًا، فَسَأَلَهَا، فَقَالَتْ صَدَقَ ابْنُ عَبَّاسٍ، قَدْ كَانَ ذَلِكَ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا لَوْ شِئْتُ لَسَمَّيْتُ رِجَالًا مِنْ قُرَيْشٍ وُلِدُوا فِيهَا
Telah menceritakan kepada kami Shaalih bin ‘Abdurrahman yang berkata telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Manshuur yang berkata telah menceritakan kepada kami Husyaim yang berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Bisyr dari Sa’id bin Jubair yang berkata aku mendengar ‘Abdullah bin Zubair berkhutbah dan ia mencela Ibnu ‘Abbas atas perkataannya tentang Mut’ah. Maka Ibnu ‘Abbas berkata “tanyakanlah kepada Ibunya jika memang ia benar” maka ia bertanya kepadanya [Ibunya]. [Ibunya] berkata “Ibnu ‘Abbas benar, sungguh hal itu memang demikian”. Ibnu ‘Abbaas [radiallahu ta’ala ‘anhuma] berkata “seandainya aku mau maka aku akan menyebutkan orang-orang dari Quraisy yang lahir darinya [nikah mut’ah]” [Syarh Ma’aaniy Al Atsaar Ath Thahawiy 3/24 no 4306]
Riwayat Ath Thahawiy di atas sanadnya jayyid. Para perawinya tsiqat dan shaduq berikut keterangan tentang mereka
Shaalih bin ‘Abdurrahman bin ‘Amru bin Al Haarits Al Mishriy termasuk salah satu guru Ibnu Abi Hatim. Ibnu Abi Hatim berkata “aku mendengar darinya di Mesir dan dia tempat kejujuran” [Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim 4/408 no 1790]. Dia termasuk guru Ibnu Khuzaimah yang diambil hadisnya dalam kitab Shahih-nya [Shahih Ibnu Khuzaimah 1/77 no 149]. Dia juga termasuk guru Abu Awanah yang diambil hadisnya dalam kitab Shahih-nya [Mustakhraj Abu Awanah 2/431 no 1737]. Pendapat yang rajih, ia seorang yang shaduq
Sa’id bin Manshuur adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ahmad berkata “termasuk orang yang memiliki keutamaan dan shaduq”. Ibnu Khirasy dan Ibnu Numair menyatakan tsiqat. Abu Hatim menyatakan tsiqat dan termasuk orang yang mutqin dan tsabit. Ibnu Hibban memasukkan dalam Ats Tsiqat. Ibnu Qani’ berkata “tsiqat tsabit”. Al Khalili berkata “tsiqat muttafaq ‘alaih” [At Tahdzib juz 4 no 148]
Husyaim bin Basyiir seorang perawi kutubus sittah. Ia dinyatakan tsiqat oleh Al Ijli, Ibnu Saad dan Abu Hatim. Ibnu Mahdi, Abu Zar’ah dan Abu Hatim telah memuji hafalannya [At Tahdzib juz 11 no 100]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat tsabit [At Taqrib 2/269]. Adz Dzahabi menyebutkan kalau Husyaim seorang Hafiz Baghdad Imam yang tsiqat [Al Kasyf no 5979]
Abu Bisyr adalah Ja’far bin Iyaas perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Abu Zur’ah, An Nasa’i dan Al Ijliy menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib Ibnu Hajar juz 2 no 129]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat dan termasuk orang yang paling tsabit dalam riwayat Sa’id bin Jubair, Syu’bah melemahkannya dalam riwayat Habib bin Salim dan Mujahid” [At Taqrib 1/160 no 932].
Sa’id bin Jubair adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Abu Qasim Ath Thabari berkata tsiqat imam hujjah kaum muslimin. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan menyatakan faqih ahli ibadah memilik keutamaan dan wara’. [At Tahdzib juz 4 no 14]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit faqih” [At Taqrib 1/349]. Al Ijli berkata “tabiin kufah yang tsiqat” [Ma’rifat Ats Tsiqat no 578]
Lafaz perkataan Ibnu Abbas “seandainya aku mau maka aku akan menyebutkan orang-orang dari Quraisy yang lahir darinya” menunjukkan bahwa Mut’ah yang dimaksud dalam riwayat tersebut adalah Nikah Mut’ah. Tetapi terdapat juga riwayat lain yang menguatkan bahwa Mut’ah yang dimaksud adalah Mut’ah Haji
حدثنا عبد الله حدثني أبى ثنا محمد بن فضيل قال ثنا يزيد يعنى بن أبى زياد عن مجاهد قال قال عبد الله بن الزبير أفردوا بالحج ودعوا قول هذا يعنى بن عباس فقال بن عباس ألا تسأل أمك عن هذا فأرسل إليها فقالت صدق بن عباس : خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه و سلم حجاجا فأمرنا فجعلناها عمرة فحل لنا الحلال حتى سطعت المجامر بين النساء والرجال
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail yang berkata telah menceritakan kepada kami Yaziid yaitu bin Abi Ziyaad dari Mujahid yang berkata ‘Abdullah bin Zubair berkata “lakukanlah haji kalian dengan ifrad dan tinggalkanlah perkataan orang ini yaitu Ibnu ‘Abbaas”. Maka berkata Ibnu ‘Abbaas “tidakkah kami menanyakan kepada Ibumu mengenai hal ini”. Maka ia [Ibnu Zubair] mengutus seseorang kepada Ibunya, [Ibunya] berkata “benarlah Ibnu ‘Abbaas, kami keluar bersama Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] untuk melakukan haji, maka Beliau memerintahkan untuk menjadikannya Umrah maka menjadi halal bagi kami apa-apa yang halal hingga bertebaran bara api antara wanita dan pria [Musnad Ahmad 6/344 no 26962]
Hanya saja riwayat di atas sanadnya dhaif karena Yazid bin Abi Ziyaad. Yazid bin Abi Ziyaad Al Qurasyiy termasuk perawi Bukhariy dalam At Ta’liq, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah. Ahmad bin Hanbal berkata “tidak hafizh”. Yahya bin Ma’in berkata “tidak kuat”. Al Ijliy berkata “ja’iz al hadits”. Abu Zur’ah berkata “layyin ditulis hadisnya tetapi tidak dijadikan hujjah”. Abu Hatim berkata “tidak kuat”. Abu Dawud berkata “tidak diketahui satu orangpun yang meninggalkan hadisnya tetapi selainnya lebih disukai daripadanya”. Ibnu Adiy berkata “orang syi’ah kufah yang dhaif ditulis hadisnya”. Ibnu Hibban berkata “shaduq kecuali ketika tua jelek dan berubah hafalannya”. Abu Ahmad Al Hakim berkata “tidak kuat di sisi para ulama”. Ibnu Syahin memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ahmad bin Shalih Al Mishriy berkata “tsiqat dan tidak membuatku heran perkataan yang membicarakannya”. An Nasa’iy berkata “tidak kuat” [Tahdzib At Tahdzib juz 11 no 531]. Pendapat yang rajih Yazid bin Abi Ziyaad seorang yang dhaif tetapi hadisnya bisa dijadikan i’tibar.
