Kamis, 29 November 2018

SERI MENGENAL SIFAT-SIFAT TUHAN


ilustrasi hiasan:




Pengarang :

Sebuah Telaah Teologis atas Sifat-sifat Tuhan



DAFTAR ISI

1. Mengenal Sifat-sifat Tuhan [1]

2. Sifat-sifat Dzatiyah [2]

3. Sifat-sifat Fi'liyah [3]

4. Seluruh Sifat-sifat Fi'liyah [4]

5. Telaah Teologis atas Sifat-sifat Tuhan; Mukaddimah

6. Telaah Teologis atas Sifat-sifat Tuhan; Kemungkinan Pengenalan Sifat-sifat Tuhan

7. Telaah Teologis atas Sifat-sifat Tuhan; Al-Qur'an dan Penyifatan Tuhan

8. Telaah Teologis atas Sifat-sifat Tuhan; Ilmu Tuhan

9. Telaah Teologis atas Sifat-sifat Tuhan; Kodrat Ilahi

10. Telaah Teologis atas Sifat-sifat Tuhan; Hidup, Azali dan Abadi

11. Telaah Teologis atas Sifat-sifat Tuhan; Kehendak dan Iradah Tuhan

12. Telaah Teologis atas Sifat-sifat Tuhan; Kalam Tuhan

13. Telaah Teologis atas Sifat-sifat Tuhan; Sifat Benar dan Hikmah

14. Telaah Teologis atas Sifat-sifat Tuhan; Sifat-sifat Salbiyah (Negasi)

15. Telaah Teologis atas Sifat-sifat Tuhan; Af'al Tuhan

16. Telaah Teologis atas Sifat-sifat Tuhan; Tujuan Perbuatan Ilahi




Mengenal Sifat-sifat Tuhan [1]


Mukadimah
Berbagai argumen telah kami sajikan di hadapan Anda untuk
membuktikan wujud Tuhan Pencipta manusia dan semesta buana ini. Konklusi global dan mendasar yang dapat kita ambil dari beberapa uraian dan penjelasan sebelumnya ialah bahwa alam semesta ini tidak terjadi dan terwujud dengan sendirinya. Tetapi ia memiliki pencipta yang telah mewujudkannya. Dialah Tuhan Pencipta Yang Mahakuasa dan sempurna ilmu-Nya. Apakah hanya sekedar mengenal dan meyakini adanya Tuhan Pencipta, persoalan ketuhanan ini dapat dianggap selesai? Dengan kata lain, masih perlukah kita mengenal berbagai atribut dan sifat-sifat Tuhan Pencipta tersebut? Jika ya, lalu apa manfaatnya pengetahuan lebih lanjut tentangnya? Jawabnya adalah bahwa sekedar mengenal, mengetahui dan bahkan meyakini adanya Tuhan Pencipta bagi semesta buana ini, tidak dianggap memadai. Karena hal itu tidak akan membuahkan nilai-nilai positif dalam kehidupan, baik kehidupan dalam skala personal maupun sosial, dunia dan akhirat. Karenanya, diperlukan pembahasan lebih lanjut mengenai sifat-sifat Tuhan Pencipta tersebut secara logis dan filosofis, agar tujuan
hidup (meraih kebahagiaan hakiki dan sejati) dapat terealisasi.

Terlebih, tanpa mengenal sifat-sifat-Nya, bisa jadi seseorang memiliki keyakinan tentang adanya Tuhan Pencipta, sementara gambaran dan pemahamannya terhadap Tuhan Pencipta tersebut masih kabur. Karenanya, tidak sedikit orang-orang yang menganggap benda tertentu atau energi tertentu sebagai Tuhan Pencipta mereka dan semesta ini.

Pada pembahasan terdahulu, kami telah jelaskan kepada Anda bahwa sebagian besar argumen filosofis itu hanya digunakan untuk membuktikan dan menetapkan keberadaan wâjib al-wujud (wujud Tuhan yang niscaya). Sementara untuk menetapkan sifat-sifat-Nya, baik yang berupa tsubutiyah (penetapan sifat-sifat kesempurnaan bagi-Nya), maupun yang berupa salbiyah (penafian sifat-sifat negatif dari-Nya) masih diperlukan argumen lain sebagai tambahan. Dengan ditetapkannya sifat-sifat tsubutiyah, akan menjadi jelas bahwa hanya Dia-lah yang layak disembah dan diibadati. Di samping itu, peluang untuk menetapkan keyakinan-keyakinan yang lainnya, seperti masalah utusan-Nya, hari kiamat dan lain sebagainya, menjadi terbuka lebar. Sementara penetapan sifat-sifat salbiyah atau penafian segala sifat-sifat yang tidak layak dari-Nya, dimaksudkan agar Tuhan Pencipta yang merupakan wâjib al-wujud itu tersucikan dari berbagai sifat-sifat yang disandang oleh makhluk-makhluk-Nya. Tanpa mengkaji dan memahami sifat-sifat salbiyah ini, seseorang akan terjerumus kepada tasybih (anthropomorphize), yaitu menyerupakan-Nya dengan makhluk ciptaan-Nya.

Pada penjelasan yang lalu -dengan berbagai argumen logis dan filosofis- dapat kita simpulkan bahwa Tuhan Pencipta itu tidak membutuhkan sebab selain-Nya dalam wujud-Nya, karena Dia merupakan wujud mandiri. Dan Dia-lah sebagai sebab dan illat bagi semua realitas yang bersifat mungkin. Dengan demikian -sebenarnya- ada dua sifat yang telah ditetapkan bagi-Nya di dalam uraian tersebut. Dua sifat tersebut ialah:

Pertama, bahwa wâjib al-wujud tidak butuh kepada selain-Nya, karena jika Dia butuh kepada wujud yang lain sekecil apa pun, maka wujud yang lain itu merupakan sebab bagi-Nya. Sementara telah kita ketahui bahwa hal itu mustahil terjadi bagi Tuhan Pencipta, karena akan terjadi tasalsul yang dinilai absurd.

Kedua, bahwa semua wujud yang bersifat mungkin adalah akibat yang membutuhkan sebab. Sementara tidak ada sebab dan illat lain selain Tuhan Pencipta sebagai wâjib al-wujud yang merupakan sebab dan illat utama bagi kemunculan dan keberadaan wujud-wujud mungkin tersebut.

Pada pembahasan kita kali ini, berdasarkan dua kesimpulan di atas, kami akan membahas konsekuensi masing-masing yang berhubungan dengan kedua sifat tersebut. Sehubungan dengan penetapan sifat-sifat tsubutiyah dan salbiyah, kami akan menjelasakan argumen-argumen yang sederhana dan sesuai dengan pembahasan-pembahasan yang telah lalu, agar dapat dipahami dengan mudah.


Tuhan Bersifat Azali dan Abadi
Penjelasan mengenai wujud mungkin atau mumkin al-wujud telah kita lewati pada pembahasan yang lalu. Ciri-ciri wujud mungkin adalah bahwa ia tidak wujud (eksis) secara mandiri, tetapi ia merupakan realitas akibat yang keberadaannya membutuhkan kepada realitas lainnya. Dengan demikian, ia berarti bergantung kepada wujud selainnya, karena ia pernah mengalami ketiadaan pada masa tertentu. Ketiadaan dan kesirnaannya pada masa tertentu itu menunjukkan bahwa dia butuh kepada selainnya, yaitu butuh kepada yang mengadakannya, Dialah wujud wâjib atau wâjib al-wujud. Mengingat bahwa wâjib al-wujud itu ada dengan sendirinya dan tidak membutuhkan kepada yang selainnya, maka berarti Dia bersifat abadi dan azali. Abadi artinya wujud-Nya tidak berakhir dan tidak diakhiri atau dibatasi oleh sesuatu. Azali artinya bahwa wujud-Nya tidak bermula atau tidak didahului oleh ketiadaan pada masa tertentu.

Dari uraian di atas, kita dapat menetapkan dua sifat pada wâjib al-wujud. Pertama, bahwa wâjib al-wujud itu bersifat azali, yakni Dia tidak didahului oleh ketiadaan. Kedua, Dia adalah abadi, yakni tidak akan tersentuh oleh ketiadaan selama-lamanya. Kedua sifat ini dapat juga disebut dengan sifat sarmadi.

Berdasarkan penjelasan ini, setiap sesuatu yang didahului oleh ketiadaan, atau ada kemungkinan menjadi sirna -walaupun hanya sekejap-, maka ia bukanlah wâjib al-wujud. Dari penjelasan ini menjadi jelas bahwa materi, sekuat apapun, tidak mungkin dan mustahil sebagai wâjib al-wujud atau wujud yang niscaya.


Sifat-sifat Positif dan Negatif
Sifat-sifat tsubutiyah atau positif ialah segala sifat kesempurnaan, seperti mahakuasa, mahatahu, mendengar, melihat dan lain sebagainya. Bila dikatakan bahwa Tuhan Pencipta itu mesti menyandang sifat-sifat tsubutiyah, artinya bahwa Dia memiliki berbagai sifat-sifat kesempurnaan yang tidak terbatas, berbeda dengan sifat-sifat kesempurnaan yang ada pada makhluk-Nya. Sifat-sifat kesempurnaan yang terdapat pada manusia itu terbatas dan bersumber dari-Nya. Lawan dari sifat-sifat tsubutiyah ialah sifat-sifat salbiyah (sifat-sifat negatif). Tuhan Pencipta Mahasuci dari sifat-sifat negatif ini, seperti tidak kuasa, tidak pandai, terangkap dan tersusun dan lain sebagainya. Tuhan Pencipta bersifat kuasa, esa dan basâthah (sederhana), artinya Dia tidak tersusun atau terangkap, karena Dia mandiri dan tidak butuh kepada selain-Nya. Sementara makhluk-makhluk-Nya, manusia misalnya, tersusun dari jasmani dan ruhani. Jasmaninya tersusun dan terangkap dari bermacam-macam anggota. Dan setiap yang tersusun dan terangkap pasti membutuhkan kepada yang lainnya yang merupakan sebab baginya.

Apabila kita berasumsi bahwa Tuhan Pencipta itu tersusun, tetapi bagian-bagiannya tidak ada secara fi'li (aktual), artinya belum terwujud saat sekarang ini dan akan muncul kemudian (bil quwwah/potensial), maka asumsi semacam ini batil. Karena sesuatu yang mempunyai bagian-bagian secara bil quwwah atau yang akan muncul kemudian, secara rasional pasti akan dapat dibagi. Walaupun secara fi'li (aktual=pada saat sekarang), bagian-bagiannya itu belum terealisasi dan belum terwujud. Dan adanya asumsi bahwa Tuhan Pencipta itu dapat dibagi, hal ini memestikan bahwa secara keseluruhan Dia bisa sirna. Misalnya seperti garis yang panjangnya satu meter. Apabila garis itu dibagi dua, yakni menjadi dua kali setengah meter, maka garis yang panjangnya satu meter tersebut telah sirna dan tidak ada lagi. Sementara telah kita pahami dari pembahasan yang telah lalu, bahwa Tuah Pencipta (wâjib al-wujud) tidak mungkin mengalami kefanaan ...(transient) dan kesirnaan, walaupun hanya sekejap saja.

Selain itu, perlu diperhatikan bahwa di antara karakter benda dan materi itu dapat disusun dan dirangkap, baik secara bil fi’li (aktual) maupun secara bil quwah (potensial). Sementara non-materi tidaklah demikian. Hal ini dapat ditangkap secara logis, sehingga tidak memerlukan kepada pemikiran filosofis yang dalam atau analisa dan penelitian. Dengan kata lain, bahwa setiap materi itu terangkap, dan setiap yang terangkap mustahil sebagai wâjib al-wujud dan Tuhan Pencipta. Berdasarkan hal di atas, kita dapat pula menetapkan kenon-materian Tuhan. Menjadi Jelas pula, bahwa Tuhan tidak mungkin dapat dilihat dengan mata kepala dan tidak mungkin dapat dijangkau dengan indera apapun, karena setiap yang dapat dilihat dan dijangkau oleh indera merupakan sifat-sifat khas benda dan materi. Sementara telah kita buktikan bahwa Tuhan itu non-materi.

Sampai di sini, kita telah dapat menetapkan sifat salbiyah lainnya bagi Tuhan Pencipta, yaitu ternafikannya ciri dan karakter materi dari zat-Nya. Dengan ternafikannya sifat materi tersebut, maka akan ternafikan pula semua sifat-sifat yang disandang oleh benda dan materi dari-Nya, seperti butuh kepada tempat dan masa. Karena ketika kita menggambarkan sebuah tempat, maka akan tergambar sesuatu yang memiliki bentuk dan panjang yang menempati tempat tersebut. Dengan demikian, mustahil bagi Tuhan Pencipta membutuhkan tempat. Demikian pula dengan masa. Setiap sesuatu yang bermasa dan tidak lepas dari zaman, pasti dapat dibagi kepada ekstensi masa dan durasinya. Oleh karena itu, hanya materi sajalah yang bermasa atau membutuhkan masa. Dengan penjelasan ini, dapat pula ditetapkan bahwa wâjib al-wujud tidak butuh kepada masa dalam wujud-Nya. Dan setiap yang membutuhkan tempat dan masa pasti bukan wâjib al-wujud.

Dengan demikian, kita sama sekali tidak mungkin dapat menggambarkan Tuhan Pencipta itu sebagai dzat yang butuh kepada tempat dan masa. Begitu pula, segala sesuatu yang membutuhkan tempat dan masa bukanlah wâjib al-wujud. Kemudian dengan ternafikannya waktu atau masa dari wâjib al-wujud, maka akan ternafikan pula adanya gerak, perubahan dan penyempurnaan dzat dari-Nya. Karena, setiap gerak atau perubahan apapun tidak mungkin terwujud tanpa masa. Oleh karena itu, orang-orang yang meyakini bahwa Tuhan Pencipta itu berada pada satu tempat seperti 'arsy atau menisbahkan gerak kepada-Nya, seperti Dia turun dari langit, atau meyakini bahwa Tuhan itu dapat dilihat dengan mata, atau dapat berubah dan meningkat, maka sebenarnya mereka tidak dan belum mengenal Tuhan dengan sebenarnya. Atau Tuhan yang mereka kenal itu adalah bukan Tuhan yang sebenarnya, melainkan Tuhan buatan, gambaran dan khayalan mereka sendiri. Secara global, bahwa setiap arti, gambaran dan konsep atau pemikiran yang menunjukkan kekurangan, keterbatasan dan kebutuhan pada dzat Tuhan, maka hal itu semua ternafikan dari dzat-Nya Yang Mahasuci. Inilah yang dimaksud dengan sifat salbiyah Ilahiyah (sifat-sifat negatif bagi Tuhan).


Sebab Pengada
Kesimpulan kedua yang dapat kita ambil dari argumen yang terdahulu ialah: bahwa wâjib al-wujud merupakan sebab dan illat (cause) bagi keberadaan makhluk-makhluk-Nya. Berikut ini kami akan membahas konsekuensi dari kesimpulan tersebut. Pertama-tama, kami akan menjelaskan macam-macam sebab, kemudian menyelidiki keistimewaan-keistimewaan Sebab Ilahi.

Sebab atau illat -secara umum- adalah setiap realitas dimana realitas lain terwujud dan bergantung kepadanya. Dan sesuatu yang bergantung dan terwujud darinya itu disebut akibat atau ma’lul. Sebab atau illat mencakupi juga syarat-syarat dan sebab penyiap (‘illat muiddah, preparing causes). Telah kita buktikan bahwa Tuhan Pencipta bersifat mandiri, sehingga tidak butuh kepada sebab apapun. Tidak adanya sebab bagi Tuhan, artinya bahwa Dia tidak mempunyai ketergantungan dengan realitas yang lain sekecil apapun. Oleh karena itu, tidak mungkin kita menyatakan bahwa Tuhan Pencipta mempunyai syarat dan pengada bagi wujud dan keberadaan-Nya.

Telah dijelaskan di atas bahwa Tuhan sebagai sebab dan illat utama bagi selain-Nya. Artinya bahwa Dia sebagai pencipta dan pengada seluruh makhluk-Nya. Dan hal itu merupakan makna khusus dari 'illah fâiliyah (sebab pelaku, efficient cause). Untuk menjelaskan poin ini, terlebih dahulu kita harus mengetahui secara global akan macam-macam sebab. Penjelasan yang lebih luas mengenai hal ini bisa dirujuk ke kitab-kitab Filsafat.

Telah kita ketahui, bahwa secara pasti munculnya tumbuh-tumbuhan di atas bumi ini disebabkan oleh adanya bibit-bibit, tanah yang subur, air dan udara. Di samping itu, harus pula terpenuhi faktor-faktor lainnya, seperti faktor alami atau insani yang menebarkan bibit-bibit tersebut di atas tanah dan mengalirkan air ke atasnya. Berdasarkan definisi sebab atau illat yang telah kami jelaskan, semua faktor-faktor ini merupakan sebab munculnya tumbuh-tumbuhan tersebut.

Dari aspek-aspek tertentu, sebab-sebab tersebut dapat diklasifikasikan kepada beberapa macam. Misalnya, sebab-sebab yang keberadaannya senantiasa bersifat dharuri (mesti) bagi terwujudnya akibat, hal itu dinamakan sebagai sebab hakiki (real cause). Sekelompok sebab yang kesinambungannya tidak diperlukan untuk kesinambungan wujud akibat, seperti petani -sehubungan dengan tanaman yang ditanamnya- dinamakan sebagai sebab penyiap (preparing causes). Ada pula sebab-sebab yang posisinya dapat digantikan oleh sebab-sebab selainnya, hal itu dinamakan sebagai sebab alternatif (illah badilah). Sedangkan sebab-sebab yang posisi dan pengaruhnya tidak mungkin digantikan oleh selainnya, maka ia dinamakan sebagai sebab eksklusif (‘illah munhasirah).

Terdapat satu macam sebab lain yang berbeda dengan sebab-sebab yang disebutkan pada realitas tumbuh-tumbuhan di atas. Sehubungan dengan sebab ini, kita dapat menemukan contohnya pada jiwa manusia dan sebagian keadaan dan kondisi kejiwaannya. Ketika seseorang menciptakan suatu bayangan atau gambaran di dalam benaknya, atau bertekad mengerjakan suatu tindakan, maka akan terjadilah di dalam dirinya suatu fenomena kejiwaan yang dinamakan dengan gambaran mental (shurah zihniyah), atau kehendak yang keberadaannya merupakan akibat dan bergantung kepada keberadaan jiwa (nafs). Jelas, akibat semacam ini tidak memiliki kemandirian sedikit pun dari sebabnya, dan tidak mungkin berpisah dan mandiri dari wujud sebabnya.

Tetapi pada saat yang sama, kita perhatikan bahwa “penciptaan jiwa” (fâ'iliyah nafs) atas gambaran di mental atau atas kehendak, hal itu memerlukan syarat-syarat tertentu yang muncul lantaran kekurangan, keterbatasan dan kemungkinan (imkan) wujud yang merupakan sifat-sifat substansial jiwa.

Oleh karena itu, penciptaan wâjib al-wujud atas alam raya ini, jauh lebih hebat dan lebih sempurna dibandingkan dengan penciptaan jiwa atas keadaan dan pengalaman-pengalaman dirinya. Kita tidak akan mendapatkan padanan ciptaan Tuhan atas seluruh ciptaan. Karena ciptaan Tuhan sama sekali tidak butuh kepada apapun untuk mengadakan akibat-Nya, yaitu akibat yang sekujur wujudnya hanyalah ketergantungan mutlak kepada-Nya.


Keistimewaan Sebab Pengada
Berdasarkan penjelasan di atas, kami dapat menyebutkan sifat-sifat khas yang penting yang dimiliki oleh Sebab Pengada (creative cause, illah mujidah).

Pertama, Sebab pengada memiliki seluruh kesempurnaan -yang dimiliki oleh akibatnya- secara lebih sempurna, sehingga ia bisa memberikan kesempurnaan kepada setiap akibat sesuai dengan kapasitas wujudnya masing-masing. Berbeda halnya dengan sebab penyiap dan sebab materi yang berlaku sebagai pengadaan lahan yang sesuai untuk perubahan pada wujud akibat, bukan untuk wujudnya itu sendiri. Oleh karena itu, sebab penyiap dan sebab materi tidak mesti mencakupi kesempurnaan-kesempurnaan yang terdapat pada akibatnya.

Misalnya, tersedianya tanah itu tidak perlu kepada kesempurnaan yang dimiliki oleh tumbuh-tumbuhan, atau keberadaan kedua orang tua tidak butuh kepada kesempurnaan anak-anaknya. Adapun Tuhan sebagai sebab pengada (creative cause, illah mujidah), mesti memiliki semua kesempurnaan-kesempurnaan wujud segala sesuatu, di samping sifat basatah-Nya (ketaktersusunan). Dengan kata lain bahwa segala kesempurnaan yang ada pada ciptaan Tuhan, pasti dimiliki oleh Tuhan sebagai penciptanya. Bahkan kesempurnaan yang ada pada Tuhan itu jauh lebih tinggi dan tidak bisa digambarkan atau dipadankan dengan segala kesempurnaan yang dimiliki makhluk-Nya.

Kedua, Sebab pengada itu mewujudkan akibatnya dari ketiadaan. Yakni, dia dapat menciptakan akibatnya. Tetapi, penciptaannya itu tidak mengurangi wujudnya sedikit-pun. Berbeda halnya dengan sebab alami (fa'il tabi'i) yang aktif, yaitu mengubah akibat yang ada dengan mengerahkan seluruh potensi. Apabila diasumsikan ada sesuatu yang terpisah dari dzat wâjib al-wujud, ini berarti bahwa dzat Tuhan dapat dibagi dan berubah. Padahal, ini telah jelas kemustahilannya.

Ketiga, Sebab pengada merupakan sebab sejati (real cause, 'illat hakikiyah). Oleh sebab itu, keberadaannya merupakan dharuri (niscaya) untuk kesinambungan wujud akibatnya. Berbeda dengan sebab penyiap; kesinambungan akibatnya tidak lagi butuh kepadanya.

Sehubungan dengan penjelasan tersebut, maka apa yang telah disampaikan oleh sebagian teolog bahwa kekekalan semesta tidak butuh kepada Tuhan, begitu juga apa yang dikatakan oleh sebagian filosof Barat, bahwa alam materi ini laksana jam yang telah diatur dan diukur putaran waktunya, lalu secara otomatis bergerak dengan sendirinya, sehingga alam semesta ini tidak butuh lagi kepada Tuhan Pencipta dalam melanjutkan berbagai aktifitasnya, maka pandangan-pandangan seperti ini jauh dari kebenaran. Karena alam wujud ini selalu butuh dan bergantung kepada Tuhan dalam segala keadaannya. Apabila Tuhan Pencipta itu menghentikan anugerah-Nya, walaupun hanya sekejap saja, maka akibatnya tidak akan ada lagi yang tersisa dari alam tersebut.




Sifat-sifat Dzatiyah [2]

Mukadimah
Telah kami jelaskan pada uraian yang lalu, bahwa Tuhan Pencipta merupakan “Sebab dan Illat Pengada” bagi makhluk manusia dan alam semesta ini, dimana seluruh kesempurnaan wujud terdapat hanya pada dzat-Nya, dan berbagai kesempurnaan yang dimiliki oleh setiap maujud dan seluruh makhluk ciptaan-Nya itu bersumber dari-Nya. Sementara kesempurnaan zat-Nya tidak berkurang sedikit pun ketika Dia menganugerahkan kesempurnaan tersebut kepada makhluk-makhluk-Nya.

Untuk lebih jelasnya, kami akan bawakan contoh yang kerap terjadi pada kehidupan kita sehari-hari. Misalnya tatkala seorang guru mengajarkan berbagai ilmu kepada murid-muridnya, apakah ilmu yang dimiliki si guru tersebut akan berkurang? Jawabnya tentu saja tidak, sama sekali. Demikian pula mengenai anugerah Wujud Tuhan. Sudah pasti bahwa anugerah wujud dan segenap kesempurnaan Wujud dari Tuhan Pencipta itu jauh lebih unggul dan mulia daripada contoh tersebut. Lebih dari itu semua, bahwa kesempurnaan Tuhan Pencipta itu bersifat mutlak dan tidak terbatas. Oleh karena itu, setiap ungkapan, pujian, konsep ataupun mafhum yang mengungkapkan kesempurnaan yang tidak meniscayakan kekurangan dan batasan apapun, dapat diterapkan pada dzat Tuhan.

Adapun sifat-sifat Tuhan Pencipta yang disebutkan di dalam kitab-kitab Filsafat dan Teologi, memang sangat terbatas. Sifat-sifat tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sifat-sifat dzatiyah (sifat-sifat esensial) dan sifat-sifat fi'liyah (sifat-sifat perbuatan). Pertama-tama, kami akan menjelaskan dua bagian tersebut. Setelah itu, kami akan menjelaskan beberapa sifat yang paling penting di antara sifat-sifat tersebut, kemudian menetapkannya dan membawakan argumentasinya.


Sifat-sifat Dzatiyah dan Fi'liyah
Sifat-sifat dzatiyah (esensial) artinya sifat-sifat Tuhan yang dapat diambil dan dipahami dari esensi dzat-Nya. Dengan kata lain, bahwa sifat-sifat dzatiyah ialah sifat-sifat kesempurnaan yang dinisbatkan kepada Tuhan Pencipta yang berupa konsep-konsep atau gambaran di benak yang diperoleh akal dari pengamatannya atas zat-Nya, seperti; sifat hidup (al-Hayah), ilmu (al-'Ilm), dan kuasa (al-Qudrah) dan sifat-sifat lainnya. Adapun sifat-sifat fi’liyah (perbuatan) artinya sifat-sifat Tuhan yang diambil dan dipahami dari perbuatan-Nya. Dengan kata lain, bahwa sifat-sifat fi’liyah ialah sifat-sifat kesempurnaan yang berupa konsep-konsep yang diperoleh akal dari pengamatannya atas bentuk-bentuk hubungan antara Tuhan dengan makhluk-makhluk-Nya, seperti; penciptaan (Al-Khâliqiyyah) dan pemberian rizki (Ar-Râzikiyyah).

Perbedaan mendasar antara dua sifat tersebut ialah bahwa sifat-sifat dzatiyah merupakan realitas objektif yang nyata bagi dzat Tuhan. Adapun sifat-sifat fi’liyah merupakan relasi atau nisbah antara Tuhan dengan makhluk-Nya. Artinya bahwa dzat Tuhan dan dzat makhluk-Nya, merupakan dua sisi relasi. Misalnya Al-Khâliqiyyah, sifat ini diperoleh dari hubungan yang terdapat pada makhluk-makhluk-Nya dengan dzat Tuhan sebagai pencipta. Dalam hal ini, Tuhan dan seluruh makhluk-Nya merupakan dua sisi hubungan tersebut. Tetapi dalam realitasnya, tidak terdapat apa pun selain dzat Tuhan dan dzat-dzat makhluk-Nya. Artinya bahwa Al-Khâliqiyyah itu bukanlah sebuah realitas yang nyata. Melainkan ia merupakan cerapan dan pahaman yang diambil dari dua sisi hubungan tersebut.

Pada tataran dzat, sudah jelas bahwa Tuhan memiliki sifat al-Qudrah (kekuasaan) untuk mencipta. Tetapi, sifat ini merupakan sifat dzatiyah. Adapun al-Khalq (penciptaan) merupakan mafhum idhâfi (konsep relasional) yang diperoleh pada tataran perbuatan dan tindakan Tuhan. Oleh karena itu, maka al-Khâliq (pencipta) termasuk sifat fi'liyah. Lain halnya jika kita menafsirkan al-Khâliq (pencipta) dengan al-Qâdir 'alal khalq (kuasa untuk mencipta), maka dalam hal ini, ia kembali kepada sifat dzatiyah, yakni al-Qudrah.

Sifat-sifat dzatiyah Tuhan Pencipta yang penting ialah al-Hayah (hidup), al-'Ilm (tahu), dan al-Qudrah (kuasa). Adapun sifat mendengar (as-Sami') dan melihat (al-Bashir), apabila kedua sifat ini ditafsirkan bahwa Tuhan mengetahui apa saja yang Dia dengar dan apa saja yang Dia lihat, atau Dia kuasa untuk mendengar dan melihat, maka sebenarnya kedua sifat tersebut menginduk kepada al-'Alim dan al-Qadir (Mahatahu dan Mahakuasa). Namun, jika maksud kedua sifat itu adalah mendengar dan melihat secara fi'li (aktual) yang dicerap dan diambil oleh akal melalui hubungan Dzat Yang Mahadengar dan Mahalihat dengan segala sesuatu yang mungkin untuk didengar dan dilihat, maka kedua sifat tersebut termasuk atau digolongkan ke dalam sifat fi'liyah. Sebagimana sifat ilmu, terkadang digunakan dengan pengertian seperti itu pula, yang dinamakan sebagai ilmu fi'li. Sebagian Teolog menggolongkan sifat “berkata” (al-Kalam) dan “berkehendak” (irâdah) ke dalam sifat dzatiyah, dan hal ini akan kita bahas pada bagian berikutnya.


Sifat-sifat Dzatiyah Manusia
Sebagaimana telah kami jelaskan di atas bahwa Tuhan Pencipta memiliki sifat-sifat dzatiyah seperti hidup (al-hayah), kuasa (al-Qudrah) dan tahu (al-‘Ilm). Jika kita perhatikan sifat-sifat tersebut pada makhluk-Nya, maka sudah jelas bahwa sifat-sifat tersebut terdapat pada manusia. Artinya bahwa manusia dapat hidup, memiliki kemampuan dan pengetahuan. Satu hal yang penting diperhatikan adalah perbedaan sifat-sifat tersebut pada manusia dan pada Tuhan. Sebagaimana sifat-sifat tersebut merupakan kesempurnaan bagi Tuhan Pencipta, maka ketika sifat-sifat tersebut berlaku pada makhluk-makhluk-Nya, merupakan kesempurnaan pula bagi mereka. Perbedaannya adalah sifat-sifat itu terdapat pada Tuhan Pencipta -sebagai Sebab Pengada- dalam bentuk yang lebih tinggi dan lebih sempurna, bahkan tidak terbatas. Karena, setiap kesempurnaan yang ada pada makhluk-Nya, bersumber dari Sebab Pengada (creative cause), sebagaimana telah dijelskan pada kajian yang telah lalu. Dan sifat-sifat tersebut mesti dimiliki oleh-Nya, sehingga Dia dapat menganugerahkan kepada makhluk-makhluk-Nya. Sebab, tidak mungkin, apabila Dia sebagai Pencipta kehidupan, sementara Dia sendiri tidak memiliki sifat-sifat dzatiyah terebut. Dan juga tidak mungkin Dia menganugerahkan pengetahuan dan kekuasaan kepada makhluk-makhluk-Nya, apabila Dia sendiri memiliki sifat-sifat kebalikannya, yaitu jahil dan lemah. Karena -sesuai dengan kaidah logika- setiap yang tidak memiliki sesuatu, pasti tidak akan dapat memberikan sesuatu itu kepada selainnya (Fâqidu As-Syai La Yu'thihi). Artinya apabila Tuhan Pencipta itu tidak memiliki sifat hidup (al-Hayah) sebagai sifat dzatiyah, maka tidak mungkin Dia akan menganugerahkan sifat tersebut kepada makhluk-Nya, yaitu dengan cara menghidupkannya. Adapun sifat hidup (al-Hayah) yang disandang oleh manusia, dan juga sifat-sifat lainnya, bukan merupakan sifat dzatiyah baginya. Oleh karena itu, manusia tidak dapat memberikan sifat tersebut kepada selainnya secara mandiri. Karena sifat-sifat tersebut merupakan anugerah Tuhan kepadanya yang tidak abadi dan tidak pula azali.

Dengan memperhatikan keberadaan sifat-sifat kesempurnaan tersebut pada sebagian makhluk-Nya, maka hal itu dapat dijadikan sebagai dalil atas keberadaan sifat-sifat tersebut pada Tuhan sebagai Penciptanya, dengan tanpa berkurang, dan bahkan tidak terbatas. Artinya, bahwa Tuhan Pencipta itu memiliki sifat hidup, ilmu dan kuasa secara mutlak dan tak terbatas.


Hidup (Al-Hayat)
Telah kami jelaskan mengenai sifat hidup (al-Hayat) ini di atas. Tetapi agar materi ini dapat dipahami lebih baik lagi, maka alangkah baiknya jika kami uraikan lebih dalam.

Jika sifat hidup (al-Hayat) ini kita perhatikan dengan seksama pada selain Tuhan Pencipta, maka akan kita dapati bahwa pengertian hidup (al-Hayat) itu digunakan untuk dua golongan makhluk-Nya. Golongan pertama adalah tumbuhan, di mana dia mempunyai potensi untuk tumbuh dan berkembang. Dan kelompok kedua adalah hewan dan manusia, dimana mereka ini mempunyai perasaan dan kehendak. Tetapi makna pertama dari pengertian hidup tersebut meniscayakan adanya kekurangan dan kebutuhan. Karena, kodrat tumbuh dan berkembang pada tumbuhan meniscayakan bahwa sesuatu yang tumbuh itu pada awalnya tidak memiliki kesempurnaan. Tetapi, karena adanya sebagian faktor dan efek luar, maka terjadilah perubahan dan perkembangan, sehingga ia dapat mencapai kesempurnaan yang baru secara berangsur-angsur. Kelaziman semacam ini tidak mungkin dinisbahkan kepada Tuhan Pencipta, sebagaimana telah kami bahas pada tema sifat-sifat salbiyyah (negatif). Karena zat Tuhan itu mandiri dan tidak butuh kepada selain-Nya.

Adapun makna kedua dari hidup tersebut, merupakan mafhum kamali (pahaman sempurna). Dengan kata lain bahwa makna al-Hayah yang kedua ini tidak mengharuskan kekurangan dan kebutuhan, tetapi merupakan pengertian yang sempurna, walaupun pada sebagian realitas yang bersifat “mungkin” masih diliputi oleh sejumlah kekurangan dan keterbatasan. Meski begitu, kita dapat memahami makna hidup yang kedua ini adanya peringkat yang tidak terbatas; tidak terdapat kekurangan, batasan ataupun kebutuhan. Hal ini sebagaimana makna dan mafhum Al-Wujud dan Al-Kamal. Singkatnya adalah bahwa makna dan mafhum (pahaman) al-Wujud (ada) dan al-Kamal (sempurna) merupakan pahaman atau mafhum yang -jika kita menggambarkannya- terdapat peringkat yang tidak terbatas dan tidak terdapat kekurangan, kebutuhan dan batasan di dalamnya. Demikian pula jika kita coba menggambarkan makna dan mafhum al-Hayah pada makna yang kedua.

Adapun sifat hidup (al-Hayah) dengan maknanya yang meniscayakan pengetahuan dan pelaku yang berkehendak, maka hal itu termasuk keniscayaan wujud non-materi. Hal itu karena, meskipun Al-Hayah itu dinisbahkan kepada makhluk-makhluk hidup fisikal, tetapi sebenarnya sifat hidup ini merupakan sifat bagi ruhnya, dan bukan sifat bagi badan fisiknya. Kalaupun badan itu disifati dengan sifat hidup, lantaran ia bergantung dan mempunyai hubungan yang erat dengan ruhnya. Dengan kata lain, bahwa imtidâd (ekstensi, tumbuh dan berkembang) merupakan keniscayaan bagi wujud materi. Sementara al-hayah merupakan keniscayaan bagi wujud mujarrad (ruh, non-materi). Demikian demikian, maka sifat hidup itu (Al-Hayah) merupakan keniscayaan bagi wujud mujarrad (non-materi), dan bukan keniscayaan bagi wujud fisikal dan materi.

Dari sinilah, terbetik argumen lain atas sifat hidup Tuhan Pencipta, yaitu bahwa Tuhan Pencipta itu bersifat non-materi dan tidak berbentuk, sebagaimana telah kami jelaskan pada pelajaran yang lalu. Dan bahwa setiap yang non-materi itu memiliki sifat al-Hayah secara esensial (dzati). Dengan demikian bahwa Tuhan Pencipta itu memiliki sifat hidup secara esensial.


Tahu (al-‘Ilm)
“Tahu” atau “mengetahui” (al-‘Ilm) adalah salah satu kata yang makna dan pengertiannya sangat jelas dan gamblang bagi semua orang. Setiap manusia yang berakal sehat pasti memahami dan bahkan merasakan dalam lubuk hatinya mengenai makna dan pengertian kata “tahu”. Mafhum kata “tahu” (al-‘Ilm) dapat diterapkan dan dinisbahkan kepada Tuhan Pencipta dan juga kepada manusia dan makhluk-makhluk lainnya. Tetapi, apabila kata tersebut diterapkan pada makhluk-makhluk-Nya, maka ia menjadi pengertian yang terbatas dan tidak sempurna. Setinggi apapun ilmu dan pengetahuan manusia terhadap sesuatu, tentu ada batas dan kekurangannya. Sifat “tahu” atau “mengetahui” yang merupakan sifat makhluk tersebut, sekalipun banyak dan tinggi pengetahuannya, tidak mungkin berlaku pada Tuhan Pencipta.

Mafhum al-‘Ilm (tahu, mengetahui) tidak berbeda dengan mafhum al-Hayah, al-Wujud dan al-Kamal yang telah kami jelaskan di atas, yaitu kita dapat menggambarkan pahaman kata al-‘Ilm tersebut -dengan akal pikiran kita- dan menerapkannya pada mishdaq-nya (obyek luar) yang tidak terbatas dan bersifat sempurna secara mutlak. Ketika itu, maka al-‘Ilm (ilmu, tahu) identik dengan dzat al-‘Alim (yang mengetahui) itu sendiri. Inilah ilmu dzati (pengetahuan esensial) yang ada pada Tuhan Pencipta.

Untuk membuktikan sifat tahu pada Tuhan Pencipta, kita dapat menggunakan beberapa cara. Pertama, menggunakan cara yang telah kita gunakan untuk menetapkan seluruh sifat-sifat dzati bagi-Nya. Artinya, mengingat bahwa tahu itu terdapat pada makhluk-makhluk Tuhan, sudah pasti sifat itu pun terdapat pada-Nya dengan bentuk yang lebih mulia dan sempurna, bahkan tidak terbatas.

Kedua, menggunakan argumen keteraturan (argument from design, burhân nidhâm), yaitu bahwa setiap fenomena atau ciptaan -seperti rumah, mobil, dan lain sebagainya- yang memiliki keteraturan, keindahan dan kekokohan lebih banyak, maka berarti hal itu menunjukkan bahwa penciptanya memiliki ilmu pengetahuan lebih banyak pula. Contoh semacam ini dapat kita temukan pada karya ilmiah atau bait qasidah yang indah, atau karya seni yang menunjukkan sejauhmana penciptanya memiliki pengetahuan, cita-rasa dan pengalaman. Tidak mungkin seorang yang berakal sehat menganggap dan menilai bahwa sebuah buku ilmiah atau kitab Filsafat ditulis oleh orang yang bodoh dan tidak berpendidikan. Atas dasar itu, bagaimana mungkin alam semesta beserta isinya yang penuh dengan berbagai rahasia dan keunikan ini diciptakan oleh dzat yang bodoh dan tidak tahu atau memilki pengetahuan yang terbatas.

Ketiga, menggunakan premis-premis Filsafat Teoritis yang ghairu badihiyah (perlu pembuktian). Misalnya, kaidah Filsafat yang berbunyi: "Setiap maujud non-materi yang mandiri adalah ‘Alim (mengetahui)" sebagaimana hal ini dibuktikan dalam kitab-kitab yang khusus membahas masalah ini.


Kuasa (al-Qudrah)
Sifat esensial yang perlu dibuktikan keberadannya pada dzat Tuhan pencipta lainnya adalah al-Qudrah (kuasa). Sebagaimana sifat al-‘Ilm, al-Qudrah-pun merupakan satu sifat yang jelas makna dan pengertiannya serta mudah tergambar dalam benak dan akal pikiran sehat setiap insan. Al-Qudrah, kuasa atau mampu biasanya dinisbahkan kepada setiap pelaku yang melakukan tindakan dan perbuatannya atas dasar kehendak dan pilihannya. Ketika itu dikatakan bahwa ia memiliki kemampuan atas tindakan tersebut. Dengan demikian, al-Qudrah (kuasa, mampu) merupakan kekuatan dan dasar bagi seorang pelaku -yang memiliki kehendak dan pilihan- dalam melakukan suatu perbuatan yang mungkin dilakukannya. Kuasa dan kemampuan setiap orang -tentunya- berbeda-beda, dan banyak faktor yang menjadikan kekuasaan dan kemampuan setiap orang itu bergradasi. Sebagaimana Al-Qudrah, al-Wujud pun memiliki gradasi yang banyak. Begitu pula dengan sifat-sifat yang lainnya.Yang jelas bahwa semakin banyak dan tinggi kesempurnaan si pelaku -dari sisi derajat wujudnya- maka semakin banyak pula kekuasaan dan kemampuan yang dimilikinya. Dengan demikian, maka -sudah pasti- dzat yang memiliki kesempurnaan yang tidak terbatas, memiliki kekuasaan dan kemampuan yang tak terbatas pula. Dengan kata lain bahwa mengingat wujud Tuhan Pencipta itu bersifat sempurna secara mutlak dan tidak terbatas (sebagaimana telah kita buktikan pada kajian yang telah lalu), maka al-Qudrah, kekuasaan dan kemampuan-Nya-pun bersifat mutlak dan tidak terbatas pula.

Sehubungan dengan uraian di atas, agar kajian ini menjadi lebih jelas dan mudah dipahami, kiranya perlu kami tekankan beberapa poin berikut ini:

Pertama: Al-Qudrah itu tidak mesti berkaitan dengan seluruh tindakan dan perbuatan. Artinya ada sebagian tindakan dan pekerjaan yang berkaitan erat dengan al-Qudrah dan sebagain lainnya tidak berkaitan dengannya. Setiap tindakan dan pekerjaan dimana al-Qudrah itu berkaitan erat dengannya, maka ia bersifat mumkin tahaqquq (dapat terealisasi). Dengan kata lain apabila al-Qudrah itu berkaitan erat dengan suatu tindakan dan perbuatan, maka tindakan dan perbautan tersebut dapat diharapkan terealisasi. Atas dasar itu, maka sesuatu yang bersifat muhal (mustahil, tidak terwujud) secara substansial, atau sesuatu yang meniscayakan kemustahilan (muhal), maka al-Qudrah itu tidak berkaitan dengannya. Ketika al-Qudrah tersebut tidak berkaitan dengannya, maka tidak mungkin tindakan dan perbuatan tersebut dapat terealisasi.

Dari uraian di atas dapat dipahami, jika dikatakan bahwa Tuhan Pencipta itu Mahakuasa atas segala sesuatu, yaitu Dia mampu menciptakan apa saja yang Dia kehendaki, maka hal itu -tentunya- ketika al-Qudrah-Nya itu berhubungan dan ada kaitannya dengan sesuatu tersebut. Jika tidak, maka tidak mungkin akan terwujud. Misalnya, jika Tuhan itu Mahakuasa, apakah Dia mampu menciptakan Tuhan? Apakah Dia juga kuasa menjadikan angka dua (sebagai angka dua) lebih besar dari angka tiga? Apakah Dia mampu menciptakan seorang anak sebelum ayahnya? Dan sebagainya. Tentu jawabnya tidak. Karena Tuhan itu tidak diciptakan. Jika Tuhan itu diciptakan, maka berarti ia bukan lagi Tuhan namanya. Angka dua pasti lebih kecil dibanding angka tiga, karena urutannya jatuh sebelum angka tiga. Mustahil Tuhan menjadikan angka dua itu lebih besar, sementara ia tetap pada urutannya. Begitu pula dengan wujud seorang anak sebelum ayahnya, hal ini tidak mungkin terjadi, karena menyalahi sunnah-Nya. Dan setiap orang yang terlahir sebelum seorang ayah, ia pasti sebagai ayahnya dan bukan lagi sebagai anaknya. Dan begitulah seterusnya.

Kedua: Sesungguhnya mampu dan kuasa atas segala tindakan dan perbuatan, tidak memestikan bahwa al-Qâdir (yang memiliki kemampuan) itu harus melakukan segala perbuatan yang ia sanggupi. Dengan kata lain, bahwa seseorang yang memiliki kemampuan dan kekuasaan tidak berarti bahwa kekuasaan dan kemampuannya itu senantiasa memaksanya untuk melakukan apa saja. Tetapi, ia hanya akan melakukan sesuatu itu jika ia berminat dan bekehendak. Tuhan Pencipta itu, di samping Mahakuasa, Dia pun Mahabijak. Atas dasar itu, maka Dia tidak akan melakkukan perbuatan dan tindakan apapun, kecuali dengan penuh kebijakan-Nya. Dan tidak akan keluar tindakan apapun darinya kecuali yang baik dan mengandung mashlahat bagi hamba-hamba dan segala ciptaan-Nya. Dia tidak akan merealisasikan tindakan-tindakan yang tidak baik dan tidak bijak, meskipun Dia Mahakuasa dan Mampu untuk melakukan tindakan yang buruk dan munkar. Hal ini akan kita bahas pada pelajaran Hikmah Ilahiyah.

Ketiga: Sesungguhnya makna dan pengertian al-Qudrah (bagi Tuhan Pencipta) yang telah kami jelaskan itu mengandung makna ikhtiar (free-will, bebas memilih). Berbeda halnya dengan kuasa pada manusia. Terkadang manusia itu memiliki kemampuan dan kekuasaan, tetapi ia merasa terpaksa dalam melakukan perbuatan dan tindakannya tersebut. Artinya perbuatannya itu tidak atas dasar ikhtiyar, pilihan dan kebebasan kehendaknya. Adapun Tuhan Pencipta, di samping memiliki derajat kekuasaan dan kemampuan yang paling tinggi, Dia pun memiliki ikhtiar dan kebebasan memilih yang paling tinggi dan sempurna. Artinya, tidak mungkin ada faktor apa pun yang memaksa-Nya untuk melakukan suatu tindakan atau mencabut ikhtiar dari-Nya. Karena, wujud dan kemampuan segala sesuatu itu bersumber dari-Nya. Dengan demikian, maka tidak mungkin Dia dapat dipaksa dan dikalahkan oleh berbagai kekuatan dan kekuasaan yang Dia berikan kepada makhluk-makhluk-Nya.



Sifat-sifat Fi'liyah [3]

Mukadimah
Pada kajian yang telah lalu telah kami jelaskan mengenai makna dan pengertian sifat-sifat fi’liyah Tuhan Pencipta. Pendek kata bahwa sifat fi'liyah itu merupakan mafhum (pahaman, konsep) yang terdapat di benak dan mental seseorang yang dicerap oleh akalnya melalui perbandingan antara dzat Tuhan Pencipta dan makhluk-makhluk-Nya, yaitu dengan cara mengamati hubungan tertentu di antara keduanya. Dalam hal ini, Khâliq (Tuhan Pencipta) dan makhuk-Nya merupakan dua sisi hubungan. Misalnya seperti sifat Al-Khâliqiyah, sifat ini diperoleh akal dengan cara mengamati hubungan wujud makhluk-makhluk dengan Tuhan Pencipta. Hanya dengan jalan mengamati hubungan antara Khâliq dan makhluk-Nya itulah sifat ini dapat diambil dan dipahami. Dengan demikian, apabila hubungan di antara keduanya itu tidak diamati, maka sifat fi’liyah tersebut tidak mungkin dapat diperoleh dan dipahami.

Sesungguhnya hubungan-hubungan yang mungkin dapat tergambar antara Tuhan Pencipta dan makhluk-Nya itu tidak dapat dibatasi. Tetapi secara global dan dari satu sisi , hubungan-hubungan tersebut dapat dibagi kepada dua kelompok.

Kelompok pertama: Mengamati dan memahami hubungan-hubungan antara Khâliq dan makhluk-Nya secara langsung, seperti Al-I^jâd (mewujudkan), Al-Khalq (menciptakan), Al-Ibdâ` (mengadakan) dan sebagainya. Artinya sifat-sifat tersebut dapat kita peroleh dan kita pahami melalui pengamatan dua sisi hubungan, yaitu antara Tuhan dan makhluk-Nya. Tanpa memperhatikan hal-hal lainnya sama sekali.

Kelompok kedua: Mengamati dan memperhatikan hubungan-hubungan antara Khaliq dan makhluk-Nya setelah mempersepsi hubungan-hubungan yang lainnya, seperti rizki. Artinya, pada awalnya kita menggambarkan dan memperhatikan adanya hubungan dzat pemberi rizki (Tuhan Pencipta) dan dzat penerima rizki (makhluk-Nya). Setelah itu, kita memahami dan memperhatikan limpahan rahmat Tuhan Pencipta kepada si makhluk tersebut. Dengan cara seperti itu, barulah kita memperoleh mafhum dan konsep Ar-Râziq (pemberi rizki) dan Ar-Razzaq (Mahapemberi rizki).

Metode lainnya untuk dapat memahami dan mencerap adanya sifat fi’liyah bagi Tuhan Pencipta adalah dengan mengonsepkan berbagai hubungan antara satu makhluk dengan yang lainnya. Dengan kata lain, sebelum kita mencerap dan memahami sifat fi’liyah bagi Tuhan Pencipta, kita memperhatikan berbagai hubungan yang terdapat di antara makhluk-makhluk ciptaan-Nya. Setelah itu, barulah kita mengamati dan memperhatikan hubungannya dengan Tuhan Pencipta.

Di samping itu, kita dapati pula adanya konsep yang muncul dari beberapa hubungan sebelumnya antara Tuhan Pencipta dan makhluk-Nya, misalnya seperti konsep maghfirah (ampunan), dimana konsep ini muncul dari pengaturan syariat Tuhan, penentuan-Nya terhadap hukum-hukum syariat dan penyimpangan atau pengingkaran hamba-Nya terhadap hukum-hukum tersebut. Dengan demikian, untuk dapat memahami sifat-sifat fi'liyah Tuhan, terlebih dahulu kita harus melakukan suatu perbandingan antara Tuhan Pencipta dengan makhluk-makhluk-Nya. Pada tahapan ini, kita akan menemukan adanya hubungan antara dzat Tuhan Pencipta dengan yang dicipta (makhluk-Nya). Kemudian, dengan cara ini kita akan memperoleh konsep idhâfi (relasional) dari hubungan tersebut. Oleh karena itu, dzat Tuhan Pencipta Yang Mahasuci tidak bisa dijadikan sebagai mishdâq (ekstensi, obyek luar) bagi sifat-sifat fi'liyah secara mandiri (tanpa mengamati hubungan tersebut). Dengan uraian tersebut, maka menjadi jelaslah perbedaan utama antara sifat-sifat dzatiyah dan sifat-sifat fi'liyah bagi Tuhan Pencipta alam semesta ini.

Pada kajian yang telah lewat, kami juga telah menjelaskan kepada segenap pembaca, bahwa kita dapat memperhatikan sifat-sifat fi'liyah dari sisi sumber dan asal-usulnya, yaitu dzat Tuhan Pencipta. Dengan demikian, sifat-sifat fi'liyah akan bermuara pada sifat-sifat dzatiyah, sebagaimana pada contoh al-Khâliq (pencipta) dan al-Khallâq (Mahapencipta). Apabila kita tafsirkan sifat ini dengan Qadir (bentuk isim fâ’il = Mahakuasa) atas makhluknya, maka ia berasal dari sifat al-Qadîr (bentuk pleonastis [mubâlaghah]= Sangat Mahakuasa). Sifat as-Samî' (Mahamendengar) dan sifat al-Bashîr (Mahamelihat), abila kedua sifat ini kita tafsirkan dengan mengetahui (al- 'Alim) segala hal yang didengar dan dilihat, maka keduanya itu kembali dan berasal dari sifat al- 'Alîm (Mahatahu = dalam bentuk pleonastis, mubâlaghah).

Terdapat pula beberapa mafhum (konsep, pahaman) yang dapat digolongkan ke dalam sifat-sifat dzatiyah. Tetapi kita dapat pula menggambarkan dan menemukan padanya makna idhâfi (relasional) dan makna fi'li (bersifat aksional). Oleh karena itu, sifat-sifat tersebut dapat dikategorikan dan dianggap sebagai sifat-sifat fi'liyah, seperti mafhum (konsep) al-'Ilm (tahu)

Satu hal yang perlu kita perhatikan dan dicatat secara seksama adalah apabila kita menggambarkan dan memperhatikan adanya hubungan antara Tuhan Pencipta dan hal-hal material, sehingga melalui gambaran hubungan tersebut kita dapat memperoleh dan mencerap sifat fi'liyah tertentu pada Tuhan, maka sifat ini akan terbatasi dengan tempat dan waktu dari sisi keterkaitannya dengan maujud-maujud materi yang merupakan salah satu sisi hubungan tersebut. Kendati demikian, bila dilihat dari sisi keterkaitannya dengan Tuhan Pencipta sebagai sisi lain hubungan tersebut, maka sifat ini suci dari batasan apa pun. Misalnya, pemberian rizki kepada seseorang, anugerah rizki ini tidak akan dapat terwujud, kecuali pada masa dan tempat tertentu. Pada hakikatnya, batasan masa dan waktu ini berkaitan dengan orang yang menerima rizki itu, bukan dengan Tuhan sebagai Pemberi rizki, karena Dia Mahasuci dari penisbahan masa dan tempat apa pun (sebagaimana telah kami jelaskan). Dengan kata lain, bahwa sifat-sifat fi’liyah yang kita cerap dan kita pahami melalui jalan menggambarkan dan memperhatikan adanya hubungan antara Tuhan Pencipta dan makhluk-Nya itu, memiliki dua sisi. Artinya, dari satu sisi sifat-sifat tersebut tidak terbatas dan bersifat mutlak, tetapi dari sisi lain terbatas dan penuh kekurangan. Jika kita memperhatikan sisi keterkaitan sifat-sifat tersebut kepada dzat Tuhan Pencipta, maka ia bersifat mutlak dan tidak terbatas. Karena sifat-sifat tersebut sebagai dzat Tuhan itu sendiri (shifatuhu ‘aynu dzatihi).

Tetapi jika kita memperhatikan sisi keterkaitan sifat-sifat tersebut kepada makhluk Tuhan -sebagai sisi lain yang menerima anugerah Tuhan- maka sifat-sifat tersebut tidak mutlak, bahkan sangat terbatas, penuh dengan kekurangan dan kebutuhan. Karena manusia dan makhluk-Nya sebagai materi yang sangat terbatas dan senantiasa bergantung kepada-Nya.

Penjelasan dan catatan ini merupakan kunci untuk menyelesaikan berbagai keraguan yang dilontarkan terhadap upaya mengenal sifat-sifat dan perbuatan atau tindakan Tuhan yang telah menyebabkan banyaknya pertikaian di antara para ulama dan pemikir. Semoga kiranya materi penting ini dapat dipahami dengan sebaik-baiknya. Membacanya berulang-ulang, merenungkan dan mendiskusikannya, merupakan upaya yang paling baik untuk memahami materi ini.


Pencipta
Setelah kita dapat membuktikan eksistensi Wâjib al-wujud (Tuhan Pencipta) dan bahwa ia merupakan sebab utama bagi keberadaan dan kesinambungan mumkin al-wujud ( makhluk ciptaan-Nya), dan juga bahwa dengan memperhatikan segala yang ada pada wujud makhluk-Nya itu bergantung kepada-Nya secara mutlak, maka dari sinilah dapat ditemukan dan dicerap sifat pencipta (al-Khaliqiyyah) pada Wâjib al-wujud dan sifat yang dicipta (makhluqiyah) pada makhluk-Nya tersebut. Sifat pencipta ini atau al-Khaliqiyah identik dengan Illat atau Sebab Pengada (creative cause). Sementara seluruh yang mungkin atau semua makhluk-Nya (mumkin al-wujud) yang merupakan satu sisi hubungan penciptaan, disifati dengan sifat makhluqiyah (ciptaan, yang dicipta). Dengan demikian, apabila kita melihat dan memperhatikan hubungan antara Tuhan dengan manusia, maka dapat dikatakan bahwa Tuhan itu sebagai al-Khâliq (Pencipta) dan memiliki sifat al-Khaliqiyah, sementara manusia sebagai makhluk-Nya (yang diciptakan) dan memiliki sifat al-makhluqiyah.


Poin-poin tambahan
Sekedar untuk mengingatkan dan agar materi ini lebih mudah dipahami dengan baik dan tidak mudah terlupakan, kami tambahkan poin-poin penting berikut ini:

1. Jika kita coba menengok kembali pembahasan mengenai al-Qudrah (kuasa), maka akan kita dapat perbedaannya dengan al-Khaliqiyah, yaitu bahwa al-Qudrah merupakan sifat dzatiyah (esensi) bagi Tuhan Pencipta, sementara al-Khaliqiyah merupakan sifat fi’liyah (perbuatan) bagi-Nya.

2. Jika kita coba melihat dan memperhatikan hubungan Tuhan dengan manusia atau lainnya, maka akan kita dapati bahwa Tuhan sebagai al-Khâliq dan manusia sebagai al-makhluk. Kekuasaan dan kemampuan Tuhan bersifat mandiri, abadi dan azali. Sementara manusia memiliki kekuasan dan kemampuan berkat anugerah dan rahmat-Nya.

3. Jika kita coba melihat dan memperhatikan manusia dengan hasil buatan dan ciptaannya, seperti rumah, mobil, kereta, pesawat, kursi, komputer, radio, dan lain sebagainya, maka akan kita dapati bahwa manusia juga sebagai al-khaliq dan berbagai hasil ciptaannya itu sebagai makhluk-makhluknya. Dengan kata lain bahwa hubungan antara manusia dengan hasil ciptaannya, manusia sebagai al-khaliq sementara hasil ciptaannya sebagai al-makhluq. Lalu dimanakah perbedaan antara al-Khaliqiyah pada dzat Tuhan dengan al-khaliqiyah pada manusia? Atau, apakah perbedaan antara proses penciptaaan Tuhan dengan penciptaan manusia? Perbedaannya adalah sebagai berikut:

a) Tuhan itu menciptakan realitas-realitas yang wujudnya tidak didahului oleh materi apapun. Dengan kata lain bahwa penciptaan Tuhan tidak memerlukan bahan-bahan dasar sebelumnya dan tidak juga membutuhkan contoh. Sementara manusia menciptakan realitas-realitas yang memang wujudnya telah tersedia di alam raya ini dan didahului oleh gambaran yang ada di dalam benak dan pikirannya atau dengan contoh-contoh yang telah ada.

b) Tindakan mencipta yang dilakukan oleh manusia ketika membuat sesuatu, butuh kepada gerak dan anggota badan, agar gerakannya itu menjadi sebuah tindakan. Dan hal-hal yang telah terjadi merupakan hasil dari tindakan tersebut.

Adapun tindakan mencipta yang dilakukan oleh Tuhan, tidaklah demikian. Artinya bahwa tindakan penciptaan itu bukan merupakan sesuatu, dan yang dicipta (makhluk) bukan pula sesuatu yang lain. Ketika Tuhan menciptakan sesuatu, maka tindakan mencipta yang Dia lakukan, tidak memerlukan kepada tangan dan anggota lainnya, tidak memerlukan kepada gerak dan lain sebagainya. Karena, Tuhan itu suci dari gerak dan ciri-ciri khas segala maujud materi. Kemudian, jika tindakan penciptaan-Nya itu merupakan mishdâq ‘ayni khariji (realitas objektif tersendiri di luar) dan sebagai tambahan atas dzat makhluk-Nya, maka hal ini berarti bahwa tindakan penciptaan tersebut merupakan wujud mungkin (mumkin al-wujud) yang juga merupakan makhluk dan ciptaan-Nya. Jika demikian, maka pembahasan akan kembali lagi ihwal bagaimana tindakan penciptaan Tuhan atas makhluk-Nya.Dan hal ini justru meniscayakan daur (siklus) yang mustahil.

Apabila diasumsikan bahwa tindakan penciptaan (terhadap suatu realitas) yang keluar dari dzat Tuhan itu merupakan makhluk-Nya, maka berartti Tuhan itu tersusun dan terangkap dari dzat-Nya dan tindakan penciptan-Nya tersebut. Sebagaimana manusia -ketika menciptakan dan membuat sesuatu- terangkap dari dirinya dan gerakan-gerakan anggota badannya. Tetapi Tuhan Pencipta tidaklah demikian, sebagaimana telah kita buktikan bahwa hal ini mustahil bagi Tuhan Pencipta. Tetapi, sebagaimana telah kami singgung mengenai sifat-sifat fi'liyah, bahwa sifat-sifat tersebut (penciptaan) merupakan konsep-konsep (mafhum) yang diperoleh dari berbagai relasi yang terdapat antara Tuhan dan makhluk-Nya. Sedangkan dasar untuk menilai adanya relasi-relasi itu adalah akal. Pembahasan yang lebih dalam lagi, akan Anda dapati pada pembahasan “filsafat perbuatan Tuhan”.


Pengatur
Di antara sifat-sifat Tuhan pencipta lainnya yang penting dibahas dan dipahami dengan baik adalah sifat ar-Rabb (pengatur). Tuhan telah menciptakan alam raya dan manusia dengan segala keunikannya. Apakah setelah manusia dan alam ini tercipta, Dia pulakah yang mengatur mereka sampai waktu yang tidak tertentu? Ataukah setelah Tuhan menciptakan makhluk-Nya, Dia berlepas tangan dan beristirahat?

Jika kita perhatikan dengan seksama hubungan antara manusia dan makhluk lainnya dengan Tuhan Pencipta, maka akan kita dapati bahwa sebenarnya makhluk-makhluk Tuhan itu tidak saja butuh kepada-Nya pada asal keberadaannya. Bahkan segala hal yang berkaitan dengan wujud dan kesinambungan mereka, tetap dan hanya bergantung kepada-Nya. Dengan kata lain, bahwa makhluk-makhluk itu, sama sekali tidak mandiri. Ketika dipahami bahwa mereka itu tidak mandiri dan senantiasa bergantung kepaa-Nya, maka dengan demikian, Tuhan Pencipta itu memiliki hak tasharruf (perlakuan) atas mereka. Artinya Tuhan memiliki kebebasan untuk mengatur berbagai urusannya sesuai dengan kehendak dan hikmah-Nya.

Ketika kita mengamati relasi dan hubungan antara Tuhan dengan makhluk-Nya dan hak pengaturan bagi-Nya secara umum, maka kita dapat memahami dan mencerap adanya konsep rububiyah (pengaturan). Hanya Dia-lah yang mengatur segala urusan.

Konsep rububiyah ini (pengaturan Tuhan atas seluruh makhluk-Nya) memiliki berbagai mishdâq dan konsekuensi logis, seperti: al-Hafidh (penjaga), al-Muhyi (menghidupkan), al-Mumit (mematikan), ar-Raziq (pemberi rizki), al-Hadi (pemberi hidayah), al-Amir (pemerintah), an-Nahi (pelarang) dan sebagainya. Artinya bahwa konsekuensi logis yang “harus” dijalankan dan dilakukan oleh Sang Pengatur Hakiki -sehubungan dengan masalah ini- adalah: Dia-lah yang menghidupkan, mematikan, memelihara, memberi rizki, memerintahkan hal-hal yang bermanfaat, melarang hal-hal yang membahayakan, memberi hidayah kepada makhluk-makhluk ciptaan-Nya itu, dan lain sebagainya.

Secara global bahwa hal-hal yang berhubungan dengan rububiyah ini dapat dibagi menjadi dua kelompok:

Satu: Rububiyah Takwiniyah (pengaturan-Nya terhadap alam semesta). Rububiyah ini meliputi pengaturan berbagai urusan setiap maujud dan pemenuhan berbagai kebutuhannya. Singkat kata, ia meliputi pengaturan semesta.

Dua: Rububiyah Tasyri'iyah (pengaturan-Nya yang berkaitan dengan undang-undang dan ketentuan-Nya). Rububiyah ini hanya berlaku atas makhluk yang bisa merasa dan memilih, seperti jin dan manusia. Adapun makhluk-makhluk lainnya, seperti binatang dan tumbuhan hanya berlaku pada mereka rububiyah takwiniyah saja.

Sementara rububiyah tasyri’iyah ini meliputi beberapa masalah, seperti pengutusan para Nabi, penurunan kitab-kitab samawi, penetapan tugas dan kewajiban dan penyusunan hukum dan undang-undang.

Dengan demikian, rububiyah mutlak Ilahi berarti bahwa seluruh makhluk dalam segala urusan hidup dan wujudnya bergantung kepada Tuhan Pencipta semata. Dan berbagai hubungan yang terjalin antara sesama mereka pada akhirnya berujung kepada-Nya. Dia-lah yang mengatur dan mengurus sebagian makhluk-Nya dengan perantara makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dia-lah yang melimpahkan rizki kepada segenap makhluk-Nya melalui sumber-sumbernya yang telah Dia hamparkan. Dia-lah yang memberi hidayah kepada seluruh makhluk-Nya yang memiliki perasaan, baik melalui sarana-sarana internal (seperti akal dan seluruh daya indera) maupun melalui sarana-sarana eksternal (seperti para Nabi dan kitab samawi). Dan Dia pulalah yang menetapkan hukum-hukum, aturan-aturan, berbagai tugas dan kewajiban kepada para mukallaf (orang-orang yang telah memenuhi syarat untuk mengemban dan menjalankan berbagai tugas-tugas syar'i).

Sebagaimana khaliqiyah, rububiyah juga merupakan konsep relasional (idhâfi). Perbedaanya bahwa aspek-aspek yang diamati pada konsep rububiyah adalah hubungan-hubungan khusus antara berbagai makhluk itu sendiri. Hal itu sebagaimana yang telah kami jelaskan pada konsep Raziqiyah.

Apabila konsep khaliqiyah dan rububiyah -yang merupakan sifat idhâfiyah- kita amati dan kita renungkan dengan teliti, maka akan tampak jelas bagi kita bahwa di antara kedua sifat tersebut terdapat talazum (hubungan niscaya). Artinya bahwa pengatur alam semesta itu mustahil bukan penciptanya. Dengan demikian, bahwa dzat yang menciptakan seluruh makhluk dengan ciri-ciri tertentu dan menciptakan hubungan antara sesamanya, Dia pulalah yang memelihara dan mengaturnya. Pada hakikatnya, konsep rububiyah dan tadbir (managemen) diperoleh akal dari proses penciptaan pada berbagai makhluk, dan adanya hubungan antara satu makhluk dengan yang lainnya.


Tuhan sembahan (uluhiyyah)
Pembahasan kita selanjutnya adalah mengenai masalah tauhid dari dimensi ketuhanan atau sembahan. Dan ketuhanan ini juga merupakan sifat Tuhan Pencipta lainnya yang dicerap melalui adanya hubungan antara Tuhan yang disembah dengan makhluk yang menyembah-Nya. Dengan kata lain bahwa uluhiyyah merupakan sifat yang apabila kita hendak memahaminya, maka kita harus mengasumsikan adanya hubungan antara ibadah seorang hamba dan ketaatannya dengn Tuhan yang disembah (ma’bud). Karena orang-orang yang sesat, meskipun mereka menjadikan sesuatu sebagai sembahan yang batil, tetapi yang berhak untuk disembah, diibadahi dan ditaati hanyalah al-Khâliq (pencipta) dan ar-Rabb (pengatur) semata.

Keyakinan terhadap satu Tuhan sembahan adalah kadar yang mesti dipenuhi oleh setiap orang beriman dalam masalah-masalah keyakinan kepada Tuhan Pencipta. Artinya, di samping ia mengimani bahwa Tuhan itu adalah Wâjib al-wujud, Pencipta, Pengatur dan bahwa alam ini tunduk di bawah kehendak-Nya, ia pun dituntut untuk mengimani bahwa Dia-lah yang berhak ditaati dan diibadahi. Dari sinilah diperoleh konsep uluhiyyah, yaitu meyakini Tuhan Yang Esa sebagai satu-satunya sembahan yang layak dan sebagai salah satu keyakinan yang mendasar dalam agama.[]


Seluruh Sifat-sifat Fi'liyah [4]

Mukadimah
Termasuk tema yang rumit dan persoalan yang sulit dipahami dalam kajian ilmu kalam adalah masalah irâdah Ilahiyah (kehendak Tuhan). Masalah ini dapat dibahas dari beberapa sisi. Pertanyaan-pertanyaan yang biasanya dilontarkan sehubungan dengan masalah irâdah Tuhan ini adalah: apakah kehendak Tuhan itu termasuk sifat dzatiyah ataukah ia termasuk sifat fi'liyah (perbuatan)? Apakah sifat tersebut qadim ataukah hadits? dan apakah irâdah Tuhan tersebut satu ataukah berbilang? Para teolog dan ulama berbeda pendapat dan pandangan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dengan membaca, mengkaji dan memahami uraian berikut ini, Anda akan dapat menemukan jawaban dari beberapa pertanyaan tersebut.

Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, terdapat pula tema-tema lainnya yang dibahas dalam kajian filsafat mengenai kemutlakan kehendak, khususnya kehendak Tuhan. Menurut kami, bahwa kajian atas tema ini secara luas dan mendetail, perlu dikaji dan dibahas, namun pada kesempatan lain yang lebih sesuai dengan ruang dan waktunya. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini, kami akan membahasnya secara lebih sederhana sebagai langkah pertama untuk masuk kepada penjelasan selanjutnya yang lebih luas dan mendalam. Kami akan memulai untuk membahas masalah ini dengan menjelaskan pengertian irâdah. Setelah itu, kami akan jelaskan secara ringkas dan sederhana tentang irâdah Tuhan Pencipta alam semesta.


Irâdah
Irâdah (kehendak, keinginan) adalah kata yang biasa dan sering digunakan oleh masyarakat umum dalam percakapan mereka sehari-hari. Jika kita coba melihat kata irâdah ini secara urf dan menurut pandangan masyarakat umum, maka setidak-tidaknya kata irâdah ini digunakan dalam dua makna. Salah satunya bermakna cinta (mahabbah), dan yang kedua bermakna keputusan (tashmim) untuk melakukan suatu perbuatan. Makna irâdah yang pertama, yaitu mahabbah (cinta) mengandung pengertian yang sangat luas. Artinya bahwa makna yang pertama ini meliputi cinta akan segala sesuatu, baik yang berada pada diri seseorang yang berkehendak maupun segala sesuatu yang berada di luar dirinya. Berbeda halnya dengan makna yang kedua, yaitu mengambil keputusan. Karena makna yang kedua ini khusus digunakan untuk tindakan-tindakan dan berbagai perbuatan seseorang yang memiliki kehendak itu sendiri.

Irâdah dengan pengertian pertama (mahabbah), meskipun bagi manusia hal itu merupakan aradh (aksiden) dan kaifiyah nafsaniyah (kualitas jiwa), tetapi akal kita dapat menggambarkan pahaman dan konsep umum baginya, yaitu dengan cara menyingkirkan dan mengosongkan berbagai kekurangan yang terdapat di dalamnya, sehingga ia dapat diterapkan atas berbagai maujud jauhariyah (substansial), bahkan dapat diterapkan atas Tuhan Pencipta. Sebagaimana penyingkiran dan pengosongan semacam itu dilakukan oleh akal terhadap pengetahuan (al-'Ilm).

Oleh karena itu, Hubb (cinta) –yang diterapkan atas mahabbah (kecintaan) Tuhan terhadap dzat-Nya– dapat digolongkan pula ke dalam sifat-sifat dzatiyah (esensial). Dengan demikian, apabila yang dimaksud dengan iradah Ilahiyah adalah hubb al-kamal (cinta kesempurnaan) yang -pada prinsipnya- berhubungan dengan kesempurnaan Ilahi yang tidak terbatas, dan berikutnya berhubungan dengan kesempurnaan seluruh makhluk dari sisi bahwa kesempurnaan itu merupakan kesan (atsar) dari kesempurnaan-Nya, maka kita dapat menggolongkan sifat irâdah yang bermakna cinta ini ke dalam sifat-sifat dzatiyah, sebagaimana sifat dzatiyah lainnya, yaitu qadim dan esa, dan identik ('ayn dzat) dengan dzat Tuhan Pencipta itu sendiri. Dengan kata lain ia merupakan substansi dzat Tuhan itu sendiri.

Adapun irâdah dengan makna keputusan untuk melakukan suatu tindakan dan pekerjaan, maka -tidak diragukan lagi- bahwa ia termasuk sifat-sifat fi'liyah (perbuatan), yang jika kita melihatnya dari sisi kaitannya dengan fenomena-fenomena alam (hawâdits), ia terikat dengan batasan-batasan waktu dan zaman. Namun perlu diperhatikan bahwa disifatinya Tuhan dengan sifat-sifat fi'liyah seperti ini, tidak berarti bahwa dzat-Nya itu mengalami perubahan atau terdapat aradh (aksiden) padanya. Melainkan penyifatan ini hanyalah menyoroti dan memandang hubungan antara dzat Tuhan dan makhluk-makhluk-Nya dari sisi tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu pula, sehingga dengan cara seperti itu dapat diperoleh sebuah pahaman dan konsep relasional (mafhum idhâfi) yang tergolong sebagai sifat fi'liyah. Jika kita perhatikan relasi dan hubungan antara Tuhan Pencipta dan makhluk-makhluk-Nya, maka akan kita dapati bahwa sifat irâdah terdapat dalam relasi dan hubungan tersebut. Dengan uraian yang lebih jelas bahwa setiap makhluk itu diciptakan oleh Tuhan dari aspek bahwa ia memiliki kesempurnaan, kebaikan dan kemaslahatan. Artinya bahwa dalam penciptaan makhluk itu terdapat maslahat, kebaikan dan kesempurnaan bagi makhluk itu sendiri. Dengan demikian maka wujud makhluk tersebut –pada masa, tempat dan cara tertentu– terkait dengan ilmu dan cinta Tuhan. Dan sesungguhnya Tuhan menciptakan makhluk-Nya dengan kebebasan dan kehendak-Nya, tanpa ada pemaksaan dari siapa pun. Maka dengan memperhatikan hubungan tersebut, kita akan dapat memperoleh sebuah pahaman dan konsep yang dinamakan irâdah. Pahaman dan konsep relasional ini dibatasi oleh batasan-batasan tertentu dilihat dari kaitannya dengan sisi hubungan yang terbatas pula. Oleh karena itu, pahaman dan konsep irâdah -yang diperoleh dengan melihat hubungan semacam ini- bersifat huduts dan katsrah (proses kebaruan dan jamak). Hal itu karena idhâfah (relasi, hubungan) mengikuti dua sisi yang mengapitnya, dimana huduts dan katsrat berada pada salah satu dari dua sisi. Singkatnya bahwa untuk memperoleh gambaran dan pahaman tentang sifat irâdah sebagai sifat fi'liyah Tuhan adalah dengan memperhatikan kedua hubungan antara dzat Tuhan yang berada pada satu sisi dan makhluk ciptaan-Nya yang bersifat huduts dan katsrat yang berada pada sisi lainnya. Sirâyat dan merembetnya sifat huduts dan kasrat kepada sifat irâdah Tuhan tersebut, cukup untuk menilai bahwa sifat tersebut sebagai sifat fi'liyah-Nya.


Hikmah
Dengan merenungkan dan memahami penjelasan yang telah kami sampaikan mengenai irâdah Ilahiyah, maka akan menjadi jelas bagi kita bahwa irâdah Tuhan itu tidak terkait dengan penciptaan sesuatu secara sia-sia, tanpa pertimbangan dan hikmah. Melainkan bahwa irâdah Ilahiiyah itu -pada dasarnya dan secara pasti- berkaitan dan berhubungan erat dengan sisi kesempurnaan dan kebaikan segala sesuatu. Tetapi karena di alam jagat raya ini terjadi berbagai benturan dan gesekan antara satu materi dengan materi lainnya, maka hal itu mengakibatkan timbulnya kerusakan, kekurangan dan cacat pada sebagiannya, akibat ulah sebagian lainnya. Oleh karena itu, maka mahabbah dan kecintaan Tuhan kepada kesempurnaan, menginherensikan dan memestikan terciptanya suatu tatanan materi yang mengandung dan memiliki kebaikan dan kesempurnaan yang lebih banyak dibandingkan dengan keburukan dan kerusakannya. Artinya bahwa maslahat dan kebaikan yang terdapat di dalam penciptaan alam raya ini jauh melebihi kekurangan dan kerusakannya, bahkan tidak bisa dibandingkan.

Dengan mengamati dan memperhatikan hubungan-hubungan tersebut, maka kita dapat memperoleh pahaman dan konsep yang dinamakan "maslahat". Tanpa memperhatikan hubungan-hubungan tersebut, kita tidak akan dapat memperoleh gambaran mengenai adanya "maslahat". Karena "maslahat" itu sendiri bukan merupakan sesuatu yang memiliki wujud mandiri yang dapat memberi efek pada keberadaan makhluk-makhluk, sehingga dapat pula memberikan pengaruh atas irâdah Ilahiyah. Dengan kata lain bahwa kita tidak akan mendapati suatu maujud yang terdapat di luar kita yang bernama "maslahat", di mana wujud maslahat ini dapat mempengaruhi dan memberi efek makhluk-makhluk dalam kewujudannya. Oleh karena itu, tidak benar jika dikatakan bahwa adanya "maslahat" dalam penciptaan alam semesta ini ikut andil dan mempengaruhi kehendak Tuhan untuk menciptakan berbagai makhluk-Nya. Dengan kata lain, tidak benar jika Tuhan menciptakan alam raya ini berdasarkan atau karena adanya maslahat pada ciptaan-Nya itu sendiri. Lebih tidak benar lagi jika dikatakan bahwa maslahat itu dapat mempengaruhi irâdah Ilahiyah.

Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan di atas adalah bahwa tindakan dan perbuatan Tuhan itu muncul dari sifat-sifat dzatiyah-Nya seperti: ilm, qudrat dan kecintaan-Nya (hubb, mahabbah) kepada kesempurnaan dan kebaikan. Oleh karena itu, maka tindakan-tindakan dan perbuatan-perbuatan-Nya itu senantiasa tidak terlepas dan tidak mungkin kosong dari maslahat. Artinya bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan itu senantiasa terwujud dengan berbagai kebaikan, maslahat dan kesempurnaan yang lebih dominan. Irâdah semacam ini dinamakan sebagai irâdah hakîmah; Kehendak yang Mahabijak. Dari sinilah akal dapat mencerap dan memperoleh sifat fi'liyah Tuhan yang lain, yaitu sifat bijaksana (hakim). Sebagaimana pula semua sifat-sifat fi'liyah lainnya, sifat ini pun berakhir dan berujung kepada sifat-sifat dzatiyah Tuhan.

Perlu kiranya kami tekankan, bahwa melakukan suatu tindakan dan perbuatan berdasarkan maslahat, bukan berarti bahwa maslahat itu merupakan landasan dan sebab utama ('illat gha'iyah) bagi Tuhan. Melainkan bahwa maslahat itu merupakan tujuan kedua atau tujuan sampingan yang bersifat tak langsung (taba'i). Adapun tujuan utama dari perbuatan-perbuatan Tuhan adalah cinta-Nya kepada kesempurnaan diri-Nya sendiri yang tak terbatas, dimana cinta kepada kesempurnaan-Nya tersebut secara tak langsung berhubungan dengan berbagai atsar-nya (efeknya), yaitu kesempurnaan segala yang ada. Karenanya atas dasar cinta-Nya kepada dzat-Nya itulah, Dia menciptakan manusia dan alam semesta ini. Kemudian secara tidak langsung -yang merupakan tujuan sampingan- terdapat berbagai maslahat dan kebaikan yang dominan atas penciptaan-Nya tersebut. Dengan demikian bahwa maslahat dan kebaikan pada penciptaan-Nya itu bukan merupakan tujuan utama segala tindakan dan perbuatan-Nya. Berangkat dari sini maka para filosof dan teolog Islam mengatakan bahwa sebab utama tindakan dan perbuatan Tuhan adalah illat dan sebab pelaku ('illat fa'iliyah) itu sendiri. Karena Tuhan Pencipta itu tidak memiliki ghayah mustaqil (tujuan di luar diri-Nya) sebagai tambahan atas dzat-Nya.

Namun demikian, pandangan dan konklusi ini tidak menafikan adanya kesempurnaan, kebaikan dan maslahat yang terdapat pada seluruh maujud sebagai tujuan lateral dan sampingan (far'i dan tabi'i). Oleh karena itu, tindakan-tindakan dan perbuatan-perbuatan Tuhan Pencipta dapat dikatakan sebagai illat dan sebab bagi sebagian perkara dan tujuan-tujuan yang berakhir dan berujung kepada kesempurnaan, kebaikan dan maslahat seluruh makhluk itu sendiri. Hal ini sebagaimana disinggung dan dijelaskan di dalam kitab suci umat Islam. Lebih dari itu bahkan sebagian ayat-ayat suci di dalam kitab mereka menyebutkan bahwa ujian, bencana, memilih perbuatan yang paling baik, beribadah kepada Tuhan Pencipta dan mencapai rahmat Ilahi yang khusus dan bersifat abadi, merupakan tujuan penciptaan manusia. Masing-masing daripada tujuan tersebut disiapkan untuk tujuan yang lainnya secara gradual sebagaimana yang telah dijelaskan.


Kalâm Tuhan
Termasuk pahaman dan konsep yang dinisbahkan kepada Tuhan Pencipta -di dalam pembahasan Teologi dan Filsafat- adalah pahaman dan konsep kalâm atau takallum (berkata-kata). Artinya bahwa kalâm atau takallum itu merupakan salah satu sifat Tuhan Pencipta. Sebenarnya sudah sejak dahulu kala persoalan kalâm Ilahi ini telah dibahas oleh kaum teolog. Bahkan sebagian mereka mengatakan bahwa sebab penamaan ilmu Kalâm adalah larutnya para teolog ke dalam pembahasan seputar kalâm Ilahi. Sebagian teolog seperti aliran Asy'ariyah menganggap bahwa kalâm Ilahi termasuk sifat dzatiyah. Sementara sekte Mu'tazilah menganggapnya sebagai sifat fi'liyah. Di antara persoalan-persoalan yang menyebabkan terjadinya pertikaian sengit antara kedua sekte atau mazhab tersebut ialah: apakah Al-Qur'an itu –sebagai kalâm Tuhan– termasuk makhluk ataukah tidak? Bahkan bisa jadi sebagian mereka mengkafirkan sebagian lainnya hanya karena perbedaan pandangan dalam masalah ini.

Dengan memperhatikan pengertian sifat dzatiyah dan sifat fi'liyah yang telah kami jelaskan pada pembahasan yang lalu, tampak jelas bahwa kalam Ilahi termasuk sifat fi'liyah. Karena pahaman dan konsep kalam tersebut tidak dapat ditangkap oleh akal, kecuali dengan mengandaikan dan menggambarkan adanya audiens (mukhâtab) yang berusaha menangkap maksud ucapan mutakalim (pembicara) dengan cara mendengar suara atau melihat tulisan atau terbetik suatu pemahaman di dalam benaknya, ataupun dengan cara-cara lainnya.

Pada hakikatnya, pahaman dan konsep mutakalim itu dapat diperoleh dan dicerap melalui adanya hubungan antara Tuhan Pencipta yang hendak menyingkap suatu hakikat kepada selain-Nya dan adanya audiens yang hendak menangkap hakikat tersebut. Berbeda halnya apabila yang dimaksudkan dengan takallum itu adalah makna lain seperti qudrat (kuasa) untuk bicara atau tahu isi pembicaraan. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka sifat kalâm akan kembali dan berakhir kepada sifat dzatiyah. Sebagaimana hal yang serupa bagi sebagian sifat-sifat fi'liyah lainnya telah dijelaskan pada kajian lalu.

Adapun Al-Qur'an, ataupun kitab-kitab suci lainnya yang tersusun dari kalimat-kalimat atau kata-kata atau pemahaman-pemahaman yang tersirat di benak ataupun berupa hakikat nurani nonmateri, maka tidaklah diragukan lagi bahwa semua itu termasuk makhluk dan dicipta. Kecuali jika dikatakan bahwa ilmu dzati Tuhan Pencipta itu adalah hakikat Al-Qur'an. Maka berdasarkan pandangan dan asumsi seperti ini, sifat kalâm itu kembali dan berujung kepada sifat ilmu dzatiyah. Tetapi, takwil dan penafsiran atas kalam Ilahi dan Al-Qur'an semacam ini, sangat jauh dari pemahaman umum, dan hal ini harus dihindari. Sebenarnya untuk memahami bahwa kitab-kitab suci yang ada di hadapan kita itu termasuk bagian dari makhluk Tuhan, sebagaimana kitab-kitab dan buku-buku lainnya -dari sisi kemakhlukannya- tidak serumit apa yang dibayangkan. Pasti semua orang berakal memahami bahwa segala susunan kata-kata dan kalimat ataupun pahaman-pahaman yang tersirat di benak, itu semua merupakan makhluk dan dicipta. Inilah penafsiran dan pemahaman yang mudah dan bersifat umum.


Benar
Satu sifat lagi dari sifat-sifat Tuhan Pencipta yang perlu dibahas dan dijelaskan di sini adalah sifat ash-Shidq (benar, jujur). Benar dan jujur ini biasanya digunakan untuk mensifati perkataan dan ucapan (kalâm). Tuhan Pencipta menuangkan kalâm dan perkataan-Nya itu dalam berbagai bentuk. Dan apabila kalâm-Nya itu dituangkan atau disampaikan dalam bentuk perintah, larangan dan insyâ' (preskriptif), maka ia dinilai sebagai suatu penetapan dan penentuan terhadap berbagai hukum dan tugas praktis atas segenap hamba-Nya. Dan kalam Tuhan yang dituangkan dalam bentuk-bentuk yang seperti itu tidak bisa disifati dengan benar dan dusta. Dengan kata lain bahwa sifat benar dan dusta itu tidak bisa diterapkan kepada kalam dan perkataan yang dituangkan dan disampaikan dalam bentuk insyâ'. Karena memang bentuk-bentuk itu tidak bisa disifati dengan benar dan dusta. Namun, apabila kalâm Tuhan itu disampaikan dalam bentuk ikhbâr atau informasi tentang berbagai hakikat, peristiwa masa lalu atau pun kejadian-kejadian yang akan datang, maka ia (kalâm Tuhan) bisa disifati dengan sifat benar (ash-Shidq). Sifat ini merupakan landasan bagi rumusan argumen lainnya, yaitu dalil wahyu (naqli dan ta'abudi) untuk menetapkan dan membuktikan masalah-masalah partikular (far'iyah) dalam memandang penciptaan alam semesta, dan bahkan digunakan pula untuk membuktikan berbagai masalah akidah dalam pandangan dunia Ilahi.

Salah satu dalil rasional yang dapat diterapkan untuk menetapkan dan membuktikan adanya sifat tersebut (ash-Shidq) pada kalâm Tuhan ialah bahwa kalâm Tuhan itu merupakan bagian dari rububiyah dan pengaturan-Nya atas alam semesta dan segala isinya termasuk seluruh manusia. Tentu saja kalâm Tuhan tersebut berlandaskan pada ilmu dan hikmah-Nya. Mustahil Tuhan Pencipta Yang Mahakuasa mengatur alam jagad raya dan seisinya ini (yang merupakan bagian dari kalâm-Nya) tanpa ilmu dan hikmah-Nya. Hal itu sebagaimana dapat dipahami dari kajian-kajian yang telah lalu. Di samping itu, kalam Tuhan itu memiliki tujuan penting, yaitu untuk memberikan hidayah dan petunjuk kepada segenap makhluk-Nya, dan memenuhi sarana untuk menyampaikan berbagai pengetahuan yang benar kepada audiens (mukhatab). Jika diasumsikan bahwa kalam Tuhan itu tidak sesuai dengan kenyataan objektif, maka Tuhan sebagai penyampai tidak dapat lagi dipercaya. Karena hal itu dapat menggugurkan dan membatalkan tujuan dari kalâm-Nya itu sendiri. Dan hal yang demikian ini bertentangan dengan Hikmah Ilahiyah. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa kalâm Tuhan itu bersifat benar dan jujur (ash-Shidq).


Telaah Teologis atas Sifat-sifat Tuhan

[Mukaddimah]
Hingga saat ini kita telah menganalisa dua pembahasan dalam masalah pengenalan Tuhan, pembahasan pertama adalah tentang prinsip keberadaan Tuhan, pengenalan terhadap-Nya secara fitrah dan akal, juga mengenai metode pengenalan Tuhan yang paling mendasar. Pada pembahasan kedua kita telah pula membicarakan masalah tauhid sebagai inti pengenalan Tuhan dalam Islam. Pada pembahasan ketiga ini kita akan menganalisa masalah-masalah yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan.

Pada pembahasan-pembahasan terdahulu, kami telah menyinggung bahwa manusia memiliki dua bentuk pengenalan terhadap Tuhan, yaitu:

1. Pengenalan hudhuri yang bersumber langsung dari pertalian sebab-akibat antara Wajib al-Wujud (Tuhan) dan mumkin al-wujud (makhluk) dan keniscayaan kebergantungan wujud manusia kepada Tuhan.

2. Pengenalan hushuli yang terwujud lewat akal-pikiran dan pemahaman-pemahaman teoritis manusia. Sebagaimana yang telah kami katakan bahwa pengenalan semacam ini tidak berhubungan dengan pengenalan hakikat dzat Tuhan, melainkan pengenalan yang hanya berkaitan dengan sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Tuhan. Oleh karena itu, pengenalan hushuli kita kepada Tuhan yang murni dihasilkan dari pemahaman-pemahaman akal-pikiran hanya berkaitan dengan sifat dan perbuatan Tuhan. Dari sini kita bisa memberikan penekanan yang lebih pada pembahasan sifat-sifat Tuhan dan perannya dalam pengenalan Tuhan, karena dengan semakin dalam dan luas pengenalan kita atas sifat-sifat Tuhan maka akan mencapai kesempurnaan pengenalan terhadap-Nya.

Tentunya, pada pembahasan pembuktian wujud Tuhan kita telah mengenal sifat semacam keniscayaan wujud (wujub al-wujud) dimana kemudian kita mengenal Tuhan dengan sifat tersebut. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa Tuhan memiliki begitu banyak sifat dimana untuk mencapai pengenalan terhadap-Nya secara sempurna mengharuskan kita untuk mengenal sifat-sifat tersebut secara lebih luas. Oleh karena itu, dalam masalah ini, tidak seharusnya kita mencukupkan diri dengan membatasi pengenalan hanya pada beberapa sifat-Nya saja.

Urgensi pembahasan sifat Tuhan adalah adanya perbedaan pemahaman dikalangan para penyembah Tuhan dan monoteis, yang walaupun mereka menganut konsep keesaan Tuhan, tapi di antara mereka terdapat perbedaan yang tajam sehingga seakan-akan masing-masing mereka menyembah Tuhan yang berlainan. Sebagai misal, seseorang yang menganggap Tuhan memiliki anggota badan yang senantiasa hilir mudik di antara langit dan bumi, dengan seseorang yang menganggap Tuhan suci dari sifat-sifat jasmani semacam ini, masing-masing mereka ini memiliki dua kesimpulan yang sangat berbeda dalam mengenal Tuhannya. Demikian juga, seseorang yang mengenal Tuhan dengan meyakini bahwa kodrat Tuhan adalah terbatas atau menganggap-Nya tidak mengetahui peristiwa yang bakal terjadi, akan sangat berbeda dengan seseorang yang percaya terhadap kemutlakan ilmu dan kodrat Tuhan.

Oleh karena itu, dengan memperhatikan adanya ikhtilaf dan perbedaan tajam dalam masalah sifat-sifat Tuhan yang muncul di kalangan para penyembah Tuhan ini, maka penganalisaan yang teliti dan akurat pada pembahasan ini sangat signifikan untuk menemukan pandangan yang paling benar dan komprehensip terhadap Tuhan.


Nama, Sifat, dan Perbuatan
Pada pembahasan yang berkaitan dengan pengenalan Tuhan, kita akan banyak bertemu dengan tiga istilah seperti asma (nama-nama) Tuhan, sifat-sifat Tuhan dan perbuatan-perbuatan Tuhan. Poin yang perlu mendapatkan perhatian di sini adalah bahwa istilah-istilah ini pada cabang-cabang keilmuan yang berbeda kadangkala muncul dengan arti yang berbeda pula, dan tidak senantiasa memiliki satu makna yang konstan. Karena pembahasan kita berada pada wilayah ilmu Kalam (teologi), maka yang penting bagi kita adalah makna istilah sebagaimana yang dimaksud oleh para teolog atau mutakallim. Dalam literatur ilmu kalam, istilah "sifat Ilahi" lebih banyak digunakan. Istilah ini terkadang digunakan sama dengan asma (nama-nama). Kata-kata seperti 'âlim, 'alîm", qâdir, hayyu, dan murîd dan sebagainya, dikategorikan sebagai sifat dan asma Ilahi. Kadangkala terdapat pula perbedaan antara sifat dan asma Tuhan ini dimana berdasarkan hal tersebut, kata-kata semacam 'ilm, kodrat, hayât dan sebagainya, adalah merupakan sifat-sifat Tuhan sedangkan kata-kata seperti 'âlim, 'alîm, qâdir, hayyu dan sebagainya merupakan asma Tuhan.

Bisa dikatakan bahwa di antara semua itu terdapat pula istilah lain dimana maksud dari ism (nama) adalah kata yang menunjukkan nama khusus Tuhan, sedangkan sifat adalah kata yang menghikayatkan sifat-sifat Tuhan. Berdasarkan istilah ini, jumlah asma Tuhan menjadi sangat sedikit dan hanya berkisar pada kata-kata semacam Allah dalam bahasa Arab dan Khudâ dalam bahasa Persia (atau Tuhan dalam bahasa Indonesia, red), akan tetapi sifat-sifat Tuhan sangat banyak dan kata-kata semacam 'âlim, hayyu, murîd, qâdir, dan sebagainya, seluruhnya termasuk dalam sifat-sifat Tuhan.

Walhasil, yang dimaksud dengan "sifat" pada pembahasan kita kali ini adalah kata yang dinisbahkan kepada Tuhan dan terpredikasi pada dzat Ilahi.


Keluasan Pembahasan Sifat Ilahi dalam Teologi
Pentingnya pembahasan sifat Ilahi dalam ilmu kalam menjadikannya dikaji secara meluas dan menjadi wacana yang senantiasa hangat. Hadirnya berbagai dimensi pembahasan yang partikular dan mendetail yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya, menjadikan pembahasan ini semakin rumit. Di sini, kami berupaya semaksimal mungkin untuk memperkenalkan tolok ukur dan aspek-aspek utama pembahasan sehingga bisa menyajikan pembahasan ini secara lebih sistematis.


Pembahasan yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan bisa kita analisa dalam dua tahapan global:


1. Pembahasan Sifat secara Umum
Pada tahapan ini kita akan mempelajari hukum-hukum dan masalah-masalah sifat secara umum, tanpa memperhatikan adanya sifat-sifat khusus. Tahapan ini biasa disebut "Keuniversalan sifat-sifat Tuhan".


2. Pembahasan Khusus terkait dengan masing-masing sifat
Setelah menyelesaikan pembahasan hukum-hukum sifat Tuhan secara umum, pembahasan pada tahapan ini akan difokuskan pada sifat-sifat khusus Tuhan yang utama, seperti ilmu, kodrat, hidup, dan lain-lain.


Bisa juga kedua tahapan pembahasan digolongkan dalam salah satu bagian dari setiap tahapan pembahasan di bawah ini:

a. Pembuktian kesatuan dzat dan sifat-Nya
Pada tahapan ini, pembicaraan berkisar tentang pembuktian kesatuan dzat Tuhan dengan sifat-sifat-Nya. Bahasan ini, pada tahapan pertama (dari dua tahapan tersebut di atas) berhubungan dengan pembuktian umum kesatuan dzat Tuhan dengan seluruh sifat sempurna-Nya. Dan pada tahapan kedua, menyajikan argumentasi-argumentasi atas kesatuan dzat Ilahi dengan masing-masing sifat. Sebagai contoh, pada tahapan akhir, disajikan argumentasi atau dalil-dalil yang menyatakan bahwa Tuhan adalah 'âlim, qâdir, hayyu, dan lain sebagainya.


b. Penjelasan sifat Ilahi dan karakteristiknya
Pada bagian ini akan dijelaskan tentang makna dari masing-masing sifat Ilahi dan karakteristik-karakteristiknya yang membedakannya dengan sifat-sifat makhluk.

Di bawah ini akan kami sajikan pokok-pokok utama pembahasan ilmu kalam tentang sifat-sifat Tuhan, dimana pembahasan kami nantinya akan berpijak pada pokok-pokok tersebut.


Bagian paling pokok dan mendasar pembahasan dalam tahapan pertama (pembahasan umum sifat) adalah sebagai berikut:

1. Pengelompokan sifat-sifat
Pada pembahasan ini disajikan pengelompokan masyhur yang disusun oleh para teolog dalam masalah sifat-sifat Ilahi dan juga akan didefinisikan istilah-istilah yang berkaitan dengan masing-masing dari itu.


2. Probabilitas pengenalan sifat-sifat Ilahi
Pada bagian ini, disajikan solusi atas masalah fundamental yang terkait dengan kemungkinan pengenalan sifat-sifat Tuhan. Demikian juga akan diketengahkan sebagian pandangan dalam ilmu kalam atas kemungkinan dan kemustahilan pengenalan sifat-sifat Tuhan.


3. Metodelogi pengenalan sifat-sifat
Setelah menjelaskan tentang adanya kemungkinan pengenalan sifat-sifat akan dilanjutkan dengan menganalisa metode dan perangkat yang digunakan dalam proses pengenalan yang berada dalam jangkauan dan kewenangan manusia.


4. Penjelasan makna sifat-sifat Ilahi
Pada pembahasan ini dijelaskan tentang maksud dari sifat-sifat yang sama antara Tuhan dengan makhluk-Nya yang kemudian sifat-sifat homogen ini dinisbahkan pada Tuhan, begitu pula akan dibahas perbedaan antara sifat Tuhan dan sifat makhluk-Nya.


5. Pembuktian Umum atas sifat-sifat sempurna Tuhan
Pembahasan ini meliputi penyajian argumentasi-argumentasi umum atas kemestian Tuhan memiliki sifat-sifat sempurna.


6. Hubungan hakiki antara dzat Tuhan dan sifat-sifat
Pada bagian ini akan dijelaskan bahwa sifat-sifat Ilahi identik dengan dzat-Nya, dan tidak ada perbedaan antara keduanya. Pembahasan ini juga dikaji dalam pasal Tauhid Sifat.


7. Penetapan Tuhan atas asma dan sifat-sifat-Nya sendiri
Pertanyaan mendasar dalam pembahasan ini adalah apakah dalam penyifatan Tuhan mesti sesuai dengan asma dan sifat-sifat Tuhan yang disebutkan dalam al-Qur'an dan riwayat, ataukah penyifatan Tuhan bisa dengan menggunakan setiap sifat yang menunjukkan kesempurnaan.

Pada tahapan kedua yaitu pembahasan khusus tentang sifat-sifat dan juga sebagian dari sifat-sifat utama dianalisa dalam beberapa sudut pandang di bawah ini:

a. Penjelasan mendetail tentang makna masing-masing sifat;

b. Penyajian argumentasi khusus atas kesatuan dzat Tuhan dengan masing-masing sifat;

c. Membahas berbagai keraguan dan pertanyaan yang berkaitan dengan sebagian dari sifat-sifat Tuhan.


Pengelompokan Sifat-sifat Tuhan
Dalam pembahasan ilmu Kalam biasanya sifat-sifat Tuhan dikelompokkan berdasarkan berbagai sudut pandang, dan setiap bentuk pembagian itu memiliki nama-nama khusus. Pada kesempatan ini, sebelum memasuki pembahasan selanjutnya kami akan menyiratkan pembagian sifat-sifat dan istilah-istilah khusus yang sering digunakan:


1. Sifat tsubuti dan salbi
Salah satu pengelompokan yang sering digunakan dalam sifat Tuhan adalah sifat tsubuti (afirmasi) dan salbi (negasi). Sifat tsubuti menjelaskan dimensi kesempurnaan Tuhan dan menetapkan bahwa kesempurnaan itu nyata dan hakiki pada dzat Tuhan. Pada sisi lain, sifat salbi menunjukkan pada ketiadaan penisbahan Tuhan atas sifat-sifat yang tak sempurna dan menafikan dzat Tuhan dari segala bentuk ketaksempurnaan, keterbatasan, dan kekurangan. Karena ketaksempurnaan dan kekurangan merupakan salb atau negasi kesempurnaan itu sendiri maka hakikat sifat negasi diibaratkan sebagai negasi dari negasi kesempurnaan dan karena negasi dari negasi akan menjadi positif, maka sifat salbi atau negasi pada akhirnya akan berujung pada kesempurnaan dzat Tuhan. Berdasarkan hal ini, sifat ilmu, kodrat, iradah, dan hidup merupakan sifat-sifat tsubuti Tuhan dan sifat non-materi, tak-bergerak merupakan sebagian dari sifat-sifat salbi atau negasi Tuhan.

Dari penjelasan tersebut, menjadi jelas bahwa sifat negasi sama sekali tidak menunjukkan adanya kekurangan pada dzat Tuhan, melainkan sebagaimana sifat tsubuti yang menghikayatkan kesempurnaan dzat Tuhan. Karena pada dasarnya, sifat-sifat negasi menetapkan ketidaklayakan sifat-sifat untuk Tuhan dan mengandung kemestian penolakan ketaksempurnaan dan kelemahan pada dzat Tuhan. Sebagai misal, bergeraknya suatu maujud menunjukkan ketaksempurnaannya, karena gerak bermakna bahwa sesuatu yang bergerak tersebut pada awalnya tidak memiliki kesempurnaan khusus dan setelah melakukan gerakan barulah ia mencapai kesempurnaan. Jelas, bahwa makna semacam ini tidak sesuai untuk kesempurnaan mutlak Tuhan, oleh karena itu, gerak harus ternegasikan pada dzat Tuhan. Penolakan sifat gerak ini yaitu penafian gerak, pada akhirnya akan berujung pada pembuktian atas kesempurnaan Tuhan, karena penafian ketaksempurnaan sesuatu tidak lain adalah pembuktian kesempurnaan sesuatu. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa sifat tak bergerak merupakan salah satu sifat negasi atau salbi Tuhan.

Kadangkala dikatakan bahwa sifat jasmani, gerak, materi dan semisalnya merupakan sifat negasi Tuhan, karena sifat-sifat itu ternegasikan pada dzat Tuhan. Akan tetapi anggapan ini salah karena sifat negasi juga disandarkan pada Tuhan sebagaimana sifat tsubuti. Oleh karena itu, pendapat yang benar adalah bahwa ketakjasmanian, ketakbergerakan, ketakmaterian, dan lain sebagainya merupakan sifat-sifat negasi Tuhan. Oleh karena itu, berlawanan dengan anggapan sebagian, maksud dari sifat negasi bukanlah bermakna bahwa sifat ini dinegasikan dari Tuhan, melainkan maksudnya adalah bahwa sifat-sifat ini meniscayakan penolakan ketaksempurnaan dan keterbatasan Tuhan. Memang terdapat perbedaan yang sangat halus dari penafsiran atas sifat negasi ini yang kurang mendapat perhatian.

Mungkin di sini akan muncul pertanyaan, apabila maksud dari sifat negasi akhirnya berujung pada pembuktian kesempurnaan Tuhan (misalnya Tuhan non-materi), lalu kenapa kesempurnaan yang tertetapkan itu (kenon-materian Tuhan) tidak langsung dikategorikan pada sifat tsubuti, bukankah dengan mengetengahkan pengertian yang menunjukkan ketaksempurnaan kemudian dinegasikan kembali, membuat pembahasan yang semula pendek menjadi panjang dan tema yang semula mudah menjadi rumit?

Dalam menjawab pertanyaan ini bisa dikatakan bahwa yang benar adalah bahwa setiap sifat negasi senantiasa memestikan satu sifat tsubuti, akan tetapi kadangkala makna negasi secara khusus apabila dikomparasikan dengan makna tsubuti lebih akrab dan lebih mudah dipahami oleh pikiran masyarakat umum dan lebih banyak digunakan dalam bahasa-bahasa umum. Sebagai contoh, non-jasmani atau non-materi Tuhan yang meniscayakan sifat tajarrud (immateriality, spirituality) Tuhan, dalam pikiran masyarakat umum makna non-jasmani dan non-materi lebih mudah dipahami daripada makna tajarrud.

Poin lain dalam penjelasan sifat negasi adalah bahwa sifat ini secara langsung dan tegas menegasikan segala bentuk ketaksempurnaan Tuhan dan menunjukkan perbedaan nyata antara Tuhan dan makhluk-Nya. Ketika dikatakan bahwa Tuhan bukan jasmani atau Tuhan tidak membutuhkan ruang dan waktu, maka hal ini menegaskan perbedaan riil antara Tuhan dan makhluk-Nya yang jasmani dan terikat dengan tempat dan masa. Berbeda dengan sifat tsubuti tidak tegas menunjukkan perbedaan antara Tuhan dengan makhluk-Nya.


2. Sifat dzat dan sifat perbuatan
Dalam pengelompokan yang lain, sifat Tuhan dibagi menjadi dua kategori: sifat dzat dan sifat perbuatan.

Sifat dzat merupakan salah satu kesempurnaan Tuhan, terpancar dari dzat Tuhan dan dipredikasikan pada dzat-Nya, sebagai contoh, salah satu dari kesempurnaan Ilahi adalah Dia mampu melakukan setiap perbuatan yang mungkin. Akal dengan memperhatikan kesempurnaan ini akan mendapatkan makna "kodrat" lalu menisbahkannya kepada dzat Tuhan. Pada sisi yang lain, sifat perbuatan diperoleh dari hubungan khusus antara dzat Tuhan dan maujud-maujud lain. Sebagai contoh, Tuhan memiliki hubungan kepenciptaan dengan eksistensi-eksitensi lain, dimana dengan memberikan wujud pada eksistensi-eksistensi tersebut berarti Dia mengeluarkan mereka dari "alam ketiadaan". Dengan memperhatikan adanya hubungan khusus ini, kita akan menetapkan sifat mencipta pada-Nya lalu menyebut-Nya sebagai Pencipta (Khâliq).

Dari gambaran di atas, menjadi jelas bahwa untuk menjelaskan Tuhan dengan sifat dzat cukup dengan memandang pada dzat Ilahi saja, dan kita tidak perlu lagi menggambarkan sesuatu yang berada di luar dzat-Nya. Hal ini berbeda pada sifat perbuatan, karena selain kita harus memperhatikan dzat Tuhan, kita juga harus memperhatikan "hal-hal" yang lain yang terkait dengan-Nya.[1] Sebagai contoh, apabila kita ingin menyifati Tuhan dengan sifat Pencipta maka langkah pertama, kita harus memandang eksistensi lain yang diciptakan oleh-Nya, dan kemudian dengan memandang hubungan Tuhan dengan eksistensi tersebut, kita akan menisbahkan sifat mencipta pada-Nya. Dengan perkataan lain, sumber perolehan sifat dzat adalah dari dzat Tuhan itu sendiri, akan tetapi sifat perbuatan terambil dari perbuatan Tuhan, dengan arti bahwa dengan memperhatikan perbuatan-Nya sendiri akan tersifati dengan sifat ini.

Dengan memperhatikan kajian di atas, sifat-sifat semacam ilmu, kodrat dan hidup merupakan sebagian dari sifat-sifat dzat Tuhan dan sifat-sifat semacam pemberi nikmat, rahmat, hidayah, dan lain-lain adalah termasuk sifat-sifat perbuatan Tuhan. Tentu saja sebagaimana yang akan kami bahas pada tema-tema selanjutnya, sebagian dari sifat-sifat (seperti ilmu atau iradah) dari satu sisi bisa dikatakan sifat dzat dan dari dimensi lain terkadang disebut sifat perbuatan.


3. Sifat nafsi dan tambahan
Di sini terdapat pula pengelompokan ketiga yakni sifat Tuhan dibagi menjadi dua bagian yaitu sifat nafsi dan sifat tambahan. Sifat nafsi merupakan sifat-sifat mandiri dan bukan merupakan tambahan dari yang lain, akan tetapi sifat tambahan merupakan sifat yang lahir akibat tambahan dari yang lain. Sebagai contoh, hidup merupakan sifat nafsi akan tetapi ilmu, kodrat dan iradah merupakan sifat-sifat tambahan, karena makna ilmu bersumber dari hubungan dengan yang lain yakni ma'lum (obyek yang tercerap) dan makna kodrat berhubungan dengan sesuatu yang dikuasai serta makna iradah terkait dengan sesuatu yang dikehendaki.[2]


4. Sifat dzat dan khabar.
Pengelompokan ini khusus pada Ahli Hadits. Maksud dari sifat dzat di sini adalah sifat yang menunjukkan kesempurnaan dzat Tuhan. Pada sisi yang lain, sifat khabar adalah sifat yang terdapat dalam teks-teks suci agama (al-Qur'an dan hadis) yang dinisbahkan pada Tuhan. Apabila memperhatikan makna lahiriahnya, hal ini akan meniscayakan kematerian dan kejasmanian Tuhan serta kemiripan-Nya dengan makhluk-makhluk materi. Sebagai contoh, dalam al-Qur'an terdapat ayat yang secara lahiriah memperkenalkan Tuhan sebagai suatu realitas yang memiliki organ dan anggota badan seperti muka, tangan dan mata. Berdasarkan pembagian ini, sifat-sifat tersebut yaitu Tuhan memiliki wajah, tangan dan mata merupakan sifat khabar, karena konsekuensi penerimaan makna lahiriah dari sifat-sifat itu ialah penerimaan akan kematerian Tuhan.


Catatan Kaki:
[1]. Tentang apa "hal" lain tersebut, terdapat penjelasan yang beragam. Pada salah satu penjelasan dikatakan bahwa "hal" lain tersebut merupakan suatu maujud lain dimana antara Tuhan dengannya terdapat interaksi khusus, misalnya sesuatu yang tercipta. Akan tetapi berdasarkan pendapat lainnya dikatakan bahwa maksud dari "hal" lain adalah perbuatan Tuhan itu sendiri, karena dalam pandangan yang lebih detail dikatakan bahwa seluruh maujud merupakan perbuatan Tuhan.

[2]. Tentu saja pada bagian ini terdapat pula istilah lainnya dimana dalam pembahasan ilmu kalam tidak sering dipergunakan. Sebagai contoh, berdasarkan sebuah pengelompokan, sifat Tuhan terbagi menjadi sifat hakiki, seperti hayy (hidup), 'âlim dan sifat tambahan seperti Pencipta dan Maha berkehendak, Dan sifat hakiki ini juga terbagi dua sifat hakiki murni, seperti hayy dan sifat hakiki tambahan seperti 'âlim dan qâdir.


Telaah Teologis atas Sifat-sifat Tuhan [1]

Kemungkinan Pengenalan Sifat-sifat Tuhan
Salah satu persoalan mendasar dalam pembahasan sifat-sifat Tuhan adalah apakah manusia mampu mengenali sifat-sifat Tuhan ataukah sifat-sifat Tuhan ini sebagaimana dzat-Nya mustahil diketahui dan dipahami oleh manusia?

Dalam menjawab pertanyaan di atas, sebagian mengatakan bahwa akal manusia tidak mampu mengenal sifat-sifat Tuhan. Menurut mereka, hal yang mungkin dilakukan hanyalah menerima dan mempercayai keberadaan dan kebenaran sifat-sifat Tuhan secara universal dari al-Qur'an dan hadis tanpa harus memahami hakikat dan makna dari sifat-sifat tersebut. Bentuk pemikiran seperti ini lazimnya disebut ta'thil, karena meliburkan aktivitas akal dan pemahaman manusia dalam mengenal sifat-sifat Tuhan, dan pengikut kelompok ini dinamakan Mu'aththâlah.

Argumentasi paling penting dari aliran ini adalah bahwa kita bisa mengambil makna-makna sifat seperti ilmu, kodrat dan iradah dari keadaan internal diri kita sendiri atau dari karakteristik maujud-maujud materi semacam manusia, akan tetapi kita tidak berhak menisbahkan makna-makna ini kepada Tuhan, karena Tuhan sama sekali tidak memiliki kemiripan dan kesamaan dengan eksistensi-eksistensi lain, Dia adalah Wâjib al-Wujûd dan Keberadaan yang mutlak, sementara seluruh eksistensi selain-Nya merupakan mumkin al wujûd yang memiliki keterbatasan dan tak sempurna. Oleh karena itu, kita tidak diijinkan untuk memperluas makna-makna sifat ini pada Tuhan, dan juga makna-makna lain tidak berada dalam jangkauan kita dan semua makna itu hanyalah diambil dari eksistensi-eksistensi makhluk, maka tidak ada solusi lain kecuali menerima dan membenarkan secara mutlak makna universal sifat-sifat Ilahi yang ada dalam al-Qur'an dan hadis.

Sebagaimana yang Anda perhatikan, aliran ini dikarenakan pensucian dan tanzih yang berlebihan atas Tuhan, akal manusia dipandang tak mampu sedikitpun untuk mengenal sifat-sifat Tuhan. Menurut sebagian aliran ta'thil, hal maksimal yang bisa dilakukan oleh akal untuk menyifati Tuhan adalah menegasikan seluruh makna dan sifat yang menunjukkan ketidaksempurnaan dan keterbatasan dzat Tuhan. Berdasarkan hal ini, makna dari proposisi "Tuhan Maha Mengetahui" atau "Tuhan Maha Kuasa" tidak lain adalah bahwa Tuhan tidak bodoh dan tidak lemah. Dengan kata lain, hakikat yang dipaparkan dalam sifat-sifat tsubuti Tuhan tak lain adalah penegasian sebagian makna yang menunjukkan pada ketaksempurnaan dan kelemahan Tuhan. Oleh karena itu, akal kita tidak mampu menetapkan suatu sifat bagi Tuhan yang dengannya menggapai hakikat dan pengenalan terhadap Tuhan. Akal kita hanya mampu menghukumi bahwa dzat Tuhan suci dari segala kekurangan dan keterbatasan.

Perlu dikatakan bahwa aliran ini untuk membuktikan kebenaran mazhabnya, selain mengeluarkan argumen-argumen akal (sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya) mereka juga membawakan beberapa ayat al-Qur'an sebagai alat legitimasi.

Untuk menolak pendapat mazhab ta'thil ini, kebanyakan teolog muslim meyakini bahwa akal manusia mampu memahami makna-makna sifat tsubuti Tuhan dan mengenal Tuhan dari sifat-sifat yang dimiliki-Nya. Tentunya mereka juga terpecah menjadi dua kelompok, dimana kelompok pertama tidak melihat adanya perbedaan serius antara sifat-sifat Tuhan dan sifat-sifat makhluk-Nya dan sepakat bahwa sebagian dari sifat-sifat yang dimiliki oleh Tuhan juga dipunyai oleh makhluk-Nya seperti manusia, misalnya makna wahid dan tunggal dimiliki oleh keduanya dengan makna yang setara tanpa ada perbedaan. Kelompok ini dikarenakan menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya dalam sifat-sifat, dan tidak membedakan antara keduanya, maka bentuk pemikiran ini disebut tasybih dan terkenal dengan nama Musyabbahah. Sebagian dari ahli tasybih bahkan berpendapat ekstrim dan menganggap bahwa Tuhan memiliki jasmani, organ dan anggota badan. Untuk menegaskan kebenaran konsepnya, aliran ini bersandar pada ayat-ayat yang secara lahiriah menunjukkan bahwa Tuhan memiliki tangan, kaki, dan mata.

Akan tetapi kelompok kedua dari aliran tasybih sepakat bahwa seberapapun kita mampu mengenal sifat-sifat Tuhan dan maknanya, hal ini tidak berarti bahwa sifat-sifat Tuhan adalah sama sebagaimana yang terdapat pada eksistensi-eksistensi selain-Nya. Menurut pandangan ini, mazhab ta'thil dan pandangan ekstrim tashbih adalah batal, dan yang benar adalah bahwa sifat-sifat Tuhan bisa ditafsirkan dan diinterpretasikan secara rasional tanpa harus terperosok ke dalam penyerupaan (tasybih), dengan kata lain, berdasarkan pendapat ini, pensucian Tuhan dari segala ketaksempurnaan dan keterbatasan makhluk dapat dikompromikan lewat pengenalan rasional melalui sifat-sifat-Nya.

Pada dasarnya penganut maktab ta'thil bermaksud menjaga kesucian Tuhan tapi terjebak dalam penolakan segala bentuk ilmu dan makrifat manusia, sementara maktab tasybih yang tanpa memperhatikan perbedaan antara Tuhan dan makhluk serta tanpa memandang karakteristik wujud Tuhan seperti keniscayaan wujud, ketakterbatasan, tetap memandang bahwa Dia serupa dengan makhluk. Dari sini dikatakan bahwa kedua kelompok adalah salah dan keliru. Oleh karena itu, pendapat yang benar adalah bahwa manusia mampu mengenal Tuhan dari sifat-sifat tsubut-Nya, meskipun manusia tidak bisa mengenal hakikat dzat-Nya, tetapi lewat pengenalan sifat-sifat-Nya (meskipun sangat terbatas) bisa memahami sebagian dari kekhususan dzat Ilahi tersebut.


Kritik atas Maktab Ta'thil dan Tasybih
Sebelum melanjutkan pembahasan, ada baiknya kita sedikit menelaah kesalahan-kesalahan yang ada pada kedua maktab ini. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, masing-masing pengikut kedua maktab ini menggunakan ayat-ayat al-Qur'an untuk menegaskan pendapat mereka. Analisa terhadap ayat-ayat yang dimaksud, akan dibahas pada tema "al-Qur'an dan penyifatan Tuhan", sedangkan di sini, akan dikaji sepintas mengenai kelemahan mendasar penyandaran atas ayat-ayat al-Qur'an dari kedua maktab ini.

Apabila kita mampu memaparkan konsep tentang sifat-sifat Tuhan yang memiliki makna-makna rasional yang sesuai dengan pemahaman umum masyarakat dan tidak bertolak belakang dengan kesucian Tuhan, maka maktab ta'thil dengan sendirinya tertolak dan kekeliruannya akan menjadi nyata. Dengan ungkapan yang lebih jelas dikatakan bahwa prinsip mendasar dari pendapat ta'thil adalah karena pada awalnya akal manusia mengambil makna-makna sifat dari makhluk-makhluk, maka penggunaan makna-makna ini untuk dzat Tuhan niscaya tidak sesuai dengan kesucian dan kemuliaan Tuhan serta akan terjebak dalam penyerupaan dan pen-tasybih-an Tuhan. Oleh karena itu, bila terdapat gagasan yang bisa menafsirkan makna sifat-sifat Tuhan yang tidak bertentangan dengan kesucian-Nya dan tidak berujung pada pen-tasybih-an Tuhan dengan makhluk-Nya, maka secara otomatis maktab ta'thil tertolak. Pada pembahasan mendatang, pendapat semacam ini akan dijabarkan. Ringkasan pendapat ini adalah pertama-tama kita "mensucikan" segala makna sifat makhluk dari seluruh gambaran keterbatasan dan ketaksempurnaan kemudian sifat-sifat tersebut (yang telah disucikan) dinisbahkan pada Tuhan. Penjelasan terperinci konsep ini akan disajikan pada tema "Penjelasan sifat-sifat Ilahi".


Selain hal tersebut di atas, terdapat banyak argumen dan dalil yang menggugurkan maktab ta'thil ini, di sini akan dipaparkan sebagian darinya:
1. Al-Qur'an dari satu sisi memerintahkan manusia berkontemplasi dan berfikir tentang ayat-ayat-Nya dan pada sisi lain terdapat berbagai ayat al-Qur'an yang menjelaskan sifat-sifat dan asma-asma Tuhan. Sebagai contoh, Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, yang Maha Suci, yang Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha perkasa, yang Maha Kuasa, yang memiliki segala Keagungan, Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang membentuk Rupa, yang mempunyai asmâul Husna, bertasbih kepadanya apa yang di langit dan bumi, dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (Qs. Hasyr [59]: 22-24)

Apakah kita dapat memikirkan dan merenungkan ayat di atas dan ayat-ayat lainnya yang serupa dengannya? Jika apa yang dikatakan oleh pengikut ta'thil bahwa manusia tidak akan pernah memahami seluruh makna sifat-sifat Tuhan ini, maka untuk apa diperintahkan tadabbur dan kontemplasi atasnya? Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa metode al-Qur'an yang senantiasa menyebut sifat-sifat Tuhan adalah tidak sesuai dengan maktab ta'thil dan hal ini sebagai bukti kesalahannya.

2. Dalam pandangan Islam, tujuan akhir dari alam penciptaan dan agama adalah kesempurnaan manusia dalam penghambaan pada Tuhan, ayat-ayat seperti, "Dan tidak Aku ciptakan manusia dan jin kecuali untuk beribadah", dan ayat, "Sesungguhnya Kami angkat Rasul pada tiap-tiap umat untuk mengajak beribadah kepada Allah" dengan tegas mendukung hal ini. Demikian juga, beribadah kepada suatu dzat yang tidak dikenali sifat-sifatnya merupakan perbuatan sia-sia dan mustahil tercipta hubungan dengannya. Sebagai contoh, bagaimana mungkin meminta pertolongan dan perlindungan kepada Tuhan yang sama sekali tidak dipahami sifat kodrat-Nya?

Kesimpulannya, mustahil terbentuk penghambaan dan ibadah kepada Tuhan yang sama sekali tidak dikenali sifat-sifat kesempurnaan-Nya, padahal tujuan akhir dari penciptaan tidak lain adalah penghambaan manusia dan pencapaian kesempurnaannya melalui jalan penghambaan ini.

Bagaimanapun, maktab ta'thil bukan saja tidak rasional bahkan tidak sesuai dengan teks-teks suci agama. Dan sebagaimana yang telah kami katakan bahwa sebenarnya pengikut maktab ini tidak mampu memadukan antara kesucian Tuhan dengan pemahaman rasional terhadap sifat-sifat-Nya.[1]

Kesalahan maktab tasybih lebih jelas lagi. Karena pendapat maktab ini bertentangan dengan sifat-sifat salbi dan negasi Tuhan. Keseluruhan argumen yang telah dibangun atas sifat-sifat negasi Tuhan merupakan bukti akan kekeliruan maktab ini. Kami akan memaparkan sebagian dari argumen-argumen tersebut pada pembahasan tentang "Sifat-Sfat Negasi Tuhan".


Metode Pengenalan Sifat-sifat Tuhan
Telah kita ketahui bahwa pengenalan dan makrifat manusia terhadap sifat-sifat dzat Tuhan hanya bersifat hushuli (lewat pendekatan kontempalasi atas makna-makna sifat). Sekarang kita lihat metode-metode yang akan mengantarkan manusia kepada makrifat semacam ini dan cara-cara mengenal sifat-sifat Tuhan:


1. Metode Rasional dan Akal
Sebagaimana metode akal bermanfaat dalam pembenaran keberadaan Tuhan dan pembuktikan proposisi "Tuhan ada", akal bisa pula membantu manusia untuk mengenal sifat-sifat Tuhan. Dengan memanfaatkan makna-makna dan kaidah-kaidah tertentu, akal mampu membuktikan sifat-sifat sempurna bagi Tuhan dan menisbahkan sifat-sifat yang pantas untuk dzat-Nya.

Dalam pembahasan argumentasi pembuktian Tuhan telah dikatakan bahwa dengan memanfaatkan sebagian argumentasi rasional kita bisa membuktikan wujud Tuhan sebagai Wâjib al-Wujûd dan Sebab bagi segala akibat. Akan tetapi dalil akal tidak berhenti hanya pada dimensi ini saja, melainkan dengan melakukan kontemplasi pada sifat-sifat dasar Tuhan seperti Wâjib al-Wujûd bisa ditemukan sifat-sifat lain yang merupakan kemestian sifat-sifat-Nya. Sebagai contoh, ketika merenungkan Wâjib al-Wujûd ditemukan bahwa Wâjib al-Wujûd mustahil terkomposisi dari partikular-partikular luar, karena setiap komposisi membutuhkan bagian-bagian, dan sifat butuh kepada yang lain adalah tidak sesuai bagi Wâjib al-Wujûd. Dengan demikian, akal dengan menentukan sifat-sifat dasar serta kemestiannya akan mampu membuktikan sifat-sifat lainnya bagi Tuhan, seperti menentukan sifat negasi yakni penafian komposisi bagi wujud Tuhan.[2] Pada pembahasan mendatang, metode ini juga digunakan untuk menjelaskan secara mendetail sebagian sifat-sifat Tuhan, sebagaimana digunakan dalam penegasan beberapa aspek tentang ketuhanan.


2. Merenungi Alam Semesta
Metode lain untuk mengenali sifat-sifat Tuhan adalah dengan mengkaji karakteristik-karakteristik yang dimiliki oleh alam semesta dan merenungi mekanismenya. Dengan perenungan ini, manusia akan memahami sebagian dari sifat-sifat sempurna Tuhan. Sebagai contoh, dengan melakukan kontemplasi dalam mekanisme universal alam dan sistem keteraturan yang ada pada seluruh fenomena alam, akan memahamkan kita tentang sifat-sifat semacam sifat "hikmah", dan "ilmu" Tuhan. Dalil keteraturan yang diketengahkan pada pembahasan "Argumentasi Pembuktian Tuhan" pun dari satu sisi merupakan salah satu cara untuk membuktikan sifat hikmah Tuhan. Demikian pula, kita mampu membuktikan ketunggalan Pencipta berdasarkan kesatuan sistem alam, dan contoh-contoh lain bisa dilakukan dengan cara seperti di atas.

Bisa dikatakan bahwa metode ini akan membuahkan hasil bila menggunakan kaidah-kaidah akal, metode ini mustahil dipisahkan dari akal. Perbedaan mendasar metode ini terletak bahwa pada proposisi pertama keseluruhan premisnya murni berasal dari akal, sedangkan pada proposisi kedua sebagian premisnya diambil dari penyaksian alam semesta. Dengan ungkapan lain, dikatakan bahwa penamaan akal dalam metode proposisi pertama bukan bermakna bahwa pada proposisi kedua sama sekali tak membutuhkan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah akal, tapi maksudnya adalah berlawanan dengan proposisi pertama, dalam proposisi kedua ini sebagian premisnya dibentuk dari hal-hal non-akal dan bersifat empiris.

Proposisi kedua selain digunakan secara meluas dalam al-Qur'an dan hadis, juga ditekankan oleh para teolog muslim.


3. Merujuk Al-Qur'an dan Hadis Otentik
Pembahasan sifat Tuhan dengan metode ini merupakan cara ilmu kalam dimana selain menggunakan metode rasional juga menyandarkan pada teks-teks suci agama (metode nakli). Setelah penerimaan wujud Tuhan, pembuktian risalah dan kenabian, penunjukan Nabi dan rasul oleh Tuhan, dan penetapan sebagian sifat-sifat Tuhan oleh al-Qur'an, maka sifat-sifat Tuhan bisa dikenali dengan merujuk pada teks dan wahyu.

Sebagaimana yang telah kami ketengahkan bahwa al-Qur'an dan hadis Nabi dan Ahlulbaitnya telah menampakkan begitu banyak hakikat dan makrifat dalam masalah pengenalan Tuhan kepada manusia, sebuah pengenalan dimana akal manusia secara mandiri tidak mampu mengenalinya atau mampu tetapi dengan berbagai kesulitan. Teks-teks Islam dalam pengenalan dan makrifat sifat dan perbuatan Tuhan selama sekian abad sebagai sumber ilham bagi para filosof dan teolog muslim dan hingga kini masih begitu banyak hal-hal lebih mendalam yang belum dipahami oleh akal manusia.


4. Penyingkapan dan Mukasyafah batin
Metode lain yang bisa digunakan oleh manusia untuk mengenal sifat-sifat Tuhan adalah metode penyakisan kalbu dan mukasyafah batin. Hanya manusia yang telah sampai pada kesempurnaan ruh dan maknawi yang mampu menyaksikan dengan mata hati keindahan dan jamaliyah Tuhan dalam manifestasi sifat-sifat sempurna-Nya.

Tentu saja metode ini bila dibandingkan dengan tiga metode sebelumnya memiliki perbedaan jika dilihat dari aspek keluasannya. Karena penyaksian batin dan kalbu atas sifat dan asma Tuhan sangat bergantung pada kesempurnaan spiritual dimana tidak dicapai kecuali oleh mereka yang berada di bawah naungan ketakwaan dan keimanan. Metode terakhir ini hanya berlaku pada manusia-manusia tertentu dan masyarakat umum tidak memiliki kemampuan semcam ini, akan tetapi metode-metode sebelumnya bersifat umum dan menggunakan metode-metode tersebut lebih mudah karena tidak memerlukan mukadimah yang rumit.


Tuhan Memiliki Seluruh Sifat-sifat Sempurna
Pada pembahasan terdahulu telah dikatakan, sebelum membuktikan dan menjelaskan sifat-sifat Tuhan secara terperinci, secara umum bisa dihukumi bahwa Tuhan memiliki seluruh sifat-sifat sempurna. Dengan kata lain, dengan menggunakan sifat-sifat dasar Tuhan seperti Wâjib al-Wujûd dan Sebab Pertama, akal bisa membuktikan bahwa setiap sifat yang menunjukkan kesempurnaan Tuhan niscaya dimiliki-Nya secara tak terbatas. Di bawah ini akan kami paparkan dua argumentasi akal yang bersandar pada kaidah-kaidah filsafat, antara lain:


Argumentasi Pertama

Argumentasi pertama ini bisa diutarakan dalam bentuk sebagai berikut:

1. Sifat-sifat seperti hidup, ilmu, kodrat, dan iradah merupakan sebagian dari sifat-sifat sempurna, karena akal secara tegas menghukumi bahwa ilmu (misalnya) apabila dikomparasikan dengan tak berilmu (jahil) merupakan suatu hal yang sempurna.

2. Eksistensi qua eksistensi bisa memiliki sifat-sifat semacam itu. Dengan kata lain, bahwa kemaujudan tidak bertentangan dengan sifat-sifat tersebut dan apabila sebagian maujud tidak memiliki sifat semacam ini, bukan karena disebabkan oleh kemaujudan itu sendiri, tapi karena sifat itu sendiri merupakan hal tambahan yang melekat pada eksistensinya, misalnya kematerian merupakan sifat tambahan (sifat non-hakiki) pada suatu wujud. Walhasil, penyifatan sebagian eksistensi dengan sifat-sifat sempurna menunjukkan bahwa penyifatan ini merupakan hal yang mungkin.

3. Tuhan merupakan wujud murni yang tidak memiliki kuiditas dan keterbatasan wujud. Oleh karena itu, dari sisi wujud qua wujud dan hal yang bersifat tambahan atas wujud, penyifatan Tuhan dengan sifat-sifat sempurna adalah bersifat mungkin.[3]

4. Berdasarkan sebuah kaidah filsafat, setiap sifat yang mungkin secara umum untuk Tuhan niscaya terwujud bagi-Nya.[4] Walhasil, karena penyifatan Tuhan dengan seluruh sifat sempurna adalah bersifat mungkin, maka sifat-sifat ini niscaya tertetapkan untuk-Nya. Dengan demikian terbukti bahwa Tuhan mesti memiliki semua sifat sempurna (sifat-sifat yang dianggap akal sebagai bagian dari kesempurnaan eksistensial).

Sebagaimana yang disaksikan bahwa argumentasi ini dengan bersandar pada sifat keniscayaan wujud Tuhan (wujub al-wujud), tertetapkan secara rasional seluruh sifat sempurna untuk Tuhan.[5]


Argumentasi kedua

Argumentasi kedua bersandar pada kaidah Sebab Pertama Tuhan dan uraian singkat dari argumentasi ini adalah sebagaimana berikut:
1. Tuhan adalah Sebab seluruh eksistensi dan keberadaan makhluk, segala makhluk adalah akibat-Nya.

2. Berdasarkan salah satu kaidah filsafat dalam bab sebab-akibat (kausalitas), sebab niscaya memiliki seluruh kesempurnaan yang ada pada akibatnya, yaitu setiap tingkatan kesempurnaan yang dimiliki akibat, secara lebih sempurna dan lebih tinggi mesti dimiliki oleh sebabnya.

3. Oleh karena itu, Tuhan sebagai Sebab Pertama dan Sebab dari segala sebab keberadaan ('illatul 'illah), niscaya memiliki seluruh kesempurnaan eksistensial yang dimiliki oleh akibat-akibat-Nya secara lebih sempurna dan lebih tinggi.

4. Karena sifat-sifat kesempurnaan seperti hidup, ilmu, dan kodrat terdapat di alam, maka tingkatan lebih sempurna dari sifat-sifat ini mesti terdapat dalam dzat Tuhan. Kesimpulannya, seluruh sifat-sifat Tuhan memiliki tingkatan yang lebih sempurna.

Konklusi, dengan memperhatikan bahwa Tuhan adalah Sebab Pertama bagi seluruh eksistensi dan Sebab dari segala sebab-sebab, menjadi terbukti bahwa Tuhan memiliki seluruh sifat sempurna.


Penjelasan Makna Sifat-Sifat Ilahi
Salah satu persoalan paling penting yang berkaitan dengan sifat-sifat Ilahi adalah masalah interpretasi makna sifat-sifat tsubut Tuhan. Pertanyaan mendasar yang ada dalam masalah ini adalah apa sebenarnya makna yang tepat untuk kosa kata semacam "ilmu", "kuasa" dalam proposisi "Tuhan Maha Mengetahui" dan "Tuhan Maha Kuasa"? Dengan kata lain, apa makna detail dari ilmu Tuhan dan kodrat Tuhan? Apakah maksud dari ilmu dan kodrat di sini sebagaimana makna yang biasa digunakan dalam proposisi "Muhammad berilmu" atau "Ali berkuasa" ataukah memiliki makna lain? Jawaban-jawaban pertanyaan ini cukup rumit, karena kalau kita memilih bentuk pertama, berarti kita mengarah pada penyerupaan (tasybih) dan meletakkan Tuhan setara dengan makhluk-Nya, sementara kedudukan-Nya sebagai Tuhan mesti suci dari segala keserupaan dan kesamaan dengan maujud lain. Apabila kita memilih bentuk kedua berarti kita mengambil tanggung jawab penting untuk menjelaskan makna lain tersebut secara rasional dan sesuai dengan prinsip-prinsip linguistik, filsafat dan epistemologi. Dengan ungkapan lain, segala bentuk makna sifat-sifat Tuhan yang kita utarakan, dari satu sisi harus sesuai dengan penggunaan bahasa serta kosa kata yang menunjuk pada sifat-sifat, dan dari sisi yang lain tak ada pertentangan dengan pemahaman umum atas sifat-sifat itu, selain itu sesuai dengan kaidah filsafat dan teologi.

Telah kami singgung bahwa sebagian kelompok karena tidak mampu menafsirkan sesuai dengan sifat-sifat tsubuti Tuhan tanpa harus terjerumus pada penyerupaan dan penyetaraan antara Khalik dengan makhluk, menganggap akal tidak mampu mengenali Tuhan dan memilih metode ta'thil. Pertanyaannya, benarkah tidak ada metode menafsirkan dan memahami sifat-sifat Tuhan secara rasional? Masalah ini telah lama dibahas oleh para teolog yang kemudian memunculkan beragam pendapat. Di sini hanya akan dijelaskan satu pendapat yang disepakati oleh mayoritas filosof dan teolog.

Ringkasan dari pendapat ini adalah bahwa pada langkah awal kita menemukan sifat-sifat semacam ilmu, kodrat, hidup, dan sifat yang lain pada diri manusia atau pada eksistensi lain, dan selain itu kita memahami bahwa sifat-sifat ini merupakan kesempurnaan eksistensial dan sifat-sifat ini digolongkan sebagai suatu kesempurnaan karena dikomparasikan dengan sifat-sifat lain yang merupakan lawannya seperti bodoh, lemah, dan sebagainya. Pada keadaan ini, kita merenungkan makna-makna dari sifat-sifat kesempurnaan yang kita dapatkan tersebut, lalu kita mesti mengenali seluruh faktor yang menyebabkan keterbatasannya, dan pada tahapan selanjutnya kita memisahkan faktor-faktor tersebut dari pemaknaan sifat-sifat sempurna itu, dengan kata lain kita melepaskan segala faktor yang menyebabkan keterbatasannya. Di sini kita akan sampai pada suatu makna dimana pada satu sisi menunjukkan kesempurnaan eksistensial dan dari sisi lain tidak menghadirkan bentuk kekurangan dan keterbatasan.

Sebagai contoh, melalui penyaksian internal dan kontemplasi atas segala sesuatu kita akan sampai pada makna "ilmu" atau "pengetahuan".[6] Namun pengetahuan ini diliputi oleh sekian faktor yang menyebabkannya terbatas, ilmu ini pada satu sisi bersifat temporer dengan makna bahwa sebelumnya tidak dicapai, dan pada sisi lain bisa menjadi hilang dan tiada. Selain itu, untuk menggapai sebagian pengetahuan ini kita menggunakan perangkat dan wasilah yang juga memiliki kemungkinan salah.

Faktor-faktor di atas seperti bersifat temporer, kemungkinan meniada, membutuhkan perangkat, kemungkinan salah, dan sebagainya merupakan hal-hal yang menyebabkan keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Dalam kondisi ini, sebagaimana yang telah kami singgung, pada langkah awal kita harus melepaskan pemaknaan ilmu dan pengetahuan ini dari seluruh faktor tersebut kemudian makna ini kita nisbahkan pada ilmu Tuhan.

Dengan demikian, rasionalisasi sifat-sifat sempurna tersebut layak untuk disandarkan kepada dzat Tuhan.


Penetapan Tuhan atas Asma dan Sifat-Sifat-Nya Sendiri
Sekelompok teolog Islam sepakat bahwa asma dan sifat-sifat Ilahi bersifat tauqifi. Maksud dari tauqifi adalah bahwa dalam penamaan dan penyifatan Tuhan harus menggunakan apa-apa yang telah ditetapkan oleh Tuhan yang disebutkan dalam al-Qur'an dan hadis, dan kita sama sekali tidak berhak menggunakan kata-kata yang lain dalam penamaan dan penyifatan Tuhan. Pada hakikatnya, dasar kepercayaan ini adalah penamaan dan penyifatan Ilahi mutlak mengikuti ketetapan Tuhan, dan akal tidak mampu melakukan hal ini secara mandiri.

Pada sisi yang berlawanan, terdapat kelompok lain sepakat bahwa asma dan sifat-sifat Tuhan tidak mutlak ditetapkan oleh Tuhan, oleh karena itu tidak masalah menggunakan asma dan sifat-sifat yang tidak disebutkan secara tegas dalam al-Qur'an dan hadis, dengan syarat bahwa makna asma dan sifat-sifat itu sedikitpun tidak menunjuk pada ketaksempurnaan dan keterbatasan Tuhan.

Dengan memperhatikan pembahasan terdahulu - dalam tema "Penjelasan Makna Sifat-sifat Ilahi", demikian juga dengan memperhatikan karakteristik sifat-sifat Tuhan, diantaranya sifat-sifat Ilahi lepas dari segala bentuk ketaksempurnaan dan keterbatasan - menjadi jelas bahwa akal memiliki peran dalam penyifatan Tuhan dengan segala karakteristik yang mesti dimiliki oleh sifat-sifat itu. Dengan demikian, kita tidak memiliki satupun argumentasi akal yang menunjukkan kemestian penetapan asma dan sifat-sifat Ilahi oleh Tuhan sendiri. Pendukung pendapat tauqifi asma dan sifat Ilahi ini tidak menggunakan argumentasi akal untuk membuktikan klaimnya melainkan mereka hanya bersandar pada sebagian ayat-ayat al-Qur'an seperti, Hanya milik Allah Asmaul Husna, Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." (Qs. al-A'raf [7]: 180)

Dalam ayat tersebut di atas dikatakan bahwa maksud dari kata "ilhâd" dalam "yulhidûna fi asmâihi" adalah manusia menyebut Tuhan dengan nama-nama selain dari Asmaul Husna yang terdapat pada awal ayat di atas dan karena perbuatan ini sangat tercela maka pendapat tentang penetapan asma Ilahi oleh Tuhan sendiri menjadi terbukti kebenarannya.[7]

Selain itu, dalam berbagai hadis terdapat pelarangan penyifatan Tuhan dengan sesuatu selain yang terdapat dalam al-Qur'an. Sebagai contoh, Imam Kazhim As bersabda, "Sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan Maha Besar untuk dapat dicapai hakikat sifat-sifat-Nya, maka sifatilah Dia dengan sifat yang telah Dia tentukan untuk diri-Nya sendiri dan hindarilah penyifatan selainnya."[8]

Dengan adanya beragam riwayat semacam ini, kebanyakan para peneliti dan teolog mengambil kesimpulan bahwa sekalipun kita tidak sepakat dengan pendapat tauqifi sifat dan asma Tuhan ini, minimal kita berhati-hati untuk tidak menggunakan nama-nama yang tidak terdapat dalam al-Qur'an dan hadis.


Catatan Kaki:
[1]. Menurut pendapat sebagian cendekiawan kontemporer dikatakan bahwa kesalahan pengikut ta'thil bersumber dari penggabungan yang keliru antara pemahaman dan ekstensi. Perlu diketahui bahwa manusia tidak dapat memahami ekstensi sifat-sifat Tuhan, tapi manusia bisa memahmi makna sifat-sifat-Nya karena makna dari sifat-sifat Tuhan berada dalam jangkauan pemahaman manusia, sementara pengikut ta'thil meyetarakan antara hukum ekstensi dengan hukum makna. Rujuk: Ma'ârif al-Qur'ân, Taqi Misbah Yazdi, jilid 1-3, hal. 90-92.

[2]. Khawajah Nasiruddin Thusi dalam kitab Tajrid al-I'tiqad, menggunakan metode ini untuk membuktikan sebagian dari sifat-sifat afirmasi dan negasi Tuhan. Rujuk: Kashf al-Murad, hal. 314-326.

[3]. Harus diperhatikan bahwa maksud dari "kemungkinan" di sini adalah kemungkinan umum bukan kemungkinan khusus, dan sebagaimana dalam pembahasan logika dan filsafat, kemungkinan umum adalah sesuai dengan keniscayaan wujud. Jadi kemungkinan umum sifat-sifat ini untuk Tuhan tidak berlawanan dengan keniscayaan wujud-Nya.

[4]. Berdasarkan sebuah kaidah filsafat, "Segala sesuatu yang mungkin secara umum tertetapkan bagi Tuhan, niscaya akan tertetapkan bagi-Nya".

[5]. Untuk mendapatkan penjabaran sempurna dari argumentasi ini, rujuk: Lahiji, Sarmâye-e Iman, hal. 49 dan 50.

[6]. Pada pembahasan Ilmu Tuhan kita akan membahas bahwa menurut pendapat para filosof, hakikat pengetahuan tidak lain adalah kehadiran ma'lum (obyek ilmu) pada diri subyek 'alim .

[7]. Allamah Thaba-thabai menentang kesimpulan semacam ini, rujuk: al-Mizân, jilid 8, hal. 375.

[8]. Syeikh Kulainy ra, al-Kafi, jilid 1, hal, 102. Syeikh Kulainy dalam tema berjudul "An-Nahi 'an as-Shifah" menyajikan beragam hadits khusus dalam tema ini .




Telaah Teologis atas Sifat-sifat Tuhan [2]

Al-Qur'an dan Penyifatan Tuhan
Sebagaimana yang telah kami katakan, mustahil bagi manusia untuk mengenal hakikat dzat Tuhan dan pengenalan atas-Nya hanya bersifat universal lewat makrifat asma dan sifat-sifat-Nya. Atas dasar ini, salah satu tujuan utama al-Qur'an yang dalam berbagai ayatnya berbincang tentang sifat-sifat Tuhan adalah melakukan re-konstruksi, memperdalam, dan memperluas pengenalan manusia terhadap Tuhan. Ratusan ayat al-Qur'an kadangkala secara langsung membahas tentang sifat-sifat Tuhan dan menyebutkan tentang asma Tuhan. Dari sebagian ayat bisa pula ditemukan adanya prinsip-prinsip universal dalam penyifatan Tuhan.

Meskipun demikian, perlu diingat bahwa mengenali Tuhan melalui sifat-sifat-Nya merupakan cara yang sangat rumit karena membutuhkan ketelitian dan kecermatan yang tinggi, karena sedikit saja kita salah menganalisanya bisa jadi akan mengarahkan kita kepada pen-tasybih-an dan penyerupaan yang membuat kita kehilangan sebagian dari makrifat al-Qur'an. Salah satu hal yang mendasar untuk dilakukan adalah berpegang pada ayat-ayat yang muhkam dan jelas tentang sifat-sifat Ilahi untuk menafsirkan ayat-ayat yang mutasyabihah dan tidak jelas (seperti ayat-ayat yang secara lahiriah menyifati Tuhan dengan sifat-sifat makhluk-Nya).

Di sini kita akan melakukan pengamatan sepintas terhadap perspektif al-Qur'an dalam penyifatan Tuhan dan metode manusia mengenali sifat-sifat-Nya, sedangkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat khusus akan kami bahas pada bab yang berkaitan dengannya.


Bukan Tasybih dan Bukan Ta'thil
Al-Qur'an pada satu sisi menegaskan bahwa pengenalan terhadap hakikat dzat Tuhan merupakan hal yang mustahil bagi manusia, Tuhan berfirman, "Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya."[1] (Qs. Thaha [20]: 110)

Dari sisi lain, dalam berbagai ayat telah dijelaskan bahwa Tuhan tidak memiliki sedikitpun kemiripan dengan maujud lain dan tidak ada sesuatupun yang bisa digambarkan setara dengan dzat suci-Nya. Ayat ini pada dasarnya merupakan ayat muhkam yang menegaskan kesalahan berpikir aliran Tasybih dan segala konsep yang memandang ada kemiripan antara Tuhan dengan makhluk-Nya. Dia berfirman, "Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat." (Qs. As-Syura [42]:11)

Pada pembahasan Tauhid dipahami bahwa ayat-ayat tersebut berkaitan dengan tauhid dzat, akan tetapi sepertinya ayat-ayat tersebut selain menafikan kemiripan maujud lain dengan dzat Tuhan, juga menafikan kemiripan antara sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat selain-Nya. Sebenarnya ayat itu menceritakan bahwa baik dari sisi dzat mutlak Tuhan maupun dari sifat-sifat-Nya tak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya dan tidak ada pula sesuatu yang bisa digambarkan mempunyai kemiripan dan kesamaan dengan-Nya. Makna ayat ini bisa ditemukan pula dalam sebagian ayat seperti pada ayat terakhir surah at-Tauhid.[2]

Ayat al-Qur'an di atas dalam posisinya menjelaskan kesalahan maktab Tasybih, selain itu juga menafikan segala bentuk kemiripan dan kesetaraan Tuhan dengan eksistensi lain dalam dzat dan sifat. Pada ayat-ayat yang lain juga mengetengahkan tentang sifat-sifat salbi Tuhan seperti penafian kebinasaan dan keterikatan dengan ruang dan waktu dimana akan dibahas kemudian dalam tema "sifat-sifat negasi dan salbi Tuhan".

Demikian juga, al-Qur'an meninggikan dzat Tuhan dari segala bentuk penyerupaan dan pen-tasybih-an. Pada banyak ayat setelah menukilkan pemikiran-pemikiran keliru dari para musyrikin tentang Tuhan, al-Qur'an menegaskan poin bahwa penyifatan mereka atas Tuhan adalah tidak layak untuk maqam suci ketuhanan (uluhiyat), Dia berfirman, "Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, Padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu, dan mereka mendusta (dengan mengatakan): "Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan", tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan."[3] (Qs. al- An'am: 100). "Mereka tidak Mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha Perkasa."[4] (Qs. al-Hajj [22]: 84)

Ketika berhadapan dengan kelompok ayat seperti di atas, bisa jadi kita menyangka bahwa al-Qur'an hanya memiliki makrifat Tuhan secara terbatas dan tidak memberikan makrifat atas-Nya kepada manusia lewat penjabaran akal serta pemahaman rasional. Akan tetapi kesimpulan seperti ini merupakan sebuah kesimpulan yang tergesa-gesa dan tidak benar, dengan melakukan kontemplasi terhadap ayat-ayat yang lain akan menjadi jelas bahwa al-Qur'an selain menegaskan pensucian Tuhan secara mutlak dari sifat-sifat makhluk, juga menekankan tentang adanya kemungkinan untuk mengenali-Nya. Ayat-ayat yang bisa menjadi saksi paling baik untuk klaim ini sangat banyak dimana di dalamnya menyebutkan tentang asma dan sifat-sifat Tuhan. Dengan memperhatikan bahwa al-Qur'an mengajak manusia untuk berfikir dan berkontemplasi tentang ayat-ayat-Nya maka tidak bisa diterima bahwa penyebutan asma Tuhan secara berulang pada ayat-ayat yang berlainan murni hanya sekedar sebuah bacaan tanpa memberikan makna.[5]

Oleh karena itu, al-Qur'an dalam masalah penyifatan Tuhan menolak mutlak metode tasybih maupun metode ta'thil lalu mengambil jalan tengah antara keduanya, dari satu sisi metode ini meletakkan sifat-sifat jamal dan jalal-Nya pada jangkauan pemahaman manusia, dan di sisi lain menegaskan ketakserupaan Dia dalam dzat dan sifat dengan makhluk serta mengingatkan bahwa sifat-sifat Tuhan jangan dipahami sedemikian sehingga menyebabkan pen-tasybih-an dengan selain-Nya, tapi seharusnya makna-makna dari sifat-sifat Ilahi ini dilepaskan dari warna kemakhlukan dan keterbatasan serta diletakkan sebagaimana selayaknya untuk dzat suci Tuhan. Tentunya jumlah ayat-ayat yang secara tegas menafikan pandangan tasybih lebih banyak dari ayat-ayat yang menolak pandangan ta'thil, hal ini mungkin dikarenakan para penganut teisme lebih sering terkontaminasi dengan pandangan tasybih dibandingkan dengan pandangan ta'thil.


Sifat-Sifat Tuhan dalam Hadis
Dengan merujuk pada literatur-literatur hadis, menjadi jelas bahwa pembahasan sifat Tuhan dalam hadis juga mengikuti langkah al-Qur'an. Dalam sebuah hadis dari Amirul Mukminin 'Ali As dikatakan bahwa dalam tafsir ayat 110 surah Thaha (20), beliau bersabda, "Semua makhluk mustahil meliputi Tuhan dengan ilmu, karena Dia meletakkan tirai di atas mata hati, tak satupun pikiran yang mampu menjangkau dzat-Nya dan tak ada satu hatipun yang bisa menggambarkan batasan-Nya, oleh karena itu, jangan kalian menyifati-Nya kecuali dengan sifat-sifat yang diperkenalkan oleh-Nya, sebagaimana Dia berfirman, "Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat."[6]

Imam Ali As pada awal perkataannya menjelaskan bahwa tak ada satupun makhluk yang meliputi dzat Tuhan. Secara lahiriah, maksud dari "meletakkan tirai pada mata hati" adalah keterbatasan pengenalan makhluk yang menyebabkan ketidakmampuannya meliputi dzat tak terbatas Tuhan. Imam Ali As dalam kelanjutan tema ini menegaskan bahwa dalam menyifati Tuhan kita harus mencukupkan diri dengan menggunakan sifat-sifat yang telah Dia perkenalkan kepada kita. Tentang hal ini terdapat beberapa riwayat, sebagai contoh kita bisa melihat dalam "Khutbah Asybâh" dimana beliau bersabda, "Sesungguhnya berbohong lah mereka yang meletakkan sesuatu setara bagi-Mu, mereka menyerupakan-Mu dengan patung-patung sembahan dan memakaikan pakaian makhluk kepada-Mu dengan khayalannya dan menganggap-Mu sebagaimana benda jasmani yang memiliki organ dan mereka menisbahkan indera-indera makhluk kepada-Mu sesuai dengan pikirannya"[7]

Dengan demikian, metode pensucian al-Qur'an yang tidak tasybih dan tidak pula ta'thil telah jelas dalam sebagian hadis itu. Mungkin salah satu dalil yang paling tegas untuk klaim ini adalah perkataan Imam 'Ali As yang bersabda, "Akal-akal tidak dapat menjangkau semua sifat-Nya dan tidak pula terhalang memahami sebagian dari sifat-Nya untuk memakrifat-Nya."[8]

Selain itu, sebuah hadis yang dinukilkan dari Rasulullah Saw dan ahluibaitnya As dalam masalah makrifat Tuhan, dalam hadis itu dijelaskan mengenai makrifat berharga atas sifat-sifat Tuhan dan jelas bahwa makrifat ini bersandar pada realitas bahwa manusia pada batas tertentu mampu mengenali Tuhan melalui pengenalan sifat-sifat-Nya.


Catatan Kaki:
[1]. Tentunya, penyimpulan ayat bersandar pada bahwa dhamir pada "bihi" kembali kepada Tuhan, akan tetapi terdapat pula kemungkinan bahwa dhamir di atas kembali pada perbuatan orang-orang yang bersalah.

[2]. "… Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.", (Qs. at-Tauhid [112]: 5)

[3]. Juga rujuk: surah Anbiya (21): 22, Mukminun (23): 91 dan Az-Zukhruf (43): 82.

[4]. Ayat seperti ini terdapat pula pada surah al-An'am (6): 91, Az-Zumar (39): 67.

[5]. Qs. An-Nisa: 82, Muhammad: 24, as-Shad: 29.

[6]. Al-Hawizi, Tafsir Nur ats-Tsaqalain, jilid 3, hal. 394, hadits 117. Riwayat ini melegitamasi bahwa dhamir "bihi" pada ayat "La yuhithuna bihi 'ilman" kembali kepada Tuhan.

[7]. Nahjul Balâghah, khutbah 91.

[8] . Nahjul Balâghah, khutbah 49.




Telaah Teologis atas Sifat-sifat Tuhan [3]

Ilmu Tuhan
Salah satu sifat tsubut yang dimiliki oleh Tuhan adalah ilmu. Dalam pandangan Islam, Tuhan mengetahui seluruh persoalan dan masalah yang terdapat di semua alam dan realitas. Sebagaimana yang akan kami bahas selanjutnya, ilmu selain merupakan sifat dzat Tuhan juga merupakan sifat perbuatan-Nya. Dengan ungkapan lain, ilmu Ilahi memiliki beberapa tingkatan dimana sebagiannya merupakan sifat dzat dan yang lain merupakan sifat perbuatan.


Definisi Ilmu
Secara umum ilmu mempunyai makna yang sangat jelas dan gamblang, karena setiap manusia menemukan hal ini sebagaimana keadaan-keadaan kualitas jiwa yang lain. Masing-masing kita sering mengalami keadaan jiwa ini dalam kehidupan dimana pada awalnya tidak mengetahui sesuatu (jahil) lalu berubah menjadi keadaan mengetahui sesuatu yang disebut dengan pengetahuan dan ilmu.

Tentunya jangan dilupakan bahwa ilmu manusia dalam berbagai tingkatannya memiliki keterbatasan dan tidak sempurna serta tidak bisa dibandingkan dengan ilmu Tuhan, karena ilmu Tuhan sempurna dan terlepas dari seluruh hukum materi. Ilmu manusia diperoleh melalui perangkat internal dan eksternal. Sebagai contoh, dalam memahami hal-hal yang sensori kita memanfaatkan anggota badan (seperti mata, telinga, dan lainnya) dan terkadang dengan bantuan peralatan eksternal. Demikian pula bahwa seluruh ilmu manusia bersifat temporer yaitu ilmu yang muncul setelah tidak mengetahui dan jahil, karenanya ilmu manusia bisa tidak abadi. Selain itu, keseluruhan ilmu kita adalah sangat terbatas dan tak sempurna, segala yang diketahui bila dibandingkan dengan yang tidak diketahui, sangatlah sedikit.

Akan tetapi ilmu Tuhan sempurna, mutlak, tak terbatas, azali, dan abadi yang tidak memerlukan perangkat dan perantara, dan dzat Tuhan tidak terpengaruh oleh sesuatu dari luar diri-Nya.


Ilmu Hushuli dan Ilmu Hudhuri
Berdasarkan pembagian umum, ilmu terbagi menjadi ilmu hushuli dan ilmu hudhuri. Obyek ilmu (ma'lum) dalam ilmu hudhuri adalah benda (sesuatu) itu sendiri, sedangkan ma'lum dalam ilmu hushuli adalah gambaran benda (sesuatu) dalam pikiran yang dengan gambaran ini sesuatu dipahami. Ilmu kita terhadap dzat kita sendiri dan juga ilmu kita terhadap keadaan-keadaan jiwa kita seperti takut, marah, senang, cinta, dan lain-lain merupakan ilmu hudhuri, sedangkan ilmu kita terhadap sesuatu yang sensori dan rasional berada dalam cakupan ilmu hushuli.

Dengan memperhatikan pembagian di atas, akan disajikan definisi umum tentang ilmu hudhuri dan hushuli, yaitu hadirnya ma'lum pada 'alim (subyek ilmu).

Keuniversalan definisi ini karena dalam ilmu hushuli, gambaran sesuatu (ma'lum) dalam pikiran hadir pada 'alim, sedangkan dalam ilmu hudhuri sesuatu itu sendiri (ma'lum) - dalam semua keadaan - hadir pada 'alim, dan berdasarkan kehadiran ma'lum ini, 'alim memiliki ilmu atas ma'lum.

Apabila definisi di atas lepas dari kaidah-kaidah yang berkaitan dengan ilmu makhluk dan tidak terwarnai dengan ketaksempurnaan dan keterbatasan, maka bisa digunakan dihubungkan dengan ilmu Ilahi. Oleh karena itu, ketika pembicaraan berkisar pada ilmu Tuhan akan bermakna bahwa seluruh realitas eksistensi hadir pada Tuhan dan kehadiran ini merupakan tolok ukur ilmu Tuhan atas dzat-Nya sendiri dan terhadap seluruh maujud.

Tentunya menurut sebagian filosof dan teolog Islam bahwa ilmu Tuhan terbatas pada ilmu hudhuri. Dasar pandangan ini adalah karena ilmu hushuli diperoleh melalui gambaran pikiran ma'lum, maka konsekuensinya adalah bahwa 'alim merupakan tempat aksiden gambaran-gambaran pikiran ma'lum dan pada akhirnya 'alim akan terefek olehnya, sementara dzat Tuhan suci atas hal-hal seperti ini.


Tingkatan Ilmu Tuhan
Setelah jelas tentang makna ilmu Tuhan, di bawah ini akan disebutkan pembagian dan tingkatan ilmu Ilahi ini.[1] Ilmu Ilahi pada tahapan pertama terbagi dua bagian yaitu ilmu terhadap dzat dan ilmu terhadap selain dzat. Maksud dari ilmu terhadat dzat adalah ilmu Tuhan terhadap dzat-Nya sendiri dan maksud dari ilmu terhadap selain dzat adalah ilmu Tuhan terhadap seluruh makhluk. Karena seluruh realitas eksistensi merupakan makhluk Tuhan dan Dia-lah yang menciptakannya, maka bagian kedua ini terbagi menjadi dua bagian yaitu ilmu Tuhan terhadap seluruh makhluk pra penciptaan dan ilmu terhadap semua makhluk pasca penciptaan.


Dengan demikian pembagian di atas bisa disimpulkan bahwa ilmu Tuhan memiliki tiga tingkatan:
1.Ilmu atas dzat-Nya sendiri;

2.Ilmu atas makhluk pra penciptaan;

3.Ilmu atas makhluk pasca penciptaan.



Di bawah ini akan dikaji dan dibahas tiap-tiap bagian tersebut secara terpisah.

Ilmu Tuhan atas Dzat-Nya Sendiri
Berdasarkan definisi tentang ilmu, maksud dari ilmu Tuhan terhadap dzat-Nya sendiri adalah bahwa dzat Ilahi hadir pada diri-Nya sendiri dan kehadiran ini merupakan tolok ukur pengetahuan Tuhan akan dzat-Nya sendiri.[2] Sebelum membuktikan tahapan ini dari tahapan-tahapan ilmu Ilahi lainnya, penting diingatkan bahwa hakikat ilmu Tuhan terhadap dzat-Nya sendiri merupakan sesuatu yang mustahil diketahui (sebagaimana terhadap sebagian sifat-sifat Ilahi). Pengenalan ilmu ini hanya lewat pemahaman hushuli yang bersifat universal.


Argumentasi Ilmu Tuhan atas Dzat-Nya Sendiri
Selain argumentasi umum tentang keberadaan sifat-sifat sempurna pada Tuhan, terdapat pula argumentasi khusus atas klaim yang mengatakan bahwa Tuhan memiliki pengetahuan dzat-Nya sendiri. Di bawah ini akan disebutkan satu argumen tentangnya yang bersandar pada kaidah-kaidah filsafat. Argumentasi ini terbentuk dari dua premis:

a. Setiap maujud non-materi (mujarrad) hadir pada dirinya sendiri, oleh karena itu dia memiliki ilmu terhadap dzatnya sendiri. Premis ini telah terbukti dalam filsafat. Berdasarkan prinsip ini, maujud-maujud materi karena memiliki bagian-bagian dan dimensi-dimensi serta senantiasa dalam perubahan maka tidak memiliki kehadiran, dan karena itulah dia tidak mampu hadir bahkan untuk dirinya sendiri. Walhasil, benda-benda materi adalah tidak mengetahui dzatnya sendiri. Akan tetapi maujud non-materi, karena bersifat basith[3] dan tajarrud[4] maka menyebabkan mereka mampu hadir bagi dirinya sendiri dan bahkan untuk maujud-maujud non-materi lainnya. Dan karena tolok ukur ilmu adalah kehadiran maka setiap maujud non-materi memiliki ilmu atas dzatnya sendiri.

b. Premis kedua, Tuhan adalah maujud non-materi dan suci dari seluruh hukum materi. Premis ini telah terbukti dalam pembahasan sifat negasi Tuhan bahwa Tuhan bukan wujud jasmani dan non-materi. Berdasarkan dua premis tersebut disimpulkan bahwa, karena Dia merupakan wujud non-materi, dan setiap wujud non-materi mengetahui dzatnya sendiri maka terbukti bahwa Tuhan mengetahui dzat-Nya sendiri.


Ilmu Tuhan atas Semua Makhluk Pra Penciptaan
Setelah membahas ilmu Tuhan terhadap dzat-Nya sendiri, sekarang akan dianalisa ilmu Tuhan terhadap semua makhluk pra penciptaan. Berkaitan dengan ini, muncul pertanyaan ditujukan kepada para filosof dan teolog, yaitu apakah ilmu ini merupakan bagian dari ilmu Tuhan dan apakah ilmu Ilahi ini bersifat universal (ijmali) ataukah bersifat partikular (tafshili)?

Maksud dari ilmu ijmali dalam pembahasan ini adalah bahwa Tuhan sebelum menciptakan semua makhluk, Dia tidak memiliki ilmu tentang satu persatu dari mereka secara terpisah, melainkan ilmu-Nya merupakan ilmu tunggal dan basith yang bisa menjadi ilmu tafshili. Untuk memahami lebih baik tentang ilmu ijmali, kita memisalkan ilmu seorang ahli matematika. Ilmu seorang ahli matematika terhadap semua aturan matematika bersifat ijmali, dan pada saat yang sama dia memiliki ilmu untuk menyelesaikan seluruh persoalan matematika, akan tetapi hingga dia belum menyelesaikan semua persoalan matematika, ilmunya tergolong ilmu ijmali. Akan tetapi kepartikularan ilmu Tuhan terhadap semua maujud pra penciptaan mempunyai makna bahwa Tuhan sebelum menciptakan maujud-maujud tersebut memiliki ilmu terhadap satu persatu dari mereka secara terpisah dan mandiri.

Bagaimanapun juga, karena jawaban pertanyaan di atas memerlukan pendahuluan dan pembahasan yang kompleks dan mendalam, supaya tidak keluar dari lingkup bahasan saat ini maka sementara ini tidak dibahas. Di bawah ini akan diketengahkan dua argumentasi atas keberadaan ilmu ini pada Tuhan.


Argumentasi pertama
Argumen ini bersandar pada salah satu kaidah filsafat yang mengatakan bahwa ilmu terhadap sebab sempurna bagi sesuatu (misalnya A) meniscayakan ilmu terhadap A sebagai akibat-nya.[5] Ilmu terhadap sebab mengharuskan ilmu atas akibat. Oleh karena itu, apabila sebab sempurna menjadi diketahui, maka akibat-akibat dari sebab itu niscaya akan diketahui juga.

Premis lain dari argumentasi ini adalah bahwa dzat Tuhan merupakan sebab sempurna dari seluruh maujud, dan premis ketiga yang telah terbukti pada pembahasan sebelumnya adalah Tuhan memiliki ilmu terhadap dzat-Nya sendiri.

Berdasarkan ketiga premis di atas disimpulkan bahwa Tuhan memiliki ilmu terhadap dzat-Nya dan dzat-Nya adalah sebab sempurna bagi seluruh eksistensi, dan ilmu terhadap sebab sempurna akan meniscayakan ilmu terhadap akibat, dan karena ilmu Tuhan terhadap dzat-Nya dan juga dzat Ilahi ini sebagai sebab untuk semua makhluk telah ada sejak azali, maka terbukti bahwa Tuhan telah mengetahui sejak azali dan sebelum menciptakan semua eksistensi melalui ilmu terhadap dzat-Nya sendiri.


Argumentasi kedua
Argumentasi ini lebih bersifat teologis bukan filosofis dan lebih menyerupai argumentasi keteraturan (burhan nazm) yang telah dibahas dalam argumentasi-argumentasi pembuktian eksistensi Tuhan pada bab-bab sebelumnya:[6]

Dengan mencermati alam sekitar, kita akan menemukan bahwa elemen-elemen alam ini berjalan di atas keteraturan dan mekanisme yang menakjubkan, semuanya bergerak menuju satu tujuan. Pada sisi lain, karena seluruh fenomena keberadaan merupakan makhluk-makhluk Tuhan dan sebagaimana prinsip mengatakan bahwa keberadaan makhluk (akibat) merupakan petunjuk adanya Khâlik (Sebab), maka segala kekhususan dan karakteristik makhluk (akibat) akan menunjukkan karakteristik Penciptanya (Sebab).

Dengan demikian, keteraturan dan kebertujuan alam menjadi saksi bahwa sebelum menciptakan alam, Pencipta alam ini telah mengetahui seluruh fenomena, karakteristik, kejadian, dan keterkaitan makhluk satu sama lain. Akal menghukumi bahwa mustahil Sang Pencipta segala eksistensi yang memiliki keteraturan dan tujuan menciptakan mereka tanpa didasari oleh ilmu dan pengetahuan.

Mayoritas teolog Islam menggunakan argumentasi ini untuk membuktikan ilmu Tuhan pra penciptaan. Misalnya Syeikh Thusi dalam kitab Tajrid al I'tiqâd mengatakan, "Kebijaksanaan, hikmah, dan keteraturan segala eksistensi di alam ini merupakan dalil keberadaan ilmu Tuhan terhadap segala sesuatu."


Ilmu Tuhan atas Semua Makhluk Pasca Penciptaan
Tahapan ketiga dari ilmu Tuhan adalah ilmu tafshili Tuhan terhadap segala eksistensi setelah penciptaan. Untuk membuktikan tahapan ini secara rasional, digunakan argumentasi di bawah ini. Premis dari argumentasi tersebut adalah sebagai berikut:

a. Sebagaimana telah dijelaskan dalam filsafat bahwa keberadaan akibat pasti bergantung kepada wujud sebab, dan wujud akibat sama sekali tidak memiliki kemandirian eksistensial.

b. Kemestian kebergantungan wujud akibat kepada wujud sebab karena wujud akibat bersumber dari wujud sebabnya sendiri dan hadir di sisi sebabnya, ketidakhadiran akibat di sisi sebabnya sendiri akan berarti bahwa akibat memiliki kemandirian dalam wujud, sementara menurut premis kedua, hal ini adalah mustahil. Dan karena hakikat ilmu tidak lain adalah kehadiran ma'lum di sisi 'alim itu sendiri maka setiap sebab memiliki ilmu terhadap akibatnya.

Konklusi dari premis-premis di atas adalah bahwa seluruh eksistensi dan fenomena keberadaan merupakan ma'lum dan obyek ilmu Tuhan, karena semuanya merupakan akibat-Nya, dan setiap akibat merupakan ma'lum bagi sebabnya sendiri.


Ilmu Dzat dan Ilmu Perbuatan
Pada permulaan pembahasan ini telah disinggung bahwa sebagian ilmu Tuhan merupakan sifat dzat dan sebagian lainnya merupakan sifat perbuatan. Setelah kita membicarakan ketiga tingkatan ilmu Tuhan, akan ditentukan mana di antara ketiga ilmu ini yang merupakan sifat dzat dan sifat perbuatan.

Dengan mengamati tiga tingkatan ilmu Ilahi di atas, menjadi jelas bahwa tingkatan pertama dan kedua merupakan sifat dzat dan tingkatan ketiga merupakan sifat perbuatan.


Ilmu Tuhan tentang Hal-Hal Partikular
Salah satu persoalan menarik dalam pembahasan ilmu Tuhan adalah apakah Tuhan memiliki ilmu atas segala realitas secara partikular (tafshili), ataukah ilmu-Nya hanya bersifat universal (ijmali)? Dengan kata lain, apakah benda atau sesuatu tertentu yang terdapat pada zaman dan tempat tertentu, atau peristiwa secara partikular yang terjadi pada zaman dan tempat tertentu bisa diketahui oleh Tuhan? Dengan memperhatikan pembahasan sebelumnya dalam ilmu pasca penciptaan, dipastikan bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu secara partikular. Akan tetapi sebagian teolog mengingkari ilmu Tuhan terhadap hal-hal partikular, dan memandang Tuhan hanya memiliki pengetahuan terhadap hal-hal partikular melalui kuiditas-kuiditas universal dan kategori yang mencakup partikular-partikular tersebut. Untuk membuktikan pendapatnya, kelompok ini mengetengahkan argumentasi yang akan dianalisa di bawah ini:


1. Perubahan terus menerus pada hal-hal partikular
Salah satu alasan mereka menolak ilmu Tuhan terhadap hal-hal partikular adalah bahwa partikular-partikular ini senantiasa mengalami perubahan. Oleh karena itu, apabila Tuhan memiliki pengetahuan terhadap hal-hal partikular, dan karena hal-hal tersebut harus senantiasa sesuai dengan ilmu-Nya, maka dengan terjadinya perubahan pada ma'lum (hal-hal partikular) berarti ilmu Tuhan pun mengalami perubahan, dan konsekuensinya adalah bahwa dzat Tuhan yang menyatu dengan ilmu ini akan pula mengalami perubahan. Bukankah dzat Tuhan suci dari segala bentuk perubahan? Oleh karena itu, mustahil Tuhan memiliki ilmu yang berkaitan dengan hal-hal partikular.

Secara lahiriah, dasar dari argumentasi ini adalah apabila Tuhan memiliki ilmu terhadap hal-hal partikular, berarti ilmu-Nya bersifat hushuli dan dihasilkan melalui masuknya gambaran-gambaran hal-hal partikular dalam dzat-Nya. Berdasarkan ini, perubahan ma'lum (hal-hal partikular) menyebabkan perubahan gambaran hal-hal partikular, yang pada akhirnya menyebabkan perubahan pada dzat Tuhan (sebagai tempat terjadinya perubahan gambaran hal-hal partikular).

Sebagaimana yang telah dikatakan, ilmu Tuhan merupakan sebuah ilmu hudhuri, oleh karena itu, ilmu-Nya terhadap hal-hal partikular tak lain merupakan kehadiran dan keberadaan hal-hal partikular-partikular tersebut di sisi-Nya. Dalam keadaan ini pun, perubahan hal-hal partikular akan menyebabkan perubahan ilmu, tetapi perubahan ilmu ini, sejauh berhubungan dengan perbuatan Ilahi tidak menyebabkan terjadinya perubahan pada dzat-Nya. Pada prinsipnya, salah satu karakteristik sifat perbuatan adalah mengalami perubahan karena mengikuti perubahan pada makhluk-makhluk Tuhan dimana merupakan perbuatan Tuhan itu sendiri, tapi perubahan pada sifat perbuatan tidak menyebabkan hadirnya perubahan pada dzat Tuhan.

Walhasil, maksud dari ilmu Tuhan terhadap hal-hal partikular tak lain adalah kehadiran mereka di sisi Tuhan dan perubahan hal-hal partikular juga menyentuh wilayah perbuatan dan sifat Tuhan, dan hal ini tidak bertentangan dengan ketetapan dzat Ilahi.


2. Ilmu atas hal-hal partikular memerlukan perangkat
Argumentasi lain yang dikemukakan untuk menolak ilmu Tuhan terhadap hal-hal partikular adalah karena perolehan ilmu ini membutuhkan alat dan perangkat materi, sementara kedudukan Tuhan suci dari hal seperti ini.

Dalam menjawab argumentasi ini bisa dikatakan bahwa penggunaan perangkat dan alat materi untuk menghasilkan ilmu terhadap hal-hal partikular bukan merupakan persyaratan utama dan pokok dari ilmu ini. Pencapaian ilmu dengan syarat semacam itu hanya berlaku bagi maujud di alam materi, seperti manusia yang bergantung pada indera, penggunaan anggota badan dan alat-alat materi. Tapi mengenai Tuhan sebagai realitas metafisika dan non-materi, ilmu-Nya bersifat hudhuri yang meliputi seluruh alam keberadaan dan tidak bergantung kepada perangkat materi.


Ilmu Tuhan dan Ikhtiar Manusia
Salah satu karakteristik ilmu Tuhan, sebagaimana sifat-sifat lain-Nya adalah bersifat mutlak, maknanya bahwa ilmu-Nya meliputi seluruh peristiwa, baik yang lampau, saat ini, ataupun yang akan datang. Berdasarkan hal ini, berarti Tuhan mengetahui seluruh persoalan yang akan terjadi pada masa mendatang dari awal hingga akhir, di antaranya Dia mengetahui apa yang akan dilakukan oleh manusia pada masa-masa yang akan datang. Dalam hal ini terdapat persoalan mengenai apakah ilmu Tuhan terhadap perbuatan manusia pada masa yang akan datang tidak bertentangan dengan ikhtiar manusia?

Kami akan membahas masalah ini secara terperinci dalam pembahasan "Kebebasan (ikhtiar) dan Keterpaksaan (jabr)".


Ilmu Tuhan dalam Al-Qur'an
Terdapat banyak ayat al-Qur'an membahas tentang ilmu Tuhan. Misalnya menggunakan kata 'ilm, 'alima, ya'lamu, atau 'alîm, dan begitu pula kata-kata lain seperti samî' (mendengar) dan bashîr (melihat) yang berpuluh-puluh kali digunakan dalam al-Qur'an sebagai bagian dari sifat-sifat Tuhan. Selain itu, pada sebagian ayat, kita bisa melihat sifat yang lebih khusus seperti "'âlim al-ghaib", "'allâm al-ghuyub". Untuk menganalisa seluruh ayat-ayat ini, meskipun secara umum, membutuhkan pembahasan tersendiri karena keluasaannya. Di sinipun kami mencukupkan diri dengan menyajikan sepintas pandangan al-Qur'an dalam masalah ini.


Pembuktian Ilmu Tuhan
Al-Qur'an dalam membuktikan sifat ilmu, mencukupkan diri dengan menyebutkan ayat-ayat yang merupakan penjelas seluruh sifat-sifat sempurna Tuhan. Meskipun terdapat ayat-ayat lain dalam bentuk argumen. Sebagai contoh, dalam surah al-Mulk Tuhan berfirman, Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan Dia Maha Lembut lagi Maha Mengetahui? (Qs. al-Mulk: 14)

Ayat ini muncul dalam bentuk pertanyaan negatif bagi lawan bicaranya, apakah mungkin Tuhan sebagai Pencipta tidak memiliki ilmu dan tidak mengetahui? Al-Qur'an menganggap hal ini sebagai persoalan yang jelas dan gamblang, yaitu terdapatnya kemestian antara Pencipta dan ilmu atas apa yang diciptakannya merupakan hal yang rasional. Pencipta sesuatu, sebelum menciptakannya niscaya telah mengetahui kekhususan-kekhususan yang dimiliki oleh ciptaannya, dan karena penciptaan Tuhan berlangsung terus-menerus, ayat di atas juga membuktikan bahwa Tuhan memiliki ilmu pra penciptaan dan pasca penciptaan dan menjelaskan bahwa Tuhan dalam setiap saat mengetahui seluruh makhluk-Nya.


Kemutlakan dan Ketakterbatasan Ilmu Tuhan
Al-Qur'an di samping menyifati Tuhan dengan ilmu, juga menegaskan ketakterbatasan ilmu-Nya. Pengetahuan mengenai kemutlakan dan ketakterbatasan ilmu Tuhan, selain merupakan pondasi hakiki agama dalam masalah sifat-sifat Tuhan, juga memegang peran penting dalam menyempurnakan makrifat terhadap Tuhan, serta hal inipun memiliki efek positif dalam pendidikan agama. Iman terhadap kemutlakan pengetahuan Tuhan terhadap seluruh persoalan akan memberikan pengaruh yang mendalam dalam menguatkan aspek tawakkal manusia, dan dengan percaya bahwa Tuhan mengetahui seluruh perbuatan manusia baik yang dilakukan secara terang-terangan ataupun tersembunyi dan bahkan niat-niat yang tersembunyi akan berpengaruh bagi manusia untuk menghindari dosa.

Al-Qur'an menyampaikan ketakterbatasan ilmu Tuhan dengan sangat tegas: " … dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu." (Qs. al-Baqarah [2]: 282, at-Taghabun [64]: 11)

Pada sebagian ayat disampaikan pula tentang pengetahuan Tuhan terhadap hal-hal khusus yang terjadi di alam dimana seluruh ayat ini menceritakan tentang keluasan dan ketakterbatasan ilmu Tuhan, sebagai contoh, " …Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya, dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada, dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan." (Qs. al-Hadid [57]: 4)

Ungkapan-ungkapan yang digunakan pada awal ayat memiliki banyak contohnya[7] yang hal ini menegaskan keluasan ilmu Tuhan. Dan kalimat yang mengatakan, "Dia bersama kamu, dimana saja kamu berada" menunjukkan bahwa Tuhan karena senantiasa bersama dengan manusia menyebabkan Dia mengetahui dan melihat seluruh perbuatan mereka, artinya bahwa apapun yang dilakukan oleh manusia hadir di hadapan-Nya.

Pengetahuan Tuhan terhadap semua perbuatan dan niat manusia diutarakan pada ayat-ayat lain dalam beragam bentuk, di antaranya, "Katakanlah: "Jika kamu mnyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah Mengetahui". Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (Qs. Ali Imran: 29)[8]


Ilmu Gaib Tuhan
Pada sebagian ayat diketengahkan pula tentang ilmu Tuhan terhadap hal-hal yang tidak diketahui oleh manusia, seperti pada ayat berikut ini, "Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim, dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal." (Qs. Luqman [31]: 34)


Dalam ayat di atas disinggung tentang beberapa hal yang tercakup dalam ilmu gaib Tuhan, antara lain:
1. Pengetahuan-Nya akan hari kiamat;
2. Pengetahuan-Nya akan turunnya hujan;
3. Ilmu-Nya terhadap janin yang berada di dalam rahim ibunya;
4. Ilmu-Nya tentang masa depan manusia dan tempat serta waktu kematiannya.

Pada sebagian riwayat, hal-hal di atas digolongkan sebagai ilmu gaib dan ilmu khusus yang dimiliki oleh Tuhan.[9]

Tentunya perlu diperhatikan bahwa makna gaib (tersembunyi) bersifat relatif yang terkait dengan maujud-maujud yang memiliki ilmu terbatas. Bagi Tuhan segala sesuatu itu nampak, tidak gaib, dan tidak tersembunyi, karena ilmu-Nya yang tak terbatas. Oleh karena itu, maksud dari ilmu Tuhan terhadap hal-hal gaib adalah pengetahuan-Nya atas hal-hal yang tidak diketahui oleh manusia dan makhluk-makhluk lainnya.


Ilmu Tuhan dalam Hadis
Dalam riwayat Ahlubait Nabi Alaihimussalam, persoalan ilmu Tuhan diketengahkan pula dari sudut yang beragam. Pada sebagian riwayat, disinggung tentang ilmu dzat Tuhan dan ketakterbatasan ilmu tersebut atas maujud-maujud. Imam Ali As bersabda, "Tuhan mengetahui sebelum terciptanya maujud-maujud."[10]

Pada sebagian riwayat disinggung pula tentang ilmu Tuhan pra dan pasca penciptaan makhluk. Dalam hal ini Imam Shadiq As bersabda, "Tuhan ada sejak azali, ilmu-Nya menyatu dengan dzat-Nya pada saat maujud (ma'lum) belum tercipta dan sebagainya ketika Dia mewujudkan makhluk maka hadirlah ma'lum, ilmu-Nya atas ma'lum menjadi riil."[11]

Pada banyak riwayat ditegaskan pula mengenai keluasan dan ketakterbatasan ilmu Tuhan. Imam Ali As dalam menjelaskan tentang keluasan ilmu Tuhan bersabda, "Suara yang berasal dari kerak bumi maupun sahara, dosa yang dilakukan oleh manusia di tempat tersembunyi, kedatangan dan kepergian ikan-ikan di lautan, fenomena ombak karena badai, semuanya diketahui oleh Tuhan."[12]

Demikian juga diriwayatkan dari Imam Shadiq As menjawab perkataan sahabatnya yang berkata, "Segala puji bagi Tuhan seukuran ilmu-Nya", beliau bersabda, "Jangan berkata demikian, karena ilmu Tuhan tak berbatas dan tak berhingga."[13]


Ilmu Khusus dan Ilmu Umum Tuhan
Dalam sebagian riwayat, ilmu Tuhan dibagi menjadi ilmu khusus yang teruntuk untuk dzat-Nya dan ilmu umum yang dimiliki oleh Dia dan sebagian makhluk-Nya (seperti para nabi, imam dan malaikat). Dalam sebuah hadis, Imam Baqir As bersabda, "Sesungguhnya Tuhan memiliki ilmu yang tidak diketahui oleh selain-Nya dan juga memiliki ilmu sebagaimana yang dimiliki oleh para malaikat-Nya yang terdekat, para Nabi dan Rasul, dan kami (para Imam-imam Ahlulbait As)."[14]

Pada berbagai riwayat mengenai dua sifat "Mendengar" dan "Melihat" yang merupakan cabang dari ilmu Ilahi. Tapi sebagian menolak dan menyatakan bahwa ilmu Tuhan tidak bersumber dari pendengaran dan penglihatan yang menggunakan perangkat dan alat bantu, mengenai hal ini Imam Ali As bersabda, "Tuhan Maha Mendengar, tetapi tidak melalui alat pendengaran, dan Dia Maha Melihat, akan tetapi tidak dengan mata kepala."[15]


Catatan Kaki:
[1] . Pembahasan yang diketengahkan di sini lebih banyak lewat pendekatan filosofis. Meskipun demikian untuk mendapatkan gambaran yang universal dari ilmu Ilahi, penting untuk menyiratkan pandangan para filosof.

[2] . Dalam pandangan sebagian teolog, ilmu Tuhan terhadap dzat-Nya merupakan ilmu hushuli. Rujuk: Assiwari, Irshâd ath-Thâlibin, hal. 20.

[3] . Basith adalah sesuatu yang tidak memiliki bagian-bagian dan dimensi-dimensi, basit merupakan lawan dari murakkab (memiliki bagian-bagian dan dimensi-dimensi).

[4] . Tajarrud adalah tidak berhubungan dengan materi dan hukum-hukumnya, seperti jiwa dan akal yang bukan materi dan tidak terpengaruh oleh hukm-hukum materi.

[5] .Rujuk: Ibrahim Dinani Ghulam Husein; Qawâid Kulli Falsafi dar Falsafe-ye Islam, jilid 3, hal. 345-351.

[6]. Perbedaan dari dua hal ini adalah konklusi argumen keteraturan dimana pembuktian bahwa Khalik Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, akan tetapi di sini sifat kemakhlukan alam dan kepenciptaan Tuhan berada dalam cakupan pembuktian sifat ilmu untuk-Nya.

[7] . Termasuk tetesan-tetesan hujan, akar-akar pepohonan, harta karun, dan barang tambang, hewan-hewan bawah tanah, sumber air panas yang memancar dari dalam bumi, para malaikat yang turun-naik, awan, para burung, cahaya langit, dan ratusan hal-hal lainnya.

[8] . Rujuk pula: Qs. al-An'am (6): 3 dan At-Taubah (9): 78.

[9] . Riwayat-riwayat ini terdapat pada tafsir-tafsir riwayat, seperti Nur ats-Tsaqalain, dan tafsir Burhân. Rujuk pula: Suyuti, ad-Darul Mantsur fii at-Tafsir bi al-Ma'tsur, jilid 5, hal 169 dan seterusnya; dan al-Huwaizi, Nur ats-Tsaqalain, jilid 4, hal. 218 dan seterusnya.

[10] . Nahjul Balâghah, khutbah 152.

[11] . Ushul Kâi, jilid 1, hal. 107.

[12] . Nahjul Balâghh, khutbah 197.

[13] . Syeikh Shaduq, At-Tauhid, bab kesepuluh, hadits pertama.

[14] . Ibid, bab kesepuluh, hadits ke 15. Istilah "Ilmu Khusus" digunakan pula pada riwayat sebelumnya, yaitu hadits ke 14 dari bab yang sama.

[15] . Nahjul Balaghah, khutbah 152.




Telaah Teologis atas Sifat-sifat Tuhan [4]

Kodrat Ilahi
Salah satu sifat esensial yang dimiliki Tuhan adalah kodrat dan kekuasaan, dan Al-Qur'an menyebut Nya dengan sebutan Qâdir dan Qadîr. Kodrat merupakan salah satu sifat yang bisa kita temukan dalam diri kita sendiri pada tingkatan terbatas. Berpijak dari hal ini, maka pengertian kodrat pada batasan tertentu telah jelas bagi kita, namun ada baiknya untuk penjelasan lebih luas kami menyajikan pula definisi kodrat yang nantinya akan mengantarkan kita untuk memahami definisi kodrat Ilahi.


Definisi kodrat
Para teolog Islam mengungkapkan berbagai definisi yang berbeda tentang kodrat. Definisi umum mengatakan bahwa Qâdir adalah apabila berkehendak, akan berbuat sesuatu dan apabila berkehendak, akan meninggalkannya. Berdasarkan hal ini, ketika dikatakan, pelaku tertentu mempunyai kodrat dan kemampuan untuk melakukan atau meninggalkan pekerjaan atau aktifitas, maka hal tersebut harus sesuai dengan keinginan dan kehendaknya. Oleh karena itu, pada seluruh persoalan, apabila pelaku tidak berkehendak dan perbuatan muncul tidak sesuai dengan keinginan dan kehendaknya, maka pelaku ini dalam melakukan perbuatannya dikatakan tidak mempunyai kehendak dan kodrat. Sebagai contoh, api tidak mempunyai kodrat untuk memunculkan panas dan membakar, karena membakar dan panas yang dimilikinya tidak muncul dari "keinginan"nya sendiri, maka tidak bisa dikatakan: apabila ingin ia bisa meninggalkan perbuatan membakar itu.


Berdasarkan definisi di atas, maka bisa disimpulkan:
a. Kemampuan dan kodrat untuk melakukan aktifitas tidak selalu mengharuskan terjadinya perbuatan, melainkan bisa jadi pelaku yang mempunyai kemampuan untuk melakukan suatu aktifitas malah meninggalkannya, hal ini terjadi ketika kehendak untuk melakukan pekerjaan itu berubah menjadi kehendak untuk meninggalkannya.

b. Pelaku bisa disebut mempunyai kemampuan atau kodrat sebelum melakukan aktifitas, hal ini berlawanan dengan pendapat sekelompok yang mengatakan bahwa pelaku hanya akan disifati dengan sifat kodrat setelah melakukan aktifitas[1]. Kebenaran pendapat ini bisa ditinjau dari penjelasan definisi kodrat dan juga merujuk kepada keadaan diri sendiri, telah jelas bahwa definisi kodrat meliputi dua proposisi bersyarat, yakni sebelum melakukan aktifitas tetap dikatakan bahwa pelaku memiliki kodrat. Pada sisi lain, dalam diri sendiri, kita menemukan begitu banyak hal yang mampu dilakukan, padahal belum melangkah untuk melakukannya.

c. Kodrat senantiasa diperhadapkan pada dua persoalan kontradiksi yaitu melakukan dan meninggalkan perbuatan, dengan kata lain, setiap membicarakan kodrat pelaku, maksudnya adalah pelaku ini mempunyai kemampuan melakukan dan kemampuan meninggalkan aktifitas. Sebaliknya, sebagian teolog berpendapat bahwa penyifatan kodrat pada pelaku hanya terjadi ketika muncul aktifitas dari pelaku itu, ini berarti bahwa kepemilikan kodrat hanya ada ketika melakukan aktifitas.

d. Kontradiksi antara dua pengertian kodrat dan kelemahan (al-ajiz) adalah sebagaimana kontradiksi antara pemahaman ketiadaan kodrat dan kepemilikan kodrat, oleh karena itu, pelaku-pelaku alami seperti api yang kosong dari kehendak, tidak bisa disifati sebagai sesuatu yang memiliki kodrat dan tidak pula dikatakan lemah dari kodrat.


Makna Kodrat Ilahi
Setelah kita mengetahui definisi kodrat, selanjutnya kita akan mengamati makna kodrat Ilahi. Bisakah makna umum kodrat ini kita nisbahkan kepada Tuhan secara langsung?

Dengan meninjau kembali definisi tersebut, bisa dikatakan bahwa tidak menjadi masalah apabila makna umum ini dinisbahkan kepada Tuhan secara langsung, tapi dengan syarat bahwa kita memandangnya sebagai kemampuan yang tak terbatas. Oleh karena itu, makna kodrat Tuhan adalah Dia melakukan aktifitas sesuai dengan keinginan-Nya dan meninggalkannya sesuai pula dengan kehendak-Nya.

Tentu saja harus diingat bahwa ketika kita mengamati hakikat kodrat dalam diri kita, akan kita temukan bahwa aktifitas yang kita lakukan atau kita tinggalkan biasanya muncul karena mengikuti motivasi dan faktor eksternal. Dari sini jelas bahwa makna yang demikian ini tidak akan sesuai jika kita nisbahkan kepada Tuhan, karena konsekuensi dari hal tersebut adalah bahwa Tuhan dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar diri-Nya dan ini juga berarti bahwa Dia berbuat sesuatu karena selain-Nya, pengertian ini tidak sesuai dengan kesempurnaan mutlak Tuhan dan keniscayaan wujud-Nya. Meskipun sebagian teolog berkeyakinan bahwa perbuatan Tuhan muncul karena motivasi dan unsur-unsur dari luar dzat-Nya, akan tetapi pendapat yang benar adalah tak satupun aktifitas Tuhan dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, hal ini jelas berlawanan dengan makhluk-Nya yang mempunyai ikhtiar dan kebebasan seperti manusia.


Penegasan Kodrat Ilahi
Dengan berpijak pada pengertian kodrat Ilahi di atas, kita bisa membuktikan kekuasaan Tuhan dengan beragam argumen, namun di sini kami hanya akan menyajikan satu argumen saja.

Berdasarkan definisi kodrat, pernyataan tentang "Tuhan tidak mempunyai kodrat dan kemampuan" hanya akan dikatakan benar ketika Dia berkeinginan untuk berbuat akan tetapi tak mampu melakukan atau Dia berkeinginan untuk tidak melakukan perbuatan akan tetapi justru terjadi aktifitas itu (tak mampu mengontrol sehingga terjadi perbuatan). Muncul pertanyaan, apa yang menjadi penyebab ketidakhadiran apa yang diinginkan oleh Tuhan? Untuk menjawab pertanyaan ini, terdapat dua asumsi:

Asumsi pertama, dzat Tuhan menjadi faktor ketidakhadiran apa yang Dia inginkan. Asumsi ini adalah tidak rasional dan batal. Karena tidak logis jika dikatakan bahwa Tuhan ingin melakukan aktifitas, akan tetapi Dia sendiri yang menjadi penghalang terjadinya aktifitas itu.

Asumsi kedua, adanya faktor eksternal selain Tuhan yang menjadi penyebab ketidakmunculan apa yang diinginkan-Nya. Asumsi inipun adalah tidak rasional, karena sebelumnya telah terbukti monoteisme Tuhan (Wâjibul Wujûd), dimana seluruh eksistensi selain-Nya adalah makhluk-makhluk-Nya (mumkinul wujûd) yang senantiasa bergantung kepada-Nya, oleh karena itu, tidak logis bila eksistensi makhluk yang tidak memiliki kemandirian sama sekali menjadi penghalang keinginan dan kehendak Tuhan.

Dengan demikian, terbukti bahwa Tuhan yang Qâdir dan Maha Kuasa ketika berkehendak tak sesuatupun yang menghalang keinginan-Nya.


Kemutlakan Kodrat Tuhan
Salah satu pembahasan yang hingga saat ini masih menjadi pembicaraan hangat di kalangan para teolog adalah masalah yang berkaitan dengan keluasan kodrat Ilahi. Apakah kodrat Tuhan itu tak terbatas, mutlak dan meliputi semuanya ataukah terbatas dan sebagian berada di luar kemampuan-Nya? Sebagian berpendapat bahwa kemampuan Tuhan tak terbatas dan terdapat ayat-ayat Al-Qur'an yang menguatkan pendapat ini.[2]

Pendapat lain mengungkapkan tentang keterbatasan kodrat Tuhan dan mengingkari keterkaitan kodrat-Nya dengan sebagian masalah-masalah tertentu.

Pada prinsipnya, pendapat pertamalah yang benar. Kodrat Ilahi adalah mutlak dan tak terbatas sebagaimana halnya sifat-sifat dzat Tuhan yang lain. Untuk membuktikan pendapat ini secara rasional, selain kita bisa merujuk pada argumen ketidakterbatasan dan kemutlakan sifat-sifat Ilahi, juga bisa merujuk pada argumen pembuktian prinsip kodrat Ilahi. Argumen-argumen ini, selain bisa membuktikan sifat kodrat Tuhan, juga membuktikan kemutlakan kodrat-Nya, karena inti dalil-dalil ini adalah tak "sesuatupun" yang bisa menjadi penghalang bagi lahirnya kehendak-kehendak-Nya.

Kesimpulannya, selain argumen tekstual agama (al-Qur'an dan al-hadis) yang akan disajikan nantinya, kodrat mutlak Tuhan bisa pula dipahami dengan argumen rasional. Meskipun demikian, masih ada sekelompok yang ragu dalam kemutlakan kodrat Tuhan, mereka menyimpulkan bahwa kodrat Tuhan terbatas. Di bawah ini akan kami sajikan secara singkat keraguan utama mereka berkaitan dengan masalah ini.


Keraguan dalam Kemutlakan Kodrat Ilahi
Keraguan-keraguan klasik terhadap kodrat mutlak Ilahi diungkapkan dalam pernyataan yang beragam. Di bawah ini akan kami paparkan sebagian dari keraguan tersebut:

1. Apakah Tuhan mampu menciptakan sekutu bagi diri-Nya sendiri? Apabila jawabannya positif, maka konsekuensinya adalah kita memungkinkan keberadaan sekutu Tuhan, padahal menurut ahli hikmah (filosof Ilahi), keberadaan sekutu bagi Tuhan adalah mustahil. Dan apabila jawabannya negatif maka konsekuensinya adalah keterbatasan kodrat Tuhan, karena "ada sesuatu" yang Tuhan tak bisa ciptakan.
2. Apakah Tuhan mampu meletakkan dunia dengan seluruh isinya ke dalam sebutir telur tanpa merubah keluasan dunia dan tanpa merubah besar telur? Kalau jawaban pertanyaan ini adalah negatif, maka berarti kodrat Tuhan terbatas dan tidak mutlak, karena ada hal-hal berada di luar kemampuan-Nya.
3. Apakah Tuhan mampu menciptakan batu yang Dia sendiri tidak mampu menggerakkannya? Atau, apakah Tuhan mampu menciptakan sesuatu yang Dia sendiri tidak bisa menghancurkannya? Maka apapun jawabannya, baik positif ataupun negatif, akan berujung pada pembatasan kemutlakan kodrat Ilahi.

Pada dasarnya, semua pertanyaan di atas hanya berpijak pada satu prinsip, karena itu, untuk memberikan penjelasan dan jawaban yang memadai, terlebih dahulu akan kami jabarkan tentang klasifikasi "kemustahilan".


Kemustahilan (mumtani') terbagi dalam tiga bagian:
a. Kemustahilan dzat (esensial), merupakan mustahil-ada secara hakiki tanpa adanya faktor lain sebagai perantara dalam kemustahilannya. Seperti tergabungnya atau terangkatnya dua hal yang kontradiksi dalam satu waktu.

b. Kemustahilan mewujud, adalah mustahil-ada tapi tidak secara esensial dan hakiki, akan tetapi perwujudannya berujung pada kemustahilan esensial. Contoh dari kemustahilan mewujud adalah keberadaan akibat tanpa keberadaan sebab, yang pasti menghadirkan kontradiksi, yakni berkumpulnya dua hal yang kontradiktif[3]. Kedua kemustahilan tersebut disebut juga dengan kemustahilan rasional (mumtani' al-aql).

c. Kemustahilan biasa, adalah mustahil terwujud jika dilihat dari prinsip-prinsip dan hukum-hukum alam, yakni keberadaan dan keberwujudannya adalah tidak mustahil secara esensial dan dzati.

Dengan memperhatikan definisi-definisi kemustahilan di atas, jawaban mendasar dari semua keraguan di atas adalah kodrat Tuhan tidak ada kaitannya dengan kemustahilan dzat (esensial) maupun kemustahilan mewujud. Seluruh keraguan di atas sesungguhnya dikategorikan ke dalam kemustahilan-kemustahilan mewujud. Sebagai contoh, keberadaan sekutu Tuhan merupakan kemustahilan mewujud, karena setelah dianalisa, perumpamaan keberadaan dua Tuhan (Wâjibul Wujûd) akan memunculkan kontradiksi, dengan kata lain, dua Wâjibul Wujûd yang dimisalkan itu, selain mereka merupakan Wâjibul Wujûd[4] juga bukan Wâjibul Wujûd[5]. Keraguan kedua juga akan mengakibatkan terjadinya kontradiksi, karena konsekuensi dari perumpamaan tersebut adalah bahwa dunia ini selain dia berukuran besar, dia juga berukuran kecil (karena bisa dimasukkan ke dalam sebutir telur). Demikian juga keraguan ketiga, yakni pemisalan penciptaan batu yang Tuhan tidak mampu menggerakkannya atau penciptaan makhluk yang Tuhan tidak bisa menghancurkannya, kesemua ini akan mengarah pada kontradiksi.

Perlu diperhatikan bahwa kemustahilan dzati atau kemustahilan mewujud sebenarnya tidak memiliki keterkaitan dengan kodrat Tuhan, kedua kemustahilan ini tidak akan pernah membatasi kodrat Ilahi, karena pada prinsipnya kemustahilan ini tidak mempunyai kapabilitas untuk dicipta, dengan ungkapan para filososf Ilahi dikatakan bahwa Tuhan sebagai Pelaku senantiasa sempurna, tetapi "sesuatu" (yaitu kemustahilan dzat dan mewujud) sebagai penerima perbuatan Tuhan tidak memiliki kapabilitas untuk dicipta.

Untuk lebih jelasnya, kita bisa mengamati kejadian-kejadian yang ada di sekitar kita (tentu saja hal ini mempunyai perbedaan mendasar dengan subyek bahasan kita yaitu kodrat dan perbuatan Ilahi, akan tetapi untuk mendapatkan pemisalan yang mudah, kita hanya memperhatikan sisi keraguannya). Kami akan memisalkan tentang seorang ahli keramik yang mampu membuat vas bunga yang indah dengan bahan dasar lumpur. Sekarang kita akan menyediakan semangkuk air di hadapannya lalu memintanya untuk membuat vas bunga dari air tersebut, apa yang akan terjadi? Tentu saja, dengan kondisi seperti ini, vas bunga yang paling sederhanapun tidak akan mampu dia buat, dari sini terlihat bahwa ketidakberhasilannya membuat vas bunga dari air bukan karena ketidakmampuannya atau ketiadaan pengalaman dalam keahliannya, tapi karena apa yang kita letakkan di hadapannya yaitu air, sama sekali tidak mempunyai kapabilitas untuk dapat diubah menjadi sebuah vas bunga.

Pada pembahasan sebelumnya, juga dibahas tentang proposisi bahwa kekurangan serta kelemahan terletak pada pihak penerima perbuatan dan bukan pada pelaku. Dipandang dari perspektif ini dapat dikatakan bahwa pengertian tentang "sesuatu" adalah tidak benar jika dinisbahkan pada kemustahilan rasional[6], hal ini berhubungan dengan ayat Al-Qur'an seperti "innallah 'ala kulli syaiin qâdir" (Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu).

Oleh karena itu, konklusi jawabannya adalah bahwa persoalan-persoalan yang disebutkan dalam keraguan-keraguan tersebut digolongkan ke dalam "kemustahilan akal" dan keterkaitan kodrat terhadap persoalan ini menjadi ternafikan serta ketiadaan keterkaitan antara keduanya tidak akan menyebabkan keterbatasan kodrat Tuhan.

Tentu saja sebagaimana yang akan kami sampaikan pada pembahasan mukjizat, kodrat Ilahi akan berkaitan dengan "kemustahilan biasa" dan pada prinsipnya mukjizat merupakan manifestasi dari proses penciptaan atas "persoalan-persoalan yang mustahil."


Kodrat Ilahi dan Perbuatan Tercela
Satu lagi masalah yang berkaitan dengan kodrat mutlak Ilahi adalah apakah Tuhan mampu melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji dan tercela? Terdapat dua pendapat dalam hal ini, berdasarkan pendapat pertama dikatakan bahwa Tuhan tidak memiliki kodrat untuk melakukan perbuatan semacam itu. Sementara pendapat kedua mengatakan, apabila dilihat dari hikmah dan sifat-sifat sempurna yang dimiliki-Nya, maka Tuhan mustahil melakukan hal-hal yang tidak terpuji, akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa Dia tidak mempunyai kemampuan untuk melakukannya.

Dengan mencermati subyek bahasan di atas bisa diketahui bahwa dari kedua pendapat tersebut pendapat kedualah yang bisa diterima. Tentu saja terdapat pula argumen untuk menegaskan pendapat pertama yang setelah menukilkannya, kami akan mencoba menganalisanya.

Telah dikatakan, apabila Tuhan kuasa dan mampu melakukan aktifitas-aktifitas tak terpuji, konsekuensinya adalah Tuhan tidak memiliki ilmu (bodoh, jahil) atau Tuhan membutuhkan (fakir), sementara telah diketahui bahwa Tuhan Maha Mengetahui, Maha Kaya dan Maha Suci dari segala bentuk kejahilan dan kefakiran, oleh karena itu, Tuhan mustahill melakukan perbuatan-perbuatan tidak terpuji dan tercela.

Dalam menjelaskan konsekuensi di atas dikatakan bahwa yang dimaksud dengan hadirnya aktifitas-aktifitas tercela berkaitan dengan kodrat Ilahi adalah adanya kemungkinan terwujudnya perbuatan tidak terpuji dari sisi Tuhan. Dimisalkan bahwa aktifitas tercela lahir dari Tuhan, dalam keadaan ini, bila Tuhan tidak mengetahui ketidakterpujian perbuatan itu berarti Tuhan adalah jahil, dan jika Dia mengetahui ketercelaan perbuatan itu berarti Dia melakukannya karena membutuhkan sesuatu, karena hikmah Ilahi mengharuskan ketiadaan aktifitas tidak terpuji. Dengan demikian, konsekuensi dari perumpamaan Tuhan mampu melakukan aktifitas-aktifitas tidak terpuji dikarenakan oleh dua asumsi, yaitu karena Tuhan bodoh atau karena Dia fakir, dan karena dua konsekuensi ini adalah mustahil terwujud, maka perumpamaan dan pandangan itu pun menjadi batal.

Dalam menjawab argumentasi di atas dapat dikatakan bahwa dua konsekuensi tersebut (yaitu jahil atau membutuhkan) merupakan syarat munculnya perbuatan tak terpuji dari Tuhan, dan dengan melihat kemampuan Tuhan melakukan aktifitas tak terpuji, hal ini tidak berarti bahwa pasti membutuhkan syarat semacam itu, karena sebagaimana dikatakan dalam definisi kodrat bahwa kemampuan melakukan sebuah perbuatan tidak mengharuskan munculnya aktifitas tersebut. Oleh karena itu, meskipun Tuhan mampu melakukan aktifitas tersebut, akan tetapi dengan dalil hikmah-Nya Dia mustahil melakukannya, dengan demikian tidak mengharuskankan kejahilan atau kebutuhan. Dengan ungkapan lain, dengan memandang hikmah yang dimiliki-Nya, adalah mustahil lahirnya perbuatan tak terpuji dari Tuhan, akan tetapi kemustahilan ini tidak berarti menafikan kodrat-Nya untuk berbuat.


Kodrat Ilahi Menurut Al-Qur'an dan Riwayat
Al-Qur'an memperkenalkan Tuhan dengan sebutan Qâdir, Qadîr, dan Muqaddir. Ia juga mensifati-Nya dengan Yang memenuhi segala sifat kodrat dan juga menegaskan ketakterbatasan dan keuniversalan kodrat Ilahi, sebagaimana ungkapan yang disebut berpuluh-puluh kali dalam al Quran: innallaha 'ala kulli syai-in qadiir (Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu).

Pada sebagian ayat, ditemukan ungkapan-ungkapan yang dijadikan dalil dan argumen atas kodrat tak terbatas Tuhan. Surah at-Thalaaq (65) ayat 12, Allah berfirman, "Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, supaya kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu Nya benar-benar meliputi segala sesuatu."

Sebagaimana yang kita lihat bahwa ayat ini menyiratkan bahwa ciptaan dan mekanisme alam merupakan salah satu dari petunjuk dan dalil atas kodrat tak terbatas Nya.

Pada ayat lain, penciptaan langit dan bumi dan menghidupkan kembali yang telah mati menunjukkan kodrat Nya atas kemampuan Nya. Dalam surah al-Ahqaaf (46) ayat 33, berfirman, "Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah yang menciptakan langit dan bumi dan Dia tidak merasa payah karena menciptakannya, kuasa menghidupkan orang-orang yang mati? Ya (bahkan) sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu"

Kita juga bisa menemukan hadis-hadis yang menunjukkan keuniversalan Kodrat Ilahi ini dalam riwayat-riwayat Ahlulbait As. Sebagai contoh, sebuah hadis dari Imam Sadiq As, yang mana Dia bersabda:

"Allah mengetahui segala sesuatu yang telah diciptakan-Nya dari sisi ilmu, kodrat, kekuasaan, kepemilikan dan sebagainya, Dan segala sesuatu dari sisi ilmu, kodrat, kekuasaan, kepemilikan dan sebagainya, adalah sama bagi-Nya".


Jawaban Keraguan atas Kodrat Ilahi
Pada sebagian argumen-argumen yang disabdakan Imam Maksum As terdapat pula argumen untuk menjawab keraguan-keraguan yang muncul atas kodrat mutlak Ilahi. Dalam salah satu riwayat dikatakan: seorang laki-laki bertanya kepada Imam Ali As, "Apakah Tuhanmu mampu memasukkan dunia ini ke dalam sebutir telur tanpa mengecilkan dunia ini dan tak membesarkan telurnya?"

Imam bersabda, "Sebagaimana kita ketahui bahwa Tuhan tidak bisa disifati dengan sifat lemah dan tidak mampu, akan tetapi apa yang kamu inginkan ini tidak bisa terwujud (tidak ada kapabilitas untuk terwujud)."

Konklusi jawaban Imam adalah selain pertanyaan tersebut (masuknya dunia seisinya ke dalam telur tanpa mengubah keduanya) yang bukan saja tidak akan terselesaikan dan tidak akan berarti bahwa Tuhan lemah dan tak mampu, bahkan apa yang ditanyakan itu tergolong sebagai kemustahilan mewujud, oleh karena itu, bisa dikatakan secara prinsip bahwa tak ada kapabilitas untuk terlahir dan terwujud.


Catatan Kaki:
[1] . Pendapat ini dinisbahkan kepada kelompok Asy'ariyyah, rujuklah: Arsyad at- Thalibin, hal. 95.

[2] . Sebagai contoh lihat surah al-Baqarah (2) ayat 20, 40, 105, 109, 148, 259, 242.

[3] . Karena hal ini akan berefek bahwa sebuah akibat (yang niscaya membutuhkan sebab) sekaligus tidak membutuhkan sebab, dan hal ini berarti berkumpulnya dua hal yang kontradiktif.

[4] . Yakni diasumsikan bahwa Dia adalah Tuhan yang hakiki.

[5] . Yakni "Dia" adalah bukan Tuhan yang hakiki, karena Tuhan yang hakiki hanya satu dan tunggal.

[6] . Dalam filsafat "sesuatu" senantiasa disandarkan kepada wujud dan keberadaan, dikatakan "sesuatu" berarti telah berwujud, dan ketika telah berwujud artinya keberadaan "sesuatu" itu tidak lagi mustahil secara rasional. Dalam hal ini, kodrat Tuhan hanya berkaitan dengan "sesuatu".




Telaah Teologis atas Sifat-sifat Tuhan [5]

Hidup, Azali dan Abadi

Sifat Hidup Tuhan
Salah satu sifat Tuhan menurut para teolog adalah sifat hidup. Penafsiran tentang sifat hidup bagi Tuhan, terjadi perbedaan pendapat di antara para teolog dalam penjelasan makna dan persoalan bahwa apakah sifat ini adalah positif atau negatif.

Berpijak pada sifat hidup yang terdapat pada sebagian makhluk Tuhan, di antaranya pada makhluk-makhluk natural seperti manusia dan hewan, maka pada tahapan awal, kita akan melihat hakikat hidup yang ada pada makhluk-makhluk ini, setelah itu kita akan melangkah pada pemaknaan sifat hidup Tuhan.


Kehidupan Maujud-Maujud Natural
Ketika kita mengamati kondisi makhluk-makhluk hidup, maka kita akan menemukan adanya keistimewaan yang menyebabkan sifat hidup ini bisa dinisbahkan kepada mereka. Menurut para teolog, keistimewaan-keistimewaan ini akan kembali pada dua sifat asli yaitu "perbuatan yang memiliki kehendak"[1] dan "ilmu". Dari sini dikatakan, makhluk hidup adalah sebuah makhluk yang memiliki tahapan aktifitas yang berkehendak dan berilmu; oleh karena itu, benda-benda tertentu disebut “tidak hidup” karena secara lahiriah tidak berilmu dan tidak aktif (tidak berkehendak), seperti batu-batuan dan tumbuh-tumbuhan.

Tentu saja dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat, apakah batu-batuan dan tumbuh-tumbuhan memiliki kehidupan ataukah tidak, selisih pendapat ini bersumber dari adanya kemungkinan bahwa batu-batuan dan tumbuh-tumbuhan berada pada tahapan terendah dari ilmu, kehendak, dan perbuatan. Wal hasil, dengan memperhatikan definisi hidup yang diungkapkan oleh para teolog, minimalnya, hewan dan manusia digolongkan ke dalam makhluk hidup. Di sini harus kita perhatikan dua poin penting berikut ini:

1. Hidup pada makhluk-makhluk natural seperti hewan dan manusia senantiasa diiringi dengan pertumbuhan, makan, regenerasi, pergerakan, perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain, dan sebagainya; sebagian ini merupakan tanda-tanda kehidupan bagi mereka, tapi jangan disimpulkan bahwa tanda-tanda tersebut sebagai tanda dari kehidupan mutlak, demikian juga jangan menganggap bahwa hidup, secara mutlak dan pada setiap tempat, senantiasa mengharuskan kondisi dan keadaan semacam itu. Pada hakikatnya, hal-hal di atas hanya sebagai kelaziman makhluk hidup di alam natural. Pensifatan hidup pada makhluk-makhluk di alam metafisika tak meniscayakan sifat-sifat tersebut, seperti pertumbuhan, makan, regenerasi.
2. Merujukkan sifat hidup kepada dua sifat asli yakni ilmu dan kehendak bukan berarti bahwa hidup adalah suatu sifat yang terkomposisi dari dua sifat asli tersebut, karena ini berarti bahwa hidup hanya sebagai kata dan makna yang nisbi dan di alam luar tak terwujud sesuatupun selain ilmu dan kehendak. Hidup adalah kesempurnaan eksistensial yang jika sebuah maujud memilikinya maka pasti bisa meraih ilmu, kodrat, kehendak, dan perbuatan. Maka dari itu, hidup yang didefinisikan secara umum sebagai ilmu dan perbuatan pada prinsipnya adalah pendefinisian yang didasarkan pada kemestian makna hidup itu sendiri.

Setelah kita mengetahui makna umum hidup menurut para teolog, tiba saatnya menjelaskan tentang makna hidup Tuhan.


Makna Hidup Tuhan
Sebagaimana telah kami isyaratkan sebelumnya, para teolog Islam berselisih pendapat tentang makna dan kedudukan sifat hidup bagi Tuhan. Aliran teologi Asy'ariyah, berpandangan adanya sifat tetap yang tertambah pada dzat Tuhan dan menyepakati bahwa hidup merupakan sifat tetap yang berada di luar dzat Tuhan, dengan berpijak pada pandangan ini maka dzat Tuhan disifatkan dengan ilmu dan kodrat bukan dengan sifat hidup.

Mereka yang memungkiri perubahan sifat dan dzat Ilahi, mendefinisikan lain sifat hidup Ilahi ini dan mengatakan bahwa maksud dari Hidup Tuhan adalah Kekuasaan dan Keilmuan-Nya tidaklah mustahil.[2]

Dengan tidak memperhatikan adanya perbedaan pandangan dalam sifat hidup ini, bisa dikatakan bahwa hidup merupakan salah satu sifat tetap bagi dzat yang menyatu dengan dzat Ilahi. Makna Hidup Tuhan adalah bahwa wujud-Nya mengharuskan memiliki kesempurnaan khusus, yang dengannya kemudian disifati dengan ilmu, kodrat dan perbuatan. Tentunya, esensi Tuhan jauh dari segala bentuk persyaratan hidup sebagaimana yang terdapat pada maujud-maujud natural, seperti pertumbuhan, makan, dan sebagainya, karena persyaratan ini bukan persyaratan mutlak bagi kehidupan.

Dengan memperhatikan bahwa ilmu dan kodrat merupakan sifat Tuhan dan hubungan keduanya dengan sifat hidup, maka jelas bahwa hidup Tuhan juga merupakan sifat dzati dan esensial, dan ini berlawanan dengan sifat hidup bagi makhluk-makhluk natural yang bersifat aksidental dan berada di luar dzat mereka.


Argumen Tentang Hidup Tuhan
Selain argumen umum tentang pensifatan Tuhan dan seluruh sifat-sifat sempurna yang dimiliki-Nya, para teolog memaparkan juga argumen untuk membuktikan sifat Hidup Tuhan. Argumen sederhana yang bisa dirujuk adalah argumentasi yang berpijak pada ilmu, kodrat, dan perbuatan Tuhan.

Sebagaimana telah kami katakan bahwa ilmu, kodrat dan aktifitas merupakan persyaratan dan petunjuk kehidupan, dan dengan menilik pada pembahasan sebelumnya dimana ilmu dan kodrat Tuhan telah dibuktikan, maka pensifatan esensi-Nya dengan hidup menjadi terbukti. Syeikh Thusi memberikan ungkapan yang indah untuk menjelaskan argumen ini, berkata, "Dan setiap realitas yang memiliki kodrat dan berilmu, pasti hidup."


Hidup Tuhan Menurut Al-Qur’an dan Hadis
Al-Qur'an pada sebagian ayatnya mensifati Tuhan dengan sifat al-hayy. Surah al-Baqarah (2) ayat 255 dan al-Imran (3) ayat 2, Allah Swt berfirman, "Allah, tiada Tuhan melainkan Dia Yang Hidup Kekal". Dalam surah Ghafir (20) ayat 65, berfirman, "Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan melainkan Dia, maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadat kepada Nya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam."

Dengan menilik ayat sebelumnya, terlihat bahwa ayat ini menunjukkan adanya perkecualian sifat hidup bagi Tuhan dan menjelaskan bahwa hidup yang hakiki hanyalah milik-Nya. Dengan mempertimbangkan adanya tahapan yang rendah dari kehidupan makhluk, al-Qur'an menyebut Tuhan sebagai Pemberi Kehidupan, jadi secara lahiriah maksud dari pengecualian sifat tersebut adalah bahwa hanya Tuhan yang mempunyai kehidupan yang esensial, abadi, kekal dan tak mengalami perubahan, hal ini ditegaskan pada ayat yang lain, Allah Swt berfirman, "Dan bertawakkallah pada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati." (Qs. al-Furqan [25]: 58)

Al-Qur'an pada ayat ini menjelaskan bahwa Tuhan Maha Hidup dan tidak akan mengalami kefanaan dan kematian, karena sifat hidup merupakan substansi dan esensi Tuhan. Dari sinilah manusia layak pasrah kepada-Nya, karena kepasrahan manusia kepada Sesuatu yang tidak akan pernah berubah dan tidak mengalami degradasi akan menyebabkan mereka tidak sedikitpun memiliki rasa takut dan ngeri.

Poin lain yang bisa disimpulkan dari ayat-ayat di atas adalah penyebutan hayyu dan qayyum yang disebutkan secara beriringan, ini sepertinya menunjukkan bahwa komposisi dua sifat ini adalah sifat-sifat sempurna-Nya, karena pensifatan hayyu selain menunjukkan pada kehidupan esensial juga menunjukkan ilmu dan kodrat-Nya yang tak terbatas, yang hal ini merupakan salah satu sifat esensial terpenting yang dimiliki-Nya, demikian juga pensifatan qayyum (yang artinya adalah seluruh eksistensi selain-Nya membutuhkan dan bersandar pada-Nya) merupakan dasar dari seluruh sifat aktual Tuhan. Maka dari itu, pengucapan zikir "Ya hayyu, Ya qayyum" merupakan salah satu zikir universal.

Amirul Mukminin Ali As, dalam salah satu khutbah mulianya, menegaskan bahwa tujuan makrifat manusia adalah mengagungkan Tuhan yang dilandasi atas makrifat terhadap dua sifat hayyu dan qayyum-Nya, dengan sabda, "Kita tidak mengetahui hakikat keagungan-Mu kecuali kita memahami bahwa Engkau lah hayyu dan qayyum yang tidak pernah lengah dan tidur.[3]

Pada sebagian hadis juga tersirat tentang hakikat hidup Tuhan dan perbedaannya dengan kehidupan semua makhluk, di sini kami akan menyajikan salah satu hadis yang bermakna sangat dalam dari Imam Kadzhim As, bersabda, "Allah adalah Hidup, dan hidup-Nya tidak terwujud kemudian dan tidak mempunyai wujud mandiri yang mencakup semua sifat, hidup-Nya tidak terbatas dan tidak bertempat sehingga bisa disinggahi atau di tinggali, akan tetapi hidup-Nya bersifat esensial."[4]

Tidak diragukan, perkataan Imam As dalam hadis tersebut mengandung hal-hal yang sangat mendetail dan mendalam hingga tidak bisa kita ungkap secara sempurna.


Dari riwayat tersebut bisa disimpulkan sebagai berikut:
a. Berlawanan dengan hidupnya semua makhluk, hidup Tuhan, bukan hidup kontingen atau temporal melainkan hidup yang mengikuti keabadian dzat Tuhan, karena hidup-Nya menyatu dengan dzat itu sendiri, maka hidup Tuhan adalah eternal (qadim) dan abadi.

b. Hidup Tuhan tidak mempunyai wujud mandiri yang terpisah dari dzat sehingga bisa disifati dengan sebuah sifat (karena wujud mandiri bisa disifatkan), oleh karena itu, secara lahiriah ibarat wa lâ kaunun mausufun (bukan sesuatu yang mandiri yang tersifati) menyiratkan pada penolakan pendapat (Asy'ariyah) tentang perbedaan sifat-sifat dzat dengan dzat Tuhan.

c. Hidup Tuhan tidak berada di bawah kategori kualitas (salah satu kategori aksiden) sehingga menjadi terbatas, karena kualitas khusus akan menyebabkan terbatasnya sesuatu, demikian juga Hidup Ilahi ini tidak mempunyai relasi khusus dengan tempat dan tidak pula menetap pada satu tempat.

d. Dengan demikian jelaslah bahwa hidup Tuhan adalah hidup yang esensial (bukan aksidental) dan eternal (qadim, pre-existent) sehingga tidak sedikitpun mempunyai keserupaan dengan kehidupan semua makhluk materi dan non materi.


Keazalian dan Keabadian Tuhan
Sifat lain yang tetap dan sempurna yang dimiliki Tuhan adalah sifat azali dan abadi. Pandangan umum para teolog bahwa Tuhan merupakan sebuah realitas yang azali dengan arti bahwa Dia telah ada "sejak awal" dan tidak ada suatu "masa" sebelumnya dimana Tuhan tidak berwujud. Pada sisi lain, Tuhan juga merupakan realitas yang abadi yaitu pada "masa mendatang" Dia tidak akan pernah tiada atau punah.

Dengan kata lain, baik pada "masa lampau" maupun "masa mendatang" Tuhan tidak akan pernah tiada yaitu senantiasa berwujud. Hal ini secara detail akan disajikan pada pembahasan mendatang.

Bisa dikatakan, selain penggunaan kata azali dan abadi, biasa juga digunakan kata qadim (eternal) dan bâqi (the continuant, kekal). Selain empat kosa kata tersebut, digunakan juga istilah sarmadi (eternal, sempiternal) yang para teolog mengartikannya sebagai sifat yang terkomposisi dari dua sifat azali dan abadi; dan berdasarkan hal ini, realitas eternal adalah suatu realitas yang senantiasa ada pada setiap "masa" baik "masa lampau", "masa kini" maupun "masa mendatang".


Interpretasi Keazalian dan Keabadian Ilahi
Para teolog Islam memiliki dua perbedaan pandangan dan interpretasi tentang keazalian dan keabadian Tuhan. Pada interpretasi awal dikatakan bahwa Tuhan ada pada setiap masa. Dia ada pada masa lampau, sekarang dan masa mendatang. Interpretasi ini memiliki makna bahwa Tuhan adalah suatu realitas yang berada pada zaman dan terbatas pada zaman. Sementara interpretasi kedua dikatakan bahwa Tuhan lebih luas dari zaman, Dia meliputi dan mencipta zaman. Berdasarkan pandangan kedua ini, maka pernyataan bahwa Tuhan senantiasa ada pada masa lampau atau masa mendatang merupakan sebuah ungkapan yang batil.

Meskipun masyarakat umum dan bahkan sebagian para teolog Islam sendiri menganut interpretasi pertama tentang keazalian dan keabadian Tuhan, tetapi interpretasi kedualah yang benar, karena kemutlakan wujud Tuhan bermakna bahwa dzat Tuhan sama sekali tidak terbatasi oleh syarat, kondisi, dan zaman. Pada prinsipnya, zaman merupakan sebagian dari kekhususan dan syarat bagi maujud-maujud materi dan sesuatu bergerak, sedangkan dzat Tuhan suci dari gerak dan materi.

Oleh karena itu, pandangan tentang keabadian Tuhan harus kita maknakan bahwa dzat Tuhan di atas zaman, meliputi realitas zaman, dan senantiasa berwujud. Tentu saja selama kita masih dikekang oleh zaman yang ada di alam tabiat ini maka sangat sulit bagi kita untuk menggambarkan adanya sebuah realitas trans zaman dan sebuah realitas yang tidak dipengaruhi oleh masa lampau, masa kini dan masa mendatang.


Argumen Keazalian dan Keabadian Tuhan
Salah satu argumen sederhana berkaitan dengan masalah ini adalah argumen yang bersandar pada keniscayaan wujud Tuhan (wajib al-wujud-nya Tuhan). Pembahasan sebelumnya telah jelas bahwa Tuhan adalah Wajib al-Wujud dimana keberadaan bagi-Nya adalah niscaya dan ketiadaan bagi dzat-Nya adalah mustahil, oleh karena itu, kemestian wujud dzat Ilahi mengharuskan kemustahilan ketiadaan wujud-Nya dalam segala bentuk asumsi. Hal ini bermakna bahwa dzat Tuhan tidak didahului dengan ketiadaan dan ketiadaan tidak pula menyentuh-Nya, dan ini tidak lain adalah keazalian dan keabadian Tuhan itu sendiri. Khawjah Nashiruddin Thusi menyiratkan argumentasi ini dengan ungkapan yang pendek, "Dan Wajib al-Wujud menunjukkan akan keabadian Nya."[5]

Poin lain yang bisa disimpulkan dari argumentasi ini adalah bahwa keazalian dan keabadian dengan makna di atas merupakan dua makna yang saling meniscayakan, apabila suatu wujud adalah azali maka niscaya wujud tersebut juga abadi.

Selain argumen di atas, para teolog juga memaparkan argumen lain yang tidak di bahas pada kesempatan ini.[6]


Keazalian dan Keabadian Tuhan dalam Al-Qu’ran dan Hadis
Al-Qur’an tidak menggunakan kedua istilah di atas yaitu azali dan abadi Tuhan, melainkan memakai istilah yang lain. Sebagai contoh, al-Qur'an terkadang menyebut Tuhan dengan Yang Awal dan Yang Akhir.

Para mufassir dalam menafsirkan dua sifat awal dan akhir ini memaparkan beberapa asumsi, akan tetapi secara lahiriah maksud dari kedua sifat tersebut identik dengan apa yang dimaksudkan dalam makna azali dan abadi, makna tersebut ditegaskan pula dalam beberapa riwayat, sebagai contoh, Imam Ali As dalam khutbahnya bersabda, "Tuhan adalah Yang Awal yang tidak didahului oleh sesuatu sebelum-Nya, dan Dia adalah Yang Akhir yang tidak diakhiri oleh sesuatu setelah-Nya."[7]

Dalam hadis lain kita temukan pula perkataan Imam Sadiq As yang bersabda, "Dia adalah Yang Awal tanpa ada sesuatu sebelum-Nya dan Dia Yang Akhir tanpa Dia sendiri berakhir, Dia senantiasa hadir tanpa berawal dan berakhir."[8]

Dengan memperhatikan hadis-hadis di atas, jelas bahwa maksud dari Yang Awal dan Yang Akhir pada wujud Tuhan bukan hanya mengartikan bahwa Tuhan merupakan realitas yang pertama dan terakhir, karena makna ini tidak akan mengarah pada keazalian dan keabadian Tuhan, gagasan semacam ini bisa menggambarkan bahwa Tuhan terwujud sebelum semua realitas ada dan Dia akan tiada setelah semua realitas berakhir. Akan tetapi maksud dari Awal dan Akhir-nya Tuhan adalah bahwa tidak ada sesuatu sebelum dan sesudah-Nya yang bisa digambarkan, tidak ada yang mendahului maupun yang mengakhiri-Nya dan wujud-Nya tidak didahului oleh sesuatu sebelum-Nya dan tidak akan meniada.

Sebagian dari ayat al-Qur’an menegaskan pula akan keabadian dan ketidakfanaan Tuhan. Dalam surah ar-Rahman (55) ayat 26-27, Allah berfirman, "Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan akan tetap kekal dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan". Demikian juga dalam surah al-Qashash ayat 88, berfirman, "Segala sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah."

Menurut para mufassir, maksud kalimat "wajhahu" (wajah Tuhan) pada ayat ini tak lain adalah dzat Ilahi, dan berdasarkan hal ini, ayat-ayat di atas masing-masing menegaskan keabadian dan kekekalan Tuhan.


Catatan Kaki:
[1] . Terkadang "aktifitas" disebut juga dengan sifat "kodrat", dimana pada hakikatnya merupakan sumber dari aktifitas, dari dasar ini dikatakan bahwa "makhluk hidup adalah makhluk yang berilmu dan berkuasa".

[2] .Irshâd at-Thâlibiin, hal. 201.

[3] . Nahjul Balâghah, khutbah 160.

[4] . Syeikh Shaduq, Kitab at-Tauhid, bab 11, hadis 6.

[5] . Nashiruddin Thusi, Kasyf al Murâd, hal. 315.

[6] . Rujuk: 'Allamah Hilly, Minhâj al-Yaqiin, hal. 179.

[7] . Nahjul Balâghah, khutbah ke 91.

[8] . Ushul Kâfi, jilid 1, bab ma'âni al-asma, hadits 6.




Telaah Teologis atas Sifat-sifat Tuhan [6]

Kehendak dan Iradah Tuhan
Iradah dan kehendak, merupakan salah satu sifat dari sifat-sifat Tuhan yang mendapatkan perhatian lebih khusus dari sifat-sifat lainnya. Meskipun para teolog Islam secara umum bersepakat dalam pensifatan Tuhan dengan kehendak, tetapi terdapat perbedaan yang cukup tajam dalam penjabaran sifat ini dan pada sebagian hukum-hukumnya. Sebagian pertanyaan-pertanyaan penting yang berkaitan dengan masalah ini antara lain:

1. Apa definisi yang tepat untuk kehendak Ilahi?
2. Apakah kehendak merupakan sifat dzat ataukah sifat perbuatan Tuhan?
3. Apakah kehendak Tuhan eternal (qadîm) ataukah temporal (hâdits, creatable)?
4. Apa perbedaan pengertian kehendak (irâdah) dengan ikhtiar atau kemauan (masyiyat)?

Selain teolog, para filosof Islami pun melakukan kajian tentang hakikat iradah Ilahi ini. Di sini, pandangan filosof tidak diuraikan karena bisa menambah keraguan dan kerumitan pembahasan kita ini. Kami hanya akan menganalisa iradah Ilahi sesuai dengan tingkat pembahasan pada tulisan ini, dan kami akan berusaha memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas.


Hakikat Iradah Manusia
Manusia ketika melakukan aktifitas yang ikhtiari akan menemukan sebuah keadaan yang internal pada dirinya, keadaan ini disebut dengan iradah. Kondisi internal ini merupakan sebuah keadaan jiwa yang serupa dengan seluruh keadaan internal lainnya, hal ini bisa difahami dengan ilmu hudhuri. Akan tetapi, kehadiran ilmu ini terhadap kondisi internal ini tidak bermakna bahwa pembuktiannya dalam tataran pemahaman pikiran (ilmu husuli) adalah perkara yang mudah, dan hal inilah yang menyebabkan perbedaan definisi pada iradah manusia.

Sebagian orang mengatakan bahwa iradah identik dengan keyakinan terhadap keuntungan sebuah aktifitas. Sebelum kita melakukan sebuah aktifitas, pasti terlebih dahulu membenarkan manfaatnya, dan hal tersebut tak lain merupakan iradah kita untuk melaksanakan aktifitas tersebut. Kadang kala pembenaran ini disebut dengan motivasi. Oleh karena itu, berdasarkan interpretasi di atas iradah tak lain adalah motivasi kita melakukan aktifitas.

Sementara kelompok lain berpendapat bahwa iradah bukan motivasi dan hanya dengan keyakinan terhadap manfaat aktifitas, bukanlah indikasi iradah melakukan aktifitas tersebut. Dalam hal ini juga terdapat perbedaan pendapat. Berdasarkan satu pandangan, selain terdapat keyakinan terhadap manfaat aktifitas, terdapat pula hasrat dan keinginan jiwa untuk melakukan aktifitas tersebut, dan hasrat ini tak lain adalah iradah itu sendiri. Terkadang iradah disebut juga sebagai kecenderungan kita melakukan aktifitas, dan sikap menghindar yang merupakan lawan dari iradah merupakan kecenderungan kita meninggalkan perbuatan. Menurut pandangan lainnya, iradah berbeda dengan hasrat dan kecenderungan melakukan aktifitas. Iradah merupakan sebuah keadaan jiwa yang dihasilkan setelah adanya ilmu tentang manfaat aktifitas sebelum melakukannya, yang hal ini menyebabkannya memilih untuk melakukan aktifitas tersebut daripada meninggalkannya.

Masing-masing pandangan di atas memiliki argumen, dan di sini kita tidak membahasnya[1]. Poin penting dalam hal ini adalah bahwa kita tidak bisa menisbahkan makna iradah untuk manusia ini kepada Tuhan, tanpa menghapus dimensi kelemahan, keterbatasan, dan karakter-karakter makhluk. Sebagai contoh, iradah manusia adalah bersifat aksiden pada jiwa manusia. Jelaslah bahwa sifat yang demikian ini tidak pantas bila dinisbahkan kepada Tuhan, karena dzat Tuhan suci dari segala perubahan dan aksiden.


Pendapat Teolog tentang Hakikat Iradah Tuhan
Sebagaimana disinggung bahwa terdapat keragaman pendapat dari para teolog dan filosof tentang Iradah Ilahi. Di bawah ini akan disajikan secara ringkas sebagian pendapat mereka:

1. Makna iradah Ilahi adalah Tuhan melakukan perbuatan-Nya tanpa paksaan dan ancaman. Oleh karena itu, maksud dari kehendak Tuhan adalah tidak adanya paksaan dan ancaman dalam perbuatan-Nya.[2]

2. Iradah Ilahi merupakan aktualisasi dari kodrat Tuhan.[3]

3. Iradah Ilahi sebagai sifat dzat merupakan kecintaan Tuhan terhadap dzat dan kesempurnaan-Nya sendiri; dan sebagai sifat perbuatan, iradah Tuhan adalah keridhaan-Nya terhadap lahirnya sebuah perbuatan.

4. Iradah Tuhan identik dengan ilmu-Nya terhadap sistem yang terbaik.

Filosof mendefinisikan iradah Tuhan sebagai salah satu sifat dzat Tuhan, iradah-Nya identik dengan ilmu Tuhan terhadap sistem terbaik bagi seluruh alam. Ilmu Tuhan ini merupakan mata rantai awal dari silsilah sebab-akibat perwujudan alam dan juga sebagai dasar penciptaan semua makhluk.

5. Iradah Tuhan adalah merupakan kemandirian dan kebebasan dzati-Nya.Tuhan secara esensial adalah Pelaku yang bebas dan iradah-Nya tak lain adalah kebebasan-Nya sendiri. Meskipun ikhtiar-Nya bisa ditafsirkan sebagai ketakterpaksaan, tidak akan mengubah posisi sifat iradah (yang setara dengan kebebasan esensial-Nya) tersebut, sebagaimana ilmu yang didefinisikan sebagai ketidakjahilan tidak mengubah hakikat sifat ilmu.[4]


Iradah Dzat dan Iradah Perbuatan
Apakah iradah merupakan sifat dzat Tuhan ataukah sifat perbuatan-Nya? Menjawab persoalan ini akan menjadi penting ketika kita melihat definisi di atas, dimana sebagiannya hanya memberikan sudut pandang pada iradah dzat (definisi keempat), sebagian lain pada iradah perbuatan (definisi kedua), dan sebagiannya lagi memandang bahwa iradah meliputi dzat dan perbuatan (definisi ketiga). Oleh karena itu, sebelum kita menganalisa definisi-definisi tersebut secara mendetail, ada baiknya terlebih dahulu kita menentukan bahwa apakah iradah Ilahi ini tergolong ke dalam sifat dzat ataukah sifat perbuatan.

Banyak teolog dan filosof Islam menganggap bahwa iradah dzat setara dengan ilmu Tuhan terhadap sistem yang terbaik. Penjelasannya bahwa Tuhan memiliki ilmu terhadap kekhususan-kekhususan sistem terbaik bagi alam, yaitu Dia mempunyai ilmu terhadap kondisi dan keadaan yang paling sempurna untuk alam; dan ilmu inilah yang menjadi iradah dzat Tuhan. Menerima pendapat ini tidak berarti telah terlepas dari problematika. Dengan menilik makna iradah dan merujuk pada pengertian leksikalnya, kita menemukan bahwa makna iradah tidak bisa disamakan dengan makna ilmu.[5] Pada sisi lain, sebagaimana yang akan kita lihat, dalam sebagian riwayat ditegaskan adanya pemisahan antara ilmu dan iradah.

Jika kita tidak menerima adanya penyetaraan antara iradah (sebagai sifat dzat) dan ilmu Tuhan terhadap sistem terbaik alam, maka penggambaran iradah Ilahi sebagai sifat dzat-Nya akan menjadi rumit, kecuali kalau kita memilih definisi kelima yaitu iradah Tuhan identik dengan kebebasan dzat-Nya, yaitu dzat Tuhan memiliki kesempurnaan eksistensial yang dengannya tak sesuatupun dapat menghalangi-Nya dan segala perbuatan-Nya lahir tanpa ancaman dan paksaan dari selain-Nya.

Dalam kaitannya dengan iradah sebagai sifat perbuatan bisa dirujukkan kepada sifat seperti cinta dan ridha. Berdasarkan hal ini, iradah Tuhan terhadap lahirnya sebuah aktifitas khusus adalah sebuah relasi antara kecintaan dan keridhaan Tuhan terhadap perwujudan aktifitas tersebut. Akan tetapi di sini mungkin terdapat masalah karena berdasarkan apa yang kita temukan di dalam diri kita, makna iradah bukanlah kecintaan dan keridhaan.

Kemungkinan lain yang bisa kita katakan adalah sifat iradah, sebagai sifat perbuatan, bersumber dari tingkatan perbuatan Tuhan yaitu penciptaan maujud-maujud itu sendiri. Penjelasan yang bisa diterima akal adalah bahwa setiap makhluk pada setiap masa, tempat, dan kualitasnya yang tertentu, senantiasa berkaitan dengan ilmu dan kecintaan Tuhan dan Tuhan menciptakan maujud-maujud tersebut dengan kehendak-Nya sendiri tanpa paksaan dari selain-Nya. Dengan demikian, sifat iradah bersumber dari relasi khusus antara Tuhan dan makhluk-Nya.

Terdapat pendapat lain yang mengatakan, sifat iradah (sebagai sifat perbuatan) berasal dari hubungan antara Tuhan dan perbuatan-Nya yang memiliki sebab (‘illah) sempurna. Dengan demikian, setiap kali terdapat relasi perbuatan yang mempunyai sebab sempurna dengan dzat Tuhan, maka pasti berhubungan dengan sifat iradah, dan kita katakan bahwa Tuhan menghendaki terjadinya perbuatan tersebut.


Iradah Tuhan: Temporal (Huduts) atau Eternal (Qidam)
Menurut Asy’ariyah, iradah merupakan sifat tambahan pada dzat Tuhan dan sifat ini eternal sebagaimana dzat-Nya. Sementara kelompok lain, berpandangan bahwa sifat iradah Tuhan adalah temporal dan tercipta, akan tetapi di antara mereka juga berbeda pendapat seputar masalah ketemporalan sifat itu.[6]

Dengan memperhatikan penjelasan tentang iradah dzat dan perbuatan, bisa dikatakan bahwa iradah dzat identik dengan dzat Tuhan, oleh karena itu, sebagaimana sifat dzat yang mengikuti keeternalan dzat, sifat iradah adalah eternal. Akan tetapi apabila pembahasan berfokus pada iradah perbuatan, karena ia muncul dari relasi antara dzat Tuhan dan perbuatan-Nya, dimana perbuatan-Nya bersifat temporal maka sifat iradah pun merupakan hal yang temporal. Tentu saja sebagaimana yang telah kami katakan dalam pembahasan perbedaan antara sifat-sifat dzat dan perbuatan, sumber kemunculan sifat perbuatan bukanlah dari dzat Tuhan melainkan bersumber dari perbuatan itu sendiri.


Iradah, Ikhtiar, dan Keinginan (Masyiyat)
Selain sifat iradah, Tuhan juga disifati dengan sifat berkeinginan dan ikhtiar. Setarakah ketiga sifat ini ataukah masing-masing mempunyai makna mandiri dan berbeda? Dikatakan bahwa tentang tidak ada perbedaan antara iradah dan keinginan, yaitu bahwa keduanya mempunyai makna yang sama. Akan tetapi, menurut sebagian teolog terdapat perbedaan antara keduanya. Sebagai contoh, orang yang mengatakan bahwa iradah sebagai ilmu tentang kemaslahatan atau ketakmaslahatan suatu pekerjaan dan keinginan sebagai kemauan untuk melakukan atau meninggalkan suatu pekerjaan"; suatu kemauan yang bersandar pada ilmu terhadap kemaslahatan dan ketakmaslahatan[7]. Demikian pula dikatakan bahwa yang berhubungan dengan keinginan adalah kuiditas akibat (ma’lul) sedangkan iradah berhubungan dengan wujud akibat.[8]

Dari sebagian tafsir iradah (sebagai sifat dzat), dikatakan bahwa tidak ada perbedaan antara iradah dan ikhtiar, dan hakikat iradah adalah ikhtiar Tuhan itu sendiri. Berdasarkan pendapat yang lain, definisi ikhtiar adalah melakukan suatu pekerjaan dengan dasar ilmu, kehendak, iradah, dan kodrat; dan sifat ikhtiar muncul dari hubungan antara pelaku dan perbuatan.


Argumen Para Teolog atas Iradah Tuhan
Konklusi salah satu argumentasi termasyhur para teolog atas iradah Tuhan adalah sebagian dari perbuatan Tuhan akan terwujud pada waktu tertentu, misalnya kita melihat sebuah eksistensi yang tercipta pada masa tertentu dan sebelum masa itu eksistensi tersebut tiada. Pada sisi yang lain, pengkhususan aktifitas semacam ini pada masa-masa tertentu membutuhkan pengada. Maksud dari pengada di sini adalah pelaku yang menjadi penyebab munculnya perbuatan tertentu pada masa tertentu (tidak lebih cepat dan tidak terlambat). Dengan mengamati persoalan kodrat dan ilmu Tuhan menjadi jelas bahwa sesuatu tersebut tidak memiliki kelayakan sebagai pengada. Misalnya, keterkaitan kodrat dengan keseluruhan masa adalah sama dan mustahil Tuhan pada masa tertentu mampu melakukan perbuatan dan pada masa lainnya tidak mampu melakukannya. Hal inipun berlaku pada Ilmu Tuhan. Oleh karena itu, dibutuhkan pengada lain selain kodrat dan ilmu, dan pengada itu tidak lain adalah iradah.


Iradah Takwini dan Tasyri'i
Iradah yang telah dibincangkan merupakan iradah takwini Tuhan. Selain jenis iradah ini, para teolog menyepakati adanya iradah tasyri'i Tuhan, yang hal ini berpijak pada perbuatan khas manusia. Hubungan iradah tasyri'i (yang berlawanan dengan iradah takwini) dengan sebagian perbuatan menjadi sumber lahirnya hukum wajib, dan kaitan iradah tasyri'i dengan perbuatan lainnya menjadi faktor munculnya hukum makruh dan haram. Oleh karena itu, iradah perbuatan dan takwini Tuhan merupakan sumber perwujudan segala eksistensi, dengan kata lain, iradah takwini bersumber dari relasi khusus Tuhan dengan makhluk-makhluk-Nya, sementara sumber iradah tasyri'i dari hubungan khas antara Tuhan dengan sebagian perbuatan-perbuatan ikhtiari manusia.


Iradah Tuhan Menurut Al-Qur'an dan Riwayat
Iradah berasal dari akar kata raud yang dalam makna aslinya adalah datang dan pergi dengan sikap lembut dalam pencarian sesuatu. Makna kata ini tersusun dari tiga unsur: keinginan terhadap sesuatu yang diikuti dengan kecintaan, harapan akan keberhasilannya dan motivasi dalam melakukannya baik dari diri sendiri atau dari selainnya. Kehendak pun menurut sebagian besar kamus semakna iradah, akan tetapi dalam pandangan sebagian mereka[9], kehendak merupakan sebuah kecenderungan yang lahir setelah penggambaran dan pembenaran, dan setelah itu muncul keinginan kuat dan iradah.

Meskipun dalam al-Qur'an dua sifat iradah dan kehendak ini tidak dinisbahkan kepada Tuhan dalam bentuk kata pelaku, akan tetapi dalam beberapa ayat yang kaitannya dengan masalah Tuhan digunakan bentuk kata kerja dari dua kata dasar ini.

Pada sebagian ayat al-Qur'an dijelaskan bahwa iradah dan kehendak takwini Tuhan berpengaruh di semua aspek dan suatu perbuatan yang berkaitan dengan iradah-Nya pasti terwujud tanpa syarat dan batasan, Allah berfirman, "Ketika Kami menghendaki sesuatu, Kami hanya akan mengatakan kepadanya kun (jadilah), maka jadilah ia."(Qs. An-Nahl: 40)[10]

Tentunya, yang dimaksud dengan Tuhan mengatakan "kun (jadilah)" pada sesuatu, bukanlah perkataan lisan (sebagaimana perkataan lisan manusia yang terkadang berbeda dengan kenyataan luar dan perbuatannya), melainkan ungkapan yang berarti bahwa mustahil iradah Tuhan tidak terwujud, walau berjarak sedetikpun.

Pada sebagian ayat dikatakan pula tentang keuniversalan dan ketakterbatasan kehendak Tuhan: "Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (Qs. An-Nuur: 45).

Demikian juga, al-Qur'an al-Karim menegaskan bahwa tidak ada satupun maujud yang mampu menentang iradah takwini Tuhan dan menghalangi perwujudannya, hal ini merupakan ungkapan lain atas ketakterbatasan iradah Ilahi, Tuhan berfirman, "Katakanlah: "Maka siapakah yang mampu menghalangi kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudharatan bagimu atau jika Dia menghendaki manfaat bagimu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan." (Qs. Al-Fath: 11)

Tentu saja sebagaimana akan dibahas dalam hikmah Ilahi, keuniversalan iradah dan kehendak Ilahi bukanlah bermakna bahwa iradah berhubungan dengan semua perbuatan termasuk hal-hal yang buruk, tercela dan sia-sia; Hikmah-Nya mengharuskan Tuhan berkehendak hanya pada perbuatan yang mengandung hikmah dan kemaslahatan bagi makhluk-makhluk-Nya.

Sebagian ayat-ayat al-Qur'an mengisyaratkan pula tentang iradah tasyri'i Tuhan, misalnya dalam surah al-Baqarah ayat 185 difirmankan, "Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu."

Setelah pada awal ayat ini Tuhan menjelaskan tentang hukum puasa Ramadhan dan menegaskan bahwa mereka yang dalam perjalanan atau sedang sakit akan memperoleh pengecualian hukum, dilanjutkan bahwa iradah tasyri'i Tuhan berkaitan dengan penetapan sebuah hukum yang menjamin kemudahan bagi manusia dan bukan menyebabkan kesulitan mereka.

Demikian juga, setelah mengungkapkan sebagian hukum-hukum Ilahi, dalam surah al-Maidah ayat 1, Tuhan berfirman, "Allah menetapkan hukum-hukum sesuai dengan yang dikehendaki Nya."

Selain al-Qur'an, terdapat riwayat Ahlulbait yang menjelaskan iradah Ilahi ini. Yang perlu diperhatikan di sini adalah kebanyakan riwayat ini memperlihatkan iradah perbuatan Tuhan; Dan sebagiannya menolak iradah sebagai sifat eternal yang tertambah pada dzat-Nya. Misalnya, terdapat hadis dimana perawi bertanya kepada Imam As, "Apakah Allah memiliki iradah sejak awal?" Imam As bersabda, "Sesungguhnya yang beriradah tidak ada kecuali apa yang dikehendaki ada bersamanya. Sejak awal Tuhan Berilmu dan memiliki kodrat, setelah itu Dia berkehendak."[11]

Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Imam As di dalam hadis itu bahwa iradah perbuatan Tuhan tidak azali dan eternal. Mungkin maksud perkataan Imam As ini adalah bahwa sifat-sifat perbuatan, sebagaimana iradah, merupakan hubungan antara Tuhan dan makhluk-makhluk-Nya, atau dengan kata lain, iradah ini berasal dari perbuatan Tuhan dan karena perbuatan-Nya adalah aksiden, maka mustahil sifat-sifat perbuatan-Nya adalah eternal.

Hadis lain yang dinukil dari Imam Ridha As, selain hadis ini menjelaskan tentang hakikat iradah perbuatan Tuhan, di dalamnya dijelaskan pula tentang perbedaan iradah Tuhan dengan iradah manusia serta kesucian iradah-Nya dari keterbatasan sebagaimana iradah manusia. Imam bersabda, "Iradah makhluk merupakan keputusan jiwa yang disertai dengan perbuatan, akan tetapi iradah Tuhan hanya bermakna penciptaan". Tuhan tidak berfikir terlebih dahulu dan tidak pula mengambil keputusan, sifat semacam ini ternafikan dari-Nya, karena semua itu merupakan sifat-sifat makhluk. Jadi, iradah Tuhan adalah perbuatan Tuhan itu sendiri. Tuhan berfirman "Kun (jadilah)" maka apa yang dikehendaki-Nya niscaya terwujud tanpa membutuhkan kata-kata, lisan, keputusan, dan pertimbangan; dan tidak ada kategori kualitas dalam firman-Nya, sebagaimana tidak ada kategori kualitas dalam dzat-Nya".[12]

Pada hadis lain ditegaskan tentang keaksidenan kehendak Ilahi ini, sebagai contoh diriwayatkan dari Imam Sadiq As yang bersabda, "Tuhan menciptakan kehendak untuk diri-Nya (tanpa memerlukan kehendak dari selain-Nya) dan Dia menciptakan segala sesuatu dengan kehendak-Nya."[13]

Poin menarik yang bisa disimpulkan dari hadis para Imam As adalah adanya perbedaan antara ilmu dan iradah. Imam Shadiq As kepada salah satu sahabatnya yang bertanya tentang perbedaan antara ilmu dan iradah, bersabda, "Ilmu Tuhan bukanlah kehendak-Nya. Apakah kamu tidak memperhatikan ketika kamu mengatakan: "Aku pasti melakukan suatu pekerjaan jika Tuhan menghendaki", akan tetapi kamu tidak mengatakan: "Apabila Tuhan mengetahui pekerjaan itu, maka aku pasti melakukannya", jadi perkataanmu yang mengatakan "Apabila Tuhan menghendaki" merupakan dalil bahwa hingga saat ini Dia tak menghendaki, oleh karena itu, kalau Dia berkehendak, maka apa yang Dia kehendaki pasti terwujud dan ilmu Tuhan ada sebelum Dia berkehendak".



Catatan Kaki:
[1] . Sebagai contoh, orang yang haus melihat dua gelas air, pasti memilih salah satunya untuk diminum, iradahnya berkaitan dengan keinginannya untuk meminum air tersebut, sedangkan ilmunya terhadap manfaat meminum air dari kedua gelas itu adalah sama. Dari sini bisa diketahui bahwa iradah bukanlah ilmu terhadap manfaat sebuah aktifitas. Rujuk pula: Manahij al-Yaqiin fii Ushuliddin, hal. 171; dan al-Mathalib al-'Aliyah, J. 3, hal. 177.

[2] .Pernyataan ini dinisbatkan kepada Najar. Kashful Murad, hal. 314 dan Irshad at-Thalibiin, hal. 205.

[3] . Al-Muhadharat (penjabaran pelajaran Ushul Ayatullah Khui), J. 2, hal. 36 dan 72.

[4] . Ja’far Subhani, Muhadharah fil Ilahiyyat, hal. 148.

[5] . 'Alamah Thabathabai, Nihayah al-Hikmah, bab 12, pasal 13.

[6] Menurut pendapat aliran Karramiyyah, sifat iradah merupakan aksiden pada dzat Tuhan, akan tetapi menurut pendapat Abu Hisyam Jabbaai dan sebagian kalangan Mu'tazilah menganggap bahwa sifat aksiden iradah Tuhan tanpa tempat.

[7] . Abdul ar-Razaq Lahijy, Sarmo-ye Iman, hal. 48.

[8] . Asfar, J. 6, hal. 313, Ta'liqah Hakim Shirazy.

[9] .Dinukil dari Peyâm-e Qur’an, jld. 4, hal. 144 dan 145.

[10] .Lihat pula Qs. Yasin: 82.

[11]. Ushul kafi, jld. 1, hal. 109, bab iradah, hadis 1.

[12] . Ibid, hal. 109 dan 110, hadits 3.

[13] . Ibid, hal. 110, hadits 7.




Telaah Teologis atas Sifat-sifat Tuhan [7]

Kalam Tuhan

Pendahuluan
Pada hakikatnya sifat-sifat perbuatan Tuhan tidak terhitung banyaknya; dan al-Qur'an al-Karim banyak menyebutkan sifat-sifat ini, seperti khâlik, fâtir, mâlik, hakîm, rabb, razzâq, rahman, rahim, ghafur, hâdi, wakil, nâsir, qâhir, jabbar, dan nama lainnya yang tak berhingga. Kesemua sifat ini adalah sifat-sifat perbuatan-Nya. Para teolog biasanya membatasi pembahasan yang berkaitan dengan sifat-sifat perbuatan Tuhan ini pada beberapa sifat tertentu saja. Mengingat pembahasan kita terbatas oleh ruang dan waktu, tak ada cara lain bagi kami selain mengikuti metode yang ada, meskipun pengkajian terhadap seluruh sifat perbuatan ini dan penyajiannya kepada manusia adalah tanggung jawab teologi dan para teolog.


Kalam Ilahi
Seluruh teolog dan aliran-aliran teologi Islam, bahkan seluruh umat Islam sepakat terhadap kalam Tuhan dan mengaggap kalam sebagai salah satu sifat-Nya. Meskipun demikian, pada pembahasan partikular terdapat perbedaan yang sangat mendalam antara aliran-aliran teologi. Ikhtilaf ini bersumber dari dua masalah:

1. Penafsiran terhadap hakikat kalam Ilahi;
2. Kalam Ilahi bersifat huduts (temporal) atau qidam (eternal).

Pada era pertama kemunculan Islam menunjukkan bahwa perbedaan pendapat di antara muslim, khususnya dalam perkara huduts atau qidam-nya kalam Ilahi, telah memunculkan fitnah yang sangat besar bahkan menyebabkan pengkafiran dan pembunuhan di antara mereka. Pada pembahasan ini, kami akan mengkaji pendapat terpenting berkaitan dengan ke-huduts-an atau ke-qidam-an kalam Ilahi, dan setelah kami sajikan pendapat yang benar, kami akan melanjutkan dengan pengkajian berdasarkan visi al-Qur'an dan hadis.


Hakikat Kalam Ilahi

Berbagai pendapat yang menjelaskan kalam Ilahi, dan di bawah ini kami akan menyebutkan beberapa pendapat terpenting:
1. Sebagian menganggap kalam Ilahi sebagai bentuk suara dan huruf yang mandiri dari dzat Tuhan dan sifatnya adalah eternal. Kelompok ini menganggap bahwa jilid dan mushhaf al-Qur'an sebagai salah satu individu eksternal dari kalam Tuhan yang eternal dan azali.[1]

2. Pendapat lain mengatakan bahwa kalam Ilahi adalah suara-suara dan huruf-huruf yang independen dari dzat Tuhan akan tetapi bersifat temporal.

3. Pendapat ketiga mengatakan bahwa kalam Ilahi adalah suara-suara dan huruf-huruf yang temporal dan tidak independen dari dzat Tuhan melainkan sebagai perbuatan dan makhluk-Nya. Gagasan ini dinisbahkan kepada Mu'tazilah, dan maksud dari "Tuhan berkalam" adalah terciptanya huruf-huruf dan suara-suara di alam eksternal.[2]

4. Sebagian dari kelompok Asy'ariyah mengatakan bahwa kalam Ilahi independen dari dzat-Nya dan berbeda dengan ilmu dan iradah, dari sinilah sehingga kalam Ilahi terkadang dinamakan dengan kalam nafsi (kalam inner). Menurut mereka, kalam nafsi memiliki satu makna yaitu kalam yang lepas dari berbagai bentuk ungkapan seperti perintah, larangan, berita, panggilan dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan huruf-huruf dan suara yang menunjuk pada kalam adalah sebagai hakikat eternal dan azali serta merupakan salah satu dari sifat dzat Tuhan.

Dari evaluasi pendapat di atas, secara global bisa dikatakan bahwa dua pendapat pertama adalah batil, karena gambaran tegaknya huruf dan suara yang bersifat materi pada dzat Tuhan yang non-materi itu adalah tidak rasional, baik kita menganggap bahwa suara dan huruf-huruf tersebut adalah eternal atau temporal (meskipun pendapat pertama yang sangat aneh itu yakni ke-eternal-an huruf dan suara merupakan hal yang dikehendaki Tuhan).

Pendapat Asy'ariyah pun tak luput dari permasalahan, kritik utama atas pendapat ini adalah bahwa kalam nafsi yang merupakan sesuatu berbeda dengan ilmu atau iradah Tuhan adalah tidak logis. Gagasan Asy’ariyah tentang kalam nafsi pada dasarnya identik dengan ilmu atau iradah Tuhan itu sendiri, dengan demikian sifat kalam Tuhan tak bisa disebut sebagai salah satu sifat-sifat-Nya.[3]

Pendapat yang benar adalah pendapat yang mengartikan bahwa kalam Tuhan tidak lain adalah terciptanya huruf-huruf dan suara-suara yang kadangkala termanifestasi pada benda-benda materi (seperti pohon), kadangkala berasal dari malaikat pembawa wahyu dan tak jarang dalam bentuk lain; dalam masalah ini para teolog Syiah sependapat dengan Mu'tazilah.

Allamah Majlisi mengatakan, "Syiah sepakat bahwa kalam Ilahi itu temporal (tercipta), terkomposisi atas huruf-huruf dan suara-suara, dan terwujud karena Tuhan. Makna dari Tuhan berkalam adalah bahwa Tuhan menciptakan huruf-huruf dan suara-suara itu dalam bentuk materi."[4]

Tentu saja, Tuhan berkalam berbeda dengan manusia yang berkalam, karena Tuhan tidak memerlukan anggota badan dan perangkat tertentu untuk berkalam. Keberadaan anggota badan dan perangkat semacam itu merupakan kekhususan materi, sedangkan Tuhan suci dari karakter materi dan jasmani. Konklusi pembahasan ini adalah apabila yang dimaksud dengan kalam Ilahi adalah kata yang termaktub atau terdengar yang menunjukkan kehendak Tuhan, maka kalam ini bersifat temporal sebagaimana halnya seluruh makhluk-Nya atau segala perbuatan-Nya. Kalau yang dimaksud dengan kalam adalah berbicara maka hakikatnya tidak lain adalah penciptaan kata-kata, kalimat-kalimat dan huruf-huruf yang termaktub atau terdengar yang tak membutuhkan perangkat-perangkat materi, dari sinilah muncul sifat kalam yang merupakan salah satu sifat perbuatan Tuhan.


Seluruh Makhluk adalah Kalimatullah
Kadangkala kalam Ilahi didefinisikan dengan makna lebih luas dari huruf-huruf dan suara-suara. Pada makna ini, kalam Ilahi mencakup seluruh makhluk-Nya dan setiap eksistensi tidak hanya merupakan hasil perbuatan dan kreasi-Nya, melainkan merupakan kalimat dari kalimat-kalimat-Nya. Dari sini muncul pertanyaan bahwa bagaimana mungkin kata "kalam" digunakan untuk makhluk dan benda-benda luar, sedangkan berdasarkan penggunaan umum, kalam adalah kata-kata yang tertulis atau terdengar?

Jawaban ringkas soal di atas adalah dengan mengamati penggunaan dan manfaat kata-kata, maka akan menjadi jelas bahwa substansi kalam adalah menjabarkan dan menguraikan makna-makna yang ada di benak pembicara. Oleh karena itu, hakikat kalam tidak lain adalah hikayat, petunjuk, dan implikasi. Pada sisi lain, aktifitas pelaku (penciptaan makhluk) selain menunjukkan keberadaan pelaku juga menceritakan kekhususan wujudnya, dan perbedaan yang ada pada keduanya hanyalah bahwa implikasi yang ada pada kata-kata adalah perjanjian dan penetapan yang bersifat relatif dan nisbi, sementara implikasi perbuatan pelaku (seluruh makhluk) adalah bersifat hakiki dan realistis-rasional. Dengan demikian, makna kalam bisa diperlebar dan mengisyaratkan pada perbuatan Tuhan, karena setiap aktifitas menggambarkan kekhususan, tujuan, dan kehendak pelakunya. Sebagaimana yang dilihat pada al-Qur'an dan hadis-hadis Ahlulbait As yang memberikan legitimasi pada perluasan pemaknaan ini, sebagian maujud yang merupakan tanda-tanda Ilahi diperkenalkan sebagai kalimatullah.


Kalam Verbal, Kalam Inner, dan Kalam Perbuatan
Dari kajian di atas, bisa disimpulkan bahwa kalam Ilahi bisa didefinisikan dengan tiga makna global:

1. Kalam verbal, adalah suara-suara dan huruf-huruf yang diciptakan oleh Tuhan di alam eksternal supaya lawan bicara memahami apa yang dikehendaki-Nya.

2. Kalam nafsi atau inner, adalah makna-makna yang terwujud dengan perantara dzat Tuhan yang berbeda dengan ilmu dan iradah, dan kalam verbal yang menceritakan kalam nafsi itu.

3. Kalam perbuatan adalah semua makhluk dan perbuatan Tuhan yang menggambarkan wujud dan kesempurnaan-Nya.

Di antara ketiga makna di atas, makna yang bisa diterima adalah makna pertama dan ketiga, sedangkan makna kedua, sebagaimana pendapat Asy'ariyah, mustahil diterima, karena pembenaran makna kedua ini berangkat dari penggambaran yang bersifat mungkin, maka mustahil ia diposisikan sebagai kalam Ilahi.


Temporal dan Eternal Kalam Ilahi
Pada abad kedua Hijriah muncul pertanyaan di kalangan sekelompok muslimin tentang apakah al-Qur'an sebagai manifestasi kalam Ilahi adalah bersifat aksiden ataukah makhluk? Qadim ataukah azali? Para ahli hadis dan pengikut Hanbali, demikian juga Asy'ariyah beranggapan bahwa al-Qur'an adalah azali dan bukan makhluk. Hanbali dan Asy'ariyah mengkafirkan kelompok-kelompok yang menentang gagasannya. Sementara Mu'tazilah bertahan dengan pendapatnya yang memandang bahwa al-Qur'an bersifat huduts dan baru tercipta.

Dengan memperhatikan pembahasan hakikat kalam Ilahi tentang pengingkaran kalam nafsi, maka tak ada alasan untuk menganggap ke-qadim-an kalam Ilahi. Apabila kalam Ilahi didefinisikan sebagai huruf-huruf dan suara-suara atau maujud-maujud luar, maka berarti ia temporal dan hâdits, tapi kalau maksud kalam Ilahi adalah bahwa Tuhan berkalam, maka hal ini tetap harus dipandang sebagai perkara yang temporal, karena berkalam merupakan salah satu dari sifat-sifat perbuatan Tuhan dimana akan memunculkan suara-suara dan huruf-huruf atau penciptaan maujud-maujud. Kita mengetahui bahwa semua sifat perbuatan Tuhan adalah temporal, karena awal kemunculannya adalah aktualisasi temporal Tuhan. Mereka yang berpendapat tentang ke-eternal-an kalam Ilahi memiliki argumen-argumen yang lemah dan tak mendasar, dan disini kita tidak mengevaluasinya karena keterbatasan.[5]

Dengan demikian, pendapat yang benar dimana dilegitimasi para Maksumin As dan para teolog Syiah[6] adalah pendapat yang mengatakan bahwa kalam Ilahi adalah temporal.


Argumen atas Kalam Tuhan
Di antara beragam argumen yang dilontarkan oleh para teolog dalam membuktikan sifat ini, kami hanya mencukupkan dengan menyebutkan satu argumen, sebagai berikut, "Pada pembahasan kodrat Ilahi telah dijelaskan bahwa kodrat-Nya akan bisa terwujud pada segala aktifitas yang memungkinkan dan tidak ada keraguan lagi bahwa terciptanya kata-kata tertulis dan suara-suara yang terdengar merupakan persoalan yang mungkin terjadi, oleh karena itu, terciptanya huruf-huruf dan suara-suara yaitu perkataan Ilahi masih berada dalam lingkup kodrat Tuhan[7]. Syeikh Thusy dalam menjelaskan argumentasi ini mengatakan, "Kemutlakan kodrat Tuhan menegaskan tentang kalam-Nya."[8]


Sifat Kalam Menurut Al-Qur'an dan Hadis
Dalam al-Qur'an kata Mutakallim tidak dimunculkan sebagai sifat Tuhan, akan tetapi pada sebagian ayat kata ini digunakan dalam bentuk kata kerja dengan kata dasar takallum (berbicara).

Dalam surah an-Nisa ayat 164, Allah Swt berfirman, "Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung".

Al-Qur'an al-Karim dalam tiga tempat menyebut kata kalam dengan Kalamullah (perkataan Tuhan), dan satu tempat dengan ungkapan Kalâmi (Perkataan-Ku)"[9]. Di tempat-tempat lain, kita bisa menyaksikan ungkapan seperti Kalimatu rabbika dan Kalimatullah. Adanya ungkapan-ungkapan ini bisa disimpulkan bahwa al-Qur'an sepakat bahwa Tuhan mempunyai sifat takallum (berbicara).

Al-Qur'an al-Karim pada sebagian ayatnya berbicara tentang kalam verbal dan yang terdengar. Dalam surah Qashash ayat 30, Allah Swt berfirman, "Maka tatakala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah ia dari arah pinggir lembah sebelah kanan pada tempat yang diberkahi, dari sebotong pohon kayu, yaitu: "Ya Musa, sesungguhnya Aku adalah Allah, Tuhan semesta alam."

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah Swt mengajak Nabi Musa As berbicara dengan menggunakan suara-suara yang terdengar dan dari konteks yang terdapat pada ayat ini dan ayat-ayat setelahnya menjadi jelas bahwa suara-suara tersebut didengar oleh Nabi Musa As. Pada ayat lain disebutkan adanya tiga metode pembicaraan Tuhan kepada manusia. Dalam surah as-Syuura ayat 51, berfirman, "Dan tidak mungkin bagi seorang manusia pun akan bercakap dengan Allah kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu mewahyukan kepadanya dengan seizin Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana."


Berdasarkan ayat di atas, tiga metode tersebut adalah:
1. Pengiriman wahyu tanpa perantara, dalam keadaan ini makna dan pengertian "yang diwahyukan" akan menyatu dalam diri "yang menerima wahyu".

2. Pengiriman wahyu melalu perantaraan malaikat.

3. Menciptakan suara-suara yang bisa didengar oleh telinga dari balik tirai.

Selain kalam verbal, al-Qur'an al-Karim juga menganggap makhluk-makhluk Tuhan sebagai kalimat-Nya dan kadangkala memperkenalkan Nabi Isa As sebagai Kalamullah, ayat yang menjadi bukti hal ini adalah surah an-Nisa ayat 171, Tuhan berfirman, "Sesungguhnya Al Masih 'Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah dan (yang terjadi) dengan kalimat Nya."

Kadangkala pula, keseluruhan makhluk dan nikmat-nikmat yang diturunkan-Nya diungkapkan dengan Kalimatullah, pada surah Luqman ayat 27, Allah Swt berfirman, "Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah."

Dengan demikian, al-Qur'an menggunakan kalam Ilahi ini dalam makna kalam yang terdengar dan juga dalam makna ciptaan Ilahi (kalam perbuatan).

Selain itu, beberapa ayat juga menunjukkan atas huduts-nya kalam Ilahi, dan dengan merujuk kepada ayat-ayat ini, maka tertolaklah pendapat tentang ke-qidam-an kalam Ilahi. Sebagai contoh, dalam surah al-Anbiya ayat 2, Allah berfirman, "Tidak datang kepada mereka suatu ayat al-Qur'an pun yang baru (diturunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya sedang mereka bermain-main."

Dengan mempertimbangkan ayat-ayat lainnya, antara lain surah Hajr ayat 9, yang menyebut al-Qur'an sebagai dzikr yang berarti bahwa al-Qur'an dan pemberian sifat kepadanya dengan sifat muhaddats (yang baru, yang tercipta) adalah menunjukkan pada huduts-nya al-Qur'an.

Pada sebagian riwayat Ahlulbait As kita menjumpai masalah huduts dan qidam-nya kalam Ilahi, para Imam Ahlulbait As terkadang mengingatkan para sahabatnya untuk tidak memasuki pembahasan yang mengandung ikhtilaf ini, karena pembahasan ini lebih dimanfaatkan untuk unsur-unsur politik ketimbang sebagai pembahasan aqidah dan pemikiran untuk menyingkap hakikat kebenaran, pembahasan ini juga dimanfaatkan oleh kedua belah pihak untuk menyerang lawan bicaranya. Oleh karena itu, Imam Ridha As ketika menjawab pertanyaan salah satu sahabatnya tentang al-Qur'an, bersabda, "Jangan membahas tentang kalam Tuhan (al-Qur'an), dan janganlah mencari hidayah selain al-Qur'an karena pasti mengantarkan kepada kesesatan."[10]

Pada sebagian riwayat Ahlulbait As mengemukakan tentang pendapat mereka, sebagai contoh, Imam Hadi As dalam salah satu surat kepada sebagian pengkutnya, bersabda, "Dan tiada Pencipta selain Allah dan selain-Nya adalah makhluk, al-Qur'an al-Karim adalah kalam Tuhan dan janganlah Anda meletakkan bagi-Nya suatu nama yang bisa menyebabkan Anda tersesat."[11]

Pada riwayat yang lain, ketika Abu Basir bertanya kepada Imam Shadiq As, "Apakah Tuhan berkalam sejak azal-Nya?" Imam As bersabda, "Kalam Tuhan adalah hadis (tercipta). Tuhan ada sebelum Dia berbicara, setelah itu Dia menciptakan kalam."[12]


Catatan Kaki:
[1] .Pendapat ini dinisbahkan kepada kelompok Hanbali.

[2]. Qadhi Abdul Jabbar Mu’tazilah ,dalam kitabnya berjudul Sharh al-Usul al-Khamsah, menyatakan bahwa hakikat kalam adalah huruf yang tersusun dan suara yang terpisah-pisah dan Tuhan Pemberi Nikmat jika dipandang bahwa Dia memberikan nikmat yang kepada selain-Nya, dan Dia juga Pemberi Rezki bila dilihat bahwa Dia yang memberikan rezki, Dia pun Mutakallim kalau ditinjau bahwa Dia yang menciptakan kalam untuk selain diri-Nya, maka dari itu, tidak perlu perbuatan-Nya menyatu dalam dzat-Nya. Sharh al-Usul al-Khamsah, hal. 528, dinukil dari Muhadharaat fil Ilahiyyat, hal. 154.

[3] . Untuk mempelajari argumen-argumen Asy'ariyah atas wujud kalam nafsi serta kritikannya, rujuklah kitab: Ibnu Maitsam Bahrani, Qawaid al maram fi ilmi Kalam, hl. 93; Manahijul Yaqiin, hal. 193 dan al-Muhadharat fil Ilahiyyat, hal. 158-162.

[4] . Biharul Anwar, jld. 4, hal. 150.

[5] . Untuk mengeritik dalil para pendukung ketemporalan kalam Ilahi, rujuklah: Muhadharat fil Ilahiyyat, hal. 167-170.

[6]. Hakim Lahiji menginterpretasikan kalam sebagai kodrat untuk menciptakan suara-suara dan huruf-huruf, dan karena inilah sehingga kalam disifati sebagai sifat yang eternal (Sarmoyeh-e Iman, hal. 49). Akan tetapi pembahasan kita terfokus pada kalam sebagai salah satu sifat perbuatan (bukan dzat), sedangkan interpretasi itu menyamakan sifat kalam dengan sifat kodrat dan mengesampingkan kemandirian definisinya, ringkasnya dia mengubah sifat perbuatan menjadi sifat dzat, dengan demikian, kalam tidak bisa dikatakan sebagai sifat yang temporal.

[7] . Sepertinya, argumen ini murni membuktikan kodrat atas perkataan Tuhan sehingga dari sini tidak bisa disimpulkan bahwa Tuhan adalah mutakallim secara perbuatan.

[8] . Kashful Murad, hal. 315.

[9] . Qs. Al-Baqarah: 75, At-Taubah: 6, Fath: 16 dan Al-A'raaf: 144.

[10]. At-Tauhid, bab 30, hadits 2.

[11]. Ibid, hadits 4.

[12] . Biharul Anwar, J. 4, hal. 68.




Telaah Teologis atas Sifat-sifat Tuhan [8]

Sifat Benar dan Hikmah
Seiring dengan pembahasan kalam Ilahi, muncul pertanyaan tentang apakah Tuhan senantiasa benar dalam setiap perkataan-Nya ataukah ada asumsi akan kebohongan dan ketakbenaran di dalamnya? Kaum muslimin sepakat bahwa di dalam kalam Ilahi tidak terdapat ketakbenaran maupun kebohongan, dengan kata lain, perkataan bohong merupakan sebuah hal yang terlarang dan mustahil bagi Tuhan. Dengan berpijak pada hal ini, seluruh aliran-aliran Islam berpendapat bahwa shidq (benar) yang bermakna: kesesuaian antara kalam dan kenyataan. Ini merupakan salah satu sifat sempurna Tuhan.

Dengan memperhatikan sifat shidq dan kemestiannya, terlihat adanya kepentingan dan manfaat yang sangat jelas di dalamnya. Sifat ini pada hakikatnya sebagai landasan utama bagi kepercayaan manusia kepada ajakan para Nabi, karena jika ada asumsi kebohongan dan kepalsuan dalam kalam Ilahi, maka wahyu Tuhan akan kehilangan keabsahan dan manusia tidak lagi mempercayai janji-janji Tuhan dan tidak mungkin terdapat sejarah masa lampau maupun masa akan datang dalam wahyu. Dengan adanya keraguan terhadap sifat shidq atau pengingkaran terhadapnya, maka tidak ada validitas seluruh makrifat, ilmu, dan hakikat kebenaran yang bersumber dari wahyu Ilahi dan kitab-kitab suci.[1]


Shidq, Sifat Dzat atau Perbuatan?
Jawaban pertanyaan ini bergantung pada definisi kita tentang sifat kalam, bisa dikatakan bahwa dua sifat ini setara dalam dzat dan perbuatan. Oleh karena itu, kelompok Asy'ariyah yang meyakini kalam nafsi dan menganggapnya sebagai sifat dzat, pasti akan menganggap sifat shidq ini sebagai sifat dzat pula. Tentu saja sebagaimana yang sebelumnya kami ungkapkan bahwa gambaran jelas tentang kalam nafsi tidak akan tercapai jika tak dikembalikan kepada ilmu dan iradah, pada kondisi ini, jika kalam diartikan sesuai dengan yang dimaksud Asy'ariyah yaitu disamakan dengan ilmu Ilahi, maka makna shidq menjadi: kesesuaian ilmu Tuhan dengan realitas luar (segala ciptaan-Nya); dan apabila sifat ini kita kembalikan kepada iradah Ilahi, maka sifat shidq tidak akan bermakna sama sekali, karena secara rasional kebenaran iradah tidak terwujud (yakni iradah tidak memiliki kesesuaian dengan kenyataan eksternal).

Akan tetapi, apabila kalam Ilahi kita anggap sebagai sifat perbuatan, maka sifat shidq juga akan merupakan sifat perbuatan. Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan mengenai pendapat yang benar bahwa kalam merupakan salah satu sifat perbuatan, kesimpulannya, shidq pun merupakan salah satu sifat perbuatan.


Argumen Teolog atas Kebenaran Tuhan
Tidak diragukan lagi bahwa membuktikan sifat shidq dengan merujuk kepada argumen naqli[2] akan mengakibatkan daur, karena validitas dalil-dalil naqli itu bergantung kepada kebenaran Tuhan, maka dari itu, pembuktian shidq Ilahi mustahil dirujukkan pada argumen naqli. Oleh karena itu, satu-satunya cara yang bisa kita lakukan pada pembahasan ini hanyalah menggunakan argumentasi rasional dan akal.

Para teolog berbeda pendapat dalam metode argumentasi akal terhadap sifat shidq Tuhan, dan ikhtilaf ini bersumber dari penerimaan atau penolakan atas kebaikan dan keburukan akal (husn wa qubh aqli). Sebagian memandang bahwa akal manusia secara mandiri (tanpa membutuhkan wahyu atau syariat) mampu memahami kebaikan dan keburukan sebagian perbuatan, dan mustahil Tuhan melakukan perbuatan-perbuatan yang menurut akal manusia merupakan perbuatan tercela.[3] Sebagaimana yang akan kami katakan pada pembahasan mendatang, para teolog dari kalangan Imamiah dan Mu'tazilah mendukung pendapat ini, sementara Asy’ariyah menolaknya.

Menurut pendukung pendapat kebaikan dan keburukan akal, argumentasi paling tepat atas kebenaran Tuhan bisa dievaluasi dalam bentuk sebagai berikut:

Berkata bohong secara akal merupakan perbuatan yang tercela (premis pertama) dan perbuatan yang tercela mustahil dilakukan Tuhan (premis kedua), oleh karena itu, mustahil Tuhan berkata bohong (silogisme).

Dengan melihat adanya pertentangan antara bohong dan jujur, maka silogisme argumen di atas menjadi: niscaya Tuhan berkata benar.

Syeikh Thusy juga menggunakan argumentasi di atas untuk membuktikan kebenaran Tuhan, ia berkata, "Penafian perbuatan tercela Tuhan menunjukkan kebenaran-Nya."[4]

Karena Asy'ariyah menolak kebaikan dan keburukan akal, maka argumentasi tersebut adalah tak valid. Oleh karena itu, sebagian teolog berusaha meramu argumentasi lain yang tidak berpijak pada kebaikan dan keburukan akal. Sebagai contoh, dikatakan: Tak jujur dan bohong adalah aib, dan mustahil terdapat aib pada Tuhan, oleh karena itu, tak jujur dan bohong mustahil dilakukan Tuhan.


Kebenaran Ilahi Menurut Al-Qur'an
Al-Qur'an al-Karim dalam beberapa ayat menegaskan tentang Kebenaran Tuhan, pada surah al-Hijr ayat 64, berfirman, "Dan Kami datang kepada kamu dengan membawa kebenaran dan sesungguhnya Kami betul-betul orang-orang yang benar."

Pada ayat lain dikatakan bahwa kalam Ilahi merupakan perkataan yang paling benar, dalam surah an-Nisa ayat 87, Allah Swt berfirman, "Dan siapakah orang yang lebih benar perkataannya dari pada Allah". Demikian juga pada surah yang sama ayat 122, berfirman, "Allah telah membuat suatu janji yang benar. Dan siapakah yang lebih benar perkataannya dari pada Allah?"

Mungkin yang dimaksud dengan kemahabenaran Tuhan adalah perkataan-Nya, jika dibandingkan dengan perkataan-perkataan benar selain-Nya, mampu menjelaskan hakikat-hakikat secara lebih gamblang, rinci, dan dalam bentuk yang sempurna.

Masalah ini ditegaskan pula pada ayat-ayat lain, dikatakan bahwa Tuhan senantiasa jujur dan benar atas janji-janji-Nya, sebagai contoh, terwujudnya janji Tuhan dalam membantu kaum muslimin pada perang Uhud, Surah 'Ali Imran ayat 152, berfirman, "Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-janji Nya kepada kamu."

Ayat-ayat berikut ini menunjukkan kebenaran mutlak Tuhan atas seluruh janji-janji-Nya, surah 'Ali Imran ayat 9 dan surah ar-Ra'd ayat 31, Allah Swt berfirman, "Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji."

Setelah mengevaluasi sifat shidq, kita akan membahas sifat hikmah yang merupakan sifat perbuatan lain yang dimiliki Tuhan.


Keragaman Makna Hikmah

Hikmah memiliki makna yang banyak, kita akan melakukan evaluasi sepintas terhadap makna-makna tersebut:
1. Salah satu makna hikmah atau bijaksana adalah makrifat dan mengenal hakikat segala sesuatu. Dengan memperhatikan ilmu mutlak Tuhan, makna ini benar untuk Tuhan akan tetapi sifat itu akan kembali kepada sifat ilmu, dengan kata lain, hikmah dengan makna ini merupakan cabang dari ilmu Ilahi.

2. Makna lain dari hikmah adalah segala perbuatan dan aktifitas pelaku berdasarkan tujuan yang rasional dan layak diterima. Penggunaan makna hikmah ini bagi Tuhan terdapat ikhtilaf dan kelompok Asy'ari menentang hal ini. Akan diuraikan masalah ini tersendiri pada pembahasan yang akan datang.

3. Makna ketiga dari hikmah adalah aktifitas dan perbuatan pelaku memiliki tujuan kuat dan sempurna. Pada makna ini Tuhan adalah hakîm; dan untuk membuktikannya, selain dalil fenomena-fenomena yang teratur dan alam natural yang menakjubkan serta kesempurnaan dan keindahan yang tak terkira makhluk-makhluk Ilahi, kita juga bisa merujuk pada argumen akal. Di bawah ini akan dijabarkan dua argumentasi:


Argumentasi pertama
Ketidaksempurnaan perbuatan bisa bersumber dari kebodohan pelaku pada perbuatan itu, karena ketakmampuan pelaku atau karena pelaku sengaja melakukan perbuatan tak bermakna dan sia-sia. Semua faktor-faktor tersebut mustahil terjadi pada Tuhan, karena Dia Maha Mengetahui dan Maha Kuat dan sebagaimana yang akan kami bahas selanjutnya, melakukan perbuatan sia-sia mustahil bagi-Nya. Dengan demikian, seluruh faktor yang disebutkan yang menyebabkan ketidaksempurnan perbuatan-Nya telah ternafikan. Konklusi, semua perbuatan-Nya memiliki tujuan yang sempurna.


Argumentasi kedua
Antara setiap pelaku dan perbuatannya ada kesesuaian, karena perbuatan pelaku pada hakikatnya merupakan manifestasi pelaku, oleh karena itu pelaku yang sempurna dari segala dimensi (baca: Tuhan) niscaya perbuatannya akan sempurna dari segala dimensi.

Hikmah Ilahi dengan makna di atas telah ditegaskan pula oleh beberapa ayat dan hadis, sebagai contoh kami akan mengetengahkan awal surah Hud, yang berfirman, "Alîf lâm râ, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu."

Imam Ali As tentang hikmah Ilahi bersabda, "Segala yang diciptakan-Nya terukur dengan sangat teliti setelah itu dikuatkan dan disempurnakan."[5] Dan bersabda, "Tuhan dengan ilmu-Nya menciptakan seluruh makhluk dan dengan hikmah-Nya mewujudkannya tanpa mengikuti, meniru atau belajar (dari siapapun), Dia adalah Pencipta yang Maha Mengetahui."[6]

Konklusi dari hikmah Ilahi adalah kita mengetahui bahwa keteraturan alam merupakan keteraturan yang paling sempurna dari keteraturan yang mungkin ada, karena alam dengan seluruh keluasannya yang tak terhingga merupakan hasil perbuatan Tuhan dan hikmah Ilahi mengharuskan bahwa perbuatan-Nya mesti merupakan perbuatan yang terbaik dan paling sempurna.

4. Makna hikmah yang keempat adalah menghindari perbuatan tercela, hina, dan tak pantas. Dengan demikian hakim adalah seseorang yang tidak melakukan perbuatan tercela dan tak terpuji.[7] Dengan menyimak makna ini, sifat adil dengan makna menghindari perbuatan zalim dan pemaksaan, pada dasarnya merupakan salah satu cabang hikmah (dengan makna keempat). Dengan kata lain, hikmah (dengan makna terakhir) mempunyai makna yang luas dimana sifat adil termasuk di dalamnya, karena maknanya adalah Tuhan tidak melakukan perbuatan tercela seperti bohong, mengingkari janji, berbuat zalim, dan sebagainya.

Perlu diketahui bahwa aliran-aliran pemikiran Islam berbeda pendapat terkait dengan makna-makna hikmah Tuhan di atas. Karena hikmah Ilahi (dengan makna terakhir) berpijak pada prinsip "kebaikan dan keburukan perspektif akal (husn wa qubh akli)" dimana kelompok Asy'ariah menolak prinsip ini, tetapi Mu'tazilah dan Imamiah yang terkenal dengan 'Adliyah mendukung prinsip ini dan sepakat bahwa Tuhan mustahil berbuat sesuatu yang menurut akal manusia adalah perbuatan tercela. Dengan demikian, meskipun Tuhan memiliki kemampuan melakukan perbuatan tercela, tetapi kesempurnaan wujud-Nya menghalangi kehendak-Nya untuk melakukan perbuatan tak terpuji, dengan kata lain dzat-Nya yang tak terbatas hanya melahirkan perbuatan terpuji.

Pembahasan hikmah dengan makna terakhir secara terperinci akan disajikan pada pembahasan "Keadilan Ilahi".


Catatan Kaki:
[1] . Dengan kata lain, sifat ketuhanan yang ada pada wahyu merupakan bukti atas sifat shidq ini.

[2] . Argumen yang didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi dan Ahlulbait as, argumen ini lawan dari argumen aqli (rasional).

[3]. Pembahasan lebih luas tentang " kebaikan dan keburukan " akan kami uraikan pada pembahasan mendatang.

[4] . Kasyful Murad, hal. 315.

[5]. Nahjul Balaghah, khotbah 89

[6]. Ibid, khotbah 191.

[7]. Kadangkala dari makna ini dita'birkan: Hakim adalah seseorang yang tidak melakukan perbuatan tercela dan dia akan melakukan apa yang seharusnya dengan seksama.




Telaah Teologis atas Sifat-sifat Tuhan [9]

Sifat-sifat Salbiyah (Negasi)

Pendahuluan
Hingga saat ini telah dibahas beberapa sifat-sifat tsubuti dzat atau sifat perbuatan Tuhan, sekarang akan dibahas tentang sifat negasi (salbi) Tuhan. Telah dikatakan sebelumnya bahwa disetiap sifat negasi pada dasarnya menafikan ketaksempurnaan dan keterbatasan Tuhan, karena negasi bertemu negasi akan berakhir pada penegasan kesempurnaan Tuhan. Maka dari itu, konsekuensi seluruh sifat negasi kembali pada satu makna yang diistilahkan dengan penafian ketaksempurnaan (al-salb al-naqsh) atau penafian keterbatasan (al-salb al-mahdudiyah).

Meskipun secara sepintas sifat-sifat negasi Tuhan tak terhitung banyaknya, di bawah ini hanya akan dibahas beberapa sifat-sifat utama, antara lain:

1. Penafian komposisi dan sifat-sifat tambahan pada dzat;

2. Penafian jasmani;

3. Penafian arah dan tempat;

4. Penafian reinkarnasi Tuhan pada makhluk;

5. Penafian penyatuan Tuhan dengan makhluk;

6. Penafian aksidensi pada dzat-Nya;

7. Penafian kelezatan dan penderitaan;

8. Penafian rukyat (terlihat).[1]


Argumen Umum atas Sifat-Sifat Negasi
Sebelum membahas sifat-sifat negasi, perlu ditekankan bahwa dengan kembalinya sifat-sifat ini pada satu makna yaitu negasi ketaksempurnaan dan keterbatasan, maka argumentasi umum atas seluruh sifat negasi bisa diketengahkan sebagai berikut:

Tuhan adalah wujud mutlak yang memiliki seluruh kesempurnaan wujud, oleh karena itu, pada dzat-Nya tidak terdapat ketidaksempurnaan dan keterbatasan. Maka dari itu, setiap makna yang mengarah pada ketaksempurnaan-Nya niscaya ternafikan dari dzat-Nya. Sifat negasi tidak lain adalah penafian ketaksempurnaan dan keterbatasan, maka kesempurnaan mutlak Tuhan mengharuskan penyandaran segala sifat negasi pada-Nya. Dengan demikian, sebagaimana telah dibuktikan keberadaan seluruh sifat tsubuti dengan satu argumentasi, maka bisa pula dibangun argumentasi umum atas sifat-sifat negasi ini.


Sekarang mari kita tengok satu persatu sifat-sifat negasi sebagaimana yang telah kami cantumkan sebelumnya:

1. Penafian komposisi dan sifat tambahan pada dzat
Masalah ini telah dibahas terperinci dalam pembahasan tauhid dzat dan sifat, adalah tidak urgen untuk mengulangnya kembali.


2. Penafian jasmani
Mayoritas kaum muslim menganggap bahwa Tuhan suci dari sifat-sifat jasmani. Terdapat minoritas muslim yang berpendapat bahwa Tuhan memiliki jasmani, kelompok ini dikenal dengan "Mujassimah". Argumentasi akurat yang digunakan menafikan sifat jasmani pada Tuhan adalah karena setiap benda (jism) mempunyai tiga dimensi yaitu panjang, lebar, dan tinggi. Berdasarkan hal ini, wujud benda tersebut tersusun dari bagian-bagian, dengan demikian setiap benda memiliki komposisi. Telah terbukti bahwa Tuhan tidak berkomposisi, oleh karena itu, terbukti bahwa Tuhan bukanlah benda atau jasmani. Berdasarkan hal ini, manusia tidak boleh menggambarkan Tuhan sebagai sebuah wujud bendawi atau berjasmani, melainkan Dia adalah sebuah realitas non-materi dan metafisik (mujarrad) yang tidak terpengaruh hukum-hukum materi.


3. Penafian arah dan tempat
Maksud dari sifat ini adalah Tuhan tidak berada pada arah tertentu dan tidak bertempat. Kelompok Mujassimah berpendapat bahwa Tuhan terletak pada arah tertentu dan kelompok Karramiyyah percaya bahwa Dia senantiasa berada di atas.[2]

Salah satu argumen bahwa Tuhan tidak berarah dan bertempat adalah bahwa sifat-sifat tersebut hanya dimiliki oleh benda dan jasmani, sementara Tuhan bukan benda dan materi. Setiap bagian dari bagian-bagian benda ialah saling membutuhkan dan Tuhan adalah Wâjib al-Wujûd yang tak membutuhkan.


4. Penafian reinkarnasi Tuhan pada makhluk
Tuhan tidak reinkarnasi pada eksistensi yang lain. Seluruh aliran Islam sepakat dalam hal ini, kecuali hanya beberapa dari ahli tasawuf yang mempercayai reinkarnasi Tuhan pada selain-Nya.

Salah satu argumen para teolog atas penafian reinkarnasi Tuhan ini bersandar pada makna umum reinkarnasi, dimana sesuatu yang akan melakukan reinkarnasi senantiasa membutuhkan wadah atau sesuatu untuk reinkarnasi, kebutuhan terhadap wadah ini bersifat tetap dan esensial. Karena Tuhan Maha Kaya dan tidak butuh atas sesuatu, maka Dia mustahil reinkarnasi pada selain-Nya.


5. Penafian penyatuan dengan makhluk
Tuhan tidak menyatu dengan wujud selain-Nya, seluruh aliran Islam sepakat dalam masalah ini. Salah satu argumen tentang hal ini adalah apabila maksud dari penyatuan (ittihâd) bermakna majazi, yakni penyatuan dua wujud atau perubahan bentuk sesuatu, maka makna ini meniscayakan adanya perubahan dan penyusunan, sementara dzat suci Ilahi bebas dari hal semacam ini, karena menggambarkan ketidaksempurnaan dan kebutuhan. Dan apabila maksud dari penyatuan (ittihâd) ini bermakna hakiki, yaitu perubahan dua dzat menjadi dzat tunggal, maka makna seperti ini bukan saja mustahil terjadi pada Tuhan bahkan pada seluruh maujud.[3]


6. Penafian aksidensi pada dzat Tuhan
Dzat Tuhan bukan wujud yang terkait dengan hal-hal temporal dan sifat-sifat aksiden. Berdasarkan hal ini, tak satupun dari sifat-sifat Tuhan merupakan sifat aksiden dan temporal. Salah satu argumen yang dikemukakan oleh teolog terhadap penafian sifat temporal ini adalah bahwa aksidensi atau melekatnya sifat temporal atas dzat tertentu akan mengharuskan pada dzat itu adanya potensi untuk menerima sifat tersebut, dan potensi ini merupakan karakteristik maujud-maujud materi. Oleh karena itu, aksidensi atau melekatnya sifat pada dzat Tuhan mengharuskan kematerian dzat-Nya, sedangkan dzat suci Ilahi bukan materi.

Salah satu kesimpulan penafian aksidensi dan hal-hal temporal pada dzat Ilahi ini adalah bahwa seluruh sifat-sifat Tuhan adalah pre-eternal dan azali (qadim).


7. Penafian kelezatan dan penderitaan
Tuhan tidak merasakan kelezatan dan juga tidak merasakan penderitaan. Kelezatan dan penderitaan secara umum terbagi dua:

Pertama, kelezatan atau penderitaan alami yang khusus dimiliki oleh maujud-maujud materi yang hidup seperti manusia dan hewan, dan karena Tuhan bukan substansi materi, kelezatan dan penderitaan semacam ini tidak terjadi pada dzat-Nya.

Kedua, kelezatan dan penderitaan akal yang maksudnya adalah sesuatu yang berakal memahami hal-hal yang sesuai maupun yang tidak sesuai baginya. Tak ada keraguan bahwa kelezatan dan penderitaan akal ini mustahil terdapat pada Tuhan, karena seluruh keberadaan merupakan akibat dan makhluk-Nya dan antara sebab dan akibat atau antara Khalik dan makhluk mustahil terdapat perselisihan dan pertentangan. Oleh karena itu, tak satupun maujud di alam ini bertentangan dengan dzat Tuhan sedemikian sehingga ketika Dia memahami perbedaan dan pertentangan itu akan menyebabkan penderitaan akal bagi-Nya.

Akan tetapi apakah Tuhan memiliki kelezatan akal, terdapat perselisihan pendapat. Sebagian teolog sependapat dengan para filosof[4] dalam hal ini dan mengatakan bahwa dzat Tuhan adalah puncak kesempurnaan dan keindahan, maka "pemahaman" Tuhan terhadap dzat-Nya sendiri identik dengan "pemahaman-Nya" atas eksistensi[5] yang setara dengan kesempurnaan dzat Tuhan, karena terwujudnya kesetaraan yang paling sempurna antara eksistensi dengan diri-Nya sendiri, maka "hadirlah" kelezatan akal bagi Tuhan.[6]

Kelompok yang lain meskipun mereka menerima prinsip ilmu Tuhan terhadap kesempurnaan dzat-Nya sendiri, tetapi mereka menolak adanya kelezatan pada Tuhan, karena dalam al-Qur'an dan hadis tidak terdapat sifat seperti ini bagi Tuhan, Allamah Hilli dalam kitab asy-Syarh Tajrid al-I'tiqad mengatakan, "Kelezatan dengan makna memahami hal-hal yang sesuai bagi-Nya, merupakan kesepakatan para filosof awal, karena Tuhan mengetahui eksistensi yang paling sempuna, yaitu dzat-Nya sendiri, maka berdasarkan pengetahuan ini Dia merasakan kelezatan. Dan ini merupakan perspektif Ibnu Nubakht dan sebagian teolog, meskipun penggunaan kata kelezatan bagi Tuhan mesti memerlukan ketetapan-Nya."[7]

Walhasil, makna yang digunakan untuk kelezatan dan penderitaan adalah makna pertama, dan menegaskan bahwa Tuhan tidak bisa disifati dengan kelezatan dan penderitaan sebagaimana menyifati makhluk-Nya


8. Penafian rukyat
Tuhan tidak bisa terlihat. Sifat ini merupakan salah satu pembahasan menarik dalam sifat-sifat negasi Tuhan, dan terdapat perselisihan pendapat yang sangat tajam dalam masalah ini. Para teolog Imamiah dan Mu'tazilah sepakat bahwa Tuhan, baik di dunia maupun di akhirat, tidak bisa dilihat secara inderawi. Berhadapan dengan pendapat ini, aliran Mujassimah yang menganggap Tuhan memiliki jasmani, tempat, dan arah, sepakat tentang adanya kemungkinan melihat Tuhan secara inderawi baik di dunia maupun di akhirat. Ahli Hadis dan pengikut Asy'ari mengambil jalan tengah antara keduanya dan sepakat bahwa di akhirat manusia kelak akan menyaksikan Tuhan dengan mata kepala sendiri, dalam masalah ini Asy'ari mengatakan, "Kami sepakat bahwa di akhirat Tuhan akan dapat dilihat oleh mata inderawi, sebagaimana terlihatnya bulan purnama pada malam hari dan para mukmin akan melihat Dia".[8]

Dengan memperhatikan bahwa masing-masing aliran di atas selain berusaha memaparkan argumen rasional dan menegaskan klaimnya dengan teks suci, mereka juga mengeritik argumentasi yang diajukan oleh kelompok lainnya, hal ini membuat pembahasan rukyat menjadi meluas. Di sini akan diringkas dan mencukupkan membahas sebagian argumentasi tentang kemustahilan rukyat Tuhan secara inderawi, dan pembahasan ini akan kami lanjutkan dalam perspektif Qur'ani.[9]

Inti perselisihan pada pembahasan ini terletak pada rukyat Tuhan dengan bantuan penglihatan mata inderawi. Tapi apabila maksud dari rukyat adalah penyaksian kalbu dan mukasyafah batin, maka tidak ada perbedaan dalam masalah ini, dan rukyat semacam ini diistilahkan dengan "rukyat kalbu" yang berlawanan dengan "rukyat inderawi". Rukyat kalbu mungkin terjadi di dunia maupun di akhirat. Dengan merujuk perspektif kontemporer Asy'ari, menjadi jelas bahwa mereka dengan memperhatikan kemustahilan rukyat inderawi, berusaha untuk menafsirkan kembali kata rukyat ini dengan mengatakan bahwa substansi pembahasan adalah rukyat inderawi yang tidak membutuhkan obyek lansung sehingga menempatkan obyek penglihatan (Tuhan) pada ruang dan arah.[10]

Sebagian mengklaim bahwa Tuhan pada hari kiamat kelak terlihat dengan mata sebagaimana keadaan yang dicapai akal para mukmin terkait dengan penyaksian batin cahaya wujud Ilahi.[11] Bagaimanapun, tafsiran kontemporer Asy'ari tentang rukyat Tuhan identik dengan rukyat kalbu atau setara dengan makna irasional dan tak bisa digambarkan.[12]


Argumen Kemustahilan Rukyat Inderawi Tuhan
Banyak argumen akal yang telah dibangun untuk menegaskan kemustahilan rukyat Tuhan, di sini hanya disebutkan dua argumen:

1. Penglihatan inderawi terhadap suatu benda mengharuskan benda itu berada di hadapan mata kita dan hadirnya benda itu di hadapan kita mengharuskannya berada pada arah tertentu. Oleh karena itu, penglihatan inderawi memestikan keberadaan arah. Sebagaimana yang telah dikatakan bahwa Tuhan tidak berarah dan bertempat, dengan demikian rukyat inderawi terhadap Tuhan adalah mustahil.

2. Apabila Tuhan bisa dilihat, berarti seluruh dzat-Nya bisa dilihat atau hanya sebagian dzat-Nya dapat dilihat. Asumsi kedua adalah salah, karena mengharuskan adanya komposisi pada dzat Tuhan. Asumsi pertama juga tak logis, karena membatasi dzat Tuhan sedangkan dzat Tuhan adalah tak terbatas.

Pada akhir pembahasan ini, diingatkan bahwa sifat negasi Tuhan tidak terbatas pada apa yang telah disebutkan, melainkan setiap sifat yang mengandung makna ketaksempurnaan dan keterbatasan Tuhan. Tuhan tak terikat waktu, tidak membutuhkan, tidak terefek oleh apapun, penafian sekutu, dan penafian lawan atas-Nya serta berpuluh-puluh sifat negasi lainnya bisa ditetapkan dengan berpijak pada keniscayaan wujud Tuhan dan sifat-sifat sempurna-Nya.


Sifat Negasi dalam Al-Qur'an
Kalimat "tasbih Tuhan" banyak digunakan dalam al-Qur'an dengan makna bahwa menjauhkan-Nya dari setiap keterbatasan dan ketidaksempunaan. Pada sebagian ayat disebut sifat "Quddus (Maha Suci)" untuk Tuhan yang menunjukkan puncak kesucian dzat Ilahi dari kekurangan dan ketercelaan. Sebagai contoh, dalam surah al-Hasyr berfirman, Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, yang Maha Suci, yang Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha perkasa, yang Maha Kuasa, yang memiliki segala Keagungan, Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (Qs. Al-Hasyr: 23)

Tentunya sifat quddus bukan hanya merupakan penjelas bagi negasi ketaksempurnaan Tuhan, tetapi sifat ini bermakna luas yang termasuk penafian terhadap segala bentuk ketaksempurnaan dalam perbuatan, mekanisme takwini (alam penciptaan), dan tasyri'i (syariat) Tuhan. Berdasarkan hal ini, keluasan pembahasannya melebihi keluasan sifat-sifat negasi.


Selain menegaskan negasi umum seluruh ketaksempurnaan dzat dan perbuatan Tuhan, al-Qur'an juga menegaskan tentang sebagian dari sifat-sifat negasi khusus, sebagai berikut:

1. Tuhan tidak bertempat
Dengan mengamati sebagian ayat, akan jelas menunjukkan bahwa Tuhan tidak terikat terhadap tempat. Misalnya, setelah terjadinya perubahan kiblat untuk muslimin dari Baitul Muqaddas ke arah Ka'bah, Tuhan menurunkan ayat pada Nabi-Nya saww untuk menjawab kritikan para penentangnya yaitu kaum Yahudi, Tuhan berfirman, Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui." (Qs. Al-Baqarah: 115)

Dari ayat ini bisa disimpulkan bahwa Tuhan lebih baik dari apa yang terletak pada tempat tertentu. Secara lahiriah, maksud dari "timur" dan "barat" di sini bukanlah dua arah geografi, melainkan merupakan kinayah dari seluruh arah, sedangkan ungkapan "Maka kemanapun kamu menghadap, di situlah wajah Allah" bisa diketahui dengan jelas bahwa Tuhan hadir di mana saja. Ayat di atas secara keseluruhan menjelaskan bahwa fungsi kiblat untuk memusatkan konsentrasi dan perhatian para mukmin ketika melakukan shalat, bukan bermakna bahwa Tuhan terletak pada tempat dan arah tertentu, karena Dia hadir pada semua tempat dan mengetahui segala sesuatu. Tentunya, karena Tuhan bukan realitas berkomposisi dan bermateri, kehadiran-Nya pada semua tempat tidak bermakna bahwa Tuhan menempati seluruh tempat tapi bermakna bahwa Tuhan meliputi semua tempat atau sesuatu yang tak tempat. Pada sisi lain, dengan memperhatikan bahwa peletakan dua benda pada satu tempat merupakan hal yang mustahil. Kehadiran Tuhan pada seluruh alam materi dan jasmani yang telah dipenuh oleh berbagai benda, menunjukkan ketidakmaterian-Nya.

Ayat yang membicarakan tentang kebersamaan Tuhan dan makhluk-Nya juga menghikayatkan bahwa Tuhan tidak bertempat, "… dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan." (Qs. Al-Hadid: 4)

Jelas bahwa kebersamaan Tuhan dengan semuanya, tidak sesuai dengan keterbatasan-Nya pada tempat tertentu, karena jika sebuah eksistensi terbatasi oleh tempat tertentu, maka dia mustahil bersama dengan seluruh eksistensi lainnya pada saat yang bersamaan. Jadi maksud dari kebersamaan ini adalah kebersamaan Tuhan yang bersifat mewujudkan (qayyumi) dan yang bersifat meliputi (ihâtha) yang bersumber dari keniscayaan wujud dan ketakterbatasan wujud-Nya.


2. Tuhan tidak bisa dirukyat
Ayat al-Qur'an yang paling tegas menafikan kemungkinan rukyat (melihat) Tuhan adalah, "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui." (Qs. Al-An'am: 103)

Pada ayat ini dengan tegas dijelaskan bahwa Tuhan melihat seluruh penglihatan dan memiliki ilmu yang meliputi mereka akan tetapi penglihatan mereka tidak mampu mencapai-Nya. Secara lahiriah, maksud bahwa penglihatan tidak mampu mencapai-Nya adalah ketidakmampuan manusia untuk melihat-Nya melalui perantara mata. Hal ini berujung pada penafian rukyat inderawi dan mungkin kata jamak "penglihatan-penglihatan (abshâr)" pada ayat ini menunjukkan bahwa dengan kuantitas dan keanekaragaman penglihatan, tetap saja tak satupun mata yang mampu melihat Tuhan. Ayat lain yang tegas menafikan kemungkinan rukyat inderawi Tuhan, pada surah Al-A'raf, berfirman, "Dan tatkala Musa datang (untuk bermunajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihat-Ku." (Qs. Al-A'raf: 143)

Dengan memperhatikan ayat-ayat lain al-Qur'an[13] menjadi jelas bahwa pada dasarnya dalam permintaannya tersebut, Musa as menyampaikan apa yang menjadi permintaan Bani Israil, dan dalam menjawab permintaan tersebut, Tuhan dengan tegas berfirman bahwa: "Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihat-Ku."

Ayat semacam ini dengan tegas menafikan rukyat Tuhan, ayat ini tergolong ayat muhkamah (ayat yang memiliki makna yang jelas, tegas, dan transparan) sehingga ayat-ayat mutasyabihah (lawan dari ayat muhkamah) yang dipahami mengarah pada adanya kemungkinan melihat Tuhan, harus disandarkan dan ditafsirkan berdasarkan makna ayat di atas (ayat muhkamah).[14] Sebagai contoh, Asy'ari menggunakan ayat-ayat di bawah ini untuk membuktikan klaimnya, Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat." (Qs. Al-Qiyamah: 22-23)

Dalam menjawab pernyataan Asy'ari dikatakan bahwa kata dasar "nazhar" ketika bergabung dengan huruf "ila" akan menjadi kata kerja yang membutuhkan obyek (muta'addi). Sebagaimana kata "nazhar" bisa bermakna "melihat", "menunggu", dan "mengharap". Dengan konteks yang ada pada ayat 25 pada surah yang sama, maka maksud dari ayat di atas adalah bahwa kelompok ini tengah mengharap rahmat Tuhan sedangkan kelompok lainnya (yang keadaannya dijelaskan pada ayat 25) tengah menunggu adzab yang pedih dari Tuhan. Dengan memperhatikan poin ini, dan khususnya argumen akal yang pasti atas kemustahilan rukyat dan ayat-ayat muhkamah, menjadi jelaslah bahwa ayat yang dijadikan dasar argumentasi Asy'ari tidak terkait dengan asumsi mereka.[15]


Sifat Negasi dalam Riwayat
Sifat negasi Tuhan juga disajikan dalam berbagai hadits Ahlulbait Nabi as secara lebih luas dan tegas, di sini kami hanya membahas sepenggal dari hadits-hadits tersebut. Dalam salah satu hadits, Imam Sadhiq as bersabada, "Sesungguhnya Allah tidak bisa disifati dengan waktu, tempat, gerak, diam, dan perpindahan, melainkan Dia adalah pencipta waktu, tempat, gerak, diam, dan perpindahan. Allah lebih tinggi dari apa yang disifatkan oleh orang-orang zalim".[1]

Sebagaimana yang bisa diperhatikan dari hadits tersebut, Imam Shadiq as dalam hadits itu menegaskan tentang penafian waktu, tempat, gerak, dan perubahan bagi dzat Tuhan, dan yang menarik perhatian di sini, di samping penafian gerak, sifat "diam" juga dinegasikan dari Tuhan yang hal ini merupakan penjelas atas negasi gerak Tuhan, negasi gerak bagi Tuhan bukan bermakna adanya sifat diam untuk-Nya. Perlawanan dari dua sifat ini (negasi gerak dan diam) disebut dalam ilmu logika dengan perlawanan ketiadaan dan kepemilikan (taqâbul 'adam wa malakah, privation and possession opposite) yakni apabila sebuah maujud tidak bisa disifati dengan salah satu dari dua sifat tersebut, maka dia mustahil disifati dengan yang satunya lagi.

Imam Ali as dalam satu hadits menyebutkan tentang sifat-sifat negasi Tuhan, bersabda, "Makna Shamad adalah bahwa Tuhan tak bernama, tak berjasmani, tak memiliki kesamaan, tak berwajah, tak terbatas, tak bertempat, tak bersubstansi, tak di sini, tak di sana, tak memenuhi tempat dan tak mengosongkan tempat, tak berdiri dan tak duduk, tak bergerak dan tak diam, tak gelap dan tak terang, bukan ruh dan bukan jiwa, semua tempat diliputi oleh-Nya, tak tempat yang mampu menampung-Nya, tak berwarna dan tak terbayang dalam kalbu seseorang dan tak ada aroma yang tercium dari-Nya, semua hal-hal ini ternafikan dari-Nya".[2]

Mengenai sebagian dari sifat negasi khusus, seperti negasi jasmani atau penafian rukyat, terdapat pula beragam hadits dari Ahlulbait as. Sebagai contoh, dalam salah satu hadits dikatakan bahwa salah satu sahabat Imam Shadiq as menukilkan perkataan Hisyam bin Hakam mengenai kejasmanian Tuhan di hadapan Imam as. Imam as bersabda, "Celakalah dia (Hisyam bin Hakam)! Apakah dia tidak mengetahui bahwa badan dan wajah adalah terbatas? Apabila (sebuah benda) memiliki batas, maka dia akan menerima sifat kuantitas (banyak dan sedikit) dan setiap yang berkuantitas, pastilah makhluk". Perawi mengatakan, aku berkata (kepada Imam), "Lalu apa yang harus aku katakan?" Imam bersabda, "Dia tak berbadan dan tak berwajah, melainkan yang menciptakan badan dan mewujudkan wajah, Dia tidak bisa dibagi-bagi, dibatasi, dan diperbanyak atau dikurangi. Apabila benar apa yang dikatakannya (Hisyam) maka tidak ada perbedaan antara Pencipta dengan yang diciptakan (makhluk), sementara Dia adalah Khalik dan terdapat perbedaan antara badan dan yang menciptakan badan, karena tak sesuatupun yang serupa dengan Tuhan dan Tuhanpun tidak identik dengan sesuatu".[3]

Dengan merenungkan hadits ini, ditemukan pemahaman yang mendalam yang mengisyarahkan dua argumentasi Imam as atas penafian kematerian Tuhan. Ringkasan dari argumentasi pertama adalah bahwa kematerian mengharuskan keterbatasan dan keterbatasan artinya menerima kelebihan dan kekurangan dan hal-hal ini adalah sifat makhluk. Oleh karena itu, konsekuensi dari asumsi kejasmanian dan kematerian Tuhan adalah bahwa Dia merupakan makhluk, sementara Tuhan adalah Khalik dan Pencipta, bukan makhluk.

Pada argumentasi kedua, dalam ibarat "Jika benar apa yang dikatakannya (Hisyam), maka tidak ada …" dikatakan bahwa Tuhan adalah Pencipta badan, dan apabila Tuhan berbadan, maka konsekuensinya adalah bahwa Khalik dan makhluk mempunyai persamaan dalam kejasmanian. Dengan adanya persamaan dan keserupaan seperti ini maka tidak sesuai dengan asumsi bahwa Tuhan adalah Pencipta dan makhluk sebagai yang tercipta.

Mengenai negasi tempat dan waktu, terdapat hadits yang memiliki makna mendalam. Di antaranya, hadits dari Imam Kadhim as, Imam bersabda, "Sesungguhnya Allah telah ada sejak azal tanpa tempat dan waktu, dan sekarangpun demikian. Tak ada tempat yang kosong dari-Nya dan pada saat yang bersamaan Dia tak memenuhi tempat dan tak bergabung dengan tempat ".[4]

Dengan melihat ibarat terakhir dari Imam as ini, menjadi jelas bahwa maksud dari "Tak ada tempat yang kosong dari-Nya" bukan bermakna bahwa Tuhan berada pada semua tempat, melainkan ungkapan ini mengisyarahkan cakupan dan kepenciptaan Tuhan dan menegaskan bahwa seluruh maujud berada di hadapan-Nya.

Terdapat banyak hadits yang menyajikan tema-tema seputar penafian rukyat Tuhan secara inderawi[5], di bawah ini akan kami sebutkan beberapa hadits:

Imam Ali as dalam menjawab pertanyaan dari salah satu sahabatnya yang bernama Dza'lab Yamani yang bertanya, "Apakah Anda melihat Tuhan?", Imam as bersabda, "Apakah aku menyembah sesuatu yang tidak terlihat?" Dza'lab bertanya, "Bagaimana engkau melihat-Nya?" Imam bersabda, "Penglihatan lahiriah tidak akan mampu mencapai-Nya, tetapi kalbu dengan hakikat iman akan memahami -Nya".

Dari Imam Asykari as diriwayatkan suatu hadits dalam jawaban atas pertanyaan, "Bagaimana manusia bisa menyembah Tuhannya sedangkan dia tidak dapat melihat-Nya?", beliau bersabda, "Tuhanku Yang Maha Penyayang, Dia memberikan nikmat-Nya kepadaku dan kepada orang tuaku lebih baik dari apa yang terlihat (oleh mata lahiriah)."[6]


Catatan Kaki:
[1] . Biharul Anwar, jilid 3, hal. 309, hadits 1.

[2] . Ibid, jilid 3, hal. 320, hadits 21.

[3] . At-Tauhid, bab keenam, hadits 7. Shaduq dalam bab ini memaparkan duapuluh riwayat tentang penafian kejasmanian Tuhan, demikian pula rujuk kitab: Ushul al-Kafi, kitab at-tauhid, bab an-nahi 'an al-jism wa as-surah.

[4] . At-Tauhid, bab 28, hadits 12.

[5] . Untuk mempelajari riwayat yang berkaitan dengan ru'yat, rujuklah: Idem, bab 8, dan juga Ushul al-Khafi, kitab at-Tauhid, bab Ibthal ar-Ru'yah.

[6] . At-Tauhid, bab 8, hadits 2.



Kebaikan dan Keburukan dalam Penilaian Akal [10]

Perbuatan-perbuatan Tuhan

Perspektif Umum Perbuatan Tuhan
Setelah kita membahas bagian terpenting dalam masalah sifat dzat dan perbuatan Tuhan, sebelum membahas perbuatan Tuhan, terlebih dahulu kita kemukakan kerangka umum pembahasan. Sebagaimana dalam pembahasan sifat Tuhan, pembahasan ini juga akan kita bagi dalam dua tahapan secara umum, pertama, pembahasan perbuatan Tuhan secara umum, kedua, pembahasan secara khusus yang berkaitan dengan salah satu perbuatan Tuhan.

Pada tahap pertama, kita bisa pahami bahwa tidak termasuk di dalamnya perbuatan yang dikhususkan kepada Tuhan semata, tetapi secara umum berkaitan dengan hukum-hukum perbuatan itu sendiri. Sementara dalam tahapan kedua berhubungan dengan perbuatan khusus seperti perbuatan memberikan petunjuk (hidayah) dan menyesatkan (dhalâlah) Tuhan.

Dengan merujuk kembali pada pembahasan yang sudah kita lakukan dalam masalah pengetahuan ketuhanan ini, akan jelas bahwa sebagian dari pembahasan-pembahasan lalu, dari satu sisi juga telah memuat masalah-masalah perbuatan Ilahi. Sebagai contoh, pembahasan tauhid perbuatan Tuhan dan kaitannnya dengan perbuatan aktif Tuhan dan perbuatan aktif makhluk-Nya, secara umum berada dalam lingkup pembahasan perbuatan Tuhan. Demikian juga, pembahasan tentang sifat-sifat perbuatan, pada dasarnya berhubungan dengan kelompok kedua, yakni pembahasan khusus atas perbuatan Tuhan.

Sebagian dari pembahasan tentang perbuatan Tuhan telah kita bahas, karena itu tidak akan dibahas lagi di sini. Di sisi lain, ketika merujuk kepada sumber asli ilmu kalam kita saksikan bahwa umumnya pembahasan-pembahasan yang diuraikan berada dalam kelompok pertama, yaitu pembahasan perbuatan Tuhan secara umum, sedangkan penguraian pembahasan yang dikhususkan berkaitan dengan perbuatan khusus Tuhan, hanya sedikit dibahas. Berdasarkan hal tersebut, dan dengan memperhatikan keterbatasan tulisan ini maka kita juga mencukupkan diri dengan mengungkapkan begian terpenting dari pembahasan perbuatan Tuhan secara umum.[1]


Kebaikan dan Keburukan dalam Penilaian Akal
Sebagai pendahuluan, dipandang perlu untuk membahas terlebih dahulu masalah kebaikan dan keburukan dalam penilaian akal sebagai mukadimah pembahasan tentang perbuatan Tuhan. Karena sebagaimana yang akan Anda saksikan nanti, posisi secara umum pembahasan-pembahasan mendatang, berada di seputar pandangan yang kami pilih dalam masalah ini.

Kebaikan dan keburukan dalam penilaian akal (husn wa qubh 'aqli) merupakan salah satu pembahasan klasik dan rumit dalam teologi Islam dan menjadi diskusi yang berkepanjangan dikalangan para ilmuan. Para teolog Imamiah dan Mu'tazilah merupakan pendukung konsep kebaikan dan keburukan dalam penilaian akal (husn wa qubh 'aqli). Berdasarkan pandangan ini, akal bisa menghukumi mana sebuah perbuatan yang baik dan buruk dengan tanpa bantuan dan bimbingan syariat. Menurut teori ini, Tuhan tidak mungkin melakukan perbuatan yang tidak baik dan buruk. Sementara Asy'ariah mengatakan bahwa kemampuan akal dalam menentukan baik dan buruknya sebuah perbuatan tidak memiliki independensi sama sekali, dan meyakini bahwa yang ada hanyanya baik dan buruk yang ditentukan agama. Dalam pandangannya, perbuatan dikatakan baik apabila dihukumi oleh syariat adalah baik dan perbuatan disebut buruk jika dikatakan oleh syariat ialah buruk. Akal manusia dalam konteks ini, tidak mampu mendeteksi dan menentukan baik dan buruknya suatu perbuatan, bahkan yang menjadi syarat keutamaan suatu perbuatan tersebut adalah kebergantungannya pada perintah dan larangan Tuhan.

Sebelum kita menjelaskan argumentasi kedua kelompok tersebut alangkah baiknya kalau kita lebih dahulu memberikan definisi tentang kebaikan dan keburukan serta aplikasinya sehingga kita bisa mendudukkan letak perselisihan dan perbedaan kedua kelompok itu dengan tepat. Dengan ini, pembahasan akan lebih jelas dan gamblang.


Makna Kebaikan dan Keburukan serta Aplikasinya
Sebenarnya makna kebaikan dan keburukan itu sudah sangat jelas bagi setiap orang dan tidak perlu diberikan definisi, yang penting di sini adalah penggolongan pengaplikasian kedua makna itu sehingga menjadi jelas hubungan pembahasan kebaikan dan keburukan perspektif akal dengan bagian yang mana dari penggunaan makna-makna tersebut. Dengan menelusuri item-item penggunaan dua kata tersebut, maka kita dapat mengidentifikasi empat penggunaan asli dari makna keduanya:

1. Terkadang kebaikan dan keburukan bermakna kesempurnaan (kamâl) dan kekurangan (naqsh) yang berhubungan dengan jiwa manusia. Dalam pengaplikasian ini, termasuk seluruh perbuatan manusia, apakah perbuatan itu berdasarkan ikhtiar manusia ataukah di luar ikhtiar manusia seperti sifat dasar manusia. Sebagai contoh dikatakan, "Pengetahuan itu ialah suatu kebaikan" atau "Belajar ilmu pengetahuan merupakan sebuah perbuatan baik", dan juga dikatakan, "Kebodohan itu adalah suatu keburukan" atau "Meninggalkan pencarian ilmu merupakan suatu perbuatan buruk"; karena pengetahuan dan mencari ilmu pengetahuan merupakan sifat kesempurnaan bagi jiwa manusia, sementera kebodohan dan meninggalkan pencarian ilmu merupakan kekurangan baginya. Berdasarkan hal tersebut, maka sifat-sifat seperti berani dan dermawan merupakan bagian dari sifat-sifat baik, sementara sifat penakut dan kikir termasuk dari sifat-sifat jelek. Yakni, yang menjadi tolok ukur adalah kesempurnaan dan ketidaksempurnaan pada jiwa manusia.

2. Terkadang kebaikan dan keburukan memiliki makna yang sesuai dengan tabiat jiwa manusia, dalam pengaplikasian ini segala sesuatu yang sesuai dengan tabiat jiwa manusia dan terdapat kelezatan serta kenikmatan di dalamnya, maka hal ini bisa disebut dengan kebaikan dan segala sesuatu yang tidak sesuai dengan tabiat jiwa manusia akan disebut keburukan. Penggunaan makna kebaikan dan keburukan ini yang juga berhubungan dengan perbuatan ikhtiar manusia dan perbuatan yang diluar ikhtiarnya. Berasaskan hal ini, sebagai contoh suara yang indah ketika didengarkan adalah kebaikan dan pemandangan yang buruk ketika disaksikan adalah keburukan.

3. Terkadang aplikasi makna kebaikan dan keburukan berdasarkan kemaslahatan dan ke-mafsadah-an (tak berfaedah) sebuah perbuatan atau sesuatu, dan terkadang maslahat dan mafsadah berhubungan dengan unsur individu atau berhubungan dengan unsur masyarakat. Sebagai contoh, setiap peserta yang menang dalam pertandingan adalah maslahat baginya (bagi peserta yang menang itu), akan tetapi kontradiksi dengan kemaslahatan para peserta lain yang kalah dalam pertandingan. Sebaliknya, menyebarkan keadilan dalam masyarakat merupakan suatu perkara yang dapat dipandang sebagai maslahat bagi seluruh masyarakat. Dengan demikian, terkadang kita menggunakan kata baik dan buruk berdasarkan maslahat dan mafsadah yang ada dalam perbuatan manusia atau sesuatu. Sebagai misal, dikatakan, "Meminum obat yang pahit bagi orang sakit adalah kebaikan", sebab demi kemaslahatan dan keselamatan jiwanya.

4. Aplikasi asli terakhir dari makna baik dan buruk adalah pada tinjauan kesesuaian dan ketidaksesuaian dengan perbuatan ikhtiar manusia. Dalam aplikasi ini, perbuatan yang menurut akal manusia layak untuk dilakukan dan pelakunya mendapatkan pujian, maka perbuatan tersebut adalah perbuatan yang baik. Sebaliknya, perbuatan yang semestinya ditinggalkan dan pelaku perbuatan tersebut menjadi tercela, maka perbuatan tersebut dikategorikan sebagai perbuatan yang buruk. Berdasarkan pandangan ini, "Keadilan itu adalah sebuah kebaikan" dan "Kezaliman itu ialah sebuah keburukan", yaitu akal memandang pengejewantahan keadilan itu adalah layak dan baik serta pelakunya (orang adil) berhak mendapatkan pujian dan sanjungan, sementara kezaliman itu merupakan perbuatan yang tidak layak dan orang yang melakukannya seharusnya mendapatkan celaan. Perlu diketahui bahwa akal yang dimaksud di sini adalah akal praktis, yang obyeknya adalah perbuatan ikhtiar manusia dari segi kelayakan (keharusan) untuk dilaksanakan atau kelayakan (keharusan) untuk ditinggalkan.[2]

Ketika kita mencoba memikirkan pengaplikasian keempat makna tersebut maka akan sangat jelas perbedaannya. Contoh, aplikasi keempat -berbeda dengan ketiga makna yang lain- yang hanya dikhususkan untuk perbuatan manusia, sementara sifat-sifat manusia dan obyek-obyek luarnya tidak termasuk. Demikian pula dengan aplikasi ketiga makna yang pertama, masing-masing memiliki spesifikasi sendiri-sendiri tentang hal dan perkara manusia, karena standar mereka secara berurutan adalah kesempurnaan dan kekurangan jiwa, kesesuaian dan ketidaksesuaian dengan jiwa manusia, dan kemaslahatan serta ke-mafsadah-an dalam individu atau masyarakat. Tetapi pada makna yang keempat tidak terdapat keterbatasan seperti itu, oleh karena itu, dapat meliputi perbuatan-perbuatan pelaku selain manusia dan bahkan perbuatan-perbuatan Tuhan.


Letak Perbedaan 'Adliah dan Asy'ariah
Setelah menjelaskan letak perbedaan aplikasi makna baik dan buruk, maka kita seharusnya memposisikan letak perbedaan antara kelompok 'Adliah (Syiah Imamiah dan Mu'tazilah) dan Asy'ariah dalam kaitannya dengan keempat makna tersebut.

Dengan merefleksikan keempat aplikasi makna baik dan buruk serta spesifikasinya masing-masing dan berdasarkan konteks pembahasan masalah kebaikan dan keburukan yang bersumber dari akal, maka menjadi jelaslah bahwa letak perbedaan pendapat antara Asy'ariah dan 'Adliah berada pada aplikasi makna keempat. Sementara ketiga makna yang pertama, merupakan masalah takwini (hukum alam) dan tidak bisa diingkari, yakni jiwa manusia secara takwini memiliki kesempurnaan dan kekurangan, dan benda-benda tertentu, ada yang sesuai dengan jiwa manusia serta perkara tertentu mengandung maslahat dan mafsadah. Oleh karena itu, yang menjadi obyek pembahasan kita sekarang ini adalah apakah akal mampu menjadi petunjuk secara independen dan mandiri tanpa bantuan syariat dan dengan hanya melihat subyek sebuah perbuatan (tanpa bersandarkan pada perintah dan larangan Ilahi atas sebuah perbuatan) mampu memutuskan bahwa perbuatan ini seharusnya dilaksanakan atau semestinya ditinggalkan, dan memandang bahwa pelaku perbuatan tersebut layak dipuji atau dicela serta menghitung bahwa pelakunya berhak mendapatkan pahala atau azab? Jika jawaban dari pertanyaan ini adalah positif, maka apakah akal hanya menjadi petunjuk khusus bagi perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan manusia saja ataukah juga meliputi perbuatan-perbuatan Ilahi?

'Adliah, pada kedua pertanyaan tersebut menjawab secara positif, sementara golongan lain menjawab kedua pertanyaan tersebut secara negatif dan sebagian yang lain mengatakan bahwa jawaban untuk pertanyaan kedua ialah negatif dan jawaban soal yang pertama adalah positif. Kesimpulannya, baik dan buruk dalam perspektif akal adalah bahwa akal manusia (akal praktis manusia) bisa memahami sebagian perbuatan manusia dan kemudian menghukuminya bahwa perbuatan itu adalah buruk. Nilai keburukan dari perbuatan itu tidak harus bersumber dari Tuhan.

Setelah jelas obyek perbedaan antara 'Adliah dan Asy'ariah, selanjutnya akan dikemukakan dalil kedua kelompok tersebut.


Argumentasi 'Adliah
Pendukung konsep tentang kebaikan dan keburukan dalam penilaian akal membangun beberapa argumentasi untuk menetapkan pendapat mereka. Ada argumentasi yang rumit dan ada yang sederhana, dalam tulisan ini akan dikemukakan argumentasi yang sederhana saja.

Seluruh manusia -terlepas dari ajaran agama dan syariat- mampu memahami sebagian perbuatan baik dan buruk, seperti adil dan jujur itu adalah baik, zalim dan dusta itu merupakan keburukan, dalam masalah ini tidak ada perbedaan antara mereka yang memeluk agama samawi ataupun mereka yang tidak menganut agama sama sekali. Jadi, jelas bahwa perbuatan baik dan buruk tidak hanya bergantung pada keputusan syariat saja, tetapi akal manusia bisa memahaminya (baik dia meyakini dan menganut sebuah agama ataupun tidak menganut agama sama sekali).

Untuk menegaskan pandangan tersebut, misalnya seseorang yang tidak menganut agama apapun dan dia diharuskan memilih antara jujur dan dusta, dan tanpa ada intervensi dari luar seperti sisi manfaat untuk seseorang, maka sudah pasti dia akan memilih jujur daripada dusta, dan yang menjadi faktor penentu dalam memilih hal tersebut adalah hukum dan keputusan akal yang mengatakan bahwa kebaikan itu semestinya dilakukan dan keburukan itu adalah perbuatan yang tidak layak untuk dilakukan.


Argumentasi Asya'riah
Asy'ariah mengemukakan beberapa argumentasi untuk membenarkan penolakannya atas konsep kebaikan dan keburukan yang berasal dari akal, di antaranya:

1. Jika akal secara independen bisa memahami kebaikan dan keburukan sebuah perbuatan, maka pasti tidak ada perbedaan antara proposisi-proposisi berikut ini: "prinsip kontradiksi (asl tanaqudh)" dengan "kejujuran itu merupakan kebaikan."Sementara kita tidak bisa mengingkari bahwa kedua proposisi tersebut memiliki perbedaan.

'Adliah menjawab argumentasi tersebut dengan mengemukakan argumentasi lain. Mereka mengatakan bahwa sekalipun pendukung kebaikan dan keburukan dalam perspektif akal memandang proposisi-proposisi tersebut semuanya dalam tataran yang gamblang, seperti jujur itu adalah baik dan sebagainya, akan tetapi kegamblangan itu sendiri memiliki derajat kualitas yang berbeda-beda, bahkan sebagian dari proposisi itu merupakan hal yang sangat nyata dan jelas (seperti makna wujud itu sendiri atau prinsip kontadiksi), sementara proposisi yang lain memiliki tingkat kejelasan yang lebih rendah. Oleh karena itu, ketika suatu proposisi yang kejelasannya lebih rendah ketimbang proposisi lain, maka hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk mengatakan ketidakjelasan dan ketidakrasionalan proposisi tersebut.

2. Jika akal yang menentukan kebaikan dan keburukan itu, maka tidak akan pernah perbuatan baik itu menjadi buruk dan tidak akan pernah perbuatan buruk itu menjadi baik. Sementara sering kali kita saksikan dalam peristiwa tertentu tidak demikian kenyataannya. Seperti dusta yang merupakan perbuatan buruk, namun ketika perbuatan dusta menyebabkan keselamatan jiwa Nabi dari kebinasaan, maka dusta dalam hal ini menjadi perbuatan baik dan layak untuk dilakukan. Demikian pula halnya perbuatan jujur, jika menjadi sebab bagi kebinasaan Nabi, maka kejujuran di sini akan menjadi buruk.

Dalam menjawab argumentasi di atas dikatakan bahwa baiknya jujur dan buruknya dusta itu tetap dalam hakikat dan kedudukannya; akan tetapi dikarenakan menjerumuskan jiwa Nabi kepada kebinasaan, maka kejujuran ini jika dibandingkan dengan dusta adalah jauh lebih buruk, akal menghukumi bahwa perbuatan yang keburukannya lebih rendah (yakni berdusta) lebih utama atas perbuatan yang keburukannya lebih tinggi (yakni menjerumuskan jiwa nabi pada kebinasaan). Oleh karena itu, dusta yang menyelamatkan jiwa Nabi itu sendiri harus dilakukan dan diutamakan, dan pengutamaan perbuatan seperti ini adalah kebaikan dan kelayakan. Dengan demikian, perkara ini sendiri digolongkan kedalam kebaikan yang rasional.[3]


Pengaruh Konsep Kebaikan dan Keburukan dalam penilaian Akal
Sudah dikatakan bahwa para ahli kalam Imamiyah dan Mu'tazilah merupakan pendukung konsep tersebut, sementara Asy'ariah menolaknya. Adapun hasil yang paling penting dari keyakinan dan pandangan atas konsep ini dalam ilmu kalam adalah terkonstruksinya beberapa kaidah yang landasannya bertumpu pada konsep tersebut, seperti kemestian ma'rifat Tuhan, hikmah dan keadilan Tuhan, kaidah rahmat Tuhan, kebaikan kewajiban, keburukan suatu kewajiban yang tidak mampu dilakukakan, dan keburukan suatu siksaan dengan tanpa adanya penjelasan sebelumnya.


Konsep Kebaikan dan Keburukan dalam penilaian Akal menurut Al-Quran dan Hadits
Dengan merenungkan sebagian dari ayat-ayat al-Quran akan menjadi jelaslah bahwa al-Quran menegaskan dan menguatkan konsep kebaikan dan keburukan yang bersumber dari akal ini serta memandang sahnya hukum akal dalam masalah kebaikan atau keburukan sebagian perbuatan. Sebagai contoh, beberapa ayat di bawah ini kami kemukakan kepada Anda, "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.[4] Dan, "(yaitu) orang-orang yang mengikuti rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur'an), mereka Itulah orang-orang yang beruntung."[5] Begitu pula, "Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui."[6]

Ayat yang telah kita sebutkan di atas menjelaskan hakikat tersebut, bahwa akal secara inedependen mampu memahami sebagian perbuatan manusia dengan tanpa campur tangan syariat sama sekali, seperti adil, berbuat baik, mengajak pada kebaikan, perbuatan keji, munkar, dan maksiat. Dengan kata lain, sebelum ayat ini turun, baik dan buruk perbuatan tersebut dalam tatanan kehidupan manusia telah jelas sejak awal. Berdasarkan pandangan tersebut, kita mengatakan bahwa Tuhan juga akan memerintahkan perbuatan yang menurut akal adalah baik seperti keadilan dan ihsan serta melarang dan mencegah perbuatan buruk seperti kezaliman.

Di samping itu, ketika kita memperhatikan sebagian ayat lainnya, Tuhan menjadikan akal dan nurani manusia sebagai hakim dan petunjuk yang adil untuk menetapkan perbuatan-perbuatan baik, seperti, "Tidak ada Balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)."[7] Dan, "Patutkah Kita menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kita menganggap orang- orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?"[8]


Catatan Kaki:
[1] . Sebagian dari teolog, dalam membahas dan mengkaji pembahasan umum perbuatan Tuhan mengungkapkan masalah-masalah yang keseluruhannya memiliki warna dan pendekatan filsafat, sebagai contoh, kitab: Gauhar-e Murâd, Hal. 277-317.

[2] . Tentang perbedaan antara akal teoritis dan akal praktis, terdapat pandangan yang berbeda-beda dan apa yang ada dalam teks buku ini bersandar pada salah satu pandangan yang popular, dimana menurut pandangan ini akal teoritis dan akal praktis adalah dua potensi yang tidak saling berlawanan, bahkan keduanya merupakan dua wajah atau dua sisi dari akal yang perbedaannya hanya dalam aspek yang dipersepsikan.

[3] . Untuk pengkajian yang lebih sempurna argumentasi dari kedua kelompok, merujuk pada: Ja'far Subhani, Husn wa Qubh Akli yâ Pâyeh-hâ-ye Akhlak Jâwedân, pasal 9, Hal. 11-67.

[4] . Q.S. an-Nahl: 90.

[5] . Q.S. al-A'raf: 157.

[6] . Q.S. al-A'raf: 33.

[7] . Q.S: ar-Rahman: 60.

[8] . Q.S: Shad: 28.




Hikmah Ilahi:

Ada Tujuan Di Balik Perbuatan Tuhan [11]


Pendahuluan

Salah satu persoalan umum tentang perbuatan Tuhan adalah apakah perbuatan Tuhan mengandung arah dan tujuan? Ataukah perbuatan Tuhan itu sama sekali tidak mempunyai arah dan tujuan khusus? Permasalahan ini berhubungan langsung dengan persoalan hikmah Tuhan, karena salah satu definisi dan pengertian hikmah adalah pelaku tertentu mustahil melakukan suatu perbuatan sia-sia dan tidak bermanfaat serta segala perbuatannya mengandung tujuan-tujuan rasional dan masuk akal. Dengan demikian, menolak keberadaan suatu arah dan tujuan dalam perbuatan-perbuatan Tuhan adalah sama dengan menolak hikmah Tuhan.

Dalam menjawab pertanyaan-pertanyan di atas, terdapat perbedaan tajam antara kelompok 'Adliyyah (yakni Syiah Imamiah dan Mu'tazilah) dan Asya'riah. Syiah Imamiah (Syiah Dua Belas Imam) dan Mu'tazilah berkeyakinan bahwa segala perbuatan Tuhan memiliki dan mengandung tujuan khusus, sementara kelompok Asy'ariyyah menafikan keberadaan arah dan tujuan dalam setiap perbuatan Tuhan.

Sebelum kami menyebutkan argumentasi dan dalil dari kedua kelompok di atas, yakni kelompok 'Adliyyah dan Asy'ariyyah, dibawah ini akan kami terangkan beberapa pendangan dari kelompok 'Adliyyah.


Tujuan Pelaku dan Tujuan Perbuatan
Dengan memperhatikan dan mencermati perbuatan-perbuatan kita yang bersifat ikhtiari dan mengandung tujuan, maka dapat kita memahami bahwa sebelum kita melakukan perbuatan-perbuatan itu pertama-tama kita menentukan suatu tujuan dimana dengan mencapai dan meraih tujuan tersebut kita dapat memenuhi segala kebutuhan kita. Jadi, keberadaaan penggambaran dan penetapan suatu tujuan perbuatan tersebut dalam pikiran kita niscaya sebelum melakukan perbuatan itu, tujuan perbuatan inilah yang kemudian mendorong dan memotivasi kita untuk segera mengimplementasikan perbuatan tersebut, dengan suatu harapan bahwa apabila kita melaksanakan perbuatan yang demikian itu kita akan mendapatkan suatu manfaat dan faedah. Oleh karena itu, minimal dalam perbuatan-perbuatan kita terdapat dua sifat dan karakteristik: pertama, tujuan perbuatan dimana bermaksud untuk memenuhi segala kebutuhan pelaku dan untuk mendapatkan segala kesempurnaan atau kemashlahatan tertentu; Dan kedua, penggambaran dan penetapan tujuan perbuatan mestilah sebelum melakukan perbuatan dimana nantinya akan berpengaruh pada seorang pelaku dan menggerakkannya untuk segera melaksanakan perbuatan itu demi mencapai tujuan yang dikandungnya.[1]

Di sini perlu diperhatikan bahwa ketika kita membicarakan dan menganalisa kebertujuan segala perbuatan Tuhan, maka maksud kita ini adalah bukan menyamakan dan menyetarakan perbuatan Tuhan dengan perbuatan manusia sama. Dengan ungkapan lain, dua karakteristik di atas yang berkaitan dengan perbuatan manusia sama sekali tidak terdapat dalam perbuatan Tuhan, yaitu: pertama, tujuan dalam setiap perbuatan Tuhan bukan bermakna untuk mencapai kesempurnaan zat Tuhan, karena zat Tuhan telah memiliki kesempurnaan mutlak dan bahkan Tuhan merupakan kesempurnaan mutlak itu sendiri serta sama sekali tidak memiliki kekurangan dimana dengan mencapai tujuan perbuatan-Nya itu zat-Nya menjadi sempurna, melainkan tujuan perbuatan Tuhan berhubungan dengan semua makhluk-Nya dan bermaksud untuk menyempurnakannya; Kedua, penggambaran dan penetapan Tuhan terhadap tujuan dari setiap perbuatan-perbuatan-Nya tidak akan memberikan pengaruh dalam pelaksanaan segala perbuatan-Nya tersebut, karena pengetahuan Tuhan bukanlah sejenis pengetahuan hushuli (yang berkaitan dengan konsepsi, penalaran dan argumentasi rasional), bahkan zat Ilahi dengan kemutlakan kesempurnaan yang dimiliki-Nya mengharuskan adanya suatu pengarahan kepada makhluk-makhluk-Nya demi mencapai dan meraih kesempurnaan-kesempurnaan tertentu yang telah ditentukan bagi masing-masing mereka.

Dengan demikian, maksud dari kebertujuan perbuatan-perbuatan Tuhan adalah bahwa perbuatan-perbuatan-Nya mengandung manfaat dan mashlahat untuk semua makhluk-Nya, yakni tujuan setiap perbuatan Tuhan itu niscaya berhubungan dengan makhluk-makhluk-Nya sendiri dan hal ini bukan berarti bahwa Tuhan dalam melaksanakan atau meninggalkan perbuatan itu berdasarkan kemashlahatan zat-Nya sendiri. Oleh karena itu, tujuan perbuatan-perbuatan Tuhan adalah terkait dengan makhluk-makhluk-Nya (perbuatan Tuhan itu sendiri) dan bukan berhubungan dengan zat Tuhan, karena Tuhan memiliki kesempurnaan mutlak dan Maha Kaya. Tidak satu pun tujuan dan arah yang dapat digambarkan dan dibayangkan bagi kesempurnaan zat-Nya.[2]

Dengan memperhatikan penjelasan pandangan kelompok 'Adliyah mengenai kebertujuan perbuatan-perbuatan Tuhan, di bawah ini akan kami uraikan argumentasi dan dalil dari kedua kelompok tersebut, 'Adliyah dan Asy'ariyah.


Argumentasi Tentang Hikmah Tuhan (Kebertujuan Segala Perbuatan Tuhan)
Kelompok 'Adliyah beranggapan bahwa seluruh perbuatan Ilahi mengandung arah, maksud, dan tujuan. Berikut ini akan kami ungkapkan satu argumen dan burhan yang dikonstruksi oleh kelompok ini. Mereka menyatakan, "Perbuatan yang tidak memiliki tujuan adalah perbuatan yang sia-sia dan tak bermakna, dan melakukan perbuatan yang sia-sia secara rasional dan akal sehat adalah suatu keburukan. Kita semuanya mengetahui bahwa mustahil Tuhan melakukan suatu keburukan dan juga mustahil perbuatan-perbuatan Tuhan itu bersifat sia-sia dan tak bermakna. Jadi kesimpulannya, semua perbuatan Tuhan mestilah memiliki dan mengandung arah dan tujuan."

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa argumentasi dan dalil tersebut bersandar pada kenyataan bahwa akal manusia dapat mengetahui dan menilai suatu keburukan atau kebaikan, karena pengertian hal ini adalah bahwa akal mampu mengetahui bahwa melakukan perbuatan yang sia-sia itu adalah suatu keburukan, dan dengan berdasarkan pengetahuan akal ini maka dapat disimpulkan tentang kemustahilan Tuhan melakukan suatu perbuatan yang sia-sia dan tak bertujuan.


Argumentasi Asy'ariyyah dalam Menafikan Kebertujuan Perbuatan Tuhan
Kelompok Asy'ariyyah juga membangun argumen-argumen dalam menegaskan kebenaran asumsi-asumsi mereka. Mereka menyatakan, "Melakukan suatu perbuatan untuk mencapai suatu tujuan adalah menunjukkan bahwa pencapaian tujuan tersebut bagi seorang pelaku akan jauh lebih baik dan sempurna apabila dibandingkan dengan ketiadaan pencapaian tujuan tersebut, dan dengan ungkapan lain, pencapaian suatu tujuan merupakan kesempurnaan bagi seorang pelaku. Kesimpulannya, pelaku yang melaksanakan suatu perbuatan tertentu akan menggapai suatu kesempurnaan tertentu pula. Dengan berdasarkan hal ini, kebertujuan perbuatan-perbuatan Tuhan meniscayakan bahwa Tuhan akan mendapatkan kesempurnaan-Nya melalui perbuatan-perbuatan-Nya sendiri, dan hal ini sangat tidak sepadan dengan kedudukan mulia dan maqam suci ketuhanan."

Jawaban atas argumentasi di atas dengan berdasarkan pada penjelasan kami tentang kebertujuan perbuatan-perbuatan Tuhan akan menjadi jelas. Sebagaimana yang telah kami katakan bahwa tujuan dalam perbuatan Ilahi pada hakikatnya adalah tujuan bagi perbuatan itu sendiri, yakni tujuan yang mengakibatkan dan berefek pada kesempurnaan segala makhluk-Nya. Tujuan dalam perbuatan-perbuatan Tuhan pada dasarnya kembali kepada semua makhluk-Nya, yakni tujuan perbuatan Tuhan itu tidak lain untuk menyempurnakan zat dan wujud makhluk-makhluk-Nya bukan untuk kesempurnaan zat dan wujud Tuhan. Jadi tujuan di sini bukan untuk Tuhan sebagai Sang Pelaku, oleh karena itu, kesalahan dan kekeliruan argumentasi Asy'ariyah dalam permasalahan ini adalah menyangka bahwa arah dan tujuan tersebut hanya semata-mata berhubungan dengan Sang Pelaku (Tuhan) dan tidak ada kaitannya dengan perbuatan itu sendiri. Di samping itu mereka beranggapan bahwa apabila suatu perbuatan mengandung tujuan, maka pastilah tujuan itu hanya berhubungan erat dengan sang pelaku.

Berdasarkan penjelasan kami yang lalu bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan adalah tidak sia-sia, tetapi memiliki tujuan dan hikmah dimana untuk memenuhi segala kebutuhan makhluk-Nya dan mengantarkan seluruh makhluk-Nya untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan di dunia dan di alam akhirat kelak.


Hikmah Ilahi dalam Al-Quran dan Hadis
Terdapat beberapa ayat ayat al-Quran yang berkaitan dengan keberhikmahan dan kebertujuan perbuatan-perbuatan Tuhan serta penegasan kemustahilan kesia-siaan perbuatan-Nya. Sebagai contoh dapat diperhatikan ayat-ayat berikut ini. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Maka Apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?[3]

Pada ayat ini, al-Quran menempatkan penciptaan manusia-manusia sebagai salah satu perbuatan Tuhan dan menjelaskan bahwa perbuatan mencipta manusia ini bukanlah perbuatan yang sia-sia, melainkan memiliki suatu tujuan dah hikmah. Mungkin kita dapat menunjukkan bagian kedua dari ayat tersebut yang berhubungan dengan tujuan yang dimaksud, yakni Tuhan mencipta manusia di dunia ini supaya dapat memanfaatkan segala fasilitas kehidupan untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan serta sekaligus manusia akan mendapatkan hasil dan pahala dari semua perbuatan yang dikerjakannya di akhirat kelak.

Ayat yang lain berkisar tentang hikmah dan tujuan Tuhan adalah dalam penciptaan langit dan bumi serta makhluk-makhluk yang terdapat di antara langit dan bumi (dimana bisa menjadi suatu gambaran atas penciptaan alam). Allah berfirman, "Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan bermain-main."[4]

Dalam suatu hadis juga disebutkan tentang kebertujuan perbuatan-perbuatan Tuhan dan kemustahilan kesia-siaan perbuatan-Nya serta tujuan dari perbuatan Tuhan berhubungan dengan makhluk-makhluk-Nya. Sebagai contoh, sebuah hadis yang diriwayatkan dari Imam Shadiq As, beliau bersabda, "Apabila seseorang bertanya, apakah boleh Tuhan Yang Maha Bijaksana dan Hakim memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk melakukan suatu perbuatan tanpa suatu sebab, alasan dan tujuan? Imam bersabda, mustahil Tuhan melakukan hal seperti itu, karena Dia memiliki hikmah dan tujuan serta mustahil Dia melakukan suatu perbuatan yang sia-sia dan tak bermanfaat bagi hamba-Nya."[5]

Imam Shadiq As dalam menjawab suatu pertanyaan yang berbunyi: mengapa Tuhan mencipta makhluk tersebut?. Belia bersabda, "Tuhan Yang Maha Tinggi mustahil mencipta segala makhluk dengan sia-sia dan tak bermakna serta mereka itu lalu dibiarkan begitu saja, melainkan Tuhan mewujudkan mereka itu untuk menampakkan kekuatan dan kodrat-Nya sendiri sehingga mereka menjadi taat kepada perintah-perintah-Nya. Ketaatan mereka itulah menyebabkan mereka layak mendapatkan keridhaan Ilahi. Mereka itu diciptakan bukan supaya Tuhan mendapatkan keuntungan atau dengan perantaraan mereka itu Tuhan lantas terhindar dari segala bentuk kerugian dan malapetaka, bahkan untuk mengantarkan mereka menggapai keberuntungan, kesempurnaan, dan kebahagiaan abadi di alam akhirat kelak.[6]


Hikmah Ilahi dan Keburukan
Hingga saat ini telah menjadi jelas bahwa secara logis segala perbuatan Tuhan mengandung tujuan dan hikmah dimana tujuan ini berhubungan langsung dengan semua makhluk-Nya. Namun, dari satu sisi kita tidak bisa menolak dan menafikan keberadaan perkara-perkara yang kita namakan sebagai suatu bentuk keburukan, seluruh musibah dan malapetaka yang berhubungan dengan alam misalnya banjir, angin topan, gempa bumi, tanah longsor, penyakit-penyakit, penderitaan dan kematian. Semua perkara-perkara membentuk suatu citra yang kita sebut sebagai suatu keburukan dimana setiap manusia senantiasa berupaya menjauhkan diri darinya.

Dalam penampakannya, mungkin saja secara lahiriah dan sepintas kita memandang bahwa perkara-perkara di atas bertolak belakang dengan hikmah Tuhan dan tujuan penciptaan manusia, karena tujuan Tuhan dalam menciptakan manusia adalah menjamin kemashlahatan dan kepentingan hidup manusia, sementara perkara-perkara tersebut sangat bertentangan dan berlawanan dengan kemashlahatan dan kebutuhan manusia. Dengan demikian terdapat ketidaksesuaian dengan tujuan penciptaan manusia. Apabila tujuan penciptaan adalah mengantarkan semua makhluk-Nya kepada kemashlahatan, lantas dengan alasan apa Tuhan juga menciptakan dan menghadirkan perkara-perkara tersebut dimana membahayakan dan mengancam kehidupan manusia? Dengan ungkapan lain, akan lahir suatu sangkaan bahwa Tuhan telah mengubah atau menafikan tujuan penciptaan manusia itu dengan membolehkan hadirnya keburukan dan tidak berusaha untuk mengantisipasinya, dan pengubahan serta penafian suatu tujuan (yakni Sang Pelaku melakukan suatu perbuatan yang bertolak belakang dengan tujuan-tujuan dan maksud-maksud yang ditetapkan sebelumnya) sangat tidak bersesuaian dengan nama Tuhan Yang Maha Hakim dan Bijaksana (yakni keberhikmahan dan kebertujuan hakiki perbuatan Tuhan).[7]

Dalam menjawab permasalahan di atas, sesungguhnya kami akan tunjukkan bahwa keberadaan musibah, malapetaka alam, dan penderitaan di dunia ini pasti juga memiliki tujuan dan hikmah yang logis dan rasional, bersifat universal, dan global dimana musibah-musibah tersebut tetap mengandung manfaat secara individual maupun bagi semua umat manusia. Dengan demikian, kita tidak boleh menyatakan bahwa kehadiran perkara-perkara tersebut merupakan perbuatan sia-sia dan bertentangan dengan tujuan dan hikmah umum penciptaan makhluk. Sebelum menegaskan bagian penting dari manfaat dan faedah keburukan tersebut, maka di bawah ini akan kami sebutkan beberapa prinsip penting yang jika diperhatikan secara seksama akan diraih suatu kesimpulan yang berharga berhubungan dengan pengkajian yang mendasar ini:


1. Keterbatasan ilmu manusia
Tidak bisa diragukan bahwa hal-hal yang diketahui manusia tidak dapat dibandingkan dengan hal-hal yang belum diketahuinya, seperti setetes air yang dibandingkan dengan lautan yang tak bertepi. Bukan hanya pengetahuan manusia terhadap wilayah dunia eksternal yang sangat sedikit dan terbatas, melainkan dia juga belum meraih sepenuhnya ilmu dan pengetahuan terhadap diri sendiri dan segala rahasia yang tersembunyi di dalam jiwanya. Kita ketahui bersama bahwa para ilmuwan dan filosof setelah ratusan tahun melakukan penelitian dan observasi, pada akhirnya mereka menyatakan secara jujur bahwa mereka tidak mengetahui apa-apa. Dalam hal ini, al-Quran juga menyatakan, "Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit."[8]

Dengan memperhatikan keterbatasan ilmu dan pengetahuan manusia, kita tidak dapat menyatakan bahwa kita sepenuhnya mengetahui segala rahasia fenomena alam yang kita sebut sebagai keburukan itu. Bahkan sangat mungkin terdapat berbagai manfaat, mashlahat, dan tujuan dalam musibah dan malapetaka alam itu yang kita tidak ketahuinya. Dan yang pasti adalah bahwa tidak ditemukannya suatu tujuan dan hikmah di balik musibah dan malapetaka tersebut bukanlah berarti bahwa ketiadaan tujuan tersebut. Dengan dasar ini, sebagai orang yang berakal sebaiknya kita mesti berhati-hati untuk menyatakan bahwa perkara-perkara tersebut tidak mempunyai tujuan dan hikmah, karena sangat mungkin yang kita pandang sebagai suatu keburukan sesungguhnya adalah kebaikan bagi umat manusia, begitu pula sebaliknya. Hal ini sebagaimana difirmankan dalam al-Quran, "Dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."[9]


2. Tujuan hakiki penciptaan manusia
Prinsip lain yang perlu diketahui bahwa tujuan akhir dan hakiki penciptaan manusia adalah bukan menyibukkan diri manusia dalam memanfaatkan sebanyak mungkin kenikmatan-kenikmatan material dan lahiriah, melainkan tujuan hakiki manusia adalah mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan abadi yang hanya diperoleh dengan penghambaan dan kedekatan kepada Tuhan di dunia ini.[10] Dengan demikian, kita tidak boleh langsung menyatakan bahwa segala hal yang menghilangkan dan bertentangan dengan kesenangan dan kenikmatan lahiriah manusia diposisikan sebagai hal yang bertentangan dengan tujuan hakiki penciptaan manusia, karena mungkin saja kebahagiaan dan kesempurnaan hakiki seseorang tercapai melalui suatu musibah, penderitaan, kemiskinan, dan malapetaka yang dialaminya.

Walhasil, penelitian dan pengkajian kami terhadap hubungan antara segala keburukan dan hikmah Ilahi dengan menitik beratkan pada kebertujuan hakiki penciptaan manusia mempunyai pengaruh yang sangat besar dan signifikan.


3. Mengedepankan Kemashlahatan umum di atas kemashlahatan individual
Alam materi dan alam dunia ini merupakan suatu alam yang mengharuskan adanya benturan antara satu dengan yang lainnya, dan terkadang kita saksikan terjadinya benturan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum dimana tidak ada jalan lain kecuali mendahulukan dan mengedepankan salah satu kepentingan dan kemashlahatan tersebut. Dalam masalah ini, akal sehat manusia pasti akan menghukumi bahwa yang harus dikedepankan adalah kepentingan dan kemashlahatan umum. Berdasarkan hal ini, keberadaan musibah dan malapetaka yang berbenturan langsung dengan kemashlahatan pribadi atau kelompok tertentu namun menguntungkan dan menjamin kemashlahatan banyak orang, jangan langsung dipandang sebagai realitas yang tidak mengandung hikmah dan tujuan. Pada hakikatnya, dalam banyak persoalan kita hanya memperhatikan dan meneliti dimensi terkecil dari suatu fenomena, sementara apabila kita memandangnya lebih luas, dalam, dan cermat maka kita akan menyaksikan bahwa setelah melewati zaman dan ruang tertentu begitu banyak perkara dan fenomena alam yang didapatkan mengandung hikmah dan tujuan serta menguntungkan mayoritas masyarakat, yang walaupun perkara dan fenomena itu secara lahiriah nampak sebagai suatu keburukan. Yang pasti sebagaimana dalam pembahasan "Keadilan Ilahi" nantinya, akan kami katakan bahwa pengorbanan kepentingan pribadi dan pengedepanan kepentingan umum yang ditakdirkan oleh Tuhan, namun pada saat yang sama pengorbanan ini akan mendapatkan balasan dan pahala yang sangat berharga dan tinggi.


4. Peran manusia dalam perwujudan segala keburukan
Salah satu poin penting yang mesti kita ketahui adalah efek dan pengaruh perbuatan-perbuatan manusia dalam kewujudan dan kehadiran berbagai keburukan. Dari dimensi bahwa manusia adalah makhluk yang berikhtiar dan memiliki kebebasan bertindak dan berprilaku, terkadang sebagai penyebab lahirnya keburukan bagi dirinya sendiri maupun orang lain, namun dikarenakan kebodohannya terhadap hubungan suatu perbuatannya sendiri dengan akibat yang ditimbulkannya, maka hasil negatif yang diberikan dari perbuatannya sendiri dia jadikan alasan untuk mengecam hikmah Ilahi (keadilan dan rahmat-Nya).

Al-Quran dalam hal ini menjelaskan keberadaan pengaruh perbuatan manusia atas kehadiran berbagai kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan bagi manusia sendiri, ayat-ayat tersebut antara lain, "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."[11]

Pada ayat yang lain disebutkan bahwa begitu banyak musibah dan malapetaka yang terjadi di alam ini disebabkan oleh faktor perbuatan-perbuatan manusia sendiri, Allah berfirman, "Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)."[12]

Walhasil, dengan menggarisbawahi tujuan penciptaan manusia dan kemestian kebebasan untuk menggapai tujuan ini, manusia lantas dicipta sebagai makhluk yang berikhtiar dan memiliki kebebasan dalam bertindak dan juga berdasarkan suatu kaidah kausalitas dimana sebagian dari perbuatan ikhtiar manusia (perbuatan buruk yang dilakukannya) sebagai sumber kahadiran musibah dan malapetaka. Namun gabungan dari perkara-perkara ini, secara khusus dengan memandang sebagian dari manfaat dan faedah positif dari malapetaka-malapetaka tersebut, tidak keluar dari ranah dan domain hikmah Ilahi.

Dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang telah disebutkan, maka kita akan dapat melihat dan menyaksikan pengaruh-pengaruh positif sebagian keburukan dalam kehidupan pribadi dan kehidupan manusia secara umum supaya menjadi jelas bahwa keberadaan fenomena-fenomena alam seperti ini sama sekali tidak akan bertolak belakang dengan hikmah Ilahi dan dalam setiap kasus akan kami sodori beberapa ayat-ayat al-Quran. Namun sebelum kita jabarkan hal ini, alangkah baiknya menyebut dua poin penting:

1. Kami sama sekali tidak beranggapan bahwa keseluruhan manfaat dan faedah keburukan tersebut dapat dihitung (terkhusus dengan memperhatikan prinsip pertama, yakni keterbatasan pengetahuan manusia), melainkan kami hanya mengetahui bahwa masih banyak rahasia-rahasia lain yang akan terungkap secara perlahan-lahan dengan banyaknya berkontemplasi dan bertadabbur;

2. Sangat mungkin dengan batasan pengetahuan kita sendiri, kita tidak dapat menyebutkan semua manfaat dan faedah serta hikmah-hikmah untuk menjelaskan kedudukan dan posisi keburukan begitu pula kita tidak mampu mengungkapkan manfaat dari setiap keburukan yang kita temui. Namun realitas ini sama sekali tidak akan bertolak belakang dengan konklusi yang kami hasilkan, karena apabila dalam setiap keburukan hanya tertetapkan dan terungkap salah satu hikmah tersebut maka hal ini telah efektif untuk menjawab segala keraguan dan keberatan para penentang.


Filsafat Keburukan

1. Sisi pengembangan potensi-potensi manusia
Penciptaan manusia dan keadaan umum alam natural tercipta sedemikian sehingga begitu banyak potensi-potensi fisikal dan ruhani manusia hanya akan berkembang dan menyempurna di bawah tempaan segala kesulitan, penderitaan, dan musibah. Sebagaimana anggota-anggota badan seorang olahragawan yang hanya akan mengalami perkembangan dan memiliki daya tahan yang kuat dengan melewati berbagai latihan sulit yang beragam. Begitu pula dengan potensi-potensi jiwa dan maknawi manusia yang akan menjadi aktual setelah meniti jalan yang dipenuhi dengan berbagai kesulitan dan penderitaan. Sebagi contoh, begitu banyak penemuan ilmiah dan rekayasa teknologi yang dihasilkan dari upaya serius yang tidak mengenal putus asa dan melewati berbagai kesulitan serta rintangan kehidupan individual dan sosial. Al-Quran pun telah menjelaskan kenyataan ini dengan menyatakan, "Sesungguhnya sesudah kesulitan itu pasti ada kemudahan. (Ya), sesungguhnya sesudah kesulitan itu pasti ada kemudahan."[13]


2. Dimensi Ujian dan cobaan Ilahi
Salah satu tradisi dan sunnah Ilahi (sunnatullah) adalah ujian dan cobaan. Berdasarkan tujuan penciptaan manusia dan segala karakteristik wujudnya, manusia akan diuji dalam berbagai bidang dan dimensi kehidupannya. Yang pasti terdapat perbedaan antara ujian-ujian yang diadakan oleh manusia, ujian Ilahi tidaklah bermaksud untuk mengungkap sesuatu hakikat yang tidak jelas, melainkan tujuan perbuatan Tuhan itu kembali kepada makhluk-Nya, khususnya manusia, dan maksud dari ujian dan cobaan Ilahi ini tidak lain adalah pengembangan dan penyempurnaan potensi-potensi manusia serta mengaktualkan nilai-nilai kejiwaannya. Perumpamaan manusia dalam ujian Tuhan seperti batu tambang yang ditempa di dalam tungku api dengan maksud memisahkan segala kotoran yang menempel padanya, dengan proses demikian ini, akan dihasilkan suatu batu yang berharga. Tuhan terkadang menguji hamba-hamba-Nya dengan kesejahteraan, kesenangan, dan kekayaan atau mengujinya dengan segala bentuk rintangan, kesulitan, penderitaan, malapetaka, dan musibah. Tuhan berfirman, "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan mengujimu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan."[14] Kata "kebaikan" dan "keburukan" dalam ayat ini sangatlah umum dan mencakup segala bentuk penderitaan, musibah, penyakit, kemiskinan, kesulitan, dan kekalahan serta segala macam kesenangan, kekayaan, kemenangan dan kesehatan. Berdasarkan ayat ini, semua perkara berdimensi ujian dan cobaan, dan disamping pengembangan jiwa dan badan manusia, kenyataan dan hakikat kejiwaan dan ruhani mereka akan ditampakkan.

Dalam ayat-ayat yang berbeda juga ditekankan ujian manusia itu dengan kesulitan-kesulitan dan malapetak-melapetaka. Pada ayat berikut ini disebutkan tentang ujian Ilahi yang paling penting dalam kehidupan di dunia ini, "Dan sungguh Kami akan berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar."[15] Kalimat "berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar" ini menunjukkan bahwa pahala besar akan diberikan kepada orang-orang yang menang dan berhasil melewati segala bentuk ujian.[16] Akan tetapi, pahala dan balasan yang menyenangkan tersebut tidak diberikan kepada semua hamba-Nya, sebagian manusia yang semestinya berupaya dan istiqomah di atas jalan ujian, malah menampakkan kelemahan dan putus asanya dalam lahan ujian dan cobaan, dalam hal Tuhan berfirman, "Adapun bila Tuhan mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata (dengan putus asa), "Tuhan-ku menghinakanku"."[17]


3. Aspek ancaman dan penyadaran
Salah satu manfaat dan faedah yang mendasar dari segala musibah dan malapetaka adalah bahwa manusia kembali bangkit dan sadar dari kelalaiannya dalam menikmati segala kesenangan dunia, melepaskan baju kesombongannya dan memakai pakaian kerendahan hati, dan kembali menerima seluruh tanggung jawab yang berat serta amanat Ilahi di hadapan Tuhan. Al-Quran juga menunjukkan realitas ini dalam ayat-ayat yang beragam, "Kami tidaklah mengutus seseorang nabi pun kepada sesuatu negeri, melainkan Kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk dengan merendahkan diri."[18] Dan di ayat lain difirmankan, "Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat); mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar)."[19] Pada ayat yang lain juga dijelaskan bahwa tujuan dihadirkannya musibah dan penderitaan atas mereka adalah untuk membangkitkan kesadaran dan mengingatkan mereka akan suatu hakikat, Tuhan berfirman, "Dan sesungguhnya Kami telah menghukum orang-orang dekat (dan kaum Fira’un) dengan mendatangkan musim kemarau yang panjang dan kekurangan buah-buahan, supaya mereka sadar dan mengambil pelajaran."[20]

Nampaknya, sebagian besar manusia tidak menyikapi secara tepat dan positif segala bentuk kesulitan dan penderitaan, yang semestinya membuahkan kesadaran dan hidayah, malah semakin terjerbak dalam lembah kelalaian dan kemaksiatan. Untuk hal ini, Tuhan berfirman, "Dan sesungguhnya Kami telah pernah menimpakan azab kepada mereka (supaya mereka sadar), tetapi mereka tidak tunduk kepada Tuhan mereka dan (juga) tidak memohon (kepada-Nya) dengan merendahkan diri."[21]


4. Penghargaan nikmat-nikmat Tuhan
Manfaat dan faedah lain yang dihasilkan oleh kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan adalah bahwa manusia memahami betapa penting dan urgennya nikmat-nikmat Tuhan itu, dari hal ini dikatakan bahwa, "nilai kesehatan akan diketahui oleh seseorang ketika mendapatkan penyakit."

Al-Quran disamping mengingatkan nikmat-nikmat Ilahi juga mengingatkan manusia kepada keadaan-keadaan atau nikmat-nikmat yang belum diraihnya. Terkadang ketiadaan nikmat akan berujung pada penghargaannya yang lebih baik, "Dan berpegang teguhlah kamu semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara."[22]


Penjelasan Filsafat Kederitaan dan Kesengsaraan dalam Hadis
Dalam hadis-hadis juga ditemukan poin-poin penting dan berharga yang berhubungan dengan manfaat dan faedah segala musibah dan penderitaan. Amirul Mukminin, Imam Ali As dalam menjelaskan pengaruh segala kesulitan dan malapetaka terhadap pengembangan dan penyempurnaan potensi-potensi bersabda, "Ketahuilah bahwa sebuah pohon yang tumbuh di atas tanah yang kering (kurang air) akan memiliki batang yang lebih keras, kulit pohon yang tipis, api tidak mudah membakarnya, dan kalau terbakar maka api akan sangat lama padam,"[23]

Di tempat Imam Ali As menjelaskan tentang aspek-aspek ujian dan cobaan dalam setiap musibah, malapetaka, penderitaan, dan kemiskinan. Dia menyatakan, "Tuhan akan menguji hamba-hamba-Nya itu dengan beragam ujian dan cobaan, dan menyerunya kepada ibadah dalam beragam kesulitan serta menceburkannya dalam berbagai jenis penderitaan,"[24] Mengenai tujuan-tujuan Tuhan dalam menguji hamba-hamba-Nya sendiri dengan perantaran segala kesulitan dan musibah, lebih lanjut dia sabdakan, "Tuhan akan menguji hamba-hamba-Nya sendiri dengan kekurangan makanan, mencegah hadirnya rahmat, dan menutup pintu-pintu kebaikan ketika mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk supaya mereka yang ahli bertaubat akan kembali bertaubat, mereka meninggalkan segala perbuatan maksiatnya, menerima nasihat, dan tidak berbuat dosa lagi."[25]

Hadis dari Imam Shadiq As yang intinya memaparkan bahwa hakikat dan tujuan segala musibah, malapetaka, dan penderitaan adalah mengingatkan manusia akan nikmat-nikmat Tuhan, dia bersabda, "Walaupun musibah dan malapetaka ini menghampiri orang-orang yang baik dan orang-orang yang buruk, akan tetapi Tuhan ingin menjadikan hal tersebut sebagai perantara untuk menyempurnakan dan memperbaiki kedua kelompok tersebut. Segala musibah dan malapetaka yang menimpa orang-orang baik tidak lain adalah bertujuan mengingatkan nikmat-nikmat Ilahi yang pernah dimilikinya dan berada di bawah penguasaannya, dengan demikian, mereka akan menjadi orang-orang yang bersyukur, bertaubat, dan bertakwa."[26]


Catatan Kaki:
[1] . Para filosof menamakan "penggambaran tujuan perbuatan sebelum pelaksanaannya" itu sebagai "sebab tujuan". Silahkan merujuk pada: Mishbah Yazdi, Omuzesy-e Falsafeh, jilid kedua, hal. 106-108. Dan Allamah Thabathabai, Nihayah al-Hikmah, hal. 160-162.

[2] . Dalam pembahasan filsafat Islam dipaparkan kajian-kajian mendalam dan akurat berhubungan dengan perbuatan Tuhan, karena kerumitannya kita tidak akan menguraikan dalam pembahasan kila kali ini. Bagi yang tertarik silahkan merujuk pada kitab-kitab filsafat yang mengkaji hal ini.

[3] . Qs. Mukminun: 115

[4] . Qs. Dukhan: 37

[5] . Allamah Majlisi, Biharul Anwar, jilid keenam, hal. 58

[6] . Ibid, jilid kelima, hal. 313.

[7] . Walaupun keberadaan "keburukan" itu dari satu dimensi juga merupakan persoalan penciptaan dan hal ini adalah ketidaksesuaian keburukan dengan keadilan Tuhan. Kami akan membahas dan mengkaji permasalahan itu dalam bagian "keadilan Ilahi". Di sini perlu diingat bahwa Tuhan YanG Maha Hakim adalah bahwa segala perbuatan-Nya mengandung tujuan dan tujuan yang ditetapkan-Nya tidak akan pernah berubah. Berbeda dengan manusia, yang terkadang bertolak belakang dengan tujuan pertama yang ditetapkannya atau manusia pada saat tertentu mengubah tujuannya karena tidak sesuai dengan kepentingan dan kemashlahatannya.

[8] . Qs. Isra': 85.

[9] . Qs. Al-Baqarah: 216.

[10] . Al-Quran dalam hubungannya dengan penciptaan manusia, Tuhan berfirman, "Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku." (Qs. Zariyat: 56)

[11] . Qs. Rum: 41

[12] . Qs. Syury: 30

[13] . Qs. Insyirah: 5 dan 6

[14] . Qs. Anbiya: 35.

[15] . Qs. Al-Baqarah: 155.

[16] . Al-Quran menjelaskan kalimat ini dalam ayat-ayat selanjutnya., yakni surah al-Baqarah ayat 156 dan 157.

[17] . Qs. Fajr: 16.

[18] . Qs. A'raf: 94.

[19] . Qs. Sajdah: 21.

[20] . Qs. A'raf: 130.

[21] . Qs. Mukminun: 76.

[22] . Qs. Ali Imran: 103.

[23] . Nahjul Balaghah, khutbah 45.

[24] . Ibid, khutbah 192.

[25] . Ibid,khutbah 143.

[26] . Allamah Majlisi, Biharul Anwar, jilid ketiga, hal. 139.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

50 Pelajaran Akhlak Untuk Kehidupan

ilustrasi hiasan : akhlak-akhlak terpuji ada pada para nabi dan imam ma'sum, bila berkuasa mereka tidak menindas, memaafkan...