Keadilan Sahabat
Tujuan Mengkaji Keadilan Sahabat
Pada tulisan sebelumnya sudah banyak dikupas seputar caci maki dan pelaknatan. Masih berkaitan dengan tema di atas untuk seri kali ini dan beberapa seri berikutnya akan dibahas tema yang berkaitan dengan keadilan sahabat.
Namun sebelum masuk lebih jauh dalam mengulas tema ini, terlebih dahulu perlu diutarakan tujuan dari mengangkat permasalahan ini.
Hal ini mengingat bahwa ada kalangan yang menganggap pembahasan ini sudah basi dan kadaluarsa oleh karena itu tidak relevan lagi untuk dijadikan bahan kajian.
Lebih dari itu ada juga yang menganggap bahwa mengangkat tema ini sembari mempertanyakan keadilan sahabat merupakan kelancangan dan hal itu dapat mengantarkan pelakunya kepada “ke-zindikan”. Di dalam kitab al-Ishabah disebutkan:
“kemudian diriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Zarah al-Razi, ia berkata: jika engkau menyaksikan seseorang menyebutkan kekurangan salah seorang sahabat Rasul SAWW, maka ketahuilah bahwa ia adalah zindik. Karena Nabi, al-Quran dan apa yang dibawa olehnya adalah hak. Yang menyampaikan semua itu kepada kita adalah sahabat. Mereka ingin menganggap cacat para saksi-saksi kita untuk membatalkan al-Quran dan sunnah. Menganggap mereka (pengkaji) cacat lebih layak karena mereka adalah orang-orang zindik.[1] ”
Dalam menanggapi hal ini ayatulah Ja’far Subhani memberikan komentar dengan menjelaskan tujuan dari membahas keadilan sahabat:
“tujuan dari mengkaji keadilan sahabat sama persis dengan tujuan mengkaji keadilan para tabiin dan perawi generasi belakangan setelahnya. Semuanya bertujuan untuk mengenal yang baik dan yang buruk, sehingga menjadi tradisi seorang pengkaji untuk memperoleh ajaran agama dari orang-orang baik serta menghindari orang-orang buruk. Jika seseorang melakukan pengkajian terhadap keadaan mereka dengan tujuan ini, maka hal itu tidaklah tercela.[2] ”
Lebih lanjut, dalam menyikapi pernyataan Abu Zarah beliau berkomentar:
“tidaklah baik seorang alim menuduh orang yang ingin kekokohan dalam agamanya dan melakukan penelitian dalam tuntutan-tuntutan syariah sebagai zindik, apa lagi menuduhnya berkeinginan memberikan label cacat bagi para saksi kaum muslimin dengan tujuan membatalkan al-Quran dan sunnah. Padahal para saksi kaum muslimin tidak lain kecuali ribuan dari sahabat SAWW. Menganggap cacat sebagian mereka dan adil sebagian lainnya, tidak akan mencederai al-Quran dan Sunnah. Karena agama yang lurus ini tidak tegak dengan keberdaan mereka yang cacat (itu).[3] ”
Berangkat dari penjelasan di atas, mengkaji keadilan dan sejarah sahabat bukanlah hal yang basi apa lagi menjadikan pelakunya sebagai zindik. Sebab kajian ini memiliki filosofi yang jelas; yaitu memperoleh ajaran agama dari sumber-sumber yang autentik dan valid.
Definisi Sahabat Nabi saw
Kajian terkait keadilan sahabat Nabi saw merupakan sebuah kajian yang kontroversial, namun penting untuk dibahas secara ilmiah, sebagaimana sekaitan hal ini telah kami singgung pada seri yang lalu.
Selain hal tersebut merupakan sebuah acuan dalam memilah jalur atau jalan untuk sampai pada sumber asli agama Islam, yakni nabi Muhammad saw, pembahasan ini juga memberikan pengetahuan baru sehingga kita bisa lebih bijak dalam melihat para sahabat.
Oleh sebab itu sebelum kita masuk pada kajian ini secara lebih mendalam lagi, perlu kiranya kita memahami beberapa mukadimah yang harus kita ketahui. Saat kita membahas tentang keadilan sahabat, maka harus jelas terlebih dahulu bagi kita apa dan siapa itu sahabat serta apakah arti keadilan. Pada kesempatan kali ini kita akan melihat mengupas makna sahabat dalam berbagai sisinya.
Kata “sahabat” merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab, yang mana secara bahasa ia berasal dari kata “Shahaba-Yashhibu” yang berarti menemani atau mendampingi. Kata “sahabat” berasal dari kata “Shahhaabah” bentuk jamak dari “Shaahib” isim fa’ilnya (pelaku) dari kata kerja tadi. Dalam kamus Lisanul Arab disebutkan bahwa “Shahhaabah” adalah satu-satunya isim fail yang mengikuti wazan “fa’aalah”.[4]
Adapun secara istilah, terdapat beberapa perbedaan diantara para ulama, sebagai berikut:
1. Kitab Shahih Bukhari
وَمَنْ صَحِبَ النبي صلى الله عليه وسلم أو رَآهُ من الْمُسْلِمِينَ فَهُوَ من أَصْحَابِهِ
Orang yang (pernah) bersama nabi saw atau melihatnya, dari kaum muslimin maka ia adalah termasuk dari para sahabat beliau (nabi).[5]
2. Kitab Al-U’ddah Fi Ushulil Fiqh
ظاهر كلام أحمد رحمه الله: أن اسم الصحابي مطلق على من رأى النبي عليه السلام، وإن لم يختص به اختصاص المصحوب، ولا روى عنه الحديث
Yang nampak dari perkataan Ahmad (imam Hanbali) rahimahullah: Bahwa nama sahabat mutlak atas orang yang melihat nabi as meskipun tidak memiliki kekhususan dengan nabi dan juga tidak meriwayatkan hadis darinya.[6]
3. Kitab Asadul Ghabah Fi Ma’rifatis Shahhabah
والأصح ما قيل في تعريف الصحابي أنه: من لقي النبي ص في حياته مسلما ومات على إسلامه
Yang paling benar dari apa yang dikatakan mengenai definisi sahabat ialah: seseorang yang bertemu dengan nabi saw pada masa hidupnya dalam keadaan muslim dan mati dalam keislamannya.[7]
Dari beberapa definisi di atas dapat kita lihat terjadi beberapa perbedaan antara satu dengan lainnya. Tentunya sebagai konsekuensi dari hal ini ialah jumlah orang yang termasuk dalam setiap definisi akan berbeda-beda tergantung kategori atau syarat yang diberikan. Sebagai contoh, bisa jadi orang tertentu dalam definisi yang diberikan oleh imam Bukhari adalah sahabat namun dalam pandangan Ibnul Atsir (penulis kitab Asadul Ghabah) bukan sahabat, sebab ia menyaratkan mati dalam keislaman, dan seterusnya.
Dan masih banyak definisi sahabat dari para ulama lainnya, insyaAllah akan dibahas lebih lanjut pada seri berikutnya.
Definisi Sahabat Nabi (2)
Kajian tentang Sahabat atau konsep keadilan Sahabat merupakan salah satu persoalan yang sangat penting untuk diulas. Seperti yang kita ketahui, Sahabat dianggap sebuah salah satu jalur untuk sampai pada ajaran agama Islam yang bersumber dari Rasulullah Saw.
Menggali pengetahuan seputar Sahabat bukanlah sesuatu yang tercela, atau melazimkan seorang pengkajinya sebagai seorang zindiq. Mengkaji Sahabat bertujuan untuk mengenal mana yang baik dan mana yang buruk, sehingga kita bisa memilah dan memilih untuk memperoleh ajaran agama dari yang baik, sebagaimana yang telah kita jelaskan sebelumnya.
Dengan mempelajari Sahabat, kita juga bisa mengetahui apakah konsep keadilan Sahabat yang menyatakan bahwa seluruh Sahabat Nabi Saw itu Adil benar adanya atau tidak? Dan masih banyak lagi pembahasan lainnya seputar Sahabat yang Insya Allah akan kita bahas kedepannya.
Pada seri kali ini, kita akan bahas kelanjutan dari definisi Sahabat dengan menyebutkan beberapa definisi lainnya. Karena sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya bahwa para Ulama berbeda pendapat mengenai definisi Sahabat.
Dalam Kitab Al-Ahkam fi Ushulil Ahkam milik Allamah Al-Amidi disebutkan beberapa pengertian atau definisi Sahabat.
Kebanyakan sahabat kami dan Ahmad bin Hanbal mendefinisikan Sahabat sebagai seseorang yang melihat Nabi Saw meskipun tidak memiliki kekhususan dengan Nabi, dan tidak meriwayatkan darinya, dan tidak menemaninya dalam waktu yang lama.
Dan yang lainnya mendefinisikan Sahabat hanya mutlak atas seseorang yang melihat Nabi Saw, dan memiliki kekhususan dengannya, dan menemaninya dalam waktu yang lama meskipun tidak meriwayatkan darinya.
Dan ‘Amr bin Yahya mendefinisikan nama ini (Sahabat) hanya untuk seseorang yang menemani Nabi Saw dalam waktu yang lama dan mengambil ilmu darinya.
Adapun dalam Kitab Al-Kifayah fi ilmi Ar-Riwayah milik Al-Khatib Al-Baghdadi disebutkan definisi lainnya dari Sahabat Nabi dengan kekhususan tertentu.
…Telah mengabarkan kepadaku Thalhah bin Muhammad bin Said bin Al-Musayyib, dari ayahnya ia berkata: Said bin Al-Musayyib mengatakan, mereka tidak kami hitung sebagai Sahabat kecuali yang Bersama Nabi Saw paling tidak satu atau dua tahun dan berperang bersamanya sekali atau dua kali perang.
Sahabat Nabi dalam Kacamata Al-Quran
Salah satu ihwal yang tak pernah lepas dari kajian keislaman ialah perihal sahabat. Di dalam pembahasan sebelumnya telah diulas tujuan kajian keadilan dan definisi dari sahabat. Dengan membaca ulasan sebelumnya, sedikit-banyak memberikan pemahaman ke kita tentangnya.
Tak kita mungkiri, tak sedikit kelompok Islam yang saling seteru dalam masalah sahabat nabi. Katakanlah, dalam hal ini adalah mazhab besar dalam Islam, Sunni dan Syiah, yang masing-masing keduanya memiliki pandangan yang berbeda terkait sahabat nabi.
Dalam tulisan ini, penulis sedang tidak menyinggung pandangan mereka terkait sahabat. Di dalam tulisan ini, penulis hanya akan menyuguhkan tanggapan al-Quran terkait dengan sahabat. Setidaknya, jika kita berbicara sahabat dalam kacamata al-Quran, kita akan menyaksikan dua kubu sahabat.
Kubu pertama adalah sahabat yang baik dan taat, sedang kubu kedua diisi oleh sahabat yang dianggap munafik menurut al-Quran. Berikut adalah dereten ayat al-Quran yang menyinggung sahabat nabi.
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيم .
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100).
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ ۖ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا ۖ سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ۚ ذَٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ ۚ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَىٰ عَلَىٰ سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ ۗ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيم .
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Fath: 29).
وَمِمَّنْ حَوْلَكُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ مُنَافِقُونَ ۖ وَمِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ ۖ مَرَدُوا عَلَى النِّفَاقِ لَا تَعْلَمُهُمْ ۖ نَحْنُ نَعْلَمُهُمْ ۚ سَنُعَذِّبُهُمْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ يُرَدُّونَ إِلَىٰ عَذَابٍ عَظِيمٍ .
“Di antara orang-orang Arab Badwi yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.” (QS. Taubah: 101).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِين .
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6).
Apa yang penulis sebutkan di atas hanyalah beberapa dari ayat-ayat yang ada. Artinya, masih banyak ayat al-Quran lain yang membahas perihal sahabat.
Definisi Keadilan Menurut Para Ulama
Secara global dari definisi-definisi yang telah dikemukakan oleh para ulama mengenai sahabat nabi saw, setidaknya terdapat kesepakatan dalam hal bahwa sahabat merupakan kelompok muslimin yang telah memperoleh kesempatan untuk bersama atau berjumpa dengan nabi Muhammad saw.
Tentu hal tersebut adalah sebuah anugerah khusus yang tak bisa didapat oleh generasi setelahnya. Namun apakah hal itu bisa menjamin seseorang untuk menjadi seorang yang adil, amanah, tidak berbuat buruk dan seterusnya? Di sini kita perlu banyak merenung dan mengkajinya secara bijak berdasarkan bukti-bukti yang tercatat dalam Al-Quran, hadis maupun sejarah.
Mengapa hal ini penting untuk dikaji? Jawabannya sebetulnya telah berkali-kali disinggung pada seri-seri yang lalu. Namun sebagai pengingat, bahwa yang paling utama, kajian ini bukan semata-mata bertujuan untuk menjelek-jelekan sahabat –Wal Iyadzu Billah– melainkan demi mengokohkan bangunan Islam itu sendiri.
Dalam tinjauan ilmu hadis sahabat berperan sama seperti perawi lainnya dari para tabiin atau generasi setelahnya yaitu sebagai penyambung lisan. Namun yang membedakan adalah selain posisi mereka yang langsung bersinggungan dan menyaksikan nabi saw, juga konsep keadilan seluruh sahabat (pandangan bahwa semua sahabat adalah adil), beda halnya dengan para perawi lainnya yang menerima kritikan atau pengakuan keadilan (Jarh Wa Ta’dil). Artinya terdapat penilaian di sini, apabila ia seorang yang adil maka ucapannya dapat diambil sementara sebaliknya, maka ucapannya akan diragukan atau bahkan diabaikan.
Sebagai bekal untuk menyelami kajian ini lebih mendalam, perlu kita ketahui terlebih makna keadilan itu sendiri dalam pandangan para ulama.
IMAM GHAZALI
Imam Ghazali mendefinisikan keadilan dalam kitab Al-Mustashfa menyebutkan: Keadilan ialah istiqamah dalam perilaku dan agama.
Dan hasilnya (keadilan) kembali pada: “Karakter yang mengakar di dalam diri yang mendorong pada menjaga takwa dan kehormatan secara bersamaan”. Sehingga melahirkan kepercayaan dalam diri (orang-orang) dengan kejujurannya.
Maka tidak ada kepercayaan terhadap ucapan orang yang tidak takut pada Allah swt dari berkata bohong.
Kemudian tidak ada perbedaan dalam hal tidak disyaratkan terjaga (maksum) dari semua maksiat.
Dan tidak cukup pula (dengan) menjauhi dosa-dosa besar, bahkan dari dosa-dosa kecil yang memungkinnya terjerumus ke dalamnya, seperti mencuri sebutir bawang dan mengurangi timbangan seukuran butiran kecil -dengan sengaja-.
Dan secara keseluruhan: setiap yang menunjukkan pada kelemahan agamanya hingga pada tahap membuatnya berani berbohong demi tujuan-tujuan duniawi.
Bagaimana, sementara telah disyaratkan dalam keadilan menjaga (diri) dari sebagian hal yang mubah yang merusak kehormatan, seperti makan di jalan, buang air kecil di jalan, bersahabat dengan orang-orang buruk dan berlebihan dalam bercanda.
Dan yang menjadi ukuran dalam hal ini (keadilan) -ketika seseorang melanggar sebuah kesepakatan-: Ia diserahkan pada keputusan hakim, apabila yang ada pada diri (orang itu) mengindikasikan keberaniannya untuk berbohong, maka hakim akan menolak kesaksian darinya, dan apabila tidak mengindikasikan, maka akan diterima.[8]
TAJUDDIN AS-SUBKI
Tajuddin As-Subki dalam kitab Al-Ashbah Wan Nadhair menjelaskan: Keadilan ialah karakter yang mengakar dalam diri yang mendorong (seseorang) pada kebenaran dalam ucapan, kerelaan dan amarah, dan hal itu diketahui dengan menjauhi dosa-dosa besar, tidak terdesak pada dosa-dosa kecil, menjaga kehormatan dan kesederhanaan ketika bangkitnya keninginan-keinginan sehingga menguasai dirinya dari (tertarik) mengikuti hawa nafsunya.[9]
JALALUDDIN AS-SUYUTHI
Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitab Al-Ashbah Wan Nadhair juga memaparkan: Para ulama medefinisikannya (keadilan), bahwasannya ia adalah sebuah malakah yakni karakter yang mengakar dalam diri yang menahannya dari melakukan dosa besar atau kecil yang mengarahkan pada kehinaan atau dari hal mubah yang mencederai kehormatan. Dan ini merupakan sebaik-baiknya ungkapan dalam mendefinisikannya.
Dan melemahkannya (makna keadilan) ucapan orang yang mengatakan bahwa (keadilan) adalah menjauhi dosa-dosa besar serta desakan terhadap dosa-dosa kecil.
Sebab hanya menjauhi tanpa adanya malakah dan kekuatan dalam dirinya yang mencegahnya dari jatuh ke dalam apa yang diinginkan (nafsunya) tidak cukup untuk disebut sebagai keadilan.[10]
IBNU HAJAR AL-ASQALANI
Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan: Yang dimaksud dengan keadilan adalah sesiapa yang memiliki malakah yang mendorongnya menjaga takwa dan kehormatan. Dan yang dimaksud takwa ialah menjauhi perbuatan-perbuatan buruk seperti kesyirikan, kefasikan atau bid’ah.[11]
Demikianlah beberapa pandangan ulama terkait keadilan. Dari sini muncul sebuah pertanyaan besar bagi kita, apakah makna keadilan ini terwujud dalam setiap pribadi sahabat tanpa kecuali? Bagaimanakah sebenarnya fakta yang terjadi dalam Al-Quran, hadis dan sejarah? semua ini membutuhkan banyak kajian dan renungan. InsyaAllah pada seri-seri berikutnya akan menyelam lebih dalam lagi dalam topik ini.
Syarat Islam Tidak Ada Dalam Defenisi Sahabat
Pada beberapa tulisan sebelumnya telah banyak diutarakan berkaitan dengan tema sahabat. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa menyebutkan fakta sejarah termasuk sahabat, tidak masuk dalam kategori caci maki. Begitu juga tidak bisa dianggap sudah basi serta tidak relevan. Sebab pengkajiannya memiliki filosofi yang jelas iaitu berkaitan dengan keautentikan sumber ajaran islam.
Berangkat dari kenyataan ini pada seri kali ini akan dikaji lanjutan dari defenisi sahabat. Di mana pada defenisi sebelumnya ada disebutkan bahwa salah satu syarat yang harus dimiliki sahabat adalah berjumpa dan mati dalam kedaan islam.
“yang paling benar dari apa yang telah disampaikan berkaitan dengan defenisi sahabat adalah: seseorang yang bertemu dengan Nabi SAWW pada masa hidupnya dalam kedaan muslim dan mati dalam keislamannya.”[12]
Namun jika melihat al-Quran yang merupakan sumber rujukan pertama umat islam akan ditemukan bahwa syarat di atas tidak diebutkan sama sekali. Tepatnya, kata sahabat ini lebih bersifat netral dan bebas nilai. Dan yang menjadi poin hanya kebersamaan dan tidak lebih.
Di dalam al-Quran terdapat ayat yang mengandung kata (صحب ) tepatnya ketika disebutkan bahwa Rasulullah adalah sahabat orang-orang musyrik:
“وَما صاحِبُكُمْ بِمَجْنُونٍ (Dan temanmu (Muhammad) itu bukanlah sekali-kali orang yang gila)[13] ”
Tafsir al-Mizan dalam mengomentari ayat ini menjelaskan: “di dalamnya ada tanda yang menunjukkan bahwa ia (Muhammad SAWW) adalah sahabat kalian. Ia tinggal diantara kalian dan bergaul bersama kalian sepanjang umurnya”[14]
Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa kata sahabat tidak memiliki makna selain kebersamaan atau pertemanan. Dan yang mendasari kaum musyrikin disebutkan sebgai sahabat Nabi SAWW adalah kebersamaan tersebut tanpa adanya kaitan keislaman sama sekali. Oleh karena itu makna islam atau selainnya tidak ada sangkut pautnya dengan istilah sahabat.
Hal ini mengingat bahwa al-Quran dengan tegas menggunakan hal itu untuk dua kelompok yang berlainan dari sisi akidah dan keyakinan. Tepatnya antara nabi Muhammad SAWW dan kaum musyrikin.
Atas dasar ini menambahkan embel-embel islam kedalam defenisi sahabat tidaklah tepat dan jauh dari mengikuti al-Quran.
Konsep Keadilan Sahabat dalam Mazhab Ahlussunnah
Beberapa seri sebelumnya telah kita paparkan beberapa hal sekaitan dengan Sahabat Nabi Saw, dimulai dari tujuan pembahasan Sahabat, definisi Sahabat dan terakhir seputar definisi keadilan. Dibahasnya tentang definisi keadilan lantaran berhubungan dengan konsep keadilan Sahabat, yang insya Allah akan kita bahas pada seri kali ini.
Konsep keadilan Sahabat merupakan sebuah konsep yang sangat masyhur dalam mazhab Ahlussunnah. Konsep itu berbicara bahwa Sahabat Nabi Saw seluruhnya adil, bahkan dikatakan juga bahwa seluruh Sahabat Nabi Saw dipastikan masuk surga. Konsep tersebut menjadi sebuah landasan dan keyakinan sebagian besar ulama-ulama Ahlussunnah.
Salah satu ulama Ahlussunnah yang berkeyakinan akan konsep keadilan Sahabat ialah Ibnu Hajar Asqalani. Dalam kitabnya Al-Ishobah fi Tamyiz As-Shahabah beliau mengklaim dan mengatakan “Ahlussunnah sepakat bahwa seluruh Sahabat Nabi adil, dan tidak ada yang berselisih akan hal tersebut kecuali sedikit dari sebagian pelaku bid’ah.”
Masih dari kitab yang sama, Ibnu Hajar menukil perkataan dari Abu Muhammad bin Hazm yang mengatakan bahwa “seluruh Sahabat Nabi dipastikan merupakan Ahli Surga. Dan sesungguhnya tidak ada satupun dari mereka yang masuk neraka.”
Konsep tersebut tentu bukan tanpa dalil. Mereka yang meyakini konsep tersebut menjabarkan dalil baik dari Al-Quran maupun hadis-hadis yang mereka anggap menunjukkan pada keadilan seluruh sahabat. Dalil-dalil tersebut insya Allah akan kita bahas pada seri-seri selanjutnya berikut dengan catatan-catatannya. Dengan demikian kita akan mengetahui apakah konsep tersebut benar adanya dan sesuai berdasarkan yang ada dalam Al-Quran, hadis-hadis maupun riwayat, atau konsep tersebut gugur lantaran adanya dalil yang menunjukkan bahwa ternyata tidak semua Sahabat Nabi Saw itu adil.
Imam Al-Amidi dan Keadilan Sahabat Nabi
Seperti yang kita tahu, hampir seluruh ulama Ahlusunnah secara kompak meyakini bahwa semua sahabat nabi adalah adil. Masih menurut mereka—seperti yang sudah diulas dalam tulisan sebelumnya—bahwa sebagian dari mereka meyakini kalau-kalau semua sahabat nabi adalah ahli surga, seperti yang dikatakan oleh Abu Muhammad bin Hazm.
Perlu menjadi titik fokus, bahwa di tengah masifnya keyakinan akan keadilan seluruh sahabat nabi oleh ulama Ahlusunnah, ada seorang ulama kenamaan yang juga dari Ahlusunnah, yang bersilang pendapat dengan pendapat mereka soal keadilan sahabat. Ia adalah Imam Syaifuddin Al-Amidi.
Sependek yang penulis tahu, Imam Syaifuddin Al-Amidi atau yang lebih lazim dikenal Imam Al-Amidi adalah ulama Ahlusunnah yang lahir di kota Diyarbakir, Turki (1156 M) dan wafat di Damaskus, Syiria ( 1235 M). Sejauh pengembaraanya di dunia keislaman, ia concern di bidang ilmu logika dan filsafat, lalu mengepakkan sayapnya ke disiplin ilmu teologi dan juga usul fikih.
Mulanya, Imam Al-Amidi adalah pribadi yang bermazhab Hanbali. Kemudian, seiring dengan bergulirnya waktu, di dalam pengembaraan spiritual-keilmuannya, ia berpindah haluan menjadi pengikut mazhab Syafi’i. Sosok yang paling berpengaruh dalam mengubah mazhabnya dari Hanbali ke Syafi’i ialah Syekh Abul Qasim ibn Fadlan, yang merupakan pengikut Syafi’i.
Kembali ke pembahasan awal, terkait tanggapannya mengenai keadilan sahabat, Imam Al-Amidi menuangkannya di dalam salah satu kitabnya yang cukup masyhur, berjudul Al-Ihkam fi Usulil Ahkam. Di dalam tanggapannya mengenai sahabat, ia menulis sebagai berikut.
Jumhur (sekelompok) ulama Ahlusunnah sepakat akan keadilan sahabat.
Kelompok dari Ahlusunnah berkata, “Sesungguhnya hukum mereka terkait keadilan sahabat perlu adanya pembahasan riwayat mengenai keadilan sahabat.”
Kelompok lain meyakini akan keadilan sahabat, meskipun terjadi perselisihan dan kesesatan di antara mereka. Maka, selazimnya adanya pembahasan tentang keadilan sahabat di dalam riwayat atau kesaksian mereka. Dan jika tiada kesaksian, tiada kejelasan akan keadilan sahabat.
Sebagian mereka berkata, “Sungguh, setiap sahabat yang memerangi Ali bin Abu Thalib, mereka adalah fasik, di mana riwayat dan kesaksiaannya tertolak, dikarenakan telah keluar dari pemimpin yang hak.”
Sebagian mereka berkata, “Bahwa riwayat dan kesaksian mereka (sahabat) tertolak, sebab salah satu di antara dua kelompok adalah fasik, yang tidak diketahui (identitasnya) dan tidak pula ada penetapan (atas mereka).”[15]
Apa yang Imam Al-Amidi sampaikan di dalam kitabnya merupakan salah satu pembahasan yang amat berharga terkait sahabat. Dari pandangannya, nampaknya ia punya pesan tersirat bahwa melabeli seluruh sahabat nabi sebagai pribadi yang adil amatlah berlebihan. Karenanya, untuk menarik satu kesimpulan akhir dari pembahasan ini, kita perlu menggali lebih dalam lagi jejak-jejak sejarah, riwayat maupun hadis mengenai keadilan sahabat nabi. Wallahu a’lam bi as-shawab.
Al-Khathib Al-Baghdadi dan Keadilan Sahabat Nabi
Dalam beberapa seri yang lalu, telah kita kaji beberapa pandangan ulama Ahlusunnah terkait keadilan sahabat nabi saw. Kebanyakan dari mereka menyakini keadilan seluruh sahabat, meskipun terdapat sebagian kecil diantaranya yang tidak berpandangan demikian.
Diantara para ulama lainnya yang memiliki pandangan terhadap keadilan sahabat adalah Al-Khathib Al-Baghdadi. Ia merupakan seorang ulama yang hidup pada tahun 392 H hingga 463 H. Ayahnya merupakan seorang dikenal ahli dalam membaca Al-Quran, ia mendorong Al-Khathib untuk mendalami ilmu keagamaan hingga akhirnya Al-Khathib pergi ke beberapa kota diantaranya Bashrah dan Syam untuk menimba ilmu. Hasilnya, ia menjadi seorang ulama besar dan berhasil melahirkan beberapa karya yang salah satunya adalah dalam bidang hadis dan sejarah.
Dalam pandangannya terkait sahabat Al-Khatib menjelaskan: Setiap Hadis yang tersambung sanadnya di antara yang meriwayatkannya dan nabi saw, tidak harus diamalkan kecuali setelah terbukti keadilan para perawinya, dan wajib melihat status mereka (para perawi) kecuali sahabat yang telah menyampaikan (sanad) ke Rasulullah saw, sebab keadilan sahabat adalah tetap yang diketahui dengan peng-adilan Allah terhadap mereka, pengabaran-Nya akan kesucian mereka serta pemilihan-Nya untuk mereka dalam nash Al-Quran.[16]
Dalam pernyataan ini ia menjelaskan bahwa ketika runutan sanad itu telah mencapai sahabat, maka tidak wajib untuk meneliti status keadilannya, sebab para sahabat keadilannya telah ditetapkan oleh Allah swt dalam Al-Quran.
Kemudian setelah itu ia membawakan beberapa ayat Al-Quran yang diyakininya sebagai dalil atas pandangannya tersebut.
Di tempat lain, setelah membawakan hadis nabi yang berbicara mengenai keutamaan sahabat, ia juga menuturkan: Dan riwayat-riwayat dalam makna serupa adalah luas (banyak), dan semuanya sesuai dengan apa yang muncul dalam nash Al-Quran, semuai itu menunjukkan kesucian sahabat, dan keyakinan akan peng-adilan serta kesucian mereka, maka salah satu dari mereka -dengan peng-adilan Allah swt yang mengetahui batin-batin mereka- tidak membutuhkan pengadilan siapa pun dari ciptaan-Nya untuk mereka, maka mereka (para sahabat) memiliki sifat seperti ini kecuali terbukti pada salah satu dari mereka, mengerjakan sesuatu yang tidak memungkinkan melainkan terdapat tujuan maksiat, dan keluar dari bab ta’wil, maka dihukumi dengan gugur keadilannya, sementara itu sungguh Allah telah menjauhkan mereka dalam hal itu, serta mengangkat derajat mereka di sisi-Nya.[17]
Dalam beberapa penggalan pada pernyataannya di atas terkait sahabat, dapat kita lihat bahwa ia beberapa kali menisbatkan kesucian terhadap mereka, yang menurut hemat penulis membutuhkan pembahasan serta kajian lebih dalam lagi dalam hal ini.
Di samping itu menyakini keadilan sahabat yang merupakan peng-adilan dari Allah swt namun dibarengi kemungkinan gugur keadilannya, seperti yang ia jelaskan pada penggalan kedua, bukankah cukup menjadi alasan bagi kita untuk memilah dan menyaring manakah yang tetap dalam keadilan dan mana yang telah gugur keadilannya. Wallahu A’lam Bisshawab.
Menilai Keadilan Sahabat Dengan Standar Defenisi Ibn Hajar al-Asqalani
Tema pembahasan Tulisan kali ini sebagaimana seri-seri sebelumnya masih seputar keadilan sahabat, tepatnya mengkritisi keyakinan akan keadilan seluruh sahabat dengan standar defenisi yang telah dipaparkan oleh Ibn Hajar al-Asqalani; di mana dalam satu pernyataannya disebutkan bahwa: “adil adalah orang yang memiliki jati diri (malakah) untuk selalu menjaga ketakwaan dan harga diri. dan menjaga takwa adalah menjauhi perbuatan yang buruk seperti syirik, kefasikan dan bidah.[18] ”
Dan yang ingin disorot secara khusus pada tulisan ini adalah tentang menjauhi bidah. Di mana menjauhi bidah disebutkan sebagai syarat takwa dan pada gilirannya takwa merupkan syarat keadilan.
Berangkat dari defenisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sebagian sahabat telah keluar dari keadilan. Hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Bukhari di dalam kitabnya bahwa sebagian sahabat melakukan perbuatan bidah:
“dari Anas dari Nabi SAWW, beliau bersabda: segolongan dari sahabatku mendatangiku di dekat telaga. Ketika telah aku kenali, mereka dihalangi dariku. Aku berkata: mereka adalah para sahabatku. Maka dijawab: engkau tidak tahu bidah yang telah mereka lakukan setelahmu.”[19]
Mengamini apa yang tertera dalam riwayat ini Barra bin Azib juga mengakui bahwa sahabat telah melakukan perbutan bidah:
“dari Ala bin Musayyab dari ayahnya, ia berkata: aku menjumpai Barra’ bin Azib RA, lalu aku berkta: alangkah beruntungnya engkau, engkau bersahabat dengan Rasulullah SAWW dan melakukan baiat di bawah pohon (baiaturridwan). Ia berkata: wahai anak saudaraku! Engkau tidak tahu bidah yang telah kami perbuat setelahnya.[20]
Berpijak pada defenisi yang telah disebutkan oleh Ibn Hajar tentang keadilan dan dua riwayat yang telah disebutkan tentang perbuatan bidah yang telah dilakukan sahabat, maka dapat disimpulkan bahwa tidak semua sahabat Nabi SAWW memiliki sifat adil sebagaimana diyakini oleh kalangan Ahlussunnah.
Namun perlu digaris bawahi bahwa sanggahan terhadap keadilan sahabat bukan berarti menolak kedilan seluruh sahabat, akan tetapi hanya menolak keadilan sebagian dari mereka. Singkatnya meyakini bahwa sebagian sahabat adil dan sebagian lainnya tidak demikian
Dan perlu diingat juga bahwa, membahas tema ini tidak berbeda dengan membahas keadilan rawi pada generasi tabiin dan sesudahnya. Mengingat bahwa hal ini bertujuan untuk menyaring ajaran agama agar diperoleh dari sumber yang autentik dan valid maka tujuan yang sama juga ada pada pembahasan keadilan sahabat.
Dalil Konsep Keadilan Sahabat
Sebelumnya kita telah menyinggung seputar konsep keadilan Sahabat, dimana sebagian besar mazhab Ahlussunnah berpendapat bahwa seluruh Sahabat Nabi Saw Adil dan dipastikan masuk surga. Mereka yang berpendapat seperti itu memiliki dalil baik dalam Al-Quran maupun hadis-hadis atau riwayat.
Salah satu dalil Alquran yang mereka bawakan untuk menunjukkan keadilan seluruh Sahabat ialah Al-Quran Surat At-Taubah ayat 100. Allah Swt berfirman:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.”
Ayat ini masyhur dikalangan Mazhab Ahlussunnah sebagai dalil atas keadilan seluruh Sahabat, dimana Allah Swt telah ridho kepada mereka kaum Muhajirin dan Anshar, juga orang-orang yang mengikuti mereka. Disebutkan juga bahwa sesiapa yang telah diridhai, maka Allah tidak akan marah padanya. Seperti yang terekam dalam kitab Al-Isti’ab karya Ibn Abdul Barr.
Ulama Syiah seperti Allamah Thabathaba’I dalam tafsirnya Al-Mizan menyebutkan bahwa kata (مِنَ ) dalam ayat tersebut merupakan “Tab’idhiyyah”, yang berarti menunjukkan sebagian. Sehingga secara dzahir ayat tersebut dapat difahami bahwa yang dimaksud Allah adalah sebagian dari Muhajirin dan Anshar, tidak seluruhnya.
Selain itu terdapat ayat lainnya yang tidak selaras dengan konsep keadilan Sahabat yang menyatakan seluruh Sahabat adil. Ayat itu merupakan lanjutan dari ayat diatas, dimana Al-Quran menyebutkan bahwa disekitar Nabi dan diantara penduduk Madinah terdapat orang munafik. Allah Swt Berfirman:
وَمِمَّنْ حَوْلَكُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ مُنَافِقُونَ وَمِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ مَرَدُوا عَلَى النِّفَاقِ لَا تَعْلَمُهُمْ نَحْنُ نَعْلَمُهُمْ سَنُعَذِّبُهُمْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ يُرَدُّونَ إِلَى عَذَابٍ عَظِيمٍ
Di antara orang-orang Arab yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.
Berdasarkan Definisi yang telah kita sebutkan tentang Sahabat, maka, ayat tersebut mancakup Sahabat Nabi Saw dan Al-Quran mengatakan mereka sebagai seorang munafik.
Untuk itu pendapat yang mengatakan keadilan seluruh Sahabat Nabi berdasarkan ayat pertama diatas dinilai kurang tepat. Benar, bahwa ayat tersebut menunjukkan keutamaan Sahabat atau mungkin keadilan mereka, namun itu tidak menunjukkan keutamaan atau keadilan untuk seluruh Sahabat, tapi hanya sebagiannya saja.
Hasan Al-Bashri dan Sahabat Nabi
Di dalam beberapa tulisan sebelumnya, sedikit-banyak telah membahas ihwal sahabat nabi, lebih-lebih terkait sifat adil mereka. Sudah menjadi rahasia umun, bahwa sahabat nabi di mata ulama Ahlusunnah memiliki kedudukan yang mulia. Atas dasar itu pula, mereka berkeyakinan kalau semua sahabat nabi adalah adil.
Menarik untuk kita perhatikan secara saksama, bahwa Hasan al-Bashri, tokoh kesohor di Ahlusunnah memberikan tanggapan yang mungkin cukup mengagetkan (bagi sebagian orang) terkait sahabat nabi. Di dalam pernyataanya, ia menyebutkan, bahwa ada salah satu sahabat nabi yang jadi budak dunia. Artinya, ia adalah tipe sahabat yang lebih mementingkan urusan dunia daripada akhirat.
Sementara yang kita tahu, sebagian umat Muslim dunia meyakini bahwa sahabat nabi adalah pribadi yang mulia, bahkan sebagian mereka mengklaim kalau sahabat nabi adalah ahli surga, sosok yang dijamin masuk surga. Adapun terkait dengan pernyataan Hasan al-Basri tentang sahabat nabi, itu bisa kita dapati didalam kitab Siyar A’lamin Nubala’ karya Imam adz-Dzahabi.
Hasan al-Bashri berkata, “Ada dua juru penengah (sahabat nabi), Abu Musa Asy’ari dan Umar bin Aas. Salah satu dari keduanya, ada yang mencari (mengejar) dunia dan yang lainnya mencari akhirat.”[21]
Dengan sikap yang seperti itu, maka kita bisa menilai secara fair tentang bagaimana kepriadian sahabat yang yang lebih mementingkan dunia ketimbang akhiratnya. Sebagai penutup sekaligus renungan, mari kita simak hadis dari Nabi Muhammad Saw. yang berbunyi begini, “Ada enam perkara yang menggugurkan amal kebaikan. Salah satunya adalah cinta dunia.”
Dalil Konsep Keadilan Sahabat (2)
Islam memandang bahwa semulia-mulianya manusia di hadapan Allah swt adalah yang paling bertakwa kepadaNya. Kaidah ini bersifat haqiqi yang artinya berlaku di mana pun dan kapan pun. Tak terkecuali pada masa nabi Muhammad saw dan para sahabatnya.
Menyakini keadilan sahabat bukanlah satu hal yang keliru, sebab kita semua menyadari bahwa terpeliharanya Islam hingga saat ini, salah satunya adalah terdapat peran para sahabat. namun jika hal itu dijadikan mutlak pada seluruhnya, maka perlu ketelitian dalam hal ini; pertama harus jelas terlebih dahulu apa definisi yang dimaksud dari kata “sahabat” itu sendiri. Kedua, apa dalilnya jika seluruh sahabat itu adil.
Pada seri yang lalu telah kita bahas seputar definisi sahabat menurut para ulama. Kali ini kita akan mencoba melihat salah satu dalil yang digunakan oleh sebagian dalam menopang konsep keadilan seluruh sahabat.
Adalah surat Al-Fath ayat 29, yang berbunyi:
مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللّٰهِ ۗوَالَّذِيْنَ مَعَه ٗ ٓ اَشِدَّاۤءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاۤءُ بَيْنَهُمْ تَرٰىهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَّبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنَ اللّٰهِ و َرِضْوَانًا ۖ سِيْمَاهُمْ فِيْ وُجُوْهِهِمْ مِّنْ اَثَرِ السُّجُوْدِ ۗذٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ ۖوَمَثَلُهُمْ فِى الْاِنْجِيْلِۚ كَزَرْعٍ اَخْرَجَ شَطْـَٔه ٗ فَاٰزَرَه ٗ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوٰى عَلٰى سُوْقِه ٖ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيْظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ ۗوَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ مِنْهُمْ مَّغْفِرَةً وَّاَجْرًا عَظِيْمًا ࣖ
Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka, ampunan dan pahala yang besar.
Pendekatan dalil: Ayat di atas dimulai dengan bentuk pengagungan dengan menyebutkan “Muhammad adalah utusan Allah”, kalimat tersebut merupakan penjelasan bagi ayat sebelumnya (ayat 28) yang berbunyi:
هُوَ الَّذِيْٓ اَرْسَلَ رَسُوْلَه ٗ بِالْهُدٰى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَه ٗ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّه ٖ ۗوَكَفٰى بِاللّٰهِ شَهِيْدًا
Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.
Maka dalam ayat tadi terdapat pujian agung kepada nabi Muhammad selaku utusan Allah dan juga orang-orang yang bersamanya dengan menyebut “dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka”. Sifat yang digambarkan pada ayat tersebut serupa dengan yang tertera pada surat Al-Maidah ayat 54, yang berbunyi:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَنْ يَّرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِه ٖ فَسَوْفَ يَأْتِى اللّٰهُ بِقَوْمٍ يُّحِبُّهُمْ وَيُحِبُّوْنَه ٗ ٓ ۙاَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اَعِزَّةٍ عَلَى الْكٰفِرِيْنَۖ يُجَاهِدُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَل َا يَخَافُوْنَ لَوْمَةَ لَاۤىِٕمٍ ۗذٰلِكَ فَضْلُ اللّٰهِ يُؤْتِيْهِ مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
Wahai orang-orang yang beriman! Barangsiapa di antara kamu yang murtad (keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.
Jadi orang-orang yang bersama nabi tadi digambarkan sebagai yang bersikap keras terhadap kafir dan lemah lembut diantara sesama mu’min. Juga digambarkan dengan banyak beramal dengan ikhlas mengharap karunia Allah dan sebagainya hingga akhir ayat.
Yang menjadi persoalan dalam hal ini apakah semua kriteria tersebut terwujud dalam setiap pribadi sahabat nabi ataukah tidak. Sebagai bahan untuk merenunginya, perhatikan dengan baik beberapa hal berikut:
Pertama, tidak mungkin jika ayat tersebut merupakan pujian bagi seluruh sahabat, sebab disebutkan beberapa kriteria dalam ayat itu, sebagaimana diantaranya Allah menyifati mereka dengan keras terhadap orang-orang kafir dan lemah lembut diantara sesama mu’minin, sedangkan kenyataan dalam sejarah kita menemukan terjadinya peperangan yang mengakibatkan banyak korban diantara mereka sendiri paska wafatnya nabi, yang artinya gugurlah sifat lemah-lembut diantara sesama mu’minin sehingga dengan ini tidak mungkin ayat ini mencakupi seluruh sahabat.
Kedua, pada penggalan akhir ayatnya Allah swt berfirman:
وَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ مِنْهُمْ مَّغْفِرَةً وَّاَجْرًا عَظِيْمًا
Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka, ampunan dan pahala yang besar.
Terdapat lafaz (مِنَ ) pada ayat tersebut yang merupakan Tab’idhiyyah, yang berarti menunjukkan sebagian dari mereka bukan seluruhnya.
Kesimpulannya ialah bahwa ayat ini tidak menunjukkan kepada seluruh sahabat melainkan hanya sebagian dari mereka yang memiliki kriteria tadi. Wallahu A’lam Bisshawab.
Dalil Konsep Keadilan Sahabat (3)
Pada seri-seri sebelumnya telah dibahas seputar dalil-dalil keadilan sahabat dan sanggahannya. Melanjutkan ulasan yang sama pada seri kali ini akan dipaparkan dalil lainnya yang tentu saja dijadikan oleh Ahlussunnah sebagai pegangan dalam membangun konsep keadilan sahabat.
Dalil yang dimaksud adalah ayat yang berbunyi:
لَقَدْ رَضِيَ اللهُ عَنِ الْمُؤْمِنينَ إِذْ يُبايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ ما في قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكينَةَ عَلَيْهِمْ وَ أَثابَهُمْ فَتْحاً قَريباً
Sesungguhnya Allah telah rida terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berbaiat kepadamu di bawah pohon. Allah mengetahui keimanan dan kejujuran yang ada dalam hati mereka. Oleh karena itu, Dia menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya) (al-Fth/ 18)
Dengan berdasarkan ayat ini Ahlussunnah berkeyakinan bahwa semua sahabat adalah adil sebab Allah SWT telah meridhai mereka, dan barang siapa telah mendapat ridha Allah SWT maka tidak akan mendapatkan murkaNya untuk selamalamanya. Hal ini sesuai dengan apa yang tertuang di dalam kitab al-Isti’ab[22]
Untuk melihat sejauh mana kebenaran argumentasi di atas, tentu saja perlu dilakukan pengkajian lebih dalam. Uoleh karena itu alangkah baiknya untuk melihat beberapa sanggahan di bawah ini:
Yang pertama, sahabat yang ikut di dalam baiat Ridwan tersebut hanya sebagian kecil saja jika dibandingkan dengan jumlah semua sahabat. Oleh karena itu menggunakan ayat tersebut untuk menjustifiksi keadilan seluruh sahabat tidak dapat diterima dan cacat secara logika.
Yang kedua ada riwayat yang menunjukkan bahwa Umar bin Khattab yang merupakan orang yang hadir dalam peristiwa tersebut, melakukan sebuah tindakan yang yang bertentangan dengan konsep keadilan. Sebab beliau meragukan kebenaran tindakan nabi Muhammad SAWW yang melakukan perjanjian dengan kaum musyrikin, bahkan melakukan protes terhadap Nabi SAWW.
“….Abu wail membacakan hadits kepadaku, ia berkata: kami sedang berada di Shiffin, lalu Sahl bin Hunaif berdiri seraya berkata: wahai manusia! Curigailah diri kalian. Karena sesungguhnya kami bersama Rasulullah pada saat di Hudaibiah, jika kami menyaksikan peperangan maka kami akan berperang. Lalu datang Umar bin Khattab dan berkata: wahai Rasulullah. Bukankah kita berada dalam kebenaran dan mereka dalam kebatilan? Beliau menjawab: ya. Ia berkata: bukankah yang terbunuh diantara kita berada di surga sedang yang terbunuh di antara mereka di neraka? Beliau menjawab: ya. Ia berkata: lantas mengapa kita memberikan kehinaan terhadap agama kita? Apakah kita kembali sementara Allah SWT belum memberikan keputusan diantara kita dan mereka? Beliau bersabda: wahai putra Khattab. Aku adalah utusan Allah oleh karena itu Ia tidak akan melupakanku (menyia-nyaikanku) selama-lamanya. Lalu Umar kembali dalam keadaan marah dan tidak sabar sampai ia mendatangi Abu Bakar lalu ia mengatakan: bukankah kita berada dalam kebenaran dan mereka dalam kebatilan? Lalu Abu Bakar berkata. Beliau adalah utusan Allah SWT oleh karena itu Ia tidak akan membiarkannya. lalu turunlah surat al-Fath.[23]
Lebih jauh kita lihat bahwa Umar bin Khattab dalam riwayat diatas meninggalkan nabi dalam keadaan marah karena tidak sepakat dengan keputusan yang diambil oleh beliau.
Padahal al-Quran dengan jelas mengatakan bahwa semua tindakan Nabi merupakan wahyu dan kaum muslimin wajib mengikuti apa yang dibawa olehnya dan meninggalkan apa yang dilarang beliau.
“dan dia tidak berbicara menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan. (An-Najm/ 3-4)”
“Apa yang diberikan rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (al-Hasyr/ 7)
Dan sanggahan ketiga adalah riwayat yang menyatakan bahwa Ammar bin Yasir akan dibunuh oleh kelompok yang zalim:
“ dari Ikrimah……dan Nabi bersabda: Ammar akan dibunuh oleh kelompok atau golongan yang zalim. Ia mengajak mereka ke surga sementara mereka mengajaknya ke neraka.[24] ”
Dan sebagaimana yang kita ketahui bahwa golongan yang memerangi Ammar dan yang membunuhnya adalah sebagian dari sahabat Nabi Muahammad SAWW.
Dari beberapa sanggahan di atas dapat dipahami bahwa menjadikan ayat di atas sebagai landasan untuk membuktikan keadilan seluruh sahabat adalah usaha yang sia-sia. Karena dalil yang diajukan tidak mampu membuktikan hal tersebut.
Dalil Konsep Keadilan Sahabat (4)
Pada seri-seri sebelumnya telah disampaikan beberapa dalil konsep keadilan Sahabat dalam ayat-ayat Al-Quran berikut dengan sanggahannya yang menggugurkan dalil tersebut atas keadilan seluruh Sahabat.
Pada seri kali ini kami masih melanjutkan pembahasan mengenai dalil konsep keadilan Sahabat dari ayat lainnya dalam Al-Quran.
Ayat tersebut ada dalam Surat Al-Hadid ayat 10, dan ayat itu dijadikan sebagai dalil atau landasan atas keadilan seluruh Sahabat. Allah Swt Berfirman:
وَمَا لَكُمْ أَلَّا تُنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَا يَسْتَوِي مِنْكُمْ مَنْ أَنْفَقَ مِنْ قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ أُولَئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِنَ الَّذِينَ أَنْفَقُوا مِنْ بَعْدُ وَقَاتَلُوا وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allah, padahal Allah-lah yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi? Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan
Dalam ayat tersebut, Allah Swt membandingkan dua kelompok dari para sahabat yang berinfak dan berperang sebelum penaklukan Mekkah, dan yang berinfak dan berperang setelah penaklukan Mekah. Kelompok pertama lebih utama dari kelompok kedua. Namun kedua kelompok tersebut Allah janjikan balasan yang lebih baik yaitu surga. Sebagaimana dijelaskan dalam ayat lainya di surat Al-Anbiya ayat 101. Allah Swt Berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ سَبَقَتْ لَهُمْ مِنَّا الْحُسْنَى أُولَئِكَ عَنْهَا مُبْعَدُونَ
Bahwasanya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami, mereka itu dijauhkan dari neraka,
kata (الْحُسْنَى ) menunjukkan bagi mereka yang dijauhkan dari neraka. Atas dasar itu, berdasarkan ayat pertama diatas bahwa kedua kelompok tersebut dijanjikan (الْحُسْنَى ), maka bisa disimpulkan bahwa seluruh sahabat akan dijauhkan dari neraka dan pasti masuk suga, dan sesiapa yang masuk surga pasti adil, maka seluruh sahabat pasti adil.
Seperti yang telah kami paparkan dalam konsep keadilan Sahabat sebelumnya, atas argumen inilah maka Abu Muhammad bin Hazm mengatakan bahwa seluruh sahabat dipastikan ahli surga. Sebagaimana yang tercantum di kitab Al-Ishabah karya Ibnu Hajar Asqalani.
Namun perlu kita perhatikan bahwa ayat tersebut tidak menunjukkan pada keadilan seluruh sahabat secara umum, melainkan hanya untuk beberapa kelompok saja yaitu mereka yang berinfak dan berperang sebelum penaklukan, dan mereka yang berinfak dan berperang sesudah penaklukan. Sifat-sifat inilah yang menjadi kekhususan bagi sahabat yang Allah janjikan kebaikan (surga), dan tidak untuk seluruh sahabat, karena tidak semua sahabat memiliki kekhususan tersebut, bisa saja ada diantara mereka yang berinfak namun tidak ikut berperang sebelum dan sesudah penaklukan, atau mereka ikut berperang sebelum dan sesudah penaklukan namun tidak berinfak, atau tidak keduanya yakni tidak berinfak dan tidak berperang baik sebelum atau sesudah penaklukan.
Wallahu A’lam
Ibnu Taimiyah: Sebagian Ijtihad Sahabat Berdasar Dugaan dan Hawa Nafsu
Pada seri sebelumnya telah dibahas mengenai berbagai pandangan tentang pengertian sahabat dan keadilan sahabat. Hal itu telah dibahas baik dari tinjauan al-Quran ataupun hadis, juga berdasarkan kitab rujukan Ahlusunnah maupun Syiah.
Pada pembahasan kali ini, kita akan menelaah pandangan Ibnu Taimiyah mengenai ijtihad dan tindakan yang dilakukan oleh para sahabat khususnya selepas wafat Rasulullah SAW. Karena sebagaimana diketahui dalam sejarah, terdapat perbedaan pendapat di antara umat pasca wafat Nabi SAW yang menyebabkan perselisihan hingga pertumpahan darah. Namun sayangnya masih ada yang berpendapat bahwa ijtihad dan tindakan yang mereka lakukan -walaupun berbeda-beda- tetap diridhai dan mendapatkan pahala.
Ibnu Taimiyah memandang ijtihad yang telah dilakukan sebagian para sahabat tidak lepas dari dasar dugaan sendiri dan hawa nafsu. Dalam kata lain ia memandang sebagian sahabat ada yang bertindak secara adil dan benar, dan ada juga yang tidak. Hal ini ia jelaskan dalam kitabnya Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyah sebagai berikut.
وَمِمَّا يَتَعَلَّقُ بِهَذَا الْبَابِ أَنْ يُعْلَمَ أَنَّ الرَّجُلَ الْعَظِيمَ فِي الْعِلْمِ وَالدِّينِ، مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، أَهْلِ الْبَيْتِ وَغَيْرِهِمْ، قَدْ يَحْصُلُ مِنْهُ نَوْعٌ مِنَ الِاجْتِهَادِ مَقْرُونًا بِالظَّنِّ، وَنَوْعٌ مِنَ الْهَوَى الْخَفِيِّ
Sekaitan dengan pembahasan ini, patut diketahui bahwa seorang yang besar dalam ilmu dan agama, dari para sahabat dan tabiin dan orang setelahnya sampai hari kiamat, ahlulbait dan selainnya, menghasilkan dari mereka tipe ijtihad yang berdasarkan dugaan (perkiraan diri sendiri) dan berdasarkan hawa nafsu yang tersembunyi..”
Dari penjelasan di atas, Ibnu Taimiyah mengemukakan pendapatnya bahwa ijtihad serta tindakan yang telah dilakukan sebagian para sahabat dan tabiin hingga pengikut setelahnya adalah ijtihad yang berdasarkan pemikirian dan dugaan diri sendiri. Maka tidak heran, selepat wafat Rasulullah SAW sering terjadi pertikaian hingga pertumpahan darah di antara sahabat dan para tabiin.
Oleh karena itu, pendapat semua sahabat berlaku adil adakah tidak tepat. Karena, bertentangan jika klaim semua sahabat adil dengan ijtihad dan tindakan mereka yang berbeda-beda -bahkan menyebabkan pertumpahan darah- disejajarkan. Maka dari itu sebagian sahabat ada yang berlaku adil dan sebagian tidak.
Terakhir, maksud penulis memaparkan pembahasan di atas tidak lain adalah agar kita senantiasa mencari ajaran dari jalur yang dipercaya baik itu dari sahabat, tabiin maupun keturunan Rasulullah SAW.
Dalil Konsep Keadilan Sahabat (5)
Menyakini seluruh sahabat adil dan menyakini sebagian sahabat adil, dalam tinjauan ilmu hadis merupakan dua konsep yang berbeda yang akan berpengaruh dalam menilai setiap riwayat yang sampai pada kita.
Yang pertama akan membuat kita menerima semua riwayat dari para sahabat tanpa perlu memeriksa status keadilannya, sebab hal itu telah dijamin oleh beberapa ayat yang dianggap sebagai dalil konsep tersebut. Sementara yang kedua, sebagaimana kita menerapkan kriteria (penerimaan perkataannya) pada para perawi yang berada di generasi setelah para sahabat, begitu pula kita melakukan itu terhadap mereka (para sahabat). Sehingga dalam hal ini para sahabat tak dibedakan dari para perawi yang lainnya.
Dari beberapa ayat yang digunakan untuk menetapkan keadilan seluruh sahabat salah satunya ialah surat Al-Baqarah ayat 143:
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا
Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu..
Pendekatan argumentasi: Para sahabat merupakan objek dari Khitab (pembicaraan) dalam ayat tersebut, melalui lisan nabi saw. Di sini Allah swt menjadikan mereka sebagai orang-orang adil supaya mereka menjadi saksi atas umat-umat lainnya. Jika tidak demikian (mereka tidak adil) maka bagaimana Allah meminta kesaksian dari mereka.
Argumentasi ini bersandar pada beberapa mukadimah sebagai berikut:
Pertama, pada kalimat “جَعَلْنٰكُمْ ” bentuk atau jenis “جعل ” -nya adalah takwini bukan tasyri’i, dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Ja’al takwini adalah menciptakan atau menjadikan sesuatu di luar dengan bentuk tertentu, seperti yang digambarkan dalam beberapa ayat berikut:
وَجَعَلْنَا فِيْهَا جَنّٰتٍ مِّنْ نَّخِيْلٍ وَّاَعْنَابٍ وَّفَجَّرْنَا فِيْهَا مِنَ الْعُيُوْنِۙ
Dan Kami jadikan padanya di bumi itu kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air.[25]
2. Ja’al tasyri’i adalah membuat hukum syar’i atau pensyariatan, seperti pada ayat berikut:
وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُوْمًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّه ٖ سُلْطٰنًا فَلَا يُسْرِفْ فِّى الْقَتْلِۗ اِنَّه ٗ كَانَ مَنْصُوْرًا
Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sungguh, Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah walinya itu melampaui batas dalam pembunuhan. Sesungguhnya dia adalah orang yang mendapat pertolongan.[26]
Pada ayat di atas jika yang dimaksud adalah ja’al tasyri’i maka yang dipahami dari ayat itu bahwa mereka (objek khitab) diberikan taklif atau tugas khusus yaitu menjadi adil supaya mereka dapat bersaksi atas manusia. Jika demikian status keadilan disini tak ubahnya seperti taklif atau kewajiban-kewajiban yang lainnya yang dituntut dari setiap mukallaf, maka dalam hal ini tidak menunjukkan pujian sebab jika bentuknya taklif maka mungkin sebagian melakukannya dan sebagian lainnya mengerjakannya.
Namun apabila yang dimaksud adalah Ja’al takwini, maka artinya Allah swt telah menjadikan atau menciptakan mereka dalam bentuk seperti itu yakni adil dan menjadi saksi atas manusia. Jika demikian maka dalam ayat ini bentuknya menjadi sebuah pujian.
Dalam hal ini, penulis melihat adanya unsur berlebihan dimana pernyataan di atas menunjukkan bahwa para sahabat diciptakan dengan khusus berbeda dari manusia biasa. Selain itu anggaplah kita terima demikian dan sejak awal mereka tercipta dengan kekhususan maka bagaimana bisa banyak di antara mereka didahului dengan kesyirikan, kekufuran dan setelah wafat nabi saw pun terjadi keributan dan pertumpahan darah.
Kedua, mukhatab atau yang dikenai khitab (lawan bicara) adalah khusus para sahabat.
Dalam ayat tersebut, Al-Khatib Al-Baghdadi menyebut bahwa meskipun ayat tersebut bentuknya adalah umum, namun makna yang diinginkan adalah khusus dan itu adalah tentang para sahabat, bukan selainnya.[27]
Sementara itu riwayat dalam kitab sahih Bukhari menyebutkan bahwa yang dimaksud dalam ayat adalah umat nabi muhammad saww[28] , yakni kesaksian umat ini atas semua umat terdahulu. Meskipun hal ini memunculkan sebuah pertanyaan; bagaimana bisa umat nabi saw yang tidak sejaman dengan mereka akan memberikan kesaksian, sementara syarat utama untuk menjadi saksi adalah mengetahui tentang kejadian yang bersangkutan. Sehingga dengan hal ini akan meruntuhkan hujjah Allah dalam artian umat-umat terdahulu dapat menolak kesaksian umat ini dengan dalil tadi.
Beda halnya apabila terdapat perhatian khusus dari Allah yang menjadikan mereka mendapat ilmu dan mengetahui ihwal manusia dari mulai yang terdahulu hingga kiamat kelak. Namun apakah hal ini pun dapat mencakup seluruh umat nabi saw? Tentu saja tidak, sebab umat nabi pun tidak semuanya adil dan saleh, melainkan sebagian dari mereka yang saleh dan memiliki keutamaan khusus. Apakah artinya seluruh sahabat? Tentu hal ini pun lagi-lagi berbenturan dengan realita dan fakta sejarah yang ada dalam ayat Al-Quran sendiri ataupun riwayat, seperti yang akan dibahas pada seri-seri berikutnya.
Dalil Konsep Keadilan Sahabat (6)
Pada seri-seri sebelumnya telah banyak dibahas seputar dalil-dalil keadilan sahabat yang diajukan oleh ulama Ahlussunnah dan begitu juga sanggahannya.
Mengingat bahwa ayat yang digunakan sebagai landasan untuk menopang konsep keadilan sahabat sangat banyak maka tulisan kali ini masih akan melanjutakan topik yang sama tapi tentu saja dengan menjelaskan dalil lainnya serta sanggahan untuk hal tersebut.
Ayat lain yang digunakan untuk mengusung konsep keadilan sahabat adalah ayat 64 surat al-Anfal:
يا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَسْبُكَ اللهُ وَ مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنينَ
“Hai nabi, cukuplah Allah (menjadi pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu (al-Anfal/ 64)”
Mengingat bahwa di dalam ayat di atas disebutkan bahwa sahabat adalah mukmin maka semua sahabat adalah adil. Oleh karena itu Ibn Hajar al-Asqallani menjadikan ayat tersebut sebagai salah satu landasan konsep keadilan sahabat. Beliau setelah menyebutkan beberapa ayat tentang keutamaan sahabat, termasuk ayat 64 surat al-Anfal di atas menyebutkan:
“dan di dalam ayat-ayat yang banyak, panjang jika disebutkan, Dan hadits-hadits yang masyhur yang banyak bilangannya, Dan semua itu menuntut untuk kepastian keadilan merek. Oleh karena itu tidak satu orangpun dari mereka membutuhkan penilaian dari orang lain setelah Allah sendiri yang menyebutkan karakter mereka yang adil.[29] ”
Namun perlu dicatat bahwa ayat di atas tidak dapat dijadikan sebagai landasan untuk keadilan seluruh sahabat. Hal ini berdasarkan pada hal berikut.
Muatan yang dikandung ayat ini tidak mencakup seluruh sahabat, karena ayat ini turun berdasarkan dengan apa yang disampaikan olehTs’labi dan Abi Hatim[30] adalah tentang keislaman umar dan sekolompok kecil dari kaummuslimin:
“….. dari Said bin Jubair, ia berkata: telah masuk islam bersama Nabi SAWW tiga puluh tiga orang laki-laki dan enam orang perempuan. Kemudian Umar Masuk Islam maka turunlah ayat ini.[31] ”
Berdasarkan penjelasan ini dapat dipahami bahwa keutamaan yang disebutkan dalam ayat di atas hanya mencakup sekelompok kecil sahabat dan bukan seluruh sahabat. Maka ayat ini juga sebagaimana ayat-ayat sebelumnya tidak dapat membuktikan keadilan seluruh sahabat.
Daftar Isi :
Keadilan Sahabat1
Tujuan Mengkaji Keadilan Sahabat2
Definisi Sahabat Nabi saw5
1. Kitab Shahih Bukhari6
2. Kitab Al-U’ddah Fi Ushulil Fiqh6
3. Kitab Asadul Ghabah Fi Ma’rifatis Shahhabah6
Definisi Sahabat Nabi (2)8
Sahabat Nabi dalam Kacamata Al-Quran10
Definisi Keadilan Menurut Para Ulama13
IMAM GHAZALI14
TAJUDDIN AS-SUBKI15
JALALUDDIN AS-SUYUTHI15
IBNU HAJAR AL-ASQALANI16
Syarat Islam Tidak Ada Dalam Defenisi Sahabat17
Konsep Keadilan Sahabat dalam Mazhab Ahlussunnah19
Imam Al-Amidi dan Keadilan Sahabat Nabi21
Al-Khathib Al-Baghdadi dan Keadilan Sahabat Nabi24
Menilai Keadilan Sahabat Dengan Standar Defenisi Ibn Hajar al-Asqalani27
Dalil Konsep Keadilan Sahabat30
Hasan Al-Bashri dan Sahabat Nabi33
Dalil Konsep Keadilan Sahabat (2)35
Dalil Konsep Keadilan Sahabat (3)39
Dalil Konsep Keadilan Sahabat (4)43
Ibnu Taimiyah: Sebagian Ijtihad Sahabat Berdasar Dugaan dan Hawa Nafsu46
Dalil Konsep Keadilan Sahabat (5)48
Dalil Konsep Keadilan Sahabat (6)52
[1] Ibn Hajar al-Asqallani, Ahmad bin Ali bin Muhammad, al-Ishabah, jil: 1, hal: 7, cet: al-Saadah, Mesir.
[2] Subhani, Ja’far, Dalil al-Mursyidin Ila al-Haq al-Yaqien, hal: 371, cet: Markaz al-Qaimiah, Ishfahan.
[3] Subhani, Ja’far, Dalil al-Mursyidin Ila al-Haq al-Yaqien, hal: 371, cet: Markaz al-Qaimiah, Ishfahan.
[4] Lisanul Arab, jil:1, hal: 519, Daru Shadir, Beirut.
[5] Shahih Bukhari, jili: 3, hal: 1335, Dar Ibnu Katsir, Beirut.
[6] Al-U’ddah Fi Ushulil Fiqh, jil: 3, hal: 987-988.
[7] Asadul Ghabah Fi Ma’rifatis Shahhabah, jil: 1, hal: 10, Darul Kutub Ilmiah, Beirut.
[8] Al-Mustashfa Min Ilmil Ushul, jil: 1, hal: 231 – 232.
[9] Al-Ashbah Wan Nadhair, jil: 1, hal: 451, Darul Kutub Ilmiah, Beirut.
[10] Al-Ashbah Wan Nadhair, hal: 384 – 385, Darul Kutub Ilmiah, Beirut.
[11] Nuzhatun Nadhar Fi Taudhih Nukhbatil Fikr, hal: 67.
[12] Ibn Atsir, Abul Hasan Ali bin Abu al-Karam Muhammad, Asadul Ghabah Fi Ma’rifat al-Shahabah, jil:1, hal:10, Dar al-kutub al-Ilmiah, Beirut.
[13] Al-Takwir/ 22.
[14] Thabathabai, Muhammad Husain, al-Mizan Fi Tafsir al-Quran, jil: 20, hal: 218, cet: Mansyurat Jamaat al-Mudarrisin, Qom.
[15] Al-Ihkam fi Usulil Ahkam, Imam Syaifuddin Al-Amidi, juz 2, hal. 110-111.
[16] Al-Kifayah Fi Marifati Ushul Ilmil Riwayah, jil: 1, hal: 180, Darul Huda.
[17] Al-Kifayah Fi Marifati Ushul Ilmil Riwayah, jil: 1, hal: 186, Darul Huda.
[18] Ibn Hajar al-Asqallani, Ahmad bin Ali bin Muhammad, Nuzhatun Nadhar Fi Taudhih Nukhbatil Fikr, hal: 67.
[19] Bukhari, Muhammad bin Ismail, al-Jami’ al-Shahih, jil: 4, hal: 206, cet: al-Maktabah al-Salafiah, Qairo.
[20] Bukhari, Muhammad bin Ismail, al-Jami’ al-Shahih, jil: 3, hal: 130, cet: al-Maktabah al-Salafiah, Qairo.
[21] Siyar A’lamin Nubala’, Imam Adz-Dzahabi, juz 2, hal. 401, penerbit: Mu’asasah Ar-Risalah.
[22] Al-Isti’ab fi Ma’rifatil Ashab Juz 1 Hal. 4 Cet. Darul Jamil – Beirut
[23] Bukhari, Muhammad bin Ismail, al-Jami’ al-Shahih, jil: 3, hal: 294-295cet: al-Maktabah al-Salafiah, Qairo.
[24] Al-Aini, Mahmud bin Ahmad, Umdat al-Qari, jil: 14, hal: 109, Dar al-Fikr.
[25] Yasin, 34.
[26] Al-Isra’, 33.
[27] Al-Kifayah Fi Ilmil Riwayah, hal: 180.
[28] Shahih Bukhari, jil: 4, hal: 1632, no: 4217.
[29] Ibn Hajar al-Asqallani, Ahmad bin Ali bin Muhammad, Kitab al-Ishabah Fi Tamyiz al-Shahabah, jil: 1, hal: 7, cet: al-Saadah, Mesir.
[30] Abi Hatim, Abdurrahman bin Muhammad Idris, Tafsir al-Quran al-Adzim, jil: 5, hal: 1728, cet: al-Maktabah al-Ashriah, Beirut.
[31] Al-Tsa’labi, Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim, al-Kasyfu wa al-Bayan Fi Tafsir al-Quran, jil: 3, hal: 155, cet: Dar Kutub al-Ilmiah, Beirut.
Keadilan Sahabat
(bagian2)
Nabi Saw Menyebut Para Sahabatnya dengan Kata Ini
Ibarat seorang pendaki, kita masih berada di setengah perjalanan menuju puncak. Iya, pembahasan kita mengenai sahabat nabi masih belum sampai pada puncaknya.
Kami masih berusaha mengumpulkan kepingan-kepingan dalil dan pengetahuan lain mengenai sahabat nabi sampai kita benar-benar sampai pada kesimpulan yang matang tentang keadilan sahabat nabi.
Seperti yang kita ketahui bersama, dan hal ini juga sudah dibahas secara panjang-lebar di tulisan sebelumnya, bahwa mazhab Ahlusunnah meyakini kalau-kalau seluruh sahabat nabi adalah adil.
Bahkan, ulama di antara mereka berpendapat jika sahabat nabi adalah ahli surga. Artinya, seolah-olah sahabat nabi telah diberi kunci masuk surga tanpa harus bersusah payah dahulu menjadi hamba-Nya yang hakiki.
Menariknya, di antara sekian pendapat mengenai keadilan sahabat nabi, fakta di lapangan membuktikan bahwa masih ada bukti-bukti, berupa riwayat nabi tentang sahabat yang menegaskan sebaliknya.
Misalnya, di dalam salah satu kalam-Nya, Allah berfirman begini,
وَمِمَّنْ حَوْلَكُمْ مِنَ الأَعْرَابِ مُنَافِقُونَ وَمِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ مَرَدُوا عَلَى النِّفَاقِ لا تَعْلَمُهُمْ نَحْنُ نَعْلَمُهُمْ سَنُعَذِّبُهُمْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ يُرَدُّونَ إِلَى عَذَابٍ عَظِيمٍ .
“Dan di antara orang-orang Arab Badui yang (tinggal) di sekitarmu, ada orang-orang munafik. Dan di antara penduduk Madinah (ada juga orang-orang munafik), mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Engkau (Muhammad) tidak mengetahui mereka, tetapi Kami mengetahuinya. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali, kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.” (QS. At-Taubah: 101).
Ayat di atas disinyalir memiliki kaitan erat dengan sahabat nabi saw. Meski sebagian ada yang menolak, dengan mengakatan bahwa sahabat nabi terjauhkan dari orang-orang munafik.
Namun, kita juga tak bisa menampik, bahwa Rasulullah Saw. sendiri pernah mengatakan kalau di antara sahabatnya ada orang munafik. Nah, untuk lebih jelasnya berikut penulis bawakan redaksi aslinya, yang penulis sadur dari kitab Musnad Ahmad bin Hanbal, karya Imam Hanbali.
… قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فِي أَصْحَابِي اثْنَا عَشَرَ مُنَافِقًا
Nabi Saw. bersabda, “Di antara para sahabatku ada dua belas orang yang munafik.”[1]
Dari ungkapan di atas, mungkin Nabi Saw. hendak memberi isyarat kepada kita bahwa sahabat yang adil mestinya terjauhkan dari sifat munafik, yang kalau kita perhatikan sangatlah bertentangan dengan sifat adil. Wallahu a’lam bi shawab.
12 Munafik Zaman Rosulullah, Kitab Shahih Muslim dan Imam Hambali
Berkenaan dengan keadilan sahabat, Syiah memiliki pandangan bahwa sebagian sahabat memiliki kriteria adil dan sebagian lagi tidak. Hal ini disebabkan terdapat banyak bukti ayat, riwayat, maupun sejarah yang memilah kriteria sahabat.
Untuk itu, kali ini penulis akan memberikan beberapa bukti yang menopang pandangan di atas. Selain ayat yang menjelaskan keberadaan orang-orang munafik di sekitar nabi;
وَمِمَّنْ حَوْلَكُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ مُنَافِقُونَ ۖ وَمِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ ۖ مَرَدُوا عَلَى النِّفَاقِ لَا تَعْلَمُهُمْ ۖ نَحْنُ نَعْلَمُهُمْ
“Di antara orang-orang Arab Badwi yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka.” (Q.S At-Taubah: 101)
Dan juga Allah Swt menjanjikan kepada Rasulullah Saw bahwa orang-orang munafik dapat dikenal dari sikap dan gerak-gerik mereka.
وَلَوْ نَشَاءُ لَأَرَیْنَاکَهُمْ فَلَعَرَفْتَهُمْ بِسِیمَاهُمْ وَلَتَعْرِفَنَّهُمْ فِی لَحْنِ الْقَوْلِ وَاللَّهُ یَعْلَمُ أَعْمَالَکُمْ
“Dan kalau Kami kehendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kalian.” (Q.S Muhammad: 30)
Terdapat juga bukti bahwa Rasulullah Saw mengetahui jumlah dari mereka. Hal ini terdapat dalam kitab Shahih Muslim begitu pula Imam Hambali dalam musnadnya.
…. قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فِي أَصْحَابِي اثْنَا عَشَرَ مُنَافِقًا ….
Berkata Rasulullah Saw; Pada sahabatku terdapat 12 orang munafik…[2]
Dengan alasan itulah dan beberapa alasan lainnya -yang dijelaskan pada seri ini- Syiah tidak menganggap seluruh sahabat itu adil, melainkan hanya sebagian. Tentunya, membuktikan fakta sejarah bukanlah sebuah bentuk caci maki ataupun pencelaan. Ini dilakukan semata-mata agar kita senantiasa mendapatkan kebenaran berdasarkan pengkajian dan pemikiran yang tepat.
Sebagian Perbuatan Sahabat Membatalkan Konsep Keadilan Sahabat
Pada seri-seri sebelumnya telah banyak dibahas seputar dalil-dalil keadilan sahabat yang diajukan oleh ulama Ahlussunnah dan begitu juga sanggahannya.
Pada tulisan kali ini akan dijelaskan sanggahan lainnya yang dapat mementahkan konsep keadilan sahabat; berupa tindakan sahabat sendiri.
Maksudnya adalah, bahwa banyak riwayat yang terdapat di dalam literatur-literatur Ahlussunnah yang memuat tentang tindakan-tindakan para sahabat yang bertentangan dengan konsep keadilan sahabat.
Dalam satu riwayat disebutkan bahwa banyak dari sahabat yang melakukan bidah. Seperti yang tertera dalam riwayat berikut:
Dari ‘Ala bin bin Musayyib, dari ayahnya, ia berkata: aku bertemu dengan Barra bin ‘Azib RA, lalu aku berkata: alangkah beruntungnya anda. Engkau telah menjadi sahabta Nabi SAWW dan melakukan baiat terhadapnya di bawah pohon (Ridwan). Lalu ia berkata: wahai anak saudaraku sesungguhnya engkau tidak menegetahuai bidah apa yang kami perbuat setelahnya.[3]
Di dalam hadits lainnya disebutkan bahwa Aisyah enggan dimakamkan di samping Nabi SAWW karena ia merasa melakukan bidah setelah Rasul SAW
Dari Qais bin Abi Hazim ia berkata:……… lalu ia (Aisyah) berkata: aku telah melakukan suatu bidah setelah Rasulullah SAWW. makamkanlah aku bersama para istri-istri beliau. Lalu ia dimakamkan di Baqi’. Hadits ini shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim, tapi keduanya tidak meriwayatkannya.[4]
Di dalam riwayat berikutnya disebutkan bahwa banyak dari sahabat yang murtad atau berpaling ke belakang:
Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAWW, beliau berkata: ketika aku berdiri di samping telaga, lalu datanglah satu kelompok. Sampai pada saat ketika aku mengenali mereka, lalu keluarlah seseorang di antaraku dan diantara mereka. Seraya berkata: kemarilah! Aku berkata: mau ke mana? Ia menjawab: ke neraka. Aku bertanya: ada apa dengan mereka? Ia menjawab: sungguh mereka telah murtad dan berpaling ke belakang setelahmu. Kemudian datang lagi satu kelompok yang lain. Pada saat aku telah mengenali mereka, keluarlah seseorang di antaraku dan diantara mereka seraya berucap: Kemarilah! Aku bertanya: mau ke mana? Ia menjawab: menuju neraka demi Allah. Aku bertanya: ada apa dengan mereka? Ia menjawab: sungguh mereka telah murtad dan berpaling kebelakang setelahmu. Aku tidak melihat mereka terbebas kecuali sedikit saja.[5]
Dan di dalam riwayat lainnya disebutkan bahwa sebagian sahabat mengubah ajaran Nabi SAWW:
Dari Abu Hazim, ia berkata: aku mendengar Sahal bi Sa’d berkata:……. Sungguh aku mendengar ia menambah padanya, beliau (rasulullah) berkata: sesungguhnya mereka itu termasuk golonganku. Lalu di jawab: sesungguhnya engkau tidak tahu apa yang mereka ubah setelahmu. Lalu aku berkata: binasalah bagi yang mengubah setelahku[6]
Hadits-hadits yang telah disebutkan dengan gamblang menyatakan bahwa banyak dari sahabat yang murtad atau berpaling kebelakang, membuat bidah dan mengubah ajaran Nabi SAWW, yang tentu saja hal ini bertentangan dengan konsep keadilan sahabat yang digagas.
Dalil Konsep Keadilan Sahabat (7)
Salah satu pandangan yang paling menonjol mengenai para sahabat adalah konsep keadilan yang ditetapkan pada setiap anggotanya. Yakni mereka yang menyandang gelar sahabat adalah pribadi yang tak perlu dipertanyakan lagi keadilannya, sebab sudah jelas ditetapkan dalam beberapa ayat Al-Quran maupun riwayat.
Di antara ayat yang digunakan untuk menetapkan keadilan seluruh sahabat adalah surat Ali Imran ayat 110, yang berbunyi:
كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ
Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.
Pendekatan argumentasi: Allah swt telah menetapkan bagi mereka (para sahabat, sebab khitabnya pada mereka) keunggulan dan kebaikan di atas seluruh umat-umat lainnya, dan tidak ada sesuatu yang dapat menyaingi kesaksian Allah swt dalam hal ini terhadap mereka, sebab Ia adalah Dzat yang paling tahu terhadap hamba-hamba-Nya. Oleh sebab itu jika terdapat sebuah kebaikan dan keunggulan kemudian diikuti dengan kesaksian Allah swt, maka wajib atas siapa pun untuk meyakini hal itu dan mengimaninya, apabila tidak, maka sama halnya dengan membohongkan Allah dalam kesaksian-Nya dan tidak menerimanya, dan ini termasuk dalam bentuk kekufuran. Apabila sudah terbukti keunggulan serta kebaikan mereka dengan kesaksian Allah swt maka sudah tentu mereka adalah sosok yang adil sebagai kelazimannya.
Argumentasi ini bersandar pada empat hal yang mana apabila salah satunya gugur, maka semua kesimpulannya pun akan berubah:
Pertama, kata kerja “كان ” yang terdapat pada ayat tidak menunjukkan masa lampau atau berupa tambahan. Sebab seandainya menunjukkan masa lampau maka kesaksian Allah dalam ayat itu hanyalah memberitakan kondisi terdahulu para sahabat sebelum pengkabaran, bukan kondisi pada saat pengkabaran.
D
alam hal ini para mufassir memiliki pandangan yang beragam, salah satunya adalah Fakhru Ar-Razi yang menjelaskan konsekuensi dari semua kemungkinan yang ada pada kata kerja dalam ayat di atas:
1. Kata kerja “كان ” apabila berupa Fi’il Tammah (menunjukkan waktu dan kejadian),maka memberikan makna kejadian dan ia tidak butuh pada Khabar (predikat)dan kata “خير أمة ” akan menjadi Hal (keterangan keadaan). Sehingga makna yang dihasilkan di sini menjadi: “kalian telah ada (dijadikan atau diciptakan) sebagai umat terbaik..” ini merupakan pandangan sekelompok mufassirin.
2. Kata kerja “كان ” apabila berupa Fi’il Naqishah (hanya menunjukkan waktu bukan kejadian), maka muncul pertanyaan bahwa apakah mereka dulunya disifati dengan umat terbaik, sementara saat ini mereka tidak berada pada sifat tersebut.
3. Kata kerja “كان ” apabila berupa kata tambahan, maka keberadaannya tidak memberikan pengaruh apa pun pada kalimat. Sehingga makna yang dihasilkan: “kalian adalah umat terbaik..” tanpa dipengaruhi waktu.
4. Kata kerja “كان ” apabila bermakna “صار ” yang memiliki arti menjadi, sehingga makna yang dihasilkan: “kalian telah menjadi umat terbaik disebabkan kalian menyeru pada yang ma’ruf dan melarang dari yang munkar serta beriman pada Allah.”.[7]
Kedua, kata ganti yang ada pada “كنتم ” dalam ayat di atas harus dikhususkan kepada seluruh sahabat.
Maksud khitab dalam ayat ini terdapat dua kemungkinan:
a. Khitabnya kepada orang-orang yang beriman, sehingga ini menjadi umum bagi siapapun dari umat nabi saw. Seperti yang terjadi pada ayat puasa, Al-Baqarah ayat 183:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
b. Khitabnya hanya khusus pada orang-orang yang hadir ketika ayat ini turun.
Dari kedua kemungkinan tersebut jelas tidak dapat menunjukkan kepada seluruh sahabat. Yang pertama sudah jelas, sedangkan yang kedua tidak semua sahabat hadir ketika ayat tersebut turun, maka bagaimana bisa menjadi umum dan berlaku pada seluruh sahabat bukan selainnya.
Ketiga, maksud dari kata “أمة ” bukan sebuah kelompok secara keseluruhan melainkan secara satu persatu.
Hal ini juga terbantahkan sebab ayat ini dan ayat-ayat yang setelahnya menunjukkan makna “أمة ” secara keseluruhan atau kumpulan bukan dilihat secara satu persatu.
Keempat, kalimat “تأمرون ..” dan seterusnya merupakan kalimat sifat dan bukan menunjukkan sebab atau syarat.
Dan ini juga tidak bisa diterima, melihat dari semua yang tanpak pada ayat dalam pembahasan-pembahasan di atas hal tersebut jauh lebih mungkin untuk menjadi sebuah syarat atau sebab dari sebaik-baiknya umat ketimbang sifat, karena tanpa hal itu apa yang menjadi ukuran bahwa mereka menjadi umat terbaik.
Kesimpulannya adalah ayat tersebut tidak dapat dijadikan dalil untuk menjamin keadilan seluruh sahabat.
Konsep Keadilan Sahabat ‘Asyiada’u alal Kuffar’
Satu dari ciri-ciri orang yang bersama Rasulullah Saw dalam pandangan Al-Quran adalah أَشِدَّاء عَلَى الْكُفَّارِ yaitu keras dan tegas di hadapan orang-orang kafir. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa sahabat pada masa itu memiliki sifat-sifat seperti ini. Namun apakah sifat tersebut mencakup semua sahabat ataukah sebagian saja? Al-Quran pada ayat lainnya -di samping menjelaskan sifat-sifat baik para sahabat- terdapat juga penjelasan mengenai sifat sebagian sahabat yang tidak patut. Ditambah penjelasan riwayat yang menguatkan hal tersebut.
Tidak sedikit bukti dalam sejarah awal Islam sekaitan dengan sikap sebagian sahabat dalam peristiwa-peristiwa perang bersama Rasulullah SAW. Kisah melarikan diri sekelompok sahabat pada peperangan seperti perang Uhud, Khaibar, Hunain serta meninggalkan Rasulullah Saw di dalamnya beserta beberapa orang, merupakan bukti dari pembahasan ini.
Al-Quran menjelaskan mengenai peristiwa perang Uhud dalam surat Ali Imran: 155,
اِنَّ الَّذِيْنَ تَوَلَّوْا مِنْكُمْ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعٰنِۙ اِنَّمَا اسْتَزَلَّهُمُ الشَّيْطٰنُ بِبَعْضِ مَا كَسَبُوْا ۚ وَلَقَدْ عَفَا اللّٰهُ عَنْهُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ حَلِيْمٌ ࣖ.
Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antara kamu ketika terjadi pertemuan (pertempuran) antara dua pasukan itu, sesungguhnya mereka digelincirkan oleh setan, disebabkan sebagian kesalahan (dosa) yang telah mereka perbuat (pada masa lampau), tetapi Allah benar-benar telah memaafkan mereka.
Juga menjelaskan mengenai sifat congkak yang dimiliki pasukan karena jumlah yang banyak, dalam surat at-Taubah: 25,
لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللّٰهُ فِيْ مَوَاطِنَ كَثِيْرَةٍۙ وَّيَوْمَ حُنَيْنٍۙ اِذْ اَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْـًٔا وَّضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الْاَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُّدْبِرِيْنَۚ .
Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah(mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai.
Mengenai peristiwa perang Hunain Imam Bukhari meriwayatkan;
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ رضى الله عنه قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَامَ حُنَيْن، فَلَمَّا الْتَقَيْنَا كَانَتْ لِلْمُسْلِمِينَ جَوْلَة ٌ، فَرَأَيْتُ رَجُلاً مِنَ الْمُشْرِكِينَ عَلاَ رَجُلاً مِنَ الْمُسْلِمِينَ، فَاسْتَدَرْتُ حَتَّى أَتَيْتُهُ مِنْ وَرَائِهِ حَتَّى ضَرَبْتُهُ بِالسَّيْفِ عَلَى حَبْلِ عَاتِقِهِ، فَأَقْبَلَ عَلَىَّ فَضَمَّنِي ضَمَّةً وَجَدْتُ مِنْهَا رِيحَ الْمَوْتِ، ثُمَّ أَدْرَكَهُ الْمَوْتُ فَأَرْسَلَنِي، فَلَحِقْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ فَقُلْتُ مَا بَالُ النَّاسِ قَالَ أَمْرُ اللَّهِ، ثُمَّ إِنَّ النَّاسَ رَجَعُوا
Abu Qatadah, ia berkata; kami keluar bersama Rasulullah Saw pada tahun terjadinya perang Hunain. Kemudian tatkala kami bertemu, kaum muslimin kabur dan kemudian kembali. Ia berkata; kemudian saya melihat seorang laki-laki dari kalangan musyrikin telah mengalahkan seorang muslim. Ia berkata; kemudian aku mengitarinya hingga aku mendatanginya dari belakang. Kemudian aku menebasnya dengan pedang pada urat pundaknya. Kemudian ia menghadap kepadaku dan ia memelukku dan aku dapatkan darinya bau kematian. Kemudian ia mati dan melepaskanku. Lalu aku menyusul kepada Umar dan aku katakan kepadanya; kenapa dengan prang-orang? Ia berkata; terdapat perintah Allah.
Sebagaimana yang diketahui, perang Hunain didominasi oleh pasukan muslim sebanyak kurang lebih 12.000 orang. Namun demikian, pada awal perang sebagian besar Muslimin sempat lari dan bercerai berai tatkala terjadi serangan. Sebagian kecil bertahan bersama Rasulullah Saw dan pada akhirnya pasukan muslimin dapat disatukan kembali. Al-Quran menyinggung peristiwa ini dalam ayat yang telah disebutkan di atas bahwa congkak akan banyaknya pasukan merupakan sikap yang tidak baik.
Hal di atas merupakan salah satu contoh dan bukti bahwa hanya sebagian sahabat memiliki sifat tegas di hadapan orang-orang kafir, tidak semua. Namun perlu digaris bawahi bahwa menjelaskan fakta sejarah bukan berarti mencela para pelakunya. Penulis bertujuan untuk menepis anggapan bahwa mempertanyakan keadilan seluruh sahabat merupakan kelancangan serta mengantarkan pelakunya kepada “ke-zindikan”. Lebih dari itu, semuanya bertujuan untuk mengenal yang baik dan yang buruk, sehingga menjadi tradisi seorang pengkaji untuk memperoleh ajaran agama dari orang-orang baik serta menghindari orang-orang buruk. Jika seseorang melakukan pengkajian terhadap keadaan mereka dengan tujuan ini, maka hal itu tidaklah tercela.
Ibnu Taimiyah, Sahabat Nabi dan Sayyidina Ali
Di tengah-tengah ulama Sunni dan Wahabi yang mengagungkan sahabat nabi sebagai pribadi yang adil, tanpa terkecuali, justru kita mendapati sebuah ungkapan Ibn Taimiyah, ulama besar Wahabi yang secara tidak langsung menegasikan keyakinan mereka terhadap keadilan para sahabat.
Di dalam ungkapannya, yang tertulis di dalam kitabnya, Minhajus Sunnah An-Nabawiyah, Ibnu Taimiyah membeberkan sebagai berikut.
أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَخْبَرَ أَنَّهُ سَيَجْعَلُ لِلَّذِينِ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وُدًّا. وَهَذَا وَعْدٌ مِنْهُ صَادِقٌ. وَمَعْلُومٌ أَنَّ اللَّهَ قَدْ جَعَلَ لِلصَّحَابَةِ مَوَدَّةً فِي قَلْبِ كُلِّ مُسْلِمٍ، لَا سِيَّمَا الْخُلَفَاءُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ -، لَا سِيَّمَا أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ ; فَإِنَّ عَامَّةَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ كَانُوا يَوَدُّونَهُمَا ، وَكَانُوا خَيْرَ الْقُرُونِ. وَلَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ عَلِيٌّ، فَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ كَانُوا يُبْغِضُونَهُ وَيَسُبُّونَهُ وَيُقَاتِلُونه
“Sesungguhnya Allah mengabarkan, bahwa Dia hendak menjadikan orang-orang yang beriman dan beramal saleh sebagai pribadi yang dicintai. Dan janji Allah adalah benar. Sudah mafhum, bahwa Allah telah menetapkan kecintaan kepada sahabat di hati kaum Muslim, terlebih bagi mereka yang berlabel khalifah, terlebih lagi Abu Bakar dan Umar. Karenanya, seluruh para sahabat mencintai keduanya, dan mereka adalah sebaik-baik masyarakat. Namun, hal itu tak berlaku bagi Ali bin Abi Thalib, lantaran tak sedikit dari para sahabat nabi dan tabi’in membenci dan mencaci maki serta memerangi Ali.”[8]
Kalau kita cermati, apa yang dikatakan Ibnu Taimiyah bertentangan dengan keadilan sahabat. Seperti yang kita tahu, adil berarti tidak zalim. Nah, sedang mereka (sahabat), seperti yang dikatakan Ibnu Taimiyah, mencaci maki dan memerangi Ali bin Abi Thalib. Perlakuan mereka terhadap Ali bin Abu Thalib tiada lain, kecuali kezaliman.
Jika kejadiannya sama persis yang diungkapkan Ibnu Taimiyah di atas, maka bagi orang yang berakal sehat pasti bertanya-tanya, jika ada sahabat mencaci maki dan memerangi manusia paling mulia di sisi nabi saw., Ali bin Abi Thalib, lantas di manakah letak keadilan mereka (sahabat)?
Perlu kita renungkan bersama.
Muhammad Shaleh al-Utsaimin dan Keadilan Sahabat
Pada seri-seri sebelumnya telah banyak dibahas seputar dalil-dalil keadilan sahabat yang diajukan oleh ulama Ahlussunnah dan begitu juga sanggahannya. Bahkan telah disebutkan juga sebagian tindakan sahabat yang bertolak belakang dengan konsep tersebut.
Pada seri ini akan dijelaskan komentar seorang ulama salafi yang mengatakan bahwa sebagian sahabat telah melakukan berbagai kesalahan yang bertentangan dengan konsep keadilan. Dalam hal ini Muhammad Shaleh al-Utsaimin berkata:
“tidak diragukan lagi bahwa sebagian sahabat telah melakukan perbutan: mencuri, minum Khamar, memfitnah serta berzina baik yang memiliki pasangan maupun tidak (zina muhasan dan ghair muhsan), akan tetapi semua ini tertutupi oleh keutamaan dan kebaikan mereka. Sebagian mereka malah telah dihukum, dengan begitu maka telah tertutupi (kesalahan mereka).”[9]
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa dengan gamblang Utsaimin mengatakan bahwa sebagian sahabat telah melakukan dosa-dosa yang sanagat besar, namun demikian beliau mengatakan bahwa hal itu tidak seberapa dan sudah tertutupi oleh sekian banyak keutamaan dan kebaikan yang mereka lakukan.
Tentu saja bagi sebagian orang pernyataan di atas menyisakan tanda tanya. Bagaimana bisa dengan adanya kesalahan-kasalah besar di atas namun hal itu bisa tertutupi begitu saja? Dan bagaimana tindakan mereka tidak mencederai keadilan? Atau mungkin penilaian terhadap kesalahan sahabat berbeda dengan penilaian kesalahan muslimin lainnya? Sehingga disimpulkan jika sahabat melakukan kesalahan tetap adil tetapi selainnya menjadi tidak adil. Mari sama-sama berpikir.
Sahabat Nabi dan Sosok Munafik
Seperti yang kita tahu, beberapa tulisan sebelumnya telah diwarnai oleh pembahasan sahabat nabi, terlebih terkait dengan keadilan mereka.
Sejak dimulainya pembahasan sahabat nabi ini, kami telah menegaskan bahwa ada perbedaan mencolok antara mazhab Sunni dan Syiah dalam memandang sahabat.
Sebagaimana yang sering kami tulis di deretan tulisan sebelumnya, bahwa Sunni memandang setiap sahabat nabi adalah adil, sementara Syiah tidak demikian.
Syiah memandang bahwa sebagian sahabat nabi tak ubahnya manusia biasa yang jauh dari kata sempurna dan berkemungkinan terjerembab dalam lubang dosa.
Meski begitu, nyatanya kita menemukan banyak kesaksian, yang menariknya, datang dari ulama Sunni dan tertulis di dalam kitab mereka, salah satunya, tentang sahabat yang munafik.
Jika kita membaca kembali tulisan sebelumnya, kita akan mengernyitkan dahi, betapa kesaksian oleh ulama Sunni tentang sahabat yang munafik itu benar adanya.
Sebut saja seperti Imam Bukhari, Imam Hanbali hingga Ibnu Taimiyah. Mereka adalah bagian dari ulama Sunni yang menegaskan kalau ‘ada juga’ sahabat nabi yang munafik.
Masih dalam rangka mengumpulkan kepingan-kepingan kesaksian itu, ada baiknya jika kita simak saksama redaksi sebagai berikut.
حدثنی ابن نمیر حدثنی أبی عن الأعمش عن شقیق قَالَ: کُنَّا مَعَ حُذَیْفَةَ جُلُوسًا، فَدَخَلَ عَبْدُ اللَّهِ وَأَبُو مُوسَى الْمَسْجِدَ فَقَالَ: أَحَدُهُمَا مُنَافِقٌ ثُمَّ قَالَ: إِنَّ أَشْبَهَ النَّاسِ هَدْیًا وَدِلًّا وَسَمْتًا بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَیْهِ وَسَلَّمَ عَبْدُ اللَّهِ .
Syaqiq berkata, “Kami duduk bersama Hudzaifah, lalu Abdullah bin Mas’ud dan Abu Musa Asy’ari masuk ke dalam masjid. Kemudian, Khudzaifah berkata, ‘salah satu dari keduanya adalah munafik.’ Ia berkata lagi,” Sosok yang paling mirip Rasulullah dari sisi tingkah laku dan sisi zahirnya adalah Abdullah bin Mas’ud.'”
Dari ungkapan di atas, Hudzaifah (salah satu sahabat dekat nabi) hendak memberi tahu kepada kita, bahwa sosok yang munafik adalah Abu Musa Asy’ari yang merupakan sahabat nabi.
Redaksi di atas penulis kutip dari kitab yang berjudul Al-Ma’ rifah wa Tharikh karya Abu Yusuf Ya’qub bin Sufyan yang merupakan ahli hadis dan berpaham Ahlusunnah (Sunni).
Akhir kata, jika mazhab Sunni meyakini kalau seluruh sahabat nabi adalah adil, namun kita dapati di dalam diri sebagian ulama dan kitab-kitab mereka sebuah fakta yang berkata lain, seperti bukti riwayat yang penulis sampaikan di atas.
Al-Futuhi: Sahabat Itu Orang-Orang Adil Selama Tidak Diketahui Memiliki Cela
Menerapkan kaidah bahwa seluruh sahabat merupakan adil menjadi sebuah langkah yang tak berdasar, sebagaimana hal itu telah kita bahas dalam kajian dalil-dalil konsep tersebut pada seri-seri yang lalu.
Oleh sebab itu, berdasarkan semua keterangan dari kajian-kajian itu, sikap yang tepat dalam menyikapi para sahabat ialah tidak menyamaratakan semuanya, sebagian dari mereka adalah orang yang adil, sementara sebagian lain tidak demikian.
Sekaitan dengan itu kali ini kita akan mengulas kesaksian dari Ibnu An-Najar Al-Futuhi (898-972 H) dalam kitabnya yang disyarahi oleh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin dalam menjabarkan keadilan sahabat.
Dalam kitab Syarhu Mukhtashar At-Tahrir, beliau menjelaskan:
وقوله : وَالصَّحَابَةُ عُدُولٌ، وَالمُرَادُ: مَنْ لَمْ یُعْرَفْ بِقَدْحٍ ؛یعنی: المراد من قوله : إنَّ الصحابة عدول مَن لم یُعرَف بقَدْح، فأمَّا مَن عُرِفَ بقدْح فإنَّه لیس بعَدْل حسَب القدح الذی فیه
ویدلُّ لذلک أنَّ الله تعالى قال : وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِاَرْبَعَةِ شُهَدَاۤءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمٰنِيْنَ جَلْدَةً وَّلَا تَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً اَبَدًاۚ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ ۙ(4) اِلَّا الَّذِيْنَ تَابُوْا مِنْۢ بَعْدِ ذٰلِكَ وَاَصْلَحُوْاۚ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ. فدلَّ ذلک على أنَّ فیهم الفَسَقة، وأنَّ مَن رمى محصنةً ولو فی عهد الرسول فإنَّه فاسقٌ یجبُ أنْ یُجلَد ثمانین جلدةً، وأن لا تُقبَل له شهادةٌ أبداً، فالحاصل: أنَّ الصحابة عُدولٌ إلَّا مَن عُرف بقدحٍ
Dan perkataannya: Para sahabat adalah orang-orang adil, maksudnya: orang yang tidak diketahui dengan adanya cela (pada dirinya); yakni: maksud dari ucapannya: Sungguh para sahabat adalah orang-orang yang adil selama tidak diketahui dengan adanya cela (pada dirinya), adapun orang yang diketahui dengan (memiliki) cela, maka ia bukanlah seorang yang adil berdasarkan pada cela yang ada dalam dirinya.
Dan dalil akan hal itu bahwasannya Allah swt berfirman: Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik,(4) kecuali mereka yang bertobat setelah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (An-Nur: 4-5) Maka ayat tersebut menunjukkan bahwa di antara mereka (sahabat) terdapat kefasikan, bahwasannya orang yang menuduh perempuan yang baik (berzina) walaupun di jaman Rasulullah, maka ia adalah seorang fasik, wajib untuk didera sebanyak delapan puluh kali dan kesaksiannya tidak diterima selamanya. Maka kesimpulannya: Para sahabat adalah orang-orang yang adil kecuali ia yang diketahui dengan adanya cela (pada dirinya).[10]
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa sahabat dapat dikatakan sebagai orang yang adil apabila memenuhi syaratnya yaitu tidak memiliki keburukan sedemikian rupa sehingga ia diketahui sebagai orang yang tercela, sementara itu bila sebaliknya maka ia tidak layak disebut sebagai seorang yang adil.
Berangkat dari semua itu, jelas bahwa tidak semua sahabat bisa serta-merta menjadi seorang yang adil hanya disebabkan oleh julukannya sebagai ‘sahabat’ sehingga menjadi jaminan akan keadilan seluruhnya, melainkan terdapat syarat dan kriteria lain yang harus dipenuhi sehingga dapat disebut sebagai seorang yang adil.
Sahabat Nabi dalam Keadaan Mabuk, Imam Subuh 4 Rakaat
Pembahasan keadilan sahabat penting untuk dibahas mengingat konsekuensi jalur ajaran yang hasilnya nanti sampai kepada kita selaku pemeluk agama Islam. Jika semua sahabat adil tentu tidak ada keraguan pada kita untuk mengikuti jejak mereka. Namun jika hanya ada sebagian saja yang memiliki sifat adil maka akal memerintahkan kita untuk memilih dan memilah diantaranya. Oleh karena itu penting bagi kita untuk menelaah hal ini.
Banyak seri telah dibahas mengenai konsep keadilan sahabat Nabi Saw. Pembaca dapat merujuk hal itu pada website ini. Kali ini mari kita menoleh beberapa kesaksian mengenai sifat-sifat sahabat yang terekam dalam berbagai riwayat masyhur. Apakah terdapat bukti bahwa semua sahabat berperangai adil ataukah ada juga yang tidak? Berdasarkan kitab rujukan Ibnu Hajar al-‘Asqalani, -seorang ahli hadits dari mazhab Syafi’i yang terkemuka- terdapat salah satu sahabat yang bertentangan dengan sifat adil. Dia adalah Walid bin Uqba, selain kisahnya membuat kebohongan pada zaman Nabi Saw, ia juga melakukan hal tercela pada masa kekhalifahan. Dia menjadi imam shalat subuh dalam keadaan mabuk sehingga melaksanakannya dalam 4 rakaat. Ibnu Hajar menjelaskan;
Ibnun Hajar al Asqallâni memperkenalkan kepada kita tentang siapa sejatinya al Walîd bin ‘Uqbah, ia berkata, “Al Walîd bin ‘Uqbah bin Abi Mu’aith … al Umawi, saudara seibu Ustman bin Affân ibu mereka bernama Arwâ binti Karîz bin Rabî’ah…
Ayahnya (‘Uqbah) dipancung setelah selesai parang Badr. Ia (‘Uqbah) sangat membenci dan ganas terhadap kaum Muslimin, banyak mengganggu Rasulullah saw. ia ditawan dalam perang Badr lalu Nabi saw. memerintahkan agar ia dibunuh. Ia barkata, ‘Hai Muhammad (jika engkau bunuh aku) siapa yang akan mengurus anak-anakku?’ Nabi saw. berkata, ‘Anak-anakmu untuk neraka!’ .
Dikatakan bahwa untuknyalah ayat “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang yang fasik membawa berita maka periksalah dengan teliti….” (QS. Al Hujurât [49];6) turun, Ibnu Abdil Barr berkata, ‘Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama ahli tafsir Al Qur’an bahwa ayat ini turun untukknya. [11]
Di halaman berikutnya Ibnu Hajar menjelaskan perilakunya tatkala mabuk,
“Dan kisahnya ketika memimpin shalat shubuh empat rakaat dalam keadaan mabok adalah sangat masyhur dan diriwayatkan dengan banyak jalur. Demikian juga kisah dicopotnya ia dari jabatan sebagai Gubenur wilayah Kufah setelah terbukti mabok juga masyhur dan diriwayatkan dengan banyak sanad dalam kitab Shahîhain (Bukhari dan Muslim)…. setelah kematian Utsman, al Walîd mengucilkan diri dari dunia politik, tidak ikut terlibat dalam fitnah, tidak bersama Ali tidak juga bersama lawan-lawannya. Akan tetapi ia membakar semangat Mu’awiyah agar memberontak terhadap Ali. Ia menulis surat dan menggubah bait-bait syair untuk tujuan itu dan ia kirimkan juga di antara nya kepada Mu’awiyah![12]
Berdasarkan kesaksian di atas, kita mengetahui bahwa ada sebagian sahabat yang berperilaku tidak adil dalam kehidupannya. Tentu hal ini membuat kita -sebagai orang yang menerima ajaran dari orang-orang terdahulu- harus memilah teladan yang mesti kita ikuti. Karena darinyalah kita mendapat aliran dan penjelasan mengenai Islam yang dibawakan oleh Rosulullah Saw. Maka dari itu akal pun mengarahkan kita untuk senantiasa memilih ajaran dari jalur orang-orang yang terbaik.
Sahabat Nabi dalam Pandangan Ibnu Atsir
Sebagai bentuk pengingat dari materi sebelumnya, dalam hal ini keadilan sahabat, sekali lagi penulis hendak katakan bahwa seluruh sahabat di mata Sunni adalah adil dan baik.
Meski begitu, di lapangan kita acap kali menemukan fakta yang berbeda. Berbeda dalam artian, betapa sebagian sahabat nabi yang ternyata fasik dan bahkan murtad dan kembali ke zaman jahiliyah.
Salah satu ulama yang menjelaskan tentang adanya hal negatif di antara para sahabat adalah Ibnu Atsir, sosok ulama Ahlusunnah yang kemasyhurannya tak lagi dapat diragukan.
Di dalam kitabnya yang berjudul Al-Nihayah fi Garibil Hadis, Ibnu Atsir menulis bahwa ada sebagian sahabat nabi yang menentang kewajiban-kewajiban yang sudah Allah gariskan.
“Di dalam hadis kiamat dan Haudz, para sahabat yang telah murtad dan kembali ke zaman jahiliyah, maksudnya, mereka telah menyimpang dari sebagian kewajiban-kewajiban.”[13]
Jika kita perhatikan ungkapan di atas, mungkin kita bertanya-tanya, layakkah kita mengikuti manusia yang menentang kewajiban-kewajiban dari-Nya? Atau tepatkah kita memuji mereka?
Selamat merenung.
Perselisihan dan Peperangan, Bukti Tidak Semua Sahabat Adil
Kembali penulis menegaskan bahwa pembahasan mengenai keadilan sahabat berpengaruh pada ajaran yang akan diterima umat Islam nantinya. Dalam kata lain, pasca wafat Rasulullah Saw syariat Islam berikutnya dijelaskan oleh orang-orang terdekat Beliau Saw, baik itu dari kalangan keluarga maupun para sahabat kepada kita. Jika orang-orang terdekat Rasulullah Saw memiliki jaminan serta bukti sejarah berperilaku adil maka tidak ada ragu bagi kita dalam menerima setiap ajarannya. Namun sebaliknya, jika terdapat kecacatan perilaku di antara mereka -walaupun sebahagian kecil- maka sudah sepatutnya bagi kita untuk memilah diantaranya. Oleh karena itu dibahaslah perihal keadilan sahabat guna mendapatkan kesimpulan serta hasil dari permasalahan di atas.
Pada beberapa seri sebelumnya telah dibahas mengenai konsep keadilan sahabat serta beberapa pandangan didalamnya. Kini penulis kembali membawakan satu pandangan dari ulama besar Ahlussunnah mengenai keadilan sahabat. Dia Imam Sa’adudin at-Taftazani ulama mahir dalam ilmu kalam, ushul fiqh, ilmu mantik dan balaghah. Dalam kitabnya Syarh al-Maqasid ia mengomentari keadilan sahabat sebagai berikut;
أن ما وقع بین الصحابة من المحاربات والمشاجرات على الوجه المسطور فی کتب التواریخ والمذکور على ألسنة الثقاة یدل بظاهره على أن بعضهم قد حاد عن طریق الحق وبلغ حد الظلم والفسق وکان الباعث له الحقد والعناد والحسد واللداد وطلب الملک والریاسة والمیل إلى اللذات والشهوات إذ لیس کل صحابی معصوما ولا کل من لقی النبی بالخیر
Berkenaaan dengan apa-apa yang terjadi dari perselisihan dan peperangan di antara sahabat sehingga termaktub dalam kitab-kitab sejarah, teringat dalam lisan-lisan yang benar menandakan secara dzahir bahwa sebagian para sahabat telah keluar dari jalur kebenaran sehingga sampai pada batasan kedzaliman dan kefasikan, penyebab dari itu semua ialah dendam, durhaka, hasud, permusuhan, cinta dunia, cinta kedudukan serta condong kepada hawa nafsu. Maka tidak semua sahabat terjaga dan maksum dan tidaklah setiap orang yang bertemu Nabi Saw terhitung sebagai orang yang baik.[14]
Dari situ dapat dipahami bahwa sebagian sahabat satu sama lain bertentangan bahkan hingga berperang. Sejarah mencatat hal tersebut, dan itu menandakan ketidakadilan sebagian sahabat. Tentunya bukti itu juga mempengaruhi ajaran serta syariat yang mereka sampaikan. Maka untuk mendapatkan syariat yang murni wajib bagi kita -terutama para pelajar agama- untuk menelaah kembali permasalahan keadilan sahabat.
Melakukan Pembunuhan Berencana, Apakah Tetap Adil?
Konsep keadilan sahabat seperti yang telah dibahas dalam tulisan-tulisan sebelumnya memiliki banyak cacat dan ketidak logisan. Pada seri-seri tersebut telah banyak sanggahan serta bantahan yang diajukan untuk menolak konsep ini.
Kembali, pada tulisan kali ini akan diajukan sanggahan lainnya sebagai tambahan argumentasi yang telah disebutkan sebelumnya.
Bukti kali ini adalah perbuatan sahabat yang dengan jelas melanggar hukum Islam. Di mana di dalam sejarah disebutkan bahwa Muawiyah menyuruh seseorang untuk membunuh Abdurrahman bin Khalid bin Walid. Di dalam tarikh Tabari disebutkan:
“Cerita tentang sebab kematiannya.
Penyebabnya adalah apa yang diceritakan Umar kepadaku, ia berkata: Ali mencerikan kepadaku, dari Maslamah bin Maharib, sesungguhnya Abdurrahman bin Khalid bin walid telah menjadi agung dan mulia di Syam. Dan karena jejak yang ditinggalkan ayahnya Khalid bin Walid, begitu juga peperangan dan keberaniannya, penduduknya condong kepadanya sehinnga Muawiyah merasa takut. Dan ia takut darinya sebab masyarakat condong padanya. Lalu ia menyuruh Atsal untuk melakukan tipu daya dalam rangka membunuhnya. Dan ia menjamin jika melakukan hal itu maka selama ia hidup pajaknya dibebaskan dan diangkat sebagai pengumpul pajak di Hamsh. Ketika Abdurrahman bin Khalid datang ke Hamsh saat bertolak dari Romawi, Atsal dibantu oleh sebagian budak-budaknya memberikan minuman beracun kepadanya. kemudian ia meminumnya lalu meninggal di Hamsh. Setelah itu Muawiah memenuhi apa yang dijanjikannya. Ia membebaskan pajaknya dan mengangkatnya sebagai pengumpul pajak kota Hamsh.[15]
Al-Istiab menceritakan kisah ini:
Ketika Muawiyah ingin mengangkat Yazid jadi khalifah, ia berkhutbah di hadapan masyarakat seraya berkata: wahai penduduk Syam aku telah tua dan telah dekat ajalku. Aku ingin mengangkat seseorang yang dapat mengatur kalian. Saya adalah seorang dari kalian maka maka berikanlah pendapat kalian. Lalu mereka sepakat dan berkata: kami rela terhadap Abdurrahman bin Khalid. Hal itu berat bagi Muawiah tapi ia menyembunyikannya di hati. Suatu hari Abdurrahman sakit lalu Muawiyah menyuruh seorang tabib yahudi yang merupakan pembantunya untuk memberinya minuman yang dapat membunuhnya, maka ia datang menemuinya dan memberinya minum, lantas tebakarlah perutnya dan selanjutnya ia meninggal.[16]
Tidak lupa Abul Fida juga memuat sejarah ini:
Dan padanya, maksudku pada tahun 45 H, diwafatkan Abdurrahman bin Khalid bin Walid. Dan penduduk Syam sangat berpihak kepadanya. Lalu muawiyah bersekongkol dengan seorang nasrani yang bernama Atsal untuk meracuninya. Maka ia membunuhnya dengan sebab itu.[17]
Beberapa literatur sejarah ini mengungkap bahwa seorang sahabat yang cukup populer iaitu muawiyah telah melakukan pembunuhan berencana terhadap putra Khalid bin Walid. Dan tujuan pembunuhan tersebut juga disebutkan dengan jelas; berupa sakit hati dan ketakutan terhadap kekhalifahan anaknya.
Dengan kenyataan ini, apakah masih layak dikatakan bahwa semua sahabat adil? Termasuk Muawiyah, aktor pembunuhan berencana? Atau diperlukan bumbu lain untuk menjustifikasi perbuatan tersebut dengan mengatakan sahabat berijtihad? Sehingga dengan begitu Muawiyah tetap dinilai adil? Jawabannya diserahkan kepada para pembaca.
Hadis ‘Para Sahabatku Seperti Bintang-bintang’ dan Konsep Keadilan Sahabat
Pembahasan seputar konsep keadilan seluruh Sahabat telah banyak kita kupas sekaligus beserta sanggahan dan catatan-catatannya. Mereka yang berpegang pada konsep ini meyakini bahwa seluruh Sahabat Nabi Saw itu adil, bahkan disebut semuanya ahli surga. Namun berdasarkan referensi yang ada baik dalam Al-Quran, hadis maupun catatan sejarah, kita dapati bahwa konsep tersebut tidaklah tepat, karena beberapa sebagian Sahabat terbukti memiliki sifat yang melenceng dan jauh dari sifat adil. Bukti-bukti tersebut telah banyak kita kaji sebelumnya di website ini, dan pembaca yang Budiman bisa menelaah dan menilai sendiri.
Jika sebelumnya telah banyak kita bahas dalil konsep keadilan sahabat dari Al-Quran beserta sanggahan-sanggahannya, kali ini kita akan bahas salah satu dalil konsep tersebut dari sebuah riwayat atau hadis. Mereka yang berpegang pada konsep ini menyuguhkan satu hadis yaitu hadis ‘Para Sahabatku seperti Bintang-bintang’ yang dianggap menunjukkan pada keadilan seluruh sahabat. Hadis itu terekam dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’ At-Tirmidzi milik Abul ‘Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim. Rasulullah Saw berkata: Sahabat-sahabatku seperti bintang-bintang, siapapun dari mereka yang kalian ikuti kalian akan mendapat petunjuk/hidayah.
Dikatakan bahwa hadis tersebut menunjukkan pada keadilan seluruh sahabat, karena mereka yang bisa memberikan pengaruh akan sebuah hidayah pasti seorang adil, dan tidaklah mereka diikuti kecuali mereka adil.
Namun perlu kita cermati, apakah hadis tersebut benar atau shahih secara sanad atau tidak, kalaupun kita katakan hadis tersebut shahih, maka itu tidak menunjukkan pada keseluruhan sahabat nabi, karena hal tersebut bertentangan dengan Al-Quran seperti yang tercantum di Surat At-Taubah ayat 101 yang menyebut sebagian dari Sahabat Nabi munafik, sebagaimana yang pernah kami bahas sebelumnya, begitu juga dengan hadis yang tercatat dalam Shahih Bukhari dimana Rasulullah Saw mengatakan sebagian sahabatnya murtad dan masuk neraka setelah kepergiannya.
…dari Abu Hurairoh, dari Nabi Saw ia berkata: di hari kiamat aku berdiri dihadapan sekelompok yang aku kenali, lalu keluar seorang laki-laki diantara aku dan mereka kemudian ia berkata: Kemarilah, lalu aku berkata: mau dibawa kemana mereka? Ia berkata: Demi Allah ke neraka, lalu aku berkata: apa yang telah mereka kerjakan? Ia berkata: sesungguhnya mereka kembali murtad setelah kepergianmu…dan aku tidak melihat ada yang selamat dari mereka kecuali sebagian kecil.
Masih dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan juga ketika Allah swt memisahkan Sahabat-sahabat Nabi dari telaga Haudh, Rasul Saw berkata: wahai Tuhanku mereka adalah Sahabatku, kemudian Allah swt Berkata: Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang terjadi setelahmu, sesungguhnya mereka kembali murtad.
Dua Hadis diatas menunjukkan bahwa sebagian dari Sahabat Nabi ada yang kembali murtad setelah wafatnya Nabi bahkan disebutkan masuk neraka. Hal tersebut bertentangan dengan konsep keadilan seluruh Sahabat juga bertentangan dengan hadis para sahabat seperti bintang-bintang, jika hadis tersebut ditafsirkan untuk seluruh sahabat. Karena apakah mungkin sebagian sahabat-sahabat nabi yang kembali murtad dan masuk neraka di ibaratkan seperti bintang dan layak untuk diikuti? Pembaca yang Budiman bisa menilai dan merenungi
Meski demikan, kami meyakini bahwa ada sebagian Sahabat Nabi yang layak untuk kita ikuti dan menjadi sumber untuk mendapatkan hidayah, tapi tidak seluruhnya. Mereka ada yang adil, ada juga yang tidak adil bahkan jauh dari sifat adil.
Wallahu A’lam
Ibnu Taimiyah: Sebagian Kaum Anshar Ada yang Munafik
Saat kita membaca atau mempelajari sejarah kehidupan Nabi Muhammad, maka kita akan bersentuhan dengan istilah Muhajirin dan Anshar.
Seperti yang kita tahu, Muhajirin ditujukan kepada orang-orang Makah yang ikut hijrah bersama Nabi Saw. ke Madinah, semantara Anshar adalah penduduk asli Madinah.
Berangkat dari dua istilah di atas, penulis hendak membawakan sebuah pernyataan dari Ibnu Taimiyah, yang masih berkaitan erat dengan pembahasan keadilan sahabat nabi.
Di dalam kitab Mukhtashar al-Fatawa al-Misriyah Li Ibn Taimiyah karya Syeikh Badrudin dikatakan bahwa Ibnu Taimiyah mengatakan kalau ada orang munafik di sebagian kaum Anshar.
Adapun redaksinya berbunyi sebagai berikut.
وَأَیْضًا فعمرو وَأَمْثَاله مِمَّن قدم مُهَاجرا بعد الْحُدَیْبِیَة هَاجرُوا من بِلَادهمْ طَوْعًا والمهاجرون لم یکن فیهم مُنَافِق وَإِنَّمَا کَانَ النِّفَاق فِی بعض الْأَنْصَار وَذَلِکَ لِأَن الْأَنْصَار هم أهل الْمَدِینَة فَلَمَّا أسلم أَشْرَافهم وجمهورهم احْتَاجَ الْبَاقُونَ أَن یظهروا الْإِسْلَام نفَاقًا لعزة الْإِسْلَام وظهوره فِی قَومهمْ …..
“Juga Umar dan orang-orang seperti dia termasuk di antara muhajirin yang berhijrah dari tanah mereka setelah peristiwa Hudaybiyyah atas kehendak mereka sendiri.Tidak ada orang munafik di antara mereka, tetapi orang munafik ada di antara sebagian kaum Anshar, dan ini karena Anshar berasal dari Madinah, dan Ketika para tetua dan mayoritas dari mereka masuk Islam, orang lain perlu menunjukkan Islam mereka dari kemunafikan, karena martabat Islam dan penampilannya di masyarakat mereka.”[18]
Lagi-lagi kita mendapati, bahwa sejarah membuktikan kalau di zaman nabi, tepatnya selepas Nabi Saw. hijrah ke Madinah, terdapat orang-orang Anshar yang munafik, dan hal ini diungkap oleh ulama besar, Ibnu Taimiyah.
Sebagian Orang Berdiri di Shaf Belakang Demi Melirik Wanita Ketika Berjamaah Bersama Nabi
Keadilan seluruh sahabat adalah sebuah konsep yang tidak dapat diterima kebenarannya, selain tidak adalah nas yang secara jelas membenarkan pandangan tersebut, konsep ini juga banyak berbenturan dengan fakta-fakta sejarah, baik yang terekam oleh Alquran maupun dalam riwayat.
Kali ini kita akan menyaksikan sebuah riwayat yang bercerita tentang adanya sebagian orang yang sengaja ingin berada di shaf paling belakang demi melirik wanita yang ikut berjamaah bersama nabi saw.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: ” کَانَتْ امْرَأَةٌ تُصَلِّی خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَیْهِ وَسَلَّمَ حَسْنَاءُ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ قَالَ: فَکَانَ بَعْضُ الْقَوْمِ یَتَقَدَّمُ فِی الصَّفِّ الْأَوَّلِ لِئَلَّا یَرَاهَا، وَیَسْتَأْخِرُ بَعْضُهُمْ حَتَّى یَکُونَ فِی الصَّفِّ الْمُؤَخَّرِ، فَإِذَا رَکَعَ نَظَرَ مِنْ تَحْتِ إِبْطِهِ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَقْدِمِینَ مِنْکُمْ وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَأْخِرِینَ}
Dari Ibnu Abbas, berkata: “Seorang wanita shalat di belakang Rasulullah saw, seorang yang cantik dari orang-orang rupawan”, ia melanjutkan: “Ketika itu sebagian orang maju (datang lebih dahulu) ke shaf pertama supaya mereka tidak melihat wanita itu dan sebagian lainnya (sengaja) datang terlambat sehingga berada di shaf paling belakang, sehingga ketika ruku dapat melihat (wanita itu) dari bawah ketiaknya, kemudian Allah swt menurunkan : ‘Dan sungguh, Kami mengetahui orang yang terdahulu sebelum kamu dan Kami mengetahui pula orang yang terkemudian.’” (Alhijr: 24)
Dalam riwayat di atas meskipun dari segi sanad terdapat sebuah pembahasan khusus, dimana sebagian ulama menganggapnya lemah, namun tidak sedikit pula yang menerima dan melihatnya sebagai shahih sebagaimana kami lampirkan dalam tulisan ini.
Adapun dari segi muatan hadis, maka tentunya ini (melirik wanita dalam keadaan shalat) bukanlah sebuah perbuatan terpuji, bahkan jauh dari nilai keadilan, sebab itu artinya tidak khusyuk dengan shalatnya, ditambah lagi demi melihat seorang wanita.
Alhasil dari riwayat ini siapa lagi yang shalat berjamaah dengan nabi pada masanya jika bukan para sahabat. Oleh sebab itu tidak semua sahabat dapat disejajarkan kualitas dan keadilannya.
Apakah Para Sahabat Meyakini Konsep Keadilan Sahabat?
Tidak bisa dipungkiri bahwa Konsep keadilan sahabat merupakan keyakinan yang dianut oleh Ahlussunnah. Untuk keyakinan ini telah banyak argumentasi yang diajukan begitu juga sanggahannya.
Tulisan pada seri ini akan memberikan sanggahan lain atas konsep di atas, dengan melihat bagaimana keyakinan sahabat terhadap konsep ini. Sikap sahabat terhadap satu sama lainnya dalam msalah-masalah tertentu akan menjelaskan kedudukan konsep keadilan sahabat menurut pandangan sahabat sendiri.
Untuk itu pada tulisan ini akan dimuat sejarah yang diabadikan oleh Thabari di dalam kitab sejarahnya, berkaitan dengan tragedi pembunuhan khalifah Utsman bin Affan:
Menceritakan kepadaku ja’far bin Abdullah al-Muhammadi, ia berkata: menceritakan kepadaku Amr, dari Muhammad bin Ishaq, bin Yasar al-Madani, dari pamannya Abdurrahman bin Yasar, bahawa ia berkata: tatkala masyarakat menyaksikan apa yang dilakukan oleh Utsman, para sahabat Nabi SAWW yang ada di Madinah menulis surat kepada para sahabat yang ada di seluruh penjuru –mereka telah bertebaran di berbagai negri-: sungguh kalian keluar hanya untuk melakukan jihad di jalan Allah SWT dan menegakkan agama Muhammad SAWW, sungguh agama Muhammad telah dirusak dan ditinggalkan. Kemarilah kalian! Tegakkanlah agama Muhammad SAWW. Lalu mereka berdatangan dari berbagai arah kemudian mereka membunuhnya (utsman).[19]
Sikap sahabat yang disebutkan di atas memberikan penjelasan bahwa para sahabat setidaknya para pelaku pembunuhan Utsman, tidak akrab dengan konsep keadilan sahabat. Atau mungkin tidak mengenal konsep tersebut. Bagaimana tidak? Buktinya mereka telah menuduh khalifah yang notabene sahabat nabi sebagai prusak dan peninggal agama. Lebih dari itu mereka menganggap memeranginya sebagai jihad.
Jika konsep ini sudah ada di zaman tersebut dan sahabat juga mengetahuinya, apakah Utsman tidak berargumen dengan mengatakan: mengapa kalian memerangi aku? Bukankah aku sahabat Nabi? Dan semua sahabat itu adil?
Atau mengapa sahabat yang dikirimi surat tidak menjawab dengan mengatakan: Utsman adalah sahabat Nabi SAWW, dan semua sahabat adil, jadi memeranginya merupakan tindakan yang salah.
Kenyataan ini tentunya menimbulkan tanda tanya bagi kita, dan jawabannya mari kita temukan dengan merenung lebih mendalam.
Hakam bin Abil ‘Ash dan Konsep Keadilan Sahabat
Salah satu sanggahan atas teori keadilan seluruh sahabat ialah banyak ditemukannya baik dalam riwayat-riwayat hadis maupun secara historis, para sahabat nabi yang berperilaku dan bertindak jauh melenceng dari sifat adil.
Kita tidak bisa pungkiri akan banyaknya riwayat-riwayat atau catatan sejarah yang merekam perilaku mereka, khususnya tindakan mereka yang melanggar teori keadilan. Meskipun kita juga tidak mengingkari ada sebagian sahabat yang memiliki sifat terpuji dan adil.
Adanya riwayat yang memperlihatkan perilaku negatif sebagian sahabat menunjukkan bahwa konsep keadilan seluruh sahabat tidak tepat dan tidak bisa dibenarkan. Untuk menunjukkan hal tersebut, pada seri kali ini, kami akan bawakan sebuah riwayat tentang sahabat nabi bernama Hakam bin abil ‘Ash yang berperilaku buruk terhadap nabi Saw sehingga ia dilaknat dan diasingkan oleh Nabi Saw.
Dalam kitab Al-Ishobah fi Tamyiz as-Shahabah karya Ibnu Hajar Al-Asqalani, beliau menulis:
Hakam bin Abil ‘Ash bin Umayyah bin Abdu Syamsi Al-Qurasyi Al-Umawi paman Utsman bin Affan dan ayah Marwan. Ibnu Sa’ad berkata: ia (Hakam) masuk Islam pada hari penaklukan (Mekkah) dan tinggal di Madinah. Kemudian Nabi Saw mengasingkannya ke Thaif, lalu ia kembali ke Madinah pada saat kekhalifahan Utsman dan wafat di zaman itu. Dan Ibnu Sakan berkata: dikatakan sesungguhnya Nabi Saw mengutuknya dan hal tersebut belum dipastikan. Dan Al-Fakahi meriwayatkan dari jalur Hamad bin Salamah: Telah bercerita kepada kami Abu Sinan dari Az-Zuhri dan ‘Atha Al-Khurasani: Sesungguhnya para Sahabat masuk menemui Nabi Saw dan ia Saw sedang melaknat Hakam bin Abil ‘Ash, lalu mereka berkata: Apa yang terjadi dengannya? Nabi Saw berkata: aku sedang berada di rumah bersama istri ku, dan ia (Hakam) masuk melalui celah dinding dan menatapku dengan buruk. Lalu mereka berkata: tidakkah kami harus melaknatnya juga? Nabi Saw berkata: tidak, karena aku melihat anak-anaknya naik turun mimbarku. Lalu mereka berkata: Ya Rasulullah tidakkah kami harus mengambil mereka? Nabi Saw berkata: tidak. Dan Rasulullah Saw pun mengasingkannya.
Pelaknatan yang dilakukan oleh Nabi Saw terhadap Hakam bin Abil ‘Ash juga ditegaskan di kitab lainnya. Dalam kitab Siyar I’lam An-Nubala karya Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Ad-Dzahabi disebutkan, As-Sya’bi berkata: aku mendengar Ibnu Zubair berkata: Demi Tuhan Ka’bah ini, sesungguhnya Hakam bin Abil ‘Ash dan keturunannya dilaknat melalui lisan Muhammad Saw.
Riwayat diatas merupakan salah satu contoh sahabat yang berperilaku buruk kepada nabi sehingga ia dilaknat dan diasingkan oleh Nabi Saw. Riwayat tersebut juga menyanggah teori konsep keadilan seluruh sahabat, dan membuktikan bahwa terdapat sebagian dari sahabat nabi yang berperilaku jauh dari sifat adil.
Contoh perilaku sahabat lainnya yang bertindak jauh dari sifat adil beberapanya telah kami bahas sebelumnya di website ini. Seperti membunuh, mabuk, munafik, dan lainnya. Para pembaca bisa menilai sendiri, dengan adanya bukti-bukti perilaku buruk sebagian sahabat, apakah teori keadilan seluruh sahabat bisa diterima atau tidak? Jawabannya dikembalikan pada Anda.
Wallahu A’lam
Ibnu Taimiyah: Sebagian Sahabat Nabi Penjual Khamr
Salah satu alasan dari pengkajian apakah semua sahabat itu adil adalah karena terdapat sebuah pemahaman bahwa orang yang tidak menjadikan seluruh sahabat sebagai teladan merupakan sebuah bentuk kelancangan bahkan sesat. Maka, guna menepis hal tersebut dikajilah pembahasan ini dengan beberapa seri.
Sebagaimana yang telah diketahui, di satu sisi keadilan seluruh sahabat ini diyakini, namun di sisi lain terdapat pula berbagai riwayat dan bukti sejarah yang menggambarkan bahwa sebagian sahabat tidak berlaku adil dan terpuji sehingga klaim dan pernyataan itu menjadi lemah. Banyak contoh yang telah dipaparkan pada website ini. Kali ini penulis membawakan kembali contoh lainnya, dari Ibnu Taimiyah dalam 2 kitabnya menjelaskan bahwa sebagian sahabat adalah penjual khamr.
Syiah Sedikit Lambat Berbuka, Ini Hadis Nabi SAWImam Hanbali dan Keutamaan Ali bin Abi Thalib ra
وقد باع بعض الصحابة خمرا …
Sebagian sahabat adalah penjual khamr…[20]
Dan penjual khamr merupakan hal yang dilaknat oleh Rasulullah Saw, sebagaimana penjelasan dalam riwayat Imam Ahmad bin Hambal.
حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ، حَدَّثَنَا حَيْوَةُ، أَخْبَرَنِي مَالِكُ بْنُ خَيْرٍ الزِّيَادِيُّ،۲ أَنَّ مَالِكَ بْنَ سَعْدٍ التُّجِيبِيَّ، حَدَّثَهُ، أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ، يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:” أَتَانِي جِبْرِيلُ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَعَنَ الْخَمْرَ ، وَعَاصِرَهَا، وَمُعْتَصِرَهَا، وَشَارِبَهَا، وَحَامِلَهَا، وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ، وَبَائِعَهَا، وَمُبْتَاعَهَا، وَسَاقِيَهَا، وَمُسْتَقِيَهَا
Dari Ibnu Abbas yang berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw pernah berkata bahwa Jibril mendatangiku kemudian berkata: Hai Muhammad, Allah Swt melaknat khamr, orang yang memerasnya, orang yang meminta untuk diperaskan, orang yang meminumnya, orang yang membawanya, dan orang yang meminta untuk dibawakan, orang yang menjualnya, orang yang membelinya, orang yang menuangkannya, dan orang yang dituangkan.”[21]
Bukti di atas mengisyaratkan bahwa klaim dan pernyataan semua sahabat Nabi adil adalah tidak benar karena bertentangan dengan riwayat dan bukti sejarah sebagian dari mereka. Yang benar adalah sebagian dari mereka berlaku adil. Oleh karena itu tidak meyakini seluruh sahabat adalah adil bukan merupakan bentuk kelancangan apalagi kesesatan.
Sahabat Nabi yang Dicela
Dengan membaca dan merenungkan tulisan-tulisan sebelumnya, terkait dengan keadilan sahabat nabi, maka kita mendapati titik terang, bahwa ternyata para sahabat yang digadang-gadang sebagai pribadi yang adil dan ahli surga oleh ulama Ahlusunnah, justru tidak sesuai dengan fakta.
Buktinya—kalau kita membaca tulisan sebelumnya, ada sebagian sahabat yang melenceng dari norma-norma agama, seperti sahabat yang murtad, penjual minuman keras dan sebagainya. Hal ini membuktikan, bahwa tak semua sahabat nabi adalah adil dan ahli surga.
Lebih dari itu, sebagai bukti kuat akan ketidakadilan seluruh sahabat, di sini penulis menemukan fakta menarik, yang mungkin sulit dipercaya bagi sebagian orang. Namun, faktanya memang begitu. Dan kita tak bisa menolak itu.
Bukti kuat yang penulis maksud ialah, tentang sosok ahli fikih Ahlusunnah yang justru mencela sahabat nabi. Di saat mereka (ulama Ahlusunnah) menuduh kalau Syiah adalah mazhab yang mencela dan mencaci maki sahabat, justru fakta lain membuktikan kalau ulama mereka sendirilah yang mencela sahabat nabi.
Bukti pelaknatan tersebut dapat kita baca di dalam kitab Al-Burhan fi Usulil Fikh karya Abul Ma’ali al-Juwayni yang mendapatkan kedudukan Imam Al-Haraimain. Ia adalah ulama besar Ahlusunnah yang berkiblat pada fikih Syafi’i. Di dalam kitab tersebut, ia menulis kalau sebagian ulama fikih mereka pernah mencela sahabat nabi.
“Di antara ahli fikih (Ahlusunnah) ada yang melakukan pencelaan dan mencari-cari aib dari sebagian pembesar sahabat nabi, seperti Abu Hurairah, Abdullah bin Umar dan sebagainya.”[22]
Apapun motivasi mereka mencela sahabat nabi, tapi, yang jelas, hal itu mengindikasikan adanya kekurangan pada diri sebagian mereka (sahabat nabi), yang mengharuskan mereka dicela. Walluu a’lam bi a-shawhab.
Daftar Isi:
Keadilan Sahabat1
(bagian2)1
Nabi Saw Menyebut Para Sahabatnya dengan Kata Ini2
12 Munafik Zaman Rosulullah, Kitab Shahih Muslim dan Imam Hambali4
Sebagian Perbuatan Sahabat Membatalkan Konsep Keadilan Sahabat6
Dalil Konsep Keadilan Sahabat (7)9
Konsep Keadilan Sahabat ‘Asyiada’u alal Kuffar’13
Ibnu Taimiyah, Sahabat Nabi dan Sayyidina Ali16
Muhammad Shaleh al-Utsaimin dan Keadilan Sahabat18
Sahabat Nabi dan Sosok Munafik20
Al-Futuhi: Sahabat Itu Orang-Orang Adil Selama Tidak Diketahui Memiliki Cela22
Sahabat Nabi dalam Keadaan Mabuk, Imam Subuh 4 Rakaat25
Sahabat Nabi dalam Pandangan Ibnu Atsir28
Perselisihan dan Peperangan, Bukti Tidak Semua Sahabat Adil30
Melakukan Pembunuhan Berencana, Apakah Tetap Adil?32
Hadis ‘Para Sahabatku Seperti Bintang-bintang’ dan Konsep Keadilan Sahabat35
Ibnu Taimiyah: Sebagian Kaum Anshar Ada yang Munafik38
Sebagian Orang Berdiri di Shaf Belakang Demi Melirik Wanita Ketika Berjamaah Bersama Nabi40
Apakah Para Sahabat Meyakini Konsep Keadilan Sahabat?42
Hakam bin Abil ‘Ash dan Konsep Keadilan Sahabat44
Ibnu Taimiyah: Sebagian Sahabat Nabi Penjual Khamr47
Sahabat Nabi yang Dicela49
[1] Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Hanbali, hal. 345. Cet. Mua’sasah Ar-Risalah.
[2] Shahih Muslim; Juz 4; Hal. 2143; Cet. Dar al-Hadis, Kaairo – Mesir & Musnad al-Imam Ahmad bin Hambal; Juz 38; Hal. 345; Cet. Muasasah ar-Risalah – Beirut
[3] Bukhari, Muhammad bin Ismail, al-Jami’ al-Shahih, jil: 3, hal: 130, cet: al-Maktabah al-Salafiah, qaira.
[4] Hakim Naisaburi, Muhammad bin Abdullah, al-Mustadrak Ala al-Shahihain, jil: 4, hal: 7, cet: Dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut.
[5] Bukhari, Muhammad bin Ismail, al-Jami’ al-Shahih, jil: 4, hal: 207, cet: al-Maktabah al-Salafiah, qaira.
[6] Bukhari, Muhammad bin Ismail, al-Jami’ al-Shahih, jil: 4, hal: 312, cet: al-Maktabah al-Salafiah, qaira.
[7] Tafsir Al-Kabir, jil: 8, hal: 155-156, Darul Kutub Ilmiyah.
[8] Minhajus Sunnah An-Nabawiyah, Ibnu Taimiyah, jil. 7, hal. 137-138, cet. Daru Nashr-Mu’asasah Qurtubah.
[9] Al-Utsaimin, Muhammad Shalih, Syarh al-Aqidah- al-Washitiah, jil:2, hal: 292, Dar Ibn Jauzi. Dan al-Utsaimin, Muhammad Shalih, Majmu’ Fatawa wa Rasail, hal: 623, cet: Dar al-Tsurayya li al-Nashr.
[10] Syarhu Mukhtashar At-Tahrir, hal: 669-670.
[11] Al Ishabah Fi Tamyiz Ash Shahabah J.3; H. 637; Cet. Dar Ihya attarast al-Arabi, Beirut 1328H
[12] Ibid J.3; H. 638
[13] An-Nihayah Fi Garibl Hadis, Ibnu Atsir, hal. Juz 2, hal. 213.
[14] Syarh al-Maqasid, Imam At-Taftazani; Juz 5; h. 310-311; Cet. Alam Al-Kutub
[15] Thabari, Muhammad bin jarir, tarikh Tabarai, jil: 5 hal: 227, cet: Dar Maarif, Mesir
[16] Ibn Abdul Bar, Yusuf bin Abdullah bin Muhammad, al-Istiab Fi Ma’rifat al-ashab, jil: 2, hal: 829-830.
[17] Abul Fida, Imadudin Ismail, al-Mukhtashar Fi Akhbar al-Basyar, jil: 1, hal: 186, al-Husainiah, Mesir.
[18] Mukhtashar al-Fatawa al-Misriyah Li Ibn Taimiyah, Syekh Badrudin, hal. 481, cetakan: Darul Kutub Ilmiah, Beirut-Lebanon
[19] Thabari, Muhammad bin Jarir, Tarikh Thabari, jil: 4, hal: 367, cet: Dar al-Maarif, Mesir.
[20] Majmu Fatawa, Jil. 20; Hal. 265; Majma al-Malak Fahd & Raf’ Al-Malam ‘An Al-A’immat Al-A’lam, Hal. 58; Riasah Al-Amah Li Idarat Al-Buhuts Al-‘Ilmiah
[21] Musnad Imam Hambal, Jil. 5; Hal. 74; Muasasah Ar-Risalah – Beirut 1416
[22] Al-Burhan fi Usulil Fikh, Abul Ma’ali al-Juwayni, juz 1, hal. 626, cet. Sahibu Sammu, Syaik Khalifah bin Hamd Aali Tsani, Amir Daulah Qatar.
Keadilan Sahabat 3
1
Mugirah bin Syu’bah dan Konsep Keadilan Sahabat
Pada seri-seri sebelumnya telah banyak diutarakan argumentasi yang menolak konsep keadilan sahabat. Masih berkaitan dengan pembahasan yang sama, tulisan kali ini akan mengajukan literatur lainnya sebagai bantahan atas keyakinan tersebut.
Bukti yang diajukan kali ini berupa tindakan yang dilakukan oleh sahabat Nabi SAWW yang bernama Mugirah bin Syu’bah; di mana ia mencaci maki imam Ali AS yang notabene juga sahabat Nabi SAWW.
Di dalam suatu riwayat yang dimuat oleh kitab al-Mustadrak disebutkan:
“dari Ziyad bin Alaqah, dari pamannya: sesungguhnya Mugirah bin Syu’bah mencaci maki Ali bin Abi Thalib, lalu Zaid bin arqam bangkit dan berkata: wahai Mughirah! apakah engkau tidak tahu jika Rasulullah melarang dari mencaci maki orang yang telah meninggal? Lalu mengapa engkau mencaci maki Ali padhal ia telah meninggal.[1] ” Hadits ini shashih berdasarkan syarat Muslim tapi keduanya tidak memuat hadits tersebut.
Berangkat dari hadits di atas dapat dipahami bahwa di kalangan sahabat sendiri, keadilan sahabat bukanlah merupakan konsep keyakinan yang diakui. Hal ini mengingat bahwa sahabat seperti Mugirah bin Syu’bah mencaci maki imam Ali As. Yang tentu saja jika ia meyakini bahwa semua sahabat adalah adil, maka ia tidak akan melakukan hal itu.
2
Al-Futuhi: Sahabat Itu Orang-Orang Adil Selama Tidak Diketahui Memiliki Cela
Menerapkan kaidah bahwa seluruh sahabat merupakan adil menjadi sebuah langkah yang tak berdasar, sebagaimana hal itu telah kita bahas dalam kajian dalil-dalil konsep tersebut pada seri-seri yang lalu.
Oleh sebab itu, berdasarkan semua keterangan dari kajian-kajian itu, sikap yang tepat dalam menyikapi para sahabat ialah tidak menyamaratakan semuanya, sebagian dari mereka adalah orang yang adil, sementara sebagian lain tidak demikian.
Sekaitan dengan itu kali ini kita akan mengulas kesaksian dari Ibnu An-Najar Al-Futuhi (898-972 H) dalam kitabnya yang disyarahi oleh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin dalam menjabarkan keadilan sahabat.
Dalam kitab Syarhu Mukhtashar At-Tahrir, beliau menjelaskan:
وقوله : وَالصَّحَابَةُ عُدُولٌ، وَالمُرَادُ: مَنْ لَمْ یُعْرَفْ بِقَدْحٍ ؛یعنی: المراد من قوله : إنَّ الصحابة عدول مَن لم یُعرَف بقَدْح، فأمَّا مَن عُرِفَ بقدْح فإنَّه لیس بعَدْل حسَب القدح الذی فیه
ویدلُّ لذلک أنَّ الله تعالى قال : وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِاَرْبَعَةِ شُهَدَاۤءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمٰنِيْنَ جَلْدَةً وَّلَا تَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً اَبَدًاۚ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ ۙ(4) اِلَّا الَّذِيْنَ تَابُوْا مِنْۢ بَعْدِ ذٰلِكَ وَاَصْلَحُوْاۚ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ. فدلَّ ذلک على أنَّ فیهم الفَسَقة، وأنَّ مَن رمى محصنةً ولو فی عهد الرسول فإنَّه فاسقٌ یجبُ أنْ یُجلَد ثمانین جلدةً، وأن لا تُقبَل له شهادةٌ أبداً، فالحاصل: أنَّ الصحابة عُدولٌ إلَّا مَن عُرف بقدحٍ
Dan perkataannya: Para sahabat adalah orang-orang adil, maksudnya: orang yang tidak diketahui dengan adanya cela (pada dirinya); yakni: maksud dari ucapannya: Sungguh para sahabat adalah orang-orang yang adil selama tidak diketahui dengan adanya cela (pada dirinya), adapun orang yang diketahui dengan (memiliki) cela, maka ia bukanlah seorang yang adil berdasarkan pada cela yang ada dalam dirinya.
Dan dalil akan hal itu bahwasannya Allah swt berfirman: Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik,(4) kecuali mereka yang bertobat setelah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (An-Nur: 4-5) Maka ayat tersebut menunjukkan bahwa di antara mereka (sahabat) terdapat kefasikan, bahwasannya orang yang menuduh perempuan yang baik (berzina) walaupun di jaman Rasulullah, maka ia adalah seorang fasik, wajib untuk didera sebanyak delapan puluh kali dan kesaksiannya tidak diterima selamanya. Maka kesimpulannya: Para sahabat adalah orang-orang yang adil kecuali ia yang diketahui dengan adanya cela (pada dirinya).[2]
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa sahabat dapat dikatakan sebagai orang yang adil apabila memenuhi syaratnya yaitu tidak memiliki keburukan sedemikian rupa sehingga ia diketahui sebagai orang yang tercela, sementara itu bila sebaliknya maka ia tidak layak disebut sebagai seorang yang adil.
Berangkat dari semua itu, jelas bahwa tidak semua sahabat bisa serta-merta menjadi seorang yang adil hanya disebabkan oleh julukannya sebagai ‘sahabat’ sehingga menjadi jaminan akan keadilan seluruhnya, melainkan terdapat syarat dan kriteria lain yang harus dipenuhi sehingga dapat disebut sebagai seorang yang adil.
3
Sahabat Nabi dalam Keadaan Mabuk, Imam Subuh 4 Rakaat
Pembahasan keadilan sahabat penting untuk dibahas mengingat konsekuensi jalur ajaran yang hasilnya nanti sampai kepada kita selaku pemeluk agama Islam. Jika semua sahabat adil tentu tidak ada keraguan pada kita untuk mengikuti jejak mereka. Namun jika hanya ada sebagian saja yang memiliki sifat adil maka akal memerintahkan kita untuk memilih dan memilah diantaranya. Oleh karena itu penting bagi kita untuk menelaah hal ini.
Banyak seri telah dibahas mengenai konsep keadilan sahabat Nabi Saw. Pembaca dapat merujuk hal itu pada website ini. Kali ini mari kita menoleh beberapa kesaksian mengenai sifat-sifat sahabat yang terekam dalam berbagai riwayat masyhur. Apakah terdapat bukti bahwa semua sahabat berperangai adil ataukah ada juga yang tidak? Berdasarkan kitab rujukan Ibnu Hajar al-‘Asqalani, -seorang ahli hadits dari mazhab Syafi’i yang terkemuka- terdapat salah satu sahabat yang bertentangan dengan sifat adil. Dia adalah Walid bin Uqba, selain kisahnya membuat kebohongan pada zaman Nabi Saw, ia juga melakukan hal tercela pada masa kekhalifahan. Dia menjadi imam shalat subuh dalam keadaan mabuk sehingga melaksanakannya dalam 4 rakaat. Ibnu Hajar menjelaskan;
Ibnun Hajar al Asqallâni memperkenalkan kepada kita tentang siapa sejatinya al Walîd bin ‘Uqbah, ia berkata, “Al Walîd bin ‘Uqbah bin Abi Mu’aith … al Umawi, saudara seibu Ustman bin Affân ibu mereka bernama Arwâ binti Karîz bin Rabî’ah…
Ayahnya (‘Uqbah) dipancung setelah selesai parang Badr. Ia (‘Uqbah) sangat membenci dan ganas terhadap kaum Muslimin, banyak mengganggu Rasulullah saw. ia ditawan dalam perang Badr lalu Nabi saw. memerintahkan agar ia dibunuh. Ia barkata, ‘Hai Muhammad (jika engkau bunuh aku) siapa yang akan mengurus anak-anakku?’ Nabi saw. berkata, ‘Anak-anakmu untuk neraka!’ .
Dikatakan bahwa untuknyalah ayat “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang yang fasik membawa berita maka periksalah dengan teliti….” (QS. Al Hujurât [49];6) turun, Ibnu Abdil Barr berkata, ‘Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama ahli tafsir Al Qur’an bahwa ayat ini turun untukknya.[3]
Di halaman berikutnya Ibnu Hajar menjelaskan perilakunya tatkala mabuk,
“Dan kisahnya ketika memimpin shalat shubuh empat rakaat dalam keadaan mabok adalah sangat masyhur dan diriwayatkan dengan banyak jalur. Demikian juga kisah dicopotnya ia dari jabatan sebagai Gubenur wilayah Kufah setelah terbukti mabok juga masyhur dan diriwayatkan dengan banyak sanad dalam kitab Shahîhain (Bukhari dan Muslim)…. setelah kematian Utsman, al Walîd mengucilkan diri dari dunia politik, tidak ikut terlibat dalam fitnah, tidak bersama Ali tidak juga bersama lawan-lawannya. Akan tetapi ia membakar semangat Mu’awiyah agar memberontak terhadap Ali. Ia menulis surat dan menggubah bait-bait syair untuk tujuan itu dan ia kirimkan juga di antara nya kepada Mu’awiyah![4]
Berdasarkan kesaksian di atas, kita mengetahui bahwa ada sebagian sahabat yang berperilaku tidak adil dalam kehidupannya. Tentu hal ini membuat kita -sebagai orang yang menerima ajaran dari orang-orang terdahulu- harus memilah teladan yang mesti kita ikuti. Karena darinyalah kita mendapat aliran dan penjelasan mengenai Islam yang dibawakan oleh Rosulullah Saw. Maka dari itu akal pun mengarahkan kita untuk senantiasa memilih ajaran dari jalur orang-orang yang terbaik.
4
Sahabat Nabi dalam Pandangan Ibnu Atsir
Sebagai bentuk pengingat dari materi sebelumnya, dalam hal ini keadilan sahabat, sekali lagi penulis hendak katakan bahwa seluruh sahabat di mata Sunni adalah adil dan baik.
Meski begitu, di lapangan kita acap kali menemukan fakta yang berbeda. Berbeda dalam artian, betapa sebagian sahabat nabi yang ternyata fasik dan bahkan murtad dan kembali ke zaman jahiliyah.
Salah satu ulama yang menjelaskan tentang adanya hal negatif di antara para sahabat adalah Ibnu Atsir, sosok ulama Ahlusunnah yang kemasyhurannya tak lagi dapat diragukan.
Di dalam kitabnya yang berjudul Al-Nihayah fi Garibil Hadis, Ibnu Atsir menulis bahwa ada sebagian sahabat nabi yang menentang kewajiban-kewajiban yang sudah Allah gariskan.
“Di dalam hadis kiamat dan Haudz, para sahabat yang telah murtad dan kembali ke zaman jahiliyah, maksudnya, mereka telah menyimpang dari sebagian kewajiban-kewajiban.”[5]
Jika kita perhatikan ungkapan di atas, mungkin kita bertanya-tanya, layakkah kita mengikuti manusia yang menentang kewajiban-kewajiban dari-Nya? Atau tepatkah kita memuji mereka?
Selamat merenung.
5
Perselisihan dan Peperangan, Bukti Tidak Semua Sahabat Adil
Kembali penulis menegaskan bahwa pembahasan mengenai keadilan sahabat berpengaruh pada ajaran yang akan diterima umat Islam nantinya. Dalam kata lain, pasca wafat Rasulullah Saw syariat Islam berikutnya dijelaskan oleh orang-orang terdekat Beliau Saw, baik itu dari kalangan keluarga maupun para sahabat kepada kita. Jika orang-orang terdekat Rasulullah Saw memiliki jaminan serta bukti sejarah berperilaku adil maka tidak ada ragu bagi kita dalam menerima setiap ajarannya. Namun sebaliknya, jika terdapat kecacatan perilaku di antara mereka -walaupun sebahagian kecil- maka sudah sepatutnya bagi kita untuk memilah diantaranya. Oleh karena itu dibahaslah perihal keadilan sahabat guna mendapatkan kesimpulan serta hasil dari permasalahan di atas.
Pada beberapa seri sebelumnya telah dibahas mengenai konsep keadilan sahabat serta beberapa pandangan didalamnya. Kini penulis kembali membawakan satu pandangan dari ulama besar Ahlussunnah mengenai keadilan sahabat. Dia Imam Sa’adudin at-Taftazani ulama mahir dalam ilmu kalam, ushul fiqh, ilmu mantik dan balaghah. Dalam kitabnya Syarh al-Maqasid ia mengomentari keadilan sahabat sebagai berikut;
أن ما وقع بین الصحابة من المحاربات والمشاجرات على الوجه المسطور فی کتب التواریخ والمذکور على ألسنة الثقاة یدل بظاهره على أن بعضهم قد حاد عن طریق الحق وبلغ حد الظلم والفسق وکان الباعث له الحقد والعناد والحسد واللداد وطلب الملک والریاسة والمیل إلى اللذات والشهوات إذ لیس کل صحابی معصوما ولا کل من لقی النبی بالخیر
Berkenaaan dengan apa-apa yang terjadi dari perselisihan dan peperangan di antara sahabat sehingga termaktub dalam kitab-kitab sejarah, teringat dalam lisan-lisan yang benar menandakan secara dzahir bahwa sebagian para sahabat telah keluar dari jalur kebenaran sehingga sampai pada batasan kedzaliman dan kefasikan, penyebab dari itu semua ialah dendam, durhaka, hasud, permusuhan, cinta dunia, cinta kedudukan serta condong kepada hawa nafsu. Maka tidak semua sahabat terjaga dan maksum dan tidaklah setiap orang yang bertemu Nabi Saw terhitung sebagai orang yang baik.[6]
Dari situ dapat dipahami bahwa sebagian sahabat satu sama lain bertentangan bahkan hingga berperang. Sejarah mencatat hal tersebut, dan itu menandakan ketidakadilan sebagian sahabat. Tentunya bukti itu juga mempengaruhi ajaran serta syariat yang mereka sampaikan. Maka untuk mendapatkan syariat yang murni wajib bagi kita -terutama para pelajar agama- untuk menelaah kembali permasalahan keadilan sahabat.
6
Melakukan Pembunuhan Berencana, Apakah Tetap Adil?
Konsep keadilan sahabat seperti yang telah dibahas dalam tulisan-tulisan sebelumnya memiliki banyak cacat dan ketidak logisan. Pada seri-seri tersebut telah banyak sanggahan serta bantahan yang diajukan untuk menolak konsep ini.
Kembali, pada tulisan kali ini akan diajukan sanggahan lainnya sebagai tambahan argumentasi yang telah disebutkan sebelumnya.
Bukti kali ini adalah perbuatan sahabat yang dengan jelas melanggar hukum Islam. Di mana di dalam sejarah disebutkan bahwa Muawiyah menyuruh seseorang untuk membunuh Abdurrahman bin Khalid bin Walid. Di dalam tarikh Tabari disebutkan:
“Cerita tentang sebab kematiannya.
Penyebabnya adalah apa yang diceritakan Umar kepadaku, ia berkata: Ali mencerikan kepadaku, dari Maslamah bin Maharib, sesungguhnya Abdurrahman bin Khalid bin walid telah menjadi agung dan mulia di Syam. Dan karena jejak yang ditinggalkan ayahnya Khalid bin Walid, begitu juga peperangan dan keberaniannya, penduduknya condong kepadanya sehinnga Muawiyah merasa takut. Dan ia takut darinya sebab masyarakat condong padanya. Lalu ia menyuruh Atsal untuk melakukan tipu daya dalam rangka membunuhnya. Dan ia menjamin jika melakukan hal itu maka selama ia hidup pajaknya dibebaskan dan diangkat sebagai pengumpul pajak di Hamsh. Ketika Abdurrahman bin Khalid datang ke Hamsh saat bertolak dari Romawi, Atsal dibantu oleh sebagian budak-budaknya memberikan minuman beracun kepadanya. kemudian ia meminumnya lalu meninggal di Hamsh. Setelah itu Muawiah memenuhi apa yang dijanjikannya. Ia membebaskan pajaknya dan mengangkatnya sebagai pengumpul pajak kota Hamsh.[7]
Al-Istiab menceritakan kisah ini:
Ketika Muawiyah ingin mengangkat Yazid jadi khalifah, ia berkhutbah di hadapan masyarakat seraya berkata: wahai penduduk Syam aku telah tua dan telah dekat ajalku. Aku ingin mengangkat seseorang yang dapat mengatur kalian. Saya adalah seorang dari kalian maka maka berikanlah pendapat kalian. Lalu mereka sepakat dan berkata: kami rela terhadap Abdurrahman bin Khalid. Hal itu berat bagi Muawiah tapi ia menyembunyikannya di hati. Suatu hari Abdurrahman sakit lalu Muawiyah menyuruh seorang tabib yahudi yang merupakan pembantunya untuk memberinya minuman yang dapat membunuhnya, maka ia datang menemuinya dan memberinya minum, lantas tebakarlah perutnya dan selanjutnya ia meninggal.[8]
Tidak lupa Abul Fida juga memuat sejarah ini:
Dan padanya, maksudku pada tahun 45 H, diwafatkan Abdurrahman bin Khalid bin Walid. Dan penduduk Syam sangat berpihak kepadanya. Lalu muawiyah bersekongkol dengan seorang nasrani yang bernama Atsal untuk meracuninya. Maka ia membunuhnya dengan sebab itu.[9]
Beberapa literatur sejarah ini mengungkap bahwa seorang sahabat yang cukup populer iaitu muawiyah telah melakukan pembunuhan berencana terhadap putra Khalid bin Walid. Dan tujuan pembunuhan tersebut juga disebutkan dengan jelas; berupa sakit hati dan ketakutan terhadap kekhalifahan anaknya.
Dengan kenyataan ini, apakah masih layak dikatakan bahwa semua sahabat adil? Termasuk Muawiyah, aktor pembunuhan berencana? Atau diperlukan bumbu lain untuk menjustifikasi perbuatan tersebut dengan mengatakan sahabat berijtihad? Sehingga dengan begitu Muawiyah tetap dinilai adil? Jawabannya diserahkan kepada para pembaca.
7
Hadis ‘Para Sahabatku Seperti Bintang-bintang’ dan Konsep Keadilan Sahabat
Pembahasan seputar konsep keadilan seluruh Sahabat telah banyak kita kupas sekaligus beserta sanggahan dan catatan-catatannya. Mereka yang berpegang pada konsep ini meyakini bahwa seluruh Sahabat Nabi Saw itu adil, bahkan disebut semuanya ahli surga. Namun berdasarkan referensi yang ada baik dalam Al-Quran, hadis maupun catatan sejarah, kita dapati bahwa konsep tersebut tidaklah tepat, karena beberapa sebagian Sahabat terbukti memiliki sifat yang melenceng dan jauh dari sifat adil. Bukti-bukti tersebut telah banyak kita kaji sebelumnya di website ini, dan pembaca yang Budiman bisa menelaah dan menilai sendiri.
Jika sebelumnya telah banyak kita bahas dalil konsep keadilan sahabat dari Al-Quran beserta sanggahan-sanggahannya, kali ini kita akan bahas salah satu dalil konsep tersebut dari sebuah riwayat atau hadis. Mereka yang berpegang pada konsep ini menyuguhkan satu hadis yaitu hadis ‘Para Sahabatku seperti Bintang-bintang’ yang dianggap menunjukkan pada keadilan seluruh sahabat. Hadis itu terekam dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’ At-Tirmidzi milik Abul ‘Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim. Rasulullah Saw berkata: Sahabat-sahabatku seperti bintang-bintang, siapapun dari mereka yang kalian ikuti kalian akan mendapat petunjuk/hidayah.
Dikatakan bahwa hadis tersebut menunjukkan pada keadilan seluruh sahabat, karena mereka yang bisa memberikan pengaruh akan sebuah hidayah pasti seorang adil, dan tidaklah mereka diikuti kecuali mereka adil.
Namun perlu kita cermati, apakah hadis tersebut benar atau shahih secara sanad atau tidak, kalaupun kita katakan hadis tersebut shahih, maka itu tidak menunjukkan pada keseluruhan sahabat nabi, karena hal tersebut bertentangan dengan Al-Quran seperti yang tercantum di Surat At-Taubah ayat 101 yang menyebut sebagian dari Sahabat Nabi munafik, sebagaimana yang pernah kami bahas sebelumnya, begitu juga dengan hadis yang tercatat dalam Shahih Bukhari dimana Rasulullah Saw mengatakan sebagian sahabatnya murtad dan masuk neraka setelah kepergiannya.
…dari Abu Hurairoh, dari Nabi Saw ia berkata: di hari kiamat aku berdiri dihadapan sekelompok yang aku kenali, lalu keluar seorang laki-laki diantara aku dan mereka kemudian ia berkata: Kemarilah, lalu aku berkata: mau dibawa kemana mereka? Ia berkata: Demi Allah ke neraka, lalu aku berkata: apa yang telah mereka kerjakan? Ia berkata: sesungguhnya mereka kembali murtad setelah kepergianmu…dan aku tidak melihat ada yang selamat dari mereka kecuali sebagian kecil.
Masih dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan juga ketika Allah swt memisahkan Sahabat-sahabat Nabi dari telaga Haudh, Rasul Saw berkata: wahai Tuhanku mereka adalah Sahabatku, kemudian Allah swt Berkata: Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang terjadi setelahmu, sesungguhnya mereka kembali murtad.
Dua Hadis diatas menunjukkan bahwa sebagian dari Sahabat Nabi ada yang kembali murtad setelah wafatnya Nabi bahkan disebutkan masuk neraka. Hal tersebut bertentangan dengan konsep keadilan seluruh Sahabat juga bertentangan dengan hadis para sahabat seperti bintang-bintang, jika hadis tersebut ditafsirkan untuk seluruh sahabat. Karena apakah mungkin sebagian sahabat-sahabat nabi yang kembali murtad dan masuk neraka di ibaratkan seperti bintang dan layak untuk diikuti? Pembaca yang Budiman bisa menilai dan merenungi
Meski demikan, kami meyakini bahwa ada sebagian Sahabat Nabi yang layak untuk kita ikuti dan menjadi sumber untuk mendapatkan hidayah, tapi tidak seluruhnya. Mereka ada yang adil, ada juga yang tidak adil bahkan jauh dari sifat adil.
Wallahu A’lam
8
Sebagian Orang Berdiri di Shaf Belakang Demi Melirik Wanita Ketika Berjamaah Bersama Nabi
Keadilan seluruh sahabat adalah sebuah konsep yang tidak dapat diterima kebenarannya, selain tidak adalah nas yang secara jelas membenarkan pandangan tersebut, konsep ini juga banyak berbenturan dengan fakta-fakta sejarah, baik yang terekam oleh Alquran maupun dalam riwayat.
Kali ini kita akan menyaksikan sebuah riwayat yang bercerita tentang adanya sebagian orang yang sengaja ingin berada di shaf paling belakang demi melirik wanita yang ikut berjamaah bersama nabi saw.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: ” کَانَتْ امْرَأَةٌ تُصَلِّی خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَیْهِ وَسَلَّمَ حَسْنَاءُ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ قَالَ: فَکَانَ بَعْضُ الْقَوْمِ یَتَقَدَّمُ فِی الصَّفِّ الْأَوَّلِ لِئَلَّا یَرَاهَا، وَیَسْتَأْخِرُ بَعْضُهُمْ حَتَّى یَکُونَ فِی الصَّفِّ الْمُؤَخَّرِ، فَإِذَا رَکَعَ نَظَرَ مِنْ تَحْتِ إِبْطِهِ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَقْدِمِینَ مِنْکُمْ وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَأْخِرِینَ}
Dari Ibnu Abbas, berkata: “Seorang wanita shalat di belakang Rasulullah saw, seorang yang cantik dari orang-orang rupawan”, ia melanjutkan: “Ketika itu sebagian orang maju (datang lebih dahulu) ke shaf pertama supaya mereka tidak melihat wanita itu dan sebagian lainnya (sengaja) datang terlambat sehingga berada di shaf paling belakang, sehingga ketika ruku dapat melihat (wanita itu) dari bawah ketiaknya, kemudian Allah swt menurunkan : ‘Dan sungguh, Kami mengetahui orang yang terdahulu sebelum kamu dan Kami mengetahui pula orang yang terkemudian.’” (Alhijr: 24)
Dalam riwayat di atas meskipun dari segi sanad terdapat sebuah pembahasan khusus, dimana sebagian ulama menganggapnya lemah, namun tidak sedikit pula yang menerima dan melihatnya sebagai shahih sebagaimana kami lampirkan dalam tulisan ini.
Adapun dari segi muatan hadis, maka tentunya ini (melirik wanita dalam keadaan shalat) bukanlah sebuah perbuatan terpuji, bahkan jauh dari nilai keadilan, sebab itu artinya tidak khusyuk dengan shalatnya, ditambah lagi demi melihat seorang wanita.
Alhasil dari riwayat ini siapa lagi yang shalat berjamaah dengan nabi pada masanya jika bukan para sahabat. Oleh sebab itu tidak semua sahabat dapat disejajarkan kualitas dan keadilannya.
9
Apakah Para Sahabat Meyakini Konsep Keadilan Sahabat?
Tidak bisa dipungkiri bahwa Konsep keadilan sahabat merupakan keyakinan yang dianut oleh Ahlussunnah. Untuk keyakinan ini telah banyak argumentasi yang diajukan begitu juga sanggahannya.
Tulisan pada seri ini akan memberikan sanggahan lain atas konsep di atas, dengan melihat bagaimana keyakinan sahabat terhadap konsep ini. Sikap sahabat terhadap satu sama lainnya dalam msalah-masalah tertentu akan menjelaskan kedudukan konsep keadilan sahabat menurut pandangan sahabat sendiri.
Untuk itu pada tulisan ini akan dimuat sejarah yang diabadikan oleh Thabari di dalam kitab sejarahnya, berkaitan dengan tragedi pembunuhan khalifah Utsman bin Affan:
Menceritakan kepadaku ja’far bin Abdullah al-Muhammadi, ia berkata: menceritakan kepadaku Amr, dari Muhammad bin Ishaq, bin Yasar al-Madani, dari pamannya Abdurrahman bin Yasar, bahawa ia berkata: tatkala masyarakat menyaksikan apa yang dilakukan oleh Utsman, para sahabat Nabi SAWW yang ada di Madinah menulis surat kepada para sahabat yang ada di seluruh penjuru –mereka telah bertebaran di berbagai negri-: sungguh kalian keluar hanya untuk melakukan jihad di jalan Allah SWT dan menegakkan agama Muhammad SAWW, sungguh agama Muhammad telah dirusak dan ditinggalkan. Kemarilah kalian! Tegakkanlah agama Muhammad SAWW. Lalu mereka berdatangan dari berbagai arah kemudian mereka membunuhnya (utsman).[10]
Sikap sahabat yang disebutkan di atas memberikan penjelasan bahwa para sahabat setidaknya para pelaku pembunuhan Utsman, tidak akrab dengan konsep keadilan sahabat. Atau mungkin tidak mengenal konsep tersebut. Bagaimana tidak? Buktinya mereka telah menuduh khalifah yang notabene sahabat nabi sebagai prusak dan peninggal agama. Lebih dari itu mereka menganggap memeranginya sebagai jihad.
Jika konsep ini sudah ada di zaman tersebut dan sahabat juga mengetahuinya, apakah Utsman tidak berargumen dengan mengatakan: mengapa kalian memerangi aku? Bukankah aku sahabat Nabi? Dan semua sahabat itu adil?
Atau mengapa sahabat yang dikirimi surat tidak menjawab dengan mengatakan: Utsman adalah sahabat Nabi SAWW, dan semua sahabat adil, jadi memeranginya merupakan tindakan yang salah.
Kenyataan ini tentunya menimbulkan tanda tanya bagi kita, dan jawabannya mari kita temukan dengan merenung lebih mendalam.
10
Hakam bin Abil ‘Ash dan Konsep Keadilan Sahabat
Salah satu sanggahan atas teori keadilan seluruh sahabat ialah banyak ditemukannya baik dalam riwayat-riwayat hadis maupun secara historis, para sahabat nabi yang berperilaku dan bertindak jauh melenceng dari sifat adil.
Kita tidak bisa pungkiri akan banyaknya riwayat-riwayat atau catatan sejarah yang merekam perilaku mereka, khususnya tindakan mereka yang melanggar teori keadilan. Meskipun kita juga tidak mengingkari ada sebagian sahabat yang memiliki sifat terpuji dan adil.
Adanya riwayat yang memperlihatkan perilaku negatif sebagian sahabat menunjukkan bahwa konsep keadilan seluruh sahabat tidak tepat dan tidak bisa dibenarkan. Untuk menunjukkan hal tersebut, pada seri kali ini, kami akan bawakan sebuah riwayat tentang sahabat nabi bernama Hakam bin abil ‘Ash yang berperilaku buruk terhadap nabi Saw sehingga ia dilaknat dan diasingkan oleh Nabi Saw.
Dalam kitab Al-Ishobah fi Tamyiz as-Shahabah karya Ibnu Hajar Al-Asqalani, beliau menulis:
Hakam bin Abil ‘Ash bin Umayyah bin Abdu Syamsi Al-Qurasyi Al-Umawi paman Utsman bin Affan dan ayah Marwan. Ibnu Sa’ad berkata: ia (Hakam) masuk Islam pada hari penaklukan (Mekkah) dan tinggal di Madinah. Kemudian Nabi Saw mengasingkannya ke Thaif, lalu ia kembali ke Madinah pada saat kekhalifahan Utsman dan wafat di zaman itu. Dan Ibnu Sakan berkata: dikatakan sesungguhnya Nabi Saw mengutuknya dan hal tersebut belum dipastikan. Dan Al-Fakahi meriwayatkan dari jalur Hamad bin Salamah: Telah bercerita kepada kami Abu Sinan dari Az-Zuhri dan ‘Atha Al-Khurasani: Sesungguhnya para Sahabat masuk menemui Nabi Saw dan ia Saw sedang melaknat Hakam bin Abil ‘Ash, lalu mereka berkata: Apa yang terjadi dengannya? Nabi Saw berkata: aku sedang berada di rumah bersama istri ku, dan ia (Hakam) masuk melalui celah dinding dan menatapku dengan buruk. Lalu mereka berkata: tidakkah kami harus melaknatnya juga? Nabi Saw berkata: tidak, karena aku melihat anak-anaknya naik turun mimbarku. Lalu mereka berkata: Ya Rasulullah tidakkah kami harus mengambil mereka? Nabi Saw berkata: tidak. Dan Rasulullah Saw pun mengasingkannya.
Pelaknatan yang dilakukan oleh Nabi Saw terhadap Hakam bin Abil ‘Ash juga ditegaskan di kitab lainnya. Dalam kitab Siyar I’lam An-Nubala karya Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Ad-Dzahabi disebutkan, As-Sya’bi berkata: aku mendengar Ibnu Zubair berkata: Demi Tuhan Ka’bah ini, sesungguhnya Hakam bin Abil ‘Ash dan keturunannya dilaknat melalui lisan Muhammad Saw.
Riwayat diatas merupakan salah satu contoh sahabat yang berperilaku buruk kepada nabi sehingga ia dilaknat dan diasingkan oleh Nabi Saw. Riwayat tersebut juga menyanggah teori konsep keadilan seluruh sahabat, dan membuktikan bahwa terdapat sebagian dari sahabat nabi yang berperilaku jauh dari sifat adil.
Contoh perilaku sahabat lainnya yang bertindak jauh dari sifat adil beberapanya telah kami bahas sebelumnya di website ini. Seperti membunuh, mabuk, munafik, dan lainnya. Para pembaca bisa menilai sendiri, dengan adanya bukti-bukti perilaku buruk sebagian sahabat, apakah teori keadilan seluruh sahabat bisa diterima atau tidak? Jawabannya dikembalikan pada Anda.
Wallahu A’lam
11
Ibnu Taimiyah: Sebagian Sahabat Nabi Penjual Khamr
Salah satu alasan dari pengkajian apakah semua sahabat itu adil adalah karena terdapat sebuah pemahaman bahwa orang yang tidak menjadikan seluruh sahabat sebagai teladan merupakan sebuah bentuk kelancangan bahkan sesat. Maka, guna menepis hal tersebut dikajilah pembahasan ini dengan beberapa seri.
Sebagaimana yang telah diketahui, di satu sisi keadilan seluruh sahabat ini diyakini, namun di sisi lain terdapat pula berbagai riwayat dan bukti sejarah yang menggambarkan bahwa sebagian sahabat tidak berlaku adil dan terpuji sehingga klaim dan pernyataan itu menjadi lemah. Banyak contoh yang telah dipaparkan pada website ini. Kali ini penulis membawakan kembali contoh lainnya, dari Ibnu Taimiyah dalam 2 kitabnya menjelaskan bahwa sebagian sahabat adalah penjual khamr.
Syiah Sedikit Lambat Berbuka, Ini Hadis Nabi SAWImam Hanbali dan Keutamaan Ali bin Abi Thalib ra
وقد باع بعض الصحابة خمرا …
Sebagian sahabat adalah penjual khamr…[11]
Dan penjual khamr merupakan hal yang dilaknat oleh Rasulullah Saw, sebagaimana penjelasan dalam riwayat Imam Ahmad bin Hambal.
حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ، حَدَّثَنَا حَيْوَةُ، أَخْبَرَنِي مَالِكُ بْنُ خَيْرٍ الزِّيَادِيُّ، ۲ أَنَّ مَالِكَ بْنَ سَعْدٍ التُّجِيبِيَّ، حَدَّثَهُ، أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ، يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:” أَتَانِي جِبْرِيلُ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَعَنَ الْخَمْرَ ، وَعَاصِرَهَا، وَمُعْتَصِرَهَا، وَشَارِبَهَا، وَحَامِلَهَا، وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ، وَبَائِعَهَا، وَمُبْتَاعَهَا، وَسَاقِيَهَا، وَمُسْتَقِيَهَ ا
Dari Ibnu Abbas yang berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw pernah berkata bahwa Jibril mendatangiku kemudian berkata: Hai Muhammad, Allah Swt melaknat khamr, orang yang memerasnya, orang yang meminta untuk diperaskan, orang yang meminumnya, orang yang membawanya, dan orang yang meminta untuk dibawakan, orang yang menjualnya, orang yang membelinya, orang yang menuangkannya, dan orang yang dituangkan.”[12]
Bukti di atas mengisyaratkan bahwa klaim dan pernyataan semua sahabat Nabi adil adalah tidak benar karena bertentangan dengan riwayat dan bukti sejarah sebagian dari mereka. Yang benar adalah sebagian dari mereka berlaku adil. Oleh karena itu tidak meyakini seluruh sahabat adalah adil bukan merupakan bentuk kelancangan apalagi kesesatan.
12
Hadis “Sebaik-Baiknya Manusia Adalah Pada Masaku” dan Konsep Keadilan Sahabat
Keadilan seluruh sahabat adalah sebuah konsep yang diyakini oleh sebagian orang dalam menilai para sahabat. Tentunya konsep ini tidak begitu saja muncul dan tanpa alasan, ada beberapa dalil seperti ayat-ayat Al-Quran yang dianggap memiliki makna yang mengarah pada konsep tersebut dan menjadi pondasinya. Selain itu, juga terdapat beberapa hadis atau riwayat yang dianggap senada dalam memperkuat pandangan itu.
Di antara riwayat-riwayat yang dijadikan dalil atas keadilan seluruh sahabat adalah:
عن النبي (ص) قال: خير الناس قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم
Dari Nabi saw, bersabda: Sebaik-baiknya manusia adalah (yang berada) pada masaku kemudian orang-orang setelah (masa) mereka, kemudian orang-orang setelah mereka..[13]
Pendekatan argumentasi: Sebutan القرن atau yang bisa diartikan dengan sebuah hitungan masa, meskipun terkait ukurannya tersebut, para ulama berbeda pendapat di dalamnya, sebab pada masa itu istilah tersebut belum dikhususkan pada makna abad yang berjumlah seratus tahun. Pada riwayat di atas, القرن dinisbatkan oleh Rasulullah saw terhadap dirinya yang menghasilkan makna atau maksud bahwa hal itu ditujukan pada orang-orang yang bersama nabi dalam masa yang sama. Dari ungkapan tersebut, jelas bahwa yang dimaksud nabi saw sebagai orang terbaik adalah para sahabat, yang diikuti setelahnya dengan para tabiin dan tabiin tabiin. Namun yang menjadi sorotan di sini adalah para sahabat sebab merekalah yang berada pada lapisan pertama dalam riwayat tersebut. Dan inti dari riwayat ini ialah kesaksian nabi saw akan keutamaan para sahabat sebagai golongan manusia yang terbaik, hal ini hampir serupa seperti argumentasi keadilan seluruh sahabat pada surat Ali Imran ayat 110 para seri yang lalu, hanya saja yang memberi kesaksian di sini adalah Rasulullah saw.
Pembahasan di sini mencakupi dua hal; pertama dari segi sanad dan periwayatannya dan kedua dari segi Dilalah atau makna yang dikandung riwayat tadi.
Dari segi sanad, sudah jelas bahwa riwayat ini banyak diriwayatkan dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim meskipun dengan beberapa perbedaan pada ibarah atau lafal yang digunakan. Namun dari jumlah yang ada, hadis ini belum termasuk riwayat mutawatir.
Adapun dari segi makna yang dikandung dalam hadis tersebut, jika itu menunjukkan kekhususan pada setiap sahabat yang ada pada masa itu dan menjadi kesaksian nabi saw atas keutamaan mereka ketimbang orang-orang setelahnya, maka:
Pertama, hal ini akan bertabrakan dengan banyak riwayat lainnya yang menyatakan keutamaan orang-orang setelah mereka yang tidak pernah melihat nabi saw, namun beriman padanya seperti beberapa riwayat di bawah ini:
عن أبي جمعة الكناني قال: قلنا يارسول الله هل أحد خير منا؟ قال: قوم يجيئون من بعدكم يجدون كتابا بين لوحين يؤمنون به و يصدقون، هم خير منكم
Dari Abu Jumah Al-Kannani, berkata: “Wahai Rasulallah apakah orang yang lebih baik dari kami?” nabi berkata: “Sebuah kaum yang akan datang setelah kalian, mereka mendapati kitab di antara dua lembaran, mereka beriman dengannya dan membenarkannya, mereka lebih baik dari kalian”.[14]
Dalam riwayat lainnya:
عن أبي جمعة قال: تغذينا مع رسول الله (صلى الله عليه وسلم) ومعنا أبو عبيدة بن الجراح فقال يا رسول الله أأحد خير منا آمنا بك وجاهدنا معك قال نعم قوم يجيئون من بعدكم يؤمنون ولم يروني
Dari Abu Jumah, berkata: “Kami sedang makan siang bersama Rasulullah saw dan bersama kami Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, berkata: ‘Wahai Rasulullah adakah orang yang lebih baik dari kami yang beriman padamu dan berjihad bersamamu?’ Beliau berkata: ‘Ada, kaum yang datang setelah kalian, mereka beriman dan tidak pernah melihatku’”. [15]
Dari riwayat di atas dan riwayat-riwayat lainnya yang memiliki muatan sama, secara jelas nabi saw mengutamakan orang-orang yang datang setelah mereka (para sahabat), tidak pernah melihat nabi saw namun beriman padanya melalui apa yang sampai pada mereka.
Oleh sebab itu, apa yang lebih sesuai dari maksud hadis nabi mengenai “sebaik-baiknya manusia adalah pada masaku” bukanlah tentang para sahabat secara satu persatu bahwa semuanya adalah yang terbaik, melainkan meninjau sebuah kaum secara keseluruhan, meskipun terdapat di dalamnya orang-orang yang tidak adil atau tidak patut untuk diikuti dan dicontoh, seperti adanya kelompok munafikin dan lain-lain. Sehingga dari hal ini dipahami bahwa sebagian dari mereka (para sahabat) ada yang mencapai derajat yang sangat utama, sementara yang lainnya tidak demikian, sama halnya dengan orang-orang yang datang setelah mereka. Jadi yang menjadi patokan utama di sini ialah keimanan.
Sementara itu ada pandangan lain yang memahami bahwa letak keutamaan dalam hadis tersebut adalah keberadaan nabi saw sendiri. Yakni mereka lebih utama disebabkan adanya nabi di masa mereka dan masa-masa yang dekat dengan mereka. Sehingga dalam hal ini bukanlah para sahabat itu menjadi terbaik disebabkan dirinya sendiri melainkan keberadaan sosok agung nabi saw yang mengangkat keutamaan mereka.
Kedua, lagi-lagi fakta yang tercatat baik dalam Alquran maupun riwayat menyajikan kenyataan yang bertolak dengan konsep yang menyakini keadilan seluruh sahabat, sebagaimana yang telah di kaji dalam beberapa seri lainnya.
Kesimpulannya, hadis di atas tidak dapat dijadikan dalil untuk menyangga konsep keadilan seluruh sahabat.
13
Mencintai Sahabat Nabi dan Konsep Keadilan Sahabat
Keadilan seluruh sahabat merupakan sebuah konsep yang sangat menarik untuk dibahas, lantaran konsep tersebut menjadi perbincangan dan perdebatan diantara kaum muslimin. Sebagian kaum muslimin berpegang pada konsep tersebut dan berkeyakinan bahwa seluruh sahabat adil. Sedang yang lain berpendapat bahwa sahabat nabi ada yang adil ada juga yang tidak adil bahkan berperilaku jauh dari sifat adil.
Mereka yang berpegang pada konsep ini menyuguhkan dalil-dalil baik dari Al-Quran maupun riwayat-riwayat atau hadis. Salah satu hadis yang dianggap sebagai dalil dan menunjukkan akan keadilan seluruh sahabat ialah hadis tentang kecintaan pada para sahabat yang sejalan dengan kecintaan kepada nabi dan Allah Swt.
Muhammad bin Ahmad Al-Qurtubi dalam tafsirnya Al-Jami’ li Ahkamil Quran menulis hadis tersebut yang diriwayatkan dari Anas dari Rasulullah Saw ia berkata: Sesiapa yang mencintai Allah Azza wa Jalla maka ia mencintaiku, dan sesiapa yang mencintaiku maka ia mencintai para sahabatku, dan sesiapa yang mencintai sahabatku maka ia mencintai Al-Quran, dan sesiapa yang mencintai Al-Quran maka ia mencintai masjid-masjid….
Dalam menanggapi hadis tersebut, beberapa ulama Ahlussunnah menilai bahwa sanad hadis tersebut bermasalah. Ibnu Hajar Asqalani dan Muhammad bin Ahmad Adz-Dzahabi dalam kitab mereka Lisanul Mizan dan Mizanul I’tidal menulis tentang periwayat hadis tersebut yaitu Abu Ma’mar yang dinilai memiliki kecacatan sehingga hadisnya dhaif, Ibnu Haban berkata: tidak disebutkan namanya (didalam hadis) kecuali dengan kecacatannya.
Adapun dilalah hadis tersebut tidak menunjukkan pada keadilan seluruh sahabat, melainkan hanya untuk menunjukkan kecintaan pada para sahabat karena mereka adalah sahabat nabi Saw. Kalaupun kita anggap kecintaan pada para sahabat adalah menunjukkan pada keadilan mereka, maka hadis tersebut tidak bisa di generalkan secara umum untuk seluruh sahabat, melainkan hanya untuk sebagiannya saja. Karena sebagaimana yang telah banyak kami jelaskan sebelumnya perihal beberapa sahabat dari berbagai referensi Islam, kita dapati bahwa dari mereka ada yang berperilaku atau bersifat tercela seperti munafik, pembunuh, pemabuk dan sifat tercela lainnya. Konsekwensinya, jika kita generalkan hadis itu untuk seluruh sahabat, maka kecintaan pada para sahabat karena mencintai nabi dan Allah swt dalam hadis tersebut, melazimkan termasuk juga untuk sahabat yang munafik, pembunuh, atau sahabat yang bersifat buruk lainnya, dan hal tersebut sangatlah tidak masuk akal. Jadi, Hadis tersebut tidaklah tepat dan tidak bisa diterapkan untuk dijadikan dalil dalam konsep keadilan seluruh sahabat.
Wallahu A’lam
14
Hadits Tsaqalain dan Konsep Keadilan Sahabat
Melanjutkan pembahasan sebelumnya, tulisan kali ini akan mengajukan sanggahan lainnya yang dapat menolak konsep keadilan sahabat.
Dalil yang ingin di sampaikan kali ini adalah hadits tsaqalian (dua perkara yang berharga atau agung). Di mana secara tidak lansung hadits ini menolak konsep tersebut dengan memandang serta menenmpatkan para sahabat sama dengan manusia biasa lainnya;iaitu mungkin saja adil dan tidak adil.
Untuk lebih jelas di sini akan disebutkan beberapa redaksi dari hadits tersebut yang tentu saja sebenarnya masih banyak redaksi-redaksi lainnya. Namun untuk memperringkas maka dicukup tiga redaksi saja.
Hakim Naisyaburi di dalam kitabnya al-Mustadrak meriwayatkan tentang hadits tsaqalain:
“… sungguh aku meninggalkan dua perkara yang berharga di antara kalian salah satunya lebih agung dari yang lain kitaballah dan itrahku maka perhatikanlah bagai mana kalian memperlakukan keduanya setelah ku. Sesungguhnya keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya datang pada ku di sisi telaga.”[16]
Masih dalam kitab yang sama Pada hadits lainnya Hakim menyebutkan:
“Wahai sekalian manusia sesungguhnya aku meninggalkan dua perkara di antara kalian. kalian tidak akan tersesat jika mengikuti keduanya. Keduanya adalah kitabullah dan ahlulbait ku itrah ku.[17] ”
Imam Tirmizi juga memuat tentang riwayat ini yang disebutkan dalam kitab Sunan al-Tirmizi:
“dari Jabir bin Abdillah: …… Wahai sekalian manusia sesungguhnya aku meninggalkan dua perkara di antara kalian dimana jika mengambilnya maka kalian tidak akan tersesat. Keduanya adalah kitabullah dan itrah ku ahlulbait ku[18] ”
Dari beberapa hadits di atas ada dua catatan penting yang dapat diambil.
Pertama: di dalam hadits-hadits tersebut dinyatakan bahwa untuk dapat terhindar dari kesesatan, semua orang termasuk sahabat diperintah kan oleh baginda Rasul SAWW untuk mengikuti tsaqalain (al-Quran dan Ahlulbait). hadits-hadits ini secara tidak langsung telah menolak konsep keadilan sahabat, sebab para sahabat juga sebagaimana kaum muslimin lainnya ada kemungkinan tersesat.
Oleh karena itu tidak ada jaminan untuk mengatakan jika semua mereka adil, masuk sorga dan mengikuti mereka pasti mendapat petunjuk. Sebab yang dijamin oleh Nabi dan diwasiatkan untuk mengikutinya hanya dua perkara agung di atas. Adapun selain kedua golongan tersebut kedudukannya sama saja. Dan di dalam hadits-hadit di atas disebutkan sebagai kalian (كم ) manusia (الناس ).
Yang kedua: dikatakan bahwa selektif dalam memilih panutan, yang di dalam beberapa riwayat di atas diperintahkan mengikuti al-Quran dan ahlulbait, adalah dalam rangka terhindar dari kesesatan. Hal ini sesuai dengan tujuan dari mengkaji konsep keadilan sahabat, di mana tujuannya juga untuk memperoleh ajaran agama yang benar dari sumber yang autentik, bukan untuk menghina atau untuk mencaci maki pihak dan golongan tertentu.
15
Definisi Ijtihad Menurut Imam Ghazali
Pada masa sebelum hijrah nabi Muhammad saw. ke Madinah, Islam yang dibawa oleh beliau belum menjelaskan hukum-hukum syariat secara luas, sebab pada periode tersebut situasi dan kondisi yang ada ialah Islam baru lahir dan diperkenalkan, sehingga yang paling banyak dibicarakan ketika itu adalah seputar rukun dan fondasi Islam (aqidah).
Adapun pasca hijrah nabi saw., Islam mulai kokoh dan berbicara mengenai segala aturan, hukum, tuntunan dan tata cara bersikap seorang muslim dalam menjalani berbagai jalan kehidupan dari semua aspeknya; baik itu sifatnya pribadi atau umum, ibadah atau muamalah, sosial, ekonomi, politik dan lain sebagainya.
Sejak itu muslimin diajarkan dengan sistem yang dikehendaki Islam dalam menjalani semua aktivitas kesehariannya. Namun dalam hal ini tidak semua masalah yang dihadapi, mereka (para sahabat) tahu hukumnya terkadang hal itu tidak ditemukan dalam Alquran maupun sunah nabi (beliau saw. belum menjelaskannya) atau bisa jadi terkadang mereka lupa dan banyak kemungkinan lainnya, sehingga mendorong sebagian dari mereka berijtihad dalam menentukan sikap atau hukum persoalan terkait.
Dari sini tentunya kita mesti mengenal terlebih dahulu apa maksud dari ijtihad dan apakah semua orang (atau semua sahabat dalam kasus ini) dapat atau boleh berijtihad. Tentunya ini merupakan pembahasan yang penting yang insya Allah akan kita kaji dalam beberapa seri ke depan, sebab hal ini masih berkaitan dan erat hubungannya dengan konsep keadilan seluruh sahabat.
Terkait hal ini Imam Ghazali dalam kitabnya Al-Mustashfa menjelaskan bahwa ijtihad terbagi ke dalam tiga rukun:
Pertama, ijtihad itu sendiri. Ijtihad secara bahasa berarti berjuang keras atau mencurahkan seluruh usaha di dalam sebuah pekerjaan. Namun kemudian lafal ini (ijtihad) di dalam urf (kebiasaan) para ulama dikhususkan terhadap mencurahkan seluruh usaha dalam menuntut ilmu atas hukum-hukum syariat. Dan ijtihad yang sempurna adalah seseorang mengeluarkan segenap usahanya dalam sebuah tuntutan (ilmu atas hukum syariat) sedemikian rupa sehingga ia merasakan dari dirinya ketidakberdayaan atas tuntutan lebih.
Kedua, mujtahid atau orang yang berijtihad. Ada dua syarat sehingga seorang dikatakan mujtahid:
Syarat pertama, menguasai sumber-sumber syariat, memungkinkan baginya mendapati sangkaan (dzan) dengan melihat dalam sumber-sumber tersebut, serta mengedepankan apa yang wajib dikedepankan serta mengakhirkan apa yang seharusnya diakhirkan.
Syarat kedua, meupakan orang yang adil, menjauhi maksiat-maksiat yang merusak keadilan. Dan hal ini[19] demi kebolehan mengikuti fatwanya. Maka barangsiapa yang bukan seorang adil, fatwanya tidak boleh diterima. Adapun ia pada dirinya sendiri apabila merupakan seorang alim maka ia dapat berijtihad untuk dirinya dan mengamalkannya. Seolah-olah keadilan adalah syarat penerimaan fatwa bukan syarat sah ijtihad.[20]
Ketiga, objek ijtihad atau apa yang diijtihadi. Objek ijtihad di sini adalah seluruh hukum syar’i yang tidak terdapat dalil yang pasti (qath’i) di dalamnya. Imam Ghazali juga menjelaskan bahwa ia telah memisahkan hukum syar’i dari persoalan-persoalan logis (a’qli) dan kalam, sebab kebenaran di dalamnya hanyalah satu, yang benar adalah satu dan yang keliru adalah berdosa. Dan apa yang ia maksud dengan objek ijtihad adalah persoalan yang mana orang yang keliru di dalamnya tidak (akan) berdosa. Dan kewajiban shalat lima waktu serta zakat-zakat dan apa-apa yang telah sepakat umat atasnya hukum-hukum syar’i yang jelas di dalamnya terdapat dalil-dalil yang pasti, maka berdosa orang yang menentangnya, maka hal itu bukan termasuk tempat untuk ijtihad.[21]
Dari paparan di atas dan melihat pada ketentuan-ketentuan yang ada, yang paling penting untuk digarisbawahi adalah ijtihad hanya dapat dilakukan oleh mereka yang telah menguasai sumber-sumber hukum syar’i (alim), serta ijtihad yang dilakukan berada pada tempatnya bukan pada sesuatu yang malah menjadi bertolak belakang dengan hukum syar’i yang sudah jelas yang mana ini bahkan tidak dikategorikan sebagai ijtihad.
Insya Allah pada seri-seri selanjutnya kita akan melihat apakah konsep ijtihad di atas terealisasikan dalam ijtihad-ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat ataukah tidak.
16
Ijtihad Sahabat dan Konsep Keadilan Sahabat
Pada seri sebelumnya kita telah membahas perihal definisi ijtihad dalam kacamata ulama Ahlussunnah Imam Al-Ghazali. Pembahasan tersebut berkaitan dengan konsep keadilan seluruh sahabat, karena, mereka yang berpegang pada konsep ini sering berdalih dengan kata ‘ijtihad sahabat’ sebagai pembenaran atas perilaku sahabat meskipun hal tersebut menyimpang atau bertentangan dengan syariat, sehingga dengan ‘ijtihad’ tersebut keadilan sahabat tetap terjaga.
Contoh untuk penjelasan tersebut misalnya seperti peristiwa perang Jamal, dimana kaum muslimin yang di dalamnya ada para sahabat saling berperang dan membunuh. Mereka yang meyakini keadilan seluruh sahabat beranggapan bahwa apa yang dilakukan para sahabat dalam peristiwa perang tersebut adalah sebuah ‘ijtihad’, meskipun mereka tahu bahwa membunuh atau memberontak kepemimpinan adalah perbuatan yang terlarang dan bertentangan dengan syariat. Dengan demikian, mereka meyakini dalam perang tersebut tidak ada yang salah dengan dalih ‘ijtihad sahabat’.
Dan banyak contoh perilaku sahabat lainnya yang jelas-jelas melanggar syariat dan bertentangan dengan hukum syar’i seperti mabuk atau meminum khamr, merencanakan pembunuhan, bahkan ada yang sampai murtad dan munafik, seperti yang pernah kami paparkan sebelumnya.
Kita akan paparkan lagi soal perilaku sahabat yang tercatat dalam kitab Ahlussunnah dan jelas-jelas melanggar hukum syar’i. contoh dari sahabat tersebut ialah Walid bin Uqbah dan Muawiyah. Mereka tercatat sebagai peminum khamr atau minuman yang diharamkan.
…dari Ibrahim, dari ‘Alaqmah ia berkata: kami berada dalam barisan pasukan di tanah Rum (Roma), bersama kami ada Hudzaifah bin alyaman dan komandan kami Walid bin Uqbah, dan ia meminum khamr…
…bercerita kepada kami Abdullah bin Buraidah, ia berkata: aku dan ayahku masuk menemui Muawiyah, ia mempersilahkan kami duduk diatas permadani, kemudian datang kepada kami makanan, kamipun memakannya, lalu didatangkan pada kami minuman, lalu Muawiyah meminumnya, kemudian ayahku memegangnya dan berkata: aku tidak meminumnya sejak Rasulullah Saw mengharamkannya…
Contoh diatas merupakan perilaku sahabat yang jelas-jelas terlarang dalam agama dan melanggar hukum syar’i. apakah dengan dalih ‘ijtihad sahabat’ perilaku mereka bisa dibenarkan dan tetap dikatakan adil?
Dalam pembahasan sebelumnya sekaitan dengan ijtihad, sudah kita sebutkan bahwa hal-hal yang mana umat telah sepakat atas hukumnya dan jelas dalilnya, maka orang yang menentangnya telah berdosa dan hal tersebut bukan tempat untuk ijtihad. Jadi, para sahabat yang jelas-jelas melanggar hukum syar’i dalam Islam dan umat telah sepakat akan hukum tersebut, berdasarkan perkataan Imam Ghazali mereka telah berdosa dan disitu tidak ada tempat untuk ijtihad. Untuk itu, dalih ‘ijtihad sahabat’ untuk pembenaran perilaku sahabat yang jelas-jelas melanggar syariat tidak tepat dan tidak bisa dibenarkan.
Wallahu A’lam
17
Syahrastani dan Konsep Ijtihad Sahabat
Ijtihad sahabat adalah konsep berikutnya yang diimani oleh mazhab Ahlussunnah. Keberadaan konsep ini pada dasarnya merupakan penopang konsep keadilan sahabat yang telah banyak dibahas pada seri-seri sebelumnya.
Pada tulisab kali ini melanjutkan tulisan-tulisan sebelumnya akan disebutkan pernyataan yang ditulis oleh Syahrastani dalam kitabnya al-Milal Wa al-Nihal berkaitan dengan konsep ijtihad. Setelah itu pernyataan tersebut akan coba disandingkan dengan riwayat yang disampaikan oleh rasulullah SAWW untuk kemudian dilihat sejauh mana konsep ini dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam satu pernyataannya tentang hukum ijtihad dan taklid serta mujtahid dan muqallid, Syahrastani mengatakan:
“jika dua orang mujtahid melakukan ijtihad, lalu ijtihad salah seorang dari mereka berbeda dengan yang lainnya, maka tidak boleh seorangpun dari mereka taklid kepada yang lainnya.[22] ”
Dalam pernyataan ini disebutkan bahwa seorang mujtahid tidak dibenarkan untuk bertaklid kepda mujtahid lainnya. Oleh karena itu jika dipahami dan diyakini bahwa semua sahabat adalah mujtahid, maka tidak selayaknya sahabat mengikuti atau meminta fatwa kepada sahabat lainnya yang dalam hal ini sama-sama mujtahid.
Namun fakta yang ada menjelaskan bahwa ummat dan termasuk para sahabat, diperintahkan oleh Nabi SAWW untuk mengikuti ahlulbaitnya sebagaimana tertera dalam hadits Tsaqalian.
“Wahai sekalian manusia sesungguhnya aku meninggalkan dua perkara di antara kalian. kalian tidak akan tersesat jika mengikuti keduanya. Keduanya adalah kitabullah dan ahlulbait ku itrah ku.[23] ”
Kenyataan yang dipaparkan dalam riwayat ini dan riwayat –riwayat Tsaqalain dengan jalur lainnya, menawarkan dua pilihan bagi kita. Ikut konsep ijtihad sahabat dan mengabaikan Hadits Rasul SAWW atau mengabikan konsep ijtihad sahabat dan berpegang kepada Hadits Nabi SAWW. Silahkan memilih satu diantara keduanya. Atau mungkin ada tawaran lain yang tidak mengharuskan kita untuk memilih salah satu dari alternatif di atas?
18
Ijtihad Sahabat Ketika Nabi Sakit
Ijtihad dalam pandangan Imam Ghazali memiliki rukun dan syarat tersendiri yang mana seandainya rukun dan syarat itu tidak terpenuhi maka tidak dapat disebut sebagai ijtihad, hal ini secara gamblang telah kita bahas pada seri yang lalu.
Dalam hal ini kita akan mencoba melihat beberapa kasus ijtihad yang telah dilakukan oleh beberapa sahabat pada jaman nabi saw, apakah itu sesuai dengan makna ijtihad seperti yang dikemukakan oleh imam Ghazali dalam kitabnya, ataukah tidak.
Asy-Syahrastani dalam kitab Al-Milal Wan Nihal menyebut beberapa ikhtilaf atau perseteruan para sahabat yang pernah terjadi pada masa itu (masa keberadaan nabi saw dan pasca wafatnya) -khususnya dalam kasus ini ia membawakan contoh perseteruan para sahabat ketika nabi Muhammad saw dalam keadaan sakit atau menjelang wafatnya- sebagai bentuk dari ijtihad. Ia menjelaskan:
Adapun perseteruan-perseteruan yang terjadi pada kondisi sakitnya (nabi saw) dan pasca wafatnya diantara para sahabat ra, maka itu adalah perbedaan-perbedaan dalam ijtihad, sebagaimana dikatakan bahwa tujuan mereka dalam hal itu adalah mendirikan ritual-ritual syariah dan meneruskan prosedur agama. Dan perseteruan pertama pada masa sakitnya nabi adalah apa yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Ismail Al-Bukhari dengan periwayatannya dari Abdullah bin Abbas, berkata: “Ketika sakitnya nabi saw semakin parah -yang mana beliau wafat dengannya- beliau bersabda: ‘Ambilkan aku tinta dan kertas, akan kutulis untuk kalian sebuah tulisan (sehingga) kalian tidak akan tersesat sepeninggalku’. Umar berkata: ‘Sesungguhnya Rasulullah telah dikuasai oleh sakitnya, cukup bagi kita kitab Allah’. (suasana) tambah gaduh sehingga nabi berkata: ‘Menjauhlah kalian dariku, tidak selayaknya (terjadi) perseteruan di dekatku’”.
Perseteruan kedua pada masa sakitnya nabi, bahwasannya beliau bersabda: “Bersiaplah kalian (dalam) pasukan Usamah, semoga Allah melaknat orang yang meninggalkan (keluar) dari pasukan tersebut”. Sekelompok orang berkata: “Wajib bagi kita mengerjakan perintahnya (nabi) dan Usamah telah keluar dari Madinah”. Dan kelompok lain berkata: “Sakit nabi telah bertambah parah dan hati kami tidak tahan untuk berpisah dengannya dan dalam kondisi ini hendaknya kita bersabar sampai kita melihat hal apa yang menjadi perintahnya”.[24]
Dari kedua kasus tersebut terjadi kesamaan dalam hal bahwa sebagian sahabat tidak mengikuti arahan yang diberikan nabi saw.. Pada kejadian pertama adalah Umar dan diikuti para sahabat lainnya yang memberikan tanggapan penolakan terhadap perintah nabi yang meminta dibawakan tinta dan kertas. Sementara yang kedua adalah mereka yang mundur dari pasukan Usamah, padahal nabi saw menyuruh mereka semua untuk berada dalam pasukan Usamah.
Apabila kita menengok kembali pada ijtihad yang dipaparkan oleh Imam Ghazali serta menimbang dua kejadian tadi dengan konsep tersebut maka akan kita dapati bahwa ijtihad dalam dua kasus di atas adalah bermasalah. Alasannya adalah walaupun tanpa mengusik syarat mujtahid, namun yang paling kentara di sini ialah objek ijtihad atau apa yang diijtihadi, sudah jelas bahwa itu adalah perintah yang keluar dari lisan suci nabi Muhammad saw. yang dengan sendirinya adalah hujjah bahkan ditopang oleh beberapa ayat Alquran yang secara jelas dan nash untuk mengikuti semua yang keluar atau diputuskan oleh beliau. Seperti ayat-ayat di bawah ini:
وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِۘ
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya. (Al-Hasyr: 7)
قُلْ اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ ۚ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْكٰف
Katakanlah (Muhammad), “Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling, ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali I’mran: 32)
وَاَطِيْعُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَۚ
Dan taatlah kepada Allah dan Rasul (Muhammad), agar kamu diberi rahmat. (Ali I’mran: 132)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat serupa yang membicarakan ketaatan mutlak terhadap Rasulullah saw tanpa ada pengecualian dimanapun dan dalam kondisi apapun.
Sehingga dari semua ini terlihat bahwa tindakan beberapa sahabat dalam dua kasus di atas yang dianggap sebagai ijtihad tidak dapat diterima sebab bertolak belakang dengan nash yang sudah jelas. Jika demikian maka dalam tinjauan Imam Ghazali sendiri salah satu rukunnya telah batal, bahkan dalam hal ini dihitung berdosa sebab jelas-jelas bertentangan dengan nash Alquran sendiri yang menyatakan ketaatan mutlak terhadap nabi Muhammad saw.
19
Ijtihad Sahabat dalam Pelarangan Mut’ah
Pada pembahasan sebelumnya, kita telah membahas seputar ijtihad dan kaitannya dengan konsep keadilan sahabat. Terkadang, kita sering menemukan dalam beberapa peristiwa atau beberapa perilaku sahabat dianggap sebagai ijtihad, meskipun hal itu bertentangan dengan syariat atau Nash, dan tentu saja telah kita bahas sebelumnya bahwa hal seperti itu tidaklah tepat dikatakan sebagai ijtihad.
Beberapa contoh telah kami paparkan sebelumnya, dan pada kesempatan kali ini, kita akan bahas satu lagi contoh kasus yang dianggap sebagai bagian dari ijtihad sahabat, yaitu perihal pelarangan mut’ah.
Pembahasan mengenai mut’ah sendiri telah kita bahas sebelumnya di website ini. Namun kita bahas kembali sekarang karena kita dapati bahwa pelarangan mut’ah, baik itu mut’ah nikah maupun mut’ah haji datang dari sahabat nabi yaitu Umar bin Khatab dan bukan dari nabi itu sendiri, sehingga hal tersebut dianggap sebagai bagian dari ijtihad sahabat.
Untuk membuktikan hal tersebut, kita akan suguhkan beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa Umar bin khatab lah yang melarang atau mengharamkan mut’ah.
Malik bin Anas meriwayatkan dari Nafi’ dan menukil dari Putra Umar berkata: Umar berkata: Dua mut’ah ada pada zaman Rasulullah saw, akulah yang melarang keduanya dan memberikan sangsi atas keduanya: mut’ah haji dan nikah mut’ah
Benar bahwasannya Umar ra telah melarang orang-orang dari mut’ah, ia berkata, dua mut’ah yang dulu ada pada masa Rosulullah Saw, kini aku haramkan yaitu mut’ah nikah dan mut’ah haji.
Kitabul Mabsuth li Syamsuddin As-Sarakhsi Juz 4 Hal. 27
Bahkan dalam Tafsir Thabari pada pembahasan ayat nikah mut’ah, disebutkan bahwa Ali bin abi Thalib berkata: Andai bukan karena Umar melarang manusia melakukan nikah mut’ah pastilah tidak akan berzina kecuali orang yang celaka
Tafsir At-Thabari Juz 6 Hal. 588
Riwayat-riwayat diatas menunjukkan bahwa pelarangan atau pengharaman mut’ah, baik itu mut’ah haji ataupun mut’ah nikah berasal dari Umar bin Khatab. Dan jika ada yang menganggap bahwa itu adalah ijtihad sahabat, maka itu tidaklah tepat. Sebagaimana telah kita bahas sebelumnya bahwa objek ijtihad tidak boleh bertentangan dengan nash. Dalam hal ini, pelarangan yang dilakukan oleh Umar bin khatab bertentangan dengan Al-Quran, karena dalam Al-Quran tepatnya pada Surat An-Nisa ayat 24, nikah mut’ah diperbolehkan dan hukumnya tidak pernah di anulir atau dinashk sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya.
Disamping itu, pelarangan atau pengharaman mut’ah yang dilakukan oleh Umar bin khatab menunjukkan akan cacatnya atau kurang sempurnanya risalah yang dibawa oleh Nabi Saw. Karena, pelarangan itu muncul pada zaman khalifah kedua, dan itu bertentangan dengan keyakinan umat Islam yang meyakini bahwa Risalah yang dibawa oleh Nabi Saw telah sempurna dan tidak boleh ada yang berhak merubahnya kecuali oleh Nabi saw itu sendiri sebagai penerima Wahyu Risalah.
Wallahu A’lam
20
Bertentangan Dengan Perbuatan Nabi SAWW Abdullah Bin Umar Menolak Ijtihad Umar Bin Khattab
Sebagaimana diketahui bersama bahwa Umar bin Kahttab adalah sahabat nabi yang melakukan pelarangan terhadap dua jenis mutah; mutah haji dan mutah nikah:
“Malik bin Anas meriwayatkan dari Nafi’ dan menukil dari Putra Umar berkata: Umar berkata: Dua mut’ah ada pada zaman Rasulullah saw, akulah yang melarang keduanya dan memberikan sangsi atas keduanya: mut’ah haji dan nikah mut’ah“
Namun perlu diketahui bahwa apa yang dilakukan oleh Umar bin Kahttab dalam menetapkan hal tersebut adalah ijtihad yang bertentangan dengan nash yang sangat jelas.
Untuk itu pada tulisan kali ini akan dijelaskan bagaimana kemudian sahabat Nabi SAWW yang lain menentang dan menganggap salah apa yang diutarakan oleh Umar bin Khattab tersebut.
Yang menjadi sorotan khusus pada tulisan ini adalah mutah haji, karena berhubungan dengan nikah mutah pada seri-seri sebelumnya telah banyak dibahas dalam site ini.
Sa’ad bin Abi waqas adalah salah seorang yang menentang ijtihad yang dilakukan umar terhadap pengharaman haji tamttu’:
“dari Muhammad bin Abdullah bin Harits bin Naufal, bahwa sanya ia mendengar Sa’d bin Abi Waqash dan Dhahhaq bin Qais, sementara keduanya sedang membicarakan tentang tamattu’ haji. Lalu Dhahhaq bi Qais berkata: tidak ada yang melakukan hal itu kecuali orang yang tidak mengetahui urusan Allah. Sa’d berkata: alangkah buruknya apa yang engkau ucapkan wahai anak saudaraku! Maka Dhahhaq bin Qais berkata: sesungguhnya Umar bin Khattab melarangnya. Sa’d berkata: sungguh Nabi telah melakukan hal itu dan kami juga melakukannya bersama beliau. Ia berkata: ini adalah hadis sahih.”
Tidak hanya Sa,d bin Abi Waqash, Abdullah bin Umar juga menentang ijtihad yang dilakukan Ayahnya:
“ … dari Ibn Syihab bahwa Salim bin Abdullah menyampaikan hadis kepadanya bahwa ia mendengar seorang laki-laki dari penduduk Syam sedang bertanya kepada Abdullah bin Umar tentang haji Tamattu’, lalu Abdullah bin Umar berkata: hal itu dibolehkan (halal). Orang Syam tadi berkata: sungguh ayahmu telah melarang hal itu. Abdullah bin Umar berkata: apa pendapatmu jika ayahku melarang hal itu sedangkan Rasulullah melakukannya? Apakah engkau mengikuti perintah ayahku atau perintah Rasulullah? Laki-laki itu berkata: tentu (aku mengikuti) perintah Rasulullah. Lalu ia berkata sungguh Rasulullah telah melakukannya.”
Dua hadits di atas menunjukkan bahwa sahabat Nabi yang dalam hal ini adalah Umar bin Khattab telah melakukan ijtihad yang bertentangan dengan nash. Hal ini dibuktikan dengan sanggahan yang dilakukan oleh Sa’d bin Abi Waqash dan Abdullah bin Umar terhadap pelarangan yang dilakukan oleh Umar bin Kahttab.
Tidak cukup sampai di situ, mereka juga memberikan alasan atas sanggahan mereka berupa tindakan rasulullah yang jelas-jelas bertentangan dengan pelarangan Umar bin Khattab.
21
Daftar Isi:
Keadilan Sahabat 31
Mugirah bin Syu’bah dan Konsep Keadilan Sahabat2
Al-Futuhi: Sahabat Itu Orang-Orang Adil Selama Tidak Diketahui Memiliki Cela4
Melakukan Pembunuhan Berencana, Apakah Tetap Adil?13
“Cerita tentang sebab kematiannya13
Al-Istiab menceritakan kisah ini:14
Tidak lupa Abul Fida juga memuat sejarah ini:14
Hadis ‘Para Sahabatku Seperti Bintang-bintang’ dan Konsep Keadilan Sahabat16
Sebagian Orang Berdiri di Shaf Belakang Demi Melirik Wanita Ketika Berjamaah Bersama Nabi19
Apakah Para Sahabat Meyakini Konsep Keadilan Sahabat?21
Hakam bin Abil ‘Ash dan Konsep Keadilan Sahabat23
Hadis “Sebaik-Baiknya Manusia Adalah Pada Masaku” dan Konsep Keadilan Sahabat28
Mencintai Sahabat Nabi dan Konsep Keadilan Sahabat32
Hadits Tsaqalain dan Konsep Keadilan Sahabat34
Definisi Ijtihad Menurut Imam Ghazali37
Ijtihad Sahabat dan Konsep Keadilan Sahabat40
Syahrastani dan Konsep Ijtihad Sahabat43
Ijtihad Sahabat Ketika Nabi Sakit45
Ijtihad Sahabat dalam Pelarangan Mut’ah49
Bertentangan Dengan Perbuatan Nabi SAWW Abdullah Bin Umar Menolak Ijtihad Umar Bin Khattab52
22
[1] Hakim Naisaburi, Muhammad bin Abdullah, al-Mustadrak ala al-Shahihain, jil: 1, hal: 541, cet; Dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut.
[2] Syarhu Mukhtashar At-Tahrir, hal: 669-670.
[3] Al Ishabah Fi Tamyiz Ash Shahabah J.3; H. 637; Cet. Dar Ihya attarast al-Arabi, Beirut 1328H
[4] Ibid J.3; H. 638
[5] An-Nihayah Fi Garibl Hadis, Ibnu Atsir, hal. Juz 2, hal. 213.
[6] Syarh al-Maqasid, Imam At-Taftazani; Juz 5; h. 310-311; Cet. Alam Al-Kutub
[7] Thabari, Muhammad bin jarir, tarikh Tabarai, jil: 5 hal: 227, cet: Dar Maarif, Mesir
[8] Ibn Abdul Bar, Yusuf bin Abdullah bin Muhammad, al-Istiab Fi Ma’rifat al-ashab, jil: 2, hal: 829-830.
[9] Abul Fida, Imadudin Ismail, al-Mukhtashar Fi Akhbar al-Basyar, jil: 1, hal: 186, al-Husainiah, Mesir.
[10] Thabari, Muhammad bin Jarir, Tarikh Thabari, jil: 4, hal: 367, cet: Dar al-Maarif, Mesir.
[11] Majmu Fatawa, Jil. 20; Hal. 265; Majma al-Malak Fahd & Raf’ Al-Malam ‘An Al-A’immat Al-A’lam, Hal. 58; Riasah Al-Amah Li Idarat Al-Buhuts Al-‘Ilmiah
[12] Musnad Imam Hambal, Jil. 5; Hal. 74; Muasasah Ar-Risalah – Beirut 1416
[13] Shahih Bukhari, hal :937, no: 2509.
[14] Al-Mu’jam Al-Kabir, jil: 4, hal: 23, No: 3541.
[15] Tarikh Madinah Damesyk, jil: 23, hal: 321-322.
[16] Hakim Naisaburi, Muhammad bin Abdullah, al-Mustadrak, jil: 3, hal: 119, Dar al-Kutub al-Ilmiah.
[17] Hakim Naisaburi, Muhammad bin Abdullah, al-Mustadrak, jil: 3, hal: 118, Dar al-Kutub al-Ilmiah.
[18] Tirmizi, Abi Isa Muhammad bin Isa, al-Jami al-Shahih, jil: 5 hal: 662, cet: Syirkah Maktabah wa Mathbaah Mushtafa al-babi al-Halabi, Mesir.
[19] Al-Mustashfa Min Ilmil Ushul, jil: 2, hal: 382, Muassasah Ar-Risalah.
[20] Al-Mustashfa Min Ilmil Ushul, jil: 2, hal: 383, Muassasah Ar-Risalah.
[21] Al-Mustashfa Min Ilmil Ushul, jil: 2, hal: 390, Muassasah Ar-Risalah.
[22] Syahrastani, Muhammad bin Abdul Karim, al-Milal Wa al-Nihal, jil: 1, hal: 242, cet: Dar al-Ma’rifah, Beirut.
[23] Hakim Naisaburi, Muhammad bin Abdullah, al-Mustadrak, jil: 3, hal: 118, Dar al-Kutub al-Ilmiah.
[24] Al-Milal Wan Nihal, jil: 1, hal: 11-12, Darul Kutub Ilmiyah, Beirut.
23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar