Sabtu, 24 November 2018

Perang dan Jihad dalam al-Quran



ilustrasi hiasan:

Pengarang :

DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Bagian Pertama: Pembahasan Umum

Perang dan Bentuk-bentuknya

Mengevaluasi beberapa kata kunci

Perang (Harb) dan Orang yang Berperang (Muhârib)

Qitâl

Jihad

Pertumpahan Darah

Istilah-istilah Valuable dan non-Valuable perang


Bagian Kedua : Perang dalam Perspektif Sistem Penciptaan

Penjelasan Filosofis Terjadinya Perang

Perang dan Irâdah Takwini Tuhan

Faktor-faktor Pengontrol Perang

Perang adalah Fenomena Aksidental atau Sistemis?

1. Jawaban Sosiologi Darwinisme

2. Perspektif Marx

3. Perspektif Islam

Beberapa Pelajaran Umum Al-Quran Ihwal Perang

1. Kebebasan dan Ikhtiar Manusia dalam Perang

2. Pembagian Nisbi Kekuasan dan Dominasi

3. Antisipasi dari Dominasi Mutlak Kubu Batil

4. Perang dan Azab Istishâl

5. Peran Peringatan Perang

6. Keuntungan Perang bagi Mujahidin

7. Perang adalah Wahana Ujian dan Kemajuan

8. Kemenangan Pamungkas Kubu Hak


Bagian Ketiga : Kedudukan Perang dalam Tatanan Tasyri'i

Penjelasan beberapa poin

Perang dan Penjagaan Kehormatan Manusia

Perang pada Agama-agama Pra-Islam

Perang Bani Israil untuk Mengusai Palestina

Perang antara Thâlut dan Jâlut

Nabi Sulaiman dan Perang

Perang Iran dan Roma

Jihad dalam Islam

Disyariatkannya Jihad

Perbedaan antara Difâ' dan Qishâsh

Batasan Qishâsh dalam Perang




Kata Pengantar
Perang dalam perjalanan sejarah umat manusia memiliki latar belakang yang sangat panjang. Ia dapat disebut sebagai kembaran kehidupan sosial umat manusia dan pasangan yang senantiasa mendampingi.

Bilamana kita membuka lembaran sejarah umat manusia pada dimensi yang berbeda, kita tidak menemukan satu masa pun yang tidak terdapat satu perang di dalamnya. Kita menemukan berbagai peperangan yang berkecamuk sepanjang sejarah perjalanan umat manusia.

Kendati perang senantiasa disertai dengan pelbagai kerugian, musibah, petaka, kegetiran dan peristiwa-peristiwa yang mengharu-biru dan oleh karena itu juga umat manusia secara original dan esensial menghindar dari peperangan tersebut; akan tetapi perkara ini tidak dapat mencegah meletusnya ribuan perang yang berkecamuk dalam sejarah umat manusia.

Baik pada masa itu berlaku hukum konvensional tempatan (hukum kabilah) yang berlaku atas masyarakat tersebut, baik setelah terbentuknya negara dan sistem negara - negeri dan negara - kemudian tercipta sebuah bangsa, senantaisa terdapat perang sebagai satu realitas sosial pada tataran hidup umat manusia.

Barangkali berdasarkan pandangan-pandangan ini dimana sebagian para pemikir yang memiliki otoritas percaya pada keyakinan bahwa pada dasarnya perang merupakan satu hal yang tidak terpisahkan dan mesti adanya dalam kehidupan sosial manusia. Dan umat manusia sekali-kali tidak dapat dipisahkan dari perang ini.

Pemikiran-pemikiran filosofis seperti yang dilontarkan oleh Hobbes bahwa manusia merupakan srigala atas manusia lainnya. Dan Nietzsche berpandangan bahwa tertindasnya orang-orang lemah oleh orang-orang kuat merupakan aturan alam kehidupan sosial umat manusia juga merupakan sumber inspirasi keyakinan ini dan melangkah di atas keyakinan ini.

Bagaimanapun, apa yang dinukil oleh sejarah adalah kehadiran dawam perang pada panggung kehidupan sosial umat manusia. Oleh karena itu, sikap antipati mereka tidak lain adalah ceriman sikap menutup mata terhadap realitas. Akan tetapi ucapan ini tidak bermakna propaganda dan penyebaran dan sedang menabuh genderang perang, melainkan pengakuan terhadap realitas sosiologi dan fenomena penting yang terjadi pada masyarakat sosial.

Apabila kita hendak melihat secara obyektif, alih-alih menutup mata dan mengesampingkan realitas ini, kita harus menganalisa dan mengkaji fenomena tersebut. Dan pertanyaan serta problema penting yang berkenaan dengan fenomena perang kita jelaskan dan carikan jawabannya.

Oleh karena itu, Islam yang merupakan sebuah maktab sosial dan realistis, dalam seluruh ajarannya, dengan menjelaskan pelajaran-pelajaran dan matlab-matlab yang beragam ihwal perang, kita dapat menunjukkan bimbingan dan panduan penting dan sangat produktif dalam menjawab realitas sosial ini.

Tema-tema dan masalah-masalah yang membahas masalah perang, pada satu pembagian universal dapat dibagi menjadi dua bagian: Pertama masalah yang berkaitan dengan dimensi-dimensi "ontologikal" dan "realitas" perang. Dan yang kedua berkaitan dengan tema-tema "aturan" dan "harus" serta "tidak harus" dan "tatanan hukum perang".

Dengan menyampaikan selayang pandang terhadap ayat-ayat al-Quranul Karim, kita jumpai bahwa masing-masing dari bagian ini secara beragam telah dijelaskan dalam al-Quran.

Buku yang hadir di hadapan Anda merupakan analisa dan kajian fenomena perang dari sudut pandang al-Quran. Dengan demikian, jenis pembahasan, sejatinya, "tafsir tematis al-Quran" dan sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya bahwa dalam buku ini yang akan dikaji adalah tema perang dalam al-Quran dan ayat-ayat yang berhubungan dengannya.

Inti pembahasan ini merupakan pelajaran-pelajaran yang disampaikan oleh Ustadz Arif Hadhrat Ayatullah Misbah Yazdi - semoga Allah medawamkan pancarannya - yang dilaksanakan pada tahun 1865 dan 1866 S di Muassasah Dar Râh-e Haq di hadapan sekumpulan pelajar Hauzah.

Kami memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan yang telah menganugerahkan taufik sehingga kami sanggup, Insya Allah, menyusun dan menata karya ini. Penyusunan dan penataan karya ini akan menjadi saham kami, meski kecil, dalam menyebarkan budaya Qurani dan Islami. Semoga kerja kecil ini mendapatkan ijabah dan pengabulan di sisi Allah dan juga di sisi BaqiyatuLlâhil 'Azhâm - semoga ruh kami menjadi tebusannya.

Muhammad Husain Iskandari

Muhammad Mahdi Nadiri

Pâiz (Musim Gugur) 1382 S




Bagian Pertama


Pembahasan Umum

Perang dan Bentuk-bentuknya
Pembahasan utama yang dikaji pada buku ini adalah fenomena "perang" dalam perspektif al-Quran. Kita akan mempelajari ayat-ayat yang berkenaan dengan perang dan hal-hal yang tertalian dengannya.

Perang dari sudut pandang yang beragam telah menarik perhatian para ilmuan. Dan perang ini dapat ditengarai dari disiplin yang beragam dari humaniora. Dalam ilmu sejarah terdapat pembahasan yang mengulas tentang peperangan yang terjadi sepanjang perjalanan sejarah. Tentu saja jelas bagi kita bahwa tujuan ilmu sejarah semata memberikan warta kepada kita tentang peristiwa dan kejadian yang berlaku atas orang-orang terdahulu.

Dalam filsafat sejarah, masalah yang diulas dan dibahas adalah perang dari sudut pandang sebab-sebab dan faktor-faktor terjadinya serta berlakunya sejarah pada suatu kaum atau komunitas. Dari perspektif ini, tatkala kita berbicara tentang perang, kita mengejar sesuatu untuk kita ketahui bahwa ditemukannya perang-perang dalam sejarah masyarakat manusia termasuk aturan-aturan apa yang mereka gunakan dan faktor-faktor kemenangan atau kekalahan apa yang dialami oleh sebuah bangsa dalam perang-perang yang mereka ikuti.

Adapun dalam filsafat hukum, apabila pembahasan perang mengemuka, bahan yang menjadi pembicaraan adalah bagaimana dan atas dasar apa kita memberikan justifikasi dan pembenaran atas perang. Dari sisi lain, hukum internasional, mengulas tentang hak-hak dan kewajiban setiap bangsa dan setiap prajurit dalam suasana perang yang mereka lalui. Sementara pada fakultas-fakultas militer dan perang, ditunjukkan metode perencanaan dan petunjuk pelaksanaan militer.

Oleh karena itu, jurusan-jurusan yang beragam dari ilmu humaniora, mengkaji, meriset dan menganalisa sedemikian sehinga masing-masing menemukan hubungannya dengan perang dan khususnya dengan fenomena sosial dan sejarah ini.

Dalam riset yang ada sekarang kita harus memperhatikan poin ini bahwa al-Quran al-Karim bukanlah kitab yang membahas ilmu sejarah, filsafat sejarah, sosiologi agama, filsafat hukum atau hukum internasional dan atau karya-karya yang berkenaan dengan taktik-taktik militer dan seni tempur; melainkan tujuan asli dari penurunan kitab suci ini adalah membimbing dan mengarahkan manusia ke arah kesempurnaan mental dan maknawi.

Berangkat dari sini, apabila kitab suci membahas masalah ini, ia membahasnya pada lintasan dan arah tersebut dan untuk meraih dan mencapai tujuan tersebut. Dengan kata lain, ayat-ayat ini adalah untuk orang yang mencari kesempurnaan dan menghendaki untuk meraup ketinggian derajat kemanusiaan, ia membimbing pada bidang perang, perdamaian, dan hubungan internasional sehingga manusia mengetahui dengan siapa ia berperang dan dalam keadaan dan suasana apa ia harus berperang. Demikian juga, pada saat dan bilamana ia harus menarik diri dari peperangan dan memilih jalan damai dan aman dengan musuh.

Al-Quran menjelaskan dengan baik tujuan utamanya kepada para pengikutnya tentang masalah perang; masalah yang terhitung paling klasik dan paling antikuasi dalam kehidupan sosial umat manusia. Dan masalah ini tidak boleh dianggap sebagai masalah yang tidak wajar dan sepintas.

Akan tetapi tanpa ragu bahwa banyak nuktah-nuktah yang patut diadopsi dari kitab samawi ini. Nuktah-nuktah yang tersebut dalam al-Quran bertalian dengan ilmu sejarah, filsafat sejarah, sosiologi, filsafat hukum, hukum internasional, moral dan bahkan filsafat - dimana kita akan menyinggung beberapa bagian yang terpenting dari disiplin ilmu ini - akan tetapi kita harus ketahui bahwa tujuan utama kitab suci ini adalah seperti yang telah kami singgung sebelumnya. Kendati jalan yang ditempuh untuk mencapai tujuan ini telah disinggung pada matlab-matlab dispilin ilmu yang disebutkan di atas dan atau bahkan pada matlab ilmu biologi dan fisika.



Mengevaluasi beberapa kata kunci
Sebelum kita mulai, dalam mengkaji ayat-ayat perang dan penjelasannya dari sisi lahir ayat-ayat ini, kita akan membahas kata-kata yang paling penting yang bermakna perang dalam al-Quran. Sebagian dari terminologi yang disinggung dalam al-Quran lebih pelik, lebih sarat dengan muatan dan lebih kaya dibandingkan padananannya dalam bahasa Persia. Dan sebagian lain dari terma-terma tersebut memiliki makna yang sama dengan mafhum perang. Di sini kita akan menelusuri dan menjelaskan terma-terma ini satu per satu.


Perang (Harb) dan Orang yang Berperang (Muhârib)
Dapat dikatakan bahwa: dua terma "harb" (perang) dan "muhârib" (pelaku perang) kurang-lebih ekuivalen dengan pengertian "jang" dalam bahasa Persia. Dan antara "harb" dan "jang" sinonim satu dengan yang lainnya.

Dalam al-Quran, terma "harb" digunakan sebanyak empat kali, sementara derivat (mashdar) muhârib dan juga dalam bentuk verba (fi'il) digunakan sebanyak dua kali. Dalam salah satu ayat yang membahas ihwal kaum Yahudi, disebutkan:

"...Setiap mereka mencetuskan harb (menyalakan api peperangan dengan kaum Muslimin), Allah memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan di muka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan. (QS. al-Maidah [5]:64)


Dalam ayat yang lain disebutkan:
"(Wahai Rasul) Jika engkau menemui mereka dalam harb (peperangan), dengan menumpas mereka, maka cerai-beraikanlah orang-orang yang di belakang mereka, supaya mereka mengambil pelajaran." (QS. al-'Anfal [8]:57)


Dan dalam ayat yang lain ditegaskan:
"Apabila engkau bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila engkau telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan selepas itu engkau boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai harb (perang) berhenti..." (QS. Muhammad [47]:4)

Dalam tiga ayat ini, terma "harb" (perang) digunakan sama dengan padanan makna teknisnya "jang" (perang) dalam bahasa Persia.

Akan tetapi pada satu ayat, terma "harb" (perang) digunakan selain pada makna teknisnya "jang" (perang) dalam bahasa Persia.

"Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu adalah orang-orang yang beriman. Maka apabila kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu (bi harbin)..." (QS. al-Baqarah [2]:278 & 279)

Pada ayat ini terma "harb" tidak termasuk makna perang sebenarnya dan tidak bernuansa militeristik, melainkan bermakna bahwa memakan makanan riba seolah-olah mengumumkan perang dengan Allah dan dihukumi berperang dengan Allah.

Dari akar terma "harb" ini dalam al-Qur'an digunakan dalam bentuk verba (fi'il) dari bab "mufa'âla" dalam dua hal; pertama "hârib" digunakan dalam bentuk lampau (past tense, mâdhi) dan kedua "yuhâribuna" digunakan dalam bentuk present (mudhâre'). Dalam dua hal ini juga digunakan terma yang bermakna "jang" (perang).

Salah satu dari ayat ini diturunkan berkenaan dengan "masjid adh-Dhirâr". Para pendiri masjid ini adalah adalah orang-orang munafik meskipun secara lahir menampakkan diri sebagai muslim. Mereka memiliki niat untuk mendirikan masjid yang sebenarnya adalah sebuah posko untuk mengadakan konspirasi menentang Islam. Berangkat dari sini, Allah Swt sembari mencirikan orang-orang munafik dan masjid mereka, Dia berfirman:

"Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan kepada (orang-orang mukmin) dan lantaran kekafiran(nya), dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi (hârib) Allah dan Rasul-Nya semenjak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah: "Kami tidak menghendaki selain kebaikan." Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya)." (QS. at-Taubah [9]:107)

Allah Swt dalam ayat ini menyebutkan orang-orang kafir dan musuh-musuh Islam dan kaum Muslimin sebagai "man haraba Allâh wa Rasulah" orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasulnya.

Pada ayat yang lain, balasan, hukuman (penalti) dan retribusi bagi orang-orang yang menyatakan perang dengan Allah Swt dan Rasul-Nya saw adalah salah satu dari empat sebagaimana yang tertuang pada ayat di bawah ini:

"Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka memperoleh siksaan yang besar." (QS. al-Maidah [5]:33)


Qitâl
Klausul (mâddah) lain yang bermakna perang yang digunakan dalam al-Qur'an adalah qa ta la. Klausul ini secara keseluruhan digunakan sebanyak 170 kali dalam al-Qur'an. Dari keseluruhan jumlah ini, digunakan sebanyak 94 kali dalam bentuk trikotomi (tsulatsi mujarrad, qatala yaqtulu), 67 kali dalam model bab mufâ'ala, 5 kali dalam model bab taf'il, dan 4 kali dalam model bab ifti'âl.

Di antara penggunaan ini, harus diperhatikan bahwa qatl dan taqtil bermakna perbuatan membunuh seseorang yang dilakukan oleh seseorang yang lain. Dan tentu saja, bercorak satu arah. Oleh karena itu, pada makna perang yang berarti qitâl dan bentrokan bersifat dua arah (mutual) tidak dipergunakan. Akan tetapi, terma-terma qitâl dan iqtitâl bersifat dua arah dan masing-masing digunakan dimana masing-masing dari satu pihak memutuskan dan mencoba untuk membunuh pihak lainnya. Dan bercorak dua arah lantaran masing-masing menyerang satu dengan yang lainnya.

Dari sini, terma yang bermakna perang (dua arah) hanya berasal dari bab mufâ'ala dan ifti'âl. Kedua bab ini sesuai dan selaras dengan tema pembahasan kita nantinya.


Jihad
Terma jihad dan derivatnya digunakan sebanyak 35 kali dalam al-Qur'an. Jihad secara leksikal bermakna usaha dan memberdayakan serta mengerahkan kekuatan dan kemampuannya untuk mewujudkan satu tujuan; akan tetapi, karena derivasinya berasal dari bab mufa'ala, biasanya digunakan dalam hal-hal yang di dalamnya terdapat semacam korporasi, kerja sama, persyarikatan dan pertemanan.

Oleh karena itu, dalam terma jihad biasanya pihak lainnya juga digunakan. Dan kedua belah pihak masing-masing berdiri pada barisannya dan berupaya untuk mengerahkan kemampuannya semaksimal mungkin sehingga dapat menaklukan salah satu pihak yang ada.

Akan tetapi, tentu saja, harus diperhatikan bahwa jihad tidak hanya berbentuk militer dan setiap jenis perlawanan dan pertempuran. Selain bercorak militer jihad juga bernuansa ekonomi atau budaya atau politik semuanya termasuk di dalam makna jihad ini.

Demikian juga harus diketahui bahwa terma jihad tidak selamanya bermakna positif. Terkadang terma jihad digunakan dalam makna negatif. Contohnya ayat 8 surah Ankabut (29). Dalam ayat ini, Allah Swt setelah memerintahkan manusia untuk berbuat baik kepada orang tua mereka, berfirman:

"...Dan jika keduanya memaksamu (jâhadâ-ka) untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah engkau mengikuti keduanya. Hanya kepadaKulah kembalimu, lalu Aku wartakan kepadamu apa yang telah engkau kerjakan."

Pada ayat yang lain disebutkan bahwa Allah Swt berfirman "'ala an tusyrika bi" (untuk menjadikanmu sekutu dengan-Ku) sebagai ganti firman "litusyrika bi" (untuk mempersekutukan-Ku):

"Dan jika keduanya memaksamu untuk menjadikanmu sekutu dengan-Ku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah engkau mengikuti keduanya, dan pergauilah keduanya di dunia dengan baik..." (QS. Luqman [31]:15)

Bagian dari dua ayat suci ini dimana jihad di dalamnya bermakna usaha dan upaya ibu dan bapak untuk membuat anaknya musyrik - dimana secara natural tidak memiliki satupun makna positif - terma jihad dan mujahadah yang digunakan, pada ayat yang lain, dimana manusia mengerahkan usaha-usaha untuk mewujudkan tujuan-tujuan sehat dan diridai oleh Allah Swt dan memiliki makna positif.

Usaha dan upaya positif semacam ini terkadang hanya memanfaatkan media-media finansial dan ekonomi, yang disebut sebagai jihad finansial; misalnya, menyediakan biaya perang untuk melawan kaum kafir dan musyrikin serta kaum munafik. Membantu kaum fakir dan miskin dalam lingkungan sosial, menolong tersedianya biaya orang-orang sakit dan orang-orang luka, membangun rumah sakit, madrasah dan masjid. Dan atau membangun jalan-jalan dan fasilitas sosial lainnya.

Juga terkadang usaha-usaha ini memiliki sisi militerisik, yang tentu saja di dalamnya, terdapat ancaman dan resiko bagi keselamatan jiwa manusia. Dan bahkan mungkin hingga batas mengorbankan jiwa dan syahadah (martyrdom). Adalah jelas bahwa jihad semacam ini adalah jihad yang sinonim dengan kata perang dan akan menjadi tema pembahasan kita kali ini.

Juga terkadang yang dimaksud dengan jihad adalah menentang nafs ammarah yang disebut sebagai "jihad melawan nafsu" atau "jihad akbar". Kebanyakan dari ayat-ayat al-Quran, terma jihad bermakna demikian. Di sini kita akan menyinggung ayat yang berkenaan dengan masalah ini.


Allah Swt berfirman:
"Dan barangsiapa berjihad (jâhadah), maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam." (QS. al-Ankabut [29]:6)


Dan pada ayat yang lain disebutkan:
"Dan orang-orang yang berjihad (jâhadû) untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik." (QS. al-Ankabut [29]:69)

Bagaimanapun contoh jelas dan makna yang paling gamblang dari terma jihad adalah berperang di jalan Allah Swt dimana orang yang berjihad menempatkan diri mereka untuk mencapai syahid. Jihad semacam ini juga akan memiliki korelasi dengan jihad melawan hawa nafsu.

Orang yang berjihad (mujahid) di jalan Allah harus mengenyahkan dan mengeliminasi kebanyakan dari keinginan-keinginan pribadi dan egonya, ia harus meninggalkan dunia, ia harus menepikan istri, anak dan hubungan-hubungannya serta harta bendanya sehingga ia dapat pergi ke medan laga untuk bertempur melawan musuh. Ia meletakkan hidup dan ketentramannya dalam ancaman dan kesirnaan. Adalah gamblang bahwa pekerjaan ini akan bermuara pada jihad besar dan perang luar biasa melawan hawa nafsu.



Pertumpahan Darah
Ungkapan lain yang dekat pada makna perang adalah pertumpahan darah. Safk dam yang berarti pertumpahan darah disebutkan sebanyak dua kali dalam al-Quran.


Dalam satu ayat Allah Swt berfirman:
"Ingatlah tatkala Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah (yusfiku ad-dima), padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" (QS. al-Baqarah [2]:30)

Masalah yang kedua, ayat 84 surah al-Baqarah (2) yang di dalamnya Allah Swt mengalamatkan firmannya kepada Bani Israil:

"Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu): kamu tidak akan menumpahkan darahmu (tasfikuna dima), dan kamu tidak akan mengusir dirimu (sauramu sebangsa) dari kampung halamanmu,.."

Harus diperhatikan bahwa "safk dima" (pertumpahan darah) lebih umum sifatnya dari qitâl (membunuh) dan tidak semata berurusan dengan masalah perang, melainkan termasuk juga membunuh; artinya baik berkaitan dengan seseorang yang membunuh seseorang lainnya dan juga bertalian dengan kedua belah pihak yang bermaksud untuk menumpahkan darah dimana masalah yang kedua ini sinonim dengan terma perang.

Di ujung bagian dari pembahasan ini kami memandang perlu untuk mengingatkan bahwa dalam al-Quran terdapat terma-terma dan ungkapan-ungkapan yang bermakna perang, akan tetapi kami tidak melihatnya begitu signifikan untuk menyebut dan mengkajinya di sini.


Istilah-istilah Valuable dan non-Valuable perang
Di antara terma-terma dan ungkapan-ungkapan yang bermakna perang yang tersebut dalam al-Quran. Sebagian dari terma tersebut seperti "harb", "muhârabah", "qitâl", "muqâtala", "iqtitâl", tidak memuat tatanan nilai (non-valuable) yang begitu determinan; artinya secara otomatis tidak mengindikasikan bahwa perang dari terma-terma ini - dari sudut pandang orang-orang yang menggunakannya - benar atau salah, mencerminkan keadilan atau mencerminkan tirani, legal atau tidak legal. Berangkat dari sini, masing-masing dari masalah ini dapat diterapkan. Oleh karena itu, "harb" dan "qitâl" dan terma-terma yang serumpun dengannya dapat bercorak baik atau buruk, dan terma ini sendiri tidak dapat dipahami dalam pandangan dan judgment pembicara.

Akan tetapi di antara terma-terma dan istilah-istilah, kita juga memiliki terma yang secara otomatis memuat tatanan nilai (valuable), lebih umum dari positif atau negatif; misalnya "jihâd" dan "safk dam".

Dalam praktik dan kamus Islam, kalimat jihad memiliki muatan positif. Dan sebaliknya safk dam memiliki muatan negatif. Benar bahwa jihad secara leksikal bermakna segala jenis usaha dan upaya untuk mewujudkan dan mengejewantahkan segala bentuk tujuan; akan tetapi dalam praktik al-Qur'an dan dalam urf kaum Muslimin yang menjadi pengikut al-Quran, hanya dan hanya, perang antara kaum Muslimin melawan kaum kafir dan musyrikin disebut sebagai jihad. Dan tidak disebut atas kegiatan-kegiatan tempur dan militer kaum kafir dan musyrikin - baik di antara mereka atau melawan kaum muslimin.

Demikian juga "safk dam" kendati secara leksikal bermakna pertumpahan darah dan pertumpahan darah secara otomatis, selaras dengan keadaan dan kondisi serta syarat-syarat dan motivasi-motivasi beragam, dapat menjadi sesuatu hal yang terpuji atau tercela, akan tetapi dalam budaya al-Quran ungkapan ini memiliki muatan negatif. Dan digunakan dalam masalah yang tercela dan bersifat ilegal.

Oleh karena itu, dalam kamus al-Quran dan Islam dan dalam budaya kaum Muslimin, jihad disebut sebagai perang yang memiliki tujuan mencari kebenaran dan keadilan. Berangkat dari sini, sebagaian penerjemah mengalihbahasakan jihad sebagai perang suci. Sebaliknya, terma "safk dam" dalam kamus al-Quran dan Islam bertalian dengan perang yang bercorak tiranikal dan tidak memiliki tujuan untuk mencari kebenaran.

Demikian juga harus diperhatikan bahwa di mana saja pasca perang, dengan segala sebutan, disertakan kait "fii sabilLlâh". Hal ini adalah mengindikasikan kebenaran dan adanya keridhaan Tuhan di balik perang tersebut; - baik kait (stipulasi) ini disebutkan selepas terma jihad dan terma-terma yang serumpun - yang secara otomatis memiliki muatan positif - dan baik selepas terma qitâl dan kalimat-kalimat yang serumpun dengannya - yang secara otomatis, yang tidak memikul satu pun tatanan nilai. Dengan ungkapan lain, dengan menyertakan kait "fii sabilLlah" di samping "jihad" terma-terma kelompok kedua akan memikul muatan nilai positif.[]



Bagian Kedua


Perang dalam Perspektif Sistem Penciptaan
Setelah mengulas beberapa kalimat penting dan terma kunci pembahasan, kini tiba saatnya untuk membahas dan mengkaji tinjauan al-Quran ihwal perang beserta seluruh dimensi yang berkaitan dengannya.

Pekerjaan ini dapat dilaksanakan berdasarkan sistematika sejarah dan sistematika pewahyuan dan penurunan ayat-ayat suci al-Quran; artinya kita memulai dari ayat pertama yang turun berkenaan dengan perang dan mengkaji satu dengan yang lainnya sesuai sistematika sejarah, ayat-ayat yang turun bertalian dengan masalah ini.

Demikian juga metode-metode beragam yang lain yang dapat diaplikasikan dalam pekerjaan penting ini. Di tengah pembahasan ini, kita akan menggunakan metode logis tipikal dimana di dalamnya permasalahan dan problematika asasi dan fundamental yang menurut pemahaman orang lain masalah-masalah perang memiliki peran sentral, secara sistematis kita akan prioritaskan signifikansi dan perannya.

Kita tidak memiliki keraguan bahwa dalam hal pemahaman dan penetapan (itsbât) sebagaian masalah-masalah perang berbeda dan bergantung kepada pemahaman dan penetapan penggalan lain dari masalah-masalah perang. Oleh karena itu, kita harus mematuhi sistematika natural dan logis untuk memahami dengan mudah masalah-masalah perang.

Dengan ungkapan lain, di antara selaksa problematika dan permasalahan ihwal perang, terdapat prioritas dan posterioritas logis. Dan apabila aturan natural dan logis ini tidak diindahkan dalam menelaah, meriset atau dalam pembelajaran, maka pekerjaan ini tidak akan menuai kesuksesan. Dan sebagai hasilnya, upaya untuk meraup natijah dan konklusi tidak akan terpenuhi.

Berbicara ihwal perang terdapat banyak masalah asasi yang apabila tidak dijelaskan sebelumnya, maka tidak akan mampu atau sukar untuk menjawab masalah-masalah yang lain. Oleh karena itu, untuk sampai pada konklusi maka prioritas dan posterioritas, sistematika logis pembahasan harus diindahkan dan diterapkan.

Sebagai contoh, pertanyaan dapat diajukan bahwa apakah perang itu baik atau buruk? Apabila perang itu buruk, bagaimana dapat mengantisipasi supaya perang tidak berkecamuk? Apabila perang itu baik, apakah limit dan batasannya, hingga kapan dan ke mana harus berlanjut? Kanun dan dustur apa yang berlaku dalam peperangan sehingga hak-hak asasi manusia terpenuhi dengan baik?

Namun sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita harus menjawab pertanyaan yang lebih asasi terlebih dahulu. Dan pertanyaan yang lebih asasi itu adalah mengapa perang itu ada? Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang bercorak filosofis (ontologis) dan secara natural lebih prioritas dari pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan masalah-masalah nilai dan hukum-hukum perang. Dan apabila jawaban atas pertanyaan ini belum dikemukakan, pertanyaan-pertanyaan yang mengemuka di atas tidak akan terjawab dengan patut dan layak.

Oleh karena itu, kita dalam tulisan ini akan memulai menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Lalu secara runut kita kedepankan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang lebih asasi. Demikian seterusnya, jawaban terhadap satu pertanyaan dan solusi atas setiap masalah, dengan sendirinya akan menjadi jawaban atas permasalah-permasalahan lain. Dan solusi untuk menemani dalam menjawab soal-soal berikutnya.


Penjelasan Filosofis Terjadinya Perang
Pada pembahasan yang lalu, kami telah menyinggung bahwa pertanyaan-pertanyaan paling asasi yang jawabannya adalah sebagai pra-mukaddimah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan lainnya yang berhubungan dengan perang. Pertanyaan itu adalah: Mengapa perang itu terjadi? Mengapa Allah Swt sedemikian mencipta manusia sehingga kerjanya berujung pada peperangan dan pertumpahan darah, seluruh pembunuhan terjadi dan seluruh kerusakan, kehancuran dan kerugian menghantui kehidupan manusia? Apakah terjadinya perang dalam tatanan penciptaan dan pada iradâh takwini (keinginan penciptaan) semesta telah dipertimbangkan. Dan Allah Swt menghendaki demikian dan ridha atasnya. Para makhluk-Nya mendapatkan diri mereka sebagai makhluk yang berseteru dan suka berperang, dan oleh karena itu, menyesal menciptakan manusia? Kita membaca dalam Taurat ihwal masalah ini, "Allah melihat kejahatan manusia di muka bumi sangat banyak dan konsepsi apa saja yang diimaginasikan atas diri manusia tidak lain kecuali kejahatan. Dan Tuhan berkata bahwa penciptaan manusia dan hewan-hewan dan serangga dan burung-burung aku gagalkan, karena aku menyesal menciptakan mereka. Adapun Nuh mendapatkan perhatian dari Tuhan.

Iya. Berdasarkan Taurat yang ada - yang tentu saja telah mengalami distorsi - perangai manusia yang suka berperang belum dipertimbangkan oleh Tuhan dalam tatanan penciptaan. Dan tatkala Tuhan melihat bahwa manusia suka berbuat angkara murka, Tuhan menyesali penciptaan manusia dan merasa bersedih atas penciptaan tersebut. Tentu saja ucapan tidak berdasar ini tidak memerlukan penjelasan dan ulasan.

Bagaimanapun, kini harus dilihat bahwa dalam perspektif Islam, jawaban apa yang dapat ditemukan untuk pertanyaan asasi semacam ini? Jawaban apa yang ditawarkan Islam untuk pertanyaan filosofis seperti ini? Apa yang diperkenalkan Islam sebagai tujuah penciptaan? Dan mengapa Tuhan menciptakan manusia yang suka berbuat onar, angkara murka, menumpahkan darah? Bagaimanakah kedudukan segala kerusakan, pertumpahan darah, angkara murka manusia ini dalam tatanan yang lebih baik (nizham ahsan)? Setelah menjawab permasalahan-permasalahan asasi ini, kita mampu memberikan perhatian terhadap dimensi kanun, hukum dan nilai perang. Al-Quranul Karim bercerita ihwal sifat angkara murka dan keonaran yang ditimbulkan oleh manusia:

"Ingatlah tatkala Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah (yusfiku ad-dima), padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" (QS. al-Baqarah [2]:30)

Dari ayat di atas ini, dapat dijumpai dengan jelas bahwa bahkan para malaikat mengenal identitas dan esensi manusia sebelum penciptaannya. Mereka mengetahui bahwa manusia adalah pembuat angkara murka dan penumpah darah.

Oleh karena itu, dalam mengemukakan dan merancang sebuah pertanyaan, para malaikat dengan santun menyampaikan protes atas terpilihnya manusia sebagai khalifah di muka bumi. Mereka bertanya kepada Allah Swt bahwa mengapa Engkau ingin menciptakan makhluk tukang berbuat onar dan penumpah darah sebagai khalifah-Mu di muka bumi, sementara kami lebih layak untuk kedudukan tersebut; lantaran kami senantiasa sibuk memuji dan bertasbih kepada-Mu. Serta taat dan setia kepada perintahMu?!

Allah Swt dalam menjawab pertanyaan para malaikat ini, berfirman dalam bentuk global: Aku lebih tahu apa yang kalian tidak ketahui. Jawaban ini merupakan sebuah singgungan terhadap hakikat ini bahwa di kalangan umat manusia yang dianggap oleh para malaikat sebagai pembangkang dan ahli maksiat, terdapat orang-orang yang lebih unggul dan mulia dari para malaikat dan lebih patut menjadi khalifah Tuhan di muka bumi.

Dengan memperhatikan ayat ini dapat dikatakan bahwa dari sudut pandang al-Quran bahwa perang dan pertumpahan darah merupakan keniscayaan wujud manusia bumi dan kehidupan sosialnya. Dan Allah Swt berserta para malaikat-Nya telah menimbang dan mengetahui tipologi dan karakteristik manusia ini sebelum penciptaan. Dengan demikian, tidak dapat dikatakan bahwa Tuhan tidak mengenal makhluk ini dan tidak mengetahui fenomena perang yang bakal terjadi pada kehidupan sosial manusia. Apatah lagi untuk mengatakan bahwa Tuhan menyesali penciptaan manusia setelah memahami hakikat getir ini.

Kini menjadi maklum bahwa Allah Swt dan para malaikat mengetahui ihwal tipologi dan karakteristik manusia sebagai "perusak" dan "penumpah darah". Pertanyaan ini - yang merupakan sebuah pertanyaan penting filosofis - mengemuka, mengapa Allah Swt sedemikian menciptakan manusia sehingga ia menjadi seorang pembuat angkara murka dan gemar terhadap peperangan? Secara asasi, apakah maksud dengan adanya kejahatan - baik kejahatan manusiawi atau kejahatan alami - di alam ini?

Para filosof dan teolog, masing-masing sesuai dengan disiplin ilmu mereka, memberikan jawaban atas pertanyaan ini dan jawaban detil dari pertanyaan ini harus ditemukan pada bidangnya dan ruang lingkupnya masing-masing. Yang dapat disebutkan secara global di sini adalah kehadiran kejahatan dan mafsadah yang bersifat manusiawi dan alami semacam ini, sejatinya sebagai inherensi dan keniscayaan eksistensi alam natural dan paradoksialnya alam materi.

Allah Swt berdasarkan hikmat-Nya menciptakan alam natural, mau atau tidak mau, disertai dengan kejahatan dan keburukan seperti perang, kemiskinan, penyakit, banjir, gempa bumi, taufan.

Eksistensi alam natural dan alam material tidak mungkin tanpa eksistensi kejahatan dan keburukan semacam ini. Lantaran tiadanya penciptaan alam ini tidak sesuai dan selaras dengan "fayadhat 'ala al-Ithlaq" Ilahi (emanasi-emanasi mutlak Tuhan). Allah Swt, tatkala menciptakan alam semacam ini dan mau tidak mau, ketika sudah diciptakan, kejahatan dan keburukan semacam ini juga akan menyertainya. Akan tetapi keikutsertaan alam ini dengan kejahatan dan keburukan tidak dapat menjadi penghalang terwujud-Nya kehendak Ilahi yaitu terciptanya semesta ini; karena dengan adanya seluruh keburukan ini, secara keseluruhan, kebaikan dan kemaslahatan semesta ini akan mengalahkan segala keburukan dan kejahatannya.

Jawaban ini adalah jawaban yang bersifat global. Sedikit banyaknya dapat menjelaskan adanya dan eksisnya perang dan pertumpahan darah dalam strata kehidupan manusia.


Perang dan Irâdah Takwini Tuhan
Sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya, ayat-ayat al-Quran dengan jelas menunjukkan bahwa terjadinya perang bukan lantaran tidak diperhatikan dalam tatanan penciptaan Ilahi dan bertolak belakang dengan kehendak Tuhan serta lepas dari pengaturan-Nya. Salah satu contoh ayat dari ayat-ayat yang memberikan kesaksian dengan jelas atas klaim ini adalah:

"(Di antara) Utusan-utusan itu (dan Rasul-rasul Kami) lebihkan sebagian dari mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada orang yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannnya beberapa derajat. Dan Kami berikan kepada 'Isa putra Maryam beberap mukjizat serta Kami perkuat da dengan Ruhul Qudus. Dan Kalau Allah menghendaki niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang yang datang sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendakinya." (QS. al-Baqarah [2]:253)

Ayat ini menunjukkan bahwa apabila Allah Swt menghendaki sedemikian Dia mencipta umat manusia dan sistem kehidupannya menjadi teratur sehingga mereka tidak berperang dan menumpahkan darah; akan tetap Dia tidak menghendaki manusia terpaksa meninggalkan perang dan mengatur mereka untuk senantiasa hidup dalam kedamaian dan ketenteraman.

Allah Swt tidak menginginkan membimbing dan memberi petunjuk kepada manusia dengan paksa (jabr); yang apabila Dia menghendaki demikian, niscaya hal itu terlaksana, "Apabila Tuhan menghendaki tentulah terbimbinglah dan terhidayailah seluruh manusia." (QS. ar-Ra'd [13]:31)

Sebagaimana pada ujung ayat yang menjadi pembahasan kita di atas khususnya ihwal pembunuhan (qitâl) disebutkan: Apabila Tuhan menghendaki manusia saling bunuh-membunuh sesama mereka, yang apabila Dia menghendaki maka keinginan tersebut terlaksana.

Ayat-ayat semacam ini dengan jelas menunjukkan bahwa Allah Swt menciptakan manusia pada langkah awal dalam keadaan bebas (freewill) dan merdeka. Dan Dia tidak menghendaki manusia tercegah dan tertahan dari pertumpahan darah dan bunuh-membunuh secara paksa (determinated) dan koersif. Melainkan Allah Swt membekali mereka dengan kecendrungan dan keinginan yang terkadang bermuara pada pertikaian, percekcokan dan bentrokan.

Jelasnya bahwa Allah Swt menciptakan manusia sehingga manusia mengemban tugas sebagai khalifah-Nya. Adapun kekhalifaan Tuhan merupakan derajat yang tinggi dimana untuk dapat sampai ke derajat tersebut, diperlukan kelayakan dan syarat-syarat yang cukup banyak. Dan manusia untuk dapat mencapai kelayakan ini ia harus melalui usaha dan ikhtiarnya sendiri.

Oleh karena itu, untuk dapat meraup keutamaan dan kesempurnaan ini manusia harus diciptakan dalam keadaan merdeka dan bebas. Apabila manusia memiliki beragam kecendrungan dan motivasi yang tidak bertentangan dan hasratnya pada maksiat dan keburukan tidak terdapat pada dirinya, seluruh pekerjaannya tidak bernilai dan untuk mencapai kesempurnaan tertinggi insani menjadi mustahil baginya.

Para malaikat yang nota-bene tidak melakukan dosa, dan bahkan tidak memiliki pikiran untuk berbuat dosa dan terlintas sedikit pun dalam benak mereka untuk membangkang, sekali-kali mereka tidak memiliki kelayakan untuk mencapai derajat dan kedudukan ini. Hal ini dikarenakan mereka tidak menikmati dan memiliki ikhtiar dan keinginan bebas.

Oleh karena itu, makam para wali Allah lebih tinggi dan utama dari kedudukan para malaikat. Ketaatan antara para malaikat dan ketaatan para wali Allah tidak dapat dibandingkan satu dengan yang lainnya, ketaatan para malaikat tidak memiliki nilai dan kadar di hadapan ketaatan para wali Allah.

Para insan Ilahi, berseberangan dengan para malaikat, adalah orang-orang merdeka dan memiliki ikhtiar; kendati memiliki motivasi untuk bermaksiat dan kecendrungan untuk berbuat dosa, tetapi mereka tidak melakukan hal itu. Dan mereka tunduk dan patuh pada seluruh hukum Ilahi.

Manusia, apabila ia mencapai makam dan derajat khalifah Ilahi, maka ia mencapainya dengan usaha dan ikhtiarnya sendiri. Ia tidak menjatuhkan dirinya pada lubang maksiat dan mengerjakan perbuatan-perbuatan tercela.

Kehendak Ilahi juga menegaskan bahwa manusia dengan ikhtiar dan usahanya memilih kehidupannya sendiri bukan dengan terpaksa dan koersif melintasi jalur penciptaan yang telah ditetapkan baginya.

Ikhtiar dan kehendak bebas inilah yang menyediakan ruang dan peluang untuk manusia sehingga dapat mencapai kesempurnaan.

Oleh karena itu, gerakan menuju kesempurnaan insani dapat terwujud dimana ia bebas memilih apa yang ia inginkan untuk dikerjakan. Dari sisi lain, kebebasan manusia pada saat ia menyediakan ruang dan peluang untuk kesempurnaannya, kekuatan atau kezaliman dan kemungkinan untuk berbuat aniaya dan melanggar batas juga tersedia.

Dengan demikian kebebasan manusia dari satu sisi bergantung kepada dan keniscayaan kesempurnaannya. Dan dari sisi lain, meniscayakan adanya ketidakadilan, kezaliman, pertumpahan darah, peperangan.

Kebanyakan hewan yang jauh dari setiap bentuk kezaliman, perang dan pertikaian, kehidupan yang mereka lalui adalah kehidupan yang sederhana dan bersahaja. Akan tetapi dalam halnya dengan manusia tidaklah demikian; karena apabila Allah Swt mengambil secara paksa kemungkinan pelanggaran, bentrokan dan peperangan dari manusia, kendati dalam keadaan seperti ini manusia tidak memiliki stress dan kerisauan terhadap perang dan lebih mudah serta lebih rehat ia akan lalui hidupnya, namun ia tidak akan sampai pada kesempurnaan yang layak.

Memperhatikan poin ini sifatnya urgen dimana tentu saja perang dan pertikaian ini sepanjang menjadi penyebab kebaikan dan kemaslahatan manusia, secara original (baca: dzati atau essensial, AK) mengikut kehendak Tuhan, akan tetapi yang berkaitan dengan keburukan dan kejahatan secara ikutan (bittaba') (baca: 'aradhi, aksidensial, AK) akan mengikut kehendak Tuhan.

Secara asasi, dalam seluruh permasalahan penciptaan, kehendak yang penuh kebijaksanaan Tuhan, pertama dan utama menyangkut masalah kesempurnaan dan kebaikan. Akan tetapi terwujudnya kebaikan dan kemaslahatan, dalam hal yang senantiasa dengan ditemukannya penggalan kejahatan dan keburukan, mafsadah semacam ini secara ikutan (bittaba') berpulang kepada kehendak takwini Tuhan.

Matlab ini dalam riwayat-riwayat, dengan metode khusus, dan dengan bahasa yang tipikal telah dijelaskan; misalnya pada sebagian doa-doa: "Yaa man sabaqat rahmatuhu ghadabahu" (Wahai yang rahmat-Nya mendahului murka-Nya).

Yang dapat dipahami dari redaksi hadits ini adalah tujuan Allah Swt sejatinya adalah manusia mencapai rahmat Ilahi, mendulang kebaikan dan menggapai kesempurnaan, akan tetapi untuk mewujudan tujuan ini tidak ada pilihan kecuali kemurkaan Ilahi juga harus terjelma. Rahasia dari masalah ini juga kembali kepada pembahasan yang telah kami singgung sebelumnya.

Dari satu sisi, kebaikan dan kesempurnaan manusia harus dicapai melalui usaha dan kegiatan merdeka dan kehendak bebas manusia. Dan inherensi (kemestian) tercapainya manusia kepada kesempurnaan adalah manusia harus bebas dan dalam kerangka ikhtiar. Akan tetapi pada sisi lain, manusia yang bebas terkadang menyalahgunakan kebebasan yang dimilikinya, dan penyelewengan dari kebebasan akan mendapatkan kemurkaan Tuhan.

Dengan demikian, kebebasan manusia di samping memiliki peran determinan untuk meraih kesempurnaan, juga meniscayakan satu silsilah keburukan dan kejahatan. Dari sisi lain, secara universal, alam natural merupakan alam paradoks dan tazâhum. Dan di samping berbagai kebaikan dan nikmatnya, ia juga sarat dengan keburukan, luka dan kesusahan.

Allah Swt juga tatkala mencipta, mengetahui dengan sempurna seluruh akibat ikutan dan partikular ini. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa keburukan dan kejahatan yang merupakan keniscayaan alam natural ini, bittaba' telah ditimbang dan dipikirkan oleh pencipta alam semesta ini. Dan memiliki tempat khusus dalam bentuk disain universal penciptaan; dan maksud dari kehendak ikutan Tuhan dalam hubungannya dengan perang dan seluruh kejahatan yang lain adalah bahwa kendati mereka adalah buruk, akan tetapi berbagai nikmat dan kebaikan yang terdapat dalam alam tabiat memenuhinya.

Kesimpulannya dalam kaitannya dengan pertanyaan "Apakah terjadinya perang dalam tatanan penciptaan telah dipertimbangkan dan apakah kehendak Tuhan terpenuhi atau tidak di dalamnya?" Jawaban kami atas pertanyaan ini bersifat afirmatif dan positif (iya); dan memangnya mungkin sebuah peristiwa terjadi di dunia ini tanpa adanya kehendak dari Tuhan? Tentu saja harus diperhatikan bahwa hasil-hasil baik dan bermanfaat perang dan anugerah dan keberkahannya, ashalatan dan awwalan. Dan keburukan dan kejahatannya bersifat ikutan kehendak Ilahi.

Ucapan ini berarti bahwa Tuhan semenjak hari pertama mengetahui tabiat penumpah darah dan sifat destruktif yang dimiliki manusia. Dan Tuhan mengetahui bahwa manusia ini akan mewarnai medan kehidupan sosialnya berwarna dengan perang dan angkara murka; akan tetapi mengikut tuntutan hikmah paripurna-Nya, Dia memilih manusia untuk mengemban tugas khalifah di muka bumi dan memberikan kepadanya kebebasan sempurna sehingga dengan kebebasan yang ia miliki ia dapat meraih kesempurnaan dan melebihi kedudukan para malaikat. Dan atau dengan keburukan dan kejahatan serta maksiat ia terpuruk dan lebih buruk dari binatang.



Faktor-faktor Pengontrol Perang
Pertanyaan lain yang mengemuka dalam masalah ini dan harus dijawab adalah batasan atau ketak-terbatasan kebebasan manusia dalam menumpahkan darah, berperang dan melakukan perbuatan destruktif.

Apakah Tuhan yang menghendaki bahwa perang dan pertikaian manusia sampai manapun dan akibat getir apapun - bahkan apabila menyebabkan punahnya seluruh orang-orang saleh dan tertutupnya gerbang keadilan dan kebenaran - tetap berlanjut? Ataukah kebebasan dan kemampuan yang dimiliki oleh manusia membatasinya pada kerusakan dan penumpahan darah dan manusia tidak memiliki kekuatan untuk melewati batasan tersebut dan tatkala ia mencapai batasan tersebut yang menonjol adalah kejahatan dan penumpah darahnya.

Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa: Al-Quran menyebutkan bahwa Allah Swt menempatkan manusia di muka bumi dengan merdeka dan bebas sehingga ia melalui kehidupannya dalam lintasan menuju kesempurnaan dan atau memilih terjerembab dan terpuruk dalam kubangan dosa dan maksiat; akan tetapi cakupan kebebasan ini tidaklah begitu luas sehingga ia dapat melanggar tujuan dan maksud utama Tuhan dan hikmah-Nya dalam penciptaan.

Sejatinya, pemberian kebebasan takwini kepada manusia adalah untuk manusia dapat menggapai kesempurnaan insaninya; dan dalam lintasan ini apabila kebebasan manusia menjadi sebab seluruh manusia, alih-alih menuju kesempurnaan, ia memilih terjerembab dalam kubangan keburukan dan menjadi syirik serta kufur, tujuan penciptaan menjadi tidak tercapai.

Dengan demikian, hikmat Ilahi tidak menuntut kebebasan tanpa batas dan unlimited yang berujung pada penguasaan seutuhnya kaum perusak dan penjahat atas komunitas umat manusia. Sedemikian di bawah dominasinya, mereka membuat suasana satu arah (one way) menutup rapat jalan-jalan keadilan, kebenaran dan memusnahkan ajaran-ajaran hak Ilahi sehingga tidak seorang pun berjalan di atas rel keadilan dan kebenaran serta lubang yang ada disangka sebuah jalan.

Hikmat Ilahi menuntut adanya kebebasan sehingga jalan bagi pengikut kebenaran tetap terbuka lebar. Oleh karena itu, manakala keburukan dalam masyarakat berkuasa dan orang-orang shaleh jatuh dalam kelemahan secara keseluruhan dan orang-orang baik berada di ambang kepunahan, Allah Swt dengan berbagai cara, akan mencegah penguasaan kufur dan syirik atas masyarakat dan dominasi para penjahat atas orang-orang baik sehingga bumi dan masa tidak dipenuhi dan diserang dengan ketidakadiilan dan kemaksiatan.

Pertanyaan utama di sini adalah bagaimana Tuhan mengontrol perang dan kerusakan dalam kerangka batasan yang disebutkan di atas? Jawaban kita atas pertanyaan ini adalah bahwa Allah Swt menindak mereka dengan tiga jalan. Media pencegah keadaan sosial semacam ini, dan mengontrol perang dan kerusakan, terkadang menggunakan unsur-unsur supra natural -seperti bencana-bencana langit- dimana sebuah kaum secara keseluruhan musnah dari pelataran dan panggung sejarah.

Yang kedua, terkadang Tuhan melakukan pekerjaan ini dengan menggunakan unsur-unsur natural. Dan yang ketiga menggunakan unsur-unsur insani. Terkadang pula Tuhan menugaskan insan-insan mukmin, orang-orang saleh, dan orang-orang yang taat untuk menjungkalkan kaum perusak, kafir dan munafik sehingga berperang dengan mereka dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan sebelum mencapai batasannya.

Akan tetapi, bagaimanapun, penggunaan unsur-unsur ini sedemikian sehingga pada akhirnya kemaslahatan umat manusia tersedia. Dan pada majemuknya, kehidupan manusia dilalui dengan sebaiknya-baiknya kehidupan dan berkelanjutan dan keberkahan serta kebaikan yang lebih banyak.

Kami menggangap demikian bahwa, sebagai perumpamaan, apabila pada sebuah peperangan di antara nabi Allah dengan kaum musyrik dan kafir, Allah Swt menjungkalkan musuh-musuhnya melalui tangan-tangan nabi-Nya dan memenangkan mereka. Maka alam semesta menjadi taman yang indah dan kesempurnaan yang lebih banyak dapat terwujud.

Anggapan sedemikian ini merupakan anggapan sederhana, melihat satu sisi, dan kurang akurat. Dalam perhitungan seperti ini, kita sejatinya tidak mengetahui hakikat yang sebenarnya bahwa adanya dan tinggalnya orang-orang seperti ini boleh jadi memiliki ribuan efek positif.

Terkadang generasi-generasi suci dan manusia-manusia layak lahir dari mereka. Demikian juga orang-orang mukmin, orang-orang saleh dengan perantara kaum kafir dan musyrik mereka diuji dan dicoba dan sebagai hasilnya kesabaran dan istiqamah berhadapan dengan kesusahan dan kepayahan yang mereka pikul mereka meraih kesempurnaan. Mereka lalui tingkatan-tingkatan tertinggi kemanusiaan dan kedudukan qurb (kedekatan) di sisi Allah.

Oleh karena itu, apabila kaum perusak, penjahat dan ahli mungkar tidak ada, maka kebanyakan medan ujian dan jalan untuk meraih kesempurnaan dan derajat-derajat tertinggi bagi orang-orang shaleh dan yang mencari kebaikan menjadi tertutup. Masalah ini tidak boleh dipandang sebelah mata dan ditilik dari kejauhan.

Kesimpulannya adalah bahwa hikmah Ilahi menuntut bahwa kejahatan dan kemungkaran sepanjang menyisakan akibat baik dan positif bagi orang-orang saleh, dan sepanjang jalan kebenaran dan keadilan, kebaikan dan perbaikan tidak tertutup, kurang-lebihnya harus ada.

Akan tetapi apabila kezaliman dan kerusakan sedemikian menyeluruh sehingga orang-orang pencari kebenaran dan kesempurnaan, orang-orang baik tidak dapat menemukan jalan lurus kehidupan dan jalan kebenaran tidak dapat dikenali secara total, dalam keaadaan seperti ini, Tuhan akan mencegahnya melalui tiga jalan yang disebutkan di atas dan membatasi kebebasan tirani dan kerusakan.



Perang adalah Fenomena Aksidental atau Sistemis?
Pertanyaan yang lain yang patut dikaji dan dikemukakan di sini adalah apakah terdapat fenomena peperangan sepanjangan perjalanan sejarah manusia dan hingga kini terdapat pada setiap sudut dunia, mengikut pada sebuah aturan khusus dan sepanjang sejarah umat manusia hingga kini, fenomena ini berada dalam kerangka aturan khusus tersebut dan setelah itu juga akan terjadi berdasarkan aturan tersebut? Ataukah peperangan yang beragam ini merupakan fenomena sporadis dan tidak ada kaitannya sama sekali antara satu dengan yang lain dan setiap perang yang berkecamuk terjadi secara aksidental, tidak mengikut satu aturan manapun dan tidak ada sangkut pautnya dengan perang-perang sebelumnya?

Pertanyaan ini pada hakikatnya berhubungan dengan pembahasan filsafat sejarah dan sosiologi. Secara umum, pembahasan ini mengetengahkan bahwa apakah fenomena-fenomena fisikal dan natural mengikut pada satu aturan dan kanun khusus atau tidak, merupakan fokus pemikiran para filosof humaniora dan sosial. Kami juga telah membahas masalah keteraturan dan ketertataan fenomena-fenomena kemanusiaan dan sosial dalam buku "Jâmi'e wa Târikh az Didgâh-e Qur'ân" yang tidak perlu lagi untuk kita ulang di sini. Akan tetapi masalah yang khususnya berkaitan dengan masalah perang kami menyebutkan tiga pandangan.


1. Jawaban Sosiologi Darwinisme
Perspektif pertama merupakan pandangan yang bersandar pada teori biologi yang terkenal milik Darwin (1809-1882) seorang naturalis berkebangsaan Inggris. Menurut teori ini setiap tumbuhan atau hewan dari segala jenis tumbuh-tumbuhan dan hewan, mereka berlomba dan berjajal untuk menyediakan makanan dan kebutuhannya yang lain dan harus bersusah payah dan bertarung dengan mempertaruhkan nyawa berhadapan dengan medan terjal habitatnya untuk dapat bertahan hidup.

Usaha dan upaya terus-menerus ini dalam istilahnya sering disebut sebagai "survival of the fittest" (tanâzu' baqa) dimana hasilnya adalah terpilihnya dan tinggalnya yang lebih baik. Sosiologi Darwin membekali teori Darwin yang berkaitan dengan ekologi dan biologi makhluk hidup. Dan teori ini mempengaruhi hubungan dan interaksi sosial manusia.

Dalam menjawab teori ini, orang-orang dan kelompok-kelompok manusia, dengan segala tipologi yang beragam, suku bangsa, ras, nasionalitas, kabilah, bahasa dan budaya berperang dan beradu dan hal ini merupakan perkara natural dan alami.

Dalam pertempuran yang senantiasa ini, sebagian orang dan kelompok yang keluar sebagai pemenang yang lebih maju dan lebih lengkap dan lebih layak untuk melanjutkan kehidupan sosialnya.

Kelompok ini, apakah mengeliminasi secara keseluruhan atau mendudukkan orang-orang atau kelompok-kelompok yang lemah dan cacat dalam dominasi dan koloni mereka.

Menurut pandangan ini, sebagaimana dalam biologi, binatang yang lebih lemah dan tidak memiliki kekuatan untuk membela diri mereka dianggap dan dihukumi punah dan tiada.

Pada ranah sosiologi dan sejarah juga berlaku bahwa kelompok dan masyarakat serta orang-orang yang tidak memiliki kekuatan dan kedigjayaan tidak memiliki kelayakan untuk bertahan. Orang-orang lemah dihukumi punah dan sirna, kecuali mereka tunduk dan menyerah kepada dominasi dan koloni kelompok dan masyarakat yang lebih digjaya.


2. Perspektif Marx
Pandangan kedua dibangun di atas fondasi pendapat filosof Karl Marx. Marx mengklaim bahwa ia telah menemukan kanun filosofis yang bersifat inklusif dan global. Secara asasi ditemukannya setiap fenomena merupakan hasil kontra (tadhâd) antara thesis dan anti-thesis. Pada setiap batin fenomena antara thesis dan anti-thesis berperang dan dengan berperangnya kedua kontra ini. Dan dari pertempuran ini muncul sebuah fenomena baru yang disebut synthesis yang merupakan gabungan antara thesis dan anti-thesis dan lebih sempurna dari keduanya.

Maktab ini berpandangan bahwa prinsip ini, yaitu prinsip dialektika merupakan sebuah prinsip filsafat yang luas dan berlaku di seluruh penjuru semesta dan fenomena manusia dan sosial juga termasuk di dalamnya.

Oleh karena itu, sosiologi Marxis juga menekankan prinsip dialektika dan menegaskan bahwa pada batin setiap masyarakat terdapat thesis dan anti-thesis.

Kontra (tadhâd) yang berlaku di antara kedua fenomena ini, yang tak terhindarkan (undeniable), berujung pada munculnya synthesis yang lebih sempurna dari keduanya. Dan melalui jalan ini, masyarakat memasuki etape sejarah yang baru dan menemukan tatanan yang baru. Oleh karena itu, sejarah bukanlah sesuatu melainkan perang strata sosial. Dan perang adalah sebuah fenomena alami, mengikut aturan dan dalam satu bentuk yang natural, pada setiap tingkatan berdasarkan sebab-sebab dan unsur-unsurnya dan dalam kerangka aturan universal yang akan segera berlaku.


3. Perspektif Islam
Di sini sembari memberikan kritis terhadap dua pandangan di atas, kita memajukan dan mengusulkan pandangan Islam. Tampaknya, kedua pandangan yang disebutkan di atas tertolak baik dari sisi ilmiah atau dari sisi filsafatnya. Dan tidak selaras dengan fondasi pemikiran filsafat Islam. Kanun yang dijelaskan dalam pandangan Islam ihwal fenomena perang memiliki perbedaan mendasar dengan kedua pandangan yang disebutkan di atas. D sini kami akan menyinggung sebagian dari perbedaan tersebut:

Pertama, Islam di samping menganggap fenomena perang sebagai fenomena yang memiliki aturan, sekali-kali ia tidak pernah mengingkari tanggung jawab dan usaha orang-orang dan anggota komunitas dalam hubungannya dengan perang dan sejarah. Perkara ini sangat berbeda secara fundamental dari dua pandangan di atas. Keharusan keteraturan yang menjadi klaim dua pandangan di atas adalah determinasi sejarah dan penafian ikhtiar manusia dan penegasian tanggung jawabnya dalam hubungannya dengan perang dan kejadian-kejadian serta urusan-urusan sosial lainnya.

Islam tidak memandang bahwa terjadinya perang bukanlah karena faktor determinasi dan keluar dari ranah kebebasan manusia. Akan tetapi Islam beranggapan bahwa manusia dapat mencegah terjadinya perang dan atau menghentikan perang yang kadung meletus dan berkecamuk. Demikian juga Islam memandang manusia bertanggung jawab di hadapan fenomena dan mengancam orang-orang yang bertindak berdasarkan motivasi penindasan dan melanggar hak-hak orang lain dengan menyulut api peperangan atau orang-orang yang ikut serta dalam peperangan dalam barisan musuh dan orang-orang tiran. Dan demikian juga orang-orang yang tertindas yang tidak membela diri dan tidak bergerak untuk menuntut hak-haknya. Orang-orang seperti ini kelak akan ditanya dan disoal di hadapan mahkamah Ilahi.

Pendek kata, masing-masing dari kedua belah pihak yang berperang, berangkat dari kehendak bebas dan memiliki ikhtiar dan juga pada pekerjaannya ia bebas - apakah motivasi ini baik atau buruk, tertindas atau menindas, pada kubu hak atau batil - akan memuat nilai-nilai etika yang positif atau negatif.

Kedua, masalah ketaatan kepada aturan, pada setiap urusan dan secara umum, dari sudut pandang Islam memiliki tujuan dan bersumber dari hikmat Ilahi. Tidak bermakna semata, hubungan yang tak jelas dan tanpa tujuan antara dua fenomena natural, yang menjadi obyek pemikiran maktab lain.

Aturan alam, sebagai contoh, tidak berkata lebih dari ini bahwa oksigen dan hidrogen adalah dua keadaan dan situasi khusus dan dengan hubungan tertentu yang kemudian menjadi satu komposisi atau mixture. Dan dari komposisi oksigen dan hydrogen ini kemudian muncullah air. Dan atau pada keadaan panas tertentu berubah menjadi uap dan atau uap air pada keadaan, atmosfer dan suasana khusus berubah menjadi air.

Aturan alam ini tidak mengandung makna bahwa seluruh aksi dan reaksi beragam memiliki tujuan tertentu atau tidak. Akan tetapi dalam pemikiran Islam di samping aturan alam tidak ternafikan, ia menegaskan pandangan ini bahwa seluruh aksi dan reaksi ini dan efek dan pengaruh adalah pendahuluan dalam rangka terwujudnya sebuah tujuan yang telah diatur dalam tatanan penciptaan; artinya Allah Swt sedemikian mengatur dan menata fenomena-fenomena yang beragam sehingga pada majemuknya tujuan penciptaan semesta terimplementasi.



Beberapa Pelajaran Umum Al-Quran Ihwal Perang
Dalam perspektif al-Quran tidak hanya sebab utama terjadinya perang mengikut kehendak Ilahi dan mengikut tatanan kebijaksanaan semesta, akan tetapi juga kualitas dan dan kuantitas dan kejadian serta akibat-akibatnya mengikut tatanan kebijaksanaan yang berlaku di alam semesta. Di sini kami akan menyebutkan beberapa prinsip yang berlaku dalam perang menurut perspektif al-Quran.


1. Kebebasan dan Ikhtiar Manusia dalam Perang
Allah Swt menciptakan manusia dalam keadaan bebas dan merdeka supaya melalui jalan kebebasan dan ikhtiarnya ia dapat menggapai kesempurnaan. Ciri-ciri bahwa manusia telah menyempurna adalah bahwa kesempurnaan itu hanya dapat tercapai melalui ikhtiar dan kebebasan.

Allah Swt tidak menciptakan manusia sebagaimana para malaikat yang perbuatannya senantiasa baik dan sekali-kali mereka tidak memiliki motivasi dan kekuatan untuk berbuat buruk. Pada diri manusia, di samping terdapat motivasi untuk mengerjakan kebaikan juga terdapat motivasi untuk berbuat curang dan keburukan. Dan ia mampu berdasarkan kehendaknya memilih dari masing-masing perbuatan ini.

Manusia dengan struktur seperti ini dan dengan adanya pelbagai motivasi yang beragam, kendati ia memiliki kecendrungan intrinsik untuk tidak terjerembab dalam perbuatan buruk, akan tetapi ia memilih untuk melakukan pekerjaan yang terpuji dan juga motivasinya dalam mengerjakan perbuatan ini adalah tidak lain kecuali untuk meraih keridhaan Tuhan, maka ia akan mendapatkan kesempurnaan yang tertinggi melebih kesempurnaan yang dimiliki oleh para malaikat.

Oleh karena itu tuntutan hikmah Ilahi adalah dalam urusan personal dan sosial tangannya terbuka (memilki ikhtiar) dan ia dapat melakukan pekerjaannya berdasarkan kehendak dan keinginannya sendiri; apabila ia inginkan untuk taat kepada Allah Swt, ia taat dan apabila ia tidak menghendaki ia dapat bermaksiat.

Hanya dalam bentuk seperti ini makna pilihan dan opsi menemukan artinya. Apabila manusia tidak dapat melintasi jalan yang beragam dan meninggalkan pekerjaan yang beragam, maka ucapan "pilihan" dan "opsi" tidak memiliki makna.

Bagaimanapun, tingkatan dari kebijaksanaan Tuhan yang menuntut adanya kehendak bebas dan perbuatan manusia - bahkan dalam melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan manfaat pribadinya dan atau kemaslahatan sosial masyarakat di sekitarnya - menuntut bahwa manusia meskipun ia dapat mengerahkan lasykar untuk memerangi satu dengan yang lain, membunuh dan menumpahkan darah; mengapa apabila ia tidak mampu melakukan hal itu, maka kebebasan dan ikhtiarnya patut dipertanyakan.


2. Pembagian Nisbi Kekuasan dan Dominasi
Apa yang kami sebutkan di atas adalah salah satu dimensi hikmat Ilahi. Akan tetapi harus diperhatikan bahwa hikmah Ilahi hanya menuntut adanya kebebasan pada manusia dan bukan kekuatannya atas perang dan pertumpahan darah; melainkan di samping itu juga menuntut bahwa sekali-kali kekuatan jangan sedemikian sentral di tangan seseorang atau sekelompok sehingga orang lain atau kelompok lain tidak memiliki kekuatan untuk berhadap-hadapan dan melawan orang atau kelompok tersebut.

Apabila selain ini dan seseorang atau kelompok mendominasi orang lain atau kelompok lain secara total dan menyeret mereka menjadi budak, menanggalkan kebebasan dan kemerdekaan yang mereka miliki, perkara ini berseberangan dengan tuntutan hikmah Ilahi; hikmah yang kami sebutkan pada tingkatan pertama yang mengharuskan adanya ikhtiar manusia.

Oleh karena itu, berdasarkan hikmah Ilahi harus ada pembagian kekuasaan pada masyarakat sedemikian sehingga senantiasa setiap orang atau kelompok, sedikit-banyaknya, dapat berhadapan dengan orang lain atau kelompok lain baik mereka dari kubu hak atau dari kubu batil. Allah Swt pada akhir kisah Jâlut dan Thâlut berfirman:

"Seandainya bukan lantaran Allah yang menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi. Tetapi Allah mempunyai karunia atas semesta alam." (QS. al-Baqarah [2]:251)

Meskipun ayat ini tersebut dalam kisah Jâlut dan Thâlut, akan tetapi tentu saja ayat ini berada pada tingkatan menjelaskan kenyataan dan hakikat universal. Dari bentuk umum dan ithlâq (tanpa adanya kait) ayat ini dapat disimpulkan bahwa Allah Swt menghendaki bahwa sekali-kali dalam perjalanan sejarah, orang atau kelompok khusus tidak ada yang sedemikian kuat dan perkasa sehingga ia dapat menanggalkan kekuatan dan kekuasaan orang lain atau kelompok lain dan tidak dapat menunjukkan sedikitpun perlawanan; lantaran apabila demikian adanya inherensi (keharusan) dari keadaan ini adalah tidak tercapainya kesempurnaan ikhtiari yang dapat dicapai oleh seseorang, dan dalam situasi seperti ini, tujuan dari penciptaan alam dan manusia tidak terpenuhi.

Oleh karena itu, konklusi dan hasil dari tingkatan kedua dari hikmat Ilahi - setelah jelas pada tingkatan pertama bahwa manusia memiliki kekuasaan dan kebebasan untuk berbuat dan ia dapat bertikai dengan orang lain dan memanfaatkan kekuatannya melawan orang lain - meniscayakan bahwa kekuasaan dan dominasi seseorang dan sekelompok sedemikian sehingga ia tidak menanggalkan kekuasaan dan ikhtiar kelompok dan orang lain dan tidak terdeprivasi dari kesempurnaan kemanusiaan yang ia dapat raih dengan ikhtiarnya; karena fenomena bagi manusia adalah sarat kerugian dan sesuai dengan ungkapan al-Quran, kehidupan manusia bermuara kepada kerusakan dan angkara murka dan tidak memiliki kesesuian dengan tujuan transendental penciptaan.

Apa yang kami kemukakan sebagai satu aturan dan kanun Qurani dan sunnah Ilahi; juga mendapatkan tekanan secara fungsional dalam alur kehidupan manusia. Dengan menelaah sejarah kehidupan manusia kita dapat mengatakan bahwa tidak satupun dalam etape sejarah, satu kekuasaan lebih sentral dan adikuasa sehingga seluruh manusia, kelompok, kaum di ala mini di bawah dominasinya dan membuat mereka mau tak mau harus tunduk dan taat mutlak dari kekuasaan tersebut.

Pada setiap etape sejarah, setidaknya, terdapat dua kekuasaan yang berimbang dalam menghadapi satu dengan yang lain. Dan kekuasaan-kekuasaan yang lain ikut dan di bawah lindungan salah satu dari kekuasaan tersebut dan sebagiannya berdiri sendiri dari keduanya.


3. Antisipasi dari Dominasi Mutlak Kubu Batil
Pada tingkatan ketiga, hikmah Ilahi meniscayakan pembagian kekuasaan di antara orang-orang dan kelompok yang beragam di tengah umat manusia. Sedemikian sehingga jalan kebenaran dan hakikat tidak tertutup satu arah. Apabila orang-orang dan kelompok-kelompok adikuasa seluruhnya adalah berada pada kubu batil dan terdapat orang-orang yang berlomba-lomba untuk mengejar dunia dan materi belaka, kembali ruang dan peluang bagi orang-orang yang berada di kubu hak tidak tersedia; khususnya apabila diklasifikasi ke dalam blok dan klik dimana masing-masing sebagian dari alam dimiliki oleh salah satu kekuasaan. Dan masing-masing dari dua kekuatan adikuasa tersebut rela dengan pembagian ini. Dalam keadaan seperti ini, hasilnya kekuasaan dan dominasi dalam hubungannya dengan ahli hak, adalah sentralisasi kekuasaan, dan demikian seterusnya, upaya meniti kesempurnaan ikhtiari akan tercabut dari ahli hak.

Oleh karena itu, hikmah Ilahi pada tingkatan ketiga menuntut demikian bahwa seluruh orang yang berkuasa tidak semata berasal dari kubu batil. Pembagian kekuasaan diatur sedemikian rupa sehingga para pengikut dan pendukung kebenaran juga dapat memelihara jalan hidupnya, kehidupan personal dan sosialnya. Serta dapat melanjutkan usahanya dalam meniti jalan kesempurnaan.

Terkadang barangkali kesempatan ini dapat dicapai oleh ahli hak dengan senantiasa bertikai dan bentrok. Di masa sekarang ini dimana ahli batil (orang-orang sesat) sibuk mengurus urusan masing-masing, ahli hak dapat mengambil kesempatan seperti ini untuk membina diri dan menyusun kekuatan.


Oleh karena itu, salah satu doa ahli hak (orang-orang benar) adalah sebagai berikut:
"Allahummah, sibukkanlah orang-orang zalim dengan orang-orang sesama mereka dan selamatkan kami (di tengah kesibukan di antara mereka) dan berikan kejayaan kepada kami."

Kesempatan seperti ini dapat dicapai oleh ahli hak melalui jalan lain; dan jalan tersebut adalah menghimpun kekuatan untuk dapat mengimbangin kekuatan yang dimiliki oleh ahli batil. Dalam kondisi seperti ini, ahli hak dapat menghirup udara kebebasan dari dominasi ahli batil dan menempuh kehidupan manusiawi dan merdeka. Serta mengatur hidupnya dengan baik dan teratur.

Aturan ini, kami jelaskan pada tingkatan ketiga hikmah Ilahi lebih spesifik dari aturan kedua. Dan Aturan kedua itu adalah hikmah Ilahi menuntut adanya pembagian kekuasaan dan ketiadaan sentralisasi kekuasaan pada satu orang atau kelompok. Oleh karena itu, prinsipnya adalah pembagian kekuasaan. Namun aturan ini menjelaskan salah satu tipologi dan karakteristik pembagian kekuasaan. Aturan ini dapat dijumpai dalam ayat suci al-Quran:

"(yaitu) Orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara, gereja-gereja Nasrani, sinagog Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang-orang yang menolong-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa." (QS. al-Hajj [22]:40)

Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa apabila sebagian manusia tidak bangkit melawan sebagian yang lain dan menghadang kaum ekspansionis, perusak dan penghancur, seluruh rumah-rumah ibadah di muka bumi akan binasa; lantaran para penguasa yang haus kekuasaan dan pencari kerusakan, apabila berhadapan dengan mereka tanpa adanya resistensi dan perlawanan, tidak ada satu pun yang ia tinggalkan dan lalaikan sehingga seluruh manusia berada di bawah dominasinya. Para penguasa yang haus kekuasaan dan pencari kerusakan, tidak akan membiarkan ahli ha menghirup udara kebebasan dan kemerdakaan; akan tetapi senantisa berupaya untuk membuat mereka takluk, patuh dan menjadi budaknya.

Allah Swt untuk menghindarkan orang-orang yang penyembah Tuhan dari keadaan seperti ini dan ahli hak tidak diinjak-injak kebebasan mereka oleh ahli batil yang mencari kerusakan dan haus kekuasaan menetapkan demikian bahwa pembagian kekuasaan sedemikian sehingga jalan bagi ahli hak terbuka. Dan atau saham kekuasaan juga sampai ke tangan pendukung dan pembela kebenaran; lantaran secara asasi Allah Swt menciptakan segala apa yang ada di bumi untuk mereka.

Pendek kata, peperangan sedemikian berkecamuk sehingga tidak satu pun jalan-jalan kebenaran dan jalan-jalan suci yang mencari lintasan menuju ke arah kebenaran dan bergerak di atas jalan Allah, fii sabiliLlâh, jalan mereka secara total tidak tertutup. Akan tetapi menjaga jalan ini supaya tetap terbuka dapat tercapai dengan adanya tugas-tugas dan kewajiban masyarakat dalam membela dan dengan keseriusan serta usaha dapat terwujud.


4. Perang dan Azab Istishâl
Pada tingkatan keempat, hikmah Ilahi meniscayakan adanya aturan keempat penciptaan yang mengatur perang-perang. Tatkala sebuah kaum secara total berada pada ambang kerusakan, sunnatulLah berlaku atas mereka yaitu turunnya azab dan mensirnakan mereka dari pelataran sejarah.

Azab semacam ini disebut sebagai azab isthisâl (menyeluruh). Salah satu jenis azab istishâl adalah Tuhan mengangkat mereka dari muka bumi melalui tangan-tangan orang-orang mukmin dan orang-orang shaleh. Penjelasannya, terkadang masyarakat dengan memiliki kekuasaan dan kebebasan, bergerak di atas rel kemusyrikan, kekufuran, kerusakan, kezaliman sehingga tidak tersisa lagi harapan untuk mereka kembali. Dan menginjak-injak kebenaran dan menolak menegakkan keadilan. Orang-orang seperti ini tentu saja akan menjadi penyebab kesusahan dan keonaran bagi orang lain, khususnya bagi orang-orang pencari kebenaran dan pencari keadilan.

Dalam keadaan seperti ini, kebinasaan dan kepunahan mereka sudah menjadi kehendak Tuhan. Hikmah Ilahi menuntut demikian bahwa apabila seluruh atau mayoritas orang-orang dalam masyarakat bakal terjerembab dalam keadaan semacam ini dan jauh dari rel kemanusiaan, eksistensi mereka dicabut dan dalam istilahnya mereka dijatuhkan azab istishâl.

Azab istishâl terkadang dalam bentuk petaka-petaka langit dan kejadian-kejadian alami yang tragis; seperti petir yang menghajar kaum Tsamud. Allah Swt berfirman dalam al-Quran ihwal kaum Tsamud:

"Dan adapun kaum Tsamud maka setelah mereka Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) dari petunjuk itu, maka mereka disambar petir azab yang menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan. Dan Kami selamatkan orang-orang yang beriman dan mereka adalah orang-orang yang bertakwa."(QS. al-Fushshilat [41]:17-18)

Dan atau seperti angin puting beliung yang dalam istilah al-Qur'an "raih sharshar" yang meluluhlantakkan kaum 'Ad. Allah Swt berfirman tentang mereka:

"Adapun kaum 'Ad maka mereka menyombongkan diri di muka bumi tanpa alasan yang benar dan berkata: "Siapakah yang lebih besar kekuatannya dari kami??" Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa Allah yang menciptakan mereka lebih besar kekuatan-Nya dari mereka? Dan adalah mereka mengingkari tanda-tanda (kekuatan) Kami. Maka Kami meniupkan angina yang amat gemuruh kepada mereka dalam beberapa hari yang sial, lantaran Kami hendak merasakan kepada mereka itu siksaan yang menghinakan dalam kehidupan dunia. Dan sesungguhnya siksaan akhirat lebih menghinakan sedang mereka tidak diberi pertolongan." (QS. al-Fushshilat [41]:15-16)

Demikian juga banjir bah yang menghantam kaum Saba merupakan contoh-contoh azab istishâl. Kaum ini melalui hidup mereka dengan anugerah yang melimpah dan memiliki taman-taman yang indah; akan tetapi mereka tidak mengindahkan peringatan Tuhan dan tidak bersyukur atas nikmat-nikmat yang diberikan kepada mereka. Oleh karena itu, mereka mendapatkan azab Tuhan dan air bah yang membinasakan dikirimkan kepada mereka dan taman-taman yang indah dan semerbak berubah menjadi taman-taman yang buruk dan memiliki bau busuk. (QS. Saba [34]:15-17)

Contoh lain dari azab istishâl ini adalah azab yang turun ke atas kaum Nabi Nuh. Allah Swt mengutus Nabi Nuh untuk membimbing umatnya dan Nabi Nuh melakukan upaya hidayat dan irsyad untuk mereka selama 950 tahun. Akan tetapi mereka tidak mendengarkan seruan Nabi Nuh dan mereka bahkan semakin angkuh dan sombong. Allah Swt juga pada akhirnya membinasakan mereka dengan taufan yang bergemuruh. (QS. al-Ankabut [39]:14)

Demikian juga kaum Fir'aun yang arogan, setelah kezaliman dan aniaya yang banyak mereka lakukan atas Bani Israil. Tatkala mereka mengejar Nabi Musa dan pengikutnya, mereka akhirnya karam di lautan. (QS. al-A'raf [7]:136)

Adapun azab istishâl sebagaimana dapat berbentuk azab-azab alami langit dan bumi, terkadang juga berbentuk peperangan dan terjadi melalui tangan manusia. Dan kelompok-kelompok dari kaum mukmin dan orang-orang shaleh meraih kemenangan atas kaum thagut dan orang-orang congkak dan menjadi sumber kekalahan dan terjungkalnya mereka. Sebagaimana Allah Swt berfirman tentang hal ini:

"Dan Allah memiliki serdadu tujuh petala langit dan bumi." (QS. Fath [47]: 4&7)

Iya. Petir, angin puting beliung, hujan, bah dan taufan, seluruhnya adalah serdadu dan prajurit-prajurit Tuhan. Mereka berada dalam pengaturan dan mengikut aturan Tuhan. Dan karena Tuhan ingin membinasakan sebuah kaum, Dia menggunakan serdadu dan prajurit ini; akan tetapi di samping itu, sebagian serdadu
Tuhan berasal dari kekuatan manusia yang terkadang menjadi media untuk mengazab manusia-manusia rusak dan perusak.

Allah Swt sedemikian menata dan mengatur mekanisme kehidupan sosial umat manusia sehingga apabila suatu kaum patut mendapatkan azab istishâl, terkadang melalui peletusan perang ke atas mereka dan mendapatkan kebinasaan dan kehancuran di tangan orang-orang mukmin dan saleh.


Matlab ini dapat ditemukan pada sebagian ayat al-Quran, di antaranya adalah ayat suci di bawah ini:
"Perangilah kaum musyrikin dan kaum kafir, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman. Dan menghilangkan panas hati orang-orang mukmin. Dan Allah menerima taubat orang yang dikehendaki-Nya. Allah Mahatahu lagi Mahabijaksana." (QS. at-Taubah [9]:14-15)

Sebagai kelanjutannya kita akan menyinggung bahwa mengapa Allah Swt tidak selamanya menggunakan azab-azab langit dan bumi bagi orang-orang yang patut mendapatkan azab istishal dan pada sebagian perkara melalui perantara kaum mukmin yang berperang dengan mereka dan binasa dengan cara seperti ini.


Pada bidang yang sama, pada ayat yang lain kita membaca:
"(Wahai Nabi) Katakanlah: "Tidak ada yang kalian tunggu-tunggu bagi kami, kecuali salah satu dari dua kebaikan (meraih kemenangan atau mati syahid). Dan kami menunggu-nunggu bagi kalian bahwa Allah akan menimpakan kepada kalian azab (yang besar) dari sisi-Nya, atau (azab) melalui tangan kami…" (QS. at-Taubah [9]:52)

Logika kekuatan dan tak terkalahkannya kaum mukmin adalah tidak ada kata kalah dalam kamus kita dalam perang melawan kaum musyrikin dan kafir, orang-orang tiran dan para perusak; karena kita akan menjadi syahid dan melanggang ke surga; dan hal ini merupakan kemenagan yang besar dan atau kita membuat musuh-musuh Tuhan, Islam dan kaum muslimin bertekuk lutut di hadapan kita dimana hal ini juga merupakan kemenagan besar yang lain. Oleh karena itu, bagaimanapun bentuknya akan berakhir dengan kemenangan di tangan kita.

Namun musuh yang congkak yang tidak ada harapan untuk mereka mendapatkan hidayah, akan terpuruk dalam azab Ilahi. Azab ini, sesuai dengan tuntutan hikmah Ilahi, akan sampai kepada mereka melalu fenomena-fenomena alami langit dan bumi dan atau melalui faktor-faktor manusiawi.

Dalam ayat ini, redaksi "biaidinâ" (melalui tangan-tangan kami) adalah bukti dari pembahasan kita. Redaksi ini menunjukkan bahwa peperangan yang diusung oleh kaum mukminin melawan kaum musyrikin pada hakikatnya adalah bentuk azab istishâl dimana Tuhan melalui perantara kaum mukmin dan mujahid muslim menimpakan azab kepada orang-orang congkak dan orang-orang yang patut mendapatkan azab Ilahi.

Oleh karena itu, perang-perang seperti ini terpelihara pada desain tatanan penciptaan dan memiliki tempatnya sendiri; artinya sebagian dari orang-orang congkak dan yang meninggikan lehernya tanda keangkuhan, harus binasa dan menadapatkan azab melalui tangan orang-orang mukmin yang keluar sebagai pemenang.

Perang-perang seperti ini, sejatinya, merupakan azab Ilahi yang ditimpakan kepada orang-orang yang patut mendapatkan azab melalui tangan kaum mukmin dan orang-orang saleh.


Kanun dan aturan seperti ini dapat dipetik dari ayat al-Quran:
"Maka (yang sebenarnya) bukan yang membunuh mereka. Akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar, akan tetapi Allahlah yang melempar." (QS. al-Anfal [8]:17)

Ayat ini sembari menyinggung "tauhid af'ali" dan wilayah Ilahi atas kaum mukminin secara umum dan Rasulullah saw secara khusus, juga menunjukkan bahwa terbunuhnya orang-orang kafir di tangan kaum mukminin, sejatinya adalah azab Ilahi dimana ketika kezaliman, kerusakan yang ditimbulkan oleh orang-orang kafir mencapai klimaksnya dan tidak ada jalan lain kecuali memusnahkan mereka, mau tidak mau, akan dieksekusi melalui tangan-tangan kaum mukminin dan mereka binasa. Dengan kata lain, peperangan semacam ini adalah salah satu bentuk azab istishal.


5. Peran Peringatan Perang
Kanun kelima yang berlaku dalam perang adalah bahwa perang terkadang bertujuan untuk mengajarkan dan gusy mali kelompok tersebut dari kaummukmin yang telah jatuh dalam kelalaian. Perang ini boleh jadi diletuskan oleh kaum kafir dan boleh jadi dipicu oleh kaum mukmin yang lain; akan tetapi bagaimanapun berbeda secara asasi dengan azab istishâl. Perang seperti ini, tidak dikemas untuk menghancurkan kaum mukminin, akan tetapi untuk memberikan peringatan dan membangunkannya dan membimbing kepada datangnya mereka yang mengusung perang ini. Perang ini merupakan batu ujian dan cobaan mereka sehingga sadar dari kelalaian.

Kebanyakan kaum mukminin dan orang-orang beragama tidak memiliki kebencian terhadap Tuhan dan orang-orang sombong, akan tetapi mereka berada di bawah pengaruh hawa nafsu dan kecendrungan-kecendrungan nafsu serta keinginan-keinginan syaitani kafir menyimpang dari rel kebenaran dan mendapatkan kecendrungan terhadap kezaliman dan kerusakan.

Mereka tidak mengingkari Tuhan dan musuh-musuh agama, akan tetapi sedikit-banyaknya berada di bawah pengaruh hawa nafsu dan kecendrungan-kecendrungan hewani yang menyimpang dari aturan agama, dan tidak mengamalkan ajaran-ajaran agama yang seharusnya diamalkan.

Allah Swt tidak akan membinasakan orang-orang mukmin yang melakukan dosa seperti ini, akan tetapi memberikan peringatan dengan mengirimkan bala dan petaka yang bersifat sementara sehingga mereka menjadi sadar dan meninggalkan pekerjaan-pekerjaan buruk dan tercela.

Akan tetapi hukuman-hukuman seperti ini tidak akan datang dari orang-orang mukmin yang lurus; karena orang-orang mukmin yang kudus tidak akan mengkontaminasi dan menodai dirinya dengan pekerjaan seperti ini. Oleh karena itu, eksekusi hukuman-hukuman seperti ini dilakukan oleh orang-orang mukmin lain atau orang-orang kafir atau orang-orang non-mukmin.

Mereka dengan melontarkan permusuhan, gangguan dan cemohoan kepada orang-orang mukmin atau muslim yang terpuruk dengan hawa nafsu, secara tidak langsung menyediakan ruang dan peluang bagi mereka untuk bertaubat dan kembali kepada jalan yang benar.

Perang-perang intern yang terkadang meletus di kalangan kaum muslimin, dapat dianggap sebagai perang yang memberi peringatan. Tujuan dari perang-perang ini dalam tatanan penciptaan adalah masing-masing kedua kelompok yang bertikai dalam perang mendapatkan pengajaran dan pendidikan dan pada akhirnya supaya mereka kembali menemukan jati dirinya.


Allah Swt dalam al-Quran berkaitan dengan perkara ini berfirman:
"Katakanlah: "Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan, ikhtilaf dan perpecahan) dan merasakan kepada sebagian kamu keganasan (azab dan kepayahan) sebagian yang lain. Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahaminya." (QS. al-An'am [6]:65)

Sebagian azab dan bencana yang menimpa Bani Israil merupakan contoh peperangan yang bermuatan pengajaran ini dimana Tuhan menghajar mereka dengan peperangan ini. Al-Quran mengisahkan bahwa berdasarkan kuasa pasti, Bani Israil yang kembali melakukan pengrusakan dan kezaliman dan berlomba untuk lebih maju dari yang lain dan dalam setiap kali karena kerusakan dan merasa lebih super dari yang lain, Allah Swt mendatangkan kaum yang mendominasi dan menguasai mereka:

"Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu: "Sesungguhnya kalian akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah di muka bumi ini dua kali dan pasti kalian akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar. Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu. Kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka merajalela di kampung-kampung, dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana. Kemudian Kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan Kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak dan Kami jadikan kalian kelompok yang lebih besar. Jika kalian berbuat baik (berarti) kalian berbuat baik bagi diri kalian dn jika kalian berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua. (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kalian dan mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai. Semoga Tuhanmu melimpahkan rahmat(Nya) kepada; dan sekiranya kalian kembali kepada (kedurhakaan), niscaya dan Kami kembali mengazabmu dan Kami jadikan neraka jahannam penjara bagi orang-orang yang tidak beriman. (QS. al-Isra' [17]: 4 - 8)

Dalam menukil dua pendekatan historis ini dimana dalam ayat-ayat ini sudah disinggung sebelumnya. Dalam riwayat-riwayat dan kitab-kitab sejarah, kurang-lebihnya, terdapat perbedaan pendapat.

Oleh karena itu, kita tidak dapat memberikan pendapat yang sifatnya definitif dalam masalah ini; akan tetapi kebanyakan riwayat mengisahkan bahwa pertama kali "Bukht an-Nasr" Raja Babul (526-605 sebelum milad) mengerahkan lasykar ke Palestina - dimana pada ayat di atas disebutkan sebagai "al-Ardh" (bumi)- mengerahkan lasykar dan menduduki Yerusalem. Dan dengan sepuluh ribuan tawanan Yahudi - yang di antara mereka terdapat raja Yahudi - ia kembali ke negerinya.

Akan tetapi lantaran orang-orang Yahudi yang masih menetap di Palestina memulai meletuskan perang melawan Raja Babul. Bukht an-Nasr mengambil keputusan untuk memecahkan permasalahan yang ditimbulkan orang-orang Yahudi sekali untuk selamanya.

Dengan demikian, ia menaklukkan Yerusalem dan membakar kota tersebut. Ia membakar jasad Sulaiman dan seluruh warga kota ketika menjadi tawanannya dan membawa mereka ke Babul.

Orang-orang Yahudi menetap di Babul hingga masa Kurasy menyerang dan menguasai tempat itu. Kurasy membebaskan orang-orang Yahudi dan mengembalikan orang-orang Yahudi ke negerinya. Ia mengembalikan emas dan perak yang dijarah oleh Bukht an-Nashr dari tempat ibadah di Yerusalem.

Bagaimanapun, biasanya, penawanan dan pengusiran Bani Israil ini yang terjadi pada abad keenam sebelum Milad dan berlangsung selama lebih dari dua abad mereka dalam keaadaan tawanan dan pengusiran.

Perkara di atas merupakan hukuman pertama dari dua hukuman yang mereka dapatkan yang disebutkan pada ayat di atas.

Terdapat nukilan yang beragam ihwal hukuman berat yaitu hukuman kedua yang menimpa Bani Israil. Menurut sebagian nukilan, kaum kafir kembali menyerang Bani Israil dan mendera mereka dengan siksaan dan kesusahan.

Poin yang patut mendapat perhatian adalah Allah Swt, pada akhirnya mengancam Bani Israil bahwa apabila mereka kembali kepada pengrusakan dan berlomba untuk menjadi yang terhebat, mereka kembali akan mendapatkan azab, peperangan dan instabilitas dan dengan redaksi "wain 'udtum 'udna" Allah Swt memberikan peringatan kepada mereka.

Sebagai hasilnya, memberikan pengajaran dan pendidikan orang-orang yang rapuh iman dan buruk kelakuannya juga merupakan salah satu dari hukum dan atauran penciptaan (takwini) yang berlaku atas berkecamuknya peperangan; meski kanun dan aturan ini tidak dapat dijelaskan dan dibenarkan dalam perspektif sejarah filsafat dan sosiologi materialisme kiwari.


6. Keuntungan Perang bagi Mujahidin
Aturan keenam perang adalah bahwa jihad di jalan Allah (fii sabilLlah) di samping terdapat derita, nestapa, juga terdapat manfaat dan faidah bagi para mujahidin. Allah Swt berfirman berkenaan dengan perkara ini:

"Diwajibkan atas kalian berperang padahal berperang itu adalah sesuatu yang kalian benci. Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu; Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui." (QS. al-Baqarah [2]:216)

Redaksi awal ayat ini adalah penjelas tatanan tasyri'i perang yang bukan menjadi tema pembahasan kita sementara ini. Pembahasan kita di sini berkaitan dengan redaksi yang lain dari ayat ini yang merupakan penjelas sebuah aturan takwini ihwal perang.

Dalam ayat ini, redaksi "kutiba 'alaikum al-qital wa huwa kurhun lakum" (Diwajibkan atas kalian berperang padahal berperang itu adalah sesuatu yang kalian benci) menegaskan bahwa perang termasuk di dalamnya adalah terbunuh, pukulan, terluka, menjadi tawanan, menjadi budak, tuna wisma, merana, hancur, nestapa, dan puluhan petaka lainnya, merupakan fenomena yang getir dan sarat dengan kesusahan dan tidak disenangi oleh manusia.

Akan tetapi pada redaksi berikutnya, yaitu pada redaksi "'asa an takrahu syai wa huwa khairun lakum" (Boleh jadi kalian membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu) menunjukkan kepada sebuah realitas bahwa perang meski menyimpan seluruh susah dan musibah-musibah, di samping itu terdapat manfaat dan kegunaan yang banyak yang tidak boleh dilalaikan dan kandungan manfaat dan kegunaan perang itulah yang dapat menjelaskan dan membolehkan eksisnya perang di muka bumi.


Di sini layak kiranya kita menyinggung beberapa kegunaan perang:

1. " Menciptakan mental aktif dan menghindarkan dari kemalasan
Di antara hasil yang dapat dituai dari jihad di jalan Allah adalah menjauhkan umat dari kemalasan dan kelesuan. Dan menanamkan semangat dan mental aktif, giat dan penuh agresifitas. Manusia, secara alami, apabila dalam waktu yang panjang berada dalam keadaan sejahtera, aman dan tentram, secara perlahan akan menjadi pemalas, lesu dan tanpa semangat dan tercegah dari kebiasaan aktif dan penuh vitalitas. Dan dari sisi lain, mental resistan dan militan akan menjadi lemah.

Dengan meletusnya peperangan menjauhkan orang dari sikap malas dan lesu. Dan kala anggota masyarakat dalam kondisi perang merasakan adanya bahaya, ketika itu kebanyakan kekuatan-kekuatan yang tertidur akan bangun dan bangkit. Perang membuat mental manusia menjadi militan, agresif dan siap siaga. Serta menumbuhkan ketegaran, konsistensi dan vitalitas pada diri manusia.

Apabila kita memperhatikan realitas ini dimana sebuah komunitas lesu dan perut penuh dengan makanan lezat dan menjadi santapan lezat dan sasaran empuk sebagian pencari kekuasaan dan penjahat, kita akan membenarkan dengan mudah hasil yang disebutkan di atas sebagai salah satu konsekuensi penting dan positif perang bagi sebuah komunitas.

Lantaran perang memiliki muatan hukum dan reaksi memberikan budaya siaga kepada badan manusia dan memobilisasi energi batin dalam menghadapi serangan virus-virus dan mikroba-mikroba jahat pada diri manusia.

Para biolog berkata, dalam keadaan normal dan aman, sebagian kecil energi manusia berada dalam keadaan aktif. Dan dalam keaadan terancam dan bahaya, energi manusia akan menjadi berlipat ganda. Mungkin dapat diinferensi dari sebagian ayat-ayat al-Quran; semisal ayat ini yang menegaskan:

Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang.(QS. al-Anfal [8]: 65)

Barangkali salah satu sebab dan pembenaran perkara ini adalah realitas ilmiah yang disebutkan di atas; artinya kaum mukmin yang berada pada masa-masa awal Islam dan musuh menguasai mereka dari berbagai penjuru, karena berada dalam keadaan terancam, secara alami mekanisme-mekanisme hidup mereka menciptakan energi yang sangat luar biasa untuk menghadapi pelbagai ancaman dan bahaya.


2. " Menciptakan perasaan perlu dan kekurangan
Hasil penting yang lain dari jihad adalah menumbuhkan perhatian dan sensitifitas masyarakat terhadap setiap kekurangan dan kebutuhan. Dan perhatian ini, menghasilkan gerakan dan aktifitas masyarakat untuk melengkapi dan memenuhi kekurangan dan kebutuhan ini.

Apabila kita perhatikan dengan seksama segala usaha dan aktifitas individu dan kelompok masyarakat, kita akan jumpai bahwa secara umum, manusia setelah merasakan adanya keperluan dan kekurangan pada dirinya, ia akan meluangkan waktu dan tenaga untuk menutupi dan menghilangkan keperluan dan kekurangan tersebut.

Bahkan termasuk makan dan minum yang merupakan perbuatan yang mengenyangkan dan melepas dahaga bagi manusia, terlaksana tatkala manusia merasakan lapar atau dahaga. Atau kala manusia berpikir untuk mengobati luka dan sakit dan merujuk kepada tabib atau dokter ketika ia merasa sakit dan luka.

Bagaimanapun, secara umum, pada setiap masalah, manusia selepas merasakan adanya keperluan dan kekurangan ia memikirkan untuk memenuhi keperluan dan kekurangan tersebut. Luka kendati bukan merupakan sesuatu yang menyenangkan manusia, akan tetapi kala perasaan luka yang berfungsi sebagai pemberi peringatan kepada manusia atas hadirnya sejenis penyakit dan meminta manusia untuk berhati-hati dan mengobati penyakit tersebut; oleh karena itu, harus dikatakan bahwa luka juga sejatinya merupakan sesuatu yang baik dan memiliki efek positif bagi diri manusia.

Tatkala sebuah bangsa dengan segala sebab berperang melawan orang-orang asing dan musuh-musuh - dimana tentunya sesuai dengan kaidah universal yang disebutkan di atas, mengejar untuk tetap hidup perasaan "perlu terhadap perang" pada setiap orang - secara perlahan, mereka akan memahami kekurangan dan kebutuhan tersebut. Dan dengan mengetahui poin-poin kelemahan, mereka dengan segala usaha akan menyingkirkan kekurangan dan kebutuhan tersebut.

Apabila kita membuka buku-buku sejarah ditemukannya invensi dan penemuan-penemuan dan ilmu-ilmu dan kerajinan-kerajinan, kita melihat prosentase yang menyolok mata dari mereka pada masa dimulainya peperangan dan mereka mengalami kematangan akibat dari peperangan ini.


3. " Menyebarkan Islam dan kaum Muslimin
Hasil yang lain dari perang adalah bahwa kaum mukminin yang berjihad dan para altruis dengan usaha-usaha, altruisme dan sikap mendahulukan orang lan yang mereka tunjukkan - khususnya apabila mereka meraih kemenangan dalam perang melawan musuh - mendapatkan kemasyhuran dan masyarakat dunia terhadap mereka, agama dan ajaran dan akidah mereka, akan mendapatkan sensistifitas dan mengenal mereka lebih jauh.

Perkara ini dengan sendirinya akan menjadi sebab munculnya perhatian masyarakat dunia terhadap motivasi-motivasi insani dan Ilahi kaum mukminin untuk mengatur dan berpartisipasi dalam perang dan menghabiskan biaya yang banyak dan menanggung kerugian, perkara ini akan membangkitkan semangat untuk mengenal Islam dan Tuhan pada masyarakat dunia; artinya orang-orang beriman yang menjadi sasaran serangan dan ekspansi kaum penguasa di tengah masyarakat dunia akan meraih keunggulan gemilang dan juga menjadi media untuk mempropagandakan agama hak kepada mereka.

Kami hanya menyebutkan sebagian hasil positif dari peperangan. Masih banyak lagi hasil-hasil positif yang kami tidak sebutkan di sini. Kami saksikan pada perang yang dipaksakan (imposed war) yang dilancarkan oleh pemerintahan Ba'ats Irak terhadap negeri kami. Dan perang ini, kendati banyak kerugian yang ditimbulkannya, juga menuai hasil-hasil positif untuk bangsa kami.

Pada permulaan perang, Pemimpin Besar Revolusi, Imam Khomeini rah berkata, perang ini kendati dipaksakan kepada kita akan tetapi merupakan anugerah bagi kami.

Pada masa-masa tersebut, barangkali masyarakat lebih banyak terpengaruh oleh iman dan hasrat kepada Imam Khomeini rah. Mereka menerima ucapan Imam Khoemini ini, akan tetapi dengan berlalunya waktu dan berlanjutnya peperangan, secara perlahan mereka saksikan kebenaran klaim ini (ucapan Imam Khomeini).

Sikap malas dan lesu yang menguasai bangsa kami dan bangsa Iran yang tunduk kepada musuh-musuh, dapat dihilangkan dalam satu waktu. Semangat, giat dan aktif dalam segala bidang, semangat resistensi, prawira dan semangat untuk meraih syahid menggantikan kemalasan dan kelesuan tersebut.

Masyarakat dengan menemukan semangat dan mental semacam ini, memutuskan segala bentuk hubungan dan ketergantungan terhadap kekuatan asing dan meraih kemerdekaan dalam segala bidang, dari segala dimensi, seperti dari sisi kekuatan militer, ilmu, industri dan sebagainya. Dan mengenyahkan segala kebutuhan yang ada dari pihak asing.

Ditemukannya mental dan semangat yang menarik perhatian semacam ini pada diri masyarakat bangsa kami dan menjadikan Iran islami muncul sebagai kekuatan besar yang disegani dalam panggung politik dunia dan internasional.

Para imperalis Timur dan Barat hari ini menegaskan bahwa fundamentalis - yang menurut mereka adalah Islam original - adalah ancaman serius bagi kekuatan dan kekuasaan mereka. Akan tetapi laporan-laporan yang ada menunjukkan bahwa kecendurngan terhadap Islam pada masyarakat internasional hari demi hari semakin menyebar dan bangsa-bangsa muslim juga menemukan gerakan baru berupa pendalaman dan perluasan akidah dan maarif islami pada masyarakatnya. Dan ringkasnya orang-orang yang menghendaki Islam semakin berkembang dan bertebaran.

Tentu saja salah satu faktor penting munculnya kecendrungan ini adalah revolusi Islam bangsa Iran dan resistensi dan invinsibilitas (ketakterkalahkan) bangsa ini dalam imposed war (perang yang dipaksakan) tersebut; sebuah perang yang pada hakikatnya seluruh dunia pada satu kubu via ? vis bangsa muslim Iran di kubu lainnya. Tuhan memberikan kemenangan dan kejayaan pada bangsa muslim Iran.



7. Perang adalah Wahana Ujian dan Kemajuan
Aturan penciptaan ketujuh perang adalah bahwa kaum mukminin dan orang-orang yang mengesakan Tuhan, dengan penuh kesabaran menghadapi kegetiran dan kesusahan perang ia mendapatkan kesempurnaan mental dan maknawi; dan hal ini merupakan efek positif yang lain dari perang yang menyebabkan Tuhan berdasarkan kehendak bijak-Nya meletakkan aturan ini pada sistem penciptaan (takwini) dan pengaturan (tasyri'i) kehidupan manusia.

Bahkan dapat dikatakan bahwa perang merupakan salah satu arena-arena terpenting yang dapat mendekatkan manusia kepada tujuan utama penciptaannya dan kesempurnaan pamungkas.

Lebih jelasnya, tujuan utama penciptaan manusia adalah manusia dapat mengakses kepada kesempurnaan maknawi dan mental dan kedekatan diri kepada Allah. Apabila seseorang hendak melakukan sair dan suluk untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka ia hanya akan sampai ketika mampu menyambut segala kesusahan dan kepayahan serta kepahitan dan menyerahkan jiwa untuk menanggung segala problema dan boikot.

Sampai pada kesempurnaan maknawi dan kematangan jiwa hanya dapat tercapai ketika manusia meninggalkan hawa nafsunya dan hanya ikut kepada dustur dan kehendak Ilahi serta senantiasa bersikap sabar dan istiqamah.

Manusia dapat mencapai ketinggian derajat kesempurnaan sehingga ia tidak tertawan oleh kehendak-kehendak hawa nafsunya dan terhempas oleh taufan nalurinya. Dan hanya menginginkan keridhaan Allah Swt, meskipun bertolak belakang dengan keinginan hawa nafsunya sendiri.

Rahasia dideranya kaum mukminn dan orang-orang shaleh dengan selaksa petaka dan musibah duniawi tidak lain supaya mereka mendapatkan kematangan dan kesempurnaan.

Allah Swt dapat mencegah datangnya pelbagai musibah dan petaka seperti; kemiskinan, penyakit, chaos, kelaparan dan lain sebagainya dari kaum mukminin dan orang-orang shaleh; akan tetapi Allah Swt lantaran kemurahan dan kasih-Nya tidak melakukan hal ini. Dia menghendaki kaum mukminin sanggup menghadapi pelbagai kesulitan dan kesusahan sehingga ia dapat mencapai kesempurnaan dan semakin banyak mendapatkan rahmat dan kemurahan Ilahi. Datangnya perang dalam kehidupan orang-orang yang menyembah Tuhan dan yang mengesakan-Nya juga untuk maksud ini.

Perang dengan memperhatikan segala musibah dan kesulitan serta kesusahan yang beragam merupakan medan yang baik bagi manusia untuk menimba pengalaman dan mengeluarkan segala kenistaan yang dimilikinya.

Perang merupakan arena yang sangat tepat supaya manusia-manusia mukmin berada dalam pelbagai musibah yang ditimpakan Tuhan kepadanya. Dan dengan sukses serta meraih kemenangan di dalam musiba tersebut kemudian melintasi satu demi satu derajat "qurb ilaLlah" dan kesempurnaan, mendapatkan kelayakan untuk sampai kepada tingkatan tertinggi dari kesempurnaan dan kedekatan kepada Tuhan.

Orang-orang mukmin dengan penguasaan diri, sabar dan istiqamah dalam medan tempur menunjukkan, dengan melebur pada peristiwa-peristiwa perang, ia meluruskan dan mensucikan dirinya. Allah Swt berkenaan dengan masalah ini berfirman:

"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami adalah Allah" kemudian meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): "Janganlah kalian merasa takut dan janganlah merasa sedih dan gembirakanlah mereka dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. (QS. Fushilat [41]: 30)

Ayat suci ini dengan redaksi "tsummastaqâmû" (kemudian meneguhkan pendirian mereka) sembari menunjukkan kepada kesusahan dan kesulitan yang membentang di antara jalan seorang salik (orang yang meniti jalan suluk), memberikan berita gembira kepada orang-orang mukmin bahwa apabila ia teguh dan kokoh menghadapi segala kesusahan dan berjuang menyingkirkannya, pada akhirnya ia akan memasuki surga dan meraih kebahagiaan selamanya.

Oleh karena itu, al-Quranul Karim dalam ayat-ayat yang beragam, terjadinya perang dan resiko-resiko serta kesusahan dan kehancuran yang didapatkan sebagai hasilnya, memandangnya sebagai berdasarkan kehendak bijaksana Ilahi, dan media ujian dan cobaan bagi manusia.

Allah Swt menimpakan perang dan konsekuensi-konsekuensinya sehingga potensi-potensi yang dimiliki oleh manusia dapat dituai dan bersemi, dan melalui kanal perang manusia dapat mengaktualkan segala potensinya untuk menjadi sempurna serta melintasi tingkatan tanpa batas kesempurnaan kemanusiaan satu demi satu dan mendaki puncak-puncak tertinggi kesempurnaan hakiki manusia.

Allah Swt melalui perang menguji orang-orang beriman sehingga menjadi ketahuan hingga batas mana ia siap menanggung segala kesusahan dan mengamalkan taklifnya:

"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengatakan "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un". Mereka itulah yang mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Qs. Albaqarah [2]: 155-157)

Ayat suci ini berkaitan dengan jihad dan Allah Swt mempersiapkan semangat dan jiwa orang-orang beriman untuk ikut serta dalam perang; akan tetapi bukan dalam bentuk propaganda yang tak bernilai dan jauh dari realitas, melainkan dengan penjelasan silsilah realitas-realitas, kenyataan-kenyataan dan nilai-nilai insani.

Secara asasi, sunnah dan kebiasaan Syâri' muqaddas Islam (yang memberikan syariat, Allah Swt) sekali-kali tidak pernah menggiring manusia - apakah ia seorang mukmin atau non-mukmin - dengan tipuan dan kelicikan untuk mencapai tujuan-Nya.

Di sini Allah Swt sembari menyinggung pelbagai kesulitan yang biasanya menyertai perang - seperti, ketidakamanan, kelangkaan dan kemahalan bahan-bahan makanan, kerugian finansial dan harta, bunuh dan membunuh, menjadi tawanan dan sebagainya - juga memperkenalkan kesemuanya ini sebagai media ujian dan medan cobaan bagi orang-orang beriman untuk mencapai kesempurnaan-kesempurnaan maknawi. Dan Allah Swt memberikan janji kemenangan bagi orang-orang mukmin yang bersabar dan istiqamah.

Orang-orang mukmin yang sabar adalah orang-orang yang beriman kepada mabda dan ma'ad. Dan memiliki iman paripurna; dan kami sebagai kelanjutan akan menjelaskan bahwa salah satu faktor kemenangan kaum mukminin atau musuh-musuhnya adalah tauhid dan makrifat yang mengakar secara kuat.

Keyakinan dan iman komunitas muslim merupakan kunci kemenangan mereka atas musuh-musuh dan keluar sebagai pemenang dalam medan ujian. Keuntungan gemilang yang dicapai oleh orang-orang sabar dalam peperangan adalah cinta dan kasih Tuhan dan mendapatkan hidayah dimana Tuhan pada penghujung ayat yang disebutkan di atas mengabarkan dan berfirman bahwa mereka akan mendapatkan rahmat dan salam dari para malaikat. "..Mereka itulah yang mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk." Hasil yang dijelaskan oleh ayat ini adalah bahwa Allah Swt memandang perang sebagai media ujian manusia dan wahana untuk kemajuan dan kesempurnaan orang-orang beriman.

Dan orang-orang yang tidak berbalik dari musuh dan tidak meninggalkan medan perang diperkenalkan bahwa mereka mencapai derajat kesempurnaan yang tertinggi, dan mendapatkan perhatian dan kasih cinta Tuhan.


Pada ayat yang lain ihwal perang, kita membaca:
"Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejadian dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan diantara umat manusia (agar mereka mendapat pelajaran) dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang yang kafir) dan suoaya sebagia kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim. Dan supaya Allah membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan orang-orang kafir. Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yangberjihad dan belum nyata orang-orang yang sabar.Sesungguhnya kamu mengharapkan mati (syahid) sebelum kamu menghadapinya, (sekarang) sungguh kamu telah melihatnya dan kamu menyaksikannya.(QS. ?li Imran [3]: 140-143)


Pada ayat-ayat ini terdapat beberapa poin penting yang layak untuk disebutkan, kami akan menyebutkan beberapa bagian dari poin tersebut:
Pertama dan sebelum segala sesuatu, telah disinggung bahwa kekuasaan-kekeuasaan dan pemerintahan-pemerintahan tidak tersentral hanya pada beberapa orang atau kelompok; akan tetapi di samping di bagi pada satu tataran di antara orang-orang dan kelompok-kelompok yang beragam, juga sepanjang perjalanan sejarah kekuasan dan pemerintahan terbagi-bagi di antara orang-orang atau kelompok-kelompok.

Sebelum ini juga, kami telah menyinggung bahwa kehendak Ilahi yang berlaku dalam hal ini bahwa tidak ada satu pun kekuasaan selamanya berada pada seseorang, kelompok, bangsa; akan tetapi hikmat Ilahi menuntut kekuasaan itu terbagi-bagi. Suatu waktu berada di tangan satu orang dan pada waktu yang lain berada pada kekuasaan orang lainnya. Realitas ini telah ditimbang dan dimasukkan dalam desain universal penciptaan dan pengaturan Ilahi untuk kehidupan umat manusia.

Poin kedua yang disebutkan pada ayat di atas, tatkala kekuasaan terbagi-bagi sebagai hasil dari perang dan adu jotos, terkadang perang tersebut merupakan media untuk menguji kaum mukmin, sehingga Allah Swt memperkenalkan orang-orang yang benar-benar beriman dan memilih di antara mereka.

Kesimpulannya Allah Swt yang memiliki tujuan dalam menyeret kaum mukminin ke medan perang dan salah satu dari tujuan tersebut adalah bahwa kaum mukminin diuji dalam medan pertempuran tersebut.

Poin ini terdapat pada ayat pertama, pada ayat berikutnya juga dengan bahasa yang sama telah mendapat penegasan; Ketika Allah Swt berfirman: "wa liyumahhisha Allâhu alladzina âmanû",(Dan supaya Allah membersihkan orang-orang yang beriman).

Tamhish yang tersebut pada ayat tersebut bermakna membersihkan dari aib dan cela. Membersihkan ini dapat bermakna sosial dan juga bermakna personal. Tamhish pada tataran sosial ketika pada satu masyarakat Islam dimana seluruh orang, lebih-kurangnya, mengamalkan syariat secara lahir, akan tetapi kebanyakan dari mereka terkontaminasi dengan pelbagai noda dan nista.

Dalam keadaan seperti ini, perang merupakan media dan wahana paling jitu untuk mengetahui sesiapa orang yang benar-benar muslim dan muwahhid (orang yang mengesakan Tuhan) dan pada setiap keadaan dan situasi senantiasa mengedepankan keridhaan Tuhan. Dan sesiapa yang tidak mendapatkan manfaat dari Islam dan tauhid hakiki dan mental kafir, syirik, zalim dan maksiat wujud dalam dirinya. Perang, dengan akurasi yang tinggi, memisahkan barisan pecinta yang benar dan pengklaim yang dusta:

"Liyamiz Allâhu al-khabîts min ath-thayyib" (Sehingga Allah memisahkan antara yang nista dan kudus).

Tamhish juga memiliki dimensi personal. Boleh jadi seseorang adalah muslim secara original, akan tetapi imannya bercampur dengan kekurangan, kelemahan seperti: hedonis, suka santai, pemalas, haus akan kedudukan, zalim dan perusak. Untuk mensucikan orang dari noda-noda ruh dan jiwa ini dan mencerabut noda-noda ini dari akarnya, harus tersedia keadaan dan situasi sehingga perhatian batin orang ini tertuju pada sesuatu yang lain.

Sepanjang kehidupan seseorang berada dalam keadaan aman dan tentram dan menikmat berbagai jenis nikmat dan pemberian Tuhan, biasanya kecendrungan-kecendrungan hewani, nafsani dan syaitani menguat pada diri manusia dan mendapatkan kesempatan ke manapun dan apapun yang ia kehendaki ia bebas melakukannya.

Tanpa ragu, apabila manusia melewati hidupnya dengan kecendrungan-kecendrungan ini, sedikit demi sedikit iman seseorang akan menjadi lemah dan pada akhirnya akan hilang.

Dengan munculnya pelbagai problema dan ketidakamanan pada kehidupan personal dan sosial manusia, proses kehidupan normal seseorang menjadi berantakan. Dan dalam keadaan seperti ini, peluang untuk mensucikan dan membersihkan jiwa manusia tersedia, dimana hal ini merupakan hasil yang ideal dalam kehidupan manusia.

Perang merupakan salah satu contoh ketidakamanan dan peristiwa pahit dimana manusia berada dalam keadaan membangun diri yang sangat pelik dan pada saat yang sama sangat bermanfaat bagi dirinya.

Dalam perang, karena manusia berada dalam keadaan mempertaruhkan jiwa dan raganya dan manusia terpaksa harus menyerahkan harta, istri dan anak-anak dan keterikatan-keterikatan duniawi yang lain, merupakan peluang yang sangat tepat untuk menyingkirkan segala sesuatu selain Tuhan dan hanya memfokuskan hatinya hanya kepada-Nya.

Perang dapat memutuskan segala sesuatu yang tidak pantas bagi iman tulus manusia dalam batinnya, menghias ruh dan jiwanya dan menyampaikan maknawiyahnya kepada kesempurnaan; dan hal ini adalah tamhish dan membersihkan seseorang untuk manusia.

Kesimpulannya, salah satu hasil penting dan bernilai perang adalah tersedianya peluang yang tepat sehingga orang-orang yang memiliki potensi yang melimpah dapat mengaktualkannya dan meraih kesempurnaan. Ia menghabiskan waktunya untuk membangun dirinya dalam medan tempur dan arena perang. Dan dalam tingkatan beragam perang, ia dapat menjauhkan segala keterikatan dan ketergantungan dari dirinya dan menggapai kesempurnaan ruh dan maknawi.

Kami mengalami makna ini dalam perang yang dipaksakan (imposed war) yang berlangsung lama, kami semua adalah saksi bahwa kebanyakan dari para pemuda dan pemuda-pemuda pada masa thagut yang terjerembab dalam akhlak-akhlak tercela - dan kebanyakan dari sifat-sifat tercela tersebut yang secara aktual terjangkiti perbuatan-perbuatan tercela tersebut - selama masa perang ini, mereka kembali kepada Allah Swt dan mendapatkan kesempurnaan hakiki dan kebanyakan dari mereka pada satu malam, melewati ratusan malam; hingga mereka menjadi teladan dan paragon bagi orang-orang yang mengesakan Tuhan dan para urafa. Mereka di samping menjadi hamba Tuhan yang saleh dan juga menjadikan orang-orang yang saleh. Apabila perang ini tidak berkecamuk, maka seluruh orang-orang saleh yang muslih (yang memperbaiki) juga tidak akan pernah ada.

Oleh karena itu, perang meskipun terdapat kesusahan, kepelikan dan kerugian yang mengikutinya, apabila ia tidak memiliki manfaat kecuali satu manfaat saja - dimana orang-orang beriman dan orang-orang shaleh dan orang-orang yang berjihad di jalan Allah yang memberikan seluruh ketinggian maknawi dan mental; dan tentu saja kaum Materialis tidak dapat memahami manfaat ini - nikmat dan anugerah - yang tidak satu pun lisan yang dapat mensyukuri nikmat tersebut dengan sebenar-benar syukur.

Dari sudut pandang Islam, tujuan penciptaan adam dan alam semesta adalah mendekatnya manusia kepada Allah Swt, dan perang merupakan media yang paling baik yang dapat menjadi pendahuluan kedekatan dan mendapatkan kemenangan dan kedudukan yang tinggi kemanusiaan di hadapan Tuhan.



8. Kemenangan Pamungkas Kubu Hak
Aturan kedelapan yang berlaku dalam penciptaan dan sunah Ilahi atas perang adalah bahwa dalam sejarah kehidupan manusia dan pertempuran dan pergulatan manusia akan berakhir pada kemenangan kubu hak dan orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang menyembah Tuhan akan berkuasa atas seluruh semesta. Untuk menjelaskan aturan dan kanun ini perlu kiranya kita menyebutkan dua premis sebagai pendahuluan:

Premis minor: sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya, kebebasan manusia dalam perbuatan dan tingkah-laku personal dan sosialmya, dan kebebasannya dalam memilih baik dan buruk, merupakan suatu hal yang dikehendaki dan sesuai dengan tuntutan hikmah Ilahi.

Tuhan menganugerahkan kekuatan dan kemampuan bergerak kepada manusia untuk memilih kedua jalan ini. Kehendak Ilahi demikian bahwa baik orang-orang yang mengayunkan langkah kakinya menuju ke surga memiliki kecendrungan, kekuatan dan gerakan untuk menuju ke neraka, dan juga orang-orang yang mengayunkan langkah kakinya menuju ke neraka, ia pun dapat memilih untuk melanggeng menuju ke surga.

Perkara ini menyebabkan kedua kelompok ini, bebas dan merdeka dalam memilih tujuan dan arah yang mereka kehendaki. Dalam al-Quran juga terdapat ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah Swt membantu orang-orang yang memilih jalan baik dan juga menolong orang-orang yang memilih jalan buruk, sejatinya selaras dengan makna di atas; di antara ayat yang dimaksud adalah:

"Barang siapa yang menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami akan segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahanam, ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik. Kepada masing-masing golongan -baik golongan ini maupun golongan itu- Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi." (QS. al-Isra [17]:18-20)

Premis mayor: Sebagaimana kami telah sampaikan pada pembahasan-pembahasan sebelumnya, dalam penciptaan alam sesuatu yang secara original dan esensial ideal adalah terwujudnya kebaikan dan kesempurnaan, akan tetapi di samping berbagai kebaikan dan kesempurnaan terdapat juga keburukan dan kekurangan - dimana dalam proses universal merupakan keniscayaan dan inherensi tujuan-tujuan aslinya - dan secara ikutan merupakan sesuatu yang ideal dan dalam istilahnya, merupakan tujuan aksidensial.

Di antaranya, dalam urusan manusia, Allah Swt tidak menciptakan manusia sehingga ia menyalahgunakan kebebasan yang diberikan kepadanya untuk menjadi orang-orang sesat dan melanggeng ke neraka, akan tetapi Dia menghendaki manusia mempergunakan sebaik-baik kebebasan yang dimilikinya sehingga menjadi orang-orang benar dan melanggeng ke surga.

Dengan demikian, menjadi orang-orang sesat dan melanggeng ke neraka keluar dan tidak termasuk dari kehendak Tuhan; akan tetapi keadaan ini tentu saja secara aksidensial termasuk dari kehendak Tuhan bukan secara original dan esensial.

Setelah menyebutkan dua premis di atas, kini kita harus berkata bahwa ketika kehendak Tuhan pada hakikatnya atas kebaikan, kebahagiaan, kematangan dan kesempurnaan manusia serta surgawi, kehidupan personal dan sosial manusia sedemikian diatur dan ditetapkan sehingga orang-orang yang berjalan di atas rel kebaikan dan kesempurnaan dan memilih melanggeng ke surga lebih banyak mendapatkan bantuan Tuhan dan pada akhirnya akan mendapatkan kemenangan pasti dan pamungkas.

Allah Swt memberikan kebebasan berkehendak dan berbuat baik kepada orang-orang beriman, orang-orang saleh, para mujahidin di jalan Allah, juga Dia memberi kepada orang-orang ingkar dan musuh-musuh kaum mukminin. Dan memberikan kepada kedua kelompok ini ruang untuk mengaktualkan potensi yang mereka miliki dan membolehkan keduanya menggunakan berbagai media dan wahana untuk mencapai tujuannya; akan tetapi Tuhan memiliki perhatian khusus kepada kelompok pertama yang berjuang dan bertempur di jalan-Nya dan sembari demikian Dia juga membantu dan menolong kaum mujahidin dan menyampaikan mereka kepada kemenangan.

Akan tetapi kemenangan ini bukanlah tanpa perhitungan dan kalkulasi. Ia juga memiliki pakem dan syarat-syarat khusus. Namun bagaimanapun, kemenangan pamungkas dalam peperangan dan pertempuran yang dicapai oleh orang-orang benar merupakan sesuatu yang diwajibkan oleh hikmat Allah Swt.

Dalam perkara ini, kita banyak menemukan ayat-ayat yang menegaskan masalah ini dimana pada kesempatan ini, kami hanya menyinggung beberapa di antaranya:

"Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang-orang yang beriman." (QS. ?li Imran[3]: 139)


Dalam ayat yang lain Allah Swt berfirman:
"Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. Dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensifati (Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya)." (QS. al-Anbiya[21]: 18)


Pada ayat yang lain kita membaca demikian:
"Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat. Telah diizinkan berperang orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Mahakuasa menolong mereka itu. (Yaitu) orang-orang yang telah diusir dari bumi pertiwi mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah." Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah dirobohkan gereja-gereja Nasrani, sinagog-sinagog orang-orang Yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesunggunnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahabijaksan." (QS. al-Hajj [22]:38-40)


Dalam ayat yang lain disebutkan:
"Dan sesungguhnya telah tetap janji Kami kepada hamba-hamba Kami yang menjadi rasul. (yaitu) sesungguhnya mereka itulah yang pasti mendapat pertolongan. Dan sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang. (QS. ash-Shaffat [37]:171-173)

Allah Swt dalam ayat-ayat ini menjelaskan bahwa kemenangan rasul-rasul Allah sebagai kemenangan yang bersifat niscaya dan merupakan ketetapan langit dan sedemikian Allah telah menegaskan sehingga kemungkinan untuk menegaskan selainnya tidak ada; penegasan dengan cara-cara yang beragam seperti: "anna", "redaksi nomina" (jumlah ismiyah), "lam ta'kid" dan "dhamir fashl" yang berulang-ulang digunakan pada ayat ini.


Juga pada ayat yang lain ihwal ketetapan yang pasti ini, kita membaca:
"Allah telah menetapkan: "Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang." Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa." (QS. al-Mujadalah [58]:21)

Juga tiga ayat yang lain, Allah Swt memberikan janji kemenangan pamungkas agama Islam dan Rasulullah saw atas agama-agama lain dan berfirman:

"Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al-Qur'an) dan agama benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai." (QS. at-Taubah [9]: 33, QS. al-Fath [48]:28, QS. ash-Shaf [61]:9)

Dari ketiga ayat ini pada akhir ayat (Qs. at-Taubah [9]:33) dan Qs. ash-Shaf [61]:9) dengan redaksi "walau karih al-musyrikun" (walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai) dan pada akhir ayat (Qs. al-Fath [48]:28) dengan redaksi "wa kafa bilLlahi syahidah" (Dan cukuplah Allah menjadi saksi) menegaskan kenyataan ini."

Dari majemuk tiga ayat-ayat ini dapat disimpulkan bahwa pada akhirnya perang dan pertempuran antara orang-orang benar dan orang-orang batil akan berujung pada kemenangan pamungkas orang-orang benar dan kebenaran dan hasilnya adalah kemenangan agama Islam dan pengikutnya yang benar.

Menurut akidah Syi'ah, kemenangan pamungkas dan paripurna agama Islam akan terwujud melalui tangan Hadhrat Wali Ashr (Tuan Penguasa Masa), Imam Zaman (Semoga Allah menyegerakan kemunculannya) dan pada akhir sejarah, seantero semesta akan berada di bawah panji hak dan keadilan Imam Mahdi ajf.






Bagian Ketiga


Kedudukan Perang dalam Tatanan Tasyri'i

Penjelasan beberapa poin
Apa yang telah dibahas hingga kini, kajian perang dari kedudukannya dalam tatanan takwini (penciptaan) dan aturan-aturan takwini serta sebab-sebab dan faktor-faktor yang berlaku atasnya.

Kini kita menginjak pada kajian aturan-aturan dan tatanan tasyri'i (disyariatkannya hukum) yang berlaku dalam perang, dan secara umum, kedudukan perang dalam tatanan tasyri'i. Namun sebelum merangsek kepada pembahasan utama, kami akan menyebutkan beberapa poin penting:

1. Seluruh hukum syariat, baik yang berskala personal atau sosial, adalah wujud (tsubut) dan pada hakikatnya mengikut pada perubahan-perubahan yang ada.
Perubahan itu adalah mashâlih (kemaslahatan) dan mafâsid (keburukan) yang berlaku atas setiap hukum. Apabila suatu perbuatan atau pekerjaan memiliki kemaslahatan, Syâri' Muqaddas (Pembuat hukum, dalam hal ini Allah Swt) akan memberikan perintah untuk dilaksanakannya perbuatan tersebut. Dan apabila perbuatan atau pekerjaan memiliki mafâsid (keburukan) Syâri' Muqaddas akan mengeluarkan larangan untuk tidak dilaksakanannya pekerjaan tersebut. Di antara kedua masalah ini, terdapat perbuatan yang mana ia mengandung maslahat dan manfaat juga memuat mafsadah dan keburukan.. Dalam masalah ini, Syâri' Muqaddas memberikan hukum dengan menghitung masing-masing kandungan maslahat dan mafsadah-nya. Apabila secara keseluruhan, kandungan maslahat-nya lebih besar ketimbang kandungan mafsadah-nya, Syâri' Muqaddas memerintahkan untuk dikerjakan dan apabila sebaliknya, Dia akan mengumumkan pelarangan atas pekerjaan tersebut.

Poin yang lain dalam hubungan masalah yang tersebut di atas, apabila sampainya pada maslahat atau menyingkirkan mafsadah yang ada berada pada batasan wajib maka amaran (perintah) dan larangan Syâri' juga akan berbentuk wajib (wujub dan hurmah [haram]) dan apabila tidak, akan berbentuk non-wajib (istihbâb [dianjurkan untuk dikerjakan] dan kirâhah [dianjurkan untuk ditinggalkan).

Oleh karena itu, setiap perbuatan dan pekerjaan yang dianggap wajib dalam pandangan syariat Islam, hanya mengandung kemaslahatan dan atau apabila ia juga memuat mafsadah, dihadapan kemaslahatannya yang banyak, sebagaimana dalam majemuk, maka pekerjaan tersebut menjadi wajib adanya. Demikian juga apabila setiap perbuatan yang dilarang dalam pandangan syariat Islam, hanya memiliki mafsadah, dan apabila ia juga mengandung kemashalatan, berhadapan dengan mafsadah yang banyak maka kemashalatan ini tidak bernilai apa-apa, sedemikian sehingga dengan adanya mashlahat yang bersifat juz'i (sebagian), maka haram hukumnya untuk melakukan pekerjaan tersebut.

Dalam satu kata, ahkam (plural dari hukum) dan qawânin (plural dari kanun atau aturan), baik ahkam itu bersifat personal atau sosial, mengikut kepada mashâlih (plural dari mashlahat) dan mafâsid (plural dari mafsadah) dan nafs al-amr (hakikatnya di dunia luar); apakah kita telah mengetahui atau tidak mashlahat dan mafsadah ini yang menjadi sumber hukum-hukum.

2. Kini sebuah pertanyaan mengemuka bahwa jalan apa yang tersedia sehingga dapat memahami mashlahat dan mafsadah yang disebutkan di atas? Bagaimana dapat mengetahui mashlahat dan mafsadah yang terdapat pada hukum-hukum syariat dan sumber pengeluarannya?

Dalam menjawab pertanyaan ini kita harus berkata; dalam banyak hal, masalah mahslahat dan mafsadah ini tersingkap bagi kita melalui wahyu al-Quran al-Karim atau melalui ucapan-ucapan para maksum yang merupakan penafsir hakiki al-Quran. Demikian juga dalam banyak hal boleh jadi masalah mashlahat dan mafsadah dan kriteria-kriteria hukum-hukumnya tersingkap bagi kita dengan bantuan akal dan eksperimen; dimana dalam keadaan ini apabila temuan akal bersifat definitif dan qath'i, melalui jalan ini hukum syariat juga akan tersingkap.

Akan tetapi dalam banyak hal lagi boleh jadi masalah mashlahat dan mafsadah hakiki ahkam merupakan sebagian kumpulan dari mashâlih dan mafâsid dan kriteria-kriteria hukum yang terdapat pada dunia realitas. Kita sekali-kali tidak dapat mengklaim bahwa seluruh mashlahat dan mafsadah hakiki ahkam telah kita singkap atau mampu menyingkap seluruhnya; akan tetapi dengan memperhatikan kerumitan dan kepelikan terdapat pada ranah perbuatan dan tingkah-laku manusia dan efek serta peristiwa-peristiwanya - pada seluruh dimensi kehidupannya, misalnya pada dimensi materi, maknawi, duniawi, ukhrawi, ekonomi, politik, hukum konvensional dan sebagainya - bahkan kita tidak dapat mengklaim bahwa kita dapat menyingkap mashâlih dan mafâsid dari satu hukum, apatah lagi seluruh mashâlih dan mafâsid seluruh hukum!

Salah satu sebab utama ketidakmampuan kita dalam mencerap dan memahami mashâlih dan mafâsid hakiki seluruh hukum adalah bahwa mashâlih dan mafâsid hukum-hukum tidak terbatas pada mashâlih dan mafâsid duniawi saja; akan tetapi termasuk juga mashâlih dan mafâsid ukhrawi yang mempengaruhi nasib dan takdir manusia yang nota-bene lebih utama dari mashâlih dan mafâsid duniawi.

Dengan sebab inilah Allah Swt lebih memberikan signifikansi dan perhatian terhadap mashâlih dan mafâsid maknawi daripada mashâlih dan mafâsid bendawi; lantaran dalam urusan manusia, secara asasi nilai yang utama adalah yang berkaitan dengan kemaslahatan maknawi dan kemaslahatan bendawi tidak memiliki nilai kecuali dalam pancaran kemaslahatan maknawi.

Dengan ungkapan lain, dalam sistem nilai Islam, tidak ada nilai yang setara dan sebanding dengan nilai kesempurnaan maknawi dan mental manusia - dimana hal itu adalah semakin mendekatnya manusia kepada Tuhan.

Nilai seluruh perbuatan dan aktifitas manusia bergantung kepada tersedianya ruang untuk kemaslahatan ukhrawinya; artinya nilai perbuatan dan aktifitas tersebut adalah nilai yang bersyarat dan memiliki kait (stipulated) dan idealitasnya (mathlubiyat) adalah "mathlubiyat bilghair".

Oleh karena itu dalam men-judge, menilai dan membandingkan nilai perbuatan dan tingkah-laku manusia, sebelum segala sesuatunya, yang harus dipandang adalah mashâlih dan mafâsid ukhrawinya dan tidak boleh mencukupkan diri hanya pada mashâlih dan mafâsid duniawinya dan atau memberikan prioritas kepadanya.

3. Terma perang atau jihad, kendati bermakna adu kekuatan antara dua kelompok, dan pertempuran antara dua komunitas. Akan tetapi fokus pembahasan di sini adalah pertempuran dan peperangan antara dua umat dan dua komunitas. Demikian juga bahwa jihad memiliki manifestasi dan jelmaan-jelmaan budaya, ekonomi, politik dan militer, akan tetapi jihad yang dimaksud di sini jihad dalam jelmaan militer.

4. Tatkala menganalisa dan menjustifikasi fenomena perang dan jihad kita berkonfrontasi dengan masalah "pembunuhan manusia" yang biasanya, kurang-lebihnya, terjadi dalam setiap perang.

Oleh karena itu, layak kiranya apabila kita membahas masalah ini terlebih dahulu.

Di sini penjelasan pertama ihwal pembunuhan kita bawakan dalam bentuk mutlak, dalam tatanan tasyri'i dan sistem hukum Islam. Dan setelah itu, kita membahas masalah utama yaitu peristiwa pembunuhan dalam perang dan pembunuhan kolektif. Jelasnya masalah ini akan membantu kita untuk mengkaji masalah-masalah tasyri'i (pelaksanaan hukum) yang berkaitan dengan perang.

Dalam kaitannya dengan masalah ini, terdapat kecendrungan di kalangan filosof dan ilmuan hukum dan cendikiawan lainnya yang bersandar kepada bahwa manusia dari strata manapun dan perbuatan apapun yang dilakukannya dan pada kondisi dan keadaan apapun ia hidup memiliki kehormatan, kemuliaan dan kekudusan yang harus ditaati dan dipatuhi. Berdasarkan hal ini, tidak satupun manusia yang dapat dihukum dengan berat dan kasar dan apatah lagi ditumpahkan darahnya (dibunuh).

Kecendrungan ini yang bersumber dari perspektif humanis, yang memberikan pengaruh terhadap hukum-hukum dan aturan-aturan hukuman dan retribusi pada negara-negara di dunia dan salah satu pengaruh besar di beberapa negara tersebut adalah pelarangan umum hukuman gantung terhadap seseorang.

Akan tetapi dalam agama suci Islam, tidak ditemukan kecendrungan seperti ini. Dalam sistem nilai Islam, dan di antaranya dalam sistem hukumnya, seluruh hukum dan tatanan tasyri'i bersandar kepada mashâlih dan mafâsid takwini (penciptaan) dan kenyataan. Tidak pada perasaan dan emosi. Apabila ada tuntutan mashâlih umat manusia dimana seseorang atau sekelompok manusia harus dibunuh - meski dari perspektif perasaan dan emosi sangat getir dan tidak santun - sebagai retribusi dan hukuman atas seseorang atau sekelompok yang melanggar maka urusannya dibolehkan dan bahkan wajib dan tidak dapat dihindarkan.

Masalah hukuman gantung yang dibolehkan dalam Islam dapat dibagi menjadi dua bagian: Bagian pertama termasuk masalah dimana dalam masalah tersebut pengadilan mengeluarkan hukuman gantung dan hukuman ini harus dieksekusi melalui aparatur resmi pemerintahan. Bagian kedua dalam masalah yang tidak memerlukan hukuman pengadilan dan orang-orang dapat melakukan eksekusi ini.

Bagian pertama juga dengan sendirinya dapat dibagi menjadi dua bagian kecil: Satu masalah berkaitan dengan qishâsh jiwa dan yang kedua berkenaan dengan pelaksanaan hudud (pidana).

Qishâsh adalah seseorang yang dibunuh secara tidak benar melalui tangan orang lain. Apabila pihak keluarga orang yang terbunuh (yang dalam istilah disebut sebagai awliya ad-dam) mengajukan permohonan qishâsh kepada pengadilan yang bersangkutan, pengadilan setelah membuktikan perbuatan aniaya, mengeluarkan hukum qishâsh dan bunuh atas si pembunuh. Dan pihak aparatur resmi yang akan menjadi pelaksana hukum pengadilan tersebut. Oleh karena itu, pelaksanaan qishâsh, setelah membuktikan perbuatan aniaya di pengadilan syar'i bergantung kepada permohonan pihak keluarga korban (awliya ad-dam).

Dalam masalah hudud juga, apabila seseorang melakukan sebagian perbuatan dosa-dosa besar dimana ia memberikan kerugian terhadap masyarakat sosial - kendati ia tidak melanggar hak-hak khusus satu orang pun dalam komunitas tersebut - dalam beberapa masalah, hakim syar'i mengeluarkan hukuman gantung atas orang tersebut berdasarkan "hadd-e syar'i".

Secara umum, pelaksanaan hudud dalam masalah ini harus berdasarkan ketetapan hukum pengadilan dan melalui aparatur resmi pemerintah. Dalam hal ini pelaksanaan hudud mirip dengan pelaksanaan qishâsh. Namun juga terdapat satu perbedaan asasi antara hudud dan qishâsh; perbedaannya adalah domain qishâsh berkaitan dengan "hukum khusus" akan tetapi domain hudud berada pada tataran "hukum umum".

Oleh karena itu, dalam pelaksanaan qishâsh harus dengan syarat adanya "pengadu khusus", akan tetapi dalam pelaksaan hudud tidak perlu adanya syarat "pengadu khusus" dan pemerintah sendiri maju ke depan sebagai "pengklaim umum" dan orang-orang yang melanggar dihukum berdasarkan hukum umum yang berlaku.

Adapun bagian kedua - yaitu pada masalah yang di dalamnya tidak memerlukan hukum pengadilan dan pelaksanaan hukum melalui aparatur resmi pemerintahan - termasuk masalah dimana terjadi penyerangan atas diri manusia dan berada pada tataran membela diri tatkala berhadapan dengan musuh yang melanggar.

Dalam keadaan seperti ini, manusia menurut syariat memiliki wewenang dan hak hingga batas membunuh atau dibunuh, bertahan dan membela kehormatan dirinya.

Dalam setiap masalah yang berkaitan dengan harta, jiwa atau kehormatan seorang muslim jika ada seseorang berniat untuk melanggarnya - misalnya, seseorang hendak mencuri hartanya, atau mengambilnya dengan paksa, atau bermaksud membunuhnya dan atau menodai kehormatannnya - orang yang dilanggar tersebut memiliki hak untuk membela diri dan kehormatannya meskipun pembelaannya berujung kepada terbunuhnya ia atau orang yang melanggar tersebut.

Demikian juga, apabila seorang muslim menjadi saksi penghinaan terhadap kesucian agama atau seseorang menghina Allah Swt, para nabi, rasul, atau empat manusia suci, atau al-Quran, atau Kabah dan sebagainya, menurut fatwa kebanyakan fuqaha, ia halal untuk membunuh orang yang melakukan penghinaan tersebut; kendati sebagian fuqaha yang lain memberikan fatwa untuk ihtiyâth (berhati-hati) yaitu tidak melakukan perbuatan apapun tanpa merujuk kepada pengadilan syar'i.

Bagaimanapun, secara global dapat dikatakan bahwa: terdapat hal-hal yang berkenaan dengan tidak perlunya merujuk kepada mahkamah syar'i dan seseorang dapat secara mandiri dan segera membela dirinya betapapun berujung kepada terbunuhnya ia atau terbunuhnya orang yang melanggar tersebut.

Di atas segalanya, tidak ada keraguan bahwa Islam menolak hipotesa ini bahwa membunuh manusia dalam kondisi dan situasi apapun tidak dibenarkan. Dalam pandangan Islam dalam hal yang mengharuskan kemaslahatan - baik dalam skala personal dan sosial, material dan spritual - hukuman gantung tidak hanya terlarang tapi harus dihukum.

Akan tetapi dalam pelaksanaannya, terkadang perkara ini bergantung kepada jenis pengaduan dan komplain di pengadilan dan penyampaian pandangan syar'i dan aturan yang berlaku dan terkadang juga tidak perlu kepada hukuman pengadilan dan setiap orang memiliki hak untuk segera mengeksekusi orang yang melanggar kehormatannya.

Apa yang harus kita perhatikan di sini adalah dalam kebanyakan perkara kita tidak dapat hanya bersandar kepada akal dan pengetahuan kita untuk dapat memahami hikmat dan filsafat hukum-hukum Tuhan.

Boleh jadi kita tidak dapat mengklaim bahkan dalam satu hukum dari hukum-hukum syariat kita telah ketahui apatah lagi berkata bahwa kita telah mengetahui seluruh kemaslahatan dan segala mafsadah yang menjadikan diperintahkannya hukum tersebut: "Dan tidaklah Aku berikan ilmu kepada kalian kecuali sedikit." (QS. al-Isra [17]:85)

Manusia dengan pengetahuan yang sedikit terkadang beranggapan demikian bahwa satu pekerjaan memiliki kemaslahatan dan tidak ada mafsadah di dalamnya dan atau apabila terdapat mafsadah di dalamnya sangatlah tidak berarti. Dan dalam menghadapi kemaslahatannya yang banyak mafsadah yang sedikit ini tidak boleh diperhatikan. Dan atas dasar ini, pekerjaan tersebut harus dilakukan atau paling tidak, boleh dikerjakan; sementara kenyataannya adalah sesuatu yang lain.

Terkadang juga dalam masalah satu pekerjaan terdapat mafsadah dan tidak terkandung sedikit pun kemaslahatan di dalamnya dan apabila terdapat kemaslahatan, maka mafsadah-nya lebih banyak ketimbang kemaslahatan-nya. Dan kemaslahatan yang sedikit itu tidak boleh diperhatikan.

Dan dengan demikian diambil sebuah kesimpulan bahwa pekerjaan itu tentulah dilarang dan diharamkan; padahal dalam pekerjaan tersebut lebih banyak mengandung mashlahat daripada mafsadah-nya dimana manusia lantaran keterbatasan ilmunya lalai dari kenyataan ini.

Dalam urusan hukuman gantung juga terdapat banyak masalah mafâsid dan mashâlih dimana ia berada jauh dalam pandangan manusia dan manusia tidak tahu tentangnya sementara Allah Swt dengan ilmu yang sempurna dan tanpa batas yang dimiliki-Nya berkuasa atas mafâsid dan mashâlih tersebut.

Boleh jadi bagi kita banyak perkara dan urusan yang tidak dapat dipahami dan dicerna dimana apabila seseorang melakukaan penghinaan terhadap kesucian agama Islam maka hukumannya adalah hukuman gantung, atau apabila seseorang tiga kali - atau menurut sebagain fatwa ulama, dua kali - secara terang-terangan memakan makanan di hadapan umum dan tidak berpuasa maka had (pidana) dapat diberlakukan kepadanya, kali keempatnya - atau ketiganya - hukumannya adalah hukuman gantung.

Atau mengapa murtad fitri (seseorang yang lahir dari keluarga muslim kemudian berbalik meninggalkan Islam, AK) apabila ia adalah seorang pria maka hukumanyna adalah gantung, dan atau mengapa murtad melli (seorang muallaf yang kemudian berbalik meninggalkan Islam, AK) apabila ia tidak mau bertobat maka hukumannya adalah hukuman gantung.

Barangkali dalam kebanyakan hudud syariat -seperti; pidana pezina, homoseksual, minum khamar, mencuri, orang yang memerangi dan sebagainya... - dalam sebagaian perkara juga mencapai batasan hukuman gantung.

Perkara ini sejatinya dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan sedikitnya ilmu kita dimana kita tidak mengetahui kerusakan-kerusakan sosial yang ditimbulkan dari pekerjaan semacam ini, dan dengan demikian boleh jadi bahkan dalam hubungannya dengan pelaksanaan pidana atas orang-orang yang terjerembab dalam melakukan perbuatan ini, kita merasakan ketidaksenangan atas hukuman ini.

Akan tetapi Allah Swt yang mengetahui kerusakan-kerusakan dan kerugian-kerugian sosial yang ditimbulkan dari perbuatan-perbuatan ini, tahu bahwa untuk menjaga kemaslahatan sosial maka pelaksanaan hudud ini harus dieksekusi, meskipun berujung kepada hilangnya nyawa orang yang berbuat kriminal.


Perang dan Penjagaan Kehormatan Manusia
Telah jelas bahwa pada sebuah komunitas, terkadang satu orang mendapat hukuman gantung sehingga kemaslahatan umum masyarakat dimana ia menjadi salah satu anggotanya tidak berada dalam ancaman.

Dengan alasan ini, pada tataran dunia internasional juga terkadang satu komunitas telah menyimpang dari rel kebenaran dan keadilan secara keseluruhan dan karam dalam penindasan, kerusakan dan penghancuran, dan atau bermental agresor dan mengagresi serta menginvasi bangsa-bangsa lain. Dalam keadaan seperti ini, komunitas semacam ini, dihukumi kalah dan binasa sehingga seluruh umat manusia, negara dan bangsa-bangsa merasakan ketenangan dan kedamaian dari segala agresi dan ancaman, dan tidak terhalang untuk mendapatkan kebahagiaan, kebaikan dan kesempurnaan.

Tatkala masyarakat-masyarakat Islam - akan tetapi bukan masyarakat yang secara lahir Islam, akan tetapi pada tataran amal juga mengamalkan Islam - dimana mereka berdiri berdasarkan kebenaran dan keadilan, memiliki tugas untuk mengangkat senjata bertempur melawan masyarakat semacam ini, agresor, perusak dan pembuat onar sehingga masyarakat Islam terjaga dari agresinya sehingga dapat melintas di atas rel kebenaran, atau mereka kalahkan agresor tersebut dan menggantikannya dengan masyarakat yang sehat dan cinta damai.

Oleh karena itu, menjadi jelas bahwa perang kapanpun dan dimanapun tidak bernilai negatif. Bangsa yang berperang untuk membela haknya dalam berhadapan dengan agresor dan invader tentu saja keadaannya berbeda dengan keadaan yang dimiliki oleh pihak agresor.

Pihak yang memiliki motivasi untuk menindas dan menganiaya orang lain berbeda dengan pihak yang memiliki motivasi berperang dengan penindasan dan bertempur melawan kaum penindas dan membela orang-orang tertindas. Orang-orang yang beradar di kubu agresor dan penindas sekali-kali tidak memiliki nilai yang berarti; melainkan perbuatan yang dilakukan oleh pihak yang berada di kubu kebenaran memiliki nilai-nilai positif tertinggi sementara di pihak lain yaitu di kubu agresor memiliki nilai-nilai negatif tertinggi.

Iya, yang lebih buruk dan lebih keji serta tercela dan akan mendapatkan hukuman adalah membunuh jiwa yang dihormati atau jiwa yang suci.
" Barang siapa yang membunuh seorang manusia (yang tak berdosa) dan tidak melakukan pengrusakan, seakan-akan ia membunuh manusia seluruhnya." (QS. al-Maidah [5]:22)


Pada ayat yang lain Allah Swt berfirman:
"Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah jahanam kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya." (QS. an-Nisa [4]:93)

Akan tetapi apabila ia membunuh orang lain karena kebenaran dan sesuai dengan hukum Islam maka ia tidak tergolong melakukan penganiayaan dan kezaliman; sebagai contoh, pewaris korban yang terbunuh atau awliya ad-dam memiliki hak untuk membunuh si pembunuh dengan maksud untuk menegakkan qishâsh, atau masyarakat memiliki hak untuk menghukum gantung seseorang yang melakukan perbuatan dosa-dosa besar dan melanggar hudud masyarakat dan menimbulkan kerugian yang besar bagi kemaslahatan masyarakat.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa berperang dengan sebuah komunitas yang melakukan kegiatan dan perbuatan yang bertentangan dengan kemaslahatan-kemaslahatan material dan spritual masyarakat dan melakukan agresi dan pengrusakan, tidak akan menjadi masalah.

Kini kita dapatkan bahwa analisa dan uraian fenomena perang yang berdasarkan kepada nilai-nilai bendawi dan budaya Materialisme Barat merupakan analisa dan uraian yang keliru dan tidak utuh.

Berdasarkan kepada penjelasan-penjelasan yang disebutkan di atas, membunuh manusia dan membunuh jiwa tidak dapat dianggap selamanya sebagai urusan yang tertolak dan tidak benar. Akan tetapi perbuatan ini adalah berkenaan dengan keadilan dan kebenaran.

Berangkat dari sini, jalan untuk menjustifikasi dan membenarkan perang dan jihad di jalan Allah menjadi terbuka. Dari jendela kecil ini kita dapat melihat masalah perang dengan pandangan yang lebih terang. Oleh karena itu, tasyri'i (pengaturan hukum, pensyariatan) perang dalam sistem hukum Islam untuk menyampaikan umat manusia kepada kesempurnaan hanya dapat diperoleh melalui jalan pengabdian kepada Allah.

Adalah gamblang bahwa perang memiliki konsekuensi yang tidak menyenangkan bagi semua orang; akan tetapi dengan sedikit lebih teliti, kita dapat jumpai bahwa sebagian dari peperangan memiliki konsekuensi-konsekuensi ideal dimana secara keseluruhan kemaslahatannya lebih besar ketimbang keburukannya dan tentu saja perang-perang seperti ini akan memiliki nilai-nilai positif.

Akan tetapi untuk dapat memahami bahwa perang yang mana yang dapat menjadi contoh dari perang-perang yang mengandung muatan positif dan perang-perang yang mana bernilai negatif, bukanlah pekerjaan mudah.

Dengan menggunakan akal yang terbatas yang dimiliki manusia masalah ini dapat dijelaskan, akan tetapi dalam beberapa bagian yang lain, akal manusia tidak dapat memecahkan masalah ini. Menghitung seluruh perubahan internal dan menentukan mizan interfensi akal dan komparasi antara kemaslahatan dan keburukan yang berkaitan dengan sebuah perang merupakan perkara yang sangat pelik dan bahkan terkadang merupakan perkara yang mustahil.

Oleh karena itu, kita harus mendengarkan titah dan firman Allah Swt; lantaran Dia adalah lebih mengetahui segala hal dan mengerti seluruh kemaslahatan dan keburukan peperangan dan penentuan nilai dan komparasi kuantitas dan kualitasnya mudah bagi-Nya. Dan dengan tuntutan hikmah-Nya Dia memeberikan hukum boleh atau terlarangnya peperangan.


Perang pada Agama-agama Pra-Islam
Dengan menelaah al-Quran, kesimpulan yang dapat diambil bahwa perang yang legal (masyru') dan berdasarkan kepada kebenaran - yang kita sebut sebagai jihad - terdapat pada seluruh agama tauhid dan pengaturan hukumnya (tasyri') tidak terkhusus pada Islam saja. Pada salah satu ayat-ayat al-Quran kita membaca:

"Dan berapa banyak Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. Tidak ada doa mereka selain ucapan: "Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir. Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan." (QS. Ali Imran [3]:146-148)

Ayat yang disebutkan di atas menunjukkan kepada realitas ini bahwa sebelum diutusnya Rasulullah saw dan pada syariat-syariat pra-Islam, banyak di antara kelompok-kelompok dan kaum-kaum mukmin yang dikomandoi oleh rasul-rasul dan nabi-nabi Allah berperang melawan orang-orang kafir, musyrikin, musuh-musuh dan para perusak. Dan dalam perang itu mereka menunjukkan seluruh keprawiraan, kekuatan dan konsistensi dan dalam menghadapi musuh sedikit pun mereka tidak pernah mau menerima kekalahan dan kehinaan.

Mereka senantiasa menampakkan kebutuhan mereka ke hadirat Tuhan dan di hadapan-Nya mereka tunduk dan patuh. Dan memohon ampunan dari dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan dan segala ifrath dan tafrith yang mereka kerjakan, memohon kepada Tuhan untuk bersiteguh di hadapan musuh dan meminta pertolongan dan kemenangan dari-Nya.

Allah Swt juga mengabulkan permohonan dan doa mereka, mengirimkan pertolongan dan memberikan kemenangan atas musuh-musuh kepada mereka; di samping itu di akhirat Allah Swt akan mengangerahkan ganjaran kebaikan kepada mereka.

Terma "kaayyin" ,yang terdapat pada awal surah di atas, dalam bahasa dan sastra Arab menunjukkan kepada jumlah yang banyak dan melimpah. Dengan demikian, dari redaksi ayat ini dapat dipahami bahwa para nabi dan pengikutnya sepanjang perjalanan sejarah banyak melakukan peperangan.

Bagaimanapun, ayat ini dengan jelas atas matlab bahwa terdapat peperangan dan jihad pada agama-agama samawi pra Islam dan memiliki aturan-aturan serta disyariatkan.

Dari kumpulan ayat-ayat ini yang telah masuk pada domain jihad dapat disimpulkan bahwa sebagian dari peperangan ini adalah jihad ibtida'i (jihad yang diletuskan dengan inisiatif sendiri, ofensif) dan sebagian lagi adalah jihad difa' (jihad atau perang yang meletus untuk membela diri, defensif). Demikian juga berdasarkan ayat-ayat di atas, kaum yang hidup pada masa tersebut memiliki tugas syar'i (taklif) untuk berperang dan berjihad. Dalam sebagian perkara mereka mematuhi dan mentaati nabi mereka dan pada sebagian perkara yang lain membangkang dan menentang mereka. Pada kelanjutan pembahasan, kita akan menyebutkan sebagian dari perkara ini.


Perang Bani Israil untuk Mengusai Palestina
Pada sebagian ayat-ayat al-Quran disebutkan bahwa Hadhrat Musa as sesuai dengan titah Allah Swt menyerukan jihad dan mengajak Bani Israil untuk berperang. Akan tetapi mereka tidak mematuhi dan mentaati seruan ini.

Setelah Fir'aun menolak ajakan dan seruan Nabi Musa as dan konsekuensinya pembangkangan, penindasan, pengrusakan, karam di lautan dan akhirnya binasa. Hadhrat Musa as setelah membebaskan Bani Israil dari tawanan dan kekejaman para Fir'aun, ia menggerakkan mereka dari Mesir menuju Syam (Suriah).

Pada masa itu, di Palestina hidup orang-orang kafir. Mereka adalah kaum yang kuat, gemar berperang dan perkasa. Hadhrat Musa as bersabda kepada Bani Israil, Tuhan telah menjanjikan tanah Palestina ini untuk kalian. Akan tetapi untuk memasuki dan tinggal di negeri itu, kalian harus berperang dengan orang-orang Palestina yang sekarang menghuni tempat itu.

Karena sekian tahun berada di bawah penghinaan dan intimidasi Fir'aun dan para Fir'aun, Bani Isra'il berubah menjadi orang-orang yang penakut dan tak bernyali. Dan karena mengejar kehidupan yang santai dan selamat sentosa, mereka menolak ajakan ini. Bani Israil berkata kepada Nabi Musa as: Pergilah engkau dan Tuhanmu dan berperanglah dengan orang-orang kafir dan keluarkan mereka dan bebaskan tempat itu dari cengkaraman mereka. Setelah itu baru kami akan masuk ke negeri itu!

Sebagai akibat dari pembangkangan ini, Allah Swt membiarkan mereka terlantar selama empat puluh tahun. Ulasan dari kejadian ini disebutkan dalam surah al-Maidah sebagai berikut:

"Dan ( ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu dan dijadikan-Nya kamu orang-orang yang merdeka diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan kepanya seseorang pun di antara umat-umat yang lain. Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu dan janganlah kamu lari ke belakang (karena takut kepada musuh) maka kamu menjadi orang-orang yang merugi. Mereka berkata: "Hai Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami sekali-sekali tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar dari padanya. Jika mereka keluar dari padanya pasti kami akan memasukinya. Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya: "Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka apabila kamu memasukinya niscya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal jika kamu benar-benar orang yang beriman. Mereka berkata: Hai Musa, kami sekali-sekali tidak akan memasukinya selama-lamanya selagi mereka ada di dalamnya karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja. Berkatalah Musa; "Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu. Allah berfirman: "(Jika demikian) maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selam empat puluh tahun (selama itu) merka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tih) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu." (QS. al-Maidah [5]:20-26)

Demikianlah, Bani Israil karena pembangkangan dari hukum jihad, selama empat puluh tahun - semenjak masa keluarnya dari negeri Mesir hingga wafatnya Nabi Musa as - terlantar di padang pasir; akan tetapi setelah wafatnya Nabi Musa as, sesuai dengan komando pengganti Nabi Musa, Yusye' bin Nun, negeri yang dimaksud dapat dikuasai dan masa terlantar dan terkatung-katungnya mereka tanpa rumah berakhir.


Perang antara Thâlut dan Jâlut
Ayat-ayat 246 hingga 251 surah al-Baqarah yang merupakan ulasan atas kisah Thalut dan Jalut, adalah contoh lain dari tasyri' (diaturnya hukum-hukum, disyariatkannya ) dan dibolehkannya berjihad pada agama-agama pra-Islam.

Setelah Bani Israil menaklukan Palestina atas komando Yusye' bin Nun dan mereka tinggal di negeri itu - yang ulasannya telah diutarakan pada pembahasan sebelumnya - kira-kira selama lebih dari 35 tahun tidak memiliki penguasa yang memerintah mereka. Urusan manajemen kehidupan dan pengaturan sektor sosial mereka dilakukan oleh para qâdhi (hakim).

Selama masa ini, Bani Israil biasanya dengan para tetangga, seperti 'Amalaqah, orang-orang Arab, penduduk Madyan, orang-orang Palestina dan Aramiyan senantiasa bercekcok dan berseteru, dimana dalam percekcokan dan perseteruan ini, Bani Israil terkadang keluar sebagai pemenang, dan terkadang juga mereka keluar sebagai pecundang.

Pada medio abad keempat, Bani Israil berperang dengan orang-orang Palestina dan dengan susah-payah mereka takluk di tangan orang-orang Palestina dan menjadi orang-orang terlantar dan tuna wisma.

Setelah kekalahan berat dan perasaan hina ini yang menjadikan mereka mengutus para pembesar Bani Israil untuk mendatangi nabi yang hidup pada masa itu, dimana mereka juga adalah para hakim Bani Israil, dan meminta pada mereka untuk menetapkan seorang raja sehingga dengan komandonya, mereka dapat berjihad di jalan Allah dan dapat menumbangkan musuh-musuh yang selama ini berkuasa, merendahkan dan menghina mereka.

Nabi ini - dimana dalam yang dinukil dalam riwayat dan buku-buku sejarah disebut sebagai Samuel (Syamuel-Shamuel) - tatkala mengetahui dengan lengkap karakteristik moral, mental dan kebiasaan serta tingkah-laku Bani Israil, sangat risau dimana apabila turun perintah perang dan jihad ke atas mereka, dan mereka membangkang perintah dan titah ini maka mereka akan mendapatkan azab Ilahi.

Oleh karena itu, kerisauan dan kekuatirannya ia utarakan di hadapan Bani Israil dan berkata: "Aku takut apabila diwajibkan atas kalian untuk berperang dan kalian membangkang titah tersebut?!!


Bani Israil menjawab:
"Engkau tidak perlu risau! Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah padahal sesungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami..." (QS. al-Baqarah [2]:246)

Setelah desakan dan permohonan berulang-ulang Bani Israil ini, akhirnya nabi Allah, sesuai dengan perintah Allah, melantik Thâlut sebagai panglima mereka. Akan tetapi kebanyakan Bani Israil, dan di antara mereka yang nota-bene lebih banyak mendesak untuk berperang melawan musuh dan motivasi berperang lebih banyak mereka miliki dan lebih banyak melemparkan slogan - tatkala masalah ikut serta dalam perang semakin serius dan panglima perang telah diketahui, mereka mulai mencari dalih dan alasan untuk tidak ikut serta dalam peperangan!

Mereka mencari-cari alasan dengan mempertanyakan Thâlut sebagai panglima dan kecakapannya. Apa kelebihan dan keistimewaan Thâlut atas diri kami dan mengapa ia yang harus jadi panglima? Ia tidak memiliki harta dan benda. Dan kami lebih layak yang menjadi panglima daripada Thâlut:

"Mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya sedang dia pun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?" (Qs. al-Baqarah [2]:247)

Kemudian dalam pergerakan dan perjalanan menuju ke arah musuh, kecuali beberapa orang, mereka semuanya membangkang perintah panglima untuk tidak meminum air sungai.

Dan pada detik-detik terakhir sebelum mendekat kepada musuh, mereka mengemukakan dalih bahwa kami tidak memiliki kesanggupan untuk bertempur dengan musuh seperti Jâlut dan lasykarnya:

"Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya." (Qs. al-Baqarah [2]:249)

Bagaimanapun, perang berkecamuk antara Thâlut dan Jâlut. Dan Jâlut tewas di tangan Hadhrat Daud as yang merupakan prajurit prawira dan tangguh Thâlut. Dengan tewasnya thagut pada masa itu, lasykar musuh menjadi kocar-kacir dan perang berakhir dengan kemenangan Bani Israil dan kubu orang-orang yang menyembah Tuhan atas kaum kafir.

Hadhrat Daud as setelah peristiwa ini, dan juga pada peristiwa-peristiwa yang lain, pada akhirnya mendapatkan tampuk pemerintahan dan kerajaan Bani Israil. Setelah wafatnya, tampuk kekuasaan pemerintahan kebenaran dan keadilan berpindah di tangan putranya Hadhrat Sulaiman as, dimana khususnya pada masa Hadhrat Sulaiman as, kekuasaan dan kedaulatan pemerintahan hak mencapai kesempurnaannya.


Nabi Sulaiman dan Perang
Lantaran pemerintahan Hadhrat Sulaiman as memiliki tipologi tersendiri dan dalam pemerintahannya tidak ada yang menyamainya, patut kiranya di sini kita sebutkan sebagian dari tipologi tersebut yang terdapat dalam al-Quran.


Hadhrat Sulaiman as memohon kepada Allah Swt:
"Ia berkata: "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juga pun sesudahku, sesunguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi." (QS. Shaf [38]:35)

Dalam menjawab permohonan ini, Allah Swt menganugerahkan kerajaan kepada Hadhrat Sulaiman as dimana kerajaan yang dimilikinya adalah kerajaan yang memiliki karakteristik yang ajaib. Dalam surah al-Anbiya kita membaca demikian:

"Dan (telah Kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang kami telah memberkatinya. Dan adalah Kami Maha Mengetahui segala susuatu. Dan Kami telah tundukkan (pula kepada Sulaiman) segolongan setan-setan yang menyelam (ke dalam laut) untuknya dan mengerjakan pekerjaaan selain dari pada itu dan adalah Kami memelihara mereka itu." (QS. al-Anbiya [21]:81&82)

Demikian juga pada surah an-Naml, kira-kira terdapat 30 ayat dalam al-Quran (ayat 16 hingga 44) mengkhususkan kisah Hadhrat Sulaiman as. Adapun 30 ayat tersebut adalah:

"Dan Sulaiman telah mewarisi Daud dan dia berkata: "Hai manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya semua ini benar-benar satu karunia yang nyata". Dan dihimpunkan untuk Sulaiman tentaranya dari jin, manusia dan burung lalu mereka diatur dengan tertib (dalam barisan). Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: "Hai semut-semut masuklah ke dalam sarang-sarangmu agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya sedangkan mereka tidak menyadari", maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa: " Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh. Dan dia memeriksa burung-burung lalu berkata: "Mengapa aku tidak melihat hud-hud, apakah dia termasuk yang tidak hadir. Sungguh aku benar-benar akan mengazabnya dengan azab yang keras atau benar-benar menyembelihnya atau benar-benar ia datang kepadaku dengan alasan yang terang. Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: "Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini. Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah dan setan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah) sehingga mereka tidak dapat petunjuk, agar mereka tidak menyembah Allah yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi dan yang mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Allah, tiada Tuhan yang disembah kecuali Dia, Tuhan yang mempunyai 'Arsy yang besar. Berkata Sulaiman: "Akan kami lihat, apa kamu benar ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta. Pergilah dengan (membawa) suratku ini, lalu jatuhkanlah kepada mereka kemudian berpalinglah dari mereka lalu perhatikanlah apa yang mereka bicarakan". Berkata ia (Balqis): "Hai pembesar-pembesar, sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sebuah surat yang mulia. Sesungguhnya surat itu dari Sulaiman dan sesungguhnya (isi)nya: "Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Bahwa janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri". Berkata dia (Balqis): "Hai para pembesar, berilah aku pertimbangan dalam urusan(ku) ini dan aku tidak memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku)". Mereka menjawab: "Kita adalah orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan) dan keputusan berada di tanganmu, maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan". Dia berkata: "Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki sebuah negeri, niscaya mereka membinasakannya dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat. Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereks (dengan membawa) hadiah dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu. Maka tatkala utusan itu sampai kepada Sulaiman, Sulaiman berkata: "Apakah (patut) kamu menolong aku dengan harta? maka apa yang diberikan oleh Allah kepadaku lebih baik dari pada apa yang diberikan-Nya kepadamu, tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu. Kembalilah kepada mereka sungguh kami akan mendatangi mereka dengan bala tentara yang mereka tidak kuasa melawannya dan pasti kami akan mengusir mereka dari negeri itu (Saba) dengan terhina dan mereka menjadi (tawanan-tawanan) yang hina dina. Berkata Sulaiaman: "Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri". Berkata Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu. Sesunggunya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya". Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: "Aku akan membawa singgasana ini kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata: "Ini termasuk karunia Tuhanku untuk (kebaikan) dirinya sendiri. Dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia". Dia berkata: "Rubahlah baginya singgasananya, maka kita akan melihat apakah dia mengenal ataukah dia termasuk orang-orang yang tidak mengenal(nya)". Dan ketika Balqis datang, ditanyakanlah kepadanya: "Serupa inikah singgasamu?". Dia menjawab: "Seakan-akan singgasana ini singgasanaku, kami telah diberi pengetahuan sebelumnya dan kami adalah orang-orang yang berserah diri". Dan apa yang disembahnya selama ini selain Allah, mencegahnya (untuk melahirkan keislamannya) karena sesungguhnya dia dahulunya termasuk orang-orang yang kafir. Dikatakan kepadanya: "Masuklah ke dalam istana". Maka tatkala dia melihat lantai istana itu dikiranya kolam air yang besar dan disingkapkannya kedua betisnya". Berkatalah Sulaiman: "Sesungguhnya ia adalah istana licin yang terbuat dari kaca". Berkatalah Balqis: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam." (QS. An Naml [27]:16-44)

Demikian juga, selain dari ayat yang disebutkan di atas, pada surah "Saba", ayat-ayat 12 hingga 14 juga bercerita tentang kisah Hadhrat Sulaiman as dan tipologi pemerintahannya juga diuraikan dalam ayat ini.

Bagaimanapun, ayat-ayat pada surah an-Naml yang kami bawakan di sini, adalah sebuah kisah dan hikayat atas kehidupan dan pemerintahan Hadhrat Sulaiman as. Ayat tersebut dimulai dengan penjelasan prajurit dan bala-tentara yang gemar berperang yang dimiliki oleh Hadhrat Sulaiman as; lasykar dan bala-tentara dengan susunan yang tiada tara dan bandingannya:

"Dan dihimpunkan untuk Sulaiman tentaranya dari jin, manusia dan burung lalu mereka diatur dengan tertib (dalam barisan)." (QS. an-Naml [27]:17)

Perkara ini tentu saja memberikan petunjuk kepada pendahuluan dan persiapan perang prajurit tersebut yang dengan sendirinya memberikan petunjuk atas legal dan dibolehkannya perang bagi Hadhrat Sulaiman as dan para pengikutnya.

Ayat-ayat ini khususnya memberikan signifikansi bahwa tidak hanya kebolehan berperang tidak jelas dan keseluruhan perang tidak dikenal, akan tetapi kebolehan berperang disampaikan dalam bentuk yang jelas dan tegas berbicara ihwal perang ibtidâ'i (inisiatif).

Tatkala Hud-hud mewartakan bahwa kaum Saba dan orang-orang kafir dan orang-orang penyembah matahari, pertama-tama Hadhrat Sulaiman as mengirimkan surat kepada kaum ini. Kediaman kaum Saba sangat jauh dari Palestina dan mereka tidak ada urusan dengan Hadhrat Sulaiman as.

Hadhrat Sulaiman mengingatkan mereka untuk menjauhi kekufuran dan penyembahan matahari dan mengajak mereka untuk menyerahkan diri kepada nabi Allah, agama dan ajaran Ilahi:

"Sesungguhnya surat itu dari Sulaiman dan sesungguhnya (isi)nya: "Dengan mneyebut nama Allha yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang." Bahwa janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri." (QS. an-Naml [27]:30-31)

Kemudian dengan mengembalikan hadiah yang dikirim oleh Ratu Bilqis, Hadhrat Sulaiman as mengabarkan bahwa ia tidak akan terkecoh dengan hadiah tersebut. Dan segera Hadhrat Sulaiman as akan mengirimkan bala tentara kepada mereka dimana mereka tidak memiliki kesanggupan untuk melawan lasykar tersebut.

"Kembalilah kepada mereka sungguh kami akan mendatangi mereka dengan bala tentara yang mereka tidak kuasa melawannya dan pasti kami akan mengusir mereka dari negeri itu (Saba) dengan terhina dan mereka menjadi (tawanan-tawanan) yang hina dina."(Qs. an-Naml [27]:37)

Ancaman perang ini dilancarkan padahal kaum Saba tidak memiliki urusan dengan pemerintahan Hadhrat Sulaiman as dan mereka sibuk dengan kehidupan mereka sendiri. Dan sejatinya, Hadhrat Sulaiman as tidak memiliki kabar ihwal keberadaan, kota, kampung halaman dan pemerintahan mereka. Dan melalui Hud-hudlah ia menerima kabar tentang kaum Saba.

Jelas bahwa perang semacam ini - dimana apabila Ratu Bilqis dan kaum Saba tidak datang kepada Hadhrat Sulaiman as dan tidak berserah diri kepada agama Allah - sesuai dengan janji Hadhrat Sulaiman as pasti akan meletus perang ibtida'i (inisiatif dan ofensif).

Oleh karena itu, di samping jihad atau perang difâ' (defensif) legal dan boleh dilakukan oleh Hadhrat Sulaiman, perang ibtidâ'i (ofensif) pun demikian adanya; lantaran apabila perang ofensif ini tidak legal dan terlarang bagi Hadhrat Sulaiman as yang nota-bene adalah nabi Allah dan maksum, maka ia tidak akan memberikan ancaman seperti ini.

Orang-orang Saba tidak hanya tidak pernah menyerang wilayah dan pemerintahan Hadhrat Sulaiman as - dan terdapat beberapa indikasi bahwa mereka tidak memiliki pikiran secuil pun untuk berperang dengan Hadhrat Sulaiman as - bahkan setelah menerima surat yang bernada imperatif (perintah) dari Hadhrat Sulaiman as, mereka memberikan reaksi dengan tanda perdamaian dan kesepakatan untuk hidup secara damai dan mengirimkan hadiah yang sangat mahal kepada Hadhrat Sulaiman as.

Iya, mereka setelah mendapatkan ancaman perang yang berat dari Hadhrat Sulaiman, untuk mencegah tidak terjadinya perang, mereka siap membayar pajak; akan tetapi tujuan Hadhrat Sulaiman adalah menyeret mereka keluar dari kekufuran dan penyembah berhala kepada penyembah Tuhan, mengesakan-Nya dan hidup sebagai hamba yang mukmin.

Perintah ini menunjukkan bahwa pada syariat-syariat Ilahi pra Islam di samping juga terdapat perang atau jihad defensif, jihad ofensif juga dibolehkan dan legal. Sebagaimana yang dapat disimpulkan dari kisah dan hikayat Bani Israil dan penaklukan "ard Muqaddas".


Perang Iran dan Roma
Tentang masalah perang yang berkecamuk pada masa sebelum Islam, terlepas dari tiga kisah Qurani yang disebutkan sebelumnya yang berkaitan dengan jihad pembebasan para nabi Allah. Dalam al-Quran disebutkan bentuk lain dari jihad yang tidak bertalian dengan perang-perang pembebasan para nabi Allah.

Perang ini, perang yang berkecamuk antara Iran dan Roma, dua adikuasa pada masanya yang disebutkan pada ayat pertama hingga keenam surah ar-Rum:

"Alif Lam Mim. Telah dikalahkan bangsa Romawi di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dilah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang (sebagai) janji yang sebenar-benarnya dari Allah. Allah tidak akan menyalahi janji-Nya tetapi kebanyakan manusia itu tidak mengetahui." (QS. ar-Rum [30]:1-6)

Dalam ayat-ayat ini disebutkan bahwa orang-orang Roma pada negeri yang terdekat ke Hijaz, takluk dalam perang melawan orang-orang Iran. Pada saat yang sama, al-Qur'an mengabarkan bahwa beberapa tahun mendatang setelah menderita kekalahan mereka akan meraih kemenangan melawan musuhnya, orang-orang Iran. Dan pada hari itu, orang-orang beriman akan mendapatkan kegembiraan karena pertolongan Allah Swt.


Pada ayat ini, Allah Swt memberikan dua berita gaib:
Pertama, kemenangan orang-orang Roma atas orang-orang Iran, pada perang yang lain yang terjadi beberapa tahun kemudian. Hal ini sejatinya adalah berita gaib dan sebuah nubuwwat dimana Allah Swt sebelum terjadinya peristiwa ini, mengabarkan kepada kaum mukminin.

Sesuai dengan laporan sejarah pada masa kurang dari sepuluh tahun semenjak turunnya ayat ini, Roma pada perang yang lain meraih kemenanagan atas orang-orang Iran.

Nubuwwat dan berita gaib kedua tentang kegembiraan orang-orang beriman dan kaum muslimin tatkala Roma meraih kemenangan atas Iran: "Dan di hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman karena pertolongan Allah." (QS. ar-Rum [30]:3).

Dalam hal ini, satu pertanyaan mengemuka bahwa mengapa pada hari itu - hari kemenangan Roma atas Iran - orang-orang beriman bergembira? Para mufassir menyebutkan dua sebab atas kegembiraan orang-orang beriman:

Pertama, karena orang-orang Roma adalah Masehi, mengesakan Tuhan dan ahli kitab, dan orang-orang Iran pada masa itu adalah orang-orang musyrik. Oleh karena itu, kaum muslimin bergembira atas kemenangan orang-orang yang menyembah Tuhan dan pengikut tauhid atas orang-orang musyrik.

Kedua, sesuai dengan nukilan sejarah dan riwayat, meletusnya perang Badar kira-kira berada pada lintasan historis dimana orang-orang Roma menang atas orang-orang Iran. Sebagaimana yang kita ketahui, dalam ketakjuban, dalam perang ini, kaum muslimin dengan segala kelemahan dan ketidaksanggupan lahir dan ketiadaan senjata dan peralatan tempur serta persediaan harta benda, meraih kemenangan atas orang-orang musyrik Quraisy yang memiliki persenjataan
lengkap.

Kemenangan ini menjadi sebab kegembiraan dan melambungnya mental kaum muslimin dan runtuh dan anjloknya mental musuh.

Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa: ""Dan di hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman karena pertolongan Allah." (QS. ar-Rum [30]:3) Pada ayat ini, merupakan berita gaib yang lain dimana Allah Swt mengabarkan dan memberikan berita gembira ini kepada kaum muslimin.

Akan tetapi dalam perjalanan sejarah, banyak peperangan dan pertempuran yang berkecamuk. Lantaran al-Quran bukan merupakan buku sejarah, ia tidak mengetengahkan peperangan dan pertempuran ini.

Penyebutan keempat perang ini adalah bermaksud untuk memberikan petunjuk kepada satu silsilah poin sistematis yang dapat memberikan pengaruh positif bagi kehidupan kaum mukminin dan muslimin.


Jihad dalam Islam
Kini tiba saatnya kita menjelaskan kualitas pengaturan hukum (tasyri') jihad dalam agama Islam:

Kaum muslimin selama mereka hidup di kota Mekkah, mereka tidak mampu untuk menghadirkan satu komunitas yang mandiri dan sistemik. Jumlah mereka minim, tidak memiliki kemampuan ekonomi dan sosial dan secara umum, di antara kaum musyrikin mereka berada dalam kondisi minoritas.

Pada masa-masa ini, kaum muslimin dihadapkan dengan pelbagai jenis siksaan fisik dan mental yang dilancarkan oleh kaum musyrikin. Dan mereka tidak memiliki peralatan dan perlengkapan cukup untuk dapat membela diri.

Oleh karena itu, Nabi saw sesuai dengan titah dan perintah Allah Swt, pertama mengutus sekelompok kaum muslimin di bawah komando Ja'far bin Abi Thalib ke Habsya (Etopia) dan beberapa tahun kemudian juga menyusul Nabi saw disertai beberapa kelompok besar yang tersisa dari kaum muslimin berhijrah ke Yatsrib, dimana setelah itu diberi nama sebagai Madinah an-Nabi.

Hingga masa ini dan pasca hijrah ke Madinah, kaum muslimin belum memiliki tugas (taklif) untuk berperang dengan musuh.

Sebelum turunnya aturan-aturan jihad, kaum muslimin yang bersemangat meminta kepada Nabi saw untuk memberikan izin kepada kaum muslimin sehingga mereka berkonfrontasi militer dengan kaum musyrikin dan kafir Makkah dan non-Makkah yang telah membuat potret kehidupan kaum muslimin menjadi buruk dan sempit, menjadikan mereka orang-orang terlantar tanpa rumah dan menyiksa mereka dengan kejam. Kaum muslimin yang bersemangat juga mengingingkan untuk menghancurkan kekuatan dan mematahkan serangan mereka. Dan orang-orang muslim yang berada dalam tekanan siksaan fisik dan mental supaya dibebaskan dari mereka.

Akan tetapi pada masa itu, kemaslahatan Islam dan kaum muslim belum mengharuskan adanya perang; lantaran jumlah mereka masih minim dan kecil, dari sisi finansial dan ekonomi, banyak di antara mereka adalah orang-orang miskin dan harta-harta mereka dirampas dan dikuasai oleh orang-orang musyrik.

Kekuatan militer mereka tidak dapat diperhitungkan dan mereka juga tidak memiliki peralatan tempur dan senjata yang memadai. Oleh karena itu, Nabi saw tidak memberikan izin kepada mereka untuk berperang.

Pada hakikatnya, dalam kondisi dan keadaan yang tidak kondusif seperti ini dan situasi sulit yang dimiliki oleh kaum muslimin, izin berperang adalah sama dengan izin untuk bunuh diri. Atas dasar ini, kendati dengan banyaknya tekanan, desakan dan tuntutan kaum muslimin, sepanjang mereka tidak memiliki kesiapan yang memadai, maka izin untuk berperang tidak diberikan kepada mereka.

Pada masa-masa ini, kaum muslimin harus meluangkan waktu untuk berbenah diri dan mempersiapkan pendahuluan-pendahuluan untuk mengerangka dan membangun sebuah masyarakat Islam yang hidup dan teratur. Dan dengan mempersiapkan senjata dan memobilisasi kekuatan-kekuatan dan peralatan yang dimilikinya dengan skenario dan rencana barulah mereka dapat angkat senjata dan mengerahkan kekuatan militer dan mengambil kembali hak-hak mereka yang telah dirampas oleh musuh.

Akan tetapi berdasarkan ayat-ayat al-Quran, setelah keluarnya izin dan titah perang melawan kaum musyrikin, sekelompok orang yang tadinya berkoar-koar dan mendesak untuk berperang, membangkang dari titah jihad dan mengelak untuk berperang.


Allah Swt berfirman tentang orang-orang seperti ini:
"Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah solat dan tunaikanlah zakat! "Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh) seperti takutnya kepada Allah bahkan lebih dari itu takutnya. Mereka berkata: "Ya Tuhan kami mengapa Engkau tidak tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami sampai kepada beberapa waktu lagi? "Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun. Di mana saja kamu berada kematian akan mendapatkan kamu walaupun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh dan jika mereka memperolah kebaikan mereka mengatakan; "Ini adalah dari sisi Allah" dan kalau mereka ditimpa suatu bencana mereka mengatakan; "Ini (datangnya) dari sisi (Muhammad)". Katakanlah; "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun." (QS. an-Nisa [4]: 77-78)

Redaksi "Tahanlah tanganmu dari berperang" pada ayat ini menunjukkan supaya kaum muslimin sebelum angkat senjata dan berperang hendaknya berbenah diri terlebih dahulu. Dan juga menunjukkan bahwa jihad tidak selamanya dan tidak setiap tempat memiliki nilai positif; akan tetapi nilainya bergantung kepada kondisi dan situasi beragam kaum muslimin dan kemaslahatan yang berkembang pada kehidupan dan masyarakat mereka. Apabila situasi dan kondisinya berbeda, maka kemaslahatan juga akan berbeda.

Pada kondisi dan keadaan yang dimiliki kaum muslimin di Mekah dan juga kondisi khusus yang berlaku pada masa-masa awal hijrah dan masuk ke Madinah, kemaslahatannya tidak mengharuskan mereka sehingga hukum jihad dikeluarkan.

Berperang akan berujung kepada kekalahan mereka dalam waktu cepat dan masyarakat Islam akan binasa dan tercerabut dari akarnya. Oleh karena itu, izin perang ditunda pengeluarannya hingga kaum muslimin memiliki persiapan yang cukup untuk berperang.

Dalam keadaan seperti ini, seperti yang telah kami singgung sebelumnya, poin yang menarik perhatian adalah adanya sekelompok orang yang dengan desakan untuk berkonfrontasi dan bertempur dengan pihak musuh, tatkala titah perang telah dikeluarkan, menyampaikan protes bahwa terlalu cepat bagi kita untuk berperang melawan musuh dan seharusnya diberikan kesempatan yang lebih banyak kepada kita untuk mempersiapkan diri. Mereka meminta kepada Allah Swt untuk menunda hukum jihad ini! Dalam menjawab permintaan ini, Allah Swt menilai mereka bahwa mereka lebih takut kepada manusia daripada kepada Allah Swt; lantaran mereka tidak siap untuk berperang melawan musuh dan menentang perintah dan titah Allah Swt. Mukminin yang benar yang percaya bahwa Allah Swt adalah mahatahu, mahabijaksana dan mahaadil, adalah orang-orang yang benar-benar pasrah kepada Allah Swt.

Tatkala titah perang belum sampai kepada mereka, mereka tidak mengelak dan tidak mendesak dan demikian juga tatkala hukum jihad dikeluarkan mereka tidak memandang enteng hukum tersebut.


Disyariatkannya Jihad
Akhirnya, setelah melalui masa-masa berbenah diri, Allah Swt menurunkan ayat 38 hingga 41 surah al-Hajj kepada Nabi saw yang menjelaskan hukum jihad dan memberikan izin kepada kaum muslimin untuk berhadap-hadapan, berperang dan melepaskan amarah mereka kepada kaum musyrikini dan kuffar Quraisy.


Redaksi ayat-ayat tersebut sebagai berikut:
"Sesungguhnya Allah membela oang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat. Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa menolong mereka itu. (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang-orang Yahudi dan masjid-masjid yang didalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan mungkar dan kepada Allah-lah kembali segala urusan." (QS. al-Hajj [22]:38-41)

Ayat-ayat ini menjelaskan tentang pemberian izin untuk berperang dan membela diri sekelompok orang dari kaum muslimin yang dianiaya dan diinjak-injak hak-haknya.

Dengan demikian, tiada keraguan bahwa ayat-ayat ini memberikan izin kepada kaum muslimin untuk berperang dengan musuhnya yang telah menganiaya dan menzalimi mereka dan menyerang mereka, mengusir mereka dari kampung halaman dan mengambil keamanan dan ketentraman dari mereka Oleh karena itu, nada ayat ini adalah nada pembelaan (difa'), dan paling maksimalnya, nada qishâsh dan tidak mendengungkan perang ofensif dan inisiatif (ibtida'i).


Perbedaan antara Difâ' dan Qishâsh
Tidak ada salahnya di sini tjika kita sedikit mengulas pembahasan ihwal perbedaan antara difâ' (pembelaan diri) dan qishâsh (membalas). Dalam menjelaskan perbedaan ini, kita harus berkata: Apabila seseorang mengambil keputusan untuk melanggar hak orang lain, jiwa atau harta atau wibawa atau kehormatan dan atau kesucian agama atau mazhab. Ia berusaha dengan cara apapun untuk mencegah orang ini supaya tidak melanggar hak-haknya, yang dalam istilahnya disebut sebagai "difâ'" (pembelaan diri). Oleh karena itu, "difâ' (pembelaan diri) berarti mencegah atau mengantisipasi terjadinya pelanggaran si pelanggar.

Akan tetapi, apabila seorang pelanggar berhasil melaksanakan pelanggarannya, dalam hal ini orang yang dilanggar dan diinjak-injak haknya, dapat mengerjakan atau menuntut balas atas pelanggaran tersebut dan di hadapan pelanggar tersebut ia dapat melakukan pelanggaran yang dilakukan oleh si pelanggar. Pekerjaan ini dalam istilah disebut sebagai "qishâsh" (pembalasan).

Apa yang kami utarakan dalam masalah individual, dalam masalah negara atau bangsa juga dapat diterapkan. Anggaplah bahwa negara "A" mengambil dengan paksa sepenggal tanah milik negara "B" dan negara "B" dengan alasan apapun tidak sanggup mengambil kembali tanah yang direbut oleh negara "A", akan tetapi ia mampu memiliki sepenggal tanah dari negara "A"; dalam hal ini, syariat suci Islam memberikan izin kepada negara "B" untuk menguasai sepenggal tanah yang direbut oleh negara "A" sebagai qishâsh dan sebagai tuntut balas atas perebutan tanah yang menjadi haknya.


Batasan Qishâsh dalam Perang
Ruang lingkup qishâsh dalam perang sangatlah luas dan menjuntai. Dan bahkan termasuk pelanggaran surat kesepakatan dan hukum-hukum serta aturan-aturan perang internasional, atau setidaknya, yang diterima dari dua kubu.

Konkritnya seperti ini, apabila satu pihak dari kedua pihak yang bertikai, tidak menerima salah satu dari bentuk aturan-aturan perang ini, pihak kedua juga memiliki hak untuk tidak mengamalkan hukum tersebut di hadapan musuhnya. Kaidah tasyri mengatakan bahwa hukum ini dikembalikan kepada masa-masa awal Islam.


Penjelasannya sebagai berikut:
Pada masa munculnya agama suci Islam, di antara kaum-kaum dan kabilah-kabilah bangsa Arab menerima satu sistematika aturan-aturan perang konvensional dan diterima dan dihormati oleh seluruh pihak. Dan Islam juga menerima sebagaian dari aturan-aturan tersebut.

Di antara aturan-aturan tersebut, salah satunya adalah haramnya berperang dan keharusan mengentikan peranga pada bulan-bulan haram. Dan aturan yang lainnya adalah haramnya berperang di sekitar Masjidil Haram.

Oleh karena itu, kaum muslimin, terlepas dari penerimaan umum dan urf, dari sudut pandang agama memandang diri mereka harus menjalankan aturan-aturan dan kebiasan-kebiasaan ini.

Akan tetapi, terkadang kaum musyrikin dan orang-orang kafir melanggar aturan dan kebiasaan ini dan menginjak-injak hukum-hukum dan aturan-aturan ini. Mereka terkadang menyalahgunakan loyalitas kaum musliminin terhadap aturan ini. Mereka menyerang kaum muslimin pada bulan-bulan haram atau menghajar mereka di sekitar Masjidil Haram, supaya kaum muslimin tidak angkat senjata dan tidak dapat membela diri mereka.

Siasat keji dan tidak ksatria ini menyebabkan kaum muslimin risau dan kuatir. Mereka berpikir bahwa apabila musuh-musuh menyerang mereka pada bulan-bulan haram atau di sekitar Masjidil Haram, apa yang harus mereka lakukan?

Allah Swt mengetahui kerisauan kaum muslimin, mereka diberikan izin untuk membalas serangan musuh apabila melanggar aturan ini. Mereka boleh tidak mengamalkan aturan-aturan dan hukum-hukum yang disebutkan di atas dalam menghadapi serangan kaum musyrikin dan orang-orang kafir.


Allah Swt dalam masalah ini berfirman:
"Bulan haram dengan bulan haram dan pada sesuatu yang patut dihormati berlaku hukum qisash. Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa." (QS. al-Baqarah[2]:194)


Pada ayat yang lain juga berkenaan dengan masalah ini, Allah Swt berfirman:
"Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah) dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pada pembunuhan dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu, maka bunuhlah mereka). Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir." (QS. al-Baqarah [27]:191)

Jadi makna qishâsh merupakan makna yang luas dan menjuntai dan bertalian dengan masalah-masalah hukum-hukum internal dan juga dapat diterapkan pada hubungan internasional seperti perang, damai dan perjanjian-perjanjian internasional.[] 




CATATAN KAKI:
1 . Taurat, Perjalanan yang ditemukan, bab keenam, ayat-ayat 5 hingga 8.

2 . Para mufassir memberikan penjelasan yang beragam tentang bagaimana para malaikat tahu bahwa manusia adalah pembuat angkara murka dan penumpah darah. Untuk mengetahui lebih jauh, silahkan Anda merujuk kepada kitab-kitab tafsir yang menafsirkan ayat di atas.

3 . Dalam al-Quran kita jumpai contoh-contoh dari timbangan antara mashlahat dan mafsadah; pada masalah timbangan antara mashlahat dan mafsadah yang terkandung dalam masing-masing dari dua perbuatan, judi dan meminum khamar yang pada akhirnya menghukum bahwa kandungan mafsadahnya lebih besar daripada kandungan mashlahatnya dan oleh karena itu tidak boleh dikerjakan: "Mereka bertanya kepadamu ihwal khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberap manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya." (QS. al-Baqarah [2]:219).

Dalam komparasi ini Allah Swt mengisyaratkan bahwa betapapun dalam perbuatan ini mengandung baik kemaslahatan juga memuat mafsadah (keburukan), akan tetapi muatan maslahatnya tidak ada bandingannya dengan muatan mafsadahnya, maka Allah Swt melarang manusia untuk tidak terjerembab di dalamnya. Demikian juga Allah Swt berfirman dalam ayat yang lain dan menghukumi kenajisan perbuatan (judi dan meminum khamar): "Wahai orang-orang yag beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk berhala), mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapatkan keberuntungan." (QS. al-Maidah [5]:90)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

50 Pelajaran Akhlak Untuk Kehidupan

ilustrasi hiasan : akhlak-akhlak terpuji ada pada para nabi dan imam ma'sum, bila berkuasa mereka tidak menindas, memaafkan...