Dalam karangan saya Seri Perbandingan Mazhab "Ahlus Sunnah Wal Jama'ah", bahagian Filsafat perkembangan hukum dalam Islam, penerbitan Yayasan "Baitul Mal", Jakarta 1969, sebenarnya sudah saya mulai membicarakan dasar-dasar pemikiran, yang melahirkan empat Mazhab Fiqh dari Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, dan dalam karangan saya, "Syiah Rasionalisme dalam Islam", yang terbit di Semarang, 1962, juga sudah saya singgung Sejarah lahirnya Mazhab "Al-Ja'fari, Mazhab Ahlil Bait", yang lebih tua umurnya dari pada aliran-aliran dalam Mazhab Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.
Dalam Ahlus Sunnah wal Jama'ah sudah banyak dibicarakan perbandingan ilmu fiqh dalam bermacam-macam mazhab, seperti "Bidayatul Mujtahid" karangan Ibn Rusyd, yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan baik oleh , Bulan Bintang", selanjutnya kitab "Bughyatul Mustarsyidin" dan "Kitab Al-Fiqh 'Alal Mazahibil Arba-'ah," karangan Al-Jaza'iri, yang selalu saya gunakan pada waktu saya memberikan pelajaran Ilmu Fiqh pada Perguruan-perguruan Tinggi.
Kemudian, tatkala saya menerima dari Baghdad, dan meminjam dari Perpustakaan "Islamic Research Institute", kepunyaan keluarga A.H. Shahab, Blora, Jakarta, terdapat beberapa buku, karangan seorang alim besar Syi'ah, Muhammad Jawad Al-Mughniyyah, yaitu pertama bernama "Al-Fiqh 'Alal Mazahibil Khamsah" (Bairut, 1967) dan "Al-Ahwalusy Syakhshiyyah 'alal Mazahibil Khamsah", yang didalamnya terdapat perbandingan hukum fiqh dan Mu'amalat dalam lima Mazhab.
Lalu timbullah pikiran saya, alangkah baiknya, jika dari semua buku yang tersebut di atas itu saya perbuat keringkasan untuk masyarakat Islam kita, agar mereka tahu perbedaannya antara satu sama lain aliran, meskipun masing-masing memegang mazhab yang disukainya.
Sayang saya harus menambah kitab, "Ilmu Fiqh Islam dalam Lima Mazhab" dengan sebuah sambungan, dimana nanti dikupas perbandingan kelima mazhab Islam itu, dengan persoalan-persoalan Mu'amalat, seperti mengenai perkawinan, perdagangan, dan sebagainya.
Mazhab mana yang saya pilih untuk kelima itu. Mazhab Zaydiyah, fiqhnya adalah fiqh mazhab Ahmad Ibn Hambali, Mazhab Salf tidak mempunyai kitab yang khusus berfiqh, mereka hanya mengenai "Fatwa" (lih. Ibn Taimiyah dan Tuan A. Hassan dari Persatuan Islam" Maka oleh karena itu saya ambillah sebagai mazhab yang kelima ialah "Isna'asyar Imamiyyah" atau "Al-Ja'fari, Mazhab Ahlil Bait", yang terdekat dengan amal kekeluargaan Nabi Muhammad s.a.w., sebagai yang dipuji oleh Syaikhul Azhar Syaltut, seperti yang pernah saya bentangkan.
Kita sudah sebutkan disana-sini, bahwa sejak tahun-tahun yang silam sudah berdiri di Mesir suatu badan "Darut Taqrib bayna! Mazahibil Islamiyah," dimana duduk tokoh-tokoh ulama besar dari golongan Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan Syi'ah, seperti Syeikh Mahmud Syaltut, dekan Universitas Al-Azhar, doctor Al-Bahy, Al-Qummi dan lain-lain.
Suatu badan yang mengadakan pembahasan mengenai persesuaian dan pertentangan mazhab-mazhab Islam, agar dapat dipersatukan guna melenyapkan perpecahan yang sampai sekarang terjadi diantara kaum Muslimin.
Majallahnya "Risalatul Islam" memuat tidak saja karangan-karangan yang mendalam tentang prinsip-perinsip berbagai mazhab, tetapi juga keputusan-keputusan sidang mengenai pembahasan-pembahasan kearah persatuan itu.
Hasilnya sangat baik, diantaranya tidak berapa lama sesudah badan ini berdiri di universitas Al-Azhar sudah diwajibkan sebagai mata pelajaran mempelajari ilmu fiqh Syi'ah Ja'fariyah, yang sebelumnya belum pernah diusahakan.
Dalam usaha ini tidak dapat dilupakan jasa seorang Syeichul Azhar Mahmud Syaltut, yang sejak tahun 1947 menjadi anggota dari badan Darut Taqrib itu. Begitu juga gurunya Syeich Abdulmajid Salim.
Ia mencari hubungan rapat dengan ulama-ulama Najef, Karbala, Iran dan Jabal Amil, dengan tulisan-tulisan yang berharga dan pikiran-pikiran persahabatan, guna mempelajarj lebih dalam fiqh Ja'fari dan mengajarkannya di Al-Azhar.
Hasil dari pada penyelidikan itu yang sangat menggemparkan dunia Islam sampai sekarang ini, ialah fatwanya yang membolehkan beribadat (yajuzut ta'abbud) dengan mazhab Ja'fari suatu keputusan yang belum pernah diberikan dan diucapkan oleh ulama-ulama empat mazhab Hanafi, Syafi'i, Maliki dan Hambali.
Baca lebih lanjut suatu uraian yang panjang lebar dalam majallah "Al-Irfan", suatu majallah resmi gerakan Syi'ah, juz ke VII, jilid. 51. Ramadhan 1383 H hal. 735 dan seterusnya.
Sepanjang sejarah jarang orang-orang dari Ahli Sunnah menyelidiki mazhab Syi'ah ini dari sumbernya, dari kitab-kitab yang ditulis oleh orang-orang Syi'ah sendiri dan melihat serta mempelajari dalam pergaulan dengan mereka.
Kecaman-kecaman terhadap Syi'ah yang terdapat dalam kitab-kitab pengarang Ahli Sunnah kebanyakan berasal dari ungkapan-ungkapan mereka sendiri yang sambung-menyambung dikupas dan dibicarakan, jarang yang mau mempelajari benar tidaknya sesuatu tuduhan dari kitab-kitab yang ditulis oleh ulama-ulama Syi'ah sendiri dan mencocokkan keterangan-keterangan itu dengan Qur'an dan Sunnah Rasul.
Berlainan sekali dengan sikap Mahmud Syaltut, yang mendasarkan fatwanya betul-betul dari pengenalannya yang benar dan keyakinannya yang sudah dibuktikan, ditambah dengan keikhlasannya sebagai seorang pemimpin Islam yang ingin mempersatukan kembali umat yang sudah pecah-belah itu hanya karena perbedaan perbedaan mazhab ibadat.
Fatwa Syeikh Mahmud Syaltut itu dikeluarkan atas pertanyaan yang dikemukakan kepadanya, bahwa orang Islam untuk melancarkan ibadat dan mu'amalatnya secara yang sah harus bertaqlid kepada salah satu mazhab empat yang masyhur, tidak termasuk mazhab Syi'ah Imamiyah dan Syi'ah Zaidiyah.
Orang bertanya, apakah pada pendapatnya benar dalam masalah taqlid itu disingkirkan mazhab Syi'ah Imamiyah Isna 'Asyariyah.
Maka lalu dijawabnya : "Bahwa Islam tidak mewajibkan kepada penganutnya untuk mengikuti salah satu mazhab yang tertentu.
Tetapi dapat kami katakan, bahwa seorang Muslim yang baik berhak bertaqlid kepada pokok-pokok pendirian sesuatu mazhab dari mazhab-mazhab yang diakui sah oleh umum, dan yang penetapan-hukum-hukumnya telah tercantum kepada mazhab semacam itu berhak pula berpindah dari satu mazhab kepada mazhab lama yang diakui sahnya, tidak ada kesukaran yang diwajibkan kepadanya berpegang teguh kepada satu mazhab saja.
Kemudian kami berfatwa, bahwa mazhab Ja'fariyah, yang terkenal sebagai salah satu mazhab Syi'ah Imamiyah Isna'asyariyah adalah mazhab yang diperbolehkan beribadat dengan mazhab itu pada syariat.
Sebagaimana dengan mazhab-mazhab yang lain dari pada Ahli Sunnah.
Maka hendaklah semua orang Islam mengetahui sungguh-sungguh pendirian ini, dan melepaskan dinnya dari pada nashabiyah berpegang dengan tidak ada hak kepada sesuatu mazhab yang tertentu.
Agama Tuhan Allah tidaklah disyanatkan menjalankannya dengan mengikuti mazhab atau menentukan sesuatu mazhab.
Semua mujtahid diterima pada sisi Allah, mereka yang tidak ahli dalam mengambil sesuatu keputusan atau berijtihad (an-nazar wal ijtihad) diperbolehkan bertaqlid kepada mujtahid itu dan beramal dengan hukum-hukum fiqh yang ditetapkannya, meskipun ada perbedaan-perbedaan yang dijumpainya mengenai ibadat dan mu'amalat" (hal. 736).
Fatwa ini diserahkan dengan resmi oleh Syeikh Mahmud Syaltut kepada Ustad Muhammad Taqyul Qummi, sekretaris umum dari Darut Taqrib baynal Mazahibil Islamiyah, dengan perintah agar fatwa membolehkan beribadat dengan mazhab Syi'ah Imamiyah ini disiarkan secara luas.
Dari segala karangan itu Syaltut memberikan pandangannya secara luas dan secara rationalistis.
Meskipun demikian, dari segala jasanya, saya anggap yang terbesar ialah ikhtiarnya memperdekatkan aliran Syi'ah dengan Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam suatu badan kerja sama "Darut Taqrib baynal Mazahibil Islamiyah" yang membuahkan masuknya fiqh Ja'-fariyah kedalam mata pelajaran yang diwajibkan pada Universitas "Al-Azhar" dan mengeluarkan fatwa yang membolehkan beribadat yajuzut ta'abbud) dengan fiqh Syi'ah itu, sehingga dengan demikian menghilangkan silang sengketa yang telah berabad-abad adanya antara Syi'ah dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Mudah-mudahan dengan do'a dan bantuan saudara dapat buku itu saya selesaikan dengan segera.
Saya mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada keluarga M. Asad dan Ahmad Shahab, terutama Habib Ali Al-Habsyi, yang memberikan sepatah kata penghargaan, yang dapat menghilangkan letih dan lelah saya dalam mempersembahkan amal saleh ini, kepada pegawai Percetakan "Islamic Research Institute dan teman-teman saya yang lain, diantaranya Ny. Sahrijah Supandi, yang banyak membantu dalam urusan ketikan, dikte dan koreksi.
Mudah-mudahan semua mendapat ganjaran dari Tuhan.
W a s s a 1 a m,
H. Aboebakar Atjeh
1
TARIKH TASYRI'
PENGERTIAN SYARI'AT ISLAM
( I )
Kebanyakan orang menggunakan Syari'at Islam itu untuk Fiqh Islam pada hal Syari'at Islam itu lebih luas artinya dari pada hanya ilmu Fiqh, pengertian terakhir ini sudah dikenal orang dalam bahasa Arab jauh lebih dahulu, sedang kalimat Fiqh waktu itu belum dikenal dalam bahasa Arab, sepanjang pengertian yang kita kenal sekarang ini, yaitu sesudah lahir Agama Islam.
Ibn Khaldun menerangkan dalam kitabnya yang terkenal. "Muqaddimah"-nya sebagai berikut :
"...bahwa sahabat-sahabat Nabi semuanya bukanlah ahli fatwa, dan bukanlah seluruh agama itu diambil dari mereka, tetapi sahabat-sahabat itu adalah pendukung Al-Qur'an, yang sangat paham dengan ayat-ayat nasikh dan mansukh, mutasyabihah dan muhakkamah, dan seluruh dalil-dalil dan alasan yang mereka dapat dari Nabi kita Muhammad s.a.w., atau dari orang yang mendengar keterangan-keterangan itu.
Mereka dengar bacaannya dan diikuti, artinya mereka yang membaca Al-Qur'an itu, karena orang Arab pada waktu itu adalah ummiyah.
Demikianlah keadaanya dalam masa hari-hari kelahiran Islam.
Tetapi daerah Islam itu makin lama makin bertambah luas.
Orang Arab itu mulai belajar membaca dan menulis, terutama dengan menggunakan Al-Qur'an, yang didorong oleh perintah membaca dan keinginan mendapat pahala dari pembacaan Qur'an itu.
Kemajuan bertambah dan pada akhirnya sampailah mereka kepada kesanggupan menetapkan hukum, lalu terjadilah semacam ilmu-ilmu hukum dalam Islam, yang dinamakan Fiqh, peraturan beribadat, muamalat, munakahat, hukum warisan, hukum perang dan damai, serta lain-lain.
Juga pengetahuan yang mereka peroleh itu akhirnya tumbuh mengenai ekonomi, sosial, dan ilmu-ilmu yang lain.
Maka sejak itu perlahan-perlahan tidak digunakan lagi nama pembaca atau pendukung Al-Qur'an, tetapi diganti dengan ahli dan ulama fiqh (Muqaddimah Ibn Khaldun, hal. 446, eet. Bairut). Dalam kitab "Al-Ibadat Minal Qur'an was Sunnah" (Cairo, 1967) Dr. Ahmad Al-Ghanburi menerangkan asal perkataan Syari'ah dalam bahasa Arab, yaitu mata air, yang diminum oleh manusia dan binatang.
Kemudian perkataan ini digunakan kepada segala sesuatu yang diturunkan Allah kepada hambanya mengenai bermacam-macam hukum (hal. 3), Maka lalu orang menggunakan kata syari'ah untuk membuat sesuatu hukum, sebagaimana firman Allah s.w.t. : "Bagi tiap-tiap bangsamu kami ciptakan hukum (syara'atan) dan cara-caranya" (Al-Ma'idah, 48), kata Allah : "Kemudian kami ciptakan menurut hukum-hukum itu (syari'ah), yang harus kamu ikuti "(Al-Ja'iyah, 18) dan pada tempat lain Tuhan berkata: "Iya menciptakan (syar'a) bagimu agama, sebagaimana yang pernah diwasiatkan kepada Nuh " (Asy-syura, 12).
Jadi nyatalah arti istilah daripada syari'at itu yaitu apa yang diturunkan Allah bagi hambanya dari pada hukum melalui lidah Rasul-Rasulnya yang mulia, untuk mengeluarkan manusia dari suasana gelap kepada terang bercahaya dengan izinnya, dan memberi petunjuk kepada mereka akan jalan yang lurus.
Dimaksudkan dengan agama itu adalah cara hidup umum, yang dinamakan din, yang kedalamnya termasuk millah, yaitu agama atau ibadat.
Syari'at Islam itu diwahyukan Allah kepada hambanya berupa hukum-hukum dan peraturan, melalui lidah Junjungan kita Muhammad s.a.w., baik dia merupakan Qur'an, atau merupakan Sunnah perjalanan Rasulullah, mengenai ucapannya, perbuatannya atau penetapannya.
Menurut kebiasaan syari'at Islam itu disebut dalam bahasa sehari-hari Fiqh Islam.
PEMBAHAGIAN SYARI'AT ISLAM
(II)
Peraturan-peraturan atau hukum yang diturunkan Allah untuk hambanya kepada Nabi Muhammad dapat kita bahagi atas tiga bahagian.
Bahagian Pertama
Bahagian yang pertama ini ialah hukum-hukum yang berhubungan dengan keyakinan-keyakinan pokok dalam Islam, yaitu yang harus diimani dengan sesungguh-sungguhnya, tidak boleh bercampur sakwasangka, seperti hukum-hukum yang bertali dengan keyakinan terhadap Zat Allah dan Sifat-nya, Imam kepada Allah, Iman kepada Rasulnya dan Malaikatnya, dan Iman kepada kitab-kitab suci yang diturunkan daripada Allah, Iman kepada hari-Akhirat, dan apa yang akan diperoleh pada hari itu dari pada nikmat dan azab, kemudian Iman dengan qadar, baik dan buruknya berasal dari Allah.
Bahagian ini dinamakan Ilmul 'Aqidah, atau Ilmul Tauhi'd, atau Ilmul Kalam.
Bahagian Kedua
Dalam bahagian ini termasuk peraturan-peraturan mengenai pendidikan jiwa, membersihkan dan menyempurnakannya, seperti peraturan-peraturan mengamalkan sifat-sifat keutamaan, seperti jujur dan benar, memenuhi janji dan dapat dipercayai, serta menjauhkan diri dari sifat-sifat yang hina, seperti berdusta dan berhianat.
Ilmu-ilmu yang bertali dengan perkara pembentukan jiwa ini dinamai Ilmul Akhlaq.
Bahagian Ketiga
Kedalam bahagian ini termasuk hukum-hukum mengenai pengaturan antara manusia dengan manusia, mengenai hubungan antara manusia dan Tuhannya, yaitu yang dinamakan ibadat, yang tidak syah kecuali dengan niat, seperti mengenai Shalat, Zakat, Siam dan Haji.
Dan sistemnya yang mengatur hubungan antara manusia sesame manusia, serta segala apa yang terjadi antara manusia itu, berupa amal dan muamalat, dinamakan ilmu Fiqh, yang sama dengan arti qanun peraturan dalam istilah ahli-ahli hadis.
MENGAPA HUKUM-HUKUM ISLAM BERBEDA?
(III)
Prof. Dr. Sobhi Mahmassani dalam kitabnya "Falsafatut Tasyri' fil Islam" (Bairut. 1962), mengatakan sebab-sebab adanya perbedaan paham dalam menetapkan hukum-hukum Islam furu' sebagai berikut:
"Kenyataan dalam sejarah, bahwa pandangan hidup masyarakat itu berubah-rubah dengan berubah zaman dan tempatnya.
Dan oleh karena syari'at dan hukum Islam merupakan gambaran dari pada masyarakat-masyarakat kaum muslimin itu, tak dapat tidak ia berbekas juga dalam kehidupan mereka.
Pengaruhnya ternyata dalam perbedaan paham dan penafsiran tentang Syari'at Islam dan memahaminya karena berbeda masa dan Negara-negara, sehingga kita lihat umat-umat itu berbeda coraknya, karena berbeda adat dan kebiasaannya, lebih lanjut berbeda cita-citanya dan semangatnya.
Atas dasar ini terjadilah perbedaan paham. terutama dalam menafsirkan dan memahami ayat-ayat Al-Qur'an serta bermacam-macam Sunnah, untuk menetapkan hukum furu'.
Perbedaan paham ini dalam Syari'at Islam memang banyak, yang kemudian melahirkan Mazhab-Mazhab, Mazhab 'Iyatikad dalam ilmu kalam, Mazhab Akhlaq dan Adab, dan Mazhab Fiqh 'serta Mazhab dalam Tasawwuf, yang dinamakan Tharikat.
Meskipun demikian ada perdekatan antara satu sama lain disebabkan dasarnya bersamaan.
Ibn Khaldun, dalam muqaddimahnya, cetakan Mesir pada beberapa halaman, menjelaskan, bahwa pergaulan manusia itu paling pokok.
Ahli-ahli filsafat tidak dapat tidak menganggap penting memperhatikan masyarakat, yang kadang-kadang sudah campur aduk antara penduduk kota dan pendudu desa, sehingga berlain-lain keperluannya.
Manusia tidak mungkin hidup kecuali dengan bermasyarakat dan tolong-menolong antara satu sama lain dalam mencari makan dan barang-barang yang dibutuhkan.
Mereka terpaksa bekerjasama, Muamalat, dan mencari apa keperluannya, kadang-kadang sampai kepada tabiat hewan, berbuat zalim dan bermusuh-musuhan antara satu sama lain, bahkan sampai kepada bunuh-membunuh.
Maka tidak mungkin mereka akan hidup terus kecuali diadakan peraturan dan hukum bagi mereka untuk menjaga keadilan dan ketenteraman, hukum-hukum yang telah berpilin dengan adat sukunya.
Dengan agama dan keyakinannya, dengan adat dan akhlaknya, yang oleh Islam diberi kemerdekaan, asal tidak membawa kemusyri'kan.
Maka dengan demikian terjadilah perbedaan sedikit-sedikit dalam hukum furu', karena dalam penetapan hukum itu diperhatikan masa dan musim. keadaan alam dan tempat, adat kebiasaan dan lain-lain.
Apakah hukum usul yang sudah ada dapat diubah kalau perlu untuk keperluan umat bermacam-macam, sebagai tersebut di atas ?
Ibn Khaldun berkata : "Bahwa keadaan alam, umat, adat istiadatnya, bermacam-macam keyakinannya, tidak tetap dan kekal, tetapi berubah-rubah menurut hari dan zamannya, dan berpindah keadaannya dari suatu corak kepada corak yang lain".
Kalau bertentangan dengan hukum pokok dalam Islam, apakah dapat diubah (taghyirul ahkam) ?
Oleh karena masyarakat itu pada hakikatnya berubah, karena berubahnya kemaslahatan manusia, dan karena kemaslahatan manusia itu adalah dasar tiap-tiap syari'at agama, adalah masuk diakal bahwa dapat dilakukan perubahan hukum dengan adanya perubahan zaman.
Ibnul Qayyim tepat sekali memberikan keputusannya, bahwa perubahan fatwa dan perbedaan pendapat dapat dilakukan karena perubahan masa, tempat, hal-ihwal, dan adat-istiadat.
Ia mengatakan seterusnya, bahwa tindakan ini nyata, dan tidak dikerjakan orang karena mereka tidak paham tentang ini, adalah kesalahan besar dalam Syari'at lalu mewajibkan kesukaran-kesukaran dan memberatkan sesuatu yang tidak ada dasarnya, karena tidak mengetahui bahwa syari'at (Islam) yang gilang-gemilang itu, sudah sampai kepada puncaknya dalam memberikan sesuatu hukum sesuai dengan kemaslahatan umat (melalui Falsafatut Tasyri', hal. 151-153) Mahmassani mengambil keputusan selanjutnya mengenai perubahan hukum dan perbedaan ïhtihad serta perubahan nash, berkata demikian:
"Pokok-pokok yang kami sebutkan diatas, (mengenai perubahan dan sebagainya.) terdapat dalam sejarah agama-agama yang lama dan agama-agama yang baru, dan didalam peraturan-peraturan zaman sekarang berjalan dengan tidak dapat dibendung.
Apabila ada suatu nash, maka nash itu harus diubah dengan nash yang lain, sedapat-dapatnya yang derajatnya setingkat, misalnya ayat Qur'an dengan ayat Qur'an, Sunnah dengan Sunnah".
Katanya pula : "Adapun dalam kalangan orang Islam, ahli Fiqh dan Mujitahid kebanyakannya menerima qa'idah perubahan hukum (taghyirul ahkam), tetapi mereka berbeda paham dalam membolehkan perubahan ini, yaitu apabila adalah sesuatu perbuatan mempunyai nash yang jelas dari Qur'an dan Sunnah, sukarlah dalam hal yang demikian itu kembali kepada sifat syari'at Islam dan kepada nash yang suci.
Maka apabila adalah nash itu untuk perkara agama dan ibadat hal itu tetap tidak boleh diubah, selama adanya bumi dan langit' karena usuluddin dan qa'idah tauhid dan iman adalah hakikat kebenaran yang satu pada ajali dan abadi, wajib dilaksanakan dan dipegang nasn-nya. Karena agama itu wajib bagi tiap-tiap yang hidup dan anak beranaknya sampai had kiamat, diseluruh permukaan bumi' maka tidaklah dapat perubahan hukum dilakukan, karena perubahan zaman dan tempat, tidak pula karena berubah keadaan.
Apa yang tetap wajib tetap demikian pada tiap-tiap tempat pada tiap-tiap masa dan pada tiap-tiap keadaan tetapi apabila nash itu mengenai urusan muamalat duniawi, maka pokoknya dalam perubahan itu melihat kepada maksudnya dan kepada sebab-sebabnya ada hukum untuk itu demikian semua ulama fiqh setuju.
Hanya mereka berbeda paham dalam mengubah sesuatu hukum yang telah tetap dan ditetapkan dengan nash-nya.
Pendapat yang berlaku dalam kalangan ulama fiqh adalah bahwa tidak diterima sesuatu perubahan yang ada nash dari Qur'an dan Sunnah tidak dibolehkan mengubahnya dengan sebab berubah keadaan.
Bahkan diharamkan berfatwa dengan sesuatu yang menyalahi nash, dengan membawa perubahan 'uruf, memudahkan yang sukar dan meringankan yang berat pada masalah-masalah yang tidak ada Demikianlah yang terakhir ini pendapat Imam Abu Hanifah sahabatnya Muhammad, Imam Syafi'i, Daud Zahili.
Tetapi Umar bin Hatab dalam tindakannya banyak sekali mengadakan perubahan hukum dan nash, misalnya dalam perkara pembahagian zakat pada mualaf, dalam perkara talaq, dalam perkara menjual budak, dalam perkara potong tangan, dalam perkara zina, dalam perkara ta'zir dan lain-lain (lihat Falsafatul Tasyri' fil islam, halaman 149-164).
Dengan demikian terjadilah banyak mazhab-mazhab yang berlain-lainan pahamnya dalam menetapkan hukum Islam.
PENGERTIAN FIQH ISLAM
(IV)
Menurut Bahasa Arab perkataan Fiqh itu berarti ilmu, kecerdasan dalam memahami sesuatu perkara secara mutlak.
Dalam Al-Qur'an kita bertemu sebuah ayat, yang menerangkan arti Fiqh semacam ini :
"Mengapakah golongan itu hampir-hampir tidak dapat memahami pembicaraan orang?" (An-Nisa, 78).
Dan berkata Rasulullah s.a.w. :
"Barang siapa dikehendaki Allah mengurniai kebajikan, niscaya ia dikurniai memahami (yufaqqihu) persoalan agama".
Dengan demikian terjadilah bentuk perkataan faqih (kata banyak : fuqaha'), yaitu ahli fiqh, ulama yang mengerti hukum-hukum sara' yang mesti dilakukan oleh orang Islam yang mukallaf.
Fiqh Islam itu berarti Ilmu mengenai hukum-hukum Allah tentang perbuatan seorang mukallaf, mengenai wajib atau haram dan sebagainya.
Dari pada hukum-hukum Islam, agar ia dapat membedakan antara pekerjaan yang wajib dikerjakan dan pekerjaan yang tidak boleh dikerjakan, pekerjaan yang harus diperbuatnya dan ditinggalkannya.
Perkataan Fiqh itu berarti hukum-hukum, yang dapat dipahami dari Qur'an dan Sunnah dengan ihtihad, terbagi dua, ada yang menghendaki kepada pandangan dan ada yang menghendaki kepada perbandingan alasan-alasan hukum.
Ibn Khaldun berkata dalam Muqqaddimah-nya :
"Fiqh itu ialah mengenai hukum-hukum Allah Ta'ala mengenai pekerjaan sesaorang yang dianggap mukallaf, mengenai wajib, haram, sunat, makruh dan dibolehkan, semua itu dipetik dari Qur'an dan Sunnah, untuk dipermudah menjadi Fiqh.
Penetapan-penetapan itu berasal daripada dalil-dalil Qur'an dan Sunnah, yang jika kurang jelas lalu diperjelaskan dengan fiqh, yang tidak lain daripada mengeluarkan hukum-hukum dari pada dalil dan nash tersebut ".
Orang-orang Salaf mengeluarkan hukum-hukum Islam daripada dalil-dalil Qur'an dan Sunnah, meskipun ada perbedaan paham antara mereka satu sama lain, Sumber dalil yang penting itu dinamakan nash, sepakat semua mereka, meskipun dalam menarik pengertian hukum dari nash itu mereka berlain-lainan cara berpikirnya.
ISI ILMU FIQH
( V )
Ilmu Fiqh Islam itu mengandung hukum-hukum dan peraturan-peraturan sebagai berikut.
Pertama
Pertama yang menjadi isinya ialah hukum-hukum, yang dapat mendekatkan manusia itu kepada Tuhannya, dan dapat menanam kedalam hatinya kebesaran Tuhan, yang dapat mengawasinya dan dapat memimpin kerohaniannya, seperti uraian tentang salat, tentang zakat, tentang puasa, tentang haji, yang biasanya dinamakan ibadat.
Dengan sungguh-sungguh melakukan riadhah ibadat ini, manusia itu dapat mencapai kebahagiaan dunia akhirat. "Dan barang siapa mentaati Allah dan Rasulnya, ia akan jaya sejaya-jayanya".(Al-Qur'an).
Kedua
Kedua kandungan ilmu Fiqh itu ialah hukum-hukum yang berhubungan dengan keturunan manusia, hukum perkawinan,- apa yang wajib mengenai mahar, apa yang diatur mengenai nafakah, hak-hak dan kewajiban suami istri.
Selain dari pada itu juga cara menyelesaikan perselisihan, cara menjatuhkan Talaq, cara fasakh, kemudian apa yang bersangkut-paut dengan 'idah, dengan urusan pemeliharaan anak, penyusuan anak, hak-hak anak, pembahagian pusaka, mengenai wasiat, yang semua itu dinamakan ahwal siyah dalam kalangan ahli hadis.
Karena hukum-hukum ini masuk dalam hukum-hukum muamalat, yang diatur oleh mujitahid.
Semua hukum ini termasuk fiqh.
Ketiga
Ketiga juga termasuk kedalam ilmu fiqh pembicaraan tentang hukum-hukum yang ada sangkut- pautnya dengan harta benda dan hak milik, perjanjian dan kerja sama antara manusia satu sama lain, yang bersangkut paut dengan jual beli, sewa menyewa, gadai menggadai, dagang bersama dan lain-lain, yang termasuk kedalam urusan harta benda antara peribadi dan kekeluargaan, kewalian, yang biasa dinamakan juga mu'amalat.
Keempat
Dalam rombongan ini termasuk pembicaraan hukum-hukum pidana, dan akibat-akibatnya dari pada hukum itu mengenai had dan penahanan penjara.
Kelima
Kelima hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang mengenai peradilan, mengenai tugas-tugas qadhi, pengaduan dan penyelesaiannya, tuduhan dan cara menyelesaikannya, dan lain-lain. yang dapat menyelamatkan hak-hak manusia, yang biasa dinamakan murafa'at.
Keenam
Termasuk juga dalam Ilmu Fiqh peraturan-peraturan yang bertali dengan peperangan antara suatu bangsa dengan bangsa yang lain, antara satu suku dengan suku yang lain, dan peraturan-peraturan damai, begitu juga perjanjian-perjanjian, lebih lanjut cara mengatur hubungan umat Islam dengan umat yang lain, untuk mencegah peperangan dan permusuhan.
Dengan demikian kita lihat bahwa Fiqh Islam itu mengandung bermacam-macam hal dan peraturan untuk mengatur hidup manusia, membantu hukum-hukum pemerintah, mengenai administrasi, perdagangan, politik, dan peradaban.
Islam itu bukanlah hanya memberikan keyakinan agama saja, tetapi mengurus juga kayakinan dan syari'at, agama dan kerajaan, yang memperbaikinya semua itu dan berlaku tiap zaman dan tempat.
Dan barang siapa yang mengikuti Fiqh yang berdasarkan al-Qur'an dan Sunnah, pasti ia mendapati bahwa bagi tiap-tiap macam (iqh itu ada ayat-ayat Qur'an yang merupakan dasar pokok dalam mengaturnya, begitu juga mengenai ibadat umum tidak kurang dari pada seratus empat puluh ayat sumbernya.
Mengenai peraturan keturunan atau ahwal syaksiyah, tidak kurang dari tujuh puluh ayat, mengenai mu'amalat tujuh puluh ayat, mengenai hukum pidana tiga puluh ayat, mengenai pengadilan dua puluh ayat, dan didapati juga ayat-ayat yang berhubungan dengan politik antara kerajaan-kerajaan Islam dan antara kerajaan Islam dengan bukan Islam.
Dan bagi tiap-tiap macam perkara yang disebutkan itu ada penjelasan yang lebih luas dalam hadis-hadis RasuluIIah, yang sebahagian menguatkan apa yang tersebut dalam Al-Qur'an, dan sebahagian menguraikan lebih jauh, atau menjelaskan jika dalam Qur'an tidak tersebut luas.
Maka adalah hadis itu merupakan komentar dan tafsir bagi nash-nash yang disebutkan dalam Qur'an yang suci mengenai seluruh keperluan dan hajat hidup bagi orang Islam.
HUKUM SYARA'
(VI)
Ada dua macam hukum dalam Islam, yang di Indonesia masih dicampur adukkan pengertiannya.
Pertama bernama hukum Syara
Pertama bernama hukum Syara yaitu hukum yang didasarkan kepada firman Allah, ditujukan kepada manusia, untuk dikerjakan, dipilih atau ditetapkan.
Contoh yang pertama
Contoh yang pertama tentang hukum ini terdapat misalnya dalam contoh firman Allah : "Dirikanlah Sembahyang dan keluarkanlah Zakat" (Al- Muzammil, 20), merupakan perintah mesti dikerjakan, oleh karena itu menunaikan Sembahyang dan mengeluarkan Zakat wajib hukumnya.
Begitu juga, mengenai larangan Allah yang ditujukan kepada umum sebagai perintah, seperti : "Jangan kamu dekati (jangan kamu kerjakan) zina" (Al-Isra', 32), yang berisi perintah meninggalkan perbuatan zina itu, sekaligus mengharamkan perbuatan itu.
Contoh yang kedua
Contoh yang kedua ialah boleh memilih untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan, seperti firman Allah : "Apabila kamu sudah tahallul (melepaskan diri dari pada kewajiban ihram waktu mengerjakan haji), maka boleh kamu berburu" (Al-Ma'idhah 2), menunjukkan kepada kita niat orang berburu, yang boleh ia pilih, mengerjakan atau meninggalkannya.
Macam hukum syara' ketiga
Macam hukum syara' ketiga, ialah menetapkan dari sebab-sebab sesuatu menjadi perintah wajib atau larangan wajib, yaitu sesuatu keterangan dari Qur'an yang dijadikan sebab bagi sesuatu hukum, seperti firman Allah : "(Adapun hukum) seorang pria dan seorang wanita yang mencuri, potonglah kedua tangannya" (Al-Ma'idah, 38), menunjukkan bagi kita, bahwa mencuri itu menyebabkan lahirnya hukum potong tangan. Hal ini menunjukkan perintah.
Tetapi ada juga hukum penetapan atau wadha' itu berarti melarang, seperti Sabda Rasulullah : "Tidak diterima Allah Sembahyang orang yang tidak dalam keadaan sudah bersuci," yang menunjukkan kepada kita, bahwa bersuci itu merupakan syarat bagi Sembahyang.
Contoh yang berikut ialah hadis Rasulullah: "Tidak dapat mewarisi pembunuh itu sesuatu warisanpun", yang menunjukkan kepada kita, bahwa pembunuhan itu menolak orang yang membunuh menerima warisan dari pada orang yang dibunuhnya.
Dengan contoh-contoh itu ternyata bagi kita, bahwa hukum syara' itu, yang biasa di Indonesia dinamakan "hukum Islam" terbagi atas dua bahagian.
Pertama hukum taklifi, yaitu hukum yang diperintahkan dalam Islam mengerjakannya, atau meninggalkannya, atau memilih diantara keduanya.
Kedua Hukum Wadh'i, yang dijadikan sebab, atau syarat bagi hukum yang harus dikerjakan atau harus ditinggalkan.
Hukum taklifi ada dua macam, pertama harus dikerjakan dengan tidak ada kecuali, seperti Sembahyang orang yang bermukim, dinamakan azimah, kedua yang boleh berubah daripada hukum asli, karena ada uzur, seperti Sembahyang seorang yang sedang musafir, dinamakan rukhsah.
Uraian tentang hukum Syar'i dan Hukum Wadh'i ini terdapat lebih luas dibicarakan dalam pendahuluan kitab "Al-Mu'amalat fisy syari'atil Islamiyah", karangan Syeikh Ali Al-Khafis, dan dalam kitab "Al-Fiqhul Islami", karangan Dr. Muhammad Yusuf Musa, dan kitab, "Al-Ibadat Minal Qur'an was Sunnah", karangan Dr. Ahmad Al-Ghanduri.
CORAK HUKUM ISLAM
(VII)
Hukum Islam asli, yang belum berubah dengan salah satu uzur yang lain, diberi bertingkat, sebagai berikut.
Wajib
Wajib yaitu perintah yang harus dikerjakan, dengan jaminan berhak menerima pahala. bagi yang mengerjakannya, dan 1 akan menerima dosa bagi yang meninggalkannya.
Misalnya puasa bulan Ramadhan itu wajib, karena kalau dikerjakan dapat pahala dan kalau ditinggalkan berdosa, atas perintah Tuhan : "Wahai sekalian mereka yang beriman ! Diwajibkan kepadamu puasa, sebagaimana diwajibkan kepada umat-umat sebelum kamu." (Al-Qur'an).
Haram
Haram, yaitu segala pekerjaan yang diperintahkan
meninggalkannya,dan kalau ditinggalkan dapat pahala serta kalau
dikerjakan berdosa, seperti berzina, makan bangkai, darah dan daging
babi.
Mandauw
Mandauw, yang berbuat dapat pahala dan yang
meninggalkannyatidak disiksa. Perkataan lain untuk tingkat ini ialah
Sunat, dan mushab.
Makruh
Makruh. Segala pekerjaan, dan ibadat, yang kalau
dikerjakantidak mendapat siksaan, tetapi kurang baik, dan kalau
ditinggalkanmendapat pahala, seperti melarang sembahyang ditengah jalan.
Mubah
Mubah, Segala pekerjaan yang boleh dipilih, untuk dikerjakannyaatau ditinggalkannya, tidak ada pahala kalau dikerjakan dan juga tidakada dosa kalau ditinggalkan, seperti firman Allah : "Makanlah kamudan minumlah !" (Al-Qur'an).
Inilah yang diminta dalam agama Islam kepada penganutnya yangsudah mukallaf untuk melakukan perintah itu, mengerjakannya ataumeninggalkannya sesuai dengan perintah Tuhan dan Rasul-nya.
Apabilaseorang Islam mengerjakan dengan baik segala rukun dan syaratnya,agama menganggap perbuatan itu syak. Dan kalau tidak dikerjakanmenurut rukun dan syaratnya, maka Islam menganggap tidaksyah.
Adapun yang dinamakan syah, segala perbuatan yang dilakukanmenurut perintah Allah dan Rasul-nya sepanjang sara'.
Apabilaseorang mukallaf mengerjakan sembahyang sempurna rukun dan syarat-nya, yang wajib, maka amalnya itu diterima dan kewajibannya sudah dianggap sudah dilakukannya dan sak atau syahi.
Yang dianggap tidak syah, yaitu sesuatu perbuatan atau ibadah tidak dikerjakan menurut dasar agama daripada rukun dan syaratnya, seperti sembahyang dengan tidak ada ruku', atau sembahyang tidak dalam waktunya, atau sembahyang tidak dengan wudu', maka tidaklah syah ibadatnya itu.
PERBEDAAN ANTARA SYARI'AT DAN FIQH
(VIII)
Adapun yang dinamakan Syari'at Islam atau Hukum Islam ialah pokok-pokok umum dan peraturan-peraturan keseluruhan hokum yang didasarkan kepada Qur'an dan Sunnah Rasul-nya.
Pandangannya mudah dan tidak sukar, sebagaimana firman Allah : "Allah menghendaki untukmu bermudah-mudah, dan tidak menghendaki untukmu bersukar-sukar" (Al-Baqarah, 140).
Untuk keterangan ayat-ayat Qur'an itu digunakan Sunnah Nabi, yang mengulas pandangan keseluruhan, dan pokok-pokok umum yang dijadikan dasar peraturan mu'amalat.
Seluruh pandangan pokok hukum dari Qur'an dan Sunnah itu tetap berlaku bagi tiap masa dan tempat, tidak menentukan untuk keturunan-keturunan khusus, tetapi merupakan agama untuk semua keturunan, semua masyarakat, semua kerajaan atau pemerintahan, yaitu Agama Umum bagi seluruh Alam.
Naskh Syari'at yang dipetik dengan jelas dari kedua sumber itu tidak dapat diubah untuk selama-lamanya.
Adapun Fiqh Islam, yaitu hukum-hukum perincian, yang ditetapkan oleh ulama-ulama Islam ahli Fiqh, dari Qur'an dan Sunnah Rasul-nya, ditambah dengan ijtihad menurut fikirannya, baik diciptakan bersama-sama atau sendiri-sendiri, yang karena penetapanpenetapan itu menyebabkan banyak perbedaan pendapat.
Sebab-sebab yang membuat ada perbedaan pendapat dalam penetapan hukum-hukum itu, ialah perbedaan paham ahli fiqh baik mengenai pendapat atau pembawaannya, perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam memahami bahasa, perbedaan paham ahli fiqh dalam menguatkan dan dalam menolak sesuatu masalah, dan hal-hal yang bergantung kepada keperibadian mujitahid, serta kefanatikan mazhab-nya.
Hal ini kadang-kadang membawa keputusan-keputusan mereka keluar dari hukum-hukum dan peraturan keseluruhan, yang diletakkan oleh Syari'at Islam dalam Qur'an dan Sunnah Nabi.
Maka dengan demikian kita dapati banyak pendapatan yang berbeda-beda dalam fiqh ini menurut Mazhab-nya masing-masing, seperti dalam Mazhab Syalafiyah, Mazhab Ahmad bin Hanbal, Abu Hanifah atau Hanafi, Mazhab Syafi'i, Mazhab Daud Az-Zahiri Mazhab Syi'ah, Mazhab Sufi, dan lain-lain yang kadang-kadang lempar-lemparkan serangan antara satu sama lain dan ejek-mengejek, sehingga umat Islam, walaupun tidak berpecah belah, tetapi menjadi berbondongbondong, yang masing-masing mempertahankan mazhab-nya.
Perbedaan paham ini terkadang-kadang demikian besarnya, sehingga penetapan hukum-hukum itu keluar dari Usuluddin, sumber-sumber pokok dan keyakinan dalam Agama Islam.
Pada salah satu kitab saya, saya jelaskan, bahwa keinsyafan umat Islam dalam abad ke-20 ini telah demikian besar, sehingga kebanyakan dari mereka ingin mempersatukan kembali mazhab-mazhab itu.
Lalu didirikanlah di Mesir suatu badan yang dinamakan "Darut Taqrib bainal Mazahibil Islamiyah", dimana duduk tokoh-tokoh ulama besar dari golongan Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan Syi'ah, seperti Syeikh Mahmud Syaltut, dekan Universitas Al-Azhar, Dr. Al-Baby dan Al- Qummi dan lain-lain suatu badan yang mengadakan pembahasan mengenai persesuaian pertentangan mazhab-mazhab Islam, agar dapat dipersatukan guna melenyapkan perpecahan yang sampai sekarang terjadi diantara kaum Muslimin.
Majallahnya "Risalatul Hlam" memuat tidak saja karangan yang mendalam tentang prinsip-prinsip berbagai mazhab, tetapi juga keputusan-keputusan sidang mengenai pembahasan-pembahasan kearah persatuan itu.
Hasilnya sangat baik diantaranya tidak berapa lama sesudah badan ini berdiri di Universitas Azhar sudah diwajibkan sebagai mata pelajaran mempelajari ilmu fiqh Syi'ah Ja'fariyah, yang sebelumnya belum pernah diusahakan.
Dalam usaha ini tidak dapat dilupakan jasa seorang Syeikhul Azhar Mahmud Syaltut, yang sejak tahun 1947 menjadi anggota badan Darut Taqrib itu.
Begitu juga gurunya Syeikh Abdulmajid Salim. Ia mencari hubungan rapat dengan ulama-ulama Nejef, Karbala, Iran dan Jabal Amil, dengan tulisan-tulisan berharga dan pikiran-pikiran persahabatan, guna mempelajari lebih dalam fiqh Al-Ja'fari dan mengajarkannya di Al-Azhar.
Hasil daripada penyelidikan itu yang sangat menggemparkan dunia Islam sampai sekarang ini, ialah fatwanya yang membolehkan beribadat (jadjuzat ta' abbud) dengan mazhab Al-Jafa'ri, suatu keputusan yang belum pernah diberikan dan di ucapkan oleh ulama-ulama empat mazhab Hanafi, Syafi'i, Maliki dan Hambali.
Baca lebih lanjut suatu uraian yang panjang lebar dalam majallah "Al-Irfan", suatu majalah resmi gerakan Syi'ah juz ke VII, jilid 51, Ramadhan 1383 H , hal. 735 dan seterusnya.
Imam Muhammad Abduh pernah mengecam pembicaraan Fiqh yang berlarut-larut dan sukar memahaminya.
Katanya, bahwa ia pernah membaca lebih dari dua puluh buah syarah (komentar), untuk memahami cara berfikir ulama-ulama fiqh terakhir tentang tayammum, didapatinya semua pembicaraan itu sangat mendalam dan berliku-liku, sedang nash Qur'an demikian jelas pengertiannya, sehingga jika orang mengikutinya, ia tidak memerlukan lagi komentar yang berpanjang-panjang itu.
SUMBER SYARI'AT ISLAM DAN FIQH
(IX)
I. Al-Qur'anul Karim
Prof. Sobhi Mahmassani berkata dalam kitabnya "Falsafatut Tasyri' fil Islam" (Bairut, 1952), bahwa kitab suci Al-Qur'an itu ialah sumber yang pertama bagi penetapan hukum syari'at Islam.
Tidak ada sebuah Mazhab Islam pun yang berbeda paham tentang sumber pertama ini, baik Mazhab Ahlus Sunnah, maupun Syi'ah, bahkan Mu'tazilah, dan jika ada perbedaan paham, hal itu terdapat dalam mengartikan dan mentafsirkan setengah daripada ayat Qur'an itu:
Ta'rif Al-Qur'an yang terlengkap, sebagaimana pernah saya kemukakan dalam karangan saya "Filsafat perkembangan hukum dalam Islam", dari S.E.R.I.E Ahlus Sunnah wal Ja'maah, diberikan oleh Dr. Ma'ruf Ad-Dawalibi kepada Al-Qur'an yaitu sebuah kitab suci yang merupakan pokok pertama dan sumber asas untuk hukum-hukum Syariat Islam, diturunkan kepada Nabi Muhammad secara berangsur pada malam tujuh belas Ramadhan, dikala umurnya 41 tahun sampai 9 Zulhidjah tahun kesepuluh Hijrah, dikala umurnya 63 tahun.
Qur'an itu turun kepadanya sebahagian demi sebahagian, seayat atau beberapa ayat, menurut keadaan masa dan kebutuhan masyarakat.
Qur'an itu terbagi atas bahagian-bahagian yang dinamakan Surat, dan jumlah semua Surat dalam Al-Qur'an itu adalah 114 buah banyaknya, dimulai dengan Surat Al-Fatihah dan disudahi dengan Surat An-Nas.
Surat-Surat itu tersusun dari pada ayat-ayat, yang jumlahnya 6342 buah banyaknya, 500 ayat diantaranya berhubungan dengan hukum-hukum.
Baca diantaranya kitab Jalaluddin As-Suyuthi, "Al-Iklil fi Instinbathit Tanzil" (t. tp. 1373 H.).
II. Sunnah Nabi
Adapun Hadis atau Sunnah Nabi ialah sumber kedua sesudah Qur' an, yang bersifat menafsirkan dan menyempurnakan pengertian Al-Qur'an.
Sunnah itu disampaikan dari Nabi oleh sahabat-sahabatnya, ada yang merupakan "Sunnah Qauliyah", yaitu ucapan langsung dari Rasulullah sendiri, dan dinamakan juga "Al-Hadis", "Sunnah fil'liyah", mengenai perbuatan Nabi, atau "Sunnah taqririyah".
Pada hari-hari pertama Rasulullah tidak memperkenankan menulis Sunnah itu, sebagaimana orang disuruh menulis dan menghafal Al-Qur'an, bahkan dilarang : "Jangan kamu menulis dari saya, dan barang siapa yang menulis selain Qur'an, hendaklah dihapusnya".(Muslim).
Pada hari-hari kemudian terpaksa orang mengumpulkan Sunnah itu, yang termasyhur diantaranya ialah yang dinamakan "Masnad Imam Ahmad Ibn Hanbal", yang sekaligus telah merupakan susunan kitab Fiqh.
Diantara kitab-kitab yang banyak digunakan dalam kalangan Ahlus Sunnah ialah yang dinamakan Kitab Enam, dua buah diantaranya dinamakan Syahih, karangan Bukhari (194-256H), dan karangan Muslim (meninggal 206-261 H). Termasuk kitab enam yang lain yaitu karangan Ibn Majah, (meninggal 273 H), Abu Daud (meninggal 275 H), Tarmizi (meninggal 275 atau 279 H), Nasa'i (meninggal 302 H). Disamping itu banyak kitab-kitab hadis yang lain, seperti karangan Daraquthni (meninggal 385 H), karangan Baghawi (meninggal 512 atau 516 H), Baihaqi dan lain-lain.
Sumber-sumber Sunnah yang banyak digunakan oleh Mazhab Syi'ah ialah yang dinamakan Kitab Empat, yaitu "Al-Kafi", karangan Kulaini (meninggal 328 H), kitab "Man la Yahdhuruhul Faqih" karangan Babuaih (meninggal 381 H), "Al-Istibshar fi ma Ikhtalafa minal Akhbar" dan "Tahzibil Ahkam", kedua-duanya karangan Ath-Thusi (meninggal 411 H).
Kemudian ditulis orang juga beberapa ilmu untuk memudahkan penggunakaan hadis ini guna penetapan hukum, seperti ilmu "Musthalah Hadis", mengenai hadis yang dapat digunakan dan tidak dengan penilaian hadis-hadis itu, seperti sejarah hidup perawi-perawi-nya, dan lain-lain.
III. Ijma'
Untuk menetapkan hokum-hukum untuk Fiqh Islam, kemudian diperlukan orang juga mencari sumber lain, yaitu Ijma' dan Qiyas, terutama yang terdapat dalam masa sahabat.
Ulama-ulama Fiqh sepakat menetapkan sebagai sumber ketiga ialah Ijma', yang berarti kesepakatan, ada yang menganggap kesepakatan sahabat, tetapi banyak juga Mujtahid-Mujtahid Islam yang menganggap cukup kesepakatan ulama fiqh saja.
Golongan yang terakhir ini mendasarkan pendapatnya kepada ayat Qur'an: "Barang siapa masih menyusahkan Rasul, sesudah jelas apa yang diajarkan sebagai petunjuk, kemudian mengikuti jalan selain jalan orang mu'min, kami tinggalkan dia dan kami hubungkan dia dengan neraka jahanam, sebagai tempat kembali yang buruk" (An-Nisa, IV : 115).
IV. Q1YAS
Qiyas artinya memperbandingkan sesuatu kejadian yang timbul dengan kejadian-kejadian yang pernah terjadi dalam zaman Salaf, yaitu zaman Nabi, zaman Sahabat dan kalau perlu zaman Tabi'in dan seterusnya.
Karena meluasnya daerah Islam dan penganutnya, sukar sekali untuk menetapkan sesuatu hukum, karena telah berlainan zaman dan tempat serta suasana.
Ulama-ulama Fiqh mencari jalan keluar dengan mengakui Qiyas sebagai dasar hukum yang keempat.
Hampir semua mereka menerima dasar usul, bahwa seluruh hukum Islam itu sesuai dengan tujuan dan ke-maslahatan.
Selain daripada terbuka secara luas Qiyas ini sebagai salah satu daripada dasar hukum Islam yang empat, Qiyas inilah yang merupakan sebab-sebab perbedaan paham antara satu dengan lain mazhab.
Oleh karena itu setengah mazhab, seperti Syi'ah Imamiyyah dan Daud As-Zahiri, tidak mau menggunakan Qiyas itu. Tetapi kebanyakan ulama-ulama fiqh menerimanya, begitu juga Syi'ah Zaidiyah (lihat kitab-kitab "Hillil Uqul, halaman 53, Al-Ahkam, karangan Ibn Hazam, juz V : 5356, dan "Nihayatus Sual, kar. Asnawi, III : 8).
Selain dari pada dasar perbedaan paham, seperti tersebut diatas, ada lagi yang menyebabkan perlainan penetapan hukum itu, yaitu kebijaksanaan Imam-Imam Mazhab Fiqh, seperti Hanafi dengan dasar istihsan, Maliki dengan masalihul musalah, Syafi'i dengan istidal,
dan dasar istishabul hal, dan lain-lain.
II
SEJARAH HIDUP MUJTAHIDIN
MAZHAB AL-JA'FARI
(Imamiyah)
( I )
Mazhab ini didirikan oleh Imam Jafar Shadiq, seorang Tabi'in tokoh besar, ahli hadis dan mujtahid mutlak, menurut Kulayni antara 83 — 148 H. sebagai yang sudah kita ceritakan.
Ibunya bernama Farwah anak Al-Qasim anak cucu dari Abu Bakar As-Siddiq, Khalifah I sesudah Nabi.
Konon itu sebabnya maka Ja'far memakai nama dibelakangnya Sadiq, dan tidak pernah menyerang tiga Khalifah sebelum Ali bin Abi Thalib.
Bahkan pernah ia berkata, sepanjang yang diriwayatkan Sayuti : "Aku berlepas tangan dari orang-orang yang mengatakan sesuatu sesudah Nabi tentang Abu Bakar dan Umar kecuali yang baik (Sayuti Tarikhul Khulafa).
Konon pula itulah sebabnya, maka ia tidak pernah diganggu oleh khalifah Umayyah, seperti Hteyam, Walid, Ibrahim dan Marwan dan oleh Khalifah Abbasiyah, seperti As-Safah dan Al-Mansur.
Baik Syi'ah maupun Ahli Sunnah menghormati Ja'far Sadiq.
Dalam masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan inilah lahir Imam Ja'far Shadiq.
Ia lahir pada malam Jum'at, bulan Rajab, tahun 80 H , dikala umat Islam mengalami kekacauan dalam hukum dan pemerintahan, dikala pemerintah dan pembesar-pembesarnya melakukan kezaliman dengan sewenang-wenang, tidak ada jiwa terjamin, tidak ada kemerdekaan berpikir dan berbicara dihormati, siapa yang kuat menang dan siapa yang kalah hancur.
Keadaan umat Islam pada waktu itu dibandingkan dengan masa Rasulullah dan sahabat-sahabatnya, seperti siang dengan malam, sedang daerah Islam yang luas dengan umatnya yang banyak menanti-nanti hukum Islam yang terkenal adil dan lengkap itu dalam segala bidang.
Imam Ja'far Shadiq lahir sebagai suatu bantuan Tuhan kepada umat Islam yang bingung itu.
Ia dididik oleh ayahnya Al-Baqir dan kakeknya Zainal Abidin, dua belas tahun lamanya merasakan asuhan kakeknya Ali bin Husain.
Dari orang-orang besar inilah beroleh pengajaran dan pendidikan, terutama dalam pembentukan jiwanya.
Tidak dapat disangkal bahwa kakeknya Zainal Abidin adalah anggota Bani Hasyim yang utama dan tokoh terpenting dari Ahlil Bait, seorang yang sangat alim, war'a, dan sangat dipercaya perkataannya dan mempunyai akhlak dan budi pekerti yang bersih.
Sesudah mati kakeknya ini ia dididik oleh ayahnya Al-Baqir, seorang yang luas pengetahuannya dan salih yang oleh orang Syi'ah dianggap salah seorang Imam Dua Belas.
Sembilan belas tahun ia bergaul dengan ayah dan kakeknya.
Ia hidup ketika itu dalam bersembunyi dengan ketakutan, tetapi dengan segala kegiatan dikumpulkan ilmu-ilmu dari ayah, kakek dan moyangnya dan disiarkannya kepada umum dalam masa perpecahan, kezaliman, zindiq dan ilhad itu.
Yang paling menderita kezaliman ketika itu ialah keluarga rumah tangga Rasulullah, keturunan Ali dan pembantu-pembantunya, dan oleh karena itu mereka jarang kelihatan dalam masjid-masjid, karena khotbah-khotbah Jum'at itu isinya tidak lain dari kecaman dan caci-maki terhadap mereka.
Ja'far Shadiq hidup secara sederhana, tetapi orang tahu dan umat Islam secara diam-diam berduyun-duyun datang kepadanya untuk mengambil ilmunya dan mengakuinya sebagai Imam.
Diantara peralihan pemerintahan Bani Umayyah dan Bani Abbas, orang menaksir muridnya tidak kurang dari empat ribu orang, Rumahnya merupakan perguruan tinggi untuk ulama-ulama besar dalam ilmu hadis, tafsir, filsafat dan lain-lain ilmu pengetahuan, ulama ulama yang kemudian memimpin mazhab-mazhab dan perguruan yang ternama dalam Islam. Murid-murid itu yang merupakan rawi-rawi hadis yang terpenting, berasal dari Ghathafan, Ghiffar, Al-Azdi, Khuza'ah, Kha'zam, Makhzum, Bani Dhabbah, Quraisy, Banil Haris dan Banil Hasan.
Semua mereka itu mengambil hadis dan ilmu dari pada Imam Ja'far, dan kemudian menjadi guru-guru besar, dan imam-imam mazhab yang terpenting, seperti Yahya ibn Sa'id al-Anshari, Ibn Juraidj, Malik bin Anas, As-Sauri, Ibn Uyaynah, Abu Hanifah, Syu'bah, Abu Ayyub As-Sajastani dan lain-lain, yang kemudian mendapat kehormatan dan keutamaan dalam Islam karena beroleh ilmu dari pada Imam Ja'far As-Shadiq (Asad Haidar, I : 9-30).
Golongan Ja'far Sadiq ini biasa dinamai Imamiyyah Itsna Asyariyah, yaitu suatu golongan Syi'ah yang mengaku, bahwa imam mereka yang sah terdiri dari 12 orang, sebagaimana yang sudah kita sebutkan dalam pembicaraan mengenai golongan Syi'ah ini.
Prof. T. M Hasbi As Shiddieqy dalam kitabnya "Hukum Islam" (Jakarta, 1962) banyak menulis tentang Syi'ah, dan berkata tentang Ja'far Sadiq sbb. : "Orang-orang Syi'ah yang menobatkan dia menjadi imam, tiada memperoleh kepuasan hati dari padanya, karena ia tidak menghendaki dan tidak menyukai dirinya dinobatkan itu. Ia ini adalah seorang ulama yang sangat berbakti kepada Allah.
Ia tidak suka diperbudak-budakan kaum Syi'ah.
Lantaran demikan, ia dapat mengarungi samudera hidupnya dengan aman dan tenang, tidak menjadi kebencian khalifah-khalifah yang menguasai negeri.
Dan yang perlu ditegaskan, bahwa ia ini pemuka dan pentasis fiqh Syi'ah yang kemudian pecah kepada beberapa mazhab".
Tentang fiqh dan hukumnya, Hasbi menerangkan sebagai berikut. :
Fiqh Syi'ah walaupun berdasarkan Al-Qur'an dan As Sunnah juga, namun melaini fiqh jumhur dari beberapa jurusan.
a. Fiqh mereka berdasar kepada tafsir yang sesuai dengan pokok pendirian mereka.
Mereka tidak menerima tafsir orang lain, dan tidak menerima Hadis yang diriwayatkan oleh selain Imam ikutannya.
b. Fiqh mereka berdasarkan Hadis, Qaedah, atau Furu' yang mereka terima dari imam-imamnya.
Mereka tidak menerima segala rupa qaedah yang dipergunakan oleh djumhur Ahli Sunnah.
c. Fiqh mereka tidak mempergunakan Ijma' dan tidak mempergunakan qiyas.
Mereka menolak ijma', adalah karena lazim dari pengikut-pengikut ijma', mengikuti faham lawan, yaitu Sahabat, Tabi'in dan Tabi'ittabi'in.
Mereka tidak menerima qiyas se-kali-kali, karena qiyas itu fikiran. Agama diambil dari Allah dan Rasulnya, serta imam-imam yang mereka ikuti sahaja.
d. Fiqh mereka tidak memberi pusaka kepada perempuan kalau yang dipusakai itu tanah dan kebun. Perempuan itu hanya mempusakai benda yang dapat dipindah-pindah sahaja.
Lebih lanjut diterangkan, bahwa : Terkadang-kadang apabila disebut golongan Syi'ah, maka yang dikehendaki, Imamiyah. Imamiyyah ini berkembang di Iran dan Irak, mazhab mereka dalam soal fiqh, lebih dekat kepada mazhab Asy-Safi'i walaupun mereka dalam beberapa masalah menyalahi Ahlus Sunnah yang empat.
MAZHAB HANAFI
(II)
Abu Hanifah, yang mendirikan mazhab ini, menyatakan, bahwa ia mendasarkan hukum-hukum yang ditetapkan, pertama-tama kepada Kitabullah, jika tidak diperolehnya disana, kepada Sunnah Rasul, terutama kepada Hadis-Hadis Nabi yang masyhur, kemudian barulah ia memilih mana yang ia suka dari pada ucapan-ucapan sahabat, pertama-tama yang bersamaan antara beberapa orang mereka, dan kemudian juga meskipun kepada ucapan seorang sahabat saja.
Ia berijtihad, jika ia sudah gagal mencari salah satu pendirian dari pada ucapan Ibrahim An-Nukhai, Asy-Syubi, Ibn Sirin, Al-Hasan dan Ibn Musayyad, barulah ia berasa dirinya berhak berijtihad memutuskan sesuatu hukum.
Acapkali Abu Hanifah menerima Hadis yang masyhur, jika ia menganggap, bahwa yang demikian itu lebih baik, lalu dinamakan Istihsan.
Diantara imam-imam mujtahid mutlak, Abu Hanifahlah yang paling banyak mempergunakan qiyas dan istihsan.
Bahkan konon sampai pernah terjadi perselisihan paham pada suatu kali antara Abu Hanifah dan gurunya Ja'far Shadiq, yang berkata : "Wahai Abu Hanifah tidaklah usah kita bertengkar didunia ini mengenai pendirianmu dalam menggunakan banyak qiyas dengan pendirianku yang langsung kuambil dari Kitabullah.
Pada waktu Tuhan bertanya, siapa yang menetapkan hukum yang berdasarkan qiyas ini, engkau boleh menjawab : Abu Hanifah. Jika Tuhan menanyakan kepadaku, mengapa aku menetapkan hukum yang maksudnya berbeda dengan Qur'an, aku akan menjawab : ,"Ta' sampai akalku untuk memahami wahyu itu, hanya sekedar inilah yang dapat kutetapkan" (baca Syi'ah, karangan H. Aboebakar Atjeh, Jakarta 1965).
Maka dengan demikian dasar pendirian mazhab Abu Hanifah ialah : 1. Kitabullah atau Qur'an, 2. As-Sunnah 3. Al-Ijma', 4. Al- Qiyas, dan 5. Al-Istihsan.
Apa artinya al-istihsan ? Menurut Hasan Sya'ab : Mengambil yang lebih adil dari pada dua buah masalah yang sama pandangan hukumnya (Al-Hiwar, "Rayi fil Ijtihad fil Islam 1966, hal. 99).
Abu Hanifah adalah keturunan bangsa Persia, pekerjaannya mula-mula menjadi saudagar sutera, dan oleh karena banyak waktunya yang terluang lalu ia belajar memperdalami ilmu agama Islam.
Pelajarannya terutama memakai dasar ra'yi, pikiran, (ratio), dalam menerangkan ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadis Kitab yang paling banyak dipergunakan oleh pemeluk Mazhab Hanafi ini ialah "Mukhtasar" dari Khuduri (meninggal 1036).
Dalam kehidupannya beliau pernah mengajar di Kufah tentang ilmu fiqh dan juga pernah menjadi Mufti.
Jabatan-jabatan yang lain banyak ditolaknya.
Ketika Khalifah Al-Mansur mendirikan kota Bagdad (767 -771) ia turut bekerja dalam usaha pembangunan kota itu.
Khabar tentang kematiannya bermacam-macam.
Yang satu menerangkan, bahwa ia itu menolak jabatan qadhi yang ditawarkan kepadanya, lalu ia dimasukkan kedalam penjara dan dipukuli atas perintah Al-Mansur.
Yang lain menerangkan, bahwa Al-Mahdi, putera Al-Mansurlah yang memerintahkan ia dimasukkan penjara, karena tidak mau bekerja bersama-sama memangku jabatan hakim agama.
Dan yang lain lagi menerangkan, bahwa alasan memasukkan Abu Hanifah kedalam penjara karena tidak mau menjadi qadhi itu, hanyalah sebagai camouflage saja, tetapi yang sesungguhnya karena beliau disangka menyebelah kepihak Ali dan membantu dengan kekayaan kepada Ibrahim ibn Abdullah, yang menimbulkan pemberontakan di Kufah dalam tahun 767.
Sesudah tahun 786 mulai Mazhab Hanafi dikenal orang di Mesir, karena pada waktu itu telah diangkat oleh Khalifah Al-Mahdi seorang Qadhi Hanafi disana, yaitu Ismail bin Yasa' Al-Kufi.
Dialah yang mula-mula mengembangkan mazhab Hanafi disana, terutama selama kerajaan Islam berada dalam kekuasaan Khalifah-Khalifah Abbasiyah, berangsur-angsur mazhab ini berkembang dikota Mesir.
Tatkala Mesir dikuasai oleh raja-raja Fathimiyah, masuk pula kesana mazhab ini tersiar karenanya, tetapi juga kedudukan qadhi dipengaruhi oleh mazhab itu.
Malah pernah mazhab Syi'ah itu menjadi mazhab kerajaan dengan resmi.
Yang dijalankan oleh Pemerintah waktu itu hukum-hukum mazhab ini, kecuali dalam soal-soal ibadah, masih bebas menjalankannya menurut cara masing-masing.
Sebaliknya sesudah pemerintah Mesir kembali kedalam tangan (Ayyubi), yang sultan-sultannya bermazhab Syafi'i, lalu mereka tindas mazhab Syi'ah itu dengan segala aliran-aliran yang berbau Syi'ah.
Tidak hanya sekian saja, malah mereka mendirikan beberapa banyak sekolahan untuk ulama-ulama mazhab Syafi'i dan Maliki.
Salahuddin Al-Ayyubi mendirikan di Cairo sebuah sekolah untuk mazhab Hanafi, bernama Madrasah As-Salahiyah.
Sejak ketika itu bertambah kuatlah kedudukan mazhab ini ditengah-tengah kota Cairo.
Pada tahun 1263 oleh Najamuddin Ayyub disusun pelajaran-pelajaran empat, yaitu Syafi'i, Hanafi, Maliki dan Hambali, sebagai tindakan untuk membasmi segala aliran-aliran mazhab yang lain.
Rancangan pelajaran ini berjalan dengan baik dalam Madrasah Salahiyah di Cairo.
Setelah Mesir jatuh kedalam kekuasaan kerajaan Turki, maka kedudukan qadhi dan kehakiman tetap kembali dalam tangan pemeluk mazhab Hanafi.
Karena mazhab Hanafi telah menjadi mazhab yang resmi dari kerajaan (Usmaniyah) Turki dan pembesar-pembesarnya, lalu timbullah keinginan kebanyakan penduduk hendak menjadi Hanafi, supaya mudah mendapat pangkat qadhi.
Meskipun begitu mazhab ini tidaklah demikian tersebar kedesa-desa dan kehulu-hulu Mesir, tetapi terbatas didalam kota saja.
Begitu corak daerahnya, penduduk desa hulu Mesir tetap bermazhab Syafi'i.
Mazhab Hanafi ini terdapat juga di Algeria, Tunisia dan Trablus (Tripoli).
Selanjutnya pemeluknya banyak terdapat di Syam, Iraq, India, Afganistan, Turkestan, Kaukasus, Turki, Balkan.
Pengikutnya di India ditaksir kira-kira 48 milyun jiwa, di Brazilia (Amerika Selatan) terdapat kira-kira 25 ribu jiwa.
Adapun Abu Hanifah An-Nu'man As-Tsabit, yang mendirikan Mazhab Hanafi itu lahir dalam tahun 699 M. di Kufah dan meninggal di Bagdad pada tahun 772 M .
MAZHAB MALIKI
(III)
Berbeda sekali pendirian Abu Hanifah ini dengan pendirian Malik bin Anas, yang menyusun dasar-dasar untuk penetapan hukum sebagai berikut : Nas Al-Qur'an, Zahir Al-Qur'an, mafhum pengertiannya yang cocok, dan dalil yang tidak cocok, Tanbih Al-Qur'an Nas Al-Hadis, Zahir Al-Hadis, Mafhum Al-Hadis, Dalil Al-Hadis, Tanbih Al-Hadis, Ijma, Qiyas, pekerjaan ulama Madinah, ucapan-ucapan sahabat, istihsan, upaya menutup keburukan memelihara akhlak, istihsan maslahatul mursalah dan syariat umat-umat yang terdahulu.
Kita lihat, bahwa Imam Malik ini mempunyai luas sekali dasar penetapan sesuatu hukum untuk mazhabnya.
Yang demikian itu karena ia di Madinah dan Mekkah dengan mudah ia mencari keterangan-keterangan mengenai Al-Qur'an dan Sunnah, karena dengan masanya masih terdapat banyak sahabat terkumpul dan masih hidup disana.
Menurut Prof. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, perbedaan mazhab Maliki dengan mazhab-mazhab yang lain ialah bahwa Imam Malik menjadikan amal orang-orang Madinah jadi hujjah hukum fiqhnya, karena pada pendapatnya orang-orang di Madinah itu bersih mengerjakan amal ibadat sebagaimana yang dilihat pada Nabi dan sahabat-sahabat serta orang-orang Islam sekitar kota suci itu.
Ia mendahukan amal orang Madinah itu dari pada qiyas dan dari pada Hadis yang hanya diriwayatkan oleh seseorang rawi saja, yang biasa dinamakan khabar uhad.
Ulama-ulama fiqh yang lain tidak ada yang menjadikan amal orang-orang Madinah itu menjadi hujjah agama.
Perbedaan yang lain pada Malik bin Anas ini kita dapati dalam dasar penetapan hukumnya, yang dinamakan maslahatul mursalah, yang artinya menurut Hasan Sya'ab dalam karangannya tersebut diatas ialah membina sesuatu hukum atas dasar kemashlahatan umum (104), seperti membolehkan orang memukul pencuri agar ia mengaku kesalahannya.
Ulama lain tidak membolehkan pekerjaan itu.
Lain dari pada itu Imam Malik juga menjadikan hujjah hukum fatwa-fatwa sahabat besar, manakala sanad riwayatnya itu sab, bahkan mendahulukan fatwa-fatwa itu atas qiyas.
Pekerjaannya ini sangat mendapat bantahan dari Imam Al-Ghazali, sebagaimana disebut dalam kitab Al-Mustasyfa Seperkara lagi yang agak berlainan pendirian Malik bin Anas ini dengan ulama lain, terutama ulama-ulama Hanafi, ialah bahwa ia tidak menjadikan syarat baik sesuatu hadis dengan sifatnya masyhur, bahkan ia acap kali menggunakan juga istihsan sebagai Abu Hanifah dan mengutamakan riwayat Hadis dari penduduk Hejaz.
Malik bin Anas, yang membentuk Mazhab Maliki, hidup di Madinah antara tahun 710 — 795.
Disitu ia belajar dan disitu pula ia mengajar.
Beberapa lama ia menjabat pekerjaan Mufti dan ahli hukum Islam.
Beberapa sikapnya dalam memberi fatwa menyebabkan Pem-Abbasiyah mencurigai dia, sehingga ia pernah merasai penyiksaan dan penderitaan.
Kitabnya yang terpenting ialah "Al-Muwattha".
Pemeluknya sekarang terutama terdapat di Afrika Utara (kecuali Mesir) dan Afrika Tengah.
Yang terutama dipelajari orang sebagai kitab Maliki ialah kitab-kitab "Mudawana", karangan Ibnul Qasim (meninggal 806) dan "Mukhtasar", karangan Khali Ibn Ishab (meninggal 1365).
Jika kaum Oriëntalisten Belanda gemar mempelajari hokum-hukum mazhab Syafi'i, maka sebaliknya Oriëntalisten Perancis dan Italia gemar menyelidiki hukum-hukum Islam menurut mazhab Maliki.
Sebagaimana Mazhab Syafi'i begitu juga Mazhab Maliki berdasarkan empat pokok : "Qur'an, Sunnah, Ijma' dan Qiyas.
Diantara orang yang mula-mula memperkenalkan kitab-kitab fiqh mazhab Imam Malik di Mesir kita sebutkan Usman bin Hakam Al-Jazami, Abdurrahman bin Khalid bin Yazid bin Yahya, Ibn Wahab dan Rasyid bin Sa'ad, yang meninggal di Alexandria pada tahun 786.
Diantara yang giat sekali menyiarkannya kita sebutkan Abdurrahman bin Qasim, Ashad bin Abdul Aziz, Ibnul Hakam dan Haris bin Miskin.
Pengaruh Mazhab Maliki ini suram, tatkala ke Mesir masuk pula mazhab Syafi'i.
Sesudah Mazhab Maliki masuk ke Andalus, yang dibawa oleh Zaid bin Abdurrahman al-Qurtubi, yang acapkali digelar orang Syaibthun, maka Mazhab Auza'i yang sudah lebih dahulu disana, mulai terdesak dan tidak diperhatikan lagi.
Mazhab Maliki masuk Sepanyol, yaitu dalam masa pemerintahan Hisyam bin Abdurrahman (793-820).
Sebagaimana di Mesir begitu juga di Andalus dalam zaman pemerintahan Hisyam ini Abdurrahman terutama yang mendapat pangkat yang baik dalam jabatan kehakiman, ialah ulama-ulama Maliki, sehingga dengan demikian aliran mazhab ini bertambah maju.
Yang memasukkan Mazhab Maliki ke Afrika kita sebutkan saja nama Sahmun bin Sa'id Al-Tanukhi, yang menggantikan qadhi Asad bin Furad, dan lalu disiarkannya paham Mazhab Maliki.
Sesudah Ma'az bin Badis menjadi Mufti di Afrika Utara, pada tahun 1029, maka tanah Maroko pun tunduk kepada Mazhab Maliki.
Kitab-kitab Maliki yang banyak terpakai di Andalus ialah umpamanya sesudah kitab Muwattha, yaitu kitab "Wadhihah", karangan Abdul Malik bin Habib, kitab "Atabiyah" yang dikarang oleh Atabi murid Ibnu Habib.
Diantara kitab-kitab yang masyhur di Afrika ialah kitab "Asadiyah", karangan Asad bin Furad dan juga kitab karangan Sahnun, kemudian boleh kita sebutkan juga Kitab „Tanbih" karangan Abu Sa'id Al-Baradi'i.
Ditimurpun Mazhab Maliki itu mendapat tempat, umpamanya di Bagdhad, tetapi kemudian terdesak oleh Mazhab Abu Hanifah, di Basrah sampai abad ke-V untuk sementara waktu di Hejaz, Palestina, Yaman, Kuwait, Kotter dan Bahrain.
MAZHAB SYAFI'I
(IV)
Mazhab ini dimasukkan oleh golongan Syi'ah kedalam Mazhab Ahlil Baid, karena pendiri dari pada Mazhab ini, Muhammad bin Idris, ialah seorang Qurais dari keturunan ayahnya, dalam silsilah bertemu dengan Nabi pada diri Abdu Manaf.
Ibunya dari suku Azdiyah, yang berpusat di Yaman. Pada suatu kali tatkala ayahnya pergi berdagang ke Syam, ia dilahirkan di Ghuzzah atau Asqalan pada tahun 150 H.
Sesudah ayahnya meninggal dibawanya ibunya pindah ke Mekkah pada waktu Muhammad bin Idris berumur dua tahun.
Ia dan ibunya termasuk keluarga yang miskin, seperti yang pernah diterangkan olehnya sendiri.
Katanya : "Saya adalah anak yatim dalam asuhan ibu saya, yang tidak mempunyai harta benda apa-apa. Guruku sayang kepada ibuku, dan oleh karena itu ia membantu aku dalam pelajaran.
Sesudah menghafal Qur'an, aku mulai belajar dalam Masjid. Aku belajar pada beberapa orang ulama, menghafal Hadis dan mempelajari persoalan-persoalan yang dikemukakan orang. Rumah kami pada waktu itu terletak di Syi'ib Al-Khaif.
Aku menulis pada tulang-belulang, dan penulisan itu kemudian aku kumpulkan dalam sebuah kantong besar".
„Kemudian aku keluar dari Mekkah dan bergaul dengan orang-orang dari suku Huzail disebuah desa, saya belajar bahasa Arab dan kesusasteraan pada orang-orang itu, karena mereka berbahasa Arab yang baik", katanya pula.
Pergaulan Asy Syafi'i dengan suku Qurais ini besar sekali faedahnya dalam kemajuannya berbahasa dan bersyair Arab, yang dapat melancarkan memahami makna Qur'an dan Sunnah.
Kemudian ia mempelajari Hadis dan Fiqh, yang pernah diambilnya di Mekkah pada Sufyan bin Uyainah dan Muslim bin Khalid Azi-Zanji, dan sesudah menghafal kitab Muwattha' ia pergi mempelajari lagi kitab itu pada Malik bin Anas, serta mempelajari banyak juga padanya hukum-hukum fiqh sampai Malik meninggal dunia pada tahun 179 H.
Kemudian barulah ia keluar ke Yaman, diantara sebab-sebabnya atas panggilan Gubernur Yaman untuk mengambilnya bekerja padanya.
Ia dituduh memihak golongan Syi'ah, cuma yang tidak ketahuan, manakala tuduhan itu dilancarkan kepadanya, pada waktu ia di Yaman kah atau sesudah pulang ke Hejaz, yang menurut Abdul Bar, ia kelihatan rapat bekerja sama dengan golongan Alawi di Hejaz, tetapi menurut Ibn Hajar di Yaman, karena ia dari sini diperintahkan menghadap Harun Ar-Rasyid.
Syafi'i dapat membela dirinya, lalu diampuni oleh Sulthan Harun Ar-Rasyid (Ahmad Amin, "Dhuhal Islam", II : 220). Kejadian ini berlaku pada tahun 184 H, sedang umur Syafi'I pada waktu itu 34 tahun.
Dari sini ia berangkat ke Baghdad pada tahun 195 H, dan tinggal disana dua tahun, kemudian kembali Iagi ke Mekkah, yang sesudah itu kembali lagi ke Baghdad pada tahun 198 H serta tinggal disana beberapa bulan, sebelum ia berangkat ke Mesir pada tahun 199 H, dan tinggal disana sampai ia wafat pada tahun 204 H.
Pada waktu ia tinggal di Iraq ia berhubungan dengan Muhammad bin Hasan, teman dan tokoh dari Abu Hanifah, padanya ia ambil banyak fiqh menurut Mazhab orang-orang Iraq. Kata Ibn Hajar : "Penghabisan pelajaran Fiqh Syafi'i di Madinah, ia ambil dari pada Malik bin Anas.
Ia datangi Malik di Madinah, bergaul dan belajar dan mengambil banyak cara penetapan Fiqh padanya.
Di Iraq penghabisan pengajarannya dicapai menurut Fiqh Abu Hanifah, Syafi'i mengambil dari sahabatnya Muhammad bin Hasan sebahagian besar, terutama di kumpulkannya pengetahuan-pengetahuan Mazhab yang hidup pada waktu itu dinamakan Ahlur Ra'yi.
Dan Ilmu Ahlul Hadis, sehingga ia mendapati dasar-dasar penetapan hukum usul, membuat kaidah-kaidah, dan mulailah dijelaskannya kesepakatannya dan perbedaan pahamnya, sehingga namanya mashur orang sebutkan disana sini, dan diakui oranglah kedudukannya sebagai Mujitahid Mazhab" (Tawalit Ta'sis, hal. 54).
Gambaran Ilmu Fiqh Imam Syafi'i yang sangat jelas adalah dalam kitabnya bernama "Al-Umm", yang diwasiatkan sebelum ia wafat dan yang terjadi pada bulan Syafar 203 H, sebagai berikut : "Kitab ini ditulis oleh Muhammad bin Idris Ibn Abbas Asy Syafi'i, untuk anaknya Abul Hasan (Ibn Asy Syafi'i,) yang digunakan uangnya sebanyak 400 Dinar oleh ayahnya, untuk ongkos mentashihannya dalam wasiat itu juga ia berdoa agar anaknya digantikan Tuhan harta bendanya itu.
Juga diwasiatkan kepada anaknya untuk beramal, diantaranya merawat yang baik bekas budak-budaknya.
Dalam menyelesaikan kitab ini banyak dibantu oleh murid-muridnya, seperti oleh Buwaithi'.
Imam Syafi'i adalah seorang Mjitahid yang sangat banyak pengalamannya mengenai cara menulis Fiqh di Iraq, di Hejaz dan kemudian di Mesir.
Mazhab Syafi'i itu terletak diantara dua paham yang sangat berlainan, yaitu Mazhab Abu Hanifah, yang banyak menggunakan akal, dan Mazhab Malik bin Anas yang banyak menggunakan nash.
Mazhab Syafi'i di Iraq biasa dinamankan Mazhab Qadim, dan Mazhab Syafi'i di Mesir, biasa disebut orang Mazhab Jadid.
Mereka yang berguru kepadanya di Iraq adalah Az-Za'farani, Al-Karabisi, Abu Tsaur, Ibn Hanbal, Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam Al-Lughawi, sedang pengikutnya di Mesir yang terkenal ialah Al-Buwaithi, Al-Majani, Ar-Rabi' Al-Muradi.
Baik di Mesir atau di Madinah banyak ia pelajari cara menetapkan hukum oleh Malik bin Anas dan oleh teman-teman Abu Hanifah, dan yang mendalam dipelajarinya ialah kitab-kitab karangan sahabat Abu Hanifah Muhammad bin Hasan, serta cara orang menetapkan hukum oleh Iraq.
Ia berpendapat tidak semuanya cara ini dapat digunakan, tetapi tidak juga ditinggalkan semuanya.
Cara menggunakan Qas adalah cara yang benar, tetapi menurut pandangan Syafi'i tidaklah demikian mutlaknya penggunaan itu, sehingga ketinggalan dibelakang, Hadis- Hadis yang sahid, sampai kepada hadis Ahad.
Juga dipelajarinya cara memisahkan hukum atau mengadakan persoalan baru dari pada usul, dianggapnya suatu cara yang baik, begitu juga yang terdapat pada mereka kebiasaan berjidal (berdebat), istiklal, (mengambil dalil lebih dahulu dengan keadilan dan kemuslahatan), menghubungkan ayat Mutasabih dengan Mutasabih, dan sesuatu usul yang berlainan dengan yang bersamaan, bermunajarah, menulisi dalil-dalil dalam persoalan, dilihatnya sesuatu yang baik.
Oleh karena itu ia mempersiapkan dirinya memasuki persoalan-persoalan itu, dan mengatasi kesukaran-kesukarannya, sehingga ia beroleh cara yang terindah dari cara yang dilihatnya di Iraq itu.
Kemudian bertambah lagi keistimewaannya dalam menggunakan bahasa, sastra, hadis dan ijma''-ahli Madinah dan cara ulama-ulama Hejaz dalam menetapkan hukum.
Daripada kedua pengalaman ini Syafi'i dapat menggunakan yang terbaik, sehingga dia banyak mengarang menurut Mazhab baru, yang pernah dikemukakan di Iraq pada tahun 195 H, dan diikuti oleh setengah sahabatnya dari Baghdad seperti Abu Ali Al-Husain bin Ali Al-Karabisi, salah seorang daripada ulama Iraq yang masyhur, yang banyak mengarang, meninggal pada tahun 256 H, dan seperti Abu Tsaur Al-Kalbi, yang di Baghdad sudah mulai bersahabat dengan Syafi'i serta belajar banyak padanya, pengarang dari sebuah kitab yang berisi persoalan-persoalan yang berbeda pendapat antara Malik dan Syafi'i, Al-Kalbi ini dalam karangan-karangannya condong sekali kepada tulisan-tulisan Syafi'i.
Lain dari pada itu juga pernah mengikut Syafi'i Abu Ali Az-Za'farani, yang banyak membaca kitab-kitab Syafi'i dan mengarang tentang Mazhabnya sebelum Syafi'i datang di mesir.
Tetapi sayang Syafi'i tidak jaya dengan Mazhabnya di Iraq, terdesak oleh cara berfikir Mazhab Hanafi, yang banyak menggunakan akal, sehingga Mazhab Syafi'i itu kehilangan kedudukan dan kekuasaan.
Lalu berangkatlah ia ke Mesir, mencari daerah baru, dimana ia mengharapkan Mazhabnya akan tumbuh dengan subur. Di depan Az-Za'farani ia bersyair, yang terjemahnya kira-kira sebagai berikut :
Diriku hendak melayang ke Mesir,
Dari bumi miskin dan fakir,
Aku tak tahu hatiku berdesir,
Jayakah aku atau tersingkir.
Jayakah aku ataukah kalah,
Tak ada bagiku sesuatu gambaran,
Menang dengan pertolongan Allah,
Atau miskin masuk kuburan.
Demikian Imam Syafi'i bersya'ir, tatkala ia hendak melangkah kakinya ke Mesir.
Sya'ir Arab ini diriwayatkan oleh temannya Az-Za'farani, yang menjawab bahwa kedua-duanya yang tersebut dalam sya'ir itu dicapai oleh Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i, baik kekayaan yang menghilangkan kemiskinannya, maupun kejayaan yang membuat penganut mazhabnya ratusan kali lipat ganda dari pada yang terdapat didaerah Iraq dari Mu'tazilah itu.
Untuk mencegah perselisihan paham dan menyalurkan kepada kesatuan dasar hukum, Syafi'i segera menulis "Usul Fiqh", yang mengatur cara menetapkan sesuatu hukum fiqh menurut sumber-sumbernya, sehingga dengan buku ini nama Asy-Syafi'i menjadi harum sekali diantara nama-nama Mujtahid dan Ahli Mazhab ketika itu.
Orang memperbandingkan jasanya dengan usaha Aristoteles dalam menciptakan Ilmu Mantik, atau dengan Khalil bin Ahmad dalam karya Ilmu 'Arudh.
Meskipun ada orang sebutkan usul fiqh pernah dilarang oleh Muhammad bin Hasan dari mazhab Hanafi, tetapi, karya ini tidak tersiar luas dan tidak beroleh nama yang populer seperti Usul Fiqh karangan Asy-Syafi'i, yang termuat juga garis-garis besarnya dalam kitab Al-Umm (baca Syi'ah, 299).
Karangannya hampir semua termuat dalam kitab Al-Umm, yang terutama mengenai ilmu Fiqh.
Syafi'i boleh kita anggap seorang yang termasuk mula-mula meletakkan dasar tentang pengetahuan Usul Fiqh.
Mazhab Syafi'i menurut jalan hukum dapat dikatakan kedudukannya antara paham Mazhab Maliki dan Mazhab Hanafi, jadi antara pemeluk tradisionil dan rasionil dalam memahamkan Qur'an dan Hadis.
Pada masa ini yang paling banyak terdapat pemeluk Mazhab Syafi'I itu ialah di Mesir, Syria, beberapa bahagian tanah Arab dan seluruh Indonesia.
Dahulu lebih luas lagi daerahnya, tetapi dalam waktu yang akhir ini banyak terdesak oleh paham Mazhab Hanafi.
Terutama sesudah tahun 922 M. sangat cepat kelihatan kemajuan Mazhab ini di Mesir, di Iraq, Khorasan, Daghistan, Tauran, Syam, Yaman, didaerah-daerah sungai Saihun Jaihun, Persia, Hijaz, India, sebagian dari Afrika dan Spanyol.
Pada umumnya dewasa ini penduduk Mesir itu bermazhab Syafi'.I Perimbangannya dapat kita lihat dalam Azhar yaitu Perguruan Islam Tinggi di Cairo didirikan dalam tahun 969 oleh Gubernur Jauhar.
Sejak tahun 1759 sampai tahun 1909 yang menjadi Syeikh Al-Azhar adalah ulama-ulama Syafi'i.
Setelah itu barulah diganti oleh seorang Hanafi, yaitu Syeikh Muhammad Al-Mahdil Aabbasi.
Selanjutnya tidaklah ada ketentuan yang khusus kepada sesuatu mazhab.
Tetapi jabatan Syeikh Al-Azhar itu belum pernah dipegang oleh Mazhab Hambali, karena Mazhab ini sedikit sekali pemeluknya di Mesir.
Kemudian jabatan Syeikh Al-Azhar itu kembali lagi kepada Mazhab Syafi'i, yaitu sejak Mahaguru Muhammad Al-Ahmadi menjadi Syeikh ,"Al-Jami" Al-Azhar.
Yang mula-mula menyiarkan Mazhab Syafi'i dinegeri Damaskus ialah Abu Zur'ah Muhammad bin Usman (wafat 826 M) sehingga mazhab itu berpengaruh disana.
Yang terkenal juga namanya dalam mengembangkan aliran itu disana, ialah Muhammad bin Ismail Al-Qaffal Al-Kabir (wafat 987).
Demikianlah majunya mazhab ini di Baghdad disiarkan oleh Hasan bin Muhammad Al-Za'farani (wafat 860), sehingga hampir bersaingan dengan Hanafi.
Di Marw mazhab ini disiarkan oleh Ahmad bin Saiyar dan Hafiz Abdullah bin Muhammad.
Penyiar di Ghazna dan Khorasan ialah Wajihuddin Abul Fatah Al-Maruzini dan Abu Uwanah Ya'qub ibn Ishak An-Nisaburi (wafat 938) dan oleh pemeluk Syafi'i didirikan disana sebuah mesjid yang indah sekali yaitu pada tahun 1207. Dengan demikian tersebarlah mazhab ini di Timur.
Sekarang umumnya pemeluk mazhab ini terdapat di Mesir, Palestina, Armenia, Persia, Ceylon, Indonesia, Cina, Australia, Yaman, Adan, Hadramaut, Philipina, begitu juga di Hejaz, Syam dan Iraq.
Di India terdapat kira-kira satu milyun jiwa pemeluk Mazhab Syafi'i.
Kitab-kitab Syafi'i itu banyak dan nanti akan dibicarakan pada waktu membicarakan kitab-kitab Mazhab Empat lebih lanjut.
Walaupun pokok-pokok fiqh menurut aliran, Syafi'i itu terutama terkumpul dalam kitab-kitab karangan Syafi'i sendiri, tetapi akhir-akhirnya, kitab-kitab yang dikarangkan kemudian oleh murid-muridnya dan pengikut-pengikutnya juga telah mendapat pengaruh yang sekian besarnya dalam kalangan pemeluk Syafi'i, sehingga kitab-kitab yang terdahulu seakan-akan tidak dikenal orang lagi.
Sejak abad ke XVI kita dapati kitab-kitab yang semacam itu, seperti Kitab Tuhfah karangan Ibn Hajar (meninggal 1567), Kitab Nihayah, karangan Ar-Ramli (meninggal 1596), keduanya ditulis berupa uraian (syarh) dari kita Minhaj Ath-Thalibin, karangan An-Nawawi (meninggal 1277 M.).
Lebih lanjut baca Dr. Th. W. Juynboll, Handl tik v. de Moh, Wet (Leiden, 1930, hal. 173, aant. 14).
MAZHAB HAMBALI
( V )
Pemeluk Mazhab Hanbal itu ialah Ahmad bin Muhammad ibn Hanbal (780-855).
Ia lahir di Baghdad dan sesudah beberapa waktu menuntut ilmu disana lalu pergi belajar ke Syam, Hejaz dan Yaman.
Diantara kitab-kitab yang dikarangnya yang termasyhur ialah "Musnad Ahmad ibn Hanbal".
Tetapi banyak sekali kitab-kitab yang lain, pernah disebut orang sampai sebanyak dua belas beban unta.
Dasar mazhabnya terletak atas empat : pertama Nas, kedua fatwa sahabat, ketiga Hadis (mursal dan dhaif) dan keempat qiyas.
Pengikutnya sangat sedikit dan kebanyakan pengikut-pengikutnya itu tidak mau berijtihad menurut mazhabnya, Ibnu Kaldun menerangkan, bahwa sebabnya Mazhab Ibn Hanbal kurang tersiar dimuka bumi, ialah karena sempitnya berijtihad dalam mazhab itu.
Mazhab ini lahir di Baghdad tempat lahirnya Imam Ahmad.
Pengaruhnya kelihatan dalam abad ke-IV H .
Di Mesir mazhab ini baru dikenal orang pada abad ke-VII.
Yang membawa mazhab ini kesana ialah pengarang kitab yang bernama "Kitabul Umbah" yaitu Al-Hafiz Abdul Ghani Al-Makdisi. Mazhab ini tidak tersebut sebagai mazhab-mazhab yang lain, cuma di Nejid saja.
Juga terdapat sedikit dari pemeluknya di Kotter dan Bahrain.
Demikian keringkasan sejarah tersiar Mazhab Empat itu.
Lebih lanjut tentang dasar-dasar untuk menetapkan sesuatu hokum fiqh itu dibicarakan dalam suatu ilmu pula, yang disebut Usul Fiqh.
Kitab yang ternama dikarangkan orang untuk menguraikan hal ini misalnya : Ar-Risalah, karangan Imam Syafi'i (meninggal. 820 M) Al- Waraqat fi usulil fiqh, karangan Imam Al-Haramain Juwaini (meninggal. 1085).
Kanzul Wusul ila Ma'arifatil Usul, terutama masyhur dalam kalangan orang Turki, karangan Ali bin Muhammad Al-Mazdawi (meninggal. 1089).
At-Tawdhih fi hilli qhawamiah at-Tanqih, sebuah syarah atas karanganya sendiri dari Sadr Asy-Syari'ah II (meninggal. 1346), yang bernama Tanqihul Usul, diterbitkan di Kassan dalam tahun 1883, bersama syarh dari seorang ulama Syafi'i, bernama Taftazani (meninggal. 1389), Djami'ul Djawami', karangan As-Subki (meninggal. 1369) disertai uraian dari Jalaluddin Al-Mahalli (meninggal. 1459) dan dari Al-Banani (meninggal. 1784). diterbitkan di Cairo, Mirkatul wusul fi'ilmil usul, karangan Maula Khusran (meninggal. 1380) dengan sebuah syarh karangannya sendiri, bernama Mir'atul Usul.
Sudah kita katakan bahwa Ibn Hanbal ini dilahirkan di Baghdad tahun 780 M , dan meninggal dalam tahun 855 M .
Dalam memperlengkapkan Musnad-nya ia giat sekali bepergian, untuk mengumpulkan ilmu Hadis, misalnya ke Syam, Hejaz, Yaman, Kufah dan Basrah, sehingga kitab Hadisnya itu menjadi penting dan masyhur.
Lain dari pada itu yang memasyurkan Ahmad Hanbal ini ialah pribadinya yang sangat salih, dan perjuangannya sangat kuat memegang nash Qur'an dan Hadis, serta menjauhkan diri sebanyak mungkin dari pada akal atau ra'yi, sehingga banyak orang memasukkan Ahmad Ibn Hanbal ini kedalam golongan Ahli Hadis dan tidak kedalam golongan Mujtahid, misalnya oleh Ibn Nadim, yang menarik Ibn Hanbal itu segaris dengan Bukhari dan Muslim, dan oleh Ibn Abdul Bar, yang tidak mau menyebutkan nama Ibn Hanbal dalam kitabnya mengenai keutamaan Imam-Imam Fiqh, Selanjutnya juga Thabari tidak ingin memasukkan nama Ibn Hanbal kedalam kitabnya : "Ikhtilaful Fuqaha'" dan begitu juga Ibn Qutaibah tidak menyebutkan sesuatu tentang Ibn Hanbal dan Mazhabnya dalam "Kitabul Ma'arif".
Tentu tidak semuanya pendapat ini dapat kita benarkan, karena mazhab Hambali itu termasuk salah satu mazhab fiqh yang berdasarkan paham Ahli Sunnah wal Jama'ah, karena merupakan suatu tuntunan mazhab, yang lengkap, mengenai persoalan usul dan furu' hokum fiqh dalam Islam.
Meskipun Ibn Hanbal pada mulanya seorang murid dari Imam Syafi'i, tetapi pada akhirnya ia telah mempunyai konsepsi sendiri mengenai hukum fiqh.
Diantara pengikut-pengikutnya Ahmad ibn Hanbal ialah Abu Bakar bin Hani', Abul Qasim Al-Karakhi (meninggal. 334 H.) Abdul Aziz bin Ja'far (meninggal. 363 H.), Ibn Qudamah (meninggal. 620 H.), Ibn Taimiyah (661-728 H.), Ibn Qayyim (meninggal. 751 H.). Semuanya mengarang kitab fiqh menurut ajaran Imam Ahmad bin Hanbal.
Dalam kitab "I'lamul Muwaqqi'ien", karangan Ibnal Qayyim (baca juga "Dhuhal Islam" tsb.), bahwa dasar-dasar pendirian mazhab Ahmad ibn .Hanbal ialah : Nash, yaitu Qur'an dan Sunnah, terutama Hadis, meskipun marfu' dengan tidak memperdulikan ucapan sahabat.
Diantara sebabnya ialah bahwa dikala ia hidup, banyak sekali ulama-ulama mengadakan penetapan hukum menurut akal sendiri, dan oleh karena itu dengan tutup mata ia membersihkan hukum-hukum itu dengan kembali berpegang kepada Sunnah Nabi, Kita ketahui, bahwa Imam Ahmad hidupnya adalah dalam masa pengaruh Mu'tazilah yang dalam dan diluar pemerintahan sangat hebatnya.
Tingkat yang kedua baginya ialah fatwa-fatwa sahabat, yang dijadikannya hujjah atau dasar hukum, jika ia tidak melihat ada tantangan atau sanggahan dari sahabat-sahabat yang lain.
Pendapat-pendapat sahabatpun, yang dekat kepada Qur'an dan Sunnah digunakannya, terutama untuk membuat sesuatu ijtihad sendiri, meskipun tidak lupa ia dalam fatwa-fatwanya itu menyebutkan perbedaan paham dan perbedaan pendapat dari golongan lain.
Dalam tingkat yang keempat Ahmad ibn Hanbal menggunakan juga Hadis mursal dan dhaif, dalam arti kata Hadis yang belum sampai ketingkat sahih, lebih diutamakan daripada qiyas.
Ia kelihatan menggunakan qiyas pada waktu-waktu sangat darurat, artinya dikala ia tidak mendapat sesuatu Hadis atau perkataan, sahabat.
Yang sangat penting kita peringatkan disini ialah sikapnya Ahmad ibn Hanbal dalam memberikan sesuatu fatwa dalam hukum.
Ia tidak sekali-kali mau mengeluarkan fatwa itu dalam sesuatu masalah, sebelum ia memperoleh keterangan dari mereka yang hidup dalam masa Salaf dengan memperhatikan Hadis-Hadis sekitarnya.
Disini letaknya kecintaan orang kepada Imam Ahmad, yang tidak saja mempertahankan kesucian Al-Qur'an dari pada serangan-serangan Mu'tazillah, tetapi juga dalam membersihkan Islam dengan mengembalikan dasar-dasar hukumnya kepada kehidupan yang bersih dalam masa Salaf.
Pengikut-pengikut, seperti Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim Al-Jauziyah, penganut mazhab Ahmad Ibn Hanbal ini, menghidupkan kembali dalam abad ke-VII H. ajaran-ajaran Ahmad ibn Hanbal, yang kemudian dalam masa ke-XII H, disambung lagi dengan aktif oleh Muhammad bin Abdul Wahab, yang biasa dinamakan gerakan Wahabi, dalam abad ke-XLXH, digerakkan kembali oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Syeikh Muhammad Abduh serta murid-muridnya, dengan tujuan kembali kepada dasar-dasar pendirian dan penetapan syari'at yang asli, serta menjauhkan diri dari pada bid'ah, syirik dan khurafat.
Mengenai gerakan Salaf ini akan kita bicarakan dalam sebuah kitab yang tertentu mengenai perbandingan mazhab, terdiri dari jilid ke-I : Salaf, zaman tauhid dan sosialisme yang murni dalam Islam, jilid ke-II : Kembali kepada Qur'an dan Sunnah, dan jilid ke III : Gerakan Salaf dan kebangkitan ummat Islam di seluruh dunia.
III
MENGENAI IJTIHAD DAN RA'YIIJTIHAD SEBAGAI DASAR HUKUM
( I )
Jadi kita-kita, bahwa dalam pembinaan hukum Islam (tarikh tasyrï) untuk perkembangan Ilmu Fiqh penting sekali.
Sudah kita singgung, bahwa dasar hukum (adillatul akhkam) bagi Ahlus Sunnah itu, yang terpokok adalah Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, tetapi untuk menyesuaikan dan memperluaskan dasar hokum ini, diperkenankan Ijtihad, yaitu bersungguh-sungguh memperluas dasar hukum itu dengan ijma' dan qiyas.
Bahkan selain apa yang tersebut mujtahid-mujtahid itu masing-masing mempunyai dasar berfikir sendiri, seperti Imam Abu Hanifah dengan istihsan, mengambil dasar hukum yang lebih baik untuk zamannya, Malik bin Anas muslahatul masdlah, yaitu mengistimewakan dalam sesuatu hukum kepentingan umum lebih dahulu, Imam Syafi'i dan Ahmad Ibn Hanbal, lebih banyak, menggunakan istidlal, mengutamakan dalil dari Qur'an dan Sunnah, lebih suka dari pada qiyas, dan ada juga yang menggunakan istishabul hal, dalam keadaan ragu-ragu kembali kepada hukum asal, dan ada juga yang menggunakan zahir ayat, seperti yang banyak dilakukan oleh Imam Dawud Az-Zahiri, dan lain-lain.
Mengenai ijtihad dan taqlid, sudah panjang lebar saya kemukakan dalam filsafat perkembangan hukum dalam Islam, dalam seri perbandingan Mazhab, "Ahlus Sunnah wal Jama'ah". Ringkasannya saya ulang disini sebagai berikut.
Oleh karena hukum Islam itu adalah syari'at ketuhanan, yang berdasarkan kepada pokok-pokok hukum yang sudah ditentukan, seperti Qur'an, Sunnah, yang hanya diterima untuk diamalkan, atau seperti ijma', qiyas dan istihsan, yang kemudian dipikirkan sebagaj dasar tambahan, adalah ijtihad itu suatu jalan untuk menetapkan hokum yang berkembang dalam masyarakat pergaulan manusia.
Ijtihad merupakan usaha yang berfaedah sekali dalam sejarah perkembangan hokum Islam.
Orang yang melakukan ijtihad, mujtahid, menetapkan sesuatu hukum dengan nash Qur'an dan Hadis apabila ia berhasil memperolehnya, juga menetapkan dengan pikirannya, ra'yi, apabila ia tidak mendapati nash itu.
Kadang-kadang ia memperbandingkan sesuatu perkara dengan perkara yang sudah terjadi, qiyas, memilih hukum yang lebih baik dan lebih cocok dengan masa dan tempat, istihsan, atau mendasarkan pertimbangannya kepada sesuatu kemaslahatan, muslahatul mursalah.
Semua jalan-jalan yang ditempuh ini tidak sama, dan dengan demikian hasilnyapun berlain-lainan, sehingga terjadilah perbedaan pendapat dalam ijtihad, dan perbedaan mazhab-mazhab terutama dalam zaman keemasan Abbasiyah, dalam zaman mana sebagai yang kita kenal lahirlah empat buah mazhab Ahli Sunnah, yang besar sekali kemajuannya dalam ilmu fiqh dan ilmu usul.
Perbedaan paham dan kemerdekaan berpikir serta debat mendebat sangat menguntungkan peradaban fiqh.
Tetapi sayang kemajuan ini berakhir tatkala Baghdad diserbu oleh Hulagu Khan dalam pertengahan abad ke-VII H. atau abad ke-XIII M, sesuatu penyerbuan yang kejam dan merusak binasakan hampir seluruh kebudayaan Islam yang dibentuk berabad-abad.
Mungkin untuk menutup kesempatan Hulagu Khan menggunakan ulama-ulama Islam memberi fatwa-fatwa yang merugikan Islam, mungkin juga alasan karena lainnya, ulama-ulama Sunnah menyatakan pintu ijtihad itu tertutup pada waktu itu dan menganggap cukup beramal dengan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh empat Mazhab besar, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'I dan Hambali, dalam urusan ibadat dan mu'amalat.
Banyak orang menyayangkan, bahwa dengan tertutup pintu ijtihad itu, tertutup pula kemerdekaan berfikir dalam kalangan orang Islam, sehingga umat Islam itu menjadi beku dalam segala bidang dan segi kehidupan.
Dr. Sohibi Mahmassani termasuk seorang yang menyatakan kekecewaan tentang kebekuan itu.
Hal ini dijelaskan panjang lebar dalam kitabnya "Filsafatut Tasyri' Fil Islam" (Beirut 1952).
Ia berpendapat, bahwa keadaan inilah yang menyebabkan timbulnya banyak taqlid banyak bid'ah yang berdasarkan atas kebodohan dan syak-wasangka, dan tersiarlah khurafat bikin bikinan dari zaman kezaman, yang membuat Islam yang bertaqlid kepada perkara-perkara agama dalam ibadat, yang sudah diselidiki tidak ada hubungan sama sekali dengan fiqh.
Keadaan ini lebih merugikan, karena ahli ketimuran dari Barat, yang menyelidiki Islam pada waktu yang akhir, menetapkan bahwa Islam itu dalam syarat-syaratnya sudah mundur dan tidak dapat lagi mengikuti zaman peradaban baru sekarang ini.
Kita ketahui demikian Mahmassani lebih lanjut, bahwa dalam abad ke-XIX lahirlah gerakan pada beberapa tempat, yang berikhtiar akan mempcrbaiki cara berfikir dalam kehidupan Islam itu.
Maka lahirlah yang dinamakan Mazhab Salaf dengan tujuan mempropagandakan untuk tidak berpegang kepada salah satu mazhab tertentu, begitu juga ia menyeru umat Islam untuk mempersatukan mazhab-mazhabnya dan kembali kepada pokok hukum Syari'at serta semangatnya yang sebesar-besarnya, agar umat Islam maju dalam peradabannya.
Dapat kita terangkan disini, bahwa menurut pendapat umum dalam dunia Islam tidaklah ijtihad itu diperbolehkan bagi sembarang orang tetapi seorang mujtahid yang ingin menetapkan sesuatu hokum istinbath, atau menetapkan dalil-dalil bagi sesuatu kejadian, istidlal, harus mempunyai beberapa syarat, yaitu cerdas, berakal, adil, bersifat dengan sifat-sifat yang akhlak yang baik, alim dalam hukum dengan mengetahui alasan-alasan syara', mengetahui benar.
Tentang bahasa Arab, ahli dalam tafsir Qur'an, mengetahui sebab-sebab turunnya Qur'an mengetahui sejarah-sejarah perawi-perawi, baik dan buruk sifat mereka dalam Hadis, mengetahui ayat-ayat yang nasikh dan mansukh, sebagaimana yang telah dibicarakan oleh Asy-Syathibi dalam kitabnya ,,A1-Muwafaqat" IV : 106.
Syarat-syarat yang dkemukakan itu terutama bagi orang yang dinamakan mujtahid mutlak, yang ingin berijtihad dalam seluruh masalah fiqh, tidak diwajibkan bagi mujtahid macam lain mujtahid yang hendak menetapkan sesuatu hukum mengenai sebuah masalah agama, cukup baginya sebagai syarat alim dalam pokok-pokok hukum fiqh yang empat itu dan mengetahui sungguh-sungguh akan perkara yang dihadapinya.
Mujtahid mutlak atau yang dinamakan juga mujtahid dalam hukum syara', adalah orang yang istimewa keahliannya dalam sesuatu mazhab atau jalan tertentu imam-imam dari mazhab empat.
Abu Hanifah, Malik bin Anas, Syafi'i dan Ahmad ibn Hanbal, atau seperti imamimam mazhab lain, seperti Auza'i, Daud Zahiri, Ath-Thabari, Imam Ja'far As-Shadiq dan lain-lain.
Mujtahid mazhab adalah mujtahid yang tidak menciptakan suatu mazhab sendiri, tetapi ia dalam mazhabnya menyalahi imam yang diikutinya dalam ijtihadnya mengenai beberapa perkara pokok atau cabang hukum Islam.
Sebagai contoh kita sebutkan Abu Yusup dan Muhammad bin Hasan dalam mazhab Hanafi, dan Mazani dalam mazhab Syafi'i, yang keputusan-keputusan ijtihadnya tidak selalu sejalan dengan cara berfikir imam-imamnya.
Mujtahid mazhab ialah orang yang berijtihad dalam sesuatu masalah yang tidak merupakan atau mengenai pokok-pokok umum bagi sesuatu mazhab.
Misalnya Thahawi dan Zarkhasi dalam mazhab Hanafi Imam Ghazali dalam Mazhab Syafi'i, mereka berijtihad dan menetapkan hukum sesuatu masalah yang tidak menyalahi pokokpokok asal dari pada mazhab yang dianutnya.
Mujtahid muqayyid ialah orang yang mengikatkan sesuatu penetapan hukum dengan cara berpikir Salaf dan mengikuti ijtihad mereka, kemudian menyatakan hukum ini untuk diamalkan.
Dengan sendirinya mujtahid ini keluar dari pada cara berpikir mazhab yang ada, dan oleh karena itu mereka dimasukkan kedalam golongan yang dinamakan Ashab Takhrij, dan mereka sanggup mengatasi pendapat-pendapat mazhab yang sudah diakui kekuasaannya, mengistimewakan pahampaham Salaf, menjelaskan perbedaan riwayat yang kuat dan dhaif, riwayat yang umum dan riwayat yang jarang tersua, dan dengan demikian menciptakan sesuatu hukum baru dalam sesuatu persoalan.
Sebagai contoh kita sebutkan Al-Karakhi dan Al-Quduri dalam mazhab Hanafi, yang dalam pendirian sesuatu masalah ia berpisah sama sekali dengan imam mazhabnya, lalu berpegang kepada cara-cara berpikir orang Salaf.
IJTIHAD SEBAGAI DASAR HUKUM
(II)
Dalam Qur'an, Sunnah dan Ijma' Sahabat, begitu juga pendapat imam mazhab empat, terdapat banyak keterangan-keterangan yang menunjukkan bahwa ijtihad itu untuk orang-orang yang memenuhi syarat mujtahid wajib hukumnya, dan tak boleh ditinggalkan.
Demikian pendapat umum dalam dunia Islam.
Yang dijadikan alasan untuk mewajibkan itu diantara lain ialah ayat Qur'an yang berbunyi : „Gunakanlah pikiranmu, wahai orang yang mempunyai akal" (Al-Hasyar, 59), dan ayat Qur'an yang berbunyi : „Jika engkau berbantahan dalam sesuatu perkara, kembalikanlah perkara itu kepada Allah dan Rasulnya" (An-Nisa, 59).
Dalam Sunnah terdapat keterangan yang lebih nyata, diantara lain sabda Nabi : „Berijtihadlah kamu, segala sesuatu yang dijadikan Tuhan mudah adanya" (Ahmadi, Al-Ahkam, IÏI : 170), sabdanya : „Apabila seorang hakim hendak menjatuhkan sesuatu hukum dan ia berijtihad, kemudian ternyata hukumnya itu benar, maka ia beroleh dua pahala, dan apabila ternyata bahwa hukumnya banyak lagi Hadis-Hadis yang lain, yang menyuruh menuntut ilmu, yang menerangkan, bahwa ulama itu amanat, pelita bumi, pengganti Nabi-Nabi atau ahli waris Nabi Nabi, yang semuanya menganjurkan berfikir, mencari ilmu dan berijtihad.
Khalifah Abu Bakar pernah melakukan ijtihad mengenai perkara warisan kalalah dan Khalifah Umar bin Khattab-pun banyak kali berijtihad, sambil berkata : „Umar tidak tahu apakah ia mencapai kebenaran atau tidak, tetapi ia tidak mau meninggalkan ijtihad" (Ahmadi dan Imam Al-Ghazali).
Menurut Ibn Qayyim, Abu Hanifah dan Abu Yusuf pernah berkata : „Tidak diperkenankan bagi seseorang berkata menggunakan perkataan kami, hingga ia tahu dari sumber mana kami berkata itu".
Mu'in bin Isa pernah mendengar Imam Malik berkata : „Aku ini hanya seorang manusia, dapat berbuat salah dan dapat berbuat yang benar.
Lihatlah kepada pendapatku, jika ia sesuai dengan Kitab dan Sunnah, gunakanlah pendapat itu, tetapi jika tidak sesuai dengan Kitab dan Sunnah tinggalkanlah pendapat itu".
Imam Syafi'i pernah berkata : „Meskipun aku sudah menyatakan pikiranku, tetapi jika engkau dapati Nabi berkata berlainan dengan kataku itu, maka yang benar adalah ucapan Nabi, dan janganlah engkau bertaqlid kepadaku.
Apabila ada sebuah Hadis yang menyalahi perkataanku dan Hadis itu sah, ikutilah Hadis itu, ketahuilah bahwa itulah mazhabku".
Juga Imam Malik bin Anas, seorang Imam yang terkenal kuat memegang Sunnah dan sedapat mungkin menghindari dirinya dari menggunakan pikiran.
Berkata kepada muridnya : „Jangan kamu bertaqlid kepadaku, jangan kepada Malik, jangan kepada Syafi'i dan jangan pula kepada Abu Tsauri, ambillah sesuatu dari sumber tempat mereka mengambil pikiran itu".
Dari semua uraian diatas ternyata bahwa taqlid buta, taqlidul a'ma, dalam agama dilarang, dan bahwa berijtihad itu wajib hukumnya bagi orang alim yang berkuasa.
Uraian itu menunjukkan juga. Bahwa seorang mujtahid mungkin mengalami salah dan benar.
Mereka berpikir secara merdeka.
Berlainan dengan pendapat Mu'tazilah, yang berkata
bahwa tiap-tiap mujtahid yang menggunakan akalnya pasti benar, dengan demikian aliran ini seakan-akan memaksa seseorang manusia apa yang tidak sanggup diperbuatnya.
Tentu hal ini tidak diperkenankan pada syara' dengan alasan firman Tuhan dalam Qur'an : „Tuhan Allah tidak memberatkan seseorang melainkan sekuasanya" (Al- Baqarah, 268).
Disamping wajib berijtihad dan haram taqlid ada satu perkara yang harus diperhatikan, yaitu bahwa seorang mujtahid atau qadi tidak terikat kepada keputusan ijtihadnya dimasa yang telah lampau, apabila keputusan itu ternyata kurang benar.
Dalam hal ini Umar ibn Khattab pernah memperingatkan dalam suratnya kepada Abu Musa Al-Asy'ari sebagai berikut : „Tidak ada sesuatu yang dapat mencegah engkau memeriksa kembali keputusan ijtihad dalam sesuatu hukum.
Mudah-mudahan engkau beroleh petunjuk dan engkau pulang kepada yang berhak, karena hak itu asli (qadim), tidak dapat dibatalkan oleh sesuatu, dan kembali kepada yang hak lebih baik dari pada berpegang kepada yang bathil". (Mawardi, Al-Ahkamus Sulthaniyah, dan lain-lain).
Mengenai taqlid pendapat umum mengatakan, bahwa menuruti pendapat orang lain dengan tidak mengetahui hujjah yang diwajibkan tidak diperkenankan bagi orang yang berkuasa berijtihad, Taqlid hanya dibolehkan kepada orang yang tidak sanggup berijtihad, yaitu orang awam, orang yang belum mengetahui apa-apa, murid yang belum dapat berijtihad.
Bagi mereka berlaku hukum; fatwa untuk orang jahir sama kekuatannya dengan ijtihad bagi mujtahid, atau fatwa mujtahid untuk orang awam sama dengan dalil syara' bagi orang mujtahid.
Pendapat ini masuk diakal, karena hidup bermasyarakat social dan ekonomi sekarang ini sibuk dengan urusan-urusan tersendiri, sehingga tidak setiap orang dapat membuat dirinya ahli dalam hokum fiqh dan usul.
Orang yang semacam itu dibolehkan mengikuti perkataan mujtahid, sesuai dengan firman Tuhan dalam Qur'an : „Tanyalah kepada orang alim jika kamu sendiri tidak mengetahui!" (An- Nahal, 43).
Demikian perkembangan cara berfikir dalam dunia ulama ahli Sunnah.
Sekarang mari kita tinjau pendirian golongan Syi'ah, yang sebagaimana dapat dilihat hampir tidak berbeda dengan itu, kecuali mengenai ijtihad yang boleh Syi'ah dianggap tetap terbuka selamalamanya.
Pendirian inipun sesuai dengan pendirian sebahagian ulama Ahlus Sunnah.
Tentang mengubah sesuatu ijtihad, sebagaimana pendapat Umar bin Khattab, tidak saja terjadi dalam golongan Ahli Sunnah.
Ingat akan mazhab Syafi'i, yang mempunyai dua aliran berfikir, yang biasa dikenal dengan Qaul Qadim masa Baghdad, dan Qaul Jadid masa Mesir.
Dr. Mahmassani mengatakan, bahwa kemerdekaan ijtihad dalam Mazhab Syi'ah Isna Asyar Imamiyyah lebih luas dari Ahli Sunnah.
Pada mereka pintu ijtihad itu selamanya terbuka sampai zaman sekarang ini.
Mereka melekatkan penghargaan kepada ijtihad lebih tinggi dari Ijma' dan Qiyas.
Imam pada mereka berkedudukan sebagai kepala mujtahid, sayyidul mujtahidin, tempat mereka memperoleh ilmu pengetahuan agama.
Imam itu dianggap ma'sum dari pada segala kesalahan, berlainan sekali dengan kedudukan seorang khalifah dalam kalangan Ahli Sunnah (Filsafat dan seterusnya, hal. 144).
Tentu saja Imam itu boleh berijtihad dalam hukum-hukum furu' dan bukan dalam sesuatu yang bertentangan dengan Qur'an dan Sunnah.
IJTIHAD SEBAGAI DASAR HUKUM
(III)
Menurut Syi'ah tiap-tiap orang Islam yang mukallaf diwajibkan mengerjakan segala hukum Islam yang dipikulkan kepadanya dengan yakin, dan yakin itu menurut mereka diperoleh melalui salah satu jalan ijtihad, taqlid dan ihtiyath.
Pengertian ketiga macam jalan ini dijelaskan dalam kitab-kitab Syi'ah sebagai berikut.
Ijtihad
Ijtihad yaitu menetapkan hukum syara' dengan syaratnya yang sudah ditetapkan.
Taqlid
Taqlid yaitu berpegang kepada fatwa seorang mujtahid dalam mengerjakan segala amal ibadat.
Ihtiyath
Ihtiyath yaitu beramal dengan sesuatu cara yang yakin dari kebiasaan yang belum diketahui sungguh-sungguh duduk perkara yang sebenarnya.
Bagi orang-orang Syi'ah berijtihad itu wajib kifayah dan apabila ada segolongan manusia mengerjakan pekerjaan ini, terbebaslah manusia yang lain dari pada kewajiban itu.
Tetapi apa bila tidak ada yang sanggup melakukan ijtihad itu, maka seluruh masyarakat Islam berdosa kepada Tuhan.
Orang yang sanggup melakukan ijtihad dinamakan mujtahid, yaitu ada dua macam, pertama mujtahid mutlak dan kedua mujtahid muttajiz.
Mujtahid Mutlak
Yang dinamakan mujtahid mutlak ialah orang Islam yang sanggup menetapkan hukum mengenai seluruh persoalan fiqh.
Mujtahid Muttajiz
Sedang mujtahid-muttajiz ialah orang yang berkuasa, menetapkan sesuatu hukum syara' dalam beberapa hukum furu' fiqh.
Seorang mujtahid mutlak diwajibkan beramal dengan hasil ijtihadnya.
Ia boleh juga beramal secara ihtiyath. Mujtahid muttajiz juga diwajibkan beramal dengan hasil ijtihadnya jika ia mungkin dalam menciptakan bukan furu'.
Tetapi jika ia tidak mungkin maka ia dihukum bukan mujahid, dan boleh ia memilih salah satu jalan antara taqlid dan beramal dengan ihtiyath.
Keadaan ini hampir bersamaan dengan pendirian Ahli Sunnah.
Dalam dunia hukum Ahli Sunnah dikenal : Mujtahid Muttah, Mujtahid Mazhab, Mujtahid Fatwa dan Mujtahid Tarjih.
Mengenai taqlid diterangkan, bahwa taqlid itu ialah menuruti cara berfikir seseorang mujtahid karena tidak sanggup berijtihad sendiri.
Amal seorang awam yang tidak didasarkan kepada taqlid atau ihtiyath dianggap batal.
Orang yang bertaqlid dinamakan muqallid dan terbagi atas dua bahagian, pertama awam semata-mata, yaitu seseorang yang tidak mengenai sama sekali hukum syara'.
Kedua muqallid berilmu yaitu seorang yang mempunyai ilmu tentang Islam dalam garis-garis besarnya, tetapi tidak sanggup menetapkan sesuatu hukum dengan ijtihadnya.
Dalam bertaqlid disyaratkan dua perkara sebagai berikut :
Pertama amalnya sesuai dengan fatwa mujtahid yang diikutinya dalam beraqlid.
Kedua benar qasad ibadatnya untuk berbakti kepada Tuhan dengan secara yang diputuskan mujtahid itu.
Seorang muqallid dapat mencapai fatwa yang diikutinya dengan salah satu dari pada tiga jalan :
Pertama ia mendengar langsung hokum sesuatu masalah pada mujtahid itu sendiri.
Kedua bahwa ada dua orang yang adil dan dapat dipercayai menyampaikan fatwa mujtahid itu kepadanya, boleh juga hanya oleh seorang saja yang dipercayainya sungguh-sungguh dan dapat menerangkan keyakinannya, ketiga ia membaca sebaran tertulis, dimana diuraikan mujtahid itu dan keputusan itu hendaknya dapat menenteramkan jiwanya tentang sahnya dan benarnya penetapan hukum tersebut.
Apabila seorang mujtahid mati, sedang muqallid tidak mengetahuinya melainkan sesudah beberapa waktu kemudian, amal muqallid yang sesuai dengan mujtahid yang wafat itu sah menurut Syi'ah.
Bahkan dihukum sah dalam beberapa perkara yang berlainan, asal yang berlainan itu mengenai persoalan-persoalan yang dapat dianggap uzur, seperti antara satu kali atau tiga kali mengucapkan tasbih, yang fatwanya berbeda antara mujtahid yang sudah mati dengan mujtahid yang dibelakangnya, yang berlaku fatwanya dalam masa itu.
Jadi berlainan jumlah kali tasbih karena berlainan fatwa mujtahid tidak merusakkan sahnya sembahyang seorang muqallid dalam mazhab Syi'ah.
Seorang muqallid harus bertaqlid kepada mujtahid yang lebih alim dari yang lain.
Jika ia mendengar ucapan dua yang berlainan dari dua orang mujtahid, dan orang tunjukkan kepadanya, bahwa mujtahid yang seorang itu lebih alim dari yang lain, maka muqallid itu harus mengikuti mujtahid yang alim itu.
Seorang anak boleh bertaqlid, dan apabila mujtahid yang diikutinya itu mati sebelum sampai umurnya, anak itu boleh bertaqlid terus kepadanya dengan tidak usah memilih mujtahid yang lebih alim.
Orang-orang yang dibolehkan bertaqlid kepadanya, harus mempunyai syarat-syarat tertentu, seperti bahwa ia sudah baligh, berakal, seorang laki-laki, seorang yang teguh imannya (dalam hal ini dimaksudkan Syi'ah penganut-penganut Mazhab Isna Asyariyah), adil, bersih keturunannya, ahli agama, mempunyai kekuatan ihtiyath dan masih hidup.
Tidak dibolehkan bertaqlid pada umumnya kepada mujtahid yang sudah mati, meskipun diketahui bahwa ia pada waktu hidupnya adalah seorang mujtahid yang lebih adil dari yang lain.
Dalam Mazhab Ahlus Sunnah hal ini diperbolehkan.
Dalam memilih mujtahid yang lebih alim ditentukan dua buah syarat.
Jika ada seorang mujtahid mengajarkan perselisihan pendapat dalam fatwanya, baik secara besar atau secara perinci, seorang muqallid wajib memilih mujtahid yang lebih alim.
Jika seorang mujtahid memberikan fatwa tidak mengajarkan perselisihan paham sama sekali, kepadanya dibolehkan taqlid dengan tidak usah mencari orang lain yang lebih alim.
Jika seorang muqallid memerlukan sebuah fatwa, ia boleh memilih seorang mujtahid yang sanggup memberikan fatwa itu kepadanya, meskipun ada disampingnya mujtahid lain yang lebih alim.
Ihtiyath artinya boleh mengerjakan, boleh meninggalkan dan boleh mengulang sesuatu yang tidak diketahui caranya, tetapi diyakini dalam melepaskannya dari suatu perintah agama.
Yang masuk bahagian pertama ialah hukum-hukum yang diragu-ragui antara wajib dan tidak haram, mazhab Syi'ah dalam keadaan yang demikian memerintah kan mengerjakannya.
Mengenai macam kedua, jika diragu-ragui antara perintah dan tidak wajib, ihtiyath dalam hal ini' menghendaki agar pekerjaan yang demikian itu ditinggalkan dan jangan dikerjakan.
Dalam perkara yang ketika misalnya mengenai suatu hukum yang diragu-ragui wajibnya mengenai dua macam ibadat, seperti pertanyaan, apakah sembahyang dilakukannya harus lengkap atau dipendekkan dalam bentuk qasar, maka ihtiyath dalam keadaan begini diulang dua kali, sekali secara qasar dan sekali secara tamam atau lengkap.
Mungkin terjadi seorang awam tidak pernah dapat membedakan cara ihtiyath semacam itu, misalnya karena ahli fiqh berbeda paham mengenai harus berwudhu' atau mandi dengan air musta'mal dalam menghilangkan hadas besar.
Ihtiyath dalam keadaan seperti ini ialah meninggalkan seluruh macam itu.
Jika orang awam itu mempunyai air yang tidak musta'mal, maka boleh dilakukannya ihtiyath, yaitu berwudhu' atau mandi dengan itu.
Boleh juga ia tayammum jika ia mungkin melakukan pekerjaan ini.
Demikian beberapa contoh yang kita ambil dari kitab Syi'ah sendiri, yaitu kitab „Al-Masa'il Al-Muntakhabah" (Nejef, 1382 H), karangan seorang ulama Syi'ah terkenal Sayyid Abdil Qasim Al-Khu'i.
IV
FIQH MENURUT LIMA MAZHAB
T H A H A R A H
B E R S U C I
Bersuci itu (At-thaharah) pada istilah fiqh mengangkat hadas besar dan kecil pada badan manusia, menghilangkan najis, yaitu najis yang berupa benda, seperti darah, kencing dan tahi, dan najis maknawi, yang menyebabkan manusia belum boleh melakukan sembahyang, yaitu, melakukan wudu', mandi junub atau tayammum.
Bersuci dari hadas itu tidak berhasil, jika tidak dengan niat beribadah dan ta'at kepada perintah Tuhan.
Melakukan bersuci terhadap pergelangan tangan, pakaian dan barang-barang, seperti bejana dari pada najis, cukup dengan melakukannya, tidak usah berniat.
Dasar wajib bersuci ini adalah dari firman Tuhan, yang menyuruh menggunakan air atau tayammum.
Tuhan Allah berkata : „Ia menurunkan air dari langit, agar kamu dapat menggunakannya untuk bersuci" (Al-Anfal).
Dan firmannya : "Kami turunkan dari langit air yang suci" (Al-Furqan : 48).
Yang dikatakan suci itu adalah air yang suci dan dapat menyucikan yang lain.
Air yang demikian itu terbagi atas dua bahagian :
Air mutlak
Air mutlak Yang dinamakan air mutlak ialah air yang tetap menurut sifatnya, sebagaimana air itu turun dari langit, atau terpancar dari gunung, sehingga namanya menurut sifatnya tetap disebut air.
Kedalam golongan ini termasuk air hujan, air laut, air kali, air sumur dan semua air yang terpancar dari gunung, begitu juga air embun dan salju.
Air mutlak ini tetap bernama demikian, meskipun ia berubah rupanya karena tanah, karena lumpur, karena lama tergenang, karena bercampur dengan daun-daun kayu atau garam, atau barang-barang tambangan dan sebagainya yang suci pada asalnya.
Air mutlak itu suci dirinya dan membuat barang lain jadi suci pula.
Menurut hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, bahwa bertayammum itu lebih baik dari pada menggunakan air laut.
Tetapi Nabi pernah menyangkal dengan berkata : "Barang siapa yang tidak bersuci dengan air laut, maka ia tidak dianggap Tuhan sudah bersuci".
Air Mustamal
Air yang pernah digunakan membersihkan najis dari badan atau pakaian atau barang perabotan dari air mutlak, kemudian air itu berpisah dengan barang yang dibersihkan itu, dinamakan air mustakmal, jadi najis pula, kalau air itu sedikit, baik berubah atau tidak dan air itu tidak dapat mensucikan najis atau mengangkat sesuatu hadas kembali.
Air yang mustakmal karena wudu' atau mandi sunat, seperti mandi taubat dan mandi Jum'at, adalah suci dan mensucikan bagi hadas dan najis, boleh dipakai untuk mandi junub, berwudu' atau menghilangkan najis.
Adapun air yang mustakmal karena mandi wajib, seperti mandi junub dan haid, bukan saja, Mazhab al-Ja'fari, tetapi semua ulamanya sepakat bahwa air itu dapat menghilangkan najis, cuma berselisih faham dalam mengangkat hadas, setengahnya membolehkan setengahnya tidak.
Sesudah membersihkan najis dan menceburkan diri kedalam air mutlak yang sedikit, air itu menjadi mustakmal tetapi dapat mengangkatkan hadas besar lagi dan tidak usah kembali mandi.
Air Dua Qullah
Air dua qullah tidak najis. Hadis menerangkan; "Apabila air sampai dua qullah tidak dapat bemajis.
" Dua qullah itu, yang dinamakan kurs, sama dengan 1200 kg Irak.
Air yang mengalir sama dengan air banyak, meskipun alirannya itu sedikit.
Air hujan yang turun dari langit sama dengan air yang terpancar dari mata air.
PENGERTIAN NAJIS
Termasuk najis adalah anjing.
Barang-barang yang dijilat anjing, dicuci tujuh kali, sekali dengan tanah.
Babi sama dengan anjing.
Barang-barang yang dijilatnya dicuci tujuh kali dengan air.
Bangkai selain mayat manusia, jika berdarah mengalir, najis.
Semua darah najis, kecuali darah manusia yang mati sahid, darah ikan, darah lalat.
Menurut Mazhab Imamiyyah semua darah binatang yang mengalir najis.
Imamiyyah menghubungkan mani itu najis, sedang nanah tidak najis.
Kencing manusia najis Sisa minuman burung yang boleh dimakan dan yang tidak boleh dimakan suci.
Minuman yang memabukkan najis (yang cair).
Muntah tidak najis.
Mazi dan Wadi kedua-duanya tidak najis.
Sisa air yang diminum oleh binatang yang najis, seperti anjing dan babi najis, dan sisa air yang diminum oleh binatang yang suci tidak najis.
Membuang air kecil atau besar haram menghadap Qiblat atau membelakanginya, baik didalam kamar atau ditempat yang terbuka.
BERWUDHU' DAN HILANG WUDHU'
Hilang wudhu' karena buang air besar, buang air kecil dan keluar kentut, tetapi tidak hilang wudhu' karena keluar mazi dan wadi.
Selain dari pada itu hilang wudhu' karena mabuk, gila atau pitam, dan tidur apabila nyenyak tidak dapat mendengar atau melihat sesuatu.
Keluar mani mewajibkan mandi, tidak mewajibkan wudhu'.
Muntah tidak menggugurkan wudhu', begitu juga keluar darah atau nanah.
Tertawa berbahak-bahak dalam sembahyang membatalkan sembahyang, tetapi tidak membatalkan wudhu.
Wanita yang berhaid, wajib wudhu.
Sembahyang fardhu dan Sunnat wajib dengan berwudhu.
Sembahyang jenazah tidak mewajibkan wudhu, tetapi sunnat, karena sembahyang ini hanya merupakan do'a saja.
Tawaff mewajibkan wudhu sama dengan sembahyang.
Sujud tilawat tidak mewajibkan wudhu, tetapi
sunnat.
Haram menyentuh Al-Qur'an dengan tidak berwudhu atau tidak berlapis kain, begitu juga kulitnya, tetapi tidak haram membacanya, menulis atau membawa Al-Qur'an, yang tertulis tidak dengan huruf Arab.
Untuk berwudhu diwajibkan niat, mencuci muka, mencuci dua tangan dengan mendahului kanan dari yang kiri, mewajibkan menyapu kepala dengan air, meskipun sebahagian, tidak cukup dengan menyapu kepala atau surban karena Allah berkata : "Sapulah (dengan air) kepala kamu" dan surban itu bukan kepala.
Kemudian mencuci atau menyapu dua belah kaki sampai kemata kaki.
Tertib dan mualad beriring-iring dan bersambungan antara satu pekerjaan wudhu dengan yang lain wajib.
Sebagai syarat wudhu hendaklah bahwa air, tempat berwudhu, cerek semuanya itu tidak boleh dari pada barang rampasan, jika barang rampasan wudhunya batal.
Yang sunnat bagi wudhu banyak sekali, yaitu diantaranya mencuci pergelangan tangan, berkumur, mencuci hidung, bersikat gigi, duduk berwudhu menghadap qiblat, berdo'a dengan do'a yang maksyur, mencuci seluruh muka, kedua belah tangan dua atau tiga kali, mencuci yang pertama wajib, yang kedua sunnat, dan yang ketiga bit'ah.
Apabila seorang yang menunggu syak dalam mencuci salah satu anggotanya atau menyapu kepalanya, jika syak itu ditengah wudhu, kembali balik sebagai semula, jika syak itu sesudah wudhu dan sudah meninggalkan tempat sembahyang, tidak mengulang lagi.
MANDI WAJIB
Mandi wajib itu ialah pada waktu junub, haid, nifas dan memandikan orang mati.
Semuanya wajib menurut mazhab Islam.
Imamiyyah mengatakan bahwa seorang kafir yang junub masuk Islam wajib mandi untuk junub, bukan untuk Islam.
Orang yang berjunub tidak boleh melakukan sembahyang.
Junub itu terjadi, apabila keluar mani, baik karena setubuh, baik dengan syahwat ataupun tidak dengan syahwat.
Kewajiban itu dipikulkan kepada orang Islam yang sudah balig dan sesudah mukalaf.
Atau yang belum balig, kepada laki-laki atau kepada perempuan, baik berlapis ataupun tidak berlapis kemaluannya, baik terpaksa atau sukarela, baik yang disetubuhi itu perempuan yang hidup atau mayat yang mati, baik binatang atau manusia.
Kewajiban mandi itu tidak boleh dilambatkan, orang yang berjunub tidak boleh lewat dalam salah satu masjid, tidak boleh membaca empat surat dalam Qur'an, yaitu surat Iqra', Wan-Nadni, Hamim Sajjadah.
Alif Lam Mim Tanjil, dan dibolehkan membaca yang lain, tetapi makruh membaca lebih dari pada 7 ayat Qur'an.
Tidak syah puasa, apabila seseorang berjunub sampai siang, sengaja apa lupa, apabila ketiduran tidak apa-apa puasanya.
Yang diwajibkan pada mandi junub adalah apa yang diwajibkan pada wudhu, baik tentang air, tentang bersuci, tentang suci badan maupun tentang melekat sesuatu pada badan yang tidak menyampaikan air.
Imamiyyah membagi junub itu atas dua bahagian, yaitu tertib dan Ihtimas.
Yang dinamakan tertib yaitu menyirami seluruh badan dengan air, dimulai dengan kepala, kemudian kanan, kemudian kiri, kalau dibalik nanti itu batal.
Ihtimas yaitu memasukkan badan seluruhnya kedalam air sekaligus, jangan ada sebahagianpun diluar air. Dengan demikian suci.
URUSAN HAID
Yang dinamakan haid dalam Ilmu Fiqh ialah keluar darah yang tetap pada wanita pada hari-hari tertentu, dan dengan demikian mereka harus meninggalkan Ibadah.
Sekurang-kurang masa haid ditetapkan tiga hari, dan sebanyak-banyaknya sepuluh hari, yang berlainan dengan itu bukan haid.
Diharamkan atas wanita yang berhaid apa-apa yang diharamkan atas orang berjunub, seperti menyentuh Al-Qur'an, tinggal dalam Masjid, tidak diterima puasa dan Sembahyang pada hari haid, tetapi harus dikadha' puasanya dan tidak sembahyangnya.
Diharamkan mentalak wanita dalam masa haid, meskipun Talak itu syah pada mazhab fiqh yang lain, tetapi batal talak pada Imamiyyah.
Kalau seseorang setubuh dengan isterinya yang sedang haid, ia harus membayar kifayah satu dinar.
Istihadhah yaitu keluar darah pada perempuan lain pada waktu haid.
Imamiyyah membagi atas 3 bahagian;
Pertama Istihadhah kecil, yaitu keluar darah sedikit sekedar basah kapas, boleh sembahyang dengan berwudhu dan menggantikan kapasnya, tidak boleh dua kali Sembahyang dengan satu wudhu. Istihadhah.
Kedua Istihadhah menengah, yaitu apabila darahnya mengalir dan kapasnya basah semua, harus saban hari mandi satu kali, menggantikan kapas dan berwudhu tiap-tiap Sembahyang.
Ketiga Istihadhah besar, berdarah banyak dan kapas basah sama sekali harus mandi tiga kali dalam sehari dan berwudhu tiap mengganti kapas.
PERDARAHAN NIPAS
Darah nifas yaitu darah yang keluar dari rahim perempuan, karena melahirkan anak, baik bersama-sama dengan keluar anak atau sesudahnya, bukan sebelumnya.
Hukum mandinya sama dengan pada haid, tidak syah Sembahyang dan puasa, wajib kadha puasa, tidak diperkenankan bersetubuh dalam masa itu, tidak diperkenankan menyentuh kitab Al-Qur'an, tidak diperkenankan tinggal atau lewat mesjid, tidak boleh melakukan Talak.
Cara melakukan mandi seperti mandi haid.
MANDI MAYAT
Wajib mandi karena menyentuh mayat yang sudah dingin badannya dan yang belum dimandikan menurut syariat Islam.
Apabila menyentuh mayat sebelum dingin atau baru mati, atau sesudah sempurna dimandikan, tidak apa-apa.
Kewajiban mandi karena menyentuh mayat itu tetap, baik mayat itu seorang Islam atau bukan seorang Islam, baik mayat itu besar atau kecil, meskipun anak keguguran yang sudah empat bulan, baik tersentuh karena terpaksa atau disengaja, baik mayat itu disentuh secara suka rela.
Wajib juga mandi orang yang menyentuh mayat itu gila sesudah ia baik kembali, begitu juga jika yang menyentuh itu anak kecil sebelum balig.
Bahkan Imamiyyah mewajibkan mandi karena memegang sepotong kain orang mati, menyentuh sepotong tulang, menyentuh sepotong tangan yang sudah terpisah daripada orang yang hidup atau sepotong didi, sepotong daging dan sebaginya.
Imamiyyah menganggap wajib mandi karena menyentuh mayat itu sebagai hukum hadas kecil, dengan segala akibatnya mengerjakan sesuatu amal yang wajib berwudhu, tidak yang mewajibkan mandi sebagai mandi junub, oleh karena itu orang yang menyentuh mayat boleh masuk masjid dan tinggal didalamnya atau membaca Al-Qur'an.
Mandi karena menyentuh mayat sama keadaannya dengan mandi junub.
Mayat Yang Dimandikan
Mayat diletakkan terlentang, dengan telapak kakinya kearah Qiblat, sehingga jika dia duduk menghadap Qiblat.
Mengarahi mayat itu ke Qiblat adalah sunnat. Setengah 'ulama Imamiyyah menerangkan hal itu wajib kifayah, seperti mandi dan mengafani.
Dalam kitab "Mazahibul Faqih", yang ditulis menurut Mazhab Imamiyyah, diterangkan, bahwa "wajib menghadapkan mayat ke Qiblat, baik mayat seorang dewasa ataupun anak-anak".
Sepakat semua ulama, bahwa orang mati sahid, yaitu orang yang mati dalam peperangan memerangi kafir, tidak dimandikan, begitu juga orang yang bukan Islam tidak harus dimandikan sama dengan anak keguguran yang belum empat bulan, kalau sudah sampai empat bulan wajib dimandikan.
Mengenai mayat yang terbakar atau dimakan binatang, Imamiyyah melihat, bahwa jika potongan yang terdapat yaitu dada dengan isinya, hukumnya seperti hukum mayat yang lengkap, yaitu wajib memandikan, wajib mengafani dan wajib menyembayangi.
Jika bukan dada, misalnya sepotong tulang, cukup dengan mencuci dan membungkus dengan sepotong kain, kemudian dikuburkan, jika bukan tulang, cukup dengan dibungkus dan dikuburkan dengan tidak dicuci.
Orang Yang Memandikan Mayat
Jika mayat laki-laki hendaklah dimandikan oleh laki-laki , dan jika mayat itu seorang wanita hendaklah dimandikan oleh wanita.
Imamiyyah membolehkan seorang suami memandikan isterinya atau isteri memandikan suaminya, yang hukumnya berlainan dengan Mazhab Hanafi.
Seorang perempuan boleh memandikan anak kecil selama belum berumur tiga tahun, begitu juga seorang laki-laki boleh memandikan anak perempuan sebelum umurnya sekian.
Kaifiyat Memandikan
Mayat itu dimandikan tiga kali.
Kali yang pertama airnya dicampur dengan daun sadar kali yang kedua dicampur dengan sedikit kamper, dan kali yang ketiga dengan air yang bersih.
Memandikan itu dimulai dengan menyiram air mulai dari kepala, kemudian sebelah kanan kemudian sebelah kiri.
Disaratkan syah mandi mayat dengan niat oleh orang yang memandikan, mencurahkan air, dan mengikhtiarkan kesuciannya, membuang najis yang ada pada badan mayat, tidak ada sesuatupun yang dapat mendindingi antara badan mayat dengan air.
Makruh memandikan mayat dengan air panas.
Mayat yang dimandikan dalam masa Haji tidak ditaroh kamper, sebagaimana tidak diberi berwangi-wangian.
Apabila mandi mayat tidak dapat dilakukan karena tidak ada air atau mayat itu sudah terbakar atau karena penyakit badannya itu hancur, boleh diberikan tayammum seperti tayammum orang hidup.
Imamiyyah menegaskan bahwa tayammum itu wajib dilakukan tiga kali, yang pertama ganti mandi dengan air sadar, yang kedua ganti mandi dengan air kamper dan ketiga ganti mandi dengan air yang bersih.
Kemudian memberikan kamper pada mukanya dan pergelangan tangan dan kakinya.
Mengafani mayat itu wajib, yang wajib dalam selembar kain dan yang sunnat tiga kain itu.
Imamiyyah mewajibkan tiga lapis dan bukan sunnat.
Dimulai dengan selendang, kain pinggang, baju dan selendang yang menutupi seluruh badan.
Umumnya dalam mengafani itu disaratkan dapat menutupi seluruh badan sebagaimana pada waktu Sembahyang, kain kafan jangan dari sutera atau dari binatang yang dimakan dagingnya, atau dari sulaman emas buat laki-laki dan wanita.
Ongkos mengafani mayat wanita dipikul oleh suaminya, jika ada, jika tidak punya suaminya itu tidak diwajibkan, karena perlengkapan mayat itu dapat diambil dari harta peninggalan, dari piutang, dari wasiat, dan dari harta pusaka dan dari umum.
Kafan yang wajib itu saja yang dimestikan.
Umumnya apabila mayat tidak meninggalkan sesuatu untuk mengafaninya, maka ongkos kafannya itu dipikul oleh orang Islam yang duduk disekitarnya, atau dari Baitalmal, atau dari zakat atau dari orang-orang Islam yang berpuasa.
Imamiyyah menerangkan : Barang siapa meninggal tidak meninggalkan uang atau harta benda atau orang yang dapat menyelenggarakan hal itu daripada keluarganya, tidak ada orang yang diwajibkan musti mengafaninya, karena yang diwajibkan itu ialah beramal menyelenggarakan mayat itu, termasuk menguburkannya, bukan diwajibkan mengeluarkan duit, sedang mengeluarkan belanja untuk mengafani orang yang miskin itu termasuk sunat dalam ikhsan, dan kalau tidak ada orang yang berbuat baik, boleh mayat itu dikuburkan telanjang bulat.
Menyembahyangkan (Shalat Jenazah).
SHALAT ORANG MATI SAHID
Semua mazhab setuju bahwa Sembahyang untuk mayat itu wajib kepada semua orang Islam dan semua anak pinaknya, dengan tidak memperhatikan mazhab apa dan perkumpulan apa, karena Sembahyang itu tidak syah kecuali sesudah mayat itu dimandikan dan dikafani.
Adapun orang yang mati sahid tidak dimandikan dan tidak dikafani, tetapi dikuburkan dalam pakaian yang dipakainya.
Imamiyyah, sebagaimana Mazhab Hanafi, mewajibkan Sembahyang atas mayat mati sahid, sebagaimana mayat-mayat yang lain.
Sembahyang mayat untuk anak-anak tidak diwajibkan sembahyang untuk anak-anak Islam, kecuali sesudah balig dan sesudah berumur 6 tahun.
Dan Sembahyang untuk anak dibawah umur demikian adalah mustahad.
Salat Ghaib
Tidak ada Shalat Ghaib pada waktu mayat belum dikuburkan.
Izin Wali Mayat
Imamiyyah mengatakan, bahwah semua kewajiban yang ada sangkut pautnya dengan penyelenggaraan mayat baru syah apabila ada izin daripada mayat yang meninggal, baik dalam memandikannya, dalam mengafaninya, dalam memberikan pakaian mati, dan Sembahyang.
Barang siapa mengerjakan demikian itu dengan tidak ada izin dari wali mayat, batallah amalnya dan wajib semua penyelenggaraan mayat itu diulang kembali.
Adapun wali itu boleh turut dalam penyelenggaraan mayat, atau ia mengizinkan kepada orang lain.
Dalam mayat itu diulang kembali.
Adapun wali itu boleh ia turut dalam penyelenggaraan mayat, atau ia mengizinkan kepada orang lain.
Dalam menetapkan wali ini yang paling utama ialah suami terhadap isteri yang meninggal, dan wali-wali selain suami adalah kemudian daripada itu, sebagaimana tersebut dalam tertib pembahagian pusaka, yaitu tingkat pertama ayah dan anak lebih dahulu dari tingkat kedua saudara dan nenek, yang lebih dulu dari tingkat kedua dan ketiga yaitu paman dari pihak ayah dan paman dari pihak ibu.
Bapak adalah yang paling utama.
Apabila ada satu mayat tidak diketahui, apakah ia seorang Islam atau bukan orang Islam, jika mayat itu didapat dalam kampung orang Islam, maka dia dihukum sebagai seorang muslim, jika terdapat dalam kampung bukan Islam, tidak ada kewajiban apa-apa.
Apabila orang-orang Islam yang mati ini bercampur aduk mayatnya dengan orang yang bukan Islam, dan sukar membedakannya, dilakukan Sembahyang atas mayat dengan niat orang Islam.
KAIFIAT SHALAT JENAZAH
Adapun tentang cara melakukan Sembahyang jenazah atau Sembahyang mayat, diterangkan sebagai berikut.
Mayat diletakkan atas belakangnya dalam kurung batang, orang yang menyembahyangkannya berdiri dibelakangnya tidak jauh dari pada mayat itu sambil mengucapkan 2 kalimat sahadat, sesudah takbir kedua mengucapkan antara orang yang Sembahyang dengan mayat, orang yang Sembahyang berdiri kecuali kalau ada uzur syara', kemudian berniat Sembahyang mayat dengan mengucapkan takbir 4 kali, sekali demi sekali berturut-turut ini umumnya semua mazhab.
Mazhab Imamiyyah mewajibkan 5 takbir sama dengan bilangan 5 kali ferdhu Sembahyang fardhu sehari, sesudah takbir pertama mengucapkan 2 kalimat sahadad, Sesudah takbir kedua mengucapkan salawat kepada Nabi, sesudah takbir yang ketiga mengucapkan do'a bagi orang mukmin peria dan wanita, dan sesudah takbir yang keempat do'a bagi mayat, bagi kedua ayahnya apa bila mayat itu kanak2, dan sesudah takbir kelima tidak ada bacaan sesuatupun.
Mengangkat kedua belah tangan pada waktu mengucapkan takbir adalah mustahab.
Umumnya mazhab mengemukakan sebagai syarat syah Sembahyang jenazah adalah bersuci (berwudhu) dan menutup aurat yang sempurna seperti pada Sembahyang 5 waktu.
Tetapi Mazhab Imamiyyah tidak mewajibkan wudhu dan tutup aurat yang penuh untuk syah Sembahyang jenazah, tetapi menghubungkannya bukanlah Sembahyang, saja.
Baik Imam Ja'far as-Sadiq, maupun Nabi, melakukan 5 takbir atas Sembahyang mayat umum orang Islam, dan melarang bertakbir Sembahyang sebanyak itu terhadap mayat orang munafik.
Sembahyang mayat dalam Mesjid hukumnya mubah, jika tidak mengotorkan Mesjid.
Dan Shalat zenajah itu dapat dilakukan pada Sembarang waktu.
Dilarang meletakkan mayat diatas muka bumi dan kemudian ditimbun dengan tanah.
Mayat harus dikuburkan dalam tanah, terletak diatas lambung kanan menghadap Qiblat, kepalanya kesebelah Barat dan kakinya sebelah Timur.
Mayat seorang perempuan diturunkan kedalam kuburan oleh suaminya atau oleh salah seorang mahrimnya, jika tidak ada orang yang demikian, oleh orang saleh yang terdekat dengan familinya. "
Orang yang mati dalam kapal ditengah lautan, jauh dengan daratan sesudah dimandikan dikafani dan di Sembayangkan, dikuburkan kedalam laut dengan memberikan pada kakinya sesuatu yang berat.
Jika sudah dekat dengan daratan dan tidak ditakuti busuk, boleh ditahan sampai kedarat.
Kuburan mayat boleh ditinggikan sedikit.
Mayat yang sudah dalam kubur tidak boleh digali lagi, baik kecil atau besar, baik berakal atau gila, kecuali jika untuk kepentingan pemeriksaan hukum.
T A Y A M M U M
Bertayammum dilakukan jika tidak ada air, dengan tanah yang suci, dan boleh juga pada waktu dalam perjalanan atau sakit,.
Karena tidak boleh melakukan Sembahyang, jika tidak suci.
Tidak syah tayammum dengan tidak berniat, menyapu seluruh muka, termasuk janggut, menyapu kedua tangan sampai kesiku.
Tepukkan tanah yang pertama menyapu seluruh muka, sedang tepukkan tanah yang kedua menyapu dua tangan mulai dari ujung jari-jari sampai kesiku.
Wajib tertib, sehingga jika didahulukan menyapu tangan dari muka, tayammumnya batal.
Tayammum itu sebelum masuk sembahyang.
Jika sesuatu tayammum dikerjakan sebelum waktu sembahyang untuk sesuatupekerjaan yang mewajibkan tayammum, boleh digunakan untuk sembahyang.
Sebuah tayammum boleh untuk dua kali Sembahyang.
Jika terdapat air sebelum masuk waktu Sembahyang, Tayammum itu batal.
Tayammum dapat digunakan ganti kewajiban mandi.
Imamiyyah menerangkan dalam mengupas ayat Qur'an yang mengenai tayammum, bahwa diperkenankan Tayammum karena menyentuh (lamasya) seorang perempuan tetapi diarükan, bahwa Jima atau campur dengan isteri bukan sentuh (lamasya).
Yang dikehendaki dengan "Sha'id" ialah tanah, pasir dan debu padang pasir.
Menyapu muka tidak usah seluruhnya, dan menyapu kedua tangan hendaklah sampai kesiku.
S H A L A T
SHALAT ATAU SEMBAHYANG
Shalat itu terbagi atas dua jenis, yang wajib dan yang sunnat.
Sembahyang yang paling penting daripada segalanya ialah Sembahyang 5 waktu sehari semalam.
Seluruh ulama Islam sepakat, bahwa orang yang menentang wajibnya atau ragu-ragu terhadap kewajiban itu, bukanlah orang Islam, meskipun ia sudah mengucapkan dua kalimat Shahadat, karena Sembahyang itu adalah dari rukun Islam, dan kewajibannya ditegaskan dalam agama, tidak ada tentang Sembahyang itu kesempatan berfikir mempertimbangkan atau ijtihad, atau taqlid dan soal jawab.
Semua mazhab sepakat tentang hukum orang yang meninggalkan Sembahyang karena malas, atau karena meringan-ringankan tentang keyakinan wajibnya, menurut Syafi'i, Maliki, dan Hambali dibunuh, tetapi menurut Hanafi hanya dipenjarakan sampai dia mau Sembahyang.
Menurut Imamiyyah, bahwa tiap-tiap orang yang meninggalkan kewajiban Islam, seperti Sembahyang, membayar zakat, mengeluarkan Humus, Haji dan Puasa dibayar sebagaimana yang pantas pada pendapat hakim, jika menurut dibiarkan jika tidak dihardik lagi, jika taubat dibiarkan, jika melawan dihajar lagi, jika terus-menerus dia meninggalkan kewajiban tersebut pada tingkat yang keempat ia dibunuh ("Kasyful Dhithe'", karangan Syeikh Kabir, hal. 79, eet. 1317 H.).
Sunnat Rawatib
Imamiyyah melakukan Sunnat Rawatib ini dalam sehari semalam tiga puluh empat rakaat, dekpan rakaat sebelum Zhohor, delapan rakaat untuk Isya, Sunnat Witir, delapan rakaat Shalatul Lay dan dua rakaat sebelum Asyar empat raka'at sesudah Maghrib dua raka'at untuk Isya, Sunnat Witir, delapan rakaat Shalatul Lail dan dua rakaat Shalat Safaat, dan dua rakaat sebelum Subuh, yang dinamakan Salat Fajar.
Sebelum Sembahyang Ferdhu
Pembahasan dimulai dengan Shalat zhohor, karena Sembahyang inilah yang mula-mula ditentukan dalam sejarahnya, kemudian Sembahyang Asyar, kemudian embahyang Maghrib, kemudian Sembahyang Isya dan kemudian Sembahyang Subuh menurut tertib.
Sepakat ulama, bahwa Sembahyang lima waktu ini diwajibkan di Mekkah pada malam Isyra' (Qur'an, Al-Isyra', ayat 78).
Semua Sembahyang itu dilakukan pada waktunya.
Imamiyyah mengatakan, bahwa Sembahyang Zhohor itu waktunya sesudah Jawal matahari, Asyar, akhir hari, apabila sempit waktu dibolehkan Jama' antara dua Sembahyang ini.
Waktu Maghrib tatkala masuk matahari, dan waktu Isya sesudah akhir separoh malam, dan antara dua Sembahyang ini boleh dilakukan Jama'.
Waktu Subuh dimulai dengan keluar fajar sadiq sampai keluar matahari.
Arah Qiblat
Semua ulama dan mazhab sependapat bahwa Ka'bah itu adalah Qiblat dan kalau Sembahyang dekat Ka'bah hendaklah kelihatan Ka'bah itu.
Pada tempat yang jauh yang ditujukan adalah arah tempat terletak Ka'bah bukan 'ain Ka'bahnya.
Tetapi ada juga ulama Syafi'I dan Imamiyyah yang berpendapat, wajib menghadap Ka'bah, baik dari jauh atau dekat, mengenai 'ainnya.
Jika tidak cukup zat saja.
Jika seseorang tidak mengetahui arah Qiblat, boleh Sembahyang kearah manapun ia suka dan tidak usah mengulang Sembahyang itu kembali.
Imamiyyah menegaskan, bahwa jika ia diberitahukan arah Qiblat ditengah-tengah Sembahyang, wajib ia memutarkan badannya kearah yang ditujukan itu.
Menutup Badan Ketika Sembahyang
Menutup badan wajib dalam Sembahyang, bagi laki-laki ada batasnya dan bagi wanita ada batasnya.
Jika tidak ada yang lihat dan tidak ada pakaian, jika pada suatu tempat yang sunyi tidak dilihat orang, tidak haram dan tidak makruh Sembahyang dengan tutup badan yang ada.
Aurat wanita seluruh badannya, kecuali sesama wanita dan mahrimnya.
Aurat laki-laki pada Imamiyyah ialah menutup kubul dan dhubur, terhadap bukan mahrimnya seluruh badan. Bagi anak laki-laki sebelum umur tujuh tahun, tidak ada aurat.
Tetapi anak yang sudah balig wajib menutup auratnya. Menurut hadis riwayat Ahlil Bait boleh melihat aurat anak-anak sebelum sampai umur 6 tahun.
Semua ulama dari mazhab berpendapat bahwa suara wanita azanabi bukan aurat, artinya tidak haram mendengar, kecuali kalau suara itu terlalu sedap atau bisa menimbulkan fitnah.
Tiap yang boleh dilihat, boleh disentuh dan tiap yang haram dilihat haram disentuh.
Imamiyyah menerangkan, bahwa boleh menyentuh badan mahrim atau mahrimah dengan tak ada sahwat dan merasa enak.
Boleh melihat bagian badan manusia yang sudah tua, yang tidak diingini mengawininya lagi kecuali kehormatannya.
Imamiyyah menerangkan, bahwa wajib menutup aurat seseorang perempuan atau laki-laki pada waktu Sembahyang, apa yang diwajibkan diluar Sembahyang.
Kesucian yang sudah dikemukakan pada waktu bersuci berlaku juga untuk Sembahyang.
Tidak syah Sembahyang bagi laki-laki dengan memakai sutera, atau kain yang tersulam dengan emas atau memakai perhiasan emas.
Begitu juga tidak syah Sembahyang dengan memakai pakaian kulit binatang yang tidak dimakan dagingnya, meskipun sudah disamak.
Tempat Sembahyang
Imamiyyah menerangkan, bahwa batal Sembahyang pada tempat atau dengan memakai pakaian yang dirampas, meskipun dibolehkan Sembahyang diatas tanah yang luas yang tidak diperoleh izin.
Tempat yang suci itu buat sembahyang dimaksudkan ialah tempat meletakkan kepala dan tempat sujud, meskipun disekitarnya bernajis.
Tidak syah Sembahyang diatas binatang tunggangan, kecuali jika sangat perlu.
Dibolehkan Sembahyang dalam Ka'bah, baik Sembahyang ferdhu atau Sembahyang Sunnat.
Dalam Sembahyang berkumpul antara laki-laki dan perempuan pada satu tempat, sedang perempuan ada didepan atau bersamaan barisnya, dan tidak ada dinding atau tidak lebih jauh dari sepuluh hasta.
Jika perlu tidak batal Sembahyang orang yang datang kemudian dibelakang atau disamping perempuan itu.
Imamiyyah menegaskan, bahwa tidak dibolehkan sujud kecuali diatas tanah dan tidak diatas tumbuh-tumbuhanan yang tidak dimakan atau tidak dijadikan pakaian, seorang Sembahyang tidak sujud diatas kulit berbulu, diatas kapas yang empuk atau diatas barang tambangan.
Dibolehkan sujud diatas sepotong kertas.
A z z a n
Tidak ada dalam agama Azzan kecuali untuk Sembahyang lima waktu saja, disunatkan untuk sembahyang yang dikadho, yang dilakukan secara tunai, berjamaah atau sendiri-sendiri, dalam perjalanan atau boleh bagi wanita atau laki-laki.
Dan tidak dibolehkan Azzan itu bagi Sembahyang yang lain, baik secara sunnat atau wajib.
Pada Sembahyang Gerhana dan dua hari Raya, orang cuma mengucapkan : "Asy-Shalah !", yang diulang tiga kali.
Tidak dibolehkan Azzan untuk Sembahyang lima waktu sebelum Shalat fajar.
Selain lafat Azzan yang sama, belum masuk waktunya, kecuali Sembahyang Subuh, didahulukan sebelum Shalat fajar.
Selain lafat Azzan yang sama, Imamiyyah menambah dalam Azzan dan dalam Iqamat, sesudah "Hayya Alas Salah, Hayya Alal Falah", suatu seruan yang berbunyi "Hayya Ala Hairil Amal".
Begitu juga Imamiyyah tidak mau memasukkan dalam Azzannya "As-Salatu Hairum minan naum !", karena tidak ada dalam masa Nabi dan Sahabat (lihat Bidayatul Mujitahid I : 103) atau Al-Fiqh Alal Mazahibil Hamzah, hal. 119, dan Nuut.
Iqamat
Disuratkan Iqamat pada Sembahyang lima waktu sehari-hari, baik buat laki-laki maupun buat wanita.
Hukumnya sama dengan hokum Azzan, hendaklah mualat, tertib dan dalam bahasa Arab.
Dibolehkan bagi orang yang musafir dan orang yang sedang sibuk memadakan dengan salah satu daripada Azzan atau Iqamat.
Rukun Sembahyang
Sembahyang itu baru syah, jika suci daripada hadas besar dan kecil, dari najis, dalam waktunya, menghadap Qiblat, berpakaian yang bersih, yang semuanya itu dinamakan sarat Sembahyang. Adapun rukun Sembahyang banyak, diantaranya ialah :
N i a t
Hakikat niat ialah menyengajakan Sembahyang karena mentaati Tuhan, sambil menentukan fardhu atau tidaknya Sembahyang itu Sunnat apa tidaknya, tunai apa pembayaran kembali.
Uraian tentang niat dapat dibagi dua bahagian pertama tokoh fiqih terbesar, yaitu Ibnal Kayim, dan kedua tokoh ulama Imamiyyah, yaitu Sayyid Muhammad, pengarang Al-Mudarid.
Yang pertama berkata niat itu tidak usah dilafatkan, karena Nabi tidak berbuat demikian.
Sayyid Muhammad dalam kitab "Mudarikul Ahqam" mengatakan, bahwa niat itu pada awal Sembahyang, maksudnya ialah menyengajakan ibadah Sembahyang untuk mentaati Allah.
Niat itu tidak diucapkan dengan lidah.
Takbiratut Ihram
Tidak sempurna Sembahyang kecuali dengan
mengucapkan Takbiratul Ihram, yaitu "Allahu Akbar", dengan bahasa Arab
dan tidak boleh ditukar dengan susunan kata yang lain.
Berdiri adalah wajib dalam Sembahyang, sejak
Takbiratul Ihram sampai kepada ruku', tidak boleh bertumpu kepada salah
satu yang lain.
Apabila tidak dapat berdiri boleh duduk, boleh
berbaring kesebelah kanan dan menghadap Qiblat, dan boleh juga
mengisyaratkan dengan angguk kepala.
Dan jika tidak Sembahyang itu dikerjakan dalam hati saja, dengan menggerakkan lidah untuk zikir dan bacaan.
Q i r a a t
Suatu perbedaan paham dalam mazhab Islam ialah, apakah wajib membaca Fatihah pada tiap-tiap rakaat, atau pada dua rakaat yang pertama, atau pada semua rakaat ? Apakah membaca "Bismillah" itu wajib pada Fatihah atau dapat ditinggalkan ?" Apakah semua bacaan itu nyaring atau dalam hati wajibkah atau mustahab ?
Apakah membaca surat sesudah Fatihah pada dua rakaat yang pertama itu wajib atau tidak ? Apakah bacaan „Tasbih" dapat menggantikan surat ?
Imamiyyah menerangkan; Membaca Fatihah itu hanya ditentukan pada dua rakaat pertama tiap-tiap Sembahyang, tidak dapat diganti dengan bacaan yang lain.
Tidak diwajibkan membacanya pada rakaat yang ke-tiga Sembahyang Mahrib atau pada dua rakaat terakhir daripada Sembahyang empat rakaat, tetapi boleh dipilih membaca Fatihah itu atau membaca Tasbih, seperti "Subhanallah, Walhamdulillah, Wa Ilaha Ualah Walahu Akbar" 3X tetapi boleh sekali saja, pembacaan surat pada dua rakaat pertama wajib penuh, membaca Bismillah itu sebahagian dari pada surat, tidak boleh ditinggalkan, membacanya wajib keras, kecuali bacaan yang berupa zikir, pada Sembahyang Subuh, pada dua rakaat pertama Sembahyang Maghrib dan Isya, sedang pada dua rakaat Sembahyang Zhohor dibaca perlahan kecuali Bismillah.
Membaca keras pada dua rakaat pertama Sunnat, begitu juga pada rakaat yang ke-tiga Maghrib, dan dua rakaat yang terakhir pada Isya.
Disunatkan membaca Qunut pada semua Sembahyang 5 waktu, dan tempatnya pada rakaat yang pertama sesudah membaca surat dan sebelum ruku', sekurang-kurang keras membacanya, hendaklah didengar oleh orang yang terdekat, sekurang-kurang ringan bacaannya dapat didengar sendiri.
Wanita tidak boleh mengeraskan bacaan menurut semua mazhab, tetapi dibaca secara berbisik, tetapi syah kalau untuk kepentingan pengajaran.
Menurut Imamiyyah haram mengucapkan "Amin", dan batal Sembahyang dengan ucapan keras itu, baik Sembahyang sendiri atau menjadi Imam atau menjadi Makmun, karena Amin itu adalah ucapan manusia, yang tak layak disebutkan dalam Sembahyang.
Sedang mazhab empat dari Ahlus Sunnah menganggap sunat, karena mereka mengambil alasan dari hadis yang diriwayatkan dari pada Rasulullah, yang berkata : "Apabila Imam sampai bacaannya kepada : Ghairil makdhubi 'alaihim wa laddalin, maka katakanlah bersama : Amin !".
Tetap; Imamiyyah menganggap hadis ini tidak syahih.
Imamiyyah menerangkan, bahwa menggerak-gerakkan tangan dalam Sembahyang membatalkan Sembahyang dan haram hukumnya.
Ruku'
Ruku' itu wajib dalam Sembahyang dan harus dilakukan dengan thuma'ninah, artinya dengan keterangan seluruh anggota badan.
Membaca tasbih dalam ruku' itu wajib.
Disunatkan sesudah Tasbih salawat kepada Nabi Muhammad dan keluarganya.
Pada waktu bangkit kembali diwajibkan tenang.
Sujud
Sujud itu wajib dua kali pada tiap-tiap rakaat atas tujuh anggota badan secara sempurna.
Tasyahhud
Tasyahhud Baik Tasyahhud awal, maupun tasyahhud akhir dianggap oleh Imamiyyah kedua-duanya wajib.
Imamiyyah mempunyai tasyahhud pendek tersendiri.
Taslim
Taslim yaitu mengucapkan salam pada penutupan Sembahyang, setengah ulama Imamiyyah mengatakan wajib dan setengahnya mengatakan mustahab. Yang terakhir ini diucapkan diantara lain oleh Syakh At-Tusi dan Al-Hilli.
Imamiyyah mempunyai dua macam salam, pertama: "Assalamu Alaina wa ala ibadilahis salihim", dan yang kedua "Assalamu Alaikum wa rahmattullahi wa barakatuhu".
Yang wajib mengucapkan satu kali, adapun mengucapkan yang kedua kali itu sunnat.
Tertib
Tertib ini wajib diantara bahagian-bagian Sembahyang.
Maka wajib mendahulukan Takbiratul Ihram atas qiraat, dan qiraat atas ruku', dan ruku' atas sujud, dan selanjutnya.
Mualad
Mualad pun wajib, artinya melakukan bahagian-bagian Sembahyang itu berturut-turut, menurut tertib dengan tidak menjauh-jauhkan waktunya.
Syahwi dan Syak dalam Sembahyang
Barang siapa melupakan salah satu kewajiban dalam Sembahyang, batal Sembahyangnya, tetapi apabila ia terlupa atau lupa dengan tidak disengaja hendaklah ia melakukan sujud Syahwi.
Begitu juga jika ia Syak pada salah satu perbuatannya. Tidak dihitung Syak sesudah orang pindah kepada perbuatan atau bacaan yang lain.
Tetapi kalau masih dalam perbuatan atau bacaan, diulangi.
Sujud Syahwi dikerjakan karena melebihi rukun sembahyang atau menguranginya tetapi kalau meninggalkan niat, takbir itu haram, berdiri, ruku', mengumpulkan dua sujud dalam satu rakaat, batal Sembahyangnya.
Tiap tiap ketinggalan bahagian Sembahyang sesudah lupa tidak wajib sesudah selesai Sembahyang diulang kembali, kecuali sujud dan tasyahud, yang keduanya menyebabkan qadha Sembahyang dengan sujud syahwi.
Dalam sujud syahwi ini dibacakan : "Bismillah wa billa, Alahuma Salli ala Muhammadin wa Alei Muhammaddin".
Kemudian ia membaca tasyahud dan melakukan salam.
Imamiyyah menetapkan, bahwa apabila syak datang pada salat dua rakaat, seperti salat Subuh, salat Musyafir, salat Jum'at, salat Hari Raya, salat Gerhana atau salat Maghrib, atau pada dua rakaat pertama salat Isya, dan Zhohor, semua salat itu batal.
Boleh ia salat Ikhtiyath kalau syaknya itu lebih rakaatnya.
Hal ini mengenai salat wajib.
Adapun salat sunnat, terserah kepada yang melakukannya.
SHALAT JUM'AT
Tentang Kewajibannya
Seluruh mazhab mewajibkan orang Islam melakukan Shalat Jum'at, karena firman Tuhan : "Wahai orang yang ber-Iman ! Apa bila kamu dipanggil Sembahyang pada hari Jum'at, segeralah kamu datang untuk melakukan Shalat itu, dan tinggalkan semua daganganmu".
Begitu juga banyak keterangan yang mewajibkan Sembahyang Jum'at dalam hadis-hadis yang digunakan oleh Ahlus Sunnah atau Syi'ah.
Tinggal perbedaan paham, apakah disaratkan wajib melakukan Jum'at itu dalam sesuatu negri yang ada Sultan atau wajib pada segala tempat dan segala hal.
Imamiyyah menghukumkan, bahwa Jum'at itu wajib kalau dalam sesuatu negeri tempat melakukannya ada terdapat sultan atau wakilnya, sedang jika sultan dan wakilnya itu tidak ada, maka Jum'at dalam negeri itu tidak wajib.
Dan Imamiyyah mensyaratkan pula untuk wajib Jum'at dalam negerinya, bahwa sultan itu harus adil, jika tidak adil sama dengan tidak ada sultan.
Kata ulamanya pula, bahwa syah Jum'at dalam sesuatu negeri yang tidak didapati sultan atau wakilnya tetapi, didapati seorang ulama fiqih yang adil, dalam negeri yang seperti itu terserah kepada ummat Islam, yang mau mengerjakan atau yang ingin meniggalkan Sembahyang Jum'at itu.
Syarat-syaratnya
Semua mazhab sepakat untuk menetapkan syarat-syarat pada shalat Jum'at sebagai mana yang ditetapkan pada Sembahyang yang lain, seperti bersuci, berpakaian, menghadap qiblat, waktunya sudah condong matahari ke Barat, didirikan dalam masjid atau diluar masjid.
Sembahyang Jum'at itu menurut semua mazhab wajib kepada laki-laki dan tidak wajib kepada wanita.
Barang siapa sudah melakukan Jum'at tidak wajib lagi melakukan zhohor.
Sembahyang Jum'at itu tidak wajib untuk orang buta, tidak syah malainkan dengan ber-jama'ah, mengerjakan beramai-ramai, sedang bilangannya ditetapkan ber-lain-lainnan oleh macam-macam mazhab.
Imamiyyah menetapkan sekurang-kurangnya seorang Imam dan empat makmun.
Semua ulama sepakat bahwa tidak dibolehkan bepergian dari sesuatu negeri, jika orang yang akan bepergian itu wajib Jum'at atasnya, memenuhi syarat-syarat, dan sudah condong matahari.
Dua Hutbah jum'at
Dua hutbah Jum'at itu disyaratkan syahnya Jum'at, dan tempatnya sebelum Sembahyang Jum'at.
Imamiyyah mewajibkan Hatib yang mengucapkan Hutbah itu berdiri pada waktu mengucapkan Hutbah pertama dan Hutbah kedua.
Imamiyyah menerangkan, wajib berisi pada tiap-tiap Hutbah Tahmid, dan tsana' kepada Tuhan, Selawat kepada Nabi dan keluarganya, Wa'az atau nasihat, dan membaca sesuatu daripada ayat Qur'an.
Pada Hutbah yang pertama selain yang tersebut diatas ditambah lagi dengan Istighfar, dan do'a buat orang mukmin pria dan wanita.
Imamiyyah mewajibkan hatib menceraikan antara dua Hutbah dengan duduk sebentar.
Imamiyyah menerangkan, bahwa bahasa Arab itu tidak menjadi syarat syahnya Hutbah Jum'at.
Kafiat Shalat
Shalat Jum'at itu dua rakaat seperti Shalat subuh. Imamiyyah menganggap sunat sesudah membaca Fatihah pada rakaat pertama membaca surat Al-Jum'ah dan pada rakaat yang kedua sesudah Fatihah surat "Al-Munafiqin".
Shalat Dua Hari Raya
Ulama-ulama fiqh berselisih paham tentang dua Shalat hari raya, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha, apakah wajib atau sunnat ?
Imamiyyah sama dengan Mazhab Hanafi menganggap kedua hari raya itu fardhu 'Ain dengan syarat2 yang ada pada Shalat Jum'at.
Tetapi apabila syarat-syarat itu tidak ada, maka Shalat kedua hari raya itu tidak wajib.
Cuma Imamiyyah berkata, bahwa jika syarat-syarat yang mewajibkan Sembahyang ini tidak penuh, Sembahyang hari raya dilakukan juga sunnat, baik bersama meskipun sendiri-sendiri, baik dalam perjalanan atau dalam kampung sendiri.
Waktunya sejak terbit matahari sampai zhohor.
Kemudian Imamiyyah mewajibkan pula dua Hutbahnya lengkap seperti pada Sembahyang Jum'at.
Tempatnya sesudah Sembahyang.
Imamiyyah menerangkan, bahwa Sembahyang kedua hari raya itu boleh dikerjakan sendiri-sendiri atau berjamaah.
Shalat ini dimulai dengan takbiratul Ihram, membaca Fatihah dan salah sebuah Surat dari Al-Qur'an, kemudian melakukan lima kali Takbir, kemudian ruku' dan sujud.
Pada rakaat yang kedua dibaca Fatihah dan salah sebuah Surat dari Al-Qur'an, Takbir empat kali, dan do'a pada tiap-tiap Takbir, kemudian ruku' dan menyempurnakan Shalat.
SHALAT KUSUF DAN KHUSUF
Berlainan dengan mazhab lain, Imamiyyah menetapkan bahwa Shalat kusuf (gerhana matahari) dan salat khusuf (gerhana bulan) adalah ferdhu 'ain untuk tiap-tiap mukallaf.
Kata Imamiyyah, bahwa Shalat karena gerhana matahari, gerhana bulan, gempa bumi, sekalian ketakutan yang ditimbulkan alam, seperti kegelapan, atau kemerahan alam, atau angin taufan, semuanya menyebabkan wajib shalat dan ferdhu 'ain.
Apabila dilakukan bersama, Imamiyyah diwajibkan membaca Fatihah dan Surat-surat.
Waktu gerhana matahari dan gerhana bulan dimulai pada waktu remang-remang, jika tidak dilakukan Sembahyang pada waktu itu, hendaklah di Qadha.
Adapun gempa bumi dan lain-lain yang menakutkan dan menggentarkan jiwa manusia, wajib segera dilakukan.
Shalat ini dilakukan dengan Takbiratul Ihram, membaca Fatihah dan satu Surat dari Al-Qur'an, kemudian ruku', kemudian mengangkat kepala kemudian membaca Fatihah lagi dan Surat dari Al-Qur'an, dan kemudian ruku', demikianlah sampai lima kali, kemudian sujud' sesudah ruku' yang kelima dua kali sujud. Kemudian bangun lagi untuk rakaat ke-dua, lalu membaca Fatihah dan sebuah Surat dari Al-Qur'an, kemudian ruku', demikianlah sampai ruku' yang kelima daripada rakaat yang kedua, kemudian sujud dua kali, kemudian mem baca tasyahud dan memberi salam. Jadi jumlahnya sepuluh ruku', dua kali sujud sesudah ruku', kelima dari rakaat pertama dan dua' kali sujud sesudah ruku' kelima daripada rakaat kedua.
SHALATUL ISTISQA !
(Sembahyang minta hujan)
Shalatul Istisqa' atau Sembahyang minta hujan ini ada perintahnya dalam Islam dengan keterangan dari Qur'an, dari Sunnah dan Ijma , misalnya ayat yang mengenai Nabi Musa minta hujan untuk kaumnya, dan keterangan bahwa sesudah perintah meminta ampun kepada Tuhannya, Tuhan menurunkan hujan dari langit.
Ceritera lebih jauh diterangkan dalam sebuah hadis, bahwa orang-orang Madinah berobah musim kemarau.
Tatkala itu Rasulullah berhutbah.
Kesana datang seorang laki-laki dan berkata bahaya untuk lapangan dan wanita, ya, Rasulullah pintalah kepada Tuhanmu agar dicurahkan hujan ya untuk kami.
Maka Rasulullah mengangkat kedua belah tangannya dan berdo'a.
Kata Anas langit pada waktu itu terang benderang seperti kaca, tetapi dengan tiba-tiba datanglah angin, bergumpal-gumpallah awan dan langitpun mencurahkan hujannya, hingga kami keluar semuanya dari tempat kami mengambil air dan mambawa kerumah kami.
Hujan itu turun sampai hari Jum'at berikutnya.
Maka datang pula seorang laki-laki kepada Rasulullah sambil berkata : "Ya, Rasulullah ! Hancurlah rumah-rumah dan kendaraan-kendaraan tidak dapat keluar.
Mohon engkau berdo'a supaya hujan itu terhenti.
Rasulullah tersenyum, kemudian ia berkata berdo'a menghentikan hujan itu sampai menengadah kelangit.
Sembahyang ini dikerjakan kalau hujan tidak datang, bahkan dilakukan Sembahyang ini berulang-ulang, orang-orang puasa tiga hari, orang-orang keluar Sembahyang dengan rasa khusu' dan tadara' kepada Tuhan, semuanya keluar, baik wanita, baik anak-anak, baik orang tua, baik kakek-kakek, atau nenek-nenek dan binatang-binatang, dan kemudian berdo'a kepada Tuhan.
Semua mazhab sepakat bahwa Sembahyang ini syah dikerjakan secara berjama'ah, secara sendiri, tidak ada Azan dan tidak ada Iqamat, sunnat bagi Imam akan berhutbah sesudah Sembahyang.
Kaifiyatnya adalah dua rakaat dilakukan seperti Sembahyang Hari Raya.
Imamiyyah menganggap sunnat membaca do'a pada tiap-tiap takbir, dengan isi yang melembutkan hati, memohon rahmat Tuhan untuk menurunkan hujan.
SHALAT QADHA
Apa Qadha Shalat itu wajib ?
Semua mazhab sepakat mengatakan pada umumnya, bahwa barang siapa yang telah meninggalkan Sembahyang fardhu, wajib melakukan Qadha Sembahyang itu, baik yang ia meninggalkan Sembahyang itu dengan sengaja, atau lupa, atau karena bodohnya, atau karena tidur.
Tidak ada qadha Shalat untuk perempuan yang haid
dan nifas.
Jika Sembahyang bukan fardhu tidak wajib qadha. Bermacam-macam paham ulama tentang wajib qadha bagi orang gila, orang pitam dan orang-orang mabuk.
Imamiyyah menerangkan, bahwa wajib qadha secara mutlak bagi orang yang mabuk karena minuman keras, baik yang minum karena mengetahui, atau tidak mengetahui, minum secara suka rela atau terpaksa.
Adapun orang gila dan pitam tidak wajib qadha.
Kafiat Qadha
Pada Imamiyyah ditetapkan, barang siapa meninggalkan atau ketinggalan Sembahyang fardhu, harus diqadhanya sebagaimana corak Sembahyang yang ditinggal itu dengan tidak mengubah atau menggantikannya.
Barang siapa meninggalkan Sembahyang yang sempurna dan ingin mengkhodonya, sedang ia dalam perjalanan, harus dilakukan Sembahyang qasar dalam perjalanan, ia menginginkan diqadha ditempatnya, harus dilakukan qadha itu secara qasar, begitulah dengan Sembah yang yang dikeraskan bacaannya atau tidak dikeraskan.
Apabila mengQada Isya pada siang hari haruslah secara jahar, dan apabila ia qadha zohor pada malam hari haruslah secara sir atau bacaan berbisik.
Melakukan qadha Sembahyang itu hendaklah secara tertib, yang ditinggalkan harus didahulukan daripada yang kemudian.
Menggantikan berpuasa dan Sembahyang untuk orang yang hidup tidak syah, tetapi syah dilakukan bagi orang yang sudah mati.
Imamiyyah mewajibkan atas anak melakukan qadha untuk ayahnya yang ditinggalkan daripada Sembahyang dan puasa, meskipun persoalan ini pecah dua dalam kalangan ulamanya, apakah yang wajib diqadha itu yang ditinggalkan dengan sengaja atau yang ditinggalkan karena sakit.
SHALAT JAMA'AH
Semua mazhab sepakat bahwa Shalat Jama'ah itu adalah dari syi'ar dan tanda Islam.
Rasulullah dengan sahabat-sahabtnya senantiasa melakukan Shalat Jama'ah itu.
Cuma timbul persoalan, apakah sembah yang Jama'ah itu wajib atau sunnat ?
Imamiyyah menerangkan, bahwa Sembahyang Jema'ah itu bukan ferdhu 'ain atau ferdhu kifayah, tetapi sunnat muakkad.
Sembahyang Jama'ah itu diperintahkan pada semua sembahyang wajib, tidak pada sembahyang sunat, kecuali pada sembahyang minta hujan dan sembahyang dua hari raya.
Syarat-syaratnya
Disyaratkan untuk Sembahyang berjama'ah ialah Islam, berakal, adil, laki-laki, tidak boleh wanita menjadi Imam, balig, bilangan banyak, sekurang-kurangnya dua orang, seorang Imam dan seorang Makmun.
Tidak boleh bermakmun pada Imam yang sedang Sembahyang lain, misalnya zohor kepada Asyar, tetapi boleh Sembahyang zohor qadha dibelakang Imam yang Sembahyang zohor ada (tunai).
Mengikut Sembahyang
Boleh menjadi makmum yang berwudhu dengan air mengikuti Imam yang tayammum dengan tanah, asal dalam bacaan, tasbih ruku' dan sujud dan sebagainya bersamaan coraknya.
Makmum tidak boleh berdiri didepan, dan jangan terlalu jauh dari Imam, tidak berdiri antara makmum dan Imam, dapat dilihat orangnya kecuali wanita, yang diperkenankan ikut Imam laki-laki dengan berdinding kain.
Imamiyyah menerangkan, bahwa qiraat tidak wajib pada dua rakaat yang pertama, tetapi wajib pada rakaat yang ketiga Maghrib, dan dua rakaat yang terakhir zohor dan asyar membaca Fatihah itu.
Makmum wajib mengikuti Imamnya dalam segala perbuatannya.
Arti mengikut itu tidak boleh pekerjaan Makmum, seperti ruku' dan sujud lebih dahulu daripada Imam, dan tidak pula boleh terlalu terakhir.
Masbuq.
Orang yang mazbuq syah Jama'ahnya, jika ia mendapati salah satu bahagian dari rakaat Imam, kecuali ruku' terakhir.
Imam.
Macam-macam sifat Imam yang dikemukakan oleh berbagai mazhab, umumnya yang melebihi dari pada Makmum tentang Ilmunya, tentang keturunannya, kedudukannya, tentang bacaannya dan sebagainya.
Imamiyyah menerangkan, bahwa tidak penting untuk Imam mendahulukan sifat- sifat keduniaan, yang terpenting ialah mendahulukan seseorang Imam yang alim tentang fiqh, kemudian yang fasih tentang bacaan, kemudian yang lebih tua, dan lain-lain. sepanjang sara'.
SHALATUL MUSAFIR
(Sembahyang dalam bepergian).
Dalam perjalanan boleh Sembahyang yang empat rakaat dipendekkan (qasar), jika Sembahyang ferdhu.
Maka Sembahyang Zohor itu, begitu juga Asyar dan Isa jadi dua rakaat seperti Subuh.
Syarat-syaratnya
Diantara syaratnya menurut Imamiyah adalah beberapa farsah jalan kaki Satu farsah jauhnya 5 km. dan 40 m.
Dan Imamiyyah menetapkan boleh fasak kalau perjalanan itu jauhnya empat puluh km. dan tiga ratus dua puluh km.
Imamiyyah menetapkan pula, bahwa perjalanan yang dibolehkan qasar sesudah meninggalkan rumah dan tidak mendengar lagi Azan.
Imamiyyah tidak menetapkan sebagai syarat harus ber Imam kepada sesama orang yang fasak Sembahyang, tidak boleh kepada orang mukim kalau seorang mukim Sembahyang dibelakang musyafir yang sedang qasar Sembahyangnya, ia Sembahyang hanya dua rakaat.
Niat fasak tidak menjadi syarat pada wajib fasak, meskipun tidak diniat qasar wajib ia menyempurnakan Sembahyangnya, karena pada waktu ia syafar, ia sudah berniat.
Seseorang musyafir yang ingin tinggal pada sesuatu tempat boleh ia teruskan qasar, tetapi kalau sudah dimulainya Sembahyang sempurna, harus dilakukan yang demikian terus menerus.
Tinggal pada suatu tempat yang dapat menjalankan qasar pada Imamiyyah adalah sepuluh hari, tetapi apabila ia tidak niat tinggal lama karena masih memerlukan untuk pekerjaannya yang tidak tentu lamanya dia tetap qasar sampai tiga puluh hari.
Shalat Jama'
Dibolehkan Jama' (mengumpulkan dua shalat) antara Zohor dan Asar dan antara Maghrib dan Isya, didahulukan atau dita'khirkan karena uzur bepergian.
Imamiyah menerangkan, bahwa orang yang Sembahyang lengkap atau sempurna dalam perjalanannya dengan sengaja, batal sembahyangnya, harus diulangi jika masih ada waktu Sembahyang atau diqadha jika waktu sudah habis.
Barang siapa sembahyang karena bodoh tak mengenai hukumnya dengan wajib qasar, maka Shalat qasarnya itu tidak diulangi baik masih ada waktunya atau sudah habis.
Apabila seseorang menyempurnakan Shalatnya dalam perjalanan, kemudian teringat ia dalam perjalanan itu dan waktunya masih ada, haruslah diulangi, dan apabila teringat diluar waktu tidak diulangi.
Barang siapa yang berada dalam waktu Sembahyang, dikampungnya, kemudian ia bepergian sebelum ia Sembahyang, wajib ia Sembahyang qasar.
Barang siapa yang berada dalam waktu Sembahyang sedang dia dalam bepergian, dan tidak Sembahyang sampai kekampungnya sehingga sepuluh hari lamanya wajib ia Sembahyang sempurna.
HAL-HAL YANG MEMBATALKAN
SEMBAHYANG
Diantara yang membatalkan Sembahyang ialah bcrbicara dengan sekurang-kurangnya kalimat yang terdiri dari dua huruf, baik ada artinya atau satu huruf yang ada artinya, seperti "qi", karena qi itu adalah fiil amar dari "waqinya, yang artinya pelihara.
Tidak membatal kan Sembahyang mengucapkan suatu kalimat karena lupa, asal sedikit jangan banyak.
Dan tidak batal Sembahyang karena daham, karena ada keperluannya atau tidak.
Dibolehkan berdo'a ditengah Sembahyang, meminta kebajikan dan ampunan dari Allah Ta'ala.
Dan tidak batal Sembahyang dengan mengucapkan tasbih.
Menurut Imamiyyah seorang yang sedang Sembahyang mendengar orang memberi salam, wajib ia membalas dengan salam, tidak dengan ucapan dunia yang baru, seperti "selamat pagi" dan lain-lain.
Disyaratkan bahwa salam itu harus sempurna dan tidak diubah-ubah seperti "Salamun 'alaikun", dan jawabnya „Assalamu'alaikum."
Makan dan minum tentu saja membatalkan Sembahyang.
Tetapi Imamiyyah menerangkan, bahwa makan dan minum yang membatalkan Sembahyang itu jika betul- betul seperti orang makan dan teratur.
Selanjutnya Imamiyyah menerangkan, bahwa yang membatalkan Sembahyang adalah ria, berulang-ulang dalam mengucapkan niat, niat memutuskan Sembahyang, niat menukarkan Sembahyang dengan salah satu sembahyang lain, menambah banyak takbiratul Ihram, menambah rukun, kena najis yang tidak dimaafkan, tayammum dan Sembahyang dan pada tengah Sembahyang ada air buat berwudhu, kekurangan pakaian yang menutup aurat atau keadaan tempat yang dirampas, kentut, membalikkan badan seluruhnya kebelakang, atau kekanan atau kekiri, sehingga tidak menghadap qiblat lagi, sengaja berbicara dan menangis karena perkara dunia, tertawa terbahak-bahak, berbuat sesuatu yang merusakkan Sembahyang, makan minum, yang sebenar-benarnya, melebihi atau mengurangi bahagian Sembahyang dengan sengaja, meninggalkan sebuah dari lima rukun sengaja atau lupa, dan lima rukun itu ialah niat, takbiratul Ihram, berdiri, ruku', dua sujud dari rakaat pertama atau kedua, semua ini dengan pengatahuan bahwa niat itu adalah qasad yang penting dalam Sembahyang tidak mungkin ditambah atau dikurangi.
Dilalui orang
Sepakat semua fuqaha', bahwa jika ada seseorang lalu didepan orang yang sedang Sembahyang, Sembahyang orang itu tidak batal, tetapi perbuatan orang yang berjalan didepan orang yang Sembahyang itu adalah haram hukumnya.
Imamiyyah menerangkan, tidak haram melewati orang Sembahyang, tetapi sunat bahwa orang yang Sembahyang itu mengadakan sitr sitr itu boleh terdiri dari tiang, dinding, atau sesuatu barang yang diletakkan didepan tempat sujud orang Sembahyang).
Tidak haram itu jika tidak ada sitr dihadapan orang yang Sembahyang, yang dapat menceraikan antara orang yang Sembahyang dengan orang yang lewat, dan antara hadapan orang yang Sembahyang kepada Tuhannya.
Imam Syafi'i menerangkan, bahwa haram melewati hadapan orang yang sedang Sembahyang, jika orang yang sedang Sembahyang itu tidak meletakkan dihadapan tempat sujudnya sitr.
Adapun kalau sitr itu ada dan orang melewati juga hadapan orang Sembahyang itu maka apa kala ia lewati diluar sitr itu tidak haram dan tidak makruh.
S H I A M
PERKARA PUASA
Shiam atau shaum
Shiam atau Shaum ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan puasa, yaitu puasa wajib dalam bulan Ramadhan atau puasa sunat.
Dirumah-rumah sakit digunakan juga perkataan puasa, tetapi bukan sebagai yang dimaksudkan dalam Islam.
Begitu juga tirakat yang terdapat dalam kalangan orang Jawa, semua itu tidak dapat dinamakan Shiam atau Shaum, yang dimaksudkan oleh Agama Islam.
Muqaddimah
Shiam dalam bulan Ramadhan adalah rukun dari beberapa rukun Agama dan kewajibannya telah ditetapkan didalam Al-Qur'an, seperti ketetapan wajib Shalat.
Shiam ini mula pertama diwajibkan dalam bulan Sya'ban tahun ke-II Hijrah, dan ia itu adalah fardhu 'ain untuk tiap-tiap Mukallaf, dan tidak dibolehkan tidak berpuasa kecuali karena salah satu sebab yang berikut.
Pertama:
Tidak diwajibkan puasa wanita yang berhaid dan nifas. Kalau seseorang wanita haid atau nifas tidak sah puasanya.
Kedua:
Sakit. Imamiyah menerangkan, bahwa tidak dibolehkan berpuasa seseorang yang sakit, atau karena puasanya menambah lebih parah sakitnya, atau melambatkan sembuhnya, karena penyakit itu adalah suatu bahaya dan karena bahaya itu mengerjakan puasa diharamkan.
Jika orang yang demikian puasa juga, tidak sah puasanya.
Adapun orang yang ghaib dilihat kepada keadaannya. Sebab yang mewajibkan berbuka puasa ialah sakit, bukan ghaib, bukan kesukaran.
Ketiga:
Apabila seorang wanita yang dekat akan melahirkan, atau sudah melahirkan kalau ia puasa akan membahayakan anaknya, wajib berbuka dan tidak dibolehkan puasa, karena darurat itu diharam kan berpuasa.
Semua mazhab mengatakan wanita itu kemudian harus qadha puasanya dan membayar fidiyah satu mud makanan, apabila dianggap kalau dia berpuasa terus adalah mudarat bagi anaknya.
Apabila kemudaratan itu untuk dirinya sendiri, ada yang mewajibkan berpuasa.
Keempat:
Syarat atau bepergian.
Imamiyyah menerangkan : Apabila seseorang yang akan bepergian mempunyai cukup syarat-syarat sebagaimana untuk mengqasarkan Shalat, tidak diterima Tuhan puasanya.
Jika ia puasa ia qadha dengan tidak menaruh kifarat.
Apabila ia bepergian sebelum condong matahari atau pada waktu condong matahari atau sesudah condong matahari jika ia puasa, hendaklah ia sempurnakan puasanya.
Apabila seseorang berbuka puasa dengan sengaja wajib ia membayar kifarat.
Apabila seseorang musyafir sampai kekampungnya atau ketempat tinggalnya sesudah sepuluh hari sebelum condong matahari, belum dia membuka puasanya, wajib diteruskan puasanya, dan jika ia berbuka sama ia berbuka dengan sengaja.
Kelima:
Semua mazhab bersamaan pendapatnya, bahwa seseorang yang terus-menerus haus (sakit kencing manis), dibolehkan berbuka puasa, dan kemudian apabila sanggup ia qadha puasa itu.
Imamiyyah mewajibkan kifarat satu mud makanan. Tidak dibolehkan berbuka kecuali sakit itu terus-menerus (chronis).
Keenam:
Orang tua, baik laki-laki atau perempuan, yang kesukaran tidak sanggup berpuasa, dibolehkan berbuka, dengan memberikan fidyah saban hari memberi makan orang miskin, begitu juga orang yang sakit yang tidak diharapkan lagi dapat sembuh kembali selama setahun.
Ketujuh:
Imamiyyah tidak menganggap wajib puasa bagi orang pitam atau kepalanya pusing, meskipun tidak sepuluh hari, kecuali apabila ia sebelum pitam itu berniat puasa kemudian sesudah pitam pada hari itu juga baik kembali, diteruskannya puasanya.
Hilang uzur :
Apabila seseorang hilang uzur yang membolehkan dia membuka puasa, seperti sembuh dari penyakit, atau anak kecil mencapai balig, atau sesudah pulang dari perjalanan, atau sudah suci dari haid, sunnat meneruskan puasa pada Imamiyyah dan Syafiiyah.
Syarat Puasa:
Puasa itu fardhu 'ain kepada tiap Mukallaf, yaitu orang Islam yang sudah balig dan berakal, tidak diwajibkan atas orang gila pada waktu gilanya, kepada anak kecil sebelum balig.
Lain daripada itu untuk sah puasa hendaklah beragama Islam, dan berniat seperti pada Ibadah yang lain.
Puasa tidak diterima dari orang yang bukan Islam.
Dan tidak pula wajib perempuan yang berhaid dan nifas, orang sakit dan orang yang berada dalam bepergian.
Imamiyyah menerangkan, bahwa orang yang mabuk wajib qadha puasa apabila ia sudah sadar kembali, baik mabuk karena perbuatannya atau bukan, tidak wajib puasa atas orang yang pitam, meskipun sakit pitam itu sedikit.
Buka Puasa:
Yang dianggap puasa ialah menahan diri sejak Imsak sampai kepada Maghrib.
Dan yang membathalkannya ialah sebagai berikut :
Pertama:
Makan dan minum dengan sengaja dianggap sudah membatalkan puasanya, dan wajib qadha. Kalau ia makan minum sedikit tidak wajjb qadha.
Dalam pengertian minum termasuk merokok.
Kedua:
Bersetubuh dengan wanita pada siang hari membatalkan puasa, dan mewajibkan qadha serta kifarat.
Kifarat itu yaitu memerdekakan seorang budak belian, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau member makan enam puluh orang miskin.
Menurut Imamiyyah boleh ia dalam hal ini melakukan pilihan tentang budak, tentang puasa, dan tentang orang-orang miskin yang diberi makan.
Imamiyyah menerangkan, bahwa seseorang yang berbuka puasa ditengah hari dengan benda atau perbuatan yang haram, harus dia kerjakan semua, memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut ? dan memberi makan enam puluh orang miskin.
Yang dianggap berbuka dengan yang haram itu ialah memakan barang yang dirampas atau minum khamar atau berzina ditengah-tengah hari puasa.
Adapun Jima' pada tengah hari puasa dengan isteri sendiri karena lupa, tidak membatalkan puasanya.
Ketiga:
Istimna yaitu bermain-main dengan kemaluan, baik laki-laki dengan zakarnya atau wanita dengan farajnya.
Jika hal yang demikian itu sampai mengeluarkan mani, perbuatannya itu merusakkan puasa.
Kata Imamiyyah wajib qadha puasanya dan membayar kifarat.
Keempat:
Muntah, dengan sengaja merusakkan puasa dan mewajibkan qadha pada Mazhab Imamiyyah.
Kelima:
Keluar darah dimulut merusakkan puasa dan wajib kifarat.
Keenam:
Merokok dan makan sirih membatalkan puasa.
Ketujuh:
Debu yang kotor, apabila masuk hidung sampai kekerongkongan batal puasa.
Kedelapan:
Memakai celak pada siang hari. Memutuskan niat puasa sama dengan berbekam merusakkan puasa.
Kesembilan:
Berendam, merendamkan kepala dalam air, baik
bersama badan atau tidak, dapat merusakkan puasa, dan pada Imamiyyah
mewajibkan qadha dan kifarat.
Kesepuluh:
Imamiyyah menerangkan, bahwa barang siapa yang
dengan sengaja meneruskan junubnya dalam bulan Ramadhan sampai kepada
keluar matahari, niscaya rusak puasanya, wajib qadha dan kifarat.
Kesebélas:
Imamiyyah menerangkan, bahwa barang siapa dengan
sengaja mendustai Allah dan Rasulnya dalam bulan puasa, diucapkannya
atau ditulisnya tentang Allah dan Rasul itu, sedangkan ia mengetahui
dengan benar-benar akan ucapannya dan tulisannya, merusak puasanya,
wajib qadha dan kifarat.
Setengah ulama Imamiyyah mengkafirkan orang yang
mendustakan Allah dan Rasulnya semacam itu serta mewajibkan memerdekakan
seorang budak belian, puasa dua bulan berturut-turut dan memberi makan
enam puluh orang miskin.
MACAM-MACAM PUASA
Empat macam puasa
Ada empat macam puasa, yaitu puasa wajib, puasa sunat, puasa haram, puasa makruh.
Yang masuk dalam puasa wajib ialah puasa Ramadhan, puasa Qadha, puasa kifarat dan puasa nazar.
Qadha Ramadhan:
Semua mazhab sama berpendapat, bahwa barang siapa yang meninggalkan puasa Ramadhan wajib qadhanya, dihari lain dari Ramadhan.
Imamiyyah menerangkan jika seseorang tidak mungkin melakukan qadha karena tua, tidak wajib qadha, cuma member makan orang miskin saban hari satu mud.
Imamiyyah menerangkan, bahwa seseorang yang berbuka puasa pada hari Ramadhan, sedang ia ada kemungkinan sanggup mengerjakan qadha, tapi tidak ia qadha sampai mati, wajib atas anaknya yang besar melakukan qadha puasa untuk ayahnya.
Imamiyyah menegaskan, bahwa dibolehkan berbuka puasa, karena salah satu sebab sebelum condong matahari ke Barat, tetapi tidak dibolehkan sesudah condong, dan kewajiban terus sampai sore.
Jika ia berbuka juga sesudah condong matahari, wajib ia membayar kifarat kepada sepuluh orang miskin, dan jika ia tidak sanggup member makan itu, ia harus puasa sendiri tiga hari berturut-turut.
Puasa yang berkifarat ada beberapa macam, biasanya disebut kifarat karena sesuatu pembunuhan yang keliru, puasa kifarat karena sumpah palsu, atau karena nazar, dan puasa kifarat karena zihar (mengatakan kepada bini kita, bahwa ia sama dengan ibu kita atau saudara kita yang perempuan dan lain-lain), begitu juga meninggalkan puasa Ramadhan yang wajib karena jima' pada siang hari dan lain-lain.
Imamiyyah menegaskan, bahwa orang yang diwajibkan kifarat karena meninggalkan puasa dengan salah satu sebab yang membatalkan puasa itu, puasa dua bulan berturut-turut, atau memerdekakan seorang budak, atau memberi makan enam puluh orang miskin (boleh memilih dalam hal ini dengan puasa 18 hari), atau pulang kepada bersedekah seberapa ia sanggup, dan kalau ia tidak sanggup sama sekali, ia meminta ampun kepada Tuhan saja sudah cukup.
Kifarat puasa diulang-ulang sebanyak dosa yang diperbuat berulang-ulang.
Kalau melakukan jima' berulang-ulang pada satu hari, misalnya dua kali atau tiga kali, maka kifaratnya juga diulang sebanyak kali itu.
Adapun buka puasa karena makan dan minum saja, hanya wajib satu kali kifarat.
Haram puasa
Berpuasa pada hari raya Fitrah dan hari raya Qurban adalah haram.
Imamiyyah menerangkan, bahwa tidak dibolehkan berpuasa pada hari "tasyriq" bagi orang yang berada di Mina, dan hari-hari tasyriq itu ialah tanggal 11, 12 dan 13 dari bulan Zulhijjah.
Wanita tidak boleh berpuasa sunat dengan tidak minta izin lebih dahulu kepada suaminya, karena ada hak suaminya atas dirinya.
Puasa wajib dibolehkan dengan tidak usah izin dari suaminya.
Puasa pada hari syak
Sepakat semua ulama fiqh, bahwa barang siapa yang membuka puasa pada hari syak, kemudian ternyata bahwa hari itu masih didalam bulan Ramadhan, wajib ditahan makannya dan kemudian ia qadha puasa itu.
Puasa Sunnat
Puasa sunnat boleh dilakukan pada sembarang hari dalam tiap-tiap tahun, kecuali pada hari yang dilarang berpuasa seperti tersebut diatas.
Bahkan ada yang sangat dianggap sunnat, yaitu tiga hari dalam sebulan, dan terutama puasa yang dinamakan pada hari-hari putih (ayaamul abyadh), yaitu pada tanggal 13, tanggal 14, dan tanggal 15 pada tiap-tiap bulan Arab, kemudian juga puasa pada hari Tarwi'yah, pada hari Sembilan Zulhijjah, puasa pada bulan Rajab dan Sa'ban pada hari Senin dan hari Kamis, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab besar.
Puasa makruh
Puasa Makruh itu adalah puasa yang dilakukan pada hari Jum'at saja atau Sabtu saja, jika sebagai meneruskan sesuatu puasa yang dimulai pada hari lain, dibolehkan.
Imamiyah menganggap makruh puasa seorang tamu dengan tidak seizin tempat ia bertamu, begitu juga puasa seorang anak dengan tidak seizin bapaknya, atau puasa syak dalam bulan Zulhijjah atau ragu-ragu tentang hari raya.
Penetapan bulan Ramadhan.
Seseorang yang melihat bulan wajib ia puasa, baik bulan Ramadhan meskipun bulan Syawal, dan meskipun orang lain belum puasa.
Apabila sesuatu kampung melihat bulan, sedang kampung lain yang terdekat tidak melihat, wajib kampung yang terdekat itu puasa.
Imamiyyah menerangkan, jika melihat bulan pada akhir Sa'ban wajib puasa pada bulan Ramadhan dengan hisab.
Tiap-tiap bulan Ramadhan dan Syawal ditetapkan secara mutawatir, dan dengan dua orang saksi laki-laki yang adil.
Baik bulan Ramadhan maupun bulan Syawal ditetapkan secara Ikmal 30 hari, dengan tidak memperdulikan, bahwa udara cerah atau berawan, jika penetapan permulaannya dilakukan secara sahih.
Z A K A T
Zakat itu ada dua macam, yaitu zakat harta benda dan zakat badan.
Tidak sah mengeluarkan zakat kecuali dengan niat. Adapun syarat-syaratnya adalah sebagai berikut.
Syarat Zakat Harta-Benda
Zakat ini diwajibkan pada orang Islam yang berakal dan sudah balig.
Tetapi Imamiyyah mewajiban juga zakat itu kepada orang yang bukan Islam.
Harta yang diwajibkan zakat hendaklah dapat dikuasai seluruhnya, oleh yang memilikinya dapat digunakan mana kala ia suka.
Zakat tidak wajib dari harta benda yang diperoleh secara zalim atau secara rampasan.
Piutang tidak wajib zakat, kecuali pasti dapat dikuasainya.
Lain daripada itu zakat itu diwajibkan sesudah sampai tahunnya, baik harga yang merupakan biji-bijian, buah-buahan dan barang tambang.
Kemudian disyaratkan pula sampai rusaknya.
Zakat tidak diwajibkan atas barang perhiasan, permata, atas rumah tempat tinggal, dan pakaian, tidak juga dikenakan atas binatang. kendaraan, senjata dan lain-lain Tetapi zakat diwajibkan atas emas dan perak.
Wajib Zakat
Wajib zakat atas tiga macam binatang, yaitu Unta, sapi, termasuk kerbau. dan kambing, termasuk biri-biri. Dan tidak wajib zakat atas kuda, keledai, kecuali jika binatang-binatang itu termasuk barang perdagangan.
Bagi Imamiyyah, seperti juga mazhab-mazhab yang lain ada batas-batas unta yang kena zakat, sapi yang kena zakat, kambing yang kena zakat dan beberapa banyak zakat itu.
Perbedaannya tidak berjauhan dengan pembahagian dan penetapan mazhab-mazhab Ahlus Sunnah.
Zakat emas dan perak
Emas dan perak diwajibkan zakat apabila sampai nisab, emas dua puluh misqal, dan nisab perak dua ratus dirham, dengan batas waktu sampai setahun dalam memilikinya, dan banyaknya zakat pada keduanya dua setengah persen.
Imamiyyah menegaskan, bahwa zakat emas dan perak itu baru wajib, jikalau ia tersimpan sebagai harta benda dalam peti, tetapi tidak wajib, jika emas itu sebagai bungkilan, dan tidak wajib juga zakat atas perhiasan daripada emas.
Imamiyyah mewajibkan seperlima daripada wang kertas dan surat-surat yang bernilai harta.
Zakat tanaman dan buah-buahan
Semua mazhab sepakat mewajibkan sepuluh persen zakat atas tanam-tanaman dan buah-buahan, sepuluh perseratus, jika pohon-pohonan itu mendapat air hujan, dan air kali, dan separuh dari jumlah zakat itu, jika pohon-pohonan itu disiram dari sumur dan sebagainya Selain itu tidak wajib zakat kecuali dari pada biji gandum dan biji syair atau beras, begitu juga atas buah-buahan dan buah zabib.
Zakat perdagangan
Harta dagang, yang dikuasai, wajib zakat jika dikehendaki mencari untung dan usaha dan dapat dikuasai, atau dipusakai.
Zakat dagang wajib pada empat mazhab Ahlus Sunnah, dan sunat pada Mazhab Imamiyyah.
Semua itu harus sampai haul (tahun) zakatnya, dimulai dari masa berdagang.
Imamiyyah mensyaratkan untuk zakat dagang ini ada modal sejak permulaan sampai akhir, apabila modal ini kekurangan ditengah-tengah haul, tidak diwajibkan zakat.
Mereka yang berhak menerima zakat, adalah delapan macam, seperti yang tersebut dalam ayat ke-enam puluh dari pada surat at-Taubah dalam Al-Qur'an :
„Bahwa sedekah (zakat itu) adalah bagi fakir, miskin, orang-orang yang bekerja, muallaf yang diambil hati, budak yang mau melepaskan hutangnya, orang-orang yang berhutang untuk amal sosial, pengeluaran diatas jalan Allah dan ibnu Sabil, yaitu orang yang sedang melakukan perjalanan.
Imamiyyah menerangkan, bahwa yang dinamakan fakir itu ialah menurut Agama mereka yang tidak mempunyai kehidupan tetap setahun, baik untuk dirinya, maupun untuk keluarganya.
Jikalau mereka masih mempunyai binatang peliharaan, yang dapat memberi makan keluarganya setahun lamanya, dibolehkan mengeluarkan zakat, untuknya.
Mereka yang berkuasa mencari makan, tidak halal menerima zakat.
Adapun yang dinamakan miskin ialah orang lebih jelek nasibnya dari pada fakir.
Tidak harus mengeluarkan zakat untuk saudara, paman dari pihak ayah, dan paman dari pihak ibu, bapak dan anak, terutama yang dua ini jika ia berada dalam perang sabil.
Zakat itu lebih afdhal di-bagi2kan dalam kampung sendiri dan untuk mereka yang sangat berhajat.
Al-Amilun yaitu orang yang bekerja dalam urusan mengumpulkan dan membagikan zakat.
Al-Muallafatu Qutubuhum ialah orang yang bukan Islam atau yang baru masuk Islam, lagi dijinakkan hatinya.
Riqab yaitu mereka yang karena utangnya menjadi budak, dan sekarang mencari bantuan zakat untuk memerdekakan dirinya.
Didalam Islam pernah terjadi hal yang demikian itu. Kepadanya diberikan zakat.
Al-Gharimun yaitu mereka yang berhutang tidak untuk pekerjaan yang maksiat, diberikan kepadanya zakat untuk menyelesaikan utangnya yang tidak dapat dibayar lagi.
Sabilillah, menurut Imamiyyah, yang dinamakan Sabilillah itu yaitu berperang mempertahankan Islam, membangun mesjid, membangun rumah sakit, membangun rumah sekolah dan segala gedung-gedung untuk kemaslahatan umum.
Ibn Sabil yaitu orang luar negeri yang jauh, yang kehabisan duitnya dalam perjalanannya.
Kepadanyapun dibolehkan member zakat sekedar dapat ia kembali kekampungnya.
Bani Hasyim
Sepakat semua mazhab bahwa zakat itu haram diberikan kepada Bani Hasyim dengan segala macam sukunya, tetapi halal zakat Bani Hasyim untuk Bani Hasyim yang lain.
Imamiyyah menerangkan, boleh memberikan zakat itu kepada orang kaya, jika ada keperluannya, untuk satu kali keperluan.
Zakat Fitrah
Wajib Fitrah itu dikeluarkan oleh tiap orang Islam, yang berkuasa, yang besar, yang kecil, anak kecil dan orang gila fitrahnya wajib kepada walinya, diberikan kepada orang fakir.
Yang dinamakan berkuasa yaitu mereka yang pada malam dan hari mempunyai barang makanan lebih dari cukup baginya dan bagi keluarganya.
Menurut Imamiyyah disyaratkan wajib mengeluarkan zakat pertama orang itu balig, kedua berakal, ketiga berkuasa, maka tidak wajib zakat dikeluarkan dari harta benda anak kecil dan orang gila, karena ada hadis Nabi :
"Diangkat penulisan daripada tiga macam manusia : pertama dari anak-anak yang belum bermimpi, kedua dari orang gila yang belum sadar kembali, dan ketiga dari orang tidur yang belum jaga".
Adapun orang yang berkuasa pada istilah Imamiyyah yaitu seseorang yang memiliki makanan untuk setahun lamanya baginya, dan bagi keluarganya atau penghasilan daripada pertanian dan usaha.
Zakat fitrah itu wajib dikeluarkan untuk dirinya dan untuk orang yang serumah dengan dia sesudah masuk malam lebaran, wajib orang yang dipangku nafakahnya maupun tidak, baik ia anak kecil atau besar, baik ia seorang Islam atau bukan seorang Islam, baik ia keluarga terdekat atau keluarga yang jauh, baik ia tamu yang masuk kerumahnya permulaan Syawal dan menjadi jumlah keluarganya, semuanya wajib dikeluarkan fitrah untuknya.
Begitu juga wajib dikeluarkan fitrah bagi anak yang lahir atau kawin dengan seorang perempuan sebelum masuk matahari pada malam harinya fitrah, atau bersamaan juga wajib fitrah.
Tetapi apabila lahir seorang anak, kawin dengan seorang perempuan atau datang tamu sesudah masuk matahari, maka tidak wajib lagi membayar fitrahnya.
Takaran
Fitrah itu wajib untuk seseorang satu sa' dari gandum atau syair, atau kurma, atau zabib, atau beras, ftau jagung atau barang sesuatu yang menjadi makanan sehari-hari.
Zakat itu wajib mulai masuk malam lebaran, dan wajib mengeluarkannya pada permulaan masuk matahari sampai hari Lebaran waktu condong matahari.
Yang terlebih afdhal mengeluarkan fitrah itu sebelum Sembahyang Hari Raya, apabila pada waktu itu belum didapati orang yang berhak menerima, maka dipisahkanlah zakat fitrah itu daripada harta bendanya, sambil berniat akan dikeluarkannya pada sesuatu kesempatan yang akan datang.
Zakat biji-bijian dari pada fitrah itu sunat dikeluarkan terlebih dahulu kepada keluarga yang memerlukannya, kemudian kepada tetangga, seperti yang disebutkan dalam hadis : "Tetangga kita lebih berhak menerima lebih dulu zakat fitrah".
PENGERTIAN KHUMUS
Meskipun berbagai mazhab membicarakan persoalan khumus, tetapi dalam kitab-kitab fiqih Imamiyyah kita dapati pembicaraan ini dalam satu bab khusus mengenai humus, sesudah bab mengenai zakat.
Sumbernya dari pada kewajiban mengeluarkan khumus ini ialah Qur'an, ayat 41 surat Al-Anfal, yang berbunyi :
"Ketahuilah olehmu, bahwa apa yang kamu peroleh dari pendapatmu (ghanimah), yang demikian itu adalah untuk Allah seperlima, dan begitu juga untuk Rasul, dan untuk sanak kerabat juga demikian, dan untuk anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu Sabil juga demikian".
Yang termasuk perolehan pendapatan (atau ghanimah) itu bersumber dari tujuh macam :
1. Ghanimah yang diambil dari medan perang. Daripadanya diambil khumus.
2. Barang tambang, yang dikeluarkan dari bumi, seperti emas perak, timah, tembaga dll. Menurut Imamiyyah wajib mengeluarkan daripada perolehan itu khumus sebanyak dua puluh persen dari barang tambang, apabila harganya mencapai nisab emas, yaitu sebanyak 20 dinar, atau nisab perak, yaitu 200 dirham.
Tidak ada khumus pada penggalian-penggalian lain.
3. Rukkaz, yaitu harta benda yang terdapat ditanam dalam bumi, tidak diketahui lagi siapa yang menanamnya itu.
Imamiyyah menghubungkan, bahwa rukkaz sama dengan barang tambang dalam kewajiban membayar khumus dan menentukan ukuran nisab.
4. Imamiyyah menentukan, bahwa penghasilan atau perolehan yang didapati dari dalam laut, seperti mutiara dan merjan, apabila harganya sampai satu dinar atau lebih wajib mengeluarkan khumus.
5. Imamiyyah menetapkan pengeluaran khumus atas hasil yang didapat untuk makan seseorang setahun, keluarganya dan khadam-khadamnya, dari usaha apapun juga, baik dari dagang, pertukangan, pertanian, kepegawaian, pekerjaan sehari-hari, atau harta yang diperoleh dari hibbah atau pemberian orang.
6. Juga Imamiyyah menetapkan dalam fiqihnya, bahwa apabila seseorang manusia memperoleh harta haram, kemudian bercampur dengan harta yang halal, demikian rupa sehingga tidak diketahui lagi berapa banyak harta yang halal itu, juga tidak diketahui siapa yang empunya, wajib mengeluarkan khumus atas harta itu fisabilillah.
Apabila orang itu berbuat demikian, seluruh harta yang campur aduk antara halal dan haram itu menjadi halal semuanya.
7. Imamiyyah menetapkan, bahwa jika seorang Zimmi membeli sepotong tanah dari orang Islam, atas orang Zimmi itu diwajibkan mengeluarkan khumus.
Pembahagian Khumus
Menurut fiqih Imamiyyah bahwa khumus itu sebahagian untuk Allah, sebagian untuk Rasul, sebahagian untuk "Zawil Qurba" (kekeluargaan terdekat), yang bahagian itu diserahkan kepada Imam atau wakilnya, dan digunakan untuk kemaslahatan Muslimin.
Enam bahagian yang lain diberikan kepada anak-anak yatim dari Bani Hayim, orang-anak miskin mereka dan Ibn Sabil (orang terlantar dalam perjalanan) mereka, dan tidak dibolehkan diberikan kepada orang lain.
H A J I
Syarat-syarat Haji.
Haji diwajibkan dengan syarat orang Islam yang melakukannya sudah balig, berakal dan mempunyai kesanggupan.
Baligh
Tidak wajib haji bagi anak kecil baik yang sudah mumayyiz (balig dan sudah dapat membedakan buruk dan baik) atau tidak mumayyiz.
Jika seorang anak yang sudah mumayyiz hajinya sah, tetapi sebagai haji sunnat, tidak menghilangkan kewajibannna melakukan haji yang fardhu.
Apabila ia nanti sudah baligh dan mempunyai kesanggupan, wajib ia naik haji lagi.
Dibolehkan bagi seorang wali untuk membawa anaknya yang belum mumayyiz naik haji bersama, dipakaikan kepadanya pakaian ihram, diajarkan membaca talbiyah dan dijauhkan berbuat segala yang haram.
Apakah seorang anak yang belum baligh sah mengerjakan haji dengan tidak seizin walinya ?
Imamiyyah menetapkan, bahwa izin wali adalah syarat untuk sah ihram bagi anak yang demikian.
Tidak gila
Orang gila tidak sah mengerjakan haji.
Jika ia mengerjakan juga, harus diulang lagi pada waktu ia sudah sembuh daripada gilanya itu.
Kesanggupan
Kesanggupan seseorang Islam adalah isyarat wajib haji, sebagaimana yang tersebut dalam Qur'an tentang ibadah haji.
"Adalah orang-orang yang sanggup melakukannya".
Bermacam-macam pendapat ulama tentang arti kesanggupan itu, sebagaimana yang tersebut dalam banyak hadis, diantara lain mempunyai bekal yang cukup, kendaraan yang baik, mempunyai kesanggupan dalam perjalanan, makan minum, meninggalkan belanja untuk keluarganya atau untuk orang-orang yang bekerja dalam kebunnya, perabot pertanian yang cukup, modal yang cukup bagi perdagangan serta aman dalam perjalanan untuk dirinya, untuk harta bendanya dan untuk kehormatannya.
Sebelum ada kesanggupan itu tidak wajib haji.
Segera atau dapat diundurkan
Wajib haji itu harus dikerjakan dengan segera, apabila sudah memenuhi syarat-syaratnya.
Tidak dibolehkan mengundurkannya dari permulaan masa kesanggupannya.
Apabila seseorang mengundurkan haji sesudah memenuhi syarat, ia berdosa, tetapi sah hajinya jika dilakukan.
Haji bagi wanita
Adakah syarat lagi bagi wanita untuk haji selain dari pada syarat-syarat yang sudah ditetapkan untuk laki-laki ?
Tidak ada syarat, jika suami isteri mengerjakan haji yang wajib, selain daripada syarat, jika suamji atau isteri mengerjakan haji.
Tidak boleh dilarang orang naik haji. Perbedaan paham terdapat, bagaimanakah jika seorang wanita tidak ada suaminya atau muhrimnya sebagai teman, masih wajibkah haji ? Imamiyyah menetapkan, bahwa tidak bermuhrim atau suami bukanlah syarat sah haji, haji itu wajib yang melakukannya seorang wanita muda atau wanita yang sudah tua.
baik yang sudah kawin atau yang belum kawin, karena muhrim sudah cukup untuk menjaga keamanannya.
Batal
Apabila seseorang memberikan uangnya kepada orang lain sebagai hadiah untuk perjalanan haji, dengan tidak disyaratkan musti digunakan untuk haji, boleh digunakan sesukanya, tetapi jika disyaratkan untuk haji wajib dilakukan untuk ibadah haji dan tidak boleh ditolak.
Perkawinan dan haji
Bagaimanakah hukumnya seseorang laki-laki mempunyai uang hanya cukup buat naik haji atau buat kawin.
Mana yang didahulukannya ?
Abu Hanifah mendahulukan haji daripada perkawinan.
Tetapi Imamiyyah, sama dengan Syafi'i dan Hambali', mendahulukan
perkawinan, jika meninggalkannya menimbulkan kesukaran dan kegelisahan
baginya.
Jika tidak, didahulukan haji.
Khumus dan zakat
Khumus dan zakat lebih didahulukan dari pada haji,
seseorang tidak dianggap mempunyai kesanggupan untuk naik haji, kecuali
jika ia sudah menunaikan khumus dan zakat.
Kesanggupan yang tidak dilakukan
Barang siapa pergi kesuatu negeri dekat dengan
Mekkah dengan maksud berdagang atau usaha yang lain, tetapi ia tinggal
disana sampai pada waktu haji, dan mungkin sekali dengan kesanggupannya
pergi naik haji ke Baitullah.
Jika ia kembali ke negerinya sebelum ia melakukan haji, niscaya ia berdosa.
BAD AL HAJI
Ada persoalan bagi ibadah haji, apabila seseorang
mengerjakan haji, sesudah memenuhi syarat-syarat, yang pertama kali
untuk dirinya, haji semacam ini wajib.
Jika ditambah lagi dengan mengerjakan beberapa kali naik haji sesudahnya, haji itu sunat.
Tetapi jika ia naik haji dengan niat, untuk
menggantikan haji orang lain, yang biasa disebutkan "badal haji" atau
,,al-istinabah", persoalannya adalah sebagai tersebut dibawah ini.
MACAM-MACAM IBADAH
Ibadah yang banyak terdapat dalam Islam dapat dibagi atas tiga macam :
1. Ibadah yang bersifat badaniah semata-mata, artinya ibadah yang hanya terdiri dari perbuatan dan pekerjaan orang semata-mata, tidak ada sangkut pautnya' dengan harta benda yang langsung, seperti puasa dan sembahyang.
Keempat Mazhab Ahlust-Sunnah mengatakan bahwa ibadah yang seperti ini, tidak boleh digantikan oleh orang lain, baik orang yang digantikan ibadahnya itu orang yang sudah mati atau orang yang masih hidup.
Tetapi Imamiyyah berpendirian dapat diganti ibadah orang yang sudah meninggal.
Adapun orang yang masih hidup tidak diperkenankan menggantikannya, baik berupa Sembahyang atau puasa.
2. Ibadah yang bersifat harta benda, tidak langsung mengenai badan dan pekerjaan seseorang, seperti membayar khumus dan zakat.
Ibadah yang seperti ini dibolehkan menggantikannya menurut keempat-empat Mazhab Ahlus Sunnah dan juga menurut Imamiyyah.
Maka diperbolehkan bagi yang empunya harta benda untuk mewakilkan kepada orang lain, mengeluaran zakat dan sedekah-sedekah lain dari pada harta bendanya.
3. Ibadah yang tersusun daripada pekerjaan badan dan pengeluaran harta benda, seperti ibadah haji. Haji menghendaki pekerjaan, seperti Thawaf, Sa'i, dan melempar Jumrah, serta menghendaki juga kepada harta benda seperti ongkos perjalanan dan segala ongkos-ongkos lain yang mesti dikeluarkan pada waktu naik haji.
Semua mazhab sepakat mengeluarkan satu keputusan, bahwa seseorang yang berkuasa mengerjakan haji sendiri serta mempunyai syarat-syarat lengkap, wajib melakukan haji itu sendiri dan tidak diperkenankan orang lain membadalkan hajinya, dan jika dikerjakan oleh orang lain, tidak boleh, harus dikerjakan sendiri.
Dan jika tidak dikerjakan sendiri, kata Mazhab Syafi'i, Hambali dan imamiyyah, tidak hilang fardhunya atas orang itu, dan wajib dikerjakan haji itu dengan peninggalan hartanya oleh orang lain.
Mazhab Hanafi dan Maliki berkata, bahwa pardhu haji itu dapat dipenuhi dari sudut badaniyah, tetapi jika ia mewasiatkan boleh diambil dari sepertiga hartanya, jika tidak diwasiatkan, tidak wajib diganti atau badal.
Syarat-syarat pengganti haji orang lain
Menurut Imamiyyah ada dua macam haji yang dilakukan
untuk orang yang mati, yang pertama dilakukan mulai dari negeri orang
mati itu, dan kedua dilakukan menurut miqat.
Kalau ditentukan salah satu keduanya, harus
dikerjakan, dan kalau tidak disebut tempat permulaan naik haji ini,
boleh dikerjakan pada salah satu kedua tempat itu, kalau tidak disebut
sama sekali, badal haji itu dimulai pada miqat yang terdekat dengan
Mekkah.
Jika sudah menerima badal haji, wajib segera dilakukan, dan tidak boleh ditangguhkan pada tahun depan.
Apabila yang menyuruh menggantikan, menentukan bagi
yg membadalkannya tentang corak haji itu, seperti haji tamattu' atau
ifrad atau qiran, tidak diperbolehkan menukarkannya dengan yang
ditetapkan itu.
U M R A H
Arti umrah dalam Agama Islam ialah ziarah kepada Baitullahsecara Ibadah yang sah.
Adapun macam dan waktunya adalah sebagai berikut.
Ada Umrah yang dikerjakan sendiri, terpisah dari Ibadah hajidan waktunya sepanjang tahun.
Pada Mazhab Imamiyyah waktu yangutama ialah bulan Rajab dan pada Mazhab lain bulan Ramadhan.
Ada Umrah yang digabungkan dengan Ibadah Haji, yaitu melakukannyalebih dahulu, dan melakukan Ibadah Haji kemudiandalam satu perjalanan, sebagaimana biasa dilakukan oleh jema'ahhaji yang datang ke Mekkah dari Negeri-negeri yang jauh.
Waktunya ialah bulan Haji yaitu bulan Syawal, Zhulqaidah dan Zhulhijjah.
Macam umrah dan coraknya, sebagai berikut:
1. Tawaf wanita wajib pada Umrah Mufradah, tidak wajib pada umrah Tamattti'.
2. Waktu Umrah Tamattu' mulai dari awal bulan Syawal kepada tanggal 9 Zhulhijjah.
Adapun Umrah Mufradah waktunya sepanjang tahun.
3. Mereka yang mengerjakan Umrah Tamattu', halal atau selesai dengan memotong rambut.
Adapun mereka yang mengerjakan Umrah Mufradah selesai dengan melakukan pemotongan rambut atau mencukur seluruhnya.
4. Adapun Umrah Tamattu' dan Haji mungkin terjadi sekaligus dalam satu tahun, tetapi tidak dengan Umrah Mufradah, umrah yang terpisah dari haji.
Syarat dan hukumnya
Syarat haji adalah syarat umrah.
Hanya berbeda bagi Mazhab Hanafi dan Maliki, yang menganggap bahwa umrah itu tidak wajib, tetapi sunat Muakkad.
Imamiyyah menerangkan, bahwa umrah itu wajib bagi mereka yang sanggup mengerjakannya, sama dengan haji yang tersebut dalam Qur'an, surat Al-Baqarah, ayat 196.
Dan Imamiyyah menganggap umrah itu sunat bagi mereka yang tidak sanggup mengerjakannya.
MENGERJAKANNYA
Imamiyyah menerangkan, seperti yang tersebut dalam : "Kitabul Jawahir", bahwa yang wajib pada pekerjaan haji ialah Ihram, Wuquf di Arafah, Wuquf di Masy'aril Haram, berhenti di Mina, melempar Jumrah, memotong qurban, mencukur kepala dan menggunting janggut, Tawaf, Sembahyang sunnah Tawaf dua rak'at, Sa'i', Tawaf wanita dan Sembahyang dua rakaat dan pekerjaan yang wajib untuk umrah Mufradah ada delapan : Niat, Ihram, (tidak ada beda bagi Imamiyyah antara miqat umrah dan miqat haji untuk Ihram), Tawaf dan Sembahyang dua rakaat, Sa'i, memotong rambut dan Tawaf wanita serta Sembahyang dua rakaat.
Dari keterangan diatas ternyata, bahwa amal haji lebih banyak dari umrah disebabkan wuquf. Imamiyyah tidak menambahkan amal kecuali mewajibkan umrah Mufradah.
Imamiyyah menerangkan, bahwa tidak dibolehkan bagi mereka yang memasuki Mekkah, untuk melewati miqat dan masuk ketanah haramnya, kecuali sesudah Ihram.
Meskipun ia sudah haji atau berumrah beberapa kali, kecuali jika ia berulang-ulang keluar masuk itu dalam sebulan, artinya jikalau ia memasuki tanah haram dengan Ihram, kemudian keluar, kemudian masuk yang kedua kali sebelum habis tiga puluh hari, maka tidak wajib Ihram.
Kalau tidak demikian Ihram itu wajib.
Ihram itu karena masuk Mekkah sama dengan berwudhu memegang kitab suci Al-Qur'an.
Muhammad Jawwad Al-Mughmiyyah menambah catatannya tentang hukum ini dengan keterangannya bahwa Dusta-lah mereka yang mengatakan bahwa Syi'ah tidak menganggap suci Baitalharam.
MACAM-MACAM HAJI
Semua Mazhab sepakat, bahwa haji itu ada tiga macam, yaitu Tamattu', Qiran dan Ifrad, uraiannya sebagai berikut : Arti haji Tamattu' ialah, bahwa seseorang mengerjakan pekerjaan umrah lebih dahulu daripada haji dalam bulan Haji, dan kemudian sesudah selesai umrah barulah ia mengerjakan haji itu.
Adapun haji Ifrad ialah bahwa seseorang naik haji lebih dahulu, dan sesudah selesai naik haji, ia Ihram kembali untuk umrah dan mengerjakannya.
Empat Mazhab Ahlus Sunnah memberi arti kepada haji Qiran, bahwa seseorang berihram untuk haji dari umrah bersama-sama dan sekaligus, seperti orang yang mengerjakannya mengatakan : "Labbaika! Allahumma. Bil Hajji wal Umrati". (Wahai Tuhanku ! Aku kerjakan haji dan umrah sekaligus), dan begitulah kira-kira niat haji qiran itu.
Mazhab Imamiyyah menerangkan, bahwa qiran dan ifrad itu satu macam, tidak mempunyai perbedaan, kecuali bahwa orang yang berhaji qiran itu memotong qurban pada ihramnya. "Adapun orang yang mengerjakan haji Ifrad, tidak ada pemotongan apa-apa.
Imamiyyah menambah, bahwa tidak boleh masuk kedalam dua macam Ihram, tidak waktu mengerjakan haji dan umrah dengan satu niat dalam hal yang sama, yang oleh Mazhab-mazhab yang lain dibolehkan pada haji qiran.
Imamiyyah menerangkan, bahwa haji Tamattu' itu hanya dikerjakan oleh orang di'luar Mekkah, adapun qiran dan Ifrad dikerjakan oleh ahli Mekkah sendiri.
Alasannya diambil dari ayat Qur'an; "Barang siapa yang bertamattu' dengan umrah kepada haji hendaklah mengadakan pemotongan.
Jika tidak ada, maka ia puasa tiga hari pada hari haji dan tujuh hari apabila mereka pulang kekampungnya, maka cukup menjadi sepuluh hari, inilah ditentukan bukan buat orang yang sekitar Masyjidil haram" (Qur'an AI-Baqarah, ayat 196).
WAKTU IHRAM
Miqat Ihram
Ada beberapa macam tempat Ihram bagi umrah dan haji.
Oleh Imamiyyah dianggap rukun haji. Semua mazhab sepakat, bahwa miqat mereka yang datang di Madinah untuk Ihram adalah Masjidus Syajarah, yang dinamakan Zul Hulaifah, Miqat orang Syam, Mesir, dan Maghrib adalah Al-Juhfah.
Yang dimaksudkan dengan ahli Syam itu termasuk orang2 Si'rya.
Libanon dan Palestina dan Syarqul Ardan.
Kata Sayyid Al-Hakim, bahwa orang yang bepergian dengan kapal terbang tidak wajib Ihram apabila ia lalu diatas miqatnya, mereka Ihram dipelabuhan kapal terbang di Jeddah.
Kemudian miqat orang-orang Iraq yaitu di Al-Aqiq, dan untuk orang Yaman serta Negara dibelakangnya adalah Yalamlam.
Imamiyyah menetapkan, bahwa miqat orang-orang yang datang dari Persi dan Negeri yang searah ialah Mekkah sendiri.
Perlu diperingatkan, bahwa maqam-maqam itu tidak diuntukkan bagi sesuatu daerah dan bangsa.
Kalau seorang yang datang dari Syam berada di Madinah, akan naik haji, boleh ia menggunakan miqat orang Madinah Zhul Hulaifah, dan seterusnya.
Ihram sebelum miqat
Imamiyyah menerangkan, bahwa tidak diperkenankan Ihram sebelum miqat, kecuali bagi orang yang menghendaki umrah dalam bulan Rajab, dan ia takut terbelakang Ihram dari miqatnya, dan kecuali bagi mereka yang memang sudah bernazar untuk memulai haji nya pada miqat-miqat yang tertentu.
Ihram sesudah miqat
Imamiyyah menetapkan, barang siapa yang meninggalkan Ihram dari miqatnya dengan sengaja pada waktu ia naik haji, atau melakukan umrah, dan tidak kembali kepada miqatnya, begitu juga tidak ada miqat lain dihadapannya, haram ia mengerjakan Ibadah itu dan batal Ihramnya serta hajinya, baik ia berhalangan atau tidak berhalangan.
Apabila ia meninggalkan miqatnya itu karena lupa atau tidak mengetahui, sedangkan masih mungkin kembali kepada miqatnya, jika tidak mungkin kepada miqatnya, kepada miqat yang lain ia harus kembali kepada salah satu miqat itu.
Yang wdjib dan yang sunat pada Ihram
Sebelum Ihram sunat membersihkan badan, mengerat kuku, memotong kumis atau janggut, mandi bagi perempuan yang haid dan nifas, berihram sesudah Sembahyang Zohor, sunat Sembahyang Ihram enam rakaat, empat atau dua rakaat. Kemudian berdoa.
Adapun yang wajib bagi Ihram itu ialah niat, membaca talbiyah, dan memakai kain Ihram menurut pendirian masing-masing mazhab.
Imamiyyah menetapkan, wajib niat itu berbareng dengan memakai Ihram, tidak cukup berniat ditengah-tengahnya, dan hendaklah ditentukan niat itu, apakah Ihram itu untuk haji atau untuk umrah, bahkan untuk haji Tamattu', Qiran, atau Ifrad, dan apakah ia naik haji itu untuk dirinya atau untuk orang lain, jika tidak ada niat itu berbareng maka batallah ibadahnya.
Talbiyah; terdapat dalam Ibadah haji itu menurut Islam, Cuma ada mazhab yang mewajibkan, ada yang tidak, Imamiyyah mewajibkan talbiyah.
Tidak diperhitungkan untuk haji Tamattu', haji Ifrad, begitu juga umrah baik yang bersama haji Tamattu', haji Ifrad, begitu juga umrah baik yang bersama haji atau sendiri, kecuali dengan talbiyah, sekurang-kurangnya ulang-ulang empat kali.
Hampir semua mazhab mempunyai sighah talbiyah itu sama.
Tidak disyaratkan pada waktu mengucapkan talbiyah harus suci dari hadas.
Talbiyah itu dimulai pada waktu Ihram dan disunatkan meneruskannya sampai kepada melempar Jumratul Akbar, bagi laki-laki dengan suara keras dan bagi wanita dengan suara lemah kecuali dalam kumpulannya sendiri, terutama Mesjid Arafah dan sunat juga bertawaf kepada Nabi dan keluarganya.
Kain Ihram tidak dibolehkan berjahit, berupa baju atau selendang, kemeja atau celana, atau menutup kepala dan mukanya.
Tidak boleh memakai khuf, tetapi hanya sepatu terbuka.
Adapun wanita dibolehkan menutup kepala dan membuka mukanya, kecuali untuk menghindarkan pandangan laki-laki.
Boleh memakai kain sutera dan khuf, Kain pinggang dan selendang Ihram kedua-duanya wajib.
Yang sunat berasal dari kapas putih, dibolehkan bagi orang yang Ihram memakai lebih dari dua potong kain Ihram yang sudah digunakannya.
Tentang kebersihan disyaratkan bahwa pakaian Ihram itu harus sama bersih seperti kain Sembahyang, bukan sutera atau kulit binatang yang boleh dimakan, bagi laki-laki bukan sutera dan kulit.
YANG TERLARANG PADA WAKTU IHRAM
Beberapa perkara yang dilarang oleh syara' pada waktu Ihram, akan disebutkan dibawah ini.
Kawin
Kawin Tidak dibolehkan bagi seorang yang sedang Ihram aqad nikah, bagi dirinya, bagi orang lain, mewakili orang lain, dan kalau diperbuatnya, tidak sah nikahnya.
Imamiyyah menerangkan, bahwa seseorang tidak dibolehkan juga menjadi saksi dalam perkawinan.
Apa bila yang sedang berihram mengetahui haramnya, maka haramlah ia bercampur dengan perempuannya, meskipun ia tidak bersetubuh.
Jika ia tidak mengetahui tentang haramnya, maka tidaklah apa-apa, sampai kepada jima'.
Jima'
Jima', juga tidak dibolehkan bagi orang yang ber-ihram, begitu juga bermain-main dengan isterinya.
Apabila ia jima' sebelum tahlil, rusak hajinya.
Boleh ia qadha pada tahun depan.
Jika wanita itu mau dengan rela akan memenuhi maksud lakinya mengenai jima', haji wanita itupun batal dan didenda dengan seekor anak onta, dan diperkenankan qadha pada tahun depan.
Tetapi jika ia dipaksa oleh lakinya, tidak apa-apa, lakinya yang harus membayar kifarat dua ekor anak onta.
Dalam masa Ihram, diharamkan memakai wangi-wangian, baik bagi laki-laki atau perempuan.
Jika dikerjakan karena lupa tidak ada kifarat.
Imamiyyah menghukumkan tiap orang yang memakai bau-bauan dengan sengaja, harus didenda seekor kambing, dibagi-bagi atau dimakan sendirinya.
Juga tidak dibolehkan memakai celak mata, tidak boleh memotong kuku, tidak boleh mencukur rambut, mencabut pohon kayu, melihat perempuan yang tidak tertutup badannya.
Memakai inaj makruh.
Laki-laki tidak dibolehkan menutup kepala, dan perempuan dibolehkan berpayung.
Selanjutnya tidak diperkenankan memakai pakaian yang berjahit, mengucapkan kata-kata yang kotor, berdusta, jika lebih dari dua kali dendanya seekor kerbau dan jika lebih dari pada tiga kali, seekor onta.
Adapun berbekam (hajjamah), meskipun empat mazhab Ahlus Sunnah membolehkan karena darurat, tetapi dalam Imamiyyah ada yang melarang.
Imamiyyah tidak memperkenankan membunuh binatang, seperti semut dan monyet, dan juga tidak boleh berburu, ditanah haram.
Dalam Qur'an disebut : „Wahai orang yang beriman, jangan kamu membunuh binatang buruan, sedang kamu ber-ihram.
Barang siapa membunuhnya dengan sengaja, harus digantikan dengan binatang yang seperti itu, merupakan kifarat untuk memberi makan orang miskin" (Al-Maidah, ayat 95).
Oleh karena itu Imamiyyah, sama dengan pendirian Mazhab Syafi'i.
Mengenai pemburuan darat, seperti sapi jalang, yang boleh dipimpin untuk dibiarkan hidup atau disembelih dan dagingnya dibagi-bagi kepada orang miskin.
Dalam kitab "Asy-Syara'i", salah satu kitab fiqih Imamiyyah tersebut:
Tiap-tiap orang yang Ihram, memakan atau memakai sesuatu yang tidak halal untuk dimakannya atau dipakainya, dendanya seekor kambing", jika ia berbuat demikian dengan sengaja, bukan karena lupa atau tidak mengetahui.
Imamiyyah dan Syafi'i sepakat, bahwa tidak dikenakan kifarat, kalau orang yang berbuat sesuatu dalam masa Ihramnya bodoh atau lupa, kecuali berburu, dalam hal ini wajib kifarat, meskipun ja lupa (Al-Jawwahir, Fiqus Sunnah).
Batas dua tanah haram
Tidak ada bedanya tentang haram berburu dan memotong kayu dalam daerah haram Mekkah dan haram Madinah.
Haram Mekkah dibatasi sebelah Utara dengan-tempat yang dinamakan "Tan'im", antaranya dan antara Mekkah enam kilo meter, sebelah Selatan oleh "Idhah", antaranya dan antara Mekkah duabelas kilometer, disebelah Timur dengan "Al-Ju'ranah", yang antaranya dan Mekkah jauh enambelas kilometer, dan dari sebelah Barat oleh "Asy- Syumaisi", yang antaranya dan Mekkah limabelas kilometer.
Adapun batas haram Nabi atau Mekkah ialah dua belas mil memanjang dari Ir kegunung Staord, dan Ir itu adalah gunung Miqat, Staord. adalah gunung Uhud.
T H A W A F
Macam-macam Thawaf pada Syi'ah
Syi'ah, sepakat dengan Ahlus Sunnah, mengakui bahwa dalam Agama Islam ada perintah mengerjakan : "Thawaf Qudum" bagi orang yang masuk Mekkah, semacam Sembahyang dua rakaat Tahiyat Masjid.
Oleh karena itu thawaf ini kadang-kadang dinamakan thawaf tahiyat.
Semua Mazhab menganggapnya sunat, jika ditinggalkan membayar dam seekor kambing.
Thawaf Ziarah, yang dinamakan juga Thawaf Ifadhah.
Thawaf ini dilakukan oleh orang haji sesudah ia di Mina melempar Jumrah Uqbah, penyembelihan dan menggunting rambut, kemudian ia kembali ke Mekkah serta thawaf.
Dinamakan Thawaf Ziarah, karena orang haji meninggalkan Mina dan ziarah ke BaituIIah.
Dan dinamakan Thawaf Ifadhah, karena orang haji kembali (afadha) dari Mina ke Mekkah.
Kadang-kadang dinamakan Thawaf Haji, karena ia merupakan rukun dari pada rukun haji.
Dengan mengerjakan semua thawaf ini halallah bagi orang yang Ihram haji itu semuanya, sampai kepada mendekati isterinya, kecuali Imamiyyah yang menerangkan, bahwa bagi mereka ini belum halal mendekati isterinya, sebelum ia Sa'i, antara Safa dan Marwah, dan Thawaf lagi yang kedua kali, yang oleh mereka dinamakan thawaf wanita (Thawaf Nisa').
Ketiga Thawaf Wida', yaitu apa yang dikerjakan orang haji, pada waktu ia pulang dari Mekkah, jika ditinggalkan harus membayar dam satu kambing.
Syi'ah menyetujui ketiga macam Thawaf ini, tetapi mereka berpendapat bahwa thawaf Ziarah adalah rukun daripada rukun-rukun haji, jika ditinggalkan batal-lah hajinya.
Adapun Thawaf Qudum mereka menganggap sunat, sedang Thawaf Wida' mereka dengan Mazhab Maliki menganggap sunat.
Orang-orang Syi'ah menambahkan satu Thawaf lagi, yaitu yang mereka namakan Thawaf Nisa' atau Thawaf Wanita, dan menganggap wajib thawaf ini, tidak boleh ditinggalkan pada Umrah Mufradah, atau dalam haji semua macamnya, baik Tamattu', Qiran atau Ifrad, tidak boleh ditinggalkan kecuali pada Umrah Tamattu', yang hanya dicukupkan dengan Thawaf Wanita saja yang melengkapi haji Tamattu'.
Orang-orang penganut Ahlus Sunnah mengatakan, bahwa tidak ada Thawaf Haji lagi yang wajib, dan sesudah Thawaf Haji itu halal-lah semua, meskipun mendekati isterinya.
Tetapi Syi'ah menerangkan : Wajib bagi orang yang mengerjakan haji sesudah Thawaf Haji dan Sya'i yang diperlukan, ialah Thawaf lagi berikutnya satu kali, dan thawaf yang kedua ini ialah Thawaf Nisa atau Thawaf Wanita.
Dan mereka menerangkan pula, bahwa apabila seorang naik haji meninggalkan thawaf ini pada akhirnya, bagi mereka masih diharamkan mendekati wanita, dan melakukan nikah, sampai ia melakukan lagi haji ini sendirinya atau digantikan oleh orang lain, jika ttdak dikerjakan, kewajiban ini wajib kepada walinya sesudah ia mati.
Bahkan orang Syi'ah menerangkan, bahwa jikalau seorang anak yang mumayyiz naik haji, tetapi pada akhirnya tidak thawaf wanita, meskipun karena lupa atau bodoh, maka tidak halal baginya mendekati wanita sesudah baligh, dan tidak sah nikahnya lagi, kecuali jika ia mengerjakan haji atau digantikan Ibadah haji itu oleh orang lain dan thawaf wanita pada akhirnya untuk menghalalkannya.
Ringkasnya bagi orang Syi'ah diwajibkan kepada orang yang naik haji Tamattu' tiga macam thawaf, pertama untuk Umrah, yang dianggap rukun dari padanya, kedua untuk haji, yang juga dianggap rukun baginya, dan ketiga untuk Wanita, yaitu satu bahagian kewajiban, tidak seperti rukun Fatihah dalam Sembahyang.
Umar dan Haji Mut'ah
Ada riwayat, bahwa Umar pernah mengatakan : „Ada dua Mut'ah pada zaman Rasulullah, yang saya haramkan kedua-duanya dalam hukum.
Mut'ah yang pertama ialah Mut'ah wanita, artinya perkawinan yang ditentukan waktu cerai pada waktu nikah dan yang kedua yaitu Mut'ah Haji.
Keterangan ini lebih jelas dimaksudkan, bahwa Ahlus Sunnah membolehkan mengumpulkan orang yang naik haji dalam satu ihram, dengan niat yang satu antara haji dan Umrah, seperti keadaan dalam haji Qiran, tetapi orang-orang Ahli Sunnah sepakat dengan Syi'ah dalam kesemuanya itu, kecuali Syi'ah menolak keras keadaan ini dan mewajibkan bagi tiap haji dan Umrah dilakukan Ihram sendiri-sendiri.
Jadi mengumpulkan antara Haji dan Umrah dalam Ihram yang satu dengan niat yang satu, kemudian difasakh hajinya untuk kembali kepada Umrah, orang-orang Syi'ah tidak dapat memperkenankannya, mereka membenarkan pendapat Umar (lihat Tafsir Ar-Razi, Surat Al-Baqarah ayat 186, Al-Mugni, jz. III, Fathui Bari, jz. IV).
Pada waktu masuk Mesjid Mekkah
Disunatkan buat orang yang masuk Mekkah mandi, memasukinya dari pihak atas, dari „Bab Bani Syaibah" (Babus Salam), dan mengangkat kedua tangannya tatkala melihat Ka'bah, serta membaca takbir dan berdoa dengan do'a yang baik, atau yang mudah dihafalnya, kemudian pergi ke Hajar Aswad, menciumnya atau mengusapnya atau mengisyaratkan dari jauh dengan tangannya.
Imamiyyah mengistimewakan memasuki Mekkah dengan mengulum semacam pohon yang baunya harum, jika tidak ada membersihkan mulut, sampai bersih daripada bau busuk.
Syarat-syarat haji
Imamiyyah menetapkan, bahwa diantara syarat haji ialah bersuci dari pada hadas dan najis, sebagai syarat dalam thawaf yang wajib, menutup aurat dengan pakaian yang suci, yang tidak dirampas.
Pakaian itu hendaknya jangan dari pada kulit binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya, tidak dari sutera, tidak pakai emas, seperti yang terdapat pada Sembahyang.
Bahkan untuk thawaf harus lebih diistimewakan dari pada Sembahyang, seperti yang kita ketahui banyak pelanggarannya yang disuruh bayar dengan dam.
Juga bagi wanita tidak dibolehkan memakai sutera dan emas.
Imamiyyah menerangkan juga diantara syarat haji ialah Thawaf dan sudah berkhitan.
Tidak sah thawaf, bagi anak-anak maupun laki-laki yang belum dikhitani (Al-Jawahir, Al-Hada'iq).
Kaifiyat Thawaf
Wajib ditentukan niat, bahwa ia berjalan Thawaf, jika lemah boleh berkendaraan, seperti tersebut dalam kitab "Al-Kafi" dan kitab "Man La Yahduruhul Faqih".
Jadi bagi Imamiyyah syarat Thawaf sebagai berikut :
1. Niat,
2. Thawaf berjalan atau berkendaraan.
3. Dimulai Thawaf pada Hijir Aswad.
Kemudian diteruskan thawaf dengan Ka'bah disebelah kiri, disudahi pada akhir kali, thawaf yang ketujuh, pada Hijir Aswad dengan tidak melebihi dan mengurangi.
4. Dalam perjalanan thawaf harus dijaga, bahwa Ka'bah selalu terletak disebelah kiri.
5 dan Hijir Ismail termasuk dalam thawaf, karena ia merupakan " sebagian daripada Ka'bah pada masa dahulukala, sehingga jika ada orang yang memotong jalan thawaf melalui Hijir Ismail batal-lah thawafnya.
6 Bahwa hendaklah thawaf itu dilakukan diluar Ka'bah bukan didalamnya.
Dalam Qur'an disebut : "Hendaklah mereka thawaf keililing Baital Atiq", bukan didalamnya. Yang dimaksud dengan Baital Atiq ialah Ka'bah.
7. Hendaklah orang yang thawaf itu melalui antara Ka'bah dan Maqam Ibrahim, atau batu (Sakarah), tempat Nabi Ibrahim membuat Ka'bah, dahulu dalam sebuah gubuk, sekarang sudah terletak diluar.
8. Bahwa dengan tujuh kali keiiling Ka'bah haruslah disempurnakan thawaf itu, tidak berlebih dan berkurang.
Apabila sudah selesai thawaf wajib sembahyang dua rakaat dibelakang maqam Ibrahim, meskipun manusia sesak padat tidak mungkin dipindahkan ketempat lain, kecuali jika perlu betul jatuh dalam Masjidil Haram.
Tidak boleh melakukan thawaf kedua, kecuali sesudah Sembahyang dua rakaat itu.
Jika ia lupa, ulang kembali Sembahyangnya, jika uzur, diqada, apabila thawaf itu thawaf wajib, dan apabila thawaf itu thawaf sunat boleh dikerjakan sembahyang dua rakaat itu,. kapan suka (At-Tazkirah, Al-Jawwahir, Al-Hadaiq).
Imamiyyah memutuskan sunat mengusap Hajar Aswad dan Rurun yang lain (Rukun Yamani).
Begitu juga menganggap wajib muwalah.
Yang sunat dikerjakan pada thawaf
Terpetik dari kitab "Al-Lam'ah Ad Damsyiqiah" Muhammad Jawwad Mughniyah menerangkan, bahwa daripada sunat thawaf (dari Imamiyyah) yaitu berdiri tentang Hajar Aswad, membaca do'a menghadapinya dan mengangkat dua belah tangan, membaca "Surat Al- Qadar", Zikrullah, tenang pada waktu berjalan, mengusap Hijir Aswad, dan menciuminya kalau mungkin, baunya harum atau member isyarat dengan tangan kanan dari jauh, melakukan istilam pada rukun-rukun lain atau menciumnya, terutama pada thawaf kali ketujuh, dan pada akhirnya mendekati Ka'bah dan pintunya, serta makruh kalau berbicara ditengah-tengah thawaf, kecuali mengucapkan zikir dan Qur'an.
Juga Imamiyyah menetapkan, bahwa sunat melakukan thawaf 360 X, kalau tidak sanggup, 36 kali.
Hukum Thawaf
Berkata Imamiyyah selanjutnya : Jika seorang wanita Haid ditengah-tengah thawaf, maka diputuskan, bahwa jika haid itu datang sesudah thawaf empat kali keiiling, lalu melakukan sa'i pada masa yang lampau sa'i itu dilakukan diluar Mesjid, dan boleh dalam keadaan wanita berhaid.
Tetapi, tempat sa'i itu sekarang sudah masuk kedalam Mesjid, jadi thawaf dan sa'i sudah sama-sama dilakukan dalam Masjidil Haram, penyalin". (Sambungan thawaf dilakukan sesudah wanita itu bersih.
Kita catat disini, bahwa Mazhab Hanafi membolehkan seorang wanita yang sedang berhaid melakukan thawaf, dengan tidak disyaratkan, mesti suci dari pada haid.
Kitab "Fathui Qadir", dari Mazhab Hanafi, menerangkan : Barang siapa yang memutuskan thawaf Jiarah (Ifadha ?), wajib membayar dam seekor kambing, dan barang siapa meninggalkan thawaf empat kali keiiling, batal thawafnya, sehingga ia thawaf lagi.
Imamiyyah berkata : Apabila seseorang sesudah menyelesaikan thawaf, datang syak dalam hatinya, apakah yang sudah dilakukannya sudah memenuhi hukum, tidak ada lebih dan tidak ada kurang, Imamiyyah memutuskan, bahwa purbasangka.ini tidak berbekas dan thawafnya sah.
Thawaf ini dilakukan sesudah memakai Ihram dari pada amal Umrah Mufradah atau Umrah Tamattu'.
Adapun amal thawaf dari haji, yang sudah melakukan hajinya di Mina, ada cara lain.
SA'I DAN POTONG RAMBUT
Semua Mazhab sepakat, bahwa Ibadah sa'i itu
dilakukan sesudah thawaf, dan sesudah Sembahyang dua rakaat, yang
dilakukan untuk thawaf.
Barang siapa sa'i sebelum thawaf, haruslah ia ulang kembali, ia thawaf kemudian ia sa'i.
Cara mèlakukan
Semua Mazhab sepakat, bahwa ibadah sa'i dikerjakan dengan berjalan atau berlari antara bukit Safa dan bukit Marwah, dan merupakan rukun haji pada Imamiyyah.
Semua Mazhab juga sepakat, bahwa bilangan sa'i itu tujuh kali, dimulai dengan Safa dan diakhiri dengan Marwah, yang terletak dekat „Babus Salam" atau „Babu Bani Syaibah", jalan masuk ke Mesjid, yang kuasa berjalan, yang tidak kuasa boleh berkendaraan atau diusung.
Ibadah sa'i itu, sesudah istilam, berjalan dari Safa menghadap Marwah, dan kembali dari Marwah menghadap Safa.
Imamiyyah menurut kitab „Al-Jawahir", menetapkan sa'i itu dikerjakan sesudah selesai thawaf, sunat istilam kepada Hazar Aswad, minum air zamzam, mengemukakan Hazar Aswad, dahulu bernama „Babus Safa", naik keatas bukit Safa menghadap ke Ka'bah (Rukun Al-Iraqi), membaca tahmid, berhenti sejenak dibukit Safa, bertakbir tujuh kali, bertahlil, yang diulang-ulang tiga kali dan berdo'a dengan do'a yang ma'tsur, Hampir semua Mazhab bersamaan.
Muhammad Jawwad Mughniah menerangkan, bahwa tidak seorang Imam Fuqaha' yang mewajib kan bersuci untuk sya'i daripada hadas besar dan kecil, dan dari pada najis.
Cuma yang ada berlari kecil, sekarang pada tempat yang diberi tanda.
Hukum Sa'i
Barang siapa yang tidak sanggup melakukan sa'i, meskipun dengan kendaraan, boleh diwakilkan kepada orang lain dan sah hajinya.
Dalam melakukan sa'i dengan sengaja lebih daripada tujuh kali, batal sa'inya, tetapi tidak batal kalau lupa.
Begitu juga kalau sah, dilakukan pada yang yakin, atas bilangan ini.
Memotong rambut
Imamiyyah menetapkan, bahwa boleh dipilih antara menggunting sedikit rambut, kumis, rambut kepala, atau mengerat kuku.
Tetapi menetapkan bahwa „taqsir" itu wajib dan bukan hukum, sama dengan memberi salam penutup pada waktu Sembahyang.
Taqsir itu atau mencukur kepala seluruhnya hanya wajib satu kali pada Umrah Mufradah dan dua kali pada Umrah Tamattu'.
Taqsir pada Umrah
Kata Imamiyyah : Apabila seorang yang ber-umrah
Tamattu' melakukan sa'i, berniat akan taqsir (gunting sebahagian) tidak
boleh mencukuri seluruh kepala.
Dan apabila sudah taqsir, halal baginya apa yang haram.
Dan apabila dia mencukur seluruh kepala, wajib membayar dam seekor kambing.
Imamiyyah menerangkan, bahwa apabila seseorang
selesai melakukan sa'i, boleh memilih antara mencukuri kepala atau
menggunting rambut sebahagian.
Adapun halal dari pada ihram, terserah kepada macam haji dan Umrah.
Taqsir pada haji
Taqsir kedua sesudah mengerjakan haji bergantung
kepada macam Hajinya, Tamattu', Ifrad atau Qiran, dan dilakukan sesudah
memotong di Mina.
Sepakat mazhab untuk memilih, apakah orang haji itu memilih taqsir atau mengutamakan bersukur.
Imamiyah mewajibkan bagi mereka yang tidak ada rambut, melakukan pisau cukur pada kulit kepala.
Cukur di Mina atau memotong rambut atau kumis dsb. di Mina itu wajib.
Apabila seseorang bangkit dari Mina, sebelum cukur atau menggunting, wajib dia kembali, baik lupa atau sengaja.
Menggunting atau memotong rambut tidak berarti
seseorang boleh mencampuri isterinya, sebelum thawaf Nisa, yaitu thawaf
khusus untuk menghasilkan segala sesuatu dengan isteri, dan halal Aqad
Nikah, pada Imamiyyah.
Tidak boleh berburu.
WUQUF DI ARAFAH
Amal yang kedua dalam Haji
Amal Haji dimulai dengan Ihram, lengkap se-lengkap-lengkapnya seperti pada Umrah.
Adapun amal yang kedua, sesudah Ihram, adalah amal
yang dianggap Rukun Haji, yaitu wukuf di Arafah, dengan tidak dibedakan,
apakah Haji itu diperbuat secara Tamattu', Ifrad atau Haji Qiran.
Orang-orang yang datang ke Mekkah sesudah Ihram pada Miqatnya.
Thawaf di Mesjidil Haram, dan sebelum keluar ke Arafah juga thawaf, seperti sunat Tahiyat Masjid bagi Sembahyang.
Sebelum wuquf di Arafah
Semua orang haji yang keluar dari Mekkah disunatkan
pada hari Tarwiyah, tanggal 8 Zhulhijjah, pergi menghadapi Mina, yang
terletak dijalan. ke Arafah.
Imamiyyah menerangkan, bahwa sunat bagi orang yang mau keluar ke Arafah, tidak keluar dari Mekkah, sebelum Sembahyang Zhuhur.
Tetapi dibolehkan keluar bersegera ke Arafah sehari
atau dua sebelum hari Tarwiyah, khusus buat orang sakit, orang tua dan
wanita, dan orang yang takut tidak kebagian tempat, begitu juga boleh
keluar pada pagi hari yang kesembilan, agar ia hadir di Arafah pada
waktu condong matahari.
Tidak ada Mazhab yang menerangkan wajib menginap di
Mina pada malam Arafah, tetapi menginap malam Arafah di Mina tidak
sunat, hanya sebagai istirahat saja.
Waktu Wuquf di Arafah
Semua Mazhap menerangkan, bahwa waktu Wukuf di
Arafah itu adalah pada hari kesembilan bulan Zhulhijjah, cuma yang ada
perselisihan pahamnya adalah pada waktu permulaan dan penghabisan hari
kesepuluh Zhulhijjah.
Imamiyyah menetapkan, bahwa waktu Arafah itu
berlaku dari pada condong hari tanggal Sembilan sampai kepada masuk
matahari pada hari itu bulan Zulhijjah bagi mereka yang leluasa, tetapi
boleh dipanjangkan sampai keluar matahari hari berikutnya, yaitu tanggal
Sepuluh Zulhijjah bagi orang yang terpaksa.
Sebelum Wuquf di Arafah itu disunatkan mandi yang
sempurna, seperti mandi Jum'at, dan tidak ada amal lain di Arafah itu
kecuali hadir dan berada pada salah satu tempat dalam lingkungan Arafah
itu, baik dalam keadaan jaga atau tidur, maupun dalam keadaan
berkendaraan, duduk atau berjalan-jalan.
Orang biasa menggunakan waktu yang baik dan Mustajab ini untuk berdo'a, membaca Qur'an, atau mendengar ceramah dan sebagainya.
Lingkungan daerah Arafah
Lingkungan lapangan Arafah itu ialah seluruh
daerah, yang dinamakan Arafah sekarang ini, termasuk Namrah sampai
kepada Zul Majaz.
Pada garis dan diluar wilayah ini tidak diperkenankan Wukuf, karena daerah lapangan Arafah itu tidak masuk Arafah.
Jikalau Wuqub didaerah luar itu batal hajinya.
Semua daerah Arafah sebelah dalam boleh digunakan
sebagai tempat Wuquf, ditempat manapun jua didaerah itu dibolehkan oleh
semua mazhab.
Kata Imam As-Sadiq, bahwa Rasullullah Wuquf di
Arafah, kemudian turutlah orang banyak ketempat itu sehingga
berdesak-desak dengan ontanya.
Rasullullah berkata : "Semua tempat ini adalah tempat Wuquf."
Syarat-syarat Wuquf
Tidak disyaratkan bersuci lebih dulu untuk Wuquf di Arafah.
Menurut Imamiyyah, bahwa yang diwajibkan ialah berniat dan bermaksud Wuquf di Arafah.
Selanjutnya Imamiyyah menerangkan, bahwa untuk Wuquf itu ada dua keadaannya : Suka rela dan terpaksa.
Yang pertama dimulai tanggal 9 sesudah condong matahari sampai matahari masuk.
Dan yang kedua mulai dari keluar matahari tanggal 10 Zulhijjah, boleh sampai condong matahari atau sampai masuk matahari.
Tetapi permulaannya dinamakan Wuquf dan ketinggalan bagian hari dinamakan wajib bukan rukun.
Apabila seseorang keluar dari Arafah sebelum
condong matahari, wajib kembali mengerjakan lagi, jika tidak ia harus
membayar kifarat seekor anak onta, jika dia tidak dapat mengerjakannya,
ia harus puasa delapan belas hari berturut-turut.
Tetapi jika keluar dari Arafah sebelum condong
matahari karena lupa, tidak teringat kecuali sesudah habis waktunya,
tidak ada apa-apa.
Ia mendapat Wuquf di Mes'aril haram pada waktunya.
Akhirnya disunatkan bagi orang yang Wuquf di Arafah
bersuci yang sempurna, senantiasa menghadap Qiblat, memperbanyak
istighfar memperbanyak do'a serta khusyuk', khudhu' dan hudhur hati.
WUQUF DI MUZDALIFAH
Wuquf di Muzdalifah adalah amal haji yang berikutnya sesudah Wuquf di Arafah.
Semua orang haji yang datang dari Arafah menghadap ke Muzdalifah, sebagaimana yang disebutkan dalam Qur'an :
„Apabila sudah selesai pekerjaan di Arafah,
berzikirlah kamu untuk Allah pada Masy'aril Haram, sebagaimana berzikir
yang diajarkan kepadamu".
Semua Mazhab sepakat bahwa disunatkan mengakhirkan Shalat Maghrib pada malam Hari Raya sampai dj Muzdalifah.
Pengarang At-Tazkirah (Kitab Syi'ah) berkata :
„Apabila sudah masuk matahari di Arafah, maka ia teruskan Sembahyangnya
di Masy'aril Haram dan ia berdo'a dengan do'a yang baik."
Kata pengarang Kitab Al-Mughni : „Bahwa sepanjang
sunnah Nabi, adalah sunat bagi orang yang sudah berangkat dari Arafah,
tidak Sembahyang Maghrib kecuali di Muzdalifah.
Disana ia men jama' Salat Maghrib dan Isya, sebagaimana Nabi telah memperbuatnya.
Dan oleh karena itu Imamiyyah mengganggap sunat meniru perbuatan nabi itu dengan Jama' Shalat.
Barang siapa Shalat Maghrib lebih dahulu sebelum
sampai di Mazdalifah, dan tidak menjama' antara dua Shalat, Shalat
Maghribnya itu sah, meskipun Abu Hanifah menganggap tidak mendapat
pahala atas perbuatannya.
Batas lingkungan Muzddlifah
Sebagaimana tersebut dalam Kitab „At-Tazkirah" dan
Kitab „Al-Mughni", bahwa Muzdalifah itu mempunyai tiga nama, yaitu
Muzdalifah, Jama' dan Masy'aril Haram. Batasnya dari Ma'jami sampai
Al-Hivadh, sampai kepada Wadi Mahsyar.
Seluruh Mu'aliyat itu adalah tempat Wuquf seperti padang Arafah.
Tiap bahagiannya boleh digunakan.
Menurut kitab „Al-Mudharid" (Syi'ah), bahwa jika
terlalu mendesak manusia, bahkan dibolehkan Wuquf dia tas gunung, yang
termasuk dalam garis Muzdalifah.
Tidur dan Wuquf di Muzdalifah
Apakah bermalam atau tidur di Muzdalifah pada malam
Hari Raya itu wajib ? Atau dapat dicukupkan Wuquf di Masy'aril Haram
saja, meskipun sepicing sesudah keluar matahari pagi ? Yang dimaksudkan
dengan Wuquf ialah bagaimana yang disukai oleh seorang haji bentuknya,
ia berjalan, ia duduk atau ia berhenti sejurus diatas kendaraannya,
semua itu bersama halnya dengan di Arafah.
Sementara Mazhab Hanafi, Syafi'i dan Hambali,
mewajibkan bermalam di Muzdalifah, dan yang tidak mengerjakannya harus
membayar dam, Imamiyyah dan Mazhab Maliki tidak mewajibkan, hanya
mengutamakannya dengan tidak ada akibat apa-apa atas pelanggaran itu.
Adapun Wuquf di Masy'aril Haram sesudah keluar
matahari pada sepuluh Zulhijjah adalah sebuah pekerjaan sunat daripada
pekerjaan-pekerjaan haji.
Imamiyyah menerangkan, bahwa wuquf di Masy'aril
Haram itu ada dua macam, pertama bagi orang yang tidur uzur
mentakhirkannya pada Hari Raya antara keluar pajar dan keluar matahari.
Orang yang melakukannya mengetahui dan dengan
sengaja meliwati Masy'aril Haram sebelum keluar pajar, tidak batal
hajinya, jika ia sudah Wuquf di Arafah cuma ia wajib membayar dam seekor
kambing.
Jika ia meninggalkan karena tidak mengerti hukumnya, tidak ada kewajiban apa-apa.
Yang kedua adalah Wuquf yang berlaku untuk wanita
dan untuk orang yang uzur yang tidak dapat melakukan Wuquf antara keluar
fajar dan keluar matahari, sampai kepada condong matahari sesudah Hari
Raya.
Bagi orang yang terpaksa, hal itu dibolehkan.
Imamiyyah menerangkan, bahwa Wuquf pada suatu
tempat diantara dua waktu yang terbatas itu, adalah sebuah Rukun
daripada rukun-rukun haji.
Barang siapa yang meninggalkan Wuquf seluruhnya,
dengan uzur, secara sukarela atau terpaksa, dan tidak ada sama sekali
Wuqufnka pada malam hari, melalui tempat-tempat ini, batal hajinya,
kecuali jika ia tinggalkan itu karena uzur yang dapat diterima oleh
alam.
Pada Imamiyyah Wuquf di Masy'aril Haram dianggap lebih penting daripada Wuquf di Arafah.
Dan oleh karena itu, dikatakan, bahwa barang siapa
yang tidak melakukan Wuquf di Arafah, tetapi berwuquf di Masy'aril
Haram, sebelum keluar matahari, dianggap sah hajinya (At-Tazkirah).
Keadaan yang sunat
Kata Imamiyyah, bahwa disunatkan bagi orang yang meneruskan haji, melewati Masy'aril Haram (Al-Jawahir).
Dan disunatkan pada memilih kerikil di Muzdalifah, untuk digunakan melempar Jumrah di Mina, sebanyak tujuh puluh biji.
Dan disunatkan pula dalam Mazhab Imamiyyah, bahwa
keadaan orang haji yang lalu itu, dalam keadaan suci, membaca tahlil,
takbir dan do'a apa yang dikehendaki.
D I M I N A
Kifarat, Fidiyah dan dam
Semua Mazhab mempunyai kata sepakat, bahwa Ibadad Haji yang mengiringi Wuquf di Masy'aril Haram adalah manasik Mina.
Seorang haji keluar dari Muzdalifah sesudah terbit
matahari dan apabila dia keluar dari sana sebelum terbit matahari dan
mencapai batasnya, maka dianggap melanggar dan wajib membayar kifarat
seekor kambing.
Di Mina banyak pekerjaan selama orang haji tinggal
disana, yang dinamakan Hari Na'at, Hari Raya dan Hari' tanggal 13, sore
12, dan di Mina berakhirlah kewajiban haji. Tiga hari sesudah hari Raya
dinamakan Hari Tasyriq.
Pada Hari Raya di Mina ada tiga macam amal Ibadat,
pertama melemparkan Jumrah Uqbah, menyembelih dan mencukur kepala atau
menggunting sedikit rambut.
Semua Mazhab sepakat dengan keterangan, bahwa
Rasulullah melempar Jumrah lebih dahulu, kemudian baru melakukan
penyembelihan dan kemudian itu mencukur kepala.
Apakah tertib ini wajib ?
Imamiyyah menerangkan, bahwa jika seseorang haji
mendahulukan pekerjaan satu dari yang lain, sedang ia tahu dan sengaja,
ia berdosa meskipun tidak usah diulang lagi pekerjaan itu.
MELEMPAR JUMRAH
Jumrah Uqbah
Wajib melemparkan Jumrah di Mina bagi tiap orang haji Tamattu', atau Qiran atau Ifrad.
Melempar Jumrah itu selama empat hari, pertama pada hari Raya, yang dilemparkannya itu Jumrah Uqbah, kedua pada Hari tanggal Sebelas Zulhijjah, dilempar berturut-turut tiga Jumrah dan ketiga juga berturut-turut Jumrah, sedang Hari yang keempat begitu juga, jika orang itu menginap di Mina pada malam tiga belas Zulhijjah.
Kalau dia tidak menginap maka tidak melemparkan apa-apa.
Jumrah hari yang kesepuluh.
Semua Mazhab sepakat, bahwa melemparkan Jumrah Uqbah itu adalah pada tanggal 10 Zulhijjah, dari terbit sampai terbenam matahari.
Tidak dibolehkan melempar Jumratul Uqbah itu sebelum fajar, kecuali disebabkan sakit, ketakutan atau uzur yang lain.
Imamiyyah menerangkan, bahwa waktu melemparkan Jum'rah ini sampai masuk matahari, apabila seseorang lupa, diqadha hari berikutnya, apabila lupa lagi, pada hari berikutnya pula, dan apabila terus-menerus lupa, wajib dipenuhi pada tahun yang akan datang, sendiri atau diwakilkan pada orang lain (AI-Hakim dan Al-Khu'i).
Syarat melempar
Imamiyyah menjelaskan hal-hal yang mengenai syarat melempar Jumrah sebagai berikut:
1. Niat
2. Bahwa melempar itu dengan tujuh butir batu.
3. Bahwa yang dijadikan pelemparan itu adalah batu, bukan benda lain, dan tidak boleh dilempar sekaligus, tetapi satu persatu.
4. Supaya batu yang dilempar itu mengenai jumrah.
5. Agar batu itu kena Jumrah, tidak boleh diletakkan saja.
6. Bahwa yang dilempar itu betul batu, tidak boleh dilempar dengan lain batu, seperti garam, besi, tembaga, kayu, dan lain-lain.
7. Bahwa batu yang dilempar itu belum pernah digunakan untuk melempar Jumrah sebelumnya.
Imamiyyah menerangkan selanjutnya, bahwa batu yang dilempar itu besarnya sebesar kepala semut atau sebesar kacang pul, warnanya warna batu, tidak boleh merah, putih atau hitam.
Imamiyyah menerangkan, bahwa sunat bagi orang haji dalam menunaikan seluruh Ibadah Hajinya, menghadap Qiblat, kecuali melempar Jumrah Uqbah pada Hari Raya, disitu sunat menghadapi Jumrah itu saja.
Dan sunat bagi orang yang berjalan kaki, kecuali jika tempatnya terlalu jauh boleh berkendaraan.
Sunat ia berdoa, yang terjamahannya : „Wahai Tuhanku, jadikanlah haji ini bagiku haji yang penuh kebajikan, dan dosa yang penuh dengan ampunan Tuhanku, bahwa inilah batuku, lindungilah aku dan angkatkan daku dalam amalku Tuhan Allah Maha Besar Tuhan jauhkanlah saitan dari padaku".
Syak
Bagaimana hukumnya, jika seseorang Haji dalam
melempar Jumrah syak, apakah batunya itu mengenai tujuan ? Jawabnya ia
mengambil jumlah angka yang sedikit.
PENYEMBELIHAN
Zabah atau Hadyu adalah kata-kata yang kita terjemahkan dengan penyembelihan.
Untuk ini digunakan juga dalam bahasa Arab, perkataan Adhiyah atau Qurban.
Hadyu ini adalah salah satu kewajiban daripada amal Haji di Mina pada Hari Raya, terbagi atas beberapa bahagian, ada yang wajib dan ada yang sunat, yang wajib biasanya dinamakan dam, diwajibkan karena melanggar salah satu yang tidak dibolehkan dalam menjalankan haji.
Hadyu yang wajib terbagi atas beberapa bahagian, pertama kepada siapa diwajibkan, kedua sifat-sifatnya, ketiga waktu dan tempat menyembelih, keempat hukum pembahagian daging, dan kelima pergantian.
Pembahagian Hadyu
Sudah diterangkan, bahwa Hadyu itu terbagi kepada dua, pertama yang wajib dan kedua yang sunat. Yang sunat itu dinamakan Adhiyah atau Qurban, sebagaimana tersebut didalam Qur'an dan didalam Sunnah.
Adhiyah itu diwajibkan kepada Ahlil Bait pada tiap tahun, sebagaimana wajib zakat.
Imamiyyah menerangkan, bahwa hari-hari Adhiyah yang sunat itu di Mina adalah empat; Pertama Hari Raya, Kedua tiga hari berikutnya, yaitu hari-hari Tasyriq. Adapun didaerah bukan Mina, hari-hari Adhiyah itu hanya tiga, yaitu Hari Raya, tanggal 11 dan tanggal 12 Zulhijjah.
Waktunya yang utama hari penyembelihan itu ialah pada tanggal 10 Zulhijjah sesudah keluar matahari dan sesudah Shalat Hari Raya dengan dua Khutbahnya (At-Tazkirah).
Empat macam dam dengan alasan yang tertulis dalam Al-Qur'an ialah pertama Dam Tamattu', kedua Dam Halaq (tidak bercukur), ketiga Hadyul Jaza', dan keempat Hadyul Hisar (At-Tazkirah).
Selain daripada itu penyembelihan termasuk wajib karena janji, karena nazar atau karena sumpah.
Untuk siapa diwajibkan Hadyu 'itu?
Hadyu itu tidak wajib untuk orang yang mengerjakan
Umrah Mufradah, dan tidak juga kepada orang yang melakukan Umrah atau
haji mufradah yang bukan penduduk mekah, imamiyah tidak mewajibkan
Hadyu.
Ada yang mengatakan wajib hadyu atau haji Tamattu'
ini kepada mereka yang melakukannya Haji Qiran kecuali dengan Nazar,
Jika seorang penduduk Mekkah naik haji tamattu yang sebenarnya Haji ini
buat orang asing dari luar Mekkah wajib melalukan penyembelihan.
Penyembelehan yang wajib ini tidak termasuk Rukun Haji.
Sifat-sifat Hadyu
Hadyu atau yang disembelih itu, hendaklah dari pada onta, sapi kambing dan biri-biri.
Bahwa binatang yang disembelih itu hendaklah jangan menderita aib, misalnya buta, pincang, sakit, dan sebaginya.
Waktu dan tempat penyembelihan
Sudah diterangkan, waktu penyembelihan itu adalah Hari Raya dan dua hari sesudahnya.
Tidak dibolehkan mendahulukan penyembelihan dari pada tanggal 10 Zulhijjah.
Imamiyyah menerangkan, bahwa penyembelihan Nahar
atau Zabah untuk Tamattu' hanya dilakukan di Mina Apa yang
bersangkutpaut dengan Ihram penyembelihan itu boleh dilakukan di Mekkah.
Pembahagian daging
Daging penyembelihan Hadyu menurut Imamiyyah harus
dibagikan kepada tiga macam golongan, pertama disedekahkan kepada orang"
fakir yang ber-iman, kedua, dihadiahkan kepada sembarang orang,
meskipun orang kaya dan ketiga sepertiganya dimakan sendiri
(Al-Jawahir).
Pergantian sembelih
Semua Mazhab sepakat, bahwa seorang Haji, yang
tidak mempunyai uang untuk membeli Hadyu atau menggantikannya dengan
hewan yang lain, boleh digantikan dengan puasa sepuluh hari, tiga hari
diantaranya pada hari-hari Haji dan tujuh hari yang lainnya apabila ia
sudah kembali kekampungnya.
Mewakilkan menyembelih
Penyembelihan yang utama dilakukan sendiri, tetapi
boleh diwakilkan kepada orang lain, yang meniatkan Qurban itu untuk yang
empunya.
Imamiyyah menganggap sunat bahwa, jika orang lain
menyembelih untuknya, ia meletakkan tangannya pada tangan orang yang
memotong itu, atau sekurang-kurangnya ia menghadiri penyembelihan itu.
Imam As-Sadiq menerangkan, bahwa Qani' dan Mu'tar
adalah Qani' yaitu orang yang menerima pemberian daging dengan senang
hati dan tidak mendongkol, sedang Mu'tar yaitu mereka yang dating
meminta kepadamu daging itu (lihat Qur'an, surat Al-Hajj, ayat 36).
Selanjutnya perlu diperhatikan, bahwa penyembelihan hewan itu hendaklah dengan lemah lembut.
Al-Khutsi berkata dalam kitabnya mengenai manasyik
haji, bahwa boleh menghadiahkan daging penyembelihan itu kepada mereka
yang bukan Muslim, dengan tidak memperhatikan fakir yang disedekahi itu
beriman atau tidak, Islam atau tidak, kaya atau miskin, orang Imamiyyah
atau bukan, kafir Zemmi atau bukan, teman terdekat, atau musuh dalam
peperangan.
PENUTUP
ANTARA MEKKAH DAN MINA BEBERAPA PERKARA HAJI
Apabila seseorang sudah selesai mengerjakan manasik haji di Mina pada Hari Raya dengan menyelesaikan lempar Jumrah, penyembelihan.
kembalilah ia ke Mekkah dan melakukan Thawaf disekitar Kabah, thawaf yang dinamakan Thawaf Ziarah bagi Imamiyyah atau Thawaf Ifadhah' bagi Ahlus Sunnah namanya.
Kemudian dia Sembahyang dua rakaat, dan melakukan Ibadah Sa'i antara Safa dan Marwah.
Menurut empat Mazhab Ahlus Sunnah, calon yang sudah menjadi Haji itu boleh kembali lagi ke Mina dan halal-lah semua baginya, meskipun mendekati isterinya.
Tetapi Imamiyyah belum memperbolehkan mendekati isterinya itu, kecuali orang Haji itu melakukan Thawaf khusus, yaitu thawaf yang dinamakan Thawafun Nisa', Sembahyang dua rakaat, dan selesailah semua pekerjaan Haji.
Perkara menginap di Mina, Imamiyyah menerangkan, bahwa apabila seseorang menginap ditempat lain Mina, tidak usah membayar fidyah, misalnya di Mekkah dan melakukan amal ibadah disana.
Tetapi jika bukan di Mekkah atau lupa atau tidak mengerti hukumnya, orang itu selama dua malam itu tiap malam memotong seekor kambing (Manahijun Nasikin, karangan Sayid Al-Hakim.)
T A M M A T
B A H A N B A C A A N
AL-QUR'ANUL KARIM
Terjemah Ustad Mahmud JunusSUNNATUR RASUL
Kutubus Sittah : Shahih Bukhari, Shahih Muslim,
Sunan Ibn Majah, Sunan Abu Dawud, Sunan Tarmizi, Sunan An-Nasa'i, Sunan
Ad-Darquthni, Al-Baghawi, Al-Baihaqi, dan lain-lain.
Kutubul Arba'ah : Al-Kafilil Kulaini, Man La
yahdhuruhul faqih li Ibn Babuih, Al-Istibshar dan Afe-Tahzibil Ahkam l I
Ja'far Ath-Thusi.
MUH. JAWAD MUGHN1YAH.
Al-Fiqh alal Mazahibil Khamsah (Beirut, (1967) „Al-Ahwalusy-Syakhsiyyah.
ASAD HAID AR.
Al-Imamus Shadiq wal Mazahibul Arba'ah, I — IV (Beirut, 1969)
DR. AHMAD AL-GHANDUR1, Al-Ibadat min Al-Qur'an was Sunnah (Mesir, 1967)
PROF. DR. SOBHl MAHMASSAN1. Falsafatut Tasyri' fil Islam (Beirut 1953)
PROF. DR. SOBHI MAHMASSAN1.
Al-Audha'ut — Tasyri' fid Duwal Al-Arabiyah (Beirut, 1952)
PR. G.F. PIJPER, Fragmenta Islamica, Leiden.
JALALUDD1N AS-SUYUTHI, Al-Iklilfi Instimbathit Tanzil, 1373 H.
THANTHAWI JAUHARI, Al-Qur'an wal 'Ulumul 'Ashriyah.
FARID DAJD1, Al-Islam fi ashil 'ilm.
PROF DR. H. ABOEBAKAR ATJEH,
Ahlus Sunnah wal Jama'ah (Filsafat perkembangan hokum dalam Islam) (Jakarta, 1969)
ft. MOENAWAR CHAUL.
Kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Jakarta, 1956. hal. 194-204.
DR. MUSTHAFA AS-S1BAX
As-Sunnah wa makanatuha fit tasyri'il Islami, Cairo, 1961.
ABDUL AZ1Z AL-CHULL
Mirtahus Sunnah, Mesir 1928.
AL-BAGHAWI,
Miftah as-Sunnah.
WALIJUDDIN AT-TIBRIZI.
Masyikat al-Masabih,
AL-CHUDHARl,
Tarikhut Tasyri'.
AL-MAKKI,
Manaqib Abu Hanifah.
AHMAD AMIN,
Dhuhal Islam, Mesir 1952.
DR TH.W. JUYNBOL, .
Handl. t/k de Moh. Wel, volgens. Sjafi'itishe School. Leiden, 1930.
IBN RUSYD,
Didayatul Mujtahid I-II Mesir, 1950.
ABDUR RAHMAN AL-JAZAIRI,
Kitabul Fiqh alal Mazahibil Arba'ah, M V Cairo, 1939.
O.K. RACHMAT
Serba Serbi ttg. Islam, Medan, 1959.
PROF. T.M. HASBI ASH-SHIDDIEQY,
Hukum Islam, Jakarta, 1962.
Daftar Isi
Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh 1ILMU FIQH ISLAM DALAM LIMA MAZHAB 1
PENDAHULUAN 2
1 9
TARIKH TASYRI' 9
PENGERTIAN SYARI'AT ISLAM 10
( I )10
PEMBAHAGIAN SYARI'AT ISLAM 13
(II)13
Bahagian Pertama 13
Bahagian Kedua 13
Bahagian Ketiga 14
MENGAPA HUKUM-HUKUM ISLAM BERBEDA ? 15
(III)15
PENGERTIAN FIQH ISLAM 20
(IV)20
ISI ILMU FIQH 22
( V )22
Pertama 22
Kedua 22
Ketiga 23
Keempat23
Kelima 23
Keenam 24
HUKUM SYARA' 26
(VI)26
Pertama bernama hukum Syara 26
CORAK HUKUM ISLAM 29
(VII)29
Wajib 29
Haram 29
Mandauw 29
Makruh 30
Mubah 30
PERBEDAAN ANTARA SYARI'AT DAN FIQH 32
(VIII)32
SUMBER SYARI'AT ISLAM DAN FIQH 36
(IX)36
I Al-Qur'anul Karim 36II.
Sunnah Nabi 37
III. Ijma' 38
IV.
Q1YAS 39
II41
SEJARAH HIDUP MUJTAHIDIN41
MAZHAB AL-JA'FARI 42
(Imamiyah)42
( I )42
MAZHAB HANAFI 47
(II)47
MAZHAB MALIKI 52
(UI)52
MAZHAB SYAFI'I57
(IV)57
MAZHAB HAMBALI 67
( V )67
III73
MENGENAI IJTIHAD DAN RA'YI73
IJTIHAD SEBAGAI DASAR HUKUM 74
( I )74
IJTIHAD SEBAGAI DASAR HUKUM 80
(II)80
IJTIHAD SEBAGAI DASAR HUKUM 85
(III)85
Ijtihad 85
Taqlid 85
Ihtiyath 85
Mujtahid Mutlak 86
Mujtahid Muttajiz 86
IV 92
FIQH MENURUT LIMA MAZHAB92
T H A H A R A H 93
B E R S U C I 93
PENGERTIAN NAJIS 96
BERWUDHU' DAN HILANG WUDHU' 98
MANDI WAJIB 100
URUSAN HAID 102
PERDARAHAN NIPAS 104
MANDI MAYAT 105
Menyembahyangkan (Shalat Jenazah) 110
SHALAT ORANG MATI SAHID 110
KAIFIAT SHALAT JENAZAH 113
T A Y A M M U M 116
S H A L A T 118
SHALAT ATAU SEMBAHYANG 118
SHALAT JUM'AT 131
Tentang Kewajibannya 131
Syarat-syaratnya 132
Dua Hutbah jum'at 132
Kafiat Shalat 133
Shalat Dua Hari Raya 133
SHALAT KUSUF DAN KHUSUF 135
SHALATUL ISTISQA !137
(Sembahyang minta hujan)137
SHALAT QADHA 139
Kafiat Qadha 139
SHALAT JAMA'AH 141
Syarat-syaratnya 141
Mengikut Sembahyang 141
SHALATUL MUSAFIR 144
(Sembahyang dalam bepergian) 144
Syarat-syaratnya 144
Shalat Jama' 145
HAL-HAL YANG MEMBATALKAN 147
SEMBAHYANG 147
Dilalui orang 148
S H I A M 150
PERKARA PUASA 151
Shiam atau shaum 151
Muqaddimah 151
Syarat Puasa :154
Buka Puasa :155
MACAM-MACAM PUASA 159
Empat macam puasa 159
Qadha Ramadhan :159
Haram puasa 160
Puasa pada hari syak 161
Puasa Sunnat 161
Puasa makruh 162
Z A K A T 163
Z A K A T 164
Syarat Zakat Harta -Benda 164
Wajib Zakat 165
Zakat emas dan perak 165
Zakat tanaman dan buah-buahan 165
Zakat perdagangan 166
Bani Hasyim 168
Zakat Fitrah 168
Takaran 170
PENGERTIAN KHUMUS 171
Pembahagian Khumus 173
H A J I174
H A J I 175
Syarat-syarat Haji 175
Baligh 175
Tidak gila 176
Kesanggupan 176
Segera atau dapat diundurkan 176
Haji bagi wanita 177
Batal 177
Perkawinan dan haji 177
Khumus dan zakat 178
Kesanggupan yang tidak dilakukan 178
BAD AL HAJI 179
MACAM-MACAM IBADAH 180
Syarat-syarat pengganti haji orang lain 181
U M R A H 183
Macam umrah dan coraknya, sebagai berikut :183
Syarat dan hukumnya 184
MENGERJAKANNYA 185
MACAM-MACAM HAJI 187
WAKTU IHRAM 189
Miqat Ihram 189
Ihram sebelum miqat 190
Ihram sesudah miqat 190
Yang wdjib dan yang sunat pada Ihram 190
YANG TERLARANG PADA WAKTU IHRAM 193
Kawin 193
Jima'193
Batas dua tanah haram 195
T H A W A F 197
Macam2 Thawaf pada Syi'ah 197
Umar dan Haji Mut'ah 199
Pada waktu masuk Mesjid Mekkah 200
Syarat2 haji 201
Kaifiyat Thawaf 201Y
ang sunat dikerjakan pada thawaf 203
Hukum Thawaf 204
SA'I DAN POTONG RAMBUT 206
Cara mèlakukan 206
Hukum Sa'i 207
Memotong rambut 207
WUQUF DI ARAFAH 210
Amal yang kedua dalam Haji 210
Sebelum wuquf di Arafah 210
Waktu Wuquf di Arafah 211
Lingkungan daerah Arafah 212
Syarat-syarat Wuquf 212
WUQUF DI MUZDALIFAH 214
Batas lingkungan Muzddlifah 215
Tidur dan Wuquf di Muzdalifah 215
Keadaan yang sunat 217
D I M I N A 218
Kifarat, Fidiyah dan dam 218
MELEMPAR JUMRAH 219
Jumrah Uqbah 219
Syarat melempar 220
Syak 221
PENYEMBELIHAN 222
Pembahagian Hadyu 222
Untuk siapa diwajibkan Hadyu 'itu? 223
Sifat-sifat Hadyu 223
Waktu dan tempat penyembelihan 224
Pembahagian daging 224
Pergantian sembelih 224
Mewakilkan menyembelih 225
PENUTUP 226
ANTARA MEKKAH DAN MINA 226
BEBERAPA PERKARA HAJI226
T A M M A T 227
B A H A N B A C A A N 228
Tidak ada komentar:
Posting Komentar