ilustrasi hiasan:
Oleh: Dr Ali Syirvani
Kata Pengantar
Akidah sebuah agama merupakan dasar dan pondasi agama tersebut. Segala tuntunan, anjuran, perintah, dan larangan-Nya berdiri tegak dengan berlandaskan kepada-Nya. Semakin kuat dan kokoh pondasi dan dasar tersebut, pribadi Mukmin akan semakin mantap dan lebih siap untuk menapaki jalan kesempurnaan-Nya.
Kerusakan Akidah merupakan sumber dan penyebab kerusakan di bidang etika (akhlak), sosial, politik, dan budaya. Untuk membendung dan melenyapkan kerusakan-kerusakan di bidang-bidang tersebut haruslah dimulai dari pembenahan kembali terhadap Akidah. Pengenalan yang valid dan benar terhadap eksistensi manusia, permulaan dan akhir dunia, para delegasi Tuhan, nama-nama (asmâ’)-Nya, tempat tinggal (pesanggerahan) terakhir manusia dan lain sebagainya, jika semuanya ditopang dengan keimanan yang kokoh, akan terciptalah penyerahan murni dan seutuhnya terhadap segala titah Tuhan yang telah sampai kepada manusia melalui para nabi-Nya yang suci.
Atas dasar ini, adanya pelajaran tentang Akidah dan penyajian-Nya melalui buku-buku yang berkualitas, simpel dan hangat (aktual) untuk para remaja tumpuan maysarakat dirasakan sangat urgen sekali.
Buku ini, bertujuan untuk memnuhi hal tersebut, dan disusun atas permintaan Markaz-e Jihani-e Ulume Islami (Pusat Kajian Ilmu-ilmu Keislaman Internasional) di kota Qom, Iran, untuk 4 sks pelajaran Akidah di tingkat Karshenâsi Ma’âref-e Eslâmi (setingkat S1). Dan oleh karena buku ini digunakan sebagai buku studi di kelas, kami memberinya judul Dars-nâmeh-ye Aqâ’id (Buku Panduan Akîdah).
Beberapa poin penting tentang buku ini;
1. Buku ini tidak memuat argumentasi-argumentasi rumit yang biasa dijumpai dalam kitab-kitab Kalâm, karena buku ini sengaja disusun untuk bahan pelajaran Akidah di tingkat dasar (untuk para pemula) di mana obyek utamanya adalah para remaja yang belum membekali diri atau belum mengenal ilmu-ilmu logika atau filsafat.
2. Pelajaran Akidah dapat diterangkan melalui tiga langkah;
1. Penjelasan dan pemaparan kajian.
2. Pemberian argumentasi (burhân).
3. Pemberian jawaban terhadap sangkalan dan kritikan.
Pembahasan buku ini lebih menitik beratkan pada langkah pertama. Yaitu pemaparan dan penetapan singkronisasi Akidah dalam agama, kendati pada berbagai kesempatan, kami juga menerapkan langkah ketiga dengan membawakan dalil serta argumen yang definitif dan gamblang.
3. Salah satu ciri khas dari buku yang menjelaskan Akidah Islam menurut mazhab Syi’ah ini adalah penjelasan yang ada di dalamnya ditopang oleh ayat-ayat Al-Qur’an. Karena sejak awal, buku ini disusun untuk mengajarkan Akidah dengan panduan dari kitab paling terpercaya, dan berupaya mengakrabkan para pembacanya kepada kandungan dan isi Al-Qur’an.
4. Buku ini dimulai dengan pendahuluan yang kajian di dalamnya lazim dipahami, khususnya pada era ini – kendati pembahasan tersebut jarang dijumpai dalam buku-buku Akidah dan Kalâm yang lain –.
5.Untuk mempermudah pemahaman dan mengingat kajian yang telah dibahas, kami telah menyusun ringkasan yang berada di akhir setiap pasal.
Kami merasa wajib berterima kasih kepada segala pihak yang telah banyak membantu kami dalam penyusunan buku ini, terlebih kepada Hujjatul Islam wal muslimin Rahîmiyân, Pengurus Daftar Penelitian dan Penyusunan Buku-buku Pelajaran, Hujjatul Islam va muslimin Mustaufâ, dan juga Saudara Baba`î, Husainî serta kepada Pusat Kajian Ilmu-ilmu Keislaman Internasional.
Kami juga meminta ma’af kepada para pembaca budiman atas kekurangan yang ada, dan kami mengharap do’a Anda sekalian supaya kami dapat mengabdi lebih besar lagi terhadap Islam dan muslimin.
Dan kami berharap semoga Allah SWT dengan perantara keutamaan para Wali pilihan-Nya senantiasa menganugerahkan keikhlasan dan selalu menjaga kami dari penyimpangan dan penyelewengan, baik dalam ucapan maupun dalam tindakan, dan semoga Ia tetap memberikan taufik-Nya kepada kami untuk berkhidmat kepada ilmu dan Islam, dan semoga karya yang tak seberapa ini diterima di sisi-Nya dan menjadi bekal kelak dikemudian hari.
Ali Syirvani
Qom - Hauzah Ilmiyah
Jumat 9-3-1376 Syamsiyah
PENDAHULUAN
Dalam buku ini kita akan membahas Akidah Islam melalui kaca mata Syi’ah Imamiyah. Unsur-unsur pokok Akidah – yang harus diketahui dan diyakini oleh setiap pribadi Mukmin ini – disebut Ushûluddîn (poko-pokok agama), sedang ilmu yang membahas, mengupas dan yang membelanya dinamakan dengan ilmu Kalâm.
Oleh karena itu, sebelum masuk pada inti pembahasan, sangatlah urgen sekali kita bawakan beberapa pembahasan pendahuluan mengenai ilmu Kalâm dan agama (Dîn).
Ilmu Kalâm
Ilmu Kalâm bukanlah milik agama Islam semata, akan tetapi agama-agama lain pun memiliki pembahasan serupa. Hanya saja, dalam buku ini, kita hanya akan membahas tentang Kalâm Islami. Oleh karena itu, di mana pun didapati kata “Kalâm” di dalam buku ini, maka yang dimaksud adalah Kalâm Islami, bukan yang lain.
Tugas-Tugas Ilmu Kalâm
Ilmu Kalâm memiliki tiga tugas utama:
Pertama, memaparkan Akidah sebuah agama. Hal ini disebabkan Ushûluddîn yang tertera dalam Al-Qur’an dan sabda-sabda nabi serta para Imam as, belum tersaji secara klasik dan tematik, sehingga setiap orang dengan mudah dapat memahami dan membetot Akidah dari sumber-sumber di atas tadi.
Al-Qur’an selain membahas masalah Akidah, juga membahas masalah-masalah lain, seperti politik, sejarah, sosial, budaya, masalah-masalah personal, hak-hak, fiqih, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, penyimpulan dan penataan setiap kajian dan pembahasan, seperti Akidah, membutuhkan kepada kreasi dan upaya seorang agamawan, yang dalam bidang Akidah, tugas ini diemban oleh para mutakallim (pakar ilmu Kalâm).
Kedua, menjelaskan Akidah sebuah agama. Setelah seorang mutakallim menyajikan dan mengistimbathkan Akidah tersebut, tugas selanjutnya adalah menjelaskan, menginterpretasikan, mengenalisa, dan membuktikannya. Sebagai contoh, setelah mendapatkan dalil akan ke-Esaan Tuhan dalam teks dan literatur Islam (Al-Qur’an dan Hadis), ia harus berusaha membuktian keyakinan ini dengan argumentasi logis, sebagaimana ia juga harus menjelaskan dan membuktikan singkronisasi dan keserasian antara Akidah yang satu dengan yang lain, serta menetapkan bahwa tidak ada kontradiksi dan paradoksi di dalamnya.
Ketiga, membela Akidah sebuah agama, manjawab kerancauan-kerancauan dan kritikan-kritikan yang ada. Tugas lain yang diemban oleh seorang mutakallim adalah menjaga kehormatan Akidah dengan menangani dan menjawab pelbagai kritik dan sanggahan yang muncul dari para penentang agama.
Definisi Ilmu Kalâm
Dengan mencermati tugas dan misi-misi yang diemban, ilmu Kalâm bisa didefinisikan dengan: ilmu yang memaparkan, menjelaskan, dan membuktikan serta membela Akidah dari pelbagai kerancuan-kerancuan1. Definisi ini mirip dengan definisi yang dilontarkan oleh Syahid Murtadha Muthahari. Beliau mengemukakan: “Ilmu Kalâm merupakan disiplin ilmu yang membahas tentang Akidah dan keyakinan Islam. Artinya, apa yang harus diyakini dan dipercayai dibahas di sini, dengan cara memaparkan, memberikan argumentasi, dan membelanya dari berbagai kerancuan yang muncul”.2
Topik Ilmu Kalâm
Sejumlah disiplin ilmu pengetahuan hanya memiliki satu topik pembahasan. Matematika contohnya. Topik pembahasannya hanya berkisar pada bilangan. Artinya, semua permasalahan dan premis-premis dalam disiplin ilmu ini hanya membahas tentang hukum-hukum bilangan, tidak lebih. Akan tetapi, bukan berarti ini sebuah keharusan bahwa setiap disiplin ilmu harus memiliki tema pembahasan tunggal. Ilmu Kalâm termasuk ilmu-ilmu yang memiliki lebih dari satu topik pembahasan; terkadang membahas tentang Tuhan, sifat-sifat-Nya, Kiamat, dan terkadang membahas tentang para nabi, dan lain sebagainya.
Topik ilmu Kalâm sama sekali tidak menentukan permasalahan-permasalahannya. Tujuan dan tugas-tugas yang kita sebutkan di atas merupakan klasifikasi dan penentu bagi permasalahan disiplin ilmu Akidah (Kalâm).
Sebab Penamaan Ilmu Kalâm
Perlu disebutkan di sini, mengapa disiplin ilmu ini dinamakan dengan Kalâm. Terdapat berbagai pendapat dan pandangan dalam hal ini yang telah muncul ke permukaan. Kita akan menyebutkan sebagaian dari pendapat-pendapat tersebut:
1)Ilmu Akidah menambah kemampuan dan kecakapan berbicara dan berargumentasi.
2)Pada awal mulanya kitab-kitab Akidah selalu diawali dengan kata-kata Al -Kalâm, seperti Al-Kalâm fi wujûdillah, Al-Kalâm fi Shifatih, dan seterusnya.
3)Permasalahan terpenting dan terpanas di awal-awal Islam yang menyedot perhatian dan membuat perdebatan yang amat sengit adalah masalah makhluk tidaknya Kalâm Allah SWT.
Mengingat pembahasan ini tidak begitu memberikan manfaat yang begitu berarti, maka kita rasa pembahasan mengenai sebab penamaan ini kita cukupkan sampai di sini saja.
Sejarah Ilmu Kalâm dan Faktor Terpenting Dalam Proses Kemunculannya
Penentuan secara detail dan pasti sejarah munculnya ilmu Kalâm adalah masalah yang tidak mudah. Namun, tanpa diragukan lagi, pada paruh ke dua dari abad ke-2 Hijriah permasalahan ilmu Kalâm, seperti Jabr, Ikhtiâr, keadilan Tuhan, telah mencuat kepermukaan dan menjadi bahan kuliah dan kajian kaum Muslim kala itu. Orang pertama yang secara resmi membahasnya secara klasik adalah Hasan Bashri (wafat tahun 110 Hijriah). Seiring dengan bergulirnya masa, permasalahan ilmu Kalâm semakin meluas, sekte-sekte dan aliran-aliran bermunculan. Di antaranya Khawârij, Qadariyah, Mu'tazilah, jahmiyah, dan Murji`ah. Keyakinan setiap dari aliran ini dibahas dalam ilmu Milal wa Nihal, dan jelas, hal itu tidak bertalian dengan pembahasan kita sekarang.
Dari sudut pandang yang berbeda bisa dikatakan, jika maksud dari ilmu Kalâm itu adalah penjelasan atau pemaparan secara argumentatif, maka cikal-bakal dan bibit tumbuh serta berkembangnya ilmu Kalâm adalah Al-Qur’an sendiri dan sabda-sabda Rasul serta para ma’shûm, khususnya Amirul Mukminin yang telah memapaparkan dan mengargumentasikannya.
Sebagaimana perkembangan dan meluasnya ilmu Kalâm ini juga berkat anjuran-anjuran Al-Qur’an dan sabda-sabda nabi yang selalu mengajak berpikir dan bernalar, serta melarang (mencela) taklid buta. Namun, selain faktor ini tadi, ada faktor-faktor signifikan lain yang membuat perkembangan yang sangat pesat dalam disiplin ilmu ini, di antaranya:
a)Adanya interaksi antara Islam dan pelbagai lapisan masyarakat yang memiliki akar dan kerangka berfikir yang beraneka-ragam.
b)Adanya pengikut-pengikut agama lain yang hidup berdampingan dengan Islam dan muslimin, seperti Yahudi, dan Kristen. Kondisi semacam ini sangat menuntut kewaspadaan dan kesiagaan muslimin dalam menjaga Akidah dan keyakinan mereka.
c)Munculnya kelompok Zindîq dalam dunia Islam yang selalu memancing dan membuka front dengan muslimin di setiap masa dan waktu.
Faktor-faktor tadi, ditambah dengan himbauan dan anjuran Al-Qur’an dan sabda-sabda para ma’shûm as untuk bebas berpikir dan bernalar, telah menambah rasa ingin mengkaji dan meneliti kaum muslimin tentang keyakinan agama mereka. Oleh karena itu, tidaklah aneh kalau pada abad kedua, ketiga, dan keempat Hijriyah, para teolog besar dan ternama muncul dalam dunia Islam.
Kalâm Jadîd
Pada dekade terakhir, istilah Kalâm Jadîd mencuat kepermukaan. Hal ini dikarenakan adanya serangan dan kritikan yang dilancarkan para pemikir Barat dan kaum Atheis, kritikan-kritikan yang relatif baru dan belum tersentuh dan terbahas secara klasik oleh para Teolog Islam sebelumnya. Untuk menjawab sangkalan-sangkalan tersebut diperlukan teori-teori baru (teori filosofis contohnya) yang bisa menjawab kritikan-kritikan di atas secara tuntas.
Secara serius, hal ini menyebabkan perubahan dan perkembangan ilmu Kalâm. Perlu dipahami bahwa perubahan yang terjadi ini bukanlah perubahan drastis yang mengindikasikan invaliditas Akidah agama itu sendiri. Akan tetapi, maksud dari perubahan tadi adalah kritikan baru itu perlu dijawab, dan karena skalanya yang sangat besar, ditambah dengan jawaban-jawaban baru yang muncul, menyebabkan perubahan yang sangat besar dalam pembahasan ilmu Kalâm sehingga bisa kita katakan hal itu berbeda dengan Kalâm Qadîm (kuno). Dengan demikian, ilmu Kalâm ini disebut dengan Kalâm jadîd (Kalâm Modern).
Atas dasar ini, sekelompok dari para intelektual Muslim lebih menyukai istilah masâ`el-e jadîd-e Kalâm (Problema-problema baru dalam ilmu Kalâm), ketimbang memakai istilah Kalâm Jadîd. Polemik seputar hal ini tidak begitu berarti bagi kita. Yang terpenting dari hal itu semua adalah pemahaman akan maksud dan tujuan dari istilah itu semua.
Ringkasan
* Unsur-unsur fundamental Akidah Islam – yang lazim kita yakini – dinamakan Ushûluddîn.
* Ilmu Kalâm mengemban tiga misi: memaparkan, menjelaskan, dan menjawab pelbagai kritikan yang berhubungan dengan Akidah.
* Ilmu Kalâm tidak memiliki topik pembahasan tunggal sebagai faktor pembeda dengan ilmu lain. Akan tetapi, ilmu Kalâm terbedakan dengan ilmu-ilmu lain melalui tugas-tugas dan tujuan yang diembannya.
* Sebab penamaannya dengan Kalâm:
·Ilmu ini menambah kecakapan berbicara dan berargumentasi.
·Pada mulanya literatur-literatur kuno yang membahas Akidah selalu dimulai dengan kata al-Kalâm, seperti al-Kalâm fi Tauhîdillah, al-Kalâm fi Shifatih, dan seterusnya.
·Pembahasan terpenting dan terpanas pada awal kemunculannya adalah pembahasan tentang apakah Kalâm Allah itu baru atau tidak?
* Faktor fundamental pemaparan Akidah di tengah masyarakat muslim adalah anjuran dan dorongan dari Al-Qur’an dan sabda-sabda para ma’shûm as, terlebih Amirul Mukminin. Adapun secara formal, pembahasan Kalâm muncul pada paruh kedua abad ke-2 Hijriah, dan pencetusnya adalah Hasan Bashri (w – 110 H).
* Selain berkat dorongan dan anjuran-anjuran Al-Qur’an dan hadis-hadis, ada faktor-faktor lain yang menyebabkan perkembangan pesat dalam disiplin ilmu ini antara lain:
a)Hubungan Islam dengan berbagai lapisan masyarakat dengan berbagai keyakinan yang beraneka ragam.
b)Adanya pengikut agama-agama lain yang hidup berdampingan dengan umat Islam.
c)Munculnya para Zindîq dalam dunia Islam.
Pada dekade terakhir, ilmu Kalâm mengalami perubahan dan perkembangan yang sangat pesat (sampai pada masa keemasannya). Faktor mendasar yang melandasi perubahan kolosal tersebut adalah sangkalan-sangkalan dengan skala besar yang terlontar dari kalangan non-Islam, yang menciptakan setumpuk jawaban yang sama sekali baru, sehingga sekelompok orang menganggap ilmu baru dan menamakanya Kalâm Jadîd. Sedangkan sebagaian kelompok lain memiliki persepsi bahwa itu bukanlah ilmu baru, hanya permasalahannyalah yang baru.
1 Definisi ilmu Kalâm ini - dengan memperhatikan tugas yang diembannya - senada dengan definisi ilmu mantiq, di mana para ahli logika mendefinisikannya dengan: seperangkat kaidah yang dapat mencegah dan menjaga benak manusia dari kesalahan dalam proses berfikir dan berargumentasi.
2 Murtadha Muthahari, Pengenalan terhadap ilmu-ilmu Islam (Asynâ`iy bâ Olûm-e Eslâmiy), cetakan Shadra, juz 2, hal 9.
Agama (Dîn)
Definisi Agama
Secara linguistik, dîn berarti ketaatan dan balasan. Penulis kitab Maqâyisul Lughah mengatakan bahwa asal dan akar kata ini berarti penghambaan dan kehinaan (tunduk). Sedang Râghib dalam Mufradâtnya mengatakan bahwa agama berarti ketaatan dan balasan.[1] Oleh karena itu, Syâri’at dinamakan dîn karena ia lazim ditaati.
Pemakain Kata Dîn Dalam Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an, dîn dipakai dalam berbagai arti dan makna; terkadang bermakna pembalasan atau perhitungan, terkadang berarti undang-undang dan Syâri’at,[2] dan terkadang berarti ketaatan atau penghambaan.[3] Dalam arti yang terakhir, terkadang memiliki arti luas yang mencakup penyembahan berhala, seperti ayat yang menegaskan:
Definisi Agama
Secara linguistik, dîn berarti ketaatan dan balasan. Penulis kitab Maqâyisul Lughah mengatakan bahwa asal dan akar kata ini berarti penghambaan dan kehinaan (tunduk). Sedang Râghib dalam Mufradâtnya mengatakan bahwa agama berarti ketaatan dan balasan.[1] Oleh karena itu, Syâri’at dinamakan dîn karena ia lazim ditaati.
Pemakain Kata Dîn Dalam Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an, dîn dipakai dalam berbagai arti dan makna; terkadang bermakna pembalasan atau perhitungan, terkadang berarti undang-undang dan Syâri’at,[2] dan terkadang berarti ketaatan atau penghambaan.[3] Dalam arti yang terakhir, terkadang memiliki arti luas yang mencakup penyembahan berhala, seperti ayat yang menegaskan:
[4] لكم دينكم
Terminologi Agama
Pengetahuan dan pemahaman arti linguistik agama yang dipakai dalam Al-Qur’an bukan tujuan utama penulisan buku ini. Yang menjadi maksud dan tujuan kita adalah arti terminologisnya.
Para pemikir Barat memiliki definisi beragam tentang agama. Di sini kami akan membawakan sebagaiannya:
# Agama adalah insting, aksi dan kondisi spiritual yang “menjangkiti” sekelompok orang tertentu dalam kesendirian mereka di hadapan Tuhan (William James adalag seorang filsuf sekaligus psikolog berkebangsaan Amerika. Ia Hidup pada tahun 1842-1910).
# Agama adalah komparasi (majmu’eh) keyakinan, aksi, ritual, dan lembaga-lembaga keagamaan, seperti hauzah ilmiah, masjid dan lain sebagainya yang dibangun oleh manusia dalam masyarakat yang berbeda-beda. (Talcott Parsons, cendekiawan Sosial Amerika. Ia hidup pada tahun 1902-1979).
# Agama adalah pengakuan terhadap sebuah fakta bahwa segala eksistensi adalah manifestasi atau perwujudan dari sebuah wujud yang tak terjangkau dan tak terdeteksi oleh akal dan ilmu kita (Herbert Spencer, filsuf dan ahli sosial dari Inggeris. Ia hidup pada tahun 1820-1903).[5]
Kendati sekelompok pemikir dan cendekiawan berasumsi bahwa pendefinisian agama merupakan usaha yang sulit, hal ini bukan berarti membatasi dan melarang kita untuk menjelaskan terlebih dahulu maksud dari sebuah kata yang ingin kita bahas secara mendalam.
Maksud agama dalam kitab ini adalah seperangkat keyakinan dan tuntunan praktis yang diklaim berasal dari langit (Tuhan) melalui perantara para para nabi dan Rasul-Nya.
Dengan demikian, agama valid (haq) adalah agama yang benar-benar berasal dari Tuhan, yang menjanjikan kebahagiaan abadi bagi setiap manusia.
Sekelompok pemikir Islam berasumsi bahwa agama merupakan kumpulan apa yang diturunkan oleh Allah SWT kepada para nabi dan nasul melalui wahyu untuk merealisasikan kesempurnaan akhir manusia.
Definisi terakhir ini skupnya sangat sempit dan lebih spesifik dari definisi pertama, dan hanya mencakup agama valid dan otentik saja.
Alhâsil, perlu diketahui bahwa keyakinan terhadap sang Pencipta merupakan elemen terpenting sebuah agama. Dengan kata lain, setiap aliran yang tidak meyakini adanya Tuhan, tidak bisa dikatakan sebagai sebuah agama. Dalam hal ini, kita bisa ambil contoh Marxisme. Aliran ini tidak bisa dikatakan sebagai sebuah agama, karena mereka tidak mempercayai keberadaan Tuhan sama sekali.
Ringkasan
# Secara linguistik, agama (dîn) bemakna ketaatan dan balasan. Kata dîn ini digunakan dalam Al-Qur’an dengan arti balasan atau perhitungan, undang-undang atau Syâri’at, dan ketaatan atau penghambaan.
# Maksud dari agama adalah sekumpulan keyakinan dan tuntunan praktis yang diklaim berasal dari Tuhan yang diturunkan kepada para utusan-Nya.
# Keyakinan terhadap eksistensi Tuhan merupakan elemen (unsur) terpenting sebuah agama. Dengan artian, setiap aliran yang tidak menyakini-Nya tidak bisa dikatakan sebagai sebuah agama.
Dimensi Ajaran Agama
Ulama Islam mengklasifikasikan ajaran dan tuntunan agama dalam tiga katagori:
Akidah
Bagian ini mencakup ajaran–ajaran mengenai arti sebenarnya sebuah eksistensi (wujud), Pencipta, awal dan akhir penciptaan. Dengan demikian, bagian ini lebih umum dari sekedar syarat lazim ke-Islaman seseorang dan membahas setiap masalah yang berkaitan dengan ciri-ciri fenomena alam.
Dari sini dapat dipahami bahwa Akidah agama lebih umum dari Ushûluddîn yang merupakan syarat lazim bagi ke-Islaman seseorang, seperti keyakinan terhadap Tuhan, kenabian, dan hari pembalasan.
Nah, ilmu Kalâm sangat erat hubunganya dengan bagian ini. Oleh karena itu, ilmu Kalâm juga disebut dengan ilmu Akidah.
Akhlak
Bagian ini menerangkan tuntunan ajaran Islam tentang etika baik dan budi pekerti, seperti takwa, adil, jujur, dan amanah, serta tips-tips penyandangan-Nya. Syahid Murtadha Muthahhari mengatakan, ”Akhlak adalah tuntunan yang berkaitan dengan hal-hal yang layak disandang oleh manusia dilihat dari budi pekerti dan kaca mata spritual.”[6] Bagian ini terdapat dalam disiplin ilmu akhlak.
Ahkâm
Bagian ketiga dari tuntunan agama ini berhubungan dengan aksi dan perbuatan (perilaku). Dengan artian, bagian terakhir ini membahas hal-hal yang lazim dan tidak lazim dilakukan oleh manusia (wajib dan haram), tindakan yang lebih baik dilakukan atau lebih baik ditinggalkan (sunnah dan makruh), serta tindakan apa yang sama sekali tidak memiliki muatan kelaziman maupun prioritas (mubah). Bagian ahkâm ini termuat dalam ilmu Fiqih.
Perlu ditambahkan di sini, semua yang dijelaskan di atas tadi berdasarkan pendapat mayoritas ulama Islam. Kenapa kita katakan demikian? Karena para orientalis juga memiliki klasifikasi lain tentang ajaran dan tuntunan agama. Mereka menambah beberapa dimensi lain yang menurut persepsi mereka merupakan dimensi ajaran Islam. Salah satu bagian tersebut adalah dongeng. Mereka berpendapat, dalam literatur dan teks-teks suci agama banyak didapati cerita suci, yang merupakan motor penggerak, dan mayoritasnya mempunyai pengaruh spiritual, seperti cerita para nabi. Hal semacam ini – menurut mereka – sering dijumpai dalam lembaran-lembaran Al-Qur’an.
Tujuan asli dari penukilan cerita-cerita tersebut tidak hanya sebagai informasi penambah pengetahuan masyarakat, namun lebih dari itu. Cerita ini diharapkan dapat mereformasi atau membenahi tatanan masyarakat sosial, dan menjadi sebuah suri teladan dan pelajaran bagi mereka (para penganutnya).
Para orientalis – dengan berlandaskan ajaran dan tuntunan agama Kristen dan Yahudi yang sudah diselewengkan – mau tidak mau harus mengatakan bahwa dongeng yang terdapat dalam kitab-kitab agama itu adalah bikinan segelintir orang, dengan tujuan utama memberi pendidikan kepada para penganutnya.
Asumsi ini sangatlah ditentang oleh Al-Qur’an, yang merupakan satu-satunya kitab orisinil yang sama sekali tidak didapatkan kesalahan dan kekurangan di dalamnya.[7]
Walaupun demikian, kita menyakini bahwa ada sebagian dari ayat-ayat Al-Qur’an yang tersaji dalam bentuk perumpamaan dan pengandain.[8] Dengan artian, Al-Qur’an terkadang memberikan perumpamaan atau pengibaratan sebuah premis logis dengan premis indrawi. Kendati demikian, sangatlah jauh perbedaan antara sekedar percontohan dan kepalsuan.
Ringkasan
# Elemen ajaran dan tuntunan agama bisa dibagi menjadi 3 bagian:
-Akidah
-Akhlak
-Hukum.
# Bagian Akidah mencakup ajaran-ajaran agama, seperti pengetahuan yang valid tentang eksisitensi (wujud), Pencipta alam, awal penciptaan, dan akhirnya. Bagian yang satu ini dibahas dalam ilmu Kalâm.
# Bagian etika meliputi tuntunan agama tentang budi pekerti yang luhur serta cara penyandangannya. Bagian ini dibahas dalam ilmu Akhlak.
# Bagian hukum pembahasan agama mencakup perbuatan wajib, sunnah, makruh, haram, dan mubah. Ilmu fiqh menjelaskan bagian yang terakhir ini.
# Selain tiga bagian tersebut di atas, para teolog Barat menambahkan beberapa bagian lagi yang mereka anggap sebagai elemen ajaran sebuah agama. Salah satu contoh bagian yang mereka klaim itu adalah dongeng-dongeng yang termaktub dalam kitab-kitab suci, yang biasanya memiliki pengaruh spiritual. Mereka mengatakan, karena tujuan utamanya adalah sebagai pelajaran bagi semua, sangat dimungkinkan dongeng-dongeng itu palsu dan bikinan saja. Muslimin tidak bisa menerima hal ini, karena Al-Qur’an yang mereka punya bukan seperti kitab Injil dan Taurat yang sudah diputar-balikkan dan dipalsukan oleh para penganutnya.
Urgensitas Pencarian Agama
Sebelum memasuki pembahasan ini, kita harus mengetahui motif dan faktor pendorong bagi manusia dalam meneliti valid atau invalidnya sebuah agama. Kenapa harus menelitinya? Lalu kenapa agama valid saja yang harus diikuti?
Jawaban semua itu adalah akal sehat manusia. Akal sehat manusialah yang menjadi motif hal tersebut. Akal sehat mengatakan lazim untuk melakukan hal tersebut. Manusia dengan akalnya harus mengecek apakah para pengklaim kenabian dan risalah itu pada kenyataannya memang demikian ataukah tidak? Dan dalam penelitianini, ia harus sampai pada titik di mana ia merasa yakin secara penuh bahwa mereka itu adalah para pembual dan pembohong atau sebaliknya. Jika kenyataannya (mereka adalah orang-orang jujur), maka ia harus melaksanakan segala konsekuensinya, yaitu menjalankan segala ajaran dan tuntunan mereka. Hal ini karena:
1. Manusia pada dasarnya selalu mencari kebahagian dan kesempurnaan diri. Hal ini muncul dari rasa cinta pada diri sendiri yang merupakan motor penggerak utama manusia dalam menjalankan aktifitas sehari-hari.
2. Ucapan pengklaim kenabian bahwa jika ada orang menerima ajaran kami dan melaksanakanya dengan sesungguhnya, maka ia akan sampai pada kebahagian abadi, dan jika tidak ia akan tersiksa selamanya.
3. Ucapan ini ada kemungkinan benarnya. Dengan kata lain, manusia tidak langsung menyakini bahwa klaim itu invalid sama sekali.
4. Muhtamal (kebahagian abadi dan kesengsaraan abadi)sangatlah berharga. Betapapun kecilnya ihtimâl(kemungkinan) benarnya klaim tersebut, akal sehat manusia menganjurkannya untuk memikirkan dan merenungkannya. Apalagi bukti-bukti dan saksi kebenarannya sangat banyak dan kuat.
Sebagaimana orang buta yang dalam perjalanannya ditegur oleh seseorang bahwa 10 langkah lagi kedepan ia akan jatuh ke dalam sebuah sumur dan jika ia melangkah terus pasti akan tercebur ke dalamnya, dan akan sengsara di sana. Jika ia menghiraukan teguran itu, pasti ia akan masuk dalam sebuah taman indah dengan segala isinya. Si buta akan mempertimbangkan kebenaran informasi orang tadi. Akal sehatnya akan mengatakan, untuk mengecek kebenarannya, aku harus mencarinya, atau paling tidak, untuk hati-hati aku akan merubah alur perjalanan.
Dari sini, ketika seseorang mengetahui sekelompok orang besar dan agung mengklaim sebagai delegasi Tuhan yang datang untuk membimbing manusia ke arah kebahagiaan abadi, dan di sisi lain ia melihat pribadi-pribadi ini tidak main-main dalam menyampaikan misi yang diembannya; segala mara bahaya dan tantangan mereka lalui, bahkan tak jarang dari mereka yang akhirnya rela mengorbankan jiwanya, maka sangatlah logis bagi setiap orang untuk mengecek dan meneliti benar tidaknya klaim mereka itu.
Dengan kata lain, menolak bahaya yang mungkin terjadi adalah salah satu hukum logika yang tak terbantahkan. Kuat tidaknya hukum akal ini tergantung pada kuat tidaknya ihtimâl dan muhtamalnya. Semakin besar dan berharga muhtamal, secara logis upaya untuk menghindarinya akan makin besar dan menguat pula.
Dalam konteks agama, bahaya yang mungkin terjadi akibat tidak diterimanya agama itu adalah kesengsaraan abadi. Bahaya muhtamal ini sangat besar dan menakutkan sekali, kendati kemungkinan benarnya kecil sekalipun. Akan tetapi, pengaruh hukum akal untuk menolak bahaya tetap menjadi pertimbangan yang layak diperhatikan.
Di samping cinta diri sendiri atau insting mencari keuntungan dan manfaat serta lari dari kesengsaraan yang telah kami sebutkan sebagai pendorong manusia untuk meneliti sebuah agama, ada satu faktor lagi yang mendorong manusia untuk mengecek hal ini. Faktor tersebut adalah fitrah manusia. Secara fitri, manusia cinta untuk mengetahui kebenaran, memahami realitas, dan suka mencari kebenaran. Rasa ingin tahu ini sudah terpatri dalam diri manusia. Rasa inilah yang mendorong manusia untuk mencari tahu benar tidaknya sebuah agama.
Apakah alam ini memiliki Tuhan? Siapa Ia? Apa ciri-ciri dan sifat-Nya? Bagaimana hubungannya dengan manusia? Apakah badan manusia yang material memiliki sesuatu yang lain yang non-material? Apakah ada kehidupan lagi setelah dunia? Dan kalau memang demikian, bagaimana hubunganya dengan kehidupan yang sekarang? Pertanyaan-pertanyaan ini, dan setumpuk pertanyaan lainnya membuat rasa ingin tahu manusia (fudhûli) mulai terusik, dan hal ini berkecamuk dalam dirinya, yang tak akan pernah reda sampai ia menemukan jawaban yang memuaskan. Nah, bagian Akidah dari ajaran agama, senantiasa siap menjawab dengan tuntas pertayaan di atas tadi.
Ringkasan
# Setiap insan berakal sehat selalu menganggap penelitian tentang kebenaran sebuah agama itu sebagai sebuah kewajiban. Karena, pertama, secara subsantial manusia menyukai kebahagiaan dan kesempurnaan diri. Kedua, para pengklaim kenabian mengatakan, kebahagian dan kesengsaraan abadi tergantung pada diterima tidaknya ajaran mereka. Ketiga, klaim ini bisa jadi benar. Dan keempat, besar dan berharganya muhtamal menutupi dan menguatkan lemahnya ihtimâl (kemungkinan). Dengan memperhatikan empat mukadimah tadi, akal menghukumi perlu dan lazim meneliti benar tidaknya klaim mereka, karena jika tidak, selain kebahagiaan abadi akan lenyap dari gengamannya, kesengsaraan abadi akan siap menyambutnya.
# Selain insting cinta manfaat (keuntungan) dan rasa ingin lepas dari bahaya, ada faktor lain yang melazimkan manusia untuk meneliti kebenaran sebuah agama. Hal itu adalah kecenderungan fitri yang timbul dari dalam jiwa manusia yang berupa cinta akan pengetahuan kebenaran dan hakikat, atau rasa ingin tahu.
Penantian Manusia Dari Agama
Dalam pembahasan terdahulu telah dibahas mengenai kelaziman meneliti agama yang bersumber dari akal sehat setiap manusia. Sekarang masing-masing kita tanyakan pada diri masing-masing, pada dasarnya apa yang dibutuhkan dan dicari oleh manusia dalam agama? Apakah yang dijanjikan atau yang bisa diberikan agama kepada kita? Atau dengan kata lain, apa yang dapat kita nanti dari agama?
Jawaban global dari pertayaan ini adalah manusia – dengan bimbingan agama – ingin sampai kepada kebahagiaan dan kesempurnaannya di dunia dan akhirat. Penantian ini terbilang besar sekali. Selain agama, siapapun dan apapun tidak akan sanggup untuk menjawab dan menggantikan tempatnya.
Hanya saja, di samping kebutuhan pokok ini, ada penantian-penantian parsial lain pula yang juga diharapkan oleh manusia, seperti:
1.Agama bisa diargumentasikan. Yakni, secara logis bisa dibela, karena unsur-unsur dan ajarannya bisa diterima oleh akal sehat.
2. Agama memberikan makna dalam kehidupan. Yakni, manusia terjaga dari keputus-asaan, dan menghilangkan asumsi tak bermaknannya kehidupan.
3. Agama merupakan pemberi harapan.
4. Agama diharapkan bisa meluhurkan segala tindakan dalam masyarakat sosial.
5. Agama mengajarkan rasa tanggung jawab kepada manusia. Faktor terpenting dan terpokok dari kelima penantian (baca : manfaat) tadi adalah faktor pertama dan kedua.
Penantian pertama adalah logisnya pokok-pokok Akidah sebuah agama membuat orang lebih mudah untuk menerimanya. Dan sanggup mengusir kerancuan dan kesamaran.
Untuk menjelaskan penantian yang kedua kita bisa katakan, kehidupan dunia selalu dipenuhi kesulitan, ketersiksaan, dan lain sebagainya. Kita kerap kali berada dalam kondisi yang tidak kita harapkan sama sekali. Sebagian ketersiksaan dan kesulitan tadi, bisa hilang dengan kemajuan teknologi dan sarana-sarana lain. Namun mayoritas kesulitan dan kesengsaraan itu tidak bisa disembuhkan dan dihilangkan melalui kemajuan teknologi dan sarana materiil lainnya. Manusia pun dengan kemampuan yang ada tidak akan mampu untuk menghadapinya.
Sebagai contoh, manusia selalu mencari tahu segala sesuatu yang kabur di hadapannya, dan ketika tidak mampu menyingkap tabir tersebut, ia akan merasa tersiksa.
Manusia selalu mencari yang terbaik, tak mau salah dan disalahkan, dan ketika hal itu tidak kesampaian, lagi-lagi ia akan terluka dan merasa tersiksa.
Manusia cinta keabadian. Ketika menyadari kehidupan manisnya harus diakhiri dengan kematian, iapun akan mengalami ketakutan yang luar biasa.
Manusia ingin selalu sampai pada puncak segala sesuatu. Ketika kekurangan dan keterbatasan menghimpitnya, untuk kesekian kalinya ia akan tersiksa.
Manusia yang cacat dari sejak lahir dan melihat dirinya tidak sama dengan manusia normal lainnya; ia tidak bisa mendapatkan fasilitas yang lebih atau setidaknya bisa didapatkan jika ia normal. Dengan kondisi ini ia akan patah semangat dan berputus asa.
Hanya agamalah yang sanggup mengobati luka-luka dan rasa sakit tersebut dan memberikan arti pada kehidupan mereka, dan sanggup meringankan beban yang mereka pikul.
Jika manusia tahu alam memiliki Pencipta bijak, pemurah, tak kikir pada hambanya, dan memandang sama pada mereka, tidak ada standar kemuliaan dan keutamaan kecuali takwa dan pendekatan diri padanya, Sang Maha Adil, sedikitpun ia tidak pernah menzalimi hamba-Nya, dan mampu merubah segala kesulitan dan kesengsaraan dalam sekejap menjadi kebahagian, niscaya rasa sakit ini akan menjadi manis terasa, seperti rasa sakit yang diderita para pencinta untuk sampai dan bertemu kekasihnya. Rasa sakit inilah yang dirasakan oleh para arif kita yang tidak mau ia obati kendati banyak tawaran yang datang untuk mengobatinya.
Maka ketahuilah hakikat ini, wahai pencari hakikat. Barangsiapa memiliki jiwa semacam ini, maka ia adalah sang pemenang.[9]
Ringkasan
# Penantian utama manusia dari agama adalah untuk menyampaikannya kepada kesempurnaan dan kebahagian abadi, baik di dunia maupun di akhirat.
# Selain kebutuhan utama ini, ada kebutuhan lain yang dinanti oleh manusia dari agama. Antara lain:
1.Agama layak diargumentasikan dan dibuktikan.
2. Agama pemberi arti dalam kehidupan.
3. Agama merupakan pemberi motifasi dan harapan.
4. Agama mampu meluhurkan tujuan-tujuan sosial masyarakat.
5. Agama mengajarkan kepada manusia cara bertanggung-jawab.
# Kehidupan manusia banyak dipenuhi oleh rasa keputus-asaan dan kesengsaraan. Sebagaian kesulitan dan keputus-asaan itu terkadang bisa dihilangkan dengan kemajuan teknologi dan pelbagai fasilitas mutakhir lain. Namun, tidak sedikit dari problema-problema itu yang tidak bisa disembuhkan oleh fasilitas tadi atau yang lain, seperti kesalah-pahaman, terjerumus dalam kekhilafan dan kesalahan dalam melangkah dan bersikap, banyangan kematian, kekurangan, keterbatasan, dan lain-lain.
# Jika manusia memahami bahwa Pencipta alam ini Maha bijak, pemurah, dan selain takwa tiada standar keutamaan dan kemuliaan lain baginya, Maha Adil, ia tidak akan pernah berbuat zalim sedikit pun pada hamba-Nya, dan bisa merubah segala kesulitan dan kesengsaraan sekejap menjadi ketulusan, niscaya ia akan terjauh dari keputus-asaan dalam hidup dan kehidupan. Ini merupakan maksud dari ungkapan bahwa agama adalah pemberi makna dalam kehidupan manusia.
Penantian Agama Dari Manusia
Telah jelas, bahwa agama sebagai sebuah kumpulan Akidah (keyakinan) dan seperangkat tuntunan praktis bukanlah sebuah fenomena yang mampu berkoar demi menanti sesuatu dari manusia atau yang lain. Akan tetapi, maksud dari judul di atas adalah penantian syar’î dan Pencipta agama atau yang kita sebut sebagai Tuhan dari manusia.
Ringkasnya, penantian agama (Tuhan) dari manusia adalah supaya mereka menerima keyakinan-keyakinan agama tersebut, menyakini-Nya dengan keyakinan yang kokoh serta mengamalkan segala tuntunan praktis. Hendaknya luar dalam manusia berhias dengan agama, dan menyingkirkan kehinaan dan menggantinya dengan keutamaan
Tanpa diragukan juga, semua itu akan kembali kepada manusia sendiri. Artinya, jika kita katakan agama menanti dari manuisa, bukan berarti agama menginginkan sebagaian dari kehidupan mereka dicurahkan kepadanya dan akan menambah sesuatu dalam agama. Akan tetapi, terealisasinya semua itu tidak bermanfaat sama sekali kecuali untuk manusia sendiri. Dengan kata lain, agama menanti dari manusia supaya mereka sampai kepada kebahagian dan kesempurnaan serta dapat menikmati anugerah tertinggi dan terbaik dari Tuhan. “Katakanlah tidaklah aku meminta upah dari kalian kecuali hal itu kembali kepda kalian sendiri”.[10]
Ringkasan
# Maksud dari penantian agama dari manusia adalah penantian sang Pencipta agama.
# Penantian Pencipta agama dari manusia adalah supaya agamanya diterima, diyakini, dan dipraktekan, serta segala ajaran dan tuntunan yang iajarkan dalam agama diterapkan dalam kehidupan.
# Pada dasarnya, Pencipta agama menginginkan manusia bisa sampai kepada kesempurnaan dan bisa menggapai anugerah-Nya yang tertinggi.
Faktor Kecendrungan Beragama
Agama adalah sebuah realitas yang muncul seiring dengan sejarah manusia. Hal ini juga ditandaskan oleh para penentangnya, mereka yang tak mampu mengelak dan lari dari keyataan ini. Masalah keyakinan terhadap keberadan Tuhan sebagai kausa prima, dalam setiap waktu dan tempat, dan dalam kondisi masyarakat yang berbeda-beda, dari sudut pandang budaya dan pradaban telah diyakini dengan bentuk yang berbeda-beda pula.
Fakta inipun tak bisa terbantahkan. Kalau setiap orang atau golongan yang mengakui invaliditas agama, dan menganggap semua ajaran dan tuntunan agama adalah palsu dan gombal semata, selalu berusaha seoptimal mungkin untuk mengurangi kecenderungan masyarakat terhadap agama. Sesungguhnya orang yang tidak menyakini bahwa alam ini mempunyai Pencipta yang disebut Tuhan, animo masyarakat yang begitu besar terhadap keyakinan beragama dan penyembahan terhadap Tuhan akan menjadi sebuah fenomena yang menyakitkan buat mereka yang dengan berbagai cara mereka justifikasikan dan takwilkan.
Teori-teori dalam hal ini telah bermunculan. Sebagaian darinya begitu lemah kebenaranya sehingga membuat setiap orang tertawa dan prihatin. Di sini akan kami paparkan sebagaian dari teori-teori tersebut.
a. Teori Ketakutan
Freud[11] memiliki persepsi bahwa ketakutan adalah faktor keyakinan terhadap Tuhan bagi setiap agamawan. Namun, Freud bukanlah orang pertama yang mencetuskan teori ini. Ada orang lain yang lebih dulu menyakininya.[12]
Secara ringkas, teori ini ingin berasumsi bahwa ketakutan akan fenomena-fenomena natural (alam), seperti banjir, topan, gempa bumi, rasa sakit dan kematian, membuat manusia ketakutan yang pada gilirannya, mereka meyakini ada sumber tunggal yang sengaja memunculkan fenomena-fenomena tersebut yang mereka sebut Tuhan. Menurut pendapat Freud, Tuhan adalah hamba manusia, bukan sebaliknya. Pada dasarnya, munculnya keyakinan beragama dalam setiap benak manusia adalah harapan terjaganya mereka dari bahaya fenomena-fenomena alam di atas. Untuk lari dari bahaya tersebut, manusia purba mulai menyakini sebuah eksistensi pemilik kemampuan dan kekuatan dalam mengatur alam dengan mempersembahkan binatang korban, do’a, ibadah, dan amalan-amalan, seperti cinta, dan kasih sayang, dan lain sebagainya.
b. Teori Kebodohan
Will Durant dan Bertrand Russel adalah dua dari sekian banyak teolog yang menyakini teori ini. Mereka memiliki asumsi bahwa faktor munculnya kecenderungan beragama adalah kebodohan dan ketidaktahuan manusia. Manusia purba ketika ia tidak mampu memahami sebab terjadinya fenomena-fenomena natural, seperti gerhana matahari dan bulan, ia langsung meyakini suatu wujud yang menyebabkan semua hal di atas. Mereka menamakannya Tuhan. Dan tidak hanya fenomena alam saja, semua hal yang tidak diketahui sebabnya mereka kembalikan kepada Tuhan. Untuk membuat Tuhan tidak murka dan supaya selamat dari dari fenomena-fenomena langit dan bumi tadi, mereka mulai mengadakan ritual-ritual yang dapat menyejukkan hati Tuhan, seperti tunduk dan beribadah di hadapan-Nya.
Kritikan Terhadap Dua Teori Di Atas
Untuk mengkritik dua teori di atas perlu kita bawakan pendahuluan berikut ini:
# Kedua teori di atas hanya sekedar asumsi (fardhiyah yang sampai sekarang belum terbukti kebenarannya) dan kemungkinan saja, tidak lebih. Lebih dari itu, keduanya tidak memiliki argumentasi dan pijakan historis yang dapat dijadikan sandaran.
# Kita asumsikan teori di atas benar dan mayoritas atau sebagian dari manusia karena rasa takut dan ketidaktahuan menyakini sebuah wujud yang mereka namakan Tuhan yang pada akhirnya mereka sembah. Namun, kendati demikian, hal ini tidak mengkonsekuensikan ketiadaan Tuhan itu sendiri, yang membuat semua agama batil dan invalid. Dengan kata lain, kita terima rasa takut dan bodoh sebagai sumber kecenderungan beragama, dan itu merupakan sebuah kesalahan, namun ketidakbenaran ini bukan berarti penafian wujud Tuhan dan kebenaran agama.
Sebuah contoh, pelbagai inovasi dan kreasi baru, kebanyakan timbul bertujuan sebagai sarana mencari popularitas, meraup kekayaan dan tergiur oleh posisi mapan dalam pandangan masyarakat sosial. Faktor-faktor ini tidak benar dan tidak luhur sama sekali. Akan tetapi, ketidakbenaran tujuan-tujuan tadi bukanlah indikator kesalahan dan kebatilan inovasi ilmiah tersebut.
Ringkasnya, kedua teori ini telah mencampur-adukan antara sesuatu yang memotifasi manusia pada sebuah tujuan (anggîzeh), dengan sesuatu yang kepadanya manusia bergerak atau apa yang akan didapatkan manusia,[13] dan menjadikan invaliditas satu sebagai indikator invaliditas lainnya.
# Ada bukti-bukti lain yang mengindikasikan invaliditas dua teori di atas. Untuk teori pertama kita dapat menyangkalnya dengan hal-hal berikut ini:
1. Sejarah telah mencatat bahwa para pembawa misi dan duta-duta Tuhan itu selalu menjadi person-person paling berani di zamannya. Mereka selau berdiri tegak walaupun bahaya mengancam.
2. Kita dapati bahwa hanya manusia kerdil nan penakut yang sama sekali tidak meyakini keberadaan Tuhan.
3. Jika akar keyakinan terhadap Tuhan adalah rasa takut akan fenomena-fenomena natural, lalu bagimana dengan masa sekarang ini yang mayoritas manusia memahami fenomena-fenomena tadi? Seharusnya keyakinan beragama sudah lenyap dan sirna, atau paling tidak, sudah pudar. Sedangkan fakta dan realita di luar tidaklah demikian. Malah bisa dibilang, keyakinan terhadap Tuhan merupakan wacana terpopuler dan paling digandrungi oleh manusia saat ini.
Bukti-bukti yang menguatkan invaliditas teori kedua pun (teori kebodohan) tidak kalah banyaknya. Cukuplah kita sebutkan satu saja di sini.
Sejarah telah mencatat bahwa para penganut agama bukanlah segerombolan orang-orang buta huruf dan tak berpengetahuan. Akan tetapi, penganut agama terdiri dari berbagai lapisan, yang salah satu dari lapisan tersebut adalah cendekiawan, ilmuwan, dan pakar-pakar kaliber di berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti Einstain, Newton, Galileo, dan sederet nama tenar lainnya. Mereka adalah para ilmuwan tersohor yang secara tulus meyakini keberadan Tuhan.
# Menurut kita, ada dua faktor kecenderungan beragama: pertama, setiap maujud pasti ada yang mewujudkan. Setiap sesuatu yang mungkin ada dan mungkin tidak, mustahil bisa ada dengan sendirinya. Kedua, panggilan jiwa manusia untuk ber-Tuhan, suara dan bisikan ini sudah terformat dalam setiap hati manusia di sepanjang sejarah. Sebagaimana naluri ingin tahu dan cinta keindahan sudah tersedia di dalam setiap person manusia tanpa dicari. Begitu juga dengan naluri ber-Tuhan dan menghamba kepada-Nya sudah ada pada setiap manusia. Hal ini merupakan fitrah Ilahiah yang mendorong dan memicu mereka untuk meyakini keberadaan Tuhan.
Poin-poin penting
a. Dengan mencermati secara seksama teori-teori yang telah kita paparkan dan kita kritik tadi, kita bisa memahami bahwa fanatisme yang amat kental dari para pemilik pendapat ini telah membutakan mata hati (fitrah; bisikan pemanggil Tuhan) dan logika mereka.
b. Para pencetus teori di atas sudah dari awal mengasumsikan tidak ada motif logis dan rasional bagi timbulnya kecenderungan beragama sehingga ujung-ujungnya mereka terpaksa ngelantur dan menganggap faktor psikologis tertentu sebagai sebab munculnya kecenderungan beragama. Mereka tidak jauh berbeda dengan orang-orang pra-sejarah yang menyebut setiap kejadian-kejadian alam yang tak diketahui sebabnya sebagai hasil dari sihir. Kalau mereka mau jujur dan sedikit berpikir logis dan rasional, teori ini tidak akan mungkin akan terlintas dalam benak mereka.
Ringkasan
# Sejarah agama seiring dengan munculnya sejarah manusia.
# Para penentang keberadaan Tuhan senantiasa berupaya memanipulasi dan menjustifikasi keyakinan manusia sepanjang sejarah sehingga sesuai dengan Atheisme yang mereka yakini.
# Sekelompok orang berkeyakinan bahwa rasa takut akan fenomena-fenomena yang menakutkan, menjadi pendorong bagi manusia bersepakat untuk menciptakan sebuah sebab tunggal, yang mereka namakan Tuhan. Faktor munculnya keyakinan beragama dalam setiap benak manusia adalah harapan untuk lolos dari mara bahaya.
# Para pemilik teori kebodohan meyakini bahwa faktor keyakinan orang-orang terdahulu kepada Tuhan adalah ketidaktahuan mereka terhadap sebab-sebab fenomena alam yang terjadi, seperti gerhana matahari dan bulan. Menurut mereka, Tuhanlah yang menjadi sebab bagi setiap kejaian yang tak mereka ketahui sebabnya itu.
# Kedua teori di atas masih berupa asumsi dan anggapan saja.
# Dengan mengasumsikan kebenaran dua teori tadi, tetap tidak menjelaskan faktor manusia dalam beragama dan keyakinan terhadap Tuhan. Dan ketidakbenaran faktor ini, sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk menafikan keberadaan Tuhan, karena benar tidaknya faktor setiap tindakan dan benar tidaknya tindakan itu sendiri adalah dua permasalahan tersendiri.
# Teori ketakutan tidak benar karena; 1. Para duta Tuhan adalah orang-orang paling berani di zamanya. 2. Orang-orang penakut pun banyak berkeliaran yang tak memiliki keyakinan kepada Tuhan. 3. Di zaman sekarang, fenomena menakutkan yang tak dipahami sebabnya telah berkurang sampai batas tertentu, tapi keyakinan terhadap Tuhan masih tetap ada dan tak berkurang sedikit pun.
# Teori kebodohan pun juga tidak kalah krusialnya, karena sebagian dari para ilmuwan dan pakar ilmu pengetahuan adalah orang yang beriman secara tulus kepada Tuhan.
# Teori valid akan munculnya keyakinan pada Tuhan ada dua: pertama, akal sehat manusia menghukumi setiap makhluk butuh pada khalik, dan kedua, fitrah manusia.
Faktor-faktor Ditertawakannya Agama Di Barat[14]
Pada abad ke-18 dan seterusnya, masyarakat Eropa mulai berbondong-bondong manganut faham Atheisme. Atau kurang lebih bisa dibilang, tendensi terhadap agama mulai berkurang. Munculnya Atheisme dan keengganan beragama di dunia belahan Barat ini, disebabkan setumpuk alasan, yang dalam buku ini, kita hanya mau membawakan alasan dan faktor-faktor terpentingnya saja.
1. Ajaran Kristen Yang Tak Komprehensif
Penjelasan dogmatis agama yang terdapat di Barat dan didominasi oleh Dewan Gereja, sangatlah lemah dan tidak logis sama sekali. Setiap akal sehat tidak bisa menerima dan menelan mentah-mentah setiap ajaran yang ada. Syarat pertama yang harus terpenuhi adalah ajaran tersebut hendaknya tidak bertentangan dengan akal sehat.
Sebagai contoh, Gereja mengilustrasikan Tuhan bak manusia; mereka memperkenalkan pada khalayak Tuhan yang bersosok, bertangan, dan berkaki, mempunyai mata dan telinga, sama persis dengan yang dimiliki manusia. Hanya bedanya, – menurut mereka – milik Tuhan lebih besar dari pada milik manusia.
Jika mulai dari masa kanak-kanak mereka telah mendoktrinkan Tuhan semacam ini, ketika menginjak dewasa dan sang anak memahami bahwa Tuhan semacam ini tidak layak dikatakan Tuhan, maka bukan hanya si anak tak mau membenarkan dan mempercayai doktrin tersebut di atas. Lebih parah lagi, ia akan mengingkari keberadaan Tuhan itu sendiri.
Dalam kitab Tuhan dalam Natural, Palamariyun mengatakan, “Dewan Gereja menegaskan, jarak mata kanan Tuhan dengan mata kirinya sekitar 6 ribu Farsakh.”
2. Kekerasan (Baca : Kekejian) Gereja
Dalam menyampaikan ajaran-ajaran dan tuntunan agama, mereka memaksa mayarakat untuk menerimanya. Gereja tidak segan-segan bertindak ‘bodoh’ dan kejam, bahkan mereka bersikeras mendoktrinkan pelbagai kajian dan konsep invalid dalam kaca mata sains sekalipun. Sebagai contoh, mereka meyakini matahari berputar mengitari bumi yang statis. Keyakinan semacam ini yang jelas kontradiktif dengan hasil kajian dan riset ilmiah, menjadikan manusia lari dan menghujat ajaran dan tuntunan agama (Kristen).
Gereja pada abad-abad pertengahan memiliki sebuah lembaga pengadilan yang bernama Angizisition atau pengecekan Akidah. Lembaga ini segaja didirikan untuk menindak para penentang kebijakan gereja.
Will Durant dalam mengomentari kekerasan Dewan Peradilan ini menulis, ”Gereja memiliki cara khusus untuk menyiksa orang yang tertuduh menodai dan menentang ajarannya. Cara mereka dari waktu ke waktu berbeda antara satu dan yang lain. Terkadang terdakwa digantung dalam kondisi tangan terikat ke belakang, terkadang diikat sampai tak bisa bergerak, kemudian mereka teteskan air ke dalam tenggorokannya sampai mati, terkadang pula lengan dan betis mereka diikat dengan kuat, sehingga tali-tali itu menembus daging, dan tak jarang pula tulang-tulang itu patah”.[15]
Durant juga mengatakan, ”Jumlah korban kekejian gereja pada tahun 1480-1488 (dalam kurun waktu 8 tahun), mencapai 8.800 jiwa dibakar, 96.494 dikenai hukuman berat. Sedang dari tahun 1480 hingga 1808, sekitar 31.912 jiwa dibakar dan 291.450 dikenai hukuman berat”.[16]
Melihat kekejian yang mereka terima dari pemimpin agama yang semacam ini, sedikit demi sedikit masyarakat Barat mengingkari pemilik agama itu sendiri, dan itu adalah Tuhan.
3. Konsep Filosofis Yang Tak Konprehensif.
Untuk menjelaskan yang satu ini, dibutuhkan penjelasan beberapa poin filosofis yang tidak sesuai dengan kapasitas kitab sekecil ini. Oleh karena itu, kami hanya akan mengemukakan kelemahan sikap para agamawan Barat (kaum Kristiani) secara rasional dalam menjawab kritkan-kritikan yang mengarah kepada konsep ke-Tuhanan dan Kalâm mereka.
Untuk itu, kami akan menukilkan ungkapan yang ditulis oleh Bertrand Russel[17] dalam bukunya “Kenapa Kita bukan Kristiani?”. Russel adalah seorang peragu keberadaan Tuhan (skeptis). Namun, secara praktis ia seorang Atheis. Ia menuturkan, ”Argumen kausa prima untuk membuktikan keberadaan Tuhan mengatakan, semua yang kita lihat di dunia pasti memiliki sebab, dan jika mata rantai ini kita kita teruskan, ujung-ujungnya akan berakhir pada sebuah sebab awal yang sering disebut sebagai sebab dari segala sebab, yang dikenal oleh kalangan agamawan sebagai Tuhan”.
Russel mengkritik argumentasi ini dengan perkataaannya, “Pada masa remaja, aku tidak merenungkan permasalahan ini dengan baik dan selama kurun waktu yang panjang argumentasi kausa prima ini saya terima. Sampai suatu saat usiaku menginjak 18 tahun. Aku baca biografi kehidupan John Stwart. Aku temukan sebuah kalimat yang berbunyi ”ayahku bilang, pertanyaan siapa yang menciptakanku? tidak memiliki jawaban, karena spontanitas jawabannya akan disusul dengan pertanyaan baru, siapa yang menciptakan Tuhan itu sendiri?” Kalimat simpel ini ternyata menyingkap kebohongan argumentasi kausa prima bagiku, yang sampai saat ini kebohongan ini tetap kuyakini. Jika sesuatu eksis tanpa sebab, maka ia bisa jadi Tuhan dan alam sekaligus. Maka dari sinilah tampak kesalahan argumen kausa prima itu”.[18]
Siapapun yang sedikit mengenal filsafat Islam, niscaya ia akan menemukan kelemahan dan kesalahan kritikan Russel itu. Menurut asumsinya, hukum kausalitas mencakup semua wujud, termasuk Tuhan. Sedangkan yang benar adalah hanya maujud mungkin yang bisa ada dan yang membutuhkan pada sebab. Dengan demikian, sudah dari awal Tuhan keluar dari kaedah di atas, karena Ia adalah Wâjibul wujûd. Sebagai contoh, setiap orang lalim selalu berkata bohong. Premis ini sudah dari awal tidak mencakup orang adil.
Untuk penjelasan lebih lanjut diperlukan pembahasan filosofis dan hal ini tidak sesuai dengan kapasitas buku ini.
4. Konsep Sosial Politik Yang Tak Konprehensif
Sudah menjadi rahasia umum di Barat bahwa kepemimpinan agama dalam sebuah masyarakat akan mengancam kebebasan personal dan munculnya diktatoris dan pemerintahan monopolis oleh segelintir orang yang mengklaim sebagai duta-duta Tuhan. Masyarakat berasumsi, jika mereka menerima Tuhan, berarti secara otomatis ia harus menerima diktatoris absolut, di mana person tidak memiliki hak sama sekali pada pemimpin, dan para penguasa tidak memiliki tanggung jawab dan kewajiban sama sekali di hadapan masyarakat. Dengan demikian, menerima Tuhan berarti menerima kematian sistem sosial, dan jika masyarakat ingin menikmati kebebasan sosial, mereka harus meninggalkan atribut yang berkenaan dengan ke-Tuhanan dan agama. Akhirnya, mereka lebih mengutamakan kebebasan dari pada memilih percaya pada Tuhan.
Dalam Islam sebagai satu-satunya agama yang belum terjamah tangan-tangan kotor para pembohong, setiap dari pemimpinnya menegaskan bahwa jika mereka memiliki hak atas masyarakat, maka manusia pun memiliki hak pula atas mereka. Sebagai contoh, kita bawakan sabda Amirul Mukminin dalam Nahjul Balâghahnya. Beliau berkata, “Allah SWT dengan pemerintahan yang ia berikan, telah meletakkan hak bagiku atas kalian, dan begitu pula kalian juga memiliki hak atas ku. Hak selalu dua sisi, tidak ada orang yang berhak atas yang lain kecuali ia punya kewajiban atas yang lain pula. Tidak ada orang yang memiliki hak atas orang lain dan orang lain tidak memiliki hak atasnya. Jika ada, ia hanyalah Tuhan semata. Makhluk-Nya tidak memiliki keistimewaan seperti itu, karena Ia memiliki kekuatan dan kekuasaan atas para hamba-Nya, dan Ia Maha Adil yang sama sekali tidak menzalimi hamba-hamba-Nya”.[19]
Dalam undang-undang dasar Republik Islam Iran – yang merupakan refleksi dari Al–Qur’an dan hadis –, kebebasan masyarakat dan hak bicara serta protes terhadap pemerintah tetap terjaga. Mereka memilih wakil-wakil untuk memimpin dan menjalankan roda pemerintahan. Pada pasal ke-6 UUD tersebut disebutkan:
”Dalam Republik Islam Iran pengaturan negara diatur berdasarkan pendapat mayoritas dan umum melalui proses pemilihan; pemilihan persiden, MPR Islami, anggota Syura, dan yang lainnya, atau melalui penjajakan umum dalam kasus yang telah ditentukan oleh undang-undang”.
Dalam Pasal ke-19 dan 20 disebutkan, ”Masyarakat Iran adalah sama dari segi hak-hak dari kaum dan kalangan apa saja ia. Hal-hal seperti warna kulit, keturunan, bahasa dan yang lainnya bukanlah tolok ukur keistimewaan. Semua warga, baik laki-laki maupun wanita, dilindungi oleh undang-undang, dan akan mendapatkan perlakuan yang sama di bidang hak asasi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya dengan tetap menjaga kode etik Islam”.
5. Penjelasan Dari Non Spesialis
Kendati dasar ber-Tuhan sangatlah simpel dan semua orang merasa punya tugas untuk itu dilihat dari sudut pandang fitrah, akan tetapi, pendalaman dan penyelaman mengenalnya merupakan permasalahan yang amat pelik. Pembahasan tentang sifat-sifat Allah, Asma`-Nya, Qadhâ’ dan Qadar-Nya, jabr dan ikhtiâr, dan lain sebagainya – menurut ungkapkan Amirul Mukminin – adalah samudra dalam yang tidak sembarang orang mampu menyelaminya. Ironisnya, baik di Barat atau di Timur, setiap orang menganggap punya hak dan kemampuan untuk menjelaskannya. Inilah yang menyebabkan konsep-konsep agama menyebar di tengah-tengah memasyarakat dengan tidak benar. Hal yang membuat mereka ragu akan kebenaran agama. Syahid Muthahari berkata, “Seseorang dalam menjawab pertayaan kenapa Tuhan memberikan sayap pada burung merpati dan tidak pada unta? berkata, jika unta memiliki sayap, maka kehidupan kita akan hancur, karena unta terbang itu akan menghancurkan rumah, dan segalanya. Kemudian yang lain pun ditanya apa argumen keberadaan Tuhan?, ia berkata, selagi tak ada, tidak perlu kita ekspos ke khalayak”.[20]
Memang benar, lemahnya sebuah argumentasi bukan berarti menunjukkan invaliditas sebuah dakwaan dan klaim. Namun, dari sisi kejiwaan, setiap argumentasi lemah yang dibawa untuk menetapkan sebuah dakwaan, lama-kelamaan pendengar akan meragukan kebenaran dakwaan itu. Bahkan lebih dari itu, sangat besar kemungkinannya ia akan mengingkarinya sama sekali.
Dengan demikian, pembelaan yang tidak kokoh dan mantap tentang masalah keyakinan beragama dari mereka yang tidak memililki spesialisasi tentang itu merupakan salah satu faktor kecenderungan Atheisme.
6. Persepsi Kontradiksi Antara Agama Dan Kebahagiaan Duniawi
Manusia memiliki sebuah keinginan dan insting sebagai anugerah Tuhan untuk menata dan mendorong manusia ke arah kesempurnan-Nya, seperti kecenderungan seksual, memiliki keturunan (berevolusi), mencari ilmu dan pengetahuan, serta kecenderungan kepada kecantikan dan keindahan.
Sekalipun manusia dilarang untuk mengikuti secara mutlak kecenderungan-kecenderungan di atas, namun hal ini tidak berarti kecenderungn-kecenderungan tadi dilepas dan tak terlampiaskan atau ditolak secara frontal. Naluri tadi harus dipupuk, diarahkan, dan dilampiaskan secara proporsional dan berimbang serta dengan jalan yang telah dibenarkan.
Nah, kalau dengan nama Tuhan dan agama semua insting itu dinafikan sama sekali, seperti proses pembaptisan, pasturisasi, penyucian, perkawinan dianggap dosa, kebodohan, dan kemiskinan dianggap sebagai penyebab keselamatan, serta pengetahuan dan kekayaan dianggap penyebab kesesatan, maka secara alami orang-orang yang selalu dibawah kontrol hal-hal di atas, satu demi satu akan mengingkari keberadaan Tuhan dan agama. Realitas inilah yang menimpa masyarakat Barat, dan sebagian masyarakat muslim dalam skala kecil.
Russel mengatakan, “Ajaran gereja telah menempatkan manusia dalam dua dilema, kesengsaraan dan kepapaan; kesengsaraan dunia dan pelarangan atas kenikmatannya, atau kesengsaraan dan pelarangan dari nikmat-nikmat akhirat. Menurut gereja, manusia harus menerima salah satu dari kesengsaraan di atas; bisa jadi ia melepas kesengsaraan dunia untuk kebahagian akhirat, atau kalau ingin menikmati kenikmatan dunia, ia harus rela melepas kenikmatan akhirat”.[21]
Opini ini jelas salah dan invalid. Agama valid harus bisa menjamin kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Barangsiapa melarikan diri dari agama, ia akan tersiksa selamanya, baik di dunia maupun di akhirat. Pertanyaan semisal kenapa Tuhan menyuruh kita untuk memilih satu dari dua pilihan?, apakah Tuhan itu kikir? dan pertanyaan yang lain, akan selalu terlintas dalam benak pikiran manusia normal. Pada realitanya, ajaran-ajaran agama senantiasa memelihara dan menjamin kebahagiaan manusia.
Syahid Mutahhari mengatakan, “Ajaran-ajaran sesat dan menyimpang yang disampaikan para muballigh dan da’i-da’i, membuat manusia enggan beragama dan ber-Tuhan, serta akan timbul anggapan bahwa agama merupakan penyebab kesengsaraan dan kehinaan di dunia”.[22]
7. Dekadensi moral
Harus diakui, penerimaan agama serta ajarannya membatasi gerak manusia, sehingga mereka yang tenggelam dan terlena oleh buaian meterial dan menganggap agama sebagai pembatas kebebasannya dan penghalang untuk mendapatkannya, pasti akan mengingkari kebenaran agama.
Al-Qur’an menyebutkan tiada orang yang mengingkari hari kebangkitan kecuali karena disebabkan kecintaan mereka yang berlebihan terhadap dunia dan isinya, dan bukan karena ketidakpahaman mereka tentang hari yang pasti akan datang itu.
بَلْ يُرِيْدُ اْلإِنْسَانُ لِيَفْجُرَ أَمَامَهُ
“(Manusia tidak memiliki keraguan tentang akhirat), akan tetapi, ia ingin (bebas dan tanpa rasa takut akan pengadilan akhirat) berbuat maksiat terus-menerus”. (Al-Qiyâmah 5)
Di sisi lain, dosa dan dekadensi moral merupakan faktor utama terdepaknya kebenaran. Tauhîd laksana bibit yang hanya bisa tumbuh subur dan berkembang di atas lahan yang suci. Dengan demikian, lahan tandus dan kotor akan merusak bibit ini. Jika manusia dalam segala perilakunya menjadi budak nafsu, penyembah materi, secara bertahap ia akan beradaptasi dan terpengaruh dengan lingkungan yang ia geluti.[23]
Oleh karenanya, dengan Al-Qur’an Allah hanya bisa memberi petunjuk kepada pribadi-pribadi yang bertakwa[24] dan peringatan Al-Qur’an pun hanya mencakup orang-orang yang jiwa dan ruhnya tidak mati dan gersang akibat tenggelam dalam nafsu dan kenikmatan material.[25]
Dekadensi moral yang mencapai klimaksnya di Barat telah mengurangi kecenderungan spiritual masyarakat dalam dua atau tiga abad terakhir ini dan menjadi faktor utama pengingkaran terhadap keyakinan-keyakinan agama.[26]
Dengan teori dan serangan semacam inilah (teori dengan bersenjatakan perusakan moral), kaum Kristiani sanggup “mengusir” kaum Muslim dari Spanyol. Mereka mempertontonkan kerusakan moral, kebebasan seksual dan lain sebagainya di tengah-tengah masyarakat Islam.
Ringkasan
Faktor-faktor terpenting munculnya Atheisme di Barat adalah sebagai berikut:
1.Ketidaklengkapan agama Kristen. Gereja mengilustrasikan Tuhan layaknya seorang manusia. Menurut mereka, Tuhan memiliki badan sama seperti manusia, hanya saja lebih besar dari manusia. Akal sehat tidak akan mungkin mempercayai hal seperti ini.
2.Kekejian gareja. Untuk menyampaikan ajaran dan interperetasi yang dimilikinya, dan supaya semua itu diterima oleh manusia, Dewan Gereja tidak segan-segan menyiksa para penentang-penentangnya, bahkan tak jarang juga mereka mencabut nyawa mereka. Dengan demikian, tiada reaksi lain yang akan timbul dari masyarakat kecuali pengingkaran akan agama dan Tuhan itu sendiri.
3.Ketidaksempurnaan pemahaman filosofis. Ke-Tuhanan dan Kalâm di Barat tidak mampu menjelaskan keberadaan Tuhan dan berbagai keyakinan agama lainnya dengan jitu.
4.Kekuarangan mengenai pemahaman sosial dan politik. Di Barat, telah tersebar sebuah asumsi tak sehat dan tak benar. Hal itu adalah menerima sebuah agama menyebabkan hilang dan lenyapnya kebebasan personal dan sebuah bentuk penyerahan diri pada kediktatoran. Oleh karena itu, masyarakat rela melepas agama dan Tuhan demi menggapai kebebasan mereka. Padahal hal semacam ini bertolak belakang dengan pemahaman agama yang benar, seperti Islam, dimana agama merupakan hal yang paling sesuai dalam memupuk dan menjaga kebebasan itu.
5.Penjelasan dari orang yang bukan ahlinya. Di Barat, bahkan di Timur juga, setiap orang merasa mempunyai hak untuk ikut angkat bicara dalam permasalahan agama. Hal ini membuat sejumlah topik pembahasan yang tak dapat diterima oleh para pakar agama menyebar di tengah-tengah masyarakat.
6.Terciptanya kesan kalau agama tidak sesuai dengan kebahagian duniawi. Di Barat, bukan rahasia umum lagi bahwa jika seseorang meinginginkan kebahagian ukhrawi ia harus meninggalkan kebahagiaan duniawi, membujang, dibaptis, bergaul dengan kemiskinan dan hidup melarat. Padahal, dalam agama yang benar tidaklah demikian. Agama yang benar menjamin kedua kebahagian itu sekaligus.
Dekadensi moral dan praktikal. Menerima agama berarti menerima beberapa pembatasan dalam tindak-tanduk manusia. Oleh karena itu, para penyembah syahwat dan hawa nafsu akan mengingkari agama dan tuntunannya serta ingin membebaskan diri dari berbagai pembatasan tersebut. Memuncaknya dekadensi moral di Barat pada dua-tiga abad yang lalu telah mengurangi kecenderungan masyarakatnya kepada spiritual dan berakhir dengan pengingkaran akan tuntunan dan ajaran agama.
Terminologi Agama
Pengetahuan dan pemahaman arti linguistik agama yang dipakai dalam Al-Qur’an bukan tujuan utama penulisan buku ini. Yang menjadi maksud dan tujuan kita adalah arti terminologisnya.
Para pemikir Barat memiliki definisi beragam tentang agama. Di sini kami akan membawakan sebagaiannya:
# Agama adalah insting, aksi dan kondisi spiritual yang “menjangkiti” sekelompok orang tertentu dalam kesendirian mereka di hadapan Tuhan (William James adalag seorang filsuf sekaligus psikolog berkebangsaan Amerika. Ia Hidup pada tahun 1842-1910).
# Agama adalah komparasi (majmu’eh) keyakinan, aksi, ritual, dan lembaga-lembaga keagamaan, seperti hauzah ilmiah, masjid dan lain sebagainya yang dibangun oleh manusia dalam masyarakat yang berbeda-beda. (Talcott Parsons, cendekiawan Sosial Amerika. Ia hidup pada tahun 1902-1979).
# Agama adalah pengakuan terhadap sebuah fakta bahwa segala eksistensi adalah manifestasi atau perwujudan dari sebuah wujud yang tak terjangkau dan tak terdeteksi oleh akal dan ilmu kita (Herbert Spencer, filsuf dan ahli sosial dari Inggeris. Ia hidup pada tahun 1820-1903).[5]
Kendati sekelompok pemikir dan cendekiawan berasumsi bahwa pendefinisian agama merupakan usaha yang sulit, hal ini bukan berarti membatasi dan melarang kita untuk menjelaskan terlebih dahulu maksud dari sebuah kata yang ingin kita bahas secara mendalam.
Maksud agama dalam kitab ini adalah seperangkat keyakinan dan tuntunan praktis yang diklaim berasal dari langit (Tuhan) melalui perantara para para nabi dan Rasul-Nya.
Dengan demikian, agama valid (haq) adalah agama yang benar-benar berasal dari Tuhan, yang menjanjikan kebahagiaan abadi bagi setiap manusia.
Sekelompok pemikir Islam berasumsi bahwa agama merupakan kumpulan apa yang diturunkan oleh Allah SWT kepada para nabi dan nasul melalui wahyu untuk merealisasikan kesempurnaan akhir manusia.
Definisi terakhir ini skupnya sangat sempit dan lebih spesifik dari definisi pertama, dan hanya mencakup agama valid dan otentik saja.
Alhâsil, perlu diketahui bahwa keyakinan terhadap sang Pencipta merupakan elemen terpenting sebuah agama. Dengan kata lain, setiap aliran yang tidak meyakini adanya Tuhan, tidak bisa dikatakan sebagai sebuah agama. Dalam hal ini, kita bisa ambil contoh Marxisme. Aliran ini tidak bisa dikatakan sebagai sebuah agama, karena mereka tidak mempercayai keberadaan Tuhan sama sekali.
Ringkasan
# Secara linguistik, agama (dîn) bemakna ketaatan dan balasan. Kata dîn ini digunakan dalam Al-Qur’an dengan arti balasan atau perhitungan, undang-undang atau Syâri’at, dan ketaatan atau penghambaan.
# Maksud dari agama adalah sekumpulan keyakinan dan tuntunan praktis yang diklaim berasal dari Tuhan yang diturunkan kepada para utusan-Nya.
# Keyakinan terhadap eksistensi Tuhan merupakan elemen (unsur) terpenting sebuah agama. Dengan artian, setiap aliran yang tidak menyakini-Nya tidak bisa dikatakan sebagai sebuah agama.
Dimensi Ajaran Agama
Ulama Islam mengklasifikasikan ajaran dan tuntunan agama dalam tiga katagori:
Akidah
Bagian ini mencakup ajaran–ajaran mengenai arti sebenarnya sebuah eksistensi (wujud), Pencipta, awal dan akhir penciptaan. Dengan demikian, bagian ini lebih umum dari sekedar syarat lazim ke-Islaman seseorang dan membahas setiap masalah yang berkaitan dengan ciri-ciri fenomena alam.
Dari sini dapat dipahami bahwa Akidah agama lebih umum dari Ushûluddîn yang merupakan syarat lazim bagi ke-Islaman seseorang, seperti keyakinan terhadap Tuhan, kenabian, dan hari pembalasan.
Nah, ilmu Kalâm sangat erat hubunganya dengan bagian ini. Oleh karena itu, ilmu Kalâm juga disebut dengan ilmu Akidah.
Akhlak
Bagian ini menerangkan tuntunan ajaran Islam tentang etika baik dan budi pekerti, seperti takwa, adil, jujur, dan amanah, serta tips-tips penyandangan-Nya. Syahid Murtadha Muthahhari mengatakan, ”Akhlak adalah tuntunan yang berkaitan dengan hal-hal yang layak disandang oleh manusia dilihat dari budi pekerti dan kaca mata spritual.”[6] Bagian ini terdapat dalam disiplin ilmu akhlak.
Ahkâm
Bagian ketiga dari tuntunan agama ini berhubungan dengan aksi dan perbuatan (perilaku). Dengan artian, bagian terakhir ini membahas hal-hal yang lazim dan tidak lazim dilakukan oleh manusia (wajib dan haram), tindakan yang lebih baik dilakukan atau lebih baik ditinggalkan (sunnah dan makruh), serta tindakan apa yang sama sekali tidak memiliki muatan kelaziman maupun prioritas (mubah). Bagian ahkâm ini termuat dalam ilmu Fiqih.
Perlu ditambahkan di sini, semua yang dijelaskan di atas tadi berdasarkan pendapat mayoritas ulama Islam. Kenapa kita katakan demikian? Karena para orientalis juga memiliki klasifikasi lain tentang ajaran dan tuntunan agama. Mereka menambah beberapa dimensi lain yang menurut persepsi mereka merupakan dimensi ajaran Islam. Salah satu bagian tersebut adalah dongeng. Mereka berpendapat, dalam literatur dan teks-teks suci agama banyak didapati cerita suci, yang merupakan motor penggerak, dan mayoritasnya mempunyai pengaruh spiritual, seperti cerita para nabi. Hal semacam ini – menurut mereka – sering dijumpai dalam lembaran-lembaran Al-Qur’an.
Tujuan asli dari penukilan cerita-cerita tersebut tidak hanya sebagai informasi penambah pengetahuan masyarakat, namun lebih dari itu. Cerita ini diharapkan dapat mereformasi atau membenahi tatanan masyarakat sosial, dan menjadi sebuah suri teladan dan pelajaran bagi mereka (para penganutnya).
Para orientalis – dengan berlandaskan ajaran dan tuntunan agama Kristen dan Yahudi yang sudah diselewengkan – mau tidak mau harus mengatakan bahwa dongeng yang terdapat dalam kitab-kitab agama itu adalah bikinan segelintir orang, dengan tujuan utama memberi pendidikan kepada para penganutnya.
Asumsi ini sangatlah ditentang oleh Al-Qur’an, yang merupakan satu-satunya kitab orisinil yang sama sekali tidak didapatkan kesalahan dan kekurangan di dalamnya.[7]
Walaupun demikian, kita menyakini bahwa ada sebagian dari ayat-ayat Al-Qur’an yang tersaji dalam bentuk perumpamaan dan pengandain.[8] Dengan artian, Al-Qur’an terkadang memberikan perumpamaan atau pengibaratan sebuah premis logis dengan premis indrawi. Kendati demikian, sangatlah jauh perbedaan antara sekedar percontohan dan kepalsuan.
Ringkasan
# Elemen ajaran dan tuntunan agama bisa dibagi menjadi 3 bagian:
-Akidah
-Akhlak
-Hukum.
# Bagian Akidah mencakup ajaran-ajaran agama, seperti pengetahuan yang valid tentang eksisitensi (wujud), Pencipta alam, awal penciptaan, dan akhirnya. Bagian yang satu ini dibahas dalam ilmu Kalâm.
# Bagian etika meliputi tuntunan agama tentang budi pekerti yang luhur serta cara penyandangannya. Bagian ini dibahas dalam ilmu Akhlak.
# Bagian hukum pembahasan agama mencakup perbuatan wajib, sunnah, makruh, haram, dan mubah. Ilmu fiqh menjelaskan bagian yang terakhir ini.
# Selain tiga bagian tersebut di atas, para teolog Barat menambahkan beberapa bagian lagi yang mereka anggap sebagai elemen ajaran sebuah agama. Salah satu contoh bagian yang mereka klaim itu adalah dongeng-dongeng yang termaktub dalam kitab-kitab suci, yang biasanya memiliki pengaruh spiritual. Mereka mengatakan, karena tujuan utamanya adalah sebagai pelajaran bagi semua, sangat dimungkinkan dongeng-dongeng itu palsu dan bikinan saja. Muslimin tidak bisa menerima hal ini, karena Al-Qur’an yang mereka punya bukan seperti kitab Injil dan Taurat yang sudah diputar-balikkan dan dipalsukan oleh para penganutnya.
Urgensitas Pencarian Agama
Sebelum memasuki pembahasan ini, kita harus mengetahui motif dan faktor pendorong bagi manusia dalam meneliti valid atau invalidnya sebuah agama. Kenapa harus menelitinya? Lalu kenapa agama valid saja yang harus diikuti?
Jawaban semua itu adalah akal sehat manusia. Akal sehat manusialah yang menjadi motif hal tersebut. Akal sehat mengatakan lazim untuk melakukan hal tersebut. Manusia dengan akalnya harus mengecek apakah para pengklaim kenabian dan risalah itu pada kenyataannya memang demikian ataukah tidak? Dan dalam penelitianini, ia harus sampai pada titik di mana ia merasa yakin secara penuh bahwa mereka itu adalah para pembual dan pembohong atau sebaliknya. Jika kenyataannya (mereka adalah orang-orang jujur), maka ia harus melaksanakan segala konsekuensinya, yaitu menjalankan segala ajaran dan tuntunan mereka. Hal ini karena:
1. Manusia pada dasarnya selalu mencari kebahagian dan kesempurnaan diri. Hal ini muncul dari rasa cinta pada diri sendiri yang merupakan motor penggerak utama manusia dalam menjalankan aktifitas sehari-hari.
2. Ucapan pengklaim kenabian bahwa jika ada orang menerima ajaran kami dan melaksanakanya dengan sesungguhnya, maka ia akan sampai pada kebahagian abadi, dan jika tidak ia akan tersiksa selamanya.
3. Ucapan ini ada kemungkinan benarnya. Dengan kata lain, manusia tidak langsung menyakini bahwa klaim itu invalid sama sekali.
4. Muhtamal (kebahagian abadi dan kesengsaraan abadi)sangatlah berharga. Betapapun kecilnya ihtimâl(kemungkinan) benarnya klaim tersebut, akal sehat manusia menganjurkannya untuk memikirkan dan merenungkannya. Apalagi bukti-bukti dan saksi kebenarannya sangat banyak dan kuat.
Sebagaimana orang buta yang dalam perjalanannya ditegur oleh seseorang bahwa 10 langkah lagi kedepan ia akan jatuh ke dalam sebuah sumur dan jika ia melangkah terus pasti akan tercebur ke dalamnya, dan akan sengsara di sana. Jika ia menghiraukan teguran itu, pasti ia akan masuk dalam sebuah taman indah dengan segala isinya. Si buta akan mempertimbangkan kebenaran informasi orang tadi. Akal sehatnya akan mengatakan, untuk mengecek kebenarannya, aku harus mencarinya, atau paling tidak, untuk hati-hati aku akan merubah alur perjalanan.
Dari sini, ketika seseorang mengetahui sekelompok orang besar dan agung mengklaim sebagai delegasi Tuhan yang datang untuk membimbing manusia ke arah kebahagiaan abadi, dan di sisi lain ia melihat pribadi-pribadi ini tidak main-main dalam menyampaikan misi yang diembannya; segala mara bahaya dan tantangan mereka lalui, bahkan tak jarang dari mereka yang akhirnya rela mengorbankan jiwanya, maka sangatlah logis bagi setiap orang untuk mengecek dan meneliti benar tidaknya klaim mereka itu.
Dengan kata lain, menolak bahaya yang mungkin terjadi adalah salah satu hukum logika yang tak terbantahkan. Kuat tidaknya hukum akal ini tergantung pada kuat tidaknya ihtimâl dan muhtamalnya. Semakin besar dan berharga muhtamal, secara logis upaya untuk menghindarinya akan makin besar dan menguat pula.
Dalam konteks agama, bahaya yang mungkin terjadi akibat tidak diterimanya agama itu adalah kesengsaraan abadi. Bahaya muhtamal ini sangat besar dan menakutkan sekali, kendati kemungkinan benarnya kecil sekalipun. Akan tetapi, pengaruh hukum akal untuk menolak bahaya tetap menjadi pertimbangan yang layak diperhatikan.
Di samping cinta diri sendiri atau insting mencari keuntungan dan manfaat serta lari dari kesengsaraan yang telah kami sebutkan sebagai pendorong manusia untuk meneliti sebuah agama, ada satu faktor lagi yang mendorong manusia untuk mengecek hal ini. Faktor tersebut adalah fitrah manusia. Secara fitri, manusia cinta untuk mengetahui kebenaran, memahami realitas, dan suka mencari kebenaran. Rasa ingin tahu ini sudah terpatri dalam diri manusia. Rasa inilah yang mendorong manusia untuk mencari tahu benar tidaknya sebuah agama.
Apakah alam ini memiliki Tuhan? Siapa Ia? Apa ciri-ciri dan sifat-Nya? Bagaimana hubungannya dengan manusia? Apakah badan manusia yang material memiliki sesuatu yang lain yang non-material? Apakah ada kehidupan lagi setelah dunia? Dan kalau memang demikian, bagaimana hubunganya dengan kehidupan yang sekarang? Pertanyaan-pertanyaan ini, dan setumpuk pertanyaan lainnya membuat rasa ingin tahu manusia (fudhûli) mulai terusik, dan hal ini berkecamuk dalam dirinya, yang tak akan pernah reda sampai ia menemukan jawaban yang memuaskan. Nah, bagian Akidah dari ajaran agama, senantiasa siap menjawab dengan tuntas pertayaan di atas tadi.
Ringkasan
# Setiap insan berakal sehat selalu menganggap penelitian tentang kebenaran sebuah agama itu sebagai sebuah kewajiban. Karena, pertama, secara subsantial manusia menyukai kebahagiaan dan kesempurnaan diri. Kedua, para pengklaim kenabian mengatakan, kebahagian dan kesengsaraan abadi tergantung pada diterima tidaknya ajaran mereka. Ketiga, klaim ini bisa jadi benar. Dan keempat, besar dan berharganya muhtamal menutupi dan menguatkan lemahnya ihtimâl (kemungkinan). Dengan memperhatikan empat mukadimah tadi, akal menghukumi perlu dan lazim meneliti benar tidaknya klaim mereka, karena jika tidak, selain kebahagiaan abadi akan lenyap dari gengamannya, kesengsaraan abadi akan siap menyambutnya.
# Selain insting cinta manfaat (keuntungan) dan rasa ingin lepas dari bahaya, ada faktor lain yang melazimkan manusia untuk meneliti kebenaran sebuah agama. Hal itu adalah kecenderungan fitri yang timbul dari dalam jiwa manusia yang berupa cinta akan pengetahuan kebenaran dan hakikat, atau rasa ingin tahu.
Penantian Manusia Dari Agama
Dalam pembahasan terdahulu telah dibahas mengenai kelaziman meneliti agama yang bersumber dari akal sehat setiap manusia. Sekarang masing-masing kita tanyakan pada diri masing-masing, pada dasarnya apa yang dibutuhkan dan dicari oleh manusia dalam agama? Apakah yang dijanjikan atau yang bisa diberikan agama kepada kita? Atau dengan kata lain, apa yang dapat kita nanti dari agama?
Jawaban global dari pertayaan ini adalah manusia – dengan bimbingan agama – ingin sampai kepada kebahagiaan dan kesempurnaannya di dunia dan akhirat. Penantian ini terbilang besar sekali. Selain agama, siapapun dan apapun tidak akan sanggup untuk menjawab dan menggantikan tempatnya.
Hanya saja, di samping kebutuhan pokok ini, ada penantian-penantian parsial lain pula yang juga diharapkan oleh manusia, seperti:
1.Agama bisa diargumentasikan. Yakni, secara logis bisa dibela, karena unsur-unsur dan ajarannya bisa diterima oleh akal sehat.
2. Agama memberikan makna dalam kehidupan. Yakni, manusia terjaga dari keputus-asaan, dan menghilangkan asumsi tak bermaknannya kehidupan.
3. Agama merupakan pemberi harapan.
4. Agama diharapkan bisa meluhurkan segala tindakan dalam masyarakat sosial.
5. Agama mengajarkan rasa tanggung jawab kepada manusia. Faktor terpenting dan terpokok dari kelima penantian (baca : manfaat) tadi adalah faktor pertama dan kedua.
Penantian pertama adalah logisnya pokok-pokok Akidah sebuah agama membuat orang lebih mudah untuk menerimanya. Dan sanggup mengusir kerancuan dan kesamaran.
Untuk menjelaskan penantian yang kedua kita bisa katakan, kehidupan dunia selalu dipenuhi kesulitan, ketersiksaan, dan lain sebagainya. Kita kerap kali berada dalam kondisi yang tidak kita harapkan sama sekali. Sebagian ketersiksaan dan kesulitan tadi, bisa hilang dengan kemajuan teknologi dan sarana-sarana lain. Namun mayoritas kesulitan dan kesengsaraan itu tidak bisa disembuhkan dan dihilangkan melalui kemajuan teknologi dan sarana materiil lainnya. Manusia pun dengan kemampuan yang ada tidak akan mampu untuk menghadapinya.
Sebagai contoh, manusia selalu mencari tahu segala sesuatu yang kabur di hadapannya, dan ketika tidak mampu menyingkap tabir tersebut, ia akan merasa tersiksa.
Manusia selalu mencari yang terbaik, tak mau salah dan disalahkan, dan ketika hal itu tidak kesampaian, lagi-lagi ia akan terluka dan merasa tersiksa.
Manusia cinta keabadian. Ketika menyadari kehidupan manisnya harus diakhiri dengan kematian, iapun akan mengalami ketakutan yang luar biasa.
Manusia ingin selalu sampai pada puncak segala sesuatu. Ketika kekurangan dan keterbatasan menghimpitnya, untuk kesekian kalinya ia akan tersiksa.
Manusia yang cacat dari sejak lahir dan melihat dirinya tidak sama dengan manusia normal lainnya; ia tidak bisa mendapatkan fasilitas yang lebih atau setidaknya bisa didapatkan jika ia normal. Dengan kondisi ini ia akan patah semangat dan berputus asa.
Hanya agamalah yang sanggup mengobati luka-luka dan rasa sakit tersebut dan memberikan arti pada kehidupan mereka, dan sanggup meringankan beban yang mereka pikul.
Jika manusia tahu alam memiliki Pencipta bijak, pemurah, tak kikir pada hambanya, dan memandang sama pada mereka, tidak ada standar kemuliaan dan keutamaan kecuali takwa dan pendekatan diri padanya, Sang Maha Adil, sedikitpun ia tidak pernah menzalimi hamba-Nya, dan mampu merubah segala kesulitan dan kesengsaraan dalam sekejap menjadi kebahagian, niscaya rasa sakit ini akan menjadi manis terasa, seperti rasa sakit yang diderita para pencinta untuk sampai dan bertemu kekasihnya. Rasa sakit inilah yang dirasakan oleh para arif kita yang tidak mau ia obati kendati banyak tawaran yang datang untuk mengobatinya.
Maka ketahuilah hakikat ini, wahai pencari hakikat. Barangsiapa memiliki jiwa semacam ini, maka ia adalah sang pemenang.[9]
Ringkasan
# Penantian utama manusia dari agama adalah untuk menyampaikannya kepada kesempurnaan dan kebahagian abadi, baik di dunia maupun di akhirat.
# Selain kebutuhan utama ini, ada kebutuhan lain yang dinanti oleh manusia dari agama. Antara lain:
1.Agama layak diargumentasikan dan dibuktikan.
2. Agama pemberi arti dalam kehidupan.
3. Agama merupakan pemberi motifasi dan harapan.
4. Agama mampu meluhurkan tujuan-tujuan sosial masyarakat.
5. Agama mengajarkan kepada manusia cara bertanggung-jawab.
# Kehidupan manusia banyak dipenuhi oleh rasa keputus-asaan dan kesengsaraan. Sebagaian kesulitan dan keputus-asaan itu terkadang bisa dihilangkan dengan kemajuan teknologi dan pelbagai fasilitas mutakhir lain. Namun, tidak sedikit dari problema-problema itu yang tidak bisa disembuhkan oleh fasilitas tadi atau yang lain, seperti kesalah-pahaman, terjerumus dalam kekhilafan dan kesalahan dalam melangkah dan bersikap, banyangan kematian, kekurangan, keterbatasan, dan lain-lain.
# Jika manusia memahami bahwa Pencipta alam ini Maha bijak, pemurah, dan selain takwa tiada standar keutamaan dan kemuliaan lain baginya, Maha Adil, ia tidak akan pernah berbuat zalim sedikit pun pada hamba-Nya, dan bisa merubah segala kesulitan dan kesengsaraan sekejap menjadi ketulusan, niscaya ia akan terjauh dari keputus-asaan dalam hidup dan kehidupan. Ini merupakan maksud dari ungkapan bahwa agama adalah pemberi makna dalam kehidupan manusia.
Penantian Agama Dari Manusia
Telah jelas, bahwa agama sebagai sebuah kumpulan Akidah (keyakinan) dan seperangkat tuntunan praktis bukanlah sebuah fenomena yang mampu berkoar demi menanti sesuatu dari manusia atau yang lain. Akan tetapi, maksud dari judul di atas adalah penantian syar’î dan Pencipta agama atau yang kita sebut sebagai Tuhan dari manusia.
Ringkasnya, penantian agama (Tuhan) dari manusia adalah supaya mereka menerima keyakinan-keyakinan agama tersebut, menyakini-Nya dengan keyakinan yang kokoh serta mengamalkan segala tuntunan praktis. Hendaknya luar dalam manusia berhias dengan agama, dan menyingkirkan kehinaan dan menggantinya dengan keutamaan
Tanpa diragukan juga, semua itu akan kembali kepada manusia sendiri. Artinya, jika kita katakan agama menanti dari manuisa, bukan berarti agama menginginkan sebagaian dari kehidupan mereka dicurahkan kepadanya dan akan menambah sesuatu dalam agama. Akan tetapi, terealisasinya semua itu tidak bermanfaat sama sekali kecuali untuk manusia sendiri. Dengan kata lain, agama menanti dari manusia supaya mereka sampai kepada kebahagian dan kesempurnaan serta dapat menikmati anugerah tertinggi dan terbaik dari Tuhan. “Katakanlah tidaklah aku meminta upah dari kalian kecuali hal itu kembali kepda kalian sendiri”.[10]
Ringkasan
# Maksud dari penantian agama dari manusia adalah penantian sang Pencipta agama.
# Penantian Pencipta agama dari manusia adalah supaya agamanya diterima, diyakini, dan dipraktekan, serta segala ajaran dan tuntunan yang iajarkan dalam agama diterapkan dalam kehidupan.
# Pada dasarnya, Pencipta agama menginginkan manusia bisa sampai kepada kesempurnaan dan bisa menggapai anugerah-Nya yang tertinggi.
Faktor Kecendrungan Beragama
Agama adalah sebuah realitas yang muncul seiring dengan sejarah manusia. Hal ini juga ditandaskan oleh para penentangnya, mereka yang tak mampu mengelak dan lari dari keyataan ini. Masalah keyakinan terhadap keberadan Tuhan sebagai kausa prima, dalam setiap waktu dan tempat, dan dalam kondisi masyarakat yang berbeda-beda, dari sudut pandang budaya dan pradaban telah diyakini dengan bentuk yang berbeda-beda pula.
Fakta inipun tak bisa terbantahkan. Kalau setiap orang atau golongan yang mengakui invaliditas agama, dan menganggap semua ajaran dan tuntunan agama adalah palsu dan gombal semata, selalu berusaha seoptimal mungkin untuk mengurangi kecenderungan masyarakat terhadap agama. Sesungguhnya orang yang tidak menyakini bahwa alam ini mempunyai Pencipta yang disebut Tuhan, animo masyarakat yang begitu besar terhadap keyakinan beragama dan penyembahan terhadap Tuhan akan menjadi sebuah fenomena yang menyakitkan buat mereka yang dengan berbagai cara mereka justifikasikan dan takwilkan.
Teori-teori dalam hal ini telah bermunculan. Sebagaian darinya begitu lemah kebenaranya sehingga membuat setiap orang tertawa dan prihatin. Di sini akan kami paparkan sebagaian dari teori-teori tersebut.
a. Teori Ketakutan
Freud[11] memiliki persepsi bahwa ketakutan adalah faktor keyakinan terhadap Tuhan bagi setiap agamawan. Namun, Freud bukanlah orang pertama yang mencetuskan teori ini. Ada orang lain yang lebih dulu menyakininya.[12]
Secara ringkas, teori ini ingin berasumsi bahwa ketakutan akan fenomena-fenomena natural (alam), seperti banjir, topan, gempa bumi, rasa sakit dan kematian, membuat manusia ketakutan yang pada gilirannya, mereka meyakini ada sumber tunggal yang sengaja memunculkan fenomena-fenomena tersebut yang mereka sebut Tuhan. Menurut pendapat Freud, Tuhan adalah hamba manusia, bukan sebaliknya. Pada dasarnya, munculnya keyakinan beragama dalam setiap benak manusia adalah harapan terjaganya mereka dari bahaya fenomena-fenomena alam di atas. Untuk lari dari bahaya tersebut, manusia purba mulai menyakini sebuah eksistensi pemilik kemampuan dan kekuatan dalam mengatur alam dengan mempersembahkan binatang korban, do’a, ibadah, dan amalan-amalan, seperti cinta, dan kasih sayang, dan lain sebagainya.
b. Teori Kebodohan
Will Durant dan Bertrand Russel adalah dua dari sekian banyak teolog yang menyakini teori ini. Mereka memiliki asumsi bahwa faktor munculnya kecenderungan beragama adalah kebodohan dan ketidaktahuan manusia. Manusia purba ketika ia tidak mampu memahami sebab terjadinya fenomena-fenomena natural, seperti gerhana matahari dan bulan, ia langsung meyakini suatu wujud yang menyebabkan semua hal di atas. Mereka menamakannya Tuhan. Dan tidak hanya fenomena alam saja, semua hal yang tidak diketahui sebabnya mereka kembalikan kepada Tuhan. Untuk membuat Tuhan tidak murka dan supaya selamat dari dari fenomena-fenomena langit dan bumi tadi, mereka mulai mengadakan ritual-ritual yang dapat menyejukkan hati Tuhan, seperti tunduk dan beribadah di hadapan-Nya.
Kritikan Terhadap Dua Teori Di Atas
Untuk mengkritik dua teori di atas perlu kita bawakan pendahuluan berikut ini:
# Kedua teori di atas hanya sekedar asumsi (fardhiyah yang sampai sekarang belum terbukti kebenarannya) dan kemungkinan saja, tidak lebih. Lebih dari itu, keduanya tidak memiliki argumentasi dan pijakan historis yang dapat dijadikan sandaran.
# Kita asumsikan teori di atas benar dan mayoritas atau sebagian dari manusia karena rasa takut dan ketidaktahuan menyakini sebuah wujud yang mereka namakan Tuhan yang pada akhirnya mereka sembah. Namun, kendati demikian, hal ini tidak mengkonsekuensikan ketiadaan Tuhan itu sendiri, yang membuat semua agama batil dan invalid. Dengan kata lain, kita terima rasa takut dan bodoh sebagai sumber kecenderungan beragama, dan itu merupakan sebuah kesalahan, namun ketidakbenaran ini bukan berarti penafian wujud Tuhan dan kebenaran agama.
Sebuah contoh, pelbagai inovasi dan kreasi baru, kebanyakan timbul bertujuan sebagai sarana mencari popularitas, meraup kekayaan dan tergiur oleh posisi mapan dalam pandangan masyarakat sosial. Faktor-faktor ini tidak benar dan tidak luhur sama sekali. Akan tetapi, ketidakbenaran tujuan-tujuan tadi bukanlah indikator kesalahan dan kebatilan inovasi ilmiah tersebut.
Ringkasnya, kedua teori ini telah mencampur-adukan antara sesuatu yang memotifasi manusia pada sebuah tujuan (anggîzeh), dengan sesuatu yang kepadanya manusia bergerak atau apa yang akan didapatkan manusia,[13] dan menjadikan invaliditas satu sebagai indikator invaliditas lainnya.
# Ada bukti-bukti lain yang mengindikasikan invaliditas dua teori di atas. Untuk teori pertama kita dapat menyangkalnya dengan hal-hal berikut ini:
1. Sejarah telah mencatat bahwa para pembawa misi dan duta-duta Tuhan itu selalu menjadi person-person paling berani di zamannya. Mereka selau berdiri tegak walaupun bahaya mengancam.
2. Kita dapati bahwa hanya manusia kerdil nan penakut yang sama sekali tidak meyakini keberadaan Tuhan.
3. Jika akar keyakinan terhadap Tuhan adalah rasa takut akan fenomena-fenomena natural, lalu bagimana dengan masa sekarang ini yang mayoritas manusia memahami fenomena-fenomena tadi? Seharusnya keyakinan beragama sudah lenyap dan sirna, atau paling tidak, sudah pudar. Sedangkan fakta dan realita di luar tidaklah demikian. Malah bisa dibilang, keyakinan terhadap Tuhan merupakan wacana terpopuler dan paling digandrungi oleh manusia saat ini.
Bukti-bukti yang menguatkan invaliditas teori kedua pun (teori kebodohan) tidak kalah banyaknya. Cukuplah kita sebutkan satu saja di sini.
Sejarah telah mencatat bahwa para penganut agama bukanlah segerombolan orang-orang buta huruf dan tak berpengetahuan. Akan tetapi, penganut agama terdiri dari berbagai lapisan, yang salah satu dari lapisan tersebut adalah cendekiawan, ilmuwan, dan pakar-pakar kaliber di berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti Einstain, Newton, Galileo, dan sederet nama tenar lainnya. Mereka adalah para ilmuwan tersohor yang secara tulus meyakini keberadan Tuhan.
# Menurut kita, ada dua faktor kecenderungan beragama: pertama, setiap maujud pasti ada yang mewujudkan. Setiap sesuatu yang mungkin ada dan mungkin tidak, mustahil bisa ada dengan sendirinya. Kedua, panggilan jiwa manusia untuk ber-Tuhan, suara dan bisikan ini sudah terformat dalam setiap hati manusia di sepanjang sejarah. Sebagaimana naluri ingin tahu dan cinta keindahan sudah tersedia di dalam setiap person manusia tanpa dicari. Begitu juga dengan naluri ber-Tuhan dan menghamba kepada-Nya sudah ada pada setiap manusia. Hal ini merupakan fitrah Ilahiah yang mendorong dan memicu mereka untuk meyakini keberadaan Tuhan.
Poin-poin penting
a. Dengan mencermati secara seksama teori-teori yang telah kita paparkan dan kita kritik tadi, kita bisa memahami bahwa fanatisme yang amat kental dari para pemilik pendapat ini telah membutakan mata hati (fitrah; bisikan pemanggil Tuhan) dan logika mereka.
b. Para pencetus teori di atas sudah dari awal mengasumsikan tidak ada motif logis dan rasional bagi timbulnya kecenderungan beragama sehingga ujung-ujungnya mereka terpaksa ngelantur dan menganggap faktor psikologis tertentu sebagai sebab munculnya kecenderungan beragama. Mereka tidak jauh berbeda dengan orang-orang pra-sejarah yang menyebut setiap kejadian-kejadian alam yang tak diketahui sebabnya sebagai hasil dari sihir. Kalau mereka mau jujur dan sedikit berpikir logis dan rasional, teori ini tidak akan mungkin akan terlintas dalam benak mereka.
Ringkasan
# Sejarah agama seiring dengan munculnya sejarah manusia.
# Para penentang keberadaan Tuhan senantiasa berupaya memanipulasi dan menjustifikasi keyakinan manusia sepanjang sejarah sehingga sesuai dengan Atheisme yang mereka yakini.
# Sekelompok orang berkeyakinan bahwa rasa takut akan fenomena-fenomena yang menakutkan, menjadi pendorong bagi manusia bersepakat untuk menciptakan sebuah sebab tunggal, yang mereka namakan Tuhan. Faktor munculnya keyakinan beragama dalam setiap benak manusia adalah harapan untuk lolos dari mara bahaya.
# Para pemilik teori kebodohan meyakini bahwa faktor keyakinan orang-orang terdahulu kepada Tuhan adalah ketidaktahuan mereka terhadap sebab-sebab fenomena alam yang terjadi, seperti gerhana matahari dan bulan. Menurut mereka, Tuhanlah yang menjadi sebab bagi setiap kejaian yang tak mereka ketahui sebabnya itu.
# Kedua teori di atas masih berupa asumsi dan anggapan saja.
# Dengan mengasumsikan kebenaran dua teori tadi, tetap tidak menjelaskan faktor manusia dalam beragama dan keyakinan terhadap Tuhan. Dan ketidakbenaran faktor ini, sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk menafikan keberadaan Tuhan, karena benar tidaknya faktor setiap tindakan dan benar tidaknya tindakan itu sendiri adalah dua permasalahan tersendiri.
# Teori ketakutan tidak benar karena; 1. Para duta Tuhan adalah orang-orang paling berani di zamanya. 2. Orang-orang penakut pun banyak berkeliaran yang tak memiliki keyakinan kepada Tuhan. 3. Di zaman sekarang, fenomena menakutkan yang tak dipahami sebabnya telah berkurang sampai batas tertentu, tapi keyakinan terhadap Tuhan masih tetap ada dan tak berkurang sedikit pun.
# Teori kebodohan pun juga tidak kalah krusialnya, karena sebagian dari para ilmuwan dan pakar ilmu pengetahuan adalah orang yang beriman secara tulus kepada Tuhan.
# Teori valid akan munculnya keyakinan pada Tuhan ada dua: pertama, akal sehat manusia menghukumi setiap makhluk butuh pada khalik, dan kedua, fitrah manusia.
Faktor-faktor Ditertawakannya Agama Di Barat[14]
Pada abad ke-18 dan seterusnya, masyarakat Eropa mulai berbondong-bondong manganut faham Atheisme. Atau kurang lebih bisa dibilang, tendensi terhadap agama mulai berkurang. Munculnya Atheisme dan keengganan beragama di dunia belahan Barat ini, disebabkan setumpuk alasan, yang dalam buku ini, kita hanya mau membawakan alasan dan faktor-faktor terpentingnya saja.
1. Ajaran Kristen Yang Tak Komprehensif
Penjelasan dogmatis agama yang terdapat di Barat dan didominasi oleh Dewan Gereja, sangatlah lemah dan tidak logis sama sekali. Setiap akal sehat tidak bisa menerima dan menelan mentah-mentah setiap ajaran yang ada. Syarat pertama yang harus terpenuhi adalah ajaran tersebut hendaknya tidak bertentangan dengan akal sehat.
Sebagai contoh, Gereja mengilustrasikan Tuhan bak manusia; mereka memperkenalkan pada khalayak Tuhan yang bersosok, bertangan, dan berkaki, mempunyai mata dan telinga, sama persis dengan yang dimiliki manusia. Hanya bedanya, – menurut mereka – milik Tuhan lebih besar dari pada milik manusia.
Jika mulai dari masa kanak-kanak mereka telah mendoktrinkan Tuhan semacam ini, ketika menginjak dewasa dan sang anak memahami bahwa Tuhan semacam ini tidak layak dikatakan Tuhan, maka bukan hanya si anak tak mau membenarkan dan mempercayai doktrin tersebut di atas. Lebih parah lagi, ia akan mengingkari keberadaan Tuhan itu sendiri.
Dalam kitab Tuhan dalam Natural, Palamariyun mengatakan, “Dewan Gereja menegaskan, jarak mata kanan Tuhan dengan mata kirinya sekitar 6 ribu Farsakh.”
2. Kekerasan (Baca : Kekejian) Gereja
Dalam menyampaikan ajaran-ajaran dan tuntunan agama, mereka memaksa mayarakat untuk menerimanya. Gereja tidak segan-segan bertindak ‘bodoh’ dan kejam, bahkan mereka bersikeras mendoktrinkan pelbagai kajian dan konsep invalid dalam kaca mata sains sekalipun. Sebagai contoh, mereka meyakini matahari berputar mengitari bumi yang statis. Keyakinan semacam ini yang jelas kontradiktif dengan hasil kajian dan riset ilmiah, menjadikan manusia lari dan menghujat ajaran dan tuntunan agama (Kristen).
Gereja pada abad-abad pertengahan memiliki sebuah lembaga pengadilan yang bernama Angizisition atau pengecekan Akidah. Lembaga ini segaja didirikan untuk menindak para penentang kebijakan gereja.
Will Durant dalam mengomentari kekerasan Dewan Peradilan ini menulis, ”Gereja memiliki cara khusus untuk menyiksa orang yang tertuduh menodai dan menentang ajarannya. Cara mereka dari waktu ke waktu berbeda antara satu dan yang lain. Terkadang terdakwa digantung dalam kondisi tangan terikat ke belakang, terkadang diikat sampai tak bisa bergerak, kemudian mereka teteskan air ke dalam tenggorokannya sampai mati, terkadang pula lengan dan betis mereka diikat dengan kuat, sehingga tali-tali itu menembus daging, dan tak jarang pula tulang-tulang itu patah”.[15]
Durant juga mengatakan, ”Jumlah korban kekejian gereja pada tahun 1480-1488 (dalam kurun waktu 8 tahun), mencapai 8.800 jiwa dibakar, 96.494 dikenai hukuman berat. Sedang dari tahun 1480 hingga 1808, sekitar 31.912 jiwa dibakar dan 291.450 dikenai hukuman berat”.[16]
Melihat kekejian yang mereka terima dari pemimpin agama yang semacam ini, sedikit demi sedikit masyarakat Barat mengingkari pemilik agama itu sendiri, dan itu adalah Tuhan.
3. Konsep Filosofis Yang Tak Konprehensif.
Untuk menjelaskan yang satu ini, dibutuhkan penjelasan beberapa poin filosofis yang tidak sesuai dengan kapasitas kitab sekecil ini. Oleh karena itu, kami hanya akan mengemukakan kelemahan sikap para agamawan Barat (kaum Kristiani) secara rasional dalam menjawab kritkan-kritikan yang mengarah kepada konsep ke-Tuhanan dan Kalâm mereka.
Untuk itu, kami akan menukilkan ungkapan yang ditulis oleh Bertrand Russel[17] dalam bukunya “Kenapa Kita bukan Kristiani?”. Russel adalah seorang peragu keberadaan Tuhan (skeptis). Namun, secara praktis ia seorang Atheis. Ia menuturkan, ”Argumen kausa prima untuk membuktikan keberadaan Tuhan mengatakan, semua yang kita lihat di dunia pasti memiliki sebab, dan jika mata rantai ini kita kita teruskan, ujung-ujungnya akan berakhir pada sebuah sebab awal yang sering disebut sebagai sebab dari segala sebab, yang dikenal oleh kalangan agamawan sebagai Tuhan”.
Russel mengkritik argumentasi ini dengan perkataaannya, “Pada masa remaja, aku tidak merenungkan permasalahan ini dengan baik dan selama kurun waktu yang panjang argumentasi kausa prima ini saya terima. Sampai suatu saat usiaku menginjak 18 tahun. Aku baca biografi kehidupan John Stwart. Aku temukan sebuah kalimat yang berbunyi ”ayahku bilang, pertanyaan siapa yang menciptakanku? tidak memiliki jawaban, karena spontanitas jawabannya akan disusul dengan pertanyaan baru, siapa yang menciptakan Tuhan itu sendiri?” Kalimat simpel ini ternyata menyingkap kebohongan argumentasi kausa prima bagiku, yang sampai saat ini kebohongan ini tetap kuyakini. Jika sesuatu eksis tanpa sebab, maka ia bisa jadi Tuhan dan alam sekaligus. Maka dari sinilah tampak kesalahan argumen kausa prima itu”.[18]
Siapapun yang sedikit mengenal filsafat Islam, niscaya ia akan menemukan kelemahan dan kesalahan kritikan Russel itu. Menurut asumsinya, hukum kausalitas mencakup semua wujud, termasuk Tuhan. Sedangkan yang benar adalah hanya maujud mungkin yang bisa ada dan yang membutuhkan pada sebab. Dengan demikian, sudah dari awal Tuhan keluar dari kaedah di atas, karena Ia adalah Wâjibul wujûd. Sebagai contoh, setiap orang lalim selalu berkata bohong. Premis ini sudah dari awal tidak mencakup orang adil.
Untuk penjelasan lebih lanjut diperlukan pembahasan filosofis dan hal ini tidak sesuai dengan kapasitas buku ini.
4. Konsep Sosial Politik Yang Tak Konprehensif
Sudah menjadi rahasia umum di Barat bahwa kepemimpinan agama dalam sebuah masyarakat akan mengancam kebebasan personal dan munculnya diktatoris dan pemerintahan monopolis oleh segelintir orang yang mengklaim sebagai duta-duta Tuhan. Masyarakat berasumsi, jika mereka menerima Tuhan, berarti secara otomatis ia harus menerima diktatoris absolut, di mana person tidak memiliki hak sama sekali pada pemimpin, dan para penguasa tidak memiliki tanggung jawab dan kewajiban sama sekali di hadapan masyarakat. Dengan demikian, menerima Tuhan berarti menerima kematian sistem sosial, dan jika masyarakat ingin menikmati kebebasan sosial, mereka harus meninggalkan atribut yang berkenaan dengan ke-Tuhanan dan agama. Akhirnya, mereka lebih mengutamakan kebebasan dari pada memilih percaya pada Tuhan.
Dalam Islam sebagai satu-satunya agama yang belum terjamah tangan-tangan kotor para pembohong, setiap dari pemimpinnya menegaskan bahwa jika mereka memiliki hak atas masyarakat, maka manusia pun memiliki hak pula atas mereka. Sebagai contoh, kita bawakan sabda Amirul Mukminin dalam Nahjul Balâghahnya. Beliau berkata, “Allah SWT dengan pemerintahan yang ia berikan, telah meletakkan hak bagiku atas kalian, dan begitu pula kalian juga memiliki hak atas ku. Hak selalu dua sisi, tidak ada orang yang berhak atas yang lain kecuali ia punya kewajiban atas yang lain pula. Tidak ada orang yang memiliki hak atas orang lain dan orang lain tidak memiliki hak atasnya. Jika ada, ia hanyalah Tuhan semata. Makhluk-Nya tidak memiliki keistimewaan seperti itu, karena Ia memiliki kekuatan dan kekuasaan atas para hamba-Nya, dan Ia Maha Adil yang sama sekali tidak menzalimi hamba-hamba-Nya”.[19]
Dalam undang-undang dasar Republik Islam Iran – yang merupakan refleksi dari Al–Qur’an dan hadis –, kebebasan masyarakat dan hak bicara serta protes terhadap pemerintah tetap terjaga. Mereka memilih wakil-wakil untuk memimpin dan menjalankan roda pemerintahan. Pada pasal ke-6 UUD tersebut disebutkan:
”Dalam Republik Islam Iran pengaturan negara diatur berdasarkan pendapat mayoritas dan umum melalui proses pemilihan; pemilihan persiden, MPR Islami, anggota Syura, dan yang lainnya, atau melalui penjajakan umum dalam kasus yang telah ditentukan oleh undang-undang”.
Dalam Pasal ke-19 dan 20 disebutkan, ”Masyarakat Iran adalah sama dari segi hak-hak dari kaum dan kalangan apa saja ia. Hal-hal seperti warna kulit, keturunan, bahasa dan yang lainnya bukanlah tolok ukur keistimewaan. Semua warga, baik laki-laki maupun wanita, dilindungi oleh undang-undang, dan akan mendapatkan perlakuan yang sama di bidang hak asasi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya dengan tetap menjaga kode etik Islam”.
5. Penjelasan Dari Non Spesialis
Kendati dasar ber-Tuhan sangatlah simpel dan semua orang merasa punya tugas untuk itu dilihat dari sudut pandang fitrah, akan tetapi, pendalaman dan penyelaman mengenalnya merupakan permasalahan yang amat pelik. Pembahasan tentang sifat-sifat Allah, Asma`-Nya, Qadhâ’ dan Qadar-Nya, jabr dan ikhtiâr, dan lain sebagainya – menurut ungkapkan Amirul Mukminin – adalah samudra dalam yang tidak sembarang orang mampu menyelaminya. Ironisnya, baik di Barat atau di Timur, setiap orang menganggap punya hak dan kemampuan untuk menjelaskannya. Inilah yang menyebabkan konsep-konsep agama menyebar di tengah-tengah memasyarakat dengan tidak benar. Hal yang membuat mereka ragu akan kebenaran agama. Syahid Muthahari berkata, “Seseorang dalam menjawab pertayaan kenapa Tuhan memberikan sayap pada burung merpati dan tidak pada unta? berkata, jika unta memiliki sayap, maka kehidupan kita akan hancur, karena unta terbang itu akan menghancurkan rumah, dan segalanya. Kemudian yang lain pun ditanya apa argumen keberadaan Tuhan?, ia berkata, selagi tak ada, tidak perlu kita ekspos ke khalayak”.[20]
Memang benar, lemahnya sebuah argumentasi bukan berarti menunjukkan invaliditas sebuah dakwaan dan klaim. Namun, dari sisi kejiwaan, setiap argumentasi lemah yang dibawa untuk menetapkan sebuah dakwaan, lama-kelamaan pendengar akan meragukan kebenaran dakwaan itu. Bahkan lebih dari itu, sangat besar kemungkinannya ia akan mengingkarinya sama sekali.
Dengan demikian, pembelaan yang tidak kokoh dan mantap tentang masalah keyakinan beragama dari mereka yang tidak memililki spesialisasi tentang itu merupakan salah satu faktor kecenderungan Atheisme.
6. Persepsi Kontradiksi Antara Agama Dan Kebahagiaan Duniawi
Manusia memiliki sebuah keinginan dan insting sebagai anugerah Tuhan untuk menata dan mendorong manusia ke arah kesempurnan-Nya, seperti kecenderungan seksual, memiliki keturunan (berevolusi), mencari ilmu dan pengetahuan, serta kecenderungan kepada kecantikan dan keindahan.
Sekalipun manusia dilarang untuk mengikuti secara mutlak kecenderungan-kecenderungan di atas, namun hal ini tidak berarti kecenderungn-kecenderungan tadi dilepas dan tak terlampiaskan atau ditolak secara frontal. Naluri tadi harus dipupuk, diarahkan, dan dilampiaskan secara proporsional dan berimbang serta dengan jalan yang telah dibenarkan.
Nah, kalau dengan nama Tuhan dan agama semua insting itu dinafikan sama sekali, seperti proses pembaptisan, pasturisasi, penyucian, perkawinan dianggap dosa, kebodohan, dan kemiskinan dianggap sebagai penyebab keselamatan, serta pengetahuan dan kekayaan dianggap penyebab kesesatan, maka secara alami orang-orang yang selalu dibawah kontrol hal-hal di atas, satu demi satu akan mengingkari keberadaan Tuhan dan agama. Realitas inilah yang menimpa masyarakat Barat, dan sebagian masyarakat muslim dalam skala kecil.
Russel mengatakan, “Ajaran gereja telah menempatkan manusia dalam dua dilema, kesengsaraan dan kepapaan; kesengsaraan dunia dan pelarangan atas kenikmatannya, atau kesengsaraan dan pelarangan dari nikmat-nikmat akhirat. Menurut gereja, manusia harus menerima salah satu dari kesengsaraan di atas; bisa jadi ia melepas kesengsaraan dunia untuk kebahagian akhirat, atau kalau ingin menikmati kenikmatan dunia, ia harus rela melepas kenikmatan akhirat”.[21]
Opini ini jelas salah dan invalid. Agama valid harus bisa menjamin kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Barangsiapa melarikan diri dari agama, ia akan tersiksa selamanya, baik di dunia maupun di akhirat. Pertanyaan semisal kenapa Tuhan menyuruh kita untuk memilih satu dari dua pilihan?, apakah Tuhan itu kikir? dan pertanyaan yang lain, akan selalu terlintas dalam benak pikiran manusia normal. Pada realitanya, ajaran-ajaran agama senantiasa memelihara dan menjamin kebahagiaan manusia.
Syahid Mutahhari mengatakan, “Ajaran-ajaran sesat dan menyimpang yang disampaikan para muballigh dan da’i-da’i, membuat manusia enggan beragama dan ber-Tuhan, serta akan timbul anggapan bahwa agama merupakan penyebab kesengsaraan dan kehinaan di dunia”.[22]
7. Dekadensi moral
Harus diakui, penerimaan agama serta ajarannya membatasi gerak manusia, sehingga mereka yang tenggelam dan terlena oleh buaian meterial dan menganggap agama sebagai pembatas kebebasannya dan penghalang untuk mendapatkannya, pasti akan mengingkari kebenaran agama.
Al-Qur’an menyebutkan tiada orang yang mengingkari hari kebangkitan kecuali karena disebabkan kecintaan mereka yang berlebihan terhadap dunia dan isinya, dan bukan karena ketidakpahaman mereka tentang hari yang pasti akan datang itu.
بَلْ يُرِيْدُ اْلإِنْسَانُ لِيَفْجُرَ أَمَامَهُ
“(Manusia tidak memiliki keraguan tentang akhirat), akan tetapi, ia ingin (bebas dan tanpa rasa takut akan pengadilan akhirat) berbuat maksiat terus-menerus”. (Al-Qiyâmah 5)
Di sisi lain, dosa dan dekadensi moral merupakan faktor utama terdepaknya kebenaran. Tauhîd laksana bibit yang hanya bisa tumbuh subur dan berkembang di atas lahan yang suci. Dengan demikian, lahan tandus dan kotor akan merusak bibit ini. Jika manusia dalam segala perilakunya menjadi budak nafsu, penyembah materi, secara bertahap ia akan beradaptasi dan terpengaruh dengan lingkungan yang ia geluti.[23]
Oleh karenanya, dengan Al-Qur’an Allah hanya bisa memberi petunjuk kepada pribadi-pribadi yang bertakwa[24] dan peringatan Al-Qur’an pun hanya mencakup orang-orang yang jiwa dan ruhnya tidak mati dan gersang akibat tenggelam dalam nafsu dan kenikmatan material.[25]
Dekadensi moral yang mencapai klimaksnya di Barat telah mengurangi kecenderungan spiritual masyarakat dalam dua atau tiga abad terakhir ini dan menjadi faktor utama pengingkaran terhadap keyakinan-keyakinan agama.[26]
Dengan teori dan serangan semacam inilah (teori dengan bersenjatakan perusakan moral), kaum Kristiani sanggup “mengusir” kaum Muslim dari Spanyol. Mereka mempertontonkan kerusakan moral, kebebasan seksual dan lain sebagainya di tengah-tengah masyarakat Islam.
Ringkasan
Faktor-faktor terpenting munculnya Atheisme di Barat adalah sebagai berikut:
1.Ketidaklengkapan agama Kristen. Gereja mengilustrasikan Tuhan layaknya seorang manusia. Menurut mereka, Tuhan memiliki badan sama seperti manusia, hanya saja lebih besar dari manusia. Akal sehat tidak akan mungkin mempercayai hal seperti ini.
2.Kekejian gareja. Untuk menyampaikan ajaran dan interperetasi yang dimilikinya, dan supaya semua itu diterima oleh manusia, Dewan Gereja tidak segan-segan menyiksa para penentang-penentangnya, bahkan tak jarang juga mereka mencabut nyawa mereka. Dengan demikian, tiada reaksi lain yang akan timbul dari masyarakat kecuali pengingkaran akan agama dan Tuhan itu sendiri.
3.Ketidaksempurnaan pemahaman filosofis. Ke-Tuhanan dan Kalâm di Barat tidak mampu menjelaskan keberadaan Tuhan dan berbagai keyakinan agama lainnya dengan jitu.
4.Kekuarangan mengenai pemahaman sosial dan politik. Di Barat, telah tersebar sebuah asumsi tak sehat dan tak benar. Hal itu adalah menerima sebuah agama menyebabkan hilang dan lenyapnya kebebasan personal dan sebuah bentuk penyerahan diri pada kediktatoran. Oleh karena itu, masyarakat rela melepas agama dan Tuhan demi menggapai kebebasan mereka. Padahal hal semacam ini bertolak belakang dengan pemahaman agama yang benar, seperti Islam, dimana agama merupakan hal yang paling sesuai dalam memupuk dan menjaga kebebasan itu.
5.Penjelasan dari orang yang bukan ahlinya. Di Barat, bahkan di Timur juga, setiap orang merasa mempunyai hak untuk ikut angkat bicara dalam permasalahan agama. Hal ini membuat sejumlah topik pembahasan yang tak dapat diterima oleh para pakar agama menyebar di tengah-tengah masyarakat.
6.Terciptanya kesan kalau agama tidak sesuai dengan kebahagian duniawi. Di Barat, bukan rahasia umum lagi bahwa jika seseorang meinginginkan kebahagian ukhrawi ia harus meninggalkan kebahagiaan duniawi, membujang, dibaptis, bergaul dengan kemiskinan dan hidup melarat. Padahal, dalam agama yang benar tidaklah demikian. Agama yang benar menjamin kedua kebahagian itu sekaligus.
Dekadensi moral dan praktikal. Menerima agama berarti menerima beberapa pembatasan dalam tindak-tanduk manusia. Oleh karena itu, para penyembah syahwat dan hawa nafsu akan mengingkari agama dan tuntunannya serta ingin membebaskan diri dari berbagai pembatasan tersebut. Memuncaknya dekadensi moral di Barat pada dua-tiga abad yang lalu telah mengurangi kecenderungan masyarakatnya kepada spiritual dan berakhir dengan pengingkaran akan tuntunan dan ajaran agama.
TAUHID
MENGENAL TUHAN
Ugensitas Mengenal Tuhan[1]
Tanpa melihat dampak praktis individual atau sosial yang muncul dari pengenalan terhadap Tuhan, Asmâ`, dan sifat-sifat mulia-Nya, hal itu merupakan satu hal berharga yang dapat berpengaruh dalam kebahagiaan manusia. Karena kesempurnaan manusia terletak pada pengetahuan yang benar berkenaan dengan Diri-Nya. Manusia yang tidak mengenal Tuhan sebagaimana mestinya, ia tidak akan mungkin sampai pada kesempurnaannya, bagaimanapun ia berusaha dan beramal saleh.
Pengetahuan yang benar tentang Tuhan merupakan kesempurnaan spiritual tertinggi yang mampu membawa manusia kepada hakekat di sisi-Nya.
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
“Kepada-Nya membumbung perkataan-perkataan yang baik dan amal yang salehlah yang menaikkan-Nya”. (QS. Fâthir : 10)[2]
Syahid Mutahhari dalam konteks ini menuturkan, “Kemanusiaan menusia terletak pada pengetahuannya tentang Tuhan, karena pengetahuan manusia tidak bisa terpisah dari-Nya, bahkan pengetahuan tersebut merupakan hal termulia dan termurni dalam eksistensi-Nya. Sejauh mana manusia mengetahui eksistensi, sistem, awal dan sumber eksistensi itu, maka terbentuklah kemanusiaannya yang separuh dari substansinya adalah ilmu pengetahuan. Menurut perspektif Islam, khususnya dalam perspektif Syi’ah, tanpa memandang efek praktis dan sosial yang ditimbulkan, mengenal Tuhan merupakan tujuan dari manusia dan kemanusiaan itu sendiri”.[3]
Tuhan, Siapakah itu?
Siapa wujud yang disebut Allah oleh orang Arab, God oleh orang Barat, dan Khudo oleh orang Persia? Apa sifat-sifat-Nya? Apa hubungannya dengan kita? Bagaimana cara kita berhubungan dengan-Nya? Dan seterusnya.
Dengan memperhatikan sejarah manusia, kita akan dapat memahami bahwa keyakinan terhadap keberadaan Tuhan telah muncul sejak dahulu kala. Dengan kata lain, sejarah keyakinan terhadap Tuhan muncul seiring dengan keberadaan manusia. Tetapi, hal ini bukan berarti semua orang yang meyakini Tuhan memiliki persepsi dan definisi yang sama.
Polemik dan perbedaan pendapat tentang Tuhan ini sangatlah dahsyat sekali, terlebih di kalangan orang-orang yang mengandalkan akal dan pemikiran pribadi tanpa mendengarkan tuntunan para duta Ilahi. Sebelum kita menjelaskan sifat-sifat Tuhan dalam kaca mata Islam, alangkah baiknya jika kita bandingkan terlebih dahulu konsep Tauhîd dalam Islam dan konsep ke-Tuhanan dan beragama dalam pandangan agama lain. Untuk itu, di sini kami akan bawakan beberapa pandangan para ilmuwan nomor satu dunia mengenai Tuhan.
a. Tuhan Dalam Perspektif Sokrates
Sokrates (399-470) tidak berbeda dengan orang Yunani kebanyakan. Ia meyakini Tuhan yang berbilang. Berdasarkan sejarah filsafat yang dinukil dari karya-karyanya, Sokrates berkeyakinan bahwa manusia tidak butuh lagi bimbingan dan “uluran tangan” Tuhan untuk sampai pada kebahagiaannya. Sokrates juga tidak menyebut sama sekali posisi dan hubungan Tuhan dengan kehidupan manusia, walaupun pada tempat lain ia berkeyakinan bahwa kesempurnaan manusia harus berlandaskan moral dan etika.
b.Tuhan Dalam Perspektif Plato
Plato (348/347-428/427) berasumsi bahwa ada dua eksistensi yang disebut sebagai Tuhan: pertama, kebaikan absolut, dan kedua, Pencipta. Plato beranggapan bahwa kebaikan absolut adalah Tuhan asli atau Tuhan Bapak, sedang Pencipta adalah Tuhan Anak. Menurut keyakinannya, pengetahuan tentang kebaikan absolut sangatlah sulit, bahkan merupakan pengetahuan tersulit yang dapat dicapai. Dua Tuhan ini hanya bisa diketahui dan dipahami oleh para filsuf, di mana mereka adalah pribadi-pribadi yang memiliki keistimewaan spiritual, nalar, dan bahkan fisik. Perlu diingat bahwa bukan sembarang filsuf yang ia maksud. Yang dimaksud adalah hanya para filsuf yang telah menginjak usia 50 tahun yang mampu memahami kebenaran absolut. Sedangkan kelompok lain yang merupakan mayoritas, tidak akan mampu memahami keberadaan-Nya sampai kapanpun.
c. Tuhan Dalam Perspektif Arestoteles
Menurut keyakinan Arestoteles (322/321-384/383), alam senantiasa ada dari sejak dulu kala, dan tidak diciptakan oleh siapa pun. Oleh karenanya, Tuhan versi Arestoteles bukan Pencipta alam, tetapi penggerak alam itu sendiri yang diyakininya sebagai Tuhan; penggerak yang ia sendiri tidak bergerak. Ciri paling dominan yang dimilki oleh Tuhan versi Arestoteles ini adalah ia penggerak dan ia sendiri tak bergerak. Adapun poin penting dalam pengenalan Tuhan dalam perspektif Arestoteles adalah Tuhan tidak layak disembah, dicintai dan dinanti pertolongan-Nya. Tuhan Arestoteles tidak bisa menjawab dan membalas cinta hamba-Nya. Ia tidak memiliki andil sedikitpun dalam setiap tindakan manusia. Ia hanya sibuk memikirkan diri-Nya sendiri.[4]
d. Tuhan Dalam Perspektif Kaum Kristiani Abad Pertengahan
Pada pembahasan faktor-faktor yang membuat orang lari dari agama di Barat, telah kita singgung illustrasi gereja tentang Tuhan. Di sini kita akan tambahkan bahwa pada abad pertengahan, konsep ber-Tuhan adalah salah satu penyebab dari sekian banyak sebab yang berpengaruh dalam kehidupan. Orang-orang yang meyakini keberadaan Tuhan pada era ini selalu berasumsikan bahwa setiap fenomena yang tidak diketahui penyebab aslinya, seperti gerhana matahari dan bulan, mereka larikan semuanya kepada Tuhan dan menganggap Tuhanlah penyebab segalanya.
Kongklusi dari pendapat ini adalah Tuhan hanya bisa diketahui dalam kebodohan mereka, dan secara otomatis, semakin bertambah pengetahuan kita, maka semakin sempitlah ruang lingkup Tuhan, sehingga andaikata pada suatu saat segala tabir yang menutupi manusia tersingkap dan manusia telah memahami faktor naturalis dari berbagai fenomena, niscaya tidak ada tempat lagi bagi Tuhan dalam kehidupannya untuk selamanya.
Berdasarkan persepsi ini, hanya sebagian saja dari eksistensi yang menunjukan keberadaan Tuhan. Eksistensi tersebut adalah eksistensi yang tidak diketahui sebab keberadaan-Nya. August Comte mengatakan, “Ilmu pengetahuan adalah pemisah Tuhan dari kerja-Nya”.[5]
Maksud dari ungkapan ini adalah sampai sekarang manusia berasumsi bahwa sebab dari segala sesuatu adalah Tuhan. Artinya, Tuhan adalah seperti simbol kekuatan yang dipahami oleh mereka. Tak ubahnya bagaikan tukang sihir yang tanpa pendahuluan apapun sanggup menciptakan sesuatu. Contohnya, jika seseorang sakit kepala, kemudian ia ditanya kenapa kau sakit kepala, jawabannya adalah Tuhan yang menciptakannya. Maksud dari ungkapan ini adalah tidak ada faktor alami yang membuat sakit kepala itu. Sebagai konsekuensinya, ketika dipahami bahwa sakit kepala itu disebabkan oleh firus ini dan itu, maka Tuhan tidak mendapatkan tempat lagi di dalam benak mereka. Dan begitulah seterusnya, semakin tersingkap sebab-sebab (segala fenomena alam) yang dulunya terselubung, maka pengaruh Tuhan akan semakin sempit dan sempit hingga akhirnya tidak mereka yakini sama sekali.
Pada dasarnya, kelompok yang meyakini Tuhan seperti ini, mereka menganggap Tuhan tak lebih dari bagian alam semata.[6]
e.Tuhan Dalam Perspektif Galileo
Setelah abad pertengahan berlalu dengan mementaskan parade akbar ilmu-ilmu empiris, para ilmuwan yang tentunya memiliki landasan empirik, seperti Galileo (1564-1642), berpandangan lain tentang Tuhan. Ia berpendapat, “Alam adalah kumpulan dari sekian milyard atom yang tak terhingga. Setiap benda tersusun dari atom-atom itu, sedang “kerja” Tuhan hanyalah menciptakan dan menyediakan atom-atom itu, sehingga ketika alam sudah tercipta berkat Tuhan (sebagai Pencipta atom), ia tidak butuh lagi kepada-Nya, dan berjalan sendiri secara independen”.[7]
f.Tuhan Dalam Perspektif Newton
Newton (1642-1727) menganggap bahwa hubungan Tuhan dan makhluk-Nya seperti hubungan jam dan pembuatnya. Sebagaimana jam bisa berjalan sendiri setelah dirancang dan disusun, alam pun juga demikian setelah diciptakan oleh Tuhan. Secara independen, ia wujud sebagaimana kita lihat sekarang. Newton juga menambahkan satu poin yang menjadi faktor pembeda pendapatnya dengan pendapat Galileo. Ia mengatakan, “Tuhan terkadang turun tangan dalam masalah tertentu. Tuhan juga meluruskan dan menata ketidakteraturan gerak planet-planet, dan mencegah benterokan-benterokan antara bintang satu dengan yang lain”.
Pendapat ini dapat kita katakan sebagai kelanjutan dari pandangan umum yang populer di abad-abad pertengahan yang meyakini Tuhan berada dalam tempat-tempat yang tak diketahui sebabnya. Ketika terungkap bahwa tidak terjadinya bentrokan antara galaksi bukan karena campur tangan langsung dari Tuhan dan sesuai dengan undang-undang ilmiah, maka untuk kesekian kalinya ”kerja” Tuhan kembali menyempit dan terbatas.[8]
Mayoritas ilmuwan yang hidup pada abad ke-17 dan 18 lebih meyakini pendapat Galileo ketimbang yang lain. Keyakinan tersebut, seperti yang kita bawakan sebelumnya, mengatakan, Tuhan menciptakan alam yang – dalam kelanjutannya – tidak membutuhkan lagi kepada Tuhan, seperti sebuah bangunan yang tidak butuh lagi kepada arsitek untuk kelanggengannya.
Ringkasan
1. Kemanusian manusia tergantung pada seberapa banyak pengetahuannya terhadap Tuhan, karena ilmu dan pengetahuan manusia merupakan bagian terpenting dan termulia dari eksistensinya. Mengenal Tuhan juga merupakan tujuan kemanusiaan.
2. Sokrates (399-470 SM.) meyakini adanya beberapa Tuhan, dan manusia untuk sampai pada kebahagiaannya tidak butuh lagi pada petunjuk dan bimbingan Tuhan. Sokrates tidak menjelaskan secara rinci kedudukan Tuhan serta hubungan-Nya dengan kehidupan manusia.
3. Plato (348/7-428 SM.) meyakini adanya dua Tuhan. Namun, hanya para filsuf sajalah yang mampu memahami dan mengenal dua Tuhan tersebut. Itupun setelah melalui beberapa jenjang dan tahapan yang amat padat di usia 50 tahunan. Sedang lapisan masyarakat yang lain, mereka tidak akan dapat mengenal Tuhan untuk selamanya.
4. Arestoteles (322/1-384 SM.) berasumsi bahwa alam itu Qadîm yang tidak diciptakan oleh siapapun. Tuhan versi Arestoteles bukanlah Pencipta alam, akan tetapi Ia hanya penggerak alam. Dalam keyakinannya, Tuhan tidak layak untuk disembah, dicintai, dan tak dapat dinanti pertolongan-Nya, sebab Ia tak mampu menjawab cinta kasih manusia, dan tak dapat melakukan apapun untuk manusia.
5. Kaum Kristiani abad pertengahan memiliki gambaran lain akan Tuhan. Mereka mensejajarkan Tuhan dengan sebab-sebab lain yang berpengaruh dalam kehidupan, dan ketika penyebab sebuah pristiwa tidak mereka ketahui, mereka langsung mengembalikannya kepada Tuhan.
6. Dalam perspektif Galileo, “kerja” Tuhan hanyalah menciptakan atom-atom saja. Dunia, setelah tercipta, tidak lagi membutuhkan Tuhan. Oleh karena itu, ada-tidaknya Tuhan setelah itu tidak berpengaruh sama sekali atas alam. Teori dan pendapat ini banyak dianut oleh para ilmuwan abad ke-17 dan 18-an Masehi.
7. Newton meyakini hubungan Tuhan dan alam seperti hubungan arloji dan pembuatnya. Ia berkeyakinan, sewaktu-waktu Tuhan juga turun tangan untuk mengatur alam. Dan Ia juga mencegah sebagian ketidakteratuan dalam gerak dan perputaran galaksi.
TUHAN DALAM ISLAM
Sekilas Tentang Sifat-Sifat Tuhan Dalam Perspektif Al-Qur’an
Bisa dikatakan bahwa argumen pokok munculnya Islam adalah penjelasan tentang hakikat Tuhan sebagaimana mestinya.[9] Tidak ada teks dan literarur agama yang selengkap dan sebaik Al-Qur’an dalam memaparkan sifat-sifat Allah SWT. Bahkan agama sebelum Islam pun tak mampu menjelaskannya secara komprehensif. Al-Qur’an telah menjelaskan sifat-sifat Allah SWT dalam bentuk yang paling komplit walaupun dalam batas kemampuan pemahaman dan bahasa manusia.
Menurut Al-Qur’an, Tuhan adalah Maha Luas (rahmat-Nya), Maha Mengetahui,[10] Paling Cepat Menghisab,[11] Maha Hidup, Maha Kekal dan Senantiasa Mengurus Makhluk-Nya,[12] Maha Tinggi, Maha Besar, Maha Benar (Maha Benar, Tepat dan Pemilik Hakikat)[13], Dzat Yang Memiliki Kebesaran dan Kemuliaan,[14] Tuhan Yang Tidak Bergantung pada sesuatu yang lain, dan segala sesuatu bergantung kepada-Nya.[15]
Tuhan adalah Maujud sebelum terwujudnya segala sesuatu, dan sekaligus Ia Akhir dari segala sesuatu, Maha Zhâhir dan sekaligus Bâthin.[16]
Tuhan Yang Tinggi (Transedental)[17], artinya Ia lebih tinggi dari segala yang kita tak akan dapat memahami dan menggambarkan sedikitpun hakikat, keindahan, dan keagungan-Nya.[18]
Mata-mata telanjang tak akan mampu melihat-Nya, sedang Ia melihat mata-mata.[19]
Tuhan Yang Tunggal dan Tidak Ada Tuhan Selain-Nya,[20] Ia Esa (Ahad),[21] Ia Satu (Wâhid),[22] dan tiada sesuatu yang sepadan dengan-Nya.[23]
Nama-nama terbaik adalah milik-Nya dan Ia dapat dipanggil dengan nama-nama tersebut.[24]
Ia adalah Raja Dunia yang sejati, Maha Suci dari segala cela, Pemberi selamat, Yang Mengaruniakan keamanan, Maha Pemelihara segala sesuatu, Maha Perkasa, Maha Kuasa, Yang Pantas Sombong.[25]
Pemilik sifat-Sifat Terbaik.[26] Kemanapun kita arahkan wajah kita, Ia senantiasa berada di sana.[27]
Ia Mengetahui segala sesuatu,[28] dan Kuasa atas segala sesuatu.[29]
Tuhan yang walaupun Maha Agung, Tidak Terbatas, tak memiliki tandingan dan partner, namun Ia lebih dekat kepada manusia dari urat nadi mereka, bahkan Ia mengetahui segala bisikan dalam jiwa manusia.[30]
Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang. Dua sifat ini begitu banyaknya di mana setiap surah Al-Qur’an selalu diawali dengan dua sifat ini “Bismillâhirrahmânirahîm”. Tuhan yang mewajibkan rahmat dan kelembutan bagi diri-Nya.[31]
Tuhan yang Maha Pengampun, Penghapus dosa, Maha Mengampuni, Maha Kuat,[32] Penakluk,[33] Maha Penakluk,[34] Penerima Taubat,[35] Maha Pemberi Anugerah,[36] Maha pencinta,[37] Maha pengasih,[38] Pemilik nikmat,[39] Pemilik rahmat,[40] Maha pengampun,[41] Pemilik keutamaan yang agung.[42]
Ia adalah Tuhan yang mendengar permintaan hamba-Nya sekaligus mengabulkannya,[43] tangan penuh rahmat dan kuasa-Nya senantiasa terbuka lebar, setiap yang diminta, pasti diberikannya, Ia Dzat Pemberi rizki.[44]
Tuhan dalam perspektif Al-Qur’an adalah Tuhan yang Maha Pencipta,[45] Pencipta langit dan bumi.[46] Bahkan lebih tinggi lagi, Ia adalah Pencipta segala sesuatu.[47] Dengan demikian, segala fenomena dan eksistensi yang ada di dunia bergantung dan butuh pada-Nya.
Tuhan, yang di langit sebagai Tuhan dan di bumi sebagai Tuhan pula.[48]
Di mana kita berada, Tuhan selalu bersama kita, dan Ia mengetahui segala perbuatan yang kita kerjakan.[49]
Tuhan dalam Al-Qur’an adalah Rabb (pemilik ikhtiar, raja, pengatur dan pengurus segala sesuatu) dan Tuhan semesta alam.[50]
Ia tak memiliki tandingan dan padanan, baik dalam Penciptaan, pemerintahan,[51] pengaturan,[52] pengadilan,[53] syafa’at,[54] dan kesempurnaan. Setiap bagian dan sempalan kesempurnaan bersumber dan berasal dari-Nya.[55]
Pada dasarnya, Al-Qur’an adalah sebuah kitab pengenalan terhadap Tuhan. Dari kedalaman dan kedetailan ayat-ayat-Nya sampai-sampai cendekiawan besar manapun tak sanggup untuk mengetahui hakikat dan realita-Nya. Definisi Al-Qur’an tentang Tuhan merupakan definisi terlengkap dan termudah, serta paling komperehensif. Oleh karena itu, Imam Khomeini ra, seorang arif nan bijak, pemikir dan mufassir besar mengatakan, ”Andaikan Al-Qur’an tidak ada, niscaya pintu untuk mengenal Allah akan tertutup selamanya…. Tak ada satu kitab pun yang dapat menjelaskan Tuhan sebagaimana yang dipaparkan olehnya, bahkan dalam kitab-kitab irfânî sekalipun...”.[56]
Ringkasan
1. Tidak ada Satu kitab pun yang mampu mengenalkan Tuhan selain kitab suci Al-Qur’an.
2. Tuhan memiliki segala sifat kesempurnaan, dan nama-nama terbaik hanya milik-Nya semata.
3. Ia Tunggal, Satu, dan tiada sesuatu yang sepadan dengan-Nya.
4. Tuhan, kendati Maha agung dan besar, namun Ia lebih dekat kepada manusia daripada urat nadi mereka, dan di manapun kita arahkan wajah kita, Ia pasti berada di sana.
5. Maha Pemberi Anugerah, Maha Pengasih, dan Tuhan Yang Rahmat-Nya Mengalahkan amarah dan murka-Nya.
6. Tangan-Nya selalu terbuka lebar, pengabul segala do’a, dan pecinta para hamba-Nya.
7. Tuhan Pencipta segala sesuatu dan pengatur segala urusan.
8. Andaikan Al-Qur’an tidak ada, niscaya pintu untuk mengenal Allah akan tertutup untuk selamanya (Imam Khomeini).
TUHAN, WUJUD BADI^HI^ (APRIORI)[57]
Aprioritas Eksistensi Tuhan Dalam Kaca Mata Al-Qur’an[58]
Buku-buku filsafat dan Kalâm seringkali dimulai dengan kajian mengenai penetapan keberadaan Tuhan yang dengan berbagai argumentasi berupaya membuktikan bahwa alam ini mempunyai Tuhan dan Ia bukanlah makhluk dan ciptaan siapapun.
Adapun dalam kitab-kitab langit seperti Al-Qur’an, tema tentang Tuhan dijelaskan sangat berbeda. Dalam kitab-kitab suci jarang ditemukan argumentasi secara langsung dalam menetapkan asal keberadaan Tuhan. Seakan-akan keberadaan-Nya adalah suatu hal yang gamblang dan jelas, yang tidak bisa diingkari dan tidak membutuh dalil maupun argumentasi.
Allamah Thabathabai dalam tafsir Al-Mîzânnya menegaskan, “Al-Qur’an menganggap keyakinan terhadap Tuhan merupakan permasalahan apriori (badîhî). Dengan artian, meyakini hal itu tidak memerlukan argumentasi. Yang perlu diargumentasikan adalah sifat-sifat-Nya saja, seperti ke-Esaan Tuhan, Penciptaan, ilmu dan kekuasaan-Nya.[59]
Menurut keyakinan mufassir besar ini dalam syi’ar Islam lâ ilâha illalâh– sebagai inti tuntunan Al-Qur’an – yang perlu diargumentasikan adalah sisi negatifnya yang berarti “tidak ada Tuhan selain Allah”. Adapun “Tuhan itu ada” sama sekali tidak memerlukan agumentasi sedikitpun”.[60]
Logika Al-Qur’an dalam menetapkan eksistensi Tuhan, adalah afillâhi syakk (apakah ada keraguan dalam keberadaan Allah?) [61]
Aprioritas Eksistensi Tuhan Dalam Perspektif Agama Lain
Sebagaimana telah kami terangkan di atas tadi, dalam kitab agama-agama langit yang lain teori semacam ini juga dipakai. A.J. Alberry dalam bukunya ‘Aql va Wahy dar Qur’ân (Akal dan Wahyu Dalam Al-Qur’an) mengatakan, “Di zaman Plato, Yunani menjadi asal muasal di mana penetapan keberadaan Tuhan membutuh argumentasi. Ini merupakan langkah pertama yang dilakukan masyarakat Barat dalam mencari Tuhan. Tidak ada seorang pun dari penulis kitab Perjanjian Lama (Taurat) yang mengalami kebuntuan dan kejelimetan dalam menjelaskan keberadaan Tuhan, yang menimbulkan pertanyaan dan keraguan. Karena bangsa Sâmî (bangsa Arab dan Yahudi) mengenal dan mengetahui Tuhan dalam wahyu itu sendiri. Hal ini juga terdapat dalam kitab Perjanjian Baru (Injil) kendati terdapat sedikit perbedaan”.[62]
Dari kitab Avesta (kitab suci agama Zoroaster – Pen.) juga bisa dipahami bahwa keberadaan Tuhan adalah sebuah hal yang apriori. Dengan demikian, aprioritas wujud Tuhan bukanlah keyakinan kaum Sâmî semata.
Alhasil, dalam UpaniShâds yang termasuk kitab-kitab suci agama Hindu, kendati terdapat penjelasan akan pertayaan tentang keberadaan Pencipta,[63] akan tetapi, lebih banyak didapati ungkapan siapa Pencipta itu? Apa sifat-sifat-Nya? Dan jarang ditemukan ungkapan tentang keraguan wujud Tuhan.
Masyarakat Jahiliyah Dan Keyakinan terhadap Tuhan
Dari ayat-ayat Al-Qur’an kita dapat memahami bahwa keberadaan Tuhan sudah diyakini oleh masyarakat jahiliyah kala itu. Tak terkecuali para penyembah berhala.
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنُ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَاْلقَمَرَ لَيْقُوْلُنَّ اللهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُوْنَ
“Dan jika mereka ditanya, “Siapa Pencipta langit dan bumi, dan siapa yang mengendalikan matahari dan rembulan?, niscaya mereka akan menjawab, “Allah!”, maka betapa mereka dapat dipalingkan dari jalan yang benar".[64]
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ نَزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَى بِهِ اْلأَرْضَ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُوْلُنَّ اللهُ قُلِ الْحَمْدُ ِللهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْقِلُوْنَ
“Dan disaat kamu bertanya pada mereka, “Siapakah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Ia menumbuhkan bumi setelah matinya, niscaya mereka akan akan berkata, “Allah!”. Katakanlah segala puji bagi Allah, akan tetapi sebagaian besar dari mereka tidak berakal dan tak berfikir".[65]
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ لَيَقُوْلُنَّ خَلَقَهُنَّ الْعَزِيْزُ الْعَلِيْمُ
“Dan ketika kamu bertanya pada mereka, “Siapa yang menciptakan langit-langit dan bumi, niscaya mereka akan mengatakan bahwa Dzat yang Maha Agung dan Maha mengetahuilah yang menciptakan semuanya”.[66]
Keyakinan Kaum Nuh, ‘A^d, Dan Tsamûd Terhadap Eksistensi Tuhan
Dari beberapa ayat Al-Qur’an juga dapat dipahami bahwa keberadaan Tuhan tidak hanya diyakini oleh masyarakat yang hidup sezaman dengan nabi SAWW. Kaum Nuh, ‘A^d, dan Tsamûd, serta kaum-kaum yang hidup setelah mereka, sama sekali tidak berpolemik dengan para nabi zamannya tentang masalah keberadaan Tuhan. Yang mereka pertentangkan adalah ke-Esaan Tuhan, kenabian, dan hari pembalasan. Para penyembah berhala juga demikian. Mereka menerima wujud Tuhan sebagai Pencipta alam, sedang patung dan berhala-berhala itu mereka sembah karena dianggap sebagai manifestasi wujud Tuhan.
Dengan kata lain, mereka menyembah berhala-berhala sebagai sarana dan penolong bagi mereka untuk berdialog dan mendapatkan keinginannya dari Tuhan.
أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَبَأُ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ قَوْمُ نُوْحٍ وَعَادٍ وَثَمُوْدَ وَالَّذِيْنَ مِنْ بَعْدِهِمْ لاَ يَعْلَمُهُمْ إِلاَّ اللهُ ... فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُتَوَكِّلُوْنَ
“Apakah telah sampai pada kalian kabar tentang kaum sebelum kalian; kaum Nuh, ‘A^d, dan Tsamûd serta generasi setelah mereka yang tidak diketahu kecuali oleh Allah? Para nabi di zaman mereka telah datang dan berusaha mengajak mereka, namun mereka menutup mulut-mulut mereka dengan tangan mereka,[67] dengan suara lantang mereka berkata, ”Kami tidak meyakini risalah dan misi yang kalian bawa dan kami sangat meragukan apa yang kalian serukan kepada kami untuk mempecayainya”.
Para nabi bertanya kepada mereka, “Apakah ada keraguan bahwa ada Pencipta langit dan bumi? Ia menyeru kalian sehingga dosa-dosa kalian terampuni, dan pada waktu yang telah ditentukan Ia telah memberikan tenggang waktu”. Akan tetapi mereka malah mengatakan, ”Tidak, kalian manusia biasa seperti kami, dan kalian ingin memalingkan kami dari apa yang telah disembah oleh para leluhur kami. Oleh karena itu, paling tidak berikan kami dalil yang lebih jelas lagi”.
Para nabi berkata, ”Memang kami manusia biasa seperti kalian, namun Tuhan telah memberikan nikmat-Nya pada hamba-Nya yang memiliki keinginan, dan misi ini sama sekali bukan ikhtiar kami sendiri untuk menjelaskan pada kalian, tetapi berkat izin Allah. Dan para Mukmin hanya bertawakkal kepada-Nya. Kemudian, kenapa tidak pasrahkan pada-Nya, padahal Ia telah menunjukkan jalan bagi kita? Kami tabah akan siksaan yang kalian lancarkan pada kami, dan orang-orang yang pasrah hanya bertawakal pada Allah”.
Allamah Thabathabai dalam menafsirkan ayat-ayat di atas, lebih menitikberatkan pada satu poin bahwa keraguan para penyembah berhala tidak tertuju pada konteks wujud Tuhan. Akan tetapi, mengenai ke-Esaan-Nya, risalah (kenabian), dan hari kebangkitan. Bahkan jika dicermati lebih dalam lagi, penggalan ayat yang mengatakan fâthiris samâwâti wal ardh juga dalam konteks pemberian argumentasi tentang ke-Esaan Tuhan, bukan mengenai wujud dan keberadaan-Nya.[68]
Thabarsî dalam tafsir Majma’ul Bayân dan Sayyid Qutub dalam Fî Zhilâlil Qur’annya serta sekelompok mufassir yang lain juga berpendapat yang sama, bahwa pengingkaran para penyembah berhala itu tertuju pada konteks ke-Esaan Tuhan, bukan wujud-Nya.
Ringkasan
1. Dalam kitab-kitab langit, seperti Al-Qur’an, keberadaan wujud Tuhan merupakan hal yang telah diterima (oleh semua) dan amat gamblang sehingga tidak perlu diragukan dan diargumentasikan lagi.
2. Seperti dikatakan oleh sebagaian penulis Barat, tidak ada seorang pun penulis kitab Taurat dan Injil yang mengalami kerancuan dalam keberadaan Tuhan, dan menganggapnya sebagai hal yang tak perlu diargumentasikan. Hal serupa juga dapat kita jumpai dalam Avesta dan kitab-kitab suci agama yang lain.
3. Dari ayat-ayat Al-Qur’an kita dapat memahami kalau masyarakat yang hidup sezaman dengan Nabi, tak terkecuali para penyembah berhala, telah meyakini wujud Tuhan.
4. Dari berbagai ayat Al-Qur’an juga dapat dipahami bahwa keyakinan akan wujud Tuhan juga telah diyakini oleh kaum Nuh, kaum ‘A^d, kaum Tsamûd, dan kaum-kaum lain setelah mereka. Polemik dan pertentangan yang digalang oleh mereka hanya berkisar pada ke-Esaan (Tauhîd), kenabian (Nubuwwah), dan hari kebangkitan (Ma’ad).
FITRAH DAN TUHAN
Dari ayat-ayat Al-Qur’an kita dapat meyimpulkan beberapa poin penting berikut ini:
1. Keyakinan akan wujud Tuhan.
2. Kecenderungan untuk ber-Tuhan.
3. Kecenderungan untuk menyembah-Nya merupakan hal fitri. Artinya, hal itu sudah ada dalam diri manusia.
Sebelum kita bawakan ayat-ayat yang memuat pon-poin di atas, alangkah baiknya jika kita sebutkan beberapa proposisi lazim berikut ini:
Arti Linguistik Fitrah
Fitrah yang bermakna robek dari sisi panjang, diambil dari akar kata فطر Kemudian, semua yang terbelah dan terkoyak disebut fitrah. Ciptaan disebut juga demikan, sebab wujud dan keberadaan telah merobek alam kegelapan dan ketiadaan yang membungkusnya. Makna ini adalah arti paling populer dari kata fitrah, sebagaimana inovasi dan kreasi baru juga bisa dipahami dari kata ini.
Fitrah yang mengikuti wazan fi’lah berarti nau’ (kualitas dan cara). Oleh karena itu, secara linguistik fitrah bermakna sebuah sistem khusus penciptaan. Dengan demikian, fitrah manusia artinya ciptaan khusus yang tersimpan dalam diri manusia.[69]
Kata fitrah ini juga pertama kali dipakai oleh Al-Qur’an dalam kaitannya dengan manusia, dan sebelumnya tidak pernah ada pemakaian kata fitrah seperti ini.[70]
Fitrah Dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an banyak sekali memakai kata fitrah dan musytaqnya, seperti berikut:
- فَاطِرِ السَّمَوَاتِ وَ الأَرْضَ[71].
- فَطَرَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ[72].
- فَطَرَنَا[73].
- فَطَرَنِي[74].
- فَاطِرُ السَّمَوَاتِ وَ الأَرْضَ[75].
ِِِِAdapun arti dari penggalan ayat-ayat di atas adalah berbeda-beda. Ada yang bermakna ciptaan, maujud, dan sebagainya. Futhûr dalam ayat ke-8 surah Al-Mulk bermakna belahan, sedangkan Munfathirdalam ayat ke-18 surah Al-Muzzammil berarti sesuatu yang terbelah.
Sedangkan kata fitrah sendiri hanya sekali dibawakan oleh Al-Qur’an. Itu pun dengan dinisbatkan kepada Allah (Fithratallâh), dan hanya dikhususkan pada manusia (fatharan nâsa alaihâ). Kata itu terdapat dalam ayat 30 surah Ar-Rûm.
Ayat inilah yang menjadi sumber munculnya terminologi fitrah dalam Islam dan mengilhami para filsuf, cendekiawan, dan kaum arif dalam mengkaji ma’rifatullâh dan ma’rifatul insân.
Fitrah Ilahi Manusia
Setiap aliran yang mengklaim bahwa kesempurnaan dan kebahagiaan manusia bisa dicapai dengan mengamalkan segala tuntunannya, lazimnya memiliki pandangan dan definisi tersendiri mengenai manusia, yang pada akhirnya, berdasarkan definisi dan pemahaman tersebut, mereka dapat menentukan jalan dan kiat untuk sampai padanya.
Dalam Islam, pandangan dan kajian tentang manusia yang termuat di dalam Al-Qur’an atau dalam riwayat para ma’shûm as tidak bisa dihitung jumlahnya. Begitu banyaknya kajian dan analisa berkenaan hal itu, membahasnya akan banyak memakan waktu dan memunculkan buku-buku yang sangat tebal.[76]
Kata terbaik untuk mengungkap dan mengekspresikan pandangan Islam tentang manusia adalah istilah fitrah. Dengan demikian, bisa dikatakan teori Islam dalam menganalisa dan menyelami wujud manusia adalah teori fitrah.
Penjelasan Global Tentang Teori Fitrah
# Manusia dengan bentuk ciptaannya memiliki format khusus. Ia juga memiliki pengetahuan-pengetahuan serta kecenderungan-kecenderungan khusus yang muncul dari dalam wujudnya, bukan dari luar fisik. Dengan kata lain, manusia bukanlah kain putih nan polos dan tak bertulis sebelumnya (kosong dari segalanya). Akan tetapi, dalam lubuk hati setiap manusia sudah tersimpan sejumlah kecenderungan-kecenderungan dan pengetahuan-pengetahuan khusus.
# Kecenderungan yang berada dalam diri manusia itu sebagian berhubungan dengan bagian hewani, dan sebagian lagi berhubungan dengan kemanusiannya. Fitrah Ilahi manusia hanya bertalian dengan kecenderungan kelompok kedua (kecenderungan manusiawi), dan tidak berhubungan sama sekali dengan insting kebinatangan mereka, seperti insting seksualitas.
# Kecenderungan-kecenderungan inilah yang menjadi faktor pembeda dan kelebihan manusia dari binatang. Oleh karena itu, siapapun yang kehilangan kecenderungan-kecenderungan tersebut, ia tak ubahnya seperti hewan dalam bentuk manusia.
# Kecenderungan ini adalah spesies manusia. Artinya, kecenderungan itu tidak terbatas pada segelintir orang saja atau khusus dimiliki kelompok masyarakat dalam masa tertentu. Kecenderungan itu dimiliki oleh semua manusia di setiap waktu dan tempat serta dalam kondisi bagaimanapun.
# Kecenderungan ini potensial sifatnya. Dengan kata lain, ia dimiliki oleh setiap manusia. Akan tetapi, tumbuh dan berkembangnya bergantung pada upaya dan usaha masing-masing individu manusia.
# Jika manusia mampu memelihara dan memupuk kecenderungan ini, ia akan menjadi makhluk terbaik, bahkan lebih baik dari para malaikat sekalipun, dan ia akan sampai pada kesempurnaannya. Tapi sebaliknya, jika kecenderungan itu mati yang secara otomatis kecenderungan hewani akan menguat dan unggul, orang semacam ini akan lebih rendah dari setiap binatang dan terjerembab ke dasar neraka yang paling dalam.
# Sebagaimana telah kita katakan tadi, fitrah manusia terkadang masuk dalam kategori persepsi dan pengetahuan, terkadang masuk dalam kategori kecenderungan dan keinginan. Ekstemporal primer (badihiyât awwaliyah) yang dibahas dalam ilmu logika, merupakan bagian dari pengetahuan-pengetahuan fitri manusia. Sedangkan hal-hal, seperti rasa ingin tahu, cinta keutamaan, dan cinta kecantikan dan keelokan adalah bagian dari kecenderungan-kecenderungan fitrah manusia.
Mengenal Dan Menyembah Tuhan Adalah Hal Fitri
Dari ajaran Al-Qur’an bisa kita pahami bahwa mengenal Tuhan dan kecenderungan ber-Tuhan merupakan sebuah hal yang fitri. Sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam pembahasan “Tuhan Wujud Aprior bagi Semua”, keyakinan akan wujud Tuhan adalah sebuah “kesepakatan” dan bukan hal samar yang terselubung sehingga memerlukan argumentasi untuk membuktikannya. Dari pembahasan itu kita bisa memahami arti mengenal Tuhan adalah fitri.
Salah satu ayat yang mengidikasikan hal tersebut adalah ayat ke 30 surah Ar-Rûm.
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًا فِطْرَةَ اللهِ الَّتِيْ فَطَرَالنَّاسَ عَلَيْهَا لاَ تَبْدِْيلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَالنَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ
Ayat ini dengan gamblang menegaskan bahwa agama adalah hal yang fitri. Dalam menjelaskan arti dari “agama” (dîn) yang terdapat dalam ayat di atas, para mufassir terbagi ke dalam dua kelompok:
a. Kelompok pertama berpendapat bahwa maksud dari agama (dîn) tersebut adalah sekumpulan ajaran, hukum yang berlandaskan ke-Islaman. Berdasarkan pendapat ini, semua yang terdapat dalam agama – dimana tuntunan terbaiknya berupa pengenalan dan penghambaan terhadap Tuhan – adalah bersifat fitri dan tersimpan dalam setiap diri manusia. Allâmah Thabathabai, salah satu dari sekian banyak mufassirîn yang meyakini pendapat ini.
b. Kelompok kedua berpendapat bahwa maksud dari agama yang sesuai dengan fitrah adalah kondisi pasrah dan tunduk secara murni di hadapan Tuhan. Karena tunduk dan taat sepenuhnya atas perintah Tuhan merupakan inti dari agama.
إِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللهِ اْلإِسْلاَمُ
Berdasarkan pendapat ini, maksud dari naluri beragama adalah sebuah fitrah )kecenderungan( untuk menyembah Tuhan sudah ada dari dulu dalam jiwa manusia. Dan jelas, ketika kita katakan penyembahan terhadap Tuhan suatu yang fitri, maka pengenalan tentang-Nya pun harus fitri juga. Karena bagaimana mungkin secara fitrah kita menyembah Tuhan, di saat kita tidak mengenal-Nya (secara fitri)?
Ringkasan
1. Ayat-ayat Al-Qur’an secara gamblang menjelaskan bahwa keyakinan terhadap keberadaan Tuhan, kecenderungan untuk ber-Tuhan dan naluri untuk menyembah-Nya adalah hal yang fitri.
2. Salah satu arti kata fathara adalah penciptaan, sedangkan fitrah secara linguistik bermakna sistem khusus penciptaan. Dengan demikian, fitrah manusia berarti sebuah sistem ciptaan khusus bagi manusia.
3. Kata fitrah hanya sekali disebutkan dalam Al-Qur’an (Ar-Rûm : 30), itupun dengan bentuk penisbatan kepada Allah, dan khusus bagi manusia.
4.Perspektif Islam tentang manusia dapat dijelaskan melalui teori fitrah.
5.Berdasarkan teori fitrah:
# Manusia sesuai dengan tabiat ciptaannya yang pertama, memiliki bentuk khusus, dan sudah sejak awal memiliki pengetahuan dan kecenderungan-kecenderungan khusus.
# Fitrah Ilahi manusia hanya berkaitan dengan kelompok kecenderungan-kecenderungan khusus insani, bukan kecenderungan yang sama-sama dimiliki oleh manusia dan hewan.
# Pengertian dan kecenderungan fitrah manusia merupakan faktor pembeda antara manusia dan hewan.
# Kecenderungan fitri dimiliki oleh setiap individu manusia.
# Kecenderungan tersebut tersimpan dalam diri manusia dan potensial sifatnya, di mana tumbuh dan berkembangnya tergantung pada setiap usaha masing-masing individu.
# Apabila manusia dapat memupuk dan mengembangkan kecenderungan itu, ia akan lebih utama dari pada malaikat, dan sebaliknya, andaikan kecenderungan potensial ini gersang dan mati, niscaya ia akan lebih rendah dari posisi hewan.
# Badihiyât awaliyah(apriori primer) termasuk pengetahuan fitrah, sedang rasa ingin tahu, rasa ingin unggul dari yang lain, rasa cinta keindahan termasuk kecenderungan-kecenderungan fitriyah.
6. Sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an, mengenal Tuhan dan naluri ber-Tuhan adalah hal yang bersifat fitri.
7. Maksud dari dîn dalam ayat fitrah (Ar-Rûm : 30) bisa berarti sekumpulan ajaran-ajaran dan hukum-hukum pokok Islam, atau kondisi penyerahan diri dan tunduk secara total di hadapan Allah. Alhasil, dari ayat di atas dapat dipahami bahwa mengenal Tuhan dan meyembahannya adalah hal yang bersifat fitri.
MENGENAL TUHAN
Ugensitas Mengenal Tuhan[1]
Tanpa melihat dampak praktis individual atau sosial yang muncul dari pengenalan terhadap Tuhan, Asmâ`, dan sifat-sifat mulia-Nya, hal itu merupakan satu hal berharga yang dapat berpengaruh dalam kebahagiaan manusia. Karena kesempurnaan manusia terletak pada pengetahuan yang benar berkenaan dengan Diri-Nya. Manusia yang tidak mengenal Tuhan sebagaimana mestinya, ia tidak akan mungkin sampai pada kesempurnaannya, bagaimanapun ia berusaha dan beramal saleh.
Pengetahuan yang benar tentang Tuhan merupakan kesempurnaan spiritual tertinggi yang mampu membawa manusia kepada hakekat di sisi-Nya.
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
“Kepada-Nya membumbung perkataan-perkataan yang baik dan amal yang salehlah yang menaikkan-Nya”. (QS. Fâthir : 10)[2]
Syahid Mutahhari dalam konteks ini menuturkan, “Kemanusiaan menusia terletak pada pengetahuannya tentang Tuhan, karena pengetahuan manusia tidak bisa terpisah dari-Nya, bahkan pengetahuan tersebut merupakan hal termulia dan termurni dalam eksistensi-Nya. Sejauh mana manusia mengetahui eksistensi, sistem, awal dan sumber eksistensi itu, maka terbentuklah kemanusiaannya yang separuh dari substansinya adalah ilmu pengetahuan. Menurut perspektif Islam, khususnya dalam perspektif Syi’ah, tanpa memandang efek praktis dan sosial yang ditimbulkan, mengenal Tuhan merupakan tujuan dari manusia dan kemanusiaan itu sendiri”.[3]
Tuhan, Siapakah itu?
Siapa wujud yang disebut Allah oleh orang Arab, God oleh orang Barat, dan Khudo oleh orang Persia? Apa sifat-sifat-Nya? Apa hubungannya dengan kita? Bagaimana cara kita berhubungan dengan-Nya? Dan seterusnya.
Dengan memperhatikan sejarah manusia, kita akan dapat memahami bahwa keyakinan terhadap keberadaan Tuhan telah muncul sejak dahulu kala. Dengan kata lain, sejarah keyakinan terhadap Tuhan muncul seiring dengan keberadaan manusia. Tetapi, hal ini bukan berarti semua orang yang meyakini Tuhan memiliki persepsi dan definisi yang sama.
Polemik dan perbedaan pendapat tentang Tuhan ini sangatlah dahsyat sekali, terlebih di kalangan orang-orang yang mengandalkan akal dan pemikiran pribadi tanpa mendengarkan tuntunan para duta Ilahi. Sebelum kita menjelaskan sifat-sifat Tuhan dalam kaca mata Islam, alangkah baiknya jika kita bandingkan terlebih dahulu konsep Tauhîd dalam Islam dan konsep ke-Tuhanan dan beragama dalam pandangan agama lain. Untuk itu, di sini kami akan bawakan beberapa pandangan para ilmuwan nomor satu dunia mengenai Tuhan.
a. Tuhan Dalam Perspektif Sokrates
Sokrates (399-470) tidak berbeda dengan orang Yunani kebanyakan. Ia meyakini Tuhan yang berbilang. Berdasarkan sejarah filsafat yang dinukil dari karya-karyanya, Sokrates berkeyakinan bahwa manusia tidak butuh lagi bimbingan dan “uluran tangan” Tuhan untuk sampai pada kebahagiaannya. Sokrates juga tidak menyebut sama sekali posisi dan hubungan Tuhan dengan kehidupan manusia, walaupun pada tempat lain ia berkeyakinan bahwa kesempurnaan manusia harus berlandaskan moral dan etika.
b.Tuhan Dalam Perspektif Plato
Plato (348/347-428/427) berasumsi bahwa ada dua eksistensi yang disebut sebagai Tuhan: pertama, kebaikan absolut, dan kedua, Pencipta. Plato beranggapan bahwa kebaikan absolut adalah Tuhan asli atau Tuhan Bapak, sedang Pencipta adalah Tuhan Anak. Menurut keyakinannya, pengetahuan tentang kebaikan absolut sangatlah sulit, bahkan merupakan pengetahuan tersulit yang dapat dicapai. Dua Tuhan ini hanya bisa diketahui dan dipahami oleh para filsuf, di mana mereka adalah pribadi-pribadi yang memiliki keistimewaan spiritual, nalar, dan bahkan fisik. Perlu diingat bahwa bukan sembarang filsuf yang ia maksud. Yang dimaksud adalah hanya para filsuf yang telah menginjak usia 50 tahun yang mampu memahami kebenaran absolut. Sedangkan kelompok lain yang merupakan mayoritas, tidak akan mampu memahami keberadaan-Nya sampai kapanpun.
c. Tuhan Dalam Perspektif Arestoteles
Menurut keyakinan Arestoteles (322/321-384/383), alam senantiasa ada dari sejak dulu kala, dan tidak diciptakan oleh siapa pun. Oleh karenanya, Tuhan versi Arestoteles bukan Pencipta alam, tetapi penggerak alam itu sendiri yang diyakininya sebagai Tuhan; penggerak yang ia sendiri tidak bergerak. Ciri paling dominan yang dimilki oleh Tuhan versi Arestoteles ini adalah ia penggerak dan ia sendiri tak bergerak. Adapun poin penting dalam pengenalan Tuhan dalam perspektif Arestoteles adalah Tuhan tidak layak disembah, dicintai dan dinanti pertolongan-Nya. Tuhan Arestoteles tidak bisa menjawab dan membalas cinta hamba-Nya. Ia tidak memiliki andil sedikitpun dalam setiap tindakan manusia. Ia hanya sibuk memikirkan diri-Nya sendiri.[4]
d. Tuhan Dalam Perspektif Kaum Kristiani Abad Pertengahan
Pada pembahasan faktor-faktor yang membuat orang lari dari agama di Barat, telah kita singgung illustrasi gereja tentang Tuhan. Di sini kita akan tambahkan bahwa pada abad pertengahan, konsep ber-Tuhan adalah salah satu penyebab dari sekian banyak sebab yang berpengaruh dalam kehidupan. Orang-orang yang meyakini keberadaan Tuhan pada era ini selalu berasumsikan bahwa setiap fenomena yang tidak diketahui penyebab aslinya, seperti gerhana matahari dan bulan, mereka larikan semuanya kepada Tuhan dan menganggap Tuhanlah penyebab segalanya.
Kongklusi dari pendapat ini adalah Tuhan hanya bisa diketahui dalam kebodohan mereka, dan secara otomatis, semakin bertambah pengetahuan kita, maka semakin sempitlah ruang lingkup Tuhan, sehingga andaikata pada suatu saat segala tabir yang menutupi manusia tersingkap dan manusia telah memahami faktor naturalis dari berbagai fenomena, niscaya tidak ada tempat lagi bagi Tuhan dalam kehidupannya untuk selamanya.
Berdasarkan persepsi ini, hanya sebagian saja dari eksistensi yang menunjukan keberadaan Tuhan. Eksistensi tersebut adalah eksistensi yang tidak diketahui sebab keberadaan-Nya. August Comte mengatakan, “Ilmu pengetahuan adalah pemisah Tuhan dari kerja-Nya”.[5]
Maksud dari ungkapan ini adalah sampai sekarang manusia berasumsi bahwa sebab dari segala sesuatu adalah Tuhan. Artinya, Tuhan adalah seperti simbol kekuatan yang dipahami oleh mereka. Tak ubahnya bagaikan tukang sihir yang tanpa pendahuluan apapun sanggup menciptakan sesuatu. Contohnya, jika seseorang sakit kepala, kemudian ia ditanya kenapa kau sakit kepala, jawabannya adalah Tuhan yang menciptakannya. Maksud dari ungkapan ini adalah tidak ada faktor alami yang membuat sakit kepala itu. Sebagai konsekuensinya, ketika dipahami bahwa sakit kepala itu disebabkan oleh firus ini dan itu, maka Tuhan tidak mendapatkan tempat lagi di dalam benak mereka. Dan begitulah seterusnya, semakin tersingkap sebab-sebab (segala fenomena alam) yang dulunya terselubung, maka pengaruh Tuhan akan semakin sempit dan sempit hingga akhirnya tidak mereka yakini sama sekali.
Pada dasarnya, kelompok yang meyakini Tuhan seperti ini, mereka menganggap Tuhan tak lebih dari bagian alam semata.[6]
e.Tuhan Dalam Perspektif Galileo
Setelah abad pertengahan berlalu dengan mementaskan parade akbar ilmu-ilmu empiris, para ilmuwan yang tentunya memiliki landasan empirik, seperti Galileo (1564-1642), berpandangan lain tentang Tuhan. Ia berpendapat, “Alam adalah kumpulan dari sekian milyard atom yang tak terhingga. Setiap benda tersusun dari atom-atom itu, sedang “kerja” Tuhan hanyalah menciptakan dan menyediakan atom-atom itu, sehingga ketika alam sudah tercipta berkat Tuhan (sebagai Pencipta atom), ia tidak butuh lagi kepada-Nya, dan berjalan sendiri secara independen”.[7]
f.Tuhan Dalam Perspektif Newton
Newton (1642-1727) menganggap bahwa hubungan Tuhan dan makhluk-Nya seperti hubungan jam dan pembuatnya. Sebagaimana jam bisa berjalan sendiri setelah dirancang dan disusun, alam pun juga demikian setelah diciptakan oleh Tuhan. Secara independen, ia wujud sebagaimana kita lihat sekarang. Newton juga menambahkan satu poin yang menjadi faktor pembeda pendapatnya dengan pendapat Galileo. Ia mengatakan, “Tuhan terkadang turun tangan dalam masalah tertentu. Tuhan juga meluruskan dan menata ketidakteraturan gerak planet-planet, dan mencegah benterokan-benterokan antara bintang satu dengan yang lain”.
Pendapat ini dapat kita katakan sebagai kelanjutan dari pandangan umum yang populer di abad-abad pertengahan yang meyakini Tuhan berada dalam tempat-tempat yang tak diketahui sebabnya. Ketika terungkap bahwa tidak terjadinya bentrokan antara galaksi bukan karena campur tangan langsung dari Tuhan dan sesuai dengan undang-undang ilmiah, maka untuk kesekian kalinya ”kerja” Tuhan kembali menyempit dan terbatas.[8]
Mayoritas ilmuwan yang hidup pada abad ke-17 dan 18 lebih meyakini pendapat Galileo ketimbang yang lain. Keyakinan tersebut, seperti yang kita bawakan sebelumnya, mengatakan, Tuhan menciptakan alam yang – dalam kelanjutannya – tidak membutuhkan lagi kepada Tuhan, seperti sebuah bangunan yang tidak butuh lagi kepada arsitek untuk kelanggengannya.
Ringkasan
1. Kemanusian manusia tergantung pada seberapa banyak pengetahuannya terhadap Tuhan, karena ilmu dan pengetahuan manusia merupakan bagian terpenting dan termulia dari eksistensinya. Mengenal Tuhan juga merupakan tujuan kemanusiaan.
2. Sokrates (399-470 SM.) meyakini adanya beberapa Tuhan, dan manusia untuk sampai pada kebahagiaannya tidak butuh lagi pada petunjuk dan bimbingan Tuhan. Sokrates tidak menjelaskan secara rinci kedudukan Tuhan serta hubungan-Nya dengan kehidupan manusia.
3. Plato (348/7-428 SM.) meyakini adanya dua Tuhan. Namun, hanya para filsuf sajalah yang mampu memahami dan mengenal dua Tuhan tersebut. Itupun setelah melalui beberapa jenjang dan tahapan yang amat padat di usia 50 tahunan. Sedang lapisan masyarakat yang lain, mereka tidak akan dapat mengenal Tuhan untuk selamanya.
4. Arestoteles (322/1-384 SM.) berasumsi bahwa alam itu Qadîm yang tidak diciptakan oleh siapapun. Tuhan versi Arestoteles bukanlah Pencipta alam, akan tetapi Ia hanya penggerak alam. Dalam keyakinannya, Tuhan tidak layak untuk disembah, dicintai, dan tak dapat dinanti pertolongan-Nya, sebab Ia tak mampu menjawab cinta kasih manusia, dan tak dapat melakukan apapun untuk manusia.
5. Kaum Kristiani abad pertengahan memiliki gambaran lain akan Tuhan. Mereka mensejajarkan Tuhan dengan sebab-sebab lain yang berpengaruh dalam kehidupan, dan ketika penyebab sebuah pristiwa tidak mereka ketahui, mereka langsung mengembalikannya kepada Tuhan.
6. Dalam perspektif Galileo, “kerja” Tuhan hanyalah menciptakan atom-atom saja. Dunia, setelah tercipta, tidak lagi membutuhkan Tuhan. Oleh karena itu, ada-tidaknya Tuhan setelah itu tidak berpengaruh sama sekali atas alam. Teori dan pendapat ini banyak dianut oleh para ilmuwan abad ke-17 dan 18-an Masehi.
7. Newton meyakini hubungan Tuhan dan alam seperti hubungan arloji dan pembuatnya. Ia berkeyakinan, sewaktu-waktu Tuhan juga turun tangan untuk mengatur alam. Dan Ia juga mencegah sebagian ketidakteratuan dalam gerak dan perputaran galaksi.
TUHAN DALAM ISLAM
Sekilas Tentang Sifat-Sifat Tuhan Dalam Perspektif Al-Qur’an
Bisa dikatakan bahwa argumen pokok munculnya Islam adalah penjelasan tentang hakikat Tuhan sebagaimana mestinya.[9] Tidak ada teks dan literarur agama yang selengkap dan sebaik Al-Qur’an dalam memaparkan sifat-sifat Allah SWT. Bahkan agama sebelum Islam pun tak mampu menjelaskannya secara komprehensif. Al-Qur’an telah menjelaskan sifat-sifat Allah SWT dalam bentuk yang paling komplit walaupun dalam batas kemampuan pemahaman dan bahasa manusia.
Menurut Al-Qur’an, Tuhan adalah Maha Luas (rahmat-Nya), Maha Mengetahui,[10] Paling Cepat Menghisab,[11] Maha Hidup, Maha Kekal dan Senantiasa Mengurus Makhluk-Nya,[12] Maha Tinggi, Maha Besar, Maha Benar (Maha Benar, Tepat dan Pemilik Hakikat)[13], Dzat Yang Memiliki Kebesaran dan Kemuliaan,[14] Tuhan Yang Tidak Bergantung pada sesuatu yang lain, dan segala sesuatu bergantung kepada-Nya.[15]
Tuhan adalah Maujud sebelum terwujudnya segala sesuatu, dan sekaligus Ia Akhir dari segala sesuatu, Maha Zhâhir dan sekaligus Bâthin.[16]
Tuhan Yang Tinggi (Transedental)[17], artinya Ia lebih tinggi dari segala yang kita tak akan dapat memahami dan menggambarkan sedikitpun hakikat, keindahan, dan keagungan-Nya.[18]
Mata-mata telanjang tak akan mampu melihat-Nya, sedang Ia melihat mata-mata.[19]
Tuhan Yang Tunggal dan Tidak Ada Tuhan Selain-Nya,[20] Ia Esa (Ahad),[21] Ia Satu (Wâhid),[22] dan tiada sesuatu yang sepadan dengan-Nya.[23]
Nama-nama terbaik adalah milik-Nya dan Ia dapat dipanggil dengan nama-nama tersebut.[24]
Ia adalah Raja Dunia yang sejati, Maha Suci dari segala cela, Pemberi selamat, Yang Mengaruniakan keamanan, Maha Pemelihara segala sesuatu, Maha Perkasa, Maha Kuasa, Yang Pantas Sombong.[25]
Pemilik sifat-Sifat Terbaik.[26] Kemanapun kita arahkan wajah kita, Ia senantiasa berada di sana.[27]
Ia Mengetahui segala sesuatu,[28] dan Kuasa atas segala sesuatu.[29]
Tuhan yang walaupun Maha Agung, Tidak Terbatas, tak memiliki tandingan dan partner, namun Ia lebih dekat kepada manusia dari urat nadi mereka, bahkan Ia mengetahui segala bisikan dalam jiwa manusia.[30]
Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang. Dua sifat ini begitu banyaknya di mana setiap surah Al-Qur’an selalu diawali dengan dua sifat ini “Bismillâhirrahmânirahîm”. Tuhan yang mewajibkan rahmat dan kelembutan bagi diri-Nya.[31]
Tuhan yang Maha Pengampun, Penghapus dosa, Maha Mengampuni, Maha Kuat,[32] Penakluk,[33] Maha Penakluk,[34] Penerima Taubat,[35] Maha Pemberi Anugerah,[36] Maha pencinta,[37] Maha pengasih,[38] Pemilik nikmat,[39] Pemilik rahmat,[40] Maha pengampun,[41] Pemilik keutamaan yang agung.[42]
Ia adalah Tuhan yang mendengar permintaan hamba-Nya sekaligus mengabulkannya,[43] tangan penuh rahmat dan kuasa-Nya senantiasa terbuka lebar, setiap yang diminta, pasti diberikannya, Ia Dzat Pemberi rizki.[44]
Tuhan dalam perspektif Al-Qur’an adalah Tuhan yang Maha Pencipta,[45] Pencipta langit dan bumi.[46] Bahkan lebih tinggi lagi, Ia adalah Pencipta segala sesuatu.[47] Dengan demikian, segala fenomena dan eksistensi yang ada di dunia bergantung dan butuh pada-Nya.
Tuhan, yang di langit sebagai Tuhan dan di bumi sebagai Tuhan pula.[48]
Di mana kita berada, Tuhan selalu bersama kita, dan Ia mengetahui segala perbuatan yang kita kerjakan.[49]
Tuhan dalam Al-Qur’an adalah Rabb (pemilik ikhtiar, raja, pengatur dan pengurus segala sesuatu) dan Tuhan semesta alam.[50]
Ia tak memiliki tandingan dan padanan, baik dalam Penciptaan, pemerintahan,[51] pengaturan,[52] pengadilan,[53] syafa’at,[54] dan kesempurnaan. Setiap bagian dan sempalan kesempurnaan bersumber dan berasal dari-Nya.[55]
Pada dasarnya, Al-Qur’an adalah sebuah kitab pengenalan terhadap Tuhan. Dari kedalaman dan kedetailan ayat-ayat-Nya sampai-sampai cendekiawan besar manapun tak sanggup untuk mengetahui hakikat dan realita-Nya. Definisi Al-Qur’an tentang Tuhan merupakan definisi terlengkap dan termudah, serta paling komperehensif. Oleh karena itu, Imam Khomeini ra, seorang arif nan bijak, pemikir dan mufassir besar mengatakan, ”Andaikan Al-Qur’an tidak ada, niscaya pintu untuk mengenal Allah akan tertutup selamanya…. Tak ada satu kitab pun yang dapat menjelaskan Tuhan sebagaimana yang dipaparkan olehnya, bahkan dalam kitab-kitab irfânî sekalipun...”.[56]
Ringkasan
1. Tidak ada Satu kitab pun yang mampu mengenalkan Tuhan selain kitab suci Al-Qur’an.
2. Tuhan memiliki segala sifat kesempurnaan, dan nama-nama terbaik hanya milik-Nya semata.
3. Ia Tunggal, Satu, dan tiada sesuatu yang sepadan dengan-Nya.
4. Tuhan, kendati Maha agung dan besar, namun Ia lebih dekat kepada manusia daripada urat nadi mereka, dan di manapun kita arahkan wajah kita, Ia pasti berada di sana.
5. Maha Pemberi Anugerah, Maha Pengasih, dan Tuhan Yang Rahmat-Nya Mengalahkan amarah dan murka-Nya.
6. Tangan-Nya selalu terbuka lebar, pengabul segala do’a, dan pecinta para hamba-Nya.
7. Tuhan Pencipta segala sesuatu dan pengatur segala urusan.
8. Andaikan Al-Qur’an tidak ada, niscaya pintu untuk mengenal Allah akan tertutup untuk selamanya (Imam Khomeini).
TUHAN, WUJUD BADI^HI^ (APRIORI)[57]
Aprioritas Eksistensi Tuhan Dalam Kaca Mata Al-Qur’an[58]
Buku-buku filsafat dan Kalâm seringkali dimulai dengan kajian mengenai penetapan keberadaan Tuhan yang dengan berbagai argumentasi berupaya membuktikan bahwa alam ini mempunyai Tuhan dan Ia bukanlah makhluk dan ciptaan siapapun.
Adapun dalam kitab-kitab langit seperti Al-Qur’an, tema tentang Tuhan dijelaskan sangat berbeda. Dalam kitab-kitab suci jarang ditemukan argumentasi secara langsung dalam menetapkan asal keberadaan Tuhan. Seakan-akan keberadaan-Nya adalah suatu hal yang gamblang dan jelas, yang tidak bisa diingkari dan tidak membutuh dalil maupun argumentasi.
Allamah Thabathabai dalam tafsir Al-Mîzânnya menegaskan, “Al-Qur’an menganggap keyakinan terhadap Tuhan merupakan permasalahan apriori (badîhî). Dengan artian, meyakini hal itu tidak memerlukan argumentasi. Yang perlu diargumentasikan adalah sifat-sifat-Nya saja, seperti ke-Esaan Tuhan, Penciptaan, ilmu dan kekuasaan-Nya.[59]
Menurut keyakinan mufassir besar ini dalam syi’ar Islam lâ ilâha illalâh– sebagai inti tuntunan Al-Qur’an – yang perlu diargumentasikan adalah sisi negatifnya yang berarti “tidak ada Tuhan selain Allah”. Adapun “Tuhan itu ada” sama sekali tidak memerlukan agumentasi sedikitpun”.[60]
Logika Al-Qur’an dalam menetapkan eksistensi Tuhan, adalah afillâhi syakk (apakah ada keraguan dalam keberadaan Allah?) [61]
Aprioritas Eksistensi Tuhan Dalam Perspektif Agama Lain
Sebagaimana telah kami terangkan di atas tadi, dalam kitab agama-agama langit yang lain teori semacam ini juga dipakai. A.J. Alberry dalam bukunya ‘Aql va Wahy dar Qur’ân (Akal dan Wahyu Dalam Al-Qur’an) mengatakan, “Di zaman Plato, Yunani menjadi asal muasal di mana penetapan keberadaan Tuhan membutuh argumentasi. Ini merupakan langkah pertama yang dilakukan masyarakat Barat dalam mencari Tuhan. Tidak ada seorang pun dari penulis kitab Perjanjian Lama (Taurat) yang mengalami kebuntuan dan kejelimetan dalam menjelaskan keberadaan Tuhan, yang menimbulkan pertanyaan dan keraguan. Karena bangsa Sâmî (bangsa Arab dan Yahudi) mengenal dan mengetahui Tuhan dalam wahyu itu sendiri. Hal ini juga terdapat dalam kitab Perjanjian Baru (Injil) kendati terdapat sedikit perbedaan”.[62]
Dari kitab Avesta (kitab suci agama Zoroaster – Pen.) juga bisa dipahami bahwa keberadaan Tuhan adalah sebuah hal yang apriori. Dengan demikian, aprioritas wujud Tuhan bukanlah keyakinan kaum Sâmî semata.
Alhasil, dalam UpaniShâds yang termasuk kitab-kitab suci agama Hindu, kendati terdapat penjelasan akan pertayaan tentang keberadaan Pencipta,[63] akan tetapi, lebih banyak didapati ungkapan siapa Pencipta itu? Apa sifat-sifat-Nya? Dan jarang ditemukan ungkapan tentang keraguan wujud Tuhan.
Masyarakat Jahiliyah Dan Keyakinan terhadap Tuhan
Dari ayat-ayat Al-Qur’an kita dapat memahami bahwa keberadaan Tuhan sudah diyakini oleh masyarakat jahiliyah kala itu. Tak terkecuali para penyembah berhala.
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنُ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَاْلقَمَرَ لَيْقُوْلُنَّ اللهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُوْنَ
“Dan jika mereka ditanya, “Siapa Pencipta langit dan bumi, dan siapa yang mengendalikan matahari dan rembulan?, niscaya mereka akan menjawab, “Allah!”, maka betapa mereka dapat dipalingkan dari jalan yang benar".[64]
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ نَزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَى بِهِ اْلأَرْضَ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُوْلُنَّ اللهُ قُلِ الْحَمْدُ ِللهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْقِلُوْنَ
“Dan disaat kamu bertanya pada mereka, “Siapakah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Ia menumbuhkan bumi setelah matinya, niscaya mereka akan akan berkata, “Allah!”. Katakanlah segala puji bagi Allah, akan tetapi sebagaian besar dari mereka tidak berakal dan tak berfikir".[65]
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ لَيَقُوْلُنَّ خَلَقَهُنَّ الْعَزِيْزُ الْعَلِيْمُ
“Dan ketika kamu bertanya pada mereka, “Siapa yang menciptakan langit-langit dan bumi, niscaya mereka akan mengatakan bahwa Dzat yang Maha Agung dan Maha mengetahuilah yang menciptakan semuanya”.[66]
Keyakinan Kaum Nuh, ‘A^d, Dan Tsamûd Terhadap Eksistensi Tuhan
Dari beberapa ayat Al-Qur’an juga dapat dipahami bahwa keberadaan Tuhan tidak hanya diyakini oleh masyarakat yang hidup sezaman dengan nabi SAWW. Kaum Nuh, ‘A^d, dan Tsamûd, serta kaum-kaum yang hidup setelah mereka, sama sekali tidak berpolemik dengan para nabi zamannya tentang masalah keberadaan Tuhan. Yang mereka pertentangkan adalah ke-Esaan Tuhan, kenabian, dan hari pembalasan. Para penyembah berhala juga demikian. Mereka menerima wujud Tuhan sebagai Pencipta alam, sedang patung dan berhala-berhala itu mereka sembah karena dianggap sebagai manifestasi wujud Tuhan.
Dengan kata lain, mereka menyembah berhala-berhala sebagai sarana dan penolong bagi mereka untuk berdialog dan mendapatkan keinginannya dari Tuhan.
أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَبَأُ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ قَوْمُ نُوْحٍ وَعَادٍ وَثَمُوْدَ وَالَّذِيْنَ مِنْ بَعْدِهِمْ لاَ يَعْلَمُهُمْ إِلاَّ اللهُ ... فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُتَوَكِّلُوْنَ
“Apakah telah sampai pada kalian kabar tentang kaum sebelum kalian; kaum Nuh, ‘A^d, dan Tsamûd serta generasi setelah mereka yang tidak diketahu kecuali oleh Allah? Para nabi di zaman mereka telah datang dan berusaha mengajak mereka, namun mereka menutup mulut-mulut mereka dengan tangan mereka,[67] dengan suara lantang mereka berkata, ”Kami tidak meyakini risalah dan misi yang kalian bawa dan kami sangat meragukan apa yang kalian serukan kepada kami untuk mempecayainya”.
Para nabi bertanya kepada mereka, “Apakah ada keraguan bahwa ada Pencipta langit dan bumi? Ia menyeru kalian sehingga dosa-dosa kalian terampuni, dan pada waktu yang telah ditentukan Ia telah memberikan tenggang waktu”. Akan tetapi mereka malah mengatakan, ”Tidak, kalian manusia biasa seperti kami, dan kalian ingin memalingkan kami dari apa yang telah disembah oleh para leluhur kami. Oleh karena itu, paling tidak berikan kami dalil yang lebih jelas lagi”.
Para nabi berkata, ”Memang kami manusia biasa seperti kalian, namun Tuhan telah memberikan nikmat-Nya pada hamba-Nya yang memiliki keinginan, dan misi ini sama sekali bukan ikhtiar kami sendiri untuk menjelaskan pada kalian, tetapi berkat izin Allah. Dan para Mukmin hanya bertawakkal kepada-Nya. Kemudian, kenapa tidak pasrahkan pada-Nya, padahal Ia telah menunjukkan jalan bagi kita? Kami tabah akan siksaan yang kalian lancarkan pada kami, dan orang-orang yang pasrah hanya bertawakal pada Allah”.
Allamah Thabathabai dalam menafsirkan ayat-ayat di atas, lebih menitikberatkan pada satu poin bahwa keraguan para penyembah berhala tidak tertuju pada konteks wujud Tuhan. Akan tetapi, mengenai ke-Esaan-Nya, risalah (kenabian), dan hari kebangkitan. Bahkan jika dicermati lebih dalam lagi, penggalan ayat yang mengatakan fâthiris samâwâti wal ardh juga dalam konteks pemberian argumentasi tentang ke-Esaan Tuhan, bukan mengenai wujud dan keberadaan-Nya.[68]
Thabarsî dalam tafsir Majma’ul Bayân dan Sayyid Qutub dalam Fî Zhilâlil Qur’annya serta sekelompok mufassir yang lain juga berpendapat yang sama, bahwa pengingkaran para penyembah berhala itu tertuju pada konteks ke-Esaan Tuhan, bukan wujud-Nya.
Ringkasan
1. Dalam kitab-kitab langit, seperti Al-Qur’an, keberadaan wujud Tuhan merupakan hal yang telah diterima (oleh semua) dan amat gamblang sehingga tidak perlu diragukan dan diargumentasikan lagi.
2. Seperti dikatakan oleh sebagaian penulis Barat, tidak ada seorang pun penulis kitab Taurat dan Injil yang mengalami kerancuan dalam keberadaan Tuhan, dan menganggapnya sebagai hal yang tak perlu diargumentasikan. Hal serupa juga dapat kita jumpai dalam Avesta dan kitab-kitab suci agama yang lain.
3. Dari ayat-ayat Al-Qur’an kita dapat memahami kalau masyarakat yang hidup sezaman dengan Nabi, tak terkecuali para penyembah berhala, telah meyakini wujud Tuhan.
4. Dari berbagai ayat Al-Qur’an juga dapat dipahami bahwa keyakinan akan wujud Tuhan juga telah diyakini oleh kaum Nuh, kaum ‘A^d, kaum Tsamûd, dan kaum-kaum lain setelah mereka. Polemik dan pertentangan yang digalang oleh mereka hanya berkisar pada ke-Esaan (Tauhîd), kenabian (Nubuwwah), dan hari kebangkitan (Ma’ad).
FITRAH DAN TUHAN
Dari ayat-ayat Al-Qur’an kita dapat meyimpulkan beberapa poin penting berikut ini:
1. Keyakinan akan wujud Tuhan.
2. Kecenderungan untuk ber-Tuhan.
3. Kecenderungan untuk menyembah-Nya merupakan hal fitri. Artinya, hal itu sudah ada dalam diri manusia.
Sebelum kita bawakan ayat-ayat yang memuat pon-poin di atas, alangkah baiknya jika kita sebutkan beberapa proposisi lazim berikut ini:
Arti Linguistik Fitrah
Fitrah yang bermakna robek dari sisi panjang, diambil dari akar kata فطر Kemudian, semua yang terbelah dan terkoyak disebut fitrah. Ciptaan disebut juga demikan, sebab wujud dan keberadaan telah merobek alam kegelapan dan ketiadaan yang membungkusnya. Makna ini adalah arti paling populer dari kata fitrah, sebagaimana inovasi dan kreasi baru juga bisa dipahami dari kata ini.
Fitrah yang mengikuti wazan fi’lah berarti nau’ (kualitas dan cara). Oleh karena itu, secara linguistik fitrah bermakna sebuah sistem khusus penciptaan. Dengan demikian, fitrah manusia artinya ciptaan khusus yang tersimpan dalam diri manusia.[69]
Kata fitrah ini juga pertama kali dipakai oleh Al-Qur’an dalam kaitannya dengan manusia, dan sebelumnya tidak pernah ada pemakaian kata fitrah seperti ini.[70]
Fitrah Dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an banyak sekali memakai kata fitrah dan musytaqnya, seperti berikut:
- فَاطِرِ السَّمَوَاتِ وَ الأَرْضَ[71].
- فَطَرَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ[72].
- فَطَرَنَا[73].
- فَطَرَنِي[74].
- فَاطِرُ السَّمَوَاتِ وَ الأَرْضَ[75].
ِِِِAdapun arti dari penggalan ayat-ayat di atas adalah berbeda-beda. Ada yang bermakna ciptaan, maujud, dan sebagainya. Futhûr dalam ayat ke-8 surah Al-Mulk bermakna belahan, sedangkan Munfathirdalam ayat ke-18 surah Al-Muzzammil berarti sesuatu yang terbelah.
Sedangkan kata fitrah sendiri hanya sekali dibawakan oleh Al-Qur’an. Itu pun dengan dinisbatkan kepada Allah (Fithratallâh), dan hanya dikhususkan pada manusia (fatharan nâsa alaihâ). Kata itu terdapat dalam ayat 30 surah Ar-Rûm.
Ayat inilah yang menjadi sumber munculnya terminologi fitrah dalam Islam dan mengilhami para filsuf, cendekiawan, dan kaum arif dalam mengkaji ma’rifatullâh dan ma’rifatul insân.
Fitrah Ilahi Manusia
Setiap aliran yang mengklaim bahwa kesempurnaan dan kebahagiaan manusia bisa dicapai dengan mengamalkan segala tuntunannya, lazimnya memiliki pandangan dan definisi tersendiri mengenai manusia, yang pada akhirnya, berdasarkan definisi dan pemahaman tersebut, mereka dapat menentukan jalan dan kiat untuk sampai padanya.
Dalam Islam, pandangan dan kajian tentang manusia yang termuat di dalam Al-Qur’an atau dalam riwayat para ma’shûm as tidak bisa dihitung jumlahnya. Begitu banyaknya kajian dan analisa berkenaan hal itu, membahasnya akan banyak memakan waktu dan memunculkan buku-buku yang sangat tebal.[76]
Kata terbaik untuk mengungkap dan mengekspresikan pandangan Islam tentang manusia adalah istilah fitrah. Dengan demikian, bisa dikatakan teori Islam dalam menganalisa dan menyelami wujud manusia adalah teori fitrah.
Penjelasan Global Tentang Teori Fitrah
# Manusia dengan bentuk ciptaannya memiliki format khusus. Ia juga memiliki pengetahuan-pengetahuan serta kecenderungan-kecenderungan khusus yang muncul dari dalam wujudnya, bukan dari luar fisik. Dengan kata lain, manusia bukanlah kain putih nan polos dan tak bertulis sebelumnya (kosong dari segalanya). Akan tetapi, dalam lubuk hati setiap manusia sudah tersimpan sejumlah kecenderungan-kecenderungan dan pengetahuan-pengetahuan khusus.
# Kecenderungan yang berada dalam diri manusia itu sebagian berhubungan dengan bagian hewani, dan sebagian lagi berhubungan dengan kemanusiannya. Fitrah Ilahi manusia hanya bertalian dengan kecenderungan kelompok kedua (kecenderungan manusiawi), dan tidak berhubungan sama sekali dengan insting kebinatangan mereka, seperti insting seksualitas.
# Kecenderungan-kecenderungan inilah yang menjadi faktor pembeda dan kelebihan manusia dari binatang. Oleh karena itu, siapapun yang kehilangan kecenderungan-kecenderungan tersebut, ia tak ubahnya seperti hewan dalam bentuk manusia.
# Kecenderungan ini adalah spesies manusia. Artinya, kecenderungan itu tidak terbatas pada segelintir orang saja atau khusus dimiliki kelompok masyarakat dalam masa tertentu. Kecenderungan itu dimiliki oleh semua manusia di setiap waktu dan tempat serta dalam kondisi bagaimanapun.
# Kecenderungan ini potensial sifatnya. Dengan kata lain, ia dimiliki oleh setiap manusia. Akan tetapi, tumbuh dan berkembangnya bergantung pada upaya dan usaha masing-masing individu manusia.
# Jika manusia mampu memelihara dan memupuk kecenderungan ini, ia akan menjadi makhluk terbaik, bahkan lebih baik dari para malaikat sekalipun, dan ia akan sampai pada kesempurnaannya. Tapi sebaliknya, jika kecenderungan itu mati yang secara otomatis kecenderungan hewani akan menguat dan unggul, orang semacam ini akan lebih rendah dari setiap binatang dan terjerembab ke dasar neraka yang paling dalam.
# Sebagaimana telah kita katakan tadi, fitrah manusia terkadang masuk dalam kategori persepsi dan pengetahuan, terkadang masuk dalam kategori kecenderungan dan keinginan. Ekstemporal primer (badihiyât awwaliyah) yang dibahas dalam ilmu logika, merupakan bagian dari pengetahuan-pengetahuan fitri manusia. Sedangkan hal-hal, seperti rasa ingin tahu, cinta keutamaan, dan cinta kecantikan dan keelokan adalah bagian dari kecenderungan-kecenderungan fitrah manusia.
Mengenal Dan Menyembah Tuhan Adalah Hal Fitri
Dari ajaran Al-Qur’an bisa kita pahami bahwa mengenal Tuhan dan kecenderungan ber-Tuhan merupakan sebuah hal yang fitri. Sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam pembahasan “Tuhan Wujud Aprior bagi Semua”, keyakinan akan wujud Tuhan adalah sebuah “kesepakatan” dan bukan hal samar yang terselubung sehingga memerlukan argumentasi untuk membuktikannya. Dari pembahasan itu kita bisa memahami arti mengenal Tuhan adalah fitri.
Salah satu ayat yang mengidikasikan hal tersebut adalah ayat ke 30 surah Ar-Rûm.
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًا فِطْرَةَ اللهِ الَّتِيْ فَطَرَالنَّاسَ عَلَيْهَا لاَ تَبْدِْيلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَالنَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ
Ayat ini dengan gamblang menegaskan bahwa agama adalah hal yang fitri. Dalam menjelaskan arti dari “agama” (dîn) yang terdapat dalam ayat di atas, para mufassir terbagi ke dalam dua kelompok:
a. Kelompok pertama berpendapat bahwa maksud dari agama (dîn) tersebut adalah sekumpulan ajaran, hukum yang berlandaskan ke-Islaman. Berdasarkan pendapat ini, semua yang terdapat dalam agama – dimana tuntunan terbaiknya berupa pengenalan dan penghambaan terhadap Tuhan – adalah bersifat fitri dan tersimpan dalam setiap diri manusia. Allâmah Thabathabai, salah satu dari sekian banyak mufassirîn yang meyakini pendapat ini.
b. Kelompok kedua berpendapat bahwa maksud dari agama yang sesuai dengan fitrah adalah kondisi pasrah dan tunduk secara murni di hadapan Tuhan. Karena tunduk dan taat sepenuhnya atas perintah Tuhan merupakan inti dari agama.
إِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللهِ اْلإِسْلاَمُ
Berdasarkan pendapat ini, maksud dari naluri beragama adalah sebuah fitrah )kecenderungan( untuk menyembah Tuhan sudah ada dari dulu dalam jiwa manusia. Dan jelas, ketika kita katakan penyembahan terhadap Tuhan suatu yang fitri, maka pengenalan tentang-Nya pun harus fitri juga. Karena bagaimana mungkin secara fitrah kita menyembah Tuhan, di saat kita tidak mengenal-Nya (secara fitri)?
Ringkasan
1. Ayat-ayat Al-Qur’an secara gamblang menjelaskan bahwa keyakinan terhadap keberadaan Tuhan, kecenderungan untuk ber-Tuhan dan naluri untuk menyembah-Nya adalah hal yang fitri.
2. Salah satu arti kata fathara adalah penciptaan, sedangkan fitrah secara linguistik bermakna sistem khusus penciptaan. Dengan demikian, fitrah manusia berarti sebuah sistem ciptaan khusus bagi manusia.
3. Kata fitrah hanya sekali disebutkan dalam Al-Qur’an (Ar-Rûm : 30), itupun dengan bentuk penisbatan kepada Allah, dan khusus bagi manusia.
4.Perspektif Islam tentang manusia dapat dijelaskan melalui teori fitrah.
5.Berdasarkan teori fitrah:
# Manusia sesuai dengan tabiat ciptaannya yang pertama, memiliki bentuk khusus, dan sudah sejak awal memiliki pengetahuan dan kecenderungan-kecenderungan khusus.
# Fitrah Ilahi manusia hanya berkaitan dengan kelompok kecenderungan-kecenderungan khusus insani, bukan kecenderungan yang sama-sama dimiliki oleh manusia dan hewan.
# Pengertian dan kecenderungan fitrah manusia merupakan faktor pembeda antara manusia dan hewan.
# Kecenderungan fitri dimiliki oleh setiap individu manusia.
# Kecenderungan tersebut tersimpan dalam diri manusia dan potensial sifatnya, di mana tumbuh dan berkembangnya tergantung pada setiap usaha masing-masing individu.
# Apabila manusia dapat memupuk dan mengembangkan kecenderungan itu, ia akan lebih utama dari pada malaikat, dan sebaliknya, andaikan kecenderungan potensial ini gersang dan mati, niscaya ia akan lebih rendah dari posisi hewan.
# Badihiyât awaliyah(apriori primer) termasuk pengetahuan fitrah, sedang rasa ingin tahu, rasa ingin unggul dari yang lain, rasa cinta keindahan termasuk kecenderungan-kecenderungan fitriyah.
6. Sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an, mengenal Tuhan dan naluri ber-Tuhan adalah hal yang bersifat fitri.
7. Maksud dari dîn dalam ayat fitrah (Ar-Rûm : 30) bisa berarti sekumpulan ajaran-ajaran dan hukum-hukum pokok Islam, atau kondisi penyerahan diri dan tunduk secara total di hadapan Allah. Alhasil, dari ayat di atas dapat dipahami bahwa mengenal Tuhan dan meyembahannya adalah hal yang bersifat fitri.
ARGUMENTASI KETERATURAN
Telah kami jelaskan bahwa wujud Tuhan adalah hal yang jelas. Dan keyakinan itu termasuk fitrah manusia. Artinya keyakinan ini muncul dari lubuk hati manusia. Akan tapi, hal ini bukan berarti tidak ada argumen dan dalil untuk membuktikan-Nya.[77] Ada beberapa argumentasi yang sudah pernah muncul di sepanjang sejarah.
Salah satu dari argumentasi tersimpel dan tergamblang adalah argumentasi keteratuaran. Argumen ini memiliki dua proposisi:
a. Ada sebuah sistem harmonis dan teratur dalam dunia ini.
b. Setiap sesuatu yang harmonis dan teratur pasti memiliki pengatur. Dengan demikian, keteraturan dan keharmonisan alam memiliki pengatur.
Pemahaman kandungan argumentasi ini sangatlah mudah. Setiap manusia, orang buta huruf sekalipun, mampu memahaminya, dan keberadaan Tuhan sebagai pengatur akan dapat dipahami dengan mengamati efek dan dampak keteraturan alam. Akan tetapi, untuk memahaminya lebih dalam lagi, terlebih dahulu kita harus menjelaskan definisi keteraturan itu dan sedikit menjelaskan mengenai dua proposisi di atas.
Definisi keteraturan
Keteraturan adalah berkumpulnya bagian-bagian beragam dalam sebuah tatanan dengan kualitas dan kuantitas khusus, yang berjalan seiring menuju sebuah tujuan tertentu.
Seperti sebuah jam. Kita katakan sebagai sebuah benda yang teratur, karena di sana didapati berbagai komponen-komponen yang memiliki kualitas dan kuantitas tersendiri. Artinya, jarum jam harus terbuat dari bahan ini, dan harus seukuran ini, kerja sama dan interaksi di antara komponen-komponen itu harus terjalin; jarum jam harus berputar dengan benar, sehingga hasilnya yang berupa penunjukan waktu bisa tercapai dengan tepat dan seterusnya.
Proposisi pertama
Tak seorang pun dapat memungkiri – kecuali para penolak keberadaan Tuhan –, bahwa alam memiliki keteraturan. Keharmonisan dan keteraturan inilah yang menjadi bahan kajian dan telaah ilmu-ilmu empirik. Dengan berkembangnya sains dan ilmu pengetahuan, pentas dan nuansa baru tentang sistem baru alam mulai terkuak. Sekarang ini, jika kita bertanya kepada seorang ilmuwan tentang keteraturan alam, baik ia meyakini Tuhan atau tidak, ia akan menjawab bahwa di dalam alam ini terdapat sebuah sistem menakjubkan nan mempesona, mulai dari kinerja super detail organ-organ tubuh kita, keharmonisan yang terjalin di antara masing-masing organ tubuh dengan organ yang lain atom terkecil dari wujud kita (senyawa) dan kerangkanya yang rumit, sampai pada masing-masing organ-organ tubuh kita (hati, otak, saluran urat nadi), hubungan dan kerja sama erat antara satu dan yang lain, sampai kumpulan besar langit yang kita ketahui, semua berjalan sesuai dengan keteraturan yang detail, sempurna, dan menakjubkan.
Proposisi kedua
Proposisi kedua yang terdapat dalam argumen keteraturan adalah satu hal yang jelas dan diterima oleh semua orang, dan tanpa kita sadar selalu kita gunakan dalam pergaulan kita sehari-hari.
Ketika kita saksikan sebuah bangunan mentereng nan megah, niscaya kita akan berguman bahwa pastilah bangunan ini dibangun oleh insinyur yang profesional dan sangat ahli di bidangnya.
Ketika kita baca Nahjul Balâghah atau Shahîfah Sajjâdiyah, kita dapat menerka dan memahami bahwa kedua kitab tadi adalah hasil karya orang yang memiliki kefasihan, hikmah, ma’rifah, dan pengetahuan tak terhingga.
Dan ketika kita lihat sebuah arloji kecil yang sangat tepat dan apik kerjanya, kita akan memahami bahwa perancangnya adalah seorang spesialis yang sangat tahu tentang kerja arloji dan komponennya.
Apakah dengan kasus-kasus tadi dan ribuan kasus lain, dapat dimungkinkan semua hal yang ada (di dunia ini) terjadi akibat kebetulan saja, dan semua berasal dari non spesialis di bidangnya?
Apakah kita akan mengklaim bahwa kertas yang berisi sebuah kajian ilmiah yang detail, ditulis oleh anak kemarin sore dan tanpa disadari, tangannya bergerak dengan sendirinya dan mengetik kajian detail itu?
Dengan demikian, semua tahu bahwa setiap keteraturan itu pasti memiliki pengatur.
Poin-poin penting
# Kemampuan dan kebijakan selalu beriringan dengan keterturan. Artinya, semakin teratur dan detail sebuah benda dan sistem, semakin besar pula keyakinan kita akan kebijakan dan kemampuan pengaturnya.
# Dalam argumentasi keteraturan, tidak perlu pembuktian adanya keteraturan di seluruh sejagad raya, tetapi cukup kita ketahui bahwa di dunia ada keteraturan. Dengan kata lain, dari keteraturan yang kita lihat, kita dapat memahami bahwa alam ini memiliki keteraturan, terlepas bagian lain dari alam – yang tidak kita ketahui – memiliki keteraturan ataukah tidak.
# Argumen keteraturan menolak asumsi sekelompok ilmuwan yang mengatakan bahwa alam ini lahir dari alam yang tak memiliki perasaan dan akal, serta asumsi bahwa alam ini tercipta akibat gerak dinamis berbagai atom yang saling berinteraksi antara satu dengan lainnya.
# Semakin ilmu empiris berkembang, akan semakan banyak keteraturan baru yang akan terkuak. Konsekuensinya, hal itu akan mengokohkan argumentasi keteraturan. Karena setiap inovasi dan penyingkapan baru dari sistem alam, akan menambah petunjuk dan tanda-tanda baru keberadaan Tuhan. Dalam pandangan para ilmuwan, seperti yang diungkapkan Hertsel, seorang astronom kenamaan, “Semakin luas sains dan pengetahuan, semakin kuatlah argumen keberadaan Tuhan Yang Azali dan Abadi”.[78]
# Al-Qur’an kendati tidak menyebutkan argumentasi wujud Tuhan secara gamblang – karena menurut Al-Qur’an keberadaan Tuhan sebuah hal apriori –, namun tidak jarang Al-Qur’an menyebutkan dan menyinggung bahwa Tuhan tidak memiliki sekutu dan partner dalam urusan penciptaan, pengaturan alam, dan menetapkan bahwa hanya Dialah pengatur segala alam, serta kerap kali disebutkan keharmonisan dan keteraturan alam yang menakjubkan, sekaligus menyeru manusia untuk merenungkannya, karena setiap fenomena yang ada di alam merupakan bukti dan tanda keberadaan-Nya. Di bawah ini kami bawakan ayat yang berkaitan dengan hal itu:
إِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ الَّليْلِ وَالنَّهَارِ َلآيَاتٍ ِلأًولِي اْلأَلْبَابِ
“Sesungguhnya di dalam Penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya siang dan malam, terdapat tanda-tanda (keberadaan Allah) bagi orang-orang yang berakal".[79]
وَفِيْ خَلْقِكُمْ وَمَا يَثْبُتُ مِنْ دَابَّةٍ َلآيَاتٍ لِقَوْمٍ يُوْقِنُوْنَ
“Dan di dalam penciptaan kalian serta hewan-hewan melata terdapat tanda-tanda (keberadaan Allah) bagi kaum yang beriman”.[80]
إِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ الَّليْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِيْ تَجْرِيْ فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَى بِهِ اْلأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيْهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيْفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ َلآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُوْنَ
“Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam, kapal-kapal yang berlayar di lautan yang bermanfaat bagi manusia, air yang telah diturunkan oleh Allah dari langit lalu Ia hidupkan bumi yang sebelumnya telah mati (kering) dan menebarkan berbagai jenis hewan di atasnya, dan perubahan arah angin dan awan yang terkendali antara langit dan bumi, terdapat tanda-tanda (keberadaan Tuhan) bagi orang-orang yang berakal”.[81]
وَ فِي اْلأَرْضِ آيَاتٍ لِلْمُوْقِنِيْنَ وَفِيْ أَنْفُسَكُمْ أَفَلاَ تُبْصِرُوْنَ
“Dan di dalam bumi terdapat tanda-tanda (keberadaan Tuhan) bagi kaum yang beriman, serta di dalam diri kalian, apakah kalian tidak mengetahui?”[82]
Ringkasan
1.Isi argumentasi keteraturan adalah:
# Di alam semesta ini terdapat keteraturan.
# Setiap hal yang teratur pasti memiliki pengatur yang mengaturnya.
# Dengan demikian, keteraturan yang terdapat dalam alam memiliki pengatur.
2. Nazhm (keteraturan) adalah berkumpulnya bagian-bagian yang beraneka ragam dengan kualitas dan kuantitas khusus pada sebuah kesatuan, di mana keserasian dan keharmonisan di antara bagian-bagian itu bergerak kepada satu tujuan.
3. Adanya keteraturan sendiri dalam alam merupakan hal yang diterima oleh semua pihak, bahkan orang-orang yang mengingkari wujud Tuhan sekalipun.
4. Proposisi kedua dalam argumentasi keteraturan juga diterima oleh semua pihak, dan tanpa disadari, kerap kali digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
5. Semakin detail dan rumit sebuah keteraturan, kita semakin yakin akan kebesaran, kekuasaan, dan hikmah pengaturnya.
6. Dalam dalil ini, kita tidak perlu bersusah payah untuk menetapkan keteraturan seluruh alam. Namun, cukup bagi kita dengan mengetahui bahwa di alam terdapat sebuah keteraturan.
7. Dalil ini menepis asumsi sebagian kelompok yang mengatakan bahwa alam ini muncul dari alam yang tak berperasaan.
8. Dalil ini semakin kuat dan kokoh dengan semakin canggihnya ilmu empirik dan terkuaknya sistem baru alam.
9. Al-Qur’an dengan berdalilkan keharmonisan dan sistem menakjubkan alam, telah menetapkan kalau Tuhan dalam masalah penciptaan, merupakan pengatur dunia dan sama sekali Ia tak memiliki sekutu.
SIFAT-SIFAT TUHAN
Sifat Sejati (Dzâtî) dan Relatif (Fi’lî)
Sifat-sifat Tuhan dapat diklasifikasikan dalam beberapa klasifikasi. Bagian terpenting darinya adalah pengklasifikasian sifat-sifat itu pada dua kategori; sifat sejati dan sifat relatif.
Sifat sejati adalah sifat-sifat yang kita nisbah-kan kepada Tuhan tanpa melihat sesuatu yang lain dari Dzat-Nya. Dengan kata lain, untuk menyifati Tuhan dengan sifat-sifat ini, yang diperlukan hanyalah Dzat Tuhan dan tidak perlu memperhatikan hal lain yang diluar Dzat-Nya. Contoh, Maha Hidup, dan Maha Kuasa. Andaikan di alam ini tidak ada wujud lain selain-Nya, kita tetap dapat menyifati-Nya dengan Maha Hidup, dan Maha Kuasa.
Sifat relatif bisa dikatakan kebalikan dari sifat sejati. Definisinya adalah sejumlah sifat yang tidak disandang oleh Tuhan selagi hal lain masih belum ada. Oleh karena itu, sifat relatif adalah sifat-sifat yang pe-nisbah-annya kepada Tuhan tidak cukup dengan memeperhatikan Dzat-Nya semata. Akan tetapi, harus ada sesuatu yang lain selain Dzat Tuhan, dan terdapat relasi antara keduanya.
Contoh, andaikan tidak ada wujud yang tercipta, Tuhan tidak bisa menyandang sifat Khâliq (Pencipta), dan jika tidak ada makhluk yang dibebani tanggung jawab (taklîf), Tuhan tidak bisa di sifati sebagai Syâri’, dan jika tidak ada hamba yang bermaksiat, Tuhan tidak bisa disifati dengan Dzat yang Maha Pengampun (Ghafûr).
Dari sini bisa kita tarik sebuah kesimpulan, sifat-sifat seperti Khâliq, Syâri’, dan Ghafûr, termasuk dalam kategori sifat relatif Tuhan.
Perbedaan signifikan dan mendasar antara kedua sifat di atas adalah:
1. Sifat-sifat relatif adalah sifat-sifat yang disandang Tuhan dengan memperhatikan perbuatan dan dengan membandingkannya dengan perbuatan tersebut. Dengan kata lain, sifat-sifat ini diambil dan dipahami dari perbuatan Tuhan, sedang sifat-sifat sejati Tuhan tidaklah demikian. Sifat-sifat itu cukup dipahami dari Dzat-Nya.
2. Sifat-sifat relatif dapat di-nafi-kan dan di-nisbah-kan. Artinya, pada suatu kondisi Tuhan menyandangnya dan dalam kondisi yang lain Ia tidak menyandangnya. Dengan kata lain, penetapan dan penafian sifat tersebut bisa saja terjadi bagi Tuhan; sebelum menciptakan alam semesta, Ia tak dapat kita katakan sebagai Pencipta alam, dan baru setelah Ia menciptakannya, ia dapat disebut sebagai Pencipta alam. Begitu juga, sebelum Ia mengutus nabi Muhammad SAWW, dan belum menurunkan Al-Qur’an pada beliau, ia tak bisa disebut sebagai Dzat yang menurunkan Al-Qur’an. Ia dapat disebut demikian setelah menurunkannya. Adapun sifat-sifat sejati, akan senantiasa dimiliki oleh Allah SWT, dan tidak dapat di-nafi-kan dari-Nya sama sekali. Ia dari tak akan terpisah dari sifat-sifat tersebut.
Sifat Afirmatif (Tsubûtiyah) Dan Sifat Negatif (Salbiyah)
Sifat afirmatif adalah sifat yang menjelaskan kesempurnaan Tuhan. Perlu diingat bahwa sifat afirmatif Tuhan sama sekali tidak dicampuri oleh kekurangan sedikitpun, dan kita tidak bisa menyifati Tuhan dengan sebuah konsep yang berkonsekuensi kekurangan. Seperti keberanian yang bermakna ketidaktakutan atau ketidakgentaran ketika menghadapi sesuatu yang dapat mengancam manusia. Sifat ini kendati memiliki sisi kesempurnaan – karena pemberani lebih sempurna dari penakut –, akan tetapi, penyandangan sifat keberanian mengindikasikan bahwa si pemberani terancam, dan ketika di alam tidak ada yang sanggup melukai dan “menganiayanya”, maka tidak bisa kita sandangkan keberanian pada Tuhan. Dalam hal ini, Tuhan harus dinafikan dari dua sifat di atas; sifat berani maupun sifat penakut.
Kongklusinya, sifat afirmatif adalah sifat yang memiliki konotasi kesempurnaan tanpa ada kekurangan sama sekali.
Sifat Salbî (negatif), sifat yang menafikan kekurangn dari Tuhan, seperti Tidak Beraga, Tidak Lemah, Tak Bertempat, dan Tak Berzaman.
Sifat negatif menjelaskan perbedaan Tuhan dengan makhluk dan penyucian-Nya dari segala kekurangan.[83] Sedangkan sifat afirmatif tidak demikian, karena sifat ini menunjukkan kesempurnaan Tuhan.
Sifat afirmatif dinamakan juga sifat Jamâliyah dan sifat Salbî disebut sifat Jalâliyah.
Ringkasan
# Sifat Tuhan terbagi dalam dua katagori; sifat Dzâtî (sejati) dan sifat Fi’lî (relatif).
# Sifat sejati (Dzâtî) adalah sifat-sifat yang kita sandangkan pada Tuhan dengan tanpa melihat hal yang lain di luar Dzat-Nya, seperti Hay dan Qudrat.
# Sifat Fi’lî adalah sifat-sifat yang kita sandangkan kepada-Nya dengan melihat sesuatu yang lain di luar Dzat-Nya, dan terdapat hubungan antara keduanya, seperti sifat Khâliq dan sifat Ghafûr.
# Beberapa perbedaan antara sifat Dzâtî dan Fi’lî, di antaranya adalah;
- Sifat Fi’lî diambil dari perbuatan Tuhan, sedang sifat Dzâtî diambil dari Dzat-Nya.
- Sifat Fi’lî dapat dinapikan atau ditetapkan kepada Tuhan, sedang sifat Dzâtî sama sekali tidak dapat dinafikan dari wujud Tuhan; sifat-sifat itu selamanya tetap ada pada-Nya.
# Dalam klasifikasi lain, sifat Tuhan dapat diklasifikasikan dalam dua klasifikasi : sifat Tsubûtî dan sifat Salbî.
# Sifat Tsubûtî adalah sifat-sifat yang menerangkan kesempurnaan Dzat Tuhan, seperti Maha Mengetahui, dan Maha Kuasa.
# Sifat Salbî adalah sifat-sifat yang menafikan kekurangan dari Dzat Allah, seperti tidak beraga dan tidak lemah.
# Sifat-sifat Tsubûtî menunjukkan kesempurnaan tanpa tercampuri oleh kekurangan di dalamnya, sedang sifat-sifat Salbî menerangkan keterjagaan Tuhan dari segala kekurangan.
Ilmu[84]
Tuhan Maha Tahu akan segala sesuatu, dan tidak ada sesuatu yang raib dan tersembunyi dari pengetahuan-Nya. Apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi, besar atau kecil, semuanya jelas bagi-Nya. Karena, bagaimana mungkin Ia tidak akan mengetahui segala sesuatu karena semuanya adalah makhluk dan ciptaan-Nya?
Bukti-bukti dari Al-Qur’an
Selain argumen rasional, Al-Qur’an juga memberikan argumentasi mengenai ilmu Tuhan yang tak terbatas, seperti ayat-ayat berikut ini:
وَ اعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
“Dan ketahuilah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.[85]
أَلاَ يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ الَّلطِيْفُ الْخَبِيْرُ
“Camkanlah bahwa Dzat yang menciptakan segala sesuatu pasti mengetahui keadaaan mereka? Ia Maha Mengatahui rahasia dan misteri-misteri yang terselubung sekalipun”.[86]
وَهُوَ اللهُ فِي السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ يَعْلَمُ سِرَّكُمْ وَجَهْرَكُمْ وَيَعْلَمُ مَا تَكْسِبُوْنَ
“Ialah Allah, Tuhan yang Tunggal, baik di langit maupun di bumi, Ia mengetahui apa yang kalian tampakkan dan yang kalian sembunyikan, dan Ia mengetahui apa yang sedang kalian kerjakan”.[87]
وَيَعْلَمُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ
“Dan Ia mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi”.[88]
وَعِنْدَهُ مَفَاتِيْحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَ الْبَحْرِ وَ مَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِيْ ظُلُمَاتِ اْلأَرْضِ وِلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِيْ كِتَابٍ مُبِيْنٍ
“Ialah adalah pemilik segala kunci-kunci keghaiban yang tidak diketahui oleh Selain-Nya. Ia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tidaklah dedaunan jatuh kecuali atas sepengetahuan Allah SWT, dan tidak juga sebuah biji dalam kegelapan dasar bumi, dan tidak pula kering dan basah kecuali telah tercatat dalam kitab yang jelas (dalam kitab=ilmu Allah)”.
Ringkasan
# Salah satu dari sifat Dzâtî Tuhan adalah sifat ilmu. Tuhan Maha Mengetahui segala sesuatu, karena Ia Pencipta mereka. Segala sesuatu tampak jelas di hadapan-Nya, dan Ia mengetahui setiap yang apa yang dikerjakan olehnya. Kunci-kuci alam ghaib berada di tangan-Nya, dan Ia mengetahui apa yang ada di darat dan yang ada di laut, dan Ia juga mengetahui kasus terkecil apapun yang sedang terjadi di dunia ini.
Qudrah (Maha Kuasa)
Satu lagi dari sifat-sifat afirmatif Allah adalah Maha Kuasa. Artinya, subyek pelaku pekerjaan akan melakukan segala sesuatau yang diinginkan-Nya, dan meninggalkan segala sesuatu yang tidak disenangi-Nya.
Berdasarkan hal di atas, Qadîr adalah orang yang melakukan atau meninggalkan segala sesuatu dengan pilihan-Nya. Dengan demikian, orang yang dipaksa berdiri, dan orang yang duduk karena desakan pihak lain, tidak bisa dikatakan orang yang kuasa. Orang yang memiliki kemampuan terhadap keduanya (melakukan dan meninggalkan), maksudnya adalah jika ingin duduk, ia lakukan dan jika ingin berdiri juga demikian. Dari penjelasan tersebut di atas telah jelas bahwa hanya subyek yang melakukan pekerjaan-Nya dengan keinginan dan pilihan-Nya sendiri yang dapat kita katakan Qadîr (kuasa).
Tuhan adalah Maha Kuasa secara mutlak. Ia menciptakan setiap makhluk yang diinginkan-Nya dan hal tersebut akan tercipta.
Bukti-bulti Al-Qur’an
Ayt-ayat Al-Qur’an sering kali mengindikasikan kekuasaan absolut Tuhan, di antaranya:
وَ ِللهِ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاللهُ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ
“Dan bagi Allah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.[89]
تَبَارَكَ الَّذِيْ بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ
“Maha suci Allah yang di tangan-Nya segala kerajaan, dan Ia maha Kuasa atas segala sesuatu”.[90]
اَللهُ الَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ سَمَوَاتٍ وَ مِنَ اْلأَرْضِ مِثْلُهُنَّ يَتَنَزَّلُ اْلأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ وَأَنَّ اللهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْئٍ عِلْمًا
“Allahlah yang telah menciptakan tujuh langit dan bumi yang seperti-Nya, perintah-Nya selalu turun pada mereka supaya kalian tahu bahwa Allah Maha Kuasa dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu”.[91]
Soal: Mampukah Tuhan yang telah disebutkan dalam ayat-ayat di atas dengan sang Maha Kuasa atas segala sesuatu, untuk menjadikan 2+2=5? Kuasakah Ia menciptakan sesuatu yang seluruhnya berwarna putih sekaligus hitam? Kuasakah Ia menciptakan sesuatu yang tak sanggup Ia binasakan? Kuasakah Tuhan menciptakan batu yang tak dapat diangkat sendiri? Jika Tuhan menciptakan batu semacam ini berarti akan terjadi kontradiksi dengan kekuasaan-Nya. Begitu juga jika ia tidak mampu menciptakannya, hasilnya akan demikian. Alhasil, tidak bisa kita katakan Tuhan memiliki kukuasan absolut.
Jawab: Pertama, harus kita ketahui terlebih dahulu, ada dua faktor yang membuat sesuatu tidak terwujud dan teralisasi. Terkadang karena keterbatasan dan kelemahan subyek, terkadang pula karena ketidakmampuan itu bersumber dari obyek sendiri.
Semua hal-hal yang dipertanyakan di atas termasuk dalam kategori kedua. Artinya, hal-hal tersebut tidak memiliki potensi dan kemampuan untuk teralisir, bukan karena Tuhan yang tidak mampu menciptakannya.
Arti dari “Tuhan kuasa atas segala sesuatu dan mampu menciptakan apapun saja” adalah Tuhan dapat menciptakan segala sesuatu yang mungkin terwujud dan terjadi. Dengan demikian, setiap hal yang mustahil terwujud secara dzâtî, tidak akan bisa diciptakan oleh-Nya, dan masalah ini sudah keluar dari pembahsan kita.
Oleh karenanya, ketika 2+2 tidak bisa menjadi 5 atau tidak mungkin didapati makhluk yang sekujur tubuh-Nya berwarna putih dan hitam sekaligus, hal ini bukan sebuah indikator kelemahan dan ketidakkuasaan Tuhan.
Kongklusinya, hal-hal tadi tidak terwujud bukan karena kelemahan Tuhan, namun karena kelemahan mereka sendiri yang tidak memiliki potensi untuk wujud dan eksis.
Ringkasan
# Kuasa termasuk sifat Dzâtî dan Tsubûtî Tuhan.
# Kuasa artinya subyek jika berkehendak, pasti akan melaksanakan sebuah aktifitas dan tidak melakukannya jika ia tidak menginginkannya.
# Tuhan adalah Maha Kuasa secara absolut, dengan artian, segala fenomena akan diciptakan jika Ia berkehendak, dan Ia hakim dan penakluk bagi segala sesuau.
# Kerajaan langit dan bumi adalah milik Allah semata dan Ia Maha Mengetahui akan segala sesuatu.
# Untuk menjawab para pengkritik yang berasumsi bahwa mampukah Tuhan menjadikan hasil dari 2+2 = 5, kita dapat mengatakan bahwa perlu diketahui sebelumnya ketidakterwujudan sesuatu itu dapat disebabkan oleh dua faktor: akibat kelemahan subyek dan karena hal tersebut memiliki kekurangan yang menjadi kendala keberadaannya. Pertanyaan semacam ini termasuk dalam katagori kedua, yaitu akibat ketidak mampuan obyek untuk menjadi ada.
# Ketidakterwujudan hal-hal yang mustahil bukan disebabkan kelemahan subyek, akan tetapi dikarenakan hal-hal tersebut tidak memiliki potensi dan kemampuan untuk eksis.
Hayâh (Maha Hidup)
Hayâh berarti sesuatu yang hidup. Hayâh digunakan dalam dua hal:
1. Hay adalah sesuatu yang tumbuh, berkembang, makan, dan berevolusi. Arti yang sering digunakan dalam spesies tumbuh-tumbuhan dan hewan ini, memiliki konsekuensi kekurangan dan ketergantungan. Karena sesuatu yang berkembang pada awal-Nya tidak memiliki kesempurnaan sedikitpun, dan berkat faktor-faktor eksternal ia berubah dan secara bertahap ia merangkak untuk menyempurna.
2. Hay adalah sesuatu yang melakukan segala sesuatu dengan kesadaran dan ikhtiar-Nya sendiri. Arti hayâh ini memiliki konotasi kesempurnaan, dan tergolong dalam sifat sejati afirmatif (Tsubûtî) Tuhan. Atas dasar ini, arti hayat yang dimiliki Tuhan adalah Ia Maha Tahu dan dengan keinginan-Nya Ia melakukan segala sesuatu.
Bukti-bukti Al-Qur’an
Di dalam Al-Qur’an bayak kita dapati penyifatan atau penyandangan sifat Hayâh kepada Tuhan, seperti ayat-ayat berikut ini:
هُوَالْحَيُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ فَادْعُوْهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
“Ialah Yang Maha Hidup, tiada Tuhan selain Ia, maka serulah Ia dengan memurnikan agama hanya untuk-Nya, segala puji bagi Allah Tuhan sekalian alam”.[92]
وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِيْ لاَ يَمُوْتُ وَسَبِّحْ بِحَمْدِهِ وَكَفَى بِذُنُوْبِ عِبَادِهِ خَبِيْرًا
“Dan pasrahkanlah diri kepada Dzat yang Maha Hidup yang tak akan pernah mati dan bertasbihlah dengan memuji-Nya, dan cukuplah kalau Ia mengetahui dosa-dosa para hamba-Nya”.[93]
Ringkasan
# Kata Hayâh memiliki dua arti: pertama, sesuatu berkembang, makan dan berevolusi, dan kedua, sesuatu yang melakukan pekerjaan dengan bekal pengetahuan dan pilihannya.
# Hayâh dengan arti yang pertama menunjukkan kekurangan dan termasuk sifat Salbî (negatif) Tuhan, sedang arti kedua hayâh yang memiliki konotasi kesempurnaan, termasuk dalam sifat Dzâtî (sejati)-Tsubûtî (afirmatif) Tuhan.
# Tuhan Maha Hidup dan sama sekali tak akan mati. Dengan artian, Ia wujud yang melakukan segala pekerjaan-Nya dengan pengetahuan dan pilihan-Nya.
Irâdah (Kehendak)
Irâdah adalah salah satu dari sifat Tuhan. Kendati kehendak Tuhan merupakan hal yang telah disepakati, namun para ulama Islam berbeda pendapat tentang substansinya. Satu kelompok meyakini bahwa Irâdah ini tergolong dalam kategori sifat Dzâtî Tuhan, dan mereka meyakini Irâdah adalah ilmu Dzâtî Tuhan terhadap sistem yang lebih baik. Sedang sekelompok lagi beranggapan bahwa Irâdah termasuk hal baru (amr hâdits), seperti kehendak manusia sebelum melakukan aktifitasnya.
Buku ini tidak dapat membahas seluruh pendapat yang tertuang dalam masalah ini. Akan tetapi, cukuplah kita memahami bahwa Tuhan tidak terpaksa dalam melakukan pekerjaannya; tiada wujud lain yang memaksa-Nya untuk melakukan apa saja. Apa yang dilakukan-Nya selalu berlandaskan ilmu dan ikhtiar-Nya. Mungkin kehendak dan Irâdah Tuhan bisa kita artikan semacam ini.
Kongklusinya, maksud Tuhan berkehendak adalah Ia subyek yang mukhtâr (berkehendak) dan segala perbuataan-Nya tergantung pada kehendak-Nya.
Irâdah dengan arti yang telah dipaparkan berarti tergolong dalam sifat Dzâtî-Tsubûtî Tuhan. Kendati ada sebagaian kelompok yang bersikeras meyakini-Nya sebagai salah satu dari sifat Fi’lî Tuhan.[94]
Bukti-bukti Al-Qur’an
Di dalam Al-Qur’an banyak didapati penyifatan Tuhan dengan kata-kata berkehendak (Irâdah), walaupun Al-Qur’an tidak pernah menyifati-Nya dengan kata Murîd (subyek yang berkehendak). Ayat-ayat tersebut seperti:
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنُ
“Sesungguhnya apabila Ia menghendaki sesuatu, Ia hanya cukup berkata kepadanya, “Jadilah!”, maka ia akan jadi”.[95]
إِنَّمَا قَوْلُنَا إِذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنُ
“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan, “Jadilah!”, maka jadilah ia”.[96]
Ringkasan
# Tiada perbedaan pendapat bahwa Allah memiliki kehendak. Perbedaan pendapat terdapat pada kasus interpretasi dari Irâdah dan kehendak itu sendiri.
# Sekelompok ulama meyakini kalau Irâdah tergolong sifat Dzâtî (sejati) Tuhan; mereka menafsirkan Irâdah Tuhan tersebut dengan ilmu Dzâtî Tuhan terhadap sistem dan undang-undang yang paling ideal, sedang kelompok lain beranggapan Irâdah adalah amr hâdits (hal baru), layaknya Irâdah dan kehendak manusia.
# Satu hal yang telah disepakati bahwa Tuhan adalah subyek yang mukhtâr dan sama sekali tidak terpaksa dalam melakukan segala perbuatan-Nya. Hal ini dapat kita gunakan untuk memahami maksud dari ungkapan bahwa Allah berkehendak.
Hikmah dan Ke-Mahaadilan
Tuhan Maha Bijaksana dan segala perbuataan-Nya selalu bersifat bijaksana. Di sini perlu diperhatikan, hikmah memiliki dua pengertian, dan kedua arti tersebut merupakan sifat afirmatif (Tsubûtî) Tuhan:
a. Kemantapan dan kesempurnaan perbuatan subyek, sehingga tidak ada cela dan cacat sedikitpun.
b. Subyek tidak pernah melakukan perbuatan jelek dan tercela, dan ia selalu melakukan pebuatan yang baik dan terpuji.
Hikmah dengan arti yang pertama mengindikasikan bahwa Tuhan memiliki segala kesempurnaan, ilmu dan kekuasaan-Nya tidak terbatas dan tak berakhir, Ia Maha Mengetahui akan segala sesuatu, dan Maha Kuasa atas segala sesuatu, serta Ia tidak membutuhkan apapun juga. Dengan demikian, wajar dan pantas jika semua perbuatan-Nya juga paling sempurna, dan paling kokoh serta paling apik. Ia adalah Pencipta yang terbaik.[97]
Hikmah dengan arti yang kedua berlandaskan atas sebuah fakta bahwa tanpa Syari’at sekalipun, akal sehat manusia dapat memahami kalau sebagian perbuatan itu baik dan terpuji dan sebagian yang lain buruk dan tercela. Sebagai contoh, akal memandang dan menilai kejujuran, amanah, tanggung jawab, dan membantu sesama sebagai perbuatan baik, sebagaimana akal juga mampu menilai kebohongan, penghianatan, dan bertindak zalim terhadap sesama sebagai perbuatan tercela.
Hal tersebut di atas dapat disebut dengan istilah “rasionalitas kebaikan dan keburukan”.[98]
Setelah menerima konsep rasionalitas kebaikan dan keburukan, kita dapat berpersepsi bahwa Tuhan adalah Maha Kaya secara absolut, Ia sama sekali tidak butuh pada bantuan yang lain. Di samping itu, Ia Maha Kuasa, Ia mengetahui perbuatan baik, sekaligus mampu untuk melakukannya, sebagaimana Ia juga mengetahui perbuatan yang buruk, dan mampu untuk meninggalkan-Nya. Jika kita berpersepsi demikian, maka tidak mungkin Ia melakukan perbuatan jelek, dan tidak mungkin Ia meninggalkan perbuatan yang baik.
Ke-Mahaadilan
Tuhan adalah Maha Adil dan tak pernah berbuat zalim. Oleh karena itu, adil salah satu dari sifat Tsubûtî (afirmatif) Tuhan, sedangkan zalim termasuk sifat Salbî (negatif) bagi-Nya.
Maksud dari bertindak adil adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya, seperti yang disabdakan Imam Ali as dalam Nahjul Balâghah beliau berkata,
العدل يضع الأمور مواضعها
“Keadilan adalah meletakkan segala sesuatu pada posisi dan kedudukannya masing-masing”.[99]
Tetapi, acap kali dikatakan bahwa bertindak adil adalah memberikan hak pada pemiliknya. Arti ini lebih spesifik dari arti pertama. Maksudnya, pemberian hak pada yang berhak adalah salah satu manifestasi dari peletakan sesuatu pada tempatnya.
Bertindak adil menurut kaca mata akal sehat adalah hal yang terpuji, sedang kezaliman adalah hal yang tercela. Dan karena Tuhan Maha Bijak dan selalu melakukan perbuatan baik serta meninggalkan perbuatan jelek, pastilah Ia Maha Adil dan Tidak Zalim.
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa keadilan Ilahi bersumber dari hikmah Ilahi. Dengan kata lain, buah dari keyakinan akan kebijaksanaan Allah adalah keyakinan akan keadilan-Nya.
Bukti-bukti Al-Qur’an
Ayat-ayat yang mengindikasikan bahwa Tuhan adalah Maha Bijaksana di antaranya:
- “Maka ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mulia lagi Maha Bijaksana.[100] Al-Qur’an juga mengingatkan bahwa Tuhan senantiasa menciptakan sesuatu dengan cara terbaik.[101]
- Tiada cela dan ketidakberaturan dalam ciptan-Nya; ”Kalian tidak melihat perbedaan dan cela dalam ciptaan-Nya, maka untuk kedua kalinya perhatikan dan lihatlah apakah terdapat kekurangan dan cela?”.[102]
- Ciptaan Tuhan tidak pernah sia-sia dan selalu memiliki tujuan: ”Apakah kalian menyangka sesungguhnya Kami menciptakan kalian sia-sia dan kalian tidak akan kembali kepada kami?”[103]. “Tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi serta apa yang berada di dalamnya dengan sia-sia”.[104]
- Tuhan tidak pernah menzalimi hamba-Nya, namun merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri; “Kami tidak menzalimi mereka, akan tetapi mereka yang menzalimi mereka sendiri”.[105] “Tuhan tidak menginginkan adanya kezaliman di alam semesta.[106]
Ringkasan
# Hikmah memiliki dua makna: Pertama, kekokohan dan kemantapan sebuah perbuatan, dan kedua, subyek selalu melakukan perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan buruk.
# Tuhan dengan arti pertama adalah Dzat yang Maha Bijak, karena ilmu dan kekuasaan-Nya sangatlah sempurna dan tidak ada kekurangan sedikitpun.
# Tuhan juga Maha bijak dengan makna kedua, karena Ia mengetahui kebaikan dan keburukan, serta Ia mampu untuk melakukan perbuatan baik dan mampu pula meninggalkan perbuatan jelek, Ia Maha Kaya secara absolut dan tidak membutuhkan apa-apa sehingga Ia harus melakukan perbuatan buruk.
# Bertindak adil adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya.
# Keadilan adalah sebuah kebaikan dan Tuhan Yang Maha Bijaksana selalu melaksanakan perbuatan baik. Dengan demikian, Tuhan Maha adalah Adil.
# Kezaliman adalah sebuah keburukan. Tuhan adalah Maha Bijak dan sama sekali tidak pernah melakukan perbuatan buruk dan tercela. Dengan demikian, Tuhan Tidak zalim.
# Al-Qur’an mengatakan bahwa Allah senantiasa menciptakan segala sesuatu dengan bentuk yang paling baik (As-Sajdah : 7), tiada kekurangan dan cela dalam ciptaan Tuhan (Al-Mulk : 3), langit dan bumi tidaklah diciptakan dengan sia-sia (Shâd : 27), Tuhan tidak menginginkan kezaliman pada setiap makhluk (A^li ‘Imrân : 108).
TAUHI^D
Arti Terminologis Tauhîd adalah pengetahuan akan ke-Esaan Tuhan sebagai Pencipta. Agama Islam yang dinamakan agama Tauhîd bermaknakan keyakinan akan ke-Esaan Tuhan, yang tunggal, dan tak memiliki sekutu; keyakinan bahwa tidak ada yang layak disembah Selain-Nya. Jika kita ingin merangkum kajian dan tuntunan Islam, maka ringkasan tersebut adalah kalimat lâ ilâha illallâh. Kalimat ini merupakan inti sari dari Al-Qur’an dan ringkasan dari sekian banyak tuntunan Islam. Oleh karena itu, syi’ar lâ ilâha illallâh ini disebutkan di dalam Al-Qur’an sebayak 60 kali, dengan berbagai redaksi yang berbeda-beda. Tiada Tuhan selain Allah.[107] Tiada Tuhan Selain-Nya[108]. Tiada Tuhan selain-Mu[109]. Tiada Tuhan selain-Ku[110]. Selain Allah tiada Tuhan lagi.[111] Tiada Tuhan lain yang bersama-Nya.[112] Sesungguhnya Tuhan kalian hanyalah satu.[113] Ialah Tuhan yang satu.[114]
Urgensitas syi’ar ini begitu besarnya sehingga dalam ayat ke-18 surah A^li ‘Imrân yang pendek diulang sebanyak dua kali.
شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُولُوا الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
Akan tetapi, perlu ditegaskan di sini, bahwa seruan akan ke-Esaan Tuhan bukan hanya klaim agama Islam semata, namun agama-agama lainnya pun, dan semua para delegasi dan duta Ilahi juga menyeru pada ke-Tauhîdan Tuhan.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُوْلٍ إِلاَّ نُوْحِيْ إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدْنِيْ
“Kami tidak pernah mengutus seorang Rasulpun kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwa tiada Tuhan selain-Ku. Oleh karena itu, sembahlah Aku.[115]
Tahapan dan Tingkatan Tauhîd
Tauhîd memiliki beberapa tahapan dan tingkatan, sebagaimana syirik sebagai lawan kata Tauhîd juga memiliki tingkatan yang berbeda-beda pula. Tingkatan-tingkatan itu adalah:
1. Tauhîd dalam Dzat (Tauhîd Dzâtî)
Tauhîd dalam Dzat adalah keyakinan akan ke-Esaan sang Pencipta. Dengan kata lain, hanya satu wujud yang menciptakan segala makhluk, baik melalui perantara atau tidak, dan Ia bukanlah cipataan siapapun.[116]
Dengan ungkapan lain, Tauhîd dalam Dzat adalah keyakinan bahwa setiap makhluk hanya memiliki satu Pencipta, dan dunia dengan segala isi dan kemegahannya ini adalah hasil “karya” seorang Pencipta.“Katakanlah bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu”.[117]
Akan tetapi, seperti yang telah kami singgung di atas bahwa bisa jadi hal itu tercipta tanpa perantara, dan ada juga yang tercipta dengan satu atau beberapa perantara. Untuk memudahkan pemahaman, ada baiknya kami bawakan sebuah contoh berikut ini.
Tuhan menciptakan si A, dan dari-Nya muncul si B. Si B yang juga makhluk Tuhan memunculkan si C dan begitu seterusnya. Jadi Tuhan menciptakan si A dengan tanpa perantara siapapun, sedang si B diciptakan oleh Tuhan melalui satu perantara si A. Sedangkan si C tercipta dengan dua perantara. Dan hal ini tidak kontradiktif dengan Tauhîd Dzâtî Tuhan.[118]
2. Tauhîd dalam Sifat (Tauhîd Sifatî)
Tauhîd dalam sifat berarti semua sifat Tuhan adalah Dzat Tuhan itu sendiri (tidak keluar dari-Nya), seperti ilmu, kuasa, dan hidup. Sifat sejati Tuhan – dari sisi konsep – berbeda dengan diri-Nya, namun ditinjau dari sudut pandang manifestasi-Nya di alam nyata, sifat itu hanya satu, dan itu adalah wujud Tuhan, tidak lebih.
Pada dasarnya, ada dua poin yang tersimpan dalam Tauhîd sifat ini:
a. Sifat Tuhan, seperti ilmu dan kuasa tidak berada diluar Dzat Tuhan.
b. Sifat-sifat ini tidak mengindikasikan ketersusunan dan keterbilangan Dzat Tuhan. Dua poin tadi dapat kita katakan sebagai hasil dari ke-ainiyah-an sifat Tuhan.[119]
Dzat Tuhan adalah simpel dan sama sekali tak tersusun dari apapun juga selain diri-Nya sendiri.[120]
3. Tauhîd Af’âlî
Tauhîd Af’âlî adalah keyakinan bahwa semua mahkluk selalu bergantung pada Tuhan dan tidak memiliki independensi; segala tindakan dan perbuatannya pun adalah anugerah dan berkat kekuatan Tuhan. Artinya, manusia dalam aksi dan tindakannya juga tidak mempunyai independensi.
Dengan kata lain, Tauhîd dalam Dzat mengindikasikan bahwa Tuhan dalam Dzat-Nya tidak memiliki sekutu, sedangkan Tauhîd Af’âlî adalah bahwa Tuhan dalam aktifitas-Nya adalah tunggal tak bersekutu. Perlu diingat, hal ini bukan berarti bahwa mahkluk tidak memiliki peran sama sekali dalam setiap tindakannya. Akan tetapi, maksud dari yang kita jelaskan di atas adalah semua tindakan manusia dan pengaruhnya muncul berkat bantuan dan kekuatan Ilahi. Ringkasnya, syi’ar agama lâ haula wa lâ quwwata illâ billlâh menjelaskan secara detail arti dari Tauhîd Af’âlî ini.
Dampak Dan Pengaruh Tauhîd Af’âlî
Tauhîd Af’âlî dan keyakinan akan ke-Esaan subyek, serta apapun yang dimiliki oleh wujud selain-Nya merupakan anugerah dan inâyah-Nya. Keyakinan semacam ini akan menghasilkan Tauhîd dalam ibadah (Tauhîd ‘ibâdî). Artinya, manusia tidak akan menganggap ada Tuhan yang layak disembah selain-Nya.[121]
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ ِللهِ أَمَرَ أَنْ لاَ تَعْبُدُوْا إِلاَّ إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ
“Segala hukum hanyalah milik Allah semata, Ia memerintahkan agar kalian tidak menyembah selain-Nya. Hal itu merupakan agama yang kokoh”.[122]
Di samping dampak tersebut, ada dampak lain lagi yang bisa diperoleh. Hal itu adalah bahwa manusia akan selalu bergantung pada Tuhan dan selalu memasrahkan segala urusannya kepada-Nya, hanya dari-Nya ia minta pertolongan, tidak akan takut selain kepada-Nya, tidak akan menaruh harapan kepada selain-Nya, bahkan tidak akan putus asa dan patah semangat ketika pada akhirnya kenyataan bertolak belakang dengan apa yang diinginkannya. Karena ia yakin bahwa jika Tuhan berkehendak, dengan seketika Ia akan merubahnya menjadi sebuah kenyataan. ”Dan barangsiapa takut kepada Allah niscaya, Ia akan mencarikan jalan keluar baginya dan memberikan rizki dengan tanpa diduga, dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, Ia akan mencukupinya. Sesungguhnya Ia akan menuntaskan urusannya, dan Ia telah menentukan ukuran dan kadar bagi setiap sesuatu.[123]
Ringkasan
# Tauhîd adalah keyakinan akan ke-Esaan Tuhan sebagai Pencipta. Tauhîd merupakan rukun paling pokok dalam keyakinan Islam dan dapat dikatakan bahwa lâ ilâha illallâh adalah inti sari dari tuntunan Islam.
# Al-Qur’an menyebutkan ungkapan tersebut sebanyak 60 kali dengan redaksi yang berbeda-beda, bahkan ungkapan ini terulang dua kali pada sebuah ayat yang relatif pendek. Realita ini mengindikasikan bahwa ungkapan itu sangatlah urgen.
# Tauhîd memiliki beberapa tahapan; 1. Tauhîd Dzâtî. 2. Tauhîd Sifatî. 3. Tauhîd Af’âlî.
# Tauhîd Dzâtî adalah keyakinan akan ke-Esaan Pencipta alam dan Tuhan sebagai Pencipta segala sesuatu. Akan tetapi, hal ini bukan mengindikasikan bahwa segala sesuatu bersumber dari Allah secara langsung tanpa sebuah perantara.
# Tauhîd Sifatî adalah keyakinan bahwa semua sifat-sifat Tuhan merupakan Dzat Tuhan itu sendiri. Berdasarkan Tauhîd sifati; 1. sifat-sifat Tuhan seperti ilmu dan kuasa tidak keluar dari Dzat Allah SWT. 2. Sifat-sifat tersebut tidak membuat semacam ketersusunan dan plural dalam Dzat Tuhan.
# Tauhîd Af’âlî adalah keyakinan bahwa seluruh maujud yang ada di alam ini, begitu juga segala aktifitasnya bergantung kepada Allah. Apapun yang mereka kerjakan tidak akan pernah keluar dari lingkaran keinginan dan kekuatan Ilahi.
Tauhîd Af’âlî mengindikasikan: pertama, manusia tidak akan pernah mendapatkan Tuhan yang layak disembah selain Allah, kedua, hanya Tuhan tempat bergantung dan kepercayaan manusia, dan mereka akan memasrahkan diri kepada-Nya.
KENABIAN
Mukadimah
Apakah manusia membutuhkan bimbingan para nabi dan rasul yang diutus oleh Tuhan? Gerangan apakah yang terjadi jika duta-duta Tuhan itu tidak pernah muncul dalam sejarah manusia?
Kita akui bahwa bimbingan dan tuntunan para nabi sangat diperlukan pada masa itu. Namun, apakah hal itu berlaku pula di zaman kita sekarang yang telah mengalami perkembangan dan kematangan berpikir serta penalaran sebagaimana kita lihat dan rasakan?
Untuk apa para nabi itu datang? Apa risalah mereka? Apa manfaat dan fungsi segala tuntunan yang yang dibawa oleh mereka?
Pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan sebagian dari sekian pertanyaan yang terdapat dalam kajian tentang kenabian. Kendati di pengatar buku ini telah kami singgung bahwa buku ini hanya sekedar pengantar untuk mengenal Akidah Islam yang di antara fungsinya kita akan bisa menjawab semua pertayaan yang dipaparkan dalam pembahasan ini secara terperinci, namun kita akan upayakan untuk menjawab soal-soal terpenting mengenai hal tadi meskipun dengan penjelasan yang amat sederhana.
a. Siapa Nabi Dan Apa Wahyu Itu?
a.1. Siapa Nabi Itu?
Kata “nabi” memiliki dua arti. Jika “nabi” berasal dari kata naba`, maka maksud dari kata tersebut adalah pemilik kabar dan berita penting. Sedangkan, jika kata tersebut diambil dari akar kata nubuwah, maka arti nabi adalah orang yang mempunyai posisi atau kedudukan yang tinggi.
Adapun dalam istilah ilmu Kalâm, nabi adalah seorang yang telah diutus oleh Tuhan dengan membawa wahyu dengan tujuan untuk membimbing manusia dalam mencapai kesempurnaan akhir.
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa mengenal nabi tanpa wahyu merupakan hal yang amat mustahil. Oleh karena itu, secara ringkas kita akan menjelaskan sekelumit tentang apa itu wahyu.
a.2. Apakah Wahyu Itu?
Wahyu secara linguistik memiliki berbagai arti, di antaranya isyarat, penulisan, tulisan, risalah, misi, dan wangsit (perkataan yang yang tidak diketahui asal muasalnya).[1]
Namun, Al-Qur’an menggunakan kata wahyu dalam empat makna, di antaranya:
1. Petunjuk yang samar, seperti ayat Al-Qur’an yang mengatakan, ”Ia keluar dari mihrab dan menuju kaumnya, kemudian ia isyaratkan pada mereka untuk bertasbih siang dan malam.[2]
2. Bimbingan instingtif, artinya sebuah petunjuk dalam setiap spesies, termasuk tumbuhan, hewan, manusia, bahkan wujud yang yang tak beryawa, seperti batu, juga memiliki insting yang selalu dimilikinya selama mereka hidup, dan dengan itu mereka dapat bertahan dan meneruskan hidupnya. Al-Qur’an mengatakan, ”Dan Tuhanmu telah mewahyukan (memberikan ilham instingtif) kepada lebah, ”Buatlah sarang di bukit-bukit, pepohonan dan di tempat-tempat yang telah dibikin manusia, kemudian makanlah setiap bunga dan tapakilah jalan yang telah ditentukan dan dimudahkan bagimu oleh Tuhanmu.[3]
3. Ilham atau wangsit. Orang-orang suci kerap kali mendapatkan wangsit atau bisikan dari alam ghaib atau alam supranatural di sepanjang hidupnya. Wangsit-wangsit ini acapkali muncul pada waktu-waktu terdesak dan tertekan atau ketika menemukan jalan buntu, sehingga ketika datang, ia bak cahaya yang menerangi jalan dan meloloskan pemiliknya dari kebuntuan. Ilham semacam ini yang berasal dari alam ghaib atau yang bersumber dari Tuhan disebutkan dalam Al-Qur’an dengan wahyu. ”Dan Kami wahyukan (ilhamkan) kepada ibu Musa supaya ia menyusuinya, dan ketika kamu khawatir atasnya, lepaskan ia (Musa) di sungai Nil, dan janganlah takut dan bersedih sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu dan kami akan menjadikannya salah satu dari utusan kami.[4]
Ustad Ma’rifat dalam hal ini menulis, “Ketika Musa as lahir, ibu beliau sangat terguncang dan galau. Seketika terlintas dalam benaknya untuk pasrah pada Tuhan dan menyusuinya. Ketika merasakan bahaya, ia letakkan Musa as dalam sebuah kotak kayu dan dihanyutkan di atas sungai. Dan juga telah terlintas dalam benaknya bahwa balitanya itu akan kembali pada dirinya, sehingga tak perlu disesali dan diratapi, karena ia telah memasrahkan dan menyerahkan anaknya itu kepada-Nya. Semua itu terlintas dalam pikiran ibu Musa as, dan cahaya harapan terdapat dalam benaknya. Karena ia tidak mengingat siapapun selain Tuhan. Petunjuk yang merupakan penerang dan penyelamat dari ketakutan dan kegalauan tersebut, merupakan ilham dan ‘inâyah Tuhan yang senantiasa datang dan menyapa hamba-hamba saleh yang terjepit problema dan kesulitan”.[5]
Hanya saja, Al-Qur’an juga menyebut bisikan setan sebagai sebuah wahyu. Al-Qur’an mengatakan, ”Dan sesungguhnya setan membisikan pada kroni-kroninya untuk bangkit dan berdebat dengan kalian, dan jika kalian menaati mereka, niscaya kalian akan mejadi orang-orang yang menyekutukan Allah.[6]
4. Wahyu risâlî. Wahyu ini khusus turun atas para nabi. Al-Qur’an menyebutkan kata wahyu dengan arti yang terakhir ini lebih kurang sebanyak 70 kali. Seperti firman Allah, ”Dan begitulah Kami wahyukan padamu Al-Qur’an ini dengan bahasa Arab yang fasih supaya kamu memberikan peringatan pada penduduk Makkah dan masyrakat sekitarnya.[7]
Wahyu risâlî adalah sebuah petunjuk Ilahi yang diberikan kepada hamba-hamba pilihan untuk membimbing manusia menggapai kebahagiaannya, dan mereka adalah penerima misi dan tugas Tuhan yang bertugas menyampaikannya kepada manusia. Mereka adalah pribadi-pribadi agung dan sempurna yang memiliki kelayakan dan potensi untuk menerima dan mengemban tugas berat itu. Tuhan pun mengetahui kelayakan ini. “Allah lebih mengetahui di mana Ia harus menempatkan tugas risalah-Nya”. (Al An’âm : 124)
Nabi SAWW bersabda, ”Tidaklah Tuhan mengutus seorang nabi dan Rasul kecuali akalnya telah sempurna, dan akalnya pun lebih utama dari semua akal umat-Nya”.[8]
Imam Hasan Al-Askari as berkata, ” Allah telah menjadikan hati Muhammad SAWW paling utama dan paling sadar dari sekian banyak hati manusia. Oleh karena itu, Tuhan memilihnya sebagai seorang nabi.[9]
Wahyu risâlî adalah seperti sebuah ilham (arti wahyu yang ketiga), hanya saja dalam ilham, sumbernya tidak jelas, sedangkan wahyu rissâlî memiliki asal muasal yang kongkrit. Oleh karena itu, dalam menerima wahyu para nabi tidak akan mendapatkan kesalahan dan kekeliruan.
Zurârah bertanya kepada Imam Shâdiq as tentang bagaimana cara para nabi merasa yakin bahwa apa yang diterimanya adalah berasal dari Allah SWT, dan bukan bisikan setan? Beliau menjawab, ”Sesunguhnya ketika Allah memilih seorang dari hamba-Nya sebagai rasul, Ia memberikan ketenangan (kepadanya). Dengan itu, setiap apa yang datang dari-Nya, ia akan menerimanya dengan sangat jelas seperti mereka melihatnya dengan mata telanjang”[10].[11]
Pengaruh Wahyu Dalam Diri Para Nabi
Kendati fenomena wahyu merupakan hal non-indrawi yang sama sekali tidak bisa diindra, akan tetapi pengaruh dan dampaknya bisa dirasa dan diketahui, sebagaimana keberanian, ketakwaan dan kejiwaan lain yang tak bisa dilihat, didengar atau diraba. Namun, kita dapat memahami keberadaan sifat-sifat tersebut pada seseorang lewat dampak dan pengaruhnya.
Wahyu Ilahi juga memiliki pengaruh yang begitu besar bagi pribadi seorang Rasul, dan menciptakan perubahan yang amat besar dan mendalam, serta memperkuat dan menggembleng segala daya dan kemampuan mereka untuk mampu memberikan petunjuk pada umat manusia.[12]
Ringkasan
# Jika nabi diambil dari akar kata naba`, maka nabi adalah pemilik kabar berita penting. Namun jika kata itu diambil dari akar kata nubuwah, maka seorang nabi adalah pemilik kedudukan yang tinggi.
# Nabi dalam terminologi ilmu Kalâm berarti seseorang yang telah diutus oleh Allah SWT dengan wahyu untuk memberikan petunjuk kepada manusia dalam mencapai kebahagian abadi.
# Wahyu memiliki berbagai arti; isyarah, penulisan, tulisan, risâlah, misi, perkataan yang samar dan pemberian kabar dari tempat yang tersembunyi.
# Al-Qur’an memakai kata wahyu dalam empat arti: pertama, isyarah yang samar (Maryam : 11), kedua, petunjuk instingtif (An-Nahl : 68), ketiga, ilham (Al-Qashash : 7), dan keempat, wahyu risâlî (Asy-Syûrâ : 7).
# Wahyu risâlî adalah seperti ilham yang mengandung petunjuk Ilahiah, dengan perbedaan bahwa bahwa sumber ilham belum tentu jelas asal muasalnya, sedangkan sumber wahyu dalam wahyu risâlî adalah jelas bagi para nabi.
b. Urgensitas Pengutusan Para Nabi
Suatu hal yang tak bisa dipungkiri, untuk sampai pada kebahagian dan kesempurnaan akhir manusia membutuhkan kepada hidayah khusus dari Tuhan sebagai Pencipta. Hidayah yang kita maksud itu adalah wahu yang diterima oleh para duta Tuhan (nabi). Oleh karena itu, Tuhan yang Maha Bijaksana yang selalu mengerjakan perbuatan baik, dan sama sekali tidak melakukan perbuatan buruk, pasti tidak akan menghalangi dan mencegah manusia untuk mendapatkan kebutuhan primer tadi. Hal ini merupakan ringkasan dari argumen urgensitas diutusnya nabi dengan berlandaskan kebutuhan manusia akan wahyu dan kenabian.
Untuk menjelaskan argumen di atas dengan secara detail kita dapat menerangkannya lewat proposisi-proposisi berikut ini:
1. Tujuan Tuhan dari penciptaan manusia adalah supaya manusia sampai kepada kesempurnaan akhirnya.
2. Manusia dapat sampai kepada tujuan tersebut dengan ikhtiar dan pilihan mereka sendiri. Dengan kata lain, ia bisa sampai kepadanya ketika di sepanjang hidupnya ia menempuh suatu jalan dan metode lurus.
3. Untuk menempuh jalan lurus yang sanggup menjanjikan kebahagiaannya, manusia perlu untuk mengenal jalan terlebih dahulu.
4. Manusia tidak mampu mengetahui jalan tersebut dengan hanya bermodalkan pengetahuan logis maupun indrawi.
Manusia sampai saat ini belum mampu mengetahui dimensi berbagai eksistensi, bahkan hakikat diri mereka sendiri belum dapat diketahui secara benar. Dapat kita katakan bahwa substansi manusia merupakan salah satu misteri terbesar baginya. Oleh karena itu, terdapat perbedaan pendapat yang sangat banyak dalam menentukan kebahagiaan sejati manusia.
Syahid Muthahhari mengatakan, ”Di dunia ini, sangat mustahil didapati dua filsuf yang bersepakat dalam menentukan jalan menuju kabahagiaan. Kebahagiaan diri yang menjadi tujuan pokok dan akhir, arti kebahagiaan – dengan sekilas pandang – adalah sebuah arti yang amat jelas. Namun, ia merupakan salah satu realita yang paling rumit; Apakah kebahagiaan itu, dan dengan apa kita dapat meraihnya? Apakah kesengsaraaan itu, apa faktor-faktornya dan bagaimana cara menghindarinya? Hingga saat ini hal-hal tersebut masih rancau dan belum mendapat titik terang. Mengapa? Karena sampai saat ini manusia sendiri dan kemampuan serta potensinya belum dapat diketahui”.[13]
Polemiknya, mengetahui jalan kebahagiaan manusia akan menjadi jelas ketika kita mengetahui bahwa manusia akan hidup abadi, dan hidup yang sekarang hanya merupakan sebuah lembaran dari sebuah kitab besar eksistensi mereka; sebuah kitab yang tak terhingga dan tak terhitung halamannya.
Dari sisi lain, dampak dari kesalahan sekecil apapun yang dilakukan dalam dunia yang singkat ini akan tersingkap dan terlihat di alam sana (akhirat).
5. Tuhan Yang Maha Bijaksana, semua perbuataan-Nya kokoh, tak ada perbuatan buruk yang dapat disandangkan pada-Nya, dan setiap perbuatan baik selalu dikerjakannya.
Dari proposisi-proposisi di atas kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa Tuhan yang Maha Bijaksana memberikan sebuah jalan melalui wahyu yang dapat membimbing manusia menuju kesempurnaannya, sedangkan nabi merupakan perantara untuk menyampaikannya kepada seluruh manusia.
Analogi
Untuk memperjelas argumen di atas, perhatikanlah contoh berikut ini:
Ada seorang berakal sehat ingin mengundang sekelompok teman dan sahabatnya untuk menghadiri jamuan makan dengan berbagai aneka sajian. Para pelayan telah disiapkan untuk menyambut dan menjamu mereka. Alhasil, semua telah dipersiapkan dengan matang-matang untuk mengadakan acara tersebut. Namun, para tamu yang diundangnya tidak mengetahui sama sekali alamat rumahnya. Mereka juga tidak mendapatkan petunjuk untuk sampai pada acara tersebut. Lebih parah lagi, di antara mereka juga tak seorang pun yang bisa menjadi penunjuk jalan. Orang yang berakal (pengundang) tadi pun menyadari dan mengetahui hal ini. Dalam kasus seperti ini, orang yang mengundang harus memberikan petunjuk; rute perjalanan dan lain sebagainya supaya para tamu yang diundang dapat sampai ke rumah tempat acara tersebut diadakan. Jika tidak demikian, pastilah kita layak meragukan “kewarasan” dan kebijakannya.
Kisah Tuhan dan hamba-Nya pun juga bisa kita samakan dengan kisah di atas. Tuhan telah menyiapkan surga untuk para hamba yang akan menghuninya. Akan tetapi, para hamba tidak mengetahui jalan dan cara untuk sampai kepadanya, dan mereka juga belum mendapatkan pengetahuan tentang jalan itu. Dengan demikian, Tuhan yang Maha Bijak pasti akan mengutus para delegasi (baca: nabi) yang akan datang sebagai penunjuk jalan untuk sampai ke surga.
Ringkasan
# Tujuan Allah menciptakan manusia adalah supaya ia dapat mencapai kesempurnaan akhir.
# Manusia dapat sampai kepada kesempurnannya ketika ia menempuh jalan yang benar dengan hasrat dan keinginannya sendiri.
# Untuk menempuh jalan yang lurus tadi manusia harus mengetahui jalan yang benar tersebut.
# Pengetahuan yang dimiliki manusia yang bersumber dari indra atau logika tidaklah cukup dan terbilang minim sekali untuk dapat mengetahui jalan tadi. Hal ini dikarenakan manusia sendiri belum dapat mengenal dirinya sendiri secara benar dan ia tak mengetahui kebahagiaannya yang hakiki serta tidak mengetahui cara dan dampak dari semua perbuatan yang telah dilakukannya dalam mencapai kebahagiaan abadi.
# Tuhan adalah Maha Bijak. Dari kompilasi lima proposisi di atas kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa Tuhan telah menyediakan jalan lain yang berupa wahyu bagi manusia untuk dapat mencapai kesempurnaan. Sedangkan para nabi merupakan perantara untuk menyampaikan hidayah tersebut.
Dampak Diutusnya Para Duta Tuhan (Nabi)
Peranan sejarah para nabi dan pengaruh positif dan revolusioner yang ditimbulkan mereka dalam peradaban dan kebudayaan manusia, bukanlah hal yang terselubung. Para nabi adalah reformis terbesar dan pemimpin paling berwibawa yang selalu berusaha semaksimal mungkin dalam menuntun manusia menggapai kesempurnaannya. Dalam kamus mereka tidak akan didapati kata takut dan menyerah dalam menyampaikan misi yang diembannya. Segala kesulitan dan rintangan mereka terima, dan jika perlu, mereka tebus dengan nyawa. Siksaan dan aniaya kaumnya mereka teguk laksana air segar. Dengan berbagai aral melintang tersebut mereka telah mampu menciptakan sebuah perombakan spektakuler dalam tatanan masyarakat sosial.
Untuk mengetahui lebih lanjut hal itu, cukuplah kita buka lembaran sejarah kaum Arab pada khususnya dan dunia pada umumnya pada awal kemunculan Islam. Perbandingan yang amat mencolok dan kolosal antara keberingasan kaum Arab sebelum masa diutusnya Nabi dan peradaban yang dibawa oleh Islam, kajian ini akan menyingkap berbagai realita yang tak terbantahkan. Namun sayang, kita tidak dapat mengakaji kajian historis semacam ini, karena hal ini keluar dari tujuan utama penulisan buku ini. Dan lagi, kajian semacam ini sudah terbahas secara panjang lebar dalam sejarah Islam.
Di sini kita hanya akan membawakan pengaruh dan dampak paling signifikan dari diutusnya para nabi dari sudut pandang Al-Qur’an:
1. Pelajaran
Tugas pertama yang diemban seorang nabi adalah memberikan pelajaran pada manusia tentang hakikat yang tidak mereka ketahui atau yang tidak mampu mereka pahami. Dalam pembahasan terdahulu telah kami sebutkan secara terperinci bahwa faktor utama yang melandasi pentingnya pengutusan para nabi adalah kebodohan dan ketidaktahuan manusia akan jalan kebahagiaan dan kesempurnaan yang menjadi tujuan hidupnya. Para nabi datang untuk melenyapkan kebodohannya dan memberikan pengajaran kepadanya.
“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al-Qur’an) dan hikmah serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al Baqarah : 129).
“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan ni’mat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepadamu, mensucikanmu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan hikmah, serta mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. (Al Baqarah : 151).[14]
Ajaran para nabi bisa kita golongkan dalam dua kategori: pertama, hakikat dan kenyataan yang tak mungkin dipahami oleh manusia, baik melalui usaha indra atau rasio, seperti hakikat hari kebangkitan. Kedua, hakikat yang dapat dipahami oleh akal manusia. Namun, untuk memahaminya ia harus melakukan eksperimen dan upaya yang berkesinambungan bertahun-tahun, bahkan bisa jadi berabad-abad lamanya.
Para nabi as dalam hal ini datang untuk mempersingkat dan mempermudah pengetahuan dan ilmu yang semacam ini.
2. Penyucian
Para nabi adalah pribadi-pribadi suci nan agung yang memiliki segala keutamaan, dan senantiasa terpelihara dari segala sifat-sifat tercela dan buruk. Mereka yang merupakan perwujudan keadilan, cinta, kebaikan, kejujuran, kesucian, kebesaran jiwa, dan keselamatan, mengajak manusia pula untuk menyandang sifat-sifat terpuji dan mencampakkan sifat-sifat tercela. Menurut ungkapan Al-Qur’an, mereka membersihkan dan menyucikan manusia.
Urgensitas tazkiyah[15] dan tarbiyah manusia dapat kita pahami dari peletakan dan penyebutannya dalam Al-Qur’an yang selalu didahulukan dari kata ta’lîm. Selain yang termaktub dalam ayat ke 129 surah Al-Baqarah, itupun berasal dari sabda nabi Ibrahim dan Isma’il dalam realisasi dan praktek. Artinya, ketika dalam tahapan praktis pengajaran dan didikan selalu diutamakan, awal pemberian teori kemudian disebutlah tazkiyah.
3. Peringatan
Telah kami sebutkan pada pembahasan-pembahasan sebelumnya bahwa manusia memiliki fitrah, yang sanggup membantunya menggapai kesempurnaan dan kebahagiaannya, seperti keyakinan akan Tuhan, kecenderungan untuk menyembah-Nya, dan cinta kebaikan dan keutamaan. Akan tetapi, kerap kali fitrah tadi menjadi pudar dan tercemari akibat kelalaian, kelupaan, dan buaian gemerlapnya materi. Oleh karena itu, para nabi satu persatu datang berusaha memberikan peringatan dan mengingatkan pengetahuan-pengetahuan yang telah terpendam dan terlupakan, serta menghidupkan dan menyadarkan kembali kecenderungan yang sudah mati. Oleh karena itu, Allah memperkenalkan para nabi sebagai sosok muzdakkir, pemberi peringatan.
“Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan”. (Al-Ghâsiyah : 21)
“Tidaklah demikian, sesungguhnya ia (Al-Qur’an) merupakan sebuah pengingat”. (Al-A’raf : 157)
4. Kebebasan dari Segala Macam Belenggu dan Perbudakan
Para nabi memiliki peran yang sangat signifikan dalam upaya membebaskan manusia dari kekangan dan segala macam belenggu. Mereka telah menyelamatkan manusia dari berbagai praktek perbudakan yang dilakukan oleh segelintir orang dan penguasa lalim yang diktator. Lebih dari itu, mereka juga melenyapkan segala belenggu dari dalam jiwa manusia yang berupa hawa nafsu dan kecenderungan yang berlebihan terhadap materi.
“….dan ia (nabi) membuang belenggu-belenggu yang ada pada mereka”. (Al-A’râf : 157)
Para nabi selalu menyeru manusia untuk menyembah Tuhan dan hanya menjadi hamba-Nya, sehingga di saat mereka tidak menjadi hamba Tuhan, maka mereka sama sekali tidak akan dapat mencicipi manisnya rasa kebebasan. Jika manusia tidak tunduk akan perintah Tuhan, niscaya ia akan menjadi budak hawa nafsu dan kecenderungan-kecenderungan hewani untuk selamanya. Dengan demikian, ia akan terombang-ambing. Namun, sekali saja ia kunjungi istana ke-Tuhanan, maka akan terlepaslah segala belenggu yang menghimpitnya.
5. Penegakan Keadilan
Salah satu dari tujuan pokok di utusnya para nabi adalah untuk menegakkan keadilan dalam masyarakat sosial. Al-Qur’an secara gamblang menegaskan hal ini: ”Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah kami turunkan Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”. (Al-Hadîd : 25)
6. Suri Tauladan
Para psikolog kontemporer sepakat bahwa suri tauladan dan contoh kongkret memiliki peran menentukan dalam menciptakan dan mengkader masyarakat. Suri tauladan termasuk faktor terpenting dalam mendidik dan menyiapkan proses pencapaian kesempurnaan manusia. Salah satu poin positif dari eksistensi para nabi di tengah-tengah masyarakat adalah peran mereka sebagai suri tauladan dan contoh dalam kehidupan sosial.
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari kiamat dan ia banyak mengingat Allah. (Al-Ahzâb : 21)
Tujuan Pokok Diutusnya Para Nabi
Dari pembahasan-pembahasan di atas dapat kita pahami bahwa para nabi diutus untuk membimbing manusia menuju kebahagiaan. Pertanyaan yang lazim diutarakan adalah kebahagian mana yang diinginkan oleh para nabi? Apakah mereka menganggap hanya kebahagiaan akhirat saja, sehingga kebahagiaan duniawi harus dikorbankan? Ataukah karena salah satu tujuan mereka adalah menegakkan keadilan di tengah masyarakat, mereka memandang bahwa kehidupan akhirat sebagai cabang dan pelengkap saja? Atau keduanya (kebahagiaan akhirat dan dunia) merupakan tujuan pokok diutusnya mereka?
Jawaban valid tentang soal-soal di atas dapat kita pahami dari beberapa proposisi berikut ini:
# Kehidupan duniawi manusia tidak lah seberapa dan tak bernilai sama sekali dibandîng kehidupan akhirat. Sebagaimana bilangan seribu tak bisa kita bandîngkan dengan satu juta, kendati umur manusia di dunia tidak lebih dari seribu tahun, namun di sana sudah tidak ada lagi pembatas jarak dan waktu.
# Dengan memperhatikan poin di atas, kita dapat memahami bahwa kebahagiaan dunia dibanding kebahagiaan akhirat sangatlah tidak berarti, dan keduanya sama sekali tidak dapat disejajarkan. Dengan kata lain, kebahagiaan akhirat adalah tujuan pokok, sedang kebahagiaan dunia hanyalah cabang saja.
# Oleh karena itu, tujuan asli para nabi adalah membimbing manusia untuk sampai pada kebahagiaan akhirat.
# Dengan mencermati ayat-ayat Al-Qur’an, kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa satu-satunya jalan untuk sampai pada tujuan di atas adalah mendekatkan diri pada Tuhan dan pasrah secara absolut atas segala kehendak-Nya, di mana kesempurnaan manusia tersimpan di dalam pemasrahan tersebut.
# Akan tetapi, perlu dipahami bahwa kesempurnaan ukhrawi manusia sama sekali tidak menafikan kebahagiaan dunia. Artinya, jika manusia menempuh jalan untuk bertaqarrub kepada Allah, kehidupan dunianya akan menjadi surga, dan memandang segala kesengsaraan dan kesulitan di dalamnya manis terasa.
# Andaikan kita mencermati ayat-ayat Al-Qur’an lebih lanjut, kita akan mengetahui bahwa salah satu “program kerja” para nabi adalah memerangi para durjana dan penegakan supremasi hukum. Karena jika rezim yang diktator dan zalim memimpin masyarakat, maka gerak langkah pencarian Tuhan dalam diri manusia akan terhambat dan mengalami tantangan yang sangat serius. Oleh karena itu, dari sini dapat kita pahami maksud dari ayat ke 25 dari surah Al-Hadîd.
# Kongklusinya adalah tujuan utama para nabi adalah menyeru kepada Tuhan, menyembah-Nya, mendekatkan diri pada-Nya, tunduk pada segala kehendak-Nya. Ini adalah inti sari dari semua ajaran agama-agama Ilahi. “Sesungguhnya agama di sisi Tuhan adalah Islam”.
Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa hal ini bisa terealisasi dengan tegaknya keadilan. Dengan terciptanya supremasi hukum manusia tidak hanya akan mendapatkan kebahagiaan akhirat, namun lebih dari itu, kebahagiaan dunia pun bisa diraihnya.
Ringkasan
# Tugas-tugas terpenting para nabi adalah sebagai berikut:
1.Mengajarkan hakikat yang tak diketahuai oleh manusia, atau yang tidak mampu diketahui olehnya. (Al-Baqarah : 129 dan 151; A^li ‘Imrân : 164; Al-Jum’ah : 2)
2.Penyucian manusia dari segala kejelekan dan mengajak manusia pada kebaikan. (Al-Baqarah :129 dan 151)
3.Mengingatkan dan menghidupkan kembali fitrah yang terpendam dalam diri manusia yang sudah mati. (Al-Gâsyiyah : 21)
4.Membebaskan manusia dari belunggu para kuasa zalim, dan menyelamatkannya dari cenkeraman hawa nafsu. (Al-A’râf : 157)
5.Penegakan keadilan sosial. (Al-Hadid : 25)
6.Suri tauladan dan contoh hidup bagi para pencari kebenaran. (Al-Ahzâb : 21)
# Tujuan pokok diutusnya para nabi adalah menyeru pada Allah, menyembah-Nya, mendekatkan diri pada-Nya dan pasrah dan tunduk akan kehendak-Nya; karena Ialah yang menyediakan kebahgiaan ukhrawi nan abadi bagi manusia.
# Apa yang kita sebut dalam poin tadi sebagai tujuan pokok diutusnya para nabi, tidaklah bertentangan dan menafikan kebahagiaan dunia. Bahkan kebahagiaan ukhrawi juga menjamin kebahgiaan duniawi juga.
# Jika masyarakat sosial dipimpin oleh sistem yang tidak adil, gerak langkah para pencari kebenaran akan menghadapi tantangan yang amat serius. Oleh karena itu, memerangi para penguasa zalim selalu menjadi perhatian utama para nabi dan utusan Tuhan.
‘Ishmah Para Nabi
Salah satu ciri dan tanda-tanda yang dimiliki oleh seorang nabi adalah ‘ishmah (keterjagaaannya dari segala dosa). ‘Ishmah secara linguistik bermakna pencegahan dan penjagaan. Artinya, pertama, para nabi dalam menerima, menyampaikan wahyu sama sekali tidak mengalami kesalahan, dan kedua, mereka terjaga dari perbuatan dosa.
Untuk lebih memperjelas arti dari dua poin ‘ishmah di atas, marilah kita ikuti pembahasan berikut ini.
‘Ishmah Dalam Penerimaan dan Penyampaian Wahyu
Dalam menerima wahyu, mereka selalu terima dengan benar, memahaminya dengan sempurna, dan dengan penuh rasa tanggung jawab tanpa dikurangi dan ditambahi. Lalu mereka menyampaikannya pada umat manusia sebagai obyek utama mereka. Atas dasar ini, mereka menyampaikan misi-misi Tuhan yang diembannya sesuai dengan apa yang mereka terima.
Berdasarkan fakta kongkret di atas, mayoritas para teolog Islam, baik Syi’ah maupun Ahlussunnah sepakat akan validitas kedua macam ‘ishmah tadi, baik secara logis maupun tekstual.
Argumentasi Logis
Pada dasarnya, argumentasi logis yang digunakan untuk menetapkan urgensitas diutusnya para nabi, dapat kita gunakan pula dalam menetapkan poin di atas. Karena kebutuhan manusia pada petunjuk dan bimbingan para nabi akan efektif dan berpengaruh jika wahyu yang diterima mereka sempurna dan benar, dan para duta Tuhan itu tidak salah dalam menerima, memahami dan menyampaikannya kepada umat manusia.
Ketika kita tahu bahwa Tuhan adalah Maha Bijaksana, Ia menghendaki segala misi-Nya sampai ke telinga umat manusia tanpa terkurangi sedikitpun. Tuhan Maha Mengetahui cara supaya misi-Nya ini bisa diterima oleh manusia[16] dan pribadi-pribadi macam apakah yang mampu mengembannya sehingga misi yang menjanjikan kebahagiaan manusia tersebut diterima oleh mereka seutuhnya. Tuhan Yang Maha Kuasa akan mampu memilih sarana terbaik untuk menyampaikan segala misi-Nya serta mampu menjaga para duta-duta-Nya dari setiap kesalahan dan kerancauan yang dapat dimungkinkan.
Argumentasi Tekstual (Naqlî)
Al-Qur’an dalam penggalan ayat terakhir surah Al-Jinn menjelaskan bahwa Tuhan memiliki pesuruh dan pengawas yang bertugas menjaga wahyu dari berbagai hal yang dapat mempengaruhi wahyu sehingga ia tidak dapat diterima dengan sempurna.
“Ia adalah Tuhan yang Maha mengetahui yang ghaib, maka Ia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada para Rasul yang diridhai. Maka sesungguhnya Ia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya supaya Ia mengetahui, bahwa sesungguhnya para rasul itu telah menyampaikan risalah Tuhan. (Sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Ia menghitung segala sesuatu satu persatu”. (Al-Jinn : 26-28)[17]
‘Ishmah Para Nabi Dari Dosa
Dalam keyakinan kaum Syi’ah semua para nabi tercaga dari dosa-dosa sejak lahir sampai akhir hayat mereka, baik dosa besar atau kecil, disengaja ataupun tidak, seperti lupa dan lalai.[18]
Arti dari ‘ishmah para nabi bukan hanya sekedar keterjagaan mereka dari dosa, akan tetapi perlu diketahui bahwa mereka memiliki malakah nafsiyah sebagai daya dan kekuatan yang membuat mereka terjaga dari dosa dalam kondisi apapun.
Sering kita dapati pribadi-pribadi yang sepanjang hidupnya tidak pernah melakukan dosa. Akan tetapi, jarang kita dapati orang yang mengklaim tidak pernah melakukan dosa sama sekali dalam kondisi apapun. Dengan demikian, dapatlah dibedakan antara tidak melakukan dosa dengan orang yang memiliki malakah.[19]
Argumentasi logis dan tekstual yang menetapkan ‘ishmah para nabi sangatlah banyak. Kami akan bawakan contoh masing-masing dari keduanya:
Argumentasi logis; Tuhan telah mengutus para nabi demi menyampaikan dan menuntun mereka menuju kebahagiaan. Jika para nabi tersebut melanggar undang-undang atau tuntunan yang disampaikannya sendiri, mereka akan kehilangan kepercayaan dari manusia.
Argumentasi tekstual; Al-Qur’an sering kali menyebut para nabi dengan pribadi-pribadi mukhlas[20] (yang terikhlaskan). “Dan ingatlah hamba-hamba Kami; Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub pemilik tangan (kiasan dari orang yang memiliki kekuatan untuk beribadah) dan pemilik mata (kiasan dari pemahaman dan pengetahuan akan agama), sesungguhnya kami telah ikhlaskan mereka dengan keikhlasan yang istimewa ...” (Shâd : 45-46)
Dari sisi lain, sumpah setan dan para kroninya yang ingin menjerumuskan anak cucu Adam ke dalam kesesatan tidaklah mencakup mereka, karena orang-orang yang terikhlaskan dikecualikan dari mereka. “Ia (Iblis) berkata: ”Maka aku bersumpah demi kemulian-Mu, aku akan menyesatkan mereka (anak cucu Adam), kecuali para hamba-Mu yang Mukhlas”. (Shâd : 82-83)
Dan jelas, seandainya setan mampu menggoda para nabi, niscaya ia akan melakukannya. Dengan demikan, dikecualikannya para nabi dari anak cucu Adam yang lain karena setan sendiri tak mampu mempedayakan mereka. Dan dari ayat-ayat tadi dapat kita pahami bahwa setan tidak memiliki daya untuk menggoda para nabi.
Rahasia ‘Ishmah Para Nabi Dari Dosa
Untuk lebih memperjelas poin ini perlu kita bawakan terlebih dahulu proposisi berikut ini:
Manusia adalah sebuah eksisitensi mukhtar yang segala perbuatan dan tingkah lakunya berlandaskan atas ikhtiar dan hasratnya sendiri. Ia selalu memilih segala sesuatu yang bermanfaat baginya, dan akan selalu lari dari hal yang merugikannya, kecuali orang yang tak memiliki obsesi dan tidak mampu menguasai diri dan nafsunya. Karena orang semacam ini kerap kali bertindak berseberangan dengan rasio dan akal sehatnya. Atas dasar ini, terealisasinya sebuah perbuatan tergantung pada sejauh mana ia memiliki keuntungan atau tidak.
Oleh karena itu, manusia yang mencintai hidupnya sekali-kali tidak akan mau menceburkan dirinya ke dalam api, atau meneguk racun yang mematikan. Orang semacam ini kendati mampu untuk melakukannya, namun tidak akan terpikir olehnya untuk melakukan hal itu.
Dengan memperhatikan proposisi di atas dapat kita asumsikan bahwa para nabi memiliki dua ciri dan keistimewaan:
Pertama, mereka meyakini dan mengetahui dampak dan imbas dari perbuatan buruk yang dikerjakan secara sempurna. Efek tersebut bisa jadi berbentuk api yang menjilat-jilat, atau racun yang mematikan.
Kedua, mereka memiliki keinginan yang besar dan kuat untuk mengontrol dan mengendalikan kecenderungan-kecenderungan dan syahwat. Para nabi adalah pribadi-pribadi agung dan pilihan yang sama sekali tidak memiliki keinginan yang lemah dan serba nanggung.
Berdasarkan dua keistimewaan tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa dalam situasi dan kondisi bagaimanapun tidak seorang pun dari mereka akan tercerembab dalam perbuatan dosa, kendati mereka mampu untuk melakukannya.[21]
Ringkasan
# Secara linguistik, ‘Ishmah berarti pencegahan dan penjagaan. Maksud dari para nabi sebagai pribadi-pribadi ma’shûm adalah pertama, mereka terjaga dan tak pernah salah dalam menerima, menjaga, dan menyampaikan wahyu, dan kedua, mereka terjaga dari perbuatan dosa.
# Argumentasi rasional yang digunakan untuk menetapkan lazimnya diutus seorang nabi, dapat pula kita gunakan sebagai argumentasi kema’shûman para nabi dengan arti yang pertama. Karena pemberian petunjuk dan bimbingan melalui wahyu akan terasa efektif jika hal itu terlaksanakan secara sempurna tanpa ada kesalahan dalam proses penerimaan, pemahaman, dan penyampaiannya. Tuhan yang Maha Bijak, Maha Mengetahui dan Maha Kuasa mengetahui sarana dan perantara yang layak untuk dipilih, dan Ia akan menjaganya dari berbagai kesalahan dan keluputan dalam menjalankan tugas mereka. Sebagaimana telah disinggung oleh Al-Qur’an dalam surah Al-Jinn ayat 26-28.
# Menurut keyakian Syi’ah, para nabi semenjak lahir sudah terjaga dari dosa, dan mereka tidak pernah melakkukannya sekalipun atas dasar lupa dan ketidaksengajaan.
# Kema’shûman para nabi berarti mereka memiliki malakah nafsiyah yang amat kuat di mana dalam kondisi apapun ia dapat menjaga mereka dari perbuatan dosa.
# Argumentasi rasional yang dapat disebutkan di sini untuk menetapkan kema’shûman para nabi adalah jika para nabi melakukan perbuatan dosa dan penyimpangan, niscaya kepercayaan masyarakat akan berkurang atau hilang sama sekali, dan akibatnya, misi memberikan hidayah kepada mansuia yang diembannya akan mengalami kegagalan dan tak membuahkan hasil sama sekali.
# Argumentasi tekstual dalam hal ini adalah pertama, Al-Qur’an kerap kali menyebut para nabi dengan Mukhlasîn (hamba-hamba yang telah diikhlaskan/terpilih). (Shâd : 45-46) Kedua, dari Al-Qur’an kita juga memahami bahwa setan dan para kroninya tidak memiliki kemampuan untuk menjerumuskan mereka (para nabi) ke jurang kesesatan. (Shâd : 82-83).
# Rahasia kema’shûman para nabi adalah pertama, pengetahuan dan keimanan mereka yang sempurna akan dampak yang ditimbulkan oleh perbuatan dosa. Kedua, keinginan kuat mereka untuk membendung kecenderungan-kecenderungan hawa nafsu.
Metode Penetapan Kenabian
Kenabian adalah sebuah kedudukan yang tinggi nan agung. Siapapun yang dapat menggapainya, ia akan dicintai oleh hamba-hamba Mukmin serta dihormati (disakralkan). Ketaatan kepadanya merupakan tugas agamis setiap manusia. Oleh karena itu, bisa jadi ada sekelompok orang yang mengaku menjadi nabi dengan harapan bisa menikmati keistimewaan lahiriyah di atas. Hal ini cukup membuat kita harus mengetahui jalan untuk mengetahui kebenaran seorang nabi. Dalam hal ini, minimal ada tiga jalan berikut ini:
a. Melalui bukti-bukti yang ada
Salah satu cara untuk mengetahui kenabian seseorang adalah mengecek kondisi da’wah, latar belakang kehidupan, keutamaan etika, kandungan misi, dan segala yang berhubungan dengan hal itu. Dengan bukti-bukti di atas, kita dapat membandingkan dan menilai kebenaran klaim-klaimnya.
b. Sponsor dan penentuan dari nabi sebelumnya
Jika seorang yang telah kita terima kebenarannya sebagai seorang nabi memberitahukan kepada kita bahwa akan datang seorang nabi setelahku yang memiliki ciri-ciri ini dan itu, dan kemudian teryata memang ada seseorang yang sesuai dengan ciri-ciri yang disebutkan, maka bagi mereka yang mempercayai kenabian nabi pertama ia juga harus meyakini kenabian nabi setelahnya.
c. Mu’jizat
Para nabi kerap kali menggunakan Mu’jizat untuk menguatkan klaim mereka. Dari ayat-ayat Al-Qur’an dapat dipahami manusia menginginkan dari para nabi untuk mempertontonkan Mu’jizat, dan ketika keinginan itu muncul dari rasa ingin tahu akan hakikat dan kebenaran, merekapun mengabulkan dan selalu memberikan jawaban positif. Namun, tidak jarang pula mereka tidak bersedia untuk mengabulkan keinginan dan tantangan musyrikin yang berlandaskan pada ejekan dan motifasi-motifasi invalid. Begitu juga, mereka tidak akan mengabulkan sebuah tantangan yang muncul setelah semua dalil dan hujjah telah disampaikan.
Definisi Mu’jizat
Mu’jizat yang diambil dari kata a’jaza dan merupakan kata pekerja darinya, bermakna melemahkan dan memperdaya.[22] Sedangkan mu’jizat secara terminologis adalah hal spektakuler (di luar adat dan kebiasaan) yang berasal dari para nabi dengan restu Tuhan.[23]
Dalam dunia ini terdapat dua fenomena: pertama, hal-hal biasa. Artinya, hal-hal yang sebab keberadaannya dapat diketahui melalui eksperimen dan berbagai uji coba. Kedua, hal-hal yang luar biasa. Artinya, fenomena yang sebagian dari sebabnya tidak dapat dipahami melalui eksperimen dan uji coba. Fenomena yang kedua ini juga terbagi pada dua macam: pertama, hal-hal yang walaupun tidak memiliki sebab biasa, namun sebab di luar kebiasaannya dapat dipelajari dan dikuasai dengan latihan dan uji coba yang berkesinambungan, seperti yang dilakukan oleh para ahli tirakat dan kebatinan. Kedua, hal-hal yang keberadaanya tergantung pada izin Tuhan dan tidak akan muncul dari pribadi-pribadi yang tidak mendapat restu dan hidayah-Nya. Oleh karena itu, yang terakhir ini memiliki dua ciri: pertama, tidak bisa dipelajari dan diajarkan, dan kedua, sama sekali tidak dapat dikalahkan oleh kekuatan apapun. Hal-hal seperti ini jika muncul dari pribadi yang mengklaim sebagai seorang nabi dinamakan mu’jizat dan merupakan argumen dan hujjah atas kebenarannya.[24]
Ringkasan
# Untuk memahami kebenaran klaim seorang nabi terdapat tiga jalan: pertama, adanya beberapa bukti, kedua, sponsor dari nabi sebelumnya, dan ketiga, mu’jizat.
# Secara linguistik, mu’jizat adalah melemahkan/memperdaya. Sedangkan secara terminologis, berarti sebuah hal luar biasa yang berasal dari seorang yang mengaku nabi dengan restu Tuhan.
# Hal-hal luar biasa adalah fenomena-fenomena yang semua sebabnya tidak dapat dipahami melalui eksperimen dan uji coba sains, akan tetapi, ada bukti-bukti lain yang menjadi penyebab terjadinya hal tersebut.
# Sebagian dari hal-hal yang luar biasa, kendati tidak memiliki sebab yang biasa, akan tetapi, sebab-sebab yang tidak biasanya masih bisa dipahami. Ada sebagian fenomena luar biasa yang perealisasiannya hanya berkat izin khusus Tuhan dan tidak akan jatuh ke tangan orang-orang yang tidak mendapatkan hidayah dari Allah. Dan mu’jizat berasal dari jenis yang terakhir ini.
# Mu’jizat tidak dapat dipelajari dan diajarkan serta tidak dapat dikalahkan oleh hal apapun.
NABI ISLAM
Indikasi Historis
Pada tahun 570 M., di belahan bumi jazirah Arab seorang bayi lahir. Bayi itu diberi nama Muhammad SAWW, putra tunggal pasangan Abdullah dan Aminah. Setelah menjalani kehidupan yang bersih dan penuh amanah selama 40 tahun, ia akhirnya diutus oleh Tuhan untuk membawa sebuah ajaran yang bernama Islam. Ini adalah titik awal perombakan peradaban manusia, atau dapat kita katakan titik awal perombakan terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah kehidupan manusia.
Setelah diutus sebagai seorang nabi, sekitar 13 tahun lamanya, Muhammad tinggal di Makkah, dan menyeru umat manusia kepada Islam dengan menanggung segala kesusahan dan kesulitan. Pada periode ini, lahir dan terbinalah pribadi-pribadi besar.
Kemudian beliau berhijrah ke Madinah yang Kemudian dijadikan sebagai pusat dakwahnya. Sekitar 10 tahun di Madinah, dengan bebas beliau menyeru masyarakat setempat untuk memeluk agama Islam. Di samping itu, beliau juga memerangi para pembangkang Arab hingga seluruh kekuatan musuh bertekuk lutut di hadapannya. Setelah 10 tahun berlalu, dapat dikatakan seluruh masyarakat jazirah Arab telah memeluk Islam. Di sepanjang hidupnya, ayat-ayat Al-Qur’an turun secara bertahap dan beliau membacakannya di hadapan umat manusia sekaligus mengajari mereka.
Pristiwa demi pristiwa datang silih berganti tak hanya setelah beliau diutus menjadi. Namun, sebelum itu pun terjadi berbagai keajaiban yang menakjubkan. Telah banyak buku-buku ditulis demi membahas dan menganalisa peristiwa-peristiwa tersebut secara mendetail sehingga tidak perlu lagi kami singgung di sini.
Bukti-bukti Kebenaran Nabi Islam
Sebagaimana telah kami singgung di atas, pembuktian kenabian seorang nabi dapat dilakukan dengan tiga cara. Kami akan menerapkan ketiga cara di atas terhadap Nabi Islam SAWW.
1. Terkumpulnya berbagai bukti.
Latar belakang kehidupan seseorang dapat dijadikan jalan terbaik dalam menentukan jujur tidaknya klaim dan pengakuannya. Kehidupan Nabi SAWW sepanjang 40 tahun di tengah-tengah masyarakat Jahiliah merupakan tampilan segala bentuk kesucian, amanah, kemurahan jiwa, dan kemenangan yang nyata dan utuh. Kepercayaan manusia kepada beliau begitu besarnya sehingga gelar Al-Amîn pun mereka sandangkan padanya. Setelah diutus menjadi nabi, para musuh dan kroni-kroni mereka tidak memiliki alasan lagi untuk menuduh beliau pembohong, zalim, tak dapat dipercaya, dan berbagai hal-hal tecela lainnya.
Sejarah awal kemunculan Islam merupakan saksi nyata bahwa Nabi Muhammad adalah pribadi yang memiliki keluhuran budi pekerti, ketabahan, kemurahan, sportifitas dalam berinteraksi, dan – alhasil – segala sifat terpuji lainnya.
Dari sisi lain, beliau adalah orang yang tidak mengenal bangku sekolah, seorang anak yang tumbuh dalam lingkungan masyarakat yang mayoritas buta huruf,[25] namun walaupun demikian, beliau mampu mengenalkan kepada manusia cara berpikir yang tinggi, pengenalan terhadap Tuhan, diri manusia, dan jalan lurus dalam menelusuri dan menjalani kehidupan. Beliau juga membawa sebuah kitab yang tak tertandingi di sepanjang sejarah manusia.
Ketika kita kompilasikan fakta dan realita di atas dengan berbagai bukti-bukti, seperti kadar dampak dan pengaruh Nabi dalam kawasan, komitmen beliau terhadap tujuannya, metode valid yang dipraktekkan dalam mencapai tujuan, kecepatan dan kelanggengan pengaruh sabda-sabda dan ajaran beliau, kebenaran, kesucian dan kejujuran para pengikut yang menerima misi beliau dengan lapang dada, maka tidak akan ada keraguan lagi kalau Muhammad putra Abdullah SAWW adalah seorang nabi pesuruh Allah untuk memberi petunjuk kepada manusia.
2. Sponsor dari para nabi sebelumnya
Dari kajian sejarah dapat kita pahami bahwa para nabi sebelumnya telah memberikan kabar gembira tentang akan diutusnya Nabi Islam.[26] Sekelompak dari Ahli Kitâb yang mengetahui tanda-tanda nabi yang akan muncul itu hari demi hari selalu menanti kedatangan beliau.[27] Mereka mengatakan kepada kaum Arab bahwa akan datang seorang nabi dari keturunan Ismail (bangsa Arab) yang telah dikabarkan dan dibenarkan oleh nabi-nabi sebelumnya.[28] Sebagaian dari pemikir Yahudi dan Kristen dengan bersandarkan hal-hal yang kita sebut di atas jauh-jauh hari telah beriman kepada beliau.[29] Kendati sekelompok lain dari mereka karena berbagai alasan dan faktor-faktor material tak mau mengimani serta menolaknya.
Al-Qur’an telah menjelaskan berbagai cara dalam rangka mengenal seorang nabi. “Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya? (Asy-Syu’arâ` : 197)
Poin yang layak kita perhatikan dan cermati di sini adalah bahwa di dalam kitab Injil dan Taurat masa kini yang sudah tidak orisinil lagi, terdapat upaya dan usaha intensif untuk mengahapus kabar gembira tersebut. Namun, tetap saja ditemukan indikasi dan hujjah bagi para pencari hakikat dan kebenaran. Hal inilah yang membuat sekelompok cendekiawan Yahudi dan Nasrani[30] berbondong-bondong untuk memeluk agama Islam. [31]
3. Mu’jizat
Seperti telah kita singgung di atas, metode terpenting untuk mengetahui kebenaran klaim seorang yang mengaku sebagai nabi adalah mu’jizat yang dibawanya. Dengan metode ini akan gamblang bagi manusia sejauh mana hubungannya dengan Tuhan. Kitab-kitab sejarah dan hadis banyak memuat dan mencatat berbagai mu’jizat yang berasal dari nabi Islam, seperti pristiwa kerikil-kerikil yang berbicara di hadapan beliau,[32] kesaksian srigala-srigala akan risalah beliau,[33] terbelahnya rembulan,[34] bergeraknya pepohonan ke arah beliau dan kembalinya mereka ke tempat semula,[35] dan pemberitahuan kabar suatu peristiwa yang belum terjadi.[36] Penukilan mu’jizat ini begitu banyaknya sehingga hal itu sudah mencapai batas mutawâtir dan menjadi sesuatu yang telah disepakati dalam sejarah.[37]
Akan tetapi, mu’jizat abadi beliau adalah Al-Qur’an.
Para nabi banyak yang memiliki kitab sebagai bahan pegangan. Namun, hanya kitab suci Nabi Islam SAWW yang dijadikan sebagai mu’jizat. Al-Qur’an selain kitab petunjuk Tuhan yang berada di tangan Rasulullah SAWW, juga merupakan argumentasi dan bukti misi beliau. Hal ini memiliki rahasia yang tak sedikit, di antaranya:
Pertama, agama Islam agama abadi untuk segala masa dan kondisi. Oleh karenan itu, ayat-ayatnya harus bersifat permanen dan abadi.
Kedua, dengan dijadikannya kitab sebagai mu’jizat Nabi, dengan bergulirnya masa seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dimensi-dimensi baru dari mu’jizat Al-Qur’an akan semakin tersingkap yang selama ini belum pernah terlintas di benak kaum-akum terdahulu.
Mu’jizat Al-Qur’an
Dari sekelumit penjelasan di atas, dapat kita pahami bahwa Al-Qur’an adalah mu’jizat nabi SAWW. Untuk memperjelas kongklusi ini lazim kami ketengahkan beberapa poin penting berikut ini:
1. Al-Qur’an mengatakan secara tegas bahwa tak ada seorang pun mampu membuat sebuah kitab seperti Al-Qur’an, walaupun jin dan manusia saling bahu-membahu untuk membuatnya[38]. Bahkan, Al-Qur’an menegaskan, mereka tak akan sanggup untuk menciptakan 10 surah saja.[39] Lebih dari itu, mereka tak akan mampu membuat walau pun satu surah pendek.[40]
2. Sejak dari dini, Al-Qur’an telah menantang para pengingkarnya dan mendeklarasikan ketidakmampuan mereka menyusun rangkaian-rangkaian seperti yang terdapat dalam Al-Qur’an. Hal ini mengindikasikan bahwa Al-Qur’an adalah kitab langit yang berasal dari Tuhan.[41]
3. Sejarah Islam telah membuktikan kepada kita adanya upaya-upaya yang berkesinambungan dari para musuh Rasul dan Islam, musuh baik internal maupun ekternal, untuk memadamkan ajaran-ajaran Islam semenjak diutusnya Nabi dan dimulainya dakwah beliau. Pada masa sekarang pun, kita masih dapat menyaksikan upaya-upaya maksimal negara-negara adidaya dunia yang menganggap Islam sebagai penentang dan musuh, atau aral yang merintangi mereka dalam mewujudkan arogansi dan hegemoni mereka untuk membendung dan memadamkan cahaya Islam ini.
4. Semestinya, upaya termudah dan sangat efisien dalam memerangi agama Islam adalah menjawab tantangan-tantangan Al-Qur’an di atas dan menciptakan ungkapan-ungkapan yang sepadan dengan Al-Qur’an.
5. Sampai saat ini, tak seorang pun yang mampu menciptakan uraian kata yang – dari sisi kefasihannya – setara dengan Al-Qur’an. Lebih dari itu, setiap orang yang berusaha mencobanya, selalu mengakhirinya dengan kegagalan dan rasa malu.[42]
Dengan demikian, Al-Qur’an adalah mu’jizat Tuhan yang diberikan pada Nabi Islam. Oleh karena itu, Muhammad SAWW sebagai pembawa Kitab Suci ini adalah benar-benar seorang nabi, dan apa yang disebut wahyu yang diutarakan dan diucapkannya adalah Kalâm Tuhan yang otentik, tanpa dikurangi dan ditambahi sedikit pun.
Ringkasan
# Salah satu cara untuk membuktikan kenabian Nabi Islam adalah melalui bukti-bukti kehidupan selama 40 tahun yang dipenuhi oleh berbagai kebenaran, kejujuran dan kesucian dari berbagai macam noda dan kotoran, memiliki segala sifat-sifat seorang pemimpin Ilahiah, tumbuh dan besar di kalangan orang-orang buta huruf, pemaparan hakikat yang luhur tentang Tuhan, manusia, alam dan jalan kehidupan, kadar pengaruhnya dalam lingkungan, keimanan terhadap tujuan dll. semua itu adalah pertanda dan indikator akan kebenaran kenabian beliau.
# Para nabi terdahulu telah memberikan kabar gembira akan diutusnya beliau. Oleh karena itu, sekelompok Ahli Kitab jauh-jauh hari sebelumnya telah menunggu kedatangan beliau sebagaimana mereka juga memiliki tanda-tanda yang jelas tentang beliau. Bahkan, dalam Taurat dan Injil yang sudah ditahrif sekalipun masih terdapat indikasi akan kenabian Nabi Muhammad SAWW, sehingga beberapa cendekiawan Ahli Kitab mendapatkan petunjuk dan memeluk agama Islam.
# Ada setumpuk mu’jizat yang dimiliki Rasulullah yang tercatat dalam kitab-kitab sejarah dan hadis. Di antaranya, kerikil-kerikil yang berbicara di hadapan beliau, kesaksian segerombolan serigala akan kenabian beliau, terbelahnya rembulan, bergeraknya pepohonan ke arah beliau dan kembalinya ke tempat semula dan pemberitahuan akan peristiwa yang akan terjadi.
# Mu’jizat terbesar dan terpenting baginda nabi adalah Al-Qur’an. Hanya kitab beliaulah yang dijadikan sebagai mu’jizat sekaligus, di samping sebagai kitab petunjuk.
# Rahasia dari realita di atas adalah pertama, agama Islam adalah agama yang kekal. Dengan demikan, tanda dan bukti kebenarannyapun juga harus kekal dan abadi. Kedua, Kemu’jizatan Al-Qur’an semakin hari dan tahun akan semakin tersingkap dengan jelas.
# Al-Qur’an sebagai mu’jizat dikarenakn beberapa faktor: pertama, Al-Qur’an mengatakan secara terbuka bahwa tiada seorang pun yang sanggup membuat sebuah surah pendek yang sepadan dan setara dengannya, kedua, ketidakmampuan ini merupakan pertanda bahwa Al-Qur’an memang berasal dari langit, ketiga, semenjak kemunculan Islam, para musuh Al-Qur’an senantiasa berusaha untuk menenggelamkan dan memadamkan cahayanya, keempat, semestinya, cara terbaik dan termudah untuk itu adalah menyusun rangkaian kata yang setara dengan Al-Qur’an, dan kelima, akan tetapi, sampai saat ini tidak satu orangpun yang sanggup melakukannya.
PAMUNGKAS (KHATM)KENABIAN
Satu Agama atau Multi Agama?
Pada pembahasan pengenalan agama, biasanya kata agama disebutkan dengan bentuk jamak, dan setiap nabi memiliki agama tersendiri; agama Yahudi, Kristen dan Islam. Akan tetapi, dalam Al-Qur’an mulai dari nabi Adam as hingga Nabi Muhammad SAWW agama hanya satu. Mereka menyeru umat manusia kepada satu agama.[43] Asas dan pondasi agama para nabi ini adalah tunggal, sedangkan perbedaan agama mereka hanya pada dua sisi:
Pertama, masalah parsial yang berbeda-beda sesuai dengan tntutan zaman dan kondisi mereka masing-masing.
Kedua, tingkat keilmuan. Setiap nabi datang satu persatu demi menyempurnakan ajaran nabi-nabi sebelumnya. Contoh, di dalam ajaran Islam, pengetahuan tentang Tuhan, hari akhir dan manusia lebih diperjelas dan diperdalam dibandingkan dengan ajaran para nabi sebelumnya.
Umat manusia tak ubahnya seperti seorang pelajar yang melalui jenjang keilmuannya dari kelas satu sampai kelas terakhir. Oleh karena itu, ungkapan yang benar dalam hal ini adalah penyempurnaan agama satu, bukan perbedaan antar multi agama.
Al-Qur’an sama sekali tidak pernah membawakan kata dîn yang bermakna agama dalam bentuk jamak. Al-Qur’an malah menegaskan bahwa misi para nabi adalah untuk menguatkan dan membenarkan satu sama lain. Atas dasar ini, klaim ini dapat diterima bahwa seandainya seorang nabi hidup di zaman nabi lain yang memiliki kondisi dan situasi khusus, niscaya ia akan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh nabi tersebut.
Al-Qur’an menegaskan secara gamblang bahwa para nabi bagaikan sebuah mata rantai; para nabi terdahulu datang dan memberi kabar gembira akan datangnya nabi setelahnya, dan para nabi yang datang setelah mereka, selalu membenarkan dan menguatkan ajaran para nabi sebelumnya. Dan dari merekalah diambil sebuah sumpah dan janji yang agung dan kokoh.
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari para nabi bahwa sesungguhnya apa saja yang Kuberikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sunguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya. Allah berfirman, ”Apakah kamu mengakui dan menerima janji-Ku terhadap yang demikian itu?” Mereka menjawab, ”Kami mengakui”. Allah berfirman, ”Jika begitu, saksikanlah (wahai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu”. (Alî ‘Imrân : 81)
Nabi Pamungkas
Salah satu dari hal lazim (dharûriyât) dalam Islam adalah bahwa Nabi Islam, Muhammad SAWW adalah nabi terakhir dari mata rantai kenabian Tuhan, dan tiak akan ada lagi nabi yang akan datang setelah beliau. Al-Qur’an dalam surah Al-Ahzâb : 40 secara gamblang mejelaskan hal ini.
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak seorang laki-laki di antara kamu, tetapi ia adalah rasul Allah dan penutup para nabi. Dan Allah adalah Maha Mengetahui segala sesuatu[44].
Rahasia Kenabian Pamungkas
Para nabi datang satu demi satu. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa fenomena ini tidak terdapat lagi setelah nabi Islam? Mengapa hal tersebut tidak terulang selepas diutusnya nabi Muahmmad SAWW? Untuk menjawab soal ini kita harus mencermati tiga poin berikut ini:
1. Manusia zaman dahulu[45] - maksudnya mereka yang hidup sebelum masa Rasulullah SAWW - tidak mampu menjaga kitab dengan ketidakmatangan berfikir dan rasio yang mereka miliki. Oleh karena itu, kitab-kitab langit yang terdahulu terkadang hilang dan tak jarang yang diselewengkan. Dengan demikian, dibutuhkan pada pembaharuan misi dan pembawanya. Akan tetapi, hal ini tak bisa kita samakan dengan masa pengutusan nabi kita. Umat manusia pada masa itu, - dapat dikatakan -telah melalui masa kanak-kanaknya dan telah sampai kepada kematangan bernalar yang dengan itu mereka mampu menjaga warisan dan peninggalan kebudayaan dan religius mereka. Atas dasar ini, hanya Al-Qur’anlah kitab samâwi yang tidak mengalami perubahan dan tahrîf.
2. Manusia tedahulu tidak mampu menangkap metode umum dan universal untuk menapaki dan menjalani kehidupan. Atas dasar ini, sangatlah diperlukan penuntun dan pembimbing yang datang silih berganti, dan hal ini tidak akan kita jumpai di saat nabi diutus. Manusia sudah memiliki kemampuan untuk mendapatkan jalan dan garis fundamental untuk menempuh jalan kehidupannya.
3. Sebagaian dari para nabi yang diutus oleh Tuhan adalah pemilik syariat (misi) baru, dan sebagaian tidak. Yaitu, mereka hanya penyampai misi yang telah dibawa nabi sebelumnya. Dengan demikian, para nabi dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok: nabi tasyrî’î (pemilik syariat) dan nabi tablîgî (penyampai risalah nabi sebelumnya). Dan perlu diketahui, mayoritas para nabi termasuk dalam katagori nabi tablîgî. Adapun jumlah kelompok pertama tidak lebih dari 10 orang saja. Tugas dan misi para nabi tablîgî ini hanya berkisar pada pemasyarakatan dan penyebarsluasan ajaran nabi yang datang sebelum mereka, menyampaikan, mengamalkan dan menginterpretasikannya.
Dengan memperhatikan poin-poin di atas, kita dapat menemukan bahwa rahasia kenabian pamungkas adalah tersimpan dalam kematangan intelektual dan sosial. Karena pada masa diutusnya Nabi Muhammad SAWW, pertama, umat manusia telah mampu menjaga kitab dari segala macam Tahrif, kedua, mereka dapat mengambil dan mendapatkan jalan kebahagiaan dan kesempurnaanya, ketiga, pamasyarakatan, penyampaiaan dan memerintah kebaikan dan melarang kerusakan (amar ma’ruf dan nahi munkar) dapat dilakukan oleh para ulama dan hamba-hamba yang salih, dan keempat, dengan berlandaskan ijtihad mereka dapat menafsirkan universalitas wahyu sesuai dengan zaman dan kondisi yang ada, di mana hal ini juga diemban oleh para ulama.
Ringkasan
# Agama Tuhan dalam Al-Qur’an hanya ada satu. Semua para nabi menyeru manusia pada satu agama.
# Perbedaan antara syari’at para nabi terdapat pada: pertama, permasalahan parsial yang sesuai dengan kondisi zaman masing-masing dan ciri khas masyrakat kala itu, dan kedua, tingkat pengajaran.
# Al-Qur’an tidak pernah menyebutkan kata dîn dengan bentuk jamak, dan seringkali menjelaskan bahwa para nabi merupakan satu kesatuan, dimana seorang nabi menguatkan dan membenarkan nabi lainnya. (A^li ‘Imrân : 81)
# Nabi Muhammd merupakan nabi pamungkas mata rantai kenabian Tuhan. (Al-Ahzâb : 40)
# Rahasia kenabian pamungkas terletak pada kematangan intelektual dan sosial masyarakat. Karena masyarakat di saat nabi SAWW diutus telah mampu:
1.Menjaga kitab langit dari berbagai tahrîf dan pemutar-balikan fakta,
2.Mendapatkan program untuk mendapatkan hidayah, kebahagiaan dan kesempurnannya,
3.Menyebarluaskan dan bertabligh, dan
Dengan konsep ijtihad, mereka menerapkan wahyu yang universal pada kasus tertentu dan menarik sebuah hukum parsial dari asas dan pokok agama, maka tidak diperlukan untuk diutusnya seorang nabi pasca periode beliau.
Al-Qur’an dalam penggalan ayat terakhir surah Al-Jinn menjelaskan bahwa Tuhan memiliki pesuruh dan pengawas yang bertugas menjaga wahyu dari berbagai hal yang dapat mempengaruhi wahyu sehingga ia tidak dapat diterima dengan sempurna.
“Ia adalah Tuhan yang Maha mengetahui yang ghaib, maka Ia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada para Rasul yang diridhai. Maka sesungguhnya Ia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya supaya Ia mengetahui, bahwa sesungguhnya para rasul itu telah menyampaikan risalah Tuhan. (Sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Ia menghitung segala sesuatu satu persatu”. (Al-Jinn : 26-28)[17]
‘Ishmah Para Nabi Dari Dosa
Dalam keyakinan kaum Syi’ah semua para nabi tercaga dari dosa-dosa sejak lahir sampai akhir hayat mereka, baik dosa besar atau kecil, disengaja ataupun tidak, seperti lupa dan lalai.[18]
Arti dari ‘ishmah para nabi bukan hanya sekedar keterjagaan mereka dari dosa, akan tetapi perlu diketahui bahwa mereka memiliki malakah nafsiyah sebagai daya dan kekuatan yang membuat mereka terjaga dari dosa dalam kondisi apapun.
Sering kita dapati pribadi-pribadi yang sepanjang hidupnya tidak pernah melakukan dosa. Akan tetapi, jarang kita dapati orang yang mengklaim tidak pernah melakukan dosa sama sekali dalam kondisi apapun. Dengan demikian, dapatlah dibedakan antara tidak melakukan dosa dengan orang yang memiliki malakah.[19]
Argumentasi logis dan tekstual yang menetapkan ‘ishmah para nabi sangatlah banyak. Kami akan bawakan contoh masing-masing dari keduanya:
Argumentasi logis; Tuhan telah mengutus para nabi demi menyampaikan dan menuntun mereka menuju kebahagiaan. Jika para nabi tersebut melanggar undang-undang atau tuntunan yang disampaikannya sendiri, mereka akan kehilangan kepercayaan dari manusia.
Argumentasi tekstual; Al-Qur’an sering kali menyebut para nabi dengan pribadi-pribadi mukhlas[20] (yang terikhlaskan). “Dan ingatlah hamba-hamba Kami; Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub pemilik tangan (kiasan dari orang yang memiliki kekuatan untuk beribadah) dan pemilik mata (kiasan dari pemahaman dan pengetahuan akan agama), sesungguhnya kami telah ikhlaskan mereka dengan keikhlasan yang istimewa ...” (Shâd : 45-46)
Dari sisi lain, sumpah setan dan para kroninya yang ingin menjerumuskan anak cucu Adam ke dalam kesesatan tidaklah mencakup mereka, karena orang-orang yang terikhlaskan dikecualikan dari mereka. “Ia (Iblis) berkata: ”Maka aku bersumpah demi kemulian-Mu, aku akan menyesatkan mereka (anak cucu Adam), kecuali para hamba-Mu yang Mukhlas”. (Shâd : 82-83)
Dan jelas, seandainya setan mampu menggoda para nabi, niscaya ia akan melakukannya. Dengan demikan, dikecualikannya para nabi dari anak cucu Adam yang lain karena setan sendiri tak mampu mempedayakan mereka. Dan dari ayat-ayat tadi dapat kita pahami bahwa setan tidak memiliki daya untuk menggoda para nabi.
Rahasia ‘Ishmah Para Nabi Dari Dosa
Untuk lebih memperjelas poin ini perlu kita bawakan terlebih dahulu proposisi berikut ini:
Manusia adalah sebuah eksisitensi mukhtar yang segala perbuatan dan tingkah lakunya berlandaskan atas ikhtiar dan hasratnya sendiri. Ia selalu memilih segala sesuatu yang bermanfaat baginya, dan akan selalu lari dari hal yang merugikannya, kecuali orang yang tak memiliki obsesi dan tidak mampu menguasai diri dan nafsunya. Karena orang semacam ini kerap kali bertindak berseberangan dengan rasio dan akal sehatnya. Atas dasar ini, terealisasinya sebuah perbuatan tergantung pada sejauh mana ia memiliki keuntungan atau tidak.
Oleh karena itu, manusia yang mencintai hidupnya sekali-kali tidak akan mau menceburkan dirinya ke dalam api, atau meneguk racun yang mematikan. Orang semacam ini kendati mampu untuk melakukannya, namun tidak akan terpikir olehnya untuk melakukan hal itu.
Dengan memperhatikan proposisi di atas dapat kita asumsikan bahwa para nabi memiliki dua ciri dan keistimewaan:
Pertama, mereka meyakini dan mengetahui dampak dan imbas dari perbuatan buruk yang dikerjakan secara sempurna. Efek tersebut bisa jadi berbentuk api yang menjilat-jilat, atau racun yang mematikan.
Kedua, mereka memiliki keinginan yang besar dan kuat untuk mengontrol dan mengendalikan kecenderungan-kecenderungan dan syahwat. Para nabi adalah pribadi-pribadi agung dan pilihan yang sama sekali tidak memiliki keinginan yang lemah dan serba nanggung.
Berdasarkan dua keistimewaan tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa dalam situasi dan kondisi bagaimanapun tidak seorang pun dari mereka akan tercerembab dalam perbuatan dosa, kendati mereka mampu untuk melakukannya.[21]
Ringkasan
# Secara linguistik, ‘Ishmah berarti pencegahan dan penjagaan. Maksud dari para nabi sebagai pribadi-pribadi ma’shûm adalah pertama, mereka terjaga dan tak pernah salah dalam menerima, menjaga, dan menyampaikan wahyu, dan kedua, mereka terjaga dari perbuatan dosa.
# Argumentasi rasional yang digunakan untuk menetapkan lazimnya diutus seorang nabi, dapat pula kita gunakan sebagai argumentasi kema’shûman para nabi dengan arti yang pertama. Karena pemberian petunjuk dan bimbingan melalui wahyu akan terasa efektif jika hal itu terlaksanakan secara sempurna tanpa ada kesalahan dalam proses penerimaan, pemahaman, dan penyampaiannya. Tuhan yang Maha Bijak, Maha Mengetahui dan Maha Kuasa mengetahui sarana dan perantara yang layak untuk dipilih, dan Ia akan menjaganya dari berbagai kesalahan dan keluputan dalam menjalankan tugas mereka. Sebagaimana telah disinggung oleh Al-Qur’an dalam surah Al-Jinn ayat 26-28.
# Menurut keyakian Syi’ah, para nabi semenjak lahir sudah terjaga dari dosa, dan mereka tidak pernah melakkukannya sekalipun atas dasar lupa dan ketidaksengajaan.
# Kema’shûman para nabi berarti mereka memiliki malakah nafsiyah yang amat kuat di mana dalam kondisi apapun ia dapat menjaga mereka dari perbuatan dosa.
# Argumentasi rasional yang dapat disebutkan di sini untuk menetapkan kema’shûman para nabi adalah jika para nabi melakukan perbuatan dosa dan penyimpangan, niscaya kepercayaan masyarakat akan berkurang atau hilang sama sekali, dan akibatnya, misi memberikan hidayah kepada mansuia yang diembannya akan mengalami kegagalan dan tak membuahkan hasil sama sekali.
# Argumentasi tekstual dalam hal ini adalah pertama, Al-Qur’an kerap kali menyebut para nabi dengan Mukhlasîn (hamba-hamba yang telah diikhlaskan/terpilih). (Shâd : 45-46) Kedua, dari Al-Qur’an kita juga memahami bahwa setan dan para kroninya tidak memiliki kemampuan untuk menjerumuskan mereka (para nabi) ke jurang kesesatan. (Shâd : 82-83).
# Rahasia kema’shûman para nabi adalah pertama, pengetahuan dan keimanan mereka yang sempurna akan dampak yang ditimbulkan oleh perbuatan dosa. Kedua, keinginan kuat mereka untuk membendung kecenderungan-kecenderungan hawa nafsu.
Metode Penetapan Kenabian
Kenabian adalah sebuah kedudukan yang tinggi nan agung. Siapapun yang dapat menggapainya, ia akan dicintai oleh hamba-hamba Mukmin serta dihormati (disakralkan). Ketaatan kepadanya merupakan tugas agamis setiap manusia. Oleh karena itu, bisa jadi ada sekelompok orang yang mengaku menjadi nabi dengan harapan bisa menikmati keistimewaan lahiriyah di atas. Hal ini cukup membuat kita harus mengetahui jalan untuk mengetahui kebenaran seorang nabi. Dalam hal ini, minimal ada tiga jalan berikut ini:
a. Melalui bukti-bukti yang ada
Salah satu cara untuk mengetahui kenabian seseorang adalah mengecek kondisi da’wah, latar belakang kehidupan, keutamaan etika, kandungan misi, dan segala yang berhubungan dengan hal itu. Dengan bukti-bukti di atas, kita dapat membandingkan dan menilai kebenaran klaim-klaimnya.
b. Sponsor dan penentuan dari nabi sebelumnya
Jika seorang yang telah kita terima kebenarannya sebagai seorang nabi memberitahukan kepada kita bahwa akan datang seorang nabi setelahku yang memiliki ciri-ciri ini dan itu, dan kemudian teryata memang ada seseorang yang sesuai dengan ciri-ciri yang disebutkan, maka bagi mereka yang mempercayai kenabian nabi pertama ia juga harus meyakini kenabian nabi setelahnya.
c. Mu’jizat
Para nabi kerap kali menggunakan Mu’jizat untuk menguatkan klaim mereka. Dari ayat-ayat Al-Qur’an dapat dipahami manusia menginginkan dari para nabi untuk mempertontonkan Mu’jizat, dan ketika keinginan itu muncul dari rasa ingin tahu akan hakikat dan kebenaran, merekapun mengabulkan dan selalu memberikan jawaban positif. Namun, tidak jarang pula mereka tidak bersedia untuk mengabulkan keinginan dan tantangan musyrikin yang berlandaskan pada ejekan dan motifasi-motifasi invalid. Begitu juga, mereka tidak akan mengabulkan sebuah tantangan yang muncul setelah semua dalil dan hujjah telah disampaikan.
Definisi Mu’jizat
Mu’jizat yang diambil dari kata a’jaza dan merupakan kata pekerja darinya, bermakna melemahkan dan memperdaya.[22] Sedangkan mu’jizat secara terminologis adalah hal spektakuler (di luar adat dan kebiasaan) yang berasal dari para nabi dengan restu Tuhan.[23]
Dalam dunia ini terdapat dua fenomena: pertama, hal-hal biasa. Artinya, hal-hal yang sebab keberadaannya dapat diketahui melalui eksperimen dan berbagai uji coba. Kedua, hal-hal yang luar biasa. Artinya, fenomena yang sebagian dari sebabnya tidak dapat dipahami melalui eksperimen dan uji coba. Fenomena yang kedua ini juga terbagi pada dua macam: pertama, hal-hal yang walaupun tidak memiliki sebab biasa, namun sebab di luar kebiasaannya dapat dipelajari dan dikuasai dengan latihan dan uji coba yang berkesinambungan, seperti yang dilakukan oleh para ahli tirakat dan kebatinan. Kedua, hal-hal yang keberadaanya tergantung pada izin Tuhan dan tidak akan muncul dari pribadi-pribadi yang tidak mendapat restu dan hidayah-Nya. Oleh karena itu, yang terakhir ini memiliki dua ciri: pertama, tidak bisa dipelajari dan diajarkan, dan kedua, sama sekali tidak dapat dikalahkan oleh kekuatan apapun. Hal-hal seperti ini jika muncul dari pribadi yang mengklaim sebagai seorang nabi dinamakan mu’jizat dan merupakan argumen dan hujjah atas kebenarannya.[24]
Ringkasan
# Untuk memahami kebenaran klaim seorang nabi terdapat tiga jalan: pertama, adanya beberapa bukti, kedua, sponsor dari nabi sebelumnya, dan ketiga, mu’jizat.
# Secara linguistik, mu’jizat adalah melemahkan/memperdaya. Sedangkan secara terminologis, berarti sebuah hal luar biasa yang berasal dari seorang yang mengaku nabi dengan restu Tuhan.
# Hal-hal luar biasa adalah fenomena-fenomena yang semua sebabnya tidak dapat dipahami melalui eksperimen dan uji coba sains, akan tetapi, ada bukti-bukti lain yang menjadi penyebab terjadinya hal tersebut.
# Sebagian dari hal-hal yang luar biasa, kendati tidak memiliki sebab yang biasa, akan tetapi, sebab-sebab yang tidak biasanya masih bisa dipahami. Ada sebagian fenomena luar biasa yang perealisasiannya hanya berkat izin khusus Tuhan dan tidak akan jatuh ke tangan orang-orang yang tidak mendapatkan hidayah dari Allah. Dan mu’jizat berasal dari jenis yang terakhir ini.
# Mu’jizat tidak dapat dipelajari dan diajarkan serta tidak dapat dikalahkan oleh hal apapun.
NABI ISLAM
Indikasi Historis
Pada tahun 570 M., di belahan bumi jazirah Arab seorang bayi lahir. Bayi itu diberi nama Muhammad SAWW, putra tunggal pasangan Abdullah dan Aminah. Setelah menjalani kehidupan yang bersih dan penuh amanah selama 40 tahun, ia akhirnya diutus oleh Tuhan untuk membawa sebuah ajaran yang bernama Islam. Ini adalah titik awal perombakan peradaban manusia, atau dapat kita katakan titik awal perombakan terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah kehidupan manusia.
Setelah diutus sebagai seorang nabi, sekitar 13 tahun lamanya, Muhammad tinggal di Makkah, dan menyeru umat manusia kepada Islam dengan menanggung segala kesusahan dan kesulitan. Pada periode ini, lahir dan terbinalah pribadi-pribadi besar.
Kemudian beliau berhijrah ke Madinah yang Kemudian dijadikan sebagai pusat dakwahnya. Sekitar 10 tahun di Madinah, dengan bebas beliau menyeru masyarakat setempat untuk memeluk agama Islam. Di samping itu, beliau juga memerangi para pembangkang Arab hingga seluruh kekuatan musuh bertekuk lutut di hadapannya. Setelah 10 tahun berlalu, dapat dikatakan seluruh masyarakat jazirah Arab telah memeluk Islam. Di sepanjang hidupnya, ayat-ayat Al-Qur’an turun secara bertahap dan beliau membacakannya di hadapan umat manusia sekaligus mengajari mereka.
Pristiwa demi pristiwa datang silih berganti tak hanya setelah beliau diutus menjadi. Namun, sebelum itu pun terjadi berbagai keajaiban yang menakjubkan. Telah banyak buku-buku ditulis demi membahas dan menganalisa peristiwa-peristiwa tersebut secara mendetail sehingga tidak perlu lagi kami singgung di sini.
Bukti-bukti Kebenaran Nabi Islam
Sebagaimana telah kami singgung di atas, pembuktian kenabian seorang nabi dapat dilakukan dengan tiga cara. Kami akan menerapkan ketiga cara di atas terhadap Nabi Islam SAWW.
1. Terkumpulnya berbagai bukti.
Latar belakang kehidupan seseorang dapat dijadikan jalan terbaik dalam menentukan jujur tidaknya klaim dan pengakuannya. Kehidupan Nabi SAWW sepanjang 40 tahun di tengah-tengah masyarakat Jahiliah merupakan tampilan segala bentuk kesucian, amanah, kemurahan jiwa, dan kemenangan yang nyata dan utuh. Kepercayaan manusia kepada beliau begitu besarnya sehingga gelar Al-Amîn pun mereka sandangkan padanya. Setelah diutus menjadi nabi, para musuh dan kroni-kroni mereka tidak memiliki alasan lagi untuk menuduh beliau pembohong, zalim, tak dapat dipercaya, dan berbagai hal-hal tecela lainnya.
Sejarah awal kemunculan Islam merupakan saksi nyata bahwa Nabi Muhammad adalah pribadi yang memiliki keluhuran budi pekerti, ketabahan, kemurahan, sportifitas dalam berinteraksi, dan – alhasil – segala sifat terpuji lainnya.
Dari sisi lain, beliau adalah orang yang tidak mengenal bangku sekolah, seorang anak yang tumbuh dalam lingkungan masyarakat yang mayoritas buta huruf,[25] namun walaupun demikian, beliau mampu mengenalkan kepada manusia cara berpikir yang tinggi, pengenalan terhadap Tuhan, diri manusia, dan jalan lurus dalam menelusuri dan menjalani kehidupan. Beliau juga membawa sebuah kitab yang tak tertandingi di sepanjang sejarah manusia.
Ketika kita kompilasikan fakta dan realita di atas dengan berbagai bukti-bukti, seperti kadar dampak dan pengaruh Nabi dalam kawasan, komitmen beliau terhadap tujuannya, metode valid yang dipraktekkan dalam mencapai tujuan, kecepatan dan kelanggengan pengaruh sabda-sabda dan ajaran beliau, kebenaran, kesucian dan kejujuran para pengikut yang menerima misi beliau dengan lapang dada, maka tidak akan ada keraguan lagi kalau Muhammad putra Abdullah SAWW adalah seorang nabi pesuruh Allah untuk memberi petunjuk kepada manusia.
2. Sponsor dari para nabi sebelumnya
Dari kajian sejarah dapat kita pahami bahwa para nabi sebelumnya telah memberikan kabar gembira tentang akan diutusnya Nabi Islam.[26] Sekelompak dari Ahli Kitâb yang mengetahui tanda-tanda nabi yang akan muncul itu hari demi hari selalu menanti kedatangan beliau.[27] Mereka mengatakan kepada kaum Arab bahwa akan datang seorang nabi dari keturunan Ismail (bangsa Arab) yang telah dikabarkan dan dibenarkan oleh nabi-nabi sebelumnya.[28] Sebagaian dari pemikir Yahudi dan Kristen dengan bersandarkan hal-hal yang kita sebut di atas jauh-jauh hari telah beriman kepada beliau.[29] Kendati sekelompok lain dari mereka karena berbagai alasan dan faktor-faktor material tak mau mengimani serta menolaknya.
Al-Qur’an telah menjelaskan berbagai cara dalam rangka mengenal seorang nabi. “Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya? (Asy-Syu’arâ` : 197)
Poin yang layak kita perhatikan dan cermati di sini adalah bahwa di dalam kitab Injil dan Taurat masa kini yang sudah tidak orisinil lagi, terdapat upaya dan usaha intensif untuk mengahapus kabar gembira tersebut. Namun, tetap saja ditemukan indikasi dan hujjah bagi para pencari hakikat dan kebenaran. Hal inilah yang membuat sekelompok cendekiawan Yahudi dan Nasrani[30] berbondong-bondong untuk memeluk agama Islam. [31]
3. Mu’jizat
Seperti telah kita singgung di atas, metode terpenting untuk mengetahui kebenaran klaim seorang yang mengaku sebagai nabi adalah mu’jizat yang dibawanya. Dengan metode ini akan gamblang bagi manusia sejauh mana hubungannya dengan Tuhan. Kitab-kitab sejarah dan hadis banyak memuat dan mencatat berbagai mu’jizat yang berasal dari nabi Islam, seperti pristiwa kerikil-kerikil yang berbicara di hadapan beliau,[32] kesaksian srigala-srigala akan risalah beliau,[33] terbelahnya rembulan,[34] bergeraknya pepohonan ke arah beliau dan kembalinya mereka ke tempat semula,[35] dan pemberitahuan kabar suatu peristiwa yang belum terjadi.[36] Penukilan mu’jizat ini begitu banyaknya sehingga hal itu sudah mencapai batas mutawâtir dan menjadi sesuatu yang telah disepakati dalam sejarah.[37]
Akan tetapi, mu’jizat abadi beliau adalah Al-Qur’an.
Para nabi banyak yang memiliki kitab sebagai bahan pegangan. Namun, hanya kitab suci Nabi Islam SAWW yang dijadikan sebagai mu’jizat. Al-Qur’an selain kitab petunjuk Tuhan yang berada di tangan Rasulullah SAWW, juga merupakan argumentasi dan bukti misi beliau. Hal ini memiliki rahasia yang tak sedikit, di antaranya:
Pertama, agama Islam agama abadi untuk segala masa dan kondisi. Oleh karenan itu, ayat-ayatnya harus bersifat permanen dan abadi.
Kedua, dengan dijadikannya kitab sebagai mu’jizat Nabi, dengan bergulirnya masa seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dimensi-dimensi baru dari mu’jizat Al-Qur’an akan semakin tersingkap yang selama ini belum pernah terlintas di benak kaum-akum terdahulu.
Mu’jizat Al-Qur’an
Dari sekelumit penjelasan di atas, dapat kita pahami bahwa Al-Qur’an adalah mu’jizat nabi SAWW. Untuk memperjelas kongklusi ini lazim kami ketengahkan beberapa poin penting berikut ini:
1. Al-Qur’an mengatakan secara tegas bahwa tak ada seorang pun mampu membuat sebuah kitab seperti Al-Qur’an, walaupun jin dan manusia saling bahu-membahu untuk membuatnya[38]. Bahkan, Al-Qur’an menegaskan, mereka tak akan sanggup untuk menciptakan 10 surah saja.[39] Lebih dari itu, mereka tak akan mampu membuat walau pun satu surah pendek.[40]
2. Sejak dari dini, Al-Qur’an telah menantang para pengingkarnya dan mendeklarasikan ketidakmampuan mereka menyusun rangkaian-rangkaian seperti yang terdapat dalam Al-Qur’an. Hal ini mengindikasikan bahwa Al-Qur’an adalah kitab langit yang berasal dari Tuhan.[41]
3. Sejarah Islam telah membuktikan kepada kita adanya upaya-upaya yang berkesinambungan dari para musuh Rasul dan Islam, musuh baik internal maupun ekternal, untuk memadamkan ajaran-ajaran Islam semenjak diutusnya Nabi dan dimulainya dakwah beliau. Pada masa sekarang pun, kita masih dapat menyaksikan upaya-upaya maksimal negara-negara adidaya dunia yang menganggap Islam sebagai penentang dan musuh, atau aral yang merintangi mereka dalam mewujudkan arogansi dan hegemoni mereka untuk membendung dan memadamkan cahaya Islam ini.
4. Semestinya, upaya termudah dan sangat efisien dalam memerangi agama Islam adalah menjawab tantangan-tantangan Al-Qur’an di atas dan menciptakan ungkapan-ungkapan yang sepadan dengan Al-Qur’an.
5. Sampai saat ini, tak seorang pun yang mampu menciptakan uraian kata yang – dari sisi kefasihannya – setara dengan Al-Qur’an. Lebih dari itu, setiap orang yang berusaha mencobanya, selalu mengakhirinya dengan kegagalan dan rasa malu.[42]
Dengan demikian, Al-Qur’an adalah mu’jizat Tuhan yang diberikan pada Nabi Islam. Oleh karena itu, Muhammad SAWW sebagai pembawa Kitab Suci ini adalah benar-benar seorang nabi, dan apa yang disebut wahyu yang diutarakan dan diucapkannya adalah Kalâm Tuhan yang otentik, tanpa dikurangi dan ditambahi sedikit pun.
Ringkasan
# Salah satu cara untuk membuktikan kenabian Nabi Islam adalah melalui bukti-bukti kehidupan selama 40 tahun yang dipenuhi oleh berbagai kebenaran, kejujuran dan kesucian dari berbagai macam noda dan kotoran, memiliki segala sifat-sifat seorang pemimpin Ilahiah, tumbuh dan besar di kalangan orang-orang buta huruf, pemaparan hakikat yang luhur tentang Tuhan, manusia, alam dan jalan kehidupan, kadar pengaruhnya dalam lingkungan, keimanan terhadap tujuan dll. semua itu adalah pertanda dan indikator akan kebenaran kenabian beliau.
# Para nabi terdahulu telah memberikan kabar gembira akan diutusnya beliau. Oleh karena itu, sekelompok Ahli Kitab jauh-jauh hari sebelumnya telah menunggu kedatangan beliau sebagaimana mereka juga memiliki tanda-tanda yang jelas tentang beliau. Bahkan, dalam Taurat dan Injil yang sudah ditahrif sekalipun masih terdapat indikasi akan kenabian Nabi Muhammad SAWW, sehingga beberapa cendekiawan Ahli Kitab mendapatkan petunjuk dan memeluk agama Islam.
# Ada setumpuk mu’jizat yang dimiliki Rasulullah yang tercatat dalam kitab-kitab sejarah dan hadis. Di antaranya, kerikil-kerikil yang berbicara di hadapan beliau, kesaksian segerombolan serigala akan kenabian beliau, terbelahnya rembulan, bergeraknya pepohonan ke arah beliau dan kembalinya ke tempat semula dan pemberitahuan akan peristiwa yang akan terjadi.
# Mu’jizat terbesar dan terpenting baginda nabi adalah Al-Qur’an. Hanya kitab beliaulah yang dijadikan sebagai mu’jizat sekaligus, di samping sebagai kitab petunjuk.
# Rahasia dari realita di atas adalah pertama, agama Islam adalah agama yang kekal. Dengan demikan, tanda dan bukti kebenarannyapun juga harus kekal dan abadi. Kedua, Kemu’jizatan Al-Qur’an semakin hari dan tahun akan semakin tersingkap dengan jelas.
# Al-Qur’an sebagai mu’jizat dikarenakn beberapa faktor: pertama, Al-Qur’an mengatakan secara terbuka bahwa tiada seorang pun yang sanggup membuat sebuah surah pendek yang sepadan dan setara dengannya, kedua, ketidakmampuan ini merupakan pertanda bahwa Al-Qur’an memang berasal dari langit, ketiga, semenjak kemunculan Islam, para musuh Al-Qur’an senantiasa berusaha untuk menenggelamkan dan memadamkan cahayanya, keempat, semestinya, cara terbaik dan termudah untuk itu adalah menyusun rangkaian kata yang setara dengan Al-Qur’an, dan kelima, akan tetapi, sampai saat ini tidak satu orangpun yang sanggup melakukannya.
PAMUNGKAS (KHATM)KENABIAN
Satu Agama atau Multi Agama?
Pada pembahasan pengenalan agama, biasanya kata agama disebutkan dengan bentuk jamak, dan setiap nabi memiliki agama tersendiri; agama Yahudi, Kristen dan Islam. Akan tetapi, dalam Al-Qur’an mulai dari nabi Adam as hingga Nabi Muhammad SAWW agama hanya satu. Mereka menyeru umat manusia kepada satu agama.[43] Asas dan pondasi agama para nabi ini adalah tunggal, sedangkan perbedaan agama mereka hanya pada dua sisi:
Pertama, masalah parsial yang berbeda-beda sesuai dengan tntutan zaman dan kondisi mereka masing-masing.
Kedua, tingkat keilmuan. Setiap nabi datang satu persatu demi menyempurnakan ajaran nabi-nabi sebelumnya. Contoh, di dalam ajaran Islam, pengetahuan tentang Tuhan, hari akhir dan manusia lebih diperjelas dan diperdalam dibandingkan dengan ajaran para nabi sebelumnya.
Umat manusia tak ubahnya seperti seorang pelajar yang melalui jenjang keilmuannya dari kelas satu sampai kelas terakhir. Oleh karena itu, ungkapan yang benar dalam hal ini adalah penyempurnaan agama satu, bukan perbedaan antar multi agama.
Al-Qur’an sama sekali tidak pernah membawakan kata dîn yang bermakna agama dalam bentuk jamak. Al-Qur’an malah menegaskan bahwa misi para nabi adalah untuk menguatkan dan membenarkan satu sama lain. Atas dasar ini, klaim ini dapat diterima bahwa seandainya seorang nabi hidup di zaman nabi lain yang memiliki kondisi dan situasi khusus, niscaya ia akan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh nabi tersebut.
Al-Qur’an menegaskan secara gamblang bahwa para nabi bagaikan sebuah mata rantai; para nabi terdahulu datang dan memberi kabar gembira akan datangnya nabi setelahnya, dan para nabi yang datang setelah mereka, selalu membenarkan dan menguatkan ajaran para nabi sebelumnya. Dan dari merekalah diambil sebuah sumpah dan janji yang agung dan kokoh.
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari para nabi bahwa sesungguhnya apa saja yang Kuberikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sunguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya. Allah berfirman, ”Apakah kamu mengakui dan menerima janji-Ku terhadap yang demikian itu?” Mereka menjawab, ”Kami mengakui”. Allah berfirman, ”Jika begitu, saksikanlah (wahai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu”. (Alî ‘Imrân : 81)
Nabi Pamungkas
Salah satu dari hal lazim (dharûriyât) dalam Islam adalah bahwa Nabi Islam, Muhammad SAWW adalah nabi terakhir dari mata rantai kenabian Tuhan, dan tiak akan ada lagi nabi yang akan datang setelah beliau. Al-Qur’an dalam surah Al-Ahzâb : 40 secara gamblang mejelaskan hal ini.
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak seorang laki-laki di antara kamu, tetapi ia adalah rasul Allah dan penutup para nabi. Dan Allah adalah Maha Mengetahui segala sesuatu[44].
Rahasia Kenabian Pamungkas
Para nabi datang satu demi satu. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa fenomena ini tidak terdapat lagi setelah nabi Islam? Mengapa hal tersebut tidak terulang selepas diutusnya nabi Muahmmad SAWW? Untuk menjawab soal ini kita harus mencermati tiga poin berikut ini:
1. Manusia zaman dahulu[45] - maksudnya mereka yang hidup sebelum masa Rasulullah SAWW - tidak mampu menjaga kitab dengan ketidakmatangan berfikir dan rasio yang mereka miliki. Oleh karena itu, kitab-kitab langit yang terdahulu terkadang hilang dan tak jarang yang diselewengkan. Dengan demikian, dibutuhkan pada pembaharuan misi dan pembawanya. Akan tetapi, hal ini tak bisa kita samakan dengan masa pengutusan nabi kita. Umat manusia pada masa itu, - dapat dikatakan -telah melalui masa kanak-kanaknya dan telah sampai kepada kematangan bernalar yang dengan itu mereka mampu menjaga warisan dan peninggalan kebudayaan dan religius mereka. Atas dasar ini, hanya Al-Qur’anlah kitab samâwi yang tidak mengalami perubahan dan tahrîf.
2. Manusia tedahulu tidak mampu menangkap metode umum dan universal untuk menapaki dan menjalani kehidupan. Atas dasar ini, sangatlah diperlukan penuntun dan pembimbing yang datang silih berganti, dan hal ini tidak akan kita jumpai di saat nabi diutus. Manusia sudah memiliki kemampuan untuk mendapatkan jalan dan garis fundamental untuk menempuh jalan kehidupannya.
3. Sebagaian dari para nabi yang diutus oleh Tuhan adalah pemilik syariat (misi) baru, dan sebagaian tidak. Yaitu, mereka hanya penyampai misi yang telah dibawa nabi sebelumnya. Dengan demikian, para nabi dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok: nabi tasyrî’î (pemilik syariat) dan nabi tablîgî (penyampai risalah nabi sebelumnya). Dan perlu diketahui, mayoritas para nabi termasuk dalam katagori nabi tablîgî. Adapun jumlah kelompok pertama tidak lebih dari 10 orang saja. Tugas dan misi para nabi tablîgî ini hanya berkisar pada pemasyarakatan dan penyebarsluasan ajaran nabi yang datang sebelum mereka, menyampaikan, mengamalkan dan menginterpretasikannya.
Dengan memperhatikan poin-poin di atas, kita dapat menemukan bahwa rahasia kenabian pamungkas adalah tersimpan dalam kematangan intelektual dan sosial. Karena pada masa diutusnya Nabi Muhammad SAWW, pertama, umat manusia telah mampu menjaga kitab dari segala macam Tahrif, kedua, mereka dapat mengambil dan mendapatkan jalan kebahagiaan dan kesempurnaanya, ketiga, pamasyarakatan, penyampaiaan dan memerintah kebaikan dan melarang kerusakan (amar ma’ruf dan nahi munkar) dapat dilakukan oleh para ulama dan hamba-hamba yang salih, dan keempat, dengan berlandaskan ijtihad mereka dapat menafsirkan universalitas wahyu sesuai dengan zaman dan kondisi yang ada, di mana hal ini juga diemban oleh para ulama.
Ringkasan
# Agama Tuhan dalam Al-Qur’an hanya ada satu. Semua para nabi menyeru manusia pada satu agama.
# Perbedaan antara syari’at para nabi terdapat pada: pertama, permasalahan parsial yang sesuai dengan kondisi zaman masing-masing dan ciri khas masyrakat kala itu, dan kedua, tingkat pengajaran.
# Al-Qur’an tidak pernah menyebutkan kata dîn dengan bentuk jamak, dan seringkali menjelaskan bahwa para nabi merupakan satu kesatuan, dimana seorang nabi menguatkan dan membenarkan nabi lainnya. (A^li ‘Imrân : 81)
# Nabi Muhammd merupakan nabi pamungkas mata rantai kenabian Tuhan. (Al-Ahzâb : 40)
# Rahasia kenabian pamungkas terletak pada kematangan intelektual dan sosial masyarakat. Karena masyarakat di saat nabi SAWW diutus telah mampu:
1.Menjaga kitab langit dari berbagai tahrîf dan pemutar-balikan fakta,
2.Mendapatkan program untuk mendapatkan hidayah, kebahagiaan dan kesempurnannya,
3.Menyebarluaskan dan bertabligh, dan
Dengan konsep ijtihad, mereka menerapkan wahyu yang universal pada kasus tertentu dan menarik sebuah hukum parsial dari asas dan pokok agama, maka tidak diperlukan untuk diutusnya seorang nabi pasca periode beliau.
IMA^MAH (MENGENAL IMAM)
Polemik pertama yang muncul sepeninggal Rasulullah SAWW dan menjadi faktor utama terpecahnya umat Islam ke dalam dua kelompok adalah polemik mengenai suksesi dan kepemimpinan setelah beliau; sekelompok meyakini Ali as adalah khalifah dan pemimpin setelah Rasul, sedang kelompok lain meyakini kepemimpinan khalifah yang lain. Dari sinilah wacana Syi’ah dan Sunnah lahir.
Persepsi Invalid Tentang Polemik Antara Syi’ah dan Sunnah
Sebagaian kelompok berasumsi bahwa polemik Syi’ah dan Sunnah dalam pembahasan Imâmah adalah menurut keyakinan Syi’ah nabi menunjuk dan menentukan Ali as sebagai pemimpin dan pengganti beliau dalam mengurusi urusan sosial, sedang dalam pandangan Ahlussunnah, pelantikan dan penunjukan itu tidak pernah terjadi, dan ummat sendiri yang menentukan siapa pemimpin mereka. Dan ia juga (pemimpin yang dipilih umat) memilih pemimpin setelahnya. Pada tahapan ketiga, penentuan pemimpin diserahkan pada dewan yang berjumalah 6 orang, dan pada tahapan keempat khalifah lagi-lagi terpilih dengan pemilihan umum.
Atas dasar asumsi ini, polemik Syi’ah dan Sunnah hanya sekedar permasalahan historis dan tidak lebih. Artinya, apakah pada realitanya Nabi SAWW menentukan Ali as sebagai khalifah atau tidak? Syi’ah mengatakan ya, namun menurut Ahlussunnah tidak. Namun, kita semua harus menerima kenyataan bahwa dalam sejarah Abu Bakar, Umar, Usman, dan lalu Ali as yang menjadi khalifah dan pemimpin umat Islam sepeninggal nabi.
Dengan demikian, andai kata memang terjadi pelantikan Rasulullah SAWW atas Ali as untuk menjadi khalifah dan pemimpin setelah beliau, maka kehendak dan keinginan beliau itu tidak terwujud, karena ada sekelompok orang telah merampas hak ini.
Pada dasarnya, polemik Syi’ah dan Sunnah adalah lebih dari sekedar pelantikan dan bersifat fundamental. Polemik asli antara mereka adalah apakah Imâmah adalah sebuah kedudukan sakral dan bersifat Ilahiah (hanya dapat ditentukan oleh Tuhan saja) atau hanya sekedar kepemimpinan duniawi dan mengikuti arus sosial?
Imâmah dalam Perspkstif Ahlussunnah
Ahlussunnah meyakini imâmah dan khilâfah adalah sebuah pemerintahan yang memimpin dan mengurusi kaum muslimin. Tugas ini diemban oleh seorang imam. Menurut keyakinan mereka, Islam tidak memiliki metode khusus dalam menentukan para pemimpinnya. Bisa jadi seseorang menjadi pemimpin berkat wasiat pemimpin sebelumnya, bisa jadi ia terpilih melalui musyawarah, atau terpilih secara “demoktratis” atau melalui kudeta dan penggulingan kekuasaan secara militer.
Imâmah Dalam Perspekstif Syi’ah
Imâmah dalam perspekstif Syi’ah merupakan kepemimpinan universal dan menyeluruh dalam masyarakat Islam, baik yang berhubungan dengan segi spiritual maupun maupun duniawi. Kepemimpinan ini mendapatkan legalitasnya tatkala berasal dari Tuhan. Bahkan Nabi sendiri tidak memiliki hak dan peran independen dalam menentukan khalifah setelah beliau. Beliau harus menetukan khalifah sesuai dengan perintah Tuhan.
Oleh karena itu, imâmah sama seperti kenabian dan bertalian langsung dengan hak-hak Ilhaiah. Jika para nabi dilantik melalui mandat Ilahi dari langit, seorang imam pun juga harus demikian.
Dalam pandangan Syi’ah, imâmah bukan hanya pemerintahan/kepemimpinan lahiriah. Namun, imâmah adalah sebuah kedudukan spitiual yang sangat agung. Selain memimpin dan mengurusi masalah sosial dan kehidupan bermasyarakat, seorang imam juga memiliki tugas memberi petunjuk dalam bidang kehidupan yang lebih universal, baik yang berhubungan dengan masalah duniawi maupun ukhrawi. Ia adalah seorang penuntun dan pembimbing umat dari sisi intelektual dan jiwa, sebagaimana ia juga bertugas untuk menjaga syari’at yang dibawa oleh para rasul, dan mewujudkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai melalui pengutusan seorang nabi.
Dalam keyakinan Syi’ah, pribadi legal yang berhak memiliki kedudukan ini, ia pasti mengetahui segala dimensi ajaran agama. Dengan demikan, ia tidak akan pernah mengalami kesalahan dan kekeliruan dalam menjelaskan dan menerangkan khazanah keilmuan dan hukum-hukum Islam, dan ia terjaga dari segala dosa.
Para imam dalam pandangan Syi’ah memiliki semua kedudukan yang dimiliki oleh Nabi, selain kenabian sendiri. Segala ucapan dalam rangka menjelaskan berbagai hakikat, undang-undang, dan pengetahuan Islami merupakan hujjah, dan segala perintahnya di setiap permasalahan harus ditaati.
Perbandingan Antara Imâmah dan Kenabian
Jika kenabian adalah bimbingan Ilahiah, maka imâmah adalah kepemimpinan Ilahiah. Tugas para nabi adalah memperjelas jalan bagi manusia yang harus ditempuh, sedang para imam bertugas membimbing manusia untuk menapaki jalan tersebut. Oleh karena itu, imâmah dapat dikatakan lebih tinggi dari kenabian. Nabi Ibrahim as baru dapat menggapai kedudukan imâmah setelah beliau diutus (menjadi nabi) dan melalui berbagai ujian yang sangat berat.
“Dan ingatlah, ketika Ibrahim as diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), dan ia menunaikannya. Lalu Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu seorang imam bagi seluruh manusia” Ia berkata, “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman, “Janji-Ku ini tidak akan pernah mencakup orang-orang yang zalim”. (Al-Baqarah : 124)
Dari ayat di atas kita dapat memahami tiga poin:
1.Imâmah lebih tinggi dari kenabian.
2.Imâmah adalah maqâm Ilahiah.
3.Maqâm ini tak dapat digapai oleh pribadi-pribadi non-ma’shûm, karena orang-orang yang tak ma’shûm seringkali mengerjakan dosa, berbuat zalim dan bertindak aniaya.
Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa ketinggian maqâm imâmah tidak memililki konsekuensi bahwa seorang imam memiliki kedudukan lebih tinggi dari seorang nabi, karena banyak para nabi, termasuk Nabi Islam yang mempunyai maqâm imâmah dan kenabian sekaligus.
Sumber Pokok Polemik Masalah Imâmah
Secara ringkas, polemik mendasar dalam konsep imâmah antara Syi’ah dan Ahlussunnah adalah:
1. Imam harus harus dipilih langsung oleh Tuhan.
2. Imam memiliki ilmu khusus dan terjaga dari kesalahan.
3. Imam harus terjaga dari dosa (ma’shûm).
Syi’ah meyakini ketiga premis di datas, sementara Ahlussunnah memandang bahwa ketiga premis tersebut bukanlah syarat dari seorang imam.
Ringkasan
# Menurut keyakinan Ahlussunnah, imâmah tidak lebih dari sebuah pemerintahan atas kaum muslimin. tugas imam (pemimpin) menurut mereka adalah tugas yang diemban oleh seorang pemimpin atas sebuah masyarakat sosial. Di dalam Islam, tidak terdapat metode khusus dalam menentukan seorang pemimpin. Bisa jadi seorang pemimpin sampai ke tampuk kepemimpinan melalui wasiat dari pemimpin sebelumnya, pemilihan secara mufakat, pilihan masyarakat atau kudeta.
# Menurut Akidah Syi’ah, imâmah adalah sebuah kepemimpinan universal yang mencakup seluruh segi kehidupan masyarakat Islam, baik di bidang duniawi maupun ukhrawi. Legalitas kepemimpinan ini hanya dapat diberikan oleh Allah SWT. Oleh karena itu, imâmah merupakan maqâm Ilahiah seperti kenabian.
# Menurut Syi’ah, seorang imam memiliki semua kedudukan yang dimiliki oleh seorang nabi selain kenabian itu sendiri. Semua sabdanya yang berhubungan dengan penjelasan hakikat dan kebenaran, undang-undang, hukum-hukum Islam dan pengetahuan Islami adalah hujjah yang senantiasa harus ditaati. Oleh karena itu, seorang imam memiliki segala ilmu berkenaan dengan hakikat agama sehingga ia tidak akan salah dalam menjelaskan hukum dan pengetahuan Islami dan ia senantiasa terjaga dari perbuatan dosa.
# Ayat ke-124 surah Al-Baqarah mengindikasikan: pertama, imâmah adalah lebih tinggi dari kenabian, kedua, imâmah adalah maqâm Ilahiah, ketiga, hanya pribadi ma’shûm saja yang sanggup sampai kepada kedudukan ini.
# Polemik utama antara Syi’ah dan Ahlussunnah tentang masalah imâmah adalah:
1.Pelantikan seorang imam adalah hak Tuhan.
2.Ilmu Ladunni seorang imam dan keterjagaannya dari segala macam kesalahan.
3.Kema’shûman seorang imam dari segala dosa.
Urgensi Eksistensi Seorang Imam
Mukadimah
Mengingat urgensi yang dimilikinya, imâmah senantiasa menjadi pembahasan yang hangat di antara kaum Syi’ah dan Ahlussunnah. Para ulama Syi’ah telah menulis berbagai buku argumentatif yang tidak sedikit berkenaan dengan pembuktian urgensi imâmah. Untuk menjelaskan argumentasi-argumentasi itu secara ringkas pun membutuhkan waktu dan kesempatan yang tidak sedikit, dan jelas membahasnya sudah keluar jangkaun buku kecil ini.
Pada kesempatan ini, kami akan menjelaskan pembahasan imâmah ini dalam dua kajian pokok: pertama, urgensi eksistensi seorang imam, dan kedua, argumentasi tekstual (naqlî) dalam membuktikan keimâmahan Imam Ali as dan sebelas orang dari keturunannya yang legalitas kepemimpinan mereka berasal dari Tuhan.
a. Urgensi Eksistensi Seorang Imam
Dalam keyakinan Syi’ah, ketika konsep hikmah (kebijakan) Tuhan menuntut untuk diutusnya seorang nabi demi memberikan petunjuk dan membimbing umat manusia, merupakan suatu yang sangat urgen bagi-Nya untuk menentukan seorang imam untuk mengemban tugas yang sama. Karena tanpa bimbingannya, tujuan itu tidak akan pernah tercapai dan perjalanan spiritual umat akan terasa timpang dan tidak sempurna.
Dalam buku-buku Kalâm Syi’ah telah disebutkan banyak argumentasi mengenai urgensi eksistensi seorang imam, baik berupa argumentasi rasional maupun tekstual. Dalam kesempatan ini, kami hanya akan membawakan argumentasi logis saja. Argumentasi ini terdiri dari lima proposisi berikut ini:
1.Dalam pembahasan kenabian telah kita ketahui bersama bahwa kebijaksanaan Tuhan menuntut diutusnya seorang nabi untuk membimbing manusia.
2.Agama suci Islam adalah agama untuk semua dan bersifat abadi, dan tidak akan ada nabi lain setelah nabi Muhammad SAWW.[1]
3.Penutupan (khatm) mata rantai kenabian akan sesuai dengan hikmah kenabian jika risalah dan syari’at terakhir tersebut mampu menangani segala problema umat manusia di segala bidang, baik yang berupa material maupun spritual, dan kesinambungan serta kelanggengannya dijamin.
4.Tuhan telah berjanji akan menjaga Al-Qur’an dari berbagai tahrîf tangan-tangan manusia[2]. Sayangnya, semua hukum dan undang-undang Islam itu tidak semuanya dapat dipahami dari sisi lahiriahnya saja, dan dapat dikatakan bahwa Al-Qur’an tidak menjelaskannya dengan detail dan terperinci. Penjelasan detail dan mendalam berkenaan dengan hal tersebut telah dibebankan atas Nabi SAWW.[3]
5.Kondisi yang amat sulit yang menghimpit kehidupan Nabi tidak mengizinkan beliau untuk menjelaskan semua hukum kepada seluruh lapisan masyarakat umum secara komprehensif. Hanya sebagian saja yang telah diajarkan kepada sahabat-sahabat beliau, dan itupun tidak menjamin keterjagaannya (dari berbagai tahîf). Cara berwudhu’ yang setiap kali dikerjakan oleh beliau dan selama bertahun-tahun disaksikan para sahabat menjadi bahan pertikaian dan polemik. Jika hukum sebuah perbuatan yang setiap hari dilakukan dan menjadi kebutuhan setiap muslim sehingga tidak terdapat motifasi, kepentingan dan alasan untuk merubahnya telah menjadi bahan percekcokan umat, maka sangat besar kemungkinannya hal itu terjadi dalam permasalahan-permasalahan yang lebih rumit dan detail, apalagi hukum-hukum itu bermanfaat bagi golongan tertentu.[4]
Dengan memperhatikan proposisi-proposisi di atas, jelas Islam akan menjadi sebuah agama yang sempurna ketika ia mampu memenuhi segala kebutuhan manusia di sepanjang sejarah. Dan Islam sudah menyiapkan sebuah jalan yang dapat menjamin kemaslahatan lazim dalam masyarakat, kemaslahatan yang terancam akibat kepergian nabi SAWW.
Jalan tersebut adalah penentuan dan pelantikan pengganti yang layak setelah nabi; seorang pengganti yang memiliki ilmu Ladunni sehingga ia dapat memahami segala hakikat agama dan menjelaskan segala dimensinya dengan jeli. Ia juga harus memiliki ‘Ishmah sehingga ia tidak terjerat dalam perangkap hawa nafsu dan godaan setan, dan tidak akan melakukan tahrîf agama, baik disengaja atau tidak. Begitu juga ia harus mampu menjalankan dan melanjutkan peran pendidikan yang telah dirintis oleh Nabi, menyampaikan pribadi-pribadi potensial ke puncak kesempurnaan, dan jika ia memiliki sikon yang kondusif, ia pun dapat mengurusi dan menjalankan roda pemerintahan sosial, serta menerapkan segala hukum dan undang-undang sosial dengan menyebarluaskan dan menegakkan keadilan di dunia.[5]
Ilmu dan ‘Ishmah Imam
Konsep kenabian pamungkas akan sesuai dengan hikmah Ilahi jika seorang imam ma’shûm jika telah ditentukan, seorang imam yang memiliki segala keistimewaan Nabi selain kenabiannya. Dengan ini pula, urgensi keberadaan seorang imam, keharusan mereka memiliki ilmu ladunnî, dan keterjagaan mereka dari dosa akan terbukti.
Pelantikan Seorang Imam Bersumber dari Allah
Hal lain yang dapat kita katakan sebagai dasar ketiga keyakinan Syi’ah berkaitan dengan topik imâmah adalah mereka dipilih dan dilantik langsung oleh Tuhan. Karena hanya Tuhan yang tahu siapa dari sekian banyak para hamba-Nya yang sanggup mendapatkan ilmu semacam ini. Hal itu dikarenakan ilmu dan kemampuan jiwa (malakakah nafsânsiyah) termasuk hal-hal non-indrawi yang secara langsung tak bisa dideteksi secara empirik.
Perlu ditekankan di sini, ‘ishmah bukan berarti bahwa manusia dalam sepanjang umurnya pernah tidak melakukan dosa, akan tetapi, dalam kondisi apapun ia akan selalu meninggalkannya. Dan hal ini hanya dapat diketahui melalui wahyu.
Begitu juga dengan ilmu. Kendatipun hal itu dapat dipahami melalui ucapan dan tulisan seseorang, namun hal ini tidak dapat menjamin kejujuran dan kebenaran segala ucapannya.
Argumentasi lain yang dapat digunakan untuk membuktikan keharusan pelantikan seorang imam dari Allah SWT secara langsung adalah bahwa imâmah adalah sebuah bentuk pemerintahan atau kepemimpinan atas manusia. Dan kepemimpinan pada dasarnya hanya milik-Nya. Wilâyah Tuhan bersifat absolut, hanya Ia-lah Penguasa Tunggal, dan hanya perintah-Nya yang harus ditaati oleh umat manusia. Oleh karena itu, ketaatan terhadap selain Allah SWT hanya bisa diterima jika Ia sendiri yang melimpahkan wewenang kepadanya.
Ringkasan
# Dalil rasional yang dapat digunakan untuk membuktikan keharusan ditentukannya seorang imam tersusun dari beberapa proposisi berikut ini:
1.Kebijaksanaan Tuhan menuntut diutusnya para nabi sebagai pembimbing manusia.
2.Nabi Islam adalah nabi pemungkas dan penutup para nabi, dan agama Islam adalah agama yang kekal dan abadi.
3.Agama dan syariat terakhir harus mampu menjawab segala kebutuhan yang dapat menjamin kelanggengengannya sampai akhir zaman.
4.Al-Qur’an tidak menjelaskan semua hukum dan undang-undang agama secara mendetail. Bahkan pengajaran dan penjelasannya secara mendalam diemban oleh Rasul SAWW.
5.Kondisi masyarakat di saat Nabi diutus tidak mengizinkan beliau untuk menjelaskan semua hukum dan undang-undang Islam kepada semua masyarakat, dan apa yang telah disampikan beliaupun diancam oleh berbagai perubahan dan tahrif.
Dengan memperhatikan proposisi-proposisi di atas dapat dipahami bahwa agama Islam akan dapat menjawab semua kebutuhan umat manusia sepanjang zaman ketika di dalam ajarannya terdapat sebuah jalan yang menjamin dan menyiapkan kemaslahatan lazim bagi masyarakat. Jalan tersebut adalah penentuan seorang imam sebagai pelanjut dan penerus Rasulullah SAWW.
# Argumentasi di atas selain membuktikan urgensi keberadaan seorang imam, juga menetapkan bahwa seorang imam harus memiliki ilmu ladunnî dan keterjagaan mereka dari dosa.
# Dari sekian banyak para hamba-Nya, hanya Allah sajalah yang mengetahui siapa yang berhak memperoleh ilmu semacam itu. Dengan demikan, imam harus dilantik dan ditentukan oleh Allah.
# Argumentasi lain yang dapat menetapkan kelaziman pelantikan seorang imam oleh Tuhan adalah dari satu sisi, imam adalah pemimpin atas masyarakat sosial, dan di sisi lain, kepemimpinan secara mutlak adalah hak Allah. Ketaatan kepada selain-Nya dapat dibenarkan jika telah direstui dan diizinkan oleh-Nya.
b. Kepemimpinan Imam Ali as dan Sebelas Keturunan Beliau
Berkenaan dengan masalah imâmah, al-Qur’an tidak menyebutkan sebuah nama pun menyangkut dengan siapa yang berhak menjadi seorang Imam. Mungkin hal ini adalah salah satu metode Allah SWT untuk menjaga al-Qur’an dari tahrîf, atau ada hikmah-hikmah lain yang masih terselubung. Walaupun demikian, al-Qur’an telah menjelaskan secara global mengenai imâmah Ali as dan putra-putra beliau dalam beberapa ayat. Dan hal ini telah dijelaskan oleh Rasul sendiri secara gamblang, sehingga tidak ada kesamaran lagi bagi setiap pencari hakikat dan kebenaran.
Di dalam Al-Qur’an banyak terdapat Ayat-ayat yang menjelaskan kelayakan Imam Ali as sebagai seorang imam. Allamah Al-Hillî dalam kitab Nahjul Haqq wa Kasyf Ash-Shidq menyatakan, ada sekitar 88 ayat yang menetapkan imâmah Imam Ali as. Ayat-ayat tersebut, berlandaskan hadis-hadis yang termuat dalam kitab-kitab standar Ahlussunnah yang menggambarkan dimensi-dimensi keagungan pribadi Ali dan imâmah beliau.[6]
Begitu juga Qâdhî Said Al-Mar’asyi dalam menyebutkan sekitar 94 ayat lain yang menetapkan wilâyah Imam Ali as dengan berdasarkan 37 kitab standar Ahlussunnah.
Di sini kami hanya ingin membawakan dan membahas satu ayat Al-Qur’an yang merupakan penjelas imâmah Imam Ali as.
Ayat Wilâyah
“Sesungguhnya wali kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat dalam keadan ruku’”. (Al-Mâ`idah : 55).
Berdasarkan hadis-hadis yang dinukil baik oleh kalangan ulama Syi’ah maupun Ahlussunnah, ayat ini turun berkenaan dengan Imam Ali as, dan sesuai dengan kajian para ahli tafsir dan hadis dari kalangan Syi’ah serta pengakuan sekelompok ulama Ahlussunnah yang tidak sedikit, orang yang menyedekahkan cincinnya kepada si faqir dalam keadaan shalat (waktu ruku’) itu adalah pribadi agung Ali as.[7]
Allamah Mar’asyi dalam kitab-Nya Ihqâqul Haqq berpendapat bahwa ada sekitar 85 kitab hadis dan tafsir Ahlussunnah yang menegaskan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan Imam Ali as.
Dengan riwayat-riwayat ini, jelas bahwa yang dinginkan dari kata jamak pada ayat di atas adalah kata tunggal dan itu adalah Imam Ali as. Akan tetapi, yang perlu dicermati di sini adalah apa arti sebenarnya dari kata wali yang terdapat dalam ayat ini.
Arti Wali
Kata-kata wali, wilâyah, walâ`, maulâ, dan awlâ, berasal dari akar kata yang sama, yaitu walâ`. Kata ini sangat banyak digunakan oleh Al-Qur’an; 124 kali dalam bentuk kata benda dan sekitar 112 kali dipakai dalam bentuk kata kerja.
Seperti yang termuat dalam kitab Mufradâtul Quran, karya Ar-Râghib Al-Isfahani dan kitab Maqâyisul Lughah, karya Ibn Faris, arti asli dari kata ini adalah kedekatan dua benda, yang seakan-akan tak berjarak antara keduanya sama sekali. Maksudnya, jika dua sesuatu sudah sangat berdekatan, sangatlah mustahil jika dibayangkan ada sesuatu ketiga. Jika kita berkatak, “walia zaidun ‘Amron”, artinya zaid di sisi Amr.
Kata ini juga bermakna teman, penolong, dan penanggung jawab. Dengan kata lain, pada semua arti tadi terdapat semacam kedekatan dan hubungan serta interaksi, dan untuk menentukan arti yang dinginkan (pembicara), dibutuhkan tanda-tanda dan kecermatan untuk memahami konteks kalimatnya.
Dengan memperhatikan poin-poin yang kita sebutkan tadi, kita dapat memahami bahwa maksud dari ayat di atas adalah hanya Tuhan, Rasul, dan Ali as sajalah yang memiliki kedekatan spesial dengan kaum muslim.
Jelas bahwa arti dekat di sini berkonotasi spiritual (metafisik), bukan material. Konsekuensi kedekatan ini adalah wali (pemimpin) dapat mengganti semua hal yang dapat digantikan dari mawallâ alaih (yang dipimpin). Atas dasar ini, segala tindakan yang dilakukan oleh seorang muslim yang dapat diganti, wali mampu melakukannya. Dengan pengertian semacam ini, wali dapat diartikan sebagai penanggung jawab dan pemilik ikhtiar.[8]
Dari satu sisi, Tuhan adalah wali seluruh hamba dalam urusan duniawi dan akhirat mereka. Dan Ia adalah wali mukminin dalam urusan agama dan menyeru mereka kepada kebahagiaan dan kesempurnaan. Rasulullah dengan izin Tuhan adalah wali bagi mukminin. wilayah Imam Ali as yang dijelaskan dalam ayat ini juga bermaksud sama seperti arti di atas. Konsekuensinya, beliau mampu menginterfensi masalah dan urusan muslimin, dan beliau mendapatkan prioritas dalam jiwa, harta, kehormatan, dan agama manusia.[9]
Ahlussunnah Menakwil
Mayoritas ulama Ahlussunnah mengakui bahwa sebab turunnya berhubungan dengan Imam Ali as. Bahkan az-Zamakhsyari ketika menjawab pertanyaan mengapa berbentuk jamak, bukankah ayat ini turun berkenaan dengan satu orang saja berkata, “Hal ini supaya manusia mengamalkannya (bersedekah dalam keadaaan ruku’), dan mengindikasikan bahwa pribadi Mukmin harus berbuat seperti yang demikian.”[10]
Fakhrurrazi dalam tafsirnya juga mengatakan, “Ayat ini turun berkaitan dengan Ali as, dan sudah menjadi kesepakatan para ulama bahwa bersedekah dalam keadaan shalat (waktu ruku’) tidak pernah dilakukan kecuali oleh seorang pribadi agung Ali as.”[11]
As-Suyuthi dalam ad-Durur Manstûr-Nya membawakan beberapa riwayat yang menyatakan bahwa sebab turunya ayat ini adalah Ali as.
Poin terpenting dan mendasar yang digunakan Ahlussunnah untuk menjustifikasi ayat ini adalah bahwa maksud dari wali dalam ayat ini adalah teman, bukan penanggung jawab dan pemilik ikhtiar.
Akan tetapi, sebagaimana telah dijelaskan pada pembukaan pembahasan ini, arti semacam ini (teman) tidak dibenarkan dengan adanya hashr berupa innamâ. Karena mengartikan wali sebagai teman, akan muncul konsekuensi pelarangan untuk bersahabat dan berteman dengan selain Allah, Rasul, dan Ali as.
Kepemimpinan Imam Ali as dalam Tinjauan Hadis Dan Sunnah
Dalam buku-buku referensi hadis, baik di kalangan Ahlussunnah maupun Syi’ah, terdapat bayak riwayat dari Rasulullah SAWW yang menegaskan bahwa Ali as adalah imam dan khalifah setelah beliau.
Riwayat-riwayat ini mengindikasikan bahwa semenjak diutus, Nabi SAWW telah diperintahkan untuk menyampaikan hal penting ini kepada muslimin, dan beliau juga telah menyampaikannya di berbagai kesempatan.
Mengingat kapasitas kitab ini tidak bisa membahas riwayat itu secara keseluruhan, kami hanya akan membawakan riwayat-riwayat yang berkaitan dengan peristiwa Al-Ghadir secara terperinci, dan selanjutnya kami akan membawakan riwayat-riwayat lain secara global.
Hadis al-Ghadir
Hadis Al-Ghadir berkaitan dengan sebuah momen yang terjadi di penghujung kehidupan nabi SAWW. Peristiwa ini terjadi pada waktu beliau kembali dari menunaikan haji Wadâ’ yang beliau laksanakan. Peristiwa akbar ini terjadi di sebuah tempat yang bernama Ghadir Khum. Tempat ini adalah tempat berpisahnya para jamaah haji dari Mesir, Irak, dan para jamaah haji yang berangkat dari kota Madînah.
Pada tahun kesepuluh Hijriyah, Nabi SAWW bersama sekelompok besar dari sahabat pergi ke kota Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah usai menunaikan ibadah tersebut, beliau memberi titah kepada para sahabat untuk kembali ke kota Madînah. Ketika para rombongan sampai di kawasan Râbigh, sekitar tiga mil dari Juhfah, Jibril datang dan turun menjumpai Rasul di Ghadir Khum dengan menyampaikan misi dan wahyu dari Tuhan: “Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika kamu tidak melakukannya, niscaya kamu tidak menyampaikan risalah-Nya, dan (ketahuilah) Allah akan menjagamu dari manusia.” (Al-Mâ`idah : 67)
Dengan turunnya ayat ini, Rasulullah memerintahkan rombongan untuk berhenti, dan menyuruh mereka yang telah berlalu ke depan untuk kembali, serta beliau memerintahkan untuk menunggu para rombongan yang masih tertinggal di belakang. Saat itu adalah waktu Zhuhur. Hawa sangat panas sekali. Sebuah mimbar pun didirikan. Shalat Zhuhur didirikan secara berjamaah. Kemudian setelah para sahabat berkumpul, beliau berdiri di atas mimbar setinggi 4 onta, dan dengan suara lantang beliau pun berpidato, ”Segala puji bagi Allah, dari-Nya kita minta pertolongan, dan kepada-Nya kita beriman dan berserah diri, dan kita berlindung kepada-Nya dari kejelekan amal perbuatan kita. Tuhan yang tiada pembimbing dan pemberi hidayah selain-Nya. Siapa yang diberi petunjuk oleh-Nya, tidak akan ada seorangpun yang sanggup menyesatkannya. Aku bersaksi bahwa tiada yang layak disembah selain-Nya, dan Muhammad adalah utusan dan Hamba-Nya.
Wahai Manusia, sudah dekat rasanya aku akan memenuhi panggilan-Nya, dan akan meninggalkan kalian. Aku akan dimintai pertanggung jawaban, kalian pun juga demikian.
Apakah yang kalian pikirkan tentang diriku?”
“Kami bersaksi bahwa anda telah menjalankan dan telah berupaya untuk menyampaikan misi yang telah anda emban. Semoga Allah SWT memberikan pahala kepadamu.”
“Apakah kalian bersaksi bahwa Tuhan hanya satu dan Muhammad hamba sekaligus nabi-Nya, surga, neraka, dan kehidupan abadi di dunia lain adalah benar dan pasti?”
“Iya, kami bersaksi”.
“Wahai manusia, aku akan menitipkan dua hal berharga pada kalian supaya kalian beramal sesuai dengan dua hal tersebut”.
Pada saat itu berdirilah seorang dari mereka seraya berkata, ”Apa kedua hal tersebut?”
“Pertama kitab suci Allah di mana satu sisinya berada di tangan-Nya, sedang yang lain berada di tangan kalian, sedang hal lainnya yang akan aku titipkan pada kalian adalah itrah dan Ahlul Baytku. Tuhan telah memberitahukan kepadaku bahwa kedua hal tadi tidak akan berpisah sampai kapanpun.
Wahai manusia, janganlah kalian mendahului Al-Qur’an dan Itrahku dan sekali-kali janganlah kalian tinggalkan keduanya, karena kalian akan binasa dan celaka”.
Tak lama Kemudian nabi mengangkat tangan Ali as setinggi-tingginya sehingga tampaklah kulit ketiak kedua pribadi agung itu, dan beliau memperkenalkan Imam Ali kepada khalayak seraya berkata, ”Wahai manusia, siapa gerangan yang lebih layak dan lebih berhak terhadap kaum Mukminin dari pada mereka sendiri?”
“Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu”.
“Sesungguhnya Allah maulâ-ku dan aku adalah maulâ bagi mukminin, dan aku lebih berhak atas diri mereka ketimbang mereka. Maka barangsiapa yang maulâ-nya adalah diriku, maka ketahuilah bahwa Ali adalah maulâ-nya”.
Sesuai dengan penuturan Ahmad bin Hanbal, nabi mengulang ungkapan ini sebanyak empat kali. Kemudian beliau melanjutkan dengan do’a, ”Ya Allah, cintailah mereka yang mencintai Ali, dan musuhilah mereka yang memusuhinya, kasihanilah mereka yang mengasihinya, murkailah mereka yang membuatnya murka, tolonglah mereka yang menolongnya, hinakanlah mereka yang menghina dan merendahkannya, dan jadikanlah ia sebagai sendi dan poros (mihwar) kebenaran”.
Polemik pertama yang muncul sepeninggal Rasulullah SAWW dan menjadi faktor utama terpecahnya umat Islam ke dalam dua kelompok adalah polemik mengenai suksesi dan kepemimpinan setelah beliau; sekelompok meyakini Ali as adalah khalifah dan pemimpin setelah Rasul, sedang kelompok lain meyakini kepemimpinan khalifah yang lain. Dari sinilah wacana Syi’ah dan Sunnah lahir.
Persepsi Invalid Tentang Polemik Antara Syi’ah dan Sunnah
Sebagaian kelompok berasumsi bahwa polemik Syi’ah dan Sunnah dalam pembahasan Imâmah adalah menurut keyakinan Syi’ah nabi menunjuk dan menentukan Ali as sebagai pemimpin dan pengganti beliau dalam mengurusi urusan sosial, sedang dalam pandangan Ahlussunnah, pelantikan dan penunjukan itu tidak pernah terjadi, dan ummat sendiri yang menentukan siapa pemimpin mereka. Dan ia juga (pemimpin yang dipilih umat) memilih pemimpin setelahnya. Pada tahapan ketiga, penentuan pemimpin diserahkan pada dewan yang berjumalah 6 orang, dan pada tahapan keempat khalifah lagi-lagi terpilih dengan pemilihan umum.
Atas dasar asumsi ini, polemik Syi’ah dan Sunnah hanya sekedar permasalahan historis dan tidak lebih. Artinya, apakah pada realitanya Nabi SAWW menentukan Ali as sebagai khalifah atau tidak? Syi’ah mengatakan ya, namun menurut Ahlussunnah tidak. Namun, kita semua harus menerima kenyataan bahwa dalam sejarah Abu Bakar, Umar, Usman, dan lalu Ali as yang menjadi khalifah dan pemimpin umat Islam sepeninggal nabi.
Dengan demikian, andai kata memang terjadi pelantikan Rasulullah SAWW atas Ali as untuk menjadi khalifah dan pemimpin setelah beliau, maka kehendak dan keinginan beliau itu tidak terwujud, karena ada sekelompok orang telah merampas hak ini.
Pada dasarnya, polemik Syi’ah dan Sunnah adalah lebih dari sekedar pelantikan dan bersifat fundamental. Polemik asli antara mereka adalah apakah Imâmah adalah sebuah kedudukan sakral dan bersifat Ilahiah (hanya dapat ditentukan oleh Tuhan saja) atau hanya sekedar kepemimpinan duniawi dan mengikuti arus sosial?
Imâmah dalam Perspkstif Ahlussunnah
Ahlussunnah meyakini imâmah dan khilâfah adalah sebuah pemerintahan yang memimpin dan mengurusi kaum muslimin. Tugas ini diemban oleh seorang imam. Menurut keyakinan mereka, Islam tidak memiliki metode khusus dalam menentukan para pemimpinnya. Bisa jadi seseorang menjadi pemimpin berkat wasiat pemimpin sebelumnya, bisa jadi ia terpilih melalui musyawarah, atau terpilih secara “demoktratis” atau melalui kudeta dan penggulingan kekuasaan secara militer.
Imâmah Dalam Perspekstif Syi’ah
Imâmah dalam perspekstif Syi’ah merupakan kepemimpinan universal dan menyeluruh dalam masyarakat Islam, baik yang berhubungan dengan segi spiritual maupun maupun duniawi. Kepemimpinan ini mendapatkan legalitasnya tatkala berasal dari Tuhan. Bahkan Nabi sendiri tidak memiliki hak dan peran independen dalam menentukan khalifah setelah beliau. Beliau harus menetukan khalifah sesuai dengan perintah Tuhan.
Oleh karena itu, imâmah sama seperti kenabian dan bertalian langsung dengan hak-hak Ilhaiah. Jika para nabi dilantik melalui mandat Ilahi dari langit, seorang imam pun juga harus demikian.
Dalam pandangan Syi’ah, imâmah bukan hanya pemerintahan/kepemimpinan lahiriah. Namun, imâmah adalah sebuah kedudukan spitiual yang sangat agung. Selain memimpin dan mengurusi masalah sosial dan kehidupan bermasyarakat, seorang imam juga memiliki tugas memberi petunjuk dalam bidang kehidupan yang lebih universal, baik yang berhubungan dengan masalah duniawi maupun ukhrawi. Ia adalah seorang penuntun dan pembimbing umat dari sisi intelektual dan jiwa, sebagaimana ia juga bertugas untuk menjaga syari’at yang dibawa oleh para rasul, dan mewujudkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai melalui pengutusan seorang nabi.
Dalam keyakinan Syi’ah, pribadi legal yang berhak memiliki kedudukan ini, ia pasti mengetahui segala dimensi ajaran agama. Dengan demikan, ia tidak akan pernah mengalami kesalahan dan kekeliruan dalam menjelaskan dan menerangkan khazanah keilmuan dan hukum-hukum Islam, dan ia terjaga dari segala dosa.
Para imam dalam pandangan Syi’ah memiliki semua kedudukan yang dimiliki oleh Nabi, selain kenabian sendiri. Segala ucapan dalam rangka menjelaskan berbagai hakikat, undang-undang, dan pengetahuan Islami merupakan hujjah, dan segala perintahnya di setiap permasalahan harus ditaati.
Perbandingan Antara Imâmah dan Kenabian
Jika kenabian adalah bimbingan Ilahiah, maka imâmah adalah kepemimpinan Ilahiah. Tugas para nabi adalah memperjelas jalan bagi manusia yang harus ditempuh, sedang para imam bertugas membimbing manusia untuk menapaki jalan tersebut. Oleh karena itu, imâmah dapat dikatakan lebih tinggi dari kenabian. Nabi Ibrahim as baru dapat menggapai kedudukan imâmah setelah beliau diutus (menjadi nabi) dan melalui berbagai ujian yang sangat berat.
“Dan ingatlah, ketika Ibrahim as diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), dan ia menunaikannya. Lalu Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu seorang imam bagi seluruh manusia” Ia berkata, “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman, “Janji-Ku ini tidak akan pernah mencakup orang-orang yang zalim”. (Al-Baqarah : 124)
Dari ayat di atas kita dapat memahami tiga poin:
1.Imâmah lebih tinggi dari kenabian.
2.Imâmah adalah maqâm Ilahiah.
3.Maqâm ini tak dapat digapai oleh pribadi-pribadi non-ma’shûm, karena orang-orang yang tak ma’shûm seringkali mengerjakan dosa, berbuat zalim dan bertindak aniaya.
Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa ketinggian maqâm imâmah tidak memililki konsekuensi bahwa seorang imam memiliki kedudukan lebih tinggi dari seorang nabi, karena banyak para nabi, termasuk Nabi Islam yang mempunyai maqâm imâmah dan kenabian sekaligus.
Sumber Pokok Polemik Masalah Imâmah
Secara ringkas, polemik mendasar dalam konsep imâmah antara Syi’ah dan Ahlussunnah adalah:
1. Imam harus harus dipilih langsung oleh Tuhan.
2. Imam memiliki ilmu khusus dan terjaga dari kesalahan.
3. Imam harus terjaga dari dosa (ma’shûm).
Syi’ah meyakini ketiga premis di datas, sementara Ahlussunnah memandang bahwa ketiga premis tersebut bukanlah syarat dari seorang imam.
Ringkasan
# Menurut keyakinan Ahlussunnah, imâmah tidak lebih dari sebuah pemerintahan atas kaum muslimin. tugas imam (pemimpin) menurut mereka adalah tugas yang diemban oleh seorang pemimpin atas sebuah masyarakat sosial. Di dalam Islam, tidak terdapat metode khusus dalam menentukan seorang pemimpin. Bisa jadi seorang pemimpin sampai ke tampuk kepemimpinan melalui wasiat dari pemimpin sebelumnya, pemilihan secara mufakat, pilihan masyarakat atau kudeta.
# Menurut Akidah Syi’ah, imâmah adalah sebuah kepemimpinan universal yang mencakup seluruh segi kehidupan masyarakat Islam, baik di bidang duniawi maupun ukhrawi. Legalitas kepemimpinan ini hanya dapat diberikan oleh Allah SWT. Oleh karena itu, imâmah merupakan maqâm Ilahiah seperti kenabian.
# Menurut Syi’ah, seorang imam memiliki semua kedudukan yang dimiliki oleh seorang nabi selain kenabian itu sendiri. Semua sabdanya yang berhubungan dengan penjelasan hakikat dan kebenaran, undang-undang, hukum-hukum Islam dan pengetahuan Islami adalah hujjah yang senantiasa harus ditaati. Oleh karena itu, seorang imam memiliki segala ilmu berkenaan dengan hakikat agama sehingga ia tidak akan salah dalam menjelaskan hukum dan pengetahuan Islami dan ia senantiasa terjaga dari perbuatan dosa.
# Ayat ke-124 surah Al-Baqarah mengindikasikan: pertama, imâmah adalah lebih tinggi dari kenabian, kedua, imâmah adalah maqâm Ilahiah, ketiga, hanya pribadi ma’shûm saja yang sanggup sampai kepada kedudukan ini.
# Polemik utama antara Syi’ah dan Ahlussunnah tentang masalah imâmah adalah:
1.Pelantikan seorang imam adalah hak Tuhan.
2.Ilmu Ladunni seorang imam dan keterjagaannya dari segala macam kesalahan.
3.Kema’shûman seorang imam dari segala dosa.
Urgensi Eksistensi Seorang Imam
Mukadimah
Mengingat urgensi yang dimilikinya, imâmah senantiasa menjadi pembahasan yang hangat di antara kaum Syi’ah dan Ahlussunnah. Para ulama Syi’ah telah menulis berbagai buku argumentatif yang tidak sedikit berkenaan dengan pembuktian urgensi imâmah. Untuk menjelaskan argumentasi-argumentasi itu secara ringkas pun membutuhkan waktu dan kesempatan yang tidak sedikit, dan jelas membahasnya sudah keluar jangkaun buku kecil ini.
Pada kesempatan ini, kami akan menjelaskan pembahasan imâmah ini dalam dua kajian pokok: pertama, urgensi eksistensi seorang imam, dan kedua, argumentasi tekstual (naqlî) dalam membuktikan keimâmahan Imam Ali as dan sebelas orang dari keturunannya yang legalitas kepemimpinan mereka berasal dari Tuhan.
a. Urgensi Eksistensi Seorang Imam
Dalam keyakinan Syi’ah, ketika konsep hikmah (kebijakan) Tuhan menuntut untuk diutusnya seorang nabi demi memberikan petunjuk dan membimbing umat manusia, merupakan suatu yang sangat urgen bagi-Nya untuk menentukan seorang imam untuk mengemban tugas yang sama. Karena tanpa bimbingannya, tujuan itu tidak akan pernah tercapai dan perjalanan spiritual umat akan terasa timpang dan tidak sempurna.
Dalam buku-buku Kalâm Syi’ah telah disebutkan banyak argumentasi mengenai urgensi eksistensi seorang imam, baik berupa argumentasi rasional maupun tekstual. Dalam kesempatan ini, kami hanya akan membawakan argumentasi logis saja. Argumentasi ini terdiri dari lima proposisi berikut ini:
1.Dalam pembahasan kenabian telah kita ketahui bersama bahwa kebijaksanaan Tuhan menuntut diutusnya seorang nabi untuk membimbing manusia.
2.Agama suci Islam adalah agama untuk semua dan bersifat abadi, dan tidak akan ada nabi lain setelah nabi Muhammad SAWW.[1]
3.Penutupan (khatm) mata rantai kenabian akan sesuai dengan hikmah kenabian jika risalah dan syari’at terakhir tersebut mampu menangani segala problema umat manusia di segala bidang, baik yang berupa material maupun spritual, dan kesinambungan serta kelanggengannya dijamin.
4.Tuhan telah berjanji akan menjaga Al-Qur’an dari berbagai tahrîf tangan-tangan manusia[2]. Sayangnya, semua hukum dan undang-undang Islam itu tidak semuanya dapat dipahami dari sisi lahiriahnya saja, dan dapat dikatakan bahwa Al-Qur’an tidak menjelaskannya dengan detail dan terperinci. Penjelasan detail dan mendalam berkenaan dengan hal tersebut telah dibebankan atas Nabi SAWW.[3]
5.Kondisi yang amat sulit yang menghimpit kehidupan Nabi tidak mengizinkan beliau untuk menjelaskan semua hukum kepada seluruh lapisan masyarakat umum secara komprehensif. Hanya sebagian saja yang telah diajarkan kepada sahabat-sahabat beliau, dan itupun tidak menjamin keterjagaannya (dari berbagai tahîf). Cara berwudhu’ yang setiap kali dikerjakan oleh beliau dan selama bertahun-tahun disaksikan para sahabat menjadi bahan pertikaian dan polemik. Jika hukum sebuah perbuatan yang setiap hari dilakukan dan menjadi kebutuhan setiap muslim sehingga tidak terdapat motifasi, kepentingan dan alasan untuk merubahnya telah menjadi bahan percekcokan umat, maka sangat besar kemungkinannya hal itu terjadi dalam permasalahan-permasalahan yang lebih rumit dan detail, apalagi hukum-hukum itu bermanfaat bagi golongan tertentu.[4]
Dengan memperhatikan proposisi-proposisi di atas, jelas Islam akan menjadi sebuah agama yang sempurna ketika ia mampu memenuhi segala kebutuhan manusia di sepanjang sejarah. Dan Islam sudah menyiapkan sebuah jalan yang dapat menjamin kemaslahatan lazim dalam masyarakat, kemaslahatan yang terancam akibat kepergian nabi SAWW.
Jalan tersebut adalah penentuan dan pelantikan pengganti yang layak setelah nabi; seorang pengganti yang memiliki ilmu Ladunni sehingga ia dapat memahami segala hakikat agama dan menjelaskan segala dimensinya dengan jeli. Ia juga harus memiliki ‘Ishmah sehingga ia tidak terjerat dalam perangkap hawa nafsu dan godaan setan, dan tidak akan melakukan tahrîf agama, baik disengaja atau tidak. Begitu juga ia harus mampu menjalankan dan melanjutkan peran pendidikan yang telah dirintis oleh Nabi, menyampaikan pribadi-pribadi potensial ke puncak kesempurnaan, dan jika ia memiliki sikon yang kondusif, ia pun dapat mengurusi dan menjalankan roda pemerintahan sosial, serta menerapkan segala hukum dan undang-undang sosial dengan menyebarluaskan dan menegakkan keadilan di dunia.[5]
Ilmu dan ‘Ishmah Imam
Konsep kenabian pamungkas akan sesuai dengan hikmah Ilahi jika seorang imam ma’shûm jika telah ditentukan, seorang imam yang memiliki segala keistimewaan Nabi selain kenabiannya. Dengan ini pula, urgensi keberadaan seorang imam, keharusan mereka memiliki ilmu ladunnî, dan keterjagaan mereka dari dosa akan terbukti.
Pelantikan Seorang Imam Bersumber dari Allah
Hal lain yang dapat kita katakan sebagai dasar ketiga keyakinan Syi’ah berkaitan dengan topik imâmah adalah mereka dipilih dan dilantik langsung oleh Tuhan. Karena hanya Tuhan yang tahu siapa dari sekian banyak para hamba-Nya yang sanggup mendapatkan ilmu semacam ini. Hal itu dikarenakan ilmu dan kemampuan jiwa (malakakah nafsânsiyah) termasuk hal-hal non-indrawi yang secara langsung tak bisa dideteksi secara empirik.
Perlu ditekankan di sini, ‘ishmah bukan berarti bahwa manusia dalam sepanjang umurnya pernah tidak melakukan dosa, akan tetapi, dalam kondisi apapun ia akan selalu meninggalkannya. Dan hal ini hanya dapat diketahui melalui wahyu.
Begitu juga dengan ilmu. Kendatipun hal itu dapat dipahami melalui ucapan dan tulisan seseorang, namun hal ini tidak dapat menjamin kejujuran dan kebenaran segala ucapannya.
Argumentasi lain yang dapat digunakan untuk membuktikan keharusan pelantikan seorang imam dari Allah SWT secara langsung adalah bahwa imâmah adalah sebuah bentuk pemerintahan atau kepemimpinan atas manusia. Dan kepemimpinan pada dasarnya hanya milik-Nya. Wilâyah Tuhan bersifat absolut, hanya Ia-lah Penguasa Tunggal, dan hanya perintah-Nya yang harus ditaati oleh umat manusia. Oleh karena itu, ketaatan terhadap selain Allah SWT hanya bisa diterima jika Ia sendiri yang melimpahkan wewenang kepadanya.
Ringkasan
# Dalil rasional yang dapat digunakan untuk membuktikan keharusan ditentukannya seorang imam tersusun dari beberapa proposisi berikut ini:
1.Kebijaksanaan Tuhan menuntut diutusnya para nabi sebagai pembimbing manusia.
2.Nabi Islam adalah nabi pemungkas dan penutup para nabi, dan agama Islam adalah agama yang kekal dan abadi.
3.Agama dan syariat terakhir harus mampu menjawab segala kebutuhan yang dapat menjamin kelanggengengannya sampai akhir zaman.
4.Al-Qur’an tidak menjelaskan semua hukum dan undang-undang agama secara mendetail. Bahkan pengajaran dan penjelasannya secara mendalam diemban oleh Rasul SAWW.
5.Kondisi masyarakat di saat Nabi diutus tidak mengizinkan beliau untuk menjelaskan semua hukum dan undang-undang Islam kepada semua masyarakat, dan apa yang telah disampikan beliaupun diancam oleh berbagai perubahan dan tahrif.
Dengan memperhatikan proposisi-proposisi di atas dapat dipahami bahwa agama Islam akan dapat menjawab semua kebutuhan umat manusia sepanjang zaman ketika di dalam ajarannya terdapat sebuah jalan yang menjamin dan menyiapkan kemaslahatan lazim bagi masyarakat. Jalan tersebut adalah penentuan seorang imam sebagai pelanjut dan penerus Rasulullah SAWW.
# Argumentasi di atas selain membuktikan urgensi keberadaan seorang imam, juga menetapkan bahwa seorang imam harus memiliki ilmu ladunnî dan keterjagaan mereka dari dosa.
# Dari sekian banyak para hamba-Nya, hanya Allah sajalah yang mengetahui siapa yang berhak memperoleh ilmu semacam itu. Dengan demikan, imam harus dilantik dan ditentukan oleh Allah.
# Argumentasi lain yang dapat menetapkan kelaziman pelantikan seorang imam oleh Tuhan adalah dari satu sisi, imam adalah pemimpin atas masyarakat sosial, dan di sisi lain, kepemimpinan secara mutlak adalah hak Allah. Ketaatan kepada selain-Nya dapat dibenarkan jika telah direstui dan diizinkan oleh-Nya.
b. Kepemimpinan Imam Ali as dan Sebelas Keturunan Beliau
Berkenaan dengan masalah imâmah, al-Qur’an tidak menyebutkan sebuah nama pun menyangkut dengan siapa yang berhak menjadi seorang Imam. Mungkin hal ini adalah salah satu metode Allah SWT untuk menjaga al-Qur’an dari tahrîf, atau ada hikmah-hikmah lain yang masih terselubung. Walaupun demikian, al-Qur’an telah menjelaskan secara global mengenai imâmah Ali as dan putra-putra beliau dalam beberapa ayat. Dan hal ini telah dijelaskan oleh Rasul sendiri secara gamblang, sehingga tidak ada kesamaran lagi bagi setiap pencari hakikat dan kebenaran.
Di dalam Al-Qur’an banyak terdapat Ayat-ayat yang menjelaskan kelayakan Imam Ali as sebagai seorang imam. Allamah Al-Hillî dalam kitab Nahjul Haqq wa Kasyf Ash-Shidq menyatakan, ada sekitar 88 ayat yang menetapkan imâmah Imam Ali as. Ayat-ayat tersebut, berlandaskan hadis-hadis yang termuat dalam kitab-kitab standar Ahlussunnah yang menggambarkan dimensi-dimensi keagungan pribadi Ali dan imâmah beliau.[6]
Begitu juga Qâdhî Said Al-Mar’asyi dalam menyebutkan sekitar 94 ayat lain yang menetapkan wilâyah Imam Ali as dengan berdasarkan 37 kitab standar Ahlussunnah.
Di sini kami hanya ingin membawakan dan membahas satu ayat Al-Qur’an yang merupakan penjelas imâmah Imam Ali as.
Ayat Wilâyah
“Sesungguhnya wali kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat dalam keadan ruku’”. (Al-Mâ`idah : 55).
Berdasarkan hadis-hadis yang dinukil baik oleh kalangan ulama Syi’ah maupun Ahlussunnah, ayat ini turun berkenaan dengan Imam Ali as, dan sesuai dengan kajian para ahli tafsir dan hadis dari kalangan Syi’ah serta pengakuan sekelompok ulama Ahlussunnah yang tidak sedikit, orang yang menyedekahkan cincinnya kepada si faqir dalam keadaan shalat (waktu ruku’) itu adalah pribadi agung Ali as.[7]
Allamah Mar’asyi dalam kitab-Nya Ihqâqul Haqq berpendapat bahwa ada sekitar 85 kitab hadis dan tafsir Ahlussunnah yang menegaskan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan Imam Ali as.
Dengan riwayat-riwayat ini, jelas bahwa yang dinginkan dari kata jamak pada ayat di atas adalah kata tunggal dan itu adalah Imam Ali as. Akan tetapi, yang perlu dicermati di sini adalah apa arti sebenarnya dari kata wali yang terdapat dalam ayat ini.
Arti Wali
Kata-kata wali, wilâyah, walâ`, maulâ, dan awlâ, berasal dari akar kata yang sama, yaitu walâ`. Kata ini sangat banyak digunakan oleh Al-Qur’an; 124 kali dalam bentuk kata benda dan sekitar 112 kali dipakai dalam bentuk kata kerja.
Seperti yang termuat dalam kitab Mufradâtul Quran, karya Ar-Râghib Al-Isfahani dan kitab Maqâyisul Lughah, karya Ibn Faris, arti asli dari kata ini adalah kedekatan dua benda, yang seakan-akan tak berjarak antara keduanya sama sekali. Maksudnya, jika dua sesuatu sudah sangat berdekatan, sangatlah mustahil jika dibayangkan ada sesuatu ketiga. Jika kita berkatak, “walia zaidun ‘Amron”, artinya zaid di sisi Amr.
Kata ini juga bermakna teman, penolong, dan penanggung jawab. Dengan kata lain, pada semua arti tadi terdapat semacam kedekatan dan hubungan serta interaksi, dan untuk menentukan arti yang dinginkan (pembicara), dibutuhkan tanda-tanda dan kecermatan untuk memahami konteks kalimatnya.
Dengan memperhatikan poin-poin yang kita sebutkan tadi, kita dapat memahami bahwa maksud dari ayat di atas adalah hanya Tuhan, Rasul, dan Ali as sajalah yang memiliki kedekatan spesial dengan kaum muslim.
Jelas bahwa arti dekat di sini berkonotasi spiritual (metafisik), bukan material. Konsekuensi kedekatan ini adalah wali (pemimpin) dapat mengganti semua hal yang dapat digantikan dari mawallâ alaih (yang dipimpin). Atas dasar ini, segala tindakan yang dilakukan oleh seorang muslim yang dapat diganti, wali mampu melakukannya. Dengan pengertian semacam ini, wali dapat diartikan sebagai penanggung jawab dan pemilik ikhtiar.[8]
Dari satu sisi, Tuhan adalah wali seluruh hamba dalam urusan duniawi dan akhirat mereka. Dan Ia adalah wali mukminin dalam urusan agama dan menyeru mereka kepada kebahagiaan dan kesempurnaan. Rasulullah dengan izin Tuhan adalah wali bagi mukminin. wilayah Imam Ali as yang dijelaskan dalam ayat ini juga bermaksud sama seperti arti di atas. Konsekuensinya, beliau mampu menginterfensi masalah dan urusan muslimin, dan beliau mendapatkan prioritas dalam jiwa, harta, kehormatan, dan agama manusia.[9]
Ahlussunnah Menakwil
Mayoritas ulama Ahlussunnah mengakui bahwa sebab turunnya berhubungan dengan Imam Ali as. Bahkan az-Zamakhsyari ketika menjawab pertanyaan mengapa berbentuk jamak, bukankah ayat ini turun berkenaan dengan satu orang saja berkata, “Hal ini supaya manusia mengamalkannya (bersedekah dalam keadaaan ruku’), dan mengindikasikan bahwa pribadi Mukmin harus berbuat seperti yang demikian.”[10]
Fakhrurrazi dalam tafsirnya juga mengatakan, “Ayat ini turun berkaitan dengan Ali as, dan sudah menjadi kesepakatan para ulama bahwa bersedekah dalam keadaan shalat (waktu ruku’) tidak pernah dilakukan kecuali oleh seorang pribadi agung Ali as.”[11]
As-Suyuthi dalam ad-Durur Manstûr-Nya membawakan beberapa riwayat yang menyatakan bahwa sebab turunya ayat ini adalah Ali as.
Poin terpenting dan mendasar yang digunakan Ahlussunnah untuk menjustifikasi ayat ini adalah bahwa maksud dari wali dalam ayat ini adalah teman, bukan penanggung jawab dan pemilik ikhtiar.
Akan tetapi, sebagaimana telah dijelaskan pada pembukaan pembahasan ini, arti semacam ini (teman) tidak dibenarkan dengan adanya hashr berupa innamâ. Karena mengartikan wali sebagai teman, akan muncul konsekuensi pelarangan untuk bersahabat dan berteman dengan selain Allah, Rasul, dan Ali as.
Kepemimpinan Imam Ali as dalam Tinjauan Hadis Dan Sunnah
Dalam buku-buku referensi hadis, baik di kalangan Ahlussunnah maupun Syi’ah, terdapat bayak riwayat dari Rasulullah SAWW yang menegaskan bahwa Ali as adalah imam dan khalifah setelah beliau.
Riwayat-riwayat ini mengindikasikan bahwa semenjak diutus, Nabi SAWW telah diperintahkan untuk menyampaikan hal penting ini kepada muslimin, dan beliau juga telah menyampaikannya di berbagai kesempatan.
Mengingat kapasitas kitab ini tidak bisa membahas riwayat itu secara keseluruhan, kami hanya akan membawakan riwayat-riwayat yang berkaitan dengan peristiwa Al-Ghadir secara terperinci, dan selanjutnya kami akan membawakan riwayat-riwayat lain secara global.
Hadis al-Ghadir
Hadis Al-Ghadir berkaitan dengan sebuah momen yang terjadi di penghujung kehidupan nabi SAWW. Peristiwa ini terjadi pada waktu beliau kembali dari menunaikan haji Wadâ’ yang beliau laksanakan. Peristiwa akbar ini terjadi di sebuah tempat yang bernama Ghadir Khum. Tempat ini adalah tempat berpisahnya para jamaah haji dari Mesir, Irak, dan para jamaah haji yang berangkat dari kota Madînah.
Pada tahun kesepuluh Hijriyah, Nabi SAWW bersama sekelompok besar dari sahabat pergi ke kota Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah usai menunaikan ibadah tersebut, beliau memberi titah kepada para sahabat untuk kembali ke kota Madînah. Ketika para rombongan sampai di kawasan Râbigh, sekitar tiga mil dari Juhfah, Jibril datang dan turun menjumpai Rasul di Ghadir Khum dengan menyampaikan misi dan wahyu dari Tuhan: “Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika kamu tidak melakukannya, niscaya kamu tidak menyampaikan risalah-Nya, dan (ketahuilah) Allah akan menjagamu dari manusia.” (Al-Mâ`idah : 67)
Dengan turunnya ayat ini, Rasulullah memerintahkan rombongan untuk berhenti, dan menyuruh mereka yang telah berlalu ke depan untuk kembali, serta beliau memerintahkan untuk menunggu para rombongan yang masih tertinggal di belakang. Saat itu adalah waktu Zhuhur. Hawa sangat panas sekali. Sebuah mimbar pun didirikan. Shalat Zhuhur didirikan secara berjamaah. Kemudian setelah para sahabat berkumpul, beliau berdiri di atas mimbar setinggi 4 onta, dan dengan suara lantang beliau pun berpidato, ”Segala puji bagi Allah, dari-Nya kita minta pertolongan, dan kepada-Nya kita beriman dan berserah diri, dan kita berlindung kepada-Nya dari kejelekan amal perbuatan kita. Tuhan yang tiada pembimbing dan pemberi hidayah selain-Nya. Siapa yang diberi petunjuk oleh-Nya, tidak akan ada seorangpun yang sanggup menyesatkannya. Aku bersaksi bahwa tiada yang layak disembah selain-Nya, dan Muhammad adalah utusan dan Hamba-Nya.
Wahai Manusia, sudah dekat rasanya aku akan memenuhi panggilan-Nya, dan akan meninggalkan kalian. Aku akan dimintai pertanggung jawaban, kalian pun juga demikian.
Apakah yang kalian pikirkan tentang diriku?”
“Kami bersaksi bahwa anda telah menjalankan dan telah berupaya untuk menyampaikan misi yang telah anda emban. Semoga Allah SWT memberikan pahala kepadamu.”
“Apakah kalian bersaksi bahwa Tuhan hanya satu dan Muhammad hamba sekaligus nabi-Nya, surga, neraka, dan kehidupan abadi di dunia lain adalah benar dan pasti?”
“Iya, kami bersaksi”.
“Wahai manusia, aku akan menitipkan dua hal berharga pada kalian supaya kalian beramal sesuai dengan dua hal tersebut”.
Pada saat itu berdirilah seorang dari mereka seraya berkata, ”Apa kedua hal tersebut?”
“Pertama kitab suci Allah di mana satu sisinya berada di tangan-Nya, sedang yang lain berada di tangan kalian, sedang hal lainnya yang akan aku titipkan pada kalian adalah itrah dan Ahlul Baytku. Tuhan telah memberitahukan kepadaku bahwa kedua hal tadi tidak akan berpisah sampai kapanpun.
Wahai manusia, janganlah kalian mendahului Al-Qur’an dan Itrahku dan sekali-kali janganlah kalian tinggalkan keduanya, karena kalian akan binasa dan celaka”.
Tak lama Kemudian nabi mengangkat tangan Ali as setinggi-tingginya sehingga tampaklah kulit ketiak kedua pribadi agung itu, dan beliau memperkenalkan Imam Ali kepada khalayak seraya berkata, ”Wahai manusia, siapa gerangan yang lebih layak dan lebih berhak terhadap kaum Mukminin dari pada mereka sendiri?”
“Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu”.
“Sesungguhnya Allah maulâ-ku dan aku adalah maulâ bagi mukminin, dan aku lebih berhak atas diri mereka ketimbang mereka. Maka barangsiapa yang maulâ-nya adalah diriku, maka ketahuilah bahwa Ali adalah maulâ-nya”.
Sesuai dengan penuturan Ahmad bin Hanbal, nabi mengulang ungkapan ini sebanyak empat kali. Kemudian beliau melanjutkan dengan do’a, ”Ya Allah, cintailah mereka yang mencintai Ali, dan musuhilah mereka yang memusuhinya, kasihanilah mereka yang mengasihinya, murkailah mereka yang membuatnya murka, tolonglah mereka yang menolongnya, hinakanlah mereka yang menghina dan merendahkannya, dan jadikanlah ia sebagai sendi dan poros (mihwar) kebenaran”.
Koreksi Sanad Hadis
Hadis Al-Ghadir adalah salah satu hadis yang sangat populer, baik dalam Syi’ah maupun Ahlussunnah. Sebagian ahli hadis mengklaim bahwa hadis ini adalah mutawâtir. Selain para ulama Syi’ah, sekelompok ulama Ahlussunnah pun secara independen membahas dan mengenalisanya, seperti: Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Thabari (wafat 310 H.), Abu Abbas Ahmad bin Ahmad bin Said Hamadani (wafat 333 H.), dan Abu Bakar Muhammad bin Umar bin Muhammad bin Salim Tamimi Baghdadi (wafat 355 H.). Dan masih banyak lagi.[12]
Untuk lebih memperjelas sejauh mana perhatian tâbi’în dan tâbi’ut-tâbi’în serta para ilmuwan dan fuqaha terhadap penukilan hadis ini dan kesahihan Sanad-Nya, kami akan bawakan secara singkat sejumlah perawi hadis ini dari Ahlussunnah di setiap abad. Untuk membahasnya lebih detail, bisa dirujuk kepada kitab-kitab yang memuat hal ini secara panjang lebar.
Para penukil hadis ini adalah:
1.110 sahabat.
2.84 tâbi’în.
3.56 ulama abad kedua.
4.92 ulama abad ketiga.
5.43 ulama abad keempat
6.24 ulama abad kelima.
7.20 ulama abad keenam.
8.20 ulama abad ketujuh.
9.19 ulama abad kedelapan.
10. 16 ulama abad kesembilan.
11. 14 ulama abad kesepuluh.
12. 12 ulama abad kese belas.
13. 13 ulama abad kedua belas.
14. 12 ulama abad keiga belas.
15. 19 ulama abad keempat belas.
Para muhaddis (ahli hadis) Ahlussunnah yang menukil hadis ini di antaranya adalah Ahmad bin Hanbal asy-Syaibânî dengan 40 sanad, Ibn hajar al-‘Asqallânî dengan 25 sanad, al-Jazri Syafi’î dengan 80 sanad, Abu Said as-Sajistani dengan 120 sanad, Amir Muhammad al-Yamani dengan 40 sanad, Nasai dengan 250 sanad, Abu Ya’la al-Hamadani dengan 100 sanad, Abul ‘Irfân Haban dengan 30 sanad.[13]
Dengan demikian, peristiwa Ghadir Khum dan pelantikan yang dilakukan oleh nabi SAWW, merupakan salah satu dari hal-hal yang pasti dalam sejarah, sehingga siapapun yang mengingkarinya, ia tidak akan bisa menerima kejadian dan peristiwa-peristiwa historis lainnya.
Arti Hadis
Poin utama dari hadis ini adalah penggalan riwayat yang berbunyi “man kuntu maulâh fa ‘Aliyun maulâh”.
Dengan memperhatikan berbagai konteks yang ada, maksud dari kata maulâ dalam hadis ini berarti aulâ (lebih utama). Pada akhirnya, hadis ini mengindikasikan bahwa Ali as adalah wali setelah Nabi dan penanggung jawab kaum muslimin, dan ia lebih utama dari diri mereka. Konteks-konteks (qarînah) tersebut adalah:
1. Di pembukaan hadis Nabi SAWW bersabda, ”Tidakkah aku terhadap diri kalian lebih utama dari diri kalian sendiri?” Ungkapan setelahnya yang mengatakan man kuntu maulâhu, berdasarkan pada ungkapan ini. Dengan demikian, keserasian keduanya memberikan pengertian bahwa maulâ di sini berarti awlâ dalam mengurusi urusan muslimin (tasharruf).
2. Pada akhir hadis Rasul bersabda, “Allôhumma wâli man wâlâh”. Doa ini merupakan penjelas kedudukan Imam Ali as, dan hal ini dapat bermakna sebagaimana mestinya jika wali itu berarti kepemimpinan dan wilayah.
3. Rasulullah SAWW meminta penyaksian dari khalayak, dan ungkapan man kuntu ... dalam kontek penyaksian terhadap ke-Esaan Tuhan, dan kenabian Rasul. Sehingga nilai hal tersebut (kewalian Ali as) dapat dipahami dari konteks tadi (penyaksian dengan ke-Esaan Allah dan kenabian Rasul).
4. Setelah selesai dari sabdanya dan sebelum khalayak berpencar, Jibril datang dengan membawa wahyu:”Hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu…” dan pada saat itu Rasulullah bersabda, ”Maha Besar Allah atas penyempurnaan agama dan nikmat. Ia telah ridha dengan misiku dan kepemimpinan Ali as setelahku.” Atas dasar ini, apakah ada penafsiran lain selain imâmah dan kepemimpinan Ali as dari penyempurnaan agama dan nikmat itu?
Selain konteks-konteks yang telah kami sebutkan tadi, masih terdapat konteks-konteks lain yang mengindikasikan keagungan misi yang harus disampaikan oleh Rasulullah pada saat itu. Untuk lebih lengkapnya, dapat dirujuk dalam kitab Al- Ghadîr, 1:370-383.
Sekilas Tentang Hadis-Hadis Yang Lain
1. ketika ayat indzâr[14] turun, nabi meminta Abu Thalib untuk menyiapkan makanan, dan mengundang semua anak keturunan Abdul Muthalib. Pada waktu itu beliau berkata, ”Siapakah dari kalian yang sudi menjadi partnerku dan membantuku, niscaya ia akan menjadi saudara, khalifah, dan wasi setelah aku?”
Pada waktu itu tidak ada satu orang pun yang menjawab panggilan dan seruan nabi selain Ali as, beliau berkata, “Aku siap membaiat dan menolongmu”. Kemudian Nabi berkata, ”Ia adalah saudaraku, washî, khalifah dan pewaris sepeninggalku. Maka dengarkanlah dan patuhilah ucapannya!”[15]
2. ketika Rasul berhijrah ke Madînah, beliau mengikat tali persaudaraan di antara para sahabat kecuali Ali as, Ali as berkata, ”Wahai Rasulullah, Anda telah mengikat persaudaraan di antara para sahabat, bagaimana dengan diriku?” Beliau berkata, ”Apakah kamu tidak rela untuk menjadi saudaraku dan khalifah sepeninggalku?[16]
3. Dalam riwayat yang tidak sedikit jumlahnya Rasulullah meminta dari para sahabat untuk memanggil Ali as dengan gelar Amirul Mukminin. Kemudian beliau bersabda, ”Engkau adalah penghulu kaum Muslim, imam muttaqin dan pemimpin orang-orang suci di surga”.
Beliau juga bersabda, ”Ia adalah wali setiap Mukmin laki-laki dan wanita”. Hadis ini diriwayatkan oleh kedua kelompok baik Syi’ah maupun Ahlussunnah, dan kompilasi dari keduanya mencapai pada batas mutawâtir.[17]
4. Berdasarkan penukilan ulama Syi’ah dan Ahlussunnah secara mutawatir Rasulullah bersabda kepada Imam Ali, ”Posisi dan kedudukanmu di sisiku seperti posisi dan kedudukan Harun di sisi Musa as”.[18] Artinya, setiap hal yang dimiliki oleh Harun dari Musa as, juga dimiliki oleh Ali as dari Rasulullah. Dan hal terpenting dari semua itu adalah khilafah dan kewashiaan Harun dari Musa as.
Imâmah Para Imam Yang Lain
Keimâmaham para imam yang lain dengan berbagai ungkapan dan penjelasan telah disampaikan pula oleh Rasul SAWW. Riwayat-riwayat yang bertalian dengan hal ini dapat kita kategorikan dalam 6 kategori:
1.Kategori pertama adalah riwayat-riwayat yang menyinggung Ahlul Bayt, ’Itrah, dzurriyah, dan dzawil qurbâ. Begitu juga telah dijelaskan ciri-ciri umum dan universal para imam yang berhak, dan keberlangsungannya dari keturunan Az Zahra as. Riwayat-riwayat yang memuat masalah tersebut sangat banyak kita dapati dalam kitab-kitab Shahîh dan Jâmi’ Ahlussunnah. Riwayat tersebut secara luas dan panjang lebar telah termuat dan terkumpul dalam kitab Abaqâtul Anwâr, al-Ghadîr, al-Murâja’ât, dan Ihqâqul Haqq.
2.Kelompok riwayat yang menjelaskan peralihan kepemimpinan (imâmah) dari imam Ali as kepada Imam Hasan as dan dari beliau kepada Imam Husain as. Sebagian dari riayat-riwayat tersebut telah dimuat dalam kitab Ihqâqul Haqq, jilid 19.
3.Kelompok riwayat yang menyebutkan jumlah imam sebanyak 12 orang dengan tanpa penyebutan nama. Riwayat ini mencapai 130 riwayat. Dan sekitar 40 riwayat yang menyebutkan bahwa khalifah dan pengganti setelah nabi SAWW sejumlah Nuqabâ` nabi Musa as.[19]
4.Kurang lebih 91 riwayat menyebutkan jumlah imam dengan membawakan nama imam pertama dan terakhir. Dan sejumlah 94 riwayat yang hanya menyebutkan nama imam yang terakhir.[20]
5.Sekitar 139 hadis yang menyebutkan bahwa imam berjumlah 12 orang, dan secara gamblang riwayat-riwayat ini mengatakan bahwa 9 orang dari mereka adalah anak keturunan Imam Husain as dan sekitar 107 dari riwayat tadi menyebutkan nama imam yang terakkhir.[21]
6. Sekitar 50 hadis menyebutkan nama-nama imam secara lengkap dari awal sampai akhir. Sebagai contoh, Jabir bin Abdillah berkata, ”Ketika ayat 55 dari surah an-Nisâ` turun ”Taatilah Allah, dan taatilah Rasul, dan para pemimin dari kalian”, aku bertanya pada Rasul SAWW, “Kami telah mengetahui Tuhan dan Rasul-Nya, namaun Ulil Amr yang wajib kita taati tersebut belum kami ketahui, siapakah gerangan mereka itu? Beliau berkata, ”Mereka adalah pengganti-penggantiku, para imam dan pemimpin sepeninggalku; yang pertama Ali, kemudian secara berurutan Hasan putra Ali, Husain putra Ali, Ali putra Husain, Muhammad putra Ali yang dalam Taurat dikenal dengan julukan Bâqirul ‘Ulûm; kamu pada suatu saat akan berjumpa dengannya, dan kapanpun kau menjumpainya, sampaikanlah salamku pada-Nya; kemudian setelahnya secara urut Ja’far putra Muhammad, Musa putra Ja’far, Ali putra Musa, Muhammad putra Ali, Ali putra Muhammad, Hasan putra Ali, dan Kemudian putranya yang nama dan panggilannya sama dengan nama dan panggilanku. Tuhan akan menjadikannya pemimin bagi dunia, dan ia akan ghaib dari pandangan lama sekali. Sampai suatu saat di mana hanya ada orang-orang yang memiliki keiman yang kokoh, yang teruji dan mendalam akan keyakinan terhadap kepemimpinannya”.[22]
Hadis-hadis Ahlussunnah Berkenaan dengan Imâmah 12 Orang Imam
Tepat sekali kalau pada kajian ini kita bawakan riwayat-riwayat tentang keimâmahan para imam 12 yang termuat dalam kitab-kitab standar Ahlussunnah. Riwayat- riwayat tersebut di antaranya:
1.Bukhari menukil dari Jabir bin Samurah bahwa ia berkata, ”Aku mendengar Rasul berkata, ”Setelahku 12 orang pemimpin akan datang.” Saat itu beliau melanjutkan ucapannya yang tak terdengar olehku. Kemudian ayahku berkata bahwa keseluruhan imam tersebut semuanya dari bangsa Quraisy.”[23]
2.Muslin juga menukil dari Jabir bin Samurah bahwa ia pernah berkata, ”Aku mendengar Rasul SAWW berkata, ”Islam akan memiliki pemimpin sampai 12 orang. Kemudian beliau bersabda yang tak bisa kupahami. Aku bertanya pada ayahku tentang apa yang tidak aku pahami itu. Ia berkata, ”Beliau bersabda bahwa semuanya berasal dari kaum Quraisy.[24]
3.Muslim menukil dari Jabir bahwa ia (Jabir) berkata, ”Aku dan ayahku berjalan bersama Rasul SAWW saat itu beliau berkata, ”Agama ini akan memiliki 12 pemimpin, yang kesemuanya dari bangsa Quraisy”.[25]
4.Muslim juga menukil dari Jabir, ”Aku mendengar Rasul berkata, ”Agama Islam akan langgeng sampai hari Kiamat nanti, sampai dua belas orang khalifah memerintah yang kesemuanya dari Quraisy”.[26]
Ringkasan
# Al-Qur’an sama sekali tidak menyebut nama seorang imam pun. Bisa jadi hal ini sebagai sebuah bentuk penjagaan Al-Qur’an dari tahrif. Akan tetapi, secara global al-Qur’an telah menyinggung kepemimpinan Imam Ali as, yang telah dijelaskan langsung oleh Rasul SAWW, di mana tidak ada kesamaran dalam hal ini.
# Berdasarkan riwayat-riwayat yang tak sedikit jumlahnya, baik dari kalangan Syi’ah maupun Ahlussunnah, ayat 55 dari surah al-Mâ`idah turun berkenaan dengan Imam Ali as.
# Arti asli dari kata wali adalah kedekatan dua benda sehingga tidak terdapat jarak di antara keduanya. Kata ini digunakan dalam masalah persahabatan, pertolongan, penanggung jawaban sebuah permasalahan.
# Kedekatan terbagi pada dua bagian: material dan spiritual, dan jelas bahwa arti dan maksud dari ayat ke surah al-Mâ`idah itu mengarah pada arti kedua, yaitu bersifat spiritual. Konsekuensi dari kedekatan spritual adalah setiap wali menjadi wakil dari setiap permasalahan mawallâ ‘alaih yang bisa diwakilkan.
# Pada awal pembahasan telah disinggung mengenai wilâyah Allah dan Rasul-Nya. Hal ini merupakan bukti lain yang menetapkan bahwa arti wali yang diinginkan di sini adalah arti aslinya yang berkonsekuensi interfensi dalam masalah masyarakat dan prioritas dalam jiwa, harta dan kehormatan mereka.
# Mayoritas ulama Ahlussunnah menerima bahwa ayat wilâyah turun berkenaan dengan imam Ali as. Namun, mereka berkeyakinan maksud dari kata wali dalam ayat ini adalah teman, bukan penanggung jawab dan pemilik ikhtiar. Untuk menyangkal interpretasi semacam ini kita dapat mengatakan bahwa jika memang demikian maksudnya, maka akan memberikan konsekuensi pelarangan persahabatan dan pertemanan dengan selain Allah SWT, Rasul SAWW dan Imam Ali as.
# Peristiwa Ghadir Khum merupakan kisah mutawatir, baik dari kalangan Syi’ah maupun Ahlussunnah. Beliau bersabda di hadapan khalayak, ”Sesungguhnya Allah adalah maulaku, dan aku adalah maula kaum Mukminin. Akupun lebih berhak terhadap kaum Mukminin ketimabang diri mereka sendiri. Maka barangsiapa aku maula baginya, maka Ali as adalah maula baginya juga.
# Dalam peristiwa Ghadîr Khum terdapat berbagai konteks dan bukti-bukti yang menetapkan bahwa maksud dari maulâ di sini adalah yang lebih layak dan utama. Artinya, Ali as adalah orang yang lebih berhak terhadap kaum muslimin dari pada diri mereka sendiri. Salah satu dari bukti-bukti tersebut adalah bahwa sebelumnya beliau berkata, ”Tidakakah aku lebih berhak terhadap jiwa kalian dari kalian sendiri? Juga setelah menyampaikan semua pesan, beliau berdo’a akan hak Ali as, dan indikator keagungan beliau; dan peletakan ungkapan man kuntu maulahu ... dalam kontek penyaksian terhadap keesaan Tuhan dan risalah Rasul SAWW, dan turun-Nya Jibrail selepas khutbah beliau dengan membawa ayat ikmâlud-dîn.
Imam Ke-12
Sebagaimana kita jelaskan di atas, berdasarkan riwayat yang amat banyak yang diriwayatkan dari Rasul SAWW, bahwa jumlah para imam ma’shûm yang akan datang silih berganti dan menjadi pelanjut dan penerus jalan serta pembawa lentera hidayah bagi manusia adalah 12 orang, di mana imam kesebelas dari mereka telah melaksanakan tugas dan misi Ilahi dalam menjaga agama dalam kondisi tersulit yang ditabur oleh para penguasa penyembah kekuasaan, yang pada akhirnya mereka korbankan nyawa mereka di jalan agama Tuhan.
Keimâmahan imam ke-12, Imam Mahdi as dimulai semenjak syahidyya Imam ke-11 (260 H.), dan tetap berlangsung sampai saat ini hingga seterusnya. Hal ini menuntut kita untuk sedikit membahas sebagaian hakikat yang berkaitan dengan keimâmahan beliau.
Imam dan Hujjah Tuhan yang ke-12 ini lahir pada pertengahan bulan Sya’ban tahun 255 hijriyah, di kota Samira. Nama dan panggilan beliau sama dengan Rasul.[27] Beliau memiliki beberapa gelar, di antaranya al-Hujjah, al-Qâ`im, Wali ‘Ashr, al-Khalafush-shâleh, Shâhibuz Zamân, Baqiytullah, dan al-Mahdi yang merupakan gelar termasyhur bagi beliau.
Imam Mahdi memiliki dua ghaibah: pertama, Ghaibah Shugrâ (pendek) yang berlangsung sangat singkat, dan kedua, Ghaibah Kubrâ (panjang). Ghaibah ini berlangsung sangat lama. Ghaibah Shugrâ berlangsung dari kelahiran beliau sampai tahun 329 Hijriah, sedang Ghaibah Kubrâ dari tahun 329 sampai masa kemunculan dan bangkitnya beliau nanti.
Kabar Gembira Kemunculan Imam Mahdi as dalam Hadis
Syi’ah maupun Ahlussunnah secara mutawatir menukil riwayat-riwayat yang mengatakan, ”Pada akhir zaman nanti akan muncul seorang manusia yang bernama Mahdi yang akan melenyapkan kebodohan dan kezaliman, dan akan meyebar-luaskan ilmu dan keadilan, dan ia akan menerapkan agama Tuhan di atas dunia, kendati para musyrik tidak menyetujui dan membencinya”.
Dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa ”Jika umur dunia hanya tinggal sehari, Tuhan akan memanjangkan hari itu sampai seorang anak manusia muncul yang akan memenuhi alam dengan keadilan, sebagaimana dunia telah dipenuhi oleh kezaliman dan penganiyaan”.[28]
Mengingat pentingnya statistik riwayat-riwatyat yang dînukil baik oleh kalangan Syi’ah maupun Ahlussunnah, berikut ini kami bawakan riwayat-riwayat tersebut yang kami bagi dalam 11 kategori:
1.Sekitar 657 riwayat tentang kabar gembira kemunculan Imam Mahdi as.
2.389 riwayat yang menjelaskan tentang Mahdi dari Ahli Bayt Rasul.
3.214 riwayat yang menjelaskan bahwa Mahdi dari keturunan Ali as.
4.192 riwayat yang menjelaskan bahwa Mahdi dari keturunan Fatimah.
5.148 riwayat yang menjelaskan bahwa Mahdi adalah anak ke-9 dari keturunan Imam Husain as.
6.185 riwayat yang menjelaskan bahwa Mahdi dari keturunan Imam Ali Zainal Abidin.
7.146 riwayat yang menjelaskan bahwa Mahdi putra Imam Hasan Askari.
8.132 riwayat yang menjelaskan bahwa Mahdi akan memenuhi alam dengan keadilan.
9.91 riwayat yang menjelaskan bahwa Mahdi akan ghaib lama sekali.
10.318 riwayat yang menjelaskan bahwa Mahdi memiliki umur yang sangat panjang sekali.
11.136 riwayat yang menjelaskan mahdi adalah Imam ke-12 dari para Imam Ahlul Bayt.[29]
Ahlussunnah dan Imam Mahdi
Begitu jelasnya kemutawatiran riwayat-riwayat yang menyebutkan kabar gembira akan muncul-Nya Mahdi as, sampai-sampai banyak dari para ulama Ahlussunnah yang mengakui dan menegaskan secara gamblang kemutawatiran riwayat-riwayat tersebut. Berikut ini sebagaian dari mereka:
Allâmah Syaukani dalam kitab at-Taudhîh fi Tawâturi mâ Jâ`a fil Muntazhar wa ad-Dajjâl wa al-Masîh; Hâfizh[30] Abu Abdillah Ganji Syafi’i (W 658 H.) dalam kitab al-Bayân fî Akhbâr Shâhibuz Zamân; Hâfizh ibn Hajar Al Asqalani Syafi’i (W 852 H.) dalam Fathul Bârî.[31]
Atas dasar ini, keyakinan terhadap munculnya Imam Mahdi as bukanlah khusus bagi Syi’ah saja. Akan tetapi, Ahlussunnah juga meyakininya, walaupun menurut keyakinan mereka beliau as sampai sekarang belum dilahirkan ke dunia.
Bahkan Wahabiyah sendiri yang menjadi penentang nomor wahid Syi’ah, tak mampu untuk mengingkarinya. Dalam stateman yang dikeluarkan oleh Râbithah al-‘A^lamil Islâmî pada tahun 1976 M. secara tegas disebutkan[32]:
”… ketika kerusakan, kezaliman dan kekafiran telah menyebar luas di dunia, Allah SWT akan memenuhinya dengan keadilan melalui perantaranya (Mahdi) as, sebagaimana dunia telah dipenuhi oleh kezaliman. Ia merupakan khalifah terakhir dari Khualafaur Rasyidîn yang berjumlah 12 sebagaimana dikabarkan oleh Rasul SAWW yang terdapat dalam kitab-kitab hadis yang sahih. Hadis-hadis yang berkaitan dengan hal ini banyak diriwayatkan dari para sahabat besar, seperti Ustman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, dan Abdurrahman bin Auf ...”.[33]
Selain statemen yang telah kita bawakan tadi, ada sebagian ulama non-Syi’ah yang juga menulis buku berkaitan dengan Imam Mahdi as, seperti Abu Nu’aim, pengarang kitab Akhbâr al-Mahdi, Ibn Hajar Haitsami yang menulis sebuah kitab berjudul al-Qaulul Mukhtashar fi ‘A^lâmât al-Mahdi al-Muntazhar dan Idris yang berkebangsaan Irak dan Maroko yang mengarang kitab al-Mahdi.
Misteri Ghaibnya Imam Mahdi as
Untuk menyingkap misteri ini, selayaknya bagi kita untuk membawakan sedikit momen dan peristiwa yang telah menimpa para imam suci as. Setelah Rasulullah meninggal dunia, mayoritas muslimin berbai’at kepada Abu Bakar, kemudian kepada Umar, lalu kepada Utsman. Pada zaman pemerintahan Utsman, masyarakat bangkit dan menentang ketidakadilan dan kezaliman yang dilakukan oleh para pemuka dan kalangan teras pemerintahan. Upaya protes dan penentangan mereka ini berakhir dengan terbunuhnya Utsman. Kemudian mereka membai’at Ali as. Pemerintahan beliau hanya bertahan sekitar 4 tahun dan beberapa bulan saja. Pada masa pemerintahan beliau telah terjadi beberapa peperangan; perang melawan Ashhâbul Jamâl, bala tentara yang dipimpin Aisyah, perang melawan Muawiyah, dan melawan kaum Khawarij. Pada akhirnya, beliaupun syahid di tangan salah satu dari kaum Khawârij.
Imam Hasan al-Mujtabâ pun atas perintah Muawiyah akirnya syahid dengan diracun. Setelah kematian Muawiyah, Yazid anaknya tampil sebagai penggantinya dan pemegang kekuasaan. Ia peminum dan penenggak khamar yang selalu melanggar hukum agama secara terang-terangan.
Masyarakat secara bertahap menjauh dari sunnah nabi SAWW dan melangkah menuju sebuah arah di mana tak tersisa lagi kata Islam di sana. Oleh karena itu, Imam Husain as bangkit, dan dengan syahadah yang sangat menyakitkan bersama 72 orang kerabat dan pengikut beliau, Islam tetap terjaga dari kehancuran dan kesirnaan. Akan tetapi, kondisi masyarakat kala itu tidak kondusif untuk mendirikan sebuah pemerintahan adil. Oleh karena itu, para imam yang datang setelah beliau, mulai bergerak di bidang peradaban dan budaya. Mereka mengajarkan, menyampaikan khazanah keilmuan Islami, dan mendidik pribadi-pribadi pilihan dan besar. Hal ini bukan secara praktis tidak memunculkan perlawanan bersenjata. Sejarah membuktikan bahwa mereka juga menggalang masyarakat untuk menentang pemerintahan zalim, sebagaimna mereka juga telah menanamkan harapan akan terwujudnya sebuah pemerintahan Ilahi yang menyeluruh dan mendunia. Namun, pada akhirnya mereka satu persatu meneguk cawan syahadah.
Berkat upaya para pemimpin–pemimpin Ilahi selama lebih kurang dua setengah abad, akhirnya hukum dan pengetahuan agama tersebar luas, dan Islam sendiri terselamatkan dari bahaya yang telah mengancam.
Adapun hal yang paling mengancam pemegang kekuasaan adalah janji akan munculya Imam Mahdi as seorang imam yang telah dijanjikan akan memberangus kezaliman sampai ke akar-akarnya. Oleh karena itu, para penguasa yang sezaman dengan Imam Hasan Askari selalu mengontrol dan mengawasi beliau, supaya jangan sampai seorang anak terlahir darinya, dan jika hal itu terjadi, ia harus dibinasakan.
Imam Mahdi as lahir di dunia, dan beliau dijaga dari tipu daya dan makar atau tindakan anarkis para musuh supaya beliau tetap ada sebagai simpanan untuk menyelamatkan dunia. Oleh sebab itu, pada masa hidup Imam Hasan Askari as (sampai umur 5 tahun dari kelahiran beliau) orang-orang tidak mengetahui kelahiran imam kecuali beberapa gelintir orang khusus pengikut beliau. Setelah ayah beliau wafat, para pengikut Syi’ah berhubungan dengan beliau melalui para wakil khusus (yang berjumlah empat orang): Utsman bin Sa’id, Muhammad bin Utsman bin Sa’id, Husain bin Ruh dan Ali bin Muhammad Samari. Kemudian Ghaibah Kubra dimulai untuk waktu yang tak dapat diketahui, sampai suatu saat di mana manusia memiliki kesiapan untuk menerima pemerintahan Ilahi secara menyeluruh dan universal.
Oleh karena itu, dapat kita katakan bahwa rahasia keghaiban Imam Mahdi as adalah untuk menjaga jiwa beliau dari tindakan anarkis para zalim dan lalim, demi mewujudkan harapan dan tujuan Islami.
Sebagaimana telah disebutkan dalam riwayat bahwa Imam Shâdiq as berkata, ”Imam Munthadar sebelum bangkit akan menghilang dari pandangan mata (ghaib)”. Ketika beliau ditanya, “Kenapa?”, beliau berkata, ”Karena Ia menghawatirkan jiwa dan keselamatannya”.[34]
Akan tetapi perlu disadari bahwa keghaiban beliau ini memiliki hikmah lain seperti yang sudah dijelaskan dalam beberapa riwayat. Di antaranya sebagai ujian bagi manusia, dan menguji sejauh mana ketegaran dan ketabahan para pengikut Syi’ah setelah keghaiban hujjah Ilahi. Imam Kâzhim as berkata, ”Ketika anak keturunanku yang kelima ghaib, kalianlah yang akan menjaga agama, ia terpaksa harus ghaib sehingga sebagian dari kaum Mukmin berpaling dari akidah mereka. Tuhan ingin menguji para hamba-Nya melalui keghaibannya...”.[35]
Fungsi Wujud Imam Pada Masa Ghaibah
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa sangatlah banyak riwayat dari Rasul SAWW dan para imam yang menjelaskan tentang keghaiban Imam Mahdi as. Hal itu cukup membuat kita bertanya-tanya apa manfaat dan fungsi Imam dalam keghaibannya? Di sini kita akan bawakan beberapa jawaban yang telah disodorkan para ulama untuk mengklearkan permasalahan ini.
Nabi SAWW ditanya, ”Apakah para Syi’ah pada masa keghaibannya mampu mendapatkan faedah dari wujud Imam?” Nabi menjawab, ”Ya, demi Tuhan yang telah mengutusku, manusia pada waktu keghaibannya dapat mendapatkan faedah darinya, dan dari cahaya wilayahnya. Sebagaimana matahari, dimana mereka juga dapat mengambil faedah dari matahari yang tersembunyi di balik awan”.[36]
Imam Shâdiq berkata, ”Dari masa di mana Tuhan menciptakan Adam as sampai terjadinya hari pembalasan nanti, bumi tidak pernah sunyi dari hujjah, baik Hujjah lahir atau yang ghaib. Jika hujjah Tuhan tidak ada, maka Tuhan tidak layak untuk disembah”. Perawi bertanya, ”Bagaimana cara mansuia memanfatkan imam yang ghaib?” Imam berkata, ”Mereka dapat mengambil manfaat darinya sebagaimana mereka dapat merasakan manfaat dari matahari yang tersembunyi di balik awan”.[37]
Penyerupaan (analogi) ini sangatlah tepat. Matahari yang tak terlihat dan bersembunyi dibalik awan, ia menyinari dan memberi kehangatan bagi alam, di mana cahayanya berdampak sangat baik sekali untuk kehidupan tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia. Imam Mahdi as pun juga demikian. Pada masa ghaibah, beliau ada dan hidup di sekitar kita seperti orang kebanyakan. Namun kita tidak bisa melihatnya. Ia bersama kita, tapi kita lupa kepadanya, dan anugerah wujud beliau memiliki dampak penuh berkah dan berhaga sekali.
Berdasarkan riwayat-riwayat yang dînukil dari para imam disebutkan bahwa Imam merupakan inti alam eksisitensi, poin terpenting alam keberadaan, yang tanpa keberadaannya langit dan bumi akan hancur. Imam Shâdiq as berkata, ”Jika bumi tak memiliki seorang imam, niscaya ia akan hancur dan sirna”.[38]
Diriwayatkan dari Imam Ali Zainal Abidîn, ”Dalam naungan wujud kita, Allah tegakkan langit, dan hanya dengan izi-Nya ia kekal. Dalam naungan wujud kita, Allah menjaga bumi dari goncangan dan hilangnya ketenangan para penghuninya. Berkat kita Allah menurunkan hujan, menyebarkan rahmat-Nya, dan berkah serta nikmat alam Ia keluarkan, dan jika pribadi seperti kita tidak ada di muka bumi, pastilah bumi akan menelan penghuninya”.[39]
Begitu juga pada masa ghaibah, banyak pribadi-pribadi yang kendati tak terkenal yang telah dikabulkan berbagai hajatnya, baik material maupun spiritual berkat Imam Mahdi as.
Ditambah lagi, wujud Imam sendiri menyebabkan harapan manusia dan motor penggerak untuk melangkahkan kaki dalam proses penyucian jiwa, dan sebagai persiapan untuk menyambut kemunculan beliau.
Ringkasan
# Imam Mahdi as lahir pada tahun 255 h, keimâmahan beliau dimulai sejak tahun 260 H. sampai saat ini.
# Ghaibah Sughrâ dimulai dari kelahiran, sampai tahun 329 H., sedang Ghaibah Kubrâ dimulai dari tahun berakhirnya Ghaibah Sughrâ sampai sekarang.
# Dalam riwayat-riwayat, baik dari kalangan Syi’ah maupun Ahlussunnah, secara mutawatir disebutkan, ”Di akhir zaman seorang bernama Mahdi akan muncul di mana ia akan melenyapkan kebodohan dan kezaliman, dan akan memenuhi alam dengan ilmu dan keadilan, ia akan membuat agama Tuhan sebagai undang-undang dunia walaupun para musyrik tidak rela akan hal tersebut”.
# Kemutawatiran riwayat-riwayat tersebut begitu jelasnya sampai-sampai sebagian dari ulama Ahlussunnah menegaskannya dengan terang-terangan. Oleh karena itu, mayoritas Ahlussunnah menerima kemunculan Imam Mahdi as.
# Rahasia utama keghaiban Imam adalah untuk menjaga nyawa belai dari bahaya para zalim. Hikmah yang lain adalah untuk menguji kekokohan para pengikut beliau dalam memegang Akidah dan keyakinan mereka.
# Imam adalah inti dan jantung dunia wujud. Tanpa keberadaannya, dunia akan hancur dan sirna. Oleh karena itu, keberadaan imam kendati ghaib adalah lazim dan merupakan sebuah keharusan. Sebagaimana manusia dapat mengambil manfaat dari matahari yang bersembunyi di balik awan, begitu juga manusia dapat merasakan anugrah wujud ghaib beliau. Di samping itu, pada masa ghaib tidak sedikit orang yang memiliki kebutuhan dan hajat yang terlaksana berkat uluran tangan dari wujud Imam as. Begitu juga wujud Imam merupakan penyebab tumbuhnya harapan manusia, sekaligus faktor penting dalam mensupport manusia dalam pembersihan jiwa dan persiapan untuk kemunculan beliau as.
Hadis Al-Ghadir adalah salah satu hadis yang sangat populer, baik dalam Syi’ah maupun Ahlussunnah. Sebagian ahli hadis mengklaim bahwa hadis ini adalah mutawâtir. Selain para ulama Syi’ah, sekelompok ulama Ahlussunnah pun secara independen membahas dan mengenalisanya, seperti: Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Thabari (wafat 310 H.), Abu Abbas Ahmad bin Ahmad bin Said Hamadani (wafat 333 H.), dan Abu Bakar Muhammad bin Umar bin Muhammad bin Salim Tamimi Baghdadi (wafat 355 H.). Dan masih banyak lagi.[12]
Untuk lebih memperjelas sejauh mana perhatian tâbi’în dan tâbi’ut-tâbi’în serta para ilmuwan dan fuqaha terhadap penukilan hadis ini dan kesahihan Sanad-Nya, kami akan bawakan secara singkat sejumlah perawi hadis ini dari Ahlussunnah di setiap abad. Untuk membahasnya lebih detail, bisa dirujuk kepada kitab-kitab yang memuat hal ini secara panjang lebar.
Para penukil hadis ini adalah:
1.110 sahabat.
2.84 tâbi’în.
3.56 ulama abad kedua.
4.92 ulama abad ketiga.
5.43 ulama abad keempat
6.24 ulama abad kelima.
7.20 ulama abad keenam.
8.20 ulama abad ketujuh.
9.19 ulama abad kedelapan.
10. 16 ulama abad kesembilan.
11. 14 ulama abad kesepuluh.
12. 12 ulama abad kese belas.
13. 13 ulama abad kedua belas.
14. 12 ulama abad keiga belas.
15. 19 ulama abad keempat belas.
Para muhaddis (ahli hadis) Ahlussunnah yang menukil hadis ini di antaranya adalah Ahmad bin Hanbal asy-Syaibânî dengan 40 sanad, Ibn hajar al-‘Asqallânî dengan 25 sanad, al-Jazri Syafi’î dengan 80 sanad, Abu Said as-Sajistani dengan 120 sanad, Amir Muhammad al-Yamani dengan 40 sanad, Nasai dengan 250 sanad, Abu Ya’la al-Hamadani dengan 100 sanad, Abul ‘Irfân Haban dengan 30 sanad.[13]
Dengan demikian, peristiwa Ghadir Khum dan pelantikan yang dilakukan oleh nabi SAWW, merupakan salah satu dari hal-hal yang pasti dalam sejarah, sehingga siapapun yang mengingkarinya, ia tidak akan bisa menerima kejadian dan peristiwa-peristiwa historis lainnya.
Arti Hadis
Poin utama dari hadis ini adalah penggalan riwayat yang berbunyi “man kuntu maulâh fa ‘Aliyun maulâh”.
Dengan memperhatikan berbagai konteks yang ada, maksud dari kata maulâ dalam hadis ini berarti aulâ (lebih utama). Pada akhirnya, hadis ini mengindikasikan bahwa Ali as adalah wali setelah Nabi dan penanggung jawab kaum muslimin, dan ia lebih utama dari diri mereka. Konteks-konteks (qarînah) tersebut adalah:
1. Di pembukaan hadis Nabi SAWW bersabda, ”Tidakkah aku terhadap diri kalian lebih utama dari diri kalian sendiri?” Ungkapan setelahnya yang mengatakan man kuntu maulâhu, berdasarkan pada ungkapan ini. Dengan demikian, keserasian keduanya memberikan pengertian bahwa maulâ di sini berarti awlâ dalam mengurusi urusan muslimin (tasharruf).
2. Pada akhir hadis Rasul bersabda, “Allôhumma wâli man wâlâh”. Doa ini merupakan penjelas kedudukan Imam Ali as, dan hal ini dapat bermakna sebagaimana mestinya jika wali itu berarti kepemimpinan dan wilayah.
3. Rasulullah SAWW meminta penyaksian dari khalayak, dan ungkapan man kuntu ... dalam kontek penyaksian terhadap ke-Esaan Tuhan, dan kenabian Rasul. Sehingga nilai hal tersebut (kewalian Ali as) dapat dipahami dari konteks tadi (penyaksian dengan ke-Esaan Allah dan kenabian Rasul).
4. Setelah selesai dari sabdanya dan sebelum khalayak berpencar, Jibril datang dengan membawa wahyu:”Hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu…” dan pada saat itu Rasulullah bersabda, ”Maha Besar Allah atas penyempurnaan agama dan nikmat. Ia telah ridha dengan misiku dan kepemimpinan Ali as setelahku.” Atas dasar ini, apakah ada penafsiran lain selain imâmah dan kepemimpinan Ali as dari penyempurnaan agama dan nikmat itu?
Selain konteks-konteks yang telah kami sebutkan tadi, masih terdapat konteks-konteks lain yang mengindikasikan keagungan misi yang harus disampaikan oleh Rasulullah pada saat itu. Untuk lebih lengkapnya, dapat dirujuk dalam kitab Al- Ghadîr, 1:370-383.
Sekilas Tentang Hadis-Hadis Yang Lain
1. ketika ayat indzâr[14] turun, nabi meminta Abu Thalib untuk menyiapkan makanan, dan mengundang semua anak keturunan Abdul Muthalib. Pada waktu itu beliau berkata, ”Siapakah dari kalian yang sudi menjadi partnerku dan membantuku, niscaya ia akan menjadi saudara, khalifah, dan wasi setelah aku?”
Pada waktu itu tidak ada satu orang pun yang menjawab panggilan dan seruan nabi selain Ali as, beliau berkata, “Aku siap membaiat dan menolongmu”. Kemudian Nabi berkata, ”Ia adalah saudaraku, washî, khalifah dan pewaris sepeninggalku. Maka dengarkanlah dan patuhilah ucapannya!”[15]
2. ketika Rasul berhijrah ke Madînah, beliau mengikat tali persaudaraan di antara para sahabat kecuali Ali as, Ali as berkata, ”Wahai Rasulullah, Anda telah mengikat persaudaraan di antara para sahabat, bagaimana dengan diriku?” Beliau berkata, ”Apakah kamu tidak rela untuk menjadi saudaraku dan khalifah sepeninggalku?[16]
3. Dalam riwayat yang tidak sedikit jumlahnya Rasulullah meminta dari para sahabat untuk memanggil Ali as dengan gelar Amirul Mukminin. Kemudian beliau bersabda, ”Engkau adalah penghulu kaum Muslim, imam muttaqin dan pemimpin orang-orang suci di surga”.
Beliau juga bersabda, ”Ia adalah wali setiap Mukmin laki-laki dan wanita”. Hadis ini diriwayatkan oleh kedua kelompok baik Syi’ah maupun Ahlussunnah, dan kompilasi dari keduanya mencapai pada batas mutawâtir.[17]
4. Berdasarkan penukilan ulama Syi’ah dan Ahlussunnah secara mutawatir Rasulullah bersabda kepada Imam Ali, ”Posisi dan kedudukanmu di sisiku seperti posisi dan kedudukan Harun di sisi Musa as”.[18] Artinya, setiap hal yang dimiliki oleh Harun dari Musa as, juga dimiliki oleh Ali as dari Rasulullah. Dan hal terpenting dari semua itu adalah khilafah dan kewashiaan Harun dari Musa as.
Imâmah Para Imam Yang Lain
Keimâmaham para imam yang lain dengan berbagai ungkapan dan penjelasan telah disampaikan pula oleh Rasul SAWW. Riwayat-riwayat yang bertalian dengan hal ini dapat kita kategorikan dalam 6 kategori:
1.Kategori pertama adalah riwayat-riwayat yang menyinggung Ahlul Bayt, ’Itrah, dzurriyah, dan dzawil qurbâ. Begitu juga telah dijelaskan ciri-ciri umum dan universal para imam yang berhak, dan keberlangsungannya dari keturunan Az Zahra as. Riwayat-riwayat yang memuat masalah tersebut sangat banyak kita dapati dalam kitab-kitab Shahîh dan Jâmi’ Ahlussunnah. Riwayat tersebut secara luas dan panjang lebar telah termuat dan terkumpul dalam kitab Abaqâtul Anwâr, al-Ghadîr, al-Murâja’ât, dan Ihqâqul Haqq.
2.Kelompok riwayat yang menjelaskan peralihan kepemimpinan (imâmah) dari imam Ali as kepada Imam Hasan as dan dari beliau kepada Imam Husain as. Sebagian dari riayat-riwayat tersebut telah dimuat dalam kitab Ihqâqul Haqq, jilid 19.
3.Kelompok riwayat yang menyebutkan jumlah imam sebanyak 12 orang dengan tanpa penyebutan nama. Riwayat ini mencapai 130 riwayat. Dan sekitar 40 riwayat yang menyebutkan bahwa khalifah dan pengganti setelah nabi SAWW sejumlah Nuqabâ` nabi Musa as.[19]
4.Kurang lebih 91 riwayat menyebutkan jumlah imam dengan membawakan nama imam pertama dan terakhir. Dan sejumlah 94 riwayat yang hanya menyebutkan nama imam yang terakhir.[20]
5.Sekitar 139 hadis yang menyebutkan bahwa imam berjumlah 12 orang, dan secara gamblang riwayat-riwayat ini mengatakan bahwa 9 orang dari mereka adalah anak keturunan Imam Husain as dan sekitar 107 dari riwayat tadi menyebutkan nama imam yang terakkhir.[21]
6. Sekitar 50 hadis menyebutkan nama-nama imam secara lengkap dari awal sampai akhir. Sebagai contoh, Jabir bin Abdillah berkata, ”Ketika ayat 55 dari surah an-Nisâ` turun ”Taatilah Allah, dan taatilah Rasul, dan para pemimin dari kalian”, aku bertanya pada Rasul SAWW, “Kami telah mengetahui Tuhan dan Rasul-Nya, namaun Ulil Amr yang wajib kita taati tersebut belum kami ketahui, siapakah gerangan mereka itu? Beliau berkata, ”Mereka adalah pengganti-penggantiku, para imam dan pemimpin sepeninggalku; yang pertama Ali, kemudian secara berurutan Hasan putra Ali, Husain putra Ali, Ali putra Husain, Muhammad putra Ali yang dalam Taurat dikenal dengan julukan Bâqirul ‘Ulûm; kamu pada suatu saat akan berjumpa dengannya, dan kapanpun kau menjumpainya, sampaikanlah salamku pada-Nya; kemudian setelahnya secara urut Ja’far putra Muhammad, Musa putra Ja’far, Ali putra Musa, Muhammad putra Ali, Ali putra Muhammad, Hasan putra Ali, dan Kemudian putranya yang nama dan panggilannya sama dengan nama dan panggilanku. Tuhan akan menjadikannya pemimin bagi dunia, dan ia akan ghaib dari pandangan lama sekali. Sampai suatu saat di mana hanya ada orang-orang yang memiliki keiman yang kokoh, yang teruji dan mendalam akan keyakinan terhadap kepemimpinannya”.[22]
Hadis-hadis Ahlussunnah Berkenaan dengan Imâmah 12 Orang Imam
Tepat sekali kalau pada kajian ini kita bawakan riwayat-riwayat tentang keimâmahan para imam 12 yang termuat dalam kitab-kitab standar Ahlussunnah. Riwayat- riwayat tersebut di antaranya:
1.Bukhari menukil dari Jabir bin Samurah bahwa ia berkata, ”Aku mendengar Rasul berkata, ”Setelahku 12 orang pemimpin akan datang.” Saat itu beliau melanjutkan ucapannya yang tak terdengar olehku. Kemudian ayahku berkata bahwa keseluruhan imam tersebut semuanya dari bangsa Quraisy.”[23]
2.Muslin juga menukil dari Jabir bin Samurah bahwa ia pernah berkata, ”Aku mendengar Rasul SAWW berkata, ”Islam akan memiliki pemimpin sampai 12 orang. Kemudian beliau bersabda yang tak bisa kupahami. Aku bertanya pada ayahku tentang apa yang tidak aku pahami itu. Ia berkata, ”Beliau bersabda bahwa semuanya berasal dari kaum Quraisy.[24]
3.Muslim menukil dari Jabir bahwa ia (Jabir) berkata, ”Aku dan ayahku berjalan bersama Rasul SAWW saat itu beliau berkata, ”Agama ini akan memiliki 12 pemimpin, yang kesemuanya dari bangsa Quraisy”.[25]
4.Muslim juga menukil dari Jabir, ”Aku mendengar Rasul berkata, ”Agama Islam akan langgeng sampai hari Kiamat nanti, sampai dua belas orang khalifah memerintah yang kesemuanya dari Quraisy”.[26]
Ringkasan
# Al-Qur’an sama sekali tidak menyebut nama seorang imam pun. Bisa jadi hal ini sebagai sebuah bentuk penjagaan Al-Qur’an dari tahrif. Akan tetapi, secara global al-Qur’an telah menyinggung kepemimpinan Imam Ali as, yang telah dijelaskan langsung oleh Rasul SAWW, di mana tidak ada kesamaran dalam hal ini.
# Berdasarkan riwayat-riwayat yang tak sedikit jumlahnya, baik dari kalangan Syi’ah maupun Ahlussunnah, ayat 55 dari surah al-Mâ`idah turun berkenaan dengan Imam Ali as.
# Arti asli dari kata wali adalah kedekatan dua benda sehingga tidak terdapat jarak di antara keduanya. Kata ini digunakan dalam masalah persahabatan, pertolongan, penanggung jawaban sebuah permasalahan.
# Kedekatan terbagi pada dua bagian: material dan spiritual, dan jelas bahwa arti dan maksud dari ayat ke surah al-Mâ`idah itu mengarah pada arti kedua, yaitu bersifat spiritual. Konsekuensi dari kedekatan spritual adalah setiap wali menjadi wakil dari setiap permasalahan mawallâ ‘alaih yang bisa diwakilkan.
# Pada awal pembahasan telah disinggung mengenai wilâyah Allah dan Rasul-Nya. Hal ini merupakan bukti lain yang menetapkan bahwa arti wali yang diinginkan di sini adalah arti aslinya yang berkonsekuensi interfensi dalam masalah masyarakat dan prioritas dalam jiwa, harta dan kehormatan mereka.
# Mayoritas ulama Ahlussunnah menerima bahwa ayat wilâyah turun berkenaan dengan imam Ali as. Namun, mereka berkeyakinan maksud dari kata wali dalam ayat ini adalah teman, bukan penanggung jawab dan pemilik ikhtiar. Untuk menyangkal interpretasi semacam ini kita dapat mengatakan bahwa jika memang demikian maksudnya, maka akan memberikan konsekuensi pelarangan persahabatan dan pertemanan dengan selain Allah SWT, Rasul SAWW dan Imam Ali as.
# Peristiwa Ghadir Khum merupakan kisah mutawatir, baik dari kalangan Syi’ah maupun Ahlussunnah. Beliau bersabda di hadapan khalayak, ”Sesungguhnya Allah adalah maulaku, dan aku adalah maula kaum Mukminin. Akupun lebih berhak terhadap kaum Mukminin ketimabang diri mereka sendiri. Maka barangsiapa aku maula baginya, maka Ali as adalah maula baginya juga.
# Dalam peristiwa Ghadîr Khum terdapat berbagai konteks dan bukti-bukti yang menetapkan bahwa maksud dari maulâ di sini adalah yang lebih layak dan utama. Artinya, Ali as adalah orang yang lebih berhak terhadap kaum muslimin dari pada diri mereka sendiri. Salah satu dari bukti-bukti tersebut adalah bahwa sebelumnya beliau berkata, ”Tidakakah aku lebih berhak terhadap jiwa kalian dari kalian sendiri? Juga setelah menyampaikan semua pesan, beliau berdo’a akan hak Ali as, dan indikator keagungan beliau; dan peletakan ungkapan man kuntu maulahu ... dalam kontek penyaksian terhadap keesaan Tuhan dan risalah Rasul SAWW, dan turun-Nya Jibrail selepas khutbah beliau dengan membawa ayat ikmâlud-dîn.
Imam Ke-12
Sebagaimana kita jelaskan di atas, berdasarkan riwayat yang amat banyak yang diriwayatkan dari Rasul SAWW, bahwa jumlah para imam ma’shûm yang akan datang silih berganti dan menjadi pelanjut dan penerus jalan serta pembawa lentera hidayah bagi manusia adalah 12 orang, di mana imam kesebelas dari mereka telah melaksanakan tugas dan misi Ilahi dalam menjaga agama dalam kondisi tersulit yang ditabur oleh para penguasa penyembah kekuasaan, yang pada akhirnya mereka korbankan nyawa mereka di jalan agama Tuhan.
Keimâmahan imam ke-12, Imam Mahdi as dimulai semenjak syahidyya Imam ke-11 (260 H.), dan tetap berlangsung sampai saat ini hingga seterusnya. Hal ini menuntut kita untuk sedikit membahas sebagaian hakikat yang berkaitan dengan keimâmahan beliau.
Imam dan Hujjah Tuhan yang ke-12 ini lahir pada pertengahan bulan Sya’ban tahun 255 hijriyah, di kota Samira. Nama dan panggilan beliau sama dengan Rasul.[27] Beliau memiliki beberapa gelar, di antaranya al-Hujjah, al-Qâ`im, Wali ‘Ashr, al-Khalafush-shâleh, Shâhibuz Zamân, Baqiytullah, dan al-Mahdi yang merupakan gelar termasyhur bagi beliau.
Imam Mahdi memiliki dua ghaibah: pertama, Ghaibah Shugrâ (pendek) yang berlangsung sangat singkat, dan kedua, Ghaibah Kubrâ (panjang). Ghaibah ini berlangsung sangat lama. Ghaibah Shugrâ berlangsung dari kelahiran beliau sampai tahun 329 Hijriah, sedang Ghaibah Kubrâ dari tahun 329 sampai masa kemunculan dan bangkitnya beliau nanti.
Kabar Gembira Kemunculan Imam Mahdi as dalam Hadis
Syi’ah maupun Ahlussunnah secara mutawatir menukil riwayat-riwayat yang mengatakan, ”Pada akhir zaman nanti akan muncul seorang manusia yang bernama Mahdi yang akan melenyapkan kebodohan dan kezaliman, dan akan meyebar-luaskan ilmu dan keadilan, dan ia akan menerapkan agama Tuhan di atas dunia, kendati para musyrik tidak menyetujui dan membencinya”.
Dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa ”Jika umur dunia hanya tinggal sehari, Tuhan akan memanjangkan hari itu sampai seorang anak manusia muncul yang akan memenuhi alam dengan keadilan, sebagaimana dunia telah dipenuhi oleh kezaliman dan penganiyaan”.[28]
Mengingat pentingnya statistik riwayat-riwatyat yang dînukil baik oleh kalangan Syi’ah maupun Ahlussunnah, berikut ini kami bawakan riwayat-riwayat tersebut yang kami bagi dalam 11 kategori:
1.Sekitar 657 riwayat tentang kabar gembira kemunculan Imam Mahdi as.
2.389 riwayat yang menjelaskan tentang Mahdi dari Ahli Bayt Rasul.
3.214 riwayat yang menjelaskan bahwa Mahdi dari keturunan Ali as.
4.192 riwayat yang menjelaskan bahwa Mahdi dari keturunan Fatimah.
5.148 riwayat yang menjelaskan bahwa Mahdi adalah anak ke-9 dari keturunan Imam Husain as.
6.185 riwayat yang menjelaskan bahwa Mahdi dari keturunan Imam Ali Zainal Abidin.
7.146 riwayat yang menjelaskan bahwa Mahdi putra Imam Hasan Askari.
8.132 riwayat yang menjelaskan bahwa Mahdi akan memenuhi alam dengan keadilan.
9.91 riwayat yang menjelaskan bahwa Mahdi akan ghaib lama sekali.
10.318 riwayat yang menjelaskan bahwa Mahdi memiliki umur yang sangat panjang sekali.
11.136 riwayat yang menjelaskan mahdi adalah Imam ke-12 dari para Imam Ahlul Bayt.[29]
Ahlussunnah dan Imam Mahdi
Begitu jelasnya kemutawatiran riwayat-riwayat yang menyebutkan kabar gembira akan muncul-Nya Mahdi as, sampai-sampai banyak dari para ulama Ahlussunnah yang mengakui dan menegaskan secara gamblang kemutawatiran riwayat-riwayat tersebut. Berikut ini sebagaian dari mereka:
Allâmah Syaukani dalam kitab at-Taudhîh fi Tawâturi mâ Jâ`a fil Muntazhar wa ad-Dajjâl wa al-Masîh; Hâfizh[30] Abu Abdillah Ganji Syafi’i (W 658 H.) dalam kitab al-Bayân fî Akhbâr Shâhibuz Zamân; Hâfizh ibn Hajar Al Asqalani Syafi’i (W 852 H.) dalam Fathul Bârî.[31]
Atas dasar ini, keyakinan terhadap munculnya Imam Mahdi as bukanlah khusus bagi Syi’ah saja. Akan tetapi, Ahlussunnah juga meyakininya, walaupun menurut keyakinan mereka beliau as sampai sekarang belum dilahirkan ke dunia.
Bahkan Wahabiyah sendiri yang menjadi penentang nomor wahid Syi’ah, tak mampu untuk mengingkarinya. Dalam stateman yang dikeluarkan oleh Râbithah al-‘A^lamil Islâmî pada tahun 1976 M. secara tegas disebutkan[32]:
”… ketika kerusakan, kezaliman dan kekafiran telah menyebar luas di dunia, Allah SWT akan memenuhinya dengan keadilan melalui perantaranya (Mahdi) as, sebagaimana dunia telah dipenuhi oleh kezaliman. Ia merupakan khalifah terakhir dari Khualafaur Rasyidîn yang berjumlah 12 sebagaimana dikabarkan oleh Rasul SAWW yang terdapat dalam kitab-kitab hadis yang sahih. Hadis-hadis yang berkaitan dengan hal ini banyak diriwayatkan dari para sahabat besar, seperti Ustman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, dan Abdurrahman bin Auf ...”.[33]
Selain statemen yang telah kita bawakan tadi, ada sebagian ulama non-Syi’ah yang juga menulis buku berkaitan dengan Imam Mahdi as, seperti Abu Nu’aim, pengarang kitab Akhbâr al-Mahdi, Ibn Hajar Haitsami yang menulis sebuah kitab berjudul al-Qaulul Mukhtashar fi ‘A^lâmât al-Mahdi al-Muntazhar dan Idris yang berkebangsaan Irak dan Maroko yang mengarang kitab al-Mahdi.
Misteri Ghaibnya Imam Mahdi as
Untuk menyingkap misteri ini, selayaknya bagi kita untuk membawakan sedikit momen dan peristiwa yang telah menimpa para imam suci as. Setelah Rasulullah meninggal dunia, mayoritas muslimin berbai’at kepada Abu Bakar, kemudian kepada Umar, lalu kepada Utsman. Pada zaman pemerintahan Utsman, masyarakat bangkit dan menentang ketidakadilan dan kezaliman yang dilakukan oleh para pemuka dan kalangan teras pemerintahan. Upaya protes dan penentangan mereka ini berakhir dengan terbunuhnya Utsman. Kemudian mereka membai’at Ali as. Pemerintahan beliau hanya bertahan sekitar 4 tahun dan beberapa bulan saja. Pada masa pemerintahan beliau telah terjadi beberapa peperangan; perang melawan Ashhâbul Jamâl, bala tentara yang dipimpin Aisyah, perang melawan Muawiyah, dan melawan kaum Khawarij. Pada akhirnya, beliaupun syahid di tangan salah satu dari kaum Khawârij.
Imam Hasan al-Mujtabâ pun atas perintah Muawiyah akirnya syahid dengan diracun. Setelah kematian Muawiyah, Yazid anaknya tampil sebagai penggantinya dan pemegang kekuasaan. Ia peminum dan penenggak khamar yang selalu melanggar hukum agama secara terang-terangan.
Masyarakat secara bertahap menjauh dari sunnah nabi SAWW dan melangkah menuju sebuah arah di mana tak tersisa lagi kata Islam di sana. Oleh karena itu, Imam Husain as bangkit, dan dengan syahadah yang sangat menyakitkan bersama 72 orang kerabat dan pengikut beliau, Islam tetap terjaga dari kehancuran dan kesirnaan. Akan tetapi, kondisi masyarakat kala itu tidak kondusif untuk mendirikan sebuah pemerintahan adil. Oleh karena itu, para imam yang datang setelah beliau, mulai bergerak di bidang peradaban dan budaya. Mereka mengajarkan, menyampaikan khazanah keilmuan Islami, dan mendidik pribadi-pribadi pilihan dan besar. Hal ini bukan secara praktis tidak memunculkan perlawanan bersenjata. Sejarah membuktikan bahwa mereka juga menggalang masyarakat untuk menentang pemerintahan zalim, sebagaimna mereka juga telah menanamkan harapan akan terwujudnya sebuah pemerintahan Ilahi yang menyeluruh dan mendunia. Namun, pada akhirnya mereka satu persatu meneguk cawan syahadah.
Berkat upaya para pemimpin–pemimpin Ilahi selama lebih kurang dua setengah abad, akhirnya hukum dan pengetahuan agama tersebar luas, dan Islam sendiri terselamatkan dari bahaya yang telah mengancam.
Adapun hal yang paling mengancam pemegang kekuasaan adalah janji akan munculya Imam Mahdi as seorang imam yang telah dijanjikan akan memberangus kezaliman sampai ke akar-akarnya. Oleh karena itu, para penguasa yang sezaman dengan Imam Hasan Askari selalu mengontrol dan mengawasi beliau, supaya jangan sampai seorang anak terlahir darinya, dan jika hal itu terjadi, ia harus dibinasakan.
Imam Mahdi as lahir di dunia, dan beliau dijaga dari tipu daya dan makar atau tindakan anarkis para musuh supaya beliau tetap ada sebagai simpanan untuk menyelamatkan dunia. Oleh sebab itu, pada masa hidup Imam Hasan Askari as (sampai umur 5 tahun dari kelahiran beliau) orang-orang tidak mengetahui kelahiran imam kecuali beberapa gelintir orang khusus pengikut beliau. Setelah ayah beliau wafat, para pengikut Syi’ah berhubungan dengan beliau melalui para wakil khusus (yang berjumlah empat orang): Utsman bin Sa’id, Muhammad bin Utsman bin Sa’id, Husain bin Ruh dan Ali bin Muhammad Samari. Kemudian Ghaibah Kubra dimulai untuk waktu yang tak dapat diketahui, sampai suatu saat di mana manusia memiliki kesiapan untuk menerima pemerintahan Ilahi secara menyeluruh dan universal.
Oleh karena itu, dapat kita katakan bahwa rahasia keghaiban Imam Mahdi as adalah untuk menjaga jiwa beliau dari tindakan anarkis para zalim dan lalim, demi mewujudkan harapan dan tujuan Islami.
Sebagaimana telah disebutkan dalam riwayat bahwa Imam Shâdiq as berkata, ”Imam Munthadar sebelum bangkit akan menghilang dari pandangan mata (ghaib)”. Ketika beliau ditanya, “Kenapa?”, beliau berkata, ”Karena Ia menghawatirkan jiwa dan keselamatannya”.[34]
Akan tetapi perlu disadari bahwa keghaiban beliau ini memiliki hikmah lain seperti yang sudah dijelaskan dalam beberapa riwayat. Di antaranya sebagai ujian bagi manusia, dan menguji sejauh mana ketegaran dan ketabahan para pengikut Syi’ah setelah keghaiban hujjah Ilahi. Imam Kâzhim as berkata, ”Ketika anak keturunanku yang kelima ghaib, kalianlah yang akan menjaga agama, ia terpaksa harus ghaib sehingga sebagian dari kaum Mukmin berpaling dari akidah mereka. Tuhan ingin menguji para hamba-Nya melalui keghaibannya...”.[35]
Fungsi Wujud Imam Pada Masa Ghaibah
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa sangatlah banyak riwayat dari Rasul SAWW dan para imam yang menjelaskan tentang keghaiban Imam Mahdi as. Hal itu cukup membuat kita bertanya-tanya apa manfaat dan fungsi Imam dalam keghaibannya? Di sini kita akan bawakan beberapa jawaban yang telah disodorkan para ulama untuk mengklearkan permasalahan ini.
Nabi SAWW ditanya, ”Apakah para Syi’ah pada masa keghaibannya mampu mendapatkan faedah dari wujud Imam?” Nabi menjawab, ”Ya, demi Tuhan yang telah mengutusku, manusia pada waktu keghaibannya dapat mendapatkan faedah darinya, dan dari cahaya wilayahnya. Sebagaimana matahari, dimana mereka juga dapat mengambil faedah dari matahari yang tersembunyi di balik awan”.[36]
Imam Shâdiq berkata, ”Dari masa di mana Tuhan menciptakan Adam as sampai terjadinya hari pembalasan nanti, bumi tidak pernah sunyi dari hujjah, baik Hujjah lahir atau yang ghaib. Jika hujjah Tuhan tidak ada, maka Tuhan tidak layak untuk disembah”. Perawi bertanya, ”Bagaimana cara mansuia memanfatkan imam yang ghaib?” Imam berkata, ”Mereka dapat mengambil manfaat darinya sebagaimana mereka dapat merasakan manfaat dari matahari yang tersembunyi di balik awan”.[37]
Penyerupaan (analogi) ini sangatlah tepat. Matahari yang tak terlihat dan bersembunyi dibalik awan, ia menyinari dan memberi kehangatan bagi alam, di mana cahayanya berdampak sangat baik sekali untuk kehidupan tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia. Imam Mahdi as pun juga demikian. Pada masa ghaibah, beliau ada dan hidup di sekitar kita seperti orang kebanyakan. Namun kita tidak bisa melihatnya. Ia bersama kita, tapi kita lupa kepadanya, dan anugerah wujud beliau memiliki dampak penuh berkah dan berhaga sekali.
Berdasarkan riwayat-riwayat yang dînukil dari para imam disebutkan bahwa Imam merupakan inti alam eksisitensi, poin terpenting alam keberadaan, yang tanpa keberadaannya langit dan bumi akan hancur. Imam Shâdiq as berkata, ”Jika bumi tak memiliki seorang imam, niscaya ia akan hancur dan sirna”.[38]
Diriwayatkan dari Imam Ali Zainal Abidîn, ”Dalam naungan wujud kita, Allah tegakkan langit, dan hanya dengan izi-Nya ia kekal. Dalam naungan wujud kita, Allah menjaga bumi dari goncangan dan hilangnya ketenangan para penghuninya. Berkat kita Allah menurunkan hujan, menyebarkan rahmat-Nya, dan berkah serta nikmat alam Ia keluarkan, dan jika pribadi seperti kita tidak ada di muka bumi, pastilah bumi akan menelan penghuninya”.[39]
Begitu juga pada masa ghaibah, banyak pribadi-pribadi yang kendati tak terkenal yang telah dikabulkan berbagai hajatnya, baik material maupun spiritual berkat Imam Mahdi as.
Ditambah lagi, wujud Imam sendiri menyebabkan harapan manusia dan motor penggerak untuk melangkahkan kaki dalam proses penyucian jiwa, dan sebagai persiapan untuk menyambut kemunculan beliau.
Ringkasan
# Imam Mahdi as lahir pada tahun 255 h, keimâmahan beliau dimulai sejak tahun 260 H. sampai saat ini.
# Ghaibah Sughrâ dimulai dari kelahiran, sampai tahun 329 H., sedang Ghaibah Kubrâ dimulai dari tahun berakhirnya Ghaibah Sughrâ sampai sekarang.
# Dalam riwayat-riwayat, baik dari kalangan Syi’ah maupun Ahlussunnah, secara mutawatir disebutkan, ”Di akhir zaman seorang bernama Mahdi akan muncul di mana ia akan melenyapkan kebodohan dan kezaliman, dan akan memenuhi alam dengan ilmu dan keadilan, ia akan membuat agama Tuhan sebagai undang-undang dunia walaupun para musyrik tidak rela akan hal tersebut”.
# Kemutawatiran riwayat-riwayat tersebut begitu jelasnya sampai-sampai sebagian dari ulama Ahlussunnah menegaskannya dengan terang-terangan. Oleh karena itu, mayoritas Ahlussunnah menerima kemunculan Imam Mahdi as.
# Rahasia utama keghaiban Imam adalah untuk menjaga nyawa belai dari bahaya para zalim. Hikmah yang lain adalah untuk menguji kekokohan para pengikut beliau dalam memegang Akidah dan keyakinan mereka.
# Imam adalah inti dan jantung dunia wujud. Tanpa keberadaannya, dunia akan hancur dan sirna. Oleh karena itu, keberadaan imam kendati ghaib adalah lazim dan merupakan sebuah keharusan. Sebagaimana manusia dapat mengambil manfaat dari matahari yang bersembunyi di balik awan, begitu juga manusia dapat merasakan anugrah wujud ghaib beliau. Di samping itu, pada masa ghaib tidak sedikit orang yang memiliki kebutuhan dan hajat yang terlaksana berkat uluran tangan dari wujud Imam as. Begitu juga wujud Imam merupakan penyebab tumbuhnya harapan manusia, sekaligus faktor penting dalam mensupport manusia dalam pembersihan jiwa dan persiapan untuk kemunculan beliau as.
HARI KEBANGKITAN
Hari Kebangkitan Dan Posisinya Dalam Islam
Salah satu dasar dan pondasi keyakinan dalam agama Islam adalah keyakinan terhadap Ma’ad atau hari kebangkitan.[1] Semua manusia yang datang dan pergi silih berganti, sesaat ia menetap dan hidup. Semua makhluk yang tinggal di alam lain tak terkecuali akan hidup kembali dan hadir di hadapan pengadilan Tuhan. Mereka akan mendapatkan balasan atau siksaan yang abadi, surga ataukah neraka.
Beriman kepada hari kebangkitan merupakan syarat dan konsekuensi seorang muslim. Dengan demikian, siapapun yang mengingkarinya, ia tidak tergolong orang Islam.
Semua utusan Tuhan –dari Adam sampai Muhammad SAWW- selalu menjelaskan dasar keimanan terhadap hari kebangkitan setelah menetapkan keimanan terhadapap Tuhan. Mereka menyeru sekalian manusia untuk beriman kepada kehidupan akhirat.
Iman Kepada Hari kebangkitan setelah Beriman Kepada Tuhan
Dalam Al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang mengilustrasikan kehidupan pasca kematian, hari kebangkitan, cara menghidupakn kembali orang-orang yang telah mati, timbangan, perhitungan, dan masalah-masalah lain yang berkaitan dengan kehidupan setelah kematian.[2] Jumlah yang tak sedikit tersebut mengindikasikan posisi agung keyakinan terhadap hari kebangkitan dalam Islam dan peran aktifnya dalam menciptakan kebahagiaan manusia. Oleh karena itu, sering kali didapati keimanan kepada hari kebangkitan disebut tanpa terpisah setelah penyebutan keimanan kepada Tuhan. Seperti yang kita baca dalam ayat 62 surah al-Baqarah: “Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kebangkitan dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kehawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.[3]
Sekelompok ayat menjelaskan dampak-dampak pahit dan mengerikan dari pengingkaran akan hari kebangkitan,[4] sekelompok lagi menjelaskan kebahagiaan[5] dan kesengsaraan abadi,[6] sebagaimana Al-Qur’an dengan pelbagai metode telah memaparkan hubungan dan relasi antara perbuatan baik dan buruk dengan balasan ukhrawinya. Al-Qur’an dengan berbagai metode menjelaskan bahwa terjadinya hari kebangkitan adalah hal yang mungkin terjadi[7] dan sebuah peristiwa yang lazim.[8]
Urgensi Hari Kebangkitan
Argumentasi Urgensi Hari Kebangkitan
Dalam beberapa ayat, Al-Qur’an membawakan argumentasi pentingnya hari kebangkitan. Untuk itu kami akan meringkas argumentasi itu sebagai bentuk pengenalan saja buat para pembaca budiman.
1. Dunia Sia-Sia Tanpa Hari Kebangkitan
Kehidupan dunia tak mungkin menjadi tujuan akhir dari penciptaan manusia. Karena kehidupan dunia bersifat temporal, singkat dan dipenuhi oleh pelbagai kesengsaraan, rintangan, dan pada akhirnya ketiadaan. Oleh karena itu, jika hari kebangkitan tidak terjadi, niscaya kehidupan manusia hanya terbatas di dunia saja, dan penciptaannya akan sia-sia belaka. “Apakah kamu mengira, bahwa Kami menciptakanmu dengan sia-sia belaka, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?.” (QS. Al-Mu`minûn: 115)
2. Hari Kebangkitan Konsekuensi Keadilan Tuhan
Di dunia ini terkadang pribadi-pribadi baik dan orang pembuat durjana berada pada satu tingkat kehidupan. Mereka masih dapat menikmati kenikmatan dunia, bahkan terkadang para pelaku durjana memiliki taraf kehidupan lebih baik dan lebih mapan. Keadilan Tuhan mengatakan mereka harus dibedakan, dan setiap dari mereka harus dapat menikmati hasil amal perbuataan mereka masing-masing. Karena hal ini tak bisa didapatkan di dunia, maka butuh dan harus ada alam lain selain alam ini.
“Apakah orang-orang yang berbuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka sama seperti orang-orang yang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, di mana kehidupan dan kematian mereka sama satu sama lain? Amat buruklah apa yang mereka sangka dan hukumi itu”. (QS. Al-Jâtsiyah: 21)
3. Hari Kebangkitan Konsekuensi Rahmat Tuhan
Tuhan memiliki rahmat yang luas dan tak terbatas. Konsekuensi dari rahmat yang tak terbatas ini adalah anugerah dan rahmat Tuhan tidak akan terhenti dan terputus karena sekedar kematian, dan senantiasa nikmat yang diterima oleh para hamba-hamba saleh tetap terjaga, dan mengalir.
“Ia telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang. Ia sungguh-sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan terhadapnya”. (QS. Al-An’âm: 12)
Motif Dan Sangkalan Para Pengingkar Hari Kebangkitan
Mayoritas manusia menginginkan hidup secara bebas dan tidak terkekang oleh beban apapun, sehingga ia dapat mengekspresikan segala hal yang didengar, dilihat, dan diucapkan. Namun di sisi lain, keyakinan terhadap hari kebangkitan dan adanya pengadilan di sana, serta balasan terhadap amal perbuatan yang telah dilakukan, menutup jalan manusia untuk merealisasikan obsesinya tersebut. Ketentuan-ketentuan dan undang-undang telah membatasi ruang lingkup dan geraknya. Atas dasar ini, manusia mengingkari dan menolak kabar para nabi tentang adanya hari kebangkitan kelak di Kemudian hari.[9]
“Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya? Bukanlah demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari jermarinya dengan sempurna/menyamakan sidik jari mereka? Manusia tidak meragukan kekuasaan kami (untuk membangkikan kembali mereka kelak di kemudian hari). Akan tetapi, mereka ingin (bebas dan menampakkan ketidaktakutan akan hari itu) berbuat maksiat terus-menerus sepanjang umurnya. (QS. Al-Qiyâmah: 3-5).
Mengikuti hawa nafsu adalah penyebab keingkaran terhadap hari kebangkitan, dan dengan berbagai justifikasi mereka menolak keberadaannya. Berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an penentangan dan pengingkaran mereka ini beraneka-ragam. Di antaranya mereka mengatakan:
1. Tidak ada argumentasi atas terjadinya hari kebangkitan.[10]
2. Hari kebangkitan merupakan salah satu kebohongan dan dongeng orang-orang terdahulu.[11]
3. Hari kebangkitan adalah kebohongan dengan mengatas namakan Tuhan, dan ucapan ngelantur.[12]
4. Menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati adalah sihir dan tipu daya saja.[13]
5. Jika hari kebangkitan memang betu-betul ada, bangkitkanlah leluhur kita.[14]
6. Menghidupkan kembali orang-orang yang mati adalah pekerjaan yang sangat sulit.[15]
7. Menghidupkan kembali orang-orang yang mati berada di keluar kekuasaan Tuhan.[16]
8. Tuhan tidak mengetahui organ-organ tubuh manusia yang telah terpisah. Oleh karena itu, Ia tak mampu untuk membangkitkan kembali manusia-manusia yang sudah mati.[17]
Al-Qur’an dalam menjawab berbagai kritikan dan sangkalan ini, mengingatkan manusia akan kekuasaan absolut dan komprehensif Tuhan. Ia berfirman, ”Mereka tidak mengenal Tuhan sebagaimana yang seharusnya dikenal.[18]
Ia yang memiliki kekuasaan untuk menciptakan langit, pastilah memiliki kemampuan pula untuk membangkitkan orang yang sudah mati.[19] Ia yang pada awalnya mampu memberi kehidupan, pada kali kedua tentu mampu melakukannya lagi.[20] Dan Tuhan Maha Mengetahui mayat-mayat yang terpendam dalam bumi.[21] [22]
Hakikat Kematian
Apakah kematian adalah ketiadaan dan kesirnaan atau perpindahan dari satu alam ke alam lain?
Pertanyaan ini merupakan pertanyaan mendasar dan utama bagi setiap manusia, dan setiap manusia selalu mencari jawabannya.
Jalan terbaik untuk mendapatkan jawaban atas soal tersebut adalah merujuk pada Al-Qur’an. Al-Qur’an dalam hal ini memakai kata tawaffâ. Di dalam berbagai tempat Al-Qur’an selalu menggunakan kata tawaffâ untuk mengungkapkan kematian.[23] Tawaffâ secara linguistik berarti pengambilan sesuatu secara utuh dan sempurna. Di saat manusia menarik sesuatu dengan betul-betul dan utuh sehingga tak ada yang tersisa, dalam bahasa Arab diungkapkan dengan kata tawaffâ. Tawaffaitul Mal (aku telah ambil seluruh harta bendaku tanpa kurang dan lebih).[24]
Dalam menjawab mereka-mereka yang berasumsi bahwa manusia ketika telah mati ia dikebumikan, kemudian hancur dan sirna, lalu dengan dalil ini mereka mengingkari hari kebangkitan,[25] Al-Qur’an menjawab mereka seraya berkata, ”Katakanlah, “Malaikat maut yang diserahi tugas (untuk mencabut nyawamu) akan mematikan kamu; kemudian hanya kepada Allah lah kalian akan dikembalikan”. (QS. As-Sajdah: 11).[26]
Dari kelompok ayat yang memakai kata tawaffâ dapat kita simpulkan bahwa berdasarkan perspektif Al-Qur’an kematian adalah pengambilan kembali. Dengan kata lain, ketika manusia mati semua keperibaian dan eksistensinya berada di tangan para pesuruh Allah (malaikat pencabut nyawa), dan mereka telah mengambil manusia. Dari kelompok ayat ini kita dapat mengambil 3 poin berikut:
1. Kematian bukanlah kesirnaan dan ketiadaan, akan tetapi perpindahan dari alam satu pada yang lain, dan manusia dengan cara lain melanjutkan kehidupannya di sana.
2. Realitas manusia yang sering diungkapkan dengan kata “saya” bukanlah badan dan organ-organ tubuhnya. Karena badan dan organ-organ tubuh yang lain ketika mati tidak dapat dipindah dan dicabut oleh para pesuruh Allah. Ia menetap di alam ini dan secara bertahap akan sirna. Realitas manusia yang sering dikatakan dengan kesayaan adalah nafs atau ruh sebagaimana telah diungkapkan oleh Al-Qur’an.
3. Ruh manusia dari sisi maqam lebih tinggi dan utama dari materi dan hal-hal material. Dengan kematian, ruh akan pindah ke alam lain yang sesuai dengannya. Dengan kata lain, ketika mati, hakikat metafisik itu akan kembali ke alamnya.[27]
Hubungan Kematian dengan Tidur
Poin yang perlu kita perhatikan di sini adalah Al-Qur’an juga mengungkapkan tidur dengan kata tawaffâ. “Dan Ialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Ia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari. Kemudian Ia membangunkanmu pada siang hari untuk disempurnakan umurmu yang telah ditentukan. Kemudian kepada Allahlah kalian akan kembali, lalu Ia memberitahukan padamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. Al-An’âm: 60)
Dengan dipakainya kata tawaffâ ini, berarti ada indikasi keserupaan relatif antara kematian dan tidur. Ayat berikut ini lebih gamblang lagi menjelaskan dan mengungkap keserupaan di antara keduannya. “Allah yang memegang (mengambil secara utuh) ruh manusia di saat kematiannya, dan memegang ruh orang yang belum mati di saat tidurnya, maka Ia tahan jiwa orang yang telah ditetapkan kematiannya dan Ia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang telah ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi mereka yang berpikir”. (QS. Az-Zumar: 42)
Dalam sebuah riwayat disebutkan Imam Baqir a.s ditanya tentang kematian, apakah kematian itu? Beliau menjawab, ”Ia adalah tidur yang setiap malam mendatangimu, hanya saja ia sangat panjang masanya”.[28]
Dari kompilasi antara ayat-ayat dan beberapa riwayat tadi, dapat kita ketahui bahwa kematian adalah sebuah kondisi mirip tidur, sedang kebangkitan seperti keterjagaan dari tidur. Tidur adalah kematian yang singkat dan sebentar, kematian adalah tidur yang panjang dan lelap sekali. Dan dalam dua tahapan tersebut ruh manusia berpindah dari alam satu pada yang lain. Dengan satu perbedaan, kalau manusia terjaga dari tidur ia tidak menyadari dan memperhatikan kalau pada hakikatnya ia telah pulang dari sebuah perjalanan, sedang dalam kematian tidaklah demikian; segala sesuatu jelas baginya.[29]
Alam Kubur (Barzakh)
Dari ayat-ayat Al-Qur’an dan riwayat-riwayat dapat dipahami bahwa manusia setelah mati tidak akan memasuki hari kebangkitan secara langsung. Namun, ia akan singgah di alam antara dunia dan akhirat yang bernama Barzakh.
Barzakh secara linguistik bermakna jarak (pemisah) antara dua sesuatu. Oleh karena itu, jarak dan pemisah antara kehidupan dunia dan Kiamat dinamakan Barzakh.[30]
Kata ini sekurang-kurangnya diulang sebanyak tiga kali dalam Al-Qur’an. Salah satu berkaitan dengan masalah alam pemisah antara dunia dan hari kebangkitan.
“Hingga apabila datang kematian kepada seorang dari mereka, ia berkata, ”Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal saleh terhadap yang telah aku tinggalkan”. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan. (QS. Al-Mukminûn: 99).[31]
Ayat ini menggambarkan bahwa setelah mati manusia mengungkapkan rasa penyesalannya, dan meminta dari Tuhan untuk mengembaliknnya lagi ke dunia. Namun keinginan mereka tersebut hanya sekedar isapan jempol belaka.
Dari berbagai ayat Al-Qur’an lain juga dapat kita pahami bahwa ada kehidupan antara kematian dan hari kebangkitan, dan secara utuh manusia akan merasakan kehidupan itu; ia berbicara dan mendengar, mendapatkan kenikmatan dan merasakan siksaan serta menikmati kehidupan penuh bahagia atau kehidupan penuh siksa. Ayat-ayat yang jumlahnya sekitar 15 ayat ini terbagi dalam beberapa katagori[32]:
1. Ayat-ayat yang “merekam” dialog yang terjadi antara para hamba-hamba saleh dan orang-orang durhaka dengan para malaikat. Dialog tersebut terjadi berlangsung selepas kematian mereka. “Sesungguhnya orang-orang yang diambil nyawanya oleh malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, malaikat bertanya, ”Dalam keadaan bagaimana kamu ini? Mereka menjawab, ”Kami orang-orang tertindas di negeri (Makkah)”. Para malaikat berkata lagi, ”Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di dalamnya?” Tempat orang-orang itu di Neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An-Nisâ`: 97).
Ayat ini berkenaan dengan orang-orang yang hidup di lingkungan non-kondusif, dan mereka menjadikan hal tersebut sebagai alasan. Para malaikat setelah mencabut nyawa mereka, berdialog dengan mereka, dan para malaikat mengatakan justikasi mereka itu cacat alias tak bisa diterima. Karena usaha dan upaya terkecilpun seperti berhijrah tidak mereka lakukan.
2. Ayat-ayat yang menunjukkan bahwa para malaikat setelah berdialog dengan para saleh berkata kepada mereka, “Dari sekarang nikmatilah kenikmatan Ilahi”. Atas dasar ayat-ayat ini, Mukminin yang beamal saleh sebelum terjadinya Kiamat, dapat menikmati kenikmatan Ilahi.
“Orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat, mereka mengatakan, “Salamullah Alaikum (salam sejahtera bagi kalian)” masuklah kamu ke dalam surga itu karena apa yang telah kalian kerjakan”. (QS. An-Nahl: 32).[33]
3. Kelompok ayat yang secara langsung menjelaskan kehidupan bahagia yang dinikmati hamba-hamba saleh dan siksaan yang diderita para toleh di alam Barzakh.
“Janganlah kalian mengira orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati. Akan tetapi, mereka itu hidup di sisi Tuhannya dan mendapatkan rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan kepada mereka, dan mereka bersenang hati terhadap orang yang tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kehawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati”. (QS. A^li ‘Imrân: 169-170).[34]
Ayat ini menggambarkan secara gamblang bahwa orang-orang yang mati di jalan Allah itu hidup dan mendapatkan kenikmatan dari Tuhan. Sebagaimana ayat ini juga menggambarkan bahwa mereka (orang-orang yang telah mati) sadar dan tahu akan keadaan para manusia yang belum mati dan yang akan menyusul mereka.
“Fira’un beserta kaumnya dikepung oleh azab yang sangat buruk. Kepada mereka dinampakkan neraka pada waktu pagi dan petang, dan pada hari terjadinya Kiamat (dikatakan kepada malaikat) “Masukkanlah Fira’un dan kaumnya ke dalam azab yang yang sangat keras”. (QS. Al-Mukmin: 45-46).
Dari ayat tadi dapat kita pahami bahwa Fira’un dan kaumnya di azab dengan dua macam siksaan: pertama, azab yang buruk yang terjadi sebelum kiamat, dan hal itu dengan cara didatangkannya api neraka sebanyak dua kali dalam setiap harinya tanpa harus mereka masuk ke dalamnya, dan kedua, siksaan paling dahsyat yang akan mereka rasakan kelak di hari kebangkitan.
Pada azab yang pertama disebutkan kata-kata pagi dan petang, berbeda dengan azab yang kedua. Hal ini disebabkan azab pertama berkaitan dengan alam Barzakh dan di alam Barzakh mengikuti dunia yang memiliki waktu pagi dan sore, minggu, bulan serta tahun, dan hal itu jelas tidak kita dapati dalam alam akhirat.
Ilustrasi Alam Kubur Dalam Riwayat
Terdapat riwayat-riwayat yang tak sedikit yang menjelaskan alam Barzakh, kondisi, dan undang-undang yang berlaku di sana. Salah satu dari riwayat-riwayat tersebut yang paling kompilt dalam merekam dan menjelaskannya adalah riwayat yang memiliki sanad yang beragam dan banyak didapati dalam kitab-kitab hadis. Riwayat ini dînukil dari Amirul Mukminin Ali as.
“Kala tiba pada manusia hari terakhir dari kehidupan yang sekaligus awal dari kehidupan hari kebangkitan, istri, anak, harta dan amal perbuatan akan menjelma sebagai sebuah makhluk dan hadir di hadapannya. Dalam hal ini manusia yang baru mati akan menghadapi harta dan berkata, ”Demi Allah, aku sangat berambisi untuk mendapatkanmu. Sekarang katakan padaku manfaat apa yang dapat aku ambil darimu?” Harta menjawab, ”Ambillah kain kafan dariku, dan bawalah bersertamu”. Kemudian ia menghadap makhluk jelmaan anaknya seraya berkata, ”Demi Allah, aku sangat cinta dan selalu melindungi kalian, lalu apa yang dapat aku manfaatkan dari kalian?” Mereka menjawab, ”Kami hanya sanggup mengiringi dan mengantarmu sampai ke kuburan dan kami akan menguburmu di sana”. Akhirnya ia pun menghadap makhluk jelmaan amal dan berkata, ”Demi Allah, dulu aku berpaling darimu dan dengan segala kesulitan dan rintangan aku mendapatkanmu, sekarang beritahukanlah padaku apa yang dapat aku manfatkan darimu?” Amal berkata, ”Aku akan menemanimu dan menyertaimu di alam kubur sampai hari kiamat nanti, aku akan senantiasa bersamamu sampai kamu bertemu Tuhan”.[35]
Nah, ketika manusia yang mati itu tergolong wali Allah (orang saleh), akan datang dan hadir di sisinya makhluk terbagus, beraroma wangi, berpakaian rapi, serya berkata, ”Kabar gembira atasmu (selamat atasmu) yang telah datang di tempat peristirahatan dari segala kesusahan, selamat datang dan menikmati hidangan surga, dan rumah abadi dan terbaik”. Orang saleh yang baru mati itu bertanya, ”Siapakah Anda gerangan?” Ia menjawab, ”Aku adalah amal salehmu”. Kemudian dikatakan padanya, ”Maka engkau adalah penunjuk jalannya dari dunia menuju surga”. Kemudian ia berharap dari orang-orang yang memandikan dan mengkafaninya untuk mempercepat pekerjaaan mereka.
Ketika mayit itu diletakkan di dalam kubur, dua malaikat datang. Mereka adalah para penanya di alam kubur. Rambut mereka sepanjang tubuh mereka, kaki mereka menancap kokoh di atas bumi, suara mereka seperi halilintar, mata mereka tajam bagai kilatan petir. Mereka menanyakannya, ”Siapakah Tuhanmu? Siapakah nabimu? Dan apa agamamu?” Ia menjawab, “Allah adalah Tuhanku, Muhammad SAWW adalah nabiku dan Islam adalah agamaku”.
Kemudian kedua malaikat tadi berdo’a supaya Mukmin tadi ditetapkan pada apa yang telah ia sukai (yakini), dan ini merupakan firman Allah SWT dalam surah Ibrahim ayat ke 27. Allah akan menetapkan hamba-hamba yang beriman dengan perkataan yang tetap pada kehidupan dunia.[36] Kemudian liang kubur itu melebar selabar dan sejauh mata memandang, dan di sana terdapat pintu dari pintu surga, dan dikatakan padanya, ”Tidurlah dengan penuh ketenangan seperti perjaka yng terlena dalam kenikmatan”. Dan hal ini adalah firman Allah yang berkata, ”Penduduk-penduduk surga pada hari itu paling baik tempat tinggalnya dan paling indah peristirahatannya”. (QS. Al-Furqân: 24).[37]
Dan jika mayit itu adalah musuh Tuhan, akan datanglah padanya makhluk paling dekil dan paling jelek seraya berkata, ”Selamat merasakan neraka dan apinya yang menyala-nyala”. Pada saat itu ia meminta dan berharap orang-orang yang memandikan dan yang membawanya untuk memeprlambat pekerjan mereka.
Dan ketika masuk ke liang kubur para penanya di alam kubur datang dan mencampakkan kafan yang dipakainya seraya berkata, ”Katakan siapa Tuhamu? Siapa nabimu? Dan apa agamamu?” Ia menjawab, “Aku tidak tahu”. Mereka berkata, ”Kamu tidak tahu dan tersesat”. Kemudian dengan pentungan besi mereka memukulnya dengan pukulan yang semua binatang di dunia merasa cemas dan takut kecuali jin dan manusia. Ketika itu terlihatlah pintu dari pintu-pintu neraka dan mereka berkata, ”Tidurlah dengan kondisi terburuk”. Kondisi di mana kesempitan membuat ia berada seperti ujung tombak seakan-akan otaknya keluar dari kuku dan daging mereka. Ular, kalajengking dan binatang-binatang bawah tanah mengepung dan menggigitnya. Mayit akan tinggal dengan kondisi seperti ini sampai Tuhan membangkitkannya dari kubur. Masa-masa ini ia lalui dengan penuh kesengsaraan sampai-sampai ia berharap hari kebangkitan cepat terjadi.[38]
Pertanyaan dan Siksa Kubur
Bedasarkan riwayat tadi, di tambah riwayat-riwayat lain, malaikat Munkar dan Nakir akan mendatangi orang yang baru mati, mereka akan menanyai masalah Akidah, seperti Tauhid, agama dan nabi yang dipilih olehnya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut seperti kejadian-kejadian yang lain akan terjadi setelah kematian dan di alam kubur. Dan hanya mereka yang telah mati yang mampu menjelaskan ilustrasi alam kubur itu sendiri.
Sebagaimana dalam riwayat-riwayat yang beraneka ragam disebutkan[39] bahwa pertanyaan dalam kubur khusus bagi Mukminin dan kaum zalim, dan tidak akan mencakup orang-orang lemah dan yang berada pada posisi tengah-tengah antara kedua kelompok tersebut. Allamah al-Kulaini dalam al-Kâfî meriwayatkan, ”Dalam alam kubur akan terjadi pertanyaan dan interogasi. Hal ini mencakup orang-orang yang memiliki keimanan yang murni dan orang-orang yang memiliki kekafiran yang murni pula. Sedang orang yang lain akan dibiarkan pada keadaan mereka sendiri dan tak akan ditanyai”.[40]
Ali bin Ibrahim al-Qumi menukil dari Dzaris Kannasi dalam tafsirnya, ”Aku bertanya kepada Imam Bâqir as, ”Aku persembahkan jiwaku padamu, orang-orang yang bertauhid dan mengakui kenabian Muhammad SAWW namun mereka berbuat dosa, tak beriman, dan tidak mengenal Anda, bagaimanakah keadaan mereka setelah kematian mereka?” Imam berkata, ”Mereka akan menetap di alam kubur, jika mereka beramal saleh dan tidak menunjukkan permusuhannya dengan kami Ahlul Bayt, maka pintu surga akan dibuka untuknya, dan angin kebahagian akan bertiup ke arahnya, sampai ia bertemu dengan Tuhannya. Tuhan akan memperhitungkan amal baik dan buruk yang dilakukannya. Mereka adalah orang yang nasibnya bergantung pada Tuhan semata. Orang-orang lemah, orang-orang ediot dan dungu, anak-anak kaum Mukmin yang mati dalam keadaan belum baligh juga memiliki keadaan yang sama dengan mereka”.[41]
Pertemuan Orang yang Meninggal Dunia dengan Sanak Keluarganya
Allamah al-Kulaini dalam al-Kâfî menukil dari Imam Shâdiq as, ”Mukmin setelah mati akan berjumpa dengan kerabat dan familinya, dan amal baik yang dilakukan kerabat akan ditampakkan pada mereka, sedang amal buruk yang dilakukan tidak dibeberkan kepadanya”.
Pada riwayat lain disebutkan, ”Tiada Mukmin dan kafir (yang meninggal dunia) kecuali pada setiap siang datang dan menjumpai sanak keluarganya. Ketika Mukmin melihat keluarganya melakukan kebaikan, ia pun bersukur dan memuji terhadap Tuhan, sedang kafir saat melihat keluarganya melaksanakan kebaikan, ia menyesal dan timbul iri pada dirinya”.
Riwayat yang tak sedikit juga menyebutkan hal yang sama seperti yang terdapat dalam dua riwayat yang kita bawakan tadi. Sebagaian dari riwayat tersebut menjelaskan bahwa ruh orang-orang yang sudah mati akan menjelma menjadi burung-burung nan lembut yang hinggap di dinding rumah keluarganya, dan mereka mengetahui apa yang dilakukan oleh sanak keluarganya. Hal ini merupakan salah satu dari bagian pembahasan Tajassumul Arwah (penjelmaan arwah).
Kiamat dalam Al-Qur’an[42]
Satu-satunya jalan untuk memahami kejadian dan kondisi yang akan terjadi di hari kebangkitan adalah merujuk pada Al-Qur’an dan tuntunan para ma’shûm. Dengan memperhatikan ayat-ayat Al-Qur’an dapat dipahami bahwa terjadinya hari kiamat akan seiring dengan terjadinya kerusakan dan kehancuran sistem alam ini dimana alam ini akan digulung dan muncullah alam baru. Kala itu manusia dari awal penciptaan sampai akhir penciptaan akan hidup dan bangkit kembali, dan akan melihat hasil perbuatan yang telah dilakukannya di dunia. Berikut ini sekilas apa yang akan terjadi di alam itu sesuai dengan penuturan ayat-ayat Al-Qur’an.
Kehancuran Bumi, Gunung-gunung dan Tumpahnya Lautan
Di bumi akan terjadi gempa yang begitu dahsyat,[43] dan ia akan memuntahkan segala isi yang dikandungnya.[44] Bumi akan hancur berkeping-keping,[45] lautan akan terpecah dan tumpah ruah,[46] gunung-gunung akan bergerak[47] dan berbentuaran lalu hancur lebur,[48] dan Kemudian akan menjelma seperti tumpukan pasir,[49] berhamburan laksana kapas[50] yang beterbangan di udara,[51] dan gunung-gunung itu berhamburan di langit sehingga hanya fatamorgana yang tersisa.[52]
Keruntuhan Langit dan Bintang-Bintang
Bulan,[53] matahari,[54] bintang-bintang atau galaksi yang amat besar, bahkan bermilyun-milyun lebih besar dari matahari, akan padam dan meredup,[55] dan tatanan dan gerak mereka akan berantakan.[56] Bulan dan matahari akan menyatu,[57] langit yang seperti atap yang kokoh dan kuat akan runtuh,[58] dan akan terbelah dan terpecah,[59] dan lembarannya akan segera dilipat,[60] bintang-bintang akan menjelma seperti luluhan perak[61], cakrawala alam dipenuhi oleh asap[62]
Tiupan Sangkakala Kematian Pertama
Dalam kondisi yang semacam ini, terompet kematian ditiup, yang membuat apapun yang bernyawa akan mati semua,[63] dan di dunia tak akan didapati satu makhluk hidup pun. Ketakuatan dan kegalauan menghantui setiap orang kecuali mereka yang memahami hakikat wujud dan misterinya, serta mereka yang hatinya tenggelam dan dipenuhi oleh rasa cinta terhadap Tuhan. Merekalah adalah para pribadi mukhlash Tuhan.[64]
Tiupan Sangkakala Kehidupan Kedua
Setelah itu terciptalah alam lain yang abadi dan kekal.[65] Alam akan bersinar dengan cahaya Tuhan.[66] Ketika itu sangkakala kedua ditiup,[67] tiupan yang menghidupkan kembali semua manusia sampai hewan sekali pun.[68] Dalam sejenak mereka bangkit dari kematian dan tidur panjang mereka,[69] dengan kegusaran, kegalauan dan ketakutan seperti serangga yang bermunculan dari bumi,[70] dengan cepat[71] menuju dan hadir dalam pengadilan Tuhan.[72] Semua akan berkumpul dalam pentas agung tersebut,[73] dan banyak dari mereka yang berasumsi bahwa mereka hanya satu jam saja singgah di alam kubur, atau sehari, atau beberapa hari.[74]
Tegaknya Keadilan Tuhan dan Terputusnya Hubungan Sanak-Famili dan Sebab-sebab lain
Alam itu adalah alam transparansi yang segala hakikat tampak jelas dan gamblang[75] di hadapan semua orang. Semua akan memahami bahwa hanya pemerintahan Tuhanlah yang ada.[76] Semua orang begitu takut dan kacau-balau sampai-sampai hak bicara pun tak lagi mereka miliki.[77] Setiap orang hanya memikirkan nasib dirinya sendiri; anak lari dari orang tuanya, dan kerabat satu sama lain menjauh dan tidak memperdulikan satu sama lain,[78] dan mata rantai sebab/ hubungan[79] dan keturunan terputus, persahabatan yang dibina di atas manfaat materi dan setan berubah menjadi permusuhan,[80] dan penyesalan dan ratapan hampir memenuhi hati-hati orang-orang kala itu.[81]
Pengadilan Tuhan
Kala itu terealisasilah pengadilan Tuhan. Amal perbuatan manusia akan diperiksa dan dikoreksi,[82] rapot-rapot amal mereka akan dibagikan,[83] dan perbuatan setiap orang akan jelas terpampang sehingga orang lain bertanya, ”Apa yang telah kau lakukan di dunia?”[84]
Dalam pengadilan ini, para malaikat, nabi, dan pribadi pilihan Tuhan akan hadir sebagai saksi,[85] bahkan tangan, kaki, kulit, dan semua anggota badan akan memberikan kesaksian.[86] Perhitungan semua orang akan dilakukan dengan penuh detail, dan akan ditimbang dengan mizan Tuhan[87] serta berdasarkan keadilan mereka akan iadili.[88] Setiap orang akan mendapatkan hasil dan jerih payahnya.[89] Para hamba yang saleh akan memperoleh pahala mereka.[90] Tidak ada satu orang pun yang menanggung nasib orang lain.[91] Akan tetapi, orang-orang yang menyesatkan orang lain, selain mendapatkan siksa atas dosanya sendiri, ia juga akan merasakan siksaan tambahan “azab ekstra” akibat ulahnya menyesatkan orang lain.[92] Dosa mereka pun juga tidak dikurangi. Di sana juga pengganti dan tebusan tidak lagi diterima.[93] Pertolongan orang lainpun tak ada gunanya,[94] kecuali orang-orang yang yang telah diberi mandat oleh Allah untuk memberikan syafaat orang lain, dan itu pun dapat mereka lakukan berdasarkan tolok ukur dan standar Tuhan.[95]
Ke Surga atau ke Neraka
Setelah pengecekan amal perbuatan para hamba, hukum Tuhan mengumumkan[96] bahwa para hamba-hamba yang taat, supaya berpisah dari hamba-hamba yang selalu membangkang.[97] Mukminin dengan wajah putih berseri-seri bahagia dan dengan tertawa pergi menuju surga.[98] Sedangkan orang-orang kafir dan munafik berwajah hitam penuh sedih, dan dengan penuh kehinaan pergi dan digiring menuju neraka.[99] Namun semuanya akan melewati dan melintasi neraka,[100] dan Mukminin dengan cahaya yang dimiliki akan menerangi jalan mereka,[101] berbeda dengan orang-orang kafir yang akan melalui semua itu dengan kegelapan.
Munafikin yang dulunya hidup berdampingan dengan Mukminin di dunia, mereka akan memanggil orang-orang Mukmin seraya berkata, ”Tengoklah kami supaya kami dapat menikmati apa yang kalian dapatkan. Namun, dikatakan pada mereka, “Ingatlah apa yang kalian lakukan di dunia, lalu ambillah cahaya dari sana”. Pada saat itu tersingkaplah dinding yang berpintu di antara mereka yang di dalamnya terdapat rahmat Tuhan, sedangkan siksa Tuhan berda di luarnya.
Untuk kedua kalinya munafikin menyeru kaum Mukmin seraya berkata, ”Tidakkah kita dulu hidup bersama berdampingan di dunia?” Mukminin menjawab, ”Ya, tetapi kalian celakakan diri kalian sendiri, hati kalian dipenuhi oleh keraguan dan kekerasan, harapan dan khayalan yang terlalu berlebihan telah menipu kalian sehingga ketika perintah Tuhan datang, setan si penyesat menipumu, dan memalingkanmu dari perintah Tuhan. Sekarang tebusan apapun tidak akan diterima baik dari kalian atau dari orang-orang kafir yang lain, dan tempat kalian adalah neraka, dan ialah maulâmu.”[102]
Ketika Mukminin mulai mendekat ke surga, pintu-pintu pun terbuka, para malaikat rahmat datang untuk memimpin rombongan, dan dengan salam dan penuh hormat malaikat memberikan kabar gembira akan kebahagian mereka.[103] Di sisi lain, ketika orang-orang kafir dan munafik mulai sampai di neraka, pintu-pintu neraka pun mulai terbuka para malaikat azab dengan bengis dan kekerasan mengejek mereka, dan menjanjikan azab yang sangat pedih bagi mereka.[104]
Surga
Mukminin akan memasuki surga. Di dalamnya terdapat taman-taman yang luas seluas langit dan bumi,[105] dan dipenuhi oleh aneka macam tumbuh-tumbuhan dengan buah-buah yang sudah matang dan mudah dipetik serta mudah dijangkau.[106] Terdapat sungai-sungai dengan air jernihnya,[107] susu, dan madu serta minuman yang suci.[108] Di sana apa yang diinginkan penduduk surga,[109] bahkan apa yang diluar keinginan mereka pun telah tersaji.[110].
Para penduduk surga mengenakan pakaian sutra halus dan terhias dengan berbagai macam hiasan,[111]. Mereka duduk berhadap-hadapan, dan mereka bersandar di atas dipan-dipan yang empuk dengan bantal yang empuk,[112] mereka senantiasa memuji Tuhan,[113] mereka berbicara dan tidak mendengar omong kosong,[114] tidak merasakan dingin juga tidak kepanasan,[115] tidak tersiksa dan pula tidak lelah dan bosan,[116] tidak takut dan pula tidak susah,[117] dan hati-hati mereka telah tersucikan dari iri hati dan sifat-sifat tercela lainnya.[118]
Para pelayan nan elok rupawan berlalu lalang di sekitar mereka.[119] Mereka menuangkan cawan-cawan berisikan minuman-minuman surga yang rasanya tak bisa disifati lagi dan tak ada hal yang membahyakan di dalamnya (memiliki efek samping).[120] Mereka menyantap aneka buah, dan macam jenis burung,[121] dan mereka akan didampingi oleh istri-istri yang cantik dan suci.[122] Dan lebih dari itu, semua nikmat spiritual berupa keridhaan Allah SWT yang akan mereka dapatkan.[123] Berbagai anugerah dan kelembutan agung dari Tuhan mereka rasakan yang membuat mereka tenggelam dalam kebahagian puncak, kebahagian yang tak pernah dan tak akan terlintas dalam benak siapapun juga.[124]
Yang lebih penting lagi, kebahagiaan yang tak terhingga, dan nikmat-nikmat yang tak dapat disifati, serta rahmat dan kedekatan terhadap Tuhan ini akan terus berjalan selamanya,[125] dan tidak ada kata akhir di dalamnya.[126]
Neraka
Neraka adalah tempat orang-orang kafir dan munafik yang hati mereka tak pernah disinari oleh cahaya keimanan.[127] Kapasitas neraka sangatlah besar sekali sehingga ketika semua para pembangkang dan kaum durjana telah masuk semua ke dalamnya, ia masih meminta tambahan lagi, “Apakah ada tambahan lagi”. Begitulah ujar neraka.[128] Semua tempat di dalamnya dipenuhi oleh api dan siksaan.
Api menjulurkan lidahnya ke mana-mana. Bunyi dan suara teriakan dan hardikan, kebengisan dan kemarahan para penjaga neraka, menambah ketakutan.[129] Wajah-wajah mereka masam, penuh emosi, hitam, jelek, dan bengis,[130] sehingga para malaikat yang tinggal di sana tak terlihat lagi rasa sayang dan lemah lembut.[131]
Para penduduk neraka akan dibelenggu dengan rantai besi,[132] dan sekujur tubuhnya akan dijilat oleh api membara,[133] dan mereka sebagai kayu bakarnya.[134] Di sana ada suara dan bunyi yang terdengar kecuali rintihan, kegalauan, dan teriakan para penduduk neraka, serta hardikan penjaga neraka.[135]
Kepala mereka akan dituangi air mendidih yang akan mendidih dalam badanya,[136] dan kapanpun permintaan air akibat haus yang mencicik terdengar dari mereka, maka air panas dan kotor serta menjijikkan disajikan, dan dengan semangat mereka teguk.[137]
Makanan para penduduk neraka adalah pohon Zaqqûm, sebuah pohon yang tumbuh dari api dan menambah rasa panas dalam tubuh mereka.[138]
Pakaian mereka dari bahan hitam dan lengket yang akan sangat menyiksa dan merepotkan mereka.[139]
Teman duduk para penduduk neraka adalah para setan dan jin yang berbuat dosa, mereka berandai-andai supaya dapat jauh dari mereka.[140]
Para penduduk neraka saling melaknat dan mengejek satu sama lain.[141]
Mereka ketika meminta maaf pada Tuhan. Akan tetapi, langsung dibungkam dengan hardikan, ”Enyahlah kalian, dan diamlah”.[142] Kemudian mereka meminta bantuan para penjaga neraka untuk meringankan azab dan siksaan mereka, namun mereka pun berkata, ”Tidakkah Tuhan telah mengutus para nabi dan telah menyempurnakan hujjah-Nya atas kalian semua?”.[143]
Terkadang mereka ingin dimatikan kembali. Namun mereka mendengar jawaban, ”Kalian akan tinggal selamanya di neraka”.[144] Kematian mengepung mereka dari berbagai arah, tapi mereka tidak mati.[145] Dan ketika kulit mereka habis dan hangus, kulit mereka akan diganti dengan yang baru dan begitu seterusnya azab dan siksa tetap berlanjut dan lebih pedih dan menyakitkan. (QS. An-Nisâ`: 56)
Mereka menginginkan dari para penduduk surga untuk memberi mereka sedikit air dan makanan, namun para penduduk surga menjawab, ”Tuhan telah mengharamkan nikmat surga pada kalian”.[146]
Para penduduk surga bertanya pada mereka, ”Apa yang membuat kalian masuk pada jahannam?” Mereka menjawab, ”Kami tidak mendirikan shalat dan tidak pernah menyembah Tuhan. Ketika orang lemah datang meminta pertolongan, kami tidak menggubrisnya, dan kami berteman dan searah dengan para pembuat durjana, dan kami mendustakan hari kebangkitan”.[147]
Para penduduk neraka saling menyalahkan satu sama lain.[148] Orang yang tersesat mengatakan pada mereka yang menyesatkan, ”Kalianlah yang telah menyesatkan kami”. Mereka menjawab, ”Bukankah kalian dengan kemauan sendiri telah mengikuti kami”.[149]
Orang-orang lemah dan tertindas berkata pada orang-orang yang sombong, ”Bukankah kalian yang membuat kami jatuh dan tertimpa musibah yang besar ini?” Mereka menjawab, ”Bukankah kita memaksa kalian untuk mengikuti jalan yang lurus dan benar”.[150]
Akhirnya pada setan dikatakan, ”Kamulah yang membuat kami tersesat?” Ia menjawab, ”Tuhan telah menjajikan hal yang benar pada kalian, tapi kalian tak mau menerima, dan aku menjanjikan hal gombal dan bohong pada kalian, tapi kalian menguikutiku. Dengan demikian ejek dan makilah diri kalian sendiri, sekarang tiada satupun dari kalian yang dapat menolong orang lain”.[151]
Dan tiada hal lain yang bisa dinantikan dan dilakukan, selain menetap di neraka dengan “mencicipi” aneka ragam siksaan dan azab di dalamnya.[152] (Mengingat pembahsan ini kami jelaskan sangat ringkas, maka tidak perlu lagi kami bawakan ringkasan dari pembahasan tersebut).
Syafa’at
Berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan riwayat-riwayat dari para ma’shûm dapat dipahami bahwa jika manusia beriman meninggal dunia, kendatipun amal perbuatannya tidak begitu mendapatkan kerelaan dari Tuhan, namun mereka tidak akan disiksa selamanya di neraka, dan pada akhirnya mereka akan masuk ke dalam surga.
Tuhan akan mengampuni dosa-dosa kecil orang beriman dengan syarat ia meninggalkan dosa-dosa besar.[153] Begitu dosa-dosa besar mereka pun akan iampuni jika mereka betul-betul bertaubat kepada-Nya. Dan jika ia tidak bertaubat, segala kesusahan dan kesulitan yang dialaminya semasa hidup di dunia akan mengurangi siksaannya. Dan jika masih ada saja dosa yang dipikulnya, tibalah giliran syafaat yang membantunya, sebagaiman disabdakan oleh nabi SAWW, ”Syafaatku akan mencakup para pelaku dosa-dosa besar dari umatku”.[154]
Dari sini dapat kita pahami bahwa syafa’at merupakan harapan terakhir dan terbesar yang dimiliki oleh seorang Mukmin yang berbuat dosa. Akan tetapi, hal ini tidak boleh disalah tafsirkan, sehingga dengan berasuransikan syafaat dari Rasul, seseorang melakukan segala macam dosa. Karena bertambahnya dosa akan menghilangkan dan memadamkan cahaya iman yang ada di dada, dan akan mengantarkan manusia pada kesengsaraan abadi nan kekal.[155]
Definisi Syafa’at
Syafaat yang barmakna genap berasal dari kata Syafa’a. Dalam wacana keagamaan, syafaat berarti uluran tangan para wali dan kekasih Tuhan untuk pengampunan dosa-dosa Mukminin. seakan-akan mereka -dengan dosa yang dimiliki- tidak memiliki hak sama sekali untuk mendapatkan rahmat Tuhan. Namun dengan bantuan seorang syâfi’ (pemberi syafaat), mereka mendapatkan potensi atau layak diberi nikmat tersebut.
Penafian Syafa’at Invalid dan Penetapan Syafaat Valid
Keyakinan terhadap syafaat tidak akan dapat diterima jika mengkonsekuensikan kekurangan Allah SWT. Keyakinan inilah yang dianut musyrikin yang dengan tegas Al-Qur’an membantahnya seraya berkata, ”Selain Tuhan tiada pelindung dan pemberi syafaat”.[156]
Di sisi lain, Tuhan juga menetapkan syafaat selain dari-Nya. Itupun berkat izin dari-Nya. ”Tiada pemberi syafaat kecuali setelah mendapatkan izin dari-Nya”.[157] Berdasarkan Al-Qur’an, para pemberi syafaat adalah mereka yang memberikan kesaksian atas kebenaran dan hakikat, serta memiliki ilmu.[158]
Hari Kebangkitan Dan Posisinya Dalam Islam
Salah satu dasar dan pondasi keyakinan dalam agama Islam adalah keyakinan terhadap Ma’ad atau hari kebangkitan.[1] Semua manusia yang datang dan pergi silih berganti, sesaat ia menetap dan hidup. Semua makhluk yang tinggal di alam lain tak terkecuali akan hidup kembali dan hadir di hadapan pengadilan Tuhan. Mereka akan mendapatkan balasan atau siksaan yang abadi, surga ataukah neraka.
Beriman kepada hari kebangkitan merupakan syarat dan konsekuensi seorang muslim. Dengan demikian, siapapun yang mengingkarinya, ia tidak tergolong orang Islam.
Semua utusan Tuhan –dari Adam sampai Muhammad SAWW- selalu menjelaskan dasar keimanan terhadap hari kebangkitan setelah menetapkan keimanan terhadapap Tuhan. Mereka menyeru sekalian manusia untuk beriman kepada kehidupan akhirat.
Iman Kepada Hari kebangkitan setelah Beriman Kepada Tuhan
Dalam Al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang mengilustrasikan kehidupan pasca kematian, hari kebangkitan, cara menghidupakn kembali orang-orang yang telah mati, timbangan, perhitungan, dan masalah-masalah lain yang berkaitan dengan kehidupan setelah kematian.[2] Jumlah yang tak sedikit tersebut mengindikasikan posisi agung keyakinan terhadap hari kebangkitan dalam Islam dan peran aktifnya dalam menciptakan kebahagiaan manusia. Oleh karena itu, sering kali didapati keimanan kepada hari kebangkitan disebut tanpa terpisah setelah penyebutan keimanan kepada Tuhan. Seperti yang kita baca dalam ayat 62 surah al-Baqarah: “Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kebangkitan dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kehawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.[3]
Sekelompok ayat menjelaskan dampak-dampak pahit dan mengerikan dari pengingkaran akan hari kebangkitan,[4] sekelompok lagi menjelaskan kebahagiaan[5] dan kesengsaraan abadi,[6] sebagaimana Al-Qur’an dengan pelbagai metode telah memaparkan hubungan dan relasi antara perbuatan baik dan buruk dengan balasan ukhrawinya. Al-Qur’an dengan berbagai metode menjelaskan bahwa terjadinya hari kebangkitan adalah hal yang mungkin terjadi[7] dan sebuah peristiwa yang lazim.[8]
Urgensi Hari Kebangkitan
Argumentasi Urgensi Hari Kebangkitan
Dalam beberapa ayat, Al-Qur’an membawakan argumentasi pentingnya hari kebangkitan. Untuk itu kami akan meringkas argumentasi itu sebagai bentuk pengenalan saja buat para pembaca budiman.
1. Dunia Sia-Sia Tanpa Hari Kebangkitan
Kehidupan dunia tak mungkin menjadi tujuan akhir dari penciptaan manusia. Karena kehidupan dunia bersifat temporal, singkat dan dipenuhi oleh pelbagai kesengsaraan, rintangan, dan pada akhirnya ketiadaan. Oleh karena itu, jika hari kebangkitan tidak terjadi, niscaya kehidupan manusia hanya terbatas di dunia saja, dan penciptaannya akan sia-sia belaka. “Apakah kamu mengira, bahwa Kami menciptakanmu dengan sia-sia belaka, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?.” (QS. Al-Mu`minûn: 115)
2. Hari Kebangkitan Konsekuensi Keadilan Tuhan
Di dunia ini terkadang pribadi-pribadi baik dan orang pembuat durjana berada pada satu tingkat kehidupan. Mereka masih dapat menikmati kenikmatan dunia, bahkan terkadang para pelaku durjana memiliki taraf kehidupan lebih baik dan lebih mapan. Keadilan Tuhan mengatakan mereka harus dibedakan, dan setiap dari mereka harus dapat menikmati hasil amal perbuataan mereka masing-masing. Karena hal ini tak bisa didapatkan di dunia, maka butuh dan harus ada alam lain selain alam ini.
“Apakah orang-orang yang berbuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka sama seperti orang-orang yang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, di mana kehidupan dan kematian mereka sama satu sama lain? Amat buruklah apa yang mereka sangka dan hukumi itu”. (QS. Al-Jâtsiyah: 21)
3. Hari Kebangkitan Konsekuensi Rahmat Tuhan
Tuhan memiliki rahmat yang luas dan tak terbatas. Konsekuensi dari rahmat yang tak terbatas ini adalah anugerah dan rahmat Tuhan tidak akan terhenti dan terputus karena sekedar kematian, dan senantiasa nikmat yang diterima oleh para hamba-hamba saleh tetap terjaga, dan mengalir.
“Ia telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang. Ia sungguh-sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan terhadapnya”. (QS. Al-An’âm: 12)
Motif Dan Sangkalan Para Pengingkar Hari Kebangkitan
Mayoritas manusia menginginkan hidup secara bebas dan tidak terkekang oleh beban apapun, sehingga ia dapat mengekspresikan segala hal yang didengar, dilihat, dan diucapkan. Namun di sisi lain, keyakinan terhadap hari kebangkitan dan adanya pengadilan di sana, serta balasan terhadap amal perbuatan yang telah dilakukan, menutup jalan manusia untuk merealisasikan obsesinya tersebut. Ketentuan-ketentuan dan undang-undang telah membatasi ruang lingkup dan geraknya. Atas dasar ini, manusia mengingkari dan menolak kabar para nabi tentang adanya hari kebangkitan kelak di Kemudian hari.[9]
“Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya? Bukanlah demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari jermarinya dengan sempurna/menyamakan sidik jari mereka? Manusia tidak meragukan kekuasaan kami (untuk membangkikan kembali mereka kelak di kemudian hari). Akan tetapi, mereka ingin (bebas dan menampakkan ketidaktakutan akan hari itu) berbuat maksiat terus-menerus sepanjang umurnya. (QS. Al-Qiyâmah: 3-5).
Mengikuti hawa nafsu adalah penyebab keingkaran terhadap hari kebangkitan, dan dengan berbagai justifikasi mereka menolak keberadaannya. Berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an penentangan dan pengingkaran mereka ini beraneka-ragam. Di antaranya mereka mengatakan:
1. Tidak ada argumentasi atas terjadinya hari kebangkitan.[10]
2. Hari kebangkitan merupakan salah satu kebohongan dan dongeng orang-orang terdahulu.[11]
3. Hari kebangkitan adalah kebohongan dengan mengatas namakan Tuhan, dan ucapan ngelantur.[12]
4. Menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati adalah sihir dan tipu daya saja.[13]
5. Jika hari kebangkitan memang betu-betul ada, bangkitkanlah leluhur kita.[14]
6. Menghidupkan kembali orang-orang yang mati adalah pekerjaan yang sangat sulit.[15]
7. Menghidupkan kembali orang-orang yang mati berada di keluar kekuasaan Tuhan.[16]
8. Tuhan tidak mengetahui organ-organ tubuh manusia yang telah terpisah. Oleh karena itu, Ia tak mampu untuk membangkitkan kembali manusia-manusia yang sudah mati.[17]
Al-Qur’an dalam menjawab berbagai kritikan dan sangkalan ini, mengingatkan manusia akan kekuasaan absolut dan komprehensif Tuhan. Ia berfirman, ”Mereka tidak mengenal Tuhan sebagaimana yang seharusnya dikenal.[18]
Ia yang memiliki kekuasaan untuk menciptakan langit, pastilah memiliki kemampuan pula untuk membangkitkan orang yang sudah mati.[19] Ia yang pada awalnya mampu memberi kehidupan, pada kali kedua tentu mampu melakukannya lagi.[20] Dan Tuhan Maha Mengetahui mayat-mayat yang terpendam dalam bumi.[21] [22]
Hakikat Kematian
Apakah kematian adalah ketiadaan dan kesirnaan atau perpindahan dari satu alam ke alam lain?
Pertanyaan ini merupakan pertanyaan mendasar dan utama bagi setiap manusia, dan setiap manusia selalu mencari jawabannya.
Jalan terbaik untuk mendapatkan jawaban atas soal tersebut adalah merujuk pada Al-Qur’an. Al-Qur’an dalam hal ini memakai kata tawaffâ. Di dalam berbagai tempat Al-Qur’an selalu menggunakan kata tawaffâ untuk mengungkapkan kematian.[23] Tawaffâ secara linguistik berarti pengambilan sesuatu secara utuh dan sempurna. Di saat manusia menarik sesuatu dengan betul-betul dan utuh sehingga tak ada yang tersisa, dalam bahasa Arab diungkapkan dengan kata tawaffâ. Tawaffaitul Mal (aku telah ambil seluruh harta bendaku tanpa kurang dan lebih).[24]
Dalam menjawab mereka-mereka yang berasumsi bahwa manusia ketika telah mati ia dikebumikan, kemudian hancur dan sirna, lalu dengan dalil ini mereka mengingkari hari kebangkitan,[25] Al-Qur’an menjawab mereka seraya berkata, ”Katakanlah, “Malaikat maut yang diserahi tugas (untuk mencabut nyawamu) akan mematikan kamu; kemudian hanya kepada Allah lah kalian akan dikembalikan”. (QS. As-Sajdah: 11).[26]
Dari kelompok ayat yang memakai kata tawaffâ dapat kita simpulkan bahwa berdasarkan perspektif Al-Qur’an kematian adalah pengambilan kembali. Dengan kata lain, ketika manusia mati semua keperibaian dan eksistensinya berada di tangan para pesuruh Allah (malaikat pencabut nyawa), dan mereka telah mengambil manusia. Dari kelompok ayat ini kita dapat mengambil 3 poin berikut:
1. Kematian bukanlah kesirnaan dan ketiadaan, akan tetapi perpindahan dari alam satu pada yang lain, dan manusia dengan cara lain melanjutkan kehidupannya di sana.
2. Realitas manusia yang sering diungkapkan dengan kata “saya” bukanlah badan dan organ-organ tubuhnya. Karena badan dan organ-organ tubuh yang lain ketika mati tidak dapat dipindah dan dicabut oleh para pesuruh Allah. Ia menetap di alam ini dan secara bertahap akan sirna. Realitas manusia yang sering dikatakan dengan kesayaan adalah nafs atau ruh sebagaimana telah diungkapkan oleh Al-Qur’an.
3. Ruh manusia dari sisi maqam lebih tinggi dan utama dari materi dan hal-hal material. Dengan kematian, ruh akan pindah ke alam lain yang sesuai dengannya. Dengan kata lain, ketika mati, hakikat metafisik itu akan kembali ke alamnya.[27]
Hubungan Kematian dengan Tidur
Poin yang perlu kita perhatikan di sini adalah Al-Qur’an juga mengungkapkan tidur dengan kata tawaffâ. “Dan Ialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Ia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari. Kemudian Ia membangunkanmu pada siang hari untuk disempurnakan umurmu yang telah ditentukan. Kemudian kepada Allahlah kalian akan kembali, lalu Ia memberitahukan padamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. Al-An’âm: 60)
Dengan dipakainya kata tawaffâ ini, berarti ada indikasi keserupaan relatif antara kematian dan tidur. Ayat berikut ini lebih gamblang lagi menjelaskan dan mengungkap keserupaan di antara keduannya. “Allah yang memegang (mengambil secara utuh) ruh manusia di saat kematiannya, dan memegang ruh orang yang belum mati di saat tidurnya, maka Ia tahan jiwa orang yang telah ditetapkan kematiannya dan Ia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang telah ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi mereka yang berpikir”. (QS. Az-Zumar: 42)
Dalam sebuah riwayat disebutkan Imam Baqir a.s ditanya tentang kematian, apakah kematian itu? Beliau menjawab, ”Ia adalah tidur yang setiap malam mendatangimu, hanya saja ia sangat panjang masanya”.[28]
Dari kompilasi antara ayat-ayat dan beberapa riwayat tadi, dapat kita ketahui bahwa kematian adalah sebuah kondisi mirip tidur, sedang kebangkitan seperti keterjagaan dari tidur. Tidur adalah kematian yang singkat dan sebentar, kematian adalah tidur yang panjang dan lelap sekali. Dan dalam dua tahapan tersebut ruh manusia berpindah dari alam satu pada yang lain. Dengan satu perbedaan, kalau manusia terjaga dari tidur ia tidak menyadari dan memperhatikan kalau pada hakikatnya ia telah pulang dari sebuah perjalanan, sedang dalam kematian tidaklah demikian; segala sesuatu jelas baginya.[29]
Alam Kubur (Barzakh)
Dari ayat-ayat Al-Qur’an dan riwayat-riwayat dapat dipahami bahwa manusia setelah mati tidak akan memasuki hari kebangkitan secara langsung. Namun, ia akan singgah di alam antara dunia dan akhirat yang bernama Barzakh.
Barzakh secara linguistik bermakna jarak (pemisah) antara dua sesuatu. Oleh karena itu, jarak dan pemisah antara kehidupan dunia dan Kiamat dinamakan Barzakh.[30]
Kata ini sekurang-kurangnya diulang sebanyak tiga kali dalam Al-Qur’an. Salah satu berkaitan dengan masalah alam pemisah antara dunia dan hari kebangkitan.
“Hingga apabila datang kematian kepada seorang dari mereka, ia berkata, ”Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal saleh terhadap yang telah aku tinggalkan”. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan. (QS. Al-Mukminûn: 99).[31]
Ayat ini menggambarkan bahwa setelah mati manusia mengungkapkan rasa penyesalannya, dan meminta dari Tuhan untuk mengembaliknnya lagi ke dunia. Namun keinginan mereka tersebut hanya sekedar isapan jempol belaka.
Dari berbagai ayat Al-Qur’an lain juga dapat kita pahami bahwa ada kehidupan antara kematian dan hari kebangkitan, dan secara utuh manusia akan merasakan kehidupan itu; ia berbicara dan mendengar, mendapatkan kenikmatan dan merasakan siksaan serta menikmati kehidupan penuh bahagia atau kehidupan penuh siksa. Ayat-ayat yang jumlahnya sekitar 15 ayat ini terbagi dalam beberapa katagori[32]:
1. Ayat-ayat yang “merekam” dialog yang terjadi antara para hamba-hamba saleh dan orang-orang durhaka dengan para malaikat. Dialog tersebut terjadi berlangsung selepas kematian mereka. “Sesungguhnya orang-orang yang diambil nyawanya oleh malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, malaikat bertanya, ”Dalam keadaan bagaimana kamu ini? Mereka menjawab, ”Kami orang-orang tertindas di negeri (Makkah)”. Para malaikat berkata lagi, ”Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di dalamnya?” Tempat orang-orang itu di Neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An-Nisâ`: 97).
Ayat ini berkenaan dengan orang-orang yang hidup di lingkungan non-kondusif, dan mereka menjadikan hal tersebut sebagai alasan. Para malaikat setelah mencabut nyawa mereka, berdialog dengan mereka, dan para malaikat mengatakan justikasi mereka itu cacat alias tak bisa diterima. Karena usaha dan upaya terkecilpun seperti berhijrah tidak mereka lakukan.
2. Ayat-ayat yang menunjukkan bahwa para malaikat setelah berdialog dengan para saleh berkata kepada mereka, “Dari sekarang nikmatilah kenikmatan Ilahi”. Atas dasar ayat-ayat ini, Mukminin yang beamal saleh sebelum terjadinya Kiamat, dapat menikmati kenikmatan Ilahi.
“Orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat, mereka mengatakan, “Salamullah Alaikum (salam sejahtera bagi kalian)” masuklah kamu ke dalam surga itu karena apa yang telah kalian kerjakan”. (QS. An-Nahl: 32).[33]
3. Kelompok ayat yang secara langsung menjelaskan kehidupan bahagia yang dinikmati hamba-hamba saleh dan siksaan yang diderita para toleh di alam Barzakh.
“Janganlah kalian mengira orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati. Akan tetapi, mereka itu hidup di sisi Tuhannya dan mendapatkan rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan kepada mereka, dan mereka bersenang hati terhadap orang yang tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kehawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati”. (QS. A^li ‘Imrân: 169-170).[34]
Ayat ini menggambarkan secara gamblang bahwa orang-orang yang mati di jalan Allah itu hidup dan mendapatkan kenikmatan dari Tuhan. Sebagaimana ayat ini juga menggambarkan bahwa mereka (orang-orang yang telah mati) sadar dan tahu akan keadaan para manusia yang belum mati dan yang akan menyusul mereka.
“Fira’un beserta kaumnya dikepung oleh azab yang sangat buruk. Kepada mereka dinampakkan neraka pada waktu pagi dan petang, dan pada hari terjadinya Kiamat (dikatakan kepada malaikat) “Masukkanlah Fira’un dan kaumnya ke dalam azab yang yang sangat keras”. (QS. Al-Mukmin: 45-46).
Dari ayat tadi dapat kita pahami bahwa Fira’un dan kaumnya di azab dengan dua macam siksaan: pertama, azab yang buruk yang terjadi sebelum kiamat, dan hal itu dengan cara didatangkannya api neraka sebanyak dua kali dalam setiap harinya tanpa harus mereka masuk ke dalamnya, dan kedua, siksaan paling dahsyat yang akan mereka rasakan kelak di hari kebangkitan.
Pada azab yang pertama disebutkan kata-kata pagi dan petang, berbeda dengan azab yang kedua. Hal ini disebabkan azab pertama berkaitan dengan alam Barzakh dan di alam Barzakh mengikuti dunia yang memiliki waktu pagi dan sore, minggu, bulan serta tahun, dan hal itu jelas tidak kita dapati dalam alam akhirat.
Ilustrasi Alam Kubur Dalam Riwayat
Terdapat riwayat-riwayat yang tak sedikit yang menjelaskan alam Barzakh, kondisi, dan undang-undang yang berlaku di sana. Salah satu dari riwayat-riwayat tersebut yang paling kompilt dalam merekam dan menjelaskannya adalah riwayat yang memiliki sanad yang beragam dan banyak didapati dalam kitab-kitab hadis. Riwayat ini dînukil dari Amirul Mukminin Ali as.
“Kala tiba pada manusia hari terakhir dari kehidupan yang sekaligus awal dari kehidupan hari kebangkitan, istri, anak, harta dan amal perbuatan akan menjelma sebagai sebuah makhluk dan hadir di hadapannya. Dalam hal ini manusia yang baru mati akan menghadapi harta dan berkata, ”Demi Allah, aku sangat berambisi untuk mendapatkanmu. Sekarang katakan padaku manfaat apa yang dapat aku ambil darimu?” Harta menjawab, ”Ambillah kain kafan dariku, dan bawalah bersertamu”. Kemudian ia menghadap makhluk jelmaan anaknya seraya berkata, ”Demi Allah, aku sangat cinta dan selalu melindungi kalian, lalu apa yang dapat aku manfaatkan dari kalian?” Mereka menjawab, ”Kami hanya sanggup mengiringi dan mengantarmu sampai ke kuburan dan kami akan menguburmu di sana”. Akhirnya ia pun menghadap makhluk jelmaan amal dan berkata, ”Demi Allah, dulu aku berpaling darimu dan dengan segala kesulitan dan rintangan aku mendapatkanmu, sekarang beritahukanlah padaku apa yang dapat aku manfatkan darimu?” Amal berkata, ”Aku akan menemanimu dan menyertaimu di alam kubur sampai hari kiamat nanti, aku akan senantiasa bersamamu sampai kamu bertemu Tuhan”.[35]
Nah, ketika manusia yang mati itu tergolong wali Allah (orang saleh), akan datang dan hadir di sisinya makhluk terbagus, beraroma wangi, berpakaian rapi, serya berkata, ”Kabar gembira atasmu (selamat atasmu) yang telah datang di tempat peristirahatan dari segala kesusahan, selamat datang dan menikmati hidangan surga, dan rumah abadi dan terbaik”. Orang saleh yang baru mati itu bertanya, ”Siapakah Anda gerangan?” Ia menjawab, ”Aku adalah amal salehmu”. Kemudian dikatakan padanya, ”Maka engkau adalah penunjuk jalannya dari dunia menuju surga”. Kemudian ia berharap dari orang-orang yang memandikan dan mengkafaninya untuk mempercepat pekerjaaan mereka.
Ketika mayit itu diletakkan di dalam kubur, dua malaikat datang. Mereka adalah para penanya di alam kubur. Rambut mereka sepanjang tubuh mereka, kaki mereka menancap kokoh di atas bumi, suara mereka seperi halilintar, mata mereka tajam bagai kilatan petir. Mereka menanyakannya, ”Siapakah Tuhanmu? Siapakah nabimu? Dan apa agamamu?” Ia menjawab, “Allah adalah Tuhanku, Muhammad SAWW adalah nabiku dan Islam adalah agamaku”.
Kemudian kedua malaikat tadi berdo’a supaya Mukmin tadi ditetapkan pada apa yang telah ia sukai (yakini), dan ini merupakan firman Allah SWT dalam surah Ibrahim ayat ke 27. Allah akan menetapkan hamba-hamba yang beriman dengan perkataan yang tetap pada kehidupan dunia.[36] Kemudian liang kubur itu melebar selabar dan sejauh mata memandang, dan di sana terdapat pintu dari pintu surga, dan dikatakan padanya, ”Tidurlah dengan penuh ketenangan seperti perjaka yng terlena dalam kenikmatan”. Dan hal ini adalah firman Allah yang berkata, ”Penduduk-penduduk surga pada hari itu paling baik tempat tinggalnya dan paling indah peristirahatannya”. (QS. Al-Furqân: 24).[37]
Dan jika mayit itu adalah musuh Tuhan, akan datanglah padanya makhluk paling dekil dan paling jelek seraya berkata, ”Selamat merasakan neraka dan apinya yang menyala-nyala”. Pada saat itu ia meminta dan berharap orang-orang yang memandikan dan yang membawanya untuk memeprlambat pekerjan mereka.
Dan ketika masuk ke liang kubur para penanya di alam kubur datang dan mencampakkan kafan yang dipakainya seraya berkata, ”Katakan siapa Tuhamu? Siapa nabimu? Dan apa agamamu?” Ia menjawab, “Aku tidak tahu”. Mereka berkata, ”Kamu tidak tahu dan tersesat”. Kemudian dengan pentungan besi mereka memukulnya dengan pukulan yang semua binatang di dunia merasa cemas dan takut kecuali jin dan manusia. Ketika itu terlihatlah pintu dari pintu-pintu neraka dan mereka berkata, ”Tidurlah dengan kondisi terburuk”. Kondisi di mana kesempitan membuat ia berada seperti ujung tombak seakan-akan otaknya keluar dari kuku dan daging mereka. Ular, kalajengking dan binatang-binatang bawah tanah mengepung dan menggigitnya. Mayit akan tinggal dengan kondisi seperti ini sampai Tuhan membangkitkannya dari kubur. Masa-masa ini ia lalui dengan penuh kesengsaraan sampai-sampai ia berharap hari kebangkitan cepat terjadi.[38]
Pertanyaan dan Siksa Kubur
Bedasarkan riwayat tadi, di tambah riwayat-riwayat lain, malaikat Munkar dan Nakir akan mendatangi orang yang baru mati, mereka akan menanyai masalah Akidah, seperti Tauhid, agama dan nabi yang dipilih olehnya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut seperti kejadian-kejadian yang lain akan terjadi setelah kematian dan di alam kubur. Dan hanya mereka yang telah mati yang mampu menjelaskan ilustrasi alam kubur itu sendiri.
Sebagaimana dalam riwayat-riwayat yang beraneka ragam disebutkan[39] bahwa pertanyaan dalam kubur khusus bagi Mukminin dan kaum zalim, dan tidak akan mencakup orang-orang lemah dan yang berada pada posisi tengah-tengah antara kedua kelompok tersebut. Allamah al-Kulaini dalam al-Kâfî meriwayatkan, ”Dalam alam kubur akan terjadi pertanyaan dan interogasi. Hal ini mencakup orang-orang yang memiliki keimanan yang murni dan orang-orang yang memiliki kekafiran yang murni pula. Sedang orang yang lain akan dibiarkan pada keadaan mereka sendiri dan tak akan ditanyai”.[40]
Ali bin Ibrahim al-Qumi menukil dari Dzaris Kannasi dalam tafsirnya, ”Aku bertanya kepada Imam Bâqir as, ”Aku persembahkan jiwaku padamu, orang-orang yang bertauhid dan mengakui kenabian Muhammad SAWW namun mereka berbuat dosa, tak beriman, dan tidak mengenal Anda, bagaimanakah keadaan mereka setelah kematian mereka?” Imam berkata, ”Mereka akan menetap di alam kubur, jika mereka beramal saleh dan tidak menunjukkan permusuhannya dengan kami Ahlul Bayt, maka pintu surga akan dibuka untuknya, dan angin kebahagian akan bertiup ke arahnya, sampai ia bertemu dengan Tuhannya. Tuhan akan memperhitungkan amal baik dan buruk yang dilakukannya. Mereka adalah orang yang nasibnya bergantung pada Tuhan semata. Orang-orang lemah, orang-orang ediot dan dungu, anak-anak kaum Mukmin yang mati dalam keadaan belum baligh juga memiliki keadaan yang sama dengan mereka”.[41]
Pertemuan Orang yang Meninggal Dunia dengan Sanak Keluarganya
Allamah al-Kulaini dalam al-Kâfî menukil dari Imam Shâdiq as, ”Mukmin setelah mati akan berjumpa dengan kerabat dan familinya, dan amal baik yang dilakukan kerabat akan ditampakkan pada mereka, sedang amal buruk yang dilakukan tidak dibeberkan kepadanya”.
Pada riwayat lain disebutkan, ”Tiada Mukmin dan kafir (yang meninggal dunia) kecuali pada setiap siang datang dan menjumpai sanak keluarganya. Ketika Mukmin melihat keluarganya melakukan kebaikan, ia pun bersukur dan memuji terhadap Tuhan, sedang kafir saat melihat keluarganya melaksanakan kebaikan, ia menyesal dan timbul iri pada dirinya”.
Riwayat yang tak sedikit juga menyebutkan hal yang sama seperti yang terdapat dalam dua riwayat yang kita bawakan tadi. Sebagaian dari riwayat tersebut menjelaskan bahwa ruh orang-orang yang sudah mati akan menjelma menjadi burung-burung nan lembut yang hinggap di dinding rumah keluarganya, dan mereka mengetahui apa yang dilakukan oleh sanak keluarganya. Hal ini merupakan salah satu dari bagian pembahasan Tajassumul Arwah (penjelmaan arwah).
Kiamat dalam Al-Qur’an[42]
Satu-satunya jalan untuk memahami kejadian dan kondisi yang akan terjadi di hari kebangkitan adalah merujuk pada Al-Qur’an dan tuntunan para ma’shûm. Dengan memperhatikan ayat-ayat Al-Qur’an dapat dipahami bahwa terjadinya hari kiamat akan seiring dengan terjadinya kerusakan dan kehancuran sistem alam ini dimana alam ini akan digulung dan muncullah alam baru. Kala itu manusia dari awal penciptaan sampai akhir penciptaan akan hidup dan bangkit kembali, dan akan melihat hasil perbuatan yang telah dilakukannya di dunia. Berikut ini sekilas apa yang akan terjadi di alam itu sesuai dengan penuturan ayat-ayat Al-Qur’an.
Kehancuran Bumi, Gunung-gunung dan Tumpahnya Lautan
Di bumi akan terjadi gempa yang begitu dahsyat,[43] dan ia akan memuntahkan segala isi yang dikandungnya.[44] Bumi akan hancur berkeping-keping,[45] lautan akan terpecah dan tumpah ruah,[46] gunung-gunung akan bergerak[47] dan berbentuaran lalu hancur lebur,[48] dan Kemudian akan menjelma seperti tumpukan pasir,[49] berhamburan laksana kapas[50] yang beterbangan di udara,[51] dan gunung-gunung itu berhamburan di langit sehingga hanya fatamorgana yang tersisa.[52]
Keruntuhan Langit dan Bintang-Bintang
Bulan,[53] matahari,[54] bintang-bintang atau galaksi yang amat besar, bahkan bermilyun-milyun lebih besar dari matahari, akan padam dan meredup,[55] dan tatanan dan gerak mereka akan berantakan.[56] Bulan dan matahari akan menyatu,[57] langit yang seperti atap yang kokoh dan kuat akan runtuh,[58] dan akan terbelah dan terpecah,[59] dan lembarannya akan segera dilipat,[60] bintang-bintang akan menjelma seperti luluhan perak[61], cakrawala alam dipenuhi oleh asap[62]
Tiupan Sangkakala Kematian Pertama
Dalam kondisi yang semacam ini, terompet kematian ditiup, yang membuat apapun yang bernyawa akan mati semua,[63] dan di dunia tak akan didapati satu makhluk hidup pun. Ketakuatan dan kegalauan menghantui setiap orang kecuali mereka yang memahami hakikat wujud dan misterinya, serta mereka yang hatinya tenggelam dan dipenuhi oleh rasa cinta terhadap Tuhan. Merekalah adalah para pribadi mukhlash Tuhan.[64]
Tiupan Sangkakala Kehidupan Kedua
Setelah itu terciptalah alam lain yang abadi dan kekal.[65] Alam akan bersinar dengan cahaya Tuhan.[66] Ketika itu sangkakala kedua ditiup,[67] tiupan yang menghidupkan kembali semua manusia sampai hewan sekali pun.[68] Dalam sejenak mereka bangkit dari kematian dan tidur panjang mereka,[69] dengan kegusaran, kegalauan dan ketakutan seperti serangga yang bermunculan dari bumi,[70] dengan cepat[71] menuju dan hadir dalam pengadilan Tuhan.[72] Semua akan berkumpul dalam pentas agung tersebut,[73] dan banyak dari mereka yang berasumsi bahwa mereka hanya satu jam saja singgah di alam kubur, atau sehari, atau beberapa hari.[74]
Tegaknya Keadilan Tuhan dan Terputusnya Hubungan Sanak-Famili dan Sebab-sebab lain
Alam itu adalah alam transparansi yang segala hakikat tampak jelas dan gamblang[75] di hadapan semua orang. Semua akan memahami bahwa hanya pemerintahan Tuhanlah yang ada.[76] Semua orang begitu takut dan kacau-balau sampai-sampai hak bicara pun tak lagi mereka miliki.[77] Setiap orang hanya memikirkan nasib dirinya sendiri; anak lari dari orang tuanya, dan kerabat satu sama lain menjauh dan tidak memperdulikan satu sama lain,[78] dan mata rantai sebab/ hubungan[79] dan keturunan terputus, persahabatan yang dibina di atas manfaat materi dan setan berubah menjadi permusuhan,[80] dan penyesalan dan ratapan hampir memenuhi hati-hati orang-orang kala itu.[81]
Pengadilan Tuhan
Kala itu terealisasilah pengadilan Tuhan. Amal perbuatan manusia akan diperiksa dan dikoreksi,[82] rapot-rapot amal mereka akan dibagikan,[83] dan perbuatan setiap orang akan jelas terpampang sehingga orang lain bertanya, ”Apa yang telah kau lakukan di dunia?”[84]
Dalam pengadilan ini, para malaikat, nabi, dan pribadi pilihan Tuhan akan hadir sebagai saksi,[85] bahkan tangan, kaki, kulit, dan semua anggota badan akan memberikan kesaksian.[86] Perhitungan semua orang akan dilakukan dengan penuh detail, dan akan ditimbang dengan mizan Tuhan[87] serta berdasarkan keadilan mereka akan iadili.[88] Setiap orang akan mendapatkan hasil dan jerih payahnya.[89] Para hamba yang saleh akan memperoleh pahala mereka.[90] Tidak ada satu orang pun yang menanggung nasib orang lain.[91] Akan tetapi, orang-orang yang menyesatkan orang lain, selain mendapatkan siksa atas dosanya sendiri, ia juga akan merasakan siksaan tambahan “azab ekstra” akibat ulahnya menyesatkan orang lain.[92] Dosa mereka pun juga tidak dikurangi. Di sana juga pengganti dan tebusan tidak lagi diterima.[93] Pertolongan orang lainpun tak ada gunanya,[94] kecuali orang-orang yang yang telah diberi mandat oleh Allah untuk memberikan syafaat orang lain, dan itu pun dapat mereka lakukan berdasarkan tolok ukur dan standar Tuhan.[95]
Ke Surga atau ke Neraka
Setelah pengecekan amal perbuatan para hamba, hukum Tuhan mengumumkan[96] bahwa para hamba-hamba yang taat, supaya berpisah dari hamba-hamba yang selalu membangkang.[97] Mukminin dengan wajah putih berseri-seri bahagia dan dengan tertawa pergi menuju surga.[98] Sedangkan orang-orang kafir dan munafik berwajah hitam penuh sedih, dan dengan penuh kehinaan pergi dan digiring menuju neraka.[99] Namun semuanya akan melewati dan melintasi neraka,[100] dan Mukminin dengan cahaya yang dimiliki akan menerangi jalan mereka,[101] berbeda dengan orang-orang kafir yang akan melalui semua itu dengan kegelapan.
Munafikin yang dulunya hidup berdampingan dengan Mukminin di dunia, mereka akan memanggil orang-orang Mukmin seraya berkata, ”Tengoklah kami supaya kami dapat menikmati apa yang kalian dapatkan. Namun, dikatakan pada mereka, “Ingatlah apa yang kalian lakukan di dunia, lalu ambillah cahaya dari sana”. Pada saat itu tersingkaplah dinding yang berpintu di antara mereka yang di dalamnya terdapat rahmat Tuhan, sedangkan siksa Tuhan berda di luarnya.
Untuk kedua kalinya munafikin menyeru kaum Mukmin seraya berkata, ”Tidakkah kita dulu hidup bersama berdampingan di dunia?” Mukminin menjawab, ”Ya, tetapi kalian celakakan diri kalian sendiri, hati kalian dipenuhi oleh keraguan dan kekerasan, harapan dan khayalan yang terlalu berlebihan telah menipu kalian sehingga ketika perintah Tuhan datang, setan si penyesat menipumu, dan memalingkanmu dari perintah Tuhan. Sekarang tebusan apapun tidak akan diterima baik dari kalian atau dari orang-orang kafir yang lain, dan tempat kalian adalah neraka, dan ialah maulâmu.”[102]
Ketika Mukminin mulai mendekat ke surga, pintu-pintu pun terbuka, para malaikat rahmat datang untuk memimpin rombongan, dan dengan salam dan penuh hormat malaikat memberikan kabar gembira akan kebahagian mereka.[103] Di sisi lain, ketika orang-orang kafir dan munafik mulai sampai di neraka, pintu-pintu neraka pun mulai terbuka para malaikat azab dengan bengis dan kekerasan mengejek mereka, dan menjanjikan azab yang sangat pedih bagi mereka.[104]
Surga
Mukminin akan memasuki surga. Di dalamnya terdapat taman-taman yang luas seluas langit dan bumi,[105] dan dipenuhi oleh aneka macam tumbuh-tumbuhan dengan buah-buah yang sudah matang dan mudah dipetik serta mudah dijangkau.[106] Terdapat sungai-sungai dengan air jernihnya,[107] susu, dan madu serta minuman yang suci.[108] Di sana apa yang diinginkan penduduk surga,[109] bahkan apa yang diluar keinginan mereka pun telah tersaji.[110].
Para penduduk surga mengenakan pakaian sutra halus dan terhias dengan berbagai macam hiasan,[111]. Mereka duduk berhadap-hadapan, dan mereka bersandar di atas dipan-dipan yang empuk dengan bantal yang empuk,[112] mereka senantiasa memuji Tuhan,[113] mereka berbicara dan tidak mendengar omong kosong,[114] tidak merasakan dingin juga tidak kepanasan,[115] tidak tersiksa dan pula tidak lelah dan bosan,[116] tidak takut dan pula tidak susah,[117] dan hati-hati mereka telah tersucikan dari iri hati dan sifat-sifat tercela lainnya.[118]
Para pelayan nan elok rupawan berlalu lalang di sekitar mereka.[119] Mereka menuangkan cawan-cawan berisikan minuman-minuman surga yang rasanya tak bisa disifati lagi dan tak ada hal yang membahyakan di dalamnya (memiliki efek samping).[120] Mereka menyantap aneka buah, dan macam jenis burung,[121] dan mereka akan didampingi oleh istri-istri yang cantik dan suci.[122] Dan lebih dari itu, semua nikmat spiritual berupa keridhaan Allah SWT yang akan mereka dapatkan.[123] Berbagai anugerah dan kelembutan agung dari Tuhan mereka rasakan yang membuat mereka tenggelam dalam kebahagian puncak, kebahagian yang tak pernah dan tak akan terlintas dalam benak siapapun juga.[124]
Yang lebih penting lagi, kebahagiaan yang tak terhingga, dan nikmat-nikmat yang tak dapat disifati, serta rahmat dan kedekatan terhadap Tuhan ini akan terus berjalan selamanya,[125] dan tidak ada kata akhir di dalamnya.[126]
Neraka
Neraka adalah tempat orang-orang kafir dan munafik yang hati mereka tak pernah disinari oleh cahaya keimanan.[127] Kapasitas neraka sangatlah besar sekali sehingga ketika semua para pembangkang dan kaum durjana telah masuk semua ke dalamnya, ia masih meminta tambahan lagi, “Apakah ada tambahan lagi”. Begitulah ujar neraka.[128] Semua tempat di dalamnya dipenuhi oleh api dan siksaan.
Api menjulurkan lidahnya ke mana-mana. Bunyi dan suara teriakan dan hardikan, kebengisan dan kemarahan para penjaga neraka, menambah ketakutan.[129] Wajah-wajah mereka masam, penuh emosi, hitam, jelek, dan bengis,[130] sehingga para malaikat yang tinggal di sana tak terlihat lagi rasa sayang dan lemah lembut.[131]
Para penduduk neraka akan dibelenggu dengan rantai besi,[132] dan sekujur tubuhnya akan dijilat oleh api membara,[133] dan mereka sebagai kayu bakarnya.[134] Di sana ada suara dan bunyi yang terdengar kecuali rintihan, kegalauan, dan teriakan para penduduk neraka, serta hardikan penjaga neraka.[135]
Kepala mereka akan dituangi air mendidih yang akan mendidih dalam badanya,[136] dan kapanpun permintaan air akibat haus yang mencicik terdengar dari mereka, maka air panas dan kotor serta menjijikkan disajikan, dan dengan semangat mereka teguk.[137]
Makanan para penduduk neraka adalah pohon Zaqqûm, sebuah pohon yang tumbuh dari api dan menambah rasa panas dalam tubuh mereka.[138]
Pakaian mereka dari bahan hitam dan lengket yang akan sangat menyiksa dan merepotkan mereka.[139]
Teman duduk para penduduk neraka adalah para setan dan jin yang berbuat dosa, mereka berandai-andai supaya dapat jauh dari mereka.[140]
Para penduduk neraka saling melaknat dan mengejek satu sama lain.[141]
Mereka ketika meminta maaf pada Tuhan. Akan tetapi, langsung dibungkam dengan hardikan, ”Enyahlah kalian, dan diamlah”.[142] Kemudian mereka meminta bantuan para penjaga neraka untuk meringankan azab dan siksaan mereka, namun mereka pun berkata, ”Tidakkah Tuhan telah mengutus para nabi dan telah menyempurnakan hujjah-Nya atas kalian semua?”.[143]
Terkadang mereka ingin dimatikan kembali. Namun mereka mendengar jawaban, ”Kalian akan tinggal selamanya di neraka”.[144] Kematian mengepung mereka dari berbagai arah, tapi mereka tidak mati.[145] Dan ketika kulit mereka habis dan hangus, kulit mereka akan diganti dengan yang baru dan begitu seterusnya azab dan siksa tetap berlanjut dan lebih pedih dan menyakitkan. (QS. An-Nisâ`: 56)
Mereka menginginkan dari para penduduk surga untuk memberi mereka sedikit air dan makanan, namun para penduduk surga menjawab, ”Tuhan telah mengharamkan nikmat surga pada kalian”.[146]
Para penduduk surga bertanya pada mereka, ”Apa yang membuat kalian masuk pada jahannam?” Mereka menjawab, ”Kami tidak mendirikan shalat dan tidak pernah menyembah Tuhan. Ketika orang lemah datang meminta pertolongan, kami tidak menggubrisnya, dan kami berteman dan searah dengan para pembuat durjana, dan kami mendustakan hari kebangkitan”.[147]
Para penduduk neraka saling menyalahkan satu sama lain.[148] Orang yang tersesat mengatakan pada mereka yang menyesatkan, ”Kalianlah yang telah menyesatkan kami”. Mereka menjawab, ”Bukankah kalian dengan kemauan sendiri telah mengikuti kami”.[149]
Orang-orang lemah dan tertindas berkata pada orang-orang yang sombong, ”Bukankah kalian yang membuat kami jatuh dan tertimpa musibah yang besar ini?” Mereka menjawab, ”Bukankah kita memaksa kalian untuk mengikuti jalan yang lurus dan benar”.[150]
Akhirnya pada setan dikatakan, ”Kamulah yang membuat kami tersesat?” Ia menjawab, ”Tuhan telah menjajikan hal yang benar pada kalian, tapi kalian tak mau menerima, dan aku menjanjikan hal gombal dan bohong pada kalian, tapi kalian menguikutiku. Dengan demikian ejek dan makilah diri kalian sendiri, sekarang tiada satupun dari kalian yang dapat menolong orang lain”.[151]
Dan tiada hal lain yang bisa dinantikan dan dilakukan, selain menetap di neraka dengan “mencicipi” aneka ragam siksaan dan azab di dalamnya.[152] (Mengingat pembahsan ini kami jelaskan sangat ringkas, maka tidak perlu lagi kami bawakan ringkasan dari pembahasan tersebut).
Syafa’at
Berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan riwayat-riwayat dari para ma’shûm dapat dipahami bahwa jika manusia beriman meninggal dunia, kendatipun amal perbuatannya tidak begitu mendapatkan kerelaan dari Tuhan, namun mereka tidak akan disiksa selamanya di neraka, dan pada akhirnya mereka akan masuk ke dalam surga.
Tuhan akan mengampuni dosa-dosa kecil orang beriman dengan syarat ia meninggalkan dosa-dosa besar.[153] Begitu dosa-dosa besar mereka pun akan iampuni jika mereka betul-betul bertaubat kepada-Nya. Dan jika ia tidak bertaubat, segala kesusahan dan kesulitan yang dialaminya semasa hidup di dunia akan mengurangi siksaannya. Dan jika masih ada saja dosa yang dipikulnya, tibalah giliran syafaat yang membantunya, sebagaiman disabdakan oleh nabi SAWW, ”Syafaatku akan mencakup para pelaku dosa-dosa besar dari umatku”.[154]
Dari sini dapat kita pahami bahwa syafa’at merupakan harapan terakhir dan terbesar yang dimiliki oleh seorang Mukmin yang berbuat dosa. Akan tetapi, hal ini tidak boleh disalah tafsirkan, sehingga dengan berasuransikan syafaat dari Rasul, seseorang melakukan segala macam dosa. Karena bertambahnya dosa akan menghilangkan dan memadamkan cahaya iman yang ada di dada, dan akan mengantarkan manusia pada kesengsaraan abadi nan kekal.[155]
Definisi Syafa’at
Syafaat yang barmakna genap berasal dari kata Syafa’a. Dalam wacana keagamaan, syafaat berarti uluran tangan para wali dan kekasih Tuhan untuk pengampunan dosa-dosa Mukminin. seakan-akan mereka -dengan dosa yang dimiliki- tidak memiliki hak sama sekali untuk mendapatkan rahmat Tuhan. Namun dengan bantuan seorang syâfi’ (pemberi syafaat), mereka mendapatkan potensi atau layak diberi nikmat tersebut.
Penafian Syafa’at Invalid dan Penetapan Syafaat Valid
Keyakinan terhadap syafaat tidak akan dapat diterima jika mengkonsekuensikan kekurangan Allah SWT. Keyakinan inilah yang dianut musyrikin yang dengan tegas Al-Qur’an membantahnya seraya berkata, ”Selain Tuhan tiada pelindung dan pemberi syafaat”.[156]
Di sisi lain, Tuhan juga menetapkan syafaat selain dari-Nya. Itupun berkat izin dari-Nya. ”Tiada pemberi syafaat kecuali setelah mendapatkan izin dari-Nya”.[157] Berdasarkan Al-Qur’an, para pemberi syafaat adalah mereka yang memberikan kesaksian atas kebenaran dan hakikat, serta memiliki ilmu.[158]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar