Rabu, 28 November 2018

Mizan Keadilan Tuhan



ilustrasi hiasan:


Pengarang :





Bagian Ke 1


Perbedaan dalam Agama

Iman pada permulaannya merupakan sesuatu yang senantiasa sederhana dan bersahaja. Seiring dengan perjalanan waktu, manusia mulai mengelaborasi iman yang sederhana itu dan berangkat dari situ, perbedaan muncul dan ragam mazhab didirikan. Hal ini terjadi pada seluruh agama-agama sebelum Islam dan Islam tidak terkecuali dalam hal ini. Islam mula-mula merupakan sebuah seruan untuk meyakini dan beriman kepada ke-Esaan Tuhan, pada kenabian Muhammad dan Hari Kiamat. Pada ketiga usul dasar ini tidak ada pertentangan. Demikian juga, tiada syak bahwa agama Tuhan adalah agama Islam, artinya bahwa satu-satunya jalan untuk mengenal Islam adalah melalui Kitab Allah dan Sunnah Nabi Saw, dan bahwa Kitab Allah yang dikenal sebagai al-Qur’an adalah sebuah kitab yang di dalamnya tiada penambahan atau pengurangan.
Perbedaan-perbedaan terjadi dalam penafsiran sebagian ayat-ayat al-Qur’an dan otensisitas beberapa hadis-hadis Nabi Saw, serta dalam penafsiran dan implikasinya. Perbedaan-perbedaan ini telah memunculkan banyak pertanyaan yang telah memecah kaum Muslimin. Terdapat banyak perbedaan tentang sosok Tuhan dan sifat-sifat-Nya: Apakah Tuhan memiliki badan? Dapatkah Dia dilihat? Apakah Tuhan itu adil? Apakah manusia dipaksa Tuhan dalam perbuatannya atau ia bebas?
Sepanjang yang bertautan dengan wujud, sosok dan keesaan Tuhan, perkara-perkara ini berada pada pembahasan awal ushuluddin yang dikenal sebagai tauhid dan telah disinggung dalam buku atau kitab yang berkenaan dengannya.
Yang berkaitan dengan perbuatan Tuhan, pembahasan ini berada pembahasan kedua ushuluddin yang dikenal sebagai Keadilan. Menurut keyakinan Syiah Itsna Asyariah, keadilan (‘adl) merupakan sifat yang terpenting dari sifat-sifat Tuhan; dan atas alas an itu dibahas secara terpisah. Alasan mengapa pembahasan kedua ushuluddin ini bertautan dnegan perbuatan-perbuatan Tuhan dinamakan seabgai Keadilan lantaran perbedaan-perbedaan di antara kaum Muslimin ihwal keadilan Tuhan sangat luas dan menjuntai.
Karena beberapa perbedaan yang beragam di kalangan mazhab Muslim merupakan poin-poin teologis, maka dipandang penting untuk mengkaji tahapan-tahapan tulisan ini dengan baik. Mengingat bahwa setiap terma dan tahapan dari tulisan ini memiliki signifikansi, dan jika para pembaca mencoba untuk merubah setiap terma dan tahapan dari tulisan ini, maka ia menempatkan dirinya pada kerancuan dan ketidakselarasan berpikir tentang masalah ini.



Sebuah Catatan ihwal Makna Keadilan

Derivasi redaksi al-‘adl pada asalnya dicipta untuk membawa maksud menjadikan dua benda itu sama dan distribusi secara saksama. Demikian juga dalam masalah Ansaf yang bermakna secara literal sebagai persamaan atau keadilan, dan sebagai hasilnya, ‘Adl merujuk kepada keadilan, persamaan, berada di jalan yang lurus, ke arah kebenaran, berada di pihak yang benar, tidak berkurang atau berlebih dan juga meletakkan sesuatu pada tempatnya.
Lawan kata kalimat al-’Adl adalah al-Jaur dan al-Zulm. Al-Jaur bermakna cenderung kepada sebelah pihak, yang akhirnya menyiratkan pengertian tidak memihak kepada keadilan, dan berlaku berat sebelah dan memihak. Kalimat Zulm juga bermakna meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Seseorang hakim (Qadi) yang zalim membuat keputusan atau hukuman yang salah dengan tidak membela pihak yang tertindas haknya.



Mazhab yang Sering disebutkan dalam Tulisan ini

Para pembaca akan banyak menjumpai mazhab-mazhab berikut dalam tulisan ini:
Syiah Itsna ‘Asyariyah: Kaum Muslimin yang meyakini dua belas imam yang bermula dari Imam Ali, Imam Hasan, Imam Husain dan sembilan keturunannya. Imam Keduabelas adalah Muhammad al-Mahdi, Sang Messiah yang Dinantikan. Mazhab ini juga dikenal sebagai mazhab Imamiyah.
Asy’ariah: Seluruh kaum Muslimin yang bermazhab Sunni adalah Asy’ariah dalam keyakinan mereka. Mazhab ini merupakan pengikut Abu l-Hasan al-Asy’ari (w 324 H/936 M).
Mu’tazilah: Sebelum Abul Hasan al-Asy’ari, banyak orang-orang Sunni adalah Mu’tazilah dalam keyakinan mereka. Mereka merupakan pengikut Wasil bin ‘Atha’ (w 131 H/748 M). Namun, mazhab Mu’tazilah merupakan mazhab yang hampir punah pada abad keempat Hijriah.



Kedudukan Akal dalam Agama

Perbedaan pertama dan utama di antara kaum Muslmin adalah berkenaan dengan peran akal manusia dalam agama. Asya’riyah berada pada satu sisi masalah, dan Syiah Itsna ‘Ashariyyah dan Mu’tazilah pada sisi lainnnya.
Mazhab Syiah berkata bahwa terlepas dari perintah-titah agama ada baik (husn) dan buruk (qubh) yang dapat ditimbang dengan akal, dan bahwa Tuhan memerintah perbuatan-perbuatan tertentu lantaran dalam timbangan akal (baca: rasional) hal itu adalah baik dan Dia melarang perbuatan tertentu karena dalam teraju akal hal itu adalah buruk. Kaum Asy’ari menolak konsep ini. Mereka berkata bahwa tiada sesuatu yang baik atau buruk. Hanya apa yang diperintahkan Tuhan kepada kita itulah yang baik dan apa yang Dia larang adalah buruk bagi kita.[1]
Dengan kata lain, Syiah, misalnya berkata bahwa Tuhan melarang kita untuk berkata dusta lantaran perbuatan dusta itu merupakan Sesutu yang buruk; sementara Asy’ari menegaskan bahwa dusta adalah perbuatan buruk lantaran Tuhan melarangnya.
Abul Hasan al-Asy’ari menulis, “Pertanyaan: Lalu dusta adalah buruk hanya karena Tuhan telah mendeklarasikan hal itu sebagai perbuatan buruk? Jawab: Tentu saja. Dan jika Dia mendeklarasikan dusta sebagai perbuatan baik, maka hal itu akan tergolong perbuatan baik; dan jika Dia memerintahkannya, tiada yang dapat menentang-Nya.[2]
Perbedaan lain bertalian dengan masalah kedudukan akal dalam agama adalah ihwal hubungan natural sebab dan akibat. Syiah dan Mu’tazilah mengakui hubungan antara sebab dan akibat. Namun Asy’ari mengingkari hal ini. Mereka berkata tiada sebab kecuali Allah, dan merupakan kebiasaan Tuhan dimana apabila, misalnya, kita minum air, ia melepaskan dahaga kita.[3]
Allamah Hilli berkata: “Inti argumen Asy’ari adalah menurut mereka bahwa segala sesuatu dapat terwujud karena Kehendak Allah dan Dia berkuasa untuk menjadi sebab keberadaan segala sesuatu. Jadi, karena kekuasaan Tuhan merupakan penyebab, maka tidak niscaya sesuatu dapat terwujud ketika sebab-sebab fisikalnya yang menyebabkan ia mewujud; atau berhenti mewujud ketika sebab-sebab fisikalnya menyebabkan ia berhenti mewujud dan tiada hubungan apa pun antara kejadian-kejadian yang menimpa satu dengan yang lain kecuali hal itu merupakan kebiasaan Tuhan yang mencipta sesuatu; misalnya, terbakarnya tangan setelah menyentuh api dan meminum air tidak ada hubungannya dengan pembakaran dan pelepasan dahaga, semua hal ini terjadi dan terwujud mengikut kehendak dan kekuasaan Tuhan; dan Dia dapat menciptakan sentuhan api tanpa membakar tangan dan terbakarnya tangan tanpa sentuhan, dan demikian seterusnya.” (al-Hilli, Kashfu ‘l-Haq)
Sebagaimana yang Anda lihat dalam pembahasa tulisan ini, perbedaan mencolok antara Syiah dan Sunni Asy’ari bersumber dari pandangan mereka ihwal kedudukan akal dalam agama dan hubungan natural antara sebab dan akibat.[]




Bagian Ke-2


Tuhan Tiada Melakukan Kesalahan

Syiah mengatakan bahwa Allah tidak melakukan perbuatan, yang dalam timbangan akal merupakan, keburukan atau kejahatan.[4] Di sini tidak digunakan terminologi yang mengandung muatan makna “The King can do no wrong.” Lantaran adagium “raja tidak melakukan kesalahan” sejatinya bermakna bahwa ia tidak berbuat sesuatu apa pun, yang ia lakukan hanyalah menandatangani apa yang telah diratifikasi oleh parlemen. Jadi, penghormatan ini tidak didasari oleh perbuatan raja, melainkan tiadanya aksi darinya. Namun “God does no wrong” bermakna bahwa kendati dia aktif dan Mahakuasa, Tuhan tetap tidak dapat melakukan kesalahan dan keburukan. Mengapa?
Siapa pun yang melakukan kesalahan atau kezaliman melakukan hal tersebut karena satu atau beberapa alasan di bawah ini:
1. Ia melakukan perbuatan tersebut karena tidak mengetahui bahwa hal itu salah;
2. Atau ia memerlukan sesuatu yang tidak dapat ia peroleh kecuali dengan melakukan kesalahan;
3. Atau ia dipaksa oleh orang lain untuk melakukan kesalahan tersebut.
Tetapi Allah Mahakuasa dan Mahatahu; Dia bebas dari kebutuhan dan tidak memerlukan apa pun. Dan Dia Mahakuasa dan tiada seorang pun yang dapat memaksa-Nya melakukan sesuatu. Oleh karena, secara logis adalah mustahil bagi Allah melakukan perbuatan kezaliman atau kesalahan.
Sebaliknya, Asya’irah berkata bahwa tiada sesuatu yang secara rasional buruk atau baik. Mereka berkata bahwa “Apa saja yang dilakukan Tuhan adalah baik, lantaran tiada sesuatu yang buruk bagi-Nya atau memaksa-Nya.[5] Abdulaziz Dehlawi, seorang ulama Sunni yang ternama, menulis “Adalah mazhab Ahlusunnah bahwa tiada sesuatu yang buruk bagi-Nya; bahwa segala sesuatu yang, jika dilakukan oleh manusia atau setan disebut kejahatan dan atas alasan itu mereka disalahkan dan dicela, adalah bukan kejahatan jika dilakukan oleh Tuhan Yang Mahakuasa.”[6]



Tiada Sesuatu Tanpa Tujuan

Syiah berkata bahwa Tuhan tidak pernah bertindak sesuatu tanpa tujuan atau maksud lantaran perbuatan ini dalam timbangan akal bukan merupakan sebuah perbuatan terpuji. Seluruh perbuatan dan tindakan-Nya adalah berdasarkan kepada hikmah dan kebijaksanaan, meski boleh jadi kita tidak mengetahui hal tersebut.
Mazhab Imamiyah berkata bahwa Allah Yang Mahakuasa tidak melakukan sesuatu tanpa tujuan melainkan dengan maksud dan tujuan.”[7]
Asya’irah berpandangan, lantaran penolakan mereka ihwal kebaikan dan keburukan yang dapat di timbang dalam teraju akal, bahwa tiada salahnya jika Tuhan bertindak tanpa alasan. “Merupakan mazhab Asya’irah bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan tidak disebabkan oleh tujuan apa pun; dan mereka berkata bahwa tidak dibenarkan berkata bahwa perbuatan-perbuatan-Nya dilatari oleh tujuan-tujuan tertentu. Dan Dia melakukan apa pun yang Dia kehendaki, dan menitahkan apa pun yang Dia inginkan; Jika Dia menghendaki untuk menjerumuskan seluruh makhluk-Nya untuk selamanya di Neraka, Dia adalah Penguasa dan pemilik Otoritas; dan dosa (makhluk) tiada hubungannya dalam masalah ini. Dia adalah Sebab segala sesuatu.”[8] (Fadl, op. cit)



Dapatkah Kita Mengetahui Semua Hikmah?

Seperti yang telah disebutkan bahwa Tuhan tidak melakukan sesuatu tanpa tujuan atau alasan. Tentunya ada alasan bagi setiap sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan, tetapi tidaklah wajib bagi kita mengetahui semua alasan tersebut.
Kami katakan bahwa setiap perbuatan Allah sedemikian sehingga jika kita dibolehkan mengetahui alasannya, kita niscaya mengakui bahwa ia adalah sesuatu yang memang patut kita lakukan. Kita sering merasa terganggu dengan sebuah peristiwa atau masalah lantaran kita tidak tahu tujuan yang sebenarnya di balik peristiwa dan masalah tersebut. Gambaran itu dapat dijumpai dalam al-Qur’an ihwal kisah pertemuan antara Nabi Musa As dan seseorang (yang lebih berilmu dari Nabi Musa As). Orang alim itu telah membolehkan Nabi Musa As untuk mengikutinya dengan syarat bahwa “ Ia tidak boleh bertanya kepadanya mengenai apa yang ia tahu, sehingga ia sendiri memberitahukannya kepadamu.”
Berikut ini adalah penggalan cerita itu:
“Lalu mereka meneruskan perjalanan dengan bahtera. Ketika mereka berada dalam bahtera, orang alim tersebut melubangi bahtera tersebut. Musa menentang perbuatan tersebut kemudian ia diperingatkan akan janjinya. Kemudian, orang alim itu membunuh seorang anak. Melihat itu, Musa tidak dapat menahan dirinya lalu mencelanya dengan bahasa yang keras. Sekali lagi, dia diperingatkan akan janjinya agar tidak bertanya.
Mereka berjalan terus hingga sampai ke sebuah kota dimana tidak seorang pun yang memberikan makanan kepada mereka. Di tempat itu, mereka menemui dinding yang runtuh lalu orang alim itu memperbaikinya. Musa berkata, “Kalau engkau ingin, tentulah engkau boleh mendapat bayaran untuknya.”
Dengan hujah yang ketiga ini, orang alim itu memberitahu Musa: “Inilah perpisahan antara engkau dan aku.”
Lalu sebelum berpisah, ia menerangkan alasan-alasan terhadap perbuatannya itu.
“Berkenaan dengan bahtera itu, ia adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di sungai dan aku merusaknya karena ada seorang raja di belakang mereka yang merampas setiap bahtera yang baik yang lalu-lalang di hadapannya.”
“Berkenaan dengan anak itu, ibu- bapaknya adalah orang-orang yang saleh dan aku risau ia akan menindas kedua-duanya dengan memberontak dan mengingkarinya, dan aku ingin agar Tuhan menggantikannya untuk mereka dengan seorang anak yang lebih baik dan saleh.”
“Mengenai tembok dinding itu, ia adalah milik dua orang anak yatim di kota itu, dan di situ terdapat harta milik mereka, dan ayah mereka adalah seorang yang saleh dan Tuhanmu menghendaki agar apabila mereka besar nanti, mereka dapat mengambil harta itu sebagai suatu rahmat dari Tuhan mereka dan tidaklah aku melakukan perbuatan-perbuatan itu menurut kehendakku sendiri.”[9]
Kami berharap contoh ini sudah memadai untuk menjelaskan pandangan kami tentang perbuatan-perbuatan Allah.
Sekelompok ulama pernah berkata:
“Setiap sesuatu yang ditetapkan oleh akal adalah ditetapkan oleh syariat dan setiap sesuatu yang ditetapkan oleh syariat ditetapkan oleh akal.”
Orang awam sering kali salah memahami ucapan ini. Mereka berfikir bahwa setiap sesuatu yang kita tetapkan sebagai baik, mestilah dihukumkan oleh syariat sebagai baik juga, padahal ia tidak seperti itu. Maksud ucapan tersebut adalah seandainya kita boleh mengetahui alasan di balik hukum syariat, akal kita pasti akan mengakui bahwa hukum itu sepatutnya demikian, dan seluruh hukum syariat itu adalah berdasarkan kepada hikmah (akal).



Aslah : Yang Paling Bermanfaat

Mazhab Syiah meyakini bahwa semua perbuatan Allah adalah bertujuan untuk kebaikan para makhluk-Nya. Aslah bermakna yang paling menguntungkan dan membawa manfaat. Dan kalimat ini kami gunakan untuk menggambarkan perbuatan-perbuatan Tuhan.
Keyakinan ini berdasarkan kepada beberapa alasan rasional berikut ini: Pertama, Dia Sendiri tiada membutuhkan, dan oleh karena itu apa pun yang Dia lakukan adalah untuk seluruh makhluk-Nya. Kedua, jika perbuatan-Nya tanpa kemaslahatan bagi seluruh makhluk-Nya, maka seluruh makhluk tersebut tiada akan memiliki tujuan; dan melakukan sesuatu tanpa tujuan, sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, buruk dalam pandangan akal.[10] Boleh jadi manusia yang membaiki atapnya merasa terganggu karena hujan yang turun begitu lebat, tetapi hujan adalah untuk maslahah (manfaat) yang berbentuk umum; bahkan seseorang yang merasa teraniaya pada masa itu akan mendapat kebaikan darinya di masa yang akan datang.
Asya’irah mengingkari bahwa seluruh perbuatan Tuhan adalah untuk kepentingan dan manfaat bagi seluruh makhluk-Nya karena mereka menolak konsep kebaikan dan keburukan yang dapat ditimbang oleh akal (husn wa qubh aqli).[11]
Berdasarkan keyakinan terhadap aslah, Syiah meyakini bahwa setiap insting dan nafsu yang terdapat dalam diri manusia diciptakan lantaran beberapa alasan dan tujuan. Seluruh insting atau nafsu ini tidak boleh diabaikan tapi diberdayakan untuk kemaslahatan umum umat manusia.
Misalnya, nafsu seks yang telah diciptakan Tuhan dalam diri manusia. Memberangus insting ini bermakna protes kepada Sang Pencipta. Ia tidak boleh dan tidak dapat diberangus; namun, tentu saja, fungsinya harus diatur untuk kemaslahatan umat manusia. Dan oleh karena itu, manusia harus melakukan pernikahan untuk menyalurkan anugerah nafsu ini dalam kehidupannya.
Demikian juga, ketakutan dan keinginan merupakan naluri-naluri natural dan sepatutnya dimanfaatkan bagi kepentingan manusia. Orang Islam diajar agar tidak takut kepada sesiapa atau sesuatu selain dari Allah, dan tidak menghendaki sesuatu di dunia ini, sebaliknya bersiap sedia untuk menerima karunia dari Allah.



Janji dan Ancaman

Seperti yang telah dijelaskan, Allah telah menetapkan Hari Pengadilan. Dia (Allah) telah menjanjikan balasan ganjaran pahala yang banyak untuk seluruh perbuatan baik dan mengancam untuk menghajar seluruh perbuatan jahat yang dilakukan oleh manusia. Terdapat perbedaan di kalangan orang-orang Islam apakah Allah wajib memenuhi janji dan ancaman-Nya.
1. Mu‘tazilah mengatakan wajib bagi Allah; yaitu Allah tidak boleh memaafkan perbuatan-perbuatan jahat seseorang yang mati tanpa bertaubat.[12]
2. Asya‘irah mengatakan Allah tidak wajib memenuhi janji dan ancaman-Nya; yaitu Dia (Allah) boleh memasukkan orang-orang yang baik ke neraka dan memasukkan Iblis ke surga. Kepercayaan mereka ini adalah berdasarkan kepercayaan mereka bahwa tidak ada sesuatu yang baik atau buruk dengan sendirinya; dan hanya apa yang Allah perintahkan kita melakukannya itu baik dan apa yang dilarang-Nya itu tidak baik. Menurut mereka, tidak ada sesuatu mengandungi keburukan atau keburukan kecuali apa yang Allah perintah atau larang.[13] Oleh karena itu, seandainya Dia memasukkan Iblis ke syurga dan memasukkan para nabi ke neraka, hal mereka anggap sebagai cermin keadilan Tuhan.
3. Syiah berkata bahwa wajib bagi Tuhan memenuhi janji-janji-Nya mengganjari perbuatan yang baik lantaran apabila Tuhan tidak memenuhi janji-Nya maka hal ini bertentangan dengan kaidah keburukan dan kebaikan yang dapat ditimbang dalam neraca akal (husn wa qubh aqli); tapi tidak wajib bagi-Nya untuk memenuhi ancaman-Nya menghajar perbuatan yang buruk lantaran memaafkan para pendosa merupakan cermin kebaikan. Jadi apabila Tuhan menghajarnya, menurut keadilan-nya; dan apabila Dia maafkan, menurut kepada kemurahan dan kasih-Nya.[14] []





Bagian Ke-3


Manusia itu Bebas atau Terpaksa?

Kini kita akan membahas perbedaan pokok teologis di kalangan mazhab-mazhab Islam. Persoalan itu adalah mengenai manusia, apakah ia terpaksa (baca:determinisme) ataupun bebas (freewill) dalam perbuatan mereka. Dalam pembahasan ini setidaknya terdapat empat pendapat yang masyhur:
1. Mu‘tazilah mengatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan mutlak untuk berbuat apa saja yang diinginkannya, dan Allah tidak berkuasa ke atas perbuatannya. Mazhab teologis ini juga dikenali sebagai mazhab Qadariyyah.
2. Mujbirah mengatakan bahwa manusia tidak berkuasa atas perbuatannya. Dia diumpamakan seperti alat dalam kekuasaan Allah seperti pena di tangan kita.
3. Asya‘irah pula mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai kuasa atau kehendak sendiri dalam perbuatannya, tetapi ia masih “menguasai” perbuatan itu. Istilah yang digunakan oleh mereka ialah kasb. Sebenarnya apa yang mereka maksudkan ini merupakan sesuatu yang mengusutkan pemikiran mereka sendiri.
4. Syi‘ah mengatakan bahwa manusia tidak bebas sepenuhnya daripada Allah, dan tidak juga dipaksa oleh Allah, tetapi kedudukan sebenarnya adalah di antara dua (in between) keadaan ini.
Dapat dilihat bahwa pandangan Mujbirah, Mu‘tazilah dan al-Syi‘ah adalah lebih mudah dipahami, tetapi pandangan Asya‘irah tentang kasb tidak mudah dipahami, sama seperti kepercayaan orang-orang kristian tentang Trinitas (3 dalam 1 Tuhan). Jelaslah bahwa mereka menggunakan istilah ini hanyalah sebagai perisai untuk menyembunyikan kepercayaan mereka yang sebenarnya dimana secara umum sama seperti Mujbirah. Oleh karena itu, kedua pandangan ini dapat dikatakan sebagai satu pandangan. Shibli Nu’mani, seorang ulama Sunni yang terkenal, berkata, “Mereka yang cukup berani, secara terbuka mengadopsi determinisme dan kemudian dikenal sebagai Jabriyah. Mereka yang ragu menggunakan redaksi jabr, menggunakan kedok terma “kasb” dan “irâdah”. Kedok ini direka oleh Abul Hasan al-‘Asy’ari.[15] Oleh karena itu di sini kita perlakukan terma Jabariyyah dan Asy’ariyah sebagai satu terma. Pada masa kiwari ini, para pengikut Ahlussunah keseluruhannya adalah bermazhab Asya‘irah (dalam domain teologi) dan lantaran pembahasan ini merupakan topik yang sangat penting, di sini kita akan membahasnya secara global.



Kepercayaan Ahlusunnah

Kepercayaan Ahlusunnah dalam masalah perbuatan manusia, sebagaimana yang dijelaskan oleh Abu Hamid al-Ghazali , adalah seperti berikut:
“Tidak ada perbuatan manusia walaupun dilakukan semata-mata untuk dirinya (kasb), bebas dari kehendak Allah, baik dalam dunia materi ataupun maknawi, perbuatan mengedipkan mata dan berpikir melainkan semuanya dengan izin, kuasa, kehendak dan kemauan Allah. Hal ini termasuk perbuatan buruk dan baik, untung dan rugi, jaya dan gagal, salah dan benar, taat dan ingkar serta syirik dan kufur.”[16]
Patut juga disebutkan di sini, kepercayaan ini diciptakan oleh Bani Umaiyyah, pada masa mereka berkuasa, dimana mereka bertujuan menjadikan kepercayaan ini sebagai perisai untuk melindungi segala kekejaman dan kezaliman mereka. Begitulah pendapat tokoh Ahlusunnah yang terkenal, al-‘Allamah Syibli al-Nu‘mani (dari India) yang telah mengakui realitas tersebut dalam kitabnya al-Kalâm, “Biarpun semua faktor menyebabkan perbedaan dalam kepercayaan, namun perbedaan politik juga memainkan peran penting dalam masalah ini dimana pemerintahan Bani Umayyah merupakan dinasti yang sangat signifikan berperan dalam munculnya kepercayaan ini. Mereka dengan kejam menumpahkan darah, sehingga timbul keinginan di kalangan orang untuk menentangnya, tetapi bagi golongan yang tercaplok oleh kekuasaan Bani Umayyah sering kali melemahkan orang-orang ini dengan kata sakti bahwa “Segala sesuatu yang berlaku adalah menurut kehendak Allah, dan oleh karena itu manusia tidak boleh membangkang sama sekali. Segalanya sudah ditetapkan, dan apa saja yang berlaku, apakah perbuatan itu baik atau buruk adalah menurut kehendak Allah dan kita perlu mengakuinya.”[17] Kami kira penjelasan ini telah memadai untuk menjelaskan secara global kepercayaan yang dianut oleh mazhab Ahlusunnah.



Kepercayaan Syi‘ah

Di satu pihak Syi‘ah Imamiyyah Ithna-‘Asyariah percaya bahwa kita sendiri dapat membedakan di antara “terjatuh dari atas atap” dan “perbuatan turun ke bawah dengan menggunakan tangga.” Perbuatan yang kedua itu dilakukan dengan kemampuan, kehendak dan keinginan kita, sementara perbuatan terjatuh ke bawah adalah sebaliknya.
Kita juga tahu bahwa perbuatan-perbuatan kita bukanlah seperti perbuatan terjatuh ke bawah dari atas atap, bahkan ia adalah seperti perbuatan turun dengan kuasa dan kemampuan kita sendiri. Oleh karena itu, perbuatan itu adalah perbuatan kita sendiri dan tidak dapat dikatakan bahwa perbuatan itu adalah perbuatan Allah.
Sekali lagi, kita lihat bahwa terdapat sebagian perbuatan yang menyebabkan kita dipuji atau dicaci, sedangkan dalam sebagian perbuatan yang lain, kita tidak dipuji ataupun dicaci. Hal ini dengan jelas menunjukkan bahwa perbuatan yang pertama adalah berada dalam kuasa dan kehendak kita dimana perbuatan yang kedua adalah berada di luar kekuasaan dan kehendak kita.
Sebagai contoh, kita dianjurkan untuk merawat sebuah penyakit dengan cara begini atau begitu, tetapi kita tidak dapat dianjurkan untuk sembuh dengan pasti dari penyakit itu. Hal ini bemakna bahwa mendapatkan perawatan berada dalam kekuasaan kita, sedangkan mendapatkan kesembuhan tidak berada dalam kekuasaan kita.
Oleh karena itu, kita dapat mengatakan bahwa terkadang terdapat banyak perkara dan aspek kehidupan yang berada dalam kuasa dan kemampuan kita, sedangkan yang lain tidak berada dalam kuasa dan kemampuan kita. Dalam urusan dan perkara yang kita boleh diberikan nasihat, anjuran, dipuji atau dicaci adalah berada dalam ruang kekuasaan dan kemampuan kita.
Perintah-perintah agama berada dalam kumpulan ini. Lantaran kita dianjurkan atau diperintahkan supaya melakukan atau tidak melakukan perkara ini dan itu. Dengan demikian kita dipuji apabila kita mentaati perintah-perintah tersebut dan dicela apabila kita mengingkarinya. Oleh karena itu, adalah keliru apabila beranggapan dan berkata bahwa kesalahan dan kebenaran, ketaatan dan keingkaran, kepercayaan yang benar dan yang palsu adalah berdasarkan perintah dan kehendak Allah.
Syaikh Shaduq berkata “ Allah memiliki segala pengetahuan tentang perbuatan manusia, tetapi Allah tidak memaksa mereka melakukan sesuatu.”[18]
Namun hal itu tidak berarti bahwa manusia bebas dan mandiri dari Allah. Pada hakikatnya, kuasa dan kehendak untuk berbuat sesuatu menurut apa yang kita kehendaki adalah dikurniakan oleh Allah. Senada dengan hal ini, Imam Ja‘far Sadiq As mengatakan: “Tiada paksaan (oleh Allah), tidak ada kekuasaan mutlak (yang dikurniakan oleh Allah kepada manusia), tetapi kedudukan sebenarnya adalah di antara kedua-dua keadaan ini. (al-amru bainal amrain).”[19]
Contoh berikut ini secara jelas menggambarkan “posisi tengah” ini. Anggaplah tangan seseorang secara total mengalami kelumpuhan sedemikian sehingga ia tidak mampu menggerakan jari-jemarinya. Seorang dokter telah memasang sebuah alat listrik di tangannya dimana ketika alat tersebut menyala, ia dapat menggunakan tangannya secara bebas dengan wajar. Alat tersebut diaktifkan oleh sebuah remote control yang dijaga oleh dokter tersebut. Tatkala dokter menyalakan alat tersebut, ia dengan leluasa dapat menggerakkan tangannya, namun ketika alat tersebut tidak menyala, ia tidak dapat melakukan apa pun. Kini apabila alat tersebut menyala dan pasien menggerakkan tangannya kesana dan kemari, dapatkah perbuatannya itu diatributkan secara bebas kepadanya? Tidak, lantaran kekuatan bersumber dari alat tersebut yang sepenuhnya dikendalikan oleh dokter. Perbuatan itu juga tidak dapat disandarkan kepada dokter? Tidak, lantaran pasien tersebut melakukan perbuatan itu sesuai dengan kehendak dan pilihannya. Hal ini merupakan contoh dari perbuatan-perbuatan kita. Kita tidak terpaksa melakukan perbuatan itu karena kehendak dan pilihan berada di tangan kita; kita juga tidak sepenuhnya mandiri, lantaran kekuasaan yang membolehkan kita melakukan apa saja bersumber dari Tuhan.



Potret Kebebasan Manusia

Pertanyaan yang dapat diajukan di sini adalah darimanakah bermulanya kemampuan kita untuk melakukan sesuatu? Imam Musa Kazim As berkata: “Seorang manusia memperoleh kemampuan untuk melakukan sesuatu apabila memenuhi empat syarat berikut ini:
1. Ketika tiada sesuatu halangan menegahnya
2. Sehat, kekuatan
3. Yang diperlukan untuk tugas itu mencukupi
4. Tuhan memberikan keadaan untuknya melakukan tugas itu.
Ketika seluruh syarat yang disebutkan terpenuhi, seseorang dapat melakukan segala sesuatu menurut kehendaknya sendiri.”
Ketika Imam Musa Kazhim ditanya tentang suatu contoh, beliau berkata: “Marilah kita andaikan bahwa ada seorang lelaki yang tidak mendapatkan halangan, sehat dan kuat, namun ia masih tidak boleh melakukan perbuatan zina kecuali ia menemui seorang wanita. Apabila (syarat yang keempat dipenuhi) dan dia menemui seorang wanita, kemudian terserah orang tersebut untuk menentukan satu dari dua pilihan, apakah ia dapat mengendalikan nafsu jahatnya dan menyelamatkan dirinya seperti yang dilakukan oleh Nabi Yusuf As ataupun ia memilih untuk terjerat oleh pesona wanita dengan melakukan zina. Seandainya ia mampu mengendalikan dirinya dari perbuatan dosa itu, hal tersebut bukanlah akibat paksaan oleh Allah (seperti yang dipikirkan oleh sebagian orang), dan seandainya dia melakukan dosa, hal tersebut juga tidak berarti bahwa ia mengatasi kekuasaan Allah (sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang).”[20]



Determinasi dan Hari Kiamat

Menurut hemat kami, seandainya seseorang itu percaya kepada adanya determinasi (keterpaksaan), pada masa yang sama dia seharusnya tidak boleh percaya kepada Hari Kiamat. Sekiranya Allah telah menetapkan setiap perbuatan yang hendak kita lakukan, lalu mengapa Dia harus mengenakan hukuman kepada kita akibat melakukan perbuatan-perbuatan dosa, kejahatan dan perbuatan yang menyalahi (perintah-Nya) karena Dia sendirilah yang telah menetapkannya ke atas kita. Itu tentunya tidak adil sama sekali.
Berikut ini adalah pembahasan yang mengemuka antara Imam Musa Kazim As pada masa belianya dan Abu Hanifah, pendiri mazhab fiqih Hanafi yang merupakan salah satu mazhab Ahlusunnah:
Suatu ketika Abu Hanifah keluar untuk menemui Imam Ja‘far Sadiq As. Ketika ia sampai di kediaman Imam, Imam sedang berada di dalam rumah. Dan Abu Hanifah pun menunggunya di luar rumah.
Tak berapa lama kemudian, seorang bocah belia keluar dari rumah tersebut. Abu Hanifah pun bertanya kepadanya: “Wahai kuculuk, bersumber dari siapakah sebenarnya perbuatan seseorang manusia? Bocah belia itu lalu berkata: “Wahai Abu Hanifah, hanya terdapat tiga kemungkinan; manusia itu sendiri yang menjadi pelaku kepada perbuatannya, atau Tuhan sebagai pelaku kepada perbuatan itu; ataupun kedua-duanya menjadi pelaku perbuatan tersebut. Sekiranya Allah disebut sebagai pelaku atas perbuatan seorang manusia, lalu mengapa Dia mengenakan hukuman kepada manusia atas perbuatan dosa itu? Bukankah itu merupakan suatu bentuk kezaliman, sementara Allah Swt sendiri telah berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak menzalimi hamba-hamba-Nya.”
Seandainya, keduanya, yaitu Allah dan manusia bersekutu dalam perbuatan dosa, tentunya tidak adil sekiranya rekan sekutu yang lebih berkuasa (Tuhan) menghukum rekan sekutunya yang lemah (manusia) atas perbuatan yang mereka lakukan bersama-sama; dan oleh karena terbukti bahwa kedua pilihan tersebut tidak dapat diterima oleh akal dan mustahil, maka pilihan ketiga terbukti benar yaitu manusia sendiri yang melakukan perbuatannya dengan kuasa dan kehendaknya sendiri.”
Abu Hanifah lalu mencium kening bocah tersebut. Bocah belia itu adalah Musa, yang kemudiannya dikenali sebagai al-Kazim, Imam ketujuh dalam mazhab Syi‘ah.



Kisah Abu Hanifah Dan Bahlul

Abu Hanifah meyakini bahwa manusia tidak melakukan perbuatan berdasarkan kuasa dan kehendaknya. Pada suatu ketika, pendapatnya ini telah menjadi sebab terjadinya sebuah peristiwa. Bahlul merupakan seorang yang pandai dan seorang pemimpin. Ia adalah salah seorang sahabat Imam Ja‘far Sadiq As yang terkenal yang hidup hingga masa Imam ‘Ali Naqi As dan sempat juga berjumpa dengan Imam Hasan Askari As.
Biasanya ia dipanggil sebagai Bahlul Majnun (Bahlul yang gila). Hal ini lantaran ia berpura-pura menjadi gila untuk menyelamatkan nyawanya dari tugas-tugas kehakiman yang ditawarkan Khalifah Harun al-Rasyid kepadanya.
Namun begitu dengan “kepintarannya ” itu, ia mengambil kesempatan dari perangai kegila-gilaannya dengan selalu menentang tokoh-tokoh besar pada zamannya (termasuk raja-raja) mengumbar kelemahan-kelemahan mereka sendiri.
Pada suatu ketika, ia terdengar Abu Hanifah, yang bermukim di Kufah, Iraq memberitahu para pengikutnya: “ Saya mendengar tiga perkara dari Imam Ja‘far Sadiq As yang menurut pendapat saya adalah salah. Para pengikutnya itu lalu bertanya mengenai perkara-perkara tersebut. Abu Hanifah pun berkata:
“Pertama, Imam Ja‘far Sadiq As berkata bahwa Allah Swt tidak dapat dilihat. Tetapi hal itu tidak benar. Seandainya sesuatu itu wujud, maka ia mesti dapat dilihat.”
“Kedua, beliau mengatakan bahwa syaitan akan disiksa dalam api neraka, tetapi hal itu mustahil berlaku kerana syaitan dijadikan dari api. Bagaimanakah api boleh mencelakakan seseorang yang materinya juga bersumber dari api?”
“Ketiga, beliau mengatakan perbuatan manusia dilakukan dengan kehendak dan kekuasaannya, dan manusia bertanggungjawab atasnya. Tetapi perkara itu tidak tepat karena semua perbuatan manusia dilakukan berdasarkan kehendak dan kekuasaan Allah, dan Allah yang sebenarnya bertanggungjawab atas perbuatan tersebut.”
Ketika para pengikutnya baru hendak memujinya, Bahlul mengambil segumpal tanah dan melontarkannya tepat ke arah Abu Hanifah. Gumpalan tanah itu tepat mengenai keningnya, lantas ia menjerit kesakitan. Para pengikutnya menangkap Bahlul lalu Abu Hanifah membawanya menemui Hakim.
Hakim (Qadi) mendengar aduan itu dan bertanya kepada Bahlul apakah tuduhan tersebut benar atau keliru.
Bahlul: “ Wahai Qadi! Abu Hanifah mengatakan ia mengalami sakit yang kuat di kepalanya karena terkena lontaran gumpalan tanah. Tetapi saya berpendapat, dia berdusta. Saya tidak percaya kepadanya hingga saya melihat “ sakit ” itu sendiri.”
Abu Hanifah: “ Kamu benar-benar gila. Bagaimanakah aku dapat menunjukkan “ sakit ” kepadamu? Adakah seseorang yang pernah melihat “ sakit ”?”
Bahlul: “Tetapi wahai Qadi! Tadi ia baru saja mengajarkan kepada para pengikutnya, seandainya sesuatu itu memang wujud, ia mestilah boleh dilihat. Oleh kerana dia tidak dapat memperlihatkan “sakit” itu, saya anggap berdasarkan kepercayaannya sendiri, ia tidak sakit sama sekali.”
Abu Hanifah: “ Oh, sakitnya kepalaku!”
Bahlul: “ Wahai Qadi, ada satu perkara lagi. Ia juga memberitahu para pengikutnya bahwa karena syaitan dicipta dari api, maka api neraka tersebut tidak dapat mencelakakannya. Sekarang, manusia direka dari tanah seperti yang dinyatakan oleh al-Qur’an, sementara gumpalan tanah inilah yang mencederainya. Saya heran bagaimana ia dapat menuding gumpalan tanah itu dapat mencelakakan manusia yang juga diciptakan dari gumpalan tanah?”
Abu Hanifah: “Wahai Qadi, Bahlul ingin melepaskan dirinya dengan omong-omongnya itu. Tolonglah hajarlah ia karena telah mencelakaiku.”
Bahlul: “ Wahai Qadi, saya kira Abu Hanifah ternyata telah melakukan kesalahan dengan membawa saya ke mahkamah ini. Ia baru saja memberitahu segala perbuatan manusia adalah dilakukan oleh Allah dan Allahlah yang bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatan mereka. Sekarang, mengapa ia membawa saya ke sini? Seandainya ia benar-benar sakit akibat terkena gumpalan tanah itu (dimana saya sendiri meragukan hal itu berdasarkan dalil-dalil yang telah dijelaskan), ia sepatutnya menuntut Allah yang mencederainya dengan melontar gumpalan tanah itu. Mengapa manusia yang tidak berdaya seperti saya dibawa ke mahkamah sementara semua perbuatan yang saya lakukan itu sebenarnya dilakukan oleh Allah? Mendengar timpalan Bahlul ini, Qadi pun membebaskannya.”
Dengan demikian Bahlul dapat mematahkan argumen-argumen Abu Hanifah yang berkeyakinan bahwa Tuhan itu dapat dilihat dan juga bahwa manusia itu tidak bebas dalam melakukan perbuatan yang ia inginkan.



Kebebasan Manusia; Percaya atau Tidak?

Seperti yang telah dijelaskan, Tuhan tidak menciptakan sesuatu tanpa tujuan. Dari sini, kita patut mengemukakan sebuah pertanyaan, apakah tujuan penciptaan manusia?
Allah menciptakan manusia agar dia melakukan kebaikan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah. Manusia hadir ke dunia ini ibarat sehelai kertas yang kosong. Sepanjang hayatnya, berbagai-bagai bentuk dan corak tersalin pada kertas tersebut sebagai akibat atau kesan daripada pemikiran dan perbuatan-perbuatannya. Kebaikan yang dia perolehi adalah seperti corak-corak yang menawan dan apabila yang tergores adalah keburukan maka coraknya adalah corak-corak yang buruk. Allah Swt berfirman: “Penuh berkah nan abadi Allah yang di tangan-Nya segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan mati dan hidup supaya Dia mengujimu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Qs. Al-Mulk [67]:1-2)
Allah mengaruniakan hikmah, kebijaksanaan dan kekuatan kepada manusia untuk mencapai kebaikan-kebaikan tersebut. Dia telah memperlihatkan jalan yang lurus kepada manusia dan mengancamnya dari jalan-jalan kesesatan, tetapi Dia (Allah) tidak memaksa manusia melakukan perbuatan-perbuatan baik, begitu juga dengan perbuatan-perbuatan buruk. Dia (Allah) telah memberikan kuasa atau kemampuan kepada manusia untuk melakukan sesuatu sebagaimana yang diingininya dalam hidup ini. Al-Qur’an menegaskan: “Demi jiwa manusia dan Dzat yang telah menyempurnakannya. Lalu Dia Allah mengilhamkan kepadanya (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sungguh beruntunglah orang yang telah menyucikannya, Dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya.” (Qs. Asy-Syams [91]:7-9)



Taufik dan Khidlan

Oleh karena tujuan penciptaan kita adalah untuk melakukan kebaikan dengan mentaati Allah dan karena kita diberikan kebebasan memilih, Allah tidak memaksa kita untuk memilih jalan tertentu. Allah yang Maha Pemurah senantiasa menolong manusia yang tulus ingin mentaati-Nya, tetapi pertolongan itu bukanlah paksaan dari Allah.
Marilah kita mengambil contoh, seorang tukang yang diminta memperbaiki atap. Dia sepakat melakukan pekerjaan tersebut dan telah bersiap-siap untuk memulai pekerjaan tersebut. Namun, kemudian ia menghadapi beberapa kesulitan untuk mendapatkan tangga yang cukup panjang untuk dapat naik ke atas atap tersebut. Anda tahu bahwa ia memang berhasrat melakukan pekerjaan itu, tetapi Anda juga memaklumi bahwa dia akan menghadapi kesukaran karena tangganya yang pendek itu. Oleh karena itu, Anda meminjamkan tangga yang mempunyai ketinggian tertentu kepadanya dan dengan sebab itu, Anda telah memudahkan pekerjaannya.
Patut diingat bahwa, pertolongan itu diberikan tatkala ia mempunyai hasrat yang kuat untuk melakukan tugas tersebut dan ketika dia telah membuat persiapan yang cukup lengkap. Lantaran itu, pertolongan tadi bukanlah memaksanya memulai pekerjaan itu, dan juga bukan yang menyebabkan timbulnya niat, keinginan atau kekuatan untuk memperbaiki atap tersebut. Niat, kehendak dan kekuatan, seluruhnya telah tersedia. Apa yang Anda lakukan baginya hanyalah menolongnya menunaikan niatnya itu.
Pertolongan seperti itu dari Allah Swt yang dikaruniakan kepada orang-orang yang ikhlas ingin mentaati perintah-Nya disebutkan sebagai taufik. Taufik bermakna membantu seseorang untuk melaksanakan tugas.
Sekarang, marilah kita lihat dari sisi lain dari perumpamaan ini. Sekiranya tukang tersebut tidak mau memperbaiki atap itu dan enggan menerima tugas itu sama sekali, atau selepas ia sepakat melakukan tugas itu dan kemudian berlengah-lengah serta mengemukakan berbagai-bagai alasan yang tidak sesuai. Anda tahu bahwa dia memang tidak berniat melakukan tugas itu. Oleh karena itu, tidaklah perlu sama sekali memberikannya tangga itu ataupun menawarkan tangga itu kepadanya.
Apakah dapat dikatakan bahwa dengan mengambil balik tangga itu, Anda telah memaksanya untuk tidak melakukan tugas itu? Tentu sekali tidak. Hal ini disebabkan karena orang itu dengan kehendak dan pilihannya sendiri telah menolak tugas itu (atau menangguhkannya tanpa alasan yang wajar). Tangga kepunyaan Anda itu tidak ada kaitan sama sekali dengan keputusannya itu.
Dalam hubungannya dengan Allah Swt, dengan menarik balik pertolongan dari orang-orang tersebut, yang dengan kehendak dan pilihan mereka sendiri telah memilih untuk mengingkari perintah-perintah Allah, disebut sebagai khidhlan. Khidhlan bermakna pengingkaran.
Anda akan menemui banyak ayat al-Qur’an yang merujuk kepada kedua-dua aspek pertolongan Allah tersebut. Di antaranya:
“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan petunjuk kepadanya, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan kekotoran kepada orang-orang yang tidak beriman.” (Qs. Al-An’am *6+:125)
Lihatlah bahwa Allah tidak pernah menyesatkan golongan kafir - Dia hanya membiarkan mereka berada dalam kesesatan. Hal ini bermaksud bahwa mereka telah tersesat dan kemudian Allah membiarkan mereka terus tersesat. Pengertian ini akan menjadi lebih jelas apabila Anda melihat redaksi ayat: “Begitulah Allah menimpakan kekotoran kepada orang-orang yang tidak beriman.”
Hal ini dengan jelas menunjukkan mereka dibiarkan berada dalam kesesatan sebagai suatu bentuk hukuman karena kekufuran mereka. Mereka telah memilih, dengan kehendak sendiri, untuk tidak beriman kepada Allah, dan kemudian, sebagai hasil dari kekufuran itu, Allah membiarkan mereka dalam kesesatan. Dalam ayat lain disebutkan:
“Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih kecil dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka. Akan tetapi, mereka yang kafir akan berkata, “Apakah maksud Allah menjadikan ini sebagai perumpamaan?” Dengan perumpamaan itu, Dia menyesatkan banyak orang dan dengan perumpamaan itu (pula) Dia memberikan petunjuk kepada banyak orang. Dan Dia tidak akan menyesatkan dengan perumpamaan itu kecuali orang-orang yang fasik.” (Qs. Al-Baqarah [2]:6)
Di sini disebutkan bahwa orang-orang yang dibiarkan tersesat itu hanyalah orang-orang yang telah pun melampaui batas dengan pilihan dan kehendak mereka sendiri. Jelaslah bahwa mereka dibiarkan sesat karena mereka sendiri yang telah menyesatkan diri dengan pilihan mereka yang keliru itu.



Pengetahuan Tuhan dan Perbuatan Manusia

Setelah menguraikan pembahasan di atas sebuah pertanyaan asasi patut diajukan di sini. Tuhan mengetahui segalanya. Dia mengetahuinya semenjak sebelumnya, misalnya, Budi bakalan menjadi seorang yang kafir. Kini, Budi memeluk Islam, hal ini bermakna bahwa pengetahuan Tuhan adalah salah; dan lantaran pengetahuan Tuhan tidak pernah salah, oleh karena itu, Budi harus tetap menjadi seorang kafir. Apakah hal ini tidak bermakna bahwa Budi harus tetap menjadi seorang kafir lantaran pra-pengetahuan yang dimiliki Tuhan?
Dalam menjawab pertanyaan ini hal yang perlu diketahui bahwa apa yang akan terjadi; dan yang lain yang menyebabkan sesuatu itu terjadi. Anggaplah ada seorang dokter yang setelah mendiagnosa seorang pasien, mengumumkan bahwa pasien itu tidak akan bertahan lebih dari setengah jaman. Dapatkah dikatakan bahwa dokter itulah yang menyebabkan kematian pasien lantaran ia tahu bahwa sang pasien bakalan mati? Dapatkah tuntutan diajukan kepadanya lantaran ia telah membunuh pasien tersebut? Tentu saja tidak. Sebaliknya insiden ini akan dinukil untuk menunjukkan bagaimana berpengalamannya dokter tersebut lantaran ia memprediksi apa yang akan terjadi atas pasien tersebut pasca setengah jam ke depan.
Mari kita simak contoh ini sekali lagi. Dokter mengetahui bahwa pasien bakalan mati, lantaran ia berada pada kondisi sedemikian sehingga ia tidak dapat lagi survive (selamat) lebih dari setengah jam ke depan. Jadi, pengetahuan tersebut bersumber dari kondisi pasien; bukan bahwa pasien itu meninggal lantaran pengetahuan dokter. Pengetahuan yang dimiliki oleh sang dokter merupakan hasil dari kondisi real sang pasien; kondisi pasien bukan merupakan hasil dari pengetahuan dokter.
Perbedaan sederhana ini banyak diabaikan oleh mayoritas kaum Muslimin yang berpikir bahwa lantaran Tuhan mengetahui segala sesuatu yang akan terjadi, maka hal itu harus terjadi. Mereka lalai menyadari bahwa Budi yang akan mati adalah seorang kafir, lantaran ia akan mati dalam kondisi kekafiran berdasarkan kehendaknya sendiri; pengetahuan Tuhan berdasarkan kehendak merdeka Budi; bukan Budi mati dalam kondisi seorang kafir lantaran pengetahuan Tuhan.
Tentu saja, terdapat perbedaan antara pengetahuan dokter dan pengetahuan Tuhan; pengetahuan yang dimiliki oleh dokter adalah pengetahuan yang tidak sempurna dan tidak lengkap. Oleh karena itu, prediksinya boleh jadi salah pada waktu-waktu tertentu. Namun pengetahuan Tuhan merupakan pengetahuan sempurna dan lengkap dalam setiap kondisi dan keadaaan. Oleh karena itu, pengetahuan-Nya tidak pernah salah dan keliru setiap saat. Juga hal ini tidak bermakna bahwa pengetahuan-Nya yang menjadi sebab dosa atau kemusyrikan atau kemunafikan, keimanan dan kebaikan hamba-Nya.



Kebaikan Tuhan

Seandainya seseorang dapat melakukan kebaikan kepada seseorang tanpa mengganggu orang lain, namun ia tidak melakukannya, maka keengganannya ini bertolak belakang dengan kebaikan, hal ini merupakan sebuah keburukan. Oleh karena itu, apabila Allah dapat melakukan kebaikan kepada makhluk-makhluk-Nya dan kemudian, Dia tidak melaksanakannya, perkara ini adalah bertentangan dengan kebaikan Allah dan hal ini bukan merupakan sebuah perbuatan yang terpuji. Atas alasan ini, dalam mazhab Syiah disebutkan: “Secara moral merupakan kewajiban Allah melakukan setiap kebaikan (lutf) yang berhubungan dengan manusia.”[21]
Apakah yang dimaksud dengan lutf yang diterjemahkan secara umumnya sebagai rahmah atau kebaikan dalam pembahasan ini? Lutf merupakan suatu kebaikan dari Allah yang akan menolong para hamba-Nya untuk mendekat, mengabdi, mentaati dan menyempurnakan diri mereka kepada Allah.
Memang wajar dinyatakan di sini bahwa Allah telah memerintahkan manusia supaya berlaku adil, malahan Dia (Allah) sendiri telah menganugerahi kita dengan sesuatu yang jauh lebih baik daripada keadilan-Nya yaitu tafaddul (kemuliaan). (tafaddul memiliki makna sama dengan lutf)
Kepercayaan bahwa lutf adalah wajib bagi Allah secara moral merupakan suatu kepercayaan yang khusus yang terdapat dalam ajaran Syi‘ah Ithna-‘Asyariah. Sementara, Ahlusunnah tidak percaya bahwa lutf adalah wajib bagi Allah. Kalau saja mereka meyakini bahwa keadilan (‘Adl) saja tidak wajib bagi Allah, apatah lagi lutf. Berdasarkan contoh yang dikemukakan oleh Ahlussunah, seandainya Allah memasukkan orang yang baik dan saleh ke neraka dan mengirim Setan ke surga, ia boleh diterima sebagai perbuatan yang benar. Maka hal ini sah-sah saja.
Kedua konsep, taufik dan lutf seperti yang dinyatakan di atas pada dasarnya bertujuan untuk mendorong seseorang ataupun sekumpulan orang untuk mentaati titah-perintah Allah. Bagaimanapun, adakalanya pertolongan itu ditawarkan kepada seorang yang ingkar, bukan karena dia diharapkan mendapat kebaikan dan dapat melaksanakan tugas-tugasnya, tetapi hanyalah untuk mematahkan dalih atau alasan, agar dia tidak dapat lagi mendakwa bahwa seandainya dia diberikan sedikit pertolongan, tentunya dia dapat menjadi seorang hamba Allah yang taat. Hal seperti ini dikenali sebagai Itmâm al-Hujjah (penyempurnaan hujah).
Beberapa contoh dapat dikemukakan di sini berkenaan dengan masalah lutf. Kita tahu bahwa Tuhan menciptakan kita untuk melakukan kebaikan-kebaikan di dunia ini sehingga kita dapat lebih dekat kepada-Nya di hari Kiamat. Pertanyaannya adalah: Bagaimana kita dapat mengetahui apa kebaikan dan keburukan itu? Akal manusia mengapresiasi kebaikan inheren atau keburukan inheren dari kebanyakan perbuatan kita, namun dapatkah kita berhadap bahwa setiap orang bertindak dan berbuat berdasarkan alasan sempurna? Tentu saja tidak. Acapkali ketika hasrat atau marah menekan suara hikmah; acapkali tatkala keuntungan segera (yang dapat diperoleh melalui jalan-jalan salah) nampaknya lebih mengesankan ketimbang cemoohan masyarakat atau kehilangan kasih Tuhan pada hari Kiamat.
Jika Tuhan meninggalkan manusia tanpa alat efektif untuk mencek pikiran-pikiran dan hasrat-hasrat jahatnya, maka hal ini akan berujung pada tidak terwujudnya tujuan Tuhan itu sendiri. Oleh karena itu, Dia menetapkan beberapa aturan dan mengutus para nabi dan imam untuk membawakan aturan-aturan tersebut kepada para hamba-Nya, dan menjelaskan serta melindungi aturan dan hukum tersebut dari penyimpangan.
Dan Tuhan tidak meninggalkan kita, Dia juga menunjuk suatu hari ketika seluruh manusia dikumpulkan untuk melaporkan keimanan dan amal perbuatan mereka. Dan Dia, dengan kasih dan keadilan-Nya, menyampaikan berita kepada kita bahwa akan datang hari perhitungan, hari ganjaran dan hukuman. Berita ini membantu para hamba-Nya untuk menaati aturan dan hukum tersebut yang dibawa oleh para nabi.
Lalu menurunkan syariah merupakan sebuah lutf (kebaikan) yang menolong manusia untuk mencapai tujuan hidupnya. Juga mengutus para nabi dan imam, menentukan hari Kiamat merupakan contoh dari lutf Tuhan. Karena perbuatan-perbuatan ini merupakan lutf, maka hal ini wajib bagi Tuhan.[]





Bagian Ke-4


Mengapa Manusia Diuji?

Telah Anda ketahui bahwa kita diciptakan untuk mengerjakan kebaikan yang dapat mengantarkan kita dekat kepada Allah. Namun bagaimanakah cara untuk memastikan standar kebaikan kita? Untuk memudahkan kita memahami mahkamah Allah, Dia telah menetapkan suatu sistem ujian yang dapat menentukan kesempurnaan ataupun kecacatan rohani kita. Allah berfirman dalam al-Qur’an: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur (dan) Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan). Karena itu, Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukkan jalan (yang lurus) kepadanya; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (Qs. Al-Insan [76]:3-4)
Ujian diberlakukan kepada setiap orang yang beriman atau kafir. Ujian di sini menegaskan bahwa manusia tidak ditakdirkan bahwa ia termasuk penghuni surga atau neraka, tidak seperti sebagian golongan Kristian dan sebagian besar kaum Muslimin yang beranggapan demikian. Jika tempat kita di hari Kiamat telah ditentukan sebelumnya, lalu mengapa kita harus diperintahkan untuk melakukan ini dan dilarang melakukan itu?
Mereka yang meyakini bahwa Allah telah menakdirkan sebelumnya perbuatan dan tujuan pamungkas kita, maka mereka tidak dapat membenarkan teori ujian yang disebutkan pada sebagian ayat al-Qur’an. Demikian juga mereka tidak dapat membenarkan keyakinannya terhadap hari Kiamat. Mengapa harus ada hari Kiamat ketika segala sesuatunya telah ditentukan sebelumnya? Pengadilan siapa yang akan dilangsungkan ketika seseorang hanya melakukan apa yang dititahkan Tuhan kepadanya?
Lantaran kita meyakini bahwa Tuhan mengetahui segalanya, lalu mengapa Dia harus menguji kita?
Ujian yang kita hadapi tidak bermaksud untuk menambah pengetahuan Tuhan. Meski Tuhan mengetahui segalanya, masih dipandang perlu menguji manusia sehingga bentuk keadilan Tuhan yang sebenarnya dan kasih Tuhan dapat menjelma pada hari Kiamat. Jika Tuhan mengirim seseorang ke surga atau neraka berdasarkan pengetahuan-Nya tanpa meletakkan mereka pada medan ujian atas iman dan perbuatan mereka, maka mereka yang dikirim ke neraka memiliki hak untuk memprotes mengapa mereka dihukum mengingat mereka tidak melakukan dosa dan mengapa sebagian orang dihadiahkan surga tanpa amal kebaikan? Jadi untuk menegakkan prinsip keadilan, maka wajib bagi Tuhan untuk menguji setiap orang sebelum mengirim mereka surga atau neraka.



Kategori Ujian dan Cobaan

Ujian dan cobaan dapat dibagi menjadi dua kategori:
Pertama ujian dengan aturan syariah dan prinsip iman. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, Tuhan mengutus nabi-nabi dengan syariah dan manusia diharapkan untuk meyakini agama yang benar dengan tulus dan mentaati aturannya dengan penuh keyakinan.
Kategori kedua adalah kategori yang sedikit lebih sukar yaitu dengan cobaan. Allah Swt berfirman:
Dan sungguh Kami akan berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu), orang-orang yang apabila tertimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kami akan kembali kepada-Nya).” (Qs. Al-Baqarah [2]:155)
Terdapat banyak bencana, peristiwa, banjir, gempa bumi, kebakaran, perampokan, perang, huru-hara, wabah penyakit yang menimpa hidup manusia: Dengan semua ini kita berada dalam altar dan medan ujian. Lalu bagaimana menyikapi semua ini? Apakah iman kita tetap tegar? Apakah telah kita buktikan diri kita sebagai pilar untuk dapat meniupkan harapan kepada orang lain? Apakah telah kita tunjukkan ketegaran dan kesabaran kita dalam menghadapi bencana ini? Kebahagiaan kita yang abadi bergantung pada hasil dari ujian-ujian ini.

Penderitaan dapat dinisbatkan kepada satu atau lebih dari beberapa sebab di bawah ini:

1. Penderitaan kita merupakan akibat dari kelalaian atau kealpaan kita. Seseorang menganggap enteng aturan kesehatan dan kemudian jatuh sakit. Ia sendiri yang menjadi penyebab atas penderitaannya dan dalam hal ini sakitnya ia merupakan konsekuensi natural dari kelalaiannya. Dalam istilah hukumnya, tiada dosa yang terjadi dalam perbuatan ini. Hal ini merupakan kerugian bagi dirinya sendiri. Tiada orang lain yang terlibat dalam hal ini. Ia dapat, jika mau, menyalahkan dirinya sendiri.

2. Sebab kedua dari penderitaan dapat terjadi karena pengaruh alam; penderitaan semacam ini selalu dikatakan kepada kita sebagai “perbuatan Tuhan.” Gempa bumi, badai, prahara dan kejadian-kejadian natural lainnya berada di luar control manusia dalam kategori ini. Kejadian ini merupakan sebuah kemestian untuk menjalankan roda mesin dunia secara sistematis dan terencana. Namun demikian, terdapat orang yang menderita dan daya ujinya dicoba dengan penderitaan ini.

3. Sebab ketiga adalah penderitaan yang disebabkan oleh orang lain. Sebab ketiga ini merupakan jenis penderitaan yang paling sulit. Seorang penguasa tiran, tetangga yang mengganggu, anak yang membangkang, musuh yang tak berbelas kasih, bawahan yang kurang disiplin, atasan pembual, pelanggan yang curang, mitra kerja yang menelikung, pasangan yang menyiksa, hakim yang tidak fair merupakan contoh-contoh yang dapat diberikan dalam masalah ini. Seseorang harus menderita seluruh masalah ini, suka atau tidak suka, terkadang tanpa kesalahan yang dilakukan olehnya.



Alternatif Yang Ditawarkan?

Tuhan dapat membuat kita semua seperti malaikat, tanpa adanya kemerdekaan berkehendak atau kekuasaan yang bersumber dari kita. Namun dalam kasus kebaikan manusia ia tidak akan memiliki nilai sama sekali. Kebaikan itu merupakan kebaikan Tuhan dan atas rencana Tuhan, Dia memberikan kekuasaan dan kehendak kepada kita untuk berbuat apa saja yang kita sukai, lantaran hanya dengan itu kita patut mengemban tanggung jawab atas perbuatan baik dan buruk kita. Dan hanya dengan perantara itu kita dapat merasakan bahwa apa yang kita peroleh merupakan sesuatu yang berharga.
Lalu Tuhan memberikan kepada kita kehendak dan kekuasaan untuk berbuat sesuai dengan apa yang kita sukai. Dan setelah penguasaan ini, kita diutus ke muka bumi ini untuk diuji. Mencoba memvisualisasikannya dunia ini: Ada seorang raja yang tiran, mencoba menguasai dunia dan mengenyahkan orang-orang yang cinta kepada Tuhan di muka bumi. Perilaku raja tersebut bertentangan dengan aturan-aturan Tuhan untuk memerintah dengan adil dan penuh kasih. Dengan menjadi raja ini, ia gagal menjalani ujiannya.
Di sisi lain adalah orang-orang yang cinta kepada Tuhan. Apa yang diharapkan dari mereka? Mereka diharapkan untuk menjalani sebuah hidup yang bernilai dan mengajak orang untuk mengikut mereka. Mereka merasa bahwa Tuhan mengharapkan mereka untuk mengingatkan penguasa zalim mereka lantaran inilah satu-satunya jalan untuk menyelamatkannya dari penderitaan abadi dan menyelamatkan para korbannya dari kezalimannya. Jika mereka memilih untuk tidak turut campur, mereka juga akan gagal dalam menjalani ujiannya. Jika mereka memilih untuk menjalankan perintah Tuhan mereka sejatinya menunaikan tugasnya bagi diri mereka, kemanusiaan dan bagi Tuhan.
Apa yang kemungkinan akan terjadi, tidak keluar dari dua hal berikut ini: Apakah sang raja menerima nasihat mereka, mendengarkan ceramah dan mengikuti mereka ke jalan Tuhan; atau ia mengabaikan peringatan dan tidak bergeming dari kezalimannya. Jika ia mengikuti nasihat dan kembali ke jalan Tuhan, maka hal itu merupakan kebaikan bagi setiap orang: Orang-orang shaleh telah menunaikan tugas mereka dengan beramar makruf; dan sang raja menunaikan tugasnya dengan menjalankan nasihat mereka. Seluruhnya menjalani ujian ini dengan berhasil.
Akan tetapi jika ia mengabaikan peringatan mereka dan hendak mengeyahkan mereka, maka ia kehilangan kesempatan untuk mencapai kejayaan dan kesuksesan dalam ujian yang maha penting ini. Namun apa yang harus dilakukan oleh orang-orang shaleh ini? Haruskah mereka tunduk menyerah kepada raja yang tak mengenal Tuhan ini atau haruskah mereka melanjutkan usahanya untuk memperbaiki raja tersebut? Jika mereka menyerah, kesuksesan yang mereka capai sejauh ini akan berganti dengan kegagalan. Jika mereka tidak menyerah, mereka tidak akan memiliki alternatif kecuali menjalani hidup yang susah yang ditimpakan oleh penguasa zalim tersebut.
Ringkasnya, dapat kita katakan bahwa, Pertama, setiap orang di dunia ini menjalani ujian; Kedua, setiap orang menyiapkan sebuah kesempatan ujian bagi orang lain, sekaligus bagi dirinya sendiri.
Sebagai contoh, seorang usil mengganggu tetangganya, ia gagal dalam ujiannya; namun pada saat yang sama ia menyediakan lahan bagi ujian orang lain juga. Jika tetangganya mencoba untuk mengoreksi perilakunya dengan menunjukkan teladan yang baik, dan dengan pendekatan persuasif, maka ia berhasil menjalani ujian yang ia hadapi, tanpa peduli dengan apakah tetangannya yang usil itu merubah perilakunya atau tidak.
Bagaimanapun, atas alasan ini Islam berharap kepada kita untuk menunaikan tugas-tugas kita terhadap orang lain tanpa memperdulikan apakah mereka menjalankan tugasnya atau tidak. Lagi pula, selama kita menjalani ujian, kita ibarat seorang pelajar yang duduk di sebuah ruang ujian. Tiada seorang pelajar pun yang rela merobek jawabannya lantaran pelajar yang lain tidak menulis jawaban mereka pada ujian tersebut.
Namun mengapa kita harus menderita karena ulah orang lain?
Atau dengan nada lain: Mengapa kita harus nestapa karena kesalahan orang lain? Kita adalah manusia biasa. Kita adalah manusia yang memiliki perasaan. Mengapa perasaan kita harus diciderai hanya karena orang lain gagal dalam tugasnya? Sebagaimana juga, seseorang boleh bertanya: “Mengapa kita harus menderita luka atau kehilangan nyawa atau harta benda, atau bersedih dan berduka, akibat sebuah peristiwa yang disebut sebagai “perbuatan Tuhan” seperti gempa bumi, halilintar dan amukan badai?
Seluruh pertanyaan ini akan memiliki relevansinya jika kematian di dunia ini merupakan akhir dari kehidupan ini dan tiada hari pembalasan. Namun, kini, posisinya adalah sebagai berikut:
Terlepas dari seberapa besar penderitaan kita, kejadian-kejadian tersebut tidak berlangsung lama. Kita memiliki pengetahuan yang pasti bahwa lambat atau cepat, seluruh musykilah ini akan berakhir lantaran masa tinggal kita di dunia ini akan berakhir pada suatu hari dan kita akan dikirim ke dunia lain yang abadi. Segera setelah kita berpindah dari dunia ini, kesusahan dan masalah kita akan berakhir dengan syarat kita telah persiapkan diri kita untuk hal tersebut.
Sesuai dengan keyakinan kita, Tuhan mengganjari manusia atas penderitaannya, apakah ia Muslim atau non-Muslim.1 Orang-orang yang telah melakukan dosa menderita berupa azab di hari Kiamat. Dan mereka yang tidak melakukan dosa, seperti para nabi dan imam, yaitu orang-oranya yang banyak menderita di dunia ini akan mendapatkan ganjaran yang sangat tinggi berikut kehormatan dan kemuliaan yang tinggi di hadirat Allah Swt.
Dalam pandangan Syiah, penderitaan di dunia ini ujung-ujungnya adalah membersihkan manusia dari segala dosa, dan membawanya dekat kepada Allah Swt di hari kiamat.



Penderitaan : Peringatan atau Hukuman?

Di sini harus disebutkan bahwa terkadang penderitaan dan bencana yang datang bukan merupakan ujian, melainkan sebagai sebuah peringatan bagi para pendosa atau hukuman atas para pelanggar.
Contoh-contoh seperti peringatan dapat dijumpai dalam hadis Nabi Saw sebagai berikut: “Tatkala Allah murka kepada seseorang *dan tidak ingin mengeyahkan mereka secara keseluruhan], harga-harga melambung tinggi, jangka hidup semakin pendek, perniagaan tidak membuahkan untung dan pepohonan tidak menghasilkan buah.”
Nabi Saw juga menjelaskan bahwa perzinaan ketika dipraktikkan secara terbuka akan menambah jumlah kematian mendadak, menyebabkan petaka dan penyakit yang belum pernah terdengar sebelumnya. Ketika manusia melakukan kecurangan pada timbangan, peringatan datang kepada mereka berupa kelaparan, pengangguran dan penguasa zalim. Ketika orang-orang kaya menahan zakat, kemiskinan akan menghantam kehidupan masyarakat. Imam ‘Ali bin Abi Thalib bersabda: “Jika seluruh orang yang mampu membayar zakat, membayar zakat mereka, maka tidak akan ada ditemukan seorang miskin di tengah masyarakat.”2 Contoh-contoh di atas ini merupakan sebagian contoh bagaimana Tuhan memberikan peringatan kepada kita supaya kita memperbaiki jalan dan cara kita menjalani kehidupan ini.
Dan contoh penderitaan sebagai hukuman dapat dijumpai pada kisah Fir’aun, Namrud, kaum Luth, Su’aib, Nuh dan Shaleh. Kiranya pada tempatnya jika disebutkan di sini bahwa malapetaka (seperti yang menimpa kaum Luth, Fir’aun dan Namrud) telah enyah dari kehidupan kaum Muslimin sebagai penghormatan kepada Nabi Saw yang merupakan “rahmat bagi semesta.” Namun penderitaan sebagai peringatan bagi kaum pelanggar tetap berlanjut.
Bagaimanapun, kita harus ingat bahwa Tuhan, dengan kasih dan rahmatnya, telah menyembunyikan tujuan sejati sebuah penderitaan dari mata kita. Oleh karena itu, kita tidak boleh mengatakan bahwa, misalnya, fulan menderita sebuah penyakit kronis sebagai seorang pendosa yang sedang menjalani hukuman. Mengapa? Lantaran boleh jadi ia merupakan seorang yang baik yang sedang menjalani sebuah ujian berat untuk kebaikannya. Jadi kita tidak boleh menilai seseorang atas tampilan lahirianya yang sedang diuji dengan kekayaan atau kemiskinan, keberuntungan atau kemalangan, kekuatan fisik atau kelemahannya? Sebaliknya, kita harus konsentrasi pada perbaikan spiritual dan moral kita masing-masing. []





Bagian Ke-5


Pengetahuan Tuhan

Pada silsilah pembahasan Mizan Keadilan Tuhan, kali ini kita memasuki tahapan pembahasan ilmu ghaib, lauh mahfuz, lauh mawh wa itsbat dan konsep bada’ yang merupakan kelanjutan dari pembahasan sebelumnya. Karena masalah Keadilan Tuhan erat kaitannya dengan pengetahuan Tuhan, di sini kita, sesuai dengan tuntutan pembahasan, akan mendiskusikan sepintas tentang ilmu ghaib, definisi dan ayat-ayat yang berkaitan dengannya.
Tentu saja, banyak di antara kita yang meramalkan ratusan perkara yang terjadi di masa mendatang. Kita mengetahui perkembangan waktu; kita mengetahui hari, waktu dan bilamana terjadinya gerhana bulan dan matahari. Peramal cuaca meramalkan turunnya hujan, badai, halilintar, dan banyak lagi prakiraan cuaca dan musim. Dengan melihat fitur seorang manusia, sebagian kita bahkan dapat berkata dengan beberapa derajat keyakinan ihwal karakter dan tabiat orang tersebut. Para dokter dan ahli fisika dapat dengan mudah memprediksikan peluang hidup-matinya para pasien mereka. Anda dapat jumpai contoh yang banyak dalam kehidupan Anda sehari-hari. Namun apakah semua ini dapat disebut sebagai ilmu ghaib? Apakah peramal cuaca mengetahui ilmu ghaib? Jawabannya adalah tidak. Karena semua ramalan dan nubuat cuaca, meramal fitur manusia ini bersandar kepada observasi hukum-hukum alam. Dengan observasi dan deduksi yang tajam, kita berada pada posisi untuk mengetahui segala hal di masa mendatang. Pengetahuan tentang masa mendatang ini berdasarkan kepada deduksi dan obvervasi hukum-hukum fisika.



Ilmu Ghaib

Kata al-Ghaib bermakna “non-kasat mata atau “sesuatu yang tersembunyi.” Ilmu ghaib bermakna ilmu terhadap segala sesuatu yang tidak kasat mata saat ini, seperti kejadian-kejadian pada masa mendatang. Pengetahuan semacam ini merupakan sepenuhnya hak prerogatif Tuhan. Tiada seorang pun yang tahu tentang perkara ghaib kecuali Allah Swt.
Ilmu ghaib yang disebutkan dalam al-Qur’an sebagai satu-satunya hak prerogatif Allah, adalah ilmu tentang hal-hal non-kasat mata dan pelbagai peristiwa di masa mendatang yang tidak bersandar kepada deduksi dan obvservasi hukum-hukum fisika. Ilmu ghaib merupakan jenis ilmu yang disinggung al-Qur’an pada ayat berikut ini:
“(Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang gaib dan Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridai-Nya, maka Dia menetapkan para penjaga (malaikat) di hadapan dan di belakangnya.” (Qs. Al-Jin [72]:26-27)
Ayat ini dan ayat-ayat serupa disebutkan secara jelas bahwa ilmu tentang hal-hal yang ghaib dan kejadian masa depan, tidak bersandar kepada observasi hokum-hukum fisika atau deduksi, hanya ada pada Tuhan. Dan Dia, dengan hikmah dan kebijaksanan-Nya, memilih para utusannya, nabi-nabi dan para imam untuk Dia kabarkan pengetahuan semacam itu. Ringkasnya, tiada seorang pun yang mengetahui hal-hal yang ghaib atau pelbagai kejadian masa depan (tanpa tanda-tanda yang ada atau deduksi) kecuali Allah. Dan Allah, dengan kemurahan-Nya, mewartakan pengetahuan tersebut kepada siapa saja yang Dia ridhai dan pilih, boleh jadi mereka adalah para malaikat, para rasul dan para imam.
Dalam riwayat para Imam Ahlulbait As, telah dijelaskan bahwa Allah hanya sekali waktu mengabarkan nama-namanya yang Agung (ismu a’zham) kepada ‘Asif bin Barkhiya (perdana menteri Nabi Sulaiman); dan dengan sebagian pengetahuan itu ia mampu membawa singgasana Ratu Balqis, ratu kerajaan Saba, dari ibukotanya ke Yerusalem dengan satu kedipan mata.[22]
Namun Allah telah memberikan kepada Nabi Saw seluruh pengetahuan yang diberikan kepada para nabi semenjak Adam, sebagaimana pengetahuan yang diberikan kepada seluruh malaikat; dan kemudian pengetahuan bertambah secara konstan. Dan Nabi Saw, sesuai dengan titah Ilahi, mengajarkan ilmu tersebut kepada ‘Ali As; dan ilmu tersebut diteruskan kepada imam yang menggantikannya dan seterusnya hingga kepada Imam al-Mahdi As.[23] Atas hal ini jelas mengapa mereka disebut sebagai “Para Penjaga Khazanah Ilmu Tuhan.”[24]



“Lauh mahfuz” dan “Lauh mahw wa itsbât”

Lauh bermakna “lempengan, kepingan, lembaran kayu atau batu yang digunakan untuk menulis sesuatu di atasnya.” Secara metaforis, lauh digunakan untuk “pengetahuan”, karena pengetahuan biasanya didapatkan dari sesuatu yang tertulis. Mahfuz bermakna terjaga. Sesuatu yang tidak dapat diakses dan dipahami oleh orang-orang yang tidak memiliki otoritas; terlindungi secara ketat. Oleh karena itu, “lauh mahfuz” berkmakna pengetahuan yang tidak dapat diakses dan dipahami oleh orang lain; pengetahuan yang secara ketat terlindungi.
Mahw bermakna hapus; menghapus atau menghilangkan sesuatu. Itsbat berarti penegasan atau pengukuhan; menulis. Dengan demikian “lauh mahw wa itsbat” berkmana pengetehuan yang dapat dihapus dan ditambah; pengetahuan yang dapat berubah dari masa ke masa.
Kini Anda telah mengetahui makna literal “lauh mahfuz” dan “lauh mahw wa itsbat,” kini mari kita bahas apa yang dimaksud dari kedua terma ini dalam Islam.
Kita tahu bahwa pengetahuan Tuhan tidak akan pernah keliru. Dengan kata lain, tiada yang berubah dalam pengetahuan Tuhan. Atas alasan ini Tuhan menyebut ilmu-Nya sebagai “lauh mahfuz”. Redaksi ini menjelaskan bahwa pengetahuan Tuhan karena ilmu-Nya tidak pernah berubah. Ia senantiasa benar dan tidak perlu dihapus atau ditambah atau diganti.
“Ummu ‘l-kitab” merupakan nama lain yang digunakan untuk ilmu Tuhan. “Ummul Kitab” bermakna “buku dasar”, “induk segala buku.” Pengetahuan Tuhan disebut sebagai “buku dasar” artinya ilmu dasar; atau “induk segala buku.” Yang bermakna sumber pengetahuan lantarna hanya pengetahuan-Nya yang dapat disebut sebagai “pengetehuan yang sebenarnya.”
“Lauh mahw wa itsbat” merupakan nama yang diberikan Tuhan untuk ilmu para malaikat, para nabi dan para imam. Ilmu mereka, meski merupakan ilmu yang sempurna dan lengkap bagi seluruh umat manusia, namun ia masih kalah sempurna dibandingkan dengan ilmu Tuhan.
Nama-nama yang disebutkan di atas adalah bersumber dari ayat al-Qur’an, “Bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu). Allah menghapuskan dan menetapkan apa yang Dia kehendaki, dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul Kitâb (Lauh Mahfûzh).” (Qs. Ar-Ra’ad [13]:39)
Ummul Kitab ini disebut sebagai “lauh mahfuz” pada ayat, “Bahkan yang mereka didustakan itu ialah Al-Qur’an yang mulia. Yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfûzh.” (Qs. Al-Buruj [85]:21-22)
Karena pengetahuan para malaikat, para nabi dan para imam secara konstan disempurnakan, dilengkapi, oleh karena itu pengetahuan mereka disebut “lembaran yang dihapus dan ditulisi” Lauh mahw wa itsbat.”[25]
Tentang lauh wa itsbat ini akan disuguhkan pada bagian berikut ini.




Konsep Bada’ : Bada’ dalam al-Qur’an

Konsep bada’ ini tampak dari banyak kisah dalam al-Qur’an yang menceriterakan bahwa Allah terkadang, dengan kasih dan kebijaksanaan-Nya, menyingkapkan sebagian dari rencana masa depan-Nya kepada para malaikat dan para nabi. Mereka diwartakan ihwal rencana Tuhan berkaitan dengan tingkatan tertentu, dan pengetahuan dari episode selanjutnya tidak diwahyukan kepada mereka. Sebelum menjelaskan teori ini lebih jauh, kami akan menyinggung ayat-ayat al-Qur’an sebagai contoh:



1. Kaum Nabi Yunus:

Pertama-tama kisah kaum Nabi Yunus. Allah Swt berfirman tentang kaum Yunus:
“Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat baginya selain kaum Yunus? Tatkala mereka (kaum Yunus itu) beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai kepada waktu yang tertentu.” (Qs. Yunus [10]:98)
Kenyataan ini menggambarkan bahwa kaum Nabi Yunus telah menolaknya; dan hanya terdapat dua orang yang beriman kepadanya; salah satu dari mereka adalah orang yang bertakwa namun tidak disertai dengan pengetahuan, dan orang yang kedua adalah orang yang bertakwa lagi berilmu. Tatkala Nabi Yunus berdoa kepada Allah untuk menurunkan azab dan siksa kepada kaumnya atas kekafiran mereka, Allah menjanjikan hari tertentu azab tersebut diturunkan. Nabi Yunus beserta sahabat setianya meninggalkan kaumnya. Namun orang alim tersebut tinggal bersama kaumnya dan mencoba untuk memberikan peringatan kepada kaumnya. Ia berkata kepada mereka bahwa masih ada waktu untuk bertobat dari kekufuran, dan beriman kepada Allah dan nabi-Nya, Yunus dan kemudian berdoa kepada Allah untuk menjauhkan bencana tersebut.
Pada hari yang telah ditentukan, anak-anak dipisahkan dari ibunya dan gembala dari induknya; setiap orang berpuasa, dan mereka semuanya keluar dari desa tersebut; mereka menangis, berdoa, bersujud kepada Allah dan memohon ampunan-Nya serta berdoa supaya Allah menjauhkan petaka tersebut. Langit dibalut dengan awan-awan hitam, siang menjadi malam, petir dan kilat menyambar-nyambar di angkasa. Nampak azab Tuhan akan menghapus seluruh umat Nabi Yunus. Untungnya mereka telah bertobat sebelum melihat azab; dan dengan demikian Tuhan, berkatkerahiman-Nya mengampuni mereka, dan karena doa, tangis dan jeritan mereka berlanjut, secara perlahan langit berubah menjadi cerah, mendung berlalu dan seluruhnya selamat.
Mereka menantikan Nabi Yunus kembali sehingga mereka dapat menjadi pengikutnya. Pada hari berikutnya, Nabi Yunus kembali dengan harapan melihat kota telah binasa. Namun, ia melihat seorang pengembala bergerak menuju ke gembalanya. Ia pikir Tuhan tidak memenuhi janji-Nya, lalu ia memutuskan untuk tidak masuk ke desa tersebut.
Di sini kita tidak akan menyebutkan seluruh bagian dari peristiwa tersebut. Apa yang kita ingin tunjukkan di sini bahwa Allah mengetahui sebelumnya bahwa kaum Nabi Yunus akan bertobat, menerima kebenaran dan beriman kepada Nabi Yunus dan Tuhannya; dan kemudian mereka terselamatkan. Namun Allah tidak mewahyukan seluruh peristiwa kepada Nabi Yunus. Nabi Yunus dikabarkan bahwa bencana akan menimpa kaumnya. Secara natural, ia berpikir bahwa bencana tersebut akan melenyapkan seluruh umatnya. Karena ia tidak diberitahu, ia tidak mengetahui bahwa sebelum datangnya bencana, umatnya akan bertobat dan mereka seluruhnya akan selamat. Jelas bahwa Allah mengabarkan kepada Yunus akan kejadian tersebut hingga tingkatan tertentu tanpa memberitahukannya kesimpulan dari kejadian tersebut.
Mengapa hal ini terjadi? Karena jika Nabi Yunus mengetahui bahwa bencana akan datang dan kemudian pergi, nasihat dan peringatannya tidak akan ada nilainya yang berisikan kekuatan ikhlas yang dapat melembutkan hati umatnya. Jika sahabat alim Nabi Yunus mengetahui bahwa bencana akan mendatangi mereka maka ia akan angkat kaki dari kota tersebut, ia tidak dapat memberikan peringatan kepada mereka sedemikian tulus dan kata-katanya tidak akan didengarkan. Adalah karena Allah, dengan hikmah dan kebijaksanaan-Nya, menghendaki mereka mendengarkan hikmah, Dia tidak mewahyukan seluruh kejadian masa depan kepada Yunus. Bukan karena Allah berkata dusta kepadanya atau tidak memenuhi janji-Nya. Dia tidak mengabarkan kepada Yunus bahwa umatnya akan binasa dengan peristiwa tersebut. Janji tetap dipenuhi. Tapi bukan janji untuk melenyapkan kaum. Bukan janji dari Allah – meski seluruh orang berpikir bahwa kaum akan dimusnahkan.
Kisah ini menunjukkan secara jelas bahwa Tuhan, karena hikmah dan kebijaksanaan-Nya, menahan pengetahuan ihwal adegan berikutnya dari Nabi Yunus. Yunus mengetahui seluruh rencana tersebut setelah rencana tersebut terlaksana dan berlaku.



2. Pengorbanan Nabi Ismail

Sekarang mari kita beralih kepada contoh lainnya. Nabi Ibrahim ditunjukkan dalam mimpinya bahwa ia menyembelih putranya atas perintah Tuhan. Karena hal itu berupa mimpi, ia harus telah melihat bagaimana ia membunuh Ismail. Ia harus telah melihat dirinya mengikat tangan dan kaki putranya, menutup matanya dan meletakkan pisau di leher putranya dan kemudian menekannya. Secara natural, dengan melihat mimpi ini, ia berpikir ia diperintahkan untuk membunuh putra satu-satunya, Ismail, dengan cara demikian. Oleh karena itu, ia membajakan hatinya untuk mengorbankan putra semata wayangnya.
Sang putra mendengar hal ini dan menyiapkan dirinya untuk dikorbankan demi ketaatannya kepada titah Allah. Bapak dan anak rela mengorbankan segalanya di jalan Allah. Nabi Ibrahim mengikat tangan dan kaki putra semata wayangnya dan memposisikannya dalam kondisi sujud; ia menutup matanya dan meletakkan pisau di atas leher sang anak lalu memotongnya. Setelah menyingkirkan tutup matanya, ia melihat Ismail tersenyum dan seekor domba telah terpenggal menggantikannya.
Nabi Ibrahim berpikir bahwa ia telah gagal dalam ujian tersbut. Namun ia telah melakukan apa yang dilakukannya dalam mimpi. Tentu saja, Allah Swt tidak mewartakan kepadanya hingga adegan terakhir. Karena sekiranya Ibrahim tahu bahwa Ismail akan diselamatkan atau Ismail tahu bahwa ia akan selamat, maka ujian tersebut tidak akan memiliki nilai dan arti sama sekali; tidak akan ada kesempatan bagi mereka untuk menunjukkan kerelaannya mengorbankan segalanya di jalan Allah. Tuhan menunjukkan kepada Ibrahim dalam mimpinya hingga tingkatan tertentu; tidak mengabarkannya seluruh episode tersebut hingga akhir. Karena mereka tidak mengetahui hasil akhirnya. Ibrahim dan Ismail mampu menunjukkan, bagaimana relanya mereka memenuhi titah Allah bahkan pada tingkatan mengorbankan jiwa dan jiwa orang yang paling dikasihinya semata-mata demi Allah.
Jika mereka mengetahui hasil cerita tersebut semenjak permulaan, maka ujian tersebut tidak akan memiliki makna sama sekali.



3. Taurat diberikan kepada Nabi Musa

Contoh ketiga ini berkaitan dengan Nabi Musa dan pewahyuan Taurat. Nabi Musa diperintahkan untuk pergi ke Gunung Sinai, berpuasa selama tiga puluh hari dalam rangka persiapan untuk menerima lembaran-lembaran Taurat. Pada hari ketiga puluh, ia membersihkan giginya (bersiwak) dan pergi ke Gunung Sinai. Di sana ia ditanya oleh Tuhan mengapa ia membersihkan giginya. Ia menjelaskan bahwa lantaran ia hendak pergi ke sebuah tempat suci, ia pikir pantas dan layak baginya untuk berdandan dan merapikan diri. Tuhan berfirman kepadanya bahwa aroma mulut seorang yang berpuasa lebih semerbak baunya di hadapan Allah daripada bau Kesturi. Dan kemudian ia diperintahkan untuk kembali ke tempat tinggalnya dan berpuasa sepuluh hari lagi lalu pergi Gunung Sinai tanpa bersiwak. Kemudian pada hari keempat puluh ia diberikan Taurat.
Allah mengetahui sebelumnya bahwa Musa akan datang setelah ia bersiwak dan akan diperintahkan untuk berpuasa sepuluh hari lagi. Namun tidak Musa juga tidak Bani Israel yang diberitahu masalah ini; juga tidak Musa diberitahu sebelumnya bahwa ia adalah seorang pembangkang karena bersiwak pada hari ketiga puluh.
Ketika Allah merujuk kepada pengetahuan-Nya, Dia menjelaskan seluruh episode empat puluh hari tersebut bersama-sama:
“Dan (ingatlah) ketika Kami berjanji kepada Musa (memberikan Taurat sesudah) empat puluh malam, kemudian kamu menjadikan anak lembu (sebagai sembahanmu) sepeninggalnya dan kamu adalah orang-orang yang zalim.” (Qs. Al-Baqarah [2]:51)
Dan berkenaan dengan pengetahuan Musa, Dia berfirman tiga puluh hari dan sepuluh hari secara terpisah:
“Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhan-nya empat puluh malam. Dan Musa berkata kepada saudaranya, Harun, “Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku dan perbaikilah mereka, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.” (Qs. Al-A’raf 7:142)
Alasan tidak memberikan informasi lebih lanjut adalah kelakuan Bani Israel yang karena penundaan sepuluh harinya, meninggalkan ibadah kepada Allah dan beralih menyembah berhala. Kisah ini diilustrasikan dengan indah dalam al-Qur’an berikut ini:“Allah berfirman, “Sesungguhnya kami telah menguji kaummu sesudah kamu tinggalkan, dan mereka telah disesatkan oleh Samiri.” Kemudian Musa kembali kepada kaumnya dengan marah dan bersedih hati. Musa berkata, “Hai kaumku, bukankah Tuhanmu telah menjanjikan kepadamu suatu janji yang baik? Apakah waktu perpisahanku denganmu terasa lama bagimu atau kamu menghendaki agar kemurkaan dari Tuhanmu menimpamu sehingga kamu melanggar perjanjianmu dengan aku?” Mereka berkata, “Kami sekali-kali tidak melanggar perjanjianmu dengan kemauan kami sendiri, tetapi kami disuruh membawa beban-beban dari perhiasan kaum itu, lalu kami melemparkannya.” Dan demikian Samiri mempengaruhi. Kemudian Samiri mengeluarkan untuk mereka anak lembu yang bertubuh dan bersuara. Maka mereka berkata (kepada sesamanya), “Inilah Tuhanmu dan Tuhan Musa, tetapi Musa telah lupa.” (Qs. Thaha [20]:85-88)
Coba bayangkan, seluruh komunitas yang terdiri dari ribuan sahabat nabi ulul azm, di tengah hadirnya khalifah dan penggantinya, Harun, beralih dari mengikuti agama yang benar menjadi penyembah berhala, hanya karena penundaan Musa selama beberapa hari! Ujian ini akan gagal sekiranya Allah mewartakan kepada Musa bahwa ia harus tinggal selama empat puluh hari; atau jika ia diberitahu sebelumnya untuk tidak bersiwak pada hari ketiga puluh.



Apa yang Dimaksud dengan Bada’

Ketiga contoh yang diambil dari al-Qur’an ini adalah memadai untuk menunjukkan bahwa Allah mengutarakan rencananya kepada para malaikat, nabi atau imam hanya hingga tataran yang bermanfaat bagi umat manusia atau yang diperlukan untuk membuat ujian yang diberikan memiliki nilai dan arti. Ketika tiba masanya malaikat, nabi dan imam memikirkan bahwa rencana mendekati akhir, sebuah cerita baru mengembangkan rencana tersebut atau membawanya hingga tak segera berakhir. Episode baru ini disebut sebagai bada’ yang dalam bahasa Arab bermakna “tampil.”
Di sini kita tidak perlu menegaskan bahwa tampilan atau klarifikasi ini tidak berhubungan dengan Allah yang mengetahui segala sesuatunya semenjak azal. Hal ini berkaitan dengan pengetahuan makhluk-Nya yang kemudian mengetahui akhir dari rencana Tuhan yang tidak mereka ketahui sebelumnya.
Dan juga atas alasan ini pengetahuan para malaikat, nabi dan imam disebut sebagai lauh mahw wa itsbat (lembaran penghapusan dan penulisan), sementara pengetahuan Tuhan disebut sebagai lauh mahfuz (lembaran yang terlindungi) yang posisinya berada di atas perubahan dan penggantian.



Manfaat Bada’

Terdapat banyak alasan untuk pewahyuan parsial ini. Beberapa alasan tersebut dapat disebutkan di sini. (pada tiga kisah al-Qur’an yang disebutkan di atas, Anda dapat memperoleh pengetahuan tentang dua kegunaan bada’.)
1. Bada’ membantu para hamba Allah untuk membuang keyakinan salah mereka dan kembali ke jalan yang benar, sebagaimana hal ini terjadi pada kasus umat Nabi Yunus As.
2. Bada’ membantu manusia dalam ujian individual dan kolektif, sebagaimana hal ini dapat dijumpai pada kasus Nabi Ibrahim dan Ismail As, dan Bani Israel.
3. Karena para malaikat tidak pernah yakin atas rencana dari kejadian yang dikabarkan kepada mereka sebagai rencana final, mereka senantiasa mencari bimbingan dari Allah. Dengan demikian mereka tidak pernah merasa independen dari bimbingan dan perintah-perintah Allah.
4. Demikian juga, para nabi dan imam tidak pernah berpikir bahwa mereka telah mengetahui segala sesuatu yang harus diketahui. Nabi Muhammad Saw diajarkan untuk senantiasa berdoa:“Tuhanku! Tambahkan bagiku ilmu.” (Qs. Thaha [20]:114) Imam Zainul Abidin As berkata, “Sekiranya tidak ada sebuah ayat dalam al-Qur’an, aku dapat menyebutkan seluruh peristiwa hingga hari Kiamat.” Ketika ditanya, “Ayat yang mana?” Ia membaca:“Allah menghapuskan dan menetapkan apa yang Dia kehendaki.” ( (Qs. Ar-Ra’ad 13:39).[26] Ayat ini telah dijelaskan pada awal-awal pembahasan ini. Harus disebutkan di sini bahwa banyak kali Allah mengabarkan para malaikat, nabi dan imam tentang kejadian di masa datang, mewartakan kepada mereka dengan jelas bahwa warta itu merupakan kata pamungkas. Dalam kasus semacam ini tidak terdapat perubahan dari rencana tersebut dan tiada penghapusan dan penambahan.
5. Manusia tidak pernah tahu apa yang akan berlaku pada mereka di masa mendatang. Oleh karena itu mereka akan senantiasa memohon pertolongan dan kemurahan Allah. Hal ini akan memberi manfaat bagi mereka dalam kehidupan dunia ini atau akhirat kelak.





Bagian Ke-6


Nasib dan Takdir Manusia




Hak-hak Prerogatif Tuhan

Telah dibahas pada bagian sebelumnya bahwa terdapat beberapa aspek dalam kehidupan kita yang berada di luar kekuasaan dan kehendak kita. Sebuah contoh proses perawatan dan penyembuhan dari sakit; dan ditunjukkan bahwa ketika kita menjalani proses perawatan, proses perwatan tersebut berada dalam kekuasaan kita, namun untuk mendapat kesembuhan hal itu tidak berada dalam wilayah perbuatan kita.
Semenjak lahir hingga wafat, terdapat ratusan kondisi yang berada di luar kekuatan kita, yang berada di bawah kendali mutlak Allah Swt. Seorang manusia lahir dengan sehat dan dalam lingkungan keluarga yang terdidik; yang lain dalam keluarga badui yang berperadaban primitif. Secara natural, manusia yang pertama lebih memiliki kesempatan untuk menikmati kesejahteraan dan perkembangan intelektual ketimbang manusia yang kedua. Seorang manusia yang sehat dan kuat; yang lainnya sakit secara kronis. Seseorang lahir dengan buta, yang lainnya dengan mata yang sehat. Secara natural, seseorang dapat lebih banyak bekerja ketimbang yang lain. Seorang manusia yang hidup hingga delapan puluh tahun, manusia lainnya meninggal selagi berusia muda. Yang pertama memiliki waktu yang cukup untuk memenuhi rencana-rencananya, sementara yang kedua tidak diberikan waktu bahkan untuk merumuskan segala rencana.
Contoh-contoh ini dan banyak lagi contoh lainnya dari kehidupan kita adalah berada di luar kendali dan kontrol manusia. Masalah ini sepenuhnya berpulang pada “takdir Ilahi” yang disebut sebagai qada’ (nasib) dan qadar (ketentuan Ilahi).
Mengapa Allah memilih sebuah kondisi kehidupan tertentu bagi seorang manusia? Hal ini merupakan teka-teki yang tak terjawab.
Banyak orang yang mencoba untuk menemukan jawaban atas teka-teki ini. Namun semuanya tanpa hasil. Tiada satu pun teori yang mampu memecahkan masalah ini walau sebagian. Ketika segalanya telah disebutkan dan dilakukan, satu-satunya jawab yang tersedia yang terdapat dalam al-Qur’an:“Dia tidak layak dipertanyakan tentang apa yang diperbuat-Nya (lantaran seluruh perbuatan-Nya sejalan dengan hikmah), dan perbuatan merekalah yang layak dipertanyakan.” (Qs. Al-Anbiya [21]:23) Mungkin atas alasan ini Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib As berkata tentang qadar Tuhan “Ia sedalam samudera; janganlah engkau menyelam di dalamnya.”[27]
Namun, kita dapat yakin bahwa apa saja yang ditentukan adalah karena beberapa alasan yang baik. Apa yang menjadi dasar penegasan ini? Mari kita lihat pada hal-hal yang kita mengerti, seperti sistem yang berlaku di jagad raya, koordinasi di antara pelbagai kekuatan tabiat, sistem biologis kita dan pengaturan yang telah dibuat di muka bumi ini sehingga kita dapat hidup aman sentosa. Kesemua hal ini meyakinkan kita bahwa Sang Pencipta tidak melakukan sesuatu tanpa alasan yang baik. Setelah manifestasi hikmah dan pengetahuan-Nya ini, jika kita menjumpai beberapa aspek dalam hidup kita yang tidak mampu kita pahami, tidak begitu pelik untuk menduga bahwa hal-hal seperti ini juga mesti memiliki alasan-alasan yang benar.
Sebelum melangkah lebih jauh, kiranya baik untuk menyegarkan ingatan kita melalui artikel sebelumnya ihwal Tuhan Tidak Melakukan Perbuatan Tanpa Tujuan. Di sini kita tidak berada pada posisi untuk mengetahui setiap alasan atau tujuan dari segala sesuatu di muka bumi ini; bahwa Allah melakukan apa saja yang paling bermanfaat untuk kemaslahatan umat manusia; bahwa jika kita diberitahu tujuan-tujuan atau alasan-alasan atas aspek-aspek ini dalam kehidupan kita, kita akan mengakui bahwa aspek-aspek tersebut sangatlah patut dan tepat untuk diadakan.



Ukuran Takdir

Allah Swt berfirman dalam al-Qur’an: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Qs. Al-Qamar [54]: 49) Jadi, sesuai dengan ukuran dan rencan-Nya sendiri Allah menciptakan segala sesuati. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, kita dibenarkan untuk meyakini bahwa ada alasan yang baik untuk setiap aspek dari kehidupan invidual seseorany yang direncanakan oleh Allah, meski orang tersebut boleh jadi tidak memahaminya sendiri.
Mari kita perhatikan sebuah jam tangan. Beberapa bagian dari jam tangan terbuat dari emas, yang lainnya dari baja; yang lainnya dari kaca atau yakut. Pada jam tangan terdapat sebuah lempengan yang datar; seperti panah; pegas; poros; dan beragam jentera yang kesemuanya ini berbeda ukurannya. Muka arloji berwarna putih, angkanya berwarna hitam, jarum pendeknya berwarna merah dan jarum panjangnya berwarna hitam. Angka-angka yang terdapat pada jam mulai dari angka satu hingga angka dua belas. Pendeknya, terdapat beragam jenis, warna, bentuk untuk membuat sebuah jam tangan bekerja.
Dapatkah jam tangan ini bekerja jika seluruh komponennya bentuk, ukuran dan desainnya sama dan satu? Dapatkah jarum pendeknya mengeluh untuk mencari pembenaran mengapa ia diwarnai hitam sementara jarum panjang dicoraki merah? Dapatkah angka 1 mengeluh mengapa ia tidak diberi angka 12? Dan jika seluruh angka-angka tersebut diletakkan pada satu tempat dan posisi yang sama, dapatkah orang-orang mengetahui waktu dari jam tersebut?
Jika sebuah jam tangan kecil tidak dapat bekerja tanpa adanya ragam jenis bagian, apakah ada alasan yang rasional untuk meyakini bahwa umat manusia dapat melangsungkan hidupnya tanpa adanya perbedaan jenis orang-orang dari sisi warna kulit, pandangan, kapasitas dan kemampuan?
Dan mari kita lihat kondisi yang menuntut bahwa tidak seharusnya ada penyakit, kecacatan, kesenjangan financial di antara manusia; orang-orang harus setara memiliki kekuatan, intelegensi dan kekayaan.
Kini mari kita lihat apa yang dapat diprediksikan di masa datang dari kondisi semacam ini. Kondisi dimana tiada seorang pun yang bergantung kepada orang lain. Tiada seorang pun yang akan melakukan pekerjaan, karena mereka telah beranggapan bahwa setiap orang akan mendapatkan uang yang banyak sebagaimana yang lainnya. Lalu mengapa orang harus bekerja ketika kesehatan, usia-hidup, kekayaan dan status sosial telah dijamin? Dunia akan tetap pada kondisi ketikan Adam datang ke muka bumi ini untuk pertama kalinya. Tidak akan ada perbaikan, kemajuan dan bahkan pakian yang terbuat dari kayu sekalipun untuk menutupi tubuh manusia! Dunia akan seperti menyuap anak kecil yang tidak melakukan apa pun untuk memenuhi kebutuhannya. Harus diingat bukan atas tujuan ini kita diciptakan. Kita diciptakan untuk sebuah tujuan yang sangat tinggi, bukan sekedar makan, minum dan melahirkan keturunan.
Jika harus ada ujian, ia akan terbatas pada beberapa kesulitan saja. Dan kesulitan itu berbeda dari orang ke orang. Ujian yang dihadapi oleh setiap orang berbeda satu dengan yang lain. Dan karena keragaman ujian inilah kita jumpai ragam problem dan masalah dalam kehidupan kita.



Lalu dimana Kesetaraan dan Keadilan?

Pertanyaan: Jika apa yang Anda katakan ada benarnya, maka hal itu berarti bahwa tidak terdapat kesetaraan antara satu orang dengan yang lainnya. Dimana kesetaraan yang dibangga-banggakan Islam itu?

Jawaban: Apa yang kami maksud dengan “kesetaraan” tidak bermakna bahwa seluruh manusia setara dari sudut pandang kesehatan dan kekuatan; juga tidak berarti bahwa mereka semua setara dan seukuranya tingkat intelegensinya; juga tidak bermakna bahwa antara pria dan wanita secara fisik dan fungsi biologis setara. Apa yang kami maksud dengan “kesetaraan” adalah kesetaraan di hadapan hukum. Kaya dan miskin, kuat dan lemah, seluruhnya setara di hadapan agama; seluruh strata dan lapisan masyarakat harus mengikuti aturan yang sama dan seluruhnya ditata dengan kode etik, hukum sipil dan criminal yang sama. Tiada yang tinggi juga tiada yang rendah, tiada yang diunggulkan atau direndahkan di hadapan hukum. Dengan kata lain bahwa setiap orang dalam Islam dapat menerima penghormatan dan kedudukan yang tinggi tanpa perbedaan asal-usul, warna kulit atau suku. Kriteria penghormata dalam Islam bukan kekayaan juga bukan kekuatan, bukan kelahiran juga bukan warna kulit. Satu-satunya kriteria adalah “karakter takwa.” Allah Swt berfirman:“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa.” (Qs. Al-Hujurat 49:13)
Pertanyaan: Tapi dimana keadilan Tuhan ketika Dia menganugerahkan seseorang mata yang sehat dan pada saat yang sama menjadikan seseorang tuna netra?
Jawab: Anda telah diberitahu sebelumnya bahwa kita di dunia ini untuk menjalankan ujian. Sang penguji adalah Allah Swt. Merupakan hak prerogatifnya untuk memutuskan orang yang mana yang harus diuji. Keadilan sebenarnya terletak pada bahwa sang penguji tidak membebankan seseorang sebuah ujian yang berada di luar kemampuannya sendiri. Allah Swt tidak memberikan sayap kepada kita untuk dapat terbang; dan dengan demikian, tidak meminta kita untuk terbang di udara seperti unggas yang dapat terbang. Di sinilah keadilan. Jika Dia meminta kita untuk terbang seperti burung (tanpa memberikan kita saya), maka permintaan ini tentu merupakan permintaan yang tidak adil. Namun dapatkah kita mengklaim bahwa lantaran Dia tidak memberikan saya kepada kita (sementara burung memilikiknya) Tuhan telah berbuat salah kepada kita? Tidak. Hal ini merupakan hak prerogatif Tuhan untuk memutuskan siapa yang harus diuji. Dan merupakan keadilan dan rahmat-Nya sehingga Dia tidak menuntut dari seseorang lebih dari kemampuannya. Jika Dia menciptakan manusia tanpa tangan, Dia pada saat yang sama mengecualikan orang tersebut dari jihad, wudu dan tayammum. Jika orang seperti ini diminta untuk angkat senjata pergi ke medan tempur tanpa tangan, maka kita memiliki hak untuk komplain dan protes. Tapi sepanjang yang berkaitan dengan tanggung jawab seorang manusia disesuaikan dengan kemampuannya, tiada yang dapat berkata bahwa Tuhan telah berlaku tidak adil.

Kita dapat menyimpulkan topik dengan beberapa poin berikut ini:

1. Dunia ini tidak akan dapat bekerja jika seluruh manusia memiliki kekuatan, kemampuan dan usia hidup yang sama.
2. Dunia yang dapat bekerja menuntu orang-orang dengan kemampuan, kekuatan dan kecakapan yang berbeda.
3. Seluruh manusia sama di hadapan agama dan hukum-hukum agama.
4. Setiap orang bertanggung jawab sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Dan inilah yang satu-satunya dituntut oleh keadilan.
Imam Ja’far Shadiq As ditanya tentang qada dan qadar. Beliau bersabda: “Tatkala Allah Swt mengumpulkan para hamba-Nya pada hari Kiamat, Dia akan bertanya kepada mereka ihwal yang diamanahkan kepada mereka ketaatan kita terhadap syariah yang berada dalam kekuasaan kita; namun Dia tidak akan menanyakan tentang hal yang telah ditakdirkan bagi mereka, yaitu kondisi-kondisi yang berada di luar kendali dan kekuasaan kita.[28]



Tadbir dan Takdir

Telah disebutkan pada bagian kedua bahwa kendati kekuasaan dan kesempatan untuk melakukan perbuatan diberikan oleh Allah Swt, tanggung jawab seutuhnya terletak di pundak kita karena bebas memilih untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan tersebut dengan kebebasan dan ikhtiar yang kita miliki. Dengan demikian, meski alat dan media perbuatan kita disediakan oleh Allah Swt, pilihan terakhir berada di tangan kita.
Menarik untuk diperhatikan bahwa pada tataran tertentu dalam masalah ukuran takdir, kebalikannya adalah benar. Artinya selagi pendahuluan-pendahuluan disiapkan oleh manusia, keputusan final berada di tangan Allah Swt. (perhatikan redaksi “pada bilangan tertentu”). Redaksi ini digunakan karena keputusan Allah tidak selamanya bergantung kepada perbuatan-perbuatan kita. Dalam konteks ini, perbuatan dan perencanaan kita dikenal sebagai tadbir, dan keputusan Allah Swt dikenal sebagai takdir.
Di sini kami akan berikan satu contoh sederhana, jika kita ingin menuai hasil tanaman, kita harus membajak tanah, menebar benih dan menyalurkan air ke tanaman-tanaman, menyiang rerumputan dan tetap mengawasi tanaman tersebut.
Masih, setelah melakukan seluruh pekerjaan penting tersebut, kita tidak dapat yakin bahwa kita dapat menunai tanaman. Badai, kebakaran atau sengatan kilat dapat menggagalkan proses produksi tanaman tersebut; kelompok geng bersenjata boleh jadi datang menyerang dan menjarah; keadaan-keadaan yang boleh jadi memaksa kita untuk menjual kebun itu sebelum masa panen tiba, demikian seterusnya.
Dengan demikian meski tingkat pendahuluan dipersiapkan oleh kita, namun hasil akhirnya berada di tangan Allah Swt.
Dua masalah yang menarik para pembaca setiap harinya dan berada langsung di bawah kendali Allah Swt adalah masalah mati dan hidup, dan jalan-jalan untuk mencari penghidupan. Pada bagian berikut ini, beberapa poin akan disinggung dalam dua subjek tersebut.



Masalah hidup dan mati

Allah Swt berfirman:"Dia-lah Yang menciptakanmu dari tanah, sesudah itu Dia menentukan ajal (masa hidup tertentu supaya kamu dapat menggapai kesempurnaan ciptaanmu), dan ajal yang pasti hanya ada pada sisi-Nya (dan hanya Dia sendirilah yang mengetahuinya). Kemudian (dengan ini semua) kamu (musyrikin) masih ragu-ragu (tentang keesaan dan kekuatan-Nya)."( Qs. Al-An’am 6:2) dalam ayat yang lain disebutkan:“Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfûzh). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Qs. Fathir [35]:11)
Kedua ayat ini, dan terkhusus yang belakangan, menunjukkan bahwa jarak hidup seseorang adalah cenderung panjang atau pendek mengikut kehendak Tuhan. Dan ayat pertama berbicara “ajal” dan “ajal yang ditentukan” yang berada di tangan Allah Swt. Apa maksud dari kedua redaksi ini?
Gagasan ini dapat mudah dipahami dalam sorotan dua kepingan sebelumnya (lihat bag. Empat). Misalnya, Allah memutuskan bahwa Zaid akan hidup hingga seratus tahun; namun jika ia berlaku buruk terhadap kerabatnya, jarak usia hidupnya akan berkurang, katakanlah, selama 30 tahun dan ia akan meninggal pada usia 70 tahun. Perintah ini akan diturunkan kepada malaikat pencabut nyawa.
Malaikat maut tidak mengetahui bagaimana Zaid berlaku terhadap keluarga dan kerabatnya. Oleh karena itu, ia tidak dapat mengetahui apakah Zaid akan hidup 100 tahun atau meninggal dunia pada usia 70 tahun.
Kini anggaplah Zaid berlaku buruk terhadap keluarganya. Pada akhir usia 70 tahun, malaikat maut harus mendapatkan panduan dari Allah Swt tentangnya. Allah berfirman kepadanya untuk menghapus usia 100 tahun, dan menggantikannya dengan usia 70 tahun. Dan Zaid pun meninggal dunia. (lihat, al-Majlisi, Biharu 'l-Anwar, jil. 4, hal.121)
Dengan demikian pengetahuan atau informasi malaikat maut secara konstan senantiasa terupdate. Hal ini ditunjukkan pada panjang atau pendeknya usia seseorang. Dan hal ini merupakan pengetahuan malaikat maut yang disebut sebagai “ajal” dalam ayat yang pertama. Namun bagaimana dengan pengetahuan Tuhan? Allah mengetahui sebelumnya bahwa Zaid akan meninggal dunia pada usia 70 tahun. Tiada perubahan dalam pengetahuan dan ilmu Tuhan. Usia hidup seseorang secara actual hanya diketahui oleh Tuhan; dan usia hidup yang disebutkan pada ayat pertama merupakan sebuah “ajal yang telah ditentukan.”
Pertanyaan: Mengapa Allah tidak memutuskan usia secara tetap bagi seluruh umat manusia?
Jawab: Sepanjang berurusan dengan manusia, Allah Swt telah mengatur segalanya untuk satu tujuan: untuk membantunya mencapai keutamaan, kesempurnaan dan menjadi seorang hamba yang bertakwa kepada Allah Swt. Persis atas alasan ini telah diwartakan kepadanya bahwa usia hidupnya dapat dipengaruhi oleh perubatan-perbuatannya. Tatkala seorang manusia tahu bahwa, misalnya, dengan berbuat baik dan bersikap pemurah kepada keluarganya, ia akan hidup lebih lama di dunia ini (dan bahwa ganjaran yang segera ini berbeda dengan ganjaran yang akan ia dapatkan di akhirat kelak) secara natural ia akan mencoba untuk berbuat baik kepada keluarga dan kerabatnya. Dan kemudian akan menjadi hamba yang bertakwa kepada Allah Swt.



Rezki dan Pencarian Hidup:

Berusaha secara keras untuk mencari nafkah adalah berada dalam wilayah aktifitas-aktifitas kita, hasil akhirnya berada di luar kekuasaan kita. Kita lihat banyak orang berusaha keras semenjak fajar menyingsing hingga tenggelamnya matahari untuk mencari penghidupan namun mereka melewati kehidupannya secara tetap dalam keadaan miskin dan membutuhkan.
Mengapa demikian? Allah Swt berfirman:“Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki.” (Qs. Al-Ra’ad 13:26)
Sama dengan apa yang kami sebutkan tentang usia hidup manusia, rezki juga dapat digolongkan dalam dua bagian: Misalnya, Allah Swt memberitahu para malaikat – bahwa jika Zaid berusaha keras ia akan mendapatkan Rp. 10.000, namun jika ia bermalas-malasan dan tidak berusaha keras ia akan memperoleh Rp. 5.000,- Allah Swt tahu apakah Zaid akan berusaha atau tidak; Dia mengetahui bahwa apakah pada akhirnya ia akan memperoleh Rp. 10.000,- atau Rp. 5.000,-. Namun Zaid sendiri tidak tahu demikian juga para malaikat yang bertugas membagikan rezeki, tidak mengetahui hasil akhir dari penghasilan Zaid. Tujuan untuk menjaga setiap orang dalam ketidaktahuan ini adalah karena ketidaktahuan ini manusia akan senantiasa berusaha keras untuk bekerja bertungkus lumus untuk memperoleh pendapatan yang banyak; ia juga akan mencoba sebanyak harapannya, karena ia tidak tahu apakah ia telah mencapai tingkatan akhir dari rezekinya atau tidak. Ia tidak tahu apakah dimana kehidupan lebih baik bagiyna tersimpan. Ia akan tetap aktif dan penuh ambisi, secara tetap mencari kehidupan yang lebih baik.
Sesuai dengan ayat al-Qur’an dan karya-karya ulama, saya telah sampai pada kesimpulan bahwa Allah Swt telah menetapkan sebuah batasan maksimum untuk kehidupan setiap orang. Setakat apa pun ia berusaha, ia tidak akan mampu melewati batasan maksimum tersebut. Karena batasan maksimum tersembunyi di hadapan mata kita dan, pada kenyataannya, bahkan di hadapan para malaikat, kita tidak dapat atau setidaknya tidak duduk berpangku tangan tanpa ada usaha untuk perbaikan kondisi keseharian kita.
Juga, telah diletakkan kepada kita sebuah pilihan apakah kita ingin mencapai tujuan tersebut dengan cara legal atau melalui cara ilegal. Jika kita mentaati perintah-perintah Allah dan ajaran-ajaran agama, kita akan mencapai batasan yang diidamkan, dan pada saat yang sama, akan memperoleh rahmat Allah Swt di hari Kiamat. Jika kita memilih jalan illegal, boleh jadi kita mendapatkan rezeki tersebut; namun jatah rezeki halal kita akan dikurangi sedemikian banyak dan dengan memilih jalan yang salah, kita akan membuat diri kita patut untuk mendapatkan hukuman Allah Swt di hari Kiamat.[29]
Harus diingat bahwa dalam Islam sebuah hal yang halal akan menjadi tidak halal jika diperoleh dengan jalan-jalan haram. Dalam Islam, tujuan tidak menghalalkan cara. Tidak dapat diingkari bahwa jalan-jalan halal terkadang tampak lambat, dan dengan demikian orang-orang yang ingin lekas kaya pada akhirnya memilih jalan yang haram. Namun taktik demikian tidak banyak menghasilkan manfaat. Kisah berikut ini akan menjelaskan secara terang poin yang dimaksud:
Imam ‘Ali As berangkat ke masjid untuk menunaikan shalat. Ia meminta kepada seseorang untuk berdiri menjaga kudanya. Ketika ia keluar, ia mempunyai dua Dirham di tangannya untuk ia berikan kepda orang tersebut sebagai ganjaran untuknya. Namun orang tersebut tidak kelihatan di tempat itu. Imam ‘Ali mendekat kepada kuda dan mendapatkan tali kekang kuda tersebut telah hilang. Ia memberikan dua Dirham tersebut kepada orang lain untuk membeli tali kekang yang lain. Orang tersebut pergi ke pasar. Ia melihat seseorang menjual sebuah tali kendali dan membeli darinya seharga dua Dirham. Ketika Imam ‘Ali melihat tali kendali tersebut, ia mengenali tali tersebut. Tali kekang tersebut adalah kepunyaannya yang telah dicuri. Tali kekang itu telah dicuri oleh orang yang diminta menjaga kuda tersebut. Imam ‘Ali bermaksud untuk memberikan penjaga itu dua Dirham yang sama sebagai ganjaran yang menjadi sah dan halal baginya. Namun ketidaksabaran ini telah membuatnya menjadi seorang pencuri dan tidak mendapatkan apa-apa selain dua Dirham yang sama. Kerisauannya tidak mengangkat upahnya sama sekali dan membuatnya menjadi seorang penjahat.




Doa dan Takdir Ilahi

Kini Anda tahu bahwa pengetahuan yang diberikan kepada malaikat sering kondisional. Misalnya, mereka dikatakan oleh Allah bahwa “Jika Zaid melakukan pekerjaan ini, ia akan bahagia; dan jika ia memilih pekerjaan itu ia akan merugi. Jika ia pergi ke dokter A, segera ia akan sembuh dari penyakitnya; namun jika ia pergi ke dokter B penyakitnya akan bertambah.” Salah satu syarat yang paling penting untuk mencapai kebahagiaan, kesuksesan dan kesejahteraan adalah doa. Jika Zaid berdoa kepada Allah Swt dan meminta pertolongan-Nya, kesulitan yang ia dihadapinya akan terangkat. Jika ia tidak meminta pertolongan kepada Allah Swt, ia akan dibiarkan menderita. Dengan demikian Allah Swt berfirman:“Katakanlah (Wahai Nabi) Sekiranya kalau bukan karena doamu kepada-Nya, Tuhanku tidak akan memperdulikanmu.” (Qs. Al-Furqan [25]:77)
Sebagian orang memahami secara keliru tentang doa. Mereka berpikir bahwa lantaran Allah mengetahui apa yang baik buat kita, tiada perlunya lagi untuk meminta pertolongan atau bantuan-Nya; tiada perlunya kita berdoa. Mereka berkata bahwa Allah mengetahui apa yang terbaik bagi Zaid dan Dia telah memutuskan berapa banyak yang ia peroleh atau misalnya, apakah ia akan sembuh dari penyakitnya atau tidak. Oleh karena itu, apa perlunya berdoa? Apa tujuan doa itu?
Orang-orang seperti ini tidak memperhatikan bahwa boleh jadi Allah telah membuat pendapatan atau kesehatan Zaid bergantung pada doanya. Boleh jadi Dia menitahkan para malaikatnya untuk menambah pendapatan Zaid jika ia berdoa kepada Allah Swt supaya pendapatannya meningkat! Boleh jadi syarat yang diperlukan untuk kesembuhannya dari penyakit yang diderita adalah jalan perawatan tertentu berupa doa yang tulus kepada Allah Swt. telah disebutkan dalam beberapa hadis bahwa salah satu yang berpengaruh dalam kehidupan manusia adalah doa. Hal lain yang penting adalah usaha dan kerjanya. Kita seharusnya tidak pernah menimalkan pengaruh dan pentingnya doa, atau pengaruh dan pentingnya kerja keras.
Tentu saja, jika seseorang mencapai usia atau penghidupan maksimal, atau jika, misalnya, penyakitnya “diputuskan” tetap berlanjut, tiada jumlah doa atau usaha atau perawatan yang dapat berguna baginya. Namun, poin yang harus diingat adalah bahwa tiada seorang yang tahu apa “yang diputuskan” berkenaan dengan usianya, penghidupan atau kesehatannya. Oleh karena itu, kita harus berusaha sekeras mungkin untuk memperbaiki kondisi dan keadaan kita.



Tawakkal dan Takdir Ilahi

Di samping doa, tawakkal juga merupakan amalan yang sangat dianjurkan dan dipuji. Tawakkal bermakna “menyandarkan urusan kepada seseorang.” Allah Swt berfirman:"Dan bertawakkallah kepada Allah, dan cukuplah Allah sebagai pelindung.” (Qs. Al-Nisa [4].81)
Bagaimanapun, menyerahkan kepercayaan kepada Allah Swt tidak seharusnya menjadi sebuah dalih bagi kita untuk bersikap malas. Nabi Saw bersabda: “Tawakkal bermakna bahwa engkau harus mengikat unta dan kemudian Anda dapat disebut bahwa Anda telah bersandar kepada Allah bahwa Dia akan melindungi untamu. Engkau tidak dapat bersandar semata-mata kepada tali, karena banyak unta yang dicuri dengan tali. Namun engkau tidak boleh melalaikan tali karena dengan mengikat unta dengan tali merupakan bagian dari tawakkal. “
Inilah ruh dari tawakkal. Kita harus mencoba yang terbaik dari kita dan kemudian bersandar kepada Allah Swt bahwa Dia akan menjadikan usaha kita berhasil. Adalah dusta untuk duduk berpangku tangan dan berkata bahwa Allah Swt akan mengerjakan seluruh urusan kita. Dia berfirman dalam al-Qur’an:“Dan bahwa seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya?” (Qs. Al-Najm [53]:39)
Standar tertinggi tawakkal diperkenalkan tatkala Amirul Mukminin ‘Ali As bertanya kepada beberapa orang malas tentang siapa diri mereka. “Kami adalah orang-orang yang bersandar (bertawakkal) kepada Allah;” jawab mereka. Imam ‘Ali bertanya: “Bagaimana kalian bersandar kepada Allah” Mereka menjawab: “Kami memakan makanan ketika mendapatkan makanan dan bersabar apabila kami tak mendapatkannya.” Imam 'Ali menukas: “Iya, demikianlah tabiat seekor anjing.” Mendengar jawaban ini, mereka menjadi bingung. Lalu mereka meminta penjelasan darinya ihwal makna tawakkal yang sebenarnya. Imam ‘Ali berkata: “Ketika kita memperoleh nikmat, kita memberikannya kepada yang lain; ketika kita tidak memperolehnya, kita bersyukur kepada Allah.” Artinya kita harus berupaya keras untuk memperbaiki kondisi kita. Namun kita tidak seharusnya bersandar pada kekuatan dan ilmu kita sendiri. Kalian harus bersandar kepada Allah bahwa Dia yang akan membuat usahamu berhasil. Lalu jika engkau berusaha, coba bantu saudaramu dengan hasil dari usahamu. Dan jika engkau gagal, kalian harus bersyukur kepada Allah.
Kalian boleh jadi bertanya mengapa kalian harus bersyukur kepada Allah jika kalian tidak berhasil. Iya, kalian harus bersyukur kepada Allah karena sukses atau gagal bukan menjadi tanggung jawabmu. Kalian diharapkan untuk melakukan yang terbaik dan kalian telah melakukannya. Bersyukur kepada Allah bahwa engkau mampu menunaikan apa yang diharapkan darimu. Usahamu di sini yang berada dalam sorotan. Suskes atau gagal bukuan menjadi urusanmu. Sukses atau gagal itu berada dalam wilayah kekuasaan Tuhan. Bersandar dan bertawakkallah kepada-Nya bahwa Dia tidak akan membiarkan usahamu menemui kegagalan. Namun jika Dia, sesuai hikmah-Nya, tidak menganugerahkan kesuksesan kepadamu, bersyukurlah kepada-Nya karena engkau masih mampu menunaikan tugasmu. []





Daftar Isi

MIZAN KEADILAN TUHAN 1 

Mengkaji Doktrin Keadilan Tuhan  1 

SAYID AKHTAR RIZVI1 

Bagian Ke 1 2 

Perbedaan dalam Agama 2 

Sebuah Catatan ihwal Makna Keadilan 3 

Mazhab yang Sering disebutkan dalam Tulisan ini4 

Kedudukan Akal dalam Agama 4 

Bagian Ke-2 7 

Tuhan Tiada Melakukan Kesalahan  7 

Tiada Sesuatu Tanpa Tujuan 8 

Dapatkah Kita Mengetahui Semua Hikmah? 9 

Aslah: Yang Paling Bermanfaat11 Janji dan Ancaman 12 

Bagian Ke-3 14 

Manusia itu Bebas atau Terpaksa?  14 

Kepercayaan Ahlusunnah 15 

Kepercayaan Syi‘ah 16 

Potret Kebebasan Manusia 19 

Determinasi dan Hari Kiamat20 

Kisah Abu Hanifah Dan Bahlul21 

Kebebasan Manusia; Percaya atau Tidak? 24 

Pengetahuan Tuhan dan Perbuatan Manusia 28 

Kebaikan Tuhan 29 

Bagian Ke-4 33 

Mengapa Manusia Diuji? 33 

Kategori Ujian dan Cobaan 34 

Alternatif Yang Ditawarkan? 36 

Penderitaan; Peringatan atau Hukuman? 39 

Bagian Ke-5 41 

Pengetahuan Tuhan 41 

Ilmu Ghaib 42 

“Lauh mahfuz” dan “Lauh mahw wa itsbât” 43 

Konsep Bada’; Bada’ dalam al-Qur’an 45 1. 

Kaum Nabi Yunus:45 2. 

Pengorbanan Nabi Ismail48 3. 

Taurat diberikan kepada Nabi Musa 49 

Apa yang Dimaksud dengan Bada’51 

Manfaat Bada’52 

Bagian Ke-6 54 

Nasib dan Takdir Manusia 54 

Hak-hak Prerogatif Tuhan 54 

Ukuran Takdir56 

Lalu dimana Kesetaraan dan Keadilan? 58 

Tadbir dan Takdir60 

Masalah hidup dan mati61 

Rezki dan Pencarian Hidup:63 

Doa dan Takdir Ilahi66 

Tawakkal dan Takdir Ilahi67




















































Catatan


[1]McCarthy, R.J. “Two Creeds of al-Ash’ari” (Maqalatu-l Islamiyyin and al-Ibanah ‘an Usuli ‘d-Diyanah) hal.. 238-9; 241
[2]Idem.,
[3]Ash-Shahristani, al-Milal wa ‘n-Nihal, hal.124-125.
[4]Hilli, Kashfu ‘l-Haq; juga al-Hilli’s al-Babu ‘l-Hadi ‘Ashar (English translation by WM. Miller) hal. 44
[5]Fadl bin Ruzbahan, Ibtalu Nahji’l-Batil.
[6]Dehlawi, A.A., Tuhfa-e Ithna-’Ashariyyah
[7]al-Hilli, Kashf dan juga al-Babu ‘l-Hadi ‘Ashr, hal. 45.
[8]Fadl bin Ruzbahan, Op. Cit.
[9]Kisah ini dapat Anda telaah pada Qs. Al-Kahf (18):66-82
[10]al-Hilli, al-Babu ‘l Hadi ‘Ashar, p. 46.
[11]an-Nasafi, tanpa tahun, al-’Aqa’id (dengan ulasan oleh at-Taftazani) hal. 130; juga lihat terjemahan Inggrisnya, E.E. Elder, A Commentary on the Creed of Islam, hal. 97; ash-Shahristani, al-Milal wa’n-Nihal, hal.129
[12]ash-Shahristani, al Milal wa ‘n Nihal, hal-hal. 68,145,154.
[13]al-Ash’ari, Kitabu ‘l-Luma; hal. 99. Juga lihat ash-Shahristani, al-Milal wa ‘n-Nihal,hal-hal. 128-129.
[14]as-Saduq, Risalatu ‘I-I’tiqadat, bag. 22, hal. 69.
[15]Shibli Nu’mani, ‘Ilmu ‘l-Kalam, hal. 28
[16]Al-Ghazali, lhya ‘Ulumi ‘d-Din (Kitab Qawa’idu’l-’Aqad), jil,1, hal.193; juga lihat al-Ash’ari, Kitab ‘l-Luma’, hal. 53,239.
[17]Lihat, al-Kalam, Allamah Syibli al-Nu‘mani, bag. 1, hal .17
[18]Ash-Shaduq, al-I’tiqâdat, bag. 4, hal. 58.
[19]Ibid, bag. 5, hal. 58
[20]Ash-Shaduq, al-I’tiqâdat, bag. 9, hal. 60.
[21]al-Hilli, al-Babu ‘l-Hadi ‘Ashar, hal. 99
[22]Al-Majlisi, Bihâru ‘l-Anwâr, jil. 26, hal.170.
[23]Al-Majlisi, Bihâru ‘l-Anwâr, jil. 26, bag. 1 hingga bag. 3, hal-hal. 18-976
[24]Idem, bag. 5, hal-hal 105-108.
[25]al-Majlisi, Biharu ‘l-Anwar, jil. 4, hal. 130
[26]al-Majlisi, Bihâru ‘l-Anwâr, jil. 4, hal.118
[27]Ash-Shaduq, Tauhid, bag. 7, hal. 59 dan al-Majlisi, Bihâru'l-Anwâr, jil. 5, hal.110
[28]Ash-Shaduq, Tauhid, bag. 7, hal. 59.
[29]al-Majlisi, Bihâru'l-Anwâr, jil. 5, hal.147.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

50 Pelajaran Akhlak Untuk Kehidupan

ilustrasi hiasan : akhlak-akhlak terpuji ada pada para nabi dan imam ma'sum, bila berkuasa mereka tidak menindas, memaafkan...