Selasa, 04 Desember 2018

Pernikahan Ummu Kultsum dan Umar


ilustrasi hiasan:

Pengarang :


(Sebuah Analisa) Ayatullah Sayid Ali Husaini Milanni



Prakata

Tujuan yang tersirat dalam kitab ini adalah analisa riwayat-riwayat pernikahan Ummu Kultsum –putri Amir Al-Mukminin Ali as- dengan Umar. Satu peristiwa yang selalu dijadikan dalil oleh sebagian kelompok untuk mengingkari sebuah fenomena pahit di zaman awal Islam berkaitan dengan imam Ali as dan sayidah Zahra as, mereka mengatakan:

"...kalau benar peristiwa penyerangan Umar ke rumah imam Ali as yang kemudian menyebabkan kesyahidan Sayidah Zahra as, maka perkawinan ini tidak akan pernah terjadi, tapi hal ini terjadi, dari sini, peristiwa itu tidak terjadi dan antara imam Ali as dan Umar memiliki hubungan yang baik dan harmonis".

Tulisan ini adalah analisa terhadap perkawinan Ummu Kultsum dan Umar sampai jelas apakah dalil di atas benar atau tidak?

Jelas bahwa dalil seperti ini bisa digunakan ketika

1. Objeknya benar. Yaitu Imam Ali as memiliki seorang putri bernama Ummu Kultsum. Ketika putri seperti itu tidak ada atau dia bukan dari rahim Sayidah Zahra as – sebagaimana yang dikatakan sebagian ulama- maka dalil diatas tidaklah sempurna.

2. Penyebutan kata perkawinan Ummu Kultsum dengan Umar boleh kalau hanya didasarkan pada pelaksanaan akad nikah. Kalau peristiwa perkawinan keduanya bergantung pada adanya acara pelaminan, maka untuk kali keduanya, dalil ini tidaklah sempurna. Kalian akan lihat tidak ada dalil valid tentang terjadinya acara pelaminan.

3. Berdalil dengan perkawinan ini –dengan asumsi adanya objek- akan bernilai ketika perkawinan ini berdasar pada sebuah kerelaan dan keinginan. – sebagaimana yang ada di sumber-sumber kedua mazhab- kalau ditetapkan perkawinan ini terjadi atas dasar ketakutan, ancaman dan paksaan, sama sekali hal diatas tidak bisa dijadikan dalil. Bahkan peristiwa ini menjadi salah satu dalil terinjaknya Ahlul Bait as.




Pernikahan Ummu Kultsum dengan Umar

Puji syukur kepada Allah sang pencipta alam, shalawat dan salam kepada junjungan kita, Nabi besar Muhammad saw serta keluarganya yang maksum dan suci as dan laknat kepada semua musuh-musuh dari awal hingga akhir.

Dari abad pertama Islam hingga sekarang selalu ada analisa, pertanyaan dan jawaban tentang riwayat "Imam Ali as mengawinkan putrinya dengan Umar bin Khattab" dan ada juga banyak tulisan, buku dan risalah tentangnya.

Sebagai contoh, Syeikh Mufid ra. menulis dua risalah terpisah, salah satunya Ajwibah Al-Masâil Al-Sarawiyah sebuah buku dalam menjawab pertanyaan kesepuluh, yang lain sebuah buku berjudul Ajwibah Al-Masâil Al-Hâjibiyah untuk menjawab persoalan kelima belas.

Tulisan yang ada dihadapan kalian sekarang adalah sebuah analisa tentang hal ini. Dalam analisa ini, pertama kita menukil riwayat yang paling terkenal dalam kitab Ahlu Sunnah lalu kita bedah dari segi sanad dan denotasi.




Bagian Pertama

Para periwayat dan riwayat

Para periwayat hadits dan riwayat-riwayat mereka
Salah satu riwayat terkenal Ahlu Sunnah yang menjadi sandaran adalah "Imam Ali as mengawinkan sang putri, Ummu Kultsum, dengan Umar", mereka mencatatnya dalam buku dan kita akan menukilnya dari buku-buku terkenal mereka.



2. Riwayat Ibn Sa'ad dalam buku Al-Tabaqat Al-Kubra

Menurut apa yang kita ketahui - periwayat dan penukil terlama hadits ini adalah penulis buku Al-Tabâqat Al-Kubra Muhammad bin Sa'ad bin Mani' Zuhri –w. 230 H.- dia mencantumkan beberapa riwayat dalam buku ini, seperti

Riwayat pertama : Ummu Kultsum adalah putri Ali bin Abu Thalib bin Abdul Muththalib bin Hasyim bin Abd Manaf bin Qusha, ibunya adalah Fathimah putri Rasulullah saw1 sedang ibunya Khadijah putri khuwailid bin Asad bin Abd Al-Uzza bin Qusha. Ketika Umar bin Khaththab mempersuntingnya, dia masih seorang putri yang belum balighah. Buah dari pernikahan ini, seorang
anak laki-laki bernama Zaid dan seorang putri bernama Ruqaiah. Ummu Kultsum menjadi istri Umar hingga dia terbunuh.

Setelah Umar, Ummu kultsum dipersunting oleh Aun bin Ja'far bin Abu Thalib bin Abdul Muththalib (!!)1 tetapi Aun meninggal lalu dipersunting oleh saudaranya Muhammad bin Ja'far bin Abu Thalib (!!) kemudian dia juga meninggal.

Setelah wafatnya saudari Ummu Kultsum, Zainab binti Ali bin Abu Thalib, Abdullah bin Ja'far bin Abu Thalib (saudara Muhammad) mempersuntingnya sebagai istri. Di saat ini Ummu Kultsum berkata,
"Aku takut pada Asma’ binti Umais karena dua anak laki-lakinya meninggal disisiku, dan aku merasa tidak enak akan yang ketiga ini (!!)".

Tetapi Ummu kultsum meninggal di rumah Abdullah bin Ja'far dan dia tidak melahirkan satu pun buah hati dari mereka".

Riwayat kedua : Anas bin Ayyad menukil dari Ja'far bin Muhammad (imam Shadiq as) dari ayah tercintanya bahwa dia berkata,
 "Umar bin Khaththab meminang Ummu Kultsum putri Ali as.
Ali as menjawab,
"Aku siapkan para putriku untuk anak-anak Ja'far".

Umar berkata,
"Hai Ali, kamu kawinkan dia denganku, demi Tuhan! Aku tidak menemukan di bumi ini seorang yang lebih baik dariku ketika bersanding dan berbicara (!!)".
Ali as menjawab,
"Akan ku lakukan" (!!).

Setelah itu Umar pergi ke tempat Muhajirin - yang terletak di antara kuburan dan mimbar Rasulullah saw. Ali as, Utsman, Zubair, Thalhah, Abdurrahman bin Auf biasa duduk disana. Setiap kali ada berita yang sampai pada Umar tentang sekelilingnya, dia pergi kesana, memberitahukannya lalu bermusyawarah dengan mereka- sesampainya dia berkata,
"Kalian ucapkan selamat padaku".
Mereka mengucapkan selamat lalu bertanya,
"Wahai pemimpin mukminin, untuk siapa kami mengucapkan selamat?.

Dia menjawab,
"Untuk putri Ali bin Abi thalib".

Kemudian dia menceritakan yang terjadi dan berkata, "Pernah Rasulullah saw bersabda,
“Kelak di hari kiamat, semua tali hubungan dan keturunan terputus kecuali hubunganku dan keturunanku", aku dahulu duduk bersama Rasulullah saw sehingga aku juga ingin ini - hubungan kekeluargaan - terlaksana".

Riwayat ketiga : Waki' bin Jarrah dari Husysyam bin Sa'ad dari Atha' Khurasani,
"Umar memberikan uang sebesar 40,000 dirham kepada Ummu kultsum putri Ali as sebagai mahriah (!!)”.

Riwayat keempat : Muhammad bin Umar Waqidi dan yang lain mengatakan,
"Ketika Umar meminang putri Ali as, dia menjawab, "Wahai pemimpin mukminin! Dia masih putri kecil".

Umar menjawab,
"Demi Tuhan, bukan ini maksudmu, tapi aku tahu apa itu!".

Setelah itu, Ali as meminta Ummu Kultsum, mereka bersiap dan menghiasinya (!!). ketika itu Ali meminta sebuah kain, melipatnya lalu berkata kepada Ummu Kultsum,
"Kamu pergi ke Amir Mukminin dan katakan padanya, aku diutus ayahku dan dia mengirim salam untukmu, lalu katakan, kalau kamu menerima kain ini, ambillah, kalau tidak, kembalikan (!!)".

Ketika Ummu Kultsum sampai, Umar berkata,
"Semoga Allah memberkahimu dan ayahmu, aku terima".

Kemudian Ummu Kultsum pulang dan berkata,
"Dia tidak membuka kain itu dan dia tidak melihat kecuali kepadaku (!!)".

Setelah itu Ali as mengawinkan Ummu Kultsum dengan Umar dan melahirkan cucu bernama zaid.
Riwayat kelima: Waki' bin Jarrah meriwayatkan dari Ismail bin Abu Khalid dari Amir Sya'bi,
"Zaid bin Umar dan Ummu Kultsum putri Ali kedua-duanya wafat, Ibn Umar menshalati mereka dengan empat takbir. Dia meletakkan zaid disamping dia berdiri sedang Ummu Kultsum dihadapkan kiblat lalu shalat".

Riwayat keenam : Ubaidullah bin Musa berkata,
 "Israil menukil dari Abu Hashin dari Amir, "Ibn Umar menshalati Ummu Kultsum putri Ali dan buah hatinya Zaid. Dia meletakkan Zaid disampingnya lalu menshalati keduanya dengan empat takbir".

Sama seperti riwayat ini juga dinukil oleh Waki' bin Jarrah dari Zaid bin Habib dari Sya'bi dan menambahkan,
"Ketika shalat, Hasan dan Husein putra Ali dan Muhammad bin Hanafiah, Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Ja'far ada dibelakang Ibn Umar".

Riwayat ketujuh : Ubaidullah bin Musa dan Israil meriwayatkan dari Jabir dari Amir Sya'bi,
"Ibn Umar ketika menshalati jenazah zaid bin umar bin Khaththab mengucapkan empat takbir sedang Hasan dan Husein ada di belakangnya. Kalau dia melihat sebuah kemaslahatan akan keutamaan takbir lebih dari empat niscaya dia akan menambahnya".

Riwayat kedelapan : Ubadullah bin Musa menukil dari Israil dari Sudda dari Abdullah bin Bahi, "Aku sendiri menyaksikan Ibn Umar menshalati Ummu Kultsum dan Zaid bin Ummar bin Khaththab. Zaid diletakkan disamping imam berdiri sedang Hasan dan Husein menyaksikannya".

Riwayat kesembilan : Waki' bin Jarrah menukil dari Hammad bin Salamah bahwa Ammar bin Abu Ammar – seorang budak merdeka (maula)1 Bani Hasyim - mengatakan,
"Di hari itu aku hadir dan melihat Said bin Ash – pemimpin Madinah di waktu itu - menshalati mereka berdua dan 80 sahabat Nabi saw ada dibelakangnya".

Riwayat kesepuluh : Ja'far bin Aun menukil dari Juraij dari Nafi',
"Jenazah Ummu kultsum putri Ali as – istri Umar bin khaththab - serta putranya Zaid dibawa untuk dishalati. Ketika itu Said bin Ash yang menjadi imam".

Riwayat kesebelas : Abdullah bin Numair menukil dari Ismail bin Abu Khalid dari Amir,
"Ibn Umar menshalati jenazah saudaranya Zaid dan Ummu kultsum putri Ali as. Kedua jenazah mereka diletakkan dalam satu peti sedang jenazah Zaid dekat imam"1.



2, Riwayat Dulabi dalam kitab Al-Dzari'ah Al-Thahirah

Periwayat lain seperti Abu Busyr Dulabi –w. 310 H.- menukil beberapa riwayat dalam kitab Al-Dzari'ah Al-Thâhirah di bab yang berkaitan dengan Ummu Kultsum binti Fathimah Putri Rasulullah saw, sebagai berikut:

Riwayat pertama : Dulabi mengatakan,
"Aku mendengar Ahmad bin Abdul Jabbar mengatakan, aku mendengar Yunus bin Bukir dan dia dari Ibn Ishaq mengatakan, "Fathimah binti Rasulullah saw melahirkan tiga putra Ali as bernama Hasan, Husein dan Muhsin –  Muhsin meninggal saat masih kecil - dan dua putri bernama Ummu Kultsum dan Zainab.

Riwayat kedua : Ibn Ishaq mengatakan,
"Ashim bin Umar bin Qatadah meriwayatkan kepadaku bahwa Umar bin Khaththab melamar Ummu Kultsum kepada ayahnya Ali bin Abi Thalib as.
Ali as menoleh dan menjawab,
"Dia masih kecil".

Umar berkata,
"Bukan, demi Allah! bukan ini……tapi kau ingin mencegahku, kalau memang perkataanmu ini yang kau inginkan, kirim dia kepadaku”.

Ali as berpaling lalu meminta Ummu Kultsum dan memberinya sebuah kain sambil berkata, "Bawalah ini ke pemimpin mukminin dan katakan padanya,
"Ayahku bertanya apa pendapatmu tentang kain ini?".

Ummu Kultsum pergi dengan kain di tangan lalu menyampaikan pesan ayahnya, Umar memegang lengannya (!!) tapi dia menariknya sambil menghardik,
"Lepaskan".

Umar melepasnya dan berkata,
"Tubuh yang indah (!!), pergi dan katakan padanya sangat bagus …1 dan cantik (!!). Demi Allah, bukan seperti yang kau bilang".

Tak lama kemudian Ali as menyandingkannya dengan Umar.

Riwayat ketiga : Ahmad bin Abdul Jabbar dari Yunus bin Bukir dari Khalid bin Shaleh dari Waqid bin Muhammad bin Abdullah bin Umar dari beberapa orang dekatnya, menukil,
"Umar melamar Ummu Kultsum - putri Ali as dan Fathimah binti Rasulullah saw - kepada ayahnya.

Ali as menjawab,
"Dia memiliki wali yang lain, tunggu dulu sampai aku meminta izin darinya ". waktu itu juga, beliau as menghampiri putra-putra Fathimah dan menceritakan duduk persoalan.
Mereka berkata,
"Ijinkan dia bersanding dengannya".

Lalu Ali as memanggil Ummu Kultsum –yang diwaktu itu masih kecil- dan bilang,
"Pergilah ke pemimpin mukminin, sampaikan salamku untuknya lalu katakan,
"Kita mengabulkan apa yang kau minta dulu"".

Setelah -Ummu Kultsum pergi dan mengatakan semua pesan ayahnya-Umar menariknya (!!) sambil berkata,
"Aku melamar Ummu Kultsum kepada ayahnya lalu mengawinkannya denganku".

Mereka bertanya,
"Wahai pemimpin Mukminin! Apa maksudmu? Dia masih kecil!?".

Umar menjawab,
"Aku mendengar Rasulullah saw bersabda,
" Kelak di hari kiamat, semua tali hubungan dan keturunan terputus kecuali hubunganku dan keturunanku", aku ingin diantara aku dengan Rasulullah saw ada sebuah hubungan kekeluargaan".

Riwayat ke-empat : Abdurrahman bin Khalid bin muni' berkata,
"Habib –sekretaris Malik bin Anas- menukil dari Abdul Aziz Darawirdi dari Zaid bin Aslam dari ayahnya – salah satu anak buah Umar bin Khaththab,
"Umar melamar Ummu Kultsum pada ayahnya Ali bin Abi Thalib as. Lalu beliau as bermusyawarah dengan Abbas, Aqil dan Hasan.

Aqil marah sambil berkata pada Ali as,
"Berlalunya hari dan bulan hanya menambah kebutaanmu, demi Allah, kalau kau melakukannya pasti akan terjadi ini dan itu".

Ali as berkata kepada Abbas,
"Demi Allah, pendapatnya ini tidaklah berbuah baik, tapi baru-baru ini, Umar memaksanya atas apa yang kau lihat ini"2 .

Kemudian beliau as menghadap Aqil dan berkata,
"Hai Aqil, demi Allah, ini bukan karena keinginan dan pendapatmu, tetapi Umar mengatakan kepadaku bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda,
“Kelak di hari kiamat, semua tali hubungan dan keturunan terputus kecuali hubunganku dan keturunanku".

Riwayat kelima : Abdul Aziz bin Muni' menukil dari Abu Al-Darda' Marwazi dari Khalid bin Khidas, begitu juga Ishaq bin Ibrahim bin Muhammad bin Sulaiman bin Bilal bin Abi Darda' Anshari menukil dari Abu Jamahir Muhammad bin Utsman,
"Abdullah bin Zaid bin Aslam meriwayatkan dari ayahnya dari kakeknya bahwa Umar bin Khaththab mengawini Ummu Kultsum binti Ali bin Abi Thalib as dengan mahar empat puluh ribu dirham (!!)".

Riwayat ke-enam : Abu Usamah Abdullah bin Muhammad meriwayatkan dari Hajjaj bin Abi Muni' dari kakeknya dari Zuhri,
"Umar bin Khaththab mengawini Ummu Kultsum binti Ali as dan Fathimah as lalu melahirkan seorang putra bernama Zaid".

Riwayat ketujuh : Ahmad bin Abdul Jabbar menukil dari Yunus bin Bukir dari Ibn Ishaq,
"Umar bin Khaththab menikahi Ummu Kultsum putri Ali bin Abi Thalib as lalu melahirkan seorang putra bernama Zaid dan juga putri, kemudian Umar meninggal dimasa hidupnya".

Riwayat kedelapan : Abu Usamah Abdullah bin Muhammad Halabi meriwayatkan dari Hajjaj bin Abi Muni' dari ayahnya dari Zuhri,
 "Setelah Umar bin Khaththab meninggal, Aun bin Ja'far bin Abi Thalib menikahi Ummu Kultsum (!!) dan sampai dia meninggal dunia, Ummu kultsum tidak mendapatkan buah hati darinya".

Riwayat kesembilan : Ahmad bin Abdul Jabbar meriwayatkan dari Yunus bin Bukir dari Ibn Ishaq, "Ketika Umar –suami Ummu Kultsum binti Ali as - meninggal, Ummu Kultsum dinikahi Aun bin Ja'far (!!) lalu dia pun meninggal sedangkan Ummu Kultsum belum memperoleh keturunan darinya".

Riwayat kesepuluh : Ibn Ishaq mengatakan, "Ayahku, Ishaq bin Yasar menukil dari Hasan bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib,
 "Ketika Ummu Kultsum putri Ali bin Abi Thalib as ditinggal suaminya, Umar bin Khaththab, kedua saudaranya Hasan dan Husein as mendatanginya lalu berkata, "Engkau adalah seorang wanita yang dikenal sebagai pemimpin dan putri wanita-wanita muslim. Demi Allah! Kalau apa yang kau miliki sekarang ini diserahkan kepada Ali niscaya dia akan menikahkanmu dengan salah satu anak-anak yatimnya (!!) dan kalau kau ingin mendapatkan harta berlimpah niscaya kau akan mendapatkannya.

Demi Allah! Mereka sampai sekarang belum bergerak dari kursinya sedangkan Ali - dengan bersandang pada tongkatnya - telah sampai, duduk dan memuji Tuhannya, kemudian memberitakan kedudukan dan keadaan mereka kepada Rasulullah saw dan berkata,
"Wahai putra-putra Fathimah! Kalian tahu akan kedudukan kalian dan kalian tahu bahwa aku lebih mengutamakan kalian dari anak-anakku karena tali hubungan dan kekeluargaan kalian dengan Rasulullah saw".

Mereka menjawab,
"Kau benar, semoga Allah merahmatimu dan melimpahkan pahalanya kepadamu".

Ali as menoleh ke putrinya dan berkata,
"Putriku, Allah menyerahkan semuanya kapadamu, tapi aku ingin kau menyerahkannya kepadaku".

Ummu Kultsum menjawab,
"Ayah, demi Allah! aku juga seorang perempuan yang juga menyukai apa yang perempuan-perempuan lain suka (!!). Aku suka memakai apa yang perempuan lain pakai (!!). Dalam hal ini aku ingin mengambil keputusan sendiri".

Ali as berkata,
"Putriku, demi Allah!, ini bukan keinginanmu tapi keinginan dua orang ini (!!)".
Kemudian dia berdiri dan berkata,
"Kau lakukan ini atau aku tidak akan berbicara lagi dengan mereka (!!)".

Hasan dan Husein as mengambilkan bajunya lalu berkata,
"Ayah duduklah, demi Allah kami tidak bisa jauh darimu".

Lalu mereka berkata kepada Ummu Kultsum,
"Perihal perkawinanmu, kau serahkan kepadanya".
Ummu Kultsum menjawab,
"Baiklah".
Ali berkata,
"Aku akan mengawinkanmu dengan Aun bin Ja'far –yang waktu itu masih muda-".

Tak lama kemudian, Ali mendatangi Ummu Kultsum dengan membawa empat ribu dirham lalu mengadakan perjanjian dengan anak saudaranya dan mengirim Ummu Kultsum kepadanya.
Hasan bin Hasan mengatakan,
"Demi Allah, dari awal penciptaan sampai sekarang aku belum pernah melihat cinta seagung cintanya kepada Aun".

Riwayat kesebelas : Abu Ishaq, Ibrahim bin Ya'qub bin Ishaq Juzjani meriwayatkan dari Yazid bin Harun dari Hammad bin Salamah dari Ammar bin Abu Ammar,
"Ummu Kultsum binti Ali as dan Zaid bin Umar keduanya meninggal. Kami mengkafani keduanya lalu Said bin Ash menshalati mereka sedangkan Hasan, Husein dan Abu Hurairah berada dibelakangnya".

Riwayat kedua belas : Ibrahim bin Ya'qub menukil dari Yazid bin Harun dari Ismail bin Abu Khalid, "Amir ditanya tentang tata cara menshalati dua jenazah laki dan perempuan. Amir berkata,
 "ketika aku datang, Abdullah bin Umar menshalati saudaranya Zaid dan ibunya Ummu Kultsum binti Ali bin Abi Thalib as"1.




3. Riwayat Hakim Neisyaburi dalam Al-Mustadrak

Hakim, Abu Abdullah Neisyaburi, wafat tahun 405, dalam hal ini hanya menukil satu riwayat:
Hasan bin Ya'qub dan Ibrahim bin Ishmat – keduanya adil- menukil dari Sarra bin Khuzaimah dari Mu'alla bin Asad1 dari Wuhaib bin Khalid dari Ja'far bin Muhammad (imam Shadiq as) dari ayahnya dari Ali bin Husein bersabda,
"Umar bin Khaththab meminang Ummu Kultsum dari Ali as,
dia berkata,
"Nikahkanlah dia denganku".

Ali as menjawab,
"Aku menyiapkannya untuk keponakanku Abdullah bin Ja'far".
Umar berkata,
"Kau kawinkanlah dia denganku, demi Allah! tidak ada seorang pun yang menjaganya seperti aku (!!)".

Kemudian Ali menikahkannya dengan Umar.

Umar mendatangi Muhajirin dan berkata,
"Apa kalian tidak memberikan selamat padaku?".
Mereka menjawab,
"Wahai pemimpin mukminin, untuk sapa?".

Dia berkata,
"Untuk ummu Kultsum putri Ali as dan Fathimah binti Rasulullah saw. Aku mendengar beliau saw berkata,

Kelak di hari kiamat, semua tali hubungan dan keturunan terputus kecuali hubunganku dan keturunanku. Dan aku ingin antara aku dan Rasulullah saw ada tali hubungan dan kekeluargaan".
Setelah menukil hadits ini, Hakim berpendapat bahwa hadits ini shahih dari segi sanad tetapi Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya1.




4. Riwayat Baihaqi dalam Al-Sunan Al-Kubra

Abu Bakar Baihaqi –wafat pada tahun 458 H.- perihal ini menukil beberapa riwayat sebagai berikut:
Riwayat pertama: Abu Abdillah, Hafid –yaitu Hakim penulis Al-Mustadrak- meriwayatkan dari Hasan bin Ya'qub dan Ibrahim bin Ishmat, "Sarra bin Khuzaimah meriwayatkan dari Wuhaib bin Khalid bahwa Ja'far bin Muhammad (imam Ja'far as) menukil dari ayahnya dari Ali bin Husein. Beliau as juga meriwayatkan dari Abu Al-Abbas, Muhammad bin Ya'qub dari Ahmad bin Abdul Jabbar dari Yunus bin Bukir dari Ibn Ishaq dari Abu Ja'far (imam Bagir as) dari ayahnya dari Ali bin Husein,
"Ketika Umar bin Khaththab menikahi Ummu Kultsum binti Ali bin Abu Thalib, dia pergi ke tempat khusus para Muhajirin yaitu di antara kuburan dan mimbar Rasulullah saw lalu meminta berkah kepada mereka.

Umar berkata,
"Demi Allah! Apa yang menarikku untuk menikahinya adalah satu riwayat yang aku dengar sendiri dari Rasulullah saw, Beliau saw bersabda,

Kelak di hari kiamat, semua tali hubungan dan keturunan terputus kecuali hubunganku dan keturunanku".

Baihaqi setelah menukil riwayat ini mengatakan,
 "Ini adalah isi riwayat Ibn Ishaq, tapi riwayat ini mursal dan hasan dari segi sanad; karena diriwayatkan dengan mursal meskipun dalam bentuk yang lain.

Riwayat kedua : Abu husein bin Bisyran meriwayatkan dari Da'laj bin Ahmad dari Musa bin Harun dari Sufyan dari Waki' bin Jarrah dari ruh bin Ubadah dari Ibn Juraij dari Ibn Abi Malikah dari Hasan bin Hasan dari ayahnya,
"Umar bin Khaththab meminang Ummu Kultsum dari Ali bin Abi Thalib as.
Ali menjawab,
"Dia masih kecil untuk ukuran nikah".

Umar berkata,
"Aku mendengar Rasulullah saw bersabda,
Kelak di hari kiamat, semua tali hubungan dan keturunan terputus kecuali hubunganku dan keturunanku. Aku ingin ada jalinan kekeluargaan dengan Rasulullah saw".

Kemudian Ali as menoleh pada Hasan dan Husein as dan berkata,
"kalian nikahkan Ummu Kultsum dengan paman kalian ini".

Mereka menjawab,
"Ummu Kultsum seperti wanita yang lain, dia bisa memilih suami yang dia inginkan".

Lalu Ali as berdiri dengan marah (!!) tapi Hasan as memegang bajunya sambil berkata,
"Ayah kita tidak kuasa jauh darimu".

Ali as menjawab,
"Maka kalian kawinkan dia dengan Umar"3 .

Baihaqi membawa hadits ini untuk kedua kalinya dalam bagian
"riwayat-riwayat tentang para ayah yang menikahkan anak perempuannya"4 .


Turkmani penulis kitab Al-Jauhar Al-Naqi mengatakan, "Baihaqi dalam kitabnya ini menjelaskan tentang pernikahan Rasulullah saw dengan Aisyah – yang masih 6 tahun-, Umar dengan Ummu Kultsum putri Ali as –yang masih kecil- dan beberapa sahabat yang menikahkan putrinya diwaktu masih kecil… sedangkan Aisyah dan putri Ali keduanya masih kecil (belum sampai umur baligh)".




5. Riwayat Khathib Baghdadi dalam Tarikh Baghdad

Khathib Baghdadi, wafat pada tahun 463 H. dalam kitabnya, ketika menjelaskan tentang Ibrahim bin Mihran Marwazi, menukil sebuah riwayat dengan mata rantai sanadnya sendiri,
"Laits bin Sa'ad Qisi –salah satu budak Bani Rafa'ah- meriwayatkan hadits, pada tahun 171 di Mesir, dari Musa bin Ali bin Rabah Lakhmi dari ayahnya dari Uqbah bin Amir juhani,
"Umar meminang putri Ali dan Fathimah kepada ayahnya Ali as. Dia bolak-balik dan berkata pada Ali,
"Wahai Abu Hasan, yang memaksaku untuk bolak balik ketempat tinggalmu ini hanyalah sebuah sabda Rasulullah saw yang aku dengar
Kelak di hari kiamat, semua tali hubungan dan keturunan terputus kecuali hubunganku dan keturunanku, sedang aku ingin menjalin hubungan kekeluargaan denganmu Ahlul Bait as.

Kemudian Ali as berdiri dan berbicara dengan Ummu Kultsum. Dia pun dihiasi lalu diutus kerumah pemimpin mukminin.

Ketika Umar melihat ummu Kultsum, dia berdiri lalu memegang kakinya (!!) sambil berkata, "Katakan pada ayahmu aku setuju, aku setuju, aku setuju".

Kemudian Ummu Kultsum pulang, Ali bertanya,
"Apa yang dikatakan pemimpin mukminin?".
Ummu Kultsum menjawab,
"Dia memanggilku lalu mencium (!!), ketika aku berdiri dia memegang kakiku sambil berkata, "katakan pada ayahmu aku setuju".

Lalu Ali menikahkannya dengan Umar dan melahirkan Zaid bin Umar bin Khaththab. Zaid hidup sampai dewasa lalu meninggal5 .




6. Riwayat Ibn Abd Al-Bar dalam Al-Istiab

Ibn Abd Al-Bar Qurthubi, wafat pada tahun 643 H., juga meriwayatkan beberapa riwayat perihal ini:
Riwayat pertama : Ummu Kultsum binti Ali bin Abi Thalib as lahir sebelum wafatnya Rasulullah saw. bundanya adalah Fathimah binti Rasulullah saw.

Umar meminangnya kepada Ali bin Abi Thalib as. Ali menjawab,
"Dia masih kecil".
Lanjut Umar,
"Nikahkanlah dia denganku, aku akan menjaga kesuciannya lebih dari yang lain".
Ali as menjawab,
"Akan kusuruh dia pergi ke tempatmu, kalau kau terima aku akan mengawinkannya denganmu".

Waktu itu Ali as menyuruhnya pergi dengan membawa sebuah kain sambil berpesan,
"Katakan padanya bahwa ini adalah kain yang aku bilang padanya".

Ummu Kultsum menyampaikan pesan ayahnya, Umar menjawab,
"Katakan pada ayahmu aku setuju, semoga Allah merelakanmu".

Ketika itu Umar memegang betis dengan menyingkap roknya (!!).

Ummu Kultsum berkata,
"Kenapa kamu melakukan ini? Kalau kau bukan pemimpin mukminin aku telah mematahkan hidungmu".

Lalu Ummu Kultsum pulang mendekati ayahnya dengan menceritakan peristiwa itu dan berkata, "Kau kirim aku kepada lelaki tua buruk".

Ali as menjawab,
"Putri! Dia adalah suamimu".


Setelah itu, Umar pergi ketempat para muhajirin di raudloh Rasulullah saw –tempat pertama Muhajirin berkumpul-duduk dengan mereka sambil berkata,
"Kalian ucapkan selamat padaku".
Mereka menjawab,
"Kenapa?".

Umar menjawab,
"Aku sudah menikah dengan ummu Kultsum putri Ali bin Abi Thalib, aku mendengar Rasulullah saw selalu bersabda

Kelak di hari kiamat, semua tali hubungan dan keturunan terputus kecuali hubunganku dan keturunanku. Sebelumnya aku punya jalinan kekeluargaan dengan Rasulullah saw dan sekarang aku ingin memperkuatnya dengan menjadi mantunya". Kemudian Muhajirin mengucapkan selamat padanya.

Riwayat kedua : Abd Al-Warits menukil dari Qasim dari Khusyani dan Ibn Abi Umar dari Sufyan dari Amr bin Dinar dari Muhammad (bin Hanafiah) putra Ali,
"Umar meminang Ummu Kultsum dari ayahnya Ali as dan beliau as memperingatinya akan umurnya yang masih kecil.
Mereka berkata pada Umar,
"kau ditolak oleh Ali".

Untuk kedua kalinya Umar pergi melamar lalu Ali menjawab,
"aku akan mengirimnya kepadamu, kalau kau terima dia akan jadi istrimu".

Tak lama kemudian beliau utus Ummu Kultsum ke rumah Umar lalu Umar menarik roknya (!!). Ummu Kultsum menghardik,
 "singkirkan tanganmu! Kalau kau bukan pemimpin sudah ku butakan matamu".

Riwayat ketiga : Ibn Wahab meriwatkan dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari ayahnya dari kakeknya,
"Umar menikahi Ummu Kultsum putri Ali as dengan mahriah empat ribu dirham (!!)".

Riwayat ke-empat : Abu Umar berkata,
"Ummu Kultsum binti Ali melahirkan dua buah hati dari Umar, lelaki bernama Zaid bin Umar Akbar dan Ruqaiah. Lalu keduanya meninggal di hari yang sama.

Zaid terluka disaat perang malam antara Bani Adi. Dia pergi untuk mendamaikan dua kelompok, tapi karena petang, salah satu dari mereka melukainya lalu terjatuh. Beberapa saat dia bisa bertahan hidup tak lama kemudian dia meninggal bersamaan dengan bundanya.


Ibn Umar, dengan dorongan Hasan bin Ali, menshalati mereka.

Banyak yang mengatakan bahwa dalam hal ini, telah dilaksanakan dua sunnah dan metode.

1.Keduanya tidak saling mewarisi, karena tidak jelas mana yang lebih dahulu meninggal.
2.Jenazah Zaid ditempatkan lebih dekat dengan imam dari pada jenazah bundanya.6




7. Riwayat Ibn Atsir dalam Usud Al-Ghabah

Ibn Atsir Jazari wafat pada tahun 630 H. juga meriwayatkan hadits perihal ini. Dia mengatakan:
Riwayat pertama : Ummu Kultsum adalah putri Ali as sedangkan bundanya adalah Fathimah binti Rasulullah saw. Dia lahir sebelum Rasulullah saw wafat.

Umar melamarnya kepada ayahnya. Ali menjawab,
"Dia masih kecil".
Umar berkata,
"Kamu nikahkan dia denganku karena aku lebih baik dari yang lain dalam menjaga kehormatan dan kesuciannya".

Jawab Ali,
"Aku akan mengirimnya padamu, kalau kau terima akan kunikahkan denganmu". kemudian Ali mengirimnya dengan membawa secarik kain sambil berpesan,
"Katakan pada Umar ini adalah kain yang pernah aku bilang dulu".

Ummu Kultsum menyampaikan pesan ayahnya lalu Umar menjawab,
"Katakan pada ayahmu aku setuju semoga Allah meridloimu". Setelah itu dia memegang Ummu Kultsum (!!). Ummu Kultsum menghardiknya,
 "Kenapa kau lakukan ini? Seandainya kau bukan pemimpin mukminin sudah ku patahkan hidungmu".

Kemudian pulang, menceritakan kejadian ini pada ayahnya dan berkata,
"Kau mengirim aku pada orang tua buruk".
Jawab Ali,
 "Putriku dia adalah suamimu".

Umar pergi ke tempat Muhajirin, duduk di raudloh Rasulullah saw bersama-sama –pertama kali tempat yang biasa dijadikan perkumpulan- dan berkata,
"Ucapkan selamat untukku".
Mereka menjawab,
 "Untuk apa?".

Umar menjawab,
"Aku menikah dengan Ummu Kultsum putri Ali. Aku mendengar Rasulullah saw bersabda,

Kelak di hari kiamat, semua tali hubungan dan keturunan terputus kecuali hubunganku dan keturunanku. Sebelumnya aku memiliki hubungan kekeluargaan dan sekarang aku ingin mempereratnya dengan menjadi mantunya".

Setelah itu mereka mengucapkan selamat.

Umar menikahi Ummu Kultsum dengan mahriah empat puluh ribu dirham. Buah dari pernikahan ini, dua anak bernama Zaid bin Umar Akbar dan Ruqaiah. Kemudian bunda dan anaknya yang bernama Zaid meninggal di waktu yang sama.

Zaid pergi ketengah keributan di antara Bani Adi untuk mendamaikan mereka. Diwaktu petang dia menjadi salah satu titik serangan, terpukul dan terluka lalu terjatuh. Beberapa hari dia masih bertahan tapi di hari bundanya meninggal dia turut meninggal.

Abdullah bin Umar menshalati mereka atas dorongan Hasan bin Ali.

Ketika Umar terbunuh, Ummu Kultsum menikah dengan Ja'far bin Aun (!!).

Riwayat kedua : Abd Al-Wahab bin Ali bin Ali Amin menukil dari Abu Fadl Muhammad bin Nashir dari Khathib Abu Thahir Muhammad bin Ahmad bin Abu Shaqar dari Abu al-Barakat Ahmad bin Abd Al-Wahid bin Fadl bin Nadhif bin Abdullah Fara',
"Aku bertanya pada Ahmad,
"Apakah Abu Muhammad Hasan bin Rasyiq meriwayatkan hadits kepadamu".
Dia menjawab,
"Ya, Abu Busyr Muhammad bin Ahmad bin Hammad Dulabi meriwayatkan dari Ahmad bin Abd Al-Jabbar dan Yunus bin Bukir dari Ibn Ishaq dari Hasan bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib as,
"Ketika Ummu Kultsum binti Ali bin Abi Thalib menjanda, kedua saudaranya Hasan dan Husein as menghampirinya dan berkata,
"kamu telah dikenal sebagai pemimpin muslimah, putri dan istri pemimpin muslim. Demi Allah! Kalau kau serahkan semua ini kepada Ali, dia pasti akan mengawinkanmu dengan salah satu anak-anak yatimnya (!!) dan kalau kau putuskan sendiri dan ingin mendapat harta berlimpah (!!) niscaya kau akan mendapatkannya.

Demi Allah, sampai sekarang mereka belum bangun dari kursinya sedangkan Ali telah sampai –dengan hanya bersandar pada tongkatnya-. Dia duduk dan memuji Tuhannya, kemudian mengingatkan kedudukan mereka dan berkata,
"Wahai putra-putra Fathimah, kalian mengetahui kedudukan kalian disisiku, aku lebih mengutamakan kalian dari anak-anakku dikarenakan hubungan kalian dengan Rasulullah saw dan kekeluargaannya dengan kalian".

Mereka menjawab,
"Kau benar, semoga Allah merahmatimu dan memberkahimu".

Ali berkata,
"Putriku, Allah menyerahkan semuanya ditanganmu sedang aku ingin kau menyerahkannya kepadaku".

Ummu Kultsum menjawab,
"Ayahanda! Aku juga seorang wanita, juga memiliki cita-cita (!!) aku ingin menikmati dunia ini sebagaimana wanita-wanita lain menikmatinya (!!) aku ingin dalam hal ini mengambil keputusan sendiri.

Ali menjawab,
"Tidak, demi Allah, putriku ini bukanlah keinginanmu, ini pasti dari dua orang ini (!!)". kemudian dia berdiri sambil berkata, "Kau lakukan ini atau aku tidak akan berbicara lagi dengan dua orang ini (!!)".

Hasan dan Husein as mengambilkan bajunya dan berkata,
"Ayahanda, duduklah, demi Allah kita tidak bisa jauh darimu".
 Lalu menoleh ke Ummu Kultsum sambil berkata,
"Serahkan urusanmu padanya".

Ali berkata,
"Aku akan menikahkanmu dengan Aun bin Ja'far –yang saat itu masih muda-".
Kemudian memberikan empat ribu dirham pada Ummu Kultsum dan menyerahkannya kesisi Aun.
Riwayat ini juga diriwayatkan oleh Abu Umar7 .



8. Riwayat Ibn Hajar dalam Al-Ishabah

Ibn Hajar Asqalani, wafat pada tahun 852 H., juga meriwayatkan beberapa hadits perihal ini, dia mengatakan:

Riwayat pertama : Ummu Kultsum Abi Thalib, keturunan Hasyim, Fathimah binti Rasulullah saw. Rasulullah saw masih hidup.

Abu Umar mengatakan,
"Dia lahir di masa hidupnya Rasulullah saw".

Ibn Abu Umar Maqdisi mengatakan, "Sufyan menukil dari Umar dari Muhammad bin Ali (imam Bagir as) bahwa beliau bersabda, "Umar bin Khaththab meminang Ummu Kultsum dari Ali as. Ali as mengingatkan kalau anaknya itu masih kecil.

Mereka berkata pada Umar,
"Ali menolakmu".

Umar menghampirinya untuk kedua kalinya dan Ali as menjawab,
"Aku akan suruh dia pergi kerumahmu, kalau kau terima dia akan menjadi istrimu".

Kemudian beliau as mengirim putrinya. Kemudian Umar menarik roknya (!!), Ummu Kultsum menghardik, "Lepas, kalau kau bukan pemimpin mukminin sudah kubutakan matamu".

Riwayat kedua : Ibn Wahab menukil dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari ayahnya dari kakeknya bahwa Umar menikahi ummu Kultsum dengan mahar empat puluh ribu dirham(!!).

Riwayat ketiga : Zubeir mengatakan,
"Ummu Kultsum melahirkan dua anak dari Umar bernama Zaid dan Ruqaiah. Ummu Kultsum dan anaknya Zaid meninggal di hari yang sama.

Zaid pergi ketengah peperangan antara bani Adi untuk perdamaian. Salah seorang, karena petang, tidak mengenalnya sehingga melukainya. Zaid hidup beberapa hari sedangkan bundanya berbaring karena sakit kemudian keduanya meninggal di hari yang sama".

Riwayat ke-empat : Abu Busyr Dulabi menukil dari jalan Ibn Ishaq dalam kitab Al-Dzurriyah Al-Thâhirah, "Hasan bin Hasan bin Ali mengatakan,
"Waktu Umar, suami Ummu Kultsum putri Ali, meninggal dan ummu Kultsum menjanda, kedua saudaranya menziarahinya dan berkata, "Kalau kamu memutuskan sendiri dan ingin mendapatkan harta melimpah(!!) niscaya kamu akan mendapatkannya".

Kemudian Ali masuk rumah serta memuji Tuhannya dan berkata,
"Putriku! Allah menyerahkan segalanya padamu, kalau kau ingin kau bisa menyerahkannya padaku".

Ummu Kultsum menjawab,
"Ayahanda! Aku juga wanita, juga memiliki harapan yang dimiliki wanita lain (!!), juga ingin menikmati dunia sebagaimana mereka menikmati (!!)".

Ali menjawab,
"Ini bukan keinginanmu, tapi ini adalah pendapat dua orang ini (!!)".

Kemudian dia berdiri sambil berkata,
"Demi Allah! Kau lakukan ini atau aku tidak akan pernah lagi berbicara dengan mereka berdua (!!)".

Lalu mereka meminta Ummu Kultsum untuk menerimanya dan Ummu Kultsum pun melakukannya lalu dinikahkan dengan Aun bin Ja'far.

Riwayat kelima : Dar Quthni dalam buku Al-Ikhwah menyebut nama Ummu Kultsum sambil berkata, "Ketika Aun meninggal, saudaranya, Muhammad menikahi Ummu Kultsum (!!). selang beberapa lama, dia pun meninggal, kemudian saudaranya, Abdullah menikahinya dan dia meninggal di rumah Abdullah".

Riwayat seperti ini juga dinukil oleh Ibn Sa'ad lalu diakhirnya menyatakan, "Ummu Kultsum mengatakan,

"Aku takut akan Asma’ binti Umais karena dua putranya meninggal disisiku dan begitu juga dengan yang ketiga ini".

Dia menambahkan,
"Ummu Kultsum meninggal dunia di rumah Abdullah dan tidak melahirkan satu anakpun dari mereka".

Riwayat ke-enam : Ibn Sa'ad meriwayatkan dari Anas bin Ayadl dari Ja'far bin Muhammad dari ayahnya,
"Umar meminang Ummu Kultsum dari ayahnya.
Ali menjawab,
"Aku siapkan putri-putriku untuk putra-putra Ja'far".

Umar menjawab,
"Kamu nikahkan dia denganku, demi Allah! Tidak ada seorangpun di bumi ini yang lebih baik dariku dalam menjaga kehormatannya".
Ali menjawab,
"Aku terima".

Umar pergi ke perkumpulan para Muhajirin dan berkata,
"Ucapkan selamat untukku".
Mereka bertanya,
"Dengan sapa kau akan menikah?".

Umar menjawab,
"Dengan putri Ali. Sungguh Rasulullah saw bersabda,

Kelak di hari kiamat, semua tali hubungan dan keturunan terputus kecuali hubunganku dan keturunanku. Aku pernah memberikan putriku pada Rasulullah saw tapi aku juga menginginkan ini (mengambil putri dari keturunannya)"8 .



Bagian Kedua

Evaluasi Sanad-sanad Riwayat

Riwayat-riwayat yang telah anda baca, sanad-sanad terpentingnya berasal dari kitab-kitab Ahlu Sunah. Sebagian riwayat berkaitan dengan peristiwa Imam Ali as menikahkan putrinya dengan Umar secara langsung, sebagian lagi berkenaan dengan pernikahan Ummu Kultsum sepeninggal Umar, dan sebagian lainnya berkenaan dengan wafatnya dan putranya.

Berdasarkan metode dan kaidah ilmu hadits Ahlu Sunah, dan dengan merujuk pendapat para ulama dalam ilmu Rijal, jika kita mengevaluasi sanad riwayat-riwayat tersebut, kelak akan menjadi jelas bahwa inti cerita itu tidak berdasar sama sekali, apa lagi detil ceritanya.9

Kini sebelum menjelaskan sanad-sanad riwayat, kami akan menjelaskan beberapa poin penting:

1. Riwayat tentang pernikahan Umar dengan Ummu Kultsum tidak pernah disebutkan dalam dua kitab

Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Penyusun kedua kitab tersebut mengkritik riwayat tersebut dan tidak menampilkannya di dalam kitab mereka.

2. Riwayat-riwayat tersebut juga tidak ada dalam kitab-kitab yang disebut Ahlu Sunah sebagai Shihah. Oleh karena itu, para penulis dan penyusun kitab-kitab Shihah Ahlu Sunah sepakat untuk tidak mencantumkan riwayat-riwayat itu dalam kitab mereka.

3. Kisah pernikahan Ummu Kultsum dengan Umar juga tidak disebutkan dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, dan Ahmad bin Hanbal sendiri serta yang lainnya berkata bahwa segala yang tidak disebutkan dalam kitab ini - Musnad Ahmad -adalah riwayat yang tidak shahih...10

Perlu difahami bahwa Ahlu Sunah sering kali tidak pernah mau membahas riwayat-riwayat yang memiliki sanad shahih atau bahkan menjadikannya sebagai dalil, hanya karena riwayat tersebut tidak tercantum dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim serta kitab-kitab shahih lainnya!




Hal penting dalam masalah ini

Hal terpenting dalam pembahasan ini adalah:
Cerita ini dalam sebagian riwayat dinukil dari perkataan Imam-Imam Ahlul Bait as dan dari perawi-perawi mereka. Riwayat-riwayat tersebut ada dalam kitab-kitab seperti Ath-Thabaqât Ibnu Sa'ad, Al-Mustadrak Hakim, As-Sunan Al-Kubra Baihaqi dan Ad-Dzurriyah At-Thâhirah Dulabi.

Tentang riwayat-riwayat ini ada dua poin yang perlu dijelaskan:

Pertama : Setelah bertahun-tahun kami mengevaluasi riwayat-riwayat dan hadits-hadits Ahlu Sunah, kami menemukan bahwa : Ketika Ahlu Sunah dan para penentang Ahlul Bait as ingin menyatakan suatu hal yang bertentangan dengan Syiah, mereka memalsukan sebagian riwayat dan mengaku bahwa riwayat-riwayat tersebut berasal dari Imam-Imam Syiah.

Ketika mereka ingin menghina Nabi saw, sang putri Fathimah as dan Imam Ali as, mereka memalsukan kisah lamaran Imam Ali as terhadap putri Abu Jahal melalui lisan Ahlul Bait as.11

Saat mereka ingin menyebarkan isu bahwa mut'ah adalah haram dan memprotes Ibn Abbas –yang sampai akhir umur menganggapnya halal-, mereka memalsukan riwayat-riwayat yang berisi diharamkannya mut'ah dan protes Ibn Abbas kepada Imam Ali as lalu mereka membuat hadits dengan dinisbatkan pada keturunan sucinya.12

Ketika mereka ingin menciptakan hadits-hadits palsu yang memuji para sahabat, mereka membuat hadits yang diakui sebagai hadits Imam Shadiq as yang berisi bahwa sahabat-sahabat nabi bagaikan bintang-bintang di langit.13

Oleh karena itu tak ayal bahwa kisah pernikahan Ummu Kultsum dengan Umar adalah hal yang sama pula.

Kedua: Ahlu Sunah menyatakan bahwa hadits itu diriwayatkan dari Imam Shadiq as dari ayahnya (sebagaimana yang disebutkan dalam Ath-Thabaqât Ibnu Sa'ad), atau dari Imam Shadiq as dari ayahnya dari Imam Sajjad as (sebagaimana yang disebutkan oleh Hakim dalam Al-Mustadrak), atau diriwayatkan dari Hasan bin Hasan (sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Dzurri'ah Ath-Thâhirah), atau dari Hasan bin Hasan dari ayahnya (sebagaimana yang disebutkan oleh Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra).

Oleh karena itu jika mereka bermaksud berdalil dengan riwayat-riwayat tersebut, maka bagi mereka, mereka harus mempercayai kebenaran sanad-sanad riwayat tersebut.

Berdasarkan hal itu, Ahlu Sunah tak dapat berdalil dengan riwayat-riwayat itu, karena Ibnu Sa'ad, penulis Ath-Thabaqât Al-Kubra, secara terang-terangan tidak menerima Imam Shadiq as dan berkata:
"Ia mempunyai banyak hadits yang mana kita tidak dapat berdalil dengan semua hadits itu dan hadits-haditsnya lemah. 
Suatu hari ia ditanya: 
"Apakah hadits-hadits ini kau dengar dari ayahmu?" 
Ia menjawab: 
"Ya, benar." 
Lalu di saat lainnya ia ditanya dengan pertanyaan yang sama namun ia menjawab: 
"Aku menemukan hadits-hadits itu di kitab-kitabnya."13

Begitu pula hadits yang dinyatakan Hakim dinukil dari Imam Shadiq as dari Imam Sajjad as dalam Al-Mustadrak dan ia menyebutnya shahih, namun Dzahabi seusai menukil hadits itu berkata: 
 "Hadits tersebut munqati' (terpotong)."14

Bahaqi berkata mengenai hadits tersebut: 
"Itu adalah hadits yang mursal."15

Dan hadits yang diriwayatkan dari Hasan bin Hasan dalam kitab Al-Dzurriyyah Ath-Thahirah juga begitu; lebih dari itu, perawi-perawi hadits tersebut juga dianggap dhaif sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.

Yang jelas, dalam sebuah riwayat dalam As-Sunan Al-Kubra Baihaqi disebutkan bahwa hadits tersebut diriwayatkan dari Hasan bin Hasan dari ayahnya, yang mana tidak terjadi keterputusan (inqitha') di sini; namun sanadnya, dengan beberapa pertimbangan, tidak dapat diterima. Khususnya perawi hadits itu, yang meriwayatkan dari Hasan bin Hasan, adalah Ibnu Abi Malikah. Kami akan menjelaskan lebih lanjut permasalahan ini.

Di sisi lain, jika maksud mereka menukilkan riwayat-riwayat ini adalah supaya membuat Syiah mengakuinya, karena riwayat-riwayat itu dari para Imam Ahlul Bait as, Syiah pasti akan mengakui, namun dengan syarat, menurut Syiah perawi-perawi riwayat tersebut dapat dipercaya (muwattsaq), dan ini adalah permulaan pembahasan Syiah dengan Ahlu Sunah.

Oleh karena itu, tidak validnya riwayat-riwayat tersebut telah jelas. (Dan riwayat-riwayat lain mereka dalam masalah ini pun -secara pasti- juga tidak valid.)

Namun meskipun begitu kita tetap akan membahasnya secara rinci.

Pertama-tama, kita akan membahas tentang sanad riwayat yang disebutkan dalam As-Sunan Al-Kubra Baihaqi yang diriwayatkan dari Imam Baqir as dari ayahnya Imam Sajjad as, dan dalam Al-Istii'ab yang diriwayatkan dari Imam Baiqr as dan dalam As-Sunan Al-Kubra juga diriwayatkan dari Hasan bin Hasan. Setelah itu baru kita membahas sanad-sanad lainnya hingga akhir pembahasan.
Riwayat ini disebutkan oleh Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra menukil dari Hakim Abu Abdillah Neisyaburi dari Imam Baqir as dari ayahnya Imam Sajjad as, yang mana dalam silsilah sanadnya terlihat ada Ahmad bin Abdul Jabbar. Oleh karena itu mari kita berbicara tentang tentang perawi itu:

Ahmad bin Abdul Jabbar dalam perkataan ahli ilmu Rijal

Sebagian ulama ilmu Rijal memiliki berbagai pendapat tentang Ahmad bin Abdul Jabbar. Misalnya:
Ibn Abi Hatim berkata : 
"Aku banyak menulis riwayat dari Ahmad, namun karena perkataan kebanyakan orang tentangnya, aku tidak pernah menukilkannya."

Ibn Ma'in berkata: 
"Ia sering berbohong."

Abu Ahmad Hakim juga berkata tentangnya, 
"Ahmad bin Abdul Jabbar bagi para ahli Rijal tidak lah "kuat". Oleh karena itu Ibnu 'Uqdah meninggalkan riwayat-riwayatnya."

Ibn 'Adi juga berkata tentangnya: 
"Orang-orang Iraq semua bersepakat menyebutnya dha'if..."16
Yunus bin Bukir dalam perkataan ahli Rijal

Yunus bin Bukir juga terlihat dalam silsilah sanad riwayat itu, yang mana menurut para ahli ilmu Rijal begini:

Ajuri menukil dari Abi Dawud bahwa Yunus bin Bukir di sisiku bukanlah hujjah (tak dapat dipercaya). Ia sering mengambil perkataan-perkataan Ibnu Ishaq dan menyambungkannya dengan hadits-hadits.

Nasai tentang ia berkata : 
"Yunus dalam penukilan hadits tidaklah kuat."

Nasai dalam penjelasan lain berkata : 
"Yunus lemah dalam menukilkan hadits adalah dha'if."

Jauzjani tentang Yunus berkata : 
"Selayaknya kita lebih teliti lagi jika berkenaan dengannya."

Saji berkata : 
"Ibn Madini tidak meriwayatkan dari Yunus, namun bagaimanapun juga ia termasuk orang jujur bagi Ahlu Sunah."

Ahmad bin Hanbal tentang dia berkata : 
"Masyarakat cenderung membenci dan menjauhinya sehingga seakan tidak ada selain dia yang seperti itu."

Ibn Abu Syaibah berkata : 
"Pada dirinya terdapat kelemahan."

Saji berkata : 
"Yunus adalah orang jujur, hanya saja kelemahannya adalah ia mengikuti para amir dan bermadzhab Murji'ah17 ..."18

Penjelasan-penjelasan di atas masih belum termasuk dengan apa-apa yang telah disebutkan tentang Muhammad bin Ishaq.

'Amr bin Dinar menurut ahli ilmu Rijal

Riwayat tersebut juga pernah diriwayatkan oleh Ibn Abdul Barr dan Ibn Hajar dengan sanad yang menyambung ke Imam Baqir as, yang mana dalam silsilah sanadnya ditemukan 'Amr bin Dinar. Mari kita simak perkataan para ahli Rijal tentang dia:

Maimuni menukil dari Ahmad bin Hanbal bahwa 'Amr bin Dinar dari segi menukil riwayat adalah lemah dan termasuk orang yang munkarul hadits.

Ishaq bin Manshur menukil dari Ibn Ma'in bahwa dia tidak pernah dipedulikan oleh para ahli Rijal.
Ya'qub bin Syibah juga menukil darinya bahwa 'Amr bin Dinar adalah orang yang dzahibul hadits19 .
'Amr bin Ali tentang ia berkata, 
"Hadits-hadits 'Amr dari segi penukilan riwayat adalah dhaif. Ia menukilkan hadits dari Salim dari Umar dari Rasulullah saw yang mana hadits-hadits itu munkar."

Abu Hatim berkata sama dan ia menambahkan, 
"Semua hadits-haditsnya munkar."

Abu Zur'ah tentang 'Amr berkata, 
"Hadits-haditsnya lemah."

Bukhari pernah berkata, 
"Ia perlu direnungi."

Abu Dawud tentang haditsnya berkata, 
"Tidak perlu diperhatikan."

Tirmidzi berkata, 
"Dari segi penukilan hadits, dia tidak kuat."

Nasai tentang 'Amr berkata begini, 
"Ia tidak dipercaya, karena ia menukil hadits-hadits munkar dari Salim."

Dalam penjelasan lain ia berkata, 
"Ia dhaif dalam menukil hadits."

Jauzjani dan Dar Quthni tentangnya berkata sama.
Ibn Hibban berkata, 
"Setiap orang yang melihat tulisan-tulisannya, pasti akan terheran-heran. Ia meriwayatkan hadits-hadits palsu dari perawi-perawi yang dapat dipercaya."

Bukhari dalam kitab Al-Awsath tentangnya berkata, 
"Kita tidak bisa mengikuti riwayat-riwayatnya serta mempercayainya."

Ibn 'Ammar Maushuli juga pernah berkata, 
"Dalam menukilkan hadits, ia lemah”. 
Saji juga menekankan hal ini lalu menambahkan bahwa, 
“Dia lemah karena ia meriwayatkan hadits-hadits munkar dari Salim."20

Demikian ungkapan para ahli Rijal mengenai 'Amr bin Dinar.

Oleh karena itu, riwayatnya tidak valid.

Selain itu juga ada Sufyan bin 'Uyainyah dalam sanad hadits.

Sufyan bin 'Uyainah menurut ahli Rijal

Baihaqi juga menukilkan riwayat ini dari Hasan bin Hasan dari ayahnya, yang mana Sufyan bin 'Uyainah juga termasuk perawi hadits tersebut. Tentang Sufyan bin 'Uyainah dijelaskan demikian:
Ibn 'Ammar berkata: "Aku mendengar dari Yahya bin Sa'id Qaththan ia berkata: "Perhatikanlah baik baik, bahwa Sufyan bin 'Uyainah pada tahun 197 telah kehilangan akalnya. Maka barang siapa mendengar hadits darinya pada tahun itu dan setelahnya, maka tidak ada gunanya."

Ibn Hajar 'Asqalani setelah menukil ucapan Ibn 'Ammar (dalam menjawab sanggahan Dzahabi) berkata, “Hanya Dzahabi saja yang mengatakan ini; karena Ibn Ammar termasuk orang terpandang dan dipercaya. Apa salahnya Yahya bin Sa'id mendengar dari sekelompok jamaah haji tahun itu dan karena jumlah mereka banyak, ia mempercayai perkataan mereka dan bersaksi bahwa perkataan mereka benar?

Aku mendengar perkataan Yahya bin Sa'id yang menjadi sebab penukilan Ibnu 'Ammar darinya, tentang Ibn 'Uyainah. Ibn Sa'ad bin Sam'ani dalam menjelaskan tentang Isma'il bin Abi Shali Muadzin, dalam kitab Tarikh Baghdad dengan sanad yang kuat menukil dari Abdurrahman bin Busyr bin Hakam bahwa:

"Aku mendengar dari Yahya bin Sa'id bahwa ia berkata, "Aku berkata kepada Ibn 'Uyainah, "Engkau sering menambah dan mengurangi sanad-sanad riwayat yang kau tulis dan kau riwayatkan!"
Ia berkata, "Hadits-hadits yang dulu pernah kau dengar dariku saja kau terima, karena sekarang aku sudah tua."

Abu Mu'in Razi dalam kitab Al-Iman Ahmad bin Hanbal menulis:

"Harun bin Ma'ruf berkata kepada Ahmad: "Keadaan Ibnu 'Uyainah semakin kacau di akhir umurnya." Sulaiman bin Harb juga berkata kepadanya: "Ibn 'Uyainah sering salah dalam menukil riwayat dari Ayyub."21

Waki' bin Jarrah dalam perkataan ahli Rijal

Salah satu perawi lainnya adalah Waki' bin Jarrah. Dzahabi menyebut namanya dalam Mizân Al-I'tidâl dan menukil bahwa Ahmad bin Hanbal pernah menyebut riwayatnya tidak berguna, ia adalah pencaci orang-orang terdahulu, peminum minuman keras dan suka berfatwa batil.22

Khatib Baghdadi dengan silsilah sanadnya dari Na'im bin Hammad menukil bahwa ia pernah makan malam (atau sarapan) bersama Waki'. Ia berkata: "Apa yang ingin kalian minum? Nabidz23 untuk orang tua atau untuk anak muda?"

Aku berkata: "Kamu berkata seperti ini?"

Ia berkata: "Menurutku ini lebih halal dari air furat."24

Ibn Hajar menukil dari Ahmad bahwa Waki' telah melakukan kesalahan dengan lima ratus hadits.25
Ia menukil dari Muhammad bin Nashr Marwazi bahwa Waki' di akhir hidupnya menukilkan hadits-hadits berdasarkan hafalannya dan merubah-rubah kata-kata dalam hadits-hadits tersebut."26
Ibn Juraij menurut para ahli ilmu Rijal

Ibn Juraij adalah termasuk perawi hadits tersebut. Tentang Ibn Juraij disebutkan:
Malik berkata, "Ibn Juraij dalam menukilkan hadits seperti orang yang mengumpulkan kayu-kayu kecil di malam hari."27

Ibn Ma'in berkata, "Riwayat-riwayat yang dinukil dari Zuhri tidak perlu dianggap."

Ahmad berkata, "Ketika Ibn Juraij berkata, "Seseorang berkata.. Seseorang berkata..." atau "Aku mengabarimu..." maka ia sedang menukilkan riwayat palsu."

Yahya bin Sa'id berkata, "Ketika Ibn Juraij berkata, "Seseorang telah berkata..." maka itu sama saja dengan angin lalu."

Ibn Madini berkata, "Aku bertanya kepada Yahya bin Sa'id tentang riwayat-riwayat yang dinukil Ibn Juraij dari 'Atha' Khurasani. Ia berkata, "Riwayat-riwayatnya dhaif."

Aku berkata kepada Yahya, "Ibn Juraij berkata, "'Atha' Khurasani yang mengabariku."
Yahya berkata, "Ucapannya tidak perlu didengar, semuanya adalah dhaif. 'Atha' hanya sekedar memberikan sebuah kitab kepadanya."

Ibn Hibban berkata, "Ibn Juraij telah mencampur adukkan yang benar dan batil."

Dar Quthni berkata, "Hindarilah tadlis28 dan tipuan Ibn Juraij, karena tadlis-tadlis-nya sangat amat tercela."29

Dzahabi dalam Mizân Al-I'tidâl tentang Ibn Juraij menulis, "Ia selalu melakukan tadlis dalam menukil hadits."30
Ibn Hajar tentang masalah ini berkata, "Ibn Juraij dalam penukilan hadits selalu mencampur yang benar dan batil dan meriwayatkan secara mursal."31
Lebih penting dari itu semua, Ahmad bin Hanbal berkata tentangnya, "Sebagian hadits-hadits yang diriwayatkan secara mursal oleh Ibn Juraij adalah palsu. Ia tidak hati-hati dalam meriwayatkan hadits."32

Ibn Abi Malikah menurut ulama Rijal

Namanya adalah Abdullah bin Ubaidillah, dan ketidakvalidannya cukup dengan kenyataan bahwa ia adalah hakim Ibn Zubair dan muadzin pribadinya.33
Kini sekali lagi kita merujuk kembali ke hadits dan jika perlu kita membahas perawi-perawi sanad-sanad yang lain.
Dalam riwayat-riwayat Ibn Sa'ad dan riwayat-riwayat yang dinukil Ibn Hajar darinya dalam kitab Al-Ishâbah, ada Waki' bin Jarrah di situ yang mana kita telah membahasnya baru saja.
Husyam bin Sa'ad dalam perkataan para ahli Rijal
Husyam bin Sa'ad adalah salah satu perawi hadits ini. Dzhabai mengenai dia dalam Mizân Al-I'tidâl menulis:
Ahmad berkata tentangnya: "Husyam bukanlah hafidz34 . Dari sisi lain, yahya bin Qaththan juga tidak meriwayatkan darinya."
Lalu Dzahabi melanjutkan dan berkata: "Ahmad pada kesempatan yang lain berkata: "Dalam hadits-hadits Husyam tidak ditemukan hadits-hadits yang kuat dan terpercaya."
Ibnu Ma'in tentangnya berkata: "Hadits-haditsnya tidak kuat namun juga tidak bisa ditinggalkan."
Nasa'i berkata begini tentangnya: "Husyam dari segi penukilan hadits adalah lemah."
Dalam penjelasan yang lain dikatakan: "Husyam dalam menukil hadits tidaklah kuat."
Ibn 'Adi tentangnya berkata: "Meskipun Husyam memang lemah dalam menukilkan hadits, namun bagaimanapun juga hadits-haditsnya dapat ditulis."
Ibn Hajar berkata tentang Husyam: "Duri menukil dari M'ain bahwa Husyam dari segi penukilan hadits adalah dhaif."
Abu Hatim juga menyatakan hal yang sama dan berkata: "Hadits-hadits Husyam dapat ditulis, namun hadits-haditsnya tidak dapat dijadikan dalil."
Dzahabi menambahkan: "Ibn Abdul Barr, mencantumkan namanya di bagian orang-orang yang dhaif namun riwayat-riwayatnya ditulis. Ya'qub bin Sufyan juga menyebutnya sebagai orang yang dhaif."
Ibn Sa'ad berkata tentang Husyam: "Ia banyak menukil hadits; namun ia dianggap dhaif, ia memiliki kecenderungan ke Syiah."35
Ibn Wahab menurut para ahli Rijal
Dalam riwayat-riwayat yang dinukil oleh Ibn Abdul Barr dan Ibn Hajar dengan sanad-sanadnya dari Aslam (Maula Umar bin Khattab), ditemukan nama Ibn Wahab yang mana penjelasan tentang perawi itu adalah demikian:
Ibn Wahab, yakni Abdullah bin Wahab adalah orang Quraisy, yang mana ia berasal dari Mesir dan termasuk orang-orang yang seperjanjian dengan Quraisy.
Ibn 'Adi memasukkannya di dalam Al-Kâmil fi Adh-Dhu'afa36 dan begitu juga Dzahabi dalam Mizân Al-I'tidâl.37
Ibn Ma'in juga sering mencelanya dalam pembicaraan-pembicaraannya.38
Ibnu Sa'ad tentang Ibnu Wahab berkata: "Ia suka mencampur yang benar dengan yang batil."39
Ahmad bin Hanbal berkata tentangnya: "Hadits-hadits yang dinukil oleh Ibnu Wahab dari Ibnu Juraih perlu direnungi."
Abu 'Awanah dalam membenarkan perkataan ini berkata: "Ahmad berkata benar, karena Ibnu Wahab sering mengatakan hal-hal yang tidak dikatakan oleh selainnya."40

Musa bin Ali Lakhmi menurut para ahli Rijal

Riwayat tersebut dinukil oleh Khatib Baghdadi dengan sanadnya dari Laits bin Sa'ad dari Musa bin Ali bin Rabah Lakhmi dari ayahnya, dari 'Uqmah bin 'Amir Juhani, yang mana perawi-perawinya perlu dibahas.
Berdasarkan yang dijelaskan oleh Suyuthi: Musa bin Lakhmi adalah walikota Mesir dari tahun 155 hingga 161.41
Ibn Hajar tentangnya berkata: "Musa dari tahun 161 memimpin Mesir."42
Sam'ani berkata tentang Musa Lakhmi: "Ia adalah walikota Mesir."43
Ibn Ma'in tentangnya berkata demikian: "Musa tidak kuat dalam menukilkan hadits."
Ibn Abdul Barr tentang hal ini menulis: "Riwayat-riwayat yang hanya dinukilkan oleh Musa tidaklah kuat."44

Ali bin Rabah Lakhmi menurut para ahli Rijal

Ibn Hajar telah menjelaskan tentang siapa Ali Lakhmi, yang mana penjelasan tersebut seperti ini:
Ia datang kepada Mu'awiyah sebagai wakil.
Ia sering berkata: 
"Orang yang menyebutku Ali sangat aku benci! Karena namaku adalah Ula."
Ia memiliki kedudukan di sisi Abdul Aziz (putra Marwan dan saudara Abdul Malik yang pernah menjadi penguasa Mesir), hingga sampai pada suatu hari Abdul Aziz mengirimnya ke Afrika untuk berperang dan ia mati di sana.45


Uqbah bin Amir Juhani dalam perspektif ahli Rijal

Tentang 'Uqbah cukup sudah dengan penjelasan ini:
1. Ia adalah antek Mu'awiyah bin Abi Sufyan...
Sam'ani dalam hal ini berkata: 
"'Uqbah hadir dalam pemenangan Mesir dan ia yang mengukur luas tanahnya, pada tahun 44 sepeninggal Utbah bin Abi Sufyan ia memegang kendali kekuasaan laskar Mu'awiyah. Kemudian Mu'awiyah mengirimnya ke peperangan di laut.46
Ibn Hajar berkata tentang Uqbah: Ia pada tahun 44 menjadi penguasa Mesir atas perintah Mu'awiyah."47
Suyuthi juga berkata sedemikian rupa.48
2. Ia adalah pembunuh (atau termasuk para pembunuh) Ammar bin Yasir.
Ibn Sa'ad dalam masalah ini menulis: Ammar ra di usia 91 tahun telah terbunuh. Ia lahir sebelum Rasulullah saw. Dalam perang Shiffin, ada tiga orang yang berhadapan dengan Ammar: Uqbah bin Amir Juhani, Umar bin Harits Khulani dan Syarik bin Salamah Muradi. Saat mereka berhadap-hadapan, Ammar berkata kepada mereka: 
"Demi Tuhan! Jika kalian menyerang kami dan membuat kami mundur sampai perkebunan kurma Hajar, aku yakin bahwa kami benar dan kalian salah."
Saat itulah mereka bertiga menyerang dan membunuhnya. Sebagian orang menyangka Uqbah bin Amir adalah pembunuh Ammar.
4. Ia adalah orang yang diperintah Utsman untuk memukuli Ammar.
Ibnu Sa'ad setelah penjelasan di atas berkata: Uqbah adalah orang yang diperintahkan oleh Utsman bin Affan untuk memukuli Ammar.49
Dengan menyimak pembahasan di atas, kita sudah tidak perlu lagi membahas tentang Laits bin Sa'ad dan perawi-perawi lain yang ada di silsilah sanad riwayat Khatib Baghdadi.



Atha' Khurasani dalam pandangan ahli Rijal

Atha' adalah salah satu dari perawi-perawi riwayat itu. Bukhari mencantumkan namanya dalam kitab Adh-Dhu'afa' Al-Shagir.50
Ibnu Hibban menyebutnya dalam kitab Al-Majruhin.51
Uqaili menyebutkan namanya dalam kitab Al-Dhu'afa' Al-Kabir.52
Dzahabi juga menjelaskan riwayat hidupnya dalam dua kitab Mizân Al-I'tidâl dan Al-Mughni fi Adh-Dhu'afa'.53
Sam'ani berkata tentang Atha' Khurasani: 
"Ia adalah orang yang lemah ingatan, suka tercampur-campur, sering salah padahal dirinya sendiri tidak menyadarinya dan riwayat-riwayat terus dinukilkan darinya (dalam keadaan demikian). Ketika riwayat-riwayatnya seperti ini, maka batil jika kita berdalil dengan semua itu."54
Lebih dari itu, di riwayat-riwayatnya sering terlihat keterpotongan. Karena 'Atha' lahir pada tahun 50 dan meninggal pada tahun 133 atau 150. Oleh karenanya, alangkah baiknya jika riwayat yang kita bahas dinukil dari yang lain yang tidak menyebut namanya.

Muhammad bin Umar Waqidi dalam pandangan ulamaRijal

Salah satu perawi riwayat adalah Muhammad bin 'Umar Waqidi. Para ahli ilmu Rijal memberikan penjelasan seperti ini tentangnya:
Ahmad bin Hanbal berkata: 
"Ia sering sekali berbohong dan mengacaukan hadits-hadits."
Bukhari dan Abu Hatim tentangnya berkata: 
"Muhammad bin Umar adalah orang yang ditinggalkan (matruk)."
Begitu pula Abu Hatim dan Nasa'i berkata: 
"Ia orang yang menciptakan hadits."
Ibn Rahwaih berkata: 
"Menurutku ia adalah orang yang menciptakan hadits."
Ibnu Ma'in berkata: 
"Ia bukanlah orang yang dapat dipercaya."
Dar Quthni berkata: 
"Dari segi penukilan hadits, ia lemah."
Ibn 'Adi berkata: 
"Hadits-haditsnya tidaklah mahfudz dan mundhabith (tak layak) dan segala kesengsaraan timbul darinya."
Ibn Khallakan mengatakan: 
"Ulama Rijal menganggapnya sebagai orang lemah dalam penukilan hadits dan banyak membahas tentangnya."
Yafi'i berkata: 
"Para ahli hadits melemahkannya."
Dzahabi berkata: 
"Ada kesepakatan dalam meninggalkan riwayat-riwayatnya."55



Abdurrahman bin Zaid dalam pandangan ulama Rijal

Salah satu perawi hadits itu adalah Abdurrahman bin Zaid. Abu Thalib berkata: 
"Ahmad bin Hanbal tentang Abdurrahman bin Zaid berkata: 
"Ia dari segi penukilan hadits adalah lemah."."
Abdullah bin Ahmad berkata: 
"Aku mendengar dari ayahku bahwa ia melemahkan Abdurrahman dan berkata: 
"Ia meriwayatkan hadits-hadits munkar."."
Duri berkata: 
"Ibn Ma'in mengenai Abdurrahman berkata: 
"Riwayatnya tidak perlu dihiraukan."."
Bukhari dan Abu Hatim tentangnya berkata: 
"Ali bin Madini sangat melemahkannya".
Abu Dawud berkata: 
"Anak-anak Zaid bin Aslam semua lemah dari segi penukilan hadits."
Nasai dan Abu Zur'ah berkata: 
"Ia dari segi penukilan hadits adalah lemah."
Abu Hatim berkata: 
"Abdurrahman tidaklah kuat dalam penukilan hadits."
Ibn Hibban tentang Abdurrahman berkata demikian:
"Ia menukil riwayat-riwayat dengan cara bodoh dan terbalik-balik; banyak sekali hadits mursal dinukil secara marfu'ah dan hadits mauquf dengan bersanad. Oleh karena itu riwayat-riwayatnya perlu ditinggalkan."
Ibn Sa'ad berkata: 
"Ia menukilkan banyak sekali riwayat; namun sungguh, dari segi penukilan hadits, ia lemah."
Ibn Khuzaimah berkata: 
"Abdurrahman termasuk orang-orang yang riwayat-riwayatnya tidak dianggap oleh ahli ilmu karena ingatannya yang lemah".
Saji berkata: 
"Riwayat-riwayatnya munkar."
Thahawi berkata: 
"Riwayat-riwayatnya bagi para ahli hadits berada di puncak ke-dha'if-an."
Jauzjani berkata: 
"Anak-anak Zaid dari segi penukilan hadits semuanya lemah."
Hakim dan Abu Na'im berkata: 
"Abdurrahman sering menukilkan hadits-hadits palsu dari ayahnya."
Ibn Jauzi berkata: 
"Para ulama Rijal bersepakat dalam menyebutnya dha'if."56

Zaid bin Aslam dalam pandangan ahli Rijal

Salah satu perawi riwayat adalah Zaid bin Aslam.
Banyak sekali yang telah memberikan penjelasan tentang zaid bin Aslam. Disebutkan bahwa ia menukilkan riwayat dari Jabir bin Abdullah Anshari dan Abu Hurairah. Padahal Ibnu Ma'in berkata, "Zaid sama sekali tidak pernah mendengar satupun riwayat dari Jabir dan Abu Hurairah."
Banyak sekali riwayat yang dinukilkan oleh Zaid dari para sahabat, yang padahal ia sama sekali tidak pernah mendengarnya langsung dari mereka.
Ibn Abdul Barr menjelaskan masalah ini dan Ibn Hajar menukil darinya dan menerima pernyataannya; ia berkata, "Ibn Abdul Barr dalam pembukaan kitab At-Tamhid menjelaskan masalah-masalah yang menunjukkan bahwa Zaid dalam penukilan hadits sering mencampur adukkan yang benar dan batil (tadlis)."
Lebih dari itu, dinukilkan dari Ibn Umar bahwa: "Kami tidak mengenal aib apapun darinya kecuali ia suka menafsirkan Al-Qur'an dengan pendapatnya sendiri dan ia keterlaluan dalam hal ini."57
Apa yang telah dijelaskan adalah dengan menutup mata dari evaluasi perawi-perawi riwayat ini yang ada di antara Ibnu Abdul Barr, Ibnu Hajar dan Ibnu Wahab.

Zubair bin Bakkar dalam pandangan ulama Rijal

Riwayat itu dinukil Ibn Hajar dalam Al-Ishâbah dari Zubair bin Bakkar.
Zubair bin Bakkar adalah hakim Makkah dan termasuk orang-orang yang menyimpang dan melenceng dari Imam Ali as dan Ahlul Bait as. Ia pun bukan termasuk orang yang baik bagi Ahlu Sunah. Zubair meninggal pada tahun 256.
Dinukil dari Ibn Hatim bawa ia berkata: 
"Aku melihat Zubair, namun aku tidak menulis satupun hadits darinya."
Ahmad bin Ali Sulaimani menyebutkan nama Zubair bin Bakkar dalam kitab Dhu'afa' dan berkata: "Haditsnya munkar."58

Lebih dari itu, riwayat Ibnu Hajar dari Zubair dinukil secara mursal.
Evaluasi Sanad Riwayat Pernikahan Ummu Kultsum Setelah Wafatnya Umar
Apa yang telah dijelaskan berkenaan dengan permasalahan inti, yang mana setelah dievaluasi ternyata kisah itu sama sekali tidak berdasar.
Kini kita akan membahas sanad riwayat-riwayat yang menjelaskan pernikahan Ummu Kultsum setelah wafatnya Umar.
Dalam kitab-kitab referensi disebutkan bahwa sepeninggal Umar, Imam Ali as menikahkan Ummu Kultsum dengan 'Aun bin Ja'far. Sumber utama riwayat itu adalah kitab Al-Dzurriyyah Ath-Thâhirah yang mana kitab-kitab lain seperti Usud Al-Ghâbah, Al-Ishâbah, dan Dzakhâir Al-'Uqba menukilkan riwayat itu dari kitab tersebut.
Riwayat itu dari Hasan bin Hasan...yang mana telah diriwayatkan melalui:
Ahmad bin Abdul Jabbar;
Yunus bin Bukir;
Ibn Ishaq;
dari Hasan bin Hasan.
Jelasnya kita telah membahas sanad riwayat ini.
Riwayat ini dinukil oleh Dulabi dengan sanadnya dari Ibnu Shahab Zuhri (yang merupakan salah satu orang yang dikenal menyeleweng dari Ahlul Bait as)59 .
Dalam kajian ini kita tidak perlu membahas perawi-perawi lain dalam sanad ini dan hanya perlu kami jelaskan bahwa Ibnu Mani' (yang mana telah meriwayatkan dari Zuhri) adalah saudara istri Husyam bin Abdul Malik.60



Evaluasi sanad riwayat wafatnya Ummu Kultsum

Riwayat-riwayat berkenaan dengan wafatnya Ummu Kultsum yang sampai ke tangan kita kebanyakan dinukil oleh Ibn Sa'ad dalam kitab Al-Thabaqât Al-Kubra. Di sini kita akan sedikit melihat sanad-sanadnya, dan setelah itu kita akan membahas implikasinya.
Tak diragukan bahwa sebagian besar dari sanad-sanad riwayat ini berujung kepada Amir Sya'bi. Oleh karena itu kita perlu mengkaji tentang siapa dia.
Sekilas tentang 'Amir Sya'bi
Enam tahun sebelum kekhalifahan Umar berakhir, 'Amir Sya'bi terlahir di dunia. Ia meninggal setelah tahun keseratus. Oleh karena itu riwayatnya mursal. Sya'bi adalah hakim di jaman Marwan.
Ia adalah orang yang membenci Imam Ali as. Pernah diceritakan ia mendatangi Hajjaj dan mencaci maki Imam Ali as (!!).
Hasan Bashri marah karena perbuatannya itu lalu menasehatinya.61
Kebenciannya sampai membuatnya pernah berkata: 
"Ali tidak pernah membaca Qur'an dan tidak menghafalnya(!!)" Perkataannya itu membuat jengkel sebagian orang dan ucapannya tidak diterima.62
Permusuhan inilah yang membuatnya suka memalsukan riwayat-riwayat, misalnya:
Abu Bakar menshalati jenazah Fathimah Azzahra as dan takbir sebanyak empat kali (!!).
Saat Fathimah Azzahra as meninggal, Ali bin Abi Thalib as menguburkannya di malam hari dan menarik tangan Abu Bakar ke depan untuk menshalati jenazah (!!).
Kepalsuan riwayat-riwayat itu sangat jelas sekali sampai Ibn Hajar mengomentari dan berkata: "Dalam riwayat-riwayat itu terdapat kelemahan dan keterpotongan."63
Kebenciannya juga membuatnya menuduh orang-orang seperti Harits Hamadani sebagai pembohong (karena Harits adalah Syiah) hingga banyak yang mengkritiknya.
Ibn Hajar berkata dalam hal ini: 
"Ibnu Abdul Barr dalam kitabnya yang bernama Al-'Ilm, ketika menukil dari Ibrahim bahwa Sya'bi menyebut Harits sebagai penipu, ia menjelaskan:


"Kupikir Sya'bi dihukum karena menuduh Harits sebagai pembohong. Karena Harits tidak pernah terbukti berbohong; hanya saja kesalahan Harits baginya adalah karena ia keterlaluan dalam mencintai Ali bin Abi Thalib as."64

Sekilas tentang Ammar bin Abi Ammar
Karena sanad sebagian riwayat berujung kepada Ammar bin Abi Ammar, secara sekilas kita akan memberikan penjelasan bahwa:
Sebagian ahli ilmu Rijal seperti Syu'bah bin Hajjaj, Bukhari, Ibn Hibban dan selainnya menjelekkan Ammar bin Abi Ammar.65

Sekilas tentang Nafi'
Sebagian lain dari riwayat-riwayat itu sanadnya sampai pada Nafi' tuannya Ibn Umar. Oleh karena itu kita perlu membahasnya secara sekilas.
Cukup kita tahu bahwa Abdullah bin Umar berkata kepadanya:
"Wahai Nafi'! Takutlah kepada Allah dan janganlah berbohong atasku, sebagaimana 'Ikramah berbohong atas Ibn 'Abbas."


Perkataan Ibn Umar ini sangat dikenal dalam penjelasan tentang Nafi' dan 'Ikramah.
Lebih dari itu, perkataan Ahmad bin Hanbal tentang Nafi' juga perlu kita dengar yang mana ia berkata: 
"Riwayat Nafi' dari Umar adalah terpotong."66

Sekilas tentang Abdullah Bahiy
Sebagian dari riwayat-riwayat itu sanadnya juga berujung pada Abdullah Bahiy, yang mana ia adalah Abdullah bin Yasar.
Ibn Hajar tentang ia berkata, 
"Abdullah, adalah tuannya Mu'shab bin Zubair... jadi riwayatnya mursal."
Orang itu setiap kali meriwayatkan dari 'Aisyah berkata, "'Aisyah meriwayatkan untukku.", dan ulama menganggapnya bohong dan berkata, 
"Ia hanya meriwayatkan dari 'Urwah bin Zubair."
Ibn Abi Hatim dalam kitab Al-'Ilal menyebut Abdullah dan menukil dari ayahnya bahwa kita tidak bisa berdalil dengan riwayat-riwayat Bahiy dan hadits-haditsnya mudhtharib.67
Apa yang telah dijelaskan adalah berkenaan dengan riwayat-riwayat tentang Ummu Kultsum.
Yang jelas kami di sini sangat menyingkat pembahasan dan tidak melakukan evaluasi terhadap perawi-perawi lain riwayat itu.




Bagian Ketiga:

Evaluasi Teks Riwayat dan Implikasinya

Para pembaca yang budiman, setelah membahas sanad-sanad, ikutilah pembahasan kami untuk mengkaji teks riwayat-riwayat itu serta implikasinya... supaya kita dapat menyaksikan dengan jelas betapa dalam kebencian musuh-musuh Ahlul Bait as.

Dalam pembahasan ini kita memiliki beberapa poros:

Poros pertama:
Riwayat-riwayat itu berbunyi seperti ini:
Imam Ali as menolak Umar dengan alasan sedikitnya umur Ummu Kultsum dan telah menjodohkan putrinya untuk kemenakannya, Ja'far bin Abi Thalib.
Di riwayat Ibn Sa'ad kita membaca:
"Ali as berkata: "Aku telah menyiapkan putri-putriku untuk anak-anak Ja'far."
Di riwayat Hakim disebutkan bahwa beliau berkata:
"Aku telah menyiapkannya untuk anak saudaraku."
Di riwayat lain yang dinukil oleh Ibnu Sa'ad kita membaca bahwa beliau berkata:
"Ia adalah anak perempuan yang masih kecil."
Ibnu Abdul Barr, Ibnu Atsir dan selainnya juga menukilkan riwayat yang mirip.
Dan di riwayat-riwayat Baihaqi disebutkan bahwa Imam Ali as berkata:
"Ia masih kecil untuk urusan ini."
Jadi di riwayat-riwayat itu tidak ada pembicaraan Imam Ali as yang lain, kecuali Umar datang kembali dan berkata,
 "Nikahkanlah ia denganku; demi Tuhan! Di muka bumi tidak ada orang..."
Dan Imam Ali as (sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat tersebut) tidak melakukan apa-apa selain mengirim putrinya kepada Umar untuk dilihat oleh Umar...(!!).
Dan di sebagian riwayat ditambahkan bahwa Imam Ali as memerintahkan agar ia disiapkan; lalu ia dihias kemudian Imam Ali as membawanya ke sisi Umar...supaya ia disukainya dan dinikahinya...(!!).
Menakjubkan sekali, bagaimana dengan mudahnya Imam Ali as yang mulanya menolak lalu tiba-tiba menerima dan memberikan putrinya? Bagaimana mungkin pendapat beliau berubah dengan cepatnya?
Siapa yang percaya? Paling tidak masalah ini perlu diragukan dan perlu direnungkan.
Dari sela-sela riwayat-riwayat yang berserakan, akan terlihat suatu fakta bagi pembaca budiman, fakta yang terus berusaha disembunyikan. Mari kita sebutkan riwayat-riwayat itu:

Di riwayat yang dinukil oleh Ibn Maghazili (483 H) dengan sanadnya melalui Abdullah bin Umar disebutkan:
"Umar bin Khattab naik ke atas mimbar dan berkata: "Wahai umat! Demi Tuhan! Alasanku mendesak Ali bin Abi Thalib as tentang putrinya adalah karena aku pernah mendengar Rasulullah saw berkata padaku,
"Kelak di hari kiamat semua garis keturunan akan terpotong, kecuali garis keturunanku dan keluargaku; karena keduanya akan mendatangiku di hari itu dan memberi syafa'at kepada pemiliknya."68
Dari riwayat tersebut dapat difahami bahwa perkara itu membuat para sahabat dan tabi'in terheran dan semua berbicara tentangnya, sehingga Umar terpaksa menjelaskan di atas mimbar tentang tujuannya melamar putri Imam Ali as dan ia bersumpah bahwa satu-satunya alasannya mendesak untuk melamar putri Imam Ali as adalah karena ia mendengar ucapan Rasulullah saw itu...

Namun teks riwayat itu tidak menjelaskan tentang seperti apakah desakan Umar dan seperti apa tanggapan Imam Ali as?
Di riwayat Khatib Baghdadi disebutkan:
Umar bin Khattab melamar putri Ali bin Abi Thalib as dan berkali-kali datang ke rumahnya untuk tujuan itu dan berkata:
 "Wahai Abu Al-Hasan! Apa yang membuatku datang berkali-kali ke rumahmu adalah perkataan yang kudengar dari Rasulullah saw..."
Dalam riwayat tersebut dijelaskan bahwa Umar datang berkali-kali ke rumah Imam Ali as.
Di riwayat lainnya disebutkan tentang adanya ancaman. Dalam penukilan Ibn Sa'ad disebutkan:
Umar dalam menjawab Imam Ali as yang berkata:
"Ia adalah perempuan yang masih kecil."
berkata:
"Demi Tuhan! Alasanmu yang sebenarnya bukan ini, dan aku tahu apa tujuanmu!"
Dan di riwayat Dulabi dan Muhibb Thabari yang menukil dari Ibnu Ishaq disebutkan: Umar berkata: "Demi Tuhan! Tujuanmu bukanlah itu, sesungguhnya kamu ingin mencegahku!"69
Di riwayat lainnya secara jelas disebutkan bahwa "cambukan Umar" sangat berperan penting dalam permasalahan itu. Dalam sebuah riwayat yang dinukil Dulabi dari Aslam, Maula Umar, dijelaskan:
"Umar mendatangi Ali bin Abi Thalib as untuk melamar Ummu Kultsum. Ali bermusyawarah dengan 'Abbas, 'Aqil dan Hasan.
'Aqil marah dan berkata kepada Ali:
"Hari dan bulan berlalu hanya menambah ketidak fahamanmu. Demi Tuhan jika kau melakukan itu, maka akan begini dan begitu..."
Ali berkata kepada 'Abbas:
"Demi Tuhan! Perkataannya bukanlah atas dasar nasehat, namun cambukan Umar-lah yang memaksanya berbuat seperti yang kau lihat."70

Dari sisi lain, Abu Na'im Isfahani juga menukilkan kabar tersebut dari Zaid bin Aslam dari ayahnya, namun perkara pertentangan 'Aqil dan perkataan "cambukan Umar" telah dihapus. Mari kita baca riwayat itu bersama:
Zaid bin Aslam menukil dari ayahnya bahwa Umar bin Khattab memanggil Ali bin Abi Thalib untuk datang ke hadapannya dan berbicara sembunyi-sembunyi dengannya. Lalu setelah itu Ali bangkit dan datang ke Shuffah71 dan bermusyawarah dengan 'Abbas, 'Aqil dan Hasan tentang pernikahan Umu Kultsum dengan Umar.
Ali berkata: "Umar mengkabariku bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda:
"Setiap nasab dan garis keturunan akan terpotong di hari kiamat kecuali keturunanku."72
Selain itu, di riwayat lain disebutkan bahwa Imam Ali as selain mengatakan masih kecilnya usia Ummu Kultsum dan dijodohkannya ia dengan putra saudaranya, ada alasan lain pula yang ia utarakan. Beliau pernah berkata:
"Ia denganku, juga punya dua amir dan wali lain."73
Maksud Imam Ali as tentang "dua" itu adalah Imam Hasan as dan Imam Husain as, dan berdasarkan sebuah riwayat, Imam Ali as bermusyawarah dengan Imam Hasan dan Husain, 'Aqil dan 'Abbas.
Riwayat yang dinukil oleh Aslam ini menjelaskan diamnya Imam Hasan as tentang permasalahan tersebut, dan diam dianggap sebagai tanda bersedia.
Di riwayat lain disebutkan:
"Husain as diam dan Hasan memulai berbicara. Memuji Allah swt lalu berkata:
"Wahai ayahku! Siapakah setelah Umar yang mempunyai kelayakan untuk ini? Ia sering bersama nabi di masa hidupnya, dan Rasulullah saw meninggal dunia dalam keadaan ridha atasnya. Ia menduduki kursi kekhalifahan dan bersikap adil (!!)."
Imam Ali as berkata:
"Engkau berkata benar, wahai anakku! Namun aku tidak suka melakukan sesuatu tanpa mendengar pendapat kalian berdua."74
Namun riwayat itu bertentangan dengan riwayat lain yang dinukil oleh Baihaqi dari Ibnu Abi Malikah dari Hasan bin Hasan.
 Dalam riwayat tersebut dijelaskan:
"Ali berkata kepada Hasan dan Husain:
 "Nikahkanlah ia dengan paman kalian."
Mereka berkata:
"Ia adalah wanita seperti wanita-wanita lainnya yang memiliki hak untuk memilih."
Ali dengan marah berdiri dan hasan menarik pakaiannya lalu berkata: "Wahai ayahku! Aku tidak sanggup jauh darimu."
Lalu Ali berkata:
"Maka nikahkanlah ia dengan Umar."75
Meski demikian, sekelompok lainnya secara sengaja dan sadar menyelewengkan cerita bohong itu. Perhatikanlah! Sama seperti pertentangan dalam perkataan Hasan bin Hasan dalam perkara pernikahan Ummu Kultsum dengan 'Aun bin Ja'far. Di riwayat itu kita membaca:
"Ketika Ummu Kultsum putri Ali bin Abi Thalib as menjadi janda setelah Umar bin Khaththab, saudara-saudaranya, Hasan dan Husain as mendatanginya dan berkata..."76
Riwayat panjang itu secara jelas sangat lucu sekali dan benar-benar nampak kebohongannya.

Poros kedua:
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa pada kebanyakan dari riwayat-riwayat tersebut sebab pertentangan Imam Ali as atas pernikahan Ummu Kultsum dengan Umar adalah kecilnya usia Ummu Kultsum... Apa yang dapat kita fahami dari riwayat-riwayat tersebut adalah bahwa Umar tidak membenarkan perkataan Imam Ali as. Oleh karena itu ia datang berkali-kali ke rumah Imam Ali as dan terus mendesak... yang akhirnya berujung pada ancaman. Bahkan di sebagian riwayat hal itu disebutkan dengan jelas. Di riwayat Dulabi dan Muhib Thabari disebutkan:
Ali berkata:
"Ia masih kecil."
Umar berkata:
"Tidak, demi Tuhan! Alasanmu yang sebenarnya bukan itu, sungguh engkau ingin mencegahku dari hal ini. Jika yang sebenarnya adalah apa yang kau katakan, maka bawalah ia ke sisiku..."77
Karena sikap Umar ini tidak patut, maka ulama Ahlu Sunah mencegah diri untuk menukil alasan Imam Ali as, desakan Umar, ancaman dan bantahannya... Jika anda merujuk kepada riwayat Khatib Baghdadi, maka permasalahannya bakal jelas.

Poros ketiga:
Ibn Sa'ad menukil dari Waqidi dan selainnya, dan berkata:
"...saat itu Ali as meminta kain lalu mengikatkannya dan berkata kepada Ummu Kultsum: "Datanglah ke Umar dengan ini."
Dalam penjelasan Muhibb Thabari yang menukil dari Ibnu Ishaq disebutkan:
"Ali memanggil Ummu Kultsum lalu memberi kain kepadanya dan berkata:
"Pergilah kepadanya dengan ini..."
Hal itu dikarenakan Umar akan melihatnya. Oleh karena itu, ketika Ummu Kultsum kembali ke ayahnya ia berkata:
"Ia tidak membuka kain ini, dan ia tidak melihat selain kepadaku."
Ya, sikap khalifah Muslimin seperti itu bagi ulama Ahlu Sunah (seperti Sibth bin Jauzi) adalah sikap yang tak pantas dan tak cocok; yang mana kami akan menjelaskan ucapan-ucapannya.
Oleh karena itu sebagai ahli hadits lainnya tidak menyebutnya dalam riwayat-riwayat mereka.
Abu Bushr Dulabi meriwayatkan seperti ini:
"...Ali, memanggil Ummu Kultsum (yang saat itu masih anak kecil) lalu berkata kepadanya: "Pergilah ke hadapan Amirul Mukminin dan katakan padanya:
"Ayahku menyampaikan salam kepadamu." lalu berkata:
"Kami menerima apa yang kau minta..."
Khatib Baghdadi juga meriwayatkan seperti ini:
"Umar mendatangi Ali bin Abi Thalib as untuk melamar Ummu Kultsum dan berkata:
"Nikahkanlah ia denganku."
Ali as berkata:
"Aku telah menjodohkannya dengan putra saudaraku, Abdullah bin Ja'far."
Umar berkata:
"Demi Tuhan! Tidak ada orang yang lebih baik dariku untuk merawatnya."
Setelah itu Ali as menikahkannya dengan Umar dan Umar mendatangi Muhajirin..."

Poros ke-empat:
Dalam cerita tersebut ada yang menukil sepenggal perkara yang "tak layak", misalnya:
Di riwayat Ibnu Sa'ad dari Waqidi disebutkan:
"Ali memerintahkan agar Ummu Kultsum dihias dan disiapkan."
Di riwayat Khatib Bagdadi dari 'Uqbah bin 'Amir disebutkan: "Mereka menghiasnya"
Di riwayat Ibn Abdul Barr dan selainnya dari Imam Baqir as dijelaskan:
"Ketika Ummu Kultsum mendatangi Umar, betisnya ditelanjangi (!!)."
Ya, hal itu memang tak layak didengar dan jelek sekali.
Sesungguhnnya apakah para pemalsu riwayat ini tidak malu atas perbuatan mereka? Ini sungguh kejelekan yang jika didengar oleh orang biasa pasti ia akan membencinya dengan sangat dan mengakui keburukannya.
Apakah mereka tidak malu menukilkan cerita bohong dan mengakunya dari Imam Baqir as?
Ya, sungguh memalukan sekali. Oleh karena itu kita sering melihat sebagian ahli hadits Ahlu Sunah merubah riwayat-riwayat tersebut. Ibnu Atsir merubah kisah itu dan berkata:
"Umar meletakkan tangannya di atasnya."
Dulabi dan Muhib Thabari dalam hal ini menjelaskan:
"Umar menarik lengannya."
Di tempat lainnya mereka berkata:
"Umar menariknya dan memeluknya (!!)."
Sebagian lain seperti Baihaqi dan Hakim Neisyaburi dalam hal itu tidak menukilkan apapun.
Muhibb Thabari ketika menukil riwayat-riwayat ini berkata: Ibnu Samman menjelaskan permasalahan itu dengan singkat...
Adapun apa yang ia nukilkan, tidak ada satupun dari masalah ini.78
Dari sisi lain, sebagian orang yang menukil kisah tersebut secara jelas menyebutnya sebagai kebohongan. Sibth bin Jauzi (654 H.) mengenai hal ini berkata:
"Kakekku dalam kitab Al-Muntadham menulis: "Ali mengirim Ummu Kultsum kepada Umar agar Umar melihatnya. Umar menelanjangi betisnya lalu menyentuhnya."
Sibth bin Jauzi menambahkan:
"Menurutku -demi Allah!- perbuatan itu buruk sekali; sekalipun ia adalah budak79 , tak seharusnya diperlakukan demikian."
Lagi pula semua umat Islam percaya bahwa menyentuh perempuan bukan muhrim adalah haram hukumnya. Lalu bagaimana mereka menuduh Umar melakukan perbuatan itu?80
Penulis berkata:
"Andai hanya menyentuh saja.
Di riwayat lainnya Khatib Bagdadi menukilkan bahwa ia sampai mencium dan memeluk betisnya."

Poros kelima:
Teks riwayat yang dinukil oleh Ibn Sa'ad dan selainnya mengandung semacam ungkapan selamat. Kita telah membaca bahwa Umar berkata kepada Muhajirin:
"Ucapkanlah selamat kepadaku." Lalu mereka mengucapkan selamat.81 Yakni Umar meminta mereka mengucapkan selamat spesial dan mengatakan, “kalian doakan aku agar mempunyai keluarga yang tentram, bahagia dan anak yang banyak.82
Jelas sekali bahwa bentuk ungkapan selamat ini adalah kebiasaan jaman jahiliah, yang mana umat Islam sepakat bahwa Rasulullah saw telah melarangnya.
Mengenai hal itu Ahmad bin Hanbal meriwayatkan demikian:
"Abdullah bin 'Aqil berkata: "'Aqil putra Abu Thalib menikah, lalu ia datang kepada kami dan kami mengucapkan selamat kepadanya dengan ungkapan selamat jaman jahiliah. 'Aqil berkata: "Tenanglah! Jangan kalian ungkapkan selamat seperti ini, karena Rasulullah saw telah melarang kita untuk mengungkapkan selamat seperti itu dan berkata: "Katakanlah: Semoga Allah memberkahimu."."83

Dengan demikian, perbuatan Umar itu menunjukkan bahwa ia tidak tahu bahwa Rasulullah saw telah melarang kebiasaan tersebut. Atau dengan sengaja ia ingin memarakkan kembali kebiasaan jahiliah itu. Akhirnya ulama Ahlu Sunah terpaksa menyelewengkan teks riwayat ini, dan oleh karenanya dalam Mustadrak Hakim disebutkan seperti ini:
Umar mendatangi Muhajirin dan berkata: "Apakah kalian tidak mengucapkan selamat kepadaku?"
Dalam As-Sunan Al-Kubra Baihaqi disebutkan:
"Umar mendatangi kaum Muhajirin... lalu mereka mengucapkan selamat dan keberkahan serta mendoakannya."
Di sisi lain, Khatib Bagdadi sama sekali tidak menukilkan hal itu dalam kitabnya.

Poros keenam:
Poros lain kisah ini yang perlu dibahas adalah buah pernikahan palsu itu.
Dalam beberapa riwayat disebutkan: "Ummu Kultsum setelah menikah dengan Umar memiliki anak yang bernama Zaid."
Di riwayat Sa'ad dan selainnya disebutkan: "Ia melahirkan Zaid bin Umar dan seorang Ruqayah dari Umar".
Nawawi di bagian jumlah anak-anak Umar menukil demikian, "...dan Fathimah dan Zaid, yang mana ibu mereka adalah Ummu Kultsum..."84
Dalam riwayat Ibn Qutaibah tentang putri-putri Imam Ali as disebutkan: "Ummu Kultsum memiliki anak-anak yang mana mereka telah kami sebutkan."85

Poros ketujuh:
Salah satu poros lain yang perlu dibahas mengenai kisah palsu di atas adalah pernikahan Ummu Kultsum sepeninggal Umar bin Khattab.
Dalam riwayat yang berkenaan dengan ini disebutkan bahwa setelah Umar, Ummu Kultsum dinikahi oleh 'Aun lalu setelahnya Muhammad putra Ja'far. Namun mereka yang menyatakan pernikahan Ummu Kultsum dengan kedua orang itu berkata, "Aun dan Muhammad terbunuh di peperangan Syusytar dan peperangan itu terjadi di jaman Umar."
Ibn Abdul Barr berkata berkenaan dengan hal ini:
"Aun bin Ja'far bin Abi Thalib lahir di jaman Rasulullah saw. Ibunya adalah Asma' binti 'Umais Khats'ami, dan saudara-saudaranya adalah 'Abdullah dan Muhammad, putra-putra Ja'far bin Abu Thalib. Aun dan saudaranya, Muhammad, mati di perang Syusytar dan tidak memiliki satupun anak."86
Lalu ia melanjutkan, “Muhammad bin Ja’far bin Abi Thalib lahir di zaman Rasulullah saw… dia adalah orang yang menikahi Ummu Kultsum putri Ali bin Abi Thalib as sepeninggalnya Umar… yang kemudian meninggal di perang Syusytar”87 .
Ibn Hajar berkata: "'Aun bin Ja'far terbunuh di perang Syusytar. Perang itu terjadi di jaman kekhalifahan Umar dan Aun tidak memiliki seorang anak."88
Ibn Atsir juga berkata demikian.89
Perlu dijelaskan bahwa perang itu terjadi di jaman Umar, dan para ahli sejarah telah menjelaskannya secara rinci.90 Ibn Hajar juga menjelaskan hal yang sama.
Ya, para pembaca yang budiman, anda sekalian telah memperhatikan perkataan-perkataan mereka yang saling bertentangan dan anda pasti terheran-heran.

Poros kedelapan:
Pembahasan lainnya adalah, sebenarnya siapa di antara dua bersaudara ini yang menikahi Ummu Kultsum? 'Aun bin Ja'far ataukah Muhammad bin Ja'far?
Riwayat-riwayat Ahlu Sunah tentang hal ini berbeda-beda. Ibn Sa'ad dan Dar Quthni (sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Ishâbah) mengatakan: "Aun meninggal di masa hidupnya Ummu Kultsum dan saudaranya, Muhammad, menjadikannya sebagai istri. Lalu Muhammad juga meninggal, dan 'Abdullah menikahinya."
Ibnu Sa'ad meriwayatkan seperti ini: "Ummu Kultsum sering berkata: "Aku malu terhadap Asma' binti 'Umais, karena ia punya dua anak lelaki yang meninggal dunia di sisiku, dan aku takut akan yang ketiganya ini. Namun ummu Kultsum meninggal di sisi Abdullah."91
Lain lagi yang dinukil Ibn Qutaibah berkenaan dengan cerita itu. Ia berkata: "Ketika Umar terbunuh, Muhammad bin Ja'far menikah dengan Ummu Kultsum, dan ia mati di masa hidupnya. Lalu Aun bin Ja'far menikahinya, dan Ummu Kultsum meninggal dunia di sisinya."92
Perhatikanlah bahwa Ibnu Qutaibah menyebut pernikahan Muhammad bin Ja'far dengan Ummu Kultsum adalah sebelum pernikahan Aun dengannya dan wafatnya di sisi Aun juga ia sebutkan, dan sama sekali tidak menyebut nama Abdullah.
Di sisi lain, meskipun Ibn Abdul Barr dalam penjelasan tentang hayat Ummu Kultsum sama sekali tidak menyinggung pernikahannya setelah kematian Umar, namun saat menjelaskan kisah kehidupan Muhammad bin Ja'far ia berkata:
"Muhammad bin Ja'far bin Abi Thalib adalah orang yang menikahi Ummu Kultsum putri Ali bin Abi Thalib sepeninggal Umar bin Khattab."93

Poros kesembilan:
Di bagian ini kita akan membahas secara sekilas tentang Abdullah bin Ja'far.
Ia adalah istri Aqilah Bani Hasyim, Zainab putri Imam Ali bin Abi Thalib as. Sayidah Zainab hidup dengan suaminya, Abdullah, yang kemudian meninggal pasca peristiwa Karbala.
Ibn Sa'ad mengenai sayidah Zainab berkata:
"Zainab, putri Ali bin Abi Thalib, dinikahi oleh Abdullah bin Ja'far bin Abi Thalib bin Abdul Muththalib. Hasil pernikahan itu adalah empat lelaki dengan nama Ali, Aun Akbar, Abbas, Muhammad, dan seorang putri bernama Ummu Kultsum."
Ibnu Sa'ad melanjutkan dan menukil riwayat dari Muhammad bin Ismail bin Fadik dari Ibn Abi Dzi'b dan berkata:
"Abdurrahman bin Mihran berkata kepadaku: "Abdullah bin Ja'far bin Abu Thalib menikah dengan Zainab putri Ali. Ia secara bersamaan juga menikahi mantan istri Ali, Laila binti Mas'ud, yang mana keduanya adalah istri Abdullah."94
Nawawi dalam menjelaskan kisah Abdullah, setelah menyebut nama anak-anaknya ia berkata: "...ibu mereka adalah Zainab putri Ali bin Abi Thalib, dari Fathimah putri Rasulullah saw."95
Ibn Hajar tentang Sayidah Zainab menulis:"Zainab putri Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muththalib, adalah Hasyimi dan keturunan rasulullah saw. Ibunya adalah Fathimah Azzahra."
Lalu ia menjelaskan dan menulis, "Ibn Atsir, menjelaskan Zainab seperti ini:
"Ia lahir di jaman Rasulullah saw. Ia adalah anak perempuan yang cerdas, pintar dan pandai berbicara. Ayahnya menikahkannya dengan Abdullah bin Ja'far, dan akhirnya melahirkan beberapa anak. Ketika saudaranya Imam Husain as terbunuh, ia bersamanya. Lalu ia dibawa ke Syam, dan hadir di majelis Yazid bin Mu'awiyah. Di sana, ada seorang lelaki meminta saudarinya, Fathimah, untuk menjadi budaknya. Zainab mengangkat suaranya dan berkata kepada Yazid lalu mengkritiknya yang menunjukkan kekuatan hatinya. Cerita ini sangat terkenal dan masyhur."96
Oleh karena itu... Jika Ummu Kultsum yang meninggal di jaman Mu'awiyah adalah Ummu Kultsum putri Ali bin Abi Thalib... yang mana sepeninggal 'Aun dan Muhammad menjadi istri Abdullah bin Ja'far (sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat-riwayat tersebut), maka artinya adalah Abdullah bin Ja'far menjadikan dua saudari sebagai istrinya sekaligus. Padahal itu adalah perbuatan yang diharamkan dan tidak layak kita berbicara begitu.
Oleh karena itu, Ibn Sa'ad menjelaskan dengan teliti. Ia berkata: "Ummu Kultsum adalah istri Muhammad bin Ja'far yang kemudian dinikahi oleh saudaranya, Abdullah bin Ja'far bin Abi Thalib, pasca meninggalnya saudarinya Zainab".

Poros kesepuluh:
Pertanyaan lain yang dapat dilontarkan di sini adalah: Setelah Ummu Kultsum meninggal dunia, siapakah yang menshalatinya?
Jawaban pertanyaan ini dapat ditemukan di riwayat-riwayat yang terkait dengannya. Namun riwayat-riwayat itu pun saling bertentangan... Bahkan riwayat-riwayat yang dinukil dari satu perawi pun juga bertentangan.

Ibn Sa'ad meriwayatkan dari Sya'bi dan Abdullah Bahiy tentang masalah ini serta anaknya Zaid,
"Ia dishalati oleh Ibn Umar."
Ia juga meriwayatkan hal yang sama dari Ammar bin Abi Ammar dan Nafi' dan berkata:
"Sa'id bin 'Ash yang menshalatinya."
Yang menarik sebagian ahli sejarah menukil dari Ammar bin Abi Ammar bahwa Sa'ad bin Abi Waqqash lah yang menshalati jenazahnya.97
Bagaimanapun juga, siapapun yang menshalati Ummu Kultsum, hal itu membuktikan bahwa ia meninggal di jaman Mu'awiyah. Karena riwayat-riwayat itu menjelaskan bahwa Imam Hasan as dan Imam Husain as juga menshalatinya.

Adapun yang telah dicatat sejarah adalah bahwa Ummu Kultsum bersama Saudarinya Zainab hadir di peristiwa Karbala. Ketika dibawa ke Kufah sebagai tawanan, ia menyampaikan khutbah yang terkenal yang isinya dinukil di beberapa kitab terkenal.

Khutbah itu dinukil oleh Ibn Thayfur (wafat 280 H.) dalam kitab Balâghat An-Nisa'. Ibn Atsir dan selainnya juga menyebutkannya dalam kitab-kitab mereka di bawah tema “Farts”, seperti An-Nihâyah, Lisân Al-'Arab dan Tâj Al-'Arus.
Mungkin karena itulah dalam riwayat Abu Dawud dari Ammar bin Abi Ammar disebutkan:
Ammar bin Abi 'Ammar berkata,
"Aku ikut hadir ketika jenazah Ummu Kultsum dan anaknya dishalati. Jenazah putranya diletakkan di arah berdirinya imam jama'ah.
Lalu aku mengkritik hal itu. Namun orang-orang yang hadir di situ seperti Ibn Abbas, Abu Sa'id Khudri, Abu Qutadah dan Abu Hurairah berkata:
"Perbuatan ini adalah sunah."98
Ammar bin Abi Ammar mengakhiri riwayat ini tanpa menyebut nama imam yang menshalati mereka, juga tanpa menjelaskan siapakah Ummu Kultsum ini? Dan siapa anak itu?
Dan juga dalam riwayat Nasa'i dari Ammar bin Abi Ammar disebutkan:
"Aku hadir di jenazah seorang wanita dan anak lelakinya. Jenazah anak lelaki itu diletakkan di depan di arah imam shalat berdiri, dan jenazah wanita itu diletakkan di belakangnya, lalu shalat jenazah dilakukan untuk keduanya. Di antara yang hadir di sana ada Abu Sa'id, Ibn 'Abbas, Qutadah dan Abu Hurairah. Aku bertanya kepada mereka tentang hal ini. Lalu mereka menjawab:
"Ini adalah sunah."."99
Ammar bin Abi Ammar menukil riwayat itu namun tidak menyinggung nama imam shalat, nama kedua jenazah dan apa hubungan antara jenazah perempuan dengan anak lelaki itu.



Kesimpulan Pembahasan

Sebagaimana yang telah anda saksikan sendiri, kami telah menyebutkan berbagai sanad dari riwayat tentang pernikahan putri Imam Ali as dengan Ummar bin Khattab dan riwayat-riwayat lain yang berkaitan dengan putrid Ahlul Bait as ini. Dan telah kita kaji bersama serta terbukti bahwa tidak ada riwayat yang sanadnya dapat diandalkan sehingga riwayat-riwayat tersebut dapat kita jadikan dalil.
Kita juga telah membahas teks riwayat dan implikasinya, begitu pula pendapat ulama Ahlu Sunah dan ahli sejarah. Ternyata perkataan mereka saling bertentangan dan saling mendustakan satu sama lain.
Selain itu, dari segi implikasi riwayat, jelas bahwa cerita itu tidak berdasar sama sekali.
Sepertinya kemungkinan besar motif pemalsuan cerita itu adalah agar mereka dapat memberikan keistimewaan untuk Umar bin Khattab, Ketika mereka menyadari bahwa Umar yang meriwayatkan hadits Rasulullah saw,
Kelak di hari kiamat semua hubungan kekeluargaan akan terputus kecuali keturunanku.
Hadits itu menunjukkan keistimewaan Ahlul Bait as, khususnya Imam Ali as, sebagaimana yang disebutkan oleh Manawi dan juga Hakim Neysyaburi.100 Oleh karena itu mereka ingin membuat cerita palsu tentang lamaran Umar terhadap anak Imam Ali as agar Umar mendapatkan keistimewaan menjadi keluarga nabi.
Bukti apa yang telah kami katakan adalah, sebagian ahli hadits Ahlu Sunah menukilkan hadits tersebut dari Umar bin Khattab sendiri tanpa menyebutkan cerita itu sama sekali, yang mana hadits ini juga telah dinukil oleh orang-orang lain.
Muttaqi Hindi menukilkan hadits tersebut melalui beberapa jalur, yakni hadits yang berbunyi bahwa Rasulullah saw bersabda,
Kelak di hari kiamat semua hubungan kekeluargaan akan terputus kecuali keturunanku”.
Namun di bawah hadits ia menulis:
"Hadits ini dinukil oleh Bagdadi, Hakim, dari Umar; begitu pula Khatib Bagdadi dari Ibn 'Abbas dan Miswar."
Selanjutnya ia berkata:
"Ibn 'Asakir juga menukilkan hadits itu dari Ibn 'Umar,
Kelak di hari kiamat setiap keturunan dan hubungan kekeluargaan akan terputus kecuali keturunanku dan keluargaku.101
Ibn Maghazili dalam Manaqib Al-Imam Ali bin Abi Thalib as menukilkan hadits tersebut juga. Lalu menyebutkan hadits tersebut dengan sanad dari Sa'id bin Jubair dari Ibnu Abbas dari Umar.102
Ada pula hadits mirip dengan itu, yakni riwayat yang berkenaan dengan Fathimah Azzahra as yang dinukil dari nabi bahwa ia bersabda:
"Fathimah adalah belahanku..."
Hadits itu dinukil dari beberapa sahabat dari nabi Muhammad saw.
Ketika sekelompok pembenci Ahlul Bait mendengar hadits yang kuat itu (yang bahkan disebutkan dalam kitab-kitab shahih Ahlu Sunah), mereka mulai menciptakan kisah-kisah palsu tentang lamaran Imam Ali as terhadap putri Abu Jahal dan mengaitkan cerita itu dengan hadits tersebut...103
Dengan demikian, kedua hadits... adalah kisah lamaran. Salah satunya adalah lamaran Umar terhadap putri Imam Ali as, dan yang lainnya tentang lamaran Imam Ali as terhadap putri Abu Jahal (!!).
Lamaran Umar bin Khaththab akan menyebabkan ikatan kekeluargaannya dengan Fathimah Azzahra, sedangkan lamaran Imam Ali as menyebabkan kesengsaraannya (!!).
Lamaran Umar adalah hasil dari apa yang ia riwayatkan dari nabi tentang,
"Semua nasab dan garis keturunan akan terpotong di hari kiamat kecuali keturunanku dan keluargaku".
Sedangkan lamaran Imam Ali as, bertentangan dengan perkataan Rasulullah saw sampai beliau saw meminta Ali as untuk mentalak putrinya as (!!).
Berdasarkan kajian yang telah kita lakukan jelas sudah seperti apa riwayat riwayat tersebut.

Para rawi cerita itu adalah:
Ghulam Umar, Qadhi ibnu Zubair, Qatil 'Ammar Yasir, dan ulama istana Bani Umayah.
Para rijal sanadnya sebagian adalah pembohong, pemalsu hadits, dan lemah dalam menukil atau bahkan dengan sengaja mencampur yang benar dengan yang batil.
Jadi, kemungkinan besar motif pemalsuan cerita itu adalah apa yang telah kami katakan tadi...apa lagi sebagian perawi kedua riwayat itu mereka.



Sebuah pertanyaan

Kini timbul sebuah pertanyaan: Berdasarkan yang telah dibahas sebelumnya, apakah memang sama sekali tidak ada kemungkinan sedikitpun bahwa kisah itu memang benar? Khususnya riwayat itu sudah begitu tersebar di Ahlu Sunnah dan lagi ada sebagian perawi dari kalangan Syiah (meskipun sedikit sekali).



Jawaban

Untuk menjawab pertanyaan tersebut kami jelaskan : tanpa keraguan bahwa riwayat-riwayat dan pembicaraan-pembicaraan terkait dengan hal ini mengandung materi-materi yang menuntut kita untuk sama sekali tidak membenarkannya.

Sebagai contoh, simak riwayat yang mereka nukil ini:

Ali mengirim Ummu Kultsum dengan kain kepada Umar agar Umar melihatnya!. Lalu Ali memerintahkan agar Ummu Kultsum dipersiapkan dan dihias... dan lain sebagainya.
Jelas sekali kebatilan riwayat itu.

Contoh lainnya adalah tentang wafatnya Ummu Kultsum di jaman Mu'awiyah... padahal jelas sekali ia hadir dalam peristiwa Karbala dan semua orang tahu tentang perannya dalam peristiwa itu (hal inilah yang menjatuhkannya dari kevalidan).

Oleh karena itu, wanita yang meninggal dihari yang sama dengan anak lelaki yang bernama Zaid... dan fulan atau orang lainnya menshalatinya, pasti adalah istri Umar yang lain, entah namanya Ummu Kultsum atau julukannya (karena beberapa dari istri-istri Umar bernama atau berjuluk Ummu Kultsum juga).104

Kemungkinan ini (meskipun riwayat-riwayat itu benar sanad-sanadnya) juga dibenarkan oleh riwayat-riwayat Abu Dawud, Nasa'i dan selainnya.
Tidak ada bukti bahwa Ummu Kultsum putri Imam Ali as melahirkan anak yang bernama Zaid untuk Umar.. karena yang ditemukan hanyalah riwayat-riwayat tersebut dan itu pun jelas kondisinya...

Begitu juga tidak ada bukti bahwa dia melahirkan seorang putri... lebih dari itu, para ahli hadits juga saling berbeda pendapat tentang kisah itu sendiri dan juga nama anak perempuan tersebut.
Ditambah lagi perkataan ulama Islam yang mengatakan: "Ketika Umar mati, Ummu Kultsum masih kecil dan belum baligh."

Salah satu ulama tersebut adalah Syaikh Abu Muhammad Naubakhti (salah satu pembesar syiah). Ia dalam kitab Al-Imamah nya menulis: "Ummu Kultsum masih kecil dan belum baligh, dan Umar mati sebelum sempat berhubungan dengannya”105 .

Begitu pula Syeikh Abu Abdillah Muhammad bin Abdul Baqi Zarqani Maliki (W. 1122)106 yang saat berbicara tentang kekerabatan Nabi saw ia mengisyarahkan masalah ini dan berkata:
"Maksud dari kerabat dan keluarga nabi adalah orang-orang yang memiliki garis keturunan yang sampai pada kakek terdekat nabi, yakni Abdul Muthallib; karena beliau saw bersabda:

"Barang siapa berbuat baik kepada anak-anak Abdul Muthallib dan melakukan sesuatu untuk mereka namun tidak mendapatkan balasannya di dunia, maka balasan itu aku yang akan memberikannya di hari kiamat ketika dia menemuiku."

Riwayat itu dinukil oleh Thabrani dalam Al-Mu'jam Al-Awsath dari Utsman.

Oleh karena itu, orang-orang yang masih keturunan kakek sebelum Abdul Muthallib, seperti anak-anak Abdu Manaf, atau orang-orang lain sepertinya seperti anak-anak Hasyim, saudara Abdul Muthallib, atau orang-orang yang memiliki hubungan kekeluargaan dengannya, namun sama sekali tidak melihatnya atau bertemu dengannya, tidak termasuk keluarga yang dimaksud.
Sepertinya yang dimaksud bukanlah para lelaki dan perempuan yang bergaul dengan Rasulullah saw dan selalu berhubungan dengannya; namun yang dimaksud adalah keluarganya, seperti Ali dan anak-anaknya, Hasan, Husain, Muhassin dan Ummu Kultsum istri Umar bin Khattab.

Namun sebelum Ummu Kultsum mencapai usia baligh, Umar meninggal dan akhirnya dinikahi oleh 'Aun bin Ja'far. Ia juga meninggal, lalu dinikahi oleh saudaranya, Muhammad. Muhammad juga meninggal dan Abdullah saudaranya menikahinya dan Ummu Kultsum mati di sisinya dan tak satupun anak terlahir dari ketiganya, kecuali Muhammad, (lahir) seorang anak perempuan dari Muhammad yang mati di saat masih kecil. Dengan demikian, Ummu Kultsum tidak memiliki anak dan keturunan107 .

Dari sisi lain, dan andai memang pernikahan itu benar, bukti hal ini adalah desakan Umar bin Khattab untuk menikah; karena tujuannya melamar adalah hanya karena ia ingin menjadi menantu Nabi saw, dan ia sendiri berkata bahwa ia ingin salah satu keluarga Nabi saw hidup bersamanya.
Ia dalam ucapan-ucapannya menekankan bahwa satu-satunya yang ia inginkan hanyalah memiliki nasab yang menyambung dengan Rasulullah saw, bukan selainnya.



Bagian Keempat:

Pernikahan Ummu Kultsum dengan Umar dalam Riwayat Imamiah   108


Sebelumnya telah kita jelaskan bahwa cerita pernikahan Ummu Kultsum dengan Umar cukup terkenal dalam kitab-kitab Ahlu Sunah, dan dalam kitab riwayat Syiah pun juga pernah disebutkan. Tapi meskipun begitu, sebagian dari ulama kita mengingkarinya sama sekali. Pengingkaran itu dapat ditemukan dalam karya-karya mereka, seperti karya Syaikh Mufid, Sayid Murtadha, dan Sayid Nashir Husain anak penulis 'Abaqat Al-Anwar, serta karya-karya ulama lainnya yang dengan sengaja mengevaluasi dan mengkritik riwayat-riwayat tersebut.

Di sini, dengan penuh penekanan kami katakan bahwa apa yang dinukil dengan sanad terpercaya melalu perawi-perawi Syiah menjelaskan hal yang sudah kami terangkan dalam menjawab pertanyaan sebelumnya. Dalam hal ini kami telah menukil perkataan Naubakhti, yang termasuk ulama Syiah, dan perkataan Zarqani, yang termasuk ulama Ahlu Sunah.
Sekarang kita akan membaca riwayat-riwayat berkenaan dengan masalah ini yang dinukil dalam kitab-kitab hadits Syiah dengan sanad terpercaya:109

Hadits pertama : Dalam sebuah riwayat disebutkan: Imam Ja'far Shadiq as berkata tentang pernikahan Ummu Kultsum:
"Sesungguhnya itu adalah kehormatan yang telah dirampas."

Hadits kedua : Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Imam Shadiq as berkata:
"Ketika Umar bin Khatab datang untuk melamar, Imam Ali as berkata kepadanya:
"Ia masih kecil."
Setelah itu Umar melihat Abbas dan berkata kepadanya:
"Ada apa? Apakah aku punya cela?"
Abbas berkata:
"Mengapa kamu bertanya seperti ini?"
Umar berkata:
"Aku melamar anak saudaramu, namun ia menolakku. Demi Tuhan, aku akan memenuhi mata air Zamzam, seluruh kemuliaan kalian akan kubinasakan dan akan kubawa dua saksi untuk menuduh bahwa Ali telah mencuri dan aku akan memotong tangannya."110
Abbas mendatangi Imam Ali as dan menceritakan perkataan Umar kepadanya. Lalu ia memintanya untuk menyerahkan permasalahan ini kepadanya. Imam Ali as pun menerima".

Hadits ketiga :
Dalam riwayat lain yang dinukil dari Sulaiman bin Khalid dan selainnya disebutkan:
Sulaiman berkata: Aku bertanya kepada Imam Shadiq as tentang wanita yang suaminya telah meninggal dunia, tentang dimanakah ia harus menyelesaikan masa 'iddahnya?111 Apakah di rumah suaminya, ataukah di mana saja?
Imam as menjawab:
"Ia bisa menyelesaikan masa 'iddah nya di mana saja."
Lalu beliau berkata:
"Ketika Umar mati, Imam Ali as datang menjemput Ummu Kultsum dan membawanya ke rumahnya".

Dengan ini semua –andai kita terima riwayat ini- kita katakan bahwa mereka tidak bisa berdalil dengan riwayat ini serta memaksa kita untuk menerima hal ini, karena dari riwayat itu dapat difahami bahwa pernikahan Umar dengan Ummu Kultsum mengandung unsur paksaan dan ancaman. Setelah segala desakan, paksaan dan ancaman itulah Imam Ali as bersedia menyerahkan Ummu Kultsum kepada Umar, lalu setelah terbunuhnya Umar beliau mengambil lagi Ummu Kultsum.

Dari sabda Imam Ja’far, “Imam Ali as datang menjemput Ummu Kultsum dan membawanya ke rumahnya”, bisa kita jadikan dalil akan pernyataan beberapa ulama yang bilang bahwa Umar meninggal sebelum Ummu Kultsum sampai umur baligh.

Oleh karena itu, apa untungnya bagi Umar dengan pernikahan ini? Apa keistimewaan yang ia dapat dengan perkawinan penuh ancaman tersebut? Begitu pula keburukan apa yang dapat disandangkan kepada Imam Ali as dan Ahlul Bait as karena pernikahan itu?

Apakah pernikahan tersebut dapat menjadi bukti ikatan yang harmonis antara dua keluarga?
Ketika Umar datang untuk merampas anak perempuan itu, ia mengancamnya (sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat), dengan harapan ancaman tersebut dapat melenyapkan ancaman sebelumnya saat Umar mengancam Imam Ali as agar bersedia membai'at, yang akhirnya pun beliau terpaksa diam dan membai'at.

Yakni sikap Umar dalam merampas anak Imam Ali as dimaksudkan untuk menutupi sikapnya dalam merampas kekhalifahan Imam Ali as.

Ya, cara ini juga yang dipelajari oleh Yusuf Tsaqafi dari Umar.
Perhatikan penggalan sejarah yang dinukil di bawah ini;

Muhammad bin Idris Syafi'i (w. 204) berkata:
 "Ketika Hajjaj bin Yusuf menikah dengan putri Abdullah bin Ja'far, Khalid bin Yazid bin Mu'awiyah berkata kepada Abudl Malik bin Marwan:
 "Kamu meninggalkan Hajjaj supaya dia dapat menikah dengan putri Abdullah bin Ja'far?"
Ia berkata:
"Ya, memang apa salahnya perbuatan ini?"
Khalid berkata:
"Demi Tuhan, ini adalah aib terburuk!"
Abdul Malik berkata: "Mengapa?"

Khalid berkata:
"Demi Tuhan! Hai pemimpin Mukminin! Sejak aku menikah dengan Ramlah, putri Zubair, permusuhan dan kebencian yang ada di hatiku terhadap Zubair menjadi sirna."
Lalu Khalid berkata:
"Sepertinya Abdul Malik tertidur dan aku membangunkannya dengan perkataan ini. Kemudian ia menulis surat untuk Hajjaj dan memintanya untuk menceraikan putri Abdullah. Hajjaj pun mencerainya"1 12 .


Pernyataan akhir tentang pernikahan Ummu Kultsum

Dengan kajian yang telah kita lakukan, akhirnya kini timbul pertanyaan:
"Ummu Kultsum menikah dengan siapa?" 

Dalam menjawab pertanyaan itu kita jelaskan:


Sebelumnya telah kita fahami dari ucapan Imam Ali as bahwa beliau telah menyiapkan anak-anak perempuannya untuk anak-anak lelaki saudaranya, Ja'far. Bahkan hal itu adalah perintah Rasulullah saw. Karena pada suatu hari, saat Rasulullah saw menatap anak-anak Imam Ali as dan juga anak-anak Ja'far, berkata:

"Putri-putri kita untuk putra-putra kita dan putra-putra kita untuk putri-putri kita."113

Adapun berkenaan dengan Ummu Kultsum, diriwayatkan begini:
Umar datang melamar Ummu Kultsum, putri Imam Ali as. Ali as menjelaskan bahwa anaknya masih kecil lalu berkata:

"Aku membesarkannya untuk anak saudaraku (yakni Ja'far)..."114
Sebagaimana yang difahami dari riwayat itu, Imam Ali as tidak menentukan Ummu Kultsum akan dinikahkan dengan anak Ja'far yang mana... namun kita tahu bahwa maksud beliau as adalah 'Aun, atau Muhammad; karena (sebagaimana yang telah kita jelaskan sebelumnya) Imam Ali as menikahkan Zainab, putrinya, dengan Abdullah (yang paling besar di antara saudara-saudaranya).

Di antara ulama Ahlu Sunah (yang mana pembahasan berkisar pada riwayat-riwayat dan perkataan-perkataan mereka) tidak ada ikhtilaf bahwa 'Aun terbunuh dalam peperangan Syusytar di zaman Umar, yang mana menurut riwayat-riwayat tersebut (jika riwayat-riwayat itu memang benar) Ummu Kultsum saat itu menjadi istri Umar.

Namun tentang Muhammad, Ibn Hajar menyatakan begini:
"Abu 'Amr menukil dari Waqidi bahwa julukan Muhammad adalah Abul Qasim. Ia menikah dengan Ummu Kultsum putri Ali as sepeninggal Umar."
Lalu ia menjelaskan:
"Muhammad terbunuh di perang Syusytar."
Disebutkan bahwa:
"Muhammad hidup sampai jaman Ali as dan berperang di bawah kepemimpinannya dalam peperangan Shiffin."

Dar Quthni dalam kitab Al-Ikhwah menulis:
Dijelaskan bahwa: Muhammad terbunuh di perang Shiffin. Dalam perang itu, ia berhadapan dengan Ubaidillah bin Umar bin Khattab dan saling membunuh.

Marzbani dalam Mu'jam Asy-Syu'ara menulis:
"Muhammad bersama Muhammad bin Abu Bakar di Mesir, ketika Muhammad bin Abu Bakar terbunuh, Muhammad bersembunyi. Seseorang dari kaum 'Ak dan kabilah Ghafiq membimbingnya dan Muhammad bin Ja'far kabur ke Palestina. Di sana ia mendatangi salah satu familinya dari kabilah Khaats'am. Ia melindungi Muhammad dari kejahatan Muawiyah. Kemudian Muhammad membacakan sebuah syair tentang hal ini."

Selanjutnya ia menulis:

"Hal ini telah terbukti dan perkataan Waqidi tentang ia mati di perang Syusytar" tidak benar."115
Oleh karena itu, orang yang menikah dengan Ummu Kultsum –menurut asumsi di atas - setelah kematian Umar adalah Muhammad bin Ja'far, sebagaimana yang dijelaskan pula oleh Ibn Abdul Barr.
Tentang Abdullah juga harus kita fahami bahwa mungkin saja setelah istrinya, Zainab, meninggal, dan setelah suami Ummu Kultsum, Umar meninggal, ia juga menikah dengannya. Sebagaimana Ibnu Abdul Barr menjelaskan bahwa Abdullah hidup hingga tahun 80 dan meninggal dalam usia 90 tahun.116



Kesimpulan buku ini

Yang kita bahas adalah masalah pernikahan Ummu Kultsum dengan Umar. Masalah itu disebutkan dalam kitab-kitab ternama Ahlu Sunah, dan kita pun sudah membahas sanad riwayat-riwayat serta tujuan-tujuan disebutkannya kisah tersebut secara teliti dan rinci. Fakta yang sebenarnya telah dijelaskan dan pembahasannya sudah usai.

Anggap saja memang benar Fathimah Azzahra memiliki seorang anak perempuan bernama Ummu Kultsum, dan jika kita meyakini bahwa pernikahan hanyalah sekedar dibacakannya akad nikah, maka, berdasarkan beberapa riwayat yang disebutkan dalam Al-Kafi, kita dapat menyimpulkan begini:

Umar melamar anak perempuan Imam Ali as, namun beliau as membawa alasan bahwa anak itu masih kecil dan sudah dijodohkan dengan anak pamannya. Namun Umar terus menerus datang dan pergi, dan akhirnya mengancam Imam Ali as. Akhirnya Imam Ali as menyerahkan urusan anak perempuan itu kepada pamannya, Abbas. Lalu akhirnya pernikahan yang "hanya sekedar akad nikah" itu terlaksana dengan segala unsur keterpaksaan dan ancaman di dalamnya.

Oleh karenanya, begitu Umar mati, Imam Ali as segera mendatangi putrinya lalu membawanya kembali ke rumah beliau as.

Jadi, segala yang disebutkan dalam kitab-kitab riwayat Ahlu Sunah, dari diriasnya putri Imam Ali as lalu dibawa ke Umar dengan membawa secarik kain, hingga kabar kematiannya yang bersamaan dengan putranya, semuanya tidak berdasar dan bohong.

Kesimpulannya, kisah tersebut adalah usaha Umar bin Khattab untuk menutupi kebencian Ahlul Bait as terhadapnya, dan untuk berlagak memiliki hubungan harmonis dengan Imam Ali as; yang mana semua itu adalah usaha sia-sia dan tidak bisa dijadikan dalil.





Daftar Pustaka:

Ihya' 'Ulum Ad-Din: Abu Hamid Ghazali, Darul Makrifat, Beirut, Lebanon.
Al-Isti'âb: Ibn Abdul Barr, Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Lebanon, cetakan pertama, tahun 1415.
Usud Al-Ghâbah: Ibn Atsir, Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Lebanon.
Al-Ishâbah: Ibn Hajar 'Asqalani, Darul Kutub Ilmiah, Beiru, Lebanon, cetakan pertama, tahun 1415.
Ifhâm Al-A'da' wa Al-Khushum: Allamah Sayid Nashir Husain Musawi Hindi, Maktabah Nainawa Baru.
Al-Ansâb: Sam'ani, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, cetakan pertama, tahun 1408.
Bihâr Al-Anwâr: Muhammad Baqir Majlisi, Darul Ihya' Turats Arabi, Beirut, Lebanon, cetakan ketiga, tahun 1403.
Târikh Baghdad: Khatib Baghdadi, Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Lebanon, cetakan pertama, tahun 1417.
Târikh Al-Khamis: Diyar Bakri, Dar Shadir, Beirut, Lebanon.
Târikh Thabari: Thabari, cetakan Toko Buku Urumiah, Qom, Iran.
Tadzkirah Al-Khawâsh: Sibth bin Jauzi, Muasasah Ahlul Bait as, Beirut, Lebanon, tahun 1401.
Taqrib At-Tahdzib: Ibn Hajar 'Asqalani, Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Lebanon, cetakan kedua, tahun 1415.
Talkhish Al-Mustadrak: Dzahabi, Darul Ma'rifah, Beirut, Lebanon.
Tahdzib Al-Asma' wa Al-Lughât: Nawawi, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, cetakan pertama, tahun 1416.
Tahdzib Al-Tahdzib: Ibn Hajar 'Asqalani, Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Lebanon, cetakan pertama, tahun 1415.
Husn Al-Muhadharah: Suyuthi, Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Lebanon, cetakan pertama, tahun 1418.
Hilyat Al-Awliya': Abu Na'im Isfahani, Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Lebanon, cetakan pertama, 1418.
Dzakhâir Al-'Uqba: Muhibbuddin Thabari, Maktabah Shabah, Jiddah, Assyarqiyah, Maktabah Tabi'in, Kairo, cetakan pertama, tahun 1415.
Al-Dzurriyyah Ath-Thâhirah: Muhammad bin Ahmad Anshari Razi Dulabi, Tahkik Sayid Muhammad Jawad
HUsaini Jalali, Muasasah Nashr Islami, Qom, Iran, tahun 1407.
Silk Al-Durar fi A'yan Al-Qarn Al-Tsani 'Asyar: Muradi, Maktabah Al-Mutsanna, Baghdad, Iraq.
Sunan Abi Dawud: Abu Dawud, Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Lebanon, cetakan pertama, tahun 1416.
Al-Sunan Al-Kubra: Baihaqi, Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Lebanon, cetakan kedua, tahun 1414.
Sunan Al-Nasa'i: Nasa'i, dengan syarah Suyuthi dan hasyiah Sindi, Darul Makrifat, Beirut, Lebanon, cetakan ketiga, tahun 1414.
Syarah Al-Mawâhib Al-ladduniyah: Qasthalani, Darul Makrifah, Beirut, Lebanon, tahun 1414.
Al-Dhu'afa' Al-Kabir: 'Uqaili, Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Lebanon.
Thabaqat Al-Huffâdz: Suyuthi, Darul Kutub Ilmiah, Bierut, Lebanon, cetakan kedua, tahun 1414.
Al-Thabaqat Al-Kubra: Ibn Sa'ad, Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Lebanon, cetakan kedua, tahun 1418.
Ghâyat Al-Nihâyah fi Thabaqât Al-Qurra': Jazari Syafi'i, Maktabah Khanji, Mesir, tahun 1351.
Faidh Al-Qadir: Manawi, Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Lebanon, cetakan pertama, tahun 1415.
Al-Kasyif: Dzahabi, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, cetakan pertama, tahun 1418.
Al-Kafi: Muhammad bin Ya'qub Kulaini, Dar sha'b, Darul Ta'aruf, Beirut, Lebanon, cetakan ketiga, tahun 1401.
Al-Kamil: Ibn Atsir, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, tahun 1399.
Al-Kamil fi Dhu'afa' Al-Rijal: Ibnu 'Adi, Darul Kutub Al-Ilmiah, Beirut, Lebanon, cetakan pertama, tahun 1418.
Kitab Al-Majruhin: Ibn Hibban, Darul Ma'arif, Beirut, Lebanon, tahun 1412.
Kanz Al-Ummâl: Muttaqi Hindi, Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Lebanon, cetakan pertama, tahun 1419.
Lisân Al-Arab: Ibn Mandhur Afriqi, Beirut, Lebanon.
Majalah Turâtsuna, Muasasah Alul Bait Liihya Turats, Qom, Iran.
Majma' Al-Zawâid wa Manba' Al-Fawâ'id: Haitsami, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, tahun 1412.
Mukhtashar Târikh Dimashq: Ibn Mandhur, Darul Fikr, Suriah, Damaskus, cetakan pertama, tahun 1404.
Mir'ât Al-Jinan: Yafi'i, Darul Kutub Islamiah, Kairo, Mesir, cetakan kedua, tahun 1413.
Al-Mustadrak: Hakim Neishaburi, Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Lebanon, cetakan pertama, tahun 1411.
Musnad Ahmad bin Hanbal: Ahmad bin Hanbal, Dar Ihya' Turats Arabi, Beirut, Lebanon, cetakan ketiga, tahun 1415.
Al-Ma'ârif: Ibn Qutaibah, Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Lebanon, cetakan pertama, tahun 1407.
Ma'rifah Al-Shahâbah: Abu Na'im Isfahani, Beirut, Lebanon.
Al-Mughni fi Al-Dhu'afa': Dzahabi, Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Lebanon, cetakan pertama, 1418.
Al-Manâqib: Ibn Maghazili, Darul Adhwa', Beirut, Lebanon, cetakan kedua, tahun 1214.
Man La Yahdhuruhu Al-Faqih: Syaikh Shaduq, Dar Sha'b, Darul Ta'aruf, Beirut, Lebanon, tahun 1401.
Mizân Al-I'tidâl: Dzahabi, Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Lebanon, cetakan pertama, tahun 1416.

Wasâil Syi'ah: Syaikh Hurr 'Amuli, Dar Ihya' Turats Arabi, Beirut, Lebanon, cetakan, cetakan kelima, tahun 1403.




Jadwal pustaka

Pernikahan Ummu Kultsum dan Umar 1

Prakata. 1

Pernikahan Ummu Kultsum dengan Umar 2

Bagian pertama. 4

Para periwayat dan riwayat 4

1. riwayat Ibn Sa'ad dalam buku Al-Tabaqât Al-kubra. 4

2. Riwayat Dulabi dalam kitab Al-Dzari'ah Al-Thâhirah. 9

3. Riwayat Hakim Neisyaburi dalam Al-Mustadrak. 15

4. Riwayat Baihaqi dalam Al-Sunan Al-Kubra. 16

5. Riwayat Khathib Baghdadi dalam Tarikh Baghdad. 18

6. Riwayat Ibn Abd Al-Bar dalam Al-Istiâb. 19

7. riwayat Ibn Atsir dalam Usud Al-Ghâbah. 22

8. Riwayat Ibn Hajar dalam Al-Ishâbah. 26

Bagian Kedua. 30

Evaluasi Sanad Riwayat 30

Evaluasi Sanad-Sanad Riwayat 30

Hal penting dalam masalah ini 31

Bagian Ketiga: 58

Evaluasi Teks Riwayat dan Implikasinya  58

Evaluasi Teks Riwayat dan Implikasinya. 58

Kesimpulan Pembahasan. 77

Sebuah pertanyaan. 80

Jawaban. 80

Bagian Keempat: 84

Pernikahan Ummu Kultsum dengan Umar dalam Riwayat Imamiah  84

Pernikahan Ummu Kultsum dengan Umar dalam Riwayat Imamiyah108 84

Kesimpulan buku ini 91

Daftar Pustaka: 93

Jadwal pustaka : 98

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

50 Pelajaran Akhlak Untuk Kehidupan

ilustrasi hiasan : akhlak-akhlak terpuji ada pada para nabi dan imam ma'sum, bila berkuasa mereka tidak menindas, memaafkan...