Pengarang : Khamenei, Sayid Muhammad
Penerjemah : Quito R. Motinggo
Penerbit : Al-Huda
Tentang Penulis
Sayyid Muhammad Khamenei dilahirkan di kota suci Masyhad di provinsi Khurasan, pada 1936. Beliau menerima pendidikan dasar dan menengahnya di kota ini dan, di saat yang sarna, ia menguasai literatur Persia, Arab, fiqih (yurisprudensi atau hukum Islam), logika, dan filsafat. Meneruskan studi lanjutannya, ia pergi ke pusat agama Qum (dekat Teheran, ibukota Iran) dan menghabiskan sembilan tahun lebih untuk meradukan penguasaannya atas hukum-hukum Islam,. filsafat, dan mistisisme Islam (irfan). Ia menyelesaikan studi-studi fiqihnya terutama di bawah bimbingan Ayatullah Khomeini dan kajian-kajian filsafatnya di bawah bimbingan filosof masyhur, Allamah Thabathaba’i.
Ia memilih Teheran sebagai pusat bagi pelayanan kultural dan ilmiahnya dan meneruskan studi hukum di Fakultas Hukum Universitas Teheran. Kemudian ia menjadi pengacara. Setelah kemenangan Revolusi Islam 1979, ia terpilih sebagai anggota Dewan Pakar dalam Konstitusi selama satu periode (delapan tahun). Selama waktu ini, ia mengajar di berbagai universitas, dan karena keyakinan mendalamnya pada peranan menentukan dari referendum umum perempuan di masyarakat dan keluarga, ia mencoba menerbitkan pandangan-pandangan Islam dalam hal ini berikut hak-hak mereka dalam pidato-pidato, artikel-artikel, wawancara, program radio, dan buku-bukunya. Pada kenyataannya buku ini ditulis sebagai suatu makalah untuk disajikan di konferensi internasional di Teheran.
Ia percaya/bahwa nilai sosial yang nyata dan hak-hak alami wanita di dunia masih tidak jelas, dan bahwa perempuan Barat lebih tidak menyadari akan nilai ini ketimbang wanita Muslim. Ia berusaha memerikan dan memperluas pandangan-pandangan Islam menyangkut sentralitas peran perempuan dan signifikansinya secara filosofis, hukum, dan sosiologis.
Buku ini merupakan tinjauan ringkas pandangan Islam tentang hak-hak wanita. Menurut ajaran Islam, memahami arti penting hak-hak ini, menjadikan mereka sadar akan masyarakat, dan memberikan perhatian pada nilai nyata peran perempuan di masyarakat akan menciptakan kedamaian, kebahagiaan, dan kesejahteraan dalam kehidupan di semua orang.
Pendahuluan
Untuk mempelajari hak-hak asasi manusia (HAM) tentang wanita secara komparatif dalam Islam dan dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia, secara singkat kita harus meninjau latar belakang sejarah dan perkembangan undang-undang yang menyinggung hak-hak asasi manusia terlebih dahulu
Penulis percaya bahwa pendiri sejati pertama hak-hak asasi manusia adalah para nabi dan agama-agama Ilahi dan bahwa persepsi manusia serta berbagai upaya mereka untuk memperkenalkan atau membangun hak-hak ini di masa lalu, baik secara sadar ataupun tidak, diambil dari budaya agama- agama tersebut.
Di sepanjang sejarah budaya dan peradaban manusia yang panjang, usaha-usaha semacam ini kebanyakan dibuat oleh para penguasa dan raja-raja yang dimotivasi tidak dengan motivasi-motivasi yang mulia. Akibat dari usaha-usaha ini, bersama dengan hak-hak untuk kelas-kelas sosial pilihan, undang-undang dibuat untuk publik dan kadang-kadang disebutkan juga ada beberapa hak-hak asasi yang dibuat untuk orang awam.
Beberapa di antaranya menyinggung nama Hamurabi sebagai orang pertama yang mengusahakan bidang ini. Ia adalah penguasa Babilonia sekitar 2000 SM. Yang lainnya menyebutkan bahwa perintah ini diusulkan oleh Kurush (Cyrus), sebagai pelopor pertama deklarasi hak-hak asasi manusia. Ia adalah raja Iran dan penakluk Babilonia, yang memimpin pembebasan kaum Yahudi dan tawanan lainnya sekitar 1500 tahun kemudian.
Sejarah mengungkapkan juga usaha-usaha kecil lainnya setelah usaha-usaha yang dibuat oleh para politisi dan sarjana, misalnya di Yunani dan Roma. Berbagai upaya ini kebanyakan dibuat dalam bentuk akademis, pidato-pidato dan tulisan-tulisan, yang kemudian terbukti tidak ada faedahnya bagi manusia.
Langkah terakhir yang diambil dalam persoalan. ini adalah kesepakatan dan proklamasi Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada 10 Desember 1948. PBB memandang deklarasi ini sebagai prestasi terakhir umat manusia untuk menjaga dan melindungi hak-hak sejati dan inheren publik umum.
Pada tahap ini sebaiknya menggarisbawahi dua pokok penting:
Pertama, sumber utama sejarah dari deklarasi ini tetap terabaikan, baik disengaja maupun tidak, dan perhatian atas pengaruh alami dan budaya Islam padanya juga tidak diberikan.
Tentu saja, selama revolusi di Prancis, Inggris dan gerakan-gerakan lainnya di Barat dan juga gerakan-gerakan lainnya di berbagai belahan dunia lain, seseorang bisa menemukan berbagai macam faktor politik, ekonomi dan budaya yang meliputi ketidakadilan oleh para penguasa di Zaman Pertengahan, arogansi kaum gereja, kemelaratan umat, klasifikasi-klasifikasi kelas yang bersifat menindas dan sebagainya. Meskipun demikian, keakraban dan kerajaan identitas manusia, berbagai pengaruh yang ditimbulkan oleh pemikiran dan gagasan para filosof, pengacara, dan bahkan para pemimpin dunia, menjadi asal-muasal terjadinya revolusi dan pembuatan undang-undang yang adil untuk kepentingan mayoritas umat manusia yang berasal dari ajaran-ajaran murni agama-agama samawi, khususnya Islam.
Bukti dari keterkaitan budaya ini, yang merupakan tugas yang perlu dan merdeka, tidaklah sulit ditemukan. Karya- karya para penulis Barat secara tegas dan lengkap berurusan dengan masalah ini. Di sini cukup saja menyebutkan sebuah pernyataan Dozi, seorang orientalis Belanda di dalam bukunya History of Spanish Muslims. Beliau menyatakan, “’Slogan kebebasan, persamaan, persaudaraan’ dalam revolusi Prancis dicontek dari kaum Muslim Andalusia.”
Telaah sejarah budaya Barat dari periode Charlemagne sampai Eropa modern secara jelas mengungkapkan pengaruh budaya Islam ini pada budaya Eropa modern. Para pemikir seperti Thomas Aquinas, yang filsafat dan ilmu pengetahuan mereka diilhami oleh Timur Islam, adalah contoh bagus tentang pengaruh budaya ini. Oleh karena itu, tidaklah heran bahwa deklarasi revolusi Prancis pada abad 18, karya-karya para pengacara dan filosof Eropa, tennasuk Rousseau, Voltaire dan Montesque dipengaruhi oleh Deklarasi Islam Hak-hak Asasi Manusia, yang kemudian mengarah kepada pengolahan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia oleh PBB sekitar dua abad kemudian.
Harus dicatat bahwa “Deklarasi Hamurabi” juga terjadi sekitar 200 tahun setelah misi kenabian Nabi Ibrahim as dan setelah itu penyebaran budaya Ilahi hak-hak asasi dan persamaan manusia. Tidaklah mungkin budaya yang ada itu tidak mempengaruhinya.
Kelemahan-kelemahan Pandangan Dunia yang Menguasai Deklarasi PBB
Pokok kedua adalah kelemahan-kelemahan Deklarasi PBB dan pandangan dunia yang menguasainya. Ada berbagai pokok yang lemah dan kurang di dalam deklarasi ini, yang berakar dari lemahnya pandangan dunia orang-orang yang mengolahnya.
Kelemahan pertama adalah kurang formal, artinya ia tidak lebih dari sebuah deklarasi dan hanya mengandung beberapa nasihat. Ia tidak diproteksi oleh sangsi-sangsi dan juga tidak menetapkan tanggung jawab-tanggung jawab yang jelas bagi berbagai pemerintahan dan penguasa.
Kelemahan penting dan besar lainnya dari deklarasi ini dapat ditelisik kembali ke akar-akar alamiah dan sejarahnya dan juga merupakan bukti lain akan lemahnya pandangan dunia mereka, yaitu konsep “manusia”-nya kekurangan publisitas yang dibutuhkan dalam budaya orang-orang yang telah mengolah deklarasi tersebut, yang berakar dari sebuah budaya yang beranggapan sekelompok manusia tertentu selalu dinilai berada di luar batas-batas kemanusiaan. Sebagaimana diketahui, pemikiran Barat, berdasarkan budaya Yunani dan Roma mengandungi unsur diskriminasi ras.
Pada masa Yunani kuno, selain orang Atena, orang iain tidak dianggap sebagai manusia-manusia sempuma; dan orang aging khususnya budak-budak, disebut sebagai barbar atau manusia-manusia biadab. Inilah kenapa mereka menamakan hukum sipil mereka Jus-Jentume atau hak-hak asasi manusia. Plato, keturunan dinasti filosof-filosof Yunani atau Barat, menyatakan, “Terimakasih Tuhan bahwa aku dilahirkan sebagai orang Yunani dan bukan non-Yunani, merdeka dan bukan budak, laki-laki dan bukan wanita!” Landasan intelektual ini kemudian terbentuk menjadi Nazisme dan superioritas ras Anglo-Saxon atau keistimewaan orang-orang kulit putih di atas kulit berwarna yang di Eropa kemudian mengakibatkan kejahatan-kejahatan yang mengerikan di sepanjang sejarah dan berlangsung terus hingga kini.
Gagasan pembagian ras manusia menjadi berkelas-kelas memiliki rekaman yang panjang, dan selain agama-agama Ilahi, tidak ada peradaban atau mazhab pemikiran yang dapat menyangkalnya. Jika ada suatu mazhab yang menggulingkan sistem pembagian kelas di masanya, mazhab itu sendiri menemukan mazhab lain yang masih berdasarkan pada asas diskriminasi.
Selama era Hamurabi misalnya, manusia terbagi menjadi tiga kelas: kelas mulia, pertengahan, dan kelas ketiga. Di Mesir, Cina, India, Iran kuno, Yunani dan Roma, kelas-kelas semacarn ini ada dalarn berbagai macarn bentuk. Bukan kita dapat melihat pengaruh budaya Mesir dan Roma ini dalam keyakinan agama Yahudi dan Kristen.
Agamawan Zionis Yahudi selalu merujuk ras mereka sebagai ras pilihan dan generasi yang berbeda dari yang lain, serta memandang ras lain sebagai makhluk-makhluk nonmanusia yang dilahirkan untuk melayani ras Yahudi.[1]
Kaum agamawan Kristen, yang menggulingkan pandangan diskriminasi ini, juga dipengaruhi olehnya, dengan memandang orang-orang non-Kristen sebagai orang-orang yang hak-haknya terampas.
Santo Ambroise[2] (340-397 SM)—seorang pemimpin agarna Kristiani dan, menurut beberapa orang, adalah pendiri hukum intemasional di Barat—tidak menganggap orang non-Kristen termasuk dalam komunitas manusia dan mempertahankan bahwa hanya orang Kristen saja yang dapat menikmati hak-hak Ilahiah manusia. Sudut pandang yang sama juga telah keluar dari seseorang seperti Santo Augustine[3] (354-430 SM).[4]
Kelemahan besar lainnya atas “Deklarasi” ini terdapat dalam pembatasan konsep kebebasan dan perbudakan. Dua kata meringkaskan deklarasi ini: harga diri manusia dan kebebasan manusia.
Dalam Deklarasi Universal PBB dua konsep ini dibatasi di dalam sebuah kerangka kecil. Di dalamnya tidak ada tanda kemuliaan dan kedalaman seperti yang dipertahankan oleh Islam terhadap harga diri dan kebebasan manusia. Kelemahan piagam tentang kebebasan manusia ini disusun oleh manusia-manusia yang akarnya memang sudah salah paham dalam menyimpulkan, atau dalam budaya Eropa, mereka ambil dari hak-hak asasi Yunani dan Roma yang bersifat diskriminatif.
Dengan memperhatikan konsep perbudakan dan perhambaan dalam Pasal 4 Deklarasi Universal HAM, kita melihat: “Tidak ada orang yang dapat diperbudak atau memperbudak...” Namun, konsep perbudakan ini hanya terbatas kepada perdagangan manusia. Bandingkan ini dengan konsep perbudakan dalam Islam. Amirul Mukminin Imam Ali as menyatakan, “Janganlah menjadi budak orang lain karena Allah menciptakanmu merdeka.”[5] Perhatikanlah juga bunyi ayat al-Quran ini, Mereka menjadikan para rabbi dan rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah...(QS at-Taubah:31) Al-Quran memandang ketaatan yang membuta dan tidak rasional kepada rabbi (pendeta Yahudi) dan rahib-rahib sebagai suatu perhanibaan. Dengan contoh ini dan banyak lagi yang lainnya, secara jelas kita dapat memahami kedalaman konsep perbudakan dan perhambaan dan bagaimana Islam membencinya.
Dalam pandangan PBB, konsep kebebasan adalah tidak seorang pun yang dapat dijadikan sebagai orang jaminan satu sarna lain. Islam tidak memandang kebebasan hanya dalam kerangka penolakan perbudakan lahiriah semata, tetapi juga harus bebas sesuai dengan ruh, raga, pemikiran dan intelek manusia dan tidak ada yang boleh merampas hak satu sama lain.
Sebagaimana dinyatakan oleh penulis Libanon, George Jordaq, “Kebebasan yang disebutkan dalam kata-kata Imam Ali as, Hujjatul Islam, adalah mengarah kepada pembangunan peradaban, membangkitkan revolusi-revolusi manusia, dan hubungan cinta kasih yang mendalam dan kokoh di antara umat manusia. Menurut Imam Ali as dan Islam, kebebasan adalah basis hak-hak orang lain di antara sesama manusia.”[6]
Islam mendefinisikan perbudakan sebagai penawanan oleh naluri binatang, mau menerima penghinaan dengan melayani para penindas, dan pengecut, menjadi tahanan harta, kedudukan, nafsu dan kerakusan, meskipun secara lahiriah ia sombong dan bossy (sok jadi bos).
Karena kebebasan atau kemerdekaan menurut budaya Barat berarti tidak berada di bawah pemilikan orang lain, Barat yang juga termasuk Amerika, tidak memandang perbudakan kelompok (diwujudkan oleh para ekploitir dan komunis yang setiap hari muncul dengan beberapa cara kadang-kadang di pabrik-pabrik, di perkebunan-perkebunan dan di medan perang) sebagai perbudakan. Demikian pula halnya menaklukkan negara-negara lain, menduduki wilayah-wilayah orang-orang yang tidak mampu mempertahankan kepentingan mereka, agresi ekonomi dan politik, buruh yang dipaksakan, memperalat yang lemah dan mengeksploitasi kekayaan mereka, tidaklah bertentangan dengan gagasan-gagasan kebebasan manusia yang mereka buat.
Itulah kenapa, berdasarkan pada pikiran piciknya PBB mengizinkan beberapa pemerintahan kuat untuk bertindak sebagai keamanan manusia demi kepuasan mereka dan mendukung keamanan ini yang dengan sendirinya adalah semacam perbudakan.
Kekuasaan ekonomi dan bentuk perbudakan pada jutaan orang di pabrik-pabrik dan industri pertanian berskala besar selalu ringkuh dengan upah-upah yang rendah, adalah ciri utama beberapa negara anggota PBB yang telah menandatangani “Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia.”
Mari kita bandingkan kebebasan ini dengan yang Islam hadirkan dan menyimpulkan pandangan Islam tentang kebebasan manusia dan aspek yang bagaimanakah yang ditolak oleh Islam.
“Suatu ketika salah seorang perwira Imam Ali as, menulis sural kepadanya untuk mengubah sebuah parit. Ia mengusulkan agar orang yang tinggal di situ bisa bekerja dan dengan demikian orang-orang di sana dan tanah mereka juga dapat diuntungkan... Imam menjawab, “Tidak seorang pun yang dapat dipaksa untuk dijadikan buruh kecuali bila ia sendiri yang menghendakinya, dan siapa saja yang bekerja haruslah dibayar...”[7]
Beliau mengizinkan lawan-lawan politiknya untuk mengunjungi musuh beliau, Mu’awiyah. Beliau bahkan dicela oleh sahabat-sahabatnya namun tidak pernah mempengaruhinya karena beliau takut melanggar kebebasan orang lain. Lawan-lawan beliau bertanya bolehkah mereka tidak bersumpah selia (baiat) kepada beliau dan beliau berkata bahwa mereka bebas untuk memutuskannya.[8]
Gagasan tentang kehormatan dan martabat manusia antara Islam dan budaya Barat berbeda. Dalam budaya Barat, sebagaimana anggapan PBB, kehormatan manusia adalah sesuatu yang berhubungan dengan tubuh dan lahiriah manusia. Manusia, menurut mereka, tidak lebih merupakan tubuh organik kerajaan binatang yang dapat bereproduksi, berbicara, dan menanggung beban. Sudut pandang yang sama ini tidak memedulikan pembantaian jutaan manusia di seluruh dunia dari Vietnam, Kamboja, dan Korea sampai Afganistan, Iran, Irak, Palestina, Libanon, Nik«ragua dan Chili... yang sama sekali tidak menghargai status manusia. Pembunuhan massal dengan bom atom, hidrogen, neutron dan kimia, memaafkan kejahatan-kejahatan militer lainnya yang dilakukan oleh negara-negara adidaya, meniadakan kedaulatan umat manusia di negeri-negeri mereka, dan merampas kekayaan nasional dan tanah mereka, tidak menyebabkan adanya penskorsan hilangnya martabat dan kemuliaan manusia yang berdasarkan sudut pandang ini.
Budaya Barat merupakan percampuran berbagai filsafat dan apa yang disebut gagasan-gagasan saintifik, sedang masing-masingnya memberi andil dalam merendahkan martabat dan kemuliaan manusia hingga ke tingkat yang paling rendah.
Sudut pandang Barat, yang diwakili oleh Darwinisme, mengatakan bahwa manusia adalah binatang dari keluarga monyet. Preudisme menggambarkan manusia sebagai bentuk yang tertekan oleh nafsu birahinya; atau menurut Marxisme manusia adalah makhluk tawanan alat produksi dan tren-tren ekonomi alam yang hidup melalui determinisme sejarah dan alam serta tren-tren deterministik kehidupan tanpa adanya hak-hak istimewa. Dengan demikian, menurut para pemimpin politik di negara-negara yang berpandangan ini, manusia adalah mesin yang terbuat dari benda organik seperti metal dan memiliki kebutuhan khususnya tersendiri dan tidak lebih dari itu. Atau, liberalisme ekonomi Barat menggambarkan manusia sebagai makhluk yang diciptakan untuk para kapitalis dan para tuan tanah untuk. bekerja dan lambat laun mengorbankan kehidupan mereka di biara-biara modern, yakni pusat-pusat ekonomi dan moneter di hadapan para tiran dan tuhan-tuhan keduniaan, yaitu para kapitalis, orang-orang yang berkuasa dan kaya serta para adidaya.
Manusia adalah produk alam yang tidak bermanfaat, tidak bermartabat atau tidak punya tujuan. la hidup sementara dan setelah itu meninggal dunia karena penciptaannya—atau mungkin dasar penciptaan dunia ini—adalah sia-sia belaka dan tanpa tujuan. lnilah pandangan para nihilis. Mungkin manusia dianggap seamacam rubah yang melewati hari-harinya dalam kecurangan, kedustaan, ketidakjujuran dan pengkhianatan untuk menafkahi hari-harinya atau untuk mencari kedudukan.
Inilah manusia yang dibicarakan dalam budaya Barat—budaya global orang-orang yang memproklamirkan peradaban dan juru selamat kemanusiaan. Manusia semacam ini yang kebebasan dan para pembela hak-haknya sedang didukung dan setiap saat serta kemudian, mereka menghadiahkan sebuah piagam kepada dunia untuk mendeklarasikan hak-hak asasi manusia.
Dapatkah deklarasi hak-hak asasi manusia yang benar dan lengkap itu dihargai dalam budaya semacam ini?
Kelemahan-kelemahan penting dan mendasar dalam Deklarasi Universal HAM ini dan tidak adanya pandangan yang benar di antara orang-orang yang menyusunnya dan juga wewenang PBB dan lingkungan “hak-hak asasi manusia” yang mendukungnya telah membuat deklarasi tersebut di atas dan organisasi besar yang mendukungnya tidak mampu memberi hak-hak asasi kepada manusia. Sebaliknya. mereka malah menjadi alat untuk menyelewengkan hak-hak asasi manusia. Dapat dilihat bahwa Dewan Keamanan, dengan bersandar pada hak veto dari lima negara kuat, menyediakan sarana bagi kekuasaan negara adidaya!
Tidak dapat dipungkiri, tidaklah mungkin menetapkan hak-hak asasi manusia tanpa memiliki pemahaman dan pengetahuan yang benar tentang manusia serta kepercayaan yang sesungguhnya kepada martabat dan kemuliaan manusia.
Manusia dalam Pandangan Dunia Islam
Islam—terbentuk bersama fitrah manusia yang berakar dari wahyu dan ruang lingkup fitrah itu sendiri—adalah pendiri pertama dan rasul hak-hak asasi manusia yang sesungguhnya. Empat belas abad sebelum penyusunan deklarasi universal PBB, Islam telah menghadirkan deklarasi hak-hak asasi manusia yang sempurna kepada umat dunia. Baik dalam teori maupun praktik, Islam mempertahankan status spritual yang paling agung bagi manusia di seluruh dunia, yang sekarang kami sebutkan secara singkat.
Islam memperkenalkan manusia sebagai khalifah atau wakil Allah. Tanggung jawab ini secara jelas tidak dilimpahkan kepada makhluk yang terbelakang atau lemah. Istilah ini adalah ungkapan terbaik tentang status manusia yang agung dan mulia yang darinya para nabi—yakni fenomena spiritual terbesar dan paling mengejutkan dunia—ditinggikan.
Di samping kemuliaan praktis ini, al-Quran telah memberikan martabat dan kemuliaan Ilahiah khusus kepada manusia dengan mengatakan, Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam...(QS al-Isra:70)
Di tempat lain, dalam sebuah hadis yang dikutip dari Nabi Muhammad saw diriwayatkan bahwa umat manusia adalah “keluarga Allah”. Beliau berkata, “Manusia (nas) adalah anggota keluarga Allah; orang yang bekerja untuk keuntungan orang lain adalah orang yang lebih dicintai” dan nas merupakan istilah yang sangat luas dan komprihensif yang meliputi seluruh manusia. Istilah ini sering digunakan dalam al-Quran dan hadis dan menyangkut semua individu—termasuk Muslim dan non-Muslim, semua ras, semua bahasa, warna, dan agama.
Oleh karena itu, Islam yang memandang manusia sebagai wakil Tuhan dan anggota keluarga-Nya, mempertahankan status yang mulia dan hak-hak asasi baginya.
Salah satu pengejawantahan kemuliaan dan martabat bagi manusia dalam Islam adalah pendiriannya melawan penindasan. Islam memandang penindasan dan ketertindasan sebagai penghinaan besar kepada status manusia yang mulia dan Islam tidak mentolerirnya. Bahkan Islam memandang penindasan sebagai haram (dilarang) dan merupakan penghinaan atas martabat manusia. Sebaliknya, Kristiani dan beberapa mazhab moral lainnya memandangnya kesempurnaan dan kesalehan.
Pengejawantahan lain tentang kemuliaan dan kehormatan Islam bagi manusia adalah asas pendapat yang baik dari orang yang menyampaikan. Islam telah memberikan berbagai macam aturan untuk asas ini. Dalam undang-undang administratif dan perpajakan, asas utamanya berdasarkan kejujuran individu; para pemungut zakat dan pajak harus menerima kata-kata mereka dan ditekankan bahwa pemerintah tidak boleh memaksa dalam mengumpulkan pendapatan atau pajak ini. Tidak boleh menyakiti atau kekayaannya dijual untuk menutupi kepentingannya karena ini berarti tidak menghormati kemanusiaannya.
Dalam sebuah surat kepada pengumpul pajak, Imam Ali as menyatakan, “Perlakukankan para pembayar pajak dengan kewajaran dan keadilan dan pikirkanlah hasrat-hasrat mereka dengan kesabaran dan kebaikan. Jangan paksa siapapun juga untuk mengabaikan kebutuhan-kebutuhannya dan menagih tanpa melihat keperluannya (sehingga ia dapat membayar pajak)... jangan mengambil hak lain dengan mencambuk, jangan menyentuh kekayaan mereka, baik mereka Muslim atau bukan... Berbuat baiklah kepada manusia...”[9]
Mengenai “kemerdekaan” yang merupakan pengejawantahan penghormatan paling utama kepada status manusia, Islam memberikan istilah yang paling sempurna kepadakemerdekaan, yaitu kemerdekaan jiwa, raga, pemikiran dan intelek dan menyatakan manusia berhak untuk menerimanya. Itulah kenapa dalam pandangan dunia Islam, manusia, tanpa menghiraukan rasnya, bahasanya atau warnanya, adalah terhormat dan merdeka.
Dalam Islam, melebihi budaya lain, manusia menikmati kemerdekaan berpikir dan tidak ada seorang pun yang bisa memaksa orang lain untuk melepaskan ideologi mereka serta memaksa mereka untuk menerima Islam. Al-Quran menyatakan, Tidak ada paksaan dalam agama; sesungguhnya sudah jelas jalan yang benar dari yang salah...(QS al-Baqarah:256)
Adalah aib dan pelanggaran kemerdekaan manusia jika seseorang tidak mampu untuk memilih sendiri jalannya.
Manusia bebas pergi kemana saja yang ia inginkan dan tinggal dimana saja sesuka hatinyanya. Sebagaimana telah masyhur Imam Ali as memegang pendirian yang sama terhadap orang-orangnya dan mengizinkan mereka pergi kemana pun mereka suka—bahkan ke istana Mu’awiyah—dimana mereka berkomplot untuk menentang beliau.
Demikian itu adalah suatu hal bagi kemerdekaan orang lain yang merupakan hak-hak asasi manusia hingga batas tertentu, bahwa mereka tidak merugikan hukum Islam dan hak-hak sosial maupun individual serta kepentingan orang lain karena kemerdekaan dan hak-hak orang lain juga dihormati dan adalah wajib bagi semuanya untuk memenuhi hak-hak orang lain. Itulah kenapa asas peniadaan kehilangan atau kerugian (lâ dharar) merupakan satu hukum dan asas sosial Islam yang tak dapat disangkal sehingga kemerdekaan seseorang tidak membahayakan atau mengancam kemerdekaan orang lain.
Hukum dan undang-undang dan juga hak-hak asasi manusia dalam Islam berasal dari pandangan dunia realistis dan ideologi Ilahi. Semua pandangan Islam yang realistis ini, pandangan dunianya dan hukum-hukumnya dianugerahkan oleh Sang Pencipta dunia. Hanya Dialah yang mampu berucap, Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan Kami mengetahui apa yang ada dalam isi hatinya dan Kami lebih dekat dari urat lehernya. (QS Qâf:16)
Menurut pernyataan ini, kita juga percaya bahwa deklarasi hak-hak asasi manusia yang paling sempuma bagi pria dan wanita, kulit hitam dan putih kaya dan miskin, orang Timur dan Barat, Utara dan Selatan dan dapat ditemukan da1am Islam dan bukan dalam Deklarasi PBB. Karena kurangnya pengetahuan yang benar tentang manusia dalam budaya Barat, dalam komunitas dan peradabannya selama 4000 tahun yang lalu (dari zaman Hamurabi sampai zaman PBB)—tiada seorang pun yang sanggup mengambil langkah yang efektif terhadap kebangkitan, mengamankan dan melindungi hak-hak asasi manusia. Berkali-kali kesalahpahaman para pendukung manusia ini dalam membelanya justru mengarah kepada persoalan-persoalan baru baginya.
1) Wanita dalam Pandangan Dunia Barat
Berdasarkan pada telaah-telaah yang dibuat mengenai titik-titik lemah dan kekurangan-kekurangan Deklarasi Universal HAM, secara jelas kita dapat menemukan ketidakmampuannya mengangkat dan melindungi hak-hak wanita.
Sebagian dati pandangan dunia yang khayali dan sempit yang dijadikan pondasi deklarasi ini, dan sebagai akibat dari ketidakmampuannya mengangkat hak-hak wanita yang dirugikan, pandangan dunia yang lebih tidak sempurna ini telah menguasai lingkungan intelektual dan budaya Barat—dan tentunya deklarasi ini—menyangkut wanita.
Dalam pandangan dunia dan filsafat Barat, wanita lebih tertindas dan lebih terampas dibandingkan pria, baik secara keagamaan maupun tidak.
Dalam budaya Barat wanita dianggap terbelakang, kotor dan lemah dan sumber kesengsaraan selama masa yang panjang. Di masa kini, meskipun iklan-iklan dan dalih menghormati wanita dan mengakui hak-haknya, masih ada pemikiran kuno dalam budaya Barat sekarang ini.
Secara ringkas, sudut pandang utama dalam filsafat dan ideologi agama Barat sebagai berikut:
1. Wanita adalah makhluk parasit. Semua anugerah Ilahi diciptakan untuk pria.
2. Wanita diciptakan untuk pria dan bukan sebaliknya. Di sini tidak ada hubungan timbal balik.
3. Wanita adalah makhluk yang terbelakang dan kotor.
4. Pria memiliki martabat sedangkan wanita tidak.
5. Wanita sumber kejahatan dan dosa serta kebencian.
6. Wanita tidak akan masuk surga.[10]
Sayang sekali, bukan hanya Barat, tetapi juga semua budaya dan bahkan filsafat dan agama bangsa-bangsa di dunia ini percaya kepada sudut pandang yang keliru, menindas, khayali dan tidak adil ini. Hanya Islamlah (dan sebagai hukum semua agama Ilahi yang tidak berubah) yang menghadirkan sudut pandang yang berbeda dan membela identas kaum wanita.
Untuk membuktikail ini, dianjurkan untuik meninjau latar belakang sejarah berbagai gagasan, adat-istiadat dan hak-hak yang berhubungan dengan wanita dalam peradaban besar dunia (Cina, India, Iran, Yunani, dan Roma) dan mengutip beberapa pemyataan para penulis yang telah kesulitan untuk mengumpulkan informasi ini.
Di Cina, kaum wanita memiliki status terbelakang. Seorang wanita yang milik anggota keluarga bermartabat menulis berikut ini tentang kauni wanita di zamannya. “Kami, kaum wanita, memiliki status sosial yang paling rendah dan hanya pekerjaan-pekerjaan yang terbelakang yang dipercayakan kepada kami.” Dalam puisi Cina dikatakan, “Tiada yang dapat ditemukan di dunia ini sebagai alat dan murah sebagaimana wanita.” Wanita Cina tempo dulu tidak diperbolehkan untuk makan ketika ada sang suami. Anak-anak perempuan tidak memiliki hak waris.
Di India, kaum wanita dianggap sebagai pembantu atau babu yang terikat. Seorang istri harus memanggil suaminya, “tuan” atau “paduka”. Ia tidak boleh mengucapkan nama suaminya. Dalam mitos Manu disebutkan, “Wanita selemah kesalahannya.”
Di Iran tempo dulu juga, wanita umumnya tidak merdeka baik secara sosial maupun ekonomi. Statusnya dibedakan selama masa dinasti Parthiyyah dan Sasaniyyah. Meski demikian, di Iran tempo dulu kaum wanita hidup dalam situasi yang lebih baik dibandingkan peradaban lainnya, kecuali untuk “istri favorit”, istri-istri lain dianggap sebagai para pekerja dan pembantu. Pada hakikatnya wanita tidak bisa bicara dan hidup bebas. Wanita seperti budak.
Di Yunani kuno, wanita kurang memiliki kepribadian sosial dan tidak memainkan peranan dalam peradaban cemerlang zaman keemasan itu! Kadang-kdang wanita disembunyikan di dalam rumah selama masa yang panjang dan adakalanya dipakai untuk prostitusi keliling. Seorang sejarawan Yunani menulis, “Nama wanita harus serupa dengan dirinya, tersembunyi di dalam rumah.” Demostenes, orator Yunani terkenal menyatakan, “Kami menginginkan wanita yang sensual untuk kesenangan... dan istri-istri kami untuk anak-anak yang sah.”
Di Yunani, wanita dapat dijual at au diberikan kepada orang lain sebagai hadiah. Ibu Demostenes dihadiahkan kepada salah seorang ternan ayahnya dan, sebagaimana diceritakan, Socrates meminjamkan istrinya kepada Alcibiades. Selama masa itu jika seorang suami sudah tua, ia diwajibkan untuk mencari pria muda untuk memuaskan istrinya secara seksual. Akan tetapi jika sang istri berhubungan dengan lelaki lain secara tidak sah tanpa izin suaminya, maka ia dapat dikenakan hukuman mati.[11]
Di Roma, wanita diperdagangkan sebagai budak. Di hadapan ayah atau suaminya, ia tidak memiliki hak pemilikan, hak bersahabat atau hak hidup. Ayah atau suaminya berhak untuk meperdagangkan atau meminjamkan istri atau anak perempuannya, menyewakannya, dan bahkan untuk membunuhnya.
Ini secara gamblang menunjukkan status kaum wanita dalam peradaban itu yang cahayanya masih menyilaukan mata orang-orang Barat dan mempengaruhi mereka. Peradaban yang serupa inilah yang telah mendirikan “hak- hak asasi” di Barat dan di negara-negara yang ia kuasai. Selain itu, peranan kaum wanita dalam masyarakat dan dalam menentukan nasib wanita dapat diamati secara jelas.
Menurut orang Yahudi dan Nasrani yang tersesat dari jalan yang benar, kaum wanita memiliki status yang sama seperti di negeri-negeri lain. Misalnya, di antara kaum Yahudi, ayahnya dapat menjual anak perempuannya yang belum dewasa.
Kaum pendeta Nasrani memandang wanita sebagai pengejawantahan kejahatan dan sebagai sarana korupsi dan perzinaan. Di sekolah-sekolah mereka, mereka meneliti apakah wanita, seperti pria, dapat menyembah Tuhan juga. Atau, apakah ia dapat masuk surga? Apakah ia manusia dan apakah ia memiliki jiwa? Dapatkah ia kekal ataukah ia benda mati tanpa memiliki jiwa yang non-bendawi?[12]
Dalam agama Nasrani, karena kelaziman budaya kebencian kepada wanita dan kepercayaan kepada ketidakberhargaannya, hidup membujang dan kadang-kadang memotong alat kelamin dianjurkan dan dipraktikkan. Mereka memandang perkawinan sebagai kejahatan yang, diperlukan menuju neraka.
Sebelum datangnya Islam, kaum wanita Arab mengalami nasib yang serupa. Bilakah peradaban-peradaban dengan ribuan tabun lamanya memandang wanita dengan cara seperti ini? Apa yang bisa dihormati dari para penghuni padang pasir ini?
Di zaman pra-Islam, orang-orang Arab biadab memandang wanita sebagai budak. Mereka tidak suka memiliki anak perempuan yang tidak bisa berperang, memungut sisa-sisa peperangan atau melakukan pekerjaan- pekerjaan berat. Wajah mereka menjadi hitam kelam dengan kemarahan bila mendengar kelahiran anak perempuan. Di beberapa suku, bayi perempuan dikubur hidup-hidup segera setelah lahir. Menurut beberapa dari mereka, setelah kematian suaminya, istri menjadi milik atau properti anak lelaki tertua.
Dalam sebuah hadis dari Aisyah, istri Nabi saw, diriwayatkan bahwa di antara orang-orang Arab jahiliah, ada dua macam perkawinan lain selain bentuk yang populer. Salah satunya, suami dapat meminjamkan istrinya kepada lelaki lain dan dia sendiri menjauh darinya; dan dalam sekelompok kurang lebih sepuluh orang pria dapat menikahi seorang wanita dan keturunannya milik salah seorang dari mereka, yang tentunya memandang wanita sebagai makhluk komoditas dan budak.
Dalam tahap yang berbeda dan dalam keadaan yang beragam, al-Quran telah menyebutkan beberapa darinya dan secara serius menentang praktik-praktik semacam ini.
Inilah sketsa singkat tentang berbagai pandangan bermacam bangsa mengenai kaum wanita, baik sebelum maupun sesudah kedatangan Islam. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, sayang sekali, meskipun perkembangan masyarakat dan peradaban serta Renaisans di Eropa dan juga perkembangan ekonomi berskala besar dan sosial di seluruh dunia, endapan sudut pandang ini masih ada dalam budaya massa umat ini.
Telaah perbandingan dan periodik tentang hak-hak kaum wanita dan sudut pandang sosial yang berhubungan dengannya mengungkapkan berbagai tahapan, yang diklasifikasikan ke dalam tahap-tahap umum oleh para peneliti yang mempertimbangkan tren atau kecenderungan yang menguasainya.
A. Tahap pertama, wanita dianggap sebagai “barang”. Sebuah produk konsumer yang dapat diperdagangkan, disewakan atau dimiliki untuk dipekerjakan, untuk melayani pria dan untuk reproduksi, serta untuk melirtdungi kekayaan suami dan anak-anaknya. Dia bekerja sebagai binatang domestik. Dalam banyak kasus, ia tidak diperbolehkan untuk hidup atau makan bersama suaminya. Bahkan suaminya memiliki hak untuk menyiksa atau membunuhnya.
B. Dalam tahap kedua, ketika pengaruh budaya Ilahi menyentuh budaya zaman pra-Islam dan era sekelompok sosial yang agak mengarah kepada peradaban, sampai batas tertentu wanita dianggap sebagai makhluk rekan laki-laki; tetapi hubungan sipil dan hukum antara mereka tetap sebagai hubungan antara budak dan pemilik. Wanita diperdagangkan, dipinjamkan atau disewakan kepada teman. Ia bekerja untuk pria dan memenuhi kebutuhan material dan seksual pria. Ia tidak menikmati hak-hak untuk mengungkapkan dirinya, tidak memiliki kebebasan untuk memilih, tidak memiliki hak waris dan tidak memiliki kemerdekaan finansial. Ia tidak bisa memperoleh harta dan menggunakannya sesukanya. Apapun yang ia miliki menjadi milik suaminya dan setelah mati dialihkan kepada anak-anak lelakinya.
Dalam salah satu karyanya, Allamah Thabathaba”i menyatakan, “Setelah diskusi dan penelitian besar pada 586 SM, Dewan Gereja Francis menyimpulkan: ‘Wanita adalah manusia tetapi diciptakan untuk melayani pria.”’[13] Hingga 100 tahun yang lalu, wanita tidak dianggap sebagai bagian dari komunitas manusia di Inggris.
C. Dalam tahap ketiga, mengawali fajar Islam, wanita sama dengan pria. Ia menikmati hak-hak yang sama dengan pertumbuhan individual maupun sosial. Ia bertanggung jawab di hadapan Allah, masyarakat dan keluarga. Ia memiliki hak pendidikan, kepemilikan, kemerdekaan ekonomi serta hak- hak sosial dan politik lainnya. Sedikit perbedaan antara pria dan wanita dalam pandangan dunia dan hukum berasal dari watak mereka dan dari jenis pembagian kerja dan tanggung jawab yang berbeda-beda.
Pembagian ini tidak cukup untuk mengungkap realitas dan tidak menggambarkan perkembangan hak-hak kaum wanita secara akurat sebagaimana adanya.
Kita percaya bahwa perkembangan hak-hak wanita di Barat telah melalui empat tahapan dan sekarang berada di ambang tahapan kelima.
Tahap pertama adalah zaman kekejaman atau peradaban setengah-beradab. Di sini, wanita, karena kelemahan fisiknya dan kurangnya pendidikan dan pengetahuan, adalah “barang” dan tidak dianggap sebagai manusia.
Tahap kedua adalah peradaban kuno dimana wanita dipandang sebagai manusia tetapi manusia yang terbelakang, pelayan laki-laki mencapai status budak.
Dalam tahap ini pria tidak hanya memiliki dirinya tetapi juga hidup dan matinya berada di bawah wewenangnya. Kita mempertahankan, tanpa bersandar pada klasifikasi sejarah yang khayali, bahwa tahap ini dapat dicocokkan dengan sistem feodal parah tuan tanah. Karena fakta ini, atas rusaknya sistem itu dan lahirnya kapitalisme atau borjuis, tahap yang merugikan lainnya pun muncul dan bentuk hak-hak wanita juga berubah.
Dalam tahap ketiga, wanita memasuki proses revolusioner. Ia bebas sampai batas tertentu dari tahanan pria dan keluarga. Dengan runtuhnya sistem feodal dan adat-adat tertentu wanita merasa bebas dari perbudakan dan adakalanya memasuki arena sosial dan politik. Yang disebut angin sepoi kebebasan mengusap wajahnya yang terselubung.
Tahap ini, yang diikuti Renaisans dan Revolusi Perancis, dan kemudian mencapai Revolusi Industri Barat adalah periode pertumbuhan dan kedewasaan bagi kapitalisme dan leberalisme ekonomi dan politik. Periode yang mempesona dan keliru ini tidak mengangkat status wanita lebih dari tahap- tahap terdahulu kecuali sekedar menutupinya dengan lapisan kemerdekaan dan kebebasan, dan menyelubungi wajah jahil perbudakan wanita dengan topeng kecantikan.
Wanita ditarik dari rumahnya ke pasar dan ruang-ruang kerja. Ia bekerja di sisi pria. Ia mengatur hidupnya dengan kemerdekaan ekonomi relatif yang diperolehnya. Anak-anak perempuan pergi jauh dari keluaga dan keluarga-keluarga besar berubah menjadi keluarga kecil (yang disebut sebagai keluarga inti). Daya tarik kewanitaan serta status dan harga dirinya jatuh ke dalam rodagigi ekonomi. Wanita dipasang untuk melayani ekonomi dan kadang-kadang politik. Hubungan antara pria dan wanita menjadi bebas dan lambat laun manusia meniti jalan kepada korupsi dan kekejaman. Kebebasan seksual dan korupsi dijalankan dan difasilitasi oleh sistem-sistem yang berkuasa dan oleh kekuatan-kekuatan yang tampak dan tersembunyi. Daya tarik palsu dari kosmetik, pakaian, fesyen (fashion) dan alat-alat rumah tangga mengepung dan menawannya. Pondasi keluarga pun mulai hancur dan menjadi kelabilan serta kebebasan seksual pun menggantikan kesuciannya. Ikatan moral dan emosional yang mumi digantikan oleh kesenangan dan keuntungan.
Pada tahap ini, wanita kehilangan sedikit kehormatannya yang ia miliki dalam sistem feodal aristokratik! Dalam pandangan realistis, wanita menjadi barang mewah yang dapat diperdagangkan, dipinjamkan atau disewakan. Perbedaannya di sini adalah ia dikelilingi oleh slogan-slogan hak-hak asasi manusia yang memperdayakan, pelangi propaganda mengenai kemerdekaan dan kebebasan dari kewajiban-kewajiban tradisional kuno dari perwakilan gaya hidup mekanisasi modern.
Telaah-telaah perbandingan mengenai fenomena politik selama periode ini mengungkapkan bahwa ada gerakan misterius di antara runtuhnya feodalisme dan putusnya tali kekang aristokratik dan perubahan mereka kepada kemerdekaan dan kebebasan lahiriah setelah Revolusi lndustri yang berakar dari Freemasonry dan Zionisme lnternasional. Di bawah panji kebebasan-persamaan-persaudaraan dan slogan-slogan serupa yang bahkan hari ini disebut sebagai hak-hak asasi manusia, gerakan ini berkembang dan membudayakan kebebasan dan mengembangkan korupsi seksual serta kerusakan ekonomi lewat bantuan media massa, seni, budaya dan ekonomi. Faktor penting ini memilih-untuk memenuhi sasaran-sasarannya-wanita yang dirinya menjadi korban pertama peristiwa-peristiwa semacam ini.
Sebagai akibat dari liberalisme ini, wanita kehilangan martabat dan harga dirinya lebih dari apa yang ia peroleh darinya. Beberapa undang-undang dibuat untuk menyenangkannya dan sekelompok wanita mencapai kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, sambil menjaga harkatnya. Oleh karena itu, mereka termasuk dalam ruang lingkup para guru, penanam modal, para pemimpin wanita mengenai hak-hak asasi atau para politisi. Bagaimanapun, secara umum, pada hakikatnya ia kehilangan peran yang sesungguhnya dan nilai kewanitaannya serta sendi masyarakat. Ia hidup sebagai makhluk metamorfosis dan netral yang bukan pria ataupun wanita dan dibubuhi oleh Barat sebagai ‘jenis kelamin ketiga.’
Tahap keempat adalah tahap dimana wanita menemukan dirinya hari ini. lnilah tahap revisi status wanita yang tidak stabil dan tahap pertimbangan hak-hak manusianya yang sesungguhnya. Suatu tahap yang beberapa abad lalu disebut modernitas gagal dan tahap kembali kepada fitrah manusia dan aturan-aturannya. Permulaan dari tahap ini dapat dilihat di antara para intelektual di Barat.
Barat dan dunia yang mengikutinya, dalam usaha terakhir mencari status wanita yang sesungguhnya dan hak-hak wanita semua manusia akhirnya akan mencapai Islam. Kita harus sanggup memuaskan dahaga mereka dengan presentasi yang benar dan dengan pendahuluan praktis dan hak-hak teoritis wanita dalam Islam dan hak-hak yang benar bagi semua man usia.
Tahap kelima adalah ideologi Islam yang menghidupkan dan hak-hak asasi di bawah panji yang dapat mengklaim bahwa umat manusia dan khususnya wanita dapat mencapai status yang sesungguhnya dan alamiah. Persoalan ini bersifat inspirasional dan akan terpenuhi di masa depan meskipun fajarnya dan tanda-tandanya yang menjanjikan telah muncul.
Telaah perbandingan tentang hak-hak wanita di Barat dan dalam komunitas Islam menunjukkan bahwa kecenderungan- kecenderungannya jauh lebih ruwet di Timur. Menyusul Revolusi lndustri di Eropa, berbagai perkembangan terjadi dalam budaya dan aspek sosial orang-orang Eropa. Baik budaya baru maupun lama, bagaimanapun, bersumber dari masyarakat yang sarna. Negara-negara Islam, derigan serangan peradaban industri Eropa dan budaya borjuis lewat orang Eropa dan Yunani kuno, pribumi dan budaya Islam di negara.negara Muslim dan komunitas Muslim sangat menderita dan banyak prestasinya yang bermanfaat dijarah.
Lewat perbedaan ini dan rekaman sejarah dan sosialnya, kita. dapat mensketsa kecenderungan hak-hak wanita dan wawasan sosial terhadap wanita sebagai berikut:
Tahap pertama: Kesimpulan utama kelompok tak beradab bahwa wanita wanita adalah sebuah alat yang dimiliki pria.
Tahap kedua: Pemilikan besar oleh tuan-tuan feodal dan kekuasaan penguasa-penguasa merdeka dan para pemimpinnya dimana wanita melayani pria sebagai budak.
Tahap ketiga: Munculnya Islam dan puncak martabat wanita dan kebangkitan sepenuhnya hak-hak kemanusiaannya.
Tahap keempat: Tekanan yang digunakan oleh budaya nasional dan tradisional dan suatu pengembalian kepada adat- istiadat era pra Islam di negara-negara Muslim di bawah pengaruh feodalisme yang diperbaharui dengan suatu pengembalian relatif bagi wanita ke tahap kedua.
Tahap kelima: Serangan budaya Barat dan pengaruhnya yang merusak di budaya pribumi dan budaya pra Islam berawal dengan dualisme dan kontradiksi-kontradiksi psikologi sosial komunitas ini yang akhimya mengakibatkan pengasingan wanita.
Tahap keenam: Kemunculan kembali Islam. Kita sedang berdiri di ambang tahap ini, tahap Islam sejati dan revolusioner meninggalkan penghiasan-penghiasan masa lalu dan mengangkat hak-hak wanita yang sesungguhnya, yang alami dan Ilahiah.
2) Wanita Dalam Pandangan Dunia Islam
Ideologi dan pandangan dunia Islam mengenai wanita dan hak-hak asasi manusianya dipandang sebagai sebuah revolusi besar dan agung di dunia. Dengan menyatakan pandangan dunia ini, Islam menghindari semua gagasan yang menghinakan dan wawasan yang keliru ini. Sebagai gantinya, Islam menghadirkan kepada umat sebuah model baru dalam hubungan sosial dengan wanita.
Gereja memperkenalkan wanita sebagai makhluk rendahan, penjilat pria yang diciptakan dari tulang rusuknya; sedangkan pria adalah makhluk unggulan. Islam secara tegas mendeklarasikan bahwa pria dan wanita adalah sama dalam penciptaan dan sama-sama diciptakan dari ‘satu jiwa’.
Dalam ayat berikut al-Quran dengan jelas menyangkal semua pandangan yang jahil, khususnya sudut pandang akademis Kristen dan telah membuktikan semua kesalahan intelektual dunia, Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang menciptakan kamu dari satu jiwa dan darinya diciptakan pasangannya... (QS an-Nisa: 1)
Dengan memberikan perhatian yang lebih kepada ayat al-Quran ini, akan mengajarkan kita banyak realitas.
Pertama, ayat ini ditujukan kepada manusia (nas)—yang melibatkan pria dan wanita secara sama—ini membuktikan bahwa bagi Allah, pria dan wanita adalah sama dalam martabat maupun kemanusiaannya.
Kedua, dalam ayat ini baik pria maupun wanita sama-sama diajak kepada kesalehan dan ketakwaan kepada Allah. Ini juga bukti bahwa wanita secara sama memiliki hak untuk mencapai kesempurnaan spiritual dan karenanya menjadi bukti akan adanya bakat untuk pertumbuhan intelektual karena intelek merupakan syarat untuk melaksanakan dan menerima ibadah.
Ketiga, baik pria maupun wanita diciptakan dari satu jiwa, yang kedua jenis kelamin miliki bersama—dan wanita, sebagai organ dari kemanusiaan itu, merupakan pelengkap—dan bukan bawahan—pria. Ada hadis Nabi saw yang berbunyi, “Wanita sama dengan pria dalam martabat dan kehormatan.”
Secara umum pandangan Islam tentang wanita dapat dipandang dalam empat dimensi:
A. Sudut Pandang Islam Secara Umum tentang Wanita
B. Sudut Pandang Islam tentang Status Ibu
C. Sudut Pandang Islam tentang Status Istri
D. Sudut Pandang Islam tentang Anak Perempuan
A. Sudut Pandang Islam Secara Umum Tentang Wanita
Sebagaimana kami sebutkan mengenai persoalan ini, ada sejumlah besar ayat al-Quran dan hadis Nabi serta Ahlulbaitnya as. Semua tidak dapat diuraikan di sini secara detail sehingga kami cukup memberikan beberapa contoh saja.
a. Sudut Pandang al-Quran tentang Wanita
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memeliharakehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar . (QS al-Ahzab:35)
Ayat ini menunjukkan kepada kita bahwa pria dan wanita sarna-sarna Muslim dan beriman. Ayat ini juga menunjukkan hal untuk memilih agama dan mencapai kebebasan yang utuh, dalam hal ini pertumbuhan intelektual dan persamaan pria dan wanita. Mereka sama dalam beribadah kepada Allah, yang merupakan praktik (ibadah) manusia yang paling tinggi. Mereka sama dalam kebenaran dan kesabaran, yaitu ideologi dan jihad (perang suci), yang merupakan aspek sosial manusia yang paling cemerlang. Mereka sama dalam kesederhanaan, bersedekah, dan kesalehan, yang di antaranya merupakan bentuk-bentuk ibadah praktis, kemerdekaan ekonomi, dan penitian Jalan Ilahi. Terakhir, Allah telah menyiapkan ampunan dan pahala yang besar bagi keduanya. Ayat ini cukup untuk mengungkapkan sudut pandang Islam tentang wanita dan statusnya yang mulia.
Dalam ayat lain disebutkan,Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya, “Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan...” (QS Ali Imran:195) Sebagaimana dalam ayat lain, di sini juga secara sama ditujukan kepada pria dan wanita. Dia telah menjanjikan pahala atas ‘amal’ mereka dan ‘jihad’ mereka tanpa memandang jenis kelamin mereka.
Dalam ayat Dialah Yang menciptakan kamu dan menjadikan kamu pendengaran, penglihatan dan hati... (QS al-Mulk:23). Al-Quran telah memandang pria dan wanita sama dalam memiliki ‘hati’ (dimana pemahaman manusia yang tersembunyi muncul dan, sebagaimana ditafsirkan oleh Allamah Thabatabha’i, sebagai intelek).
Dalam ayat lain dan dengan kalimat yang berbeda dikatakan, Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (QS al-Isra:36) Al-Quran memandang orang-orang yang memiliki organ-organ pemahaman, baik pria maupun wanita, dimintai pertanggungjawabannya. Secara alami, tanggung jawab merupakan cabang dari kemampuan. Ayat tersebut di atas telah mempertahankan bahwa tidak ada bedanya antara pria dan wanita dalam hal kemampuan mereka. Walhasil, tanggung jawab mereka dan pernahaman mereka yang tersernbunyi adalah sama.
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh kepada yang makruh, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa dan Mahabijaksana. (QS at-Taubah:71)
Menurut ayat ini, pria dan wanita sama-sama dapat saling mengawasi dan dengan kata lain, mereka memiliki hak untuk memeriksa amal perbuatan mereka satu sama lain. Dalam sosiologi ini disebut ‘inspeksi sosial’, berdasarkan pada masing-masing individu dapat memeriksa dan rnengawasi perbuatan baik dan buruk satu sama lain untuk menghindari segala hal yang melanggar asas-asas dalam masyarakat Islam.
Baik pria maupun wanita harus mendirikan shalat (bentuk ibadah yang paling mulia dan cara terbaik untuk berhubungan dengan Yang Dicintai). Mereka diwajibkan membayar zakat, merupakan tanda dari kemerdekaan ekonomi dan finansial. Mereka sama-sama diwajibkan untuk menaati Allah dan Rasul-Nya, yang merupakan tanda menjadi anggota resmi administratif dan sistem politik dalam komunitas Islam. Allah akan menunjukkan rahmat bagi mereka berdua secara sama.
Untuk melarang Adam dan Hawa dari menyentuh pohon terlarang, Allah mengalamatkan kepada keduanya dan secara sama kepada mereka, ...jangan kamu dekati pohon ini... (QS al-Baqarah:35)
Dalam surah al-A’raf ayat 22, Dia secara gamblang mengatakan, Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu... Ayat ini bertentangan dengan Gereja yang menyatakan bahwa Hawalah yang bertanggung jawab dalam memperdaya Adam dan ayat ini menunjukkan bahwa mereka sama-sama andil dalam melanggar Perintah Tuhan. Teguran ini mengungkapkan persamaan mereka dan eksistensi intelek serta pemahaman mereka yang sama, baik laki-laki maupun perempuan.
Di seluruh ayat al-Quran, pada berbagai tahap, banyak kalimat yang berbunyi, Wahai orang-orang yang beriman ditemukan, yang tidak khusus untuk pria, tetapi meliputi pria dan wanita.
Selain itu, sejumlah dapat juga ditemukan dalam sejumlah ayat al-Quran yang membuktikan bahwa surga, anugerah dunia maupun dunia lainnya telah diciptakan baik untuk pria maupun wanita secara sama.
Bertentangan dengan sudut padang yang dipegang oleh Gereja Kristen, wanita bukanlah asal-muasal dosa atau suci secara fitrah. Wanita dapat membuktikan dirinya sebagai suri teladan, serupa dengan wanita-wanita yang disebutkan dalam al-Quran, sebagai makhluk suci dan besar seperti bunda Maryam, ibu Nabi Musa as atau seperti Khadijah (istri Nabi Muhammad) dan Fathimah (putri beliau as.); dan dalam kesalehan dan ibadah serupa dengan wanita-wanita lainnya yang hidup semasa datangnya Islam.
Dalam al-Quran nilai wanita begitu mulia sehingga ia dapat menerima Wahyu Ilahi. Ibu Musa dan Isa as dapat disebutkan sebagai contoh.
Dalam bukunya, the Rights of Women in islam, dalam hal ini asy-Syahid Muthahhari memberikan pembahasan mendetil dan mengatakan, “Tidak ada pria kecuali Nabi saw dan keturunannya, serta Imam Ali as, yang dapat mencapai status Hadhrat az-Zahra. Dia mengungguli putra-putranya, yang adalah para imam, dan semua nabi kecuali penutup para nabi saw.”[14]
Islam tidak membedakan antara pria dan wanita dalam perjalanan spiritual dari seorang makhluk menuju Kebenaran (al-Haq) (yakni menuju Allah). Satu-satunya perbedaan yang dipertahankan Islam adalah perjalanan spiritual dari Kebenaran kepada makhluk (min al-Haq ilal khalq). Ia kebalikan dari perjalanan dari Kebenaran menuju makhluk dan membawa tanggung jawab kenabian yang mengakui pria sebagai makhluk yang lebih pantas.”[15]
Sebagaimana Muthahhari katakan, salah satu sudut pandang yang menghinakan tentang wanita yang didorong dan dipropagandakan oleh gereja adalah perlunya menghindari pernikahan dan hidup membujang. Sudut pandang yang dipandang baik terhadap wanita inilah sebagai sebuah korupsi moral terbesar dan begitu juga pandangan menganjurkan pria untuk menjauhi wanita dan pernikahan.
Islam secara serius telah menentang sudut pandang jahiliah ini dan bahkan memerintahkan pemikahan.
Dalam sebuah hadis kita pelajari bahwa Nabi saw merasa bangga dengan jumlah keturunan yang banyak dari sebuah perkawinan.
Islam memandang perkawinan sebagai faktor tanggung jawab untuk memelihara agama dan menyatakan, “Barangsiapa yang menikah memperoleh separuh dari agamanya.” Berbuat baik terhadap wanita dipuji dalam Islam dan dipandang sebagai puncak kesempurnaan manusia. Islam memandang kebajikan ini serupa dengan ciri para nabi.
Melalui kata-kata Nabi, Islam mengatakan, “Mencintai wanita adalah akhlak para nabi.”
Ada sebuah hadis masyhur yang di dalamnya Nabi (saww) menyatakan: “...tiga hal yang dekat denganku di duniamu: parfum, wanita, dan shalat.” (Hadis Nabi).
Keadaan membujang secara serius dikecam oleh Islam. Berbagai hadis Islam telah mencela orang-orang yang tidak menikah. Dalam budaya dan keyakinan beberapa peradaban masa lalu, anak hanyalah milik ayah dan ibu yang hanya dianggap sebagai perantara untuk reproduksi. Akan tetapi al- Qur:an mengatakan, ..dan dari keduanya (pria dan wanita) Allah mengembangbiakan pria dan wanita yang banyak... (QS an-Nisa:l) dan menyatakan bahwa anak sama-sama milik kedua orangtuanya.
b. Sudut Pandang Hadis Tentang Wanita
Dengan mengambil sejumlah ayat al-Quran yang jelas mengenai kebangkitan hak-hak wanita dan gambaran gerakan revolusioner Islam dalam mempertahankan martabatnya, tidak perlu ada penekanan oleh Nabi saw dan keturunannya. ada sejumlah besar aturan dalam hadis yang menyinggung masalah pengenalan hak-hak dan status wanita. Di sini kami tidak dapat membahasnya dengan rinci, tetapi kami rujukkan pembaca kepada al-Mu’jam al-Fihris al-Ahâdis an-Nabî (daftar kitab- kitab hadis Suni dan Syi’ah) dan al-Ahâdis al-Ma’shûmîn (hadis dari para imam maksum). Di sini hanya kami kutip beberapa contoh saja.
1. Hadis-hadis yang secara tegas memperkenalkan wanita sebagai makhluk yang memiliki tanggung jawab, yang mengungkapkan status dan peranan sosialnya, bakat dan kemampuan manajerialnya dan juga kecakapannya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang bertanggung jawab:
“Wanita bertanggungjawab bagi urusan keluarganya di rumah.”
2. Ada banyak hadis yang terbentuk dalam kalimat yang berbeda-beda yang meriwayatkan bahwa perilaku baik dan bertindak lembut kepada wanita serta melarang berbuat buruk terhadapnya, mengungkapkan martabat dan keagungan ruh wanita.
“Jagalah perilakumu terhadap wanita,”; “Sebaik-baiknya di antara kamu adalah orang yang berperilaku sebaik-baiknya terhadap istrinya”, “Janganlah melarang istrimu pergi ke mesjid”, “Pria yang mulia yang menghormati wanita dan pria yang buruk yang menghinakan dan mencemarkan mereka”, “Takutlah kepada Allah di hadapan dua golongan: yatim-piatu dan wanita”. Nabi saw berkata, “Jibril berkomentar tentang wanita dengan cara bahwa andaikata aku menceraikannya tidaklah diperbolehkan.”[16]
3. Perilaku Nabi saw terhadap wanita, rasa hormatnya kepada mereka dan pemberian tanggung jawab sosialnya kepada mereka, adalah faktor-faktor yang meninggikan personalitas praktis wanita dalam Islam.
Martabat dan nilai sosial wanita ini terejawantahkan selama masa hidup Nabi saw ketika mereka ditunjuk sebagai para perawat bagi mereka yang terluka dalam perang selama kedatangan Islam. Ini diriwayatkan dalam hadis yang berbunyi, “Wanita membawa kembali yang terluka dan yang syahid ke kota”, “Wanita merawat yang terluka”, “Pengobatan yang terluka di meda perang oleh kaum wanita”. Oleh karena itu, Islam memperlihatkan prinsip perawatan oleh kaum wanita khususnya selama masa perang. Ini terjadi berabad-abad sebelum Barat dengan bangga mengklaim sikap ini.
Manifestasi lain nilai sosial wanita yang dijunjung oleh Nabi saw adalah beliau sendiri berkonsultasi kepada wanita. Almarhum Mahmud Syaltut, ulama besar Mesir, menulis, “Dalam perjanjian Hudaibiyah Nabi harus menahan diri untuk berhaji ke Mekkah dan kembali ke Madinah, beliau mendapat protes dari kaum Muslimin dan hal ini sangat mengganggu beliau. Maka dalam hal ini terlibatlah istrinya, Ummu Salamah, yang memberikan beberapa petunjuk kepada beliau bahwa beliau dapat melaksanakan korban, salah satu ritual haji, dan kembali ke Madinah tanpa mempersoalkan perintah apa pun bagi para sahabatnya.”
Atas dasar kebijakan ini, kaum Muslimin di bawah pengarnh keyakinan dan kecintaan mereka kepada Nabi saw, mengikuti beliau dan tidak ada didapati celah untuk menentang beliau. Oleh karenanya, dalih yang dipersiapkan untuk tidak taat diganti disingkirkan dengan kebijakan seorang wanita. Ini terjadi selama masa ketika wanita dipandang sebagai lemah dalam kekuatan mentalnya (dan bahkan kini, ini masih dipersoalkan).
4. Hadis yang mengajarkan manusia untuk memberi salam kepada wanita dan bahkan istri-istri mereka.
Perintah ini dikeluarkan dalam kondisi dan dalam suatu masyarakat tradisional era pra-Islam ketika wanita bahkan tidak dipandang sebagai manusia. Ketika kita membayangkan bahkan dalam era kontemporer, di kala mayoritas kaum pria tidak memandang martabat semacam ini kepada wanita, Islam memberi salam kepada wanita, dan menjadi jelas bahwa sampai batas tertentu tradisi ini adalah revolusioner dan kuat pada masa itu, dan meskipun demikian jalan tetap terbuka bagi budaya Islam karena pengaruh Islam di hati umat manusia.
Dalam sebuah hadis dari Imam ash-Shadiq as, Imam Keenam Syi’ah, diriwayatkan bahwa Nabi dan Imam Ali as memberi salam kepada wanita. Dalam hadis lain diriwayatkan bahwa, “Aku bertanya kepada Imam ash-Shadiq as tentang konsep al-Quran yang menyatakan: ‘Ketika engkau memasuki rumah berilah salam pada dirimu sendiri?’ Dan beliau menjawab: ‘Itu artinya bahwa ketika laki-laki memasuki rumah mereka, mereka harus memberi salam kepada istri- istri dan anak-anak mereka.’”[17] Dalam hadis ini ‘memberi salam’ kepada istri telah secara jelas diperintahkan dan istri digambarkan sebagai anfusakum, yaitu ‘dirimu sendiri’, yang menunjukkan pria dan wanita satu kesatuan.
B. Sudut Pandang Islam Tentang Status Ibu
Salah satu pengejawantahan yang paling agung dan bernilai dari wanita adalah kemampuannya menjadi seoang ibu, yang secara relatif telah dihargai oleh semua budaya baik beradab maupun tidak. Peranan khusus ini dimainkan oleh wanita, yang asal-usulnya dari segala masyarakat dan memiliki nilai sejarahnya sendiri, dan mencapai puncaknya keagungannya dalam Islam. Dalam al-Quran menghormati dan berbuat baik kepada orangtua memiliki kepentingan akan ketaatan kepada Allah dan tauhid. Beberapa ayat dalam al-Quran memerintahkan kepada kita untuk berterimakasih kepada kedua orangtua dan bersyukur kepada Allah bagi mereka. Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku-lah engkau kembali. (QS Luqman [31]:14)
Ayat ini memandang penting sulitnya peranan yang dimainkan seorang ibu sebagai alasan berterimakasih kepadanya.
Sejumlah besar hadis memandang peranan penting ibu dan statusnya yang jauh lebih mulia daripada bapak. Sekali lagi bahwa mematuhi dan berbuat baik kepada ibu memiliki berkah yang besar. Dalam hadis lain diriwayatkan, “Surga berada di bawah telapak kaki ibu.”
C. Sudut Pandang Islam Tentang Status Istri
Salah satu tahapan kehidupan sosial wanita adalah peranannya sebagai seorang istri. Tahapan ini dimulai dengan perkawinan dan mencapai puncaknya menjadi seorang ibu serta memainkan peran-peran penting lainnya dalam keluarga dan masyarakat.
Di sepanjang sejarah wanita telah menghadapi penindasan dan perbudakan selama tahapan ini. Islam sebagian besar menekankan rasa hormat kepada wanita dalam tahap ini.
Dalam al-Quran ayat-ayat yang secara jelas dan tegas dapat ditemukan mengenai hak-hak keluarga dan suami-istri. Kita baca, ...mereka itu pakaian bagimu dan kamu pun pakaian bagi mereka... (QS al-Baqarah:187);
...mereka (wanita) memiliki hal yang sama dengan kamu (laki-laki)...( QS al-Baqarah:228) Ayat ini secara jelas menyingkapkan hak-hak dan kebutuhan timbal-balik dan juga kesatuan spiritual suami-istri.
Ayat lain disingkapkan mengenai perselisihan antara suami istri dan untuk menghindari pelanggaran atas hak-hak wanita. Di sini kita baca, ...kemudian bila kamu tidak menyukai mereka karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak... (QS an-Nisa:19)
Dan jika seorang wanita khawatir akan sikap tidak acuh suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya (QS an-Nisa:128)
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki- laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu... (QS an-Nisa:35)
Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya... (QS ath-Thalaq:7)
Kita juga membaca, Janganlah kamu keluarkan mereka mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang... (QS ath- Thalaq:1)
Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik... (QS ath- Thalaq:2)
Tempatkanlah mereka dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka... (QS ath- Thalaq:6)
...tiada dosa bagimu membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut... (QS al- Baqarah:234)
Dan bahkan dalam kasus perceraian al-Quran masih menasihati agar saling menghormati dan bersikap baik satu sama lain. Di lain tempat menggunakan kata-kata berikut: ...dan kerjakanlah (amal baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah kelak kamu akan menemui-Nya... (QS al-Baqarah:223)
Al-Quran memerintahkan kepada kaum pria untuk memberikan prioritas kepada istri-istri rnereka dalam menikmati buah-buah kehidupan dan tidak memandang mereka sebagai makhluk terbelakang atau budak.
Ada sejumlah hadis yang menasihati para suami agar menghormati istri-istri mereka. Hadis itu berbunyi, “Jibril berkomentar tentang wanita dengan cara bahwa andaikan aku bercerai tidaklah diperbolehkan” mengutip hadis terdahulu. Yang lainnya adalah:
“Terkutuklah barangsiapa yang mencerca istrinya”; “Yang paling sempurna di antara orang yang beriman adalah yang lebih baik terhadap keluarganya”; “Berperilakulah sepatutnya terhadap istri-istri kalian”; “Orang yang paling baik di antara kamu adalah yang berperilaku sebaik-baiknya terhadap keluarga mereka”; “Wanita sama dengan gadis molek sehingga mereka tidak boleh dihina”[18] dan “wanita itu mudah pecah seperti kaca, dimana kamu harus bersikap perhatian terhadap mereka.”[19]
Telah diriwayatkan bahwa Imam Ali bekata, “wanita serupa, dengan menagi yang manis dan bukan seperti juara...”[20]
Diriwayatkan Imam Shadiq berkata, “Allah memberkati orang-orang yang berbuat baik terhadap istri mereka...”[21] Ada kalimat lainnya, juga mengenai tanggung jawab wanita dalam keluarga, berkonsultasi kepadanya dan mempertimbangkan pandangan-pandangannya yang berhubungan dengan wanita.
Islam bahkan mengizinkan wanita untuk menerima upah atas pekerjaan yang ia kerjakan di rumah dan bahkan upah untuk menyusui anak-anaknya.
Dalam hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para imam Syi’ah telah ditekankan bahwa seorang suami harus membeli buah-buahan untuk istrinya, membahagiakannya dengan memberinya hadiah, dan meningkatkan aktivitas sang suami untuk menambah penghasilannya demi menyejahterakan istri dan anak-anaknya.
D. Sudut Pandang Islam Mengenai Anak Perempuan
Sudut pandang Islam mengenai fitrah dan kepribadian wanita serta berbagai kebutuhan emosionalnya untuk kebaikan, perhatian, toleransi atas kesalahan-kesalahannya dan kelemahannya, sangat terlalu umum untuk dibatasi kepada seorang ibu atau istri. Itulah kenapa Islam mewajibkan pria untuk memperhatikan anak perempuannya sebagaimana yang ia lakukan terhadap seorang wanita.
Sikap menindas yang ditunjukkan terhadapnya selama masa kanak-kanak oleh ayahnya, oleh saudara lelakinya atau kakak-kakaknya dan keluarganya pada umumnya merupakan alasan bagi keterbelakangan perasaan wanita di tengah masyarakat.
Islam memerintahkan kepada para ayah untuk berperilaku sepatutnya terhadap anak-anak perempuan mereka dan berperilaku sama dengan anak-anak lelaki mereka, agar wanita memperoleh mental yang baik untuk menjalani kehidupan yang sama dengan pria. Ini juga untuk menghindari perasaan terbelakang pada dirinya (ini selain dari menunjukkan kerendahan hati dan kelembutan di hadapan suaminya bahwa ia melakukannya demi keridhaan Allah dan kedamaian hatinya). Kaum pria diperintahkan untuk menghargai anak-anak perempuan mereka agar mereka tetap sama dan tidak tumbuh seperti budak di bawah dominasi saudara laki-lakinya. Dan akhimya, bakat, semangat dan intelek mereka diberi peluang untuk tumbuh dan berkembang.
Nabi saw yang menghancurkan tradisi-tradisi zaman pra- Islam, sangat menghormati putrinya, Fathimah az-Zahra as dan berbuat baik kepadanya sampai-sampai hal ini membuat cemburu istri-istri beliau.
Ada berbagai hadis yang mengungkapkan usaha-usaha yang beliau lakukan dan juga para imam untuk mendidik para sahabat dan umat beliau untuk tidak lebih mendahulukan pria ketimbang wanita, tetapi justru sebaliknya. Misalnya, ada sebuah hadis yang menceritakan kisah Nabi Musa as bersama seorang lelaki spiritual yang berjalan bersama beliau. Lelaki itu membunuh seorang bocah lelaki, dan ketika Musa keheranan, beliau menjawab dengan berkata, Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anak itu dan lebih dalam kasih sayangnya. (QS al-Kahfi:81).
Dijelaskan bahwa ini berarti Allah memberi mereka seorang anak perempuan sebagai gantinya, yang darinya tujuh puluh generasi para nabi dilahirkan dan inilah maksud dari perbuatannya itu.
Dalam hadis lain dikatakan bahwa seseorang menulis sepucuk surat kepada Imam al-Mahdi as, Imam keduabelas Syi’ah, dengan mengatakan bahwa Allah akan memberkatinya seorang anak dan meminta Imam untuk mendoakannya agar anaknya itu nanti laki-laki. Imam menjawab, “Seringkali anak perempuan itu lebih baik daripada anak laki-Iaki.”
3) Sudut Lain Pandangan Islam tentang Wanita
Agar lebih mengenal berbagai sudut pandang Islam tentang wanita, akan lebih bermakna hila menguraikannya lebih jauh tentang persoalan ini.
Pria dan wanita dipandang dari dua aspek yang berbeda dalam Islam, ‘aspek manusia’ dan ‘aspek kemanusiaan’. Aspek manusia sama baik pria maupun wanita. Dalam aspek kemanusiaannya, yakni ciri kebumian mereka berdua, bagaimanapun juga berbeda. Perbedaan ini justru menyempurnakan hakikat mereka dan juga kepentingan mereka.
1. Aspek Manusia
Pria dan wanita sama-sama manusia. Mereka sama-sama khalifah Ilahi. Mereka tidak berbeda dalarn menentukan nasib mereka, memiliki wewenang atas baik dan buruk, memilih jalan mereka untuk kesejahteraan atau kesengsaraan dan meniti jalan menuju kesempurnaan spiritual.
Mereka sama-sama bertanggung jawab di hadapan-Nya. Dalam al-Quran setiap kali manusia disebutkan atau istilah “Wahai manusia!” digunakan untuk baik pria maupun wanita.
Mereka menerima posisi yang sama di hadapan Allah kecuali jika salah satu dari mereka lebih bertaqwa. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kamu. (QS al-Hujurât:13) Dalam ayat lain Allah memerintahkan kepada pria maupun wanita untuk sama-sama menjaga kesucian dan kewajiban mereka kepada-Nya.
Pria dan wanita tidak berbeda dalam keimanan mereka kepada Allah dalam menerima seruan Nabi saw dan mereka juga sama-sama bersumpah setia kepada Nabi dan pengganti beliau, yakni mereka menyetujui imamah (kepemimpinan). Mereka juga ditunjuk untuk ikut dan taat kepada Allah. Wanita juga seperti pria, dapat memilih agamanya dan ia tidak mesti mengikuti siapapun juga dalam pemilihan ini.
Mengenai kebebasan, yang seiring dengan kemanusiaan dan bagian dari identitas manusia, baik pria maupun wanita adalah sama. Mereka sama-sama diciptakan bebas. Kebebasan yang diberikan Allah tidak dibatasi oleh siapapun juga. Mereka sama-sama bertanggung jawab secara merdeka dengan konsekuensi-konsekuensi amal perbuatan yang mereka lakukan. Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. (QS al-Muddatstsir:38)
Wanita seperti pria, berhak menikmati hak-hak legal atau absah, hukum, hak untuk hidup, dan menjalani tugas sosial dan menikmati anugerah Ilahi. Al-Quran menyatakan, dan mereka (wanita) memiliki hak-hak yang serupa dengan mereka (laki-laki) di atas mereka...(QS al-Baqarah:228) Akhirnya, keduanya sama-sama diciptakan untuk meniti jalan kepada kesempurnaan demi ridha Allah. Maka dengan ibadah mereka, yang adalah ketundukan mutlak kepada-Nya dan mengikuti ‘Jalan Agama nan Lurus’, mereka dapat mencapai posisi berikut, Hai orang yang beriman, taatilah Aku sehingga Aku dapat membuatmu seperti diri-Ku.”
Pahala, kutukan Ilahi, surga dan neraka adalah sama bagi keduanya: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS an-Nahl:97)
Dalam aspek ini kesamaan maupun keserupaan ada di antara pria dan wanita dan tidak ada perbedaan di antara mereka.
2. Aspek Kemanusiaan
Pria dan wanita sama-sama menyempurnakan kemanusiaannya. Berdasarkan pada pembagian kerja alami dan sosial serta tanggung jawab dan susunan pelaksanaan alami mereka, yang merupakan tujuan utama dalam penciptaan, dan dengan pertimbangan dalam meninjau kembali kekhususan yang tidak umum dan tanggung jawabnya, ada hal-hal bernilai yang perlu di pertimbangkan di antara mereka. Sebagaimana dikutip dari almarhum Muthahhari, meskipun kasus-kasus ini mengarah kepada pelepasan atas keserupaan-keserupaan mereka secara alamiah dan syariah, mereka tidak bertentangan dengan persamaan mereka dalam hal kemanusiannya dan dalam menikmati hak-hak asasi manusia.
Menurut al-Quran, pria dan wanita lahir dari ‘satujiwa’, atau wanita bagian dari sesuatu sehingga pria tercipta. Dalam sebuah hadis Nabi telah dikutip, “Wanita adalah teman dan sahabat dari pria”, tetapi persekutuan ini bukanlah alasan atas kemanunggalam yang sempurna dan lengkap dari fitrah mereka dan merupakan suatu tanda dari perbedaan mereka, yang mengarah kepada kekhususan lahiri dan merupakan perbedaan mereka dalam jatidiri mereka.
Perbedaan inti dan lahiri di antara pria dan wanita menyingkapkan bahwa mereka sama-sama memiliki spesifikasi-spesifikasi dalam fitrah mereka, tubuh mereka, syaraf mereka, dan ruh mereka, yang tidak ada di lain tempat. Oleh karena itu, pria dan wanita saling melengkapi. Mereka saling bergantung dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan alamiah, kebutuhan jiwa dan mental mereka.
Sayang sekali, perbedaan-perbedaan alami yang menguntungkan ini, yang berdasarkan undang-undang yang menyangkut wanita harus dibuang dari kekerasan dan harus sesuai dengan fitrah yang luwes, tidak diketahui oleh mazhab- mazhab sosial dan hukum atau sudut pandang-sudut pandang yang ada di dunia kecuali Islam.
Sudut pandang filsafat dan hukum Islam mengenai wanita merupakan manifesto pertama dan piagam kebebasan wanita yang sesungguhnya. Semua perbedaan yang ada dalam hak asasi pria dan wanita dalam Islam dan telah dibesar-besarkan dan dikecam oleh musuh-musuh Islam yang berasal dari wawasan realistik Islam yang memanfaatkan berbagai kepentingan pria dan wanita dan juga individual serta kesejahteraan sosial manusia.
Berdasarkan ini, bertentangan dengan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia, yang memandang wanita memiliki hak yang sama sebagaimana laki-laki, Islam telah memandang hak-hak khusus bagi wanita di samping hak-hak manusia pada umumnya yang telah dirampas kaum pria.
4) Perbedaan Alamiah antara Pria dan Wanita
Pria dan wanita berbeda dalam fitrah mereka (yang merupakan pokok masalah biologis dan psikologis), dan juga dalam aspek sosial dan keanggotaan dalam kelompok- kelompok sosial (yang merupakan pokok masalah sosiologis dan psikologi sosial).
Perbedaan alami dan sosial ini jauh lebih luas dibandingkan perbedaan organ dan fisik mereka. Alexis Carrel menyatakan, “Dalam masing-masing sel manusia ada tanda gendernya (pria atau wanita).”
Perbedaan mendalam ini, sebagaimana dikatakan, memiliki akar-akarnya dalam tujuan-tujuan yang diikuti oleh alam dan penciptaan; dan kekurangan dari masing-masingnya akan mengarah kepada ketimpangan dan ketidakseimbangan dan satu sama lain akan menjauhi gender dari posisi daya tarik, kerja sama, korelasi dan bahkan pengorbanan diri terhadap jenis kelamin lainnya, terhadap kepentingan din, ego dan kenistaan.
Bagi undang-undang dan administrasi yang benar dari urusan sosial manusia perbedaan ini harus selalu diingat oleh pembuat undang-undang dan harus membuktikan asal-muasal perbedaan ini dalam hukum tanpa mengarah kepada segala diskriminasi atau penghinaan kepada salah satu dari mereka. Ketidakpedulian kepada hal ini kadang-kadang mengakibatkan penindasan atas wanita dan penyelewengan atas hak-haknya.
Berbagai perbedaan antara pria dan wanita pada umumnya dapat dipandang dalam kategori fisik dan spiritual.
a. Perbedaan fisik -- Para ilmuwan telah menguraikan berbagai perbedaan antara pria dan wanita dalam perbedaan ekspresi dan bentuk.
Beberapa pernyataan almarhum Muthahhari di dalam bukunya, The Rights of Women in Islam (Hak-hak Wanita dalam Islam), menjelaskan berbagai perbedaan ini:
“Pria normalnya memiliki kerangka lebih besar. Ia lebih tinggi dan lebih kasar, sedangkan wanita lebih pendek dan lebih halus. Suara pria lebih kuat dan lebih keras, wanita berbicara lembut dan merdu, tubuhnya tumbuh lebih cepat tetapi pertumbuhan otot dan fisik pria lebih kuat ketimbang wanita. Wanita mencapai usia pubertas lebih dulu jika dibandingkan dengan pria dan daya tahannya terhadap penyakit lebih besar, tetapi masa reproduksinya lebih singkat. Anak perempuan dapat berbicara lebih dulu dibandingkan anak laki-laki. Rata-rata ukuran otak pria lebih besar, namun sesuai dengan ukuran proporsionalnya, otak wanita lebih besar dari otak pria. Paru-paru pria lebih banyak menampung udara, tetapi denyut jantungnya lebih kecil dibanding wanita.”[22]
Harus ditambahkan bahwa syaraf pria lebih tahan dan mereka sedikit memiliki rasa takut. Mereka dapat menghadapi bahaya dengan lebih mudah. Mereka dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berat dan sulit. Wanita memiliki menstruasi alami yang mengarah kepada kelemahan fisik dan kegelisahan serta kelelahan mental.
Wanita dapat hamil dan melewatkan masa yang panjang dalam kehamilan dan menyusui. (Ciri fisik inilah yang secara alami membuat wanita beristirahat di rumah dan menghentikan pekerjaan-pekerjaan yang melelahkan di luar rumah).
b. Perbedaan internal -- Dalam istilah semangat dan fisik yang merupakan pokok masalah psikologi dan psikiatri, ada perbedaan mendasar antara pria dan wanita.
Secara alami pria suka bersikeras, berselisih dan berpetualang. Ia ambisi terhadap posisi dan suka memerintah orang lain. Wanita sebaliknya, secara alami ia menjauhi kekerasan, perang dan marabahaya. Ia cenderung untuk damai. Ia suka menjadi ibu, mengurus anak, dan suka bekerja di rumah, mengatur urusan internal keluarga dan mengurus suami dan anak-anaknya.
Pada pria sifat pementingan diri memanifestasi diri dalam bentuk egosentrisme dan mendukung istrinya dan anak- anaknya sendiri. Tetapi pada wanita hal ini tampak dalam bentuk pengorbanan diri dan cinta terhadap orang lain khususnya suaminya, anak-anak dan keluarganya. Secara seksual pria agresif dan memiliki semangat memburu yang dibutuhkan untuk prokreasi. Misalnya seperti seorang petani yang membutuhkan tanah lagi untuk lebih banyak menabur benihnya. Wanita di lain pihak, biasa-biasa saja, sederhana, pemalu, dan selektif. Fitrah pria cenderung terhadap poligami sedangkan wanita cenderung kepada monogami. Ia ingin satu pria, yang dipilih sepatutnya, yang akan membantunya dalam memiliki anak-anak dan mendukung mereka.
Kesederhanaan adalah pembawaan lahiriah wanita dan karenanya fitrahnya dapat mencapai tujuannya yang ia tanam dalam perasaan kesederhanaan dan kerendahan hatinya sebagai jaminan atas kemuliaan dan daya tariknya.
Wanita mencapai kedewasaan intelektual dan emosional lebih dulu dibandingkan pria. Ini menyingkapkan kesempurnaan dan kesiapannya yang lebih dini dalam memasuki masyarakat dan membangun lingkungan keluarga.
Dalam buku yang sama almarhum Muthahhari berkata:
“Pria memiliki preferensi lebih besar dalam latihan fisik atau tugas-tugas yang melibatkan gerakan. Sentimen-sentimen pria suka tantangan dan suka perang. sedangkan wanita cinta damai. Secara khas wanita menjauhi kekerasan terhadap orang lain dan dirinya dan hal ini menjelaskan kenapa kasus-kasus bunuh diri lebih sedikit pada wanita. Wanita lebih emosional dan lebih dipengaruhi oleh perasaan-perasaan mereka.
“Wanita suka menghiasi dirinya dan mempercantik penampilannya. Perasaan mereka lebih bersifat sementara jika dibandingkan dengan pria. Wanita bersifat lebih hati-hati. Religius, takut, banyak bicara dan lebih formal daripada pria. Bahkan selama masa kanak-kanak perasaannya bersifat keibuan. Mereka lebih suka berada di pusat keluarga mereka.
“Wanita tidak dapat berkompetisi dengan pria dalam persoalan-persoalan intelektual dan deduktif, tetapi mereka tidak kurang juga dari pria dalam hal ilmu pengetahuan dan berbagai urusan citarasa dan statistik. Pria lebih mampu dalam menjaga rahasia dan menyembunyikan masalah-masalah pribadi yang tidak menyenangkan. Itulah kenapa mereka lebih rentan terkena penyakit psikologis. Wanita lebih sensitif dan berhati lembut dan lebih mudah mencucurkan air mata.
“Pria lebih terpikat oleh nafsu daripada kebaikan dan wanita sebaliknya. Pria suka mengambil milik wanita, tetapi wanita suka menundukkan hati pria. Pria memiliki hasrat untuk memeluk wanita dan wanita senang dipeluk. Wanita mengharapkan keberanian dan ketegaran dari pria dan pria menuntut kecantikan dan keanggunan dari wanita. Wanita dapat mengendalikan kendali seksualnya ketimbang pria.
“Mengenai perbedaan-perbedaan fundamental antara pria dan wanita, seorang peneliti Amerika menyatakan: ‘Pria dan wanita bergerak mengelilingi orbit yang berbeda serupa bintang-bintang. Mereka dapat saling memahami, dapat saling melengkapi, tetapi tidak pernah dapat menjadi satu. Itulah kenapa pria dan wanita dapat saling jatuh cinta, hidup bersama dan tidak pernah lelah satu sama lain.”[23]
Daftar Isi:
RISALAH HAK ASASI WANITA 1
Pengarang : Khamenei, Sayid Muhammad 1
Penerjemah : Quito R. Motinggo 1
Penerbit : Al- Huda 1
Tentang Penulis 2
Pendahuluan 3
Kelemahan-kelemahan Pandangan Dunia yang Menguasai Deklarasi PBB 6
Manusia dalam Pandangan Dunia Islam 14
1) Wanita dalam Pandangan Dunia Barat 19
2) Wanita Dalam Pandangan Dunia Islam 32
A. Sudut Pandang Islam Secara Umum Tentang Wanita 33
a. Sudut Pandang al-Quran tentang Wanita 33
b. Sudut Pandang Hadis Tentang Wanita 39
B. Sudut Pandang Islam Tentang Status Ibu 43
C. Sudut Pandang Islam Tentang Status Istri 43
D. Sudut Pandang Islam Mengenai Anak Perempuan 48
3) Sudut Lain Pandangan Islam tentang Wanita 50
1. Aspek Manusia 50
2. Aspek Kemanusiaan 52
4) Perbedaan Alamiah antara Pria dan Wanita 55
Catatan
[1] Muhammad Khalifa al-Tuni, AI-Khatar al-Yahud, hlm. 56.
[2] Safdan, Public International Rights, jilid 1, hal.126-127.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Nahjul Balâghah, Sural No.31.
[6] Al-Imam Ali: Sawt al-Adalat al-Insaniyyah, jilid “y.” hal.174.
[7] S.M. Khamene’i, Ali and the International Peace, hal.46-48.
[8] Ibid.
[9] Nahjul Baldghah, Surat No.51.
[10] Syahid Muthahhari, The Rights of Woman in Islam, hal.115.
[11] al-Bahi al-Khuli, Al-Islam wal Mara’t al-Mus’asiriyyah, hal.10, dikutip dalam Hasan Shadr, Rights Women in Islam, hal.60.
[12] Women’s Strategy in Islam, hal.15.
[13] Women’s Strategy in Islam, hal.15.
[14] Murtadha Muthahhari, the Rights of Women in Islam, hal.118.
[15] Ibid.
[16] Hadis Nabi.
[17] Wasâ’ilusy Syî’ah, Hajj/2ll.
[18] Wasâ’ilusy Syî’ah, jilid 2, Bab 86, hal.21 (edisi lama).
[19] Bihârul Anwâr, jilid 16, hal.296. (edisi baru).
[20] Nahjul Balâghah, Surat No.31.
[21] Wasâ’ilusy Syî’ah.
[22] The Rights of Women in Islam, hal.173.
[23] Ibid., hal 177.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar