Senin, 03 Juni 2019

SYI’AH AHLULBAIT AS.



SYARAT-SYARAT SYI’AH AHLULBAIT AS.


Syarat Umum Syi’ah Ahlulbait as.



Nilai yang kita perbincangkan seputar kepengikutan kepada Ahlulbait as. dan penerimaan wilayah mereka tidak lepas dari syarat-syarat umum. Wilayah dan dukungan itu tidak membuahkan hasil kecuali dengan terealisasinya syaratsyarat tersebut. Termasuk di antaranya adalah pengetahuan tentang hukum agama atau fikih, ibadah, takwa, warak, pertalian dan komunikasi bersama orang-orang mukmin pada khususnya dan semua orang muslim pada umumnya, disiplin, adab, budi pekerti dan pergaulan yang baik dengan masyarakat, amanat, dan jujur dalam bertutur.


Tanpa semua itu, kepengikutan seseorang kepada Ahlulbait as. bukanlah syi’ah dan wilayah yang sebenarnya, karena syi’ah yang sejati adalah kepengikutan yang nyata dan tulus bersama mereka as.


Berikut ini beberapa poin penting dari ajaran Ahlulbait as. berkaitan dengan Syi’ah atau pengikut mereka:


Jadilah Hiasan, bukan Coreng


Imam-imam suci Ahlulbait as. memerintahkan Syi’ah agar menjadi perhiasan bagi mereka dan bukan sebaliknya; menjadi noda dan coreng bagi mereka, karena jika mereka (Syi’ah) berbuat dengan akhlak Islam dan beradab sesuai kesantunan Islam niscaya masyarakat akan menyanjung Ahlul-bait as. seraya berkata: “Betapa indahnya Ahlulbait as. mendidik dan menyucikan Syi’ah mereka”. Ini tentu berbeda jika masyarakat menjumpai keburukan mereka dalam pergaulan dan perilaku, juga tidak menegakkan hukum Allah swt. serta halal dan haram-Nya, niscaya masyarakat akan mencemooh Ahlulbait as. karena kelakuan buruk mereka tersebut.


Sulaiman bin Mihran menceritakan: “Suatu hari aku menemui Imam Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq as. yang kebetulan pada saat itu ada beberapa orang dari pengikut beliau di situ, beliau memanggil: ‘Wahai sekalian Syi’ah! Jadilah kalian hiasan bagi kami dan jangan menjadi coreng bagi kami, bertuturlah yang sopan dengan masyarakat, jagalah lidah kalian, hindarilah campur tangan dan tutur kata yang buruk”.


Diriwayatkan dari Abu Abdillah Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Wahai orang-orang Syi’ah! Sesungguhnya kalian dikaitkan kepada kami, maka jadilah hiasan bagi kami dan jangan jadi noda untuk kami…”.[39]

Diriwayatkan pula dari beliau berkata: “Sesungguhnya Allah merahmati hamba-Nya yang menyebabkan kami tercinta di tengah masyarakat, dan tidak menjadikan kami dibenci mereka. Demi Allah, andaikan hamba-hamba Allah itu meriwayatkan keindahan tutur kata kami, niscaya mereka lebih mulia dan terhormat, dan tidak akan ada seorangpun yang dapat menyanggah mereka”.[40]


Beliau juga berkata: “Allah swt. merahmati orang yang menyebabkan kami tercinta di tengah masyarakat dan tidak menjadikan kami dibenci mereka. Sungguh demi Allah! Andaikan hamba-hamba Allah itu (Syi’ah) meriwayatkan keindahan bicara kami, niscaya mereka lebih mulia dan terhormat, serta tidak akan ada seorangpun yang mampu menyanggah mereka. Namun sayang! Sebagian dari mereka mendengar satu kata dan menambahkan puluhan kata (saat menukilnya)”.[41]

Dalam riwayat lain beliau berkata: “Wahai Abdul A’la!

Sampaikan salamku kepada mereka (Syi’ah) wa rahmatullah dan katakan kepada mereka: ‘Allah swt. merahmati orang yang memikat cinta masyarakat pada dirinya juga pada kami dengan cara menampilkan sesuatu yang makruf pada mereka, dan menghindarkan sesuatu yang munkar dari mereka’”.[42]

Diriwayatkan juga bahwa Imam Ja’far Ash-Shadiq as.berkata: 
“Wahai orang-orang Syi’ah, jadilah hiasan bagi kami dan jangan menjadi noda untuk kami, berbicaralah santun kepada masyarakat, jagalah lidah kalian, dan hindarilah campur tangan dalam urusan orang lain dan perkataan yang buruk”[43]


Ahulbait as. Memberi Syafaat di Sisi Allah swt. dan Senantiasa Bergantung kepada-Nya


Sesungguhnya Ahlulbait as. tidak butuh kepada selain Allah swt., tetapi mereka senantiasa bergantung sepenuhnya kepada-Nya. Mereka memberi syafaat dengan izin Allah dan tidak akan pernah memberi syafaat pada siapapun tanpa seizin-Nya.

Maka barang siapa yang ingin merasa cukup dan tidak butuh ketaatan kepada Allah, ibadah kepada-Nya, takwa dan warak serta hanya bermodalkan cinta dan wilayah Ahlulbait as., maka ketahuilah dia telah menapaki jalan selain Ahlulbait as. dan mengikuti mazhab selain mereka.


Dan dengan demikian, dia tidak akan memetik buah yang diharapkan dari kecintaannya pada Ahlulbait as.

Amr bin Sa’id bin Bilal berkata:
“Suatu saat aku menemui Abu Ja’far Muhammad Baqir as. Di sekitar beliau tampak ada sekelompok orang. Kepada mereka Imam berkata:

‘Ambillah jalan tengah! Orang yang berlebihan akan kembali pada kalian dan orang yang akan datang akan bergabung bersama kalian.


Ketahuliah wahai Syi’ah dan pengikut keluarga Muhammad saw.! Tidak ada kekerabatan antara kami dengan Allah swt., diri kami juga tidak menjadi hujah di hadapan Allah, dan kedekatan pada Allah tidak akan bisa diraih kecuali dengan ketaatan pada-Nya. Maka barang siapa yang taat pada Allah, maka wilayah dan cintanya pada kami akan bermanfaat baginya, dan barangsiapa yang menentang maka cintanya tak lagi berarti sama sekali’.

“Kemudian beliau mengalihkan perhatian kepada kami seraya berkata: ‘Jangan memperdaya dan jangan berdusta atau membuat-buat’”.[44]

Maka itu, barang siapa yang menghendaki Ahlulbait as. dan ingin mengikuti ajaran mereka serta berwilayah kepada mereka, maka dia harus sadar bahwa Ahlulbait as. tidak memiliki keuntungan maupun bahaya, baik pada diri mereka sendiri maupun untuk orang lain, kecuali dengan izin Allah swt. dan kehendak-Nya. Mereka hanyalah hambahamba ciptaan Allah yang dekat pada-Nya.

Sudah barang tentu, orang yang menghendaki Ahlulbait as. dan berharap kedekatan diri pada Allah dan syafaat di sisinya melalui cinta pada mereka, maka seyogyanya dia bertakwa kepada Allah dan menempuh jalan orang-orang saleh.

Diriwayatkan bahwa Imam Ali as. berkata: “Bertakwalah pada Allah, janganlah kalian terperdaya oleh orang lain, janganlah kalian termakan dusta orang lain. Ketahuilah bahwa agamaku adalah agama yang satu, agama (Nabi) Adam yang diridhai Allah swt.; aku hanyalah hamba ciptaan-Nya, dan aku tidak memiliki jaminan atau bahaya pada diriku sendiri kecuali apa yang dikehendaki Allah, dan aku tidak berkehendak kecuali apa yang Allah kehendaki”.[45]

Warak dan Takwa



Kita tidak menemukan wasiat Ahlulbait as. kepada Syi’ah mereka yang lebih banyak dari wasiat mereka tentang takwa dan warak dalam kehidupan. Syi’ah Ahlulbait as. adalah orang yang mengikuti dan menyertai mereka dalam hal takwa dan warak. Merekalah orang yang lebih bertakwa dan warak serta lebih dekat atau mirip pada Ahlulbait as., bukankah inti tasyayyu’ adalah kepengikutan dan peneladanan.

Maka orang yang ingin mengikuti dan meneladani Ahlulbait as. tidak akan menemukan jalan selain ketaatan kepada Allah, warak dan takwa kepada-Nya.

Abu Shabah al-Kanani meriwayatkan: “Aku katakan kepada Abu Abdillah Ja’far Ash-Shadiq as.: 

‘Di Kufah, kita dicemooh karena nama kalian (Ahlulbait). Mereka memanggil kita dengan sebutan Ja’fariyah’. Maka beliau marah seraya berkata: 

“Sesungguhnya sahabat Ja’far di antara kalian tidaklah banyak, karena sahabat Ja’far adalah orang yang waraknya sangat kuat dan hanya beramal untuk Penciptanya; Allah swt. ‘”.[46]

Amr bin Yahya bin Bisam berkata aku mendengar Abu Abdillah Ja’far Ash-Shadiq as. berkata demikian: 

“Sesungguhnya orang yang benar-benar warak adalah keluarga Muhammad saw. dan Syi’ah mereka”.[47]


Diriwayatkan pula dari Imam Ja’far Ash-Shadiq:

“Syi’ah kami adalah warak dan pekerja, mereka adalah orang-orang yang percaya dan terpercaya, ahli zuhud dan ibadah, senantiasa menunaikan lima puluh satu rakaat shalat sehari semalam, orang-orang yang terjaga di malam hari dan berpuasa di siang hari. Mereka menunaikan ibadah haji ke Baitul Haram … dan menjaga diri dari segala yang haram”.[48]


Beliau juga berkata: “Demi Allah, Syi’ah Ali as. tidak lain adalah orang yang suci perut dan kemaluannya, orang yang beramal hanya untuk Penciptanya, dan mengharapkan pahala-Nya serta takut akan siksa-Nya”.[49]

Dalam riwayat yang lain beliau berkata:
“Wahai Syi’ah keluarga Muhammad saw.! Sesungguhnya bukanlah dari kami orang yang tidak menguasai dirinya pada saat marah, tidak berkata sopan pada orang yang berbicara dengannya, tidak menjaga persahabatannya dengan orang yang bersamanya, dan tidak memegang janji perdamaian dengan orang yang mengajaknya berdamai”.[50]

Diriwayatkan pula bahwa beliau berkata:
“Bukan dari Syi’ah kami orang yang berada di kota atau sebuah daerah dan dia memiliki ribuan harta sementara di sana terdapat orang yang lebih warak dari dia”.[51]

Kalib bin Muawiyah al-Asadi berkata saya mendengar Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata:

“Demi Allah! Sesungguhnya kalian berada di atas agama Allah dan agama malaikat-Nya, maka bantulah kami dengan warak dan usaha yang sungguh-sungguh!”[52]

Perawi yang sama juga melaporkan:


“Aku mendengar Imam Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq as. berkata: 


‘Demi Allah, sesungguhnya kalian di atas agama Allah dan malaikatNya, maka bantulah kami dalam hal itu dengan warak dan usaha keras. Perhatikanlah shalat malam dan ibadah kalian, perhatikanlah warak kalian!’”[53]

Penulis buku Bashairu Darajat meriwayatkan dari Murazim berkata:


“Suatu hari aku memasuki kota Madinah, aku melihat seorang wanita di rumah yang aku tempati saat itu, aku begitu tertarik padanya tapi dia menolak untuk menikah denganku”.

Murazim melanjutkan:

“Maka aku mendatangi wanita itu di petang hari. Kuketuk pintu kamarnya, ternyata dia sendiri yang membukakan pintu. Segera dia letakkan tanganku di atas dadanya dan dia bersegera sampai aku masuk. Pagi harinya aku datang pada Abul Hasan as, maka dia berkata: ‘Wahai Murazim! Bukanlah dari Syi’ah kami orang yang sendirian namun tidak menjaga hatinya’”.[54]

Dalam sebuah riwayat disebutkan, ada seorang berkata kepada Rasulullah saw.:

“Wahai Rasulullah, si fulan melihat kehormatan (keluarga) tetangganya, dan apabila dia berkesempatan untuk melakukan perbuatan haram, niscaya dia tidak akan menjaga diri dari hal itu”.

Mendengar itu, Rasulullah saw. marah.


Lalu orang itu menambahkan: 

“Meski begitu, dia termasuk orang yang meyakini dirinya berwi layah kepadamu, mendukung Ali dan menentang musuh-musuh kalian”.

Maka Rasulullah saw. bersabda:

“Jangan katakan dia dari Syi’ah kami! Sungguh dia telah berdusta.

Syi’ah kami adalah orang yang mengikuti perilaku kami, dan apa yang kamu katakan tadi tentang perbuatan orang itu tidak termasuk dari perilaku kami”.[55]

Seorang berkata pada Imam Hasan bin Ali as.:

“Aku adalah salah satu dari Syi’ah kalian”.


Maka Imam Hasan bin Ali as. berkata padanya: 
 
“Wahai hamba Allah! Jika kamu mengikuti kami dan mentaati perintah dan larangan kami, berarti kamu benar, dan jika ternyata kamu bertentangan dengan itu, maka janganlah menambah dosamu dengan pengakuanmu akan derajat mulia yang bukan milikmu.


Jangan katakan pada kami bahwa aku adalah Syi’ah kalian, tapi katakanlah bahwa aku adalah salah satu pecinta dan pendukung kalian serta musuh lawan kalian”.[56]

Seorang lagi berkata pada Imam Husain as.:

“Wahai putra Rasul, aku adalah Syi’ahmu”. Husain as. berkata:

“Sesungguhnya Syi’ah kami adalah orang yang hatinya bersih dari pengkhianatan dan kedengkian yang terselubung”.

Disebutkan dalam kitab Abul Qasim bin Qoulawaih, riwayat dari Muhammad bin Umar bin Handzalah berkata:

“Abu Abdillah as. berkata: “Bukan dari Syi’ah kami orang yang mengucapkan dengan lidahnya—bahwa aku adalah Syi’ah Ahlulbait as.—tetapi tingkah laku dan sikapnya bertentangan dengan adab dan perilaku kami. Syi’ah kami adalah orang yang menyerupai kami dengan mulut dan hatinya, mengikuti adab kami serta meneladani amal perbuatan kami, mereka adalah Syi’ah kami yang sebenarnya”.[57]

Ibadah Abul Miqdam meriwayatkan bahwa Abu Ja’far Imam Muhammad Baqir as. berkata padanya: 

“Wahai Abul Miqdam, sesungguhnya Syi’ah Ali as. adalah orang-orang yang pucat, kurus kerontang, lemas, bibirnya kering, perutnya langsing, warnanya berubah-ubah, wajahnya kuning. Apabila malam telah menyelimuti mereka, mereka jadikan bumi sebagai tempat tidur dan mengalasinya dengan dahi. Mereka adalah orang yang banyak sujud, bercucuran air mata, banyak berdoa, dan meratap. Mereka bersedih di saat orang-orang bergembira”.[58]

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa di suatu malam yang terang dan cerah, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. keluar dari masjid menuju gurun sahara. Dari belakang, sekelompok orang mengikuti jejak beliau. Beliau berhenti menghadap mereka dan bertanya: 

“Siapa kalian?”

Mereka menjawab:

“Kami adalah Syi’ahmu, wahai Amirul Mukminin!”

Maka beliau meneliti dengan cermat wajah-wajah mereka lalu berkata: 
“Lalu kenapa saya tidak melihat tandatanda Syi’ah pada kalian?”.

Mereka balik bertanya:

“Apa tanda orang Syi’ah, wahai Amirul Mukminin?”.

Beliau pun menjawab: “Wajah mereka kuning pucat karena terjaga di malam hari, mata mereka buram karena menangis, punggung mereka bongkok karena berdiri shalat, perut mereka kosong karena puasa, bibir mereka kering karena berdoa, dan pada mereka terdapat debu-debu orang yang khusyuk”.[59]


Abu Nashir meriwayatkan dari Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Syi’ah kami adalah ahli warak dan usaha keras, orang-orang yang setia dan terpercaya, ahli zuhud dan ibadah, pelaku lima puluh satu rakaat shalat dalam sehari semalam, berjaga di malam hari untuk melaksanakan shalat tahajud, berpuasa di siang hari, mengeluarkan zakat dari harta mereka, menunaikan haji ke Baitul Haram, dan menghindari semua yang haram”.[60]


Syaikh Shaduq dalam Shifatus Syi’ah meriwayatkan dari Muhammad bin Shaleh, dari Abul Abbas ad-Dainuri, dari Muhammad bin al-Hanafiah berkata:

“Ketika Amirul Mukminin as. datang ke Basrah setelah perang Jamal, Ahnaf bin Qais ingin mengundang dan menjamu beliau. Dia mengutus seseorang kepada beliau dan sahabatnya. Amirul Mukminin as. datang memenuhi undangan dan berkata: “Wahai Ahnaf, panggillah sahabat-sahabatku!” Maka masuklah sekelompok orang dalam keadaan tunduk seperti geriba yang telah usang. Segera Ahnaf bin Qais berkata keheranan:

“Wahai Amirul Mukminin, apa yang telah menimpa mereka sampai seperti ini? Apakah karena kurang makan? Atau karena dahsyatnya peperangan?”

Maka Amirul Mukminin as. berkata padanya:
“Tidak wahai Ahnaf! 


Sesungguhnya Allah swt. meperlakukan[61] kelompok orang yang beramal ibadah di dunia terhina seperti orang yang sedang menyergap Hari Kiamat sebelum mereka menyaksikannya secara langsung, maka mereka memaksa diri sekuat tenaga. Mereka adalah orang-orang yang jika diingatkan Hari Pengajuan di hadapan Allah swt. membayangkan keluarnya buku amal mereka yang menampilkan dosa-dosa mereka pada juru-juru kesaksian, dengan begitu diri mereka menjadi luluh, hati mereka terbang melesat dengan sayap-sayap keresahan, dan akal mereka meninggalkan diri mereka menuju Allah dalam keadaan mendidih.

“Mereka menangis seperti orang yang tersesat di malam yang gelap, mereka risau karena takut akan apa yang telah direncanakan pada diri mereka. Karena itu, mereka berjalan dengan tubuh lunglai, hati yang sedih, wajah yang muram, bibir yang kering dan perut yang kosong. Kalian saksikan mereka seperti orang mabuk, terpaku di malam yang mengerikan, tunduk seakan geriba yang telah usang. Mereka ikhlaskan hanya demi Allah swt. seluruh perbuatan mereka, baik yang rahasia maupun yang terang-terangan. Hati mereka tidak pernah merasa aman karena takut pada Allah.

Apabila kau lihat mereka di tengah malam, di saat mata telah tidur lelap, keadaan telah sunyi, gerakan telah diam dan tenang, namun Hari Kiamat beserta janji-janjinya sungguh menghantui dan menahan mereka dari tidur, seperti janji dalam al-Qur’an:

﴿ أفَأمِنَ أهلُ القُ رَی أن يََتِيَهُم بََسُنَا بَ يَاتًَ وَ هُم نَائِمُونَ ﴾
“Apakah penduduk daerah merasa aman dari siksa yang akan menyergap mereka di malam hari saat mereka tidur lelap”.[62]

“Mereka terjaga di waktu malam dengan penuh rasa takut, mereka bangkit untuk menunaikan shalat sambil meratap dan menangis, kadang kala mereka bertasbih dan menangis dengan suara keras di mihrab-mihrab, berbaris (shalat dan beribadah) di malam yang gelap gulita sambil mecucurkan air mata.

“Wahai Ahnaf! Jika kamu melihat mereka di waktu malam, mereka berada dalam keadaan tubuh berdiri tegak dengan punggung membongkok, membaca ayat-ayat al-Qur’an dalam shalat, tangis dan ratapan, serta nafas panjang mereka semakin meningkat. Apabila mereka menarik napas panjang, seakan api telah menjilat sampai ke tenggorokan mereka. Dan mereka menangis seakan-akan rantai sedang membelenggu leher mereka.

“Di waktu siang, kamu akan melihat mereka berjalan di muka bumi dengan tenang dan merendah, bertutur manis dengan masyarakat “dan sewaktu orang-orang bodoh mencemooh mereka, mereka mengucapkan salam, dan sewaktu menemui kesiasiaan mereka melewatinya dengan mulia”[63] , menahan setiap langkah dari prasangka. Mereka membungkam mulut dari perbincangan tentang kehormatan keluarga orang. Mereka penuhi telinga mereka untuk diselami para penyelam, mereka hiasi mata dengan mencegah pandangan dari maksiat, mereka terobos darussalam (istana keselamatan); barangsiapa memasukinya niscaya akan terjaga dari keraguan dan bebas dari kesedihan”.[64]

Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata:

“Suatu hari Ali bin Husain as. duduk di rumahnya. Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu, maka beliau menyuruh pembantunya seraya berkata: ‘Lihatlah siapa gerangan di depan pintu’. Dia berkata: “Sekelompok dari Syi’ahmu”.

Mendengar itu, beliau bergegas bangkit sehingga nyaris terjatuh. Ketika pintu terbuka dan beliau memandang mereka yang datang, beliau berbalik seraya berkata: ‘Lalu mana tanda-tanda Syi’ah di wajah-wajah itu? Mana pengaruh ibadah pada diri mereka? Mana tanda sujud itu?

Sesungguhnya Syi’ah kami dikenal dengan ibadah dan tampang mereka yang kusut. Ibadah telah melukai hidung mereka (berarti sangat banyak beribadah), dahi dan anggota sujud lainnya tebal dan tertutup, perut yang kosong, bibir yang kering, wajah mereka berkobar karena ibadah, begadang malam dan usaha keras di waktu siang yang panas membuat tubuh mereka jadi usang. Mereka adalah orang-orang yang bertasbih di saat orang lain diam, yang melakukan ibadah shalat di saat orang lain tidur. Mereka adalah orang-orang yang sedih di saat orang lain gembira’”.[65]

Nauf bin Abdillah al-Bakkali meriwayatkan bahwa Imam Ali as. berkata padanya: 
“Wahai Nauf, kami—Ahlulbait—diciptakan dari tanah yang terbaik, dan Syi’ah kami diciptakan dari tanah itu. Maka ketika Hari Kiamat datang, mereka akan disatukan bersama kami”.

Nauf melanjutkan dengan sebuah permintaan: 
“Jelaskan sifat-sifat Syi’ahmu kepadaku, wahai Amirul Mukminin!”

Seketika itu pula Imam Ali as. menangis karena teringat Syi’ahnya seraya berkata: 

“Wahai Nauf, demi Allah Syi’ahku adalah orang-orang yang murah hati, ulama yang mengenal Allah dan agamanya, yang bertindak di jalan ketaatan dan perintah-Nya, orang yang memperoleh hidayah dengan cinta-Nya. Mereka kurus lantaran ibadah, warna mereka hitam kemerah-merahan karena zuhud, wajah mereka pucat karena tahajud, mata mereka cekung dan samar karena tangis, bibir mereka kering karena zikir, perut mereka kosong karena lapar. Ketuhanan dan kesalehan tampak pada wajah-wajah mereka di samping kerahiban yang turut menandai. Mereka adalah lentera-lentera yang menerangi segala kegelapan, kembang setiap kabilah, perbuatan buruk mereka terhindar dari masyarakat, hati mereka sedih, jiwa mereka suci, kebutuhan mereka sederhana, diri mereka selalu dalam kesulitan karena diri mereka sendiri, akan tetapi masyarakat senantiasa tenang dengan keberadaan mereka. Mereka adalah manusia-manusia pandai yang berakal, tulus dan mulia. Di kala hadir mereka tak dikenal, di kala absen orang-orang tak merasa kehilangan.

Mereka adalah Syi’ahku yang terbaik dan saudaraku yang termulia. Ah…sungguh aku sangat merindukan mereka”.[66]




50 Pelajaran Akhlak Untuk Kehidupan

ilustrasi hiasan : akhlak-akhlak terpuji ada pada para nabi dan imam ma'sum, bila berkuasa mereka tidak menindas, memaafkan...