Kalau kita ingin menerapkan metode tarjih maka qarinah bahwa Mut’ah yang dimaksudkan Asma’ binti Abu Bakar adalah Nikah Mut’ah lebih kuat kedudukannya dibanding qarinah yang menunjukkan Mut’ah Haji. Tetapi kalau kita ingin menerapkan metode jamak maka dapat disimpulkan bahwa kedua jenis Mut’ah baik Nikah Mut’ah maupun Mut’ah Haji telah dilakukan dan diyakini kebolehannya oleh Asma’ binti Abu Bakar [radiallahu ‘anha]. Terdapat riwayat yang menjadi petunjuk bahwa perselisihan Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair mencakup kedua jenis Mut’ah [Nikah Mut’ah dan Mut’ah Haji], berikut riwayatnya
حدثنا حامد بن عمرو البكراوي حدثنا عبدالواحد ( يعني ابن زياد ) عن عاصم عن أبي نضرة قال كنت عند جابر بن عبدالله فأتاه آت فقال ابن عباس وابن الزبير اختلفا في المتعتين فقال جابر فعلناهما مع رسول الله صلى الله عليه و سلم ثم نهانا عنهما عمر فلم نعد لهما
Telah menceritakan kepada kami Haamid bin ‘Umar Al Bakraawiy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Waahid yaitu Ibnu Ziyaad dari ‘Aashim dari Abi Nadhrah yang berkata aku berada di sisi Jabir bin ‘Abdullah maka datanglah seseorang dan berkata Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair telah berselisih tentang dua Mut’ah. Maka Jabir berkata “kami telah melakukannya keduanya bersama Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] kemudian Umar melarang kami melakukan keduanya maka kami tidak melakukan keduanya” [Shahih Muslim 2/1022 no 1405]
Masih memungkinkan untuk dikatakan bahwa Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair berselisih tentang hukum kedua Mut’ah [Nikah Mut’ah dan Mut’ah Haji] maka Ibnu Abbas menyuruh Ibnu Zubair bertanya kepada Ibunya [Asma’ binti Abu Bakar] dan Ia menyatakan bahwa kedua Mut’ah tersebut telah dilakukannya di masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Pendapat ini lebih baik karena menggabungkan semua riwayat yang ada di atas.
Kesimpulannya memang shahih Asma’ binti Abu Bakar [radiallahu ‘anha] mengakui bolehnya nikah Mut’ah dimana ia bersaksi bahwa ia telah melakukan nikah Mut’ah di masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Kedustaan Muhammad Abdurrahman Al Amiry Terhadap Syi’ah Dalam Dialog Dengan Emilia Renita
penulis : secondprince
Kedustaan Muhammad Abdurrahman Al Amiry Terhadap Syi’ah Dalam Dialog Dengan Emilia Renita
Sungguh menggelikan ketika seseorang menuduh suatu mazhab sebagai ajaran yang penuh kedustaan dan kedunguan ternyata terbukti dirinyalah yang sebenarnya dusta dan dungu. Mungkin saja sebelumnya ia tidak berniat menjadi dusta dan dungu hanya saja kebenciannya terhadap mazhab tersebut telah membutakan akal dan hatinya sehingga dirinya tampak sebagai pendusta
Inilah yang terjadi pada Muhammad Abdurrahman Al Amiry dalam tulisannya yang memuat dialog dirinya dengan pengikut Syi’ah yaitu Emilia Renita. Dialog tersebut membicarakan tentang nikah mut’ah, dimana para pembaca dapat melihatnya disini http://www.alamiry.net/2014/03/dialog-tuntas-bersama-emila-renita-az.html
Kedustaan Pertama
Al Amiry menanyakan kepada Emilia pernahkah ia melakukan mut’ah atau sudah berapa kali ia melakukan mut’ah. Pertanyaan ini dijawab oleh Emilia bahwa dalam mazhab Syi’ah hukum nikah mut’ah itu halal tetapi tidak semua yang halal itu wajib atau harus dilakukan.
Kemudian Al Amiry menjawab bahwa dalam Syi’ah nikah mut’ah itu bukan sekedar halal tetapi wajib karena ada riwayat Syi’ah yang mengancam orang yang tidak melakukan nikah mut’ah. Berikut riwayat yang dimaksud sebagaimana dikutip oleh Al Amiry
مَنْ خَرَجَ مِنَ الدُّنْيَا وَلَمْ يَتَمَتَّعْ جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَهُوَ أَجْدَعُ
Barang siapa yang keluar dari dunia (wafat) dan dia tidak nikah mut’ah maka dia datang pada hari kiamat sedangkan kemaluannya terpotong” Tafsir manhaj ash shadiqin 2/489
Kami tidak memiliki kitab Tafsir Manhaj Ash Shadiqiin Al Kasyaaniy [dan kami ragu kalau si Amiry memiliki kitab tersebut] tetapi riwayat di atas dapat dilihat dari scan kitab tersebut yang dinukil oleh salah satu situs pembenci Syi’ah disini http://jaser-leonheart.blogspot.com/2012/05/sekilas-tentang-keutamaan-kawin-kontrak.html
Nampak bahwa riwayat tersebut dinukil oleh Al Kasyaaniy dalam kitabnya tanpa menyebutkan sanad. Artinya riwayat tersebut tidak bisa dijadikan hujjah sampai ditemukan sanad lengkapnya dan dibuktikan dengan kaidah ilmu mazhab Syi’ah bahwa sanad tersebut shahih.
Salah seorang ulama Syi’ah yaitu Syaikh Aliy Alu Muhsin dalam kitabnya Lillah Wa Lil Haqiiqah 1/193 pernah berkomentar mengenai salah satu riwayat lain dalam kitab Tafsir Manhaj Ash Shadiqqin
Nukilan di atas menyebutkan bahwa hadis yang disebutkan Al Kasyaaniy tidak disebutkan dalam kitab hadis Syi’ah yang ma’ruf [dikenal] dan Al Kasyaniy menukilnya tanpa menyebutkan sanadnya dari Risalah tentang Mut’ah oleh Syaikh Aliy Al Karkiy.
Jika situasinya dibalik misalkan Emilia berhujjah dengan riwayat tanpa sanad dalam salah satu kitab tafsir ahlus sunnah maka saya yakin Al Amiry akan membantah dengan sok bahwa riwayat tersebut tidak bisa dijadikan hujjah karena tidak ada sanadnya. Maka tidak diragukan bahwa pernyataan Al Amiry kalau Syi’ah mewajibkan penganutnya melakukan mut’ah dan mengancam yang tidak melakukannya adalah kedustaan atas nama Syi’ah.
علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن ابن أبي عمير، عن علي بن يقطين قال: سألت أبا الحسن موسى (عليه السلام) عن المتعة فقال: وما أنت وذاك فقد أغناك الله عنها، قلت: إنما أردت أن أعلمها، فقال: هي في كتاب علي (عليه السلام)، فقلت: نزيدها وتزداد؟ فقال: وهل يطيبه إلا ذاك
‘Aliy bin Ibrahim dari Ayah-nya dari Ibnu Abi ‘Umair dari ‘Aliy bin Yaqthiin yang berkata aku bertanya kepada Abul Hasan Muusa [‘alaihis salaam] tentang mut’ah. Maka Beliau berkata “ada apa kamu terhadapnya [mut’ah], sungguh Allah telah mencukupkanmu darinya [hingga tidak memerlukannya]”. Aku berkata “sesungguhnya aku hanya ingin mengetahui tentangnya”. Beliau berkata “itu [mut’ah] ada dalam kitab Aliy [‘alaihis salaam]. Maka aku berkata “apakah kami dapat menambahnya [mahar] dan wanita dapat menambah [waktunya]”. Beliau berkata “bukankah ditetapkannya [aqad mut’ah] kecuali dengan hal-hal tersebut” [Al Kafiy Al Kulainiy 5/452]
Riwayat di atas dapat para pembaca lihat di link berikut. Riwayat tersebut sanadnya shahih di sisi mazhab Syi’ah, para perawinya tsiqat sebagaimana berikut
Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680]
Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222]
Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218]
‘Aliy bin Yaqthiin seorang yang tsiqat jalil memiliki kedudukan yang agung di sisi Abu Hasan Muusa [‘alaihis salaam] [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 154 no 388]
Matan riwayat justru mengsiyaratkan tidak ada kewajiban dalam melakukan mut’ah dan tidak ada ancaman bagi yang tidak melakukannya. Hujjahnya terletak pada lafaz “ada apa kamu terhadapnya [mut’ah], sungguh Allah telah mencukupkanmu darinya” artinya si penanya tidak perlu melakukannya karena Allah telah mencukupkan dirinya [sehingga ia tidak memerlukan mut’ah]. Maksud mencukupkannya disini adalah telah memiliki istri. Kalau memang mut’ah itu wajib bagi setiap penganut Syi’ah dan mendapat ancaman bagi yang tidak melakukannya maka bagaimana mungkin Imam Syi’ah tersebut mengatakan lafaz yang demikian.
Berdasarkan riwayat di atas maka dalam mazhab Syi’ah hukum nikah mut’ah itu halal atau mubah dan tidak ada masalah bagi mereka yang tidak melakukannya karena memang tidak memerlukannya. Tidak ada dalil shahih di sisi Syi’ah mengenai kewajiban mut’ah dan ancaman bagi yang tidak melakukannya.
Memang Al Amiry bukan orang pertama yang berdusta atas nama Syi’ah dengan riwayat Al Kasyaniy dalam Tafsir Manhaj Ash Shaadiqin tersebut, sebelumnya sudah ada ustad salafiy [yang sudah cukup dikenal] yang melakukannya yaitu Firanda Andirja dalam salah satu tulisannya disini. Mungkin dengan melihat link tersebut, Al Amiriy akan merasa terhibur bahwa orang yang lebih baik darinya ternyata melakukan kedustaan yang sama.
Orang boleh saja bertitel ustad, alim ulama, berpendidikan S3 dalam ilmu agama tetapi yang namanya hawa nafsu dapat menutupi akal pikiran sehingga melahirkan kedunguan dan kedustaan. Biasanya orang-orang model begini sering dibutakan oleh bisikan syubhat bahwa mereka adalah pembela sunnah penghancur bid’ah jadi tidak perlu bersusah payah kalau ingin membantah Syi’ah, Syi’ah sudah pasti sesat maka tidak perlu tulisan ilmiah dan objektif untuk membantah kelompok sesat. Jadi jangan heran kalau para pembaca melihat dalam tulisannya yang membahas hadis mazhabnya akan nampak begitu ilmiah dan objektif tetapi ketika ia menulis tentang mazhab yang ia sesatkan maka akan nampak begitu dungu dan dusta.
Kedustaan Kedua
Dalam dialog antara Al Amiriy dan Emilia, Emilia mengatakan bahwa ia tidak melakukan mut’ah [bahkan haram baginya] karena secara syar’i nikah mut’ah tidak bisa dilakukan oleh istri yang sudah bersuami. Al Amiry kemudian menjawab dengan ucapan berikut
Maka tanggapan kami: “Justru, ulama anda sepakat akan kebolehan nikah mut’ah bagi seorang wanita yang sudah nikah alias sudah punya suami”. Disebutkan dalam kitab syiah:
يجوز للمتزوجة ان تتمتع من غير أذن زوجها ، وفي حال كان بأذن زوجها فأن نسبة الأجر أقل ،شرط وجوب النية انه خالصاً لوجه الله
“Diperbolehkan bagi seorang istri untuk bermut’ah (kawin kontrak dengan lelaki lain) tanpa izin dari suaminya, dan jika mut’ah dengan izin suaminya maka pahala yang akan didapatkan akan lebih sedikit, dengan syarat wajibnya niat bahwasanya ikhlas untuk wajah Allah” Fatawa 12/432
Ucapan Al Amiry di atas adalah kedustaan atas mazhab Syi’ah. Tidak ada kesepakatan ulama Syi’ah sebagaimana yang diklaim oleh Al Amiry. Begitu pula referensi yang ia nukil adalah dusta. Kita tanya pada Al Amiry, kitab Al Fatawa siapa yang dinukilnya di atas?. Ulama Syi’ah mana yang menyatakan demikian?. Silakan kalau ia mampu tunjukkan scan kitab tersebut atau link yang memuat kitab Syi’ah tersebut.
Saya yakin Al Amiry tidak akan mampu menjawabnya karena ucapan dusta tersebut sebenarnya sudah lama populer di media sosial dan sumbernya dari twitter atau facebook majhul yang mengatasnamakan ulama Syi’ah. Ia sendiri menukilnya dari akun twitter yang mengatasnamakan ulama Syi’ah Muhsin Alu ‘Usfur sebagaimana dapat para pembaca lihat dalam tulisan Al Amiry disini
http://www.alamiry.net/2013/07/syiah-adalah-agama-seks-agama-mutah.html
Dan sudah pernah saya sampaikan bantahan mengenai kepalsuan twitter tersebut atas nama ulama Syi’ah dalam tulisan disini. Petunjuk lain akan kepalsuannya adalah jika para pembaca mengklik link tersebut yang dahulu mengatasnamakan ulama Syi’ah Muhsin Alu ‘Usfur maka sekarang sudah berganti menjadi Kazim Musawiy.
Dan di tempat yang lain para pembaca akan melihat seseorang mengaku Ayatullah Khumainiy yang juga menukil ucapan dusta tersebut. Mungkin kalau Al Amiriy melihatnya ia akan menyangka kalau akun facebook tersebut memang milik ulama Syi’ah Ayatullah Khumainiy.
Alangkah dungunya jika seorang alim menuduh mazhab Syi’ah begini begitu hanya berdasarkan akun akun media sosial yang tidak bisa dipastikan kebenarannya, dimana siapapun bisa seenaknya berdusta atas nama orang lain atau memakai nama orang lain.
Kedustaan Ketiga
Ketika Al Amiry membantah Emilia dengan menyebutkan riwayat yang melaknat orang yang tidak nikah mut’ah, Al Amiry menukilnya dari kitab Jawahir Al Kalam
Maka kami tanggapi: “Thoyyib, akan kami buktikan riwayat yang melaknat orang yang tidak melakukan nikah mut’ah” Disebutkan dalam salah satu kitab syiah:
أن الملائكة لا تزال تستغفر للمتمتع وتلعن من يجنب المتعة إلى يوم القيامة
“Bahwasanya malaikat akan selalu meminta ampun untuk orang yang melakukan nikah mutah dan melaknat orang yang menjauhi nikah mutah sampai hari kiamat” Jawahir Al kalam 30/151
Riwayat yang sebenarnya dalam Jawahir Al Kalam lafaznya tidaklah seperti yang ia sebutkan, melainkan sebagai berikut [dapat dilihat disini]
ما من رجل تمتع ثم اغتسل إلا خلق الله من كل قطرة تقطر منه سبعين ملكا يستغفرون له إلى يوم القيامة، ويلعنون مجتنبها إلى أن تقوم الساعة
Setiap orang yang melakukan nikah mut’ah, kemudian ia mandi junub maka Allah akan menciptakan dari setiap tetesan air mandinya sebanyak tujuh puluh malaikat yang akan memohonkan ampunan baginya sampai hari kiamat. Dan para malaikat itu akan melaknat orang yang menjauhinya [mut’ah] sampai hari kiamat [Jawahir Al Kalam 30/151, Syaikh Al Jawaahiriy]
Jadi sisi kedustaannya adalah lafaz riwayat yang ia nukil tidak sama dengan apa yang tertulis dalam kitab Jawahir Al Kalam. Kedustaan ini masih tergolong ringan dan masih bisa untuk diberikan uzur misalnya Al Amiry menukil riwayat dengan maknanya walaupun lafaznya tidak sama persis [biasanya kalau orang menukil bil ma’na (dengan makna) maka ia tidak akan repot menuliskan lafaz dalam bahasa arab] atau Al Amiry tidak membaca langsung kitab Jawahir Al Kalam dan ia menukil dari kitab lain yang tidak ia sebutkan tetapi seolah disini ia mengesankan bahwa ia mengambilnya langsung dari kitab Jawahir Al Kalam.
Sesuai dengan kaidah ilmu mazhab Syi’ah, riwayat tersebut dhaif. Sanad lengkapnya dapat dilihat dalam kitab Wasa’il Syi’ah sebagaimana berikut [dapat dilihat disini]
وعن ابن عيسى، عن محمد بن علي الهمداني، عن رجل سماه عن أبي عبد الله (عليه السلام) قال: ما من رجل تمتع ثم اغتسل إلا خلق الله من كل قطرة تقطر منه سبعين ملكا يستغفرون له إلى يوم القيامة ويلعنون متجنبها إلى أن تقوم الساعة
Dan dari Ibnu Iisa dari Muhammad bin ‘Aliy Al Hamdaaniy dari seorang laki-laki yang ia sebutkan dari Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam] yang berkata Barang siapa yang melakukan nikah mut’ah, kemudian ia mandi junub maka Allah akan menciptakan dari setiap tetesan air mandinya sebanyak tujuh puluh malaikat yang akan memohonkan ampunan baginya sampai hari kiamat. Dan para malaikat itu akan melaknat orang yang menjauhinya [mut’ah] sampai hari kiamat [Wasa’il Syi’ah 21/16, Al Hurr Al Aamiliy]
Sanad di atas dhaif karena terdapat perawi yang majhul dalam sanadnya yaitu pada lafaz sanad “seorang laki-laki yang ia sebutkan”. Adapun riwayat lainnya yang dinukil Al Amiry dari Tafsir Manhaj Ash Shaadiqin
أن المتعة من ديني ودين آبائي فالذي يعمل بها يعمل بديننا والذي ينكرها ينكر ديننا بل إنه يدين بغير ديننا. وولد المتعة أفضل من ولد الزوجة الدائمة ومنكر المتعة كافر مرتد
“Nikah mutah adalah bagian dari agamku dan dagama bapak-bapakku dan orang yang melakukan nikah mutah maka dia mengamalkan agama kami, dan yang mengingkari nikah mutah dia telah mengingkari agama kami, dan anak mutah lebih utama dari anak yang nikah daim dan yang mengingkari mutah kafir murtad” Minhaj Ash Shodiqin hal. 356.”
Maka riwayat di atas sama seperti riwayat sebelumnya yang dinukil Al Kasyaaniy tanpa sanad dalam kitabnya sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.
Penutup
Secara pribadi saya menilai dialog antara Al Amiry dan Emilia tersebut tidak banyak bermanfaat bagi orang-orang yang berniat mencari kebenaran. Keduanya baik Al Amiry dan Emilia nampak kurang memahami dengan baik hujjah-hujjah yang mereka diskusikan. Apalagi telah kami buktikan di atas bahwa Al Amiry telah berdusta atas mazhab Syi’ah. Saya tidak berniat secara khusus membela saudari Emilia, saya sudah lama membaca dialog tersebut hanya saja baru sekarang saya menuliskan kedustaan Al ‘Amiry karena saya lihat semakin banyak orang-orang awam [baca : situs- situs] yang disesatkan oleh tulisan dialog Al ‘Amiry tersebut.
Kedustaan Muhammad Abdurahman Al Amiry : Fatwa Imam Besar Syi’ah Yang Mengancam Emilia Renita
penulis : secondprince
Kedustaan Muhammad Abdurahman Al Amiry : Fatwa Imam Besar Syi’ah Yang Mengancam Emilia Renita
Dalam salah satu tulisan Al Amiry yang dapat para pembaca lihat disini, http://www.alamiry.net/2014/03/fatwa-imam-besar-syiah-yang-mengancam.html
Al Amiry telah berdusta atas mazhab Syi’ah dan dengan kedustaan tersebut ia merendahkan salah satu pengikut Syi’ah Emilia Renita. Yang dipermasalahkan oleh Al Amiry si pendusta ini [kalau sedang bicara tentang Syi’ah] adalah alasan yang dikatakan Emilia bahwa ia tidak melakukan mut’ah karena sudah memiliki suami. Al Amiry membawakan berbagai hujjah dusta untuk menyudutkan Emilia Renita.
Kami telah membuktikan kedustaan Al Amiry ketika ia mencatut twitter yang mengatasnamakan ulama Syi’ah Muhsin Alu Usfur. Cukuplah untuk dikatakan bahwa hanya orang dungu atau pura-pura dungu yang percaya begitu saja dan berhujjah dengan akun–akun palsu untuk menuduh mazhab lain dengan tuduhan yang berat.
Ketika Emilia Renita meminta fatwa asli dari kitab ulama Syi’ah maka Al Amiry menjawab dengan menunjukkan kitab salah seorang ulama Syi’ah yaitu Sayyid Khumainiy. Berikut nukilan yang dikutip Al Amiry
يستحب أن تكون المتمتع بها مؤمنة عفيفة ، و السؤال عن حالها قبل التزويج و أنها ذات بعل أو ذات عدة أم لا ، و أما بعده فمكروه ، و ليس السؤال و الفحص عن حالها شرطا فى الصحة
“Disunnahkan agar perempuan yang dimut’ah adalah seorang mu’minah yang menjaga iffah, dan disunnahkan juga untuk menanyakan statusnya sebelum nikah mut’ah apakah dia masih memiliki suami atukah tidak dan masih dalam masa iddah ataukah tidak. Adapun menanyakan statusnya setelah nikah mut’ah maka hukumnya makruh. Dan bertanya hal tersebut serta memeriksa statusnya bukanlah syarat sahnya nikah mut’ah” Tahrir Al Wasilah Hal. 906 Masalah ke 17
Kemudian setelah menukil pernyataan ulama Syi’ah Sayyid Khumainiy di atas, Al Amiry sok memberikan syarh [penjelasan] yang menurut kami hanya menunjukkan kerendahan akalnya dalam memahami lafaz kalimat. Al Amiry berkata
Menurut ajaran syiah, jika wanita tersebut memang benar telah memiliki suami, maka lelaki yang memut’ahnya tidak boleh menanyakan status wanita tadi. Cukuplah baginya untuk melanjutkan nikah mut’ah tanpa bertanya
Seandainya nikah mut’ah bersama seorang wanita yang sudah mempunyai suami adalah haram, maka seharusnya nikah mut’ah mereka batal. Akan tetapi Imam mereka tidak membatalkannya. Bahkan menganggapnya sah dengan memerintahkan lelaki tadi untuk tidak menanyakan status wanita tersebut.
Fatwa tersebut menyatakan bahwasanya bertanya tentang status wanita tersebut sebelum dilakukannya nikah mut’ah hanyalah sunnah dan bukanlah wajib. Sehingga dapat diambil hukum bahwasanya nikah mut’ah bersama wanita yang masih memiliki suami adalah sah karena hukum menanyakan statusnya sebelum menikah adalah sunnah dan bukanlah wajib.
Sebaliknya yang menanyakan status wanita tersebut setelah dilakukan akad nikah mut’ah adalah makruh dan dibenci walaupun secara nyata dia masih memiliki suami. Ini lebih menguatkan akan sah nya nikah mut’ah walaupun dilakukan oleh wanita yang masih memiliki suami.
Lebih jelas lagi, silahkan lihat fatwa terakhir, bertanya akan status seorang wanita yang sudah memiliki suami bukanlah syarat sah nikah mut’ah. Sehingga seorang syiah yang nikah mut’ah bersama seorang wanita yang telah bersuami tanpa bertanya terlebih dahulu hukumnya adalah sah, karena dia bukan dari syarat sah nikah mut’ah.
Kebetulan kami memiliki kitab Tahriir Al Wasiiilah Sayyid Al Khumainiy dalam bentuk scan pdf yang kami dapatkan dari situs Syi’ah. Nukilan yang disebutkan Al Amiry tersebut kami dapatkan dalam kitab Tahriir Al Wasiilah 2/265 masalah 17
Apakah dalam perkataan Sayyid Khumainiy di atas ada pernyataan-pernyataan demikian?. Al Amiry ini menambah-nambah sendiri apa yang tidak dikatakan Sayyid Khumainiy. Al Khumainiy berkata
يستحب أن تكون المتمتع بها مؤمنة عفيفة
Dianjurkan melakukan mut’ah dengan wanita mu’min yang menjaga kesucian dirinya
Artinya jika hendak melakukan nikah mut’ah maka menikahlah dengan wanita mu’min yang baik-baik dan menjaga kesucian dirinya
و السؤال عن حالها قبل التزويج و أنها ذات بعل أو ذات عدة أم لا
Dan menanyakan keadaan dirinya sebelum menikah apakah ia memiliki suami atau masih dalam masa iddah atau tidak
Dari kalimat ini saja sebenarnya akan dapat diketahui seandainya nikah mut’ah itu sama-sama dibolehkan baik bagi wanita yang bersuami atau tidak, maka apa perlunya menanyakan hal tersebut. Seandainya nikah mut’ah itu sama-sama dibolehkan baik bagi wanita yang dalam masa iddah atau tidak, maka apa perlunya menanyakan hal tersebut.
و أما بعده فمكروه ، و ليس السؤال و الفحص عن حالها شرطا فى الصحة
Adapun bertanya setelahnya maka hal itu dibenci, dan bukanlah menanyakan dan memeriksa keadaan dirinya adalah syarat sahnya
Hakikat dari perkataan Sayyid Al Khumainiy di atas adalah jika ingin menikah mut’ah maka hendaknya mencari wanita mu’min yang baik yang menjaga kesucian dirinya kemudian sebelum menikah tanyakanlah keadaan dirinya apakah ia sudah bersuami atau tidak dan apakah ia sedang dalam masa iddah atau tidak. Karena kedua hal tersebut yaitu bersuami dan dalam masa iddah adalah penghalang bagi nikah baik itu nikah da’im atau nikah mut’ah.
Adapun jika menanyakan keadaan dirinya setelah menikah maka hal itu dibenci. Itu berarti tanyakanlah hal tersebut sebelum menikah. Tentu saja ini bisa dimaklumi karena sudah selayaknya jika seseorang ingin menikah dengan seorang wanita maka ia harus tahu keadaan wanita tersebut baik melalui persaksian dirinya atau melalui keterangan dari keluarganya.
Kalimat terakhir yaitu menanyakan status wanita tersebut dan memeriksa statusnya bukanlah syarat atas sahnya nikah mut’ah. Dalam mazhab syi’ah nikah mut’ah itu sah dengan adanya akad nikah mut’ah yang menyebutkan keterangan waktu dan maharnya. Menanyakan status dan memeriksa status wanita memang bukan syarat sahnya nikah mut’ah.
Jika sesuatu itu disebut sebagai syarat sah maka ia harus ada dan jika tidak ada maka hukumnya tidak sah. Jika seseorang tidak menanyakan dan tidak memeriksa status wanita tersebut karena sudah jelas bagi dirinya akan keadaan wanita tersebut [misalkan keluarganya telah mengabarkan kepadanya tanpa ia perlu bertanya atau memeriksa wanita itu] maka tetap saja pernikahan itu sah.
Dan pernyataan Sayyid Al Khumainiy tersebut bukan berarti membolehkan seseorang menikahi wanita yang telah bersuami dan bukan juga membolehkan untuk meneruskan pernikahan dengan istri yang ternyata baru diketahui bahwa ia memiliki suami. Silakan Al Amiry membaca kitab Tahriir Al Wasiilah maka ia akan menemukan pernyataan berikut
إذا ادعت امرأة أنها خلية فتزوجها رجل ثم ادعت بعد ذلك أنها كانت ذات بعل لم تسمع دعواها ، نعم لو أقامت البينة على ذلك فرق بينهما ، و يكفى فى ذلك بأن تشهد بأنها كانت ذات بعل فتزوجت حين كونها كذلك من الثانى من غير لزوم تعيين زوج معين
Jika seorang wanita mengaku bahwa ia tidak memiliki suami dan ia dinikahi oleh seorang laki-laki kemudian setelah itu, ia mengaku memiliki suami maka jangan didengar pengakuannya. Memang, kalau wanita tersebut membawa bukti atas pengakuannya itu, maka harus dipisahkan keduanya. Dan cukuplah dalam hal demikian itu orang yang bersaksi bahwa ia memiliki suami sebelumnya dan ia menikah lagi dengan suaminya sekarang dalam keadaan masih demikian tanpa harus menyebutkan dengan jelas siapa suami sebelumnya. [Tahrir Al Wasilah Sayyid Al Khumainiy 2/232 masalah 24]
Maka dari itu bisa saja suatu pernikahan baik nikah da’im atau nikah mut’ah [yang pada awalnya telah sah] kemudian menjadi batal atau harus dipisahkan keduanya karena terdapat pembatal nikah yang baru diketahui setelah pernikahan itu dinyatakan sah misalnya istri tersebut baru diketahui terbukti sudah punya suami sebelumnya.
Pada intinya adalah Al Amiry berdusta atas ulama Syi’ah Sayyid Al Khumainiy. Al Amiry mengesankan kepada para pembacanya bahwa Sayyid Al Khumainiy membolehkan menikahi wanita yang sudah bersuami padahal faktanya Sayyid Al Khumainiy tidak pernah membolehkan menikahi wanita yang sudah bersuami.
Kemudian Al Amiry membawakan riwayat Imam Ja’far dalam kitab Syi’ah yang menurut anggapannya dapat ia jadikan hujjah untuk menyerang Emilia. Al Amiry berkata
Bahkan Imam mereka Ja’far Ash Shodiq telah menegur seseorang karena dia memeriksa status wanita mut’ahnya yang telah memiliki suami. Disebutkan dalam kitab mereka:
قال: قلت اني تزوجت امرأة متعة فوقع في نفسي أن لها زوجا ففتشت عن ذلك فوجدت لها زوجا قال: ولم فتشت؟!
Seseorang berkata: Aku berkata: seseungguhnya aku menikahi seorang wanita secara mut’ah, maka terbesit dalam pikiranku bahwasanya dia memiliki seorang suami. Maka aku memeriksa hal tersebut dan aku mendapatkannya dia masih memiliki seorang suami. Maka Ja’far berkata: “Kenapa engkau malah memeriksa statusnya ?!” Tahdzib Al Ahkam 218/13 dan Wasa’il Asy Syiah 246/6
Lihat, apa yang dilakukan oleh Imam Mereka Ja’far Ash Shodiq yang melarang seseorang karena dia telah memeriksa dan menanyakan status wanita mut’ahnya yang telah memiliki suami. Jika Emilia mau bukti dengan minta screenshootnya, maka akan kami berikan kepadanya, baik dari kitab tahdzib Al Ahkam ataupun Wasa’il Asy Syiah. Jangan kira kami sembarang copas, karena kami punya kitab ini semua dan kami screenshoot langsung dari kitab mereka. Alasan apa lagi yang akan dilakukan oleh dedengkot syiah satu ini ??
Berikut riwayat beserta sanad lengkapnya dalam kitab Tahdzib Al Ahkam oleh ulama Syi’ah Syaikh Ath Thuusiy
روى محمد بن أحمد بن يحيى عن علي بن السندي عن عثمان بن عيسى عن إسحاق بن عمار عن فضل مولى محمد بن راشد عن أبي عبد الله عليه السلام قال: قلت اني تزوجت امرأة متعة فوقع في نفسي أن لها زوجا ففتشت عن ذلك فوجدت لها زوجا قال: ولم فتشت؟
Muhammad bin Ahmad bin Yahya dari ‘Aliy bin As Sindiy dari ‘Utsman bin Iisa dari Ishaaq bin ‘Ammaar dari Fadhl maula Muhammad bin Raasyid dari Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam] yang berkata aku menikahi seorang wanita secara mut’ah maka muncul dari diriku bahwa ia memiliki suami. Maka aku menyelidiki hal tersebut dan menemukan bahwa ia memiliki suami. Beliau berkata “mengapa engkau menyelidikinya?”. [Tahdzib Al Ahkam Syaikh Ath Thuusiy 7/253]
Riwayat di atas sesuai dengan kaidah ilmu dalam mazhab Syi’ah kedudukannya dhaif karena
‘Aliy bin As Sindiy dia perawi yang tidak tsabit tautsiq terhadapnya [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadiits hal 398]
Fadhl maula Muhammad bin Raasyid seorang yang majhul [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadiits hal 458]
Justru terdapat riwayat shahih dalam kitab Al Kafiy Al Kulainiy yang mengisyaratkan tidak bolehnya menikahi mut’ah wanita yang bersuami.
عدة من أصحابنا عن أحمد بن محمد بن عيسى عن الحسين بن سعيد عن فضالة عن ميسر قال قلت لأبي عبد الله (عليه السلام) ألقى المرأة بالفلاة التي ليس فيها أحد فأقول لها هل لك زوج؟ فتقول لا، فأتزوجها؟ قال نعم هي المصدقة على نفسها
Dari sekelompok sahabat kami dari Ahmad bin Muhammad bin ‘Iisa dari Husain bin Sa’iid dari Fadhalah dari Maysar yang berkata aku berkata kepada Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam] “aku menemui seorang wanita di tengah padang luas dan tidak ada seorangpun bersamanya, maka kukatakan kepadanya “apakah engkau memiliki suami”. Maka ia berkata “tidak”, bolehkah aku menikahinya?. Beliau berkata “boleh, dia adalah saksi yang membenarkan keadaan dirinya” [Al Kafiy Al Kulainiy 5/462]
Di sisi Al Kulainiy lafaz “sekelompok sahabat kami” dari Ahmad bin Muhammad bin Iisa tidak bermakna majhul sebagaimana yang dinukil An Najasyiy
وقال أبو جعفر الكليني: كل ما كان في كتابي عدة من أصحابنا عن أحمد بن محمد بن عيسى، فهم محمد بن يحيى وعلي بن موسى الكميذاني وداود بن كورة وأحمد بن إدريس وعلي بن إبراهيم بن هاشم
Abu Ja’far Al Kulainiy berkata “setiap apa yang ada dalam kitabku, sekelompok sahabat kami dari Ahmad bin Muhamad bin ‘Iisa maka mereka adalah Muhammad bin Yahya, Aliy bin Muusa Al Kumaydzaaniy, Dawud bin Kawrah, Ahmad bin Idris dan Aliy bin Ibrahim bin Haasyim [Rijal An Najasyiy hal 377-378 no 1026]
Maka dari itu sanad riwayat Al Kafiy di atas kedudukannya shahih berdasarkan kaidah ilmu dalam mazhab Syi’ah. Berikut keterangan mengenai para perawinya
Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 353 no 946]. Ahmad bin Idris Al Qummiy seorang yang tsiqat faqiih shahih riwayatnya [Rijal An Najasyiy hal 92 no 228]. Aliy bin Ibrahim bin Haasyimseorang yang tsiqat dalam hadis dan tsabit [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680]
Ahmad bin Muhammad bin Iisa Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 351]
Husain bin Sa’id bin Hammaad seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 355]
Fadhalah bin Ayuub Al Azdiy disebutkan oleh An Najasyiy bahwa ia tsiqat dalam hadis dan lurus dalam agamanya [Rijal An Najasyiy hal 310-311 no 850]
Maysar bin ‘Abdul Aziz termasuk sahabat Imam Baqir dan Imam Shaadiq, seorang yang tsiqat [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadiits hal 634]
Riwayat di atas mengisyaratkan bahwa menikahi wanita yang memiliki suami adalah tidak boleh, karena kalau memang dibolehkan maka tidak ada gunanya perawi tersebut bertanya kepada Imam Ja’far dan jawaban Imam Ja’far tersebut akan menjadi rancu. Toh kalau tidak ada bedanya sudah bersuami atau tidak yaitu sama-sama boleh dinikahi, maka tidak ada gunanya pernyataan Imam Ja’far bahwa “ia adalah saksi yang membenarkan keadaan dirinya”.
Jawaban Imam Ja’far ini justru menjelaskan bahwa pengakuan seorang wanita akan dirinya menjadi hujjah yang dapat diterima oleh karena itu pernyataan wanita tersebut bahwa ia tidak memiliki suami menjadikannya boleh untuk dinikahi. Artinya jika wanita tersebut memiliki suami maka tidak boleh dinikahi.
Dan dalil paling kuat di sisi mazhab Syi’ah mengenai haramnya menikahi wanita yang sudah bersuami baik secara nikah da’im atau nikah mut’ah adalah Al Qur’an An Nisaa’ ayat 24
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Dan [diharamkan juga kamu menikahi] wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki [Allah telah menetapkan hukum itu] sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian, [yaitu] mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya, sebagai suatu kewajiban dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. [QS An Nisaa’ ayat 24]
Penutup
Kami heran dengan orang-orang alim yang karena kebenciannya terhadap mazhab Syi’ah maka mereka merendahkan diri menjadi orang dungu dan pendusta. Apakah mereka pikir tidak ada orang yang akan mengungkap kedunguan dan kedustaan mereka?. Zaman sekarang ini dunia ilmu sudah semakin mudah untuk dicapai hanya tinggal kemauan dan usaha. Jadi kami sarankan untuk orang-orang seperti Al Amiry agar belajar dulu dengan baik mengenai mazhab Syi’ah sebelum anda sok tahu mencelanya.
Alangkah malangnya orang-orang awam yang disesatkan oleh orang-orang alim dengan kedunguan dan kedustaan. Biasanya orang-orang awam itu hanya ikut-ikutan sok tahu dan ikut-ikutan mencela. Jika ditunjukkan kebenaran kepada orang-orang awam tersebut kemudian diungkapkan kedustaan orang alim yang mereka ikuti maka mereka malah mendustakan kebenaran dan membela kedustaan. Maka kami sarankan kepada para pembaca jangan mau menjadi orang awam, belajarlah dan timbanglah semua pengetahuan yang didapat dengan timbangan kebenaran.
Nikah Mut’ah Bukanlah Zina? Menggugat Salafy
penulis : secondprince
Nikah Mut’ah Bukanlah Zina? Menggugat Salafy
Tulisan ini bukan mempermasalahkan hukum nikah mut’ah. Baik yang mengharamkan dan yang menghalalkan nikah mut’ah sama-sama memiliki hujjah. Masalah yang kami bahas pada tulisan kali ini adalah ulah mulut gatal sebagian pengikut salafy yang berkata “nikah mut’ah adalah zina”. Tidak diragukan kalau Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah menghalalkan nikah mut’ah dan para sahabatpun pernah melakukan nikah mut’ah. Berdasarkan fakta ini maka perkataan “nikah mut’ah adalah zina” memiliki konsekuensi kalau Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah menghalalkan zina dan para sahabat pernah melakukan zina. Na’udzubillah, bukankah ini adalah tuduhan yang keji.
Terdapat dalil yang menyebutkan kalau Nikah mut’ah bukanlah sesuatu yang keji melainkan sesuatu yang “baik”. Hal ini pernah disebutkan dalam hadis Ibnu Mas’ud dengan sanad yang shahih.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ إِسْمَاعِيلَ عَنْ قَيْسٍ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ كُنَّا نَغْزُو مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَيْسَ لَنَا شَيْءٌ فَقُلْنَا أَلَا نَسْتَخْصِي فَنَهَانَا عَنْ ذَلِكَ ثُمَّ رَخَّصَ لَنَا أَنْ نَنْكِحَ الْمَرْأَةَ بِالثَّوْبِ ثُمَّ قَرَأَ عَلَيْنَا يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id yang berkata telah menceritakan kepada kami Jarir dari Isma’il dari Qais yang berkata Abdullah berkata “kami berperang bersama Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan kami tidak membawa wanita [istri], kami berkata “apakah sebaiknya kita mengebiri” maka Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] melarang kami melakukannya kemudian mengizinkan kami untuk menikahi wanita dengan selembar pakaian kemudian Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam]membacakan kepada kami “janganlah kalian mengharamkan apa yang baik yang telah Allah halalkan kepada kalian dan janganlah kalian melampaui batas, sesungguhnya Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas [Al Maidah ayat 87]“[Shahih Bukhari 7/4 no 5075]
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا وكيع عن بن أبي خالد عن قيس عن عبد الله قال كنا مع النبي صلى الله عليه و سلم ونحن شباب فقلنا يا رسول الله ألا نستخصي فنهانا ثم رخص لنا في ان ننكح المرأة بالثوب إلى الأجل ثم قرأ عبد الله { لا تحرموا طيبات ما أحل الله لكم }
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Ibnu Abi Khalid dari Qais dari Abdullah yang berkata “kami bersama Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan kami masih muda, kami berkata “wahai Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidakkah kami dikebiri?. Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] melarang kami melakukannya kemudian Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] memberi keringanan kepada kami untuk menikahi wanita dengan mahar berupa pakaian sampai waktu yang ditentukan. Kemudian ‘Abdullah membaca [Al Maidah ayat 87] “janganlah kalian mengharamkan apa yang baik yang telah Allah halalkan kepada kalian” [Musnad Ahmad 1/432 no 4113, Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya shahih dengan syarat Bukhari Muslim]
Perhatikan baik-baik, Ibnu Mas’ud ketika menyebutkan nikah mut’ah ia membaca ayat sebagaimana Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] membacakan ayat “janganlah kalian mengharamkan apa yang baik yang telah Allah halalkan kepada kalian”. Ini berarti nikah mut’ah itu termasuk dalam “thayyibaat” [hal yang baik]. Jadi keliru sekali kalau mengatakan Nikah mut’ah adalah zina. Bagaimana mungkin zina disebut sesuatu yang baik?. Perkara pada akhirnya nikah mut’ah diharamkan [menurut sebagian orang] tetap saja tidak mengubah kalau nikah mut’ah itu sesuatu yang baik.
Seandainya nikah mut’ah itu hukumnya haram tetap saja sangat tidak benar menyatakan nikah mut’ah adalah zina. Apa yang akan mereka katakan terhadap para sahabat yang melakukan nikah mut’ah. Apakah mereka akan menuduh para sahabat telah berzina?.
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا بهز قال وثنا عفان قالا ثنا همام ثنا قتادة عن أبي نضرة قال قلت لجابر بن عبد الله ان بن الزبير رضي الله عنه ينهى عن المتعة وان بن عباس يأمر بها قال فقال لي على يدي جرى الحديث تمتعنا مع رسول الله صلى الله عليه و سلم قال عفان ومع أبي بكر فلما ولي عمر رضي الله عنه خطب الناس فقال ان القرآن هو القرآن وان رسول الله صلى الله عليه و سلم هو الرسول وأنهما كانتا متعتان على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم إحداهما متعة الحج والأخرى متعة النساء
Telah menceritakan kepada kami Bahz dan telah menceritakan kepada kami Affan , keduanya [Bahz dan Affan] berkata telah menceritakan kepada kami Hamam yang berkata telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Abi Nadhrah yang berkata “aku berkata kepada Jabir bin Abdullah RA ‘sesungguhnya Ibnu Zubair telah melarang mut’ah dan Ibnu Abbas memerintahkannya’. Abu Nadhrah berkata ‘Jabir kemudian berkata kepadaku ‘kami pernah bermut’ah bersama Rasulullah’. [Affan berkata] “ dan bersama Abu Bakar. Ketika Umar menjadi pemimpin orang-orang, dia berkata ‘sesungguhnya Al Qur’an adalah Al Qur’an dan Rasulullah SAW adalah Rasul dan sesungguhnya ada dua mut’ah pada masa Rasulullah SAW hidup, salah satunya adalah mut’ah haji dan yang satunya adalah mut’ah wanita’ [Musnad Ahmad 1/52 no 369, Syaikh Syu’aib Al Arnauth menyatakan sanadnya shahih sesuai dengan syarat Muslim]
Hadis di atas menyebutkan kalau para sahabat [termasuk Jabir] pernah bermut’ah bersama Abu Bakar. Apakah Jabir, Abu Bakar dan sahabat lainnya akan dikatakan telah melakukan zina?. Na’udzubillah, tetapi itulah konsekuensi dari perkataan “Nikah mut’ah adalah zina”. Sangat jelas bahwa sebagian sahabat tetap menghalalkan nikah mut’ah selepas Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat. Hadis di atas menjadi bukti dimana Jabir mengatakan kalau para sahabat [termasuk dirinya] tetap melaksanakan mut’ah dimasa Abu Bakar.
قال عطاء قدم جابر بن عبدالله معتمرا فجئناه في منزله فسأله القوم عن أشياء ثم ذكروا المتعة فقال نعم استمتعنا على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم وأبي بكر وعمر
Atha’ berkata “Jabir bin Abdullah datang untuk menunaikan ibadah umrah. Maka kami mendatangi tempatnya menginap. Beberapa orang dari kami bertanya berbagai hal sampai akhirnya mereka bertanya tentang mut’ah. Jabir menjawab “benar, kami melakukan mut’ah pada masa hidup Rasulullah SAW, masa hidup Abu Bakar dan masa hidup Umar”. [Shahih Muslim 2/1022 no 15 (1405) tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi]
Sekali lagi jika nikah mut’ah adalah zina, maka konsekuensinya adalah Jabir dan para sahabat lainnya bersepakat melakukan zina dan menghalalkan zina. Kami yakin hal ini tidak akan diterima oleh siapapun yang mengaku muslim. Semoga pengikut salafy yang bermulut usil itu dapat menahan diri untuk tidak mengatakan kalau nikah mut’ah adalah zina. Karena perkataan itu sama saja telah mencaci para sahabat Nabi? Dan bukankah menurut mereka pengikut salafy, mencaci sahabat Nabi adalah kafir. Memang barang siapa yang mulutnya terlalu mudah mengumbar kata kafir maka kata kafir itu akan berbalik pada dirinya sendiri. Salam Damai
Kawin Kontrak Ala Wahabi-Salafi [Fatwa Syekh Bin Baz]
penulis : abusalafy
Kawin Kontrak Ala Wahabi-Salafi [Fatwa Syekh Bin Baz]
Mungkin banyak wahabi-salafy di negeri kita ini tidak tau, atau malu-malu kucing menyebutkan bahwa Mufti mereka almarhum Syekh Bin Baz pernah mengeluarkan fatwa tentang kawin kontrak yang diperbolehkan bagi para musafir/atau pelajar di rantau. Tentunya fatwa tersebut tidak memakai bahasa kawin kontrak, tapi istilah yang dipakai adalah “KAWIN DENGAN NIAT AKAN DI TALAQ (di cerai)”. [silahkan merujuk fatwa tersebut di]:
“Majmuk Fatawa oleh Ibin Baz, Jilid 4, hal 29-30 cetakan Riyadh – Saudi Arabia, Tahun 1411/1990”
Makanya nggak heran jika para turis wahabi-salafy dari Arab Saudi datang ke Indonesia atau negara-negara asia lainnya, mereka sibuk mencari gadis-gadis untuk dinikah lalu ditalak atau dicerai setelah mereka kembali pulang ke negeri asal mereka. dan diantara yang mereka kawin tersebut adalah para pelacur.
Sekarang pemerintah Saudi agak resah karena para pelancong/wisatawan Saudi tersebut pulang membawa oleh-oleh yaitu penyakit kotor seperti HIV/AIDS, Hepatitis dll
alkisah selanjutnya silahkan membaca berita yang dilansir kantor berita Antara dibawah ini.
Wisatawan Saudi Diminta Waspadai Mafia Kawin di Luar Negeri
Sumber : Antara
Sana`a (ANTARA News) – Musim panas, bagi sebagian warga Teluk kaya minyak adalah musim liburan panjang untuk menghilangkan kerutinan sehari-hari terutama di kalangan karyawan dan pegawai.
Pada musim panas tersebut, jutaan warga Teluk menghabiskan masa liburan panjang mereka di luar negeri. Sebagian menghabiskan masa liburan bersama keluarga, sebagian lainnya lebih memilih berlibur sendiri.
Bagi sebagian pria yang berlibur tanpa keluarga, kesepian selama masa liburan dimanfaatkan untuk menikah dengan gadis-gadis negara tujuan berlibur. Cara ini diyakini sebagai upaya menghindar dari prostitusi.
Sebagian lainnya memang sengaja mencari pendamping untuk selanjutnya dibawa pulang ke Saudi untuk mendapatkan kewarganegaraan setempat.
Maka tidak heran bila, masa liburan musim panas tersebut memunculkan fenomena pernikahan musiman antara sebagian warga Arab dengan wanita-wanita di negara tempat berlibur.
Para makelar di negara tujuan yang paham dengan kebiasaan sebagian wisatawan Arab tersebut pada “berebutan” mencarikan wanita pilihan untuk dijadikan istri, tentunya dengan imbalan materi
menggiurkan.
Gejala kawin musiman tersebut akhir-akhir ini mengkhawatirkan banyak pihak karena dicurigai banyak di antara makelar yang menjadi mafia untuk mencari keuntungan materi semata.
Di Arab Saudi misalnya, sebuah lembaga partikelir “Awashir” memperingatkan para wisatawan Saudi yang berlibur di manca negara untuk mewaspadai para mafia prostitusi berkedokan perantara nikah.
“Sebagian besar makelar nikah yang menunggu di bandara dan hotel itu adalah mafia yang berlatar belakang mucikari,” kata keterangan pers lembaga itu seperti dikutip media setempat, Minggu (29/7).
Ketua Lembaga Awashir, Abdullah Al-Hamoud menghimbau semua pihak untuk mengatasi nikah musiman tersebut. “Kita memerlukan bantuan semua pihak untuk mengatasi gejala ini,” katanya seperti dikutip harian Al-Sharqul Awsat.
Penyakit Bahaya
Ia menjelaskan bahwa sebagian warga negeri kaya minyak itu yang menikah dengan gadis-gadis asing di tempat tujuan wisata terjangkit penyakit berbahaya karena sebelum melangsungkan pernikahan tidak dilakukan cek medis.
“Sebagian wisatawan kita yang menikah cepat dengan gadis asing tanpa melalui cek medis terhadap calon istri, terjangkit AIDS dan hepatitis dengan berbagai tingkatan,” papar Al-Hamoud lagi.
“Karena itu, sebagai salah satu bentuk tanggung jawab nasional, kami mengingatkan warga Saudi agar waspada terhadap para makelar karena sebagian besar mereka berlatarbelakang mucikari pelacuran,”
katanya.
Lembaga yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan itu, menganjurkan wisatawan negeri petrodollar itu yang “kebelet” ingin menikah dengan gadis di negara tujuan wisata untuk terlebih dahulu menghubungi kedutaan Saudi di negara setempat.
“Pengarahan dari kedutaan Saudi penting bagi mereka yang ingin menikah dengan gadis setempat agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” pesan lembaga itu.
Selain itu, juga menganjurkan mereka yang ingin menikah untuk menanyakan pengalaman warga Saudi lainnya yang telah berhasil menikahi gadis asing agar tidak salah pilih penghubung.
Kredit
Lembaga tersebut juga mengingatkan warga negeri itu yang menikah dengan gadis-gadis asing akan dampak ekonomis. “Menikah dengan gadis asing ibarat membeli barang secara kredit (angsuran)”.
Pada awalnya biaya murah, namun lambat laun biaya akan membengkak karena harus memenuhi permintaan dari para istri di seberang yang tidak henti-hentinya.
“Ibaratnya sang suami dijadikan ATM yang uangnya harus selalu diisi,” paparnya.
Belum lagi harus memikirkan aneka hadiah buat keluarga sang istri bila berkunjung ke negara asal istri mereka. “Alhasil biaya menikah dengan gadis asing sebenarnya lebih mahal”.
Awashir juga mengingatkan dampak sosial dari pernikahan lintas negara tersebut terutama yang memiliki adat dan tradisi berbeda. Diantaranya adalah makin meningkatnya angka perawan tua di kalangan gadis setempat.
Perbedaan tradisi menyulitkan komunikasi berimbang antara suami-istri sehingga banyak perkawinan yang berakhir dengan perceraian. “Anak-anak mereka yang menanggung akibatnya”.
Apabila perceraian terjadi, anak-anak mereka menghadapi kesulitan dalam mengikuti tradisi ayahnya karena terbiasa dengan tradisi sang ibu. “Mereka akhirnya menghadapi konflik tradisi”.
Selain itu, lanjut lembaga tersebut mengingatkan bahwa perceraian membuat para anak yang tinggal bersama ayah mereka di Saudi kehilangan kasih sayang ibu. Karena biasanya sang ibu tidak lagi atau sangat jarang menengok anaknya di Saudi.
Meskipun berbagai dampak tersebut, kelihatannya masih banyak juga pria negeri kaya minyak itu yang tetap ingin menikahi gadis asing dengan harapan dapat mengupayakan untuk mendapat kewargaan Saudi.
Mungkin benar kata sebuah ungkapan bahwa cinta tidak mengenal batas negara dan ras. Bila cinta telah melekat maka gadis negara manapun siap “didekap”.
Salafy/Wahabi : Bertepuk Tangan Hukumnya Haram
penulis : abusalafy
Salafy/Wahabi : Bertepuk Tangan Hukumnya Haram
Dibawah tulisan ini saya copy-paste-kan fatwa unik dari Imam Agung Wahabi/Salafy Ibn Baz yang dimuat situs wahabi/salafy asysyariah.com. Menurut Ibn Baz bertepuk tangan adalah perbuatan jahiliyah maka hukumnya haram, karena kaum muslimin dilarang menyerupai orang-orang kafir. Saya tidak akan mengomentari fatwa ini, semuanya saya serahkan kepada pembaca, saya cuman ingin menunggu pendapat dan komentar pengunjung blog ini.
Anehnya Ibn Baz tidak pernah berfatwa atau menegur amir-amir wahabi dari dinasti al-Saud yan perbuatannya banyak meniru kaum kafir, mulai berpakain sampai perbuatan yang jelas-jelas haram. Bukan suatu berita keanehan jika amir-amir dinasti al-Saud ketika di negeri barat/negeri orang kafir melakukan perbuatan yang jelas-jelas dilarang oleh syariah, seperti berfoya-foya (tabdzir), meminum minuman keras, bermain perempuan dll.
Salah satu contoh amir Ahmed bin Salman bin Abdul Aziz (kemenakan Almarhum Raja Fahd) pernah membeli kuda pacuan yang bernama “War Emblem” di Amerika, Amir Ahmad membeli 90% saham kepemilikan kuda tersebut dengan harga US $900.000 dan kudanya pernah memenangkan pacuan kuda terkenal “Kentucky Derby”. Pacuan kuda di negeri barat adalah tempat perjudian, tapi bagi Amir wahabi hal ini adalah hal yang biasa bukan perbuatan haram ataupun mubadzir (membeli kuda dengan harga US $900.00). dan yang aneh lagi kita tidak pernah mendengar apalagi fatwa dari Ibn Baz atau ulama wahabi Saudi lainnya yang mengeluarkan fatwa atas perbuatan amirnya ini ataupun menegurnya.
Contoh lainnya Amir Bandar bin Sulthon (mantan duta besar Saudi Arabia di Amerika) yang dibarat dikenal dengan nama Bandar Bush karena kedekatannya dengan mantan presiden Amerika George W. Bush, amir ini dibarat terkenal dengan minuman kesayangannya “Chivas Regal” dan senang berpakain ala barat (atau ala jahiliyah meminjam istilah Ibn Baz) yakni ber-Jas dan berdasi -(lihat gambar mesranya dengan George W. Bush diatas)- tapi lagi-lagi Imam Agung Wahabi tidak pernah mengeluarkan fatwa tentang berpakain yang menyerupai orang-orang kafir ini.