ilustrasi hiasan:
KHOTBAH 3 diambil dari Nahjul Balaghah
Dikenal sebagai Khotbah Asy-Syiqsyiqiyyah[i]
Demi Allah, putra Abu Quhafah (Abu Bakar)[ii] membusanai dirinya dengan (kekhalifahan) itu, padahal ia pasti tahu bahwa kedudukan saya sehubungan dengan itu adalah sama dengan kedudukan poros pada penggiling. Air bah mengalir (menjauh) dari saya dan burung tak dapat terbang sampai kepada saya. Saya memasang tabir terhadap kekhalifahan dan melepaskan diri darinya.
Kemudian saya mulai berpikir, apakah saya harus menyerang ataukah menanggung dengan tenang kegelapan membutakan dan azab, di mana orang dewasa menjadi lemah dan orang muda menjadi tua, dan orang mukmin yang sesungguhnya hidup di bawah tekanan sampai ia menemui Allah (saat matinya). Saya dapati bahwa kesabaran atasnya lebih bijaksana. Maka saya mengambil kesabaran, walaupun ia menusuk di mata dan mencekik di kerongkongan. Saya melihat perampokan warisan saya sampai orang yang pertama menemui ajalnya, tetapi mengalihkan kekhalifahan kepada Ibnu Khaththab sesudah dirinya.
Kemudian ia mengutip syair al-'A'sya':
Hari-hariku kini berlalu di punggung unta (dalam kesulitan)
Sementara ada hari-hari (kemudahan)
Ketika aku menikmati pertemanan Hayyan, saudara Jabir.[iii]
Aneh bahwa selagi hidup ia ingin melepaskan diri dari kekhalifahan, tetapi ia mengukuhkannya untuk yang lainnya setelah matinya. Tiada ragu bahwa kedua orang ini sama bersaham pada puting-puting susunya semata-mata di antara mereka saja. Yang satu ini menempatkan kekhalifahan dalam suatu lingkungan sempit yang alot di mana ucapannya sombong dan sentuhannya kasar. Kesalahannya banyak, dan banyak pula dalihnya kemudian. Orang yang berhubungan dengannya adalah seperti penunggang unta binal. Apabila ia menahan kekangnya, hidungnya akan robek, tetapi apabila ia melonggarkannya maka ia akan terlempar. Akibatnya, demi Allah, manusia terjerumus ke dalam kesemberonoan, kejahatan, kegoyahan dan penyelewengan. Namun demikian saya tetap sabar walaupun panjang-nya masa dan tegarnya cobaan, sampai, ketika ia pergi pada jalan (kematian)nya, ia menempatkan urusan (kekhalifahan) pada suatu kelompok[iv] dan menganggap saya salah satu dari mereka. Tetapi, ya Allah, apa hubungan saya dengan "musyawarah" ini? Di manakah ada suatu keraguan tentang saya sehubungan dengan yang pertama dari mereka sehingga saya sekarang dipandang sama dengan orang-orang ini? Tetapi saya tetap merendah ketika mereka merendah dan terbang tinggi ketika mereka terbang tinggi. Seorang dari mereka menentang saya karena kebenciannya, dan yang lainnya cenderung ke jalan lain karena hubungan perkawinan dan karena ini dan itu, sehingga orang ketiga dari orang-orang ini berdiri dengan dada membusung antara kotoran dan makanannya. Bersamanya sepupunya pun bangkit sam-bil menelan harta Allah[v] seperti seekor unta menelan rumput musim semi, sampai talinya putus, tindakan-tindakannya mengakhiri dirinya dan keserakahannya membawanya jatuh tertelungkup.
Pada waktu itu tak ada yang mengagetkan saya selain kerumunan orang yang maju kepada saya dari setiap sisi seperti bulu tengkuk rubah sehingga Hasan dan Husain terinjak dan kedua ujung baju bahu saya robek. Mereka berkumpul di sekitar saya seperti kawanan kambing. Ketika saya mengambil kendali pemerintahan, suatu kelompok memisahkan diri dan satu kelompok lain mendurhaka, sedang yang sisanya mulai menyeleweng seakan-akan mereka tidak mendengar kalimat Allah yang mengatakan, "Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak in gin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) buini. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa. " (QS. 28:83)
Ya, demi Allah, mereka telah mendengarnya dan memahaminya, tetapi dunia nampak berkilau di mala mereka dan hiasannya menggoda mereka. Lihatlah, demi Dia yang memilah gabah (untuk tumbuh) dan menciptakan makhluk hidup, apabila orang-orang tidak datang kepada saya, dan para pendukung tidak mengajukan hujah, dan apabila tak ada perjanjian Allah dengan ulama bahwa mereka tak boleh berdiam diri dalam keserakahan si penindas dan laparnya orang tertindas, maka saya akan sudah melemparkan kekhalifahan dari bahu saya, dan memberikan orang yang terakhir perlakuan yang sama seperti orang yang pertama. Maka Anda akan melihat bahwa dalam pandangan saya dunia Anda ini tidak lebih baik dari bersin seekor kambing.
Dikatakan bahwa ketika Arnirul Mukminin sampai di sini dalam khotbahnya, seorang lelaki dari 'Iraq berdiri dan menyerahkan kepadanya suatu tulisan. Amirul Mukminin melihat (tulisan) itu, dan ketika itu juga Ibn 'Abbas --semoga Allah meridai keduanya-- berkata, "Ya Amirul Mukminin, saya harap Anda lanjutkan khotbah Anda dari mana Anda telah memutuskannya."
Atasnya ia menjawab,
"Wahai Ibn 'Abbas, hal itu seperti uap dengusan seekor unta yang menyembur keluar tetapi (kemudian) mereda."
Ibn 'Abbas berkata bahwa ia tak pernah menyedihkan suatu ucapan sebagaimana atas yang satu ini, karena Amirul Mukminin a.s. tak dapat mengakhirinya sebagaimana diinginkannya.
Sayid Radhi mencatat: Kata-kata dalam khotbah, "seperti penunggang unta" bermaksud menyampaikan bahwa bilamana seorang penunggang unta menarik kendali dengan kaku maka dengan sentakan itu lobang hidungnya akan memar, tetapi apabila ia melonggarkannya padahal unta itu liar, maka unta itu akan melemparkannya di suatu tempat dan akan lepas kendali. Asynaq an-n?qah digunakan bilamana si penunggang menarik kekang dan meninggikan kepala unta. Dalam pengertian yang sama digunakan juga kata syanaqa an-n?qah. Ibnu Sikkit telah menyebutkannya dalam Isl?hul Manthiq. Amirul Mukminin telah mengatakan asynaqa lah? sebagai ganti asynaqaha, karena ia menggunakannya seirama dengan aslasa lah? dan keselarasan hanya dapat dipertahankan dengan mengunakan keduanya dalam bentuknya yang sama. Jadi, Amirul Mukminin menggunakan asynaqa lah? seakan-akan sebagai ganti in rafa'a lah? ra'sah?, yakni "apabila ia menghentikannya dengan menarik kekang".•
TAUBAT YAZID
Sumber : Dari buku Tanya Jawab Pilihan (Edisi Muharram)
Tanya : Apakah setelah kejadian tersebut Yazid bertaubat? Sebenarnya apakah taubat seseorang seperti dia dapat diterima?
- Jawab : Untuk menjawab pertanyaan ini kita membutuhkan dua pembahasan; pembahasan seputar sejarah dan juga pembahasan ilmu kalam. Pembahasan kedua dalam menjawab pertanyaan ini bergantung dengan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti apakah mungkin orang seperti ini mendapatkan taufiq untuk bertaubat setelah melakukan dosa luar biasa tersebut? Jika memang ia bertaubat, apakah taubatnya memang benar-benar atau hanya sekedar berpura-pura? Dengan membaca ayat-ayat dan riwayat yang menerangkan bahwa segala dosa dapat diampuni, apakah sebenarnya ada pengecualiannya? dan pertanyaan-pertanyaan lain seperti itu… Pertanyaan ini pada dasarnya adalah pertanyaan yang muncul dari jawaban pertanyaan yang lain, yaitu pertanyaan “Apakah Yazid benar-benar bertaubat dan membayar dosanya?”
Jika pertanyaan tersebut terjawab dengan jawaban “ya”, maka barulah kita bertanya kembali “Apakah taubatnya bisa diterima?”. Tapi jika terbukti dalam sejarah Yazid sama sekali tidak menyesali perbuatannya, maka jelaslah permasalahannya.
Hampir semua sejarawan, ulama dan ahli hadis Islam meyakini Yazid sebagai seorang pendosa besar yang patut dikecam, terutama setelah terbukti ialah yang menciptakan peristiwa Asyura. Akan tetapi ada juga sebagian tokoh seperti Ghazali dalam Ihyaul Ulum-nya yang melarang kita melaknat Yazid karena mungkin dia telah bertaubat.
Ghazali yang dengan ketenarannya itu tidak diterima pendapatnya mengenai pembelaan terhadap Yazid. Banyak yang menentang pendapatnya, seperti Ibnu Jauzi (597 H.) yang sampai menulis satu kitab yang berjudul Arraddu Alal Mu’tashib Al Anid.
Akan tetapi di sepanjang masa sering terdengar bisik-bisik mengenai adanya kemungkinan Yazid bertaubat, khususnya dari para orientalis seperti Lamens, seorang Yahudi, dalam Maqalatu Dairatul Ma’arif Al Islam (cetakan pertama). Di kalangan Muslimin juga akhir- akhir ini sering terdengar hal yang sama. Dengan demikian kita merasa permasalahan ini sangat penting sekali untuk dibahas.
Di sini kita akan membawakan beberapa potong teks yang terdapat dalam beberapa sumber yang dijadikan oleh banyak orang sebagai dalil adanya kemungkinan Yazid bertaubat setelah peristiwa Asyura:
1. Ibnu Qutaibah dalam Al Imamah wal Siyasah[1] menulis: “Setelah kejadian-kejadian itu berlangsung di istana Yazid, ia menangis begitu lama sehingga hampir saja nyawa melayang dari tubuhnya karena kesedihan yang dirasa.”
2. Ketika kepala-kepala para syuhada dan juga para tawanan dihadirkan di istana Yazid, Yazid terharu dan menuding Ibnu Ziyad sebagai pelaku kejahatan lalu berkata, “Semoga Allah melaknat Ibnu Marjanah (Ubaidillah bin Ziyad) yang mencoreng mukaku di hadapan Muslimin sehingga aku dibenci oleh mereka!”[2]
Dalam sumber yang lain disebutkan bahwa sebenarnya ia tidak ingin bersikap keras terhadap Imam Husain as. atas pertentangannya terhadap dirinya. Ia sama sekali tidak menerima terbunuhnya Al Husain as. lalu menuduh Ibnu Ziyad sebagai pembunuh Imam Husain as. yang sebenarnya.[3]
3. Ketika rombongan keluarga dan sahabat Imam Husain as. sedang bergerak menuju Madinah, Yazid berkata kepada Imam Sajjad as.,
"Marjanah. Sumpah demi Allah, jika seandainya aku yang berada di hadapan Al Husain as., maka aku akan memenuhi apapun yang ia minta dan aku tidak akan membiarkannya terbunuh meskipun apa yang kulakukan itu menyebabkan kematian anak-anakku sendiri.”[4]
Jika anggap saja kita mau menerima riwayat-riwayat di atas tanpa peduli dengan sanadnya, maka kita aka mendapatkan beberapa poin berikut ini:
Pertama, pelaku pembunuhan Imam Husain as. yang sebenarnya adalah Ibnu Ziyad dan Yazid sama sekali tidak memberikan perintah kepada Ibnu Ziyad untuk memenggal kepala beliau.
Kedua, Yazid sangat marah dan melaknat Ibnu Ziyad akibat perbuatannya.
Ketiga, Yazid sangat terharu dan menyesali terbunuhnya Imam Husain as.
Mengenai hal pertama, dalam sejarah dengan teramat jelas tercatat bukti-bukti kejahatan yang telah Yazid lakukan; dan dengan demikian jika Yazid mengaku tidak bersalah maka artinya adalah kebohongan yang nyata.
Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, begitu tahta pemerintahan jatuh di tangan Yazid setelah kematian ayahnya, ia menuliskan sebuah surat yang diperuntukkan kepada Walid bin Utbah yang isinya,
Dalam sumber-sumber yang lain juga disebutkan bahwa begitu Yazid mengetahui keberadaan Imam Husain as. di Makkah, ia mengirimkan beberapa orang utusannya dan mereka ditugasi untuk membunuh beliau di saat melaksanakan ibadah hajinya.[6] Hal ini juga disinggung oleh Ibnu Abbas dalam suratnya yang ditulis untuk Yazid.[7] Juga pernah disebutkan juga bahwa ketika Imam Husain as. bergerak menuju Iraq, Yazid dengan segera menuliskan suratnya kepada Ibnu Ziyad untuk bersikap keras terhadap beliau[8] dan pada akhirnya Ibnu Ziyad sendiri mengaku bahwa Yazid memang memerintahkannya untuk membunuh Imam Husain as.[9]
Abdullah bin Abbas menulis sepucuk surat untuk Yazid dan dalam surat itu Ibnu Abbas menyebutnya sebagai pembunuh Imam Husain as. dan para pemuda keturunan Abdul Muthalib. Ia mencaci Yazid dengan berkata,
“Jangan pernah kau kira aku lupa bahwa engkau telah membunuh Husain dan para pemuda keturunan Abdul Muthalib!”[10]
Kejahatan Yazid begitu jelas sekali. Anaknya sendiri yang bernama Mu’awiyah bin Yazid pada suatu hari pergi ke atas mimbar Masjid Jami’ Damaskus dan berbceramah sambil memaki ayahnya dengan berkata,
Kesimpulannya, kenyataan bahwa Imam Husain as. dibunuh atas perintah Yazid tidak dapat diingkari lagi dan tercatat jelas dalam sejarah.[12]
Adapun mengenai kemarahan Yazid ketika mendengar Ibnu Ziyad memenggal kepala Imam Husain as., tak lain dan tak bukan hanyalah kebohongan semata. Terbukti dalam buku-buku sejarah bahwa ketika ia mendengar terbununhnya Imam Husain as. ia justru merasa bahagia dan bahkan memberikan acungan jempol kepada Ibnu Ziyad. Dalam kitabnya, Sibth bin Jauzi menceritakan pujian-pujian Yazid kepada Ibnu Ziyad, hadiah-hadiah berharga yang ia berikan kepadanya, pesta semalaman dengan acaara meminum minuman keras sekeluarga dan lain sebagainya. Ia juga menukilkan syair-syair Yazid yang kandungannya adalah dukungan serta pujiannya terhadap Ibnu Ziyad yang telah membunuh cucu nabi.[13]
Sejarah juga menceritakan bahwa Yazid sama sekali tidak punya niatan untuk menurunkan jabatan yang disandang Ibnu Ziyad di Iraq. Ibnu Ziyad tetap di jabatannya hingga tahun 63 H. dan saat Ibnu Zubair memimpin gerakan perjuangannya, Yazid meminta Ibnu Ziyad untuk ikut berperang melawannya.[14]
Oleh karenanya, jika seandainya ia menunjukkan kemarahannya atas terbunuhnya Imam Husain as., maka itu pasti karena ia berpura-pura. Saat itu banyak orang terbawa ucapan Zainab as. dan Imam Sajjad as. sehingga mereka membenci Yazid. Untuk menghilangkan kebencian inilah Yazid berpura-pura tidak terima akan perbuatan Ibnu Ziyad.
Adapun Yazid sangat bersedih dan menyesali kepergian Imam Husain as., ini juga jelas-jelas bohong. Dalam sejarah disebutkan dengan jelas bahwa ketika kepala-kepala para syuhada dan para tawanan dihadirkan ke hadapan Yazid di Damaskus, ia menampakkan kegirangannya lalu memukul gigi-gigi Imam Husain as. dengan tongkat kayu![15]
Ia juga tidak lupa membacakan syair-syairnya yang menandakan kebencian keluarga Umayah terhadap Bani Hasyim[16] karena pada suatu hari neneknya yang bernama Hindun, saudaranya Walid, dan beberapa orang dari keluarganya terbunuh di tangan para sahabat Rasulullah saw.
Dalam syairnya terdapat kata-kata yang menggambarkan kedangkalan pikirannya. Ia menganggap kenabian sebagai alasan untuk mendapatkan kekuasaan duniawi. Ia berkata, “Bani Hasyim telah bermain-main dengan kekuasaan ini. Sungguh tidak ada yang namanya kenabian dan juga tidak pernah turun yang namanya wahyu.”[17]
Ya, ia pasti menunjukkan kesedihannya saat itu; karena jika ia menunjukkan kegembiraannya di saat orang-orang di sekitarnya sedih pasti ia akan dihajar masa.
Sebagai penutup pembahasan ini, kami ingin menjelaskan dua permasalahan:
Pertama, kita pasti bisa membaca bahwa ketika ia menunjukkan rasa sedih atau kemarahan atas terbunuhnya Imam Husain as., di saat-saat seperti itu maka kenyataan yang sesungguhnya adalah kebalikannya. Ia hanya bersiasat. Sama sekali tidak ditemukan tanda- tanda ia menyesal dan bertaubat secara tulus. Oleh karena itu, kita musti menganalisa sikap Yazid tersebut dalam segi politik. Karena sikap yang demikian tidak dapat disebut dengan taubat sehingga kita musti bertanya-tanya lagi setelah itu, “Apakah boleh kita melaknat Yazid jika ia telah bertaubat?”
Kedua, jika Yazid benar-benar bertaubat, mari kita buktikan dengan melihat sikap dan perbuatannya setelah taubat itu. Dengan jelas sejarah menceritakan perilakunya sepanjang hidup yang jelas-jelas bertentangan dengan taubat. Dua tahun sebelum kepemimpinannya berakhir, ia melakukan dua kejahatan yang lain:
1. Membantai warga Madinah dan menghalalkan harta benda mereka untuk pasukannya selama tiga hari. Banyak para sahabat nabi yang terbunuh di kota itu. Kejadian ini dikenal dengan kejadian Harrah.[18]
2. Ia memerintahkan pasukannya untuk menyerang Makkah dan menginjak-injak kehormatan Ka’bah dengan cara membakarnya.[19]
Jika kita membaca sejarah, kita akan dapati bahwa Yazid bukan hanya tidak menyesali perbuatannya, bahkan ia terus melakukan kejahatan sesuka hatinya. Oleh karena itu, tidak ada larangan untuk melaknat Yazid.
CATATAN :
[1] Al Imamah wal Siyasah, jilid 2, halaman 8.
[2] Sibth Ibnu Jauzi, Tadzkiratul Khawash, halaman 256.
[3] Al Kamil fi At Tarikh, jilid 2, halaman 578.
[4] Ibid.
[5] Tarikh Ya’qubi, jilid 2, halaman 241.
[6] Luhuf, halaman 82.
[7] Tadzkiratul Khawash, halaman 275 yang mana Ibnu Abbas berkata kepada Yazid, “Apakah engkau lupa bahwa engkau pernah mengirimkan utusanmu menuju Makkah untuk membunuh Al Husain as.?”; Tarikh Ya’qubi, jilid 2 halaman 249.
[8] Ibnu Abdur Rabbah, Al Aqdul Farid, jilid 5, halaman 130; Suyuthi, Tarikhul Khulafa, halaman 165.
[9] Tajarubul Umam, jilid 2, halaman 77
[10] Tarikh Ya’qubi, jilid 2, halaman 248.
[11] Ibid, jilid 2, halaman 254.
[12] Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut, silahkan rujuk Arrikabul Husaini fis Syam wa minhu ilal Madinah Al Munawarah, jilid 6, yang merupakan bagian dari satu kumpulan Ma’ar Rikabil Husaini Minal Madinah Ilal Madinah, jilid 6, halaman 54-61.
[13] Tadzkiratul Khawash, halaman 29.
[14] Tajarubul Umam, jilid 2, halaman 77.
[15] Tarikh Ya’qubi, jilid 2, halaman 245.
[16] Ibnu Abil Hadid, Syarah Nahjul Balaghah, jilid
14, halaman 280.
[17] Maqtal Khwarazmi, jilid 2, halaman 58; Tadzkiratul Khawash, halaman 261.
[18] Al Kamil, Ibnu Atsir, jilid 2, halaman 593.
[19] Ibid, halaman 206. - “Semoga Allah melaknat Ibnu
- “Begitu suratku sampai di tanganmu, maka bergegaslah bawa Husain bin Ali dan Ibnu Zubair ke hadapanmu, mintalah baiat dari mereka berdua, dan jika mereka menolak, penggallah kepala mereka berdua dan bawa kepadaku.”[5]
- “…dia telah membunuh keturunan Rasulullah saw.!”[11]
---------------------------------------------------------
-
YAZID DAN KEBOBROKAN PEMERINTAHANNYA
- Sumber : irib_indonesia
Abbas Mahmoud al-Aqqad, seorang penulis Mesir dalam bukunya “Al-Hussein: Abu al-Shuhada (Hussein: The Father of Martyrs)” menulis, “Tidak hanya umat Islam yang mengambil pelajaran tentang pengorbanan, sikap ksatria, dan perlawanan terhadap para tiran dari peristiwa ini (Karbala), namun juga orang-orang non-Muslim. Yaitu, sejak protes perwakilan Kristen terhadap Yazid di pertemuannya hingga di era kita sekarang.”
Peristiwa menyakitkan di Karbala yang menimpa Imam Husein as dan para sahabatnya serta penawanan keluarga beliau terjadi disebabkan perlawanan cucu Rasulullah Saw itu terhadap penyimpangan-penyimpangan nyata yang mengancam kemurnian Islam sebagai agama terakhir. Tulisan singkat ini akan mencoba menjelaskan mengenai penyimpangan-penyimpangan yang telah dilakukan Yazid sehingga mendorong Imam Husein as untuk bangkit demi menjaga kemurnian agama kakeknya, Rasulullah Saw.
Di akhir usianya, Muawiyah mengingkari surat perjanjian perdamaian yang ditandatanganinya bersama Imam Hasan Mujtaba as. Ia meminta sahabat-sahabatnya untuk mengambil baiat dari masyarakat kepada anaknya, Yazid. Sejak awal, Muawiyah juga telah menyiapkan sekelompok orang untuk menyuap masyarakat supaya kelak bersedia membaiat anaknya. Selain itu, ia juga menggunakan ancaman sebagai alat untuk menekan masyarakat supaya tidak menolak untuk membaiat Yazid.
Setelah Muawiyah meninggal dunia, para gubernur di berbagai kota mengumumkan bahwa Muawiyah telah memilih Yazid sebagai penggantinya. Mereka kemudian mengambil baiat masyarakat. Terkait hal ini, mengambil baiat dari Imam Husein as, cucu Rasulullah Saw dan tokoh terbaik Islam, sangat penting bagi Yazid. Namun beliau menolak untuk membaiatnya. Akhirnya, Imam Husein as memilih syahid di jalan Allah Swt daripada membaiat putra Muawiyah itu. Sikap tersebut menunjukkan bahwa Imam Husein as tidak pernah tunduk terhadap kehinaan disebabkan baiat tersebut.
Ahlul Bait as sebelum di masa Yazid telah menilai khilafah sebagai hak mereka berdasarkan sabda Rasulullah Saw. Namun untuk menjaga keutuhan Islam, mereka tidak bangkit melawan khalifah-khalifah di masa itu. Lalu apa perbedaan Yazid dengan khalifah-khalifah sebelumnya sehingga menyebabkan Imam Husein as harus bangkit melawannya padahal sahabat-sahabat yang menyertai beliau sedikit dan beliau yakin pasti akan kalah dari segi militer? Mengapa menerima kekhalifahan Yazid akan dapat menghilangkan akar Islam?
Dalam biografi Yazid disebutkan bahwa ia lahir pada tahun 25 H dan anak dari salah satu istri Muawiyah bernama "Maysun." Kabilah Maysun bin Bajdal al-Kulaibi al-Nasrania dikenal sebagai para penganut Kristen, namun kemudian segelintir dari mereka masuk Islam. Tidak ada dokumen sejarah yang benar yang membuktikan bahwa Yazid adalah anak Muawiyah, namun justru sebaliknya, disebutkan bahwa tidak ada kejelasan siapa sebenarnya ayah Yazid.
Maysun tidak hidup bahagia di istana Muawiyah, oleh karena itu Muawiyah mengirim Yazid dan Maysun ke kabilahnya. Karena dikalangan kabilah Maysun banyak yang belum masuk Islam dan sepenuhnya belum mengenal agama ini, maka Yazid jauh dari didikan Islam. Dari situlah, dasar pengabaian terhadap keyakinan dan hukum-hukum Islam tumbuh dalam diri Yazid. Ia menjalani pola hidup bersama orang-orang badui yang hanya mengenal kesenangan, pelecehan dan hidup bersama hewan-hewan. Kebiasaan buruk yang telah melekat dalam diri Yazid tersebut terus dilakukannya meski ia telah memegang pemerintahan, bahkan ia melakukan kebiasaan buruk itu secara terang-terangan.
Pola hidup Yazid berbeda dengan kehidupan khalifah-khalifah sebelumnya. Ia tidak peduli dengan syariat dan bahkan mengingkari wahyu. Yazid adalah laki-laki pengumbar nafsu, peminum khamar dan terkenal dengan kebobrokannya. Ia meremehkan urusan pemerintahan.
Syahid Murtadha Muthahhari, cendekiawan besar Iran dalam bukunya epik Huseini menulis, “Yazid adalah orang yang suka melakukan pelecehan. Ia senang jika mayarakat mengabaikan Islam. Ia menghilangkan batas-batas Islam. Laki-laki itu minum khamar di pertemuan resmi, lalu ia mabuk dan berceloteh. Semua sejarawan terkemuka menulis bahwa ia bermain dengan seekor monyet dan cheetah. Yazid sangat menyukai monyet sehingga ia dipanggil sebagai “Abi Qais.”
Al-Masudi dalam buku Muruj az-Zahab, menulis, Yazid memilih pakaian sutra yang indah untuk monyetnya dan mendudukannya di tempat yang lebih tinggi dari para pejabat negara dan militer. Oleh karena itu, Imam Husein as berkata, riwayat Islam akan tamat jika umat Islam dipimpin oleh Yazid.
Di masa pemerintahan Muawiyah dan ketika berhaji di baitullah, serta kemudian di Madinah dan di samping rumah Rasulullah Saw, Yazid tidak pernah meninggalkan kebiasaaan buruknya. Ia selalu meletakkan khamar di mejanya, namun ketika mendengar berita bahwa Ibnu Abbas dan Husein as ingin masuk ke rumahnya, ia segera memerintahkan pelayannya untuk menyingkirkan minuman keras itu.
Kebiasaan Yazid yang meminum khamar di depan umum sangat terkenal di kalangan masyarakat, bahkan ia tidak meninggalkan kebiasan buruk tersebut meski menerima tamu-tamu dari berbagai kota yang jauh. Padahal, al-Quran dengan tegas melarang minum khamar dan menyebut perbuatan tersebut sebagai perbuatan setan.
Allah Swt dalam Surat al-Maidah Ayat 90 berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
Ibnu Katsir, sejarawan Syafii menulis, “Yazid adalah orang yang tidak mampu mengalahkan hawa nafsu dan mengontrolnya. Ia menyambut pertemuan-pertemuan maksiat dengan penuh gembira dan menghindar untuk melaksanakan kewajiban terpenting Tuhan yaitu shalat, dan ia termasuk dari orang-orang yang meninggalkan shalat… sesungguhnya Yazid adalah pemimpin orang fasik dan kafir dan patut untuk dilaknat.”
Az-Zahabi, seorang perawi dan sejarawan menulis, “Yazid adalah Nasibi (musuh Ahlul Bait as) ekstrim dan orang yang mudah marah, di mana ia memiliki akhlak seperti binatang. Ia meminum khamar dan tidak pernah berpaling dari maksiat dan kemunkaran. Pemerintahannya dimulai dengan pembunuhan terhadap Husein (as) dan diakhiri dengan perusakan Kabah.”
Dalam sejarah yang ditulis al-Masudi disebutkan bahwa ketika Yazid memegang kekuasaan, ia tidak keluar rumahnya selama tiga hari. Para bangsawan Arab dan panglima pasukan mendatangi rumahnya. Di hari keempat, Yazid naik ke mimbar dengan muka berdebu dan berkata: aku tidak meminta maaf atas kebodohanku dan tidak sedang menuntut ilmu.”
Perilaku buruk Yazid telah dicontoh oleh orang-orang terdekat dan bawahannya. Ia tidak mampu mengurus pemerintahan dan tidak pernah komitmen dengan urusan itu, bahkan ia suka menghambur-hamburkan harta. Terkadang ia menghabiskan harta dan memberikannya kepada pelayan-pelayannya tanpa perhitungan. Dalam urusan finansial dan pemerintahan, Yazid tidak pernah berpikir ke depan.
Banyak ulama Ahlussunnah seperti Ibnu Jauzi, Suyuti, Ibn Hazm, Sheikh Mohammad Abduh dan Ahmad bin Hambal menilai Yazid bin Muawiyah sebagai orang yang kafir dan fasik karena telah membunuh Imam Husein as. Para ulama tersebut membolehkan untuk melaknat Yazid. Rekam jejak pemerintahan Yazid selama empat tahun telah menjadi bukti atas kebobrokan dan keburukannya. Tragedi di Karbala dan penawanan Ahlul Bait as adalah bentuk kebrutalan terburuk di awal tahun pemerintahannya.
Setelah Imam Husein as dan tawanan Karbala mengungkap keburukan Yazid, masyarakat Madinah pada tahun 63 H mengutus sekelompok orang ke Syam guna mencari informasi tentang Yazid. Setelah kembali dari Syam, mereka mengatakan, “Kami mendatangi seseorang yang tidak mempunyai agama, peminum khamar dan selalu bersenang-senang dan menyanyi. Para penyanyi dan penari perempuan dipanggil ke istana Yazid untuk menghiburnya. Setiap malam, Yazid mabuk bersama para pencuri dan orang-orang jahat. Kami menjadikan kalian sebagai bukti bahwa kami telah menghapusnya dari kekhalifahan.”
Yazid mengutus Muslim bin Uqbah untuk menumpas masyarakat Madinah, bahkan ia menghalalkan harta, jiwa dan kehormatan masyarakat Madinah untuk pasukannya selama tiga hari. Setelah mengalahkan orang-orang Madinah, pasukan Yazid melakukan berbagai kejahatan mengerikan di sana yang merenggut nyawa antara 6-10 ribu orang, di mana banyak sahabat nabi termasuk menjadi korban dalam tragedi yang dikenal dengan peristiwa al-Harrah itu.
Setelah melakukan kejahatan mengerikan tersebut, Yazid pada tahun 64 H mengirim pasukan yang sama ke Mekah untuk mengepung dan membunuh Abdullah bin Zubair. Mereka mengepung Mekah dan dengan menggunakan pelontar, mereka membakar dan menghujani Kabah yang digunakan Abdullah bin Zubair berlindung. Serangan tersebut telah menyebabkan kerusakan pada Kabah, namun sebelum kejahatan lainnya dilakukan, terdengar bahwa Yazid mati. Akhirnya pengepungan pun berakhir.
Melihat penyimpangan dan kejahatan Yazid maka tidak mungkin Imam Husein as akan bersedia membaiatnya. Beliau yang merupakan lentera petunjuk dan kapal penyelamat, tidak mungkin membaiat orang yang zalim dan fasik seperti Yazid.- -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
MENGAPA MENYELEWENGKAN SEJARAH
-
- Sumber : Liputan Islam
- Orang-orang yang meriwayatkan jasa-jasa Ali dibungkam. Mereka yang pandai membuat cerita tentang dosa-dosa Ali diberi penghargaan. Nashr bin Ali meriwayatkan hadis mengenai keluarga Ali. Khalifah Mutawakkil mengeluarkan perintah untuk mencambuk Nashr seribu kali. Tidak henti-hentinya ia dicambuk, sampai Ja’far bin Abdul Wahid mengingatkan Mutawakkil, “Hadza min Ahlissunnah.” Al-Hafiz Ibnu al-Saqa dikeroyok dan dipukuli hanya karena meriwayatkan Rasulullah saaw menjamu Ali dengan daging burung (Lihat Ibnu Hajar, Tahdzib at-tahdzib pada bagian berkenaan dengan orang-orang tersebut).
-
Keadaan ini berlangsung lebih dari 60 tahun. Sehingga dalam satu masa, pernah kaum Muslimin meragukan apakah Ali menjalankan salat. Pada zaman Abdul Malik (Khalifah V Bani Umayyah), seorang khatib di Damaskus, berusaha sedikit meluruskan kembali sejarah. Ia menceritakan sebagian jasa Ali. Abdul Malik marah, “Aneh benar, orang belum juga melupakan Ali. Potong lidah khatib itu!.”Berkenaan dengan peristiwa ini seorang penyair Arab menulis:Di atas mimbar kalian nyatakan kecaman kepadanyaPadahal dengan pedangnyaTonggak-tonggak mimbar ituDiserahkan kepadamuPara penguasa yang mengutuk Ali di mimbar-mimbar memerintah dunia Islam. Semua orang tahu bahwa pada awalnya kekuasaan Islam itu ditegakkan dengan pedang Ali. “Sekiranya tidak karena pedang Ali dan harta khadijah…”, kata Rasulullah saaw pada suatu saat.Pada tahun 99 H, Sulayman bin Abdul Malik meninggal digantikan oleh Umar bin Abdul Aziz, khalifah yang terkenal adil. Ia berusaha meluruskan kembali sejarah. Ia melarang pengutukan terhadap Ali. Pada akhir khutbah ketika sebelumnya orang mengutuk Ali, Umar bin Abdul Aziz memerintahkan khatib membacakan Q.S. al-Hasyr : 10 dan an-nahl : 90 :رَبَّنَا اغْفِرْ لَنا وَ لِإِخْوانِنَا الَّذينَ سَبَقُونا بِالْإيمانِ وَلا تَجْعَلْ في قُلُوبِنا غِلاًّ لِلَّذينَ آمَنُوا رَبَّنا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَحيمٌ“Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu daripada kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَ الْإِحْسانِ وَ إيتاءِ ذِي الْقُرْبى وَ يَنْهى عَنِ الْفَحْشاءِ وَ الْمُنْكَرِ وَ الْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan kezaliman. Dia memberi nasihat kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”Berkat Umar bin Abdul Aziz, sampai sekarang para khatib jumat mengakhiri khutbahnya dengan kedua ayat di atas. Ketika ia ditanya mengapa ia membuat peraturan itu, ia berkata, “Ketika kecil aku mengaji kepada Utbah bin Mas’ud. Pada suatu hari, ketika ia berada di dekat kami, kami bermain-main. Dalam permainan itu kami mengutuk Ali. Guruku kelihatan sedih. Ia meliburkan kelas dan pergi ke mesjid. Ia terus-menerus melakukan salat. Aku tahu ia marah pada kami. Aku tanyakan kenapa sebabnya.”“Anakku, sampai hari ini engkau masih melaknat Ali?” tanyanya.“Betul” jawabku.“Dari mana kamu tahu bahwa setelah meridhai ahli Badar, Tuhan murka kepada mereka?” tanyanya. “Ustadz, apakah Ali termasuk mujahid dalam perang Badar?” aku balik bertanya.“Anakku tersayang, bukankah Ali pemegang bendera dalam perang Badar? Bukankah ia pemimpin pasukan Muslimin waktu itu?”“Kalau begitu, sejak saat ini aku tidak akan mengutuk Ali lagi.”Setelah itu, Umar menceritakan pengalaman lain. Ia pernah menghadiri khutbah Abdul Aziz, ayahnya. Khutbah itu sangat bagus. Tetapi, ketika sampai pada bagian yang mengutuk Ali, ia terpatah-patah. Khutbahnya menjadi kacau balau. Ketika ia bertanya apa pasalnya, Abdul Aziz berkata, “Anakku, kau lihat orang-orang Syam dan lain-lain berada di bawah mimbar kita? Sekiranya apa yang diketahui bapakmu tentang keutamaan Ali diketahui mereka, tidak seorang pun di antara mereka yang akan menaati kita.” (Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahjul Balaghah 4: 58). Rupanya, sejak dahulu, karena alasan politik orang sering memalsukan sejarah!* Disadur dari buku Tafsir bil Ma’tsur : Pesan Moral Alquran 1 : 59-61 .
- -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
-
TIGA KELOMPOK DARI GENERASI NABI SAW DI ERA PRA-KARBALA
pengarang : Dr. Ali Syariati
Semua ini menunjukkan bahwa pada awal mulanya kepemimpinan Imam Husein merupakan modal dan basis utama. Sebagaimana keberadaan setiap pemimpin yang mengimani keharusan perjuangan, bangkit dan melakukan perlawanan bagi beliau bukan sebuah pilihan yang bebas. Namun, beliau harus tunduk pada segala situasi dan kondisi yang tengah berkembang, termasuk dalam mengambil pola peperangan yang harus beliau hadapi.
Situasi dan kondisi tersebut adalah sebuah keadaan yang telah didominasi oleh segenap syarat kekuatan dan kelemahan musuh, kemudian dilakukan usaha untuk dapat menentukan sikap yang harus diambil. Oleh karenanya, kita tidak dapat memahami dengan benar cara yang dipilih Imam Husein as di memperjuangkan revolusinya kecuali setelah kita memahami ihwal kondisi umum dan khusus yang beliau hadapi, serta faktor-faktor yang mengharuskan beliau memilih cara tersebut.
Gerakan Imam Husein as. dimulai pada tahun 60 H, di saat umat sedang menunggu sosok pemimpin yang akan mengemban tugas kepemimpinan serta meneruskan revolusi yang dicetuskan oleh Muhammad bin Abdullah saww, dimana panji-panjinya mulai runtuh lantaran serangan dan pukulan Bani Umayyah serta kroni-kroninya.
Dari sinilah kita dapat memahami bahwa masa Imam Husein as. adalah masa yang begitu sulit, sedemikian mencekik, karena memang sebuah masa yang akan menjadi tonggak sejarah. Beliau telah melihat apa yang terjadi di sekitar beliau serta kondisi yang meliputi beliau, maka beliau menyadiri dirinya akan sebuah tanggung jawab melindungi revolusi yang telah kehilangan asas-asasnya dan runtuh benteng terakhir serta nilai-nilai misinya. Bahkan, tidak lagi tersisa -sejak wafatnya sang kakek dan sang ayah sebagai wajah Islam, kebenaran dan keadilan- satu pedang atau satu orang pun.
Kondisi sosial-politik umat pada awal-awal tahun 60 adalah sebagai berikut; bahwa telah berlangsung beberapa tahun, dimana Bani Umayyah merongrong Revolusi Islam dan pondasi sosialnya serta berusaha menumbangkan para pemimpinnya, satu persatu. Di sisi lain, orang-orang Quraisy memanfaatkan segala hasil dan berkah Revolusi tersebut untuk kepentingan pribadi mereka. Sedangkan para pejuang Revolusi dan para generasi penerusnya yang pernah mengenyam pendidikan langsung Rasulullah berada di ambang keruntuhan pusat kekuatan Revolusi tersebut.
Mereka dapat terpecah ke dalam tiga kelompok:
Pertama, mereka yang tidak dapat tinggal diam dengan sabar melihat nilai-nilai Islam yang agung diinjak-injak dan dihinakan. Untuk itu, mereka bangkit, menegakkan sholat, berperang, dll. Di dalam kelompok ini kita temukan Abu Dzar, Ammar bin Yasir, Abdullah bin Mas’ud, Haitsam, Hijr bin ‘Adiy, dll yang telah memilih jalan untuk dapat meneguk cawan syahadah. Mereka adalah orang-orang unggul kelompok pertama ini.
Kedua, mereka yang menganggap bahwa jalan menuju surga tidak hanya terbatas pada berjuang di bawah kilatan pedang, bahwa jihad bukanlah satu-satunya pintu surga. Menurut mereka, banyak jalan lain yang lebih mudah dan lebih aman yang dapat ditempuh untuk mencapai surga, yaitu hidup dengan zuhud, ibadah dan menyendiri dari keramaian khalayak. kelompok ini dipelopori oleh Ibnu Umar atau Abdullah bin Umar. Ironisnya, lahirnya kelompok ini diprakarsai oleh segolongan sahabat yang pernah mendapat didikan langsung Rasulullah saw dan memahami makna jihad serta perjuangan dan pengorbanan dalam rangka membela dan mempertahankan kebenaran. Sungguh mengherankan. Mereka mengisi kehidupan mereka di masa-masa yang sulit –yang menuntut adanya orang-orang yang meneriakkan suara mereka demi keadilan- dengan menghindari medan pertempuran antara hak dan bathil. Mereka lebih mengkonsentrasikan jiwa dan pikirannya di sudut-sudut masjid dan rumah-rumah kosong. Mereka mengira dirinya telah mengorbankan pribadi-pribadi pilihan menjadi pahlawan kebenaran dalam rangka kebaikan penguasa dan mereka yang menginginkan untuk kembali pada suasana sebelum Islam. Apalagi di saat itu banyak dari kalangan umat yang berada di bawah tarian cambuk Bani Umayyah, menunggu sikap yang tegas dari mereka yang dapat melawan berbagai penyimpangan dan kedzaliman. Kelompok kedua ini sesungguhnya telah mementingkan keselamatan diri sendiri ketimbang peduli pada arti pengorbanan dan jihad.
Ketiga, mereka yang pernah mengantongi curicullum vitae yang gemilang dan seabrek prestasi serta kemuliaan jihad bersama Rasulullah di sejumlah peperangan seperti; Badar, Uhud dan Hunain. Mereka pernah mendapatkan kemuliaan berkorban di Madinah, kota Hijrah dan Jihad. Sialnya, mereka sendiri yang telah menjual kecemerlangan kemarin dengan kekerdilan, kehinaan dan kesenangan sementara di ‘istana hijau’ Muawiyah. Mereka memungut harta dan melakukan praktek busuk suap-menyuap. Mereka tak segan-segan lagi menempuh cara-cara yang dilakukan Abu Hurairah, yakni memproduksi hadis dalam rangka memberikan pembenaran atas apa yang dilakukan oleh Muawiyah terhadap Keluarga Rasul, Revolusi Rasul dan nilai-nilai Rasul saww. Selanjutnya saya akan mengajak Anda menganalisa lebih dalam kelompok ke dua dan ke tiga ini. Segera akan kita lihat analisa kita berujung pada pengecaman terhadap mereka.
Pada kelompok kedua yang meninggalkan perjuangan serta lari mendekam di tempat-tempat ibadah di saat-saat yang sulit seperti ini, sesungguhnya tangan mereka berlumuran darah suci. Cairan merah kental yang menetes dari tangan mereka adalah darah-darah suci para pahlawan yang syahid. Para syahid Karbala itu adalah para pahlawan ini. Hal itu karena setiap orang atau setiap pribadi mukmin yang memahami tanggung jawabnya dengan baik serta punya kemampuan untuk mengambil sikap, namun membiarkan kebenaran dikorbankan di bawah kebatilan serta meninggalkan perjuangan serta meluluhkan keteguhan kepercayaannya yang hakiki pada jihad serta perjuangan, pada sadarnya mereka telah mengorbankan kehidupan para pahlawan yang berkorban di di medan pertempuran itu demi kenyamanan penguasa yang dzalim.
Adapun kelimpok ketiga, mereka itu kelompok yang lebih kerdil, busuk dan lebih berbahaya. Bagaiamana tidak? Merekalah yang mendagangsapikan nilai-nilai Rasulullah dan kemulian amanah beliau dengan segerincing receh dirham yang bisa dibilang. Mereka telah menukar kemuliaan dengan kehinaan. Mereka adalah segolongan sahabat Rasul yang pernah berjuang bersama beliau.
Apa yang dapat Anda katakan jika sahabat seperti Abu Hurairah yang menimba ilmu dan hadis yang begitu banyak dari Rasulullah, kemudian meratifikasi hadis suci hanya untuk membela kepentingan Muawiyah. Bahkan, dia pula yang mengusahakan desakan cinta Yazid yang terkenal itu pada istri Abdullah bin Salam?
Orang-orang seperti mereka adalah generasi pascarevolusi Islam, generasi kedua yang mayoritas mereka relatif muda. Mereka tidak pernah melihat kegemilangan Islam di masa-masa awal revolusi. Sepatutnya, mereka mendengar riwayat kebesaran Islam dari mulut generasi sebelumnya yang berada di dalamnya dan menyaksikan langsung. Justru sebaliknya, yang mereka dapatkan adalah tersungkurnya para tokoh revolusi ini, satu persatu jatuh ke jurang kehinaan dan keterpurukan! Kekecewaan apakah, kepahitan yang mana, dan kehancuran yang bagaimana yang akan mereka rasakan di hadapan cita-cita besar yang disebut ‘Islam’, sementara mereka melihat riwayat hitam jajaran elit Islam yang lahir di dalam masyarakat madani Rasulullah dan revolusinya.
Kebangkitan Hijir Bin Adiy
Namun, harapan belumlah pupus! Kabar-kabar gembira revolusi lahir dari rahim generasi ini sendiri! Yaitu pergerakan. Meskipun belum sempurna syarat-syarat kematangan mereka, namun melalui sosok seorang pemimpin yang bernama Hijir Bin Adiy, atmosfir politik dan sosial revolusi Al-Husein telah mulai menyelimuti Kufah setelah gugurnya para pahlawan mereka di Karbala.
Oleh karena itu, di dalam barisan generasi ke dua ini terdapat gerakan yang dibicarakan dari mulut ke mulut, di lorong-lorong Kufah. Hijir bin Adiy-lah yang menjadi pelopor gerakan ini. Ia adalah seorang sahabat mulia. Ia sempat bertemu Nabi saww. Ktika masih kanak-kanak. Ia ikut berperang bersama Imam Ali pada usia yang relatif muda. Pada zaman Imam Hasan, ia menunjukkan kematangannya sebagai seorang politikus yang cerdas, yang mengalirkan ide-ide cemerlang dan kesadaran yang dalam akan tanggung jawabnya. Pada awalnya, ia “menyalahkan” keputusan Imam Hasan yang telah menAndatangani perdamaian dengan Muawiyah. Tidak lama setelah itu, Imam Hasan berhasil memuaskannya dan membuatnya puas untuk menerima akan kebenaran apa yang beliau lakukan menghadapi kebusukan Muawiyah.
Hijir adalah seorang yang kuat pendiriannya. Dia tidak pernah membiarkan kedzaliman dibangkitkan. Ia tidak pernah mengatakan “Ya” demi kehinaan dan politik kotor. Tidak mudah menerima logika taqiyyah dan gerakan “bawah tanah” yang digagas oleh Imam Hasan as. Pada saat yang sama, Hijir tidak siap hidup secara terhina dan menyaksikan wabah kedzaliman, dominasi kejahatan, kediktatoran, kebebasan nafsu di segala bidang, pemerkosaan hak, sikap masabodoh terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang telah dihasilkan oleh revolusi Islam.
Maka itu, sewaktu Hijir bangkit untuk menyatakan perlawanan terhadap rezim Bani Umayyah di Irak, dan dengan cepat meluas ke seluruh penjuru negeri itu, segera dia arahkan laras dan ledakan revolusi tepat di jantung kejahatan mereka yang telah mencekik seluruh nilai kebebasan dan keadilan. Namun apa boleh dikata, revolusi Hijir tidak mencatat kemenangan sebagaimana ia mencatat syahadah para pahlawannya. Sebab, tidak lama kemudian Hijir gugur meneguk cawam syahadah setelah rezim Bani Umayyah mengeluarkan fatwa palsu. Akibatnya, fatwa itulah yang menyeret Hijir ke dalam acara pemenggalan kepalanya dan kepala-kepala para sahabatnya di kota Marj Adzra’ dekat Damasykus. Hukuman itu mereka terima dalam rangka membayar komitmen mereka pada nilai-nilai Ali, ajaran-ajarannya serta butir-butir pendidikan madrasahnya.- -----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
- ilustrasi hiasan :
- Sumber : ikmalonline.com
JANGAN MENGUBAH PERISTIWA KARBALA!
Tahrîf artinya memalingkan sesuatu dari jalannya dan keadaan yang semestinya. Ia merupakan tindakan mengubah sesuatu. Melakukan tahrif ialah apabila satu kalimat, surat atau pesan, bait puisi, tidak dipahamkan sebagaimana maksudnya atau dengan maksud lainnya. Apa yang Anda sampaikan kepada orang lain, lalu ia menukilnya dengan mengurangi dan menambahinya, dan menghilangkan bagian maksud Anda, Anda akan mengatakan, Saya yang mengatakan itu, tapi dia telah mentahrif perkataan saya.Banyak macam tahrîf, dan yang terpenting darinya ialah:
1-Tahrîf lafzhi (dalam kata); ialah mengubah kata atau bagian luar sesuatu. Misalnya, Anda kurangi atau tambahi sesuatu dari apa yang fulan katakan kepada Anda, atau membuat kalimat-kalimat dari dia bermakna lain. Kesimpulannya, ialah penyalah gunaan perkataan dia dalam lafaz.2-Tahrîf manawi (dalam makna); tidaklah menyalahi kata. Kata-katanya memang demikian adanya, tapi dimaknakan berbeda dengan apa yang dimaksud oleh yg berkata. Misalnya, Anda menjelaskannya dengan makna yang sesuai dengan maksud Anda, tetapi tidak sesuai dengan maksud dia yang sebenarnya.
Sebuah Contoh Tahrif
Kata tahrîf disebut dalam Alquran mengenai orang-orang Yahudi, bahwa mereka lah yang terdepan dalam kasus tahrîf. Sampai Syahid Mutahari mengatakan: “Adalah ras yang memiliki kecenderungan aneh! Suka melakukan tahrif.”Mereka selalu membolak-balikkan fakta dan realitas, sementara banyak media menukil berita dari mereka yang menjadi reporter dunia. Terutama media berita itu milik mereka. Agar mereka dapat mengubah perkara-perkara di dunia ini sebagaimana yang mereka inginkan. Dikatakan dalam Alquran, sampai batas bahwa tahrif menjadi cirikhas ras ini. Allah swt berfirman:
أَفَتَطْمَعُوْنَ أَنْ يُؤْمِنُوْا لَكُمْ وَ قَدْ كَانَ فَرِيْقٌ مِّنْهُمْ يَسْمَعُوْنَ كَلاَمَ اللهِ ثُمَّ يُحَرِّفُوْنَهُ مِن بَعْدِ مَا عَقَلُوْهُ وَ هُمْ يَعْلَمُوْنَ
“Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepada (agama)mu, padahal segolongan dari mereka telah mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah memahaminya, sedangkan mereka mengetahui? (QS: al-Baqarah 75)
Mereka selalu melakukan tahrif bukan lantaran tidak paham. Mereka memahami (perkataan) itu dengan baik. Namun mereka mengubahnya dengan kesadaran mereka, dan menjelaskan sebaliknya kepada kaum. Inilah tahrif, mengubah sesuatu dan membelokkannya dari jalan hakikinya. Mereka telah melakukannya dalam kitab samawi.
Sebagai contoh tahrif lafzhi di dalam syair, diceritakan oleh seorang alim tentang pengalamannya di masa mudanya dulu: “Seorang pelantun pujian dari Tehran datang ke Masyhad, dan masuk ke Masjid Gouharsyad (terletak di sebelah selatan Haram Imam Ridha). Ia berdiri melantunkan bait syair yang dinisbatkan kepada Hafez (tentang etika ziarah di makam Imam Ali Ridha). Ringkasnya bahwa satu bait lanjutan yang dia baca ialah:
از جان ببوس وبر در ان بارگاه باش
Lalu beliau menegurnya, “Mengapa kau salah membaca syair ini? Bahwa syairnya (yang benar) adalah:
از جان ببوس وبر در ان باركاه باش
(Hanya beda satu huruf, yang semestinya “ک”/k dia baca “گ”/g)
Si pelantun itu bertanya,
“Apa artinya “باركاه باش”?
Beliau menjawab,
“Bila kamu sampai di ambang Haram (tempat suci), hempaskan dirimu bagai muatan rumput yang dijatuhkan dari atas tunggangan ke tanah!”.
Setelah itu, si pelantun syair pujian itu di kesempatan lain bila sampai pada kalimat tersebut, ia melontarkannya sambil menjatuhkan dirinya.
Tafrîf Menyangkut Perkara Besar
Di dalam tahrif lafzhi dan manawi juga terdapat perbedaan tematik, atau menyangkut masalah kecil dan masalah besar. Terkadang tahrif terkait sebuah perkataan biasa, seperti perbincangan antara dua orang, lalu dinukil oleh yang lain. Terkadang juga menyangkut sebuah tema besar sosial. Misalnya, terkait pribadi (agung dan suci) yang ucapan dan perbuatannya adalah hujjah bagi umat, dan akhlaknya sebagai tauladan bagi mereka.Adalah tindakan tahrif apabila suatu perkataan dinisbatkan kepada Nabi saw, yang tidak beliau katakan. Atau suatu akhlak kepada beliau yang diikuti oleh umat padahal itu bukan akhlak beliau. Tahrif juga terjadi dalam peristiwa bersejarah, yang menjadi sebuah dokumen bagi masyarakat. Di dalam akhlak dan pendidikan juga demikian dan merupakan perkara yang sangat penting.
Peristiwa Karbala adalah sebuah peristiwa besar sosial, yang membawa efek dalam tarbiyah, akhlak dan perangai kita. Adalah peristiwa yang diperingati oleh jutaan orang, dengan mengeluarkan biaya jutaan untuk disimak perkara-perkara yang berkaitan dengannya dalam durasi sekian jam. Peristiwa besar ini harus disampaikan sebagaimana yang telah terjadi, tanpa dikurangi dan ditambahi. Jika ada masukan atau penyalah gunaan dari kita di dalam peristiwa ini, berarti mentahrifnya. Merugilah kita saat itu, yang semestinya kita memperoleh manfaat dari peristiwa yang agung ini.
(Bersambung)
Referensi:
Hamase-e Husaini/Syahid Mutahari----------------------------------------------------------------------------------------------------------
MANA BENAR DAN MANA SALAH
- Sumber : dennysiregar.com
Pada masa pemerintahan kekhalifahan Ali bin abu thalib, beliau
diserang. Yang menyerang pemerintahan Imam Ali bukan yahudi dan nasrani,
tetapi kawan-kawan seperjuangan beliau ketika masih bersama Rasulullah
Saw. Perang ini terkenal dengan nama perang Jamal atau perang unta.
Perang saudara ini membingungkan banyak orang, "saya harus berpihak kemana?". Isu-isu bertebaran semakin tidak jelas mana yang benar dan mana yang salah.
Akhirnya salah seorang sahabat tidak tahan dan bertanya kepada Imam Ali, "Wahai Imam.. manakah yang benar?
Disana ada Aisyah (istri Nabi) juga para sahabat Nabi yang dulu berperang denganmu. Sedangkan disini ada engkau dan para sahabatmu yang juga berperang bersama mereka dulu. Lalu, manakah yang benar?"
Imam Ali dengan bijak menjawab, "Engkau salah, wahai sahabat. Engkau mengukur individu-individu dulu baru mencoba menetapkan siapa yang benar.
Kenalilah kebenaran itu dulu, baru lihatlah siapa individu yang berada di belakangnya.."
Dari peristiwa perang Jamal ini, Imam Ali mengajarkan para sahabatnya untuk berlaku obyektif, melihat lebih jelas permasalahan baru menentukan sikap. Bukan malah condong kepada sosok atau subyek tertentu dalam menentukan sikap.
Melihat "apa" dan bukan "siapa".
Sejarah yang terjadi ribuan tahun lalu adalah sebuah pembelajaran bagaimana menentukan sebuah sikap ketika terjadi perbedaan pendapat. Menentukan sebuah sikap adalah hal yang wajib, karena ketika kita mengenal mana yang benar dan mana yang salah, netral adalah kebodohan yang mendasar.
Perang saudara ini membingungkan banyak orang, "saya harus berpihak kemana?". Isu-isu bertebaran semakin tidak jelas mana yang benar dan mana yang salah.
Akhirnya salah seorang sahabat tidak tahan dan bertanya kepada Imam Ali, "Wahai Imam.. manakah yang benar?
Disana ada Aisyah (istri Nabi) juga para sahabat Nabi yang dulu berperang denganmu. Sedangkan disini ada engkau dan para sahabatmu yang juga berperang bersama mereka dulu. Lalu, manakah yang benar?"
Imam Ali dengan bijak menjawab, "Engkau salah, wahai sahabat. Engkau mengukur individu-individu dulu baru mencoba menetapkan siapa yang benar.
Kenalilah kebenaran itu dulu, baru lihatlah siapa individu yang berada di belakangnya.."
Dari peristiwa perang Jamal ini, Imam Ali mengajarkan para sahabatnya untuk berlaku obyektif, melihat lebih jelas permasalahan baru menentukan sikap. Bukan malah condong kepada sosok atau subyek tertentu dalam menentukan sikap.
Melihat "apa" dan bukan "siapa".
Sejarah yang terjadi ribuan tahun lalu adalah sebuah pembelajaran bagaimana menentukan sebuah sikap ketika terjadi perbedaan pendapat. Menentukan sebuah sikap adalah hal yang wajib, karena ketika kita mengenal mana yang benar dan mana yang salah, netral adalah kebodohan yang mendasar.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
JIKA ALLAH BERKEHENDAK TIDAK SESIAPA DAPAT MENGHALANG
Kitab-kitab di blog ini khusus untuk pengikut mazhab Ahlu l-Bait alaihis salam atau mazhab Ja'fari atau mazhab Syi'ah Imam Dua Belas, yaitu pengikut Syiah Ali, Islamnya paling dini, yang merupakan pintu ilmu nabi untuk orang mukmin, pukulan pedangnya membuat tertegaknya islam hingga kehari ini, seorang Imam yang sentiasa di dalam kebenaran dan disucikan, teman paling dekat, sepupu, menantu, suami kepada penghulu wanita surga, ayah kepada dua ketua pemuda surga, wasinya didikan rasul di rumah mereka, tempat turunnya wahyu Allah swt. sahaja.
Pemilik blog tidak bertanggung-jawab di atas akidah sesiapapun, apa yang terkandung dalam kitab-kitab disini hanyalah warisan dari penafsiran para aimmah, yang diwarisi kepada wakil dan teman-teman terpercaya Imam al Mahdi a.s., ilmu yang tersembunyi bersifat kesendirian dan terasing, dirahasiakan oleh penguasa dalam lipatan sejarah, sehingga amat sedikit pengikutnya, hanya kemudian diwarisi kepada generasi yang lahir dari peristiwa itu yaitu para marjai-marjai syiah, dari mereka maka terpelihara rapi walaupun sebelumnya telah berdirinya universitas islam pertama oleh Imam Ja'far a.s. dan selanjutnya khazanah ilmu itu tersimpan dan diwarisi dengan rapi hingga sekarang oleh para marjai Universitas Qum, Iran. selain tiu Dinasti Syiah Fathimiyyah adalah pendiri Al-Azhar sebagai universitas Islam tertua dan terkemuka di Dunia Islam hingga kini. Bagitupun ilmu dari keluarga nabi ini masih agak asing/kafir bagi sesetengah muslim...
Semoga usaha tetap terpelihara keaslian dan kesinambungan ilmu-ilmunya dengan sifat-sifat kesendirian dan keterasingannya, sehingga menambahkan wawasan, keilmuan dan menjadikanya bahan pemikiran serta sebagai pahala sedekah , untuk mendapat syafaat dari nabi junjungan, para aimmah, insan pilihan yang disucikan dan sebagai usaha kebajikan yang bermanfaat dan berterusan, sebagai tanda ketaatan kepada Allah, dan juga sebagai kesetiaan, kepatuhan dan dukungan kepada para nabi dan para aimmah sekelian...Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar