Bagian Ke 1
Perbedaan dalam Agama
Iman pada permulaannya merupakan sesuatu yang
senantiasa sederhana dan bersahaja. Seiring dengan perjalanan waktu,
manusia mulai mengelaborasi iman yang sederhana itu dan berangkat dari
situ, perbedaan muncul dan ragam mazhab didirikan. Hal ini terjadi pada
seluruh agama-agama sebelum Islam dan Islam tidak terkecuali dalam hal
ini. Islam mula-mula merupakan sebuah seruan untuk meyakini dan beriman
kepada ke-Esaan Tuhan, pada kenabian Muhammad dan Hari Kiamat. Pada
ketiga usul dasar ini tidak ada pertentangan. Demikian juga, tiada syak
bahwa agama Tuhan adalah agama Islam, artinya bahwa satu-satunya jalan
untuk mengenal Islam adalah melalui Kitab Allah dan Sunnah Nabi Saw, dan
bahwa Kitab Allah yang dikenal sebagai al-Qur’an adalah sebuah kitab
yang di dalamnya tiada penambahan atau pengurangan.
Perbedaan-perbedaan terjadi dalam penafsiran
sebagian ayat-ayat al-Qur’an dan otensisitas beberapa hadis-hadis Nabi
Saw, serta dalam penafsiran dan implikasinya. Perbedaan-perbedaan ini
telah memunculkan banyak pertanyaan yang telah memecah kaum Muslimin.
Terdapat banyak perbedaan tentang sosok Tuhan dan sifat-sifat-Nya:
Apakah Tuhan memiliki badan? Dapatkah Dia dilihat? Apakah Tuhan itu
adil? Apakah manusia dipaksa Tuhan dalam perbuatannya atau ia bebas?
Sepanjang yang bertautan dengan wujud, sosok dan
keesaan Tuhan, perkara-perkara ini berada pada pembahasan awal
ushuluddin yang dikenal sebagai tauhid dan telah disinggung dalam buku
atau kitab yang berkenaan dengannya.
Yang berkaitan dengan perbuatan Tuhan, pembahasan
ini berada pembahasan kedua ushuluddin yang dikenal sebagai Keadilan.
Menurut keyakinan Syiah Itsna Asyariah, keadilan (‘adl) merupakan sifat
yang terpenting dari sifat-sifat Tuhan; dan atas alas an itu dibahas
secara terpisah. Alasan mengapa pembahasan kedua ushuluddin ini
bertautan dnegan perbuatan-perbuatan Tuhan dinamakan seabgai Keadilan
lantaran perbedaan-perbedaan di antara kaum Muslimin ihwal keadilan
Tuhan sangat luas dan menjuntai.
Karena beberapa perbedaan yang beragam di kalangan
mazhab Muslim merupakan poin-poin teologis, maka dipandang penting untuk
mengkaji tahapan-tahapan tulisan ini dengan baik. Mengingat bahwa
setiap terma dan tahapan dari tulisan ini memiliki signifikansi, dan
jika para pembaca mencoba untuk merubah setiap terma dan tahapan dari
tulisan ini, maka ia menempatkan dirinya pada kerancuan dan
ketidakselarasan berpikir tentang masalah ini.
Sebuah Catatan ihwal Makna Keadilan
Derivasi redaksi al-‘adl pada asalnya dicipta untuk
membawa maksud menjadikan dua benda itu sama dan distribusi secara
saksama. Demikian juga dalam masalah Ansaf yang bermakna secara literal
sebagai persamaan atau keadilan, dan sebagai hasilnya, ‘Adl merujuk
kepada keadilan, persamaan, berada di jalan yang lurus, ke arah
kebenaran, berada di pihak yang benar, tidak berkurang atau berlebih dan
juga meletakkan sesuatu pada tempatnya.
Lawan kata kalimat al-’Adl adalah al-Jaur dan
al-Zulm. Al-Jaur bermakna cenderung kepada sebelah pihak, yang akhirnya
menyiratkan pengertian tidak memihak kepada keadilan, dan berlaku berat
sebelah dan memihak. Kalimat Zulm juga bermakna meletakkan sesuatu tidak
pada tempatnya. Seseorang hakim (Qadi) yang zalim membuat keputusan
atau hukuman yang salah dengan tidak membela pihak yang tertindas
haknya.
Mazhab yang Sering disebutkan dalam Tulisan ini
Para pembaca akan banyak menjumpai mazhab-mazhab berikut dalam tulisan ini:
Syiah Itsna ‘Asyariyah: Kaum Muslimin yang meyakini
dua belas imam yang bermula dari Imam Ali, Imam Hasan, Imam Husain dan
sembilan keturunannya. Imam Keduabelas adalah Muhammad al-Mahdi, Sang
Messiah yang Dinantikan. Mazhab ini juga dikenal sebagai mazhab
Imamiyah.
Asy’ariah: Seluruh kaum Muslimin yang bermazhab
Sunni adalah Asy’ariah dalam keyakinan mereka. Mazhab ini merupakan
pengikut Abu l-Hasan al-Asy’ari (w 324 H/936 M).
Mu’tazilah: Sebelum Abul Hasan al-Asy’ari, banyak
orang-orang Sunni adalah Mu’tazilah dalam keyakinan mereka. Mereka
merupakan pengikut Wasil bin ‘Atha’ (w 131 H/748 M). Namun, mazhab
Mu’tazilah merupakan mazhab yang hampir punah pada abad keempat Hijriah.
Kedudukan Akal dalam Agama
Perbedaan pertama dan utama di antara kaum Muslmin
adalah berkenaan dengan peran akal manusia dalam agama. Asya’riyah
berada pada satu sisi masalah, dan Syiah Itsna ‘Ashariyyah dan
Mu’tazilah pada sisi lainnnya.
Mazhab Syiah berkata bahwa terlepas dari
perintah-titah agama ada baik (husn) dan buruk (qubh) yang dapat
ditimbang dengan akal, dan bahwa Tuhan memerintah perbuatan-perbuatan
tertentu lantaran dalam timbangan akal (baca: rasional) hal itu adalah
baik dan Dia melarang perbuatan tertentu karena dalam teraju akal hal
itu adalah buruk. Kaum Asy’ari menolak konsep ini. Mereka berkata bahwa
tiada sesuatu yang baik atau buruk. Hanya apa yang diperintahkan Tuhan
kepada kita itulah yang baik dan apa yang Dia larang adalah buruk bagi
kita.[1]
Dengan kata lain, Syiah, misalnya berkata bahwa
Tuhan melarang kita untuk berkata dusta lantaran perbuatan dusta itu
merupakan Sesutu yang buruk; sementara Asy’ari menegaskan bahwa dusta
adalah perbuatan buruk lantaran Tuhan melarangnya.
Abul Hasan al-Asy’ari menulis, “Pertanyaan: Lalu
dusta adalah buruk hanya karena Tuhan telah mendeklarasikan hal itu
sebagai perbuatan buruk? Jawab: Tentu saja. Dan jika Dia mendeklarasikan
dusta sebagai perbuatan baik, maka hal itu akan tergolong perbuatan
baik; dan jika Dia memerintahkannya, tiada yang dapat menentang-Nya.[2]
Perbedaan lain bertalian dengan masalah kedudukan
akal dalam agama adalah ihwal hubungan natural sebab dan akibat. Syiah
dan Mu’tazilah mengakui hubungan antara sebab dan akibat. Namun Asy’ari
mengingkari hal ini. Mereka berkata tiada sebab kecuali Allah, dan
merupakan kebiasaan Tuhan dimana apabila, misalnya, kita minum air, ia
melepaskan dahaga kita.[3]
Allamah Hilli berkata: “Inti argumen Asy’ari adalah
menurut mereka bahwa segala sesuatu dapat terwujud karena Kehendak
Allah dan Dia berkuasa untuk menjadi sebab keberadaan segala sesuatu.
Jadi, karena kekuasaan Tuhan merupakan penyebab, maka tidak niscaya
sesuatu dapat terwujud ketika sebab-sebab fisikalnya yang menyebabkan ia
mewujud; atau berhenti mewujud ketika sebab-sebab fisikalnya
menyebabkan ia berhenti mewujud dan tiada hubungan apa pun antara
kejadian-kejadian yang menimpa satu dengan yang lain kecuali hal itu
merupakan kebiasaan Tuhan yang mencipta sesuatu; misalnya, terbakarnya
tangan setelah menyentuh api dan meminum air tidak ada hubungannya
dengan pembakaran dan pelepasan dahaga, semua hal ini terjadi dan
terwujud mengikut kehendak dan kekuasaan Tuhan; dan Dia dapat
menciptakan sentuhan api tanpa membakar tangan dan terbakarnya tangan
tanpa sentuhan, dan demikian seterusnya.” (al-Hilli, Kashfu ‘l-Haq)
Sebagaimana yang Anda lihat dalam pembahasa tulisan
ini, perbedaan mencolok antara Syiah dan Sunni Asy’ari bersumber dari
pandangan mereka ihwal kedudukan akal dalam agama dan hubungan natural
antara sebab dan akibat.[]
Bagian Ke-2
Tuhan Tiada Melakukan Kesalahan
Syiah mengatakan bahwa Allah tidak melakukan perbuatan, yang dalam timbangan akal merupakan, keburukan atau kejahatan.[4]
Di sini tidak digunakan terminologi yang mengandung muatan makna “The
King can do no wrong.” Lantaran adagium “raja tidak melakukan kesalahan”
sejatinya bermakna bahwa ia tidak berbuat sesuatu apa pun, yang ia
lakukan hanyalah menandatangani apa yang telah diratifikasi oleh
parlemen. Jadi, penghormatan ini tidak didasari oleh perbuatan raja,
melainkan tiadanya aksi darinya. Namun “God does no wrong” bermakna
bahwa kendati dia aktif dan Mahakuasa, Tuhan tetap tidak dapat melakukan
kesalahan dan keburukan. Mengapa?
Siapa pun yang melakukan kesalahan atau kezaliman melakukan hal tersebut karena satu atau beberapa alasan di bawah ini:
1. Ia melakukan perbuatan tersebut karena tidak mengetahui bahwa hal itu salah;
2. Atau ia memerlukan sesuatu yang tidak dapat ia peroleh kecuali dengan melakukan kesalahan;
3. Atau ia dipaksa oleh orang lain untuk melakukan kesalahan tersebut.
Tetapi Allah Mahakuasa dan Mahatahu; Dia bebas dari
kebutuhan dan tidak memerlukan apa pun. Dan Dia Mahakuasa dan tiada
seorang pun yang dapat memaksa-Nya melakukan sesuatu. Oleh karena,
secara logis adalah mustahil bagi Allah melakukan perbuatan kezaliman
atau kesalahan.
Sebaliknya, Asya’irah berkata bahwa tiada sesuatu
yang secara rasional buruk atau baik. Mereka berkata bahwa “Apa saja
yang dilakukan Tuhan adalah baik, lantaran tiada sesuatu yang buruk
bagi-Nya atau memaksa-Nya.[5]
Abdulaziz Dehlawi, seorang ulama Sunni yang ternama, menulis “Adalah
mazhab Ahlusunnah bahwa tiada sesuatu yang buruk bagi-Nya; bahwa segala
sesuatu yang, jika dilakukan oleh manusia atau setan disebut kejahatan
dan atas alasan itu mereka disalahkan dan dicela, adalah bukan kejahatan
jika dilakukan oleh Tuhan Yang Mahakuasa.”[6]
Tiada Sesuatu Tanpa Tujuan
Syiah berkata bahwa Tuhan tidak pernah bertindak
sesuatu tanpa tujuan atau maksud lantaran perbuatan ini dalam timbangan
akal bukan merupakan sebuah perbuatan terpuji. Seluruh perbuatan dan
tindakan-Nya adalah berdasarkan kepada hikmah dan kebijaksanaan, meski
boleh jadi kita tidak mengetahui hal tersebut.
Mazhab Imamiyah berkata bahwa Allah Yang Mahakuasa tidak melakukan sesuatu tanpa tujuan melainkan dengan maksud dan tujuan.”[7]
Asya’irah berpandangan, lantaran penolakan mereka
ihwal kebaikan dan keburukan yang dapat di timbang dalam teraju akal,
bahwa tiada salahnya jika Tuhan bertindak tanpa alasan. “Merupakan
mazhab Asya’irah bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan tidak disebabkan oleh
tujuan apa pun; dan mereka berkata bahwa tidak dibenarkan berkata bahwa
perbuatan-perbuatan-Nya dilatari oleh tujuan-tujuan tertentu. Dan Dia
melakukan apa pun yang Dia kehendaki, dan menitahkan apa pun yang Dia
inginkan; Jika Dia menghendaki untuk menjerumuskan seluruh makhluk-Nya
untuk selamanya di Neraka, Dia adalah Penguasa dan pemilik Otoritas; dan
dosa (makhluk) tiada hubungannya dalam masalah ini. Dia adalah Sebab
segala sesuatu.”[8]
(Fadl, op. cit)
Dapatkah Kita Mengetahui Semua Hikmah?
Seperti yang telah disebutkan bahwa Tuhan tidak
melakukan sesuatu tanpa tujuan atau alasan. Tentunya ada alasan bagi
setiap sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan, tetapi tidaklah wajib bagi
kita mengetahui semua alasan tersebut.
Kami katakan bahwa setiap perbuatan Allah
sedemikian sehingga jika kita dibolehkan mengetahui alasannya, kita
niscaya mengakui bahwa ia adalah sesuatu yang memang patut kita lakukan.
Kita sering merasa terganggu dengan sebuah peristiwa atau masalah
lantaran kita tidak tahu tujuan yang sebenarnya di balik peristiwa dan
masalah tersebut. Gambaran itu dapat dijumpai dalam al-Qur’an ihwal
kisah pertemuan antara Nabi Musa As dan seseorang (yang lebih berilmu
dari Nabi Musa As). Orang alim itu telah membolehkan Nabi Musa As untuk
mengikutinya dengan syarat bahwa “ Ia tidak boleh bertanya kepadanya
mengenai apa yang ia tahu, sehingga ia sendiri memberitahukannya
kepadamu.”
Berikut ini adalah penggalan cerita itu:
“Lalu mereka meneruskan perjalanan dengan bahtera.
Ketika mereka berada dalam bahtera, orang alim tersebut melubangi
bahtera tersebut. Musa menentang perbuatan tersebut kemudian ia
diperingatkan akan janjinya. Kemudian, orang alim itu membunuh seorang
anak. Melihat itu, Musa tidak dapat menahan dirinya lalu mencelanya
dengan bahasa yang keras. Sekali lagi, dia diperingatkan akan janjinya
agar tidak bertanya.
Mereka berjalan terus hingga sampai ke sebuah kota
dimana tidak seorang pun yang memberikan makanan kepada mereka. Di
tempat itu, mereka menemui dinding yang runtuh lalu orang alim itu
memperbaikinya. Musa berkata, “Kalau engkau ingin, tentulah engkau boleh
mendapat bayaran untuknya.”
Dengan hujah yang ketiga ini, orang alim itu memberitahu Musa: “Inilah perpisahan antara engkau dan aku.”
Lalu sebelum berpisah, ia menerangkan alasan-alasan terhadap perbuatannya itu.
“Berkenaan dengan bahtera itu, ia adalah milik
orang-orang miskin yang bekerja di sungai dan aku merusaknya karena ada
seorang raja di belakang mereka yang merampas setiap bahtera yang baik
yang lalu-lalang di hadapannya.”
“Berkenaan dengan anak itu, ibu- bapaknya adalah
orang-orang yang saleh dan aku risau ia akan menindas kedua-duanya
dengan memberontak dan mengingkarinya, dan aku ingin agar Tuhan
menggantikannya untuk mereka dengan seorang anak yang lebih baik dan
saleh.”
“Mengenai tembok dinding itu, ia adalah milik dua
orang anak yatim di kota itu, dan di situ terdapat harta milik mereka,
dan ayah mereka adalah seorang yang saleh dan Tuhanmu menghendaki agar
apabila mereka besar nanti, mereka dapat mengambil harta itu sebagai
suatu rahmat dari Tuhan mereka dan tidaklah aku melakukan
perbuatan-perbuatan itu menurut kehendakku sendiri.”[9]
Kami berharap contoh ini sudah memadai untuk menjelaskan pandangan kami tentang perbuatan-perbuatan Allah.
Sekelompok ulama pernah berkata:
“Setiap sesuatu yang ditetapkan oleh akal adalah
ditetapkan oleh syariat dan setiap sesuatu yang ditetapkan oleh syariat
ditetapkan oleh akal.”
Orang awam sering kali salah memahami ucapan ini.
Mereka berfikir bahwa setiap sesuatu yang kita tetapkan sebagai baik,
mestilah dihukumkan oleh syariat sebagai baik juga, padahal ia tidak
seperti itu. Maksud ucapan tersebut adalah seandainya kita boleh
mengetahui alasan di balik hukum syariat, akal kita pasti akan mengakui
bahwa hukum itu sepatutnya demikian, dan seluruh hukum syariat itu
adalah berdasarkan kepada hikmah (akal).
Aslah : Yang Paling Bermanfaat
Mazhab Syiah meyakini bahwa semua perbuatan Allah
adalah bertujuan untuk kebaikan para makhluk-Nya. Aslah bermakna yang
paling menguntungkan dan membawa manfaat. Dan kalimat ini kami gunakan
untuk menggambarkan perbuatan-perbuatan Tuhan.
Keyakinan ini berdasarkan kepada beberapa alasan
rasional berikut ini: Pertama, Dia Sendiri tiada membutuhkan, dan oleh
karena itu apa pun yang Dia lakukan adalah untuk seluruh makhluk-Nya.
Kedua, jika perbuatan-Nya tanpa kemaslahatan bagi seluruh makhluk-Nya,
maka seluruh makhluk tersebut tiada akan memiliki tujuan; dan melakukan
sesuatu tanpa tujuan, sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, buruk
dalam pandangan akal.[10]
Boleh jadi manusia yang membaiki atapnya merasa terganggu karena hujan
yang turun begitu lebat, tetapi hujan adalah untuk maslahah (manfaat)
yang berbentuk umum; bahkan seseorang yang merasa teraniaya pada masa
itu akan mendapat kebaikan darinya di masa yang akan datang.
Asya’irah mengingkari bahwa seluruh perbuatan Tuhan
adalah untuk kepentingan dan manfaat bagi seluruh makhluk-Nya karena
mereka menolak konsep kebaikan dan keburukan yang dapat ditimbang oleh
akal (husn wa qubh aqli).[11]
Berdasarkan keyakinan terhadap aslah, Syiah
meyakini bahwa setiap insting dan nafsu yang terdapat dalam diri manusia
diciptakan lantaran beberapa alasan dan tujuan. Seluruh insting atau
nafsu ini tidak boleh diabaikan tapi diberdayakan untuk kemaslahatan
umum umat manusia.
Misalnya, nafsu seks yang telah diciptakan Tuhan
dalam diri manusia. Memberangus insting ini bermakna protes kepada Sang
Pencipta. Ia tidak boleh dan tidak dapat diberangus; namun, tentu saja,
fungsinya harus diatur untuk kemaslahatan umat manusia. Dan oleh karena
itu, manusia harus melakukan pernikahan untuk menyalurkan anugerah nafsu
ini dalam kehidupannya.
Demikian juga, ketakutan dan keinginan merupakan
naluri-naluri natural dan sepatutnya dimanfaatkan bagi kepentingan
manusia. Orang Islam diajar agar tidak takut kepada sesiapa atau sesuatu
selain dari Allah, dan tidak menghendaki sesuatu di dunia ini,
sebaliknya bersiap sedia untuk menerima karunia dari Allah.
Janji dan Ancaman
Seperti yang telah dijelaskan, Allah telah
menetapkan Hari Pengadilan. Dia (Allah) telah menjanjikan balasan
ganjaran pahala yang banyak untuk seluruh perbuatan baik dan mengancam
untuk menghajar seluruh perbuatan jahat yang dilakukan oleh manusia.
Terdapat perbedaan di kalangan orang-orang Islam apakah Allah wajib
memenuhi janji dan ancaman-Nya.
1. Mu‘tazilah mengatakan wajib bagi Allah; yaitu
Allah tidak boleh memaafkan perbuatan-perbuatan jahat seseorang yang
mati tanpa bertaubat.[12]
2. Asya‘irah mengatakan Allah tidak wajib memenuhi
janji dan ancaman-Nya; yaitu Dia (Allah) boleh memasukkan orang-orang
yang baik ke neraka dan memasukkan Iblis ke surga. Kepercayaan mereka
ini adalah berdasarkan kepercayaan mereka bahwa tidak ada sesuatu yang
baik atau buruk dengan sendirinya; dan hanya apa yang Allah perintahkan
kita melakukannya itu baik dan apa yang dilarang-Nya itu tidak baik.
Menurut mereka, tidak ada sesuatu mengandungi keburukan atau keburukan
kecuali apa yang Allah perintah atau larang.[13]
Oleh karena itu, seandainya Dia memasukkan Iblis ke syurga dan
memasukkan para nabi ke neraka, hal mereka anggap sebagai cermin
keadilan Tuhan.
3. Syiah berkata bahwa wajib bagi Tuhan memenuhi
janji-janji-Nya mengganjari perbuatan yang baik lantaran apabila Tuhan
tidak memenuhi janji-Nya maka hal ini bertentangan dengan kaidah
keburukan dan kebaikan yang dapat ditimbang dalam neraca akal (husn wa
qubh aqli); tapi tidak wajib bagi-Nya untuk memenuhi ancaman-Nya
menghajar perbuatan yang buruk lantaran memaafkan para pendosa merupakan
cermin kebaikan. Jadi apabila Tuhan menghajarnya, menurut keadilan-nya;
dan apabila Dia maafkan, menurut kepada kemurahan dan kasih-Nya.[14]
[]
Bagian Ke-3
Manusia itu Bebas atau Terpaksa?
Kini kita akan membahas perbedaan pokok teologis di
kalangan mazhab-mazhab Islam. Persoalan itu adalah mengenai manusia,
apakah ia terpaksa (baca:determinisme) ataupun bebas (freewill) dalam
perbuatan mereka. Dalam pembahasan ini setidaknya terdapat empat
pendapat yang masyhur:
1. Mu‘tazilah mengatakan bahwa manusia mempunyai
kebebasan mutlak untuk berbuat apa saja yang diinginkannya, dan Allah
tidak berkuasa ke atas perbuatannya. Mazhab teologis ini juga dikenali
sebagai mazhab Qadariyyah.
2. Mujbirah mengatakan bahwa manusia tidak berkuasa
atas perbuatannya. Dia diumpamakan seperti alat dalam kekuasaan Allah
seperti pena di tangan kita.
3. Asya‘irah pula mengatakan bahwa manusia tidak
mempunyai kuasa atau kehendak sendiri dalam perbuatannya, tetapi ia
masih “menguasai” perbuatan itu. Istilah yang digunakan oleh mereka
ialah kasb. Sebenarnya apa yang mereka maksudkan ini merupakan sesuatu
yang mengusutkan pemikiran mereka sendiri.
4. Syi‘ah mengatakan bahwa manusia tidak bebas
sepenuhnya daripada Allah, dan tidak juga dipaksa oleh Allah, tetapi
kedudukan sebenarnya adalah di antara dua (in between) keadaan ini.
Dapat dilihat bahwa pandangan Mujbirah, Mu‘tazilah
dan al-Syi‘ah adalah lebih mudah dipahami, tetapi pandangan Asya‘irah
tentang kasb tidak mudah dipahami, sama seperti kepercayaan orang-orang
kristian tentang Trinitas (3 dalam 1 Tuhan). Jelaslah bahwa mereka
menggunakan istilah ini hanyalah sebagai perisai untuk menyembunyikan
kepercayaan mereka yang sebenarnya dimana secara umum sama seperti
Mujbirah. Oleh karena itu, kedua pandangan ini dapat dikatakan sebagai
satu pandangan. Shibli Nu’mani, seorang ulama Sunni yang terkenal,
berkata, “Mereka yang cukup berani, secara terbuka mengadopsi
determinisme dan kemudian dikenal sebagai Jabriyah. Mereka yang ragu
menggunakan redaksi jabr, menggunakan kedok terma “kasb” dan “irâdah”.
Kedok ini direka oleh Abul Hasan al-‘Asy’ari.[15]
Oleh karena itu di sini kita perlakukan terma Jabariyyah dan Asy’ariyah
sebagai satu terma. Pada masa kiwari ini, para pengikut Ahlussunah
keseluruhannya adalah bermazhab Asya‘irah (dalam domain teologi) dan
lantaran pembahasan ini merupakan topik yang sangat penting, di sini
kita akan membahasnya secara global.
Kepercayaan Ahlusunnah
Kepercayaan Ahlusunnah dalam masalah perbuatan
manusia, sebagaimana yang dijelaskan oleh Abu Hamid al-Ghazali , adalah
seperti berikut:
“Tidak ada perbuatan manusia walaupun dilakukan
semata-mata untuk dirinya (kasb), bebas dari kehendak Allah, baik dalam
dunia materi ataupun maknawi, perbuatan mengedipkan mata dan berpikir
melainkan semuanya dengan izin, kuasa, kehendak dan kemauan Allah. Hal
ini termasuk perbuatan buruk dan baik, untung dan rugi, jaya dan gagal,
salah dan benar, taat dan ingkar serta syirik dan kufur.”[16]
Patut juga disebutkan di sini, kepercayaan ini
diciptakan oleh Bani Umaiyyah, pada masa mereka berkuasa, dimana mereka
bertujuan menjadikan kepercayaan ini sebagai perisai untuk melindungi
segala kekejaman dan kezaliman mereka. Begitulah pendapat tokoh
Ahlusunnah yang terkenal, al-‘Allamah Syibli al-Nu‘mani (dari India)
yang telah mengakui realitas tersebut dalam kitabnya al-Kalâm, “Biarpun
semua faktor menyebabkan perbedaan dalam kepercayaan, namun perbedaan
politik juga memainkan peran penting dalam masalah ini dimana
pemerintahan Bani Umayyah merupakan dinasti yang sangat signifikan
berperan dalam munculnya kepercayaan ini. Mereka dengan kejam
menumpahkan darah, sehingga timbul keinginan di kalangan orang untuk
menentangnya, tetapi bagi golongan yang tercaplok oleh kekuasaan Bani
Umayyah sering kali melemahkan orang-orang ini dengan kata sakti bahwa
“Segala sesuatu yang berlaku adalah menurut kehendak Allah, dan oleh
karena itu manusia tidak boleh membangkang sama sekali. Segalanya sudah
ditetapkan, dan apa saja yang berlaku, apakah perbuatan itu baik atau
buruk adalah menurut kehendak Allah dan kita perlu mengakuinya.”[17]
Kami kira penjelasan ini telah memadai untuk menjelaskan secara global kepercayaan yang dianut oleh mazhab Ahlusunnah.
Kepercayaan Syi‘ah
Di satu pihak Syi‘ah Imamiyyah Ithna-‘Asyariah
percaya bahwa kita sendiri dapat membedakan di antara “terjatuh dari
atas atap” dan “perbuatan turun ke bawah dengan menggunakan tangga.”
Perbuatan yang kedua itu dilakukan dengan kemampuan, kehendak dan
keinginan kita, sementara perbuatan terjatuh ke bawah adalah sebaliknya.
Kita juga tahu bahwa perbuatan-perbuatan kita
bukanlah seperti perbuatan terjatuh ke bawah dari atas atap, bahkan ia
adalah seperti perbuatan turun dengan kuasa dan kemampuan kita sendiri.
Oleh karena itu, perbuatan itu adalah perbuatan kita sendiri dan tidak
dapat dikatakan bahwa perbuatan itu adalah perbuatan Allah.
Sekali lagi, kita lihat bahwa terdapat sebagian
perbuatan yang menyebabkan kita dipuji atau dicaci, sedangkan dalam
sebagian perbuatan yang lain, kita tidak dipuji ataupun dicaci. Hal ini
dengan jelas menunjukkan bahwa perbuatan yang pertama adalah berada
dalam kuasa dan kehendak kita dimana perbuatan yang kedua adalah berada
di luar kekuasaan dan kehendak kita.
Sebagai contoh, kita dianjurkan untuk merawat
sebuah penyakit dengan cara begini atau begitu, tetapi kita tidak dapat
dianjurkan untuk sembuh dengan pasti dari penyakit itu. Hal ini bemakna
bahwa mendapatkan perawatan berada dalam kekuasaan kita, sedangkan
mendapatkan kesembuhan tidak berada dalam kekuasaan kita.
Oleh karena itu, kita dapat mengatakan bahwa
terkadang terdapat banyak perkara dan aspek kehidupan yang berada dalam
kuasa dan kemampuan kita, sedangkan yang lain tidak berada dalam kuasa
dan kemampuan kita. Dalam urusan dan perkara yang kita boleh diberikan
nasihat, anjuran, dipuji atau dicaci adalah berada dalam ruang kekuasaan
dan kemampuan kita.
Perintah-perintah agama berada dalam kumpulan ini.
Lantaran kita dianjurkan atau diperintahkan supaya melakukan atau tidak
melakukan perkara ini dan itu. Dengan demikian kita dipuji apabila kita
mentaati perintah-perintah tersebut dan dicela apabila kita
mengingkarinya. Oleh karena itu, adalah keliru apabila beranggapan dan
berkata bahwa kesalahan dan kebenaran, ketaatan dan keingkaran,
kepercayaan yang benar dan yang palsu adalah berdasarkan perintah dan
kehendak Allah.
Syaikh Shaduq berkata “ Allah memiliki segala
pengetahuan tentang perbuatan manusia, tetapi Allah tidak memaksa mereka
melakukan sesuatu.”[18]
Namun hal itu tidak berarti bahwa manusia bebas dan
mandiri dari Allah. Pada hakikatnya, kuasa dan kehendak untuk berbuat
sesuatu menurut apa yang kita kehendaki adalah dikurniakan oleh Allah.
Senada dengan hal ini, Imam Ja‘far Sadiq As mengatakan: “Tiada paksaan
(oleh Allah), tidak ada kekuasaan mutlak (yang dikurniakan oleh Allah
kepada manusia), tetapi kedudukan sebenarnya adalah di antara kedua-dua
keadaan ini. (al-amru bainal amrain).”[19]
Contoh berikut ini secara jelas menggambarkan
“posisi tengah” ini. Anggaplah tangan seseorang secara total mengalami
kelumpuhan sedemikian sehingga ia tidak mampu menggerakan
jari-jemarinya. Seorang dokter telah memasang sebuah alat listrik di
tangannya dimana ketika alat tersebut menyala, ia dapat menggunakan
tangannya secara bebas dengan wajar. Alat tersebut diaktifkan oleh
sebuah remote control yang dijaga oleh dokter tersebut. Tatkala dokter
menyalakan alat tersebut, ia dengan leluasa dapat menggerakkan
tangannya, namun ketika alat tersebut tidak menyala, ia tidak dapat
melakukan apa pun. Kini apabila alat tersebut menyala dan pasien
menggerakkan tangannya kesana dan kemari, dapatkah perbuatannya itu
diatributkan secara bebas kepadanya? Tidak, lantaran kekuatan bersumber
dari alat tersebut yang sepenuhnya dikendalikan oleh dokter. Perbuatan
itu juga tidak dapat disandarkan kepada dokter? Tidak, lantaran pasien
tersebut melakukan perbuatan itu sesuai dengan kehendak dan pilihannya.
Hal ini merupakan contoh dari perbuatan-perbuatan kita. Kita tidak
terpaksa melakukan perbuatan itu karena kehendak dan pilihan berada di
tangan kita; kita juga tidak sepenuhnya mandiri, lantaran kekuasaan yang
membolehkan kita melakukan apa saja bersumber dari Tuhan.
Potret Kebebasan Manusia
Pertanyaan yang dapat diajukan di sini adalah
darimanakah bermulanya kemampuan kita untuk melakukan sesuatu? Imam Musa
Kazim As berkata: “Seorang manusia memperoleh kemampuan untuk melakukan
sesuatu apabila memenuhi empat syarat berikut ini:
1. Ketika tiada sesuatu halangan menegahnya
2. Sehat, kekuatan
3. Yang diperlukan untuk tugas itu mencukupi
4. Tuhan memberikan keadaan untuknya melakukan tugas itu.
Ketika seluruh syarat yang disebutkan terpenuhi, seseorang dapat melakukan segala sesuatu menurut kehendaknya sendiri.”
Ketika Imam Musa Kazhim ditanya tentang suatu
contoh, beliau berkata: “Marilah kita andaikan bahwa ada seorang lelaki
yang tidak mendapatkan halangan, sehat dan kuat, namun ia masih tidak
boleh melakukan perbuatan zina kecuali ia menemui seorang wanita.
Apabila (syarat yang keempat dipenuhi) dan dia menemui seorang wanita,
kemudian terserah orang tersebut untuk menentukan satu dari dua pilihan,
apakah ia dapat mengendalikan nafsu jahatnya dan menyelamatkan dirinya
seperti yang dilakukan oleh Nabi Yusuf As ataupun ia memilih untuk
terjerat oleh pesona wanita dengan melakukan zina. Seandainya ia mampu
mengendalikan dirinya dari perbuatan dosa itu, hal tersebut bukanlah
akibat paksaan oleh Allah (seperti yang dipikirkan oleh sebagian orang),
dan seandainya dia melakukan dosa, hal tersebut juga tidak berarti
bahwa ia mengatasi kekuasaan Allah (sebagaimana yang disangka oleh
sebagian orang).”[20]
Determinasi dan Hari Kiamat
Menurut hemat kami, seandainya seseorang itu
percaya kepada adanya determinasi (keterpaksaan), pada masa yang sama
dia seharusnya tidak boleh percaya kepada Hari Kiamat. Sekiranya Allah
telah menetapkan setiap perbuatan yang hendak kita lakukan, lalu mengapa
Dia harus mengenakan hukuman kepada kita akibat melakukan
perbuatan-perbuatan dosa, kejahatan dan perbuatan yang menyalahi
(perintah-Nya) karena Dia sendirilah yang telah menetapkannya ke atas
kita. Itu tentunya tidak adil sama sekali.
Berikut ini adalah pembahasan yang mengemuka antara
Imam Musa Kazim As pada masa belianya dan Abu Hanifah, pendiri mazhab
fiqih Hanafi yang merupakan salah satu mazhab Ahlusunnah:
Suatu ketika Abu Hanifah keluar untuk menemui Imam
Ja‘far Sadiq As. Ketika ia sampai di kediaman Imam, Imam sedang berada
di dalam rumah. Dan Abu Hanifah pun menunggunya di luar rumah.
Tak berapa lama kemudian, seorang bocah belia
keluar dari rumah tersebut. Abu Hanifah pun bertanya kepadanya: “Wahai
kuculuk, bersumber dari siapakah sebenarnya perbuatan seseorang manusia?
Bocah belia itu lalu berkata: “Wahai Abu Hanifah, hanya terdapat tiga
kemungkinan; manusia itu sendiri yang menjadi pelaku kepada
perbuatannya, atau Tuhan sebagai pelaku kepada perbuatan itu; ataupun
kedua-duanya menjadi pelaku perbuatan tersebut. Sekiranya Allah disebut
sebagai pelaku atas perbuatan seorang manusia, lalu mengapa Dia
mengenakan hukuman kepada manusia atas perbuatan dosa itu? Bukankah itu
merupakan suatu bentuk kezaliman, sementara Allah Swt sendiri telah
berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak menzalimi hamba-hamba-Nya.”
Seandainya, keduanya, yaitu Allah dan manusia
bersekutu dalam perbuatan dosa, tentunya tidak adil sekiranya rekan
sekutu yang lebih berkuasa (Tuhan) menghukum rekan sekutunya yang lemah
(manusia) atas perbuatan yang mereka lakukan bersama-sama; dan oleh
karena terbukti bahwa kedua pilihan tersebut tidak dapat diterima oleh
akal dan mustahil, maka pilihan ketiga terbukti benar yaitu manusia
sendiri yang melakukan perbuatannya dengan kuasa dan kehendaknya
sendiri.”
Abu Hanifah lalu mencium kening bocah tersebut.
Bocah belia itu adalah Musa, yang kemudiannya dikenali sebagai al-Kazim,
Imam ketujuh dalam mazhab Syi‘ah.
Kisah Abu Hanifah Dan Bahlul
Abu Hanifah meyakini bahwa manusia tidak melakukan
perbuatan berdasarkan kuasa dan kehendaknya. Pada suatu ketika,
pendapatnya ini telah menjadi sebab terjadinya sebuah peristiwa. Bahlul
merupakan seorang yang pandai dan seorang pemimpin. Ia adalah salah
seorang sahabat Imam Ja‘far Sadiq As yang terkenal yang hidup hingga
masa Imam ‘Ali Naqi As dan sempat juga berjumpa dengan Imam Hasan Askari
As.
Biasanya ia dipanggil sebagai Bahlul Majnun (Bahlul
yang gila). Hal ini lantaran ia berpura-pura menjadi gila untuk
menyelamatkan nyawanya dari tugas-tugas kehakiman yang ditawarkan
Khalifah Harun al-Rasyid kepadanya.
Namun begitu dengan “kepintarannya ” itu, ia
mengambil kesempatan dari perangai kegila-gilaannya dengan selalu
menentang tokoh-tokoh besar pada zamannya (termasuk raja-raja) mengumbar
kelemahan-kelemahan mereka sendiri.
Pada suatu ketika, ia terdengar Abu Hanifah, yang
bermukim di Kufah, Iraq memberitahu para pengikutnya: “ Saya mendengar
tiga perkara dari Imam Ja‘far Sadiq As yang menurut pendapat saya adalah
salah. Para pengikutnya itu lalu bertanya mengenai perkara-perkara
tersebut. Abu Hanifah pun berkata:
“Pertama, Imam Ja‘far Sadiq As berkata bahwa Allah
Swt tidak dapat dilihat. Tetapi hal itu tidak benar. Seandainya sesuatu
itu wujud, maka ia mesti dapat dilihat.”
“Kedua, beliau mengatakan bahwa syaitan akan
disiksa dalam api neraka, tetapi hal itu mustahil berlaku kerana syaitan
dijadikan dari api. Bagaimanakah api boleh mencelakakan seseorang yang
materinya juga bersumber dari api?”
“Ketiga, beliau mengatakan perbuatan manusia
dilakukan dengan kehendak dan kekuasaannya, dan manusia bertanggungjawab
atasnya. Tetapi perkara itu tidak tepat karena semua perbuatan manusia
dilakukan berdasarkan kehendak dan kekuasaan Allah, dan Allah yang
sebenarnya bertanggungjawab atas perbuatan tersebut.”
Ketika para pengikutnya baru hendak memujinya,
Bahlul mengambil segumpal tanah dan melontarkannya tepat ke arah Abu
Hanifah. Gumpalan tanah itu tepat mengenai keningnya, lantas ia menjerit
kesakitan. Para pengikutnya menangkap Bahlul lalu Abu Hanifah
membawanya menemui Hakim.
Hakim (Qadi) mendengar aduan itu dan bertanya kepada Bahlul apakah tuduhan tersebut benar atau keliru.
Bahlul: “ Wahai Qadi! Abu Hanifah mengatakan ia
mengalami sakit yang kuat di kepalanya karena terkena lontaran gumpalan
tanah. Tetapi saya berpendapat, dia berdusta. Saya tidak percaya
kepadanya hingga saya melihat “ sakit ” itu sendiri.”
Abu Hanifah: “ Kamu benar-benar gila. Bagaimanakah
aku dapat menunjukkan “ sakit ” kepadamu? Adakah seseorang yang pernah
melihat “ sakit ”?”
Bahlul: “Tetapi wahai Qadi! Tadi ia baru saja
mengajarkan kepada para pengikutnya, seandainya sesuatu itu memang
wujud, ia mestilah boleh dilihat. Oleh kerana dia tidak dapat
memperlihatkan “sakit” itu, saya anggap berdasarkan kepercayaannya
sendiri, ia tidak sakit sama sekali.”
Abu Hanifah: “ Oh, sakitnya kepalaku!”
Bahlul: “ Wahai Qadi, ada satu perkara lagi. Ia
juga memberitahu para pengikutnya bahwa karena syaitan dicipta dari api,
maka api neraka tersebut tidak dapat mencelakakannya. Sekarang, manusia
direka dari tanah seperti yang dinyatakan oleh al-Qur’an, sementara
gumpalan tanah inilah yang mencederainya. Saya heran bagaimana ia dapat
menuding gumpalan tanah itu dapat mencelakakan manusia yang juga
diciptakan dari gumpalan tanah?”
Abu Hanifah: “Wahai Qadi, Bahlul ingin melepaskan
dirinya dengan omong-omongnya itu. Tolonglah hajarlah ia karena telah
mencelakaiku.”
Bahlul: “ Wahai Qadi, saya kira Abu Hanifah
ternyata telah melakukan kesalahan dengan membawa saya ke mahkamah ini.
Ia baru saja memberitahu segala perbuatan manusia adalah dilakukan oleh
Allah dan Allahlah yang bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatan
mereka. Sekarang, mengapa ia membawa saya ke sini? Seandainya ia
benar-benar sakit akibat terkena gumpalan tanah itu (dimana saya sendiri
meragukan hal itu berdasarkan dalil-dalil yang telah dijelaskan), ia
sepatutnya menuntut Allah yang mencederainya dengan melontar gumpalan
tanah itu. Mengapa manusia yang tidak berdaya seperti saya dibawa ke
mahkamah sementara semua perbuatan yang saya lakukan itu sebenarnya
dilakukan oleh Allah? Mendengar timpalan Bahlul ini, Qadi pun
membebaskannya.”
Dengan demikian Bahlul dapat mematahkan
argumen-argumen Abu Hanifah yang berkeyakinan bahwa Tuhan itu dapat
dilihat dan juga bahwa manusia itu tidak bebas dalam melakukan perbuatan
yang ia inginkan.
Kebebasan Manusia; Percaya atau Tidak?
Seperti yang telah dijelaskan, Tuhan tidak
menciptakan sesuatu tanpa tujuan. Dari sini, kita patut mengemukakan
sebuah pertanyaan, apakah tujuan penciptaan manusia?
Allah menciptakan manusia agar dia melakukan
kebaikan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah. Manusia hadir ke
dunia ini ibarat sehelai kertas yang kosong. Sepanjang hayatnya,
berbagai-bagai bentuk dan corak tersalin pada kertas tersebut sebagai
akibat atau kesan daripada pemikiran dan perbuatan-perbuatannya.
Kebaikan yang dia perolehi adalah seperti corak-corak yang menawan dan
apabila yang tergores adalah keburukan maka coraknya adalah corak-corak
yang buruk. Allah Swt berfirman: “Penuh berkah nan abadi Allah yang di
tangan-Nya segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang
menciptakan mati dan hidup supaya Dia mengujimu, siapa di antara kamu
yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Qs.
Al-Mulk [67]:1-2)
Allah mengaruniakan hikmah, kebijaksanaan dan
kekuatan kepada manusia untuk mencapai kebaikan-kebaikan tersebut. Dia
telah memperlihatkan jalan yang lurus kepada manusia dan mengancamnya
dari jalan-jalan kesesatan, tetapi Dia (Allah) tidak memaksa manusia
melakukan perbuatan-perbuatan baik, begitu juga dengan
perbuatan-perbuatan buruk. Dia (Allah) telah memberikan kuasa atau
kemampuan kepada manusia untuk melakukan sesuatu sebagaimana yang
diingininya dalam hidup ini. Al-Qur’an menegaskan: “Demi jiwa manusia
dan Dzat yang telah menyempurnakannya. Lalu Dia Allah mengilhamkan
kepadanya (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sungguh beruntunglah orang
yang telah menyucikannya, Dan sungguh merugilah orang yang
mengotorinya.” (Qs. Asy-Syams [91]:7-9)
Taufik dan Khidlan
Oleh karena tujuan penciptaan kita adalah untuk
melakukan kebaikan dengan mentaati Allah dan karena kita diberikan
kebebasan memilih, Allah tidak memaksa kita untuk memilih jalan
tertentu. Allah yang Maha Pemurah senantiasa menolong manusia yang tulus
ingin mentaati-Nya, tetapi pertolongan itu bukanlah paksaan dari Allah.
Marilah kita mengambil contoh, seorang tukang yang
diminta memperbaiki atap. Dia sepakat melakukan pekerjaan tersebut dan
telah bersiap-siap untuk memulai pekerjaan tersebut. Namun, kemudian ia
menghadapi beberapa kesulitan untuk mendapatkan tangga yang cukup
panjang untuk dapat naik ke atas atap tersebut. Anda tahu bahwa ia
memang berhasrat melakukan pekerjaan itu, tetapi Anda juga memaklumi
bahwa dia akan menghadapi kesukaran karena tangganya yang pendek itu.
Oleh karena itu, Anda meminjamkan tangga yang mempunyai ketinggian
tertentu kepadanya dan dengan sebab itu, Anda telah memudahkan
pekerjaannya.
Patut diingat bahwa, pertolongan itu diberikan
tatkala ia mempunyai hasrat yang kuat untuk melakukan tugas tersebut dan
ketika dia telah membuat persiapan yang cukup lengkap. Lantaran itu,
pertolongan tadi bukanlah memaksanya memulai pekerjaan itu, dan juga
bukan yang menyebabkan timbulnya niat, keinginan atau kekuatan untuk
memperbaiki atap tersebut. Niat, kehendak dan kekuatan, seluruhnya telah
tersedia. Apa yang Anda lakukan baginya hanyalah menolongnya menunaikan
niatnya itu.
Pertolongan seperti itu dari Allah Swt yang
dikaruniakan kepada orang-orang yang ikhlas ingin mentaati perintah-Nya
disebutkan sebagai taufik. Taufik bermakna membantu seseorang untuk
melaksanakan tugas.
Sekarang, marilah kita lihat dari sisi lain dari
perumpamaan ini. Sekiranya tukang tersebut tidak mau memperbaiki atap
itu dan enggan menerima tugas itu sama sekali, atau selepas ia sepakat
melakukan tugas itu dan kemudian berlengah-lengah serta mengemukakan
berbagai-bagai alasan yang tidak sesuai. Anda tahu bahwa dia memang
tidak berniat melakukan tugas itu. Oleh karena itu, tidaklah perlu sama
sekali memberikannya tangga itu ataupun menawarkan tangga itu kepadanya.
Apakah dapat dikatakan bahwa dengan mengambil balik
tangga itu, Anda telah memaksanya untuk tidak melakukan tugas itu?
Tentu sekali tidak. Hal ini disebabkan karena orang itu dengan kehendak
dan pilihannya sendiri telah menolak tugas itu (atau menangguhkannya
tanpa alasan yang wajar). Tangga kepunyaan Anda itu tidak ada kaitan
sama sekali dengan keputusannya itu.
Dalam hubungannya dengan Allah Swt, dengan menarik
balik pertolongan dari orang-orang tersebut, yang dengan kehendak dan
pilihan mereka sendiri telah memilih untuk mengingkari perintah-perintah
Allah, disebut sebagai khidhlan. Khidhlan bermakna pengingkaran.
Anda akan menemui banyak ayat al-Qur’an yang merujuk kepada kedua-dua aspek pertolongan Allah tersebut. Di antaranya:
“Barang siapa yang Allah menghendaki akan
memberikan petunjuk kepadanya, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk
(memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah
kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit,
seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan
kekotoran kepada orang-orang yang tidak beriman.” (Qs. Al-An’am *6+:125)
Lihatlah bahwa Allah tidak pernah menyesatkan
golongan kafir - Dia hanya membiarkan mereka berada dalam kesesatan. Hal
ini bermaksud bahwa mereka telah tersesat dan kemudian Allah membiarkan
mereka terus tersesat. Pengertian ini akan menjadi lebih jelas apabila
Anda melihat redaksi ayat: “Begitulah Allah menimpakan kekotoran kepada
orang-orang yang tidak beriman.”
Hal ini dengan jelas menunjukkan mereka dibiarkan
berada dalam kesesatan sebagai suatu bentuk hukuman karena kekufuran
mereka. Mereka telah memilih, dengan kehendak sendiri, untuk tidak
beriman kepada Allah, dan kemudian, sebagai hasil dari kekufuran itu,
Allah membiarkan mereka dalam kesesatan. Dalam ayat lain disebutkan:
“Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan
berupa nyamuk atau yang lebih kecil dari itu. Adapun orang-orang yang
beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan
mereka. Akan tetapi, mereka yang kafir akan berkata, “Apakah maksud
Allah menjadikan ini sebagai perumpamaan?” Dengan perumpamaan itu, Dia
menyesatkan banyak orang dan dengan perumpamaan itu (pula) Dia
memberikan petunjuk kepada banyak orang. Dan Dia tidak akan menyesatkan
dengan perumpamaan itu kecuali orang-orang yang fasik.” (Qs. Al-Baqarah
[2]:6)
Di sini disebutkan bahwa orang-orang yang dibiarkan
tersesat itu hanyalah orang-orang yang telah pun melampaui batas dengan
pilihan dan kehendak mereka sendiri. Jelaslah bahwa mereka dibiarkan
sesat karena mereka sendiri yang telah menyesatkan diri dengan pilihan
mereka yang keliru itu.
Pengetahuan Tuhan dan Perbuatan Manusia
Setelah menguraikan pembahasan di atas sebuah
pertanyaan asasi patut diajukan di sini. Tuhan mengetahui segalanya. Dia
mengetahuinya semenjak sebelumnya, misalnya, Budi bakalan menjadi
seorang yang kafir. Kini, Budi memeluk Islam, hal ini bermakna bahwa
pengetahuan Tuhan adalah salah; dan lantaran pengetahuan Tuhan tidak
pernah salah, oleh karena itu, Budi harus tetap menjadi seorang kafir.
Apakah hal ini tidak bermakna bahwa Budi harus tetap menjadi seorang
kafir lantaran pra-pengetahuan yang dimiliki Tuhan?
Dalam menjawab pertanyaan ini hal yang perlu
diketahui bahwa apa yang akan terjadi; dan yang lain yang menyebabkan
sesuatu itu terjadi. Anggaplah ada seorang dokter yang setelah
mendiagnosa seorang pasien, mengumumkan bahwa pasien itu tidak akan
bertahan lebih dari setengah jaman. Dapatkah dikatakan bahwa dokter
itulah yang menyebabkan kematian pasien lantaran ia tahu bahwa sang
pasien bakalan mati? Dapatkah tuntutan diajukan kepadanya lantaran ia
telah membunuh pasien tersebut? Tentu saja tidak. Sebaliknya insiden ini
akan dinukil untuk menunjukkan bagaimana berpengalamannya dokter
tersebut lantaran ia memprediksi apa yang akan terjadi atas pasien
tersebut pasca setengah jam ke depan.
Mari kita simak contoh ini sekali lagi. Dokter
mengetahui bahwa pasien bakalan mati, lantaran ia berada pada kondisi
sedemikian sehingga ia tidak dapat lagi survive (selamat) lebih dari
setengah jam ke depan. Jadi, pengetahuan tersebut bersumber dari kondisi
pasien; bukan bahwa pasien itu meninggal lantaran pengetahuan dokter.
Pengetahuan yang dimiliki oleh sang dokter merupakan hasil dari kondisi
real sang pasien; kondisi pasien bukan merupakan hasil dari pengetahuan
dokter.
Perbedaan sederhana ini banyak diabaikan oleh
mayoritas kaum Muslimin yang berpikir bahwa lantaran Tuhan mengetahui
segala sesuatu yang akan terjadi, maka hal itu harus terjadi. Mereka
lalai menyadari bahwa Budi yang akan mati adalah seorang kafir, lantaran
ia akan mati dalam kondisi kekafiran berdasarkan kehendaknya sendiri;
pengetahuan Tuhan berdasarkan kehendak merdeka Budi; bukan Budi mati
dalam kondisi seorang kafir lantaran pengetahuan Tuhan.
Tentu saja, terdapat perbedaan antara pengetahuan
dokter dan pengetahuan Tuhan; pengetahuan yang dimiliki oleh dokter
adalah pengetahuan yang tidak sempurna dan tidak lengkap. Oleh karena
itu, prediksinya boleh jadi salah pada waktu-waktu tertentu. Namun
pengetahuan Tuhan merupakan pengetahuan sempurna dan lengkap dalam
setiap kondisi dan keadaaan. Oleh karena itu, pengetahuan-Nya tidak
pernah salah dan keliru setiap saat. Juga hal ini tidak bermakna bahwa
pengetahuan-Nya yang menjadi sebab dosa atau kemusyrikan atau
kemunafikan, keimanan dan kebaikan hamba-Nya.
Kebaikan Tuhan
Seandainya seseorang dapat melakukan kebaikan
kepada seseorang tanpa mengganggu orang lain, namun ia tidak
melakukannya, maka keengganannya ini bertolak belakang dengan kebaikan,
hal ini merupakan sebuah keburukan. Oleh karena itu, apabila Allah dapat
melakukan kebaikan kepada makhluk-makhluk-Nya dan kemudian, Dia tidak
melaksanakannya, perkara ini adalah bertentangan dengan kebaikan Allah
dan hal ini bukan merupakan sebuah perbuatan yang terpuji. Atas alasan
ini, dalam mazhab Syiah disebutkan: “Secara moral merupakan kewajiban
Allah melakukan setiap kebaikan (lutf) yang berhubungan dengan manusia.”[21]
Apakah yang dimaksud dengan lutf yang diterjemahkan
secara umumnya sebagai rahmah atau kebaikan dalam pembahasan ini? Lutf
merupakan suatu kebaikan dari Allah yang akan menolong para hamba-Nya
untuk mendekat, mengabdi, mentaati dan menyempurnakan diri mereka kepada
Allah.
Memang wajar dinyatakan di sini bahwa Allah telah
memerintahkan manusia supaya berlaku adil, malahan Dia (Allah) sendiri
telah menganugerahi kita dengan sesuatu yang jauh lebih baik daripada
keadilan-Nya yaitu tafaddul (kemuliaan). (tafaddul memiliki makna sama
dengan lutf)
Kepercayaan bahwa lutf adalah wajib bagi Allah
secara moral merupakan suatu kepercayaan yang khusus yang terdapat dalam
ajaran Syi‘ah Ithna-‘Asyariah. Sementara, Ahlusunnah tidak percaya
bahwa lutf adalah wajib bagi Allah. Kalau saja mereka meyakini bahwa
keadilan (‘Adl) saja tidak wajib bagi Allah, apatah lagi lutf.
Berdasarkan contoh yang dikemukakan oleh Ahlussunah, seandainya Allah
memasukkan orang yang baik dan saleh ke neraka dan mengirim Setan ke
surga, ia boleh diterima sebagai perbuatan yang benar. Maka hal ini
sah-sah saja.
Kedua konsep, taufik dan lutf seperti yang
dinyatakan di atas pada dasarnya bertujuan untuk mendorong seseorang
ataupun sekumpulan orang untuk mentaati titah-perintah Allah.
Bagaimanapun, adakalanya pertolongan itu ditawarkan kepada seorang yang
ingkar, bukan karena dia diharapkan mendapat kebaikan dan dapat
melaksanakan tugas-tugasnya, tetapi hanyalah untuk mematahkan dalih atau
alasan, agar dia tidak dapat lagi mendakwa bahwa seandainya dia
diberikan sedikit pertolongan, tentunya dia dapat menjadi seorang hamba
Allah yang taat. Hal seperti ini dikenali sebagai Itmâm al-Hujjah
(penyempurnaan hujah).
Beberapa contoh dapat dikemukakan di sini berkenaan
dengan masalah lutf. Kita tahu bahwa Tuhan menciptakan kita untuk
melakukan kebaikan-kebaikan di dunia ini sehingga kita dapat lebih dekat
kepada-Nya di hari Kiamat. Pertanyaannya adalah: Bagaimana kita dapat
mengetahui apa kebaikan dan keburukan itu? Akal manusia mengapresiasi
kebaikan inheren atau keburukan inheren dari kebanyakan perbuatan kita,
namun dapatkah kita berhadap bahwa setiap orang bertindak dan berbuat
berdasarkan alasan sempurna? Tentu saja tidak. Acapkali ketika hasrat
atau marah menekan suara hikmah; acapkali tatkala keuntungan segera
(yang dapat diperoleh melalui jalan-jalan salah) nampaknya lebih
mengesankan ketimbang cemoohan masyarakat atau kehilangan kasih Tuhan
pada hari Kiamat.
Jika Tuhan meninggalkan manusia tanpa alat efektif
untuk mencek pikiran-pikiran dan hasrat-hasrat jahatnya, maka hal ini
akan berujung pada tidak terwujudnya tujuan Tuhan itu sendiri. Oleh
karena itu, Dia menetapkan beberapa aturan dan mengutus para nabi dan
imam untuk membawakan aturan-aturan tersebut kepada para hamba-Nya, dan
menjelaskan serta melindungi aturan dan hukum tersebut dari
penyimpangan.
Dan Tuhan tidak meninggalkan kita, Dia juga
menunjuk suatu hari ketika seluruh manusia dikumpulkan untuk melaporkan
keimanan dan amal perbuatan mereka. Dan Dia, dengan kasih dan
keadilan-Nya, menyampaikan berita kepada kita bahwa akan datang hari
perhitungan, hari ganjaran dan hukuman. Berita ini membantu para
hamba-Nya untuk menaati aturan dan hukum tersebut yang dibawa oleh para
nabi.
Lalu menurunkan syariah merupakan sebuah lutf
(kebaikan) yang menolong manusia untuk mencapai tujuan hidupnya. Juga
mengutus para nabi dan imam, menentukan hari Kiamat merupakan contoh
dari lutf Tuhan. Karena perbuatan-perbuatan ini merupakan lutf, maka hal
ini wajib bagi Tuhan.[]
Bagian Ke-4
Mengapa Manusia Diuji?
Telah Anda ketahui bahwa kita diciptakan untuk
mengerjakan kebaikan yang dapat mengantarkan kita dekat kepada Allah.
Namun bagaimanakah cara untuk memastikan standar kebaikan kita? Untuk
memudahkan kita memahami mahkamah Allah, Dia telah menetapkan suatu
sistem ujian yang dapat menentukan kesempurnaan ataupun kecacatan rohani
kita. Allah berfirman dalam al-Qur’an: “Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur (dan) Kami hendak
mengujinya (dengan perintah dan larangan). Karena itu, Kami jadikan dia
mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukkan jalan (yang
lurus) kepadanya; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (Qs.
Al-Insan [76]:3-4)
Ujian diberlakukan kepada setiap orang yang beriman
atau kafir. Ujian di sini menegaskan bahwa manusia tidak ditakdirkan
bahwa ia termasuk penghuni surga atau neraka, tidak seperti sebagian
golongan Kristian dan sebagian besar kaum Muslimin yang beranggapan
demikian. Jika tempat kita di hari Kiamat telah ditentukan sebelumnya,
lalu mengapa kita harus diperintahkan untuk melakukan ini dan dilarang
melakukan itu?
Mereka yang meyakini bahwa Allah telah menakdirkan
sebelumnya perbuatan dan tujuan pamungkas kita, maka mereka tidak dapat
membenarkan teori ujian yang disebutkan pada sebagian ayat al-Qur’an.
Demikian juga mereka tidak dapat membenarkan keyakinannya terhadap hari
Kiamat. Mengapa harus ada hari Kiamat ketika segala sesuatunya telah
ditentukan sebelumnya? Pengadilan siapa yang akan dilangsungkan ketika
seseorang hanya melakukan apa yang dititahkan Tuhan kepadanya?
Lantaran kita meyakini bahwa Tuhan mengetahui segalanya, lalu mengapa Dia harus menguji kita?
Ujian yang kita hadapi tidak bermaksud untuk
menambah pengetahuan Tuhan. Meski Tuhan mengetahui segalanya, masih
dipandang perlu menguji manusia sehingga bentuk keadilan Tuhan yang
sebenarnya dan kasih Tuhan dapat menjelma pada hari Kiamat. Jika Tuhan
mengirim seseorang ke surga atau neraka berdasarkan pengetahuan-Nya
tanpa meletakkan mereka pada medan ujian atas iman dan perbuatan mereka,
maka mereka yang dikirim ke neraka memiliki hak untuk memprotes mengapa
mereka dihukum mengingat mereka tidak melakukan dosa dan mengapa
sebagian orang dihadiahkan surga tanpa amal kebaikan? Jadi untuk
menegakkan prinsip keadilan, maka wajib bagi Tuhan untuk menguji setiap
orang sebelum mengirim mereka surga atau neraka.
Kategori Ujian dan Cobaan
Ujian dan cobaan dapat dibagi menjadi dua kategori:
Pertama ujian dengan aturan syariah dan prinsip
iman. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, Tuhan mengutus
nabi-nabi dengan syariah dan manusia diharapkan untuk meyakini agama
yang benar dengan tulus dan mentaati aturannya dengan penuh keyakinan.
Kategori kedua adalah kategori yang sedikit lebih sukar yaitu dengan cobaan. Allah Swt berfirman:
Dan sungguh Kami akan berikan cobaan kepadamu
dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan
buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang
sabar. (Yaitu), orang-orang yang apabila tertimpa musibah, mereka
mengucapkan, “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn (sesungguhnya kami
adalah milik Allah dan kami akan kembali kepada-Nya).” (Qs. Al-Baqarah
[2]:155)
Terdapat banyak bencana, peristiwa, banjir, gempa
bumi, kebakaran, perampokan, perang, huru-hara, wabah penyakit yang
menimpa hidup manusia: Dengan semua ini kita berada dalam altar dan
medan ujian. Lalu bagaimana menyikapi semua ini? Apakah iman kita tetap
tegar? Apakah telah kita buktikan diri kita sebagai pilar untuk dapat
meniupkan harapan kepada orang lain? Apakah telah kita tunjukkan
ketegaran dan kesabaran kita dalam menghadapi bencana ini? Kebahagiaan
kita yang abadi bergantung pada hasil dari ujian-ujian ini.
Penderitaan dapat dinisbatkan kepada satu atau lebih dari beberapa sebab di bawah ini:
1. Penderitaan kita merupakan akibat dari kelalaian
atau kealpaan kita. Seseorang menganggap enteng aturan kesehatan dan
kemudian jatuh sakit. Ia sendiri yang menjadi penyebab atas
penderitaannya dan dalam hal ini sakitnya ia merupakan konsekuensi
natural dari kelalaiannya. Dalam istilah hukumnya, tiada dosa yang
terjadi dalam perbuatan ini. Hal ini merupakan kerugian bagi dirinya
sendiri. Tiada orang lain yang terlibat dalam hal ini. Ia dapat, jika
mau, menyalahkan dirinya sendiri.
2. Sebab kedua dari penderitaan dapat terjadi
karena pengaruh alam; penderitaan semacam ini selalu dikatakan kepada
kita sebagai “perbuatan Tuhan.” Gempa bumi, badai, prahara dan
kejadian-kejadian natural lainnya berada di luar control manusia dalam
kategori ini. Kejadian ini merupakan sebuah kemestian untuk menjalankan
roda mesin dunia secara sistematis dan terencana. Namun demikian,
terdapat orang yang menderita dan daya ujinya dicoba dengan penderitaan
ini.
3. Sebab ketiga adalah penderitaan yang disebabkan
oleh orang lain. Sebab ketiga ini merupakan jenis penderitaan yang
paling sulit. Seorang penguasa tiran, tetangga yang mengganggu, anak
yang membangkang, musuh yang tak berbelas kasih, bawahan yang kurang
disiplin, atasan pembual, pelanggan yang curang, mitra kerja yang
menelikung, pasangan yang menyiksa, hakim yang tidak fair merupakan
contoh-contoh yang dapat diberikan dalam masalah ini. Seseorang harus
menderita seluruh masalah ini, suka atau tidak suka, terkadang tanpa
kesalahan yang dilakukan olehnya.
Alternatif Yang Ditawarkan?
Tuhan dapat membuat kita semua seperti malaikat,
tanpa adanya kemerdekaan berkehendak atau kekuasaan yang bersumber dari
kita. Namun dalam kasus kebaikan manusia ia tidak akan memiliki nilai
sama sekali. Kebaikan itu merupakan kebaikan Tuhan dan atas rencana
Tuhan, Dia memberikan kekuasaan dan kehendak kepada kita untuk berbuat
apa saja yang kita sukai, lantaran hanya dengan itu kita patut mengemban
tanggung jawab atas perbuatan baik dan buruk kita. Dan hanya dengan
perantara itu kita dapat merasakan bahwa apa yang kita peroleh merupakan
sesuatu yang berharga.
Lalu Tuhan memberikan kepada kita kehendak dan
kekuasaan untuk berbuat sesuai dengan apa yang kita sukai. Dan setelah
penguasaan ini, kita diutus ke muka bumi ini untuk diuji. Mencoba
memvisualisasikannya dunia ini: Ada seorang raja yang tiran, mencoba
menguasai dunia dan mengenyahkan orang-orang yang cinta kepada Tuhan di
muka bumi. Perilaku raja tersebut bertentangan dengan aturan-aturan
Tuhan untuk memerintah dengan adil dan penuh kasih. Dengan menjadi raja
ini, ia gagal menjalani ujiannya.
Di sisi lain adalah orang-orang yang cinta kepada
Tuhan. Apa yang diharapkan dari mereka? Mereka diharapkan untuk
menjalani sebuah hidup yang bernilai dan mengajak orang untuk mengikut
mereka. Mereka merasa bahwa Tuhan mengharapkan mereka untuk mengingatkan
penguasa zalim mereka lantaran inilah satu-satunya jalan untuk
menyelamatkannya dari penderitaan abadi dan menyelamatkan para korbannya
dari kezalimannya. Jika mereka memilih untuk tidak turut campur, mereka
juga akan gagal dalam menjalani ujiannya. Jika mereka memilih untuk
menjalankan perintah Tuhan mereka sejatinya menunaikan tugasnya bagi
diri mereka, kemanusiaan dan bagi Tuhan.
Apa yang kemungkinan akan terjadi, tidak keluar
dari dua hal berikut ini: Apakah sang raja menerima nasihat mereka,
mendengarkan ceramah dan mengikuti mereka ke jalan Tuhan; atau ia
mengabaikan peringatan dan tidak bergeming dari kezalimannya. Jika ia
mengikuti nasihat dan kembali ke jalan Tuhan, maka hal itu merupakan
kebaikan bagi setiap orang: Orang-orang shaleh telah menunaikan tugas
mereka dengan beramar makruf; dan sang raja menunaikan tugasnya dengan
menjalankan nasihat mereka. Seluruhnya menjalani ujian ini dengan
berhasil.
Akan tetapi jika ia mengabaikan peringatan mereka
dan hendak mengeyahkan mereka, maka ia kehilangan kesempatan untuk
mencapai kejayaan dan kesuksesan dalam ujian yang maha penting ini.
Namun apa yang harus dilakukan oleh orang-orang shaleh ini? Haruskah
mereka tunduk menyerah kepada raja yang tak mengenal Tuhan ini atau
haruskah mereka melanjutkan usahanya untuk memperbaiki raja tersebut?
Jika mereka menyerah, kesuksesan yang mereka capai sejauh ini akan
berganti dengan kegagalan. Jika mereka tidak menyerah, mereka tidak akan
memiliki alternatif kecuali menjalani hidup yang susah yang ditimpakan
oleh penguasa zalim tersebut.
Ringkasnya, dapat kita katakan bahwa, Pertama,
setiap orang di dunia ini menjalani ujian; Kedua, setiap orang
menyiapkan sebuah kesempatan ujian bagi orang lain, sekaligus bagi
dirinya sendiri.
Sebagai contoh, seorang usil mengganggu
tetangganya, ia gagal dalam ujiannya; namun pada saat yang sama ia
menyediakan lahan bagi ujian orang lain juga. Jika tetangganya mencoba
untuk mengoreksi perilakunya dengan menunjukkan teladan yang baik, dan
dengan pendekatan persuasif, maka ia berhasil menjalani ujian yang ia
hadapi, tanpa peduli dengan apakah tetangannya yang usil itu merubah
perilakunya atau tidak.
Bagaimanapun, atas alasan ini Islam berharap kepada
kita untuk menunaikan tugas-tugas kita terhadap orang lain tanpa
memperdulikan apakah mereka menjalankan tugasnya atau tidak. Lagi pula,
selama kita menjalani ujian, kita ibarat seorang pelajar yang duduk di
sebuah ruang ujian. Tiada seorang pelajar pun yang rela merobek
jawabannya lantaran pelajar yang lain tidak menulis jawaban mereka pada
ujian tersebut.
Namun mengapa kita harus menderita karena ulah orang lain?
Atau dengan nada lain: Mengapa kita harus nestapa
karena kesalahan orang lain? Kita adalah manusia biasa. Kita adalah
manusia yang memiliki perasaan. Mengapa perasaan kita harus diciderai
hanya karena orang lain gagal dalam tugasnya? Sebagaimana juga,
seseorang boleh bertanya: “Mengapa kita harus menderita luka atau
kehilangan nyawa atau harta benda, atau bersedih dan berduka, akibat
sebuah peristiwa yang disebut sebagai “perbuatan Tuhan” seperti gempa
bumi, halilintar dan amukan badai?
Seluruh pertanyaan ini akan memiliki relevansinya
jika kematian di dunia ini merupakan akhir dari kehidupan ini dan tiada
hari pembalasan. Namun, kini, posisinya adalah sebagai berikut:
Terlepas dari seberapa besar penderitaan kita,
kejadian-kejadian tersebut tidak berlangsung lama. Kita memiliki
pengetahuan yang pasti bahwa lambat atau cepat, seluruh musykilah ini
akan berakhir lantaran masa tinggal kita di dunia ini akan berakhir pada
suatu hari dan kita akan dikirim ke dunia lain yang abadi. Segera
setelah kita berpindah dari dunia ini, kesusahan dan masalah kita akan
berakhir dengan syarat kita telah persiapkan diri kita untuk hal
tersebut.
Sesuai dengan keyakinan kita, Tuhan mengganjari
manusia atas penderitaannya, apakah ia Muslim atau non-Muslim.1
Orang-orang yang telah melakukan dosa menderita berupa azab di hari
Kiamat. Dan mereka yang tidak melakukan dosa, seperti para nabi dan
imam, yaitu orang-oranya yang banyak menderita di dunia ini akan
mendapatkan ganjaran yang sangat tinggi berikut kehormatan dan kemuliaan
yang tinggi di hadirat Allah Swt.
Dalam pandangan Syiah, penderitaan di dunia ini
ujung-ujungnya adalah membersihkan manusia dari segala dosa, dan
membawanya dekat kepada Allah Swt di hari kiamat.
Penderitaan : Peringatan atau Hukuman?
Di sini harus disebutkan bahwa terkadang
penderitaan dan bencana yang datang bukan merupakan ujian, melainkan
sebagai sebuah peringatan bagi para pendosa atau hukuman atas para
pelanggar.
Contoh-contoh seperti peringatan dapat dijumpai
dalam hadis Nabi Saw sebagai berikut: “Tatkala Allah murka kepada
seseorang *dan tidak ingin mengeyahkan mereka secara keseluruhan],
harga-harga melambung tinggi, jangka hidup semakin pendek, perniagaan
tidak membuahkan untung dan pepohonan tidak menghasilkan buah.”
Nabi Saw juga menjelaskan bahwa perzinaan ketika
dipraktikkan secara terbuka akan menambah jumlah kematian mendadak,
menyebabkan petaka dan penyakit yang belum pernah terdengar sebelumnya.
Ketika manusia melakukan kecurangan pada timbangan, peringatan datang
kepada mereka berupa kelaparan, pengangguran dan penguasa zalim. Ketika
orang-orang kaya menahan zakat, kemiskinan akan menghantam kehidupan
masyarakat. Imam ‘Ali bin Abi Thalib bersabda: “Jika seluruh orang yang
mampu membayar zakat, membayar zakat mereka, maka tidak akan ada
ditemukan seorang miskin di tengah masyarakat.”2 Contoh-contoh di atas
ini merupakan sebagian contoh bagaimana Tuhan memberikan peringatan
kepada kita supaya kita memperbaiki jalan dan cara kita menjalani
kehidupan ini.
Dan contoh penderitaan sebagai hukuman dapat
dijumpai pada kisah Fir’aun, Namrud, kaum Luth, Su’aib, Nuh dan Shaleh.
Kiranya pada tempatnya jika disebutkan di sini bahwa malapetaka (seperti
yang menimpa kaum Luth, Fir’aun dan Namrud) telah enyah dari kehidupan
kaum Muslimin sebagai penghormatan kepada Nabi Saw yang merupakan
“rahmat bagi semesta.” Namun penderitaan sebagai peringatan bagi kaum
pelanggar tetap berlanjut.
Bagaimanapun, kita harus ingat bahwa Tuhan, dengan
kasih dan rahmatnya, telah menyembunyikan tujuan sejati sebuah
penderitaan dari mata kita. Oleh karena itu, kita tidak boleh mengatakan
bahwa, misalnya, fulan menderita sebuah penyakit kronis sebagai seorang
pendosa yang sedang menjalani hukuman. Mengapa? Lantaran boleh jadi ia
merupakan seorang yang baik yang sedang menjalani sebuah ujian berat
untuk kebaikannya. Jadi kita tidak boleh menilai seseorang atas tampilan
lahirianya yang sedang diuji dengan kekayaan atau kemiskinan,
keberuntungan atau kemalangan, kekuatan fisik atau kelemahannya?
Sebaliknya, kita harus konsentrasi pada perbaikan spiritual dan moral
kita masing-masing. []
Bagian Ke-5
Pengetahuan Tuhan
Pada silsilah pembahasan Mizan Keadilan Tuhan, kali
ini kita memasuki tahapan pembahasan ilmu ghaib, lauh mahfuz, lauh mawh
wa itsbat dan konsep bada’ yang merupakan kelanjutan dari pembahasan
sebelumnya. Karena masalah Keadilan Tuhan erat kaitannya dengan
pengetahuan Tuhan, di sini kita, sesuai dengan tuntutan pembahasan, akan
mendiskusikan sepintas tentang ilmu ghaib, definisi dan ayat-ayat yang
berkaitan dengannya.
Tentu saja, banyak di antara kita yang meramalkan
ratusan perkara yang terjadi di masa mendatang. Kita mengetahui
perkembangan waktu; kita mengetahui hari, waktu dan bilamana terjadinya
gerhana bulan dan matahari. Peramal cuaca meramalkan turunnya hujan,
badai, halilintar, dan banyak lagi prakiraan cuaca dan musim. Dengan
melihat fitur seorang manusia, sebagian kita bahkan dapat berkata dengan
beberapa derajat keyakinan ihwal karakter dan tabiat orang tersebut.
Para dokter dan ahli fisika dapat dengan mudah memprediksikan peluang
hidup-matinya para pasien mereka. Anda dapat jumpai contoh yang banyak
dalam kehidupan Anda sehari-hari. Namun apakah semua ini dapat disebut
sebagai ilmu ghaib? Apakah peramal cuaca mengetahui ilmu ghaib?
Jawabannya adalah tidak. Karena semua ramalan dan nubuat cuaca, meramal
fitur manusia ini bersandar kepada observasi hukum-hukum alam. Dengan
observasi dan deduksi yang tajam, kita berada pada posisi untuk
mengetahui segala hal di masa mendatang. Pengetahuan tentang masa
mendatang ini berdasarkan kepada deduksi dan obvervasi hukum-hukum
fisika.
Ilmu Ghaib
Kata al-Ghaib bermakna “non-kasat mata atau
“sesuatu yang tersembunyi.” Ilmu ghaib bermakna ilmu terhadap segala
sesuatu yang tidak kasat mata saat ini, seperti kejadian-kejadian pada
masa mendatang. Pengetahuan semacam ini merupakan sepenuhnya hak
prerogatif Tuhan. Tiada seorang pun yang tahu tentang perkara ghaib
kecuali Allah Swt.
Ilmu ghaib yang disebutkan dalam al-Qur’an sebagai
satu-satunya hak prerogatif Allah, adalah ilmu tentang hal-hal non-kasat
mata dan pelbagai peristiwa di masa mendatang yang tidak bersandar
kepada deduksi dan obvservasi hukum-hukum fisika. Ilmu ghaib merupakan
jenis ilmu yang disinggung al-Qur’an pada ayat berikut ini:
“(Dia adalah Tuhan) yang
mengetahui yang gaib dan Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun
tentang yang gaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridai-Nya, maka Dia
menetapkan para penjaga (malaikat) di hadapan dan di belakangnya.”
(Qs. Al-Jin [72]:26-27)
Ayat ini dan ayat-ayat serupa disebutkan secara
jelas bahwa ilmu tentang hal-hal yang ghaib dan kejadian masa depan,
tidak bersandar kepada observasi hokum-hukum fisika atau deduksi, hanya
ada pada Tuhan. Dan Dia, dengan hikmah dan kebijaksanan-Nya, memilih
para utusannya, nabi-nabi dan para imam untuk Dia kabarkan pengetahuan
semacam itu. Ringkasnya, tiada seorang pun yang mengetahui hal-hal yang
ghaib atau pelbagai kejadian masa depan (tanpa tanda-tanda yang ada atau
deduksi) kecuali Allah. Dan Allah, dengan kemurahan-Nya, mewartakan
pengetahuan tersebut kepada siapa saja yang Dia ridhai dan pilih, boleh
jadi mereka adalah para malaikat, para rasul dan para imam.
Dalam riwayat para Imam Ahlulbait As, telah
dijelaskan bahwa Allah hanya sekali waktu mengabarkan nama-namanya yang
Agung (ismu a’zham) kepada ‘Asif bin Barkhiya (perdana menteri Nabi
Sulaiman); dan dengan sebagian pengetahuan itu ia mampu membawa
singgasana Ratu Balqis, ratu kerajaan Saba, dari ibukotanya ke Yerusalem
dengan satu kedipan mata.[22]
Namun Allah telah memberikan kepada Nabi Saw
seluruh pengetahuan yang diberikan kepada para nabi semenjak Adam,
sebagaimana pengetahuan yang diberikan kepada seluruh malaikat; dan
kemudian pengetahuan bertambah secara konstan. Dan Nabi Saw, sesuai
dengan titah Ilahi, mengajarkan ilmu tersebut kepada ‘Ali As; dan ilmu
tersebut diteruskan kepada imam yang menggantikannya dan seterusnya
hingga kepada Imam al-Mahdi As.[23]
Atas hal ini jelas mengapa mereka disebut sebagai “Para Penjaga Khazanah Ilmu Tuhan.”[24]
“Lauh mahfuz” dan “Lauh mahw wa itsbât”
Lauh bermakna “lempengan, kepingan, lembaran kayu
atau batu yang digunakan untuk menulis sesuatu di atasnya.” Secara
metaforis, lauh digunakan untuk “pengetahuan”, karena pengetahuan
biasanya didapatkan dari sesuatu yang tertulis. Mahfuz bermakna terjaga.
Sesuatu yang tidak dapat diakses dan dipahami oleh orang-orang yang
tidak memiliki otoritas; terlindungi secara ketat. Oleh karena itu,
“lauh mahfuz” berkmakna pengetahuan yang tidak dapat diakses dan
dipahami oleh orang lain; pengetahuan yang secara ketat terlindungi.
Mahw bermakna hapus; menghapus atau menghilangkan
sesuatu. Itsbat berarti penegasan atau pengukuhan; menulis. Dengan
demikian “lauh mahw wa itsbat” berkmana pengetehuan yang dapat dihapus
dan ditambah; pengetahuan yang dapat berubah dari masa ke masa.
Kini Anda telah mengetahui makna literal “lauh
mahfuz” dan “lauh mahw wa itsbat,” kini mari kita bahas apa yang
dimaksud dari kedua terma ini dalam Islam.
Kita tahu bahwa pengetahuan Tuhan tidak akan pernah
keliru. Dengan kata lain, tiada yang berubah dalam pengetahuan Tuhan.
Atas alasan ini Tuhan menyebut ilmu-Nya sebagai “lauh mahfuz”. Redaksi
ini menjelaskan bahwa pengetahuan Tuhan karena ilmu-Nya tidak pernah
berubah. Ia senantiasa benar dan tidak perlu dihapus atau ditambah atau
diganti.
“Ummu ‘l-kitab” merupakan nama lain yang digunakan
untuk ilmu Tuhan. “Ummul Kitab” bermakna “buku dasar”, “induk segala
buku.” Pengetahuan Tuhan disebut sebagai “buku dasar” artinya ilmu
dasar; atau “induk segala buku.” Yang bermakna sumber pengetahuan
lantarna hanya pengetahuan-Nya yang dapat disebut sebagai “pengetehuan
yang sebenarnya.”
“Lauh mahw wa itsbat” merupakan nama yang diberikan
Tuhan untuk ilmu para malaikat, para nabi dan para imam. Ilmu mereka,
meski merupakan ilmu yang sempurna dan lengkap bagi seluruh umat
manusia, namun ia masih kalah sempurna dibandingkan dengan ilmu Tuhan.
Nama-nama yang disebutkan di atas adalah bersumber
dari ayat al-Qur’an, “Bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu).
Allah menghapuskan dan menetapkan apa yang Dia kehendaki, dan di
sisi-Nya-lah terdapat Ummul Kitâb (Lauh Mahfûzh).” (Qs. Ar-Ra’ad
[13]:39)
Ummul Kitab ini disebut sebagai “lauh mahfuz” pada
ayat, “Bahkan yang mereka didustakan itu ialah Al-Qur’an yang mulia.
Yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfûzh.” (Qs. Al-Buruj [85]:21-22)
Karena pengetahuan para malaikat, para nabi dan
para imam secara konstan disempurnakan, dilengkapi, oleh karena itu
pengetahuan mereka disebut “lembaran yang dihapus dan ditulisi” Lauh
mahw wa itsbat.”[25]
Tentang lauh wa itsbat ini akan disuguhkan pada bagian berikut ini.
Konsep Bada’ : Bada’ dalam al-Qur’an
Konsep bada’ ini tampak dari banyak kisah dalam
al-Qur’an yang menceriterakan bahwa Allah terkadang, dengan kasih dan
kebijaksanaan-Nya, menyingkapkan sebagian dari rencana masa depan-Nya
kepada para malaikat dan para nabi. Mereka diwartakan ihwal rencana
Tuhan berkaitan dengan tingkatan tertentu, dan pengetahuan dari episode
selanjutnya tidak diwahyukan kepada mereka. Sebelum menjelaskan teori
ini lebih jauh, kami akan menyinggung ayat-ayat al-Qur’an sebagai
contoh:
1. Kaum Nabi Yunus:
Pertama-tama kisah kaum Nabi Yunus. Allah Swt berfirman tentang kaum Yunus:
“Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang
beriman, lalu imannya itu bermanfaat baginya selain kaum Yunus? Tatkala
mereka (kaum Yunus itu) beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang
menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada
mereka sampai kepada waktu yang tertentu.” (Qs. Yunus [10]:98)
Kenyataan ini menggambarkan bahwa kaum Nabi Yunus
telah menolaknya; dan hanya terdapat dua orang yang beriman kepadanya;
salah satu dari mereka adalah orang yang bertakwa namun tidak disertai
dengan pengetahuan, dan orang yang kedua adalah orang yang bertakwa lagi
berilmu. Tatkala Nabi Yunus berdoa kepada Allah untuk menurunkan azab
dan siksa kepada kaumnya atas kekafiran mereka, Allah menjanjikan hari
tertentu azab tersebut diturunkan. Nabi Yunus beserta sahabat setianya
meninggalkan kaumnya. Namun orang alim tersebut tinggal bersama kaumnya
dan mencoba untuk memberikan peringatan kepada kaumnya. Ia berkata
kepada mereka bahwa masih ada waktu untuk bertobat dari kekufuran, dan
beriman kepada Allah dan nabi-Nya, Yunus dan kemudian berdoa kepada
Allah untuk menjauhkan bencana tersebut.
Pada hari yang telah ditentukan, anak-anak
dipisahkan dari ibunya dan gembala dari induknya; setiap orang berpuasa,
dan mereka semuanya keluar dari desa tersebut; mereka menangis, berdoa,
bersujud kepada Allah dan memohon ampunan-Nya serta berdoa supaya Allah
menjauhkan petaka tersebut. Langit dibalut dengan awan-awan hitam,
siang menjadi malam, petir dan kilat menyambar-nyambar di angkasa.
Nampak azab Tuhan akan menghapus seluruh umat Nabi Yunus. Untungnya
mereka telah bertobat sebelum melihat azab; dan dengan demikian Tuhan,
berkatkerahiman-Nya mengampuni mereka, dan karena doa, tangis dan
jeritan mereka berlanjut, secara perlahan langit berubah menjadi cerah,
mendung berlalu dan seluruhnya selamat.
Mereka menantikan Nabi Yunus kembali sehingga
mereka dapat menjadi pengikutnya. Pada hari berikutnya, Nabi Yunus
kembali dengan harapan melihat kota telah binasa. Namun, ia melihat
seorang pengembala bergerak menuju ke gembalanya. Ia pikir Tuhan tidak
memenuhi janji-Nya, lalu ia memutuskan untuk tidak masuk ke desa
tersebut.
Di sini kita tidak akan menyebutkan seluruh bagian
dari peristiwa tersebut. Apa yang kita ingin tunjukkan di sini bahwa
Allah mengetahui sebelumnya bahwa kaum Nabi Yunus akan bertobat,
menerima kebenaran dan beriman kepada Nabi Yunus dan Tuhannya; dan
kemudian mereka terselamatkan. Namun Allah tidak mewahyukan seluruh
peristiwa kepada Nabi Yunus. Nabi Yunus dikabarkan bahwa bencana akan
menimpa kaumnya. Secara natural, ia berpikir bahwa bencana tersebut akan
melenyapkan seluruh umatnya. Karena ia tidak diberitahu, ia tidak
mengetahui bahwa sebelum datangnya bencana, umatnya akan bertobat dan
mereka seluruhnya akan selamat. Jelas bahwa Allah mengabarkan kepada
Yunus akan kejadian tersebut hingga tingkatan tertentu tanpa
memberitahukannya kesimpulan dari kejadian tersebut.
Mengapa hal ini terjadi? Karena jika Nabi Yunus
mengetahui bahwa bencana akan datang dan kemudian pergi, nasihat dan
peringatannya tidak akan ada nilainya yang berisikan kekuatan ikhlas
yang dapat melembutkan hati umatnya. Jika sahabat alim Nabi Yunus
mengetahui bahwa bencana akan mendatangi mereka maka ia akan angkat kaki
dari kota tersebut, ia tidak dapat memberikan peringatan kepada mereka
sedemikian tulus dan kata-katanya tidak akan didengarkan. Adalah karena
Allah, dengan hikmah dan kebijaksanaan-Nya, menghendaki mereka
mendengarkan hikmah, Dia tidak mewahyukan seluruh kejadian masa depan
kepada Yunus. Bukan karena Allah berkata dusta kepadanya atau tidak
memenuhi janji-Nya. Dia tidak mengabarkan kepada Yunus bahwa umatnya
akan binasa dengan peristiwa tersebut. Janji tetap dipenuhi. Tapi bukan
janji untuk melenyapkan kaum. Bukan janji dari Allah – meski seluruh
orang berpikir bahwa kaum akan dimusnahkan.
Kisah ini menunjukkan secara jelas bahwa Tuhan,
karena hikmah dan kebijaksanaan-Nya, menahan pengetahuan ihwal adegan
berikutnya dari Nabi Yunus. Yunus mengetahui seluruh rencana tersebut
setelah rencana tersebut terlaksana dan berlaku.
2. Pengorbanan Nabi Ismail
Sekarang mari kita beralih kepada contoh lainnya.
Nabi Ibrahim ditunjukkan dalam mimpinya bahwa ia menyembelih putranya
atas perintah Tuhan. Karena hal itu berupa mimpi, ia harus telah melihat
bagaimana ia membunuh Ismail. Ia harus telah melihat dirinya mengikat
tangan dan kaki putranya, menutup matanya dan meletakkan pisau di leher
putranya dan kemudian menekannya. Secara natural, dengan melihat mimpi
ini, ia berpikir ia diperintahkan untuk membunuh putra satu-satunya,
Ismail, dengan cara demikian. Oleh karena itu, ia membajakan hatinya
untuk mengorbankan putra semata wayangnya.
Sang putra mendengar hal ini dan menyiapkan dirinya
untuk dikorbankan demi ketaatannya kepada titah Allah. Bapak dan anak
rela mengorbankan segalanya di jalan Allah. Nabi Ibrahim mengikat tangan
dan kaki putra semata wayangnya dan memposisikannya dalam kondisi
sujud; ia menutup matanya dan meletakkan pisau di atas leher sang anak
lalu memotongnya. Setelah menyingkirkan tutup matanya, ia melihat Ismail
tersenyum dan seekor domba telah terpenggal menggantikannya.
Nabi Ibrahim berpikir bahwa ia telah gagal dalam
ujian tersbut. Namun ia telah melakukan apa yang dilakukannya dalam
mimpi. Tentu saja, Allah Swt tidak mewartakan kepadanya hingga adegan
terakhir. Karena sekiranya Ibrahim tahu bahwa Ismail akan diselamatkan
atau Ismail tahu bahwa ia akan selamat, maka ujian tersebut tidak akan
memiliki nilai dan arti sama sekali; tidak akan ada kesempatan bagi
mereka untuk menunjukkan kerelaannya mengorbankan segalanya di jalan
Allah. Tuhan menunjukkan kepada Ibrahim dalam mimpinya hingga tingkatan
tertentu; tidak mengabarkannya seluruh episode tersebut hingga akhir.
Karena mereka tidak mengetahui hasil akhirnya. Ibrahim dan Ismail mampu
menunjukkan, bagaimana relanya mereka memenuhi titah Allah bahkan pada
tingkatan mengorbankan jiwa dan jiwa orang yang paling dikasihinya
semata-mata demi Allah.
Jika mereka mengetahui hasil cerita tersebut semenjak permulaan, maka ujian tersebut tidak akan memiliki makna sama sekali.
3. Taurat diberikan kepada Nabi Musa
Contoh ketiga ini berkaitan dengan Nabi Musa dan
pewahyuan Taurat. Nabi Musa diperintahkan untuk pergi ke Gunung Sinai,
berpuasa selama tiga puluh hari dalam rangka persiapan untuk menerima
lembaran-lembaran Taurat. Pada hari ketiga puluh, ia membersihkan
giginya (bersiwak) dan pergi ke Gunung Sinai. Di sana ia ditanya oleh
Tuhan mengapa ia membersihkan giginya. Ia menjelaskan bahwa lantaran ia
hendak pergi ke sebuah tempat suci, ia pikir pantas dan layak baginya
untuk berdandan dan merapikan diri. Tuhan berfirman kepadanya bahwa
aroma mulut seorang yang berpuasa lebih semerbak baunya di hadapan Allah
daripada bau Kesturi. Dan kemudian ia diperintahkan untuk kembali ke
tempat tinggalnya dan berpuasa sepuluh hari lagi lalu pergi Gunung Sinai
tanpa bersiwak. Kemudian pada hari keempat puluh ia diberikan Taurat.
Allah mengetahui sebelumnya bahwa Musa akan datang
setelah ia bersiwak dan akan diperintahkan untuk berpuasa sepuluh hari
lagi. Namun tidak Musa juga tidak Bani Israel yang diberitahu masalah
ini; juga tidak Musa diberitahu sebelumnya bahwa ia adalah seorang
pembangkang karena bersiwak pada hari ketiga puluh.
Ketika Allah merujuk kepada pengetahuan-Nya, Dia menjelaskan seluruh episode empat puluh hari tersebut bersama-sama:
“Dan (ingatlah) ketika Kami
berjanji kepada Musa (memberikan Taurat sesudah) empat puluh malam,
kemudian kamu menjadikan anak lembu (sebagai sembahanmu) sepeninggalnya
dan kamu adalah orang-orang yang zalim.”
(Qs. Al-Baqarah [2]:51)
Dan berkenaan dengan pengetahuan Musa, Dia berfirman tiga puluh hari dan sepuluh hari secara terpisah:
“Dan telah Kami janjikan
kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam,
dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka
sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhan-nya empat puluh malam. Dan
Musa berkata kepada saudaranya, Harun, “Gantikanlah aku dalam
(memimpin) kaumku dan perbaikilah mereka, dan janganlah kamu mengikuti
jalan orang-orang yang membuat kerusakan.”
(Qs. Al-A’raf 7:142)
Alasan tidak memberikan informasi lebih lanjut
adalah kelakuan Bani Israel yang karena penundaan sepuluh harinya,
meninggalkan ibadah kepada Allah dan beralih menyembah berhala. Kisah
ini diilustrasikan dengan indah dalam al-Qur’an berikut ini:“Allah
berfirman, “Sesungguhnya kami telah menguji kaummu sesudah kamu
tinggalkan, dan mereka telah disesatkan oleh Samiri.” Kemudian Musa
kembali kepada kaumnya dengan marah dan bersedih hati. Musa berkata,
“Hai kaumku, bukankah Tuhanmu telah menjanjikan kepadamu suatu janji
yang baik? Apakah waktu perpisahanku denganmu terasa lama bagimu atau
kamu menghendaki agar kemurkaan dari Tuhanmu menimpamu sehingga kamu
melanggar perjanjianmu dengan aku?” Mereka berkata, “Kami sekali-kali
tidak melanggar perjanjianmu dengan kemauan kami sendiri, tetapi kami
disuruh membawa beban-beban dari perhiasan kaum itu, lalu kami
melemparkannya.” Dan demikian Samiri mempengaruhi. Kemudian Samiri
mengeluarkan untuk mereka anak lembu yang bertubuh dan bersuara. Maka
mereka berkata (kepada sesamanya), “Inilah Tuhanmu dan Tuhan Musa,
tetapi Musa telah lupa.”
(Qs. Thaha [20]:85-88)
Coba bayangkan, seluruh komunitas yang terdiri dari
ribuan sahabat nabi ulul azm, di tengah hadirnya khalifah dan
penggantinya, Harun, beralih dari mengikuti agama yang benar menjadi
penyembah berhala, hanya karena penundaan Musa selama beberapa hari!
Ujian ini akan gagal sekiranya Allah mewartakan kepada Musa bahwa ia
harus tinggal selama empat puluh hari; atau jika ia diberitahu
sebelumnya untuk tidak bersiwak pada hari ketiga puluh.
Apa yang Dimaksud dengan Bada’
Ketiga contoh yang diambil dari al-Qur’an ini
adalah memadai untuk menunjukkan bahwa Allah mengutarakan rencananya
kepada para malaikat, nabi atau imam hanya hingga tataran yang
bermanfaat bagi umat manusia atau yang diperlukan untuk membuat ujian
yang diberikan memiliki nilai dan arti. Ketika tiba masanya malaikat,
nabi dan imam memikirkan bahwa rencana mendekati akhir, sebuah cerita
baru mengembangkan rencana tersebut atau membawanya hingga tak segera
berakhir. Episode baru ini disebut sebagai bada’ yang dalam bahasa Arab
bermakna “tampil.”
Di sini kita tidak perlu menegaskan bahwa tampilan
atau klarifikasi ini tidak berhubungan dengan Allah yang mengetahui
segala sesuatunya semenjak azal. Hal ini berkaitan dengan pengetahuan
makhluk-Nya yang kemudian mengetahui akhir dari rencana Tuhan yang tidak
mereka ketahui sebelumnya.
Dan juga atas alasan ini pengetahuan para malaikat,
nabi dan imam disebut sebagai lauh mahw wa itsbat (lembaran penghapusan
dan penulisan), sementara pengetahuan Tuhan disebut sebagai lauh mahfuz
(lembaran yang terlindungi) yang posisinya berada di atas perubahan dan
penggantian.
Manfaat Bada’
Terdapat banyak alasan untuk pewahyuan parsial ini.
Beberapa alasan tersebut dapat disebutkan di sini. (pada tiga kisah
al-Qur’an yang disebutkan di atas, Anda dapat memperoleh pengetahuan
tentang dua kegunaan bada’.)
1. Bada’ membantu para hamba Allah untuk membuang
keyakinan salah mereka dan kembali ke jalan yang benar, sebagaimana hal
ini terjadi pada kasus umat Nabi Yunus As.
2. Bada’ membantu manusia dalam ujian individual
dan kolektif, sebagaimana hal ini dapat dijumpai pada kasus Nabi Ibrahim
dan Ismail As, dan Bani Israel.
3. Karena para malaikat tidak pernah yakin atas
rencana dari kejadian yang dikabarkan kepada mereka sebagai rencana
final, mereka senantiasa mencari bimbingan dari Allah. Dengan demikian
mereka tidak pernah merasa independen dari bimbingan dan
perintah-perintah Allah.
4. Demikian juga, para nabi dan imam tidak pernah
berpikir bahwa mereka telah mengetahui segala sesuatu yang harus
diketahui. Nabi Muhammad Saw diajarkan untuk senantiasa berdoa:“Tuhanku! Tambahkan bagiku ilmu.”
(Qs. Thaha [20]:114) Imam Zainul Abidin As berkata, “Sekiranya tidak ada
sebuah ayat dalam al-Qur’an, aku dapat menyebutkan seluruh peristiwa
hingga hari Kiamat.” Ketika ditanya, “Ayat yang mana?” Ia membaca:“Allah menghapuskan dan menetapkan apa yang Dia kehendaki.”
( (Qs. Ar-Ra’ad 13:39).[26]
Ayat ini telah dijelaskan pada awal-awal pembahasan ini. Harus
disebutkan di sini bahwa banyak kali Allah mengabarkan para malaikat,
nabi dan imam tentang kejadian di masa datang, mewartakan kepada mereka
dengan jelas bahwa warta itu merupakan kata pamungkas. Dalam kasus
semacam ini tidak terdapat perubahan dari rencana tersebut dan tiada
penghapusan dan penambahan.
5. Manusia tidak pernah tahu apa yang akan berlaku
pada mereka di masa mendatang. Oleh karena itu mereka akan senantiasa
memohon pertolongan dan kemurahan Allah. Hal ini akan memberi manfaat
bagi mereka dalam kehidupan dunia ini atau akhirat kelak.
Bagian Ke-6
Nasib dan Takdir Manusia
Hak-hak Prerogatif Tuhan
Telah dibahas pada bagian sebelumnya bahwa terdapat
beberapa aspek dalam kehidupan kita yang berada di luar kekuasaan dan
kehendak kita. Sebuah contoh proses perawatan dan penyembuhan dari
sakit; dan ditunjukkan bahwa ketika kita menjalani proses perawatan,
proses perwatan tersebut berada dalam kekuasaan kita, namun untuk
mendapat kesembuhan hal itu tidak berada dalam wilayah perbuatan kita.
Semenjak lahir hingga wafat, terdapat ratusan
kondisi yang berada di luar kekuatan kita, yang berada di bawah kendali
mutlak Allah Swt. Seorang manusia lahir dengan sehat dan dalam
lingkungan keluarga yang terdidik; yang lain dalam keluarga badui yang
berperadaban primitif. Secara natural, manusia yang pertama lebih
memiliki kesempatan untuk menikmati kesejahteraan dan perkembangan
intelektual ketimbang manusia yang kedua. Seorang manusia yang sehat dan
kuat; yang lainnya sakit secara kronis. Seseorang lahir dengan buta,
yang lainnya dengan mata yang sehat. Secara natural, seseorang dapat
lebih banyak bekerja ketimbang yang lain. Seorang manusia yang hidup
hingga delapan puluh tahun, manusia lainnya meninggal selagi berusia
muda. Yang pertama memiliki waktu yang cukup untuk memenuhi
rencana-rencananya, sementara yang kedua tidak diberikan waktu bahkan
untuk merumuskan segala rencana.
Contoh-contoh ini dan banyak lagi contoh lainnya
dari kehidupan kita adalah berada di luar kendali dan kontrol manusia.
Masalah ini sepenuhnya berpulang pada “takdir Ilahi” yang disebut
sebagai qada’ (nasib) dan qadar (ketentuan Ilahi).
Mengapa Allah memilih sebuah kondisi kehidupan tertentu bagi seorang manusia? Hal ini merupakan teka-teki yang tak terjawab.
Banyak orang yang mencoba untuk menemukan jawaban
atas teka-teki ini. Namun semuanya tanpa hasil. Tiada satu pun teori
yang mampu memecahkan masalah ini walau sebagian. Ketika segalanya telah
disebutkan dan dilakukan, satu-satunya jawab yang tersedia yang
terdapat dalam al-Qur’an:“Dia tidak layak
dipertanyakan tentang apa yang diperbuat-Nya (lantaran seluruh
perbuatan-Nya sejalan dengan hikmah), dan perbuatan merekalah yang layak
dipertanyakan.”
(Qs. Al-Anbiya [21]:23) Mungkin atas alasan ini Amirul Mukminin ‘Ali bin
Abi Thalib As berkata tentang qadar Tuhan “Ia sedalam samudera;
janganlah engkau menyelam di dalamnya.”[27]
Namun, kita dapat yakin bahwa apa saja yang
ditentukan adalah karena beberapa alasan yang baik. Apa yang menjadi
dasar penegasan ini? Mari kita lihat pada hal-hal yang kita mengerti,
seperti sistem yang berlaku di jagad raya, koordinasi di antara pelbagai
kekuatan tabiat, sistem biologis kita dan pengaturan yang telah dibuat
di muka bumi ini sehingga kita dapat hidup aman sentosa. Kesemua hal ini
meyakinkan kita bahwa Sang Pencipta tidak melakukan sesuatu tanpa
alasan yang baik. Setelah manifestasi hikmah dan pengetahuan-Nya ini,
jika kita menjumpai beberapa aspek dalam hidup kita yang tidak mampu
kita pahami, tidak begitu pelik untuk menduga bahwa hal-hal seperti ini
juga mesti memiliki alasan-alasan yang benar.
Sebelum melangkah lebih jauh, kiranya baik untuk
menyegarkan ingatan kita melalui artikel sebelumnya ihwal Tuhan Tidak
Melakukan Perbuatan Tanpa Tujuan. Di sini kita tidak berada pada posisi
untuk mengetahui setiap alasan atau tujuan dari segala sesuatu di muka
bumi ini; bahwa Allah melakukan apa saja yang paling bermanfaat untuk
kemaslahatan umat manusia; bahwa jika kita diberitahu tujuan-tujuan atau
alasan-alasan atas aspek-aspek ini dalam kehidupan kita, kita akan
mengakui bahwa aspek-aspek tersebut sangatlah patut dan tepat untuk
diadakan.
Ukuran Takdir
Allah Swt berfirman dalam al-Qur’an: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.”
(Qs. Al-Qamar [54]: 49) Jadi, sesuai dengan ukuran dan rencan-Nya
sendiri Allah menciptakan segala sesuati. Sebagaimana yang telah
disebutkan sebelumnya, kita dibenarkan untuk meyakini bahwa ada alasan
yang baik untuk setiap aspek dari kehidupan invidual seseorany yang
direncanakan oleh Allah, meski orang tersebut boleh jadi tidak
memahaminya sendiri.
Mari kita perhatikan sebuah jam tangan. Beberapa
bagian dari jam tangan terbuat dari emas, yang lainnya dari baja; yang
lainnya dari kaca atau yakut. Pada jam tangan terdapat sebuah lempengan
yang datar; seperti panah; pegas; poros; dan beragam jentera yang
kesemuanya ini berbeda ukurannya. Muka arloji berwarna putih, angkanya
berwarna hitam, jarum pendeknya berwarna merah dan jarum panjangnya
berwarna hitam. Angka-angka yang terdapat pada jam mulai dari angka satu
hingga angka dua belas. Pendeknya, terdapat beragam jenis, warna,
bentuk untuk membuat sebuah jam tangan bekerja.
Dapatkah jam tangan ini bekerja jika seluruh
komponennya bentuk, ukuran dan desainnya sama dan satu? Dapatkah jarum
pendeknya mengeluh untuk mencari pembenaran mengapa ia diwarnai hitam
sementara jarum panjang dicoraki merah? Dapatkah angka 1 mengeluh
mengapa ia tidak diberi angka 12? Dan jika seluruh angka-angka tersebut
diletakkan pada satu tempat dan posisi yang sama, dapatkah orang-orang
mengetahui waktu dari jam tersebut?
Jika sebuah jam tangan kecil tidak dapat bekerja
tanpa adanya ragam jenis bagian, apakah ada alasan yang rasional untuk
meyakini bahwa umat manusia dapat melangsungkan hidupnya tanpa adanya
perbedaan jenis orang-orang dari sisi warna kulit, pandangan, kapasitas
dan kemampuan?
Dan mari kita lihat kondisi yang menuntut bahwa
tidak seharusnya ada penyakit, kecacatan, kesenjangan financial di
antara manusia; orang-orang harus setara memiliki kekuatan, intelegensi
dan kekayaan.
Kini mari kita lihat apa yang dapat diprediksikan
di masa datang dari kondisi semacam ini. Kondisi dimana tiada seorang
pun yang bergantung kepada orang lain. Tiada seorang pun yang akan
melakukan pekerjaan, karena mereka telah beranggapan bahwa setiap orang
akan mendapatkan uang yang banyak sebagaimana yang lainnya. Lalu mengapa
orang harus bekerja ketika kesehatan, usia-hidup, kekayaan dan status
sosial telah dijamin? Dunia akan tetap pada kondisi ketikan Adam datang
ke muka bumi ini untuk pertama kalinya. Tidak akan ada perbaikan,
kemajuan dan bahkan pakian yang terbuat dari kayu sekalipun untuk
menutupi tubuh manusia! Dunia akan seperti menyuap anak kecil yang tidak
melakukan apa pun untuk memenuhi kebutuhannya. Harus diingat bukan atas
tujuan ini kita diciptakan. Kita diciptakan untuk sebuah tujuan yang
sangat tinggi, bukan sekedar makan, minum dan melahirkan keturunan.
Jika harus ada ujian, ia akan terbatas pada
beberapa kesulitan saja. Dan kesulitan itu berbeda dari orang ke orang.
Ujian yang dihadapi oleh setiap orang berbeda satu dengan yang lain. Dan
karena keragaman ujian inilah kita jumpai ragam problem dan masalah
dalam kehidupan kita.
Lalu dimana Kesetaraan dan Keadilan?
Pertanyaan: Jika apa yang Anda katakan ada
benarnya, maka hal itu berarti bahwa tidak terdapat kesetaraan antara
satu orang dengan yang lainnya. Dimana kesetaraan yang
dibangga-banggakan Islam itu?
Jawaban: Apa yang kami maksud dengan “kesetaraan”
tidak bermakna bahwa seluruh manusia setara dari sudut pandang kesehatan
dan kekuatan; juga tidak berarti bahwa mereka semua setara dan
seukuranya tingkat intelegensinya; juga tidak bermakna bahwa antara pria
dan wanita secara fisik dan fungsi biologis setara. Apa yang kami
maksud dengan “kesetaraan” adalah kesetaraan di hadapan hukum. Kaya dan
miskin, kuat dan lemah, seluruhnya setara di hadapan agama; seluruh
strata dan lapisan masyarakat harus mengikuti aturan yang sama dan
seluruhnya ditata dengan kode etik, hukum sipil dan criminal yang sama.
Tiada yang tinggi juga tiada yang rendah, tiada yang diunggulkan atau
direndahkan di hadapan hukum. Dengan kata lain bahwa setiap orang dalam
Islam dapat menerima penghormatan dan kedudukan yang tinggi tanpa
perbedaan asal-usul, warna kulit atau suku. Kriteria penghormata dalam
Islam bukan kekayaan juga bukan kekuatan, bukan kelahiran juga bukan
warna kulit. Satu-satunya kriteria adalah “karakter takwa.” Allah Swt
berfirman:“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa.”
(Qs. Al-Hujurat 49:13)
Pertanyaan: Tapi dimana keadilan Tuhan ketika Dia
menganugerahkan seseorang mata yang sehat dan pada saat yang sama
menjadikan seseorang tuna netra?
Jawab: Anda telah diberitahu sebelumnya bahwa kita
di dunia ini untuk menjalankan ujian. Sang penguji adalah Allah Swt.
Merupakan hak prerogatifnya untuk memutuskan orang yang mana yang harus
diuji. Keadilan sebenarnya terletak pada bahwa sang penguji tidak
membebankan seseorang sebuah ujian yang berada di luar kemampuannya
sendiri. Allah Swt tidak memberikan sayap kepada kita untuk dapat
terbang; dan dengan demikian, tidak meminta kita untuk terbang di udara
seperti unggas yang dapat terbang. Di sinilah keadilan. Jika Dia meminta
kita untuk terbang seperti burung (tanpa memberikan kita saya), maka
permintaan ini tentu merupakan permintaan yang tidak adil. Namun
dapatkah kita mengklaim bahwa lantaran Dia tidak memberikan saya kepada
kita (sementara burung memilikiknya) Tuhan telah berbuat salah kepada
kita? Tidak. Hal ini merupakan hak prerogatif Tuhan untuk memutuskan
siapa yang harus diuji. Dan merupakan keadilan dan rahmat-Nya sehingga
Dia tidak menuntut dari seseorang lebih dari kemampuannya. Jika Dia
menciptakan manusia tanpa tangan, Dia pada saat yang sama mengecualikan
orang tersebut dari jihad, wudu dan tayammum. Jika orang seperti ini
diminta untuk angkat senjata pergi ke medan tempur tanpa tangan, maka
kita memiliki hak untuk komplain dan protes. Tapi sepanjang yang
berkaitan dengan tanggung jawab seorang manusia disesuaikan dengan
kemampuannya, tiada yang dapat berkata bahwa Tuhan telah berlaku tidak
adil.
Kita dapat menyimpulkan topik dengan beberapa poin berikut ini:
1. Dunia ini tidak akan dapat bekerja jika seluruh manusia memiliki kekuatan, kemampuan dan usia hidup yang sama.
2. Dunia yang dapat bekerja menuntu orang-orang dengan kemampuan, kekuatan dan kecakapan yang berbeda.
3. Seluruh manusia sama di hadapan agama dan hukum-hukum agama.
4. Setiap orang bertanggung jawab sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Dan inilah yang satu-satunya dituntut oleh keadilan.
Imam Ja’far Shadiq As ditanya tentang qada dan
qadar. Beliau bersabda: “Tatkala Allah Swt mengumpulkan para hamba-Nya
pada hari Kiamat, Dia akan bertanya kepada mereka ihwal yang diamanahkan
kepada mereka ketaatan kita terhadap syariah yang berada dalam
kekuasaan kita; namun Dia tidak akan menanyakan tentang hal yang telah
ditakdirkan bagi mereka, yaitu kondisi-kondisi yang berada di luar
kendali dan kekuasaan kita.[28]
Tadbir dan Takdir
Telah disebutkan pada bagian kedua bahwa kendati
kekuasaan dan kesempatan untuk melakukan perbuatan diberikan oleh Allah
Swt, tanggung jawab seutuhnya terletak di pundak kita karena bebas
memilih untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan tersebut dengan
kebebasan dan ikhtiar yang kita miliki. Dengan demikian, meski alat dan
media perbuatan kita disediakan oleh Allah Swt, pilihan terakhir berada
di tangan kita.
Menarik untuk diperhatikan bahwa pada tataran
tertentu dalam masalah ukuran takdir, kebalikannya adalah benar. Artinya
selagi pendahuluan-pendahuluan disiapkan oleh manusia, keputusan final
berada di tangan Allah Swt. (perhatikan redaksi “pada bilangan
tertentu”). Redaksi ini digunakan karena keputusan Allah tidak selamanya
bergantung kepada perbuatan-perbuatan kita. Dalam konteks ini,
perbuatan dan perencanaan kita dikenal sebagai tadbir, dan keputusan
Allah Swt dikenal sebagai takdir.
Di sini kami akan berikan satu contoh sederhana,
jika kita ingin menuai hasil tanaman, kita harus membajak tanah, menebar
benih dan menyalurkan air ke tanaman-tanaman, menyiang rerumputan dan
tetap mengawasi tanaman tersebut.
Masih, setelah melakukan seluruh pekerjaan penting
tersebut, kita tidak dapat yakin bahwa kita dapat menunai tanaman.
Badai, kebakaran atau sengatan kilat dapat menggagalkan proses produksi
tanaman tersebut; kelompok geng bersenjata boleh jadi datang menyerang
dan menjarah; keadaan-keadaan yang boleh jadi memaksa kita untuk menjual
kebun itu sebelum masa panen tiba, demikian seterusnya.
Dengan demikian meski tingkat pendahuluan dipersiapkan oleh kita, namun hasil akhirnya berada di tangan Allah Swt.
Dua masalah yang menarik para pembaca setiap
harinya dan berada langsung di bawah kendali Allah Swt adalah masalah
mati dan hidup, dan jalan-jalan untuk mencari penghidupan. Pada bagian
berikut ini, beberapa poin akan disinggung dalam dua subjek tersebut.
Masalah hidup dan mati
Allah Swt berfirman:"Dia-lah
Yang menciptakanmu dari tanah, sesudah itu Dia menentukan ajal (masa
hidup tertentu supaya kamu dapat menggapai kesempurnaan ciptaanmu), dan
ajal yang pasti hanya ada pada sisi-Nya (dan hanya Dia sendirilah yang
mengetahuinya). Kemudian (dengan ini semua) kamu (musyrikin) masih
ragu-ragu (tentang keesaan dan kekuatan-Nya)."(
Qs. Al-An’am 6:2) dalam ayat yang lain disebutkan:“Dan
sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan
tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab
(Lauh Mahfûzh). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
(Qs. Fathir [35]:11)
Kedua ayat ini, dan terkhusus yang belakangan,
menunjukkan bahwa jarak hidup seseorang adalah cenderung panjang atau
pendek mengikut kehendak Tuhan. Dan ayat pertama berbicara “ajal” dan
“ajal yang ditentukan” yang berada di tangan Allah Swt. Apa maksud dari
kedua redaksi ini?
Gagasan ini dapat mudah dipahami dalam sorotan dua
kepingan sebelumnya (lihat bag. Empat). Misalnya, Allah memutuskan bahwa
Zaid akan hidup hingga seratus tahun; namun jika ia berlaku buruk
terhadap kerabatnya, jarak usia hidupnya akan berkurang, katakanlah,
selama 30 tahun dan ia akan meninggal pada usia 70 tahun. Perintah ini
akan diturunkan kepada malaikat pencabut nyawa.
Malaikat maut tidak mengetahui bagaimana Zaid
berlaku terhadap keluarga dan kerabatnya. Oleh karena itu, ia tidak
dapat mengetahui apakah Zaid akan hidup 100 tahun atau meninggal dunia
pada usia 70 tahun.
Kini anggaplah Zaid berlaku buruk terhadap
keluarganya. Pada akhir usia 70 tahun, malaikat maut harus mendapatkan
panduan dari Allah Swt tentangnya. Allah berfirman kepadanya untuk
menghapus usia 100 tahun, dan menggantikannya dengan usia 70 tahun. Dan
Zaid pun meninggal dunia. (lihat, al-Majlisi, Biharu 'l-Anwar, jil. 4,
hal.121)
Dengan demikian pengetahuan atau informasi malaikat
maut secara konstan senantiasa terupdate. Hal ini ditunjukkan pada
panjang atau pendeknya usia seseorang. Dan hal ini merupakan pengetahuan
malaikat maut yang disebut sebagai “ajal” dalam ayat yang pertama.
Namun bagaimana dengan pengetahuan Tuhan? Allah mengetahui sebelumnya
bahwa Zaid akan meninggal dunia pada usia 70 tahun. Tiada perubahan
dalam pengetahuan dan ilmu Tuhan. Usia hidup seseorang secara actual
hanya diketahui oleh Tuhan; dan usia hidup yang disebutkan pada ayat
pertama merupakan sebuah “ajal yang telah ditentukan.”
Pertanyaan: Mengapa Allah tidak memutuskan usia secara tetap bagi seluruh umat manusia?
Jawab: Sepanjang berurusan dengan manusia, Allah
Swt telah mengatur segalanya untuk satu tujuan: untuk membantunya
mencapai keutamaan, kesempurnaan dan menjadi seorang hamba yang bertakwa
kepada Allah Swt. Persis atas alasan ini telah diwartakan kepadanya
bahwa usia hidupnya dapat dipengaruhi oleh perubatan-perbuatannya.
Tatkala seorang manusia tahu bahwa, misalnya, dengan berbuat baik dan
bersikap pemurah kepada keluarganya, ia akan hidup lebih lama di dunia
ini (dan bahwa ganjaran yang segera ini berbeda dengan ganjaran yang
akan ia dapatkan di akhirat kelak) secara natural ia akan mencoba untuk
berbuat baik kepada keluarga dan kerabatnya. Dan kemudian akan menjadi
hamba yang bertakwa kepada Allah Swt.
Rezki dan Pencarian Hidup:
Berusaha secara keras untuk mencari nafkah adalah
berada dalam wilayah aktifitas-aktifitas kita, hasil akhirnya berada di
luar kekuasaan kita. Kita lihat banyak orang berusaha keras semenjak
fajar menyingsing hingga tenggelamnya matahari untuk mencari penghidupan
namun mereka melewati kehidupannya secara tetap dalam keadaan miskin
dan membutuhkan.
Mengapa demikian? Allah Swt berfirman:“Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki.”
(Qs. Al-Ra’ad 13:26)
Sama dengan apa yang kami sebutkan tentang usia
hidup manusia, rezki juga dapat digolongkan dalam dua bagian: Misalnya,
Allah Swt memberitahu para malaikat – bahwa jika Zaid berusaha keras ia
akan mendapatkan Rp. 10.000, namun jika ia bermalas-malasan dan tidak
berusaha keras ia akan memperoleh Rp. 5.000,- Allah Swt tahu apakah Zaid
akan berusaha atau tidak; Dia mengetahui bahwa apakah pada akhirnya ia
akan memperoleh Rp. 10.000,- atau Rp. 5.000,-. Namun Zaid sendiri tidak
tahu demikian juga para malaikat yang bertugas membagikan rezeki, tidak
mengetahui hasil akhir dari penghasilan Zaid. Tujuan untuk menjaga
setiap orang dalam ketidaktahuan ini adalah karena ketidaktahuan ini
manusia akan senantiasa berusaha keras untuk bekerja bertungkus lumus
untuk memperoleh pendapatan yang banyak; ia juga akan mencoba sebanyak
harapannya, karena ia tidak tahu apakah ia telah mencapai tingkatan
akhir dari rezekinya atau tidak. Ia tidak tahu apakah dimana kehidupan
lebih baik bagiyna tersimpan. Ia akan tetap aktif dan penuh ambisi,
secara tetap mencari kehidupan yang lebih baik.
Sesuai dengan ayat al-Qur’an dan karya-karya ulama,
saya telah sampai pada kesimpulan bahwa Allah Swt telah menetapkan
sebuah batasan maksimum untuk kehidupan setiap orang. Setakat apa pun ia
berusaha, ia tidak akan mampu melewati batasan maksimum tersebut.
Karena batasan maksimum tersembunyi di hadapan mata kita dan, pada
kenyataannya, bahkan di hadapan para malaikat, kita tidak dapat atau
setidaknya tidak duduk berpangku tangan tanpa ada usaha untuk perbaikan
kondisi keseharian kita.
Juga, telah diletakkan kepada kita sebuah pilihan
apakah kita ingin mencapai tujuan tersebut dengan cara legal atau
melalui cara ilegal. Jika kita mentaati perintah-perintah Allah dan
ajaran-ajaran agama, kita akan mencapai batasan yang diidamkan, dan pada
saat yang sama, akan memperoleh rahmat Allah Swt di hari Kiamat. Jika
kita memilih jalan illegal, boleh jadi kita mendapatkan rezeki tersebut;
namun jatah rezeki halal kita akan dikurangi sedemikian banyak dan
dengan memilih jalan yang salah, kita akan membuat diri kita patut untuk
mendapatkan hukuman Allah Swt di hari Kiamat.[29]
Harus diingat bahwa dalam Islam sebuah hal yang
halal akan menjadi tidak halal jika diperoleh dengan jalan-jalan haram.
Dalam Islam, tujuan tidak menghalalkan cara. Tidak dapat diingkari bahwa
jalan-jalan halal terkadang tampak lambat, dan dengan demikian
orang-orang yang ingin lekas kaya pada akhirnya memilih jalan yang
haram. Namun taktik demikian tidak banyak menghasilkan manfaat. Kisah
berikut ini akan menjelaskan secara terang poin yang dimaksud:
Imam ‘Ali As berangkat ke masjid untuk menunaikan
shalat. Ia meminta kepada seseorang untuk berdiri menjaga kudanya.
Ketika ia keluar, ia mempunyai dua Dirham di tangannya untuk ia berikan
kepda orang tersebut sebagai ganjaran untuknya. Namun orang tersebut
tidak kelihatan di tempat itu. Imam ‘Ali mendekat kepada kuda dan
mendapatkan tali kekang kuda tersebut telah hilang. Ia memberikan dua
Dirham tersebut kepada orang lain untuk membeli tali kekang yang lain.
Orang tersebut pergi ke pasar. Ia melihat seseorang menjual sebuah tali
kendali dan membeli darinya seharga dua Dirham. Ketika Imam ‘Ali melihat
tali kendali tersebut, ia mengenali tali tersebut. Tali kekang tersebut
adalah kepunyaannya yang telah dicuri. Tali kekang itu telah dicuri
oleh orang yang diminta menjaga kuda tersebut. Imam ‘Ali bermaksud untuk
memberikan penjaga itu dua Dirham yang sama sebagai ganjaran yang
menjadi sah dan halal baginya. Namun ketidaksabaran ini telah membuatnya
menjadi seorang pencuri dan tidak mendapatkan apa-apa selain dua Dirham
yang sama. Kerisauannya tidak mengangkat upahnya sama sekali dan
membuatnya menjadi seorang penjahat.
Doa dan Takdir Ilahi
Kini Anda tahu bahwa pengetahuan yang diberikan
kepada malaikat sering kondisional. Misalnya, mereka dikatakan oleh
Allah bahwa “Jika Zaid melakukan pekerjaan ini, ia akan bahagia; dan
jika ia memilih pekerjaan itu ia akan merugi. Jika ia pergi ke dokter A,
segera ia akan sembuh dari penyakitnya; namun jika ia pergi ke dokter B
penyakitnya akan bertambah.” Salah satu syarat yang paling penting
untuk mencapai kebahagiaan, kesuksesan dan kesejahteraan adalah doa.
Jika Zaid berdoa kepada Allah Swt dan meminta pertolongan-Nya, kesulitan
yang ia dihadapinya akan terangkat. Jika ia tidak meminta pertolongan
kepada Allah Swt, ia akan dibiarkan menderita. Dengan demikian Allah Swt
berfirman:“Katakanlah (Wahai Nabi) Sekiranya kalau bukan karena doamu kepada-Nya, Tuhanku tidak akan memperdulikanmu.”
(Qs. Al-Furqan [25]:77)
Sebagian orang memahami secara keliru tentang doa.
Mereka berpikir bahwa lantaran Allah mengetahui apa yang baik buat kita,
tiada perlunya lagi untuk meminta pertolongan atau bantuan-Nya; tiada
perlunya kita berdoa. Mereka berkata bahwa Allah mengetahui apa yang
terbaik bagi Zaid dan Dia telah memutuskan berapa banyak yang ia peroleh
atau misalnya, apakah ia akan sembuh dari penyakitnya atau tidak. Oleh
karena itu, apa perlunya berdoa? Apa tujuan doa itu?
Orang-orang seperti ini tidak memperhatikan bahwa
boleh jadi Allah telah membuat pendapatan atau kesehatan Zaid bergantung
pada doanya. Boleh jadi Dia menitahkan para malaikatnya untuk menambah
pendapatan Zaid jika ia berdoa kepada Allah Swt supaya pendapatannya
meningkat! Boleh jadi syarat yang diperlukan untuk kesembuhannya dari
penyakit yang diderita adalah jalan perawatan tertentu berupa doa yang
tulus kepada Allah Swt. telah disebutkan dalam beberapa hadis bahwa
salah satu yang berpengaruh dalam kehidupan manusia adalah doa. Hal lain
yang penting adalah usaha dan kerjanya. Kita seharusnya tidak pernah
menimalkan pengaruh dan pentingnya doa, atau pengaruh dan pentingnya
kerja keras.
Tentu saja, jika seseorang mencapai usia atau
penghidupan maksimal, atau jika, misalnya, penyakitnya “diputuskan”
tetap berlanjut, tiada jumlah doa atau usaha atau perawatan yang dapat
berguna baginya. Namun, poin yang harus diingat adalah bahwa tiada
seorang yang tahu apa “yang diputuskan” berkenaan dengan usianya,
penghidupan atau kesehatannya. Oleh karena itu, kita harus berusaha
sekeras mungkin untuk memperbaiki kondisi dan keadaan kita.
Tawakkal dan Takdir Ilahi
Di samping doa, tawakkal juga merupakan amalan yang
sangat dianjurkan dan dipuji. Tawakkal bermakna “menyandarkan urusan
kepada seseorang.” Allah Swt berfirman:"Dan bertawakkallah kepada Allah, dan cukuplah Allah sebagai pelindung.”
(Qs. Al-Nisa [4].81)
Bagaimanapun, menyerahkan kepercayaan kepada Allah
Swt tidak seharusnya menjadi sebuah dalih bagi kita untuk bersikap
malas. Nabi Saw bersabda: “Tawakkal bermakna bahwa engkau harus mengikat
unta dan kemudian Anda dapat disebut bahwa Anda telah bersandar kepada
Allah bahwa Dia akan melindungi untamu. Engkau tidak dapat bersandar
semata-mata kepada tali, karena banyak unta yang dicuri dengan tali.
Namun engkau tidak boleh melalaikan tali karena dengan mengikat unta
dengan tali merupakan bagian dari tawakkal. “
Inilah ruh dari tawakkal. Kita harus mencoba yang
terbaik dari kita dan kemudian bersandar kepada Allah Swt bahwa Dia akan
menjadikan usaha kita berhasil. Adalah dusta untuk duduk berpangku
tangan dan berkata bahwa Allah Swt akan mengerjakan seluruh urusan kita.
Dia berfirman dalam al-Qur’an:“Dan bahwa seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya?”
(Qs. Al-Najm [53]:39)
Standar tertinggi tawakkal diperkenalkan tatkala
Amirul Mukminin ‘Ali As bertanya kepada beberapa orang malas tentang
siapa diri mereka. “Kami adalah orang-orang yang bersandar (bertawakkal)
kepada Allah;” jawab mereka. Imam ‘Ali bertanya: “Bagaimana kalian
bersandar kepada Allah” Mereka menjawab: “Kami memakan makanan ketika
mendapatkan makanan dan bersabar apabila kami tak mendapatkannya.” Imam
'Ali menukas: “Iya, demikianlah tabiat seekor anjing.” Mendengar jawaban
ini, mereka menjadi bingung. Lalu mereka meminta penjelasan darinya
ihwal makna tawakkal yang sebenarnya. Imam ‘Ali berkata: “Ketika kita
memperoleh nikmat, kita memberikannya kepada yang lain; ketika kita
tidak memperolehnya, kita bersyukur kepada Allah.” Artinya kita harus
berupaya keras untuk memperbaiki kondisi kita. Namun kita tidak
seharusnya bersandar pada kekuatan dan ilmu kita sendiri. Kalian harus
bersandar kepada Allah bahwa Dia yang akan membuat usahamu berhasil.
Lalu jika engkau berusaha, coba bantu saudaramu dengan hasil dari
usahamu. Dan jika engkau gagal, kalian harus bersyukur kepada Allah.
Kalian boleh jadi bertanya mengapa kalian harus
bersyukur kepada Allah jika kalian tidak berhasil. Iya, kalian harus
bersyukur kepada Allah karena sukses atau gagal bukan menjadi tanggung
jawabmu. Kalian diharapkan untuk melakukan yang terbaik dan kalian telah
melakukannya. Bersyukur kepada Allah bahwa engkau mampu menunaikan apa
yang diharapkan darimu. Usahamu di sini yang berada dalam sorotan.
Suskes atau gagal bukuan menjadi urusanmu. Sukses atau gagal itu berada
dalam wilayah kekuasaan Tuhan. Bersandar dan bertawakkallah kepada-Nya
bahwa Dia tidak akan membiarkan usahamu menemui kegagalan. Namun jika
Dia, sesuai hikmah-Nya, tidak menganugerahkan kesuksesan kepadamu,
bersyukurlah kepada-Nya karena engkau masih mampu menunaikan tugasmu. []
Daftar Isi
MIZAN KEADILAN TUHAN 1
Mengkaji Doktrin Keadilan Tuhan 1
SAYID AKHTAR RIZVI1
Bagian Ke 1 2
Perbedaan dalam Agama 2
Sebuah Catatan ihwal Makna Keadilan 3
Mazhab yang Sering disebutkan dalam Tulisan ini4
Kedudukan Akal dalam Agama 4
Bagian Ke-2 7
Tuhan Tiada Melakukan Kesalahan 7
Tiada Sesuatu Tanpa Tujuan 8
Dapatkah Kita Mengetahui Semua Hikmah? 9
Aslah: Yang Paling Bermanfaat11 Janji dan Ancaman 12
Bagian Ke-3 14
Manusia itu Bebas atau Terpaksa? 14
Kepercayaan Ahlusunnah 15
Kepercayaan Syi‘ah 16
Potret Kebebasan Manusia 19
Determinasi dan Hari Kiamat20
Kisah Abu Hanifah Dan Bahlul21
Kebebasan Manusia; Percaya atau Tidak? 24
Pengetahuan Tuhan dan Perbuatan Manusia 28
Kebaikan Tuhan 29
Bagian Ke-4 33
Mengapa Manusia Diuji? 33
Kategori Ujian dan Cobaan 34
Alternatif Yang Ditawarkan? 36
Penderitaan; Peringatan atau Hukuman? 39
Bagian Ke-5 41
Pengetahuan Tuhan 41
Ilmu Ghaib 42
“Lauh mahfuz” dan “Lauh mahw wa itsbât” 43
Konsep Bada’; Bada’ dalam al-Qur’an 45 1.
Kaum Nabi Yunus:45 2.
Pengorbanan Nabi Ismail48 3.
Taurat diberikan kepada Nabi Musa 49
Apa yang Dimaksud dengan Bada’51
Manfaat Bada’52
Bagian Ke-6 54
Nasib dan Takdir Manusia 54
Hak-hak Prerogatif Tuhan 54
Ukuran Takdir56
Lalu dimana Kesetaraan dan Keadilan? 58
Tadbir dan Takdir60
Masalah hidup dan mati61
Rezki dan Pencarian Hidup:63
Doa dan Takdir Ilahi66
Tawakkal dan Takdir Ilahi67
Catatan
[1]McCarthy, R.J. “Two Creeds of al-Ash’ari” (Maqalatu-l Islamiyyin and al-Ibanah ‘an Usuli ‘d-Diyanah) hal.. 238-9; 241
[2]Idem.,
[3]Ash-Shahristani, al-Milal wa ‘n-Nihal, hal.124-125.
[4]Hilli, Kashfu ‘l-Haq; juga al-Hilli’s al-Babu ‘l-Hadi ‘Ashar (English translation by WM. Miller) hal. 44
[5]Fadl bin Ruzbahan, Ibtalu Nahji’l-Batil.
[6]Dehlawi, A.A., Tuhfa-e Ithna-’Ashariyyah
[7]al-Hilli, Kashf dan juga al-Babu ‘l-Hadi ‘Ashr, hal. 45.
[8]Fadl bin Ruzbahan, Op. Cit.
[9]Kisah ini dapat Anda telaah pada Qs. Al-Kahf (18):66-82
[10]al-Hilli, al-Babu ‘l Hadi ‘Ashar, p. 46.
[11]an-Nasafi, tanpa tahun, al-’Aqa’id (dengan
ulasan oleh at-Taftazani) hal. 130; juga lihat terjemahan Inggrisnya,
E.E. Elder, A Commentary on the Creed of Islam, hal. 97;
ash-Shahristani, al-Milal wa’n-Nihal, hal.129
[12]ash-Shahristani, al Milal wa ‘n Nihal, hal-hal. 68,145,154.
[13]al-Ash’ari, Kitabu ‘l-Luma; hal. 99. Juga lihat ash-Shahristani, al-Milal wa ‘n-Nihal,hal-hal. 128-129.
[14]as-Saduq, Risalatu ‘I-I’tiqadat, bag. 22, hal. 69.
[15]Shibli Nu’mani, ‘Ilmu ‘l-Kalam, hal. 28
[16]Al-Ghazali, lhya ‘Ulumi ‘d-Din (Kitab Qawa’idu’l-’Aqad), jil,1, hal.193; juga lihat al-Ash’ari, Kitab ‘l-Luma’, hal. 53,239.
[17]Lihat, al-Kalam, Allamah Syibli al-Nu‘mani, bag. 1, hal .17
[18]Ash-Shaduq, al-I’tiqâdat, bag. 4, hal. 58.
[19]Ibid, bag. 5, hal. 58
[20]Ash-Shaduq, al-I’tiqâdat, bag. 9, hal. 60.
[21]al-Hilli, al-Babu ‘l-Hadi ‘Ashar, hal. 99
[22]Al-Majlisi, Bihâru ‘l-Anwâr, jil. 26, hal.170.
[23]Al-Majlisi, Bihâru ‘l-Anwâr, jil. 26, bag. 1 hingga bag. 3, hal-hal. 18-976
[24]Idem, bag. 5, hal-hal 105-108.
[25]al-Majlisi, Biharu ‘l-Anwar, jil. 4, hal. 130
[26]al-Majlisi, Bihâru ‘l-Anwâr, jil. 4, hal.118
[27]Ash-Shaduq, Tauhid, bag. 7, hal. 59 dan al-Majlisi, Bihâru'l-Anwâr, jil. 5, hal.110
[28]Ash-Shaduq, Tauhid, bag. 7, hal. 59.
[29]al-Majlisi, Bihâru'l-Anwâr, jil. 5, hal.147.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar