Senin, 17 Desember 2018

ANAKMU AMANATNYA



ilustrasi hiasan:




Penulis : Allamah Ibrahim Amini

Judul Asli : Principles of Upbringing Children

Pengarang : Ibrahim Amini
___________________________________________

Penerjemah Inggris : Syed Tahir Bilgrami

Penerjemah Indonesia : Muhammad Anis Maulachela

Penyunting : Dede Azwar Nurmansyah

Penyelaras Akhir : Fira Adimulya
___________________________________________

Penata Letak : creative14

Desain Sampul : Eja-creative14
___________________________________________

Hak terjemahan dilindungi undang-undang

All rights reserved
___________________________________________

Cetakan pertama April 2006 / Rabiul Awal 1427

ISBN: 979-3515-60-0
___________________________________________

Diterbitkan oleh Penerbit Al-Huda

PO.BOX 7335 JKSPM 12073

e-mail: info@icc-jakarta.com







DAFTAR ISI
1." PRAKATA PENERBIT
2." PENGANTAR PENULIS
3." TANGGUNG JAWAB ORANG TUA
4." PENGETAHUAN DAN KERJASAMA PARA PENDIDIK
5." MENJAUHKAN DIRI DARI PERSELISIHAN
6." ANGGARAN PENDAPATAN DAN PENGELUARAN RUMAH TANGGA
7." MEMULAI HIDUP SEBAGAI IBU
8." NUTRISI IBU
9." MENGONSUMSI TEMBAKAU
10." KETIKA WANITA HAMIL JATUH SAKIT
11." PENGARUH KONDISI PSIKOLOGIS IBU TERHADAP JANIN
12." BEBERAPA ANJURAN
13." MASALAH ABORSI
14." KELAHIRAN
15." SETELAH MASA KELAHIRAN
16." MASA PENYUSUAN DAN PENYAPIHAN
17." JADWAL PEMBERIAN ASI
18." IBU YANG TAK MAMPU MEMPRODUKSI ASI
19." MASA PENYAPIHAN
20." ANAK PEREMPUAN ATAU LELAKI
21." MENAMAI ANAK
22." SEHAT DAN HIGIENIS
23." KEBUTUHAN TIDUR DAN KEBEBASAN GERAK
24." PERIODE TERSULIT
25." PENANAMAN NILAI-NILAI AKHLAK DAN RELIGIUS
26." RASA MEMILIKI
27." KETIKA ANAK MULAI MELIHAT DUNIA DI SEKITARNYA
28." CINTA DAN KASIH SAYANG
29." SALAH PAHAM ATAS CINTA
30." BERMAIN DAN REKREASI
31." MENIRU
32." TELEVISI, RADIO, DAN ANAK
33." PERTENGKARAN ANAK-ANAK
34." SAHABAT DAN PERSAHABATAN
35." ANAK DAN PENDIDIKAN KETUHANAN
36." ANAK-ANAK CACAT FISIK
37." PENDIDIKAN SEKS PADA USIA PRABALIG
38." PEMIKIRAN POLITIK DAN SOSIAL
39." ANAK MANJA
40." MENGISAP IBU JARI
41." RASA TAKUT
42." ANGKUH DAN BANGGA DIRI
43." SIKAP KERAS KEPALA
44." PENCURIAN DAN PENYAKIT PANJANG TANGAN (KLEPTOMANIA)
45." KEDENGKIAN
46." NAFSU AMARAH
47." BERKATA-KATA BURUK DAN KETIDAKSOPANAN
48." MENGGUNJING ATAU MENYEBAR ISU
49." MENCARI-CARI KESALAHAN
50." MENCARI KEBENARAN
51." PERCAYA DIRI
52." KEMANDIRIAN
53." BEKERJA DAN MELAKSANAKAN TUGAS
54." KEJUJURAN
55." MEMENUHI JANJI
56." KEPEMILIKAN
57." KEDERMAWANAN
58." SALING MENOLONG DALAM KEBAIKAN
59." KEADILAN DAN PERSAMAAN
60." MENGHORMATI ANAK-ANAK
61." SIKAP SALING MENGHORMATI
62." MENGHORMATI HUKUM
63." PENGENALAN DIRI DAN EKSISTENSI PENUH MAKNA
64." KEBIASAAN MEMBACA BUKU
65." HUKUMAN FISIK
66." HUKUMAN NON-FISIK
67." DORONGAN DAN HADIAH 








1. PRAKATA PENERBIT

Ruang kehidupan kita tampak lebih didominasi oleh orang dewasa. Pada gilirannya, perhatian terhadap dunia anak harus diakui merupakan ranah yang amat jarang disentuh. Termasuk masalah pendidikannya. Padahal dari sinilah justru jantung peradaban sebuah bangsa bermula. Kurangnya perhatian terhadap ranah fundamental ini niscaya berefek panjang kepada sebuah bangsa. 

Penulis buku ini, Ibrahim Amini, adalah satu dari sekian ulama-penulis prolifik yang menyadari akan fenomena ini jauh-jauh hari. Atas dasar keprihatinan itu, ia menulis karya yang edisi Inggrisnya bertajuk Principles of Upbringing Children, yang memuat sekitar tujuh puluh empat bahasan.

Untuk memudahkan pembaca, kami menyusun ulang struktur pembahasan buku ini demi menjaga koherensi tema. Topik-topik yang berdekatan kami satukan sehingga pengulangan tema tidak terjadi di sana-sini. Demikian juga, tema-tema yang koherensinya tidak pas kami padukan dengan topik yang lebih tepat sehingga berujung pada penyusutan pembahasan, dari tujuh puluh empat menjadi enam puluh lima topik. 

Karena gaya penulisan dari sang penulis ini tidak terlalu mengikat, maka benang merah dari seluruh topik tetap terjaga. Selain itu, kami juga melakukan pembagian bab agar stamina keingintahuan pembaca tidak menurun. Paragraf-paragraf yang terlalu panjang kami selingi dengan subjudul-subjudul yang relevan agar dapat memenuhi maksud penulisan sang pengarang.

Tak semua bisa kami lakukan secara sempurna. Apa yang kurang itu dari kami, selebihnya hanya kepada Allah-lah segala urusan. 

Semoga buku ini tetap bermanfaat.

Penerbit Al-Huda


2. PENGANTAR PENULIS

Terdapat perbedaan yang tegas antara pendidikan dengan pengasuhan. Pendidikan bermakna penanaman pengetahuan, atau menanamkan isi dari sebuah kurikulum. Sedangkan mengasuh adalah membentuk kepribadian pada jalan yang diinginkan. 

Pada dasarnya masyarakat dapat ditransformasi melalui pengasuhan yang tepat terhadap populasinya. Amatlah penting bahwa pengasuhan didasarkan pada program yang baik untuk memastikan keberhasilannya. Pengasuhan tidak hanya menceramahi dan memperingatkan, melainkan juga memerlukan penciptaan lingkungan yang tepat demi memperoleh hasil yang diinginkan. 


Kriteria yang diperlukan bagi pengasuhan yang tepat adalah sebagai berikut:
1. Pengasuh mesti secara tepat mengenal murid yang diasuhnya. Ia mesti mengakrabkan dirinya dengan kondisi fisik dan mental murid.

2. Pengasuh mesti mendefinisikan terlebih dahulu tujuan-tujuan pendidikan bagi anak. Tujuan puncak dari pengasuhan mestilah untuk mencetak murid menjadi insan yang bermoral dan berpengetahuan.

3. Program pendidikan mestilah mencakup kriteria dan kondisi-kondisi yang diinginkan untuk memperoleh hasil terbaik. Pengasuh mesti berupaya mencapai hasil yang positif pada periode-periode tertentu. 

Periode terbaik untuk memulai pengasuhan atau pendidikan terhadap murid adalah pada masa kanak-kanak (masa kecil). Dalam kehidupan manusia, masa kanak-kanak adalah periode yang paling mudah menerima pengaruh. Selama masa sensitif ini, orang tua memberikan peran krusial. 

Namun demikian, mengasuh anak kecil bukanlah tugas yang mudah dan sederhana. Tugas ini memerlukan pengenalan yang dalam, pengetahuan, pengalaman, keteguhan, dan ketekunan sang pengasuh atau orang tua. Sayangnya, mayoritas orang tua tidak memahami seni mengasuh anak. Akibatnya, mayoritas anak tak menerima pengasuhan sebagaimana mestinya, sehingga mereka tumbuh laksana pohon muda yang tumbuh sendiri. 

Di negara-negara maju, baik di Barat maupun di Timur, pengasuhan anak memperoleh perhatian penting. Mereka telah melakukan banyak penelitian terhadap isu ini. Banyak buku berguna telah diterbitkan, dan mereka pun memiliki banyak pakar di bidang ini. 

Namun di negara kita, perhatian terhadap isu krusial ini masih kurang. Kita memiliki sedikit pakar di bidang ini, dan amat sedikitnya buku yang berkaitan dengan isu ini jelas tak mencukupi. Sangat minim buku yang diterjemahkan dari bahasa lain ke dalam bahasa Persia.[1]

Akan tetapi, buku-buku dari Barat dan Timur tersebut mempunyai dua kehampaan. Pertama, mereka hanya membahas seputar kebutuhan fisik murid-murid, dan penekanannya hanya pada pendidikan duniawi sekaitan dengan isu tersebut. Semua riset hanya berkisar di seputar aspek-aspek ini, dan sama sekali tak berbicara tentang aspek spiritual dari kehidupan manusia, serta mengabaikan segala rujukan yang membahas tentang konsep akhirat. 

Di Barat, tujuan satu-satunya adalah untuk melatih fisik dan pikiran anak demi mencapai kesenangan dan kenikmatan duniawi, agar ketika dewasa kelak mereka memiliki kondisi hidup yang ideal. 

Kalaupun buku-buku tersebut berkaitan dengan moral, maka mereka membatasinya hanya pada tindakan moral demi memperoleh keuntungan duniawi, dan sama sekali tak menyinggung pahala yang dapat diperoleh seseorang sekaitan dengan perbuatannya selama menjalani kehidupan di dunia. 

Kedua, problem pendidikan di Barat hanya bergantung pada solusi berdasarkan pengalaman masa lalu dan data statistik. Tak ada kesan "iman/keyakinan" pada proses ini. 

Oleh karena itu, buku-buku tersebut tidak bermanfaat sama sekali bagi keyakinan seorang Muslim. Di mata seorang Muslim, manusia memiliki dua aspek penting, yaitu raga dan jiwa. Raga berkaitan dengan kehidupan dunia, dan jiwa berkaitan dengan kehidupan akhirat. 

Melihat hal ini, penulis memutuskan untuk mempelajari, meneliti, dan kemudian menyampaikan kesimpulan bagi para pencari pengetahuan, dalam bentuk buku. 
Penulisan ini menggunakan referensi dari al-Quran al-Karim, hadis, dan tulisan-tulisan sekaitan dengan isu moral. Sementara sumber acuan dari pengalaman pribadi penulis juga sangat berharga dalam upaya (penyusunan buku) ini. 

Dengan demikian, diharapkan bahwa persembahan ini dapat bermanfaat bagi para pengasuh, yang berkecimpung dalam proses pendidikan di tengah komunitas Muslim. 

Januari, 1980

Ibrahim Amini Najafabadi


________________________________________
[1] Perlu diperhatikan di sini bahwa buku ini ditulis oleh Allamah Ibrahim Amini pada tahun 1980, atau di masa awal kemenangan Revolusi Islam. Karenanya, gambaran tersebut mewakili kondisi yang diwariskan oleh rezim Syah-penerj.






3. TANGGUNG JAWAB ORANG TUA

Dalam pandangan Islam, ayah dan ibu memiliki kedudukan mulia. Allah Swt, Rasulullah saw, dan para imam maksum telah memperingatkan hal ini. Terdapat banyak ayat yang terkait dengannya, yang mana kelakuan baik anak terhadap orang tuanya dianggap sebagai salah satu doa terbaik. 

Allah Swt berfirman, Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. (QS. al-Isra: 23)

Imam Ja`far Shadiq as bersabda, "Tiga tindakan terbaik adalah melakukan lima shalat wajib di awal waktu, berkelakuan baik kepada orang tua, dan berjihad di jalan Allah."[1] 

Pertanyaannya, mengapa kedudukan mulia ini dianugerahkan kepada orang tua? Apakah Allah memberikan kedudukan ini tanpa alasan? Perbuatan besar apa yang dilakukan orang tua kepada anaknya, yang menjadikan mereka berhak memperoleh kedudukan tersebut?

Seorang ayah, melalui hubungan seksual, melepaskan spermanya ke rahim ibu, yang kemudian bertemu dengan sel telur, sehingga kehidupan baru mulai terbentuk. Kemudian setelah sembilan bulan, kehidupan baru itu datang ke dunia dalam sosok bayi mungil. Ibu lalu menyusuinya dan memberi nutrisi lainnya. 

Kadang kala ia membersihkannya, dan pada saat lain mengganti pakaiannya. Ia memperhatikannya pada saat basah maupun keringnya. Sedangkan ayah mengurusi nafkah yang diperlukan untuk merawat anak. 

Apakah orang tua memiliki tanggung jawab selain ini? Apakah hanya disebabkan aktivitas tersebut, orang tua memperoleh anugerah kedudukan yang mulia? Apakah hanya orang tua yang memiliki hak terhadap anak, sementara anak tidak memiliki hak terhadap mereka? 

Menurut saya, tak seorang pun yang memiliki hak sepihak. Hadis maksumin dari Rasulullah saw menegaskan hal ini, "Sebagaimana ayah kalian memiliki hak atas kalian, maka anak-anak kalian pun memiliki hak yang sama."[2] 

Rasulullah saw juga bersabda, "Sebagaimana anak yang tidak diakui hak kewarisannya disebabkan kedurhakaannya, maka bisa terjadi pula orang tua tidak diakui oleh anaknya disebabkan tak memenuhi tanggung jawab mereka."[3]

Rasulullah saw kembali bersabda, "Laknat Allah atas orang tua yang menyebabkan anak-anak mereka kehilangan hak kewarisannya."[4] 

Imam Sajjad berkata, "Anak-anak kalian memiliki hak atas kalian sebagaimana kalian menilai mereka saat mereka berkelakuan baik atau buruk. Kalian yang menyebabkan kelahiran mereka, dan dunia mengenal mereka sebagai keturunan kalian. Kewajiban kalian untuk mengajar mereka perilaku baik serta membimbing mereka untuk mengenal dan menaati Allah. Tindakan kalian terhadap anak-anak kalian haruslah seperti seorang yang meyakini bahwa perbuatan baik akan beroleh pahala dan perbuatan buruk akan mendatangkan balasan (azab)."[5]

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata, "Sadarlah, tindakan Anda dapat menjadikan keluarga dan sanak famili Anda bagian dari orang-orang celaka."[6]

Rasulullah saw bersabda, "Siapa yang menginginkan anak-anaknya terhindar dari kehilangan hak kewarisan, maka hendaknya ia menolong mereka untuk berperilaku baik."[7]

Rasulullah saw bersabda, "Seseorang yang memiliki anak perempuan hendaknya berupaya menanamkan perilaku baik kepadanya, dan berusaha untuk mendidiknya. Memberikan kenyamanan kepadanya, sehingga ia dapat menghindarkannya dari api neraka."[8]

Di samping itu, Allah Swt berfirman, Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. (QS. at-Tahrim: 6) 

Periode ketika anak berada dalam proses mengadopsi jalan hidup-yang dapat menjadikannya baik atau buruk-akan berpengaruh kepadanya kelak, apakah ia akan menjadi manusia sempurna ataukah hewan liar. Kesalehan atau kejahatan seseorang bergantung pada pengasuhan yang ia terima, dan ini merupakan tanggung jawab yang mesti dipikul oleh orang tua. 

Pelayanan terbesar yang dapat diberikan orang tua kepada anak-anaknya adalah ketika ia mendidik mereka untuk berperilaku baik, murah hati, bersahabat dengan manusia, berniat baik, cinta kebebasan, berani, adil, bijaksana, saleh, mulia, setia, patuh, giat bekerja, dan berpengetahuan.

Orang tua mesti membentuk anak-anak mereka sedemikian rupa sehingga mereka berhasil di dunia dan akhirat. Hanya orang-orang seperti itulah yang diberkahi dengan kedudukan mulia orang tua. Bukan mereka yang memproduksi anak kemudian membiarkannya menjaga dirinya sendiri, dan membawanya ke jurang kejahatan.

Rasulullah saw bersabda, "Hadiah terbaik yang diberikan seorang ayah kepada anaknya adalah pendidikan akhlak dan adab."[9]

Sementara itu, ibu memiliki peran yang lebih penting dalam mengasuh anak. Bahkan dalam masa kehamilan, kebiasaan makan dan perilakunya akan berpengaruh pada kualitas dan perkembangan anak di kemudian hari.

Rasulullah saw bersabda, "Beruntunglah seseorang yang kualitasnya telah dibentuk sejak dalam rahim ibunya. Dan celakalah seseorang yang kejahatannya telah dibentuk sejak dalam rahim ibunya pula."[10]

Rasulullah saw bersabda, "Surga berada di bawah telapak kaki ibu."[11]


Jangan Meremehkan Pendidikan dan Pengajaran 
Orang tua yang tidak memperhatikan pendidikan dan pengajaran bagi anak-anak mereka berarti telah melakukan kekeliruan. Orang tua semacam ini mesti ditanya apakah anak mereka ingin lahir di dunia ini untuk diabaikan seperti domba dan hewan ternak. Anda telah menjadi penyebab keberadaannya, sehingga berdasarkan kewajiban agama dan nilai-nilai kemanusiaan, pendidikan dan pengajaran menjadi tanggung jawab Anda.

Orang tua juga turut bertanggung jawab terhadap masyarakat. Karena anak-anak hari ini akan menjadi penduduk di kemudian hari. Masyarakat akan terbentuk oleh mereka. Apapun pelajaran yang mereka peroleh hari ini akan mereka praktikkan di kemudian hari. Bila pendidikan mereka hari ini sempurna, maka masyarakat di kemudian hari juga akan sempurna. Jika generasi hari ini memperoleh pendidikan yang keliru, maka bisa dipastikan masyarakat di kemudian hari akan menjadi buruk. 

Kepribadian dalam lingkup politik, pendidikan, dan masyarakat akan muncul dari elemen-elemen ini. Anak-anak hari ini akan menjadi orang tua di kemudian hari. Anak-anak hari ini dapat menjadi pembaharu di masa mendatang. Jika mereka memperoleh pendidikan yang baik dari orang tuanya, niscaya mereka akan dapat melanjutkannya terhadap anak-anak mereka. 

Jika orang tua berkehendak seperti itu, maka mereka akan menjadi pembaharu sosial di masa mendatang. Sebaliknya, bila mengabaikan anak-anaknya, maka mereka akan menjadi penyebab kehancuran masyarakat. Dan, dengan memberikan pendidikan yang benar kepada anak-anak, orang tua dapat memberikan pelayanan tak ternilai kepada masyarakat.

Pendidikan tidak semestinya diremehkan, upaya-upaya yang dilakukan oleh orang tua dalam mendidik anak-anak mereka dan kesulitan-kesulitan yang mereka alami sekaitan dengan hal ini telah menghasilkan ribuan profesor, dokter, dan insinyur. Ini adalah orang tua yang mau berupaya mencetak manusia-manusia yang bermanfaat, guru-guru yang cakap dan saleh, serta para profesional lainnya. 


Tanggung Jawab Para Ibu
Seorang ibu pada umumnya mengemban tanggung jawab lebih besar dalam mengasuh anak. Anak-anak umumnya menghabiskan sebagian besar waktu kanak-kanak mereka bersama ibu. Fondasi dari arah masa depan mereka terletak di sana. 

Oleh karena itu, kunci dari sikap buruk atau baik seseorang, dan kemajuan ataupun kemunduran masyarakat, terletak pada para ibu. Kedudukan kaum wanita tidak terletak di pasar-pasar ataupun di posisi-posisi administratif. 

Fungsi-fungsi ini tidak mencerminkan pentingnya seorang wanita sebagai seorang ibu. Kaum ibu (semestinya) adalah penghasil manusia-manusia sempurna. Para menteri, pengacara, dan profesor yang saleh berutang budi pada cinta kasih dari ibu mereka selama masa pertumbuhan mereka. 

Orang tua yang menghasilkan anak-anak yang jujur dan saleh, tidak hanya melayani anak-anak mereka dan masyarakat, melainkan juga menciptakan wadah bagi mereka dalam masyarakat. Anak-anak ini akan menjadi penolong bagi orang tua, saat keduanya berusia lanjut kelak. Jika para orang tua berupaya keras untuk mendidik dan mengasuh anak-anak mereka, maka mereka akan memperoleh hasil (yang baik) ketika menghadapi masa-masa dalam kehidupan mereka.
Imam Ali bin Abi Thalib as. berkata, "Keturunan yang buruk adalah di antara penyebab terbesar kesulitan-kesulitan bagi orang tua."[12] 

Imam Ali as. juga berkata, "Keturunan yang buruk akan menjatuhkan kehormatan orang tua, dan penerusnya pun akan dipermalukan."[13]

Rasulullah saw bersabda, "Semoga Allah memberkahi orang tua yang mendidik anak-anak mereka untuk berkelakuan baik terhadap mereka."[14] 

Oleh karena itu, mereka yang telah menjadi orang tua memikul tanggung jawab besar di pundak mereka; yakni, tanggung jawab kepada Allah Swt, sesama manusia, dan anak-anak mereka. 

Jika melaksanakan tanggung jawab itu secara benar, mereka akan memperoleh pahala di dunia dan akhirat. Namun, jika gagal dalam melaksanakannya, mereka akan menjadi orang-orang yang merugi. Mereka pun akan menjadi orang-orang yang telah bersikap curang terhadap anak-anak mereka sendiri dan masyarakat secara luas, dan ini sama saja dengan melakukan dosa yang tak terampunkan.


Catatan Kaki:


[1] Ushûl al-Kâfî, jil.2, hal.158.

[2] Majma' az-Zawâ'id, jil.8, hal.146.

[3] Bihâr al-Anwâr, jil.19, hal.93.

[4] Makârim al-Akhlâq, hal.518.

[5] ibid., hal.484.

[6] Ghurar al-Hikam, hal.802.

[7] Majma' az-Zawâ`id, jil.8, hal.158.

[8] ibid. 

[9] ibid., hal.159.

[10] Bihâr al-Anwâr, jil.77, hal.115-133.

[11] Mustadrak al-Wasâ`il, jil.2, hal.38.

[12] Ghurar al-Hikam, hal.189.

[13] ibid., hal. 80.

[14] Makârim al-Akhlâq, hal.517.






4. PENGETAHUAN DAN KERJASAMA PARA PENDIDIK


Memahami Jiwa Anak 
Pendidikan dan pengasuhan bagi seorang anak bukanlah tugas mudah yang di dalamnya orang tua dapat melakukannya dengan sedikit atau tanpa upaya keras. Kenyataannya, tugas ini membutuhkan penanganan dan temperamen yang lembut. Ada banyak poin yang perlu dipertimbangkan demi mencapai keberhasilan upaya ini. 

Pendidik mesti mengakrabkan dirinya dengan jiwa anak. Ia tak dapat melakukan tugasnya tanpa mengetahui aspek spiritual, psikologis, pendidikan, dan praktik dari pekerjaan tersebut. Dunia anak menjadi dunianya, imajinasi dan fantasi mereka akan menjadi unik baginya. Ini tak dapat disamakan dengan proses berpikir orang dewasa.

Jiwa anak itu lembut dan sangat mudah terpengaruh. Anak-anak adalah miniatur manusia, yang belum memiliki identitas permanen; namun memiliki kapabilitas untuk mencapai perubahan itu. 

Pendidik anak mesti memiliki kemampuan untuk mengerti dan mengenali manusia, juga mengenali pikiran anak. Ia harus memiliki mata yang tajam untuk mengetahui keruwetan dalam proses pengasuhan ini. Ia harus mengetahui kemampuan dan kegagalan manusia. Ia harus memiliki rasa tanggung jawab dan ketertarikan dalam pekerjaan itu. Ia harus pula bersabar dan tegar, sehingga kesulitan-kesulitan ini tak menguasainya.

Di samping itu, peraturan pendidikan semestinya tidak kaku, sehingga dapat diimplementasikan pada lingkungan yang berbeda. Peraturan seperti ini harus dimodifikasi dan diaplikasikan pada setiap individu anak sesuai dengan kebutuhan fisik dan kemampuan mentalnya. Para orang tua mesti mengamati secara cermat pertumbuhan tubuh anak, dan mengajarkan kepadanya agar terus menjaga faktor ini dalam pikirannya.

Laki-laki dan perempuan mesti memperoleh pengetahuan yang sama seputar pendidikan dan pelatihan sebelum menjadi orang tua. Pendidikan anak haruslah dimulai sejak lahir dan bahkan sejak masa kehamilan. Selama periode tersebut fondasi dari sifat alami anak dibentuk. Sifat alami, perilaku, dan proses berpikir mulai terbentuk. 

Tak dapat dibenarkan apabila para orang tua tidak peduli terhadap masa yang nampak tidak aktif ini. Mereka menunda pengasuhan janin hingga benar-benar lahir. Mereka cenderung mengabaikan tugas ini hingga anak memiliki kemampuan untuk membedakan antara perilaku baik dan buruk. 

Sementara lebih mudah untuk memperbaiki kelakuan buruk di masa-masa awal, namun boleh jadi sulit-bila tak dapat dikatakan mustahil-untuk melakukan perbaikan semenjak kebiasaan-kebiasaan telah ditanamkan.

Imam Ali as. berkata, "Politik yang paling sulit adalah mengubah kebiasaan orang."[15] 

"Kebiasaan itu melekat pada orang."[16] 

"Kebiasaan itu menjadi sifat alami kedua."[17]

Menghindari sebuah kebiasaan sangatlah sulit dilakukan, yang apabila dilakukan dapat dianggap sebagai doa terbaik. Imam Ali berkata, "Menaklukkan kebiasaan buruk adalah salah satu doa terbaik."[18] 


Kerja Sama Orang Tua dan Para Pendidik Lainnya
Faktor penting lainnya dalam menanamkan pelatihan yang ideal bagi anak adalah koordinasi dan kerja sama antara orang tua dan para pendidik lainnya-seperti kakek atau nenek-dalam program pelatihan yang diikuti. Kerja sama mereka akan memberikan hasil yang diinginkan. Namun bila salah seorang dari mereka bersikap angkuh dalam proses pelatihan tersebut, maka hasilnya tak akan seperti yang diharapkan. 

Anak-anak mesti dibuat mengerti akan tugas-tugasnya. Ketika para orang tua memberikan perintah-perintah yang bertentangan, maka anak akan menjadi bingung. Terutama jika mereka berkeras pada pandangan yang bertentangan, maka kemungkinan akan berakibat negatif dalam proses pelatihan anak. Kesulitan terbesar dalam pemberian pelatihan terhadap anak adalah ketika ayah membuat sebuah keputusan untuknya sedangkan ibu atau kakek dan neneknya berkeras menentang. 

Oleh karena itu, selalu dibutuhkan saling pengertian di antara para pendidik, sehingga anak dapat secara jelas mengerti apa yang harus ia lakukan yang pada akhirnya gagasan untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan ini tidak sampai merasuk ke dalam pikirannya. 

Kadang terjadi bahwa sang ayah adalah seorang yang terpelajar dan logis, sementara sang ibu seorang yang berperangai buruk dan tak terpelajar. Dan kadang pula sebaliknya, yaitu sang ibu seorang pelatih yang baik, sementara sang ayah tidak.

Banyak keluarga yang menghadapi problem ini. Anak-anak dalam keluarga tersebut tak menerima pendidikan yang layak. Namun bukan berarti mereka harus menyerah untuk melatih anak-anak mereka secara layak.

Dalam situasi yang sulit itulah tanggung jawab menjadi lebih berat. Kebutuhan dalam situasi sulit itu adalah memberikan lebih banyak perhatian terhadap program pendidikan anak. Orang tua harus berupaya secara sungguh-sungguh menanggulangi kekurangan dalam karakter dan sikap mereka, dan memberikan lebih banyak perhatian pada anak. 

Dengan tindakan yang baik, orang tua dapat menarik perhatian anak dan memberikan teladan yang baik di hadapan mereka. Tindakan orang tua dapat membantu anak untuk memutuskan apa yang baik dan apa yang buruk bagi dirinya. Apabila sang pendidik (suami) tersebut arif, bijaksana, dan sabar, maka ia akan dapat sedemikian rupa menghalangi akibat negatif dari sikap buruk istrinya dalam melatih anak. 

Tak syak lagi, ini merupakan tugas yang sulit, namun tak ada jalan keluar yang lain. 


Seorang intelektual berkata:
"Sebuah keluarga yang di dalamnya ayah dan ibu memiliki kesamaan dalam cara mengasuh anak serta mampu mencetak karakter dan tingkah lakunya, maka pengaruhnya terhadap pikiran anak akan ideal. Keluarga adalah masyarakat kecil di mana karakter moral anak mengambil bentuk yang pasti. Sebuah keluarga yang para anggotanya bersikap ramah satu sama lain, maka anak mereka pada umumnya akan memiliki sikap lembut, menghargai, dan bijaksana. Sebaliknya, sebuah keluarga yang orang tuanya memiliki kebiasaan saling berbantahan, maka anak mereka akan bermoral kurang baik, suka mencari perhatian, dan gampang terpengaruh."


Pelatihan Melalui Perbuatan, Bukan Hanya Bicara 
Banyak orang tua berpikir bahwa memberikan perintah secara lisan, serta memperingatkan tentang apa yang mesti dan tidak mesti dilakukan, sudah cukup dalam pengasuhan anak. Mereka mengira bahwa mengasuh anak adalah memperhatikan, dan mereka merasa tak terkait dengan jalan hidup lainnya. Itulah mengapa orang tua seperti ini tidak merasa perlu berpikir tentang pengasuhan hingga anak menjadi balita. 

Mereka menganggap bahwa anaknya masih bayi dan belum dapat mengerti apa-apa tentang pengasuhan. Ketika anak itu telah mencapai usia mengerti, maka baru terpikir oleh mereka untuk memberikan pengasuhan kepadanya. Ini merupakan masa bagi seorang anak untuk mulai memisahkan yang baik dan yang buruk. 

Namun ini adalah pemikiran yang keliru, karena pada kenyataannya, anak telah siap memperoleh pengasuhan sejak ia dilahirkan. Ia memperoleh pelatihan setiap saat, dan watak alamiahnya terbentuk melalui cara-cara tertentu.

Tak peduli apakah orang tua menyadari atau tidak proses ini, anak tidak akan menunggu inisiatif keduanya. Pikiran aktif anak dan indra lainnya seperti kamera, yang akan menyimpan imajinasi dari apa yang terjadi dalam lingkungannya. Anak di usia lima hingga enam tahun telah memiliki karakter tertentu. Kebiasaan baik dan buruk telah melekat pada karakter alamiahnya, dan akan menjadi tugas yang sulit untuk mengubah perilakunya itu. 

Anak, apapun masalahnya, adalah peniru. Ia berusaha meniru orang tuanya atau penghuni rumah lainnya yang terdapat di sekelilingnya. Anak memandang orang tuanya dengan rasa hormat dan meniru gaya hidup mereka. Tindakan mereka menjadi ukuran bagi anak untuk bertindak baik ataupun buruk. 

Secara alamiah anak-anak tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan menjadikan orang tuanya sebagai teladan untuk diikuti. Anak lebih bergantung pada kelakuan orang tua sebagai model dalam bertindak ketimbang wejangan-wejangan.

Anak perempuan mengamati ibunya dan belajar memelihara rumah. Ia pun melihat ayahnya, sehingga bisa memahami watak seorang pria. Sementara, anak laki-laki mengambil pelajaran hidup dari perilaku ayahnya. Dan dari perilaku ibunya, ia belajar tentang watak seorang wanita.

Oleh karena itu, penting bagi orang-orang yang bertanggung jawab untuk membenahi diri terlebih dahulu. Dan bila merasa memiliki kekurangan pada perilakunya, mereka harus menghindarinya. Singkatnya, mereka terlebih dahulu harus membentuk diri mereka menjadi manusia yang baik sebelum mulai menjadi orang tua.

Para orang tua mesti menanamkan pikiran pada anak mereka agar berkarakter "memberi" kepada masyarakat. Jika mereka merasa bahwa anak-anak mereka mesti benar, baik hati, berperikemanusiaan, pecinta kebebasan, dan bertanggung jawab; mereka juga harus memiliki karakter-karakter seperti itu, sehingga dapat ditiru oleh anak-anaknya. 

Seorang ibu berharap agar anak perempuannya memiliki rasa tanggung jawab, baik hati, menjunjung kesetaraan dengan menghormati perasaan pasangannya; maka ia pun mesti memenuhi atau memiliki norma-norma tersebut. Anak perempuan akan mengamati perilaku ibunya, dan secara otomatis membentuk dirinya sama dengan ibunya. Apabila ibunya seorang yang berwatak keras, malas, kacau, tak teratur, dan egois; maka ia tak dapat diharapkan untuk melatih anak perempuannya hanya dengan nasihat-nasihat seputar norma-norma perilaku yang baik.

Hanya orang-orang yang memperoleh asuhan yang baik selama masa kecilnya, yang mampu melatih dan mengasuh anak mereka dengan benar. Mereka lebih mengerti karakter dan psikologi anak. Orang tua yang selalu berselisih dan bertengkar bahkan dalam permasalahan yang remeh, tidaklah berkompeten dalam mengasuh anak. Sama halnya, bila para pendidik (atau guru) yang melakukan tugas hanya demi memperoleh gaji, bersikap tak sabar, serta tak memiliki pengertian terhadap karakter dan psikologi anak; tak akan mampu menempatkan anak didik mereka pada jalur yang benar.


Dr. Jalali mengatakan:
"Siapapun yang memiliki tanggung jawab mengasuh anak mesti melakukan introspeksi pada karakter dan perilaku dirinya sendiri, menyadari tanggung jawabnya, dan berupaya terus mengoreksi kegagalannya."

Imam Ali as. berkata, "Seseorang pemimpin mesti terlebih dahulu memperbaiki dirinya, baru kemudian berusaha memperbaiki orang lain. Sebelum mengajarkan norma-norma perilaku baik kepada orang lain, ia mesti melakukannya terlebih dahulu. Seorang yang mengajar dirinya dalam memperoleh pengetahuan dan perilaku baik lebih layak dihormati ketimbang orang yang hanya sibuk mengajarkan norma-norma perilaku baik pada orang lain."[19] 

Imam Ali as. juga berkata, "Hormatilah orang-orang tua kalian, agar anak-anak kalian menghormati kalian."[20] 

Beliau juga berkata, "Jika kalian berharap memperbaiki orang lain, maka mulailah dengan memperbaiki diri kalian terlebih dahulu. Jika kalian hendak memperbaiki orang lain sementara diri kalian sendiri masih kurang, maka itu merupakan cela terbesar."[21]

Beliau kembali berkata, "Ketika lidah berhenti berkhotbah dan perbuatannya yang berkhotbah untuk dirinya sendiri, maka tak ada telinga yang dapat mengabaikan khotbahnya itu dan tak ada yang lebih efektif dari ini."[22]


Seorang wanita menulis dalam sebuah surat:
"Karakter orang tuaku sangat berkesan bagiku. Mereka selalu bersikap baik pada anak-anak mereka. Aku tak pernah menemukan kekurangan dalam kata-kata dan perbuatan mereka. Kami juga mewarisi kebiasaan ini. Aku tak dapat melupakan karakter dan perbuatan baik mereka. Sekarang, saat aku menjadi seorang ibu, aku berusaha keras untuk tidak melakukan apapun yang buruk di hadapan anak-anak. Karakter orang tuaku adalah teladan dalam hidupku. Aku mencoba membuat anak-anakku tumbuh dengan cara yang sama."


Sementara wanita lain menulis dalam sebuah suratnya:
"Ketika aku membuka lembaran hidupku di masa lalu, aku teringat bahwa ibuku selalu membantah dan marah-marah dalam masalah-masalah sepele. Sehingga sekarang ketika aku menjadi seorang ibu, aku merasa bahwa dengan sedikit perbedaan saja kondisiku hampir sama dengan ibuku dulu. Semua perilaku negatifnya telah menjadi bagian dari karakter diriku. Anehnya, bagaimanapun aku mencoba memperbaiki diri, aku tak mampu menghasilkan kemajuan yang berarti. Ini membuktikan bahwa dalam kasusku, karakter dan perilaku orang tua telah sedemikian jauh mempengaruhi karakter anak mereka. Oleh karena itu, benar apa yang dikatakan bahwa seorang ibu, yang mendidik anaknya dengan baik, dapat mengubah dunia."


Catatan Kaki:


[15] Ghurar al-Hikâm, hal.181.

[16] ibid., hal.580.

[17] ibid., hal.260.

[18] ibid., hal.176.

[19] Nahj al-Balâghah. 

[20] Ghurar al-Hikam, hal.546.

[21] ibid., hal.278.

[22] ibid., hal.232.







5. MENJAUHKAN DIRI DARI PERSELISIHAN

Bagi anak, rumah bagaikan sebuah sarang. Ia sangat terikat dan terhubung kepadanya. Apabila orang tuanya bersikap ramah, ia akan betah di sarangnya. 
Dalam rumah seperti ini, anak akan merasa puas dan aman. Mengasuh dalam suasana menyenangkan seperti ini menjadikan kualitas dan kapabilitas laten anak mampu menemukan ekspresinya, dan akan memberikan hasil yang baik. 

Namun, bila orang tua selalu bertengkar, maka anak akan kehilangan ketenangan dan kepuasan, sehingga tak merasa nyaman dan tenteram. Orang tua yang selalu berselisih dan bertengkar pada dasarnya tak mau memahami perasaan anak mereka. 

Dalam situasi seperti ini, anak menjadi ketakutan, dan dengan hati luka akan mencari sudut ruangan untuk menyembunyikan diri dan bertanya-tanya mengapa orang tua mereka berperilaku seperti itu. Atau, akan mencari kesempatan untuk melarikan diri dari rumah dan mencari perlindungan di jalanan dan pasar-pasar. 

Kenangan terpahit seorang anak adalah ketika orang tuanya bersitegang dan bertengkar. Anak-anak tak mampu melupakan kenangan tersebut sepanjang hidupnya. Kejadian itu akan terus tergores dalam dirinya dan mengganggu karakternya.

Padahal sebagian anak-anak tersebut ada yang berhati lemah dan terhambat pertumbuhan fisiknya. Mereka akan patah hati, dan menghabiskan hidupnya secara menyedihkan. Sangat mungkin anak perempuan dari orang tua semacam ini akan memiliki kesan bahwa semua laki-laki itu sekeras dan sekasar ayahnya. 

Akhirnya orang enggan menikahi dirinya. Mungkin juga terjadi bahwa anak-laki-laki dari rumah semacam itu akan berpikir bahwa semua wanita berperilaku seburuk ibunya, dan memutuskan untuk membujang seumur hidup. 

Dalam lingkungan seperti itu anak menjadi suka memberontak dan mulai membenci orang tuanya; bahkan beberapa anak menjadi pendendam. Data statistik menunjukkan bahwa banyak sekali anak-anak yang doyan keluyuran, minum minuman keras, dan bermasalah di tengah masyarakat adalah diakibatkan suasana buruk di rumahnya.

Jika seseorang mengingat kejadian pahit di masa kecilnya, yakni saat-saat di mana orang tuanya selalu bertengkar, ia akan merasa bahwa meskipun kejadian itu telah lama sekali berlalu, namun kenangan tak sedap itu masih tersimpan di benaknya. 


Seorang pakar menyatakan:
"Orang tua mesti mengetahui bahwa ketika terjadi perselisihan atau pertengkaran di antara mereka, hal itu akan menganggu pikiran anak. Hubungan yang ada pada orang tua akan berpengaruh pada perkembangan anak. Jika suasana damai tak terdapat dalam rumah, maka tak mungkin memberikan pengasuhan yang layak bagi anak. 

Ketika orang tua bersitegang, mereka lalai bahwa perbuatan itu berpengaruh pada anak yang mesti mereka asuh. Dalam situasi semacam ini, anak tak memperoleh pelajaran yang baik. Sehingga ia pun menjadi seorang penyendiri dan bertabiat buruk. 

Khususnya anak-anak usia remaja, yang akan mendapati situasi yang amat sulit. Hati mereka terluka oleh sikap ayah mereka. Mereka tak mampu memutuskan kepada siapa mereka harus berpihak. Dalam beberapa kasus, mereka menjadi antagonis pada kedua orang tuanya." 


Seseorang menulis dalam suratnya:
"Dari sekian kejadian tak menyenangkan di masa kecilku, yang begitu lekat dalam pikiranku, adalah kondisi orang tuaku yang biasa bertengkar dan saling menghina. Dalam kejadian itu, kakak perempuanku, kakak lelakiku, dan aku sendiri langsung berdiri gemetaran di sudut ruangan. Selama pertengkaran itu, kami hanya bisa memandang tanpa daya. 

Aku teringat kakak perempuanku biasa menangis saat kejadian itu, padahal kejadian buruk itu berlangsung lama. Akhirnya kini ia menderita gangguan jiwa. Terlihat bahwa pertengkaran orang tua kami menimbulkan pengaruh sangat buruk pada jiwa kakak perempuanku itu."


Seorang lainnya menulis:
"Kenangan tak menyenangkan di masa kecilku tetap tak mau pergi dari ingatanku. Ayahku memiliki perilaku yang buruk dan egois. Ia biasa mencari-cari alasan untuk membuat pertengkaran dalam rumah dan berteriak-teriak pada semua orang. Orang tua kami biasa bertengkar sepanjang hari. Aku heran, mereka tak pernah lelah melakukannya. 

Padahal pertengkaran itu kerap disebabkan hal-hal sepele. Tak ada malam tanpa tangis ketika aku pergi tidur. Itulah mengapa jiwaku begitu rapuh. Aku seorang penakut dan selalu dihantui mimpi buruk. Aku telah berkonsultasi pada beberapa dokter, yang (semuanya) menyatakan bahwa keadaanku diakibatkan suasana rumahku. Ia berkata bahwa tak ada obat untuk itu, kecuali beristirahat dan memperoleh suasana damai di rumah. 

Hari bahagiaku datang, saat aku menikah dan meninggalkan rumah. Sekarang, meskipun hidupku tenang, namun aku tetap merasa bahwa aku seorang yang kalah dan tak dapat memperoleh kemajuan dalam hidup. Aku mohon pada para orang tua, demi Allah, jika kalian berselisih, janganlah di hadapan anak-anak kalian!" 


Ia juga menuliskan dalam suratnya:
"Peristiwa terburuk dalam hidupku terjadi ketika aku berumur delapan tahun. Saat itu orang tuaku bertengkar hebat. Semua anak berlari ke pojok ruangan. 
Peristiwa itu berpengaruh buruk pada jiwaku, yang tak dapat kuhapus dari pikiranku untuk waktu yang lama. Aku muak dengan keluargaku dan diriku sendiri. 

Aku kerap berpikir bahwa semestinya aku tak pulang ke rumah sepulang dari sekolah. Aku selalu berdoa kepada Tuhan agar aku mati saja melalui sakit yang parah. Bahkan beberapa kali aku berpikir untuk bunuh diri. Beberapa kali aku bermimpi bahwa aku menikah dan bertengkar dengan istriku. Dalam mimpi itu, aku menyusun rencana untuk mempertahankan hakku. 

Setelah menikah, aku mencoba beberapa kali memancing pertengkaran dengan istriku, sekedar untuk menunjukkan bahwa aku seorang pemarah. Untunglah istriku bertabiat tenang. Ia memperlakukanku dengan penuh cinta dan kasih sayang, serta meyakinkan aku dengan argumen dan nasihat yang baik. Aku beruntung karena perilaku buruk itu tidak berlangsung lama dalam diriku. 

Ketika aku mengingat kembali kesalahan orang tuaku, aku pun berintrospeksi pada kegagalan diriku dan mencoba dengan gigih memperbaiki watakku. Sekarang aku memperoleh kehidupan yang damai."


Seorang laki-laki menulis:
"Ketika aku berumur sembilan tahun, orang tuaku bercerai disebabkan perselisihan yang tajam. Mereka meninggalkanku, sementara kakak lelaki dan perempuanku dirawat oleh kakekku dari pihak ayah. Kami sering sekali menangis saat itu. 

Ketika mengunjungi ibuku, aku kerap bermimpi dalam tidurku bahwa aku tak akan pergi ke rumah ayahku. Setelah beberapa waktu, beberapa keluarga turut ambil bagian dan berhasil merujukkan kedua orang tuaku. Ibuku kembali ke rumah kami. 

Tetapi dalam masa perpisahan singkat itu, jiwaku begitu terpengaruh dan hingga saat ini aku masih merasa sedih karenanya. Sekarang aku berupaya keras, kapan saja aku bertengkar dengan istriku, kami tak memperlihatkannya di hadapan anak-anak kami."


Surat lainnya menyatakan:
"Banyak kenangan pahit di masa kecilku dan sedikit sekali kenangan yang indah. Ketika mengingat hari-hari itu, aku menjadi sedih dan tak dapat menahan air mataku. Alasan kesedihanku itu adalah karena aku selalu mendapati orang tuaku berselisih dan bertengkar. 

Mereka menjadikan hidup ini sulit bagi kami bersaudara (lelaki dan perempuan). Kami terdiri dari delapan bersaudara. (Syukurlah), aku tak pernah bertengkar dengan suamiku, sehingga aku tak menciptakan kegetiran bagi suami dan anak-anakku."


Dalam surat lainnya, seseorang menulis:
"Usia lima tahun adalah masa terbaik bagi anak. Ketika aku berusia lima tahun terjadi perselisihan pahit di antara kedua orang tuaku. Ayahku membawa istri keduanya. Karena perselisihan itu, ibuku meminta cerai dari ayahku. Kami terdiri dari enam bersaudara, lelaki dan perempuan. Hari yang sangat pahit bagi kami. 

Ketika itu, aku sedang bermain dengan salah seorang saudara lelakiku saat ibuku mengucapkan selamat tinggal kepada kami. Hanya Tuhan yang tahu, betapa sedihnya kami saat itu. Ibu kami pergi, sementara kami tinggal bersama ayah dan ibu tiri kami. Kami tetap berpisah dengan ibu selama dua tahun, dan menahan rasa sakit akibat kelalaian ayah kami. 

Suatu hari, ibu kami datang, lalu membawaku dan salah seorang saudara lelakiku. Ia memiliki sedikit warisan dari ibunya. Dengan warisan tersebut, ia mampu merawat kami. Setelah itu, saudara-saudaraku yang lain juga bergabung bersama kami. Ibu kami pun berperan sebagai ibu sekaligus ayah. Kami tak dapat melupakan keberanian dan pengorbanannya."


Seorang wanita lainnya menulis:
"Orang tuaku kerap bertengkar dan membuat kekacauan di rumah kami. Ibuku pun sering marah. Aku berusia delapan tahun, ketika ia sering pergi dan meninggalkan adik-adikku bersamaku. Sementara adik-adikku (lelaki dan perempuan) saat itu berusia dua, empat, dan enam tahun. Aku pun merawat mereka semampuku. 

Terkadang aku juga memperoleh pukulan dari ayahku. Meskipun dengan kesulitan tersebut, aku mencoba untuk terus melanjutkan sekolahku, tetapi gagal di kelas dua. Guru-guruku mengetahui kesulitanku. Mereka menaruh iba kepadaku dan membantu nilaiku. 

Dalam kondisi seperti itu, akhirnya aku dapat meneruskan ke jenjang SMA. Sekarang aku telah menjadi seorang ibu. Aku sungguh-sungguh berupaya agar perselisihan tidak menjangkiti diriku dan keluargaku."

Orang tua yang bertanggung jawab dan memiliki keinginan untuk mengasuh anak mereka dengan baik akan menghindari perselisihan dan pertengkaran dalam keluarga, (minimal) menghindari perselisihan di hadapan anak mereka. Tak ada tindakan yang lebih buruk dari orang tua yang mengganggu anak mereka dengan mempertontonkan pertengkaran mereka di hadapannya dan mengabaikannya. 

Seandainya mereka menyadari perasaan anak saat itu, niscaya mereka tak akan pernah mencoba bertengkar lagi. Kejadian tersebut pasti akan terus terkenang dalam kehidupan seseorang. Namun demikian, hampir tak ada keluarga yang tak memiliki perbedaan pendapat. 

Tetapi dalam kehidupan rumah tangga selalu diperlukan adanya pendekatan. Pasangan yang bijaksana dan terbuka akan memecahkan perselisihan mereka melalui diskusi yang tenang dan bersahaja. 

Bila anak-anak melihat perselisihan orang tua, maka orang tua mesti bersikap bijaksana dan meyakinkan mereka bahwa masalah tersebut dapat diatasi dan tak perlu khawatir. Orang tua mesti memperhatikan bahwa mereka jangan sampai menyebut perceraian di mana anak dapat mendengarnya. Ini tidak hanya akan mempengaruhi perkawinan mereka, tetapi juga akan merusak pikiran anak. 

Perceraian antara suami dan istri adalah ketidakadilan bagi anak. Anak akan merasa bahwa rumahnya telah hancur, dan hidupnya telah runtuh. Ini wajar, karena anak mencintai kedua orang tuanya dan mereka tak dapat membayangkan bahwa salah seorang dari mereka pergi meninggalkannya. 

Bila anak tinggal bersama ayahnya setelah perceraian dan ayahnya menikah lagi, maka ia akan sulit menerima kehadiran seorang ibu tiri. Betapa pun baik dan perhatiannya ibu tirinya, namun ia tetap tak dapat menggantikan tempat ibu kandungnya. 

Pandangan umum menyatakan bahwa ibu tiri tak dapat merawat dengan baik anak tirinya. Koran-koran banyak menuliskan kisah perawatan buruk anak oleh ibu tirinya. Namun demikian, bila anak tinggal bersama ibunya (setelah perceraian), ia pun merasakan kekosongan karena ketiadaan ayah bersamanya. 

Bila orang tua tak memikirkan hal ini sehingga mereka meninggalkan anaknya dalam perawatan orang tua tiri, maka itu akan sangat menyedihkan hati anak-anak yang masih belia.

Alhasil, pasangan suami istri tak dapat sebebas sebelumnya ketika telah memiliki buah hati. Sebab, tanggung jawab mereka sudah bertambah; dan inilah saatnya bagi mereka untuk berupaya keras menghindari perselisihan. 

Mereka harus menjaga suasana tenteram dalam rumah, dan jangan membuat anak-anak mereka menjadi khawatir. Jika tidak, mereka akan dimintai pertanggungjawaban kelak di pengadilan Allah.




6. ANGGARAN PENDAPATAN DAN PENGELUARAN RUMAH TANGGA

Hal teramat penting dalam mengelola kehidupan rumah tangga adalah soal pengendalian anggaran biaya hidup. Setiap keluarga yang bijak akan menjaga arus pendapatan dan pengeluaran rutinnya. Sebagaimana umum dikatakan, mereka membuat mantel sesuai ukuran kain yang tersedia. Mereka berupaya agar pengeluaran biaya sesuai dengan jumlah uang yang masuk dalam rekening keluarga. 

Setiap keluarga seyogianya mengetahui prioritas kebutuhannya dan berpijak di atas kaidah tersebut dalam mengalokasikan uangnya untuk membeli berbagai barang kebutuhan.


Pentingnya Skala Prioritas 
Keluarga yang cermat selalu berusaha agar tidak sampai terjatuh dalam perangkap utang. Jadi, mereka akan selalu menghindari kesusahan yang tidak semestinya membayangi kehidupan mereka. 

Bahkan, bila suatu ketika kondisi ekonominya memburuk, mereka akan segera menyusun rencana dan mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut dalam beberapa waktu. Mereka menolak menurunkan statusnya menjadi keluarga miskin dengan mengelola secara tepat-guna segenap sumber daya milik mereka yang serba terbatas.

Sebaliknya, keluarga-keluarga yang tidak mempedulikan masalah pengelolaan uang belanja secara tepat, bersikap boros, dan hidup secara berlebih-lebihan, umumnya terjatuh dalam kebiasaan mengutang. Demi memenuhi tuntutan pengeluarannya, mereka pun terpaksa meminjam uang dengan bunga tinggi. 

Disebabkan sudah terbiasa mengutang, mereka dengan enteng akan membeli barang-barang mahal dengan cara kredit. Keluarga-keluarga semacam ini tidak pernah terbebas dari kesusahan. Mereka menempuh jalan tersebut yang kadang-kadang justru membuat mereka tak mampu membeli kebutuhan pokok sehari-sehari. 

Keadaan demikian dapat terjadi bahkan terhadap keluarga yang pendapatannya agak lumayan. Mereka akan terjebak dalam keadaan sulit karena tidak memiliki rencana pengeluaran yang semestinya. Orang-orang semacam itu merupakan korban kemewahan dan penampilan semu. Kesejahteraan keluarga bukan hanya bergantung pada jumlah uang yang diperoleh dan dibawa ke rumah; melainkan juga membutuhkan pengaturan dan pengendalian pengeluaran yang tepat.

Imam Ja`far Shadiq as. berkata, "Bila Allah Swt menghendaki sebuah keluarga hidup makmur, Dia akan memberinya kemampuan untuk bersikap bijaksana dan teratur dalam hidupnya."[23] 

"Seluruh keutamaan terkandung dalam tiga hal: salah satunya adalah menggunakan pemahaman dan bersikap hati-hati dalam mengelola keuangannya."[24]
"Gaya hidup berlebih-lebihan menjadi penyebab kemiskinan dan kepapaan; dan sikap tengah-tengah (moderation) dalam mengarungi hidup memberikan kepuasan dan kesenangan."[25] 

Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib as., mengatakan, "Dengan berhemat, separuh kebutuhan dapat dipenuhi."[26] 

"Terdapat tiga tanda dari orang yang hidupnya berlebih-lebihan: (1) Ia ingin makan apa yang tidak dimilikinya; (2) Ia membeli sesuatu padahal tak punya uang; (3) Ia ingin mengenakan pakaian yang tak mampu dibelinya."[27] 

Hal penting untuk memperlancar urusan-urusan keuangan keluarga adalah bahwa suami dan istri harus memiliki kesamaan pandangan. Bila suami atau istri berbelanja tanpa mengindahkan skala prioritas (yakni, mengutamakan membeli barang-barang yang memang dibutuhkan), niscaya pengelolaan rumah tangganya akan porak-poranda. 

Anak-anak sekalipun harus memiliki pemahaman seputar barang-barang kebutuhan dan hal-hal yang harus diprioritaskan. Bila anak-anak menjadi sosok yang seenaknya hidup berlebih-lebihan dan orang tua, disebabkan kecintaannya, berupaya menyenangkan mereka dan mengizinkan mereka berbelanja sesukanya, maka keluarga yang dihuni orang-orang semacam itu tak lama lagi akan menghadapi masalah-masalah keuangan.


Pengetahuan Finansial untuk Anak-anak

Orang tua seharusnya memberitahukan anak-anaknya tentang status keuangan keluarga dan mendiskusikan soal anggaran belanja di hadapan mereka. Ini akan membuat mereka memahami tentang pentingnya berhemat dalam hal pengeluaran. Mereka juga seharusnya tahu bahwa pengelolaan sebuah rumah tangga tidak selamanya merupakan perkara yang mudah. 

Perlu digarisbawahi bahwa anak-anak seyogianya secara bertahap diperkenalkan dengan tugas-tugas rumah tangga dan diberitahu soal pendapatan keluarga. Mereka seyogianya mengetahui bahwa kehidupan rumah tangga berjalan di atas pendapatan orang tua, bukan dari yang lain. Dengan kata lain, mereka harus memahami bahwa seluruh kebutuhan rumah tangga hanya dipenuhi dari uang pendapatan tersebut. 

Seyogianya mereka juga diberitahu bahwa pengeluaran untuk hal-hal tertentu harus lebih diprioritaskan ketimbang yang lain. Misalnya, pembelian kebutuhan pokok sehari-hari (sembako), pembayaran sewa rumah, tagihan listrik, air dan sejenisnya. 

Terhadap contoh yang disebutkan pertama, biaya pemenuhan kebutuhannya harus segera dikeluarkan. Baru setelah itu disusul dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang lain. Anak-anak perlu memahami dan bekerjasama dengan orang tuanya dalam masalah ini.

Sejak usia dini, anak-anak seyogianya dilatih untuk menyesuaikan kebutuhan dan keinginannya dengan kemampuan keuangan keluarga. Mereka harus dicegah dari pemborosan dan pembelian semaunya, serta dibiasakan berhemat dan melihat dirinya sebagai anggota keluarga yang harus mengeluarkan uang sesuai kemampuan keuangan keluarga. 

Jangan sampai mereka memiliki pandangan yang keliru bahwa mereka berasal dari keluarga kaya raya dan dapat mengeluarkan uang sesuka hati. Karenanya, mereka harus dilatih untuk mengendalikan keinginan-keinginannya demi pengeluaran-pengeluaran penting rumah tangga yang tak dapat dihindari atau ditangguhkan.

Ketika kelak tumbuh dewasa, anak-anak tersebut akan memegang kendali kehidupan masyarakat di tangannya. Karena itu, mereka harus diarahkan pada kebiasaan berhemat semenjak usia dini. Sekalipun kondisi keuangan orang tua cukup lumayan, namun anak-anak tetap harus diajar mengeluarkan uang secara bijak dan hati-hati. 

Para orang tua harus menjelaskan pada anak-anaknya bahwa semua orang pada dasarnya termasuk dalam satu keluarga besar yang disebut umat manusia. Karena itu, orang-orang beruntung yang kaya raya harus membantu dan menolong orang-orang yang fakir miskin. 

Bila pendapatan keluarga tidak mencukupi, mereka harus memangkas pengeluaran sehari-harinya dan berupaya menutupi segenap kebutuhan seadanya, sesuai sumber daya yang minim. 

Para orang tua seharusnya tidak mengeluhkan kesulitan keuangan yang dihadapinya kepada anak-anaknya. Mereka malah harus memberikan pelajaran kepada mereka tentang kesabaran dan dan ketawakalan terhadap Allah Swt. Persiapkanlah mereka untuk bersikap sabar dan berani menghadapi rintangan yang bakal muncul dalam kehidupan masa depannya. 

Ketika sudah mampu bekerja, doronglah sang anak untuk menekuninya dan berilah dukungan moral. Orang tua harus mengatakan kepada si anak bahwa bila dirinya mulai bekerja, maka upah yang diperolehnya akan menambah pendapatan keluarga sehingga kehidupan [ekonomi]nya akan lebih lumayan. Si anak harus didorong untuk memberikan sebagian pendapatannya bagi keperluan pengeluaran rumah tangga. 

Dengan cara ini, ia akan memahami tanggung jawabnya terhadap keluarga. Dengan begitu, seorang anggota keluarga yang sudah berpenghasilan (bekerja) harus menyisihkan sebagian uang hasil kerjanya demi pelbagai kebutuhan pengeluaran rumah tangga. 


Catatan Kaki:


[23] Ushûl al-Kâfî, jil.5, hal.88.

[24] ibid., jil.5, hal.87.

[25] Wasâ`il asy-Syî'ah, jil.12, hal.41.

[26] Mustadrak al-Wasâ`il, jil.2, hal.424.

[27] Wasâ`il asy-Syî'ah, jil.21, hal.41.





7. MEMULAI HIDUP SEBAGAI IBU

Ketika sperma laki-laki masuk ke rahim wanita dan menyatu dengan ovum (sel telur), maka proses pembuahan dan menjadi seorang ibu pun dimulai. Ovum yang telah terbuahi itu dengan cepat berubah, dan puncaknya membentuk manusia seutuhnya. Kenyataannya, usia seseorang dapat dihitung semenjak hari terjadinya proses pembuahan. 


Seorang intelektual menyatakan:
"Ketika manusia lahir ke dunia, ia telah berusia sembilan bulan. Selama masa sembilan bulan itu, ia mengalami metamorfosis, yang puncaknya membentuk dirinya menjadi manusia seutuhnya untuk sebuah kehidupan yang sempurna."

Ketika hamil, seorang wanita telah menjadi seorang ibu sejak saat itu. Ia mengemban tanggung jawab perkembangan anak dalam kandungannya. 

Kenyataannya, sel ayah mewariskan gen yang membentuk fisik dan psikologi anak. Namun, masa depannya bergantung pada perawatan ibunya. Sel ayah itu seperti benih, yang perkembangannya sangat bergantung pada lingkungan yang diperoleh.


Seorang intelektual menulis:
"Orang tua dapat memberikan lingkungan yang ideal bagi perkembangan anak, dan dapat pula memberikan lingkungan yang merusak bagi perkembangan optimal anak. Bila lingkungan perkembangannya tak layak, maka hal ini tidak akan menguntungkan jiwa anak. Inilah mengapa orang tua mengemban tanggung jawab yang berat dalam mengasuh anak."

Kesejahteraan, sakit, kekuatan, kelemahan, pandangan, dan karakter setiap orang telah terbentuk dari dalam kandungan ibu. Dasar-dasar moral dan nasib anak telah terbangun dari awal ibu mengandung. 

Nabi mulia Muhammad saw bersabda, "Nasib baik atau buruk seseorang telah terbangun ketika ia masih berada dalam kandungan ibu."[1]

Kehamilan adalah masa yang rawan dan memberikan tanggung jawab besar pada sang ibu. Seorang wanita yang sadar akan tanggung jawabnya tidak akan menganggap kehamilan sebagai biasa-biasa saja, dan tak akan sembarangan bertindak. Ia tahu bahwa sedikit saja kesembronoan akan berdampak pada kesehatannya, dan bayi yang dikandungnya pun akan cedera. Cedera ini bisa saja sangat serius, sehingga ketika lahir, sang jabang bayi akan menderita cacat seumur hidup.


Seorang intelektual menulis:
"Tubuh ibu dan semua yang terkait dengannya berpengaruh bagi anak yang dikandungnya. Anak dalam kandungan begitu sensitif terhadap perubahan yang dialami tubuh ibunya. Ini karena tubuh ibu telah sempurna, sementara tubuh anak sedang berkembang menuju bentuk akhirnya. Oleh karena itu, adalah tugas ibu hamil untuk menjaga lingkungan yang baik dalam rumah. 

Ia dapat berhasil dalam hal ini bila mengetahui kejadian apa yang dapat berakibat baik dan buruk bagi anak. Ibu yang berhati-hati akan menyediakan lingkungan yang baik bagi perkembangan anak dalam kandungannya. Memperoleh lingkungan yang baik bagi anak selama kehamilan dan segera setelah melahirkan adalah hal yang memang nyaris mustahil. 

Tetapi orang tua tetap mesti berusaha keras untuk memperoleh lingkungan sesempurna mungkin. Karena, dampak buruk yang disebabkan kelalaian tak dapat diabaikan. Bila orang tak menyadari akan konsekuensi dari kelalaian itu, maka mereka akan menghadapi banyak masalah selama kehamilan dan setelah melahirkan anak. Mereka mesti menyadari bahwa lahir ke dunia tanpa cacat fisik adalah hak setiap manusia."


Keselamatan Janin Bergantung pada Nutrisi Ibu
Dalam rahim ibu, janin bukanlah bagian yang utuh dari tubuh sang ibu meskipun memperoleh makanan dari darah dan nutrisinya. Makanan seorang ibu hamil mesti direncanakan dan seimbang, yang seharusnya pengadaan nutrisi ini tidak hanya untuk menjaga diri sang ibu melainkan juga untuk sang janin.

Oleh karena itu, resep nutrisi seorang ibu hamil harus direncanakan secara cermat. Jika tidak, akan terjadi risiko kekurangan vitamin-vitamin tertentu dan mineral-mineral dalam makanan, yang mungkin akan mengakibatkan terganggunya kesehatan ibu dan anak. 

Dalam pandangan Islam, nutrisi ibu hamil adalah kebutuhan primer, sedemikian rupa sehingga ia bisa dibebaskan dari kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan. Ia diberi kebebasan penuh dari kewajiban itu, hingga melahirkan sang bayi.

Penelitian membuktikan bahwa delapan puluh persen dari bayi cacat genetis-baik secara fisik maupun mental-disebabkan oleh makanan yang kurang baik bagi ibu selama masa kehamilan.[2] 


Dr. Jazairi, seorang pakar nutrisi, menyatakan:
"Telah diketahui sejak dulu bahwa pada perkembangan janin dan bayi sebelum lahir dan selama pengonsumsian nutrisi oleh ibu sangatlah penting. Ibu harus memperhatikan semua protein, vitamin, karbohidrat, lemak, dan material-material esensial lainnya; yang diberikan dalam kuantitas optimal dan interval yang tepat, demi memperoleh perkembangan sel hidup yang baik, yaitu janin. Janin yang berada pada tahap metamorfosis dalam rahim membutuhkan semua bahan esensial tersebut untuk perkembangan yang baik dan sehat. Tak jarang terjadi pada masa kehamilan bahwa ibu terlihat sehat, namun disebabkan kurangnya vitamin, janin tumbuh abnormal."[3]


Sementara Karner menyatakan:
"Terkadang penyebab seorang bayi lahir abnormal meskipun benihnya bagus adalah karena tak memperoleh lingkungan rahim yang layak. Tetapi terkadang pula, meskipun lingkungan rahimnya layak, namun benihnya tidak bagus. Keadaan itu akan menyebabkan bayi-bayi lahir dalam kondisi cacat, seperti bibir sumbing, mata juling, polio, dan lain-lain. 

Dahulu, cacat seperti ini dianggap karena faktor keturunan; tetapi sekarang, riset membuktikan bahwa keadaan mereka itu disebabkan kekurangan pasokan elemen-elemen penting seperti oksigen selama masa kehamilan. Lingkungan dan kondisi sekeliling selama masa kehamilan seorang wanita dianggap pula sebagai penyebab terjadinya cacat bawaan seperti kelumpuhan dan lain-lain."
Imam Ja`far Shadiq as. berkata, "Apapun yang dimakan dan diminum seorang ibu hamil, sang janin juga akan mengonsumsinya."[4]




8. NUTRISI IBU


Riwayat Islam Ihwal Jenis Makanan Tertentu 

Selama masa kehamilan, jenis makanan yang dikonsumsi ibu membawa pengaruh bagi watak, kecerdasan, dan kapabilitas anak. Ini disebabkan otak anak merespons kualitas nutrisi yang diberikan ibunya selama masa pertumbuhan janin (dalam kandungan). Islam secara jelas menyatakan bahwa makanan yang dikonsumsi ibu selama masa kehamilan akan berpengaruh pada karakter anak. Berikut ini beberapa hadis yang berkaitan dengan hal tersebut.
Rasulullah saw bersabda, "Para ibu mesti memastikan bahwa selama fase akhir kehamilan, mereka memakan kurma. Ini agar anak mereka tumbuh menjadi orang yang lembut dan bijaksana."[5]

Beliau saw juga bersabda, "Pastikan bahwa istri kalian yang sedang hamil memakan biji-bijian behdana.[6] Dengan demikian, istri kalian akan mengandung anak dengan kesehatan dan watak yang baik."[7]

Imam Ali Ridha as. berkata, "Ketika seorang wanita hamil memakan biji-bijian behdana, maka itu akan meningkatkan kecerdasan dan kebijaksanaan anak."[8]

Rasulullah saw bersabda, "Wanita hamil yang memakan buah semangka, akan melahirkan bayi yang cantik dan sopan."[9]


Pengaruh Nutrisi Ibu Bagi Janin 

Penelitian terhadap perbedaan jenis makanan bukanlah lingkup pembahasan dalam buku ini. Kami juga tidak akan memerinci satu persatu kualitas setiap jenis makanan itu. Karena, hal ini memerlukan pembahasan panjang lebar. Apalagi kami bukanlah pakar dalam bidang ini. Namun, untungnya, banyak buku bermanfaat yang telah diterbitkan sekaitan dengan tema tersebut. Sehingga bagi para pembaca yang tertarik untuk mengetahuinya secara lebih terperinci, dapat merujuk pada buku-buku tersebut.

Meskipun kebutuhan nutrisi yang diperlukan oleh wanita hamil meningkat, namun masalah lain yang dikhawatirkan adalah menurunnya nafsu makan dalam kondisi tersebut. Kebanyakan mereka merasa lesu dan bosan. Dalam kondisi demikian, mereka perlu mengonsumsi saripati makanan-makanan ringan dan mengandung lebih banyak gizi. Makanan bergizi yang diperlukan tubuh manusia terdiri dari berbagai jenis. Oleh karena itu, menjaga ransum wanita hamil memberikan kesempatan dalam mendesain program makan yang ideal baginya.


Seorang pakar menulis:
"Menjaga tubuh tetap sehat tidak hanya memerlukan makan, melainkan mesti direncanakan pula pengonsumsian berbagai jenis makanan dalam interval tertentu."[10]

Seorang ibu juga harus memastikan bahwa ia mengonsumsi vitamin dan mineral tambahan di saat sarapan dan makan malam, yang akan membantu janin di usia kandungan tujuh bulan. Ini tidak hanya akan membantu pertumbuhan gigi dan gusi, melainkan juga beberapa tulang penting pada tubuh.[11] 


Dr. Jazairi menyatakan:
"Mengonsumsi yoghurt dan keju selama masa kehamilan akan memberikan vitamin dan lemak bagi wanita hamil dan mencegahnya dari kecenderungan memakan hal-hal yang tak perlu. Namun demikian, ia harus menghindari yoghurt yangam. Keju basi juga mesti dihindari. Saat sarapan, ia mesti minum segelas susu dan semangkuk bubur gandum. Vitamin B-yang banyak terdapat dalam hati, ginjal, dan usus-adalah makanan yang bermanfaat dan membentuk diet bagi wanita hamil."[12] 

Sangat baik bagi wanita hamil untuk minum susu dalam interval waktu yang teratur. Susu adalah makanan lengkap, dan para nabi di masa lalu sangat gemar meminumnya. Imam Ja`far Shadiq berkata, "Susu adalah makanan para nabi."[13]


Dr. Jazairi menyatakan:
"Kebanyakan wanita merasa sakit pada tungkai dan punggungnya yang disebabkan kekurangan kalsium selama masa kehamilan. Kuku mereka juga mudah patah selama masa tersebut. Oleh karena itu, mereka dianjurkan untuk mengonsumsi buah-buahan dan sayuran yang kaya kalsium. Mereka juga mesti secara teratur mengonsumsi sup tulang domba dan jus lemon."[14]

Bagi umumnya orang dan khususnya wanita hamil, sayuran (mentah maupun masak) dan buah-buahan adalah makanan yang baik. Tumbuh-tumbuhan mengambil zat-zat bergizi dari tanah, air, udara, dan sinar matahari; lalu menyimpannya untuk kita makan. Sementara itu, semua buah-buahan mempunyai nilai gizi yang baik. Namun buah apel, quince, pir, dan kurma akan sangat bermanfaat. 

Demikian pula setiap sayuran memiliki nilai gizi sendiri-sendiri. Vitamin dan mineral tersedia bagi tubuh melalui bebijian (seperti padi dan gandum), buah-buahan, dan sayuran. Orang yang ingin menjaga makanannya dengan baik mesti makan berbagai buah-buahan dan sayuran, serta makan semua buah-buahan musiman, meskipun hanya sesekali. Khususnya, wanita hamil juga dianjurkan untuk berhati-hati dalam mengombinasi berbagai makanan bagi diet mereka.

Islam sangat menganjurkan umatnya dan wanita hamil untuk makan buah-buahan dan sayuran. Berikut ini kami berikan beberapa kutipan riwayat sekaitan dengan hal ini. 

Imam Ja`far Shadiq as. berkata, "Beberapa tempat itu memiliki hiasan dan sayuran adalah hiasan tempat makan."[15] 

Suatu hari, Imam Ali Ridha as. duduk dan hendak makan. Namun beliau tak melihat selada dalam makanan beliau. Beliau lalu berkata pada pelayan beliau, "Kau tahu bahwa aku tak pernah makan tanpa selada. Jadi, tolong bawakan selada untukku." Ketika selada telah dibawakan, barulah beliau mulai makan.

Rasulullah saw bersabda, "Makanlah buah quince, karena dapat meningkatkan kecerdasan kalian, menghilangkan kekhawatiran, dan menjadikan anak kalian lembut."[16]

Beliau saw juga bersabda, "Makanlah buah quince dan hadiahkanlah buah-buahan itu untuk kawan kalian. Karena, buah itu akan meningkatkan daya penglihatan mata dan melembutkan hati. Wanita hamil juga dapat memperoleh manfaat dari buah ini, sehingga anak mereka lahir cantik dan sehat."[17] 

Beliau saw kembali bersabda, "Selama bulan-bulan akhir kehamilan, wanita hamil dianjurkan makan kurma agar anaknya berwatak sabar."[18] 

Imam Ali as. berkata, "Makanlah kurma, karena menjadi obat bagi segala rasa sakit."[19] 

Masih banyak lagi hadis-hadis Rasulullah saw dan Ahlulbaitnya, yang menjelaskan seputar nilai gizi dari berbagai buah-buahan dan sayuran. Oleh karena itu, para pakar gizi dapat merancang jadwal diet yang baik, termasuk kadar yang tepat, dari buah-buahan dan sayuran ini. Berkonsultasi pada seorang pakar gizi atau spesialis akan sangat berguna.


Catatan Kaki:


[1] Bihâr al-Anwâr, jil.77, hal.115.

[2] Aijaz-e Khurakiah, hal.220.

[3] Biography Before Delivery, hal.182.

[4] Bihâr al-Anwâr, jil.6, hal.342.

[5] Mustadrak al-Wasâ`il, jil.3, hal.113.

[6] Biji-bijian behdana merupakan semacam pohon mawar yang tumbuh di Asia Tengah, yang buahnya menyerupai apel kuning yang banyak daging buahnya.

[7] Mustadrak al-Wasâ`il, jil.3, hal.116.

[8] Makârim al-Akhlâq, jil.1, hal.196.

[9] Mustadrak al-Wasâ`il, jil.3, hal.635.

[10] Ilm-o Zindagi, hal. 462.

[11] Biography Pesh-uz Tawallud, hal. 80.

[12] Aijaz Khurakia, hal.223.

[13] Bihâr al-Anwâr, tanpa jil. dan no. halaman.

[14] Aijaz Khurakia, tanpa no. halaman.

[15] Mustadrak al-Wasâ`il, jil.3, hal.148.

[16] Makârim al-Akhlâq, jil.1, hal.196.

[17] ibid., jil.2, hal.116.

[18] ibid., jil.3, hal.113.

[19] ibid., hal.112.






9. MENGONSUMSI TEMBAKAU

Wanita hamil dianjurkan untuk menjauhkan diri dari rokok atau produk-produk tembakau lainnya. Mengonsumsi tembakau tidak hanya mengganggu kesehatan, melainkan juga berbahaya bagi janin mereka. Sekaitan dengan hal ini, kami akan kutipkan sebuah tulisan (paper) yang diterbitkan dalam sebuah jurnal luar negeri. Kami minta Anda memperhatikan apa yang tertulis di situ sebagai berikut.

"Sebuah studi yang dibuat di negara-negara Skandinavia terhadap 6.363 wanita hamil, menunjukkan bahwa kelompok wanita hamil yang merokok, melahirkan bayi dengan berat rata-rata berselisih 170 gram di bawah bayi yang dilahirkan wanita yang tidak merokok. Selisih berat badan ini dicatat dari 50 persen wanita hamil yang memiliki kebiasaan merokok. Di samping itu, tinggi badan bayi dari ibu perokok ternyata juga lebih rendah dari bayi kelompok ibu bukan perokok. 

Demikian pula dengan kepala dan kandung kemih bayi dari ibu perokok, juga lebih kecil ketimbang bayi dari ibu bukan perokok. Kelumpuhan bayi dari ibu perokok juga tercatat enam kali lebih banyak ketimbang bayi dari ibu bukan perokok. Bayi dari ibu perokok memiliki kemungkinan lebih besar lahir dengan cacat fisik ketimbang bayi dari ibu bukan perokok. 

Merokok menyebabkan berkurangnya oksigen dalam darah janin, yang mengakibatkan produksi hemoglobin yang berlebihan. Penyakit hati bawaan pada bayi dari ibu perokok lima puluh persen lebih banyak ketimbang bayi dari ibu bukan perokok. Statistik juga membuktikan bahwa anak-anak dari ibu perokok lebih buruk dalam studi mereka di sekolah ketimbang anak-anak dari ibu bukan perokok. 

Intensitas dari kondisi ini bergantung pada frekuensi kebiasaan merokok sang ibu selama masa kehamilan, karena tembakau dapat mengakibatkan berkurangnya sel-sel otak pada janin. Apa yang disebutkan di atas adalah sebagian dari kerusakan yang terjadi pada bayi dari ibu yang gemar mengonsumsi tembakau. Mungkin saja terjadi kerusakan yang lebih serius lagi disebabkan rokok, yang sejauh ini belum teridentifikasi. Oleh karena itu, setiap ibu yang mau memperhatikan kesehatan dirinya dan anaknya mesti menjauhi rokok."[20]


Dr. Jazairi menyatakan:
"Merokok berbahaya bagi ibu dan juga bayi yang sedang berkembang dalam rahimnya. Minuman beralkohol juga sangat berbahaya bagi ibu hamil. Racun dalam alkohol dapat menghancurkan vitamin-vitamin yang sangat diperlukan oleh ibu dan janinnya. Wanita seperti itu memiliki risiko melahirkan bayi cacat. Merokok dan mengonsumsi teh mendidih sangat berbahaya bagi wanita hamil."[21]


Sementara itu, Dr. Jalali menulis:
"Alkohol, mariyuana, dan obat-obat terlarang lainnya masuk ke dalam aliran darah orang tua dan berpindah ke dalam embrio, sehingga merusak perkembangan janin. Beberapa pakar berpendapat bahwa ketika seorang wanita hamil merokok, jantung janinnya akan terpengaruh dan detaknya akan meningkat secara abnormal."[22]




10. KETIKA WANITA HAMIL JATUH SAKIT

Ketika memerlukan obat disebabkan sakit, seorang wanita hamil harus sangat berhati-hati dalam mengonsumsi obat-obatan tersebut. Sebab, obat-obatan pada umumnya didesain untuk orang dewasa dan mungkin tidak cocok bagi janin, sehingga dapat merusaknya. Tak dapat diprediksikan pengaruh apa yang mungkin timbul bagi janin akibat obat-obatan itu. Karena, kenyataannya, tak ada obat yang tak berpengaruh pada janin. 

Inilah mengapa seorang wanita hamil mesti secara maksimal mengendalikan diri dalam pemakaian obat-obatan. Bahkan, ia harus menghindari pemakaian obat-obatan. Tetapi, jika kondisi kesehatan mengharuskannya menggunakannya, ia mesti berkonsultasi lebih dulu pada seorang dokter, yang dapat memberikan saran secara benar tentang obat dan dosisnya.

Ketika sakit itu berisiko bagi ibu dan janinnya, maka sang ibu mesti juga berkonsultasi dan memperoleh perawatan dari pakar di bidang tersebut. Bila tidak, hal itu akan mengakibatkan cacat pada janin.


Seorang ahli menulis:
"Mungkin saja virus-virus dan mikroba-mikroba tertentu dari tubuh ibu dan ayah masuk ke dalam janin, dan menginfeksinya dengan penyakit yang sama."


Ia juga menulis:
"Setiap perubahan pola makan ibu, obat-obatan yang ia konsumsi, dan penyakit yang ia derita, akan mempengaruhi embrio. Kondisi sakit, yang mempengaruhi embrio di masa awal kehamilan, akan meningkat secara progresif. Oleh karena itu, penting sekali bagi seorang wanita hamil untuk menjaga dirinya dari segala penyakit. Terkadang bahkan, penyakit mampu merusak kemampuannya untuk hamil di masa mendatang."


Ia menulis pula:
"Terdapat beberapa materi non-makanan, yang ketika dikonsumsi wanita hamil, akan merusak perkembangan janin. Kebanyakan obat-obatan diperuntukkan bagi orang dewasa, dan uji cobanya juga dilakukan pada orang-orang dewasa sebelum disahkan. Virus, bakteri, dan kuman dalam tubuh ibu terkadang juga memengaruhi janin. Terkadang janin mulai memperlihatkan gejala penyakit yang sama, atau bahkan terkadang pertumbuhan abnormal terjadi pada janin disebabkan penularan tersebut."[23]




11. PENGARUH KONDISI PSIKOLOGIS IBU TERHADAP JANIN

Para pakar telah mengungkap secara hati-hati kenyataan apakah kondisi psikologi ibu dapat memengaruhi embrio dalam kandungannya. Beberapa pakar berkata bahwa bila seorang ibu dalam kondisi ketakutan dan gelisah, janin akan terpengaruh dan besar kemungkinan kelak tumbuh menjadi anak yang minder. 

Sementara itu, kecenderungan cemburu dan watak dengki ibu juga akan mengimbas pada anak. Sebaliknya, bila sang ibu memiliki watak baik, berperikemanusiaan, jujur, berani, dan penuh kasih sayang, maka itu juga akan berpengaruh pada anaknya. 

Para pakar tersebut juga berpendapat bahwa anak dalam kandungan pada dasarnya merupakan bagian dari diri sang ibu. Oleh karena itu, ia akan terpengaruh oleh pikiran dan kondisi psikologis ibunya. Namun, beberapa pakar genetika dan psikologi anak menolak teori ini. Mereka merasa bahwa pikiran dan kondisi psikologi ibu tak akan mempengaruhi pikiran anak secara permanen.


Dr. Jalali menulis:
"Tak ada hubungan langsung antara ibu dan janin, selain melalui tali pusar yang tak memiliki rasa (atau indra); dan tali pusar-yang tertutup itu-memiliki urat syaraf yang membawa darah. Oleh karena itu, pendapat awal yang menyatakan bahwa kondisi kejiwaan ibu berpengaruh pada pikiran anak boleh jadi tidak benar."[24]


Namun demikian, tidak benar bila dikatakan bahwa pikiran ibu sama sekali tak berpengaruh langsung pada anak. Pandangan ini terilustrasikan pada argumen-argumen berikut:
1. Pikiran dan jiwa manusia saling terhubung satu sama lain. Kondisi sakit atau sehat, kekuatan syaraf dan daya tahan fisik atau kelemahan, dan bahkan munculnya atau kurangnya nafsu makan akan berpengaruh pada pikiran dan kepribadian seseorang. Kepribadian individu dan wataknya akan berpengaruh pada perkembangan otaknya. Karenanya, bisa saja kekurangan pada makanan atau tiadanya makanan akan meningkatkan kegelisahan dan pikiran buruk dalam otak.

2. Embrio memerlukan makan, yang masuk dan menjangkaunya dalam rahim ibu. Selama janin berada dalam rahim, ia bergantung pada ibunya untuk makan. Oleh karena itu, kebiasaan-makan ibu berpengaruh langsung pada perkembangan fisik dan mental anak. Dr. Jalali menulis, "Apa yang bermanfaat bagi ibu pasti juga bermanfaat bagi janin. Bila makanan ibu kekurangan kalsium, maka hal itu akan berpengaruh pada perkembangan tulang dan gigi anak."[25] 

3. Sebagaimana diketahui, gangguan dan kegelisahan berlebihan pada seseorang akan menyebabkan ketidaksanggupan dalam mencerna, sembelit, dan memengaruhi tubuhnya. Sedangkan kesedihan atau ketakutan berlebihan akan menurunkan nafsu makan seseorang dan sistem pencernaannya akan terganggu. Kelenjar pencernaan juga tidak akan berfungsi normal.

Dari ketiga keterangan di atas dapat dikatakan bahwa meskipun kondisi pikiran dan batin ibu tidak secara langsung berpindah ke otak dan syaraf anak, namun kondisi itu dapat memengaruhi fungsi pencernaan ibu yang akhirnya berpengaruh pada pembentukan fisik dan batin anak.

Perasaan ibu yang sedang marah atau gelisah akan mempengaruhi karakternya secara umum dan mengganggu sistem pencernaannya. Kondisi ini akan merusak tubuh sang ibu termasuk pula janinnya. Mungkin saja anak dalam kandungan ibu semacam itu akan terjangkit penyakit tersebut, yang akan muncul dengan sendirinya pada tahap berikutnya.


Dr. Jalali menulis:
"Kegelisahan berlebihan yang dialami ibu hamil dan kejadian tak menyenangkan di lingkungannya akan berbahaya bagi perkembangan dan watak anak. Kondisi-kondisi semacam itu akan menciptakan masalah dan menumbuhkan kelenjar-kelenjar yang tak diinginkan. Akibat lainnya, sistem pencernaan tak mampu berfungsi normal. Mungkin inilah alasan mengapa beberapa anak mengidap kegelisahan. Kondisi ini boleh jadi pula menjadi penyebab keguguran."[26]

Seorang wanita hamil yang merasa nyaman secara fisik dan mental akan memperoleh janin yang sehat. Lingkungan damai seperti itu tentulah ideal bagi perkembangan sempurna anak dalam rahim ibu. Sebaliknya, janin dari seorang ibu yang pencemburu, dengki, mudah tersinggung, penakut, dan bermental buruk tidak akan terasuh dengan baik dan dapat terjangkiti penyakit pada pikiran dan tubuhnya. Sekaitan dengan ini, perlu disimak penjelasan berikut:

"Para pakar psikologi telah membuktikan bahwa 26 persen dari penyakit psikologis anak merupakan warisan dari kondisi ibu mereka. Oleh karena itu, bila sang ibu dalam kondisi sehat walafiat, maka anaknya pun akan memiliki kondisi fisik yang baik. Bila seorang ibu peduli terhadap kesehatan anaknya, maka hendaknya ia memperhatikan kondisi fisik dan mentalnya sendiri selama masa kehamilan. Dan pengaruh lingkungan terhadap perkembangan anak selalu nyata."




12. BEBERAPA ANJURAN


Hindari Mengangkat Barang-barang Berat

Wanita hamil dianjurkan untuk tidak mengangkat barang-barang berat. Mereka juga mesti menghindari tugas-tugas yang sangat melelahkan. Karena, bila seorang ibu hamil kecapaian, maka bayi yang sedang dikandungnya juga akan kecapaian. Kasus-kasus seperti ini bisa mengakibatkan keguguran.


Hindari Bepergian Jauh

Bepergian jauh selama bulan-bulan terakhir masa kehamilan juga tidak dianjurkan. Bila tidak ada keperluan penting untuk melakukan perjalanan, lebih baik seorang ibu hamil tidak melakukannya. Namun demikian, melakukan pekerjaan ringan dan membatasi gerakan tidak menjadi masalah, bahkan bermanfaat bagi kesehatan ibu dan janin dalam kandungan.


Dr. Jalali mengatakan:
"Kelelahan pada wanita hamil akan meningkatkan zat beracun dalam darah. Karena darah merupakan sumber nutrisi bagi janin, maka itu akan merusak pertumbuhan anak."[27]


Ciptakan Lingkungan Bersih

Janin dalam kandungan ibu memerlukan oksigen, meskipun belum dapat menghirupnya sendiri (melalui hidung). Namun, ia memanfaatkan oksigen yang diperoleh ibu dari udara. 

Dengan demikian, oksigen yang dikonsumsi ibu tidak hanya untuk kepentingan dirinya, melainkan juga untuk kepentingan janin. Bila ibu menghirup udara bersih dan higienis, maka ia dapat memastikan kesehatan dirinya dan janin yang dikandungnya. Namun, bila lingkungan ibu telah tercemar sehingga menghirup udara beracun, maka ini akan berbahaya bagi kesehatan dirinya dan janinnya. 

Oleh karena itu, wanita hamil dianjurkan untuk memperhatikan lingkungan di mana dirinya tinggal. Ia mesti tinggal di lingkungan yang bebas polusi. Ia juga mesti menghindari begadang di malam hari, yang akan membuat dirinya kelelahan.

Selama kehamilan, wanita mesti menghindari rokok dan terlindung dari menghirup udara tercemar. Ketika tidur, ia sebaiknya membuka jendela kamar, agar udara segar terkonsumsi olehnya. Perlu diperhatikan di sini, kekurangan oksigen dapat sangat berbahaya bagi janin. Kami kutipkan kembali pernyataan Dr. 


Jalali sebagai berikut:
"Berbagai cacat tubuh seperti bibir sumbing, tapak kaki rata, mata cekung dan kecil, tadinya dianggap berasal dari faktor keturunan. Namun, sekarang ditemukan bahwa cacat-cacat pada anak yang baru lahir ini justru disebabkan kondisi lingkungan, terutama disebabkan kurangnya konsumsi oksigen selama masa kehamilan ibu."


Catatan Kaki:


[20] Maktab Islam, Tahun 15, no. 6.

[21] Aijaz Khurakia, hal.215.

[22] Rowan Shinashi Kudak, hal.222.

[23] Biography Pish-az Tawallud, hal.182.

[24] Rowan Shinashi Kudak, hal.188.

[25] ibid., hal.188.

[26] ibid., hal.222.

[27] Rowan Shinashi Kudak, hal.222.







13. MASALAH ABORSI

Tak masalah dalam Islam sekaitan dengan penggunaan alat kontrasepsi atau penerapan keluarga berencana, melalui kesepakatan bersama antara suami dan istri. Bila istri dan suami khawatir terhadap efek-efek yang tak diinginkan, mereka dapat menghindari mengonsumsi pil-pil dan suntikan berbahaya, serta metode kontrasepsi lainnya (yang juga dianggap berbahaya). 


Larangan Islam terhadap Aborsi 

Aborsi tidak diperbolehkan dalam Islam. Islam menginginkan agar keturunan para pengikutnya terus berkembang. Ketika sperma dan sel telur telah bercampur sehingga membentuk embrio, maka ini merupakan awal kehidupan; dan aborsi terhadapnya adalah haram dalam Islam. 

Meskipun embrio merupakan objek kecil, namun ia memiliki hak untuk eksis. Ia merupakan eksistensi, yang cepat berkembang menjadi manusia seutuhnya. Makhluk kecil ini menginginkan ibunya memberikan lingkungan yang sesuai untuk berkembang dan lahir sebagai manusia seutuhnya.

Orang tua yang melakukan aborsi berarti telah melakukan pembunuhan, yang dapat diganjar dengan hukuman di akhirat kelak. Keyakinan Islam, yang merupakan penegak hak asasi, sedemikian melarang praktik aborsi dan pembunuhan terhadap bayi. 

Ishaq bin Ammar meriwayatkan: Aku bertanya pada Imam Musa bin Ja`far as. tentang kasus seorang wanita yang takut hamil, "Apakah Anda mengizinkannya untuk meminum ramuan demi melakukan aborsi?" Beliau menjawab, "Tidak. Aku tidak mengizinkannya." Aku lalu bertanya lagi, "Ketetapan apa yang berlaku pada masa kehamilan di tahap awal embrio?" Beliau berkata, "Perkembangan manusia dimulai pada saat terbentuknya embrio. Allah Swt. berfirman dalam al-Quran bahwa pada Hari Kiamat kelak, para orang tua akan ditanya tentang kejahatan membunuh anak mereka. (QS. at-Takwir: 8-9)." 

Aborsi adalah perbuatan yang sangat tak bermoral, yang telah dilarang Islam. Juga dapat berisiko fatal bagi kehidupan dan kesehatan ibu. Dr. Pak Nagar, dalam seminar tentang aborsi, mengatakan:

"Telah terbukti bahwa praktik aborsi berakibat berkurangnya umur wanita. Penelitian ilmiah juga membuktikan bahwa aborsi mengganggu keseimbangan psikologis wanita."[28]

Dari tahun 1951-1953, berdasarkan statistik New York, sebanyak 2.601 wanita meninggal dunia disebabkan aborsi. Dan sepuluh tahun setelah itu, jumlahnya meningkat sebanyak 42 persen. Di Chile, 39 persen wanita tewas karena aborsi.


Mengapa Aborsi? 

Salah satu alasan dilakukannya aborsi adalah kemiskinan. Beberapa orang tua berlindung di balik alasan ini untuk membunuh anak mereka sendiri. Tak diragukan bahwa banyak keluarga yang hidup dalam kemiskinan. Dan memang sangat sulit untuk mengasuh keluarga dalam kondisi miskin seperti itu. Namun, Islam tak menerima kemiskinan sebagai alasan untuk melakukan aborsi. Allah Swt berfirman dalam al-Quran, Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. (QS. al-Isra: 31)

Ketika janin telah terbentuk, orang tua mesti menanggung beban dengan tabah, sehingga anak dapat tumbuh dewasa serta memberikan manfaat bagi keluarga dan masyarakat. Kelak di kemudian hari, anak sangat mungkin menjadi sumber ekonomi keluarga, sehingga mereka terbebas dari kemiskinan.

Alasan lain dilakukannya aborsi adalah aktivitas di luar rumah, tanggung jawab pekerjaan kantor, dan telah memiliki banyak anak. Namun semua ini bukan merupakan alasan-alasan valid, yang dapat diterima oleh hukum Islam dan akal sehat, untuk melakukan aborsi. 


Uang Darah untuk Pelaku Aborsi 

Bahkan tindakan aborsi dapat dikenakan diyat (membayar uang darah), yang jumlahnya tergantung dari usia janin. Imam Ja`far Shadiq as. berkata, "Jika anak yang diaborsi masih berbentuk embrio, maka diyatnya adalah 20 dinar. Bila telah berbentuk segumpal darah ('alaqah), maka diyatnya adalah 40 dinar. Bila telah berbentuk segumpal daging (mudhghah), maka diyatnya adalah 60 dinar. Bila telah terbentuk tulang ('azhm), maka diyatnya adalah 80 dinar. Bila telah berbentuk manusia utuh (sebelum dimasukkan ruh kepadanya), maka diyatnya adalah 100 dinar. Dan bila ruh telah dimasukkan kepadanya, maka hukumannya adalah sama dengan (hukum membunuh) seorang manusia pada umumnya."[29]


Seorang wanita bernama Afsar al-Maluk Amili, telah menulis syair indah sekaitan dengan isu ini sebagai berikut:
Seorang janin kecil yang telah diaborsi muncul dalam mimpiku dan berkata:

Bila engkau bertemu ibuku, maka sampaikan pertanyaanku kepadanya:

Ibu, kesalahan apa yang kuperbuat sehingga engkau membunuhku?

Sebagai anak, semestinya aku menunggu waktuku dengan damai, 

namun mengapa yang kuperoleh justru pembunuhan?

Engkau telah menajamkan taring dan cakarmu, dan telah menodai pakaianmu dengan darahku.

Aku adalah tamu yang baru engkau datangkan, dan tak membahayakan dirimu.

Tamu yang semestinya digembirakan, bukan malah dibunuh dengan kejam.

Engkau mengkhawatirkan biaya perawatanku, sehingga kau padamkan keberadaanku.

Ibu, aku telah membawa rezekiku sendiri, namun sayang engkau tak meyakininya.

Engkau lebih memilih untuk bergerak bebas ketimbang merawatku, dan meletakkan landasan tirani.

Bagi anak, ibu adalah harapan mereka; dan bersamanya, mereka merasa cukup.

Aku berharap untuk dapat melihat wajahmu dan memetik bunga dari taman indahmu.

Aku berharap untuk dapat mengecap air susumu, sehingga melepaskan deritamu.

Aku berharap untuk meminum air susumu dan mendengar suaramu di telingaku.

Kupikir ketika engkau melihat senyumku, maka engkau akan duduk di samping tempat tidurku.

Kuharap bahwa engkau akan mengirimku ke sekolah dan memberiku pelajaran kebajikan.

Sekembali dari sekolah, aku akan membuatmu gembira dengan membacakan puisi anak-anak.

Aku berharap bahwa ketika aku beranjak muda, maka engkau akan mewujudkan nilai diriku.

Di usia tuamu, aku akan menjadi penopang dan penolongmu.

Sekarang aku berada di surga sebagaimana layaknya ruh suci, dan tempatku bersama hurrul 'ain (bidadari surga).

Engkau semestinya memohon ampunan, sehingga mungkin Allah Swt akan mengampunimu. 

Wahai Afsar, permintaanku kepadamu adalah agar engkau menyampaikan pesanku ini kepada setiap ibu.




14. KELAHIRAN

Masa Penuh Risiko

Masa kehamilan umumnya berlangsung selama sembilan bulan sepuluh hari. Masa ini sangat sensitif dan penuh risiko, karena tanggungan beban untuk membesarkan sang janin di kemudian hari. Anak di masa tersebut menghabiskan kehidupannya dalam ruang yang tak dapat dikendalikan serta rentan terhadap bahaya fisik dan psikologis. Anak belum mampu melawan risiko ini. 

Setelah melewati masa sembilan bulan tersebut, maka ia masih harus melewati fase berisiko lainnya, yaitu kelahiran. Proses kelahiran tidaklah mudah dan sederhana, melainkan sangat sensitif dan sulit. 

Anak tumbuh dalam ukuran tertentu selama masa sembilan bulan, khususnya kepalanya-yang lebih besar ketimbang anggota tubuh lainnya. Sehingga proses kelahiran, yang mesti melewati saluran sempit rahim, menjadi sangat sulit. 

Kemungkinan yang bisa terjadi selama kelahiran adalah patahnya atau terpelintirnya tangan anak. Kemungkinan lainnya adalah rusaknya otak disebabkan tekanan saat proses kelahiran. 


Seorang pakar berkata:
"Proses kelahiran dapat mengakibatkan kerusakan psikologis pada anak. Menurut para psikiater, proses kelahiran dapat mengakibatkan beban signifikan bagi kehidupan anak. Menurut mereka, kelahiran adalah perubahan revolusioner dalam lingkungan dan kehidupan anak serta merampas rasa aman dan istirahat yang telah diperolehnya di rahim ibu. Pada saat kelahiran, rasa takut dan prihatin menjadi bagian dari psikologis manusia. Dalam kehidupan mendatang, seseorang akan mengalami pikiran-pikiran kacau yang tak dimengerti. Kehidupan janin (di rahim) sedemikian menyenangkan, sementara kelahiran berarti menjemput kerja keras di dunia."[1] 


Dr. Jalali berkata:
"Ketika lahir ke dunia, anak akan mengalami tekanan selama beberapa jam, dan yang paling terpengaruh adalah kepalanya yang merupakan bagian terbesar dari tubuhnya. Bila kelahiran tidak normal, prosesnya akan menjadi lebih sulit. Di samping risiko lingkungan, anak juga mesti berhadapan dengan risiko penggunaan peralatan mekanik selama proses kelahiran; yang dalam kasus-kasus tertentu dapat mengakibatkan kematian bayi. Penyakit-penyakit, seperti kegilaan dan kelumpuhan pada anak, bisa juga disebabkan proses kelahiran yang sulit."[2] 

Oleh karena itu, kelahiran anak bukan proses yang sederhana, dan memerlukan perhatian sepenuhnya dan keahlian demi menjamin keselamatan ibu dan anak. Kecerobohan sedikit saja pada penanganannya akan menyebabkan bahaya besar bagi keduanya (ibu dan anak), bahkan dapat mengakibatkan kematian bagi salah satunya atau keduanya. Namun sekarang, para dokter ahli dan spesialis dapat dengan mudah diakses, sehingga kemungkinan bahaya bagi ibu dan anak dapat diperkecil. 


Konsultasi Sebelum Melahirkan 

Dianjurkan bagi wanita hamil, jika dapat memperoleh akses kepada dokter spesialis kandungan atau (bidan) di rumah sakit, hendaknya ia berkonsultasi pada mereka sebelum menghadapi proses melahirkan. Ia mesti memastikan dari mereka kapan kira-kira dirinya akan melahirkan, dan meminta perawatan di rumah sakit dalam menghadapi proses tersebut. Keuntungannya adalah tersiagakannya dokter dan perawat selama proses melahirkan. Sehingga bila terjadi keadaan darurat, ia dapat segera ditolong. Bila tidak, itu akan berbahaya bagi ibu dan anak. 

Keuntungan lain dari melahirkan di rumah sakit adalah tersedianya lingkungan sehat dan penanganan medis, yang tak dapat diperoleh di rumah. Selain itu, ia tak perlu berhadapan dengan berbagai pendapat tak-berdasar dari wanita lain dalam keluarga. Karena, biasanya, pendapat tersebut tidak memba ngun dan adakalanya membahayakan. 


Peran Suami 

Suami juga memiliki tanggung jawab besar selama masa kehamilan dan melahirkan. Secara syariat dan moral, sudah menjadi tugasnya-selama masa yang sulit dan berisiko ini-untuk memberikan pertolongan dan dorongan pada istrinya, serta mengambil semua langkah yang memungkinkan demi menjamin keselamatan proses kelahiran anak. 

Kecerobohan suami dapat saja berakibat kematian bagi ibu dan anak, atau mengakibatkan cacat fisik dan psikologis. Suami yang ceroboh dapat dianggap sebagai kriminal dalam pandangan agama dan masyarakat, yang akan dipertanggungjawabkannya kelak di akhirat. Sang suami juga akan merasakan penyesalan yang mendalam, bila disebabkan kecerobohan dan kekikirannya, tidak memberikan perawatan yang memadai bagi istrinya yang sedang hamil. 

Terkadang, disebabkan kelalaian, suami harus menyediakan lebih banyak biaya demi menyelamatkan anaknya dari cacat. Jika keluarga si wanita hamil tak mampu membawanya ke rumah bersalin, mereka mesti mencarikan bidan yang kompeten, cakap, dan berpengalaman dalam mengatasi proses kelahiran. 


Beberapa Tips


Sekaitan dengan hal ini, tip-tip berikut semestinya diperhatikan:
1. Temperatur ruangan mesti sedang dan tidak terlalu dingin. Ini penting, karena wanita hamil akan mengalami tekanan yang hebat; dan disebabkan lamanya rasa sakit, akan banyak berkeringat. Sehingga, bayi akan merasa kedinginan dan terjangkit beberapa penyakit. Bila ruang melahirkan menjadi lebih dingin setelah proses kelahiran, maka ibu mungkin akan menjadi kedinginan. 

Udara dingin berbahaya bagi bayi yang baru lahir, karena telah terbiasa dengan temperatur rahim yang hangat (sekitar 37,5o Celcius). Tubuh bayi belum mampu menyesuaikan diri. Karenanya, ia akan menjadi sakit, yang penanganannya cukup sulit. Kematian bayi dalam kasus seperti ini ternyata cukup tinggi.

2. Penting juga melindungi ruang melahirkan dari udara beracun, yang disebabkan rokok, pembakaran minyak tanah, dan lain-lain. Menghirup polusi semacam itu akan berbahaya bagi ibu dan anak.

3. Dianjurkan pula untuk menjaga privasi serupa di ruang melahirkan. Terjaga dari masuknya orang-orang yang tidak berkepentingan. Karena pengunjung ini dapat membuat malu dan gelisah wanita yang akan melahirkan itu, dan dapat pula memberikan infeksi yang dibawa dari luar ruangan. Selain itu, pengunjung tersebut dapat melihat aurat wanita itu, yang hal ini terlarang dalam Islam. 

Karena dalam kondisi akan melahirkan, wanita akan sulit melindungi auratnya. Imam Sajjad memerintahkan para wanita pengunjung untuk meninggalkan ruang melahirkan, agar aurat si wanita melahirkan tak terlihat mereka.[3] 

Wanita hamil harus melatih semua perawatan selama kehamilan dan melahirkan, agar dapat menghasilkan bayi sehat yang dapat bermanfaat bagi masyarakat. Dalam pandangan Allah Swt sendiri, ini merupakan pelayanan terbaik seorang wanita dan akan memperoleh pahala karenanya. 

Suatu hari, Rasulullah saw berbicara tentang jihad. Kemudian, seorang wanita bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah wanita dapat memperoleh keutamaan jihad?" Rasulullah saw menjawab, "Wanita juga dapat memperoleh keutamaan jihad. 

Di masa dirinya hamil hingga melahirkan dan menyusui anaknya hingga menyapihnya adalah sama seperti seorang laki-laki yang pergi berjihad ke medan perang. Jika wanita itu meninggal dunia pada masa tersebut, maka ia akan memperoleh kesyahidan."[4] 




15. SETELAH MASA KELAHIRAN

Ketika anak lahir, udara akan mengalir ke paru-parunya dan ia pun mulai bernafas. Setelah itu, ia akan menangis untuk pertama kalinya. Tangisan ini merupakan reaksi dari mengalirnya udara ke paru-parunya. Bila bayi tidak bernafas dan menangis, maka posisinya akan dibalik; kaki dipegang di atas dan kepala berada di bawah, untuk membantunya bernafas. 

Kemudian tali pusar dipotong dengan gunting yang higienis. Setelah itu, bayi dimandikan dengan air hangat dan sabun, lalu dibungkus dengan kain. Untuk beberapa saat, bayi belum memerlukan susu. Kemudian, masukkan air hangat yang dicampur gula ke mulutnya. 


Bayi Perlu Banyak Istirahat
Bayi yang baru lahir umumnya berada dalam keadaan mimpi. Karenanya, ia memerlukan banyak istirahat, disebabkan telah mengalami transisi eksternal dan internal. Mulanya, ia bergantung pada makanan ibunya, namun sekarang mesti menggunakan sistem pencernaannya sendiri. Selama masa hamil, janin bergantung pada oksigen yang dihirup ibunya. 

Namun setelah lahir, ia harus menggunakan sistem pernafasannya sendiri. Ia sekarang menghirup sendiri oksigen di udara dan mengeluarkan karbondioksida ke udara. Fungsi organ internalnya akan mengalami perubahan besar, kondisi eksternal dan lingkungannya pun mengalami perubahan. Ketika berada di rahim ibu, lingkungannya bertemperatur sekitar 37,5 derajat Celcius; namun lingkungan barunya kini memiliki temperatur yang berubah-ubah. 

Selama proses kelahiran pun, bayi mengalami banyak tekanan, yang memerlukan kelonggaran. Saat itu, anak akan seperti orang yang baru melewati operasi (pembedahan), sehingga memerlukan banyak istirahat. Seperti mesin yang baru dibeli, ia perlu penanganan ekstra hati-hati. Dalam keadaan seperti ini, hal terbaik yang dapat dilakukan kepadanya adalah memberinya suasana istirahat, untuk menetralisir kesulitan yang dialaminya selama proses kelahiran. 


Dr. Jalali menyatakan:
"Mengusik bayi dengan tertawaan orang-orang, menggendongnya berkali-kali, dan sering mengganti pakaiannya untuk memperlihatkan dirinya kepada mereka adalah tindakan yang tidak dianjurkan dan semestinya dihindari. Bayi bukanlah mainan. Ia memerlukan istirahat dan ketenangan. Hindari berbicara keras di dekatnya, dan jangan menggoyang-goyangkannya naik-turun dalam upaya menenangkannya. (Keseringan) memeluk dan menciumnya juga tak dianjurkan."[5]


Sang Ibu Perlu Istirahat 
Ibu juga memerlukan istirahat dan mengembalikan tenaga. Selama masa kehamilan sembilan bulan, ia telah mengalami banyak kerja berat. Khususnya setelah melahirkan, ia akan sangat lemah, seolah telah kehilangan hampir seluruh darahnya. Pada saat seperti ini, suami yang baik mesti memberikan semua kenyamanan untuknya; dan dengan nutrisi yang baik, ia mesti berupaya mengembalikan kesehatan istrinya. 

Bila perawatan medis dan obat diperlukan, maka itu mesti segera dilakukan. Bila suami lalai dalam urusan ini, maka istrinya akan terus lemah dan ia akan menanggung pula konsekuensinya.


Catatan Kaki:

[28] Maktab-e Islami, Tahun ke-13, isu ke-8. 

[29] Wasâ`'il asy-Syî'ah, jil.19, hal.169.

[1] Pish az Tawallud, hal.160.

[2] Rowan Shinashi Kudak, hal.193.

[3] Wasâ`'il asy-Syî'ah, jil.10, hal.119.

[4] Makârim al-Akhlâq, jil.1, hal.268.

[5] Rowan Shinashi Kudak, hal. 223.






16. MASA PENYUSUAN DAN PENYAPIHAN

ASI adalah Nutrisi Terbaik
Air susu ibu (ASI) merupakan makanan yang terbaik dan lengkap bagi anak. Bahkan dia lebih baik daripada susu sapi, susu kambing, ataupun produk makanan bermerek.

1. ASI, yang disebabkan kandungan gizinya, akan bermanfaat bagi gerak (aktivitas) anak. ASI sangat cocok bagi anak. Ia telah memperoleh nutrisi dari ibunya selama sembilan bulan dalam kandungan, dan akan terus memperoleh asupan yang sama melalui ASI.

2. Karena ASI dimanfaatkan secara alamiah, maka nilai gizinya pun terpelihara. Sementara itu, susu sapi mesti direbus terlebih dulu sebelum dikonsumsi, sehingga mungkin saja banyak gizinya yang hilang.

3. Dari segi kesehatan anak, ASI paling dianjurkan. ASI sangat kecil kemungkinannya terkontaminasi kuman, lantaran langsung diberikan kepada anak. Sementara itu, susu lainnya diperoleh melalui alat tertentu, yang boleh jadi telah terinfeksi kuman pada saat digunakan.

4. ASI selalu dikonsumsi dalam kondisi segar, sementara susu lainnya bisa saja menjadi basi ketika disimpan. 

5. Tidak mungkin terjadi campuran pada ASI, sementara susu lainnya dapat memperoleh risiko tersebut.

6. ASI terbebas dari kuman penyakit, sementara susu lain berisiko membawanya.

ASI adalah makanan teraman bagi bayi. Anak yang dibesarkan dengan ASI akan lebih sehat dibanding anak lainnya yang diberi susu jenis lain. Kasus kematian bayi yang mengonsumsi ASI kenyataannya lebih sedikit ketimbang yang mengonsumsi selainnya. 

Keuntungan lain dari pemberian ASI adalah terselinginya periode kehamilan ibu, sehingga kemungkinan hamil lagi akan tertunda. 

Islam juga menekankan pentingnya ASI bagi anak, dan bahkan menganggapnya sebagai hak alamiah anak. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata, "Tak ada susu sebaik ASI bagi anak."[6]

ASI begitu penting dalam pandangan Islam, sehingga ketika seorang ibu memberikannya kepada anak, dirinya akan beroleh balasan yang baik di akhirat kelak. Rasulullah saw bersabda, "Semakin sering seorang ibu memberikan ASI-nya pada anaknya, makin sering pula Allah memberikan pahala kepadanya sebagaimana (pahala) membebaskan budak dari suku Ismail. Ketika telah sampai masa penyapihan, seorang malaikat akan meletakkan tangan di pundak si ibu dan berkata, 'Mulailah hidupmu yang baru dengan dosa-dosa lalu yang telah terhapus.'"[7] 

Dalam sebuah seminar di Universitas Syiraz, semua pakar yang hadir bersepakat bahwa makanan dan kombinasi vitamin apapun tidak dapat menggantikan ASI bagi anak. 


Dr. Simeen Wakifi berkata:
"Amat memprihatinkan bahwa banyak ibu yang secara buta mengikuti praktik para wanita Barat, yaitu melakukan penyapihan dini pada anak mereka, serta memberikan susu bubuk dan makanan buatan lainnya kepadanya. Praktik semacam ini jelas bertentangan dengan kebutuhan nutrisi anak. Dan tak ada yang bisa menggantikan ASI, yang telah terbukti lebih baik dalam segala hal."[8]


Seorang pakar lainnya juga menulis:
"ASI adalah makanan unik, yang disediakan alam untuk bayi, dan tak ada makanan lain yang dapat menggantikannya. Oleh karena itu, setiap upaya mesti dilakukan untuk memastikan bahwa ibu dapat memberikan ASI-nya. Bila ternyata ASI-nya kering, ia mesti memperhatikan makanannya agar dapat menyuburkan ASI-nya."[9] 

Ibu yang bertanggung jawab, yang memperhatikan kesejahteraan anak-anaknya, tidak akan merampas rahmat yang telah diberikan Allah kepada mereka. Ibu seperti ini mengetahui tentang pentingnya pengaruh ASI bagi perkembangan tubuh dan daya pikir anak. 

Oleh karena itu, ia mau mengorbankan kesenangan mereka sendiri demi kesehatan dan kesejahteraan anak. Wanita seperti inilah yang berhak disebut ibu; bukan mereka yang bodoh dan hanya mementingkan diri sendiri, yang meskipun mampu menyusui namun membuat diri mereka kering dan memberi anak mereka susu bubuk.

Wanita yang tidak memberikan ASI kepada anaknya dapat memperoleh beberapa penyakit fisik dan psikologis. Kanker payudara adalah salah satu penyakit serius yang lazim diderita oleh wanita seperti itu. 


Gizi Bagi Ibu-Menyusui
Di sini, perlu pula menghimbau para ibu-menyusui agar memperhatikan makanannya. Makanan yang dikonsumsi ibu terkait dengan nilai gizi ASI yang diproduksinya. Oleh karena itu, makanan ibu mestilah terkombinasi secara imbang antara buah-buahan, sayuran, dan makanan pokok. 

Air dan makanan yang mengandung air juga bermanfaat. Ibu tidak seharusnya berpikir bahwa makanan mahal saja yang baik. Ia mesti memprogramkan makanan seimbang, yang bergizi namun tidak mahal. Mereka dapat pula merujuk pada buku-buku tentang perencanaan makanan yang terkait dengan hal ini. 

Salah satu dari buku tersebut menyebutkan, "Para pakar diet menganjurkan agar para ibu-menyusui mengonsumsi kombinasi makanan yang tersedia. Terutama kacang lobia, makanan pokok, susu, margarin segar, kelapa, minyak zaitun, walnut, almond, serta buah-buahan yang manis dan banyak mengandung air."[10] 

Imam Ja`far Shadiq berkata, "Jika Anda menggunakan wanita Yahudi atau Nasrani menyusui anak Anda, mintalah mereka untuk tidak mengonsumsi daging babi dan minuman beralkohol."[11]

Bila ibu-menyusui jatuh sakit dan mesti minum obat, ia mesti ingat bahwa ASI-nya dapat terkontaminasi obat tersebut dan dapat membahayakan anak yang disusuinya. Ibu tidak semestinya menggunakan obat-obatan tanpa berkonsultasi lebih dulu dengan dokter yang kompeten.


Tambahan bagi ASI 
Makanan pokok bayi tidak diragukan lagi adalah ASI, namun lebih baik dilengkapi pula dengan suplemen (tambahan), yaitu sedikit minyak ikan dan ekstrak buah. Ini akan lebih memastikan pertumbuhan anak. 

Semakin anak tumbuh, maka kebutuhan makanannya pun bertambah. Hingga mencapai tahap yang tidak cukup dengan ASI saja. Pada tahap ini, makanan lain diperlukan untuk memberikan gizi yang optimum. 

Setelah bayi berumur empat bulan atau maksimal enam bulan, anak mesti dilatih untuk mengonsumsi makanan lain. Namun makanan tersebut mesti lembut dan cair. Jus buah-buahan juga ideal pada tahap ini. Air rebusan sayur dapat pula menjadi sumber makanan bergizi bagi anak. Sup juga baik untuk pertumbuhan anak. 

Ketika gigi anak mulai tumbuh, maka dapat diberikan kepadanya kentang rebus, telur rebus, biskuit, keju segar, roti, margarin, dan buah-buahan segar. 

Makanan anak mestilah bervariasi, namun mesti diperhatikan bahwa anak jangan sampai diberi makan berlebihan. 




17. JADWAL PEMBERIAN ASI

Dua Metode Penyusuan
Para pakar telah menganjurkan dua metode dalam menyusui bayi. Beberapa di antaranya adalah perlunya membuat jadwal pemberian ASI kepada anak, dan penyusuan dilakukan dalam interval waktu yang telah ditentukan tersebut. Antara dua penyusuan, sebagian menyarankan bahwa intervalnya tiga jam, sementara sebagian lainnya menyarankan empat jam. 

Beberapa pakar tidak setuju dengan penjadwalan semacam itu. Mereka percaya bahwa pemberian ASI mesti dilakukan lebih sering, tergantung indikasi nafsu makan bayi. Mereka berkata bahwa kapan saja bayi menunjukkan indikasi ingin makan, ia mesti segera disusui. 

Sementara itu, sebagian pakar gizi lainnya setuju dengan pendapat terakhir ini. Mereka juga berkeyakinan bahwa bayi mesti memperoleh ASI kapan saja dirinya menunjukkan rasa lapar.


Kelebihan dan Kekurangan 

Kedua pendapat di atas memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, sebagai berikut:
1. Rasa lapar atau haus bayi tak dapat dipastikan. Karena, ia tak dapat mengekspresikan kebutuhannya secara jelas. Awalnya, bayi meminum ASI hanya untuk memuaskan nafsu makannya. Selanjutnya adalah sekedar memenuhi keinginannya untuk menetek. 

Dalam situasi ini, bayi tidak terlalu keras menangis, sebagaimana ketika lapar. Akhirnya, ibu pun memberinya ASI demi menghentikan tangisnya. Sementara itu, seringkali bayi menangis bukan karena ingin makan, namun ibunya tetap memberinya ASI karena mengiranya lapar. Dengan demikian, konsumsi ASI tak memiliki jadwal tertentu, karena bayi meminumnya saat lapar maupun tidak. 

Kenyataannya, pemberian ASI tak beraturan seperti ini tidak baik bagi kesehatan anak; karena ketika tumbuh nanti, kebiasaan ini akan mengganggu sistem pencernaannya. Itulah mengapa pemberian ASI tak terjadwal rentan menyebabkan sakit bagi anak. Imam Ali berkata, "Makan berlebihan dan makan nambah mesti dihindari. Mereka yang makan-lebih akan mudah jatuh sakit."[12] 

2. Anak yang mengonsumsi ASI tanpa jadwal tertentu akan menjalani hidup secara tak teratur sejak awal, sehingga akan tumbuh tidak seperti yang diharapkan.

3. Telah menjadi tradisi bahwa kapan pun bayi menangis, ibu akan segera memberikan ASI kepadanya tanpa memastikan terlebih dahulu penyebab tangisnya. 

Anak seusia ini memang memiliki kebiasaan menangis setiap waktu. Ia berpikir bahwa tangisan dan teriakan adalah satu-satunya cara untuk memperoleh apa yang ia inginkan. Ia belum bisa bersabar dalam melakukan sesuatu. Ia ingin tujuannya dapat segera terpenuhi, meskipun harus terus menangis. Dan ia pun tak merasa malu melakukannya.

4. Orang tua dan anggota keluarga lainnya biasanya menjadi gelisah dalam menghadapi hal ini.


Dr. Jalali berkata:
"Jika penjadwalan pemberian ASI kepada anak ditentukan melalui konsultasi dengan seorang dokter spesialis anak, maka anak akan terbiasa dengan waktu, dan ibu pun akan mengetahui kapan anaknya lapar dan kapan nafsu makan anaknya terpuaskan. Kedua, orang umumnya mengerjakan tugas-tugasnya sehari-hari disebabkan kebiasaan. Sama halnya dengan memberikan ASI kepada anak, yang juga akan bisa menjadi kebiasaan, karena dilakukan pada waktu-waktu yang telah terjadwal."[13]


(Bertrand) Russel berkata:
"Saat ini, seorang ibu pada umumnya mengetahui norma-norma pengasuhan anak. Ia mengetahui tentang pentingnya pemberian ASI pada anak dalam interval waktu yang telah ditentukan sebelumnya, bukan setiap kali anaknya menangis. Ia mengetahui bahwa aturan tersebut perlu diikuti demi menjaga kesehatan sistem pencernaan anak….

Ketika anak melihat bahwa orang tuanya menyambut tangisannya, itu akan menjadi kebiasaan baginya. Sehingga ia akan terus menangis meskipun untuk hal-hal yang paling remeh sekalipun. Dan bisa jadi, tangisannya yang lama menyebabkan kemarahan orang tuanya. Ketika anak menyadari ini, ia akan menjadi murung, dan dunia pun terasa dingin, kering, dan suram baginya."[14] 


Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Penyusuan 

Metode apapun yang dipakai, para ibu-menyusui hendaknya memperhatikan hal-hal berikut.
1. Semua anak tidak dapat disamakan sistem penjadwalannya. Setiap anak memiliki sistem pencernaan dan kebutuhan makan sendiri-sendiri. Selain itu, kebutuhan makan anak bersifat sangat dinamis. Sistem pencernaan anak yang baru lahir begitu kecil selama 40 hingga 50 hari pascakelahiran. Karenanya, ia hanya bisa memuat ASI sedikit sekali ketika meminumnya. 

Namun sebentar kemudian, ia akan lapar kembali. Dalam masa ini, pemberian ASI mesti dijadwalkan dalam interval waktu yang pendek, katakanlah setiap satu hingga satu setengah jam. Tetapi, seiring dengan pertumbuhan anak, interval waktunya pun mesti bertambah, katakanlah setiap tiga hingga empat jam atau bahkan lebih. 

2. Setiap anak tidak memiliki kondisi fisik dan kapasitas pencernaan yang sama. Oleh karena itu, program pemberian ASI mesti ditetapkan sendiri-sendiri bagi setiap anak. Beberapa anak sedemikian cepat merasa lapar, sementara yang lain agak lama. Ibu yang perhatian akan mengetahui hal ini dan membuat jadwal yang ideal dalam pemberian ASI kepada anaknya, melalui konsultasi terlebih dahulu dengan pakar di bidang ini. 

3. Kapanpun ASI diberikan kepada bayi, mesti diperhatikan bahwa itu dapat memuaskannya. Namun, ibu harus mengamati secara hati-hati bahwa bayi dapat tertidur saat menetek. Dalam kondisi seperti ini, ia tidak memperoleh asupanI sepenuhnya. Karenanya, ibu mesti menepuk lembut punggungnya agar si bayi bangun dan menyelesaikan konsumsi ASI-nya.

4. Ketika telah disusun, program pemberian ASI mesti dilakukan dengan sangat hati-hati. Interval pemberian ASI mesti diikuti secara tegas. Di antara dua penyusuan, anak tidak semestinya diberi ASI meskipun menangis. Tugas ini memerlukan kesabaran dan keteguhan ibu untuk memastikan bahwa anak terbiasa dengan aturan ini. Dengan demikian, anak akan bangun dengan sendirinya pada waktunya, untuk mengonsumsi ASI. Kesabaran dan keteguhan akhirnya akan pula menjadi bagian dari karakter sang anak.

5. Penjadwalan pemberian ASI mesti dipersiapkan sedemikian rupa sehingga anak tidak memerlukan lagi ASI sepanjang malam. Ketika anak telah terbiasa dengan hal ini, ibu dan anak itu sendiri akan dapat beristirahat tenang di malam hari.

6. Payudara harus dibersihkan dengan kain katun kecil setiap selesai menyusui. Ini penting untuk kesehatan dan mencegah kemungkinan luka. 

7. Ketika anak menetek, sedikit udara juga akan ikut terhirup dan memasuki sistem pencernaannya, yang membuatnya tak nyaman. Oleh karena itu, setelah menetek, anak sebaiknya diangkat sedikit, lalu punggungnya ditepuk-tepuk dengan lembut, untuk memastikan bahwa udara tersebut keluar dari sistem pencernaan anak.

8. Anak mesti disusui dari kedua payudara ibu. Ini demi menghindari keringnya ASI, yang dapat menyebabkan rasa sakit pada payudara. Diriwayatkan bahwa seorang wanita mendengar Imam Ja`far Shadiq berkata, "Jangan kau susui anakmu hanya dari salah satu payudaramu, untuk memastikan bahwa anakmu memperoleh kebutuhan makan yang lengkap."[15]

9. Seorang ibu-menyusui mesti menjaga agar dirinya tak melakukan tugas-tugas berat dan menghindari marah. Karena hal itu dapat mempengaruhi kapasitas produksi ASI-nya, yang pada akhirnya merugikan anaknya.


Catatan Kaki:

[6] Wasâ`il asy-Syî'ah, jil.15, hal.175.

[7] ibid..

[8] Behdasht Jismi Rawafi Kudak, hal.63.

[9] Aijaz Khurakia, hal.258.

[10] ibid., hal.251-256.

[11] Wasâ'il asy-Syî'ah, jil.2, hal.224.

[12] Mustadrak al-Wasâ`il, jil.3, hal.82. 

[13] Rowan Shinasi Kudak, hal.224.

[14] Dar Tarbiyat, hal.78.

[15] Wasâ'il asy-Syî'ah, jil.15, hal.176.







18. IBU YANG TAK MAMPU MEMPRODUKSI ASI
Bila ibu tak dapat memuaskan rasa lapar anak, maka ia tetap tak berhak menjauhkan anak dari ASI-nya. Ia mesti tetap memberikan ASI-nya seberapapun kadar yang dimilikinya, serta melengkapinya dengan susu dan makanan lainnya. Namun, bila ibu benar-benar tak mampu memproduksi ASI, ia dapat memberi anaknya susu sapi, yang kualitasnya mendekati ASI. 


Sekaitan dengan ini, perlu dicamkan hal-hal berikut:
1. Susu sapi secara umum lebih padat dan lebih berat ketimbang ASI. Oleh karena itu, mesti ditambah air masak sebelum diberikan kepada bayi, agar mendekati kepadatan ASI. Susu tersebut mesti juga dibuat manis dengan menambahkan sedikit gula. 

2. Susu sapi mesti dimasak dulu selama lima belas menit, untuk memastikan terbunuhnya kuman-kuman yang terdapat di dalamnya.

3. Susu sapi, ketika diminumkan kepada bayi, jangan sampai terlalu panas ataupun terlalu dingin. Temperatur susu mesti mendekati temperature ASI.

4. Setiap kali anak diberi susu sapi, pastikan bahwa botol susu telah dibersihkan secara benar dan terbebas dari kontaminasi, demi mencegah anak dari terinfeksi penyakit. 

5. Pastikan bahwa tipe susu sapi yang diberikan adalah benar. 

Bila ibu ingin memberikan susu bubuk, perlu berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter anak, demi memperoleh rekomendasi nutrisi yang tepat bagi bayinya. 

Terdapat berbagai produk makanan di pasaran yang cocok dengan kebutuhan anak dalam berbagai usia, dan para pakarlah yang dapat memutuskan mana yang cocok untuk masing-masing anak. Bila susu yang direkomendasikan tak diperoleh, ibu harus berkonsultasi kembali dengan dokter demi memperoleh rekomendasi baru.




19. MASA PENYAPIHAN

Alasan Penyapihan 

Ada masanya anak harus disapih atau dihentikan dari mengonsumsi ASI, yaitu:
1. Ketika ibu terjangkit penyakit menular. 

2. Ketika ibu menderita gangguan kesehatan serius, seperti serangan jantung, dan dokter menganjurkannya tidak menyusui.

3. Ketika ibu menderita penyakit mental, atau menderita epilepsi.

4. Ketika ibu menderita anemia dan memberikan ASI akan membahayakan keduanya (ibu dan anak).

5. Ketika ibu ketagihan narkoba dan atau minuman beralkohol, karena ASI-nya akan menjadi beracun dan berbahaya bagi anak. 

Dalam kondisi-kondisi seperti ini, di mana bayi dapat terancam penyakit ataupun racun melalui ASI, maka sebaiknya ibu menghindari pemberian ASI. 
Sementara itu, ketika seorang ibu-menyusui memperoleh kehamilan, maka ia mesti menyapih anaknya, dan bersamaan dengan itu memperkenalkan makanan-makanan lain kepada anaknya.


Menyapih Anak
Idealnya, bayi memperoleh ASI selama dua tahun. Ini sebagaimana difirmankan Allah Swt, Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh. (QS. al-Baqarah: 233) 

Ibu diizinkan menyapih anaknya sebelum dua tahun, asalkan tidak kurang dari 21 bulan. Imam Ja`far Shadiq berkata, "Periode penyusuan bayi haruslah minimum 21 bulan. Bila seorang ibu menyusui kurang dari periode itu, maka itu akan menyebabkan kesulitan bagi anak."[16] 

Dalam dua tahun penyusuan oleh ibu, anak secara perlahan juga dibiasakan mengonsumsi makanan lainnya. Dalam periode ini, ibu dapat mulai mengurangi frekuensi penyusuan, dan menggantinya dengan makanan bergizi lainnya. 

Setelah masa penyusuan berakhir, bayi pun harus disapih. Sehingga bayi pun sekarang siap mengonsumsi nutrisi lainnya. Seorang ibu yang perhatian mestilah mengetahui tipe makanan apa yang dapat diberikan kepada anaknya. Makanan ini harus sesuai dengan karakter anak dan memiliki nilai gizi yang baik.

Namun demikian, penyapihan anak bukanlah tugas yang mudah. Selama beberapa hari, bayi akan menangis dan terus meminta ASI. Pada kondisi ini, ibu hendaklah bersabar dan bijaksana. Para ibu biasanya menaruh sesuatu yang pahit di puting susunya atau mewarnai hitam payudaranya, agar bayi enggan menetek darinya. Namun, tindakan-tindakan yang diambil jangan sampai membuat anak ketakutan. Anak tidak semestinya merasa ketakutan selama masa penyapihan, karena hal itu dapat memberikan pengaruh buruk bagi kesehatan fisik dan psikologinya.




20. ANAK PEREMPUAN ATAU LELAKI
Tak lama setelah hamil, sang ibu mulai bertanya-tanya; apakah ia akan memiliki anak lelaki ataukah perempuan. Ia lalu berdoa agar diberi anak lelaki. Ketika kerabatnya berkunjung, mereka berkata bahwa pancaran wajahnya mengindikasikan dirinya akan memiliki anak lelaki. Sedangkan, orang-orang yang tak menyukainya akan berkata bahwa pancaran matanya mengindikasikan dirinya akan memiliki anak perempuan. 

Sementara, suaminya juga menginginkan anak lelaki. Terkadang, ia mengekspresikan keinginannya itu pada sang istri. Menjelang kelahiran, kerabat yang mengelilinginya dipenuhi pikiran apakah ia akan melahirkan bayi lelaki ataukah perempuan. 

Ketika mereka mengetahui bahwa bayinya perempuan, suasana seketika menjadi sunyi. Namun, bila bayi itu lelaki, teriakan riang pun memenuhi ruangan. Ketika sang ayah mendengar bahwa bayinya lelaki, ia pun girang. Ia akan bergegas mengambil manisan dan buah-buahan untuk menjamu tamu-tamunya. Ia pun akan segera memerintahkan bayinya diberi perawatan yang baik agar tak kedinginan. Ia lalu mulai memanjakan istrinya, serta memberikan hadiah kepada bidan dan tamu-tamunya. 

Tetapi ketika bayi itu perempuan, wajahnya langsung murung. Ia akan pergi dan duduk di pojok ruangan. Ia pun mulai mengutuki nasib sialnya. Ia tidak mengacuhkan istrinya dan bahkan terkadang berhasrat menceraikannya. 

Inilah kondisi kemerosotan masyarakat kita. Namun demikian, selalu ada pengecualian. Masih ada orang tua menerima kelahiran anak perempuan dengan tangan terbuka dan kasih sayang sebagaimana anak lelaki. Namun, keluarga seperti ini memang masih minoritas. 


Lelaki atau Perempuan, Tidak Berbeda
Ayah dan ibu terhormat! Apa bedanya memiliki anak lelaki atau perempuan? Apakah anak perempuan itu bukan manusia seperti anak lelaki? Tidakkah anak perempuan itu memiliki kapasitas untuk tumbuh dan berkembang? Tak dapatkah ia menjadi orang yang berguna dan bernilai? Apakah ia bukan keturunan Anda? Apa keuntungan khusus yang Anda peroleh dari anak lelaki, yang tak dapat diberikan oleh anak perempuan? Bila anak perempuan itu tak berarti di mata Allah, keturunan Rasulullah saw tidak akan melalui Fathimah Zahra. 

Bila Anda mengasuh anak perempuan dengan baik, ia tidak akan lebih rendah dari anak lelaki. Bila Anda melihat sejarah, maka Anda akan dapati kisah tentang para wanita yang lebih cakap dari ribuan laki-laki. 

Pemikiran dangkal seperti ini-yang merendahkan status wanita-justru berkembang dalam masyarakat kita. Sehingga, diperlukan jihad untuk melawan kejahatan semacam ini. Diperlukan pula pelurusan terhadap pemikiran yang membeda-bedakan anak lelaki dan anak perempuan. 

Anak perempuan dapat menjadi orang yang berguna dan efisien seperti anak lelaki. Anda mesti menerima kabar kelahiran anak yang sehat, baik itu lelaki maupun perempuan, dengan kebahagiaan yang sama. Anda mesti bersyukur kepada Allah Swt atas karunia yang Dia berikan kepada Anda. Anak adalah bagian dari keberadaan Anda, yang telah lahir ke dunia ini. Rasulullah saw dan Ahlulbaitnya selalu bersikap seperti ini dalam kehidupan mereka. 

Kapan saja Imam Sajjad menerima berita tentang kelahiran seorang anak, beliau tidak pernah mempertanyakan apakah anak itu lelaki atau perempuan. Beliau biasa memanjatkan doa ketika memperoleh kabar bahwa anak itu sehat walafiat.[17]

Suatu hari, Rasulullah saw sedang berbincang-bincang dengan para sahabat, ketika kemudian seseorang datang dan mengabarkan bahwa Allah Swt telah memberi beliau seorang anak perempuan. Beliau pun bergembira dan mengucap syukur kepada Allah Swt. Namun, ketika melihat pada para sahabat, beliau mendapati mereka menundukkan kepala. Beliau pun marah dan berkata, "Apa yang kalian lakukan? Allah telah memberiku sekuntum bunga, yang keharumannya kucium. Allah telah menjamin pula rezekinya sebagaimana anak lelaki."[18]

Allah Swt juga mengecam diskriminasi terhadap anak perempuan, sebagaimana termaktub dalam firman-Nya, Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, maka hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan ia sangat marah. Ia pun menyembunyikan dirinya dari orang banyak. (QS. an-Nahl: 58-59)




21. MENAMAI ANAK
Salah satu tanggung jawab penting orang tua adalah memilih nama untuk anaknya. Mereka tak semestinya meremehkan hal ini. Individu-individu dan keluarga-keluarga bisa dikenali melalui namanya. Bila nama seseorang baik, ia akan diterima dengan baik pula oleh masyarakat. Seseorang yang namanya tidak nyaman didengar, tidak akan memperoleh perhatian yang baik dari orang lain, bahkan terkadang mereka mengejeknya. Seseorang yang memperoleh nama yang kurang baik akan menjadi korban penyakit inferiority complex[19]. Oleh karena itu, Islam mewajibkan orang tua memberikan nama yang baik bagi anaknya. 

Rasulullah saw bersabda, "Adalah tanggung jawab setiap ayah untuk memberikan nama yang baik bagi anaknya."[20]

Rasulullah saw juga bersabda, "Anak-anak memiliki tiga hak atas ayah mereka. Pertama, berhak memperoleh nama yang baik. Kedua, berhak memperoleh pendidikan yang baik. Dan ketiga, ayah membantu mereka memilih jodoh yang baik."[21] 

Imam Musa Kazhim as. berkata, "Kebaikan pertama yang dilakukan seorang ayah kepada anaknya adalah memberinya nama yang baik."[22] 

Di sisi lain, nama seseorang memiliki pula nilai sosial yang penting. Nama dapat menjadi pengenal bagi seseorang bahwa ia berasal dari keluarga baik-baik. Bila orang tua mengagumi para penyair terkenal, biasanya ia akan menamai anaknya dengan nama-nama mereka. Bila orang tua gemar sekolah tinggi, biasanya ia akan menamai anaknya dengan nama para intelektual terkemuka. 

Sedangkan, orang tua yang religius akan menamai anaknya dengan nama para nabi, para imam, dan orang-orang saleh. Sedangkan, orang tua yang ingin anaknya menjadi pembela agama, biasanya akan menamai anaknya dengan Muhammad, Ali, Hasan, Husain, Abu Fadhl, Abbas, Hamzah, Ja`far, Abu Dzar, Ammar, Sa'id, dan lain-lain.

Demikian pula, bila orang tua gemar berolahraga, biasanya akan menamai anaknya dengan nama para atlet terkenal. Sama halnya, bila orang tua gemar seni musik, biasanya akan menamai anaknya dengan nama para musikus terkemuka. Namun, bagi orang tua yang berwatak zalim, akan bangga menamai anaknya dengan nama para tirani, seperti Alexander, Jengis, Timur[23], dan lain-lain. 

Perlu diperhatikan pula, ketika orang tua menamai anaknya, secara otomatis, ia telah menyatukan dirinya dengan orang-orang di masa lalu. Ini akan memberikan dampak tertentu pada watak dan pemikiran anak saat mereka dewasa. 

Rasulullah saw bersabda, "Berilah nama yang baik. Karena, pada Hari Pembalasan kelak, kalian akan dipanggil dengan nama itu. Akan diserukan kepada kalian, 'Wahai fulan bin fulan, bangun dan bergabunglah dengan cahayamu!' Atau, 'Wahai fulan bin fulan, bangunlah, namun tak ada cahaya yang dapat membimbingmu!'"[24] 

Seseorang berkata kepada Imam Ja`far Shadiq, "Kami menamai anak-anak kami dengan nama Anda dan nama bapak-bapak Anda yang mulia. Apakah ini akan memberikan manfaat pada kami?" Beliau menjawab, "Ya, demi Allah. Iman itu tidak lain adalah mencintai orang-orang saleh (para kekasih Allah) dan membenci orang-orang batil (para musuh Allah)." 

Syiar keyakinan seseorang biasanya dilakukan dengan memperoyeksikan nama orang-orang penting. Mereka lalu menambahkan nama kota, jalan, dan pengenal lainnya setelah nama orang tersebut. Seorang Muslim yang bertanggung jawab dan taat juga akan berupaya mengabadikan nama orang-orang besar dalam Islam, yang salah satunya dengan menggunakannya sebagai nama anak-anaknya. 

Ya, nama seperti Hasan, Husain, Abu Fadhl, Ali Akbar, Hurr, Qasim, Hamzah, Ja`far, Abu Dzar, dan Ammar adalah sebagian nama yang menghidupkan jiwa untuk mengingat aksi-aksi heroik orang-orang besar tersebut, dan mendorong generasi mendatang menjadikan mereka sebagai idola. Ketika seseorang memiliki nama para nabi seperti Ibrahim, Musa, Isa, atau Muhammad; maka ia akan terdorong untuk semampu mungkin menjadi orang baik. 

Bila seseorang memiliki nama para sahabat dan pengikut Ahlulbait, seperti Abu Dzar, Maitsam, dan Ammar; maka ia akan menyadari pentingnya perbuatan orang-orang besar tersebut. Seorang Muslim yang cerdas tentu tidak akan memberi nama anaknya dengan nama para tiran dan musuh Islam.

Imam Muhammad Baqir as. berkata, "Berhati-hatilah terhadap setan. Ketika mendengar seseorang memiliki nama Muhammad dan Ali, ia akan meleleh seperti timah yang meleleh. Dan ketika mendengar seseorang memiliki nama para musuh kami, ia akan sangat bergembira."[25] 

Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa memiliki empat anak lelaki dan tak satupun yang dinamai dengan namaku, berarti telah berbuat zalim kepadaku."[26]

Imam Muhammad Baqir as. berkata, "Nama yang tak ada bandingannya adalah nama para nabi."

Rasulullah saw sangat menganggap penting sebuah nama. Sehingga, ketika merasa tak suka dengan nama seorang sahabat atau sebuah tempat, beliau saw akan segera menggantinya. Beliau saw telah mengganti nama Abdul Syam dengan Abdul Wahab. Beliau saw juga mengganti nama Abdul 'Uzza dengan Abdullah. Beliau saw juga mengganti nama Abdul Haris dengan Abdurrahman. Beliau saw juga mengganti nama Abdul Ka'bah dengan Abdullah.


Catatan Kaki:

[16] Wasâ'il asy-Syî'ah, jil.15, hal.177.

[17] Wasa`il asy-Syî'ah, jil.15, hal.143.

[18] ibid., tanpa nomor jilid dan halaman.

[19] Inferiority Complex adalah sejenis penyakit kejiwaan, di mana seseorang merasa dirinya kecil, rendah, hina, dan kalah. Sehingga, terkadang ia menjadi terlalu agresif melalui kompensasi berlebihan-penerj. 

[20] Wasâ'il asy-Syî'ah, jil.2, hal.618.

[21] ibid., jil.14, hal.92.

[22] ibid., jil.15, hal.122.

[23] Berasal dari nama Timur Lengkh, salah seorang keturunan Jengis Khan yang menjadi penguasa Mongol yang kejam-penerj. 

[24] Wasâ'il asy-Syî'ah, jil.15, hal.123.

[25] ibid., hal.127.

[26] ibid.






22. SEHAT DAN HIGIENIS

Pakaian Bayi
Pakaian bayi mesti didesain sesuai dengan cuaca dan iklim lingkungan di sekitarnya. Pakaian tersebut mesti dibuat sedemikian rupa sehingga bayi tidak berkeringat saat cuaca panas dan kedinginan saat cuaca dingin. Katun sederhana dan lembut sangat ideal bagi bayi. 

Pakaian itu juga harus tidak ketat, agar tidak menghambat gerak bayi. Selain itu, mengganti pakaian yang ketat juga akan menyusahkan bayi dan menyulitkan ibu. Orang biasanya membungkus bayi dengan pakaian ketat sehingga anggota tubuhnya tak dapat bergerak. Tentu saja ini bukan praktik yang baik dan berbahaya bagi bayi. Karena, kebebasan bayi menjadi terkekang. Praktik ini akan menghambat pertumbuhan normal bayi. 


Seorang penulis Barat menulis:
"Tak lama setelah keluar dari rahim ibu, anak ingin menggerakkan anggota tubuhnya dan menikmati kebebasannya. Namun kebanyakan ibu justru menge kangnya dengan pakaian ketat. Mereka meletakkan bayi terlebih dahulu, lalu membungkusnya dengan pakaian dan bahkan mengikatkan sabuk kepadanya, sehingga bayi tak dapat bergerak. 

Karenanya, pertumbuhan anak-yang semestinya dinamis pada periode ini-menjadi sangat lambat dan terhambat. Di negara-negara yang tidak melakukan praktik ini, ternyata anak-anaknya mengalami pertumbuhan yang normal, sehingga orang-orangnya pun secara umum kokoh, sehat, dan kuat. Sebaliknya, di daerah yang mempraktikkan pengekangan bayi tersebut, muncul berbagai cacat fisik seperti pincang, kerdil, dan lain-lain. 

Dapatkah orang membayangkan dampak pengasuhan seperti itu bagi pikiran dan jiwa anak? Pikiran pertama yang dirasakan anak adalah merasa terpenjara karena tak dapat bergerak bebas. Kondisi anak menjadi lebih buruk ketimbang seorang tahanan. Anak pun menjadi berang, serta mulai menangis dan berteriak. Bayangkan bila anggota tubuh Anda terikat; tidakkah Anda akan menangis dan berteriak!"

Anak juga manusia. Ia memiliki perasaan dan sensasi. Ia juga ingin bebas dan nyaman. Ketika kebebasannya terkekang dengan membungkusnya secara ketat, tentu ia akan merasa sakit. Namun ia tak mampu melawan, sehingga satu-satunya reaksi yang bisa dilakukannya adalah menangis. Hal ini akan menekan pikirannya dan akhirnya membuatnya jengkel, kesal, dan berwatak keras. 

Pakaian bayi juga harus terjaga bersih. Kapan saja pakaiannya basah (karena terkena kencing), harus segera diganti. Kaki bayi mesti dicuci dalam interval waktu tertentu, dan badannya pun mesti diusap dengan minyak zaitun agar kulitnya tidak kering. Setelah beberapa kali kencing, bayi mesti dimandikan agar terhindar dari berbagai penyakit. Selain itu, ia juga akan tampil bersih, rapi, dan menarik dipandang mata siapa saja yang melihatnya.

Rasulullah saw bersabda, "Islam adalah agama kebersihan. Oleh sebab itu, kalian mesti bersih. Karena hanya orang bersihlah yang memasuki surga."[27] 

Rasulullah saw juga bersabda, "Bersihkan anak-anak dari kotoran. Bila tidak, setan akan mencium mereka, sehingga mereka akan memperoleh mimpi buruk; dan malaikat pun menjadi gelisah."[28] 


Mengkhitan 
Mengkhitan anak lelaki juga merupakan perintah Islam. Ini penting bagi kesehatan dan kebersihan anak. Pekerjaan ini akan menghindarkan anak dari terjangkiti penyakit kelamin. Pengkhitanan dapat ditunda sampai setelah masa balita; namun sebaiknya dilakukan beberapa hari setelah bayi lahir. Namun demikian, Islam menganjurkan agar pengkhitanan dilakukan pada hari ketujuh setelah kelahiran. 

Imam Ja`far Shadiq as. berkata, "Lakukan pengkhitanan pada anak lelakimu di hari ketujuh setelah kelahirannya. Ini yang terbaik baginya. Ini juga bermanfaat bagi pertumbuhan dan pengasuhannya. Sungguh, bumi membenci urine (air kencing) seseorang yang belum dikhitan."[29] 

Rasulullah saw bersabda, "Bayi mesti dikhitan pada hari ketujuh kelahirannya, agar memperoleh pertumbuhan dan pengasuhan yang sehat."[30] 


Mencukur Rambut
Mencukur habis rambut bayi pada hari ketujuh juga merupakan ajaran Islam. Dan berat total rambut hasil pencukuran tersebut merupakan standar bagi berat emas atau perak yang mesti disedekahkan. 


Aqiqah 
Pada hari yang sama, aqiqah juga sebaiknya dilakukan, yaitu memotong seekor kambing atau domba, lalu dagingnya dibagikan kepada fakir miskin, atau dapat pula dalam bentuk mengundang mereka dalam sebuah jamuan makan. Aqiqah merupakan sedekah yang baik dan dapat mencegah setiap kejahatan yang akan menimpa anak.

Bayi yang baru lahir begitu lembut. Ia memerlukan segenap perawatan dan perhatian orang tuanya. Fondasi kesehatan dan kebahagiaan mesti diletakkan sejak awal. Tanggung jawab ini berada di pundak orang tua. 

Orang tua, yang merupakan penyebab hadirnya anak di dunia ini, memikul tanggung jawab untuk menjadikannya seorang yang kokoh dan sehat. Bila orang tua melalaikan tugas ini, kelak mereka akan dimintai pertanggung jawabannya. 


Menghindarkan Anak dari Penyakit
Anak selalu dikepung oleh kemungkinan terjangkit penyakit. Ia dapat terhindarkan dari semua itu melalui perawatan yang baik. Penyakit yang dapat menjangkiti anak di antaranya adalah polio, bisul-bisul, campak, dipteri, sawan, kalazar, dan lain-lain. Karenanya, vaksin terhadap penyakit-penyakit tersebut mesti diberikan kepada bayi.

Bila penyakit sampai menjangkiti anak disebabkan keteledoran orang tua, maka kelak mereka akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt dan nurani mereka pun akan mengutuk mereka. 

Mesti dipahami bahwa orang tua bertanggung jawab dalam memperhatikan kebugaran anak-anaknya, agar tumbuh menjadi manusia sehat.




23. KEBUTUHAN TIDUR DAN KEBEBASAN GERAK
Selama beberapa minggu pertama setelah kelahiran, anak akan tidur sepanjang waktu. Ia akan tidur sekitar 20 jam sehari. Namun, itu akan berkurang seiring bertambahnya usia. Kebutuhan istirahat dan tidur bagi bayi tak dapat dihalangi. 

Gangguan dan kegaduhan akan menyebabkannya tak dapat beristirahat dan gelisah. Bayi memerlukan suasana yang tenang, agar dapat tidur nyaman. Terlalu banyak pelukan, ciuman, menggendong, dan memperlihatkannya pada tamu akan mengusik ketenangannya. Suasana ramai dan suara berisik televisi maupun radio dapat mengganggu kenyamanannya. 

Kenyenyakan tidurnya tak semestinya terganggu oleh tindakan sembrono. Ia tak semestinya dibawa berkeliling bila tidak diperlukan sekali. Jika praktik-praktik seperti itu terus dilakukan, niscaya akan menyebabkan anak berwatak keras dan mudah marah. 

Bayi tak menyukai suasana gaduh dan dibawa keliling. Oleh karena itu, mesti diperhatikan agar lingkungan benar-benar bebas bising, dan bayi pun tak dibawa berkeliling bila tidak diperlukan sekali. Bayi lebih suka berada di pangkuan ibu atau dalam ayunan, di mana dirinya dapat terayun lembut, sehingga membuatnya merasa nyaman. 

Dengan gerakan ayunan itu, bayi merasa bahwa dirinya berada di sekitar orang-orang yang memberikan perawatan kepadanya. Namun, bila tak ada gerakan ayunan, maka ia akan merasa terasing (atau kesepian). Karena, rahim ibu menyerupai ayunan, di mana bayi (atau janin) selalu bergerak. Sehingga, ketika datang ke dunia, ia pun ingin bergerak. Apalagi bila disertai dengan senandung ninabobok ibunya; maka ini akan menambah kenyamanannya. 

Tahun pertama anak di dunia ini merupakan periode pelatihan tubuh dan anggota badannya. Anak menyukai gerak. Karenanya, ia kerap menggerak-gerakkan anggota tubuhnya ke mana-mana. Oleh sebab itu, pakaiannya jangan sampai ketat, dan harus terbuat dari kain yang lembut. Mengenakannya pakaian berlapis-lapis akan menghalangi keleluasaan geraknya dan membuatnya kesal. Sehingga, tak ada alternatif lain baginya selain menangis, yang akan menjadi awal pembentukan watak keras dan mudah marah.




24. PERIODE TERSULIT
Periode tersulit dan krusial dalam kehidupan adalah masa anak-anak. Fondasi bagi kepribadian masa depan seseorang terbentuk selama periode ini. Kelalaian sedikit saja dapat membahayakan kepribadian dan watak anak pada masa mendatang. Kenyataannya, tiga tahun pertama dari kehidupan anak memegang peranan penting dalam perkembangan kepribadian dan karakter anak.

Mungkin semua-atau setidaknya mayoritas-orang tak menyadari aspek penting ini dalam mengasuh anak. Mereka berkata, "Anak kecil, khususnya bayi, tak memiliki kemampuan untuk memahami sesuatu. Mereka tak dapat berbicara, sehingga tak mampu mengekspresikan pemikiran dan perasaan mereka. Mereka begitu tak berdaya, sehingga bahkan tak mampu mengisi perut mereka sendiri. Karenanya, mereka tak memiliki kemampuan untuk mempelajari sesuatu."

Dengan berbekal asumsi ini, orang tua lantas mengabaikan periode awal bayi. Padahal ini merupakan periode yang paling mudah terpengaruh dan sulit. Dalam periode ini moral, budaya, dan insting religius anak terbentuk. 

Dalam periode tiga tahun pertama ini, anak telah mampu mengambil beberapa ratus kata dan mengetahui artinya. Ia mulai bisa mengenali baik dan buruk, persahabatan dan permusuhan, bagus dan jelek, kecil dan besar, dan lain-lain. Ia mampu mengenal warna-warna, termasuk pula rasa makanan. Ia mampu mengamati dan berucap. 

Ia juga telah mampu memperlihatkan awal dari proses berpikir. Ia mulai belajar merangkak dan berjalan. Ia pun mulai belajar tertawa dan menangis. Dalam periode tiga tahun pertama ini akan terdapat ribuan kejadian yang bisa mempengaruhi psikologi anak dan berperan dalam membentuk tabiatnya di masa mendatang.

Meskipun begitu, hampir tidak terdapat orang yang dapat mengingat kejadian-kejadian pada periode tiga tahun pertama kehidupannya. Semua kejadian di masa itu akan tertutup oleh awan lupa. Namun, kenangan yang telah terlupakan itu tetap akan meninggalkan bekas atau pengaruh besar pada watak dan kepribadian seseorang. Beberapa penyakit psikologis, ketakutan, trauma, mudah marah, dan lain-lain merupakan buah dari kejadian-kejadian selama periode tiga tahun pertama kehidupan tersebut.


Seorang pakar psikologi menulis:
"Bila anak tak mampu mengembangkan kepribadian yang kuat di masa-masa awal kehidupannya, maka tidak akan memiliki kemampuan untuk memikul tanggung jawab besar yang akan menimpanya di masa mendatang. Ia akan menjadi korban dari berbagai penyakit psikologis. Oleh karena itu, telah diketahui bahwa sumber dari gangguan syaraf seseorang dapat dilacak dari masa kecilnya. Kapan saja seorang psikiater menyelidiki penyebab dari penyakit mental, maka ia akan menyimpulkan bahwa si penderita telah mengalami kondisi-kondisi (buruk) pada periode awal masa kecilnya, yang menghambat kesempatan dirinya untuk lepas dari masalah-masalah psikologisnya."[1]


Dr. Jalali menulis: 
"Fondasi dari tingkah laku sosial anak tergantung dari tahun pertama kehidupannya. Kecenderungan pikiran merupakan bukti dari periode ini."[2] 

Karena itu, orang tua yang bertanggung jawab tidak akan melalaikan periode sulit dan rentan tersebut. Mereka tidak akan menunda pelatihan anak demi masa depannya. Karena kenyataannya, pelatihan dan pengasuhan anak mesti dimulai sejak kelahirannya. 

Beberapa pakar menyatakan, "Anak mulai menerima pelatihan sejak kelahirannya. Perhatian dari orang dewasa dan anak-anak lain di sekitarnya akan menjadi langkah awal dari pelatihannya itu. Demikian pula, pemandangan dan kejadian yang dialami anak serta suara yang didengarnya akan memberikan dampak bagi alam bawah sadarnya dan menunjang pengalaman belajarnya. Beberapa kebiasaan dan pengalaman yang membentuk karakter seseorang terkait dengan masa kecilnya. Sikap apapun yang diperlihatkan orang tua kepada anak sejak kelahirannya pasti akan menunjang pengasuhan dan pendidikannya."[3]

Waktu dimulainya pelatihan moral adalah sejak awal kelahiran seseorang. Ini merupakan waktu ketika pelatihan dimulai tanpa adanya kemungkinan kegagalan. Bila pelatihan ditunda kemudian, maka mungkin akan menyebabkan terbentuknya sikap negatif pada anak."[4]

Imam Ali bin Abi Thalib as. berkata kepada putra beliau, Imam Hasan, "Pikiran anak seperti lahan subur. Apa saja yang ditanamkan ke dalamnya, akan diterimanya. Oleh karena itu, sebelum hatimu menjadi keras atau mudah terpengaruh, aku telah mengambil langkah-langkah untuk menjadikanmu beretika."[5]


Catatan Kaki:

[27] Majma' az-Zawâ`'id, jil.5, hal.132.

[28] Bihâr al-Anwâr, jil.104, hal.95.

[29] Wasâ'il asy-Syî'ah, jil.15, hal.171.

[30] ibid., hal.175.

[1] Rowan Shinashi Kudak, hal106.

[2] Ibid., hal.302.

[3] Ilm an-Nafs at-Tarbi, hal.19.

[4] Dar Tarbiyat, hal.79.

[5] Wasâ`'il asy-Syî'ah, jil.15, hal.197.






25. PENANAMAN NILAI-NILAI AKHLAK DAN RELIGIUS
Ketika anak hadir ke dunia ini, ia begitu lembut. Ia memiliki akal, namun belum dapat berpikir. Ia melihat dengan matanya, namun belum mampu mengenali objek yang terdapat di sekitarnya. Ia tak memiliki kemampuan untuk mengenali warna dan rupa. Ia juga belum mengetahui jarak. Ia mendengar suara, namun belum mampu memahaminya. Demikian pula dengan indranya yang lain. 

Namun demikian, anak memiliki kemampuan untuk menggunakan indra-indranya itu, melalui kejadian yang dialaminya. Allah Swt berfirman, Dan Allah mengeluarkan kamu dari rahim ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun. Dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur. (QS. an-Nahl: 78)

Aktivitas utama bayi adalah makan, tidur, memukul-mukulkan anggota badannya, menangis, dan kencing. Selama beberapa minggu, bayi hanya mampu melakukan itu. Meskipun aktivitas tersebut sedikit dan sederhana, namun ia membangun hubungan dengan anggota keluarga lainnya melalui itu. Ia bereksperimen, membentuk kebiasaan, serta memperoleh pengetahuan tentang dirinya dan hal-hal yang terdapat di sekelilingnya. Itu semua merupakan kontak dan pengalaman, yang akan membentuk moral (akhlak) seseorang di masa mendatang. 

Imam Ali as. berkata, "Seiring dengan berlalunya waktu, misteri-misteri pun terungkap."[6]

Anak adalah individu sosial yang lemah. Tanpa pertolongan orang lain, ia tak akan dapat hidup dan memperoleh makan. Bila orang lain tak membantunya dan tak memenuhi kebutuhannya, ia akan mati. Orang-orang yang merawat bayi juga bertanggung jawab atas pendidikannya, termasuk pendidikan moral dan agama.


Peran Penting Orang Tua
Orang tua yang perhatian, melalui sikap baik mereka, akan memenuhi kebutuhan bayinya dan memberinya lingkungan yang ideal bagi pertumbuhan fisik dan jiwanya. Mereka mengajarkan moral dan kebiasaan yang baik kepadanya. Sebaliknya, orang tua yang tak bertanggung jawab, melalui kelakuan sembrononya, akan menciptakan kebiasaan buruk bagi anak mereka.

Bayi memerlukan nutrisi. Ia merasakan kebutuhan ini dan memohon kepada orang di sekitarnya untuk memenuhinya. Inilah mengapa bayi menangis, yaitu untuk menarik perhatian ibunya agar memuaskan kebutuhannya. Bila perhatian yang baik diterapkan demi memenuhi kebutuhan anak, berdasarkan jadwal yang terencana, maka ia akan dapat tidur dengan nyenyak dan bangun sesuai waktu makannya. Sehingga, ia merasa tenang. Sekaligus juga, ia belajar mengadaptasi kebiasaan yang baik dan teratur. 

Dalam taraf ini, ketika bayi tak mengenal siapa-siapa, ia hanya akan memberikan perhatian pada dua hal, yaitu kelemahan dan ketakberdayaannya, serta pada Kekuatan Agung yang memenuhi semua kebutuhannya. Ia menangis untuk memperoleh pertolongan dari Kekuatan Tersembunyi yang merupakan Pencipta segala sesuatu. 

Bayi, disebabkan kelemahan dan ketakberdayaannya, menggantungkan dirinya pada Kekuatan Mahaagung. Bila perasaan pada anak ini diabadikan, maka itu akan menjadi fondasi keyakinan, keimanan, dan kepuasan spiritualnya di masa mendatang.

Rasulullah saw bersabda, "Janganlah kalian memukul anak saat ia menangis. Penuhi kebutuhannya. Karena dalam periode empat bulan pertama kehidupannya, tangisannya merupakan bukti keberadaan dan keesaan Allah Swt."[7] 

Dalam masa empat bulan pertama, bayi tak memiliki entitas sosial. Mereka tak mengenal siapa-siapa, termasuk ibunya sendiri. Ini merupakan periode di mana perhatian bayi hanya terfokus pada Kekuatan Tersembunyi. 

Namun, bayi-bayi yang menjadi korban kelalaian ibunya, akan menangis untuk menarik perhatian demi memohon pertolongan. Jiwanya terusik dan kebanyakan mereka menjadi gelisah. Dalam tahap berikutnya, kekesalan mereka ini akan menjelma menjadi watak mereka. Mereka akan kehilangan rasa percaya diri. Bahkan, mereka akan menjadi liar dan suka bertengkar.


Pengasuhan Religius terhadap Anak
Sebuah kenyataan bahwa bayi belum mampu memahami maksud dari kata-kata yang diucapkan kepadanya, namun telah mampu mengenali apa yang terdapat di sekelilingnya dan wajah-wajah yang tampak di sekitarnya. 

Mereka mendengar suara. Sementara, indra dan akalnya memperhatikan itu. Oleh karena itu, tak benar bila dikatakan bahwa bayi tidak terpengaruh oleh apa yang dilihat dan didengarnya di masa awal kehidupannya. 

Meskipun bayi belum mampu memahami maksud dari perkataan yang berlangsung di sekitarnya, namun suara yang didengarnya itu akan terekam dalam benaknya. Dan seiring dengan berjalannya usia, ia pun akan memahami maksudnya. Bahkan, di kalangan orang dewasa, kata-kata yang berkesan akan tersimpan di benak mereka. 

Oleh karena itu, mereka lebih mudah mengenal orang-orang terkemuka ketimbang orang-orang biasa. Demikian pula dengan bayi, bila tinggal di lingkungan religius, kerap mendengar bacaan al-Quran, dan melihat orang tuanya mendirikan shalat, maka itu akan menjadikannya orang yang lurus. 

Sebaliknya, bila bayi berada di sekitar orang-orang yang tak memperhatikan agama, kerap mendengar kata-kata buruk, terkungkung dalam musik dan lagu-lagu amoral, maka tak diragukan lagi, ia akan tumbuh seperti orang-orang ini.

Orang tua yang pintar tentu tidak akan membuang kesempatan untuk melatih anaknya. Mereka akan memastikan bahwa anaknya hanya mendengar suara-suara yang baik dan melihat hal-hal yang baik pula.


Pengaruh Azan dan Iqamah 
Rasulullah saw juga telah menegaskan aspek penting dalam pelatihan anak ini. Beliau saw bersabda, "Tak lama setelah bayi lahir, bacakanlah kalimat azan di telinga kanannya, dan bacakanlah kalimat iqamah di telinga kirinya."

Imam Ali meriwayatkan dari Rasulullah saw, yang bersabda, "Ketika bayi lahir, kalimat azan hendaknya dibacakan di telinga kanannya dan kalimat iqamah di telinga kirinya, agar anak tersebut terhindar dari kejahatan setan. Beliau (Rasulullah saw) juga memberikan perintah tersebut saat kelahiran Hasan dan Husain. Selain itu, beliau juga memerintahkan untuk membacakan Ayat Kursi [QS. Al-Baqarah: 255-257], ayat terakhir dari Surah al-Hasyr, Surah al-Ikhlas, an-Nas, dan al-Falaq hingga terdengar telinga anak tersebut."[8]

Dalam sejumlah hadis lainnya diriwayatkan bahwa Rasulullah saw sendiri yang membacakan kalimat azan dan iqamah di telinga Imam Hasan dan Imam Husain saat keduanya lahir.

Rasulullah saw menyadari bahwa bayi belum mampu memahami maksud kalimat azan dan iqamah yang dibacakan di telinganya. Namun, nilai kalimat-kalimat itu-yang terekam dalam benaknya-tak akan terlupakan. Rasulullah saw menekankan bahwa kalimat-kalimat mulia tersebut akan memberikan pengaruh yang baik bagi pikiran dan jiwa anak. 

Mungkin Rasulullah saw bermaksud untuk mengajar para orang tua untuk memberikan pengasuhan yang tepat pada anak mereka, sejak anak mereka lahir. Karena, ketika orang tua membacakan kalimat azan di telinga anak, saat itu pula mereka menyatakan bahwa mereka menyatukan anak mereka dengan kelompok orang-orang yang berbakti kepada Allah Swt. 

Namun demikian, pengaruh yang muncul pada anak di masa awal kelahirannya itu tidak hanya diperoleh dari indra pendengaran. Melainkan, apapun yang terdeteksi indra-indra anak akan terekam dalam pikiran dan benaknya. 

Sebagai contoh, bila anak melihat perbuatan amoral, meskipun belum mengetahui perbuatan apakah itu, maka hal ini akan tetap memberikan pengaruh terhadap psikologi atau psikis anak.

Inilah mengapa Rasulullah saw bersabda, "Bila bayi yang berada dalam ayunan melihat[9], maka seseorang hendaknya menahan diri dari bersetubuh dengan istrinya."[10]




26. RASA MEMILIKI

Kehangatan: Kebutuhan Fitri Bayi
Bayi itu begitu lembut, yang tak dapat hidup tanpa pertolongan orang lain. Ketika berada dalam rahim ibu, ia memperoleh lingkungan yang hangat dan menyenangkan. Pada fase ini, nutrisi dan kehangatan tersebut diberikan ibunya. Ia tak merasa butuh sesuatu. Namun ketika lahir ke dunia, ia mulai merasa bergantung. 

Kebutuhan pertama yang dirasakan seorang bayi adalah kehangatan. Kemudian ia merasa perlu memuaskan rasa laparnya. Sehingga, untuk pertama kalinya ia mengetahui bahwa dirinya mesti bergantung pada selainnya untuk memperoleh kehangatan dan makanan. Pada taraf ini, ia tak mengetahui siapa yang dapat menolongnya. 

Tetapi, pada dasarnya ia menyadari kebutuhannya dan memfokuskan perhatiannya pada Kekuatan Tersembunyi untuk memuaskan kebutuhannya itu. Dengan demikian, sejak awal kehidupannya, anak telah terasuki rasa memiliki. 

Rasa ini akan terus berada dalam dirinya. Ketika merasa lapar dan dahaga, ia pun menangis. Ia juga akan menempel ke dada ibunya dan merasa nyaman bersama senandung ninabobo yang dinyanyikan ibunya. Ketika merasakan bahaya, ia pun akan masuk dalam dekapan ibunya. 

Rasa memiliki inilah yang nantinya akan menuntun dirinya mengikuti orang lain. Anak memodelkan moral dan tingkah lakunya pada moral dan tingkah laku orang yang ada di sekelilingnya. 


Dampak Rasa Memiliki 
Rasa memiliki ini pula yang nantinya akan menolong dirinya memperoleh teman dan bermain dengan mereka. Persaudaraan dan kasih sayang terhadap pasangan dan anak-anaknya kelak merupakan pengaruh lanjut dari rasa memiliki ini. Perkembangan pada anak ini merupakan perintis dari watak suka berteman. 

Oleh karena itu, rasa memiliki yang dipunyai anak bukanlah hal sepele, melainkan merupakan aspek terpenting dari struktur masyarakat. Anak akan mengembangkan kemampuan harapan dan kepuasan. Ia akan mengembangkan rasa persahabatan dengan selainnya. Ia akan berpikir positif pada orang lain dan mengharap kerjasama mereka. 

Ketika pandangannya terhadap masyarakat itu baik, maka ia akan mengulurkan tangannya untuk membantu mereka dan mau berkorban demi mencapai tujuan ini. Dan tentu saja masyarakat akan menganggapnya sebagai tumpuan harapan mereka. 

Sebaliknya, bila rasa memiliki itu tertekan dan tidak termanfaatkan dengan benar, bisa jadi anak akan menyimpang dari jalan lurus yang telah ditetapkan Allah Swt. 

Para pakar psikologi menyatakan bahwa dalam beberapa taraf-disebabkan kejadian-kejadian di sekitarnya-anak boleh jadi memper oleh awal dari perasaan takut, gelisah, tak percaya diri, malu, terasing, sedih, dan bahkan cenderung ingin bunuh diri. 

Bila Anda ingin menumbuhkan rasa memiliki pada anak secara benar, maka jadilah pendukungnya. Ketika ia lapar, berilah makan. Berikan kenyamanan kepadanya. Bila anak merasa tak nyaman atau sakit, cobalah untuk memperbaikinya. Aturlah jadwal tidur dan makannya sedemikian rupa sehingga ia tak memperoleh kesulitan. 


Hindari Memukul Anak
Karena anak tak mengetahui apa-apa selain kebutuhannya. Ia hanya mempercayai Kekuatan Tersembunyi dan menangis untuk memperoleh pertolongannya. Jangan melampiaskan kemarahan Anda dengan memukulnya. Rasulullah saw bersabda, "Janganlah kalian memukul bayi ketika menangis. Karena, ketika seorang anak di bawah usia empat bulan menangis, ia sedang bersaksi terhadap keesaan Allah Swt."[11] 


Jadilah Penolong Anak Di Setiap Keadaan
Meskipun Anda tak dapat memenuhi tugas kepadanya, cobalah untuk memperlakukannya dengan cinta dan perhatian. Bila anak merasa tak nyaman, cobalah untuk menghilangkan penyebab ketidaknyamanannya itu. Jangan pernah mencerca dan mengancamnya, bahwa Anda akan meninggalkannya sendiri. 

Karena, melakukan perbuatan seperti itu akan berpengaruh pada psikologi anak. Anak selalu berharap menjadi pusat perhatian orang tuanya. Bila mereka tak menunjukkan kasih sayang kepadanya, ia akan sangat kesal. 

Anak selalu berusaha memperoleh cinta dan kasih sayang orang tuanya. Namun sayangnya, beberapa orang tua melakukan kesalahan dengan memanfaatkan hal ini. Mereka mengatakan bahwa kalau tak menuruti mereka, maka mereka tak akan mencintainya. Mereka mesti menghindari penggunaan siasat seperti ini. Dalih seperti ini dapat mempengaruhi kejiwaan anak pada taraf-taraf berikut. 


Kesabaran: Kunci Utama
Boleh jadi anak menangis untuk menarik perhatian orang tuanya. Karena itu, orang tua harus menangani anaknya dengan sabar dan bijaksana. Bila anak dimarahi atau bahkan dipukul saat menangis, ia memang akan langsung diam. Namun, diamnya itu dilandasi kekecewaan yang akan memberikan pengaruh berbahaya pada pikirannya. 

Anak selalu merasa bahagia bila orang tuanya berada di dekatnya, dan merasa tak nyaman bila mereka pergi. Dengan demikian, orang tua tidak semestinya membicarakan seputar kematian mereka dalam jangkauan pendengaran anak, karena hal itu dapat membuatnya sangat sedih dan terganggu. 

Orang tua yang sedang sakit tak semestinya menyebut-nyebut kemungkinan kematian mereka di hadapan anak. Bila mereka akan bepergian untuk jangka waktu lama, sebelumnya persiapkanlah anak untuk menghadapi hal itu. Dalam kepergian itu, hubungilah ia secara teratur. 

Saat anak menolak meminum obat, jangan Anda takut-takuti dengan mengatakan bahwa bila tak meminumnya, ia akan mati. Tunjukkan sikap positif, serta cobalah menghibur dan meyakinkan dirinya agar meminum obat itu demi kesembuhannya. Bila menderita sakit yang cukup serius, perlakukanlah ia dengan lembut dan sabar. Orang tua mesti berupaya menjadi teman yang baik dan harapan bagi anak dalam kehidupannya.

Namun, harus dicamkan pula bahwa ekspresi cinta dan kasih sayang pada anak jangan sampai berlebihan. Memanjakan anak dapat berakibat buruk baginya dalam jangka panjang. Di manapun anak tak mampu mengerjakan tugasnya, orang tua harus segera membantunya. 

Tetapi, ketika anak mampu melakukannya sendiri, orang tua harus membiarkannya menyelesaikannya sendiri. Terkadang anak mencoba menarik perhatian orang lain dengan menangis, meskipun ia mampu mengerjakan tugasnya. Dalam kasus ini, tangisannya harus diabaikan. 


Russell menulis:
"Bila anak menangis tanpa alasan, maka itu harus diabaikan dan biarkan ia menangis sepuasnya. Bila dituruti dalam kasus ini, anak akan terbiasa bertindak diktator dan tak pantas. Namun, ketika anak menangis untuk memperoleh kebutuhannya, perhatian harus diberikan kepadanya, tetapi bukan dalam bentuk memanjakannya."[12]


Catatan Kaki:

[6] Ghurarul Hikam, hal.47.

[7] Bihâr al-Anwâr, jil.104, hal.103.

[8] Mustadrak al-Wasâ`il, jil.2, hal.619.

[9] Maksudnya adalah bila bayi tersebut sedang tidak dalam keadaan tidur-penerj.

[10] Mustadrak al-Wasâ`il, jil.2, hal.546.

[11] Bihâr al-Anwâr, jil.104, hal.104.

[12] Dar Tarbiyat, hal. 79.





27. KETIKA ANAK MULAI MELIHAT DUNIA DI SEKITARNYA
Anak adalah sosok manusia kecil, dan secara fitriah merupakan makhluk sosial. Ia memerlukan pertolongan dan dukungan orang lain untuk hidup. Ia akan memfokuskan perhatiannya pada orang lain. 

Ia akan mengambil manfaat dari mereka, dan sebaliknya, akan memberikan manfaat pada mereka. Namun, selama beberapa bulan sejak kelahirannya, bayi belum mengenal siapa-siapa, dan belum mampu memberikan perhatian pada mereka. Setelah mencapai usia empat bulan, fitrah sosialnya mulai terlihat dalam aksinya. 

Ia mulai menunjukkan perhatian terhadap apa yang ada di sekelilingnya dan mulai mengamati apa yang dilakukan ibunya. Ia pun mulai bereaksi terhadap apa yang dikerjakan ibunya. Bila ibunya tersenyum, ia juga tersenyum. Bila ibunya menggerakkan alis, ia juga melakukannya. Ia juga memperhatikan berbagai mainan dengan tersenyum dan menunjukkan ketertarikan. 

Ia pun mulai mengukur perasaan orang lain, baik perasaan gembira maupun marah. Ia akan tercengang saat melihat sedikit saja ekspresi marah. Namun saat anak melihat wajah yang riang dan cerah, ia pun akan menghampiri. Ia berusaha untuk duduk dan melihat dunia di sekelilingnya.

Pada taraf ini orang tua mesti memberikan perhatian dengan kesadaran bahwa anak telah mengembangkan indranya terhadap apa yang ada di sekelilingnya dan merupakan anggota baru dalam keluarga. Anak telah mampu memberikan perhatian kepada orang-orang dalam keluarganya, dan selanjutnya mampu mengerti perasaan mereka. 

Selama empat bulan usianya, anak telah mengalami kejadian-kejadian dan eksperimen, serta telah merekam apa-apa yang ada di sekelilingnya. Ini merupakan awal bagi fitrah sosialnya di masa mendatang. Bila orang tua bijaksana dalam memelihara insting anak ini, maka ia kelak akan berguna bagi masyarakat. 

Kalau tidak, maka ia akan mulai mengabaikan dunia luar dan larut dalam dunianya sendiri. Ia akan menjadi seorang introvert, dan hidup bagai seorang pertapa. Ia pun akan menjadi korban dari penyakit inferiority complex.

Oleh karena itu, orang tua memikul tanggung jawab yang berat. Mereka mesti menyadari bahwa anak memiliki perasaan dan terpengaruh oleh tingkah laku mereka. Perhatian mereka mesti terfokus kepadanya. Mereka mesti hadir di hadapan anak dengan senyum dan wajah yang cerah. 

Mereka mesti berkata-kata kepadanya dengan penuh kasih sayang. Mereka mesti memberinya mainan-mainan yang bersifat mendidik, agar ia dapat mempelajari dunia luar dengan mudah dan nyaman. 

Bila kebutuhan dan hasratnya terpenuhi, maka ia akan merasa tenang. Ia pun mulai merasa bahwa orang-orang di sekelilingnya adalah orang-orang pemurah dan menginginkan kebaikan bagi dirinya. Ketika ia menerima perlakuan yang baik, maka ia pun siap menjadi anggota yang baik bagi masyarakat. 

Orang tua yang baik dan bijaksana tidak akan memukul anak atau memperlakukannya dengan keras. Mereka sadar bahwa sikap seperti itu akan memberikan pengaruh buruk di pikiran anak, dan menjadikannya seorang yang minder dan penakut. Rasulullah saw bersabda, "Hormatilah anak kalian dan berikan asuhan yang baik kepadanya, agar Allah meridhai kalian."[13]





28. CINTA DAN KASIH SAYANG
Manusia haus akan cinta dan kasih sayang. cinta memberi kehidupan di hati. Seseorang yang mencintai orang lain-di mana ia menginginkan orang itu juga memiliki perasaan yang sama kepadanya-pasti merasakan kebahagiaan di hatinya. Ketika seseorang merasa bahwa tak ada di dunia ini yang mencintai dirinya, maka ia akan merasa sedih dan berduka. Karenanya, ia akan selalu murung. 

Anak adalah miniatur manusia, yang kenyataannya memerlukan cinta dan kasih sayang yang lebih besar ketimbang orang dewasa. Sebagaimana anak memerlukan makanan, ia juga memerlukan cinta dan kasih sayang. Anak tak peduli ia tinggal di istana atau di gubuk. Ia hanya melihat apakah ia memperoleh cinta dan kasih sayang dari keluarganya atau tidak. 

Dengan cinta, anak menapaki jalan pertumbuhan menuju manusia seutuhnya. Dan sumber dari karakter yang baik adalah cinta dan kasih sayang. Di bawah refleksi cinta, perasaan dan pikiran anak dapat terasuh dengan baik, yang akan menjadikannya manusia yang baik pula. 

Anak yang menerima cinta yang besar akan memiliki hati dan jiwa yang bahagia. Ia tidak akan menjadi korban kekecewaan. Ia akan menjadi orang yang percaya diri, berwatak baik, dan menghargai diri. Ia pun tidak akan menjadi korban dari problem psikologis. Anak yang menerima cinta dan kasih sayang kelak akan lebih siap menghadapi kenyataan hidup yang keras dan berbagai masalah dalam kehidupan orang dewasa.

Anak perempuan yang menerima cinta dan kasih sayang orang tua dan keluarganya, akan terberkahi dengan aura kasih sayang dan tak akan mudah jatuh dalam pikatan anak lelaki di masa mudanya, yang dapat berakibat buruk bagi masa depannya. Sedangkan anak lelaki yang memperoleh asuhan dalam atmosfer cinta dan kasih sayang tidak akan menjadi korban dari kemaksiatan, seperti narkoba dan minuman keras.

Dari sudut pandang psikologi juga dibuktikan bahwa anak yang menerima cinta dan kasih sayang besar dari orang tuanya, selama masa pertumbuhannya, ternyata lebih cerdas dan lebih sehat ketimbang anak yang tumbuh di sebuah asrama, di mana dirinya terpisah dari orang tuanya. Ini adalah salah satu alasan, mengapa anak-anak yang berasal dari boarding school (sekolah berasrama) boleh jadi memerlukan nutrisi dan perawatan kesehatan yang lebih baik.

Selain itu, mereka yang memperoleh asuhan dalam lingkungan tak-berperasaan, tanpa cinta dan kasih sayang, serta tak memperoleh kedekatan dengan orang tua, besar kemungkinan tak akan memiliki watak berkasih sayang pada orang lain.

Anak yang tak memperoleh cinta dan kasih sayang orang tuanya akan menjadi korban perasaan kehilangan dan rendah diri. Mayoritas penyebab terbentuknya watak pemarah, tak tahu malu, kasar, depresi, dan lain-lain adalah disebabkan kurangnya cinta dan kasih sayang orang tua di masa kecil seseorang.

Para pelaku kejahatan seperti mencuri dan membunuh, dalam banyak kasus, merupakan orang-orang yang tak memperoleh cinta dan kasih sayang orang tua di masa kecilnya. Mereka bertingkah seperti pemberontak dalam masyarakat. Mereka bahkan ingin bunuh diri. Koran dan majalah penuh dengan kisah orang-orang tak beruntung ini.

Dr. Hassan Ahdi-kepala divisi psikiatri dari National Society for Care of Children (Anjuman Melli Himayat Bachhagan)-telah melakukan penelitian terhadap lima ratus narapidana. Ia memperoleh data bahwa mereka melakukan tindak kriminal pertamanya di usia antara 12 dan 13 tahun. Hasil penelitiannya itu menyimpulkan bahwa penyebab utama kejahatan mereka adalah kurangnya cinta dan kasih sayang keluarga. Ia berkata, "Awal dari sebagian besar masalah psikologis dapat ditelusuri dari masa kecil. Bahkan kebanyakan anak yang stabil pun memiliki masalah dalam menenangkan perasaannya."[14]

Seorang muda menulis, "Aku membuka mataku dalam sebuah keluarga miskin di sebuah desa kecil. Biaya perawatanku dan dua saudara perempuanku di atas penghasilan orang tuaku. Karenanya, nenekku kemudian mengambilku. Keadaan nya lebih baik. Ia begitu mencintaiku. Ia kerap membelikanku pakaian yang bagus dan lainnya. 

Namun, kenyamanan ini tetap tak mampu menggantikan cinta dan kasih sayang ibu dan ayahku yang kudambakan. Ia sering merasa seolah aku telah kehilangan sesuatu. Aku diam-diam kerap menangis. Saat itu, aku duduk di bangku kelas tiga. Suatu ketika, ayahku menemuiku dan memintaku pulang. Aku begitu girang mendengarnya dan segera bersiap berangkat. Aku merasa seolah penderitaanku selama bertahun-tahun telah terobati dalam sekejap. 

Oleh karena itu, aku menyarankan pada para ayah dan ibu agar jangan menjauhkan anaknya dari cinta dan kasih sayang mereka dengan mengirimnya ke suatu tempat, bagaimana pun miskinnya kehidupan mereka. Mereka mesti menyadari bahwa hidup terpisah dari orang tua serta jauh dari cinta dan kasih sayang mereka akan terasa sulit bagi anak. Kehampaan ini tak dapat tergantikan dengan kenyamanan apapun."

Ia juga menulis dalam suratnya yang lain, "Aku telah terjauhkan dari cinta dan kasih sayang orang tuaku. Itulah mengapa kini aku menjadi orang yang mudah patah hati dan pencemburu. Aku berwatak pengecut dan mudah marah. Ketika kecil, aku kerap melarikan diri dari sekolah. Dan dengan berbagai kesulitan, aku dapat terus sekolah hingga mencapai kelas enam, namun kemudian drop out."


Perhatian Islam terhadap Cinta
Keyakinan suci Islam, yang memberikan perhatian besar terhadap proses pengasuhan anak, menegaskan secara khusus seputar cinta dan kasih sayang pada anak. Al-Quran dan al-hadis kerap membahas hal itu. Berikut di antaranya.

Imam Ja`far Shadiq as. berkata, "Disebabkan cinta besar yang dicurahkan orang tua pada anak mereka, Allah akan memasukkan mereka dalam rahmat-Nya."[15] 

Dalam sebuah hadis qudsi diriwayatkan bahwa Allah Swt berfirman pada Nabi Musa as., "Mencintai anak-anak adalah tindakan terbaik, karena tujuan penciptaan mereka adalah untuk menghamba kepada Allah dan bersaksi atas keesaan-Nya. Bila anak-anak meninggal ketika kecil, mereka akan masuk surga."[16] 

Rasulullah saw bersabda, "Cintailah anak-anak dan berbuat baiklah kepada mereka."[17]

Rasulullah saw juga bersabda, "Sering-seringlah mencium anak-anak kalian. Karena, setiap kali kalian mencium mereka, Allah akan menaikkan derajat kalian satu tingkat di surga."[18] 

Suatu hari, seseorang berkata pada Rasulullah saw, "Aku belum pernah mencium anak hingga detik ini." Setelah ia pergi, Rasulullah saw berkata pada para sahabat, "Menurutku, ia sedang bersiap menghuni neraka."[19]

Rasulullah saw juga bersabda, "Seseorang yang tidak berbuat baik kepada anak-anak dan tidak menghormati orang-orang yang lebih tua, bukanlah bagian dari kami."[20]

Imam Ali as., dalam wasiat beliau, berkata, "Berbuat baiklah kepada anak-anak dan hormatilah orang-orang yang lebih tua dari kalian."[21]


Ekspresi Cinta dan Kasih Sayang
Mencintai anak merupakan insting alami. Mungkin sedikit orang tua yang tidak mencintai anak mereka dari lubuk hati. Namun, mencintai anak dari hati saja tidak cukup. Anak memerlukan cinta yang direfleksikan dalam aksi nyata orang tua. Anak ingin dicium, dipeluk, dan ditatap dengan senyuman. Saat orang tua menyenandungkan ninabobo, anak pun merasakan kehangatan mereka. 

Anak juga menginginkan orang tuanya bermain dengannya. Anak menganggap hal ini sebagai tanda cinta. Ia juga menganggap kemarahan dan perselisihan sebagai tanda tak sayang. Kapan saja orang tua memandangi anak, ia mengamati apakah terdapat pandangan cinta atau tidak pada wajah mereka.

Terdapat pula orang tua, yang mencurahkan cintanya, hanya ketika anak masih bayi. Namun, saat ia tumbuh, ekspresi cinta mereka pun berkurang sedikit demi sedikit. Ketika anak telah remaja dan dewasa, mereka secara total mengabaikannya dan bahkan berkata bahwa ekspresi cinta akan menjadikannya manja. Ini jelas bukan sikap yang benar. Anak selalu mengharap cinta orang tuanya sepanjang hidupnya. Ia merasa bahagia dengan ekspresi cinta orang tuanya. 

Sebaliknya, bila mendapati orang tuanya mengabaikannya, ia pun merasa terluka. Khususnya masa remaja, yang merupakan periode kritis dalam kehidupan manusia. Pada masa ini, dukungan dan bimbingan orang tua paling banyak diperlukan. Pengabaian pada masa remaja dan dewasa itulah yang menyebabkan banyaknya kasus bunuh diri di usia tersebut. Selain pula menyebabkan kasus-kasus kabur dari rumah. 


Perlu kiranya saya kutipkan beberapa kalimat dari catatan harian seorang remaja bernama Naznin, sebagai berikut:
"Saat aku mengingat ayah dan ibuku, tak ada lain selain tertawa. Meskipun mereka lebih berhak dikasihani ketimbang tertawa. Ibu sibuk dengan dunianya yang penuh dengan pekerjaan sehari-hari. Kemudian, ia asyik bergosip berjam-jam dengan bibi Vizri dan nyonya Hamidah. 

Bila beberapa dari kami bersaudara, lelaki dan perempuan, mendatanginya saat itu karena beberapa keperluan, ia pun akan menunjukkan sikap tidak senang, karena merasa terpotong pembicaraannya. Ia tak menyadari bahwa sementara dirinya membicarakan kekurangan orang lain, ia telah membuatku merasa seperti burung yang terbang ke sana kemari demi menumpahkan isi hati kepada orang lain. 

Ibu dan ayah sibuk berdebat satu sama lain, atau sibuk bergosip dengan teman-temannya. Kalau tidak, mereka pergi keluar rumah. Sementara, aku juga disibukkan dengan kegiatan sekolah dari pagi sampai malam. Sehingga, aku pun jarang melihat ayah. Kebetulan, guruku seorang psikolog. Hari ini, ia membicarakan tentang pengaruh seorang ayah terhadap kejiwaan anak perempuannya. 

Pembicaraannya itu menyentuh hatiku. Ia benar ketika mengatakan bahwa aku adalah orang yang telah dewasa di mata semua orang. Namun, aku tetap merasa perlu bimbingan ayahku setiap saat dalam hidupku. Aku memerlukan kekuatan moral seorang yang bijak dan baik. Namun ayahku… kelihatannya ia tak punya waktu untuk ini."[22] 


Rumah: Tempat Terbaik 
Tempat pelatihan terbaik bagi anak, khususnya di tahap-tahap awal kehidupannya, adalah rumah. Dalam periode ini, anak menerima perhatian total, kebaikan, dan cinta orang tuanya. Orang tua juga dianjurkan untuk tidak menitipkan anaknya dalam perawatan asrama. Memang mungkin saja asrama itu memiliki lingkungan yang higienis dan makanan bergizi. 

Namun tetap saja asrama tersebut memberikan lingkungan yang dingin dan asing bagi anak. Tempat itu bagaikan ruang hampa bagi anak, yang begitu mendambakan ditemani orang tuanya. Lingkungan baik dan makanan bergizi saja tidaklah cukup untuk mengisi kehampaan disebabkan ketiadaan cinta dan perhatian orang tua. 

Rasulullah saw bersabda, "Bila Anda menyukai seseorang, ekspresikan perasaan itu kepadanya. Ekspresi cinta ini akan saling mendekatkan kalian."[23] 

Rasulullah saw juga biasa bermain dengan anak-anak dan cucu-cucu beliau setiap pagi, serta mengekspresikan cinta dan kasih sayang beliau kepada mereka.[24]


Catatan Kaki:

[13] Makârim al-Akhlâq, hal.255.

[14] Harian Kayhan, isu ke-42.

[15] Wasâ'il asy-Syî'ah, jil. 15, hal. 98.

[16] Mustadrak al-Wasâ`il, jil.2, hal.615.

[17] Bihâr al-Anwâr, jil.104, hal.92.

[18] ibid. 

[19] ibid. hal. 99.

[20] ibid., jil.75, hal.147.

[21] ibid., hal.146.

[22] Harian Ittilaat, isu ke-14112, Khurdad, 1358.

[23] Mustadrak al-Wasâ`il, jil.2, hal.67.

[24] ibid., hal.99.



29. SALAH PAHAM ATAS CINTA

Cinta, Bukan Alat untuk Bersiasat
Anak memerlukan cinta dan kasih sayang orang tua. Namun sayangnya, beberapa orang tua memanfaatkan hal ini untuk tujuan-tujuan mereka. Mereka meminta anak melakukan hal tertentu agar ibu mencintainya. Atau memintanya tidak melakukan hal tertentu; karena kalau tidak, ibu tak akan mencintainya. Tak diragukan, hal ini dapat berpengaruh dalam mengendalikan perilaku anak. 

Namun, bila siasat ini terus berlanjut dalam waktu lama, maka akan bisa berakibat buruk. Anak akan terbiasa melakukan sesuatu hanya demi menyenangkan orang tua, bukan untuk memperoleh manfaat bagi dirinya dan masyarakat. Ia hanya berpikir bahwa pekerjaannya hanya untuk menyenangkan seseorang semata. Ia tak menyadari bahwa pekerjaannya itu sebenarnya bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat dan umat manusia secara umum. 

Banyak orang tua yang lebih mementingkan pribadi ketimbang kebaikan bagi masyarakat. Akhirnya, anak mereka pun menjadi penjilat, munafik, dan penipu. Karena, tujuan hidupnya adalah menyenangkan orang lain, dengan cara apapun. Oleh karena itu, pendidik yang pintar dan bijaksana tidak akan menggunakan cinta dan kasih sayang untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi. 


Cinta, Bukan Berarti Menutup Mata
Terdapat orang tua yang mencintai anaknya sedemikian rupa sehingga tak menyadari apa yang baik dan yang buruk bagi pengasuhan anaknya. Saat mereka melihat kesalahan anaknya, atau saat orang lain memberitahukan kesalahan anaknya, mereka kontan mengabaikannya agar tidak membuat anaknya tak nyaman. 

Anda pasti pernah melihat anak yang menyakiti anak lain, mengganggu orang, memecahkan kaca jendela tetangga, dan menggunakan kata-kata buruk pada orang lain. Namun sayangnya, beberapa orang tua anak semacam ini tidak hanya mengabaikan perbuatan anaknya itu; mereka bahkan memperlihatkan senyum manis seolah-olah tak ada kejadian yang salah. 

Dengan begitu, secara tak langsung, mereka turut berperan dalam kelakuan buruk anaknya itu. Mereka telah melakukan perbuatan yang merugikan anak mereka sendiri. 

Pengasuhan keliru ini jelas tak diperbolehkan Allah Swt. Cinta pada anak bukan berarti orang tua harus menutup mata terhadap norma-norma pengasuhan yang baik. 

Orang tua yang baik adalah yang mampu menggabungkan cinta dan pengasuhan yang baik. Mereka mencintai anaknya sembari bersikap realistis terhadap tingkah laku si anak. Mereka mengoreksi kesalahan anak secara bijak. 

Mereka membuat anak menyadari bahwa dirinya tak bisa begitu saja melakukan kesalahan. Ia dibuat mengerti akan kenyataan bahwa orang tuanya mencintainya dengan perbuatan baik yang dilakukannya, dan ia bisa saja dihukum untuk kesalahan yang dilakukannya. 

Orang tua harus menyadari bahwa anak akan tumbuh dewasa dan akan berinteraksi dengan orang lain dalam masyarakat. Bila disebabkan cinta berlebihan kepadanya membuat mereka lalai melatihnya dengan norma-norma perilaku yang baik, maka si anak tidak akan diterima di masyarakat dan orang lain pun akan menghindari atau bahkan memusuhinya. Mesti diingat bahwa orang lain tak akan bisa seperti orang tua, yang dapat menutup mata terhadap setiap kesalahan anak dan terus mencintainya. Karena dalam masyarakat, seseorang diterima hanya disebabkan perilaku baiknya. 

Imam Muhammad Baqir as. berkata, "Seburuk-buruk Ayah adalah yang mencintai anaknya secara berlebihan."[25]

Imam Ali bin Abi Thalib as. berkata, "Seseorang yang mengajarkan perilaku baik, kesalahannya akan terkurangi."[26]

Imam Muhammad Baqir as. berkata, "Ayahku, Imam Zainal Abidin, suatu hari melihat seseorang sedang berjalan dengan anaknya. Saat itu, sang anak secara tak sopan merangkulkan lengannya ke pundak sang ayah. Ayahku sangat kesal terhadap kekurangajaran anak itu, sehingga beliau pun tak pernah berbicara dengannya seumur hidup."[27]




30. BERMAIN DAN REKREASI

Manfaat Olahraga dan Bermain 
Olahraga dan bermain itu perlu bagi anak. Oleh karena itu, di tingkat sekolah dasar dan menengah, aktivitas dominan anak-anak adalah olahraga, bermain, dan rekreasi. Seiring meningkatnya kurikulum, aktivitas ini biasanya berkurang. Namun, sekalipun beban tugas sekolah bertambah, anak juga harus sesekali keluar untuk berolah raga. 

Melakukan permainan di luar kelas merupakan aktivitas fisik yang penting, yang sangat diperlukan bagi kesehatan anak. Anak yang tidak mau berpartisipasi dalam kegiatan seperti itu umumnya tidak sehat. Islam menyadari akan kebutuhan alamiah ini, sehingga menganjurkan umatnya untuk menjaga kesehatan fisik anak. 

Imam Ja`far Shadiq as. berkata, "Biarkanlah anak bebas bermain hingga usia tujuh tahun."[28] 

Rasulullah saw bersabda, "Biarkanlah mereka bermain. Bumi adalah padang rumput bagi anak-anak."[29]

Bermain adalah olahraga alami bagi anak. Ini akan menjadikan tubuhnya kuat. Selain itu, kemampuan mentalnya juga akan terasah dan ia pun akan tumbuh kokoh. Di tempat bermain, anak juga akan berinteraksi dengan selainnya dan berbagi tanggung jawab dengan anak-anak yang lain.

Para pakar psikologi memiliki penilaian yang berbeda-beda seputar pentingnya olahraga bagi anak. Namun, kami tidak akan mengutarakannya secara terperinci. Karena bagi kita, cukuplah mengetahui bahwa bermain dan olahraga itu penting dalam proses mengasuh anak. Oleh karena itu, pendidik tidak semestinya menganggap hal ini semata-mata kegiatan ekstrakurikuler. 

Anak mengenal dunia luar ketika bermain. Ia mempelajari bagaimana melaksanakan tugas. Ia juga mempelajari bagaimana menghindari risiko, serta bekerja sama dan berkoordinasi dengan kelompoknya. Dalam permainan tim, ia juga mempelajari bagaimana menghormati hak-hak orang lain dan mempelajari peraturan-peraturan permainan. 


William Astern menulis:
"Permainan adalah sumber pengembangan kemampuan alamiah anak. Permainan merupakan sarana pelatihan kedisiplinan dan aktivitas masa depan seseorang."[30] 


Alexis Maxim menulis:
"Permainan memberikan anak pemahaman hidup dan merupakan alat pelatihan bagi tubuh. Permainan membantu anak mengenalkan dirinya dengan norma-norma sosial. Selain itu, permainan juga memperkuat perasaan anak. Dalam permainan itu, anak belajar membuat rumah, membangun pabrik, melakukan ekspedisi ke Kutub Utara, terbang ke angkasa, dan menjaga pertahanan negara."


Anton Semonowich Makarno, seorang pakar pengasuhan anak terkemuka dari Rusia, berkata:
"Bila seseorang cakap dalam permainan dan bermain di masa kecilnya, ia akan merefleksikan kualitas yang sama dalam kehidupan dewasanya. Bermain dengan baik itu seperti melakukan pekerjaan yang baik. Setiap permainan memerlukan kecakapan mental dan fisik. Perhatikanlah anak yang sedang bermain dan lihatlah bagaimana ia telah memformulasikan strateginya untuk berhasil dalam permainan tersebut. Dalam permainan, perasaan dan sentimen anak itu autentik. Orang-orang dewasa semestinya memperhatikan hal ini."[31]


William McDougal menulis:
"Sebelum watak itu mewujud dalam aktivitas, bermain dapat merefleksikan kecenderungan pikiran anak."[32]

Meskipun dalam bermain, anak tidak melakukan pekerjaan spesifik, namun bukan berarti ia tak melakukan aktivitas fisik dan mental. Dalam permainan itu, kecenderungan kapabilitas alamiah dan personal akan terwujud. Ketika bermain, karakter anak terbentuk dalam menyongsong masa depan yang cerah.


Tipe-tipe Pengasuh Anak

Para pengasuh anak dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Mereka yang menganggap bahwa bermain itu membuang-buang waktu dan mencoba anaknya tidak melakukan aktivitas tersebut.

2. Mereka yang memperbolehkan anaknya bermain dan memberikan kebebasan anak dalam memilih mainan dan permainan yang ingin dimainkan.

3. Mereka yang tidak menganggap penting permainan, selain sekedar memberi kesibukan pada anak. Mereka membelikan anak mainan dengan tujuan agar anak mereka sibuk dengan mainan itu. Ia akan memainkan, merusak, dan melemparnya saat sudah lelah bermain. Ia juga akan memamerkan mainannya itu pada teman-temannya.

4. Mereka yang tidak hanya membelikan anak mainan, tapi juga turut memperhatikan penggunaannya. Bila anak mengalami kesulitan dalam menggunakannya, mereka akan segera membantunya. Dengan demikian, mereka justru mengekang insting anak untuk memecahkan masalah dan membuatnya terbiasa bergantung pada pertolongan orang yang lebih tua dalam segala hal. 

5. Mereka yang tak memenuhi persyaratan dalam memberikan pengalaman belajar pada anak melalui permainan. 

Karena itu, sikap terbaik yang harus dilakukan para pengasuh adalah pertama-tama, memberikan kebebasan pada anak untuk bermain sesuai watak dan pilihannya. Kedua, mereka harus memberikan permainan yang bersifat mendidik pada anak. Mereka harus memilih mainan yang dapat menajamkan daya pikir dan kreativitas anak. 

Selain itu, perlu diperhatikan juga, mainan tersebut harus membuat anak aktif. Sayang sekali, kebanyakan mainan yang ada minim nilai edukasinya. Sebagai contoh, bila orang tua membelikan mainan mobil-mobilan atau kereta api elektronik, anak hanya sibuk melihatnya sepanjang hari. Ia tak mempelajari sesuatu yang dapat bermanfaat baginya pada masa mendatang. 

Dengan demikian, mainan terbaik adalah yang mengajak anak menyusun atau merakit. Sebagai contoh, permainan blok yang dapat dirakit menjadi sebuah bangunan, melukis, puzzle, menjahit, dan lain-lain. 


Mengawasi Anak Saat Bermain
Para pendidik harus memperhatikan anak selama bermain, sehingga dapat memberikan arahan kepadanya di saat yang tepat. Mengawasi anak saat bermain merupakan aspek sangat penting dalam pelatihan dan pengasuhan. Para pendidik yang baik akan memberikan mainan pada anak, dan membiarkannya memainkan sendiri mainannya. Namun, mereka tetap mengawasinya, sehingga dapat memberikan arahan bila anak melakukan kesalahan dalam menggunakannya.

Misal, ketika mainan mobil atau kereta api diberikan pada anak, maka tanyakanlah padanya fungsi mainan tersebut. Bila ia menjawab bahwa fungsinya untuk memindahkan manusia dan barang dari satu tempat ke tempat lainnya, maka biarkanlah ia mempraktikkannya. Bila mainan itu mengalami kerusakan ketika ia memainkannya, biarkanlah ia memperbaikinya semaksimal mungkin. Dalam hal ini, doronglah ia untuk percaya diri dalam melakukannya. 

Ketika Anda membelikan anak perempuan Anda sebuah boneka, maka janganlah dalam bentuk yang lengkap. Bimbinglah ia menyiapkan baju untuk boneka itu. Sehingga ia pun akan melakukannya, membersihkannya, serta beraksi seolah sedang memandikannya, mengganti pakaiannya, dan memberinya makan. 

Ia lalu menyenandungkan ninabobo untuk menidurkannya, kemudian membangunkannya untuk menggendongnya lagi. Dengan meniru gaya orang dewasa, ia juga akan mengajarkan perilaku baik pada bonekanya itu. 

Anda bisa melihat bahwa ia mengajarkan pada bonekanya tentang apa yang ia dengar dari orang-orang dewasa di sekitarnya. Begitulah anak; ia selalu menirukan apa yang dilakukan orang tua dan kakak-kakaknya. 

Oleh karenanya, mainan sangat berguna bagi anak dalam mempelajari hal-hal yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, sembari memainkannya. Anak harus didorong untuk memainkan mainannya ketimbang menyimpannya atau memamerkannya pada teman-temannya. 

Perlu juga disediakan tempat yang layak, di mana anak dapat menyimpan mainannya setelah memainkannya. Anak harus didorong pula untuk menjaga kerapian dan kebersihan tempat tersebut.

Semestinyalah anak tidak bermain dengan banyak mainan dalam satu waktu. Ini dapat membuatnya bingung dan sulit menentukan pilihan. Mainannya pun tidak 
perlu mahal dan terlalu bagus. 


Kategori Mainan

Mainan anak dapat dikategorikan sebagai berikut.
1. Mainan yang dapat dimainkan sendiri oleh anak. 

2. Mainan yang dapat dimainkan bersama oleh dua atau lebih anak.

3. Mainan edukatif, yang merangsang kapabilitas mental anak.

4. Permainan di luar rumah, yang merangsang pertumbuhan fisik anak.

5. Permainan yang merangsang kapabilitas dalam bertahan dan menyerang.

6. Permainan yang merangsang semangat kerjasama di antara anak-anak.

Awalnya, anak bermain sendiri. Namun, meskipun ia dibiarkan main sendiri, pengawasan tetap mesti diberikan kepadanya. Orang tua harus memilihkan mainan yang tepat bagi anak. Terkadang anak ingin membongkar mainan dan merakitnya kembali; biarkanlah ia melakukannya. Kecuali ketika ia sudah tak mampu lagi menyelesaikannya, barulah orang-orang yang lebih tua turut membantunya. 

Setelah beberapa saat, biasanya anak mulai menyukai pertemanan dengan anak lain. Karena itu, ia harus juga diperkenalkan pada permainan kolektif. Orang tua harus mendorong anak bermain dengan anak lain. 

Orang tua juga harus memperhatikan bahwa anaknya terlibat dalam permainan tim yang bermanfaat. Biasanya, permainan tim yang digemari adalah sepak bola, bola voli, bola basket, dan lain-lain. Umumnya, anak memainkan permainan ini selama waktu istirahat di sekolah dan di lingkungan tempat tinggalnya. Namun, meskipun dapat membantu perkembangan fisik anak, permainan-permainan ini sangat kompetitif dan menjadikan anak berwatak agresif. 

Anak yang memainkan permainan ini akan selalu berpikir untuk mengalahkan lawannya. Permainan yang lebih agresif dari ini adalah tinju dan gulat. Permainan ini mengingatkan kita pada masa-masa primitif dulu. Sayang, permainan ini masih terus digelar.


Russel menulis:
"Umat manusia kini, ketika dibandingkan dengan umat sebelumnya, jauh lebih materialistis. Oleh karena itu, mereka memerlukan lebih banyak sikap bijaksana dan kerja sama di antara mereka. Manusia tak memerlukan permusuhan, perlawanan, dan kebencian; karena semua itu adalah hal-hal yang terkadang menguasai mereka dan terkadang mereka yang menundukkannya."[33]

Dengan demikian, perlu diperhatikan bahwa tidak sepatutnya permainan-permainan yang merangsang agresifitas anak tersebut didukung. Akan lebih baik bila pihak sekolah memikirkan hal ini secara serius dan berkonsultasi dengan para pakar dalam memperkenalkan permainan yang bermanfaat bagi anak.

Kesimpulannya, meskipun permainan penting sekali bagi pertumbuhan anak, waktunya tetap harus dibatasi. Para pendidik yang cakap tentu akan menyusun jadwal bermain, sehingga anak akan secara otomatis kembali ke aktivitasnya yang lain setelah itu. Mereka tak akan mengizinkan anak bermain secara berlebihan.

Imam Ali bin Abi Thalib as. berkata, "Seseorang yang kecanduan bermain tidak akan sukses."[34] 


Russel menulis:
"Merupakan tanda kemunduran nilai-nilai sosial ketika kita menghukumi seseorang atas kecakapannya dalam permainan. Kita belum memahami bahwa hidup di dunia modern dan rumit itu memerlukan sikap bijaksana dan pengetahuan."[35]

Satu kekurangan saja dalam permainan tim dapat menyebabkan perasaan cemburu dan konflik pada anak. Dalam situasi seperti itu, pendidik harus turun tangan dan menyelesaikan perselisihan tersebut sehingga dapat memuaskan semua pihak.

Terkadang, orang tua harus turun tangan dalam konflik antara anak-anak. Tanpa mempelajari penyebab konflik itu, mereka langsung saja membela anak mereka, sehingga permasalahan makin besar. Sikap tak bijaksana ini akan menjadikan anak merasa bahwa dirinya dapat lolos meskipun telah melakukan pelanggaran. 


Catatan Kaki:

[25] Tarikh Ya'qubi, jil.2, hal.320.

[26] Ghurar al-Hikam, jil.2, hal.645.

[27] Majmu' al-Warram, jil.2, hal.208.

[28] Wasâ`il asy-Syî'ah, jil.15, hal.193.

[29] Majma' az-Zawa'id, jil.8, hal.159.

[30] Rowan Shinashi Kudak, hal.331.

[31] ibid., hal.130.

[32] ibid,, hal.332.

[33] Dar Tarbiyat, hal.121.

[34] Ghurar al-Hikam, hal.854.

[35] Dar Tarbiyat, hal.142.






31. MENIRU
Insting meniru merupakan karakter alamiah manusia yang paling kuat. Ini juga merupakan perbuatan yang berguna dan bernilai. Hal ini dapat menolong anak untuk meningkatkan proses belajarnya seperti makan, berpakaian, berbicara, dan lainnya yang terdapat di lingkungannya. Manusia adalah peniru alami dan akan terus melakukannya sepanjang hidup. 

Namun, anak akan melakukannya lebih banyak lagi, hingga dirinya berusia sekitar lima tahun. Selama waktu tertentu, anak belum mampu menentukan rangkaian aksinya sendiri. Karenanya, dalam periode ini, ia akan menirukan apa yang dilakukan orang tuanya dan selainnya.

Ketika mendengar kata 'air' dari orang tuanya, si anak akan mencoba untuk mengucapkannya. Kemudian, ia akan memperhatikan maksud kata itu, dan menggunakannya di saat yang tepat. 

Sedangkan anak perempuan akan memperhatikan ibunya membersihkan ruangan dan mencuci pakaian. Ia pun lantas menirukan pekerjaan itu. Ia melihat ibunya berhati-hati saat menghidupkan kompor, dan mencuci buah-buahan terlebih dahulu sebelum dikupas dan dimakan. Ia pun menirukan semua itu. Ia melihat orang tua dan kakak-kakaknya menata rumah. Ia lalu menirukannya. 

Ketika melihat orang tuanya santun dalam berbicara, ia pun akan berperilaku baik. Ketika melihat orang tua dan kakak-kakaknya saling membantu dalam menyelesaikan pekerjaan rumah, ia pun akan berupaya ikut membantu. Ketika melihat orang tuanya menyeberang jalan dengan hati-hati di tempat penyeberangan, ia pun akan mempelajarinya. 

Ketika melihat ayahnya berkebun di halaman atau memperbaiki sesuatu dalam rumah, anak lelaki pun akan mempelajari aktivitas itu. Mulanya, ia menirukannya dalam permainan. Namun, seiring bertambahnya usia, ia pun akan benar-benar mampu melakukannya secara nyata. Bahkan, beberapa dari mereka menjadi sangat mahir, sehingga menjadikan aktivitas itu sebagai profesi. 

Pengasuhan dan pelatihan anak lebih baik dilakukan dengan memberinya contoh ketimbang teori. Peniruan terhadap tingkah laku orang-orang dewasa merupakan fenomena pada anak. Sehingga, dalam hal ini, mereka tak memerlukan perintah. Bila orang tua bersikap kasar dan tidak sopan, anak juga akan mengikutinya. 

Ketika seorang ibu doyan mengomel, berteriak, dan tak berperasaan; anak juga akan menirunya. Demikian halnya seorang pendidik yang suka berbohong, pengecut, dan tak jujur; tentu saja ia tak dapat mengharapkan anak didiknya menjadi sosok yang jujur dan berani. 

Anak tak banyak memperhatikan teori. Ia lebih menyukai peniruan. Karenanya, biasakanlah anak melihat tindakan orang tua. Dengan demikian, demi anak, orang tua harus berupaya memperbaiki dirinya sendiri, sehingga dapat menampilkan citra positif di mata anak. Mereka harus selalu ingat bahwa sangatlah sulit menghentikan anak dari meniru kebiasaan mereka.

Imam Ali bin Abi Thalib as. berkata, "Bila Anda ingin memperbaiki orang lain, perbaikilah diri Anda terlebih dahulu. Adalah kesia-siaan ketika Anda mencoba memperbaiki orang lain, sementara Anda sendiri masih melakukan penyelewengan."[36] 

Rasulullah saw berkata pada Abu Dzar ra, "Allah akan memberikan anak dan cucu yang saleh pada orang tua yang saleh."[37]

Pendidik yang bertanggung jawab tidak akan bersikap masa bodoh terhadap teman-teman anak. Ia rentan terhadap pengaruh, sehingga cenderung meniru kebiasaan teman-temannya. Oleh karena itu, sangatlah penting memperhatikan siapa saja yang menjadi teman anak.

Terkadang, ketika melihat kekerasan di televisi, anak cenderung menirunya. Anda dapat membaca di media massa tentang tindak-tindak kriminal anak, yang mayoritas disebabkan termotivasi adegan pembunuhan dan penganiayaan di televisi atau bioskop. Dengan kenyataan ini, apakah layak membiarkan anak melihat media tersebut tanpa pengawasan? 




32. TELEVISI, RADIO, DAN ANAK
Radio, televisi, dan film adalah hasil penemuan yang sangat bermanfaat. Semua dapat menjadi sarana yang sangat baik bagi pendidikan dan pengajaran. Prinsip-prinsip keimanan dan nilai-nilai akhlak dapat disebarkan melalui media-media ini. 

Pemikiran masyarakat dapat dipertajam dengan perantaraan alat-alat ini. Informasi tentang pembangunan pertanian dan industri juga dapat disebarkan melaluinya. Kesadaran akan aspek kesehatan dan sanitasi pun dapat dipopulerkan dengan perantaraan media-media tersebut. 

Manusia dapat memperoleh manfaat yang tak terkira banyaknya dari media elektronik. Akan tetapi, di samping mengandungi manfaat, semua itu juga dapat membawa kerugian bagi masyarakat. Ketika media-media ini jatuh ke tangan para pencari keuntungan yang tak bertanggung jawab, mereka akan menempatkannya pada penggunaan yang salah dan menciptakan problem yang maha dahsyat bagi masyarakat. 

Demi keuntungan pribadi, mereka akan menyajikan program-program yang berbahaya bagi kesehatan moral, keimanan, dan perekonomian masyarakat. Hari ini, penggunaan radio dan televisi telah sangat meluas dan intensif. Namun, kebanyakan orang hanya menganggap semua itu sebagai sumber hiburan dan rekreasi belaka. Sementara, anak-anak dan remaja benar-benar telah kecanduan pada hiburan yang membodohkan itu.

Kalangan cendekia berpendapat bahwa anak-anak Iran lebih kecanduan televisi ketimbang anak-anak di negara-negara yang telah berkembang seperti di Amerika, Prancis, Inggris, dan Jepang. Di Iran, 40 persen pemirsa televisi adalah anak-anak, 20 persen remaja, dan sisanya orang dewasa. 

Harus diingat bahwa masa kanak-kanak dan remaja adalah waktu yang paling baik bagi proses pendidikan dan pengajaran. Baik atau buruk acara yang berlangsung di radio dan televisi, semuanya akan membawa dampak yang memengaruhi pikiran anak-anak. 


Jangan Larutkan Anak dalam Hiburan
Menonton acara-acara seperti itu seharusnya tidaklah dianggap sebagai hiburan yang tidak akan membahayakan. Anak semestinya tidak diberi kebebasan untuk menonton atau mengikuti semua acara sesuka hatinya. 

Sebab, banyak acara yang dapat dipastikan akan mendatangkan bahaya bagi jiwa anak. Para produser acara-acara televisi dan radio harus melakukan introspeksi tentang kerusakan yang mereka timbulkan di dalam pikiran lembut anak-anak melalui tontonan yang sangat berbahaya itu. 

Bagi mereka, hal itu mungkin merupakan sebuah kebebasan berekspresi yang mendorong kepada tindakan yang tidak bertanggung jawab, tetapi bagi anak-anak dan remaja, menonton sajian-sajian seperti itu dengan perhatian penuh akan sangat mencelakakan. 

Para orang tua juga harus bertanggung jawab; mereka harus secara hati-hati mengawasi sajian televisi yang ditonton anak-anak serta mencegah mereka menonton acara-acara yang tidak baik. 


Dampak Menonton Televisi 
Sebagian besar acara televisi terdiri dari film dan serial yang memuat cerita tentang kejahatan, horor, pembunuhan, perkelahian, penipuan, perampokan, dan lain-lain. Anak-anak biasanya menonton acara-acara seperti itu dengan minat yang besar. Namun, cerita-cerita seperti itu akan mendatangkan bahaya bagi anak-anak melalui banyak cara. 


Misalnya:
1. Pikiran anak yang masih lembut dan mudah terpengaruh sangat rentan terhadap pengaruh dari luar. Menonton tayangan seperti itu dapat membangun kegelisahan, rasa takut, dan horor di benaknya. 

Semua ini akan mengganggu tidurnya dan dia akan bangun sambil berteriak setelah mengalami mimpi yang buruk. Ini akan menimbulkan sakit kepala yang kronis. Dalam kasus yang parah, menonton film-film horor akan menyebabkan pingsan dan tak sadarkan diri.

2. Terdapat beberapa pengaruh yang merusak dari film-film seperti itu bagi moral anak yang menontonnya. Film-film tersebut dapat memotivasinya untuk melakukan tindak kejahatan dan perbuatan dosa. 

Terkadang, anak-anak menjadi sangat terpengaruh oleh tingkah-laku berlebihan dari sang jagoan dalam sebuah film; mereka kemudian mencoba menirunya dalam kehidupan nyata sehingga menimbulkan masalah.

UNESCO telah menulis dalam sebuah laporannya bahwa 27 persen remaja yang dihukum karena tindak kejahatan telah terdorong melakukan aksinya setelah menonton aksi serupa di dalam film. 

Di Amerika Serikat, di antara kejahatan anak-anak yang telah dihukum oleh pengadilan, 10 persen anak laki-laki dan 25 persen anak perempuan mengaku bahwa mereka tertarik melakukan tindak kejahatan itu karena film yang telah mereka saksikan.[38] 

Menurut sebuah survei lain, 49 persen penjahat yang tertangkap membawa senjata api ilegal, 28 persen yang melakukan aksi pencurian dan 21 persen yang melarikan diri dari jerat hukum, telah memperoleh inspirasi dari apa yang mereka saksikan di film. 

Dilaporkan pula bahwa 25 persen perempuan yang menjadi pekerja seks komersial memperoleh inspirasi dari film-film. Sebanyak 54 persen dari kaum perempuan yang pergi ke tempat-tempat yang menghancurkan nama baik melakukan itu karena ingin meniru artis terkenal.[39]


Profesor Walksman dari Universitas Los Angeles berkata:
"Radiasi yang terpancar dari layar televisi sangat berbahaya bagi organ tubuh manusia. Sinar yang terpancar keluar darinya dan dari alat-alat elektronik rumah tangga termasuk jenis gelombang pendek. Efek negatif pertama yang ditimbulkannya adalah sakit kepala, bila tak terlindungi dari pancaran yang relatif lebih lama. 

Kemampuan berpikir seseorang pun akan tertekan, tekanan darah menjadi tidak normal, dan sel darah putih dalam darah akan mengalami kerusakan. Gelombang-gelombang ini akan membawa pengaruh yang kuat bagi syaraf dan mengakibatkan sejumlah keluhan rasa sakit."[40]


Dr. Alexis Carrel menulis:
"Radio, televisi, dan permainan di komputer yang tidak tepat, merusak emosi anak-anak."[41] 


Harian Ittilaat dalam terbitannya yang ke-15743 melaporkan tentang seorang siswa Eropa sebagai berikut:
"Seorang mahasiswa berusia 18 tahun ditahan dan dihadapkan ke pengadilan. Dia dituduh melakukan penculikan terhadap anak seorang aktor film dan meminta tebusan sebesar 50.000 dollar serta mencoba untuk membunuh anak tersebut bila uang tebusan tidak disediakan. 

Dalam pernyataannya di depan pengadilan, dia mengakui bahwa pemikiran untuk melakukan aksi itu muncul di benaknya setelah menonton sebuah film di televisi yang menggambarkan aksi serupa."

Pihak kepolisian menyatakan, berdasarkan beberapa kasus, mereka menyimpulkan bahwa para remaja termotivasi untuk melakukan tindak kejahatan melalui tayangan televisi. 

Seorang anak berusia 10 tahun di Masyhad, setelah menonton sebuah tayangan tentang karate, telah menendang temannya dengan sangat keras sehingga roboh seketika dan tewas.[42] 


Deputi Menteri Pendidikan Safi Niya, mengatakan:
"Jika televisi telah hadir untuk memberikan pelajaran tentang kejahatan secara efektif, maka guru-guru terbaik pun takkan dapat melakukan apapun."[43]

Seorang anak laki-laki Kuba, bernama Ronny Zamora, telah membunuh seorang nenek berusia 83 tahun. Dia melakukan kejahatannya di Florida; di mana dia juga menjalani hukumannya. Orang tuanya telah menggugat tiga saluran televisi Amerika karena kerugian yang timbul sebesar 2.500.000 dolar. 

Dia mengajukan bukti-bukti bahwa sang anak telah mempelajari tentang pembunuhan melalui acara-acara televisi. September lalu, telah dilakukan dengar pendapat tentang kasus tersebut di pengadilan, di mana dikatakan bahwa ketika masih kecil, anak tersebut sangat gemar menonton televisi dan biasa duduk di depan pesawat itu selama delapan jam untuk sekali kesempatan. 

Semalam sebelum terjadinya kejahatan itu, si remaja menonton sebuah film yang digambarkan di dalamnya tentang perampokan terhadap rumah seorang wanita kaya.

Seorang gadis cantik berusia 15 tahun bernama Razaia, menonton sebuah film horor di televisi. Dia menjadi sangat ketakutan saat menonton film tersebut kemudian jatuh dan meninggal di lantai. 

Dia melihat dalam tayangan itu, seorang kulit putih sedang menguliti kulit kepala seorang gadis kulit hitam. Dia lalu berteriak ketakutan dan tiba-tiba jantungnya berhenti berdetak. Dokter mengatakan bahwa dia mengalami pecah pembuluh otak.


Dr. Jalal Baremani, seorang psikiater berpengalaman, mengatakan:
"Film-film horor dan petualangan membawa pengaruh negatif ke dalam pikiran anak-anak. Perlu diperhatikan, seorang anak yang menonton film yang menggambarkan sebuah aksi kekerasan akan berusaha meniru sang jagoan dan menyerang saudara laki-laki atau saudara perempuannya. Film-film seperti itu akan membawakan efek yang sangat negatif bagi kepribadian anak di masa datang. 

Anak-anak yang menonton film-film horor akan menjadi penakut dan pengecut. Tayangan-tayangan kekerasan akan mendorong mereka menjadi orang yang suka melakukan tindak kekerasan. Pengaruh dari pertunjukan semacam itu akan tertanam di benaknya, sehingga kemudian terdorong untuk melakukan aksi-aksi kekerasan."


Seorang psikiater lain, Dr. Syukrullah Tariqati, mengatakan:
"Pengaruh tayangan-tayangan buruk bagi pikiran anak, tak dapat disangkal. Film-film seperti itu benar-benar membawa pengaruh negatif bagi anak-anak ketika beranjak dewasa; mereka akan melakukan perbuatan yang salah di bawah pengaruh tontonan yang mereka saksikan jauh hari sebelumnya. Karena itu, saya menyarankan kepada para orang tua agar jangan membiarkan anak-anak menonton tayangan-tayangan buruk seperti itu. 

Mereka harus memberikan perhatian khusus untuk dapat memastikan bahwa anak-anak tidak menonton film-film yang dibuat dan diperuntukkan hanya bagi orang dewasa. Mereka harus memastikan bahwa anak-anak tidak menonton tayangan apapun yang disajikan televisi setelah pukul 10 malam. Umumnya, ini adalah waktu tayang untuk kalangan dewasa."


Seorang guru besar dari Universitas Teheran dan pakar kriminologi, Dr. Reza Mazloomi, mengatakan:
"Sebagian besar film-film yang ditayangkan di televisi dan gedung bioskop berbahaya bagi masyarakat kita. Pengaruhnya sangat membahayakan, bahkan seorang gadis harus kehilangan nyawa lantaran jantungnya berhenti bekerja ketika menonton adegan yang mengerikan. Saya berani mengatakan secara tegas bahwa sebagian besar tindak kriminal dan teror di dunia ini memiliki hubungan secara langsung dengan pengaruh dari tayangan film."[44]

Dr. Arnold Fremani, yang bekerja di sebuah rumah sakit di New York, telah membuktikan dengan alat elektronik canggih bahwa sakit kepala sebelah dan kegelisahan yang diderita seseorang disebabkan oleh mendengarkan musik yang keras di radio FM.[45] 


Koran Time, dalam sebuah terbitannya pada 1964, menulis:
"Seorang dokter anak melakukan penelitian di dua pangkalan angkatan udara, di mana anak-anak staf di sana, dalam kelompok umur antara tiga sampai 12 tahun, secara terus-menerus telah mengalami keluhan sakit kepala, kurang tidur, tak dapat tidur (insomnia), dan masalah pencernaan seperti diare. Secara medis, tak dapat dibuktikan penyebab dari gejala-gejala tersebut. 

Setelah dilakukan penyelidikan yang teliti terbuktilah bahwa anak-anak itu telah menghabiskan waktunya berjam-jam di depan layar televisi. Sang dokter kemudian menyarankan agar anak-anak tersebut dilarang menonton televisi. Upaya ini ternyata efektif; keluhan-keluhan seperti sakit kepala, mual, muntah, dan diare pada anak-anak itu secara berangsur mulai berkurang."[46] 

Para orang tua bijak, yang mencintai anak-anaknya, sepatutnya tidak membiarkan mereka menonton televisi selama berjam-jam, khususnya di malam hari. Mereka seharusnya hanya mengizinkan anak-anak menonton acara-acara yang tidak berbahaya bagi jiwa dan akalnya.


Catatan Kaki:

[36] Ghurar al-Hikam, hal.278.

[37] Makârim al-Akhlâq, hal.546.

[38] Majalla Maktab Islam, jil.25, No.1.

[39] ibid., No.11.

[40] ibid., No.1.

[41] ibid., No.3.

[42] ibid., No.11.

[43] ibid., jil.28, No.1.

[44] Harian Ittilaat, 10 Aban 1352.

[45] Majalla Maktab Islam, jil.25, No.3.

[46] Paiwandhai Khudak wa Khanwada, hal.131.






33. PERTENGKARAN ANAK-ANAK
Salah satu persoalan yang acapkali menyulut keprihatinan adalah perselisihan dan perkelahian anak-anak di rumah. Ketika sebuah keluarga memiliki lebih dari satu anak, maka mungkin sekali terjadi pertengkaran atau perkelahian (antara anak-anak). 

Salah seorang anak mungkin menganggap anak yang lain merampas hak-haknya dan tidak mau berbagi dengannya. Mereka saling menyerang dan berebut mainan satu sama lain. Ketika mulai pergi ke sekolah, mereka satu sama lain saling mengotori buku catatan dan alat-alat tulis lainnya. 

Mereka saling mencari kesenangan satu sama lain. Ketika salah seorang anak berupaya memusatkan perhatiannya dalam mengerjakan tugas sekolahnya, anak yang lain membuat kegaduhan untuk mengganggunya. 

Setiap anak mengetahui bagaimana cara mengolok-olok saudara lelaki atau perempuannya. Dalam situasi semacam ini, orang tua hanya duduk menonton, hingga kemudian keluhan-keluhan tentang pertengkaran sampai ke telinga mereka. 

Lalu, untuk menengahi pertengkaran anak-anaknya itu, mereka saling menyalahkan satu sama lain. Sang ibu mengatakan kepada ayahnya bahwa ia (sang ayah) tidak memberi perhatian terhadap masalah pengasuhan anak-anak. 

Si ibu lalu mengatakan, "Mereka tidak merasa segan kepadamu. Disebabkan sikap tidak pedulimu itulah, rumah ini benar-benar telah menjadi arena pertengkaran."

Sebaliknya, sang ayah mengatakan kepada sang ibu bahwa bila ia (ibu) bersikap waspada, niscaya anak-anaknya tak akan menjadi sedemikian nakal seperti sekarang. "Justru disebabkan dukunganmulah, si anak merasa terdorong untuk melakukan sesuatu yang tidak semestinya," tuding sang ayah.

Di sini, orang tua harus ingat bahwa bagaimana pun keadaannya, anak-anak tetaplah anak-anak. Mereka tak dapat diharapkan duduk tenang di sudut rumah seperti orang-orang yang sudah lanjut usia. Anda harus menerima kenyataan bahwa pertengkaran anak-anak merupakan fenomena alamiah. Bahkan, orang-orang yang sudah dewasa pun adakalanya bertengkar. 

Karenanya, bagaimana mungkin mengharapkan anak-anak duduk dengan tenang dalam setiap kesempatan? Anak-anak pada umumnya memang nakal. Setelah saling mengolok-olok, mereka lalu bertengkar. Namun demikian, mereka akan segera akur kembali dan melupakan pertengkarannya. Mereka tak tahan untuk saling tidak bicara satu sama lain dengan muka cemberut. Seorang psikolog mengatakan:

"Merupakan satu hal penting bahwa kita seyogianya tidak pernah membayangkan bahwa dalam sebuah rumah tangga yang terdapat banyak anak-anak, berlaku perdamaian terus-menerus di antara mereka; anak-anak hidup akur, tak pernah berkelahi sekalipun. Anak manapun yang kita ajak bicara, akan mengatakan bahwa ayah dan ibunya mengharapkan mereka hidup akur tanpa bertengkar satu sama lain. Namun, bila Anda memikirkan persoalan ini secara serius, kecenderungan anak untuk bertengkar satu sama lain bukanlah sebuah persoalan besar."[47]


Kebiasaan Bertengkar Hilang Selaras Perkembangan Usia
Kita juga seyogianya mengetahui bahwa kebiasaan anak-anak bertengkar satu sama lain akan menghilang seiring pertumbuhan usia mereka. Bila orang tua menerima kenyataan bahwa pertengkaran di antara anak-anak sebagai fase alamiah dan bersifat sementara, niscaya mereka tak akan terlalu mencemaskannya.


Seorang psikolog lainnya mengatakan:
"Banyak aktivitas anak-anak seperti saling mengolok-olok satu sama lain, bertengkar, dan bergulat akan berkurang dengan berlalunya waktu."[48] 

Ya, benar bahwa kebanyakan orang tua tak dapat sama sekali menghilangkan pertengkaran di antara anak-anaknya. Namun, dengan penanganan yang bijak dan cerdas, orang tua dapat mengurangi frekuensi dan intensitasnya. Orang tua yang penuh perhatian tak pernah hanya duduk menonton ketika anak-anaknya saling bertengkar. Mereka segera turun tangan dengan cara bijak serta memastikan bahwa anak-anak tidak saling melukai secara fisik sewaktu berkelahi. 

Pertama-tama, mereka harus menyelidiki penyebab perkelahian dan berusaha mengenyahkannya. Salah satu sebab utama perselisihan di antara anak-anak adalah rasa dengki. Karenanya, sangat penting sekali untuk mendeteksi dan mengatasi penyebab kedengkian yang muncul dalam diri anak. 

Seorang anak menginginkan semua orang memperhatikan dirinya. Ia tidak suka berbagi kasih sayang orang tua dengan anak-anak lain. Anak pertama umumnya dimanja oleh kedua orang tuanya. Tapi, ketika anak kedua lahir, kondisinya segera berubah. 

Tentu saja orang tua harus membagi perhatiannya dan memberi bagian lebih besar kepada anak yang lebih kecil. Sekarang, anak yang lebih tua mulai dirundung perasaan tidak aman. Ia mulai merasa diabaikan serta menganggap si [anak] pendatang baru merupakan tamu tak diundang yang merebut perhatian dan kasih sayang kedua orang tua tercintanya. 

Lalu ia menjadi dengki terhadap sang bayi, namun menyadari bahwa dirinya harus menerima kehadirannya mengingat kedua orang tuanya mencurahkan kasih sayang terhadap si bayi. 

Dalam keadaan demikian, anak yang lebih tua terkadang pura-pura sakit demi menjaga agar perhatian kedua orang tuanya tetap tertuju kepadanya. Atau terkadang ia pura-pura jatuh, tak mau makan, menangis, dan melakukan kepura-puraan lainnya demi menarik perhatian orang tua. Anak semacam ini menganggap dirinya terpinggirkan dan mengembangkan sejenis kebencian terhadap saudara-saudara kandungnya sendiri. 

Dalam pada itu, ia menanti kesempatan untuk melampiaskan dendamnya kepada mereka. Orang tua harus dengan bijak mencegah munculnya situasi tersebut. Mereka harus mengondisikan anak-anaknya sedemikian rupa agar mau menerima pendatang baru yang akan dilahirkan. Mereka harus mengatakan kepada anak-anaknya bahwa mereka mengharap saudara kecilnya segera lahir. 

Ketika tumbuh besar, ia (anak pendatang baru) akan bermain bersama mereka dan menyayangi mereka. Ketika menyiapkan sesuatu bagi anak yang baru lahir, orang tua juga harus memberikan beberapa hadiah kepada anak-anak yang lebih tua agar mereka merasa tidak diabaikan. 


Jika Sang Kakak Merasa Tidak Diperhatikan
Tatkala sang ibu dibawa ke rumah bersalin untuk melahirkan, sang ayah harus memberikan sejumlah hadiah kepada anak-anaknya di rumah demi mengalihkan perhatian mereka dan tidak menanyakan ibunya. Sang ayah harus mengatakan kepada mereka pada kesempatan itu bahwa hadiah-hadiah yang diberikan kepada mereka itu dimaksudkan untuk menyambut kedatangan sang bayi mungil. 

Ia juga harus meminta mereka agar ketika si bayi mungil itu datang ke rumah, mereka tidak membuat kegaduhan. Orang tua seyogianya tidak terlalu memuji-muji si bayi di hadapan anak-anak yang lain. Mereka juga harus memberi perhatian lebih kepada anak-anaknya yang lebih besar untuk menumbuhkan perasaan yakin dalam diri mereka bahwa anak yang baru lahir itu tidak datang untuk mencerabut mereka dari perhatian orang tuanya. 

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Keadilan mengenyahkan perselisihan dan memunculkan persahabatan."[49] 

"Perlakuan adil selalu menjadi strategi terbaik."[50] 


Menghindari Perbandingan
Selalu terbuka kemungkinan bahwa beberapa anak memiliki kualitas khusus sehingga menjadi kesayangan orang tuanya. Beberapa anak barangkali lebih cerdas, beberapa lainnya lebih cantik, dan beberapa lainnya lagi lebih santun sehingga layak mendapat perhatian khusus orang tuanya. 

Atau, seorang anak berhasil mengukir prestasi belajar di sekolahnya sehingga mengundang banyak pujian orang tuanya. Namun begitu, mengulang-ulang pujian semacam itu secara berlebihan tidaklah bermanfaat.

Sebagai sebuah strategi untuk menghidupkan kompetisi di antara anak-anaknya, beberapa orang tua mengungkapkan kelebihan-kelebihan salah seorang anak kepada anak-anak yang lain. Sebagai contoh, mereka mengatakan, "Hasan, giatlah belajar agar engkau mendapat nilai tinggi dalam ujianmu sebagaimana Abbas!" Atau, "Zainab, engkau harus membantu ibumu mengerjakan pekerjaan rumah, seperti Zahra yang melakukannya dengan begitu baik!" "Reza, hormatilah tatakrama di atas meja, seperti saudaramu, Ali, yang begitu sopan dan tahu tatakrama!"

Sikap orang tua semacam ini tidaklah dibenarkan, karena tak akan membuahkan hasil positif sebagaimana diharapkan. Sebaliknya, sikap semacam itu malah akan menciptakan perasaan tertekan dan kedengkian di antara anak-anaknya. Sehingga kemudian tumbuhlah perasaan dendam di hati mereka.

Alasan sangat penting lainnya bagi pertengkaran di antara anak-anak adalah harapan orang tua yang begitu tinggi terhadap anak-anaknya itu. Anak menginginkan mainan saudaranya; orang tua melarangnya. Ini kemudian menyulut pertengkaran di antara keduanya. Pada titik ini, orang tua pun ikut campur tangan. 

Pertama-tama, mereka dengan sikap tenang berupaya membuat anak-anaknya itu terdiam. Bila pertengkaran masih berlangsung, mereka meminta si anak untuk memberikan mainannya kepada saudaranya yang ingin meminjamnya. Mereka mengatakan kepadanya bahwa orang tualah yang telah membelikan mainan itu untuknya. Karenanya, mainan itu bukanlah miliknya pribadi. 

Bila si anak tetap menolak memberikan mainannya kepada saudaranya, mereka tak akan lagi menyayanginya, tidak pula membelikan mainan apapun untuknya. 

Dalam keadaan demikian, si anak menjadi tak berdaya dan akhirnya mau meminjamkan mainannya. Tapi, ia mulai menganggap bahwa orang tuanya itu zalim dan saudaranya jahat. Ia menumbuhkan kebencian dalam hatinya terhadap keduanya. Ia akan mengungkapkan kebencian ini manakala punya kesempatan. 

Tentunya, sesuatu yang sangat alamiah bila si anak menganggap mainannya sebagai miliknya dan tak seorang pun yang berhak menggunakannya tanpa seizinnya. Ia menganggap bahwa dirinya adalah korban kezaliman orang tua dan saudaranya sendiri. 

Dalam keadaan demikian, si anak memiliki sikap dan anggapan yang benar. Sebab, dalam contoh pertama, mereka tidak membolehkan saudara-saudara si anak untuk menggunakan mainan yang telah mereka berikan kepadanya. 

Orang tua yang berakal harus berupaya menciptakan semangat bekerja sama di antara anak-anaknya. Mereka harus menciptakan atmosfer kerukunan di antara anak-anaknya agar mereka saling berbagi mainan dan permainan satu sama lain.


Membagi-bagi Tugas Di Antara Anak-anak 
Adakalanya alasan pertengkaran yang muncul di antara anak-anak adalah bahwa orang tua mempercayakan suatu pekerjaan kepada anak tertentu seraya membiarkan anak-anak yang lain berpangku tangan. Situasi ini dapat mendorong munculnya pertengkaran. Untuk menghindari situasi semacam ini, orang tua harus berupaya menjadikan anak-anaknya memiliki kesibukan. Dengan demikian, mereka takkan merasa diabaikan.

Adakalanya bahkan pertengkaran orang tua mendorong anak-anaknya untuk meniru. Tatkala menyaksikan orang tuanya suka bertengkar, anak-anak yang tak berdosa mulai menganggap bahwa pertengkaran merupakan jalan hidup. Didorong oleh keinginan untuk sama dengan orang tua, mereka kemudian mencari-cari alasan untuk memulai pertengkaran.

Karena itu, orang tua yang bosan menyaksikan pertengkaran anak-anaknya, harus melakukan instropeksi dan membenahi diri sendiri. Lalu, mereka harus memusatkan perhatian untuk memperbaiki anak-anaknya. Tentu saja nyaris tak ada keluarga yang kosong dari perbedaan pendapat di antara anggota-anggotanya. 

Namun, bila orang tua berhati-hati untuk tidak mempertontonkan pertengkaran atau perdebatan mereka di hadapan anak-anak, niscaya mereka (anak-anak) tak akan terdorong untuk bertengkar atau berdebat. Namun demikian, bila terjadi pertengkaran kecil-kecilan di antara anak-anak, orang tua harus dengan bijak ikut campur tangan dan memberi jalan keluar yang memuaskan semua anak-anak. 

Sebagai penutup, kami ingin mengingatkan Anda bahwa sekalipun seluruh penyebab [pertengkaran] telah diketahui, keluarga Anda barangkali belum terbebas sama sekali dari pertengkaran anak-anak. Pada dasarnya, anak-anak adalah manusia yang niscaya memiliki naluri untuk bertengkar atau berkelahi. 

Kenyataannya, anak-anak secara umum hiperaktif dan berkelahi dapat menjadi cara untuk mengeluarkan kelebihan energinya. Orang tua harus benar-benar memperhatikan bahwa ketika anak-anak berkelahi, jangan sampai mereka melukai selainnya secara fisik dan merusak barang-barang di sekitarnya. 

Janganlah orang tua terlalu cemas bila anak-anak memiliki kecenderungan untuk berkelahi. Ini merupakan kebiasaan sementara dan akan hilang dengan sendirinya seiring berlalunya waktu.


Catatan Kaki:

[47] Rowan Syinasi Kudak, hal.286.

[48] ibid., hal.286.

[49] Ghurar al-Hikam, hal.64.

[50] ibid.






34. SAHABAT DAN PERSAHABATAN

Pentingnya Sahabat
Seorang sahabat atau teman yang baik merupakan anugerah Allah Swt yang paling agung. Dalam kesengsaraan hidup, hanya sahabatlah yang menjadi tempat berlindung bagi seseorang sekaligus pelipur lara hati dan jiwanya. Di dunia yang penuh dengan kesulitan dan penderitaan ini, keberadaan seorang sahabat sejati sangatlah dibutuhkan setiap individu. 

Orang yang tidak punya sahabat seorang pun akan menjadi sosok yang hidup menyendiri jauh dari kampung halamannya. Tak seorang pun yang menunjukkan rasa simpati padanya di saat-saat yang dibutuhkan.

Imam Musa bin Ja`far as. pernah ditanya tentang apakah sumber utama bagi kesenangan di dunia ini. Imam menjawab, "Rumah yang luas dan banyak teman."[51]

Imam Ali as. mengatakan, "Orang yang paling lemah adalah orang yang tak mampu menjadikan siapapun menjadi teman dan saudaranya."[52] 

"Orang yang tak punya teman ibarat orang asing di negerinya sendiri dan hidup sendirian."[53] 

Sebagaimana orang dewasa membutuhkan teman, anak-anak juga ingin memiliki teman dan sahabat. Seorang anak yang tidak memiliki teman akan selalu merasa sendiri dan bersedih. Ia tak dapat dicegah dari kebutuhan alamiah ini. Dalam hal ini, tentu saja terdapat perbedaan antara teman dan kenalan. Boleh jadi, seorang anak memiliki banyak kenalan tapi tak punya teman. Terkadang seorang anak memilih seorang teman di antara anak-anak sekelasnya dan anak-anak tetangganya. Penyebab dijadikannya seseorang sebagai teman barangkali tidak jelas. Mungkin saja kesamaan spiritual di antara keduanya membawa mereka bersama. 

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Hati orang-orang ibarat pengembara yang suka berpindah-pindah; karenanya, barangsiapa mencintai mereka, niscaya mereka akan terikat kepadanya."[54] 


Memilihkan Teman Buat Anak 
Keberadaan seorang teman tak dapat dicegah dari siapapun. Dalam pada itu, orang tua jangan terlalu membatasi anak menerima orang tertentu sebagai teman. Si anak harus diberi kebebasan untuk memilih teman-temannya. Tapi, kebebasan ini juga harus disertai dengan beberapa persyaratan dan pembatasan. 

Dengan kata lain, orang tua harus mengetahui betul karakter dan perilaku (calon) teman-temannya itu. Bila ternyata memilih teman yang baik dan berperilaku sopan, si anak pasti akan memperoleh manfaat. Sebaliknya, bila sang teman memiliki kebiasaan yang buruk, si anak akan menerima beberapa kebiasaan buruknya. Banyak anak-anak dan generasi muda terperosok ke dalam kubangan dosa akibat ceroboh memilih teman-teman yang buruk. 

Nabi Islam saw bersabda, "Seseorang mengikuti keimanan, jalan, dan kebiasaan temannya."[55] 

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Orang yang paling beruntung adalah orang yang menjalin hubungan dengan orang-orang baik."[56] 

Inilah alasan Islam mendesak para penganutnya untuk menjauhkan diri dari teman-teman yang buruk.

Imam Ali as. mengatakan, "Hindarilah menjalin hubungan persahabatan dengan orang-orang yang suka bermaksiat dan berlumuran dosa, karena kejahatan menciptakan kejahatan."[57] 

Imam Ali Zainal Abidin as. mengatakan kepada putranya, Imam Muhammad Baqir as., "Wahai anakku, hindarilah berhubungan dengan lima tipe manusia; 

(1) Jangan berteman dengan seorang pembohong. Ia seperti khayalan yang akan memperdayamu. Ia akan mengatakan jauh sesuatu yang dekat, dan mengatakan dekat sesuatu yang sangat jauh; 

(2) Jangan menjadikan orang yang suka bermaksiat dan melanggar sebagai temanmu, karena ia akan menjualmu semurah mungkin; 

(3) Jangan jadikan orang kikir dan pelit sebagai temanmu, karena ia tak akan membantumu saat engkau mengalami kesulitan; 

(4) Janganlah menjadikan orang bodoh sebagai temanmu, kalau tidak, ia akan menyulitkanmu karena kebodohannya. Besar kemungkinan, ia akan menimbulkan kesulitan bagimu justru ketika bermaksud membantumu akibat tindakannya yang bodoh; 

(5) Janganlah bersahabat dengan orang-orang yang merampas hak-hak saudaranya. Orang-orang semacam itu dijauhkan dari rahmat Allah Swt dan dikutuk masyarakat."[58]


Kenali Teman Anakmu Secara Bijak! 
Orang tua yang bertanggung jawab dan bijaksana sama sekali tak akan menutup mata terhadap tipe sahabat dekat anak-anaknya. Namun, sekalipun harus mengetahui tipe teman-teman anaknya, jangan sampai timbul kesan bahwa mereka mencampuri urusan pribadi sang anak. 

Dengan memberikan seorang teman yang baik bagi anak-anaknya, berarti orang tua telah memberikan konstribusi besar bagi kebaikan masa depannya. 

Namun, ini bukanlah pekerjaan mudah. Cara terbaik adalah menunjukkan pada si anak tentang mana yang baik dan mana yang tidak, ketika dirinya sudah menginjak usia memahami. Mereka harus menjelaskan kepada si anak tentang kerusakan yang bakal dialami akibat berteman dengan teman-teman yang buruk. 

Orang tua harus terus mengawasi dari jauh segenap aktivitas si anak dan teman-temannya. Bila ternyata teman-teman si anak tergolong baik, mereka harus menghargainya serta memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi si anak untuk menemui teman-teman semacam itu. 

Namun, bila ternyata si anak berteman dengan seorang yang buruk, mereka harus berupaya dengan bijak untuk memutuskan pertemanan ini dengan segera. Bila si anak tetap menjalin hubungan pertemanan dengan orang tersebut, maka orang tua harus mengambil sikap yang tegas. 

Orang tua dapat membantu si anak mendapatkan teman-teman yang baik lewat cara lain. Yakni, dengan membawanya berkunjung ke rumah tetangga yang memiliki perilaku, karakter, dan latar belakang yang baik. Berilah kesempatan bagi anak-anak untuk saling berjumpa dan bereaksi satu sama lain. Bila kemudian saling berteman, doronglah mereka untuk mempererat tali persahabatan. 

Kalaupun anak mereka memiliki sedikit kekurangan, maka dengan cara ini (menjalinkan persahabatan dengan anak-anak yang baik), niscaya semua itu dapat diatasi. Sebagai contoh, bila si anak tergolong malu-malu, maka itu dapat diatasi dengan menjadikannya bersahabat dengan anak yang berani dan penuh percaya diri. 

Orang tua seyogianya tidak mengabaikan sama sekali tipe teman-teman anaknya. Terlebih bila usia si anak sudah berada di ambang masa muda. Masa ketika kebiasaan-kebiasaannya mulai mengakar. Selama masa ini, kelalaian orang tua akan mengakibatkan kerusakan pada karakter dan perilaku si anak yang tak dapat diperbaiki, bila ia menjalin hubungan dengan teman-teman yang buruk. Dalam hal ini, 

Orang tua harus mencamkan diktum yang mengatakan, "Mencegah lebih baik daripada mengobati."

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Bagi segala sesuatu terdapat bencana; dan bagi kebajikan, bencananya adalah teman yang buruk."


Seseorang lelaki menuliskan:
"Orang tua tak pernah mengizinkan saya menemui teman-teman saya. Bila suatu ketika teman-teman mengunjungi saya, saya berupaya menyuruh mereka pergi secepatnya setelah mengobrol bersama mereka barang sebentar. Rumah salah seorang teman saya sangat berdekatan dengan rumah kami. Orang tua saya mengenalnya dengan baik tapi tak pernah membolehkan kami saling bertemu. 

Dulu saya berharap punya sejumlah teman untuk bertemu, mengobrol, dan bermain bersama mereka. Tapi kedua orang tua saya menjadi penghalangnya. Saya sangat bersedih karenanya. Suatu hari, saya bertekad untuk menemui teman saya, apapun yang terjadi. Saya mengatakan kepada ibu saya bahwa saya harus mengikuti ujian. 

Saya pun diizinkan untuk mengikuti ujian; padahal kenyataannya, saya langsung melangkahkan kaki menuju rumah teman saya. Rumah teman saya ini tak jauh dari rumah kami. Saya pun menaiki bus umum dan tiba di rumahnya. Kami menghabiskan waktu dengan bergembira bersama. 

Ketika saya pulang ke rumah di waktu malam, ibu menanyakan kenapa saya pulang begitu terlambat. Untuk menyembunyikan yang sebenarnya, saya pun berbohong dengan mengungkapkan alasan yang lain. Sekarang, saya heran, kenapa ibu tidak sadar bahwa anak-anak sangat membutuhkan teman dan sahabat. Mengapa dalam hal pertemanan, orang tua sangat membatasi saya sedemikian rupa?"


Seorang perempuan menulis:
"Suatu ketika, saya dikunjungi beberapa teman saya. Kebetulan, saya punya sejumlah uang dalam dompet saya. Dengan uang itu, saya pergi ke toko makanan di sekitar rumah dan membeli sekotak es krim. Saat itu, ibu saya sedang pergi mengunjungi beberapa kerabatnya. Ketika teman-teman saya sedang menyantap es krim, ibu saya pulang. 

Saya sangat ketakutan kalau-kalau ibu akan memarahi saya. Ia tidak menghiraukan sedikit pun perasaan saya dan berkata dengan nada marah kepada teman-teman saya, 'Kalian menjadikan Salma memboroskan uangnya!' Mendengar itu, teman-teman saya langsung pergi. Ternyata ibu saya tidak berhenti sampai di sini. 

Ia mendatangi sekolahan saya dan mengeluh kepada wali kelas saya bahwa teman-teman saya datang ke rumah dan mendorong saya untuk menghabiskan uang saya. Ia berkata pada wali kelas bahwa teman-teman perempuan itu kemarin datang ke rumah dan meminta saya membelikan es krim untuk mereka. 

Lalu, teman-teman saya yang kebetulan sekelas dengan saya itu, mengatakan, 'Bibi, kami akan membayar harga es krim yang telah kami makan kemarin di rumah Anda.' Saya merasa sangat malu dan diremehkan sehingga berharap agar bumi hancur lebur dan saya terjatuh ke dalam jurang yang sangat dalam. 

Sejak hari itu, saya tak lagi pergi ke sekolah, sementara seluruh teman saya tetap bersekolah. Hari ini, saya menjadi orang yang sangat bersedih dan merasa sendirian, seraya terseok-seok di belakang semua orang yang mengarungi kehidupan ini."


Catatan Kaki:

[51] Bihâr al-Anwâr, jil.74, hal.177.

[52] Nahj al-Balâghah, jil.74, hal.154.

[53] Bihâr al-Anwâr, jil.74, hal.179.

[54] ibid., hal.178.

[55] Ushûl al-Kâfî, jil.72, hal.375.

[56] Ghurar al-Hikam, hal.189.

[57] Bihâr al-Anwâr, jil.74, hal.199.

[58] Ushûl al-Kâfî, jil.72, hal.376.






35. ANAK DAN PENDIDIKAN KETUHANAN

Agama: Fitrah Manusia 
Umat manusia secara fitriah cenderung kepada Allah Swt dan agama. Jelasnya, kecenderungan ini merupakan sifat dasar manusia. Allah Swt memfirmankan, Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. ar-Rum: 30)

Setiap anak pada dasarnya adalah seorang penyembah Allah Swt. Namun, pengaruh lingkungan luar dapat mengubah kondisi ini; sebagaimana disabdakan Nabi Islam saw, "Setiap anak dilahirkan dengan dengan fitrah keislaman, namun kemudian orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi."[59] 

Orang tua bertanggung jawab untuk menempatkan anaknya dalam lingkungan yang secara alamiah menjadikan fitrah keagamaannya terpelihara dengan layak. Saat datang ke dunia ini, seorang anak akan cenderung pada Kekuatan yang mampu memenuhi segala kebutuhannya. 

Namun demikian, pemahaman si anak pada tahap ini belum berkembang sampai tingkat kemampuan untuk mengungkapkan apapun tentang Sesuatu yang menjadi fokus perhatiannya itu. Baru kemudian, secara berangsur-angsur, pemahaman muncul dalam benaknya. Seorang anak yang diasuh dalam keluarga religius, mulai mengenal Allah Swt sejak sekitar usia empat tahun. Ini adalah usia ketika rangkaian pertanyaan sekonyong-konyong mulai muncul dalam benaknya. Dalam usia ini, adakalanya ia mengucapkan nama Allah. 

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya itu menunjukkan bahwa fitrahnya mulai terbangun dan mendorongnya untuk mengumpulkan informasi sebanyak mungkin.


Dalam hal ini, si anak memikirkan tentang:
Siapa yang membuat matahari? 

Siapa yang telah menciptakan bulan dan bintang? 

Apakah Allah menyayangiku? 

Apakah Allah baik hati? 

Siapa yang menurunkan hujan? 

Siapa yang melahirkan ayah? 

Apakah Allah mendengar pembicaraan kita? 

Dapatkah kita berbicara dengan Allah lewat telepon? 

Di mana Allah tinggal? 

Bagaimana wajah-Nya? 

Apakah Allah tinggal di langit? 

Sejak usia empat tahun, benak si anak mulai digelitik ribuan pertanyaan semacam itu. Semua pertanyaan itu menjadi bukti bahwa fitrah ketuhanan sudah terbangun dalam diri anak. Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut, ia berupaya memuaskan rasa dahaganya terhadap pengetahuan. 

Tidaklah diketahui, bagaimana pandangan seorang anak yang masih berusia semuda itu tentang Allah. Ia barangkali menganggap bahwa Allah itu seperti ayahnya, namun tentu saja lebih besar dan lebih kuat [dari ayahnya]. 

Seiring pertumbuhan anak, pemahamannya tentang Allah juga ikut tumbuh. Karenanya, orang tua memikul tanggung jawab besar pada tahap ini. Mereka harus memainkan peran sangat kritis dalam membentuk keyakinan anak-anaknya. 

Sedikit saja orang tua melalaikan kewajibannya terhadap anak pada tahap ini, maka mereka akan diberi ganjaran berat di Hari Pembalasan. Mereka harus berusaha menjawab dengan hati-hati seluruh pertanyaan yang diajukan anak-anaknya yang masih kecil. 

Menghindar dari menjawab pertanyaan-pertanyaan anak karena beberapa alasan, sama saja dengan mematikan rasa ingin tahunya. Tapi tentunya tidak mudah menjawab seluruh pertanyaan anak. Jawaban-jawaban yang diberikan harus benar, ringkas, dan disampaikan dalam kalimat yang sederhana.


Jika Si Anak Mulai Sering Bertanya
Seiring dengan pertumbuhannya, sang anak berangsur-angsur mampu memahami informasi yang lebih rumit. Karenanya, orang tua harus menyiapkan diri untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mungkin diajukan sang anak. Mereka seyogianya tidak memberikan informasi apapun kepada si anak yang melampaui kadar pemahamannya. 

Jawaban-jawaban semacam itu hanya akan membingungkannya ketimbang memuaskan dahaganya terhadap pengetahuan. Pendidikan ketuhanan bagi anak seyogianya dilakukan sedemikian rupa sehingga ia mampu memahaminya dengan mudah.

Imam Ja`far Shadiq as. mengatakan, "Ketika seorang anak berusia tiga tahun, ajarkanlah ia untuk mengucapkan, 'lâ ilâha illa Allâh (tiada tuhan selain Allah).' Lalu, biarkan ia sendiri (mengucapkannya). 

Ketika ia berusia tiga tahun, tujuh bulan, 20 hari, ajarkan ia untuk mengucapkan, 'Muhammad ar-Rasûlullâh (Muhammad adalah utusan Allah).' Biarkan ia sendiri (mengucapkannya) hingga usianya genap empat tahun. Sekarang, ajarkan ia untuk mengucapkan shalawat (pujian) kepada Nabi saw (dan keluarganya yang suci)."[60]

Doronglah anak-anak belajar membaca bait-bait sederhana seputar perkara keagamaan. Ini akan menjadi latihan yang menyenangkan bagi mereka. Kemudian, ajarkanlah mereka tentang kenabian dan imamah (kepemimpinan). 

Pertama-tama, sang anak harus diceritakan tentang Nabi saw yang diutus Allah Swt untuk membimbing umat manusia. Kemudian, mereka juga harus diceritakan tentang kualitas-kualitas unggul Nabi saw berikut jalan hidupnya yang patut diteladani. Ceritakan pula kepada sang anak perihal beberapa peristiwa menarik dalam kehidupan Nabi saw. 

Setelah itu, ceritakanlah kepadanya tentang para pewaris Nabi saw yang bertugas melanjutkan bimbingan yang benar kepada umat Islam setelah beliau saw wafat. Seluruh informasi ini harus disampaikan kepada sang anak dalam bentuk kisah pendek agar ketertarikannya terus berlanjut. 

Berkenaan dengan masalah hari kiamat, seorang anak pada awalnya tidak terlalu tertarik untuk menyimaknya. Sebab, ia menganggap dirinya dan orang tuanya akan hidup bahagia (di dunia) untuk selama-lamanya. Memang, belum layak membicarakan kematian kepada anak yang usianya masih sangat belia. 

Umumnya anak-anak menganggap bahwa orang-orang yang meninggal dunia sedang pergi jauh. Adakalanya sebuah tragedi terjadi dalam keluarga yang memiliki anak-anak yang masih kecil. Dalam suasana tersebut, orang tua harus secara bijak membicarakan masalah kematian kepada mereka. 

Bila kakeknya meninggal dunia, si anak mungkin akan bertanya, "Bu, ke mana kakek pergi?" Dalam situasi semacam ini, fakta-fakta yang ada harus dijelaskan kepada anak. Misal, dengan mengatakan kepada si anak bahwa kakeknya sudah tak ada lagi dan telah pergi ke alam lain. Setiap orang yang meninggal dunia akan pergi ke alam tersebut. 

Bila sosok yang meninggal dunia itu adalah orang yang berperilaku baik dalam kehidupan di dunia ini, niscaya ia akan beristirahat di surga yang di dalamnya terdapat kebun yang sangat indah. Namun, bila yang meninggal dunia itu adalah orang yang suka berkelakuan buruk dalam kehidupan dunia ini, niscaya ia akan dijebloskan ke neraka yang dipenuhi kobaran api. 

Seorang anak seharusnya diberitahu secara bertahap tentang kematian yang pasti dialami setiap makhluk bernyawa. Selain itu, harus diceritakan pula kepadanya bahwa kehidupan ini hanyalah tempat tinggal sementara yang suatu saat harus ditinggalkan manusia untuk pergi ke "alam lain". 

Pengajaran informal seputar pengetahuan agama semacam ini harus terus dilakukan secara bersinambung sampai si anak merampungkan pendidikan sekolah dasar, menengah, dan lanjutannya.


Mendorong Kewajiban Agama pada Anak
Benar, anak laki-laki mencapai usia untuk mengemban tanggung jawab (balig) pada usia lima belas tahun dan anak perempuan pada usia sembilan tahun. Ini adalah usia ketika norma-norma hukum (pantas) dibebankan kepadanya. 

Akan tetapi, pengenalan akan kewajiban keagamaan tidak seharusnya ditunda-tunda hingga anak mencapai usia untuk mengemban tanggung jawab ini. Mereka harus didorong untuk melaksanakan kewajiban keagamaan sejak awal masa kanak-kanaknya, sehingga ketika harus melaksanakan beban kewajiban itu, mereka telah terbiasa. 

Dalam keluarga yang taat beragama, seorang anak akan meniru perbuatan orang tuanya dalam melaksanakan ritual keagamaan (ibadah). Suatu saat, dia mungkin akan menggelar sajadah untuk orang tuanya, atau mungkin juga meletakkan kepalanya di lantai untuk mengikuti orang tuanya bersujud. Dia akan turut mengucapkan Allâhu akbar (Allah Mahabesar) dan lâ ilâha illallâh bersama orang tuanya. 

Dia mungkin juga akan memanjatkan doa bersama ibunya. Para orang tua yang bijak akan memanfaatkan kecenderungan alamiah untuk meniru pada anak-anak ini dengan sebaik-baiknya. Jika seorang anak melakukan hal-hal seperti itu, orang tua dapat memberikan senyuman sebagai sebuah bentuk penghargaan. 


Mengajarkan Cara Ibadah Secara Bertahap
Sepantasnyalah bila tidak terdapat unsur paksaan dalam mengajarkan tatacara peribadahan kepada anak. Para orang tua tidak selayaknya mengajarkan ritual keagamaan secara formal di awal masa kanak-kanaknya. Pada usia lima tahun, anak dapat diajari membaca Surah al-Fatihah (Pembuka) dari al-Quran. Ini pun tidak perlu dilakukan secara terburu-buru; mungkin diperlukan beberapa hari untuk memelihara minat si anak dalam menghafalkannya. 

Pada usia tujuh tahun, anak harus diajak untuk melaksanakan shalat secara rutin. Orang tua harus menempatkan diri mereka sendiri sebagai contoh bagi anak dalam mengerjakan lima shalat itu, secara rutin dan tepat waktu, sebagaimana telah ditetapkan.

Pada usia sembilan tahun, buatlah anak-anak menjadi terikat untuk melaksanakan shalat secara rutin. Para orang tua harus menjelaskan kepada anak bahwa shalat merupakan kewajiban, baik ketika di rumah ataupun di dalam perjalanan. Jika anak tak mengerjakan shalat, orang tua harus memberikan teguran keras. Ya, jika orang tua sendiri melaksanakan kewajiban shalat secara rutin, mereka akan mudah merangsang si anak untuk mengikuti kebiasaan ini. 

Ketika telah mencapai usia balig, anak akan siap untuk melaksanakan kewajiban shalat secara rutin. Jika orang tua terus membiarkan anak (tak mengerjakan shalat) karena menganggapnya masih terlalu kecil, dan hendak mengajarinya bila telah cukup usia, akan sangat sulit untuk mengarahkannya pada kewajiban shalat secara rutin. Semua orang percaya, kebiasaan lama sulit diubah. 

Itulah sebabnya mengapa Rasulullah saw dan para imam suci meminta para orang tua untuk membiasakan anak mulai melaksanakan shalat sejak usia enam atau tujuh tahun. 

Imam Muhammad Baqir as. berkata, "Kita dorong anak-anak kita untuk mulai mengerjakan shalat sejak usia lima tahun. Dan pada usia tujuh tahun, kita perintahkan mereka untuk mengerjakan shalat lima kali sehari secara rutin."[61]

Rasulullah saw bersabda, "Saat anak-anakmu berumur enam tahun, perintahkan mereka untuk mengerjakan shalat. Ketika mereka berumur tujuh tahun, suruhlah mereka secara lebih keras agar rutin mengerjakan shalat. Jika perlu, mereka harus dihukum jika tidak rutin dalam melaksanakan shalat mereka."[62] 

Imam Muhammad Baqir as. atau Imam Ja`far Shadiq as. berkata, "Saat anak berusia tujuh tahun, suruhlah mereka membasuh wajah, kaki, dan tangannya sebelum mengerjakan shalat. Tetapi, ketika telah berusia sembilan tahun, ajarilah dia cara yang benar dalam melakukan wudhu (kewajiban menyucikan diri sebelum mengerjakan shalat). Inilah saatnya anak diperintahkan secara tegas untuk mengerjakan shalat secara rutin."[63] 

Imam Ja`far Shadiq as. berkata, "Saat seorang anak telah berusia enam tahun, perlu baginya belajar mengerjakan shalat. Dan jika memiliki kemampuan secara fisik, dia juga harus didorong untuk berpuasa selama bulan Ramadhan."[64] 

Benar, secara bertahap, anak harus sudah mulai berpuasa selama bulan Ramadhan. Seorang anak yang cukup bugar untuk melaksanakan puasa harus dibangunkan pada waktu sahur (makan sebelum matahari terbit), sehingga dia menyantap hidangan sarapannya di waktu ini, bukan di pagi hari seperti biasa. 

Jika si anak cukup mampu untuk berpuasa sepanjang hari, doronglah dia untuk menyempurnakannya. Akan tetapi, jika si anak merasa berat, dia boleh diizinkan untuk memutus puasa sebelum waktunya. Jumlah hari puasa yang dilakukan anak mesti meningkat secara bertahap. 

Ketika anak mencapai usia untuk mampu memahami, dia harus diberi pengertian bahwa mengerjakan shalat lima kali sehari dan berpuasa di seluruh hari di bulan Ramadhan adalah wajib. Jika tidak memenuhi hal-hal tersebut, dia akan berdosa dan beroleh hukuman Tuhan. 

Para orang tua harus menjelaskan kepada anak-anak tentang keuntungan dan pahala berpuasa selama bulan Ramadhan. Ini akan memberikan lebih banyak dorongan kepada anak untuk berpuasa. Dia juga harus diberi waktu luang yang lebih banyak untuk beristirahat. Dan di akhir satu periode puasa, anak harus diberi beberapa hadiah sebagai penghargaan atas upayanya. 

Selama periode puasa, para orang tua harus selalu memberikan perhatian, sehingga anak-anak tidak akan mencoba untuk makan sesuatu secara sembunyi-sembunyi. 

Sementara itu, pada waktu yang tepat, penting bagi para orang tua untuk menjelaskan tentang "mimpi basah" yang akan mereka alami di masa pubertas. Mereka juga harus diajari tentang bagaimana cara ghushl (mandi yang diwajibkan setelah keluar mani) dan istinja (mencuci alat kelamin dengan air setelah buang air kecil).

Penting diingatkan di sini, jika para orang tua ingin anak-anak mereka rutin pergi ke masjid dan menghadiri acara-acara keagamaan, mereka harus menanamkan kebiasaan ini semenjak masa kanak-kanaknya. Mereka harus membawa anak-anak ke masjid dan ke tempat-tempat diadakannya majelis keagamaan. 

Kunjungan-kunjungan seperti ini akan menciptakan ketertarikan dalam diri anak-anak untuk mengunjungi perkumpulan-perkumpulan keagamaan. 
Alhasil, perlu diingat bahwa sebelum mencapai usia untuk memahaminya, tidak ada kewajiban bagi anak untuk menjalankan ibadah. Jika tidak mampu menjalankan ibadah tertentu pada waktu tertentu, dia tidak dianggap melakukan pelanggaran. 

Akan tetapi, tidaklah sepatutnya bagi para orang tua untuk membiarkan sepenuhnya anak-anak melakukan sendiri apapun yang mereka inginkan. Anak harus diberitahu bahwa jika membahayakan atau melukai orang lain secara fisik, dia akan dikenai kewajiban untuk membayar diyat (denda karena merugikan orang lain), apabila telah mencapai usia untuk memahami hal itu.

Di lain pihak, jika anak dibiarkan bebas tanpa pengawasan, dia akan terbiasa melakukan dosa dan kesalahan. Kesimpulannya, "kebiasaan lama sukar dilenyapkan". Ya, kebiasaan yang tertanam sejak masa kanak-kanak akan membekas dalam diri seseorang, meskipun banyak orang telah berusaha menghilangkannya. 

Oleh karena itu, penting bagi para orang tua untuk mengajari anak-anak tentang apa yang harus dan tidak boleh dilakukan sejak usia dini. Mereka harus mencegah anak-anak mengerjakan perbuatan terlarang dan mendorong mereka melakukan perbuatan yang baik dan mulia.





36. ANAK-ANAK CACAT FISIK
Sebagian anak mengalami cacat fisik sejak lahir, sebagian lain mengalami kelemahan (cacat) setelah kecelakaan. Terdapat banyak jenis cacat fisik, seperti buta, pincang, tuli, bisu, dan lain-lain. Terdapat juga anak-anak lain yang tidak memiliki kekurangan secara fisik, tetapi mengalami keadaan tidak normal, seperti pendek, gemuk, gigi menonjol, mata kecil dan cekung, serta beberapa ciri seperti itu. 

Tidak ada yang salah dari individu-individu dengan kelainan seperti ini. Allah telah memberikan kelahiran kepada mereka sebagaimana adanya. Semua makhluk memiliki keindahannya masing-masing, pemikiran kitalah yang membuat ukuran kecantikan atau ketampanan.

Jika individu-individu yang cacat memikirkan cacatnya, mereka akan bersedih dan ini akan menjadi pangkal bagi perasaan rendah diri. Jika tidak dilakukan upaya untuk membuang perasaan semacam itu dari benaknya, mereka akan selalu bersedih dan murung. Dengan kompleks inferior di dalam dirinya, seseorang akan kehilangan semangatnya. 

Mereka mulai berpikir bahwa dirinya tidak memiliki kemampuan apapun. Mereka enggan menerima tanggung jawab dan bergerak dengan penuh kesigapan. 

Mereka akan menyerah secara memalukan. Mereka mungkin akan membangun jalan menuju pemikiran jahat sebagai sebuah pemberontakan melawan kondisi menyedihkan yang dialaminya dalam struktur sosial.


Menyamakan Perlakuan
Orang yang cacat bisanya menimbulkan rasa belas kasihan. Adalah tugas anggota-anggota masyarakat untuk menempatkan orang-orang cacat seperti itu dalam ketenteraman. Mereka harus memberikan perlakuan yang sama terhadapnya, sebagaimana yang diberikan kepada orang-orang normal lainnya. 

Mereka tidak boleh membuatnya menyadari kekurangan dirinya, melalui perbuatan secara terang-terangan maupun tersembunyi. Beberapa orang sering membuat lelucon atas orang-orang cacat dengan menjadikan kekurangannya sebagai bahan tertawaan. Ini sama halnya dengan menusuk hatinya dengan anak panah. Islam melarang keras menertawakan cacat fisik orang lain. 

Sikap seperti ini termasuk di antara dosa besar yang dilakukan seseorang. Terdapat perintah untuk sangat berhati-hati dalam persoalan ini; orang-orang beriman dilarang melakukan hal seringan apapun yang dapat mengingatkan orang cacat pada kekurangan dirinya.

Rasulullah saw bersabda, "Jangan memandang kepada orang-orang yang berada dalam penderitaan dan kepada mereka yang menderita lepra. Kalau tidak, pandanganmu (itu) akan membangkitkan perasaan sedih dan malu di hati mereka."[65]

Adalah tanggung jawab setiap Muslim untuk menunjukkan lebih banyak perhatian dan kepedulian terhadap orang-orang seperti itu dengan sebuah tatapan yang mengurangi perasaan sedihnya. Mereka harus membesarkan hati orang-orang cacat agar sedapat mungkin hidup secara normal. 

Orang tua dari anak-anak yang cacat memikul tanggung jawab yang berat. Mereka harus ingat bahwa orang cacat pun memiliki kemampuan untuk meraih keunggulan. Jika para orang tua mencoba untuk memahami bakat dari anak-anak seperti itu dan menolong mereka untuk menggali kemampuan yang terpendam itu dengan sebaik-baiknya, mereka akan menjadi orang yang memiliki kemampuan dan terlatih. 

Mereka akan meraih keunggulan dalam bidang pengetahuan dan teknik. Dengan demikian, mereka pun akan meraih posisi terhormat di tengah masyarakat.


Jangan Menyebut Kekurangan Mereka
Tak terhitung banyaknya orang-orang cacat yang mendaki ke atas dalam berbagai aktivitas dan meraih puncak kesuksesan, meski dengan cacat yang dideritanya. Para orang tua tidak boleh mengingat-ingat kekurangan anak dan tidak mengatakan itu kepada siapapun, paling tidak di hadapan anak itu sendiri atau saudara kandungnya. Mereka tidak boleh mengatakan tentang kekurangan si anak, bahkan sebagai sebuah cara untuk menunjukkan rasa simpati. 

Perlakuan mereka terhadap anak bersangkutan tidak boleh berbeda dengan perlakuan yang diberikan kepada anak-anak normal. Jika seorang anak yang cacat menunjukkan rasa gelisah atas cacat dirinya, para orang tua harus berusaha menenangkannya. Ingatkan dan pujilah dia akan kemampuannya yang lain dan dorong dia untuk memanfaatkan semua itu dengan sebaik-baiknya, agar dapat membuktikan diri sebagai anggota masyarakat yang bermanfaat.

Orang tua harus melakukan penelitian yang hati-hati tentang kemampuan terpendam pada anak yang cacat tersebut dan mengonsultasikannya dengan orang yang memiliki cukup wawasan guna memperoleh saran dan nasihatnya sehingga dapat dilakukan rangkaian tindakan yang tepat. Kemudian, mereka harus membuat si anak merasa senang dan mendorongnya untuk mengembangkan keterampilan yang dipilihnya. 

Dengan begitu, para orang tua telah memberikan pelayanan yang besar bagi masyarakat dengan menjadikan anak mereka yang cacat sebagai seorang anggota masyarakat yang sangat berguna. 

Selanjutnya, dengan sebuah cara, orang yang cacat akan dapat mengatasi kekurangannya dan memanfaatkan bakat yang diberikan Allah kepadanya dengan sebaik-baiknya.


Seorang gadis menulis dalam suratnya sebagai berikut:
"Seorang temanku (perempuan) menuturkan kisah hidupnya kepadaku begini:

'Suatu hari, aku jatuh ke tanah dari ketinggian (teras). Saat itu, aku berusia 13 tahun. Tulang belakangku patah, sehingga membuatku menjadi orang yang cacat seumur hidup. Untuk beberapa waktu, aku dirawat di sebuah rumah sakit. Meski menderita sakit parah, belakangan aku menyadari bahwa hari-hari di rumah sakit adalah hari-hari terbaik bagiku ketimbang apa yang kudapatkan setelah pulang ke rumah. 

Ketika keluar dari rumah sakit dan kembali ke rumah, orang tuaku mulai memperlakukanku sebagai musuh yang sesungguhnya. Mereka biasa berkata, 'Engkaulah penyebab rasa malu dan kesialan kami. Bagaimana mungkin kami mengatakan kepada orang-orang bahwa kami adalah orang tua dari seorang anak perempuan yang lumpuh? 

Engkau tetap menipu kami selamanya.' Bukannya menghiburku atas apa yang kuderita, siang dan malam mereka malah mengejekku. Mereka tak pernah berpikir bahwa aku adalah korban dari kecelakaan yang tak menguntungkan dan secara pribadi tidak bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Aku selalu memohon kepada Allah agar memberikan kepadaku kematian dan membebaskanku dari kehidupan ini. 

Dengan kaki lumpuhku, aku selalu memaksakan diri berkeliling rumah dan mengerjakan sesuatu. Tak seorang pun yang peduli dengan kesulitanku. Ya, orang tuaku telah berhenti menganggapku sebagai anak perempuannya. Masa mudaku telah dihabiskan dalam duka dan kesedihan. Di usiaku yang 15 tahun, aku tampak sebagai seorang perempuan tua yang berumur 50 tahun. 

Orang tuaku telah meninggal dan saudara-saudaraku yang laki-laki maupun perempuan tidak pernah memedulikanku. Hingga akhirnya aku pun menikah. Suamiku adalah orang yang sangat baik. Dia sangat mencintaiku. Sebelum ini, aku telah melupakan apa itu cinta dan kasih sayang. 

Sekarang, hari demi hari, keadaanku semakin baik. Kini, aku adalah orang yang benar-benar sehat dan kuat. Allah telah memberiku anak. Ya, sekarang aku hidup dengan penuh kebahagiaan." 


Catatan Kaki:

[59] Bihâr al-Anwâr, jil.3, hal.281.

[60] Makârim al-Akhlâq, jil.1, hal.254.

[61] Wasâ'il asy-Syî'ah, jil.3, hal.12.

[62] Mustadrak al-Wasâ`il, jil.1, hal.171.

[63] Wasâ'il asy-Syî'ah, jil.3, hal.13.

[64] ibid., hal.12.

[65] Bihâr al-Anwâr, jil.74, hal.15. 






37. PENDIDIKAN SEKS PADA USIA PRABALIG
Kecenderungan seksual adalah salah satu insting paling sensitif di antara sifat dasar manusia. Pada kenyataannya, inilah insting yang memiliki daya-bangun yang tinggi bagi ras manusia. Juga, membawa dampak yang positif dan negatif bagi kehidupannya, baik secara psikologis (kejiwaan) maupun fisiologis (hayati). 

Banyak di antara tindakan manusia dan penyebab dari beberapa penyakit secara fisik dan fisiologis dapat dinisbatkan pada insting ini. Jika aspek pendidikan individual berlangsung secara tepat dan bijak, maka kecenderungan seksual dapat menjadi sebuah anugerah bagi kesejahteraan dan kebahagiaan seseorang. 

Akan tetapi, jika aspek pendidikan berada dalam atmosfer (suasana) yang dipenuhi hawa nafsu, birahi, dan keberlebih-lebihan, maka dalam semua kemungkinannya, kecenderungan seksual sangat mungkin menjadi penyebab bagi banyak kelainan fisik dan psikologis, yang pada gilirannya akan menjadi penyebab nyata bagi kehancuran-akhir seseorang dalam kehidupannya di dunia ini maupun di akhirat kelak. 


Jangan Remehkan Kecenderungan Seksual Anak
Tidaklah sepatutnya menganggap kecenderungan seksual hanya memanifestasi setelah memasuki masa pubertas. Insting ini akan hadir dalam diri setiap individu sejak lahir; betapapun, ia tetap dalam keadaan tidur (tidak aktif) selama beberapa waktu. Secara perlahan, ia kemudian memanifestasikan diri secara perlahan dalam kesempatan lain selama masa kanak-kanak. 

Ya, adakalanya anak kecil akan mengusap alat kelaminnya dan merasakan kenikmatan. Ini menimbulkan dalam dirinya sejenis perasaan tertentu. Mereka bahkan merasa nikmat ketika orang tuanya menyayangi dan menciumnya. Mereka akan tertarik kepada orang dan benda yang indah, dan adakalanya mengekspresikan perasaan ini dalam kata-kata pula.

Pada usia dua atau tiga tahun, anak-anak mulai dapat membedakan antara anak laki-laki dan perempuan, dan melihat bagian pribadi orang lain dengan penuh perhatian. Ketika semakin bertumbuh, mereka akan tertarik pada gambar-gambar yang memaparkan kecantikan. Mereka akan melihat itu dengan penuh rasa takjub. 

Adakalanya pula, mengucapkan kata-kata yang tidak pantas. Mereka mulai menunjukkan ketertarikan terhadap lawan jenisnya dan berusaha menarik perhatian seseorang yang berbeda jenis kelaminnya. Terkadang, mereka mengajukan kepada orang tua pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan seks. Mereka juga berusaha mendengarkan secara diam-diam bisikan-bisikan orang tuanya. Atau, suka duduk-duduk dengan teman-temannya di tempat-tempat sepi dan bertukar rahasia.

Semua itu menunjukkan bahwa di dalam diri anak-anak bersemayam kecenderungan seksual yang tersembunyi, yang berusaha terekspresi dalam tindak-tanduk mereka. Tanpa bimbingan dan pengetahuan yang memadai, insting tersebut akan terus menyerang anak-anak. Mereka tidak akan mengerti; apa sesungguhnya yang mereka inginkan. 

Perhatian mereka hanyalah meraih kesenangan dari berbagai sumber. Tetapi, mereka tidak tahu bagaimana caranya untuk meraih kesenangan tersebut. Hingga usia 10 sampai 12 tahun, anak-anak akan terus berada dalam ketegangan seperti ini. Dari usia 12 sampai 15 tahun, kecenderungan seksual tersebut akan bertumbuh dengan cepat di dalam diri mereka.

Orang tua yang bertanggung jawab tidak akan mengabaikan kecenderungan dalam diri anak-anak mereka itu. Mereka tidak dapat melangkah tanpa memikirkan sebuah strategi untuk menangani persoalan ini dengan sebaik-baiknya. Pendidikan seks adalah salah satu aspek tersulit dan terpelik dalam proses pengasuhan anak. Kesalahan dan pengabaian paling ringan saja yang dilakukan para orang tua akan mendorong anak-anak ke jurang kehancuran nan dalam.

Para orang tua harus memfokuskan perhatian pada kenyataan bahwa sebelum masa pubertas, anak-anak belum memiliki kemampuan untuk menghasilkan sesuatu. Oleh karena itulah, Tuhan telah menjaga agar insting seksual ini tetap tersimpan di kedalaman diri mereka. Perhatian terbaik bagi anak-anak adalah bila kecenderungan seksual mereka tidak mengalami kebangkitan yang terlalu dini. 

Jika hal ini terjadi secara prematur, maka si anak akan menderita banyak ragam cacat sosial dan penyakit fisik. Para orang tua harus menjauhkan diri dari segala sesuatu yang merangsang kecenderungan seksual pada anak-anak. 

Mereka harus menyediakan bagi anak-anak itu sebuah lingkungan yang sehat di mana pikiran mereka tidak mengarah pada ekspresi yang bersifat dini dari kecenderungan seksualnya. Para orang tua yang bijak dapat memutuskan sendiri mana yang sangat dibutuhkan anak-anaknya dan mana yang tidak.


Langkah-langkah Mengatasi "Kematangan" Seksual Terlalu Dini
Namun, di sini kami akan menyebutkan sedikit di antara hal-hal yang perlu selalu diingat di dalam benak. Mereka harus benar-benar dapat memastikan bahwa anak-anak tidak menyentuh bagian paling pribadinya, tidak melihat gambar-gambar model di majalah-majalah, tidak mendengar ungkapan cinta dan menonton film-film romantis, memuji ketampanan dan kecantikan orang lain, memandang wajah yang cantik dan mempertontonkan tubuh, asyik mendengarkan lelucon mesum atau percintaan dari orang tua atau orang dewasa lainnya. Semua ini dan banyak daya tarik lain akan mengobarkan kecenderungan seksual pada anak.

Para orang tua tidak boleh membiarkan anak-anak yang berusia lima sampai enam tahun hidup tak terurus. Mereka mungkin akan mempermainkan bagian pribadi tubuh mereka, sehingga menggugah kecenderungan di dalam dirinya. Mereka tidak boleh dibiarkan terus berbaring di ranjang, saat mereka telah bangun dari tidur. 

Anak berusia enam tahun harus dipisahkan tempat tidurnya. Jika anak-anak tidur seranjang, tubuh mereka akan bersentuhan satu sama lain dan ini akan membangkitkan kecenderungan seksualnya. Para orang tua tidak boleh membiarkan anak-anak yang berusia lima atau enam tahun tidur seranjang dengan mereka. 

Khususnya, dalam kasus di mana seorang anak memiliki jenis kelamin yang berlawanan. Bahkan, seorang ibu tak sepatutnya membiarkan tubuhnya bersentuhan dengan tubuh anak perempuannya yang telah berumur enam tahun. 

Rasulullah saw bersabda, "Ketika anak telah mencapai usia tujuh tahun, sediakanlah tempat tidur yang terpisah untuk mereka."[66]

Imam Ja`far Shadiq as. meriwayatkan dari datuk-datuknya, "Wanita dan anak-anak berusia sepuluh tahun harus memiliki tempat tidur pribadi yang terpisah."[67]

"Jika tubuh seorang ibu bersentuhan dengan tubuh anak perempuannya, maka ia (berarti) sedang melakukan sejenis gangguan (penganiayaan)."[68] 

"Seorang pria tidak boleh mencium anak perempuannya yang berusia enam tahun, dan seorang wanita tidak boleh mencium anak laki-lakinya yang berusia tujuh tahun."[69] 


Jaga Aurat Meski Satu Rumah 
Biasanya, di dalam banyak rumah tangga, para wanita mondar-mandir dengan membuka bagian tubuh yang terlarang. Banyak laki-laki juga tak jauh berbeda. Mereka menyingkap celana hingga di atas lutut dan mondar-mandir di hadapan anak laki-laki dan perempuannya. 

Mereka berpikir bahwa mereka adalah anggota dari satu keluarga yang sama dan muhrim, atau memiliki hubungan yang dekat; di mana perempuan tidak perlu menyembunyikan diri dari mereka.

Para orang tua juga beranggapan bahwa anggota tubuh mereka yang terbuka tidak akan berpengaruh pada anak-anak dan masih terlalu belia untuk memahami hal-hal seperti itu. Mereka mengira, anak-anak perempuan mereka yang tidak menutupi bagian dadanya dengan kain dan memperlihatkan anggota tubuhnya tidak akan mempengaruhi anak lelaki mereka dengan cara apapun. 

Mereka menyangka demikian karena anak-anak itu adalah saudara laki-laki dan saudara perempuan satu sama lain. Ini adalah anggapan yang tidak benar. Kecenderungan seksual merupakan salah satu kecenderungan terkuat. Ketika bangkit, ia tidak akan membiarkan seseorang memikirkan hubungan apapun.

Amirul Mukminin Ali as. mengatakan, "Adalah sangat mungkin dengan sekilas pandangan, kecenderungan cinta dan seks akan bangkit."[70] 

Sungguh, dorongan nafsu akan menjadi sebab yang mengubur kemuliaan anak-anak yang tak berdosa. Mungkin, dalam beberapa keadaan, si anak akan melakukan perkosaan dan perzinahan dengan saudara. Dan terhadap hal ini, orang tua benar-benar harus bertanggung jawab atas sikap ceroboh mereka.


Di sini, akan dikutipkan tulisan seorang intelektual:
"Demi keselamatan jiwa anak-anak, tak seharusnya kita memperlihatkan tubuh kita kepada mereka. Adakalanya, anak-anak mengintip melalui celah kamar mandi saat kita mandi atau mengganti pakaian. Kita harus memastikan bahwa anak-anak tidak membangun kebiasaan seperti ini."[71] 

Benar, para orang tua adalah muhrim bagi anak-anak mereka dan dapat tinggal bersama dalam satu rumah. Akan tetapi, para orang tua seharusnya tidak mengorbankan kebersamaan yang benar dengan anak-anak tersebut demi kesenangan dan kebebasan mereka sendiri. 

Dengan cara seperti ini, mereka tidak melindungi anak-anak mereka dari kehancuran. Sebagai konsekuensinya, kehidupan mereka akan terpenjara oleh rasa malu dan kesedihan yang berkepanjangan.

Paha seseorang tersingkap dari jubahnya. Nabi saw melihat hal itu dan bersabda, "Sembunyikan pahamu, karena itu adalah salah satu (bagian) yang tidak boleh diperlihatkan kepada orang lain."[72] 

Adalah tidak patut jika seorang anak laki-laki berusia empat tahun mandi bersama ibunya. Sebagaimana, seorang anak perempuan berusia empat tahun tak seharusnya mandi bersama ayahnya. Anak-anak dan remaja tidak boleh dibiarkan menyendiri tanpa mengerjakan apapun. 

Kesendirian akan menciptakan dorongan untuk melakukan masturbasi. Bagian pribadi dari seorang anak laki-laki kecil harus tetap tertutup, tidak dibuka di hadapan saudara kandungnya. Jangan pernah menggunakan cacian yang menghina terhadap anak-anak. 

Suami dan istri juga tidak boleh tidur seranjang di hadapan anak-anak. Mereka juga tidak boleh bersenda-gurau ketika anak-anak berada di sekitar mereka.


Mencari Waktu yang Tepat dalam Berhubungan 
Satu masalah sekaitan dengan hubungan antara pasangan suami istri dengan anak-anak adalah hubungan seksual antara laki-laki dengan istrinya. Adalah dibenarkan jika suatu pasangan tidur bersama. 

Akan tetapi, ketika terdapat beberapa anak dalam sebuah keluarga, akan menjadi masalah untuk menjaga sejumlah privasi. Bagaimanapun, mereka mesti melanjutkan hubungan pribadi itu tanpa memberikan sebuah gambaran tentangnya kepada anak-anak. 

Di lain pihak, terdapat sebuah bahaya berupa bangkitnya dorongan seksual pada anak-anak, dalam usia mereka, yang akan melahirkan konsekuensi yang mengerikan. 

Imam Ja`far Shadiq as. berkata, "Suami tidak boleh mendekati istrinya ketika anak berada di kamar tidur mereka. Kalau tidak, itu akan menjadi seperti melakukan sebuah perkosaan."[73] 

Rasulullah saw bersabda, "Demi Allah! Seseorang yang berhubungan intim dengan istrinya ketika anaknya berada di kamar itu, dan si anak melihat mereka serta mendengar suara mereka, maka si anak tersebut tidak akan pernah beruntung. Baik itu anak perempuan atau anak laki-laki, dia akan melakukan penodaan dalam perzinahan (karena melihat perbuatan itu)." 

Bilamana Imam Zainal Abidin as.hendak mendekati istrinya, beliau biasa menyuruh keluar pelayannya, mengunci pintu dari dalam, dan memasang gordennya.[74] 

Rasulullah saw melarang seorang laki-laki mendekati istrinya jika seorang bayi kecil melihat mereka dari tempat buaian.[75] 

Oleh karena itu, suami-istri yang memiliki seorang anak, tidak boleh berada di tempat pribadi yang biasa digunakan, sebelum membawa keluar sang anak. Untuk menjaga kesucian anak-anak, pasangan harus menjaga kehidupan pribadi sebagai suami-istri sepenuhnya terjauhkan dari pandangan mereka. Ini mungkin merupakan proses yang tidak mudah, tetapi tidak ada alternatif lain. 

Mereka tidak boleh berpikir bahwa anak-anak tidaklah berdosa dan tidak akan memahami apapun dalam usia itu. Justru sebaliknya, anak-anak sangatlah tajam penglihatannya dan cerdas. Mereka akan menarik kesimpulan sendiri dari apa yang mereka amati. Mereka sangat ingin tahu apa yang dilakukan orang tua di tempat pribadinya. 

Adakalanya, mereka akan pura-pura tidur untuk mengetahui dan melihat apa yang sedang terjadi. Mereka juga akan mencoba untuk mengintip dari balik pintu atau gorden. Adalah lebih baik jika para orang tua memiliki sebuah kamar pribadi yang terkunci untuk mereka sendiri di dalam rumah. Kamar ini harus memiliki jarak yang sejauh mungkin dengan tempat anak-anak. 

Sementara, anak-anak harus dilatih untuk memberitahu jika hendak masuk ke kamar orang tua. Para orang tua harus menghindarkan diri dari melakukan hubungan intim bila anak-anak berada di sekeliling rumah, atau hingga mereka tidur dan tak mendengar suara.


Seorang intelektual Barat menulis sebagai berikut:
"Kebanyakan tempat tinggal modern dibangun dengan struktur yang para perencananya mengabaikan privasi bagi hubungan suami-istri para penghuninya. 

Pada kenyataannya, rumah-rumah masa kini dapat dikatakan sebagai bangunan yang menentang kebutuhan seksual penghuninya. Kebanyakan rumah dan apartemen seperti itu; tidak menyediakan kamar tidur yang terpisah bagi para orang tua. 

Kalau pun ada, dinding kamar tersebut sangat tipis, sehingga anak-anak yang tinggal di kamar sebelah dapat mendengar bisikan lemah sekalipun. Adalah fakta yang tak menyenangkan bahwa disebabkan tak memiliki sebuah tempat yang pantas untuk hubungan mereka, para orang tua terpaksa mengalami kehidupan yang mencekik."[76] 

Akan tetapi, satu hal yang tak menguntungkan bila orang tua tidur di tempat yang terpisah adalah bahwa mereka takkan dapat memantau apa yang dilakukan anak-anak. Khususnya, jika terdapat seorang anak laki-laki yang sedang tumbuh dan seorang anak perempuan dalam kumpulan anak-anak. Dalam situasi seperti ini, membiarkan anak-anak tinggal bersama dalam sebuah ruang mungkin sebaiknya tidak dilakukan. 

Dalam situasi semacam ini, para orang tua harus mengorbankan kesenangannya. Jika orang tua harus tidur bersama anak-anak dalam sebuah ruangan, mereka harus menggunakan tempat tidur yang terpisah. Untuk memenuhi kebutuhan hubungan intim, mereka harus mencari sebuah sudut yang sepi di larut malam, ketika semua anak-anak telah tidur. 

Jika para orang tua adalah orang-orang yang penuh tanggung jawab dan hendak menjadi orang yang demikian, mereka akan dapat menemukan jalan dalam menyelesaikan persoalan ini tanpa banyak mengalami kesulitan.

Allah Swt berfirman dalam al-Quran, Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari), yaitu sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari, dan sesudah shalat isya'. 

Itulah tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebagian kamu (ada keperluan) kepada sebagain (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Mahatahu lagi Mahabijak." (QS. an-Nur: 58)


Menerangkan Seks dengan Bijak
Sebelum memasuki masa pubertas, anak-anak akan menanyakan persoalan seputar seks, baik langsung ataupun tidak langsung. Beberapa orang tua melarang pertanyaan semacam itu. Misalnya, mereka berkata, "Diamlah! Jangan menanyakan hal-hal tolol seperti itu!" "Ini bukan urusanmu!" "Kamu akan mengerti semuanya kalau sudah besar nanti!" 

Ya, mereka mungkin dapat meredakan sesaat keinginan anak-anak dengan jawaban tanpa memberikan pengertian seperti itu. Sebagian orang tua yang lain memang memberikan jawaban atas pertanyaan anak-anak mereka, tetapi jawaban-jawaban tersebut juga salah dan berlawanan dengan kenyataan yang sebenarnya. Anak secara halus tahu bahwa orang tuanya tidak memberikan jawaban yang benar kepadanya.

Kedua cara di atas keliru. Lantaran si anak menanyakan persoalan itu dengan didasari oleh rasa hausnya terhadap pengetahuan, sementara dia tidak memperoleh jawaban yang memuaskan, maka bertambahlah rasa ingin tahunya dan dia mungkin akan mencari informasi di tempat lain yang mungkin bukan merupakan tempat terbaik bagi kepentingannya. 

Untunglah, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan anak-anak seputar persoalan seks sebelum masa pubertas tidaklah terlalu rumit sehingga terlalu sulit bagi para orang tua untuk menjawabnya. Salah satu pertanyaan yang mengganggu setiap anak adalah perbedaan antara bagian pribadi dari tubuh seorang anak laki-laki dengan seorang anak perempuan. 

Seorang anak laki-laki sepenuhnya paham bahwa terdapat perbedaan antara bagian pribadi dirinya dengan saudara perempuannya. Akan tetapi, dia ingin tahu, mengapa terdapat perbedaan seperti ini? Adakalanya dia akan merasa takut kalau-kalau memiliki cacat (kekurangan) lantaran dirinya tidak sama dengan saudara perempuannya. 

Di lain waktu, dia malah berpikir bahwa saudara perempuannyalah yang memiliki kekurangan. Dia ingin mengetahui penyebab perbedaan tersebut dan akan meminta penjelasannya dari orang tuanya. Adalah tugas para orang tua untuk memberikan jawaban yang memuaskan bagi sang anak. 

Mereka harus menjelaskan kepadanya bahwa semua anak laki-laki telah diciptakan seperti dirinya dan semua anak perempuan seperti saudara perempuannya. Juga, anak laki-laki akan tumbuh besar menjadi ayah dan anak perempuan menjadi ibu. Mereka akan memiliki anak; perputaran seperti ini akan terus berlangsung.

Anda tak perlu membayangkan bahwa anak ingin mengetahui semua fakta tentang seks sekaligus. Dia hanya ingin memperoleh jawaban atas apa yang ada di benaknya saat itu saja. Tidak lebih dari itu, tidak juga kurang darinya. Sebelum anak mencapai usia untuk memahami, dia harus memperoleh informasi yang luas tentang hal-hal yang memang diperlukan dan mudah dipahami. 

Jika Anda tidak menjawab pertanyaannya, dia mungkin akan mendapatkan detail yang membahayakan dari anak-anak nakal yang lebih dewasa di sekitar rumahnya atau dari tempat lain.

Ketika anak Anda mencapai usia pubertas, dan Anda tahu bahwa kecenderungan seksualnya telah berkembang, juga terjadi perubahan yang cepat di dalam dirinya, maka dalam sebuah kesempatan yang tepat, Anda harus menginformasikan kepadanya hal-hal berikut:

"Ketika anak-anak tumbuh besar, mereka akan mengalami sebuah dorongan untuk memiliki teman. Anak perempuan menyukai anak laki-laki sebagai teman, dan anak laki-laki menyukai anak perempuan sebagai teman. Tidak ada larangan dalam hal ini. 

Akan tetapi, jika teman itu adalah orang yang saleh dan baik, maka hal ini akan membawa keberuntungan bagi anak laki-laki dan perempuan tersebut. Sebaliknya, seorang teman yang buruk akan membawa kerugian baginya.

"Setelah menikah, tanggung jawab akan berlipat ganda setiap waktu. Nafkah untuk istri dan ketika anak-anak telah lahir akan terus menanjak. Semua tanggung jawab ini harus ditanggung oleh suami. Engkau harus menyelesaikan pendidikanmu dengan sebaik-baiknya sehingga engkau memiliki pekerjaan yang baik. 

Setelah itu, kita akan mempersiapkan pernikahanmu. Berusahakeraslah dalam studimu. Jika engkau memiliki kemampuan, orang-orang akan menyukaimu dan engkau akan mendapatkan calon istri yang baik.

"Berhati-hatilah dengan masturbasi. Itu sebuah dosa dan berbahaya bagi kesehatan seseorang. Orang yang melakukan itu, tidak akan dapat menjalani kehidupan perkawinan yang pantas nantinya.

"Hindarilah teman yang buruk dan jangan tiru kebiasaan mereka. Beberapa kebiasaan itu dapat merusak seseorang."

Begitulah, ketika anak-anak tumbuh besar, mulai tumbuh bulu di ketiak dan daerah pinggang (selangkangan paha). Anak-anak akan merasa takut melihat hal ini untuk pertama kalinya. Bimbinglah mereka dengan tepat. Jelaskan kepada mereka metode untuk membuang rambut-rambut yang tidak diperlukan.

Anak perempuan mulai mengalami menstruasi. Saat melihat darah menodai pakaiannya, dia akan ketakutan. Jelaskan kepadanya tentang menstruasi periodik yang akan dialami anak-anak perempuan setelah puber. Payudara mereka juga akan tumbuh. Beberapa anak perempuan juga merasa khawatir dengan perkembangan ini.

Sebagaimana, ketika anak laki-laki telah memperlihatkan tanda-tanda memasuki masa pubertas, dia akan mengalami mimpi yang menggelisahkan dalam tidurnya. Selama mengalami mimpi itu, emosinya akan bangkit dan ejakulasi akan terjadi. 

Terkadang, tanpa perasaan bersalah dan mengerti, anak-anak akan berpikir bahwa mereka telah mengidap penyakit. Adakalanya pula, mereka menyangka telah melakukan dosa. Mereka merasa khawatir dan menyembunyikan persoalan tersebut sebagai sebuah rahasia.

Dalam masa-masa seperti itu, adalah tugas para orang tua untuk mempersiapkan si anak terlebih dahulu. Ibu harus membuat anak perempuannya merasa percaya diri dan menjelaskan kepada mereka bahwa tumbuhnya rambut di wilayah-wilayah tertentu tubuhnya serta periode pendarahan di awal masa pubertas adalah fenomena normal pada seorang gadis. 

Dia harus mengajari anak perempuannya cara untuk menjaga kesehatan selama masa tersebut dan bagaimana pembersihan (penyucian) setelah masa tersebut berlalu. Dia juga harus menjelaskan bahwa selama periode tersebut, dirinya tidak boleh menjalankan puasa atau kewajiban shalat. Puasa Ramadhan yang telah ditinggalkannya selama masa itu, harus dijalankan di kemudian hari. 

Seorang ayah juga harus menjelaskan kepada anak laki-lakinya bahwa dia telah menjadi orang dewasa. Dia akan mengalami keadaan di mana tumbuh bulu di sekitar ketiak dan pinggangnya. Juga, mengalami mimpi yang disertai dengan ejakulasi. Ini adalah gejala normal yang dialami semua anak laki-laki yang memasuki masa pubertas dan tidak perlu khawatir dengan semua itu. 

Kapan saja mengalami ejakulasi dalam mimpinya, dia wajib melakukan mandi penyucian. Sang ayah harus menjelaskan kepada anak laki-laki cara untuk mandi wajib. Dengan demikian, para orang tua dapat memberikan rasa tenteram ke dalam diri anak-anak, yang sekarang telah memasuki gerbang kehidupan orang dewasa.


Catatan Kaki:

[66] Makârim al-Akhlâq, jil.1, hal.256.

[67] Wasâ`'il asy-Syî'ah, jil.14, hal.268.

[68] ibid., hal.170.

[69] Ibid.

[70] Ghurar al-Hikam, hal.416.

[71] Paiwandhai Kudak wa Khanwada, hal.177.

[72] Mustadrak al-Wasâ`il, Hakim, jil.4, hal.181.

[73] Wasâ`il asy-Syî'ah, jil.14, hal.94.

[74] ibid. 

[75] Mustadrak al-Wasâ`il, jil.2, hal.546.

[76] Paiwandhai Kudak wa Khanwada, hal.176.







38. PEMIKIRAN POLITIK DAN SOSIAL

Memberi Wawasan Masa Depan pada Anak-anak
Anak-anak hari ini adalah pemuda pada hari esok. Mereka akan terlibat dalam persoalan-persoalan sosial di masa depan. Kesadaran dan pemahaman mereka akan keniscayaan politik bagi negara akan menjadi sesuatu yang sangat penting. Mereka akan menjadi penjaga kekayaan budaya dan ekonomi bangsa. Mereka harus berusaha dan berjuang untuk memelihara dan mengembangkan kejayaan tanah air. Mereka harus menghadapi kaum imperialis agresor dan berjuang melawan tipu daya serta persekongkolan mereka. 

Oleh karena itu, anak-anak harus dipersiapkan dari masa-masa awal kehidupannya untuk berkhidmat kepada negara. Tanggung jawab terbesar terletak di pundak para orang tua untuk mempersiapkan anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya.

Dasar-dasar kecakapan politis dan sosiologis juga harus diberikan dan dipersiapkan sejak dini. Ketika seorang anak mencapai usia remaja, dia akan memiliki kepekaan dan kesadaran atas masalah-masalah sosial dan politik yang dihadapi masyarakat tempat dia tinggal. Dia akan menaruh perhatian pada kemiskinan dan keterbelakangan yang melanda negaranya. 

Keberhasilan-keberhasilan dan kegagalan-kegagalan pemerintah harus dijelaskan kepada anak yang akan segera menapaki masa remajanya. Mereka harus diberitahu tentang ketidakjelasan yang berkembang di masyarakat. Ya, mereka harus tahu kondisi umum yang terjadi di kota-kota dan desa-desa.

Anak-anak memang belum memiliki hak suara dan belum mampu memberikan hak suaranya, tetapi para orang tua harus menjelaskan kepadanya manfaat pemilihan umum dan pemimpin yang dihasilkannya. Mereka juga harus menjelaskan kepadanya, sebagai contoh, bagaimana memilih kandidat terbaik di antara daftar nama kontestan yang bertarung di daerah itu. 

Para orang tua dapat menjelaskan kepada anak, misalnya, pilihan mereka sendiri atas seorang kandidat karena kualitas-kualitas yang dimilikinya. Anak juga boleh menghadiri proses pemungutan suara. 

Dia boleh bergabung bersama orang-orang dalam meneriakkan semboyan dan slogan, atau juga menyebarkan brosur-brosur dari seorang kandidat yang menurutnya layak dipilih. Kegiatan ini akan memberikan dorongan tambahan bagi tumbuhnya kesadaran dalam dirinya. 


Anak-anak dan Revolusi Islam
Revolusi Islam Iran telah membuktikan bahwa anak-anak dan remaja dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi proses politik di sebuah negara. Ya, mereka adalah para pemuda yang dengan slogan, rapat-rapat umum, demonstrasi, dan partisipasi aktifnya telah membuat rezim yang menindas itu (Syah) menyerah. 

Mereka telah membebaskan rakyat tertindas Iran dari cengkeraman agen dan kaki tangan Syah yang kejam. Dunia tahu bahwa keberhasilan Revolusi Islam Iran disebabkan oleh pengorbanan tertinggi yang dipersembahkan oleh anak-anak muda bangsa ini.


Mendiskusikan Masalah Politik dengan Anak
Penting bagi anak-anak untuk mempelajari situasi politik negara mereka pada khususnya dan dunia pada umumnya. Mereka dapat melakukan ini dengan membiasakan diri membaca sebuah koran yang baik setiap hari. Mereka juga bisa menonton dan mendengarkan berita di televisi dan radio. Mereka juga dapat membentuk kelompok diskusi bersama orang tua dan teman-temannya. 

Dengan cara ini, mereka akan dapat menumbuhkan perhatiannya atas keselamatan saudara sebangsa dan dirinya sendiri. Proses ini akan membantu anak dalam membangun kesadaran politik dan sosial yang baik. Tak diragukan lagi, masa depan negara akan berada di tangan mereka dan di tangan beribu-ribu pemuda lain di seluruh negeri.

Anak-anak harus memahami bahwa kehidupan duniawi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan ukhrawi. Demikian pula, keimanan takkan pernah dapat dipisahkan dari masalah politik. Para pemuda bangsa harus melebur secara aktif dengan seluruh peristiwa-peristiwa politik dan sosial yang terjadi di negerinya. Anak muda harus diberi kebebasan memilih yang lebih besar untuk berpartisipasi di dalam proses politik di negaranya.





39. ANAK MANJA
Adalah kenyataan bahwa setiap anak mendambakan cinta dan kasih sayang. Namun, cinta yang berlebihan sama dengan memanjakan. Cinta itu seperti makanan. Dalam batas tertentu, ia bermanfaat; namun, bila berlebihan, akan membahayakan. Pemanjaan akan memberikan pengaruh buruk dalam pengasuhan anak. Anak bukanlah alat permainan bagi orang tua, dan tak semestinya diperlakukan sebagai sumber hiburan bagi mereka. 

Kenyataannya, anak merupakan calon manusia pada masa depan. Ia mesti diasuh secara hati-hati dan metodis. Tanggung jawab terhadap pengasuhan, pelatihan, dan pendidikan anak terletak pada orang tua. Anak tumbuh dewasa dan menjadi bagian dari masyarakat. Ia mesti menghadapi fluktuasi kehidupan, kesuksesan, kegagalan, jatuh, bangun, suka, dan duka yang silih berganti sepanjang hidupnya. 

Pendidik yang baik akan memiliki semua faktor tersebut pada benaknya, sehingga mampu mempersiapkan generasi yang akan sanggup menghadapi semua ujian dan rintangan yang menghadang. 

Orang tua mesti menyadari kenyataan bahwa cinta dan kasih sayang itu esensial dalam pengasuhan anak, tetapi bila berlebihan dapat membuahkan hasil yang tak diinginkan. Anak yang memperoleh cinta dan kasih sayang berlebihan akan menjadi manja, yang berakibat buruk bagi dirinya.


Jika Cinta Orang Tua Terlalu Permisif
Saat anak menyadari bahwa orang tua sangat mencintainya dan selalu mengizinkan apa saja yang ingin dilakukan, maka tuntutannya pun akan semakin meningkat. Ia menjadi terbiasa menuntut pemenuhan dari orang tuanya, yang memang tak ingin melihatnya kecewa. Akhirnya, karakter despotisme tertanam dalam dirinya, yang akan meningkat seiring berjalannya waktu. 

Sehingga, ketika kelak berbaur dalam masyarakat, ia pun akan menuntut masyarakat untuk selalu memenuhi keinginannya, sebagaimana yang biasa dilakukan pada orang tuanya dan anggota keluarga lainnya. 

Namun, tentu saja orang-orang tak akan menyukai seseorang yang hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Sikap orang-orang ini akan menciutkan semangatnya dan ia pun menjadi korban perasaan kalah dan bosan. Sehingga kemudian perasaan itu berkembang menjadi kompleks rendah diri dan cenderung menyendiri. 

Pada kasus-kasus akut, mereka bahkan berpikir untuk bunuh diri demi terlepas dari tekanan-tekanan psikologis. Sedangkan kehidupan rumah tangga orang semacam itu juga secara umum tak tenteram. Ia terlalu mengharap cinta yang banyak dari pasangannya, dan menghendaki agar pasangannya memenuhi semua keinginannya sekalipun yang tidak masuk akal. 

Sementara dalam hidup perlu saling menerima dan memberi (take and give), dan jarang ada pasangan yang mau tunduk dalam hubungan satu arah. Banyak sekali istri yang tak mau menerima permintaan tak masuk akal suaminya. Akibatnya, terjadilah pertengkaran di antara mereka. Sama halnya dengan anak perempuan yang manja. 

Ketika menikah, ia mengharap cinta yang lebih besar dari suaminya ketimbang yang diperoleh dari orang tuanya. Ia menghendaki suaminya memenuhi semua keinginannya, sekalipun itu tak masuk akal. Umumnya, suami tak bersedia memenuhinya. Akibatnya, terjadilah percekcokan di antara mereka.

Kelakuan mereka itu juga bisa dilihat sebagai kelanjutan dari kebiasaan mereka pada masa muda dulu. Mereka begitu kekanak-kanakan dengan bertingkah-laku seperti itu pada saat dewasa kini. 


Anak yang Manja, Lemah Fisiknya
Anak-anak yang terlalu dimanjakan orang tuanya, umumnya memiliki fisik yang lemah. Mereka biasa mencari bantuan orang lain dan tidak mandiri. Kapan saja menemui kesulitan, mereka selalu berupaya melarikan diri darinya. Mereka tak berani menanggung tugas-tugas besar dan sulit. Bila mendapati kesulitan, mereka segera mencari pertolongan orang lain tanpa mencoba menyelesaikannya sendiri dan bergantung kepada Allah Swt.

Orang yang menerima asuhan melalui pemanjaan umumnya egois dan hanya mementingkan diri sendiri. Karena terbiasa menerima pujian-pujian semu di masa lalu, mereka akan menanggung kepalsuan di kemudian hari. Mereka tak mampu melihat kegagalan diri sendiri. Bahkan sebaliknya, kekurangan itu mereka anggap sebagai kelebihan mereka. Mereka bekerja dalam naungan kebanggaan semu, yang sebenarnya merupakan penyakit psikologi yang parah.

Imam Ali as. berkata, "Egoisme adalah sesuatu yang paling buruk."[1]

Beliau as. juga berkata, "Seorang yang egois dan hidup dengan dirinya sendiri tidak akan menyadari kekurangan dan kegagalannya dirinya."[2]

Orang seperti ini selalu mengharap orang lain terus memuji-muji dirinya. Oleh karena itu, ia akan dikelilingi para penjilat. Sedangkan orang-orang yang lurus tidak akan memperoleh tempat di sisinya. Orang egois tentu saja tidak akan menarik simpati orang lain, melainkan justru akan mengundang kemarahan mereka.
Imam Ali as. berkata, "Seorang yang egois dan hanya memikirkan diri sendiri akan berhadapan dengan banyak kesulitan."[3] 


Pemanjaan Membuahkan Penguasaan pada Orang Lain
Anak yang memperoleh cinta dan perhatian berlebihan serta terlalu dimanja orang tuanya, secara bertahap akan mendominasi orang tua. Ketika dewasa, mereka akan tetap memiliki watak dominasi tersebut dan tuntutan mereka melebihi kemampuan orang tuanya. 

Bila orang tua memperlihatkan ketidakmampuannya dalam memenuhi kebutuhannya, mereka pun mencari jalan untuk membuat kericuhan. Anak seperti itu tahu betul bahwa orang tuanya memanjakannya, sehingga selalu memiliki jalan untuk berbohong demi memperoleh apa yang diinginkannya. 

Orang tua, disebabkan kecintaan mereka, terkadang meremehkan perlunya pengasuhan yang baik dan cenderung menuruti tingkah laku dan keinginan anak. Mereka menutup mata terhadap kekurangan anak dan mengabaikan tugas memperbaikinya. Demi menyenangkan anak, orang tua terkadang bahkan meremehkan norma-norma yang telah diatur agama (syariat). 

Imam Muhammad Baqir as. berkata, "Seburuk-buruknya ayah adalah yang berlebihan mencintai anaknya."[4]

Anak semestinya hidup dengan optimisme dan rasa takut kepada Allah. Ia mesti merasa bahwa orang tuanya benar-benar mencintai dirinya dan akan siap menolongnya kapan saja diperlukan. Namun, ia juga mesti menyadari bahwa setiap kesalahan orang tuanya akan mengakibatkan dirinya menjadi orang yang tak bertanggung jawab. 


Dr. Jalali menulis:
"Bila anak hidup dalam lingkungan yang memanjakannya, yang orang lain selalu berpihak kepadanya, menutup mata terhadap kesalahannya, dan ia pun tak dilatih untuk menghadapi kenyataan yang keras pada masa mendatang, kelak akan menjadi korban dari banyak kesulitan dalam masyarakat. Sejak dini, anak mesti dilatih bahwa dirinya harus hidup bersama orang lain dalam masyarakat dan keinginannya harus selaras dengan keinginan masyarakat."[5]


Dr. Jalali juga menulis:
"Mencintai anak itu perlu sekali. Namun, menumbuhkan perasaan pada anak bahwa orang tuanya akan selalu menyenangkan keinginannya adalah tidak baik."[6] 


Orang Tua Harus Tegas 
Bila anak menangis dan mengekspresikan kemarahan agar orang tuanya memenuhi tuntutannya yang tak masuk akal, orang tua harus secara tegas dan bijaksana menolaknya. Mereka sebaiknya meninggalkannya sendiri untuk sementara waktu, agar menyadari bahwa dirinya tak selalu bisa memaksakan hal itu. Bila orang tua bersabar dalam situasi seperti itu, niscaya lambat laun anaknya akan berhenti juga. 

Bila anak jatuh, orang tua tidak perlu segera mengambilnya. Biarkan anak bangun sendiri ketika jatuh. Latihlah ia untuk berhati-hati agar tidak jatuh lagi. Ketika anak terbentur sesuatu, orang tua tidak perlu langsung menciumnya atau terlalu memanjakannya. Melainkan, latihlah ia untuk berhati-hati agar hal itu tidak terjadi lagi. 

Namun, bila ia terluka, segera berikan perawatan. Perhatian yang layak harus diberikan pada anak yang sakit, namun aktivitas sehari-hari tetap harus dilakukan seperti biasa. Orang tua juga harus beristirahat, tidur, dan makan secara normal. Bukan menghabiskan waktunya di samping tempat tidur menemani anaknya yang sakit. 

Pemanjaan tidak akan menolong anak, melainkan dapat memperburuk kebiasaan anak dalam menarik perhatian orang tuanya.


Seorang wanita menulis:
"Setelah dua anak perempuan pertama lahir, orang tuaku memperoleh anak lelaki. Aku tak dapat melupakan kebahagiaan ibuku saat itu. Orang tuaku amat memanjakannya, karenanya, pada umur dua tahun, ia kerap memukul kami, saudara perempuannya. Ia biasa menggigit kami, dan kami tak berani melawannya. 

Apapun yang ia inginkan selalu dipenuhi. Ia kerap bersikap nakal kepada anak-anak lain. Ia juga kelihatannya saja senang pergi sekolah, tetapi enggan mengerjakan tugas sekolah. Ia sedikit pun tak pernah mengindahkan guru-gurunya. Sehingga, ia pun tak memperoleh kemajuan dan akhirnya putus sekolah. 

Sekarang, ketika dewasa, ia menjadi orang yang tak berpendidikan dan penyendiri. Ia tak berkeinginan melakukan pekerjaan apapun dan menjadi sangat perasa. Ia juga tak punya rasa cinta pada saudara-saudara perempuannya. Saudara lelakiku itu telah menjadi korban salah asuhan dan pemanjaan berlebihan dari orang tuaku."


Catatan Kaki:

[1] Ghurar al-Hikam, hal.446.

[2] ibid., hal.685.

[3] ibid., hal.659.

[4] ibid.

[5] Rowan Shinashi Kudak, hal.354.

[6] ibid., hal.461.







40. MENGISAP IBU JARI
Kebiasaan umum anak kecil adalah mengisap ibu jarinya. Biasanya, pada usia tiga bulan, bayi mulai mengisap ibu jari dan terus melakukannya selama beberapa saat. Penyebab alamiah kebiasaan ini boleh jadi adalah pemberian yang dilakukan kepadanya. Ketika lapar, ia akan menetek pada ibunya atau mengisap empeng (dot bayi yang terbuat dari karet khusus-peny.). 

Anak merasakan bahwa aktivitas itu memberinya kenyamanan, dan seiring berjalannya waktu, mulai belajar bahwa dirinya bisa mengisap ibu jarinya sendiri ketika belum memperoleh ASI. Ini merupakan bagian dari proses belajar anak. 

Ia lalu mengenali manfaat mengisap ibu jarinya, dan terbiasa dengan itu. Kebiasaan ini kemudian segera dilakukannya ketika lapar dan makanan belum diberikan kepadanya. Ia juga akan mengisap ibu jarinya ketika sedang merasa tak nyaman. Banyak orang tua berpikir bahwa mengisap ibu jari adalah kebiasaan tidak baik dan berupaya menghentikan anak dari melakukannya. 

Para pakar gigi juga menganggap bahwa mengisap ibu jari memberikan pengaruh buruk pada konfigurasi gigi alami dan mulut anak. Namun demikian, banyak dokter gigi dan dokter umum menganggap bahwa mengisap ibu jari tidak terlalu berbahaya bagi anak. 


Seorang pakar berkata:
"Banyak pakar psikologi dan pakar anak berpendapat bahwa kebiasaan anak mengisap ibu jari tidaklah berbahaya. Dan dari kebanyakan kasus, kebiasaan itu tidak menjadi penyebab kerusakan pada mulut. Mereka juga mengamati bahwa kebiasaan ini akan berhenti dengan sendirinya saat gigi susu anak tumbuh."[7]

Namun demikian, bisa saja kebiasaan ini menyebabkan beberapa masalah kesehatan. Karena secara umum, jari-jari tangan anak terbuka di udara bebas, sehingga mungkin saja membawa beberapa kuman penyakit ke dalam mulut. Karena itu, kebanyakan orang tua tidak menginginkan anak mereka memiliki kebiasaan mengisap ibu jari. 


Bukan Masalah Serius, Namun…
Tetapi kenyataannya, kebiasaan ini bukanlah masalah serius. Kalaupun anak terbiasa dengannya, kebiasaan ini toh akan hilang dengan sendirinya saat ia tumbuh besar. Namun, bila orang tua tidak menginginkan itu, mereka dapat mengambil langkah-langkah agar anak tidak terjerumus ke dalam kebiasaan itu sejak awal. Karena mencegah anak dari kebiasaan mengisap ibu jari jauh lebih mudah ketimbang menghentikan kebiasaan tersebut.

Ketika orang tua sejak awal mengetahui kecenderungan dari kebiasaan mengisap ibu jari, maka mereka semestinya mencari solusinya; yaitu, berikanlah kembali susu pada anak bila masih terlihat lapar; dan bila anak telah merasa lapar di antara jadwal pemberian ASI, berikanlah sedikit jus buah atau biskuit kepadanya. 

Namun, bila alasan dari mengisap ibu jari itu disebabkan ketidaknyamanan anak, mereka harus mencari tahu apa penyebab ketidaknyamanan itu dan memberikan solusinya. 


Mengalihkan Perhatian Anak
Bila anak tetap terjerumus dalam kebiasaan itu meskipun telah dilakukan langkah pencegahan, maka akan sulit menghentikannya. Metode lain untuk mengendalikan kebiasaan anak ini adalah dengan memberinya mainan-mainan yang bagus dan lembut untuk mengalihkan perhatiannya dari mengisap ibu jari. 

Selain itu, bila anak bermain bersama anak lainnya, kebiasan mengisap ibu jari juga dapat terlupakan saat itu. 

Alternatif lain untuk menghindarkan anak dari mengisap ibu jari adalah dengan memberinya empeng. Tetapi, hal ini juga akan membuat anak terbiasa dengannya selama beberapa waktu. 

Namun demikian, orang tua harus bersikap sabar dan tidak langsung menghentikan kebiasaan ini. Tidak semestinya pula mereka menghukum anak disebabkan kebiasaan ini. Orang tua harus ingat bahwa seberapapun kuatnya kebiasaan mengisap ibu jari pada anak, toh hal itu akan hilang dengan sendirinya ketika si anak berusia sekitar empat atau lima tahun. 





41. RASA TAKUT
Rasa takut adalah fenomena universal. Setiap makhluk hidup memiliki insting rasa takut, baik dalam skala kecil maupun besar. Dalam terminologi abstrak, rasa takut itu esensial bagi keamanan manusia. Seseorang yang tidak memiliki insting rasa takut, secara psikologis tidak normal. Rasa takut ini juga yang menjadikan seseorang terhindar dari marabahaya dan menyelamatkannya dari kematian. 

Oleh karena itu, rasa takut merupakan karunia Allah Swt, yang diberikan sebagai fitrah manusia. Namun, karunia ini hanya bermanfaat ketika manusia menggunakannya dengan benar. Kalau tidak, ia akan memberikan hasil yang berbahaya. 


Rasa takut terbagi dalam dua bentuk:
1. Rasa takut semu, keliru, dan tak berarti. 

2. Rasa takut berdasar, masuk akal, dan absah.


Rasa Takut Semu (Tak Berdasar)
Kategori dari rasa takut semu ini dapat berupa rasa takut terhadap hantu dan roh-roh halus, atau rasa takut terhadap gelap dan hewan-hewan tak berbahaya (seperti kucing, tikus, katak, unta, kuda, dan lain-lain). 

Selain itu, termasuk juga rasa takut terhadap pencuri, mayat, peti mati, dokter dan jarum suntik; rasa takut terhadap petir, tidur sendirian, ujian, sakit dan kematian; dan masih banyak lagi rasa takut tak-berdasar seperti itu yang dapat menjadi momok seseorang bila dirinya tak dapat mengatasinya. 

Ia selalu terobsesi rasa takut tersebut, dan terkadang bangun dari tidur sembari berteriak dan menjerit disebabkan mengalami mimpi buruk. Rasa takut tak berdasar ini pada hakikatnya merupakan bagian dari penyakit jiwa, yang dapat memberikan pengaruh sangat berbahaya bagi kehidupan anak di masa depan. 

Seorang penakut, saat harus mengambil keputusan, akan merasa sangat tertekan. Ia akan menghindar dari bertemu orang dan akan selalu khawatir. Ia pun enggan berkumpul dengan orang lain dan lebih senang menyendiri. Beberapa penyakit jiwa dapat muncul dari rasa takut tak berdasar seperti itu. Imam Ali bin Abi Thalib as. berkata, "Rasa takut itu mengakibatkan bencana."[8] 


Oleh karena itu, pendidik yang baik akan berupaya memastikan bahwa anak terbebas dari rasa takut yang tak berdasar. Kami memberikan anjuran sebagai bahan pertimbangan bagi para pendidik, sebagai berikut: 
1. Mencegah rasa takut jauh lebih baik ketimbang mengobatinya. Cobalah memastikan bahwa anak tidak berkutat dalam suasana rasa takut yang tak berdasar. 

Para pakar psikologi menyatakan bahwa suara kereta api yang melaju, suara petir, guntur, angin, dan suara gaduh yang berada di dekat bayi dapat menjadi penyebab awal rasa takut pada anak. Oleh karena itu, sebisa mungkin lindungilah anak dari hal-hal tersebut. 

2. Rasa takut itu menular. Mungkin secara alamiah, anak tidak penakut, tetapi bila orang tua dan orang-orang di sekitarnya penakut, ia akan terjangkiti kebiasaan penakut tersebut. Bila Anda menginginkan anak Anda tidak menjadi penakut, obatilah rasa takut Anda sendiri terlebih dahulu. Oleh karena itu, jangan pertontonkan rasa takut terhadap hal-hal yang tak berdasar. 

3. Menyaksikan film yang bertemakan kejahatan dan hukuman, melihat dan mendengarkan cerita-cerita horor, membaca dan mendengar kisah-kisah misteri, serta membaca kejadian-kejadian menakutkan, dapat berbahaya bagi anak. Oleh karena itu, sebisa mungkin hindarkanlah anak dari hal-hal tersebut. Janganlah membicarakan seputar makhluk halus kepada anak. 

Bila mereka telah mendengarnya dari sumber lain, yakinkanlah ia bahwa keberadaan makhluk halus (jin) itu telah ditegaskan dalam al-Quran; bahwa mereka (kaum jin) juga menjalani kehidupan seperti manusia dan tidak membahayakan kita.

4. Menghindari intimidasi terhadap anak saat mendidiknya. Jangan menakut-nakutinya dengan hantu dan roh-roh halus. Metode seperti ini mungkin efektif untuk sementara, tetapi dapat menyebabkan anak menjadi penakut. Hukuman terhadap pelanggaran yang dilakukan anak janganlah dalam bentuk mengurungnya di tempat gelap dan sunyi. Beberapa ibu yang tidak bijaksana bahkan menirukan suara kucing atau anjing dari balik dinding untuk menghentikan tangis anaknya. 

Mereka tak menyadari bahaya dari hal tersebut terhadap pikiran anak. Seseorang menulis dalam buku hariannya mengungkapkan: 

"Nenek kami terbiasa pergi ke ruangan lain di rumah dan berteriak dengan nada berubah-ubah, 'Aku adalah setan yang datang ke rumah untuk memakan kalian !' Kami pun menjadi ketakutan dan percaya bahwa itu benar-benar setan. Selama beberapa waktu, tindakan tersebut menjadikanku seorang penakut. Inilah mengapa aku tak berani sendirian di luar rumah. Sekarang, aku menjadi orang dewasa yang penakut dan gampang gelisah." 


Seorang wanita menulis:
"Aku berumur lima tahun ketika sedang bermain di halaman rumah bersama sepupuku. Tiba-tiba, kami melihat sosok yang menakutkan. Ia memiliki kepala besar, mata bersinar, gigi yang panjang dan besar, pakaian hitam panjang, dan sepatu hitam besar di kakinya. Ia muncul di tengah halaman. Ia melontarkan suara-suara aneh dan bermaksud melahap kami. 

Kami pun berteriak dan lari menuju loteng yang gelap. Aku mencengkeram dinding kuat-kuat, sehingga jari-jemariku menjadi memar. Aku lalu jatuh tak sadarkan diri karena ketakutan. Aku pun dibawa ke dokter agar sadar kembali. Semenjak itu, untuk jangka waktu lama, aku terbiasa menyembunyikan diri di sudut-sudut karena ketakutan, dan keributan sedikit saja dapat membuatku gelisah. 

Bahkan sampai sekarang, aku mudah sekali ketakutan dan tak dapat berkonsentrasi dalam setiap aktivitas. Baru kemudian aku mengetahui bahwa sosok tersebut adalah lelucon saudara sepupuku lainnya. Ia menaruh pot yang telah dicat di kepalanya untuk menakut-nakuti kami. Ia yang telah menyebabkan kondisi gelisahku ini."

5. Bila anak Anda menjadi penakut disebabkan kelalaian Anda atau sebab lainnya, jangan abaikan kondisinya itu. Cobalah mengatasi situasi itu sesegera mungkin. Bila anak menyadari bahwa rasa takutnya itu tak berdasar, ia akan sembuh dengan sendirinya. Memarahi, mengejek, dan mempermalukannya di depan umum bukanlah jalan keluar. 

Tindakan ini di satu sisi, tidak akan melenyapkan rasa takut anak, dan di sisi lain justru akan menjadikannya pemurung dan mudah sakit hati. Karena sebenarnya ia tidak ingin menjadi penakut. Kelalaian Anda dan penyebab lainlah yang menjadikannya demikian. Oleh karena itu, cobalah menemukan penyebab rasa takutnya dengan sabar dan bijaksana. 

Kemudian, carilah obatnya. Bila anak takut terhadap hantu dan makhluk-makhluk halus jahat khayalan, yakinkanlah ia bahwa itu tidak ada. Katakan padanya bahwa jin itu tidak berurusan dengan manusia. Jika anak takut terhadap hewan-hewan yang tak berbahaya, perlihatkanlah kepadanya dengan tindakan bahwa hewan tersebut memang tidak berbahaya. 

Bila anak takut terhadap gelap, latihlah ia dengan membawanya ke ruangan yang redup. Ketika Anda hanya berduaan dengan anak di sebuah ruangan, sesekali matikanlah lampu. Kemudian, secara progresif, naikkanlah tingkat kegelapannya. Ketika Anda berada dalam sebuah ruangan tetapi agak berjauhan dengan anak, cobalah lagi mematikan lampu sejenak. 

Ulangi percobaan ini dengan sabar sampai rasa takut terhadap gelap lenyap dari pikiran anak. Ingat, jangan menerapkan cara-cara keras dalam mengatasi rasa takut anak. Memaksa anak menghadapi hal-hal yang menakutkannya akan memberikan hasil negatif. Bila anak takut pergi ke dokter dan takut disuntik, yakinkan ia dengan cinta dan kasih sayang tentang pentingnya perawatan. 

Terkadang, situasi menuntut anak harus dirawat di rumah sakit. Dan ini akan menjadi sulit ketika anak tak mau berpisah dari orang tua. Bila anak tetap dipaksa menginap di rumah sakit, maka itu akan menyulitkannya. Oleh karena itu, adakalanya perlu mengenalkan anak dengan lingkungan rumah sakit. Ketika orang tua mengunjungi seorang pasien di rumah sakit, sebaiknya mereka juga membawa serta anak ke sana barang sebentar, agar ia mengenal lingkungan rumah sakit. 

Bertemu dokter dan perawat yang baik di rumah sakit akan membantu menghilangkan rasa takut dari pikiran anak. Sehingga, ketika memerlukan perawatan inap di rumah sakit, ia pun akan menurut. Sebelum membawa anak ke rumah sakit, orang tua mesti meyakinkannya bahwa kesehatannya memerlukan perawatan dari para dokter dan perawat yang baik, sehingga mengharuskannya pergi ke rumah sakit agar segera sembuh. 

Katakan padanya bahwa Anda akan selalu mengunjunginya bersama anggota keluarga lainnya. Jangan mencoba membohongi anak. Ketika Anda harus meninggalkannya di rumah sakit, jangan katakan padanya bahwa ia harus tidur dan Anda akan tetap menungguinya. Jangan memberinya harapan semu bahwa ia tidak akan mengalami apapun. Yakinkanlah bahwa ia sedang sakit dan memerlukan perawatan di rumah sakit agar segera sembuh. 


Rasa Takut yang Beralasan 
Semenjak rasa takut yang beralasan pada anak itu penting, pendidik mesti bersikap cerdas dan bijaksana terhadap mereka. Sampaikanlah pada anak tentang situasi-situasi berbahaya dan bahas pula penanggulangannya. Beritahukan padanya akibat-akibat buruk dari kelalaian. 

Perlihatkan padanya cara menggunakan korek api, gas, dan perangkat-perangkat listrik, serta bahaya-bahaya yang terdapat pada benda-benda tersebut. Ajarilah ia cara yang benar dalam menyeberang jalan dan kenalkanlah dengan peraturan-peraturan lalu lintas bagi pejalan kaki. 

Sampaikan pada anak seputar bahaya-bahaya yang mungkin terjadi dalam hidup kesehariannya. Kenalkanlah ia dengan tindakan-tindakan aman, serta buatlah percaya diri dan tawakal kepada Allah Swt. Ia juga harus dipersiapkan untuk menghadapi tantangan-tantangan hidup. 

Rasa takut yang beralasan lainnya adalah rasa takut terhadap kematian. Namun rasa takut berlebihan terhadap kematian merupakan penyakit jiwa. Rasa takut ini akan menjauhkan ketenangan spiritual seseorang dan menumpulkan kemampuan fisik. Oleh karena itu, perlu diambil langkah-langkah pencegahan terhadap rasa takut seperti ini. 

Untuk beberapa waktu, anak belum memahami makna kematian. Sehingga, pendidik lebih baik tidak membicarakan fenomena ini. Namun, terkadang anak mempelajarinya saat kematian terjadi pada seseorang yang dekat dengannya. Sangat mungkin anak akan bertanya tentang kematian pada saat itu. Ketika anak telah mencapai usia memahami, orang tua harus menjelaskan kepadanya secara apa adanya. 

Mereka harus mengatakan padanya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang khusus, melainkan perpindahan dari kehidupan dunia menuju kehidupan lain. Di dunia yang lain itu, ia (orang yang sudah meninggal dunia) akan memperoleh balasan surga atas perbuatan baiknya dan siksa atas perbuatan buruknya selama hidup di dunia. 

Setiap orang itu pasti mati suatu saat nanti. Allah Swt berfirman dalam al-Quran, Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. (QS. Ali Imran: 85) Kematian tidaklah penting; melainkan perbuatan ketika hidup di dunia, itulah yang penting, di mana pembalasan di akhirat itu bergantung pada perbuatan seseorang selama hidup di dunia ini. Sementara itu, pikiran berlebihan terhadap kematian bukanlah hal yang baik. Hal itu tidak semestinya merasuki diri seseorang. Karena, semua itu akan berbahaya baginya. 

Rasa takut positif lainnya adalah takut kepada Allah dan Hari Pembalasan. Rasa takut semacam ini juga tidak semestinya berlebihan sehingga menyebabkan kegelisahan seseorang. 

Rasa takut kepada Allah dan Hari Pembalasan akan mendorong seseorang berbuat baik dan menghentikannya dari berbuat maksiat. Oleh karena itu, Allah berfirman dalam al-Quran, Janganlah takut kepada mereka, melainkan takutlah kepada-Ku, jika kalian orang-orang beriman. (QS. Ali Imran: 175)
Al-Quran juga melukiskan kesulitan dan azab di Hari Pembalasan. 

Oleh karena itu, pendidik yang bijaksana dan beriman akan menjelaskan pada anak tentang balasan surga dan azab neraka di akhirat kelak. Namun demikian, pendidik tidak semestinya melulu membicarakan hal itu sehingga memberikan kesan pada anak, seolah-olah Allah itu kejam terhadap hamba-Nya. Melainkan lebih memperkenalkan pada anak, sifat Mahakasih Allah Swt.


Catatan Kaki:

[7] Rowan Shinashi Kudak, hal.172.

[8] Ghurar al-Hikam, hal.8.







42. ANGKUH DAN BANGGA DIRI
Keangkuhan dan kesombongan melekat pada setiap individu, baik dalam skala kecil maupun besar. Setiap orang akan memiliki hasrat untuk membanggakan dirinya dengan menampilkan prestasi atau yang lain. Ia mencoba menarik perhatian orang di sekelilingnya melalui tindakan itu. 

Pada anak, hal ini mulai muncul ketika berusia sekitar satu tahun. Anak mulai suka berkeliling dan menarik perhatian orang lain melalui tingkah laku lucunya. Ia akan mengulangi tindakan yang membuat orang tuanya dan orang lain gembira. Ia akan senang terhadap reaksi orang tuanya dan merasa bangga atas keberhasilannya membuat mereka gembira. Terkadang pula anak memperlihatkan kepuasannya melalui gerak tubuh, seolah ingin menegaskan nilai penting dirinya.


Bangga Diri Boleh, Asal…
Bangga terhadap diri sendiri sebenarnya bukanlah perbuatan negatif. Karena kenyataannya, perasaan ini memacu seseorang untuk berupaya keras mencapai hasil yang lebih baik melalui semangat kompetisi. Anak akan bekerja keras memperoleh hasil lebih tinggi di kelasnya. Ia mencoba mengembangkan keahlian dalam berpuisi atau menjadi pelukis yang hebat. Hasrat anak untuk berkompetisi ini merupakan pertanda bahwa dirinya akan menjadi penyair, artis, penulis, atau ilmuwan besar di masa depan. 

Keberadaan rasa bangga pada anak ini tak perlu dikhawatirkan. Yang penting adalah digunakan untuk keuntungan anak. Bila hal ini diarahkan dengan benar, maka akan diperoleh hasil yang baik. Pada tahap awal usianya, anak tak dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. 

Ia mengamati reaksi orang tuanya untuk memutuskan tindakannya dan mengambil kesimpulan. Pendidik yang jeli akan mendukung tindakan baik anak dengan mengekspresikan kegembiraan. Pendidik juga dapat mendorong anak bersikap baik dengan memperlihatkan ketidaksenangan atas tindakan buruknya . 

Beberapa orang tua yang tidak bijaksana, disebabkan cintanya pada anak, mencurahkan pujian berlebihan padanya tanpa mempertimbangkan apakah perbuatan anak itu baik atau tidak. Dengan demikian, mereka telah meletakkan fondasi perilaku buruk pada anak. Dalam tindakan itu, mereka telah membesar-besarkan kualitas anak dan terus memujinya. 

Akibatnya, anak menjadi sombong, arogan, dan egois. Ia selalu mengharap pujian orang lain, seperti yang dilakukan orang tuanya. Ketika tak memperoleh tanggapan yang diinginkan, ia pun menjadi putus asa. Akhirnya, ia membenci orang lain; sehingga, pada tahap selanjutnya, ia mungkin saja berpikir untuk mencelakakan mereka. 

Oleh karena itu, orang tua harus membimbing anaknya ke jalan yang benar. Orang tua harus membimbing pikiran anak menuju Allah. Dengan demikian, mulai sekarang, bila anak melakukan kesalahan, jangan hanya mengatakan bahwa Anda tidak menyukainya. Tapi, katakan pula bahwa Allah tidak menyukainya.





43. SIKAP KERAS KEPALA
Setiap anak akan memiliki watak keras kepala pada tingkat tertentu yang terbentuk sejak usia dua tahun. Seorang anak keras kepala umumnya memaksa untuk mendapatkan sesuatu dengan caranya sendiri. Manakala menghadapi penentangan dari selainnya, ia akan mengeluarkan senjata pamungkasnya; menangis dan berteriak. 

Tindakan ini lalu dilanjutkan dengan berguling-guling di tanah seraya membenturkan kepala ke tembok atau melemparkan barang-barang mudah pecah. Bahkan terkadang, tindakannya semakin agresif dengan menyerang atau memukul anggota keluarganya yang lain. Kebiasaan keras kepala ini-karena dibiarkan terus berlangsung-juga terdapat pada anak-anak muda yang sedang tumbuh. 

Pada umumnya, kedua orang tua mengeluhkan masalah penyimpangan semacam ini pada diri anak-anaknya dan terus mencari solusi untuknya. Berdasarkan pengalaman pada umumnya, orang tua menggunakan salah satu dari dua metode yang disebutkan di bawah ini untuk mengatasi masalah tersebut.


Dua Metode Pemecahan 
Pertama, sejumlah orang tua berpandangan bahwa bila si anak berlaku keras kepala, maka sikap keras harus diambil, yakni dengan menolak mengabulkan permintaannya. Para orang tua tersebut mengatakan bahwa si anak menjadi keras kepala karena terlalu percaya diri sehingga dibutuhkan sikap keras dalam menolak keinginan-keinginannya. 

Mereka (para orang tua tersebut) berupaya membenahi si anak dengan bersikap keras, bahkan sampai pada tingkat menghukum dan memukulnya. Mereka berusaha memaksakan keinginan- keinginan mereka sendiri pada si anak. 

Sikap dan perlakuan orang tua semacam itu sama saja dengan pukulan dibalas dengan pukulan. Pendekatan semacam ini seyogianya tidak digunakan, sekalipun hanya sesekali, misal, untuk menenangkan rengekan si anak. Sebab, sikap keras semacam itu hanya akan membahayakan jiwa si anak.

Usia dua tahun adalah masa awal terbentuknya kemantapan dan kepercayaan diri si anak. Kekeraskepalaan anak merupakan tuntutan dari kenginannya untuk mandiri. Pada usia dini ini, si anak belum mampu mengendalikan keinginan-keinginannya serta membayangkan pelbagai konsekuensi dari pencapaiannya. 

Apa yang ada dalam benaknya hanyalah bahwa segala hal yang diinginkannya langsung tersedia. Penolakan orang tua terhadap keinginan-keinginannya itu hanya akan melukai perasaan mereka. Anak-anak semacam itu akan tumbuh menjad sosok pendiam, namun sama sekali tanpa memiliki rasa percaya diri dan kemantapan hati. 

Ketika mengetahui bahwa tak seorang pun mempedulikan keinginan-keinginannya dan berusaha secara paksa mencegahnya dari menempuh caranya sendiri, niscaya si anak akan menjadi patah arang dan merasa kecewa. Keadaan gelisah dan putus asa semacam ini berangsur-angsur akan menjadi bagian dari karakternya. 

Sehingga dengannya, kemungkinan ia akan tumbuh menjadi sosok keras kepala yang suka melawan dan memperturutkan keinginannya dalam melakukan tindakan-tindakan ekstrem seperti menganiaya dan membunuh, sebagai ungkapan dari perasaannya yang sangat terluka.

Kedua, sejumlah pakar pendidikan anak percaya bahwa bila memang memungkinkan, keinginan-keinginan seorang anak harus dipenuhi dan memperkenankannya melakukan apa yang diinginkannya. Mereka menganggap bahwa si anak harus diberi kebebasan pada batas tertentu. Mereka percaya bahwa seiring pertumbuhan si anak, kekeraskepalaannya akan berhenti dengan sendirinya. 

Namun demikian, metode pengasuhan anak ini juga memiliki kekurangan. Terdapat tindakan-tindakan tertentu yang dapat membahayakan si anak dan orang lain di sekelilingnya bila ia (si anak) dibiarkan melakukannya. Tidaklah bijak bila orang-orang dewasa membiarkan si anak melakukan tindakan-tindakan semacam itu. 

Coba bayangkan, bagaimana jadinya bila seorang anak usia tiga tahun berusaha menaiki sebuah tangga tanpa pegangan! Jelas, kemungkinan besar ia akan terjatuh dan mengalami cedera. Juga bayangkan bila ia berusaha menyalakan kompor tanpa pengawasan sehingga mengakibatkan api berkobar; atau memegang kepala anak-anak lain di sekitarnya yang dapat mengakibatkan cedera fisik. Orang-orang dewasa harus senantiasa mencegah si anak dari melakukan hal-hal semacam itu. 

Seorang anak yang bebas melakukan apapun yang diinginkannya dan mendapat dukungan dalam melakukan tindakan-tindakan tersebut, sehingga tingkah lakunya sukar dikendalikan, dalam beberapa tahap akan menjadi sosok yang angkuh dan suka mementingkan diri sendiri. Ia berharap orang-orang akan menerima pandangannya begitu saja. 

Karena semasa kecil tak pernah mendapat penolakan apapun terhadap segala keinginannya, maka ketika telah dewasa, ia mengharap selainnya juga bersikap sama (tidak menolak keinginan- keinginannya). Namun kenyataannya tidaklah demikian. 

Orang-orang boleh jadi berbeda pandangan dengannya. Setelah menghadapi berbagai penolakan tersebut, ia pun merasa putus asa dan menjadi terkucil. Kemudian, ia akan memandang dirinya sendiri sebagai sosok pecundang dan menganggap selainnya sok tahu. 


Pandangan Islam 
Islam memandang kekeraskepalaan sebagai sifat negatif dalam diri seseorang. Berkenaan dengannya, kami akan kutipkan sejumlah riwayat di bawah ini.

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Kekeraskepalaan merupakan penyebab kejahatan."_ [9]

" Sikap tak tahu malu (atau keras kepala) akan membahayakan kecerdasan seseorang ."_[10]

" Kekeraskepalaan merupakan sebab perselisihan dan pemusuhan."_[11]

" Kekeraskepalaan membahayakan sebagian besar dunia dan akhirat seseorang."_[12]

Sikap tidak berlebih-lebihan dalam menghadapinya merupakan sikap terbaik. Kedua orang tua yang menggunakan cara ini dalam mengasuh anak-anaknya tidak memandang kekeraskepalaan sebagai sebuah penyimpangan, seraya menyadari bahwa itu merupakan ekspresi kepribadiannya. 

Bukannya mengekang, mereka justru melatih dan menempa naluri ini pada diri si anak. Mereka dengan hati-hati mempertimbangkan dan menganalisis segala tuntutan dan tindakan si anak. 

Mereka memberi kebebasan pada si anak untuk melakukan sesuatu yang tidak berbahaya demi mendorong pertumbuhan kemampuan mentalnya. Mereka menjadi sahabat si anak dan memberi bantuan dalam melakukan tindakan-tindakannya.

Anak-anak semacam ini pada gilirannya akan memiliki kemantapan hati untuk melaksanakan tindakan-tindakannya dan mengekspresikan kepribadiannya. 
Anak-anak tersebut akan memandang orang tuanya sebagai sahabat mereka, bukan sebagai sosok-sosok yang tidak sepatutnya merintangi mereka dalam bertindak.


Menegaskan Batasan Tetap Tidak Menyakiti 
Namun, orang tua semacam itu juga harus menegaskan batasan tentang tindakan-tindakan si anak yang berbahaya dan tidak menggunakan kata-kata yang menyakitkan hati sewaktu menasihati si anak untuk tidak melakukan tindakan-tindakan (berbahaya) tersebut. 

Mereka harus dengan jelas memberikan alasan dalam mencegah si anak melakukan tindakan-tindakan tersebut dan mengalihkan perhatiannya pada sejumlah aktivitas lain yang bermanfaat. 

Bila tidak terlalu banyak dibebani pembatasan sehingga ruang geraknya cukup leluasa, niscaya si anak akan berprasangka baik terhadap orang tuanya dan mau menahan diri dari perbuatan yang mereka larang . 

Namun, bila terkadang si anak tetap membandel dan melakukan tindakan yang tidak diinginkan, maka orang tua harus bersikap tegas dan berusaha mencegahnya. Toh, si anak akan kembali tenang setelah beberapa saat. Dalam hal ini, ia harus dilatih untuk menyadari bahwa dalam kehidupan ini, seseorang tidak selalu dapat bersikap keras kepala. 

Namun begitu, upaya mengekang si anak harus dilakukan dengan cara lembut dan sebisa mungkin tidak dengan pukulan. Ini agar si anak tidak beranggapan bahwa orang tuanya adalah orang zalim. 

Perlu dicamkan bahwa anak-anak yang selalu mendapat pukulan orang tuanya, seiring dengan berlalunya waktu, cenderung berubah menjadi sosok yang suka membangkang.


Beberapa Pertimbangan 

Di akhir pembahasan ini, kami akan mengemukakan beberapa poin penting yang sekirang dapat dijadikan pertimbangan bagi para pengasuh:
1. Sejauh mungkin, berilah kebebasan bergerak pada anak-anak. Jangan terlalu banyak campur tangan dengan urusan-urusan mereka. Juga, jangan terus-terusan melarang mereka melakukan sesuatu. 

Misal, si anak berupaya menaiki sebuah kursi atau merangkak ke arah semak-semak, lalu Anda segera melarangnya. 

Ia berusaha mengupas buah dengan sebilah pisau, dan Anda segera mencegahnya lantaran khawatir kalau-kalau ia akan melukai tangannya sendiri. 

Si anak bermaksud menyalakan mesin penghangat air, lalu Anda buru-buru mencegahnya karena khawatir tangannya akan terbakar. 

Ia berusaha menuangkan jamu-jamuan ke dalam cangkir, dan Anda segera menghentikannya seraya mengatakan bahwa ia akan memecahkan cangkir buatan Cina yang harganya mahal. 

Ia bermain dalam rumah, lalu Anda menegurnya dengan mengatakan bahwa ia membuat banyak kegaduhan. 

Ia berjalan menuju sebuah jalan kecil, lalu Anda buru-buru mencegahnya lantaran khawatir ia akan ditabrak sepeda. 

Kalau begitu, apa yang sebenarnya Anda harapkan untuk dilakukan seorang anak yang masih kecil? Perlu diingat bahwa si anak juga manusia yang punya perasaan. 

Bila Anda terlalu banyak campur tangan dengan tindakan-tindakannya, kemungkinan ia akan tumbuh menjadi sosok yang keras kepala. Salah satu alasan bagi tumbuhnya sikap keras kepala pada diri anak adalah campur tangan orang tua yang berlebihan dalam tindakan-tindakan si anak.

2. Bila si anak mulai bersungut-sungut ketika dilarang, segera cari alasan untuk itu dan temukan jalan keluarnya. Niscaya ia akan segera tenang. Bila ia lapar, segeralah memberinya makan. Bila ia kelelahan, bantulah ia untuk tidur. Bila ia merasa terganggu oleh suasana di sekitarnya, seperti suara bising televisi yang ada di dekatnya, atau suara obrolan para tamu, ciptakanlah suasana yang pas untuknya (umpama, membawanya ke kebun).

3. Janganlah mencerca atau memarahi anak yang justru dapat membuatnya semakin keras kepala. Imam Ali as. mengatakan, "Cercaan dapat mengobarkan api kekeraskepalaan ."_[13]

4. Bila suatu ketika adik atau kakak si anak berbuat keterlaluan terhadapnya, sementara dirinya tidak mendapatkan pendukung, kemungkinan besar ia akan menjadi sosok yang suka melawan dan keras kepala. Dalam kasus ini, orang tua harus turun tangan.

5. Bila anak Anda menunjukkan kelakuan keras kepala dan Anda tak mampu memahami alasannya, maka boleh jadi itu disebabkan oleh kesalahan dan kegagalan Anda sendiri dalam mengasuhnya.


Catatan Kaki:

[9] Ghurâr al-Hikam, hal.16.

[10] ibid., hal.17.

[11] ibid., hal.18.

[12] ibid., hal.104.

[13] Tuhaf al-'Uqûl, hal.80.




44. PENCURIAN DAN PENYAKIT PANJANG TANGAN (KLEPTOMANIA)
Seringkali terjadi seorang anak mengulurkan tangannya untuk mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Ia berupaya keras untuk mengambil makanan, buah-buahan, atau mainan milik beberapa anak yang lain. Secara diam-diam, ia suka mengambil sesuatu dari saku ayahnya atau dompet ibunya. Atau mengambil manisan dan kue-kue lain dari dapur tanpa sepengetahuan ibunya. 

Mengambil barang-barang secara diam-diam dari toko yang dikunjunginya bersama keluarga. Mengambil pensil, penghapus, dan sebagainya dari tas saudara-saudara dan teman-teman sekelasnya tanpa memberitahu mereka. 

Beberapa anak melakukan hal-hal semacam itu semasa kanak-kanaknya. Bahkan, jarang sekali ada orang yang tak pernah melakukan hal demikian di masa kanak-kanaknya. 

Beberapa orang tua sangat kecewa melihat anak-anaknya melakukan hal-hal semacam itu dan mulai membayangkan masa depan anaknya yang bakal suram. Mereka merasa bahwa anaknya kemungkinan akan menjadi seorang pencuri atau maling setelah tumbuh dewasa. Dengan rasa sesal semacam itu, mereka terus menyiksa diri sendiri. 


Suka Mengambil Barang, Tidak Mesti Jadi Pencuri
Pertama-tama, orang tua seperti itu seyogianya memberi perhatian terhadap kenyataan bahwa mereka tak perlu terlalu cemas dan menyesali penyimpangan kecil pada anak. Mengambil barang-barang kecil yang tidak penting bukanlah pertanda bahwa seorang anak akan menjadi seorang pencuri di masa depan. 

Mereka seyogianya mengetahui si anak belum mencapai tahap menghargai hak-hak kepemilikan selainnya, atau belum bisa membedakan apa yang merupakan miliknya dan apa yang menjadi milik orang lain. Sang anak memiliki perasaan kuat yang mendorongnya melompat dan meraih apapun yang menarik perhatiannya. 

Seorang anak pada dasarnya tidak nakal, kecuali setelah dibentuk oleh pengaruh dari luar. Semua itu merupakan fenomena-fenomena yang melintas sepanjang kehidupan awalnya. Namun, ketika tumbuh dewasa, dia kemungkinan tak akan melakukan hal-hal semacam itu. Kemungkinan besar, sebagian orang-orang saleh dan bertakwa pernah melakukan pencurian tak sengaja semasa kanak-kanaknya. 

Akan tetapi, tujuan menceritakan semua ini bukanlah agar para orang tua sama sekali tidak memberikan reaksi terhadap tindak pencurian yang dilakukan anak-anaknya. Saya hanya bermaksud menghalau kekhawatiran mereka terhadap kemungkinan anak-anak berubah menjadi para pencuri. Ketimbang meratapi kejadian-kejadian semacam itu, lebih baik mereka secara bijak berupaya membenahi anak-anaknya. 


Tanganilah dengan Bijak 
Seorang anak, khususnya yang berusia dua atau tiga tahun, belum mampu membedakan mana yang menjadi miliknya dan mana yang bukan. Dia akan berusaha mengambil apapun yang terjangkau tangannya, atau berkeinginan memiliki apapun yang menarik baginya. Pada tahap ini, meneriaki si anak atau memukulnya tak akan berguna sama sekali. 

Namun, sikap terbaik orang tua akan secara praktis menghentikan sang anak melakukan hal tersebut bila itu memang terjadi di hadapan mereka. Bila si anak berupaya merampas barang milik anak yang lain, orang tua harus menanganinya dengan lembut. 

Kendati demikian, bila si anak mengambil barang milik anak lain, orang tua harus sesegera mungkin mengembalikan pada pemiliknya. Orang tua yang tak menginginkan anaknya memegang barang-barang tertentu, seyogianya menjaga dan menjauhkannya dari jangkauan si anak. Ketika mencapai tingkat kecerdasan tertentu, anak-anak akan mulai memahami tentang masalah kepemilikan. 

Nah, sekarang, mereka tak akan lagi berupaya merenggut barang-barang milik selainnya. Namun demikian, sejumlah anak-anak masih melanjutkan kebiasaannya mencuri, sekalipun telah mencapai pemahaman tentang kepemilikan sesuatu. 

Dalam situasi demikian, orang tua seharusnya tidak berdiam diri sewaktu menyaksikannya. Kini mereka tidak boleh merasa puas dengan membayangkan bahwa si anak akan dengan sendirinya menanggalkan kebiasaannya. Sebab, mungkin saja si anak akan berubah menjadi seorang pencuri, atau setidaknya seorang kleptomania yang mengambil barang-barang milik orang lain hanya karena semata-mata ingin melakukannya, tanpa menyadari apa sedang diperbuat. 

Tidaklah dibenarkan untuk mengabaikan seorang anak mengambil barang milik orang tuanya sekalipun. Namun amat disayangkan, sejumlah orang tua malah berusaha melindungi anaknya secara berlebihan. Ketika seseorang melaporkan bahwa anaknya telah mencuri barang-barang miliknya, mereka secara keliru membela anak-anaknya dan melayangkan tuduhan palsu kepada orang lain.

Orang tua bodoh semacam ini, dengan sikap negatifnya, secara tidak sadar dan terang-terangan mendorong sang anak untuk meneruskan kebiasaannya mencuri. Pada gilirannya, si anak akan belajar mencuri dan menyangkal telah melakukannya.

Karena itu, orang tua seyogianya bersikap waspada tatkala menghadapi situasi semacam itu. Mereka seharusnya berupaya keras menghentikan si anak dari kebiasaan mencuri dan berbohong tentangnya. Bila kebiasaan buruk itu sampai mengakar dalam jiwanya, niscaya akan berisiko besar dan sangat sulit dibenahi.

Imam Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Menanggalkan kebiasaan sangatlah sulit."_ [14]


Carilah Penyebab
Pada contoh pertama, orang tua harus berupaya menghilangkan penyebab anak berkeinginan mencuri. Bila si anak membutuhkan pensil, kertas, atau penghapus, orang tua harus segera memenuhinya. Bila mereka menolak memenuhi kebutuhan tersebut, kemungkinan besar si anak akan mencuri barang-barang milik teman sekelasnya. 

Bahkan barangkali ia akan mencuri uang dari dompet ayahnya. Bila si anak menginginkan sebuah bola untuk bermain dan kedua orang tuanya menolak membelikannya, ia barangkali akan merebut bola temannya secara paksa. Atau bahkan, akan mencuri bola dari warung tetangganya. 

Kedua orang tua harus berhati-hati dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak sampai tingkat yang memungkinkan. Bila tak punya kemampuan untuk membeli beberapa barang yang diinginkan si anak, orang tua harus memberitahu dan menjadikan si anak memahami akibat-akibat yang ditimbulkannya. 

Sebagai contoh, orang tua dapat mengatakan kepadanya bahwa mereka tak punya banyak uang untuk segera membelikannya pensil warna yang benar-benar dibutuhkannya. Kemudian meminta si anak meminjam dulu pensil warna kepada temannya untuk mengerjakan tugasnya dengan segera, seraya berjanji akan membelikannya dalam waktu dekat. 

Sikap keras terhadap anak cenderung akan mendorongnya mencuri. Bila orang tua menyembunyikan makanan di dapur yang sengaja dikunci, si anak akan berusaha mencari kuncinya dan mengambil gula-gula untuk dimakan. Hal ini sangat mungkin terjadi bila orang tua ingin memakan sendiri makanan yang ada dan menjauhkannya dari si anak. 

Tatkala orang tua menyembunyikan uang mereka, si anak kemungkinan akan cenderung untuk mencarinya. Lebih baik orang tua tidak berusaha menyembunyikan uangnya dari anak-anak. Si anak seyogianya diberi kepercayaan dan tidak ditumbuhkan perasaan dalam dirinya bahwa segala sesuatu disembunyikan darinya. 

Orang tua harus mengajarkan pada si anak bahwa hidup dijalani dengan sejumlah disiplin. Terdapat waktu-waktu untuk makan dan anak-anak tidak mesti terus-menerus mengunyah makanan. Uang digunakan untuk membeli hal-hal yang diperlukan dan bukan untuk dihambur-hamburkan semaunya. 

Film-film bertema kejahatan, pencurian, dan perampokan jangan diperlihatkan kepada anak-anak. Buku-buku cerita dan program-program radio dengan tema yang sama juga harus dihindari. Banyak contoh di mana generasi muda yang terperosok dalam tindakan kejahatan mengakui bahwa mereka mendapat inspirasi dari tayangan-tayangan film untuk berbuat sepert itu.


Hargai Privasi Orang 
Hal paling penting adalah bahwa orang tua dan anggota keluarga lainnya berusaha agar lingkungan rumahnya dipenuhi kejujuran dan ketulusan yang satu sama lain saling menghargai hak-hak kepemilikan. Tak seorang pun dibolehkan mengambil uang dari dompet kedua orang tua dan segala sesuatu tidak boleh diambil begitu saja tanpa sepengetahuan pemiliknya. 

Bahkan, suami tidak boleh menggeledah lemari pakaian istrinya tanpa sepengetahuan sang istri. Orang tua juga harus menghargai hak kepemilikan anak-anaknya serta tidak boleh begitu saja mengambil barang-barang milik mereka tanpa seizinnya. 

Orang tua tidak boleh langsung memaki sang anak atas kesalahan kecil yang dilakukannya. Mereka tidak boleh berteriak sewaktu memanggil namanya seraya memperlakukannya seperti penipu dan pencuri. Atau mengancam akan menjebloskan si anak ke penjara akibat perbuatan mencurinya. Dengan cercaan semacam itu, orang tua tak dapat membenahi si anak. 

Sebaliknya mungkin ia akan menjadi keras kepala dan melanjutkan kebiasaannya mencuri. Atau, barangkali dengan suasana hati yang penuh dendam, ia akan nekat melakukan pencurian yang lebih besar. 

Metode terbaik untuk menyelamatkan situasi bagi para orang tua adalah dengan memperlakukan si anak dengan penuh bijaksana, cinta, dan kelembutan. Orang tua juga harus menjelaskan pelbagai akibat buruk dari tindakan mencuri. Seraya mendorong si anak untuk mengembalikan barang-barang curian kepada pemiliknya seraya berjanji tak akan pernah mengulanginya lagi.

Namun, bila upaya-upaya untuk membenahi si anak tersebut tak jua membuahkan hasil, maka satu-satunya cara yang harus diambil adalah berbicara kepadanya dengan sikap tegas dan blak-blakan. 

Akhirnya, bila terbukti si anak benar-benar tak dapat dibenahi lagi, maka orang tua dengan berat hati dapat menempuh cara lain, yakni dengan menjatuhkan hukuman fisik. 


Catatan Kaki:

[14] Ghurar al-Hikam, hal.181.




45. KEDENGKIAN
Kedengkian atau iri hati merupakan sifat negatif manusia. Seorang pendengki selalu merasa iri hati melihat kebahagiaan dan kesenangan orang lain. Ketika melihat sesuatu yang baik dan menarik pada diri orang lain, ia berharap agar semua itu segera hilang darinya. 

Pada umumnya, pendengki semacam itu tak punya kemampuan apapun, baik untuk merenggut kelebihan yang dimiliki orang lain ataupun membayangkannya. Dia terus-menerus mendongkol dan menggerutu, serta akan terus dibakar dalam kobaran api kedengkian siang dan malam. 

Seorang pendengki jauh dari ketenteraman dan kebahagiaan hidup di dunia, serta merasa tertekan dan menganggap kebahagiaan yang dikecap orang lain sebagai penyebab kesengsaraan hidupnya.

Nabi Islam saw menyabdakan, "Seorang pendengki adalah orang yang paling sengsara di antara kaumnya."_[15] 

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Iri hati mengakibatkan kehidupan seorang pendengki menjadi suram."_[16] 

" Seorang pendengki tak pernah mendapatkan kebahagiaan dan kesenangan ."_[17] 

Kedengkian menimbulkan dampak yang sangat berbahaya pada urat syaraf dan jantung seseorang sehingga membuatnya sakit-sakitan dan lemah. 

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Seorang pendengki selalu lemah dan rapuh (fisiknya)."_[18] 


Akibat Kedengkian 
Kedengkian melemahkan akar-akar keimanan seseorang dan menjerumuskannya dalam dosa dan kekafiran. Kebanyakan kasus pembunuhan, perkelahian, dan berbagai perbuatan kriminal lainnya merupakan akibat dari iri hati dan dengki. 

Kadangkala, seorang pendengki memfitnah orang yang didengkinya seraya menyebarkan desas-desus dan tudingan palsu tentangnya. Terkadang pula ia merusak barang-barang orang lain. 

Imam Muhammad Baqir as. mengatakan, "Kedengkian memusnahkan keimanan sebagaimana api memusnahkan minyak."_[19] 

Kedengkian merupakan salah satu sifat manusia. Nyaris tak ada orang yang tidak memiliki sifat ini. 

Nabi Islam saw mengatakan, "Terdapat tiga hal yang tak seorang pun tidak memilikinya: pikiran-pikiran jelek, perilaku buruk, dan kedengkian."_[20]

Karena itu, sifat jahat ini harus dikekang dan dienyahkan dengan sekuat tenaga. Jangan sampai sifat buruk ini tumbuh subur dan berkembang dalam diri seseorang. Bila dibiarkan hidup sehingga menjadi bagian dari watak seseorang, niscaya benih kedengkian akan tumbuh dengan cepat dan mengakar. 

Keadaannya akan sedemikian rupa, sampai-sampai upaya untuk mengenyahkannya menjadi mustahil. Saat terbaik untuk menumbuhkan sifat yang baik dan mengenyahkan sifat buruk pada diri seseorang adalah masa kanak-kanaknya. 


Cabut Akarnya dari Masa Kanak-kanak
Unsur kedengkian pun akan tumbuh dalam diri seorang anak. Dengan perlakuan dan perhatian yang layak pada sang anak, orang tua niscaya dapat menghilangkan benih penyakit dengki yang muncul dalam perilakunya saat itu. Bila orang tua memperlakukan seluruh anak-anaknya dengan adil, tanpa pilih kasih, niscaya persoalan saling dengki di antara anak-anaknya tak akan muncul. 

Pakaian, makanan, dan lainnya yang digunakan anak-anak harus sama dalam hal kualitas dan harganya. Mereka harus memperhatikan betul masalah kesamaan dalam hal uang saku dan perlakuan umum terhadap anak-anaknya. 

Jangan sampai orang tua secara berlebihan membanding-bandingkan kemampuan anak-anaknya di depan mereka atau di hadapan selainnya. Sebab, besar kemungkinan, anak-anak akan mempelajari perbandingan yang dilakukan. Sikap semacam itu akan membuat anak yang paling lemah merasa tertekan dan benar-benar tidak memiliki kemampuan. 

Orang tua yang bodoh menyangka bahwa dengan cara tersebut, mereka sedang mendidik anak-anaknya. Sebaliknya malah, mereka tak akan pernah mencapai tujuannya dan sedang menyiramkan minyak ke kobaran api. 

Jiwa anak yang masih suci akibatnya memperoleh gambaran tentang kedengkian dan kebencian, lalu terdorong untuk mengobarkan permusuhan. Karenanya, semua itu hanya akan mengakibatkan munculnya rasa dengki seorang anak pada saudara-saudara kandungnya sendiri.

Orang tua seyogianya jangan pernah membandingkan anak-anaknya satu sama lain atau dengan selainnya. Misalnya, dengan memuji-muji anak-anak yang lain di hadapan anak-anaknya. Tak layak bagi orang tua untuk mengatakan kepada anak-anaknya, "Betapa baik kelakuan, budi bahasa, dan kemauan belajar anak tetangga kita. Betapa patuhnya ia yang suka membantu ibunya. 

Orang tuanya benar-benar beruntung memiliki anak seperti dia." Orang tua semacam itu harus mengerti bahwa tipe perbandingan semacam ini akan melukai perasaan si anak dan menimbulkan dampak yang berbahaya. Alih-alih membenahi dirinya, si anak malah akan makin keras kepala dan berkeinginan untuk membalas dendam.

Orang tua harus benar-benar menghindari dari membanding-bandingkan anak-anak. Selalu ada sejumlah anak yang lebih pandai atau lebih cerdas dari yang lain. Karenanya, boleh jadi orang tua lebih menaruh perhatian pada salah seorang anak ketimbang pada anak-anak yang lain. Sikap semacam ini tidak keliru dan bersifat naluriah. 

Tapi, dalam pembicaraan dan tindakan, jangan sampai mereka menunjukkan pembedaan apapun di antara anak-anak. Mereka harus memperlakukan sama semua anak-anaknya. Bila mereka ingin memberikan perlakuan khusus terhadap anak tertentu, seyogianya itu dilakukan saat anak-anak yang lain tak ada di hadapannya. 

Bahkan, bila orang tua benar-benar cermat dalam memberikan perlakuan yang adil terhadap seluruh anak-anaknya, unsur kedengkian yang merupakan sifat naluriah manusia, tetap akan muncul dalam diri anak-anak pada tingkat tertentu.

Setiap anak berharap menjadi anak kesayangan orang tuanya, sementara yang lain tidak. Tatkala melihat orang tuanya mempelihatkan sikap semacam itu pada saudara kandungnya, ia akan sebentar saja merasa dengki. Lalu, si anak berangsur-angsur akan memahami bahwa dirinya harus berbagi kasih sayang orang tua dengan saudara-saudaranya. 

Anak-anak yang lain juga memiliki hak atas orang tuanya. Dengan cara yang bijak, orang tua mampu mengatasi situasi ini seraya menjadikan si anak menerima saudara-saudaranya yang lain dan mencegahnya terus-menerus bersikap dengki atau cemburu. 


Berlaku Adil dalam Penuhi Kebutuhan Anak
Bila Anda melihat bahwa anak Anda mendengki saudara kandungnya karena beberapa alasan (misal, ia mengganggu, mencubit, melontarkan kata-kata kasar, atau merebut buah-buahan dan gula-gula milik saudaranya), maka itu berarti, ia membutuhkan perhatian Anda dalam porsi lebih besar. Anda seyogianya tidak menutup mata terhadap aktivitas-aktivitas si anak tersebut. 

Anda harus memberi kesan kepadanya bahwa ia sedang tumbuh besar dan adik kecilnya membutuhkan perhatian lebih besar ketimbang dirinya. Anda juga harus mengatakan kepadanya bahwa ketika ia masih kecil seperti adiknya sekarang, ia juga menuntut dan menerima perhatian yang lebih. Ketimbang berupaya membenahi sikapnya secara keras, berilah kesan pada si anak bahwa anak-anak yang masih kecil itu adalah saudara lelaki dan saudari perempuannya sendiri. 

Anda dapat mengatakan pada si anak, "Mereka (saudara atau saudarinya) juga mencintaimu. Kalau bukan kamu, siapa lagi yang akan mencintai mereka? Kamu harus melindungi mereka bila seseorang berusaha menyakitinya. Allah telah menganugerahkan kamu saudara dan saudari yang elok seperti mereka, karenanya kamu harus bersyukur…."

Kesimpulannya, perlu diketahui bahwa mempertahankan perlakuan yang benar-benar adil kepada semua anak barangkali merupakan sebuah dambaan. 

Bagaimana mungkin orang tua mampu memperlakukan anak lelaki, anak perempuan, anak-anak yang tua dan yang muda, dengan cara yang sama? Anak-anak yang lebih tua secara umum dapat diberi kebebasan lebih besar. Tapi, anak-anak yang lebih muda harus diberi perhatian lebih besar. Anak-anak yang lebih tua akan mendapat uang saku lebih besar. Sementara anak-anak yang lebih muda membutuhkan perlindungan lebih besar. 

Anak-anak lelaki umumnya diberi kebebasan bergerak ketimbang saudari-saudari perempuannya. Karena itu, sembari memperhatikan betul kebutuhan akan keadilan dan kebebasan, para orang tua harus menggunakan pendekatan yang berbeda bagi anak-anak lelaki dan anak-anak perempuannya. Perlakuan ini mungkin sulit diterima anak-anak. 

Namun demikian, orang tua harus secara tepat menjelaskan kepada anak-anaknya bahwa mereka (orang tua) memliki sikap yang sama terhadap seluruh anak-anaknya, namun norma-norma perilaku bagi masyarakat dibedakan menurut perbedaan jenis kelamin dan usia. 

Kendatipun kecemburuan dan kedengkian merupakan sifat yang sangat tidak diinginkan di mata Islam, dan kenyataannya dianggap sebagai perbuatan dosa, semangat berkompetisi dan persaingan merupakan bagian dari upaya dan perjuangan bagi perkembangan manusia. 

Perbedaan antara kecemburuan atau kedengkian dengan persaingan adalah bahwa seseorang menjadi saingan yang lain untuk saling mengadu dan mendahului dalam mencapai sesuatu; tapi orang yang dengki hanya merasa iri hati namun tak mampu bersaing dan mengalahkan saingannya. Persaingan dalam setiap lapangan aktivitas merupakan fenomena yang sehat. Peradaban manusia akan mandek tanpa persaingan dan kompetisi. 


Seseorang menuliskan:
" Saya punya seorang saudari perempuan yang usianya dua tahun lebih tua dari saya. Orang tua saya lebih mencintai saya ketimbang saudari saya itu. 

Apapun yang saya inginkan, mereka langsung memenuhinya. Di setiap kesempatan, mereka selalu memuji-muji saya dan sama sekali mengabaikan saudari saya. Saudari saya selalu memarahi saya. Kapan pun punya kesempatan, ia akan memukul dan mencubit saya, seraya mengejek saya dan merusak mainan-mainan kesayangan saya. 

Ia tak pernah menginginkan saya bahagia barang sebentar saja. Saya lalu berpikir, mengapa saudari saya sedemikian menggangu saya? Apa salah saya kepadanya? Ia sangat dengki kepada saya dan barangkali sikap pilih kasih orang tua merupakan alasan bagi kebenciannya ini. Orang tua tak pernah menyadari bahwa disebabkan sikap pilih kasihnya, saudari saya berupaya melampiaskan rasa dendamnya kepada saya. 

Sekarang, setelah orang tua saya sudah tidak ada lagi, saudari perempuan saya bersikap sangat baik kepada saya. Ia sangat merasa sedih bila saya sedikit saja merasa gelisah."




46. NAFSU AMARAH
Nafsu amarah dan kegusaran merupakan bagian dari sifat manusia. Sifat-sifat tersebut merupakan insting dasar setiap orang. Fenomena ini muncul dari jiwa dan pikiran seorang individu. Lalu, ia mengambil bentuk nyala api dan menyelimuti seluruh tubuhnya, sehingga mengakibatkan mata dan raut wajahnya memerah, anggota tubuhnya bergetar, dan buih keluar dari mulutnya. 

Akal sehat umumnya lepas dari kendali orang yang sedang diliputi rasa amarah. Kecerdasannya juga hilang untuk sementara waktu. Dalam keadaan demikian, akan sulit menemukan perbedaan antara dirinya dengan orang gila. Dalam kondisi mabuk semacam ini, ia barangkali akan melakukan tindakan-tindakan yang bakal membuatnya menyesal seumur hidup . 

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Jauhilah amarah, karena ia mulai dengan kegusaran dan berakhir dengan penyesalan mendalam."_[21]

Imam Ja`far Shadiq as. mengatakan, "Amarah merupakan kunci segala penyakit."_[22] 

Kemarahan juga sangat berbahaya bagi kebajikan dan keimanan seseorang. Ia dapat menghapuskan segenap amal salehnya dan menjadikannya seorang pendosa. 

Nabi Islam saw menyabdakan, "Kemarahan menghancurkan kebajikan seseorang sebagaimana cuka menghancurkan madu yang baik."_[23] 

Dalam keadaan marah, seseorang biasa melontarkan kata-kata yang tidak senonoh dan tindakannya sedemikian rupa sehingga menjadikan martabatnya jatuh di mata orang lain. 

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Nafsu amarah merupakan teman buruk yang membuka aib seseorang. Ia mendekatkannya pada kejahatan dan mencerabutnya dari kebajikan."_ [24]

Kemarahan terus-menerus dapat mempengaruhi jiwa dan urat syaraf seseorang serta membuatnya lemah dan tak bertenaga. Karena itu, orang yang berupaya menjaga nama baik, kesehatan, dan kesalehannya harus sekuat tenaga menundukkan rasa amarahnya yang buruk, kalau tidak, ia (rasa amarah) akan merusak urat syaraf, nama baik, dan keimanannya.


Marah Itu Pada Tempatnya 
Namun demikian, harus pula dicamkan bahwa rasa amarah bukan tak ada gunanya dan selalu berbahaya dalam semua keadaan. Pada saat-saat tertentu, ia boleh diumbar dan dapat membuahkan keuntungan. Ia harus digunakan secara bijaksana ketika situasinya memang menuntut. Naluri ini hanya membantu seseorang untuk melindungi kehidupan dan hartanya dari para perusak dan unsur-unsur kejahatan. 

Ketika seseorang harus melindungi keimanannya, negaranya, atau membela kemanusian secara umum, naluri kemarahan akan menjadi bagian dari semangat kepahlawanannya. 

Tanpa kemunculan naluri semacam ini, seseorang akan berada dalam kedudukan pengecut yang menundukkan kepalanya di hadapan berbagai penghinaan atau perlakuan buruk dari selainnya. Bila naluri kemarahan tetap berada dalam kendali naluri kebijaksanaan, niscaya ia dapat menjadi modal yang berharga bagi seseorang.

Rasa amarah menjadikan seseorang mampu ikut ambil bagian dalam tugas-tugas yang sulit, seperti berjuang mempertahankan negara, menghidupkan keimanan (amar makruf nahi mungkar), serta melindungi keluarga.

Seorang Muslim yang saleh dan bertanggung jawab tak akan tinggal diam sewaktu menyaksikan kezaliman, ketidakadilan, kediktatoran, dosa-dosa yang terus menerus dilakukan, imperialisme, kolonialisme, dan sebagainya. 

Islam mengizinkan umatnya untuk berdiri tegak dan melawan kekuatan-kekuatan tersebut dengan gagah berani dan penuh ketenangan hati. Dalam situasi semacam itu, bagaimana pun, kemarahan seyogianya tidak sampai mengalahkan nasihat yang bijak.

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Bila engkau menjadi pengikut nafsu amarah, ia akan membawamu pada kebinasaan."_[25]

Tidaklah dibenarkan untuk sama sekali menekan naluri keamarahan dan menjadikan umat manusia tidak peka, tak punya keprihatinan, dan tak punya rasa malu. Apa yang dituntut adalah kebutuhan untuk menghindari ungkapan kemarahan yang serba berlebihan. Ini dimungkinkan dengan mendidik dan mengasuh anak-anak muda dengan cara tepat. 


Amarah Anak Cerminan Orang Tua
Sebagaimana naluri lain dalam diri seseorang, nafsu amarah juga sudah ada dalam bentuknya yang belum sempurna sejak usia paling kanak-kanak. Kekuatan amarah dalam diri seseorang merupakan cerminan dari pola pengasuhan yang dialaminya, dan pengaruh lingkungan tempat tinggalnya. Bila orang tua mampu mempertahankan nafsu amarah pada tingkat menengah (moderate) dalam segenap urusannya, niscaya sang anak juga akan mempelajari dan mengikutinya. 

Anak-anak dari orang tua yang mudah tersinggung dan suka marah-marah juga akan belajar bersikap sama bagi kehidupannya di masa mendatang.
Seorang anak terkadang berteriak dan menjerit marah, tubuhnya gemetar, rona mukanya berubah, menghentakkan kakinya ke tanah, berguling-guling di lantai, melontarkan kata-kata kasar, dan berupaya menyembunyikan dirinya di salah satu sudut ruangan. 

Namun, seluruh ulah si anak tersebut boleh jadi bukan semata-mata sebuah lelucon untuk mengundang tawa. Itu mungkin saja sebuah kemarahan dan orang tua harus menyelidiki penyebabnya dan berupaya menghilangkannya. Kemarahan pasti muncul disebabkan adanya kecemasan atau kegelisahan.

Rasa sakit yang berlebihan, kelelahan, kurang istirahat, rasa lapar, rasa dahaga yang tak terkira, atau cuaca dingin dan panas, membuat si anak merasa gelisah dan memunculkan rasa marah. Melakukan hal-hal yang bertentangan dengan keinginan si anak, mengekang kebebasannya dalam bergerak, perasaan bahwa orang tuanya memberi perhatian yang tidak semestinya kepada anak-anak yang lain, menyuapinya dengan cara paksa, dapat mengakibatkan si anak gelisah dan marah. 

Beberapa orang tua, dengan cara halus, mengajarkan anak-anaknya untuk marah. Mereka suka berteriak kepada anak-anaknya dan terlalu bersikap keras. Bila si anak marah-marah, mereka (orang tua) cenderung membalasnya dengan kemarahan ketimbang berupaya menenangkannya. 


Bila si anak lapar dan haus, berikan sesuatu untuk dimakan dan diminum. Bila ia lelah, bantu dirinya untuk tidur. Bila si anak marah karena tindakan Anda, berupayalah untuk memperbaikinya. Bila kemarahan si anak disebabkan oleh pikiran melantur, tenangkan dirinya dengan meninabobokannya dan berkata-kata manis kepadanya. 

Bila si anak marah karena butuh sesuatu, upayakanlah untuk mencari dan memenuhi apa yang dibutuhkannya itu. Ketika kondisi si anak kembali normal, katakan kepadanya bahwa ia tak perlu menangis atau marah-marah demi mendapatkan sesuatu. 

Yakinkan dirinya bahwa ia hanya diharuskan meminta sesuatu, dan bila itu baik baginya, niscaya akan diberikan kepadanya. Juga, peringatkan dirinya bahwa bila ia menangis dan berkelakuan tak pantas pada masa mendatang, keinginannya mungkin tak akan dipenuhi. 

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Berhati-hatilah terhadap kemarahan; kalau tidak, ia akan menguasaimu dan menjadi sebuah kebiasaan."_[26] 
Anak-anak yang gampang tersinggung menjadi marah hanya lantaran alasan-alasan sepele, karena mereka memang tidak punya kepribadian yang kuat. Mereka cenderung tak tahan terhadap sesuatu yang tak diinginkan dan mudah terpengaruh gangguan kecil sekalipun dan menjadi marah .


Catatan Kaki:

[15] Mustadrak al-Wasâ`il, jil.2, hal.327.

[16] ibid., hal.328.

[17] ibid., hal.327.

[18] ibid., hal.328.

[19] ash-Shâfî, jil.1, hal.173.

[20] Al-Mahajjat al-Baydha, jil.3, hal.189.

[21] Mustadrak al-Wasâ`il, jil.12, hal.326.

[22] Ushûl al-Kâfî, jil.2, hal.303.

[23] ibid., hal.302.

[24] Mustadrak al-Wasâ`il, jil.2, hal.326.

[25] ibid., hal.226.

[26] Ghurar al-Hikam, hal.809.




47. BERKATA-KATA BURUK DAN KETIDAKSOPANAN
Melontarkan kata-kata buruk dan berbicara tidak sopan merupakan kebiasaan yang sangat buruk. Orang-orang yang melontarkan cercaan terhadap apapun yang terlintas di benaknya jarang menjaga kata-katanya. 

Pikiran mereka sangat plin-plan. Mereka melontarkan kata-kata buruk dan berusaha mencari-cari kesalahan orang lain tanpa alasan yang masuk akal. Mereka terus menerus menyakiti orang lain dengan kata-kata yang tak bertanggung jawab.


Perhatikanlah Perkataan Anda!
Melontarkan kata-kata buruk hukumnya haram dan dipandang sebagai dosa besar. Rasulullah saw bersabda, "Allah mengharamkan surga bagi orang-orang yang suka melontarkan kata-kata buruk. Terkutuklah orang-orang yang suka mencaci-maki, tak punya rasa malu, dan tak mengenal sopan-santun, dan mereka akan dicegah dari memasuki surga. 

Apapun yang dikatakan seseorang yang suka mencaci-maki tentang orang lain, ia melakukannya tanpa memikirkannya dan tak pernah peduli terhadap pandangan orang lain terhadapnya."_[27] 

Imam Ja`far Shadiq as. mengatakan, "Sumpah serapah, berkata-kata kotor, dan ketidaksopanan merupakan tanda-tanda kemunafikan dan ketiadaan iman."_ [28]

Dalam al-Quran suci, Allah Swt memfirmankan: Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela. (QS. al-Humazah: 1)

Orang-orang yang suka berkata-kata buruk umumnya merasa rendah diri dan berpikiran picik. Mereka menjadikan orang-orang sebagai musuhnya dengan melontarkan kata-kata tidak senonoh. Orang-orang juga tidak menyukai mereka serta berusaha menjauhi dan enggan berteman dengan mereka. 

Rasulullah saw menyabdakan, "Orang paling buruk adalah orang yang kata-katanya tidak disukai orang-orang dan mereka berusaha menjauhinya."_[29] 

Imam Ja`far Shadiq as. mengatakan, "Ketika orang-orang tak suka mendengar perkataannya, seseorang akan masuk neraka."_[30] 

Nabi saw berkata, "Seorang Mukmin tak akan mencela, mengecam, dan menyakiti selainnya."_ [31]


Akarnya Baik, Cabangnya Baik
Pada dasarnya, seorang anak tidak cenderung berkata-kata kotor. Ia barangkali mempelajarinya dari orang tuanya, saudara lelaki dan perempuannya, atau teman-teman sekolah dan teman-teman bermainnya. Namun, pengaruh paling maksimal berasal dari kedua orang tuanya. 

Orang tua dapat menjadi contoh paling efektif bagi anak-anak. Mereka tak hanya bertanggung jawab atas perilakunya sendiri tetapi juga memiliki tanggung jawab yang sangat penting dalam melatih anak-anaknya secara tepat. Orang tua sendirilah yang dapat menjadikan anak-anak santun dan lemah-lembut ataupun bermulut lancang. 

Beberapa orang tua, baik dalam keadaan bergurau atau dalam kemarahan, suka melontarkan kata-kata yang buruk kepada anak-anaknya. Dengan cara serampangan ini, mereka sebenarnya sedang memberi pengasuhan yang keliru kepada anak-anak. Terdapat sejumlah rumah tangga yang di dalamnya penggunaan kata-kata buruk telah menjadi sebuah kelaziman. 

Kata-kata, seperti 'anak anjing', 'induk anjing', 'bodoh', 'idiot', 'dasar keledai buta', 'binatang', 'tak punya malu', dan sejenisnya merupakan sebutan yang dilontarkan satu sama lain dalam rumah tangga semacam itu, baik dimaksudkan untuk bergurau atau sebagai ungkapan sungguh-sungguh dalam keadaan marah. 

Orang tua yang semestinya melindungi anak-anaknya yang masih lemah, malah melakukan tindakan keliru semacam itu dan mendorong anak-anaknya untuk mencontoh mereka. Mereka tanpa pikir-pikir lagi saling mencemooh dan menyebut nama satu sama lain (antara ayah dan ibu) di hadapan anak-anak.

Orang tua suka mencemooh anak dan menggunakan bahasa yang tidak senonoh sewaktu berbicara dengannya. 

Bagaimana mungkin orang tua semacam itu mengharapkan anak-anaknya akan tumbuh besar menjadi sosok dewasa yang santun dan bertanggung jawab? 

Mereka seyogianya menyadari bahwa si anak mungkin sekali ingin membuktikan dirinya lebih buruk ketimbang mereka sendiri. Semestinya mereka juga ingat bahwa cepat atau lambat, mereka akan menjumpai si anak mengumbar kata-kata yang sama, yang pernah didengarnya dari kedua orang tuanya. Bila keadaannya sudah sedemikian, niscaya berbagai nasihat atau pukulan tak akan mampu memperbaikinya. 

Obat paling baik untuk itu adalah bahwa orang tua lebih dulu memperbaiki dirinya sendiri pada saat yang tepat sebelum segalanya menjadi terlambat. 

Namun demikian, acapkali anak-anak mempelajari kebiasaan buruk ini dari teman-teman sebayanya. Karena itu, orang tua harus membuka mata dan telinganya lebar-lebar terhadap perilaku buruk semacam itu pada anak-anaknya dan mengenyahkannya sedini mungkin. Mereka harus meminta kepada anak-anaknya untuk sebisa mungkin menjauhi anak-anak semacam itu. 

Bila Anda pernah memergoki anak Anda melontarkan kata-kata buruk, janganlah tersenyum kepadanya dan berusahalah tetap diam. Toh, teriakan dan bentakan tak akan mengatasi situasi semacam itu-kalau bukan malah akan makin memperkeruh suasana. 

Cara terbaik untuk mengoreksi si anak adalah dengan mengajaknya berbicara secara lembut seraya menjelaskan kepadanya tentang pengaruh buruk dari melontarkan kata-kata tidak senonoh. 




48. MENGGUNJING ATAU MENYEBAR ISU

Kebiasaan Buruk 
Menggunjing merupakan kebiasaan yang sangat buruk. Namun sayang, kebiasaan tersebut sangat lazim di tengah masyarakat. Bila seseorang mengatakan sesuatu tentang seseorang yang lain, seorang penggunjing akan menggunjingkannya kepada orang lain seraya mengatakan bahwa si fulan mengatakan begini-begitu tentangnya. 

Menggunjing merupakan tanda-tanda kepengecutan dan kejahatan. Hal ini dapat menciptakan keretakan di tengah orang-orang yang saling bersahabat baik. Banyak kejahatan, pertengkaran, permusuhan, pembunuhan, dan perseteruan merupakan hasil dari kesalahpahaman di antara orang-orang yang terlibat akibat gunjingan. Kedamaian hidup sejumlah rumah tangga juga porak-poranda akibat ulah bejat semacam itu. 

Para suami dan istri bercerai, kawan menjadi lawan, orang tua berbalik memusuhi anak-anaknya sendiri, utamanya diakibatkan oleh gunjingan yang dilakukan beberapa orang yang tak punya otak dan berkelakuan buruk. 

Ketika perbuatannya terbongkar, seorang penggunjing akan diusir dari semua tempat dan orang-orang sangat benci melihat wajahnya. Bahkan, mereka akan mengutuknya dan berharap agar ia binasa. Gunjingan paling keji adalah yang dilakukan mata-mata yang bekerja demi kepentingan penguasa yang zalim. 

Bila seseorang menjadi mata-mata bagi pihak yang zalim dan karenanya seorang yang saleh menghadapi kesulitan, dan mengalami cacat tubuh atau kematian akibat disiksa, maka si penggunjing akan sama-sama dianggap bertanggung jawab sebagaimana orang durjana tersebut (mata-mata) yang bekerja sama dengannya untuk melakukan tugas (mata-mata) yang jahat ini. 

Mereka akan diganjar hukuman berat di Hari Pengadilan, sekalipun, dalam hal ini, si penggunjing tidak terlibat secara langsung dalam tindakan penyiksaan fisik orang yang tak berdosa. 

Nabi Islam saw mengatakan, "Orang yang paling buruk adalah orang yang memata-matai saudara Muslimnya dan melaporkannya kepada raja (: penguasa). 

Tindakan memata-matai ini sangat buruk baginya, bagi si sahabat yang telah melaporkannya, dan juga bagi sang raja."_[32] 

Islam telah menyatakan bahwa tindakan memata-matai dan menggunjing hukumnya haram. Terdapat banyak riwayat dari Nabi saw dan para imam yang berkenaan dengannya.

Imam Muhammad Baqir as. mengatakan, "Seorang penggunjing akan dicegah dari memasuki surga ."_ [33]

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Orang yang paling keji dan jahat di antara kalian adalah mereka yang melakukan gunjingan dan menciptakan perselisihan di antara sahabat-sahabatnya serta membuka aib orang-orang yang baik ."_[34] 


Sebab Pergunjingan 
Terdapat banyak sebab bagi dilakukannya gunjingan. Permusuhan, misalnya. Seorang penggunjing yang memusuhi sekelompok orang akan merasa dengki terhadap hubungan yang terjalin baik di antara mereka. Lalu, ia membuat informasi palsu dan keji tentang salah seorang di antara mereka dan menyampaikannya kepada teman orang tersebut hingga akhirnya mereka terjerumus dalam perangkapnya. 

Kadangkala pula seorang penggunjing, sebagai akibat kebiasaannya, menyampaikan infromasi yang menyesatkan dan berbahaya tentang seseorang kepada selainnya demi menciptakan perselisihan yang hebat di antara mereka. Dalam contoh ini, si penggunjing tidak memiliki maksud lain kecuali demi memuaskan keinginan pribadinya. Dalam hal ini, agama Islam melarang keras penganutnya mendengarkan gunjingan.

" Janganlah kalian menggunjing, jangan pula mendengarkan orang yang menggunjing ."_[35] 

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib mengatakan, "Tolaklah perkataan seorang penggunjing dan orang yang terlalu ingin tahu."_[36] 

Terbukti bahwa bila tak seorang pun ambil peduli terhadap ocehan seorang penggunjing, niscaya ia (penggunjing) akan berhenti melakukan gunjingannya. Sewaktu seseorang menyampaikan isu kepada Anda tentang seseorang yang lain, Anda harus benar-benar yakin bahwa ia (si penyampai isu atau penggunjing) bukanlah teman Anda. 

Bila benar-benar teman Anda, ia tentu akan membela Anda selagi orang lain membicarakan sesuatu yang bertentangan dengan kepentingan Anda. Bila seseorang menceritakan sesuatu yang sangat rahasia kepada seorang Muslim yang baik, niscaya ia (si Muslim) tak akan menceritakannya lagi pada orang lain. 

Ia akan mengendalikan lidahnya dan tak pernah berupaya memata-matai orang-orang di sekelilingnya. 


Wahai Ayah, Wahai Ibu, Anak Itu Meniru!
Banyak orang membawa kebiasaan menggunjing sejak dari masa kecil. Ini merupakan refleksi dari apa yang mereka lihat dan dengar di sekeliling mereka. Karena itu, para orang tua memikul tanggung jawab besar untuk melindungi anak-anak mereka dari kebiasaan menggunjing yang keji. Pertama-tama, orang tua sendiri seyogianya menahan diri dari membicarakan keburukan orang lain. 

Sang ibu tidak sepatutnya menggunjing tindakan-tindakan tetangganya atau sanak saudaranya kepada sang ayah. Begitu pula, sang ayah jangan sampai menjelek-jelekkan teman-teman atau kenalannya kepada sang ibu. Sebab, bila orang tua memiliki kebiasaan menjelek-jelekkan orang lain di belakangnya, anak-anak juga akan meniru pembicaraan semacam itu. 

Adakalanya seorang anak menjelek-jelekkan ibu dan kakak perempuannya. Dalam kasus semacam ini, tugas si ayah adalah memperbaiki si anak dan memberitahunya bahwa menggunjing merupakan perbuatan yang tidak baik. Si ayah harus mengatakan kepadanya bahwa bila ingin mengatakan sesuatu tentang ibu atau kakak perempuannya, lebih baik ia mengatakannya secara langsung kepada mereka. 

Dan katakanlah, "Apa yang kau lakukan itu adalah gunjingan, yang merupakan perbuatan sangat buruk." Bila anak-anak berupaya menggunjing, jangan pedulikan sama sekali untuk sementara waktu dan berupayalah mengalihkan pembicaraan pada hal-hal lain yang bermanfaat. 

Nabi Islam saw mengatakan, "Jangan dengarkan penggunjing!"_[37]


Catatan Kaki:

[27] Ushûl al-Kâfî, jil.2, hal. 323.

[28] ibid., hal.325.

[29] ibid.

[30] ibid., hal.327.

[31] Al-Mahajjat al-Baydha', jil.3, hal.127.

[32] Bihâr al-Anwâr, jil.75, hal.266.

[33] Ushûl al-Kâfî, jil.2, hal.369.

[34] ibid., hal.375.

[35] Majma` az-Zawâ`id, jil.8, hal.91.

[36] Ghurar al-Hikam, hal.145.

[37] Ghurar al-Hikam, hal.125.






49. MENCARI-CARI KESALAHAN
Mencela orang lain dan mencari-cari kesalahannya tanpa alasan merupakan salah satu kebiasaan manusia yang paling buruk. Masyarakat membenci dan menghindari orang-orang bermasalah yang terbiasa mencari-cari kesalahan orang lain. Adakalanya upaya mencari-cari kesalahan ini menyebabkan permusuhan dan perselisihan. 

Bila kesalahan seseorang disebut-sebut tatkala dirinya tak ada, maka itu disebut sebagai gunjingan. Adapun bila dilakukan di hadapan orang yang dimaksud, maka itu adalah hinaan yang tak diinginkan siapapun. Agama Islam menggolongkan menggunjing (ghibah) sebagai dosa besar. 

Terdapat banyak riwayat yang berkenaan dengannya. Sebagai contoh:

Sewaktu menyampaikan khotbahnya, Rasulullah saw mengatakan dengan nada tegas, "Wahai orang-orang yang mengaku beriman dengan lisannya, namun keimanan belum masuk ke dalam hatinya, janganlah menggunjing dan menjelek-jelekkan kaum Muslim dan janganlah mencari-cari kesalahan mereka. Sebab, terhadap orang yang berusaha mencari-cari kesalahan saudaranya, Allah Swt akan menyingkapkan kesalahannya sendiri dan menjadikannya bahan tertawaan orang lain."_[38] 

Imam Ja`far Shadiq as. mengatakan, "Barangsiapa mengatakan sesuatu yang menjatuhkan martabat seorang Mukmin, Allah Swt akan mengeluarkannya dari kelompok sahabat-sahabat-Nya dan memasukannya ke dalam kelompok setan yang juga akan menolak menerimanya sebagai teman."_ [39]

Nabi Islam saw bersabda, "Barangsiapa menggunjing lelaki atau perempuan yang beriman, Allah Swt tak akan menerima ibadah shalat dan puasanya selama 40 hari, hingga ia dimaafkan orang yang digunjingnya."_[40] 

Imam Ja`far Shadiq as. mengatakan, "Menggunjing dan mencari-cari kesalahan adalah haram. Semua itu membinasakan amal kebajikan seseorang sebagaimana api membakar minyak ."_ [41]


Kebiasaan Buruk yang Merata 
Sayang, dosa besar semacam ini telah menjadi kebiasaan sehari-sehari masyarakat kita. Kebiasaan tersebut telah mencapai takaran sedemikian, sehingga masyarakat tak lagi menganggap bahwa mereka sedang melakukan dosa menggunjing dan mencari-cari kesalahan selainnya. 

Misal, seorang ibu menjelek-jelekkan sang ayah, dan sebaliknya, sang ayah berupaya mencari-cari kesalahan sang ibu. Atau para tetangga dan sanak kerabat tak henti-hentinya menyebut-nyebut kesalahan satu sama lain. 

Dengan demikian, anak-anak yang tak berdosa meniru kebiasaan menjijikkan ini dari orang tua dan lingkungan rumahnya. Anak-anak lalu menggunjing anak-anak yang lain. Akibatnya, ketika tumbuh dewasa, mereka akan sulit mengelak dari kebiasaan buruk ini. 

Beberapa orang tua biasa memanjakan dan memuji anak-anaknya setinggi langit. Sementara, kenyataannya, mereka membutuhkan kejelasan tentang berbagai kekurangan dirinya. Kadangkala orang tua secara keliru memuji si anak tentang sesuatu yang tak dapat diraihnya demi menertawakan kegagalannya. 

Dalam situasi semacam ini, anak-anak mungkin akan berbalik memusuhi orang tuanya. Atau bahkan mereka akan memiliki kebiasaan melakukan kebohongan secara terang-terangan. Mereka juga akan menjadi korban kompleks rendah diri. Karenanya, alangkah lebih baik bila orang tua tidak membicarakan kegagalan anak-anak seraya menertawakannya. 





50. MENCARI KEBENARAN
Ketika lahir, seseorang belum menyadari keadaan dunia di sekitarnya. Ia belum mampu membedakan yang satu dengan yang lain. Ia belum dapat mengenali rupa, warna, dan orang. Ia hanya dapat mengambil kesan dari wajah dan suara di sekitarnya, namun belum mampu memahami dan mengenali satu sama lain. 

Namun, setelah itu, ia akan mulai mengembangkan kemampuan mengenali manusia dan benda. Ia akan melihat ke sekelilingnya, dan memberikan ekspresi senang ketika melihat wajah-wajah di sekitarnya. Melalui indra dan insting belajarnya, anak akan secara berkelanjutan memperoleh pengetahuan seputar apa yang ada di sekelilingnya. 

Allah Swt berfirman, Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur. (QS. an-Nahl: 78)

Setelah beberapa waktu, anak mulai memperhatikan dunia di sekitarnya. Ia mulai memegang benda-benda, menggerakkan dan melemparnya. Terkadang, ia juga memasukkan benda-benda itu ke mulutnya. Ia pun mulai tertarik ke arah suara di sekitarnya. Ia juga mulai mengamati tingkah laku orang. 


Penuhilah Insting Mereka 
Dengan semua itu, anak memuaskan instingnya dalam mencari kebenaran. Allah telah memberikan kemampuan mencari dan menyelami kepada umat manusia, sehingga dapat mencoba menyibak misteri alam semesta. Anak memiliki insting ini, dan mulai mewujudkannya sejak awal kehidupannya. Dengan demikian, orang tua dapat mengarahkan dan mendorong insting ini, atau justru malah mengekangnya dengan perbuatan negatif mereka. 

Bila orang tua menolong anak dengan mendorong keinginannya mencari dan memberinya kebebasan untuk menyelidiki, maka mereka akan mencetak kemajuan pengetahuannya. Ini dapat menjadi awal dari penelitian ilmiah dan penemuan di masa depannya. 

Namun, bila orang tua lalai terhadap insting anak itu, sehingga mengekang hasrat keingintahuan anak dan mencegahnya dari melakukan eksperimen, maka semangat untuk mencari akan lenyap dari jiwanya . 

Tahap penting dalam kehidupan anak adalah ketika ia mulai menanyakan berbagai hal. Usia dua tahun ke atas merupakan usia di mana anak mulai banyak bertanya. Anak bertanya pada orang tua, kapan dirinya menjadi seorang ibu atau ayah? 

Mengapa ayah pergi setiap hari pada waktu tertentu? Mengapa batu itu keras dan air itu lembut? Mengapa ia harus pergi ke rumah nenek? Mengapa ia tak boleh main di luar saat hujan? Mengapa ikan tidak mati dalam air? Mengapa ayah dan ibu mengerjakan shalat lima kali sehari? 

Apa itu shalat? Kemana matahari pergi saat malam? Dari mana hujan dan salju itu berasal? Apa itu bintang? Siapa yang membuatnya? Apa manfaat lalat dan ikan? Ketika kakek meninggal, mengapa ia dikubur dalam tanah? Kemana ia pergi? Kapan ia akan kembali? Apa kematian itu? Kurang lebih, anak akan menanyakan hal-hal tersebut.

Semakin tumbuh besar, seorang anak makin gencar melontarkan berbagai pertanyaan yang berbeda. Anak cerdas akan menanyakan banyak dan beraneka-ragam pertanyaan. Ketika pengetahuannya bertambah, ia mulai menanyakan pertanyaan-pertanyaan rumit. 

Anak mencoba mempelajari hal-hal di sekitarnya melalui pertanyaan. Ia ingin mengambil manfaat dari pengetahuan dan pengalaman orang lain. Dorongan mencari dan menyelidiki adalah insting manusia yang terpenting, yang menjadikannya memperoleh prestasi tinggi di segala bidang aktivitas. Manusia dapat menyibak misteri alam semesta dengan upaya berani dalam proses penelitian dan eksplorasi. 

Orang tua yang menyadari bahwa insting anak untuk menyelidiki sesuatu itu memerlukan dukungan agar pengetahuannya memperoleh kemajuan demi masa depan yang gemilang, akan memberikan dukungan penuh dan perhatian padanya selama masa-masa awal kehidupannya.


Jangan Remehkan Keingintahuan Anak 
Beberapa orang tua menganggap pertanyaan anak itu tidak penting dan hanya buang-buang waktu. Mereka bahkan mencemooh anak agar berhenti mengajukan pertanyaan. Mereka mengatakan padanya, "Jangan terlalu banyak bertanya. 

Kalau sudah besar nanti, kau akan mengetahui sendiri apa yang kau tanyakan sekarang!" Orang tua semacam ini telah membungkam insting anak yang paling berharga melalui keengganan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. 

Tanpa disadari, mereka telah menjadi penyebab turunnya semangat anak dalam memperoleh pengetahuan. Sehingga, di kemudian hari, mereka pun akan mengeluh bahwa anak mereka tak dapat menguasai pelajaran dan disiplin ilmu lainnya. 

Selain itu, beberapa orang tua-demi menyenangkan anak-mau menjawab pertanyaan-pertanyaannya, namun tak pernah memastikan ketepatan jawabannya. Tujuannya adalah sekedar mendiamkan anak dengan beberapa jawaban tersebut. Ketika anak kemudian mengetahui bahwa orang tuanya telah memberikan jawaban yang keliru, ia pun akan merasa kesal. Ini kemungkinan akan menyebabkan anak selalu curiga pada orang lain.

Orang tua yang bijaksana dan bertanggung jawab akan memperhatikan tugas mereka memberikan jawaban yang benar atas pertanyaan-pertanyaan anak, dan mendorong instingnya mencari tahu tentang hal-hal yang ada di sekelilingnya. Mereka mempersiapkan diri dengan membayangkan pertanyaan yang mungkin diajukan anak dan mencari jawaban yang mungkin bagi pertanyaan tersebut. 

Mereka tak pernah mengatakan sesuatu pada anak yang bertentangan dengan kenyataan sebenarnya. Bila saat itu tak mengetahui jawaban yang benar, mereka akan berterus-terang dan mencoba mencari jawabannya untuk disampaikan kemudian. Cara ini akan melatih anak untuk berterus terang ketika menghadapi situasi yang sama. 


Jadilah Teman Diskusi Bagi Anak
Terkadang, beberapa orang tua memberikan jawaban terperinci yang tak perlu kepada anak. Ini juga tidaklah semestinya. Pengalaman membuktikan bahwa anak tidak ingin mendengarkan jawaban panjang. Meskipun anak menginginkan jawaban atas pertanyaannya, namun jawaban panjang akan membuatnya lelah. 

Orang tua juga harus membiasakan anak untuk berdebat dan berdiskusi saat dirinya tumbuh besar. Ketika diperlukan, mereka harus membantunya bereksperimen. Anak juga manusia berpikir, yang memerlukan dorongan pada proses berpikirnya sehingga dapat memanfaatkan kemampuannya dan mempersiapkan dirinya bagi masa depan kehidupannya. 

Imam Ali bin Abi Thalib berkata, "Seseorang yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan di masa kecilnya, akan cakap dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ketika dewasa ."_[1] 

Beliau juga berkata, "Hati anak itu seperti tanah yang subur. Apapun yang kalian masukkan ke dalamnya akan diterima."_[2]


Seorang wanita menulis dalam suratnya:
" Suatu malam, ayah pulang dan memberikan sebuah teka-teki kepadaku. Ia juga mengatakan bahwa teman-temannya tak dapat memecahkannya. Semua orang di rumah sudah tertidur, saat aku tetap mencoba memecahkan teka-teki itu. Aku lama memikirkannya, namun akhirnya berhasil memperoleh jawabannya. 

Aku sangat gembira, sehingga membangunkan ayahku. Ia pun merasa senang atas upayaku memecahkan teka-teki itu. Ia selalu mendorongku menajamkan daya intelektualitasku. Ia telah mempersiapkanku dengan baik untuk menghadapi permasalahan hidup secara bijaksana." 


Catatan Kaki:

[38] Jâmi` as-Sa'âdah, jil.2, hal.203.

[39] ibid., hal.305.

[40] ibid., hal.304.

[41] ibid., hal.305.

[1] Ghurar al-Hikam, hal.645.

[2] Ibid., hal.302.





51. PERCAYA DIRI

Sumber Kesuksesan itu Percaya Diri
Kehidupan manusia itu penuh dengan perjuangan, tantangan, dan kompetisi. Setiap manusia akan melewati ribuan tantangan dan kesulitan dalam kehidupannya. Untuk dapat hidup, ia harus melawan hal-hal yang tak diinginkan dan menguasainya. Ia harus bertarung dengan berbagai penyakit dan penyebabnya. 

Dalam hidup, ia akan berhasil bila memiliki jiwa besar, keberanian tinggi, dan keinginan yang kuat. Keberhasilan atau kegagalan seseorang bergantung pada dirinya sendiri. Kesuksesan orang-orang besar di dunia adalah disebabkan percaya diri, keinginan kuat, dan upaya tak kenal lelah. Orang besar tak akan pernah menyerah pada kesulitan. 

Mereka memiliki percaya diri dan keimanan pada Allah Swt dalam mengarungi pergolakan hidup. Mereka mampu menyelesaikan tugas yang terlihat mustahil bagi orang lain. Mereka tak seperti jerami di lautan luas yang terus terombang-ambing di permukaan air mengikuti arah angin. 

Sebaliknya, mereka laksana perenang handal yang memiliki lengan kuat, kemauan, dan keimanan kepada Allah; yang memberikan mereka kemampuan berenang melawan angin. Inilah orang-orang yang cakap dalam memutuskan perkara yang muncul di dunia ini. Islam juga mengatakan bahwa kesuksesan duniawi dan spiritual seseorang bergantung pada tindakannya. 

Al-Quran menyatakan, Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). (QS. an-Najm: 39-40)

Imam Ali bin Abi Thalib as. berkata, "Nilai setiap individu bergantung pada keberaniannya."_[3]

Seseorang yang memiliki kesabaran dan percaya diri tak akan melihat kepada orang lain dalam upayanya mencari solusi atas permasalahannya. Sebaliknya, mereka akan terjun ke arena kehidupan dengan penuh keyakinan, dan tak pernah menyerah hingga berhasil mencapai tujuannya.

Imam Ja`far Shadiq as. berkata, "Rahasia kehormatan dan kebesaran seorang Mukmin adalah tidak mengharapkan sesuatu yang ada di tangan orang lain."_[4]

Imam Sajjad as. berkata, "Semua kebaikan itu menjadi nyata ketika seseorang tidak duduk menunggu pertolongan orang lain."_[5]

Sebaliknya, orang yang tak memiliki rasa percaya diri, tak akan meyakini kemampuan dirinya sendiri. Mereka menganggap dirinya lemah dan rendah. Mereka takut menghadapi kesulitan-kesulitan hidup. 

Mereka juga akan melalaikan tanggung jawab serta membuat sulit tugas-tugas yang mudah, melalui pikiran-pikiran negatif dan ketakberdayaannya. Akibatnya, mereka menghabiskan hidupnya dalam kemurungan dan kekecewaan. 

Sekarang, setelah mengetahui pentingnya kesabaran dan percaya diri, tak ada salahnya bila kami mengingatkan bahwa fondasi karakteristik ini telah inheren dalam watak setiap manusia. Namun, semua itu perlu diasuh dan dilatih. Periode ideal dan paling berkaitan dengan pelatihan ini adalah pada awal-awal masa kecil seseorang. 

Fondasi kesabaran dan ketenangan terwujud sejak masa kecil seseorang. Sebaliknya, karakteristik yang berlawanan-yaitu ketidaksabaran, ketiadaan rasa percaya diri, dan ketergantungan pada orang lain-juga dapat berkembang disebabkan pelatihan yang keliru dari orang tua. Orang tua harus melatih anaknya dengan hati-hati, agar dapat tumbuh menjadi sosok yang berguna. 

Imam Ali Zainal Abidin as. berkata, "Latihlah anak-anak kalian sedemikian rupa sehingga mereka akan memberikan kehormatan dan kemuliaan pada kalian."_[6]


Masa Terbaik Membentuk Kepribadian
Usia empat hingga delapan tahun merupakan periode terbaik untuk membentuk kepribadian seseorang. Dalam periode ini, anak akan cenderung sabar dan mempersiapkan diri menghadapi pelbagai kesulitan. 

Meskipun menyadari kelemahannya dan ketergantungan pada seseorang yang lebih unggul, anak juga memiliki kesabaran dan ketenangan dalam fitrahnya. Ia ingin memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sendiri. Ia pun merasa gembira dalam melakukan tugas-tugas baru. 


Anda pasti telah mendengar anak-anak mengucapkan kalimat-kalimat seperti berikut:
1. Lihat, apa yang sedang kulakukan!

2. Apakah Anda melihat bagaimana aku melompat?

3. Lihat, aku dapat mengenakan pakaianku sendiri!

4. Aku akan memakai sendiri sepatuku.

5. Aku akan minum air dari gelas.

6. Aku ingin makan sendiri.

7. Aku tak ingin Anda menuangkan teh untukku.

8. Lihatlah lukisan indah yang telah kubuat ini!

9. Aku ingin memanjat pohon itu. 

dan sebagainya. 

Anak cenderung memaksa membelanjakan uangnya menurut keinginannya sendiri. Atau mengatur mainannya sendiri. Terkadang, ia bersikeras melakukan caranya sendiri. Terkadang pula ia ingin membantu orang tuanya dalam pekerjaan sehari-hari. Anak perempuan mencoba membersihkan perabot rumah tangga dan pakaian bersama ibunya. Ia juga ingin memasak dan mengatur meja makan. 

Sedangkan anak lelaki mencoba merapikan kebun. Ia juga ingin melukis, menulis surat, dan pergi berbelanja bersama ayahnya. Ia juga akan mendesak untuk memilih pakaian dan alas kakinya sendiri. Ketika berjalan, ia terkadang ingin berada di depan orang tuanya dan di saat lain berada di belakangnya. 

Ia juga ingin turut mengatur meja dan kursi di rumah. Ia pun menolak makan makanan tertentu. Dengan semua tindakan ini, anak memperlihatkan individualitasnya. Hingga anak pun mencoba untuk tidak bergantung pada orang lain. 


Kepribadian Anak Refleksi Kecenderungan Orang Tua 
Orang tua harus memberikan kebebasan pada anak untuk mengembangkan rasa percaya diri. Mereka harus memperlihatkan rasa senang dan sikap menghargai ketika anak berhasil memperoleh hal baru. Mereka juga harus memberinya tugas-tugas yang disukai anak dan sesuai dengan kadar pengetahuannya. Bimbingan dan dorongan juga akan mengasah kemampuannya. Sehingga, anak pun akan secara progresif memperoleh rasa percaya diri . 


Seorang pakar psikologi menulis:
" Seseorang melihat nelayan kecil yang sedang menangkap ikan secara efisien. Ia memperoleh tangkapan yang besar. Orang itu terkejut. Ia pun memuji keahlian nelayan kecil itu. Anak itu lalu berterimakasih karena pujiannya dan berkata, 'Tak ada yang mengherankan dalam keahlian menangkap ikan, karena aku telah melakukannya sejak masih sangat kecil.' Orang itu lalu bertanya, 'Berapa usiamu sekarang?' Anak itu menjawab, 'Enam tahun.'"

Bila saja orang tuanya tak mendorongnya, atau bahkan menghalanginya, melakukan sesuatu sejak usia dini, tentu saja ia tak akan memperoleh keahlian semacam itu. 

Orang tua yang memanjakan anaknya, justru akan menjadikannya bergantung pada mereka. Mereka tak mengizin kan anak mengerjakan tugas-tugas tertentu. Mereka selalu mengerjakannya untuk anak, bahkan untuk hal-hal yang kecil sekalipun. Mereka juga membuat keputusan sendiri untuk anak. 

Banyak sekali orang tua yang tak memberikan perhatian tentang pentingnya rasa percaya diri pada anak. Mereka memperlihatkan rasa tak senang terhadap kesalahan anak ketika ia (anak) mencoba mengerjakan sendiri beberapa tugas. Mereka tak menyukai anaknya berinovasi dan meremehkannya di setiap langkah. 


Beri Kebebasan Si Anak dengan Benar
Ayah dan ibu yang baik, anak kita harus tumbuh. Ia juga harus mengemban tanggung jawab di masa depan. Anda harus merespon secara positif fitrah kebebasan anak. Karena itu, hasrat kebebasan bukanlah sebuah kekeliruan. Kebebasan merupakan manifestasi dari keinginan untuk mencapai kesuksesan dengan upayanya sendiri. 

Anda harus memastikan bahwa anak dapat memanfaatkan kebebasan ini dengan benar. Anda tak perlu memaksa mengambil keputusan untuknya, ketika ia mampu mengambil keputusan sendiri. Anda hanya perlu menjelaskan seputar pro-kontra yang terkait dengannya; selebihnya, biarkanlah ia mengambil keputusan sendiri. 

Bila anak mengerjakan sesuatu, kemudian menyerah di tengah jalan, maka janganlah mempermalukannya dengan campur tangan yang tidak bijaksana. Serahkan urusan itu kepadanya.

Bila anak perempuan Anda ingin memasak sendiri, berikan arahan kepadanya untuk melakukan itu. Jangan turut campur saat ia melakukannya. Tak apalah bila ia sesekali memecahkan piring. Jangan terlalu kritis terhadap kemampuannya dalam memasak. Anda harus menyadari bahwa kritik-kritik semacam itu dapat menyinggung perasaan anak . 


Seorang wanita menulis:
" Apa saja yang kucoba untuk melakukannya di masa kecilku, selalu membuahkan omelan (atau kritikan) seperti 'kau telah memecahkan pajangan cina itu', 'kau telah memasukkan terlalu banyak garam', 'kau telah menggunakan air melebihi takaran resepnya', 'apa yang kau ketahui tentang menyapu lantai?', 'jangan bicara saat ada tamu', dan kritikan lainnya. 

Ketika sedang memasak, aku selalu mencicipinya; takut kalau-kalau kelebihan garam atau air. Bahkan kemudian, aku selalu bertindak sebagai penerima hasil saja. Inilah mengapa, aku merasa tak percaya diri terhadap kemampuan memasakku. Aku mulai menganggap diriku lemah dan tak penting. Aku sangat tidak nyaman dengan kompleks rendah diri dan ketiadaan rasa percaya diri ini. 

Kebetulan aku memperoleh tugas untuk menyampaikan undangan pertemuan (majelis) mingguan. Setiap kali aku keluar untuk melakukan tugas itu, pikiranku merasa terganggu. Aku ragu, apakah aku dapat melakukan tugas itu dengan baik. Jantungku berebar-debar. Aku merasa tak mampu menyampaikan hasil pembicaraan dengan benar. 

Setelah lama, aku baru mampu mengingat poin-poin pembicaraan di mana aku terlibat di dalamnya. Bahkan kemudian aku merasa tak percaya diri. Aku pun berharap agar tanggung jawab ini tidak dipercayakan kepadaku. Apapun pekerjaan yang kulakukan, aku mulai merasa enggan. Setelah melakukan pekerjaan setengah jalan, aku ingin perkerjaan ini dialihkan dariku. Aku berusaha keras mengatasi ketiadaan rasa percaya diri ini, namun selalu gagal."


Seorang wanita lainnya menulis:
" Sejak kecil, ibu selalu membantu pekerjaanku. Ia tak pernah membiarkanku melakukan sesuatu sendiri. Lambat laun, aku mulai terbiasa bersandar dan bergantung pada orang lain. Aku tak dapat memanfaatkan rasa percaya diri dan kemampuanku mengatasi masalah. Aku selalu memerlukan ibu dan anggota keluarga lainnya. 

Ketergantunganku pada orang lain itu bahkan untuk pekerjaan yang remeh sekalipun. Aku merasa tak mampu melakukan apa-apa sendiri."
Harus diketahui pula bahwa pada tahap ini, beberapa anak-demi memperlihatkan kepribadiannya-melakukan tindakan keliru. Sebagai contoh, mereka mungkin memotong tangkai bunga dan mencabut batang semak, mengganggu burung, anjing atau kucing, mengganggu orang lain atau menarik rambut saudara perempuannya, dan sebagainya. 

Dalam hal ini, orang tua tak boleh diam saja. Namun, mereka juga harus menyadari bahwa anak melakukan itu bukan disebabkan kebencian. Ia hanya mencoba menegaskan kepribadiannya. Oleh karenanya, cara terbaik untuk mencegah anak dari melakukan hal itu adalah dengan mengalihkan perhatiannya pada hal-hal lain. Buatlah ia sibuk dengan permainan atau tugas yang bermanfaat.


Catatan Kaki:
[3] Nahj al-Balâghah, jil.2, hal.163.

[4] Ushûl al-Kâfî, jil.2, hal.148.

[5] ibid., jil.2, hal.148.

[6] Tuhaf al-'Uqûl, hal.269.





52.KEMANDIRIAN

Salah Paham atas Kebebasan Anak
Cukup banyak orang tua yang menganggap bahwa membatasi atau meniadakan kebebasan anak-anak merupakan cara mendidik yang baik. Mereka menganggap bahwa anak-anak tak mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Sebabnya, mereka (anak-anak) belum punya pemahaman yang cukup dan bila diberi sedikit saja kebebasan, niscaya akan disalahgunakan. 

Para orang tua semacam ini pada dasarnya sedang memaksakan pemikirannya pada si anak dan memonopoli seluruh keputusan yang berkaitan dengannya. Mereka berupaya mengendalikan si anak dalam berbagai hal; makan, bermain, dan aktivitas-aktivitas lainnya. Mereka ingin membentuk kehidupan si anak sesuai pemikiran mereka sendiri. Mereka yakin bahwa si anak tidak berhak mengenyam kebebasan dan kemandirian. 

Si anak tidak boleh melakukan apapun tanpa seizin orang tua. Apapun yang diputuskan orang tua harus mutlak dilaksanakan si anak tanpa syarat. Lalu, bila keputusan orang tua itu keliru, si anak harus berhenti melaksanakannya tanpa boleh mengeluh sedikitpun. Para orang tua semacam itu tidak membolehkan anak-anaknya ikut campur dalam upayanya mengasuh mereka . 

Dulu, sebagian besar keluarga biasanya menerapkan cara semacam ini dalam mengasuh putra-putrinya. Mereka umumnya mengasuh anak-anaknya dengan tangan besi. Bahkan, dewasa ini, masih ada sejumlah keluarga yang mempraktikkan cara-cara semacam itu terhadap putra-putrinya.

Kendatipun merupakan kebiasaan masa lalu dan masih dipraktikkan sejumlah keluarga, namun cara semacam itu cenderung mulai ditinggalkan. Sebabnya, cara tersebut memiliki banyak kekurangan dan tidak bermanfaat. Memang, cara mengasuh semacam itu memungkinkan anak-anak patuh dan segan pada orang tuanya. 

Namun, mereka akan tumbuh menjadi sosok penakut dan tak punya rasa percaya diri. Naluri mencipta dan menggagasnya juga akan mandeg. Mereka tak akan punya keberanian untuk memikul tugas sulit dan penting di pundaknya. Mereka juga tak mampu menjadi pemimpin, melainkan akan terbiasa diperintah dan menanggung perlakuan menyakitkan dengan sikap dingin. 

Ketika tumbuh dewasa, mereka tak akan mampu mengatasi kekurangannya dengan mudah. Mereka membawa kekurangan dalam jiwanya yang kelak akan menyebabkan timbulnya sejumlah penyakit kejiwaan. Bahkan, boleh jadi, orang-orang semacam itu akan mengembangkan kecenderungannya pada kekejaman dan suka menzalimi anak-anaknya dan orang lain. 

Banyak kalangan intelektual dan psikolog yang kemudian menyerukan penentangan terhadap praktik pengasuhan kejam ini dan menganjurkan orang tua untuk memberikan kebebasan penuh pada anak-anaknya. Mereka menyarankan para orang tua untuk membiarkan anak- anaknya bebas bertindak sesuai hasrat dan keinginan mereka (anak-anak) sendiri. 

Mereka mengatakan bahwa seorang anak seyogianya dibebaskan untuk melakukan apapun yang diinginkannya, meskipun boleh jadi itu tidak benar menurut pandangan orang tua. Dengan cara ini, si anak akan tumbuh dengan pikiran yang mandiri .

Psikolog terkenal, Sigmund Freud, meyakini metode ini dan memiliki banyak pengikut di Timur maupun di Barat. Banyak orang tua juga mengikuti metode ini dalam mengasuh anak-anaknya. Mereka memberikan kebebasan penuh kepada anak-anaknya serta tak pernah memerintahkan ini dan itu. Namun, praktik pengasuhan semacam ini juga tidak sepenuhnya benar. 

Terdapat sejumlah kekurangan yang dikandungnya. Anak-anak yang diasuh dengan cara ini tidak mempercayai apapun dalam melakukan apa yang mereka inginkan. Anak-anak semacam itu umumnya akan mementingkan diri sendiri, mudah tersinggung, dan berwatak kurang ajar. Mereka menganggap bahwa orang lain tak punya hak apapun. 

Mereka suka merampas hak-hak orang lain dan dengan tanpa alasan, acap mengganggu saudara-saudara kandungnya. Anak-anak semacam itu cenderung mengganggu orang lain dan tetangga-tentangganya. Disebabkan hasratnya dikendalikan penuh kemandirian penuhnya, mereka suka berbuat lancang terhadap selainnya. Harapan mereka mencapai tingkat sedemikian rupa sampa-sampai mereka akan menghadapi kesulitan dalam meraihnya. 

Ketika anak-anak tersebut tumbuh dewasa, mereka mengharapkan selainnya mematuhinya tanpa syarat. Mereka tak mau dikendalikan siapapun juga. Ketika menyadari bahwa dirinya tak sanggup mendapatkan hal-hal yang diinginkan dari selainnya, mereka akan segera berputus asa. 

Setelah menghadapi penolakan terhadap diri mereka di tengah masyarakat, mereka akan menjadi terasing atau demi membalas dendam atas kekalahannya, menyusun tipu muslihat dengan melakukan tindakan keji dan berbahaya. 


Beri Kebebasan Selektif 
Kebebasan tanpa batas seringkali juga menjadi amat berbahaya. Terkadang seorang anak ingin berlari di jalan raya yang penuh bahaya atau menyentuh kabel yang dialiri listrik. Jadi, kedua metode pengasuhan anak-yang satu tidak memberikan kebebasan pada anak, sementara yang lain memberikannya secara penuh-sarat dengan kesalahan yang begitu menyolok. 

Jalan paling baik untuk diikuti dalam masalah mengasuh anak adalah memberinya kebebasan selektif. Allah Swt telah menganugerahi umat manusia perbedaan naluri dan perasaan yang membentuk karakter seseorang. Naluri-naluri tersebut di antaranya adalah rasa cinta, benci, keberanian, rasa takut, dan sebagainya. 

Semua itu merupakan hakikat perasaan dan pikiran anugerah Allah Swt bagi seluruh umat manusia demi mengatasi segenap masalah yang mereka hadapi. Naluri-naluri tersebut membentuk kepribadian seseorang. Di alam bebas, naluri-naluri tersebut tetap tumbuh.

Rasa takut bermanfaat untuk menghindar dari marabahaya. Rasa amarah membantu dalam upaya memutuskan untuk menyerang musuh. Ketekunan dibutuhkan untuk menuntut pelajaran. Seseorang yang tidak memiliki naluri rasa takut dan rasa marah dalam kepribadiannya akan menjadi sosok yang rendah diri (inferior). 

Tentu saja tidak dibenarkan untuk menekan naluri-naluri tersebut dalam diri anak. Dalam atmosfer kebebasan, seorang anak dapat memperoleh manfaat dari naluri-naluri tersebut. 

Agama Islam memberikan perhatian khusus pada kebutuhan terhadap kebebasan. Dalam hal ini, kami akan mengutip sejumlah riwayat yang berkaitan dengannya . 

Imam Ali as. mengatakan, "Janganlah menjadi budak selainnya. Sebab, Allah Swt telah menjadikan kalian terlahir sebagai sosok yang merdeka."_[7]

Imam Ja`far Shadiq as. berkata, "Seseorang yang menyandang sifat-sifat ini akan menjadi sosok yang berhasil; (1) keimanan; (2) kebijaksanaan; (3) akhlak; (4) kebebasan; (5) kelakuan baik." 

Rasulullah saw menyabdakan, "Seorang anak adalah seorang penguasa hingga ia berumur tujuh tahun. Sejak tujuh hingga 14 tahun, ia menjadi orang yang diatur. Dan setelah berusia 14 tahun, ia merupakan wakil dan penasihat bagi orang tuanya ."_[8] 

Jelas, kebebasan penuh merupakan sesuatu yang mustahil di tengah masyarakat. Dalam hal ini, kebebasan seseorang dengan kebebasan selainnya tak dapat dipertemukan satu sama lain. Seorang anak harus diberi pengertian sejak dini bahwa tanpa pembatasan apapun, seseorang tak dapat hidup di tengah masyarakat. 

Sebab, orang lain juga punya hak pribadi. Sebagai contoh, seorang anak ingin bermain. Jelas, bermain dapat menjadi sarana yang baik untuk mendidiknya. Dan ia harus diberi kebebasan untuk memainkan suatu permainan yang cocok dengan perangainya. 

Namun, dalam bermain, si anak harus diingatkan tentang hak-hak selainnya. Ia harus diminta untuk berhati-hati dalam bermain agar jangan sampai merusak barang-barang milik tetangganya atau memecahkan kaca jendela bangunan di sekelilingnya. Dengan begitu, ia tetap diberi kebebasan untuk bermain namun dengan disertai sejumlah batasan.


Dua Kategori Perbuatan 
Si anak tentu saja boleh menggunakan dan menunjukkan naluri kemarahannya demi membela diri di saat yang tepat. Namun, dalam kemarahannya, ia tak punya kebebasan untuk merusak barang-barang di sekitarnya, mencederai selainnya, atau mengumbar makian. 

Orang tua seyogianya menyusun sebuah ancangan bagi pengasuhan si anak dengan mempertimbangkan usia, kecerdasan, kekuatan, dan perasaannya. 


Dalam pada itu, mereka harus memberitahukan si anak perihal dua kategori perbuatan:
1. Perbuatan-perbuatan yang diinginkan untuk dilakukan si anak.

2. Perbuatan-perbuatan yang bersifat tabu (dilarang dilakukan) baginya.

Pertama-tama, mereka harus menentukan batas dari masing-masing jenis perbuatan tersebut. Setelah itu, mereka harus memberikan kebebasan penuh kepada si anak untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang diinginkan, sehingga ia dapat secara penuh menggunakan naluri-nalurinya dalam melakukan kegiatan-kegiatan tersebut tanpa batasan apapun. 

Si anak harus diberi kebebasan untuk berpikir dan bertindak. Namun, ia tak hanya harus diberi kebebasan penuh, melainkan juga sesekali diberi bimbingan bila memang dibutuhkan. Sebaliknya, si anak harus benar-benar dicegah dari melakukan tindakan-tindakan yang terlarang baginya.

Dengan menerapkan cara ini, kebebasan si anak tak akan terkekang dan kemampuannya tak akan terhambat. Ia akan memiliki hak penuh atas kebebasan dan berkeyakinan bahwa naluri-nalurinya digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat. Orang tua harus berhati-hati dalam menentukan perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk, yang mungkin dilakukan si anak. 

Perbuatan-perbuatan yang membahayakan keluarga, seseorang, atau barang, juga yang bertentangan dengan syariat dan hukum, harus dihindarkan dan si anak harus dilarang keras melakukannya. Untuk perbuatan-perbuatan yang baik, si anak harus diberi kebebasan penuh. Dalam melakukan perbuatan-perbuatan baik tersebut, si anak harus dibiarkan untuk menggunakan pikiran dan intuisinya sendiri.

Aturan-aturan perbuatan harus ditentukan secara hati-hati berdasarkan kadar kekuatan tubuh, jiwa, dan pikirannya. Ini agar aturan-aturan yang ditetapkan itu tidak sampai merugikan si anak.

Orang tua seyogianya bersikap tegas dalam menyatakan kepada si anak, "Engkau mampu melakukannya," atau, "Engkau sama sekali tidak boleh melakukannya."

Orang tua juga harus berusaha menekan perasaan dan emosinya. Mereka juga harus menghilangkan keragu-raguan dan sikap waswas sehingga si anak memahami tanggung jawabnya dan tak akan ragu-ragu dalam memenuhi kewajiban-kewajibannya.

Imam Hasan Askari as. mengatakan, "Bila seorang anak tidak mematuhi orang tuanya, dan bersikap kurang ajar terhadap mereka, ia akan tumbuh dewasa menjadi sosok yang durhaka dan suka menentang."_ [9]

Kedua orang tua harus saling bekerja sama dalam menghilangkan perbedaan pandangan yang berkaitan dengan si anak. Perbedaan pandangan di antara keduanya akan menimbulkan keraguan dalam benak si anak.


Catatan Kaki:
[7] Bihâr al-Anwâr, jil.77, hal.214. [8] Wasâ`il asy-Syî'ah, jil.15, hal.195.

[8] Bihâr al-Anwâr, jil.78, hal.374.

[9] Bihâr al-Anwâr, jil.78, hal.374.







53. BEKERJA DAN MELAKSANAKAN TUGAS

Asas Kehidupan 
Bekerja dan berusaha meraih [sesuatu] merupakan asas kehidupan manusia. Dengan bekerja, manusia mendapatkan kebutuhan-kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, dan tempat bernaung. Kebutuhan-kebutuhan tersebut didapatkan seseorang lewat usaha tanpa kenal lelah sepanjang hidupnya. 

Pertumbuhan industri dan seluruh temuan [teknologi] yang semakin kompleks dewasa ini merupakan hasil dari penelitian terus-menerus dan perkembangan aktivitas umat manusia. Hanya kerja keras dan pengetahuanlah yang melahirkan pelbagai peradaban di dunia ini. Merupakan sebuah keagungan kolektif dari para penduduk suatu negeri bila memiliki tempat terhormat dalam lingkungan bangsa-bangsa. 

Kemakmuran suatu negeri merupakan cerminan langsung dari upaya keras yang dilakukan para penduduknya. Bila para penduduk suatu negeri terdiri dari orang-orang yang malas dan manja, niscaya negerinya akan tertinggal di belakang bangsa-bangsa lain dalam bidang aktivitas. Negeri semacam itu tak akan makmur, juga tak akan produktif dan selalu tertinggal. 

Berkaitan dengannya, kemajuan setiap individu juga amat bergantung pada pengetahuan, kemampuan, dan kesungguhan upayanya. Dunia merupakan tempat untuk bekerja keras dan membanting tulang. Tak ada tempat bagi orang-orang yang lalai dan mengelak dari kewajibannya. Allah memfirmankan dalam al-Quran, Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (QS. an-Najm: 39)


Kedudukan Bekerja dalam Islam
Nabi Muhammad saw menyabdakan, "Terkutuklah orang yang menaruh bebannya ke pundak orang lain."_[10]

Beliau juga mengatakan, "Ibadah memiliki 70 keutamaan dan yang paling utama adalah berupaya keras mencari nafkah dengan cara jujur."_ [11] 

Imam Ja`far Shadiq as. mengatakan, "Sampaikan salamku pada para sahabatku dan ingatkan mereka untuk tetap dalam kesalehan serta mempersiapkan diri untuk menghadapi Hari Perhitungan. Demi Allah, aku meminta kalian melakukan hal-hal demikian, sebagaimana saya sendiri berupaya keras untuknya. Setelah shalat subuh, pergilah bekerja dan carilah nafkah dengan cara jujur. Niscaya Allah akan menolongmu dan memberimu makanan."_[12]

Imam Muhammad Baqir as. mengatakan, "Aku tidak menyukai orang yang malas melaksanakan kewajiban-kewajiban duniawinya. Seseorang yang lamban dalam kehidupan ini juga akan lamban di Hari Akhir."_[13]

Imam Ja`far Shadiq as. mengatakan, "Seseorang yang berupaya keras menafkahi keluarganya, akan mendapat pahala yang sama dengan pahala berjihad."_[14]

Beliau juga mengatakan, "Para petani merupakan lumbung bagi umat manusia. Mereka menabur benih-benih yang baik dan Allah membantu dengan menumbuhkannya. Di Hari Pengadilan, para petani akan menghuni tempat yang mulia. Lalu, mereka akan dipanggil dengan julukan mubarakîn-orang-orang yang dirahmati ."_[15]

Setiap manusia memperoleh manfaat dari upaya dan kerja selainnya. Umat manusia saling berhubungan secara timbal-balik dan tidak dapat hidup terasing. Karenanya, masing-masing individu berkewajiban untuk sebaik mungkin berupaya mempertahankan hidupnya dan keberadaan selainnya. 

Para pekerja karenanya dapat dianggap sebagai manusia terbaik. Adapun orang-orang yang memiliki kemampuan dan kekuatan untuk bekerja namun bergantung pada upaya selainnya akan dijauhkan dari rahmat Allah Swt. 


Melatih Anak Bekerja 
Orang tua yang mengharapkan anak-anaknya tumbuh sebagai warga yang patuh dan berguna [bagi agama dan masyarakat], serta memberi sumbangan bagi kemajuan bangsanya, harus mendorong anak-anaknya sejak usia dini untuk melakukan sejumlah kegiatan yang bermanfaat. 

Mereka harus melatih anak-anaknya sedemikian rupa demi mengembangkan bakat dan kecenderungannya untuk bekerja sejak usia paling dini. Dengan cara ini, mereka akan mampu menumbuhkan jiwa pekerja dalam diri anak-anaknya. Anak-anak seperti ini tak akan merasa gengsi dalam melaksanakan setiap pekerjaan. 

Kebanyakan orang tua tidak memberi perhatian terhadap aspek sangat penting ini dalam mengasuh anak-anaknya. Mereka terus menerus melakukan hal-hal yang mudah bagi si anak, yang sebenarnya dapat dilakukannya (si anak) sendiri tanpa banyak kesulitan. Dengan sikap semacam ini, mereka tidak membentuk rasa tanggung jawab pada diri anak. 

Mereka menyangka bahwa dengan cara ini, mereka sedang melayani si anak. Sebaliknya, cara semacam itu justru dapat merugikan si anak dan masyarakat luas. Dengan sikap tersebut, mereka sedang membentuk para pemalas yang akan melalaikan pekerjaan saat telah tumbuh dewasa. 

Si anak harus didorong dan dibantu untuk melakukan pekerjaan yang cocok dengan usia dan kemampuan fisiknya. Dengan cara ini, kebiasaan bekerja akan terbentuk dalam diri si anak, yang pada gilirannya akan menyukai pekerjaan. 

Orang tua bodoh, yang melakukan setiap pekerjaan remeh bagi si anak, bukannya mengundurkan diri dari tugas mengasuh anak, malah terus menciptakan individu-individu malas dan tak berguna bagi masyarakat. 

Sementara orang tua yang bertanggung jawab dan cerdas selalu memperhatikan usia serta kemampuan fisik dan mental anaknya, seraya mendorongnya untuk melaksanakan tugas-tugas yang berada dalam lingkup pengetahuannya. Sebagai contoh, seorang anak berusia tiga tahun diminta untuk mengenakan sendiri kaus kakinya, memakai sendiri celana pendeknya, atau mengambil sendiri tempat garam, dan sebagainya. 

Ketika si anak tumbuh besar, tugas-tugas lebih besar dapat dipercayakan kepadanya, seperti merapikan tempat tidurnya sendiri, menata meja makan, mencuci piring, menyapu dan mengepel lantai, dan sebagainya. Anak-anak juga harus didorong untuk mengasuh adik-adiknya, merawat kebun di sekeliling rumah, dan mengurus binatang peliharaan. 

Selain itu, mereka juga harus dilatih untuk pergi berbelanja sendiri ke toko atau warung-warung kecil penjual kebutuhan pokok rumah tangga. Ketika tumbuh lebih besar lagi, ia dapat dimotivasi untuk melakukan tugas-tugas lebih sulit.


Faktor-faktor Penting

Dalam kaitan ini, terdapat sejumlah faktor penting yang harus diperhatikan orang tua:
1. Pertimbangkanlah tahap usia dan [kemampuan] fisik anak; orang tua harus mempercayakan si anak dengan pekerjaan yang cocok dengan kemampuannya. Kadangkala si anak sendiri memperlihatkan keinginannya untuk melakukan sejumlah pekerjaan. Pekerjaan-pekerjaan tersebut umumnya berhubungan dengan kebutuhan pribadinya. Dalam hal ini, ia harus dibolehkan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Kalau tidak, ia akan terbiasa bergantung pada selainnya dalam setiap persoalan sepele. 

2. Keberanian dan kekuatan fisik anak seyogianya selalu diperhatikan betul dan pekerjaan-pekerjaan yang melampaui kemampuannya semestinya tidak dibebankan kepadanya. Sebab, jika tidak, si anak mungkin akan merasa bosan dan kemudian menolak mengerjakan apapun. Bila suatu pekerjaan membuatnya lelah, ia mungkin akan menunjukkan sikap bermusuhan dengan pekerjaan semacam itu.

3. Berupayalah menjelaskan suatu tugas kepada si anak seraya mempercayakannya kepadanya. Camkan pada si anak bahwa bahwa segala sesuatu yang ada di rumah tidak terjadi dengan sendirinya; ayah harus bekerja keras untuk menafkahi kehidupan keluarga, sementara ibu juga berupaya keras untuk melaksanakan tugas sehari-harinya di rumah. 

Sang anak juga harus dimotivasi untuk membantu membereskan rumah dengan mengerjakan hal-hal yang sesuai dengan kemampuannya. Pada saat-saat seperti itu, orang tua jangan sampai memaksa si anak untuk bekerja. Ia harus merasa nyaman dalam mengerjakan tugas-tugas ringannya di rumah dan tidak bekerja di bawah paksaan. 

4. Bila dimungkinkan, berilah kesempatan pada si anak untuk memilih tugas dan tanggung jawabnya. Misal, mencuci piring atau mengepel lantai.

5. Jumlah dan batasan pekerjaan harus dijelaskan kepada anak dengan sebaik-baiknya. Ini akan membuatnya sadar akan tanggung jawabnya dan tak memungkinkannya melampaui batas-batas yang telah ditetapkan baginya.

6. Anak yang memiliki kemampuan khusus harus diberi kepercayaan dengan tugas-tugas khusus pula. Sebagai contoh, seorang anak harus diberitahu dengan cara meyakinkan bahwa di atas meja makan harus selalu tersedia sayur-mayur segar saat makan. Dengan begitu, ia diharuskan untuk memperhatikan persediaan sayur-sayuran segar serta barang-barang kebutuhan lainnya, seperti sabun, pasta gigi, deterjen, dan lain-lain.

7. Upayakanlah mempercayakan tugas-tugas yang digemari dan sudi dilakukan si anak dengan sukarela. Namun, dalam kasus-kasus tertentu, si anak harus diminta untuk mengerjakan hal-hal yang tidak disukainya. Si anak harus didorong untuk melaksanakan tugas-tugas seperti itu, yang akan menjadi ajang pembinaan yang baik baginya. 

Sayyidina Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Tentukanlah tugas setiap orang dalam rumah. Bila memahami tanggung jawabnya masing-masing, mereka tak akan menganggap bahwa tugasnya harus diemban orang lain."_[16]

8. Bila Anda memiliki banyak anak di rumah, bersikap adillah dalam membagi-bagi pekerjaan di antara mereka. 

9. Untuk mendorong anak-anak menunaikan tugasnya di rumah, dampingi mereka. Anak-anak akan merasa dirinya dipandang penting tatkala melihat orang tuanya bekerja bersama mereka. 

10.Bila terjalin pemahaman yang utuh di antara kedua orang tua dalam hal pelaksanaan tugas-tugas rumah tangga, niscaya mereka (orang tua) akan menjadi teladan yang baik sekaligus dorongan bagi anak-anak untuk menirunya. 
Anak-anak dalam rumah tangga semacam itu akan dengan senang hati memikul tanggung jawabnya.

11. Bila anak-anak sudah tumbuh lebih besar dan mampu mengemban tugas yang bermanfaat secara ekonomis, maka orang tua harus mengadakan kegiatan-kegiatan semacam itu bagi mereka. Dengan cara ini, mereka akan memiliki kesibukan sekaligus memberi pendapatan tambahan bagi keluarga. 

Camkan dalam benak mereka untuk tidak merasa gengsi dalam melakukan pekerjaan apapun yang halal dan sebaliknya malah, itu merupakan persoalan harga diri. Bagaimanapun, anak-anak seyogianya tidak terlalu banyak diberi beban pekerjaan. 

Mereka harus diberi kesempatan dan waktu yang cukup untuk bermain dan bertamasya. Tentu keliru bila menganggap bahwa disebabkan orang tua berkecukupan, anak-anak tak perlu bekerja. Sebab, dengan cara ini, anak-anak akan menjelma menjadi sosok pemalas yang hanya suka berhura-hura.

Akhirnya, kami ingin mengingatkan bahwa fondasi bagi kemauan bekerja harus dibangun sejak usia kanak-kanak agar itu menjadi kebiasaan seseorang. Sebab, akan sangat sulit sekali menjadikan orang yang sudah berusia dewasa untuk terbiasa bekerja. Orang tua yang bertanggung jawab seyogianya tidak mengabaikan aspek teramat penting ini dalam mengasuh anak-anaknya.


Seorang perempuan menulis dalam buku hariannya:
" Saya adalah orang yang sangat pemalas, rendah diri, dan keras kepala. Saya selalu gelisah dan dibayang-bayangi perasaan cemas. Saya mengalami radang usus. 

Saya tak punya kemauan untuk melakukan pekerjaan apapun. Bagiku, melakukan setiap hal sangatlah sulit. Saya hanya tinggal makan dan tak peduli soal memasak dan pekerjaan rumah sehari-hari lainnya. Inilah penyebab saya selalu bertengkar dengan suami dan mertua saya. Penyebab seluruh kemalangan ini adalah ibu saya. Ia adalah sosok yang baik, penyabar, dan pemberani. 

Namun, ia tak pernah mempercayakan pekerjaan apapun pada saya, barangkali disebabkan rasa cintanya kepada saya. Ia tak pernah mempercayakan tanggung jawab apapun pada saya. Ia tak ingin membuat saya lelah mengerjakan pekerjaan rumah sehari- hari. Ia tak pernah menyadarkan saya pada kenyataan bahwa kelak di masa depan, saya harus menjalani sebuah kehidupan rumah tangga, di mana saya terlatih untuk itu…."


Seorang perempuan lain menulis dalam sebuah surat:
"… Saya adalah anak tertua dalam keluarga. Saya benar-benar puas dengan kehidupan saya serta tidak merasakan adanya kekurangan dalam taraf kehidupan (ekonomi) saya. Saya bukan tipe seorang pendengki. Saya justru orang yang baik dan suka membantu orang lain. Perhiasan dan harta kekayaan tidak berarti bagi saya. 

Saya memikul tanggung jawab saya dengan bangga. Saya tidak menyesali apapun yang ada dalam kehidupan. Kehidupan saya bersih, tenang, dan damai. Saya sangat berterima kasih pada kedua orang tua saya yang telah membesarkan saya selama ini.

Seraya memasuki rumah, ayah saya biasa memanggil saya untuk membawakan belanjaannya dengan hati-hati. Ia acapkali menyerahkan kemejanya kepada saya untuk dibuatkan kancingnya atau memberikan celananya untuk diseterika. Ia juga acap menghargai pekerjaan saya dan berterima kasih kepada saya. 

Suatu ketika, saya menjahitkan pakaian baru untuknya. Ia terlihat sangat senang dan berjanji akan membelikan sebuah mesin jahit untuk saya.
Beberapa hari kemudian, ia memenuhi janjinya. Ia membelikan saya sebuah mesin jahit yang bagus. 

Sejak hari itu, pekerjaan merajut dan menjahit dalam rumah menjadi tanggung jawab saya. Ibuku selalu memberi saya bahan-bahan pakaian yang harganya mahal ( untuk dijahit) seraya berkata, 'Jangan takut merusak bahan pakaian ini. Sebab, sekali kau merusaknya, kau akan berupaya menjahit dengan lebih baik di masa mendatang.'

Disebabkan sikap ibu yang menenteramkan hati, kepercayaan diri saya kontan melambung dan semakin kuat. Saya selalu berusaha mengerjakan tugas-tugas saya dengan penuh hati-hati. Sampai-sampai saya lupa kalau saya pernah merusak bahan pakaian (yang dijahit)!

Saya mempelajari segala hal dengan dukungan kasih sayang orang tua. Saya senantiasa memikul tanggung jawab dan melaksanakan tugas-tugas saya dengan tepat guna (efisien). Inilah yang mendorong saya untuk memberikan hal yang sama kepada anak-anak saya."


Catatan Kaki:
[10] Ushûl al-Kâfî, jil.5, hal.73.

[11] ibid., hal.78.

[12] ibid.

[13] ibid., hal.85.

[14] ibid., hal.88.

[15] ibid., hal.201.

[16] Ghurar al-Hikam, hal.124.






54. KEJUJURAN

Hinanya Kebohongan 
Berkata bohong adalah kebiasaan yang sangat dibenci dan merupakan salah satu dosa besar. Umat manusia di seluruh dunia membenci kebohongan. Orang-orang yang suka berbohong akan dihinakan. Seseorang yang dikenal sebagai pembohong umumnya tidak memiliki rasa percaya diri atau tidak menghargai teman-temannya. Orang yang baik dan mulia tak pernah berkata bohong. Islam secara tegas mengutuk perilaku buruk ini.

Imam Muhammad Baqir as. mengatakan, "Kebohongan menyebabkan hilangnya keimanan."_[17]

Imam Ja`far Shadiq as. mengatakan, "Nabi Isa mengatakan bahwa barangsiapa yang terus menerus berkata bohong tidak akan dihargai."_[18]

Imam Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Tak ada perbuatan yang lebih hina dari berbohong ."_[19]

Seluruh nabi Allah dan setiap pembaharu menyeru manusia untuk mengatakan kebenaran. Dalam hal ini, kebenaran bersifat fitriah. Setiap orang cenderung pada kebenaran. Bahkan, seseorang yang suka berbohong sekalipun, senantiasa senang mendengar kebenaran. Disebabkan rasa malunya, seorang anak secara fitriah cenderung berkata jujur. 

Pengaruh faktor-faktor luarlah yang membuatnya mengadopsi kebiasaan berbohong. Seorang anak sesungguhnya tak mampu berbohong. Namun, ketika dihadapkan dengan lingkungan yang memaksanya untuk berbohong, ia berangsur-angsur terbiasa dengan kebiasaan buruk tersebut. Bila keadaannya sudah sedemikian rupa, pelbagai nasihat yang bersumber dari al-Quran serta riwayat Nabi saw dan para imam maksum niscaya tak akan berpengaruh baginya.


Ciptakan Suasana Kejujuran dalam Rumah
Karenanya, sudah menjadi kewajiban para orang tua untuk memastikan anak-anak mereka bersikap jujur sejak masa kanak-kanak. Namun, seyogianya mereka berhati-hati dalam mengenyahkan sebab-sebab perbuatan bohong seraya menanamkan kejujuran pada kepribadian si anak. 


Mereka semestinya tidak melalaikan kewajibannya untuk meningkatkan kejujuran sang anak. Orang tua yang bertanggung jawab dan memiliki perhatian terhadap bagaimana mengasuh anak dengan baik, harus mempertimbangkan fakta-fakta berikut:
1. Satu hal yang akan membuahkan pengaruh bermanfaat bagi pengasuhan anak adalah suasana dalam keluarga. Anak tumbuh dalam lingkungan tersebut. Ia mempelajari kebiasaan baik dari kedua orang tua dan anggota keluarga lainnya. Bila suasana rumah dipenuhi kejujuran dan kebenaran, di mana orang tua dan anggota keluarga lainnya memperlakukan satu sama lain dengan adil dan jujur, niscaya anak akan menirunya.

Sebaliknya, bila suasana rumah dipenuhi kebohongan, di mana kedua orang tua saling berbohong satu sama lain, niscaya anak yang jiwanya masih polos akan mengambil kebiasaan yang sama. Anak-anak yang telinganya sudah terbiasa mendengar ungkapan-ungkapan bohong di sekelilingnya, tak pernah dapat diharapkan untuk berpikir dalam cara lain. 

Beberapa orang tua yang bodoh tak hanya berkata bohong tapi juga mendorong anak-anaknya berbohong demi meraih sejumlah keuntungan sesaat. Misal, seorang ayah yang ada di rumah menyuruh anaknya untuk mengatakan pada tamu yang datang bahwa dirinya sedang pergi. Atau, orang tua menyuruh anaknya yang tidak masuk sekolah untuk mengatakan kepada gurunya bahwa dirinya (anak) sedang sakit. Dengan begitu, orang tua sedang menanamkan kebiasaan pura-pura sakit dalam diri si anak. 

Alhasil, terdapat ratusan kebohongan yang berseliweran dalam rumah setiap hari. Orang tua semacam itu sedang menanamkan ketidakadilan dalam jiwa anak-anak yang masih polos dan mudah dipengaruhi. Berbohong merupakan sebuah dosa, dan mengajarkan anak berbohong adalah dosa yang paling besar.

Karena itu, orang tua yang menginginkan anak-anaknya jujur tak punya cara lain kecuali lebih dulu menjadikan dirinya jujur. Inilah pengajaran lewat keteladanan.


Bertrand] Russel menulis:
" Bila Anda menginginkan anak-anak Anda tidak menyandang kebiasaan berbohong, maka satu-satunya metode untuk itu adalah dengan selalu bersikap jujur di hadapan mereka."_[20]

Saya berharap Russel mengatakan, "Bersikaplah jujur di hadapan anak-anak sebagaimana juga di hadapan orang lain!" Ini mengingat kebohongan atau ketidakjujuran akan mempengaruhi watak anak sekalipun dilakukan secara diam-diam (tidak di hadapan anak).

Imam Ja`far Shadiq as. mengatakan, "Serulah orang-orang pada kebaikan tanpa menggunakan kata-katamu. Orang-orang seyogianya melihat kesalehan, ketekunan, ibadah, dan perbuatan baikmu yang menjadi teladan bagi mereka."_[21]

2. Pada dasarnya, seorang anak tidak suka berbohong. Naluri fitrahnya mendorongnya untuk menjunjung kebenaran. Ia butuh alasan yang sangat kuat untuk berbohong. Bila orang tua mampu melacak alasan paling mendasar bagi dilakukannya kebohongan, lalu berupaya mengenyahkannya dengan cara bijak, niscaya si anak akan menjadi sosok yang jujur. Salah satu alasan yang mendorong anak berbohong adalah rasa takut terhadap teguran orang tuanya. Ketika 

Anda menanyakan padanya tentang apakah ia telah memecahkan kaca jendela, ia akan menjawab, "Bukan!" Camkan bahwa alasan si anak berbohong adalah ketakutannya pada orang tuanya. Lalu, ia akan melemparkan tanggung jawab memecahkan kaca jendela kepada orang lain. 

Bila orang tua tergolong cerdik dan bijaksana, alasan si anak untuk berbohong tak akan pernah muncul. Mungkin saja kaca jendela itu pecah secara tidak disengaja. Karenanya, tak ada alasan untuk memarahi si anak. Dalam hal ini, kedua orang tua harus mengatakan pada si anak dengan lembut agar lebih berhati-hati lagi pada masa mendatang .


Kekerasan Hukuman Bukan Jalan Keluar
Dalam situasi seperti itu, si anak tak layak dimarahi atau dipukul (yang justru akan mendorongnya berlindung di balik kebohongan). Bahkan sekalipun ia memang memecahkan kaca jendela dan secara terang-terangan mengingkari perbuatannya itu, hukuman keras bukanlah jalan keluar bagi masalah tersebut. 

Anak tak dapat dibenahi hanya dengan pukulan atau hukuman. Juga tak ada jaminan bahwa si anak tidak akan mengulangi lagi perbuatan yang sama. Dalam situasi semacam ini, orang tua seyogianya mencamkan bahwa pada dasarnya si anak tidaklah agresif. Dengan kata lain, selalu terdapat alasan-alasan eksternal bagi perilaku semacam itu. 

Karenanya, orang tua harus melakukan penyelidikan dengan cermat demi menemukan alasan dan penyebab yang sebenarnya bagi tindakan pengrusakan tersebut. Tatkala penyebab pecahnya kaca jendela ditemukan, maka tak akan ada lagi alasan bagi anak untuk mengulangi kembali perbuatannya itu. Barangkali, tindakan merusak (vandalisme) merupakan akibat langsung dari berbagai cercaan yang ditimpakan pada si anak oleh orang lain. 

Atau, si anak tidak mendapat perhatian yang layak, lalu melampiaskan kemarahannya dengan cara merusak kaca jendela. Boleh jadi pula itu merupakan reaksi terhadap hukuman orang tua yang tidak semestinya diterima si anak. Bila orang tua berupaya mengenyahkan kebencian psikologis dari benak si anak, niscaya akan terbuka kemungkinan untuk membenahinya. 

Bila pemecahan semacam itu terwujud, maka tak lagi dibutuhkan tindakan penghukuman. Si anak lantas akan menahan diri dari tindakan-tindakan destruktif sehingga tak lagi diperlukan teriakan atau pukulan baginya.

a. Bila Anda mengetahui bahwa anak Anda telah melakukan sesuatu yang keliru, dan Anda bermaksud membimbing dan membenahinya, maka janganlah menanyainya seperti seorang polisi. Sebab, mungkin saja demi melindungi dirinya, si anak kemudian berbohong. Dalam keadaan semacam itu, lebih baik Anda tidak menanyainya. 

Katakan saja padanya, umpama, bahwa ia harus mengembalikan buku yang dipinjam dari temannya itu. Katakan pula padanya bahwa tidaklah dibenarkan menahan barang-barang milik orang lain untuk waktu lama. Lalu, suruhlah ia segera mengembalikan buku temannya itu seraya meminta maaf.

b.Janganlah mengancam si anak dengan hukuman yang sebenarnya Anda sendiri tidak bersungguh-sungguh untuk menjatuhkannya. Sebagai contoh, jangan katakan padanya bahwa bila ia melakukan ini dan itu, Anda akan memukulnya, menyerahkannya kepada polisi, atau mengusirnya dari rumah. 

Juga, dalam keadaan marah, jangan katakan padanya bahwa Anda tak akan mengajaknya ke jamuan makan malam esok hari yang justru amat dinanti-nantikannya itu. Dengan perlakuan keliru semacam itu, Anda sedang mengajarkan anak berbohong. Karena itu, Anda harus menyampaikan pada si anak hal-hal yang benar-benar akan Anda lakukan, yang tentunya memang layak baginya . 

c. Orang tua yang suka bersikap keras terhadap anak-anaknya dan mengharapkan dari mereka lebih dari kemampuan mereka, kemungkinan besar akan lebih mendorong mereka berbohong. Sebagai contoh, ketika si anak tidak mendapatkan hasil yang baik dalam ujiannya, lalu tanpa menghiraukannya, orang tua malah memaksakannya pada hari pertamanya masuk sekolah, terus mengomelinya setiap hari tentang pelajarannya, dan membentaknya. 

Padahal, kemampuan yang dimilikinya memang terbatas, sehingga ia tetap tak akan mampu meraih nilai yang lebih baik sekalipun mengupayakannya dengan sebaik-baiknya. Disebabkan menginginkan orang tuanya bersikap baik terhadapnya, ia pun lantas berlindung di balik kebohongan. 

Misal, ia akan membuat alasan bahwa dalam ujian waktu itu, dirinya sedang sakit kepala. Atau, ia mengatakan bahwa gurunya tidak menyukainya sehingga memberinya nilai (ujian) yang rendah.

Bila membebani anak sesuai kemampuannya, orang tua tak akan menempatkannya dalam situasi yang mendorongnya untuk membuat-buat alasan bagi kesalahannya .

d. Terdapat orang tua yang menghubungkan tindakan keliru tertentu yang dilakukan anak-anaknya kepada teman-temannya di sekolah atau di tempat bermain. Bahkan mereka terkadang menyalahkan binatang atau tumbuhan untuk hal-hal semacam itu. Sebagai contoh, mereka mengatakan bahwa seekor kucing atau tikuslah penyebabnya. 

Orang tua yang bodoh tersebut menganggap bahwa mereka telah melakukan sesuatu yang baik terhadap anaknya dengan tidak menghubungkannya dengan tindakan yang pada dasarnya benar-benar telah dilakukan si anak. Padahal dengan cara ini, terjadi dua hal yang sangat merugikan; pertama, mereka tengah mengajarkan si anak berbohong; dan kedua, si anak akan belajar melemparkan kesalahan tindakannya pada selainnya.

Bila suatu ketika si anak berbohong tanpa sengaja, selidikilah penyebabnya dan carilah cara pengobatannya. Namun, penyelidikan ini seyogianya dilakukan dengan cara halus agar anak-anak tidak merasa bahwa dirinya sedang diselidiki.


Catatan Kaki:
[17] Ushûl al-Kâfî, jil.4, hal.32.

[18] ibid., hal.33.

[19] Mustadrak al-Wasâ`il, jil.2, hal.100.

[20] Dar Tabiat, hal.148.

[21] Ushûl al-Kâfî, jil.2, hal.780.






55. MEMENUHI JANJI

Pentingnya Perjanjian 
Masyarakat manusia tak dapat berfungsi tanpa terlembaganya janji dan jaminan atas harapan-harapan mereka. Orang-orang membuat kesepakatan dan perjanjian satu sama lain yang menjadikan terbentuknya keluarga-keluarga dan suku-suku. 

Begitu pula di antara kota-kota yang ada, terdapat kesepakatan bersama yang menyatukan mereka. Orang-orang sangat menghormati kesepakatan-kesepakatan tersebut karena semua itu merupakan basis bagi kehidupan kolektif mereka. 

Memenuhi janji merupakan hal penting dalam kehidupan manusia dan setiap pelanggaran terhadapnya akan dipandang sangat buruk di mata setiap indvidu. Setiap orang yang menjalin kesepakatan dengan selainnya akan berharap bahwa butir-butir kesepakatan tersebut akan ditaati secara mutlak. 

Kelompok mana pun yang terikat dengan amanat tersebut akan dimasukkan sebagai unit-unit yang tunduk pada butir-butir kesepakatan. Alasan mereka merasa aman adalah bahwa mereka akan saling percaya satu sama lain tanpa punya alasan apapun untuk berselisih. Kehidupan orang-orang seperti mereka akan berhasil dan serbamakmur.

Sebaliknya, sekelompok orang di sebuah daerah yang tidak terikat kesepakatan satu sama lain akan dihantui perasaan cemas dan gelisah. Mereka akan menjadi korban perseteruan terus-menerus. 

Setiap individu atau masyarakat yang menghormati perjanjian yang dibuat dengan selainnya akan memiliki rasa hormat dan kepercayaan terhadap selainnya. Mereka yang melanggar amanat atau perjanjian akan dibenci dan dihinakan selainnya. Islam adalah agama fitrah yang sangat menekankan pentingnya pemenuhan janji-janji dan amanat.

Allah Swt memfirmankan dalam al-Quran, … dan penuhilah janji; sesungguhnya (setiap) janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya (di Hari Perhitungan). (QS. al-Isra: 34)

Di tempat lain dalam al-Quran, dikatakan, Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. (QS. al-Mu'minun: 8)

Rasulullah saw mengatakan, "Orang yang tidak memenuhi amanat, [berarti] tidak memiliki keimanan."_[22]

" Barangsiapa mengimani Allah Swt dan Hari Perhitungan harus memenuhi janji-janjinya."_[23]

Imam Ali as. mengatakan kepada Malik Asytar, "Melanggar janji membuat orang lain, juga Allah, kecewa."_[24]

" Bila engkau tak mampu memenuhinya, janganlah melontarkan janji. Bila engkau tak dapat menetapkan jaminan, janganlah memberikannya."_[25]


Hormatilah Perjanjian 
Untuk menghidupkan kebiasaan memenuhi janji dan menjunjung amanat dalam masyarakat, maka langkah paling penting yang harus ditempuh adalah mengasuh orang-orang sejak masa kanak-kanak untuk menunaikan janji yang diucapkannya. Pelatihan ini dimulai sejak masa kanak-kanak dalam lingkungan keluarga. 

Pada periode ini, sang anak berusaha meniru tindakan dan ucapan orang tuanya. Dalam pada itu, orang tua dapat menjadi teladan bagi anak-anak. Pada dasarnya, anak mengharapkan agar janji-janji (orang tuanya) akan tetap dijaga dan dipenuhi. Bila orang tua memenuhi janji-janji kecilnya, berarti si anak mendapat pelatihan menyangkut aspek penting dalam kehidupannya ini. 

Namun, bila mereka menganggap remeh dan mengabaikan janji-janji kecilnya, maka si anak akan mendapat contoh negatif dan mengembangkan kebiasaan melanggar janji yang diucapkannya. Mereka mulai percaya bahwa janji-janji dibuat untuk dilanggar.

Bila orang tua membuat janji palsu demi sejenak menenangkan sang anak, maka pada dasarnya, mereka secara sembrono sedang mendidiknya (si anak) untuk mengumbar janji palsu. Dapatkah anak semacam itu tumbuh menjadi sosok terhormat? 

Untuk meredakan rengekan anak, seorang ibu umumnya berjanji akan membelikannya manisan, es krim, mainan, dan sebagainya. Adakalanya ia juga memberi janji-janji tersebut agar si anak mau disuntik atau meminum obat yang rasanya pahit. 

Atau sebaliknya, menakut-nakuti si anak dengan mengatakan bahwa bila dirinya melakukan hal tertentu, ia (ibu) akan membawanya ke kantor polisi, melaporkan pada ayahnya, atau menolak membelikannya baju baru saat hari raya. 

Jika Anda memperhatikan kehidupan orang-orang di sekitar Anda, atau bahkan kehidupan Anda sendiri, maka Anda akan melihat pelbagai contoh janji-janji dan ancaman-ancaman palsu semacam itu dilontarkan kepada anak-anak yang masih polos. 

Pernahkah orang tua membayangkan tentang pengaruh apa yang sedang mereka tiupkan ke benak anak-anak yang masih gamang itu? Kekejian semacam ini, tanpa disadari sama sekali, dilakukan terhadap anak-anak yang tak berdosa!

Orang tua yang bodoh tidak menyadari bahwa mereka sedang melakukan dosa; membuat janji palsu dan juga mendorong si anak mengikuti langkah mereka.

Inilah alasan Islam menuntut orang tua untuk memenuhi janji yang mereka ucapkan kepada anak-anaknya. 

Rasulullah saw mengatakan, "Sayangilah anak-anak. Perlakukan mereka dengan baik. Bila engkau berjanji kepada mereka, penuhilah dengan sebenar-benarnya. Anak-anak menganggap engkau sebagai pemberi nafkah bagi mereka."_[26]

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Kapanpun engkau berjanji kepada anak-anak, penuhilah (janji tersebut) dengan sebenar-benarnya."_[27]




56. KEPEMILIKAN
Cinta ibu merupakan bagian dari fitrah manusia. Manusia ingin memiliki hal-hal yang dibutuhkannya. Ia menganggap dirinya adalah tuan dari segenap hal tersebut. Ia juga mengharap selainnya menghargai perasaannya terhadap segala miliknya. Naluri kepemilikan dalam fitrah manusia ini tak dapat dihapuskan sepenuhnya. 

Dikekang dengan cara apapun, ia tetap akan kembali muncul. Kepemilikan, meskipun merupakan fenomena yang bersifat anggapan, benar-benar menjadi fenomena yang menyelubungi realitas kehidupan. Tanpa rasa kepemilikan, kehidupan umat manusia kiranya menjadi mustahil. Sejak mulai mengenal dirinya dan kebutuhan-kebutuhannya, seorang anak secara naluriah menganggap bahwa dirinyalah pemilik semua itu. 

Ketika memungut sesuatu yang tergeletak di lantai, atau mengambilnya dari tangan selainnya, seorang anak cenderung menganggap bahwa itu adalah miliknya. Ia takkan bersedia membaginya dengan siapapun. Ia tahu bahwa dirinya adalah pemilik pakaiannya, sepatunya, dan hal-hal lainnya. Dengan demikian, ia tidak mau orang lain mengambil-alih semua itu. 

Anda harus mengetahui bahwa anak-anak mencintai mainan-mainannya, seburuk apapun bentuknya. Mereka melindungi mainan-mainan tersebut dan bahkan siap berkelahi untuknya. Mereka memiliki rasa bangga atas kepemilikan dalam fitrah mereka. 

Orang yang berusaha melindungi hak-hak dirinya (sang anak), niscaya tak akan dianggap sebagai orang jahat. Rasa kepemilikan bukanlah naluri yang bersifat negatif. Karenanya, orang tua harus memahami dan menerima naluri alamiah anak semacam ini. 

Acapkali terjadi, seorang anak melanggar batas-batas kepemilikan anak-anak yang lain dan berusaha merampas mainannya. Dalam kasus ini, orang tua harus mencegah tindakan semacam ini. Bila anak yang lebih tua mengganggu anak yang lebih kecil, orang tua harus segera turun tangan dengan sikap yang adil. 

Anak yang lebih tua harus diyakinkan bahwa seyogianya ia tidak mengambil mainan milik adiknya dengan cara paksa. Bila ulahnya itu masih terus berlanjut, si anak harus diberi peringatan keras untuk mengubah perilakunya. Kebutuhan-kebutuhan manusia terus berkembang. 

Bila tidak dilakukan pengawasan terhadapnya, niscaya kebutuhan-kebutuhan tersebut akan melampaui cara-cara (memenuhi)nya. Karenanya, tuntutan kebutuhan-kebutuhan tersebut umumnya dapat menjadi penyebab kehancuran seseorang. 

Konsep kepemilikan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan seseorang yang masuk akal. Dalam hal ini, bekerja dianggap perlu bagi tercapainya kepemilikan. Bahkan dalam batas-batas yang dibolehkan oleh syariat, kecintaan pada harta kekayaan dianggap sah-sah saja. Namun, bila melampaui batas-batas syariat, maka hal itu akan dikategorikan sebagai ketamakan dan kekikiran. 

Terdapat banyak orang yang dapat digolongkan sebagai para pemuja kekayaan. Mereka terus berusaha tanpa kenal lelah menumpuk kekayaan. Bahkan, mereka rela menggadaikan ketenteraman, harga diri, dan martabatnya dalam usahanya yang sia-sia memburu harta kekayaan. Inilah salah satu jenis kegilaan. 

Mereka hanya ingin mendapatkan seonggok harta kekayaan yang padahal tidak bermanfaat, baik untuk dirinya maupun selainnya. Orang-orang semacam itu, tentu saja, tak dapat digolongkan sebagai orang-orang yang bijak. 


Bimbing Anak pada Kepemilikan Positif
Karena itu, orang tua harus menumbuhkan rasa kepemilikan dalam diri anak, seraya pula mengajarkannya untuk merasa puas dengan apa yang mampu diperolehnya secara absah. Ia boleh memiliki mainan, tapi jangan sampai terlalu banyak. Mainan-mainan tersebut seyogianya memadai bagi si anak untuk bermain dan belajar. 

Bila si anak terlalu banyak memiliki mainan baru yang tergeletak di rak mainan, lebih baik orang tua memberikan sebagiannya pada anak-anak yang lain. Namun, tindakan tersebut seyogianya dilakukan dengan bijak. Misal, dengan mengatakan pada si anak, "Mainanmu terlalu banyak, sementara anak yang lain tidak punya mainan sama sekali. Kalau engkau memberinya beberapa mainanmu, tentu ia akan merasa senang sekali. 

Engkau juga akan membuat senang ayah, ibu, juga Allah." Dengan begitu, si anak akan dengan senang hati berbagi mainannya dengan anak-anak yang lain. Sebabnya, ia ingin menyenangkan hati orang tuanya. Naluri semacam ini mendorongnya memahami keadaan selainnya dan memberikan beberapa mainannya pada anak yang lain. 

Dengan cara ini, kebiasaan berbagi dapat ditumbuhkan dalam diri anak. Selain itu, orang tua juga dapat mendorong si anak meminjamkan mainannya kepada anak-anak yang lain selama bermain dan meminta mengembalikannya. Melalui cara ini, semangat bekerja sama dan berbagi juga dapat tumbuh dalam diri anak. 

Ringkasnya, orang tua semestinya tidak sampai bersikap berlebih-lebihan dalam segenap aspek pengasuhan anak. Mereka harus menumbuhkan rasa kepemilikan dalam diri anak, seraya mengawasi agar tidak sampai melampaui batas-batas yang ditentukan (syariat). Mereka harus memastikan bahwa si anak tidak akan menjadi pecinta buta harta kekayaan di masa depan kehidupannya.


Catatan Kaki:
[22] Bihâr al-Anwâr, jil.75, hal.96.

[23] Ushûl al-Kâfî, jil.2, hal.364.

[24] Bihâr al-Anwâr, jil.77, hal.96.

[25] Ghurar al-Hikam, hal.801.

[26] Wasâ`il asy-Syî'ah, jil.15, hal.101; Bihâr al-Anwâr, jil.104, hal.92.

[27] Mustadrak al-Wasâ`il, jil.2, hal.106.






57. KEDERMAWANAN

Mulianya Kedermawanan 
Kedermawanan dan kemurahan hati merupakan sifat yang mulia. Orang yang dermawan dan murah hati akan berusaha keras mendapatkan harta, namun tak akan mencintai kekayaan secara berlebihan. Ia menginginkan kekayaan tapi untuk berbagi dengan selainnya. 

Ia tidak tergila-gila dengan harta kekayaan yang melimpah. Ia menghabiskan hidupnya bersama keluarganya dan berpartisipasi secara penuh dalam menyejahterakan kehidupan masyarakat. Ia suka menolong orang-orang yang tertindas dan membutuhkan. Alhasil, ia memanfaatkan kekayaannya dengan cara yang benar.

Orang kikir, sebaliknya, suka menumpuk kekayaan. Ia tidak menggunakan harta tersebut untuk dirinya, apalagi membantu orang-orang yang membutuhkan. Orang semacam itu akan menumpuk kekayaan untuk anak cucunya. Islam secara tegas mencela kekikiran dan memuji kedermawanan. 

Rasulullah saw menyabdakan, "Kedermawanan merupakan bagian dari iman dan iman akan membawa seseorang ke surga."_[28] 

" Kedermawanan adalah sebatang pohon di surga yang cabang-cabangnya sedemikian rupa menjangkau bumi. Barangsiapa memegang erat salah satu cabangnya, akan mencapai surga,."_[29] 

" Surga adalah rumah bagi orang-orang yang dermawan."_[30]

" Allah Mahakaya dan Maha Pemurah, serta menyukai kedermawanan manusia."_[31]

" Tidak pantas bagi seorang mukmin untuk bersikap kikir dan pengecut."_[32]

Kedermawanan dan kemurahan hati dapat menarik kecintaan dan kasih sayang. Masyarakat menyukai dan menghormati orang dermawan. Berkat kedermawanan dan kemurahan hati, hati manusia dapat ditaklukan.

Rasulullah saw mengatakan, "Orang dermawan lebih dekat kepada (Allah), makhluk-makhluk-Nya, dan surga. Ia senantiasa jauh dari neraka. Orang kikir selalu jauh dari Allah, makhluk-makhluk-Nya (manusia), dan surga. Sebaliknya, ia lebih dekat ke api neraka."_[33]

Orang kikir cenderung mengabaikan hak-hak yang semestinya dipenuhi. Karena itu, ia layak diganjar hukuman di Hari Perhitungan. Sementara, kemurahan hati menjadikan seseorang dimuliakan, baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak. Sifat dermawan bersifat naluriah, sebagaimana kebajikan manusia lainnya. 

Dengan begitu, orang tua harus menumbuhkan sifat-sifat mulia tersebut dalam diri anak-anaknya. Benar, setiap anak dilahirkan sesuai dengan fitrahnya. Namun demikian, beberapa elemen fitrahnya dengan mudah berubah menjadi kedermawanan, sementara yang lain cenderung ke arah kekikiran. 

Dalam pada itu, pembinaan dan pengasuhan orang tua memiliki pengaruh penting dalam membentuk karakter anak-anak. Mereka dapat mempengaruhi anak agar kecenderungan pada kekikiran tidak semakin menguat, seraya mendorongnya menjadi lebih bersikap dermawan.


Orang Tua Dermawan Anak pun Dermawan
Salah satu hal yang memiliki pengaruh paling maksimal dalam pertumbuhan kepribadian anak adalah karakter orang tua. Dalam hal ini, orang tua selalu berperan sebagai teladan bagi anak-anak. Bila orang tua bersikap dermawan, niscaya si anak akan berupaya menirunya. 

Pada tahap-tahap berikutnya, kebiasaan bersikap dermawan akan mengakar pada dirinya. Sebaliknya, bila orang tua bersikap kikir, niscaya si anak juga akan menjadikan dirinya bersikap sama. Dalam hal ini, karakter seseorang dibentuk lewat kebiasaan.

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Didiklah dirimu sendiri menjadi orang yang bajik; lalu pilihlah yang terbaik di antara kebajikan-kebajikan tersebut. Niscaya kebajikan-kebajikan tersebut akan menjadi kebiasaan dirimu ."_ [34]

" Kedermawanan merupakan salah satu kebiasaan yang baik."_[35]

Imam Ja`far Shadiq as. mengatakan, "Cukuplah bagi seseorang untuk dikatakan berdosa bila dirinya tidak menafkahi keluarganya dan menelantarkannya."_[36]


Tips Menumbuhkan Kebiasaan Bersikap Dermawan

Berikut ini adalah tuntunan bagi para orang tua untuk menumbuhkan kebiasaan bersikap dermawan dan bermurah hati dalam diri anak-anaknya:
1. Doronglah anak untuk memberikan sebagian barang miliknya kepada orang tua dan saudara-saudaranya. Lalu, berilah pujian yang layak dan ucapan terima kasih atas kebaikannya itu. Pada awalnya, si anak mungkin akan merasa enggan berbagi barang miliknya. Namun, berangsur-angsur, ia akan terbiasa juga dengan sikap murah hati. Janganlah memaksa si anak berbagi sewaktu ia enggan melakukannya selama masa percobaan ini. Sebab, itu akan mendorongnya bersikap keras kepala . 

2. Sesekali, doronglah anak untuk membolehkan anak-anak yang lain bermain dengan mainan miliknya. Ia juga harus didorong untuk membagi manisan dan coklat miliknya dengan anak-anak yang lain. Tatkala ia melakukannya, tunjukanlah sikap salut dengan, misalnya, menepuk pundaknya. 

3. Sesekali, doronglah dirinya untuk memberikan sebagian uang sakunya kepada kaum fakir dan miskin. Atau, mintalah ia mengeluarkan uangnya untuk hal-hal yang bermanfaat. Bila menjadi sebuah kebiasaan, niscaya semua itu akan menimbulkan pengaruh yang baik pada karakter si anak setelah dewasa kelak. 
4. Mintalah si anak untuk mengundang makan teman-temannya ke rumah dan menjamu mereka dengan baik. 

5. Berilah sejumlah uang kepada si anak setiap hari, seraya memintanya untuk disedekahkan atau dikeluarkan untuk hal-hal yang bermanfaat.

6. Bicarakanlah dengan si anak soal kesulitan dan penderitaan kaum fakir miskin. Bila memungkinkan, ajaklah si anak pergi ke rumah sakit, panti asuhan, serta rumah penampungan orang-orang terlantar dan panti jompo. Lalu katakan padanya bahwa kehadirannya dimaksudkan untuk membantu orang-orang yang membutuhkan. 

Semua cara di atas kiranya dapat memprakarsai anak untuk terbiasa bermurah hati. Bagaimanapun, kita tak dapat mengklaim bahwa metode ini dapat diterapkan kepada semua anak. Orang tua tetap harus berusaha sebaik-baiknya, sementara nilai keberhasilannya dapat berbeda dari anak yang satu ke anak yang lain. 

Setiap individu memiliki fitrah dan kemampuan menerima perubahan sendiri-sendiri. Bagi anak-anak, kebiasaan mereka juga berasal dari faktor genetis yang diwariskan dari generasi ke generasi. Namun demikian, pengasuhan yang cermat secara pasti memiliki sejumlah pengaruh yang baik. 


Seorang perempuan menulis dalam suratnya sebagai berikut:
"… Di sebuah daerah yang subur, kami memiliki sehamparan kebun buah. Berbagai jenis buah-buahan tumbuh di situ dengan berlimpah-ruah. Nenek dan ibuku selalu memberikan sebagian buah-buahan tersebut kepada kaum fakir miskin. Mereka terutama sekali bersikap murah hati terhadap orang-orang miskin yang menjadi pembantu di tengah keluarga kami. Mereka biasanya mempercayakan tugas ini kepada saya. 

Sejak usia enam atau tujuh tahun, saya sudah terbiasa melakukan pekerjaan ini. Di desa kami, terdapat keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri lanjut usia yang kedua matanya buta. Hati saya sangat trenyuh melihatnya. Setiap hari saya menjenguk mereka; menggenggam tangan mereka, membawa mereka keluar rumah untuk menghirup udara segar, dan mengantar pulang kembali ke rumah mereka. 

Saya juga selalu membawakan air danau yang segar untuk mereka. Suami istri yang buta itu selalu mengucapkan terima kasih seraya mendoakan saya. Ketika saya menceritakan semua itu kepada ayah dan ibu, mereka terlihat sangat senang. Ibuku berkata bahwa orang yang buta benar-benar layak mendapatkan pertolongan dalam bentuk apapun.

Orang tua saya selalu mendorong saya melakukan pelbagai perbuatan yang baik. Saya terbiasa menyisihkan uang saku saya dan memberikannya pada siapa pun yang membutuhkan. Berangsur-angsur, saya pun terbiasa melakukannya. Sekarang, saya adalah anggota sebuah organisasi bantuan sosial yang mengurus 14 keluarga miskin.

Anak-anak saya juga terpengaruh oleh sikap dan kegiatan saya. Suatu hari, salah seorang anak saya mengatakan, 'Bu, berikanlah saya uang setiap pagi.' Saya bertanya kepadanya, 'Untuk apa?' Ia berkata, 'Saya akan menabungnya.' Lalu, saya pun memberinya uang setiap hari seraya mengingatkannya untuk tidak memboroskannya. 

Setelah beberapa hari, ia menemui saya dengan sebuah pundi di tangan. Dalam pundi itu, terdapat sebagian uang yang saya berikan kepadanya selama ini. Ia berkata, 'Bu, kalau ibu mengizinkan, saya akan memberikan uang ini kepada seorang tua yang buta. Ia tinggal tak jauh dari sekolah saya.' Duhai, betapa senangnya saya memiliki anak seperti dia. Saya pun segera mencium dan memeluknya."




58. SALING MENOLONG DALAM KEBAIKAN
Sejumlah tugas besar dan penting tak dapat dikerjakan sendirian tanpa bantuan siapa pun. Sebaliknya, bila terdapat sejumlah orang yang siap membantu, niscaya tugas yang sama dapat dikerjakan dengan ringan. Bila seseorang tetap bekerja sendirian, niscaya ia tak akan mampu dan bakal menemui kegagalan dalam mengerjakan berbagai tugas sekaligus. 

Jarang terjadi, seseorang sendirian saja membangun dan menjalankan sebuah organisasi sosial. Seorang individu tak akan mampu mengurus rumah sakit, sekolah, masjid, panti asuhan, perpustakaan, dan sebagainya tanpa meminta bantuan selainnya. Kenyataannya, seseorang tak mampu sendirian mengelola administrasi dari organisasi apapun. 

Namun, berkat bantuan dan kerja sama selainnya, pekerjaan apapun dapat diselesaikan dengan sempurna. Setiap bangsa yang para penduduknya memiliki semangat saling membantu dan bekerja sama akan menjadi bangsa yang makmur.

Dalam kaitan ini, Islam merupakan sebuah sistem perkumpulan yang utuh, yang menyeru manusia untuk bersatu padu dalam mengerjakan kebaikan. Al-Quran al-Karim mengatakan, … tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (QS. al-Maidah: 2)

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Saling membantu guna mempertahankan kebenaran merupakan ketaatan dan ketulusan."_[37]


Biasakanlah Saling Menolong Sejak Masa Kanak-kanak
Semangat kerja sama dan persaudaraan sudah mengakar sejak masa kanak-kanak. Ini mengingat manusia memiliki fitrah menjalin hubungan yang dibawanya sejak lahir. Namun demikian, selalu muncul kebutuhan untuk memanfaatkan naluri fitriah ini. Orang tua yang bersungguh-sungguh dalam mengasuh anak-anaknya akan menumbuhkan naluri bergaul dalam diri mereka (anak-anak). 

Umpama, menyediakan mainan dan permainan yang memerlukan kerja sama kelompok, atau yang harus dimainkan oleh lebih dari satu anak. Juga mendorong dan membimbing mereka bersama-sama menyisihkan sebagian uang sakunya untuk ditabung dan digunakan pada hal-hal yang bermanfaat. Dengan cara itu, anak-anak dapat membeli buah-buahan dan manisan, untuk kemudian dibagi-bagikan kepada orang yang sakit, fakir, dan miskin. 

Dalam hal ini, orang tua dapat menambah uang saku mereka serta membantu mereka membeli dan membagi-bagikan buah-buahan dan sebagainya. Orang tua juga dapat menyalurkan uang tabungan anak-anak secara berkala ke sejumlah organisasi sosial. Atau menyumbangkan sebagian uang tabungan itu ke beberapa perpustakaan umum untuk dibelikan buku-buku baru. Orang tua juga dapat mendorong anak-anak untuk membentuk panitia kecil dan memprakarsai sendiri sejumlah aktivitas sosial. 

Bila orang tua merupakan anggota sebuah organisasi sosial, maka sudah seharusnya mereka juga memprakarsai anak-anak untuk beraktivitas sama. Misalnya, dengan memberikan sejumlah uang kepada si anak untuk disumbangkan sendiri kepada organisasi dan menjadikannya anggota tetap. 


Nilai Kemanusiaan dan Anak-anak
Semuanya adalah ciptaan Allah Swt. Seluruh manusia berasal dari nenek moyang yang sama (yakni, Nabi Adam dan Hawa). Pada kenyataannya, seluruh manusia termasuk dalam sebuah keluarga besar yang sama. Allah Swt telah menciptakan dan mengasihi mereka. Hanya Allah saja yang mengaruniakan mereka segenap kebutuhan hidup di dunia. 

Dia menganugerahkan mereka kemampuan untuk memanipulasi dan memanfaatkan segala sesuatu yang ada, serta memberikan mereka kearifan dan kekuatan untuk memanfaatkan segala hal di sekeliling mereka demi keuntungan mereka. Allah Swt telah menyediakan mereka kesempatan untuk melambungkan spiritualitasnya demi meraih kesempurnaan takwa dan memperoleh ganjaran pahala di akhirat kelak. 

Dia menyediakan pelbagai sarana bimbingan dalam sosok para nabi yang diutus dari waktu ke waktu. Dia telah mengangkat para imam (sebagai pelanjut misi kenabian dan kerasulan), juga para pembimbing keagamaan, seperti para mujtahid dan maraji' (ulama-ulama besar agama yang menjadi rujukan hukum-peny.). Semua itu disebabkan Allah Swt mencintai manusia. 

Sungguh, anugerah yang dicurahkan-Nya kepada manusia tak terkira banyaknya. Dia menginginkan umat manusia saling mengasihi satu sama lain dan berusaha keras menciptakan kesejahteraan hidup bersama. Dia menginginkan umat manusia saling menolong, baik dalam keadaan suka maupun duka. 

Siapapun yang memikirkan dan berupaya memperbaiki nasib orang lain merupakan orang-orang pilihan Allah Swt. Kelak, mereka akan mendapatkan banyak balasan kebaikan di akhirat. Islam, yang merupakan sistem keimanan bersama, sangat menekankan pentingnya sikap khidmat terhadap kemanusiaan.

Rasulullah saw mengatakan, "Seluruh umat manusia memakan makanan yang dianugerahkan Allah Swt. Karena itu, orang-orang yang paling dicintai Allah adalah mereka yang memberikan makanan kepada manusia lain dan memenuhi kebutuhan sejumlah keluarga."_[38]

Imam Ja`far Shadiq as. mengatakan, "Allah Swt memfirmankan, 'Umat manusia memakan makanan yang Kuberikan. Di antara mereka yang benar-benar Kucintai adalah orang-orang yang berbuat baik kepada selainnya dan berusaha keras membantu orang lain yang sedang membutuhkan.'"_[39]

Seseorang bertanya pada Nabi saw, "Siapakah orang yang paling dicintai Allah Swt?"

Nabi saw menjawab, "Orang yang paling bermanfaat bagi saudaranya."_[40]

Rasulullah saw juga mengatakan, "Setelah keimanan, perbuatan paling bijaksana adalah mencintai dan mengasihi sesama manusia, serta berbuat baik kepada mereka ."_[41]

" Orang yang tidak memperhatikan kebaikan kaum Muslim bukan termasuk seorang Muslim."_[42]

Imam Ja`far Shadiq as. berkata, "Orang-orang pilihan Allah adalah mereka yang didatangi selainnya yang membutuhkan pertolongan. Orang-orang semacam ini akan berada dalam lindungan Allah Swt di Hari Pengadilan."_[43]

Rasulullah saw bersabda, "Allah Swt menyayangi hamba-hamba-Nya dan menyukai hamba-hamba tersebut menyayangi saudara-saudaranya."_[44]

Terdapat ratusan riwayat dari Nabi saw dan para imam semacam itu yang tersebar di berbagai kitab hadis yang memuat ucapan manusia-manusia maksum tersebut. 

Nabi saw memandang masyarakat Islam sebagai sebuah kesatuan tunggal dan memerintahkan orang-orang yang beriman untuk mengusahakan kebaikan bersama. Islam adalah sistem keimanan bersama dan menganggap kesejahteraan individu-individunya sebagai kesejahteraan masyarakat. 

Islam menentang segala jenis kecenderungan mementingkan diri sendiri. Seorang Muslim sejati tak akan pernah mementingkan dirinya sendiri. Ia juga tak pernah mengabaikan hak-hak selainnya di tengah masyarakat. 


Saling Bekerja Sama adalah Sifat Mulia
Keinginan menjalin hubungan persaudaraan dengan manusia lain merupakan sifat mulia yang tertanam dalam fitrah setiap individu. Namun, hanya melalui pembinaan yang tepat saja, sifat semacam ini dapat dijelmakan. Adakalanya terjadi, sifat yang sangat agung ini sama sekali lenyap dalam diri beberapa orang. 

Ini tak ubahnya dengan pelbagai naluri yang melekat dalam diri seluruh manusia yang benih-benihnya mulai muncul sepanjang awal masa kanak-kanak, yang bila tidak dipelihara dengan layak, akan terbengkalai atau sama sekali lenyap dari jiwa seseorang. 

Sudah menjadi tanggung jawab orang tua untuk menjadikan anak-anaknya bersikap ramah dan bermurah hati kepada sesamanya. Jika orang tua sendiri bermurah hati kepada selainnya, yang terpantul dalam kata-kata dan tindakannya, niscaya anak-anak mereka secara alamiah akan meneladaninya. 

Orang tua yang bertanggung jawab dan berwawasan terkadang menggambarkan tentang betapa memprihatinkannya hidup orang-orang fakir, miskin, cacat, dan lanjut usia, di hadapan anak-anaknya. Bila memungkinkan, mereka mengajak anak-anak menemui orang- orang semacam itu. Lalu, mereka akan mengatakan pada anak-anak bahwa orang-orang tersebut adalah orang-orang tertindas yang membutuhkan dukungan dan pertolongan. 

Bukan hanya itu, mereka juga memberikan bantuan kepada orang-orang semacam itu di hadapan anak- anak demi memberikan contoh yang baik untuk mereka tiru saat tumbuh dewasa dan mampu menolong selainnya. Selain itu, mereka juga menjelaskan kepada anak-anak perihal kezaliman culas yang dilakukan sejumlah orang terhadap orang-orang yang malang, juga kondisi orang-orang tertindas yang benar-benar memprihatinkan. 

Mereka juga berbicara kepada anak-anak perihal penderitaan hidup anak-anak yatim piatu yang tak punya orang tua yang dapat merawat mereka, sehingga mereka layak mendapat dukungan penuh dari selainnya dalam kehidupan masyarakat. 

Mereka mengajak anak-anaknya ke panti asuhan untuk menemui anak-anak semacam itu, atau mengundang sejumlah anak yatim ke rumah. Semua ini merupakan proses untuk menjadikan anak-anak menyadari tanggung jawabnya dalam menolong dan membantu kaum yang membutuhkan di tengah masyarakat. 


Catatan Kaki:
[28] Jâmi` as-Sa'âdah, jil.2, hal.113.

[29] ibid., hal.114.

[30] ibid.

[31] ibid., hal.113.

[32] ibid., hal.112.

[33] Al-Mahajjat al-Baydha', jil.3, hal.248.

[34] Bihâr al-Anwâr, jil.77, hal.213.

[35] Ghurar al-Hikam, hal.17.

[36] Wasâ`il asy-Syî'ah, jil.15, hal.251.

[37] Ghurar al-Hikam, hal.48.

[38] Bihâr al-Anwâr, jil.74, hal.317.

[39] ibid., jil.73, hal.337.

[40] ibid., jil.74, hal.239.

[41] ibid., hal.392.

[42] ibid., hal.347.

[43] ibid., hal.318.

[44] ibid., hal.339.







59. KEADILAN DAN PERSAMAAN

Keadilan sebagai Pilar Segalanya
Sebuah keluarga yang terdiri dari beberapa individu tak ubahnya sebuah masyarakat kecil. Dalam hal ini, orang tua bertugas mengelola seluruh urusan yang ada di dalamnya. Sebagaimana menjalankan sebuah negara, pengelolaan kehidupan keluarga mustahil dilakukan tanpa berpijak di atas prinsip keadilan dan persamaan bagi seluruh anggotanya. 

Sikap tidak mementingkan diri sendiri, cinta, kasih sayang, dan persatuan hanya mungkin tercipta dalam suasana yang dipenuhi keadilan dan persamaan. Anak-anak akan mendapat asuhan yang selayaknya dalam atmosfer kehidupan semacam ini. Sebab, fitrah mereka menemukan wahananya untuk tumbuh. 

Mereka akan mempelajari sikap adil dan seimbang dari contoh yang diajukan orang tuanya kepada mereka. Bila orang tua tidak mempedulikan kebutuhan terhadap keadilan dan kesamaan, niscaya anak-anaknya juga akan bersikap sama.

Imam Ja`far Shadiq as. mengatakan, "Sebagaimana air yang murni dan segar sangat dibutuhkan orang yang sedang dicekik rasa dahaga, begitu pula dengan keadilan dan persamaan. Orang-orang sangat berhasrat terhadapnya. Dan rasanya juga jauh lebih lezat dan lebih baik lagi. Tak ada yang lebih baik dari keadilan."[45]

"Terdapat tiga jenis manusia yang lebih dekat dengan Allah di Hari Perhitungan kelak. Pertama, mereka yang tidak menzalimi pihak yang lebih lemah saat sedang diliputi kemarahan; kedua, mereka yang menjadi penengah di antara dua pihak yang sedang berselisih, namun tidak melakukan apapun yang bertentangan dengan syarat-syarat keadilan; ketiga, mereka yang selalu menjunjung kebenaran, sekalipun itu membahayakan dirinya sendiri."[46]

Allah Swt berfirman, Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan... (QS. an-Nahl: 90)

Sikap adil dan tidak pilih kasih orang tua harus diberlakukan pada seluruh anak-anaknya tanpa pandang bulu. Mereka tidak boleh bersikap pilih kasih terhadap anak tertentu. Baik terhadap anak lelaki maupun perempuan, cantik atau tidak, punya kemampuan atau tidak, orang tua harus mencurahkan perasaan cinta dan kasih sayang yang sama. Tegasnya, mereka harus memberikan perlakuan yang sama kepada semua anaknya.

Rasulullah saw bersabda, "Berlaku adillah terhadap seluruh anak-anakmu, sekalipun beberapa di antaranya sedang bepergian. Bila engkau ingin diperlakukan anak-anakmu dengan baik, penuh kasih sayang, dan adil, maka perlakukanlah mereka dengan cara yang sama."[47]

Rasulullah saw mengetahui bahwa salah seorang sahabat lebih memperhatikan salah satu putranya ketimbang anaknya yang lain. Beliau lalu berkata kepadanya, "Mengapa engkau tidak memperhatikan kebutuhan terhadap keadilan dan persamaan (sikap tidak pilih kasih) dalam memperlakukan (anak-anak)?"[48]

Seseorang sedang duduk menemani Rasulullah saw. Sekonyong-konyong putranya datang. Orang tersebut langsung mencium anak lelakinya itu dan mendudukannya di pangkuannya. Tak lama kemudian, anak perempuannya juga datang. Lelaki itu lalu mendudukannya di hadapannya. Lalu Rasulullah saw berkata padanya, "Mengapa engkau tidak memperhatikan kebutuhan terhadap keadilan dan persamaan di antara anak-anakmu?"[49]

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. berkata, "Mempersembahkan keadilan dan persamaan kepada orang-orang adalah sebaik-baik politik."[50]

Seorang perempuan menemui istri Rasulullah saw, Aisyah, bersama dua anaknya yang masih kecil. Lalu Aisyah memberinya tiga buah kurma. Sang ibu memberi kedua anaknya masing-masing satu kurma; dan secara sama rata, ia membagi buah kurma ketiga dan kembali memberikannya pada kedua anaknya. 

Tatkala Rasulullah saw pulang ke rumah, Aisyah menceritakan kejadian itu kepada beliau. 

Rasulullah saw berkata, "Mengapa engkau terkejut menyaksikan tindakan perempuan itu? Karena berusaha menjaga keadilan dan persamaan, Allah akan memberinya istana di surga!"[51] 

Dengan memperlakukan anak-anaknya secara tidak adil dalam bentuk pilih kasih, pada dasarnya orang tua sedang menciptakan pengaruh yang sangat berbahaya bagi mereka (anak-anaknya), yakni:

1. Anak-anak akan mengikuti sikap tidak adil orang tuanya dan memperlakukan selainnya dengan cara yang sama. Seiring dengan berjalannya waktu, sikap semacam ini akan menjadi bagian dari watak mereka. 

2. Anak-anak yang menjadi korban ketidakadilan orang tuanya akan memendam rasa benci dalam jiwanya. Sangat mungkin, mereka akan menjelma menjadi orang-orang durhaka dan suka menentang kebenaran. 

3. Perlakuan tidak adil dan sikap pilih kasih akan membuka celah bagi iri hati dan permusuhan untuk muncul di antara anak-anak. Bila itu terus berlangsung, tidak tertutup kemungkinan mereka akan berusaha mencelakai satu sama lain. 

4. Jiwa anak-anak yang mengalami perlakuan tidak adil orang tuanya akan dirundung rasa putus asa dan tertekan. Sangat mungkin, mereka akan mengalami gangguan jiwa. 

Tentu saja orang tua harus menanggung seluruh akibat dari sikap pilih kasih dan perlakuan tidak adilnya terhadap anak-anaknya. 


Keadilan itu Sesuai Kondisi
Karena itu, orang tua, dengan penuh kejujuran, harus memberikan perlakuan yang sama rata kepada seluruh anaknya. Pada usia yang berbeda, anak-anak akan memiliki kebutuhan yang berbeda pula. Disebabkan lahir pada waktu dan jenis kelamin yang berbeda, mereka tentunya tidak memiliki kebutuhan yang sama sepanjang waktu. 

Hukum keadilan dan persamaan tentunya juga tidak bersifat kaku. Dengan kata lain, bentuk perlakuan adil berbeda-beda sesuai kondisi atau lingkungan yang ada. Dapatkah dibenarkan bila Anda memangku anak yang sudah besar sebagaimana Anda memangku seorang bayi yang masih dalam buaian? 

Sama halnya, apakah dibenarkan memberi uang saku kepada seorang anak berusia tiga tahun sebesar jumlah yang diberikan kepada saudaranya yang berusia 18 tahun? Benarkah bila seorang anak perempuan diberi kebebasan beraktivitas yang sama dengan yang diberikan kepada anak lelaki yang sudah tumbuh dewasa? 

Orang tua harus arif menggunakan standar berlaku adil dan tidak pilih kasih kepada anak-anaknya. Ini agar mereka tidak merasa bahwa orang tuanya telah bersikap pilih kasih terhadap salah seorang di antara mereka. Persoalan ini akan diuraikan secara panjang lebar dalam bab "Kedengkian".


Seseorang menulis dalam buku riwayat hidupnya:
"Kenangan masa kecil saya sangat pahit. Saya tak mampu melupakannya. Ayah saya terbiasa membeda-bedakan kami, kakak-beradik. Ia selalu menuruti seluruh permintaan saudaraku dan tak pernah sekalipun memedulikan permintaan saya. Ia memper lakukan saudaraku dengan ramah, sementara aku seringkali diperlakukan hina. Ayah sangat mencintainya dan selalu berkata lembut kepadanya. 

Sebagai hasil dari perlakuannya, saya mulai menganggap ayah dan saudara saya bukanlah orang baik. Saya terus membayangkan untuk membalas dendam pada ayah atas perlakuannya yang tidak adil terhadap saya. Dalam keadaan tertekan, saya memilih untuk menyendiri. Saya mulai meludah di dinding dan mengotorinya. 

Atau, memecahkan kaca jendela demi melampiaskan rasa benci yang menggumpal dalam diri saya. Adakah cara selain itu bagi saya? Tapi ayah benar-benar tak mempedulikannya. Ia tak tahu bahwa tindakanku itu semata-mata dimaksudkan untuk mengusik kepentingannya."


Seorang perempuan menulis dalam buku hariannya:
"… Salah satu kerabat dekatku memiliki dua anak perempuan. Yang satu merupakan anak yang baik dan sangat cerdas, sementara yang lain biasa-biasa saja. Keduanya masih duduk di bangku sekolah. 

Anak yang lebih tua, yang tidak cerdas, selalu memperoleh nilai terendah dalam ujian di sekolahnya. Sementara adiknya selalu meraih nilai yang sangat bagus dalam semua mata pelajarannya. Ibu mereka senantiasa menyombongkan kecerdasan anak keduanya, seraya meremehkan anak pertamanya. 

Ia terus-terusan memuji anak keduanya, namun selalu mencela anak pertamanya, dengan mengatakan bahwa dirinya (sang ibu) telah menghabiskan banyak biasa untuk menyekolahkannya. Ia bahkan terbiasa mengatakan bahwa selama ini, dirinya sia-sia saja memberinya pakaian dan makanan.

Anak perempuannya itu sekarang sudah menikah dan menjadi ibu rumah tangga sebagaimana umumnya. Ia memiliki beberapa orang anak. Namun begitu, tatapan matanya terlihat sangat hampa dan menunjukkan bahwa dirinya telah menjadi korban kompleks rendah diri. Ia terlihat begitu lelah dan kurang waras. 

Di berbagai pertemuan, ia selalu duduk menyendiri di sudut ruangan dan enggan berbicara dengan selainnya. Ketika saya mengajaknya bicara, ia hanya menghela nafas panjang seraya berkata, 'Saya tak tahu apa-apa.' Saya ingat, sebelum ia menikah, saya membawanya ke seorang psikiater. 

Dokter jiwa itu, setelah mengajaknya berbicara cukup lama, mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Kenyataannya, selama ini, orang tuanya tidak memperlakukannya dengan layak dan telah menjerumuskannya pada keadaan yang menyedihkan seperti sekarang ini. 

Suatu ketika, dokter jiwa itu berkata padanya, 'Kamu bisa memasak?' Tiba-tiba, ia menangis dan berkata, 'Saya bisa memasak. Tapi, ketika saya menyuguhkan masakan apapun, orang tua saya selalu mengatakan bahwa masakan adik saya lebih enak.'"




60. MENGHORMATI ANAK-ANAK

Hormatilah Anak Anda
Anak juga seorang manusia dan setiap manusia secara fitriah mencintai dirinya sendiri. Ia berharap orang lain mengakui keberadaannya dan menghormati dirinya. Ketika selainnya menunjukkan sikap menghormatinya, ia akan merasa bangga dan tersanjung. 

Orang tua yang mencintai anak-anaknya seyogianya memperlihatkan perhatian dan penghormatan kepada mereka. Dalam membina anak, memperlihatkan sikap penghormatan kepada anak dipandang sebagai unsur yang sangat penting. 

Seorang anak yang merasa dihormati dan dihargai, akan tumbuh menjadi sosok yang bijak dan bertanggung jawab. Ia selalu berupaya menjaga nama baiknya dan mencegah dirinya dari berbuat kesalahan apapun. Ia terus berusaha melakukan hal-hal yang baik demi meningkatkan penghormatan orang lain kepadanya. 

Umumnya, anak yang tidak dihormati orang tuanya akan bersikap sama terhadap orang lain. Seorang anak adalah manusia yang masih kecil. Dan sebagaimana manusia pada umumnya, ia juga mencintai dirinya sendiri. Ia akan merasa kecil hati bila tidak dihormati dan diperlakukan dengan layak. 

Orang tua yang memperlakukan anak-anaknya dengan buruk, tanpa mempedulikan perasaan mereka yang terluka, pada dasarnya tengah menanamkan kebencian dalam jiwa mereka yang masih muda. Cepat atau lambat, anak-anak semacam itu akan berubah menjadi orang-orang yang suka bermusuhan dan sangat keras kepala. 

Orang tua yang bodoh-yang sayangnya, jumlahnya tidak kecil-menganggap bahwa memperlakukan anak-anak dengan penuh penghormatan akan merusak mereka. Mereka bersikap dingin, merendahkan, dan angkuh terhadap anak-anaknya. Dengan cara ini, mereka sedang melemahkan kepribadian anak-anak dan menumbuhkan perasaan rendah diri dalam jiwa mereka yang masih mudah dipengaruhi. 

Dari sudut pandang pengasuhan yang baik, sikap orang tua semacam ini ternyata menjadi rintangan utama. Bila orang tua memperlakukan anak-anaknya dengan penuh penghormatan, niscaya anak akan berusaha membalasnya dengan perlakuan yang sama. Sang anak akan mendapatkan pemahaman sejak masih berusia sangat belia tentang bagaimana orang tuanya memperlakukan dirinya dengan manusiawi dan menghargainya. 

Karena itu, ia akan menjauhkan diri dari melakukan hal-hal yang buruk di mata masyarakat. Ia akan berupaya melakukan hal-hal yang baik guna mempertahankan perlakuan orang tuanya yang penuh penghormatan terhadap dirinya. 


Kekeliruan Masyarakat
Persoalan yang perlu diperhatikan adalah bahwa umumnya dalam masyarakat kita, anak-anak tidak diperlakukan dengan hormat. Mereka tidak diperlakukan sebagai anggota keluarga hingga mereka tumbuh dewasa. Dalam pelbagai acara peringatan dan perayaan, mereka umumnya diundang dan datang bersama orang tuanya sebagai tambahan. 

Dalam acara-acara peringatan, mereka ditempatkan di sudut ruangan. Ketika datang dan meninggalkan acara, mereka sama sekali tidak diperhatikan. Dalam kendaraan, mereka tidak memiliki tempat sendiri. Mereka juga berdiri atau duduk di pangkuan ayahnya. 

Mereka tidak dibolehkan berbicara dalam acara pertemuan. Bahkan, bila mereka memberanikan diri berbicara, orang-orang yang lebih tua tak akan menanggapinya-kalau bukan malah menudingnya telah bersikap lancang.


Penghormatan Islam pada Anak 
Islam sangat menekankan pentingnya menunjukkan penghormatan terhadap anak-anak. Rasulullah saw bersabda, "Hormatilah anak-anakmu dan berilah mereka pembinaan yang baik agar Allah Swt mengganjarmu dengan curahan pahala."

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Orang yang paling hina adalah orang yang tidak menghormati selainnya."[52] 

Kapanpun dan di mana pun, Nabi saw selalu memperlakukan anak-anak dengan penuh kasih sayang dan penghormatan. 

Setiap kali beliau kembali dari perjalanannya, anak-anak biasanya berlari-lari menyambutnya. Beliau biasa memeluk dan mencium mereka. Sebagian anak-anak bahkan suka menaiki kuda yang beliau tunggangi. Dan beliau juga meminta sahabat-sahabatnya untuk menaikkan anak-anak yang lain ke atas kuda yang mereka tunggangi. Dengan cara inilah beliau memasuki kota.

Memperlakukan hina anak-anak, sekalipun terhadap bayi yang masih dalam buaian, adalah haram hukumnya. Ummul Fadhl mengatakan, "Suatu hari, Rasulullah saw mengambil Imam Husain yang masih bayi dari gendonganku dan memeluknya. Lalu, sang bayi mengompol sehingga membasahi jubah beliau. 

Seketika itu pula, saya langsung mengambil sang bayi dari gendongan beliau. Kontan saja, bayi itu menangis. Melihat itu, Rasulullah berkata kepada saya, 'Wahai Ummul Fadhl, tenanglah. Air dapat membersihkan jubahku. Tapi, siapa yang mampu menghilangkan perasaan tersinggung dan terluka bayi al-Husain ini?'"[53]


Seorang lelaki menulis sebagai berikut:
"Aku bukanlah apa-apa di mata orang tuaku. Mereka bukan hanya tidak menghargaiku sama sekali, tapi juga terbiasa mencela dan memarahiku setiap waktu. Mereka tak pernah mengizinkanku melakukan apapun. Bila aku berinisiatif melakukan beberapa pekerjaan, mereka akan berusaha mencari-cari kesalahanku. 

Mereka lazim mencelaku di hadapan teman-teman mereka dan teman-temanku. Mereka tak pernah membolehkanku berkata apapun selagi orang lain berada di sekeliling kami. Semua itu membuatku harus menanggung rasa rendah diri dan malu terhadap diriku sendiri. 

Aku mulai memandang diriku sebagai sosok yang tidak berguna. Sekarang ini, aku sudah dewasa. Tapi aku terus hidup dan bekerja dalam bayang-bayang rasa putus asa yang sama. Bila dihadapkan dengan tugas yang sulit, aku merasakan diriku tak berdaya dan tak sanggup melakukannya. Aku merasa bahwa disebabkan aku tak mampu menilai sendiri kecakapanku, maka orang lainlah yang harus memberikan penilaian tentangnya. 

Aku memandang diriku tak berharga dan sama sekali tak punya kemampuan. Aku benar-benar tak punya rasa percaya diri. Bahkan aku merasa tak yakin mampu berbicara di hadapan orang lain. Ketika aku mengungkapkan sesuatu dalam kondisi tertentu, aku memikirkannya selama berjam-jam tentang apakah yang aku kemukakan saat itu benar adanya ataukah tidak."


Catatan Kaki:
[45] Ushûl al-Kâfî, jil.2, hal.147.

[46] Bihâr al-Anwâr, jil.75, hal. 33.

[47] Makârim al-Akhlâq, jil.71, hal. 252.

[48] ibid., jil.11, hal. 252.

[49] Majma' az-Zawâ`id, jil.8, hal.156.

[50] Ghurar al-Hikam, hal.64.

[51] Sunan, Ibnu Majah, jil.72, hal.1210.

[52] Bihâr al-Anwâr, jil.104, hal.45.

[53] Hadiyyat al-Ahbâb, hal.176.






61. SIKAP SALING MENGHORMATI
Tentunya setiap orang tua berharap agar anak-anaknya memiliki tingkah laku yang baik. Anak-anak yang baik dan santun merupakan sumber kebanggaan setiap orang tua. Anak-anak yang bertingkah laku baik, secara santun, akan menyalami setiap orang yang dikunjunginya, menjabat tangannya, menanyakan kabarnya, berbicara lembut dengannya, membatasi percakapan hanya pada apa yang ditanyakannya, serta mengucapkan salam sewaktu meninggalkan rumah yang dikunjunginya itu.

Anak-anak semacam itu akan memberikan penghormatan yang selayaknya terhadap orang-orang yang lebih tua; menyambutnya dengan hangat dan penuh sopan santun ketika mereka (orang-orang yang lebih tua) menemuinya, menghormati dan sangat respek terhadap para ulama, figur-figur keagamaan, serta orang-orang yang bijak dan bajik. 

Dalam sebuah pertemuan, mereka tetap tenang dan penuh perhatian, tidak berbicara nyaring, berterima kasih terhadap siapapun yang memberinya sesuatu, serta tidak menyela pembicaraan orang lain, khususnya orang-orang yang lebih tua umurnya. Sebelum makan, mereka biasa mengucapkan basmalah (Dengan nama Allah Maha Pengasih Maha Penyayang) dan berdoa. 

Baru setelah itu, mereka mengambil beberapa butir makanan. Mereka tidak makan secara berlebihan, tidak melempar makanan ke atas meja atau ke lantai, dan mengikuti seluruh tatakrama di meja makan. 

Mereka selalu memperhatikan pakaiannya (tidak mau mengenakan pakaian kotor) dan mengusahakannya agar tetap bersih dan rapi. Mereka akan memperlakukan orang lain dengan baik dan tak pernah menyakiti perasaannya. Mereka berjalan dengan gaya yang sedemikian santun sehingga mengesankan dirinya sebagai anak yang baik dan patuh. 

Mereka tidak mengejek atau menertawakan selainnya dengan lelucon-lelucon tidak berguna dan ketika seseorang berbicara kepadanya, mereka akan menyimaknya dengan perhatian penuh. 

Tentu saja bukan hanya orang tua yang menyukai anak-anak yang santun, melainkan juga semua orang yang pernah bertemu dan bergaul dengannya. Sebaliknya, anak-anak yang lancang dan tidak sopan dibenci semua orang.

Imam Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Kemuliaan merupakan puncak kemanusiaan."[54] 

"Rasa hormat (kesantunan) dalam diri manusia ibarat pakaian yang indah."[55]

"Perilaku yang baik (kesantunan) dibutuhkan manusia lebih dari emas atau perak."[56]

"Tak ada perhiasan yang lebih baik dari kesantunan dalam diri manusia."[57]

"Warisan terbaik yang diberikan seorang ayah kepada putranya adalah melatihnya menjadi sosok yang santun."[58] 

"Orang yang tidak santun akan memiliki banyak kekurangan."[59] 

Imam Ja`far Shadiq as. mengatakan, ""Izinkanlah anak-anakmu bermain hingga berusia tujuh tahun, kemudian ajarkanlah kesantunan dan tatakrama yang baik."[60] 

Nabi Islam yang suci saw mengatakan, "Seorang anak memiliki tiga hak atas orang tuanya: (1) (Orang tua) memberinya nama yang baik; (2) menjadikannya santun; (3) memilihkan jodoh yang baik untuknya."[61] 


Menjadi Teladan bagi Anak 
Harapan terdalam setiap orang tua adalah bahwa anak-anaknya tumbuh menjadi sosok yang santun dan penuh tanggung jawab. Namun, harapan ini tak akan terwujud tanpa upaya yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan. 

Tentu mustahil untuk menanamkan karakter ini dalam diri anak-anak dengan hanya menceramahinya. Cara terbaik untuknya adalah dengan menyuguhkan teladan ideal di hadapan anak-anak, lewat perilaku orang tua yang patut dicontoh dalam kehidupan sehari-harinya.

Imam Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Perilaku terbaik adalah yang dimulai dari diri kalian sendiri."[62] 

"Mulailah mengajari diri sendiri, baru kemudian mengajari orang lain. Pertama kali, sempurnakanlah watakmu, baru kemudian ajari dan nasihati selainmu."[63]

Anak-anak merupakan para peniru alamiah. Kemampuan meniru sangat kuat melekat dalam dirinya. Karenanya, anak-anak cenderung meniru cara-cara (perilaku) orang tua dan orang lain di sekelilingnya; berbicara atau berjalan seperti mereka. Pengajaran, tentu saja, merupakan aspek penting bagi pelatihan. 

Namun, itu tidak sekuat kapasitas meniru dan belajar, khususnya pada tahap awal masa kanak-kanak. Para orang tua yang amat berharap anak-anaknya menjadi sosok yang santun dan berperilaku baik, harus memperhatikan betul bahwa mereka sebenarnya sedang melatih anak-anaknya lewat contoh-contoh pribadi. Bila orang tua bersikap santun satu sama lain, secara alamiah, anak-anak akan meneladani dan mengikutinya.

Orang tua yang dirinya sendiri tidak memiliki kesantunan dan perilaku yang baik, jangan berharap anak-anaknya bakal berperilaku baik. Kalaupun mereka menguliahi anak-anaknya ratusan kali tentang aturan-aturan kesantunan dan perilaku yang baik, namun anak-anak tersebut tetap akan berperilaku sesuai apa yang disaksikannya dari sikap dan perilaku orang tua serta anggota keluarga lainnya di lingkungan rumah. 

Dengan berperilaku kasar dan bersikap tidak santun satu sama lain, kedua orang tua pada dasarnya sedang menyuguhkan contoh negatif kepada anak-anaknya yang sedang tumbuh. 

Anak-anak yang berasal dari keluarga semacam itu akan berperilaku seburuk orang tuanya, atau barangkali lebih buruk lagi. Setiap upaya membenahi mereka niscaya tak akan diindahkannya. Secara alamiah, mereka akan berpikir bahwa kedua orang tuanya menyuruhnya melakukan apa yang mereka sendiri tidak melakukannya.


Contoh itu Baik, Tapi Nasihat juga Baik
Contoh selalu lebih baik dari perintah atau nasihat. Namun keliru juga bila menganggap bahwa nasihat sepenuhnya tidak akan berpengaruh. Orang tua yang baik, yang juga menyuguhkan contoh teladan kepada anak-anaknya, akan selalu mengajak mereka berbicara tentang aturan-aturan berperilaku yang baik dan mereka pasti akan menerima nasihat-nasihatnya. 

Nasihat-nasihat juga harus disampaikan dengan cara lembut. Memang, ada sebagian orang tua yang memperlihatkan amarah dan sikap kasarnya sewaktu menegur anak-anaknya yang melakukan suatu kesalahan. Kadangkala mereka mengatakan, "Dasar anak bandel! Kenapa engkau tidak menyalami tamu? 

Apakah mulutmu bisu? Dasar anak bodoh dan tak malu! Kenapa kau meregangkan kakimu dengan cara tidak sopan di depan tamu yang lebih tua darimu? Kenapa kamu berisik waktu mengunjungi rumah tetangga? Dasar lancang! Berani-beraninya kau memotong pembicaraan!"

Orang tua bodoh seperti itu menganggap bahwa mereka sedang menasihati anak-anaknya dengan perkataan semacam itu. Mereka tidak tahu bahwa perilaku yang baik tidak diajarkan dengan cara buruk. Bila berbuat salah lantaran kesembronoannya, si anak harus diperingatkan dengan cara lembut, tenang, dan penuh bersahabat. 

Nabi Islam saw lazim menyalami anak-anak seraya mengatakan, "Saya selalu menyalami anak-anak agar itu menjadi kebiasaan mereka."




62. MENGHORMATI HUKUM
Orang-orang dalam sebuah masyarakat beradab tak dapat hidup tanpa hukum. Di mana pun berlaku hukum rimba, di situ tak akan ada masyarakat yang beradab. Menjalankan administrasi yang baik dalam masyarakat sesuai dengan ketetapan hukum merupakan hal yang mutlak penting. Hukum-hukum tersebut dimaksudkan untuk menegakkan aturan dan menyediakan perlindungan bagi penetapan dan pelaksanaan hukuman terhadap pihak yang bersalah. 

Hukum-hukum juga mutlak dibutuhkan bagi terciptanya kenyamanan dan keamanan rakyat banyak. Dalam negara-negara yang terjalin saling pengertian yang baik di antara para pembuat hukum dan masyarakat, aturan-aturan hukum dibuat demi kepentingan masyarakat yang pada gilirannya akan mematuhinya. Alhasil, orang-orang di sebuah negara secara umum akan hidup dalam kebaikan bila terikat dengan hukum. 

Dalam negara-negara di mana para pembuat hukum diam-diam bekerja dengan motif pribadi, lalu sewaktu menyusun undang-undang tidak memikirkan kesejahteraan penduduk, niscaya masyarakatnya tak akan menghormati hukum sehingga kerusuhan atau ketidaktenteraman akan menggejala di mana-mana. 

Sayangnya, negara kita pada awalnya menghadapi situasi yang sama (dalam hal ini, yang dimaksudkan penulis adalah keadaan Iran selama masa kekuasaan Syah Iran). Kebanyakan hukum yang dibuat tidaklah Islami, atau bukan ditujukan untuk kebaikan masyarakat. Hukum-hukum diformulasikan demi kepentingan pihak penguasa dan disesuaikan dengan kemauan kalangan imperialis dan antek-anteknya. 

Tak secuil pun perhatian diberikan pada keadaan para buruh, pekerja, dan rakyat banyak yang tertindas. Para pembuat hukum berupaya memperdaya dan membungkam penduduk dengan memberlakukan hukum-hukum yang menindas dan menekan. Namun, lantaran masyarakat Iran merasakan bahwa undang-undang non-islami itu berlawanan dengan kepentingannya, mereka pun tidak menghormati, apalagi mematuhinya. 

Memang, terdapat beberapa ketetapan hukum dalam undang-undang tersebut yang terbilang baik bagi masyarakat. Namun, disebabkan sistem yang berlaku sudah secara total memusuhi masyarakat, mereka pun menolaknya secara keseluruhan.

Penghormatan terhadap hukum-hukum yang absah dan berpihak pada masyarakat sangatlah penting. Dalam hal ini, para orang tua harus menjelaskan semua itu kepada anak-anaknya. Tatkala melihat orang tuanya menyeberang jalan hanya lewat jembatan atau jalur penyeberangan (zebra crossing), niscaya si anak akan merasa bahwa dirinya juga harus melakukan seperti itu. Ia menjadi terbiasa mengikuti aturan-aturan bagi keselamatan semacam ini dan tak akan pernah melanggarnya. 

Para orang tua harus mengatakan kepada anak-anaknya bahwa mobil-mobil dan kendaraan yang bergerak cepat lainnya punya hak untuk melewati jalan raya dan para pejalan kaki hanya dibolehkan menggunakan sarana penyeberangan ketika bermaksud menyeberang ke sisi lain jalan raya. 

Para pejalan kaki yang bersikap seenaknya di jalan raya cenderung melakukan pelanggaran dan juga dapat terkena risiko kecelakaan. Pabila memahami keuntungan dari menghormati dan mematuhi hukum, si anak kelak akan menjadi warga negara yang baik. 

Imam Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Kebiasaan adalah fitrah kedua!"[64]


Catatan Kaki:
[54] Ghurar al-Hikam, hal.34.

[55] ibid., hal.21.

[56] ibid., hal.242.

[57] ibid., hal.830.

[58] ibid., hal.293.

[59] ibid., hal.634.

[60] Bihâr al-Anwâr, jil.104, hal.95.

[61] Wasâ`il asy-Syî'ah, jil.15, hal.123.

[62] Ghurar al-Hikam, hal.191.

[63] Nahj al-Balâghah, jil.3, hal.166.

[64] Ghurar al-Hikam, hal.26.







63. PENGENALAN DIRI DAN EKSISTENSI PENUH MAKNA
Binatang menghabiskan seluruh hidupnya untuk makan, tidur, dan berkembang biak. Kecerdasan dan pengetahuan binatang tidaklah sempurna. Mereka tak mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. 

Karena itu, mereka tidak memiliki tanggung jawab yang dibebankan ke pundaknya, sehingga tak akan dituntut untuk mempertanggungjawabkan segenap perbuatannya. Mereka tidak ditakdirkan untuk bertanggung jawab. 

Akan tetapi, manusia yang merupakan ciptaan terbaik Allah Swt tidak seperti binatang. Ia memiliki kebijaksanaan dan kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang indah dan mana yang jelek. Manusia diciptakan untuk menjadi wujud yang kekal dan abadi, bukan untuk binasa. 

Karena itu, ia memikul tugas dan tanggung jawab besar yang ditetapkan untuknya. Dalam hal ini, manusia adalah khalifah dan wakil Allah di muka bumi ini. 
Tujuan hidup manusia bukan hanya untuk makan, tidur, memuaskan hawa nafsu, dan mencari nafkah. Melainkan juga harus menempuh sebuah jalan yang dapat membuktikan bahwa dirinya bahkan lebih unggul dari malaikat. 

Sebagai manusia, ia harus berupaya sekuat tenaga untuk mengembangkan kemanusiaannya dan memiliki tujuan luhur dalam arung hidupnya. Ia harus berupaya keras mencari keridhaan Allah serta berkhidmat kepada makhluk-makhluk-Nya, dan bukan semata-mata meraih keuntungan duniawi. Selain itu, ia juga harus mencari kebenaran dan mengikutinya.


Manusia Ibarat Batu Permata
Ya, keberadaan manusia ibarat batu permata yang sangat berharga sehingga menjadikannya jauh lebih unggul dari seluruh binatang. Namun sayang, kebanyakan manusia justru menyia-nyiakan keberadaan dirinya yang tak ternilai itu. Mereka benar-benar menghabiskan hidupnya seperti binatang. Dalam pandangan mereka, makan, minum, tidur, dan memenuhi tuntutan jasmaniah itu sendiri sudah merupakan tujuan hidup. 

Mungkin saja seseorang hidup selama ratusan tahun tanpa mengenal dirinya sendiri dan menemui kematian dalam keadaan benar-benar bodoh. Dalam keadaan itu, ia datang ke dunia dan menemui kematian seperti seekor binatang. Ia tak punya tujuan dan akan menyimpang sepanjang hidupnya. Sehingga seluruh usaha kerasnya akan sia-sia belaka dan sama sekali tidak membuahkan hasil. 

Karena itu, manusia seyogianya mengenal siapa dirinya. Dari mana dirinya datang? Ke mana akan pergi? Apa tujuan kelahirannya? Jalan apa yang harus ditempuh? Apa tujuan (hidup) yang sebenarnya dan apa keuntungan baginya?

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as., berkata, "Pengetahuan terbaik adalah mengenal diri sendiri, dan kebodohan terbesar adalah tidak mengenal diri sendiri."[65] 

"Orang yang tidak mengenal dirinya sendiri akan tersesat dari jalan keselamatan serta menempuh jalan kebodohan dan kesia-siaan."[66]

"Demi Allah, orang paling menjijikkan adalah orang yang menjadikan makan dan pemenuhan tuntutan jasmaniah semata-mata sebagai tujuan hidupnya."[67] 

"Orang yang menjadikan tercapainya keselamatan di Hari Pengadilan sebagai tujuannya dalam mengarungi kehidupan akan mendapatkan apa yang diinginkannya."[68] 

Para orang tua seyogianya memberikan pelajaran tentang pengenalan diri dan tujuan hidup kepada anak-anaknya, serta memberikan contoh yang luhur bagi kehidupan anak-anaknya. Si anak, dengan bantuan orang tuanya, harus dibimbing dalam mengenali dirinya. 

Dari mana ia datang? Apa tujuan keberadaannya? Ke mana akhirnya ia akan pergi? Apa tugas-tugas dan tanggung jawabnya di dunia ini? Dengan program dan tujuan apakah seharusnya ia mengarungi kehidupannya? Bila mengenali dirinya sendiri dan memiliki tujuan [hidup] yang pasti, niscaya para orang tua akan mampu dan berhasil membimbing anak-anaknya di jalan yang sesuai dengan harapannya.




64. KEBIASAAN MEMBACA BUKU

Buku sebagai Sumber Pengetahuan
Buku merupakan salah satu sarana terbaik bagi pembelajaran dan pendidikan. Sebuah buku yang baik selalu memberikan pengaruh yang bermanfaat ke dalam benak pembacanya. Ia akan meninggikan jiwa dan pemikirannya. Ia juga akan memperbesar khazanah pengetahuannya. 

Buku membantu dalam membenahi moral yang tercela. Khususnya, pada masa-masa kehidupan serba mesin seperti sekarang ini, ketika manusia menghabiskan waktunya untuk menghadiri pertemuan dan simposium; sumber yang paling baik untuk memperoleh pengetahuan keagamaan dan umum adalah buku, yang dapat dibaca kapan saja seseorang memiliki waktu luang. 

Mungkin saja, membaca buku memiliki dampak yang lebih dalam bagi benak para pembacanya ketimbang sumber-sumber lain dalam memperoleh pengetahuan. Adakalanya, kegiatan membaca membawa perubahan yang revolusioner bagi pandangan seseorang.

Kebiasaan membaca buku adalah cara memanfaatkan waktu luang yang paling baik. Ia dapat menjaga seseorang tetap sibuk, ketika tiada hal lain yang dikerjakannya. Orang-orang yang terbiasa membaca, bukan hanya akan dapat memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, tetapi juga memelihara pemikirannya dari hal-hal yang merusak, yang mungkin terjadi jika duduk melamun; tak mengerjakan apapun. 

Sebuah buku yang baik, bagi seorang pembaca, adalah lebih baik ketimbang berkunjung ke taman terbaik dan tempat terindah.

Amirul Mukminin Ali as. mengatakan, "Seseorang yang (selalu) menyibukkan dirinya dengan buku-buku, tidak akan pernah kehilangan ketenangan akalnya."[69] 
"Raihlah segarnya pengetahuan dengan menyingkirkan keletihan dan kesuraman di hatimu; sebab hati, sebagaimana tubuh, juga mengalami kelelahan."[70] 


Buku sebagai Tolok Ukur Peradaban
Alat untuk mengukur kemajuan dan peradaban sebuah bangsa adalah kualitas dan jumlah buku serta jumlah orang yang terbiasa membacanya. Pendidikan formal seseorang bukanlah kriteria untuk menentukan (tingkat) pengetahuan seseorang. 

Seorang yang benar-benar berpengetahuan adalah yang selalu terlibat dalam kegiatan membaca dan meneliti. Kita sangat tidak beruntung memiliki banyak individu yang memiliki ijasah tingkat sekolah dan universitas, tetapi sangat sedikit sarjana dan peneliti. Kebanyakan anak-anak, setelah menyelesaikan pendidikan formalnya, menyingkirkan buku-buku dan sibuk dengan aktivitas lain. 


Buku sebagai Tolok Ukur Peradaban
Pertumbuhan pengetahuan orang-orang seperti ini menjadi mandek sejak saat itu. Keinginan mereka mendapatkan pendidikan guna meraih pekerjaan telah tercapai. Mereka merasa bahwa tidak diperlukan tambahan pengetahuan lebih lanjut. 

Sebenarnya, pendidikan semestinya ditujukan untuk mencapai keunggulan dalam ranah pengetahuan yang dipilih. Pendidikan adalah proses menerus dan berlanjut hingga nafas terakhir. Agama Islam juga mendesak para mengikutnya untuk meraih jalan pengetahuan, mulai dari buaian hingga ke liang lahat. 


Pandangan Islam tentang Ilmu
Rasulullah saw bersabda, "Mencari ilmu adalah kewajiban setiap Muslim. Allah mencintai orang-orang yang mencari pengetahuan."[71] 

Imam Ja`far Shadiq as. mengatakan, "Sekalipun sahabat-sahabat saya dimotivasi untuk meraih ilmu dengan ancaman deraan, saya akan menyetujuinya."[72] 

Rasulullah saw juga bersabda, "Selain dua tipe manusia, tidak ada pahala bagi manusia lainnya: pertama, orang yang alim (terpelajar) dan selebihnya adalah ia yang sibuk mencari ilmu."[73] 

Imam Ja`far Shadiq as. berkata, "Manusia itu terdiri dari tiga jenis: orang yang alim, para pencari ilmu, dan selebihnya merupakan tumpukan sampah belaka."[74] 

Luqman, sang nabi, berkata pada anaknya, "Luangkan waktu dalam sehari semalam untuk membaca dan mencari ilmu. Jika engkau berhenti membaca, ilmumu akan menghilang."[75] 

Imam Ja`far Shadiq as. berkata, "Mencari ilmu dalam semua kondisinya adalah kebutuhan mutlak."[76] 

Rasulullah saw bersabda, "Mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim laki-laki dan setiap Muslim perempuan."[77] 

Imam Ja`far Shadiq as. mengatakan, "Jika orang-orang mengetahui manfaat dari ilmu, mereka tentu telah berusaha meraihnya, meski dengan mengorbankan hidup mereka. Untuk tujuan ini, mereka akan mengarungi samudera yang penuh bahaya." [78]

Rasulullah saw bersabda, "Jika saya melalui satu hari tanpa penambahan khazanah pengetahuan saya, maka saya akan merasa bahwa hari itu tidak membawa keberuntungan bagi saya."[79] 

Adalah tugas para orang tua untuk menyuruh anak-anaknya ke sekolah guna mendapatkan ilmu dengan membaca dan menulis. Dalam hal ini, Islam telah memberikan perintah yang tegas kepada orang-orang yang beriman.

Imam Ja`far Shadiq as. berkata, "Seorang anak bermain selama tujuh tahun, belajar selama tujuh tahun, dan tujuh tahun yang lain mempelajari tentang apa yang diperbolehkan (halal) dan apa yang tidak diperbolehkan (haram)."[80] 

Rasulullah saw telah bersabda, "Seorang anak memiliki tiga hak atas ayahnya: (1) sang ayah harus memilihkan sebuah nama yang baik baginya; (2) 
mengajarinya membaca dan menulis; dan (3) jika ia telah dewasa, mencarikan pasangan baginya."[81] 

"Jika seorang anak dikirim ke sekolah, dan sang guru mengajarinya membaca basmalah maka Allah akan menghindarkan orang tua anak tersebut dari api neraka."[82] 

"Kasihan anak-anak di zaman dahulu, atas apa yang telah ditimbulkan oleh nenek-moyang (para pendahulu) mereka kepada mereka. Meskipun para orang tua ingin mereka menjadi Muslim, tetapi mereka tidak mengenalkan kewajiban keagamaan kepada anak-anak itu."[83] 


Menciptakan Suasana Gemar Baca
Tanggung jawab lain para orang tua adalah mengasuh anak-anak dengan suatu cara sehingga mereka dapat menanamkan kebiasaan membaca buku-buku bermutu dan menjadi seorang peneliti keilmuan. Suasana dalam rumah harus menjadi suatu pembelajaran dan pendidikan. Mereka harus mendorong anak-anak, dengan ucapan dan perbuatan, untuk memiliki kebiasaan membaca. 

Sebelum mengenyam pendidikan fomal di sekolah, sang anak harus sudah dihantarkan untuk mengenal buku. Pada tahap awal, para orang tua harus membacakan buku-buku itu bagi sang anak. Mereka dapat membacakan cerita pendek yang menarik dan dongeng untuk membuat anak-anak tertarik kepada buku. Berilah anak-anak buku yang banyak menampil kan gambar berwarna dan ilustrasi. 

Setiap hari, orang tua atau kakaknya mesti membacakan sebagian dari buku itu guna memelihara kesinambungan perhatiannya atas isi buku tersebut. Mereka harus menjelaskan kepada si anak ilustrasi yang ada dalam buku itu. Selanjutnya, anak harus diminta untuk menceritakan kembali dan menjelaskan ilustrasi yang berkait dengan cerita tersebut. 

Dalam pendidikan informal ini, orang tua sepatutnya tidak terburu-buru dalam mengajar dan tidak memberikan buku-buku yang berada di luar kemampuannya. Pertama-tama, mereka harus membuat anak-anak tertarik untuk mendengarkan cerita, kemudian lanjutkan dengan proses membaca buku.

Lanjutkan proses tersebut hingga anak belajar membaca dan menulis sendiri. Kemudian, serahkan tugas membaca buku itu kepadanya. Sesekali, mintalah pendapat si anak atas buku baru yang telah dibacanya. Diskusikan isi buku itu dengannya. Teruslah memberikan perhatian hingga si anak terbiasa membaca buku. 


Poin-poin Penting

Di sini, para orang tua harus mengingat poin berikut:
1. Anak-anak menyukai cerita dan dongeng dan memahami isinya dengan baik. Oleh karena itu, sangat bermanfaat bila materi beberapa subjek disajikan dalam bentuk cerita. 

2. Setiap anak memiliki ciri kepribadiannya masing-masing. Kemampuan dan rasa sangat berbeda antara satu orang dengan yang lain. Akan terjadi perubahan rasa dalam diri seseorang setelah mengalami perkembangan dalam beberapa tahun. 

Oleh karena itu, para orang tua pertama-tama harus mencoba untuk mengukur selera dan kemampuan anak, kemudian membawakan buku-buku untuk memahami kebutuhannya. Jangan sodorkan buku-buku yang sulit dan membosankan. Ini akan membawa dampak negatif bagi kebiasaan membaca pada dirinya. 

3. Sejak si anak berada dalam proses perkembangan kepribadiannya, dan buku memberikan dampak yang dalam bagi proses ini, perhatian harus diarahkan untuk melihat bahwa buku-buku dengan isi yang pantas telah dipilihkan untuknya. Orang tua harus membaca sendiri buku itu sebelumnya, kemudian memutuskan kelayakannya sebagai bahan bacaan anak. 

Jangan perbolehkan anak membaca materi yang buruk, yang dapat memberikan dampak negatif bagi pikirannya yang masih rentan. Jika dia terbiasa membaca literatur seperti itu, akan menjadi sulit untuk membebaskannya dari hal itu. 

4.Anak-anak menunjukkan minat yang lebih besar dalam membaca kisah tentang kejahatan dan petualangan. Buku-buku ini dapat menimbulkan efek yang merusak bagi jiwa anak. Buku-buku yang melepaskan kecenderungan seksual pada anak, misalnya, juga harus dijauhkan dari jangkauannya. Seseorang menuturkan dalam buku hariannya: 

"Nenekku sangat mencintaiku. Aku biasa tidur bersamanya di malam hari. Aku selalu minta kepadanya untuk bercerita saat aku hendak tidur. Untuk membuatku tertidur, beliau biasa membawakan sebuah dongeng setiap malamnya. Dalam daftar ceritanya, terdapat kisah tentang Jin Baba dan cerita horor lainnya.

Cerita-cerita itu telah meninggalkan bekasnya dalam jiwaku. Aku biasa tidur dengan perasaan penuh takut setelah mendengarkannya. Aku pun mulai mengalami mimpi-mimpi buruk yang mengerikan. Setelah itu, aku berubah menjadi seorang penakut dan pengecut. Aku selalu ketakutan bila sendiri. Aku menjadi mudah gelisah. 

Keadaan ini terus bertahan pada diriku. Bagaimanapun, aku berharap kepada para orang tua atau orang yang lebih dewasa agar jangan menceritakan kisah-kisah horor kepada anak-anak yang masih mudah terpengaruh. Aku telah berketetapan hati untuk tidak menceritakan dongeng seperti itu kepada anak-anakku. Secara umum, aku akan menceritakan kepada mereka kisah-kisah dalam al-Quran dan kisah-kisah lain yang mengandungi akhlak nan mulia."

5. Kebiasaan membaca bukan hanya untuk waktu senggang. Tujuan utama membaca adalah memperoleh pengetahuan, memahami isi buku, dan mengambil manfaat darinya. Tidak terlalu penting, berapa jumlah buku yang dibaca anak-anak, tetapi yang terpenting adalah bagaimana mereka membacanya. 

Apakah hanya membaca cepat dan sepintas lalu saja? Sudahkah dia membaca buku itu dengan penuh perhatian dan memahami isinya? Para orang tua harus memberikan perhatian penuh dalam aspek ini. 

Sesekali, mereka harus meminta si anak untuk membuat intisari dari buku yang telah dibacanya. Mereka harus dapat menyimpulkan; apakah anak telah memahami isinya secara benar ataukah tidak. Mereka harus melakukan koreksi, jika pemahaman atas isi buku itu tidak benar. 

6. Umumnya, anak-anak menyukai buku-buku yang berisi cerita khayal. Beberapa cendekia menganjurkan untuk membaca buku-buku seperti ini. Mereka beranggapan, buku seperti itu akan mendorong fakultas imajinatif anak. Akan tetapi, penulis berpendapat bahwa membaca cerita-cerita khayal dan rekaan akan meningkatkan kebiasaan berbohong pada anak. Akalnya akan menjadi gudang pemikiran yang salah. Jika tumbuh dewasa, dia akan mudah melakukan kebohongan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya. 

7. Benar, anak-anak lebih suka membaca cerita ketimbang bahan bacaan lain. Akan tetapi, perhatian perlu dilakukan agar dia mendapatkan kumpulan buku-buku yang terseleksi dengan baik dan terdiri dari subjek yang beragam, bukan hanya buku cerita. Secara perlahan, anak harus dibangunkan minatnya untuk membaca dan memahami bahan bacaan dengan subjek yang rumit dari literatur yang serius. 

Adalah tidak benar bahwa anak-anak hanya menggemari cerita-cerita rekaan. Mereka pasti menunjukkan minat yang kuat untuk membaca kisah tentang pribadi-pribadi besar, kehidupan dan keberhasilan-keberhasilannya. Mereka akan mencari panutan pada tokoh-tokoh tersebut dan bercita-cita agar kehidupannya seperti kehidupan sang tokoh besar tersebut. 


Catatan Kaki:
[65] Ghurar al-Hikam, hal.179.

[66] ibid., hal.77.

[67] ibid., hal.205.

[68] ibid., hal.693.

[69] Ghurar al-Hikam, hal.636

[70] Ushûl al-Kâfî, jil.1, hal.48.

[71] ibid., hal.30.

[72] ibid., hal.33

[73] ibid.

[74] ibid., hal.34.

[75] Bihâr al-Anwâr, jil.1, hal.169.

[76] ibid.. hal.172.

[77] ibid., hal.177

[78] ibid.

[79] Majma' az-Zawâ`id, jil.5, hal.127.

[80] Mustadrak al-Wasâ`il, jil.2, hal.645.

[81] ibid., hal.625.

[82] ibid.

[83] ibid. 





65. HUKUMAN FISIK
Banyak orang tua memberikan hukuman fisik kepada anak-anak untuk pendidikan yang sepantasnya. Bahkan beberapa guru pun mengambil sikap seperti ini. Mereka percaya, pelaku kejahatan takkan dapat dijinakkan hanya dengan kata-kata. Di masa lalu, kebanyakan orang mempercayai kaidah ini. Saat itu, tongkat, rantai, dan cemeti merupakan alat yang dianggap penting untuk digunakan di sekolah. 

Para orang tua yang berkeinginan untuk memberikan pengasuhan yang sebaik-baiknya kepada anak-anak tidak pernah berpantang untuk memukul mereka apabila diperlukan. Akan tetapi, kebanyakan kaum cendekia menganggap metode kekerasan dalam pendidikan sebagai sesuatu yang biadab dan berbahaya bagi anak-anak. Di sebagian besar negara yang telah berkembang (maju) terdapat larangan yang hampir total terhadap hukuman fisik dalam memperbaiki perilaku anak-anak. 


Dampak Jangka Panjang dari Hukuman Fisik 
Ya, anak-anak takkan penah dapat diperbaiki dengan hukuman fisik. Mungkin saja, hal itu memiliki pengaruh sesaat bagi si anak, tetapi sangat berbahaya dalam jangka panjang. 


Sebagai contoh:
1. Ketika seorang anak dipukul, dia akan mengambil sikap menundukkan kepala (pasrah) atas siksaan itu. Dia mungkin mulai berpikir bahwa pemaksaan adalah satu-satunya jalan untuk meraih kesuksesan. Dia berpikir bahwa jika seseorang marah, maka dia harus memukul. Dengan memberikan hukuman fisik kepada anak, para orang tua telah memberikan seperangkat contoh untuk mengadopsi hukum rimba dalam kehidupan masa depannya.

2. Anak-anak yang beroleh pukulan demi pukulan, akan membangun kebencian dan sikap perlawanan terhadap orang tua mereka. Anak-anak tidak akan pernah melupakan perlakuan kasar yang mereka terima dari tangan orang tuanya. Anak-anak seperti ini mungkin akan menjadi seorang pemberontak.

3. Pemukulan berulang dapat membuat si anak menjadi penakut dan pengecut. Kepribadian anak dapat tertekan lantaran hukuman fisik tersebut. Setelahnya, dia mungkin akan menjadi pengidap penyakit (keluhan) psikologis.

4. Dalam sebagian besar kasus, hukuman fisik jarang berhasil dalam memperbaiki seorang anak. Tak tercipta keinginan dalam diri anak untuk memperbaiki kelakuannya. Dia mungkin memperlihatkan beberapa tanda perubahan sesaat lantaran takut pada cambukan dan pemukulan, tetapi hal ini bukan jaminan bahwa dia tidak akan mengulangi perbuatan yang sama. Dasar kelemahannya tetap bersemayam di dalam pikiran bawah-sadarnya. Ia akan mewujudkan diri kembali dalam berbagai bentuk lain.


Seseorang menuturkan:
"Anakku yang berusia 12 tahun telah mencuri sejumlah uang dari lemari pakaian istriku. Ketika mengetahui hal itu, kupukul dia dengan sebuah tongkat. Sejak saat itu, ia tidak pernah lagi dekat-dekat dengan lemari pakaian istriku."

Benar, si anak tidak lagi mencuri apapun dari lemari ibunya. Si ayah tampaknya telah berhasil dengan melakukan hukuman secara fisik terhadap anaknya itu. Akan tetapi, persoalannya tidak segampang itu. Kisahnya terus berlangsung. Si anak malah menemukan dalih lain untuk melanjutkan perbuatan buruknya. Dia naik bus dan menolak untuk membayar ongkos kepada sang kondektur. 

Ketika sang ibu menyuruhnya berbelanja ke toko bahan makanan, dia mengambil sisa kembalian uangnya. Selanjutnya, dia diketahui telah mencuri uang temannya. Kesimpulan kisah ini adalah bahwa ketika si anak dipukul untuk sebuah kesalahan yang dilakukannya, dia secara pintar tidak akan mengulangi perbuatan itu. Akan tetapi, pikirannya terus bekerja hingga menemukan metode lain untuk melakukan pencurian.[1] 


Seorang cendekia menulis:
"Anak-anak yang mendapat pukulan untuk perbaikan dirinya akan menjadi orang yang lemah dan tak berguna. Atau, sebaliknya, akan menjadi orang yang keras kepala dan suka berbohong. Mereka akan menjadi pendendam karena perlakuan menyakitkan yang mereka terima semasa kanak-kanak."[2] 


Russel menulis:
"Menurut saya, hukuman fisik bagi anak-anak bagaimanapun bukanlah cara yang tepat."[3] 

Islam juga menyatakan bahwa hukuman fisik adalah berbahaya dan terlarang.

Amirul Mukminin Ali as. mengatakan, "Orang yang cerdas dapat dibimbing dengan kelembutan; hanya binatang yang tak dapat diperbaiki tanpa pemukulan."[4] 

Imam Ja`far Shadiq as. mengatakan, "Siapapun yang mencambuk orang lain sekali, Allah akan hujankan cambukan yang menyakitkan (berapi) kepadanya."[5] 

Rasulullah saw bersabda, "Gunakanlah cinta dan kasih sayang dalam mendidik dan membina, dan jangan menggunakan kekejaman. Sebab, seorang penasihat yang bijak adalah lebih baik ketimbang seorang yang kejam."[6] 

Seseorang berkata bahwa dia telah mengeluhkan anaknya kepada Imam Musa bin Ja`far. Imam menjawab, "Jangan pernah memukulnya. Akan tetapi, ambillah jarak dengannya, dan jarak ini juga tidak boleh dilakukan terlalu lama."[7] 


Kebolehan Hukuman Fisik Disyarati
Hukuman fisik sangat berbahaya dalam mendidik anak-anak dan harus dihindarkan. Akan tetapi, jika tidak ada cara lain untuk memperbaiki anak, gunakan ini sebagai cara terakhir bila terpaksa. Islam juga mengizinkan ini dalam kondisi tertentu.

Rasulullah saw bersabda, "Mintalah anak-anakmu untuk mulai melaksanakan shalat pada usia enam tahun. Jika dia tak mendengarkan peringatanmu yang berulang-ulang, engkau boleh memukul mereka agar terbiasa melakukan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun."[8] 

Dalam sebuah riwayat, Imam Ja`far Shadiq berkata, "Ketika anak berusia sembilan tahun, ajari dia untuk mengerjakan wudhu; perintahkan dia untuk mengerjakan wudhu dan shalat. Jika si anak tidak patuh, pukullah dia dan buatlah dia mengerjakan shalat."[9] 

Imam Ali as. berkata, "Sebagaimana engkau menegur anakmu sendiri, engkau dapat menegur seorang anak yatim. Dan pada saat di mana engkau mungkin memukul anakmu, pada saat yang sama engkau dapat memukul anak yatim."[10] 

"Jika budakmu tidak taat kepada Allah, pukullah ia. Jika ia tidak menaatimu, maafkanlah ia."[11] 

Seseorang datang menghadap kepada Rasulullah saw dan berkata bahwa seorang anak yatim berada di bawah asuhannya. Dia ingin mengetahui apakah dia dapat memukul anak itu untuk mendidiknya. Rasulullah saw menjawab,"Dalam situasi di mana engkau dapat memukul anakmu, engkau boleh memukul seorang anak yatim dalam sebuah situasi yang sama, dalam kepentingan terbaiknya."[12] 

Adalah lebih baik untuk tidak melakukan hukuman fisik terhadap anak-anak sejauh mungkin. Dan jika hal itu diperlukan, lakukan dengan pengendalian diri secara maksimum. Hukuman harus memiliki alasan yang dapat diterima akal dan sepantasnya. 

Seseorang bertanya kepada Rasulullah saw, "Anggota-anggota keluarga saya tidak patuh kepada saya. Bagaimana saya harus mengubah mereka?" Rasulullah saw menjawab, "Maafkanlah mereka!" Laki-laki itu mengulangi pertanyaannya untuk yang kedua dan ketiga kalinya. 

Nabi Suci saw memberikan jawaban yang sama; tetapi kemudian beliau berkata, "Jika engkau ingin menegur orang-orang dalam keluargamu, maka engkau harus mengingat-ingat dalam benakmu bahwa hukuman tidak boleh lebih dari kesalahan mereka. Engkau juga harus mencegah diri dari memukul mereka pada bagian wajah."[13] 

Imam Ja`far Shadiq as. berkata, "Jika diperlukan, jangan memberikan lebih dari lima atau enam pukulan pada anakmu atau sang pelayan, dan pukulan-pukulan ini tidak boleh terlalu keras."[14] 


Menegur Anak Jangan Di Depan Orang Lain
Saat menegur anak-anak, sebaiknya jangan melakukannya di hadapan yang lain. Kehadiran yang lain mungkin akan menyebabkan munculnya mental penyiksa dalam diri anak-anak dan membahayakan mereka. Jika pemukulan itu berlebihan, maka terdapat sebuah diyat atau denda untuk menghapus kesalahan, yang disebutkan dalam Islam, bagi seseorang yang melakukan hukuman. 

Oleh karena itu, kehati-hatian perlu dilakukan pada saat melaksanakan pemukulan untuk memperbaiki mereka. Sesuai dengan hukum Islam, jika muka seseorang menghitam karena menerima pukulan, dendanya adalah enam dinar emas (koin). Jika mukanya membiru, tiga dinar, dan untuk muka yang memerah, satu dinar setengah.[15] 

Tidaklah dapat dibenarkan jika para orang tua bertindak seperti tiran dalam menghadapi anak-anaknya. Mereka tidak boleh menendang, meninju, dan memukulnya, baik dengan rantai maupun tongkat.

Islam memang mengizinkan untuk menegur dan memukul anak dengan tujuan perbaikan, dan faktanya memang memerintahkan tindakan semacam itu. Kita tahu bahwa para remaja di negara-negara Barat menjadi tersesat (nakal) sebagai akibat buruk dari kebebasan yang diberikan kepada mereka.





66. HUKUMAN NON-FISIK

Hukuman Non-Fisik Tidak Kurang dari Hukuman Fisik
Banyak orang tua yang lebih suka memberikan hukuman non-fisik kepada anak-anak pada saat diperlukan. Sebagai contoh, jika seorang anak berlaku tidak pantas, dia akan dikunci dalam sebuah ruangan gelap atau sebuah kotak besar. Terkadang, para orang tua berteriak dan menggunakan kata-kata buruk dalam kemarahannya, ketika seorang anak melakukan sebuah kesalahan. Akibat dari hukuman kejam seperti ini mungkin tidak kurang dari hukuman fisik, sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya.

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. berkata, "Terdapat banyak ragam penghukuman yang memiliki pengaruh yang lebih besar ketimbang serangan fisik."[16]

Mungkin saja, penghukuman seperti itu tampak lebih keras dalam benak anak-anak ketimbang penghukuman secara fisik. Hukuman-hukuman ini akan melukai kepribadian si anak dan menciptakan unsur-unsur ketakutan dan kegelisahan bagi masa depannya. 

Sering terjadi, bila seorang anak dikunci sendirian di ruang yang gelap, maka pengaruh pada syarafnya adalah sedemikian kerasnya sehingga dia takkan mampu untuk menghapuskan hal itu dari benaknya dalam sebagian besar hidupnya. Beberapa korban dari gangguan syaraf seperti ini terkadang pingsan di bawah pengaruhya. 

Oleh karena itu, para orang tua seharusnya menahan diri dari memberikan hukuman-hukuman seperti ini kepada anak-anaknya. Berteriak dan menggunakan kata-kata kotor kepada anak-anak adalah tabu (haram) dan akan membawa pengaruh yang sangat merusak bagi pendidikan mereka. Ini mungkin akan memotivasi anak untuk belajar menggunakan kata-kata kotor dalam kehidupan masa depannya. 


Hukuman Non-Fisik yang Dibolehkan
Akan tetapi, terdapat sejumlah tertentu hukuman non-fisik yang tidak akan membawa dampak negatif ke dalam benak anak-anak, dan pada saat yang sama sangat efektif untuk mengoreksi mereka. Sebagai contoh, jika seorang anak berprilaku tak baik atau tidak memberikan perhatian pada pelajarannya, orang tua dapat menghentikan bicara sesaat dengannya atau tak membawanya bertamasya. 

Sesekali, sebagai sebuah bentuk hukuman, para orang tua jangan membawa anak dalam menghadiri sebuah acara di mana semua anggota keluarga diundang. Sewaktu-waktu, sebagai sebuah teguran, anak dibiarkan tak makan. Di waktu yang lain, sebagai sebuah perbaikan, anak diberi beberapa tugas sulit untuk dilaksanakan. Hukuman-hukuman seperti itu, jika dilakukan dengan bijak, akan sangat efektif dalam mengawasi dan membenahi anak. Semua itu tidak disertai dengan efek yang merusak bagi benak dan syaraf anak.

Akan tetapi, hukuman adalah hukuman. Terdapat kekurangan tertentu dalam hukuman, yang tidak akan terlalu efektif untuk memperbaiki kekurangan hakiki yang terdapat dalam sifat alami anak. Lantaran takut akan hukuman, sesaat atau beberapa saat, si anak mungkin akan berperilaku berbeda dan bertindak sebagaimana mestinya. Atau, secara cerdas tidak melakukan kesalahan yang sama secara terang-terangan. 

Akan tetapi, ketika menemukan sebuah keadaan yang menguntungkan, dia mungkin akan melakukan tindakan yang sama, sebagaimana telah ditegur pada waktu sebelumnya. Oleh karena itu, hukuman tidak dapat membuang penyebab pelanggaran yang dilakukan anak. Adalah mungkin bahwa terkadang anak bersembunyi di balik kebohongan dan ketidakterusterangan. 


Poin-poin Penting

Untuk membuat hukuman non-fisik menjadi efektif dan bijak, beberapa poin berikut sangat dianjurkan bagi para orang tua dan pembina anak-anak:
1. Hukuman haruslah masuk akal dan sepadan dengan pelanggaran yang dilakukan anak. Pastikan bahwa hukuman tersebut tidak melebihi kesalahan atau kelakuan yang tidak baik dari si anak. Jika si anak menganggap bahwa hukuman tersebut tidak adil, dia mungkin akan bereaksi dengan bertahan dan mulai menjadi pemberontak yang keras kepala. 

2. Hukuman tidak boleh menjadikan si anak mulai berpikir bahwa orang tua adalah musuhnya dan mereka tidak mencintainya. 

3. Jika anak melakukan sebuah kesalahan yang tak disengaja, dia tidak sepantasnya dihukum. Jika si anak tetap dihukum, ini akan membawa dampak yang negatif bagi perasaan dan akalnya. 

4.Hukuman tidak boleh menjadi peristiwa setiap hari, jika para orang tua ingin hal itu efektif. Jika hukuman diulang terlalu sering, anak akan berubah menjadi orang yang selalu terdorong untuk melakukan dosa. Sehingga, hukuman tidak akan memiliki dampak apapun terhadapnya. Imam Ali berkata, "Teguran dan hukuman yang berlebihan akan membuat seseorang menjadi keras kepala."[17] 

5. Anak dapat dihukum untuk satu perbuatan yang dilakukannya, bukan untuk semua kesalahan yang pernah dilakukan sebelumnya. Kalau tidak, si anak akan merasa bingung; atas alasan apa dia dihukum. Dia tidak akan mengulangi sebuah perbuatan, hanya jika dia tahu bahwa dia telah dihukum karena melakukan perbuatan tersebut. Adalah lebih baik jika hukuman diberikan seketika setelah terjadinya perbuatan itu. 

6. Bagi kemungkinan yang lebih luas, harus dilakukan upaya untuk melihat bahwa hukuman itu sesuai dengan kesalahan yang telah dilakukan. Sebagai contoh, jika si anak melakukan kelalaian dalam mengerjakan latihan matematika, dia harus diperintahkan untuk melengkapi latihan itu, bukan menyalin seluruh isi buku dari awal hingga akhir. 

Jika si anak dengan ceroboh melemparkan tas dan seragam sekolahnya setelah pulang dari sekolah, dia harus diminta seketika itu pula untuk meletakkan semua itu pada tempatnya masing-masing dengan sebaik-baiknya. Sebagai sebuah hukuman bagi perilaku ceroboh seperti itu, dia tidak boleh diancam bahwa dia tidak akan diajak dalam rencana makan malam saat itu. 

Jika si anak bertingkah buruk dalam sebuah acara pesta, hukumannya dapat berupa tak membawanya dalam acara berikutnya, dan bukan dengan menghentikan pemberian uang sakunya. Jika si anak menghamburkan uang saku, maka sebagai sebuah hukuman, potonglah sejumlah tertentu pemberian uang saku berikutnya. 

7. Jika Anda hendak menghukum seorang anak, jangan bandingkan dia dengan anak-anak lain. Jangan ceritakan kualitas anak-anak lain kepadanya. Anda tidak akan dapat melakukan perbaikan atas si anak dengan sikap seperti ini. Anda malah akan membangkitkan perasaan cemburu di benak si anak. 
Seseorang menulis dalam catatan hariannya sebagai berikut:

"Di masa kanak-kanakku, ayah sangat sering berteriak di depanku. Dia biasa menghinaku di hadapan famili dan sahabat-sahabatku serta selalu menyebut-nyebut kesuksesan orang lain di hadapanku. Dia selalu mencari-cari kesempatan untuk merendahkanku. Dia mengang gapku orang yang lemah.

Bagaimanapun seringnya dia menghinaku, aku semakin keras kepala. Aku kehilangan semangat belajarku. Aku telah membangun sebuah kompleks rendah diri. Aku mulai melalaikan pekerjaanku. Aku tak ingin menerima tanggung jawab apapun. Kepribadianku telah terlukai oleh omelan ayahku. Sekarang, aku adalah orang yang malas dan sendiri."




67. DORONGAN DAN HADIAH

Mengapresiasi Anak secara Bijak 
Satu metode yang sangat baik dalam proses pengasuhan yang baik adalah apresiasi dan dorongan ketika seorang anak melakukan kebajikan. Ini memiliki pengaruh yang bermanfaat (menyehatkan) bagi akal si anak. Ini juga akan memberikan kepadanya alasan untuk tetap melakukan yang lebih baik di masa datang. 

(Dia merasa), setiap orang sedang mencintai dirinya. Dengan caranya sendiri, dia akan berpikir untuk membangun dan mengembangkan kepribadiannya. Dia ingin agar orang-orang mengakui dan mengapresiasi kepribadiannya. Jika memperoleh apresiasi dari orang lain, dia akan berjuang untuk meraih kemajuan yang lebih jauh. Akan tetapi, jika dia tidak didorong, semangatnya akan berkurang. 


Beberapa saran untuk memperoleh hasil yang baik disajikan di bawah ini:
1. Perbuatan anak boleh diapresiasi, tetapi jangan terlalu sering. Sebab, jika penghargaan itu terlalu banyak, ia akan kehilangan nilainya di mata anak. Dia akan menempatkan apresiasi Anda sebagai sesuatu yang rutin. 

2. Penghargaan yang diberikan kepada anak haruslah pada tempat dan waktu yang khusus, sehingga dia menyadari mengapa dan untuk apa dia beroleh pujian. Dengan demikian, dia akan mencoba untuk melakukan yang lebih baik dan mendapat penghargaan pada kesempatan yang lain. Inilah alasannya mengapa apresiasi yang diulang-ulang dan tidak perlu tidak dianjurkan. 

Sebagai contoh, jika seorang anak beroleh tepukan berulang-ulang di punggungnya bahwa dia adalah individu yang baik dan sopan, penghargaan ini akan kehilangan nilai pentingnya bagi si anak. Si anak takkan mampu memahami alasan di balik apresiasi itu. 

3. Adalah juga penting bahwa yang diapresiasi adalah perbuatan dan pekerjaan baik si anak, bukan pribadinya. Dengan demikian, dia akan memahami bahwa dia dipuji atas apa yang dilakukannya, bukan dirinya. Nilai setiap orang adalah disebabkan apa yang dicapainya. 

4. Saat memuji seorang anak, jangan pernah membandingkannya dengan anak-anak yang lain. Sebagai contoh, seorang ayah tidak sepantasnya mengatakan kepada anaknya, "Engkau adalah seorang anak yang baik dan jujur, tidak seperti Hasan yang seorang pendusta." Sikap seperti ini akan membuat anak membentuk opini yang buruk tentang anak lain. Ketika membanding-bandingkan anak-anak, orang tua sebenarnya sedang melakukan kesalahan dalam mengasuh anak yang baik. 

5. Pujian dan penghargaan terhadap anak harus dalam batas tertentu. Akibat buruk dari hal ini adalah membuat anak menjadi angkuh dan sombong. 
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib mengatakan, "Banyak orang membangun kesombongan disebabkan oleh tumpukan pujian terhadap mereka."[18] 
"Jangan berlebih-lebihan dalam memuji orang lain."[19] 


Memberi Hadiah yang Mendidik
Satu metode yang sangat baik untuk pendidikan dan pengajaran yang efektif adalah pemberian hadiah. Hadiah bukanlah metode yang buruk dalam memberikan dorongan jika bersifat spontan dan bukan untuk memenuhi janji awal bahwa jika si anak meraih hal tertentu, maka dia akan mendapatkan sebuah hadiah khusus. 

Jika janji telah dibuat sebelumnya kepada sang anak, ini akan memberikan dampak yang negatif terhadapnya. Si anak akan mulai mengharapkan hadiah untuk setiap hal baik yang dilakukannya. Ini akan menjadi semacam kesenangan dan si anak tidak akan berjuang untuk melakukan hal yang lebih baik, jika pemberian-pemberian itu dihentikan untuk yang akan datang. 

Seseorang harus memiliki kebiasaan dalam mengerjakan perbuatan baik. Dia harus melakukan semua itu untuk ridha Allah dan melayani umat manusia serta tidak dengan pandangan untuk mencari keuntungan material. Jika anak terbiasa memperoleh hadiah untuk setiap alasan yang kecil, dia mungkin akan menjadi berpikiran sempit dan egois. 

Dia tidak akan berpikir bahwa merupakan tugasnya untuk melakukan sesuatu bagi orang lain, kecuali kalau dia memperoleh sesuatu dari apa yang dilakukannya. Sejauh mungkin, dia akan menghindar dari melakukan sesuatu bagi orang lain. Sikap seperti ini merupakan sifat yang buruk dalam diri seseorang maupun masyarakat.

Oleh karena itu, pemberian hadiah atas perbuatan baik yang dilakukan anak-anak harus jarang dan bersifat selektif, sehingga penerimaan hadiah semacam itu tidak menjadi sebuah sifat kedua bagi mereka. Ketika seorang anak telah terbiasa melakukan tugas berdasarkan inisiatifnya, kurangilah frekuensi pemberian hadiah itu. 

Doronglah dia untuk melakukan tugas tersebut. Banyak orang tua memberikan hadiah kepada anak-anak yang memperoleh peringkat yang lebih tinggi setelah menempuh ujian. Dengan cara ini mereka mendorong anak-anak untuk berusaha lebih keras di dalam studinya. Mungkin cara ini efektif dalam tingkatan tertentu. 

Akan tetapi, terdapat sebuah kerusakan besar di dalamnya. Itu akan merusak rasa bertanggung jawab si anak. Si anak akan berusaha keras dalam studinya hanya disebabkan dia ingin mendapatkan hadiah dengan meraih peringkat yang lebih tinggi. Kalau tidak, dia tidak akan bersusah-payah melakukan upaya yang keras. Untuk apapun yang dilakukannya, dia mengharapkan sebuah hadiah sebagai upah atasnya. 


Seseorang menulis:
"Saya diterima di tingkat empat sekolah agama. Saya sangat buruk dalam membaca al-Quran. Akan tetapi, teman-teman sekelas saya sangat baik dalam bacaannya. Saat pertama kali saya menghadiri kelas, sang guru bertanya kepada saya dengan penuh kasih sayang, 'Dapatkah engkau membaca al-Quran?' 

Saya menjawab dengan gugup, 'Tidak, Pak.' Ia menimpali, 'Jangan khawatir, saya akan mengajarimu. Saya tahu engkau akan menjadi salah seorang murid yang baik di kelas ini. Apapun kebingungan yang kau hadapi, jangan ragu-ragu untuk bertanya kepada saya.' Kata-kata penuh kasih sayang dari sang guru itu telah mendorong saya; saya mulai berusaha dengan kebulatan tekat. 

Di akhir tahun, saya unggul dalam membaca al-Quran. Saya mencapai sebuah tingkat kecakapan tertentu, sehingga apabila sang guru berhalangan hadir, saya diminta untuk memimpin kelas. Saya juga mendapatkan tanggung jawab untuk membaca ayat-ayat al-Quran di pertemuan pagi, sebelum program kelas berlangsung."


Seorang gadis menulis di catatan hariannya:
"Ayahku adalah orang yang berpikiran maju. Suatu hari, ketika ibuku pergi, beliau mengundang beberapa orang guruku untuk makan bersama. Beliau membawa bahan-bahan untuk dimasak dan memberikannya kepadaku. Aku pun mulai berkerja di dapur dengan penuh semangat. Di siang hari, Ayah datang bersama teman-temannya. 

Ketika aku menuangkan makanan di meja makanan, aku melihat bahwa makanan itu belum dimasak secara sempurna. Ayam baru setengah matang dan nasinya pun terlalu lembek karena terlalu banyak air. Semua itu terjadi karena aku belum sepenuhnya belajar tentang seni dalam memasak. Aku benar-benar cemas. 

Aku menyangka bahwa aku akan mendapat teguran dari Ayah. Akan tetapi, berlawanan dengan semua sangkaanku, Ayah memujiku di depan teman-temannya. Beliau berkata, 'Makanan ini dimasak oleh anak kesayanganku ini. Alangkah lezatnya!' Para tamu pun membenarkan itu dan memuji upayaku. Kemudian, Ayah menepuk punggungku. Kata-kata dorongan itu telah menyemangatiku untuk bersungguh-sungguh dalam mempelajari seni memasak. Hari ini, aku adalah orang yang sangat mahir dalam menyiapkan sajian makanan yang baik." 


Catatan Kaki:
[1] Rowan Shinasi Tajrubi Kudak, hal.263.

[2] ibid., hal.266.

[3] Dar Tarbiat, hal.169

[4] Ghurar al-Hikam, hal.236. 

[5] Wasâ`il asy-Syî'ah, jil.19, hal.14.

[6] Bihâr al-Anwâr, jil.77, hal.175.

[7] ibid., jil.104, hal.99.

[8] Mustadrak al-Wasâ`il, jil.1, hal.171.

[9] Wasâ'il asy-Syî'ah, jil.3, hal.13. 

[10] ibid., jil.15, hal.197

[11] Ghurar al-Hikam, hal.115.

[12] Mustadrak al-Wasâ`il, jil.2, hal.625.

[13] Majma' az-Zawâ`id, jil.8, hal.106. 

[14] Wasâ`'il asy-Syî'ah, jil.18, hal.581.

[15] ibid., jil.19, hal.295.

[16] Ghurar al-Hikam, hal.415. 

[17] ibid., hal.70.

[18] Bihâr al-Anwâr, jil.72, hal.295.

[19] Ghurar al- Hikam, hal.209.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

50 Pelajaran Akhlak Untuk Kehidupan

ilustrasi hiasan : akhlak-akhlak terpuji ada pada para nabi dan imam ma'sum, bila berkuasa mereka tidak menindas, memaafkan...