Senin, 17 Desember 2018

Agama dan Keluarga yang Sehat



ilustrasi hiasan:

 

Pengarang : irib indonesia


Pengantar

Manusia adalah makhluk yang secara tabiat mencari kesempurnaan dan tujuan. Ia tidak puas dengan rutinitas kehidupan yang dijalaninya dan selalu menjauhi stagnansi. Karena itu, ia bisa menikmati hidup, ketika mampu memahami dengan benar tujuan keberadaannya di dunia ini. Dapat dikatakan bahwa di dunia saat ini ketidakpuasan yang dialami manusia bukan karena minimnya tingkat kesejahteraan mereka. Dengan kata lain, manusia yang hidup sederhana bahkan hidup dalam kondisi sulit sekalipun, bisa hidup bahagia ketika mampu memaknai kehidupannya dengan benar. 

Kehidupan terbaik bisa didapatkan dalam lingkungan keluarga. Laki-laki dan perempuan, sebagai manifestasi dari penciptaan Allah Swt, menjejakkan kaki di bumi ini untuk bersama-sama memberi makna bagi kehidupan. Dari kehidupan bersama tersebut, lahir ketentraman dan kasih sayang yang menghantarkan manusia meniti jalan kesempurnaan secara lebih baik. Dengan dasar inilah, Allah swt dalam al-Quran al-Karim surat ar-Ruum ayat 21, menyebut salah satu tujuan penciptaan laki-laki dan perempuan adalah untuk mencapai ketentraman dan kasih sayang. 

Sejak permulaan manusia hadir di alam dunia dan lahirnya ikatan pertama kehidupan, nampak bahwa manusia tumbuh dari lingkungan yang aman bernama keluarga. Kedatangan nabi Adam as dan Hawa as ke bumi sebagai keluarga pertama, menunjukkan bahwa manusia senantiasa memerlukan pasangan dalam mengarungi kehidupan menuju kesempurnaan. Sejak awal penciptaan, manusia telah menyadari secara fitrah bahwa kelanggengan kehidupan, keberlanjutan keturunan, serta kesempurnaan spiritual, material, fisik dan maupun mental, semuanya bergantung pada keluarga. Dalam lingkungan keluargalah kita menikmati kelembutan kasih sayang ibu dan kehangatan pelukan ayah. 

Keluarga senantiasa menjadi perhatian agama-agama langit dan berbagai aliran pemikiran, karena peran vitalnya dalam kehidupan manusia. Keluarga merupakan lingkungan yang paling tepat untuk memenuhi kebutuhan material dan spiritual manusia. Saat ini, krisis identitas di dalam keluarga menjadi salah satu ancaman terbesar bagi masyarakat modern. Meningkatnya angka konflik dalam keluarga, perceraian, dan kian bertambahnya anak-anak tanpa pengasuh menunjukan krisis fundamental pada masyarakat modern. 

Fenomena kemerosotan moral dan pengabaian sisi spiritual di tengah masyarakat, mengancam tatanan kehidupan sosial, dan korban terbesarnya adalah keluarga. Munculnya berbagai kekacauan saat ini, memicu kehawatiran berbagai kalangan. Para pemikir, psikolog, sosiolog dan pakar hukum memandang penyelesaian krisis ini erat kaitannya dengan masalah keluarga. Mereka mengajukan berbagai alternatif mengatasi krisis tersebut. Bagaimana pun, hal ini menunjukan bahwa keluarga memerlukan berbagai bimbingan, wejangan, pendidikan dan pengarahan dalam menghadapi liku-liku kehidupan. 

Sebagian pakar meyakini bahwa sepanjang manusia yang telah maju secara sains mencampakkan keimanan dan moral, lalu dengan mengatasnamakan kemajuan meninggalkan tuntunan agama, maka cinta sejati dan kebahagiaan tidak akan pernah ada dalam keluarga. Selama orang mengingkari perbedaan natural antara pria dan wanita, maka selalu saja ada penistaam hak kedua jenis gender ini. Sebab, ketidaktahuan akan kebutuhan asasi masing-masing gender, menjadi kendala utama bagi keluarga untuk bisa sampai ke tujuan pembentukannya. Ketimpangan-ketimpangan yang ada di zaman modern ini adalah buah getir dari kekeliruan peran dan pembagian tugas yang tidak logis antara laki-laki dan perempuan. 

Dengan memandang pentingnya pembahasan keluarga di era modern, kami berupaya mempersembahkan rangkaian tulisan spesial tentang kedudukan keluarga dan urgensi pernikahan serta mengupas berbagai patologi hubungan keluarga dengan berporos pada ajaran agama. Dalam rangkaian tulisan ini, kami akan menyajikan pembahasan psikologis dan teori-teori aplikatif dalam ajaran Islam. Juga akan dikupas ajaran Islam tentang bagaimana hubungan yang seharusnya antara anggota keluarga dan hak serta tanggung jawab masing-masing. Semoga dengan acara ini, para pendengar yang budiman bisa mengenal karakteristik keluarga bahagia beserta cara untuk membentuk keluarga idaman. 

Kini, manusia yang berada dalam bayangan sains dan eksperimen, sampai pada sebuah hakikat bahwa pilar identitas setiap manusia dibentuk oleh faktor keturunan, pendidikan dan budaya. 

Kesejahteraan sebuah masyarakat tergantung pada kondisi keluarga di masyarakat tersebut. Keluarga adalah kelompok masyarakat kecil yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak. Keanggotaan dalam keluarga adalah hubungan hati antar sesama dan merasa sebagai bagian dari kelompok sosial yang kecil ini. 

Keluarga dari kaca mata ini begitu urgen, karena menjadi tempat untuk berbagi tradisi, keyakinan dan pengetahuan. Mulai dari cara makan hingga masalah sosial, politik dan budaya, semuanya bisa terbentuk dalam keluarga. Keluarga menjadi media untuk memindahkan warisan budaya dan pengalaman dari generasi lampau ke generasi baru. Dari sini, keluarga merupakan elemen yang berpengaruh bagi kehidupan sosial manusia. 

Menurut para pakar sosiologi, keluarga adalah himpunan beberapa orang yang terikat karena hubungan darah, perkawinan atau pengangkatan anak dan hidup bersama dalam jangka waktu yang panjang dan tidak ditentukan. Keluarga merupakan tempat pertama lahirnya emosi kemanusiaan dan tempat menjalin hubungan cinta dan kasih sayang yang terdalam antar anggotanya. 



Keutuhan Institusi Keluarga


Sejak manusia menjejakkan kaki di bumi, kaum pria dan wanita menghabiskan hidup ‎ mereka secara berdampingan dengan membentuk keluarga dan membesarkan anak- ‎ anak mereka dalam dekapan hangat kasih sayang. Keluarga menemukan bentuk ‎ alamiah dan idealnya ketika tidak ada satupun hal yang dapat memisahkan hubungan ‎ antara mereka. Orang-orang saleh khususnya Nabi Saw berupaya keras untuk ‎ institusi yang memberikan kebahagiaan ini. ‎ 



Keluarga adalah sebuah kata yang sarat makna, saat kita menyelami kata ini, luapan ‎ rasa dan gelombang kasih sayang bangkit dalam diri kita. Keluarga adalah tempat ‎ yang teduh dan damai, ia juga basis sosial pertama dan vital dalam setiap masyarakat. ‎ Keluarga terbentuk tatkala sepasang pria dan wanita yang sudah memasuki usia balig ‎ sepakat menjalin ikatan suci melalui aturan dan hukum yang berlaku. ‎ 



Para pakar masalah keluarga berkeyakinan bahwa masyarakat mana pun tidak dapat ‎ mengklaim diri memiliki kesehatan moral dan sosial kecuali jika masyarakat itu ‎ memiliki tatanan keluarga yang stabil. Pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki ‎ oleh setiap anggota keluarga akan menciptakan stabilitas dan kekuatan kasih sayang ‎ di dalamnya. Tak diragukan lagi, keluarga-keluarga yang goyah dan lemah juga akan ‎ menggoncang sendi-sendi masyarakat. Di dalam masyarakat seperti ini, angka ‎ perceraian semakin meningkat dari hari ke hari dan berdampak pada runtuhnya pilar- ‎ pilar rumah tangga. ‎ 



Para peneliti dan pakar masalah keluarga menjelaskan tugas apa saja yang dimiliki ‎ oleh sebuah keluarga, antara lain; mewujudkan ketenteraman psikis, menjalin ‎ hubungan kekeluargaan, menciptakan jalinan kasih antar anggota keluarga, juga ‎ mewujudkan pemahaman anggota keluarga akan hak dan tanggungjawab individu ‎ dan sosial. Ackerman seorang peneliti Amerika memperkenalkan keluarga sebagai ‎ sebuah institusi kasih sayang-sosial yang merupakan tempat berkembang dan ‎ tumbuhnya seseorang. Setiap orang akan merasa menjadi bagian dari keluarganya. ‎ 



Dalam perspektif Islam, keluarga adalah sebuah komunitas yang terdiri dari beberapa ‎ individu yang memiliki status sipil dan hukum yang terjalin lewat ikatan perkawinan. ‎ Setelah menikah, masing-masing pihak memiliki tugas dan hak-hak baru, dan di ‎ antara mereka juga akan terbentuk hubungan moral, kasih sayang, dan pranata baru. ‎ 

Sekilas tampak bahwa unsur dasar pembentuk keluarga adalah keberadaan ‎ sepasang pria dan wanita, dan sesuai adat dan kebiasaan sosialnya satu sama lain ‎ sepakat untuk membentuk ikatan perkawinan yang nantinya hubungan itu akan ‎ menghadirkan anak di tengah mereka. Akan tetapi, pandangan luar ini tidak cukup. ‎ Sebab ada pertanyaan yang lebih mendasar yaitu mengapa pria dan wanita ingin ‎ hidup berdampingan? Bukankah ini tuntutan fitrah dan kebutuhan alamiah manusia? ‎ 



Perkawinan terjalin lewat berbagai macam motivasi dan dorongan. Ada yang ‎ menjalinnya karena motif ekonomi, sebagai contoh; ada keluarga yang mengawinkan ‎ anak gadisnya dengan pria kaya demi memperoleh hartanya. Demikian juga dengan ‎ kaum pria yang memilih menikah dengan perempuan kaya atau anak orang kaya demi ‎ hartanya. Sebagian perkawinan juga terjalin karena pengaruh dan kedudukan sosial ‎ atau politik. Keluarga-keluarga berpengaruh dan memiliki kedudukan sosial berusaha ‎ mengawinkan anak-anak mereka semata-mata untuk memperkuat pengaruh dan ‎ kedudukannya. Kecantikan juga motif lain dalam membentuk mahligai rumah tangga. ‎ Ada orang yang melihat kecantikan sebagai faktor penentu dalam perkawinan, tanpa ‎ mengindahkan nilai-nilai etika dan insani. ‎ 



Secara garis besar dapat dikatakan bahwa perkawinan yang dibangun atas dasar ‎ materi, kecantikan, dan kedudukan hanya menghasilkan sebuah keluarga yang ‎ menjadi ajang bagi masing-masing pihak untuk memanfaatkan harta, kecantikan, dan ‎ kedudukan pasangannya. Sebab, filosofi perkawinan dalam rumah tangga ini ‎ dibangun atas dasar-dasar lahiriah dan materi, sehingga keberlangsungannya juga ‎ sangat bergantung pada faktor-faktor ini. ‎ 



Kehidupan berumah tangga akan memudar seiring dengan hilangnya salah satu dari ‎ faktor ini. Jika kita menyelami ajaran agama, kita temukan bahwa keluarga agamis ‎ memiliki identitas yang dibangun atas dasar cinta, kasih sayang, dan saling pengertian. ‎ Dengan model ini, manusia dapat sampai pada pemenuhan kebutuhannya, antara lain; ‎ kasih sayang, materi, dan spiritualitas. Islam tidak menentang suami-istri ‎ menggunakan harta, kedudukan, dan kecantikan pasangannya. Akan tetapi, agama ‎ mengingatkan bahwa urusan materi jangan dijadikan landasan dalam membangun ‎ keluarga. ‎ 



Berdasarkan ajaran al-Quran, memilih pasangan hidup berkaitan erat dengan fitrah ‎ manusia. Baik pria maupun wanita selama tidak menginginkan kebersamaan, tidak ‎ saling cinta dan mengerti, maka selama itu mereka tidak akan sempurna, karena laki- ‎ laki dan perempuan adalah dua jenis yang saling melengkapi. Memenuhi kebutuhan ‎ materi dan biologis semata tidak akan mengantarkan mereka kepada kesempurnaan. ‎ Kelahiran keturunan semata juga tidak akan membahagiakan kehidupan keluarga. ‎ 



Allah Swt pencipta alam semesta telah menciptakan pria dan wanita dimana ‎ kebutuhan spiritual dan material akan terpenuhi saat mereka berdampingan. Karena ‎ dalam diri manusia terdapat benih-benih kasih sayang dan rahmat, dan lingkungan ‎ keluarga sebagai tempat untuk merealisasikannya. Allah Swt dalam al-Quran al-Karim ‎ surat ar-Ruum ayat 21 berfirman: "Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia ‎ menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan ‎ merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. ‎ Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum ‎ yang berfikir." ‎ 



Ketika rasa saling memerlukan dan saling memahami sampai pada tingkatan yang ‎ menghanyutkan mereka ke dalam suka dan duka bersama, kehidupan juga terasa ‎ hampa dan dingin tanpa kehadiran salah satu dari mereka. Inilah rasa cinta dan kasih ‎ sayang yang ditekankan oleh al-Quran. Pria dan wanita saling membutuhkan. ‎ Ketenteraman akan terwujud saat mereka saling berjumpa. Kebutuhan biologis dan ‎ kebutuhan lainnya penting untuk dipenuhi dalam kehidupan keluarga. Akan tetapi, hal ‎ ini tidak cukup untuk kelangsungan sebuah keluarga. Hal lain yang tak kalah ‎ pentingnya dalam mahligai rumah tangga adalah rasa cinta dan kasih sayang antara ‎ suami dan istri hingga tercipta ketenteraman jiwa sebagaimana dilukiskan al-Quran. ‎ Jika bukan demikian, maka tidak ada alasan bagi laki-laki dan perempuan itu untuk ‎ menerima tanggungjawab besar hidup bersama. ‎ 



Jika rumah tangga dibangun hanya atas dasar dorongan seksual dan kebutuhan ‎ biologis semata, dan antara mereka tidak ada sikap saling mengerti kebutuhan jiwa ‎ dan psikis pasangannya, rasa dahaga akan kasih sayang yang dirasakan oleh jiwa ‎ keduanya tidak akan terpuaskan. Dalam hal ini yang terlihat hanya kehampaan dan ‎ kegagalan. Rumah tangga yang selain memenuhi kebutuhan biologis juga ‎ memberikan kehangatan kasih sayang, maka keakraban di tengah mereka akan ‎ nampak. Mereka akan merasa terikat satu sama lain. Di sini, manusia dengan ‎ terilhami oleh ajaran-ajaran agama dapat memahami realita bahwa keluarga adalah ‎ tempat untuk mengisi kekosongan ruh dan jiwa suami-isteri. 



Pembentukan Keluarga 


Seluruh makhluk hidup sejak kelahiran hingga kematiannya melalui berbagai fase kehidupan. Manusia juga tidak keluar dari kaidah universal tersebut. Manusia adalah makhluk yang terus berubah. Sebagaimana pengetahuan manusia kian meningkat melalui pengajaran, kebutuhan dan kemampuannya juga mengalami perubahan. Salah satu kebutuhan penting manusia adalah kebutuhan untuk memiliki pendamping hidup. 



Pria dan wanita, memiliki identitas yang sama dalam penciptaannya. Sedangkan dari sisi psikis dan gender, keduanya berbeda. Meskipun demikian, hal ini tidak bermakna adanya kekurangan pada satu pihak dan kesempurnaan pada pihak yang lain. Justru, perbedaan antara pria dan wanita membantu perputaran roda sosial dalam membentuk keseimbangan yang diharapkan dalam masyarakat. Perbedaan tersebut menyebabkan keduanya memiliki kecenderungan satu sama lain, dan hal inilah yang menjadi jalan bagi keduanya untuk memenuhi kebutuhan masing-masing. 



Pesan dari penciptaan adalah bahwa keistimewaan alamiah pria dan wanita tidak menunjukan kelebihannya atas jenis gender yang lain, dan keistimewaan itu uga tidak meniscayakan kekurangan pada gender lain. Pria dan wanita memiliki identitas kemanusiaan yang mandiri. Namun dalam lingkungan keluarga, masing-masing memiliki tugas dan peran tersendiri. Dalam kehidupan bersama, masing-masing pihak harus menghormati identitas kemanusiaan pihak lain. Selain itu, keduanya harus memahami perbedaan natural gender dan psikis pihak lain. Dalam hal ini, masing-masing menerima kedudukannya sebagai istri maupun suami dan tidak berkeinginan duduk di posisi pasangannya. 



Seorang psikoanalis kelahiran Jerman, Erich Fromm, setelah mengkaji perbedaan dunia wanita dan pria mengatakan, "Wanita dan pria bisa saling memahami dan saling menyempurnakan, namun tidak pernah bisa serupa. Hal ini disebabkan oleh perbedaan dalam diri keduanya." 



Pernikahan merupakan momentum penting dan menentukan dalam kehidupan setiap orang. Membangun keluarga di lihat dari sisi fitrah, naluri ataupun agama dan sosiologi pun termasuk hal yang vital dalam kehidupan manusia. Para pakar pendidikan dan sosiolog menyakini bahwa kesehatan dan kebahagiaan masyarakat tergantung pada pernikahan yang benar dan pengawasan untuk menjaga kelestariannya. Dengan dasar tersebut, maka pernikahan harus dibangun di atas fondasi dan prinsip yang benar untuk membentuk keluarga dan masyarakat dan sehat. 



Pernikahan tanpa tujuan dan pertimbangan, seperti mendirikan fondasi bangunan di atas tanah yang rapuh. Tentu saja, pernikahan seperti itu tidak bisa menjadi tempat yang meyakinkan bagi kehidupan. Pada dekade akhir, berbagai isu seperti hubungan suami istri, kepuasan masing-masing pihak terhadap pasangannya dan pengaruhnya bagi keselamatan keluarga telah menjadi perhatian para pakar dan peneliti. Hingga kini, kajian tentang variabel positif dalam pernikahan dan peningkatan kualitasnya menjadi fokus pembahasan psikologi pernikahan. Berkaitan dengan ini, peran berbagai variabel budaya dan ekonomi dalam pernikahan menjadi perhatian seperti halnya masalah kejiwaan dan psikis. 



Kini, muncul pertanyaan mengapa pernikahan dipandang begitu urgen? Apakah hal ini pernah terlintas di benak Anda? Dengan sedikit merenungkan masalah ini, kita memahami bahwa pernikahan pada tingkat pertama memenuhi sebuah kebutuhan natural dan naluri melalui jalan yang benar dan sesuai syariat. Dorongan kebutuhan tersebut laksana air bah, jika tidak disalurkan pada waktunya dan di jalan yang benar, bisa menjadi banjir bandang yang memporak-porandakan segalanya. Tidak hanya mempengaruhi jasmani, bahkan mengoncangkan kondisi kejiwaan, psikis dan jati diri manusia. 



Dalam logika al-Quran, pernikahan adalah jalan terpercaya bagi berbagai hubungan dan permulaan kehidupan yang dipenuhi kasih sayang dan kesucian. Kecenderungan pria kepada wanita bersumber dari kasih sayang yang dianugerahkan Allah kepadanya dan kasih sayang ini melampaui dorongan naluri. Pernikahan mengarahkan gelombang hasrat pemuda yang bergejolak berlabuh di pantai yang teduh, aman dan tentram. Hal ini menyebabkan pria dan wanita menjalani hidup bersama dengan keceriaan jiwa dan psikis. 



Seorang psikolog dan peneliti Iran, Dr. Gholam-ali Afruz dalam bukunya "Wanita-wanita terbaik" menulis, "Tidak diragukan lagi, pada umumnya pertikaian keluarga, ketidakperdulian, broken home dan berbagai pandangan negatif lainnya timbul karena tiadanya ketentraman jiwa di dalam keluarga dan tidak terjaminnya kebutuhan emosi dan psikis anggotanya. Dengan kata lain, kemiskinan emosi merupakan penyebab utama dari tragedi tersebut. Berdasarkan hal tersebut, istri-istri terbaik adalah orang yang tentram dalam kehidupan keluarganya dan kehadiran dirinya menjadi sumber rahmat dan kasih sayang yang paling bernilai. Dalam hal ini, peran terbesar wanita adalah memperhatikan keberadaannya sebagai sosok penentram dan penebar kasih". 



Para psikolog meyakini bahwa pernikahan memberikan ketentraman bagi jiwa pemuda yang bergejolak. Dengan ketentraman tersebut, para pemuda bisa meraih tujuan tertingginya. Karena dengan keamanan yang dihasilkan dari pernikahan, manusia mencapai keseimbangan kejiwaan dan psikis dalam dirinya. Keseimbangan ini mendorong manusia menuju aktivitas yang membangun. Namun, hal ini terwujud ketika pernikahan berlangsung sukses dan benar dalam memilih pasangan. 



Psikolog Iran, Dr. Navabinejad mengatakan, "Setelah gadis dan jejaka melalui usia baligh dan masuk ke usia mudanya, berusaha mencapai kemandirian pemikiran. Untuk menutupi kekurangan dan memenuhi berbagai kebutuhannya, mereka memiliki kecenderungan untuk menikah hingga dengan memilih pasangan hidup yang layak, mereka bisa hidup mandiri dan mengembangkan kesempurnaan dirinya. Ketika seseorang berada di tengah kehidupan rumah tangga di bawah naungan cinta dan kemesraan, ia akan lebih merasa bertanggungjawab. Ia melihat kehidupannya lebih bermakna dan dengan bekerja berupaya memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya. 



Dengan demikian, salah satu alasan dari urgensi pernikahan adalah kecenderungan untuk berkembang dan menjadi sempurna. Setelah melewati masa kanak-kanak dan mencapai usia dewasa, manusia memerlukan identitas baru yang terbentuk melalui pernikahan dan memilih pasangan. Pernikahan memunculkan perasaan kemandirian dan kedewasaan dalam diri seseorang. Maka orang yang telah menikah, terus berusaha menjalankan perannya lebih baik sebagai suami maupun istri. Melalui pernikahan, gadis dan jejaka mengakhiri kesibukan masa lajangnya dan dalam kondisi yang baru, berusaha mendapatkan pengalaman baru. 



Urgensi lain dari pernikahan adalah melindungi kesucian. Pernikahan dan berdirinya pranata keluarga, memberikan kontribusi besar terhadap kesehatan dan keamanan masyarakat. Dengan demikian, pernikahan mampu menurunkan tingkat kriminalitas dan kerusakan sosial. Dalam sebuah riset lapangan yang dilakukan terhadap 500 orang pemuda Inggris, dilaporkan bahwa tingkat kejahatan di kalangan pemuda yang telah menikah dan berkeluarga lebih rendah. Tampaknya, dengan dasar itulah ajaran moral Islam menegaskan pentingnya pernikahan. Dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda, pernikahan menyempurnakan setengah dari agama seseorang. 



Keberlanjutan keturunan adalah motivasi lain dari urgensi pernikahan di lingkungan masyarakat. Pada umumnya manusia menyukai keturunannya tetap berlanjut. Bahkan, motivasi ini yang lebih kuat tertancap dalam diri wanita. Barangkali, karena adanya perasaan keibuan pada dirinya. Hubungan afeksi antara orang tua dan anak-anak memberikan ketentraman dan kebahagiaan bagi jiwa dan psikis manusia. Hubungan emosi tersebut terbentuk melalui pernikahan dan membentuk keluarga. 



Cinta Saja Tak Cukup


Sebagaimana telah diketahui, keberlangsungan sebuah keluarga sangat bergantung pada beberapa faktor dan sebab. Untuk mewujudkan keluarga yang langgeng, kriteria apa saja yang diperlukan dalam memilih pasangan hidup? Keluarga sakinah ibarat sebuah taman yang penuh bunga, dan dengan memilih pasangan yang tepat kunci taman impian ada di tangan Anda. Akan tetapi, taman impian ini memerlukan perhatian dan perawatan ekstra agar ia selalu nampak cerah dan segar. 



Sejauh ini, pernahkan Anda bertanya pada diri sendiri mengapa sebagian pasangan hidup mesra dan sehati? Atau kenapa sebagian pasangan setelah berumah tangga harus mengakhirinya dengan perceraian? 



Sebelum kita mengkaji kriteria-kriteria dalam sebuah perkawinan, ada baiknya kita mengulas seputar cinta dan kasih sayang yang merupakan syarat utama bagi hidup berumahtangga. 



Sepasang pengantin baru yang mengawali kehidupan bersama dengan penuh cinta dan kasih sayang, mungkin setelah melangsungkan pernikahan sama sekali tidak berpikir akan ada masalah dan kesulitan di antara mereka. Mereka berpikir karena saling mencinta, selamanya mereka akan hidup damai dan rukun. Akan tetapi realita berkata sebaliknya. Setelah pernikahan berjalan beberapa waktu, mereka baru sadar ada jurang pemisah di antara keduanya. Akibatnya, perselisihan dan adu mulut merebak di tengah mereka. Akhirnya rasa saling cinta mulai terkikis. Mereka mulai sadar bahwa selama ini mereka belum memiliki pemahaman yang benar tentang kehidupan, dan membangun rumah tangga atas dasar gambaran yang keliru. Sang isteri mungkin merasa bahwa selama ini sang suami telah menipunya sedang tampil berbeda dengan kepribadiannya yang sesungguhnya. 



Kebanyakan orang, khususnya anak muda beranggapan bahwa saat cinta datang menyapa, berarti pintu untuk berumah tangga telah terbuka. Padahal, para pakar ilmu pendidikan keluarga, psikolog, dan antropolog berkeyakinan bahwa cinta semata tidak cukup menjadi jaminan untuk membentuk keluarga yang bahagia. Cinta adalah rasa indah dan menyenangkan yang ada pada manusia. Perasaan adalah warna kehidupan manusia, dan rasa senang akan menghiasi kehidupan dan membuatnya indah. Cinta adalah kecenderungan dan rasa memiliki seseorang kepada orang lain dirasakan dalam dirinya. Akan tetapi, rasa cinta ini perlu dilengkapi dengan kriteria-kriteri khusus. Adanya kriteria tersebut, akan mengurangi masalah dan kemelut dalam kehidupan bersama. 



Dr. Kahari seorang psikolog Iran mengulas kriteria-kriteria cinta sejati dalam kehidupan bersama, ia berpendapat; "Salah satu bagian penting dari cinta adalah memahami kebutuhan, kecenderungan, dan perasaan pasangan. Pasangan suami-isteri harus mengetahui kecenderungan dan perasaan masing-masing, dan harus saling membantu untuk mencapai keinginan-keinginan yang wajar, bukan malah menjadi penghalang bagi pasangannya. Hal lain yang tak kalah penting adalah rasa saling hormat. Saat sepasang suami-isteri sudah saling cinta, mereka akan saling menghormati dan menghargai. Tentu saja pengkhianatan, amarah, tuduhan, dan cacian adalah tanda-tanda cinta semu di antara suami-isteri". 



Dr. Kahari juga berkeyakinan bahwa rasa tanggungjawab dan saling perhatian adalah kriteria lain dari cinta sejati. Ia mengatakan; "Rasa tanggung jawab dalam kehidupan, masa depan dan kesehatan jasmani dan rohani pasangan adalah ciri-ciri cinta sejati. Jika yang terjadi sebaliknya, maka hubungan suami-isteri mengalami masalah. Sangat disayangkan dalam banyak kesempatan bahwa apa yang dinamakan cinta tidak lebih dari ketergantungan mental dan kecenderungan kepada penghibur. Oleh karena itu, dalam menjalin hubungan asmara dengan calon pasangan hidup kriteria dan ciri-ciri tertentu perlu diperhatikan." 



Perkawinan adalah sebuah keputusan penting dalam kehidupan, sementara keputusan dilandasi oleh akal dan rasio. Sepanjang waktu, perasaan mengalami pasang surut dan cinta lahiriyah juga berubah seiring dengan perjalanan waktu. Oleh karena itu, keputusan penting semisal perkawinan harus disikapi dengan akal sehat dan pemikiran yang matang, jangan sampai perasaan dan rasa kagum menguasai seseorang hingga mengalahkan akal sehatnya. 



Coba Anda bayangkan Anda mendatangi sebuah toko untuk membeli pakaian. Apakah Anda akan memilih pakaian dengan corak dan harga asal jadi? Bagaimana jika Anda harus membeli buku atau bepergian? Apakah Anda akan memilih karena rasa suka atau tidak suka semata? Tentu saja tidak demikian. 



Jika Anda teliti melihat, Anda akan mengerti bahwa dalam banyak kesempatan bahkan dalam hal kecil sekalipun, Anda memutuskan karena pertimbangan akal sehat. Walaupun sekilas terlihat karena rasa suka akan sebuah pakaian, tapi ada hal-hal lain yang menjadi perhatian Anda seperti ukuran, kecocokan, harga, corak dan lainnya. Keharusan dalam perkawinan adalah seseorang dengan sadar memilih orang lain yang memiliki banyak keselarasan dengannya untuk hidup bersama. Akan tetapi, tidak seorang pun menyandang semua kriteria yang diinginkan pasangannya. Meski demikian, ada beberapa kriteria utama yang perlu diperhatikan. 



Poin lain yang perlu diperhatikan adalah mengambil keputusan rasional dalam perkawinan bukan berarti mengesampingkan perasaan dan cinta. Tentu saja jika cinta dan kasih sayang hadir dalam kehidupan bersama, hubungan suami-isteri akan lebih indah dan hangat. Alangkah baiknya jika rasa dan cinta dibangun atas pondasi yang kokoh. 

Rasulullah Saw bersabda, "Setelah nikmat Islam, kenikmatan terbesar dalam kehidupan adalah memiliki isteri yang salehah". 

Tentu saja untuk sampai pada anugerah Allah ini perlu memperhatikan kritera yang benar dan tepat. Para psikolog berkata: "Dalam ranah perkawinan, terkadang orang mengalami goncangan hebat dalam menentukan kriteria pasangan hidupnya. Hasrat dan keinginan seksual, kecantikan, status sosial dan keyakinan, dan juga pendapat orang sekitar adalah sekelumit masalah yang membebani psikis seseorang". 



Psikilog Iran bernama dr. Navabi Nejad mengatakan, "Jika seorang pria dan wanita dari sisi psikologis dan kultur memiliki kedekatan satu sama lain, maka kehidupan rumah tangga mereka akan lebih langgeng. Kriteria-kriteria ini dalam Islam dikenal dengan sebutan "Prinsip Kesetaraan" yang dapat diterapkan dalam berbagai dimensi seperti; usia, kejiwaan, kultur, keyakinan, status sosial, dan ekonomi". 



Masalah pertama yang menjadi perhatian dalam perkawinan adalah kesehatan rohani dan jasmani. Demikian juga dengan keterpautan usia antara pria dan wanita. Jelas bahwa kecocokan usia antara pria dan wanita sangat berperan dalam menyelaraskan kebutuhan, kecenderungan, dan keinginan kedua pihak. Insya Allah pada kesempatan berikutnya, kita akan mengkaji lebih dalam kriteria-kriteria ini. 



Perlu Mendekatkan Persepsi


Para peneliti mengatakan bahwa perkawinan sukses adalah perkawinan yang bertujuan untuk meniti jalan kesempurnaan. Seorang pria di samping pekerjaan dan karirnya, juga ingin menjadi seorang insan yang matang secara mental dan spiritual. Demikian halnya dengan wanita, dengan didampingi suaminya, ia juga butuh untuk mengembangkan berbagai potensi dan kemampuan internalnya. 



Suami-isteri yang saling memperhatikan hubungan dan selera masing-masing, pada kenyataannya mereka sedang membangun jalinan kasih sayang yang kokoh. Akan tetapi, hal ini tidak akan terwujud kecuali jeli dalam memilih pasangan hidup. Tentu saja dengan mengabaikan kriteria-kriteria yang tepat dalam memilih pasangan hidup, hal ini nantinya akan menjadi penyebab lahirnya berbagai kemelut dan konflik dalam rumah tangga. Para psikolog dan konsultan keluarga telah memaparkan berbagai macam kriteria dalam perkawinan, antara lain; masalah psikis, ekonomi, budaya dan sosial. 



Lewat perkawinan, dua insan berbeda watak dan karakter sepakat untuk menempuh hidup baru, dan menjalani kehidupan bersama yang berbeda jauh saat masih sendiri. Dalam kehidupan bersama ini, mungkin saja perbedaan persepsi dan selera akan menggoyah bahtera rumah tangga dan menyeretnya dalam kemelut. Tabiat manusia cenderung memilih pasangan hidup yang setara dengannya. Kesetaraan dua insan tidak hanya menjadi mangnet satu sama lain, juga turut mempererat ikatan suci ini. Para peneliti mengulas keseteraan dalam kehidupan bersama meliputi tempat tinggal, strata sosial, tingkah laku, karakteristik mental, dan budaya. Ketidaksesuaian dalam hal ini berdampak gagalnya sebuah perkawinan. 



Kebanyakan penggiat masalah keluarga berkeyakinan bahwa faktor-faktor budaya memainkan peranan penting dalam perkawinan. Sementara kesesuaian dalam agama, mazhab, adat istiadat, dan kepercayaan berperan dalam melestarikan sebuah rumah tangga. Dr. Kinsey seorang peneliti dari Eropa berkeyakinan bahwa dalam ranah sosial perkawinan, mazhab sangat berpengaruh pada perilaku suami-isteri. 



Penelitian membuktikan bahwa nilai-nilai dan keyakinan seseorang memainkan peranan vital dalam perilaku manusia bahkan melebihi faktor lain. Tidak adanya keselarasan dan kesamaan pola pikir agamis antara suami-isteri lambat laun akan mempertajam jurang pemisah. Begitu juga kemelut dan konflik akan menjamur jika salah satu pihak tidak mematuhi nilai-nilai agama, karena iman dan ajaran-ajaran agama sebagai pandangan dasar berperan penting dalam berbagai dimensi kepribadian seseorang. 



Demikian juga dengan ukuran perilaku dan etika berpengaruh dalam memilih pasangan hidup. Perilaku dan akhlak mulia sangat ditekankan bahkan menjadi salah satu syarat dalam membangun rumah tangga. Penelitian membuktikan bahwa sifat-sifat moral seperti akhlak mulia, taqwa, jujur dan pemaaf merupakan kriteria penting calon seorang pendamping dalam perkawinan. 



Islam juga sangat mengedepankan masalah iman dan akhlak dalam perkawinan, Rasul Saw bersabda: "Setiap orang yang datang untuk melamar puteri Anda, dan Anda cocok dengan agama dan akhlaknya, maka jadikanlah ia sebagai pendamping puterimu." 



DR. Ghulam Ali seorang psikolog Iran mengatakan, "Tanpa diragukan lagi bahwa kesepahaman dalam pandangan dan ajaran-ajaran agama, berakhlak mulia merupakan faktor penting perkawinan sukses dan damai. Oleh karena itu, orang-orang mukmin selalu mendambakan wanita salehah. Kecenderungan semacam ini berangkat dari fitrah manusia sebagai pencari kesempurnaan. Oleh sebab itu, sebaik-baiknya perkawinan adalah bersandinganya dua orang mukmin, dalam surat an-Nuur ayat 26, Allah Swt berfirman, "Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)." 



Sifat-sifat baik manusia adalah investasi besar keberadaan manusia yang bersumber dari kepercayaan kepada Allah Swt dan ketakwaan. Minimnya perhatian terhadap masalah-masalah ini sama dengan membangun pondasi rumah tangga pada tanah yang mudah longsor. Tanpa diragukan lagi bahwa melestarikan dan mempertebal nilai-nilai agama antara suami-isteri merupakan daya tarik kuat dalam kehidupan bersama. 



Keselarasan yang bersumber dari budaya dan sosial pria-wanita menjadi faktor penting dalam melestarikan perkawinan. Ketidakselarasan budaya dan sosial dapat memicu timbulnya kemelut dalam kesepahaman antara suami-isteri. Akan tetapi, terkadang juga ditemukan orang yang berbeda strata sosial dan ekonomi dapat hidup bersama dengan bahagia. Tentunya dalam kasus ini, iman dan akhlak mulia juga berperan penting. Penelitian membuktikan bahwa kesamaan relatif status sosial dan ekonomi antara keluarga pria dan wanita merupakan prinsip dasar dalam mewujudkan kesepahaman. 



Kecantikan dan daya tarik luar juga bagian dari kriteria-kriteria dalam perkawinan. Jika dalam perkawinan tidak adanya cinta dan rasa suka antarpasangan, akan menjadi benih lahirnya ketidapuasan. Dalam perkawinan, masalah psikis dan rasa suka kedua belah pihak juga tidak luput dari perhatian Islam. Karena masalah ini akan melestarikan kehidupan rumah tangga. 



Berkenaan dengan kriteria psikis, para peneliti juga menekankan bahwa untuk mendapatkan kepuasan dalam kehidupan bersama perlu memperhatikan kesamaan relatif tingkat kecerdasan. Penelitian membuktikan, adanya hubungan erat antara tingkat kecerdasan dan kepuasan suami-isteri. Orang yang tingkat kecerdasannya berada di bawah pasangannya, tingkat kepuasan juga rendah dalam keluarga tersebut. Menyikapi hal ini, pendidikan dan kesetaraannya dapat menjadi pemicu kedekatan persepsi antara pria dan wanita. Akan tetapi, pendidikan saja belum menjamin terciptanya hubungan rasional dan kesehatan psikis keluarga. Meskipun kesetaraan pendidikan cikal-bakal terciptanya kesepahaman maksimal di antara mereka. 



sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, ajaran-ajaran agama menekankan pada prinsip kesetaraan, yaitu ada baiknya pasangan suami-isteri memperhatikan prinsip kesetaraan dalam membangun bahtera rumah tangga. Akan tetapi, kesetaraan ini bersifat relatif, oleh karena tidak ditemukan kesetaraan sempurna bukan berarti melepas tanggungjawab dalam masalah perkawinan. 




Suami dan Isteri Saling Menyempurnakan 


Tidak diragukan lagi bahwa semua orang yang hidup berumah tangga tengah mencari sebuah teladan yang akan mengantarkan mereka pada kebahagiaan dan keluarga ideal. Akan tetapi, apa saja ciri dan kriteria sebuah keluarga ideal? 

Pertanyaan ini akan terjawab lewat sebuah perumpamaan. 



Musim semi memiliki keunikan khusus, pada musim semi akan tampak berbagai warna dan panorama alam, pepohonan, tumbuh-tumbuhan, dan berbagai macam jenis bunga. Begitu juga kehidupan ideal sarat dengan keberagaman dan warna. Pekerjaan, refresing, waktu senggang, belajar, olah raga, dan berkomunikasi dengan Allah Swt adalah ciri-ciri sebuah kehidupan yang penuh warna. Semua hal ini menempati posisi masing-masing dan sangat bernilai. 



Keceriaan dan kesegaran musim semi mengajarkan kita bahwa hidup mesti dijalani dengan ceria dan riang. Suami-isteri harus menjadi unsur keceriaan dan ketenangan batin satu sama lain. Keindahan lain musim semi adalah keseimbangan suhu udara. Udara segar dan hembusan angin surga yang menyegarkan jiwa. Suami-isteri dengan terinspirasi oleh keteduhan musim semi, membangun hubungan bersama yang produktif dan jauh dari segala bentuk sikap berlebihan dan keteledoran. Hubungan mereka tidak berlebihan hingga tercipta ketergantungan yang kelewat batas, juga tidak dingin dan kasar yang berakibat sirnanya benih-benih cinta dan kasih sayang yang tersemai dalam hati mereka. 



Musim semi juga memiliki poin pendidikan lain untuk sebuah kehidupan ideal. Sebagaimana alam, setelah melalui satu fase layu dan kering, mereka kembali hijau dan segar bersama musim semi juga mengalami perubahan. Batang tumbuhan dan pepohonan yang kering dan layu diterpa musim dingin. Musim semi datang melahirkan tunas-tunas kehidupan bagi mereka. Perubahan di alam membawa pesan bagi manusia sebagai makhluk termulia mesti berkompetisi dalam perubahan ini sekalipun dengan alam. 



Anggota sebuah keluarga adalah sebagai manusia-manusia potensial untuk berkembang dan berubah. Mereka selalu berpikir untuk berkembang dan berubah ke arah positif. Akan tetapi, dalam perubahan ini perlu diperhatikan kondisi dan syarat yang mendominasi sebuah keluarga. Memperhatikan perubahan-perubahan positif akan mengarahkan suasana keluarga dari keterpurukan ke arah perkembangan dan kesempurnaan. 



Shafi seorang psikolog keluarga mengatakan, "Keluarga ideal adalah sebuah keluarga yang dibangun atas dasar aturan-aturan logis dan sah, interaksi dan pergaulan dalam keluarga tersebut didasari pada prinsip cinta dan kasih sayang. Dalam keluarga ideal, terdapat hubungan yang bertujuan, keluarga ditata dengan metode rasional dan manusiawi. Idealisme dalam keluarga berdampak pada menguatnya ketahanan dalam menghadapi berbagai masalah dan kemelut. Dalam keluarga ideal, terlihat adanya kepuasan, kenyamanan,ketenteraman, dan potensi untuk berkembang dan sempurna tersedia bagi semua anggota keluarga." 



Berbicara mengenai perkembangan dan kesempurnaan. Di sini, kami akan memaparkan kepada Anda kriteria-kriteria keluarga ideal. Dalam keluarga ideal, suami-isteri memiliki pandangan yang saling menyempurnakan. Dalam pandangan ini, suami-isteri sama-sama menyandang kemuliaan insani. Keduanya siap untuk berkembang, juga merasa senang dengan perkembangan pasangannya. Pandangan demikian, akan menjadikan ruang lingkup kehidupan sebagai ajang menelurkan hal-hal baru, dan akan menyelamatkan keluarga dari kesirnaan dan keterpurukan perlahan. 



Dalam keluarga ideal dan tertata, suami-isteri tidak akan merampas peluang untuk berubah dari yang lainnya. Kendatipun mereka melihat adanya kekurangan pada pasangannya, tapi ia tetap bernilai di mata pasangannya, bahkan sebisa mungkin pasangannya berusaha untuk menghilangkan kekurangan tersebut. Reaksi membangun semacam ini berasal dari rasa saling cinta kedunya sebagaimana yang telah dipaparkan panjang lebar pada kajian sebelumnya. 



Oleh karena itu, rasa saling menghormati dan menghargai akan membuka peluang untuk perkembangan dan kemajuan pasangannya. Ajaran Islam sangat menekankan sikap menghormati dan menghargai yang lain dalam interaksi sosial, terlebih dalam lingkungan keluarga. Islam menekankan agar suami-isteri menjaga sikap saling menghormati sebagaimana pakaian bagi keduanya. Salah satu penafsiran tamsil ini, sebagaimana pakaian menutup aib dan cacat, suami-isteri juga harus menjadi penutup satu sama lain. Akan tetapi, jika suami-isteri saling membuka aib dan kekurangannya, atau saling berbangga dengan kelebihan masing-masing, maka lingkungan keluarga menjadi tidak harmonis dan hubungan mereka kaku. 


Perhatikan contoh berikut: 

Beberapa waktu lalu, seorang ibu rumah tangga pendengar radio dalam sebuah suratnya memaparkan problema keluarganya dan meminta bimbingan. Dalam suratnya, ia menulis, "Saya menikah dengan seorang mahasiswa semester empat jurusan kedokteran. Pada saat itu, saya juga seorang mahasiswi semester kedua. Akan tetapi karena satu dan lain hal antara lain tanggungjawab sebagai ibu rumah tangga, penentangan dari pihak suami, dan demi ketenangan sang suami, saya tidak meneruskan kuliah. 



Beberapa tahun, saya menjalani kehidupan yang serba susah dan kecukupan sebagai mahasiswa bersamanya, dengan harapan suatu hari dia menyelesaikan kuliahnya dan menjadi seorang dokter. Akan tetapi sangat disayangkan, saat dia telah mendapatkan gelar dokternya, sikapnya terhadap saya mulai berubah dan akhirnya ia berkata bahwa kita tidak saling mengerti dan memahami dan kamu (saya) tidak memiliki kelayakan untuk mendampingi seorang dokter. Sekarang, saya merasa sebagai orang yang dirugikan dan hasil dari semua beban hidup tidak lebih dari penyesalan dan keputusasaan". 



Dr. Syarafi seorang psikolog keluarga dalam menganalisa kasus ini mengatakan, "Tentu saja Anda semua melihat atau mendengar bahwa sebagian pria dan wanita dengan mengesampingkan semua cita-cita dan keinginan pribadinya, secara tulus bekerja keras dan rela berkorban demi kemajuan pasangannya. Manusia-manusia seperti ini ibarat sayap bagi pasangannya atau ibarat tempat peluncuran bagi pasangan hidupnya. Oleh karena itu, kewajiban moral manusia berkesimpulan bahwa terhadap orang-orang yang telah mengorbankan kehidupannya demi kemajuan pasangannya, harus diberi ucapan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya. 



Jika pria dan wanita, berkat bantuan dan dorongan pasangannya telah menyelesaikan pendidikan dan telah sampai pada kemajuan, ada baiknya ia melihat ke belakang. Ia akan menyaksikan naungan kasih sayang seorang pasangan yang rela kerkorban hadir dalam seluruh fase kehidupan bersama. Dalam hal ini, dengan membangkitkan jiwa rasa syukur terhadap diri sendiri, kehidupan akan terasa manis dan hangat, juga berdampak hangat bagi pasangannya." 



Dr. Syarafi dalam menganalisa problema ini menambahkan, "Jika ibu ini, disamping tanggungjawab sebagai ibu rumah tangga, juga berpikir untuk kemajuan dirinya, dengan belajar di luar lingkungan akademis, ia bisa menambah pengetahuan dan kemampuan intelektualnya. Ia dapat memperlihatkan semua potensi internalnya dalam di lingkungan keluarga, hingga ia tidak harus lalai seperti ini". 



Oleh karena itu, dalam keluarga ideal selalu terbuka peluang untuk kemajuan dan perkembangan semua anggota keluarga, antara lain untuk suami-isteri. 



Kasih Sayang dan Ungkapan Cinta Harus Ditanamkan


Kita telah memaparkan salah satu kriteria keluarga ideal yaitu kebersamaan suami-istri untuk berkembang dan sempurna. Dalam lingkungan keluarga ideal, pasangan suami-istri bukan penghalang bagi yang lain dalam mengembangkan berbagai potensi dan bakat, tapi mereka bahkan saling mendorong dan memberi semangat. 



Para psikolog keluarga memaparkan kriteria penting lainnya sebuah keluarga ideal, yaitu penanaman kasih sayang serta ungkapan cinta di antara pasangan. Para pakar penggiat masalah keluarga berpendapat bahwa salah satu kegagalan dalam kehidupan bersama adalah tidak adanya pengetahuan berkenaan cara tepat bertukar perasaan antar pasangan. 

Kasih sayang dan rasa cinta memainkan peran penting terlebih di awal pernikahan. Akan tetapi, selang beberapa waktu karena ketidaktahuan dan kelalaian salah satu dari mereka atau keduanya, cinta pertama yang membara akan memudar dan perlahan saat-saat menjemukan datang menyapa. 



Dalam kondisi ini, kritik dan saling tuduh ibarat cambuk yang singgah dalam kehidupan bersama. Suami-istri kalang kabut, kenapa kehidupan yang hangat dan manis berubah menjadi dingin. Mereka melupakan satu hal bahwa kasih sayang dan rasa cinta sangat penting untuk permulaan yang baik, bahkan tak kalah pentingnya untuk meneruskan kehidupan. 

Jika sepuluh tahun pertama kehidupan bersama kita asumsikan sebagai permulaan transaksi kasih sayang. Maka di tahun-tahun berikutnya, kehidupan membutuhkan transaksi kasih sayang yang lebih besar, terlebih di tahun-tahun pertengahan dan terakhir kahidupan bersama terkadang suami-istri merasa sendiri, hal ini akan menghadirkan masalah-masalah baru. 



Hati adalah sumber perasaan dan cinta bagi manusia. Oleh karena itu, perasaan dan kasih sayang negatif jangan sampai merasuki dimensi-dimensi hati. Suami-istri untuk memiliki hubungan harmonis dan ideal perlu menyediakan ruang untuk membina perasaan-perasaan positif dan membangun. Jika dalam lubuk hatinya, mereka saling menanamkan benih-benih kebencian, salah satu dari mereka atau keduanya akan tersapu badai. Oleh sebab itu, dalam transaksi kasih sayag dan rasa cinta, perasaan harus timbul dari diri yang paling dalam. 

Hubungan komunikatif adalah cara lain untuk mengungkapkan perasaan dan rasa cinta. Berapa banyak orang menyimpan rasa cinta mendalam terhadap pasangannya, tapi ia tidak mampu untuk mengungkapkannya. Pada akhirnya, tidak tumbuh rasa tenang dalam diri dan pasangannya. Dalam kondisi ini, tirai-tirai keraguan dan rasa tidak aman membalut kehidupan. 



Rasul Saw punya wasiat khusus mengenai penguatan hubungan suami-istri dalam lingkungan keluarga. Dalam hal ini, beliau Saw menilik sisi hubungan komunikatif antara suami-istri. Rasul Saw bersabda: "Barang siapa yang mengatakan kepada istrinya, Aku mencintaimu, ungkapan ini tidak akan pernah sirna dari hatinya". 



Dr. Sharafi seorang psikolog keluarga mengatakan, "Tidak saling kenal dan tahu antar pasangan, rasa sombong tidak pada tempatnya, dan rasa malu berlebihan termasuk faktor-faktor tidak terlafalkannya rasa cinta verbal. Padahal mengutarakan kalimat-kalimat yang berbau perasaan dan cinta antar pasangan, tidak hanya berdampak terhadap hilangnya sebagian besar kesalahpahaman, bahkan akan menambah rasa cinta di antara mereka dan akan terjamin manisnya kehidupan. Pengabdian terhadap pasangan juga merupakan metode praktis dalam mengungkapkan perasaan cinta. 



Pada fase ini, dengan bekal saling kenal kriteria masing-masing, mereka akan berusaha untuk melakukan sesuatu yang disenangi pasangannya. Dengan sikap seperti ini, ia juga telah meringankan beban pasangannya, dan juga akan membangkitkan perasaan ini pada pasangannya bahwa: "kamu adalah orang yang bernilai dalam hidupku, dan keberadaanmu bagiku sangat berharga." 



Akan tetapi, dalam melestarikan dan menguatkan hubungan kasih sayang, suami-istri tidak boleh menciptakan suasana yang memposisikan pasangannya sebagai tawanan hasratnya, atau merampas semua bentuk aktivitasnya. Sebagai contoh, seorang karyawan di sebuah perusahaan swasta yang mengalami masalah ini menuliskan, "Saya bekerja di sebuah perusahaan swasta, dan telah menikah beberapa tahun, sampai sekarang kesempatan baik datang kepada saya dan saya menerima beberapa penugasan dari perusahaan. Hal ini disamping menambah pendapatan saya, juga berpengaruh terhadap perkembangan karir saya. 



Akan tetapi sayangnya, karena satu hal, saya tidak dapat memanfaatkan kesempatan itu lagi. Masalahnya setiap kali saya membicarakan masalah penugasan, ia dengan ragu dan lunglai meminta saya untuk membatalkan pekerjaan ini, sampai ia berkata, "Jika kamu ingin membuktikan rasa cinta kepada saya, tidak semestinya kamu meninggalkan saya sendiri dan berangkat kerja. Sekarang, saya membandingkan keadaanku dengan tahun-tahun sebelumnya, saya melihat hasrat dan kekuatanku sudah lemah dan rapuh karena dampak ketergantungan dahsyat dan keinginan-keinginan tidak rasional istriku." 



Tentu saja, istri-istri seperti ini akan melemahkan keberanian dan kegagahan pasangannya, dan akan membawanya ke masa depan yang buram. Mereka tidak saja penghalang bagi kesuksesan suaminya, tapi juga hampa dari keceriaan dan kesenangan dalam kehidupan rumah tangga. 



Dr. Gholam Ali Afruz seorang psikolog Iran mengenai masalah yang dihadapi orang tersebut dan juga keharusan adanya cinta dan hubungan rasioanal di antara suami-istri mengatakan, "Cinta bukan perasaan atau verbal semata, cinta juga bukan reaksi emosional. Akan tetapi, semua rasa ini dapat menjadi bukti perilaku bermuatan cinta, dan perilaku bermuatan cinta adalah sikap yang dibarengi dengan jiwa pemaaf dan rela berkorban. 

Rasa cinta adalah sikap tidak egois, sehati dan seperjalanan dengan pasangan. Rasa sehati suami-istri berdampak menyatunya suami-istri dalam mengarungi lika-liku kehidupan dan menjauhi keterpurukan juga kemandekan. Dalam hal ini, suami-istri disamping memiliki rasa cinta, hubungan rasional dan berimbang satu sama lain, juga saling membantu untuk sampai pada tujuan hidup. Bukannya dengan alasan cinta berat justru akan menutup jalan untuk maju. 




Berpikir Positif, Jangan Cari Kekurangan!


Apa perbedaan antara orang-orang yang sukses selama bertahun-tahun berumah tangga dengan mereka yang selalu dililit masalah? 



Mayoritas pasangan memulai hidup barunya bersama cita-cita luhur dan ideal. Akan tetapi, sebagian menikmati kehidupan indah ini hanya dalam beberapa waktu. Sebagian yang lain, setelah beberapa tahun lamanya mereka masih merayakan hari jadi pernikahannya dengan penuh keceriaan dan keindahan. Mengapa demikian? 



Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang telah mencuri perhatian para pegiat dan psikolog keluarga dalam sepuluh tahun terakhir. Dr. Spurgeon seorang psikiater dari Inggris yang lebih dari separuh hidupnya ia fokuskan pada konsultasi perkawinan, berdasarkan eksperimen dan pengalaman di kliniknya berkesimpulan bahwa perkawinan sukses memiliki beberapa kriteria dasar. 



Mengenai hal itu, ia mengatakan, "Suami-istri dalam keluarga sukses adalah pemenuh kebutuhan-kebutuhan alamiah satu sama lain. Mereka memiliki interaksi yang penuh pengertian, dan dalam berbagai kesempatan, mereka saling memuji dan menghargai, saling mengungkapkan perasaan cinta, mereka sama-sama menyiapkan potensi untuk berkembang, dan disamping rasa saling cinta, mereka juga berusaha melestarikan pondasi keluarga." 



Menurut psikiater ini, jika dalam hubungan suami-istri tidak adanya satu atau beberapa faktor ini, akan tampak tanda-tanda ketidakpuasan dalam bentuk kritikan, kelesuan, tidak harmonis, rasa iri, dan bahkan ancaman perceraian. Jika suami-istri secara serius tidak saling memperhatikan kebutuhan-kebutuhan dasar, maka perdebatan, depresi, pengkhianatan, kecanduan obat-obatan, terganggunya pekerjaan, dan perceraian akan merasuki poros keluarga. 



Para psikolog berpendapat bahwa kriteria penting lainnya sebuah keluarga ideal adalah kemampuan berinteraksi positif dan membangun dengan lingkungan keluarga, atau dengan kata lain berinteraksi dan berpikir positif. Keluarga berpola pikir positif, saat menghadapi masalah dan fenomena yang berhubungan dengan mereka, sisi positif dan mendidik yang menjadi perhatian mereka, sementara sisi negatif sebisa mungkin mereka tutupi. Berpikir positif itu dapat disebut seni melihat sesuatu dengan positif. Keadaan seperti ini bersumber dari kualitas ruh dan jiwa manusia. 



Orang-orang yang agamis umumnya berpikiran dan punya pandangan positif. Karena ajaran agama menekankan bahwa manusia harus saling berbaik sangka, menjauhi sikap buruk sangka, dan punya asumsi positif terhadap perilaku orang lain. Islam dalam ajaran akhlaknya menekankan sikap berbaik sangka dalam lingkungan keluarga. Berbaik sangka dan berpikir positif terhadap pasangan memiliki peran penting dalam mempererat pondasi keluarga. Jelas, bahwa usaha anggota keluarga untuk menghilangkan asumsi negatif satu sama lain akan menciptakan hubungan yang lebih baik dan lebih mesra. 



Para psikolog dalam rangka menguatkan pola berpikir positif menyarankan bahwa langkah pertama harus punya file daftar kelebihan dan potensi pasangan Anda, dan memporitaskannya sebagai sebuah prinsip dalam hidup. Dalam berbagai kesempatan dengan pasangan terlebih saat bercengkrama, menyebut kelebihan dan potensi pasangan Anda, dan Anda usahakan agar nuansa komunikasi penuh dengan tanda-tanda positif hingga meninggalkan kesan positif pada pasangan Anda. 



Jika Anda ingin melihat satu ciri khas pada pasangan Anda, tapi untuk saat ini Anda belum dapat menyaksikannya, daripada mencela dan menghina, Anda dapat menggunakan metode lain. Dalam kondisi ini, cara yang paling tepat adalah mendoktrin hal-hal positif pada pasangan Anda. Dengan mendoktrin hal-hal positif, secara bertahap akan terlihat sifat-sifat baik pada perilaku pasangan Anda. Sebagai contoh; seorang suami yang merasakan bahwa istrinya lemah dan tak berdaya saat berhadapan dengan masalah. Ia dapat berkata kepadanya: "Saya memuji kepribadianmu yang tabah dan tangguh dalam menghadapi masalah." Atau ibarat lainnya, "Saya yakin, kamu tidak akan membiarkan masalah dan kemelut mengalahkan dirimu." 



Begitu juga dengan suami yang berperangai buruk dan kasar, dalam hal ini ada baiknya sang istri bersikap terhadapnya, "Saya mengerti masalah ini akan melelahkan dan membuat emosi semua orang. Akan tetapi, lebih baik kamu bersabar dan tabah." 



Langkah lainnya untuk menambah jiwa berpikir positif dalam keluarga adalah menguak sisi-sisi kesamaan mental antara Anda dan istri. Setelah bertahun-tahun lamanya kita menghabiskan kehidupan keluarga, kita telah mengetahui kriteria-kriteria pendamping, dan adanya kesamaan dengan ciri-ciri kepribadian kita. Menguatkan sisi kesamaan ini, sangat berpengaruh bagi terwujudnya jiwa berpikir positif dalam lingkungan keluarga. 



Sekarang, kami akan memaparkan sebuah surat dari seorang istri yang dilayangkan kepada kami, dan mengisahkan seputar pola pikir positif suaminya. "Saya sangat mencintai suamiku, dan bersyukur kepada Allah yang telah menganugerahkan suami seperti ini. Suami saya ketika datang ke rumah, selalu yang pertama mengucapkan salam kepada anggota keluarga, dan sama sekali tidak membawa kesulitan dan problema kehidupannya ke dalam rumah. Ia tipe suami yang sangat rasional dan optimis melihat kehidupan, tidak membesarkan masalah-masalah sepele, tidak pernah melupakan kebaikan dan pengabdian teman terlebih keluarganya. Ia selalu berusaha untuk menghargai pendapat saya dalam masalah kehidupan. 



Suami saya, saat melihat aib dan kekurangan dalam diriku, dengan lembut ia memberitahukan hal itu tanpa orang lain mengetahuinya. Ia selalu berusaha untuk menemukan hal-hal positif dalam diri saya, dan menguatkannya dengan dorongan. Kami pada awal-awal berumah tangga, memiliki selera yang jauh berbeda. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu dan dengan pengaturan sang suami, masalah terselesaikan. Saya mencintainya dan mengenalnya sebagai teladan, saya juga berusaha untuk menjadi istri yang setia baginya." 



Kepuasan ibu rumah tangga ini terhadap suaminya menyenangkan kita. Kisah di atas, mengingatkan pada sebuah ayat al-Quran. Dalam surat al-Baqarah ayat 187, Allah Swt berfirman, "Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka." Ini adalah ungkapan yang sangat indah sebagaimana Allah Swt telah menjelaskan menyangkut hubungan suami-istri. 



Pada hakikatnya, tidak ada manusia tanpa aib. Dalam bahasa al-Quran, suami-istri yang baik adalah sebab terjaganya satu sama lain dan juga saling menutupi kekurangan. Sebagaimana pakaian, yang melindungi manusia dari sebagaian hal bahaya, juga menutupi sebagian aib dan kekurangan manusia. Lebih dari itu, pakaian juga hiasan bagi manusia. Istri yang baik juga sebagaimana pakaian yang indah, manusia akan ditampilkan dengan indah. 



Dr. Gholam Ali Afruz seorang psikolog Iran menyangkut hal ini mengatakan, "Pakaian akan menutupi aib dan kekurangan manusia, ia akan menjaga manusia dari para pencari kekurangan orang. Istri-istri yang baik, pengertian dan tempat pelipurlara dengan pakaian cinta yang sama-sama dikenakan, akan menutup semua kekurangan dalam perilaku, kelemahan dan kesalahan. Mereka dengan berpikir positif terhadap pasangannya, sama sekali tidak membuka kelemahan kepribadian, dan kekurangan masing-masing kepada orang lain." 



Imam Sajjad as juga dalam buku "Risalah Huquq" (Risalah Hukum), mengenai salah satu hak antara suami-istri, mengatakan, "Muliakanlah istrimu, berlemah-lembutlah kepadanya. Dan jika ia melakukan kesalahan, maafkanlah ia." 



Secara garis besar dapat dikatakan bahwa dalam keluarga ideal, suami-istri berusaha dengan berpikir positif menjauhi mencari kekurangan, dan dalam berbagai kesempatan, menjadikan penguatan sisi positif satu sama lain sebagai dasar. 



Mulai Kesepahaman dengan Menjadi Pendengar yang Baik


Sebelumnya kita telah mengkaji bersama beberapa trik bermanfaat dalam membina rumah tangga. Dalam kesempatan ini, kita akan memaparkan sebagian dari faktor-faktor yang dapat memperkokoh ikatan keluarga dan menjelaskan kriteria keluarga ideal dan harmonis. 



Dalam keluarga ideal dan sukses, kesepahaman dan kebersamaan mendominasi segala aspek kehidupan. Kriteria ini akan terwujud dalam ranah keserasian suami-istri. Para psikolog mengatakan, "Jika Anda dapat melihat masalah lewat kaca mata sang istri, sejauh dapat memahami dengan baik pola pikir dan pandangan istri dalam berbagai masalah, berarti Anda telah sampai pada batas kesepahaman dengannya." 



Dalam kondisi seperti ini, akan tercipta hubungan ideal dalam kehidupan. Suami-istri perlu mementingkan saat-saat kebersamaan yang jauh dari hiruk-pikuk kehidupan. Saling memahami dan menghormati saat bersama merupakan sebuah prinsip berharga, karena dengan perasaan jujur ini, suami-istri juga akan saling menghormati saat berada di hadapan khalayak. 



Akan tetapi, apa saja yang perlu diperhatikan guna memudahkan terciptanya kesepahaman dalam kehidupan? 



Para psikolog berkata, "Seni mendengar dengan cermat berperan penting dalam menciptakan kesepahaman. Saat Anda berkomunikasi dengan istri, Anda harus menyimak ucapannya dengan cermat dan ramah, hingga terlihat sikap menerima terhadapnya dan ucapannya. Juga perlu memperhatikan mental dan seleranya, serta berusaha memulai pembicaraan dengan tema-tema yang ia senangi. Jauhi sikap membandingkan istri Anda dengan orang lain, karena sikap ini akan merusak hubungan baik Anda dengannya. 



Anda harus mengetahui bahwa istri-istri Anda adalah manusia yang tak ada padanannya dan memiliki sisi kepribadian positif atau negatif. Oleh karena itu jika kondisi menuntut, bandingkanlah ia dengan sifat-sifat masa lalunya dan beri penghargaan atas perkembangan akhlak dan spiritualnya. Sikap ini akan berpengaruh terhadap kesepahaman suami-istri. Bentuk hubungan komunikatif juga bagian dari faktor-faktor yang berperan penting dalam mewujudkan kesepahaman. Setiap kata atau kalimat punya muatan psikis dan kasih sayang. 



Sebuah hubungan komunikatif yang sukses adalah hubungan dimana kedua belah pihak tidak mengunakan kata-kata yang tidak sedap dan menghina. Tutur kata yang lembut dan sikap menghormati akan mewujudkan rasa percaya diri dan tenang pada pasangan, dan hal ini berdampak mempererat kesepahaman suami-istri." 



Para ahli masalah keluarga mengutarakan cara lain mewujudkan kesepahaman. Mereka mengatakan, "Untuk mewujudkan kesepahaman, penting bagi keduanya dalam mengambil keputusan dan mencari solusiserta memperhatikan pendapat sang istri. Jangan mengesampingkannya saat membuat keputusan, saling menghargai pendapat dan menjauhi sikap egois. Akan tetapi, kesepahaman adalah perkara relatif, dan tidak mungkin menanti adanya kata sepakat antara suami-istri dalam segala aspek. Yang dimaksud dengan kesepahaman adalah suami-istri dalam banyak hal memilih sikap selaras dan sejalan. 



Kesepahaman memiliki hubungan langsung dengan sikap saling kenal antara suami-istri, dan bersama berlalunya masa-masa awal kehidupan bersama, tingkat pengenalan suami-istri juga bertambah dan semakin dalam. Oleh sebab itu, pasangan-pasangan muda yang baru memulai kehidupan bersama, jangan berharap terjalin keselarasan dan kesepahaman sempurna di antara mereka. 



Seorang ibu rumah tangga mengisahkan kehidupan keluarganya yang sukses, ia menulis, "Kira-kira telah berlalu 5 tahun masa kami berumah tangga, dan dari awal kami menjadikan kejujuran dan cinta sebagai fondasi rumah tangga. Pada awalnya kami tidak memiliki kesepahaman sempurna. Akan tetapi, dengan berlalunya waktu dan lebih saling kenal dan saling memahami selera masing-masing, setiap harinya semakin bertambah tingkat kesepahaman dan kelezatan hidup kami. 



Suamiku terlibat aktif dalam urusan rumah. Saya seorang mahasiswi fakultas kedokteran, dan menghabiskan sebagian besar waktu di luar rumah. Akan tetapi, ia sama sekali tidak mempermasalahkannya, bahkan terkadang ia juga berusaha melakukan tugas yang berhubungan dengan saya. Saya selalu membutuhkan cinta dan keikutsertaan dia. Hubungan di antara kami terjalin baik bahkan jika ada hal yang tidak menyenangkan, kami tidak menunjukkan sikap kasar, dan menunggu saat yang tepat untuk membicarakan bersama. Kami tidak membuka rahasia rumah tangga pada khalayak, dan dalam kesulitan, kami adalah tempat berteduh satu sama lain." 



Dr. Syarafi seorang pakar program keluarga menyangkut hal ini mengatakan, "Melalui perkawinan, suami-istri secara bersama menginvestasikan modal berharga. Dalam bursa ini, tidak ada pembicaraan tentang harta dan materi. Akan tetapi, yang di tanamkan adalah puncak investasi humanitas yang meliputi hati, jiwa, kasih sayang, perasaan, dan cita-cita. Dalam bursa ini, suami-istri mempersiapkan diri untuk kesuksesan atau kegagalan, dan dengan baik, sama-sama memikul bagian yang menjadi tanggungjawabnya. 



Sebagaimana yang Anda simak, suami ibu rumah tangga tadi di samping punya kesibukan di luar rumah, juga tidak membatasi dirinya terhadap tugas-tugas istrinya, dan dengan senang hati, ia melakukan tugas yang menjadi tanggung jawab istrinya. Sang suami pada kenyataannya menghargai pekerjaan istrinya. Di samping itu, istri juga merasa dihargai. 



Keikutsertaan positif dalam lingkungan keluarga, pada akhirnya memudahkan pekerjaan dan kepuasaan kedua pihak. Akan tetapi, istri juga dengan menampakkan rasa senang terhadap pekerjaan suaminya dan dapat menjadi konsultan dan mitra yang baik bagi suaminya. Dengan menunjukkan rasa senang terhadap pekerjaan suami, turut meyakinkan suami terhadap nilai pekerjaannya. Istri dapat mewujudkan rasa yakin dan tenang ini pada suami hingga ia mengerti istrinya dan memperhitungkan bantuan dan dukungan istrinya." 



Keikutsertaan positif dalam keluarga tidak hanya saling membantu, tapi tujuan sebenarnya menjaga eksistensi keluarga. Setiap anggota keluarga turut memikirkan yang lain ketimbang mengedepankan keinginannya masing-masing dan tujuannya adalah ketenangan semua anggota keluarga. Yaitu semua anggota keluarga baik suami maupun istri turut memikirkan tujuan hidup dan berusaha maksimal. Akan tetapi, keikutsertaan dan saling membantu harus bersifat dua taraf, dan jangan sampai satu pihak selalu berusaha dan berkorban, sementara pihak lain bersikap tidak peduli. 



Saling membantu dan keikutsertaan mendapat tempat penting dalam ajaran Islam terlebih menyangkut lingkungan keluarga. Tidak hanya al-Quran, tapi juga dalam Sunnah dan perilaku tokoh-tokoh agama menekankan pentingnya keikutsertaan dan kerjasama dalam keluarga. Dalam perkataan-perkataan tokoh agama dalam mendorong sikap saling membantu, terdapat poin-poin penting yang dapat membangkitkan motivasi suami-istri untuk mempererat kerjasama. Suatu hari, Rasul Saw berkata kepada Imam Ali as, "Wahai Ali as, orang yang selalu mengabdi kepada keluarganya, Allah Swt akan menulis namanya dalam deretan para syahid." 



Bukti-bukti sejarah menunjukkan kendatipun Rasul Saw memiliki kedudukan spiritual dan sosial yang tinggi, tapi selalu membantu istrinya dalam perkerjaan rumah. Hal ini dalam rangka perhatian Islam yang luar biasa terhadap keutuhan keluarga. Sadar akan dampak-dampak positif kerjasama dan keikutsertaan dalam lingkungan keluarga akan mendorong orang-orang untuk melihat penting pekerjaan di rumah. Para pakar urusan rumah tangga menyarankan, "Karena pekerjaan yang padat tidak dapat membantu pekerjaan istri secara langsung. Paling tidak, mengutarakan niat dan dorongan untuk membantunya, sehingga ia merasa adanya dukungan jiwa dan mental dari Anda". 



Sunnah dan perilaku Rasul Saw dalam keluarga adalah teladan terindah kerjasama dan saling membantu. Rasul Saw berpesan kepada para sahabatnya, "Sebaik-baiknya kalian adalah orang yang berlaku baik kepada keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku dari kalian semua." 



Enyahkan Tuntutan Irasional dari Pasanganmu!


Tugas dan tanggung jawab dalam rumah tangga, tak hanya sebuah tema hukum, tapi lebih dipengaruhi oleh ikatan emosional dan kejiwaan juga didasarkan pada standar-standar etika dan norma. Pentingnya kajian seputar hak-hak dalam rumah tangga berasal dari kedudukan tinggi institusi yang suci ini. Populernya nilai-nilai moral, rasa bertanggungjawab secara sosial, dan ikatan emosional yang dalam, akan nampak di tengah masyarakat ketika keluarga-keluarga yang menjadi bagiannya memiliki hubungan yang hangat. 



Saat akad nikah dan ikrar suci sudah terjalin di antara dua insan, maka hadir tanggung jawab dan hak di antara mereka. Pasangan suami istri yang sukses merasa memiliki tanggungjawab besar dan tidak pernah berpikir untuk menggoyahkan ikrar dan ikatan suci di antara mereka. Ikrar hidup bersama akan abadi dengan cinta. Untuk menjaga keutuhan dan kelanggengan janji suci ini, ada banyak cara yang dapat dilakukan. 



Anda tentunya masih ingat bahwa pada tulisan-tulisan sebelumnya, telah dipaparkan ciri-ciri pasangan dan keluarga yang sukses. Ciri-ciri tersebut yang pernah disampaikan antara lain; kecenderungan bersama untuk mendorong pasangan maju, menghadirkan cinta dan menanam kasih sayang, berpikir positif dan berbaik sangka, serta saling membantu dalam menyelesaikan berbagai masalah. 



Dari sejumlah penyakit yang mengancam keutuhan rumah tangga adalah tumbuhnya keinginan dan tuntutan yang tidak rasional di antara suami-istri. Terkadang mengetengahkan keinginan-keinginan ini akan mengusik ketenangan keluarga. Kebanyakan pasangan muda terusik dengan hal ini, karena ketidakjelasan pembatas antara keinginan logis dan keinginan yang tak logis. Masalah ini terkadang bisa melukai perasaan mereka. 



Titik rawan dalam kehidupan hadir ketika keinginan-keinginan tak logis menumpuk dan tidak terpenuhi, sementara kesabaran suami-istri kian menurun secara bertahap. Akhirnya, perasaan negatif mendominasi dan hubungan mereka menjadi kasar. Keluarga ideal dengan mengatur dan menentukan penantian-penantian rasional, telah menutup jalan bagi masuknya berbagai faktor perpecahan. 



Oleh sebab itu, adanya bentuk kesepakatan menyangkut keinginan-keinginannya, dan kesepahaman serta cinta mengalir dalam hidup mereka. Kehidupan bersama yang berimbang akan terbentuk saat hubungan suami-istri dibangun di atas landasan rasional. Dalam kondisi ini, suami-istri tidak memiliki keinginan yang tidak rasional dan yang di luar kemampuan pasangannya. 



Manusia karena rasa cinta pada diri sendiri selalu bergerak ke arah kepentingan pribadi. Mungkin dampak buruk sifat ini jarang terlihat kala ia masih sendiri dan belum menikah. Akan tetapi dalam kehidupan bersama karena jalinan hubungan baru, terdapat gesekan antara kepentingan dan selera pribadi suami dan istri. Akhirnya, masalah yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan akan lebih terlihat. 



Dalam kondisi ini, jika suami dan istri memiliki perilaku dan pendidikan yang benar, mereka dapat menemukan cara yang logis dan tepat untuk menyelesaikan perbedaan ini dengan mengesampingkan selera pribadi dan cara kekerasan. Akan tetapi, ada pula orang yang mengedepankan kekerasan terhadap pihak lain. Keluarga seperti ini telah mengesampingkan akal sehat dan akibatnya rumah tangga menjadi keruh. Karena semua anggota keluarga tidak punya andil dalam membuat keputusan. 



Kesepakatan dan aturan kehidupan sangat diperlukan untuk mengatur hubungan suami-istri. Akan tetapi, aturan ini hanya dapat menjelaskan dengan benar hubungan timbal-balik suami-istri jika ia disusun atas dasar prinsip-prinsip yang benar dan sesuai dengan kebutuhan mental pasangan tersebut. Pihak manapun benar maka harus diakui. Jenis kelamin, usia dan pendidikan sama sekali tidak boleh lebih diprioritaskan di atas nalar dan kebenaran. Oleh karena itu, pria dan wanita tidak boleh memaksakan selera dan pendapatnya kepada pihak yang lain dengan alasan apa pun. 




Menjadikan Kebenaran Sebagai Paramenter


Mengikuti kebenaran dan berpandangan logis merupakan bagian dari pesan moral yang terdapat dalam al-Quran dan ajaran Islam. Tentu saja, berpegang pada kebenaran dalam lingkungan keluarga mempunyai dampak-dampak positif dalam hubungan suami-istri. Dalam pandangan Islam, syarat keimanan dan akhlak seseorang adalah cinta pada kebenaran. Dari sunnah dan ucapan para pemimpin agama ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang harus menyampaikan dan menerima kebenaran sekalipun pahit baginya. 



Suami-istri perlu memperhatikan bahwa terkadang dalam pertengkaran dan perselisihan, pihak lainlah yang benar. Dalam kondisi ini, sebagai bentuk rasa tanggung jawab moral dan agama ia harus mengakui dan menerima kebenaran. Pengakuan ini berasal dari sikap berpegang pada prinsip-prinsip keimanan, dan akan berpotensi menciptakan ketenangan batin bagi manusia, disamping juga menurunkan api kemarahan pihak lain. Tentu saja, lari dari logika dan kebenaran tidak hanya menanamkan sikap dendam dan permusuhan, tapi juga akan meruntuhkan rasa percaya pihak lain. 



Dr. Qaimi, seorang pakar ilmu pendidikan mengatakan, "Dalam sebuah keluarga yang di sana terjadi pertengkaran, suasana keluarga dihantam oleh badai yang membuat suami-istri tidak tertarik padanya. Penelitian ilmiah menunjukkan bahwa pertengkaran dalam keluarga tidak akan mendatangkan kebahagiaan bagi pasangan suami istri. Meskipun secara lahiriyah, pertengkaran itu menguntungkan satu pihak, tapi bukan berarti ia menang. Lebih dari itu, dampak lain pertengkaran berpotensi melahirkan kegagalan bagi kedua pihak. 



Rambu-rambu Islam tidak mengizinkan seorang suami berperilaku tidak rasional dan menzalimi istrinya. Ajaran Islam lebih mengedepankan toleransi dan sikap lunak terhadap istri atau wanita. Tentu saja, kaum pria yang lebih kuat menahan beban perlu memberikan perhatian khusus mengingat watak lembut dan emosional sensitif pada kaum wanita. Akan tetapi, berdasarkan ajaran Islam dan moral, suami-istri harus mengesampingkan sikap egois dalam lingkungan keluarga. Dan dalam setiap perselisihan, kedua pihak harus mengalah demi maslahat yang lebih besar." 



Para psikolog menyarankan beberapa cara demi terciptanya sebuah hubungan rasional dalam lingkungan keluarga. Antara lain: "Gunakanlah argumentasi rasional dalam berkomunikasi dengan pasangan Anda. Namun ketika pasangan Anda sulit menerima realita dan kemungkinan ia akan merasa harga dirinya terancam, saat itu ubah gaya bicara dari kesan menghakimi atau memerintah ke bentuk saran dan anjuran. 



Kadang kala, Anda perlu menceritakan kenangan masa lalu Anda dan orang lain yang disitu perselisihan diselesaikan dengan cara rasional. Jika pasangan Anda tidak berpikiran rasional, Anda perlu mengubah karakternya dengan meyakinkannya bahwa ia telah banyak menuai kesuksesan dengan menggunakan cara-cara rasional. Dalam sebuah keluarga yang mengedepankan logika, sama sekali tidak terdengar penghinaan, celaan, dan kritik yang bukan pada tempatnya." 




Saatnya Berjiwa Besar


Berjiwa besar dan mulia sebagai sebuah sifat manusiawi mengggambarkan perwujudan akhlak terindah. Masalah ini, terlibat aktif dalam berbagai momen sosial terlebih dalam kehidupan bersama. Suami-istri harus saling memiliki jiwa besar lebih dari komunitas lain. Salah satu ciri mulia dan berjiwa besar adalah sikap pemaaf dan toleransi antarsesama. Kehidupan bersama dimana suami-istri secara alamiah saling mengetahui kondisi jiwa, mental, dan kekurangan masing-masing. 



Akan tetapi, masalah ini bukan alasan untuk saling membuka aib dan mencela. Karena akan mengusir keceriaan dan kegirangan dalam ranah kehidupan, akhirnya pola pikir negatif dan kekerasan akan mendominasi kehidupan. Toleransi dan pemaaf akan memaksa kita untuk menutup kekurangan sang istri ketimbang membukanya, begitu juga sebaliknya. Terkadang, sikap pura-pura lupa dapat kita jadikan sebagai model interaksi, yaitu bersikap tidak tahu akan kesalahan pasangan. 



Untuk lebih mendekatkan masalah ini akan dipaparkan sebuah masalah lewat sebuah surat pendengar sebuah radio. Pendengar tersebut menuliskan masalah yang sedang dihadapinya demikian: 



"Dengan sebuah dunia impian, saya memulai kehidupan bersama dengan suami. Semua berjalan lancar hingga pada sebuah jamuan, saya mengutarakan sebagian masalah yang kami hadapi. Kebetulan dalam jamuan itu, suami saya juga hadir di situ dan saya mengkritik sikap diamnya. Saya berkata: "suami saya tidak banyak bicara. Akan tetapi, dia siap bercengkrama dengan ibunya selama berjam-jam. Suami saya tersinggung dan keberatan dengan ucapan saya. 



Sejak itu, ia mulai berlaku kasar dengan saya meskipun saya menerima, mengaku salah dan meminta maaf padanya. Akan tetapi, berulang kali ia membuat saya pesimis dan sama sekali tidak bersedia memaafkan saya. Pertanyaan saya adalah karena sebuah kesalahan, manusia musti membayar berapa besar akibatnya? 



Saya berusaha sebisa mungkin untuk menata hidup, tapi belum berhasil. Apa tidak bisa suami saya dengan sikap pemaaf, lapang dada, dan berjiwa besar memaafkan saya, dan memberi sebuah kesempatan kepada saya untuk menebus kesalahan?" 



Akhirnya, kami meminta bimbingan dari Dr. Syarafi sebagai nara sumber acara ini. Ia mengatakan, "Bukan sikap benar, jika ibu muda ini pada awal kehidupan keluarganya menceritakan sebagian masalah internal rumahya pada orang lain. Karena masalah internal keluarga tidak boleh dibicarakan pada orang lain. Dan bukan berarti, ibu ini telah melakukan kesalahan besar yang tidak bisa dimaafkan. Untuk menebus kesalahan ini, cukup dengan meminta maaf dan berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. 



Secara lahiriah, ibu ini telah melakukannya. Akan tetapi sikap tidak melunak suami dan menutup semua jalan untuk damai. Perlu diperhatikan bahwa sikap seperti ini berpotensi hadirnya kesalahan-kesalahan berikutnya, dan kesalahan berikutnya terjadi karena kesalahan sebelumnya. Karena dengan menolak permintaan maaf, akan membuat pesimis sang istri dari kehidupan, suami, dan masa depan. Pada ujungnya akan menyeret pada kesalahan-kesalahan lain. Rasa bangga tidak pada tempatnya sebagian pasangan telah menggoyahkan prinsip kesepahaman. Karena untuk membangun landasan kokoh sebuah keluarga membutuhkan sikap pemaaf dan berjiwa besar." 



Dr. Syarafi dalam analisanya menambahkan, "Berlanjutnya amarah dan ketidakcocokan antara suami-istri sama sekali tidak menguntungkan kedua pihak. Hal ini akan menyulitkan mereka untuk kembali pada kehidupan yang hangat dan ideal. Suami ibu ini dengan tidak memaafkan, pada kenyataannya sedang menunjukkan rasa tidak percaya terhadap istrinya. Pada akhirnya, bagaimana ia akan menanti pemberian maaf dari istrinya suatu hari nanti?" 



Terkadang kita berlebihan dalam melihat sisi positif yang kita miliki dibanding orang lain, dan merasa sangat sedikit kekurangan bahkan lebih sedikit dari yang ada. Hal ini akan mengurangi perhatian kita terhadap sisi-sisi positif orang lain. Masalah ini akan mencederai hubungan sosial terlebih hubungan rumah tangga. Imam Ali as berkata, "Beruntunglah orang-orang yang memperhatikan kekurangannya, dan mencegahnya dari memperhatikan kekurangan orang lain." 



Para psikolog menjelaskan manfaat sikap pemaaf dan toleransi dalam rumah tangga, mereka mengatakan, "Dengan menutup mata terhadap kekurangan pasangan, telah memberi kesempatan kepadanya untuk memperbaiki perilakunya. Saat hempasan kritikan dan celaan menimpa dirinya, segala bentuk keinginan dan keberanian untuk menebus menjadi berkurang. Menutup mata dari kesalahan ringan pasangan berpotensi mewujudkan kesepahaman dalam keluarga. 



Tetapi, pertanyaan penting adalah sampai dimana batasan memaafkan? Terkadang toleransi dan sikap pemaaf dapat menimbulkan masalah. Ali Husein Zadeh seorang pakar masalah pendidikan mengatakan, "Terkadang toleransi berpotensi terhadap meningkatnya perilaku menyimpang. Untuk memberantasi masalah ini, diperlukan strategi dan mukaddimah. Toleransi terhadap perilaku menyimpang adalah kiat yang dapat memberi ketenangan dalam hubungan keluarga. Keberlangsungan hal ini dalam waktu yang lama juga berdampak positif dan berpotensi lahirnya perilaku positif. 



Oleh karena itu untuk sampai pada tujuan-tujuan ini, perlu dipikirkan strateginya. Jangan menunjukkan sikap kasar, rasa tidak senang terhadap perilaku negatif pasangan, dan berusaha agar potensi lahirnya perilaku positif segera terwujud. Dengan menjaga sikap dan perilaku Anda, paling tidak Anda sudah menunjukkan sikap tidak senang terhadap perilakunya yang salah. 



Terkadang toleransi kita terhadap pasangan disertai dengan sikap diam yang pernuh arti, hal ini akan membebani pasangan dan berusaha mengubah perilakunya. Bagaimana pun juga, setiap orang dengan melihat tipe kepribadiannya dan emosional pasangannya, dapat menjadi contoh yang tepat dalam memberantasi segala bentuk kesalahan. Dengan syarat, sikap seperti ini harus berdampak memperkuat perilaku positif pada pasangan Anda. 



Jangan Sebarkan Rahasia!

Keluarga adalah sebuah tatanan dimana seluruh anggotanya memiliki hak dan wewenang tertentu. Menjaga kehormatan dan kedudukan keluarga adalah termasuk bagian dari menjaga hak timbal-balik ini. Jika kehormatan keluarga dijaga oleh aggotanya, maka orang lain dengan sendirinya juga akan turut menjaganya. Salah satu faktor penting yang memperkeruh hubungan keluarga adalah membicarakan rahasia internal keluarga kepada orang lain. Hal penting bagi suami-istri untuk sampai pada kesepahaman adalah tidak membuka rahasia keluarga pada orang lain. Tidak diragukan lagi bahwa membuka rahasia pasangan memiliki dampak buruk. 



Para psikolog berkeyakinan bahwa salah satu ciri manusia sehat adalah mampu menjaga rahasianya baik berupa perkataan atau tingkah laku. Dalam pandangan agama, mereka yang mampu menjaga rahasianya termasuk orang-orang yang beriman. Penelitian menunjukkan, menjaga rahasia dapat menarik kepercayaan orang lain kepada kita, juga mempererat hubungan manusiawi di keluarga dan masyarakat. Mayoritas masyarakat menaruh rasa segan dan kepercayaan terhadap mereka yang bisa menjaga rahasia. Tidak diragukan lagi bahwa kemampuan suami-istri dalam menjaga rahasia keluarga memiliki pengaruh besar pada pasangan dan anak-anak. 



Di antara wejangan moral dalam Islam adalah menjaga rahasia terlebih dalam lingkungan keluarga. Rasul Saw menekankan agar suami-istri menjaga kehormatan dan kepribadian sesama, beliau Saw bersabda: "Tidak dibolehkan membicarakan problema keluarga kepada orang lain". 



Para pakar masalah keluarga berkeyakinan bahwa suami-istri yang memiliki hubungan mental dan emosional yang terbatas, biasanya tidak pernah bertukar pikiran atas masalah yang melilit mereka. Dan sangat jarang terjadi komunikasi di antara mereka. Pada akhirnya, problema keluarga biasanya terseret keluar rumah. Meskipun cara ini tidak rasional, tapi suami-istri tidak melihat jalan lain kecuali membicarakannya kepada orang lain dengan harapan dapat mengurangi tekanan batin mereka. 



Kadang kala, sikap tidak menerima kritikan membangun menyebabkan terbukanya rahasia keluarga di luar rumah. Mengkritik pasangan dengan cara yang benar dan untuk tujuan memperbaiki perilakunya berdampak menghilangkan masalah dalam hubungan keluarga. Akan tetapi, jika salah satu dari pasangan tidak siap mendengar kritikan sehat dan membangun, tentu saja kritikan ini akan terseret ke luar lingkungan keluarga dan akan diperbincangkan dengan orang lain. 



Dr. Syarafi seorang psikolog dari Iran berkenaan menjaga rahasia dalam rumah tangga mengatakan, "Terkadang ada orang menderita akibat lemahnya kerpibadian dan rasa minder. Hal ini akan mendorong mereka merusak karakter orang lain guna menutupi kelemahannya. Oleh sebab itu, mereka siap meskipun harus membuka rahasia orang lain demi menenangkan dirinya. Sangat disayangkan terkadang masalah ini ada dalam keluarga, sebagian suami/istri demi keutuhannya dan merusak karekter pasangan, mereka membuka rahasia kehidupan keluarganya kepada orang lain." 



Dr. Syarafi dalam analisanya memaparkan bentuk lain membuka rahasia keluarga kepada orang lain, ia mengatakan: "Sangat disayangkan, kadang suami/istri meminta anaknya untuk mengawasi ayah/ibu mereka. Sikap seperti ini sama dengan menyemai benih-benih ketidakpercayaan dalam hati putra-putri mereka. Mereka tidak saja menghilangkan rasa percaya dan damai dalam lingkungan keluarga, tapi juga tengah mendidik putra-putri mereka agar dimasa mendatang turut membuka rahasia keluarganya kepada khalayak". 



Kejujuran Fondasi Utama Keluarga 


Salah satu ciri-ciri penting lainnya dalam hubungan keluarga adalah kejujuran, karena kejujuran adalah bekal membangun kepercayaan. Dalam analisa psikologi, kejujuran meliputi tutur kata dan perilaku seseorang yang mencerminkan motivasi dan niatnya. Saat seseorang tidak berkata atau berperilaku jujur, berarti ia berkepribadian ganda dan rentan masalah dalam berinteraksi. Ketidakjujuran suami/istri akan mendorong ranah keluarga pada hilangnya kepercayaan dan berburuk sangka, juga berpeluang terhadap munculnya perselisihan. Oleh sebab itu, ajaran Islam sangat menekankan sifat jujur, jauh dari sifat munafik dan kebohongan. 



Virginia Satir seorang peneliti Amerika yang selama bertahun-tahun aktif sebagai konsultan keluarga. Berkenaan dengan adanya kejujuran antara suami-istri mengatakan, "Demi kemajuan, perkembangan, dan keselamatan hubungan rumah tangga diperlukan hubungan komunikasi dan tingkah laku secara langsung dan jelas. Begitu juga tutur kata dan perilakunya harus mencerminkan niatnya. Keadaan semacam ini akan memberikan peluang bagi anggota keluarga untuk bersikap jujur dan mengatasi masalah dengan baik." 



Tidak diragukan lagi bahwa terdapat banyak faktor untuk melahirkan keluarga ideal dan sukses. Dan kami telah barusaha untuk menyajikan ciri-ciri dominan dan membangun dalam hubungan suami-istri. Dan untuk menyimpulkan kajian ini, kami akan meminta Dr. Afruz seorang psikolog Iran untuk menyebutkan masalah-masalah inti antara suami-istri dalam menjalin hubungan yang sehat. 



Dr. Afruz mengatakan, "Pasangan-pasangan ideal dalam setiap keadaan dan kesempatan, juga dengan menjaga nilai-nilai dan kehormatan, selalu berpikir membangun kepribadiannya dan anggota keluarganya. Pasangan-pasangan ideal sadar bahwa dengan pemenuhan seluruh kebutuhan, khususnya kebutuhan hidup dan jiwa, mereka tengah mempersiapkan terwujudnya kesehatan mental dan ketenangan keluarga. Pasangan ideal dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang, memanfaatkan metode terbaik untuk sebuah kehidupan sukses. 



Mereka juga menjaga jati dirinya dari penyakit lisan dan perilaku. Tutur kata yang santun dan saling menghormati, mereka jadikan alat untuk mencegah penyakit mental dan memberikan warna bagi kehidupan. Akhirnya harus kita akui bahwa pasangan sukses adalah mereka yang merasa tenteram dan damai saat berdekatan. Semakin jauh mereka dari masa menjalin ikatan suci, maka hubungan mereka semakin hangat, mesra, dan penuh gairah." 



Betapa Pentingnya Pendidikan Anak


Kajian kali ini akan kita awali dengan menghadirkan sebuah kisah tentang kehidupan filsuf besar Socrates. Dikisahkan bahwa sebelum Socrates dihukum, mereka bertanya kepadanya, "Apa cita-citamu yang paling besar?" Socrates menjawab, "Cita-citaku yang terbesar adalah berdiri di tempat yang paling tinggi di Athena dan berteriak kepada masyarakat, "Wahai para sahabatku, mengapa kalian menghabiskan detik-detik paling berharga dalam hidup untuk mengumpulkan harta benda dengan rakus, padahal semestinya kalian menghabiskan masa yang berharga itu untuk mendidik anak-anak kalian yang bakal mewarisi kalian." 



Pendidikan anak termasuk hal penting dan senantiasa menjadi perhatian sepanjang sejarah. Dalam al-Quran, Allah Swt lewat berbagai ayat menyinggung masalah pendidikan manusia, juga menjelaskan berbagai kiat yang tepat. Pendidikan anak adalah tugas paling penting yang diemban pertama oleh orang tua dan kemudian oleh para guru dan pendidik lainnya. Tidak diragukan lagi, menempa dan mengubah masyarakat ke arah yang positif dimulai dengan pendidikan anak. Jika anak yang tidak baik terjun ke tengah masyarakat, perilaku buruk mereka lambat laun akan berdampak negatif bagi masyarakat. Umumnya, perilaku buruk dan menyimpang muncul karena pola didik yang salah, atau karena kelalaian dan sikap acuh orang tua terhadap anak. 



Keluarga sebagai basis pendidikan berperan penting dalam mendidik anak, terlebih lagi di tahun-tahun pertama kehidupan mereka. Sebab di masa ini, mereka mulai merangkai pengalaman dan belajar. Keluarga juga lembaga pertama dan terpenting dalam pendidikan. Di sinilah anak-anak mulai mempelajari bermacam cara dalam berinteraksi. Oleh karena itu, keluarga berperan penting dalam membangun moral dan kepribadian anak. Dalam al-Quran surat at-Tahrim ayat 6, Allah Swt berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu." 



Dalam ayat tadi, Allah Swt mengingatkan orang tua yang beriman agar menjaga diri dan anak-anak mereka dari bahaya api neraka. Ini adalah pesan pendidikan kepada semua anggota keluarga. Lalu sebenarnya, apa yang dimaksud dengan pendidikan, dan fase apa saja yang perlu ditempuh? Para pakar ilmu perilaku mengatakan, pendidikan adalah langkah mengaktualkan segala potensi dan bakat. Orang tua sebagai manusia pertama yang terlibat dalam pendidikan anak, perlu menyusun formula pendidikan anak sesuai dengan kebutuhan batin dan fitrahnya. 



Mengetahui kebutuhan dan peluang dalam pendidikan termasuk hal penting dan mendesak. Oleh sebab itu, para psikolog menyarankan agar menghindari sikap terburu-buru dalam mendidik atau sebaliknya melalaikan pendidikan anak. Sebab, kebanyakan perilaku menyimpang lahir dari sikap terburu-buru atau menganggap sepele masalah pendidikan ini. Sifat-sifat mulia manusia ibarat mutiara dalam kerang, jika kerang dipecahkan sebelum waktunya, maka Anda akan mendapati mutiara yang masih belum sempurna. Perkembangan dan pendidikan anak memiliki aturan alamiah, dan harus ditempuh secara bertahap. Kita tidak dapat mempercepat proses ini, atau mengabaikan sebagian darinya. Karena hal ini bertentangan dengan fase alamiah pendidikan. Setiap usaha untuk menemukan jalan pintas karena keterburu-buruan dalam pendidikan justeru akan berdampak negatif dan destruktif. 



Sejak tahun-tahun pertama kehidupannya, anak mulai menemukan semua hal indah dan menyenangkan dalam hidup. Keceriaan dan kesenangan mengalir dalam dirinya layaknya sebuah sungai yang menderu. Hanya karena satu sebab yang kecil, ia tertawa riang dan sangat mudah terpengaruh. Anak memiliki rasa penasaran yang tinggi dan haus pengetahuan. Ia juga merasakan betapa orang tua menaruh perhatian dan luapan kasih sayang kepadanya. Oleh karena itu, ungkapan pendapat dan doktrin-doktrin positif atau negatif masyarakat akan terekam dalam benaknya. Semakin sering mereka mendengar pemikiran positif, maka jalan aktualisasi berbagai potensi dan kecakapan semakin mudah. 



Pertumbuhan ideal dan kesehatan anak sangat bergantung pada interaksi aktif dan komunikatif kedua orang tua dengannya. Berbekal pengetahuan yang cukup tentang dasar-dasar psikologi interaksi dengan anak, akan membantu kita dalam mendidik karakternya menjadi baik. Orang tua akan sangat berpengaruh di hadapan anaknya jika mereka juga punya persepsi positif terhadap sang anak. Dalam ungkapan lain, memandang anak sebagai hadiah dan amanah dari Allah Swt, dan menerima mereka sebagai insan yang potensial tanpa melihat perilaku menyimpang mereka. Pandangan seperti ini memungkinkan anak untuk menunjukkan jati dirinya, juga meluapkan perasaan. Pandangan positif terhadap anak merupakan bekal lahirnya rasa cinta dan kasih sayangnya terhadap kedua orang tua. Keluarga harus menjadi poros cinta, perhatian, dan rasa hormat, karena anak akan menjadikan kedua orang tuanya sebagai teladan lantaran kasih sayang yang ia dapatkan dari mereka. 



Budaya Islam menaruh perhatian besar pada masalah cinta kepada anak, sebab anak adalah rahmat dan anugerah dari Allah Swt. Bahkan Rasul Saw menggolongkan tatapan penuh cinta seorang ayah terhadap anaknya sebagai ibadah. Hal ini menyiratkan tentang pentingnya tanggung jawab kedua orang tua terhadap anak. Dalam melaksanakan tugasnya, orang tua harus menggunakan cara-cara penuh kasih dalam mendidik anak mereka. Imam Shadiq as sangat menekankan hal ini dan berkata, "Semoga Allah Swt merahmati orang yang mencintai anaknya." 



Salah satu cara mengungkapkan perasaan cinta kepada anak adalah bersikap sehati dengan mereka. Sikap sehati bukan berarti bersimpati dan merasa kasihan. Perasaan sehati, adalah usaha untuk memahami perasaan dan sekilas turut merasakan perasaan batin orang lain. Merasa sehati dengan anak menuntut pengertian orang tua terhadap mereka. Ketika anak merasakan pengertian orang tuanya, besar kemungkinan ia akan mengikuti tutur kata mereka. Jelas, jika anak diberi kesempatan untuk mengutarakan kebutuhan dan kekhawatiran emosionalnya, ia juga akan percaya kepada orang tuanya. 



Jadikan Cinta Fondasi Berinteraksi dengan Anak


Seyogyanya keluarga adalah tempat yang menarik dan menyenangkan, sehingga anggotanya dapat menghabiskan saat-saat terindah dalam hidup mereka dengan nuansa hangat dan akrab. Keluarga sebagai lingkungan asri sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan fisik, emosional, dan mental sosial anak. Imam Muhammad Ghazali dalam kitabnya "Kimiya Sa'adat" mengatakan, "Ketahuilah bahwa anak adalah amanah bagi orang tua, dan hati suci mereka laksana mutiara berharga, laksana kanvas yang dapat melukis di atasnya, laksana tanah yang suci dan tumbuh setiap benih yang ditabur di atasnya. Jika yang ditaburkan adalah benih unggul, maka mereka akan sampai pada kebahagiaan dunia-akhirat, di sini orang tua dan guru juga ikut menerima ganjaran. Jika sebaliknya, mereka akan sengsara, dan segala hal yang menimpa mereka, orang tua dan guru juga ikut serta di dalamnya." 



Keluarga berperan penting dalam perkembangan moral anak. Terwujudnya ketenangan dan ketenteraman dalam keluarga, interaksi yang baik antara orang tua dan anak akan menumbuhkan jiwa sosial bagi anak. Hal ini juga akan mengajarkan mereka dalam menjalin hubungan baik dengan khalayak. Bentuk interaksi yang terbina antara orang tua dan anak merupakan pondasi dan modal bagi anak dalam membangun interaksi dengan lingkungannya. Umumnya, baik dan buruknya perilaku seseorang dalam berbagai aspek kehidupan berawal dari dalam keluarga. Jika masih ingat, pada kajian sebelumnya, kami telah menyinggung salah satu landasan psikologis berinteraksi dengan anak, yaitu cinta dan kasih sayang. 



Para psikolog mengatakan, salah satu kebutuhan dasar manusia terlepas dari kebutuhan primernya, adalah kebutuhan akan cinta dan kasih sayang. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka akan berpengaruh pada pemenuhan kebutuhan lain. Seorang anak sangat membutuhkan cinta dan kasih sayang, dan pemenuhan rasional kebutuhan ini merupakan prinsip dan landasan pendidikan terarah. Memperlakukan anak dengan cinta dan kasih sayang berdampak terhadap tumbuhnya ketenangan mental, kenyamanan, dan rasa percaya terhadap diri sendiri dan orang tua. Sebaliknya, ketiadaan cinta dan kasih sayang berdampak hilangnya ketenangan mental, rasa percaya diri, dan berbagai penyimpangan sosial lainnya. 



Poin penting lainnya mengenai cinta dan kasih sayang terhadap anak adalah tidak sebatas cinta dan kasih sayang yang dipendam dalam hati. Sebab, cinta dan kasih sayang akan terasa ketika diwujudkan, usahakan agar anak dapat merasakan cinta dan kasih sayang kita terhadap mereka. Imam Ali as dalam suratnya kepada Imam Hasan as menuliskan, "Aku mendapatkan engkau sebagian bahkan keseluruhan dari diriku, hingga jika sesuatu menimpamu, seakan-akan hal itu menimpaku juga. Dan jika kematian mendatangimu, seakan ia juga datang kepadaku. Untuk itu, aku menulis surat ini sebagai wujud cinta dan kasih sayangku kepadamu." 



Ungkapan kasih sayang merupakan landasan penting dalam menjalin interaksi antara orang tua dan anak. Kondisi emosional kita setiap saat berpengaruh terhadap pemahaman, keputusan, dan bentuk penilaian kita. Ungkapan kasih sayang dan rasa senang orang tua terhadap anak akan menumbuhkan atau menambah keakraban dan hubungan mesra di antara mereka. Pada akhirnya hal ini akan mempererat hubungan orang tua dan anak. Sebagian para psikolog berkeyakinan bahwa perhatian emosional dan mutlak terhadap anak merupakan landasan dalam membangun interaksi dengan mereka. 



Menurut mereka, manusia sejak kecil membutuhkan perhatian emosional yang bersifat mutlak. Biasanya seiring berlalunya waktu, perhatian emosional orang tua sangat bergantung pada hal-hal tertentu. Jika demikian, maka seorang anak akan berasumsi bahwa mereka sedang jauh dari perhatian dan kasih sayang orang tuanya. Para psikolog dan antropolog ketika mempelajari faktor-faktor penyimpangan anak, menyebut beberapa hal, antara lain; kurangnya hubungan mesra dan motivasi orang tua kepada anak. Ketiadaan hal ini termasuk bagian dari emosional negatif. 



Ajaran Islam sangat menekankan pentingnya mengungkapkan cinta, dan kasih sayang, dan rasa senang. Bentuk-bentuk ungkapan itu antara lain; bercengkrama mesra dan hangat, menatap mereka dengan cinta, dan memakai bahasa tubuh seperti; mencium dan membelai mereka. Imam Shadiq as dalam sebuah riwayat berkata, "Barang siapa yang mencium anaknya, maka Allah Swt akan memberi pahala baginya. Dan barang siapa yang menyenangkan anaknya, maka Allah Swt akan menyenangkannya di hari kelak." 



Berinteraksi dan bertukar pikiran dengan orang merupakan bentuk lain hubungan non verbal. Terkadang orang tua atau anak memberi pemahaman kepada orang lain melalui bahasa isyarat, seperti lewat tatapan dan gerakan tubuh. Kadang bahasa isyarat lebih berpengaruh ketimbang bahasa lisan. Mehamami interaksi non verbal sangat penting terlebih saat terlibat aktif dengan anak. Sebab, anak belum mampu memahami seutuhnya retorika dan bahasa lisan. Tidak diragukan lagi, orang tua harus pandai dan lihai memakai bahasa isyarat dalam membangun hubungan baik dan mesra dengan anak. 



Landasan penting lainnya dalam berinteraksi dengan anak adalah memberi kesempatan kepada mereka untuk mengutarakan pendapat dan keinginannya. Ini artinya, kita sebagai orang tua memberi hak untuk berbuat salah kepada mereka. Orang tua harus menjadi pendengar yang baik bagi anaknya, sehingga bisa memberi bantuan dan arahan kepada mereka. Seorang anak sangat ingin merasakan cinta, kasih sayang, dan penghargaan dari orang tuanya, meskipun terkadang perilaku mereka tidak menyenangkan ibu/bapaknya. 



Seorang remaja berusia 17 tahun dalam sebuah konsultasi mengungkapkan perasaan hati terhadap perilaku ayahnya. Remaja itu berkata, "Sebenarnya hal yang memberanikan saya untuk berkomunikasi dengan ayah adalah rasa tidak marahnya, meskipun saya berbeda pendapat dengannya. Hal penting bagi saya adalah ia mendengar dan menyimak semua keluhan saya." 



Seorang pakar masalah keluarga, Ali Yasin memberi pesan kepada para orang tua, "Sebelum putra-putri Anda punya kesiapan untuk mendengarkan ucapan kalian, usahakan agar mereka merasa ucapannya didengar oleh kalian. Dan sebelum mereka mengutarakan pendapat, perasaan, dan keluhannya, putra-putri Anda sudah berkesimpulan bahwa Anda mengerti mereka. Keluh kesah mereka harus Anda jadikan sebagai peluang untuk menghangatkan hubungan." 



Tentu saja, usaha orang tua dan para pendidik dalam memenuhi kebutuhan spiritual dan material anaknya berpengaruh positif bagi kepribadian mereka. Seorang anak punya hak untuk mendapatkan paket program lengkap dalam bidang pendidikan. 



Dr. Gholam Ali Afruz seorang psikolog Iran mengatakan, "Dalam lingkungan keluarga, seorang anak punya hak untuk mendapatkan kasih sayang dan berbagai macam bentuk keceriaan. Rasul Saw bersabda, "Seorang anak pada tujuh tahun pertama punya kesiapan untuk menerima kasih sayang, dan pada tujuh tahun kedua mereka punya kesiapan untuk menerima pendidikan, dan pada tujuh tahun ketiga mereka punya kesiapan untuk dilibatkan dalam musyawarah. 



Seorang anak mulai punya kesiapan untuk menerima kasih sayang saat basis kepribadian mereka mulai dibangun, anak-anak sangat ingin melewati masa ini dengan penuh keceriaan. Seorang anak juga memiliki hak untuk dihargai dan dihormati kepribadiannya, mereka sangat ingin dihormati dan menjadi pusat perhatian khalayak. Oleh sebab itu, menghormati kepribadian anak merupakan salah satu tugas penting kedua orang tua." 



Asah Tingkat Kepekaan dan Emosi Anak!


Anak-anak adalah hadiah dari Allah Swt, mereka terlahir ke dunia dengan fitrah yang bersih. Karena mereka terlahir dengan fitrah yang bersih, tugas orang tua dan para pendidik untuk membimbing mereka dengan benar agar terhindar dari penyimpangan. Sebelumnya telah kami singgung bahwa sikap lembut dan ramah dengan anak berpengaruh penting bagi pendidikan dan perkembangan segala potensi mereka. Anak-anak dalam berbagai usia membutuhkan perhatian dan penghargaan dari orang sekitarnya, oleh sebab itu, orang tua dengan teliti harus memenuhi kebutuhan mereka. Anak-anak sangat mudah tersinggung dengan perilaku yang tidak dipertimbangkan secara matang, hal ini karena jiwa lembut dan perasaan sensitif mereka. 



Oleh karena itu, orang tua harus menjauhi segala bentuk pengkerdilan, penghinaan, atau membuka borok mereka di tempat umum. Dikisahkan, suatu hari seorang pria menyebut-nyebut sikap buruk anaknya di hadapan Rasul Saw, Rasul Saw tidak senang mendengar hal ini, kemudia beliau Saw bersabda, "Anakmu adalah laksana anak panah yang engkau miliki." Maksudnya, anakmu adalah investasi dan tabungan masa depanmu, menghina kepribadian mereka sama artinya engkau mengucilkan dirimu sendiri, dan melecehkan seorang individu yang akan menjadi penolongmu di masa depan. Rasul Saw dalam sebuah hadis bersabda: "Hormatilah anak-anakmu, hingga engkau memperoleh pengampunan dari Allah". 



Salah satu ajaran dalam Islam adalah memperlakukan anak-anak dengan kasih sayang dan memceriakan mereka. Hal-hal yang dapat menggembirakan anak-anak antara lain; bermain bersama mereka, membeli pakaian yang sesuai untuk mereka, memberi hadiah, atau bercerita untuk mereka saat beranjak tidur. Dalam perspektif Islam, tanggungjawab orang tua tidak terbatas pada mengatur kehidupan materi anak atau memenuhi kebutuhan fisik mereka saja, tapi juga memenuhi kebutuhan emosional, mental, dan juga memperhatikan dimensi pendidikan mereka. Tugas dan tanggungjawab orang tua terhadap anak sangat berat, sampai Imam Sajjad as meminta bantuan kepada Allah Swt agar membantunya dalam menjalankan tugas ini. 



Imam Sajjad as berkata, "Ya Allah! Bantulah aku dalam mendidik mereka (anak-anakku)." Jika orang tua dapat membina hubungan baik dengan anaknya sejak usia kecil, tentunya orang tua akan berhasil dalam memenuhi kebutuhan emosional dan mental mereka. Dan tidak diragukan lagi, hal ini akan mendorong terjalinnya hubungan baik antara orang tua dan anak pada masa remaja dan muda mereka. 



Sebagaimana tugas dan tanggungjawab orang tua adalah mengembangkan potensi anak, Islam sangat mendukung setiap langkah positif untuk tujuan ini, dan meminta orang tua mewujudkan peluang pengembangan potensi ini. Di antara hal yang dapat mengembangkan potensi anak adalah bermain dan memakai alat-alat mainan. Di samping itu juga memberi kesempatan kepada anak, karena hal ini akan menguatkan karekter fisik, emosional, sosial, dan moralnya. 



Fenomena kejiwaaan, sosial, dan kehidupan yang bernama "mainan" sebagai alat menghibur atau melenturkan otot sudah ada sejak dulu hingga sekarang dalam kehidupan manusia terlebih anak-anak. Menurut keyakinan para psikolog dan antropolog, bermain dan alat-alat mainan berpengaruh besar terhadap kejiwaan dan karakter anak. Anak-anak dan remaja mempelajari berbagai peran sosial lewat mainan. Lewat jalan ini pula, mereka mengenal teladan, norma-norma budaya dan sosial masyarakat. 



Berdasarkan penelitian psikologis yang dilakukan oleh para psikolog seperti Jean Piaget mengatakan, anak menambah pengetahuannya ketika sedang bermain dan pengetahuan tersebut berpengaruh terhadap perkembangan wawasan dan emosionalnya. Permainan merupakan metode dasar mengajari anak-anak. Oleh sebab itu, melalui perencanaan sebelumnya, permainan dapat menjadi sarana untuk mempelajari berbagai macam disiplin ilmu, keahlian dalam bidang sosial, dan prinsip-prinsip moral. 



Permainan adalah kebutuhan alamiah bagi seorang anak, tanpa memperhatikan hal ini, seorang anak tidak akan memiliki perkembangan yang baik. Permainan berpengaruh penting terhadap perkembabangan berbagai potensi dan keahlian anak, lewat cara ini, anak juga dapat memenuhi sederetan kebutuhan dasarnya. Anak-anak yang penuh semangat dan energik perlu menyalurkan stamina dan energi ini dalam sebuah bentuk kegiatan. Jika di dalam ranah kehidupan anak tidak terdapat sarana untuk menyalurkan stamina dan energi ini, maka akan terjadi kegelisahan dan penyimpangan terhadap norma-norma dalam diri anak. Akan tetapi, jika stamina dan energi ini digunakan semestinya, maka dalam diri anak seperti sebuah generator aktif yang sedang memproduksi kembali stamina dan energi. Dan hal ini akan berdampak pada berkembangnya tingkat kreatifitas anak. 



Permainan adalah sarana terbaik dalam mengasah tingkat kepekaan dan emosional anak. Sambil bermain, seorang anak akan mempelajari cara meluapkan, mengontrol, dan memenuhi perasaan emosional. Anak-anak yang aktif bermain secara berkelompok akan terlihat rasa kekompakan dan kebersamaan yang luar biasa di tengah mereka. Dari segi fisik, permainan juga dapat menyelaraskan anggota badan dan otot. Anak yang aktif bermain juga akan tampak gembira dan riang, mereka juga lebih siap menghadapi tantangan hidup. Anak-anak akan punya perasaan lebih baik terhadap orang-orang yang menyediakan saranan permainan bagi mereka. Dan jika orang tua menyiapkan segala sarana hiburan dan kenyamanan bagi anak, maka mereka akan lebih merasa tenang dan nyaman. 



Membiarkan anak bermain secara bebas termasuk masalah yang diterima oleh Islam dan ilmu psikologi. Akan tetapi kebebasan ini bukan berarti tanpa aturan. Sebab, permainan dan hiburan bagi anak harus terencana dan terprogram dengan baik. Terkadang, intervensi orang dewasa dalam dunia anak-anak telah menyebabkan rasa tidak nyaman bagi mereka. Memaksakan permainan tertentu bagi anak, akan menjadikannya sebagai orang yang tidak percaya diri dan selalu tergantung pada orang lain di masa yang akan datang. 



Rasul Saw bersabda, "Biarkan anak-anak kalian bermain dengan bebas hingga berusia tujuh tahun." Rasul Saw bahkan mendorong anak-anak pada usia di atas tujuh tahun untuk bermain. Sekarang, pada psikolog memaparkan bahwa permainan secara mengejutkan berpengaruh penting terhadap perkembangan fisik dan IQ anak, juga terhadap pembentukan karakternya. Menurut perspektif mayoritas psikolog, dasar dan landasan karakter orang dewasa berhubungan erat dengan permainan di masa kecilnya. 



Imam Muhammad Ghazali berkata, "Bermain tidak terbatas pada masa kecil, tapi di masa remaja setelah belajar, juga bisa bermain, hingga rasa lelah saat belajar hilang. Mewajibkan anak untuk belajar secara terus-menarus akan menyebabkan menurunnya daya pikir mereka. Oleh sebab itu, anak-anak enggan untuk belajar". Para psikolog berkeyakinan bahwa melarang anak dari bermain akan berdampak terganggunya pertumbuhan, musnahnya naluri, dan munculnya berbagai penyakit jiwa. Akan tetapi sebagaimana yang pernah kami katakan, permainan anak juga harus proposional dan sesuai dengan usia mereka. 



Hal penting ketika bermain dan bergaul dengan anak adalah mensejajarkan diri dengan mereka hingga mereka lebih mengerti kita. Dalam sejarah Rasul Saw kita juga bisa melihat bahwa beliau sangat akrab dengan anak kecil bahkan ikut bermain bersama mereka. Rasul Saw sangat ramah dan rendah diri, setiap kali anak-anak melihat beliau, mereka tidak akan membiarkan beliau melintas begitu saja kecuali bersedia bermain beberapa saat dengan mereka. 



Kita akan mengakhiri kajian kali ini dengan membawakan sebuah kisah tentang perilaku lembut Rasul Saw dengan anak kecil. 



Suatu hari ketika Rasul Saw berangkat ke masjid, di tengah jalan, beliau bertemu dengan sekelompok anak kecil yang sedang asyik bermain. Ketika anak-anak melihat beliau, mereka langsung mengerumuninya dan sambil merengek meminta Rasul Saw untuk ikut bermain bersama mereka. Dari satu sisi, Rasul Saw tidak ingin menyakiti mereka, di sisi lain, beliau juga harus segera menuju ke masjid untuk menunaikan shalat. Akhirnya beliau Saw memutuskan untuk bermain bersama anak kecil dalam beberapa menit guna membersarkan hati mereka. Saat itu, Bilal bin Rabbah keluar dari masjid untuk mencari Rasul, tatkala sang Bilal melihat Rasul ada di tengah anak kecil, akhirnya ia pun memahami sebab keterlambatan Rasul. Bilal bermaksud memarahi mereka, tapi Rasul melarang Bilal untuk melakukan hal itu. Rasul Saw bersabda kepada Bilal, "Pergilah ke rumah dan bawalah korma dan walnut kepada anak-anak ini. Bilal pun berbuat demikian. Bilal membagikan korma dan walnut kepada anak-anak hingga mereka gembira dan Rasul pun bisa meninggalkan mereka dan berangkat ke masjid". 




Mendidik Anak Perlu Keselarasan Ucapan dan Perilaku


Sebelumnya kita telah mengulas seputar metode tepat menjalin interaksi dengan anak. Dan tentang pentingnya mencintai mereka. Sebab syarat utama dalam menjalin interaksi adalah mencintai mereka. Kecintaan terhadap anak akan mempermudah dalam mendidik dengan benar. Mengingat tanggung jawab orang tua sangat besar dalam memilih metode pendidikan anak, serta peran mereka dalam membimbing jiwa dan raga anak. Maka pada kesempatan kali ini, kita akan menyimak seputar metode medidik anak. 



Jika pertanyaan seperti ini diajukan kepada Anda, putra-putri Anda mempelajari dan meniru sesuatu lewat indera penglihat atau pendengar? Bagaimana Anda akan menjawabnya? Para psikolog setelah melakukan riset dan penelitian mengatakan, penglihatan lebih mendominasi anak-anak dalam mempelajari dan meniru sesuatu dari pada pendengaran mereka. Kenyataan ini memiliki beberapa poin penting menyangkut pendidikan anak. 



Poin pertama, kita harus berusaha untuk menyelaraskan antara ucapan dan perilaku, dan keselarasan ini harus terlihat dalam jati diri kita. Hal ini akan mendatangkan rasa percaya anak terhadap orang tua. Sebelum masalah lain, sikap dan tingkah laku kita harus sesuai dengan apa yang kita ucapkan. Para pakar telah melakukan berbagai penelitian menyangkut metode pendidikan, dan mereka telah mengkaji serta mengklasifikasikan metode ini. 



Kita menyaksikan beragam metode yang diterapkan orang tua dalam mendidik anaknya. sebagian keluarga menerapkan metode ekstra ketat dalam mendidik putra-putri mereka, sebagian yang lain, menerapkan metode tidak ketat dan lebih memilih jalan toleransi, sementara kelompok lain, menggunakan metode yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan putra-putri mereka, tidak begitu ketat serta tidak meremehkan. Setelah kita mengenal tiga metode yang berbeda dalam mendidik anak, saatnya kita membahas kelebihan dan kekurangan masing-masing metode tadi. 



Dalam sebuah keluarga dengan pola pendidian ekstra ketat, metode pendidikan keluarga mengikuti landasan dan pranata yang ketat dan tidak bisa ditolerir. Dalam keluarga seperti ini, seseorang berperan sebagai pemimpin dan pembuat aturan dalam keluarga. Peran ini biasanya berada di pundak sang ayah atau terkadang ibu. Dalam keluarga ini, anak-anak tidak mendapatkan semua hak-haknya, semua pranata dalam keluarga ditentukan oleh orang tua berdasarkan pertimbangan mereka sendiri tanpa melibatkan sang anak. 



Seorang peneliti dari Jerman, Huffman setelah melakukan penelitian mengenai keluarga dengan pola pendidikan ekstra ketat, mengatakan, "Anak-anak yang dibesarkan dalam sebuah keluarga dengan pola pendidikan ekstra ketat, biasanya mereka menjadi anak yang taat dan patuh. Tapi dalam banyak kasus, perilaku anak-anak ini sangat agresif. Mereka juga tidak begitu disukai oleh teman-teman sepermainannya, dikarenakan mereka tidak menghormati hak-hak lawan mainnya. Anak-anak dalam keluarga seperti ini biasanya bersikap apatis terhadap kritikan orang lain, dan cenderung emosional." 



Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga dengan pola pendidikan ekstra ketat biasanya tidak ambil bagian dalam kerja kelompok. Anak-anak ini biasanya tidak mandiri, kurang percaya diri, dan juga tidak kreatif. Seorang psikolog dari Iran, Syuari Nejad mengatakan, "Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga dengan pola pendidikan ekstra ketat sekilas terlihat taat dan patuh kepada kedua orang tua, tapi pada kenyataannya mereka diliputi rasa waswas dan tidak tenang. Secara tidak sadar, mereka menganggap orang tuanya sama dengan orang yang sebaya dengannya, dan bersifat emosional saat berinteraksi dengan orang lain. Mereka akan menyakiti adik permainannya atau bahkan teman-teman yang sebaya dengannya." Para ahli ilmu perilaku mengatakan: "Pola pendidikan ekstra ketat dalam waktu yang lama akan berdampak negatif bagi anak-anak, dan anak laki-laki lebih merasakan dampak negatif ini daripada anak perempuan." 



Sementara itu, keluarga yang menerapkan metode pendidikan tidak ketat dan lebih memilih jalan toleransi, memberi keleluasaan kepada putra-putrinya untuk memenuhi dan menyalurkan semua kebutuhan dan keinginan mereka. Dalam keluarga seperti ini, setiap individu diberi kebebasan dalam menyalurkan setiap keinginannya, dan orang lain tidak punya hak untuk ikut campur di dalamnya. Para pendukung metode ini berkeyakinan bahwa keinginan-keinginan seorang anak akan mendominasi dan mendasari perilaku mereka. Karena mencabut kebebasan dari seorang anak akan berdampak pada lahirnya gangguan kejiwaan dan depresi. 



Menurut analisa kelompok ini, setiap keinginan adalah cerminan kebutuhan internal seseorang yang harus dipenuhi dan disalurkan pada waktunya. Lebih jauh para penggiat metode ini mengatakan, hasrat dan keinginan seorang anak merupakan indikasi serta petunjuk terbaik untuk menjamin keselamatan jiwa dan raga mereka. Dalam keluarga yang menerapkan pola pendidikan tidak ketat, anak-anak tidak diajarkan bentuk perilaku sosial. Campur tangan orang tua dalam kegiatan anak-anak sama sekali tidak berarti, dan semua anggota keluarga bisa melakukan segala hal yang mereka kehendaki. 



Tentu saja, metode pendidikan anak dengan model ini juga memiliki berbagai dampak negatif dan kekurangan. Para pakar ilmu perilaku mengatakan, sikap toleransi orang tua dan kebebasan yang diperoleh oleh anak akan berdampak pada kekacauan dalam hubungan keluarga. Individu yang mengikuti segala keinginan dan hasratnya, umumnya mereka berada di alam khayalan dan jauh dari realita kehidupan. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga ini tidak memiliki pranata dan tujuan dalam hidupnya, mereka juga tidak merasa bertanggung jawab terhadap orang lain. 



Oleh sebab itu, mereka tidak memiliki kemampuan membangun hubungan baik dengan orang lain. Meskipun anak-anak dalam keluarga ini memiliki kebebasan berfikir dan berkreasi, akan tetapi karena tidak memiliki pranata yang jelas, mereka dirundungi sejenis gangguan mental. Gangguan ini akan berdampak pada lahirnya berbagai penyimpangan perilaku dalam membangun interaksi, baik yang bersifat sosial atau individual. 



Saat anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga ini dilengkapi dengan berbagai sarana untuk menyalurkan keinginannya, maka mereka semakin tidak memahami arti pengorbanan dan kerja keras. Akhirnya, mereka menganggap dirinya sebagai orang-orang yang lemah, dan tidak berani menghadapi tantangan. Para psikolog mengatakan, anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga ini memiliki kelemahan pendidikan moral. Hal ini akan memicu lahirnya berbagai penyimpangan dan tindakan kriminal. 



Setelah kita mengkaji dua metode pendidikan yang berbeda jauh, saatnya kita mengulas metode lainnya, sebuah metode yang dilegalisir oleh Islam, yaitu sebuah metode yang lebih rasional dan ideal dalam bidang pendidikan anak. Keluarga yang menerapkan metode rasional dan ideal, membangun model pendidikan putra-putri mereka di atas landasan yang benar. Orang tua baik langsung atau tidak, senantiasa mengawasi dan mengontrol perilaku anak-anak mereka. Hal ini bukan berarti mencabut kebebasan berfikir dan berkreasi anak. Insya Allah, pada pertemuan yang akan datang, kita akan mengulas lebih jauh tentang metode ini. 



Jangan Ciptakan Kontradiksi Antara Perkataan dan Perbuatan!


Sebagaimana yang telah disinggung pada kajian sebelumnya, bahwa seorang anak mempelajari sesuatu lewat indera penglihatan. Dalam sebuah keluarga ideal, kedua orang tua selalu mendidik anaknya selangkah lebih maju. Dalam keluarga ini, perilaku dan tindak-tanduk orang tua merupakan cerminan ucapannya, mereka mengamalkan apa yang pernah diucapkan. Saat ucapan orang tua bertolak belakang dengan perilakunya, maka mereka tidak mungkin untuk tampil sebagai teladan bagi anak-anaknya. Para psikolog menamakan gejala ini sebagai "kontradiksi antara perkataan dan perilaku." Kesesuaian antara ucapan dan perilaku merupakan landasan penting dalam bidang pendidikan, dan Islam sendiri sangat menekankan masalah ini. Dalam surah as-Shaff ayat 2, Allah Swt berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?" 



Dalam perspektif psikologis, seorang anak membutuhkan teladan dan contoh yang bisa dijadikan pegangan. Perkataan dan ucapan orang tua akan di dengar oleh sang anak, ketika mereka tampil sebagai teladan bagi putra-putrinya. Hal penting lainnya yang perlu diketahui oleh orang tua adalah letak perbedaan antara dunia anak-anak dengan lingkungan orang dewasa. Perbedaan ini dapat ditinjau dari dua segi, yaitu kualitas dan kuantitas. 



Dalam keluarga ideal, orang tua menaruh perhatian penuh terhadap kapasitas dan kemampuan anak-anaknya, demikian juga dengan pemenuhan kasih sayang. Tuntutan dan harapan orang tua juga sengat bergantung dengan kapasitas serta kemampuan sang anak. Sebab dalam metode pendidikan rasional dan ideal, kesesuain antara tuntutan orang tua dan kemampuan anak mendapat perhatian khusus. Begitu juga sebaliknya, seorang anak akan menghadapi kondisi yang tidak menyenangkan saat tuntutan orang tua melebihi kapasitas dan kemampuan mereka. Rasul Saw bersabda, "Allah Swt akan merahmati orang tua yang tidak menuntut putra-putrinya di luar kapasitas dan kemampuan mereka." 



Dalam metode pendidikan ideal, seorang anak dibesarkan dengan pola pendidikan yang membuat mereka merasa tenang dan nyaman. Anak-anak juga didorong ke arah kemandirian dan kebebasan berfikir. Meskipun demikian, orang tua tetap mengawasi dan membatasi tindak-tanduk mereka, baik secara langsung ataupun tidak. Dalam keluarga seperti ini, komunikasi dan kebebasan mengemukakan pendapat selalu terjalin antara orang tua dan anaknya. 



Mereka membangun interaksi di atas landasan yang hangat dan akrab. Dan keakraban ini diekspresikan dalam bentuk yang logis dan rasional. Dalam metode pendidikan ideal, setiap anggota keluarga berdasarkan kapasitas dan kemampuannya, terlibat aktif dalam menentukan langkah serta usaha untuk mewujudkan hal-hal yang menjadi tujuan keluarga. Ketika semua anggota keluarga terlibat dalam menentukan tujuan dan arah keluarga, tentunya semua akan berusaha mewujudkan tujuan tersebut dengan penuh semangat dan antusias. 



Adapun kriteria lain keluarga ideal adalah kedisiplinan yang disertai oleh kemandirian berperilaku. Perintah dan larangan orang tua dalam keluarga ini selalu didasari oleh alasan dan argumentasi. Mereka senantiasa memberi penjelasan dan pemahaman kepada putra-putrinya. Dan jika putra-putri mereka melanggar pranata hukum, maka orang tua akan menindaknya sesuai dengan pranata keluarga. Tindakan preventif orang tua adalah berupaya memberi pengertian dan pemahaman kepada anaknya tentang dampak negatif perilaku menyimpang, dan mereka juga didorong untuk memanajemen tindak tanduknya. Dengan metode ini, kedisiplinan dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat dapat ditegakkan oleh anak itu sendiri tanpa perlu campur tangan orang lain. 



Ciri lain keluarga ini adalah pola hidup mereka didasari oleh musyawarah, rasionalitas, dan maslahat. Islam juga sangat mengedepankan musyarawah dalam berbagai dimensi kehidupan. Bahkan dalam beberapa ayat, Allah Swt menganjurkan kaum muslim untuk selalu bermusyawarah dalam menyelesaikan berbagai polemik. Musyawarah disamping dapat menambah pemahaman dan kekompakkan, juga dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan wibawa bagi anak-anak. Metode pendidikan ideal bukan berarti memasung kebebasan, atau menawarkan kebebasan mutlak. 



Akan tetapi, hubungan antara orang tua dan anak didasari pada kebebasan relatif dan berimbang, juga memberi kesempatan yang cukup bagi anak untuk mengemukakan pendapat dan pandangannya. Metode ini mendorong anak-anak untuk selalu bermusyawarah dengan orang tuanya dalam berbagai masalah, serta memberanikan mereka untuk mengutarakan pendapatnya dengan tetap menjaga sikap hormat dan tata krama. Tentu saja kebebasan mengemukakan pendapat yang diperoleh anak-anak, akan memberikan ketentraman jiwa bagi mereka. 



Seorang psikolog berkebangsaan Iran telah memaparkan panjang lebar tentang dampak-dampak metode pendidikan ideal. Shavari mengatakan, "Penghormatan orang tua kepada putra-putrinya, akan membantu tumbuhnya jiwa kemandirian, rasa percaya diri, serta kematangan jati diri pada anak-anak. Dengan cara ini, anak-anak juga akan disenangi oleh teman-teman sebayanya. Berdasarkan penelitian sosiopsikologi, jika seorang individu pada masa kecilnya diberi kebebasan berimbang dan hak untuk mengutarakan pendapatnya, maka pada usia dewasa, ia lebih berpeluang untuk menjadi pemimpin sukses atau bahkan tokoh berpengaruh. Ketika seorang anak tumbuh dalam lingkungan keluarga yang penuh kasih sayang, maka ia tidak akan mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan baik dengan lingkungan sekitar. 



Mereka mampu berkerja sama serta menyamakan visinya dengan rekan-rekan sekelasnya. Di samping itu, mereka juga akan menghormati teman-temanya, bahkan siap mendengarkan pendapat dan ide lawan bicaranya. Anak-anak seperti ini sama sekali tidak akan mengusik ketenangan orang lain. Dalam lingkup metode pendidikan ideal, kapasitas dan potensi anak tidak akan tersia-siakan, tapi akan di arahkan demi meraih tujuan tertentu. Kedua orang tua juga dapat mengarahkan putra-putri mereka untuk mengembangkan segala potensi dan ke bakat ke arah penyempurnaan. Umumnya anak-anak dalam keluarga ini hidup mandiri dan sukses.[] 



Daftar Isi 

Agama dan Keluarga Yang Sehat1

Pengantar2

Keutuhan Institusi Keluarga 6

Cinta Saja Tak Cukup 17

Perlu Mendekatkan Persepsi22

Suami dan Isteri Saling Menyempurnakan 26

Kasih Sayang dan Ungkapan Cinta Harus Ditanamkan 31

Berpikir Positif, Jangan Cari Kekurangan!35

Mulai Kesepahaman dengan Menjadi Pendengar yang Baik 40

Enyahkan Tuntutan Irasional dari Pasanganmu!46

Menjadikan Kebenaran Sebagai Paramenter49

Saatnya Berjiwa Besar51

Jangan Sebarkan Rahasia!55

Kejujuran Fondasi Utama Keluarga 58

Betapa Pentingnya Pendidikan Anak 60

Jadikan Cinta Fondasi Berinteraksi dengan Anak 64

Asah Tingkat Kepekaan dan Emosi Anak!69

Mendidik Anak Perlu Keselarasan Ucapan dan Perilaku 75

Jangan Ciptakan Kontradiksi Antara Perkataan dan Perbuatan!80

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

50 Pelajaran Akhlak Untuk Kehidupan

ilustrasi hiasan : akhlak-akhlak terpuji ada pada para nabi dan imam ma'sum, bila berkuasa mereka tidak menindas, memaafkan...